Pencarian

Sastra Jendra Hayuningrat 7

Sastra Jendra Hayuningrat Karya Agus Sunyoto Bagian 7


Saya merasa agak lega dengan uraian Hajibu r- Rahmaan. Tetapi yang tetap menjadi obsesi saya adalah uraiannya mengenai proses mendinginnya bumi yang mempengaruhi kejiwaan manusia. Dengan kenyataan itu, saya dituntut untuk mengetahui cara-cara bagaimana saya bisa menghindari pengaruh menipisnya gravitasi yang membuat manusia menjadi makhluk paling egois dan paling biadab melebihi binatang. Sebab proses tersebut berlangsung secara diam-diam dan tidak ada yang menyadari untuk menghindari segala kemungkinan, saya pun kemudian bertanya, Adakah suatu cara untuk menghindari pengaruh mendinginnya bumi sehingga saya tidak terpengaruh menjadi makhluk biadab"
Bukankah Islam sudah menetapkan shalat dan zakat sebagai keseimbangan jiwa" sahut Hajibu r- Rahmaan, Apakah engkau selama ini belum memahaminya"
Saya tidak mengerti, sahut saya polos, Saya hanya merasa bahwa shalat dan zakat hanyalah suatu upacara ritual dalam rangka menyembah Alllah.
Ketahuilah, bahwa apabila seluruh umat manusia di atas bumi melakukan shalat semua, maka kekuasaan Allah tidak bertambah sedikit pun, begitu juga andaikata seluruh umat manusia tidak ada yang mendirikan shalat, maka kekuasaan Allah tidak akan berkurang sedikit pun. Sebab segala apa yang di langit dan di bumi menyatakan keagungan Allah (QS. al- Hadiid: 1).
Ketahuilah, bahwa shalat dan zakat sebenarnya rahasia Ilahi yang diturunkan melalui Rasulullah SAW yang merupakan Khatamin-Nabiyyin. Ketahuilah, bahwa saat Nabi Adam menjadi penghuni bumi, gerakan-gerakan shalat yang dijalankan sebagaimana yang dilakukan oleh umat Muhammad SAW belum diberlakukan. Allah hanya menetapkan peribadatanperibadatan dengan cara mempersembahkan sesuatu kepada-Nya sebagaimana yang diajarkan kepada anakanak Adam.
Apakah gerakan-gerakan shalat yang sedemikian rupa itu memiliki kaitan erat dengan masa kematian bumi" tanya saya menyimpulkan, Sebab dalam perjalanan mi raj yang dialami Rasulullah SAW beliau melihat bumi sebagai perempuan yang sudah tua bangka.
Mahasuci Allah dengan hukum-Nya yang haq. Apakah rahasia di balik gerakan gerakan shalat yang demikian itu" tanya saya ingin tahu.
Ketahuilah ketika orang berdiri tegak, maka itu memaknai hakikat lambang huruf Aliif. Ketika orang ruku maka orang memaknai hakikat lambang huruf Lam. Dan ketika orang sujud memaknai hakikat lambang huruf Ha . Dengan demikian, rangkaian gerak dari shalat sebenarnya adalah lambang huruf Allah.
Tetapi ketahuilah, bahwa gerakan-gerakan shalat: qiyam-ruku -i tidal sujud jalsah sujjud-jalsah akhir itu tidak saja merupakan peribadatan nafs-nafs terhadap Khaliq-nya, tetapi berfungsi pula untuk menetralisasi kutub-kutub magnit dan medan listrik yang tersembunyi di dalam tubuh manusia dari tarikantarikan gravitasi benda-benda langit. Sebab dengan berangsur-angsurnya melemahnya gravitasi bumi sebagai akibat kondensasi magma, maka benda-benda langit seperti matahari dan rembulan akan bertambah daya tarik menariknya terhadap bumi di mana hal itu amat berpengaruh terhadap kejiwaan manusia. Oleh sebab itu, Allah memerintahkan orang melakukan shalat pada waktu Subuh, Dzuhur, Ashar, Magrib, dan Isya pada setiap harinya. Begitu pun Allah selalu mensunnahkan shalat apabila terjadi gerhana matahari maupun bulan, karena dua benda langit tersebutlah yang paling banyak mempengaruhi jiwa manusia bumi, yang pengaruhnya hanya bisa dinetralisasi dengan geraka-gerakan shalat yang benar yang penuh penyerahan dan konsentrasi kepada Allah.
Sejak kapankah gerakan shalat seperti yang dilakukan kaum muslimin dilakukan"
Sejak Nabi Ibrahim. Apakah benda-benda langit memang memiliki sifat untuk saling tarik menarik"
Itulah sunnatullah yang sudah dipaterikan Allah atas sifat semua materi, sehingga materi satu dengan materi yang lain selalu ditandai kecenderungan untuk saling tarik menarik satu sama lain. Dengan demikian, tertariknya seorang perempuan terhadap laki-laki juga disebabkan oleh faktor materi yang memilki kesamaan yang membentuk tubuhnya, sehingga setiap jodoh dari manusia yang dipasang-pasangkan senantiasa memiliki watak dan sifat yang sama. Dan oleh sebab itu pula, cinta manusia terhadap Tuhan yang bukan materi, amat sulit dimunculkan karena cinta atau ketertarikan itu sendiri memang demikian hukumnya.
Oleh sebab itu, Allah menetapkan hukumhukum keseimbangan agar manusia dapat kembali kepada hakikat manusia yang sejati yang menggenapi hakikat nafakhtu. Dan hukum tersebut adalah berkait erat dengan pembebasan diri manusia dari unsur materi. Karena itu, Allah mengajarkan cara-cara orang melepaskan materi-materi yang melingkari orang seorang secara bertahap, baik dengan apa yang disebut zakat, infak, jariyah, waqaf, hibah, sampai yang berupa zuhud dan uzlah. Dan ketahuilah, bahwa setiap kali terdapat perintah shalat senantiasa diikuti perintah infak atau zakat yang tiada lain adalah manifestasi dari proses pelepasan diri orang seorang dari unsur-unsur materi. Sehingga orang yang shalat tetapi hidup hanya untuk memburu-buru harta serta tertambat hatinya, maka yang demikian itu adalah seibarat orang-orang yang tidak dapat tidak shalatnya yang lalai itu kepada mereka disediakan neraka Wail (QS. al-Maa uun: 4- 5). Begitulah seyogyanya engkau menilai baik dan tidak baiknya shalat seseorang, hendaknya dinilai dari sejauhmana seseorang itu tidak menambatkan hatinya kepada materi duniawi.
Akan hal benda-benda langit yang terbentuk dari materi pun, sejatinya memiliki daya tarik menarik antara satu dan yang lain. Tetapi Allah memberikan jarak yang tepat sehingga terjadi keseimbangan (QS. ar-Rahmaan: 7). Dengan jarak yang tepat menurut hitungan Allah, maka benda-benda langit tidak akan bertabrakan menghantam bumi (QS. al-Hajj: 65). Tetapi dari gerakan-gerakan benda langit itu, engkau akan bisa melihat daya tariknya yang dahsyat, seperti daya tarik bulan dan matahari atas bumi yang terlihat dari gerakan kedudukan air laut dalam gejala pasang surut.
Saya kaget dengan uraian Hajiibu- r-Rahmaan tentang adanya daya tarik-menarik antarbenda. Sebab sewaktu saya masih sekolah, saya pernah memperoleh teori Newton yang disebut Law of Gravitation. Dengan demikian, saya makin yakin bahwa Kitab Suci Al- Qur an sejatinya berisi hukum-hukum gejala.
Tiba-tiba saja, seberkas cahaya menyilaukan menyambar tubuh saya, dan saya mendadak saja melihat pancaran kecerahan menerangi pikiran saya. Lalu secara berangsur-angsur ayat demi ayat al-Qur an berkelebatan memasuki pedalaman pikiran saya dengan bahasa tanpa isyarat tanpa suara, yang jika diuraikan dalam bahasa manusia kira-kira sebagai berikut:
Tuhan telah menggelar langit dan bumi dalam enam masa (QS. al-A raaf: 54); Tuhan menggelar langit, bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa (QS. al-Furqaan: 59); Ketahuilah, bahwa di antara enam masa tersebut terjadi naubah yang merangkum makna penciptaan semesta dari Tanazzul-Ma lul-Taraqqi. Dan rentangan dari Tanazzul ke Ma lul adalah enam naubah yang terbagi dalam enam yaum.
Ketika Tuhan menggelar langit dengan hakikat KUN yang dari KUN itu terbentang dukhan. Kepada langit dan bumi itu ditetapkan hukum tanazzul dan taraqqi kepada keduanya, yakni hukum tiup dan hisap (QS. Fushshilat: 11); dari dukhan sebagai sumber materi yang sudah terproses dalam hukum tanazzul-taraqqi, mengalirlah NUR; dari NUR menurun menjadi NAAR; dari NAAR menurun menjadi MAA A; dari MAA A menurun menjadi THIIN; dari THIIN menjadi MA LUL. Dengan demikian, bumi terproses dalam enam tahap sejak dari dukhan hingga menjadi ma lul dan akan mengalami taraqqi untuk menjadi dukhan kembali. Sementara itu Allah menggelar samaa (matra langit) tujuh lapis bagi dukhan yang menjadi Nuur dalam dua masa yang di tiap langit yang dekat dihiasi dengan planet-planet, (QS. Fushshilat: 12).
Saya kebingungan dengan uraian ayat-ayat al- Qur an yang berkelebatan yang belum dapat saya terima dengan nalar saya, sehingga saya pun bertanya kepada Hajiibu- r-Rahmaan, Bagaimanakah, wahai Hajiib, mengenai proses terjadinya langit dan bumi"
Ketahuilah, bahwa alam semesta beserta seluruh isinya adalah lahir dari Kalaam-i- llahi: KUN FAYAKUN yang merupakan makna jarak yang merentangkan ruang dan waktu. Ketahuilah, bahwa telah menjadi hukum Allah bahwa segala yang tercipta di alam semesta senantiasa terproses dalam tujuh tingkat dan tujuh periode. Maka begitulah makna dari KUN pertama ke KUUN berikutnya, sejatinya merupakan rangkaian huruf-huruf dalam tujuh keadaan di dalam lambang huruf KAF-NUN-FA -YA -KAF- WAU-NUN.
Ketahilah, bahwa makna tersembunyi dari lambang huruf KAF adalah KALAAM-I-RAHMAAN. Lalu dari KALAAM-I-RAHMAAN muncul NUUR- I-RAHMAANI yang dilambangkan sebagai huruf NUN. Kemudian dari NUUR-I-RAHMANII muncul FAIDH-I-RAHMAAN dalam makna lambang huruf FA , yang darinya muncul YALAB-I-RAHMAAN dalam makna lambang huruf YA . Kemudian menjadi huruf KAF yang menyembunyikan makna KAMAAL- I-RAHMAAN. Kemudian KALAAM-I-RAHMAAN manjadi WAJIDA -R-RAHMAAN dalam lambang huruf WAU, dan yang terlahir menjadi NAMUUD- I-RAHMAAN dalam rangkaian lambang huruf NUN. Dan inilah hakikat batin dari penciptaan alam semesta dari Kalaam-i-Rahmaan hingga ke Namuud-i- Rahmaan.
Adapun makna dzahir dari penciptaan alam semesta adalah di saat Allah sebagai harta karun yang tersembunyi (kanzan mahfiyyan) yang memanifestasikan diri-Nya untuk diketahui. Dari Alllah muncullah Nuur dan dari Nuur muncullah Samawaati (bendabenda langit) hingga bumi, di mana Nuur itu ibarat pelita di dalam gelas, dan gelas yang melingkarinya itu adalah KAUKAB (planet) yang diturunkan dari nyala Nuur yang merentang sebagai pohon yang penuh barokah, pohon terang, yang tumbuh tidak di timur maupun di barat (QS. an-Nuur: 35).
Ketahuilah, bahwa dari Nuur ke samawati yang jumlahnya tujuh itu baru melewati dua periode. Dengan demikian, dari awal penciptaan yang permulaan sekali adalah SAMAA yang bahannya dari DUKHAAN (nebula) (QS. an-Nuur: 11). Ini adalah periode penciptaan pertama, di mana SAMAA ketika itu hanya merupakan dukhaan, dan dukhaan itu digulungkan Allah dengan rangkuman konsep-konsep tentang samaaawaati dan ardl, sehingga dukhaan dengan konsep tersebut menggulung-gulung sesuai hukum Tuhan (QS. Fusshilat: 12). Tahap inilah yang disebut tahap KAWWARA dari kalam Kun.
Dukhaan yang menggulung tersebut kemudian mengikuti hukum Ilahi sehingga menjadi Nuur yang merupakan sumber dari SAMAAWAATI di mana samaawaati tersebut adalah periode kedua dari tahap penciptaan, di mana Allah menjadikan tujuh samaawaati dan menerangkan hukumnya, dan di sekitar samaawaati itu dengan bintang-bintang cemerlang (QS. Fusshilat: 12). Dan setiap samaawaati berada di tiap-tiap SAMAA dengan segala hukum yang melingkarinya, sehingga pada setiap samaa berdiam samaawaati yang dilingkari bintang-bintang dan planet-planet yang terang terpelihara dalam hukum yang pasti (QS. Fusshilat: 12). Tahap penciptaan samaawaati yang pertama itulah yang disebut tahap NUUR dari kalam NUN.
Samaawaati yang terbentuk di samaa pertama adalah sebuah bola siraj (pelita) yang maha raksasa yang merupakan sumber dari bahan material alam semesta.
Siraj itulah yang amat menyala (QS. an-Naba : 13) yang apabila diukur dengan piranti manusia mungkin nyala pelita yang terang itu sekitar 500.000.000 derajat celcius. Karena siraj tersebut mengikuti hukum Ilahi dengan menggulung terus ke arah pusat, maka titik pusat dari bola siraj yang maharaksasa itu makin panas sehingga terjadi hukum pembalikan dari bias panas, yang keadaan tersebut berupa meledaknya bagian luar dari siraj. Ledakan itulah yang melontarkan materi siraj sehingga terbentuk enam siraj yang lain sehingga jumlah siraj menjadi tujuh, di mana dimensi ketujuh dari siraj tersebut adalah dimensi yang paling kecil.
Itulah tahap FAQT, yakni tahap pemisahan siraj pertama ke dalam tujuh samaa sehingga seluruh substansi dan sifat dari setiap siraj di tujuh samaa tersebut adalah sama. Dan dari ketujuh siraj tersebut berpencar-pencar lagi bermilyar dan bertriliun siraj sehingga dari siraj yang terwadahi dalam ketujuh samaa tersebut disebut samaawaati. Tahap faqt inilah yang disebut sebagai tahap pemisahan siraj awal ke siraj yang tujuh, yang digambarkan dalam makna Tuhan memanjangkan bayang-bayang-Nya (QS. al-Furqaan: 45). Inilah tahap faqt yang merupakan tahap kedua dari periode terjadinya samaawaati.
Tiap-tiap siraj itu pun kemudian mengikuti hukum Ilahi yang bergerak sendiri-sendiri. Inilah tahap YASBAHUN di mana masing-masing siraj dan samaawaati dari yang berukuran maharaksasa sampai yang berukuran paling kecil bergerak mengikuti hukum Ilahi. Masing-masing siraj dan samaawaati yang berada di kekelaman samaa yang memiliki suhu 272 derajat celcius di bawah nol itu pun mulai mengadakan kondensasi, tetapi sesuai dengan hukum Ilahi bahwa di antara panas akan terjadi daya saling tarik-menarik.
Pada tahap inilah Allah dengan hukumnya memisahkan samaa yang mewadahi samawaati ke dalam dimensi-dimensi yang saling berbeda jauhnya sehingga terjadi keseimbangan (QS. ar-Rahman: 7), sehingga jarak masing-masing samaa untuk tiap samaawaati berimbang dan tidak terjadi tubrukan antara satu samawaati dan samawati yang lainya kecuali yang dikehendaki-Nya (QS. al-Hajj: 65). Dengan demikian, setiap samaawaaati yang sedang mengalami proses kondensasi akan memiliki DAIB atau orbit sendiri-sendiri (QS. Ibrahim: 33). Begitulah pada tahap YASBAHUN itu, peredaran masing-masing benda langit ditentukan hukumnya dengan pasti oleh-Nya.
Periode kelima adalah periode KAWAKIB, yakni periode di mana siraj yang kecil-kecil mulai mengalami kondensasi karena berada di dalam samaa yang memiliki suhu 263 derajat celcius di bawah nol. Demikianlah samaa ad-dunya dipenuhi kawakib (planet-planet) yang mengitari siraj ad-dunya (matahari) (QS Asshaffat: 6). Sementara di samaa yang lain yang dimensinya lebih besar dari dimensi addunya, kumpulan siraj yang berukuran besar dan raksasa itu masih tetap menyala dengan kumpulan siraj yang disebut buruuj (galaksi). Demikianlah pada tiap samaa akan menyala menurut waktunya sampai yang terjauh dari siraj di samaa pertama, tetapi yang terdekat di samaa ad-dunya.
Periode keenam adalah WAKHALU, yakni periode di mana pada kaukab mulai terjadi tahap subur yang siap menumbuhkan benih kehidupan. Tahap inilah tahap kaukab menjadi Ardl, yakni kulit kaukab sudah tebal dan dibasahi oleh air yang memancar dari perut bumi (QS. an-Nazi ah: 31). Sementara itu kondensasi Ardl terus diikuti dengan keluarnya cairan panas magma dari dalam Ardl tidak bisa keluar dan dalam kondensasinya selalu mencari tempat keluar sehingga akan merusakkan segalanya dana wujud guncangan gempa.
Tahap ketujuh adalah periode NAMUUD, yakni munculnya gejala-gejala kehidupan yang oleh al- Qur an digambarkan dengan munculnya tetumbuhan (Q.S. al-Baqarah: 22, ar-Ra d: 3, Thaha: 53, an-Nazi at :31, Qaaf:9). Dan begitulah kehidupan mulai muncul, di mana hukum dari penurunan tersebut berlaku dalam semua hal.
Demikianlah Allah mencipta alam semesta dari tahap samawaati hingga tahap Ardl selama enam periode, kemudian Dia bersemayam di atas arsy (QS. as-Sajadah: 4). Sementara tujuh samaawaati yang berada di tujuh samaa baru melewati dua periode, dari periode Kawwara ke periode Nuur (QS. Fushsilat: 12).
Dari uraian sampean tentang proses penciptaan alam semesta ini, saya makin yakin bahwa ardl atau bumi manusia sedang melewati titik-titik akhir kondensasinya. Itu berarti, gravitasi bumi semakin lama akan semakin lemah. Tetapi apakah mungkin pada kawwakib yang tergelar di alam semesta ini ada yang mengalami proses kondensasi seperti ardl sehingga ada tetumbuhan, hewan, dan manusia"
Hukum Allah adalah tetap dan pasti, maka begitulah hukum itu terus berlanjut dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain ke alam semesta ini. Ketahuilah, bahwa Allah adalah Daya Kreatif yang setiap saat mencipta ciptaan-ciptaan baru (QS. al-Qaaf: 15). Dengan demikian, apa yang diyakini orang sebagai tanasukh adalah suatu kepicikan ilmu yang timbul karena orang hanya berpikir dengan fokus bumi dan tak berpikir dalam skala alam semesta. Kalau begitu alam ini bersifat kekal" Tiap-tiap sesuatu pasti hancur kecuali wajah-Nya (QS. al-Qashas :88).
Saya tahu bahwa semua akan hancur, tetapi semua tidak pernah musnah, sebab yang rusak hanya bentuk, tetapi substansi yang meliputi dzat dan massa adalah kekal.
Oleh karena itulah, pada hari kebangkitan nanti semua substansi akan dihidupkan kembali tanpa secuil pun yang tersisa. Begitulah makhluk baru yang disebut surga dan neraka akan hidup dari substansi yang mati. Sesungguhnya Allah senantiasa menghidupkan yang hidup dari yang mati dan mematikan yang hidup (QS. al-Baqarah: 28).
Malam membentangkan sayap hitam, menyelimuti cakrawala tanpa pancaran bintang-bintang. Dingin mengalahkan gemerlap cahaya yang terselubung kabut tebal. Sejauh mata memandang, tak sedikit pun sisa cahaya Hajiib-ur-Rahmaan yang terlihat. Seperti baru terbangun dari tidur, saya termangu-mangu berusaha mengingat pengalaman khayal bertemu dengan Hajiib ur-Rahmaan dan membincang sesuatu yang aneh dan membingungkan.
Saya tidak tahu apa yang sebenarnya telah saya alami dengan pengalaman absurd yang sulit diterima akal sehat itu. Saya hanya merasa, betapa sekarang ini saya seperti seonggok patung batu yang duduk di tengah gurun di pinggir oase yang berair tenang. Dengan pancangan patung batu, saya melihat semaksemak berpelukan, pohon palem bergoyang-goyang, bunga rumput bergulingan, dan bunga-bunga bercakap-cakap menebarkan wangi semerbak. Angin bertiup lembut menebarkan kesegaran bunga gurun.
Tercekam dalam pesona keindahan oase, tanpa sadar saya bersenandung diiringi suara alam yang menggemakan suara kehidupan. Jika saya ungkapkan syair-syair dari senandung saya, kira-kira maknanya sebagai berikut:
Kehidupan adalah sebuah oase yang terpisah di tengah gurun. Entah sudah berapa banyak kabilah yang singgah mengambil airmu dan kemudian pergi menyisakan kotoran, engkau tetap setia menunggu kabilah-kabilah yang berlaku sama. Kehidupan adalah keterasingan yang samar-samar merindukan kebahagiaan di tengah kesendirian. Itu sebabnya, kehadiran kabilah senantiasa menjadi dambaan oase yang selalu menyediakan bekal kehidupan dengan tulus.
ENAM BELAS S ebuah perjalanan melintasi semesta ruhani
adalah sebuah rentangan pengalaman menakjubkan yang sangat fantastis jika dipikir dengan nalar. Sebab segala sesuatu yang tergelar di semesta ruhani sangat aneh dengan berbagai peristiwa yang sangat absurd, ajaib, tidak terduga-duga, dan tidak tersangka-sangka bahkan sulit dicerna dengan akal sehat. Entah apa sesungguhnya yang terjadi pada sebuah perjalanan melintasi semesta ruhani, yang pasti saya merasakan peristiwa itu sebagai sesuatu yang absurd yang hanya bisa digambarkan seperti mimpi karena diliputi berbagai hal yang nyaris tak ada tolak banding dengan kehidupan di dunia yang bagaimana pun anehnya. Yang lebih membingungkan, semakin pengalaman ruhani itu tak tergapai akal, saya merasakan semakin terbuka tirai demi tirai kesadaran saya akan Kebenaran demi Kebenaran yang selama ini tidak terungkapkan secara masuk akal.
Dengan pandangan semesta ruhani, berbagai kenyataan terkait pencapaian Kebenaran di balik sabda-sabda Tuhan di dalam al-Qur an sebagai kitab suci, terbukti tidak sama persis dengan pembacaan dan?"?" penafsiran yang pernah saya pahami yang secara umum merupakan pembacaan dan tafsiran agamawan yang disebut ahli tafsir. Bahkan saya mendadak sadar betapa selama ini istilah-istilah yang dipakai sebagai tafsir oleh para ahli tafsir sering kali tidak sesuai dengan maksud yang dikandung al-Qur an sebagaimana dimaksud Allah. Oleh sebab itu, saya semakin yakin bahwa semakin orang membuktikan kebenaran al- Qur an berdasar fenomena-fenomena semesta ruhani, maka akan semakin sadar betapa bodoh dan tolol karena mendapati keterbatasan akal budi yang tidak akan pernah cukup untuk mewadahi dan menampung serta menafsirkan al-Qur an sebagai Kalaam-i-Nafsii dari Sang Mahamutlak yang bersabda lewat Maula- Nya.
Semula, saya menduga bahwa matahari adalah pusat dari tata surya di mana planet-planet melingkari dan mengitarinya. Saya senantiasa beroleh kesan bahwa matahari adalah pusat tata surya yang berhenti diam dan dikitari planet-planet sebagaimana teori Copernicus. Tapi dengan pandangan semesta ruhani, matahari ternyata bergerak pula mengedari bintang maha besar di mana al-Qur an memberi sebutan bagi gerakan matahari dalam melingkari bintang tersebut dengan istilah Mustaqarr (QS. Yaasiin: 38). Sementara bintang maha besar yang dikitari matahari itu pun sebenarnya mengitari bintang maha besar lain yang ukuran dimensinya lebih besar.
Samaa yang diartikan langit pada dasarnya lebih tepat kalau disebut sebagai dimensi-kosmos, sebab pada kenyataannya setiap lapis samaa adalah manifestasi dari besaran dimensi dari kosmos. Dan pada tiap-tiap lapisan samaa terdapat dimensi rahasia yang disebut Hajiib-ur-Rahmaan yang saling berbeda-beda, baik dalam perwujudan maupun dimensi besarannya.
Ketika saya terserap oleh suatu medan magnit maha raksasa dan berhasil menembus hakikat Hajiibur-Rahmaan yang melapisi dimensi samaa i dunya, saya mendapati diri saya terlontar ke suatu dimensi bintang gemintang yang luar biasa besarnya. Saya menduga bahwa samaa itu adalah gugusan bintang Alpha Lyrae di mana jarak antara satu bintang dan bintang yang lain adalah sangatlah besar, sehingga dalam jarak tempuh antara satu bintang dan bintang yang lain yang terjauh kalau dihitung secara teoretik mungkin mencapai 326 tahun kecepatan cahaya, padahal cahaya sendiri kecepatannya 300.000 kilometer per detik.
Yang mendadak saya rasakan aneh, tubuh ruhani Saya pun ketika memasuki dimensi samaa maha raksasa yang entah apa namanya, tiba-tiba membesar sesuai dengan dimensi yang mengitari kesadaran saya, sehingga bintang-bintang yang kalau dalam ukuran bumi adalah maha raksasa itu ternyata tidak lebih dari butiran jeruk dan bola tenis bahkan sebagian besar seperti butiran-butiran pasir berserakan di pantai semesta. Semakin saya bertanya-jawab tentang dimensi samaa dengan setiap Hajiib r-Rahmaan senantiasa suatu ketakjuban dan keheranan baru memasuki otak dan perasaan Saya. Saya bisa membayangkan andaikata saya tidak mengetahui sedikit pun tentang seluk-beluk ilmu astronomi, tentulah Saya akan menganggap semua kejadian yang tergelar di depan saya itu sebagai vision atau bahkan sihir (QS. al-Hijr: 14-15).
Setelah melewati sekitar enam samaa , tiba-tiba saya terpukau oleh suatu pemandangan yang sangat menakjubkan. Bayangkan, di hadapan Saya terbentang suatu lubang hitam yang sangat ajaib diliputi kemisteriusan, di mana lubang itu menghisap dengan sangat kuat benda-benda langit di sekitarnya, sehingga setiap detik beribu-ribu bahkan berjuta-juta benda langit dari yang disebut bintang, asteroid, planet, sampai bumi terhisap dan hilang begitu saja memasuki pusatnya yang diliputi kekelaman. Ajaibnya, pada saat yang sama dari lubang hitam itu menghamburkan materi-materi bercahaya dalam jumlah yang tak terhitung di mana materi-materi itu terlontar jauh memenuhi alam raya menjadi benda-benda langit menakjubkan. Jika diamati, semburat cahaya-cahaya yang terhisap maupun yang terhambur, membentuk semacam akar-akar dan daun-daun cahaya dengan batang lubang hitam yang ajaib itu, di mana perwujudannya mirip pohon semesta yang sangat menakjubkan dan tidak tergambarkan keindahannya.
Yang lebih menakjubkan dari lubang hitam kelam itu, bukan hanya bentuk fisiknya yang mirip pohon semesta yang tidak tergambarkan keindahannya, melainkan yang melampaui keindahan misteriusnya adalah pancaran cahaya ruhani yang berpendar gaib tidak saja menjadi penerang bagi lubang hitam beserta cahaya-cahaya yang terhisap dan terhambur menakjubkan, tetapi cahaya ruhani gaib itu menerangi pula dimensi ruhani alam semesta dengan terang yang lembut di balik kegaiban yang diselubungi misteri. Entah benar entah tidak dugaan saya, saya menduga benderang pancaran Cahaya yang hanya bisa disaksikan penglihatan ruhani itu sangat mungkin adalah Sumber dari lubang hitam ajaib yang seperti pohon ajaib menakjubkan itu sehingga Cahaya itu bisa disebut ajaib di atas ajaib.
Ketika melintasi dimensi samaa yang aneh itu, saya bertanya kepada Hajiib-ur-Rahmaan tentang lubang hitam ajaib itu, Gerangan apakah lubang hitam yang berpendar laksana pohon ajaib itu wahai Hajiib-ur- Rahmaan"
Kullu yajriiyaa ilaa ajalin musamman (QS. Luqman: 29), bahwa tiap-tiap sesuatu beredar hingga di suatu batas yang ditetapkan, yaitu ajalin musamman.
Lubang itukah yang disebut ajalin musamman dan Cahaya gaib apakah itu yang benderangnya dengan sangat lembut menerangi jagad semesta"
Ketahuilah, bahwa Cahaya yang engkau lihat di balik lubang hitam kelam itu adalah Cahaya yang merupakan haqiqat Nuur dari Yang Azaali. Dia adalah siraj pertama. Di dalam siraj itulah tersembunyi haqiqat-i-Muhammadi atau Nuur-i-Muhammad yang merupakan Sumber dari segala sumber Haqiqat-iinsaani. Di siraj itulah tersembunyi haqiqat: Khalaqtuka min nuuri wa khalaqtu khalqa min nuurika. Itulah hakikat di balik makna Allah adalah Cahaya samawaati dan ardl; ibaratnya cahaya-cahaya itu seperti lubang yang tak tembus yang di dalamya terdapat pelita; pelita itu di dalam kaca dan kaca itu seolah-olah kaukab yang cemerlang yang dinyalakan dengan minyak dari pohon zaitun yang penuh barokah, yang tumbuh tidak di timur maupun di barat, yang minyaknya memberi cahaya sekalipun tanpa disentuh api (QS. an-Nuur: 35).
Kalau begitu, siraj hitam itukah Tuhan" Nuurun alaa nuurin (QS. an-Nuur: 35), ketahuilah bahwa Allah adalah Cahaya di atas cahaya. Dia meliputi segala sesuatu. Dia yang Dzaahiir. Dia yang Bathiin. Dia tidak bisa engkau tafsir-tafsirkan dan tidak bisa pula engkau maknai sesuai prasangkamu.
Kalau begitu, Siraj hitam itu mestilah haqiqat-i- Muhammadi yang merupakan sumber penciptaan alam semesta.
Siraj itu adalah pancaran ajalin musamman secara dzaaahiir, tetapi secara bathiin Dia terangkum dalam haqiqat Nuur-i-Muhammad.
Bagaimana mungkin siraj itu bisa begitu hitam kelam dan menelan demikian banyak benda tetapi juga menghamburkan semuanya"
Ketahuilah, bahwa siraj yang hitam kelam tersebut adalah siraj yang paling awal dicipta di dimensi samaa yang paling luas dan paling suci. Tidak satu pun makhluk yang bisa masuk ke dalamnya yang tidak lebur, sebab siraj itu adalah Cahaya di atas segala cahaya yang panasnya luar biasa tak terukur akal manusia. Dan ketahuilah, karena panas dari siraj maha raksasa tersebut tak terukur dengan ukuran apapun, maka cahaya yang memancar darinya tidak bisa keluar. Karena kecepatan cahaya masih kalah kuat ditarik oleh daya panas yang memancar. Dengan demikian, cahaya yang memancar dari siraj itu akan berbalik lagi terserap oleh panasnya, sehingga dari siraj itu yang tampak hanya hitam kelam belaka.
Ketahuilah, bahwa dari bahan siraj itulah tercipta seluruh benda langit di tujuh petala ini, tetapi Allah yang menerakan hukum-Nya menghisapkan kembali semua benda di alam semesta ini ke dalam siraj itu. Ketahui pula bahwa daya hisap siraj itu sangatlah besar, sehingga seluruh benda alam semesta akan terhisap ke dalamnya setiap saat. Dan kalau engkau mengamati benar, maka seluruh benda di alam semesta ini sedang bergerak karena terhisap siraj tersebut.
Kalau begitu yang disebut kehancuran alam semesta pasti akan terjadi, seru saya penuh ketegangan.
Kullu syai in yarji u alaa aslihii, tiap-tiap sesuatu pasti kembali kepada asal usulnya. Dan begitulah ketika bintang-bintang sudah pudar karena samaa demi samaa dikuakkan (QS. al-Mursalat: 8-9) dan seluruh benda di seluruh alam semesta dihancurkan, maka ketika itulah tiap nafs menyadari akan dirinya (QS. at- Takwir: 1-14).
Ketahuilah, yang terhisap oleh daya hisap siraj ajalin musamman tersebut adalah partikel-partikel materi dari yang paling pejal sampai ke yang paling halus. Oleh sebab itu, ketika Nabi Muhammad SAW menuju Sidrat l Muntaha dengan melewati siraj tersebut, Jibril tetaplah tinggal menunggu di luar hijab karena apabila Jibril naik seujung rambut pun dari hijab itu, niscaya dia akan terbakar habis.
Ketahuilah, bahwa di siraj inilah semua kebendaan diuraikan. Bagi benda-benda yang padat maka penguraiannya akan lebih menyakitkan dibanding yang tidak padat. Oleh sebab itu, nafs yang terperangkap pada kebendaan akan mengalami proses penguraian yang menyakitkan untuk memisahkan kesuciannya dari unsur kebendaan.
Tapi proses itu saya pikir tidak akan lama, karena kilasan daya hisap siraj itu begitu dahsyat hingga sekejab saja benda-benda akan lebur di dalamnya dan terurai menjadi debu.
Engkau menghitung waktu di dimensi semesta ini dengan waktu bumi. Itu pasti salah. Ketahuilah, bahwa satu hari waktu di sini adalah ibarat seribu tahun dari hitungan tahun-tahun bumi, sebab satu hari di sisi Tuhan adalah seperti seribu tahun waktu hitunganmu (QS. al-Hajj: 47).
Di sisi Tuhan" seru saya kaget, Berarti saya sudah dekat sekali dengan tempat Tuhan.
Hajiibu r-Rahmaan begitu mendengar gumam saya tiba-tiba diam dan tanpa terduga mengangakan mulutnya. Tubuh-jiwa saya terasa menggeletar dan darah-jiwa saya terasa tersirap ketika mulut Hajibu r- Rahmaan yang menganga itu robek dan tubuhnya terbelah menjadi dua. Subhanallah! Apa yang sesungguhnya sedang terjadi"
Saya masih terperangah takjub ketika tubuh Hajiibu r-Rahmaan yang terbelah itu meledak berkeping-keping dan lebur menjadi kabut. Sekejap, saya merasakan tubuh saya terhisap oleh kekuatan maha raksasa yang memancar dari kabut bekas ledakan tubuh Hajiib-ur-Rahmaan. Lalu saya merasa seperti mati ketika saya merasakan tubuh saya meluncur dengan kecepatan supersonik bersama-sama kabut bekas ledakan tubuh Hajiib-ur-Rahmaan dan bendabenda angkasa lain, ke arah lubang hitam yang menganga seluas cakrawala.
Dengan kecepatan luncur yang tak terukur, tibatiba saya melihat kilasan-kilasan realitas aneh mewujud di depan saya. Betapa pada saat seperti ini saya mendapati kenyataan bahwa semua benda langit yang mengandung unsur materi pada dasarnya tidak ada. Semua benda lebur bentuk fisiknya dan musnah tanpa sisa. Ajaibnya, justru kehampaan yang membentang di segenap penjuru semesta tiba-tiba menjadi wujuud nyata. Bahkan kelamnya kehampaan tiba-tiba menunjukkan hakikat yang sebenarnya sebagai Cahaya yang meliputi semesta raya. Dan keberadaan bendabenda langit di tengah semesta apabila dipandang dengan kecepatan maha supersonik itu tidak lebih gambarannya seperti gelembung-gelembung udara di dalam air. Dengan demikian, hakikat benda-benda sebenarnya adalah hampa dan hakikat kehampaan itulah justru yang Wujuud, demikian juga hakikat kekelaman tanpa batas itulah yang sejatinya Cahaya sejati yang hakiki; sungguh suatu hukum kebalikan yang benar-benar tidak bisa dijangkau akal budi.
Sepersekian detik kilasan penglihatan ruhani yang menakjubkan itu menyentak kesadaran saya, tetapi sesudah itu semua menghilang begitu saja di mana di hadapan saya secara fantastis tiba-tiba tergelar mahalautan api yang menggelegak dikobari sinar putih kebiruan yang sangat terang. Saya tidak sempat lagi memekik ketika merasakan tubuh saya melesat ke dalam kobaran maha raksasa dari maha-lautan api tersebut. Dan saya hanya merasakan tusukan berjutajuta jarum membara merejam ke sekujur tubuh-jiwa saya. Saya meregang dengan kesakitan yang luar-biasa tak tertahankan, seolah tubuh saya disayat-sayat beserpihan seperti abon.
Seberkas kilasan cahaya putih menyambar mahalautan api secara tiba-tiba menimbulkan gelora luar biasa dahsyat. Lalu seperti kobaran lautan api menyambar seekor nyamuk, begitulah maha-lautan api itu menelan tubuh saya. Saya menjerit sejadi-jadinya karena rasa panas yang menyengat terasa sangat sakit tak tergambarkan. Rasa sakit itu makin tak tertahankan, manakala jutaan jarum membara yang menancap di tubuh saya mendadak menyala bagai dialiri medan listrik bertegangan jutaan mega watt. Dan saya benarbenar tak dapat menahan kesakitan yang maha dahsyat ketika ion-ion di tubuh saya terasa meledak secara berurutan.
Gemuruh ledakan ion-ion di tubuh saya terasa memecahkan seluruh jaringan sel yang membentuk tubuh saya. Saya merasa bahwa sekarang inilah saya merasakan jahannam. Dalam kesakitan yang luar biasa itu, saya hanya mampu menjerit sambil memanggili nama Allah. Namun gema suara saya segera tenggelam digilas gemuruh ledakan ion-ion yang melingkari kesadaran saya. Dan siksaan yang paling mengerikan sakitnya, adalah ketika saya merasakan tubuh saya melayang-layang dengan kecepatan sangat lambat, di mana saya bisa meresapi dan menghayati hakikat kesakitan yang maha dahsyat yang menyengat sampai ke ion-ion pembentuk tubuh saya. Tetapi, semuanya tetap mampu saya tahan dengan memanggili nama Allah sebagai tumpuhan harapan bagi pembebasan penderitaan.
Dalam keadaan yang serba galau dan kalut yang dilingkari rasa sakit maha dahsyat itu, entah bagaimana awalnya tiba-tiba saya melihat seberkas sinar memancar dari tubuh saya. Sinar itu melesat cepat di depan saya. Anehnya, seperti ada yang memberitahu, saya tiba-tiba mengetahuinya sebagai Sirru l-haqq yang selama ini bersemayam di pedalaman saya. Seperti biasa, tanpa saya minta, Sirru l-haqq itu mendadak mengingatkan saya bahwa sia-sia saja saya meminta pertolongan Allah karena saya melupakan Haqiqat-i-Muhammadi sebagai Faidh-i-aqdas yang membentangkan siraj dari manifestasi Ism Haadii.
Sedetik saya sadar. Saya sadar betapa selama ini saya telah berpikir keliru karena saya menganggap keberadaan Nabi Muhammad SAW hanyalah sekadar sebagai manusia biasa yang kebetulan memperoleh tugas sebagai nabi dan rasul dari Allah. Saya selama ini benar-benar terperangkap pada makna harfiah dari al-Qur an dan hadits, sehingga kerahasiaan Haqiqati-Muhammadi sebagai Faidh-i-aqdas, Faidh-i-muqaddas, dan Faidh-i-rahmaani hampir tak pernah saya pahami. Saya hanya menghafal shalawat-shalawat tetapi saya melupakan haqiqat-i-sholawat, meski saya tahu bahwa Allah dan seluruh malaikat menyampaikan sholawat pada Muhammad Rasulillah SAW.
Dengan kesadaran akibat bisikan Siiru l-Haqq itulah, saya mulai meresapi pengetahuan akan Haqiqat-i-Muhammadi. Lalu tanpa sadar, saya mengumandangkan shalawat lewat khasidah-khasidah yang pernah saya hafal dan selalu saya kumandangkan sejak saya masih kanak-kanak. Saya juga mengumandangkan shalawat seperti apa yang saya kumandangkan sebagai doa dalam shalat. Saya kumandangkan shalawat Ibrahimiyyah, shalawat Ibn Hajar al-Haytami, shalawat Ali ibn Husey, shalawat Ali ibn Abi Thalib, shalawat Abdullah ibn Mas ud, shalawat Ibn Umar, shalawat Nur al-Qiyamah, shalawat Ibn Arabi, shalawat al-Jilani. Sepersekian detik, tiba-tiba saya merasakan gemuruh kegalauan yang melingkupi kesadaran saya berangsur-angsur tenang. Hening. Rasa sakit yang menikam dan menyengat-nyengat pun berangsuransur mereda.
Saya makin terpukau keheranan dengan pengalaman menakjubkan yang saya lewati ketika cahaya Sirru l-haqq yang melayang-layang di depan saya mendadak meraksasa ukurannya dan secepat kilat mennyambar tubuh saya. Lalu seibarat percampuran khamr dan air, begitulah ke-aku-an saya larut ke dalam ke-aku-an Sirru l-Haqq yang tak saya ketahui lagi ukurannya. Di saat kelarutan saya dengan Sirru l-Haqq mencapai titik fusi, tiba-tiba sebuah tirai gaib dengan cara yang sangat ajaib tersingkap; lalu saya menyaksikan bermilyar-milyar benda langit terhampar di kaki saya seperti butir-butir pasir emas yang menyala. Bahkan ketika saya merasakan tubuh-jiwa saya terangkat ke atas, benda-benda langit tersebut menghampar luas dan penuh seperti tanpa cakrawala. Sejauh mata memandang hanya kerdip-kerdip pasir emas menyala itu saja yang terlihat seperti layar monitor televisi mengalami ganguan. Saya pun merasakan semakin membubung ke suatu dimensi tanpa ruang tanpa waktu; suatu dimensi di mana semua yang ada menyatu dalam kesatuan semesta.
Seyogyanya saya tenggelam dalam kelarutan perwujudan materi semesta andaikata Sirru l-Haqq yang mewadahi saya tidak memancarkan cahaya gilanggemilang yang membentuk perwujudan maha-indahsemesta. Saya tidak bisa menggambarkan wujud keindahan cahaya Sirru l-Haqq tersebut, karena saya tidak melihat padanannya di dalam rentangan pengalaman saya sebagai manusia. Saya hanya bisa menggambarkan bahwa keterpesonaan saya terhadap wujud yang melingkari saya kadarnya bermilyar-milyar kali dibanding keterpesonaan saya terhadap perempuan-perempuan yang pernah mempesona hati dan jiwa saya. Dan keterpesonaan itu membuat saya tercekat dalam keterpanaan tanpa batas.
Saya benar-benar tenggelam ke dalam daya pesona luar biasa ketika dari keindahan tersebut mengumandang musik dan nyanyian yang maha merdu yang membuat kesadaran saya terbuai laksana di alam mimpi. Tetapi, ketika saya hampir larut dalam keterpesonaan, tiba-tiba dari keindahan yang melingkupi seluruh pemandangan saya itu timbul kilasan keindahan dalam wujud pribadi yang sangat menggetarkan. Kilasan-kilasan tersebut kemudian membentuk sosok manusia gemerlapan yang teramat indah.
Keindahan dari sosok manusia itu tidak bisa saya lukiskan karena keindahannya adalah keindahan semesta yang tidak terikat oleh jenis yang terpilah yang hanya bisa didefinisikan aneh dan ajaib. Ya, manusia gemerlapan itu keindahanya adalah mutlak bagi pemandangan bashirah saya. Saya melihat berjuta-juta sayap kilau-kemilau menggeletar di sekitarnya; lalu berjuta-juta bintang dengan aneka cahaya terlihat melingkari kepalanya seolah mahkota zamrud dan mirah dipancari cahaya intan. Wajahnya, tidak bisa dilukiskan karena begitu indah dan aneh sehingga saya bagaikan tersihir untuk terus-menerus melihat keindahannya yang aneh. Saya benar-benar tidak pernah melihat pemandangan bentuk manusia seindah dan seaneh itu, meski dalam mimpi atau angan-angan sekalipun; sesosok manusia cahaya yang tidak bergerak dan tidak diam, tidak hidup dan tidak mati, diliputi kabut sekaligus cahaya.
Bentuk manusia kilau-kemilau yang indah dan aneh tersebut dengan gerakan amat memukau yang tak juga bisa saya lukiskan terlihat bergerak bagaikan awan mendekati saya, sehingga jarak kami hanya sekitar satu gapaian tangan. Ketika wujud keindahan itu merentangkan tangannya yang sangat indah, dari tubuhnya memancar seberkas cahaya aneka warna, sehingga saya tanpa sadar menggumam, Siapakah dia gerangan"
Dengan suara penuh daya pesona bagaikan musik dan nyanyian surgawi, manusia cahaya yang indah dan aneh itu menjawab gumaman saya dengan bahasa tanpa kata dan suara:
Ana Ahmad-un bi laa miim!
Anta Ahad" tanya saya karena jawaban itu dapat bermakna Ahad, yakni Ahmad tanpa huruf miim. Ana Ahmad-un bi laa miim, katanya mengulang. Saya termangu penuh takjub seperti tidak percaya dengan apa yang saya lihat. Sebab saya tidak syak lagi bahwa yang sekarang berada di depan saya itu adalah haqiqat-i-Muhammadi. Saya tiba-tiba ingat pada kisah Chandragupta yang melukiskan haqiqat-i-Muhammadi sebagai seekor burung merak yang bertengger di puncak pohon Sajaratu l Yaqiin sambil menyanyikan puja-pujian kepada Tuhan dan bersujud lima kali sehari. Burung merak itu menyembunyikan semua warna-warni yang indah di kedua sayapnya. Tapi apabila dia merentangkan sayap, maka muncullah keindahan semesta dalam aneka warna.
Saya termangu dalam pesona jiwa. Saya yakin andaikata apa yang saya hadapi ini terjadi di dunia, maka tidak syak lagi saya akan menangis penuh haru. Saya tentu akan menjatuhkan diri dan merangkul kedua kaki manusia kilau-kemilau diliputi keindahan dan keanehan yang mewujud di depan saya yang tidak lain dan tidak bukan adalah haqiqat-i-Muhammadi. Tapi suasana yang saya alami saat ini benar-benar lain, di mana saya hanya termangu-mangu dalam pesona tanpa bisa melakukan tindakan apa-apa. Saya merasakan seluruh ion di dalam diri saya berhenti bergerak ketika haqiqat-i-Muhammadi tersebut berkata dalam kemerduan raya:
Ana min nuuru llahi wa khalaq kuluhum min nuuri. Ana wujuud-i-dhaafi. Man ra anii faqad raa ulhaqq.
Apakah beda antara Ahad dan Ahmad bila miim" tanya saya benar-benar dicekam rasa ingin tahu. Huwa Ahad wa Ana Wahdah.
Berarti keberadaan sampean dengan Ahad hanya dibatasi dengan lambang huruf WAU dan MIM. Saya melihat huruf WAU juga diterakan antara Allah dan Muhammad dalam syahadatain. Apakah makna lambang-lambang huruf tersebut".
Haqiqat-i-Muhammadi menggerakkan kedua tangan-Nya dan membentangkan kalimat demi kalimah Rabb yang tanpa suara, tanpa huruf, tanpa isyarat, tanpa bentuk, dan tanpa wujud. Tetapi saya merasakan diri saya ikut terang-benderang gemerlapan ketika memahami makna kalimat demi kalimat tersebut. Saya sadar bahwa uraian tersebut amatlah terahasia sehingga tiada mungkin diuraikan di dimensi lain, sebab pemaknaan tiap haal amat jauh berbeda dengan cara berpikir umum manusia. Sehingga penguraian akan segala haal di sini dengan terang sewaktu di dunia malah akan menimbulkan kesesatan maha besar.
Setelah saya memahami makna hakiki dari pemaknaan segala apa yang saya tanyakan, saya pun bertanya lebih lanjut, Apakah yang membedakan antara Huwa-Rahmaan dan Nuu-i-Rahmaanii dalam hakikat"
Haqiqat-i-Muhammadi kemudian membentangkan bahwa sebagai Nuur-i-Rahmaanii, Dia beserta unsur-unsur yang tercipta dari-Nya baik malaikat, jin, manusia, dan alam semesta tunduk kepada hukum Rubbubiyah. Artinya, Nuur-i-Muhammadi beserta alam semesta wajib menyampaikan shalat kepada Huwa-Rahmaan. Sebaliknya, Huwa-Rahmaan beserta seluruh isi alam semesta menyampaikan shalawat kepada Nuur-i-Rahmaanii. Demikianlah antara shalat dan shalawat dibatasi oleh lambang huruf WAU yang mencakup makna hakiki antara Ahad dan Wahdah.
Kelanjutan dari bentangan tentang shalat dan shalawat adalah ibarat ruangan dan pintu, sehingga orang tidak bisa masuk ke dalam ruang jika tanpa melewati pintu. Begitulah sebuah shalat tidak sah tanpa shalawat, sebaliknya shalawat sia-sia tanpa shalat. Bahkan segala doa tidak akan bisa sampai kepada Huwa-Rahmaan apabila tidak melewati shalawat kepada Nuur-i-Rahmaan. Dan di satu segi, Ahad memiliki rahmat, sedang Wahdah memiliki syafaat. Yang lebih mengejutkan lagi dari bentangannya adalah mengenai Huwa-Rahmaan dalam kaitan dengan haqiqat-i-Muhammadi yang termanifestasi dalam Anfalu lillahi war rasuuli (QS. al-Anfal: 1), wa man yusyaaqiqi llaha wa rasuulahu fainna llaha syadidul iqaab (QS. al-Anfal: 13), athii uu llah wa rasuulahu (QS. al-Anfal: 20), washodaqa llah wa rasuuluhu (QS. al Ahzaab: 22), innalladziina yu dzuuna llaha warasuulahu la anahumu llahu (QS. al-Ahzaab: 57), dan banyak lagi yang lain. Penafsiran atas ayat-ayat tersebut benar-benar merupakan persoalan besar, sebab kalau orang keliru satu menafsirkan maka akan menumbuhkan pemahaman yang keliru dan bertentangan dengan prinsip-prinsip akidah Islam.
Akan hal tajalli, haqiqat-i-Muhammadi membentangkan Maa arafnaaka haqqa ma rifatika tiada suatu pandangan pernah tajalli kepada Dzat, sebab suatu kesadaran sudah runtuh ketika mencapai tajallii-rahmaanii. Demikianlah siapapun tidak pernah mengetahui Tuhan kecuali sebatas yang diperintahkan oleh pengetahuan Tuhan. Adapun tajalli lebih diibaratkan sebagai wa mizajahu min tasniim, ainan yasyrabuu bihal-muqarrabuun (QS. al Muthaffifiin: 27- 28). Adapun tajalli-i-Rahmaan pada dasarnya hanya melampaui tahap di mana nafs akan terhembus lebur bagai puncak Sinai dihembus kehadiran Api Allah. Sebab huwa-Rahmaan sendiri menyimpan hakikat Huwa, dan Huwa pun menyimpan hakikat Lahuwa, Laa Laa huwa, Huwa Huwa; Tuhan yang tak terjangkau oleh konsep dan kejelasan apapun. Dan begitulah sebenarnya Dzat Tuhan tidak bisa diomongkan dan didiskusikan, dan oleh sebab itu haqiqat-i-Muhammadi hanya membentangkan kepada saya mengenai Nuuri-Rahmaanii, Huwa-Rahmaan, dan Huwa.
Dalam pertautan kami sempat terungkap keheranan saya tentang ke-Arab-an Nabi Muhammad SAW, padahal secara genetika Nabi Muhammad SAW adalah termasuk jalur keturunan Nabi Ibrahim yang juga melahirkan Yahudi. Tanpa sadar terungkapkan keheranan tentang ke-Arab-an bahasa al-Qur an dan juga Baitullah.
Haqiqat-i-Muhammadi membentangkan lambang Ana Arab-un bi laa Ain. Saya tercekat dengan jejak pemikiran saya yang sering berpikir secara ke-bumian. Tetapi tentu saya tidak boleh cepat-cepat berkesimpulan untuk memaknai kalimat Saya Arab tanpa huruf Ain itu secara harfiah yang bisa bermakna Rabb. Sebab itu adalah pikiran ke-bumi-an yang sederhana. Namun demikian, jika ungkapan tersebut saya kaitkan dengan bahasa al-Qur an, di mana apabila bahasa al-Qur an diambil huruf ain-nya akan menjadi bahasa Rabb, yang tiada lain adalah kaalam-i-nafsii yang abadi yang tidak bisa dibaca dan dilihat dengan ain (mata). Dan begitu pun tanah Arab yang tanpa huruf ain akan berarti tanah Rabb. Sementara Rabb sendiri bermakna terpelihara dan abadi, sedang ain bisa bermakna penglihatan, tetapi bisa bermakna mata air. Sungguh, ini hal yang membingungkan jika dimaknai dengan akal.
Haqiqat-i-Muhammadi kemudian membentangkan bahwa soal ke-Arab-an Nabi Muhammad SAW sebenarnya hanya merupakan sebutan setelah Tuhan menyingsing dari Sinaai dan terbit dari Seer-Nya; Dia kelihatan kemilau dari gunung Faran, dan dia datang dengan sepuluh ribu malaikat; dari tangan kanan-Nya akan dikeluarkan hukum yang pedih (Eleh Haddebarim, 33:2). Tanah yang dijanjikan yang berupa padang liar yang bertentangan dengan Laut Merah, antara Faran, Ushairot, Thoifal, dan Diz ahab yang kira-kira sebelas hari perjalanan dari Horeb melalui gunung Seer hingga Ka desh-Bar nea (Eleh Haddebarim, 1:1-2). Tanah yang dijanjikan itu tiada lain adalah tanah jajahan orang-orang Amori baik berupa dataran rendah, bukit-bukit, lembah, yang terletak di selatan dari tanah orang-orang Kanaan hingga Lebanon sampai sungai Eufrat; itulah tanah yang dijanjikan Tuhan bagi Ibrahim beserta seluruh keturunannya (Eleh Haddebarim, 1:7-8). Kepada Bani Israel diperintahkan untuk berkeliling, meninggalkan gunung Seer, tanah saudara Bani Israel, yaitu Bani Esau, (Eleh Haddebarim, 2:9) di mana Esau adalah kakak Ya kub yang menjadi menantu Ismail.
Dari pembentangan tersebut akhinya saya tahu bahwa tanah yang di janjikan oleh Allah tersebut pada masa silam hanya dinamakan sebagai padang liar yang disebut Be er-she ba di mana Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail (Beresyit, 21:14), di mana di padang liar itu Tuhan membuka mata air (Zam-Zam) hingga Ismail bisa besar dan menjadi pemanah di padang liar Faran (Beresyit, 21:19-21). Padang liar inilah yang kemudian disebut tanah Arab (Ar-Rab) di mana terletak padang liar Faran tempat Tuhan muncul setelah menyingsing dari Sinaai, yang tanah itu dibatasi oleh Laut Merah-Kanaan-Lebanon-sungai Eufrat-Ka desh Bar nea.
Dengan kenyataan tersebut, maka jelaslah bahwa Nabi Muhammad SAW adalah khaatim dari nabi-nabi, karena beliau diturunkan di tanah yang dijanjikan (Arab) yang mewadahi makna bangsa dan bahasa yang apabila diangkat haqiqat ain-nya akan memiliki makna yang tidak sembarangan boleh diungkapkan. Oleh sebab itu, segala pernyataan setan dungu yang mengaku-aku nabi sesudah Nabi MuhammadSAW cukuplah dijawab dengan ungkapan wa man yuhdilluhu falaa hadiyalah. Sebab sudahlah jelas bahwa di dalam keberadaan Nabi Muhammad SAW terangkai makna Haqiqat-i-Muhammadi yang merupakan pangkal kejadian nafs semesta, sehingga Allah menerakan dalam al-Qur an pernyataan tentang beliau dalam makna Kami turunkan seorang rasul dari nafs kalian sendiri (QS. at-Taubah: 128). Pembentangan rahasia di balik makna-makna tentang berbagai hal terus berlanjut, termasuk persoalan makna perjalanan rahasia menuju Huwa- Rahmaan. Haqiqat-i-Muhammadi membentangkan bahwa sebagian besar dari para pencari Huwa- Rahmaan telah terjerat oleh aturan berbelit-belit yang mereka buat sendiri, sehingga tanpa sadar mereka telah terperangkap pada terali-terali aturan yang mereka ciptakan sendiri sedemikian rumitnya, sehingga mereka terjerat seolah laba-laba terjerat oleh jaring yang ditebarnya sendiri.
Haqiqat-i-Muhammadi membentangkan dengan tanpa selubung seputar keterhisapan saya ke dimensi rahasia yang tersembunyi di dalam rahasia, di mana saya merupakan salah satu pencari Huwa-Rahmaan yang naif, polos, terbuka, bebas, ke-aku-an yang tidak terjerat terali-terali aturan yang memenjara diri. Artinya, Haqiqat-i-Muhammadi mengetahui pasti bahwa saya tidak pernah memakai perantara wasilah yang lain kecuali Dia. Sementara pencari Huwa- Rahmaan yang lain banyak yang terperangkap pada wasilah-wasilah yang diciptakannya sendiri, sehingga pengetahuan akan Tuhan yang mereka dapatkan selalu lebih rendah dari sosok yang mereka jadikan wasilah. Oleh sebab itu, Haqiqat-i-Muhammadi memberitahu agar saya tetap setia dalam menjadikan Dia sebagai satu-satunya wasilah, tentu saja dengan mendalami makna tiap-tiap shalawat-khasidah-kisah perjalanan Nabi Muhammad SAW sampai terbit rasa cinta dan rindu hendak kembali ke asal kejadian.
Mendengar bentangan Haqiqat-i-Muhammadi, saya terperangah takjub. Sebab Saya tidak pernah menduga bahwa satu-satunya senjata saya dalam segala hal yang berbunyi ila hadraati Nabi Muhammad SAW yang tanpa embel-embel ila hadratii kepada yang lain telah menjadi sarana penyingkap hijab yang membuat saya terhisap ke dimensi rahasia-Nya. Ya, senjata pamungkas yang tidak pernah saya duga keampuhannya itu setidaknya akan saya beritakan kepada orang lain kalau memungkinkan dan cerita saya dipercaya.
Ketika pembentangan menyinggung fenomena kemunculan orang-orang dekil yang mengaku wali, segeralah terbentang kilasan-kilasan rahasia yang menguraikan bahwa semua peristiwa yang berhubungan dengan kepalsuan segala hal pada dasarnya berhubungan dengan hari akhir bumi yang makin jarak waktunya. Bentangan itu membeberkan bahwa di antara umat manusia akan muncul manusiamanusia palsu yang mengaku-aku sebagai Aku padahal mereka belum aku . Mereka itu biasanya akan berbuat aneh-aneh dengan berkata-kata kasar, mencaci, mengumpat-umpat, merendahkan, menista, dan bahkan mempermalukan orang lain.
Haqiqat-i-Muhammadi itu kemudian membentangkan bahwa bagaimanapun saya tidak boleh hanyut terbawa arus pesona ketinggian ilmu seseorang. Itu berarti, yang perlu saya jadikan patokan untuk melihat orang-orang palsu itu adalah dengan membandingkan dari berbagai sisi dengan kehidupan Nabi Muhammad SAW yang sangat sopan dan rendah hati serta selalu bertutur kata lemah lembut kepada siapa pun. Lalu dalam bentangan terpapar bahwa apabila terdapat orang-orang yang mengaku wali tetapi tingkahnya sengaja dibuat aneh-aneh dan dapat menimbulkan kesan bahwa Islam adalah ajaran yang tak kenal nilai moral dan tidak beradab, maka yang demikian itu adalah perbuatan orang Zindiq. Bagi orang yang mengaku sebagai pengikut Nabi Muhammad SAW hendaklah meneladani kesantunan beliau dalam berbicara-bersikap-bergaul dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah cukup lama memperoleh bentangan rahasia, tiba-tiba saya merasa bahwa di sinilah saya harus tetap tinggal dalam kedamaian. Sebab selama hidup belum pernah saya merasakan perasaan senikmat seperti ketika saya berada di hadapan Haqiqat-i- Muhammadi. Saya merasa tidak perlu lagi kembali ke bumi manusia. Di dimensi rahasia ini, saya sudah teramat sangat merasakan hidup serba sempurna.
Seperti mengetahui segala sesuatu yang tersirat di dalam pikiran yang menggelegak di kedalaman jiwa saya, tiba-tiba di hadapan saya terbentang kilasan rahasia yang memaparkan keniscayaan bahwa selama takdir mati belum terjadi atas saya, maka wajiblah bagi saya untuk kembali ke bumi manusia sampai ajal datang menjemput Saya. Terbentang pula paparan yang menyatakan bahwa perjalanan hidup saya di dunia masih panjang dengan segala liku-likunya.
Bolekah saya mendekati sampean lebih dekat lagi dan menyentuh kaki sampean" tanya saya dengan hasrat menggemuruh dahsyat memenuhi cakrawala kesadaran saya.
Haqiqat-i-Muhammadi membentangkan ungkapan rahasia kepada saya, bahwa sekalipun jarak antara saya dan Dia terlihat seperti sejangkauan, tetapi sesungguhnya jauh jarak yang mengantarai jauhnya lebih dari lima ratus tahun perjalanan. Saya terkejut dan hampir akal saya tidak bisa menerima kenyataan tersebut. Tetapi dalam bentangan rahasia dinyatakan secara gaib bahwa jauhnya jarak itu adalah kenicayaan yang terjadi karena rahasia dari hukum Ilahi tidak bisa diurai dengan akal manusia yang hanya sedikit menampung ilmu Tuhan.
Haqiqat-i-Muhammadi membentangkan kenyataan aneh bahwa sebelum saya melampaui jarak yang terbentang yang bisa mencapai Haqiqat-i- Muhammadi, saya terlebih dulu haruslah melampaui dimensi yang disebut AL-MIZYYATU L KHAYAA atau Cermin Taubat yang memalukan. Saya benarbenar tidak mengerti akan apa makna yang tersembunyi di balik penamaan tersebut. Saya hanya selintas membayangkan bahwa di dimensi aneh itu akan saya jumpai orang-orang yang bertaubat dalam rangka mensucikan diri untuk kembali kepada Huwa- Rahmaan. Oleh karena saya menganggap perjalanan menembus dimensi AL MIRYYATU L KHAYAA akan saya temui banyak rintangan, maka saya pun meminta petunjuk, Apakah bekal yang harus saya bawa agar saya bisa selamat melampauinya dan bisa menghadap haribaan sampean"
Haqiqat-i-Muhammadi membentangkan gambaran keniscayaan agar saya bisa melampaui suatu tahap ruhani di mana saya mampu menangkap makna rahasia dari apa yang disebut haqiqat shalatu daa imun sekaligus haqiqat shalawatu daa iman. Bentangan rahasia itu tertancap dalam-dalam di relung ingatan saya, di mana saya teguhkan jika saya bisa kembali ke bumi menunggu ajal, saya berjanji akan menelusuri rahasia shalat dan shalawat sampai saya temukan hakikat dari shalat daa imun dan shalawat daa iman.
Entah sadar entah tidak, tanpa saya inginkan, tibatiba saya melakukan shalat ruhani dengan mengarahkan kekhusyukan jasad-ruuh-nuur-sirr. Sekejap kemudian, saya mendadak menyaksikan kilasan-kilasan cahaya kehijauan melesat dari dalam diri saya. Keadaan ini adalah mirip seperti saat saya tenggelam dalam kekusyukan yang memunculkan kilasan berwarna kehijauan dari dalam diri saya. Namun kali ini, kilasan cahaya kehijauan itu sangat kilau-kemilau benderangnya. Tidak syak lagi, kilasan itu tidak lain dan tidak bukan adalah Ruuh-i-Dhaafi. Ketika saya mengikuti kilasan pancaran cahaya Ruuh-i-Dhaafi tersebut, tibatiba saya merasa terhisap oleh suatu kekuatan maha dahsyat sehingga tubuh-jiwa saya melesat dalam kecepatan yang luar biasa cepat.
Suara dentuman-dentuman mengerikan saya dengar menggemuruh dahsyat di segenap cakrawala, tekanannya seperti akan memecahkan telinga-jiwa saya. Berjuta-juta kilasan bintang dan benda-benda langit berledakan menghamburkan cahaya saya saksikan memasuki penglihatan saya. Saya menancapkan diri pada titik konsentrasi berusaha menyatukan makna hakikat shalat dan hakikat shalawat yang berkekalan.
Dalam hitungan detik, saat kesadaran saya memasuki suatu dimensi tanpa cakrawala, saya mendapati diri saya terhenti di tengah hamparan cahaya yang sangat luas tanpa batas diterangi kilasan cahayacahaya yang sangat menyilaukan. Sesuatu yang aneh, tiba-tiba saya rasakan telah terjadi pada diri saya, di mana penglihatan saya tidak lagi terfokus ke depan. Ini sungguh aneh, saya tiba-tiba seperti memiliki berjuta-juta mata yang bisa saya gunakan untuk melihat ke segala arah. Sungguh fantastis, saya tiba-tiba mendapati diri saya berada di suatu dimensi yang tanpa arah depan, belakang, samping, atas, maupun arah bawah. Garis cakrawala pun tidak saya dapati ke mana pun saya mengarahkan pandangan.
Kilasan demi kilasan cahaya terus bergelombang, berpusar-pusar, berlesatan, berhamburan, berpendarpendar sambung-menyambung menimbulkan bentuk-bentuk aneh yang memukau dan sulit dilukiskan dengan kata-kata. Tetapi napas saya mendadak saya rasakan berhenti ketika kilasan-kilasan yang saya saksikan itu adalah kilasan-kilasan dari segala perbuatan saya selama hidup di bumi, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang buruk.
Saya kebingungan menyaksikan rangkaian kilasankilasan yang memaparkan semua amaliah perbuatan diri saya selama hidup di bumi manusia yang gambarannya mirip film tiga dimensi yang sangat hidup seperti benar-benar riil. Kebingungan saya makin teradukaduk ketika saya tidak dapat berbuat sesuatu untuk menghindar dari keharusan menyaksikan kilasankilasan memalukan itu kecuali hanya berharap agar rentangan cerita hidup saya yang memalukan itu cepat-cepat berlalu. Anehnya, kilasan-kilasan memalukan itu tidak bisa saya hindari meski saya sudah berusaha untuk menutup mata agar kilasan-kilasan yang menampakkan keterkutukan saya tidak saya saksikan. Anehnya lagi, semakin saya berusaha untuk tidak menyaksikan, kilasan-kilasan itu malah semakin berlangsung lambat durasi waktunya yang membuat saya benar-benar sangat malu. Sungguh, saya tidak bisa berpaling karena mata saya yang bisa memandang ke segala arah itu sedemikian rupa tajamnya dan tak bisa dikatupkan. Saya tidak bisa berpaling karena seluruh diri saya ibaratnya adalah mata. Demikianlah, kilasan demi kilasan itu menggambarkan dengan sangat nyata bagaimana saya mencuri uang emak dan bapak saya, berbohong, mengintip orang mandi, bermasturbasi, minum khamr, mencium perempuan yang bukan istri, memegang-megang payudara kawan-kawan perempuan, membual, pamer kehebatan diri, ngerasani orang, menyombongkan diri, dan berbagai hal nista yang memalukan lainnya. Saya tidak menduga akan menghadapi kenyataan seperti ini, di mana seluruh perbuatan saya dari yang sengaja maupun yang tidak sengaja tergelar begitu terang dan nyata bagaikan tergambar di film tiga dimensi.
Mengalami pengalaman yang tak pernah terbayang-bayangkan dan terimpi-impikan sebelumnya itu, saya benar-benar tidak mampu mengendalikan kebingungan yang mengaduk-aduk pikiran dan rasa malu yang naik dari telapak kaki ke ubun-ubun. Saat rasa malu sudah tidak dapat lagi ditahan, saya pun menjadi panik. Saya menjerit-jerit keras dan meraungraung penuh ratapan agar Tuhan berkenan menghapuskan kilasan-kilasan yang menimbulkan rasa malu tak terhingga itu. Saya benar-benar ingin mati saja, karena saya sangat sadar bahwa apa yang dialami ini pastilah diketahui oleh Tuhan dan Haqiqat-i- Muhammadi. Sungguh, kalau saja kilasan-kilasan memalukan itu dilihat oleh berjuta-juta orang mungkin saya masih bisa menahan rasa malu dengan menyembunyikan diri, tetapi dengan disaksikan oleh Sumber dari nafs saya sendiri, yaitu Haqiqat-i- Muhammadi dan juga Rabbu l-Arbaab, jelaslah saya merasa tak dapat lagi menahan rasa malu yang tak bertepi ini.
Saking paniknya saya dirajam rasa malu merajalela, saya menjerit-jerit terus dan menyatakan bahwa diri saya adalah makhluk paling zhalim yang tidak layak untuk bersujud di hadapan Nuur-i-Rahmaanii. Saya menjerit-jerit dengan rasa malu tumpah-ruah melumuri tubuh-jiwa saya. Dengan mengiba, saya memohon agar saya diperbolehkan kembali ke bumi untuk memperbaiki segala amal perbuatan saya. Saya juga menyatakan bahwa saya rela dibeteti, disayat-sayat, diiris-iris, direbus, ditumbuk halus menjadi makanan setan di neraka jahannam asalkan kilasan-kilasan memalukan yang merentangkan seluruh amal perbuatan saya itu dihapuskan dari cakrawala penglihatan.
Kepanikan saya rupanya sudah sampai ke puncak karena kilasan-kilasan memalukan tersebut terus berlangsung tanpa bisa dihindari apalagi dihentikan. Akhirnya, setelah saya tidak mampu lagi menahan dentuman rasa malu, bobol pertahanan saya. Kesadaran saya dengan cepat terhapus. Kilasan-kilasan itu, benar-benar terhapus bersama terhapusnya kesadaran saya. Saya tidak lagi melihat sesuatu kecuali pancaran sinar sedemikian rupa benderangnya hingga menelan penglihatan dan kesadaran saya. Dan saya benar-benar merasa terhapus. Hilang, sirna; saya tidak ingat apa-apa lagi kecuali merasakan kehampaan yang maha luar biasa; saya terus tenggelam dalam hampa; saya tidak bisa membedakan lagi antara saya dan hampa; saya telah lebur; saya telah terhapus tidak merasakan apa-apa lagi.
TUJUH BELAS M alam hitam membentang diwarnai jutaan
bintang yang meneteskan embun bagai langit menitikan air mata membasahi semesta. Keheningan mencekam seolah-olah menidurkan rerumputan dan belalang. Ketika jam dinding berdentang tiga kali, sayup-sayup terdengar gemuruh dzikir memenuhi seluruh bumi. Sementara dalam kegemuruhan dzikir, saya, Sudrun, mengalunkan dzikir di sudut luar masjid sambil memangku mayat Saya.
Sejak memasuki suatu pengalaman absurd yang terangkai dalam makna Nuur-i-Rahmaanii, Saya memang telah mati dalam arti Kuntum amwataan faa ahyaakum tsumma yumiitukum (QS. al-Baqarah: 28). Saya memang sudah mati, tetapi Sudrun masih hidup. Sementara rahasia keserangkaian antara saya dan Sudrun tetap tersembunyi dalam rahasia Saya. Karena itu Sudrun dan saya dengan sangat setia memikul mayat Saya ke mana-mana seolah-olah Saya adalah cikal bakal hidup Sudrun dan saya di kemudian hari. Anehnya, dengan memikul mayat Saya, Sudrun dan saya justru merasakan kehidupan menjadi sangat ringan dan tanpa beban. Sudrun dan saya tidak memiliki sesuatu?"?" kecuali mayat Saya yang merupakan titipan Tuhan untuk dipelihara sebaik-baiknya.
Kalau Sudrun dan saya shalat, Saya dimasukkan ke dalam Sudrun. Lalu saya ikut shalat bersama Sudrun dan Saya, begitu pun kalau Sudrun membaca shalawat, saya merasakan mayat Saya berada dalam ayunan kedamaian abadi.
Karena Sudrun dan saya ke mana-mana memikul mayat Saya, maka Sudrun makin lama makin Sudrun. Itu sebabnya, Saya telah mati dan Sudrun masih hidup bersama saya. Anehnya, dengan kematian Saya, Sudrun dan saya makin rajin menjalankan shalat dan shalawat. Meski begitu, Sudrun tidak lagi diper-sudrun-kan orang, meski sering kali Sudrun mengalami kejadiankejadian yang absurd dan sulit saya nalar.
Kematian Saya ternyata merupakan suatu perubahan yang sangat besar bagi Sudrun. Sudrun yang biasanya suka keluyuran ke mana-mana mendadak lebih suka mengurung diri di rumah bersama saya atau beribadah berlama-lama di masjid-masjid bersama saya. Sudrun mendadak suka sekali mendengarkan fatwa-fatwa dari kiai seolah-olah Sudrun ingin memberikan keseimbangan antara ke-sudrun-an yang pernah dilewati bersama Saya. Sudrun benar-benar menyadari bahwa penyebab berbagai penderitaan di masa lalu adalah akibat ulah Saya; sehingga dengan kematian Saya, Sudrun seperti terbebas dari segala belenggu ke-saya-an Saya yang memenjara saya.
Sejak kematian Saya, Sudrun memang telah berubah secara penuh. Sudrun dengan perubahan itu tiba-tiba dengan mudah dimengerti meski sering juga sulit dipahami. Satu ketika Sudrun pernah mengalami suatu pengalaman absurd, di mana Sudrun dalam menangkap benda-benda di sekitar Sudrun tidak lagi sebagaimana wajarnya. Ketika lonceng berdentang tiga kali, misal, Sudrun tidak mendengar dentang itu dalam bunyi teng..teng..teng tiga kali, tetapi mendengar lafadz Allah...Allah..Allah. Dan detak lonceng itu pun didengar Sudrun sebagai lafadz suara Allah... Allah...Allah.
Jika sudah begitu keanehan terjadi, Sudrun akan berlari bersama saya ke luar sambil memikul mayat Saya. Sudrun akan tegak di tengah alam mendengarkan desau angin, nyanyian belalang, bunyi kodok, dan gemerisik dedaunan sebagai suara dzikir. Sudrun meresapi dzikir alam dengan penuh ketakjuban dan rindu hendak kembali ke asal. Dan di saat air mata Sudrun bergulir membasahi pipi, Sudrun tidak mendengar bunyi lain dari titik air mata yang membasahi pipi itu kecuali bunyi dzikir: Allah...Allah& Allah.. di mana setiap gerak dari benda-benda didengar oleh bashirah Sudrun sebagai dzikrullah; bahkan gemuruh kereta api dan deru mesin-mesin pabrik pun dalam pendengaran Sudrun adalah dzikrullah. Bahkan apabila Sudrun tengelam di tengah gemuruh dzikrullah tersebut, sering Sudrun tanpa sadar berteriak keras, Sabbaha li llahi maafi ssamaawaati wa l ardl (QS. al- Hadiid:1).
Pernyataan Sudrun yang sedang tenggelam dalam dzikr semesta itu sering membuat orang-orang tidak mengerti dan menuduh Sudrun sebagai manusia sudrun. Tetapi, Sudrun sering tanpa sadar menggumam, Fa-ainama tuwallu fa-tsamma wajhu llah (QS. al-Baqarah: 26). Inni wajjahtu wajhiya li lladzii fathara samaawaati wa l-ardl (QS. al-An am: 79). Alaa innahu bi-kulli syai in muhit (QS. Haa Mim: 54). Inni ana llaahu laa ilaaha allaa anaa (QS. Thaa Haa: 14).
Ungkapan-ungkapan di luar sadar yang dilakukan Sudrun memang sering menimbulkan kesalah-tafsiran orang yang mendengar. Itu sebabnya, banyak orang menuduh Sudrun sebagai orang menderita edan karena keliru mendalami ilmu. Sementara orang yang lain lagi menganggap Sudrun telah menyebarluaskan paham pantheisme-monisme; manunggaling kawula- Gusti. Sedang sebagian lagi, orang menuduh Sudrun sebagai manusia sesat. Karena Saya telah mati, maka Sudrun tidak perlu lagi merasa tersinggung. Sudrun adalah Sudrun; Sudrun adalah sudrun yang hidup dengan setia memikul mayat Saya; Sudrun tak peduli ketika Sudrun dilempari batu orang-orang karena dituduh membawa ajaran sesat.
Begitulah kehidupan Sudrun dari waktu ke waktu berlangsung begitu absurd diliputi ke-sudrun-an demi ke-sudrun-an. Sudrun membuat sebuah perbuatan kadang-kadang hanya didasari pada apa yang sewajibnya diperbuat. Satu ketika, Sudrun pernah menggempur sebuah jemaat nabi palsu yang membuat anggota jemaat tersebut mencak-mencak, di mana Sudrun diuber-uber dan akan dituntut di pengadilan. Tetapi dasar Sudrun yang sudrun; dimintakanlah oleh Sudrun doa kepada Rabbu l Arbaab agar orang-orang yang memburu-buru ke-sudrun-an Sudrun diberi petunjuk dengan kemunculan jawaban gaib yang misterius, Wa man yudhillahu falaa hadiyalah . Dan Sudrun pun masih termangu-mangu takjub ketika sepekan sesudah doanya itu berlalu, sebuah cabang dari jemaat nabi palsu itu dilarang oleh kejaksaan; dan Sudrun benar-benar makin memuja dan memuji Allah yang dengan terang-benderang memberikan kepastian dan ketetapan hukum-Nya sehinnga dari ketetapan tersebut memancar keindahan makhluk dalam berbagai rupa. Laa tabdiila likalimaati llah (QS. Yunus:
64). Dengan kematian Saya, Sudrun memang hidup seolah-olah sebuah robot. Sudrun akan berjalan kalau sudrun sudah waktu dikehendaki-Nya berjalan. Satu ketika Sudrun menonton pengajian yang dibawakan oleh seorang kiai muda yang mengaku wali yang disanjung-sanjung dan disembah sembah oleh banyak orang. Sudrun hanya menggeleng-gelengkan kepala ketika mendengar kiai tersebut melontarkan isyarat sederet nomer-nomer buntutan SDSB. Lalu secara ajaib, Sudrun dengan jelas dapat menyaksikan dengan bashirah betapa hati kiai muda itu terkilasi oleh biasbias kebanggaan riya dan ujub serta kibr ketika tebakan demi tebakan yang dilontarkannya tepat, sehingga banyak orang menganggapnya wali. Dalam setiap kesempatan Sudrun melihat kiai itu selalu menebak-nebak peruntungan orang yang datang meminta barokah darinya. Bahkan sering juga Sudrun melihat kiai itu menjewer telinga orang. Atau sekadar meludahi dan memukulnya. Atau sekadar menyuguhi tamu-tmunya dengan suara kentut yang menggelegar laksana bom.
Untuk kiai lepus model begitu, Sudrun tidak mau mendekat apalagi mencium tangannya. Sebab bagi Sudrun, mencium tangan kiai kampung yang tidak terkenal adalah jauh lebih mulia daripada mendekati kiai punk yang aneh dan urakan. Dan Sudrun tidak bisa berbuat lain kecuali mendoa kepada Rabbu l- Arbaab agar kiai model begitu secepatnya diberi petunjuk; namun seperti yang sudah sering terjadi, yang muncul dari jawaban doa Sudrun adalah Fii quluubihim maraadun; bahwa di dalam relung hati kiai model demikian itu sejatinya ada penyakit jiwa dan kenyataan itu tidak pernah disadari.
Dalam hening malam Sudrun sering termangu sendiri di dalam masjid sambil menunggui mayat Saya. Dari matanya mengalir setitik air. Sudrun menyadari bahwa kiai-kiai muda yang akan menjadi estafet kepemimpinan umat kualitasnya makin lama makin memprihatinkan. Mereka rata-rata congkak, suka memuja-muji diri sendiri, urakan dalam bersikap, riya , ujub. Apa yang disebut Akhlaq l Kariimah yang menjadi bagian integral dari keulamaan nyaris tergusur oleh kecongkakan dan egoisme. Dan mereka biasanya dengan acuh tak acuh akan mengajukan alasan apologis bahwa sifat wali memang aneh dan urakan.
Semakin Sudrun menggeluti kehidupan di sekitar Sudrun, semakin Sudrun sadar bahwa gerak dari gravitasi bumi yang makin menipis sebagai akibat kondensasi magma, rupanya telah mengimbas pada kejiwaan manusia. Sudrun makin sadar bahwa habisnya gravitasi bumi sedang berlangsung sangat cepat tanpa diketahui oleh siapa pun. Oleh sebab itu Sudrun sangat rajin menjalankan shalat dan membaca shalawat agar jiwa Sudrun tidak terkena pengaruh menipisnya gravitasi bumi. Sementara setiap hari Sudrun menyaksikan berbagai kebiadaban manusia yang makin lama makin tidak terkendali di mana Sudrun dalam menantikan datangnya ajal selalu merasa tersiksa oleh kegamangan, keraguan, kegalauan, dan kerinduan yang membaur laksana air laut diaduk-aduk gelombang.
Makin lama Sudrun melihat gejala-gejala akhir dunia makin gamang Sudrun melangkah ke setiap arah. Dan satu ketika dengan berteguh pada kalimat Ashshuufi lam yukhlaq dan Bainu l-asbaani min asabi r rahmaan, Sudrun menyingkir dari keramaian dunia dan mengenakan jubah shuuf untuk menghindari pengaruh hiruk duniawi. Berhari-hari Sudrun tenggelam dalam jubah shuuf dengan terus berdzikir mengingat Rabbu l-Arbaab. Dalam gemuruh dzikir semesta, Sudrun sering mengikuti gerakan tarian jiwa, karena dzikir semesta adalah gerakan-gerakan dzat dhahir dan batin; tarian jiwa yang indah gemulai dengan musik pendengaran jiwa yang mempesona kesadaran; jiwa Sudrun menari bagaikan tarian gunung-gemunung yang indah laksana tarian lembut gemulai awan-gemawan yang berarak-arak (Q.S. an- Naml: 88).
Tarian jiwa yang membuat Sudrun melupakan segala sesuatu itu terus berkumpar-kumpar penuh keindahan sampai pada suatu titik Sudrun mendapati sederet Kalaam-i-Nafsi dalam jiwa yang memanifestasi dalam Kalaam-i-Lafdzii; Tsumma ba atsnaakum min ba di mautikum la allakum tasykuruun; dan Sudrun dengan penuh ketakjuban melihat Saya hidup kembali bersama saya.
Seyogyanya Sudrun akan terus tenggelam dalam tarian jiwa semesta andaikata Saya tidak hidup kembali. Tetapi, Saya yang hidup sekarang bukanlah saya yang hidup dulu. Saya pernah mati kemudian dihidupkan, dan setelah itu dimatikan lagi, sekarang dihidupkan lagi. Saya sekang adalah saya; Anaa nuqtatu ba-ibismi llah.. anna qalmun wa anaa aquulu wa anaa asmaa i walakin ya sanii qalbi abdu l mu min!
Ketika malam hening ditaburi jutaan bintang yang gemerlap di tengah hamparan kabut, suatu kumparan cahaya aneka warna turun dari langit menyambar Kalam-i-Nafsi al-Qur an menimbulkan sinar kilaukemilau. Hening malam menjadi hingar-bingar. Kelam malam menjadi terang benderang. Suara dzikir menggemuruh laksana badai memenuhi gurun.
Saya segera menangkap sasmita bahwa kumparan cahaya yang kilau-kemilau aneka warna yang diiringi gemuruh dzikir tersebut adalah Kalam-i-Nafsi yang memanifestasi; Wahai engkau yang berselimut! Tanggalkan dan bersihkan jubahmu! Jauhilah dosa! Jangan menanam untuk menuai lebih banyak! Demi untuk Tuhanmu hendaklah engkau bersabar! Dan apabila nafiri sudah ditiupkan, maka itulah saat yang gawat datang!
Saya melihat gemerlapan sinar memancar dari segala arah menerpa tubuh saya dan tubuh Sudrun secara bersamaan. Saya tegak berdiri melepas jubah shuuf yang dikenakan Sudrun. Sementara Sudrun berdiri merentangkan tangan, menghirup udara malam yang jekut menusuk tulang. Ketika suara semesta mengumandangkan dzikir dalam gemuruh simfoni yang memukau pendengaran batin; Saya merentangkan tangan mengikuti Sudrun; kemudian Saya dan Sudrun menari melingkar-lingkar mengikuti irama dzat; gerakan Saya dan Sudrun makin lama makin cepat; berpusar-pusar melingkari satu titik: kesaya-an yang memudar.
Ketika pusaran gerak Saya dan Sudrun makin cepat, semua berangsur menjadi sirna; Saya menyatu ke dalam Sudrun, dan Sudrun menyatu ke dalam Saya; saya pun sirna lebur tanpa sisa. Ketika suasana telah hening, terjadi peristiwa menakjubkan ketika bahu Saya tiba-tiba ditumbuhi bentangan sepasang sayap yang kukuh. Beberapa jenak kemudian, Saya dan Sudrun telah lenyap hilang bentuk; menjelma dalam wujud seekor rajawali Ma luumi-i-Ma duum yang berbulu putih sutera. Dua pasang sayapnya adalah sayap Tasbiih; ekornya yang kokoh adalah ekor Tanziih; kepalanya yang teguh adalah kepala Jalaal; paruhnya yang kilau-kemilau adalah paruh Jamaal; matanya yang tajam menikam adalah mata Kasyf-i- Quluub; telinganya yang tajam menerkam adalah telinga Kasyf-i-Quluub; kaki-kakinya yang bercakar tajam adalah cakar I tibaaraat; jeritan sunyinya yang menggema di tengah kehampaan adalah jeritan Irsyaadaat yang memaknai Jaalaab dan Saalaab; bulubulunya adalah selubung rahasia haqqiqah Ain-wau- Miin; demikianlah Rajawali Ma luum-i-Ma duum itu disebut semesta alam sebagai KHATRA.
Ketika hening makin menikam dan gelap makin menyelimuti, terbanglah ruh-jiwa Rajawali Khatra menembus awang-awang menuju relung kesunyian tak bertepi. Kepak sayapnya mengumandangkan alunan dzikir; kibasan ekornya menggemakan dzikir; semua gerak tubuhnya menggaungkan dzikir; napasnya mendesahkan dzikir. Dan di tengah keheningan malam ketika makhluk bumi tertidur lelap dalam selimut kabut, ruh-jiwa Rajawali Khatra melayang-layang di angkasa menggemakan gemuruh dzikir di tengah kesenyapan.?"?"
Matahari menyingsing dari rahim lautan pertanda kehidupan mulai bangun dan bangkit kembali. Dalam rentangan hutan beton dan baja, tubuh-jiwa Rajawali Khatra menukik dari satu pohon ke pohon lain yang gundul kehilangan daun-daun. Matanya yang setajam pisau cukur berkilau-kilau mencari tubuh-jiwa burung-burung yang terperangkap di tengah hingarbingar kehidupan tanpa sayap kebebasan.
Di antara sangkar-sangkar indah berukir, tubuhjiwa Rajawali Khatra menukik dari ketinggian angkasa mendekati tubuh-jiwa seekor kutilang yang diliputi kebanggaan sedang memperdengarkan keindahan suaranya. Rajawali Khatra pun menyuarakan tentang betapa pentingnya makna kebebasan hakiki bagi burung dalam bertashbih kepada Sang Pencipta; Rajawali Khatra mengungkapkan bahwa hakikat sejati dari kemerdekaan burung adalah terbang di angkasa mengepakkan sayap mengumandangkan tasbih, memuji keagungan dan kebesaran Sang Pencipta sambil menebar kicau kegirangan raya; sekali-kali bukan keterperangkapan yang menyesakkan di dalam sangkar sempit memenjara.
Mendengar uraian tubuh-jiwa Rajawali Khatra, tubuh-jiwa burung kutilang itu hanya manggutmanggut. Tetapi sejenak kemudian kutilang itu berkata, Apakah yang akan saya peroleh dari kebebasan itu, wahai rajawali" Saya sudah merasa hidup mapan di sini. Tiap pagi dan sore makanan dan mimuman sudah tersedia bagi saya. Kalau hari baik, tubuh saya dimandikan. Setiap pagi saya hanya menyanyikan suara keindakan bagi dia yang menjamin hidup saya dan memuji-muji keindahan suara saya.
Tetapi itu bukan kodrat hidup burung, kawan kata Rajawali Khatra, Sebab kodrat hidup burungburung adalah terbang di hamparan angkasa raya mengumandangkan tasbih kepada Raja Burung. Adakah kebebasan yang lebih indah bagi burungburung selain terbang di awang-awang sambil bertasbih memuji kebesaran dan keagungan Raja Burung"
Kehidupan telah berubah, wahai rajawali sahut tubuh-jiwa kutilang, Sebab kebebasan burung telah lama berakhir. Zaman telah berubah. Nasib burung pun ikut berubah. Semua telah berubah. Dan sekarang ini, sangkar inilah yang merupakan makna hakiki kehidupan saya. Saya hidup di sini tanpa perlu bekerja susah-payah mencari makan, karena semua keperluan saya telah dicukupi. Saya hanya menyanyi dan menyanyi dalam keriangan setiap hari.
Darah di tubuh-jiwa Rajawali Khatra mendidih mendengar jawaban kutilang yang sudah kehilangan naluri kebebasan itu. Tetapi, Rajawali Khatra menahan diri dan berusaha untuk sabar. Dengan suara lembut tubuh-jiwa Rajawali Khatra berkata:
Tidakkah engkau menyadari bahwa di dalam sangkar itu dirimu telah dipenjara" Engkau bertahuntahun hidup dalam kesendirian tanpa kawan hanya untuk menyenangkan hati pemeliharamu. Engkau sudah kehilangan segalanya, kawan. Kebebasan, tasbih, dan naluri.
Burung kutilang tersebut menunduk sedih, tetapi sesaat kemudian tubuh-jiwanya berkata, Biarlah saya hidup menjalani nasib begini, o rajawali, sebab saya sudah merasa mapan dalam segala hal di sangkar ini. Kebebasan bagi saya sekarang hanyalah menyanyi dan menyanyi, di mana keindahan suara saya akan mendatangkan puji-puji bagi saya.
Sadar usahanya menyadarkan jiwa kutilang sia-sia tubuh-jiwa Rajawali Khatra terbang ke angkasa meninggalkan kutilang yang menyanyi dengan kepedihan suara di dalam sangkar. Khatra tahu bahwa sesuatu telah berubah tetapi ia tidak berputus asa. Khatra terus terbang mengepakkan sayap, menembus kesenyapan di antara gedung demi gedung pencakar langit, sampai ia tiba di suatu tempat yang teduh penuh rimbunan pepohonan, di mana terletak sangkar seekor ayam hutan. Dengan suara lembut Khatra menyampaikan hakikat kebebasan kepada ayam hutan, yaitu kebebasan untuk terbang dari pohon satu ke pohon lain untuk bertasbih memuji Keagungan dan Kemuliaan Sang Raja Burung.
Ayam hutan mendengar uraian Khatra itu mengangguk-angguk dan berkotek-kotek mengumandangkan kepedihan. Namun, seperti burung kutilang, ayam hutan itu menyatakan bahwa ia sudah merasa nyaman hidup dalam kecukupan di sangkarnya. Ayam hutan itu tidak peduli apakah dia dikurung sendirian di dalam sangkar dan tidak bisa kawin dengan ayam hutan betina serta tidak bisa hinggap di pepohonan. Ia hanya merasa, bahwa bagaimana pun hidup di dalam sangkar adalah jauh lebih mapan dan lebih selamat dibanding hidup bebas di tengah hutan belantara yang tanpa jaminan.
Tuan saya selalu mengelus-ngelus saya apabila saya menang dalam lomba berkotek. Tiap pagi maupun sore, Tuan saya memuja-muji keindahan suara saya. Beliau sangat membanggakan saya di hadapan kawankawannya.
Rajawali Khatra kembali pergi mengarungi angkasa dengan tangan hampa. Namun ia tetap sabar mencari burung-burung dalam sangkar untuk dibebaskan. Dia terus terbang menuju gugusan awan-gemawan menembus sunyi. Di suatu taman yang indah ia menjumpai seekor burung merak sedang mengembangkan ekornya, memamerkan keindahan yang memancar warna-warni mempesona penglihatan. Dengan penuh harapan Khatra mendekati burung merak yang berada di dalam kerangkeng besar, menyampaikan makna kebebasan bagi burung.
Merak yang angkuh itu dengan dingin menolak seruan Rajawali Khatra. Dia merasa sudah sangat mapan hidup dalam kerangkeng, karena makan dan minumnya sudah tersedia. Pemeliharanya pun suka memuji-muji keindahan bulunya yang mempesona.
Wahai merak, seru Khatra mengingatkan, Tidakkah engkau rindu akan gemericik air sungai dan gemuruh jeram" Tidakkah engkau rindu akan raung harimau" Tidakkah engkau rindu akan nyanyian burung-burung hutan" Tidakkah engkau rindu akan desau angin di dedaunan"
O rajawali perkasa, sahut merak dengan tenang, Engkau rupanya belum tahu kalau air sungai dan jeram telah lama kekurangan air. Engkau pun rupanya belum tahu kalau nyanyian burung, dengung lebah, jeritan kera, raungan harimau, dan gemerisik angin sudah lama tercabut dari hutan rimba. Engkau rupanya belum faham kalau hutan-hutan kayu dengan daun-daunnya telah berubah menjadi hutan batu dan baja. Engkau rupanya terlalu tenggelam ke dalam duniamu yang tinggi menjulang di angkasa.
Karena itu, o rajawali, terbanglah terus engkau menembus awang-awang mengikuti kodratmu sebagai pengarung angkasa. Sebab tebing-tebing curam masih tegak menjulang memberikan lindungan bagimu. Langit yang sunyi pun masih kosong untuk mewadahimu. Terbanglah terus menuji kebesaran Ilahi. Terbanglah dalam getaran tasbih. Tapi biarkan saya melewati hari-hari saya sendiri seperti ini.
Rajawali Khatra termangu takjub mendengar alasan burung merak. Ia benar-benar merasa heran, bagaimana mungkin burung merak yang dahulu begitu indah sebagai mutiara hutan yang setia memuji Al-Khaliq dengan rentangan bulu-bulunya yang indah, kini jiwanya telah berubah menjadi jiwa bebek. Setelah lama termenung akhirnya Khatra sadar bahwa merak, kutilang, dan ayam hutan adalah burung-burung yang sudah kehilangan jiwa merdeka mereka. Makna kebebasan sebagai burung yang hakiki; diam-diam telah terbenam larut dalam kemapanan hidup dan puja puji kepada dirinya sendiri.
Haaqq... Haaqq... Haaqq! Dengan jeritan pedih tubuh-jiwa Rajawali Khatra terbang mengepakkan sayap menembus kelengangan angkasa yang senyap. Ia berpikir, betapa sejatinya burung-burung yang telah kehilangan kebebasan itu jumlahnya berjuta-juta, sebab angkasa yang diarunginya tetaplah terlihat sepi tanpa kelebat bayangan burung seekor pun. Khatra terus melaju dengan kepak sayapnya yang menggeletar mengumandangkan dzikrullah.
Di sebuah hamparan padang rumput yang kering, tubuh-jiwa Rajawali Khatra menukik ketika menyaksikan segerombolan burung bangau termangumangu di antara rerumputan. Khatra dengan cepat menghampiri bangau tertua yang rupanya adalah pemimpin gerombolan tersebut. Dengan suara merendah Khatra bertanya, Mengapakah kalian kelihatan bermuram durja, wahai para bangau"
Dengan air mata bercucuran bangau tua itu menjawab, Kami telah diusir dari sarang kami, oleh Bangau Tongtong, raja kami, o rajawali. Kami tidak tahu lagi, ke mana sekarang ini kami harus pergi, karena hutan-hutan bakau sekarang sudah makin hilang dijadikan kerajaan udang yang mengupah manusia untuk menjaganya.
Wahai para bangau, kata Khatra menasehati, Bukankan engkau sekalian punya sayap" Kenapa kalian semua tidak terbang mencari hutan bakau baru sebagai sarang"
Ketahuilah, o rajawali, sahut tetua bangau itu, Kami sudah terbang beribu-ribu kilometer jauhnya untuk mencari hutan bakau baru sebagaian sarang, tetapi sampai hampir patah sayap-sayap kami, semua hutan bakau hampir tak tersisa. Hutan-hutan bakau telah ludes menjadi kerajaan udang. Celakanya, udangudang yang semula adalah makanan kami telah mengupah manusia-manusia bersenjata untuk menembaki siapa saja makhluk yang mengganggu udang. Dan entah, sudah berpuluh ribu jumlah kami yang tewas ditembak manusia bersenjata yang diupah para udang itu. Ketahui pula, o rajawali, bahwa kami hinggap di rerumputan yang kering ini karena kami telah lelah akibat terbang berhari-hari mencari persinggahan.
Rajawali Khatra termangu sesaat dan matanya yang tajam menerawang ke seluruh permukaan bumi. Ia berulang-ulang menelan ludah ketika melihat kenyataan yang mengerikan tentang keserakahan makhluk-makhluk penghuni bumi yang menelan apa saja demi kekenyangan perutnya sendiri. Namun sesaat kemudian, ia dengan mata-jiwanya melihat kilaukemilau air yang membentang di lingkungan gununggemunung seperti cermin raksasa dihamparkan. Lalu dengan suara penuh semangat ia berkata:
Wahai para bangau, terbanglah engkau sekalian ke gugusan gunung-gunung yang tegak menjulang di mana terletak danau-danau indah yang menyimpan berjuta perbendaharaan dan makanan. Carilah ikanikan dan udang di danau yang tersembunyi dan buatlah sarang di tebing-tebing yang curam. Terbanglah terus dengan penuh kegirangan, karena kepak sayap kalian dan nyanyian kalian adalah puji-puji bagi Sang Raja Burung.
Tetapi kami tidak lagi memiliki negeri dan sarang di hutan-hutan bakau. Kami juga tidak lagi memiliki raja, sahut bangau tua.
Sadarlah wahai bangau-bangau, kata Khatra, Bahwa bumi ini digelarkan untuk kita semua, para burung. Jangan engkau semua tertambat akan makna hutan bakau dan sarang-sarang di pohon serta raja bangau. Pasrahkan hidup kalian kepada Dia, Raja Burung, Sumber dari mana kalian semua berasal. Ketahuilah, o para bangau, bahwa lahirnya Bangau Tongtong sebagai raja bangau yang rakus itu, sejatinya adalah akibat kelemahan dan kesalahan kalian sendiri. Bangau-bangau selalu merasa tidak yakin bahwa tanpa Bangau Tongtong tua keparat itu, kalian semua tidak bisa hidup. Engkau sekalian sudah berbuat musyrik dengan menyekutukan Sang Raja Burung. Oleh sebab itu, janganlah sekarang ini kalian semua mengeluh menerima adzab dari Raja Burung akibat kebodohan kalian sendiri.
Karena itu, wahai para bangau, apabila nanti kalian sudah menemukan tempat yang baru di tebingtebing yang tegak menjulang, tetaplah kalian ingat untuk tidak membiarkan salah seekor di antara kalian menjadi bangau paling rakus sampai memakan sesama kalian. Bangunlah sarang kalian sesuai kebutuhan untuk sekadar melindungi diri, sebab tugas utama kalian di dunia ini hanyalah bertasbih dan mengagungkan Sang Raja Burung. Sebab apabila kalian menjadi rakus dan tamak, maka kalian akan mati dengan sakaratul maut yang mengerikan akibat ruh kalian ditarik kekuatan bumi.
Wahai rajawali bijak, seru bangau tua, Berilah kami doa restu. Kutuklah Bangau Tongtong tua keparat itu agar cepat mati dalam kesengsaraan!
Ketahuilah, wahai para bangau, bahwa doa orangorang yang tertindas dan terusir seperti kalian ini, akan langsung diterima Simurgh, Raja Burung. Yakinlah kalian semua, bahwa Bangau Tongtong jahanam itu akan mampus secara mengerikan sekaratnya.
Bangau-bangau itu kemudian terbang menuju ke tebing-tebing curam yang ditunjukkan Khatra, yaitu tebing-tebing curam yang diselimuti awan tetapi ditebari danau-danau sunyi berlimpah ikan dan udang. Rajawali Khatra melihat bangau-bangau yang berbondong-bondong itu dengan mata berkaca-kaca. Setitik air jatuh dari kelopak matanya, ketika di antara para bangau yang terbang beriringan mengarungi angkasa itu berjatuhan ke atas bumi karena sayap-sayap mereka telah diterkam keletihan dan sebagian lagi patah.
Berbahagialah engkau yang mati dalam keadaan bertasbih, gumam tubuh-jiwa rajawali Khatra mendengarkan kepak sayap para bangau yang mengumandangkan tasbih itu melenyap di kejauhan.
Namun belum lagi hilang titik-titik bayangan para bangau itu di cakrawala, tiba-tiba Khatra melihat beribu-ribu burung walet terbang menyambarnyambar di sekitarnya. Kepak sayap burung walet itu dalam pendengaran Khatra mengumandangkan tasbih dan cericitnya menggemakan takbir.
Seekor walet muda menukik dan hinggap di punggung Khatra. Khatra mendengar desah napas walet muda itu terasa amatlah payah, mungkin dia beserta walet lain baru saja melakukan perjalanan jauh terbang melintasi angkasa.
Mengapa engkau terbang berputar-putar di padang rumput yang kering ini, wahai walet muda" tanya Khatra.
Dengan menitikkan air mata walet muda itu menjawab, Ketahuilah wahai rajawali, bahwa sarangsarang kami telah diobrak-abrik dan anak-anak beserta telur-telur kami dihancurkan oleh makhluk-makhluk rakus tak berjiwa. Ketahuilah pula, o rajawali, bahwa gedung-gedung tua tempat kami bersarang telah dirobohkan. Ceruk-ceruk gua tempat kami bersarang pun tak luput dari jarahan tangan makhluk serakah. Lihatlah jumlah kami yang makin lama makin kecil. Ke manakah kalian sekarang ini hendak pergi" Kami sekarang ini tidak memiliki lagi arah dan tujuan. Kalau engkau mau, pimpinlah kami menuju ke suatu tempat yang aman di mana kami bisa membangun sarang.
Rajawali Khatra termangu-mangu. Sejenak kemudian ia mengepakkan sayap ke angkasa diikuti oleh beribu-ribu walet; dalam sekejap di awang-awang sudah menggemuruhlah suara tasbih memenuhi kesenyapan angkasa. Rajawali Khatra terus terbang menuju kesunyian yang diselimuti kabut di antara tebing-tebing karang yang tegak menjulang.
Berbilang walet yang mengikutinya berjatuhan kelelahan dan patah sayap, meluncur ke bawah dan remuk redam menghantam bebatuan. Sementara yang lain terus mengepakkan sayap meski letih menghajar seluruh tubuh. Mereka terus mengepakkan sayap dan berjatuhan sampai mereka tiba di batas tebing curam yang menjulang tegak sendirian menggapai langit. Jumlah walet-walet itu, ternyata tinggal 99 ekor.
Wahai walet-walet, inilah tebing harapan yang akan memberikan makna bagi kalian.
Tapi jumlah kami tinggal 99 ekor, o rajawali. Apakah yang engkau risaukan" tanya Khatra, Bukankah kita dulu lahir hanya dari sepasang burung"
Burung-burung walet itu hanya termangu-mangu merasakan nikmatnya kesejukan udara gunung yang menyelimuti puncak tebing. Tetapi ketika mereka sedang terbuai dan hendak tidur, tiba-tiba datang serombongan bangau yang jumlahnya tinggal 20 ekor. Rupanya sebagian dari bangau-bangau itu dengan diam-diam mengikuti ke mana Rajawali Khatra terbang. Itu sebabnya, saat sampai di puncak tebing rahasia itu mereka terpesona takjub menyaksikan para walet bersama Rajawali Khatra di puncak tebing. Bangau-bangau itu pun dengan takjub saling berpandangan dengan para walet. Sementara Rajawali Khatra bertengger di puncak tebing di atas sebuah permata putih yang memancarkan sinar berkilau-kilau. Dengan suaranya yang merdu ia memekik-mekik menimbulkan kelelapan bagi para burung: Haaqq....Haqq....Haqq!
Bangau tua yang memimpin 19 ekor kawannya itu menggumam, Inikah tanah harapan yang engkau janjikan, o rajawali"
Rajawali Khatra dengan mata berkilat-kilat dan suara perkasa menjawab, Ketahuilah wahai para burung, bahwa sekarang ini di bumi sudah tidak ada lagi tanah harapan bagi kita, para burung. Ketahuilah, bahwa Rajawali Khatra telah datang dari langit kelam tempat Raja Burung di antara burung-burung bersemayam. Rajawali Khatra membawa kabar gembira bagi kalian semua, di mana raja kita, Simurgh, telah berkenan mengundang kita dalam sebuah pesta perhelatan yang hanya dihadiri oleh kita sendiri. Berarti kami semua akan meninggalkan bumi" Apakah yang engkau risaukan, sedang bumi tiada lama lagi bakal sekarat" seru Khatra.
Benarkah bumi bakal sekarat"
Tidakkah engkau mendengar suara Nafiri ditiupkan"
Kami semua mendengarnya, tetapi apakah makna suara Nafiri tersebut kami belum tahu, seru bangau tua.
Nafs Fii Rabbi, kata Khatra tegas, Apakah yang terjadi kalau nafs ditiup ke dalam Rabbi"
Pertanda panggilan kembali dikumandangkan, wahai rajawali.
Demikianlah nafs bumi sekarang ini sedang mengalami proses dipanggil kembali, seru Khatra, Kalau engkau semua ingin melihat, datanglah ke mari dan lihatlah gambaran di dalam mataku.
Burung-burung itu beterbangan dan berebut mendekati Rajawali Khatra. Setelah dekat, mereka serentak menatap mata Khatra yang bening dan berpendar kilau-kemilau. Tersentak kaget burungburung itu menyaksikan pemandangan di dalam mata Khatra yang memukau sekaligus mencekam: mereka menyaksikan berjuta-juta manusia dengan mesinmesin raksasa membongkar hutan belantara; pohonpohon dijungkirkan; gunung-gunung dibongkar; bukit-bukit diruntuhkan; tanah-tanah dilubangi; sungai-sungai dibendung; danau-danau dikuras. Mereka menyaksikan berjuta-juta manusia bersenjata menembaki burung-burung yang sedang bertasbih memuji kebesaran Simurgh. Mereka menyaksikan berjuta-juta manusia melubangi bumi dan dengan keserakahan meminum dan menyantap semua isi perut bumi.
Hati para burung tercekat ketika melihat darah mengalir membanjiri kota-kota, desa-desa, sungaisungai, danau-danau, sawah-sawah, bendunganbendungan, kebun-kebun, tambak-tambak, gununggunung, padang belantara, bahkan lautan. Mereka melihat tubuh-tubuh manusia terpotong-potong berserakan. Mereka melihat manusia-manusia memakan manusia yang lain dengan lahap. Mereka melihat manusia-manusia melahap isi hutan, batubatu, aspal-aspal, tanah, besi, baja, minyak, bahkan anak mereka sendiri mereka makan. Sementara suara Nafiri terus mengumandang di tengah hiruk pikuk kegembiraan manusia yang berpesta pora dalam kemabukan dan kegilaan. Manusia seperti tidak sadar sedang diintai maut.
Haqq...Haqq...Haqq! Burung-burung itu tersentak kaget mendengar jeritan Rajawali Khatra. Mereka bingung dan saling berpandangan dengan kebingungan. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan menghadapi gambaran yang bakal mewujud menjadi kenyataan itu. Mereka tidak pernah membayangkan bakal terjadi kebinasaan yang begitu mengerikan melanda bumi. Lalu tanpa sadar, para burung itu serentak bertanya, Apakah yang harus kita lakukan wahai rajawali jika dunia sudah begitu mengerikan keadaannya"
Bersiaga untuk kembali kepada Rabbu l-Arbaab dengan penuh ridha dan diridhai.
Burung-burung terpana mendengar seruan kembali dari Rajawali Khatra. Tapi sekejap kemudian, 20 ekor bangau putih itu berhamburan terbang melingkari tubuh Khatra sambil mengumandangkan tasbih. Melihat gerakan para bangau tersebut, 99 ekor burung walet pun ikut beterbangan melingkari tubuh Khatra yang bertengger di atas permata putih sambil bertasbih dengan mata menembus kehampaan cakrawala. Kepak sayap para burung itu terus menggemuruh mengumandangkan tasbih; makin lama gerak terbang para burung itu makin cepat hingga sekilas tampak tubuh mereka seperti kumparan putih berpendar-pendar dikelilingi warna hitam, bergoyang menggelombang seperti bayangan bidadari menari.
Ketika walet-walet dan bangau-bangau yang menari dan bertasbih itu sudah semakin cepat pusarannya, bayangannya menjadi kilasan cahaya putih terbalut cahaya hitam yang menyatu; Khatra memekikmekik keras sambil mengebas-kebaskan sayap dan ekornya yang menggemakan tasbih. Bulu-bulunya yang putih memantulkan sinar permata putih kilaukemilau, sehingga dalam sekejap Khatra hilang ditelan sinar putih gemerlapan. Burung-burung pun telah hilang tinggal cahaya putih menyilaukan dibalut cahaya putih lain dan dibalut cahaya hitam yang berpendar-pendar; semuanya telah sirna tinggal Nuuri-Khatra meliputi keheningan semesta; dan di tengah kesunyian dan keheningan tebing-tebing menjulang itu, mengumandang nyanyian Azali semesta dari Nuuri-Khatra kepada Rabbu l-i-Khatra.
Haqq...Haqq...Haqq! Nyanyian azali Nuur-i-Khatra menggema penuh rindu di tengah keheningan awang-awang sehingga burung-burung yang beterbangan terbius dalam panggilan rindu yang mempesona. Ketika nyanyian azali itu menerobos makna terahasia para burung, berjuta-juta burung yang sudah kehilangan tempat bersarang tiba-tiba terlihat terbang berbondong-bondong mencari arah panggilan rindu jiwa semesta. Berjuta-juta burung terbang tak tentu arah. Mereka hanya mengepakkan sayap. Terbang. Terbang.
Nuur-i-Khatra terus melantunkan panggilan dalam selubung hitam yang tak dapat dijangkau indera burung-burung. Berjuta burung-burung pun terbang mengitari gunung arwah yang merangkum makna tebing Sirr, yang di puncak tebing bersemayam permata putih kilau-kemilau yang mewadahi makna hakiki Dzaat-i-Bahat; berjuta-juta burung terbang bergeleparan mengumandangkan tasbih; berjutaburung-burung yang mati diterkam rindu berserakan tanpa nyawa di kaki gunung; beratus-ratus ribu burung mati dicekik rindu dan berserakan di kaki tebing dan di dasar jurang; hanya satu-dua burung yang berhasil mencapai kerahasiaan Nuur-i-Khatra dan mereka tak pernah kembali lagi.
Ketika Nafiri ditiupkan dalam nada tinggi yang mengoyak pendengaran burung-burung dalam sangkar, paniklah semua burung dalam sangkar. Mereka menabrak-nabrakkan kepala dan dan tubuhnya ke jeruji-jeruji sangkar. Mereka mencocok-cocok telur dan anak-anaknya sendiri. Mereka menghambur terbang tak tentu arah menabrakkan tubuh ke sangkarnya hingga rontok bulu-bulu mereka dan berdarah tubuhnya. Mereka meronta dan menjeritjerit penuh penasaran dengan suara garau dan mata melesat keluar. Mereka menghancurleburkan tubuhnya sendiri dalam penderitaan pedih di dalam jerujijeruji sangkar besi duniawi.
Sewaktu pusaran waktu telah lewat, sangkarsangkar terlihat kosong dengan bercak-bercak darah dan serpihan daging serta tebaran bulu-bulu. Angin berhembus panas menerobos terali-terali sangkar yang merana dalam sunyi; sepi; senyap; lengang; hampa!
Ketika kehidupan burung-burung telah terhapus dari permukaan bumi, Nuur-i-Khatra melesat dalam kerahasiaan semesta. Sementara Rajawali Khatra dengan pekik kebebasan melesat dari puncak tebing ke hamparan angkasa raya. Dengan kepak sayapsayapnya yang kokoh yang selalu menggemakan tasbih, Khatra mengarungi kesunyian dan kelengangan awangawang dengan terus mengumandangkan tasbih dan memekikkan kebebasan bagi ruuh-ruuh yang terperangkap belenggu duniawi.
Pada saat Khatra mengarungi angkasa di antara awan yang bergumpal-gumpal dengan hamparan rumput dan bunga-bunga dan pohon-pohon, ia tercekat ketika melihat dua bayangan manusia berlarian di antara desau angin yang menaburkan harum rumput dan bebungaan. Khatra menerawang gugusan ingatan yang tersembunyi di dalam rentangan kenangannya. Rajawali Khatra pun mendadak sadar bahwa dua manusia itu tiada lain adalah Aham dan Laxmi Devi; dua manusia yang pernah memiliki kelekatan cerita dengan Saya, Sudrun, dan saya dalam rentangan hidup yang samar-samar telah memudar dalam ingatan.
Seperti digerakkan oleh suatu kekuatan maha dahsyat, Rajawali Khatra menukik ke bawah dan hinggap pada sebatang dahan yang menyilang di pohon yang menaungi Aham dan Laxmi Devi. Dengan suara jeritan yang mengumandangkan haqiqat irsyaadaat, Khatra memekik-mekik memberikan isyarat kepada Aham dan Laxmi Devi bahwa sebuah Kematian Agung sedang berlangsung dengan keganasan tak tergambarkan. Namun, Aham dan Laxmi Devi tidak lagi mengerti kata-kata Khatra; mereka tidak lagi mengenalnya; mereka hanya bertepuk-tepuk tangan sambil memuji keindahan bulu-bulu Khatra dan kemerduan suaranya.
Wahai rajawali perkasa, engkaulah burung terakhir yang kami lihat, seru Laxmi Devi dengan nada mengiba, Terbanglah engkau menembus kesunyian angkasa agar orang-orang jahat tidak menembakmu. Terbanglah mengarungi kesunyian, karena engkau adalah rajawali pemekik suara kebebasan. Kepakkan sayapmu meski lelah dan letih telah menerkam uraturatmu, sebab sayapmu menggemakan tasbih abadi. Terbanglah terus kepuncak-puncak tebing yang curam. Buatlah sarang yang kokoh di tebing curam. Carilah rajawali betina, agar terlahir rajawali-rajawali perkasa di atas bumi.
Khatra tidak dapat berkata apa-apa. Dadanya ia rasakan digumpali batu-batu panas yang menyesakkan. Kegalauan mencakari jiwanya. Tetapi Khatra tidak pernah mengungkapkan hasrat jiwanya kepada Aham dan Laxmi Devi; ia tidak ingin memperkenalkan diri kepada Aham dan Laxmi Devi tentang siapa sejatinya dirinya; bahasa mereka sudah lain. Isyarat mereka sudah berbeda. Dan rasa serta jiwa mereka pun sudah dibentangi tirai pembatas yang tak tertembus. Khatra yang merupakan tubuh-jiwa Saya, Sudrun, dan saya telah menjadi berbeda bahkan tak lagi mengenal dirinya sendiri.
Pergilah rajawali! teriak Laxmi Devi dengan rasa khawatir, Pergilah menuju kesunyian yang tersembunyi di tebing-tebing terjal! Kapakkan sayapmu menuju kehidupanmu yang bebas di tengah kesunyian! Kepakkan sayapmu mengarungi kerahasiaan sejatimu! Terbanglah menuju kesunyian abadimu!
O, rajawali, seru Aham menghalau-halaukan tangannya, Pergilah cepat dari dahan itu! Dengarlah bunyi letusan senapan orang-orang bersenjata! Dengarlah derap langkah sepatu mereka! Dengarlah dengus napas serakah mereka! Dengarlah gemeletuk gigi mereka yang penuh kesumat kepada para pemekik kebebasan! Ayo terbanglah rajawaliku! Terbang! Khatra berkedip-kedip memandangi Aham dan Laxmi Devi yang berdiri pucat di bawah pohon mengkhawatirkan keselamatannya. Khatra sadar bahwa bahasa yang digunakannya sudah tidak bisa ditangkap dan dipahami oleh Aham dan Laxmi Devi. Khatra sadar bahwa Aham dan Laxmi Devi sesungguhnya khawatir terhadap kematian kecil yang akan menyambarnya, tetapi mereka tidak sadar akan hadirnya Kematian Agung yang selalu mengintai setiap makhluk fana.
Ketika bunyi senapan dan derap sepatu yang menggemuruh terdengar mendekat, Aham dan Laxmi Devi melompat-lompat sambil menghalaukan tangan agar Rajawali Khatra secepatnya menyingkir dari keserakahan dan keganasan manusia-manusia bumi. Khatra mengedip-kedipkan mata dengan dada dipenuhi gumpalan kabut. Dan ketika Aham bersimpuh di rerumputan sambil menangis memohon agar sang rajawali terbang mengarungi angkasa, Khatra mengepakkan sayap, terbang menuju kesunyian awangawang. Sayup-sayup Khatra mendengar suara Aham dan Laxmi Devi menggema sayup-sayup, Terbanglah rajawaliku! Terbang! Terbanglah rajawaliku mengarungi kesunyian abadi!
Setitik air bening jatuh dari mata rajawali Khatra, meluncur ke bumi dengan suara tasbih menggema di antara desah napasnya:
Huu..Haqq...Huu...Haqq& Huuuuuu! Surabaya, Juni 1989
Kepustakaan Ahmad Shalaby. 1977. Perbandingan Agama: Agama Yahudi.
Singapura. Al-Qur an Al-Karim. 1952. Kairo.
Avalon, Arthur (Sir John Woodroffe). 1931. The Serpent Power (Sat-cakra-nirupana and Paduka-pancaka). Madras & London.
_______. 1972. Tantra of the Great Liberation (Mahanirvana Tantra).
New York. Bleeck, Arthur Henry. Avesta: The Religious Books of the Parsees. 3
jilid. London. Boardman, John. 1982. The Cambridge Ancient History: Vol IV-Persia,
Greece, and the Western Mediterranean. Cambridge. Bratakesawa. 1960. Suluk Sangkan Paran.
Daru Suprapto. 1982. Serat Wulangreh, Anggitan dalem Sri
Pakubuwana IV. Surabaya. Farid ud-Din Attar. 1954. The Conference of the Birds.
(trans.S.C.Nott). London. _______. 1966. Muslim Saints and Mystics. (trans. A.J.Arberry).
London. Florida, Nancy K. 1981. Javanese Language Manuscripts of Surakarta. A Preliminary Descriptive Catalogue. 3 jilid. New York.
Gershevitch, Ilya. 1985. The Cambridge History of Iran: The Median
and Achaemenian Periods. Heschel. Abraham J. 1962. The Prophets. 2 jilid. New York. James, William. 1982. The Varieties of Religious Experience. New York & Harmondsworth.?"?"
Jasadipoera I. 1912. Serat Rama (alih aksara oleh J.Kats). Jakarta. _______. 1979. Serat Bima Suci (alih aksara oleh R.Tanojo). Jakarta. Kamajaya & Hadidjaya. 1978. Serat Centhini. Yogyakarta. Kellinger dan W.Rudolph (eds.). 1967-1977. Biblia Hebraica
Stuttgartensia. Stuttgart. M. Ng. Mangoenwidjaja. 1928. Serat Dewaroetji. Kediri. Massignon, Louis. 1982. The Passion of Al-Hallaj. 4 jilid. Princeton. Nanavutty, Piloo. The Gathas of Zarathushtra: Hymns in Praise of
Wisdom. London. Nicholson, Reynold A. 1914. The Mystics of Islam. London. Nilaswami, J. M. Pillai. 1913. Sivajnana Sidhiyar. Madras. Nurbakhsh, Javad. 1984. Spiritual Poverty in Sufism. London. Paranjoti, Violet. 1918. Saiva-Siddhanta in the Meykanda Sastra.
London. R. Ng. Ronggowarsito. 1916. Serat Wirid. Surakarta. Smart, Ninian. 1969. The Religious Experience of Mankind. New
York. Steenbrink, Karl A. 1988. Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat.
Yogyakarta. Sunardi D.M. 1982. Arjuna Sasrabahu. Jakarta.
The Holy Bible (Revised Standard Version). 1962. New York. Volume
2. Cambridge. Wheatley, P. 1961. The Golden Kersonese: Studies in The Historical Geography of The Malay Peninsula before A.D. 1500. Kuala Lumpur.
Woodroffe, Sir John. 1929. Shakti and Shakta. Madras & London.
TENTANG PENULIS Agus Sunyoto, dilahirkan di Surabaya, 21 Agustus 1959. Pendidikan S1 diselesaikan di Jurusan Seni Rupa, FPBS IKIP Surabaya (sekarang Unes) tahun 1985. Magister Kependidikan diselesaikan tahun 1990 di Fakultas Pascasarjana IKIP Malang (sekarang UNM) bidang Pendidikan Luar Sekolah.
Pengalaman kerja diawali sebagai komunitas sejak tahun 1984. Tahun 1986-1989 menjadi wartawan Jawa Pos. Setelah keluar dan menjadi wartawan freelance, sering menulis novel dan artikel di Jawa Pos, Surabaya Post, Surya, Republika, dan Merdeka. Sejak tahun 1990-an mulai aktif di LSM serta melakukan penelitian sosial dan sejarah. Hasil penelitian ditulis dalam bentuk laporan ilmiah atau dituangkan dalam bentuk novel. Selain itu, juga menjadi narasumber di berbagai forum seminar dan diskusi.
Karya-karyanya telah banyak dipublikasikan/ diterbitkan, di antaranya yang best seller adalah Suluk Abdul Jalil Syaikh Siti Jenar (LKiS) dan Rahuvana Tattwa (LKiS).?"?"
Rahuvana Tattwa Suluk Abdul Jalil Syaikh Siti Jenar seri 1 -7
DAPATKAN KARYA AGUS SUNYOTO YANG LAIN
Rahasia Hiolo Kumala 2 Pedang Bayangan Dan Panji Sakti Huan Jian Ling Qi Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Pengejaran Ke Masa Silam 1
^