Pencarian

Sastra Jendra Hayuningrat 6

Sastra Jendra Hayuningrat Karya Agus Sunyoto Bagian 6


Kenapa demikian, wahai bapak"
Sebab tiada lagi orang yang sesat kecuali mereka yang mengaku-aku, sebab tidak ada makhluk yang awal sekali mengaku-aku selain iblis. Dan pangkal dari keiblis-an setiap insan selalu diawali dengan keterhijaban terhadap nafsunya, yang hal itu hanya bisa dibebaskan dengan shalat daa im.
Dapatkakah sampean mengajari saya shalat daa im"
Engkau akan memperolehnya sendiri dalam tahap tertentu dari perjalanan ruhanimu. Dan saat engkau telah memperolehnya, engkau akan mengalami mati dalam hidup dan hidup dalam mati yang termaktub dalam hukum Kuntum amwaatan faahyaakum (QS. al-Baqarah: 28) yang akan meningkat sampai tahap Muutu qabla an tamuutu.
Sebenarnya, o Saya, shalat daa im itu tiada lain harus dicapai lewat pintu-pintu pembuka hijab yang gerbangnya berada di hamparan Aql-Qalb-Ruuh-Sirr di mana pintu tersebut hanya bisa dibuka dengan kunci Tadzakur-Tanaffus-Tawajjuh-Tajarrud. Dari gerbang tersebut engkau akan melewati tujuh pintu lagi yang hanya bisa dibuka dengan kunci Zuhud-Taubah- Wara -Faqr-Shaabar-Tawakkal-Ridlaa.
Tetapi engkau harus ingat, wahai Saya, bahwa apabila dalam Taraqqi engkau telah mencapai derajat Adam Ma rifat, di mana seluruh malaikat akan bersujud dan bershalawat kepadamu, maka di situlah akan muncul iblis yang akan memusuhimu. Artinya, pada saat perjalananmu sampai pada tahap Wahda, di mana Allah akan menumpahkan Al-Ilm kepadamu sebagaimana Allah mengajarkan kepada Adam akan hakikat segala sesuatu lewat pengenalan nama-nama, maka saat itulah akan muncul orang-orang yang akan mengutuk dan merendahkanmu karena ke-irihati-an dan kecongkak-an yang berlebihan sebagaiman sifat iblis yang tidak ingin dilebihi kemuliaannya oleh Adam. Adakah tahap lagi sesudah Adam Ma rifat" Tahap setelah Adam Ma rifat adalah tahap Taraqqi dari hakikat KUN dan hakikat NAFAKHTU menjadi MASHAHAA yang tiada lain adalah suatu proses kembalinya kata Jadilah ke arah Hampa dan kata tiupan menjadi hisapan . Tahap itulah yang disebut fanaa fii Tauhid atau ada yang menyebutnya Fanaa Fi llah, yakni tahap terserap -nya Adam Ma rifat ke dalam tahap Ruuh Ilahiyyah. Kalau suatu ketika nanti engkau sampai pada tahap ini, satu hal yang mesti engkau jaga dengan hatihati, yaitu menyangkut kewajiban merahasiakan semua pengungkapan pengalaman perjalanan ruhanimu. Sebab Adam Ma rifat yang telah fanii dalam dirinya sendiri dan baaqii dalam Ilahi, biasanya tanpa sadar akan berbicara Ana l Haqq pada saat berlangsung perpaduan insaan ain Allah.
Bagaimanakah membedakan orang yang dalam tahab MAJDZUUB yang menggumam Ana l Haqq dengan orang bodoh yang mengaku-aku Ingsun wus manunggal kalawan Gusti" tanya saya ingin tahu.
Kalau suatu ketika engkau melihat seseorang yang sedang dalam keadaan Fanaa Fii Tauhid kemudian mengeluarkan macam-macam ucapan yang disebut Syath , maka yang demikian itulah Majdzuub yang kadang-kadang menggumam Ana l Haaqq. Tetapi kalau setelah itu dia dalam keadaan sadar mengaku Ana l Haqq, maka dia adalah orang jahil.
Saya termangu-mangu mendengar kata-kata bapak saya. Saya sendiri sebenarnya ingin sekali bicara yang banyak mengenai bebagai persoalan dengan bapak tetapi tanpa saya duga sebelumnya, tiba-tiba sosok bapak saya memancarkan cahaya berkilau-kilau bagai kilatan petir, dan beberapa jenak kemudian suasana menjadi hening, hampa, bayangan bapak saya hilang.
Saya tersentak dan mencari percik cahaya yang melingkari bapak saya, tetapi tak saya lihat sesuatu pun cahaya kecuali keheningan malam yang gelap dan sunyi. Saya berlari ke halaman masjid mencari-cari bayangan bapak saya. Tapi hanya suara angin menderu yang bersuit-suit menggulung kesendirian saya.
Saya sadar bahwa saya tidak akan mungkin menemukan bayangan bapak saya yang sudah mati beberapa tahun silam. Saya sadar bahwa perjumpaan yang saya alami dengan bapak saya bukan di alam alsyahadah. Tapi bagaimanapun saya merasakan kerinduan masih mencekam jiwa saya, terutama ketika saya sadar bagaimana saya telah terlontar sendiri di negeri yang jauh ini. Kerinduan hendak pulang ke asal tiba-tiba menerkam jiwa saya, meski saya tidak tahu rindu kembali ke asal itu bermakna pulang ke rumah emak atau ke alam keabadian.
Angin malam yang dingin menggemuruh menerbangkan serpih-serpih salju di perbukitan Khilan Marg. Bintang-gemintang berkedip-kedip di atas kubah biru langit seperti meneteskan embun salju. Dan dingin malam, saya rasakan menusuk tulangbelulang saya ketika pipi saya mendadak terasa basah.?"?"
Kerinduan hendak pulang ke asal makin lama saya rasakan makin mencekam jiwa saya, sehingga tiada hari yang saya lewati tanpa kegelisahan dan keresahan. Bunga-bunga Yambirzal dan Guli Chin yang setiap pagi mengangguk-angguk di taman, saya rasakan seperti penabuh lonceng kerinduan yang membungkukkan badan, mempersilakan saya menaiki bahtera azali.
Burung-burung Katij, Kav, dan Tota yang terbang mencicit-cicit melagukan tembang kehidupan, membayang pedih di lubuk jiwa saya sebagai panggilan rindu yang gersang.
Menjelang hari yang ke-33 dari puasa saya, saya memutuskan untuk berpamitan kepada Laxmi Devi dengan mengatakan bahwa saya harus pulang ke asal. Saat mendengar ucapan saya, Laxmi Devi tercenung pedih dengan wajah pucat dan bibir bergetar seolaholah dia tidak percaya pada apa yang baru saja saya ucapkan. Beberapa jenak dia memandangi saya dengan pandangan aneh sampai pecahan ratna berupa titiktitik air bening jatuh dari kelopak matanya, membasahi pipinya yang putih bagai pualam. Saya biarkan Laxmi Devi menangis terisak-isak menumpahkan semua kegundahan jiwanya.
Setelam agak lama tercekam dalam kepedihan, bibir Laxmi Devi bergerak-gerak dengan desah lirih berkata, Mengapa semua ini mesti terjadi"
Saya menarik napas panjang. Saya tidak bisa menjawab pertanyaan Laxmi Devi, karena hati saya pun diamuk oleh perasaan aneh yang sulit saya gambarkan. Saya merasakan gelegak perasaan saya, di mana saya sejujurnya sangat ingin memberikan perlindungan kepada Laxmi Devi. Tetapi gelegak perasaan itu segera saya tindas. Saya harus menang dalam pertarungan ini, seru hati saya mengema.
Mengapa semua ini mesti terjadi, Sudrun" tanya Laxmi Devi terisak.
Saya tersentak dan merasakan darah saya tersirap ketika Laxmi Devi memegang lengan saya dengan tangan gemetar seolah-olah dia meminta kekuatan dari saya. Sedetik saya rasakan sentuhan tangan Laxmi Devi begitu lembut menikam hati saya. Entah apa yang terjadi, yang pasti saya merasakan semacam kehangatan mengalir dari lengan saya naik ke ubun-ubun dan terus mengalir ke seluruh tubuh.
Mengapa semua ini mesti terjadi, o Sudrun" tanya Laxmi Devi mengulang.
Sudahlah Laxmi! gumam saya sambil menyingkirkan tangan Laxmi dari lengan saya dengan lembut, Semua ini memang harus terjadi.
Tapi mengapa" tanya Laxmi Devi merangkum kedua tanganya menutupi bibirnya.
Sadarilah, Laxmi, bahwa belum pernah terjadi sesuatu yang tidak harus terjadi. Hanya kekerdilan dan kedhaifan kitalah yang tidak mengetahui, mengapa sesuatu harus terjadi. Tetapi bagi yang sadar, akan segera tahu bahwa tidak ada suatu kejadian yang terjadi secara kebetulan.
Bicaramu selalu filosofis, Sudrun, sahut Laxmi Devi memprotes.
Tapi itulah jawaban yang bisa kuberikan untuk pertanyaanmu, sahut saya menarik napas panjang, Saya tidak berfilsafat. Saya tidak mendramatisasi katakata.
Laxmi Devi termangu lama dengan mata tak berkedip tapi terus meneteskan air bening yang membasahi pipinya. Namun beberapa jenak kemudian ia mendesah, Bukan saya menanyakan kumparan takdir yang melibas hidup sampean, o Sudrun. Bukan pula saya akan mencegah tekat sampean untuk pergi mencari Kebenaran hakiki. Saya hanya khawatir pada keselamatan diri saya sendiri beserta Aham.
Itulah pertanda bahwa sampean adalah ibu sejati yang mempunyai naluri keibuan untuk dilindungi dan melindungi. Sampean adalah ibu yang tepat bagi Aham.
Ketahuilah, Sudrun, bahwa selama ada sampean dan Aham, saya merasa hidup dalam kebahagiaan karena saya merasa bisa mendapat perlindungan dari sampean dan saya dapat melindungi Aham. Tetapi dengan kepergian sampean, saya seperti kehilangan sesuatu yang menjadikan saya tidak memiliki pelindung lagi.
Berlindunglah hanya kepada Allah, Laxmi, sebab hanya Dia Pelindung Yang Maha Mengayomi.
Tapi bagaimana saya bisa melakukan itu semua, padahal saya selama ini hanya yakin akan keberadaan Allah dalam hati berdasar cerita-cerita ayah dan ibu saya. Saya sering merasa sebagai manusia laknat yang meragukan keberadaan Allah, karena saya belum pernah membuktikan keberadaan-Nya. Saya selalu menganggap bahwa sesuatu yang riil yang selama ini bisa melindungi saya adalah sampean.
Sampean orang jujur yang berani mengakui keraguan sampean atas keberadaan Tuhan, Laxmi, kata saya dengan hati trenyuh memandang Laxmi Devi yang seperti limbung, Karena itu, saya akan mengatakan dengan sejujurnya kepada sampean bahwa jauh di relung-relung hati saya sebenarnya tersembunyi hasrat untuk bisa melindungi sampean sebagai istri saya. Tetapi saya tidak tahu, kenapa tarikan rindu untuk pulang ke asal yang memancar dari jiwa saya sedemikian rupa dahsyat sehingga menenggelamkan segala kesadaran saya.
Mendengar pengakuan saya yang jujur, Laxmi Devi tampak seperti memperoleh kekuatan baru. Dengan mata berkilat-kilat dia menggempur saya:
Saya tahu sekarang, bahwa sampean sebenarnya tiada lain adalah manusia kerdil yang tenggelam di samudera khayalan. Jiwa sampean kerdil, karena sampean tidak berani menghadapi kenyataan hidup di tengah gelombang samudera sejati kehidupan. Sampean lari ke alam khayalan yang sunyi, termenung dan berkhayal menipu diri sendiri, dengan meyakinkan diri bahwa sampean telah mencapai pemaknaan sejati hakikat hidup sebagai manusia yang lain daripada yang lain, yaitu manusia pilihan kekasih Tuhan. Padahal yang sampean capai itu tiada lain hanyalah hakikat maya imajinasi seorang pengkhayal menghindari realita kehidupan.
Saya tersentak dengan gempuran Laxmi Devi yang saya rasakan bagai membeset hati saya. Tetapi bayangan bapak saya yang saya jumpai dalam alam khayal mendadak berkelebat memasuki benak saya. Lalu kupasan bapak saya tentang kisah Adam AS secara berurutan menerkam kesadaran saya. Saya sadar bahwa apa yang diungkapkan Laxmi Devi tiada lain adalah lambang dari godaan Hawa (nafsu) agar Adam mendekati dan menelan pohon cinta yang memabukkan yang membuat nafs lupa kepada Rabb-nya. Sirru l Haqq menggema di pedalaman jiwa saya, mengingatkan saya bahwa pernyataan keras Laxmi Devi adalah bagian dari usaha menarik langkah saya ke lingkaran setan kehidupan duniawi.
Melihat saya termangu-mangu, Laxmi Devi memulai lagi gempurannya, Benarkah kata-kata yang saya lontarkan kepada sampean"
Sampean punya hak untuk menilai dan mengatakan apa saja tentang saya, sahut saya berusaha tenang, Sebab semua itu justru menunjuk adanya perbedaan dan jarak antara sampean dan saya. Tetapi sampean perlu menyadari, bahwa apapun penilaian sampean kepada saya, pada faktanya sampean tidak memiliki hak untuk menentukan hidup saya. Jangankan sampean, o Laxmi, diri saya sendiri pun tidak mempunyai hak untuk menentukan hidup saya sekalipun saya punya hak atas hidup saya.
Kalau satu ketika sampean bisa menjadi istri saya, maka hal itu bukanlah atas kehendak sampean atau kehendak saya sendiri. Ketahuilah, o Laxmi, bahwa manusia tidak akan tetap membujang karena takut kawin, manusia pun belum tentu segera kawin sekalipun dia berani kawin. Jodoh tidak datang karena dipanggil. Jodoh juga tidak pergi karena diusir. Jodoh tak pernah terlambat datang sebelum waktunya. Dia menggelinding sebagai hukum yang berjalan di atas porosnya.
Tapi, Sudrun, saya khawatir, kilah Laxmi Devi pantang mundur, Saya khawatir justru dengan prinsip hidup seperti itu sampean akan hangus terbakar oleh api keyakinan sampean sendiri. Saya khawatir sampean akan tenggelam ditelan gelombang samudera yang sampean ciptakan sendiri. Percayalah, Sudrun, bahwa apa yang saya kemukakan dengan kekhawatiran ini bukan tersebab kebencian saya terhadap sampean, melainkan inilah wujud cinta saya terhadap sampean. Kalaupun sampean tidak dapat lagi saya halangi, semoga perpisahan ini menyimpan benih pertemuan kembali, entah di dunia ini entah di akhirat kelak. Yang pasti, saya akan setia menunggu sampean mesti kita nantinya hanya dipertemukan di kampung akhirat.
Terima kasih atas kesediaan sampean mencintai saya yang faqir ini, kata saya terenyuh dengan tenggorokan seperti tersekat sesuatu, Berbahagialah sampean yang masih dikaruniai Allah pancaran cinta kasih sehingga sampean bisa mencintai orang lain selain diri sampean. Sebab kebanyakan dari manusia sebenarnya lebih mencintai dirinya sendiri, sehingga kalau mereka menyatakan cinta kepada orang lain, maka sebenarnya mereka mengharap orang lain itu mencintai mereka. Mereka berbuat sedemikian rupa untuk kesenangannya sendiri. Karena itu, betapa banyak orang yang memperbudak orang lain dengan alasan cinta sejati.
Saya sendiri selama ini tidak mengetahui secara pasti, apakah yang sebenarnya disebut cinta . Sebab yang saya ketahui selama ini, hanyalah orang-orang yang mengatasnamakan cinta saling memperbudak dan saling menghisap orang lain demi kesenangan dan kepentingan dirinya sendiri. Oleh karena itu, o Laxmi, saya tidak berani mengatakan apakah saya mencintai sampean atau tidak. Yang jelas, saya memiliki semacam perasaan ingin melindungi sampean. Saya tidak ingin melihat sampean hidup menderita. Saya ingin melihat sampean selalu bahagia di mana pun berada. Itu saja.
Bukankah itu salah satu manifestasi cinta" sergah Laxmi Devi.
Saya tidak mengerti, Laxmi, sahut saya dengan nada datar, Mungkin juga perasaan saya terhadap sampean itu jauh lebih suci daripada yang disebutsebut orang dengan istilah cinta. Karena itu sekarang ini saya sudah tidak mau lagi membohongi orang dengan menyatakan cinta, di mana hal itu dulu sering saya lakukan untuk memuaskan diri saya sendiri. Padahal setiap saya menyatakan cinta, saya mesti menertawakan perempuan yang menerima maupun menolak cinta saya. Saya tertawakan mereka seolaholah saya menyaksikan badut yang lucu maupun tidak lucu.
Laxmi Devi menunduk dalam-dalam, menghunjamkan matanya ke lantai seolah ingin menembus permukaannya. Setitik air bening jatuh dari kelopak matanya. Sesaat kemudian, sambil menggigit bibir, dia berlari ke dalam kamarnya. Sebentar kemudian, dia keluar menggendong Aham yang tertawa-tawa dalam dekapannya.
Melihat Laxmi Devi berdiri mendekap Aham dalam gendongan, saya merasakan tubuh saya menggigil dan mendadak terasa ringan seolah-olah tubuh saya terbuat dari kapas. Sesaat, saya merasa seolah-olah berada di alam mimpi. Angin sepoi yang menerobos dari celah jendela mendadak saya rasakan membeku dan menghentikan aliran darah saya. Ruangan di mana saya berdiri tiba-tiba merasa kosong dan hampa. Sementara keringat dingin mengucur dari seluruh pori-pori di tubuh saya.
Saya sadar bahwa Laxmi Devi dan Aham bukanlah milik saya. Tetapi kumparan kenangan yang pernah mengikat kami dalam rentangan waktu telah menyentuh relung-relung rasa jiwa saya yang paling dalam. Entah mengapa, tiba-tiba saja saya merasakan ada rongga yang kosong di dada saya, di mana kekosongan itu rasanya akan terisi apabila dimasuki Laxmi Devi dan Aham. Ini sungguh aneh. Bagaimana saya merasakan bahwa dengan berpisahnya diri saya dengan Laxmi Devi dan Aham seolah-olah isi rongga dada saya ada yang hilang dan dada saya terasa dipenuhi kekosongan. Hati saya terasa hampa.
Suara tawa Aham yang manja berderai-derai menerobos pendengaran saya. Suara tawa itu tidak saya dengar sebagai suara kegembiraan, tetapi sebagai suara jerit tangis kepedihan yang menyayat hati. Bayangan Aham yang kurus yang saya temukan di pnggir jalan tiba-tiba membayang ganti-berganti di mata saya. Aham yang selalu saya gendong ke mana-mana. Aham yang selalu tidur di buaian saya. Aham yang selalu menggapai-gapaikan tangan mencari puting susu ibu yang tak pernah dikenalnya.
Membayang-bayangkan keterkaitan Aham dengan saya, tanpa terasa lutut saya gemetar. Aliran darah saya, saya rasakan meluncur perlahan-lahan mengalirkan rasa pedih yang menggumpal di dada saya. Waktu mendadak saya rasakan berjalan lambat dan menyiksa jiwa. Ya Allah, perasaan aneh apakah yang sekarang ini bersimaharajalela menerkam dan mencabik-cabik jiwa saya" Mengapa kepedihan ini menjadi begini menyakitkan" Mengapa kehampaan ini menjadi begini menyiksa"
Angin yang berhembus diiringi mendung hitam dan kelabu menyelimuti kesedihan bumi yang merana bagai kabut kepedihan menyelimuti jiwa saya. Langit tiba-tiba terasa akan runtuh menimpa kesadaran di kedalaman jiwa saya ketika Laxmi Devi menyodorkan tubuh Aham ke arah saya. Tatap mata Laxmi Devi yang sendu seolah-olah mengatakan bahwa dia ingin sekali melihat saya menggendong Aham untuk yang terakhir kali.
Tatap mata Laxmi Devi yang sendu dan penuh harap itu, saya rasakan seperti dialiri daya sihir yang dahsyat memukau kesadaran saya. Hati saya tiba-tiba terasa runtuh. Saya seperti tidak kuasa menolak permohonan Laxmi Devi yang memancar sendu lewat sorot matanya. Lalu seperti tidak sadar, saya menangkap tubuh Aham yang terasa empuk bagai kapas.
Begitu tubuh Aham saya sentuh dan saya dekap, saya merasakan tarikan magnet menghentak dari gugusan tubuh Aham ke tubuh saya. Kemudian bagai seorang ayah yang merindukan anak yang terpisah bertahun-tahun, tubuh Aham saya dekap erat-erat seolah ingin saya resapkan tubuhnya ke tubuh saya. Saya dekap erat-erat Aham seperti saya dekap hidup dan mati saya. Detik-detik berlalu dan pada satu titik waktu saya merasakan getaran kuat menyerbu jiwa saya. Saya mendadak merasakan tubuh saya seperti dialiri kegentaran. Saya merasakan, terkaman rasa takut itu tidak lain dan tidak bukan berasal dari hasrat tidak inginnya saya berpisah dengan Aham. Hati saya mendadak terasa kecut membayangkan berpisah dengan Aham.
Dalam dekapan saya, Aham tidak menangis tidak pula tertawa. Dia hanya menggumam seolah-olah merasakan kenyamanan berada dalam pelukan kasih seorang ayah. Tetapi justru gumam-gumam lirih yang mirip celoteh itu yang selama ini mengiang-ngiang di telinga saya dan memantul di hamparan jiwa saya. Dan tanpa saya sadari, titik-titik air bening perlahan-lahan jatuh dari mata saya. Hal itu baru saya sadari setelah bayangan Laxmi Devi di depan saya mendadak terlihat kabur.
Saya masih terhanyut gelegak perasaan ketika Laxmi Devi mengulurkan tangannya yang lembut menghapus air mata saya. Sentuhan lembut tangan Laxmi Devi yang gemulai itu saya rasakan seperti belaian seorang kekasih yang sangat mesra, menyegarkan jiwa saya yang gersang. Sesaat, saya benar-benar hanyut terseret perasaan kasih yang memabukkan. Bahkan tanpa saya sadari, mendadak saja hasrat di dada saya menggemuruh memberikan dorongan untuk merengkuh Laxmi Devi ke dalam dekapan saya. Saya mendadak dicekam keinginan kuat untuk memeluk dan mencium Laxmi Devi, di mana ia akan saya rengkuh sebagai milik saya bersama Aham. Hasrat saya itu begitu liar dan ganas, meraung-raung dan melolonglolong seperti serigala kelaparan akan menerkam mangsa.
Tetapi hasrat saya mendadak lebur dan nyawa saya terasa lepas ketika dengan suara lembut Laxmi Devi berkata:
Kuatkanlah hati sampean, Sudrun, janganlah sampean mengikuti perasaan!
Saya mengangguk-angguk penuh takjub dengan kenyataan tak terduga ini. Air mata saya pun tak dapat saya bendung lagi, tumpah membasah pipi saya. Entah apa yang terjadi, saya tiba-tiba merasakan betapa tidak perlu lagi merasa rendah untuk menangis di depan Laxmi Devi. Saya hanya merasa bahwa Laxmi Devi adalah orang yang sangat memahami kekurangan dan kelebihan saya sebagai manusia Sudrun. Dan air mata saya terus tumpah kendati Laxmi Devi berkali-kali mengusap pipinya yang juga basah oleh airmata.
Tahukah sampean, o Sudrun, desah Laxmi Devi lirih, mengambil ibarat dengan kisah Mahabharata, Bahwa saya sekarang ini dijalari semacam kebanggaan dan kebahagiaan yang jarang diperoleh perempuan lain. Saya merasa bangga dan bahagia seibarat kebanggaan dan kebahagiaan Utari saat melepas kepergian Abimanyu ke palagan Kurusetra, meski Utari tahu bahwa kekasih tercinta akan gugur di lautan darah dengan cara mengerikan.
Karena itu, o Sudrun, teguh dan tegakkan semangat sampean dalam menghadapi mahayudha di palagan Kurusetra untuk memenangkan keyakinan sampean. Jangan biarkan sampean tenggelam dihanyut perasaan. Majulah terus mengibarkan panji-panji keyakinan di puncak gunung kemenangan.
Kalau dalam peperangan sampean menang, berdiri tegaklah sampean mengumandangkan nyanyian sunyi Ilahi. Serulah puak-puak manusia untuk datang ke jalan kebenaran Ilahi. Kami semua akan merasa bangga dan bahagia melihat sampean berdiri tegak di atas gelora ombak samudera raya kehidupan.
Seperti gelombang samudera mengerikan katakata Laxmi Devi menggelora dahsyat menggempur jiwa saya. Saya tersentak kaget dengan kenyataan tersebut, sebab saya tak pernah menduga bahwa Laxmi Devi dapat sekukuh itu. Samar-samar saya melihat cahaya kemuliaan memancar dari kedalaman jiwa Laxmi Devi yang berpendar laksana permata. Dan saya pun makin terpesona penuh kekaguman ketika Laxmi Devi berkata seolah-olah menasehati:
Sejak sampean menguraikan makna sejati kehidupan kepada saya di danau Dal, o Sudrun, saya seperti menyadari bahwa kehadiran sampean di samping saya dan Aham bukanlah jaminan bagi keselamatan dan kebahagiaan kami. Sebab jiwa dan tubuh sampean pun tidak dapat sampean jamin keselamatan dan kebahagiaannya. Saya menjadi sadar bahwa segalanya harus saya pasrahkan kepada Allah yang mencipta dan memelihara saya.
Kalau tadi saya sempat bersitegang dengan sampean, maka itulah wujud dari keragu-raguan dan kekurangikhlasan saya menghadapi kenyataan. Tetapi sekarang ini, meski berat bagi saya, saya makin yakin akan kepasrahan saya kepada Allah setelah mendengar uraian-uraian sampean. Saya seperti menangkap satu pancaran keteguhan setiap kali saya mendengar uraiaan dari sampean tentang hidup.
Saya sendiri menyadari bahwa sekarang ini saya hanya memiliki pengetahuan teoretis tentang hakikat hidup ini dari petunjuk dan fatwa sampean. Tetapi saya akan terus berusaha menerapkannya dalam kenyataan hidup saya. Dan segala apa yang sampean jalani, semoga dapat mejadi cermin bagi langkah saya selanjutnya. Saya terpana dengan kata-kata Laxmi Devi yang meluncur bagai anak panah menikam jantung hati saya. Saya tiba-tiba merasakan seperti seorang anak kecil yang dinasehati oleh seorang ibu yang bijak. Saya merasakan ada semacam letupan kasih dan ketulusan yang memancar dari setiap kata-kata yang meluncur dari mulut Laxmi Devi. Lalu tanpa saya sadari saya tibatiba telah mengucapkan kata Masya Allah berkalikali sebagai ungkapan ketakjuban saya atas kebesaran Ilahi yang begitu tak terjangkau. Bayangkan, Laxmi Devi yang sering saya curigai dan sering saya nasehati serta sering saya sindir sebagai perempuan egois pemuja kesenangan duniawi itu, mendadak bisa membuat saya meringkuk tak berdaya bagai anak kecil nakal dinasehati ibunya. Dan saya benar-benar meringkuk tanpa daya ketika Laxmi Devi melanjutkan kata-katanya dengan nada penuh kelembutan dan kasih sayang seorang ibu:
Sampean mesti sadar, o Sudrun, bahwa sampean sekarang ini sedang berjalan menuju Sang Pencipta, Tuhan bagi segala tuhan yang dipertuhankan manusia. Sampean mesti sadar bahwa sampean sedang menuju palagan mahayudha yang jauh lebih berat daripada menghadapi peperangan fisik. Sampean mesti sadar bahwa sampean sekarang ini sedang menuju jihad-iakbar. Oleh sebab itu, o Sudrun, sucikanlah tubuh dan jiwa sampean seolah-olah tidak ada yang sampean tuju di palagan mahayudha itu kecuali kematian untuk bisa menyatu dengan Sang Pencipta. Mandikanlah tubuh sampean. Guntinglah kuku-kuku sampean. Sisir dan sanggullah rambut sampean. Kenakanlah pakaian dari kafan sebagai penutup aurat. Tebarkanlah wewangian di tubuh sampean, sebagai pertanda kesiapan sampean menyongsong gemuruh kematian di medan perang. Dan dengan keyakinan syahid, gempurlah musuhmusuh sampean yang maha dahsyat yang tak dapat ditaklukkan dengan ujung senjata apapun kecuali dengan iman.
Seperti anak kecil yang patuh kepada ibunya, saya mengikuti semua petunjuk dan petuah Laxmi Devi. Saya segera mandi dan mensucikan diri. Namun saya sempat tersentak kaget ketika saya ketahui Laxmi Devi sudah menyiapkan pakaian putih yang terbuat dari kain kafan kasar. Saya lebih terkejut lagi ketika Laxmi Devi menaburkan minyak kasturi di tubuh saya. Dan kukukuku saya pun akan dipotongnya sampai bersih.
Sebuah keanehan mendadak saya rasakan menyelimuti jiwa saya. Bayangkan, dengan tangan yang lembut laksana sutera Laxmi Devi menangkap tangan saya. Lalu dengan cekatan ia memotong kukukuku saya. Anehnya, saya tidak lagi merasakan sentuhan tangan Laxmi Devi sebagai sentuhan tangan seorang perempuan terhadap seorang laki-laki. Ini aneh. Saya justru merasakan bahwa saya hanyalah seorang anak nakal yang mendadak patuh ketika kuku-kukunya dipotongi ibunya. Saya tidak merasakan sentuhan tangan Laxmi Devi berhubungan dengan benih birahi, tetapi lebih seperti tangan mulia yang mengurapi jiwa saya.
Setelah memotong kuku-kuku saya, Laxmi Devi menyuruh saya duduk di lantai sambil memangku Aham. Kemudian dengan tenang dia menyisir rambut saya. Disanggulnya rambut saya sedemikian rupa sehingga mirip sanggul para yogi. Sesudah itu dia menyuruh saya berdiri. Saya pun seperti robot mengikuti saja perintah.
Sekarang pergilah ke palagan mahayudha, kata Laxmi Devi dialiri rasa bangga seperti seorang ibu yang bangga melihat anak lelakinya yang baru didandaninya untuk bermain-main, Kalau dalam perang nanti sampean menang, tegakkanlah panji-panji kebenaran sampean di puncak dunia. Kalau sampean berkenan, ajarilah kami meniti buih di samudera kehidupan yang telah sampean taklukkan.
Saya termangu-mangu memandang cakrawala yang luas membentang. Saya menyadari bahwa saya belumlah cukup sempurna menggapai maqam mahmud. Saya belum apa-apa dalam perjalanan selama ini. Itu sebabnya, semakin saya renungkan keberadaan saya semakin sadarlah saya bahwa saya hanyalah sebutir debu di tengah gurun dibanding para nabi dan auliya yang membentang luas jiwanya sebagai gurun sunyi yang bisa menampung ruh gurun. Dan sekarang ini, sebagai debu saya merasakan hempasan angin menggemuruh sangat dahsyat melontarkan diri saya ke berbagai arah yang membuat saya terpontang-panting mengikuti ke mana angin membawa.
Sebuah benturan bagai petir yang menyambarnyambar, saya rasakan menghantam pedalaman saya. Saya terkejut tetapi sekaligus gembira karena sirru l haqq di pedalaman saya mendadak hadir kembali setelah cukup lama hilang dalam kemisteriusan. Lalu seperti tersadar dari mimpi, saya pun baru menyadari bahwa kedebuan saya harus sirna sehingga saya tidak lagi merasa sebagai aku sebab debu pun yang begitu kecil sebenarnya masih menyimpan rahasia aku . Betapa kecil dan tak berharganya, debu tetap bisa menyatakan aku adalah debu .
Saya segera pergi, dengan kepastian akhirnya kata-kata itu melesat dari mulut saya.
Laxmi Devi tegak mematung seperti arca. Matanya yang bulat lebar dengan bulu-bulu lebat, mendadak berkaca-kaca bagai hendak menumpahkan air. Tetapi, Laxmi Devi kelihatan berusaha menguatkan hati dengan mengatupkan bibir rapat-rapat. Ketika air bening di kelopak matanya hendak tumpah membasahi pipinya, buru-buru ia membalikkan badan dan berlari ke arah kamarnya. Beberapa menit ia berada di dalam kamar. Setelah itu, ia keluar dengan tersenyum meski matanya kelihatan merah bekas tangis. Di tangan Laxmi Devi Saya lihat ada piring kecil berisi adonan lunak warna merah.
Sebagai lambang kebulatan tekad dan lambang kebebasan dari keterikatan, biarlah saya guratkan warna merah ini di kening sampean, kata Laxmi Devi sambil mengguratkan adonan merah ke kening saya dengan ujung ibu jarinya.
Saya melihat bahwa garis merah di kening hanya dipakai oleh para ksatria yang maju ke medan perang, kata saya berkomentar.
Saya tidak melihat sampean seperti seorang Brahmin, sahut Laxmi Devi cepat, Saya justru melihat sampean sebagai Ksatria-Brahmana. Sebab saya tidak melihat Islam mengajarkan sistem kerahiban, oleh sebab itu, saya hanya melihat sampean sebagai seorang ksatria yang sedang mengarungi dunia ke-brahmanaan untuk kemudian kembali lagi sebagai ksatriabrahmana.
Saya tersentak kaget dengan ungkapan Laxmi Devi. Sebab selama ini saya tidak pernah berpikir bahwa dalam perjalanan ini saya akan kembali kepada masyarakat. Saya hanya berpikir mencari kebenaran mutlak yang sempurna, di mana sesudah itu saya akan tenggelam dalam hubungan cinta dengan Al-Khalik. Saya benar-benar melupakan bahwa Islam melarang keras Ke-Brahmana-an yang meninggalkan perkawinan, pekerjaan dunia, dan masyarakat. Dan saya baru tersadar setelah Laxmi Devi mengingatkan hal itu.
Akhirnya saya tidak bisa berbuat lain kecuali tersenyum menertawakan kebodohan saya selama ini. Saya mulai sadar bahwa saya telah dihempas berbagai konsep yang acapkali tidak berasal dari ajaran Rasulullah SAW. Saya benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana seorang Adi-Brahmana seperti Rasulullah SAW mengatur istri-istri dan anakanak serta kehidupan kenegaraan dan masyarakat. Saya pun akhirnya mulai menyadari bahwa konsep Ksatria- Brahmana yang ada dalam Islam adalah jauh lebih berat daripada konsep-konsep kerahiban yang ada. Mungkin karena itulah Mahatma Gandhi sangat memuji Rasulullah SAW, yang menurutnya, sudah melampaui tahap Brahman, tetapi masih mampu kembali dalam kehidupan sehari-hari mengatur rumah tangga, negara dan masyarakat.
Saya harus pergi sekarang, kata saya sambil menyodorkan tubuh Aham kepada LaxmiDevi, Jaga dan peliharalah amanat Ilahi ini, sebab dari Aham saya beroleh banyak hikmah dalam membaca gejala-gejala kehidupan. Dia yang saya temukan sendirian di tengah malam tidaklah menjadi mati karena ditinggalkan sendiri. Dia yang tidak mengenal ibunya, saya lihat justru memperoleh ibu-ibu yang penuh kasih dan kebijaksanaan.
Ya, dari kisah hidup Aham-lah saya memperoleh kepastian bahwa kematian tidak datang bila dipanggil, pun kematian tidak pergi karena diusir. Dan karena itu pula saya makin yakin bahwa penderitaan, kebahagiaan, jodoh, kelahiran, kematian memiliki hukum tersendiri yang tak bisa diganggu gugat. Oleh karena itu, saya menyarankan agar sampean bisa belajar dari berbagai hal di sekitar sampean.
Saya akan memelihara Aham sebaik-baiknya, karena dia adalah anugerah Ilahi yang diamanatkan kepada saya, kata Laxmi Devi teguh.
Saya akan selalu ingat semua kata-kata sampean dan semuanya akan saya jadikan pusaka keramat yang menyertai perjalanan saya, kata saya menguatkan diri.
Berangkatlah Ksatriaku, kata Laxmi Devi sambil mendekap erat tubuh Aham ke dadanya, Janganlah sampean berpaling sebelum tercapai apa yang sampean harapkan.
Assalamu alaikum, kata saya menatap Laxmi Devi dan Aham ganti-berganti.
Waalaikum salam, gumam Laxmi Devi dengan mata berkaca-kaca, Berjalanlah lurus dan jangan sekali-kali berpaling lagi.
Saya membalikkan tubuh dan memulai langkah dengan berjalan perlahan-lahan meninggalkan Laxmi Devi dan Aham. Tapi baru beberapa langkah, saya terpaksa berhenti karena saya mendengar isak tangis tertahan Laxmi Devi dan celoteh Aham. Saya berdiri termangu dengan dada terasa berongga, kosong. Tapi saya tetap mengingat pesan Laxmi Devi untuk tidak berpaling lagi. Dan akhirnya, saya pun melangkah lagi meski isak tangis Laxmi Devi saya dengar makin keras di kejauhan.
EMPAT BELAS B adai gurun menggemuruh dahsyat bagaikan
iring-iringan barisan raksasa berkejaran sambung-menyambung, melonjak, menggulung, menghentak-hentak, mengaduk-aduk, dan menghempas bumi menimbulkan getaran dahsyat kekuatannya, seolah akan merontokkan bintang-bintang di langit dan meruntuhkan awan yang berarak di angkasa. Di tengah gemuruh badai mengerikan itu, saya dan Twam teraduk-aduk tanpa daya dalam intaian maut. Setelah lama dicekam amukan gurun, saya rasakan sisa tiupan badai yang sudah melemah masih sangat kuat untuk mencabik-cabik bagian demi bagian tubuh saya menjadi serpihan-serpihan daging bercampur debu. Angin bersuit-suit menghamburkan pasir dan batu ke segenap penjuru. Bunga-bunga rumput kering, kerikil, dan debu melanda permukaan gurun pasir seperti gelombang laut menyapu pantai.
Dengan menundukkan tubuh di antara bebatuan saya merangkul tubuh Twam yang menggigil kedinginan. Saya lindungi tubuh Twam dengan tubuh saya. Sementara pasir dan kerikil menerpa, saya rasakan seperti beribu-ribu jarum ditusukkan ke kulit saya.?"?" Badai terus bergemuruh dengan suara angin bersuitsuit laksana kumandang tangis berjuta-juta setan penasaran bergentayangan di gurun.
Saya tepuk-tepuk punggung Twam untuk menenteramkan hatinya yang galau karena saya melihat Twam menguik-nguik di dekapan saya dengan kegelisahan mencakari wajahnya. Napas Twam terdengar memburu. Dalam takut dia meringkuk dan memejamkam mata. Melihat keadaan Twam, diamdiam rasa iba merayapi hati saya. Kelebatan-kelebatan kenangan bersama Twam saya rasakan menghunjam memasuki jiwa saya terdalam. Twam bagi saya tak berbeda dengan Aham, yaitu makhluk yang sudah dibayangi maut tetapi belum tiba saat ajal, sehingga harus mengarungi samudera kehidupan dengan keaneka-ragaman makhluk Tuhan yang ajaib.
Saya tersenyum mengingat keberadaan Twam bersama saya malam ini. Bayangkan, tiga hari sebelum saya berpamitan kepada Laxmi Devi, Twam sudah tidak kelihatan batang hidungnya. Dia menghilang begitu saja, dan Laxmi Devi sempat menganggapnya telah tewas dibunuh orang. Bahkan saat saya berpamitan, Ranjit dan Shakuntala masih sibuk mencari Twam ke sana kemari. Tetapi ketika saya sudah meninggalkan Srinagar dan sedang melangkah di tengah malam di pinggiran kota Bhadra yang terletak di utara gurun Rajasthan, Twam mendadak muncul. Sambil menguiknguik dan membungkuk-bungkuk, ia mengendusendus kaki saya dengan moncongnya.
Melihat kemunculan Twam yang tak terduga, saya mendadak sadar bahwa apa yang terangkai dalam rantai keterikatan antara saya dan Twam bukanlah kebetulan belaka. Saya makin sadar akan keterikatan saya dengan Twam ketika sirru l haqq di pedalaman jiwa saya menengarai bahwa perjalanan saya masih jauh dan harus diwarnai keterlepasan berbagai ikatan subjek-objek dari diri saya. Akhirnya, saya menyadari bahwa cepat atau lambat saya niscaya akan terpisahkan dari Twam sebagaimana keniscayaan terpisahnya jiwa dari tubuh saya.
Angin masih membadai dalam gemuruh mengerikan seperti lolongan sejuta serigala lapar memanggil kawanan. Saya masih tenggelam dalam renungan ketika badai makin mengganas seperti hendak menerbangkan batu-batu gunung. Saya merasakan tubuh saya ditusuk-tusuk oleh jutaan pasir yang berubah menjadi jarum. Saya merasakan tubuh saya seperti dihempashempaskan kekuatan angin yang membanting, menekuk, menarik-narik, dan mendorong-dorong tubuh saya yang meringkuk di balik bongkahan batu. Saya merasakan urat-urat di sekujur tubuh saya dihentak-hentak dan ditarik-tarik kekuatan raksasa yang akan melumatkan tubuh saya. Saya terus bertahan dengan ingatan tertancap dalam-dalam kepada Sang Pencipta semata. Saya tidak peduli badai. Saya tidak peduli ancaman kematian. Saya hanya merasakan betapa malam semakin larut semakin diterjang prahara yang menggila di mana gelombang pasir yang berterbangan mengamuk seperti akan menggulung segala yang melintas di hadapannya.
Ketika satu saat saya merundukkan tubuh untuk menghindari serangan angin berpasir yang mengganas, tanpa saya duga tiba-tiba Twam menggeliat dari dekapan saya. Gerakan Twam yang lemah itu tanpa saya sadari telah melonggarkan dekapan saya atasnya. Lalu terjadi peristiwa yang tidak saya sangka-sangka: dalam hitungan detik, tubuh Twam telah merosot dari dekapan saya. Lalu secepat kilat, tubuh Twam terpental ke udara akan tergulung badai. Hanya raung pendek Twam yang sempat saya dengar sebelum tubuhnya lepas dari dekapan saya.
Twam! pekik saya pilu di tengah gemuruh badai yang dengan cepat menelan suara saya. Sedetik tangan saya sempat meraih kaki depan Twam. Saya pegang erat kaki depan Twam, namun kekuatan badai menarik tubuh Twam lebih kuat. Beberapa jenak, terjadi peristiwa menegangkan di mana saya harus bergulat melawan badai untuk memperebutkan Twam.
Twam meraung kesakitan karena tubuhnya ditarik kuat-kuat dari dua arah yang berbeda. Beberapa detik saya terkesima. Tapi setelah itu saya sadar bahwa Twam tidak mungkin lagi saya pertahankan. Saya tidak mungkin memegangi terus satu kaki depannya, sebab hal itu akan semakin menyakitinya. Saya sadar bahwa dengan posisi seperti itu, dalam tempo singkat tubuh Twam akan terbelah menjadi dua. Twam akan mati secara mengerikan dengan kehilangan satu kaki depan dan dada terbelah.
Akal sehat saya akhirnya berbicara. Cengkeraman tangan saya atas kaki depan Twam, buru-buru saya lepaskan. Sedetik kemudian, tubuh Twam terpental dan lenyap tergulung badai. Saya tidak lagi mendengar suara Twam. Saya hanya mendengar gemuruh badai mengguruh bagai hendak meruntuhkan segala. Saya bayangkan tubuh Twam yang melayang-layang di angkasa itu akan menghantam bebatuan, kemudian terkubur pasir di tengah gurun.
Malam gelap berkabut ketika titik-titik embun membasahi tubuh saya. Saya tersentak seperti terbangun dari sebuah mimpi buruk. Saya mendadak seperti linglung merasakan dingin malam yang menggigit. Ternyata, badai telah berhenti. Pengalaman mengerikan yang baru saja saya lewati benar-benar membuat otak saya macet tak dapat diajak berpikir. Saya seperti tidak dapat menentukan apakah saya tadi baru saja bermimpi atau pingsan. Yang jelas, pengalaman tersebut sangat mencekam dan hampir membuat saya mati.
Sekarang ini setelah kesadaran mulai merayapi jiwa saya, saya merasakan seluruh tubuh saya remuk seperti tanpa tulang-belulang. Perut saya mendadak terasa sakit bagai dicengkeram dan diremas-remas tangan raksasa. Leher saya terasa bagai dicekik catok baja. Dada saya terasa seperti dihantam godam berton-ton. Saya sadar bahwa saya belum berbuka puasa sehingga kekuatan fisik saya sangat tersita. Saya baru ingat bahwa sekarang ini adalah malam keempat puluh dari puasa saya.
Dengan napas terengah-engah menahan kesakitan, saya menatap bintang-bintang yang bertebaran di langit yang redup sinarnya karena diselimuti kabut. Saya tidak bisa menggerakkan tubuh saya karena saya merasakan tulang-tulang di sekujur tubuh saya sudah remuk. Saya hanya bisa menatap kegelapan malam dengan titik-titik bintang yang menghambur laksana permata ditebarkan di atas permadani hitam.
Ketika saya tenggelam dalam ketidakberdayaan di tengah kelam malam, tiba-tiba saya melihat seberkas cahaya kuning kemerahan berpendar-pendar mengitari tubuh saya. Saya tercekat dan bertanya-tanya dalam hati tentang cahaya kuning kemerahan yang baru sekali itu saya saksikan. Cahaya apakah itu" Apakah ajal saya sudah datang"
Pancaran cahaya itu makin lama makin terang, tetapi berangsur-angsur meredup dalam jarak sekitar dua meter di depan saya. Saya kebingungan ketika cahaya itu perlahan-lahan membentuk silhouette seperti sosok manusia yang memancarkan cahaya berwarna emas. Melihat pemandangan menakjubkan yang aneh tersebut, saya bertanya-tanya dalam hati akan makna sebenarnya dari pemandangan yang saya lihat tersebut, apakah itu cahaya malaikat yang akan mencabut nyawa saya, entahlah saya tidak tahu.
Di tengah kebingungan saya, tiba-tiba pancaran cahaya berkilau-kilau keemasan itu memperdengarkan suara merdu memukau jiwa, Akulah Allah yang mengejawantah!
Allah" gumam saya takjub pada keindahan yang memancar di depan saya itu, Sampeankah Tuhan" Sampeankah Rabbu l Arbaab"
Aku adalah Rabbu l Arbaab! Aku adalah Rabb sesembahan seluruh makhluk. Akulah tempat meminta. Akulah tempat bergantung. Seluruh alam semesta ada di bawah duli kuasaku.
Saya tidak dapat berkata-kata karena rasa takjub akan keindahan cahaya itu merajalela memenuhi kesadaran saya. Ada kekuatan gaib maha dahsyat yang begitu misterius. Saya rasakan daya gaib memukau seluruh kesadaran saya. Daya pesona itu sangat dahsyat tak tertahan. Saya merasakan diri saya seperti seekor lebah yang terbius wangi bebungaan.
Jangan syak dan jangan ragu lagi, bahwa aku adalah Tuhan; Allah Yahudi dan Allah Nabi-nabi! Sembahlah akan Aku! Suara itu menggema merdu bagai simfoni agung yang memabukkan jiwa.
Suara yang mengumandang begitu merdu itu mendadak seperti mengalirkan suatu kekuatan gaib ke tubuh saya. Saya menggeliat merasakan kenyamanan merasuki sekujur tubuh saya. Saya merasakan tulangbelulang saya tegak kembali. Saya tiba-tiba bisa bangkit berdiri dengan tubuh segar dan jiwa diliputi kegembiraan. Tetapi ketika saya akan menjatuhkan diri untuk bersujud di hadapan cahaya keemasan itu, tiba-tiba saja bayangan bapak saya mengelebat memasuki benak saya. Sepersekian detik kemudian, telinga saya mendadak seperti mendengar dongengan bapak saya sewaktu saya masih kecil, di mana tergiang-ngiang jelas kata-kata bapak saya bahwa Allah adalah Tuhan yang tidak bisa disamai oleh sesuatu. Allah adalah Ahad. Tunggal. Mutlak. Allah tidak bisa dipikir dan tak bisa dijangkau pikiran. Allah bukan laki-laki dan bukan perempuan. Allah tidak bisa dilihat pancaindera. Allah adalah Maha Gaib dan Maha Tunggal tidak terbandingkan dengan sesuatu. Jika sesuatu masih menyerupai sesuatu, pasti itu bukan Allah. Sungguh, yang menyerupai sesuatu itu bukan Allah, suara bapak terdengar mengiang seperti memenuhi cakrawala pendengaran saya.
Ketika telinga saya menangkap gaung suara bapak yang terngiang-ngiang secara lamat-lamat, tiba-tiba pula sirru l haqq di pedalaman jiwa saya membentangkan kalam-i-ghayb:
Allah adalah Tunggal dan tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya (QS. al-Ikhlas: 1-4). Ingatlah segala perkara yang dahulu daripada awal zaman, bahwa Aku ini Allah; tiada lagi Tuhan yang lain atau sesuatu yang setara dengan Aku (Yesaya, 44:6). Maka sekarang ketahuilah olehmu dan perhatikanlah ini baikbaik, bahwa Tuhan itulah Allah, dan kecuali Tuhan Yang Esa tiadalah yang lain lagi (Ulangan, 4:36). Adapun Allah Tuhan kita, Dialah Tuhan Yang Esa (Markus, 12:29). Inilah hidup yang kekal, yaitu supaya mereka mengenal Engkau, Allah Yang Esa dan Benar, dan Yesus Kristus yang telah Engkau suruhkan itu (Yahya, 17:3). Ingatlah bahwa Zarathustra membersihkan agama dari pemujaan Daevas beserta pemujaan unsur-unsur yang dapat diraba dengan pancaindera (Yasna, 44:9).
Kilatan petir mendadak saya rasakan menyambar pedalaman jiwa saya. Baris terakhir dari kalam-i-ghaib yang berasal dari kitab Avesta itu benar-benar menyadarkan saya.
Kamu bukan Tuhan! seru saya lantang dengan suara menggeram.
Akulah Tuhan sesembahan umat manusia! seru cahaya gemerlapan itu terpendar-pendar, Barangsiapa menyembahku, akan kuberikan baginya seluruh kekayaan duniawi. Akan kuangkatkan dia di atas manusia lain sebagai raja diraja.
Tidak! seru saya menggeram ganas, Kamu bukan Allah! Sekali-kali bukan Dia.
Allah hanya sebutan bagi yang Ilahi! Adapun aku, Allah yang mengejawantah.
Tidak, kamu bukan tuhan! Kamu bukan Rabu l Arbaab, sergah saya bersikukuh.
Aku adalah Tuhan manifestasi Allah. Aku disebut Angramainyu. Aku disebut Daevas. Aku disebut Ism Mudzil.
Menyingkirlah Iblis! Jangan menggoda saya. Sembahlah aku! seru cahaya gemerlap itu mengulang, Aku akan memberimu seluruh kekayaan dunia dan kekuasaan raja bagimu.
Saya tidak butuh kekayaan dunia. Saya juga tidak mau jadi penguasa dunia, sergah saya tegas, Menyingkirlah kamu!.
Ketahuilah manusia bodoh! seru silhouette itu dengan pancaran emas berkilauan, Beberapa saat lagi engkau akan mati apabila tidak segera bertaubat dan menyembahku. Aku tahu engkau sedang kelaparan dan kehausan di tengah gurun.
Allah memelihara hidup saya, bantah saya tegas, Allah yang menentukan mati dan hidup saya sekalikali bukan engkau.
Kalau Allah yang kau sembah maha kuasa, perintahkan Dia untuk menyuguhkan makanan bagimu dari langit dengan diantar para malaikat-Nya! Suruhlah Allah yang kau sembah untuk mengubah batu dan pasir di sekitarmu itu menjadi makanan lezat!
Terkutuklah engkau iblis, karena engkau mengajarkan agar manusia memerintah Allah! pekik saya marah, Menyingkirlah kamu! Minggat dari hadapanku!
Cahaya keemasan di depan saya berpendar-pendar menyilaukan mata disertai suara gemuruh mengguncang bumi. Saya pungut sebongkah batu kecil. Lalu sambil membaca ta awud saya lempar cahaya itu.
Angin bertiup kencang. Cahaya keemasan itu berangsur-angsur melenyap. Saya termangu mendengar suara angin gurun yang menderu bersuit-suit menaburkan dingin malam. Sedetik kemudian semua menjadi hening. Senyap. Hampa.
Saya menarik napas dalam-dalam termangu takjub dengan kejadian menggetarkan yang baru saja saya lewati. Bagaimanapun saya merasa bersyukur karena berhasil lolos dari bujukan jahat Angramainyu, Raja Kekelaman yang tiada lain adalah iblis terkutuk. Udara malam terasa menerkam tubuh saya dengan dingin menusuk-nusuk bagai ribuan jarum memasuki kulit daging dan tulang saya. Saya mengkertak gigi menahan dingin yang menyengat, meski saya tidak tahu harus berbuat apa dengan ketidakberdayaan ini. Saya hanya pasrah dan menunggu agar tidak lama lagi pagi akan menjelang.
Setelah beberapa menit termangu-mangu sambil terus-menerus berdzikir, saya tiba-tiba saja melihat seberkas cahaya putih kebiru-biruan berpendar indah mengitari kepala saya. Cahaya itu makin lama makin terang. Cahaya itu kemudian menebarkan aroma wangi yang mempesona indera penciuman saya. Sungguh, aroma wangi yang sebelumnya belum pernah saya baui. Saya terpesona ketika cahaya beraroma wangi itu berpendar-pendar dalam kumparan indah pada jarak sekitar dua meter di depan saya. Cahaya itu membentuk silhouette seperti bayangan Angramainyu, tetapi cahaya ini lebih jelas dan berangsur-angsur membentuk bayangan manusia yang memancarkan warna putih kebiru-biruan.
Cahaya gemilang putih kebiru-biruan itu mendadak mengeluarkan kata-kata dalam bahasa tanpa suara sebagaimana yang sering saya dapati pada bisikan sirru l haqq. Tetapi saya dengan segera dapat memahami maksudnya, bahwa dia menghendaki agar saya membuka mata hati dan mengambil pelajaran dari kebijaksanaan Ilahi yang akan disampaikannya.
Siapakah sampean" tanya saya dalam hati karena lidah saya kelu dan mulut saya tertutup rapat tak bisa digunakan untuk berbicara.
Aku Zarathustra, kata manusia bercahaya putih kebiru-biruan itu dengan bahasa gaibnya yang aneh menakjubkan, Aku telah mati dan Tuhan tetap hidup. Dia membangkitkan yang mati dari yang hidup, dia membangkitkan yang hidup dari yang mati.
Mendengar pengakuan yang aneh itu, saya terlonjak gentar dan kebingungan. Kekhawatiran kembali menerkam jiwa saya. Jangan-jangan cahaya itu adalah penjelmaan lain dari iblis yang sebelum ini sudah menggoda saya dengan mengaku Allah. Karena itu, sekalipun saya terpukau oleh pesona keindahan yang terpancar dari manusia bercahaya putih kebirubiruan itu, saya tetap menunggu dengan waspada akan segala sesuatu yang akan diucapkannya. Dengan demikian, saya akan bisa menentukan apakah manusia bercahaya itu iblis atau bukan.
Seluruh makhluk adalah seruling bambu dan Tuhan adalah peniup agungnya, kata manusia bercahaya gemilang itu, Siapa yang mengingkari peniup seruling, merekalah bambu rusak keropos yang tidak bisa menimbulkan suara jika ditiup.
Sampeankah peniup seruling itu" tanya saya memancing.
Aku Zarathustra, pesuruh Ahura Mazda Yang Maha Esa. Dia adalah Cahaya yang bersinar tanpa sumbu dan tanpa api. Dia Esa dan Kekal Azali. Dia tidak terjangkau akal budi. Dia tidak tersentuh pancaindera. Dia tidak bisa diserupai sesuatu. Dia tidak bisa dibandingkan dan diserupakan dengan sesuatu apapun.
Siapakah yang sampean maksud Ahura Mazda" tanya saya memburu karena saya belum yakin kalau manusia bercahaya itu adalah Zarathustra.
Ahura Mazda adalah Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Mencipta alam semesta. Dari Dia alam semesta berasal (Yasna, 43:7). Dia Tuhan Yang Esa dan Mahatahu atas segala kejadian (Yasna, 44:2). Dia Tuhan Yang Esa, Tuhan Yang Mahabesar dan Mahakuasa (Yasna, 45:6). Dia Tuhan Yang Maha Esa, Mahakasih dan Maha Penyayang (Yasna, 45:5). Dia Tuhan Yang Esa, Tuhan Yang Mahapemurah (Yasna, 45:6).
Apakah yang dikehendaki Ahura Mazda pada manusia" tanya saya masih dicekam keraguan dan kekurang-yakinan.
Ahura Mazda menginginkan kebaikan bagi manusia agar manusia tidak mengikuti kesesatan Angramainyu dalam manifestasi syaitana yang celaka di hari perhitungan, kata Zarathustra menjelaskan, Sebab di hari perhitungan tersebut, setiap makhluk akan dihitung atas semua perbuatan yang pernah dilakukannya. Ketika itu Ahura Mazda bersemayam di takhta kebesaran-Nya menyaksikan orang-orang melintasi Civentuperetu, yakni jembatan lurus yang sangat kecil ibarat rambut dibelah tujuh, yang merentang di atas cairan logam panas yang menyalanyala dan menggelegak dahsyat. Di jembatan Civentuperetu itulah Angramainyu beserta seluruh pengikutnya akan tergelincir dan dibakar selamalamanya di dalam api neraka.
Adakah jalan lurus yang ditunjukkan Ahura Mazda bagi manusia"
Ahura Mazda merentanglan tiga jalan utama dengan ratusan jalan kecil yang bisa dicapai manusia untuk kembali kepada-Nya. Yang pertama adalah HUTAMA, yaitu berpikir baik, dalam arti setiap saat manusia haruslah selalu mengingat Ahura Mazda melalui hukum-hukum-Nya dan sifat-sifat-Nya serta nama-nama-Nya yang indah dan mulia. Seseorang yang sudah bisa menjernihkan pikirannya dari pengaruh syaitana, tentu akan bisa mempengaruhi tindak lakunya dalam kehidupan sehari-hari. Sebab dari pikiranlah segala hal yang jahat dan baik bersumber.
Yang kedua adalah HUKHATA, yakni kata-kata yang baik, di mana manusia harus selalu berkata-kata yang baik dengan orang lain terutama kepada sesama penyembah Ahura Mazda. Mereka yang kata-katanya menyenangkan para penyembah Ahura Mazda, maka Ahura Mazda pun akan senang. Berbicara yang sopan lagi santun meski kepada anak kecil wajiblah dilakukan oleh setiap penyembah Ahura Mazda. Sebab dari katakatalah yang congkak dan yang rendah hati dapat dibedakan. Dari kata-katalah yang sesat dan yang beroleh petunjuk dapat dibedakan, sebab dari katakatalah seseorang bisa mendapat dan bisa kehilangan simpati.
Ketahuilah, bahwa manusia yang sudah kehilangan simpati dari sesama manusia akan berdiri di hamparan tanah gersang di bawah naungan Angramainyu. Orang yang kata-katanya suka memuji dirinya sendiri akan dibutakan mata hatinya dan akan larut dalam puja dan puji bagi dirinya sendiri. Ketahuilah, bahwa mereka yang selalu memuja-muji dirinya sendiri adalah dapat dilihat dari kata-katanya. Semua kecongkakan dan kesombongan berawal dari HUKHATA yang gagal yang akhirnya mempengaruhi pikiran, di mana orang semacam itu selalu melihat kenyataan di luar dirinya sebagai hal yang buruk.
Yang ketiga adalah HVASTRA, yakni perbuatan yang baik, di mana manusia harus bersikap dan berperilaku yang sesuai dengan apa yang digariskan Ahura Mazda. Apa yang dimaksud berbuat baik adalah tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Perbuatan seseorang yang bisa menyinggung perasaan atau mengecewakan orang lain, yang demikian itu sudah tergolong perbuatan tidak baik.
Apakah perbuatan yang baik untuk diri sendiri" Menjaga kesehatan diri sendiri dengan baik, yaitu membersihkan tubuh dan merapikan rambut serta memotong kuku-kuku (Vendidad, 17:1); menggosok gigi dengan siwak agar terhindar dari penyakit dan akan disukai orang dalam pergaulan (Sadder, 17:1). Setiap hal yang merugikan harus dihindari, misalnya, memakan bawang, mencuci najis yang menempel di tubuh maupun pakaian, menghindari minuman yang memabukkan, berzinah, mencuri, bahkan ketika bersin pun orang harus mengikutkannya dengan doa (Sadder, 7:1-7).
Bagaimanakah balasan bagi orang yang baik dan bagaimana pula balasan bagi orang yang tidak baik" tanya saya ingin tahu.
Ahura Mazda yang memiliki hak mutlak untuk menentukan amal perbuatan manusia selama hidup di dunia. Jembatan Civentuperetu adalah ujian akhir untuk menimbang amal perbuatan manusia. Mereka yang selamat ke seberang, mereka itulah manusia yang berbuat baik yang hidup mengikuti hukum-hukum Ahura Mazda. Dan hanya mereka yang baiklah yang selamat menyeberangi Civentuperetu, sebab Civentuperetu lebih halus dari rambut dibelah tujuh dan di bawahnya ada api neraka berkobar-kobar yang dibuat dari logam yang memuai (Yastna, 43:4 dan 30:7). Mereka yang berbuat kebajikan akan merasakan cairan logam memuai itu bagai uap susu yang hangat, tetapi mereka yang jahat dan sesat akan tersiksa dan terjerumus ke dalamnya (Yasna, 46:10 dan 71:16). Mereka yang berbuat kebajikan akan menikmati hidup kekal di dalam Paradaeza yang penuh ragam karunia dan anugerah Ilahi (Yasna, 53:4). Tetapi, bagi setiap manusia yang ingkar akan kekal disiksa di dalam Gehennama dengan siksaan yang tiada tara pedihnya (Yasna, 49:11).
Bagaimanakah sikap pemuja Ahura Mazda terhadap mereka yang memusuhinya" tanya saya menangkap kesamaan ajaran Ahura Mazda dengan Islam.
Terhadap orang-orang kafir yang memusuhi, bersikaplah keras dan gunakanlah senjata untuk menghadapi mereka (Yasna, 31:18). Namun demikian, bertarunglah dengan musuh-musuhmu secara seimbang dan jangan melampaui batas, serta berbuatlah lemah lembut terhadap sahabatmu sesama penyembah Ahura Mazda (Yasna, 31:19).
Saya mengira, bahwa apa yang sampean ajarkan sebenarnya adalah ajaran tauhid yang tidak jauh berbeda dengan ajaran Islam, kata saya menyampaikan kesimpulan saya.
Ketahuilah, bahwa siapa pun yang menegakkan ke-Esa-an Ilahi adalah Islam, yakni manusia-manusia yang hanya menyerah dan pasrah kepada satu Ilahi yang tidak terjangkau pancaindera dan tak terjangkau akal budi. Ketahuilah, bahwa mereka menegakkan ke- Esa-an Ilahi seibarat mata rantai yang merentang dari satu zaman ke zaman lain tanpa terputus. Tetapi ketahuilah, bahwa mata rantai di antara beratus ribu nabi itu telah ditutup oleh Ausedhar-mah, Juru Selamat Yang Terpuji.
Siapakah Ausedhar-mah" tanya saya membayangkan sejenis tokoh mesianik.
Ausedhar-mah adalah juru selamat yang terpuji, yang merupakan juru selamat kedua. Dia telah menggenapi mata rantai ajaran ke-Esa-an yang pernah disampaikan para nabi sebelumnya. Ajaran Ausedharmah akan tetap dipelihara oleh Ahura Mazda sampai akhir kehancuran umat manusia.
Saya terhentak dalam ketakjuban luar biasa. Zarathustra tetap berpendar di awang-awang di depan saya dengan sinar gemilang putih kebiru-biruan dengan bertabur titik-titik cahaya keemasan. Saya bertanya-tanya dalam hati tentang pertemuan saya dengan Zarathustra yang jelas sekali sangat berbeda dengan apa yang saya ketahui dari buku-buku picisan yang mengatakan bahwa Zarathustra adalah penganjur ajaran dualisme, di mana ada Tuhan dua yang samasama saling berkuasa, yakni Ahura Mazda dan Angramainyu. Ternyata, itu pandangan keliru dari orang-orang yang tidak memahami secara benar ajaran Zarathustra. Ketika saya masih tercengang dalam kumparan pikiran saya tentang ajarannya, tiba-tiba Zarathustra berkata-kata dalam gemerlap sinarnya yang berkilau-kilau:
Lewat engkau ingin kuluruskan ajaranku yang telah dihancurleburkan manusia-manusia pengikut Angramainyu yang sesat.
Bagaimana hal itu bisa terjadi, wahai Tuan" tanya saya heran, Saya hidup di zaman yang jauh berbeda dengan zaman di mana sampean hidup.
Aku akan menyampaikan ajaranku kepada engkau dengan caraku.
Apakah yang harus saya lakukan untuk menerima ajaran Tuan"
Serukanlah pada dunia bahwa Zarathustra adalah utusan yang diutus Ahura Mazda bagi bangsa Arya. Kacaukanlah ajaran-ajaran penyembah Angramaiyu sebagaimana mereka mengacau-balaukan ajaranajaranku. Hantamlah kesesatan ajaran kaum zindik yang memutarbalikkan ajaranku.
Tulis dan kumandangkan kepada dunia bahwa Zarathustra adalah penyampai ajaran Ke-Esa-an Tuhan. Robeklah kitab-kitab yang dikarang orang-orang Karfaster yang menyatakan aku anti Tuhan. Hunuslah pedang dan tikamlah dada para penyeleweng ajaran Ke-Esa-an Tuhan yang merusakkan ajaranku. Hunuslah pedang dan penggallah leher manusiamanusia rendah yang mengaku Tuhan dan utusan Tuhan baru.
Apakah yang sebaiknya saya lakukan terhadap orang-orang yang seiman dengan saya" tanya saya ingin mengetahui ketegasan ajaran Zarathustra.
Humata, Hukhata, Hvarsta itulah tiga jalan utama, kata Zarathustra dalam ketenangan tanpa perasaan, Setiap orang yang beriman haruslah suci dan murni dalam berpikir, berkata, dan berbuat. Seorang yang baik haruslah mengasihi setiap yang beriman, yang miskin dan yang sengsara. Berbuatlah kasih sekalipun terhadap hewan yang mendatangkan kemanfaatan.
Berbuatlah yang lemah-lembut dengan sesama orang yang beriman, tetapi keraslah terhadap musuh. Jangan menganggap dirimu lebih tinggi dari orang lain yang seiman. Jangan membangun bangunanbangunan aturan untuk menempatkan diri sendiri sebagai yang paling tinggi dan mulia di antara mereka yang beriman. Berbuatlah rendah hati dan merendahkan diri di antara yang beriman. Hargai dan hormatilah orang lain yang seiman sebagaimana engkau ingin dihargai dan dihormati. Dan sikap meninggi-ninggikan diri adalah sikap yang tidak adil yang tidak disukai Ahura Mazda.
Ingat-ingatlah, bahwa kalau di hatimu terbetik setitik hasrat untuk meninggikan diri, maka pikiran dan kata-katamu akan berubah menjadi buruk dan cenderung merendahkan orang lain. Kalau sudah begitu, maka perbuatanmu pun akan tidak berbeda dengan pikiran dan kata-katamu yang diliputi kesombongan. Oleh sebab itu, janganlah merasa lebih tinggi dari orang lain, sebab kalau itu terjadi engkau telah berubah menjadi Angramainyu terkutuk. Camkanlah ketika Ahura Mazda mengumpulkan para Spentamainyu yang suci dan semua diperintahkan untuk bersujud kepada Yima, manusia pertama yang dicipta Ahura Mazda. Seluruh Spentamainyu bersujud kepada Yima kecuali Angramainyu. Angramainyu menyatakan bahwa dia tunduk dan patuh atas semua perintah Ahura Mazda, kecuali disuruh bersujud kepada Yima. Angramainyu merasa bahwa ia lebih mulia dari Yima. Angramainyu dengan penuh kecongkakan memuji-muji kemuliaan, kepandaian, kesaktian, kekuatan, dan ketinggian derajatnya sendiri di hadapan Ahura Mazda. Maka dikutuklah Angramainyu dan direndahkan derajatnya sampai ke dasar Gehannama. Dan sejak saat itu Ahura Mazda menerangkan hukum bahwa siapa yang berjuang mencari puja-puji, maka kehinaanlah yang akan diperoleh.
Karena itu, apabila engkau mendapati orang yang suka memuji-muji dirinya dan ingin dipuja-puji orang lain, maka yang demikian itu adalah cerminan sifatsifat Angramainyu. Begitu juga jika ada orang yang iri hati terhadap peruntungan orang lain, maka dia pun tergolong cerminan Angramainyu. Dan begitulah orang-orang congkak yang selalu menganggap rendah orang lain dan menilai tinggi diri sendiri akan dihinakan oleh Ahura Mazda dengan cara dibuang ke dasar Gehannama.
Apakah itu berarti kita tidak boleh berlebihlebihan"
Bercukup-cukuplah dalam berbuat dan jangan melampaui batas. Artinya, jangan terlalu menilai tinggi diri sendiri, pun jangan terlalu menilai rendah diri sendiri. Contohlah air yang mengalir di sungai. Dia akan memancar lembut di mata air, dia bisa menjadi ganas di jeram, dan dia bisa mengerikan di muara. Tetapi air juga bisa tenang di telaga dan suci bersih sebagai embun di dalam gumpalan awan.
Sampean tadi mengatakan ada juru selamat kedua yang bernama Ausedhar-mah. Sebenarnya ada berapakah juru selamat itu" tanya saya ingin tahu.
Ausedhar yang pertama adalah Khairusy Maharaja Agung Kerajaan Persia keturunan Visthaspa. Khairusy adalah raja yang menegakkan rumah Ahura Mazda dari bangsa-bangsa keturunan Sulaiman. Khairusy adalah raja yang dengan kekuasaannya mengembalikan kemegahan negeri Jerusalayim dari kerusakan yang dilakukan Sargon dan Nebukadnezar. Rumah Ahura Mazda yang dibangun Khairusy itulah yang menyelamatkan iman keturunan Sulaiman dari kepercayaan murtad bangsa Asyiria yang menyembah berhala.
Khairusy itulah juru selamat pertama bagi manusia yang dikirim Ahura Mazda ke dunia. Sekalipun Khairusy penyembah Ahura Mazda, ia tetap membangunkan rumah Ahura Mazda bagi orang-orang keturunan Sulaiman yang menyebut rumah itu sebagai Bait El. Sebab Ahura Mazda hanyalah sebutan bagi Tuhan Yang Esa yang juga disebut Allah, El, Yehuwa bagi keturunan Sulaiman. Ahura Mazda adalah Tuhan bagi seluruh manusia, baik manusia yang ingkar maupun manusia yang beriman.
Juru selamat yang kedua adalah Ausedhar-mah yang merupakan keturunan utusan dari antara bangsa keturunan Ibraham. Dia lahir tak jauh dari rumah Ahura Mazda yang dibangun utusan asal negeri Ur, yaitu Ibraham. Dia menggenapi seluruh ajaran Ahura Mazda yang telah diajarkan oleh beratus ribu utusan sebelumnya. Dia adalah utusan sekaligus raja. Sebab setiap yang diutus Ahura Mazda sebagai juru selamat mestilah memiliki kekuasaan.
Juru selamat yang ketiga atau juru selamat yang terakhir adalah Shayosant, yakni juru selamat yang akan menandai akhir kehidupan dunia. Ia akan lahir di sebuah desa tiada jauh dari gunung Sabalan tempatku beroleh titah sebagai utusan Ahura Mazda. Dia akan muncul tak terduga dan menjadi penguasa yang sangat kuat perkasa di dunia.
Bagaimanakah tanda-tanda Shayosant" tanya saya ingin tahu karena tanda-tanda Ausedhar dan Ausedhar-mah saya sudah ketahui.
Aku tiada boleh menguak akan rahasia kehidupan yang belum terjadi secara gamblang kata Zarathustra tegas, Tetapi kalau engkau ingin mengetahui tandatanda Shayosant, maka dia tidak akan berbeda dengan kedua juru selamat sebelumnya. Dia akan berpikir, berkata, dan berbuat yang baik sesuai ajaran Ahura Mazda. Dia akan merusakkan berhala-berhala sesembahan manusia dalam berbagai wujud dan manifestasi. Dia mencntai orang-orang yang menyembah Ahura Mazda dan membebaskan mereka dari kejahatan para penyembah berhala. Dan kebanyakan orang tidak pernah mengetahui siapa dia, karena semua orang merasa curiga dengan segala apa yang diperbuatnya. Tetapi Ahura Mazda akan meneguhkan dia. Ahura Mazda akan menyingkirkan musuh-musuhnya sehingga Shayosant bisa berkuasa menegakkan kerajaan Ahura Mazda di dunia dengan adil dan bijaksana. Tetapi dengan kemunculannya, sejatinya dunia pun sedang menjelang kehancurannya. Adakah tanda-tanda yang lain"
Ahura Mazda senantiasa menerakan cap pada tubuh ketiga juru selamatnya. Cap itu ada diterakan di dada, ada yang di pungung, ada yang di kening.
Saya sebenarnya masih ingin meminta penjelasan lebih lanjut tentang Shayosant, tetapi cahaya yang memancar dari tubuh Zarathustra berpendar makin menyilaukan. Lalu bagaikan kilatan petir cahaya yang memancar dari Zarathustra menyambar penglihatan saya. Saya terpana kebingungan. Namun setelah saya sadar, bayangan Zarathustra tidak terlihat lagi. Alam sekitar saya gelap. Sunyi. Senyap. Hening.
Saya termangu lama memikirkan perjumpaan aneh yang tak terduga dengan bayangan Zarathustra. Entah bagaimana awalnya, mendadak saja berbagai tanda tanya mengalir deras dari dalam otak saya, terutama menyangkut obsesi saya tentang Zarathustra dengan segala ajarannya yang ternyata banyak kemiripan dengan ajaran Islam.
Sungguh, selama ini saya telah salah memahami ajaran Zarathustra yang telah diselewengkan para Majus penyembah api. Saya selama ini telah menganggap bahwa Zarathustra adalah penganjur ajaran dualisme keilahian, padahal Zarathustra adalah penganjur ajaran tauhid. Bahkan dalam buku Also Sprach Zarathustra yang dikarang Friedrich Nietzsche, filsuf ateis Jerman, Zarathustra digambarkan sebagai seorang ateis yang menyatakan bahwa Tuhan telah mati sebagaimana imaji Nietzsche. Ya, lewat tokoh Zarathustra, Nietzsche memaklumkan bahwa Tuhan telah mampus. Boleh jadi karena kekurang-ajarannya itu, hidup Nietzsche berakhir dengan tragis digerogoti sipilis sampai ingatannya tidak beres.
Sekarang ini, setelah perjumpaan dengan Zarathustra di alam al-khayal, tiba-tiba semua obsesi saya menjadi terang. Obsesi tentang ajaran Zarathustra telah terjawab dan tergelar terang-benderang. Zarathustra, dalam bentangan sejarah ternyata sejak lahir sudah memiliki tanda-tanda dan kodrat-kodrat yang berkait dengan kemukjizatan seorang utusan Tuhan.
Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saya mengetahui dengan terang-benderang kisah hidup Zarathustra yang sebenarnya, di mana menurut pengetahuan yang saya peroleh, Zarathustra lahir dari rahim seorang perawan bernama Duondova yang sedikit pun belum pernah dijamah oleh suaminya yang bernama Porushop dari suku Spitama di negeri Azerbeijan (Yasna, 47:17-18). Bayi Zarathustra dikisahkan tercipta dari nur abadi yang ketika lahir sudah bisa tertawa (Yasna, 47:43). Kelahiran Zarathustra telah mengguncang jiwa Durashan, pemimpin para Majus penyembah api. Durashan mengirim tiga tokoh Majus untuk menyambut kelahiran Zarathustra. Tetapi bukannya menyambut gembira kelahiran bayi ajaib itu, bayi Zarathustra yang setelah lahir sudah bisa merangkak itu justru ditangkap dan dimasukkan ke dalam tungku api oleh mereka. Namun, aneh, Zarathustra selama di dalam kobaran api malah tertawa-tawa dan merangkak keluar. Nyala api yang berkobar-kobar tidak sedikit pun membakar tubuhnya.
Setelah dewasa Zarathustra dikawinkan dengan gadis bernama Havivi. Dalam usia 30 tahun dia berkhalwat di gunung Sabalan dan beroleh pencerahan dengan ajaran Humata, Hukama, dan Hvastra. Setelah beroleh pencerahan Zarathustra mulai melancarkan dakwah dengan menggempur para Majus dan orangorang yang menyembah api. Zarathustra menyampaikan ajaran ke-Esa-an Tuhan Yang Tunggal yang disebut Ahura Mazda, yakni Tuhan yang memiliki 20 sifat dan 101 nama mulia. Tetapi, Zarathustra ditertawakan dan dimusuhi oleh para pemuja api, terutama para pendeta Majus yang menjadi pemuka para penyembah api terutama karena ajaran Zarathustra menentang penyembahan terhadap unsur-unsur yang bisa diraba oleh pancaindera (Yasna, 44:9).
Keberadaan Zarathustra sebagai utusan Ahura Mazda ternyata dipikul dengan demikian menyakitkan. Tetapi, Zarathustra sudah bertekad untuk mengorbankan apa saja, kalau perlu nyawanya, demi keberlangsungan ajaran Ahura Mazda (Yasna, 33:14). Zarathustra menyatakan keimanannya untuk hanya pasrah dan menyerah kepada Ahura Mazda semata (Yasna, 44:11).
Ajaran ke-Esaan Ilahi yang disampaikan Zarathustra ternyata tidak sekadar dijadikan tertawaan masyarakat dan hujatan pemuka Majus, bahkan Zarathustra sendiri dihalau dan diusir-usir oleh seluruh masyarakat, sehingga tidak ada orang yang berani mendekatinya. Itu sebabnya, dalam waktu 10 tahun berdakwah, Zarathustra hanya memperoleh seorang pengikut.
Di tengah penderitaannya dijauhi dan dimusuhi masyarakat, dalam kesunyian di tempat sepi muncul unsur jahat syaitana yang menjanjikan kekuasaan dan kenikmatan duniawi bila Zalathustra bersedia meninggalkan ajaran Ahura Mazda. Tetapi, Zarathustra tetap pada keyakinannya bahwa Tuhan hanyalah satu dan tidak bisa disamai oleh sesuatu dan tidak bisa pula dipikir-pikir atau disentuh pancaindera. Zarathustra tetap yakin akan kebenaran janji Ahura Mazda (Yasna, 46:3). Demikianlah, setelah mengalami penderitaan tak terkira selama 10 tahun lebih, Zarathustra mendapat perintah untuk hijrah ke kota Balkh (Yasna, 46:1-2).
Setelah hijrah ke kota Balkh di Bactria, Zarathustra menjumpai Raja Kavi Vishtaspa di Kutataja Balkh. Untuk membuktikan keunggulan, di hadapan Raja Kavi Vishtaspa, Zarathustra beradu argumen tentang kebenaran ajarannya melawan para Majus penyembah api, termasuk bertarung menunjukkan keunggulan ilmu. Setelah bertarung sengit dengan para Majus penyembah api selama tiga hari tiga malam, Zarathustra dinyatakan menang. Raja Kavi Vishtaspa beserta seluruh keluarganya memeluk agama tauhid yang diajarkan Zarathustra (Yasna, 53:2). Sebagaimana prasyarat menjadi pengikut Zarathustra, Raja Kavi Vishtaspa beserta keluarga setelah mengimani ke-Esaan Ahura Mazda dan bersedia memeluk agama Ahura Mazda, wajib membaca persaksian (syahadat) di mana isi dari persaksian tersebut ialah mengaku diri sebagai penyembah Ahura Mazda Yang Esa, pengikut Zarathustra yang memusuhi berhala-berhala dan mentaati hukum Ahura Mazda. Persaksian tersebut wajib diucapkan dalam kebaktian memuja Ahura Mazda sehari-hari. Zarathustra mengajarkan agar pengikutnya banyak mengingat (dzikir) dengan menyebut nama Ahura Mazda.
Sebelum Ahura Mazda mencipta manusia pertama, Yima, Dia sudah mencipta Spentamainyu dan Angramainyu. Spentamainyu adalah makhluk dengan kodrat ruhani yang baik, sedangkan Angramainyu adalah makhluk dengan kodrat ruhani angkara. Spentamainyu yang memiliki kedudukan mulia ada enam, yaitu Vohu Manah, lambang ingatan yang baik dan menjadi pesuruh Ahura Mazda sebagai penyampai wahyu; Asha, lambang ketertiban dan keadilan; Kshatra, lambang kekuasaan dan kebijaksanaan; Armaiti, lambang kesucian dan welas asih; Haurvatat, lambang kesentosaan dan kemakmuran; Ameretat, lambang keabadian. Demikianlah keenam Spentamainyu itu disebut Amesha Spentas atau Malaikat Mulia. Sementara Angramainyu adalah iblis yang memiliki pengikut para syaitana.
Setiap manusia, menurut ajaran Zarathustra, segala macam perbuatan baik dan buruknya akan dicatat oleh dua Ahuras, sehingga setiap diri akan diadili perbuatannya di hari perhitungan (Yasna, 31:20). Manusia yang baik akan masuk ke Paradaeza yang penuh karunia dan anugerah kemuliaan tiada terhingga (Yasna, 53:3,10:31, dan 33:3-5). Sedang manusia yang ingkar dan sesat akan masuk ke dalam Gehannama yang penuh siksa derita dengan makanan yang amat hina (Yasna, 31:20,49:11). Manusia yang beriman kepada Ahura Mazda disebut Madr Yasnan, sedang yang ingkar disebut Kharfasters.
Seiring berpusarnya waktu, terutama setelah Zarathustra mangkat, akar dari ajaran Zarathustra makin banyak yang diselewengkan. Dalam serbuan Alexander Agung pada 356-323 SM yang membawa dewa-dewa Yunani dan Romawi, telah mencabut akar ajaran Zarathustra yang murni. Kitab Avesta yang jumlahnya 21 kitab, hanya tersisa 5 kitab, di mana itu pun sudah diselewengkan dan dicampuradukkan oleh ajaran Majus penyembah api. Sehingga Zarathustra diposisikan seolah-olah tokoh penganjur penyembahan terhadap api.
Diam-diam saya merasa bersyukur bahwa Allah telah berjanji untuk menjaga Agama Islam sampai akhir zaman. Sebab kalau hal semacam ajaran Zarathustra terjadi pada Agama Islam, sudah bisa dipastikan bahwa Islam pun akan banyak diselewengkan. Satu bukti dari upaya penyelewengan yang selalu muncul akibat bisikan iblis tersebut terlihat pada kasus Salman Rusdhie, di mana dalam novel The Satanic Verses, dia mengutip ayat 19 sampai ayat 21 dari Surat an-Najm sehingga terkesan bahwa Nabi Muhammad SAW selain menganjurkan orang menyembah Allah, juga menganjurkan menyembah berhala Latta, Uzza, dan Manat. Boleh jadi dari masuknya pikiran orang-orang sinting seperti Salman Rusdhie itulah, maka ajaran Zarathustra jadi berbalik 180 derajat. Padahal dalam Islam yang disebut Zarathustra tidak lain dan tidak bukan adalah Nabi Dzulkifli Alaihissalam, di mana makna nama Zarathustra adalah Sang Penunggang Unta alias pemimpin rombongan kafilah.
Satu hal lagi yang saya anggap patut untuk saya syukuri dari perjumpaan saya dengan Zarathustra adalah kejelasan tentang juru selamat Aushedar yang tiada lain adalah Khorusy atau Cyrus Bertanduk (berkuasa). Dengan uraian Zarathustra itu menjadi jelaslah bahwa Cyrus itulah yang disebut sebagai tokoh Zulkarnain (yang memiliki dua bertanduk) dalam al- Qur an. Hal itu berarti menumbangkan keraguan saya tentang penafsiran banyak orang tentang tokoh Zulkarnain yang sering diindentikkan dengan tokoh Alexander Agung dari Macedonia yang menyembah dewa-dewa dari agama pagan Yunani kuno.
Sekarang ini, obsesi saya tentang tokoh Zulkarnain dalam al-Qur an itu sudah terjawab, setidaknya bagi saya sendiri. Bahwa Cyrus atau Khorusy tidak lain dan tidak bukan adalah Zulkarnain yang membentangkan kekuasaan dari Asia kecil hingga ke gugusan negeri Mesir sampai ke kawasan tanah di antara dua laut, yaitu Laut Hitam dan Laut Kaspia. Ya, Cyrus itulah yang telah melakukan penaklukan ke arah matahari tenggelam di Laut Hitam yang membentang (QS. al- Kahfi: 86). Cyrus ini pula yang menaklukkan daerah di tempat matahari terbit dan mendapati bangsa (Kazhar) yang tinggal di kawasan dua gunung (Sebalan dan Kaukasus) yang bahasanya tidak terpahami (QS. al-Kahfi: 90-93). Cyrus inilah yang membantu orangorang Israel membangun kembali dua bekas kerajaan Sulaiman dan kerajaan Israel di Samara dan kerajaan Judea di Jerussalem di mana rakyat kedua negara tersebut melaporkan kepada Cyrus akan hal Raja Saron II dan Raja Nebukadnezar dari Assyria yang telah menghancurkan Samara dan Yerussalem, merampas harta kekayaan Sulaiman, bahkan merobohkan Kuil Sulaiman di bukit Zion yang merupakan Bait Allah, dan menawan orang-orang Judea.
Cyrus itulah yang menaklukkan bangsa Assyria dan memulangkan orang-orang Judea yang ditawan oleh Sargon dan Nebukadnezar. Cyrus itulah yang telah mengembalikan harta kekayaan Sulaiman yang tersisa yang dirampas Nebukadnezar kepada Imam Judea. Dan Cyrus itu pula yang membangun kembali kuil Sulaiman, Bait Allah di bukit Zion, dan membangun kembali Jerussalem dari kehancurannya (Tawarikh II, 36:23; Ezra, 1:1-11; 4: 1-24; 5:1; 6: 1- 22; QS. al-Kahfi: 95-96).
Tegaknya kembali Kuil Sulaiman di bukit Zion yang dibangun kembali oleh Cyrus, adalah dinding besi yang kokoh yang memisahkan ajaran haq yang bersumber dari ajaran nabi-nabi Bani Israel dengan ajaran batil yang bersumber dari pengaruh kepercayaan Assyria yang paganistik. Ya, dengan tegaknya Kuil Sulaiman tersebut, tidak ada pengaruh lagi dari kepercayaan-kepercayaan musyrik yang bisa melintasi dan menembus pertahanan tauhid keturunan Sulaiman, kecuali Allah sendiri yang akan merobohkannya (QS. al-Kahfi: 97-98). Namun serbuan bangsa Khazar pemuja ruh-ruh kegelapan yang dipimpin pemuka-pemuka tukang sihir, tak kenal lelah mengintai ketenang-damaian keturunan Sulaiman dan kerajaan Cyrus. Bangsa Khazar yang merupakan keturunan puak bangsa Massagetae, suku nomaden di Asia Tengah di sebelah timur Laut Kaspia, menebar kebinasaan di mana-mana, terutama di bawah pimpinan Kaghan Skila dan Kaghan Grgur, yang tak terkalahkan.
Kebangkitan imperium Khazar di bawah Kaghan Skila dan Kaghan Grgur mengguncang kehidupan bangsa-bangsa. Kebiadaban dan kesesatan merajalela memenuhi permukaan bumi. Kerusakan dan kebinasaan menghambur laksana badai menerjang tanaman gandum. Bangsa-bangsa yang tersingkir dari negerinya akibat serangan orang-orang Khazar, memohon pertolongan kepada Cyrus, yang membikin dinding besi menutupi dua gunung untuk menghalangi gerak laju balatentara Khazar. Kaghan Skila dan Kaghan Grgur beserta bala tentaranya pun tidak dapat melampaui dinding besi yang dibikin Cyrus. Demikianlah, menurut riwayat Kaghan Skila dan Kaghan Grgur yang membawa balatentara yang kejam yang menghancurkan negeri-negeri itu disebut dengan julukan Ya juj wa Ma juj, yaitu makhluk yang membuat kerusakan di muka bumi (QS. al-Kahfi: 93-94). Cyrus sendiri meski awalnya beroleh kemenangan menghadapi suku Khazar biadab keturunan Massagetae, pada akhirnya gugur dalam pertempuran akibat kelicikan musuh.
Nama Khorusy sendiri memiliki makna ganda yang bisa ditafsirkan bermacam-macam. Khorusy bisa ditafsirkan sebagai mata rantai, tanduk, abad, puncak gunung, pertahanan, pedang, dan maharaja agung. Saya kira memang tidak salah kalau Aushedar yang disebut Zarathustra adalah dia, karena selain al-Qur an menyebutnya sebagai tokoh Zulkarnain, Tuhan dalam kitab suci Ibrani memberi sebutan gembala-Ku baginya (Yesaya, 44:28). Ke-juruselamat-an Khorusy lebih tegas lagi ketika Tuhan menyebutnya dengan sebutan al-Masih-Ku (Yesaya, 45:1).
Keyakinan saya bahwa tokoh Zulkarnain dalam al- Qur an adalah Cyrus rasanya tidak perlu saya persoalkan lagi. Saya tidak peduli dikatakan orang sudrun yang mengada-ada dengan menafsirkan tokoh Zulkarnain sebagai identik dengan tokoh Cyrus. Yang pasti, saya tidak pernah menemukan akar kata Zulkarnain dalam bahasa Greek. Dan saya menolak tegas ke-Zulkarnain-an Alexander Agung dalam kaitan dengan tafsir al-Qur an, karena Alexander adalah jelasjelas menyembah dewa-dewi Yunani serta membasmi kitab-kitab Zarathustra.
Adapun Aushedar-mah, juru selamat yang terpuji tiada lain adalah Nabi Muhammad SAW, di mana Muhammad sendiri maknanya Yang Terpuji. Di dalam kitab suci pun, kehadiran beliau sudah ditengarai dengan janji Allah akan bangkitnya sebuah bangsa besar dari keturunan Ismail (Kejadian, 21:17-21). Dan kedatangan messias itu pun dijanjikan di gunung Paran (Faran) (Ulangan, 33;2) yang secara geografis terletak di antara Makah dan Madinah. Demikianlah kehadiran Aushedar-mah itu ditengarai oleh Isa putera Maryam sebagai Ruuh Kebenaran yang menyampaikan kebenaran dari mulutnya (Yahya, 16:13) di mana al-Qur an pun menegaskan bahwa Nabi Muhammad menyampaikan kebenaran wahyu dari lisannya (QS. an-Najm :3-4). Adapun kehadirannya pun sudah ditengarai pula dalam bagian yang lain kitab suci (Yahya, 14:16, 26; 15:26; 16:7-8, 13-14).
Sementara itu yang belum saya ketahui secara terang adalah kedatangan Shayosant yang akan menghancurkan kemungkaran dan menumpas kedzaliman serta mengasihi Tuhan Yang Esa. Saya kira zaman yang serba semrawut dengan pengaruh kebendaan yang luar biasa dahsyat ini, sangatlah sulit mencari pemimpin besar yang berpikir, berkata-kata, dan berbuat baik yang dengan berani menggulingkan berhala sesembahan manusia. Yang saya anggap sulit bagi kedatangan Shayosant pada masa sekarang ini adalah letak kelahirannya yang dilukiskan terletak di sebuah desa tak jauh dari gunung Sebalan di kawasan sekitar Azerbaijan dan pegunungan Kaukasus, di mana daerah tersebut sekarang ini sedang dikuasai rezim komunis yang zalim. Dan saya pikir pun, kedatangan Shayosant itu tentulah masih lama karena saya pikir hari kehancuran dunia tentulah masih sangat lama.
Bagaimanapun perjumpaan antara saya dan Zarathustra memiliki makna erat dengan obsesi saya tentang pengetahuan rahasia Sastra Hajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, di mana kata Diyu ternyata saya dapati berasal dari bahasa Persia Kuno, yaitu dari akar kata DIU yang merupakan akar kata Daevas yang mencakup makna keterikatan bendawi yang menunjuk pada lambang kerakusan, keserakahan, keangkuhan, kelobaan, kedustaan, keculasan, ke-akuan, kenistaan dari kecenderungan-kecenderungan manusia yang semuanya melambangkan kodrat-kodrat dari unsur potensi yang merusak kehidupan manusia.
Kalau makna Diyu dalam Sastra Hajendra berasal dari akar kata Diu dari bahasa Persia Kuno, maka tidak dapat diragukan lagi bahwa ajaran Sastra Hajendra tentu terkena pengaruh tokoh-tokoh Islam dari Persia baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu dari tokoh-tokoh penganut paham Susuhunan Kudus, Raden Jakfar Shodiq, maupun pengaruh paham sufisme Syaikh Datuk Abdul Jalil yang digelari Syaikh Lemah Abang alias Syaikh Siti Jenar. Pengaruh-pengaruh Persia tersebut sedikitnya saya ketahui lihat cara mengaji tradisional orang-orang Jawa yang menggunakan istilah-istilah bahasa Persia seperti Jabar Zher Fyes dan bukan menggunakan istilah Arab seperti Fathah Katsroh Dlomma. Tradisi Kenduri yang berasal dari bahasa Kanduri, tidak bisa diingkari tentang kemungkinan adanya pengaruh Persia. Begitu juga dengan keberadaan istilah-istilah Persia dalam bahasa Jawa dan melayu seperti Nakhoda, Bandar, Astana (istana), Bedebah, Biadab, Bius, Diwan (dewan), Gandum, Jadah (anak haram), Lasykar, Tamasya, Saudagar, Pasar, Syahbandar, Pahlawan, Kismis, Anggur, Takhta, Medan, Firman, dan lain-lain. Penggunaan istilah-istilah Arab seperti musyawarat, rakyat, hakikat, maslahat, syari at, hikmat, manfaat, dan sebagainya menunjuk pada pengaruh aksentuasi Persia yang melafalkan huruf T di akhir kata dengan lafadz jelas.
Sementara kata Sastra dan Hajendra sendiri jelas diambil dari bahasa Sansekerta, di mana kata sastra berarti kitab suci dan orang yang ahli sastra disebut sastri, di mana kata sastri tersebut dilafalkan dalam lidah Jawa menjadi santri. Adapun kata Jendra dipungut dari kata Rajendra yang berarti Raja atau Khalifah . Pengambilan dari bahasa Sansekerta kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) menjadi Sastra Hajendra yang diadaptasi lagi ke dalam bahasa Jawa Baru menjadi Sastra Jendra. Adanya pengaruh Persia dan Sansekerta di Jawa tampaknya berkaitan dengan pengaruh tokoh-tokoh penyebar Islam asal Persia, Gujarat, dan Teluk Bengala di India seperti Syaikh Maimun bin Hibatallah, Syaikh Subakir, Syaikh Syamsuddin al-Wasil, Syaikh Maulana Malik Ibrahim, Syaikh Jumadil Kubra, dan sebagainya.
Dengan sudut pandang dan kerangka pemikiran, saya menjadi yakin bahwa kemunculan pengetahuan rahasia yang disebut Sastra Hajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu terjadi selama dan sesudah zaman Wali Songo. Sebab dalam kepustakaan Jawa, kalimat Sastra Jendra Yuningrat baru muncul pada abad ke- 19 dalam karya pujangga Yasadipura, Arjuna Sasrabahu. Sewaktu di India, saya sempat menanyakan kepada beberapa orang ahli di India soal konsep Sastra Jendra yang terdapat di Jawa, di mana mereka menyatakan tidak tahu-menahu dengan konsep pengetahuan tersebut. Dan kisah Wisrawa dan Sukesi di India memang tidak ada sangkut-pautnya dengan ajaran rahasia Sastra Jendra.
LIMA BELAS A ngin bertiup kencang menaburkan hawa
maut ke segenap penjuru bumi. Gelombang samudera menggemuruh dengan suara ombak berdentum-dentum menggempur batu karang yang tegak menjulang di tengah amukan badai. Sepintas suara ombak terdengar bagai gemuruh beribu-ribu kereta api melintasi terowongan. Sementara titik-titik air berhamburan diterbangkan angin bagaikan jutaan anak panah lepas dari beratus ribu busur prajurit sakti.
Di tengah angin yang menderu-deru menggetari empat penjuru, saya tegak berdiri di tepi samudera luas yang menghampar hitam seperti tanpa batas. Saya termangu dicekam kerinduan hendak pulang ke kampung halaman, tapi saya lihat tidak ada satu pun kemungkinan bagi saya untuk bisa melampiaskan kerinduan saya. Entah apa yang terjadi, saya sekarang ini benar-benar seperti manusia miskin papa yang tidak memiliki apa-apa dan tanpa daya. Jangankan uang sepersen saya tidak lagi memegangnya, bahkan paspor dan visa saya pun sudah hilang begitu saja tanpa saya ketahui ke mana semuanya itu pergi. Saya tidak melihat kemungkinan untuk bisa pulang kembali dengan cara?"?" yang baik. Saya bayangkan kelebatan-kelebatan petugas imigrasi dan polisi datang menangkap dan memenjarakan saya karena saya tidak memiliki secuil pun identitas diri.
Beberapa jenak dengan perasaan ragu-ragu saya menatap gugusan bintang yang bertebaran seperti melekat dengan garis cakrawala yang menyatukan langit dengan lautan. Saya seperti tidak melihat garis cakrawala yang memisahkan langit dan lautan. Semua gelap pekat. Batas cakrawala hanya diterangi bintangbintang yang bersinar redup ditutupi kabut. Saya sadar bahwa sekali saya salah melangkah, akan lenyaplah saya ditelan kekelaman malam yang menyatukan langit dan lautan. Saya tidak melihat secuil pun bayangan kapal atau perahu. Sementara desakan rasa rindu makin terasa menyayat-nyayat hati saya. Semakin saya tahan kerinduan yang menggelegar di relung-relung jiwa saya, semakin liar amukan rindu mengoyak ngoyak keutuhan jiwa saya.
Dengan pikiran dan perasaan mengambang di tengah kerisauan, saya menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit kelam dengan pantulan cahayanya di lautan. Gemerlap bintang itu berkedip-kedip bagai meneteskan air mata seolah ikut merasakan kepedihan jiwa saya yang dikoyak-koyak kerinduan tak tertahan.
Ketika pikiran dan perasaan saya sudah mengambang dan menerkam gemerlap gugusan bintanggemintang yang mencekam kerinduan, tiba-tiba saya merasakan ada sesuatu yang menarik tubuh saya ke bawah. Secara ajaib, jutaan bintang saya lihat menghambur memasuki mata saya. Apakah yang sedang terjadi pada diri saya" Saya mengerdip-kerdipkan mata untuk menyingkirkan bayangan buruk yang menyergah kesadaran saya. Tetapi semuanya mendadak berantakan seperti diterpa badai. Saya merasakan tubuh saya terus ditarik ke bawah dengan kekuatan dahsyat. Dan antara sadar, saya merasakan tubuh saya melorot ke bawah dengan kesadaran makin melemah. Sepersekian detik saya merasakan seperti memiliki sayap yang bisa membawa terbang ke angkasa tetapi sepersekian detik pula merasakan sayap itu tidak berguna karena tubuh saya ternyata terus tertarik ke bawah dengan sangat cepat.
Saya merasakan alam di sekitar saya mendadak kosong. Keheningan dan kehampaan terasa mencekam seluruh alam. Sejauh mata memandang hanya hamparan hijau keputih-putihan yang membentang luas tanpa batas cakrawala. Saya mendadak merasakan tubuh saya seperti diikat di sebuah tonggak batu yang tegak kukuh di tengah hamparan luas. Sementara di kejauhan saya mendengar hiruk suara-suara seperti orang berceloteh di tengah gelombang suara seperti gemuruh dengung berjuta-juta lebah.
Saya meronta merasakan ikatan-ikatan semacam jaring laba-laba menjerat sekujur tubuh saya. Tapi aneh, semakin saya meronta kuat semakin erat ikatan jaring laba-laba itu menjerat tubuh saya sehingga napas saya menjadi sesak. Akhirnya saya tidak bisa meronta lagi. Saya biarkan tubuh saya melemas dijerat ikatan talitemali gaib yang seperti jaring laba-laba itu. Anehnya, ketika saya tidak meronta, ikatan jaring itu makin mengendor dari tubuh saya dan saya merasa semakin terbebas dari semacam ikatan belenggu yang menyiksa. Lalu antara sadar, saya merasakan seberkas cahaya di cakrawala berkelebat menelan tubuh jiwa saya sehingga saya terlontar ke suatu dimensi yang sangat asing, di mana saya hanya melihat hamparan samudera luas tanpa gelombang dengan gemerlap cahaya berpendarpendar di mana-mana.
Saya termangu di pinggir samudera cahaya yang bagai tanpa batas itu. Namun saya menjadi terkejut ketika seberkas cahaya germerlapan mengelebat dari segala penjuru bagaikan beribu-ribu anak panah bercahaya yang menghunjam ke tubuh jiwa saya. Saya masih terperangah penuh takjub ketika kumparan cahaya itu menyatu dalam satu wujud, membentuk silhouette yang makin lama makin mewujud dalam bentuk mirip manusia.
Dengan penuh pesona saya pandangi silhouette mirip manusia bercahaya yang berdiri dalam jarak sejangkauan di depan saya itu. Dari wajahnya memancar kilatan cahaya yang berkilau-kilau seperti kilatan halilintar yang menyilaukan. Saya semakin takjub ketika mendapati sosok manusia bercahaya itu bentuk rupa dan wujud sempurnanya sangat mirip dengan saya, tetapi dia jauh lebih gemerlapan dengan pancaran cahaya agung yang menyejukkan. Sungguh, saya tidak syak lagi bahwa perwujudan manusia di depan saya itu adalah pantulan cermin dari bayangan saya. Namun yang aneh, ia tampak tidak tampan tidak pula jelek, tidak hidup tidak pula mati, tidak bergerak tidak pula diam. Sungguh, perwujudan bayangan saya yang bercahaya itu sangat aneh.
Ketika manusia bercahaya agung yang aneh mirip saya itu merentangkan tangan, saya bertanya dengan heran, Siapakah sampean ini" Apakah saya sudah mati"
Manusia aneh bercahaya gemerlapan itu bergerak-gerak dalam keadaan diam bagai hendak mengatakan sesuatu. Dari tubuhnya mendadak memancar getaran suara hati yang menjalari kesadaran jiwa saya. Anehnya, saya merasakan bahwa saya bisa menjalin komunikasi dengannya. Dia dengan tegas mengatakan bahwa saya belum mati. Dan yang membuat saya heran, dia mengaku sebagai saya yang bernama Saya.
Bagaimana mungkin Saya ada dua" tanya saya penuh heran dan kecurigaan, Jangan-jangan sampean yang mengaku Saya adalah setan yang akan menyesatkan saya.
Engkau adalah aku yang bersumber dari kalam KUN yang dijadikan Aku oleh Khalaqtu biya dayya. Tetapi aku adalah Aku di dalam dirimu yang terangkai dari kalimat Minal hayyu lladzi laa yamutu ila l hayyu l ladzi la yafuutu yang bersumber dari Nafakhaa fihi min ruuhihii.
Ketahuilah, wahai Saya, bahwa di dimensi ini engkau tidak akan lagi melihat banyak aku yang mengaku-aku. Engkau hanya melihat adanya dua aku yang bersemayam dalam ke-aku-anmu dan ke- Aku-anKu. Dan sekarang ini, hanya kita berdua yang mengatakan aku . Dan kalau engkau mau, kita akan menuju ke hadirat AKU yang tunggal yang terangkai dalam kalimat Inni Ana llaaha laa ilaaha ila ana.
Di manakah AKU Tunggal itu berada" tanya saya penuh rasa ingin tahu.
Nahnu aqrabu ilaihi min habli l wariid (QS. al- Qouf: 16), bahwa Dia lebih dekat Ada-Nya daripada urat lehermu. Kalau engkau masih sadar akan makna ke-ruang-an dan ke-waktu-an, maka engkau dan aku masih sampai ke tahap WILAAYAH dari TAJALLI- YAH yang merupakan manifestasi dari makna Lima Allaahu waqtun laa yasani fihi maliki muqarrabun walaa nabi-i-mursalun. Tetapi tetaplah sadar bahwa makna di atas adalah keserangkaian dari makna Maa arafnaaka haqqa ma rifaatika yang dibatasi oleh makna Lan taraanii (QS. al-A raaf: 143). Pada tahap inilah segala ke-aku-an akan musnah dan yang ada hanya AKU yang tunggal yang memanifestasi dalam makna Laa ilaaha illa Llaah. Pada tingkat itulah engkau akan menyadari secara sempurna akan makna Aj ala laalihata ilaahaw waahid (QS. Shaad: 5), apa yang membuat Tuhan itu Allah Yang Maha Esa.
Seusai berkata-kata manusia bercahaya itu melesat ke gugusan angkasa yang tinggi, di mana tubuhnya seperti memiliki daya magnit luar biasa menyedot saya, sehingga saya pun melesat terbang mengikutinya. Saya merasakan melesat terbang dalam kecepatan supersonik yang mungkin secepat kecepatan cahaya yang 300.000 kilometer per detik. Namun di tengah kecepatan menakjubkan itu, saya mendadak merasakan luncuran tubuh-jiwa saya berhenti di suatu dimensi yang asing yang merupakan satu kesatuan tak terpisah. Manusia bercahaya itu memancarkan cahaya bagai kilatan petir dari sekujur tubuhnya.
Di manakah kita sekarang ini, wahai Saya" Inilah Bahr-i-Wujuud yang tersembunyi dalam makna Dzaat-i-Mutlaq. Kalau kita terjun ke dalamnya, maka kita akan sampai pada WILAYAAH. Di wilayah itulah kita akan tenggelam ke dalam hakikat Li llaah-Bi llah-Fi llaah. Di wilayah inilah tercakup rahasia hakikat Qurb-i-Faraayad dan Qurb-i-Nawafil.
Seorang salik yang bodoh apabila sampai pada tahap wilayah ini akan segera melompat ke Barh-i- Wujuud dan akan mengatakan Al-Wilayaatu Afdhalun mina n-Nubuwah, bahwa wilayah itu lebih afdal daripada kenabian. Padahal ketika itu dia sedang terhisap oleh ke-aku-an dirinya sendiri. Dia ketika itu di-aku-i oleh Rabb-nya sendiri tetapi belum diakui Rabbu l-Arbaab. Maka demikianlah perjalanan menuju AKU yang tunggal itu sangatlah penuh dengan jebakan halus yang teramat halus. Apakah Bahr-i-wujuud itu Dzat Tuhan" Bagi sebagian salik memang memaknai begitu, di mana setelah mereka menenggelamkan ke-aku-annya ke dalam Bahr-i-Wujuud, maka mereka merasa telah fana dan menganggap telah bersatu dengan Tuhan. Padahal dia hanya fana di dalam Rabb-nya sendiri dan bukan di dalam Rabbu l Arbaab. Pelarutan ke-aku-an ke dalam Bahr-i-Wujuud itulah yang oleh sebagian salik disebut istiqraa yang justru dimaknai keliru oleh mereka.
Proses istiqraa ini bisa memanifestasi dalam berbagai cara. Ada istiqraa yang dicapai dengan penancapan konsentrasi sedemikian rupa terhadap hakikat sirr sehingga selama beberapa detik orang akan melihat bayangan Bahr-i-Wujuud. Salik yang bodoh akan sudah merasa puas dengan istiqraa berdetik-detik di bayangan Bahr-ul-Wujud itu. Dan ketahuilah, bahwa keadaan istiqraa yang dangkal itu sering melintas begitu saja di mana saja dan kapan saja dalam kesan salik bodoh.
Apakah kita akan terjun ke dalam Bahr-i-Wujuud dan fana di dalamnya"
Ketahuilah, o Saya, bahwa sekali kita terjun ke dalam Bahr-i-Wujuud, kita akan tenggelam ke dalam Tajjali-i-Ruuhanii di mana kita akan mendapat kenikmatan dan kepuasan tak terbatas setelah kita menyingsingkan diri dari Bahr-i-Wujuud tersebut. Di sinilah, kita akan tercekam oleh suatu daya rahasia untuk menyatakan Ana l Haqq setelah melihat semua melarut ke dalam takhta. Di situlah kita akan dipengaruhi oleh kualitas-kualitas dari nafs kita kembali seolah virus yang menebar secara diam-diam. Di situlah kita akan terperangkap pada dualitas ke-aku-an di mana nafs kita akan cenderung meneguhkan keunggulannya dari manusia lain.
Oleh sebab itu, o Saya, kalau kita sudah menganggap bahwa kita lebih tinggi dalam maqam daripada orang lain, maka kita pun akan cenderung melangkah ke jalan yang menjauh dari-Nya, di mana kita akan diaku-i oleh Rabb kita sendiri tetapi dikutuk oleh Rabbu l Irabb. Dan karenanya, kita sebaiknya menunggu di tepi Bahr-i-Wujuud ini sampai datang rahmat dan hidayah Allah, sehingga kita atas perkenan-Nya akan dibukakan tirai HIJAAB dari Bahr-i-Wujuud, dan kita akan menuju Tajallii-i-Rahmanii dengan kesadaran Araftu Rabbi bi Rabbi.
Apakah yang disebut Tajallii-i-Rahmaanii" Mendaki (uruuj) sab-a samawaatiin thibaaqa sehingga gunung nafs kita menjadi lebur seperti Sinaa i ketika Nyala Api Tuhan muncul di atasnya. Di situlah keberadaan salik akan lebur bagaikan Gunung Sinaa i yang lebur dan tidak menemukan bentukya semula.
Berjuta-juta kilatan halilintar dan petir tiba-tiba menyambar kesadaran saya. Suara gemuruh mengerikan laksana mahasamudera banjir, tiba-tiba menelan saya. Pendengaran saya terasa pecah. Penglihatan saya serasa buta. Lidah saya kelu. Mulut saya terkunci. Semua jaringan indera saya meledak dan meletus. Saya hanya merasa bahwa apa yang saya alami saat ini adalah suatu hari kehancuran yang mengerikan. Saya merasa seperti sabut kelapa diaduk-aduk gelombang samudera yang mengamuk.
Kekacauan mengerikan itu terus berlangsung menghamburkan kengerian dan ketakjuban raya. Sungguh, ini suatu pengalaman yang sebelumnya tak pernah terjadi di dunia dan tidak pernah pula saya alami. Anehnya, di tengah kekacauan yang menggetarkan itu, tiba-tiba cakrawala yang kacau-balau tersingkap seperti tirai hijab yang menyibakkan ke-satu-an Bahri-Wujuud di mana saya merasakan suatu kenikmatan luar biasa yang tak tergambarkan dengan kata-kata dan bahasa manusia.
Beberapa jenak kemudian, saya merasakan seolaholah berdiri di suatu hamparan biru terang kehijauan yang membentang luas tanpa batas. Entah apa yang terjadi, saya merasakan betapa tubuh-jiwa saya telah hilang dan saya tinggal menjadi saya dengan tubuh jiwa yang bercahaya. Seperti mimpi saya tegak sendirian termangu-mangu penuh ketakjuban.
Pemandangan yang terhampar di depan saya benar-benar menakjubkan seperti dalam mimpi. Entah bagaimana kejadiannya, di kaki saya telah terhampar planet-planet dari tata surya yang membentang sedemikian rupa indahnya seperti butiran mutiara bercahaya. Tetapi sewaktu saya terpesona memandangi pemandangan menakjubkan itu, tiba-tiba muncul di depan saya sosok manusia yang indah sekali dengan cahaya gemerlapan menyilaukan.
Siapakah manusia menakjubkan ini" tanya saya dalam hati dengan takjub.
Seperti tahu apa yang saya pikirkan, bayangan manusia bercahaya yang menakjubkan itu menjawab dalam bahasa tanpa kata-kata, yang jika diungkapkan dalam bahasa manusia kira-kira seperti ini, Aku adalah Hajiibur-i-Rahmaanii pengejawantahan dari Nuur-i- Rahmanii. Engkau di sini adalah pantulan dari Shuurati-r-Rahmaan. Akulah Hajiibur Rahmaan yang menghalangimu dari Ar-Rahmaan.
Apakah arti semua ini" tanya saya heran. Engkau adalah Majdzuub. Engkau adalah Shurati-r-Rahmaan yang terhisap ke hamparan suci takhta Ar-Rahmaan, di mana sekarang ini engkau berada di depanku, Hajib yang menjaga pintu Nuuri-Rahmaanii.
Apakah yang disebut Ar-Rahmaan"
Tiadalah aku tahu akan hakikat ar-Rahmaan, sebab pengetahuanku tiada lain hanyalah mengenai Nuur-iRahmaanii, yang hal itu pun sedikit sekali.
Terangkan kepadaku akan makna Nuur-i- Rahmaanii, wahai Hajiib!
Nuur-i-Rahmaanii adalah Cahaya tanpa lampu dan tanpa sumbu. Dia memancar sekaligus menarik. Dia memancarkan keindahan-Nya, tetapi keindahan- Nya itu sekaligus menarik penglihatan-Nya. Keindahan yang dipancarkan-Nya itulah yang disebut JAMAAL yang senantiasa melingkupi JALAAL dalam manifestasi, sehingga setiap nafs yang merupakan Ayn dari Nuuri-Rahmanii akan terhisap kepada hakikat Jamaal ibarat anai-anai terhisap cahaya lampu. Tetapi iblis, sebagai manifestasi dari Ism Mudziil dari Ar-Rahman senantiasa membelokkan tarikan dari Nuur-i-Rahmaanii, sehingga nafs sering tertarik pada pesona bendawi yang bersifat Adum.
Ketahuilah, bahwa Nuur-i-Rahmaan dalam manifestasi Jamaal adalah mutlak sehingga semua yang tercipta akan tertarik oleh hukum-Nya untuk kembali ke sumbernya yang termaktub dalam hukum Kullu syai in yarji uu alaa ashiihii. Oleh sebab itu, Shuraati r- Rahman adalah wujuud yang mumkin yang tergantung seutuhnya kepada Nuur-i-Rahmaanii.
Camkan bahwa dzat dari benda-benda adalah adum (hampa), yang adalah ghair (yang lain) dari Wujuud-i-Muthlaq. Karena itu yang adum senantiasa terproses dalam hukum Bal hum fii labsin min khalqin jadiid (QS. al-Qaf: 15) yang melewati tahap hukum Kullu syai in haalikun illa wajhahu (QS. al-Qashash: 88). Dengan demikian, betapa maha berat dan maha rumitnya shuraat-i-rahmaan kembali ke Wujuud-i- Muthlaq dari Dzaat-i-Bahat yang merupakan hakikat Wahdah dari Ar-Rahmaan.
Apakah proses itu yang disebut mati" Ketahuilah, bahwa apa yang disebut mauut adalah berubahnya nafs menjadi wahdah karena hukum Tanazzul dan Taraaqqi yang diterakan bagi hakikat Jamaal dari Nuur-i-Rahmaanii. Dengan begitu, maka huruf THAA -MIM-NUN-NUN yang merangkai hakikat Nafs Lawwamah-Sufliyyah- Ammarah-Muthma innah terhisap ke dalam Wahdah, sehingga huruf THAA -MIM-NUN-NUN tersebut menjadi huruf WAU. Nah di situlah rentangan kata MUTHMA INNAH akan terbaca MAUUT karena huruf-huruf Thaa -Mim-Nun-Nun telah berubah menjadi huruf Wau yang berarti Wahdah. Ada berapa tahapkah ke-mati-an itu" Ketahuilah, bahwa setiap yang memiliki nafs pasti akan mengalami mati. Dan ketahui pula, bahwa bendabenda di alam semesta ini adalah tercipta dari nafs, sehingga semuanya akan mengalami kebinasaan, yakni nafs-nya akan terhisap ke dalam Wahdah. Oleh karena itu, kematian selalu bertingkat-tingkat bagi setiap benda sesuai dimensi ruang dan waktu yang melingkupinya. Seekor nyamuk, dalam dimensi manusia mungkin akan mati dalam waktu sepekan. Seekor virus dalam dimenci manusia mungkin akan mati dalam waktu dua menit. Dan bumi dalam dimensi manusia akan mati dalam waktu berjuta-juta tahun, demikian juga semesta alam akan mati di suatu dimensi tak terukur yang hanya dibatasi dengan sebutan Yaumu l-Akhiir.
Apakah yang disebut matinya bumi" Ketahuilah, bahwa yang disebut matinya bumi adalah saat memadatnya magma di dalam bumi, sehingga bumi akan kehabisan gravitasinya. Dengan memadatnya magma di perut bumi, maka bumi akan dingin dan gravitasinya habis dengan akibat terhapusnya kehidupan di seluruh permukaannya. Ketika itulah, seluruh manusia dan hewan yang melekat akibat hukum gravitasi, akan berhamburan dan beterbangan bagai bulu yang ditebarkan (QS. al-Qaria ai: 1-5).
Apakah kejadian itu pernah dialami planet lain di tata surya ini"
Kalau engkau membanding-bandingkan gravitasi antara planet satu dan planet yang lain, maka engkau akan mengetahui bahwa seluruh planet memiliki gravitasi yang berbeda-beda, yang semuanya tergantung pada aktif dan tidaknya magma yang ada di planet tersebut.
Ketahuilah, bahwa proses habisnya panas planet akibat membekunya magma yang berakibat berkurangnya daya gravitasi itu akan berlangsung secara berangsur-angsur dengan berbagai hukum alam yang mengikutinya. Proses pendinginan magma bumi, akan selalu diikuti terjadinya gempa-gempa di kulit bumi, yang hukum tersebut merupakan peringatan bagi manusia yang mau berpikir.
Ketahuilah, bahwa proses mendinginnya magma bumi itu akan memiliki pengaruh kuat pada kehidupan manusia, terutama pengaruh pada perubahan kejiwaan. Ketika bumi sedang berangsur-angsur menuju pemadatan magma dengan akibat berkurangnya daya gravitasi, maka manusia pun akan terserap ke nafs lawwamah-nya. Artinya, manusia akan benarbenar menjadi aku dari unsur tanah yang merupakan manifestasi ke-aku-an mutlak yang hanya mengenal dirinya sendiri (QS. al-Abasa: 34-37).
Keadaan itu akan didahului oleh melemahnya naluri yang dipancarkan Nuur-i-Rahmaanii untuk kembali ke asal. Manusia ketika itu sudah kehilangan sifat Rahmaan dan Rahiim-nya sehingga ibu-ibu lupa pada bayi susuannya, bayi-bayi dalam kandungan digugurkan, dan manusia hidup tak tentu arah ibarat manusia mabuk (QS. al-Hajj: 1-2). Karena itu, di akhir usia bumi nanti manusia tidak ingat lagi akan Rabbnya, sehingga ingatan mereka akan Tuhan dan al- Qur an serta tuntunan moral terhapus sama sekali di mana proses menuju saat itu senantiasa ditandai oleh semakin biadab dan gilanya manusia, sehingga engkau akan mendapati orang-orang membunuh anak, istri, dan saudara hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Dan begitulah, ketika tahap yang paling menentukan dari habisnya gravitasi bumi akan ditandai gununggunung yang berguncangan memuntahkan magma, samudera tumpah ruah ke angkasa dengan batu dan pasir beterbangan (QS. al-Muzammil: 14).
Apakah usaha manusia dalam menguras kekayaan alam dari perut bumi akan mempercepat proses mendinginnya magma bumi, yang berarti mempercepat proses habisnya gravitasi bumi" tanya saya ngeri.
Sesungguhnya manusia tidak mendapatkan apaapa selain apa yang mereka usahakan. Akan hal kematian bumi ini juga tak lepas dari usaha-usaha mereka menguras isi bumi. Tapi engkau mesti ingat bahwa manusia tidak akan bisa diberi petunjuk dengan ilmu, sebab Tuhan sudah menetapkan hukum yang pasti, di mana keberadaan bumi di tengah hamparan jagad raya yang bersuhu 273 derajat celcius di bawah nol ini, makin lama akan semakin padat dan dingin. Dengan demikian, saat kematian bumi pasti akan datang sebagaimana kematian alam semesta yang juga akan datang sesuai waktunya. Dan apa yang diuraikan dalam kitab suci pada hakikatnya adalah hukum yang dengan terang menjelaskan Kalaam-i-Nafsii dari alam semesta ini dalam wujud kalaam-i-lafdzii.
Apakah sekarang ini proses memadatnya magma bumi sedang berlangsung" tanya saya dengan hati galau digetari kengerian, Sebab saya melihat kebiadaban manusia sudah menjadi pemandangan biasa di dunia. Saya juga melihat orang-orang berebut menambatkan diri pada unsur-unsur bendawi.


Sastra Jendra Hayuningrat Karya Agus Sunyoto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hajbu r-rahmaan tidak menjawab pertanyaan saya. Dia diam sesaat, tetapi kemudian saya melihatnya mengangakan mulutnya. Saya terkejut, karena sebuah pemandangan menakjubkan secara ajaib tergelar di depan saya, di mana mulut Hajibu r-Rahmaan mendadak saja berubah menjadi selebar cakrawala. Bahkan dengan ukuran mulut sebesar itu, dia akan sanggup menelan bumi dan planet-planet yang terhampar yang besarnya tak lebih dari jeruk dan bola bowling.
Saya masih termangu takjub ketika menyaksikan di dalam rongga mulut Hajbu r-Rahmaan terpampang sebuah pemandangan memilukan, di mana pada relung-relung keremangan yang menggelap terlihat sosok perempuan tua renta yang terkapar lemah dengan luka-luka memenuhi sekujur tubuhnya. Mata perempuan itu sangat redup seperti api pelita hendak padam. Darah mengalir di hampir seluruh tubuhnya, bahkan dari sudut bibirnya menetes darah segar. Napas perempuan itu tersengal-sengal seperti hendak putus. Sementara kedua tangannya yang keriput dan gemetaran menangkup di dada, menggenggam sebatang tongkat hitam, sehingga tongkat itu pun tampak timbul dan tenggelam seirama napasnya.
Melihat keadaan perempuan yang demikian menyedihkan itu, tanpa sadar saya menggumam, Siapakah perempuan malang itu, wahai Hajibu r- Rahmaan"
Hajibu r-rahmaan mengatupkan kembali mulutnya. Sekilas cahaya mengelebat dari wajahnya, kemudian dengan tenang dia menjawab dengan bahasa tanpa kata, Dia adalah bumi yang sudah menjelang sekarat. Beberapa saat lagi dia akan mati memasuki kehampaan di perutku. Dan sekarang ini dia sedang menggelinding di dalam mulutku, menunggu ajal.
Hajiib& Hajiib, seru saya mendadak ketakutan, Saya tahu sampean adalah hakikat ruang dan waktu yang memanifestasikan Abi l Waqt. Tapi izinkanlah saya masuk ke dalam diri sampean, sehingga saya bisa mati sebelum bumi mati.
Ketahuilah, bahwa segala sesuatu sudah tertulis secara pasti di Lauh-Mahfudz. Tidak akan terjadi sesuatu yang tidak harus terjadi. Dan setiap kejadian sudah ditetapkan dengan pasti waktu, tempat, dan caranya. Oleh sebab itu aku tidaklah kuasa menentang hukum yang sudah diterakan oleh Huwa-Rahmaan- Rahiim-Malik-Al-Qudusy. Bahkan bumi yang menggelinding di dalam mulutku ini pun bukanlah atas kehendakku, melainkan atas kodrat hukum yang bergerak sendiri oleh kuasa-Nya.
Tetapi melihat keadaan bumi yang sedang sekarat, saya kira percuma saja saya kembali menjadi penghuninya, karena begitu saya kembali ke bumi maka bumi akan mati dan saya pun ikut mati. Wahai Hajiib, saya bukan takut mati. Saya hanya takut mati dalam kekufuran, karena Rasulullah SAW sudah menyatakan bahwa siapa yang mati di hari kehancuran, maka dia mati dalam kedzaliman karena ketika itu tak satu pun manusia yang ingat akan Rabb-nya. Bahkan dengan uraian sampean tadi tentang matinya bumi, saya semakin yakin bahwa saat mengerikan itu pasti terjadi tidak lama lagi.
Janganlah engkau khawatir, kata Hajibu r- Rahmaan menimbulkan getaran menggemuruh, Sesungguhnya waktu di sisi Tuhan tidaklah sama dengan waktu di bumi sebab sehari di sisi Tuhan adalah seperti seribu tahun dari tahun bumi (QS. al Hajj: 47). Oleh sebab itu, janganlah engkau khawatirkan dirimu akan binasa bersama hancurnya bumi. Sebab di saat bumi mati, engkau sudah lama mati terlebih dahulu.
Bangau Sakti 39 Dewa Arak 65 Si Linglung Sakti Pendekar Kembar 16
^