Pencarian

Sastra Jendra Hayuningrat 2

Sastra Jendra Hayuningrat Karya Agus Sunyoto Bagian 2


Sekarang ini, setelah terbebas dari pengaruh gelap Sulistyowati yang merupakan gambaran Sayempraba, saya terperangkap ke dalam cinta lain pada Ita Martina sebagai pengejawantahan makna yang tercinta Trijata bagi Hanoman. Saya tidak pernah tahu, apakah saya akan mengalami nasib seperti Hanoman; mencintai seseorang dan tidak pernah bisa memilikinya. Ya, kalau saya memang harus seperti Hanoman yang memaknai sepi dan sunya dalam jiwa yang dicekam rindu, tentulah saya akan ikhlas menjalaninya. Saya tentu akan mengambil sikap seperti Hanoman; mendoakan keselamatan dan kebahagian bagi semua yang dicinta meski tidak pernah memiliki yang tercinta.
Dingin malam saya rasakan makin menggigit tulang belulang saya. Tapi dengan menguatkan diri, saya terus melangkah tanpa tujuan seolah saya tidak pernah peduli akan ke mana akhir perjalanan yang saya lalui. Saya hanya seperti bayi kecil yang merangkakrangkak sambil menggapaikan tangan, mencari kehangatan buah dada ibunya yang tak pernah dia ketahui di mana letaknya. Saya terus merangkak dan menggapai-gapai, mencari kehangatan sebagaimana Hanoman mencari puting susu ibundanya dengan Aji Wundri.
EMPAT KALAU MAU MENCARI ALLAH, BELAJARLAH DARI IBLIS!
S eperti ledakan halilintar bisikan misterius itu
menggedor otak dan dada saya yang membuat seluruh jaringan darah di tubuh saya macet beberapa detik. Saya tidak mengerti, kenapa bisikan misterius itu bisa menjadi begitu dahsyat pengaruhnya sehingga membuat jiwa saya seperti terlontar jauh ke suatu hamparan sunyi yang mengerikan. Sesaat setelah bisikan misterius itu hilang, suasana saya rasakan menjadi hening dan hampa, di mana hanya rasa lapar saya rasakan meremas-remas perut saya dan membuat kepala saya berdenyut-denyut. Semua hampa. Hambar. Lengang.
Seingat saya, sudah sehari semalam ini saya tidak makan sesuatu kecuali meminum seteguk air waktu berbuka sore kemarin. Mungkin kondisi fisik saya yang jelek karena saya telah berjalan kaki dari Surabaya ke Gresik, sehingga bisikan misterius itu menjadi begitu dahsyat saya rasakan. Tetapi bagaimana pun saya tetap?"?" kebingungan, karena saya sedikit pun tidak memiliki niat berjalan kaki ke kota Gresik apalagi saya dalam keadaan puasa. Dan saya semakin kebingungan ketika saya mendapati diri saya tahu-tahu sudah berada di suatu kompleks makam yang seingat saya adalah makam leluhur saya, karena pada waktu saya masih kecil bapak saya pernah mengajak saya berziarah ke kompleks makam ini.
Terus terang, saya bukan orang yang gemar berziarah apalagi sampai meminta-minta berkah pada salah satu makam. Karena itu, sekalipun kompleks makam yang sekarang ini saya masuki tidaklah pernah saya kunjungi kecuali sewaktu kecil ketika saya diajak bapak berziarah, tidak membuat hati saya tergerak untuk berziarah dan meminta sesuatu dari ahli kubur yang tidak lain dan tidak bukan adalah kakek buyut saya. Bukan karena apa kalau saya sampai tidak suka berziarah, tapi hanya karena saya takut melakukan perbuatan syirik meski sebesar atom di dalam hati saya. Oleh karena itu, kehadiran saya di tengah kompleks makam leluhur pada tengah malam ini sangatlah mengherankan, terutama bagi saya sendiri. Bagaimana mungkin tanpa pernah saya rencanakan, tiba-tiba saya sudah berada di sebuah kompleks makam yang dikeramatkan masyarakat"
Saya sendiri tidak mengerti, kenapa suasana gelap gulita di kompleks makam itu sedikit pun tidak menimbulkan suasana seram bagi saya. Saya menganggap biasa saja keadaan yang melingkari sekitar saya. Bahkan diam-diam saya merasa tenang karena perasaan saya mengatakan, bahwa mereka yang dikuburkan di kompleks makam itu adalah para leluhur saya. Mereka, pikir saya tidaklah mungkin menggoda dan menakut-nakuti saya dalam bentuk kuntilanak, jerangkong, pocongan, gondoruwo, kemamang, brekasakan, ilu-ilu, banaspati, tuyul, dan demit.
Dingin malam mendadak Saya rasakan menusuk tulang belulang saya. Perut saya mendadak saya rasakan sangat lapar sekali. Kepala saya pun saya rasakan berdenyut-denyut. Pohon beringin yang berdiri megah di tengah-tengah kompleks makam, saya lihatlihat bergoyang-goyang seperti makhluk hidup. Sementara awan hitam di langit yang menutupi rembulan dan bintang-bintang, membuat suasana gelap gulita. Tidak terlihat apapun di sekitar saya kecuali pancaran lampu lima watt yang terpasang jauh di pinggir jalan dengan nyala suram berkedip-kedip.
Ketika angin dingin menerpa tubuh saya, saya rasakan tubuh Saya limbung. Buru-buru Saya duduk dan menyandarkan punggung pada gerbang yang mengantarai teras makam dengan tungkub. Saat kesadaran saya terasa mulai menurun, tiba-tiba saya melihat relief batu yang terpampang di dinding tungkub makam: bentuknya bulat melingkar dengan gambar makara di tengah, tetapi pada pancaran gambar cahaya yang berpendar ke delapan penjuru mata angin, sela-selanya terdapat delapan tulisan dalam huruf Arab yang berbunyi: Allah, Muhammad, Adam, Ma rifat, Asma , Sifat, Dzat, dan Tauhid. Saya tidak tahu pasti apa makna dari kedelapan tulisan huruf Arab itu. Tapi saya menduga, itu semacam rumus rahasia dari suatu aliran tarikat tertentu yang berkaitan dengan inti utama ajaran rahasia, yang tidak juga saya ketahui itu rumus ajaran tarikat apa.
Antara sadar dan tidak, saya menyaksikan gambar relief di dinding tungkup makam itu seperti memancarkan suatu kekuatan gaib, yang membuat saya seperti terhisap ke suatu kekuatan gaib yang melemparkan saya ke suatu dimensi yang menegangkan. Semakin saya pusatkan konsentrasi saya untuk memandang lebih tegas gambar relief itu, semakin terhisap saya oleh kekuatan gaibnya. Dan entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saya mendapati diri saya sudah duduk di atas watu gilang yang teronggok seperti meja di halaman yang terletak di luar gerbang makam. Yang lebih mengherankan, tangan saya berpegangan pada dahan pohon kamboja yang tumbuh di samping meja batu yang bentuknya seperti tangan. Tapi betapa terkejutnya saya ketika dahan kamboja yang saya pegang itu terasa sangat empuk seperti kapas. Dan keterkejutan saya makin memuncak ketika saya amat-amati dahan kamboja yang saya pegang itu ternyata lengan seseorang. Saya kejapkejapkan mata saya, dan saya dapati sosok manusia bertubuh tegap mengenakan pakaian lurik Jawa ditutupi jubah putih berdiri tegak memandangi saya yang berdiri kebingungan.
Siapa sampean" gumam saya asal ngomong dengan pandangan nanar dan dada berdegup-degup, Pakaian sampean kok persis Pangeran Diponegoro dalam film yang saya lihat di bioskop"
Orang berjubah putih itu diam tak menjawab. Tapi sesaat kemudian tangannya melesat dengan cepat menjewer kuping saya. Dan secepat itu pula dia menyorongkan wajahnya ke wajah saya. Saya terkejut, karena menyaksikan wajah laki-laki itu mirip dengan wajah bapak saya. Tapi sebelum saya berpikir jauh, laki-laki yang berwajah mirip bapak saya itu membisikkan sesuatu ke kuping saya.
Sampean Kiai Pusponegoro" pekik saya kaget dan saya rasakan kesadaran saya rontok sehingga tubuh saya terasa tumbang di atas watu gilang. Napas saya mendadak terasa pendek. Tubuh saya tiba-tiba terasa dingin. Kemudian semuanya saya rasakan menjadi ringan bagai tanpa bobot. Saya seperti melayang-layang tanpa bobot di antara dua alam yang dibatasi semacam kabut tipis.
Sepersekian detik saya merasakan tubuh saya melayang-layang tanpa bobot di angkasa yang penuh diselimuti kabut tipis. Kemudian sepersekian detik, saya melihat sosok bayangan laki-laki berjubah putih itu berdiri di hamparan padang luas saling berhadaphadapan dengan saya. Saya pandangi dia penuh rasa heran. Dia hanya tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu saya. Saya kebingungan tidak tahu apa yang sedang terjadi dan apa yang harus saya lakukan di tengah suasana aneh mencengangkan ini.
Sampeankah Kiai Pusponegoro yang tadi menjewer kuping saya" tanya saya diliputi keheranan, Di manakah kita sekarang ini"
Laki-laki berjubah putih itu tersenyum sambil terus menepuk-nepuk bahu saya. Saya sendiri heran karena saya merasakan kelegaan luar biasa menguasai dada saya setiap kali tangan laki-laki itu hinggap di bahu saya. Tapi bagaimana pun saya tetap curiga dengan situasi aneh yang saya alami, sehingga saya pun bertanya lagi, Betulkah sampean Kiai Pusponegoro"
Dia mengangguk penuh wibawa. Saya mencium bau mawar dan kenanga menebar dari tubuhnya memasuki penciuman batin saya. Setelah saya tahu bahwa laki-laki misterius di depan saya itu adalah Kiai Pusponegoro, saya masih bertanya lagi, Apakah sampean ini Kiai Pusponegoro yang kakek-moyang saya"
Kenapa engkau selalu bertanya wahai anak bagus" tanya Kiai Pusponegoro mulai mengelus-elus rambut saya yang awut-awutan.
Saya khawatir jangan-jangan sampean ini jin yang menggoda saya dalam rupa Eyang Kiai Pusponegoro.
Kewaspadaan memang penting, o anak, sahut Kiai Pusponegoro dengan nada sabar, Tapi jangan sampai engkau terperangkap pada prasangka buruk. Sebab sekali engkau terjerat oleh lingkaran prasangka buruk, maka engkau akan terus menerus berputarputar dalam kumparan kecurigaan yang tidak berujung pangkal. Dan ketahuilah, bocah, dalam pencarian ruhani jangan sekali-sekali engkau membenamkan diri dalam pertanyaan-pertanyaan dan kecurigaankecurigaan; sebab yang demikian itu akan menjadi jerat bagi langkahmu sendiri.
Eyang Kiai Puspo yang mulia, kata saya penasaran, Di mana kita sekarang ini berada"
Kita sekarang ini berada di alam rasa yang ada di dalam dirimu sendiri.
Di dalam diri saya sendiri" tanya saya makin heran, Bagaimana mungkin sampean bisa masuk ke dalam diri saya"
Karena di dalam darah, daging, sumsum, uraturat, dan tulang-tulangmu tersembunyi hakikat darah, daging, sumsum, urat, dan tulangku. Duniamu adalah duniaku meski kita dipisahkan ruang dan waktu. Sebab engkau ada lantaran aku ada. Engkau adalah mata rantai dari keberadaanku, sehingga di alam rasamu terangkai hakikat alam rasaku, demikian sebaliknya.
Ketahuilah, o anak, bahwa lewat alam rasamu aku memasuki alam rasaku. Oleh sebab itu, wahai bocah, aku tetap dapat merasakan getaran samudera rasa di dalam alam rasamu sekalipun antara aku dan engkau sudah dipisahkan oleh ruang dan waktu yang berlainan.
Apakah manusia yang mati masih bisa melihat dan mengetahui segala sesuatu tentang manusia yang hidup" tanya saya ingin tahu.
Sesungguhnya kematian hanya kerusakan wujud luar belaka. Kematian bukan kepunahan. Kematian hanya peristiwa perubahan dari satu wujud ke wujud yang lain. Dan ketahuilah, o anak, bahwa yang mati sesungguhnya lebih mendengar dan lebih melihat daripada yang hidup. Yang mati lebih merasakan daripada yang hidup. Yang mati lebih waskita daripada yang hidup. Karena yang mati tetaplah hidup di alam semesta yang batin yang disebut Aalam-i-Arwaah yang merangkum makna Aalam i-mitsaal dan Aalam iajsaam.
Apakah sampean mendengar segala keluh kesah anak keturunan sampean, wahai Eyang Kiai Puspo" tanya saya ingin tahu.
Mereka yang hatinya tidak dinodai titik hitam akan selalu memancarkan getar kuat dari alam rasanya ke alam rasaku, sehingga segala apa yang mereka rasakan akan bisa aku rasakan. Tetapi apabila pada hati mereka ada titik hitam, maka terhijablah alam rasa mereka dengan alam rasaku.
Apakah yang sampean maksud dengan titik hitam dalam hati itu, Eyang"
Apabila engkau melihat ada di antara keturunanku atau yang lain bersimpuh di sekitar makamku, sementara hati mereka terpaut pada onggokan bebatuan di pusaraku. Mereka yang tidak mendoakan aku, tetapi meminta doa dari batu nisanku, itulah noda hitam; mereka yang hari-hari hidupnya diliputi kilasan-kilasan materi duniawi dalam dengus keserakahan, itulah noda hitam.
Bagaimanakah dengan mereka yang memohon pertolongan dan memohon berkah kekeramatan dari sampean, Eyang" tanya saya ingin penegasan. Itulah noda hitam.
Diam-diam saya merasa bersyukur karena saya sejauh ini belum terperangkap pada lingkaran noda hitam yang berupa pemujaan dan penyembahan makam Kiai Pusponegoro yang menjadi kakek-buyut saya. Rupanya berbagai tekanan hidup yang saya rasakan dan saya resapi dengan segala kepahitan dan kegetirannya tanpa saya pernah mengeluh dan meratap pada kekuatan-kekuatan inderawi di luar diri saya, secara tanpa sadar telah mengguncang alam rasa kakekbuyut saya yang sudah mati ratusan tahun silam itu. Dan sungguh saya tidak pernah berpikir bahwa kebiasaan-kebiasaan beberapa orang kerabat saya yang bersimpuh di depan makam sambil meratap-ratap meminta pertolongan dan berkah dari kakek-buyut saya itu justru merupakan titik hitam yang menghijab dan memisahkan alam rasa semesta yang batin antara yang hidup dan yang mati.
Setelah agak lama saya termangu-mangu, saya pun menanyakan sekitar makna Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Kiai Pusponegoro tiba-tiba menunduk.dan dari surban putih di kepalanya memancar cahaya biru keputihan dilingkari sinar pelangi. Kemudian dengan suara dipenuhi getar kekuatan Kiai Pusponegoro mulai berkata:
Ketahuilah, o anak, bahwa apa yang disebut Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah sebuah rangkaian makna perjalanan insan kembali ke mata air yang hakiki. Itulah yang disebut Ilmu Sangkan Paraning Dumadi, yang telah diajarkan Kangjeng Sunan Kalijaga, Kangjeng Sunan Giri, Kangjeng Syaikh Siti Jenar, Kangjeng Sunan Gunung Jati. Ajaran Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu sendiri terpilah menjadi tiga buana yang disebut Triloka.
Loka yang pertama adalah buana bawah yang merupakan alam dari kerendah-budian hawa nafsu yang dirangkum dalam makna DIYU yang berarti raksasa. Pada tingkat ini, manusia berada pada tahap ke-aku-an yang kerdil yang mengejawantah dalam watak adigang-adigung-adiguna. Manusia pada tingkat ini gerak kehidupannya selalu diselimuti nafsu-nafsu, bahkan dijadikannya hawa nafsu itu sebagai sesembahan dan tujuan hidup mereka (QS. al-Jatsiyah: 23). Hal itu pada dasarnya berpangkal dari kodrat-kodrat bawaan yang menjadi bagian hakiki kehidupan setiap insan, karena makna penciptaan manusia berawal dari Intipati tanah yang membentuk bagian wadag yang dzahir yang secara kodrati merangkum makna aku yang kerdil dan berbeda-beda. Sementara pada ke-akuan tersebut melekat kodrat-kodrat dzahir yang senantiasa digetari sifat-sifat terendah dari nafsu-nafsu dzahir yang mewadag dalam bentuk materi. Di lain pihak, dari asal-usul pembentuk wadag manusia yang rendah itu terangkum hakihat Ruuh Ilahi yang terangkai dalam rahasia Nafakhtu fiihi min ruuhi (QS. ash-Shaad: 72). Dengan demikian, hakikat kerendahan manusia adalah kesatuan dari pertentangan antara makna rendah Intipati tanah dengan makna suci Ruuh Ilahi. Sehingga hakikat keberadaan manusia senantiasa saling tarik menarik antara yang rendah dan yang tinggi, antara yang wadag dan yang ruhani, antara yang duniawi dan yang ukhrawi.
Ketahuilah, o anak, bahwa apa yang disebut Diyu adalah hakikat manusia yang terseret pada kodrat-kodrat rendahnya untuk melekatkan diri pada yang wadag dengan nafsu-nafsu yang melingkupinya. Manusia yang seperti ini akan mengorbankan apa saja untuk kepentingan aku -nya. Manusia Diyu ini membuat berbagai kerusakan karena segala gerak dan langkah hidupnya hanya dituntun oleh aku yang kerdil. Manusia Diyu inilah oleh Allah disetarakan dengan hewan ternak, bahkan lebih sesat jalan dari hewan (QS. al-Furqan: 44). Bahkan manusia Diyu itu direndahkan derajatnya sebagai serendahrendahnya mahkluk (QS. at-Tiin: 5). Manusia Diyu inilah makhluk yang dimurkai Allah dan menuju ke jalan yang sesat (QS. al-Fatihah: 7).
Karena itu, o bocah, setiap manusia wajiblah meruwat Diyu -nya dengan Sastra Pangruwat agar dia bisa menjadi Rajendra Hayuningrat atau Khalifatullah fill Ardl yang tiada lain adalah al-Insaan al-Kamil.
Apakah yang disebut Rajendra Hayuningrat itu, Eyang" tanya saya penuh diliputi rasa keingintahuan.
Rajendra berarti Raja atau Khalifah atau Wakil Al-Malik, yaitu raja di dunia yang mewakili Maharaja Diraja Alam Semesta. Sedang Hayuningrat bermakna pemelihara jagad dunia, baik jagad ageng maupun jagad alit, baik jagad yang dzahir maupun jagad yang batin. Mereka yang disebut Rajendra itulah manusia-manusia sempurna (al-Insaan al-Kamil) yang telah menemukan jati dirinya dalam kesadaran Sirr al- Haqq sehingga menyadari bahwa dirinya tercipta dari satu nafs yang terangkai dalam makna min nafsin wahidah (QS. an-Nisa : 1).
Ketahuilah, o anak, bahwa untuk menjadi al- Insaan al-Kamil atau Rajendra Hayuningrat itu bukan pekerjaan ringan. Sebab perjalanan dari Diyu menuju ke Rajendra harus melampaui tujuh samudera, tujuh gurun, tujuh lembah, tujuh buana, tujuh langit yang tak pernah diketahui batas-batasnya. Ketujuhnya adalah rangkaian dari pengejawantahan nafs yang menghampar indah, namun penuh keganasan yang siap menenggelamkan dan meleburkan apa saja dan siapa saja. Dan ketujuh nafs itu adalah Nafs Ammaraah, Nafs Lawwamah, Nafs Sufliyah, Nafs Muthama innah, Nafs Raadiyah, Nafs Murdiyyah, dan Nafs Kaamilah.
Apa yang disebut Sastra Pangruwat, Eyang" Sastra Pangruwat adalah rangkaian hukumhukum yang dzahir maupun yang batin, yang tidak saja menghukumi perjuangan dari Diyu menuju Rajendra, melainkan menghukumi pula makna mata rantai antara Diyu hingga ke Rajendra sampai ke Yang Ilahi . Bagi kita tiada lagi Sastra Pangruwat yang haq terkecuali al-Qur an yang memaknai hukum dari Diyu ke Rajendra secara tersurat, dan memaknai hukum Rajendra ke Yang Ilahi secara tersirat.
Karena semua itu, o anak, satu ayat dari Sastra Pangruwat yang berbunyi Wa fii anfusikum afalaa tubshiruun (QS. ad-Dzariyat: 21) bisa ditafsirkan secara tersurat dan secara tersirat dengan segala rangkuman hakikatnya. Dan bagi Rajendra pemaknaan ayat tersebut bisa berarti Dan Dia berada dalam nafs-mu tapi engkau tidak melihat Dia. Dengan hukumhukum dari Sastra Pangruwat semacam itulah mereka yang sudah merangkum makna Rajendra akan terangkum dengan sendirinya ke dalam hakikat Laa tataharraka dharratin illa bi-idzni llah-tidak ada yang bergerak kecuali dengan perintah dan izin Allah-pun dia terangkum dalam makna Laa haula wa laa quwwata illa billahil aliyyil adhiim.
Ketahuilah, bahwa Allah sudah menyatakan apabila Dia sudah cinta akan hamba-Nya, maka Dialah yang akan menjadi pendengaran dan penglihatan hamba apabila hamba ingin mendengar dan melihat. Dia yang akan menjadi tangan jika hamba bekerja dan Dia akan menjadi kaki jika hamba berjalan (hadits qudsi). Demikianlah makna Sastra Pangruwat bagi perjuangan Diyu menuju ke Rajendra yang hakiki.
Apakah tahap itu yang disebut Manunggaling Kawula Gusti, Eyang"
Engkau boleh memaknai itu. Tetapi menurut ajaran yang pernah aku peroleh dari jalur keilmuan Kangjeng Sunan Giri, yang demikian itu bukan Manunggaling Kawula Gusti, melainkan pertautan makna dari Allah Ain Insaan atau Insaan Ain Allah. Tetapi, perlu engkau pahami bahwa hakikat Allah Ain Insaan tidak bisa secara sembrono ditafsirkan dengan kerangka pemikiran awam, apalagi dengan pola pemikiran otak-atik mathuk yang diliputi hawa nafsu.
Dengan cara bagaimana saya bisa menafsirkan dan memaknai ungkapan-ungkapan seperti Allah Ain Insaan, Eyang"
Dengan ilmu hakikat, o anak, kata Kiai Pusponegoro tegas, Ibarat pengungkapan Syaikh Siti Jenar tentang panggilan atas dirinya, di mana beliau berkata bahwa Syaikh Siti Jenar tidak ada, yang ada Allah yang oleh pemikiran orang kebanyakan sudah jauh disalahtafsirkan, bahkan dengan sembrono orang langsung menuduh bahwa Syaikh Siti Jenar telah sesat dan mengaku diri sebagai Allah, itu semua jauh dari pemaknaan yang benar.
Adakah yang bisa saya peroleh dari pemaknaan ungkapan Syaikh Siti Jenar berdasar ilmu hakikat, wahai Eyang" tanya saya penuh rasa ingin tahu.
Tahukah engkau arti Adam, al- Adam, dalam Bahasa Arab, bocah"
Al- Adam artinya tidak ada, ketiadaan, Eyang Kiai.
Kalau Syaikh Siti Jenar mengaku diri sebagai Bani Adam yang adam, kemudian dia mengatakan bahwa dirinya tidak ada, karena adam sendiri maknanya tidak ada; apakah itu salah"
Tidak, Eyang Kiai, sahut Saya mulai menangkap arah pemaknaan yang diuraikan Kiai Pusponegoro, Tapi kenapa beliau harus menyatakan adam"
Karena saat itu, beliau benar-benar berada pada keadaan tidak ada, ketiadaan, yaitu berada dalam ketiadaan pengejawantahan dalam Pengetahuan Ilahi. Keadaan itu tidak bisa dijelaskan dengan bahasa manusia. Tapi jika satu ketika engkau mampu mencapainya, engkau akan bisa memahami kenapa beliau berkata seperti itu.
Saya paham, tidak semua keadaan bisa dijelaskan dengan bahasa manusia.
Kau tentu juga tahu tentang arti Wujud dalam Bahasa Arab"
Ya, Eyang Kiai, sahut saya cepat, Wujud artinya ada.
Kau percaya bahwa Allah adalah Wujud" Itu keyakinan dasar dari ke-tauhid-an kita, Eyang Kiai.
Sekarang, menurut hematmu, salahkah kalau Syaikh Siti Jenar mengatakan bahwa dirinya tidak ada alias adam dan selanjutnya dia mengatakan hanya Allah yang Ada alias Wujud"
Saya tidak melihat ucapan yang demikian sebagai suatu kesalahan, Eyang Kiai, sahut saya mulai memahami ungkapan yang membingungkan itu.
Tetapi, andai tidak kuuraikan ucapan Syaikh Siti Jenar berdasar ilmu hakikat, maka engkau pun tentu akan menganggap bahwa beliau telah murtad karena mengangkat diri sebagai Tuhan.
Begitulah kejahilan otak saya yang awam, Eyang Kiai.
Karena itu, janganlah sekali-kali engkau terlalu cepat berkomentar, dan jangan pula terlalu cepat menuduh seseorang. Sebab, kalau engkau merasa masih awam dan bodoh, janganlah terperangkap pada sikap asal bicara dan asal komentar, karena semakin banyak bicara semakin tampak kedangkalan pikiranmu. Oleh sebab itu, renungkanlah apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW bahwa diam adalah emas dan banyak bicara adalah besi.
Apakah saya boleh mencari tahu akan makna hakiki dari ungkapan rahasia Allah Ain Insaan, Eyang Kiai" tanya saya ingin tahu.
Janganlah engkau menjadi pemalas dengan hanya menerima segala ajaran tanpa berjuang, sebab yang demikian itu akan menjadikan dirimu tidak ubahnya seperti beo yang hanya bisa meniru. Terjunlah engkau ke samudera kehidupan, di mana engkau nanti akan menemukan bahwa di tengah gejolak kehidupan yang ada di dalam dan di luar dirimu sebenarnya tergelar ilmu hakikat yang luas tanpa batas. Namun demikian, engkau hendaknya selalu mengingat bahwa hanya hati yang bersih yang menyinar akal budi yang jernih saja yang mampu menangkap makna sejati ilmu hakiki yang langsung diajarkan oleh Allah dalam ke-rahasia-an- Nya.
Saya termangu-mangu mendengar uraian demi uraian Kiai Pusponegoro yang dengan tepat mengenai hulu jantung saya. Tetapi, sedetik kemudian, mendadak saja saya mengingat tentang ungkapan Kiai Pusponegoro tentang Sastra Pangruwat. Dengan rasa inign tahu yang mengganas, saya pun bertanya, Eyang Kiai, apakah yang dimaksud dengan al-Qur an sebagai Sastra Pangruwat"
Ketahuilah, bahwa pada setiap umat senantiasa ditetapkan Sastra Pangruwat sebagai penuntun agung bagi kehidupan baik yang dzahir maupun bathin. Sedang kita sebagai umat Muhammad SAW, maka al- Qur an adalah Sastra Pangruwat yang menjadi sumber dari segala sumber hukum dan tata hidup kita.
Ketahuilah, bahwa tidak ada ayat al-Qur an yang telah diwahyukan itu yang tidak mengandung aspek lahir dan batin. Sebab setiap huruf mempunyai makna HADD dan setiap huruf menyatakan secara tak langsung MATLA nya. Dengan demikian, al-Qur an pada hakiktnya adalah KALAM ALLAH dalam makna dzahir dan batin yang terangkai dalam hakikat Kalaam-i-Dzaati dan Kalaam-i-Tafshiilii; al-Qur an adalah Kalaam-i-nafsi sekaligus Kalaam-i-Lafdzii.
Al-Qur an sebagai Kalaam-i-Lafdzii adalah al- Qur an yang terangkum dalam teks-teks yang bisa diurai dalam kata-kata yang merupakan wahyu yang terang sebagai petunjuk, di mana isi dari al-Qur an tersebut memuat hukum-hukum dan petunjukpetunjuk yang tegas dan terang bagi manusia. Sementara al-Qur an sebagai Kalaam-i-Nafsi tergelar di dalam rangkaian hukum kehidupan makhluk di tengah semesta.
Ketahuilah, bahwa al-Qur an sebenarnya adalah hakikat manusia itu sendiri, yang secara batin merupakan obor penyuluh bagi munculnya al-Qur an di dalam diri manusia, sehingga manusia yang berhasil merangkai makna al-Qur an di dalam dirinya, maka dia itulah Kalam Allah yang hidup di mana segala gerak dan tingkah lakunya tidak akan menyimpang dan bergeser dari rangkaian hukum Ilahi yang termaktub di dalam al-Qur an sebagai Kalaam-i-Lafdzii.
Saya belum paham tentang al-Qur an di dalam diri manusia dan al-Qur an di luar diri manusia, Eyang Kiai, kata saya kebingungan, Saya kurang paham dengan kejelasan itu, karenanya saya khawatir nanti saya menyimpulkan bahwa al-Qur an adalah kitab suci yang ada dua jumlahnya, yaitu, al-Qur an yang diwahyukan melalui Nabi Muhammad SAW dan al- Qur an lain yang ada di dalam tubuh manusia. Jika engkau mencari, maka engkau kelak akan bisa mengurai ketidakpahamanmu itu dengan ilmu hakikat.
Saya mengerti itu, Eyang Kiai, kata saya penasaran, Tetapi saya ingin sampean memberi sedikit uraian agar saya dapat mengembangkannya sendiri di dalam perikehidupan saya kelak.
Ketahuilah, o anak, bahwa al-Qur an dalam makna Kalaam-i-Nafsi dan Kalaam-i-Lafdzii adalah al- Furqan dalam makna Haq yang secara dzahir dan batin adalah Pembeda. Al-Qur an sebagai Furqan adalah pernyataan dari Dzaat-i-Bahat yang merupakan pengejawantahan Nuur yang muncul dalam wujud luar sebagai Aql-i-Kull yang mewujud lagi dalam Ruuhi-A dzaam yang mewujud lagi dalam Qalam. Sementara manusia dicipta dari Kalam Allah KUN yang dirangkum dalam makna terahasia Khalaqa l insaana alaa shuurati ar-Rahmaan yang keharuman dan keindahannya merangkum makna Khalaqtu biyadayya.
Renungkan, bahwa al-Qur an dalam makna Kalaam-i-Nafsi adalah pengejawantahan dari hakikat manusia yang secara kodrat memiliki makna pembeda antara yang haq dan yang batil. Setiap manusia secara naluriah mampu membedakan apa-apa yang haq dan apa-apa yang batil meski sering menyembunyikannya (kufr). Kodrat insaniah yang tersembunyi dalam hakikat setiap manusia untuk membedakan yang haq dan yang batil itulah yang disebut al-Qur an atau al-Furqan dalam makna Kalaam-i-Nafsi. Demikian juga naluri ke-Ilahi-an yang menjadi kodrat bawaan setiap manusia adalah mata rantai dari makna al-Furqan sebagai Kalaam-i-Nafsi yang terangkai dalam kodrat-kodrat dan hukum-hukum yang tetap dan tidak berubah yang berada pada diri manusia karena tiupan ruh saat penciptaan.
Kalau begitu apa arti al-Qur an sebagai Kalaami-Lafdzii, kalau dalam hakikat manusia sebenarnya ada al-Qur an"
Al-Qur an dalam makna Kalaam-i-Lafdzii adalah satu kiblat, satu hukum, satu daya, dan satu hakikat dari sumber Ilahi di luar diri manusia yang berfungsi untuk pedoman bagi pernyataan al-Qur an dalam diri manusia. Sebab sering kali al-Qur an di dalam diri manusia terselimuti oleh lapisan-lapisan nafsu sehingga yang haq menjadi terselubung. Di samping itu, banyak penyebab yang menjadikan al-Qur an di dalam diri manusia keliru dalam memaknai kehidupan maupun bisikan azali untuk kembali ke asal. Karena itulah al- Qur an dalam makna Kalaam-i-Lafdzii senantiasa berfungsi sebagai patokan yang hakiki.
Mengapa al-Qur an dalam makna Kalaam-i- Lafdzii harus menjadi pedoman kalau di dalam diri manusia ada al-Qur an dalam makna Kalaam-i-Nafsi"
Ketahuilah, bocah bahwa kebenaran al-Qur an dalam makna Kalaam-i-Nafsi selalu terbalut oleh tudung-tudung nafsu yang lahir dari ke-aku-an kerdil anasir materi. Oleh sebab itu, al-Qur an dalam makna Kalaam-i-Lafdzii terlahir lewat lisan seorang manusia yang ma shum yang terjaga dan terpelihara dari perbuatan dosa yang bernama Muhammad SAW, yakni Nuur-Nya sendiri.
Ketahuilah, bahwa sejak Nabi Muhammad SAW menerima wahyu yang pertama, di mana disebutkan bahwa Allah mengajarkan kepada manusia dengan QALAM, maka sejak itulah secara berangsur-angsur al-Qur an dalam makna Kalaam-i-Nafsi di dalam diri Nabi Muhammad SAW tersingkap; sehingga tanpa perantaraan Ruuhu l Quds dalam makna Jibril, Kalami-Lafdziil keduanya menjadi satu kesatuan yang utuh dan sempurna. Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW dalam kerangka pandang ilmu hakikat adalah yang dzahir dan yang batin dari makna kesatuan sempurna al-Qur an sebagai Kalaam-i-Nafsi dan Kalaam-i-Lafdzii. Maka begitulah, beliau telah ditetapkan sebagai Uswatun Hasanah; Kalau al-Qur an adalah pedoman bagi segala sumber hidup pribadi maupun sumber hidup masyarakat, maka Nabi Muhammad SAW adalah pedoman bagi pola perilaku hidup pribadi maupun pola perilaku hidup masyarakat.
Saya termangu penuh takjub dengan uraian demi uraian yang saya rasakan seperti diatur memasuki alam rasa dan alam akal budi saya. Saya merasakan kelegaan yang teramat luas, meski saya menyadari bahwa makna Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu saya rasakan masih teramat rumit untuk dipraktikkan. Tapi, meski demikian, saya sudah menetapkan bahwa apapun yang terjadi saya akan terjun ke samudera kehidupan untuk menemukan apa yang saya rindukan selama ini, yaitu mencari Kebenaran Ilahi.
Angin dingin mendadak menerpa tubuh saya. Dan entah bagaimana awalnya, mendadak saja saya merasa seperti tersadar dari satu mimpi menakjubkan.?"?"
Dengan perut terasa lapar dan tenggorokan dicekik rasa haus saya tertatih-tatih meninggalkan kompleks makam Kiai Pusponegoro. Kejadian yang baru saja saya alami, meski apa yang diwejangkan oleh Kiai Pusponegoro masih menancap di benak saya, benak Saya diliputi kekacauan. Dingin malam saya rasakan menyengat tulang belulang saya, tapi saya merasa amat haus dan lapar.
Dalam jarak sekitar tiga puluh meter dari letak batu gilang ke arah timur, saya menghentikan langkah memandangi sorotan cahaya lampu neon yang menerangi kompleks makam Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Saya melangkah beberapa jangka. Kemudian dengan tangan gemetar saya mengambil kendi-kendi yang dicat putih dan menenggak airnya yang segar dari kendi itu. Saya rasakan kesegaran luar biasa merayapi sekujur jiwa raga saya.
Malam makin menanjak meniti kesenyapan. Saya bersimpuh di sebelah timur makam Syaikh Maulana Malik Ibrahim sambil membuka-buka surat Yasin yang sebenarnya sudah saya hafal di luar kepala. Saya merasa kebingungan tidak tahu apa yang harus saya lakukan.
Cukup lama saya duduk dan membuka-buka surat Yasin tanpa tahu harus berbuat bagaimana. Sementara dalam benak saya mengambang kejadian beberapa waktu silam ketika saya bersama adik dan kawan saya berziarah malam hari ke makam Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Ziarah tersebut adalah merupakan yang pertama kali saya lakukan selama hidup. Anehnya, saat itu mendadak saya mencium bau kesturi yang sangat wangi yang menebar bersama hembusan angin.
Ketika itu saya menganggap bahwa bau kesturi itu tentu berasal dari kain putih yang diselimutkan di atas batu nisan. Namun ketika kain putih itu saya cium, ternyata tidak berbau apa-apa. Saya terus mencari asal bau kesturi yang begitu wangi, tapi tetap tidak saya ketemukan. Dan yang membuat rasa aneh mencakar hati saya, ketika kami beriringan pulang, mendadak bau kesturi itu menebar lagi dan kemudian hilang lagi. Yang aneh, hal itu terjadi sepanjang perjalanan kami pulang ke rumah.
Bau wangi kesturi itu pada akhirnya menjadi tanda tanya besar bagi saya. Dan tanda tanya itu makin besar ketika saya bertanya pada beberapa orang yang pernah ziarah ke makam Syaikh Maulana Malik Ibrahim, di mana mereka tidak pernah membaui wangi kesturi itu. Dan sekarang ini, mendadak saja saya merindukan wangi kesturi yang pernah saya baui itu, meski saya sadar bahwa aroma kesturi itu bisa saya peroleh dengan membeli bibit minyak wangi di Ngampel atau Bongkaran.
Suasana hening malam saya rasakan benar-benar mencekam ketika saya menggumamkan surat an-Nahl sambil membuka-buka surat Yasin. Ketika saya selesai menggumamkan surat an-Nahl, tanpa sadar tiba-tiba saja saya membaca surat Yasin sambil memejamkan mata. Saya baca ayat demi ayat dengan tubuh lemah lunglai dan perut melilit kelaparan. Saya merasakan tubuh saya benar-benar lemah seperti kehilangan tenaga.
Saya tersentak ketika aroma kesturi mendadak menebar dan memasuki penciuman saya. Aroma kesturi yang sama dengan ketika saya menciumnya pada saat ziarah pertama. Ya, aroma kesturi yang menurut hemat saya jauh lebih wangi dan lebih segar dibanding kesturi yang menebar dari bibit minyak wangi.
Saya mengerjap-ngerjapkan mata untuk mengembalikan kesadaran. Suasana hening sekali. Saya celingukan mencari-cari asal bau kesturi yang menyogok hidung saya dengan begitu misterius. Dengan penasaran saya merangkak sambil mendengusdengus menciumi daerah di sekitar makam. Tapi senua hening dan bau kesturi terus melingkari dan menusuk ke dalam hidung saya. Antara sadar, saya kemudian berpikir; jangan-jangan aroma wangi itu berasal dari sesuatu yang gaib yang berasal dari dimensi kehidupan lain. Dan berpikir ke arah itu, tiba-tiba tanpa saya sadari saya membaca sebuah wirid rahasia pemberian Kiai Ghufron yang menurut beliau bisa menjadi sarana untuk menjalin hubungan dengan ruuh orang yang sudah mati. Saya baca wirid itu berulang-ulang dan saya tancapkan konsentrasi ke satu titik; sehingga pada beberapa jenak yang berlalu, saya merasakan sesuatu dari dalam diri saya melesat keluar; tubuh saya, Saya rasakan melorot ke bawah; dan cakrawala di depan saya secara fantastis mendadak tersingkap seperti tirai disibakkan.
Hamparan warna hijau mendadak saya rasakan menyerbu pemandangan saya seolah-olah di hadapan saya tergelar permadani hijau dengan matahari hijau. Di depan saya dalam jarak sekitar dua meter, saya melihat seorang lelaki berkulit putih kemerahan dengan wajah sangat tampan dengan kumis dan janggut lebat menumbuhi wajahnya, berdiri memandangi saya. Surban dan jubahnya yang putih berkebaran ditiup angin menebarkan wangi kesturi. Lelaki itu tersenyum dan berdiri melayang-layang seolah-olah tidak menginjak tanah.
Dengan rasa takjub saya bertanya, Siapakah sampean"
Aku Syaikh-i-Aththar di antara Masyaayakh-i- Aththar.
Apakah sampean Fariduddin Aththar" Apa arti sebuah nama kalau hanya menjadi pembatas bagi hakikat dzat dan sifat. Karena itu, ketahulah bahwa aku adalah mata rantai dari para penyebar wangi kesturi yang lain yang bersumber dari Nuur-i-Rahmaanii. Oleh karena itu, ke mana pun engkau berada dan membaui kesturi dari tubuh jiwa siapa pun, maka di situlah makna kami terangkai dalam dzat dan sifat.
Saya segera menyadari bahwa lelaki tampan penebar wangi yang melayang-layang di depan saya itu adalah seorang auliya. Saya meraba bahwa dia mungkin Syaikh Maulana Malik Ibrahim meski saya tidak memiliki keberanian untuk bertanya lebih lanjut. Saya hanya termangu takjub memandanginya.
Engkau hendak mencari Allah" tanyanya dengan suara merdu dan aroma wangi menebar dari kata-kata yang menghambur dari mulutnya.
Begitulah yang sedang saya lakukan selama ini, Tuan.
Wa Hua ma akum ainama kuntum (QS. al- Hadiid: 4), dan Dia bersama engkau di mana pun engkau berada. Dan ke mana pun engkau menghadap, di situlah wajah Allah (QS. al-Baqarah: 115).
Saya sudah agak memahami apa yang tersurat, tetapi saya belum bisa merangkumnya dalam kenyataan hidup saya.
Untuk apakah engkau mencari Allah" Saya ingin mencari Allah, dan saya tidak tahu mengapa hal itu saya lakukan, Tuan, sahut saya berterus terang.
Apakah engkau mencintai akan Allah" Saya tersentak dengan pertanyaan itu. Tapi saya segera menyadari bahwa saya tidak boleh mengadaada dengan mengatakan cinta Allah. Akhirnya, dengan jujur saya mengakui bahwa saya memang belum mencintai Allah; karena saya memang belum tahu tentang Allah; karena saya belum akrab dengan Allah; karena saya belum mengenal Allah. Bahkan dengan terus terang saya mengakui, bahwa selama ini saya sering berbuat tidak senonoh dengan Allah; karena saya sering memaksa-Nya untuk memenuhi keinginankeinginan saya; karena saya sering mengeluh atas sesuatu yang diperbuat Allah yang tidak sesuai dengan keinginan saya; karena saya lebih sering mengurangi hak dan kuasa Allah dengan pikiran saya yang dangkal.
Saya mengakui, bahwa Allah di dalam otak dan perasaan saya, mungkin bukan Allah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, melainkan Allah yang jahil dan kerdil seperti kejahilan dan kekerdilan otak saya.
Lelaki tampan berjubah itu merentangkan tangan dan memancarkan cahaya pelangi di kepalanya. Kemudian dengan suara merdu dia berkata, Engkau orang jujur, kawan, tetapi karena kejujuranmu itulah engkau menjadi naif. Karena itu, janganlah engkau syak dan ragu apabila orang-orang memberimu sebutan sebagai orang sinting. Sebab, selama engkau tetap sadar bahwa dirimu memang sinting, dalam arti engkau tetap memelihara kejujuranmu meski bertentangan dengan pandangan orang banyak, maka engkau pun sebenarnya manusia waras.
Engkau dengan berani menyatakan bahwa dirimu belum mencintai Allah. Tapi ketahuilah, kawan, bahwa sejak engkau menyadari dirimu dan tidak menyembunyikan sesuatu darinya, maka seketika itu juga gerbang Mahjuubiin di dalam nafs-mu telah terbuka. Sinar kebenaran telah memancar; dan tinggal perjuanganmu yang akan menentukan.
Saya termangu mendengar uraian demi uraian yang saya rasakan melegakan otak dan dada saya. Saya kemudian menanyakan pengalaman meresahkan yang saya alami sekitar bisikan misterius yang mengharuskan saya belajar dari iblis yang saya anggap menyesatkan. Tetapi lelaki berjubah itu mengangkat kedua tangannya seolah-olah mendoa; kemudian dengan wajah diliputi sinar keagungan dia berkata:
Selama engkau terperangkap pada konsep bahwa iblis adalah seekor makhluk mengerikan dengan taring dan gigi-geligi tajam, mata melotot membiaskan maut, kuping mencuat, kening bertanduk satu; dan berbagai gambaran mengerikan yang lain; maka bisikan itu akan menjadi momok bagi sinar kebenaran di dalam hatimu, di mana engkau sejatinya telah terjebak pada keterbatasan akal budi hingga ilmu hakikat tidak bisa kau resapi dengan benar.
Ketahuilah, kawan, bahwa bisikan yang hadir seperti kilatan petir di dalam hatimu itu adalah sirr dari al-Qur an dalam makna Kalaam-i-Nafsi yang tersembunyi di dalam dirimu. Dan engkau telah melakukan hal yang terbaik dengan meragukan setiap bisikan yang berpendar dari kedalaman jiwamu. Keraguan itulah yang disebut al-khatraat, sebab dirimu tidak terbebas dari dosa.
Entah sudah berapa banyak orang-orang seperti engkau yang menjadi terkutuk karena terlalu cepat menyatakan bahwa bisikan yang diperoleh adalah Kebenaran Ilahi. Mereka terlalu cepat membanggakan diri sebagai sumber kebenaran. Sementara mereka hanyalah menusia-manusia kerdil yang masih berlepot dosa dan nista. Mereka menganggap bahwa mereka telah memiliki al-Qur an sendiri yang lebih benar dari al-Qur an yang disampaikan Nabi Muhammad SAW. Mereka itu, sungguh hanya manusia-manusia terkutuk yang dirangkaikan Allah dalam makna wa man yudhillahu falaa hadiyallah mereka itulah yang sesat dan tidak bisa ditunjuki semoga engkau yang menjadikan al-Qur an Kalaam i Lafdzii sebagai pedoman bagi setiap bisikan sirr akan dirangkaikan dalam makna man yahdi ilaah falaa mudhilla lahu.
Apakah makna hakiki dari bisikan saya tentang iblis"
Ketahuilah, kawan, bahwa tidak ada satu pun keterangan yang haq yang menjelaskan tentang wujud iblis. Al-Qur an hanya menerangkan tentang dzat dan sifat iblis. Oleh sebab itu, betapa sesatnya apabila engkau membayangkan iblis dalam bentuk-bentuk mengerikan sesuai kejahilan otakmu.
Kalau suatu ketika ada ilham di dalam jiwamu yang menghendaki agar engkau belajar dari iblis, maka janganlah engkau membayang-bayangkan diri sebagai murid seekor setan mengerikan yang akan menyesatkan jalanmu. Renungkanlah semuanya secara mendalam sampai ilmu hakikat akan terus menyinari hatimu hingga rahasia semesta ini akan tergelar di hadapanmu.
Apakah saya harus belajar dari dzat dan sifat iblis untuk bisa mencapai tajjali kepada Allah" tanya saya ingin tahu.
Belajarlah tentang dzat dan sifat iblis dengan ilmu hakikat, niscaya engkau akan mendapat banyak pengetahuan. Dan andaikata engkau telah berhasil memahami secara mendalam akan dzat dan sifat iblis, maka dengan jelas engkau akan melihat bahwa di dalam dirimu sendiri sebenarnya tersembunyi hasrathasrat ke-iblis-an yang menyesatkan itu.
Sekali lagi kuingatkan akan engkau, kawan, bahwa dengan mempelajari akan dzat dan sifat iblis maka engkau akan secara tegas bisa memilahkan antara yang haq dan yang batil, baik yang di dalam maupun yang di luar dirimu. Maka demikianlah makna ilham yang menghendaki engkau belajar dari iblis.
Di manakah saya bisa belajar banyak tentang dzat dan sifat iblis"
Terjunlah di tengah samudera zaman, niscaya engkau akan mendapati sifat-sifat iblis ada di dalam dirimu dan ada di dalam setiap manusia yang engkau jumpai. Mudah-mudahan rahmat dan hidayah Allah senantiasa terlimpah atasmu, hingga engkau tidak tergelincir dari jalan-Nya.
Kalau suatu saat nanti saya berhasil memahami sifat-sifat iblis, apakah dengan cara menghindari sifatsifat itu maka saya akan menemukan jalan Ilahi"
Jalan menuju Ilahi bermacam-macam, kawan. Dan engkau memiliki jalan tersendiri apabila engkau ikhlas berjuang untuk setia pada niat utamamu mencari Allah. Allah telah berjanji akan menunjukkan jalan-jalan-Nya kepada siapa yang mau berjuang untuk mencari-Nya. Oleh sebab itu, jangan syak dan ragu lagi bahwa apabila engkau telah mengenal nafsmu yang terhijab oleh daya-daya iblis, maka saat itu pula engkau akan mengenal Allah; semua selubung akan disibakkan bagai langit malam dikuakkan oleh matahari.
Ketahuilah, kawan, bahwa pengibaratan iblis adalah penggambaran rambut-rambut hitam mengurai yang menutupi pipi lembut Sang Kekasih yang kuning langsat mempesona. Mereka yang beriman dan berharap mencium pipi lembut Sang Kekasih yang kuning langsat yang sangat dicintai itu, akan masuk ke dalam rangkaian kalimat man yahdillahu falaa mudilla lahu. Tetapi bagi mereka yang goyah iman bahkan tak beriman akan melekat di kumparan rambut hitam yang menutupi pipi lembut Sang Kekasih, di mana ketertutupan oleh rambut hitam itu terangkai dalam kalimat wa man yudillahu falaa hadiyalah. Ketahuilah, bahwa mereka yang bisa memaknai pipi lembut Kekasih Tercinta dalam kelekatan iman, dia akan memperoleh petunjuk dan berkah-berkah dari rangkaian makna wa maa arsalnaka illa rahmatan lil alamiin (QS. al-Anbiyaa : 107). Sedang mereka yang tersangkut dalam rambut-rambut hitam dalam kegoyahan iman, mereka akan berada di jalan sesat dan adzab-adzab dari rangkaian makna Inna alaika la natii ilaa yaumi ddiin (QS. ash-Shaadh: 78).
Bagaimanakah sampean dulu mengenal Allah" tanya saya ingin memperoleh petunjuk, Beritahu saya, agar saya bisa menjadikannya sebagai pelajaran berharga dalam perjalanan menuju-Nya.
Araftu Rabbi bi Rabbi, aku mengenal Tuhan dengan Tuhan, dan ketahuilah bahwa pengenalan atas Tuhan tidak bisa dipikir dan direka-reka. Tuhan tidak bisa didikte-dikte. Tuhan tidak bisa dipelajari seperti objek ilmu pengetahuan duniawi. Semua yang terjadi pada salik yang mencari-Nya tergantung utuh kepada- Nya; kalau Dia sudah memberi petunjuk, maka tak ada satu pun orang yang bisa menyesatkan mereka yang ditunjuki-Nya. Sebaliknya, apabila Dia sudah menyesatkan seseorang, tak satu pun orang yang bisa memberi petunjuk kepada mereka yang disesatkan-Nya; Dia membuka pengenalan Diri-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Saya menjadi bingung dengan penjelasan yang diberikan oleh lelaki berjubah yang menurut hemat saya itu kemungkinan adalah Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Jauh di relung-relung jiwa saya, terselip sebuah tanda tanya besar; kalau segala gerak-gerik manusia semuannya ditentukan oleh Allah, termasuk penentuan sesat dan tidak sesatnya manusia, lalu untuk apakah orang-seorang harus berjuang sekuat tenaga dalam mencari kebenaran hakiki"
Apakah sebuah perjuangan mencari Allah perlu bagi saya, jikalau pada akhirnya saya hanya tergolong orang yang dikehendaki sesat oleh Allah" tanya saya penuh penasaran, Bukankah lebih baik saya berdiam diri saja menunggu keputusan nasib saya yang sudah ditetapkan sesatnya"
Mengapa engkau berpikir seperti itu" Apa gunannya saya bersusah payah menyiksa tubuh dan pikiran kalau pada akhirnya saya sebagai air akan mengalir ke lautan juga, karena saya ternyata tidak punya kemampuan untuk menentukan keputusan nasib saya sendiri. Untuk apa saya harus bersusah payah mencari jejak Ilahi kalau toh akhirnya saya ditakdirkan sesat jalan oleh-Nya.
Tahu dari manakah engkau kalau Allah sudah memutuskan nasibmu sebagai salik yang sesat jalan" Belum, saya belum tahu kepastian nasib saya. Karena engkau belum tahu keputusan nasibmu, maka berjuanglah sekuat tenaga bagi kebaikan dirimu. Jangan sekali-kali engkau berputus asa dari rahmat Allah sebelum engkau tahu pasti akan garis-keputusan nasibmu yang ditetapkan-Nya. Dan camkan, wahai kawan, bagi seorang salik yang pasrah dan menyerah sebelum dia tahu garis-keputusan akhir, maka sebenarnya dia seorang pemalas yang sudah berputus asa sebelum berjuang. Tahukah engkau bagaimana sabda Allah bagi orang yang berputus asa dari rahmat-Nya"
Renungkan benar, kawan, sebelum sesuatu jelas bagimu jangan pernah engkau menyerah. Sebab hanya orang bodoh yang tidak berani menguji keputusan garis takdirnya. Sebab hanya orang pandir yang percaya begitu saja pada apa yang dikatakan oleh orang lain. Oleh sebab itu, yakinkan dirimu dalam usaha memperoleh penyaksian azali untuk membuktikan keputusan nasibmu tanpa sedikit pun pernah menyerah sampai titik akhir persaksianmu.
Renungkanlah, kawan, akan hakikat alam yang tergelar di depanmu. Lihatlah air yang mengalir di sungai dan jeram-jeram terjal! Lihatlah angin yang menghembus di padang belantara! Lihatlah gelombang yang menderu menerjang pantai! Lihatlah elang perkasa yang terbang di tebing-tebing tinggi! Lihatlah semua! Kemudian bayangkan, apa yang terjadi seandainya semua itu pasrah dan menyerah pada keputusan nasibnya dengan berdiam diri"
Camkan, kawan, bahwa hidup adalah gerak . Oleh sebab itu, bergeraklah engkau untuk menguji takdirmu yang belum engkau ketahui bagaimana akhirnya. Jangan engkau jadikan dirimu seperti ranting kering di tengah samudera yang menyerah mutlak kepada alunan ombak yang menghempaskannya.
Syukurilah rahman dan rahim-Nya yang telah membekali engkau dengan kemuliaan-kemuliaan di atas makhluk yang lain. Kuasai dan kendalikanlah semua sumber perbendaharaan Ilahi yang dibekalkan di dalam kodrat hidupmu untuk mencapai sejauh yang engkau mampu mencapai! Berjuanglah! Bekerjalah! Karena Tuhan telah bekerja dalam kegirangan raya saat mencipta semesta!
Engkau boleh menyerah dalam kepasrahan mutlak apabila engkau telah menguak rahasia-rahasia Ilahi secara terang. Engkau boleh bersikap seperti ranting mati di tengah samudera apabila engkau telah berhasil menyingkap ke-rahasia-an Lauh-Mahfudz yang terjaga kesucian dan kerahasiaannya. Tetapi ingat! Engkau akan menjadi terlaknat apabila memilih berpasrah mutlak akan keputusan takdirmu sebelum engkau ketahui akhir dari semuanya itu.
Saya mengerti wahai Tuan yang mulia, sahut saya merasa tertonjok pedalaman jiwa saya, Oleh sebab itu, saya akan berjuang sekuat jiwa raga saya untuk tetap menjaga kesetiaan saya terhadap prinsip saya. Saya akan berjuang tanpa henti dengan penuh rasa syukur atas apa yang dibekalkan Allah pada diri saya.
Buktikan sendiri hakikat Kebenaran Ilahi dengan persaksian Araftu Rabbi bi Rabbi sampai engkau tidak lagi mempertanyakan keberadaan sebagai saalik-imajdzuub, yaitu pencari Tuhan yang terserap dalam ke-Ilahi-an.
LIMA S ejak melewati pengalaman menggetarkan
bersama ruh mereka yang sudah berada di alam barzakh, segala sesuatu secara berangsur-angsur saya rasakan mengalami perubahan pada diri saya. Saya merasakan bahwa bisikan misterius yang selama ini mengganggu saya, tidak lagi saya sikapi sebagai hal yang rumit dipahami. Saya merasa bahwa diri saya perlahan-lahan bisa menjalin komunikasi dengan diri saya sendiri, meski saya tak pernah tahu apa sejatinya subjek di dalam diri saya yang bisa saya ajak komunikasi itu. Saya tiba-tiba merasa bahwa aku di dalam diri saya memiliki aku yang lebih daripada aku yang bisa dimengerti oleh akal saya. Aku merasakan ada aku lain di dalam relung kedalaman diriku yang sebelumnya tidak aku kenal sama sekali.
Lewat aku yang misterius itulah biasanya saya bertanya tentang sesuatu yang tidak dapat dijawab oleh akal pikiran saya. Biasanya, saya merasakan adanya semacam kilatan petir yang menyambar kesadaran saya, yang kemudian diikuti munculnya gambarangambaran aneh, di mana dengan sambaran-sambaran itu saya merasakan kesadaran yang lebih dalam dari?"?" kesadaran saya tersingkap seolah-olah saya seekor kupukupu keluar dari kepompong. Dan dengan berbagai pengalaman semacam itu, maka tidak pelak lagi saya menyimpulkan bahwa kesadaran manusia pada hakikatnya bertingkat-tingkat dan berlapis-lapis ibarat lapisan tirai demi tirai penutup ruangan-ruangan yang disibakkan satu demi satu.
Sebelum saya berjumpa dengan ruuh orang-orang mati yang memberi banyak uraian tentang Sastra Hajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu dan bisikan misterius yang disebut Sirr-i-Asrar, saya sering mendapati kemacetan demi kemacetan akal budi saya ketika menghadapi realitas-realitas rumit dan membingungkan yang saya hadapi. Tetapi sekarang ini saya merasakan bahwa sesuatu yang terdalam di relungrelung pedalaman diri saya seolah-olah berisi perbendaharaan berlimpah atas segala jawaban dari pertanyaanpertanyaan yang membingungkan. Namun demikian, saya tetap menjadikan al-Qur an dalam makna Kalaam-i-Lafdzii sebagai patokan, karena sering kali harta tersembunyi dari perbendaharaan misterius saya itu masih dibalut oleh keragu-raguan akal saya.
Saya sempat nervous ketika kepada saya dijelaskan bahwa segala gerak-gerik dan nasib manusia seutuhnya ditentukan oleh Allah Rabb ul-i-Arbaaab. Padahal sepengetahuan saya, manusia tidak akan bisa mengubah nasibnya apabila manusia itu sendiri tak mau mengubahnya, di mana menurut ruh para orang mati pandangan saya itu tidak benar.
Jujur saya akui, bahwa saya memang sempat bertanya-tanya tentang uraian bahwa Allah adalah Sang Penentu segala. Saya bahkan sempat meragukan kebenaran penjelasan ruh yang menemui saya itu. Namun, ketika obsesi aqliyah itu menyentuh pedalaman jiwa saya, bagaikan kilatan petir tiba-tiba di dalam relung pedalaman jiwa saya mengambang semacam bisikan gaib tanpa suara-tanpa huruf-tanpa gambar dari kalimat Wallahu khalaqakum wa maa ta maluun (QS. ash-Shaffat: 96), di mana dengan itu saya baru menyadari bahwa sejatinya Allah menciptakan mahkluk beserta semua perbuatan makhluk ciptaan tersebut.
Saya sendiri bukan tidak paham atas ayat al-Qur an tersebut, sebab sebagai orang yang hidup di lingkungan pesantren masalah mengaji al-Qur an memang bukan masalah yang istimewa. Tetapi sebagaimana lazimnya kalangan awam tradisional yang lain, saya lebih suka menghafal saja ayat-ayat al-Qur an dan memahami sepintas saja maknanya. Karena itulah, sering kedapatan saya dan kawan-kawan saya yang hafal maknanya, tetapi tidak tahu sistematikanya dalam arti nama surat dan urutan nomor ayat apalagi makna rahasia di balik makna tersuratnya.
Sebenarnya saya melihat banyak kekurangan dari kalangan muslim awam tradisional yang mencetak saya, di mana mereka sering merasa bangga dengan apaapa yang ada secara tradisional tanpa mau mengembangkan ke arah pemikiran yang mengait dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada. Mereka sering terperangkap pada otoritas ayat yang ditafsir sesuai pemahaman mereka tanpa peduli dengan realitas yang ada, sehingga tak kurang muncul anggapan bahwa kalangan tradisional senantiasa mewakili pola pemikiran kolot yang dogmatis dan anti kemajuan apalagi progresivitas.
Saya sendiri sebagai Sudrun bukan tergolong orang-orang yang sok modern, sebab dalam banyak hal saya masih memegang nilai-nilai statis yang ada di kalangan tradisional. Hanya saja, nilai-nilai statis yang saya pegang sering tidak sesuai dengan orang-orang kebanyakan di sekitar saya. Suatu contoh, saya sangat menentang keras usaha-usaha dari keluarga saya yang perempuan untuk melanjutkan kuliah atau bersekolah di luar kota dengan kos di rumah orang yang jauh dari pengawasan keluarga. Sikap saya itu, dianggap oleh teman-teman saya sebagai sikap kolot masyarakat tradisional yang anti kemajuan, namun saya tidak peduli.
Saya memang sering dituduh sebagai biang kekolotan yang anti kemajuan. Saya sering dituduh tidak menghargai emansipasi perempuan. Saya dituduh manusia purba yang hidup di zaman modern. Tetapi saya tidak peduli. Saya tetap berpegang pada prinsip bahwa apa yang saya lakukan adalah berdasar atas nilai-nilai agama yang tidak bisa diubah dengan alasan apapun, termasuk alasan emansipasi dan modernitas sebuah masyarakat.
Dengan prinsip seperti itu, sebenarnya saya melihat jurang yang membentang antara keberadaan saya dan keberadaan Ita Martina, sehingga diam-diam pun saya merasa bahwa bagaimana pun itikad saya terhadap Ita Martina, toh Allah tidak akan ridla, karena perbedaan yang membentang di antara kami. Ada dua hal yang sangat prinsip dari keberadaan saya yang jauh berbeda dengan Ita Martina: yang pertama, dia bekerja di sebuah bank yang, menurut keyakinan saya adalah suatu pekerjaan haram karena bank tergolong lembaga keuangan pelaksana sistem riba. Yang kedua, dia kos dan jauh dari pengawasan orang tuanya, yang dengan alasan apapun saya anggap bertentangan dengan prinsip saya. Karena itu, diam-diam saya mendoa kepada Allah agar dalam tempo tidak terlalu lama Ita Martina mengemukakan penolakannya atas saya, sehingga saya tidak akan dibelit oleh problem yang lebih rumit di kemudian hari; dan saya pun berdoa agar dia secepatnya kawin dengan pacar yang setara dengannya.
Kalau saya menentang kekolotan orang-orang tradisional, maka kekolotan yang saya maksud bukan kekolotan nilai-nilai statis yang juga saya tentang. Yang saya tentang adalah kekolotan mereka dalam ilmu pengetahuan. Bayangkan, saya pernah berkonsultasi dengan seorang kiai yang menjadi guru saya dalam nahwu dan sharaf, yang menurut saya sangat menakjubkan kepandaiannya. Tapi betapa kecewanya saya, ketika beliau menegaskan sikap bahwa beliau tidak percaya kalau ada manusia yang bisa pergi ke luar angkasa apalagi ke bulan. Beliau itu mengajukan dalil-dalil al-Qur an yang menurut saya ditafsirkan dan dipahami secara picik.
Saya kira ketidaksamaan pandangan saya tentang makna kekolotan dengan kaum tradisional maupun kaum modernis sangat jelas sekali. Karena itu, saya seperti berada di tengah-tengah pertentangan dua kutub yang saling pengaruh-mempengaruhi di mana saya tidak hanyut pada salah satu kutub meski saya sendiri lahir dan berproses di kutub tradisional. Saya menilai bahwa kalangan tradisional tidak mau menerima kemajuan dalam ilmu pengetahuan dengan tetap berkukuh pada paham tradisional, sementara kaum modernis terlalu sok modern dan menolak setiap bentuk tradisionalisme. Dan saya sering menyayangkan kesenjangan dua kutub yang tidak mau saling mengisi itu.
Saya sendiri sering harus kebingungan dalam menentukan sikap, terutama dalam menetukan tempat berpijak. Saya pun pada gilirannya memutuskan untuk tidak berpihak pada salah satu kutub. Saya akhirnya harus dihadapkan pada kenyataan untuk melangkah sendiri berdasar pada keyakinan saya sendiri. Saya sudah mempersetankan pertentangan khilafiyah yang saya anggap hanya pertentangan yang sia-sia. Saya punya prinsip bahwa bagaimana pun saya harus berdiri di bawah panji-panji tauhid tanpa peduli pada bendera-bendera lain, apakah bendera tradisional atau bendera modern. Biarlah saya dituduh sebagai manusia individualistis yang tidak mempedulikan kepentingan golongan. Biarlah semua menuduh saya egois. Yang jelas saya sudah bersumpah dalam hati akan terus berusaha dan berjuang sekuat tenaga menegakkan panjipanji tauhid meski dengan risiko dikucilkan dari pergaulan dan dianggap sebagai orang senewen.
Dengan keyakinan saya untuk berjuang di bawah panji-panji tauhid, sekarang ini saya merasakan memperoleh hikmah yang amat mendalam, yaitu dengan terbukanya suatu hijab misterius di dalam diri saya sehingga saya dapat menjangkau perbendaharaan rahasia ruhani saya yang telah dibekalkan oleh Allah. Bahkan karena terbukanya perbendaharaan rahasia ruhani saya itu, maka kesadaran saya pun tersingkap, meski dengan pandangan kesadaran itu, saya akan semakin dianggap sebagai manusia sudrun yang aneh dan penuh ke-sudrun-an.
Dunia yang saya pijak kayaknya adalah dunia yang serba bertolak belakang dengan dunia masyarakat umum di dalam memaknai hakikat kebenaran. Ketika saya ungkapkan pendapat saya itu kepada orang-orang di sekitar saya bahwa saya mencintai Allah dan berusaha mencari-Nya, mereka serentak marah dan menuduh saya sudrun yang mengalami kesudrunan. Mereka mengharapkan saya mencintai seorang perempuan dan segera menjadikannya istri agar saya bisa beranak-pinak sebagaimana layaknya makhluk dari spesies manusia. Dan ke mana-mana saya bertanya tentang cinta, orang-orang selalu menjawab bahwa mereka mencintai anak, istri, jabatan, gundik, harta, kemewahan, sanjungan, dsb& dsb. Tetapi, ketika ruh di makam Syaikh Maulana Malik Ibrahim menanyai saya dan saya katakan secara jujur bahwa saya masih belum mencintai Allah, maka dia menganggap saya masih melakukan syirik dengan mencintai yang gair daripada Allah. Kenyataan demi kenyataan itu tentu saja membingungkan saya, sampai akhirnya sekarang ini sirr-i-Asrar di pedalaman saya mengungkapkan bahwa apa yang saya lakukan dengan mencintai perempuan-perempuan seperti Sayempraba Susilowati, Nia Hartini, Ita Martina, Anggelia, Diah Perwita Sari, Evi Ratnani, dsb., pada dasarnya hanyalah sebuah bias dari hakikat cinta sejati saya yang melenceng dari arah yang benar, yang membuat saya terpesona oleh keindahan semu yang fana. Dan hati saya benar-benar menjadi kecut ketika saya mendapati jawaban dari ruh yang mulia, bahwa mencintai gair dari Allah adalah tergolong perbuatan syirik.
Dengan seringnya saya berkomunikasi dengan diri saya lewat perbendaharaan rahasia ruhani saya itu, justru membuat orang-orang semakin melihat saya telah semakin tenggelam ke dalam ke-sudrun-an yang makin sudrun. Itu mengakibatkan saya menjadi malas untuk berbicara dengan orang lain, karena banyak dari omongan saya yang tidak bisa mereka pahami bahkan sering kali mereka salah menafsirkan semua omongan saya. Karena saya tidak suka konflik dan perdebatan yang bersifat debat kusir, maka saya lebih suka diam atau mengalah dalam setiap persoalan. Mungkin, begitu pikir saya, saya memang benar-benar senewen dan ruuh yang pernah saya temui itu hanya jin yang menjelma dan yang menyeret saya ke dalam samudera ke-gila-an raya.
Untuk menghindari hal-hal yang mudlarat, saya memutuskan untuk lebih baik menghindar dari persinggungan masyarakat sekitar daripada timbul friksi yang tidak saya kehendaki. Dengan berbagai cara saya berusaha untuk menolak hadirnya orang-orang yang ingin mengangkat saya sebagai guru atau sekadar sahabat ruuhaninya. Saya hanya merasa bisa mengekspresikan pengalaman spiritual saya lewat tulisantulisan yang kadang-kadang saya buat sedemikian rupa konyolnya dalam koran-koran lokal dan majalahmajalah picisan.
Dalam kenyataan yang berkaitan dengan sirr-i- Asrar di relung pedalaman jiwa saya, saya menjadi sadar bahwa selama ini saya telah berbuat dzalim terhadap diri saya sendiri. Saya sadar, betapa selama ini saya suka mengobral kata-kata cinta kepada setiap perempuan yang saya taksir yang tujuannya tidak lain dan tidak bukan hanyalah sebagai inspirasi bagi tulisan-tulisan imajinatif Saya. Dan apa yang saya lakukan dengan mengeksploitasi mereka ke dalam tulisan-tulisan imajinatif saya, maka saya merasa telah berbuat dzalim terhadap nafs saya.
Akhirnya, dengan sepenuh kesadaran saya memutuskan bahwa saya tidak boleh lagi bermain-main dengan perempuan-perempuan meski untuk alasan karya-karya fiksi imajinatif saya. Saya tidak perlu harus berbohong lagi dengan menyatakan cinta kepada perempuan-perempuan yang saya dekati demi hidupnya tokoh-tokoh dalam tulisan saya. Bahkan andaikata saya nanti kawin, maka saya akan melarang istri saya mencintai saya; sebab saya menghendaki seorang istri saya yang patuh dan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya; Saya menghendaki istri yang memiliki religiusitas tinggi dan hidup dalam suasana yang religius yang gerak langkahnya ditentukan oleh aturan agama; sehingga dia akan menjadi sinyal pengaman bagi saya apabila saya melakukan perbuatan yang menyimpang dari tuntunan agama.
Saya tahu dengan keputusan saya itu, saya akan dianggap aneh dan edan. Tapi saya tetap yakin bahwa di dunia ini apa yang disebut cinta adalah sesuatu yang nisbi, karena hakikat kesucian dan keabadian cinta dibatasi oleh ruang dan waktu. Karena itu, betapa seringnya cinta yang menggebu-gebu menjadi luntur bersama merentangnya jarak dan waktu atas orangorang yang saling mencinta.
Semakin Saya gali sifat dan sepak terjang saya, semakin saya peroleh bukti bahwa di dalam diri saya sebenarnya mengalir sifat iblis yang begitu misterius dan sulit saya ketahui keberadaannya kalau saya tidak mempelajari secara tersendiri akan hakikat dzat dan sifat iblis. Itu sebabnnya, saya akan berusaha sekuat daya dan upaya untuk menghindar dari manifestasi ke-iblis-an yang memancar dari alam bawah sadar saya. Sementara saya juga melihat banyak manusia di sekitar saya yang tanpa sadar telah menjadi iblis berwujud manusia dalam makna yang utuh, yang celakanya mereka tidak pernah menyadari semua itu.
Saya sendiri menjadi kagum dengan berbagai kejadian yang saya lewati. Betapa Sirr-i-Asrar Saya menyaksikan realitas-realitas yang tergelar di alam semesta ini sudah diatur sedemikian rinci dan rapinya secara sistematik. Kehidupan yang satu dengan kehidupan yang lain terangkai begitu rupa dalam hukum yang tak berubah. Setiap gerak dari objek-objek yang ada, pada dasarnya sudah diatur sedemikian rupa, sehingga saya berkesimpulan bahwa alam semesta ini sudah diciptakan dan sudah diatur secara sempurna; hanya pemandangan nisbi manusia terhadap objekobjek saja yang membuat munculnya pandangan bahwa alam tidak sempurna. Dan pandangan semacam itu pula yang mengatakan bahwa al-Qur an tidak memuat hukum-hukum yang terang bagi alam semesta ini; padahal al-Qur an adalah manifestasi dari Ilmu Allah atas alam semesta beserta rahasianya; al-Qur an adalah yang dzahir dan yang batin.
Dalam kurun yang sangat lama, saya memang beranggapan bahwa al-Qur an adalah buku suci yang dibatasi oleh kalimat, kata, huruf, dan kaidah-kaidah kebahasaan. Dengan demikian setiap orang menyebut al-Qur an, maka secara otomatis di otak saya selalu terbayang sebuah buku tebal yang sering saya baca dan dibaca umat Islam. Tetapi sekarang ini saya benar-benar melihat bahwa di balik kitab kecil yang dibatasi kalimat, kata, dan huruf itu, sejatinya terangkum rahasia besar alam semesta yang luas tanpa batas.
Karena di dalam al-Qur an tersembunyi rahasia agung alam semesta, maka keberadaan al-Qur an dalam kehidupan manusia pun bersifat universal. saya kira hanya al-Qur an saja satu-satunya kitab yang untuk membaca dan memaknainya tidak dibatasi oleh faktor usia, status, kedudukan, derajat, dan pengotak-kotakan manusiawi yang lain. Al-Qur an boleh dibaca oleh siapa saja di antara laki-laki, perempuan, anak-anak, remaja, sampai orang tua bangka, dari kepala negara sampai pengemis dan gelandangan serta pedagang kaki lima, dari yang kaya sampai yang kere, dari yang berkulit putih sampai yang berkulit hitam; bahkan secara batin, al-Qur an dibaca pula oleh kalangan jin dan malaikat. Untuk yang terakhir ini tentu saja belum bisa saya buktikan, karena saya belum pernah bertemu jin atau malaikat.
Di lain pihak, karena al-Qur an memuat rahasia alam semesta, maka al-Qur an pun tidak terikat oleh ruang dan waktu. Dia boleh dibaca kapan saja, di mana saja, oleh siapa saja, dan didengar oleh siapa pun yang mendengar. Dan al-Qur an adalah satu-satunya buku yang secara fantatis yang paling banyak dihafal dan dibaca oleh umat manusia sepanjang hampir 15 abad bahkan mungkin sampai akhir zaman. Ayat-ayat al- Qur an senantiasa dibaca orang dalam setiap detik, menit, dan jam tanpa henti, baik sebagai bacaan maupun hafalan, baik dalam beribadah shalat maupun dalam kehidupan sehari-hari; sehingga sejak al-Qur an diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW, al-Qur an tidak pernah berhenti dibaca oleh manusia barang satu detik pun.
Saya memang pernah punya pikiran konyol untuk memasukkan prestasi al-Qur an yang menakjubkan ini ke dalam Guinness book of the record. Tetapi pikiran itu segera saya tindas karena Sirr-i-Asrar di dalam diri saya mengatakan bahwa sebuah kebenaran tidak perlu dipamer-pamerkan, karena kebenaran itu ibarat mawar; tidak pernah mawar mempropagandakan wanginya, tetapi wangi itu sendiri yang semerbak ke mana-mana membius kumbang dan kupu-kupu. Al- Qur an adalah al-Qur an; hakikat samudera memuat bahtera, tetapi juga hakikat bahtera memuat samudera pula; al-Qur an adalah al-Qur an; yang nisbi memuat yang mutlak tapi yang mutlak memuat yang nisbi pula; Dia Dzahir dan batin, Dia Wujuud-i-Muthlaq sekaligus Wujuud-i-Dhaafi.?"?"
Menjelang lebaran dunia terasa guncang, khususnya dunia orang-orang di sekitar saya. Saya melihat baik keluarga saya maupun tetangga saya sibuk membeli pakaian, mengecat rumah, berhutang sana-sini, sampai menggadaikan barang-barang untuk keperluan menyambut lebaran. Tetapi, suasana menjelang lebaran itu pula yang diam-diam saya rasakan ikut mengguncang ketenangan Saya dalam berakrab-akrab dengan diri saya sendiri. Bahkan karena keterguncangan saya, maka tanpa saya sadari bahwa saya telah terperangkap ke dalam ke-sudrun-an demi ke-sudrunan yang selama ini telah dengan sekuat tenaga saya hindari.
Kisahnya, ketika malam takbir sedang berlangsung, di mana anak-anak beramai-ramai mengumandangkan takbir baik di masjid, mushalla, berbaris di jalan kampung dengan membawa obor, dan di atas truk-truk dengan membawa tetabuhan, tidak jauh dari rumah adik saya, saya lihat beberapa orang anak muda sedang menari-nari mengikuti irama dangdut sambil menenggak minuman keras. Ketika mereka melihat saya, dengan segera salah seorang dari mereka mendekat sambil menyodorkan segelas minuman ke arah saya.
Mari Mas Sudrun, minum, sekadar penghormatan! kata salah seorang anak yang bernama Badebor yang rambutnya dibabat habis pada kedua bagian samping kepalanya dengan menyisakan kucir panjang seperti ekor tikus.
Wah, maaf, saya tidak minum, kata saya mengelak meski dada saya terasa panas karena tersinggung diajak mabuk-mabukan.
Satu gelas saja, Mas, untuk penghormatan hari raya, katanya mendesak.
Didesak seperti itu saya mulai naik darah. Tapi saya tidak ingin terjadi ribut-ribut meski dada saya sudah hampir meledak karena dipenuhi keinginan untuk menghanjar mereka. Tiba-tiba saja saya memiliki gagasan untuk memberi pelajaran pada mereka. Gelas minuman yang disodorkan kepada saya segera saya sambar. Kemudian dengan cepat saya tempelkan bibir gelas itu ke bagian bawah bibir saya. Lalu gelas berisi minuman keras itu saya balikkan sehingga isinya tumpah membasahi dagu dan leher serta dada saya.
Saya yakin anak-anak yang tertawa-tawa melihat gelas menempel di bibir saya itu menganggap bahwa saya telah menenggak minuman yang mereka tawarkan. Padahal, isi gelas itu saya tumpahkan ke bawah hingga membasahi dagu, leher, dada, dan perut saya, termasuk baju yang saya kenakan. Kemudian gelas saya kembalikan, dan saya pun berpura-pura jalan sempoyongan seperti mabuk.
Tambah lagi Mas Sudrun! pekik mereka keras. Saya pulang dulu sebentar, nanti saya balik lagi, sahut saya sekenanya.
Anak-anak slebor itu tertawa terbahak-bahak melihat langkah saya yang terhuyung-huyung sempoyongan. Tapi saya tidak peduli. Saya berjalan terus sempoyongan seperti akan tumbang ke depan. Dengan langkah tergesa-gesa saya masuk kamar mandi dan mencelupkan kepala saya ke bak mandi. Saya tuang air dan sabun. Saya bersihkan bagian leher dan dada saya dengan sabun untuk menghilangkan bau alkohol yang membuat kepala saya sedikit pusing.
Setelah saya ganti pakaian, buru-buru saya mengambil bubuk kecubung yang saya simpan di plastik kecil di lemari. Bubuk kecubung itu saya buat enam bulan yang lalu ketika saya mengerjai anak-anak yang minum-minuman keras di dekat rumah kawan saya. Sekarang ini, anak-anak gila yang mabuk-mabukan di dekat rumah adik saya akan saya hancurkan habishabisan karena mereka telah memaksa saya untuk mengerjai mereka.
Saya tahu pasti keampuhan bubuk kecubung yang saya bawa. Karena itu, dengan berpura-pura ikut di dalam arena per-minum-an keras itu, diam-diam saya memasukkan bubuk kecubung ke dalam baskom yang mereka pakai mencampur berbagai macam minuman keras dari tuak, malaga, whisky, sampai jenewer. Saya hanya ikut bertepuk-tepuk tangan mengiringi tubuh anak-anak muda yang sudah mabuk itu mengikuti irama dangdut. Kalau mereka menawari saya minum segera saya tolak dan saya keluarkan uang agar mereka membeli makanan kecil.
Belum lewat waktu setengah jam mendadak saya melihat satu demi satu di antara mereka yang menenggak minuman keras itu terkapar di tanah. Mereka mengomel, mengigau, berteriak-teriak dengan igauanigauan dan teriakan-teriakan kata-kata dan makian yang jorok.
Ke-sudrun-an saya mendadak memuncak ketika saya mendapati banyak di antara mereka yang terkapar berkelojotan di tanah. Saya mengambil baskom di atas meja. Kemudian saya kencingi baskom itu. Sambil mengaduk-aduk minuman keras oplosan yang sudah bercampur dengan air kencing saya, saya tuangkan oplosan segar itu ke dalam mulut mereka satu demi satu. Saya melonjak-lonjak kegirangan setelah mulut mereka mencuap-cuap seolah menenggak dan minuman lezat dari surga. Bahkan banyak di antara mereka itu yang memuntahkan kembali minuman yang saya suapkan itu bercampur aneka jenis makanan. Setelah saya anggap cukup, satu demi satu celana mereka Saya lepasi sampai tubuh bagian bawah mereka telanjang.
Dengan tertawa dalam hati saya tinggalkan anakanak muda yang sudah mabuk kepayang itu. Saya bayangkan, tubuh mereka akan dikerubuti semut, nyamuk, kecoak, dan bahkan tikus. Saya tidak bicara kepada siapa pun tentang ke-sudrun-an yang sudah saya lakukan itu sebagaimana hal serupa pernah saya lakukan sebelumnya. Saya hanya menganggap bahwa anak-anak bengal itu memang pantas menenggak minuman oplosan durgawi ramuan saya, karena di neraka pun mereka akan minum cairan yang lebih buruk dari itu.
Saya sendiri sebenarnya sangat jengkel dengan munculnya tradisi-tradisi di sekitar lebaran yang lebih banyak mudlaratnya ketimbang manfaatnya. Entah berapa banyak kerugian yang timbul dalam menyambut hari lebaran dengan alasan utama sekitar kepuasan diri dan pengumbaran nafsu itu, di mana masyarakat menganggap bahwa tradisi lebaran yang meliputi mudik ke kampung, berpakaian baru, berkunjung dari rumah ke rumah, berziarah kubur, menyulut petasan, sampai minum-minuman keras dianggap sebagai ibadah wajib. Orang seperti merasa menanggung dosa apabila tidak mudik ke kampung, tidak ziarah kubur, tidak menyulut petasan, tidak saling berkunjung ke rumah kerabat. Ya, sebuah institusi baru yang disakralkan yang disebut lebaran itu makin lama makin melembaga dan makin menancapkan akarnya dalam masyarakat sebangsa Saya.
Saya sendiri memang tidak bisa melepaskan diri sama sekali dari tradisi sekitar lebaran. Buktinya, saya masih sempat membuat selembar kartu ucapan selamat lebaran yang saya layangkan kepada Ita Martina. Tapi kartu lebaran itu saya buat sendiri dengan warna yang saya campur dengan air ludah saya. Saya kirim ke dalam amplop yang saya lekatkan dengan air ludah Saya juga.
Terus terang, saya memang tergolong jorok. Tapi semua itu saya lakukan karena kemalasan saya. Dan kartu lebaran yang saya buat untuk Ita Martina, terpaksa saya bubuhi dengan air ludah karena saya malas untuk mencari wadah apalagi air ledeng yang mengandung bahan-bahan kimia itu bisa merusakkan warna saya. Sekalipun begitu, jangan keburu menganggap ludah saya sebagai sebuah penghinaan: sebab saya yakin nilai air ludah saya lebih mahal dibanding air biasa.
Air ludah saya memang cukup berharga, terutama bagi mereka yang menganggap saya sebagai dukun. Sering saya dapati orang datang meminta jampi-jampi kepada saya agar sakitnya bisa sembuh. Ada yang sakit asma, liver, jantung, tekanan darah tinggi, sampai sakit gigi dan borok. Saya sendiri sebenarnya tidak mau bertindak seperti dukun, tetapi orang-orang dengan nada memaksa dan merengek-rengek meminta agar saya bersedia mengobati mereka. Akhirnya, saya pun dengan apa adanya mencoba mengobati mereka. Biasanya mereka saya beri air putih segelas dan saya bacakan surat al-Fatihah tiga atau tujuh kali. Tetapi mereka belum puas sebelum gelas itu saya ludahi. Walhasil, saya harus banyak-banyak minum air supaya air ludah saya tidak habis karena banyaknya orang yang minta air ludah saya.
Saya tidak pernah peduli apakah orang yang sudah pernah minum air bercampur air ludah saya bisa sembuh atau malah mati. Sebab saya sendiri tidak melihat apapun dari keistimewaan air ludah saya. Hanya saja, saya pernah meludahi borok seorang anak, dan dalam tempo dua hari borok itu sembuh. Saya berpikir mungkin air ludah saya mengandung sejenis virus sehingga virus di borok anak yang sakit itu dilahap oleh virus lain yang membentuk koloni dan kraton di mulut saya. Nah, karena itulah maka saya malah menganggap bahwa kartu lebaran yang saya buat dengan air ludah saya itu sebagai suatu bentuk penghormatan saya terhadap Ita Martina, meski diam-diam saya menjadi jijik sendiri kalau mengingat proses pembuatan kartu lebaran tersebut.
Balasan kartu lebaran dari Ita Martina saya terima sepekan setelah lebaran. Isinya singkat, lugas, padat, dan agaknya dibuat di komputer. Kartu lebarannya warna biru dan ada tulisannya Selamat Idul Fitri, Maaf lahir batin. Dan selembar surat dengan huruf ketik besar semua, isinya sebagai berikut:
Membalas suratmu yang lalu!
Terima kasih atas segala uraian sifat-sifat dan lain pendapatmu tentang aku. Sekali lagi terima kasih. Tapi maaf& yang pasti sudah tentu kutolak maumu! Marah" Maaf sekali lagi jika kamu tersinggung. Ini permintaanmu kan" Jawaban yang tegas dan jelas. Dan ini kurasa adalah jawaban yang jelas, bukan jawaban khayalan atau mimpi-mimpi, kawan.
Krghxyz& kruighvxch& kluuixzvheui& krauxxhfvz... krrgh. Cobalah kamu mulai berpikir dalam kenyataan. Jangan berkhayal. Jangan sok berkhayal dan mimpi. Berpikirlah yang waras. Bercerminlah, sehingga kamu bisa membedakan monyet dan orang, jadi sudrunlah dirimu sendiri, jangan melibatkan aku. Aku hanya mendoa agar kamu beroleh jodoh yang sepadan dengan kamu dalam segala hal! Klekrrhgxi& grekxchvig& kurr....
Kluwwerxgh& Cuhxfveisk& Klerrxvexkf.... Terima kasih& bingkisannya, dan sudah saya buang di bak sampah& Krrkxvh& Sorry ya kalau ada omonganku& nggak berkenan& Nbnbnb Nggak usah telepon atau kirim surat lagi! Bedddhesss& ellexx!
Aduh sadis bener! Seru saya sambil membayangkan sosok Ita Martina yang melangkah seperti robot dari planet asing. Kesan saya bahwa Ita Martina adalah gadis dari planet asing yang tidak memiliki keromantisan dan kelembutan ternyata terbukti benar.
Tapi dengan penolakannya yang sadis itu, anehnya tidak membuat saya sedih atau marah. Sebaliknya, saya ketawa terpingkal-pingkal setelah menyadari bahwa Ita Martina tampaknya memang bukan jodoh saya. Sebab gadis bionic yang saya bayangkan berasal dari planet asing itu, sudah sewajarnya akan memilih laki-laki yang cocok dengan keberadaannya. Maksud saya, laki-laki yang pantas dan cocok untuk bionic woman seperti Ita Martina, pastilah laki-laki super yang memiliki kekuatan adikodrati seperti Superman, Batman, Spiderman, Incredible Hulk, Captain America, Godam, Gundala, atau sedikitnya The Six Million Dollar Man. Ya, hanya manusia-manusia luar biasa seperti tokoh-tokoh super itulah yang cocok menjadi pendamping Ita Martina, di mana kalau sampai tidak menemukan laki-laki serba super itu, saya yakin pasti bahwa Ita Martina seumur hidup tidak akan menikah.
Yang justru saya anggap aneh dan tidak wajar adalah kiriman kartu lebaran yang datang dari Nia Hartini, gadis melankolik kenalan saya yang terperangkap menjadi istri tukang kredit. Dalam kartu lebaran itu dia masih mengungkapkan, betapa dia masih sering merasa tersiksa karena tidak lagi bisa menikmati keakraban bersurat-suratan dengan saya. Dia, begitu tulisnya, masih sering menantikan kehadiran surat-surat saya. Tentu saja ungkapan itu saya anggap edan dan tidak wajar, sebab bagaimanapun dia adalah istri orang meski suaminya tukang kredit.
Nia Hartini, saya kenal ketika saya membuka-buka surat yang masuk ke rubrik kontak jodoh di koran lokal Java Pop . Entah bagaimana awalnya, tahu-tahu saya berbuat curang dengan menyabot suratnya. Saya sendiri tidak tahu kenapa saya menjadi tertarik setelah membaca isi suratnya dan fotonya. Padahal saya tahu bahwa dia tidak begitu cantik, meski saya bisa menebak kalau dia tergolong perempuan yang gampang diajak kencan dan enak dipacari.
Dari kekurangajaran saya itulah akhirnya Nia Hartini menjadi mabuk kepayang dengan surat-surat saya yang menurutnya amat puitis. Tanpa melihat siapa saya, dia langsung menyatakan jatuh cinta. Dan kami pun bercinta-cintaan lewat surat meski saya merasa bahwa saya lebih banyak memperalat dia sebagai sosok tokoh dalam cerita-cerita imajinatif yang saya buat. Dari berbagai pengakuannya yang tulus dalam suratsurat yang dikirim kepada saya, isinya kalau dirangkum sebagai berikut:
Ketahuilah, Sudrun, bahwa saya mengirimkan surat ke biro jodoh di koran lokal Java Pop ketika saya berputus asa. Sampean mesti sudah tahu dari isi surat yang saya buat, bahwa saya baru saja patah hati, karena pacar saya kawin dengan gadis lain. Padahal kami sudah berpacaran bertahun-tahun ketika saya sekolah menari di Sekolah Tinggi Tari di Surabaya.
Saya sendiri tidak tahu, kenapa keluarga saya tidak setuju dengan dia yang saya cintai dan saya sayangi itu. Yang jelas, saya baru tahu kalau ketidak-setujuan keluarga saya terhadap dia, karena dia tergolong manusia kotor alias tidak bersih lingkungan karena bapaknya orang PKI. Saya tahu bahwa keluarga saya menyayangi saya, sehingga hubungan saya diputus begitu saja, karena keluarga saya menyadari bahwa ketidakbersihan pacar saya dari lingkungannya itu akan menjadi virus yang menular bagi keluarga saya. Tapi sungguh saya sesalkan, kenapa orang tua saya justru mengait-kaitkan hubungan cinta kami dengan politik, padahal saya tahu persis hubungan cinta kami suci murni dan ditanggung tidak disusupi ideologi apapun.
Mungkin pacar saya kecewa dengan sikap keluarga saya, sehingga dia memutuskan untuk kawin saja dengan gadis lain. Saya menjadi sakit hati dan kecewa. Bahkan saya merasa dendam terhadap pacar saya yang menyerah begitu saja pada keputusan sepihak keluarga saya. Padahal, saya sudah bertekad untuk lari bersama dia kalau dia mau; saya akan membayangkan diri saya seperti Roro Mendut dan dia sebagai Prono Citro. Tapi semua pupus manakala ia memilih untuk menikahi gadis lain yang tidak lebih cantik dari saya.
Selama tiga tahun lebih saya putus asa dan mengurung diri di kamar. Setelah luka hati saya agak sembuh, saya baru menyadari kalau usia saya sudah semakin meningkat. Ya, usia saya sekarang ini sudah 23 tahun. Suatu usia yang cukup memenuhi syarat untuk disebut perawan tua di kampung saya yang terletak di daerah pedesaan. Oleh karena saya tidak mau disebut perawan kasep alias perawan yang tidak laku jual, iseng-iseng saya memasukkan surat ke rubrik biro jodoh koran.
Saya mengharap, dengan memasukkan diri saya ke biro jodoh, akan berdatangan surat-surat dari sekian banyak lelaki. Saya berharap satu di antara mereka akan menjadi suami saya. Tetapi siapa yang menduga kalau yang hadir di pangkuan saya bukan puluhan atau ratusan surat, melainkan sepucuk surat dari sampean yang dikenal sebagai manusia bernama Sudrun.
Saya tidak mengerti, kenapa saya mendadak menjadi terbius oleh surat sampean. Saya seperti tersihir oleh kalimat yang sampean susun yang saya rasakan seperti jaring-jaring laba-laba penjerat sukma saya. Bahkan yang saya herankan, sekalipun saya tidak pernah ketemu dengan sampean, tetapi saya memastikan bahwa saya sebenarnya sudah terjerat oleh benangbenang cinta sampean. Saya merasa bahwa saya kasmaran dengan sampean. Sumpah mati, saya kasmaran!
Entahlah, sekarang ini saya merasakan cinta saya amat lain dengan cinta yang pernah saya rasakan terhadap pacar saya tempo dulu. Saya merasakan bahwa cinta saya terhadap sampean begitu murninya sehingga sering saya memimpikan sampean benarbenar hadir dalam kehidupan saya. Saya bayangkan sampean memiliki sayap yang putih gemerlapan dan mengajak saya terbang ke gugusan awan putih di angkasa, lalu kita berdua menikmati percintaan di tengah keluas-bebasan alam semesta.
Kalau saya membaca surat-surat sampean, maka saya selalu mengkhayalkan bahwa sampean tentu lakilaki yang agresif. Saya bayangkan kalau sampean datang ke rumah saya, sampean akan merayu dan mengajak saya untuk berkencan. Saya bayangkan sampean akan menggandeng tangan saya. Saya bayangkan sampean akan merangkul tubuh saya dengan penuh kehangatan. Saya bayangkan sampean akan menciumi saya dengan ganas. Dan saya pun akan membalas kehangatan yang sampean berikan pada saya. Saya bayangkan, tubuh sampean dan tubuh saya akan terbakar oleh api birahi. Lalu kita terbakar dalam api asmara yang berkobar-kobar sampai kita meleleh seperti gelali.
Tetapi saya benar-benar kecewa, setelah ketemu muka dengan muka dengan sampean. Sebab, sampean ternyata tidak lebih dari seorang lelaki pendiam yang tidak bisa bicara leluasa seperti kalau sampean menulis. Jadi, saya selalu merasa serba salah. Sebab, kalau saya memulai gempuran saya terhadap sampean, maka saya takut dituduh sebagai gadis yang binal dan rakus. Saya tentu saja tidak ingin disebut gadis yang binal dan rakus oleh sipapun, apalagi sampean yang bilang begitu. Ya, ya, akhirnya saya harus puas berkasihkasihan dengan sampean lewat surat, karena saya sadar bahwa saya tidak mungkin mendesak sampean untuk mengawini saya sebagaimana sangat saya inginkan.
Jujur saya akui, bahwa saya sendiri tidak tahu, kenapa saya begitu senang sampean memperlakukan saya sebagai kekasih di dalam mimpi dan khayalan sampean. Padahal, jauh di libuk jiwa saya terdalam senantiasa muncul keinginan agar sampean buru-buru datang ke rumah saya, dan melamar saya. Saya benarbenar rindu kepada sampean sebagai laki-laki yang bisa saya raba, saya peluk, saya ciumi, dan saya permainkan seperti bola bilyar. Ya, saya bayangkan sampean menggelinding seperti bola bilyar dan saya sebagai mejanya; betapa keras dan cepatnya saya bayangkan bola sampean menggelinding dan memasuki lobanglobang yang ada di atas meja saya.
Ketahuilah, o Sudrun, sekalipun saya hanya bercinta dengan sampean lewat surat, tetapi saya sebagaimana kekasih yang lain, memiliki perasaan cinta dan cemburu kepada sampean. Buktinya, suatu ketika saya pernah naik kendaran umum dan ketemu dengan seorang perempuan cantik yang saya lihat membawa kliping tulisan sampean. Iseng-iseng saya bertanya kepada dia, apakah dia penggemar sampean. Ternyata dia meng-iya-kan dan mengaku banyak tahu tentang sampean. Dia bicara macam-macam tentang sampeyn dari A sampaiZ seolah-olah dia adalah istri sampean.
Saya sadar, bahwa saya tidak punya hak untuk cemburu kepada sampean. Tetapi ketahuilah, Sudrun, bahwa saya menjadi begitu cemburu waktu menyaksikan sampean dibicarakan oleh perempuan lain selain saya. Saya merasa tidak rela ada perempuan yang mengetahui sampean lebih dari saya. Karena itu, Sudrun, dalam kendaraan itu saya hampir saja menangis dan menjambak rambut perempuan itu; saya ingin memukuli wajahnya yang ayu supaya penyok dan pencong sehingga sampean tidak bisa lagi mencintainya. Tapi saya segera sadar, bahwa saya tidak punya hak untuk melakukan tindakan itu.
Dengan hati penasaran saya mencari tahu siapa perempuan itu. Saya bahkan sempat tanya kepada sampean tentang dia. Jawaban sampean benar-benar membuat hati saya panas. Saya masih ingat waktu sampean bilang, bahwa perempuan ayu itu mungkin kekasih sampean yang minggat meninggalkan sampean.
Aduh, betapa mangkelnya hati saya atas jawaban sampean itu. Tapi saya segera sadar, bahwa bagaimanapun saya tidak punya hak untuk marah kepada sampean, karena saya tahu sampean memang Sudrun yang hidup penuh ke-sudrun-an. Oleh karena itu, sekalipun saya sadar bahwa diri saya sudah ketularan sudrun sampean, tapi toh saya tidak ingin tenggelam utuh ke dalam ke-sudrun-an sampean yang tak dapat saya bayangkan batasnya.
Ketahuilah, o Sudrun, bahwa saya sebagai manusia yang masih normal sering merindukan belaian dan dekapan mesra lelaki. Sampean sendiri yang begitu saya rindukan dan saya dambakan, ternyata hanya bisa saya gapai dalam khayal dan impian lewat surat-surat dan telepon. Sementara kerinduan saya untuk dibelai dan didekap lelaki makin lama saya rasakan makin menerkam jiwa saya. Saya sering merindukan bisa menimang-nimang bayi yang lahir dari perut saya. Saya benar-benar merindukan anak dan suami dalam arti yang utuh dalam kenyataan.
Akhirnya, Sudrun, dengan jujur saya mengaku pada sampean bahwa diam-diam saya telah mengkhianati sampean. Diam-diam saya telah menjalin hubungan akrab dengan seorang lelaki bernama Darwanto, seorang karyawan bank kredit. Saya sadar bahwa saya tidak mencintai dia. Tapi saya juga sadar bahwa saya butuh belaian dan dekapan laki-laki. Dan Darwanto, saya anggap sebagai lelaki yang pas untuk melakukan peran itu.
Ketahuilah, o Sudrun, bahwa saat dia sedang mencumbu saya, saya selalu memejamkan mata. Saya selalu membayangkan bahwa yang mencumbu saya bukan Darwanto, melainkan sampean. Aduh, saya bayangkan sampean menjadi seekor biawak yang melata di atas tanah berumput, di mana tanah berumput itu saya bayangkan adalah tubuh saya. Saya bayangkan biawak Sudrun menelusuri bukit-bukit, lembah dan ngarai curam di tubuh saya. Saya bayangkan biawak Sudrun memasuki lubang-lubang gua di tubuh saya. Dan saya masih diliputi khayal dan ketakjuban kepada sampean ketika kedua orang tua Darwanto datang ke rumah saya untuk melamar saya. Saya pun masih mengkhayal dalam ketakjuban terhadap sampean ketika Darwanto mengawini saya.
ENAM P erubahan besar di dalam diri saya makin
saya rasakan ketika serentetan kenangan masa silam saya yang penuh percikan dan lepotan noda hitam yang mengotori jiwa saya, berkelebatan gantiberganti mengisi suasana suci dan fitrah dari Idul Fitri. Seyogyanya hadirnya kartu-kartu lebaran dan perjumpaan saya dengan para bekas gendakan saya serta dengan perempuan-perempuan aneh yang menakjubkan yang pernah mengisi hidup saya, justru saya rasakan akan membuat jiwa saya terguncang. Tetapi saya berusaha untuk merasakan bahwa semua yang akan saya hadapi akan saya dudukkan seperti rentetan kisahkisah ringan yang tidak perlu mengguncang jiwa saya.
Saya sadar betul bahwa apa yang pernah berkait dengan ke-iblis-an dan kebinatangan saya adalah merupakan sebuah rentangan daftar dosa panjang dan kelam yang mengerikan. Saya sadar bahwa kelicikan dan kebiadaban saya sebagai manusia sudrun tentu sangat dikutuk, baik oleh Tuhan, manusia maupun malaikat. Tetapi saya merasa sedikit agak terhibur ketika Sirr-i-Asrar di pedalaman saya mengungkapkan bahwa bagaimana pun besar dan luas dosa seseorang, Allah?"?" akan mengampuninya jika bertobat kecuali perbuatan syirik.
Berbicara soal syirik memang bukan berbicara tentang filsafat. Tapi, tanpa filsafat yang mendalam, bicara soal syirik ibarat orang-orang buta membahas masalah gajah. Semua masih serba meraba-raba, di mana syirik oleh sebagian orang selalu dipahami sebagai kegiatan orang seorang menyembah benda-benda yang berupa patung, pohon, batu, kuburan, candi, dsb& dsb. Padahal, yang dinamakan syirik, sejauh pemahaman saya, jauh lebih mendalam dari sekadar itu.
Suatu ketika di sore lebaran, beberapa orang tetangga ketemu Saya dan buru-buru mereka menyalami saya sambil mencium tangan saya. Saya tentu saja menolaknya. Buru-buru mereka saya nasehati bahwa hal itu tidak baik karena hal itu bisa mendatangkan pengkultusan atas diri saya. Tetapi betapa kagetnya saya ketika Sirr-i-Asrar di pedalaman saya menuduh bahwa saya telah kafir dan musyrik dengan perbuatan saya mengingatkan para tetangga saya itu.
Penasaran, saya bertanya kepada diri sendiri, kenapa perbuatan saya yang baik itu dikatakan kafir dan musyrik" Sirr-i-Asrar di pedalaman saya dengan keras menjawab, bahwa sesungguhnya ketika saya mengatakan menampik kultus sebagai alasan adalah merupakan pengakuan atas keberadaan nafs Saya dengan anggapan lebih tinggi daripada nafs orang lain.
Maksud saya mungkin baik, tapi jauh di pedalaman hati saya, sejatinya terselip sepercik noda hitam yang mengantarai nafs saya dengan nafs orang-orang maupun dengan Rabbu l Arbaab.
Seharusnya, begitu ungkapan Sirr-i-Asrar, saya tidak perlu merasa dikultuskan orang. Seharusnya saya hanya menganggap bahwa orang-orang yang mencium tangan Saya adalah mereka yang menghormati ilmu saya, bukan menghormati pribadi saya sebagai Sudrun. Dan andaikata perbuatan mereka itu saya anggap untuk meminta berkah kepada saya, maka itu pun telah membuat saya kafir dan musyrik. Dalam hal itu, saya tidak boleh mereka-reka dan mengada-ada tentang sesuatu yang diperbuat orang dengan kecurigaan yang berlebihan.
Akhirnya, daripada saya berbuat sesuatu yang mencelakakan diri Saya sendiri, maka sepanjang Idul Fitri saya lebih suka mengurung diri di kamar sambil membaca surat-surat dan kartu lebaran yang ada. Saya menganggap kehadiran surat-surat dan kartu lebaran itu sebagai bagian dari catatan dosa-dosa formal saya yang bisa saya ketahui dengan jelas. Dan sepucuk kartu lebaran dari Wiwik Sedanwati saya baca berulang ulang dengan hati kebat-kebit.
Wajah Wiwik Sedanwati berkelebat sesaat dalam benak saya. Wiwik yang lembut dan ayu. Wiwik, pereks yang pernah kukerjai tetapi secara tanpa sengaja bisa menemukan identitas saya, tiba-tiba saja mengingat saya pada ratapannya ketika ia datang ke rumah saya.
Jika Saya ungkapkan kembali, isi ratapan Wiwik Sedanwati kira-kira seperti ini:
Saya sungguh tidak menduga, Sudrun, kalau sampean adalah manusia tengik yang tidak punya perasaan seperti robot. Padahal, saya semula mengira sampean adalah manusia baik-baik yang memiliki hati nurani penuh cinta dan kasih sayang lebih dari manusia yang lain. Tetapi ternyata, saya telah salah menilai.
Ketahuilah, Sudrun, ketika kita pertama kali diperkenalkan oleh Siska, saya merasakan ada semacam keanehan pada diri sampean. Saya ingat betul ketika itu sampean hanya tersenyum dan tidak mau bersalaman dengan saya. Sekalipun saat itu saya agak ngeri melihat tampang sampean yang sudrun dan sedikit beringas, tapi saya merasa bahwa sampean adalah orang baik, terutama setelah saya melihat sinar kesenduan memancar dari mata sampean.
Terkaan saya ternyata benar, karena sampean ternyata orang baik yang suka mentraktir saya tanpa sampean meminta imbalan. Sampean tidak pernah meminta saya mentraktir sampean dengan tubuh saya. Beberapa kali sampean memberi saya uang tanpa saya mengerti apa maksud sampean. Saya hanya merasa bahwa sampean adalah orang yang baik. Bahkan berbagai nasehat yang sampean berikan kepada saya, benar-benar merasuk ke dalam jaringan tulang sumsum saya meski saya tidak bisa menjelaskan bagaimana perasaan saya saat itu.
Ketahuilah, Sudrun, betapa diam-diam saya sering membayangkan bagaimana nikmatnya bila sampean menggarap saya. Bahkan kalau saya sedang digarap orang, sering saya bayangkan bahwa yang menggarap saya adalah sampean. Sungguh sering saya mendambakan sampean sebagai suami saya yang bisa membuat perut saya melembung besar berisi bayi dari benih sampean. Oh, betapa bahagia ketika saya bayangkan bagaimana saya akan memiliki anak-anak yang nakal dan lucu dari sampean.
O Sudrun& Sudrun, betapa saya sering berdiri tanpa busana di depan cermin. Saya bayangkan sampean sebagai seekor kucing ganas dan saya sebagai sepotong ikan asin. Dengan menggeram-geram penuh selera, saya bayangkan sampean menyergap tubuh saya. Lalu saya bayangkan sebagai kucing yang nakal sampean menggigiti tubuh saya yang melebihi lezatnya ikan asin. O Sudrun, betapa saya bayangkan gigi dan taring sampean mencabik-cabik tubuh saya; sampean mengunyah dan memamah tubuh saya yang luluh tanpa bentuk. Lalu tanpa saya sadari, khayalan saya berangsur menjelma menjadi kucing; dan saya pun tanpa sadar mencabik-cabik diri saya sendiri sampai tubuh saya melumer seperti gelali.
Tetapi, Sudrun, betapa kecewanya saya ketika satu saat sampean mengajak saya pergi ke luar kota. Saya masih ingat ketika sampean membawa mobil Taft-GT dan menyuruh saya duduk di samping sampean yang mengemudi. Saya menduga, sampean akan mengajak saya pergi ke hotel short time di Tretes di mana sampean akan menggarap saya habis-habisan.
Terus terang, Sudrun, saat itu saya merasa serba salah. Tubuh saya terasa panas-dingin, karena saya tidak pernah membayangkan akan sampean ajak pergi ke luar kota. Sebab dari kawan-kawan saya, saya dengar sampean adalah orang yang baik dan tidak suka main perempuan. Karena itulah, Sudrun, selama perjalanan itu saya membayangkan berbagai kejadian indah tentang sampean. Saya bayangkan sampean akan mengajak saya di sebuah villa di Tretes atau paling sedikit di sebuah hotel short time. Saya bayangkan, sampean menjadi makhluk ganas yang menggempur tubuh saya semalam suntuk sampai tubuh saya terasa lemah, lunglai kehabisan daya. Saya bayangkan, betapa saya megap-megap sampean tekuk-tekuk dan sampean lipat-lipat dalam dekapan sampean. Ya, saya bayangkan tubuh saya seperti bongkahan salju dan sampean saya bayangkan sebagai matahari; o saya bayangkan tubuh saya akan luluh dan meleleh sepeti es krim oleh kehangatan sinar sampean yang memancarkan kehidupan.
Tapi, Sudrun, betapa saya tiba-tiba harus terheran-heran ketika sampean secara mendadak menghentikan mobil di tengah gelap gulitanya malam di jalan tol antara Sidoarjo-Gempol. Saya semula mengira bahwa sampean akan menghentikan mobil dan memasang segitiga pengaman. Kemudian saya bayangkan sampean akan menggarap saya habishabisan di jok mobil. Ya, saya selalu berpikir ke arah garap-menggarap jika membayangkan sampean.
O Sudrun... Sudrun! Betapa saya harus mengutuk sampean ketika saya sadar bahwa tujuan sampean mengajak saya keluar kota tidak lain dan tidak bukan hanyalah untuk menyakiti saya. Aduh mak, betapa sakitnya hati saya sampean perlakukan seperti itu. Sungguh tega sampean menerlantarkan saya di tengah gelap malam di tengah jalan tol yang lengang. Dan saya masih ingat, betapa saya harus terlunta-lunta berjalan berkilo-kilo meter dalam gelap untuk sampai ke Sidoarjo sebab tidak satu pun kendaraan lewat yang saya hentikan mau berhenti. Bahkan sopir-sopir truk yang melihat saya mengacungkan tangan di pinggir jalan tol, buru-buru melesatkan mobilnya secepat angin karena mereka mengira saya kuntilanak. O betapa bedebahnya sampean!
Ketahuilah, Sudrun, saya memang pereks yang telah bejat dan murahan. Tapi sampean mesti ingat bahwa saya bukan seekor kucing yang bisa sampean buang di jalanan begitu saja, karena saya masih punya perasaan dan harga diri. Dan ketahuilah pula, Sudrun, sakit hati saya semakin membara ketika saya mendengar dari kawan-kawan saya bahwa sampean diam-diam memang punya kegemaran melempar pereks di jalan tol.
Saya akhirnya menyadari bahwa pereks-pereks yang sampean buang di jalan tol dan sengsara semalaman tentulah banyak jumlahnya. Dan karena kesadaran itulah, saya akhirnya menyimpulkan bahwa sampean adalah setan terkutuk yang mengerikan. Sampean tengik! Sampean busuk! Sampean jahanam! Sungguh, saya telah keliru membayangkan sampean orang baik-baik.
Ketahuilah, Sudrun, bahwa saya telah menggalang kekuatan para pereks untuk bersama-sama mendoakan laki-laki tengik seperti sampean supaya mampus digilas truk. Saya mengajak semua pereks yang pernah sampean lempar di jalan tol untuk mengutuk sampean agar sampean dilemparkan Tuhan ke tempat yang sunyi di neraka sebagaimana kesukaan sampean melempar pereks ke jalan tol di malam hari yang gelap dan sepi. Tetapi ketahuilah, o Sudrun, bahwa saya pribadi tidak menyimpan dendam kepada sampean karena saya sadar bahwa sampean memang orang tidak waras, sampean orang sudrun.
Saya mengeleng-gelengkan kepala sambil mendecak-decakan mulut. Dalam hati saya mengakui bahwa secara langsung atau tidak langsung Saya telah menyakiti orang-orang seperti Wiwik Sedanwati dengan cara tidak lazim, yaitu cara saya yang sudrun dan urakan. Saya sadar bahwa selama ini tanpa saya sadari, saya telah melakukan kejahatan di mana jiwa saya merasa terpuaskan apabila telah menghukum setimpal gadis-gadis nakal yang menjadi pereks, yaitu dengan meninggalkan mereka di tengah kegelapan jalan tol antara Sidoarjo-Gempol. Saya sadar bahwa saya benar-benar makhluk jahannam, karena Saya telah menciptakan neraka buatan di dunia untuk latihan gadis-gadis nakal tersebut sebelum mereka dicincang dan direbus di neraka.
Kepala saya terasa berdenyut-denyut ketika meresapi dan menghayati rangkaian kejadian terkutuk yang pernah saya lakukan dalam ke-sudrun-an saya. Bayangan Isti Widyawati gadis kecil yang selalu memburu-buru Saya, tanpa meminta izin tiba-tiba sudah berkelebat memasuki rentang ingatan di benak saya. Setiap saat mengingatnya, Saya selalu merasa bersalah karena dengan sepenuh sadar telah menolak kehadirannya di dalam hati saya meski menurut orangorang sekitar, saya telah melakukan kegoblokan karena menolak Isti Widyawati, gadis lugu yang ayu dan kalem.
Isti Widyawati memang sering datang ke rumah saya untuk sekadar meminta saya ajari melukis atau memahami karya sastra. Saya tidak tahu apakah dia benar-benar ingin belajar melukis dan mendalami sastra dari saya atau ada maksud lainnya, entahlah. Yang jelas, karena dia sering ke rumah saya dan saya sering ke rumahnya dalam rangka belajar melukis dan membincang sastra, maka orang-orang menggunjing bahwa kami berpacaran. Padahal saya waktu itu hanya sering mengajaknya membeli cat warna, pastel, kertas gambar, kanvas, dan novel-novel karya Pram, Budi Darma, Danarto, N.H.Dini, atau mengajaknya sekadar makan ringan di Bakery. Saya benar-benar kaget setelah mengetahui bahwa sebenarnya sumber isu yang menggunjing bahwa saya berpacaran dengan Isti Widyawati, tidak lain dan tidak bukan adalah ibunya sendiri.
Bahkan dengan tanpa malu-malu ibunya ngomong kalau dia kepingin sekali punya mantu yang baik, yaitu saya. Dan celakanya, ke mana pun saya pergi, Isti Widyawati selalu membuntuti saya.
Saya menjadi gelisah ketika ternyata Isti Widyawati terus-terusan membuntuti dan menguber saya. Bukan karena apa saya gelisah, tetapi saya sudah terlanjur menganggapnya sebagai anak kecil yang berperilaku tidak wajar. Sebab dalam pemikiran saya, seorang perempuan yang menguber-nguber laki-laki adalah perempuan yang kurang waras jiwanya. Saya menganggap tindakan Isti Widyawati menguber-uber dan membuntuti saya itu sebagai sesuatu yang tidak alamiah alias tidak manusiawi; sebab, menurut hemat saya, seekor ayam betina belum pernah kedengaran mengejar ayam jantan dengan maksud ingin dikawini. Dan soal uber-menguber berdasar naluri alamiah manusia sebagai spesies yang memiliki kesamaan dengan ayam, kucing, anjing, sapi, kuda selaku makhluk ciptaan Tuhan, bagi saya adalah prinsip; sehingga saya menganggap bahwa betina yang menguber-nguber jantan adalah mahkluk yang lebih tidak waras dibanding ayam betina.
Akhirnya saya putuskan, bahwa bagaimana pun saya tidak akan mau mengawini gadis yang lebih tidak waras dari ayam betina. Celakanya ibu si Isti Widyawati menebar lagi isu bahwa dia telah menolak mentah-mentah lamaran saya karena tidak sudi memiliki menantu sudrun. Walhasil kabar terakhir tentang Isti Widyawati, saya dengar dia berpacaran dengan Margono, anak penjual nasi pecel yang pengangguran. Dan saya hanya bisa menggelengkan kepala ketika saya dapati kabar bahwa perut Isti Widyawati melembung sebelum nikah karena sudah digarap berkali-kali oleh Margono.
Sosok demi sosok perempuan yang pernah singgah dalam rentang hidup saya dan terekam dalam relungrelung ingatan saya, saya dapati berulang-ulang memasuki rentetan koleksi kenangan saya. Setelah wajah Isti, kini wajah Dyah Prawitasari mengambang di pelupuk mata saya. Kalau saya mengingat Dyah, saya selalu mengingat sosok puteri bangsawan yang ayu dan berkulit kuning langsat. Dyah sebenarnya menaruh hati kepada saya sejak awal sekali dia mengenal saya. Bahkan tanpa malu, dia mengakui terus terang ketulusan cintanya kepada saya.
Saya tidak tahu, kenapa Dyah Prawitasari yang begitu anggun dan agung seperti ratu itu bisa jatuh cinta kepada laki-laki sudrun yang hidup tidak karuan jluntrungnya sepert saya. Saya hanya tahu, betapa Dyah telah mengatakan dengan sejujur-jujurnya, bahwa dia sangat tertarik dengan kecerdasan otak saya yang menurutnya sangat brilian. Dia dengan terus terang mengatakan bahwa dia sangat menginginkan menjadi istri saya dan melahirkan anak-anak brilian seperti saya. Sungguh, saya akan merasa sangat berbahagia jika sampean berkenan mempersunting saya sebagai permaisuri, ujar Dyah satu siang dengan pandangan penuh harap.
Kalau saya jadi suami sampean, kata saya waktu itu, Keadaannya tentu tidak berimbang. Sebab saya jelek mirip kera, sedang sampean sangat ayu, anggun, dan mempesona. Saya hidup semrawut, sampean hidup tertata rapi. Jika dibandingkan, seperti bumi dengan langit yang sangat jauh jaraknya.
Tidak ada sesuatu yang tidak bisa diserasikan, o Sudrun, kata Dyah Prawitasari manja, Saya justru melihat ke depan, ketidakserasian kita akan menjadi sesuatu yang sangat serasi, terutama jika kita sudah dikaruniai anak-anak yang lucu.
Bagaimana sampean bisa punya pendapat seperti itu" tanya saya heran.
Ketahuilah, o Sudrun, bahwa saya adalah seorang gadis keturunan ningrat. Nama saya Raden Roro Dyah Prawitasari puteri Raden Mas Pranowo Prawitonagoro. Sekalipun demikian, tidak semua trah yang mempunyai embel-embel raden itu otaknya brilian. Contohnya, tidak jauh-jauh, yaitu saya sendiri. Kepada sampean, saya mengaku terus terang bahwa saya tergolong orang yang kurang cerdas. Saya tidak tahu, kenapa di antara keluarga saya, sayalah anak yang paling bodoh. Telmi telat mikir. Tapi itu saya anggap sudah takdir dari Yang Mahakuasa.
Perlu sampean ketahui, bahwa kebodohan saya tidak ada keterkaitan dengan genetika saya. Mungkin, kebodohan saya berawal dari kelahiran saya yang tidak genap sembilan bulan. Saya lahir tepatnya dalam usia kandungan tujuh bulan, sehingga saya harus dioven di ruang incubator. Bapak saya selalu membesarkan hati saya, bahwa kelemahan saya dalam pikir-memikir adalah karena faktor yang terkait dengan proses kelahiran. Sekali-kali bukan karena faktor genetik, di mana anak keturunan saya pun pada gilirannya akan cerdas seperti saudara-saudara saya.
Sudah saya katakan berulang-ulang, o Sudrun, bahwa saya bukanlah dungu, pandir, bodoh, goblok apalagi idiot. Saya masih bisa berpikir meski pikiran saya tergolong lambat. Oleh sebab itu, wahai Sudrun, saya menghendaki seorang suami yang memiliki otak cemerlang lebih dari laki-laki seumumnya. Karena menurut hemat saya dan itu dibenarkan oleh bapak saya, dengan memiliki seorang suami yang berotak brilian, maka saya akan mempunyai anak-anak yang otaknya brilian juga.
Tapi Dyah, sampean mesti memperhitungkan bahwa saya hidup semrawut tidak beraturan, dan tampang saya pun lebih mirip bajingan daripada bangsawan, belum lagi mereka yang membayangkan saya seperti kera, kata saya apa adanya.
Ah sampean jangan begitu! kata Dyah Prawitasari mulai merajuk, Sampean mesti ingat pada kisah para pandawa dan kurawa. Mereka yang bertubuh perkasa seperti Bima, berwajah tampan seperti Arjuna, dan bijak seperti Yudhistira; adalah keturunan Bhagawan Abiyasa, yang tampangnya jelek dan semrawut hidupnya. Tetapi karena Bhagawan Abiyasa otaknya cemerlang dan istri-istrinya berwajah ayu, maka anak keturunannya memiliki otak cemerlang dengan wajah tampan dan ayu. Sungguh, itu perpaduan harmonis yang akan terulang jika sampean berkenan menjadi suami saya.
Apakah sampean berpikir, bahwa kalau kita kawin maka anak-anak kita akan memiliki otak cemerlang karena warisan dari saya, sekaligus anak-anak kita memiliki wajah tampan dan ayu karena warisan dari sampean" tanya saya ingin penjelasan pasti dari Dyah Prawitasari, yang menurut saya berpikir sangat dangkal dengan menyederhanakan suatu masalah serius.


Sastra Jendra Hayuningrat Karya Agus Sunyoto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitulah menurut pemikiran saya, o Sudrun, sahut Dyah Prawitasari kalem, Saya berharap, sampean berkenan menyetujui pemikiran saya ini.
Saya tidak menjawab perkataan Dyah Prawitasari. Sebab Saya tidak ingin menyakiti hatinya kalau saya harus berterus terang tentang gagasan saya yang jauh berbeda dengan jalan pikirannya. Saya sadar bahwa saya masih punya rasa tepa salira, empati, tenggang rasa untuk tidak mengganyang kebodohannya dalam berpikir secara habis-habisan, sehingga dia menjadi terpojok sebagai makhluk super dungu.
Pendekar Laknat 1 Animorphs - 34 Ramalan The Prophecy Tantangan Mesra 2
^