Pencarian

Nyi Roro Sekar Mayang 1

Pendekar Pulau Neraka 55 Nyi Roro Sekar Mayang Bagian 1


Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert & edit : Dewi KZ
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
1 Pagi nan cerah di sebuah lembah yang tidak begitu subur, terdengar teriakan-
teriakan membahana. Suara-suara itu seolah hendak meruntuhkan tebing-tebing yang
berdiri kokoh di sekitarnya. Tidak jauh dari tempat itu terlihat sebuah gubuk
kecil yang memiliki halaman cukup luas di depannya.
Permukaan tanah di tempat itu lebih rata dibanding dengan keadaan di sekitarnya.
Seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun dan wanita dua puluh
delapan tahunan, tengah melompat ke sana kemari sambil memainkan jurus-jurus
ilmu silat yang amat ganas. Di sekitarnya terlihat tulang-belulang manusia
berserakan dalam jumlah yang cukup banyak. Ternyata dari sinilah sumber suara-
suara teriakan tadi berasal.
Kedua orang itu sebenarnya sepasang suami istri dan sekaligus sebagai tokoh yang
amat ditakuti di dunia persilatan.
Yang lelaki bernama Ki Sanca Ireng. Sedangkan istrinya yang berambut panjang
terurai sebatas pinggang bernama Nyai Roro Sekar Mayang. Saat ini mereka tengah
berlatih suatu jurus silat yang amat langka dan puluhan tahun lalu pernah
menggemparkan dunia persilatan di tangan Ki
Panuluh Puspa. Tokoh tua yang terkenal dan kehebatannya tiada tara itu adalah
guru Sanca Ireng dan Nyai Roro Sekar Mayang.
"Haaat...!"
"Yeaaa...!"
Keduanya kembali melompat sambil membentak nyaring.
Beberapa buah tengkorak kepala manusia berpentalan ke atas tertendang kaki
mereka. Crab! Crab! "Hiiih!"
Kedua tangan mereka membentuk cakar dan melesak dalam batok kepala tengkorak,
lalu bergantian menghantam batok kepala tengkorak lainnya yang tersisa. Ketika
keduanya melesat kembali, satu persatu tengkorak kepala manusia itu berjatuhan.
Terlihat bekas jari-jari tangan mereka membentuk lubang di masing-masing kepala
tengkorak. "Hm, sial! Belum juga berhasil kutemukan cara agar pukulan Tengkorak Hitam-ku
menjadi lebih sempurna!" dengus Ki Sanca Ireng geram.
"Betul, Kakang! Aku pun semakin kesal saja. Pukulan Tengkorak Purih-ku belum
seperti apa yang kuinginkan," sahut Nyai Roro Sekar Mayang.
"Hhh... tapi kita harus sabar dan terus tekun berlatih...."
"Hm, sampai kapan" Sayang, guru telah meninggal sebelum rahasia kedua ilmu
pukulan itu kita kuasai...," ujar Nyai Roro Sekar Mayang.
Ki Sanca Ireng terdiam dan menatap tajam ke arah tengkorak-tengkorak kepala
manusia yang berserakan. Rata-rata dalam keadaan berlubang tertembus jari-jari
mereka. "Kita harus mencari korban lagi, Nyai...," katanya pelan.
"Benar. Hhh... tapi semakin jarang orang yang tersesat ke lembah ini. Mau tak
mau kita harus mencarinya di luaran sana,"
sahut istrinya.
"Hm, kalau demikian kita harus keluar dari lembah ini untuk mencari korban
baru...." "Mari, Kakang! Untuk apa buang waktu lagi?" sahut istrinya cepat seraya melompat
dari tempat itu.
Ki Sanca Ireng mengikuti dengan gerakan gesit sambil mengerahkan ilmu lari
cepatnya. Tampak kedua suami istri itu melesat bersamaan meninggalkan lembah
itu. Namun belum jauh mereka berlari, mendadak Ki Sanca Ireng berbisik halus
pada istrinya sambil menghentikan larinya.
"Nyai, berhenti sebentar! Tampaknya ada beberapa orang tersesat di daerah ini."
Nyai Roro Sekar Mayang segera berhenti dan menajamkan pendengaran. Kemudian
terlihat dia mengangguk pelan sambil memandang ke satu arah.
"Pucuk dicinta ulam tiba! Kalau benar, untuk apa kita bersusah payah mencari
korban baru di luaran sana...?"
Keduanya melompat cepat ke atas sebatang pohon yang terdekat Kemudian melompat
dari satu pohon ke pohon lainnya mendekati suara-suara yang mereka dengar.
Kelima orang itu berjalan beriringan sambil memperhatikan ke sekitar hutan itu
dengan tatapan curiga. Dari cara berpakaian dan senjatarsenjata yang disandang,
jelas mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Paling tidak kelimanya mengerti
ilmu silat. Salah seorang di antara mereka yang berusia sekitar empat puluh
tahun dan bertubuh agak kecil
memberi isyarat pada kawan-kawannya agar menghentikan langkah. Matanya menyapu
ke sekeliling dengan wajah menyiratkan perasaan curiga.
"Ada apa Kakang Suganda" Apakah kau mendengar sesuatu yang mencurigakan?" tanya
salah seorang kawannya yang memakai baju kuning.
"Hm, sepertinya aku merasakan keanehan di hutan ini..,"
gumam lelaki yang dipanggil Suganda.
"Keanehan bagaimana, Kakang...?" tanya satu-satunya wanita di antara mereka.
"Entahlah, Ni Lastri. Tempat ini terasa sunyi sekali. Sedikit pun tak terdengar
suara burung atau binatang lain. Sebaiknya kita bersikap waspada...!"
"Hm, buat apa takut! Kalaupun ada harimau atau beruang, bisa berbuat apa pada
kita!" dengus seorang lainnya yang berkepala botak dan bertubuh gempal.
"Jangan gegabah kau, Oleng! Kalau hanya harimau atau binatang buas lainnya kita
memang tidak perlu takut Tapi kalau lebih dari itu, kita harus waspada!" desis
kawannya yang bertubuh kurus dengan rambut penuh uban.
"Benar apa yang dikatakan, Ki Sirna. Kita harus berhati-hati terhadap apa pun,"
sahut Ki Suganda.
"Apa yang kau maksudkan, Kakang Suganda...?" tanya kawannya yang berusia sekitar
dua puluh lima tahun. Di antara kawanan ini tampaknya memang dia yang berusia
paling muda. "Hutan ini agaknya tidak ramah. Aku khawatir ada sesuatu yang membahayakan
keselamatan kita, Somali. Entah apa namanya, aku pun tak tahu. Namun yang jelas
kita harus tetap
waspada dan jangan lengah terhadap apa saja yang mencurigakan!" sahut Ki
Suganda. Baru saja dia berkata begitu, mendadak melesat dua sosok tubuh ke hadapan mereka
sambil mengeluarkan suara tawa nyaring yang mendirikan bulu roma.
"Hi hi hi...!"
Kelima orang itu terkesiap kaget Di hadapan mereka telah berdiri tegak dua sosok
lelaki dan wanita yang memiliki pancaran mata amat menakutkan. Keduanya seperti
memandang enteng terhadap mereka.
"Kisanak berdua, siapakah kalian" Dan apa maksudnya menghadang perjalanan kami?"
tanya Ki Suganda dengan nada datar.
"Hi hi hi...! Selamanya daerah di sekitar Lembah Ngampar Nyawa adalah kekuasaan
kami...," sahut yang wanita.
Mendengar nama tempat yang disebutkan, kelima orang itu tampak terkejut.
"Jadi..., jadi kalian Iblis Tengkorak Hitam Putih..."!" tanya Ki Suganda dengan
mata terbelalak.
Siapa pun orangnya pasti kenal siapa penghuni Lembah Ngampar Nyawa. Iblis
Tengkorak Hitam Putih yang kesohor di delapan penjuru mata angin sebagai tokoh
kejam berkepandaian tinggi. Tidak heran kalau wajah kelimanya langsung pucat
begitu mendengar dan mengetahui siapa kedua orang di hadapan mereka.
Namun, sebagai orang yang telah banyak makan asam garam di dunia persilatan, tak
mungkin mereka menunjukkan perasaan takut. Ki Suganda malah balik menatap
keduanya dan mendengus pelan.
"Hm, Iblis Tengkorak Hitam Putih selamanya bukanlah orang baik-baik. Kami tak
pernah berurusan dengan kalian. Karena itu tak ada alasan untuk bermusuhan
dengan kalian berdua...."
"Hua ha ha...! Ternyata kalian sungguh-sungguh tak mengenal kami. Baik ada
persoalan maupun tidak, kalian telah bertemu dengan kami. Dan selamanya tidak
akan pernah ada yang selamat di tangan Iblis Tengkorak Hitam Putih. Nah,
bersiaplah menjemput ajal!" sahut Ki Sanca Ireng.
Kelimanya segera membuka jurus dan bersiap menghadapi saat Ki Sanca Ireng
mendekati perlahan-lahan.
"Yeaaa...!"
"Hei"!"
Mendadak saja Nyai Roro Sekar Mayang lebih dulu menerkam mereka sambil
mengeluarkan bentakan nyaring. Ki Sanca Ireng menyusul beberapa saat kemudian.
"Uts!"
"Hiiih!"
Sring! Sambil mengelak dari serangan Iblis Tengkorak Hitam Putih, mereka langsung
mencabut senjata masing-masing dan balas menyerang. Namun sambil terkekeh
mengejek, kedua suami istri itu berkelit ke sana kemari dengan gerakan gesit
yang sulit dikejar lawan.
"Hi hi hi...! Kalian kira bisa berbuat apa pada kami, heh"!"
"Iblis betina, tutup mulutmu! Meski kalian berkepandaian tinggi, kami tak akan
takut dan menyerah begitu saja!" desis si Kepala Botak yang bernama Oleng dengan
nada geram. "He he he...! Siapa yang butuh ocehan kalian" Kami hanya butuh batok kepala
kalian yang masih segar!" sahut Ki Sanca Ireng sambil terkekeh.
"Dan batok kelima kepala kalian sudah cukup bagi kami.
Kalian boleh pergi dari sini setelah kami mendapatkannya!"
timpal Nyai Roro Sekar Mayang.
"Phuih! Langkahi dulu mayat kami baru kau boleh berbuat sesuka hatimu!" dengus
Ki Sirna geram.
"Nyai, aku bosan bermain-main dengan mereka. Sebaiknya kau tentukan saja
pilihanmu dan sisanya untukku!" ujar Ki Sanca Ireng dengan nada tinggi.
"Baiklah, Kakang. Bagianku si Botak ini dan yang bersenjata pedang itu. Kau
boleh mengambil tiga orang yang tersisa!"
"Hm, begitu lebih baik. Nah, ambillah batok kepala mereka secepatnya!"
"Keparat!" Ki Suganda memaki geram.
Keduanya tampak tak memandang sebelah mata pada mereka. Seolah-olah kelimanya
sebagai buruan yang mudah didapatkan begitu saja. Maka
Ki Suganda dan kawan-kawannya bertekad akan bertarung habis-habisan untuk
mempertahankan nyawa mereka masing-masing.
Namun Iblis Tengkorak Hitam Putih memang bukan tokoh sembarangan. Selama ini
nama Lembah Ngampar Nyawa terkenal keangkerannya semata-mata karena kehadiran
mereka di sana. Tak seorang pun bisa keluar dengan selamat setelah masuk ke
Lembah Ngampar Nyawa. Bahkan banyak di antaranya tokoh-tokoh dunia persilatan
yang cukup dikenal memiliki kepandaian tinggi.
Ki Sanca Ireng dan sang Istri agaknya akan membuktikan keperkasaan mereka kepada
kelima orang mangsanya itu.
Meski menghadapi tiga orang lawan, yaitu Ki Sirna, Ni Lastri, dan Somali, dia
sama sekali tidak merasa kesulitan. Serangan-serangan mereka selalu luput dari
sasaran. Gerakan Ki Sanca Ireng memang cepat bukan main dan sulit diikuti.
Dengan cepat dia menghantam dada Somali. Orang itu terkejut dan memiringkan
tubuh untuk menghindar. Namun tubuh Ki Sanca Ireng telah berputar dengan tangan
menyambar tengkuk Ki Sirna yang mencoba membokongnya dari belakang.
Prak! "Aaakh!"
Ki Sirna menjerit kesakitan. Tubuhnya tersungkur ke samping dengan tulang leher
patah. "Iblis keparat, mampuslah kau...!" teriak Ni Lastri geram seraya mengayunkan
pedang dengan gerakan-gerakan indah dan sulit diduga ke mana arah serangannya.
"He he he...! Ilmu pedangmu cukup hebat, tapi kau terlalu gegabah jika berharap
mampu mengalahkanku!" ejek Ki Sanca Ireng seraya menundukkan kepala menghindar
dari tebasan senjata Ni Lastri.
Namun pada saat yang bersamaan, tongkat Ki Somali melesat menyodok perutnya.
Hanya dengan mendoyongkan tubuhnya ke samping Ki Sanca Ireng mampu mengelakkan
serangan itu. Tangan kirinya dengan cepat berkelebat mencekal tongkat lawan dan
langsung membetotnya. Ki Somali terkejut merasakan sentakan kuat. Dia bermaksud
melepaskan genggaman pada tongkatnya ketika merasakan bahwa tenaganya tidak
mampu menahan tarikan lawan. Namun kaki kanan Ki Sanca Ireng telah lebih dulu
menghantam dadanya.
Bekh! "Aaa...!"
Kembali terdengar jerit kesakitan ketika tubuh Ki Somali terjungkal beberapa
langkah ke belakang sambil menyemburkan darah segar dari mulutnya.
*** "Iblis keparat! Kau harus mampus untuk menebus nyawa mereka! Hiyaaa...!" Ni
Lastri membentak nyaring karena marah melihat kedua kawannya tersungkur tidak
berdaya dalam beberapa gebrakan saja. Pedangnya berkelebat cepat menyambar-
nyambar. Namun dengan mudah Ki Sanca Ireng mengelakkan setiap serangannya. Lelaki
berpakaian hitam itu terkekeh-kekeh sambil melompat ke sana kemari. Tubuhnya
ringan sekali menghindari setiap serangan-serangan yang dilancarkan lawan.
"He he he...! Kuberi kau kesempatan untuk menyerang dan ternyata kau sia-siakan.
Nah, sekarang giliranmu...!" ujar Ki Sanca Ireng seraya melompat menerkam lawan.
Ni Lastri mengibaskan pedang memapaki tubuh lawan.
Namun tiba-tiba Ki Sanca Ireng berjumpalitan menghindar.
Dan.... Duk! "Aaakh...!"
Ni Lastri memekik kesakitan ketika tanpa diduga kaki Ki Sanca Ireng mendarat di
tengkuknya. Tubuh wanita itu terjungkal dan tidak mampu bangkit lagi. Ki Sanca
Ireng terkekeh-kekeh sambil bertolak pinggang.
Sementara itu Nyai Roro Sekar Mayang agak kesulitan dalam menjatuhkan lawan-
lawannya. Hal itu tidak mengherankan
sebab Ki Suganda memiliki kemampuan lebih tinggi dari kawan-kawannya. Namun
agaknya hal itu tidak berlangsung lama.
"Nyai, apakah kau hendak bermain-main lebih lama dengan mereka?" teriak Ki Sanca
Ireng mulai kesal melihat istrinya belum juga menjatuhkan lawan-lawannya.
"Kakang, kau tenang sajalah! Aku masih memberikan kesempatan pada mereka untuk
mengerahkan seluruh kemampuannya!" sahut Nyai Roro Sekar Mayang.
"Huh, sebaiknya tidak usah lama-lama!"
"Baiklah kalau memang kau tidak sabaran...."
"Phuih! Wanita Iblis, jangan kira bisa berbuat seenaknya terhadapku!" dengus Ki
Suganda semakin berang.
"Hi hi hi...! Bisa berbuat apa kau terhadapku" Ketiga kawanmu tengah sekarat,
dan kini giliran kalian!"
"Phuih! Cobalah kalau kau mau mampus!" sambut Ki Suganda menantang.
"Hi hi hi...! Sombong. Heaaa...!"
Tiba-tiba saja tubuh Nyai Roro Sekar Mayang berkelebat cepat dan menyambar kedua
lawannya. Ki Suganda sempat tersentak kaget Namun dengan cepat pedangnya
dikibaskan untuk menyambut serangan itu. Sementara tongkat di tangan Oleng
menyambar ke kepala. Dengan gesit sekali tubuh wanita itu berkelit dan tahu-tahu
ujung kaki kanannya menghantam dada Ki Suganda.
Wuuut! Dengan cepat pula Ki Suganda berkelit sambil merundukkan tubuh. Namun hal itu
ternyata disengaja oleh Nyai Roro Sekar Mayang untuk mengalihkan perhatian Oleng
agar lengah. Ternyata pancingannya mengena. Laki-laki berkepala botak itu
dengan bernafsu mengayunkan tongkat. Untuk
menghantamnya. Nyai Roro Sekar Mayang yang memang telah menyadari serangan itu,
melompat ke samping seraya melepaskan satu tendangan keras.
Degkh! "Aaakh...!"
Oleng memekik keras. Tubuhnya terjungkal ke belakang dengan tulang leher patah.
Dia berke-lojotan beberapa saat Sementara Ki Suganda sengaja tidak
menghiraukannya dan langsung menyerang wanita itu dengan membabatkan pedang.
Wuuuti "Uhhh...!"
Namun Nyai Roro Sekar Mayang menghindar dengan gesit.
Tubuhnya melayang tepat di atas kepala Ki Suganda. Lalu menghantam dengan keras.
Tuk! Ki Suganda terperanjat kaget dan buru-buru bergulingan.
Agaknya Nyai Roro Sekar Mayang telah memperhitungkan hal itu. Meski tendangannya
hanya mengenai batok kepala lawan, namun sempat memanfaatkannya untuk
berjumpalitan ke belakang.


Pendekar Pulau Neraka 55 Nyi Roro Sekar Mayang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begkh! "Aaakh...!"
Ki Suganda memekik keras. Dia sama sekali tidak menduga akan terkecoh oleh
serangan lawan. Meski batok kepalanya selamat dari tendangan lawan, namun kaki
si Wanita yang sebelah lagi menyambar dadanya dengan satu tendangan keras.
Tubuhnya terpental beberapa langkah sambil menyemburkan darah segar.
"Hi hi hi...! Apa kubilang" Kau tak akan mampu menghadapiku. Sengaja kalian
tidak kami binasakan sebab itu lebih baik. Mati dengan cara perlahan-lahan lebih
pantas bagi kalian...," kata Nyai Roro Sekar Mayang sambil memperdengarkan suara
tawanya yang nyaring.
"Wanita Iblis, bunuhlah kami! Ayo, bunuhlah! Kami tak takut mati...!" teriak Ki
Suganda garang. Namun dengan begitu otot-ototnya mengejang, hingga membuat luka
dalam yang dideritanya semakin parah. Belum lagi selesai kata-katanya, darah
segar menyembur kembali dari mulutnya. Lelaki setelah baya itu bergulingan
sambil mendekap dadanya yang terasa remuk.
"Hi hi hi...! Dasar tolol! Apa kau kira dengan begitu aku akan mengampuni,
heh"!" ejek Nyai Roro Sekar Mayang.
"Nyai, kenapa kau berlama-lama dengan mereka" Ayo, cepat bawa bagianmu dan kita
kembali ke pondok!" teriak Ki Sanca Ireng, nampak tak sabar terhadap istrinya.
Nyai Roro Sekar Mayang menoleh sekilas dan melihat sang Suami telah menyeret
ketiga korbannya. Tanpa banyak bicara wanita itu menyambar kedua korbannya.
Dengan ringan sekali dia mengangkat mereka, lalu melesat cepat meninggalkan
tempat itu menyusul Ki Sanca Ireng yang telah lebih dulu melesat
meninggalkannya.
*** 2 Pemuda berwajah tampan berpakaian terbuat dari kulit harimau itu tertegun
sesaat. Pandangannya terpaku pada tengkorak-tengkorak kepala manusia yang
berserakan. Monyet
kecil berbulu hitam yang bertengger di punggungnya menjerit-jerit kecil sambil
menutup wajah dengan jari tangannya.
"Tenanglah, Tiren dan jangan ribut begitu! Kau hanya akan mengundang perhatian
orang banyak saja...!" ujar pemuda berambut panjang itu kepada monyet
kesayangannya. "Nguk! Nguk...!"
Monyet kecil itu mengangguk-angguk dan terus melompat ke pundak si Pemuda.
Pemuda itu membiarkannya saja dan mulai melangkah perlahan-lahan mengikuti
jejak-jejak yang tertinggal di tanah. Namun pada satu tempat yang dipenuhi
ilalang, jejak-jejak kaki itu hilang. Pemuda tampan berpakaian kulit harimau
yang tak lain Bayu Hanggara menghentikan langkahnya.
Matanya mengawasi ke sekitar tempat itu. Namun tetap tak ditemukan adanya benda-
benda yang memberi petunjuk.
"Hm, agaknya jejak ini menghilang begitu saja. Pastilah mereka melompat ke salah
satu cabang pohon. Siapa mereka dan apa yang dilakukannya terhadap kepala-kepala
tengkorak manusia itu?" gumam Bayu dengan wajah berkerut bingung.
Baru saja Bayu hendak berbalik, mendadak terdengar bentakan nyaring.
"Iblis Tengkorak Hitam Putih, bagus kau berada di sini sehingga tak kesulitan
kami mencarimu!"
Bayu cepat berpaling dan melihat dua orang berdiri tegak di depannya pada jarak
lebih kurang dua puluh langkah. Seorang di antara mereka yang bertubuh tegap,
menggenggam senjata sebilah parang besar. Sementara yang satunya menyelipkan
pedang di pinggang. Wajah mereka jelas menunjukkan tidak bersahabat. Namun
mendengar mereka memanggil dengan nama yang asing di telinganya, tentu saja
Pendekar Pulau Neraka dapat menduga bahwa kedua orang itu salah sangka.
"Em.... Sebenarnya siapa kalian berdua..." Lalu siapa yang kalian maksudkan
dengan Iblis Tengkorak Hitam Putih...?"
tanya Bayu berusaha untuk bersikap ramah.
"Phuih! Dasar iblis keparat! Kau kira bisa mungkir dari kami, heh"! Siapa pun
tahu bahwa kemunculanmu selalu ditandai dengan banyak tengkorak-tengkorak kepala
manusia yang menjadi korbanmu. Hm, hari ini ternyata kau tengah sendirian.
Lebih baik suruh keluar istrimu agar kalian dapat kami bereskan dengan cepat!"
desis yang bersenjata parang dengan wajah merah menahan geram.
"Kisanak, tenanglah dulu! Ini mungkin salah paham. Kalau kalian menyangka aku
adalah Iblis Tengkorak Hitam Putih, itu salah besar. Aku sama sekali tidak kenal
dengan nama yang kalian sebutkan itu. Dan selama ini aku pun belum pernah
beristri. Aku tengah mengamati-amati, apa yang telah terjadi dengan tengkorak-
tengkorak kepala manusia ini...," sahut Bayu masih tetap bersikap tenang.
"Subali, kenapa kau malah bersitegang leher dengannya"
Apakah kedatangan kita ke sini hanya untuk mendengarkannya bersilat lidah" Huh,
lebih baik kuparahkan batang lehernya sekarang juga!" sahut yang mempunyai
senjata pedang seraya mencabut senjatanya dan melangkah mendekati Pendekar Pulau
Neraka. "Hei, siapa bilang begitu, Somad" Sejak tadi sebenarnya tanganku sudah gatal
ingin memotes lehernya. Biar dia tahu!"
timpal kawannya itu.
"Iblis Tengkorak Hitam Putih, bersiaplah menerima kematianmu!"
Sring! "Yeaaa...!"
Begitu mencabut senjata dengan cepat, keduanya langsung melompat menyerang
Pendekar Pulau Neraka. Bayu tersenyum sinis. Dia sudah kehilangan akal untuk
meyakinkan bahwa dirinya bukarilah orang yang mereka cari. Dan ketika melihat
keduanya menyerang dengan ganas, pendekar muda itu tidak bisa berdiam diri
begitu saja. Dia melompat menghindar.
Tubuhnya melesat ke atas lalu bersalto ke belakang tubuh lawan.
"Kaaakh...!" Tiren yang melompat dari bahunya menjerit keras karena nyaris
terkena babatan senjata lawan yang luput dai sasaran.
"Kurang ajar! Hei, Iblis Tengkorak apakah ke-bisaanmu cuma menghindar"! Ayo,
keluarkan segala kesaktianmu dan hadapi kami secara jantan!" dengus Subali
garang. "Hhh..., manusia keras kepala! Tidak usah banyak bicara.
Cepat, ke sinilah kalian agar aku bisa membelah kepala kalian yang keras kepala
itu!" sahut Bayu geram.
"Keparat! Terimalah ini! Yeaaa...!"
Kedua orang itu mendengus geram dan kembali melompat melancarkan serangan. Kali
ini Bayu sengaja tidak mau melompat ke belakang, melainkan menghindar dari
setiap tebasan senjata kedua lawan. Tubuhnya bergerak lincah, meliuk, bergeser,
dan melompat. "Hiyaaa...!"
"Uhhh...!"
Pedang di tangan Somad menyambar dengan gerakan menyilang yang cepat. Dengan
cepat pula Pendekar Pulau Neraka mundur selangkah, lalu sebelah kakinya
terangkat tinggi menyambar dagu Subali.
Mendapat serangan mendadak begitu, Subali terkejut dan melompat ke belakang
untuk menghindar. Namun Pendekar Pulau Neraka telah bergerak menyusul. Dengan
untung-untungan Subali mengibaskan senjata memapaki serangan lawan.
Wuuut! Bekh! "Aaa...!"
Subali menjerit keras ketika tahu-tahu dadanya terhantam serangan lawan, setelah
babatan parangnya tak mengenai sasaran. Seketika tubuhnya terjungkal beberapa
langkah ke belakang. Dadanya dirasakan nyeri bukan main.
Kalau saja saat itu Pendekar Pulau Neraka mengerahkan seluruh tenaga dalam yang
dimiliki, bukan tak mungkin Subali akan muntah darah seketika serta menderita
luka dalam yang parah.
"Setan! Mampus kau...!" bentak Somad seraya mengibaskan pedang ke kepala dari
belakang. Pendekar Pulau Neraka berkelit ke samping, namun lawan dengan cepat melancarkan
serangan balasan dengan tendangan keras saat senjatanya luput dari sasaran.
Tubuh pemuda itu melompat agak tinggi, lalu berjumpalitan seraya menghantamkan
kepalan tangan kanannya ke wajah lawan.
Bet! Duk! "Aaakh...!"
Dengan sigap Somad mengayunkan pedang memapas
pergelangan tangan lawan. Namun saat itu pula Pendekar Pulau Neraka menarik
pulang pukulannya. Tubuhnya sedikit
merunduk ketika dia berbalik dan menghantam perut lawan dengan satu tendangan
yang cukup keras. Somad memekik kesakitan. Tubuhnya terjerembab ke samping
SubaB. "Pendekar Pulau Neraka, kurasa cukuplah pelajaran yang kau berikan pada mereka!"
teriak seseorang yang tiba-tiba muncul di tempat itu.
Bayu berbalik dan melihat seorang laki-laki berusia lanjut telah berdiri di
depannya berjarak sekitar sepuluh langkah.
"Hhh... siapa sebenarnya dirimu, Ki" Apakah kau kawan kedua orang ini?" tanya
Bayu dengan nada ramah.
"Hm, namaku Pending Layung. Mereka berdua adalah muridku. Maafkanlah atas
kelancangan yang mereka lakukan.
Keduanya memang masih buta dan belum berpengalaman, sehingga maklum kalau mereka
tidak mengenalmu...," sahut orang tua itu sambil tersenyum ramah.
"Tidak mengapa, Ki Pending. Hanya saja mereka terlalu bernafsu hendak
membunuhku. Maka maafkan juga jika aku terlalu kasar terhadap mereka."
"Somad, dan kau Subali! Lekas, minta maaf pada Pendekar Pulau Neraka. Kalian
memang tolol dan tidak berotak. Apakah kalian kira masih bisa bernapas jika dia
bertindak kejam" Masih untung dia berbaik hati saat ini!" teriak Pending Layung
kepada dua orang muridnya.
Somad dan Subali sesaat saling pandang dengan wajah kecut. Mereka sama sekali
tidak menyangka kalau pemuda di hadapannya ternyata pendekar besar yang sering
diceritakan gurunya. Dengan wajah tertunduk malu, mereka melangkah mendekati
Pendekar Pulau Neraka menjura hormat
'Tuan Pendekar, maafkan kami yang bodoh dan buta ini...!
Sungguh kami tidak tahu kalau Tuan...."
"Tidak mengapa. Hanya lain kali kalian mesti berhari-hari dan tidak langsung
menyerang sebelum memeriksa lebih teliti...," sahut Bayu bernada menggurui.
"Murid-muridku belakangan ini memang begitu gemas terhadap si Iblis Tengkorak
Hitam Putih, terutama karena tindakannya terhadap muridku yang lain...," kata Ki
Pending Layung menimpali.
"Ki Pending, sejak tadi aku mendengar nama IbBs Tengkorak Hitam Putih selalu
disebut-sebut. Siapa sebenarnya orang itu dan apa yang dilakukannya sehingga
kalian kelihatan begitu mendendam...?" tanya Bayu heran.
"Mereka adalah sepasang suami istri yang memiliki ilmu keji.
Guna melatih dan memperdalam ilmu, mereka menculik orang-orang dijadikan korban
bagi perkembangan ilmu mereka.
Batok-batok kepala yang berserakan itu adalah hasil kerja mereka...," tutur Ki
Pending Layung.
Bayu mengangguk sambil memandangi tengkorak-tengkorak kepala manusia yang
berserakan di sekitar tempat itu. Dia melangkah menghampiri kemudian memungut
satu kepala tengkorak dan mengamatinya.
"Hm, ilmu yang mereka pelajari memang dahsyat. Dan untuk itu kurasa mereka akan
terus mencari korban lain guna menyempurnakan ilmunya...," gumam Bayu pelan.
"Itulah yang kukhawatirkan. Telah banyak korban akibat ulah mereka, dan ini
tidak boleh dibiarkan terus. Harus ada yang berani menghentikan kebuasan mereka.
Sebab, akan lebih banyak korban lain yang berjatuhan kalau kita mendiamkannya
saja," ujar Ki Pending Layung menyiratkan kecemasan hatinya.
"Ya, aku sependapat denganmu, Ki Pending. Lalu di manakah kita bisa menemui
kedua orang itu?"
"Itulah yang saat ini amat membingungkan. Tidak ada yang mengetahui di mana
mereka berada. Banyak yang pernah bertemu dengan Iblis Tengkorak Hitam Putih, tapi rata-rata
tak seorang pun yang selamat Semua binasa di tangan keduanya," sahut Ki Pending
Layung. "Hm, sulit juga. Tapi persoalan ini harus dibereskan dan mereka mesti
dihentikan!"
"Biasanya kedua orang itu meninggalkan jejak dengan tengkorak-tengkorak kepala
manusia seper^ ti ini. Tapi kalau keduanya berada di sekitar tempat ini, sudah
barang tentu mereka telah muncul sejak tadi. Kini mereka sama sekali tidak
terlihat batang hidungnya, jadi jelas mereka telah meninggalkan tempat ini
beberapa saat lamanya sebelum kita tiba...," kata Ki Pending Layung seraya
mengangguk mendengar kata-kata Pendekar Pulau Neraka. Kemudian lelaki tua itu
kembali menjelaskan kebiasaan v.edua tokoh yang tengah mereka bicarakan.
Mereka kembali terdiam beberapa saat lamanya sampai kemudian Bayu menghampiri
orang tua itu. "Ki Pending, kurasa aku tak bisa berlama-lama di sini. Kami akan melanjutkan
perjalanan," katanya seraya menggendong Tiren yang melompat ke pundaknya.
"Ah, sebenarnya aku ingin sekali mengundangmu ke tempatku, Nak Bayu...."
"Ah, terima kasih. Aku senang sekali, tapi rasanya masih banyak yang harus
kukerjakan. Mungkin lain kali aku akan mampir ke tempatmu," sahut Bayu menolak
secara halus. "Pintu rumahku selalu terbuka untukmu, Nak Bayu. Kapan saja kalau kau bersedia
datang." "Terima kasih....."
"Eh, maaf. Mengenai urusan si Iblis Tengkorak Hitam Putih apakah kau telah
mendapat undangan dari Ki Sapu Jagad?"
"Undangan apakah gerangan, Ki Pending...?"
"Beliau mengundang tokoh-tokoh persilatan agar hadir pada purnama besok di
tempatnya. Kalau kau belum mendapat undangan itu, maka pemberitahuan ini
anggaplah sebagai undangan terhadapmu!"
"Purnama besok?" Bayu mengernyitkan dahi sesaat, kemudian melanjutkan kata-
katanya, "Itu berarti dua hari dari mulai sekarang?"
"Benar. Beliau bermaksud menggalang kekuatan untuk menghadapi si Iblis Tengkorak
Hitam Putih. Datanglah, Nak Bayu! Sebab aku pun akan berada di sana pula."
"Terima kasih, Ki Pending. Mudah-mudahan kalau tak ada halangan aku akan ke
sana. Nah, aku permisi dulu, Ki Pending!"
sahut Bayu seraya merangkapkan kedua telapak tangan untuk memberi hormat pada
orang tua itu. Ki Pending Layung mengangguk pelan dan menatap beberapa saat lamanya sampai
pemuda itu menghilang dari pandangan mata.
"Hm, sungguh kami tiada mengira kalau Pendekar Pulau Neraka masih sedemikian
muda, Guru...," gumam Subali seraya berdecak kagum.
"Ya, dia memang muda dalam usia, namun kepandaiannya sulit diukur. Aku sendiri
belum apa-apa jika dibandingkan dengannya. Sudah banyak tokoh aliran hitam yang
berkepandaian tinggi, tewas di tangannya," sahut Ki Pending Layung pelan.
"Apakah jika Iblis Tengkorak Hitam Putih sempat bertarung dengannya, dia mampu
mengatasinya?" tanya Somad.
Ki Pending Layung menarik napas panjang, "Mudah-mudahan saja dia mampu mengatasi
kedua iblis itu," katanya seraya mengajak kedua muridnya meninggalkan lembah
itu. *** Di sebuah lembah yang gersang dan berbatu-batu tampak dua orang lelaki terikat
pada tonggak kayu. Wajah mereka yang telah memucat, dibasahi keringat dingin
karena ketakutan. Di depan mereka sepasang lelaki dan wanita berwajah bengis
tengah menatap dengan mata menyiratkan hawa dingin membunuh.
"Kau sudah siap, Nyai...?" tanya lelaki itu. "Hm...," wanita itu hanya bergumam
sambil mengangguk pelan.
"Pusatkan pikiranmu dan yakinkan dirimu bahwa kali ini akan mampu mencapai hasil
yang kita inginkan...," kata lelaki itu lagi yang ternyata Ki Sanca Ireng.
Wanita itu yang tidak lain Nyai Roro Sekar Mayang kembali mengangguk dan
mendengus seraya menatap calon
mangsanya tanpa berkedip.
"Iblis Tengkorak Keparat! Lebih baik bunuh saja kami daripada kau siksa begini!"
jerit salah seorang dari laki-laki yang tengah terikat di tonggak. Wajahnya
tampak geram dan ketegangan membayang jelas dari wajahnya.
"Iblis laknat! Ayo, cepat bunuh kami...! Chuih! Apa kau kira aku takut mati"!"
sambung kawannya menimpali dengan mata melotot garang.
"Tikus-tikus dungu! Jangan kira kami akan mendiamkan kalian begitu saja! Dasar
tolol! Kalian akan menerima apa yang
kalian inginkan itu!" bentak Nyai Roro Sekar Mayang galak.
"Huh! Yeaaah...!"
Ki Sanca Ireng agaknya tidak mau banyak mulut lagi. Dia langsung membentak
nyaring seraya menghantamkan satu pukulan jarak jauh pada calon korbannya.
Deb!

Pendekar Pulau Neraka 55 Nyi Roro Sekar Mayang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Prasss! "Aaakh...!"
Selarik cahaya kehitaman menderu dahsyat ke arah salah seorang lelaki yang
terikat di tonggak kayu. Terdengar jeritan tertahan. Tubuh orang itu hancur
berantakan, dan sebagian kulit dan dagingnya meleleh seperti terkena larutan
penghancur daging.
"Sial!" desis Ki Sanca Ireng kesal. Melihat air mukanya yang tidak
menggembirakan jelas dia belum mendapatkan hasil yang memuaskan dari pukulannya
tadi. Sementara itu calon korban yang satu lagi, tampak gemetar ketakutan Wajahnya
yang pucat telah dibasahi keringat dingin.
Lidahnya semakin kelu untuk berbicara. Sepasang matanya membelalak ngeri seakan
tak tahan menyaksikan penderitaan kawannya. Tubuh lelaki malang itu tidak hanya
hancur berserakan dengan kulit daging meleleh berwarna kehitaman.
Namun perlahan potongan-potongan daging itu meleleh terus sampai habis tinggal
tulang-belulang yang kehitaman.
"Sekarang giliranmu, Tikus Dungu!" desis Nyai Roro Sekar Mayang bersiap
menghantam calon korbannya.
"Eh, oh...!"
"Yeaaa...!"
Deb! Orang itu mengeluh tertahan. Namun pukulan Nyai Roro Sekar Mayang telah melesat
ke sasaran. Selarik cahaya putih mengandung hawa panas menghantam tubuhnya yang
terikat di tonggak.
Prasss! "Aaakh...!"
Seperti apa yang terjadi pada kawannya, tubuh orang itu hancur berantakan
menjadi potongan-potongan daging kecil.
Kemudian perlahan-lahan meleleh hingga tinggal tulang-belulangnya yang berwarna
pucat. "Hm, pukulanku pun agaknya masih belum sempurna, Kakang...!" keluh Nyai Roro
Sekar Mayang. "Setan! Kita harus banyak berlatih lagi kalau begini!" geram Ki Sanca Ireng.
"Kakang, lebih baik kita keluar lagi mencari mangsa lain,"
kata Ki Sanca Ireng.
"Hm, ya. Mari, kita pergi sekarang juga!" ajak Ki Sanca Ireng seraya melompat
dan .berlari cepat meninggalkan tempat itu diikuti Nyai Roro Sekar Mayang.
Keduanya melesat berdampingan. Melihat cara mereka berlari, nyata sekali bahwa
keduanya memiliki ilmu lari cepat yang bukan main hebatnya. Laksana sapuan angin
kencang, membuat ranting serta dedaunan yang mereka lalui bergoyang-goyang
keras. Bahkan hewan-hewan hutan berlarian ketakutan karena tersentak kaget
Dalam waktu singkat mereka tiba di mulut sebuah perkampungan yang cukup ramai.
Keduanya berjalan dengan tenang seraya memandang ke sekeliling tempat yang
dilalui. "Hm, cukup ramai juga desa ini. Kita bisa mendapat korban yang cukup banyak...,"
gumam Ki Sanca Ireng dengan wajah berseri.
"Hei"! Nyai Roro Sekar Mayang membentak nyaring ketika berpapasan dengan dua
orang pemuda. Kedua pemuda itu kaget dan segera menoleh. Namun saat itu juga tubuh Nyai Roro
Sekar Mayang telah mencelat dan menotok keduanya. Cepat sekali dia menjinjing
kedua pemuda yang lemas tidak berdaya karena aliran darahnya terbelenggu.
"Hi hi hi...! Aku telah mendapat bagianku. Cepatlah kau mencari bagianmu,
Kakang!" kata wanita itu seraya tertawa kegirangan.
"Hm... ini dia!" seru Ki Sanca Ireng ketika kebingungan mencari orang. Saat itu
tampak dua ekor kuda berlari kencang membawa sepasang muda-mudi. Dengan cepat
tubuh Ki Sanca Ireng melompat tinggi ketika kedua kuda melewatinya. Dan bagai
seekor rajawali menerkam mangsa, dia menukik tajam menyambar kedua penunggang
kuda. "Kakang Braja, awaaas...!"
"Hup! Yeaaa...!"
Kedua muda-mudi itu dengan tangkas melompat dari punggung kuda dan jatuh
bergulingan. Namun dengan cepat mereka langsung bangkit berdiri. Secepat itu
pula keduanya mencabut senjata masing-masing berupa pedang dengan gagang terbuat
dari perak dan berukir naga mengamuk.
Demikian pula dengan ukiran yang ada pada wararrgkanya.
Sorot mata keduanya memandang tajam ke arah Ki Sanca Ireng yang tersenyum sinis.
"Kisanak, siapa kau"! Tidak ada angin tidak ada hujan, kau menyerang kami dengan
ganas"!" bentak pemuda yang dipanggil Kakang Braja.
"Hm, melihat dari pedang itu pastilah kalian dari Perguruan Pedang Naga Perak.
Kabarnya murid-murid di perguruan itu memiliki kepandaian tinggi. Tidak
mengherankan, sebab ketua kalian Ki Anggora amat terkenal dan dikagumi banyak
orang. Hm, tapi aku ingin membuktikan sampai di mana kebenaran kabar itu...," sahut Ki
Sanca Ireng tersenyum dingin dan sangat memandang enteng sekali terhadap kedua
muda-mudi itu. "Hei, orang tua jelek bermuka hitam! Kalau telah mengetahui siapa kami, kenapa
kau tidak cepat lari dari sini"! Enyahlah, sebelum kami bertindak keras
terhadapmu!" kali ini gadis jelita berbaju hijau dan merah itu yang membentak.
Semula Nyai Roro Sekar Mayang agak kesal melihat sikap suaminya. Namun mendengar
tingkah gadis itu, hatinya marah bukan main.
"Hei, Gadis Tolol! Kau kira gurumu itu tokoh hebat tiada tara" Chuih! Dasar
bocah ingusan. Lebih baik buka matamu lebar-lebar dan korek kupingmu agar kau
tidak salah mendengar. Saat ini kalian tengah berhadapan dengan Iblis Tengkorak
Hitam Putih!" dengus Nyai Roro Sekar Mayang sambil berkacak pinggang, setelah
melemparkan kedua pemuda yang dijinjingnya.
Mendengar wanita itu menyebutkan jati dirinya, wajah kedua muda-mudi tampak
pucat. Mereka memandang Iblis Tengkorak Hitam Putih dengan perasaan takut Tanpa
sadar keduanya saling merapat untuk menjaga dan sekaligus berwaspada. Siapa yang
tidak mengenal nama itu" Di seantero rimba persilatan nama itu kini menjadi
momok yang amat menakutkan.
Namun begitu si Pemuda berusaha menahan rasa takutnya dengan menarik napas
dalam-dalam. Matanya menatap wanita berkulit pucat dan berwajah dingin itu.
"Hm, jadi kalian yang berjuluk Iblis Tengkorak Hitam Putih!
Sungguh beruntung hari ini kalian bisa bertemu dengan kami...!"
"Bocah ingusan, apa maksudmu"!" kali ini Ki Sanca Ireng yang membentak.
Pemuda tampan bernama Braja itu tersentak kaget. Nyaris jantungnya berhenti
berdetak dan gendang telinganya pecah mendengar bentakan keras menggelegar itu.
Dia kembali menarik napas panjang, dan menenangkan hati.
"Huh, kalian memang hebat dan memiliki kepandaian amat tinggi. Tapi jangan kira
bisa berbuat seenaknya. Para tokoh persilatan golongan putih kini tengah
berkumpul dan siap menghancurkan kalian berdua. Datanglah ke pinggiran Hutan
Alas Layang, mereka tengah menunggu kalian berdua di sana.
Sebagai seorang yang amat disegani dan ditakuti, tentu kalian tidak akan lari
dari tantangan itu. Kecuali kalau kalian berdua memang pengecut!"
"Keparat! Kau kira kami takut, heh"! Kapan mereka menantang kami"!" desis Ki
Sanca Ireng garang.
"Hari ini juga, tepatnya sebelum matahari tenggelam!" sahut Braja, mantap.
*** 3 Kedua muda-mudi itu menarik napas lega ketika melihat Iblis Tengkorak Hitam
Putih meninggalkan mereka begitu saja.
Bahkan Nyai Roro Sekar Mayang sama sekali tidak mempedulikan kedua pemuda yang
akan mereka jadikan korban.
"Kakang, akal apa lagi yang kau gunakan" Kita tak akan bisa selamat kalau
ternyata mereka tak menemukan siapa pun di tempat itu," kata gadis itu dengan
nada khawatir. "Tidak usah takut Bukankah tokoh-tokoh persilatan aliran lurus saat ini tengah
berkumpul untuk menantangnya?"
"Tapi Kakang mendahului mereka"!" "Hm, itu bukan masalah. Yang penting kita
harus buru-buru menuju tempat kediaman Ki Sapu Jagad untuk melaporkan hal ini."
"Sebentar lagi sore, kedua Iblis Tengkorak Hitam Putih akan tiba di sana. Kita
harus bergegas, Kakang!" ujar gadis itu seraya mencari-cari kuda tunggangannya
yang tadi sempat kabur.
Masih untung kedua hewan itu tidak berada jauh dari mereka, sehingga dengan
mudah dapat ditemui dan langsung memacu kencang meninggalkan tempat itu.
Tempat kediaman Ki Sapu Jagad memang tidak begitu jauh dari desa yang tadi
mereka lalui. Dan kebetulan pula saat ini mereka sesungguhnya tengah melakukan
perjalanan menuju ke tempatnya. Tidak lebih dari sepeminum teh kudanya sampai ke
tempat tujuan. Sebuah rumah yang besar berpagar kayu jati yang berjajar rapi. Di halaman depan
banyak kuda tertambat. Pintu
gerbangnya tertutup dan di dalam dijaga dua orang laki-laki bersenjata lengkap.
Kedua muda-mudi itu langsung turun dari punggung kudanya.
"Selamat sore! Kami murid Ki Anggora, ingin menemui beliau!" kata pemuda itu.
Pintu gerbang segera terbuka. Kedua penjaga gerbang mempersilakan keduanya
masuk. Apa yang diduga mereka memang-fidak salah. Di ruang tengah bangunan utama tampak
tokoh-tokoh persilatan tengah berkumpul. Tidak kurang dari dua puluh orang hadir
dalam pertemuan itu.
Seorang laki-laki tua berusia sekitar lima puluh tahun menyambut mereka. Orang
tua bertubuh gagah dan berambut yang sebagian telah memutih itu berbicara
sejenak kepada muda-mudi yang baru datang. Setelah itu tampak dia memandang
kepada para tokoh persilatan yang berada di ruangan itu. "Saudara-saudara semua,
aku baru saja menerima berita menggembirakan dari dua orang muridku. Mereka baru
saja bertemu dengan Iblis Tengkorak Hitam Putih...!"
"Hm, lalu bagaimana...?" tanya seorang lelaki tua berambut putih panjang dan
digelung ke atas sebagian.
"Kedua muridku telah menjebaknya dengan mengatakan bahwa kita menunggu Iblis
Tengkorak Hitam Putih di pinggiran Hutan Alas Layang, Ki Sapu Jagad."
"Hm, Hutan Alas Layang tidak begitu jauh dari sini...,"
gumam Ki Sapu Jagad.
"Kita harus berangkat sekarang, Ki. Sebab kedua muridku mengatakan bahwa
perjanjian itu sebentar lagi saat matahari akan tenggelam," sahut orang tua yang
tidak lain Ki Anggora.
"Baiklah. Kalau demikian sekarang juga kita berangkat ke sana!" seru Ki Saput
Jagad yang langsung disusul pembubaran pertemuan itu. Diajaknya para pendekar
untuk bergegas menuju Hutan Alas Layang.
Apa yang dikatakan kedua murid Ki Anggora ternyata benar.
Ketika rombongan Ki Sapu Jagad sampai tujuan, terlihat Iblis Tengkorak Hitam
Putih tengah berdiri menanti mereka. Banyak di antara para tokoh persilatan yang
baru kali ini melihat kedua tokoh itu. Paling tidak sebagian dari mereka tampak
kecut melihat keangkeran keduanya. Hal itu tidak mengherankan sebab sorot mata
Iblis Tengkorak Hitam Putih sangat tajam, seolah-olah mengandung daya sihir yang
mampu merontokkan tulang-belulang mereka.
Di samping itu keadaan keduanya memiliki perbedaan menyolok. Ki Sanca Ireng
berkulit hitam pekat dan bertubuh tinggi besar. Sementara istrinya bertubuh
kurus dan berkulit pucat bagai mayat. Matanya yang cekung seolah menyimpan
kekuatan aneh. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai begitu saja.
"Hm, hanya inikah orang-orang yang bermaksud menantang Iblis Tengkorak Hitam
Putih...?" dengus Ki Sanca Ireng dengan nada sinis.
Ki Sapu Jagad maju beberapa langkah mendekati Iblis Tengkorak Hitam Putih
diikuti beberapa tokoh persilatan lainnya. Mereka berhenti saat jarak telah
terpaut lima belas langkah.
"Iblis Tengkorak Hitam Putih, hari ini akan berakhir segala macam sepak
terjangmu. Namun belum terlambat kalau kalian
ingin menyerah dan menerima hukuman tanpa mengadakan perlawanan!" teriak Ki Sapu
Jagad dengan suara lantang.
"Ha ha ha...! Orang Tua Busuk, seenaknya saja kau berkata begitu pada kami"!
Huh, sungguh menganggap rendah!"
dengus Ki Sanca Ireng.
"Kakang, aku muak sekali melihat tingkah mereka. Tanganku pun sudah gatal ingin
menghajar mulut-mulut sok jago itu!"
desis Nyai Roro Sekar Mayang.
"Hm, kalau kalian memang tidak bisa diajak bicara baik-baik, jangan salahkan
kalau kami bertindak kasar!" seru Ki Sapu Jagad seraya memberi isyarat pada
rombongan pendekar agar mengepung Iblis Tengkorak Hitam Putih.
"Bagus! Lebih cepat dan dekat kalian ke sini, maka akan lebih mudah bagi kami
untuk mengirim kalian ke akherat!" kata Ki Sanca Ireng sambil tertawa kecil.-
Baik Ki Sanca Ireng maupun istrinya, sama sekali tak memperlihatkan bahwa mereka
takut, padahal jumlah lawan lebih dari lima belas orang. Bahkan sebaliknya
terlihat jelas kalau Iblis Tengkorak Hitam Putih menganggap remeh.
"Yeaaa...!"
Keduanya membentak keras dan melompat menerkam lawan-lawannya yang mulai
mendekat. Ki Sapu Jagad dan para pendekar yang bersamanya tersentak kaget Gerakan yang
dilakukan suami istri itu cepat bukan main. Ki Sanca Ireng menerjang Ki Sapu
Jagad, sementara Nyai Roro Sekar Mayang menghadapi Ki Anggora.
Namun melihat perlawanan Iblis Tengkorak Hitam Putih, para pendekar yang lain
segera ikut melancarkan
serangan terhadap suami istri itu. "Yeaaa...!" "Hiyaaa...!"
Sring! Sring! Suara teriakan yang diiringi berkelebatnya berbagai macam senjata menyambar
Iblis Tengkorak Hitam Putih. Namun dengan gesit keduanya berkelebat ke sana
kemari sambil tertawa mengejek.
"Ha ha ha...! Apakah hanya segini jumlah kalian" Sepuluh kali lipat lagi belum
tentu mampu menjatuhkan Iblis Tengkorak Hitam Putih!" ejek Ki Sanca Ireng.
"Iblis terkutuk! Ajalmu telah dekat, kau masih sempat menganggap rendah kami.
Huh, lebih cepat kau mampus, akan lebih baik!" geram salah seorang sambil
melepaskan pisau-pisau kecil ke arah Ki Sanca Ireng.
Srats! Srats! Wuuut! Dengan gesit lelaki tegap berkulit hitam itu mengelak dan terus menerjang ke
arah lawan. Namun salah seorang dari para pendekar menghadang dengan sebatang
toya yang terbuat dari baja hitam dan menghantam perutnya dengan sekuat tenaga.
Bet! Plak! "Aaa...!"
Ki Sanca Ireng berkelit ke samping. Tubuhnya berputar dengan cepat sambil tangan
kanannya menghantam ke dada lawan. Orang itu memekik kesakitan. Tubuhnya
terjungkal beberapa langkah sambil muntah darah kental kehitaman.
"Hei"!"
Ki Saput Jagad serta para pendekar lainnya tersentak kaget Mereka melihat
kawannya menggelepar-gelepar sambil
melolong panjang ketika tubuhnya perlahan-lahan meleleh.
Kemudian ketika teriakannya habis, kulit tubuhnya terus terkelupas dan seperti
menguap ke udara meninggalkan tulang-belulangnya yang kehitaman.'
"Aaa...!"
Dalam keadaan demikian mereka" lengah, sehingga kembali terdengar pekikan
panjang. Tiga orang terjungkal bermandikan darah dan menggelepar-gelepar seperti
orang pertama tadi.
Yang seorang tulang-belulangnya menghitam, dan dua lainnya putih seperti kapur
tak bernoda. "Keparat! Kalian orang-orang biadab...!" desis Ki Sapu Jagad semakin geram.
"Hm, kenapa musti marah-marah" Bukankah kalian yang mengundang kami ke sini"
Terimalah akibatnya dan tidak perlu mencak-mencak!" sahut Ki Sanca Ireng
mengejek. "Hiyaaa...!"
Ki Anggora lebih dulu mencelat menyambar Ki Sanca Ireng dengan pedang peraknya.
Ilmu pedang yang digunakannya sungguh dahsyat dan mengandung tenaga dalam yang
hebat bukan main. Angin serangannya mampu membuat baju lawan berkibar-kibar.
Selain itu jurus-jurus yang digunakannya sangat berbahaya.
Namun sejauh itu Ki Sanca Ireng masih dengan mudah mengelak dari setiap sambaran
pedang lawan. Bahkan ketika Ki Sapu Jagad serta empat orang lainnya ikut
mengeroyok. Wuuut! "Hiiih!"
"Uts...!"
Ujung pedang Ki Anggora menyambar ke arah leher, dan pada saat yang bersamaan Ki
Sapu Jagad melepaskan pukulan jarak jauh yang berisi tenaga dalam kuat.
Tubuh Ki Sanca Ireng melejit ke atas, kemudian menukik tajam menghindari selarik


Pendekar Pulau Neraka 55 Nyi Roro Sekar Mayang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sinar kuning yang melesat memburu dirinya. Dan tiba-tiba saja ujung kakinya
menghantam Ki Anggora. Orang tua itu terkejut dan melompat ke belakang.
Kaki Ki Sanca Ireng berputar dan bersamaan dengan tubuhnya terangkat tinggi,
kembali menyambar batok kepala Ki Sapu Jagad. Kepalanya ditundukkan menghindari
dua tebasan senjata golok dua orang lawan lain. Ki Sapu Jagad berkelit ke
samping. "Hiyaaa...!"
Bres! "Aaa...!"
Pada saat itu juga telapak tangan kirinya melesat menghantam dua orang lawan
yang hendak menerkamnya dengan senjata terhunus. Seketika terdengar jeritan dua
orang kawan Ki Sapu Jagad. Tubuh mereka terjungkal beberapa langkah ke belakang
sambil menyemburkan darah kental.
Seperti yang terjadi pada kawan-kawannya, kulit daging mereka meleleh hingga
hanya tinggal tulang-belulangnya yang berwarna kehitaman seperti habis terbakar.
"flmu iblis! Kau telah banyak membunuh kawan-kawanku, Keparat! Untuk itu kau
patut mati!" desis Ki Sapu Jagad dengan wajah merah padam menahan geram.
Belum lagi orang tua itu menyerang Ki Sanca Ireng, kembali terdengar jeritan
tertahan. Serentak mereka menoleh ke arah dua orang lagi di pihak mereka, tewas
disambar pukulan maut yang dilepaskan Nyai Roro Sekar Mayang.
"Hi hi hi...! Dasar tikus-tikus busuk tidak berguna! Kalian kira bisa berbuat
apa terhadap kami..."!" ejek Nyai Roro Sekar Mayang mengeluarkan suara tawa
nyaring. "Hei, Tua Bangka Busuk... lebih baik kau perintahkan mereka menyerah dan ikut
menjadi tawanan kami. Siapa tahu dengan begitu kami bisa mengampuni jiwa
kalian!" teriak Ki Sanca Ireng sambil terkekeh kecil.
"Bedebah! Aku akan mengadu jiwa dengan kalian berdua!"
desis Ki Sapu Jagad.
Ki Anggora dan sisa para pendekar yang masih hidup kembali mengurung keduanya.
Kali ini tampaknya mereka tidak mau gegabah, dan menunggu kesempatan yang baik
untuk melancarkan serangan.
"Guru, aku akan ikut membereskan iblis terkutuk ini!" teriak Braja dari kejauhan
dan sudah langsung melompat ikut dalam barisan yang sedang mengepung kedua Iblis
Tengkorak Hitam Putih.
"Aku juga tidak bisa berpangku tangan! Aku akan ikut dengan kalian!" teriak
seorang gadis yang tadi bersama-sama dengan pemuda itu.
"Braja, dan kau Ayu Sulastri! Apa-apaan kalian"! Ayo, kembali! Bukankah sudah
kukatakan jangan ikut ke sini"! Amat berbahaya bagi kalian berada di sini!"
teriak Ki Anggora.
"Tidak! Aku tidak bisa berpangku tangan melihat kalian berjuang mati-matian
menumpas kedua iblis ini!" sentak Braja berkeras.
"Begitu juga aku! Tidak akan kubiarkan Guru menghadapi Iblis Tengkorak Hitam
Putih tanpa aku ikut membantu! Meski kepandaianku tidak seberapa, tapi aku tidak
takut melawannya!" tambah gadis bernama Ayu Sulastri tidak kalah
garangnya. /'Dasar anak-anak tolol! Kalian hanya akan mengantar nyawa secara
percuma!" dengus Ki Anggora kesal.
*** "Hi hi hi...! Bocah-bocah manis, rupanya kalian tertarik dengan kami. Barangkali
sudah ditakdirkan kalau kita berjodoh.
Kalian akan menjadi korban kami yang amat berharga...!" kata Nyai Roro Sekar
Mayang sambil tertawa mengikik.
"Iblis Betina, tertawalah sepuas hati sebelum menemui ajalmu!" dengus Ayu
Sulastri garang.
"Hi hi hi...! Gadis manis, sayang sekali! Padahal aku suka padamu. Tapi mulutmu
terlalu gegabah dan memandang rendah padaku. Oleh sebab itu kau akan mendapat
giliran pertama untuk menjadi korbanku!" sahut Nyai Roro Sekar Mayang.
Tubuhnya melesat ke arah Ayu Sulastri. Gadis itu terkejut dan cepat menjatuhkan
diri. Pada saat yang bersamaan pula tubuh Ki Anggora mencelat untuk melindungi
muridnya. Bet! Bet! Ujung pedangnya menyambar-nyambar tubuh Nyai Roro Sekar Mayang. Namun dengan
gesit tubuh wanita berambut panjang itu meliuk-liuk berputar, dan terus mencelat
ke atas. Sengaja dia tidak balas menyerang orang tua itu. Karena perhatiannya ditujukan
pada Ayu Sulastri.
Melihat itu beberapa orang pendekar segera mengepung Nyai Roro Sekar Mayang. Ki
Sanca Ireng bergerak hendak menolong sang Istri, namun Ki Sapu Jagad dan sisa
para pendekar telah pe-ngepungnya. Laki-laki berkulit hitam itu mendengus
garang. Sepasang matanya menatap tajam mereka. Tubuhnya berkelebat cepat, lalu
telapak tangan kanannya menghantam ke depan. Selarik cahaya kehitaman melesat cepat menghantam
dua orang yang terdekat padanya.
"Hiyaaa...!"
Pras! "Aaakh...!"
Salah seorang dari mereka memekik kesakitan. Tubuhnya terjungkal dengan kulit
daging meleleh. Seperti yang terjadi sebelumnya, tulang-belulang orang itu
menghitam bagai arang.
Sementara yang seorang lagi beruntung karena masih sempat mengelak hingga luput
dari serangan lawan.
Sesaat kemudian, salah seorang kembali tewas, di tangan Nyai Roro Sekar Mayang.
Tentu saja hal itu membuat mereka semakin geram, namun tidak mampu berbuat apa-
apa. Apalagi kini kedua Iblis Tengkorak Hitam Putih terus mempergencar serangan.
Kelihatannya mereka tidak ingin lagi bermain-main dan terus mendesak lawan-
lawannya. "Yeaaa...!"
"Uts!"
"Uhhh...!"
Nyaris Ayu Lestari terkena pukulan Nyai Roro Sekar Mayang yang kalau saja Ki
Anggora tidak menghalangi sambil menghantam dengan satu pukulan jarak jauh.
Wanita itu berkelit cepat Tubuhnya berjumpalitan di udara, kemudian kembali
menerkam tubuh Ayu Sulastri dengan satu bentakan nyaring. Gadis itu terkejut dan
cepat bergulingan untuk menghindarkan diri.
"Heaaa...!"
"Yeaaat...!"
Dua orang pendekar bergerak menerjang Nyai Roro Sekar Mayang. Namun....
"Hih..'.!" Prasss...!
Nyai Roro Sekar Mayang mendengus geram dan
mengibaskan tangan. Selarik cahaya keputih-putihan menerpa kedua lawannya. Kedua
orang itu memekik kesakitan ketika tubuh mereka terjungkal beberapa langkah.
Kulit dagingnya meleleh dengan cepat.
Ki Anggora dan yang lainnya semakin geram menyaksikan kejadian itu. Kemudian
lelaki itu segera mengerahkan pukulan mautnya.
"Iblis betina, mampuslah kau! Yeaaa...!"
Wuuuk! "Aits...!"
Cepat sekali Nyai Roro Sekar Mayang menjatuhkan diri dan bergulingan di tanah,
lalu melejit ke atas. Telapak tangan kirinya menghantam ke arah Ki Anggora.
Meski terkejut, orang tua itu sempat melompat ke samping. Namun tidak urung
angin serangan lawan sempat menyerempet bahunya, memaksa Ki Anggora melompat ke
belakang. Melihat keadaan lawan, Nyai Roro Sekar Mayang mencelat ke arahnya
dengan tendangan keras dan cepat. Buk!
"Aaakh...!"
Ki Anggora memekik keras ketika tendangan lawan mendarat telak di atas perutnya.
Tubuhnya terjengkang dengan mulut menyemburkan darah segar. Nyai Roro Sekar
Mayang yang tidak langsung melanjutkan serangan, melainkan mengalihkan perhatian
ke arah Ayu Sulastri dan terus menyerangnya.
Gadis itu terkesiap. Kali ini tak ada harapan lagi baginya untuk menyelamatkan
diri'. Dia harus berjuang mati-matian untuk menghindari serangan lawan.
"Yeaaa...!"
"Uhhh...!"
Gadis itu bergulingan ketika kepalan tangan Nyai Roro Sekar Mayang menghantam ke
arah batok kepalanya. Ayu Sulastri bergulingan menghindari seraya mengayunkan
pedangnya. Plak! Trap! "Aouw...!"
Dengan cepat Nyai Roro Sekar Mayang berkelit dan tahu-tahu pergelangan tangan
gadis yarig menggenggam senjata kena dicekalnya. Cepat sekali pedang itu
berpindah tangan, dan tahu-tahu tubuh Ayu Sulastri terangkat ke atas dalam
keadaan tertotok Rambutnya yang panjang dijambak Gadis itu menjerit kesakitan
bercampur rasa takut.
"Hi hi hi...! Apa kataku" Kau tak akan bisa lari dariku, Bocah Cerewet!"
Ki Anggora terkejut. Demikian pula dengan Braja dan yang lainnya. Ternyata
wanita itu membuat Ayu Sulastri sebagai sanderanya untuk menggertak mereka.
"Iblis betina, lepaskan muridku! Dia bukan tandinganmu.
Hadapilah aku kalau benar-benar kau bukan pengecut!" teriak Ki Anggora geram.
"Hi hi hi...! Orang tua busuk, kenapa kau mencak-mencak sendiri" Apa dikira kau
adalah tanding-anku" Chuih! Kalian semua sebangsa cacing busuk yang hanya punya
kepandaian seujung kuku!"
"Iblis Tengkorak Hitam Putih, lepaskan gadis itu dan hadapilah aku!"
"Hei"!"
*** 4 Nyai Roro Sekar Mayang serta yang lainnya tersentak kaget ketika mendengar
bentakan keras di seputar tempat itu.
Mereka segera berpaling dan melihat seorang pemuda tampan mengenakan baju yang
terbuat dari kulit harimau. Pemuda berambut panjang itu berdiri tegak sekitar
lima belas langkah dari tempat pertarungan. Sorot matanya tajam bagai elang, dan
di pundaknya bertengger seekor monyet kecil berbulu hitam. Perlahan-lahan pemuda
itu mendekati mereka.
"Bocah ingusan, siapa kau"! Lancang sekali kau berani mencampuri urusan Iblis
Tengkorak Hitam Putih"!" bentak Ki Sanca Ireng garang.
Belum lagi pemuda itu menjawab, salah seorang dari para pendekar yang masih
tersisa berseru girang.
"Bayu..., ah, akhirnya kau datang juga ke sini!" "Ki Pending, apakah kau
mengenal pemuda itu?" tanya Ki Sapu Jagad heran.
"Apakah Ki Sapu Jagad tak mengenalnya...?"
Ki Sapu Jagad menggeleng lemah.
"Dialah yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka itu...."
"Oh, jadi diakah orangnya"!" sahut Ki Sapu Jagad dengan mata terbelalak seakan
tak percaya. Nama Pendekar Pulau Neraka belakangan ini memang menggemparkan dunia persilatan
karena sepak terjangnya.
Namun sama sekali tidak disangkanya bahwa Pendekar Pulau Neraka masih berusia
demikian muda. Dalam sangkaannya, tokoh yang banyak melenyapkan tokoh-tokoh
persilatan golongan hitam berilmu tinggi, pastilah sudah berusia lanjut Dan
percakapan kedua orang tua itu agaknya sempat pula didengar Iblis Tengkorak
Hitam Putih. Nyai Roro Sekar Mayang menurunkan Ayu Sulastri perlahan-lahan
seraya melangkah mendekati.
Pendekar muda itu tersenyum ramah sesaat pada Ki Pending Layung, juga pada yang
lainnya. Lalu berhadapan dengan kedua Iblis Tengkorak Hitam Putih.
"Hm, jadi inikah orangnya yang punya nama Pendekar Pulau Neraka" Hm, sudah lama
sekali aku ingin berkenalan dan mencicipi sejurus dua jurus kepandaiannya yang
kesohor setinggi langit!" kata Ki Sanca Ireng dengan nada sinis.
"Kisanak, kelakuan kalian sudah kelewat batas. Meskipun kepandaianku tak
seberapa, aku tidak akan mendiamkan saja,"
sahut Bayu tenang dengan sikap merendah tanpa
mempedulikan kata-kata Ki Sanca Ireng.
"Hua ha ha...! Pendekar Pulau Neraka, apakah dengan mengandalkan nama besarmu
kau hendak menakut-nakuti kami" Seumur hidup Iblis Tengkorak Hitam Putih tak
akan pernah gentar berhadapan dengan bocah ingusan sepertimu!"
"Bagus! Kalau demikian kau boleh mati dengan kesombonganmu itu!" dengus Bayu
dingin. "Bocah sombong, kuremukan batok kepalamu!" Ki Sanca Ireng menggeram sambil
melompat menerkam lawan.
Bersamaan dengan itu Nyai Roro Sekar Mayang ikut pula menyerang Pendekar Pulau
Neraka sambil membentak nyaring.
"Bocah ingusan, kau akan merasakan kematian yang amat menyakitkan!"
"Wanita iblis, jangan
banyak bicara! Lebih
baik kau jaga kepalamu
dari seranganku!" ujar
Bayu seraya melompat
menghindar dari
terkaman kedua lawan.
"Haits!"
"Yeaaa...!"
Tubuhnya meliuk-liuk
dengan lincah. Sementara kedua lawan
dengan kompak membuat serangan cepat, susul-menyusul laksana ombak samudera.
Ki Sapu Jagad dan tokoh-tokoh yang lain menyingkir jauh dari arena pertarungaa
Akibat yang ditimbulkan pertarungan itu sangat dahsyat. Debu beterbangan ke
udara bersama angin pukulan yang mereka lancarkan. Sesekali terlihat cahaya
hitam putih berselang-seling menyambar tubuh Pendekar Pulau Neraka.
"Hi hi hi...! Bocah dungu, ayo perlihatkan kehebatanmu yang sering dibicarakan
orang. Sebentar lagi kematianmu tiba dan tengkorak kepalamu akan menjadi mainan
kami! Hi hi hi...!"
teriak Nyai Roro Sekar Mayang mengejek.
"Iblis wanita, kau kira bisa seenaknya berbuat begitu....
Sebaiknya kepalamu akan menjadi mainan anjing-anjing kampung yang kudisan!"
sahut Bayu balas mengejek.
"Bangsat! Yeaaa...!"
"Uts! Heaaa...!"
Dengan geram Nyai Roro Sekar Mayang menghantamkan pukulan jarak jauhnya yang
dahsyat. Seketika itu juga cahaya putih menerpa Pendekar Pulau Neraka. Bayu
berkelit ke samping dan terus melompat ke atas sambil mengibaskan tangan kanan
ketika Ki Sanca Ireng melepaskan pukulan mautnya pula.
"Yeaaa...!"
Siiing! "Hei"!"
Kedua Iblis Tengkorak Hitam Putih kaget ketika melihat selarik cahaya putih
keperakan melesat bagaikan kilat ke arah mereka. Keduanya melompat menghindar.
Bersamaan dengan itu Bayu melesat menerjang ke arah Nyai Roro Sekar Mayang.
Plak! "Uhhh...!" "Yeaaa...!"
Nyai Roro Sekar Mayang terkesiap dan cepat menangkis.
Meski telah mengerahkan ilmu 'Tengkorak Putih' yang dimilikinya, tapi tampak
wajah wanita itu berkerut menahan rasa sakit ketika menangkis sambaran tangan
lawan. Pendekar Pulau Neraka dengan cepat langsung menghantamkan ujung kaki ke
perutnya. Wanita itu menjerit kesakitan, tubuhnya terjungkal beberapa langkah
seraya memuntahkan darah segar.
Namun pada saat yang bersamaan tubuh Ki Sanca Ireng melesat cepat seraya
menghantamkan pukulan mautnya.
Pendekar Pulau Neraka terkejut Keadaannya betul-betul tidak menguntungkan ketika
hendak menangkap Cakra Maut Bresss!
"Uhhh...!"
Siiing! "Akh...!"
*** Pendekar Pulau Neraka memekik tertahan. Pangkal lengan kirinya terkena pukulan
lawan. Tubuhnya berjumpalitan sambil mengerahkan tenaga dalam untuk melawan hawa
panas yang seperti menusuk-nusuk kulit dagingnya. Namun, bersamaan dengan itu
pula Cakra Maut-nya berhasil menyambar pangkal leher Ki Sanca Ireng. Lelaki
berkulit hitam itu menjerit kesakitan. Kepalanya menggelinding ke tanah dan
tubuhnya berdiri sesaat dengan langkah limbung. Kemudian ambruk tidak berdaya.
"Nak Bayu, apakah kau baik-baik saja..."!" tanya Ki Pending Layung seraya
melompat menghampiri pemuda itu dengan wajah cemas.
Bayu mengerutkan wajah menahan rasa sakit sambil duduk bersila dan tidak


Pendekar Pulau Neraka 55 Nyi Roro Sekar Mayang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempedulikan orang-orang yang mengelilinginya. Ki Pending Layung menyadari apa
yang dilakukan pemuda itu. Dia langsung membantu menyalurkan hawa murninya
dengan menempelkan telapak tangan ke punggung Pendekar Pulau Neraka.
Sementara orang tua itu membantunya, para pendekar lain dipimpin Ki Sapu Jagad
mengejar Nyai Roro Sekar Mayang yang melarikan diri begitu melihat suaminya
tewas. Keadaan Pendekar Pulau Neraka ternyata cukup parah.
Namun begitu, masih dapat diatasi. Pangkal lengan kirinya yang menghitam
dihantam pukulan Ki Sanca Ireng, perlahan-lahan mulai menampakkan kemerahan dan
terus semakin mengecil Butir-butir keringat sebesar jagung membasahi sekujur
tubuh pemuda itu. Demikian pula halnya dengan Ki Pending Layung Setelah
sepenanak nasi lamanya keadaan pemuda itu mulai sedikit pulih. Darah kental
kehitaman termuntah dari mulutnya.
Wajahnya tampak pucat dan napasnya turun naik tak beraturan. Namun demikian
terlihat jalan darahnya mulai teratur kembali.
Ki Pending Layung menghentikan penyaluran tenaga dalamnya dan menarik napas
panjang. Nyata s kali terlihat wajah orang tua itu amat letih. Dia duduk bersila
dan bersandar di bawah sebatang pohon yang cukup besar sambil mengatur berna-
pasannya. Sementara Bayu sendiri masih tetap duduk bersila di tempatnya semula.
Tidak berapa lama terlihat rombongan yang dipimpin Ki Sapu Jagad telah kembali.
Dari wajah mert.Ka yang kesal bercampur geram, jelas menyiratkan bahwa mereka
gagal mengejar wanita itu.
Ki Sapu Jagad melangkah menghampiri Pendekar Pulau Neraka, diikuti beberapa
pengikutnya. "Bagaimana keadaanmu...?" tanya Ki Sapu Jagad tetap memandangi Bayu.
"Jangan khawatir! Aku sudah merasa lebih baik berkat pertolongan Ki Pending
Layung...."
"Maafkan, kami tak segera membantumu. Aku sendiri tak mampu menahan amarah dan
dendam setelah mereka menewaskan beberapa orang dari para pendekar. Melihatnya
kabur, aku langsung memburu. Maksudku tidak ingin memberi kesempatan padanya
untuk hidup lagi...."
"Hm, apakah kalian berhasil menangkapnya...?" tanya Bayu berbasa-basi.
"Sayang, kami kehilangan jejak. Ilmu lari cepatnya memang sangat
mengagumkan...."
"Kurasa dia telah terluka parah dan rak bisa pergi jauh.
Wanita itu pasti telah mengecoh kalian dan bersembunyi di suatu tempat," kata
Bayu. "He, bisa jadi begitu! Kenapa tidak terpikirkan oleh kita!"
teriak salah seorang dari mereka dengan wajah bersemangat.
Orang itu langsung mengajak Ki Sapu Jagad dan yang lainnya untuk kembali
mengadakan pencarian. Bayu tersenyum menggeleng ketika dia diminta untuk ikut
serta. "Terima kasih, aku di sini saja menunggu kalian...."
"Apakah kau tak ingin membalas apa yang dilakukan suaminya padamu"!" tanya orang
itu sedikit heran.
"Bukan begitu, Ki. Wanita itu kini telah pergi jauh setelah kalian kembali ke
sini. Mana mungkin dia melakukan kesalahan untuk kedua kalinya. Dia tentu akan
melarikan diri sejauh-jauhnya begitu lepas dari jangkauan kalian. Dan bila kita
mengejarnya sekarang ke tempat itu, akan sia-sia saja. Namun bila kalian ingin
tetap mengejarnya juga, silakan saja...!" sahut Bayu tenang.
Orang itu tampaknya kurang menerima apa yang dikatakan Bayu. Namun Ki Sapu Jagad
mengangguk dan membenarkan setelah berpikir sesaat lamanya.
"Benar. Apa yang dikatakan Pendekar Pulau Neraka memang benar. Wanita itu kini
pasti telah kabur, dan akan sia-sia saja pencarian kita...."
"Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang, Ki Sapu Jagad...?" tanya orang yang
mengajak tadi dengan sikap tidak sabaran.
Ki Sapu Jagad memandangnya sejurus, kemudian menepuk pundaknya sambil
memperlihatkan senyum kecil.
"Ki Lodaya, aku menyadari dendam di hatimu atas kematian saudaramu Ki Santung di
tangan wanita itu. Namun harap kau sadari, bahwa kita telah berbuat sekuat
kemampuan kita. Dan mengenai langkah selanjutnya, yang harus kita lakukan adalah
mencari wanita itu sampai ketemu, lalu membuat perhitungan dengannya. Tapi bukan
sekarang. Hari telah gelap. Akan kita bicarakan dan cari jalan keluar yang
sebaik-baiknya guna mengejar wanita itu...," katanya ramah.
Laki-laki yang dipanggil Lodaya itu mengangguk. Meski kelihatannya dia bisa
menerima apa yang dikatakan Ki Sapu Jagad, namun jelas wajahnya masih
menyiratkan perasaan tak puas. Dendam yang berkecamuk dalam dada membuatnya
serasa ingin mencincang wanita itu saat ini juga.
"Bayu, kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas pertolongan yang
kau berikan. Entah bagaimana keadaan kami jika kau tidak muncul tadi...," kata
Ki Sapu Jagad seraya memandang Pendekar Pulau Neraka.
"Ki Sapu Jagad, kenapa berkata demikian" Hal ini sudah menjadi kewajiban kita
bersama. Kisanak tak perlu berterima kasih, sebab orang-orang seperti mereka
sudah sepatutnya memperoleh ganjaran setimpal atas perbuatan yang mereka
lakukan...."
"Aku pun mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga padamu. Kalau saja
sedikit lambat kau bertindak, niscaya jiwa muridku mungkin tidak akan
tertolong," sela Ki Anggora seraya mengapit kedua muridnya. "Ayo, Ayu! Ucapkan
terima kasih dan berilah salam hormat pada dewa penoiongmu!"
Gadis berwajah manis itu tertundukjrialu ketika memberi salam hormat kepada si
Pendekar Pulau Neraka.
"Aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu...,"
katanya lirih. "Ni Ayu, tidak perlu berkata begitu. Aku hanya kebetulan saja tiba pada saat
yang tepat. Jika sekiranya tidak, mungkin yang lain akan menolongmu...," sahut
Bayu dengan perasaan jengah.
*** Pendekar Pulau Neraka memang kurang menyukai segala peradatan seperti itu karena
hanya akan membuat dirinya rikuh dan serba salah. Untuk mengalihkan perhatian
dia segera melangkah mendekati Ki Pending Layung.
"Ki Pending Layung, terima kasih atas pertolonganmu. Kalau tidak kau tolong aku
pasti terluka parah...!"
Ki Pending Layung tertawa seraya menepuk pundak Bayu.
"Bayu, kau terlalu merendahkan diri. Mana mungkin orang sepertiku bisa berbuat
begitu padamu" Tanpa kubantu pun kau akan mampu mengatasi dirimu!"
"Hm, memang sangat pantas. Pendekar besar sepertimu biasanya selalu merendahkan
diri...," lanjut Ki Anggora.
"Kalau memang kau tidak ada urusan penting, sudikah kau mampir di gubukku" Aku
bermaksud menjamu barang secangkir teh dan singkong rebus...?"
"Sebenarnya masih ada yang harus kukerjakan...," Bayu bermaksud menolak secara
halus undangan orang tua itu.
Namun Ki Anggora serta yang lainnya sudah lebih dulu memotong pembicaraannya.
"Sudah barang tentu dia akan ikut dengan kita ke pondokmu, Ki Sapu Jagad!
Bukankah begitu, Nak Bayu...?"
Pendekar muda itu merasa rikuh sendiri. Apalagi ketika yang lainnya terus
mendesak. Sehingga mau tidak mau dia mengangguk menyetujuinya. Selain itu hari
telah sore dan perutnya sudah minta diisi. Tubuhnya pun terasa letih sekali. Di
tempat Ki Sapu Jagad dirinya bisa sekalian beristirahat!
Ki Sapu Jagad gembira sekali begitu mengetahui pemuda itu bersedia memenuhi
undangannya. Pemuda itu disambut bagaikan raja di padepokannya beserta dengan
yang lainnya. Pendekar Pulau Neraka merasakan hal itu sebagai suatu yang berlebihan. Namun dia
tidak kuasa untuk menghindar atau mencegahnya.
Lagi pula ada hal yang semakin membuatnya merasa jengah.
Ki Sapu Jagad mempunyai seorang putri berwajah rupawan, berusia sekitar tujuh
belas tahun. Selama perjamuan berlangsung gadis itu terus berada tak jauh
darinya. Hatinya menduga bahwa hal itu seperti disengaja ketika dia melihat Ki
Sapu Jagad memberi isyarat pada putrinya agar melayani Bayu dengan sebaik-
baiknya. Bahkan ketika orang tua itu menawarkannya untuk menginap, gadis itu
terlebih dahulu membereskan ruangan tempat tidur, shingga bersih dan rapi.
"Silakan, Kakang Bayu! Maaf, hanya kamar seperti ini yang bisa kami sediakan
bagimu...!"
"Hm, ini sudah lebih dari cukup, Ni Dewi Anggi...," sambut Bayu.
Gadis itu menundukkan wajah seakan-akan merasa malu.
Pendekar Pulau Neraka sendiri tidak tahu harus berbuat apa.
Untuk sesaat mereka terdiam sampai Dewi Anggi kembali meneruskan kata-katanya.
"Eh, maaf, Kakang Bayu. Aku lupa menyampaikan pesan Ayah...."
"Pesan apakah gerangan...?"
"Kau tentu membutuhkan istirahat yang agak lama untuk mengembalikan tenaga yang
banyak terkuras sehabis pertarungan dengan kedua Iblis Tengkorak Hitam Putih
itu. Kalau kau suka, ayahku mengatakan boleh tinggal beberapa hari di pondok kami
ini...," kata gadis itu tanpa berani menatap wajah si Pemuda. J
"Terima kasih, Ni Dewi. Ayahmu baik sekali. Tapi aku tidak bisa berlama-lama.
Keadaanku sudah pulih, dan kalau tidak ada aral melintang, pagi-pagi sekali aku
harus meninggalkan tempat ini...."
"Eh, secepat itukah...?"
Tanpa sadar Dewi Anggi berkata demikian. Jelas tersirat dari kata-katanya bahwa dia bermaksud menahan pemuda itu.
Ucapan itu tentu bukan berasal dari ayahnya, melainkan dari dalam hati. Terbukti
gadis itu menunduk malu seakan merasa malu dan jengah. Kalau saja saat itu siang
hari, tentu Bayu bisa melihat wajahnya yang merona merah.
Pemuda itu tersenyum tipis seraya memangku Tiren yang melompat ke dadanya.
Monyet kecil itu menyeringai lebar ke arah si Gadis.
"Masih banyak yang harus kukerjakan, Ni Dewi Anggi. Aku senang sekali bisa
mendapatkan keramah-tamahan di sini.
Terutama terhadap dirimu.... Kau baik sekali, seperti ayahmu.
Sulit membalas budi kalian...," sengaja Bayu berkata demikian untuk menghibur
hati Dewi Anggi.
"Hm... jadi... jadi besok pagi-pagi sekali Kakang Bayu akan berangkat
meninggalkan tempat ini" Kalau tidak keberatan, bolehkah aku tahu tu-juanmu...?"
Tembang Tantangan 21 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 Karya Marshall Naga Pembunuh 13
^