Pencarian

Sastra Jendra Hayuningrat 1

Sastra Jendra Hayuningrat Karya Agus Sunyoto Bagian 1


KILASAN-KILASAN Ketika Saya lahir di penghujung tahun 1960-an, Saya memiliki naluri liar untuk membuka dan menyingkap sesuatu yang terselubung. Saya yang sebelumnya bersemayam di dalam kegelapan rahim, termangu-mangu dan menangis penuh takjub ketika menyingkap gerbang kerahasiaan hidup hingga ia terlontar ke sebuah dimensi yang disebut dunia.
Bersama melesatnya sang waktu yang menumbuhkan Saya, naluri liarnya untuk menyingkap dan membuka-buka sesuatu yang terselubung semakin melonjak. Segala apa yang ada di sekitarnya dibukabuka dan disingkap-singkapnya. Dan Saya pun karena desakan naluri liarnya itu kemudian digelari Sudrun karena dia suka menyingkap rok, tirai, pintu, lubang WC, lubang kunci, buku-buku, majalah-majalah, dan segala sesuatu yang dianggapnya menyimpan keterselubungan. Saya pun pada gilirannya terperangkap dalam balutan citra Sudrun yang membawanya ke sebuah rentang pengalaman utuh sebagai anak manusia dan anak zaman yang hidup dilingkari peristiwa dan pengalaman absurd.?"?"
Dalam perjalanan hidupnya, Sudrun telah mengajak Saya untuk menyingkap berbagai hal yang berada di sekitar mereka. Satu saat Sudrun dan Saya menyingkap-nyingkap semua kerahasiaan Swayamprabha Sulistyawati seperti Hanoman menyibak misteri Swayamprabha; dan Sudrun serta Saya menemukan ketakjuban luar biasa meski pada akhirnya mereka tahu bahwa di balik kerahasiaan Swayamprabha Sulistyawati tersembunyi kerahasiaan yang lebih hakiki yang terus dicarinya.
Di satu saat, Sudrun dan Saya menyingkap rahasia kuburan orang-orang yang telah mati, dan mereka mendapat hikmah yang amat dalam. Tetapi mereka tahu bahwa itu bukanlah hakikat kerahasiaan yang mereka cari. Mereka terus mencari dan mencari sampai menemukan sosok-sosok absurd seperti Ita Martina dan Chandragupta.
Saya kembali menemukan ketakjuban demi ketakjuban ketika berhasil menyingkap kerahasiaan diri Saya sendiri yang terperangkap dalam tubuh wadag Sudrun. Saya menemukan sejumlah manusia bertemparemen buruk dan tercela yang tiada lain adalah personifikasi reflektif dari sifat-sifat Saya sendiri. Dan setelah berhasil memaknai kerahasiaan sifat-sifat tercelanya sendiri, Saya makin menukik ke dalam relung-relung alam pribadinya; di mana dia harus melepaskan ikatan demi ikatan untuk bisa terus menyingkap kerahasiaan dirinya.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Saya semakin heran dan takjub ketika menyingkapi rahasia demi rahasia yang tersembunyi dalam diri Saya. Bahkan di dalam diri Saya itulah tertemukan rahasia hakiki alam semesta raya di mana Saya harus mengarungi tujuh samudera, tujuh hutan belantara, tujuh gurun, tujuh gunung, dan tujuh langit di dalam dirinya, sampai Saya terlempar ke satu titik kenyataan absurd di mana akal budi dan perasaannya melarut ke dalam perasaan semesta; Saya telah mati tetapi Sudrun tetap hidup.
Pada suatu waktu yang absurd, Saya mendadak hidup kembali dan disatukan dengan Sudrun. Tetapi Saya dan Sudrun telah menjadi lain dari Saya dan Sudrun sebelumnya. Saya dan Sudrun yang baru, menyatu dalam kehidupan baru yang terangkai dalam makna hakiki Khatra yang setiap detik bertasbih di lingkaran cahaya hitam penuh misteri. Berjuta-juta makhluk terbang mencari ketersembunyian dan kerahasiaan Khatra, tetapi hanya satu dua yang berhasil menemukan. Sementara Khatra terus bertasbih sambil mengumandangkan pekik kebebasan bagi para burung dan ruh burung-burung, dia menyampaikan isyarat bahwa sebuah kematian besar sedang mengintai sebuah kehidupan anak-anak manusia; dan sekalipun burung-burung dalam sangkar menertawakan ke-absurd-an isyaratnya, Khatra terus bertasbih dalam kesunyian dan kehampaan sambil terus mengumandangkan pekik kebebasan dalam nyanyian azali Nuuri-Khatra: Haqq& Haqq& Haqq!
Agus Sunyoto, Juni 1989 Daftar Isi Pengantar Redaksi ?" v Kilasan-Kilasan ?" ix Daftar Isi ?" xiii
Satu ?" 1 Dua ?" 29 Tiga ?" 53 Empat ?" 79 Lima ?" 115 Enam ?" 143 Tujuh ?" 173 Delapan ?" 209 Sembilan ?" 243 Sepuluh ?" 267 Sebelas ?" 313 Dua Belas ?" 335 Tiga Belas ?" 379 Empat Belas ?" 419 Lima Belas ?" 457 Enam Belas ?" 489 Tujuh Belas ?" 519
Kepustakaan ?" 549 Tentang Penulis ?" 551?"?"
SATU K alau engkau mau mencari Allah, belajarlah
dari iblis! Bagai kilatan cahaya petir, bisikan misterius itu membentur gugusan telinga batin saya tanpa dapat saya ketahui maksudnya. Kilatan itu muncul begitu saja dengan frekuensi yang tak menentu fluktuasinya.
Bagi saya, kelebatan misterius yang membenturbentur bagai kilatan cahaya petir itu memang bukan hal baru. Namun demikian, baru sekali ini saya mendapati makna yang demikian aneh. Bagaimana mungkin saya harus belajar dari iblis sesat yang terkutuk untuk bisa menemukan Kebenaran Ilahiah" Setelah merenung-renung dan memikir-mikir secara lebih dalam, akhirnya saya berkesimpulan bahwa semua itu adalah bisikan dari setan terkutuk yang akan menyeret saya ke jurang kesesatan yang mengerikan.
Keanehan demi keanehan yang selama ini saya alami memang cukup absurd untuk orang yang berpikiran normal, sehingga tidaklah salah apabila orang-orang di sekitar saya memanggil saya dengan sebutan Sudrun terutama ketika saya mulai sering
?"?" menulis di media massa cetak dengan menggunakan identitas Ki Sudrun . Kalau saja orang-orang mengetahui bahwa diam-diam saya telah mendapat bisikan misterius agar saya berguru kepada iblis, niscaya saya akan digelari sebagai Sudrun Edan alias Sudrun Gendeng , yang berarti gila kuadrat!
Terus terang, ketika orang-orang menyebut saya dengan sebutan Sudrun saya tidak merasakan sesuatu yang janggal dari gelar tersebut. Dan seingat saya, sebutan Sudrun itu sudah disodokkan sedemikian rupa oleh orang-orang ke dalam nama Saya sejak saya sekolah SD. Bahkan pada gilirannya pun sebutan Sudrun itu dicoretkan begitu saja di rapor sekolah saya, sehingga di rapor tersebut tertulis nama: Saya Sudrun.
Saya sendiri sebetulnya cukup heran dengan kebijakan bapak saya yang memberi nama Saya kepada saya. Sebab sejauh ini belum pernah saya ketahui ada manusia di dunia yang bernama Saya kecuali saya sendiri. Baru setelah saya agak tumbuh menjadi anak yang cerdas, barulah saya dapat menafsirkan nama Saya tersebut; dan saya diam-diam menaruh hormat atas kebijaksanaan bapak saya yang memberikan nama Saya kepada saya.
Menurut cerita emak, ketika saya lahir memang tidak sebagaimana wajarnya kelahiran seorang bayi. Wujud saya ketika itu, adalah mirip seekor bayi kera yang sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu halus putih bagai kapas. Oleh emak saya, bayi Saya itu rencananya akan diberi nama Hanoman dengan maksud agar saya bisa tumbuh menjadi ksatria perkasa seperti tokoh Hanoman dalam kisah pewayangan. Paman-paman saya, konon, ada yang akan memberi nama Anggada, Sugriwa, Subali, Anila, Jembawan. Tetapi bapak saya yang merupakan penentu, akhirnya memutuskan untuk memberi nama bayi yang mirip kera itu dengan nama tidak lazim: Saya.
Orang-orang kaget dengan nama aneh pemberian bapak saya tersebut. Tetapi ketika saya tumbuh menjadi anak-anak yang nakal dan banyak diolok-olok anak lain, orang-orang pun baru mengetahui maksud bapak saya memberi nama seperti itu. Bayangkan, kalau ada anakanak yang mengolok-olok saya dengan sebutan kera atau monyet, maka anak tersebut akan mengatakan: Saya kera! Saya monyet! Saya kera! Dengan demikian, anak tersebut telah mengolok-olok dirinya sendiri sebagai kera atau monyet. Dan tentu saja saya amat kagum dengan siasat bapak saya itu, sehingga anakanak pun tidak ada lagi yang berani mengolok-olok saya sebagai kera atau monyet.
Mengenai sebutan Sudrun yang disodokkan begitu saja ke dalam nama Saya, seingat saya terjadi ketika saya masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Ketika itu saya dikenal sebagai murid yang paling nakal; suka berkelahi, merampas makanan anak lain, mengoretoret bangku dan papan tulis dan tembok, dan menyingkap rok siapa saja yang saya jumpai. Entahlah, soal singkap-menyingkap rasanya sudah menjadi bagian naluri saya yang muncul sejak saya masih kecil. Saya selalu merasakan sesuatu yang aneh apabila
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
melihat hal-hal yang ditutupi. Karena itu, selain rok orang-orang yang saya singkap, saya pun sering menyingkap tirai di rumah siapa saja. Saya selalu dirayapi keinginan untuk melihat sesuatu di balik yang terselubung.
Naluri menyingkap-nyingkap dan membuka-buka itu, terus Saya lampiaskan dalam berbagai manifestasi sampai akhirnya naluri itu pada gilirannya memperoleh makna yang menguntungkan ketika Saya mulai suka membuka lembar demi lembar buku. Ternyata, di balik lembaran-lembaran buku yang saya singkap tersembunyi rahasia pengetahuan tentang berbagai hal yang tergelar dalam alam kehidupan alam raya ini.
Satu hal yang merupakan keanehan saya terkait dengan naluri buka-membuka itu, yakni sejak kecil saya suka membuka pakaian, telanjang bulat seolah-olah saya ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa saya adalah Saya yang tidak memiliki rahasia apapun. Kegemaran telanjang itu saya pelihara sampai saya duduk di kelas tiga SD, di mana seusai sekolah saya mesti mencopot semua pakaian saya dan bermain-main di sekitar rumah sampai jauh ke luar kampung dalam keadaan telanjang.
Boleh jadi, berbagai hal yang menyangkut pertumbuhan saya sebagai anak yang dianggap tidak wajar itulah yang membuat orang menyebut saya dengan sebutan Sudrun. Oleh sebab itu, ketika saya duduk di SD, saya sudah tidak lagi menoleh kalau dipanggil nama Saya. Saya justru baru menoleh kalau dipanggil: Drun..Sudrun! Celakanya, entah tangan siapa yang usil, tahu-tahu dalam rapor sekolah saya sudah tertulis nama Saya Sudrun .
Saya tidak tahu, kenapa bapak saya tidak protes dengan tambahan Sudrun di belakang nama Saya itu. Bapak saya justru tersenyum seolah-olah beliau sengaja menjadikan saya sebagai kera kecil yang dieksprimenkan. Bapak saya benar-benar ingin melihat pertumbuhan saya dengan segala risikonya meski sering saya melihat bapak saya bersedih hati memikirkan ke- Saya-an dan ke-sudrun-an saya.
Satu hari, guru SD saya yang lama diganti guru baru yang masih muda dan agak cantik. Guru cantik yang dipanggil Bu Anik itu dengan senyum ramah memperkenalkan diri. Dia bercerita tentang berbagai hal; tentang dirinya sampai murid-murid bergembira. Setelah itu, Bu Anik ingin mengenal murid barunya satu demi satu dengan cara mengabsen dan memanggil nama masing-masing murid. Nah, ketika Bu Anik menyebut giliran saya, kelas mendadak gemuruh karena semua murid tertawa terbahak-bahak. Bu Anik kaget sambil menatap saya penuh heran meski saya tetap mengacungkan tangan dan berdiri. Rupanya Bu Anik belum tahu kenapa murid-murid tertawa terbahak-bahak ketika ia memanggil nama saya. Itu sebabnya, dengan suara ditekan lebih keras, Bu Anik kembali memanggil nama saya: Saya Sudrun! Dan murid-murid pun tertawa terpingkal-pingkal sambil menuding-nuding ke arah saya dan Bu Anik.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Akhirnya, Bu Anik sadar dan baru mengetahui jika ia telah menyebut dirinya sendiri sebagai Sudrun, yang berarti edan alias gila. Walhasil, entah karena kejadian tersebut atau ada tangan usil yang lain, nama Saya di rapor sekolah tahu-tahu sudah dicoret sehingga pada rapor sekolah saya hanya tertera nama: Sudrun.
Saya sendiri akhirnya tidak pernah mengerti apakah nama Sudrun muncul karena tingkah saya yang Sudrun, ataukah saya setelah dinamai Sudrun berangsur-angsur menjadi Sudrun. Saya hanya tahu bahwa saya anak nakal yang suka dihukum, entah disuruh berdiri di depan kelas dengan setumpuk buku di kepala atau sekadar diteriaki, dimaki, dicubit, dan disabet rotan oleh guru.
Sebagai anak Sudrun, kehidupan formal di sekolah benar-benar tidak menarik minat saya untuk belajar. Buku-buku di sekolah hanyalah buku yang tidak menarik untuk dibaca seperti komik, majalah dan buku yang lain. Oleh karena itu, saya lebih suka membacabaca komik dan buku-buku bekas di kawasan Pasar Turi yang dijual pedagang kaki lima, atau sekadar menonton tukang sulap dan penjual nomer buntutan togel (toto gelap).
Satu ketika bahkan pernah, saya disuruh guru untuk menyelesaikan soal berhitung di papan tulis. Tanpa kesulitan soal itu saya garap. Tetapi ketika saya baru saja akan menyelesaikan garapan soal tersebut, murid-murid tertawa terbahak-bahak melihat garapan saya yang mereka anggap ajaib bin aneh. Ketika guru kelas bertanya tentang rumus yang saya pakai, dengan jujur saya mengatakan bahwa rumus yang dipakai itu adalah rumus hitungan tukang nomer buntutan togel. Tentu saja saya menjadi bahan tertawaan. Dan orangorang pun makin menganggap saya sebagai Sudrun yang benar-benar sudrun alias senewen.
Saya sendiri sering merasa heran dengan kesudrun-an yang saya lakukan, meski hal itu sebenarnya cukup wajar bagi saya. Satu saat, misalnya, saya sering terlihat duduk berlama-lama di pinggir jalan sambil sesekali tertawa sendiri sampai terpingkalpingkal. Orang yang melihat saya tertawa sendiri, tanpa tanya ini-itu, langsung menuding saya sebagai anak sudrun. Bahkan tingkah saya yang agak tak wajar menurut orang-orang itu sempat dilaporkan kepada bapak saya.
Bapak saya dengan penuh kesabaran memanggil saya dan menanyakan kenapa saya sering tertawa-tawa sendiri di pinggir jalan. Dengan terus terang saya menjelaskan, bahwa saya sampai tertawa terpingkalpingkal karena saya suka menyama-nyamakan bentuk mobil yang lewat dengan wajah manusia. Lampu mobil saya kesankan sebagai mata. Kaca spion mobil saya kesankan sebagai kuping. Bumper mobil saya samakan dengan mulut. Walhasil saya sering melihat bentuk mobil-mobil yang mirip dengan tampang manusia; ada yang pesek, lonjong, mrongos, mringis, pencong, dan monyong.
Kalau saya kebetulan melihat bemo roda tiga lewat, maka dalam benak saya selalu muncul wajah tetangga saya yang bernama Sukkes yang giginya mrongos. Kalau saya melihat bus Hino, maka dalam benak saya selalu muncul wajah Narsih pesek tetangga saya yang hidungnya mancung ke dalam. Begitu pun kalau saya melihat oplet yang pencong dan suka mogok, saya selalu membayangkan sosok mbah Merto Tarup yang suka terbatuk-batuk dan jalannya terseok-seok. Dengan imajinasi liar seperti itu, saya kalau sudah lewat perempatan jalan dan melihat mobil-mobil berseliweran, maka saya selalu mendapat kesan bahwa tetanggatetangga saya saat itu sedang berseliweran di jalan.
Bapak saya akhirnya memaklumi ke-sudrun-an Saya, bahkan bapak saya menasehati agar saya terus saja memelihara imajinasi saya tanpa peduli olok-olokan orang. Dengan restu dari bapak saya, maka saya pun makin suka meluncurkan imajinasi ke dalam alam khayal yang absurd. Kalau satu ketika, misalnya, saya lewat di pinggir rel dan melihat keloneng besi peninggalan zaman Belanda yang berdiri di dekat gardu penjagaan kereta api, saya seketika mendapati kesan bahwa keloneng besi itu seperti teman saya, Si Baidin bodong. Lalu dengan kapur atau arang, saya biasanya mengoret-oret keloneng besi itu dengan memberinya mata, alis mata, hidung, mulut, gigi; begitulah saya lalu tertawa terkekeh-kekeh karena membayangkan keloneng besi itu sebagai temannya yang lucu, Si Baidin bodong.
Saya memang tidak peduli dengan orang-orang yang memper-sudrun-kan saya, sebab saya merasa sudah menyatu dengan ke-sudrun-an saya. Saya sadar bahwa saya adalah Sudrun yang sudrun.
Ke-absurd-an kehidupan saya tampaknya makin meluncur deras dan mengulung kehidupan saya. Bayangkan, di antara semua saudara saya, hanya saya yang memiliki nama aneh. Begitu pun ketika saudarasaudara saya belajar di berbagai pesantren, saya justru disuruh belajar ke sekolah umum. Bahkan ketika saya tidak mengaji, juga tidak ada yang memarahi seolaholah saya hanyalah seekor kera yang numpang hidup di sebuah pesantren. Tetapi meski Saya tidak pernah mengaji bahkan tidak hafal urut-urutan huruf Hijaiyyah, ternyata saya bisa juga membaca huruf al- Qur an dan kitab-kitab kuning meski dengan cara belajar sendiri secara otodidak. Satu-satunya guru mengaji dalam ilmu nahwu dan sharaf yang saya dalami selama beberapa pekan adalah kiai sepuh Sulchan, di mana dengan sedikit arahan dari Kiai Sulchan, saya kemudian melesat sendiri dalam memahami ilmu alat.
Karena saya sendiri merasa bahwa cara belajar otodidak memiliki banyak kekurangan, maka saya hanya berani mengajar mengaji anak-anak kecil di sekitar rumah dengan cara saya sendiri. Saya memang punya cara tersendiri dalam belajar mengaji, di mana untuk anak-anak kecil lebih saya tekankan pada hafalan surat-surat pendek dalam Juz Amma, sebab menurut hemat saya, anak-anak lebih mudah menghafal daripada memahami sistem lambang huruf-huruf.
Dengan demikian, hampir setiap anak yang saya ajari mengaji mesti hafal Juz Amma di luar kepala meski mereka belum bisa membaca dan menulis huruf Arab.
Kegiatan saya untuk ikut membantu keluarga saya dalam mendidik anak-anak mengaji, terpaksa saya hentikan secara total ketika orang-orang mulai memanggil saya dengan sebutan Kiai Sudrun . Saya benar-benar merasa tersinggung dengan adanya gelar kiai yang disogokkan begitu saja di depan nama Saya. Sebab kalau saya sampai mendapat sebutan Kiai Sudrun maka tak pelak lagi nama baik leluhur saya akan rontok karena saya.
Memang, dari daftar silsilah keluarga bapak saya terdapat urut-urutan gelar kiai yang amat panjang. Di urutan awal, saya dapati ada nama Raden Kusen yang bergelar Kiai Adipati ing Trung. Sesudah itu ada nama Kiai Adipati Ing Sengguruh, dilanjutkan Kiai Gaib, Kiai Ketib, Kiai Tempel, Kiai Muruk, Kiai Kemis, Kiai Puspo, dan Kiai Joyo yang bergelar Kanjeng Jimat, setelah itu ada nama Kiai Suro, Kiai Tirto dan berderetderet kiai lain sampai pada urutan bapak saya.
Dari urut-urutan silsilah para kiai yang menjadi leluhur saya, tidak ada satu pun di antara kiai tersebut yang dikisahkan melanggar rambu-rambu ke-kiai-an mereka. Dengan demikian, sebutan Kiai Sudrun yang disodokkan begitu saja pada nama saya, bagi saya benar-benar sebagai suatu penghinaan kepada para kiai leluhur saya. Sebab, kalau sebutan Kiai Sudrun itu sampai masuk ke dalam urut-urutan silsilah maka di antara sekian jumlah kiai akan terdapat satu kiai yang senewen alias tidak waras jiwanya, yang celakanya kiai tersebut adalah saya sendiri.
Akhirnya, setelah berpikir jauh, saya tidak lagi mengajar mengaji, tetapi belajar lebih mendalami ilmu-ilmu sekolah. Bapak saya rupanya sudah waskita akan apa yang akan terjadi pada diri saya kelak di kemudian hari. Dan saya pun akhirnya menyadari betapa tepatnya beliau menyekolahkan saya, sehingga saya pada gilirannya bisa menjadi sarjana dan tidak menjadi kiai. Sebab kalau saya sampai menjadi kiai maka boleh jadi saya akan mendapat sebutan Kiai Sudrun atau Kiai Monyet .
Setelah saya tidak lagi mengajar mengaji, ternyata sebutan Kiai Sudrun tetap tak bisa lepas dari diri saya, sehingga saya memang harus tunduk lagi pada nasib untuk mendapat nama baru, Kiai Sudrun, sebagaimana ketundukan saya ketika disebut Sudrun. Tetapi, meski saya disebut Kiai Sudrun, saya sejatinya masih tergolong orang waras karena saya sangat rajin sembahyang. Padahal, banyak sekali orang-orang yang dinilai tidak sudrun alias waras justru tidak lagi melaksanakan sembahyang dengan alasan sudah ma rifat. Dan untuk manusia model begini, saya sangat suka sekali menggempurnya, sebab manusia model begitu saya anggap jauh lebih sudrun daripada orang sudrun. Kalau saya amat geram dengan orang sudrun yang dengan alasan ma rifat kemudian meninggalkan sembahyang, bukan berarti saya otoriter dan memaksakan kehendak. Saya hanya memiliki naluri yang mengatakan bahwa orang model begitu secara langsung atau tidak telah menumbangkan agama dengan ketakaburan diri. Di lain pihak, saya mengukur keberadaan mereka dengan Nabi Muhammad SAW yang tetap menjalankan sembahyang meski sudah mengalami Isra dan Mi raj.
Satu ketika, saya pernah bersilaturahmi ke rumah Kiai Baha uddin bin Bruddin bin Gimin yang dikenal sebagai guru Tariqah Bruddiniyyah. Menurut omongan murid-murid Kiai Bruddin, bahwa guru mereka itu adalah manusia yang sudah mencapai tahap ma rifat billah; artinya sudah omong-omongan, bercanda, rangkul-rangkulan, rindu-rinduan, dan cinta-cintaan dengan Tuhan; sehingga Tuhan pun sudah menyatu di dalam diri Kiai Bruddin.
Karena prinsip Kiai Bruddin seperti itu, maka dia lantas berpendapat: Kalau Allah adalah menyatu dengan insan, maka Gusti dan kawula sudah jadi satu, dan kalau sudah begitu siapakah yang harus disembah dan siapa yang harus menyembah. Walhasil, Kiai Bruddin tidak perlu lagi melakukan sembahyang lima waktu, karena ia adalah pengejawantahan Ilahi di atas bumi. Bahkan para santri yang bersembahyang dan dzikir, wajiblah membayangkan wajah Kiai Bruddin; ngomongnya sebagai Rabithah.
Sebetulnya, saya tidak ada urusan apapun dengan prinsip hidup Kiai Bruddin andai saja ke-sudrun-an saya tidak kumat mendadak. Entah bagaimana awalnya, saya tiba-tiba mendatangi Kiai Bruddin di rumahnya seperti menjadi seorang polisi yang menginterograsi pesakitan. Kiai Bruddin yang tak menduga ada orang yang begitu kurang ajar tanya iniitu sekitar prinsipnya, menjadi kelabakan ketika saya berondong dengan aneka macam pertanyaan seperti, Apakah maqam sampean lebih tinggi dari Rasulullah"
Dengan suara terbata-bata menahan marah, Kiai Bruddin menjawab pertanyaan saya yang menggebugebu dengan suara ditekan tinggi, O tentu saja tidak, Nabi Muhammad SAW tidak ada yang menandingi ketinggian maqamnya.
Padahal, kilah saya cepat, Rasulullah SAW masih wajib menjalankan syari at dengan mendirikan sholat. Sedang sampean sudah terbebas dari kewajiban itu.
Siapa bilang saya tidak sembahyang" sergah Kiai Bruddin tersentak dengan wajah merah padam dan mata berkilat-kilat.
Tadi sampean ngomong tidak perlu lagi sholat jasad, kan"
Memang saya tak perlu lagi sholat jasad, sebab saya sudah melakukan sholat da im, yaitu sholat berkekalan yang nilainya jauh lebih tinggi dibanding sholat yang hanya berisi ruku dan sujud tubuh belaka, sahut Kiai Bruddin.
Padahal Nabi Muhammad SAW diriwayatkan melakukan sholat tubuh sekaligus sholat batin sampai wafatnya, kata Saya memancing, Kenapa sampean tidak"
Beliau lain dengan saya, kata Kiai Bruddin dengan pasti, Beliau adalah Uswatun Hasanah yang menjadi contoh bagi seluruh umat. Kalau beliau hanya menjalankan sholat batin saja, maka kalangan awam nanti tidak mau sholat semua karena tidak diberi contoh oleh beliau.
Dan manusia-manusia macam sampean, mendapat dispensasi dari Tuhan untuk tidak sholat, begitu" kilah saya mencibir.
Kamu ini orang awam, gumam Kiai Bruddin mendadak menilai, Kamu tak pernah bisa memahami uraian orang khawas seperti saya.
Jadi sampean menganggap maqam sampean lebih tinggi daripada maqam saya, begitu" tanya saya memancing.
Aku orang khawas, dan kamu orang awam, Kiai Bruddin menggeram, Kedudukan kita sudah jelas, di mana kamu bagiku tidak lebih dari seekor kambing dungu yang hanya bisa mengembik.
Kiai Bruddin yang mulia, sahut saya mulai terasa kumat sudrunnya, Menurut siapakah maqam sampean itu lebih tinggi daripada maqam saya"
Tentu menurut aku pribadi berdasar ilmu laduni.
Dengarlah Kiai Bruddin, kata saya mengejek, Dulu ketika iblis menolak disuruh bersujud pada Adam, Allah bertanya mengapa iblis berlaku seperti itu, yaitu tidak mau sujud kepada Adam. Iblis bilang, dia lebih mulia dan lebih tinggi dari Adam karena dia dicipta dari api, sedang Adam dicipta dari tanah liat. Allah kemudian bertanya lagi kepada iblis, menurut siapakah iblis menilai dirinya lebih tinggi daripada Adam" Ketika iblis menjawab penilaian itu menurut dirinya sendiri, nah, sampean pasti tahu, apa yang dilakukan Allah terhadap iblis yang merasa lebih tinggi dan lebih mulia itu"
Apa maksudmu anak gendeng"! Kiai Bruddin marah.
Hehehe, kalau sampean pintar mesti tahu arah omongan saya, seru saya sambil menjulurkan lidah mengejek.
Jahannam! Kiai Bruddin menyambar dampar yang biasa dipakai membaca al-Qur an, kemudian dengan sekuat tenaga menghantam kepala saya. Wusss!
Saya menunduk cepat. Dampar di tangan Kiai Bruddin melesat di atas kepala saya, menghantam angin. Saya berpikir, andaikata dampar itu mengenai kepala saya, mestilah saya sudah tumbang dan digotong ke UGD. Oleh karena hantaman Kiai Bruddin luput, tubuhnya meliuk sendiri ke depan dan dampar yang dipegangnya lepas dari pegangannya dan terbang menghantam dinding.
Prakk! Sepersekian detik saya kirim upper cut pendek ke ulu hati Kiai Bruddin. Dia terpekik kaget dengan mata melotot dan lidah terpilur keluar. Tapi sebelum dia menyadari keadaan, sesegera mungkin saya layangkan sebuah swing dengan kekuatan penuh ke sisi kiri kepalanya, tepat di bagian kupingnya. Tanpa mengeluh ah atau uh lagi, Kiai Bruddin rontok, tubuhnya terjungkal ke depan mencium kaki saya. Melihat kiai sombong itu sudah terkapar tak berdaya, saya langsung mengambil langkah seribu, lari terbirit-birit karena saya tidak mau tewas dikeroyok murid-murid Kiai Bruddin yang sudrun itu.
Begitulah dari waktu ke waktu saya melakukan berbagai ke-sudrun-an tanpa dapat saya kendalikan. Ke-sudrun-an yang saya alami itu, seingat saya, berlangsungnya sangat cepat dan mendadak sehingga akal waras saya sering tak berfungsi ketika ke-sudrun-an itu memerangkap saya. Dengan demikian, saya pribadi menganggap ke-sudrun-an yang saya alami itu sebagai sejenis penyakit yang saya sebut penyakit anginanginan. Maksudnya, kalau hari baik saya bisa kumat dan kalau hari tidak baik maka saya akan waras seperti tak terjadi apa-apa. Dan rasanya, penyakit sudrun yang misterius itu memang tidak mungkin bisa saya sembuhkan begitu saja.?"?"
KALAU MAU MENCARI ALLAH, BELAJARLAH DARI IBLIS!
Bisikan misterius itu berkelebat lagi membentur gugusan telinga batin saya ketika saya sedang makan roti Maryam di warung pinggir jalan di Jl. K.H. Mas Mansyur selepas sembahyang tarawih. Saya berusaha menindas bisikan misterius itu, tetapi dia bagaikan benda misterius yang liar memasuki jiwa saya dan kemudian menyodok-nyodok relung otak dan dada saya dengan sangat ganas.
Bisikan misterius yang terus berkelebat tanpa dapat saya cegah itu pada akhirnya memunculkan gambaran gambaran imajinasi di otak saya. Entah bagaimana awalnya, sewaktu saya menyuapkan roti Maryam ke mulut saya, mendadak saja pada otak saya meluncur sebuah gambaran fantastis tentang iblis: sosok berbentuk manusia dengan kaki keledai mirip Centaur dalam dongeng Yunani Purba; kupingnya mencuat lancip mirip Mr. Spook dalam film Star Trek; mulutnya meringis dengan taring panjang mirip topeng Rangda; jubahnya hitam dengan kerah mengembang ke atas seperti jas Dracula; matanya bersinar merah membara seperti lampu strobo; kuku-kuku jari tangannya memanjang seperti cakar beruang.
Gambaran imajinatif iblis yang mengerikan itu serta merta saya tumpahkan dari otak saya, kemudian saya bayangkan roti Maryam di tangan saya sebagai iblis terkutuk. Sedetik kemudian, roti Maryam itu saya celup ke dalam kuah gulai kacang hijau. Lalu bersamasama dengan mangheli sejenis lento Arab iblis itu pun saya santap terus saya kunyah-kunyah, dan akhirnya saya telan utuh. Tapi baru saja iblis itu masuk ke tenggorokan saya, mendadak saja saya merasa bahwa iblis itu tentu tidak akan mampus di perut saya. Dia justru akan hidup bersama cacing-cacing di perut saya. Selanjutnya, dia akan masuk ke jantung saya dan bersemayam di sana mengatur dan mengendalikan gerak-gerik saya. Aduh celaka, keluh saya menyayangkan roti Maryam yang sudah keburu masuk ke perut saya dan celakanya, sudah terlanjur saya bayangkan sebagai iblis.
Akhirnya dengan perut seperti diaduk-aduk, saya melangkah terhuyung menyusuri Jl.K.H. Mas Mansyur yang penuh sesak dijejali pejalan kaki dan pedagang kaki lima. Tapi baru beberapa meter saya berjalan, tiba-tiba saya disapa oleh seseorang. Saya menoleh dan saya dapati Mat Aksan, kawan sekolah saya waktu di SMA, yang rumahnya di pasar Pabean Lama, tak jauh dari warung roti Maryam langganan saya.
Berjumpa dengan Mat Aksan, rasanya seluruh bayangan iblis dalam benak saya seketika melenyap. Sebab setiap kali saya menemuinya, saya selalu mengenang ke-sudrun-an saya sewaktu sekolah SMA. Kalau saya sudah mengenang ke-sudrun-an saya waktu SMA, maka gambaran iblis tidak lain dan tidak bukan justru akan muncul dalam perwujudan sebagai diri Saya. Ya, si sudrun gendeng yang brengsek dan brutal itulah bayangan iblis mengerikan yang menjadi raja diraja dari segala setan dengan pengikut setia setan gendut bernama Mat Aksan.
Terus terang, di kelas kami di SMA, saya dikenal oleh semua orang sebagai murid yang pendiam dan tak pernah ikut-ikutan tradisi berpacaran. Saya tidak suka menggoda kawan-kawan perempuan saya. Saya selalu pasif, bahkan mengesankan tidak wajar karena tidak memiliki rasa tertarik pada lawan jenis yang di usia SMA seibarat bunga sedang mekar-mekarnya. Kawan-kawan perempuan saya sering menggoda saya dengan mengelus-elus pipi, merangkul-rangkul, atau sekadar mendesak-desakkan susunya ke tubuh saya. Dan semua tingkah mereka itu sudah menjadi alasan bagi muka saya untuk pucat pasi dan blingsatan. Rupanya kawan-kawan perempuan saya menganggap saya sebagai lelaki kampungan yang takut dengan perempuan, sehingga rata-rata mereka menganggap saya terlalu alim dengan kegiatan sehari-hari hanya belajar sebagai murid.
Sebenarnya anggapan kawan-kawan perempuan sekelas Saya itu amat salah. Sebab mereka tidak pernah tahu bagaimana licik dan jahanamnya saya dalam membawakan peran sebagai iblis brengsek yang suka bermain-main dengan perempuan secara diam-diam. Dan saya kira, hanya Mat Aksan dan beberapa kawan perempuan saya saja yang tahu tentang ke-iblis-an saya dalam soal perempuan.
Dengan jujur saya mengakui bahwa sebagai Sudrun yang penuh ke-sudrun-an, saya merasakan adanya ketidakberesan pada diri saya, terutama yang menyangkut soal perempuan. Saya sendiri tidak mengerti kenapa saya tidak memiliki rasa tertarik pada lawan jenis saya yang cantik mempesona. Keayuan wajah, kemancungan hidung, kesayuan mata, ketebalan alis mata, kelebatan bulu mata, dan keindahan bentuk bibir tidak cukup membuat saya tertarik kepada perempuan yang digolongkan cantik menurut ukuran laki-laki normal. Satu-satunya hal yang bisa saya rasakan adanya ketertarikan dengan lawan jenis saya adalah semacam amukan nafsu syahwat setiap kali saya mendekati mereka. Entah kenapa, saya selalu merasakan betapa setiap kali saya mendekati perempuan yang memiliki tubuh segar nafsu saya mesti menyala-nyala.
Keadaan jiwa saya yang seperti itu ternyata mempengaruhi gerak-gerik dan perilaku saya, khususnya terhadap perempuan. Entah mengapa, saya sering secara terus terang dan tanpa malu-malu memuji kesuburan tubuh seorang perempuan yang saya kesankan seperti kelinci besar berbulu tebal. Bahkan sering kali, tanpa bisa saya tahan-tahan, saya bicara terus terang mengemukakan keinginan saya untuk mengelus-elus ketebalan bulu mereka sebagai kelinci. Saya biasanya menawarkan alangkah baiknya andaikata saya menjadi kelinci laki-laki yang disambut hangat kelinci betina untuk berdesak-desak saling menghangatkan tubuh di tengah padang birahi.
Dalam menawarkan diri sebagai kelinci, saya tidak selalu terus terang lewat omongan. Sering saya hanya mendekati salah seorang teman perempuan saya dan kemudian mendesakkan tubuh saya ke tubuhnya. Setelah tidak ada reaksi, tangan saya mulai berkeliaran meliuk-liuk, meraba-raba, mengelus-elus, menekannekan, dan merayap seperti ular melata, menelusuri lekuk-liku dataran tinggi dan lembah mereka. Bahkan satu saat di saat ke-sudrun-an saya lepas kendali, saya mengejar dan mendesak habis-habisan teman perempuan saya sampai dia menggeliat di sudut kantor guru, sehingga beberapa orang guru menggelengkan kepala melihat keganasan saya. Salah seorang guru malah sempat menggumam, Dasar kera, sudah sekolah pun tetap saja berjiwa binatang.
Saya tidak marah dengan sindiran sinis guru itu. Saya justru merasa bahwa saya memang iblis biadab tidak punya jantung yang lebih ganas daripada binatang. Saya merasa bahwa saya memang iblis laknat, sebab setiap kali saya habis mendesak kawan perempuan saya dengan terkaman-terkaman dan belaianbelaian tangan saya yang jahannam, saya selalu mengancam mereka agar mereka sekali-kali tidak menceritakan kepada kawan yang lain tentang apa yang telah saya lakukan terhadap mereka. Karena itu, bagaimanapun jahannamnya saya, kawan-kawan saya yang belum tahu selalu menganggap saya anak baik.
Kegemaran saya untuk bermain kelinci-kelincian dengan teman-teman perempuan yang saya kenal, ternyata menjadi penyakit menular yang amat berbahaya. Buktinya, Mat Aksan yang sebelumnya adalah anak baik, mendadak saja suka berbuat seperti saya; mendesak-desak, merangkul-rangkul, mengelus-elus, meraba-raba teman perempuan dengan penuh nafsu; menyodok-nyodokkan siku ke susu perempuan; atau sekadar memagutkan bibir ke bahu mereka yang hangat. Untungnya, kebinatangan saya yang ditiru Mat Aksan itu tidak begitu berbahaya. Artinya, kebinatangan itu hanya kami lakukan sebatas raba-meraba dan rangkul-merangkul dan remas-meremas saja, tidak lebih.
Sebenarnya, saya tidak bisa mengatakan bahwa saya tidak memiliki perasaan tertarik pada lawan jenis saya. Rasa tertarik itu ada, tapi sifatnya khusus sekali. Artinya, saya hanya merasakan tertarik pada satu orang gadis yang yang menjadi kawan saya, sedang selebihnya nafsu saya yang lebih banyak bicara.
Penyakit kebinatangan saya yang membuat saya jadi iblis, kalau dipikir memang aneh dan misterius. Sebab dia tidak sekadar menebarkan virus-virus yang secara khusus diserap oleh jiwa Mat Aksan, tetapi getar kemisteriusan rasa tertarik saya pada kawan perempuan saya pun pada gilirannya menulari Mat Aksan pula. Ya, kami diam-diam mencintai satu perempuan dengan segala kemisteriusannya. Semua berlangsung aneh dan menggetarkan sepertinya kami adalah dua orang yang mengidap penyakit menular yang parah, dan gadis yang diam-diam kami cintai itu adalah dokter yang bisa menyembuhkan penyakit kami. Tapi sebagai manusiamanusia berpenyakit menular yang tahu diri, mana mungkin kami dengan terang-terangan menyatakan cinta kami dan mengharap balasannya.
Sebagai raja diraja setan jahannam, saya tergolong cukup rapi menyembunyikan kebinatangan maupun keiblisan dan ke-sudrun-an saya. Kalau Mat Aksan dalam kehidupan sehari-hari sering menunjukkan wujud mengerikan dari penyakitnya, di mana dia selalu menampakkan taringnya yang ganas yang siap mencabik-cabik mangsa, maka saya tampak lebih bisa menyembunyikan diri.
Sekalipun saya adalah raja diraja setan jahannam yang suka menggerayangi teman-teman perempuan, saya tidak sembarangan melahap mangsa. Saya memiliki semacam naluri untuk mengetahui siapa saja di antara mangsa-mangsa yang bisa saya lahap. Karena itu, dibanding Mat Aksan, saya lebih jarang memangsa, sekalipun setiap perempuan yang saya mangsa selalu menunjukkan gejala mengerikan; tubuh dan jiwanya meleleh dan melumer seperti es krim.
Satu keanehan yang saya rasakan justru yang menyangkut Ita Martina, gadis yang diam-diam begitu dicintai Mat Aksan. Saya sendiri tidak tahu apakah saya mencintai Ita Martina juga atau sekadar tertarik, entahlah, yang jelas saya merasakan suatu keanehan meliputi gadis pendiam itu dalam imajinasi saya. Boleh jadi karena saya diam-diam sering mengimajinasikan Ita Martina sebagai sesuatu yang bukan manusia, maka saya memiliki semacam kegentaran tersendiri setiap kali berhadapan dengannya. Entah bagaimana prosesnya, setiap kali saya melihat Ita Martina, saya selalu merasakan hentakan daya sihir yang kuat yang merontokkan ke-iblis-an saya. Dengan kenyataan tersebut, saya merasakan seperti hidup di dua kutub di mana pada kutub yang satu, saya seperti membutuhkan kehadiran Ita Martina untuk menghapus ke-iblis-an saya, tetapi pada kutub yang lain, saya justru selalu merasa sebagai pesakitan setiap kali berhadapan dengan Ita Martina.
Imajinasi saya yang berkumpar-kumpar tentang sosok Ita Martina makin lama makin membuat saya ngeri dan gentar sendiri. Dia saya bayangkan tidak lagi sebagai gadis cantik yang penuh kodrat kemanusiaan. Sebaliknya, saya sudah terlanjur mengimajinasikan dia sebagai bidadari yang turun dari planet asing yang jauh dan suka terbang mengitari ruang kelas dan bertengger di genteng sekolah. Dan lebih celaka, setiap kali saya menatap sorot matanya, saya selalu merasa bahwa dia seolah-olah mengetahui siapa saya sebenarnya dan kemudian pandangannya menikam saya dengan tuduh bahwa saya adalah iblis.
Mat Aksan sendiri tampaknya mencintai dengan serius Ita Martina, meski dia sudah pacaran dengan Yuyun. Kepada saya Mat Aksan sering menyatakan cintanya pada Ita Martina, sementara saya justru terlanjur terperangkap pada kesan yang amat absurd terhadap Ita Martina yang saya bayangkan sebagai bidadari dari planet asing.
Seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, pertemuan saya dengan Mat Aksan di Jl.K.H. Mas Mansyur kali itu tidak lupa membicarakan kebinatangan dan keiblisan kami, tetapi kali ini sempat menyinggung soal Ita Martina. Mat Aksan rupanya kurang yakin ketika saya mengatakan sejujurnya bahwa saya sekarang sudah terbebas dari virus kebinatangan dan keiblisan yang menguasai jiwa saya. Tapi setelah saya uraikan panjang lebar dan di antara kami memang selalu jujur satu dengan yang lain, dia pun menjadi percaya pada omongan saya meski dia seperti melihat suatu keajaiban telah terjadi atas saya.
Mat Aksan sendiri dalam pertemuan itu menceritakan panjang-lebar tentang pengalamannya sebagai manusia pengidap virus kebinatangan dan keiblisan yang tidak sembuh, malah semakin parah. Dengan diseling-selingi humor di sana-sini, Mat Aksan menceritakan petualangannya sebagai binatang, yang jika dipaparkan seperti ini:
Waktu saya masih kuliah, Drun, saya memang jarang menguyel-uyel kawan sesama mahasiswi. Tetapi, beberapa orang di antara mereka, sempat saya ciumi, tapi saya tidak berani bertindak lebih lanjut. Entah kenapa, saya takut kalau nanti ada di antara mereka yang hamil. Saat itu, satu-satunya perempuan yang menjadi objek pelampiasan nafsu kebinatangan saya adalah pembantu bibi saya, seorang janda yang bodynya selalu membuat tegak kuping saya. Dia punya nama Atik. Atik memang tidak cantik dan tidak keren seperti mahasiswi teman-temanku. Tetapi body-nya, jangan ditanya. Kalau dia sedang bernapas, misal, dadanya turun-naik berguncang-guncang. Itu yang selalu membuat jantung saya berdegup-degup memompa aliran darah saya sangat keras.
Atik yang janda itu, sepertinya sengaja memancing-mancing hasrat kelelakian saya setiap kali saya di dekatnya. Sering dia hanya membelitkan handuk di tubuhnya yang segar sehabis mandi. Lalu dengan tubuh dibikin melenggak-lenggok, dia berjalan di depan saya seperti memamerkan dendeng kepada kucing. Tentu saja darah saya tersirap dan memancar dengan kecepatan 1000 kilometer per menit. Suhu di tubuh saya pun serentak melonjak dari 36 derajat celsius menjadi 120 derajat celcius, melebihi air mendidih. Tegangan stroom di tubuh saya juga meningkat frekuensinya dari 1.5 volt menjadi 360 volt. Itu sebabnya, serta merta, Atik yang janda itu pun saya sergap dan saya terkam habis-habisan sebagai mangsa. Anehnya, napas saya megap-megap dan tubuh saya lemas, kehilangan daya dan kekuatan meski mangsa sudah berada dalam terkaman.
Seperti serigala lapar, dengan napas megapmegap saya jepit tubuh Atik ke tembok. Hidung saya mengembang seperti serigala membaui darah segar. Lalu tanpa dapat saya tahan, taring-taring saya terhunjam ke leher Atik. Liur saya menetes. Dan sekejap kemudian saya sudah menggigit dan meraung.
Sayang sekali, di saat saya sudah melolong-lolong dan meraung-raung hendak mengunyah-kunyah dan menelannya, mendadak saja Atik menolak untuk saya makan habis-habisan meski tubuhnya sudah meleleh seperti gelali. Atik bilang, dia takut perutnya akan menggelembung seperti balon karena berisi bayi, padahal dia tidak mau menanggung risiko menggugurkan bayi di dalam perutnya. Untungnya, kebinatangan saya segera mereda dan saya sadar sebagai Mat Aksan kembali. Dan yang lebih beruntung lagi, Atik akhirnya meminta berhenti dari bibi saya, karena dia merasa harus menghindari setan terkutuk seperti saya yang setiap saat selalu siap menyantapnya bulat-bulat.
Kamu kelabakan" tanya saya ingin mengetahui reaksi Mat Aksan sewaktu Atik si janda molek itu berhenti bekerja.
Beberapa saat saya memang kelabakan, karena saya tidak mempunyai objek mainan yang bisa saya sergap dan saya kunyah-kunyah, sahut Mat Aksan.
Tapi apa kamu masih terus membinatangkan diri" tanya saya.
Saya tidak mampu mengelak, kata Mat Aksan menarik napas panjang, Saya selalu merasa seperti terseret arus yang kuat dan tak mampu melawannya. Saya seperti seekor tupai yang dimasukkan ke dalam sangkar putar, di mana saya selalu berlari di tempat tanpa bisa keluar dari sangkar meski saya sudah kelelahan. Saya sadar bahwa semua itu bukan suatu kebebasan, melainkan justru suatu keliaran! Kebuasan! Kebinatangan! Keiblisan!
Apakah kamu pernah melakukan kebinatangan dengan serta merta terhadap perempuan yang belum pernah kamu kenal" tanya saya lagi mengukur tingkat kebinatangan Mat Aksan.
Pernah, kata Mat Aksan polos.
Saya menelan ludah. Tenggorokan saya terasa kering oleh gumpalan napas yang menyesakkan. Saya menyadari benar bahwa segala hal yang berkenaan dengan kebinatangan Mat Aksan tidak terlepas sama sekali dari kebinatangan saya. Sebab sayalah penyebar virus kebinatangan dan keiblisan jahannam itu kepada Mat Aksan. Sekalipun sekarang ini ke-sudrun-an Saya telah menghapus habis kebinatangan dan keiblisan itu, saya tetap merasa berdosa setiap kali saya menjumpai Mat Aksan yang pernah saya tulari virus kebinatangan dan keiblisan itu.
DUA K alau mau mencari Allah, belajarlah dari
iblis! Bisikan misterius itu kembali mengganas seperti menjebol dinding-dinding otak saya. Namun karena kebetulan saya membicarakan soal Ita Martina dengan Mat Aksan, maka saya merasa bahwa sebaiknya saya alihkan saja bisikan itu dengan menghunjamkan pikiran saya ke kilasan bayangan Ita Martina. Sungguh, bagi saya membayangkan sosok Ita Martina lebih baik daripada diburu-buru bisikan laknat itu. Dan seperti biasa, imajinasi saya pun mulai terbang ke gugusan awan kapas mendendangkan musik indah dari kerajaan surgawi, dengan sosok Ita Martina menari-nari gemulai di lingkaran imaji saya.
Saya sendiri tidak tahu pasti apakah Ita Martina yang sekarang ini masih seperti Ita Martina sepuluh tahun silam, gadis pemalu yang tidak suka bicara, mudah gugup, tak suka bergaul tapi kuat pendirian. Sifat Ita Martina yang introvet itu mau tidak mau telah membetot naluri saya yang suka menyingkap-nyingkap suatu kemisteriusan.
?"?" Jika diawali dari cerita awal, pada mulanya saya menganggap Ita Martina tidak lebih sebagai gadis cantik yang memang patut untuk ditaksir laki-laki normal yang otak dan jiwanya waras. Hampir setiap lakilaki yang ada di kelas saya tak pernah luput membaui keharuman Ita Martina sebagai mawar indah, termasuk saya. Tetapi Ita Martina bagaikan mawar beracun yang dilingkari duri yang enggan dipetik. Dia laksana kuntum mawar yang tersenyum menganggukangguk, menertawakan kumbang-kumbang jantan yang mendengung di sekitarnya.
Keanehan Ita Martina itu benar-benar menjadi misteri bagi saya pribadi. Bahkan karena keanehannya, saya sering memperoleh kesan; jangan-jangan Ita Martina itu bukan manusia, tetapi sebaliknya adalah bidadari atau mahkluk aneh dari planet asing yang menjelma ke dunia sebagai manusia bernama Ita Martina. Dengan kesan semacam itu, sering saya kesankan Ita Martina memiliki sepasang sayap yang indah, dan tubuhnya tidak terbentuk dari bahan darah dan daging, tetapi dari sejenis lilin.
Kesan saya yang menganggap Ita Martina sebagai bidadari atau manusia planet bertubuh lilin, sekalipun tidak sesuai dengan nalar saya, toh pada gilirannya memojokkan saya ke suatu anggapan bahwa Ita Martina memang bukan manusia. Kulitnya yang kuning keputihan selalu saya kesankan sebagai lilin yang akan mudah leleh dan rusak apabila disentuh secara sembrono dan sembarangan. Dan sekalipun otak saya mengatakan Ita Martina adalah makhluk manusia yang tubuhnya terdiri dari darah dan daging, toh secara utuh saya mengesankannya sebagai lilin.
Karena kesan saya bahwa tubuh Ita Martina terbuat dari lilin, maka saya selalu merasa giris apabila dia bercanda dengan Surini, kawan sebangkunya. Kalau dia sudah bercanda dengan Surini, maka dia akan suka sekali mencubit. Dan saya mesti menahan napas apabila Surini membalas dengan cubitan, sebab saya merasa bahwa tubuh Ita Martina yang terbuat dari lilin itu tentu akan rusak apabila dicubit. Dan saya pun lantas memejamkan mata setiap kali melihat Surini mencubit Ita Martina, karena saya tidak bisa membayangkan bagaimana bekas cubitan itu akan bolong. Dan sungguh saya tidak bisa membayangkan, bagaimana dari tangan Ita Martina yang bolong itu akan mengalir cairan kuning yang hangat; cairan lilin.
Kesan saya bahwa Ita Martina bukan manusia pada gilirannya membuat saya terjatuh pada kesan yang sangat absurd tentangnya. Selain saya selalu beranggapan bahwa tubuh Ita Martina terbuat dari lilin, paling tidak tentulah dia tidak memiliki kodrat seperti sewajarnya makhluk jenis manusia. Artinya, saya selalu menganggap bahwa Ita Martina yang tubuhnya terbuat dari lilin itu tidak mungkin bisa berak, kencing, apalagi kentut seperti manusia. Saya benar-benar telah terperangkap pada imajinasi saya yang keliru, tetapi sulit saya hapus.
Dibayangi kesan keliru, satu ketika saya pernah memergoki Ita Martina memasuki kamar kecil sekolah yang letaknya bersebelahan dengan kantor tata usaha sekolah. Pikiran waras saya langsung mengatakan bahwa Ita Martina masuk ke kamar kecil mestilah hendak kencing atau sekadar berak. Tapi imajinasi dan perasaan saya menolak akal waras saya. Ita Martina, menurut imajinasi saya, tidak mungkin kencing, berak apalagi sekadar kentut di dalam kamar kecil itu. Dia adalah seorang bidadari. Dia adalah gadis aneh dari planet asing yang tubuhnya terbuat dari bahan lilin. Mana mungkin makhluk planet yang tubuhnya terbuat dari bahan lilin bisa kencing, berak, kentut"
Sekalipun otak saya berkata bahwa Ita Martina masuk ke kamar kecil sekolah adalah untuk kencing atau berak, toh perasaan saya tetap menolaknya. Saya tidak yakin bahwa Ita Martina bisa berak, kencing atau kentut. Karena itu, dengan mengendap-endap saya melesat ke kamar kecil sekolah yang diperuntukkan bagi siswa laki-laki yang letaknya bersebelahan dengan kamar kecil untuk siswi perempuan. Di dalam kamar kecil, buru-buru saya mendekati dinding pemisah kamar kecil laki-laki dan kamar kecil perempuan. Lalu secepat kilat saya tempelkan kuping saya ke dinding untuk mendengar suara-suara dari kamar kecil di sebelah, di mana Ita Martina berada.
Darah saya terasa macet seketika waktu mendengar suara semburan air memancar sayup-sayup di seberang dinding yang menandakan bahwa Ita Martina benarbenar sedang kencing. Saya termangu-mangu cukup lama mencari keterkaitan antara akal dan perasaan saya yang sulit dikompromikan itu. Akhirnya, akal saya menyimpulkan bahwa Ita Martina bagaimanapun adalah seorang manusia biasa, manusia yang tubuhnya terbuat dari bahan daging, manusia yang bias berak, kencing, dan kentut. Itu fakta. Jangan diputar-putar lagi dalam imajinasi liar. Celakanya, sejak kejadian itu, Ita Martina seperti mengetahui perasaan dan kecamuk pikiran yang menggejolak di dalam diri saya, sehingga untuk masuk ke kamar kecil pun dia mesti melihatlihat apakah saya ada atau tidak. Kalau dia tidak melihat bayangan saya, maka dia akan masuk ke kamar kecil. Sebaliknya, kalau dia melihat saya, sampai usai jam sekolah dia tidak akan sudi masuk ke kamar kecil sekolah.
Terus terang, saya memang agak kecewa setelah mengetahui bahwa Ita Martina bisa kencing. Dan kekecewaan Saya itu makin meningkat ketika saya sering mendapatinya menyontek dalam setiap ulangan. Waduh, betapa lihainya dia kalau menarik buku dari bawah bangku. Tapi lagi-lagi otak saya mengatakan bahwa sebagai manusia adalah wajar kalau Ita Martina menyontek. Sementara jauh di lubuk hati saya, selalu tercekam kesan bahwa Ita Martina seharusnya pintar seperti bidadari atau gadis planet yang jenius, di mana dengan ucapan abrakabrada atau alakazam , dia harusnya sudah mengetahui jawaban dari setiap soal yang diujikan. Tapi faktanya tidak demikian yang terjadi. Begitulah otak saya dalam merekam kesan, selalu Saya dapati tidak sejalan dengan perasaan saya, sehingga semua pikiran dan perasaan yang tidak selaras itu menjadikan saya kalang kabut dalam banyak hal.
Kecantikan Ita Martina yang membuatnya banyak ditaksir laki-laki, pada gilirannya memang menimbulkan keiri-hatian kawan-kawan perempuan saya yang lain. Sering saya mendapati mereka ngrasani Ita Martina dengan hal-hal yang jelek, meski keadaan tersebut tidak mengurangi respek para laki-laki terhadap Ita Martina yang tidak suka mengobral diri. Ita Martina adalah Ita Martina; gadis aneh yang kolot, tradisional, alami, sok gengsi, angkuh, dan jual mahal meski tidak cerdas.
Sifat Ita Martina yang aneh tetap tidak menurunkan kesan saya terhadapnya. Sekalipun saya tidak lagi membayangkan dia sebagai bidadari atau gadis planet yang aneh, saya cenderung membayangkan dia sebagai puteri kraton antah berantah yang agung, pemalu, angkuh, dan suka jual mahal. Meskipun sudah saya kesankan sebagai puteri, saya tetap tidak bisa membayangkan bahwa tubuhnya terdiri dari daging yang dilapisi kulit lembut. Saya selalu mengesankan bahwa tubuh Ita Martina terbuat dari lilin. Dan itu sudah cukup membuat saya serba salah, sebab saya selalu mendapat kesan bahwa saya akan selalu merusakkan tubuhnya apabila saya menyentuhnya. Bahkan dalam bayangan pun, saya tidak berani membayangkan dia menjadi pacar saya; karena saya takut kalau dia menjadi pacar saya, tubuhnya akan rusak oleh kekasaran saya ketika meraba, mengelus, meremas tangannya.
Dengan berbagai kenyataan terkait kesan saya tentang Ita Martina tersebut, saya akhirnya hanya bisa menyimpan sosok Ita Martina dalam relung-relung imajinasi Saya. Tetapi demi Tuhan, saya tak pernah membayangkan dia seperti keiblisan saya. Paling jauh, saya hanya berani membayangkan bisa mencium pipi Ita Martina, itu pun dengan kehati-hatian luar biasa karena saya khawatir pipinya tertekan keras dan melesak ke dalam. O sungguh saya tidak bisa membayangkan, bagaimana Ita Martina dengan pipi penyok seperti bumper mobil sedan ketabrak truk. Saya pun tidak mampu membayangkan akan mencium bibirnya dengan sangat bernafsu, sebab saya takut bibirnya akan putus oleh ciuman saya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana Ita Martina tanpa bibir.
Sekarang ini, setelah sepuluh tahun tidak pernah lagi bertemu karena Ita Martina sudah bekerja di luar kota, saya sadari bahwa kesan saya tentangnya selama itu ternyata keliru. Hal itu baru saya ketahui setelah saya beromong-omong dengan Surini, teman duduk sebangku Ita Martina. Betapa Surini mengungkapkan bahwa Ita Martina tidaklah selemah yang sering dibayangkan orang selama ini, termasuk yang saya bayangkan. Ita Martina, menurut Surini, memiliki tenaga yang luar biasa kuatnya. Dulu, katanya, waktu ada pelajaran olahraga dengan lari keliling lapangan, Surini mengaku sudah hampir putus napasnya waktu keliling lapangan dua kali, tetapi Ita Martina dengan tenang terus melaju seperti seekor kuda betina, mengitari lapangan sampai lima kali.
Saya tentu saja kaget dengan keterangan Surini itu. Tapi, bagaimanapun saya mesti percaya, karena Ita Martina memang kelihatan kukuh tubuhnya meski saya mengesankannya seperti lilin. Dan Surini pun menceritakan, betapa dia pernah diremas lengannya oleh Ita Martina sampai dia meringis kesakitan. Menurutnya, remasan tangan Ita Martina hampir mirip dengan catok baja yang bisa meremukkan tulang belulang. Waktu itu saya tanya apakah Ita ikut karate" gumam Surini mengenang, Tapi dengan mata mendelik, dia menyatakan tidak ikut bela diri apapun.
Begitulah dari kenyataan demi kenyataan, akhirnya Surini mendapat kesan bahwa Ita Martina sejatinya adalah seorang Bionic Woman. Bahkan Surini pernah bercerita kalau Ita Martina pernah suatu kali menekuk sebatang besi dan meremukkan batu dengan hanya diremas-remas. Surini juga menyaksikan bagaimana dinding penyekat kantin yang terbuat dari batu bata roboh berantakan gara-gara disenggol Ita Martina. Sungguh, ini informasi yang luar biasa yang menggugurkan semua kesan yang sudah saya bangun bertahun-tahun. Tetapi, benar dan tidaknya penuturan Surini, saya tetap sulit menghapuskan kesan ke-lilinan tubuh Ita Martina. Bagi saya, Ita Martina tetaplah gadis lilin yang gampang rusak bila disentuh.
Nah, ketika jiwa saya makin dicakari oleh bisikan setan terkutuk itu, saya berusaha mencari suatu pegangan yang bisa saya pakai untuk melenyapkannya. Dan pegangan itu yang saya kira relevan adalah Ita Martina, yang sepengetahuan saya belum kawin meski umurnya tergolong tua untuk ukuran gadis Jawa. Ya, umur 28 tahun memang sudah dianggap lajang bagi kebiasaan pandang orang Jawa, meski saya tidak tahu apakah Ita Martina memang tidak mau kawin dengan manusia karena dia adalah bidadari dari planet asing. Yang jelas, saya merasa bahwa saya sekarang ini sedang mencari pegangan yang bisa saya pakai untuk menyingkirkan bisikan terkutuk yang hampir membuat saya gila itu.
Atas persetujuan kawan-kawan, termasuk Surini dan Mat Aksan, saya menyelenggarakan reuni kelas di rumah Badillan. Dan sungguh tidak saya bayangkan, Ita Martina ternyata datang juga. Saya heran, ternyata dalam tempo sepuluh tahun ini hanya tampang saya yang sudah berubah sangat drastis; mirip monyet tua yang penuh bulu-bulu putih seperti Resi Kapiwara. Sementara Ita Martina dan kawan-kawan yang lain masih sangat remaja meski gurat-gurat kedewasaan membayang di wajah mereka. Bahkan Ita Martina sendiri tampaknya seperti gadis berusia belasan tahun, yang hal itu terjadi mungkin karena dia tergolong bidadari yang selalu muda.
Kesan saya tentang Ita Martina ternyata tidak berubah secuil pun. Tetapi sekarang ini, lewat Surini, saya sedikit banyak mengetahui tentang dia. Misalnya saja, selama ini saya selalu menganggap bahwa Ita Martina memiliki kaitan dengan nama Martina Navratilova, tokoh kampiun tenis dunia. Tetapi kesan saya mestilah salah, sebab sewaktu Ita lahir, Martina Navratilova belum menjadi juara dunia tenis sehingga namanya tidak dikenal orang.
Menurut Surini, nama Martina berkaitan dengan bulan Maret di mana Ita Martina dilahirkan. Diamdiam saya kagum dengan bapaknya yang memberi nama Martina untuk mensublimasikan bulan Maret; sebab tentulah nama Ita akan lucu kalau semisal diganti Ita Maretina, Ita Maretinem, Ita Maret-Ini, dan Ita Maret-Itu. Dan nama Ita sendiri tampaknya disodokkan begitu saja oleh bapaknya untuk menambah puitisnya nama itu, meski tidak tahu benar apa maknanya.
Setelah acara reuni itu, saya sempat kelabakan karena bisikan terkutuk itu terus saja memburu saya sehingga mau tidak mau saya harus memperkuat objek yang saya jadikan pegangan. Dan objek itu, yang sudah saya tetapkan adalah Ita Martina. Demikianlah, diam-diam saya mulai memburu Ita Martina seperti seekor kucing memburu tikus. Saya berusaha deteksi keberadaannya di rumahnya yang terletak di Lawang Sekateng XIII Nomer 1530. Kemudian saya pantau pula tempat kerjanya di Bank Perkembangan Kota di kota Jombang, tepatnya di Jl. Wahid Hasyim 1836. Akhirnya setelah memperoleh kepastian, saya pun menulis surat di mana dalam surat itu saya paparkan apa adanya tentang kesan saya terhadapnya. Dan gilanya, dalam surat itu saya kemukakan keinginan saya agar Ita Martina bersedia menjadi pacar Mat Aksan dan pacar saya. Bahkan dengan terus terang saya kemukakan betapa besarnya keinginan Mat Aksan dan saya untuk memilikinya.
Saya sungguh tidak bisa membayangkan, bagaimana apabila saya bisa memiliki Ita Martina sebagai istri. Yang jelas dengan tubuh Ita Martina yang terbuat dari lilin itu, saya akan bisa hidup dalam suasana yang penuh kreatif dan imajinatif, sehingga saya akan selalu setia menjadi suaminya dan dia akan tetap saya jadikan istri saya satu-satunya. Dan semua itu, tentu bertolak dari ke-lilin-an tubuh Ita Martina sendiri.
Terus terang, dengan tubuh Ita Martina yang terbentuk dari lilin itu, saya akan bisa mengembangkan aspek kreatif dan imajinatif saya. Sehingga kalau dia menjadi istri saya, maka saya pun tentu akan bergembira ria. Satu saat, misalnya, saya akan bisa melumat-lumat tubuh Ita Martina hingga menjadi gumpalan lilin. Kemudian dari lilin itu akan saya bentuk model-model yang indah tiruan dari artis Kim Basinger, Kathleen Turner, Joddie Foster, Pamela Bordes, dan sederet perempuan cantik yang lain, sehingga saya benar-benar bisa menikmati banyak tubuh perempuan lewat tubuh Ita Martina yang terbuat dari lilin. Dan dengan kenyataan seperti itu, tentulah saya tidak akan pernah bosan memiliki istri yang tubuhnya bisa saya bentuk dalam berbagai wujud dan rupa sesuai imajinasi saya. Ahai, betapa nikmatnya memiliki istri yang tubuhnya bisa berubah-ubah dalam berbagai bentuk.
Membayangkan Ita Martina sebagai istri memang teramat indah meski sering harus absurd. Sebab sebagai manusia bionic yang bertubuh lilin, rasanya saya tidak perlu lagi menyiapkan dana khusus untuk pengobatan.
Bukankah manusia lilin tak perlu sakit" Kalaupun tubuhnya agak meriang, cukuplah beristirahat di tempat yang sejuk akan sembuh sendiri.
Celakanya, dengan kelilinan tubuh Ita Martina, saya tidak mungkin akan melakukan ibadah haji bersama Ita Martina. Sebab tubuhnya yang dari lilin itu tentulah akan leleh apabila dibakar matahari di Arab yang panasnya na udzubillah. Dan yang lebih celaka lagi kalau apa yang diomongkan Surini adalah benar; yakni Ita Martina sebagai perempuan yang memiliki kekuatan raksasa. Sungguh tangan saya bisa patah ditekuk-tekuknya. Rambut saya akan rontok apabila dijambaknya. Dan sungguh tak bisa saya bayangkan, bagaimana jadinya kalau dia marah dan saya dibanting dan diinjak-injaknya.
Sebenarnya, dengan semakin membayangbayangkan Ita Martina, saya justru semakin merasa ngeri dan gentar. Sebab mau tidak mau saya mesti membayangkan dia sebagai mahkluk dari planet asing atau sekadar bidadari. Dengan demikian, saya seperti benar-benar dihadapkan pada mimpi buruk yang mengerikan; di satu sisi saya sangat mengharapkannya, tapi di sisi lain saya sangat ngeri dibuatnya. Tetapi, karena saya sudah terlanjur mengirim surat, maka pantang bagi saya untuk surut langkah.?"?"
Kemunculan bayangan Ita Martina yang tiba-tiba dari gugusan alam bawah sadar saya, makin lama makin terasa memenuhi seluruh hidup Saya. Bayangan Ita Martina semakin saya bayang-bayangkan semakin bersemayam di relung-relung otak saya, sehingga bayangan itu seperti keluar masuk mengikuti napas saya. Anehnya, saya tiba-tiba merasakan seperti diseret arus magnet yang amat kuat untuk terus menerus menggumuli bayangan Ita Martina.
Keterbelengguan jiwa saya oleh bayangan Ita Martina pada dasarnya tidak terlepas sama sekali dari kenekatan saya dengan mengirim surat kepadanya. Betapa dengan kenekatan tersebut saya akhirnya seperti terperangkap pada dilema yang sulit dipecahkan. Di satu pihak saya seolah-olah membabi buta mengharapkan sesuatu berlangsung indah dan saya membayangkan berhasil meraihnya, sementara di lain pihak saya justru merasa bahwa ada sesuatu yang misterius yang tidak mungkin menyatukan saya dengannya. Akhirnya tidak ada jalan lain yang harus saya lakukan kecuali mengatakan secara terus terang kepada Mat Aksan maupun Surini masalah saya dengan Ita Martina, di mana yang terakhir ini tertawa terpingkal-pingkal mengetahui kekonyolan saya.
Tetapi, apapun risiko dari menggeluti bayangan Ita Martina, yang jelas saya merasakan seperti mendapat keringanan beban dari bisikan terkutuk yang menyesatkan itu. Dengan membayangkan sosok Ita Martina, bisikan misterius yang mendorong agar saya belajar kepada iblis itu sedikit bisa saya alihkan. Karena itulah, saya merasa perlu berspekulasi sekaligus meraih sejumlah keuntungan kalau mungkin. Dan saya sadar, bahwa apa yang saya lakukan itu tidak lain adalah bentuk nyata dari kebiadaban saya.
Wujud lain dari kenekatan saya adalah ketika saya dengan tiba-tiba dan di luar perhitungan saya, menelepon Ita Martina di kantornya. Dengan telepon yang tak terduga itu, Ita Martina kelihatan terkejut. Rupanya dia tidak menduga akan kenekatan yang saya lakukan, sehingga pembicaraan yang berlangsung lewat telepon itu benar-benar kacau. Saya sendiri menjadi nervous, dan membayangkan Ita Martina bertindak seperti gadis planet yang melancarkan interogasi kepada saya.
Rasanya, baru sekali itu saya melakukan komunikasi dengan orang lain secara kacau dan membingungkan. Saya kira bukan karena apa, tetapi saya sudah dibebani semacam bayangan yang absurd tentang sosok yang saya ajak bicara. Dan begitulah omongan saya dan Ita Martina ibarat omongan anak SMP yang kacau dan sumbang nadanya. Bahkan terkesan cengeng sekali.
Omongan saya dengan Ita Martina sendiri memang lebih terkesan kacau, di mana dia dengan tegas dan ringkas berbicara sambil sesekali terpenggalpenggal. Saya seperti mendengar suara super stereo dari antariksa lewat high-frequency yang membuat denyut jantung saya berdegup-degup.
Saya dengar-dengar sampean mau kawin ya, kata saya asal ngomong.
O iya, memang, sahut Ita Martina agak bingung.
Kapan kira-kira" tanya saya bodoh.
Tunggu saja tanggal mainnya, seru Ita Martina seolah-olah menjelaskan tanggal main sebuah bioskop, Lhaa sampean sendiri kapan kawinnya"
Wah kalau saya menunggu sampean saja, sahut saya cepat.
Ita Martina tampak gelisah dengan jawaban saya, meski dari desah napasnya Ita Martina kelihatan jengkel. Dan dengan tenang dia berkata, Kenapa sampean memilih saya" Toh di Surabaya banyak gadis yang lebih cantik dari saya.
Saya sendiri tidak tahu, kenapa saya mesti memilih sampean. Yang jelas sejak SMA dulu saya sudah melihat sampean sebagai sesuatu yang aneh. Saya lihat sampean seperti bidadari dari planet asing yang jauh.
Ita Martina terdiam kebingungan dengan jawaban saya.
Sampean tidak marah kan kalau saya cintai" tanya saya agak geli mendengar kebodohan omongan saya sendiri.
O tidak! sahut Ita Martina cepat, Untuk apa marah"
Jadi tidak apa-apa ya saya naksir sampean" Ya tidak apa-apa, dan tidak ada yang melarang. Saya termangu kehabisan bahan pembicaraan. Dan akhirnya setelah sekitar dua puluh menit omongomongan, saya dan Ita memutuskan untuk menyelesaikan pembicaraan. Saya mendapati tubuh saya seperti remuk tanpa bentuk. Saya merasa seperti habis dipermak kenpetai. Baju saya basah kuyub disimbah keringat. Tetapi, saya merasa lega karena bendungan yang selama ini menggumpal di sumbatan jiwa saya telah bobol dan mengalir entah ke mana.
Sebenarnya, sejak awal saya mengirim surat, saya sudah menceritakan apa adanya tentang keberadaan saya maupun Mat Aksan. Kepadanya saya jelaskan bahwa Mat Aksan adalah seorang sarjana yang bekerja di bagian keuangan sebuah departemen di Jl. Kendangsari, di mana dengan kedudukan tersebut Mat Aksan memiliki masa depan cemerlang di samping pribadinya memang baik. Sementara tentang saya sendiri, dengan jujur saya katakan apa adanya bahwa saya adalah Sudrun yang hidup penuh tantangan dan banyak lawan karena ke-sudrun-an saya. Saya jelaskan bahwa kerja saya tidak menentu, ibarat orang mengguncang pohon asam. Dengan kejelasan saya itu, saya berharap Ita Martina bisa berpikir secara sehat dan memilih Mat aksan yang memiliki masa depan cerah.
Saya memang mengharap dan selalu berdoa agar Ita Martina bersedia menerima cinta Mat Aksan dan mau dijadikan istrinya. Sebab bagi saya sendiri adalah tidak mungkin bisa dicintai Ita Martina, karena di samping saya dikenal brengsek dan sudrun, saya juga hidup tak tentu tujuan. Karena itu, semua yang berkaitan dengan harapan dan cinta saya, biar pupus sendiri dan kemudian gugur seperti daun-daun kering jatuh dari pohonnya.
Karena hidup saya penuh tantangan dan ketidakpastian, maka saya sadari benar bahwa adalah suatu dosa kalau saya menyeret gadis sebaik Ita Martina ke dalam kancah kehidupan saya yang semrawut dan penuh ketidak-pastian. Ya, saya berharap agar Ita Martina selalu hidup dalam ketenteraman bersama suami yang setia dan anak-anak yang nakal. Kalaupun saya mencintainya, maka saya lebih suka melihat dia hidup bahagia bersama orang lain daripada hidup menderita bersama saya.
Saya sendiri sebenarnya heran, kenapa selama ini saya tidak pernah merasakan apa yang disebut cinta. Saya hanya merasakan suatu ketertarikan yang luar biasa pada suatu objek, terutama yang saya anggap aneh dan absurd. Dan ketertarikan saya pada Ita Martina, benar-benar menerkam jiwa saya sehingga saya sendiri heran. Dan ketika saya tanyakan kepada beberapa orang tentang ketertarikan saya pada objek yang bernama Ita Martina, mereka mengatakan bahwa mungkin saja itu yang dinamakan cinta.
Kalau gejolak perasaan saya terhadap keanehan Ita Martina dikatakan cinta, saya pun masih ragu-ragu. Saya hanya merasa bahwa Ita Martina adalah objek yang sangat menarik perhatian saya karena keanehannya, yang hal tersebut berkait erat dengan naluri saya yang suka menyingkap-nyingkap sesuatu yang selama ini lebih banyak saya salurkan untuk menyingkap buku-buku. Nah, kalaupun nanti saya bisa menjadikan Ita Martina sebagai istri, tentulah saya akan lebih bebas menyingkap-nyingkapnya. Satu demi satu pakaian penutupnya akan saya singkap. Lalu organ tubuhnya akan saya preteli dan saya lihat dengan mikroskop, karena mungkin di tubuhnya terselip organ dari planet asing.
Alhasil, dengan kenyataan yang berkumparkumpar dengan keberadaan saya dan Ita Martina, maka saya pun menganggap saja diri saya sebagai peneliti setingkat Skinner. Dan karena itulah saya diamdiam menyuruh adik saya untuk mengirimkan sebuah boneka kelinci kepada Ita Martina, tepat di hari ulang tahunnya.
Adik saya sendiri heran, kenapa saya bisa mengirim sebuah boneka kepada seorang gadis, padahal hal itu langka sekali. Saya katakan saja terus terang bahwa saya mencintainya. Tapi adik saya menyatakan bahwa Ita Martina kelihatannya sudah punya pacar yang tidak lain adalah kawan sekantornya.
Saya tercekat dengan penjelasan adik saya, tetapi diam-diam saya merasa bersyukur kalau Ita Martina memang sudah berpacaran dan akan kawin. Kalaupun dia kawin, tentulah dia tidak sembarangan memilih orang; tentunya yang dipilihnya adalah lakilaki yang tampan, gagah, cerdas, kaya, dan simpatik.
Diam-diam saya tersenyum sendiri mengingat boneka kelinci yang saya kirim. Sebab boneka itu sebenarnya saya peroleh dengan mengutang pada adik saya, karena kebetulan saya sedang kantong kempes. Dengan uang utangan itulah saya diantar adik saya ke toko Sanrio. Dan adik saya ketika itu hanya gelenggeleng kepala ketika saya katakan kalau saya ingin memberi hadiah ulang tahun kawan gadis saya.
Adik saya yang tinggal di kota Mojokerto dan menjadi menantunya seorang camat itu, diam-diam memantau gerak-gerik Ita Martina untuk memastikan apakah dia sudah punya pacar atau belum. Dan hasilnya, dia menelepon saya bahwa Ita Martina memang kelihatannya sudah punya pacar; sebab sering dia diantar jemput oleh seorang lelaki muda yang simpatik dengan mobil.
Tawa saya meledak mendengar uraian adik saya meski saya agak kecewa karena terlalu sembrono menggempur orang tanpa tahu posisi. Tapi bagaimanapun saya merasa sangat bahagia kalau Ita Martina memang segera kawin, karena bagaimanapun saya sempat mendengar bisik-bisik dari tetangga-tetangganya yang membicarakan kebelum-kawinannya sampai usia 28 tahun. Nah, dengan secepatnya dia kawin, tentulah bisik-bisik itu tidak akan menebar lagi; apalagi kalau calon suaminya adalah pimpinan bank yang kaya dan simpatik serta bermasa depan cemerlang.
Akhirnya, saya pun menelepon Ita Martina. Tetapi dia sudah dipindah ke bank cabang di kota lain. Setelah sekitar lima menit saya cari, akhirnya saya menemukan nomer teleponnya. Dan saya pun berbicara dengan Ita Martina yang selalu beralasan sibuk dan belum sempat membalas surat saya. Adapun dari berbagai omong-omong selama ini isinya jika diringkas kira-kira sebagai berikut:
Ketahuilah, wahai Sudrun, sewaktu suratmu saya terima saya merasakan bumi tempat saya berpijak melorot ke bawah. Saya membolak-balik suratmu seolah saya tidak yakin bahwa kamu bisa begitu berani mengirim surat kepada saya. Dan ketahui pula, Sudrun, bumi ini saya rasakan berputar seperti dreimollen ketika kamu menelepon saya untuk yang awal sekali. Saya seperti tidak yakin bahwa kamu bisa begitu berani menelepon saya.
Saya mengucapkan terima kasih untuk semua yang kamu berikan kepada saya. Saya mengucapkan terima kasih atas undangan makan-makan dalam reuni. Saya juga mengucapkan terima kasih karena keberanian kamu menyatakan cinta kepada saya. Saya juga mengucap terima kasih atas kiriman bonekanya. Pokoknya, saya terima kasih untuk semuanya. Semuanya.
Ketahuilah, Sudrun, bahwa seperti yang kamu alami dengan bayangan saya maka saya pun demikian halnya. Saya selama ini selalu membayang-bayangkan bahwa kamu bukanlah makhluk dari planet bumi. Saya tidak tahu apa nama planet tersebut, yang jelas saya yakin, planet itu adalah planet yang belum mapan seperti bumi sehingga makhluk-makhluk penghuninya masih mengalami proses evolusi.
p u s t a k a i n d o . b l o g s p o t . c o m
Terus terang, saya selalu merasa gentar setiap kali melihat kamu seolah-olah kamu adalah makhluk buas yang mengerikan yang siap mencabik-cabik tubuh saya. Saya tidak mengerti kenapa saya mempunyai perasaan seperti itu. Yang jelas saya selalu mengingat tokoh Tarzan setiap saya melihat kamu. Saya sungguh tidak sopan kalau mengatakan terus terang kepadamu tentang kesan saya. Tapi saya tidak bisa lagi menyembunyikan lagi kenyataan bahwa film Tarzan itulah yang membentang di benak saya setiap kali saya melihatmu; entah itu tokoh Tarzan atau tokoh pembantu, yang jelas di film itu.
Sejak saya kecil saya memang menyukai film-film dan dongeng humanis seperti Tarzan. Oleh karena itu, ketika bioskop-bioskop memutar film humanis yang berjudul King Kong saya pun buru-buru menonton. Saya suka sekali dengan tokoh King Kong yang gagah itu. Tapi maaf, saya sering membayangkan bahwa yang menjadi pemeran utama dalam film King Kong tersebut adalah kamu. Ya, saya bayangkan kamu dengan tubuh meraksasa menjadi King Kong yang baik hati.
Saya sendiri heran, kenapa saya suka tertarik dengan bentuk-bentuk seperti King Kong dan kera peliharaan Tarzan. Saya tidak tahu. Yang jelas, saya selalu merasa kagum dengan gerakannya yang gesit dan kuat. Dan karena itu pula, diam-diam saya mengagumi kamu seperti saya mengagumi keranya Tarzan dan King Kong. Saya bayangkan kamu melompat-lompat dari atap rumah satu ke atap rumah yang lain, kemudian melesat di antara dahan-dahan pepohonan. O betapa lucunya kalau kamu mengupas pisang dan memakannya dengan mata berkedip-kedip.
O ya, perlu kamu ketahui pula bahwa saya sangat mengagumi tokoh Hanoman dalam cerita Ramayana. Kera itu sangat gagah dan perkasa dengan bulu putih menghiasi tubuhnya. Konon, dia bisa menelan matahari dan tidak bisa mati karena telah merangkai hakikat keabadian. Hanoman adalah monyet yang amat berjasa karena dia berhasil membasmi angkara murka dan menjadi pembunuh sumber kedurjanan. Dia dilukiskan bisa mengangkat gunung.
Tetapi sayang, pembuat cerita itu memojokkan Hanoman pada nasib yang buruk, di mana sepanjang hayatnya Hanoman dilukiskan sebagai kera putih yang tak pernah kawin karena seleranya terlalu tinggi, ingin mengawini seorang puteri yang cantik jelita bernama Trijata. Sementara dia merasa tidak mungkin kawin dengan kera betina yang dipandangnya sebagai hewan memuakkan untuk dijadikan istri. Nah, begitulah celakanya kalau ada binatang mengalami proses evolusi menjadi manusia, sekalipun Hanoman digambarkan lebih pintar dan lebih sakti dari manusia.
Saya sendiri tidak tahu, apakah tindakan Hanoman dalam mencintai puteri Trijata itu bisa dikatakan sebagai tindakan seekor kera yang tidak tahu diri. Saya hanya merasa bahwa pembuat dongeng itu telah berbuat tidak adil dengan membuat tokoh Hanoman sebagai kera yang menderita seumur-umur karena menjadi manusia utuh dia tidak bisa, tetapi kembali menyadari diri sebagai kera juga tidak mungkin. Saya anggap kisah Hanoman itu adalah kisah yang tidak adil dan mendiskreditkan dunia permonyet-an.
Tetapi sekali lagi maaf, saya tidak bermaksud menyinggung kamu. Saya hanya memiliki kesan bahwa setiap kali saya menjumpai kamu, bayangan Hanoman senantiasa melesat memasuki benak saya. Saya bayangkan kamu mengangkat gunung, membanting raksasa, mengaduk-aduk samudera, dan membakar kota Alengka. Dan bayanganmu itu terus saja melesat ketika saya membaca-baca buku arkeologi yang mengisahkan proses evolusi manusia dari bentuk pithecantrophus erectus sampai menjadi manusia sempurna.
O ya, saya kira demikian dulu omong-omong dari saya. Kamu tidak perlu tersinggung. Kamu justru harus bangga karena saya ternyata pengagum kera. Oleh sebab itu, tunggulah surat balasan dari saya yang berisi jawaban saya. Sudah ya& !
Brakk! Saya dengar pesawat telepon dibanting di ujung sana. Saya termangu sambil tetap memegangi pesawat telepon yang sudah berbunyi nut& nut& . nut. Saya bagaikan mimpi mendengar segala apa yang baru saja dikatakan Ita Martina. Dan sungguh tanpa Saya sadari, pipi saya telah basah; saya tidak tahu apakah air mata itu ungkapan kebahagiaan atau kepedihan saya. Saya hanya merasa, bahwa sekarang ini saya benar-benar seekor kera yang kebingungan karena salah masuk kandang harimau.
TIGA K alau mau mencari Allah, belajarlah dari
iblis! Kembali bisikan misterius itu membentur pedalaman saya bagai kilatan halilintar, yang belakangan ini justru semakin sering frekuensi kemunculannya. Rupanya upaya saya untuk menghapus bayangan Ita Martina dari benak saya justru semakin membangkitkan kembali bisikan misterius yang membingungkan itu.
Terus terang, dengan munculnya bisikan misterius itu Saya memang jadi terpojok. Sebab diakui atau tidak, sejauh ini saya memang selalu beralasan mencari Tuhan untuk menghindari tugas-tugas rutin membantu kegiatan pesantren. Saya selalu menyatakan bahwa saya ingin mencari pembuktian akan Tuhan yang selama ini selalu mengobsesi Saya. Celakanya, bisikan misterius yang muncul di pedalaman jiwa saya itu justru menyuruh saya agar belajar kepada iblis.
Sebagaimana telah dimaklumi, sejak kecil saya memiliki naluri untuk menyingkap-nyingkap sesuatu. Dan soal Tuhan beserta para malaikat-Nya, sudah
?"?" menjadi tanda tanya besar dalam benak saya yang cepat atau lambat akan saya singkap juga kebenarannya, sebab sejak Saya masih duduk di kelas dua SD, saya sering mendapat kesan bahwa para malaikat dan Tuhan itu adalah laki-laki, terutama akibat nama-nama malaikat Saya kesankan mirip nama laki-laki seperti Jibril, Mikail, Israfil, Izrail, Munkar, Nakir, Raqib, Atid, Malik, Ridwan, bahkan nama Gusti Allah sendiri pun menurut kesan saya adalah nama laki-laki, termasuk nama-nama Indah Tuhan yang disebut Asma ul Husna seperti: Akbar, Qohaar, Kholiq, Bashir, Ghofur, Malik, Rahman, Jabbar, Muhaimin, Muttakabir, dan sebagainya. Karena kesan itu, sejak kecil kalau saya sedang bersembahyang sering saya munculkan bayangan Tuhan dalam imajinasi saya sebagai seorang laki-laki tua yang bijaksana dan penuh kasih sayang. Bahkan kalau saya kebetulan sedang sedih, saya bayangkan Tuhan turun ke sisi Saya dan mengelus-elus tubuh saya sambil menyanyikan lagu-lagu surgawi.
Bayangan-bayangan imajinatif tentang Tuhan itu pada akhirnya memang bertarung keras dengan otak saya yang menolak imajinasi yang dibentuk perasaan saya. Tetapi otak saya sendiri belum bisa menentukan jawaban, terutama tentang Tuhan yang bagaimana yang sebenarnya saya sembah dan patuhi itu. Saya memang sering mendengar para khotib berbicara muluk-muluk mendefinisikan Tuhan sebagai Mahapemurah, Mahatahu, Mahaagung, Mahameliputi, Mahapengasih, tetapi semua pembicaraan para khotib itu bagi saya, perlu pembuktian konkret, sebab Saya sangat yakin bahwa Gusti Allah itu Ada dan sekali-kali bukan sekadar dongeng.
Waktu saya duduk di kelas dua SMP, saya sering bertanya-tanya tentang Tuhan kepada orang-orang yang saya temui. Tetapi mereka rata-rata mengalihkan perhatian ketika saya sudah tanya soal ini-itu mengenai esensi dan kksistensi Tuhan. Mereka hanya berputarputar dari dogma satu ke dogma lain yang sangat tidak bisa saya pahami sesuai tuntutan akal Saya. Bahkan ketika saya duduk di bangku SMA, seorang kawan saya bernama Amat Basyir menuduh saya ateis-komuniskafir ketika saya mempersoalkan eksistensi Ke-Tuhanan.
Rupanya, orang-orang yang saya kenal sudah terperangkap pada akal budi yang kerdil karena malas berpikir. Mereka akan menuding dengan tuduhan apa saja untuk menutupi kebodohan dan ketololannya. Dengan menyadari keadaan ini, saya pada gilirannya bisa maklum, kenapa ilmu kalam dan filsafat tidak pernah berkembang di Nusantara karena manusiamanusia beragama Islam di negeri ini malas berpikir secara independen. Artinya, kalau konsep Ketuhanan seseorang dianggap menyimpang dari konsep al- Asy ariyah maka sudah layak orang tersebut dituding sebagai zindiq alias sesat. Ya, untung saja nabi-nabi zaman dulu lahir di negeri-negeri yang penduduknya rasionalistis sehingga sekalipun penduduk itu kasar, toh kalau konsep yang diajukan nabi-nabi bisa diterima nalar, akan diterima juga secara objektif sebagai keniscayaan.
Mencari kebenaran absolut memang bukan jalan yang ringan, sebab berbagai rintangan terus melintang dalam berbagai tahap dan tingkatan. Satu misal, dengan melesatnya bisikan misterius itu, tanpa sadar saya telah terseret kepada arus deras sungai imajinasi yang menghanyutkan sekitar sosok Ita Martina. Dan rasanya, sekarang ini saya memang harus siap untuk dituding-tuding dan diumpat-umpat sebagai Sudrun yang sudrun, senewen, sinting, edan, gendeng, kenthir, gelo, gemblung, dan saya harus tidak peduli.
Dengan satu dan lain alasan, munculnya gelar Kiai Sudrun yang disogokkan begitu saja ke dalam nama Saya, adalah suatu alasan yang cukup normal bagi saya untuk lebih tekun lagi mencari Tuhan. Saya hanya berbekal keyakinan bahwa Gusti Allah bukan sebuah dongeng. Dia Ada tetapi Dia masih tersembunyi dari saya.
Keyakinan saya yang lain bahwa satu ketika nanti saya akan beroleh kepastian tentang keberadaan Tuhan, ialah saya telah berusaha untuk tidak berbuat maksiat terutama berzinah. Sebab saya yakin seyakinyakinnya, bahwa sekalipun seseorang hafal al-Qur an dan hafal hukum-hukum fiqh, kalau dia masih suka berzinah, tiadalah mungkin dia beroleh kebenaran hakiki. Sebab saya yakin bahwa sekali orang berzinah, sesungguhnya ada sesuatu di dalam jiwanya yang berubah; sehingga Islam tegas sekali menghukumi zinah dengan hukuman mati dengan cara dirajam.
Saya memang tidak perlu menutupi kemunafikan saya, bahwa saya memang pernah mencium perempuan yang belum menjadi istri saya. Saya juga sering menggerayangi tubuh kawan-kawan perempuan saya. Tapi untuk berzinah lebih jauh, saya belum pernah melakukannya. Dan sekarang ini, saya benar-benar kapok dan tak pernah lagi melakukan tindakan seperti binatang liar itu karena saya sadar itu semua adalah pengaruh iblis.
Akhirnya, setelah berbagai kecamuk pikiran bergalau di otak saya, saya pun melangkah menembus sepi seolah-olah saya ingin menapaki ke-sudrun-an saya. Dengan langkah tertatih-tatih saya berjalan dari satu lorong ke lorong lain dan dari trotoar satu ke trotoar lain. Saya nikmati pancaran lampu kota dan dingin malam dengan kelebatan wajah Ita Martina yang sesekali melintas. Saya larutkan ke-sudrun-an saya di tengah galau kota yang semrawut. Dan di antara deru mobil dengan hingar-bingar klaksonnya, saya menyebut-nyebut nama Tuhan dengan penuh perasaan. Ya hanya nama Tuhan yang sejauh ini bisa saya sebut karena saya tidak pernah tahu apapun tentang Tuhan selain nama-Nya.
Saya tidak tahu, kenapa setiap saya menyebutnyebut Tuhan hati saya selalu merasa tenteram dan damai. Saya hanya merasa bahwa apa yang diungkapkan al-Qur an dengan kalimat alaa bidzikri illah tathmaa innul quluub adalah benar adanya. Dan begitulah keyakinan itu saya resapi maknanya sehingga sebuah pancaran tentang kebenaran al-Qur an yang saya pahami dengan perasaan dan pengalaman itu makin menebalkan keyakinan saya bahwa Allah itu memang Ada. Dan saya hanya merasakan bahwa dengan terus-menerus saya menyebut-nyebut namanama Allah, diri saya seperti larut ke dalam kumparan kekuatan yang tidak terukur. Kesadaran saya senantiasa saya rasakan seperti memasuki dimensi ajaib dari 99 Nama Tuhan Yang Indah yang sudah saya hafal di luar kepala; saya merasakan seperti berjalan di atas titian 99 jalur cahaya yang semuanya menuju Satu Cahaya Mahamulia yang tak terbayangkan pikiran manusia.
Tanpa terasa langkah kaki saya telah membawa saya ke daerah barat kota. Seperti digerakkan oleh kekuatan ajaib, saya melangkah ke bagian barat jalan tol. Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saya menjumpai seorang lelaki bertubuh pendek kecil yang memakai kacamata tebal. Saya mengenal lelaki yang sekarang berpakaian kusut itu bernama Syaikhul Akbar Al-Musykil, seorang keparat senewen yang diam-diam mendirikan tarekat Musykiliyyah.
Sekilas perjumpaan dengan saya, Al-Musykil tidak lagi mengenal saya karena saya pun seumur-umur hanya sekali bersilaturahmi ke rumahnya yang reyot. Sekilas melihat saya terseok-seok, Al-Musykil hanya melirik ke arah saya dengan sudut matanya seolah-olah dia menganggap saya sebagai orang sedang mabuk. Tapi entah bagaimana awalnya, mendadak saja saya seperti menerima bisikan misterius yang mengatakan bahwa Al-Musykil adalah manusia yang sedang melangkah ke jalan kesesatan. Saya melihat daya iblis memancar diam-diam dari balik kacamatanya yang tebal. Bibirnya yang tebal seperti empal ditambah hidungnya yang mekar menandakan bahwa dia menurut Ilmu Katuranggan (fisionomi) Jawa tergolong orang yang sulit menerima pendapat orang lain. Manusia macam begini kalau sudah sesat amat sulit diberi petunjuk. Kalau dia pun ateis, maka orang sulit menanamkan iman, sebaliknya kalau dia sudah menyakini pada suatu hal, maka dia akan menganutnya secara membabi buta. Dan menurut pendapat saya, orang seperti Al-Musykil itu tidak akan bisa memperoleh kebenaran yang lebih tinggi dari kemampuan otaknya yang menurut ukuran normal volumenya relatif kecil.
Saya sendiri diam-diam menyakini bahwa perjalanan mencari Tuhan tidak gampang, sekaligus tidak semua orang boleh melakukannnya. Sebab saya yakin bahwa soal pencarian Tuhan bukan sekadar menyangkut unsur rasa seseorang, melainkan yang lebih merupakan syarat utama adalah ukuran volume otak yang terlihat dari bentuk tengkorak kepala seseorang. Saya yakin bahwa bentuk tengkorak kepala yang tirus yang menandakan volume otak seseorang sedikit, memiliki korelasi yang erat dengan kepesatan maupun kelambanan langkahnya dalam mencari kebenaran, baik kebenaran ilmiah maupun kebenaran Ilahiah.
Melihat bentuk tengkorak kepala Al-Musykil, sebenarnya saya sudah menangkap sasmita bahwa orang macam dia tidaklah mungkin orang cerdas apalagi jenius. Karena itu saya sangat heran ketika dia menguraikan ajaran tasawuf dengan ilmu kalam yang cukup berbobot. Ketika mendengar uraiannya, saya memiliki dua asumsi. Yang pertama, dia telah berguru kepada seorang ahli ilmu kalam yang agak condong pada kebatinan Jawa. Yang kedua, Allah mungkin memberikan rahmat dan hidayah kepadanya.
Tetapi ketika saya mendengar uraian demi uraiannya lebih lanjut tentang liku-liku kedalaman tasawuf yang diungkapkannya, segera tahulah saya bahwa Al-Musykil sebenarnya hanya mengulang-ulang dalil demi dalil yang kelihatannya telah dihafalnya dengan baik. Walhasil, kesimpulan saya yang pertama benar, yakni dia mungkin telah belajar kepada seorang ahli ilmu kalam yang agak condong kepada kebatinan Jawa. Uraian-uraian Al-Musykil memang memukau dan bersifat doktriner, sehingga dengan cepat menarik perhatian, khususnya bagi kalangan awam yang mudah terpengaruh dan gandrung pada hal-hal yang kelihatannya rasional.
Sekalipun sudah bertahun-tahun kami tidak pernah ketemu lagi dan Al-Musykil sudah lupa sama sekali dengan saya, toh saya masih ingat benar akan apa yang dikatakannnya secara rinci. Saya ingat benar ketika mendoktrinkan ajaran bahwa segala gerak kehidupan ini sepenuhnya ditentukan oleh Allah. Oleh sebab itu, menurutnya, manusia tidak perlu merasa bersusah-payah bekerja karena Allah selalu memelihara setiap apa yang diciptakan-Nya. Bahkan, dengan jumawa dia berkata, orang boleh memantau kehendak Allah atas dirinya dalam segala hal.
Saya kalau mendapat rezeki selalu bilang Innalillahi wa inna ilaihi roji un, kata Al-Musykil menganehkan diri dengan alur berpikir aneh, Sebab saya tahu bahwa rezeki itu milik Allah. Rezeki datang dari Allah dan akan kembali kepada Allah, sehingga kita pun tidak merasa perlu memiliki apa-apa. Semua milik Allah.
Saya hanya mengangguk-angguk penuh takjub mendengar uraian Al-Musykil yang tampak filosofis itu, meski hati saya mengumpatnya sebagai manusia yang keblinger, karena Rasulullah SAW sudah jelasjelas mengajarkan bahwa apabila orang memperoleh rezeki atau kenikmatan apapun bentuknya disunnahkan mengucap syukur alhamdulillah. Dari segi itu saja, sekalipun saya sudrun, saya masih bisa membedakan mana yang ajaran Rasulullah SAW dan mana ajaran sesat yang keblinger, sebab bagi saya apa yang menjadi sunnah Rasul dan tuntunan al-Qur an adalah jauh lebih utama daripada ajaran aneh-aneh, meski kelihatannya hebat.
Saya di dunia ini tidak memiliki apa-apa dan tidak dimiliki siapa-siapa, kata Al-Musykil mengutip ucapan para sufi laa yamliku syaiun walaa yamlikuhu syaian dalam usaha menghebatkan diri, Satu bukti, ketika anak saya mati karena sakit dan tak terobati, saya hanya tertawa-tawa melihat kematian anak saya. Para tetangga menganggap saya orang edan. Tapi saya maklum, mereka adalah orang awam yang bodoh. Sedang saya sendiri tahu bahwa milik Allah yang mewujud dalam diri anak saya telah diambil lagi oleh yang empunya, yaitu Allah. Saya anggap saja keberadaan anak saya di dunia sebagai cat yang mewarnai tembok, di mana kalau cat itu dihapus maka akan hilang juga dari tembok.
Saya ini adalah orang paling kaya di dunia, karena saya merasa kecukupan atas segala hal. Kalau sampean melihat rumah saya reyot dan gedhek-nya bolongbolong serta kehidupan anak-anak dan istri saya morat-marit, maka itu hanya bentuk luarnya belaka. Sebab setiap hari Allah selalu memberi makan kami sekeluarga dengan berbagai cara-Nya yang tak terjangkau akal.
Saya, satu saat dan kadang-kadang sering, memang harus utang ke sana ke mari untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Tetapi hal itu tidak menyalahi hukum karena Nabi sendiri kan pernah utang. Kalau saya punya utang, dan saya merasa tidak mampu membayar, maka saya biasanya akan mendatangi orang yang saya utangi. Kepadanya saya minta agar mau mengikhlaskan utangnya kepada saya, supaya nanti Allah membalasnya dengan limpahan rezeki yang lebih besar.
Satu kali, saya pernah utang satu juta setengah kepada seseorang di tahun 1980. Saya lalu minta dia mengikhlaskan utang saya. Setelah dia menyatakan ikhlas, tidak sampai setahun kemudian, dia bisa naik haji. Nah, itu artinya, hanya dengan uang satu setengah juta yang diikhlaskan kepada saya, dia dapat balasan dari Allah rezeki berlimpah-limpah sampai bisa naik haji.
Semakin lama mendengar bualan Al-Musykil, saya merasa semakin muak, karena entah sadar entah tidak dengan bualannya yang berbelit-belit itu dia tampaknya berusaha menanamkan dogma dan mitos kepada pendengarnya bahwa dia memiliki keanehankeanehan dan keajaiban-keajaiban adiduniawi karena dekat dengan Allah. Dia selalu berusaha menggiring pendengar untuk mengagumi bualannya yang amat sering berkontradiksi itu. Dan puncak dari kemuakan saya itu terjadi ketika dia membual bahwa dirinya sering menertawakan Allah yang mencobainya dengan berbagai percobaan. Saya tahu apa yang akan diperbuat Allah atas saya, katanya jumawa dengan kacamata melorot ke bawah, Dan saya biasanya hanya tertawa saja melihat kehendak Allah yang mencobai saya.
Ke-sudrun-an saya sebenarnya sudah hendak memuncak ketika secara mendadak saya menyadari bahwa saya tidak mungkin memperlakukan manusia Al-Musykil ini seperti Kiai Bruddin. Saya tidak mungkin melancarkan upper cut dan swing saya untuk membuatnya tumbang ke bumi. Sebab, menurut hemat saya, sekali saya gempur dia dengan upper cut dan swing tak diragukan lagi dia akan mampus. Kalau dia mampus, maka yang akan menerima derita dan sengsara adalah anak-anak dan istrinya yang hidup serba kekurangan itu. Karena itu, adalah lebih baik jika pembual konyol itu saya biarkan membual sepuasnya, karena setidaknya dengan bualannya yang muluk-muluk seperti tokoh sufi nomor wahid itu, prestise keluarganya masih bisa terjaga dengan baik; sebab orang akan beranggapan bahwa kemelaratan mendekati kere yang dialami keluarga Al-Musykil itu bukan kemelaran dalam makna yang sesungguhnya, tetapi melarat yang memang disengaja demi kesucian rohani.
Bayangan tokoh-tokoh besar tasawuf dalam kisahkisah sufisme mendadak berkelebat memasuki benak saya. Imam Al-Ghazali, Syaikh Abu Hassan As-Syadzily, Jalaluddin Rumi, Al-Hakim At-Tirmidzi dan tokohtokoh yang lain adalah orang-orang terpandang yang memiliki harta cukup, di mana saat mereka melakukan uzlah, keluarga yang ditinggalkan telah benar-benar tercukupi kehidupan materinya. Karena itu, saya menganggap saja bualan Al-Musykil itu hanya untuk menutupi ke-melarat-an dan ke-malas-annya belaka. Dengan mengungkap keanehan-keanehan dan keajaiban-keajaiban adiduniawi terutama yang berkaitan dengan orang-orang yang bersedekah dan mengikhlaskan utang kepadanya tidak lebih merupakan usahanya untuk menarik ketakjuban orang agar beramai-ramai memberinya sedekah dan mengikhlaskan utang jika dia memiliki utang.
Akhirnya, saya tidak bisa berbuat lain untuk mengatasi kemuakan saya terhadap bualan Al-Musykil kecuali dengan diam-diam memanjatkan doa kepada Allah, Tuhan yang saya rindukan untuk bisa dikenal. Saya memohon agar Allah memisahkan yang hak dari yang batil dan memisahkan yang terang dari yang tersamar. Saya benar-benar berusaha menyatukan akal budi dan perasaan saya dalam mendoa. Saya berdoa agar iman saya ditetapkan di dalam jalan-Nya.
Seyogyanya saya lupa pada manusia Al-Musykil kalau saja saya tidak mendengar berita yang benarbenar mengejutkan tentang dia. Berita itu benar-benar mengejutkan, karena dikatakan dalam berita itu bahwa Al-Musykil telah dikehendaki Allah untuk mengawini seorang pelacur murahan di kompleks lokalisasi Kremil, kampung Tambak Asri di sebelah barat lokalisasi Bangunrejo. Dalam berita itu disebutkan bahwa Al- Musykil hanya berniat mengentas sang pelacur dari kenistaan dengan mengorbankan dirinya menerima caci-maki orang lain.
Ke-sudrun-an saya mendadak berkelebat dan kemuakan saya menjadi ke-mual-an yang membuat saya hampir muntah. Akal budi dan perasaan saya benar-benar tidak bisa menerima bualan manusia sesat yang keblinger seperti Al-Musykil. Sebab apa yang dibualkannya itu pada dasarnya sangat bertentangan dan bahkan melecehkan Allah SWT. Bayangkan, Al- Musykil mengatakan bahwa perkawinannya dengan pelacur murahan itu adalah atas kehendak Allah dengan niat ikhlas untuk mengentas pelacur tercinta dari jurang kenistaan. Sementara Allah tegas-tegas dalam al-Qur an menyatakan bahwa laki-laki pezinah tidaklah kawin kecuali dengan perempuan penzinah atau perempuan musyrik. Perempuan pezinah pun tidaklah kawin kecuali dengan laki-laki pezinah atau laki-laki musyrik. Dan yang demikian itu HARAM bagi kaum mukmin, (QS. an-Nur: 3).
Dengan kenyataan itu, jelaslah bahwa saya lebih yakin pada kebenaran nash al-Qur an yang merupakan Sabda Allah ketimbang omongan Al-Musykil yang kurang pintar itu. Sebab saya yakin, Allah tidak akan mengubah hukum-hukum-Nya dalam al-Qur an hanya untuk satu manusia seperti Al-Musykil yang sombong, tapi berlagak rendah hati.?"?"
KALAU MAU MENCARI ALLAH, BELAJARLAH DARI IBLIS!
Bisikan misterius itu makin memenuhi pedalaman saya seolah disogokkan sedemikan rupa dari lubanglubang yang ada di tubuh saya. Dengan keadaan semacam itu saya makin tenggelam dalam samudera ke-sudrun-an yang membingungkan. Saya seperti terseret arus kuat untuk mau tidak mau harus memecahkan misteri bisikan yang terus menerus memburu ketenangan saya itu.
Kegelisahan masih mencakari jiwa saya ketika tanpa sengaja saya berjumpa dengan sorang guru kebatinan bernama Noyogenggong, yang oleh para pengikutnya disebut Romo Noyogenggong. Pertama kali dia memperkenalkan diri dengan menyebut nama Noyogenggong, saya sudah langsung ketawa terpingkal-pingkal sampai mau terkencing. Entah bagaimana awalnya, yang jelas dengan memperkenalkan diri sebagai Noyogenggong itu dalam benak saya mendadak tergambar bayangan seekor jangkrik dungu yang dinyanyikan Waldjinah: Jangkrik Genggong. Setelah itu, muncul gambaran jangkrik dalam komik Pinokio yang diikuti sederet gambaran jangkrik dalam film kartun produksi Disney berseliweran keluar dan masuk di dalam benak saya.
Ke-sudrun-an saya mendadak meledak. Romo Noyogenggong saya bayangkan wajahnya mirip jangkrik. Sesaat kemudian wajah itu saya bayangkan mirip garengpong. Tapi sesaat kemudian saya mengingat tetangga Saya Mat Koncer yang berasal dari Madura yang pintar sekali memainkan alat musik genggong yang iramanya menyentak-nyentak menghanyutkan. Dan urat-urat ketawa saya makin menegang ketika bayangan-bayangan lucu tentang tokoh banyolan Sabdopalon dan Noyogenggong meleset masuk ke dalam benak saya.
Romo Noyogenggong tampaknya agak tersinggung dengan sikap saya yang ketawa terus di hadapannya. Tapi dia kelihatan berusaha menahan amarahnya setelah saya memperkenalkan diri dengan nama Kiai Sudrun. Dia kelihatannya seperti pernah mendengar nama saya meski samar-samar. Dan suasana pertemuan kami itu pun menjadi ajang lelucon ketika Romo Noyogenggong pun akhirnya tidak bisa menahan ketawanya mendengar nama saya.
Nama sampean Kiai Sudrun, kata Romo Noyogenggong geli, Saya kok mendapat kesan sampean itu orang slendro, edan, senewen, bento, gendeng.
Hehehe, saya memang orang sudrun yang sudrun, sahut saya terkekeh, Tapi nama sampean benar-benar mengingatkan saya pada jangkrik genggong. Saya bayangkan mata sampean melolo dan kepala sampean ditumbuhi dua sungut.
Nah, nah, kan bener toh, sampean agak slendro, kilah Romo Noyogenggong mulai tersinggung.
Setelah agak lama kami saling olok-mengolok, Romo Noyogenggong menanyai saya tentang hal apa yang sejatinya saya cari. Tapi sebelum itu, dia mengaku dengan terus terang bahwa setelah bergojlok-gojlokan dengan saya, dia menyimpulkan bahwa saya sebenarnya tidak senewen, tidak edan, tidak slendro, dan tidak gendeng. Dengan tulus dia berkata:
Saya tahu bahwa sampean bukan orang senewen apalagi gendeng. Sampean hanya orang yang jujur dan menceritakan apa yang sampean rasakan dengan cara apa adanya. Tetapi kejujuran sampean itu justru tidak bisa diterima oleh masyarakat, sebab masyarakat pada dasarnya sudah dicemari oleh kedustaan dan kebohongan. Masyarakat sudah memiliki anggapan bahwa yang jujur pasti hancur. Yang jujur pasti edan. Yang jujur pasti lebur. Masyarakat menganggap bahwa kejujuran sampean sangat naif dan sinting, sehingga sampean pun dianggap na"f, sinting, edan, sudrun. Terus terang saya akui, bahwa selama saya menjadi guru kebatinan dalam tempo lima belas tahun ini, baru sekarang ini saya menemui orang jujur seperti sampean. Sampean dengan jujur menyatakan ketidaktahuan sampean tentang suatu hal. Sampean dengan jujur mengungkapkan ketidakpahaman sampean terhadap berbagai kejadian yang tidak sampean pahami. Sementara yang saya lihat sehari-hari adalah manusia-manusia yang selalu merasa tahu, merasa bisa, merasa hebat, merasa paling wah. Padahal mereka bodoh dan berusaha menutupi kebodohannya dengan kehebatan dan ke-wah-annya itu.
Saya tidak bisa membayangkan apabila sampean dengan jujur pula mengatakan secara sembarangan tentang isi bisikan misterius yang sampean terima itu. Tentu sampean akan dituduh sebagai Kiai Sudrun yang benar-benar sudah edan, sebab orang-orang kebanyakan mudah terperangkap pada kulit daripada memahami makna dan isi.
Ya, ya, andaikata sampean menceritakan apa adanya tentang bisikan misterius itu kepada orang kebanyakan, mestilah sampean dituding sebagai manusia edan yang sesat penyembah setan. Bahkan tidak mustahil kalau sampean akan dilempari batu dan diusir-usir karena dianggap penyebar kesesatan dan kegilaan.
Mendengar pengakuan Romo Noyogenggong tentang ketidakedanan saya mendadak saja hati saya merasa trenyuh. Saya pegang tangan Romo Noyogenggong erat-erat. Dan dia dengan penuh kelembutan mengelus-elus kepala saya seola-olah mengerti kegundahan hati saya.
Romo, benarkah sampean tidak menganggap saya edan" tanya saya diliputi keharuan.
Tidak ada yang menganggapmu edan, Nak, kecuali mereka yang tidak mengerti, jawab Romo Noyogenggong sabar.
Tapi semua orang menganggap saya sudrun, emak dan bapak saya pun menganggap saya begitu, kata saya dengan dada berdegup keras, Bahkan karena anggapan yang sudah bertahun-tahun melekat pada diri saya itu, maka saya pun merasa yakin bahwa saya memang sudrun. Saya menganggap bahwa akal dan jiwa saya memang tidak beres. Bahkan dari setiap kesalahan yang saya lakukan, sering saya anggap sebagai akibat dari ketidakberesan otak saya; padahal saya tahu bahwa kesalahan saya itu adalah kesalahan yang terkutuk.
Sampean adalah korban dari masyarakat yang tidak mengerti, Nak, kata Romo Noyogenggong menepuk-tepuk bahu saya, Sampean adalah manusia yang terperangkap oleh ilusi yang dibentuk oleh masyarakat. Dan sampean terus terombang-ambing antara kehendak untuk menemukan jati diri dan stempel yang telah diterakan oleh masyarakat. Sementara sampean belum menyadari bahwa ilusi yang dibentuk masyarakat itu telah memenjarakan jati diri sampean.
Karena itu, sampean mesti menyadari bahwa tidak semua yang dicipta oleh masyarakat adalah baik dan benar. Sampean harus mampu melepaskan diri dari belenggu-belenggu yang telah mereka bentuk. Sampean harus yakin bahwa sampean tidak edan seperti yang ditudingkan masyarakat.
Mendengar uraian demi uraian Romo Noyogenggong, saya merasa tidak kuat menahan keharuan. Air mata saya menetes. Tanpa malu, saya menangis di depan Romo Noyogenggong. Dan hati saya seperti menemukan keteduhan setelah sekian lama dibakar oleh teriknya matahari kehidupan yang ganas. Entahlah, saya mendadak saja seperti orang sebatang kara yang memperoleh seorang kawan yang bisa memahami saya. Saya seperti mendapat pengakuan yang paling berharga selama hidup saya, sebab pada kenyataannya baru Romo Noyogenggong inilah yang mengakui dengan jujur bahwa saya tidak tergolong manusia edan apalagi gendeng.
Air mata saya makin tumpah membasahi jiwa saya ketika Romo Noyogenggong mengisahkan perjalanan rohani Sang Hanoman, kera putih yang menjadi Manggala-Yudha Rama. Dengan suara bagai seorang dalang Romo Noyogenggong bercerita, seperti ini:
Ketahuilah, o Anakku, bahwa dalam suatu zaman pernah lahir seorang kera putih dari rahim seorang perawan bernama Retna Anjani, yang memakan daun sinom (daun asam). Dia lahir tanpa ayah di keheningan telaga Sumala. Kera putih itu diberi nama Hanoman. Dia yang putih bagai kapas itu melesat dari panah waktu terlalu cepat sehingga bisa disebut sebagai buah yang masak sebelum waktunya.
Ketika usia Hanoman masih kanak-kanak, dia sudah mampu menyibak kerahasiaan alam dengan segala perbedaannya. Dia telah mampu menelan matahari sebagai sumber dari pembedaan ruang dan waktu. Tetapi karena itulah, maka dia harus memikul kodrat sebagai pecinta keheningan. Ya, dalam usia yang masih kecil dia sudah ditinggal ibundanya ke swargaloka. Dia hidup dan belajar tentang hidup dari dirinya sendiri. Dia mengubah dan mengaduk samudera jati dirinya dengan Aji Wundri, makna hakiki lingkaran rahasia yang menyelubungi kekuatan cinta seorang ibu untuk menyusui bayinya dan makna kekuatan hakiki lingkaran rahasia seorang bayi untuk mencari puting susu ibunya. Perjalanan Hanoman dalam mencari purwajati dirinya bukan perjuangan yang ringan, Nak. Dia jatuh bangun dengan berbagai kepedihan dan kesedihan yang mengkarut-marut jiwanya. Satu saat Hanoman pernah mengalami kebutaan karena tergiur oleh kemolekan tubuh Sayempraba yang membius darah kelelakiannya. Hanoman meratapi segala kebodohannya yang begitu mudah terpesona oleh penglihatan inderawi yang menipu.
Rontoknya Hanoman oleh daya pukau keperempuan-an Sayempraba yang membuatnya menyesal seumur hidup, ternyata berulang lagi ketika dia terperangkap pada pesona cinta yang memancar dari keindahan dan kesucian Trijata. Hanoman adalah Hanoman; pecinta sepi yang memaknai kesunyian demi kesunyian dengan jiwa semerah mawar merah. Dia tenggelam di samudera rasa dalam alunan mimpi Bathara Baruna yang menyodorkan dua ekor kera mungil warna merah dan putih sebagai anak imajinasinya. Hanoman seumur hidup tidak pernah menikah, karena takdirnya tidak untuk agung dan mulia di dunia. Hanoman adalah Hanoman; pengarung sunyi sejati yang telah mampu mewadahi makna purwajati diri-nya.
Seusai mendengar kisah romo Noyogenggong tentang Hanoman, saya merasakan bumi tempat berpijak saya terguncang dan kepala saya berdenyutdenyut. Apa yang dikisahkan oleh romo Noyogenggong tentang Hanoman saya anggap tidak jauh berbeda dengan apa yang telah pernah saya alami, terutama hambatan dari peri hutan bernama Sayempraba dan seorang gadis mulia bernama Trijata. Semua perjalanan Hanoman dalam mengarungi sepi dan kesendirian, nyaris mirip dengan rentangan kisah hidup saya. Karena itu dengan penuh keraguan saya bertanya, Apakah saya akan mengalami nasib seperti Hanoman yang mengarungi samudera hidupnya seorang diri sampai ajal, Romo"
Hanoman adalah Hanoman dan sampean adalah sampean, kata Romo Noyogenggong penuh kesabaran, Kalaupun ada kemiripan dari kisah sampean dengan kisah Hanoman, maka yang demikian itu hanya kebetulan belaka, karena pencarian purwajati diri yang hakiki pada setiap diri manusia, pada hakikatnya memiliki kesamaan-kesamaan di mana pun. Mungkin ada orang yang terbanting dalam pencariannya oleh gejolak nafsu kekuasaan dan kebesaran sehingga tergambar seperti kisah Bima dibelit ular naga di samudera. Tapi tak kurang pula di antara pencari yang dibelit gejolak nafsu berahi seperti kisah Hanoman.
Apakah bisikan misterius yang saya peroleh bisa sampean uraikan maknanya, Romo" tanya saya ingin tahu.
Saya belum bisa menguraikannya, Nak, kata Romo Noyogenggong terus terang, Sebab masalah itu menurut saya memiliki sangkut paut dengan wedaran Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Tetapi saya sendiri sampai setua ini belum paham akan intipati ajaran itu.
Kepada siapakah saya kira-kira bisa mempelajari Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu tersebut" tanya saya penuh rasa ingin tahu.


Sastra Jendra Hayuningrat Karya Agus Sunyoto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saya sendiri tidak tahu, Nak, sebab sepengetahuan saya yang disebut-sebut orang dengan sebutan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, itu hanya diomongkan dari mulut ke mulut. Saya sendiri sampai sekarang pun belum mengerti apa yang disebut Sastra Jendra itu. Yang saya ingat, ilmu itu diwedarkan oleh Kangjeng Sunan Kalijaga.
Kalau begitu saya mohon pamit, Romo, kata saya menyalami tangan Romo Noyogenggong dan menciumnya, Saya mohon doa restunya. Saya akan mencari di mana jejak pengikut Kangjeng Sunan Kalijaga yang memiliki pengetahuan tentang Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu itu.
Hati-hatilah di jalan, Nak, kata Romo Noyogenggong mengingatkan, Dan janganlah sampean melalaikan sembahyang, karena sembahyang adalah jembatan Nur yang akan menuntun kita sampai ke pulau tujuan. Yakinkan di dalam hati sampean bahwa Rahmat dan Hidayah Ilahi akan menuntun sampean ke tersingkapnya makna Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu sekaligus mengungkap pencarian sampean akan kebenaran akhir.
Assalamu alaikum, Romo. Wa alaikum salam.
Dengan langkah tegar saya menapaki jalanan di depan saya. Lelaki aneh bernama Noyogenggong yang sempat saya tertawakan itu ternyata menegakkan kepercayaan diri saya sebagai Kiai Sudrun yang tidak sudrun. Dia memancarkan cahaya gemilang bagi makna jati diri saya, di mana saya tidak perlu mengkaitkaitkan langkah saya dengan ke-sudrun-an saya. Biarlah orang menganggap saya sudrun asalkan saya tidak menyimpang dari rel yang telah digariskan Allah dan Rasul-Nya.
Sengatan dingin malam mendadak merentangkan ingatan saya tentang kisah Hanoman yang terangkai dalam kisah hidup saya. Ya, banyak sisi dari perjalanan Hanoman yang mirip dengan saya, di mana satu ketika saya pernah terjerat oleh nafsu berahi terhadap seorang janda bernama Sulistyowati. Saya seperti tanpa sadar telah terpukau oleh pesona yang dipancarkan oleh hawa keperempuanannya. Dan seperti Hanoman, saya pun larut dalam samudera berahi yang membutakan mata lahir dan mata batin saya. Telinga lahir dan telinga batin saya pun menjadi pekak. Lidah lahir dan lidah batin saya pun kelu. Saya terpaku seperti seonggok patung batu. Saya benar-benar mabuk oleh anggur birahi yang dituangkan Sulistyowati di piala pesona percintaan yang menyilap kesadaran.
Setelah melihat saya buta dan tuli serta kelu tidak berdaya, Sulistyowati tiba-tiba berubah bagaikan Sayempraba yang siap melumatkan Hanoman dalam kenistaan. Sulistyowati tiba-tiba mendepak saya dengan cara aneh, yaitu minggat tanpa permisi dengan menyatakan bahwa saya adalah makhluk tidak berguna yang pantas dimasukkan ke dalam kerangkeng kehinaan di kebun binatang. Anehnya, saya justru mengalami kesembuhan seperti Hanoman untuk menobrak-abrik laskar kejahatan di dalam diri saya, meski tubuh jiwa saya sudah terbakar api. Mata batin saya yang buta ternyata bisa melihat kembali dengan lebih terang. Sementara Sulistyowati tidak jauh berbeda dengan tokoh Sayempraba; tenggelam dalam ke-larut-an nafsu duniawi beserta naluri-naluri rendah raksasa yang gelap, haus materi duniawi, suka merendahkan, gandrung pujian, suka pamer, bangga diri sebagaimana watak rendah kebanyakan raksasa.
Istana Goa Darah 2 Satria Lonceng Dewa 4 Dewi Tangan Jerangkong Pedang Golok Yang Menggetarkan 1
^