Pencarian

Tunjung Biru 1

Tunjung Biru Karya Arti Purbani C Bagian 1


Pada masa yang lampau, ketika masih ada raj a.raja, bertakhtalah
seorang raja kenamaan sebagai petitah terakhir di kerajaan
Mayanegara. Negeri Mayanegera makmur sejahtera dan tersohor ke
segala penjuru angin oleh keindahan alamnya dan karya seninya.
Permaisuri raja telah wafat pada usia muda dan men in galkan
dua orang putra. Yang sulung seorang laki-laki bernama Narendra
Putra; yang bungsu adalah seorang perempuan, Asmara Dewi,
namanya. Adik bungsu paduka raja bersemayam pula di istana
Mayanegara. Ia seorang gadis berusia enam belas tahun bernama
Munarsi. Meskipun usia Munarsi masih remaja belia, namun dialah
yang mengasuh Asmara Dewi yang masih kecil itu penuh kasih
sayang seorang ibu. Munarsi hanya sempat menamatkan sekolah
dasar. Setelah itu ia dianggap terlalu besar untuk melanjutkan
pelajaran, kemudian menerima pelajaran masak-memasak, menjahit,
menyulam, dan membatik di rumah. Sesunguhnya Munarsi ingin
benar menambah ilmu pengetahuan, tetapi menurut adat zaman itu
hal itu terlarang baginya.
Setelah Asmara Dewi meningkat besar, ia selalu menemani
bibinya. Pada malam hari ketika Bibi Munarsi mengerjakan sulaman
tangan untuk calon suaminya, Asmara Dewi membuat pekerjaan
rumah. Mereka saling beroerita tentang kejadian sepanjang pagi itu,
dan Asmara mengisahkan apa yang dialaminya di sekolah.
Mereka paling gemar bermain boneka. Bibi Munarsi
menjahitkan pakaian-pakaian boneka yang kecil mungil serta
membuat rumah"rumahan yang kecil pula dari kotak-kotak karton
untuk setiap keluarga boneka. Boneka-boneka yang kecil molek itu
konon didatangkan dari mancanegara.
Kepala boneka sampai ke dada terbuat dari porselen. Demikian
pula tangan dan kaki, sedang tubuh boneka itu berisi serabut halus.
Pingang boneka-boneka dari serabut itu terbentuk amat langsing.
Sanggul boneka terbuat dari lilin hitam, demikian juga anting.
antingnya. Bundaran anting-anting dihiasi sebutir manik emas
sebagai berlian. Gelang boneka terjalin dari benang emas dengan penutup
manik=manik, demikian pula peniti rambutnya. Kain-kainan para
boneka khusus dibatik pada potongan kain perca_"'persegi empat,
baju-baju yang halus digunting dan dijahit dengan rapi, begitu juga
selen dang-selendang boneka itu. C
Asmara Dewi sunguh bangga me lil"$ kumpulan boneka kecil
itu. Sanak saudaranya sering datang."_Bgdunjung untuk mengagumi
mainan itu. Bahkan paduka raj 'pun senang mengamatinya. Ia
kemudian memerintahkan msih uatkan kereta kereta kecil yang
ditarik kuda dari kaleng. "iga meja-meja, kursi kursi, dan bangku-
bangku dari kayu. Sanggul para daiang-dayang boneka itu berbeda dengan baju
mereka berwarna ap. Bibi Munarsi pun mahir membuat destar
untuk boneka pria. Asmara bermain seakan=akan boneka-boneka itu bercakap-
cakap dengan asyiknya. Sambil merajut atau menyulam Bibi Munarsi
mendengarkan kemenakannya menciptakan kisah_kisah khayalan.
Seorang dayang=dayang istana yang ahli khusus ditugaskan menjahit
baju-baju boneka dan bermain bersama junjungannya. Sungguh
nyaman dan gembira suasana di istana pada saat.saat seperti itu!
Adapun Bibi Munarsi telah mengikat janji dengan seorang
sepupunya yang tengah menempuh pendidikan insinyur di
2 a mm?" umu"um Balai Puslala
mancanegara. Setiap wanita itu menerima surat, ia beroerita pada
Asmara tentang pria tunangannya yang sedang berlibur ke negeri-
negeri lain. Selesai berkisah Munarsi tersenyum bahagia. "Alangkah
banganya aku kalau ia kelak kembali sebagai insinyur, Asmara,"
katanya dengan suara yang merdu sambil meneruskan hasta karya
untuk pria tunangannya, yaitu membuat sulaman sebuah apek atau
ikat pinggang. Selesai sebuah, Bibi Munarsi mulai menyulam sebuah
apek lagi dari kain beludru warna lain.
Ada kalanya pulang sekolah Asmara juga membantu memasang
kain beludru itu pada sebuah bingkai kayu kecil berlubang kiri
kanan, untuk dilengkapi dengan benang=benang tebal. Kemudian
sebuah pola diletakkan di atas beludru itu. Dengan tekun dan
cekatan wanita itu menusukkan jarum sulam di tempat anekabenang
berwarna, dan diikutinya ranting-ranting pola yang digambar pada
kertas tipis di atas beludru itu. Sekali-sekali ikat pinggang beludru
itu diberi bersulam benang emas dan perak serta dibubuhi manik.
manik yang berkilau-kilauan.
Sambil menyulam Bibi Munarsi sering bersenandung dengan
suaranya yang merdu. Dijelaskannya pada Asmara isi tembang
Hartati, kemudian ia beralih ke pangkur atau asmrmm,
kesemuanya ditujukan pada tunangannya.
Pada suatu hari, ketika Asmara pulang sekolah, ia disambut
bibinya dengan kata, "Kau mau membantuku menarik benang-
benang?" Cepat-cepat Asmara makan siang, menyelesaikan tugas
untuk sekolah, kemudian mendapatkan Bibi Munarsi di bagian
yang dihuninya di istana Mayanegara.
BibiMunarsi seorang pencinta musik. KetikaAsmara memasuki
kamarnya, berkumandanglah lagu barat Ram Dollar dimainkan oleh
Bibi Munarsi pada orgel, dan gadis itu pun turut menyanyi dengan
riangnya. Bersama-sama mereka kemudian melepaskan benang.
benang yang kuat dari bingkai sulam itu. Sebelumnya Bibi Munarsi
mengulungkan segumpal beras ketan giling di atas sulaman untuk
menghilangkan kertas pola yang tipis itu. Dengan senyum puas
Bibi Munarsi berkata, "Nah, sebuah apek lagi siap untuk persiapan
pakaian calon suamiku!"
Ikat pingang itu diberi sebuah pelapis. Kalau beludru itu
berwarna hitam, bagian bawah pun hitam dari kain sergf atau kain
yang lebih tebal. Kalau apat: itu terbuat dari beludru merah atau
biru, maka pelapisnya pun sewarna. Setelah itu dibuat sebuah
lubang kancing besar di salah satu sudut untuk memasang timang
ikat pingang itu. Bibi Mun arsi juga membatik sehelai kain untuk dirinya sebagai
persiapan pakaian pengantinnya. Untuk mempelai pria, pola kain
harus sama dengan kain pengantin wanita. Sedang ikat kepala
pengantin pria harus serasi dengan kainnya pula.
Untuk dirinya dibatiknya pula enam helai kemben atau
kain dada, masingmasing tiga meter panjangnya. Bagian tengah
dibiarkan kosong, baik untuk pola wajik, pola gelombang, ataupun
pola wedang, yaitu garis-garis halus yang dibatik ke arah bagian
tengah itu. Setelah kernaen itu selesai, bagian tengahnya ditutupi
dengan sutera aneka warna yang dijahit. Dengan jarum yang halus
garis-garis pola diikuti.
Yang amat sulit ialah membuat pola wedang. Ada pula pola
rintik dan polajumput. Pola rintik terdiri dari bentuk-bentuk yang
harus dijahit dengan jarum dan benang sepanjang pinggir. Benang.
benang pola jumpa: ditarik dan diikat, supaya warna celup tidak
masuk ke dalamnya. Kemudian kain-kain itu dioelupkan ke dalam
cat pewarna ungu atau coklat, dan setelah selesai barulah benang.
benang dibuka. Maka tampaklah di pinggir kain itu garis-garis putih
berbelit.belit, bekas bagian-bagian yang terikat dengan benang tadi.
Polajmnpm dibuat dengan jarum dan benang. Pada kain itu dengan
4 '; ' 45P mm?" umu"um Balai Puslala
jarum dijahit titik-titik kecil, lalu ditarik, kecuali bagian tengah
yang harus diberi warna lain.
Pada hari-hari pertama perkawinan, seorang pengantin pria
memakai ikat kepala berwarna. Ada yan g ungu dengan pinggir perak,
atau hijau tua bertepi emas. Bibi Munarsi sudah menyiapkan tiga
pasang kain dengan pola siabnmkii, gringsing, dan parangkumrnzz.
Tetapi, pada suatu hari pulang sekolah Asmara tidak melihat
Bibi Munarsi di tempat ia biasa duduk menyulam atau merajut.
Asmara segera pergi ke ruang tinggal bibinya, tetapi pintu tertutup
rapat. Pengasuh Munarsi mendekati gadis itu dan berkata lirih,
"Bibinda Munarsi tadi menangis tersedu-sedu. Ayahanda datang ke
kamarnya membawakan sebuah telegram yangimengatakan bahwa
tunangan Bibinda Munarsi meninggal akib6$"1kit usus buntu yang
mendadak." QQ Di atas meja, Asmara melihatjsebuah telegram tergeletak
terbuka. Gadis itu pun menangis etiih; ia turut bersedih hati dengan
Bibi Munarsi. Asmara pun kenalQakan timangan Bibi Munarsi, yaitu
kemenakan ayahandanya,);a'n'g sedang belajar di luar negeri untuk
menjadi insinyur. Gadis itu tidak berani mendapatkan bibinya
karena takut mengganggunya.
Seminggu kemudian barulah Bibi Munarsi meningalkan
kamarnya. Melihat Asmara, ia mendekap gadis itu sambil berkata
dengan sedih, "Aku harus menerima nasibku, inilah kehendak
Tuhan." Sejak kemalangan itu Bibi Munarsi menjadi lebih pendiam,
dan berlama-lama ia murung saja.
Waktu pun berlalu. Asmara tumbuh menjadi seorang gadis
yang cantik jelita. Ia rendah hati dan pribadinya amat memikat.
Kakaknya, Narendra Putra, tak kurang menarik. Kedua remaja itu
sungguh elok dipandang mata. Kalau pada suatu perayaan paduka
raja sedang bersemayam bersama putra=putrinya, semua orang
tak puas-puas memandang. Senyum Asmara manis mempesona,
dan kelembutan serta keramahannya sunguh memikat. Narendra
berwajah tampan; ia bermata jeli dan bertubuh mantap.
Sang putra mahkota amat mahir dalam tari-tarian. Semua
anggota keluarga raja memang wajib belajar menari. Pada ulang
tahun atau hari peringatan penobatan sri paduka raja selalu diadakan
pertunjukan wayang orang yang lengkap.
Pada peristiwa seperti itu Naren dra Putra biasanya menarikan
tarian tersohor sang Gatotkaca, pahlawan yang pandai membubung
ke angkasa. Gatotkaca ialah putra Bima dan beribukan Arimbi,
putri raja raksasa. Gatotkaca dianugerahi baju antakusuma oleh
ibunya, sehinga ia bisa melayang-layang di udara. Para penonton
amat terkesan oleh penampilan Narendra yang tampan, dengan
bintang emas cemerlang di dadanya. Para gadis dan wanita menahan
napas melihat pria itu menghentakkan kakinya ke tanah sebelum
menjulang ke angkasa. Narendra amat tersohor dan ia dikagumi,
khususnya oleh kaum wanita.
Selesai Narendra menarikan peranan itu dan keluar dari kamar
pakaian, banyak sekali pengagumnya yang ingin melihat wajahnya,
ingin menyentuh tangannya, atau membisikkan kata=kata pujian
di telinganya. Sukarlah bagi pria remaja yang tampan itu untuk
menolak semua itu. Melihat hal itu ayahandanya segera mencegah
sang putra dan menyuruhnya langsung kembali ke istana.
Tetapi di muka ruang tingal sang pangeran pun sudah ada
wanita-wanita pemuja yang menantinya. Paman Narendra yang
sudah lanjut usia dan bertugas mengawasi sang pangeran tak dapat
menahan mereka berkerumun sekitar ruang kediaman Narendra
Putra. "Mereka begitu kagum padanya," kesah Paman Narendra
yang sudah tua itu. 5 ; ' 45P mm?" umu"um Balai Puslala
lLBllifilHSfillfll Puas rasa hati Bupati Lebaksari serta raden ayu. Bukankah
putra sulung mereka baru tamat belajar kedokteran di luar negeri"
Penduduk seluruh kabupaten ikut bergembira karen abertambah lagi
seorang dokter di daerah mereka. Putra bupati, Maulana, memang
seorang pria yan g berbakat dan pandai membawa diri. Tak ubahnya
dengan adiknya, seorang gadis yang cerdas dan gemar akan sastra,
yang suka memperdalam sejarah, dan menaruh perhatian besar pada
silsilah keluarganya. Perayaan-perayaan diadakan untuk menyambut dokter muda
Maulana yang baru kembali itu. Maulana ingin lagi hidup dalam
alam kehidupan di tanah air. Lagi pula ia senang dapat membantu
rakyat Lebaksari dengan ilmu pengetahuannya. Adiknya Kumalasari,
selalu mendampinginya dan gadis itu pun gembira dapat menyertai
rakyatnya dalam suka dan dukanya.
Pada malam pertama diadakan sebuah resepsi. Keesokan harinya
diselenggarakan sadamn untuk para pegawai kabupaten. Setiawan itu
suatu perlombaan antara pemain-pemain berkuda: pihak yang satu
berusaha menjatuhkan lawannya dari kuda dengan sebatang galah
yang panjang. Pertandingan ini diiringi lagu-lagu gamelan. Pagi-
pagi benar bersiap-siaplah para pelomba yang akan menderapkan
kudanya di alun-laun. Di muka kabupaten didirikanlah pangung
tempat menonton bagi bupati dan segenap keluarga serta undangan.
Di bawah panggung itu gamelan iu bertalu_talu dengan gembiranya,
pen gugah semangat kuda yang sedang bertanding.
Selesai pertandingan hadiah-hadiah dibagikan kepada para
pemenang dalam bangsal yang terhias indah sebelah kanan pangung
bupati. Minuman dan pangan pun diedarkan, setiap orang bersuka
ria. Petang hari semuanya pulang. Bupati dan keluarganya berjalan
kaki meninggalkan alun-alun kembali ke kabupaten.
Malam berikut: diadakan pertunjukan wayang golek yang
dinikmati benar oleh dokter muda itu. Dengan rasa nyaman
Maulana mengikuti kembali nada=nada gamelan yang terkenal, serta
lelucon pertunjukan yang dibawakan oleh pak dalang. Demikianlah
keluarga Bupati Lebaksari hidup bahagia, dan bupati pun selalu
memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.
Pada suatu haribupati suami istri mendapatkan kedua putranya.
Bupati Lebaksari baru menerima undangan untuk pertemuan para
bupati yang akan diselengarakan di Mayanegara.
"Kita berempat akan berkunjung ke sana. Kalian sudah dewasa,
ada baiknya melihat negeri orang. Kita di sini jauh dari keramaian
dan kiranya agak ketingalan zaman," ujar bupati sambil berjenaka.
Persiapan diadakan untuk perjalanan yang jauh itu sebab
mereka perlu bermalam dahulu di Mahakarta sebelum tiba di
Mayanegara. Keamanan di kabupaten Lebaksari diserahkan kepada
sang patih. Tibalah hari keberangkatan untuk perjalanan yang jauh itu.
Patih dan para pangreh praja lain mengantarkan keluarga Bupati
Lebaksari sampai ke batas kabupaten. Perjalanan berlangsung
dengan aman. Setiba di Mayanegara semua tempat penginapan sudah penuh
dengan para peserta pertemuan. Untunglah masih ada beberapa
kamar yang kosong. Mereka terpaksa bermalam dalam dua kamar
yang keciLkecil. Bupati Iebaksari menginap di kamar yang satu
bersama putranya, sedang raden ayu menempati kamar yang sebuah
lagi bersama putrinya. & ;" ' 45P mm?" umu"um Balai Puslala
Setelah beristirahat sejenak mereka berkendaraan keliling kota.
Terpesonalah mereka melihat pohon-pohon beringin yang kokoh
dan agung sebelah-menyebelah alun-alun. Pohon-pohon tua itu
berdiri laksana pengawal istana yang menyeramkan. Tampak pula
rakyat berpakaian swapraja, semuanya sangat berbeda dengan
keadaan di Lebaksari. Kumalasari dengan tenang mengamati keadaan sekitarnya.
Sesudah cukup lama berkeliling, akhirnya nampak istana di


Tunjung Biru Karya Arti Purbani C di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kejauhan. "Lihatlah," ujar Bupati Lebaksari, "nanti pada malam
pertemuan terakhir kita akan menyaksikan pementasan langendriyan
yang diselengarakan oleh Paduka Raja."
"Apakah langendriyan berbeda dengan wayang orang,
Ayah?" Kumalasari bertanya. jawab ayahnya, "Langendrimn itu
sesunguhnya wayang orang juga. Bedanya bahwa pelakunya wanita
semua. Peranan langendriyan terlalu berat untuk pria, mereka harus
menari dan sekaligus bernyanyi, seperti dalam opera ...."
"Tetapi dalam opera peran-peran biasanya tidak men ari,"
Maulana menangapi keterangan ayahnya.
"Memang kau benar. Jadi &zngendrimn bahkan lebih berat lagi
dari opera. Kalian sudah tahu apa lakon yang akan dipentaskan"
Tokoh utama ialah seorang raja di Blambangan. Ia kebal berkat
jimat pusakanya, sebuah gada dari besi kuning. Raja itu kuasa tetapi
buruk rupa, wajahnya seperti muka anjing. la jatuh cinta pada Ratu
Majapahit dan niatnya sudah bulat akan memperistri Ratu itu.
Tetapi Sri Ratu Majapahit yang can tik jelita itu tidak
berkenan lerhadap Menak Jingga, si Ksatria Merah. Maka Sri Ratu
bermusyawarah dengan patihnya. Dijelaskannya bahwa ia menerima
ilham dari para dewa: hanya seorang pemuda dari gunung bernama
Damarwulan yang bisa menyelamatkan Majapahit.
Makajawab sang patih, "Itu kemenakan hamba sendiri."
Segera Damarwulan diperintahkan berangkat ke Blambangan,
kerajaan Menak _jinga. Setiba di sana Ksatria Merah ditantang
oleh Damarwulan, dan kedua ksatria itu pun berperang tanding.
Malang sekali, setiap kali Damarwulan dikalahkan oleh Menak
jinga. Akhirnya pemuda itu tersungkur di tanah sambil menangis,
kemudian dihantam sampai pingsan oleh Menakjinga.
Adapun Raja Menakjinga beristrikan dua wanita yang cantik,
Waita dan Puyengan. MelihatDamarwulan yang tampan itu mereka
pun jatuh cinta padanya. Pada suatu malam, ketika Menak jinga
sedang tidur nyenyak, kedua wanita itu diam'diam mencuri gadabesi
kuning. Senjata pusaka itu segera diserahkan kepada Damarwulan.
Sekali lagi Damarwulan menantang Menaklin'gga berperang.
Sekali ini Damarwulan yang ungul berkat 'senjata ampuh itu.
Kepala Menak _jinga langsung dipen itu hendak ditunjukkan
&: di Majapahit. Waita
dan Puyengan kemudian ikut bersarfg%amarwulan ke negerinya.
Itulah lakon yang akan kita rongga-"nanti, " kata Bupati Lebaksari
sebagai bukti kemenangan kepada sri "
mengakhiri uraiannya. &
Selama hari-hari b iziivitibtnya Bupati Lebaksari berjumpa
dengan teman-teman ' wat yang menghadiri pertemuan yang
diselenggarakan di g?"!jg pertemuan Mayanegara. Selesai rapat
diadakan berbagaxi' jwisata ke daerah pegunungan, ke museum,
dan ke kebun binatang. juga direncanakan kunjungan ke istana
Mayanegara dan sekitarnya.
Pada hari pembukaan pertemuan para bupati, datanglah Raja
Mayanegara dalam sebuah kereta terbuka, didampingi putra dan
putrinya yang duduk berhadapan pada bangku muka.
Sebagai ketua pertemuan Bupati Lebaksari menyongsong
paduka raja di tanga terbawah, diikuti oleh putra-putrinda. Semua
mata menyaksikan peristiwa itu. Paduka raja yang bertubuh tingi
tegap melangkah dengan angunnya menuju tempat duduk yang
ia "ij 153 mm?" umu"um Balai Puslala
sudah disediakan. Di belakangnya beriringlah putra dan putrinya.
Asmara berkebaya sutera kuning berbunga; selendangnya yang hijau
polos panjang melambai-lambai dari bahunya. Tak ubahnya dengan
bunga cempaka bersimpulkan daun, demikianlah sang putri. Putra
raja yang tegap dan tangkas memandang dengan mata menantang
sambil tersenyum.senyum pada gadis-gadis yang hadir.
Sesudah semua hadirin mengambil tempat, Bupati Lebaksari
mengucapkan pidato pembukaan. Kemudian diketuknya meja tiga
kali dengan palu, tanda pertemuan dimulai. Pada waktu istirahat
Bupati Lebaksari beserta keluarga dipanggil menghadap Sri Paduka.
Mereka segera diperkenalkan kepada putra dan putri raja.
Atas undangan Raja Mayanegara, setiap hari beberapa bupati
dipersilakan mengunjungi istana. Sebagai ketua pertemuan itu,
Bupati Lebaksari sekeluarga mendapat giliran pertama. Putra-putri
raja dan putra.putri bupati segera akrab dan asyik berbincang.
bincang. Mula-mula mereka mengunjungi pendapa agung, lalu menuju
keperinggimn, ruangan di belakang pendapa, masuk ke dalam, bagian
yang keramat di istana. Kemudian mereka meninjau perumahan
belakang, terus ke dapur besar tempat masak untuk beratus=ratus
orang bila ada peralatan.
Setelah itu tibalah mereka di taman yang sangat luas, tempat
bunga=bunga mawar dan angrek tumbuh dengan suburnya. Sebuah
kolam dengan tetumbuhan air menjadi tempat bebek=bebek liar
berkecimpung. Di sudut taman itu bertenger seekor ayam hutan
yang setiap pagi berkokok membangunkan penghuni seluruh istana.
Terdapat pula di situ bangunan-bangunan kecil berjendela dan
berpintu kaca untuk bercengkerama minum teh dan kopi. Dalam
parit yang membelah taman itu tertambat sebuah perahu untuk
mereka yang gemar berdayung. jauh di seberang nampak sebuah
pancuran air dan kolam penuh ikan=ikan emas.
Tercenganglah para tamu melihat keindahan seputar istana itu.
Tetapi mata Maulana lebih banyak tertambat pada wajah Asmara
Dewi. Kumalasari pun terkesan oleh tuan rumah muda yang tampan
serta ramah sekali terhadapnya.
Para tamu juga tertarik melihat para penghuni istana. Asmara
Dewi mempunyai empat orang pengasuh wanita tua yang bergiliran
bertugas selama semingu, beserta enam dayang-dayan g yang
mendampingi dan melayaninya setiap saat. Para tamu kemudian
mengunjungi gedung-gedung belakang, tempat tingal Bibi
Munarsi dan sanak saudara keluarga raja yang lain. Ternyata istana
Mayanegara banyak sekali penghuninya!
Karena penginapan Bupati Lebaksari kuran'g'rsesuai dengan
kedudukannya sebagai ketua pertemuan, maka :Sri Paduka Raja
menawarkan pemondokan di balai tamquebelah istana. Putra-
putrinya amat gembira dengan und n ini karena mereka
berkesempatan bertemu dan berbin %QBincang lebih akrab dengan
putra dan putri raja. . :
Hari terakhir pertemugtaf'ini pun tiba. Pada pagi hari
dilangsungkan upacara ;behutupan, dan malam harinya
diselenggarakan sebua tunjukan &zngendrij/an di ruang pendapa
yang tingi, indah, akn terangben derang disinari cahaya lampu-
lampu. Banyak sanak saudara paduka raja serta para pungawa yang
hadir. Para wedanlaporan tentang jalannya acara penutupan itu kepada sri raja.
Semua pungawa kerajaan memakai kain panjang berpola sama.
Mereka berjas pendek azida putih yang tertutup di bagian depan.
Pada pungung terselip sebuah keris dan mereka mengenakan destar
yang rapi pada kepala. Punggawa-punggawa yang bertugas pada hari
itu berkalungkan sami?" pada leher, yaitu selempang dari pita sutera
hijau tua selebar lima sentimeter, berjahitkan pita kuning cerah
" :":; mm?" umu"um Balai Puslala
yang agak sempit di atasnya, dan berujung jumbai-jumbai keemas-
emasan yang melambai-lambai.
Raja Mayanegara sewaktu-waktu berkeliling dan bergantian
duduk menemani para bupati. Minuman dan makanan kecil,
begitu pula hidangan lengkap diedarkan oleh petugas-petugas yang
terampil. Sementara itu pertunjukan langendriyan berlangsung
dengan serunya. Namun Maulana lebih terpikat oleh Asmara Dewi daripada
oleh pementasan yang indah itu. Kumalasari pun gelisah, dan
setiap kali pandangannya melayang ke arah pangeran tampan yang
tersenyum jenaka padanya dari kejauhan.
Setiap pengunjung mengangap pertunjukan itu amat
gemilang. Terutama perpaduan pakaian para pemain sungguh
berseni dan indah penyelengaraannya. Ternyata perpaduan itu hasil
ciptaan sang raja sendiri, dan sri paduka selalu menghadiri latihan
para penari. Akhirnya gamelan pun membunyikan lagu perpisahan
untuk para tamu. Setiap orang pulang dengan rasa puas setelah
menghaturkan terima kasih pada tuan rumah untuk pertunjukan
yang panjang dan semarak itu.
Keesokan harinya selesai makan malam, Bupati dan Raden
Ayu Lebaksari serta putra=putti mereka berpamitan dengan tuan
rumah. Sunguh senang mereka men dengar bahwa keluarga Bupati
Lebaksari diundang untuk menghadiri hari ulang tahun penobatan
Sri Paduka beberapa bulan mendatang. Khususnya kedua anak
muda menyambutnya dengan gembira.
"Kalian datanglah benar-benar, " pesan Asmara. "Aku tahu kau
suka sekali menyaksikan adat istiadat dan selamatan, Kumalasari."
Esoknya pagi-pagi benar Bupati Lebaksari sekeluarga berangkat
ke stasiun untuk mengejar kereta api pagi. Setelah bermalam di
sebuah hotel di Mahakarta, mereka meneruskan perjalanan kembali
ke Lebaksari. Di batas kabupaten mereka disambut kembali oleh
sang patih dan para pangreh lainnya.
Berhari-hari pengalaman yang indah dan menyenangkan di
Mayanegara menjadi pokok perbincangan mereka. Namun Maulana
sering diam saja dan tampak termenung.
Di waktu makan ayahnya menegur, "Memang benar apa yang
disohorkan tentang putri raja Mayanegara yang cantik itu .. .. "
Maulana tak kuasa menahan isi hatinya dan mengungkapkan,
"Memang, siapa tidak terpesona oleh senyumannya itu!"
"Ha, terbuka juga isi hatimu," Kumalasari berkelakar. Dan
langsung dibalas oleh kakaknya, "Sekarang, bagaimana pendapatmu
tentang sang putra raja?"
"Tampan dan memikat hati," jawab Kumalasari dengan ketus.
Seizin raja, kedua pasang remaja itu sibuk surat-menyurati, dan
Kumalasari dan Maulana mengirimkan gambar-gambar dari suasana
sekitar Lebaksari. i4 ;( . 153 mm?" umu"um Balai Puslala
lPBlflIilfiIlllltillll megaria
Beberapa bulan berlalu. Tibalah saat perayaan yang dinanti-
nantikan. Kerajaan Mayanegara akan sibuk kembali dengan para
tamu yang menghadiri ulang tahun penobatan sang raja. Tahun
ini merupakan perayaan istimewa karena ulang tahun yang kedua
puluh empat, atau disebut juga triwindu, akan dirayakan secara
besar=bes aran dengan undangan yang lebih banyak.
Beberapa hari sebelum perayaan Bupati Lebaksari sudah
tiba di Mayanegara bersama keluarga. Kedua putri Asmara Dewi
dan Kumalasari pergi mehhat-lihat dapur besar di istana bagian
belakang, sebelah halaman besar. Di sana disajikan korban hewan
yang darahnya ditampung dalam belanga yang besar.
Kata Asmara kepada Kumala, "Sebenarnya aku merasa
kasihan melihat bintangbinatang korban itu. Coba, lihatlah, kera,
ular, anjing, kucing, menjangan, kambing, kelinci, bebek, ayam,
bahkan ada kalanya juga kerbau. Semua disembelih, lalu darahnya
ditampung dalam belanga besar itu. Belanga itu kemudian dipikul
ke hutan rimba Kren dawahana bersama dua boneka yang dibuat dari
tepung, berbentuk pria dan wanita. Di tengah dada kedua boneka
tepung itu dimasukkan gula merah. Setiba para pemikul belanga di
rimba, kedua boneka itu ditikam dengan keris, dan keluarlah darah,
yaitu gula merah tadi."
Asmara Dewi membawa Kumalasari ke tempat lain. "Lihat,
inilah kamar-kamar tempat menyimpan beratus-ratus piring dan
gelas. Nah, perempuamperempuan itu sedang menghidangkan
makanan untuk para penabuh gamelan atau niyaga dan para abdi.
Beratus-ratus bungkusan nasi dengan lauk-pauknya dibungkus
dalam daun pisang, kemudian dibagi-bagikan kepada mereka
selama perayaan. Dua hari sebelum pasta lauk-pauk itu sudah mulai
dimasak." Kedua gadis itu berjalan terus. "Laki-laki itu," Asmara
menunjuk, "sedang menghiasi pendapa dengan kain kuning dan
hijau. Peringgiian pun akan dihiasi dengan kain panjang itu dan
aantai-imntai, yaitu jumbai=jumbai panjang yang dijalin dari daun
pandan dan daun kemuning yang harum semerbak. Sekarang,
marilah kite ke kamar=kamar tempat mmm, yaitu tanda upacara
kerajaan, sedang dibersihkan. Lusa tanda-tanda upacara itu
dihantarkan oleh para pegawai berselendangkan samir, mengiringi
raja. Tetapi barangkali cukuplah untuk hari ini. Mari ke tempatku
untuk makan siang berdua."
Sementara itu Maulana dan Naren dra Putra pergi ke kandang.
kandang kuda untuk meninjau kuda dan kereta-kereta. Mereka juga
ingin melihat gamelan. Dengan rasa puas mereka kemudian kembali
ke tempat tingal Narendra Putra dan makan bersama Bupati
Lebaksari beserta istrinya.
Hari perayaan pun tiba. Di sebelah-menyebelah serambi-
serambi di bawah pendapa tersusunlah gamelan yang mengalun
lembut merdu. Kursi sampingmenyamping pendapa diatur barderet
baris lima untuk para tamu. Di tengah=tengah pendapa disiapkan
berdampingan kursi-kursi keemas=emasan berlapis beludru merah
untuk Sri Paduka Raja Mayanegara, residen, dan para pangeran.
Sri paduka raja muncul dari dalem pada jam sembilan pagi,
melalui peringgiian sampai ke pendapa. Kedatangannya disambut
oleh bunyi gamelan. Di belakangnya para abdi dalem menating
tanda-tanda upacara. Perayaan itu hanya dihadiri para pria di
pendapa. Para wanita duduk terpisah di daam. Seperempat jam
kemudian para hadirin mengangkat galas, tanda mengucapkan
mm?" umu"um Balai Puslala
ie .j- .g. _- . $ selamat pada sri paduka raja berhubung dengan hari ulang tahun
pen obatannya yang kedua puluh empat. Tiga malam berturut-turut
perayaan dilangsungkan. Pada malam pertama diadakan pertunjukan wayang orang
di pendapa. Pada hari kedua diselengarakan permainan rakyat di
ulun-alun jauh di depan pendapa, berupa memanjat tiang, tarik
umbang dan lain=lain. Pada malam hari kedua beratus=ratus tamu dari mancanegara
menghadiri pesta dansa. Pada malam ketiga diselengarakan
pertunjukan wayang kulit di peringgiian yang berlangsung hinga
pagi. Kumalasari sangat terkesan oleh semua yang dilihatnya. Setelah
gadis itu kembali ke pemondokan, ia tak bisa langsung tidur.
Menjelang pagi terdoronglah hatinya untuk menuliskan
kenang-kenangannya. Teringatlah gadis itu akan lingkungannya
sendiri di Lebaksari. Di sana biasanya dipertunjukkan orang wayang
golek. Berlainan sekali dengan wayang kulit permainan bayangan
yang disaksikan nya semalam. Meskipun Kumala kurang memahami
bahasanya, namun ia sunguh-sungguh terpesona oleh permainan
wayang kulit itu. Ditariknya meja kecil di muka tempat tidurnya, lalu ditulisnya
sebuah sajak. Tangannya seakan-akan terbimbing. Tak henti-
hentinya ia menulis sampai menjelang siang. Ia terheran sendiri
bahwa sudah tergubah lima buah bait. judul sajaknya: Permainan


Tunjung Biru Karya Arti Purbani C di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bayangan. Dengan rasa puas disimpannya hasil karya itu dalam laci
meja tulis, kemudian barulah ia tertidur dengan nyenyaknya.
Menjelang makan siang Asmara pun masuk kamar Kumala dan
membangunkan temannya. Kumala terkejut bangun. Katanya, "Aku
tak tahu sudah siang begini. Aku begitu terkesan oleh permainan
wayang yang indah semalam dan oleh cerita yang kaukisahkan.
Berbeda sekali dengan wayang golek yang sering di pertunjukkan
di daerah kami." "Mari, cepat berpakaian," Asmara mengajak. "Sebentar lagi
kita makan siang bersama Romo."
Malam berikut Kumalasari menulis tiga bait sajak lagi yang
diberi judul: Panggung. Malam berikutnya lagi gadis itu terdorong
pula untuk menuangkan pikirannya di atas kertas. Takjub juga ia
berhasil mengubah tiga bait lagi yang diberi judul: Peringitan.
Dengan rasa puas gadis itu menyimpan curahan hatinya di dalam
laci meja. Esoknya, sebubar perayaan, Narendra mengusulkan agar tamu-
tamu dipesiarkan ke berbagai tempat wisata di luar kota. Hal ini
diizinkan oleh sri paduka raja.
Dengan tiga mobil para tamu, Narendra, dan Asmara serta
para pengiring menuju pesanggrahan raja. Perjalanan itu kira-kira
satu setengah jam lamanya. Pesangrahan itu besar, didukung oleh
tiang-tiang yang tinggi, dan berserambi panjang serta berkamar luas.
Mereka harus mendaki dua puluh lima jenjang untuk mencapai
bangunan itu. Dari tempat itu mereka mengagumi pemandangan
gunung-gunungyangmengelilingi pesanggrahan. Gedungitu sendiri
dibangun di atas puncak sebuah bukit.
Setelah beristirahat sebentar Asmara mengajak bupati dan
raden ayu mengunjungi sebuah pesangrahan kecil yang tampak
dari tempat mereka. "Romo lebih suka tinggal di peristirahatan yang
kecil itu. Suasananya lebih santai. Di situ kita makan siang nanti,"
kata gadis itu. Mereka menurun selama sepuluh menit, kemudian tiba di
sebuah pesanggrahan kecil berjendela kaca di sebelah depan. Mereka
mengitari gedung itu dan mengagumi barang pecah-belah kristal
dalam lemari-lemari, yang akan digunakan waktu makan nanti.
Kemudian duduklah mereka di kursi-kursi yang santai. Untuk
menghilangkan dahaga dihidangkan iegen, semacam tuak. Selain
nasi putih beserta kawan nasi disajikan pula nasi merah dengan
mm?" umu"um Balai Puslala
l'B .j- .g. _- . $ lauk-pauk yang berlainan. Istri Bupati Lebaksari tertarik sekali pada
hidanganhidangan yangbaru baginya dan langsung minta resepnya.
Menjelang magrib barulah mereka kembali ke kota. Padawaktu
makan malam mereka merencanakan akan meninjau tempat yang
disebut Banyubening. "Itu perlu dikunjungi," Asmara berpendapat.
"Di desa sana ada ya, apa namanya ada mata air dengan air
yang jernih sekali. Sendang itu dikelilingi sebuah tembok persegi
empat. Bila tamu=tamu datang untuk melihat mata air itu, segera
bermuncullanlah anak=anak muda yang mengharapkan bahwa para
tamu Inalemparkan mata uang ke dalamnya. Lulu secepat kilat
mereka pun menyelam dan memungut mata-mata uang itu."
"Ya, itu perlu kita lihat," kata bupati. Maka esok paginya
mereka pun menuju ke Banyubening. Para tamu kagum melihat
lincahnya anak-anak menyelam berpakaian celana pendek.
"Mereka mengharapkan kita terus-menerus melemparkan uang
dalam mata air itu," kata Asmara sambil tertawa.
Mereka makan siang di sebuah restoran yang sederhana.
Hidangannya pecel, ayam goreng, pindang telur, asam.asam cabe
hijau, dengan nasi dari beras merah. Alangkah lezatnya sajian itu!
Raden ayu berniat akan menyiapkan hidangan semacam itu bagi
keluarganya sepulang di Lebaksari nanti.
Menurut Narendra, di Banyubening ada mata air lain, sumber
air minum untuk raja. Air itu dituangkan ke dalam kan=kan besar
dari kristal, kemudian diangkut dalam tandu-tandu kecil dari kayu
yang dipikul oleh dua orang pria. Ada seorang lagi yang memayungi
rumah kecil itu. "Banyak benar ceritacerita yang menarik di sini. Ke mana lagi
kita sebaiknya pergi?" tanya Bupati Lebaksari.
"Bagaimana kalau kita pergi ke sumber air belerang dan minta
izin pada Romo untuk dipikul dalam tandu ke Sendang Kuning?"
usul Asmara pada Narendra.
"Apakah ada yang menderita sakit rematik?" tanya Narendra.
"Ya, kadang-kadang kambuh," jawab raden ayu.
Permintaan mereka dikabulkan oleh raja. "Mungkin kita harus
membawa perbekalan ke sana karena tidak ada apa-apa di tempat
yang tinggi dikelilingi pohon-pohon itu," Asmara menambah.
Setelah diadakan persiapan-persiapan keesokan harinya
berangkatlah mereka semua.
"Di sini kita bisa minum air dari kelapa muda yang segar," ujar
Narendra pada Maulana. "Langsung dipetik dari pohon." Bapak
lurah setempat diberi tahu tentang kedatangan mereka. Segera
kunci-kunci diantar untuk membuka tempat-tempat untuk mandi
air belerang. "Keras betul bau air belerangnya, " kata Kumala.
"Aku mau berendam," kata istri bupati. Dan Bupati Lebaksari
pun masuk pula di tempat mandi yang lain.
Keempat orang muda itu terus berjalan-jalan untuk melihat
sumber tempat orang minum air soda. Ada pula mata air yang bisa
membuat pingsan ayam bila dijerangkan di atasnya.
"Tetapi jangan dicoba, Narendra, kasihan kalau si ayam betul-
betul pingsan nanti," Asmara mengingatkan.
Setelah bupati dan istrinya siap mandi air belerang, disediakan
tan du-tandu untuk memikul para wanita ke Sendang Kuning. Untuk
Maulana dan Narendra disiapkan dua ekor kuda. Satu jam lamanya
mereka terus menurun untuk mencapai mata air itu. Tandu=tandu
itu bukan kursi, melainkan rumah-rumahan kecil untuk dua orang
yang dipangul oleh empat laki-laki penduduk desa itu. Kedua
pemuda naik kuda di samping tandu sambil mengobrol dengan
santainya. Akhirnya tibalah mereka di Sendang Kuning.
"Tempatnya sederhana sekali," kata Kumala. "Dan semua
kuning oleh belerang."
2" ff. mm?" umu"um Balai Puslala
"Ya, ini untuk keperluan penduduk desa yang berobat rematik
kemari, " jawab Asmara.
"Banyak tamu datang ke tempat ini karena jalan yang menurun
ini begitu bagus dan pemandangan sekitar begitu indahnya,"
Narendra menerangkan. Mereka tidak lama singah di situ. Tiba kembali di tempat
sumber belerang, sudah tersedia kelapa muda penghilangkan rasa
haus. Penduduk desa berdiri di depan rumah-rumah mereka. Ada
yang mendekati rumah pemandian dekat mata air. Ada pula yang
ikut di belakang para pengiring untuk mengagumi putra mahkota
serta putri, dan para tamu. Waktu rombongan akan pulang,
kelebihan perbekalan mereka ditingalkan. Narendra minta kepada
bapak lurah agar dibagi_bagikan di antara penduduk. Dengan rasa
puas mereka pun pulang. Masih tersisa beberapa hari untuk mengunjungi beberapa
desa sekitar kota sesuai usul Asmara. Pada malam hari Narendra
melaporkan kepada sri paduka rajaapayangtelah merekalakukan hari
itu. Asmara pun menghadap ayahnya, mohon izin untuk berkeliling
di desa-desa terdekat. Narendra juga mohon diperkenankan berburu
dalam hutan pribadi raja. Itu pun diizinkan oleh sang raja.
"Narendra, beritahukan pada penjaga hutan bahwa kalian
akan datang berburu bersama pengiring, supaya disiapkan santapan
siang," titah raja. Dengan gembira Asmara pergi ke kamar tempat
Kumala bermalam. Diberitakannya bahwa keesokan harinya mereka
boleh mengadakan perjalanan lagi.
"Akan kutunjukkan desa-desa itu, dan akan kuceritakan dalam
perjalanan apa yang akan kita lihat. Narendra telah mendapat izin
untuk berburu bersama Maulana dalam hutan pribadi kami. Mereka
akan menempuh perjalanan itu naik kuda. Paman, adik Romo, akan
ikut pula." Pagi_pagi subuh rombongan Maulana dan Narendra telah siap
dengan kuda mereka. Di tengah perjalanan mereka mengagumi
matahari terbit yang membiaskan sinarnya lewat pepohon an . Mereka
menjumpai wanita-wanita yang menuju ke pasar dan orangorang
desa yang berjalan kaki ke kota mengendong barang dagangan
yang akan dijualnya. Kata Maulana sekonyong"konyong, "Narendra, saya ingin
mendengar lebih banyak ten tang gamelan ."
"Sebenarnya pertanyaan ini lebih baik ditujukan kepada
Paman. Beliau bisa menerangkan banyak tentang gamelan. Silakan,
Paman." "Ada dua macam gamelan, Maulana. Yang pertama bernama
gamelan slendro yang terasa khidmat dan luhur. Konon inilah yang
tertua dan langsung dianugerahkan oleh dewata pada manusia.
Sedangkan gamelan pelog kabarnya diciptakan oleh tangan manusia
dengan perubahan beberapa nada. Musik kami berlaras dua, yaitu
pelog dan slendro. Pertunjukan wayang purwa hanya boleh dan mungkin diiringi
oleh gamelan slendro. Penduduk di sini umumnya berjiwa musikal
dan sangat peka terhadap irama. Dengan jalan apa saja orang dewasa,
bahkan anak kecil pun, sanggup memunculkan musik. Mereka
benar-benar berjiwa seni. Mainan mereka dibuat dari bambu,
pelepah kelapa, dan kulitjerukbali.
Pada malam terang bulan dari jauh maupun dekat selalu
terdengar suara anak_anak yang membawakan bermacam-macam
permainan dengan lagu atau gerak tangan. Inilah kekuasaan musik
yang lebih kuat lagi dialami oleh kami dibandingkan dengan orang
barat, agaknya. Di manakah kita temukan di duniagendinggending
dan lagu-lagu dolanan semanis dan sebanyak itu" Di manakah ada
dongeng=dongeng yang dibumbui lagu-lagu sejelita itu, kadang.
22 ff. mm?" umu"um Balai Puslala
kadang seolah-olah bercanda, kadang-kadang seakan merayu atau
berjenaka" Seluruh masa muda kami dijalini dengan nyanyian dan
dolanan. Bagaimanapun berat dan sulitnya hidup orang dewasa di
Mayanegara, namun tak pernah mereka terlepas dari rasa rindu akan
nyanyian dan permainan. Bahkan burungburung dara mereka,
layangan mereka, dan pohon-pohon mereka pun ikut bernyanyi.
Tetapi Maulana, perlu juga kaukisahkan tentang kampung
halamanmu," kata Paman Purwaningrat mengakhiri uraiannya.
"Paman, saya hanya bisa mengatakan bahwa Lebaksari adalah
lingkungan orangorang saleh. Sebaiknya kalian semua singgah di
daerah kami." "Itu usul yang baik, Maulana."
"Sekarang kita mengikuti jalan yang lurus, dan sebentar lagi
sampai ke tempat tujuan," Narendra menyelang.
Tiba di hutan sarapan segera disiapkan. Kopi, teh, dan limun
telah tersedia. Segera rombongan itu memanfaatkan kesempatan
ini. Tukangtukang kuda menggiring kuda ke kandang kuda,
membersihkan tubuh kuda yang berkeringat itu dan menyediakan
makanan kuda yang segar. "Anak.anak, " Paman Purwaningrat angkat bicara, "Aku minta
perhatian kalian. Narendra sudah tahu tentang hal ini. Kita akan
berburu rusa. Andaikata bertemu dengan menjangan walang,
janganlah ditembak. Kijang itu berwarna gelap sekali, hampir hitam.
Mereka adalah penjaga hutan ini."
"Aku akan tetap dekatmu saja, Narendra. Aku belum pernah
belum," kata Maulana.
Mereka menetapkan akan bertemu kembali di rumah berburu
pukul dua untuk makan siang.
Lewat pukul dua barulah mereka berkumpul lagi. Narendra
melaporkan kepada pamannya bahwa ia hanya berhasil menembak
seekor rusa saja. "Aku pun hanya berhasil menembak seekor," jawab paman nya.
"Itu sudah cukup, Nak. jangan sampai punah rusa-rusa di hutan
ini." Setelah makan siang, mereka berangkat pulang naik kuda.
Sementara itu bupati, istrinya dan kedua gadis mengadakan
perjalanan ke desa=desa yang berdekatan. Menarik perhatian para
tamu bagaimana kaum wanita memeras keringat. Tampaklah oleh
mereka para wanita membawa bungkusan-bungkusan kain pada
punggung. Ada yang menjunjung jualannya di dalam tampah di
atas kepala. Ada pula yang mengangkut pasir dari sungai, terus
memasukkannya ke dalam bakul=bakul yang digendong pula.
"Mengapa kebanyakan wanita berbaju kehitam-hitaman dan
berkain biru tua?" tanya raden ayu pada Asmara.
"Kaum wanita rakyat biasa dan para abdi umumnya memakai
warna-warna tua untuk menghormati wanita bangsawan, dan juga
karena pertimbangan keuangan. Kain yang dipakai umumnya kain
lurik, begitu juga kebaya mereka. Semuanya hasil tenunan yang
kuat sekali. Para bangsawan dan priyayi memakai baju barwarna
dan kain berpola lereng, yaitu kain yang berpola garis-garis. Bila
ada perayaan di istana istri-istri pegawai harus memakai baju hitam.
Sangul mereka pun berbeda dengan sangul permaisuri dan para
putri raja," Asmara menerangkan.
"Kain mereka tidak boleh berpola lereng, tetapi boleh berkotak=
kotak atau dasar hitam dengan aneka gambar. Ada bermacam=macam
pola dan warna untuk kain lurik. Misalnya," Asmara menjelaskan,
" tenunan biru tua berkotak-kotak kecil disebut kepyur, berkotak-
kotak besar warna ungu campur biru bernama glondongan. Kebaya
biasanya terdiri dari tenunan tipis. Warnanya coklat muda, biru tua,
atau bergaris-garis. Bapak dan Ibu barangkali suka minum dan makan makanan
kecil di sebuah restoran?" Asmara kemudian bertanya pada tamunya.
mm?" umu"um Balai Puslala
"Baiklah," jawab Bupati Lebaksari. Di sebuah restoran kecil
yang disingahi suasana tenang sekali. Tidak banyak pengunjung
dan pelayanan pun sempurna.
Kata Asmara tiba-tiba, "Coba dengarkan siulan di kejauhan
Orang pemelihara burung dara sering memasang sebuah seruling
kecil terbuat dari kayu yang ringan, dan kepingan-kepingan
halus dari bambu pada bulu ekor burung itu. Waktu burung dara
itu terbang, arus udara masuk ke dalam seruling itu, sehinga
terdengarlah bunyi siulan.
Anak.anak sedang sibuk main layangan, tampaknya," kata
gadis itu sambil menunjuk pada beberapa layangan di udara. "Coba,
dengarkan bunyi mengumbang itu! Ada yang memasang sebuah
busur bambu yang ringan dengan tali rotan yang diraut tipis sekali
pada layangannya. Bila layangan itu terpancang tingi di udara,
angin meniup memainkan tali rotan itu, sehinga menimbukan
bunyi mengumbang tadi. Tapi, sudah waktunya kita kembali. Nanti
kita terlambat untuk makan siang" Asmara menambah.
Maka kendaraan pun kembali ke istana. Di tengah perjalanan
Asmara berseru, "Ada lagi yang perlu saya ceritakan! Lihatlah
htan kecil itu! Pepohonan pun dibuat bernyanyi! Penduduk desa
mengantungkan batangbatang bambu panjang yang diberi tali-
tali secara khusus. Sedikit saja angin mendesau, maka mndaren,


Tunjung Biru Karya Arti Purbani C di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semacam buluh perindu, pun bersiul-siul seakan=akan meratap.
Dalam syair=syair kuno bunyi itu diumpamakan tangis tuan putri."
"Amat mengharukan mendengar nyanyian bambu itu,"ujar
Kumalasari. Raden ayu pun diam mendengarkan, "Asmara, sungguh
menarik apa yang kauceritakan itu. "
Sebelum Kumalasari kembali ke Lebaksari bersama orang tua
dan kakaknya, diajaknya Asmara ke kamar. Dimintanya temannya
membaca sajak-sajak ciptaannya. Asmara kagum membacanya
. _i.'. gp 25 dan langsung berkata, "Wah, aku tak mengira kau pandai
bersajak, Kumala. Sunguh hebat!" Kepada saudara-saudaranya ,
diberitahukannya bahwa Kumalasari telah mengubah tiga sajak
yang indah tentang wayang kulit.
Demikianlah bunyinya: PERMAINAN BAYANGAN Gelap gulita di lapangan terbuka:
Blencong menerangi cemerlang kelir yang terpasang
Hening yang tegang sekitar,
Manusia menatap halaman hidup yang kosong.
Suara gamelan terdengar bertalu
Permainan pun dimulai Bayangan yang kabur men ari-nari
Pada kelir putih yang diterangi.
Sang dalang seakan menyulap
Putri cantik, tua bijaksana, pahlawan perkasa,
Cobaan, perjuangan " dan kematian
Dengan bahasa memikat dan nyanyian mempesona.
Mimpikah ini atau kenyataan,
Yang dibawakan oleh sang dalang"
Gamelan lalu melagukan akhir semua
Dan manusia pun merenung pulang.
Demikianlah kita hidup dalam ria dan duka,
Hinga permainan pun selesai.
26 ;( . 153 mm?" umu"um Balai Puslala
Dan bulan yang tenteram mengajak kita
Ke dunia kekekalan. DALANG SEjATI memimpin kita
PAN GGUNG Perayaan besar bagi tua dan muda,
Sebuah pangung menghias alun-alun.
Matahari ten gelam; di malam berbintang
Tiba=tiba kelir diterangi Erleneong.
Wayangwayang telah terbagi-bagi
Terpisah oleh sang gunungan,
Semua perliatian diarahkan.
Permainan gamelan samar-samar mengalun,
Gunungan bergerak, menarik diri;
Kehidupan mistik lahirlah kini.
Dan wayang demi wayang menarikan tariannya
Dipimpin Tangan yang tersembunyi.
Suara yang tak nampak menyanyikan
Kisah pengalaman para wayang.
Hinga lagu gamelan pun terhenti;
Dan gun ungan membeku dalam permainan wayang!
Hujan harum menunjukkan jalan pulang menuju surga
Tugas nenek moyang dan para dewata selesai sudah
Pangung yang ditingalkan men dengarkan suara:
Bukankah kita pun bermain dikendalikan tangan
Sang Dalang" PERLNGGITAN Kelir diterangi, permainan pun dimulai
Bayangan kayon masih menaungi pangung;
Di Timur, kelompok pahlawan muda menanti,
Di Barat, kelompok yang tua bersatu.
Sang dalang siaplah sudah, sajen telah disajikan;
Suaranya adalah kata-kata boneka wayang.
Kayon pun bergerak, bayangan pun menghilang
Permainan tertera pada latar yang terang.
Bahwa Yang Muda menganti Yang Tua, itulah kehendak
Sang Dalang! Matahari muda timbul, matahari tua 'kan tengelam.
Di Selatan yang benderang para pria dengan
gembira, menonton Permainan wayang, tanpa sadar, itulah mereka!
Berserulah mereka pada sang dalang:
Indah suaramu, sempurna salrebmu!
Di Utara yang temaram para wanita menonton;
mereka sadar Kesunguhan sendu permainan wayang;
mereka membawa Kehidupan!
Yang Tiada Nampak membisikkan: Sengsara tak terelakkan.
Keesokan harinya para tamu berangkat pulang. Sampai di
Lebaksari, lama sesudahnya mereka masih ramai memperbincangkan
pengalaman yang indah di Mayanegara.
ff. mm?" umu"um Balai Puslala
HLIllIlE'lfil lilfilllifilleillI'll
Marilah kita lanjutkan kisah Munarsi yang engan bepergian
dan keluar rumah. Ia masih terus berkabung meratapi kehilangan
kekasihnya. Asmara sering mengajak bibinda berbincangbincang.
"Kita mengobrol=obrol lagi, Bibi Munarsi. Selama ada tamu
tak ada kesempatan. Romo memesan agar saya mengajak Bibi
menonton film atau mengunjungi kebun binatang. Kemudian Bibi
merasakan masakan yang lezat di restoran. Atau Bibi nnnigkin lebih
suka pergi berbelanja?"
"Ah, Asmara, biarkan aku sendiri dengan kesedihanku. Aku
engan pergi ke mana-mana, " sahut Munarsi.
Bibi tidak boleh tingal seperti ini. Sudah cukup lama Bibi
berkabung. Mari, bergembiralah, berpesiarlah bersama saya. Atau
mau ke mana, Bibi?" Tidak, tidak, Asmara, biarkan aku!" Asmara tertegun dan
kecewa mendengar tangapan bibinya. Di kamar itu duduk pula
seorang pengasuh tua yang bers ila di tikar mendengarkan percakapan
Munarsi dan Asmara. Dengan hati-hati dan lemah lembut ia menegur majikannya,
"Gusti, bukankah sudah cukup lama Gusti berkabung. Adalah
kehendak Tuhan bahwa Kakanda tidak jadi memperistri Gusti.
janganlah bersedih terus. Kembalilah seperti dahulu, penuh kegiatan
dan kegembiraan. Hidup berjalan terus, Gusti, lupakanlah Kakanda.
Pada suatu waktu Tuhan pasti akan menunjuk teman hidup yang
lain." Namun berhari-hari Munarsi tetap murung dan bermuram
hati. Pada suatu pagi ia dititahkan oleh kakanda sri raja agar bersama
. '1_.i.'. gp 29 Asmara ikut ke Langenpati, tempat terdapat sebuah pesanggrahan
tua, beberapa kilometer di luar kota. Di sana pada malam hari itu
akan diselenggarakan sebuah pertunjukan oleh penduduk desa
untuk sri raja. Anak.anak sekolah menyanyikan lagu-lagu sambutan.
Kemudian gadis-gadis remaja menarikan tari kupu-kupu. Setelah
itu dipertunjukkan sandiwara berlawak. Untuk pertama kali setelah
kesedihan yang menimpanya Munarsi dapat tertawa berderai lagi
mendengar lelucon-lelucon itu.
Waktu mereka pulang kebetulan bulan purnama. Kuda=kuda
Australia dengan derap yang tenang menarik kereta mereka yang
terbuka. Menyusul di belakang mereka tiga kereta pula yang dinaiki
oleh para pengiring raja. Asmara dengan hati yang lega memandang
bibinda yang duduk berhadapan di samping sri paduka. Sampai di
rumah, Munarsi bercerita pada pengasuhnya tentang lawakan yang
didengarnya. Abdi yang tua itu pun bahagia melihat tuan putrinya
kembali berbincangbin cang sambil tertawa.
Keesokan paginya Asmara mengajak bibinya berjalan-jalan di
taman. Kini Munarsi menikmati lagi indahnya bunga=bunga. Yang
paling disukainya ialah bunga mawar. Sepanjang parit terdapat pula
bunga matahari yang sedang indah berkembang.
Waktu mereka duduk berdua dalam sebuah perahu kecil
Munarsi berkata, "Asmara, bunga.bunga matahari itu seakan-
akan mengajakku tertawa, aku merasa gembira lagi. Kalau melihat
bunga matahari, aku selalu diliputi rasa bahagia dan damai. Bunga-
bunga itu nampak senang dengan daun bunganya yang indah
keemas-emasan, seolah-olah benar-benar matahari." Dengan rasa
puas Asmara mendengarkan obrolan bibinya. Wanita itu mulai
bersenandung lagi seperti sediakala.
"Ia s udah pulih seperti semula, " kata Asmara dalam hati. Mereka
pun turun dari perahu, menuju ke rumah kaca tempat minum teh.
mm?" umu"um Balai Puslala
30 3.143, Pengasuh tua, mBok Guna, telah menyiapkan minuman teh dan
kue_kue di sana. Puaslah mereka, kemudian kembali ke kamar
masing-masing. Beberapa bulan pun berlalu. Suasana di istana Mayanegara
kembali riang dan gembira seperti dahulu. Pada suatu hari datanglah
pangilan raja agar putra-putrinya beserta Bibi Munarsi makan
bersama Sri Paduka. Paman Purwaningrat pun hadir. Di waktu
makan sang raja menceritakan bahwa beliau menerima ,undangan
dari Bupati Lebaksari untuk menghadiri perayaan ulang tahunnya
yang keenam puluh. "Aku ingin kalian pergi semua, dan kau sebaiknya membawa
istrimu" ujar sri paduka pada adiknya. "Munarsi, kau perlu liburan
dan melihat tempat-tempat lain," tambah sri raja pula. "Kau tidak
menolak, bukan?" "Dengan senang hati saya akan ikut, Kakanda," jawab wanita
itu. "Kalian boleh tingal seminggu di sana, dan jangan lupa
ceritakan padaku bagaimana keadaan di Iebaksari."
Selesai makan siang semua berkumpul di kamar Bibi Munarsi
untuk merundingkan tangal keberangkatan. Asmara dan bibinya
membicarakan pula warna kebaya.kebaya yang akan mereka pakai,
pola=pola kainnya, dan selendangselendang yang cocok.
Munarsi segera memanggil pengasuhnya dan berkata, "Mbok,
kau ikut ke Lebaksari."
Wanita tua itu tercengang dan menjawab, "Harus ikut, Gusti"
Berapa jauhkah Lebaksari dari sini" Apakah saya tidak akan mabuk
di kereta api nanti" Tetapi saya senang sekali diperkenankan ikut
dengan Gusti," kata pengasuh itu kemudian sambil memeluk kaki
tuan putri yang berdiri di hadapannya.
Semua yang ikut tampak amat sibuknya. Hanya Narendra tetap
tenang sambil berkata, "Saya tidak perlu perlengkapan baru, Bibi."
"Memang tidak perlu. Kau sudah cukup banyak pakaian.
Rendra." Pria itu tersenyum dan meningalkan kamar bibinya.
Sebaliknya Asmara kelihatan amat sibuk, keluar masuk kamar
bibinya untuk membicarakan persiapan-persiapan yang perlu
diadakan. Hari keberangkatan pun tiba dan semua sudah siap menuju
stasiun. Sri paduka raja berdiri di peringgitan istana untuk
mengucapkan selamat jalan. Pesannya, "jangan lupa menyampaikan
salamku pada keluarga Bupati Lebaksari."
Perjalanan jauh naik kereta api itu tidak terlampau melelahkan.
Hanya mBok Guna yang merasa lesu dan setiap kali menanyakan,
bilamana mereka akan turun dari kereta. Setiba di Lebaksari mereka
disambut dengan hangat. Teh dan kopi dihidangkan. Kue-kue yang
disajikan berbeda dengan yang biasa mereka makan. Beberapa
pangreh praja, antara lain patih, wedana, camat, jaksa, dan mantri
kabupaten pun hadir beserta istri-istri mereka.
Selesai minum teh, Raden Ayu mengantar mereka ke sebelah
dalam kabupaten. Mereka menuruni beberapa anak tangga dan
melalui deretan kamar=kamar di perumahan samping. Setelah itu
sampailah mereka ke sebuah payilyun tempat penginapan untuk
mereka. Di muka pavilyun itu terdapat pohon-pohon tinggi yang
indah. Burungburung yang bersarang di situ memperdengarkan
kicau gembira. "Kalian saya tingal dahulu," ujar Raden Ayu. "Bisaberistirahat
sebentar. jam sembilan malam akan kami jemput untuk makan
malam." Maulana dan Kumalasari tingal di pavilyun, berbincang
bincang dengan Raden Ayu Purwaningrat dan Bibi Munarsi. Hanya
mBok Guna yang tidak merasa betah dan dengan wajah suram
mendampingi sekelilingnya. Dengan suara yang lemah ia mengatakan
pada tuan putrinya, "Gusti, hamba tidak mengerti bahasa mereka."
mm?" umu"um Balai Puslala
32 .j- .g. _- . $ "Tentu saja, mBok, bahasa mereka berbeda," Munarsi
menjelaskan. mBok Guna benar-benar merasa asing di sana, tetapi
mujurlah ia dibawa serta ke mana pun rombongan itu pergi.
Di waktu makan mereka bersepakat akan berziarah ke makam
para leluhur Bupati Lebaksari. Selesai ziarah keesokan paginya,
mereka sin gah di pasar ikan untuk memilih ikan sebagai perbekalan.
Di tepi sungai yangbermuara ke laut telah siap perahu-perahu untuk
mengantar rombongan ke rumah peranginan di tepi pantai.
Narendra takjub melihat pemandangan luas di tepi pantai.
Katanya kepada Asmara, "Sayang, kita tidak tingal di tepi laut.
Andaikata begitu, pasti saya usulkan pada Romo untuk membangun
rumah kecil seperti ini. Asyik benar naik perahu di bawah sinar
bulan sambil memetik gitar, mengiringi nyanyian seorang gadis
yang cantik jelita! "
"Ah, kau selalu membicarakan gadis=gadis cantik," Asmara
mengumam sambil melirik ke arah Kumalasari. Gadis itu
mendengarkan percakapan kakak beradik itu dan memandang
Narendra dengan rasa kagum. Pikirnya, alangkah tampan pria itu
kalau la sedang berapi-api
Tiba di rumah di tepi laut itu Raden Ayu menyerahkan
ikan pembelian tadi pada para petugas dan menyuruh mereka
membersihkan dan menyiapkannya. Setelah siap semua Bupati
Lebaksari, berkata, "Marilah kita memangang ikan ini untuk
makan siang kita." jauh sore barulah mereka naik perahu kembali. Para tamu nie-
nyatakan pada tuan dan nyonya rumah bahwa mereka benar"benar
menikmati perjalanan itu. juga hidangan sederhana tapi lezat di
rumah peranginan di tepi pantai.
Keesokan sorenya Paman Purwan in grat, istrinya, dan Munarsi
melihat=lihat kota, sedang keempat remaja menyusun rencananya
sendiri. Pangeran Purwaningrat kemudian mengajak adiknya,
Munarsi, menonton film sebagai hiburan.
. _i.'. gp 33 Film itu cukup baik untuk kota sekecil Lebaksari! Munarsi
merasa gembira dan waktu meningalkan gedung bioskop ia sibuk
mempercakapkan Film yang baru dilihatnya bersama kakak dan
iparnya. Mereka tidak melihat bahwa waktu keluar ada seorang pria


Tunjung Biru Karya Arti Purbani C di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang berdiri tegak mengagumi Munarsi. Pria itu kagum melihat
pembawaan wanita itu, tubuhnya yang semampai dan kulitnya yang
putih bersih. Pria itu terus mengikuti mereka dari belakang. Harum
yang segar sekaligus memabukkan menyapu hidung pria itu, harum
yang tak terlupakan olehnya. Tampak oleh pria itu kebaya Munarsi
yang berkotak=kotak hijau tembus dengan tenuan benang emas.
Lama pria itu mengikuti ketiga orang itu. Dalam keremangan
tampaklah makin samar selendang kemasan yang melambai-lambai
ditiup angin malam, seakan-akan memberi salam padanya.
Berhari-hari lewat, namun pria itu masih mendambakan
bertemu kembali dengan wanita yang dikaguminya. Pikirnya, "Siapa
dia, dan dari mana datangnya?" Sulit baginya menghilangkan wajah
manis itu dari ingatannya. Dengan rasa gelisah pria itu mencarinya
di segala penjuru kota, dengan harapan akan berjumpa kembali.
Di kabupaten Lebaksari istri=istri pangreh praja sibuk
mempersiapkan perayaan. Para pemuda menghiasi gedung, sedang
Bibi Munarsi dan Raden Ayu Purwaningrat membantu raden ayu
bupati. Keesokan malamnya bupati dan raden ayu berdiri di tengah-
tengah pendapa menerima ucapan selamat dari para tamu yang
berdiri berderetan. Suasana santai dan gelak tawa mengisi gedung
itu. Selesai mengucapkan selamat, masingmasing mencari tempat
untuk mengobrol dengan kenalan-kenalan.
Di antara para tamu duduk pula Bibi Munarsi. Indra terpesona
melihat wanita itu kembali, bahkan kini ia ada di dekatnya. Ia terus
mengaguminya. Tampak oleh Indra, Munarsi mengambil tempat
mm?" umu"um Balai Puslala
34 3.143, di sebuah kursi yang enak di hadapannya. Sekali-sekali Munarsi
mengerakkan tubuhnya dengan gemulai sambil bercakap-cakap
dengan wanita di sebelahnya. Indra mengharapkan wanita pujaannya
akan memandang ke arahnya. Akhirnya, setelah beberapa lama,
Munarsi melihat ke arah tempat kakaknya yang kebetulan duduk di
sisi sang pengagum. Mereka bertemu pandang.
Paman Purwaningrat membuka percakapan dengan pria
sebelahnya. Ditanyakannya namanya, dan apakah ia juga tingal di
Lebaksari. "Ayah saya kakak Bupati Lebaksari. Kami tinggal di Tralaya,
dan ayah saya seorang pedagang. Kami datang kemari untuk
menghadiri perayaan ini. Kami sering juga ke Lebaksari dan kami
memiliki rumah juga di sini. Nama saya Indra Cahya. Saya seorang
insinyur dan bekerja di Tralaya, " pria itu memperkenalkan diri.
Pangeran Purwaningrat menerangkan pula, "Nama saya
Purwaningrat. Saya bersama istri saya memenuhi undangan ini
atas sabda Raja Mayanegara, untuk menemani kedua kemenakan
Narendra dan Asmara Dewi, serta adik saya yang bungsu. Munarsi."
Sunguh gembira dan lega hati Indra memperoleh keterangan
itu. Pesta pun berakhir dan para tamu minta diri. Indra melewati
Munarsi dan tersenyum simpul pada wanita pujaannya. Dengan
ragu Munarsi membalas senyumnya. Yang tampak olehnya seorang
pria berbadan tegap dan bermata cemerlang. Rambutnya tebal
mengombak, kumisnya kecil, dan ketika tersenyum tampaklah
sederet gigi yang putih. Bibi Munarsi sekejap terdiam. Asmara
yang sangat erat hubungannya dengan bibinda merasakan itu
dan menanyakan sebabnya. "Tak apa-apa, Asmara, nanti akan
kuceritakan, " jawab wanita itu.
Seusai perayaan Pangeran Purwaningrat mengisahkan pada
Bupati Lebaksari bahwa ia duduk di sebelah seorang insinyur yang
mengatakan bahwa ayahnya adalah kakak sang bupati.
. ",'..'. gp 35 "Memang, ayahnya kakakku. Ia masuk dunia perdagangan
dan kini menjadi seorang pedagang besar. Putranya, Indra, Cahya,
dahulu belajar di Eropa. Selesai belajar ia berwiraswasta ke mana-
mana, di antaranya ke India. Kami bisa mengundang mereka
berdua yang kebetulan ada di Lebaksari untuk makan malam. Besok
malam, misalnya, sebagai perpisahan,' usul bupati pada tamunya.
"Alangkah cepatnya mingu ini berlalu," ia menambah.
Pulang dari pesta Indra duduk diam melamun bersama
ayahnya, "Ada sesuatu yang menganggu pikiranmu, Nak?"
ayahnya bertanya. Setelah lama tidak menyahut, akhirnya Indra
mengisahkan tentang pengalamannya pada malam sebelum itu dan
malam perayaan setelah menonton Hlm. Diungkapkan nya bahwa ia
tidak melupakan Mun arsi.
Laki-laki tua itu mendengarkan. Setelah lama berdiam diri ia
berkata pada putranya, "Indra, seperti kaukatakan tadi, ia seorang
putri raja. Apakah bisa kau mempersuntingnya sebagai pasangan"
Mungkin ia harus kawin dengan seorang keturunan raja pula."
Hati Indra tersentak. Dipandangnya ayahnya dengan muram.
Kemungkinan itu tak pernah terlintas dalam pikirannya. Putus asa
hatinya; ingin rasanya cepat=cepat pulang ke Tralaya.
Keesokan paginya tibalah undangan dari Bupati Lebaksari
untuk makan malam. "Nak," ayah Indra mengemukakan, "kita
tidak bisa menolak undangan ini. jadi kita pergi nanti malam. Lagi
pula ini pesta perpisahan untuk para tamu dari Mayanegera. "
Indra tidak menjawab. Ia merasa kurang tenang. Terdengung-
dengunglah kata-kata ayahnya di telinganya, "Ia seorang putri raja.
Mungkin harus kawin dengan seorang keturunan raja pula ...."
Sementara itu hubungan antara Maulana dan Asmara semakin
erat, dan Kumala makin jatuh hati pada Narendra. Pada hari terakhir
kedua pasangan remaja itu selalu bersama=sama.
35 ;: ' 45P mm?" umu"um Balai Pustala
Pagi itu Kumalasari memakai sebuah kalung pemberian ulang
tahun dari ibunya. Ketika Narendra melihatnya, pria itu berseru,
"Sari, alangkah cantiknya kau hari ini! Mungkin karena saya besok
sudah akan pergi" Pasti kau tidak dapat saya lupakan, sayang."
Diangkatnya dagu gadis itu. "Alangkah indahnya pula batu
hijau yang menghiasi kalungmu. Batu zamrud, barangkali?"
"Andaipun ini batu zamrud, bagiku hanya ada satu zamrud,
itulah Anda, Narendra."
Narendra tersenyum hangat. jawabnya, "Simpanlah baik=baik,
Sari sayang." "Demikianlah, Rendra," sahut gadis itu pula. Sungguh bahagia
hati Kumala! Di kamarnya segera dicatatnya dalam buku hariannya:
Zamrud hijau yang indah Diuntai emas murni Ditata angun bergaya Dikalungkan pada leher sang dara.
Sementara itu Maulana dan Asmara duduk berdua di depan
pavilyun, di bawah naungan pohon asam yang besar dan rimbun.
Maulana memberanikan diri dan bertanya pada gadis sanjungannya,
"Kita sudah cukup lama berkenalan. Bolehkah saya mengajukan
suatu pertanyaan" Maukah kau menjadi istriku, Dewi?"
Asmara menunduk dan terdiam. Maulana terkejut bercampur
kecewa. "Maafkan kalau aku membuat suatu kesalahan, Dewi.
Mengapa kau diam saja" Mungkin kau sudah mengikat janji, atau
tidak cinta padaku?"
Dengan hati kecewa Maulana menemui ayahnya dan
mencurahkan isi hatinya. "Akan kubicarakan dengan Pangeran
Purwaningrat pada perpisahan besok, Maulana," janji ayahnya.
Pada malam hari Indra Cahya dan ayahnya hadir memenuhi
undangan makan malam. Mereka diperkenalkan kepada para
. ",. gp 37 tetamu. Segera semua terlibat dalam percakapan, demikian pula
Indra berkesempatan berbincangbincang dengan Munarsi. Pria itu
senang melihat kelakuan Munarsi yang manis dan ramah itu, tetapi
diperhatikan nya pula bahwa ada kalanya Munarsi tiba.tiba tampak
kaku dan murung. Maulana melihat bahwa Asmara bersikap biasa dan wajar
terhadapnya. Namun yang paling bahagia ialah Kumalasari yang
penuh kagum memandang kepada Narendra. Pria muda itu
berulangulang mengangguk padanya penuh arti.
Hari perpisahan pun tiba. Indradan ayahnyaakan mengantarkan
para tamu ke stasiun. Demikian pula Maulana dan Kumalasari.
Sebelum berangkat, Bupati Lebaksari berbicara empat mata
dengan Pangeran Purwaningrat. Bupati menanyakan kemungkin
Maulana dan Asmara menjadi pasangan. "Pertanyaan Kakanda akan
saya teruskan pada Sri Raja Mayanegara. Tetapi semua keputusan
tentu tergantung dari Asmara. Sri raja berpandangan cukup maju
dan tidak akan memaksa putrinya," demikian jawaban yang
diperolehnya. Setelah itu mereka pun berpisah.
Tiba di stasiun ayah Indra pun minta waktu sebentar untuk
berbicara dengan Pangeran Purwaningrat. "Pangeran, apakah
Adinda Munarsi boleh menikah dengan orang luar?" tanyanya.
"Hal itu tergantung siapa orangnya dan apa kedudukannya,"
sang Pangeran berkata. "Terus terang, dia anakku sendiri yang insinyur. Indra tidak
dapat melupakan Adinda Munarsi, meskipun baru berkenalan."
"Akan kusampaikan pada sri paduka, dan akan kubicarakan
juga dengan Munarsi sendiri," sang Pangeran berjanji.
Setiba di istana Mayanegara, Pangeran Purwaningrat segera
melapor pada pungawa yang bertugas untuk menyampaikan pada
sang raja bahwa mereka sudah kembali dengan selamat. Pada sore
harinya ia diterima oleh Sri Raja. Dilaporkannya ten tang perjalanan
35 fit; mm?" umu"um Balai Pustala
dan pengalaman mereka. juga ten tang permintaan Bupati Lebaksari
dan ayah Indra. Pada malam harinya Munarsi, Narendra, dan
Asmara diundang makan bersama sri raja.
Sri Raja minta pada mereka agar menceritakan pengalaman
mereka selama seminggu itu. Ia juga menanyakan hal ikhwal
Maulana dan Indra, sambil memperhatikan air muka Asmara dan
Munarsi. Narendra rupanya terkesan sekali oleh pengalaman naik
perahu, dan mengemukakan hasramya membangun sebuah rumah
kecil di tepi laut. Namun ayahnya bersabda, "Mayanegara memang tidak
terletak di tepi laut, Narendra, dan pantai Selatan penuh ombak
dan berbahaya. Kalau kau ingin pergi juga, pergilah ke Kembu.
Penduduk desa itu bisa diminta menangkapkan ikan, lalu ikan hasil
tangkapan itu bisa dipangang di sana. Ada sebuah rumah kecil
tempat makan dan beristirahat."
Narendra tidak melewatkan kesempatan itu dan langsung
mengadakan persiapan. Diajaknya keponakan dan teman-temannya
untuk pergi ke Kembu, dua jam di luar kota.
"Bibi Munarsi dan saya ingin ikut, Rendra, " bujuk Asmara. "Ah
tidak, kurang cocok untuk kalian," jawab Narendra dengan pendek.
"Mengapa tidak boleh ikut?" Asmara merengek pula.
"Lain kali saja kalau Romo pergi," Narendra berjanji.
Tetapi Narendra tidak melupakan Bibi Munarsi dan adiknya.
Pulang dari Kembu dibawanya oleh -oleh ikan yang besar=besar dan
segar-segar. Paman dan Bibi Purwaningrat pun tidak dilupakannya.
Mingu-mingu pun berlalu. Sementara itu Paman Purwaningrat menerima sepucuk surat
dari ayah Indra Cahya tentang permintaannya dahulu. Apakah
mungkin Sri Raja Mayanegara mengizinkan adiknya menikah
dengan orang di luar kalangan istana, dan apakah Munarsi sendiri
setuju" Masalah ini sulit terpecahkan oleh Paman Purwaningrat.
. ",. gp 39 Ia tidak berani bertanya pada Munarsi sendiri. Maka dimintanya
pertolongan pada Asmara untuk menyelidiki perasaan hati Munarsi
terhadap Indra Cahya. Dan mengapa ia kadangkadang sekonyong
konyong bermurung" Sebaliknya pada Munarsi ia minta agar
bertanya pada Asmara mengapa gadis itu diam saja ketika diminta
oleh Maulana. Berhari-hariMunarsi dan Asmara hanya pandang-memandang,
tidak berani membuka persoalan itu. Akhirnya, pada suatu malam
ketikaAsmara melihat bibinya dalam keadaan senang, ia mengajukan
pertanyaan tentang Indra.
"Menurut pandangan saya, ia pria yang bertangungjawab dan
juga berkepribadian," Munarsi berpendapat.
"Apakah Bibi mau menikah dengannya" Ayah nya telah menulis
sepucuk surat pada Paman Purwaningrat. Kalau Bibi setuju, ayah
Indra akan menulis surat lamaran resmi pada Romo."
"Surat lamaran" Ia baru berkenalan pada mingu perayaan itu.
"Rupanya ia sangat terkesan oleh Bibi. Katanya, ia mula-mula
harus kawin dengan kemenakan nya setelah menyelesaikan pelajaran.
Namun ia tidak ingin kawin dulu dan minta izin ayahnya untuk
bekerja di luar negeri sebagai penambah pengalaman. Ia sudah pergi
ke mana=mana, di antaranya ke India. Usianya tiga puluh tahun,
sedang Bibi berusia dua puluh lima tahun. jadi memang merupakan
pasangan yang cocok."
Semula Munarsi berbicara sambil tersenyum. Tetapi tiba=tiba
wajahnya berubah marah dan murung.
Asmara terkejut melihatnya, lalu bertanya," Mengapa, Bibi,
apa salahku" Mohon maaf, Bibi ...."
Munarsi menangis tersedu-sedu dan menutupi wajahnya
dengan sapu tangannya dari renda. Asmara membiarkan bibinya
menangis. Sunyi senyap di kamar itu; yang terdengar hanya isak
tangis Munarsi. mBok Guno melihat majikannya menangis dan
mm?" umu"um Balai Pustala
40 3.143, perlahan-lahan masuk kamar. Asmara memecahkan keheningan dan
minta diri. Beberapa hari kemudian Munarsi masuk ke kamar Asmara.
Dikaguminya lukisan dan karya tanah liat yang dibuat Asmara di
waktu senggang. Kini gilirannya bertanya, mengapa gadis itu diam
saja ketika diminta oleh Maulana menjadi istrinya.
"Aku suka padanya, Bibi, tetapi aku ragu apakah akan merasa
betah di lingkungan Lebaksari. Pertama, soal bahasa. Untung kami
bisa berhubungan dengan perantaraan bahasa yang pernah kita
pelajari di sekolah. Kedua, mereka mendapat didikan agama yang
mendalam, sedangkan kami tidak. Aku kadangkadang merasa
malu. Inilah yang sebenarnya, Bibi. Kini, katakanlah mengapa Bibi
menangis waktu itu. "
"Aku teringat kembali kepada tunanganku dahulu, Asmara."
"Bibi tahu, ia tidak akan kembali. Lupakanlah dia, dan mulailah
dengan hidup baru bersama Indra."
"Kau benar, Asmara, dan aku tidak akan men olakpinangan nya. "
Kedua wanita itu menyampaikan jawaban mereka pada
Pangeran Purwaningrat. Sang pangeran senang sekali memperoleh
keterangan itu. Kakaknya, sang raja meminta agar orang tua Indra
dan Indra sendiri datang ke Mayanegara untuk melamar.
Surat Pangeran Purwaningrat disambut dengan gembira dan
bahagia oleh Indra. Tiba di Mayanegara keluarga Indra dijemput
oleh Pangeran Purwaningrat dan diajak menginap di tempat
kediamannya. Mereka belum pernah mengunjungi Mayanegara dan
mengagumi pemandangan sepanjang jalan. Kata ayah Indra kepada
pangeran, "Silakan berkunjung ke Tralaya. Keadaan di sana berbeda
dengan di sini, juga berlainan dengan suasana di Lebaksari. Tralaya
terletak di pantai laut. Banyak udang besar-besar di sana dan perahu-


Tunjung Biru Karya Arti Purbani C di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perahu yang indah berpangkal di pelabuhan."
Keesokan harinya mereka diantar ke hadapan sri raja di
peringitan. Pangeran Purwaningrat dan istrinya pun hadir. Ibu
. ", gp 4 Indra minta maaf karena bahasanya tidak sehalus bahasa yang
dipakai di Mayanegara. "Cukup baiklah," kata raja sambil tersenyum. Ketiga angota
keluarga Indra merasa gembira atas penerimaan yang amat ramah
itu. jadwal perkawinan pun dibicarakan. Munarsi minta agar
dirayakan secara sederhana. Sri Raja setuju bahwa pasangan itu
saling surat-menyurat. Karena bulan=bulan berikut diangap kurang
baik untuk melangsungkan perkawinan, maka upacara itu baru akan
dilangsungkan tiga bulan kemudian.
Sepanjang mingu itu Munarsi bertemu dengan Indradi istana.
Mereka banyak bepergian, banyak bertukar fikiran, sehinga seakan
sudah lama berkenalan. Indra mengisahkan tentang perlawatannya,
juga tentang pengalaman-pengalamannya. Kata Munarsi tiba-tiba,
"Indra, saya pernah membaca tentang bunga tunjung biru. Betulkah
ada bunga semacam itu?"
"Mmang ada, kulihat di India. Nanti akan kuceritakan dalam
suratku padamu." Mingu itu cepat berlalu. Mereka berpisah dan
berjanji akan lekas berkirim surat.
Setiba Indra di Tralaya, diadakan nya berbagai perubahan pada
rumah kediamannya. Dirancangnya sebuah taman yang indah,
dengan kolam batu pualam berisi air yang jernih. Orang tua Indra
senang sekali melihat kebahagiaan putranya.
Setiap hari pikiran Indra melayang memikirkan kekasihnya.
Dipilihnya tempat yang bagus dekat rumah untuk membangun
kolam itu. "Ini tempat yang tepat, di bawah pohon_pohon yang
rimbun ini," Indra menggumam.
Maka terlentanglah ia di sana, terayun oleh rencana-rencana
yang indah. Angin berhembus lemah, seakan-akan kekasih yang
mengipas-ngipasnya. Burungburung pun bercicit. Dan bagi Indra,
ia seakan-akan dibuai oleh kekasihnya, sehinga dengan senyum
bahagia ia akhirnya tertidur.
42 .:; . &P mm?" umu"um Balai Pustala
TLIllllcllUllllE'l Will"
Indralah yang mulai berkirim surat pada Munarsi. Tulisnya,
"Munarsi, cemerlang mataku ...." Dikisahkannya tentang perjalanan
pulang dari Mayanegara dan rencana.rencananya. Di tengah-tengah
suratiamenulis: "Akal dan pikiranku serasa melayangbila melihatmu,
kekasih ...." Kemudian ia melanjutkan bahwa ia sedang mengubah
sebuah sajak: Tiga Bunga Tunjung yang akan dilampirkannya dalam
surat berikut. Akhirnya Indra menulis: "Cukuplah dahulu curahan
hatiku ini. Pikiranku selalu padamu, kau manikam hatiku, Munarsi
Membaca surat Indra, Munarsi pun tersenyum simpul.
Katanya lirih, "Bayangkan, pria berusia tiga puluh tahun sebegitu
mabuk cinta ...." Segera Munarsi menjawab surat tunangannya.
Diceritakannya bahwa ia sedang menyulam bantal-bantal kursi
untuk rumah mereka, dan juga ia tengah merajut taplak.taplak kecil
untuk meja.meja. Setelah mendengar bahwa bekas tunangan Munarsi telah
meningal, Indra segera menulis: "Insya Allah aku akan bisa
mengatasi segala mara bahaya dan mempersunting bunga pujaan
yang kudambakan. janganlah kau membuangbuang air mata,
seperti mutiara yang terlepas dari ikatannya dan berserak=serakan.
Munarsi, sayang, janganlah matamu yang indah laksana malam
gelap itu bengkak oleh tangis pedih. Aku merasa terbelenggu dalam
cintaku yang menyala-nyala. Setiap hari sebelum tidur kubisikkan
namamu. Kalau lama tidak menerima surat darimu, hatiku
hancur serasa mutiara yang tengelam. Tetapi kalau ada sepucuk
. '1,i.'. gp 43 surat untukku, maka hatiku ringan melonjak laksana batu ambar.
Ketahuilah, Munarsi, hatiku terengut rasa gelisah kalau lama tiada
berita darimu. Gembirakanlah hatiku dan cintailah daku ...."
Munarsi membalas surat Indra meminta sajaknya yang
berjudul: Tiga Bunga Tunjung. Setiba surat itu, diperlihatkannya
sajak itu pada Asmara. "Akan kubacakan sajaknya, Asmara, karena
kau tentu tidak boleh membaca isi suratnya," kata Munarsi sambil
tersenyum. "Baiklah, Bibi," jawab Asmara.
"Dengarlah, begini bunyinya:
TIGA BUNGA TUNjUNG Wahai Tunjung, yang lahir dalam air,
Bayangan kekasih tercinta;
Akarmu terbenam di lumpur seperti kakinya,
Kau sendiri mengambang di air yang biru
Laksana jiwanya yang mengatasi tanah ketam.
Alangkah jernih memutih kau, Kumuda"
jiwa dia pun sejernih itu,
Bila kakinya tiada lagi membawa tubuh.
Biru tua dan menguncup, kau Utpala!
Kelam mengancam, seperti sifat dia kadang kala;
Kucin tai warna indahmu yang kelam.
Namun, bila kau merah muda memancar, hati Padma,
Bulan cemerlang yang muncul di cakrawala,
Dua jiwa bersinar dalam kebahagiaan.
mm?" umu"um Balai Pustala
Wahai Tunjung, yang lahir dalam air,
Alangkah indah bentuk dan warnamu
Impianku dijalini jiwamu.
Ingin kubawa dalam tamanku
Di dekatmu, ku 'kan menghabisi nasibku.
Munarsi dan Asmara saling berpandangan.
"Pandai benar ia bersanjak, Bibi. Bibi diumpamakan Tiga
Bunga Tunjung itu kiranya."
"Sayang aku tidak pandai bersanjak, Asmara, aku tidak bisa
membalas sajaknya dengan sajak pula. Bagaimana berita dari
Maulana, Asmara?" Asmara menunduk malu dan menjawab, "Aku belum menulis
padanya, Bibi ...." "Apakah ada kesulitan, Asmara?"
"Sudah kuceritakan, Bibi, mengapa aku tidak menerima
pinangannya." "Kau belum ambil keputusan?"
"Belum, Bibi." "Kalau kau cukup lama di Lebaksari, kau akan bisa mempelajari
bahasa dan adat istiadatnya."
Asmara tersenyum lemah. "Kasihan Maulana, Asmara! Kalau kau cinta padanya, kau bisa
mengalahkan segalanya, percayalah."
Namun gadis itu tidak menjawab.
Sementara itu Maulana menulis pada Asmara: "Aku
sudah mendengar tentang keberatanmu dari Paman Pangeran
Purwaningrat, melalui Ayah. Asmara, kalau itu alasanmu, kita pasti
bisa mengatasi dengan memperbincangkannya. Itu hanya soal kecil
saja. Yang terpenting ialah, kau cinta padaku, Asmara. Percayalah
padaku!" Baik Asmara maupun Maulana sedang dalam keadaan murung.
Asmara sering berdiam diri saja dan melamun. Surat-menyurat
mereka amat langka. Maulana setiap kali mencoba memulai berkirim
surat, tetapi Asmara tidak membalasnya.
Kini giliran Munarsi menghibur Asmara. Gadis itu sering
membantu bibinya dengan persiapan=persiapan untuk perkawinan.
"Bibi beberapa bulan lagi akan pergi ke daerah timur ..."
"Ya Asmara, mudah-mudahan sesudah aku, kau pun akan pergi
jauh ke daerah barat."
"Beruntunglah Bibi karena di daerah timur bahasanya bisa kita
pahami, meskipun tidak sama benar. Tetapi di daerah barat berbeda
sekali, sehinga bisa timbul salah paham."
"Memang, cerita mBok Guna, ketika di Lebaksari dahulu ia
sedang makan, ia didatangi seorang pengasuh yang menanyakan
sesuatu padanya. Hanya satu kata yang dipahami oleh mBok Guna,
yaitu kata 'sangu'. mBok Guna heran mengapa mereka menanyakan
'sangu'-nya, dan ia tidak menjawab. Kemudian peristiwa itu
kuceritakan pada istri Bupati Lebaksari. Menurut keterangannya
'sangu' dalam bahasa mereka berarti 'nasi' . Maksudnya menanyakan
apakah mBok Guna ingin menambah nasi lagi. Lalu kuterangkan
bahwa 'sangu' dalam bahasa kami berarti 'uang yang dibawa dalam
perjalan an' . " "Coba, " kata Asmara, "jelas bukan, bahwa bisa timbul salah
paham karena bahasa."
"Tetapi Asmara, kalian beruntung mengetahui suatu bahasa
lain yang dipahami kalian berdua, 'kan?"
"Itu benar, tetapi para pembantu pasti sulit memahami bahasa
Lebaksari," kata Asmara sambil berdiri dan kembali ke kamarnya.
mm?" umu"um Balai Pustala
Para pengasuh dan enam dayangdayangnya terkejut melihat
Asmara menghempaskan diri di atas ranjangnya sambil menangis.
Pengasuh Asmara, mBok Renga, mendekati majikannya. Dengan
suara perlahan-lahan ia bertanya, "Gusti, adakah yang menganggu
hati Gusti" Mengapa Gusti begitu sedih" Atau mungkinkah sedang
sakit" Akan kulaporkan kalau Gusti kurang sehat."
Asmara tidak menjawab dan terus tersedu=sedan. mBok Renga
duduk pada ujung ranjangnya dan perlahan-lahan memijit kaki
Asmara untuk menenangkannya. Pada cucunya, seorang di antara
dayang-dayang muda, ia berkata, "Surti, ambilkan secangkir teh
untuk Gusti, barangkali ingin minum."
Di ruang itu sunyi senyap. Para pengasuh yang hadir hanya
berbisik_bisik, menghormati majikan nya.
Menjelang sore hari Munarsi mengunjungi Asmara. Tetapi
gadis itu merasa pusing dan ingin tiduran saja. "Mungkin aku
melukai hatinya?" Munarsi mengumam. "Tetapi maksudku baik.
Mudah-mudahan ia mau merenungi ucapanku," kata wanita itu
sambil kembali ke kamarnya.
Dengan rasa gembira Munarsi menemukan sepucuk surat dari
Indra yang terletak di atas meja. Di dalamnya terdapat macam-
macam guntingan contoh kain sutera untuk kebaya dalam berbagai
warna. Indra tidak lupa pula menanyakan warna-warna yang
diinginkan Munarsi untuk selendang-selendangnya. Wanita itu
berbahagia sekali atas perhatian tunangannya.
"mBok," katanya kepada sang pengasuh yang duduk bersila di
hadapannya di atas permadani bersama kedua cucunya, "Lihatlah,
warna-warna yang bagus ini. Aku boleh memilih beberapa di
antaranya. Kau boleh pergi ke toko untuk mencari bahan kebaya
yang bagus. juga untuk cucu-cucumu. Karena untuk perayaan
nanti, kalian harus memakai baju-baju baru!"
. ",. gp 47 FBll'leillblllllllfillll llilLMlllfillI'Sl
Di istana Mayanegara suasana sedang sibuk, masingmasing
mempunyai tugasnya sendiri. Munarsi sedang membagi-bagikan
kain kepada para angota keluarga dan para pegawai istana. Ada
yang membuat kue=kue kering yang disimpan dalam lodonglodong
besar. Kelompok lain pula menyiapkan sesajian.
Suasana menjadi lebih ramai ketika Bupati Projonegoro,
adik baginda raja, tiba bersama istri dan dua putrinya. Pun Bupati
Cokronoto yang tingal di Pulau Danduro datang bersama istrinya
dan anak perempuannya yang berusia delapan belas tahun. Suatu
perjumpaan yang bahagia setelah mereka bertahun-tahun lamanya
tidak bertemu! Munarsi telah memohon pada kakanda sang raja agar
perkawinan itu diselengarakan sesederhana mungkin. Perang yang
melanda negeri-negeri sekitar pada masa itu menyebabkan harga.
harga kian meningkat, sedang bahan-bahan sulit diperoleh. Saat
perkawinan tiba dengan cepatnya. Pada suatu malam setelah makan
Munarsi menyuruh pengasuhnya mBok Guna, agar waktu tengah
malam menyiapkan tempat kemenyan dari tembaga di luar rumah.
"mBok," katanya, "malam ini aku ingin berpisah dengan
penghuni=penghuni istana yang tidak tampak. Mereka menjaga
keselamatan sejak aku lahir sampai kini. Aku ingin mengucapkan
terima kasih kepada mereka. Tambahkan raises yang harum." mBok
Guna mengikuti perintah Gustinya sambil menyembah.
Tepat jam dua belas tengah malam Munarsi keluar dari
kamarnya. Dilihatnya kedua cucu mBok Guna terkikih-kikih di
45 .: ; . 153 mm?" umu"um Balai Pustala
samping nenek mereka yang sedang tidur. "Mengapa kalian tertawa"
jangan bangunkan nenekmu! Sepanjang hari ia sudah bekerja keras,
sekarang pasti amat lelah."
Surti menjawab, "Gusti, saya dibangunkan oleh Narni, adik
saya. Katanya, 'Bangun, coba lihat Simbah. Kalau ia sedang tidur
ia menengadah seperti meneliti matahari. Sekarang ia duduk
terbungkuk, seperti melihat ke dalam sumur yang amat dalam.'
Itulah yang membuat kami tertawa!"
"Coba ikut keluar bersamaku! Kalau aku sudah selesai,
padamkan api dan bereskan semua!" ujar Munarsi.
Wanita itu menyebar raises yang harum ke dalam api dan
bergumam=gumam. Dari nyala api membubung gumpalgumpal
asap yang tak teraba, harum memabukkan, berbentuk aneh dan
berwarna abu-abu. Asap itu seakan-akan merasuk ke dalam hati
sanubarinya, dan membuat wanita itu bergetar haru dan penuh
terima kasih. Semingu sebelum upacara perkawinan Munarsi dihantar ke
bagian istana yang keramat, yaitu daam. Di situ terpancanglah
sebuah pelaminan yang tetap. Di sebelah-menyebelah kamar
pelaminan itu ada dua kamar. Semingu lamanya Munarsi harus
menetap dalam kamar sebelah kiri. Ia tidak boleh keluar dari kamar
Pendekar Aneh Dari Kanglam 5 Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo Naga Jawa Negeri Di Atap Langit 8
^