Pencarian

The Truth About Forever 1

The Truth About Forever Karya Orizuka Bagian 1


?"Neighbour from Mars
Kereta jurusan JakartaYogya berjalan tenang di antara persawahan. Di dalam kereta itu, seorang cowok berumur dua puluh tahun tertidur dengan mulut separuh terbuka. Suara dentumdentum keras terdengar dari headphone besar yang merosot dari telinganya dan malah melingkari lehernya.
Seorang anak perempuan menatap wajah cowok di depannya itu dengan cermat. Ibu dari anak perempuan itu juga sedang terkantuk-kantuk. Anak perempuan itu bangkit dan mendekati cowok di depannya. Dia memperhatikan iPod yang ada di tangan cowok itu, lalu menjulurkan tangan, bermaksud menyentuhnya.
"Jangan!" seru cowok itu, membuat anak perempuan itu tersentak kaget. Namun, mata cowok itu masih terpejam. Rupanya, dia hanya mengigau.
Anak perempuan itu menghela napas lega, lalu kembali menjulurkan tangannya. Tiba-tiba, cowok iti bergerak gelisah.
"Jangan! Lepasin gue!! JANGAN!!!" seru cowok itu.
Si anak perempuan terlonjak kaget dan akhirnya jatuh terduduk dengan wajah pucat pasi.
"Ada apa?" kata ibu dari anak itu. Rupanya ibu itu terbangun karena teriakan keras si cowok. "Ada apa, Lani?"
Anak perempuan bernama Lani itu dengan segera menangis, lebih karena kaget. Ibu si anak menenangkannya, lalu melirik tajam ke arah cowok tadi.
Yogas, si cowok tadi, masih terlalu kaget dengan mimpinya. Mimpi buruk yang sudah sekian tahun mengganggunya. Yogas menyeka keringat dingin yang mengalir deras di wajahnya, lalu menatap si ibu yang juga menatapnya tajam.
"Oh. Maaf, Bu," kata Yogas setelah melihat Lani masih terisak meski dia tak tahu persis apa kesalahannuya.
Si ibu tidak begitu peduli dengan permintaan maaf Yogas, bahkan membuang muka. Yogas menggigit bibirnya merasa bersalah, lalu membetulkan duduknya. Setelah memastikan si ibu tidak kembali menatapnya, Yogas membuang pandangannya ke luar jendela. Kereta masih melintasi persawahan.
Yoga menghela napas berat mengingat mimpinya tadi. Tanpa sadar, tangannya mencengkeram lengan kirinya erat.
*** Yogas sudah sampai di Yogya, kota yang dua hari lalu tidak pernah terpikirkan akan menjadi kota tempat tinggalnya. Saat itu, temannya memberi tahu tempat tinggal seseorang yang sedang dicarinya.
Yogas berjalan ke luar stasiun, lalu menatap ke sekeliling. Di sebelah kanan, terdapat rel kereta apa dan jalan Malioboro yang terkenal itu. Sekitar enam tahun lalu, saat studi tour bersanma teman-teman sekolahnya, Yogas pernah ke sana. Selain itu, Yogas sama sekali tak tahu menahu tentang kota itu.
Nekat. Itulah modalnya datang ke kota ini. Sekarang, Yogas tak bisa mundur lagi. Dia sudah mendapatkan info penting tentang seseorang yang dicarinya, dan dia tidak mau kehilangannya lagi.
Setelah menghela napas, Yogas memanggul carrier-nya dan mulai berjalan untuk mencari bus kota.
Yogas menatap rumah-rumah di depannya yang tampak seperti bangunan kost. Dia sampai dengan selamat setelah penjual minuman di depan stasiun menyuruhnya untuk naik bus nomor 4. Sekarang, dia berada di kawasan perumahan dekat kampus UGM dan berniat untuk memcari kost.
Yogas tidak memiliki banyak uang. Dia memiliki simpanan, tetapi tidak akan dihabiskannya untuk sebuah kost yang bertingkat mewah. Dia akan mencari kost dengan harga sewa semurahmurahnya. Tidak perlu bagus, toh dia tidak akan lama berada di kota ini. Setelah bertemu dengan orang yang dicarinya, Yogas akan segera pergi.
Setelah dua jam mencari, Yogas berhenti di sebuah ruang makan. Agar hemat, Yogas hanya membeli nasi, sayur, dan dua tempe. Dia hanya membayar empat ribu rupiah untuk makanannya itu.
Seytelah menyelesaikan makan siangnya, Yogas bertanya pada si penjual letak kost cowok yang murah. Si penjual menyarankan untuk pergi ke tempat kenalannya yan ada di gang sebelah. Yogas pun mengikuti sarannya.
Dan, di sini lah dia berada, di depan sebuah bangunan reyot yang sepertinya hanya tinggal menunggu waktu untuk rubuh. Bangunan itu bertingkat dua dan tampak menyeramkan karena semua catnya mengelupas aneh. Atap bangunan itu juga tampak seperti akn jatuh kalau diterpa angin sepoi.
"Ada nih, yang tinggal di sini?" Yogas bergumam sangsi. Namun, dia tetap melangkahkan kakinya masuk.
"OH, MAU KOST" BOLEH-BOLEH!!!"
Seorang ibu berdaster batik yang merupakan pemilik kost menyambut Yogas dengan suara stereo, membuat Yogas merasa headphone-nya akan sangat berguna untuk menghindari kerusakan telinga. Ibu itu terlihat histeris. Yogas jadi curiga, jangan-jangan kost ini tidak berpenghuni.
"Saya mau masuk hari ini juga, Bu," kata Yogas sambil duduk di sofa yang segera mengeluarkan debu.
"MASUK HARI INI JUGA" OH, BOLEH!!" sahut ibu itu lagi, matanya sekarang berbinarbinar. Bahkan, nyaris berkaca-kaca.
"Saya juga mau bayar lunas sekarang," kata Yogas lagi, lalu dengan segera menutup telinganya sebagai antisipasi.
"OHHH!! BAYAR LUNAS SEKARANG JUGA BOLEEHHHH!" Ibu itu kembaki menyahut. Kini, dia sudah menangis.
Yogas menatapnya simpati. Ibu itu menyeka air matanya, lalu menggenggam tangan Yogas erat. Yogas tak sempat menghindar. "Nak... siapa tadi?"
"Yogas," jawab Yogas pendek.
"Nak Yogas, kost ibu ini udah hampir gak ada penghuninya. Tinggal orang di bawahdan satu orang di atas. Kamu liat sendiri, kan, kondisi kost ini. Gak ada yang mau kost di sini," ratap ibu itu dengan logat Jawa yang kental.
"Terus kenap..."
"Terus, ibu juga gak punya duit untuk renovasi," potong si ibu. "Jadi satu per satu semua pada pergi. Sisanya bertahan karena mereka pada gak mampu bayar kost-kostan yang lain. Saya kasihan sama mereka..."
Yogas mengangguk-angguk dengan mata kosong, seolah melakukannya hanya untuk formalitas. Si ibu tidak memperhatikannya dan sekarang sudah kembali terisak. Yogas seperti sedang nonton sinetron.
"Tapi!! Kamu tiba-tiba datang menyelamatkan saya!! Terima kasih, Nak!!" sahutnya membuat Yoga tersenyum kaku. Dia harus cepat menyelesaikan ini kalau tidak mau telinganya jadi korban.
"Kalo gitu... boleh saya tau di mana kamar saya, Bu?" tanya Yogas setelah memebri sejumlah uang kepada ibu kost. Ternyat, biayanya amat sangat murah, jauh di luar perkiraan Yogas. "Ohh! Kamu kamu di lantau dua, gak apa-apa ya?"
"Gak apaapa, Bu. Emangnya kenapa?" tanya Yogas curiga.
"Ng... kamar yang di bawah, kecuali yang ditempatin rusak. Cuma sisa satu kamar di atas yang masih bisa dipakai," kata si ibu dengan mata tertuju pada beberapa lembar uang seratus ribuan di tangannya.
"Ohh, oke deh. Gak apa-apa."
"Tapi, Nak, masalahnya, kamar yang di atas itu. Ng... gimana yah... kamar cewek," kata si ibu lagi, membuat Yoogas melongo.
"Hah" Jadi, ini kost cewek?" tanya Yogas, merasa capek karena sudah mengobrol panjang lebar.
"Bukan, ini kost campuran. Yang cowok di bawah, yang cewek di atas. Tapi, berhubung yang di bawah pada rusak, jadi yang sisa cuma di atas," ibu itu nyengir bersalah. "Tapi, gak apa-apa kok, Nak. Si cewek anak baik!"
Yogas lagi-lagi melongo. Sebenarnya, yang harus merasa terancam itu siapa" "Bu, saya buaknnya gak mau, tapi apa cewek itu mau?" tanya Yogas lagi.
"Oh, kamu tenang aja! Dia pasti mau, kok, pasti mau! Orang dia keponakn saya!" sahut si ibu kost membuat Yogas melongo untuk kesekian kalinya. Orang macam apa yang membiarkan orang asing tinggal di sebelah keponakannya sendiri?"
"Tapi, Bu..." "Sudah, sekarang kamu naik saja ke lantai dua. Kamar kamu nomor sebelas. Kalo kamu butuh apa-apa, tinggal datang ke sini, ya?" kata Ibu kost tak sabar.
Yogas menganggu, lalu bangkit sambil melirik si ibu yang sudah sibuk menghitung uang. Dia menghela napas, memanggul ranselnya, dan bergerak keluar rumah ibu kost. "Duuh! Aku kenapa, sih?"
Sebuah teriakan cempreng terdengar dari dalam kamar nomor sepuluh. Penghuninya, Kana, sedang tergeletak di lantai sambil menjambaki rambutnya dengan frustasi.
Tak lama, dia bangun dan menatap komputer yang ada di depannya. Di kayar komputer itu, terdapat tulisan yang masih menunggu untuk diselesaikan. Kana memelototi tulisan itu, berharap dengan begitu dia akan mendapatkan inspirasi untuk meneruskannya.
"Oh, inspirasi!! Datanglah!!" serunya lagi. Dia mengatupkan kedua tangan dan mengarahkannya ke langit-langit seperti sedang menjampi-jampi orang.
Kana kembali menatap layar komputernya, tetapi tak ada inspirasi apa pun yang datang. Perempuan itu menghela npas, meraih gelas di sebelahnya, dan meminum isinya, kopi. Cairan hitam yang akhir-akhir ini selalu diminumnya.
Kana melirik papan target yang ada di sebelah komputernya. Di sana tertulis: Menjadi Penulis Best Seller. Kana mendesah. Jangankan best seller, jadi penulis aja belum tentu.
"AAAHHH!! SEBEEELLL!!" seru Kana, membuat yogas yang sedang lewat di depan kamarnya terlonjak kaget.
"Ada apa, sih?" gumam yogas. Dia bergerak menuju sebuah kamar yang pintunya sudah dipenuhi stiker.
Yogas menengadah untuk melihat nomor kamar itu. Sebelas. Ini berarti kamarnya. Yogas melirik kamar di sebelahnya. Pintu kamar itu ditempeli hiasan bertuliskan nama pemiliknya: Kana.
Yogas memasukkan kunci di tangannya ke lubang kunci. Sebelum pintu kamarnya terbuka, pintu kamar sebelah sudah terbuka duluan.
Kana keluar kamar sambil menguap lebar. Dia melakukan gerakan-gerakan kecil untuk melemaskan ototnya, belum memyadari kalau ada seseorang di sebelahnya yang sedang menatapnya heran. Kana meregangkan otot leher dengan menoleh ke kiri dan ke kanan, dan pada saat itulah, dia mendapati seorang cowok asing sedang manatapnya.
Kana mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu akhirnya berkata. "Kamu siapa?" "Yang mau kost di sini," jawab Yogas pendek.
"Oh," Kana mengangguk-angguk, kemudian kembali bersenam-senam. Yogas memanfaatkan kesempatan ini untuk masuk ke kamarnuya. Sesaat kemudian, Kana tersentak. "HEEH" KAMU MAU KOST DI SINI?" WOI!!!"
Kana segera mendatangi Yogas, tetapi pintu kamar yogas terbanting tepat saat Kana hendak bicara. Kana bengong sejenak, lalu menggedor+gedor pintu. Tak ada jawaban.
Kana memandang pintu itu geram, lali segera tahu siapa biang keladinya. Dia langsung berderap ke bawah.
"BULIK!!" teriak Kana setelah sampai di rumah tantenya yang tak lain dan tak bukan adalah si ibu kost. "Kenapa ada cowok yang ngekost di sebelah kamarku?"
"Gak apa-apa toh, Kan," Ibu kost berkata santai sambil menghitung uang yang telah dihitungnya untuk kesekian kali. "Anaknya baek kok."
Kana menatap tantenya tak percaya. "Bulik tau dari mana kalo dia anak baek?" Emangnya kenalan Bulik?"
"Bukan," jawab Ibu kost. Sikapnya masih sesdantai yang sudah-sudah, membuat mulut Kana terbuka lebar.
"Bukan?" Terus kenapa Bulik bolehin dia ngekost di sebelahku?""
"Kamu tahu sendiri, di bawah kamarnya udah gak ada yang bisa dipake. Tinggal kamar yang ada di sebelah kamu," kata Ibu kost lagi.
"Iya, tapi itu kan, khusus buat cewek! Yang tadi kan cowok!" Kana masih berusaha memprotes. "Dia bayar lunas, Kan," jawab Ibu kot yang membuat Kana menganga semakin lebar. "Bulik!" teriak Kana lagi sehingga membuat perhatian tantenya itu akhirnya teralihkan.
"Kana, kamu tahu, kan, Bulik lagi kesulitan uang. Anak-anak kost udah gak ada yang bayar. Sekarang, ada yang mau bayar, yah, Bulik gak bisa nolak," jelas Ibu kost dengan ekspresi memelas.
"Iya sih, tapi Bulik, apa cowok itu bisa dipercaya" Kalo ntat dia ngapa-ngapain aku, gimana?" tanya Kana, intonasi suaranya sudah menurun.
"Kalo dia ngapa-ngapain kamu, malah enak, tho, orangnya cakep ini," ujar Ibu kost santai. Tentu saja Kana langsung melotot mendengar jawaban itu. "Iya, iya. Kalo ada apa-apa, kamu tinggal teriak saja. Kamu jangan lupa selalu kunci pintu." Ibu kot cepat-cepat melanjutkan omongannya.
Kana menghela napas, tak tahu lagi harus berkata apa. Sepertinya, mulai sekarang, dia harus terbiasa dengan makhluk asing yang tinggal di sebelahnya.
Kana naik ke kamarnya dengan tubuh lunglai. Sebenarnya, Kana merasa ngeri harus tinggal bersebelahan dengan cowok asing, tetapi berhubung Kana tinggal di sini secara gratis. Dia tak bisa protes lebih jauh. Memang benar, tantenya sedang mengalami kesulitan keuangan, jadi Kana harus maklum kalau dia menerima siapa saja yang membayar untuk kost sebobrok ini.
Begitu sampai di tingkat dua, Kana menatap pintu di sebelah kamarnya dengan sebal. Di antara dua puluh kamar, kenapa harus kamar itu yang masih bisa dipakai"
Kana berdecak sebal, lalu memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Masih banyak yang harus dikerjakannya daripada memikirkan makhluk tidak jelas di sebelah kamarnya itu. Menjadi penulis best seller, misalnya.
Ketika dia baru hendak masuk, pintu di seblahnya terbuka. Yogas keluar dengan handuk tersampir di bahunya. Kana dan Yogas saling tatap, seolah mempunyai pertanyaan untuk ditanyakan kepada satu sama lain.
"Kamu..." "Kamar mandinya di mana?" tanya Yogas sebelum Kana sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Ha" Oh, di situ," Kana menunjuk pintu di ujung gang, membuat Yogas segera beranjak ke sana. Kana tiba-tiba tersadar. "Eh! Woi, woi! Jangan pake kamar mandi di situ!"
Yogas berhenti dan menoleh. "Kenapa?"
"Itu kamar mandinya cewek! Kamar amndi cowok yang dibawah!" Kana menunjuk pintu reyot di lantai bawah. Yogas hanya meliriknya tanpa minat.
"Kamar gue kan ada di lanta ini, jadi kamar mandinya juga yang di lantai ini dong," Yogas membalas.
"Hah" Tapi, itu kan... kamar mandi cewek!" Kana masih bersikeras meski tak punya alasan lain. "Memang apa bedanya sih" Sama-sama kamar mandi, kan?" Yogas bertanya tak sabar.
"Ya, tapi, kan... jijik!" sahut Kana sambil membayangkan hal-hal apa yang bisa dilakukan cowok itu di kamar mandi. Kamar mandi yang sudah beberapa bulan terakhir menjadi kamr mandi pribadinya.
"Oh..." gumam Yogas, membuat Kana lega karena sepertinya cowok itu mengerti. Namun, perkiraan Kana salah karena setelah itu Yogas malah melengos dan tetap bergerak menuju kamar mandi di depannya.
"Woi!" teriak Kana, tetapi Yogas sudah keburu menghilang di balik pintu kamar mandi. Dengan segera, Kana meraakan firasat buruk tentang kehidupannya ke depan bersama cowok aneh itu.
Baru beberapa detik, Yogas keluar lagi dari kamar mandi. Kana menatapnya heran sementara Yogas melambai-lambaikan tangan memanggilnya.
"Apa?" tanya Kana sebal.
"Tolong, ya, peralatan perang lo di ambil dulu," ujar Yogas.
Kana mengernyitkan tak mengerti. Namun, beberapa detik berikutnya, Kana langsung teringat akan pakaian dalamnya yang sejak mandi tadi pagi belum diambil.
"HUAAAA!!!" Kana berseri histeris dan segera berderap menuju kamar mandi untuk mengamankan pakaian dalamnya yang tergantung di balik pintu. Dia melangkah keluar sambil menatap curiga pada Yogas yang tampak malas.
"Makasih," kata Yogas pendek, lalu segera masuk ke kamar mandi, meninggalkan Kana yang melongo parah. Detik berikutnya, Kana tersadar.
"WOI! Kamu tadi liat, ya?" WOI!!" Kana menggedor-gedor pintu, tetapi yang terdengar hanya bunyi cebar cebur orang mandi.
*** Kana semakin tak bisa berkonsentrasi pafa karya tulisnya setelah kejadian aneh tadi sore. Tetangga barynya tiba-tiba datang, memakai kamar mandinya, dan melihat pakaian dalamnya. Sambil berbaring di lantai, Kana menghela napas putus asa.
"Kenapa sih, saat aku butuh konsentrasi, malah dateng orang aneh," gumamnya kesal.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah-langkah kaki di luar. Menurut Kana, itu pasti langkah si cowok aneh. Tadi selepas magrib, orang itu pergi ke luar. Iseng, kana membuka pintunya dan melongok ke kiri. Yogas tampak sedang mencari-cari kunci kamarnya. Di tangannya, terdapat plastik besar berisi berbagai macam mie cup dan air mineral.
"Kamu bisa makan di rumah Bulik," kata Kana membuat yogas menoleh. "Semua anak kost makan di sana."
"Gak usah," tolak Yogas, masih sambil mencari-cari kunci di seluruh kantongnya. Kana mengangguk-angguk pelan.
"Soal minum, bakal mahal, lho, kalo selalu beli satu literan. Kamu bisa langganan galon di bulik," tawar Kana lagi.
"Gak usah. Gue gak bakal lama di sini." Kali ini Yogas sudah mulai berkeringat dingin karena tak kunjung menemukan kuncinya.
"Oh, gitu." Kana jadi penasaran. "Kalo gak bakal lama, kenapa ngekost" Pake bayar lunas, lagi."
Yogas menghela napas dan menatap Kana. "Gue punya alasan-alasan tertentu yang gak harus gue bagi sama semua orang," jawabnya yang langsung membuat Kana cemberut.
"Iya, iya, sok rahasiaan amat," ujar Kana keki. Sementara itu, Yogas kembali mencari kuncinya. "Terus, kamu asalnya dari mana?"
Putus asa karena tak juga menemukan kuncinya, yogas iseng membuka pintu. Ternyata, pintu itu tidak terkunci dan kuncinya masih tergantung di dalam. Yogas menghela napas lelah. Dia menoleh Kana yang tampak masih menunggu jawaban.
"Dari sana," kata Yogas sambil menunjuk ke atas. Kana mengikuti arah jari Yogas sambil menatap langit-langit. Wajahnya mengisyaratkan keheranan.
"Hah" Dari mana?" tanya Kana kebingungan. "Oh, aku tahu. Magelang, ya?" "Bukan," kata Yogas, hampir mendengus.
"Oh... kalo denger dari bahasa kamu, kayaknya kamu dari jakarta, ya?" tebak Kana lagi. "Bukan, gue dari sana," yogas menunjuk ke atas lagi. "Dari Mars.
"Hah?" Kana bingung, tetapi yogas sudah masuk ke kamarnya sebelum Kana sempat bertanya lagi. Kana menggeleng-geleng simpati. "Ha, udah kukira. Anak ini pasti punya kelainan jiwa," gumamnya lagi sebelum melangkah masuk ke kamarnya sendiri.
First and Last Dinner "Hah" Ada orang yang ngekost di sebelah kamar kamu?"
Lian, teman sekampus Kana, menatapnya heran. Mereka sedang berada di kampus FISIPOL UGM yang ramai dengan mahasiswa yang sedang asyik sarapan sambil bercengkerama. Kana mengangguk menyambut pertanyaan Lian.
"Cowok aneh yang asalnya dari Mars," jawab Kana sambil menusuk tahu goreng dan memasukkannya ke mulut.
"Hah" Dari Mars?" tanya Lian bingung.
"Dia yang bilang sendiri. Memang sih, dia kayak alien," Kana berkata dengan mulut penuh tahu.
"Tapi, seru kan, punya tetangga cowok. Cakep gak?" Lian terus bertanya, membuat Kana melotot.
"Li, intinya adalah: dia cowok! Artinya, aku gak bakal punya privasi lagi!" sahut Kana. "Iya, iya, tapi cakep gak?" Lian tak mau kalah.
"Oke. Jelas-jelas kamu gak dapet poinnya di sini," kata kana sebal. "Cakep sih, cakep..." "Cakep, Kan" Bener?" Aku boleh dong dikenalin!" Lian tiba-tiba histeris.
Kana mengernyit. "Li, kayaknya kamu harus belajar membiarkan orang lain menyelesaikan kalimatnya, deh. Tadi aku mau bilang, cakep sih, cakep, tapi tetep aja dia alien!" "Gak apa-apa alien, asal cakep," balas Lian, sudah tenggelam dalam imajinasinya.
"Makan tuh cakep." Kana berubah sebal. "Aku sih males banget liat tampang sombong dan sok misteriusnya itu."
"Cowok misterius tuh justru lebih menarik, Kan," kata Lian. "Mereka punya aura yang jadi magnet buat cewek-cewek.
Kana menatap jijik temannya yang satu ini, dalam hati mengiyakan kata-katanya. Yogas sepertinya punya aura seperti yang dikatakan Lian. Rambutmya yang ikal dan hampir menutupi matanya yang tajam dan gelap membuatnya semakin misterius.
"Ngomong-ngomong namanya siap, kan?" Lian masih penasaran.
"Kata Bulik sih Yogas," jawab Kana yang langsung disambut teriakan histeris Lian. Kana hampir tersedak dibuatnya.
"Kana! Namanya aja keren banget!" seru Lian, membuat kana menyesal sudah memberitahunya. Temannya satu ini kadang memang bisa jadi sangat norak.
*** Yogas merasa sudah berjalan berkilo-kilo meter jauhnya sampai akhirnya menemukan salah satu kampus di UGM terdekat, yaitu kampus Pertanian. Yogas duduk di bangku taman, memperhatikan dengan cermat orang-orang yang melewatinya.
Yogas harus menemukan orang itu, bagaimanapun caranya. Info yang dia dapat dari temannya sangat dikit. Eno, temannya itu, mengatakan kalau orang yang sekarang sedang dicari Yogas pernah terlihat di sekitar kampus UGM. Eno tidak tahu kampus yang mana, tetapi Yogas tetap pergi. Tak masalah jika Yogas harus mendatangi setiap kampus dan mencari orang itu dibanding hanya duduk diam dan menyesali nasib. Yogas harus bertemu dengannya.
Yogas memasang headphone besarnya, dan lagu "Hold On" milik Good Cahrlotte mengalun dari iPod-nya. Pikiran yogas melayang ke masa-masa SMA, dan tanpa disadarinya, dia mencengkeram lengan kirinya kuat-kuat.
*** Yogas melangkah ke kost-nya yang terlihat gelap. Lampu depan kost itu sudah berpendar dan hampir mati, membuat kost itu tampak jauh lebih horor dibandingkan saat siang hari. Saat menaiki tangga, Yogas mendapati Kana sedang menyapu gang depan kamarnya. Kana menoleh dan menatap Yogas yang tampak lelah.
"Abis kuliah?" tanya Kana, mencoba ramah.
"Gak," jawab yogas pendek, tak ingin membuat percakapan apa pun. "Oh... abis kerja?" tanya kana lagi, membuat Yogas meliriknya sebal. "Gak juga." Yogas menjawab sambil merogoh saku celananya untuk mengambil kunci.
"Lho, jadi ngapain kamu di sini?" kejar Kana. Sebelum yogas sempat menjawab, Kana sudah berkata lagi. "Hm, aku tahu deh. Pasti lagi nyari kerjaan."
"Yah, begitulah," Yogas berusaha menyudahi percakapan dan tak ingin capek-capek menjawab. Dia membuka pintu kamarnya dan masuk tanpa banyak bicara lagi.
Yogas melempar tasnya ke atas kasur yang tergeletak menyedihkan tanpa seprai, lalu membanting tubuhnya sendiri ke atas kasur itu walaupun tahu itu akan menyakitkan. Dengan seketika, debu-debu dari kasur itu berterbangan hingga membuat Yogas terbatuk.
Yogas duduk, mengambil botol air mineral, lalu meminum isinya. Dia menatap sekeliling kamarnya yang tampak mengenaskan. Selain kasur tadi, di dalam kamar itu hanya terdapat lemari setinggi satu meter dan sebuah meja kecil. Ranselnya tergeletak sembarangan dengan isi yang sudah berhamburan, sementara cup-cup bekas mie tergeletak di atas meja bersama sebuah tas kecil.
Yogas bangkit untuk mengambil tas kecil itu, lalu kembali duduk di kasur dan membuka tasnya. Dia mengeluarkan sebuah handycam perak dengan model kuno. Sejenak Yogas menatap handycam itu ragu, tapi lantas menyalakannya, bermaksud menonton kaset yang sudah beberapa lama mengendap di sana.
Baru sedetik setelah muncul gambar, Yogas cepat-cepat mematikannya. Dia melemparkan handycam itu ke sebelahnya, lalu menjambak rambutnya kuat-kuat. Saat sedang melakukan itu, ponsel di sakunya bergetar. Yogas tertegun begitu membaca nama di layar ponselnya. Mama. Ragu, yogas mengangkatnya. "Halo?"
"Halo" Gas" Ini Mama. Kamu ada di mana sekarang?" tanya ibunya dari seberang. Yogas terdiam sebentar.
"Mama gak usah khawatir," tukas Yogas, menolak untuk menjawab pertanyaannya. "Gas, jawab Mama. Sekarang kamu ada di mana?" desak ibunya lagi.
"Ma, aku harus nyelesain masalah ini. Aku bener-bener harus," kata Yogas tegas. Sementara itu, ibunya mulai terisak.
"Gas, udah lupain aja. Yang penting sekarang kamu pikirkan dirimu sendiri," bujuk ibunya lagi.
"Ma, aku harus nyelesain ini sebelum waktunya habis." Yogas bersikeras. "Ini kesempatanku, Ma. Tolong jangan halangi aku."
Ibunya masih terisak. Yogas baru berniat untuk memutuskan sambungan ketika ibunya berkata lagi," Kayaknya kamu gak akan ngedengerin Mama. Tapi, tolong Gas, jangan lakukan hal-hal bodoh."
"Mama tenang aja." Yogas menjawab dengan suara dingin.
"Obatnya jangan lupa diminum..." Desakan ibunya kali ini membaut yogas benar-benar memutuskan sambungan. Dia lalu menonaktifkan ponselnya, berjaga-jaga kalo ibunya kembali meneleponnya.
Yogas mengaduk isi ranselnya sampai menemukan sebuah botol pil-pil. Dia mencengkeram botol itu keras, lalu melemparnya ke dinding, membuat isinya berhamburan ke segala arah. Dia terduduk lemas di lantai menatap pil-pil yang berceceran.
Pil-pil yang kabarnya dapat menyelamatkannya.
*** Yogas menatap sebuah bangunan dengan taman yang rindang. Kali ini, fakultas kehutanan UGM. Yogas tak tahu harus menunggu berapa lama, mungkin sampai fakultas ini tutup, tetapi dia harus melakukannya.
Yogas duduk di salah satu bangku taman dan memperhatikan orang-orang yang sedang berdiskusi di dekatnya. Tak ada satu pun dari mereka yang wajahnya mendekati orang yang sedang dia cari. Yogas mengehela napas, memasang headphone-nya, lalu mengorek saku celananya untuk mencari rokok.
Setelah beberpa jam dan menghabiskan sepuluh batang rokok, yogas memutuskan untuk menghampiri orang-orang yang lewat dan menanyainya langsung. Yogas menyodorkan foto orang yan dicarinya, tetapi semua orang yang ditanyainya menggeleng tak kenal.
*** Yogas berjalan gontai ke kamarnya yang masih tampak menyedihkan. Sebelum membuka pintu kamarnya, Yogas melirik kamar Kana yang terlihat gelap. Yogas masuk ke kamarnya sendiri dan membanting tubuhnya ke kasur, lalu langsung meringis saat sadar kalau kasur itu kadar kelentingannya sama dengan nol.
Yogas mengorek saku celananya, menarik foto yang seharian tadi ditunjukkannya kepada semua orang yang lewat. Cengkeramannya pada foto itu mengeras sehingga membuat foto itu kusut, tetapi Yogas tak peduli. Foto itu telah mengingatkannya pada kenangan yang tak ingin diingatnya lagi.
Suara ketuka pintu membuat lamunan Yogas buyar. Penasaran, Yogas bangkit dan membuka pintu. Kana.
"Ada apa?" tanya Yogas malas. Di depannya, kana nyengir.
"Ini. Dari Bulik, dia takut kamu kena busung mapar." Kana menyodorkan nasi beserta lauk pauknya di atas nampan. Yogas menatap nampan itu ragu.
"Gak usah, gue gak laper," tolak Yogas akhirnya.
Ketika Kana baru akan mengatakan sesuatu, terdengar suara janggal dari perut Yogas. Sesaat, Kana dan Yogas sama-sama bengong.
"Kadang, otak sama perut kurang bisa berkoordinasi ya," kata Kana, setengah mati menahan tawa. Yogas hanya tersenyum kecut.
"Yah, makasih." Yogas mengalah dan mengambil nampan itu dari tangan Kana.
"Jangan lupa setelah makan piringnya dicuci ya," perintah Kana. Dia terimgat akan pengalamannya sendiri saat lupa mencuci piring dan kena marah tantenya.
"Ya, Bu," jawab Yogas membuat Kana tersenyum geli.
Sebelum Yogas menghilang ke dalam kamarnya, Kana berkata lagi, "Jangan lupa, sebelum makan cuci tangan dulu, ya!"
Yogas menutup pintu, tersenyum sendiri mendengar kata-kata Kana. Dia menatap makanan di tangannya. Gudeg buatan ibu kost. Rasanya sudah begitu lama Yogas tidak melihat nasi. Yogas segera duduk dan dengan cepat menyantap nasi gudeg itu seakan tidak pernah makan sebelumnya.
*** "Hana tak kuasa lagi manahan perih di hatinya saat melihat Angga pergi... Kenapa bahasaku jadi menjijikkan begini, ya?" gumam kana bingung saat membaca layar komputernya. "Arrrggghhhh!!"
Kana berbaring di lantai, fristasi pada karyanya yang sedari tadi belum juga beranjak dari halaman tiga puluh sembilan, dan malah makin ngaco. Kana menghela napas, bangkit, dan seperti biasa, melakukan senam-senam kecil untuk kembali menyegarkan pikirannya. Dia melirik jam dinding, dua belas lebih sepuluh.
Kana memutuskan untuk membaut secangkir susu cokelat panas untuk mengembalikan semangatnya. Perempuan itu mengambil sebotol air dan sebungkus susu cokelat, lalu membuka pintu untuk pergi ke dapur. Dia melirik ke kamar yogas yang lampunya masih menyala, lalu buru-buru kembali lagi ke kamarnya.
*** Yogas menatap kosong layar handycam-nya. Di sana, tampak teman-teman SMA-nya sedang bersama-sama mengerjakan pentas seni. Yogas menekan tombol stop, membuka kaset mini DVD-nya, lalu melemparnya sembarangan. Di kaset itu, tertempel stiker bertuliskan "Pensi 2000'. Yogas menggapai-gapai kaset lain tanpa melihat dan yang terambil adalah yang bertuliskan "Anyer 2000'. Alih-alih langsung menyetelnya, Yogas malah menatap kaset itu dingin.
"Gas..." Yogas tersentak kaget saat mendengar suara seseorang memanggil namanya. Yogas menatap kaset di tangannya bingung. Mungkinkah...
"Gas..." Kali ini, Yogas segera melempar kaset itu. Suara itu mirip sekali dengan suara seseorang yang pernah dikenalnya. Tetapi, tidak mungkin...
"Yogas!" Yogas menoleh ke arah pintu. Ternyata, suara itu berasal dari sana. Yogas menghela napas lega, tetapi detik berikutnya, dia bingung. Diliriknya jam tangannya. Setengah satu pagi.
Yogas membuka pintu dan tampang Kana muncul. Di tangannya, terdapat dua buah mug yang mengepul. Yogas mengernyit.
"Nih." Kana menyodorkan satu mug bergambar Mickey Mouse. "Apa nih?" tanya Yogas, belum mengambil mug yang disodorkan. "Susu cokelat. Katanya, bagus buat pertumbuhan," jelas Kana. "Pertumbuhan gue udah maksimal," tukas Yogas.
"Ambil aja kenapa, aku gak mau minum dua-duanya, nih," balas Kana. "Udah susah-susah dibuatin, juga."
"Gak ada yang nyuruh lo ngebuatin." Tetapi Yogas menerima mug itu. "Thanks."
Kana mengangguk kecil sambil mengintip ke dalam kamar yogas. "Kamu lagi ngapain" Kok jam segini belum tidur?" tanyanya, membuat yogas merasa harusnya dialah yang bertanya seperti itu.
"Gak ngapa-ngapain," yogas menjawab sambil berusaha menghalangi pandangan Kana. "Lo sendiri" Gak takut lo jalan-jalan sendirian hari gini?"
"Udah terlalu biasa," jawab Kana. "Tinggal di kost ini bakal bikin kamu gak takut sama apa pun lagi."
Yogas membenarkan dalam hati. Kost ini memang lebih mirip rumah hantu.
"Oke. Kalo gitu, gue mau tidur." Yogas mengakhiri pembicaraan, tak berniat mengobrol malammalam. "Ini, thanks."
Tanpa menunggu jawaban kana, yogas masuk dan menutup pintu kamarnya. Tak berapa lkama, dia mendengar suara pintu sebelah ditutup. Yogas duduk di kasur sambil menatap susu cokelat di tangannya. Sepertinya, dia tidak boleh terlalu baik pada Kana. Dia tidak membutuhkan lebih banyak masalah.
Yogas menghirup susu cokeleat itu, lalu menghabiskannya dalam sekali teguk.
*** Sudah beberapa hari ini yogas menyantroni beberapa fakultas di kampus UGM, tetapi orang yang dicarinya gak juga ketemu. Tak terkecuali hari ini. Lagi-lagi, dia pulang dengan tangan kosong.
Orang yang pertama kali diliat yogas di kost adalah seorang berambut gimbal. Kalau saja dia tidak berpakaian lengkap, Yogas akan menyangka dia orang sakit jiwa. Itu pun, kalau hanya boxer dan kaus oblong bisa dibilang lengkap.
"Hai" sapa orang itu membuat yogas berhentu. Yogas mengangguk pada orang itu. "Anak baru ya?"
Yogas mengangguk lagi. Ternyata, orang itu penghuni kost ini juga. Salah satu dari cowok yang tertinggal di kost ini.
"Namaku Ono," katanya sambil menyodorkan tangan. yogas menyambutnya. "Yogas."
"Peace, yo," Ono tiba-tiba menunjukkan gerakan memukul dada dan mengancungkan simbol Victory. Yogas menatapnya bingung.
"Peace," kata yogas akhirnya sambil mengancungkan jari telunjuk dan tengahnya juga.
Tiba-tiba, terdengar suara tawa dari atas, membuat Yogas dan Ono sama-sama mendongak. Kana sedang menatap mereka sambil memegangi perut. Wajahnya tampak geli. Yogas buru-buru menurunkan tangannya saat sadar kalo perempuan itu sedang menertawainya.
"Cuekin aja, Gas, dia pikir dia Bob Marley," ucapannya mebuat Ono cemberut. Yogas tersenyum sopan pada Ono, lalu naik.
"Ra kuliah, tho Kan?" Tanya Ono pada kana dnegan logat Jawa yang kental.
"Ora, Mas. Libur," jawab Kana, dan langsung nyengir pada Yogas yang sudah sampai di lantai dua.
"Gas, kamu hati-hati lho sama Kana. Siap nyerang kapan saja tuh!" teriak Ono dari bawah, membuat Yogas tersenyum kaku. "Tiap malem harus kunci pintu.
"Heh, harusnya aku yang dibilangin begitu!" balas Kana keki.
"Wah, gak ada niat mau nyerang tuh," komentar yogas sambil merogoh saku celananya dan mengambil kunci. Kana menatapnya sebal.
"Eh, jangan pede dulu, ntar-ntar kalo kamu naksir aku, repot lho!" sahut Kana membuat Yogas mendengus.
Yogas masuk ke kamarnya lalu menutup pintu. Benar sekali. Akan sangat repot baginya kalau harus menyukai seseorang. Atau, disukai.
*** Yogas baru akan memasak air untuk mie cup-nya saat kana muncul tiba-tiba dan mematikan kompor. Yogas mengernyit dan menatap cewek itu.
"Disuruh makan barenag Bulik. Ayo," kata Kana sambil menarik yogas yang belum sempat menyanggupi menuju rumah ibu kost yang letaknya bersebelahan dengan bangunan kost.
Disana, ibu kost beserta suami dan anak satu-satunya yang masih berusia sepuluh tahun, Ono, dan seorang lelaki dengan kacamata tebal yang diyakini Yogas sebagai penghuni kost satunya lagi, sudah duduk manis mengelilingi sebuah meja makan.
"Aku berhasil bawa dia ke sini," sahut Kana ceria lalu menyuruh Yogas duduk. "Ini dia nih anak baru yang gak sopan. Udah dua minggu lebih ngekost, tapi belum kenalan."
"Hus, jangan ngomong begitu ah, siapa tahu dia sibuk," kata ibu kost sambil tersenyum pada Yogas yang membalasnya dengan kaku.
"Iya, nih. Nak yogas, maaf ya, kana memang agak judes," timpal suami ibu kost membuat kana melotot.
"Gak apa-apa, pak," jawab Yogas membuat kana pindah memelototinya.
"Yogas, ini suami saya Harun, dan ini Mela, anak saya satu-satunya. Terus kamu udah kenal ono, kan" Nah, kalo yang ini namanya Agus," Ibu kost menunjuk kelaki yang berkacamata. Yogas mengangguk padanya, yang dibalas anggukan singkat. "Dia anak kedokteran. Pintar banget lho, sampai dapat beasiswa!"
Yogas mengangguk-angguk kecil, benar-benar kagum pada orang yang sudah kuliah di kedokteran, dapat beasiswa pula. Tak heran bentuk Agus seperti itu. Mungkin dia terlalu sibuk belajar sampai tak senpat bersisir.
"Yang bawel itu, kamu pasti udah kenal. Dia banyak nyusahin gak, Gas" tanya Ibu kost lagi. Kana seperti siap mengamuk.
"Lumayan," jawab yogas menbuat Kana benar-benar mengamuk.
"Adu, maaf ya, kalo dia sering ribut, anaknya memang suka heboh sendiri. Tapi, sebenarnya dia anak baik kok," kata ibu kost sambil nyengir pada Kana yang melangkah ke dapur masih sambil misuh-misuh sendiri.
"Besok-besok, kalo mau makan, datang saja ke sini. Kita makan bareng," kata Bapak kost. "Kami semua biasa makan malam bareng."
Yogas mengangguk ragu sementara Kana sudah kembali dengan setumpuk piring. Ono membantu mendistribusikannya.
"Yah, kalau begitu, ayo kita mulai makan!" sahut Bapak kost lagi setelah semua orang mendapatkan piring. "Ayo, Gas, makan yang banyak!"
Yogas hanya mengangguk pelan sambil memperhatikan anak-anak lain berebut perkedel jagung. Kana menatap yogas heran.
"Gas" Kenapa?" tanyanya membuat yogas menatapnya. "Jangan salahin kita lho, kalau lauk pauknya habis. Di sini sistemnya seleksi alam."
Yogas tertawa garing dan menggapai satu perkedel jagung yang tersisa,kemudian menatap nasi di piringnya. Dia melirik orang-orang di sekitarnya yang sudah mulai sibuk makan sambil berkicau. Sudah lama Yogas. Tidak merasakan suasana makan malam seperti ini. Yogas tersenyun dalam hati, lalu bermaksud untuk mulai makan.
"Bulik, nanti aku bantuin cuci piring," ujar kana di sela-sela cerita Agus tentang ujiannya. Mendengar itu, yogas tersentak dan menatap sendok di tangannya yang sudah setengah terangkat di udara. Sendok itu terlepas dengan sendirinya dan jatuh ke piring, membuat suara berdenting keras. Semua orang berhenti berbicara dan menatap yogas yang wajahnya pucat pasi. "Gas" Kamu kenapa, Nak?" tanya ibu kost, terlihat khawatir. "Masakan ibu gak enak?"
Yogas masih belum bisa menguasai dirinya. Wajahnya tegang dan dari dahinya keluar keringat dingin.
"Maaf, saya ke belakang dulu," katanya, lalu buru-buru bangkit dan pergi meninggalkan meja makan. Semua orang saling tatap dengan pandangan heran.
Secepat mungkin, Yogas berjalan kembali ke kamar kost-nya, lalu masuk kamar mandi sambil menjambak-jambak rambutnya sendiri. Bagaimana mungkin tado dia berpikiran untuk makan bersama keluarga itu" Bagaimana mungkin kemarin-kemarin dia juga menerima makanan dan minuman dari Kana"
Yogas memukul dinding di depannya keras-keras. Napasnya tersengal, mulai memikirkan dirinya yang nista itu dengan tamaknya mau merasakan sedikit kebahagiaan tanpa memikirkan akibatnya.
Yogas menatap cermin kecil di depannya. Dia tahu dia seharusnya tidak memulai hubungan baik dengan siapa pun. Yogas membasuh wajahnya dengan air, menarik napas dalam-dalam, lalu menghelanya.
Tak lama kemudian, Yogas keluar dari kamar mandi dan tertegun melihat Kana yang sudah menunggu di depan kamarnya sambil membawa nampan. Wajahnya terlihat khawatir.
"Gas, kamu gak enak badan, ya?" tanyanya sementara yogas menghampirinya. "Bulik khawatir banget, makanya aku bawain makanan kamu ke sini."
"Gak perlu," tukas Yogas dingin sambil melewati Kana, bermaksud masuk ke kamar. Kana menatap yogas bingung.
"Tapi, ntar kamu sakit," kata Kana lagi, membuat Yogas berbalik.
"Apa peduli lo?" tanyanya tak sabar. Kana terdiam, jadi Yogas mendesah. "Denger,r. Jangan pegi ke sini, karena gue gak perlu. Ngerti?"
Yogas masuk ke kamar dan membanting pintunya tepat di depan Kana yang masih mematung. Yogas menjambak rambutnya, lalu terduduk di belakang pintu.
Lebih baik begini. Memang, lebih baik begini.
Misterious Guy "Aneh banget," kata Kana dengan mata menerawang.
Lian menatapo Kana, lalu beralih pada whiteboard. Saat ini mereka sedang berada di kelas, menunggu dosen datang.
"Apanya?" tanya Lian, setelah tak menemukan kejanggalan pada whiteboard yang ditatap Kana. "Si alien," kata Kana lagi membuat Lian tiba-tiba bersemangat.
"Oh Yogas" Emangnya kenapa" Dia ngap-ngapain kamu?" serunya membuat Kana mendelik. Begitu Lian nyengir kuda, Kana menghela napas.
"Kadang-kadang baik. Kadang-kadang judes. Semalam malah ngamuk," adu Kana. Lian mengernyit. "Ngamuk kenapa?"
Kana mengangkat bahu. "Gak tahu, aku juga gak ngerti. Padahal aku cuma bawain dia makanan kayak sebelum-sebelumnya. Kupikir aku punya salah, tapi setelah dipikir-pikir lagi, kayaknya gak," lanjut Kana lagi, lalu mendesah. "Memang bener-bener makhluk aneh." "Kan," kata Lian membuat Kana menoleh. "Kamu gak naksir dia, kan?"
Kana tidak langsung menjawab. Dia menatap Lian sementara Lian balas menatapnya penuh arti. "Li, kayaknya salah deh aku curhat ama kamu," kata Kana akhirnya.


The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Naksir juga gak apa-apa, Kan. Aku ikhlas kok," jawab Lian membuat Kana mengernyit. "Kenapa juga harus gak ikhlas?" tanya Kana dan Lian pun tertawa.
*** Yogas menatap bangunan di depannya. Fakultas Hukum UGM. Mungkin orang yang dicarinya ada di sini. Setelah kejadian semalam, Yogas kembali bersemangat untuk menemukan orang itu, menyelesaikan masalahnya, dan kembali ke Jakarta. Yogas tak mau berlama-lama di sini.
Yogas mengorek sakunya, mengeluarkan ponsel yang selama beberapa hari terakhir dia matikan, lalu mengaktifkannya. Seketika, beberapa pesan masuk ke inbox-nya. Kebanyakan dari ibunya, tetapi satu pesan dari seseorang membuat Yogas tertegun. Tanpa membacanya, Yogas mencatat nomor Eno di kertas, mencabut SIM card dari ponselnya, lalu membuangnya ke kolam. Setelah berhasil mendapatkan kartu perdana baru di penjual pulsa, Yogas langsung menelepon Eno.
"No" Gue. Gue di depan Hukum UGM. Kalo bisa, gue pengen ketemu," kata Yogas begitu telepon tersambung, lalu dia mengangguk setelah mendengar jawaban Eno. "Oke, gue tunggu."
Dia memutus sambungan telepon dan duduk di halte bus. Beberapa orang dari dinas perhubungan yang bertugas mengambil uang dari bus-bus mengobrol sambil sesekali meliriknya. Yogas tidak memperdulikan mereka. Dia memasang headphone-nya dan mendengarkan "Perfect" milik SUM 41.
Tak berapa lama, seorang cowok dengan motor bebek berhenti di depan Yogas. Cowok itu membuka helmnya sedikit, lalu mengangguk pada Yogas.
"Ga," sapa Eno membuat Yogas bangkit. "Ayo."
Yogas memakai ranselnya dan melompat ke belakang Eno. Tanpa basa-basi, Eno segera tancap gas.
"Jadi, apa kabar lo, Gas?" tanya Eno sambil mengembuskan asap rokok. "Gitu aja," jawab Yogas pendek sambil memainkan kotak rokoknya.
"Tadi, Eno membawanya ke kafetaria UGM. Karena belum saatnya makan siang, cafetaria itu tampak sepi. Yogas sendiri tidak berminat untuk makan.
"Belum ketemu juga?" tanya Eno lagi. Yogas menggeleng. Eno mendesah sambil mematikan rokok di asbak. "Lo masih dendam sama dia, Gas" Udah mau empat tahun." Yogas mendengus. "Gimana gue gak dendam, No" Dia ngehancurin hidup gue."
"Gas, kalo lo masih mikirin kejadian itu, lo gak bakal maju. Lupain aja kenapa" Lagian lo gak kenapa-kenapa, kan?" kata Eno membuat Yogas menatapnya tajam.
"Lo gak tahu apa-apa, No," tandasnya dingin.
"Kalo gitu, kasih tahu gue. Lo gak bisa ngarepin gue mau bantu lo, kalo lo gak ngasih tahu gue," kata Eno lagi. Yogas menatap Eno ragu.
Cafetarian mulai ramai saat Yogas akhirnya memberitahu Eno tentang apa yang terjadi padanya selama empat thun terakhir. Eno mendengarkan ceritanya dengan mulut terbuka lebar. "Serius lo, Gas?" tanya Eno, wajahnya menegang. Yogas mengangguk.
"Sekarang, mau ngomong apa lo tentang lupain dia?" cetus Yogas. "Gue harus cari dia sampe dapet. Setelah itu, gue gak peduli apa yang bakal terjadi sama gue. Toh, gue juga udah gak punya alasan buat hidup."
Eno menatap ngeri Yogas yang sekarang menyalakan rokoknya. "Stop dulu ngerokoknya," Eno merebut rokok dari mulut Yogas. Yogas bengong, lalu tertawa terbahak-bahak. "Lo kedengeran kayak nyokap gue."
Tapi Eno tidak tertawa. Dia hanya menatap temannya itu, tak tahu harus melakukan atau mengatakan apa. Yogas menyadarinya, jadi dia berhenti tertawa.
"Jangan lo juga, No," sambung Yogas, membuat Eno mengernyit. "Jangan lo juga kasian sama gue. Gue muak dikasihani."
Eno mengangguk kecil. "Sori. Gue bakal bantu semampu gue, tapi gue gak janji bisa nemeni lo karena gue kerja."
"Gak apa-apa. Gue lega udah ngomong sama lo. Seenggaknya, lo orang yang paling kalem setelah tahu gue kenapa," kata Yogas sambik tertawa miris.
Eno balas tersenyum tipis, lalu menatap Yogas yang kembali menyalakan rokok. Tak pernah disangkanya kalau teman masa SMA-nya ini akan berubah menjadi orang seperti ini.
*** Kana memasukkan Vario birunua ke dalam garasi kost dan naik tangga dengan langkah gontai. Setelah tadi kuliah seharian penuh, tubuhnya seolah baru ditimpa raksasa. Diam-diam, dia mengutuk kehidupan perkuliahannya yang semakin berat. Kalau sudah begini, bagaimana dia bisa menyelesaikan naskahnya"
Kata sedang memijat lehernya yang pegal saat dia melihat yogas keluar kamar mandi. Sesaat, mereka saling tatap, tapi akhirnya yogas membuang muka dan berjalan cuek ke kamarnya. "Dasar alien," ujar Kana membuat Yogas menoleh.
"Hah?" Yogas mengenyitkan dahi.
"Dasar alien. Sebentar-sebentar baik, sebentar-sebentar judes. Dasar gak knsisten," kata kana lagi.
Yogas menatap Kana yang cemberut. "Terserahlah," komentarnya pendek, lalu masuk ke kamarnya.
"Hiiihhhh!" seru Kana gemas sambil melemparkan sandalnya ke pintu kamar Yogas. "Orang aneeehhh!"
Sambil tersengal, Kana masuk ke kamarnya dan melemparkan tas sembarangan. Kana mendelik ke dinding yang menempel dengan kamar Yogas. Tiba-tiba, kata-kata Lian tadi pagi terngiang di telinga Kana.
"Emangnya siapa yang suka sama orang aneh kayak kamu!" teriak Kana lagi, sambil melemparkan boneka-bonekanya ke dinding itu.
Yogas mengenyit saat mendengar suara ribut-ribut dari kamar sebelahnya.
"Berisik!" sahutnya sambil memukul dinding di sebelahnya. Dia duduk di kasur, lalu mengeluarkan handycam-nya.
Setelah suara-suara itu menghilang, Yogas berkonsentrasi pada layar handycam di depannya dan memutar kembali kaset berisi rekaman saat kelasnya sedang bersiap-siap mengadakan pentas seni. Sekilas, dia menangkap sosok Eno yang sedang memotong karton. Itu membuatnya teringat pada pertemuan mereka tadi siang.
Yogas merasa bebannya sedikit terangkat setelah berterus terang pada Eno. Setidaknya, sekarang Eno bersungguh-sungguh membantunya menemukan orang itu, dan tidak menjauhinya seperti semua orang.
Tahu-tahu, orang yang sedang dipikirkan Yogas muncul di layar handycam, tertawa-tawa sambil mengancungkan sapu seolah tak ada yang terjadi. Memang, saat itu semuanya belum terjadi. Yogas jadi ingin kembali ke masa-masa itu, masa-masa saat semuanya masih baik-baik saja.
Namun, itu sudah tak mungkin. Tak ada gunanya mengharapkan sesuatu yang mustahil. Yogas menutup layar handycam. Tangannya terkepal keras sampai bergetar.
Dia harus segera menemukannya. Harus.
*** Kana menatap kosong langit biri di atasnya. Tangannya memegang baju-baju yang baru diangkatnya dari jemuran. Semalam, Kana tidak bisa tidur ataupun meneruskan tulisannya. Otaknya tiba-tiba macet karena terhalang sosok Yogas.
"Kenapa dia harus kost di sini sih?" gumam Kana sebal. Lalu, meneruskan mengambil beberapa baju yang masih tergantung.
Setelah selesai, Kana bergerak turun. Tempat jemuran berada di lantai tiga, yang tidak jadi dibangun karena kurang dana. Sekarang, lantai itu hanya berupa lahan kosong, beratapkan langit yang sering digunakan Kana sebagai tempat untuk mencari inspirasi.
Kana berjalan dengan baju menutupi pandangannya, tak sadar kalau ada yang terjatuh dari pegangannya.
"34A," kata seseorang membuat kana menoleh. "Hah?" gumam Kana.
Yogas tampak sedang duduk di depan pintu sambil menggunting kuku.
"Itu," yogas mengendikkan kepalnya ke arah sesuatu yang tergeletak di lantai. Kana menatapnya bingung, lalu mengikuti arah pandangan Yogas dan mendapati sesuatu berwarna pink di lantai. Seketika, mata Kana membesar.
"Aaaaahh!" Kana berseru panik saat menyadari kalau benda pink itu adalah bra-nya. Dia cepatcepat memungutnya sambil mendelik ganas ke arah Yogas, yang dengan cueknya kembali menggunting kuku. Setelah lama mendapat tatapan ganas dari Kana, Yogas mendongak. "Apa?" tanyanya pada Kana yang masih memicing curiga.
"Ini udah kedua kalinya," ujar Kana lambat-lambat. "Kamu lihat benda-benda pribadiku."
Yogas bengong, lalu kembali menggunting kuku. "Kayak gue yang mau aja," komentarnya pendek membuat Kana melotot.
"Sempet-sempetnya liat ukurannya lagi!" sahut Kana panas. "Gak sengaja," kata Yogas, tak peduli pada kekesalan Kana. "Cabul," umpat Kana dendam.
"Hah?" Yogas tak terima. Kana menatap Yogas ganas lalu bermaksud masuk ke kamarnya. Namun, sebelum dia sempat masuk, Yogas berkata lagi, " Emangnya gak kebesaran ya, 34A?" Kana menatap Yogas tak percaya, sementara Yogas pura-pura tak melihatnya. "Dasar cabuuuull!" jerit Kana, lalu segera masuk ke kamar dengan membanting pintunya.
Begitu kana tak terlihat, Yogas terkekeh sendiri. Namun, tiba-tiba dia menyadari kalau lagi-lagi, dia telah melakukan hal yang tidak semestinya.
*** "Kan, Yogas ke mana?" tanya ibu kost saat makan malam. "Mana aku tahu," jawab Kana. Dia masih sebal karena kejadian tadi siang.
"Makannya dianterin lagi sana, siapa tahu dia lapar," kata ibu kost lagi. Di sampingnya, suaminya mengangguk-angguk setuju.
"Bulik, kalo dia memang laper, dia pasti ke sini," kata Kana, malas mengantarkan makanan lagi. "Kemarin dia kenapa, ya?" tanya Agus sambil membetulkan posisi kacamatanya. "Mungkin ada masalah," kata ibu kost. "Atau gak enak badan. Makanya, sana kamu anterin lagi."
Kana menatap tantenya penuh harap supaya tidak jadi mengantarkan makanan, tetapi tantenya malah sudah menyiapkannya untuk Yogas. Kana tertunduk lemas. Dengan terpaksa dia menyanggupinya.
Kana berjalan ragu ke kamar Yogas. Lampunya menyala, artinya cowok itu ada di kamar. Tadinya, Kana bermaksud menaruh makanan itu begitu saja di depan pintu, tetapi dia mengurungkan niatnya setelah melihat seekor kucing yang stand by di sebelahnya.
"Jangan harap," Kana berkata pada kucing itu, yang segera mengeong marah dan pergi. Kana menghela napas, lalu akhirnya menedang pintu kamar Yogas karena tangannya penuh.
"Gas," panggil Kana, tetapi tidak ada jawaban. Mungkin Yogas sedang tidur. Ketika Kana baru akan membawa makanan itu kembali, dia mendengar suara-suara dari pintu tingkat atas. Kana mengernyit, lalu berjalan ke arah tangga menuju lantai tiga. Kana segera naik dan mendapati Yogas sedang berbaring di lantai, menatap langit yang bertaburan bintang.
"Ngapain kamu di sini?" tanya Kana heran.
Yogas menoleh sebentar, lalu kembali menatap langit.
"Gak ngapa-ngapain," kata Yogas, yang segera duduk. "Udah gue bilang, kan, gak usah bawain gue apa-apa lagi."
"Eh, bukannya aku mau, ya, nganterin kamu makan. Kayak raja aja," Kana berkata sewot. "Tapi, kalo emang kamu gak mau, sana balikin sendiri ke Bulik."
Kana meletakkan nampan di depan Yogas, membuat Yogas mau tak mau menatapnya. Kali ini, nampan itu berisi sepiring nai rames dan segelas es jeruk. Yogas menelan ludah, teramat sangat ingin mencicipi semua itu, tetapi berarti dia akan menerima kebaikan lagi.
Kana menatap bingung Yogas yang tampaknya sedang berpikir keras.
"Apa susahnya sih tinggal makan ini" Serius banget mikirnya," kata kana membuat Yogas tersadar.
"Nanti gue balikin sendiri," ujar yogas akhirnya. Sebisa mungkin, dia menatap ke arah lain, selain sepering nasi rames di depannya.
Kana mengernyit, menelengkan kepalanya, dan akhirnya mengankat bahu.
"Udah aneh, cabul, banyak mikir lagu. Kamu pikir gimana kamu bisa menjalani hidup?" kata Kana sok bijak, lalu meninggalkan Yogas yang menatapnya sebal.
Setelah Kana menghilang, Yogas kembali menatap nampan itu. Yogas tak boleh mengulangi hal yang sama. Jadi, saat seekor kucing datang dan memakan isi piring itu, Yogas tak begitu keberatan.
*** Hari Minggu siang. Yogas baru saja bangun dan dia tidak berniat pergi ke mana pun karena kampus libur. Itu membuat orang yang dicarinya akan semakin sulit untuk ditemukan. Hari ini, Yogas akan berusaha pergi ke mal atau tempat hiburan lain, jika nyawanya sudah lebih terkumpul.
Yogas membuka pintu kamarnya dan sektika terbatuk karena debu-debu tebal yang berterbangan di sekitarnya. Yogas menoleh dan mendapati Kana sedang memukul kasur kapuk yang digantungi di depan kamarnya. Hidung dan mulutnya tertutup kain bermotif polkadot, sementara di pinggangnya tergantung kemoceng.
Kana berhenti memukul, lalu menoleh pada Yogas. Dia berkacak pinggang dan menatap Yogas dengan mata memicing.
"Ya ampun, hari gini baru bangun" Mau jadi apa generasi sekarang?" katanya sambil gelenggeleng kepala.
"Bawel," balas Yogas sambil menggaruk kepalanya. "Lo ngapain sih" Bikin polusi aja. Kalo mau di atas sana."
"Oh, berhubung sekarang kamu ngomong gitu, tolong sekalian doibawain dong ke atas. Aku gak kuat nih," pinta Kana membuat Yogas menyesal memberinya saran.
Yogas berdecak, tetapi dia mengangkat kasur Kana dan berjalan malas ke atas. "Awas jatuh," kata Kana saat di tangga. "Kasurnya."
Yogas hanya mendelik sementara Kana tertawa. Tak berapa lama, Yogas sudah meletakkan kasur itu di antara dua kursi di lantai tiga. Kana segera memukulinya dengan heboh, membuat hujan debu di mana-mana.
"Udah berapa tahun sih lo gak ngebasin kasur?" seru Yogas di sela-sela batuknya. "Mending buang aja deh!"
"Enak aja kamu ngomong. Memang mau beliin lagi?" sahut Kana tak jelas, karena megap-megap di balik kain penutup hidungnya. "Kalo kamu mau tahu, kasur yang kamu pake itu lebih banyak debunya, bisa buat adukan semen."
Yogas jadi teringat pada kasurnya di kamar, dalam hati segera berjanji tidak akan duduk serampangan lagi. Selama beberapa saat, Yogas memperhatikan kesibukan Kana. "Eh, lo tau mal di sini di mana?" tanya Yogas tiba-tiba.
"Mal!?" Kana balik bertanya. Memang kenapa?"
"Gak, cuma nanya doang," Yogas berkelit. Kana sendiri sudah berhenti mengebasi kasurnya dan menatap yogas curiga.
"Kamu mau ngelamar kerja jadi cleaning service, ya?" tanyanya membuat Yogas bengong. "Gak diterima di mana-mana, makanya putus asa, ya?"
"Yogas berdecak. "Udahlah, lupain aja," katanya keki.
"Eh, kenapa harus dilupain?" sambar Kana sambill mendekati Yogas dan menatapnya seolah memberi semangat. "Cleaning service juga kerjaan kok. Yang penting halal. Ya gak?"
Yogas tertawa garing, lalu membalik badan dan menatap sekeliling. Pemandangan di depannya hanyalah atap-atap rumah tetangga, tetapi langit biru cerah membuatnya perasaannya nyaman.
"Oh, iya, aku tahu!" seru Kana lagi, membuat perasaan Yogas kembali tidak enak. "Gimana kalo kamu bantuin aku beres-beres kamarku, sekalian latihan jadi cleaning service nanti!"
Yogas menatap Kana datar, lalu melewatinya tanpa bicara sepatah kata pun. Cewek itu memang makhluk yang kompleks.
*** Sesiangan ini, Yogas sudah mengunjungi satu mal bernama Galeria. Karena sudh malas bertanya pada Kana, akhirnya dia bertanya pada Eno. Selama beberapa jam dia mencari, tetapi orang yang dicarinya tak ketemu juga. Yogas juga baru tahu, kalo di Yogya, setelah pukul enam tak ada lagi bus yang beroperasi. Jadi, dia pulang berjalan kaki dan sekarang hampir tak punya tenaga lagi untuk naik tangga.
"Ngopo'e Gas" Kayak mbah-mbah ngono," komentar Ono yang tak sengaja melihat Yogas di tangga. Yogas hanya membalasnya dengan cengiran tak jelas.
"Gas!" seru ibu kost yang sedang menyiram pot-pot di depan rumahnya. "Nanti makan malem bareng ya!"
"Saya sudah makan, Bu," kata yogas cepat. "Makasih."
Yogas buru-buru naik, sebelum ibu kost mulai membujuknya atau menanyainya macam-macam. Setelah aman, Yogas kembalu terseok. Ketika lewat depan kamar Kana yang terbuka, Yogas tak sengaja melirik. Di dalam, Kana yang sedang menatap kayar komputernua menoleh.
"Wah, udah pulang! Gimana, dapet kerjaannya?" tanya Kana, tapi Yogas memilih tak menjawabnya. Kana bangkit dan melangkah keluar kamar. "Gitu aja gak dapet" Aduh, ternyata kamu sebeg yang aku kira, ya..."
Kana terkekeh kejam smentara Yogas nenatapnya sebal.
"Berhenti ngegodain gue, oke" Yang kemaren-kemaren gue beneran gak sengaja," kata Yogas membuat Kana memicing.
'Tapi, kamu sempat liat ukurannya!" balas Kana sengit. "Dalam waktu sesingkat itu, kamu bisa liat ukurannya!"
"Oke, oke, gue liat ukurannya. Jadi" Gak penting juga, kan?" kata Yogas membuat Kana semakin panas. Yogas mendesah. "Oke, kalo ini memang penting buat lo, gue minta maaf."
"Kana menatap Yogas, menimbang-nimbang. Setelah beberapa saat, akhirnya dia mengangkat bahu.
"Ya, mau gimana lagi. Memang cowok zaman sekarang pikirannya selalu ke situ," kata Kana membuat Yogas melotot.
"Ke mana maksud lo?" katanya tak terima.
"Tapi, aku mau kamu ngelakuin sesuatu buat gantinya," Kana tak memperdulikan kata-kata Yogas. "Ambilin kasurku, terus taro di kamarku."
Yogas bengong sesaat. "Bilang aja lo mau minta tolong ambilin kasur!" sahutnya keki. "Pake menyudutkan gue, lagi!"
"Yah, itu kan salah kamu juga. Udah, ambilin sana!" balas Kana.
Yogas akhirnya pergi juga walaupun sambil bersungut-sungut. Kana nyengir penuh kemenangan.
Beberapa saat kemudian, Yogas kembali sambil memanggul kasurnya. Kana sudah menantinya dengan senyum lebar.
"Taro di mana?" tanya Yogas, tak repot-repoit menyembunyikan nada kesalnya.
"Di sini," Kana menunjuk karpet yang terhampar di lantai kamarnya. Yogas meletakkan kasur itu, kemudian menepuk-nepuk pundaknya yang terkena debu kapuk.
Kana segera memasang seprai pada kasur itu, sementara Yogas mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar Kana yang bernuansa pink. Tanpa disadarinya, dia melangkahkan kakinta ke arah papan target Kana dan membacanya.
"Satu. Menjadi penulis best seller," gumam Yogas, lalu memoleh pada Kana dan menatapnya sangsi. "Lo" Penulis best-seller?"
"Eh, jangan salah! Aku udah mulai nulis dari sekarang!" sahut Kana. "Suatu saat, kalo aku beneran jadi penulis best-seller, kamu jangan nyesal ya, gak baik-baik sama aku."
Ucapan Kana membuat Yogas mendengus. Dia kemudian melirik sebuah pigura yang berisi foto Kana dengan orang_orang yang kelihatannya adalah orang tuanya.
"Meninggal dua tahun lalu," jelas Kana seolah mengetahui pertanyaan di benak Yogas. "Kecelakaan mobil."
"Oh," kata Yogas. "Sori."
"Gak apa-apa," kata Kana yang telah selesai memasang seprai. "Orangtuaku bilang, apapun citacita ku, aku pasti bisa raih kalo aku bener-bener berusaha. Makanya aku yakin bisa jadi penulis best seller. Kalo cita-cita kamu apa, Gas?"
Yogas mendadak bergeming. Dia tidak tahu apa yang dilakukannya di sini, di kamar ini. Dia tidak tahu kenapa dia malah mengobrol tentang ini itu bersama seorang gadis yang hampir tidak dikenalnya, dan tidak boleh dikenalnya lebih jauh.
"Gas?" tanya Kana, bingung pada Yogas yang tiba-tiba membatu.
"Gue... capek," kata Yogas dingin. Dia melangkah keluar dari kamar Kana dan segera masuk ke kamarnya.
Yogas terduduk di kasur, matanya menerawang. Selama ini, dia bertekad untuk tidak memulai hubungan apa pun dengan siapa pun lagi, dan berhasil pada semua orang yang ditemuinya. Tetapi, kenapa tidak pada gadis ini" Kenapa setiap kali Yogas berusaha menjauhinya dia selalu saja lupa"
Yogas tidak boleh lupa siapa dirinya. Tidak boleh.
Don't Fall in Love with Me
"Ternyata, memang bener-bener anah," kata Kana sambil melamun.
"Hem" Siapa?" tanya Lian sambil cemingak-celinguk. Saat ini, mereka sedang berada di kantin menunggu mata kuliah selanjutnya.
"Si alien," ujar Kana lagi. Lian langsung tersedak es jeruknya. "Apa lagi sekarang?" tanyanya, tertarik.
"Orangnya gak jelas. Kadang baik, kadang aneh. Gak bisa ditebak," cerita Kana lagi. Lian mengangguk-angguk.
"Aku jadi pengen liat, Kan," kata Lian, tampak benar-benar penasaran. "Pulang ntar aku main ke kost mu, ya. Udah lama juga."
"Terserah aja," kata Kana, tak begitu mendengarkan sementara Lian sudah bersorak girang.
*** Kana men-starter Vario birunya, sementara Lian naik untuk dibonceng. Saat Kana sedang mengendarai motornya keluar parkiran, Kana mengerem mendadak. Kepala Lian sampai terantuk helm Kana.
"Kenapa sih, Kan" Sakit, nih!" serunya, tetapi Kana tak menjawab. Matanya terpaku pda sesosok cowok bersweter abu-abu dengan headphone besar mlingkar di lehernya di depang gerbang kampus.
Yogas sedang menyalakan iPod-nya. Setalh lagu terdengar, dia memasang headphone ke telinganya kemudian dia berbalik dan mendapati Kana sedang menatapnya. Selama beberapa saat, mereka saling tatap sampai akhirnya Yogas mengalihkan pandangam. Yogas sama sekali tak tahu kalau Kana kuliah di kampus ini, FISIPOL.
Kana membawa motornya menuju Yogas, lalu berhenti tepat di sampingnya. Lian yang tadinya sibuk memanggil Kana langsung terdiam begitu melihat sosok Yogas. Detik berikutnya, dia sadar bahwa cowok itulah alien yang selama ini tinggal di sebelah Kana. Lian sampai lupa bernapas saking senangnya.
"Ngapain kamu di sini?" tanya Kana bingung. Yogas berusaha untuk tidak menatap Kana. Dia sama sekali tak punya jawabannya. "Lagi nunggu seseorang?"
"Yah, begitulah,"jawab Yogas akhirnya.
"Siapa?" tanya Lian, membuat Yogas mengernyit.
"Ini Lian, temenku," kata Kana, membuat Yogas mengangguk-angguk sementara Lian nyengir lebar, mencoba tebar pesona. "Jadi, lagi nunggu siapa?"
"Bukan urusan lo," jawan Yogas membuat Kana tertegun dan cengiran Lian lenyap. "Oh," ujar Kana setelah beberapa saat. "Kalo gitu, aku duluan.
Yogas mengangguk tanpa menatap Kana kana menancap gas dan segera meluncur ke jalan dengan pikiran kosong.
"Kana!!" seru Lian membuat Kana kaget sehingga motornya oleng. "Apaan sih?" Kana balas berseru setelah motornya kembali seimbang.
"Aku gak setuju kamu sama alien itu! Sok banget!" seru Lian lagi, terdengar benar-benar emosi. Kana terdiam selama beberapa saat.
"Siapa bilang aku mau sama dia?" ujar Kana, sementara Lian masih terus mengoceh.
Kana tidak mendengarkan sisa kata-kata Lian karena sibuk memikirkan alasan yogas ada di kampusnya.
*** Kena menatap kosong layar komputernya. Sudah sejak dua jam lalu dia melakukannya. Kana masih teringat dengan kejadian tadi siang, saat Yogas ada di kampusnya untuk menunggu seseorang. Yogas tidak mau menatapnya dan kembali bersikap seperti pertama kali dia datang ke sini.
Kana membaringkan tubuhnya di lantai. Doa tidak merasa melakukan kesalahan apa pun, jadi apa yang membuat Yogas bersikap seperti itu padanya"
Pusing, Kana memutuskan untuk membuat susu cokelat untuk menenangkan pikirannya. Yogas benar. Alasan dia datang ke sini bukan urusan Kana. Kana menghela napas sambil membuka pintu kamarnya. Saat melewati kamar Yogas, dia melirik sedikit. Tampaknya cowok itu ada di dalam. Kana membuang muka, lalu berderap ke dapur.
Dia tak mau tahu lagi soal cowok aneh itu.
*** Yogas menatap langit yang penuh bintang di atasnya. Hari ini, dia kembali pulang dengan tangan kosong. Namun, bukan itu yang memenuhi pikirannya sekarang. Dia sama sekali tidak tahu kalau kampus yang tadi didatanginya adalah kampus Kana. Kalau saja dia tahu, dia akan lebih berhati-hati supaya tidak terlihat.
Yogas menghela napas berat. Kenapa sih, orang ini begitu susah dicari" Kalai sudah ketemu, Yogas akan segera pergi dari tempat ini dan tak akan berurusan lagi dengan orang-orang di kost ini.
Baru saj Yogas mengingat kejadian semalam, subjek yang dipikirkan muncul dari pintu dengan membawa mug yang mengepul. Wajahnya tampak kaget.
Kana menatap Yogas yang juga menatapnya, lalu bermakud untuk pergi. Kana tidak tahu kalau Yogas juga ada di sini. Tahu begitu, Kana tidak akan naik.
"Mana buat gue?" tanya Yogas membuat Kana tak jadi turun. Dia berbalik dan menatap Yogas bingung.
"Hah?" tanyanya.
"Itu," Yogas mengendikkan kepalanya ke arah mug yang dipegang Kana. "Mana buat gue?" "Ih, bikin sendiri sana," kata Kana cepat, bingung pada sikap Yogas yan sudab berubah lagi.
Yogas kembali menatap langit dan menutup matanya. Kana menatapnya ragu, lalu mendekati cowok itu dan duduk di sampingnya. Angin semilir bertiup, menggerakkan poni Kana ke sana kemari.
"Aku tahu, apa pun yang terjadi sama kamu, itu bukan urusanku," Kana memulai pembicaraan, membuat mata Yogas terbuka. "Tapi, bisa gak kita ngobrol apa pun selain itu" Kayak misalnya, apa yang lagi kamu baca, udah nonton fil terbarunya Tobey Maguire atau belum...l
Sudut bibir Yogas terangkat sedikit. Dia mengamati punggung kana yang tampak kecil. Kepala cewek itu menggeleng-geleng, seolah salah bicara. Yogas memejamkan matanya lagi.
"Jadi, udah nonton film itu belum?" tanya yogas membuat Kana menoleh dan menatapnya tak percaya.
"Belum. Kamu?" tanya Kana balik.
"Belum sempet," jawab Yogas menbuat kana mengangguk-angguk.
"Hm, di sini lagi diputer lho. Nonton yuk?" Ajakan Kana membuat mata Yogas kembali terbuka. Tahu-tahu kana menoleh, panik. "Eh, bukan, bukan! Bukannya aku ngajak kamu ngedate atau gimana! Cuma gak sengaja!"
Yogas terkekeh, lalu duduk dan menyalakan rokoknya. Kana memperhatikan kepulan-kepulan asap yang dibuat Yogas.
"Ng... cewek kamu ada di kampusku, ya?" tanya Kana tiba-tiba, membuat yogas menatapnya heran. "Tadi di kampus, kamu nungguin cewek kamu, ya?"
Dahi Yogas segera mengerit, seolah tak suka dengan kata-kata Kana. "Oke, oke, bukan urusanku, aku ngerti," kaya Kana cepat. "Sori."
Alih-alih menanggapi kata-kata Kana, Yogas malah menatap kosong atap-atap rumah di depannya. Sejenak, tak ada yang berbicara di antara mereka.
"Oke, gini aja," kata Kana kemudian. "Berhubung kehidupan kamu top secret, aku aja yang cerita. Gimana?"
Yogas menatap Kana, tak mengerti.
"Jadi, aku lahir tanggal 21 Oktober 1986 di Bogor," Kana mulai bercerita sementara yogas tersenyum simpul. "Papaku orang Yogya, mamaku orang Bogor. Aku cuma sampe SMP di Bogor, terus waktu SMA aku pindah di sini..."
Yogas tak berusaha menghentikan Kana bercerita. Dia hanya mendengarkan dan tak sekalipun menyela.
*** "Wah, hujan," gumam Kana begitu keluar dari kamarnya.
Musim memang sudah berganti. Mulai sekarang hujan akan terus membasahi Yogya dan Kana sebal karena dia tak suka naik motor menggunakan jas hujan. Selain merepotkan, dia selalu paranoid dengan kemungkinan jas hujannya yang seperti sayap Batman terbelit jeruji ban motornya.
Tiba-tiba, pintu kamar sebelah terbuka. Yogas keluar dengan kaus oblong dan rambut acakacakan. Begitu bersentuhan dengan hawa di luar, dia langsung bergidik.
"Gila, dingin banget," komentarnya sambil menggosok-gosok lengannya, berusaha menghangatkan diri. Di sebelahnya, Kana menatapnya lekat.
"Apa?" tanya Yogas begitu sadar Kana ada di sampingnya. Kana cuma menggeleng sabil tersenyum tipis. Yogas menatap cewek itu heran, lalu bergewrak ke kamar mandi karena hasrat alamnya.
Kana menatap geli Yogas yang kebelet. Semalam, Kana seperti bermimpi bisa mengobrol panjang lebar dengannya. Yah, tidak bisa dibilang mengobrok sih, karena cuma Kana yang bicara, tetapi yang seperti itu juga sudah bisa disebut kemajuan.
"Eh, tunggu," gumam Kana, bingung sendiri. "Kemajuan apa?"
Kana mendadak kena serangan panik. Yogas yang sudah keluar dari kamar mandi menatapnya bingung.
"Kenapa lo?" tanyanya, tapi Kana hanya menatapnya dengan mata terbelalak. "Ya ampun, ya ampun," Kana tak mau percaya. "Gak mungkin!"
"Apaan sih?" Yogas mulai kesal karea Kana seperti hidup dalam dunianya sendiri. "Ngomongngomng, di muka lo ada nasinya tuh."
"Ha" Masa iya?" kana segera mematut dirinya di jendela kamarnya sendiri. Setelah lama bercermin dan tak menemukan satu butir nasi pun di wajahnya, Kana sadar kalau dia belum sarapan dan tak mungkin ada nasi di sana.
"Woi!" Kana berseru sebal ke arah pintu kamar Yogas. Namun, setelah itu dia tersenyun dan berangkat ke kampus dengan hati riang walaupun hujan turun semakin deras.
*** Yogas tidak pergi ke mana pun hari ini karena hujan turun dengan deras sepanjang pagi. Sekarang, setelah langit cerah, dia sudah malas menggerakkan tubuhnya. Yogas menggapai handycam, lalu menyetel kaset yang bertuliskan "Anyer 2000" setelah sempat ragu sejenak.
Baru sedetik film itu berputar, Yogas menutup lagi handycam-nya. Ternyat, dia memang maih belum mampu menontonnya. Yogas menatap kosong handycam di tangannya. Seharusnya, dia tak pernah menonton video itu.
Tiba-tiba, Yogas ingin melihat pantai. Dia ingin berteriak sekuat tenaga untuk melepaskan semua kepenatannya. Yogas bangkit dan bersiap-siap pergi. Tak berapa lama, dia sudah menuruni tangga dan mendapati Kana baru memasukkan motornya ke garasi. Yogas mengamati motor Kana dan seketika mendapat ide. Kana balas menatap Yogas bingung.
"Gue pinjem motor lo dong," kata Yogas tanpa basa-basi. "Hah?" tanya Kana heran. "Memang mau ke mana?"
"Udah deh, gak usah banyak tanya," Yogas merebut helm Kana dan membawa motornya.
"Eh, tunggu! Ini motor baru! Aku ikut!" Kana mengambil helm dari motor Ono dan melompat ke belakang Yogas. Kana tidak bisa membiarkan Yogas pergi dengan motor hasil warisan orangtuanya. Lagipula, bisa repot kalo Yogas kena razia dan tidak bawa STNK.
Seolah Kana cuma sekarung beras, Yogas segera tancap gas. Kana terjengkang dan hampir jatuh kalau tidak buru-buru menggamit bahu Yogas.
"Mau ke mana sih?" sahut Kana.
"Pantai," jawab Yogas tenang dan Kana cuma mengangguk-angguk. Tetapi, detik berikutnya dia tersadar.
"HEEE" Pantai?"" serunya membuat motor oleng. "Kamu gila ya?"
"Iya. Lo kasih tau jalannya, ya," kata Yogas lagi, membuat Kana semakin yakin kalau Yogas benar-benar sakit jiwa.
*** Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, mereka sampai juga di pantai Parangtritis. Yogas berjalan tenang ke pantai, sementara Kana menatap sedih motor barunya yang kepanasan karena baru diajak berjalan-jalan berkilo-kilo jauhnya.
"Gas, tunggu!" Kana menyusul Yogas yang seolah tak mendengarnya. Kana menatapnya curiga, lalu menekan mulut saat melihat tatapan Yogas yang koson. Dia mengguncang-guncang bahu Yogas. "Gas! Gas! Kamu gak diundang Nyi Roro Kidul, kan" Gas, sadar!"
Tepat ketika Yogas akan bicara, Kana menamparnya dengan sekuat tenaga. Pipi Yogas terasa panas dan lehernya seperti patah.
"Apaan sih lo?" amuk Yogas. Pipinya berdenyut menyakitkan.
"Hh... Syukur deh," Kana mendesah dengan mata berkaca-kaca, lega. "Syukur apanya?" sahut Yogas sambil mengelus pipinya.
"Lho" Kamu gak diundang Nyi Roro Kidul, ya?" kata Kana polos, membuat Yogas gemas dan ingin menjitaknya. "Abis, kamu tiba-tiba aja mau ke pantai."
Yogas menghela napas, lalu meneruskan perjalanannya ke bibir pantai. Saat itu karena abis hujan, laut menajdi pasang. Pantai ini tidak begitu bagus-pasirnya coklat dan airnya tidak sebiru yang diinginkannya-tetapi lumayan untuk menenangkan pikiran Yogas.
"Wah, langit habis hujang cerah banget ya," komentar Kana saat melihat langit biru tanpa awan di atasnya. "Udah lama juga aku gak ke pantai."
Kana meregangkan otot dengan merentangkan tangannya, bermaksud merasakan angin yangnya sebentar, mengeluarkan handycam dan merekam Kana di luar kesadarannya.
Kana sendiri tidak sadar kalo Yogas sedang merekamnya. Dia benar-benar senang datang ke pantai setelah lama tidak melakukannya. Dia berlari-lari ke air dan bermain kejar-kejaran dengan ombak sambil sesekali menjerit kedinginan saat kakinya terkena air.
Yogas melepaskan matanya dari layar dan menatap Kana yang sedang tertawa sendiri karena ombak datang begitu besar sehingga membasahi jeans-nya yang sudah dilipat tonggi-tinggi.
"Gas! Kamu ngapain" Ayo sini!" sahut Kana membuat Yogas tersadar. Yogas segera mematika handycam-nya dan mengikuti Kana turun ke air. Memang benar, airnya sangat dingin.
Sementara ombak berdebur ke kakinya, Yogas menatap ke laut lepas. Dia bermaksud untuk berteriak sekuat tenaga, tetapi tiba-tiba Kana mendorongnya sekuat tenaga sehingga dia tercebur dengan wajah terlebih dahulu menyentuh air. Kana tertawa lepas melihat Yogas yang sekarang basah kuyup.
Yogas menatap Kana sebal, lalu bangkit dan mengejar cewek itu. Kana segera berlari menghindari Yogas, tetapi akhirnya tertangkap dalam waktu singkat. Walaupun Kana memberi perlawanan, Yogas berhasil menceburkan cewek itu ke air. Yogas ganti tertawa penuh kemenangan dan beberapa detik setelahnya, dia tersadar.
"Kenapa, Gas?" tanya Kana, heran melihat Yogas tiba-tiba berhenti tertawa.
"Gak apa-apa," jawab Yogas sambil kembali ke pasir, dan terduduk di sana sementara Kana masih bermain-main dengan ombak. Yogas menatap pemandangan itu kosong. "Barusan gue ngapain sih," gumamnya, lalu tertawa miris.
Yogas membaringkan tubuhnya di pasir yang masih lembap, lalu mencoba memejamkan matanya. Dalam enam tahun, baru kali ini dia tertawa selepas itu. Dan, dia bahkan melakukannya dengan cewek yang baru dikenalnya.
Kana menghampiri Yogas. "Gas, kok malah tidur?"
"Tolong, jangan ganggu gue sebentar," kata Yoga tanpa membuka matanya. "Gue butuh sendirian."
Benar. Rencana awalnya adalah datang sendirian ke pantai dan melepaskan semua kepenatannya. Kenapa cewek ini malah ikut"
"Oh, oke," Kana mengangguk paham, lalu berjalan kembali ke pantai.
Entah berapa lama yogas tertidur, tetapi saat dia terbangun, langit sudah berganti warna. Matahari sudah mau tenggelam, meyebar semburat jingga ke permukaan laut. Yogas duduk, lalu melihat Kana yang sedang berlari ke sana kemarin sambil menyeret sesuatu yang bentuknya seperti layangan. Yogas menatapnya heran.
"Lo ngapain?" tanya Yogas bingung.
"Oh, udah bangun?" tanya Kana dengan napas tersengal. "Aku lagi main layangan."
Ternyata benar, layangan. Yogas menghela napas. Cewek satu ini memang tidak bisa diharapkan. Yogas bangkit, lalu merebut benang dari tangan Kana.
"Pegang layangannya," perintah Yogas dan Kana segera melakukannya. "Kalo gue bilang lepas, dilepas."
Kana mengangguk. Yogas menghela napas lagi, lalu berkata, "Lepas."
Kana melepaskan layangannya, dan tepat pada saat itu, Yogas menarik benangnya. Dalam seketika, layangan berbentuk burung itu sudah terbang.
"Uwaaahhh! Hebaat!" sahut Kana sambil bertepuk tangan girang. Yogas meliriknya, heran kenapa cewek itu begitu senang melihat layangan terbang.
"Memang begini harusnya maen layangan. Gue gak pernah liat versi lo tadi," kata Yogas membuat Kana mendelik. Tapi di detik berikutnya, Kana sudah asyik kembali menatap layangan.
"Eh, aku boleh pegang gak?" tanya Kana penuh harap. Yogas menyerahkan benangnya. "Uwaaahhh!!"
Sebenarnya, Kana agak grogi saat menerima benang layangan itu, takut layangan itu putus di tangannya. Kana tak pernah sekalipun memegang layangan yang benar-benar terbang seperti itu. Itulah sebabnya, dia memegang benangnya dengan ekstra hati-hati. Yogas kembali ke pasir dan duduk sambil melihat Kana yang masih berteriak-teriak girang seperti anak kecl, takjub melihat ekor layangan yang berkibar-kibar indah tertiup angin. Yogas lantas merekamnya lagi dengan handycamnya.
Tak terasa, matahari sudah hampir tenggelam. Kana merasa sudah puas dengan layangannya yang terbang karena pegangannya lepas. Sekarang, dia terduduk kelelahan di samping Yogas yang sudah kembali tertidur.
Kana mengamati wajah polos Yogas yang terlelap. Kana benar-benar senang bisa menghabiskan sore bersama coewok itu seperti ini.
"Jangan ngeliatin terus," kata Yogas tiba-tiba membuat Kana kaget.
"Siapa juga," Kana segera salah tingkah dan berusaha membuang pandangannya. Namun, tak berlangsung lama, karena di luar kesadarannya, dia kembali menatap Yogas. "Serius. Ntar lo suka sama gue," kata yogas lagi.
"Emangnya kenapa kalo aku suka sama kamu?" tanya Kana menantang. "Jangan," jawab Yogas setelah beberapa detik.
"Kenapa?" tanya Kana lagi, membuat Yogas menghela napas. "Karena kita gak punya masa depan," katanya tanpa membuka mata.
Kana menatap wajah itu lama, tak mengerti akan perkataannya, tetapi entah mengapa tak punya keinginan untuk bertanya lebih jauh. Kana memiliki firasat, kalaupun bertanya, jawaban Yogas akan lebih menyakitkan.
One Second of Happiness "'Kita gak punya masa depan' katanya."
"Hah?" Lian menatap Kana yang tampak menerawang. Akhir-akhir ini sahabatnya itu selalu seperti ini. "Maksudnya?"
Kana mengangkat bahu, lalu menyeruput jus mangganya tanpa semangat. "Andai saja aku tahu."
"Kalian toh belum tentu kawin, bkan" Jadi, apa maksudnya ngomong begitu?" tanya Lian lagi. "Masa depan apa sih yang dia maksud?"
Kana meletakkan pipinya ke meja kantin, lalu mendesah, Lian menatap sahabatnya itu khawatir.
"Kan, kalo pendapatku sih kamu jangan terlibat terlalu jauh sama dia. Aku punya firasat dia agak berbahaya," kata Lian membuat Kana mendongak.
"Berbahay?" tanya Kana.
"Sebelum semuanya serius, berhenti saja berharap dari dia, Kan. Kalo emang dia cowok baikbaik, dia gak akan bersikap bunglon gak jelas ke kamuyak gini," kata Lian lagi.
Kalau mau jujur, Kana merasakan hal yang sama dengan Lian. Kata-kata Yogas kemarin sama saja dengan menolak Kana mentah-mentah. Namun, setelah mereka pulang dari pantai, Yogas tidak bersikap dingin, malah cenderung bersahabat. Dari awal, Yogas seperti sedang mempermainkan perasaan Kana.


The Truth About Forever Karya Orizuka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kayaknya kamu bener, Li," ujar Kana akhirnya. Kana tidak mau salah mengartikan sikap hangat Yogas lagi.
Kana merasakan tangan Lian meremas bahunya. Lian sendiri tahu, kalau benar Kana menyukai alien aneh ini, berarti ini adalah cinta pertama Kana. Lian tidak mau cinta pertama sahabatnya jatuh pada orang yang salah.
*** "Ada apa, No?" tanya Yogas antusias begitu bertemu dengan Eno di cafetaria. Semalam, Eno mengajaknya bertemu. "Dia udah ketemu?"
"Bukan itu," kata Eno, tampak ragu.
Yogas sendiri terlihat bingung. "Jadi, ada apa?"
"Duduk dulu deh," Eno mengendikkan dagu ke kursi di depannya dan Yogas menurut. Eno lalu mencondongkan wajahnya ke arah Yogas. "Seharusnya, gue yang tanya ada apa. Sebenernya lo serius gak sih nyari dia?"
Yogas mengernyit. "Maksud lo apa, No?"
Eno mendesah, lalu menatap Yogas serius. "Gas, gue kemarin liat lo lewat di depan tempat kerja gue. Naek motor, sama cewek. Gue pikir lo ke sini mau nyari dia."
Yogas mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali dan akhirnya tersadar Eno sedang membicarakan Kana.
"No! Gue serius nyari dia!" sahut yogas panas. "Kalo kemaren lo liat gue, itu karena pikiran gue udah butek banget, makanya gue ke pantai buat nenangi diri."
"Sama cewek?" tanya Eno curiga. Yogas berdecak.
"Cewek itu anak kost gue. Gue minjem motor dia, tanpa gue sadari dia udah ngikut gue. Dia takut motornya kenapa-kenapa," Yogas menjelaskan, tapi Eno tampak masih belum percaya. "No, lo harus percaya ama gue. Gue gak punya waktu untuk yang laen."
"Sebaiknya begitu," kata Eno lagi. "Denger, Gas, gue bener-bener mau bantu lo. Tapi, kalo lo sendiri senang-senang..."
"No, gue gak pernah kepikiran mau senang-senang," kata Yogas tegas. "Setelah gue dapet dia, gue bakal pergi dari sini."
Eno menghela napas, tampak sudah menyesal karena tak mempercayai Yogas. Dia mengamati Yogas yang tampak emosi. "Sori Gas, kalo gue udah marah-marah gak jelas. Tapi, kalo dipikirpikir, lo butuh waktu senggang juga. Jangan selalu mikirin dia."
"Gue gak butuh waktu senggang," tukas Yogas pendek.
"Soal cewek itu juga, mungkin ada bagusnya juga kalo lo jalan sama dia," kata Eno lagi. Yogas menatapnya tak percaya.
"Lo gila ya, No" Gue udah gak ada niat buat begituan! Lo pikir gue masih punya hak buat begituan?" sahut Yogas berang.
"Bener juga. Sori," sesal Eno. "Kalo lo mau egois dikit, mungkin lo dulunya gak melepas Wulan."
Ekspresi wajah yogas mengeras saat Eno menyebut nama itu. Nama yang sudah sekian lama dikubburnya rapat-rapay di dalam hatinya.
"Jangan pernbah sebut nama dia lagi," ucap yogas dingin.
"Oke. Sori," kata Eno, dan setelah itu, tak ada satu pun yang berbicara lagi.
*** Yogas berjalan gontai menuju kost-nya yang suram. Ono dan Agus sedang tidak ada, dan rumah ibu kost juga tampak sepi. Yogas naik tangga dan orang yang paling tidak ingin ditemuinya malah sedang berjalan ke arahnya. Di tangannya, terdapat mug yang mengepul.
"Dari mana" Kok jam segini baru pulang?" tanya Kana, tetapi begitu melihat rambut dan wajah yogas yang basah karena kehujanan, dia buru-buru masuk ke kamarnya. Tak lama kemudian, dia keluar dengan handuk dan mengelap wajah dan rambut Yogas. "Kok gak bawa payung sih" Ntar pilek lho!"
Yogas menatap Kana yang tampak khawatir, lalu menepis tangan cewek itu. Handuk yang dipegang Kana jatuh ke lantai. Kana menatap Yogas heran. Yogas balas menatapnya dingin.
"Jangan peduliin gue," kata yogas dengan rahang yang mengeras. "Jangan bersikap baik sama gue."
"Kenapa?" tanya Kana.
"Gue bilang jangan, ya jangan!!" sahut Yogas membuat Kana terlonjak. "Jangan tanya apa-apa lagi lagi gue, lo ngerti" Urusin aja kehidupan lo sendiri!"
Yogas berjalan melewati Kana yang bergeming. Dia berusaha membuka pintunya yang terkunci. Dicari-carinya kunci di balik bajunyay yang basah dengan tak sabar.
"Dasar jelek," kata Kana pelan, membuat Yogas menoleh padanya. Kana menatap Yogas dengan mata nyalang. "Kalo lagi begini, aku bilang kamu lagi jelek."
"Hah?" kata Yogas tak mengerti.
"Mood kamu. Selalu berubah-ubah dan gak bisa ditebak. Hari ini kamu marah-marah, besok kamu baik. Selalu aja bilang, 'Jangan peduliin gue', tapi nanti ngomong hal-hal baik sebagai penggantinya," kata Kana, air matanya sudah menggenang. "Gak bisakah kamu milih salah satu?"
Yogas menatap Kana nanar.
"Tadinya aku mau ngertiin sikap aneh kamu ini, tapi aku sama sekali gak ngerti!" sahut Kana.
"Gak ada yang nyuruh lo ngertiin gue," tandas Yogas. "Tolong jangan ngomong hal-hal yang ngerepotin."
Kana menatap Yogas tak percaya sementara Yogas menemukan kuncinya dan masuk ke kamar. Yogas melempar ranselnya, lalu membanting tubuhnya ke kasur. Pikirannya berkecamuk hebat. Tiba-tiba dia teringat pada perkataan Eno tadi siang. Kalo saja Yogas mau sedikit egois, dia tidak akan melepaskan Wulan.
Namun, yogas sudah melepaskan Wulan. Sekarang, Yogas tidak berminat pada percintaan macam apa pun lagi. Kalaupun berminat, dia tetap tidak berhak. Yogas tidak menyesali nasibnya itu. Yang Yogas sesalkan, kenapa dia tidak menjauhi Kana sejak awal. Yogas sudah meremehkannya.
Tiba-tiba Yogas mendengar suara pintu sebelah ditutup. Dia menghela napas, lalu membuka layar handycam-nya dan menonton video yang direkamnya di pantai kemarin. Yogas menatap layar kosong yang menampilkan Kana sedang berlari-lari gembira, lalu menutupnya. Masa bersenang-senang sudah berakhir.
*** Kana bangun dengan mata sembap. Semalam, dia menangis karena kata-kata kejam Yogas. Kana menatap cermin, bermaksud mengompres kedua matanya dengan timun dingin. Mungkin tantenya punya. Kana tidak bisa ke kampus dengan mata seperti ini.
Kana membuka pintu kamarnya, bersamaan dengan Yogas. Saat Kana menoleh, tatapannya langsung bertemu dengan Yogas. Kana terdiam selama beberapa detik, kemudian segera menutup wajahnya, sadar kalo dia mungkin sudah terlihat seperti panda.
Namun, Yogas sudah keburu melihat mata Kana, dan tidak tahan melihatnya lama-lama. Yogas menutup pintu kamar, menguncinya, lalu memakai sepatu tanpa banyak bicara. Kana mengintip dari sela-sela jarinya.
"Mau..." Kana terdiam, tak meneruskan kata-katanya. Dia sebenarnya mau bertanya Yogas mau ke mana, tetapi tak jadi melakukannya.
Yogas hanya menghela napas dan melewati Kana tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia tidak mau mengulangi kesalahan yang sama. Kemarin, cewek itu menyuruhnya memilih dan seharusnya dia tahu mana yang sudah dipilih Yogas. Yogas sebisa mungkin akan menjauhinya.
Kana menatap punggung Yogas yang perlaha menjauh dan akhirnya menghilang di balik tangga. Kana tahu Yogas tak akan pernah bersikap baik padanya lagi.
*** Saat ini, Yogas berada di depan Fakultas Ilmu Budaya UGM. Matanya sibuk mencari-cari orang yang sedang dicarinya. Walaupun begitu, pikirannya melayang ke mana-mana.
Yogas tak tahu harus berbicara apa pada Kana yang matanya sembap seperti itu. Yogas merasa dirinya tak pantas untuk ditangisi. Namun, mungkin kata-katanya semalam sudah keterlaluan. Mendadak, Eno muncul di depannya. Yogas ternganga melihatnya.
"Ngapain lo di sini?" tanyanya.
"Lo lupa ya, gue kuliah di sini!" sahut Eno, lalu terkekeh. "Yang ngapain tuh lo! Kalo mau nyari dia, dia gak ada di sini. Gue udah cek satu persatu nama mahasiswa di sini." "Oh," kata yogas, merasa bodoh karena lupa Eno berkuliah di sastra Inggris. "Sori, gue lupa." "Ngomong-ngomong, kenapa tamoang lo?" Eno tiba-tiba menyadari sesuatu. "Apa yang sakit?" "Ngomong apaan lo?" Yogas nyengir. "Gue baik-baik aja."
"Syukur deh. Tapi kenapa muka lo ruwet banget" Oh gue tahu. Pasti ada hubungannya sama cewek anak kost lo itu," tebak Eno, tapi yogas tak segera menjawab. "Bener, kan?" "Kayaknya dia suka ama gue, No," Yogas berdecak. "Nyusahin aja."
"Dari awal, lo harusnya jauhin dia," kata eno. "Kecuali, kalo lo juga punya perasaan sama ke dia."
"Gue... gue gak bisa punya perasaan sama siapa pun, No," kata Yogas setelah berpikir selama beberapa saat.
"Gas, lo tahu gak jatuh cinta itu apa?" tanya Eno, membuat Yogas mengernyit. "Artinya, lo jatuh ke dalam cinta tanpa sengaja. Jadi, walaupun lo gak mau jatuh, lo bakalan tetep jatuh." Yogas terdiam sejenak mendengar kata-kata Eno, kemudian tertawa miris.
"No, lo gak ngerti juga ya" Gue gak bisa jatuh cinta, atau apapun itu, sama siapa pun. Gue gak bisa mentingin perasaan gue sendiri. Jadi tolong berhenti ngomong kosong kayak yang tadi itu," kata Yogas. Dia mengeluarkan rokoj dan menyalakannya dengan tak sabar.
Eno menatap temannya itu kasihan. Karena walaupun ingin, yogas tak bisa lagi merasakan kebahagiaan walaupun cuma sedikit.
*** Lagi-lagi, Yogas pulang tanpa hasil, tetapi kali ini dia tak mempermasalahkannya. Langkahnya terhenti di tangga, teringat wajah sembap Kana tadi pagi. Sebenarnya Yogas tidak ingin pulang ke kost karena bisa bertemu dengan cewek itu, tetapi dia tak punya pilihan lain karena di luar hujan dan Eno harus bekerja. Yogas menggigit bibirnya ragu.
"Mau sampe kapan di situ" Ngehalangin jalan nih," kata seseorang di belakangnya membuat Yogas terkejut. Yogas menoleh dan ternyata Kana. Kepalanya terbungkus handuk dan wajahnya tampaknya sudah baik-baik saja.
"Oh," yogas menyadari kalau dia masih menghalangi jalan, lalu berjalan naik. Kana mengikutinya dari belakang. Yogas melirik cewek itu.
"Keran di sini lagi macet, gak tahu kenapa. Jadi, kalo mau mandi, nebeng aja di Bulik. Dia juga gak di rumah, lagi ke tempat nmertuanya," Kana menjelaskan tanpa duminta. Yogas hanya menggumam tak jelas untuk menanggapinya sambik menatap kana heran.
Kana balas menatap Yogas, kemudian menghela napas.
"Kenapa" Kamu berharap aku masih sedih?" tanya Kana menbuat Yogas segera mengalihkan pandangannya dan sibuk mencari kunci. Kana menghela napas lagi. "Aku orangnya sensitif. Jadi, lain kali jangan ngomong sekejam itu."
Yogas mengernyit sementara Kana melangkah masuk ke kamarnya sambil tersenyum jail. Yogas menggeleng-gelengkan kepalanya bingung, kemudian masuk ke kamarnya. Setelah melempar ranselnya ke kasur, Yogas membuka sweternya. Beberapa detik kemudian, terdengar suara lagu mengalun dari kamar Kana, disusul oleh suara cempreng yang memekakkan telinga. Yogas terkekeh pelan sambil duduk bersandar pada dinding yang membatasi kamarnya dan Kana.
Apa pun mantra yang dipakai cewek ini, jelas-jelas Yogas tidak bisa menghindarinya. Namun, sesakit apa pun, Yogas harus bisa menangkalnya. Mereka tidak punya masa deoan. Setidaknya, Yogas yang tidak punya.
*** Kana sedang menyapu gang depan kamarnya saat Yogas keluar kamar dengan wajah bangun tidur dan rambut acak-acakan. Kana menatap sosok itu lekat-lekat. Semalam, Kana sudah memutuskan untuk mencoba mengerti sikap bunglon Yogas. Mungkin, Yogas punya masalah sehingga membuatnya cepat naik darah. Kalau sudah begitu, Kana akan mendiamkannya untuk beberapa saat, lalu mengajaknya ngobrol lagi kalau dia sudah tenang. Selama ini, yang terjadi seperti itu, jadi Kana tak perlu khawatir berlebihan.
Yogas menoleh, menatap Kana dengan mata setengah tertutup.
"Lo liatin gue selama apa pun gue juga gak bakal naksir sama lo," kata Yogas kejam, berhasil membuat Kana menganga.
"Eh! Ntar kena karma tahu rasa!" Kana menyahut sebal, tapi Yogas malah menguap lebar sambil berjalan ke kamar mandi.
Begitu Yogas menghilang di balik pintu kamar mandi, Kana tersenyum. Memang, beginilah harusnya menghadapi seorang Yogas. Kana sedang bersiul senang sambil masuk ke kamar dengan melompat-lompat heboh saat tak sengaja menabrak sebuah rak buku. Dia kehilangan keseimbangan. Tangannya menggapai mencari pegangan, tetapi malah memegang rak buku gantung yang segera patah karena tak kuat menahan beban tubuhnya. Rak itu jatuh bergedebukan. Kepala Kana malah sempat tertimpa kamu Jonh Echols dan patahan rak. "Aduuhhh..." rintihnya sambil memijat kakinya yang terseleo.
Yogas ternyata udah ada sudah ada di depan kamar Kana. Bukannya menolong, dia malah menatao Kana datar.
"Kurang bego apa sih," komentarnya dengan wajah mengejek, lalu segera menghilang.
"Kurang ajaar!" sahut Kana sambil melemparinya buku, tetapi yogas sudah keburu masuk kamarnya sendiri.
Setelah berhasil menyingkirkan patahan rak dari kakinya, Kana merangkak dan memberekan buku-bukunya. Kana menatap sedih rak gantungnya yang sudah tergeletak di lantai. Tiba-tiba, sesuatu yang hangat mengalir dari dahi Kana. Kana menyeka dahinya sembarangan, lalu terpaku melihat cairan merah pekat di punggung tangannya. Kana bengong sebentar, kemudian berteriak histeris.
Di kamar sebelah, Yogas menghela napas tak habis pikir. Apa lagis sih yang dilakukan cewek itu" Yogas menutup telinganya dengan headphone, lalu menyetel volume iPod-nya keras-keras sambil merapikan kaset-kaset yang bertebaran di kasurnya.
Tahu-tahu, Yogas merasaka getaran. Tadinya, yogas berpikir kalau itu gempa bumi, tetapi getaran itu halus dan hanya sebentar dan sepertinya berasal dari kamar sebelah. Yogas melirik dinding sebelahnya, melepas headphone-nya, lalu beranjak untuk menegur cewek itu karena sudah terlalu berisik. Yogas membuka kamarnay dan bergerak ke kamar Kana.
"Oi, lo berisik amat..." Yogas tak jadi meneruskan kalimatnya begitu melihat Kana yan sudah terbaring di lantai di antara buku-buku dan patahan rak. Yogas segera menghampiri Kana dan menggoncang-goncang tubuh cewek itu.
"Woi! Woi! Lo kenapa?" sahut yogas panik. Dia membalik tubuh Kana, lalu terkejut saat melihat dahi Kana yang sudah berdarah. Yogas menepuk-nepuk pipi kanan. "Woi! Sadar!"
Setelah akhirnya menyadari kalau kana tidak akan bangun dalam waktu dekat, Yogas segera mencari kain untuk menutupi luka Kana. Dia menggendong Kana dan membawanya ke bawah. Ono yang sedang memperbaiki motor menatap yogas bingung.
"Gas" Ngopo?" sahutnya.
"Ketimpa rak buku," jawab Yogas cepat. "Rumah sakit yang deket di mana ya?"
"Sardjito! Wis, tak anter! Sik, aku ambil kunci motor!" sahut Ono sambil buru-buru masuk kamar dan keluar dengan memegang kunci motor. "Kamu nyusul wae pake motornya Kana! Sana cepat ambil kuncinya!" Yogas mengangguk, mendudukkan Kana di motor Ono, lalu segera naik untuk mengambil kunci motor Kana. Beberapa deti kemudian, dia sudah menyusul dan mengikuti Ono dari belakang sambil mengawasi kalau Kana terjatuh. Ono memegang Kana dengan satu tangan dan berjalan pelan agar dia tidak terjatuh.
Sesampainya di rumah sakit Dr. Sardjito, Kana segera masuk UGD dan menerima perawatan. Ono dan Yogas menunggu di luar. Yogas menatap kausnya yang terkena darah Kana.
"Anaknya memang agak ceroboh," kata ono membuat yogas menoleh. "Jadi, tolong sekalian dijaga ya."
Yogas tak menanggapi, juga tak bertanya maksud kata-kata Ono. Dia hanya terdiam sambil menatap pintu UGD, berharap tidak terjadi sesuatu yang serius pada Kana. Tak berapa lama, pintu UGD terbuka dan Kana berjingkat keluar dengan dahi diplester. Yogas dan Ono samasama bengong.
"Kata dokter, aku pingsan karena terlalu syok ngeliat darah," katanya malu-malu. "Sori ya, ngerepotin."
Kana tertawa penuh bersalah sementara Ono menghela napas lega. Yogas sendiri langsung berdiri.
"Kalo gitu, ayo pulang," katanya pendek sambil berjalan mendahului mereka. Kana menatap punggung Yogas sebal, lalu melirik kakinya yang juga diperban.
"Sakit, lho," gumam Kana. Ono yang mendengarnya tersenyum geli, lalu menepuk kepalanya.
"Ayo, aku bantu," katanya sambil mengalungkan lengan Kana ke lehernya dan membantunya berjalan.
*** Yogas menatap langit-langit kamarnya hampa. Kejadian tadi benar-benar membuatnya pusing. Kenapa dia harus sepanik itu pada cewek yang baru dikenalnya" Kenapa setiap Yogas mau menjauh ada saja yang terjadi"
Tahu-tahu terdengar suara berisik dari kamar sebelah. Yogas melirik dinding di sebelahnya sebal. Kali ini apa"
Yogas baru mau memejamkan matanya ketika suara-suara itu malah terdengar semakin keras dan mulain mengganggu. Setelah berdecak kesal, Yogas bangkit dan melangkah keluar kamar. Dia mendapati Kana sedang berjongkok di depan kamarnya dengan palu di tangan. Di depannya, ada rak buku yang patah, dan paku-paku yang berserakan.
Yogas mengernyit heran. Kana menoleh sebentar, kemudian kembalu mencoba untuk menyatukan bagian yang patah di raknya. Kana mengetukkan palu kuat-kuat dan seketika pangkuknya bengkok.
"Gak bisa besok aja ya" Berisik nih," kata Yogas sambil menggaruk tengkuk.
"Aku gak bisa tidur kalo ada yang belum selesai kayak gini. Lagian, kamarku jadi berantakan sama buku," ujar Kana sambil kembali mencoba memaku pakunya, tetapi lagi-lagi tidak berhasil.
Yogas menatap Kana yang sedang mencoba lagi. Karena tidak tahan, Yogas merebut palu dari tangan Kana kemudian berjongkok di sebelahnya. Kana menatap Yogas takjub. Yogas sendiri mencoba untuk tidak memperdulikannya. Dia mengambil paku, lalu mulai memakunya dengan mudah.
"Hm, ternyata baik juga ya," puji Kana membuat Yogas hampir memaku jarinya sendiri.
"Supaya cepet selesai. Atau gue yang gak bisa tidur," kelit Yogas. Kana mengangguk-angguk dengan senyum jail.
"Yang tadi siang, makasih ya," ujar Kana kemudian.
"Bukan apa-apa," balas Yogas sambil cepat-cepat mengambil paku, berharap rak itu cepat selesai. "Tapi pingsannya gak penting. Lo pikir lo enteng?"
Kana terkekeh pelan. "Aku emang punya fobia sama darah. Dua tahun yang lalu, aku liat gimana papa-mamaku berdarah-darah. Sejak itu, aku jadi takut liat darah," jelas Kana membuat Yogas terdiam sejenak. Dia melanjutkan memaku.
"Tadi, kamu khawatir kan sama aku?" lanjut Kana membuat palu Yogas terhenti di udara. "Kata Ma Ono muka kamu pucet banget waktu ngangkat aku. Seneng, deh."
Yogas tak berkomentar apa pun menghadapi cengiran Kana. Dia mengetuk-ngetuk paku cepatcepat. Yogas takut kalau sedikit lebih lama saja bersama cewek ini, dia akan mulai berharap untuk mendapatkan sedikit kebahagiaan.
"Ayo ngaku deh, Gas, waktu kamu liat aku tadi, kamu pasti panik berat, kan" Kamu pasti nyesel udah ngejek-ngejek aku sebelumnya," kata Kana lagi. "Makanya jangan suka ketawa di atas penderitaan orang lain..."
Mungkin sedikit waktu saja boleh. Yogas melirik Kana yang sedang mengamati perban di kakinya. Rambutnya yang tebal dan bergelombang menutupi pipinya, membuat Yogas ingin menyelipkannya ke telinganya. Mungkin, Yogas bisa menghabiskan waktu bersama gadis ini walau pun sebentar saja.
"Kakiku udah kayak kena penyakit gajah lho, Gas. Gede banget, biru-biru lagi. Tapi enaknya, jadi ada alasan untuk gak ke kampus deh..."
Semua beban Yogas terangkat saat bersama gadis ini, seakan Yogas baik-baik aja. Kalau gadis ini begitu sulit dijauhi, kenapa Yogas tidak membiarkannya saja" Kenapa harus bersusah payah menjauhinya"
"Gas?" tanya Kana membuat Yogas tersadar. Kana mengangguk-angguk, mata bulatnya mengerling jenaka. "Nah ya, kena karma, kan?"
Salah tingkah, Yogas buru-buru mengetuk paku yang dipegangnya, tetapi justru ibun jarinya yang terpukul. Yogas segera meringis kesakitan.
"Ya ampun Gas!" seru Kana panik. "Kamu gak apa-apa, kan?"
Yogas menggeleng cepat, tetapi ibu jarinya sudah mengeluarkan darah. Wajah Kana langsung berubah pucat.
"Aku cari tisu dulu!" sahut Kana lalu segera masuk ke kamar dengan langkah pincang. Tak berapa lama, dia keluar membawa tisu. Yogas segera menggunakannya untuk mengehntikan pendarahan. "Ng, aku cari plester ya!" ujar Kana lagi.
Kana segera masuk ke kamarnya lagi untuk mencari plester. Yogas menekan tisu itu sambil menahan perih di ibu jarinya. Darah dengan cepat merembes di tisu itu, dan saat itulah Yogas tersadar. Tubuh Yogas tiba-tiba membeku. Jari-jari tangannya terasa dingin. Matanya terpancang pada tisu yang sudah berwarna merah.
"Gas, ini plesternya. Sini, aku pasang..."
Yogas menepis tangan Kana yang akan menempel plester. Kana menatap bingung Yogas yang menbatu dan berkeringat dingin.
"Gas" Kenapa..."
Yogas bangkit mendadak, lalu berderap ke kamarnya tanpa sepatah kata pun. Dia masuk ke kamarnya, meninggalkan Kana yang masih bingung. Yogas mengunci pintu kamarnya, kemudian merosot ke lantau.
Memang tidak bisa. Sebentar saja tidak bisa. Sedetik pun tidak boleh. Yogas tidak ditakdirkan untuk mendapatkan kebahagiaan macam apa pun.
Yogas menatap tisu di tangannya nanar. Dengan tangan yang gemetar, dia mengambil korek apa dari saku, menyalakannya, lalu membakar tisu itu. Air mata Yogas tiba-tiba menetes, menyadari bahwa seharusnya dia tak pernah berharap
What if... "Pusing deh, punya tetangga kayak si Yogas," komentar Lian setelah mendengar cerita Kana. Saat ini Lian sedang berada di kost Kana, menengoknya karena tadi bolos kuliah.
Kana mengangguk setuju sambil membuka balutan perban di kakinya yang sudag tampak kotor. Dia menghela napas.
"Padahal aku pikir akhirnya dia udah agak baik," Kana mendesah. "Ternyata, tetep selabil yang kemaren-kemaren."
"Kira-kira, apa ya masalahnya?" tanya Lian tiba-tiba. "Kabur dari rumah" Ayahnya selingkuh" Atau, cweknya diambil orang?"
Kana mendelik, tidak setuju pada kemungkinan-kemungkinan yang dikatakan Lian. Lian sendri terkekeh.
"Apa pun masalahnya, kayaknya berat banget," desah Kana. Lian berhenti tertawa dan mengamatinya.
"Tapi, Kan, kalo suatu saat kamu tahu masalah dia, apa kamu masih mau nemenin dia?" tanya Lian tiba-tiba membuat Kana menatapnya. "Kalo ternyata masalahnya benar-benar berat dan kamu gak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya, kamu masih mau bareng dia?"
Kana terdiam sebentar, tetapi kemudian memukul Lian. "Kamu apa-apaan sih, Li" Jangan nakutnakutin gitu dong!" serunya membuat Lian tertawa.
"Kamu serius banget sih, bikin aku jadi pengen ngegodain!" seru Lian sambil bangkir untuk bermain game di komputer. "Eh, ada Zuma, kan?"
Tak berapa lama, Lian sudah asyuk bermain Zuma," sementara Kana memikirkan kata-katanya. Bagaimana kalau yang dikatakan sahabatnya itu benar" Bagaimana kalau masalah Yogas ternyata melebihi perkiraan Kana"
Kana ingin membantu Yogas semampunya, tetapi Yogas bahkan hampir tak pernah mengatakan apa pun tentang dirinya sendiri. Mungkin Yogas tak bisa mempercayai siapa pun. Namun, Kana yakin Yogas bisa mempercayainya.
Kana akan membuatnya percaya.
*** Yogas melangkahkan kakinya pulang ke kost. Dia melirik rumah ibu kost yang masih gelap. Sepertinya penghuninya masih pergi. Ono dan Agus juga tidak tampak di mana pun. Yogas melirik ke atas, dan kamar Kana juga tampak gelap. Yogas menghela napas lega. Dia tidak mau bertemu cewek itu setelah kejadian semalam.
Saat Yogas memutar kuncinya, dia berubah pikiran. Entah mengapa dia ingin mencari angin dulu. Dia bergerak ke tangga dan naik ke lantai tiga.
Yogas terpaku saat melihat Kana sedang bersandar pada pembatas pagar. Dia tidak menyangka cewek itu akan ada di sini, jadi dia segera beranjak pergi sebelum terlihat. Namun, tahu-tahu Kana menoleh dan menangkap basah Yogas yang baru mau turun.
"Gas!" panggil Kana ceria membuat Yogas tak sengaja menoleh. "Sini!"
Yogas menatapnya malas, berbalik, dan berniat untuk turun. Sebelum dia sempat melangkahkan kaki, Kana menarik tangannya dan membawanya ke pagar pembatas. Kana lalu menunjuk ke langit yang sedang bertaburan bintang.
Nyi Roro Sekar Mayang 1 Pendekar Rajawali Sakti 193 Dewa Sesat Pendekar Patung Emas 14
^