Cinderella 89 1
Cinderella 89 Karya Eddy Suhendro Bagian 1
CINDERELLA '89 Ini bukan kisah CINDERELLA kuno, tapi kisah CINDERELLA tahun 2000
Kisah yang mengenaskan. Mengharukan siapa pun! Kisah seorang gadis bernama Laraningati, terlahir di
sebuah tempat di pulau Jawa. Lara demikian sebutan sehari-hari. Dipungut dan
dibesarkan dalam sebuah keluarga terhormat. Dari mana sebenarnya asal anak
manusia ini" Anda akan segera tahu kalau membaca kisah ini. Penulis dengan
segudang pengalaman bertutur.
mencoba merekam dan mengabadikannya dalam CINDERELLA '89.
Kisah drama keluarga yang mengandung hikmah. tanpa meninggalkan perenungan yang
mendalam. Semoga akan timbul nuansa lain,
dalam memandang arti Cinta bila pembaca mene lusuri juga kisah lain.
ELEGI BUAT NANA Sama-sama menarik. Penuh getaran hati. Bagaimana bila kejernihan hati dan ketulusan cinta berpadu.
Mengharukan Patut untuk dibaca Jakarta, Februari 1991 Cinderella" Ealaaah, zaman punk-rock begini kok ya ada saja yang mau cerita
tentang Cinderella. Rasanya kok seperti kurang bahan begitu. Kreatif dikit kek,
cari deh bahan lain, jangan yang itu-itu saja! Tapi kalau Cinderela tahun 89 ada
beneran, bagaimana hayo" Nggak percaya" Tapi ada tuh yang menjumpainya. Tentu
saja, yang terpesona dengan Cinderella adalah sang Pangeran. Karena itu tahun
89, tentu saja Pangerannya nggak pakai kopiah di atas kepala seperti layaknya
pangeran dalam dongeng. Modelnya lain, model pemuda masa kini. Pada bagian
belakang kepalanya, tepatnya di atas tengkuknya, ada sedikit buntut rambut yang
ikal. Ia tidak naik kereta kencana, melainkan ke sana ke mari bertengger di
dalam jip hardtop. Maklum, ia anak pengusaha kaya. Wajahnya tidak lembut, tapi
keras dan jantan. Tubuhnya tinggi kekar. Matanya agak sipit.
5 .Wajahnya lonjong, dan kulitnya coklat mengkilat. Ia jago renang, bahkan
hampir saja masuk pelatnas. Tapi berkat doa orang tuanya, ia gagal. Ortunya
girang bange. Bagi ortu, apa sih artinya juara atau piala, kalau kelak sekolah
anaknya berantakan" Maka terpaksa deh, ia tidak bisa ikut memperkuat tim renang
nasional. Namanya juga keren. Robin. Anak kelas tiga SMA. Mungkin ada yang
meragukan. Masak sih, cowok macam begitu, dibilang pangeran" Yang bener saja
Mana istimewanya" Banyak cowok keren macam begitu. Di Pasar Rumput juga banyak.
Dan belum tentu cewek-cewek pada nafsu. Ya, ya, ya betul Sampai di situ tadi
memang Robin belum kelihatan istimewa, karena sikap hidupnya belum terungkap.
Begitu ketahuan sikap hidupnya, kepribadiannya langsung mencuat. Promosi ini yel
Eh, bener kok. Sikap hidup Robin memang rada lain. Sikap itu muncul dari rasa
benci. Ia benci bange sama pandangan umum terhadap orang kaya. Lebihlebih kalau
nonton film nasional, Robin sebel.
"Pokoknya saya protes" katanya,
"Masak keluarga orang kaya selalu digambarkan anaknya satu, kesepian, kedua
orang tuanya sibuk, lantas anaknya frustrasi dan ugal-ugalan. Nggak bener tuh.
Masak anak morfinis selalu digambarkan anak orang kaya. Anak yang dianggap serba
tidak bertanggungjawab. Masak begitu sih!"
R')Robin kalau baca berita atau analisa tentang kelakuan anak orang kaya,
biasanya marah. "Nggak bene, tidak semua anak orang kaya begitu. Mabuk-mabukan, suka maen cewek
seenaknya, suka menghamburkan uang sekolah mesti tidak bener. Kalau gagal,
lantas maen todong dengan pistol atau uang Nggak semua begitu!" Robin betulbetul jengkel dan keki. Maka ia hendak melawan arus. Ia hendak membuktikan pada
masyarakat bahwa banyak anak dari keluarga kaya hidup bahagia, harmonis, kedua
orang tuanya saling menyayangi, dan anakanaknya terurus baik. Hidupnya juga
soleh. Sekolahnya maju. Maka tidak mengherankan, kalau ia rajin belajar, bahkan
sejak kelas I SMA, ia kejar-kejaran ranking I dengan Daniati. Kadang ia kalah,
tapi sering ia menang. Ia juga punya rasa simpati pada orang miskin. Pernah
Robin berkelahi melawan tiga orang, sampai ia luka parah, hanya karena ingin
membela tukang becak yang diperas. Di rumah ia dimarahi ibunya,
"Kenapa sih ngurusi orang lain?"
"Nggak tega Bu Tukang becak itu memelas. Tubuhnya meringkus. Pemeras itu masih
memendangi. Nggak tega Bu. Dia juga manusia kan!" Robin tidak sadar, justru
sikapnya yang hendak melawan pandangan umum itu, telah memancarkan kepribadian
yang menawan hati para cewek. Ia sendiri heran dan sering memandang wajahnya sendiri di cermin,
"Gila, saya ini bukan potongan coverboy, penyanyi, atau bintang film, kok cewekcewek pada suka sama saya, kenapa sih" Padahal saya tidak pernah mentraktir
mereka, atau pamer kekayaan." Tapi memang, karena ia ingin menunjukkan bahwa
anak orang kaya itu tidak sembarangan saja mempermainkan cewek, maka di sekolah
Robin bersikap hangat, akrab, suka bercanda dengan cewek-cewek bahkan sering
jadi sukarelawan mengantar teman-temannya ke pesta. Tentu saja ia menjadi
populer dan disenangi. Setiap Jum'at, para cewek berebut booking minta diantar
Robin ke disko, nonton, atau hanya sekedar jalan-jalan, pokoknya malam Minggu
bersama Robin, adalah suatu kebanggaan. Dan Robin tidak pilih kasih. Siapa yang
pesan duluan, ia berhak dilayani. Salah satu teman sekelasnya, ada yang sangat
kesengsem sekali. Ia berusaha keras untuk memonopoli Robin. Namanya Siska. Tapi
sikap Robin biasa-biasa saja dan tidak mengistimewakannya.
"Hei, Bin, ntar sore kosong enggak?" seru Siska. "Sialan hu, emang saya ini
taksi" "Sory Bin, sory. Antar saya, ya" Itu lho, Tante saya merayakan ulang
tahun ke empat puluh!"
"Cari tukang pukul laen deh. Jangan saya saja!" "Habis kamunya baik sih."
"Eh, kamu jangan marah ya, kali ini saya
" R')diajak Utari. Jangan tersinggung ya?" "Utari" Cewek kampung itul Hi. Apa
kurangnya aku sih, Binl" Tentu saja Siska jadi cemberut. Robin cuek saja. Namun
dalam hatinya yang paling dalam Siska masih berharap akan berhasil mendapatkan
Robin, karena selama ini cowok keren itu belum menunjukkan tanda-tanda mempunyai
pilihan eksklusif. Ia masih terbuka. Semua cewek, welcome. Mereka yang pernah
diantar tidak pernah melupakan sikapnya yang gentle man. Membukakan pintu mobil,
mengantar sampai ke depan rumah. Bahkan cewek yang tinggal di gang yang sempit
pun diantar sampai depan pintu. Kalau ortunya sudah menerima kembali anak
gadisnya, dan menyaksikan dalam keadaan utuh, tidak ada yang gempil Robin baru
pamitan pulang. Robin juga terkenal sopan. Ia hanya suka merangkul, tapi tidak
berusaha mengumbar nafsu. Gara-gara sikapnya ini, malah ada isu kalau Robin
homo. "Bin, kamu dikatain homo kok enggak marah sih?" tanya teman cowoknya.
"Asyik. Isu itu menguntungkan. Berarti kalau saya bawa cewek, ortunya nggak
bakalan jantungan. Mereka akan merasa aman. Ini kesempatan Meck. Kamu-kamu juga
harus berusaha dikatain homo. Biar bisa dipercaya untuk membawa cewek ke mana
saja!" Apa" Robin ini tidak normal" Oh, normal.
RT)Laki-laki tulen. Keraguan seperti itu bisa dimaklumi, karena memang ia belum
menentukan pilihannya, maka temannya pada bingung. Kayak apa sih selera Robin"
Ternyata ada cewek yang diincarnya. Anak kelas satu. Semula ia tidak menaruh
hati. Biasabiasa saja. Kejadiannya sederhana. Ia hampir bertabrakan dengan cewek
itu di depan kantor Kepsek. Degup jantung Robin tidak deg-deg-plas. Dingindingin saja. Hanya ada satu hal yang menarik perhatiannya. Yaitu di pipi kiri
cewek itu tampak ada ketan item melekat, rasanya cewek itu tidak sadar kalau ada
sedikit noda di pipinya. Kasihan. Habis makan ketan item kok lupa melap mulutnya
dengan sapu tangan. Ah, apa salahnya saya beri tahu. Maka Robin buruburu
mengejarnya. "Eh, Neng, sebentar, Neng!" seru Robin. Cewek itu menghentikan langkahnya dan
menoleh. "Maaf ya, itu, di pipimu, di pipi kiri itu." Cewek itu tidak berusaha
menggerakkan tangannya untuk menghapus benda aneh itu. Robin heran. Dengan
setengah berbisik, agar tidak terdengar orang yang lewat, ia berkata,
" Itu..ada ketan itemnya!" Cewek itu tersenyum. Robin bengong Cila ini cewek,
dikasih tahu kok bandel amat. Apa dikira saya ini hanya iseng ya, mau menggoda
begitu" Saya ini sungguh-sungguhl Maka Robin mulai bicara keras,
"Lho, kok R')enggak percaya. Ngada gih di jendela itu!" Cewek itu menatap dengan sorot
mata tersipu-sipu, "Ini.tahi lalat kok!"
"Haaah?" Robin melotot heran.
"Ah, masak sih. Baru kali ini saya lihat ada tahi lalat bentuknya sedikit
panjang." Cewek itu tersenyum. Robin malu. Tapi ia terus terang,
"Sory ya, ini tadi saya betul-betul salah duga lho, bukan suatu taktik kuno
untuk nggodain kamu lho, sory ya!" Cewek itu hanya tersenyum. Lalu mereka
berpisah. Tapi Robin masih belum percaya. Tadi ketika berhadapan muka, ia tidak
mau kurang ajar mencomot benda aneh itu untuk membuktikan bahwa benda yang lekat
di pipi kiri itu betul-betul lahi lalat. Pasti itu tadi ketan item. Cewek suka
begitu sih. Mungkin tadi malu ketahuan joroknya, habis makan ketan item tidak
melap mulutnya dulu dengan sapu tangan. Pasti deh, begitu tidak melihat saya
lagi, lantas segera membuang benda makal itu. Coba deh, mlar saya lihat lagi.
Waktu istirahat, Robin ngelayap di gerombolan anak kelas satu yang sedang
bercanda di depan kelas. Ia mencari-cari si Kelan Item. Tapi di tengah anak-anak
yang mengaso itu, ia tidak menemukan sekelebat sosok cewek itu. Barulah, setelah
ia melongok ke jendela, ia melihat si Ketan Item masih berada di kelas, duduk di
bangku, dan dengan tekun sedang menyalin pelajaran. Kebetulan si Ketan Item
mendongak RT)dan memergoki kepala Robin yang nongol di ambang jendela.
"Eh, sory lagi, saya masih penasaran!" seru Robin. "Penasaran apa?" tanya cewek
itu sendu. "Itu tadi tahi lalat beneran apa ketan item sih?" Cewek itu tersenyum, lalu
menunjukkan pipi kirinya, dan benda item yang lekat di pipi kiri itu ditariknya.
Ternyata tidak lepas. ". Puas?" seru cewek itu.
"E.iyaaa. Trimsi" Robin pergi dengan senyum-senyum malu. Nah, sekarang, degup
jantung Robin mulai sedikit deg-deg plas. Cantik juga dia tadi ya. Orangnya
tampak sederhana. Rambutnya hitam sampai ke lehernya. Dan poninya menutupi
jidatnya yang lebar. Kulitnya kuning langsat. Tubuhnya termasuk tinggi juga.
Siapa sih dia itu" Robin bukanlah laki-laki jenis pemalu yang berusaha mencari
keterangan tentang cewek lewat mulut cewek lain. Ia ingin langsung me nanyainya.
Maka ketika pulang sekolah, ia mencegatnya,
"Hei, Ketan Item"
"Saya" tanya cewek itu sambil menoleh.
"Ya. Sory, saya tadi panggil kamu dengan nama Ketan ilem, soalnya belum tahu
sih, siapa nama kamu?"
"Lara." "Hah" Nama kok aneh. Lara?"
"Ya!" R)"La-ral" Robin berusaha mengeja, lalu matanya mendelik,
"Hm, lama-lama manis juga ya. namamu itu. Oke deh, hanya sekali itu saja saya
panggil kamu Ketan Item. Ntar kalau ketemu di jalan, pasti saya akan panggil
kamu Lara." Cewek itu hanya menjawab dengan senyum. "Pulang ke mana sih"' tanya
Robin mencegah langkahnya.
"Ke situ!" "Yuk, bareng, pakai mobil saya, sekalian menebus kesalahan saya. Kali saja kamu
tadi tersinggung." "Trims, tapi saya lebih suka naik bis kok!" Dan cewek itu menghilang di tengah
kerumunan orang, seperti tergesa-gesa dikejar waktu. Robin hanya terbengong. Hm,
Senyumnya tulus bange, Ciginya putih apik. Sorot matanya seperti pasrah, tidak
ada sinar ambisi yang menyala. Hm, sederhana, dan polos. Hm, saya harus tahu,
siapa dia itu sebenarnya, Kok hahem-hahem saja sih, apa begitu ya ulah coulok
yang lagi kesengsem. Hm. Nah, gambaran cewek itu membuntutinya sampai ke rumah.
Bahkan sedikit menguasai hatinya. Di dalam mobil, di meja makan, di kamarnya,
bayangan wajah cewek itu tidak bisa hilang. Maka terhadap cewek lain, Robin
mulai sedikit tertutup. Dengan segala alasan, ia mulai menolak permintaan untuk
mengawal. 13 ."Bin, kamu sombong deh sekarang!" gerutu Siska.
"Sis, kamu ingin ya kalau saya tidak lulus. Masuk Universitas itu sekarang ini
seperti masuk lubang jarum. Sulit. Maka saya harus belajar dong Tega bange sih
kamu, melihat saya gagal. Pingin ya kalau masa depan saya itu ternyata suram,
dan akhirnya saya jadi bandit?"
"Kalah deh berdebat sama kamu Pasti sudah ada cewek spesial tuh!"
"Emangnya cewek itu jenis martabak, pakai spesial-spesial segala!"
"Emangnya yang spesial-spesial itu mesti martabak. Huuu!" Siska cemberut. Robin
hanya nyengir, bahkan saat itu pula ia mulai membanding-bandingkan Lara dengan
teman-temannya. Ah, Lara itu lain. Enggak cerewet Enggak suka maen perintah.
Nggak menguasai. Lain Semakin ia membandingkan, ia semakin gemas dan geram. Maka
sekali lagi, sehabis sekolah, ia mencegatnya.
"Eh, Lara!" serunya.
"Ya?" sahut Lara sendu.
"Boleh tanya?" Tanya apa lagi?"
"Tahi lalatmu itu kalau malam bisa pindah enggak, dari pipi kiri pindah ke pipi
kanan begitu." Pertanyaan yang aneh itu membuat Lara bingung. Ia hanya bengong.
R')"Lho, iya kan, matahari saja bisa pindah, ke napa tahi lalat tidak?" Lara
terkekeh, "Ada-ada saja kamu!"
"O, enggak bisa ya" Kiran kayak matahari, bisa pindah begitu"
"Mana bisa pindah!"
"Bisa saja, pindah ke Pasar Baru, atau ke gedong bioskup. Habis ngikut kamu
sih!" "Ah, ngacau!" "Yuk, saya antar pulang!" "Saya suka maek bis kok" "Saya juga mau maek bis tuh!"
"Mobilnu?" "Tinggal aja di sekolah!" Tiba-tiba Lara terdian. Ada sedikit kecemasan
menggantung di wajahnya. "Kenapa" Nggak mau?"
"Jangan deh!" "Ortumu galak ya" Jangan khawatir. Tanya deh ke teman-teman saya, bahwa saya ini
homo kok. Jadi amaaan!"
"Bukan itu kok"
"Lho kenapa?" "Nggak apa-apa!"
"O, kamu sudah punya pacar?" Lara diam saja.
"Takut kalau pacarmu marah dan ngambek. Iya deh, saya tidak mau mengganggul"
Lara agak bimbang. Alasan sudah punya pacar sungguh tepat untuk mencegah Robin
datang ke rumah, tapi ia harus jujur bahwa dirinya belum punya pacar.
"Belum kok. Itu masih jauh!"
"Kamu kok senewen bangel sih, kalau saya ngaku. Oke deh, saya tidak mau membuat
dirimu gelisah" "Trims.eh, gantian dong siapa namamu?"
"Robin!" "Trims Robin" Ada apa sih ini, kok dianya misterius bangel. Bikin penasaran
saja. Jangan anggap enteng Robin ya. Campang tuh mencari alamat kamu. Ntar deh
lihat. Robin pantang tanya sama teman-teman Lara, ia juga tidak sudi mencari
data di tata usaha Karena memang mencari alamat cewek gampang kok Maka keesokan
harinya, ia tidak bawa mobil Ketika pulang sekolah ia tidak juga berusaha
mencegat Lara. Hanya ketika Lara hendak naik bis, tiba-tiba Robin menerombol
kerumunan. "Asyik ya..naik bis" Lara pucat dan tampak lemas.
DUA Robin merasa ada getaran aneh. padahal ia
sudah biasa merangkul cewek, bercanda, bersentuhan. Tidak ada perasaan aneh.
Tapi kali ini, kok ada getaran yang aneh, karena tubuhnya begitu dekat dengan
Lara. Ia tidak sengaja mendekat. Hanya ulah penumpang yang baru masuk ke dalam
bis saja yang menyebabkan tubuhnya terdesak sehingga ia hampir seperti hendak
mendekap. Lara semakin salah tingkah. Selama dalam hidupnya, ia belum pernah pergi bersama
lakilaki. Kok sekarang ini, ia dikawal oleh orang yang begitu beken di sekolah.
Maka sungguh wajar, kalau kepalanya terasa byar paran. Antara senang dan bingung
"Eh, Lara, saya baru tahu, kalau naik bis itu ternyata romantis ya?" bisik
Robin. Bisikan yang begitu dekat di telinga menyebabkan Lara tersipu. Ia tampak
gelisah. Kepalanya melongok-longok hendak melihat ke arah luar, tapi ia tidak
melihat apa-apa, kecuali para penumpang yang berjejalan. Tapi, nggak juga yal Romantis itu tergantung
pergi sama siapa, begitu. Kalau sama bu guru, di dalam bis, apa ya romantis. Kan
enggak" Apalagi sama nenek-nenek, ya enggak?" Robin nerocos seenaknya. Lara agak
malu. Suara Robin cukup keras. Masak, berhimpitan di dalam bis kok malah
mengajak seminar tentang romantisme. Malu ih! Meskipun agak salah tingkah, Lara
jujur juga, ia mengagumi cowok itu. Bukan karena ketenarannya di sekolah,
melainkan karena ketulusannya. Sorot matanya bening Senyumnya lepas. Tidak ada
ganjelan apa-apa. Sebenarnya, ia harus bersyukur karena dipilih Robin, tapi
rasanya sungguh tidak enak.
Cinderella 89 Karya Eddy Suhendro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa sih kamu kok gelisah?" tanya Robin sambil mengumbar senyum simpatik.
"Nggak apa-apa kok"
"Tuh, lihat saya sudah berjuang keras mengempeskan tubuh saya, agar kamu tidak
terhimpit. Kan masih ada ruang yang sedikit lega. Nggak enak lho, kalau sampai
tubuhmu menjadi rata seperti kertas! Kamu kok malah tampak bingung. Ada apa
sih?" Lara tersenyum geli. Ia merasa aneh. Cowok ini kok cepat bangel akrab.
Tidak pakai basa-basi, seakan ia sudah kenal lama.
"Kenapa sih?" "Nggak apa-apa." Lara mencoba melongok ke arah luar.
"Kanu nai ke mana sih?"
R)"Saya mau menculik kamu!" kata Robin sambil menyeringai.
"Hah?" Lara mendelik. Ah, pasti ia hanya bercanda saja. Memang Robin ini lucu.
Menyenangkan. Biji mata Lara terbelalak, setengah terperangah dan berbinar. Hm,
matanya indahl Desis Robin dalam hati. "Kalau kamu takut, mumpung banyak orang,
silakan kamu berteriak-teriak. Penculik, penculik, begitu Biar saya digebugi.
Oke?" "Ah. Kamu lucut" Karena geli, Lara spontan menyodokkan sikunya ke rusuk Robin.
"Ooi!" Robin kesakitan,
"Ini rusuk, Non, bukan guling Enak saja main sodok" Lara semakin kesengsem. Tapi
ia malu mengumbar rasa bahagia, karena ia takut kalau Robin semakin menjadijadi
Nggak enak berhimpitan di dalam bis, dilihat penumpang banyak, kok malah
bercanda. Akhirnya bis berhenti. Dan Lara mendesakdesak penumpang hendak turun
lewat pintu depan. Robin mengikuti Tasnya sedikit nyangkut di konde ibu-ibu.
"Eh, maaf Bu. Nggak sengaja lho Bul Konde ibu sih yang nakal. Suka njahilin tas
cowok!" Tentu saja, ibu itu mendelik, dan Robin menyelinap turun.
"Bener nih, kamu mau ikut?" tanya Lara .
"Bener!" Lara melangkah gontai menuju Supermarket. Robin terbelalak.
"Lho, kamu tinggal di Supernarket itu?" Lara tersenyum manis. Ketan itemnya
bergerak sedikit. Ah, semakin manis saja kamu. Sering-sering dong tersenyum.
Tapi kok aneh ya. pulang sekolah kok ke Supermarket" Mau cari bolpoint" Minta
kek pada saya. Tuh, di tas saya banyak. Atau mau beli coklat" Kali ini Robin
betul-betul kebingungan Lara yang tidak mau menceritakan dirinya itu semakin
tampak menggemaskan. Maka dengan setia, Robin membuntuti masuk ke dalam. Ia
semakin heran. Lara menarik kereta dorong.
"Kamu mau belanja?" tanya Robin heran.
"Iya" "Astagal Sony kalau begitu Pantes, kamu suka merahasiakan dirimu. Jadi kamu
sudah berumah tangga?" Lara hanya tersenyum.
"Ngaku saja deh. Saya enggak bocorin di sekolah. Kamu takut dikeluarkan. Iya
kan?" Lara hanya menggoyangkan kepalanya. Suatu gerakan yang manis. Rambutnya
yang pendek itu sedikit terkibas ke belakang.
"jadi belum berumah tangga?" Lara tidak menyahut, ia mendorong kereta itu menuju
ke tempat sayuran. Robin sigap. Ia
R')segera mengambil alih. Kereta dorong itu didorongnya mengikuti langkah Lara.
Robin menyeringai, "Hm, Lara, lucu ya, kita ini pakai baju seragam, kok berdua ke Supermarket.
Kemungkinannya dua. Dikira kakak beradik, atau pengantin remaja" Kamu pilih yang
mana?" Lara terkikik,
"Dua-duanya tidak benar, jadi tidak ada pilihan apa-apa" Robin betul-betul
semakin bingung, karena Lara tampak tidak canggung Gadis yang mempunyai
kecantikan alami itu, seperti sudah biasa berbelanja. Tangannya gesit mencomoti
barang-barang yang dibutuhkan seperti sayuran, kangkung, terung, buah-buahan,
daging. Bahkan beras juga.
"O, o, o, saya tahu sekarang, kamu kos ya" Atau mau ulang tahun?" Lara hanya
mengerling manis. Robin semakin kesengsem,
"Nah, sekarang pasti tepat. Kamu punya restoran ya" Boleh tuh, dan si pengantar
bakalan makan gratis. Tuh, lihat belanjanya macam sayuran yang siap dimasak. Di
mana sih restoran ortu kamu" Apa perlu jongos. Saya punya potongan lho!"
Celakanya setiap pertanyaan Robin yang penuh nafsu ingin tahu itu, dibalas
dengan sekuntum senyum yang mempesona. Robin semakin kesengsem saja. Pokoknya
saya harus tahu Ke mana saja akan saya ikuti Tentu saja selama dia tidak
menolak. Dan mata Robin cukup terbelalak juga, ka
,rena dari tas sekolahnya, Lara mengeluarkan dompet yang tidak begitu bagus,
dari tas itu dikeluarkan beberapa lembar uang puluhan ribu, lalu dihitungnya dan
dibayarkan ke kasir. "Eh, Lara, ternyata kamu beruntung ya, kalau saya ngikut. Kan ada kuli yang
bauan barangbarang."
"Eh, maaf, bukan mau saya lho. Sini, saya bawanya!"
"Nggak kok. Saya cuma bergurau. Ayo, jalan!" Sekarang gantian Lara tampak sendu.
Rasanya ia akan berpisah dengan Robin. Sebenarnya, ia sangat senang pergi
bersama-sama, tapi sungguh tidak mungkin kalau Robin mengantar sampai di rumah.
Lara kebingungan. Ketika keluar dari Supermarket, Lara tidak berani mencegat
bajaj. Ia menatap Robin de ngan sorot mata memelas.
"Robin, sebenarnya saya senang kamu mengikuti saya, tapi apakah kamu senang
kalau saya kehilangan kesempatan untuk sekolah!"
"Lho kemapa" Kan tidak ada hubungannya. Wah, kacau. Logikamu ngauur Masak, saya
ikut, kok kamu lantas kehilangan kesempatan sekolah I"
"Bagaimana yal"
"Udah, enggak usah bingung, tancap saja!" Agak lama Lara berpikir, tapi akhirnya
ia menyerah. Bajaj yang parkir di depan Supermarket itu dipanggilnya. Setelah
tawar-menawaria masuk. Robin menyusul.
"Ah, saya baru sadar, naik bajaj juga romantis lho. Bisa berdesak-desakan. Kalau
naik jip saya, jaraknya agak longgaran ya?" Lara hanya terkikik. Cowok satu ini
memang jujur. Ceplas-ceplos seenaknya. Robin yang bertubuh kekar itu, mendadak
bisa romantis dan cengeng Di dalam bajaj yang melaju itu, rambut Lara yang
berkibar-kibar ke belakang, bahkan sering pula menyentuh pipinya, membuat
hatinya deg-deg plas. Hm, rasanya saya tidak salah pilih. Dia ini cantik Garisgaris wajahnya unik. Tapi anehnya, kok dia memilih hidup begitu sederhana. Tidak
suka pamer atau menonjolkan diri. Apalagi, tatkala bajaj disuruh minggir, karena
hampir mendekati rumah gedong bertingkat, Robin kian terbelalak. Gila serunya
dalam hati. Ini cewek sombong atau sok sederhana sih. Orang tuanya kaya, kok
mau-maunya maek bis. Ia masih terbengong, Lara bergumam,
"Kiranya kamu tidak akan menginap di dalam bajaj ini kan?"
"E, iya, ya, betul" Robin sigap. Ia segera turun dan menurunkan barangbarangnya. Sekarang gantian, wajah Lara agak sedikit pucat. Matanya menjadi
sendu. Dengan gemetar ia membayar bajaj. Lalu menoleh ke arah rumah gedong itu.
Asap bajaj yang tertinggal itu mengepul di sela kakinya. Lara masih terpaku,
lalu Robin mengernyitkan dahinya.
"Robin, maafkan saya yal" bisik Lara lirih,
"Kali ini, jangan ikut masuk deh, soalnya nanti saya akan sedih. Ini bukannya
saya sombong. Tapi, saya belum bisa menerimamu di rumah ini. Jangan marah ya.
Besok pagi, akan saya jelaskan, siapa saya ini. Oke, Robin, jangan marah ya?"
Kelopak mata Lara berkaca-kaca. Robin terheran-heran. Ini cewek kok ajaib bener.
Sudah di depan pintu pagar, kok saya tidak boleh masuk. Ada apa sih ini" Sudah
punya suami" Atau pacar yang dijodohkan" Atau apa" Tapi kok ya wajahnya itu
memelas bangel "Sampai depan pintu juga tidak boleh?" kata Robin masih mencoba menawar.
"Jangan deh, kasihanilah saya."
"Hanya membawa kantong plastik ini?"
"Jangan deh. Sabar saja ya" besok pagi akan saya jelaskan! Oke?" Suara sendu
yang memelas itu menyebabkan hati Robin runtuh. Akhirnya kantong plastik penuh
belanjaan itu diserahkan pada Lara. Robin pamitan dengan melempar senyum. Lara
menatapnya penuh haru dan kasihan,
"Trims, Robin, atas pengertianmu!"
Lara tidak ingkar janji. Ketika Robin melongok ke dalam kelasnya, Lara
melambaikantangannya, "Hei." "Kira-kira kamu mau bohong enggak ya?" tanya Robin menyindir.
"Enggakl" Lara merogoh tasnya, lalu mengeluarkan amplop tebal,
"Ini. Seluruh riwayat hidup saya ada dalam amplop ini. Jangan baca di sekolah
ya. Ntarya di rumah saja ya?" Robin mengangguk, dan memasukkan amplop itu ke
dalam tasnya. Aneh juga, sebenarnya permintaan itu tidak usah digubris, toh Lara
tidak tahu. Ia bisa baca di kelas, atau di halaman, atau sembunyi di kantin.
Apalagi nafsu ingin tahunya sudah sampai ubun-ubun, namun anehnya ia menghormati
permintaan itu, karena ia selalu teringat sorot mata yang jujur. Maka amplop
tebal yang bikin penasaran itudibiarkan tenggelam dalam tasnya. Di kelas ia
gelisah. Siska mengendap-endap dari belakang, lalu menubruk punggungnya.
"Nah loh! Sombong ni yeel" gertak Siska. Robin tidak kaget. Ia menoleh ke
belakang, "Eh, Sis, jangan ganggu saya ya. Saya sedang jatuh cinta!"
"Cie, mana mungkin Bin, lihu bisa jatuh cinta Sama coulok mana?"
"Udah deh, jangan ganggu saya!" Robin mengacungkan jarinya di dekat dahinya,
"Tuh denger enggak!"
"Denger apa?" "Di kepala saya sedang berdengung sebuah puisi cinta."
R)Siska tertawa ngakak "Cimana Bin, bunyinya Bin!"
"Ah, kamu sih. Hilang itu puisi, padahal sudah deket bangel sama melodi Bisabisa, akan muncul lirik lagu lho. Dasar kamu Sis!"
"Udah deh, Bin, pokoknya malam Minggu Ihu harus pergi sama gua!"
"Nggak, saya sedang jatuh cinta kok. Nggak ada acara ngantar-ngantar lagi."
Siska bingung, Robin ini beneran apa hanya bercanda sih. Tampangnya sih rada
lain, rada sendu dikit, tapi omongannya kok masih suka ngacau sih! Ah, baru
frustrasi kali Akhirnya berita Robinjatuh cinta cepat sekali
tersebar-luas. Jip nyerosot masuk garasi, Robin segera loncat keluar. Tasnya disambarnya kuatkuat. Lalu ia bergegas masuk ke rumah. Di ruang tengah ia dicegat Luki, adik
perempuannya, yang baru saja selesai telepon.
"Eh, Rambo" teriak gadis tinggi langsing jerawatan. Rambo menghentikan langkah.
Ia menyahut dengan suara datar tanpa emosi,
"Ya, halo?" "Ntar sore, antar saya ya?" rengek anak kelas tiga SMP itu. Robin berlagak
mendelik, Jangan ganggu saya ya. Saya sedang jatuh cintal?"Ealah, Rambo jatuh
cinta. Kayak apa tuh. Nggak pantes. Cowok berotot itu pantasnya perang atau
ngangkatan koper" "Suka-suka kamu dahl Kalau mau anggap kakaknya kuli."
"Iya deh, enggak ngangkatin koper Ngangkutin cewek.
" "Emangnya cewek itu kursi" Luki terkekeh-kekeh. Robin hendak masuk ke
kamarnya. Luki lari memburu,
"Eh, tunggu, ntar sore antar saya yal Ada class-meeting nih!"
"Sorry, minta antar pak Kiman saja. Saya mau baca surat cinta. Nggak boleh
diganggu. Bahkan makan siang pun perlu dilupakan" Robin segera masuk ke dalam
kamarnya. Luki yang banyak jerawatnya itu keki, dan menghentakkan kakinya,
"Rambo jeleeek!"
Surat itu ditulis tangan. Tulisannya rapi sekali. Lembarannya banyak. Robin
hendak melahap secepatnya. Ternyata tidak bisa, karena setiap kalimat yang
tertuang terasa ada getaran keakraban. Perlahan-lahan ia terhanyut dalam
kalimat-kalimat yang mengharukan. Bahkan ia ikut merasakan seakan-akan dirinya
terlibat dalam penderitaan yang terungkap di dalam surat itu. Tanpa disadari,
kelopak matanya berkaca-kaca, sesuatu yang pantang bagi lakilaki. Ia tidak hanya
membaca sekali, tapi bebe
"rapa kali ia mengulangi dari depan dan meneliti kalimat demi kalimat. Ia hendak
mencari ungkapan ketidak jujuran, tapi rasanya seluruh surat itu berisi
kejujuran seorang gadis. Surat itu bunyinya demikian.
Robin yang baik, Surat ini saya tulis, ketika malam mulai larut. Di mana sudah tidak terdengar
saran TV lagi. Pintu-pintu rumah sudah terkunci rapat. Dari arah jalan depan
rumah sudah tidak terdengarderu mobil. Dalam keheningan malam seperti ini, suara
hati saya seperti digugat. Saya tidak pernah ingkarjanji, tapi malam ini, dimana
saya berjanji hendak mengungkapkan isi hati padamu, tiba-tiba ada suarasuara
untuk ingkarjanji Buat apa" Apa perlunya kamu mengetahui diri saya" Kan, kita
baru saja berkenalan Hanya, sungguh aneh, kok rasanya kita sudah begitu akrab
ya" Tetapi, karena saya tahu juga, bahwa kamu sungguh-sungguh hendak mengenal
saya, tanpa ber maksud untuk mempermainkan saya, maka bujukan untuk ingkarjanji
itu saya lawan. Sikapmu memang lain. Apakah orang yang baik itu, mesti saya
ingkari" Ah, akhirnya toh, saya terdorong untuk menulis juga. Mengapa begitu"
Karena saya tahu bahwa kamu begitu penasaran mengenai diri saya. Kamu banyak
menduga-duga. Dan saya tidak mau membuat dirimu semakin penasaran. Selain itu
saya juga sudah siap mental, begitu kamu tahu siapa saya sebenarnya, sa.ya yakin
surat saya bakal kamu remas remas dan ka. mu lempar ke keranjang sampah, karena
merasa ter kecoh. O ternyata si Lara itu begini, begini, begini. Tapi tidak apaapa kok, saya tidak akan tersinggung tidak akan marah dan mendendam, karena
nasib saya sudah saya terima dengan tabah. Inilah jalan hidup saya. Bukankah
lebih baik saya jujur Hayo, kamu semakin pemasaran kan" Jangan dong, jangan kamu
lompati lembaran surat saya ini Tolong deh baca dari depan. Na, na, tuuuh,
lembar pertama mau kamu lempar begitu saja! Oke, Robin, Oke, saya akan mulai
Nah, selama ini kamu bertanya-tanya, siapakah saya ini. Tentu saja saya harus
jujur Yang bener aja dong, saya belum berumah tangga. Dan orang tua saya juga
tidak galak, karena orang tua saya tidak ada. Kamu tahu saya menempati rumah
gedong bertingka itu, itu bukan rumah saya. Kamu tahu, duuuh, sedih banget saya
harus mengatakannya, tapi enggak apaapa kok, saya akan jujur bahwa saya. ini
sebenarnya.pembantu rumah tangga. Nah, tuh, kamu pingsan sekarang karena merasa
terkecoh. Kalau kamu baca di taman, berteriaklah sepuas puasnya. Lara sialaaan
Saya tidak marah kok. Atau sebaliknya, malah kamu tidak percaya. Kamu malah
ngotot. Ah, tidak mungkin itu. Tidak mungkin itu! Robin, apa yang saya katakan
itu seratus persen benar. Saya tidak malu. Tidak merasa rendah diri, karena
memang itu sudah nasib saya. Mungkin kamu heran, kok seperti mengada-ada.
sa.ya yakin surat saya bakal kamu remas remas dan ka. mu lempar ke keranjang
sampah, karena merasa ter kecoh. O ternyata si Lara itu begini, begini, begini.
Tapi tidak apa-apa kok, saya tidak akan tersinggung tidak akan marah dan
mendendam, karena nasib saya sudah saya terima dengan tabah. Inilah jalan hidup
saya. Bukankah lebih baik saya jujur Hayo, kamu semakin pemasaran kan" Jangan
dong, jangan kamu lompati lembaran surat saya ini Tolong deh baca dari depan.
Na, na, tuuuh, lembar pertama mau kamu lempar begitu saja! Oke, Robin, Oke, saya
akan mulai Nah, selama ini kamu bertanya-tanya, siapakah saya ini. Tentu saja
saya harus jujur Yang bener aja dong, saya belum berumah tangga. Dan orang tua
saya juga tidak galak, karena orang tua saya tidak ada. Kamu tahu saya menempati
rumah gedong bertingka itu, itu bukan rumah saya. Kamu tahu, duuuh, sedih banget
saya harus mengatakannya, tapi enggak apaapa kok, saya akan jujur bahwa saya.
ini sebenarnya.pembantu rumah tanggal Nah, tuh, kamu pingsan sekarang karena
merasa terkecoh. Kalau kamu baca di taman, berteriaklah sepuas puasnya. Lara
sialaaan Saya tidak marah kok. Atau sebaliknya, malah kamu tidak percaya. Kamu
malah ngotot. Ah, tidak mungkin itu. Tidak mungkin itu! Robin, apa yang saya
katakan itu seratus persen benar. Saya tidak malu. Tidak merasa rendah diri,
karena memang itu sudah nasib saya. Mungkin kamu heran, kok seperti mengada-ada.
Tapi ini betul-betul ada lho. Kalau mau tahu, baik deh, saya ceritakan riwayat
hidup saya. Tapi sampai di sini, saya sendiri ragu-ragu, apakah kamu masih
membaca surat saya ini atau sudah kamu remas" Masih mau mengikuti" Atau kamu
sudah meninggal kan surat ini dan pergi nonton basket" 0, masih mau baca ya" Oke
deeeh! Menurut cerita orang saya ini lahir bukan di rumah sakit, tapi di bak
sampah. Di pinggir jalan di luar kota Yogya Kalanya pagi pagi buta, seron bongan
bakul-bakul yang hendak jualan di pasar, mendengar ada tangis bayi. Mereka
ketakutan, dikira ada setan. Lalu Mbok Marto memberankan diri. Dengan obor yang
menyala, mereka mencari-cari arah suara itu. Dan mereka menemukan bungkusan
selimut yang tertimbun tumpukan plastik. Tangis bayi itu masih terdengar Teman-
teman Mbok Marto pada berdatangan dan merubung. Setelah plastik. plastik
disingkirkan, ternyata di bungkusan selimut itu ada bayi. Itulah saya. Tentu
saja orang-orang desa yang sederhana itu pada geleng kepala. Kok tega-teganya
bayi sehat dan cantik, Eh, itu mereka lho yang mengatakan, bukan saya, dibuang
Kalanya, tubuh saya kedi nginan. Pipi saya sudah mulai sedikit berwarna biru.
Segera, saya disusui oleh salah satu dari mereka. Akhirnya rombongan yang hendak
jualan ke pasar itu, mengurungkan niatnya, mereka kembali ke desa Prambanan. Di
desa itu mereka lapor kepala desa. Dan atas prakarsa beberapa pamong, berita
tentang bayi jatuh R)dari langit ini dimuat di surat kabar Yogya. Tapi tidak ada orang yang datang
dan mengakui. Me mang itulah nasib saya. Barangkali saya ini anak haram. Atau
anak yang lahir dari rahim seorang ibu muda, atau remaja, saya tidak tahu.
Barangkali juga, kedua orang tua saya, tidak menghendaki saya hidup, atau
mungkin saya sudah dianggap meninggal, lalu dibuang, saya tidak tahu. Tapi
dengan cara itulah, Tuhan menciptakan saya, dan saya tidak menyesal Saya pasrah.
Seminggu kemudian, ada perempuan setengah baya mendatang Mbok Marto. Perempuan
itu hendak meminta saya, dan akan meninggalkan uang yang cukup besar Kalanya
ratusan ribu. Tapi Mbok Marto sudah terlanjur mencintai saya. Pemintaan itu
ditolaknya. Belakangnya, orang-orang desa memuji sikap Mbok Marto, karena
menurut Pak Lurah, sekarang ini banyak bayi, anak haram yang dibeli kemudian
dijual kembali kepada orang Bule. Wah, hampir saja saya jadi orang Bule ya"
Cinderella 89 Karya Eddy Suhendro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ngomongnya apa" Tapi, kok saya senang jadi orang Indonesia. Eh, Robin, kamu
masih membaca surat saya" Belum kamu remas kan" Baik, kalau begitu saya
teruskan. Nah, karena tidak ada yang mengakui saya sebagai anaknya, akhirnya
saya dipungut anak oleh Mbok Marto. Karena Mbok Marto sudah agak tua, saya
disusui oleh tetangganya. Oleh mereka, saya diberi nama Jawa. Laraningati Dalam
bahasa Indonesia, artinya sakitnya hati ini. Nah, sampai sekarang saya dipanggil
Lara, itu bukan nama Russia, atau nama dari Eropa, tapi nama dari Jawa. Jadi
jangan salah paham. Kata mereka lagi, saya itu pintar, maka mereka berusaha
keras menyekolahkan saya Sampai kelas enam. Dan anehnya, mereka itu jujur, tidak
mau membohongi saya. Seluruh kampung tahu kisah hidup saya, justru karena itu
saya malah disayang oleh setiap orang Nasib ini saya terima dengan pasrah. Hanya
anehnya sejak kecil saya bertekad untuk belajar dan mencari penghidupan, tujuan
saya hanya satu, membahagiakan mereka yang per nah menolong saya. Saya ingin
membelikan rumah Mbok Marto dan tetangganya yang pernah menyusui saya Tapi
sampai lulus SD, saya berhenti sekolah, karena tidak ada biaya Ya sudah, apa
boleh buat. Lalu saya membantu kiosnya Mbok Marto yang menjual barang barang
cinderamata. Kalau hari minggu saya menjajakan barang barang itu Saya tenteng di
tangan, sambil mengejar-ngejar turis asing, saya berseru,
"One thousand, Sir One thousand" Yah, sedikit-sedikit saya bisa bahasa Inggris
dan Jepang. Selain itu saya rajin banget belajar menari Jawa. Kata orang-orang
saya lues sekali. Seperti putri kraton, katanya. Tapi ah, kamu boleh tidak
peraya kok, ini hanya omongan orang. Cuma, kalau ada perayaan tujuh belas
Agustusan, saya selalu menari di panggung desa. Pak Lurah senang saya mau
diangkat sebagai anak, tapi Simbok menolak.
Kalau malam hari, sambil memandang candi
" (".Prambanan, apalagi kalau terang bulan, indah banget, saya memanjatkan doa
saya Tuhan, berilah saya kesempatan untuk belajar, saya ingin sekali
membahagiakan Simbok saya. Dan orang-orang yang telah membesarkan saya. Eh,
ternyata, doa saya dikabulkan, karena pada suatu hari, ketika saya sedang
menjajakan cinderamata, ada sepasang suami isteri yang memperhatikan saya. Saya
dengar bisikan mereka. "Mas, Mas, genduk, anak perempuan itu, kok cantik sih" bisik isterinya. Eh,
Robin, ini saya tidak ge-er lho. Saya dengar begitu lho dan saya pura-pura tidak
dengar, karena memang orang sedesa selalu mengatakan begitu, dan saya tidak
menjadi sombong, karena saya tidak tahu, apa sih untungnya menjadi cantik itu"
"Masak sih, anak desa kok cantik," kata perempuan itu lagi. Tanpa menawar mereka
membeli barang yang saya sodorkan. Lalu mereka menanya saya Tentu saja, saya
jawab apa adanya. Belakangan, saya baru tahu, perempuan itu ber. nama Bu Sunar.
Ia datang ke Simbok saya. Menanya banyak hal. Katanya ia ingin mengajak saja ke
Jakarta. Saya mau dijadikan pembantu. Tapi Simbok tidak setuju. Semua orang
melarang. Saya ya diam saja, habis, nasib atau masa depan saya diatur oleh
mereka. Tapi, perempuan itu tidak mudah menyerah. Ia menanya saya.
"Lara, apa kamu mau tinggal di Jakarta?"
tanyanya. -R')"Saya sudah dengar Bu. Saya mau, asal saya dijinkan sekolah!"
"Oh, pasti-pasti Boleh itu." Tapi Simbok dan orang-orang sedesa melarang Saya
tidak kurang akal. Saya ari bekas guru sekolah saya. Saya ceritakan bahwa saya
ditawari kerja se bagai pembantu rumah tangga, tapi boleh melanjutkan sekolah.
Saya ingin sekolah, dan ingin membahagiakan Simbok dan orang desa yang telah
menghidup saya. Guru perempuan itu terharu. Lalu datang ke rumah dan membujuk.
Akhirnya Simbok menyerah. Bu Sunar datang lagi. Bu Guru saya ikut me nemui dan
menanyakan alasan-alasannya. Bu Sumar menjelaskan,
"Begini lho Jeng sekarang ini di Jakarta, banyak keluarga yang selalu kesulitan
dalam urusan pembantu rumah tangga. Ba. nyak pembantu yang suka pindah kerja,
atau meninggalkan rumah begitu saja, atau pulang kampung Pokoknya, banyak
keluarga-keluarga setiap saat dipusingkan oleh pembantu rumah tangga. Se tahun
ini saja, saya sudah ganti pembantu tiga kali. Nah, saya punya pandangan,
bagaimanaya kalau pembantu itu dianggap anggota keluarga. Saya senang kok, Lara
ingin sekolah. Justru ada ikatan batin sama saya. Iya kan Mbakyu ?" Akhirnya
semua setuju. Halo, halo Robin, apa kamu masih membaca surat saya" Atau lembaran
ini sudah tergeletak di ranjangmu, dan kamu tinggal pergi. Atau malah sudah kamu
robek-robek" Halo, halo, Robin, kamu
R)masih membaca ya" Oh, masih ya" Tapi. tunda dulu airmatamu. Nggak baik lakilaki macam kamu mencucurkan armata. Oke, saya teruskan, ya" Wah, perpisahan
dengan orang desa itu sungguh mengharukan. Bu Sunar betul-betul bijaksana.
Simbok diajak ke Jakarta. Akhirnya Simbok mulai percaya dan relah berpisah
dengan saya. Karena waktu itu pertengahan tahun, saya tidak bisa langsung
melanjutkan sekolah. Nggak apa-apa. Saya malah bisa menyesuaikan diri. Memang
enak, saya bisa baca majalah, koran, ikut nonton TV, dan saya diajar masak.
Katanya saya ini cerdas, sekali diberi tahu, saya bisa. Bahkan kalau Bu Sunar
pingin bikin kue, ia hanya menunjuk gambar dari majalah, dan saya mengikuti
resepnya, hasilnya enak. Maka saya dipercaya. Bu Sunar senang saya ada di rumah
itu. Hanya ya itu, kok hidup ini selalu ada penderitaannya sih. Bu Sunar punya
dua anak perempuan. Tubuhnya pendek-pendek, kulitnya item. Rambutnya kering Yang
sulung sudah mahasiswa, katanya tingka satu. Waktu itu. Namanya keren, Soraya.
Sedangkan yang nomor dua, kebetulan umurnya sepantaran saya. Namanya Stephanie.
Yang terakhir cerewetnya bukan main. Mereka tidak pernah menyapa saya. Kalau
memanggil nya kitin. Masak, saya dipanggil si Mesin Cuci Garagara saya setiap
hari mencuci Tapi malah ber. untung, Bu Sunar sadar, dan membeli mesin cuci
beneran. RT)Kalau pulang sekolah, sepatu dilempar, br! Kalau dimarahi ibunya, jawabnya
senaknya, "Ma, zaman modern itu, sepatu bisa jalan sendiri, dan tahu di mana ia harus
mejeng," katanya. Ya jelas dong, untuk menata sepatu itu kembali ke tempat
semula, ya tugas saya. Pada awalnya mereka belum memusuhi saya. Tapi begitu saya
masuk kelas satu SMP, mereka mulai seuot. Sebab kedua orang tuanya selalu memuji
prestasi saya, dan anaknya sendiri digoblok goblokkan. Sudah deh, sejak itu,
saya dimusuhi Kalau saya ikutan nonton TV, mereka pada masuk kamar Terpaksa deh
saya tidak mau lagi nonton TV. Malah asyik di kamar mendengarkan sandiuara
radio. Kalau lagi sedih seperti itu, malah saya menari di kamar yang sempit.
Saya salurkan cetusan keindahan dengan gerak-gerak tangan saya. Saya sedikit
berke ringat, dan anehnya beban penderitaan itu menjadi hilang Pokoknya kalau
saya kesal, saya konsentrasi di kamar dan menari. Pada saat itu, tekad saya
berkumandang lagi. Tekad untuk membahagiakan Simbok. Dengan demikian keinginan
saya untuk minta pulang mendadak lenyap. Tekad itu yang se lalu membakar
semangat saya dan memaksa saya menelan penderitaan. Memang gaji saya tabung dan
saya kirimkan ke Simbok. Mereka senang sekali. Saya hanya menabung sedikit. Toh,
saya tidak punya keperluan lain lagi. Nah, waktu saya kelas tiga SMP kedua
anaknya R)itu semakin benci, karena teman-teman cowoknya yang suka datang ke rumah suka
menanyakan siapakah saya. Mereka jengkel. Bahkan ada temannya yang bergurau
hendak mengajak saya nonton. Tentu saja mereka jadi seuot. Kalau saya menyapu ha
laman, mereka berteriak-teriak,
"Hi, mejeng, mejeeeng" Ya, saya hanya bisa mengelus dada saja. Halo, halo Robin,
apa kamu sudah menguap, atau malah tertidur. Mungkin kamu sudah meninggalkan
surat saya ini, dan nonton video" Halo, halo Robin, di mana kamu" Eh, masih baca
surat saya ya" Nah, puncak kebenciannya, ya pada permulaan tahun pelajaran baru
ini. Saya lulus dengan gemilang, bahkan saya diterima di SMA kita yang beken dan
top ini. Stephanie tidak bisa masuk Ia marah besar Karena angka NEM-nya rendah
sekali Sudah deh, itulah puncak kebenciannya, dan saya selalu ditindas. Tapi ya
sudah, saya tabah-tabahin saja. Nah, Robin, coba bayangkan, kalau kamu datang ke
rumah saya, dan mereka melihat kamu mengantar saya, barangkali mereka akan
pingsan. Kedengkian nya akan semakin menjadi jadi. Mungkin malah akan menyakiti
saya. Padahal saya tidak bermaksud menyaingi. Saya hanya ingin menimba ilmu
penge tahuan saja. Jadi kamu cukup mengerti bukan" Barangkali kamu tanya, masak
sih, mereka tega banget. Ooo, dulu mereka malah berusaha mengusir saya. Enggak
percaya mereka mau berbuat begitu" Dulu, mereka protes sama orang tuanya. Bahkan
Soraya menuduh ayahnya punya anak haram. Kalau tidak, mengapa kedua orang tua
itu menyayang saya. Tentu ada apa-apanya. Begitu, kata mereka.
Maka dari itu Robin, saya ucapkan terimakasih banyak atas simpatinu, dan tolong
ya, jangan sampa saya kehilangan kesempatan menimba ilmu. Dan jangan kasihan
saya. Saya tidak takut menderita.
Eh, sekarang sudah jam berapa ya" Hm, jam tiga pagi Saya dengar sayup-sayup,
tang listrik dipukul tiga kali. Sebentar lagi, saya harus menyiapkan sega lanya
untuk sarapan pagi. Tidur saya pendek sekali
Nah, Robin, saya minta dengan hormal, lupakan Saya.
uassalam, Lara. Robin menerawang menatap langit-langit kamarnya. Hidup orang kok aneh bangel.
Masak ada sah orang yang tega membuang anaknya" Apakah ada, anak dilahirkan,
tanpa dimain kehadirannya" Nah, kalau begitu kenapa mesti punya anak" Kok yang
mengalami nasib seperti itu Lara ya" Kalau saya sendiri bagaimana" Hi, saya
lahir di bak sampah" Hi, kok mengerikan!
Robin terlonjak dari ranjangnya, karena pintu kamarnya digebrak-gebrak.
"He, Rambo, ayo dong anterin!" teriak Luki.
Robin bangkit dari ranjang. Langkahnya
Cinderella 89 - Karya Eddy Suhendro
sempoyongan. Pintu segera dibuka.
"Ya, halo?" desisnya manis. Luki terkekeh-kekeh,
"Tuh, tampangnya orang jatuh cinta, kayak begitu. Ayo dong anter!" Robin
terkesima. Ia tatap adiknya. Dan dalam hati bergaung rasa syukur. Beruntung juga
ya. saya tidak dilahirkan di bak sampah. Sungguh beruntung, saya punya bapak dan
ibu yang baik. Kalau saja, setiap bayi yang akan lahir itu bisa memilih, mereka
pasti akan berebut memilih dilahirkan dari rahim seorang ayah dan ibu yang baik.
Tapi mana bisa" Kalau begitu, hidup itu anugerah! Robin memandang adiknya, tibatiba terbit rasa sayang pada adiknya. Ia keluar kamar dan nerangkulnya. Luki
menyeringai girang, "Asyik loh, kalau punya kakak setiap hari jatuh cinta, bakalan kecipratan deh
kita, ikutan dimesrain!"
"Ntarya Neng, saya makan dulu"
"Cepetan!" Robin hanya tersenyum. Sambil makan, suara hati Lara terasa bergema
di kepalanya. Robin melihat ke sekeliling. Sungguh nikmat dilahirkan di tengah
keluarga yang bertanggungjawab. Hidup terasa enak, tapi berapa ribu orang yang
mengalami nasib seperti Lara. Hadir di dunia ini, karena permainan nafsu. Tanpa
ada orang yang mau bertanggungjawab akan masa depannya. Robin menatap foto
keluarga. Tampak dirinya dirangkul ayahnya, dan Luki dipeluk ibunya. Sungguh
keluarga yang bahagia. Melihat foto ayahnya Robin tersenyum geli. Lihat tuh,
gaya Paman Gober Mesra bangel. Tapi kalau dimintai duit, duilee, nanyanya
panjang bangel. Selalu deh, Paman Gober bilang, jangan royal, uang harus
dihemat, nyarinya susah, nah kalau cari uang sendiri, itu yang hebat, jangan
asal menjulurkan tangan seperti pengemisi Ayahnya tidak marah dijuluki paman
Gober, tokoh kartun dari Donal Bebek yang suka menyimpan uang dan mahapeli. Ah,
pelit-pelit begitu, dia baik kok. Buktinya masih mau membesarkan saya! Tanpa
disadari, surat dari Lara, telah membangkitkan rasa sayang pada kedua orang
tuanya, rasa sayang yang semakin mengental. hm. ini gara-gara Lara. Ya. Ia
pantas dicintai Brak. Luki menghantam meja makan Gelas piring, berloncatan
"Ayo doong, telat nih rengek Luki.
"Kamu ikut team apa sih?" tanya Robin kalen.
"Basket I" "Oke, saya akan antar anggota team yang akan.masuk kotak!"
"Enak aja!" "Habis, mau class-meeting saja gayanya seperti mau ke Olimpiade!" Luki mencubit
lengan Robin. TIGA kali ini robin masuk sekolah agak pagian dikit.ia
berkeliaran di halaman sekolah yang masih agak sepi. Tetapi Lara yang ditunggu
tunggu itu, belum juga muncul. Padahal ia ingin sekali menyampaikan pujian dan
rasa kagum. Simpatinya mulai bersemi.
Sementara itu, Siska, setelah memberi salam pada kakaknya, turun dari mobil,
lalu berjalan bergegas masuk ke halaman sekolah. Di tengah halaman ia melihat
Robin yang berjalan santai, kedua belah tangannya masuk dalam saku celananya,
seperti penyair kehilangan inspirasi, Siska tertawa terkekeh-kekeh,
"Oalah Bin, kamu kira, kita-kita nggak tahu ya, siapa yang kamu taksir?"
"Emang siapa?" "Lara, kan" Anak kelas satu itu" Iya, kan" Kita sudah tahu siapa dia, Robin
mengejar babu!" Siska mencibirkan bibirnya. Robin tidak marah. Tidak juga merasa kecil hati.
Dengan tenang, ia menghampiri Siska,
"Eh, tahu enggak, babu itu berhati intan. Dulu orang Eropa bikin cerita tentang babu dengan nama
Cinderela. Dan kamu tahu siapa yang jatuh hati pada Cinderela" Sang Pangeran.
Tuh, jadi Cinderella pantas dicintail" Siska rada keki juga Tas sekolah yang
tersampir di bahunya dihantamkan ke lengan Robin.
"Oalaaah, Bin, kayak kurang stock cewek di Jakarta ini!" ejek Siska sambil
cengar cengir "Stock banyak, Sis, tapi yang punya sepatu kaca cuma satu!"
"Dasar kamu sudah keracunan cerita anakanak."
"Tuh, sebel sendiri kan kamu!" Siska ngeloyor pergi Robin nyengir penuh
kemenangan. Halaman sekolah semakin banyak anak, dan menjelang pukul tujuh
seperempat, Lara belum juga nampak Robin gelisah. Janganjangan Lara dilarang
sekolah. Ketika bel berdentang, ia terperangah, melihat Lara turun dari bis dan
berlari-lari menuju kelasnya. Robin tidak sempat menyapa. Ia terpana dan kagum
melihat gadis itu berlari-lari menyelinap-nyelinap di antara anakanak yang
berjalan gontai menuju kelas. Ya, ya, saya tahu, Lara seperti kekurangan waktu.
Tentu, tadi itu ia menyiapkan sarapan dan mengurusi macam-macam. Ia tidak punya
waktu untuk bercanda. Kasihan ya. Hm, memang dia pantas dicintai
Robin berjalan tenang menuju kelas.
,Kedua belah tangannya masih di saku celananya.
Robin sudah tidak sabar menunggu, begitu jam istirahat pertama tiba, ia buruburu bangkit dari tempat duduknya. Ia tidak sadar kalau cewek-cewek sekelasnya,
yang sudah menerima berita bahwa Robin jatuh cinta, siap mengeroyoknya. Langsung
terdengar suara cewek yang agak parau dari pojok kelas,
"Ayo, Bin, lekas Bin, survey ke kelas satu!" Robin berhenti sejenak. Ia mencaricari arah suara itu. Cewek itu terkikik-kikik, dan menundukkan kepala. Dari arah
lain terdengar lagi suara cewek mengejek. Bersaut-sautan.
"Ayo Bin, jadi Hunter"
"Ya, ya, sex Hunter!"
"Lou Hunteri" "Salaaah Tante Hunteri" Robin belum sempat membalas, Siska sudah berdiri di
depan kelas, sambil berteriak-teriak,
"Eh, tahu enggak, Robin sekarang menjadi ketua kehormatan PBB."
"Lho, apa" Pajak Bumi dan Bangunan?" sahut salah satu anak. "Bukaaan. Persatuan
Babu Babu" Kelas menjadi gaduh oleh gelak tawa dan sedikit tepuk tangan. Robin
melenggang tenang di sela-selabangku. Kedua belah tangannya direntangkan, sambil
mengepak-ngepak seperti burung, ia mencoba menenangkan,
"Nah, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya yang saya hormati, sampai sekarang kalian suka
mengatakan saya ini homo, terpaksa deh, untuk membuktikan bahwa saya ini normal,
saya terpaksa mencomot cewek anak kelas satu Mereka kan masih percaya, kalau
saya ini normal" Utari berdiri sambil meliuk-liukkan tubuhnya seperti penari
Mesir, "Kita juga perempuan Iho Bin!"
"Ya, betul Yang pasti kamu bukan KuntiIanak!"
"Godan kita dong Bin!"
"Wah, kamu bukan Cinderelal"
"Eh, Ut, Ut, "sela Siska keras-keras,
"Kamu jadi babu dulu, baru dipilih Robin."
"Sani" Kelas semakin gaduh. Ada cewek maju ke depan. Ia mengangkat kaki kirinya,
dan ujung roknya ditarik sedikit untuk memamerkan betisnya,
"Nih, Bin, kita juga perempuan!" Robin menyeringai, ia menuding salah satu cowok
yang hendak hengkang dari bangkunya,
"Ton, mau enggak kamu sama Elly, lihat tuh, betisnya baru cantik-cantiknya,
mirip pepaya busuki" Tentu saja para cewek jadi berang, berhubung kaumnya sedang
dihina, maka mereka kompak hendak membalas dan menyerbu kedepan, tapi Robin
lebih gesit, ia buru-buru kabur sambil menyeringai.
Ah, dia pasti tidak keluar main. Pasti ada di dalam kelas. Robin berjalan
gontai. Lalu melongok jendela kelas satu. Ia tersenyum melihat Lara sedang sibuk
menulis. "Halo, halo, Lara, apa kamu masih ingat saya" tegur Robin datar. Lara
terperanjat. Ia mendongak. Begitu me lihat Robin, ia terkikik kikik geli.
"Halo, hallo Lara, saya sedang kerepotan. Susah melupakan kamu!" Lara terkesima
sejenak. Oh, jadi dia mau baca surat saya ya. Hm, boleh juga cowok ini. Kok baik
bener Lara tersenyum manis.
"Halo, halo Lara, apa kamu sedang menulis riwayat hidup jilid dua?" Lara
terpaksa terkekeh-kekeh. Tulis dong Pertemuanmu dengan Robin. Tulis dong"
Cinderella 89 Karya Eddy Suhendro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, kamuuu!" "Yuk, ke kantin dulu!"
"Trims Bin Saya harus menyalin pelajaran. Di rumah enggak sempet!" Tapi, ntar
siang kamu masih perlu orang untuk mengangkat barang-barangmu, kan?"
"Nggak usah!" "Yak, tul Memang tidak usah. Kamu enggak usah naik bis. Ntar pakai mobil saya
saja!" Lara memandang sendu, senyumnya masih tetap manis.
"Halo, hallo Lara, apa kamu masih mendengarkan saya?" Lara jadi kebingungan
sendiri. Kalau ia tidak meluluskan permintaan Robin, cowok itu bakalan mejeng di
kusen jendela terus sampai bel berbunyi lagi Wah, gawat. Bakalan enggak enak,
bisa menimbulkan rasa sirik pada cewek kelas satu lainnya. Kan berabe. Maka
buru-buru, ia menyahut, "Oke deh, oke!" Robin tersenyum penuh kemenangan. Lalu melambaikan tangannya,
"Trims ya!" Semula Siska menganggap bahwa ulah Robin ngeceng di kelas satu itu
hanya iseng belaka. Maka ia sengaja menggoda Tapi rupanya Robin serius banget.
Siskajadi berubah perangainya. Ia geram. Ia pergi ke kantin. Begitu melihat di
kantin banyak cewek kelas satu, ia segera menye bar isu. Bicaranya keras-keras,
"Hu, cowok model sekarang Enak aja, ngajak cewek pergi. Gantiganti pacar
seenaknya. Emang cewek itu sepatu" Kalau enggak suka, tinggal dibuang, br
Apalagi cowok macam Robin, nggak punya selera. Nggak level deh. Nggak bisa
diandalin. Cewek yang pinter, enggak sudi diajak pergi. Bingung dia sekarang.
Langsung, main comot saja. Babu pun mau. Dasar cowok nggak punya seleral" Nah,
seperti biasa, isu itu seperti emping yang gurih. Renyah kalau dimakan. Dan
tersebarnya juga cepat. Bahkan berubah-ubah.
Cewek-cewek kelas satu mulai mengerling sinis pada Lara. Sedangkan Siska sendiri
sikapnya mulai berubah. Selama mengikuti pelajaran, ia hanya diam membisu. Tidak
mau lagi cengengesan. Robin yang menjawab pertanyaan guru dengan sedikit melucu,
tidak menarik perhatiannya lagi. Biasanya kalau Robin melempar lelucon di kelas,
Siska segera mimbrung dan menggoda. Tapi kali ini, ia hanya duduk cemberut.
Bahkan ketika saat pulang, ia berjalan keluar kelas dengan kepala tertunduk.
Ketika berpapasan dengan Robin, Siska berlagak tidak kenal. Bahkan secara
sengaja ia melengoskan kepalanya ke arah jendela, seakan ia hendak mengatakan
bahwa jendela itu lebih kece dari Robin. Tapi ya dasar Robin, ia malah berjalan
gontai menuju ke kelas satu sembari bersiulsiul ringan .Cuma celakanya, sampai
di depan kelas, sorot mata cewek kelas satu rada aneh. Mereka saling menyodok
temannya, atau saling berbisik. Lalu buru-buru meninggalkan Robin yang
melongoklongok ke ambang jendela. Ternyata Lara sudah tidak ada. Tetapi ia tidak
kehilangan akal. Dengan langkah tenang ia berjalan menuju kejipnya. Ia tahu,
Lara pasti belanja di Supermarket itu.
Robin cukup sabar menunggu. Jelas dong, naik jip lebih cepetan ketimbang naik
bis, karena R)enggak pakai merayu penumpang di sheller Ia menunggu di mobil sambil
mendengarkan kaset. Begitu melihat Lara turun dari bis, Robin segera mematikan
kasetnya. Sakinggirangnya, ia lupa mencabut kunci kontak. Ia segera memburu
Lara. "Halo, halo Lara, kenapa kamu ingkarjanji?" seru Robin setengah berlari. Lara
terperangah. "Halo, halo Lara, apa kamu mendengarkan saya?"
"Wah maaf bangel Maaf!"
"Kenapa sih?" "Saya tidak mau merepotkan kamu. Anakanak kelas satu omongannya menyakitkan.
Saya sih tidak marah dikatain babu, memang kenyataannya begitu, mau apa. Itu
sudah nasib saya, tapi, saya tidak mau, kalau kamu terganggu, gara-gara saya"
"O, o, o, hanya itu" Him.oke, saya jelaskan!" Lara berjalan menuju ke
Supermarket. Robin terpaksa membuntuti. "Kamu kira saya akan ciut, dan melupakan
kamu Wah, saya tidak setolol itu!"
"Robin, kamu jangan sampai terkecoh. Pilihlah cewek yang setingkat denganmu"
Sambil menyelinap ke pintu masuk, Robin masih nerocos, "Sekarang bukan zamannya
tingkat-tingkatan Non. Hanya bis kota saja yang rada genit, pakai tingkattingkatan."
Lara tidak menggubris, ia melewati besi Penghalang, Robin setia membuntuti,
"Halo, hallo Lara, kamu mau mendengarkan saya!" Lara tersenyum.
"Nah, begitu dong!" Robin menarik kereta dorong,
"Nah, saya sudah baca suratmu. Sampai berapa kali ya. Wah lupa saya. Nggak ada
yang saya remas. Kamu bilang kamu lahir karena dibuang, iya kan" Kamu percaya
kan" Kenapa sedih" Apa bedanya dengan saya" Katanya saya dilahirkan ibu saya. Ya
saya percaya. Dan ibu menyayangi saya, berarti saya semakin percaya. Lho apa
bedanya dengan kamu" Apa bedanya kamu dengan cewek lain" Kan mereka juga samasama tidak mempunyai bukti dilahirkan oleh enyaknya. Iya kan" Modalnya, cuma
percaya kan?" Lara memandang penuh kagum.
"Naaah, begitudooong
"Robin mendorong kereta dorong itu mengikuti kemana saja Lara pergi,
"Nah, suratmu itu betul-betul mempe sona, sampai saya bilang dalam hati, ini dia
cewek tahun dua ribu" Lara berhenti sejenak, sambil senyum, ia mengernyitkan
dahi. "Eee, kamu enggak percaya ya" Begini Lara, ibu saya sering memarahi adik saya,
Luki, katanya, kamu tahu enggak lantai kotor itu ya mesti disapu. Tahu" Adik
saya marah, buat apa Ma, punya pembantul" Lara cenberut.
"Dengerin dulu sampai selesai dong," Robin
hendak meyakinkan, "Lantas Ibu saya marahmarah. Luki, katanya lagi, kamu harus siap-siap dari
sekarang, sebentar lagi, tahun dua ribu, di Indonesia ini tidak ada pembantu.
Semua gadis dari desa bakalan pintar-pintar dan kerja di pa brik atau kantoran.
Nah, kamu harus belajar ngepel dan sebagainya. Tapi apa jawab Luki" tahun dua
ribu kan masih jauh Mal" Lara tersenyum, sambil mencomot kaleng susu, ia
berkata, "Luki benar. Ini tahun 89. Jadi bagaimana pun saya ini termasuk kelas rendahan"
"Wah, itu pemikiran yang subyektif. Nggak setuju saya. Coba pikir Lara, kamu
malah mempunyai kelebihan dari cewek-cewek teman saya Kamu bisa masak, bisa
seterika, bisa menyapu dan sebagainya, apakah teman-teman saya bisa" Wah, belum
tentu itul Lho, kamu lebih hebat kan!"
"Nyindir ya!" "Lho, kok malah ngajak salah paham. Pokoknya cuekin saja gosip murahan itu.
Oke?" Lara memandang mesra, lalu dengan lembut ia menganggukkan kepalanya.
Ketika mereka berdua keluar dari Supermarket itu, mata Robin melotot garang. Ia
kaget, karena dari arah jipnya terdengar lagu rock yang keras sekali. Ia baru
sadar kalau kunci kontak lupa dicabut. Dan siapa anak kurang ajar yang nangkring
di dalam jip itu. Robin semakin terperangah, karena ia melihat Luki, masih
dengan seragam putih-biru, duduk di tempat stir sambil merem-merem.
"GIla loh!" Luki terbangun, lalu menyeringai,
"Nah, bener kan, kerjaan Rambo itu perang atau bawa-bawa barang!" "Ngapan kamu
nongkrong di situ?" "Habis, tadi waktu lewat sini, ada jip Rambo, ya lantas turun. Eee kebetulan,
nggak dikunci Kok tumben pelupa. Wah, kalau perang bakalan kalahan melulul Habis
perabotan perang lupa dibawa!" Robin agak sedikit kikuk, karena kedua belah
tangannya membawa barang belanjaan, maka hanya dengan menggerakkan dagunya,ia
menyuruh Lara berkenalan sama Luki,
"Tuh, ke nalin adik saya yang paling sableng" Lara menganggukkan kepalanya penuh
hormat, dan tangannya hendak menjulur, mengajak jabat tangan. Tapi Luki tidak
beranjak dari tempat duduk. Ia memberi hormat ala tentara,
"Siap Jenderal. Nama saya Luki" Robin geleng kepala. Lara tersenyum geli. Dalam
hati ia mengagumi, bahwa keluarga Robin ini bahagia. Hubungan kakak beradik
mesra, kocak dan menyenangkan. Mereka pasti berasal dari keluarga bahagia. Tibatiba Lara merasa tidak enak, kalau mengganggu kebahagiaan itu.
"Robin, sebaiknya saya naik bajaj saja!" desis
Lara sambil meminta barang-barangnya. PT. ST"Ala, naik jip irit. Nggak usah
bayar. Kalau naik bajaj, kamu bakalan keluar lima ratus perak, banyak tuuuh!"
Luki sengaja mengangguk-anggukkan kepala untuk menggoda Robin. Lehernya yang
jenjang itu sedikit terjulur, karena ia ingin mengamati cewek cantik itu dengan
seksama. Robin menyuruh Luki pindah tempat duduk, tapi cewek kelas tiga SMP yang
bertubuh bongsor itu malah berlagak seperti kondektur bis,
"Ayo masuk, masuk. Sekali-sekali saya stir kenapa sih. Nggak usah takut Mbak,
nggak punya SIM, enggak apa-apa, yang penting tidak nabrak cowok. Ayo, Mbak
jangan malu-malu, Mbak Masuk saja. Nggak nggak bakalan masuk got jip ini. Saya
sudah diajari Rambo stir kok Malah sudah pernah ikut rally. Tapi sampai sekarang
nggak punya SIM Nggak enak nyatut umur, masak umur saya lima belas mau dibilang
tujuh belas, perempuan kan nggak suka cepet tua Oke, Mbak!"
Robin rada kesal. Ia terpaksa membuka pintu belakang. Lara tidak mengeluh, ia
senang dipanggil Mbak Selama dalam perjalanan itu, mata Lara berkaca-kaca. Bukannya sedih, melainkan
ia ikut merasakan kebahagiaan dua kakak beradik yang selalu bergurau seenaknya.
Betapa senangnya hidup di lingkungan mereka.Lihatlah, betapa besar Robin
menyayangi adiknya. Ah, Lara, kamu jangan mimpi. Jangan. Jangan berharap terlalu
banyak. Duniamu tidak di situ. Nasibnu lain. Memang nasib tidak usah kamu ratapi
Nasib kamu terima dengan baik. Dan kamu jalani. Tapi jangan berharap banyak,
Lara. Pesan kepada diri sendiri ini belum sempat tertanam dalam hati, Jip sudah
berhenti di depan rumah besar. Ketika hendak turun, Robin loncat duluan dari
tempat duduk di depan dan membukakan pintu belakang Lara terperangah, bukan
karena kesopanan Robin, tetapi karena di halaman rumah itu, tampak Stephanie dan
teman-temannya sedang bercanda. Stephanie melotot dengan tatapan geram.
Lara menjadi lemas. "Kenapa Lara?" "Tidak apa-apa" desis Lara dengan suara tersendat.
"Saya antar sampai ke dalam?"
"Jangan deh, Robin! Trims ya!" sahutnya dengan Suara Cemas.
"Oke, see you!"
Lara semakin gemetar. Ia menatap kepergian Robin dengan wajah sendu, lalu
menoleh ke halaman, dan betapa mengerikan melihat sorot mata Stephanie penuh
kebencian aduhl Asyik bangel Dasar babu nggak diuntung Ternyata kencan sama cowok ya!
Gayanya belanja. Tuh, Ma, tahu kan Mama sekarang, bahwa selama ini Mama
dibohongil" Stephanie berteriak-teriak sambil menuding Lara yang berada di
dapur. "Kalau dibiarkan terus Ma, enggak ada tiga bulan, bakalan hamil Naaa,
Mama yang bingung!" teriak Stephanie lagi dengan suara parau. Bu Sunar tetap
tenang. Meskipun ia sudah mendengar laporan dari anaknya, selama setengah jam,
ia masih tetap tenang, bahkan dengan lembut ia menyuruh anaknya belajar,
"Fanni, sudah. Kamu belajar saja. Nar kalau ulangan jeblok lagi!"
"Ala, bencil Mama selalu belain dia. Kali saja dia itu anak haramnya Mama Iya
kan Disayangsayang!"
"Ssst, hehl Ntar Mama tanyain. Sana belajar kamul Pokoknya Mama tangani
sendiri."Stephanie merengut.
Bu Sunar melongok ke dapur. Lara baru saja mematikan gas.
"Lara, apa benar kamu tadi diantar seorang cowok?" tanya Bu Sunar dengan suara
tenang. "Bener Bu!" "Siapa dia?" "Anak kelas tiga"
"Namanya?" "Robin, Bu!" "Baik, maukah kamu mengundang makan dia besok sore?"
Lara terbelalak. Ia tidak mengerti, mengapa Robin diundang makan. Lara hanya
menjawab dengan anggukan yang berat.
"Trimakasih Laral"
"Eh, Ma, Ma, Rambo ternyata romantis lho, Ma," seru Luki di meja makan. Meskipun
mulutnya sedang mengunyah-ngunyah, kepalanya bergoyang-goyang ke kanan-kiri,
matanya melirik-lirik ke arah Robin.
Ibunya hanya mengerling sejenak, sambil menyuap nasi.
Karena Robin tidak protes, atau membalas serangan, Luki semakin menjadi-jadi,
"Eh, Mama nggak percaya sih. Pacarannya modern Ma, nggak di tempat-tempat yang
gelap, Ma. Tapi belanja di Supermarket, nenteng-nenteng R)belanjaan. Romantis
deh Ma." Robin yang duduk di sebelah Luki hanya nyengir saja.
"Bener ya?" gumam Ibunya.
"Siapa sih?" "Ah, cuma temen sekolah!" gumam Robin datar. Paman Gober yang duduk di sebelah
Ibu, tersenyum, lalu bersabda,
"Pacaran sih boleh, asaljangan menodong uang saku saja dari Mamamu!" Robin
nyengir. Tuh, modelnya Paman Gober. Pelit bange. Ia lebih bangga kalau anaknya
dapat uang dari ngompreng atau usaha kecil-kecilan. Setiap bulan, anak-anaknya
terima gaji. Kalau ada pengeluaran ekstra, harus minta ijin dulu. Kalau
alasannya tidak kuat benar, daftar isian proyek bisa ditolak mentah-mentah. Maka
Robin, tidak begitu royal membelanjakan uang sakunya.
"Hati-hati, Bin, anak orang jangan sembromo. Jangan sembarangan" kata ibunya
menasihati. "Betul juga, ya!" Robin bergumam, sambil menyudahi makannya,
"Dalam urusan cinta, langsung ortu jadi polisi!"
"Iya dong Bener dong" Luki membela,
"Kan pacaran itu seperti lalulintas. Perlu ramburambu juga, ya enggak, Ma" Iya
kan Maaa" Lho katanya, kecelakaan dalam pacaran itu, karena kurang memperhatikan
rambu-rambu jalan. Iya enggak" Misalnya nih, kalau ada sepasang remaja naik
mobil, lewat depan hotel, langsung dipasang rambu-rambu di larang masuki Bahaya
kan ya Ma, ya, berduaan di hotell"
"Masak, cuma makan pizza kok bahaya" 'Lho bahayanya itu.setelah makan pizza itu
I" Paman Gober tertawa senang, "Rambu lain lagi, apa Luk?"
"Misalnya lagi, kalau ngelayap ke Ancol, langsung kasih tanda, awas jalan
berbelok-belok, bisa masuk jurang!" 'Lho kalau nonton bioskup?" Robin sengaja
mau mengejek diri sendiri.
"Langsung deh tancap rambu: dilarang parkir di depan layar. Bahaya tuh, enggak
ada yang ngawasi" "Lho, Luk, kamu kok pengalaman bangel. Tahu darimana tuh?" sembur Robin dekat
telinga adiknya. "Dari gosipl" Mereka tertawa renyah. Lelucon Luki memberi inspirasi. Tiba-tiba
Robin ingin sekali mengajak Lara nonton film malam minggu nanti. Kenapa tidak
boleh. Asal saya minta dengan baik dan sopan. Gadis seperti itu berhak juga
bersenang-senang. Pokoknya, saya akan memberinya suatu kenangan manis. Robin
semangat banget. Pagi-pagi sudah berangkat ke sekolah. Tapi belum sempat ia
menyampaikan ajakannya, Lara datang nyamperin duluan.
"Robin," bisiknya sendu.
"Ya, halo?" serunya kegirangan."Ntar sore kamu diundang makan Bu Sunari"
"Haaah" Diundang makan" Acara ngelamar saja belum kok sudah diterima"
"Hushi" "Ada apa sih?" "Nggak tahu ya" Lara langsung berlari-lari menuju kelasnya.
Robin kelihatan girang. Maunya sih tampil keren. Maka baju gedombrangan dimasukkan ke dalam celananya.
Lantas, rambutnya juga diminyaki. Kemudian ketika ia menatap wajahnya sendiri di
cermin, Robin kebingungan, kok yang tampil di kaca itu bukan dirinya sendiri.
Ah, cuek ah. Sepatu yang dikenakannya juga sudah disemir mengkilat. Begitu
keluar dari kamar, Luki yang melihatnya, tertawa terpingkal-pingkal,
"Taela, Rambo mau mendapat julukan pria berbusana terbaik minggu inil Eh, mau
kemana "Ini urusan tujuh belas tahun ke atas!"
"Nga gih lagi, itu kepala Robin, atau kepala tikus yang baru kecebur got?"
"Ini penampilan orang dewasa" Luki semakin tertawa terpingkal-pingkal,
"Nggak pantes ahl Jelek. Rambo jelek. Kayak bapak-bapak Hii, norak deh!" Robin
jadi kebingungan. Ia masuk ke kamarnya lagi untuk melirik penampilannya lagi di
cermin. Hm, Luki benerjuga ya. Bahl Akhirnya dandannya yang sudah rapi itu
diobrak-abriknya lagi. Rambutnya dikeringkan. Dan bajunya dibikin gedombrangan.
Sepatu kulit ditukar dengan sepatu kets.
Luki mengintip dari celah pintu,
"Naaah, gitu dong Mendingan nggak usah dapat julukan pria berbusana terbaik deh,
asal keren, remaja gaya cuek dan masih tampak Rambo begitu. Bisa dikopi?"
Robin hanya tersenyum. "Mau kemana sih" tanya Luki penasaran.
"Mau kondangan!"
"Asyik dong pulang kondangan pasti bawa hamburger!"
Robin hanya nyengir Stephanie terperangah, karena ia melihat jip Robin berhenti di depan rumahnya.
Ia melotot kagum, ketika Robin turun dari jip. Tapi ia perlu bergaya gengsi
juga, maka ia pura-pura membersihkan rumput yang tumbuh di dekat pohon anggrek.
Robin berjalan mendekat, "Selamat sore!" tegurnya ramah.
Cinderella 89 Karya Eddy Suhendro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Stephanie pura-pura terperanjat. Tubuhnya yang pendek itu, berlagak sedikit
terlonjak, "Soreeel" sambutnya digugupkan. Namun demikian kentara sekali kalau suaranya
sengaja dimerdukan. i "Apakah saya bisa berjumpa dengan Lara?" "Lara?" Suara Stephanie berubah. Tadi
suaranya dimerdukan, tapi kali ini suaranya agak melengking, berisi nada-nada
kebencian. Begitu pula, mulutnya yang semula segar, menebarkan senyum, tiba-tiba
berubah menjadi cemberut.
"Adal" Suaranya berubah menjadi sengit,
"Tunggu ya!" Suaranya berubah lagi menjadi galak. Stephanie masuk ke dalam.
Robin berdiri sambil memperhatikan pertamanan anggrek. Pintu kamar tamu terbuka.
Bu Sunar muncul sambil menawarkan senyum keibuan. Robin mengangguk hormat,
"Selamat sore" "SoreI" "Maaf, Bu. Bisa saya ketemu Lara?"
"Oo, yaa Mari, mari. Masuk saja!"
Tuh, beneer kaan Gampang kok Kalau datang sopan-sopan, tentu dihormati juga.
Kalau ngomong baik-baik, tentu diijinkan juga. Campang kok
Sebelum masuk ke ruang tamu, Robin hendak melepas sepatu ketsnya, karena ia
melihat lantai marmer itu begitu mengkilat. Tentu saja Bu Sunar terperanjat,
"Eee, nggak usah dicopot!"
"Nggak apa-apa, Bul"
"Ayo, pakai lagi!"
Karena dipaksa-paksa, Robin menurut. Tapi dalam hatinya ia tersenyum. Ini benerbener keramahan, apa sekedar basa-basi" Janganjangan nanti begitu saya pulang,
ngomel-ngomel Dasar anak remaja zaman sekarang, kurang didikan. Masak, lantai
marmer bagus-bagus, diinjak-injak seenaknya, dianggap lapangan basket saja
Lantas, kasihan Lara yang akan jadi kurban. Lara disuruh terbungkuk-bungkuk
membersihkan kotoran. Apalagi waktu sepatunya menginjak karpet yang empuk dan
tebal, sepatunya sedikit diangkat, dan kepalanya menunduk untuk memeriksa apakah
ada lumpur yang lengket. Ternyata sepatunya cukup bersih. Maka dengan tenang
karpet bikinan Itali itu diinjak dan meninggalkan cetakan bekas sepatu.
Sepatu saya bersih kok Lara enggak bakalan deh disuruh-suruh. Robin duduk di
kursi yang panjang, dan Bu Sunar, sambil membetulkan letak patung bali di meja
kecil, melirik ke arah Robin.
"Ya, itulah, Nak.siapa namanya?" Bu Sunar pura-pura lupa. Lalu membenamkan
pantatnya yang besar di sice.
"Robin," sahut Robin pendek.
"Ya, Nak, Robin. Mungkin Nak Robin agak heran, kok diundang ke rumah saya. Iya
kan?" Robin tersenyum. Lho ini saya ingin ketemu Lara, kok perempuan setengah
baya yang menemui. Apa dia ini semacam polwan begitu. Bagian tanya-tanya" Masak,
mau ketemu pacar mesti diinterogasi dulu R)"Nggak usah heran Nak Robin. Saya
hanya ingin agar tidak terjadi salah pahaaam, begitu. Ya" Duduk yang enak saja."
Bu Sunar menoleh ke dalam,
"Fani!" serunya,
"Tamunya kok didiamkan saja." Suaranya kembali ramah,
" Mau minum apa Nak Robin" Soft drink" Atau apa?"
"Ya, apa saja Bul" "Soft drink ya" Biar cepet!" "Terimakasih, Bul" Bu Sunar yang
rambutnya sedikit mulai memutih itu, berteriak lagi,
"Fani, ayo dong keluarkan soft drinknya!" "Iya, Buuu!" terdengar suara agak
parau dari dalam. Dan suara itu terasa dimerdu-merdukan. "Nak Robin datang ke
sini mau menemui siapa sih?" "Lara, Bu!" "Nak Robin tahu siapa Lara?" Robin
hanya diam saja. Tiba-tiba ia tersenyum, karena Lara keluar membawa nampan.
Kepalanya menunduk menghindari tatapan Robin. Ketika mendekati meja, ia
berlutut, dan menyuguhkan dua gelas cembung, berisi cocaCola ke atas meja kecil.
Robin hendak mengajak senyum, tapi Lara menghindar. Lalu, dengan sedikit
mengingsutkan dengkulnya ke belakang, ia berdiri dan menghilang ke dalam. "Nah,
itulah Lara. Jadi tahu, siapa sebenarnya Lara itu?" Tahu, Bu!"
"Kaget?" "Tidak, Bul" "Tidak?" Bu Sunar mengangguk-anggukkan kepala.
"Yaaah, memang Lara bukan anak saya. Ini perlu diketahui dulu. Banyak yang salah
paham. Syukurlah, kalau Nak Robin sudah tahu. Dari mana sih tahunya?"
"Dari Lara sendiri!"
"Oh! Kalau begitu, yaaa, saya tidak perlu menjelaskan lebih jauh. Iya kan"
Namanya siasia. Iya kan?"
Robin menggigit bibirnya. Dalam hati, ia ngomel-ngomel Dan Ibu jangan menyianyiakan waktu saya dong Lekas dong suruh keluar Lara. Kan saya boleh ngobrol
dengan dia. Oke, deh, misalnya tidak boleh ngobrol di ruang tamu ini, ya di
taman. Kalau di taman tidak boleh, ya saya akan ngobrol di dalam jip. Iya dong
Bu Sunar masih tetap bercerita panjang lebar tentang keluarganya, tentang anakanaknya. Album foto keluarga dikeluarkan. Dan Stephanie pun disuruh keluar.
Taela Robin terbelalak. Stephanie keluar dengan dandanan menor. Bajunya berumbairumbai, tidak cocok untuk potongan tubuh pendek. Lalu rambutnya dikruuel-kruuel
seperti sarang bangau. Ini Memedi sawah dari manaaa2 Robin masih juga terbelalak. Tapi karena Bu Sunar
menyuruh berkenalan, Robin menjabat tangan Stephanie yang besar."Ini Fani, anak
saya yang bungsu. Manjanya enggak ketulungan!" kata Bu Sunar.
"Ah, Mama!" Stephanie bergaya tersipu-sipu, dan suaranya masih tetap dimerdukan.
"Silakan ngobrol dulu. Ibu mau menyiapkan makan malam dulu ya" seru Bu Sunar
sambil melangkah masuk ke dalam. Mati saya.
Untung Luki tidak saya ajak. Wah, kalau dia ikut, bisa jadi dia bakalan
bersiul-siul di ruang tamu ini. Potongan seperti Stephanie ini bakalan jadi
bahan ejekan. Untung, saya datang sendiri. Tapi ya, demi menjaga kesopanan,
Robin tetap mengumbar senyum dan menanggapi keramahan nona rumah. Senyum yang
simpatik itu, disalah-tafsirkan oleh Stephanie, dikira Robin kesengsem sama
dirinya. Duuuh, kacau Stephanie mendapat kesempatan membuat laporan yang jelek
tentang Lara, "Ya itulah ya Mas, ya." Stephanie berlagak kaget,
"Eh, maaf. boleh kan panggil Mas?" Robin hanya tersenyum.
"Ya itu, Mas. Yang namanya babu itu, ya tidak bisa dipercaya. Masak kalung saya
yang dibelikan papa dari Paris itu, pernah hilang, eee, tahunya kalung itu ada
di bawah kasur tempat tidur Lara. Keterlaluan enggak. Padahal kita-kita ini
sudah begitu baik, tapi ya itu, tidak tahu diuntung. Masih juga mau jadi tikus
menggerogoti lumbung induk semangnya. Aneh kan Mas. Ibu memang berhati mulia,
koki Lara masih boleh R')kerja di sini. Dan itu Mas, kalau disuruh belanja, uoooi, seneng banget.
Nyatutnya enggak ketulungan. Tapi ya itu, Ibu masih percayaaa aja!" Robin diam
saja. Ia tidak mau membantah atau mengiyakan. Ia tatap wajah Stephanie dalamdalam. Kamu kok sirik banget sih. Tuh, kamu tuuuh, yang enggak pernah belanja.
Nggak pernah lihat ya, bahwa kertas dari kasir Supermarket itu disimpan baikbaik dalam dompetnya. Kan bisa diperiksa. Belanja apa. Bagaimana ia bisa nyatu"
Stephanie belum sempat obral fitnah, ibunya keluar lagi dan mengajak makan.
Robin dipersilakan masuk ke dalam. Ia terharu, melihat Lara yang sedikit
berkeringat di dahi, diperintahperintah Bu Sunar. Disuruh menyingkirkan pisau
roti. Soraya, anak sulung yang sudah mahasiswa, tidak mau keluar. Ia protes
berat, karena ia menganggap mengundang makan anak remaja itu, terlalu mengadaada. Nggak ada alasannya. Tapi Robin mulai sadar, bahwa undangan makan itu hanya
suatu cara yang halus dari Bu Sunar, untuk menunjukkan bahwa Lara hanyalah
pembantu rumah tangga belaka. Gadis yang disuruh-suruh. Gadis yang dianggap
tidak pantas duduk satu meja dan makan bersama. Selain itu, ia juga sadar, kalau
Memedi sawah itu disodorkan kepadanya sebagai pengganti. Selama makan, Robin
tidak punya bahan pembicaraan apa-apa. Ia juga tidak mau ngotot
memaksa Lara keluar. Sekedar iseng, ia memuji masakannya, "Hm, enak sekali!"
"Oh, itu menu, Ibu yang pilih," sahut Bu Sunar.
"Tapi Maaa, Udang yang aku goreng itu, enak ya Ma?" Ealaaah. Pembajakan ternyata
bukan hanya di bisnis kaset saja. Masakan orang pun bisa dibajak agar dapat
pujian. Jangan dikira saya tidak tahu siapa yang masak ya" Robin hanya
tersenyum. Mereka mengira, Robin senang sekali dengan Stephanie, tapi ternyata
mereka terlalu ge-er, karena Robin justru semakin terharu akan nasib Lara.
Rasanya ia ingin mengangkuti piring-piring kosong itu dan ikut mencuci di dapur,
untuk menunjukkan simpatinya pada Lara. Tapi ia takut ulah nekad-nekadan seperti
ini pasti akan melukai keluarga itu. Maka, ia hanya diam saja. Hanya ketika
selesai makan, ketika Lara dipanggil dan disuruh menyingkirkan piringpiring
kotor itu, Robin sempat mengedipkan mata pada Lara sebagai tanda simpati.
Kedipan secara tersembunyi itu ditangkap oleh Lara. Kedipan yang kecil, tapi
kedipan itu merupakan cetusan jiwa yang tulus. Kedipan itu hendak mengatakan
demikian. Jangan khawatir Lara. Saya tahu sandiwara ini. Saya tahu kamu
difitnah, bagaimana pun juga aku masih tetap memilih kamu.
Lara tergetar. Secara sembunyi pula, Lara sedikit melempar senyum pada Robin.
Senyum yang tipis, yang segera menghilang itu, hendak mengatakan demikian.
Robin, meskipun saya sengaja diperlakukan aneh seperti ini, kamu kok masih
menunjukkan simpati pada saya sih" Saya tidak akan pernah melupakan kedipan itu.
Kedipan yang membahagiakan! Setelah selesai acara basa-basi, Robin pamitan, dan
Stephanie titip pesan, Jangan segansegan ke sini ya. Di sini pintu tetap terbuka
lho! Jangan sombong ya?" Robin hanya tersenyum. Sebenarnya ia sedang cari akal
bagaimana caranya berjumpa dengan Lara tanpa menyinggung perasaan nona rumah.
Setelah sampai di teras, Robin memperhatikan pintu itu, lalu mengangguk-angguk,
"Betul juga, di sini pintu tetap terbuka, tapi apakah pintu kamar kecil, juga
terbuka untuk saya?" "Oalaaah, kalau mau ke belakang, bilang dari tadi." Dengan
ramah, Stephanie mengantar Robin ke kamar mandi belakang. Robin senyumsenyum.
Begitu Stephanie kembali ke ruang dalam, Robin sengaja nyasar ke dapur,
"Eh, keliru!" serunya. Lara terperanjat, tapi juga girang. Ia setengah terpekik,
"Robin!" "Lara," suara Robin tersendat, sebenarnya ia ingin mengatakan I love
you, tapi ungkapan itu seperti tertelan
di lehernya, lalu ia berbisik, Toiletnya ada di mana?" Lara segera menunjukkan
toilet yang tidak begitu jauh dari dapur. Dan pada saat itu, dari koridor
Stephanie melihat Robin keluar dari dapur diantar Lara. Stephanie melotot.
Sebelum masuk ke dalam kamar mandi, Robin berbisik,
"Trims, Lara, I love you!" Lara tersenyum bahagia. Senyum itu disembunyikan
dalam tundukan kepala. Tetapi Stephanie yang melihat adegan pendek itu, segera
saja melotot, pipinya menggelembung, ia hendak mendamprat Lara di dapur, tetapi
raguragu, karena Robin keluar dari kamar kecil.
Robin gelisah. Cinta itu kok aneh ya" kemarin-kemarin itu saya pakai buat
guyonan. E, minggirminggir, saya sedang jatuh cinta. Atau jangan ganggu, saya
mau baca surat cintal Atau, ah, saya mau cari pacar saya ahl Semua itu saya
ucapkan dengan enak, dan sesuka saya. Tapi sekarang kok aneh ya. Saya kok mau
berahasia. Murung Gelisah. Rasanya saya mau menginap di rumah Memedi itu. Mau
samasama Lara. Tentu saja, Memedi itu bakalan ngamuk. Iya udah deh. Saya pulang
saja. Tapi, hati ini rasanya kok gimana sih. Kayak ada sesuatu yang aneh begitu.
Dan sekarang ini, pagi-pagi sekali saya sudah sampai sekolah. Maunya ya ketemu
Lara. Tapi, sampai siang kok dia tidak datang. Tuh, hati ini tambah bingung
saja. Ini gimana sih. Kok ada perasaan aneh begitu. Dan saya kok rada sedikit
mudah tersinggung. Ketika ada yang menggoda, saya bentak dan saya tantang
berkelahi. Ada-ada sajaaal Habis, saya bingung sih. Lara enggak nongol hari ini.
Jangan-jangan dia dimarahi tidak diijinkan sekolah lagi. Waduh Kalau begini
caranya, saya sudah mencelakakan orang lain. Tidak bisa! Ini tidak bisa
dibiarkan Pokoknya nanti, sepulang sekolah, saya harus datangi Bu Sunari Agaknya
Robin sudah kerasukan cinta. Di kelas, ia tidak tenang lagi. Begitu sekolah
usai, Robin blingsatan. Mobil distir kencang. Begitu sampai ke depan rumah besar
itu, ia terbelalak, karena ia takut masuk. Cewek yang mirip Memedi sedang
ngobrol di halaman rumah bersama temannya. Waduh, bagaimana ini. Orangnya ge.
eran banget. Malah bisa kacau nanti. Gimana ya" Biasanya saya tidak pernah raguragu seperti ini. Kok sekarang aneh. Lantas Lara bagaimana" Disuruh pulang" Atau
bagaimana ini" Robin tidak menyerah. Malam hari, ia datangi lagi rumah itu.
Suasananya lebih aneh lagi. Rumah itu sepi, seperti ditinggalkan penghuninya.
Memang lampu-lampu di teras dan halaman menyala. Tapi rasanya tidak ada orang
yang jaga. Dari seberang rumah terdengar suara yang agak garang,
"Nyari siapa Dik?" Robin melongok dari jendela jip, "Pada ke mana sih, mereka?"
tanyanya datar. "Pergi. Ke Jawa Tengah!"Ah, apakah Lara dikembalikan ke
kampungnya" Sadis bangel Aduh kasihan Lara. Padahal ia bercita-cita ingin
membahagiakan Simboknya. Wah, wah, ini kesalahan saya. Pokoknya saya harus
berani membela dia. Nanti kalau orang tua asuh itu datang, akan saya jelaskan!
Setiap hari, Robin lewat rumah besar itu, tapi rumah itu tetap saja tertutup
rapat. Robin mulai frustrasi. Bayangan Lara selalu membuntuti. Ia tidak pernah akan
melupakan ketan item di pipi kiri, senyum yang renyah, tingkah laku yang
sederhana, rambut yang terkibas, dan hidung yang bangir Bayangan itu
meninggalkan getaran-getaran dalam hati. Robin ingin bicara, ingin membela,
ingin mengakui bahwa dirinya salah besar, bahwa dirinya telah menghancurkan
cita-citanya. Tetapi orang yang hendak diajak bicara itu hanya tinggal bayangan.
Robin yang murung di kelas itu, membuat Siska menjadi ceria lagi,
"Halo, Bin, baru patah hati ya?"
Robin hanya membalas dengan senyum yang pahit.
Sepuluh hari kemudian, Robin terkejut, karena ia menerima surat yang dialamatkan
ke sekolahnya. Surat itu berasal dari Tokyo. Begitu
membaca alamat si pengirim, Robin terlonjak girang, karena si pengirim itu
bernama L a ra. Saat mengaso, Robin segera menghilang. Ia bersembunyi di dalam
jip-nya, dan mulai nenbaca.
Robin yang baik, Saya tahu dan bisa merasakan kegelisahanmu. Sebenarnya, saya ingin sekali
menghubungi kamu, tapi saat itu sudah tidak ada waktu lagi. |
Kamu masih ingat kan, ketika kamu menurunkan | saya dari jip itu" Nah, saat itu
Stephanie memandang saya dengan sorot mata yang aneh. Dan sudah bisa saya tebak,
sore itu, saya pasti akan diadili. Pasti saya akan dituduh macam-macam. Begitu
besar rasa dengki mereka, sampai saya dituduh hamil, kalanya saya telah
melakukan pergaulan bebas. Betapa tololnya orang dengki itu, masak, saya hanya
duduk bersama kamu dalam satu jip bisa hamil. Sebenarnya saya tersenyum geli,
tapi ya, saya takut kalau mereka tersinggung Maka Saya tenang-tenang saja dan
minta bukti. Beruntung Bu Sunar sanga bijaksana, ia masih mempercayai saya. Lalu
atas prakarsanya, kamu diundang makan malam itu.
Saat itu juga, saya sudah siap mental. Bahwa saya akan dihina, dan akan
dipermalukan di hadapanmu. Saya sudah siap. Tapi dasar kamu! Kamu malah konyol,
pakai main kedip mata segala, dan mengucapkan I love you, wuuu, yang
|Stephanie langsung bikin topan badai. Pokoknya enggak karuan deh ulahnya.
Sedangkan, yang namanya Lara, gara-gara kedipan itu, langsung hatinya melayanglayang Keesokan harinya huru-hara mulai reda, dan mereka sekeluarga pergi ke
pesta. Pada sore yang sepi itu saya merenungi nasib saya. Sungguh aneh, sore itu
saya tidak merasa terhina atau menderita. Saya merasa bahagia sekali, karena
saya telah berjumpa dengan laki-laki bernama Robin. Kedipanmu yang aneh itu,
tidak akan saya lupakan. Dan kamu yang berlagak nyasar ke dapur itu, sampai
sekarang masih membuat saya terlaua geli, karena saya masih terbayang oleh
wajahmu yang lucu itu. Pesonamu begitu kuat meresap dalam hati saya. Saya merasa
mendapat anugerah yang luar biasa, karena ada laki-laki yang menghormati saya
sebagai pribadi. Saya menangis penuh kebahagiaan. Sebenarnya, dalam hidup saya,
saya pantang bermimpi, tapi sore itu, saya berkhayal, berjalan-jalan bersamamu
menikmati udara senja yang indah dan sejuk. Saya berkhayal menjadi anak dari
keluarga baik-baik, kamu bebas datang menjemput saya ke rumah tanpa suatu
hambatan apa pun. Alangkah indahnya kehidupan seperti itu. Tetapi kehidupan
seperti itu bukan milik saya. Hanya anehnya, selagi saya melamun begitu, saya
mendengar ada deru mobil masuk pekarangan. Bu Sunar datang. Ia menanyai saya,
apa benar saya bisa menari Jawa. Saya mengangguk. Saya disuruh
ikut. Saya bingung Bahkan karena sempitnya ukur,saya tidak dijinkan untuk
dandan. Saya dibawa pergi. Saya bingung. Ternyata saya dibawa ke suatu pesta
resepsi. Di sana, saya disuruh dandan tarian Jawa. Belakangan saya baru tahu,
bahwa resepsi resmi yang dihadiri orang asing itu, akan mendapat suguhan tari
Jawa, tapi ternyata penarinya mendadak jatuh sakit, saya disuruh mengganti.
Alunan bunyi gamelan membuat jua saya lege tar, dan darah saya mengalir,
merangsang gerakangerakan yang halus dan indah. Saya sudah tidak memikirkan
lagi, saya ada di mana, dan siapa yang duduk di ruangan resepsi itu. Alunan
gamelan itu menyalurkan seluruh jiwa saya pada suatu puncak keindahan. Tanpa
saya sadari, saya menari dengan penuh perasaan, penuh rasa bahagia, ah, Robin,
kalau kamu melihat saya, pasti kamu tidak akan pernah melupakan saya. Saya
menari seperti kerasukan roh keindahan. Orang-orang yang memotret atau kilatan
lampu foto tidak merusak konsentrasi saya. Saya menari dengan seluruh jiwa saya.
Setelah itu saya diantar pulang kembali. Ternyata selama saya menari itu, ada
seorang perempuan setengah baya yang memperhatikan saya. Ia tertarik pada tahi
lalat di pipi kiri saya. Perempuan itu datang ke rumah, membawa foto, dan banyak
ber tanya pada Bu Sunar. Lalu keesokan harinya, saya diajak ke Prambanan.
Perempuan itu menanyai Simbok. Dan Simbok menunjukkan di mana saya dulu lahir
Perempuan itu girang sambil memeluk saya erat-erat. Saya heran. Selama itu ia
tidak pernah mau mengaku siapa dia sebenarnya. Saya hanya diam
Cinderella 89 - Karya Eddy Suhendro
saja dan bingung Tiba-tiba saya seperti dibawa ke negeri dongeng Ya, persis
kisah Cinderela. Dalam waktu singkat pass port saya diurus dan saya dibawa ke
Tokyo. Kalau saya bertanya-tanya pada Bu Sunar, beliau hanya menjawab, ikuti
saja perempuan itu, ia akan membahagiakan kamu. Saya yakin bu Sunar tidak akan
menjerumuskan saya. Waktu terbang ke Tokyo, perempuan itu bilang |
Cinderella 89 Karya Eddy Suhendro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Belum pasti benar, kalau toh tidak benar, tidak apa, kamu sudah bisa jalanjalan ke Tokyo, gratis!" Saking bingungnya, saya sampai nekad bertanya begini,
"Terus terang Tante, apakah Bu Sunar marah, dan saya dijual pada Tante, untuk
dijadikan pelacur?" Perempuan itu tersenyum. Airmatanya berlinang
"Tidak. Kami tidak sejahat itu. Jangan pikirkan yang buruk. Pikirkan sesuatu
yang sangat bahagia sekali. Tapi saya belum berani mengatakan, karena kalau
keliru, kamu nanti akan sedih.
" Selama dalam penerbangan malam itu, saya tidak bisa tidur, karena pikiran saya
menebak-nebak saja. Saya betul-betul tidak mengerti. Baiklah, saya mengikuti
saja, toh ini mungkin hanya sebuah mimpi. Tapi satu hal Robin, kalau saya
dianggap Cinderela dan akan dipertemukan dengan seorang Pangeran di Tokyo, jelas
saya akan protes, karena saya tidak mau melukai seorang pangeran yang bersimpati
pada saya di Jakarta. Siapa ya Pangeran itu" Sampai di pelabuhan Narita, saya
tidak bernafsu mengagumi keajaiban kota industri yang begitu hebat, karena
pikiran saya masih kacau. Betul-betul seperti mimpi. Saya pikir, pelabuhan
Narita itu ya seperti Cengkareng, dekat dengan kota, ternyata tidak. Saya masih
harus naik bis lagi menempuh jarak seratus kilometer lagi. Wah, uah, mau dibawa
ke mana saya. Kalau saya tersesat atau hilang tamalah riwayat saya. Akhirnya bis
masuk ke City Air Terminal, di Hakozaki. Saya sudah bingung tidak karuan.
Pokoknya mata saya harus melek terus dan tidak boleh lepas dari ibu itu. Kalau
saya mau dijadikan pembantu di Tokyo, ya siap saja. Pokoknya pasrah. Setelah
barang-barang diurus saya ikuti perempuan itu menuruni eskalator, dan begitu
menyentuh lantai bawah, saya terpana, karena di sana telah berdiri sepasang
suami isteri setengah baya memandang saya. Saya tertegun. Agak lama. Pasangan
suami ister itu juga memandang saya. Agak lama. Saya kaget, karena isteri lelaki
itu mirip saya. Dan anehnya ia mempunyai tahi lalat sebesar ketan item di pipi
kiri juga. | Perempuan yang mengantar saya itu mendekat pasangan suami isteri
itu. Saya hanya menundukkan kepala kebingungan. Tiba-tiba saya kaget, karena
isteri pasangan itu menubruk saya dan memeluk saya erat-erat. Saya merasakan
hangatnya airmatanya di pipi saya. Saya hanya berdiri kaku, dan tertegun.
Barangkali saya seperti patung.Masih diringi isak tangis, perempuan itu ber tanya,
"Siapa namamu?" "Lara!" sahut saya lirih.
"Hanya itu saja?"
"Laraningati!" Langsung dekapannya kembali menjadi erat, dan airmalanya berderaderai. Saya tidak mengerti apa maunya dia. Lalu ia berbisik lagi sambil masih
terisak, "Maukah kamu saya periksa di dalam kamar mandi, sekedar untuk meyakinkan?" "Saya
tidak mempunyai penyakit apa-apa" kata saya terheran-heran. "Bukan, bukan itu!"
Ia menarik lengan saya. Saya dibimbing ke toilet perempuan. Suaminya hanya
tersenyum-senyum saja. Dan di dalam WC yang sempit itu, kami berdua masuk ke
dalam. Perempuan itu membuka roknya dan menunjukkan bahwa di atas pusernya juga
ada lahi lalat. Saya terbelalak, karena saya juga mempunyainya. Ketika saya
tunjukkan, ia segera memeluk erat saya, menangis tersedu,
"Kamu anakku." Nah, saya kan jadi bingung. Saya dibimbing keluar dari toilet.
Dan diperkenalkan kepada suaminya. Perempuan itu tampak sangat senang dan
terharu sekali. Tapi saya kok aneh, rasanya biasa saja. Saya tidak merasakan
suatu keharuan apa pun, karena saya merasa ibu saya ya. Simbok di Prambanan itu.
Tapi saya ya menurut saja. Pokoknya dibawa ke mana saja, saya mau. Dan saya
betul-betul diperlakukan seperti putri raja. Saya jadi risih sendiri.
R)Kalau habis makan, saya mau cuci piring dilarang Lho" itu sudah kebiasaan saya
kok. Kok aneh sekali, saya sekarang tidak boleh berbuat apa-apa" Rasanya kok
lucu sekali. Akhirnya setelah istirahat semalam suntuk, perempuan yang mengaku
ibu saya bercerita, sungguh aneh, ia bercerita sambil berlinangan armata, saya
hanya bengong saja. Katanya, bahwa ia yakin kalau saya ini anaknya. Begitu
bayinya lahir, dan pada saat pertama kali menyusui, ia tersenyum melihat tahi
lalat di pipi kiri dan di atas puser bayinya, karena tahi lalat itu mirip punya
dia Ah, itu sih bagi saya tidak persoalan, saya ingin tahu bagaimana saya bisa
sampai pindah ke bak sampah" Perempuan itu mengaku terus terang, bahwa se lagi
usia remaja, ia terpikat dengan seorang pemuda ganteng dan betul-betul
menyerahkan dirinya secara tolol dan total. Tetapi, begitu perempuan itu hamil,
pemuda itu tidak mau bertanggungjawab dan menghilang. Lalu perempuan itu
dilarikan dari Jakarta, disembunyikan di rumah neneknya di Yogya. Begitu anaknya
lahir dua hari kemudian bayi itu, alias saya, dicuri oleh Pamannya, maksudnya
mau dibawa ke Jakarta, dan diserahkan pada orang tua pemuda ganteng yang tidak
mau bertanggungjawab itu. Tapi rupanya pihak rumah sakit lapor polisi. Mobil
pamannya dikejar, terpaksa, bayi itu, alias saya, ditinggal di bak sampah. Seru
ya" Nasib kok begini seru. Padahal itu hanya gara-gara nafsu mencintai cowok
secara tolol dan total. Saya mendengar kisah itu hanya membisu saja.
Sikap saya dingin-dingin saja. Dan perempuan yang mengaku sebagai ibuku itu,
semakin bersemangat bercerita. Katanya ketika saya, eh, bayi itu hilang dia
marah besar Ngamuk-ngamuk seperti orang gila, bahkan sampai betul-betul dibawa
ke rumah sakit gila. Dan akhirnya ia bisa disembuhkan. Katanya ia berdoa
sepanjang hari agar bisa berjumpa dengan saya. E, ternyata dia malah berjumpa
dengan laki-laki setengah baya, seorang diplomat. Akhirnya dia kawin, dan
bertugas di Tokyo. Hanya selama perkawinannya itu, ia tidak mempunyai anak. Lalu
perempuan itu mengaku terus terang, bahwa sebe narnya ia sudah pernah mempunyai
anak. Suaminya kaget. Dan sangat mendukung agar anak yang hilang itu, dicari.
Siapa tahu masih hidup. Nah. Robin yang baik, aneh ya, kisah hidup saya ini kok
seperti dongeng. Saya kadang bingung, apakah saya ini mimpi, atau saya ini hanya
buah khayalan dari seorang pengarang ternyata tidak Robin. Pagi di musim dingin,
di Tokyo sungguh dingin. Saya kan belum bisa menyesuaikan diri. Rasanya hidup
dalam kulkas. Jadi ternyata apa yang saya alami ini betul-betul terjadi. Bukan
khayalan. Nah, Robin, sekarang terbalik, perempuan itu berusaha keras agar saya
mau mengakui dirinya sebagai ibunya. Saya bingung. Saya ingat leluconmu dulu
itu, bahwa seseorang menjadi anak atau anak mengakui perempuan yang melahirkan
sebagai ibunya hanya karena kepercayaan. Iya kan" Nah, bagaimana saya bisa
percaya kalau perempuan itu ibu saya" Sungguh sulit Robin. R)Tapi aneh juga ya.
Kasih sayang seorang ibu itu tidak bisa bohong. Tidak bisa pura-pura. Rasanya
tatapan perempuan itu sungguh aneh. Bisikannya, caranya menyapa, saya bisa
merasakan gelaran hatinya yang begitu tulus, sehingga dari sedikit demi sedikit,
saya percaya bahwa perempuan itu ibu saya. Tapi justru pengakuan ini menjadi
malapetaka, karena saya tidak boleh kembali ke Indonesia, dan saya harus
menuntut ilmu di sana. Simbok katanya dibelakan salah dan rumah. Tapi Robin,
kenapa saya tidak bisa bertemu dengan kamu lagi" Ah, tidak mungkin Saya pasti
akan berketemu kamu lagi, dan kamu akan menyapa ketan item saya. Iya kan" Saya
yakin apa yang sedang saya alami ini, hanyalah sebuah mimpi saja. Hanyalah
sebuah khayalan saja. Tapi Robin, Hei di luar apartment saya, turun salju Saya
belum pernah melihatnya. Oh, Robin bagus sekali. Salju itu seperti kapuk putih,
turun perlahan-lahan. Lalu jatuh ke tanah. Ia tetap putih. Tapi lama-lama
hilang, berair. Robin, itukah pertemuan kita" Bagai salju, putih, indah, turun
perlahan-lahan, tapi akhirnya terurai jadi aird Robin.di manakah kamu. Rob.
Robin menghela nafas. Lembaran surat terakhir itu, tidak bisa terbaca, karena
tulisan tangannya sedikit terhapus oleh tetesan airmata. Lembaran-lembaran surat
itu masih dipegangnya. Tiba-tiba ada.cepluk. Sebutir airnata menjatuhi lembaran
itu. Robin baru sadar, bahwa dirinya begitu terhanyut sampai airmatanya sendiri merelakan untuk
bergulir Mengapa Lara begitu ragu-ragu menlanjutkan suara hatinya" Apakah
hidupnya terancam" Mestinya ia harus bahagia dong Kenapa tiba-tiba terhenti"
Barangkali juga ia takut menceritakan seluruh kisahnya" Robin membalik
amplopnya. Ternyata tulisan tangan Lara juga tidak jelas. Ah, soal alamat, pasti
saya tanyakan pada Bu Sunar, pasti mereka tahu. Tapi kenapa ia begitu ragu-ragu"
Apakah Lara sudah tidak jujur lagi" Robin melipat lembaran-lembaran surat itu
dengan hati-hati. Matanya menerawang. Cinta itu aneh. Pertemuan dengan dia
begitu singkat. Tiba-tiba hati saya sudah terjerat. Menggelempar-gelempar.
Sekarang dia menghilang, dan tidak jelas apakah masih mengingat saya atau tidak.
Lalu, bagaimana saya sudah bisa menyenangkan dia" Mungkin dia sudah berjumpa
dengan ibunya, dan menjadi sombong" Apakah begitu" Ah, tidak. Lara tidak
sombong. Lara orangnya baik. Semoga saja ia bahagial Robin mendesah. Lucu juga
ya, kisahnya kok mirip Cinderela saja. Kok kayak impian. Tapi, agaknya nasib
seperti Lara ini bukan impian. Sering terjadi. Lahir tanpa ketahuan orang
tuanya, disembunyikan, dilarikan dari kenyataan hidup, hanya karena dianggap
aib. Robin terjengah, karena bel sekolah berden
tang. Robin turun dari jip. Langkahnya agak loyo. Kepalanya tertunduk. Begitu sampai
depan kelas, teman-teman cowoknya pada berbisik,
"Nyari apa sih Bin" Kunci kamar" Atau uang receh yang hilang?" Robin hanya
menyeringai "Udaah, nggak usah diganggu, Robin baru jadi penyair!" teriak salah seorang
cewek. Ketika masuk ke dalam kelas, Robin dicegat Siska. Agaknya Siska kasihan
banget melihat Robin begitu sendu dan masgul. Maka dengan bisikan mesra, Siska
bertanya, "Kenapa sih Bin, kok muruuung bangel Kita jadi sedih deh. Kita bisa bantu apa?"
Robin tersenyum. Iya, ya, kok saya tiba-tiba jadi murung. Ada apa sih ini"
"Nah, begitu Bin, senyum dikit kek biar kelas ini menjadi cerah!" teriak Utari.
Tiba-tiba ia tertawa, lalu menggebrak meja dengan penghapus,
"E, pengumuman, barang siapa bisa menunjukkan saya tempat les paling hebat,
bakalan saya antar jemput selama sebulan gratis" Lho kok Robin jadi ceria lagi.
Cewek-cewek pada girang. Mereka bertepuk tangan dan bersahut-sahutan bertanya,
"Les apa Bin, les apa" Gampang itu?" "Les.membuat surat cintaaal"
"Haaah?" Komentar mulai berhamburan. Sampai pakGuru Kimia masuk. Dan suasana
kelas perlahanlahan menjadi tenang kembali. Hanya hati Robin yang gelisah,
karena ia meratapi nasib. kemapa tidak diberi bakat menulis surat cintal Apakah
karena saya tidak bisa menulis, saya sudah harus siap patah hati" Ah, tidak
Tidakl Bukan itu masalahnya. Lara pasti tidak mau saya ganggu. Barangkali di
Tokyo ia sudah berjumpa dengan seorang Pangeran. Mungkin itu.
Robin masih belum puas kalau tidak ada kepastian. Maka sore hari, ia nekad
datang ke rumah Bu Sunar. Meskipun ada Stephanie, ia malah sengaja bertanya
terus terang, "Bu, saya dengar, Lara ada di Tokyol"
"Benari" "Apakah dia bahagia?"
"Bahagia sekali!"
"Apakah kata-kata Ibu bisa saya pegang?"
"Nak, Robin, orang tua itu akan sedih kalau tidak dipercaya kata-katanya?"
"Boleh saya tahu alamatnya?"
"Boleh saja. Hanya ia bilang, belum tentu menetap di Tokyo, barangkali akan
disekolahkan di Amerika. Tunggu saja surat berikutnya"
"Oh, terimakasih, saya sekarang percaya bahwa ia benar-benar bahagial"
Robin menunggu. Berhari-hari, surat-surat
berikutnya tidak datangi Justru karena menunggu, pesona pribadi Lara semakin
tercetak di hatinya. "Bin, masih murung?" tanya Siska sendu.
"Ah, enggak!" "Anterin aku yuuuk"
"Sorry, Sis, malam Minggu, saya mau mengadakan rapat dengan teman-teman cowok!"
"Mau ngadain apa sih?"
"Mau mendirikan organisasi. BARISAN PATAH HATI
" Siska tertawa terkekeh-kekeh.
T A MA T Pendekar Baja 20 Trio Detektif 21 Misteri Cermin Berhantu Demon Glass 5
CINDERELLA '89 Ini bukan kisah CINDERELLA kuno, tapi kisah CINDERELLA tahun 2000
Kisah yang mengenaskan. Mengharukan siapa pun! Kisah seorang gadis bernama Laraningati, terlahir di
sebuah tempat di pulau Jawa. Lara demikian sebutan sehari-hari. Dipungut dan
dibesarkan dalam sebuah keluarga terhormat. Dari mana sebenarnya asal anak
manusia ini" Anda akan segera tahu kalau membaca kisah ini. Penulis dengan
segudang pengalaman bertutur.
mencoba merekam dan mengabadikannya dalam CINDERELLA '89.
Kisah drama keluarga yang mengandung hikmah. tanpa meninggalkan perenungan yang
mendalam. Semoga akan timbul nuansa lain,
dalam memandang arti Cinta bila pembaca mene lusuri juga kisah lain.
ELEGI BUAT NANA Sama-sama menarik. Penuh getaran hati. Bagaimana bila kejernihan hati dan ketulusan cinta berpadu.
Mengharukan Patut untuk dibaca Jakarta, Februari 1991 Cinderella" Ealaaah, zaman punk-rock begini kok ya ada saja yang mau cerita
tentang Cinderella. Rasanya kok seperti kurang bahan begitu. Kreatif dikit kek,
cari deh bahan lain, jangan yang itu-itu saja! Tapi kalau Cinderela tahun 89 ada
beneran, bagaimana hayo" Nggak percaya" Tapi ada tuh yang menjumpainya. Tentu
saja, yang terpesona dengan Cinderella adalah sang Pangeran. Karena itu tahun
89, tentu saja Pangerannya nggak pakai kopiah di atas kepala seperti layaknya
pangeran dalam dongeng. Modelnya lain, model pemuda masa kini. Pada bagian
belakang kepalanya, tepatnya di atas tengkuknya, ada sedikit buntut rambut yang
ikal. Ia tidak naik kereta kencana, melainkan ke sana ke mari bertengger di
dalam jip hardtop. Maklum, ia anak pengusaha kaya. Wajahnya tidak lembut, tapi
keras dan jantan. Tubuhnya tinggi kekar. Matanya agak sipit.
5 .Wajahnya lonjong, dan kulitnya coklat mengkilat. Ia jago renang, bahkan
hampir saja masuk pelatnas. Tapi berkat doa orang tuanya, ia gagal. Ortunya
girang bange. Bagi ortu, apa sih artinya juara atau piala, kalau kelak sekolah
anaknya berantakan" Maka terpaksa deh, ia tidak bisa ikut memperkuat tim renang
nasional. Namanya juga keren. Robin. Anak kelas tiga SMA. Mungkin ada yang
meragukan. Masak sih, cowok macam begitu, dibilang pangeran" Yang bener saja
Mana istimewanya" Banyak cowok keren macam begitu. Di Pasar Rumput juga banyak.
Dan belum tentu cewek-cewek pada nafsu. Ya, ya, ya betul Sampai di situ tadi
memang Robin belum kelihatan istimewa, karena sikap hidupnya belum terungkap.
Begitu ketahuan sikap hidupnya, kepribadiannya langsung mencuat. Promosi ini yel
Eh, bener kok. Sikap hidup Robin memang rada lain. Sikap itu muncul dari rasa
benci. Ia benci bange sama pandangan umum terhadap orang kaya. Lebihlebih kalau
nonton film nasional, Robin sebel.
"Pokoknya saya protes" katanya,
"Masak keluarga orang kaya selalu digambarkan anaknya satu, kesepian, kedua
orang tuanya sibuk, lantas anaknya frustrasi dan ugal-ugalan. Nggak bener tuh.
Masak anak morfinis selalu digambarkan anak orang kaya. Anak yang dianggap serba
tidak bertanggungjawab. Masak begitu sih!"
R')Robin kalau baca berita atau analisa tentang kelakuan anak orang kaya,
biasanya marah. "Nggak bene, tidak semua anak orang kaya begitu. Mabuk-mabukan, suka maen cewek
seenaknya, suka menghamburkan uang sekolah mesti tidak bener. Kalau gagal,
lantas maen todong dengan pistol atau uang Nggak semua begitu!" Robin betulbetul jengkel dan keki. Maka ia hendak melawan arus. Ia hendak membuktikan pada
masyarakat bahwa banyak anak dari keluarga kaya hidup bahagia, harmonis, kedua
orang tuanya saling menyayangi, dan anakanaknya terurus baik. Hidupnya juga
soleh. Sekolahnya maju. Maka tidak mengherankan, kalau ia rajin belajar, bahkan
sejak kelas I SMA, ia kejar-kejaran ranking I dengan Daniati. Kadang ia kalah,
tapi sering ia menang. Ia juga punya rasa simpati pada orang miskin. Pernah
Robin berkelahi melawan tiga orang, sampai ia luka parah, hanya karena ingin
membela tukang becak yang diperas. Di rumah ia dimarahi ibunya,
"Kenapa sih ngurusi orang lain?"
"Nggak tega Bu Tukang becak itu memelas. Tubuhnya meringkus. Pemeras itu masih
memendangi. Nggak tega Bu. Dia juga manusia kan!" Robin tidak sadar, justru
sikapnya yang hendak melawan pandangan umum itu, telah memancarkan kepribadian
yang menawan hati para cewek. Ia sendiri heran dan sering memandang wajahnya sendiri di cermin,
"Gila, saya ini bukan potongan coverboy, penyanyi, atau bintang film, kok cewekcewek pada suka sama saya, kenapa sih" Padahal saya tidak pernah mentraktir
mereka, atau pamer kekayaan." Tapi memang, karena ia ingin menunjukkan bahwa
anak orang kaya itu tidak sembarangan saja mempermainkan cewek, maka di sekolah
Robin bersikap hangat, akrab, suka bercanda dengan cewek-cewek bahkan sering
jadi sukarelawan mengantar teman-temannya ke pesta. Tentu saja ia menjadi
populer dan disenangi. Setiap Jum'at, para cewek berebut booking minta diantar
Robin ke disko, nonton, atau hanya sekedar jalan-jalan, pokoknya malam Minggu
bersama Robin, adalah suatu kebanggaan. Dan Robin tidak pilih kasih. Siapa yang
pesan duluan, ia berhak dilayani. Salah satu teman sekelasnya, ada yang sangat
kesengsem sekali. Ia berusaha keras untuk memonopoli Robin. Namanya Siska. Tapi
sikap Robin biasa-biasa saja dan tidak mengistimewakannya.
"Hei, Bin, ntar sore kosong enggak?" seru Siska. "Sialan hu, emang saya ini
taksi" "Sory Bin, sory. Antar saya, ya" Itu lho, Tante saya merayakan ulang
tahun ke empat puluh!"
"Cari tukang pukul laen deh. Jangan saya saja!" "Habis kamunya baik sih."
"Eh, kamu jangan marah ya, kali ini saya
" R')diajak Utari. Jangan tersinggung ya?" "Utari" Cewek kampung itul Hi. Apa
kurangnya aku sih, Binl" Tentu saja Siska jadi cemberut. Robin cuek saja. Namun
dalam hatinya yang paling dalam Siska masih berharap akan berhasil mendapatkan
Robin, karena selama ini cowok keren itu belum menunjukkan tanda-tanda mempunyai
pilihan eksklusif. Ia masih terbuka. Semua cewek, welcome. Mereka yang pernah
diantar tidak pernah melupakan sikapnya yang gentle man. Membukakan pintu mobil,
mengantar sampai ke depan rumah. Bahkan cewek yang tinggal di gang yang sempit
pun diantar sampai depan pintu. Kalau ortunya sudah menerima kembali anak
gadisnya, dan menyaksikan dalam keadaan utuh, tidak ada yang gempil Robin baru
pamitan pulang. Robin juga terkenal sopan. Ia hanya suka merangkul, tapi tidak
berusaha mengumbar nafsu. Gara-gara sikapnya ini, malah ada isu kalau Robin
homo. "Bin, kamu dikatain homo kok enggak marah sih?" tanya teman cowoknya.
"Asyik. Isu itu menguntungkan. Berarti kalau saya bawa cewek, ortunya nggak
bakalan jantungan. Mereka akan merasa aman. Ini kesempatan Meck. Kamu-kamu juga
harus berusaha dikatain homo. Biar bisa dipercaya untuk membawa cewek ke mana
saja!" Apa" Robin ini tidak normal" Oh, normal.
RT)Laki-laki tulen. Keraguan seperti itu bisa dimaklumi, karena memang ia belum
menentukan pilihannya, maka temannya pada bingung. Kayak apa sih selera Robin"
Ternyata ada cewek yang diincarnya. Anak kelas satu. Semula ia tidak menaruh
hati. Biasabiasa saja. Kejadiannya sederhana. Ia hampir bertabrakan dengan cewek
itu di depan kantor Kepsek. Degup jantung Robin tidak deg-deg-plas. Dingindingin saja. Hanya ada satu hal yang menarik perhatiannya. Yaitu di pipi kiri
cewek itu tampak ada ketan item melekat, rasanya cewek itu tidak sadar kalau ada
sedikit noda di pipinya. Kasihan. Habis makan ketan item kok lupa melap mulutnya
dengan sapu tangan. Ah, apa salahnya saya beri tahu. Maka Robin buruburu
mengejarnya. "Eh, Neng, sebentar, Neng!" seru Robin. Cewek itu menghentikan langkahnya dan
menoleh. "Maaf ya, itu, di pipimu, di pipi kiri itu." Cewek itu tidak berusaha
menggerakkan tangannya untuk menghapus benda aneh itu. Robin heran. Dengan
setengah berbisik, agar tidak terdengar orang yang lewat, ia berkata,
" Itu..ada ketan itemnya!" Cewek itu tersenyum. Robin bengong Cila ini cewek,
dikasih tahu kok bandel amat. Apa dikira saya ini hanya iseng ya, mau menggoda
begitu" Saya ini sungguh-sungguhl Maka Robin mulai bicara keras,
"Lho, kok R')enggak percaya. Ngada gih di jendela itu!" Cewek itu menatap dengan sorot
mata tersipu-sipu, "Ini.tahi lalat kok!"
"Haaah?" Robin melotot heran.
"Ah, masak sih. Baru kali ini saya lihat ada tahi lalat bentuknya sedikit
panjang." Cewek itu tersenyum. Robin malu. Tapi ia terus terang,
"Sory ya, ini tadi saya betul-betul salah duga lho, bukan suatu taktik kuno
untuk nggodain kamu lho, sory ya!" Cewek itu hanya tersenyum. Lalu mereka
berpisah. Tapi Robin masih belum percaya. Tadi ketika berhadapan muka, ia tidak
mau kurang ajar mencomot benda aneh itu untuk membuktikan bahwa benda yang lekat
di pipi kiri itu betul-betul lahi lalat. Pasti itu tadi ketan item. Cewek suka
begitu sih. Mungkin tadi malu ketahuan joroknya, habis makan ketan item tidak
melap mulutnya dulu dengan sapu tangan. Pasti deh, begitu tidak melihat saya
lagi, lantas segera membuang benda makal itu. Coba deh, mlar saya lihat lagi.
Waktu istirahat, Robin ngelayap di gerombolan anak kelas satu yang sedang
bercanda di depan kelas. Ia mencari-cari si Kelan Item. Tapi di tengah anak-anak
yang mengaso itu, ia tidak menemukan sekelebat sosok cewek itu. Barulah, setelah
ia melongok ke jendela, ia melihat si Ketan Item masih berada di kelas, duduk di
bangku, dan dengan tekun sedang menyalin pelajaran. Kebetulan si Ketan Item
mendongak RT)dan memergoki kepala Robin yang nongol di ambang jendela.
"Eh, sory lagi, saya masih penasaran!" seru Robin. "Penasaran apa?" tanya cewek
itu sendu. "Itu tadi tahi lalat beneran apa ketan item sih?" Cewek itu tersenyum, lalu
menunjukkan pipi kirinya, dan benda item yang lekat di pipi kiri itu ditariknya.
Ternyata tidak lepas. ". Puas?" seru cewek itu.
"E.iyaaa. Trimsi" Robin pergi dengan senyum-senyum malu. Nah, sekarang, degup
jantung Robin mulai sedikit deg-deg plas. Cantik juga dia tadi ya. Orangnya
tampak sederhana. Rambutnya hitam sampai ke lehernya. Dan poninya menutupi
jidatnya yang lebar. Kulitnya kuning langsat. Tubuhnya termasuk tinggi juga.
Siapa sih dia itu" Robin bukanlah laki-laki jenis pemalu yang berusaha mencari
keterangan tentang cewek lewat mulut cewek lain. Ia ingin langsung me nanyainya.
Maka ketika pulang sekolah, ia mencegatnya,
"Hei, Ketan Item"
"Saya" tanya cewek itu sambil menoleh.
"Ya. Sory, saya tadi panggil kamu dengan nama Ketan ilem, soalnya belum tahu
sih, siapa nama kamu?"
"Lara." "Hah" Nama kok aneh. Lara?"
"Ya!" R)"La-ral" Robin berusaha mengeja, lalu matanya mendelik,
"Hm, lama-lama manis juga ya. namamu itu. Oke deh, hanya sekali itu saja saya
panggil kamu Ketan Item. Ntar kalau ketemu di jalan, pasti saya akan panggil
kamu Lara." Cewek itu hanya menjawab dengan senyum. "Pulang ke mana sih"' tanya
Robin mencegah langkahnya.
"Ke situ!" "Yuk, bareng, pakai mobil saya, sekalian menebus kesalahan saya. Kali saja kamu
tadi tersinggung." "Trims, tapi saya lebih suka naik bis kok!" Dan cewek itu menghilang di tengah
kerumunan orang, seperti tergesa-gesa dikejar waktu. Robin hanya terbengong. Hm,
Senyumnya tulus bange, Ciginya putih apik. Sorot matanya seperti pasrah, tidak
ada sinar ambisi yang menyala. Hm, sederhana, dan polos. Hm, saya harus tahu,
siapa dia itu sebenarnya, Kok hahem-hahem saja sih, apa begitu ya ulah coulok
yang lagi kesengsem. Hm. Nah, gambaran cewek itu membuntutinya sampai ke rumah.
Bahkan sedikit menguasai hatinya. Di dalam mobil, di meja makan, di kamarnya,
bayangan wajah cewek itu tidak bisa hilang. Maka terhadap cewek lain, Robin
mulai sedikit tertutup. Dengan segala alasan, ia mulai menolak permintaan untuk
mengawal. 13 ."Bin, kamu sombong deh sekarang!" gerutu Siska.
"Sis, kamu ingin ya kalau saya tidak lulus. Masuk Universitas itu sekarang ini
seperti masuk lubang jarum. Sulit. Maka saya harus belajar dong Tega bange sih
kamu, melihat saya gagal. Pingin ya kalau masa depan saya itu ternyata suram,
dan akhirnya saya jadi bandit?"
"Kalah deh berdebat sama kamu Pasti sudah ada cewek spesial tuh!"
"Emangnya cewek itu jenis martabak, pakai spesial-spesial segala!"
"Emangnya yang spesial-spesial itu mesti martabak. Huuu!" Siska cemberut. Robin
hanya nyengir, bahkan saat itu pula ia mulai membanding-bandingkan Lara dengan
teman-temannya. Ah, Lara itu lain. Enggak cerewet Enggak suka maen perintah.
Nggak menguasai. Lain Semakin ia membandingkan, ia semakin gemas dan geram. Maka
sekali lagi, sehabis sekolah, ia mencegatnya.
"Eh, Lara!" serunya.
"Ya?" sahut Lara sendu.
"Boleh tanya?" Tanya apa lagi?"
"Tahi lalatmu itu kalau malam bisa pindah enggak, dari pipi kiri pindah ke pipi
kanan begitu." Pertanyaan yang aneh itu membuat Lara bingung. Ia hanya bengong.
R')"Lho, iya kan, matahari saja bisa pindah, ke napa tahi lalat tidak?" Lara
terkekeh, "Ada-ada saja kamu!"
"O, enggak bisa ya" Kiran kayak matahari, bisa pindah begitu"
"Mana bisa pindah!"
"Bisa saja, pindah ke Pasar Baru, atau ke gedong bioskup. Habis ngikut kamu
sih!" "Ah, ngacau!" "Yuk, saya antar pulang!" "Saya suka maek bis kok" "Saya juga mau maek bis tuh!"
"Mobilnu?" "Tinggal aja di sekolah!" Tiba-tiba Lara terdian. Ada sedikit kecemasan
menggantung di wajahnya. "Kenapa" Nggak mau?"
"Jangan deh!" "Ortumu galak ya" Jangan khawatir. Tanya deh ke teman-teman saya, bahwa saya ini
homo kok. Jadi amaaan!"
"Bukan itu kok"
"Lho kenapa?" "Nggak apa-apa!"
"O, kamu sudah punya pacar?" Lara diam saja.
"Takut kalau pacarmu marah dan ngambek. Iya deh, saya tidak mau mengganggul"
Lara agak bimbang. Alasan sudah punya pacar sungguh tepat untuk mencegah Robin
datang ke rumah, tapi ia harus jujur bahwa dirinya belum punya pacar.
"Belum kok. Itu masih jauh!"
"Kamu kok senewen bangel sih, kalau saya ngaku. Oke deh, saya tidak mau membuat
dirimu gelisah" "Trims.eh, gantian dong siapa namamu?"
"Robin!" "Trims Robin" Ada apa sih ini, kok dianya misterius bangel. Bikin penasaran
saja. Jangan anggap enteng Robin ya. Campang tuh mencari alamat kamu. Ntar deh
lihat. Robin pantang tanya sama teman-teman Lara, ia juga tidak sudi mencari
data di tata usaha Karena memang mencari alamat cewek gampang kok Maka keesokan
harinya, ia tidak bawa mobil Ketika pulang sekolah ia tidak juga berusaha
mencegat Lara. Hanya ketika Lara hendak naik bis, tiba-tiba Robin menerombol
kerumunan. "Asyik ya..naik bis" Lara pucat dan tampak lemas.
DUA Robin merasa ada getaran aneh. padahal ia
sudah biasa merangkul cewek, bercanda, bersentuhan. Tidak ada perasaan aneh.
Tapi kali ini, kok ada getaran yang aneh, karena tubuhnya begitu dekat dengan
Lara. Ia tidak sengaja mendekat. Hanya ulah penumpang yang baru masuk ke dalam
bis saja yang menyebabkan tubuhnya terdesak sehingga ia hampir seperti hendak
mendekap. Lara semakin salah tingkah. Selama dalam hidupnya, ia belum pernah pergi bersama
lakilaki. Kok sekarang ini, ia dikawal oleh orang yang begitu beken di sekolah.
Maka sungguh wajar, kalau kepalanya terasa byar paran. Antara senang dan bingung
"Eh, Lara, saya baru tahu, kalau naik bis itu ternyata romantis ya?" bisik
Robin. Bisikan yang begitu dekat di telinga menyebabkan Lara tersipu. Ia tampak
gelisah. Kepalanya melongok-longok hendak melihat ke arah luar, tapi ia tidak
melihat apa-apa, kecuali para penumpang yang berjejalan. Tapi, nggak juga yal Romantis itu tergantung
pergi sama siapa, begitu. Kalau sama bu guru, di dalam bis, apa ya romantis. Kan
enggak" Apalagi sama nenek-nenek, ya enggak?" Robin nerocos seenaknya. Lara agak
malu. Suara Robin cukup keras. Masak, berhimpitan di dalam bis kok malah
mengajak seminar tentang romantisme. Malu ih! Meskipun agak salah tingkah, Lara
jujur juga, ia mengagumi cowok itu. Bukan karena ketenarannya di sekolah,
melainkan karena ketulusannya. Sorot matanya bening Senyumnya lepas. Tidak ada
ganjelan apa-apa. Sebenarnya, ia harus bersyukur karena dipilih Robin, tapi
rasanya sungguh tidak enak.
Cinderella 89 Karya Eddy Suhendro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa sih kamu kok gelisah?" tanya Robin sambil mengumbar senyum simpatik.
"Nggak apa-apa kok"
"Tuh, lihat saya sudah berjuang keras mengempeskan tubuh saya, agar kamu tidak
terhimpit. Kan masih ada ruang yang sedikit lega. Nggak enak lho, kalau sampai
tubuhmu menjadi rata seperti kertas! Kamu kok malah tampak bingung. Ada apa
sih?" Lara tersenyum geli. Ia merasa aneh. Cowok ini kok cepat bangel akrab.
Tidak pakai basa-basi, seakan ia sudah kenal lama.
"Kenapa sih?" "Nggak apa-apa." Lara mencoba melongok ke arah luar.
"Kanu nai ke mana sih?"
R)"Saya mau menculik kamu!" kata Robin sambil menyeringai.
"Hah?" Lara mendelik. Ah, pasti ia hanya bercanda saja. Memang Robin ini lucu.
Menyenangkan. Biji mata Lara terbelalak, setengah terperangah dan berbinar. Hm,
matanya indahl Desis Robin dalam hati. "Kalau kamu takut, mumpung banyak orang,
silakan kamu berteriak-teriak. Penculik, penculik, begitu Biar saya digebugi.
Oke?" "Ah. Kamu lucut" Karena geli, Lara spontan menyodokkan sikunya ke rusuk Robin.
"Ooi!" Robin kesakitan,
"Ini rusuk, Non, bukan guling Enak saja main sodok" Lara semakin kesengsem. Tapi
ia malu mengumbar rasa bahagia, karena ia takut kalau Robin semakin menjadijadi
Nggak enak berhimpitan di dalam bis, dilihat penumpang banyak, kok malah
bercanda. Akhirnya bis berhenti. Dan Lara mendesakdesak penumpang hendak turun
lewat pintu depan. Robin mengikuti Tasnya sedikit nyangkut di konde ibu-ibu.
"Eh, maaf Bu. Nggak sengaja lho Bul Konde ibu sih yang nakal. Suka njahilin tas
cowok!" Tentu saja, ibu itu mendelik, dan Robin menyelinap turun.
"Bener nih, kamu mau ikut?" tanya Lara .
"Bener!" Lara melangkah gontai menuju Supermarket. Robin terbelalak.
"Lho, kamu tinggal di Supernarket itu?" Lara tersenyum manis. Ketan itemnya
bergerak sedikit. Ah, semakin manis saja kamu. Sering-sering dong tersenyum.
Tapi kok aneh ya. pulang sekolah kok ke Supermarket" Mau cari bolpoint" Minta
kek pada saya. Tuh, di tas saya banyak. Atau mau beli coklat" Kali ini Robin
betul-betul kebingungan Lara yang tidak mau menceritakan dirinya itu semakin
tampak menggemaskan. Maka dengan setia, Robin membuntuti masuk ke dalam. Ia
semakin heran. Lara menarik kereta dorong.
"Kamu mau belanja?" tanya Robin heran.
"Iya" "Astagal Sony kalau begitu Pantes, kamu suka merahasiakan dirimu. Jadi kamu
sudah berumah tangga?" Lara hanya tersenyum.
"Ngaku saja deh. Saya enggak bocorin di sekolah. Kamu takut dikeluarkan. Iya
kan?" Lara hanya menggoyangkan kepalanya. Suatu gerakan yang manis. Rambutnya
yang pendek itu sedikit terkibas ke belakang.
"jadi belum berumah tangga?" Lara tidak menyahut, ia mendorong kereta itu menuju
ke tempat sayuran. Robin sigap. Ia
R')segera mengambil alih. Kereta dorong itu didorongnya mengikuti langkah Lara.
Robin menyeringai, "Hm, Lara, lucu ya, kita ini pakai baju seragam, kok berdua ke Supermarket.
Kemungkinannya dua. Dikira kakak beradik, atau pengantin remaja" Kamu pilih yang
mana?" Lara terkikik,
"Dua-duanya tidak benar, jadi tidak ada pilihan apa-apa" Robin betul-betul
semakin bingung, karena Lara tampak tidak canggung Gadis yang mempunyai
kecantikan alami itu, seperti sudah biasa berbelanja. Tangannya gesit mencomoti
barang-barang yang dibutuhkan seperti sayuran, kangkung, terung, buah-buahan,
daging. Bahkan beras juga.
"O, o, o, saya tahu sekarang, kamu kos ya" Atau mau ulang tahun?" Lara hanya
mengerling manis. Robin semakin kesengsem,
"Nah, sekarang pasti tepat. Kamu punya restoran ya" Boleh tuh, dan si pengantar
bakalan makan gratis. Tuh, lihat belanjanya macam sayuran yang siap dimasak. Di
mana sih restoran ortu kamu" Apa perlu jongos. Saya punya potongan lho!"
Celakanya setiap pertanyaan Robin yang penuh nafsu ingin tahu itu, dibalas
dengan sekuntum senyum yang mempesona. Robin semakin kesengsem saja. Pokoknya
saya harus tahu Ke mana saja akan saya ikuti Tentu saja selama dia tidak
menolak. Dan mata Robin cukup terbelalak juga, ka
,rena dari tas sekolahnya, Lara mengeluarkan dompet yang tidak begitu bagus,
dari tas itu dikeluarkan beberapa lembar uang puluhan ribu, lalu dihitungnya dan
dibayarkan ke kasir. "Eh, Lara, ternyata kamu beruntung ya, kalau saya ngikut. Kan ada kuli yang
bauan barangbarang."
"Eh, maaf, bukan mau saya lho. Sini, saya bawanya!"
"Nggak kok. Saya cuma bergurau. Ayo, jalan!" Sekarang gantian Lara tampak sendu.
Rasanya ia akan berpisah dengan Robin. Sebenarnya, ia sangat senang pergi
bersama-sama, tapi sungguh tidak mungkin kalau Robin mengantar sampai di rumah.
Lara kebingungan. Ketika keluar dari Supermarket, Lara tidak berani mencegat
bajaj. Ia menatap Robin de ngan sorot mata memelas.
"Robin, sebenarnya saya senang kamu mengikuti saya, tapi apakah kamu senang
kalau saya kehilangan kesempatan untuk sekolah!"
"Lho kemapa" Kan tidak ada hubungannya. Wah, kacau. Logikamu ngauur Masak, saya
ikut, kok kamu lantas kehilangan kesempatan sekolah I"
"Bagaimana yal"
"Udah, enggak usah bingung, tancap saja!" Agak lama Lara berpikir, tapi akhirnya
ia menyerah. Bajaj yang parkir di depan Supermarket itu dipanggilnya. Setelah
tawar-menawaria masuk. Robin menyusul.
"Ah, saya baru sadar, naik bajaj juga romantis lho. Bisa berdesak-desakan. Kalau
naik jip saya, jaraknya agak longgaran ya?" Lara hanya terkikik. Cowok satu ini
memang jujur. Ceplas-ceplos seenaknya. Robin yang bertubuh kekar itu, mendadak
bisa romantis dan cengeng Di dalam bajaj yang melaju itu, rambut Lara yang
berkibar-kibar ke belakang, bahkan sering pula menyentuh pipinya, membuat
hatinya deg-deg plas. Hm, rasanya saya tidak salah pilih. Dia ini cantik Garisgaris wajahnya unik. Tapi anehnya, kok dia memilih hidup begitu sederhana. Tidak
suka pamer atau menonjolkan diri. Apalagi, tatkala bajaj disuruh minggir, karena
hampir mendekati rumah gedong bertingkat, Robin kian terbelalak. Gila serunya
dalam hati. Ini cewek sombong atau sok sederhana sih. Orang tuanya kaya, kok
mau-maunya maek bis. Ia masih terbengong, Lara bergumam,
"Kiranya kamu tidak akan menginap di dalam bajaj ini kan?"
"E, iya, ya, betul" Robin sigap. Ia segera turun dan menurunkan barangbarangnya. Sekarang gantian, wajah Lara agak sedikit pucat. Matanya menjadi
sendu. Dengan gemetar ia membayar bajaj. Lalu menoleh ke arah rumah gedong itu.
Asap bajaj yang tertinggal itu mengepul di sela kakinya. Lara masih terpaku,
lalu Robin mengernyitkan dahinya.
"Robin, maafkan saya yal" bisik Lara lirih,
"Kali ini, jangan ikut masuk deh, soalnya nanti saya akan sedih. Ini bukannya
saya sombong. Tapi, saya belum bisa menerimamu di rumah ini. Jangan marah ya.
Besok pagi, akan saya jelaskan, siapa saya ini. Oke, Robin, jangan marah ya?"
Kelopak mata Lara berkaca-kaca. Robin terheran-heran. Ini cewek kok ajaib bener.
Sudah di depan pintu pagar, kok saya tidak boleh masuk. Ada apa sih ini" Sudah
punya suami" Atau pacar yang dijodohkan" Atau apa" Tapi kok ya wajahnya itu
memelas bangel "Sampai depan pintu juga tidak boleh?" kata Robin masih mencoba menawar.
"Jangan deh, kasihanilah saya."
"Hanya membawa kantong plastik ini?"
"Jangan deh. Sabar saja ya" besok pagi akan saya jelaskan! Oke?" Suara sendu
yang memelas itu menyebabkan hati Robin runtuh. Akhirnya kantong plastik penuh
belanjaan itu diserahkan pada Lara. Robin pamitan dengan melempar senyum. Lara
menatapnya penuh haru dan kasihan,
"Trims, Robin, atas pengertianmu!"
Lara tidak ingkar janji. Ketika Robin melongok ke dalam kelasnya, Lara
melambaikantangannya, "Hei." "Kira-kira kamu mau bohong enggak ya?" tanya Robin menyindir.
"Enggakl" Lara merogoh tasnya, lalu mengeluarkan amplop tebal,
"Ini. Seluruh riwayat hidup saya ada dalam amplop ini. Jangan baca di sekolah
ya. Ntarya di rumah saja ya?" Robin mengangguk, dan memasukkan amplop itu ke
dalam tasnya. Aneh juga, sebenarnya permintaan itu tidak usah digubris, toh Lara
tidak tahu. Ia bisa baca di kelas, atau di halaman, atau sembunyi di kantin.
Apalagi nafsu ingin tahunya sudah sampai ubun-ubun, namun anehnya ia menghormati
permintaan itu, karena ia selalu teringat sorot mata yang jujur. Maka amplop
tebal yang bikin penasaran itudibiarkan tenggelam dalam tasnya. Di kelas ia
gelisah. Siska mengendap-endap dari belakang, lalu menubruk punggungnya.
"Nah loh! Sombong ni yeel" gertak Siska. Robin tidak kaget. Ia menoleh ke
belakang, "Eh, Sis, jangan ganggu saya ya. Saya sedang jatuh cinta!"
"Cie, mana mungkin Bin, lihu bisa jatuh cinta Sama coulok mana?"
"Udah deh, jangan ganggu saya!" Robin mengacungkan jarinya di dekat dahinya,
"Tuh denger enggak!"
"Denger apa?" "Di kepala saya sedang berdengung sebuah puisi cinta."
R)Siska tertawa ngakak "Cimana Bin, bunyinya Bin!"
"Ah, kamu sih. Hilang itu puisi, padahal sudah deket bangel sama melodi Bisabisa, akan muncul lirik lagu lho. Dasar kamu Sis!"
"Udah deh, Bin, pokoknya malam Minggu Ihu harus pergi sama gua!"
"Nggak, saya sedang jatuh cinta kok. Nggak ada acara ngantar-ngantar lagi."
Siska bingung, Robin ini beneran apa hanya bercanda sih. Tampangnya sih rada
lain, rada sendu dikit, tapi omongannya kok masih suka ngacau sih! Ah, baru
frustrasi kali Akhirnya berita Robinjatuh cinta cepat sekali
tersebar-luas. Jip nyerosot masuk garasi, Robin segera loncat keluar. Tasnya disambarnya kuatkuat. Lalu ia bergegas masuk ke rumah. Di ruang tengah ia dicegat Luki, adik
perempuannya, yang baru saja selesai telepon.
"Eh, Rambo" teriak gadis tinggi langsing jerawatan. Rambo menghentikan langkah.
Ia menyahut dengan suara datar tanpa emosi,
"Ya, halo?" "Ntar sore, antar saya ya?" rengek anak kelas tiga SMP itu. Robin berlagak
mendelik, Jangan ganggu saya ya. Saya sedang jatuh cintal?"Ealah, Rambo jatuh
cinta. Kayak apa tuh. Nggak pantes. Cowok berotot itu pantasnya perang atau
ngangkatan koper" "Suka-suka kamu dahl Kalau mau anggap kakaknya kuli."
"Iya deh, enggak ngangkatin koper Ngangkutin cewek.
" "Emangnya cewek itu kursi" Luki terkekeh-kekeh. Robin hendak masuk ke
kamarnya. Luki lari memburu,
"Eh, tunggu, ntar sore antar saya yal Ada class-meeting nih!"
"Sorry, minta antar pak Kiman saja. Saya mau baca surat cinta. Nggak boleh
diganggu. Bahkan makan siang pun perlu dilupakan" Robin segera masuk ke dalam
kamarnya. Luki yang banyak jerawatnya itu keki, dan menghentakkan kakinya,
"Rambo jeleeek!"
Surat itu ditulis tangan. Tulisannya rapi sekali. Lembarannya banyak. Robin
hendak melahap secepatnya. Ternyata tidak bisa, karena setiap kalimat yang
tertuang terasa ada getaran keakraban. Perlahan-lahan ia terhanyut dalam
kalimat-kalimat yang mengharukan. Bahkan ia ikut merasakan seakan-akan dirinya
terlibat dalam penderitaan yang terungkap di dalam surat itu. Tanpa disadari,
kelopak matanya berkaca-kaca, sesuatu yang pantang bagi lakilaki. Ia tidak hanya
membaca sekali, tapi bebe
"rapa kali ia mengulangi dari depan dan meneliti kalimat demi kalimat. Ia hendak
mencari ungkapan ketidak jujuran, tapi rasanya seluruh surat itu berisi
kejujuran seorang gadis. Surat itu bunyinya demikian.
Robin yang baik, Surat ini saya tulis, ketika malam mulai larut. Di mana sudah tidak terdengar
saran TV lagi. Pintu-pintu rumah sudah terkunci rapat. Dari arah jalan depan
rumah sudah tidak terdengarderu mobil. Dalam keheningan malam seperti ini, suara
hati saya seperti digugat. Saya tidak pernah ingkarjanji, tapi malam ini, dimana
saya berjanji hendak mengungkapkan isi hati padamu, tiba-tiba ada suarasuara
untuk ingkarjanji Buat apa" Apa perlunya kamu mengetahui diri saya" Kan, kita
baru saja berkenalan Hanya, sungguh aneh, kok rasanya kita sudah begitu akrab
ya" Tetapi, karena saya tahu juga, bahwa kamu sungguh-sungguh hendak mengenal
saya, tanpa ber maksud untuk mempermainkan saya, maka bujukan untuk ingkarjanji
itu saya lawan. Sikapmu memang lain. Apakah orang yang baik itu, mesti saya
ingkari" Ah, akhirnya toh, saya terdorong untuk menulis juga. Mengapa begitu"
Karena saya tahu bahwa kamu begitu penasaran mengenai diri saya. Kamu banyak
menduga-duga. Dan saya tidak mau membuat dirimu semakin penasaran. Selain itu
saya juga sudah siap mental, begitu kamu tahu siapa saya sebenarnya, sa.ya yakin
surat saya bakal kamu remas remas dan ka. mu lempar ke keranjang sampah, karena
merasa ter kecoh. O ternyata si Lara itu begini, begini, begini. Tapi tidak apaapa kok, saya tidak akan tersinggung tidak akan marah dan mendendam, karena
nasib saya sudah saya terima dengan tabah. Inilah jalan hidup saya. Bukankah
lebih baik saya jujur Hayo, kamu semakin pemasaran kan" Jangan dong, jangan kamu
lompati lembaran surat saya ini Tolong deh baca dari depan. Na, na, tuuuh,
lembar pertama mau kamu lempar begitu saja! Oke, Robin, Oke, saya akan mulai
Nah, selama ini kamu bertanya-tanya, siapakah saya ini. Tentu saja saya harus
jujur Yang bener aja dong, saya belum berumah tangga. Dan orang tua saya juga
tidak galak, karena orang tua saya tidak ada. Kamu tahu saya menempati rumah
gedong bertingka itu, itu bukan rumah saya. Kamu tahu, duuuh, sedih banget saya
harus mengatakannya, tapi enggak apaapa kok, saya akan jujur bahwa saya. ini
sebenarnya.pembantu rumah tangga. Nah, tuh, kamu pingsan sekarang karena merasa
terkecoh. Kalau kamu baca di taman, berteriaklah sepuas puasnya. Lara sialaaan
Saya tidak marah kok. Atau sebaliknya, malah kamu tidak percaya. Kamu malah
ngotot. Ah, tidak mungkin itu. Tidak mungkin itu! Robin, apa yang saya katakan
itu seratus persen benar. Saya tidak malu. Tidak merasa rendah diri, karena
memang itu sudah nasib saya. Mungkin kamu heran, kok seperti mengada-ada.
sa.ya yakin surat saya bakal kamu remas remas dan ka. mu lempar ke keranjang
sampah, karena merasa ter kecoh. O ternyata si Lara itu begini, begini, begini.
Tapi tidak apa-apa kok, saya tidak akan tersinggung tidak akan marah dan
mendendam, karena nasib saya sudah saya terima dengan tabah. Inilah jalan hidup
saya. Bukankah lebih baik saya jujur Hayo, kamu semakin pemasaran kan" Jangan
dong, jangan kamu lompati lembaran surat saya ini Tolong deh baca dari depan.
Na, na, tuuuh, lembar pertama mau kamu lempar begitu saja! Oke, Robin, Oke, saya
akan mulai Nah, selama ini kamu bertanya-tanya, siapakah saya ini. Tentu saja
saya harus jujur Yang bener aja dong, saya belum berumah tangga. Dan orang tua
saya juga tidak galak, karena orang tua saya tidak ada. Kamu tahu saya menempati
rumah gedong bertingka itu, itu bukan rumah saya. Kamu tahu, duuuh, sedih banget
saya harus mengatakannya, tapi enggak apaapa kok, saya akan jujur bahwa saya.
ini sebenarnya.pembantu rumah tanggal Nah, tuh, kamu pingsan sekarang karena
merasa terkecoh. Kalau kamu baca di taman, berteriaklah sepuas puasnya. Lara
sialaaan Saya tidak marah kok. Atau sebaliknya, malah kamu tidak percaya. Kamu
malah ngotot. Ah, tidak mungkin itu. Tidak mungkin itu! Robin, apa yang saya
katakan itu seratus persen benar. Saya tidak malu. Tidak merasa rendah diri,
karena memang itu sudah nasib saya. Mungkin kamu heran, kok seperti mengada-ada.
Tapi ini betul-betul ada lho. Kalau mau tahu, baik deh, saya ceritakan riwayat
hidup saya. Tapi sampai di sini, saya sendiri ragu-ragu, apakah kamu masih
membaca surat saya ini atau sudah kamu remas" Masih mau mengikuti" Atau kamu
sudah meninggal kan surat ini dan pergi nonton basket" 0, masih mau baca ya" Oke
deeeh! Menurut cerita orang saya ini lahir bukan di rumah sakit, tapi di bak
sampah. Di pinggir jalan di luar kota Yogya Kalanya pagi pagi buta, seron bongan
bakul-bakul yang hendak jualan di pasar, mendengar ada tangis bayi. Mereka
ketakutan, dikira ada setan. Lalu Mbok Marto memberankan diri. Dengan obor yang
menyala, mereka mencari-cari arah suara itu. Dan mereka menemukan bungkusan
selimut yang tertimbun tumpukan plastik. Tangis bayi itu masih terdengar Teman-
teman Mbok Marto pada berdatangan dan merubung. Setelah plastik. plastik
disingkirkan, ternyata di bungkusan selimut itu ada bayi. Itulah saya. Tentu
saja orang-orang desa yang sederhana itu pada geleng kepala. Kok tega-teganya
bayi sehat dan cantik, Eh, itu mereka lho yang mengatakan, bukan saya, dibuang
Kalanya, tubuh saya kedi nginan. Pipi saya sudah mulai sedikit berwarna biru.
Segera, saya disusui oleh salah satu dari mereka. Akhirnya rombongan yang hendak
jualan ke pasar itu, mengurungkan niatnya, mereka kembali ke desa Prambanan. Di
desa itu mereka lapor kepala desa. Dan atas prakarsa beberapa pamong, berita
tentang bayi jatuh R)dari langit ini dimuat di surat kabar Yogya. Tapi tidak ada orang yang datang
dan mengakui. Me mang itulah nasib saya. Barangkali saya ini anak haram. Atau
anak yang lahir dari rahim seorang ibu muda, atau remaja, saya tidak tahu.
Barangkali juga, kedua orang tua saya, tidak menghendaki saya hidup, atau
mungkin saya sudah dianggap meninggal, lalu dibuang, saya tidak tahu. Tapi
dengan cara itulah, Tuhan menciptakan saya, dan saya tidak menyesal Saya pasrah.
Seminggu kemudian, ada perempuan setengah baya mendatang Mbok Marto. Perempuan
itu hendak meminta saya, dan akan meninggalkan uang yang cukup besar Kalanya
ratusan ribu. Tapi Mbok Marto sudah terlanjur mencintai saya. Pemintaan itu
ditolaknya. Belakangnya, orang-orang desa memuji sikap Mbok Marto, karena
menurut Pak Lurah, sekarang ini banyak bayi, anak haram yang dibeli kemudian
dijual kembali kepada orang Bule. Wah, hampir saja saya jadi orang Bule ya"
Cinderella 89 Karya Eddy Suhendro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ngomongnya apa" Tapi, kok saya senang jadi orang Indonesia. Eh, Robin, kamu
masih membaca surat saya" Belum kamu remas kan" Baik, kalau begitu saya
teruskan. Nah, karena tidak ada yang mengakui saya sebagai anaknya, akhirnya
saya dipungut anak oleh Mbok Marto. Karena Mbok Marto sudah agak tua, saya
disusui oleh tetangganya. Oleh mereka, saya diberi nama Jawa. Laraningati Dalam
bahasa Indonesia, artinya sakitnya hati ini. Nah, sampai sekarang saya dipanggil
Lara, itu bukan nama Russia, atau nama dari Eropa, tapi nama dari Jawa. Jadi
jangan salah paham. Kata mereka lagi, saya itu pintar, maka mereka berusaha
keras menyekolahkan saya Sampai kelas enam. Dan anehnya, mereka itu jujur, tidak
mau membohongi saya. Seluruh kampung tahu kisah hidup saya, justru karena itu
saya malah disayang oleh setiap orang Nasib ini saya terima dengan pasrah. Hanya
anehnya sejak kecil saya bertekad untuk belajar dan mencari penghidupan, tujuan
saya hanya satu, membahagiakan mereka yang per nah menolong saya. Saya ingin
membelikan rumah Mbok Marto dan tetangganya yang pernah menyusui saya Tapi
sampai lulus SD, saya berhenti sekolah, karena tidak ada biaya Ya sudah, apa
boleh buat. Lalu saya membantu kiosnya Mbok Marto yang menjual barang barang
cinderamata. Kalau hari minggu saya menjajakan barang barang itu Saya tenteng di
tangan, sambil mengejar-ngejar turis asing, saya berseru,
"One thousand, Sir One thousand" Yah, sedikit-sedikit saya bisa bahasa Inggris
dan Jepang. Selain itu saya rajin banget belajar menari Jawa. Kata orang-orang
saya lues sekali. Seperti putri kraton, katanya. Tapi ah, kamu boleh tidak
peraya kok, ini hanya omongan orang. Cuma, kalau ada perayaan tujuh belas
Agustusan, saya selalu menari di panggung desa. Pak Lurah senang saya mau
diangkat sebagai anak, tapi Simbok menolak.
Kalau malam hari, sambil memandang candi
" (".Prambanan, apalagi kalau terang bulan, indah banget, saya memanjatkan doa
saya Tuhan, berilah saya kesempatan untuk belajar, saya ingin sekali
membahagiakan Simbok saya. Dan orang-orang yang telah membesarkan saya. Eh,
ternyata, doa saya dikabulkan, karena pada suatu hari, ketika saya sedang
menjajakan cinderamata, ada sepasang suami isteri yang memperhatikan saya. Saya
dengar bisikan mereka. "Mas, Mas, genduk, anak perempuan itu, kok cantik sih" bisik isterinya. Eh,
Robin, ini saya tidak ge-er lho. Saya dengar begitu lho dan saya pura-pura tidak
dengar, karena memang orang sedesa selalu mengatakan begitu, dan saya tidak
menjadi sombong, karena saya tidak tahu, apa sih untungnya menjadi cantik itu"
"Masak sih, anak desa kok cantik," kata perempuan itu lagi. Tanpa menawar mereka
membeli barang yang saya sodorkan. Lalu mereka menanya saya Tentu saja, saya
jawab apa adanya. Belakangan, saya baru tahu, perempuan itu ber. nama Bu Sunar.
Ia datang ke Simbok saya. Menanya banyak hal. Katanya ia ingin mengajak saja ke
Jakarta. Saya mau dijadikan pembantu. Tapi Simbok tidak setuju. Semua orang
melarang. Saya ya diam saja, habis, nasib atau masa depan saya diatur oleh
mereka. Tapi, perempuan itu tidak mudah menyerah. Ia menanya saya.
"Lara, apa kamu mau tinggal di Jakarta?"
tanyanya. -R')"Saya sudah dengar Bu. Saya mau, asal saya dijinkan sekolah!"
"Oh, pasti-pasti Boleh itu." Tapi Simbok dan orang-orang sedesa melarang Saya
tidak kurang akal. Saya ari bekas guru sekolah saya. Saya ceritakan bahwa saya
ditawari kerja se bagai pembantu rumah tangga, tapi boleh melanjutkan sekolah.
Saya ingin sekolah, dan ingin membahagiakan Simbok dan orang desa yang telah
menghidup saya. Guru perempuan itu terharu. Lalu datang ke rumah dan membujuk.
Akhirnya Simbok menyerah. Bu Sunar datang lagi. Bu Guru saya ikut me nemui dan
menanyakan alasan-alasannya. Bu Sumar menjelaskan,
"Begini lho Jeng sekarang ini di Jakarta, banyak keluarga yang selalu kesulitan
dalam urusan pembantu rumah tangga. Ba. nyak pembantu yang suka pindah kerja,
atau meninggalkan rumah begitu saja, atau pulang kampung Pokoknya, banyak
keluarga-keluarga setiap saat dipusingkan oleh pembantu rumah tangga. Se tahun
ini saja, saya sudah ganti pembantu tiga kali. Nah, saya punya pandangan,
bagaimanaya kalau pembantu itu dianggap anggota keluarga. Saya senang kok, Lara
ingin sekolah. Justru ada ikatan batin sama saya. Iya kan Mbakyu ?" Akhirnya
semua setuju. Halo, halo Robin, apa kamu masih membaca surat saya" Atau lembaran
ini sudah tergeletak di ranjangmu, dan kamu tinggal pergi. Atau malah sudah kamu
robek-robek" Halo, halo, Robin, kamu
R)masih membaca ya" Oh, masih ya" Tapi. tunda dulu airmatamu. Nggak baik lakilaki macam kamu mencucurkan armata. Oke, saya teruskan, ya" Wah, perpisahan
dengan orang desa itu sungguh mengharukan. Bu Sunar betul-betul bijaksana.
Simbok diajak ke Jakarta. Akhirnya Simbok mulai percaya dan relah berpisah
dengan saya. Karena waktu itu pertengahan tahun, saya tidak bisa langsung
melanjutkan sekolah. Nggak apa-apa. Saya malah bisa menyesuaikan diri. Memang
enak, saya bisa baca majalah, koran, ikut nonton TV, dan saya diajar masak.
Katanya saya ini cerdas, sekali diberi tahu, saya bisa. Bahkan kalau Bu Sunar
pingin bikin kue, ia hanya menunjuk gambar dari majalah, dan saya mengikuti
resepnya, hasilnya enak. Maka saya dipercaya. Bu Sunar senang saya ada di rumah
itu. Hanya ya itu, kok hidup ini selalu ada penderitaannya sih. Bu Sunar punya
dua anak perempuan. Tubuhnya pendek-pendek, kulitnya item. Rambutnya kering Yang
sulung sudah mahasiswa, katanya tingka satu. Waktu itu. Namanya keren, Soraya.
Sedangkan yang nomor dua, kebetulan umurnya sepantaran saya. Namanya Stephanie.
Yang terakhir cerewetnya bukan main. Mereka tidak pernah menyapa saya. Kalau
memanggil nya kitin. Masak, saya dipanggil si Mesin Cuci Garagara saya setiap
hari mencuci Tapi malah ber. untung, Bu Sunar sadar, dan membeli mesin cuci
beneran. RT)Kalau pulang sekolah, sepatu dilempar, br! Kalau dimarahi ibunya, jawabnya
senaknya, "Ma, zaman modern itu, sepatu bisa jalan sendiri, dan tahu di mana ia harus
mejeng," katanya. Ya jelas dong, untuk menata sepatu itu kembali ke tempat
semula, ya tugas saya. Pada awalnya mereka belum memusuhi saya. Tapi begitu saya
masuk kelas satu SMP, mereka mulai seuot. Sebab kedua orang tuanya selalu memuji
prestasi saya, dan anaknya sendiri digoblok goblokkan. Sudah deh, sejak itu,
saya dimusuhi Kalau saya ikutan nonton TV, mereka pada masuk kamar Terpaksa deh
saya tidak mau lagi nonton TV. Malah asyik di kamar mendengarkan sandiuara
radio. Kalau lagi sedih seperti itu, malah saya menari di kamar yang sempit.
Saya salurkan cetusan keindahan dengan gerak-gerak tangan saya. Saya sedikit
berke ringat, dan anehnya beban penderitaan itu menjadi hilang Pokoknya kalau
saya kesal, saya konsentrasi di kamar dan menari. Pada saat itu, tekad saya
berkumandang lagi. Tekad untuk membahagiakan Simbok. Dengan demikian keinginan
saya untuk minta pulang mendadak lenyap. Tekad itu yang se lalu membakar
semangat saya dan memaksa saya menelan penderitaan. Memang gaji saya tabung dan
saya kirimkan ke Simbok. Mereka senang sekali. Saya hanya menabung sedikit. Toh,
saya tidak punya keperluan lain lagi. Nah, waktu saya kelas tiga SMP kedua
anaknya R)itu semakin benci, karena teman-teman cowoknya yang suka datang ke rumah suka
menanyakan siapakah saya. Mereka jengkel. Bahkan ada temannya yang bergurau
hendak mengajak saya nonton. Tentu saja mereka jadi seuot. Kalau saya menyapu ha
laman, mereka berteriak-teriak,
"Hi, mejeng, mejeeeng" Ya, saya hanya bisa mengelus dada saja. Halo, halo Robin,
apa kamu sudah menguap, atau malah tertidur. Mungkin kamu sudah meninggalkan
surat saya ini, dan nonton video" Halo, halo Robin, di mana kamu" Eh, masih baca
surat saya ya" Nah, puncak kebenciannya, ya pada permulaan tahun pelajaran baru
ini. Saya lulus dengan gemilang, bahkan saya diterima di SMA kita yang beken dan
top ini. Stephanie tidak bisa masuk Ia marah besar Karena angka NEM-nya rendah
sekali Sudah deh, itulah puncak kebenciannya, dan saya selalu ditindas. Tapi ya
sudah, saya tabah-tabahin saja. Nah, Robin, coba bayangkan, kalau kamu datang ke
rumah saya, dan mereka melihat kamu mengantar saya, barangkali mereka akan
pingsan. Kedengkian nya akan semakin menjadi jadi. Mungkin malah akan menyakiti
saya. Padahal saya tidak bermaksud menyaingi. Saya hanya ingin menimba ilmu
penge tahuan saja. Jadi kamu cukup mengerti bukan" Barangkali kamu tanya, masak
sih, mereka tega banget. Ooo, dulu mereka malah berusaha mengusir saya. Enggak
percaya mereka mau berbuat begitu" Dulu, mereka protes sama orang tuanya. Bahkan
Soraya menuduh ayahnya punya anak haram. Kalau tidak, mengapa kedua orang tua
itu menyayang saya. Tentu ada apa-apanya. Begitu, kata mereka.
Maka dari itu Robin, saya ucapkan terimakasih banyak atas simpatinu, dan tolong
ya, jangan sampa saya kehilangan kesempatan menimba ilmu. Dan jangan kasihan
saya. Saya tidak takut menderita.
Eh, sekarang sudah jam berapa ya" Hm, jam tiga pagi Saya dengar sayup-sayup,
tang listrik dipukul tiga kali. Sebentar lagi, saya harus menyiapkan sega lanya
untuk sarapan pagi. Tidur saya pendek sekali
Nah, Robin, saya minta dengan hormal, lupakan Saya.
uassalam, Lara. Robin menerawang menatap langit-langit kamarnya. Hidup orang kok aneh bangel.
Masak ada sah orang yang tega membuang anaknya" Apakah ada, anak dilahirkan,
tanpa dimain kehadirannya" Nah, kalau begitu kenapa mesti punya anak" Kok yang
mengalami nasib seperti itu Lara ya" Kalau saya sendiri bagaimana" Hi, saya
lahir di bak sampah" Hi, kok mengerikan!
Robin terlonjak dari ranjangnya, karena pintu kamarnya digebrak-gebrak.
"He, Rambo, ayo dong anterin!" teriak Luki.
Robin bangkit dari ranjang. Langkahnya
Cinderella 89 - Karya Eddy Suhendro
sempoyongan. Pintu segera dibuka.
"Ya, halo?" desisnya manis. Luki terkekeh-kekeh,
"Tuh, tampangnya orang jatuh cinta, kayak begitu. Ayo dong anter!" Robin
terkesima. Ia tatap adiknya. Dan dalam hati bergaung rasa syukur. Beruntung juga
ya. saya tidak dilahirkan di bak sampah. Sungguh beruntung, saya punya bapak dan
ibu yang baik. Kalau saja, setiap bayi yang akan lahir itu bisa memilih, mereka
pasti akan berebut memilih dilahirkan dari rahim seorang ayah dan ibu yang baik.
Tapi mana bisa" Kalau begitu, hidup itu anugerah! Robin memandang adiknya, tibatiba terbit rasa sayang pada adiknya. Ia keluar kamar dan nerangkulnya. Luki
menyeringai girang, "Asyik loh, kalau punya kakak setiap hari jatuh cinta, bakalan kecipratan deh
kita, ikutan dimesrain!"
"Ntarya Neng, saya makan dulu"
"Cepetan!" Robin hanya tersenyum. Sambil makan, suara hati Lara terasa bergema
di kepalanya. Robin melihat ke sekeliling. Sungguh nikmat dilahirkan di tengah
keluarga yang bertanggungjawab. Hidup terasa enak, tapi berapa ribu orang yang
mengalami nasib seperti Lara. Hadir di dunia ini, karena permainan nafsu. Tanpa
ada orang yang mau bertanggungjawab akan masa depannya. Robin menatap foto
keluarga. Tampak dirinya dirangkul ayahnya, dan Luki dipeluk ibunya. Sungguh
keluarga yang bahagia. Melihat foto ayahnya Robin tersenyum geli. Lihat tuh,
gaya Paman Gober Mesra bangel. Tapi kalau dimintai duit, duilee, nanyanya
panjang bangel. Selalu deh, Paman Gober bilang, jangan royal, uang harus
dihemat, nyarinya susah, nah kalau cari uang sendiri, itu yang hebat, jangan
asal menjulurkan tangan seperti pengemisi Ayahnya tidak marah dijuluki paman
Gober, tokoh kartun dari Donal Bebek yang suka menyimpan uang dan mahapeli. Ah,
pelit-pelit begitu, dia baik kok. Buktinya masih mau membesarkan saya! Tanpa
disadari, surat dari Lara, telah membangkitkan rasa sayang pada kedua orang
tuanya, rasa sayang yang semakin mengental. hm. ini gara-gara Lara. Ya. Ia
pantas dicintai Brak. Luki menghantam meja makan Gelas piring, berloncatan
"Ayo doong, telat nih rengek Luki.
"Kamu ikut team apa sih?" tanya Robin kalen.
"Basket I" "Oke, saya akan antar anggota team yang akan.masuk kotak!"
"Enak aja!" "Habis, mau class-meeting saja gayanya seperti mau ke Olimpiade!" Luki mencubit
lengan Robin. TIGA kali ini robin masuk sekolah agak pagian dikit.ia
berkeliaran di halaman sekolah yang masih agak sepi. Tetapi Lara yang ditunggu
tunggu itu, belum juga muncul. Padahal ia ingin sekali menyampaikan pujian dan
rasa kagum. Simpatinya mulai bersemi.
Sementara itu, Siska, setelah memberi salam pada kakaknya, turun dari mobil,
lalu berjalan bergegas masuk ke halaman sekolah. Di tengah halaman ia melihat
Robin yang berjalan santai, kedua belah tangannya masuk dalam saku celananya,
seperti penyair kehilangan inspirasi, Siska tertawa terkekeh-kekeh,
"Oalah Bin, kamu kira, kita-kita nggak tahu ya, siapa yang kamu taksir?"
"Emang siapa?" "Lara, kan" Anak kelas satu itu" Iya, kan" Kita sudah tahu siapa dia, Robin
mengejar babu!" Siska mencibirkan bibirnya. Robin tidak marah. Tidak juga merasa kecil hati.
Dengan tenang, ia menghampiri Siska,
"Eh, tahu enggak, babu itu berhati intan. Dulu orang Eropa bikin cerita tentang babu dengan nama
Cinderela. Dan kamu tahu siapa yang jatuh hati pada Cinderela" Sang Pangeran.
Tuh, jadi Cinderella pantas dicintail" Siska rada keki juga Tas sekolah yang
tersampir di bahunya dihantamkan ke lengan Robin.
"Oalaaah, Bin, kayak kurang stock cewek di Jakarta ini!" ejek Siska sambil
cengar cengir "Stock banyak, Sis, tapi yang punya sepatu kaca cuma satu!"
"Dasar kamu sudah keracunan cerita anakanak."
"Tuh, sebel sendiri kan kamu!" Siska ngeloyor pergi Robin nyengir penuh
kemenangan. Halaman sekolah semakin banyak anak, dan menjelang pukul tujuh
seperempat, Lara belum juga nampak Robin gelisah. Janganjangan Lara dilarang
sekolah. Ketika bel berdentang, ia terperangah, melihat Lara turun dari bis dan
berlari-lari menuju kelasnya. Robin tidak sempat menyapa. Ia terpana dan kagum
melihat gadis itu berlari-lari menyelinap-nyelinap di antara anakanak yang
berjalan gontai menuju kelas. Ya, ya, saya tahu, Lara seperti kekurangan waktu.
Tentu, tadi itu ia menyiapkan sarapan dan mengurusi macam-macam. Ia tidak punya
waktu untuk bercanda. Kasihan ya. Hm, memang dia pantas dicintai
Robin berjalan tenang menuju kelas.
,Kedua belah tangannya masih di saku celananya.
Robin sudah tidak sabar menunggu, begitu jam istirahat pertama tiba, ia buruburu bangkit dari tempat duduknya. Ia tidak sadar kalau cewek-cewek sekelasnya,
yang sudah menerima berita bahwa Robin jatuh cinta, siap mengeroyoknya. Langsung
terdengar suara cewek yang agak parau dari pojok kelas,
"Ayo, Bin, lekas Bin, survey ke kelas satu!" Robin berhenti sejenak. Ia mencaricari arah suara itu. Cewek itu terkikik-kikik, dan menundukkan kepala. Dari arah
lain terdengar lagi suara cewek mengejek. Bersaut-sautan.
"Ayo Bin, jadi Hunter"
"Ya, ya, sex Hunter!"
"Lou Hunteri" "Salaaah Tante Hunteri" Robin belum sempat membalas, Siska sudah berdiri di
depan kelas, sambil berteriak-teriak,
"Eh, tahu enggak, Robin sekarang menjadi ketua kehormatan PBB."
"Lho, apa" Pajak Bumi dan Bangunan?" sahut salah satu anak. "Bukaaan. Persatuan
Babu Babu" Kelas menjadi gaduh oleh gelak tawa dan sedikit tepuk tangan. Robin
melenggang tenang di sela-selabangku. Kedua belah tangannya direntangkan, sambil
mengepak-ngepak seperti burung, ia mencoba menenangkan,
"Nah, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya yang saya hormati, sampai sekarang kalian suka
mengatakan saya ini homo, terpaksa deh, untuk membuktikan bahwa saya ini normal,
saya terpaksa mencomot cewek anak kelas satu Mereka kan masih percaya, kalau
saya ini normal" Utari berdiri sambil meliuk-liukkan tubuhnya seperti penari
Mesir, "Kita juga perempuan Iho Bin!"
"Ya, betul Yang pasti kamu bukan KuntiIanak!"
"Godan kita dong Bin!"
"Wah, kamu bukan Cinderelal"
"Eh, Ut, Ut, "sela Siska keras-keras,
"Kamu jadi babu dulu, baru dipilih Robin."
"Sani" Kelas semakin gaduh. Ada cewek maju ke depan. Ia mengangkat kaki kirinya,
dan ujung roknya ditarik sedikit untuk memamerkan betisnya,
"Nih, Bin, kita juga perempuan!" Robin menyeringai, ia menuding salah satu cowok
yang hendak hengkang dari bangkunya,
"Ton, mau enggak kamu sama Elly, lihat tuh, betisnya baru cantik-cantiknya,
mirip pepaya busuki" Tentu saja para cewek jadi berang, berhubung kaumnya sedang
dihina, maka mereka kompak hendak membalas dan menyerbu kedepan, tapi Robin
lebih gesit, ia buru-buru kabur sambil menyeringai.
Ah, dia pasti tidak keluar main. Pasti ada di dalam kelas. Robin berjalan
gontai. Lalu melongok jendela kelas satu. Ia tersenyum melihat Lara sedang sibuk
menulis. "Halo, halo, Lara, apa kamu masih ingat saya" tegur Robin datar. Lara
terperanjat. Ia mendongak. Begitu me lihat Robin, ia terkikik kikik geli.
"Halo, hallo Lara, saya sedang kerepotan. Susah melupakan kamu!" Lara terkesima
sejenak. Oh, jadi dia mau baca surat saya ya. Hm, boleh juga cowok ini. Kok baik
bener Lara tersenyum manis.
"Halo, halo Lara, apa kamu sedang menulis riwayat hidup jilid dua?" Lara
terpaksa terkekeh-kekeh. Tulis dong Pertemuanmu dengan Robin. Tulis dong"
Cinderella 89 Karya Eddy Suhendro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, kamuuu!" "Yuk, ke kantin dulu!"
"Trims Bin Saya harus menyalin pelajaran. Di rumah enggak sempet!" Tapi, ntar
siang kamu masih perlu orang untuk mengangkat barang-barangmu, kan?"
"Nggak usah!" "Yak, tul Memang tidak usah. Kamu enggak usah naik bis. Ntar pakai mobil saya
saja!" Lara memandang sendu, senyumnya masih tetap manis.
"Halo, hallo Lara, apa kamu masih mendengarkan saya?" Lara jadi kebingungan
sendiri. Kalau ia tidak meluluskan permintaan Robin, cowok itu bakalan mejeng di
kusen jendela terus sampai bel berbunyi lagi Wah, gawat. Bakalan enggak enak,
bisa menimbulkan rasa sirik pada cewek kelas satu lainnya. Kan berabe. Maka
buru-buru, ia menyahut, "Oke deh, oke!" Robin tersenyum penuh kemenangan. Lalu melambaikan tangannya,
"Trims ya!" Semula Siska menganggap bahwa ulah Robin ngeceng di kelas satu itu
hanya iseng belaka. Maka ia sengaja menggoda Tapi rupanya Robin serius banget.
Siskajadi berubah perangainya. Ia geram. Ia pergi ke kantin. Begitu melihat di
kantin banyak cewek kelas satu, ia segera menye bar isu. Bicaranya keras-keras,
"Hu, cowok model sekarang Enak aja, ngajak cewek pergi. Gantiganti pacar
seenaknya. Emang cewek itu sepatu" Kalau enggak suka, tinggal dibuang, br
Apalagi cowok macam Robin, nggak punya selera. Nggak level deh. Nggak bisa
diandalin. Cewek yang pinter, enggak sudi diajak pergi. Bingung dia sekarang.
Langsung, main comot saja. Babu pun mau. Dasar cowok nggak punya seleral" Nah,
seperti biasa, isu itu seperti emping yang gurih. Renyah kalau dimakan. Dan
tersebarnya juga cepat. Bahkan berubah-ubah.
Cewek-cewek kelas satu mulai mengerling sinis pada Lara. Sedangkan Siska sendiri
sikapnya mulai berubah. Selama mengikuti pelajaran, ia hanya diam membisu. Tidak
mau lagi cengengesan. Robin yang menjawab pertanyaan guru dengan sedikit melucu,
tidak menarik perhatiannya lagi. Biasanya kalau Robin melempar lelucon di kelas,
Siska segera mimbrung dan menggoda. Tapi kali ini, ia hanya duduk cemberut.
Bahkan ketika saat pulang, ia berjalan keluar kelas dengan kepala tertunduk.
Ketika berpapasan dengan Robin, Siska berlagak tidak kenal. Bahkan secara
sengaja ia melengoskan kepalanya ke arah jendela, seakan ia hendak mengatakan
bahwa jendela itu lebih kece dari Robin. Tapi ya dasar Robin, ia malah berjalan
gontai menuju ke kelas satu sembari bersiulsiul ringan .Cuma celakanya, sampai
di depan kelas, sorot mata cewek kelas satu rada aneh. Mereka saling menyodok
temannya, atau saling berbisik. Lalu buru-buru meninggalkan Robin yang
melongoklongok ke ambang jendela. Ternyata Lara sudah tidak ada. Tetapi ia tidak
kehilangan akal. Dengan langkah tenang ia berjalan menuju kejipnya. Ia tahu,
Lara pasti belanja di Supermarket itu.
Robin cukup sabar menunggu. Jelas dong, naik jip lebih cepetan ketimbang naik
bis, karena R)enggak pakai merayu penumpang di sheller Ia menunggu di mobil sambil
mendengarkan kaset. Begitu melihat Lara turun dari bis, Robin segera mematikan
kasetnya. Sakinggirangnya, ia lupa mencabut kunci kontak. Ia segera memburu
Lara. "Halo, halo Lara, kenapa kamu ingkarjanji?" seru Robin setengah berlari. Lara
terperangah. "Halo, halo Lara, apa kamu mendengarkan saya?"
"Wah maaf bangel Maaf!"
"Kenapa sih?" "Saya tidak mau merepotkan kamu. Anakanak kelas satu omongannya menyakitkan.
Saya sih tidak marah dikatain babu, memang kenyataannya begitu, mau apa. Itu
sudah nasib saya, tapi, saya tidak mau, kalau kamu terganggu, gara-gara saya"
"O, o, o, hanya itu" Him.oke, saya jelaskan!" Lara berjalan menuju ke
Supermarket. Robin terpaksa membuntuti. "Kamu kira saya akan ciut, dan melupakan
kamu Wah, saya tidak setolol itu!"
"Robin, kamu jangan sampai terkecoh. Pilihlah cewek yang setingkat denganmu"
Sambil menyelinap ke pintu masuk, Robin masih nerocos, "Sekarang bukan zamannya
tingkat-tingkatan Non. Hanya bis kota saja yang rada genit, pakai tingkattingkatan."
Lara tidak menggubris, ia melewati besi Penghalang, Robin setia membuntuti,
"Halo, hallo Lara, kamu mau mendengarkan saya!" Lara tersenyum.
"Nah, begitu dong!" Robin menarik kereta dorong,
"Nah, saya sudah baca suratmu. Sampai berapa kali ya. Wah lupa saya. Nggak ada
yang saya remas. Kamu bilang kamu lahir karena dibuang, iya kan" Kamu percaya
kan" Kenapa sedih" Apa bedanya dengan saya" Katanya saya dilahirkan ibu saya. Ya
saya percaya. Dan ibu menyayangi saya, berarti saya semakin percaya. Lho apa
bedanya dengan kamu" Apa bedanya kamu dengan cewek lain" Kan mereka juga samasama tidak mempunyai bukti dilahirkan oleh enyaknya. Iya kan" Modalnya, cuma
percaya kan?" Lara memandang penuh kagum.
"Naaah, begitudooong
"Robin mendorong kereta dorong itu mengikuti kemana saja Lara pergi,
"Nah, suratmu itu betul-betul mempe sona, sampai saya bilang dalam hati, ini dia
cewek tahun dua ribu" Lara berhenti sejenak, sambil senyum, ia mengernyitkan
dahi. "Eee, kamu enggak percaya ya" Begini Lara, ibu saya sering memarahi adik saya,
Luki, katanya, kamu tahu enggak lantai kotor itu ya mesti disapu. Tahu" Adik
saya marah, buat apa Ma, punya pembantul" Lara cenberut.
"Dengerin dulu sampai selesai dong," Robin
hendak meyakinkan, "Lantas Ibu saya marahmarah. Luki, katanya lagi, kamu harus siap-siap dari
sekarang, sebentar lagi, tahun dua ribu, di Indonesia ini tidak ada pembantu.
Semua gadis dari desa bakalan pintar-pintar dan kerja di pa brik atau kantoran.
Nah, kamu harus belajar ngepel dan sebagainya. Tapi apa jawab Luki" tahun dua
ribu kan masih jauh Mal" Lara tersenyum, sambil mencomot kaleng susu, ia
berkata, "Luki benar. Ini tahun 89. Jadi bagaimana pun saya ini termasuk kelas rendahan"
"Wah, itu pemikiran yang subyektif. Nggak setuju saya. Coba pikir Lara, kamu
malah mempunyai kelebihan dari cewek-cewek teman saya Kamu bisa masak, bisa
seterika, bisa menyapu dan sebagainya, apakah teman-teman saya bisa" Wah, belum
tentu itul Lho, kamu lebih hebat kan!"
"Nyindir ya!" "Lho, kok malah ngajak salah paham. Pokoknya cuekin saja gosip murahan itu.
Oke?" Lara memandang mesra, lalu dengan lembut ia menganggukkan kepalanya.
Ketika mereka berdua keluar dari Supermarket itu, mata Robin melotot garang. Ia
kaget, karena dari arah jipnya terdengar lagu rock yang keras sekali. Ia baru
sadar kalau kunci kontak lupa dicabut. Dan siapa anak kurang ajar yang nangkring
di dalam jip itu. Robin semakin terperangah, karena ia melihat Luki, masih
dengan seragam putih-biru, duduk di tempat stir sambil merem-merem.
"GIla loh!" Luki terbangun, lalu menyeringai,
"Nah, bener kan, kerjaan Rambo itu perang atau bawa-bawa barang!" "Ngapan kamu
nongkrong di situ?" "Habis, tadi waktu lewat sini, ada jip Rambo, ya lantas turun. Eee kebetulan,
nggak dikunci Kok tumben pelupa. Wah, kalau perang bakalan kalahan melulul Habis
perabotan perang lupa dibawa!" Robin agak sedikit kikuk, karena kedua belah
tangannya membawa barang belanjaan, maka hanya dengan menggerakkan dagunya,ia
menyuruh Lara berkenalan sama Luki,
"Tuh, ke nalin adik saya yang paling sableng" Lara menganggukkan kepalanya penuh
hormat, dan tangannya hendak menjulur, mengajak jabat tangan. Tapi Luki tidak
beranjak dari tempat duduk. Ia memberi hormat ala tentara,
"Siap Jenderal. Nama saya Luki" Robin geleng kepala. Lara tersenyum geli. Dalam
hati ia mengagumi, bahwa keluarga Robin ini bahagia. Hubungan kakak beradik
mesra, kocak dan menyenangkan. Mereka pasti berasal dari keluarga bahagia. Tibatiba Lara merasa tidak enak, kalau mengganggu kebahagiaan itu.
"Robin, sebaiknya saya naik bajaj saja!" desis
Lara sambil meminta barang-barangnya. PT. ST"Ala, naik jip irit. Nggak usah
bayar. Kalau naik bajaj, kamu bakalan keluar lima ratus perak, banyak tuuuh!"
Luki sengaja mengangguk-anggukkan kepala untuk menggoda Robin. Lehernya yang
jenjang itu sedikit terjulur, karena ia ingin mengamati cewek cantik itu dengan
seksama. Robin menyuruh Luki pindah tempat duduk, tapi cewek kelas tiga SMP yang
bertubuh bongsor itu malah berlagak seperti kondektur bis,
"Ayo masuk, masuk. Sekali-sekali saya stir kenapa sih. Nggak usah takut Mbak,
nggak punya SIM, enggak apa-apa, yang penting tidak nabrak cowok. Ayo, Mbak
jangan malu-malu, Mbak Masuk saja. Nggak nggak bakalan masuk got jip ini. Saya
sudah diajari Rambo stir kok Malah sudah pernah ikut rally. Tapi sampai sekarang
nggak punya SIM Nggak enak nyatut umur, masak umur saya lima belas mau dibilang
tujuh belas, perempuan kan nggak suka cepet tua Oke, Mbak!"
Robin rada kesal. Ia terpaksa membuka pintu belakang. Lara tidak mengeluh, ia
senang dipanggil Mbak Selama dalam perjalanan itu, mata Lara berkaca-kaca. Bukannya sedih, melainkan
ia ikut merasakan kebahagiaan dua kakak beradik yang selalu bergurau seenaknya.
Betapa senangnya hidup di lingkungan mereka.Lihatlah, betapa besar Robin
menyayangi adiknya. Ah, Lara, kamu jangan mimpi. Jangan. Jangan berharap terlalu
banyak. Duniamu tidak di situ. Nasibnu lain. Memang nasib tidak usah kamu ratapi
Nasib kamu terima dengan baik. Dan kamu jalani. Tapi jangan berharap banyak,
Lara. Pesan kepada diri sendiri ini belum sempat tertanam dalam hati, Jip sudah
berhenti di depan rumah besar. Ketika hendak turun, Robin loncat duluan dari
tempat duduk di depan dan membukakan pintu belakang Lara terperangah, bukan
karena kesopanan Robin, tetapi karena di halaman rumah itu, tampak Stephanie dan
teman-temannya sedang bercanda. Stephanie melotot dengan tatapan geram.
Lara menjadi lemas. "Kenapa Lara?" "Tidak apa-apa" desis Lara dengan suara tersendat.
"Saya antar sampai ke dalam?"
"Jangan deh, Robin! Trims ya!" sahutnya dengan Suara Cemas.
"Oke, see you!"
Lara semakin gemetar. Ia menatap kepergian Robin dengan wajah sendu, lalu
menoleh ke halaman, dan betapa mengerikan melihat sorot mata Stephanie penuh
kebencian aduhl Asyik bangel Dasar babu nggak diuntung Ternyata kencan sama cowok ya!
Gayanya belanja. Tuh, Ma, tahu kan Mama sekarang, bahwa selama ini Mama
dibohongil" Stephanie berteriak-teriak sambil menuding Lara yang berada di
dapur. "Kalau dibiarkan terus Ma, enggak ada tiga bulan, bakalan hamil Naaa,
Mama yang bingung!" teriak Stephanie lagi dengan suara parau. Bu Sunar tetap
tenang. Meskipun ia sudah mendengar laporan dari anaknya, selama setengah jam,
ia masih tetap tenang, bahkan dengan lembut ia menyuruh anaknya belajar,
"Fanni, sudah. Kamu belajar saja. Nar kalau ulangan jeblok lagi!"
"Ala, bencil Mama selalu belain dia. Kali saja dia itu anak haramnya Mama Iya
kan Disayangsayang!"
"Ssst, hehl Ntar Mama tanyain. Sana belajar kamul Pokoknya Mama tangani
sendiri."Stephanie merengut.
Bu Sunar melongok ke dapur. Lara baru saja mematikan gas.
"Lara, apa benar kamu tadi diantar seorang cowok?" tanya Bu Sunar dengan suara
tenang. "Bener Bu!" "Siapa dia?" "Anak kelas tiga"
"Namanya?" "Robin, Bu!" "Baik, maukah kamu mengundang makan dia besok sore?"
Lara terbelalak. Ia tidak mengerti, mengapa Robin diundang makan. Lara hanya
menjawab dengan anggukan yang berat.
"Trimakasih Laral"
"Eh, Ma, Ma, Rambo ternyata romantis lho, Ma," seru Luki di meja makan. Meskipun
mulutnya sedang mengunyah-ngunyah, kepalanya bergoyang-goyang ke kanan-kiri,
matanya melirik-lirik ke arah Robin.
Ibunya hanya mengerling sejenak, sambil menyuap nasi.
Karena Robin tidak protes, atau membalas serangan, Luki semakin menjadi-jadi,
"Eh, Mama nggak percaya sih. Pacarannya modern Ma, nggak di tempat-tempat yang
gelap, Ma. Tapi belanja di Supermarket, nenteng-nenteng R)belanjaan. Romantis
deh Ma." Robin yang duduk di sebelah Luki hanya nyengir saja.
"Bener ya?" gumam Ibunya.
"Siapa sih?" "Ah, cuma temen sekolah!" gumam Robin datar. Paman Gober yang duduk di sebelah
Ibu, tersenyum, lalu bersabda,
"Pacaran sih boleh, asaljangan menodong uang saku saja dari Mamamu!" Robin
nyengir. Tuh, modelnya Paman Gober. Pelit bange. Ia lebih bangga kalau anaknya
dapat uang dari ngompreng atau usaha kecil-kecilan. Setiap bulan, anak-anaknya
terima gaji. Kalau ada pengeluaran ekstra, harus minta ijin dulu. Kalau
alasannya tidak kuat benar, daftar isian proyek bisa ditolak mentah-mentah. Maka
Robin, tidak begitu royal membelanjakan uang sakunya.
"Hati-hati, Bin, anak orang jangan sembromo. Jangan sembarangan" kata ibunya
menasihati. "Betul juga, ya!" Robin bergumam, sambil menyudahi makannya,
"Dalam urusan cinta, langsung ortu jadi polisi!"
"Iya dong Bener dong" Luki membela,
"Kan pacaran itu seperti lalulintas. Perlu ramburambu juga, ya enggak, Ma" Iya
kan Maaa" Lho katanya, kecelakaan dalam pacaran itu, karena kurang memperhatikan
rambu-rambu jalan. Iya enggak" Misalnya nih, kalau ada sepasang remaja naik
mobil, lewat depan hotel, langsung dipasang rambu-rambu di larang masuki Bahaya
kan ya Ma, ya, berduaan di hotell"
"Masak, cuma makan pizza kok bahaya" 'Lho bahayanya itu.setelah makan pizza itu
I" Paman Gober tertawa senang, "Rambu lain lagi, apa Luk?"
"Misalnya lagi, kalau ngelayap ke Ancol, langsung kasih tanda, awas jalan
berbelok-belok, bisa masuk jurang!" 'Lho kalau nonton bioskup?" Robin sengaja
mau mengejek diri sendiri.
"Langsung deh tancap rambu: dilarang parkir di depan layar. Bahaya tuh, enggak
ada yang ngawasi" "Lho, Luk, kamu kok pengalaman bangel. Tahu darimana tuh?" sembur Robin dekat
telinga adiknya. "Dari gosipl" Mereka tertawa renyah. Lelucon Luki memberi inspirasi. Tiba-tiba
Robin ingin sekali mengajak Lara nonton film malam minggu nanti. Kenapa tidak
boleh. Asal saya minta dengan baik dan sopan. Gadis seperti itu berhak juga
bersenang-senang. Pokoknya, saya akan memberinya suatu kenangan manis. Robin
semangat banget. Pagi-pagi sudah berangkat ke sekolah. Tapi belum sempat ia
menyampaikan ajakannya, Lara datang nyamperin duluan.
"Robin," bisiknya sendu.
"Ya, halo?" serunya kegirangan."Ntar sore kamu diundang makan Bu Sunari"
"Haaah" Diundang makan" Acara ngelamar saja belum kok sudah diterima"
"Hushi" "Ada apa sih?" "Nggak tahu ya" Lara langsung berlari-lari menuju kelasnya.
Robin kelihatan girang. Maunya sih tampil keren. Maka baju gedombrangan dimasukkan ke dalam celananya.
Lantas, rambutnya juga diminyaki. Kemudian ketika ia menatap wajahnya sendiri di
cermin, Robin kebingungan, kok yang tampil di kaca itu bukan dirinya sendiri.
Ah, cuek ah. Sepatu yang dikenakannya juga sudah disemir mengkilat. Begitu
keluar dari kamar, Luki yang melihatnya, tertawa terpingkal-pingkal,
"Taela, Rambo mau mendapat julukan pria berbusana terbaik minggu inil Eh, mau
kemana "Ini urusan tujuh belas tahun ke atas!"
"Nga gih lagi, itu kepala Robin, atau kepala tikus yang baru kecebur got?"
"Ini penampilan orang dewasa" Luki semakin tertawa terpingkal-pingkal,
"Nggak pantes ahl Jelek. Rambo jelek. Kayak bapak-bapak Hii, norak deh!" Robin
jadi kebingungan. Ia masuk ke kamarnya lagi untuk melirik penampilannya lagi di
cermin. Hm, Luki benerjuga ya. Bahl Akhirnya dandannya yang sudah rapi itu
diobrak-abriknya lagi. Rambutnya dikeringkan. Dan bajunya dibikin gedombrangan.
Sepatu kulit ditukar dengan sepatu kets.
Luki mengintip dari celah pintu,
"Naaah, gitu dong Mendingan nggak usah dapat julukan pria berbusana terbaik deh,
asal keren, remaja gaya cuek dan masih tampak Rambo begitu. Bisa dikopi?"
Robin hanya tersenyum. "Mau kemana sih" tanya Luki penasaran.
"Mau kondangan!"
"Asyik dong pulang kondangan pasti bawa hamburger!"
Robin hanya nyengir Stephanie terperangah, karena ia melihat jip Robin berhenti di depan rumahnya.
Ia melotot kagum, ketika Robin turun dari jip. Tapi ia perlu bergaya gengsi
juga, maka ia pura-pura membersihkan rumput yang tumbuh di dekat pohon anggrek.
Robin berjalan mendekat, "Selamat sore!" tegurnya ramah.
Cinderella 89 Karya Eddy Suhendro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Stephanie pura-pura terperanjat. Tubuhnya yang pendek itu, berlagak sedikit
terlonjak, "Soreeel" sambutnya digugupkan. Namun demikian kentara sekali kalau suaranya
sengaja dimerdukan. i "Apakah saya bisa berjumpa dengan Lara?" "Lara?" Suara Stephanie berubah. Tadi
suaranya dimerdukan, tapi kali ini suaranya agak melengking, berisi nada-nada
kebencian. Begitu pula, mulutnya yang semula segar, menebarkan senyum, tiba-tiba
berubah menjadi cemberut.
"Adal" Suaranya berubah menjadi sengit,
"Tunggu ya!" Suaranya berubah lagi menjadi galak. Stephanie masuk ke dalam.
Robin berdiri sambil memperhatikan pertamanan anggrek. Pintu kamar tamu terbuka.
Bu Sunar muncul sambil menawarkan senyum keibuan. Robin mengangguk hormat,
"Selamat sore" "SoreI" "Maaf, Bu. Bisa saya ketemu Lara?"
"Oo, yaa Mari, mari. Masuk saja!"
Tuh, beneer kaan Gampang kok Kalau datang sopan-sopan, tentu dihormati juga.
Kalau ngomong baik-baik, tentu diijinkan juga. Campang kok
Sebelum masuk ke ruang tamu, Robin hendak melepas sepatu ketsnya, karena ia
melihat lantai marmer itu begitu mengkilat. Tentu saja Bu Sunar terperanjat,
"Eee, nggak usah dicopot!"
"Nggak apa-apa, Bul"
"Ayo, pakai lagi!"
Karena dipaksa-paksa, Robin menurut. Tapi dalam hatinya ia tersenyum. Ini benerbener keramahan, apa sekedar basa-basi" Janganjangan nanti begitu saya pulang,
ngomel-ngomel Dasar anak remaja zaman sekarang, kurang didikan. Masak, lantai
marmer bagus-bagus, diinjak-injak seenaknya, dianggap lapangan basket saja
Lantas, kasihan Lara yang akan jadi kurban. Lara disuruh terbungkuk-bungkuk
membersihkan kotoran. Apalagi waktu sepatunya menginjak karpet yang empuk dan
tebal, sepatunya sedikit diangkat, dan kepalanya menunduk untuk memeriksa apakah
ada lumpur yang lengket. Ternyata sepatunya cukup bersih. Maka dengan tenang
karpet bikinan Itali itu diinjak dan meninggalkan cetakan bekas sepatu.
Sepatu saya bersih kok Lara enggak bakalan deh disuruh-suruh. Robin duduk di
kursi yang panjang, dan Bu Sunar, sambil membetulkan letak patung bali di meja
kecil, melirik ke arah Robin.
"Ya, itulah, Nak.siapa namanya?" Bu Sunar pura-pura lupa. Lalu membenamkan
pantatnya yang besar di sice.
"Robin," sahut Robin pendek.
"Ya, Nak, Robin. Mungkin Nak Robin agak heran, kok diundang ke rumah saya. Iya
kan?" Robin tersenyum. Lho ini saya ingin ketemu Lara, kok perempuan setengah
baya yang menemui. Apa dia ini semacam polwan begitu. Bagian tanya-tanya" Masak,
mau ketemu pacar mesti diinterogasi dulu R)"Nggak usah heran Nak Robin. Saya
hanya ingin agar tidak terjadi salah pahaaam, begitu. Ya" Duduk yang enak saja."
Bu Sunar menoleh ke dalam,
"Fani!" serunya,
"Tamunya kok didiamkan saja." Suaranya kembali ramah,
" Mau minum apa Nak Robin" Soft drink" Atau apa?"
"Ya, apa saja Bul" "Soft drink ya" Biar cepet!" "Terimakasih, Bul" Bu Sunar yang
rambutnya sedikit mulai memutih itu, berteriak lagi,
"Fani, ayo dong keluarkan soft drinknya!" "Iya, Buuu!" terdengar suara agak
parau dari dalam. Dan suara itu terasa dimerdu-merdukan. "Nak Robin datang ke
sini mau menemui siapa sih?" "Lara, Bu!" "Nak Robin tahu siapa Lara?" Robin
hanya diam saja. Tiba-tiba ia tersenyum, karena Lara keluar membawa nampan.
Kepalanya menunduk menghindari tatapan Robin. Ketika mendekati meja, ia
berlutut, dan menyuguhkan dua gelas cembung, berisi cocaCola ke atas meja kecil.
Robin hendak mengajak senyum, tapi Lara menghindar. Lalu, dengan sedikit
mengingsutkan dengkulnya ke belakang, ia berdiri dan menghilang ke dalam. "Nah,
itulah Lara. Jadi tahu, siapa sebenarnya Lara itu?" Tahu, Bu!"
"Kaget?" "Tidak, Bul" "Tidak?" Bu Sunar mengangguk-anggukkan kepala.
"Yaaah, memang Lara bukan anak saya. Ini perlu diketahui dulu. Banyak yang salah
paham. Syukurlah, kalau Nak Robin sudah tahu. Dari mana sih tahunya?"
"Dari Lara sendiri!"
"Oh! Kalau begitu, yaaa, saya tidak perlu menjelaskan lebih jauh. Iya kan"
Namanya siasia. Iya kan?"
Robin menggigit bibirnya. Dalam hati, ia ngomel-ngomel Dan Ibu jangan menyianyiakan waktu saya dong Lekas dong suruh keluar Lara. Kan saya boleh ngobrol
dengan dia. Oke, deh, misalnya tidak boleh ngobrol di ruang tamu ini, ya di
taman. Kalau di taman tidak boleh, ya saya akan ngobrol di dalam jip. Iya dong
Bu Sunar masih tetap bercerita panjang lebar tentang keluarganya, tentang anakanaknya. Album foto keluarga dikeluarkan. Dan Stephanie pun disuruh keluar.
Taela Robin terbelalak. Stephanie keluar dengan dandanan menor. Bajunya berumbairumbai, tidak cocok untuk potongan tubuh pendek. Lalu rambutnya dikruuel-kruuel
seperti sarang bangau. Ini Memedi sawah dari manaaa2 Robin masih juga terbelalak. Tapi karena Bu Sunar
menyuruh berkenalan, Robin menjabat tangan Stephanie yang besar."Ini Fani, anak
saya yang bungsu. Manjanya enggak ketulungan!" kata Bu Sunar.
"Ah, Mama!" Stephanie bergaya tersipu-sipu, dan suaranya masih tetap dimerdukan.
"Silakan ngobrol dulu. Ibu mau menyiapkan makan malam dulu ya" seru Bu Sunar
sambil melangkah masuk ke dalam. Mati saya.
Untung Luki tidak saya ajak. Wah, kalau dia ikut, bisa jadi dia bakalan
bersiul-siul di ruang tamu ini. Potongan seperti Stephanie ini bakalan jadi
bahan ejekan. Untung, saya datang sendiri. Tapi ya, demi menjaga kesopanan,
Robin tetap mengumbar senyum dan menanggapi keramahan nona rumah. Senyum yang
simpatik itu, disalah-tafsirkan oleh Stephanie, dikira Robin kesengsem sama
dirinya. Duuuh, kacau Stephanie mendapat kesempatan membuat laporan yang jelek
tentang Lara, "Ya itulah ya Mas, ya." Stephanie berlagak kaget,
"Eh, maaf. boleh kan panggil Mas?" Robin hanya tersenyum.
"Ya itu, Mas. Yang namanya babu itu, ya tidak bisa dipercaya. Masak kalung saya
yang dibelikan papa dari Paris itu, pernah hilang, eee, tahunya kalung itu ada
di bawah kasur tempat tidur Lara. Keterlaluan enggak. Padahal kita-kita ini
sudah begitu baik, tapi ya itu, tidak tahu diuntung. Masih juga mau jadi tikus
menggerogoti lumbung induk semangnya. Aneh kan Mas. Ibu memang berhati mulia,
koki Lara masih boleh R')kerja di sini. Dan itu Mas, kalau disuruh belanja, uoooi, seneng banget.
Nyatutnya enggak ketulungan. Tapi ya itu, Ibu masih percayaaa aja!" Robin diam
saja. Ia tidak mau membantah atau mengiyakan. Ia tatap wajah Stephanie dalamdalam. Kamu kok sirik banget sih. Tuh, kamu tuuuh, yang enggak pernah belanja.
Nggak pernah lihat ya, bahwa kertas dari kasir Supermarket itu disimpan baikbaik dalam dompetnya. Kan bisa diperiksa. Belanja apa. Bagaimana ia bisa nyatu"
Stephanie belum sempat obral fitnah, ibunya keluar lagi dan mengajak makan.
Robin dipersilakan masuk ke dalam. Ia terharu, melihat Lara yang sedikit
berkeringat di dahi, diperintahperintah Bu Sunar. Disuruh menyingkirkan pisau
roti. Soraya, anak sulung yang sudah mahasiswa, tidak mau keluar. Ia protes
berat, karena ia menganggap mengundang makan anak remaja itu, terlalu mengadaada. Nggak ada alasannya. Tapi Robin mulai sadar, bahwa undangan makan itu hanya
suatu cara yang halus dari Bu Sunar, untuk menunjukkan bahwa Lara hanyalah
pembantu rumah tangga belaka. Gadis yang disuruh-suruh. Gadis yang dianggap
tidak pantas duduk satu meja dan makan bersama. Selain itu, ia juga sadar, kalau
Memedi sawah itu disodorkan kepadanya sebagai pengganti. Selama makan, Robin
tidak punya bahan pembicaraan apa-apa. Ia juga tidak mau ngotot
memaksa Lara keluar. Sekedar iseng, ia memuji masakannya, "Hm, enak sekali!"
"Oh, itu menu, Ibu yang pilih," sahut Bu Sunar.
"Tapi Maaa, Udang yang aku goreng itu, enak ya Ma?" Ealaaah. Pembajakan ternyata
bukan hanya di bisnis kaset saja. Masakan orang pun bisa dibajak agar dapat
pujian. Jangan dikira saya tidak tahu siapa yang masak ya" Robin hanya
tersenyum. Mereka mengira, Robin senang sekali dengan Stephanie, tapi ternyata
mereka terlalu ge-er, karena Robin justru semakin terharu akan nasib Lara.
Rasanya ia ingin mengangkuti piring-piring kosong itu dan ikut mencuci di dapur,
untuk menunjukkan simpatinya pada Lara. Tapi ia takut ulah nekad-nekadan seperti
ini pasti akan melukai keluarga itu. Maka, ia hanya diam saja. Hanya ketika
selesai makan, ketika Lara dipanggil dan disuruh menyingkirkan piringpiring
kotor itu, Robin sempat mengedipkan mata pada Lara sebagai tanda simpati.
Kedipan secara tersembunyi itu ditangkap oleh Lara. Kedipan yang kecil, tapi
kedipan itu merupakan cetusan jiwa yang tulus. Kedipan itu hendak mengatakan
demikian. Jangan khawatir Lara. Saya tahu sandiwara ini. Saya tahu kamu
difitnah, bagaimana pun juga aku masih tetap memilih kamu.
Lara tergetar. Secara sembunyi pula, Lara sedikit melempar senyum pada Robin.
Senyum yang tipis, yang segera menghilang itu, hendak mengatakan demikian.
Robin, meskipun saya sengaja diperlakukan aneh seperti ini, kamu kok masih
menunjukkan simpati pada saya sih" Saya tidak akan pernah melupakan kedipan itu.
Kedipan yang membahagiakan! Setelah selesai acara basa-basi, Robin pamitan, dan
Stephanie titip pesan, Jangan segansegan ke sini ya. Di sini pintu tetap terbuka
lho! Jangan sombong ya?" Robin hanya tersenyum. Sebenarnya ia sedang cari akal
bagaimana caranya berjumpa dengan Lara tanpa menyinggung perasaan nona rumah.
Setelah sampai di teras, Robin memperhatikan pintu itu, lalu mengangguk-angguk,
"Betul juga, di sini pintu tetap terbuka, tapi apakah pintu kamar kecil, juga
terbuka untuk saya?" "Oalaaah, kalau mau ke belakang, bilang dari tadi." Dengan
ramah, Stephanie mengantar Robin ke kamar mandi belakang. Robin senyumsenyum.
Begitu Stephanie kembali ke ruang dalam, Robin sengaja nyasar ke dapur,
"Eh, keliru!" serunya. Lara terperanjat, tapi juga girang. Ia setengah terpekik,
"Robin!" "Lara," suara Robin tersendat, sebenarnya ia ingin mengatakan I love
you, tapi ungkapan itu seperti tertelan
di lehernya, lalu ia berbisik, Toiletnya ada di mana?" Lara segera menunjukkan
toilet yang tidak begitu jauh dari dapur. Dan pada saat itu, dari koridor
Stephanie melihat Robin keluar dari dapur diantar Lara. Stephanie melotot.
Sebelum masuk ke dalam kamar mandi, Robin berbisik,
"Trims, Lara, I love you!" Lara tersenyum bahagia. Senyum itu disembunyikan
dalam tundukan kepala. Tetapi Stephanie yang melihat adegan pendek itu, segera
saja melotot, pipinya menggelembung, ia hendak mendamprat Lara di dapur, tetapi
raguragu, karena Robin keluar dari kamar kecil.
Robin gelisah. Cinta itu kok aneh ya" kemarin-kemarin itu saya pakai buat
guyonan. E, minggirminggir, saya sedang jatuh cinta. Atau jangan ganggu, saya
mau baca surat cintal Atau, ah, saya mau cari pacar saya ahl Semua itu saya
ucapkan dengan enak, dan sesuka saya. Tapi sekarang kok aneh ya. Saya kok mau
berahasia. Murung Gelisah. Rasanya saya mau menginap di rumah Memedi itu. Mau
samasama Lara. Tentu saja, Memedi itu bakalan ngamuk. Iya udah deh. Saya pulang
saja. Tapi, hati ini rasanya kok gimana sih. Kayak ada sesuatu yang aneh begitu.
Dan sekarang ini, pagi-pagi sekali saya sudah sampai sekolah. Maunya ya ketemu
Lara. Tapi, sampai siang kok dia tidak datang. Tuh, hati ini tambah bingung
saja. Ini gimana sih. Kok ada perasaan aneh begitu. Dan saya kok rada sedikit
mudah tersinggung. Ketika ada yang menggoda, saya bentak dan saya tantang
berkelahi. Ada-ada sajaaal Habis, saya bingung sih. Lara enggak nongol hari ini.
Jangan-jangan dia dimarahi tidak diijinkan sekolah lagi. Waduh Kalau begini
caranya, saya sudah mencelakakan orang lain. Tidak bisa! Ini tidak bisa
dibiarkan Pokoknya nanti, sepulang sekolah, saya harus datangi Bu Sunari Agaknya
Robin sudah kerasukan cinta. Di kelas, ia tidak tenang lagi. Begitu sekolah
usai, Robin blingsatan. Mobil distir kencang. Begitu sampai ke depan rumah besar
itu, ia terbelalak, karena ia takut masuk. Cewek yang mirip Memedi sedang
ngobrol di halaman rumah bersama temannya. Waduh, bagaimana ini. Orangnya ge.
eran banget. Malah bisa kacau nanti. Gimana ya" Biasanya saya tidak pernah raguragu seperti ini. Kok sekarang aneh. Lantas Lara bagaimana" Disuruh pulang" Atau
bagaimana ini" Robin tidak menyerah. Malam hari, ia datangi lagi rumah itu.
Suasananya lebih aneh lagi. Rumah itu sepi, seperti ditinggalkan penghuninya.
Memang lampu-lampu di teras dan halaman menyala. Tapi rasanya tidak ada orang
yang jaga. Dari seberang rumah terdengar suara yang agak garang,
"Nyari siapa Dik?" Robin melongok dari jendela jip, "Pada ke mana sih, mereka?"
tanyanya datar. "Pergi. Ke Jawa Tengah!"Ah, apakah Lara dikembalikan ke
kampungnya" Sadis bangel Aduh kasihan Lara. Padahal ia bercita-cita ingin
membahagiakan Simboknya. Wah, wah, ini kesalahan saya. Pokoknya saya harus
berani membela dia. Nanti kalau orang tua asuh itu datang, akan saya jelaskan!
Setiap hari, Robin lewat rumah besar itu, tapi rumah itu tetap saja tertutup
rapat. Robin mulai frustrasi. Bayangan Lara selalu membuntuti. Ia tidak pernah akan
melupakan ketan item di pipi kiri, senyum yang renyah, tingkah laku yang
sederhana, rambut yang terkibas, dan hidung yang bangir Bayangan itu
meninggalkan getaran-getaran dalam hati. Robin ingin bicara, ingin membela,
ingin mengakui bahwa dirinya salah besar, bahwa dirinya telah menghancurkan
cita-citanya. Tetapi orang yang hendak diajak bicara itu hanya tinggal bayangan.
Robin yang murung di kelas itu, membuat Siska menjadi ceria lagi,
"Halo, Bin, baru patah hati ya?"
Robin hanya membalas dengan senyum yang pahit.
Sepuluh hari kemudian, Robin terkejut, karena ia menerima surat yang dialamatkan
ke sekolahnya. Surat itu berasal dari Tokyo. Begitu
membaca alamat si pengirim, Robin terlonjak girang, karena si pengirim itu
bernama L a ra. Saat mengaso, Robin segera menghilang. Ia bersembunyi di dalam
jip-nya, dan mulai nenbaca.
Robin yang baik, Saya tahu dan bisa merasakan kegelisahanmu. Sebenarnya, saya ingin sekali
menghubungi kamu, tapi saat itu sudah tidak ada waktu lagi. |
Kamu masih ingat kan, ketika kamu menurunkan | saya dari jip itu" Nah, saat itu
Stephanie memandang saya dengan sorot mata yang aneh. Dan sudah bisa saya tebak,
sore itu, saya pasti akan diadili. Pasti saya akan dituduh macam-macam. Begitu
besar rasa dengki mereka, sampai saya dituduh hamil, kalanya saya telah
melakukan pergaulan bebas. Betapa tololnya orang dengki itu, masak, saya hanya
duduk bersama kamu dalam satu jip bisa hamil. Sebenarnya saya tersenyum geli,
tapi ya, saya takut kalau mereka tersinggung Maka Saya tenang-tenang saja dan
minta bukti. Beruntung Bu Sunar sanga bijaksana, ia masih mempercayai saya. Lalu
atas prakarsanya, kamu diundang makan malam itu.
Saat itu juga, saya sudah siap mental. Bahwa saya akan dihina, dan akan
dipermalukan di hadapanmu. Saya sudah siap. Tapi dasar kamu! Kamu malah konyol,
pakai main kedip mata segala, dan mengucapkan I love you, wuuu, yang
|Stephanie langsung bikin topan badai. Pokoknya enggak karuan deh ulahnya.
Sedangkan, yang namanya Lara, gara-gara kedipan itu, langsung hatinya melayanglayang Keesokan harinya huru-hara mulai reda, dan mereka sekeluarga pergi ke
pesta. Pada sore yang sepi itu saya merenungi nasib saya. Sungguh aneh, sore itu
saya tidak merasa terhina atau menderita. Saya merasa bahagia sekali, karena
saya telah berjumpa dengan laki-laki bernama Robin. Kedipanmu yang aneh itu,
tidak akan saya lupakan. Dan kamu yang berlagak nyasar ke dapur itu, sampai
sekarang masih membuat saya terlaua geli, karena saya masih terbayang oleh
wajahmu yang lucu itu. Pesonamu begitu kuat meresap dalam hati saya. Saya merasa
mendapat anugerah yang luar biasa, karena ada laki-laki yang menghormati saya
sebagai pribadi. Saya menangis penuh kebahagiaan. Sebenarnya, dalam hidup saya,
saya pantang bermimpi, tapi sore itu, saya berkhayal, berjalan-jalan bersamamu
menikmati udara senja yang indah dan sejuk. Saya berkhayal menjadi anak dari
keluarga baik-baik, kamu bebas datang menjemput saya ke rumah tanpa suatu
hambatan apa pun. Alangkah indahnya kehidupan seperti itu. Tetapi kehidupan
seperti itu bukan milik saya. Hanya anehnya, selagi saya melamun begitu, saya
mendengar ada deru mobil masuk pekarangan. Bu Sunar datang. Ia menanyai saya,
apa benar saya bisa menari Jawa. Saya mengangguk. Saya disuruh
ikut. Saya bingung Bahkan karena sempitnya ukur,saya tidak dijinkan untuk
dandan. Saya dibawa pergi. Saya bingung. Ternyata saya dibawa ke suatu pesta
resepsi. Di sana, saya disuruh dandan tarian Jawa. Belakangan saya baru tahu,
bahwa resepsi resmi yang dihadiri orang asing itu, akan mendapat suguhan tari
Jawa, tapi ternyata penarinya mendadak jatuh sakit, saya disuruh mengganti.
Alunan bunyi gamelan membuat jua saya lege tar, dan darah saya mengalir,
merangsang gerakangerakan yang halus dan indah. Saya sudah tidak memikirkan
lagi, saya ada di mana, dan siapa yang duduk di ruangan resepsi itu. Alunan
gamelan itu menyalurkan seluruh jiwa saya pada suatu puncak keindahan. Tanpa
saya sadari, saya menari dengan penuh perasaan, penuh rasa bahagia, ah, Robin,
kalau kamu melihat saya, pasti kamu tidak akan pernah melupakan saya. Saya
menari seperti kerasukan roh keindahan. Orang-orang yang memotret atau kilatan
lampu foto tidak merusak konsentrasi saya. Saya menari dengan seluruh jiwa saya.
Setelah itu saya diantar pulang kembali. Ternyata selama saya menari itu, ada
seorang perempuan setengah baya yang memperhatikan saya. Ia tertarik pada tahi
lalat di pipi kiri saya. Perempuan itu datang ke rumah, membawa foto, dan banyak
ber tanya pada Bu Sunar. Lalu keesokan harinya, saya diajak ke Prambanan.
Perempuan itu menanyai Simbok. Dan Simbok menunjukkan di mana saya dulu lahir
Perempuan itu girang sambil memeluk saya erat-erat. Saya heran. Selama itu ia
tidak pernah mau mengaku siapa dia sebenarnya. Saya hanya diam
Cinderella 89 - Karya Eddy Suhendro
saja dan bingung Tiba-tiba saya seperti dibawa ke negeri dongeng Ya, persis
kisah Cinderela. Dalam waktu singkat pass port saya diurus dan saya dibawa ke
Tokyo. Kalau saya bertanya-tanya pada Bu Sunar, beliau hanya menjawab, ikuti
saja perempuan itu, ia akan membahagiakan kamu. Saya yakin bu Sunar tidak akan
menjerumuskan saya. Waktu terbang ke Tokyo, perempuan itu bilang |
Cinderella 89 Karya Eddy Suhendro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Belum pasti benar, kalau toh tidak benar, tidak apa, kamu sudah bisa jalanjalan ke Tokyo, gratis!" Saking bingungnya, saya sampai nekad bertanya begini,
"Terus terang Tante, apakah Bu Sunar marah, dan saya dijual pada Tante, untuk
dijadikan pelacur?" Perempuan itu tersenyum. Airmatanya berlinang
"Tidak. Kami tidak sejahat itu. Jangan pikirkan yang buruk. Pikirkan sesuatu
yang sangat bahagia sekali. Tapi saya belum berani mengatakan, karena kalau
keliru, kamu nanti akan sedih.
" Selama dalam penerbangan malam itu, saya tidak bisa tidur, karena pikiran saya
menebak-nebak saja. Saya betul-betul tidak mengerti. Baiklah, saya mengikuti
saja, toh ini mungkin hanya sebuah mimpi. Tapi satu hal Robin, kalau saya
dianggap Cinderela dan akan dipertemukan dengan seorang Pangeran di Tokyo, jelas
saya akan protes, karena saya tidak mau melukai seorang pangeran yang bersimpati
pada saya di Jakarta. Siapa ya Pangeran itu" Sampai di pelabuhan Narita, saya
tidak bernafsu mengagumi keajaiban kota industri yang begitu hebat, karena
pikiran saya masih kacau. Betul-betul seperti mimpi. Saya pikir, pelabuhan
Narita itu ya seperti Cengkareng, dekat dengan kota, ternyata tidak. Saya masih
harus naik bis lagi menempuh jarak seratus kilometer lagi. Wah, uah, mau dibawa
ke mana saya. Kalau saya tersesat atau hilang tamalah riwayat saya. Akhirnya bis
masuk ke City Air Terminal, di Hakozaki. Saya sudah bingung tidak karuan.
Pokoknya mata saya harus melek terus dan tidak boleh lepas dari ibu itu. Kalau
saya mau dijadikan pembantu di Tokyo, ya siap saja. Pokoknya pasrah. Setelah
barang-barang diurus saya ikuti perempuan itu menuruni eskalator, dan begitu
menyentuh lantai bawah, saya terpana, karena di sana telah berdiri sepasang
suami isteri setengah baya memandang saya. Saya tertegun. Agak lama. Pasangan
suami ister itu juga memandang saya. Agak lama. Saya kaget, karena isteri lelaki
itu mirip saya. Dan anehnya ia mempunyai tahi lalat sebesar ketan item di pipi
kiri juga. | Perempuan yang mengantar saya itu mendekat pasangan suami isteri
itu. Saya hanya menundukkan kepala kebingungan. Tiba-tiba saya kaget, karena
isteri pasangan itu menubruk saya dan memeluk saya erat-erat. Saya merasakan
hangatnya airmatanya di pipi saya. Saya hanya berdiri kaku, dan tertegun.
Barangkali saya seperti patung.Masih diringi isak tangis, perempuan itu ber tanya,
"Siapa namamu?" "Lara!" sahut saya lirih.
"Hanya itu saja?"
"Laraningati!" Langsung dekapannya kembali menjadi erat, dan airmalanya berderaderai. Saya tidak mengerti apa maunya dia. Lalu ia berbisik lagi sambil masih
terisak, "Maukah kamu saya periksa di dalam kamar mandi, sekedar untuk meyakinkan?" "Saya
tidak mempunyai penyakit apa-apa" kata saya terheran-heran. "Bukan, bukan itu!"
Ia menarik lengan saya. Saya dibimbing ke toilet perempuan. Suaminya hanya
tersenyum-senyum saja. Dan di dalam WC yang sempit itu, kami berdua masuk ke
dalam. Perempuan itu membuka roknya dan menunjukkan bahwa di atas pusernya juga
ada lahi lalat. Saya terbelalak, karena saya juga mempunyainya. Ketika saya
tunjukkan, ia segera memeluk erat saya, menangis tersedu,
"Kamu anakku." Nah, saya kan jadi bingung. Saya dibimbing keluar dari toilet.
Dan diperkenalkan kepada suaminya. Perempuan itu tampak sangat senang dan
terharu sekali. Tapi saya kok aneh, rasanya biasa saja. Saya tidak merasakan
suatu keharuan apa pun, karena saya merasa ibu saya ya. Simbok di Prambanan itu.
Tapi saya ya menurut saja. Pokoknya dibawa ke mana saja, saya mau. Dan saya
betul-betul diperlakukan seperti putri raja. Saya jadi risih sendiri.
R)Kalau habis makan, saya mau cuci piring dilarang Lho" itu sudah kebiasaan saya
kok. Kok aneh sekali, saya sekarang tidak boleh berbuat apa-apa" Rasanya kok
lucu sekali. Akhirnya setelah istirahat semalam suntuk, perempuan yang mengaku
ibu saya bercerita, sungguh aneh, ia bercerita sambil berlinangan armata, saya
hanya bengong saja. Katanya, bahwa ia yakin kalau saya ini anaknya. Begitu
bayinya lahir, dan pada saat pertama kali menyusui, ia tersenyum melihat tahi
lalat di pipi kiri dan di atas puser bayinya, karena tahi lalat itu mirip punya
dia Ah, itu sih bagi saya tidak persoalan, saya ingin tahu bagaimana saya bisa
sampai pindah ke bak sampah" Perempuan itu mengaku terus terang, bahwa se lagi
usia remaja, ia terpikat dengan seorang pemuda ganteng dan betul-betul
menyerahkan dirinya secara tolol dan total. Tetapi, begitu perempuan itu hamil,
pemuda itu tidak mau bertanggungjawab dan menghilang. Lalu perempuan itu
dilarikan dari Jakarta, disembunyikan di rumah neneknya di Yogya. Begitu anaknya
lahir dua hari kemudian bayi itu, alias saya, dicuri oleh Pamannya, maksudnya
mau dibawa ke Jakarta, dan diserahkan pada orang tua pemuda ganteng yang tidak
mau bertanggungjawab itu. Tapi rupanya pihak rumah sakit lapor polisi. Mobil
pamannya dikejar, terpaksa, bayi itu, alias saya, ditinggal di bak sampah. Seru
ya" Nasib kok begini seru. Padahal itu hanya gara-gara nafsu mencintai cowok
secara tolol dan total. Saya mendengar kisah itu hanya membisu saja.
Sikap saya dingin-dingin saja. Dan perempuan yang mengaku sebagai ibuku itu,
semakin bersemangat bercerita. Katanya ketika saya, eh, bayi itu hilang dia
marah besar Ngamuk-ngamuk seperti orang gila, bahkan sampai betul-betul dibawa
ke rumah sakit gila. Dan akhirnya ia bisa disembuhkan. Katanya ia berdoa
sepanjang hari agar bisa berjumpa dengan saya. E, ternyata dia malah berjumpa
dengan laki-laki setengah baya, seorang diplomat. Akhirnya dia kawin, dan
bertugas di Tokyo. Hanya selama perkawinannya itu, ia tidak mempunyai anak. Lalu
perempuan itu mengaku terus terang, bahwa sebe narnya ia sudah pernah mempunyai
anak. Suaminya kaget. Dan sangat mendukung agar anak yang hilang itu, dicari.
Siapa tahu masih hidup. Nah. Robin yang baik, aneh ya, kisah hidup saya ini kok
seperti dongeng. Saya kadang bingung, apakah saya ini mimpi, atau saya ini hanya
buah khayalan dari seorang pengarang ternyata tidak Robin. Pagi di musim dingin,
di Tokyo sungguh dingin. Saya kan belum bisa menyesuaikan diri. Rasanya hidup
dalam kulkas. Jadi ternyata apa yang saya alami ini betul-betul terjadi. Bukan
khayalan. Nah, Robin, sekarang terbalik, perempuan itu berusaha keras agar saya
mau mengakui dirinya sebagai ibunya. Saya bingung. Saya ingat leluconmu dulu
itu, bahwa seseorang menjadi anak atau anak mengakui perempuan yang melahirkan
sebagai ibunya hanya karena kepercayaan. Iya kan" Nah, bagaimana saya bisa
percaya kalau perempuan itu ibu saya" Sungguh sulit Robin. R)Tapi aneh juga ya.
Kasih sayang seorang ibu itu tidak bisa bohong. Tidak bisa pura-pura. Rasanya
tatapan perempuan itu sungguh aneh. Bisikannya, caranya menyapa, saya bisa
merasakan gelaran hatinya yang begitu tulus, sehingga dari sedikit demi sedikit,
saya percaya bahwa perempuan itu ibu saya. Tapi justru pengakuan ini menjadi
malapetaka, karena saya tidak boleh kembali ke Indonesia, dan saya harus
menuntut ilmu di sana. Simbok katanya dibelakan salah dan rumah. Tapi Robin,
kenapa saya tidak bisa bertemu dengan kamu lagi" Ah, tidak mungkin Saya pasti
akan berketemu kamu lagi, dan kamu akan menyapa ketan item saya. Iya kan" Saya
yakin apa yang sedang saya alami ini, hanyalah sebuah mimpi saja. Hanyalah
sebuah khayalan saja. Tapi Robin, Hei di luar apartment saya, turun salju Saya
belum pernah melihatnya. Oh, Robin bagus sekali. Salju itu seperti kapuk putih,
turun perlahan-lahan. Lalu jatuh ke tanah. Ia tetap putih. Tapi lama-lama
hilang, berair. Robin, itukah pertemuan kita" Bagai salju, putih, indah, turun
perlahan-lahan, tapi akhirnya terurai jadi aird Robin.di manakah kamu. Rob.
Robin menghela nafas. Lembaran surat terakhir itu, tidak bisa terbaca, karena
tulisan tangannya sedikit terhapus oleh tetesan airmata. Lembaran-lembaran surat
itu masih dipegangnya. Tiba-tiba ada.cepluk. Sebutir airnata menjatuhi lembaran
itu. Robin baru sadar, bahwa dirinya begitu terhanyut sampai airmatanya sendiri merelakan untuk
bergulir Mengapa Lara begitu ragu-ragu menlanjutkan suara hatinya" Apakah
hidupnya terancam" Mestinya ia harus bahagia dong Kenapa tiba-tiba terhenti"
Barangkali juga ia takut menceritakan seluruh kisahnya" Robin membalik
amplopnya. Ternyata tulisan tangan Lara juga tidak jelas. Ah, soal alamat, pasti
saya tanyakan pada Bu Sunar, pasti mereka tahu. Tapi kenapa ia begitu ragu-ragu"
Apakah Lara sudah tidak jujur lagi" Robin melipat lembaran-lembaran surat itu
dengan hati-hati. Matanya menerawang. Cinta itu aneh. Pertemuan dengan dia
begitu singkat. Tiba-tiba hati saya sudah terjerat. Menggelempar-gelempar.
Sekarang dia menghilang, dan tidak jelas apakah masih mengingat saya atau tidak.
Lalu, bagaimana saya sudah bisa menyenangkan dia" Mungkin dia sudah berjumpa
dengan ibunya, dan menjadi sombong" Apakah begitu" Ah, tidak. Lara tidak
sombong. Lara orangnya baik. Semoga saja ia bahagial Robin mendesah. Lucu juga
ya, kisahnya kok mirip Cinderela saja. Kok kayak impian. Tapi, agaknya nasib
seperti Lara ini bukan impian. Sering terjadi. Lahir tanpa ketahuan orang
tuanya, disembunyikan, dilarikan dari kenyataan hidup, hanya karena dianggap
aib. Robin terjengah, karena bel sekolah berden
tang. Robin turun dari jip. Langkahnya agak loyo. Kepalanya tertunduk. Begitu sampai
depan kelas, teman-teman cowoknya pada berbisik,
"Nyari apa sih Bin" Kunci kamar" Atau uang receh yang hilang?" Robin hanya
menyeringai "Udaah, nggak usah diganggu, Robin baru jadi penyair!" teriak salah seorang
cewek. Ketika masuk ke dalam kelas, Robin dicegat Siska. Agaknya Siska kasihan
banget melihat Robin begitu sendu dan masgul. Maka dengan bisikan mesra, Siska
bertanya, "Kenapa sih Bin, kok muruuung bangel Kita jadi sedih deh. Kita bisa bantu apa?"
Robin tersenyum. Iya, ya, kok saya tiba-tiba jadi murung. Ada apa sih ini"
"Nah, begitu Bin, senyum dikit kek biar kelas ini menjadi cerah!" teriak Utari.
Tiba-tiba ia tertawa, lalu menggebrak meja dengan penghapus,
"E, pengumuman, barang siapa bisa menunjukkan saya tempat les paling hebat,
bakalan saya antar jemput selama sebulan gratis" Lho kok Robin jadi ceria lagi.
Cewek-cewek pada girang. Mereka bertepuk tangan dan bersahut-sahutan bertanya,
"Les apa Bin, les apa" Gampang itu?" "Les.membuat surat cintaaal"
"Haaah?" Komentar mulai berhamburan. Sampai pakGuru Kimia masuk. Dan suasana
kelas perlahanlahan menjadi tenang kembali. Hanya hati Robin yang gelisah,
karena ia meratapi nasib. kemapa tidak diberi bakat menulis surat cintal Apakah
karena saya tidak bisa menulis, saya sudah harus siap patah hati" Ah, tidak
Tidakl Bukan itu masalahnya. Lara pasti tidak mau saya ganggu. Barangkali di
Tokyo ia sudah berjumpa dengan seorang Pangeran. Mungkin itu.
Robin masih belum puas kalau tidak ada kepastian. Maka sore hari, ia nekad
datang ke rumah Bu Sunar. Meskipun ada Stephanie, ia malah sengaja bertanya
terus terang, "Bu, saya dengar, Lara ada di Tokyol"
"Benari" "Apakah dia bahagia?"
"Bahagia sekali!"
"Apakah kata-kata Ibu bisa saya pegang?"
"Nak, Robin, orang tua itu akan sedih kalau tidak dipercaya kata-katanya?"
"Boleh saya tahu alamatnya?"
"Boleh saja. Hanya ia bilang, belum tentu menetap di Tokyo, barangkali akan
disekolahkan di Amerika. Tunggu saja surat berikutnya"
"Oh, terimakasih, saya sekarang percaya bahwa ia benar-benar bahagial"
Robin menunggu. Berhari-hari, surat-surat
berikutnya tidak datangi Justru karena menunggu, pesona pribadi Lara semakin
tercetak di hatinya. "Bin, masih murung?" tanya Siska sendu.
"Ah, enggak!" "Anterin aku yuuuk"
"Sorry, Sis, malam Minggu, saya mau mengadakan rapat dengan teman-teman cowok!"
"Mau ngadain apa sih?"
"Mau mendirikan organisasi. BARISAN PATAH HATI
" Siska tertawa terkekeh-kekeh.
T A MA T Pendekar Baja 20 Trio Detektif 21 Misteri Cermin Berhantu Demon Glass 5