Tunjung Biru 2
Tunjung Biru Karya Arti Purbani C Bagian 2
itu, ia didengleer. Munarsi memakai kain dari bahan berkembang
dengan warna dan pola yang sama seperti kebayanya. Namanya
sawiian. Sepanjang mingu itu ia harus memakai bahan berbunga.
bunga untuk kain kebayanya.
Selama semingu setiap hari ia digosok dengan lulur. Lulur
itu terbuat dari daun kemuning dan kunir yang dicampur dengan
rempah-rempah yang wangi. Maksudnya agar rambut-rambut halus
pada kulit hilang dan agar seluruh tubuh harum semerbak. Pada
waktu itu perempuan-perempuan tua yang mempunyai hubungan
. "," gp 49 keluarga berdatangan memberi petunjuk-petunjuk padanya agar
perkawinannya bahagia. Misalnya, "Kau hendaknya mengurus suamimu dan hormat
kepadanya. Kalau suamimu tiba, sambutlah dia. Kalau ia sudah
masuk ke dalam rumah, tanyakanlah mau minum apa. Kalau ada
yang hendak kauceritakan padanya, tungulah sampai ia sudah
duduk dengan tenang." Demikianlah mereka memberi nasihat.
nasihat kepada Munarsi agar perkawinannya langeng.
Pada hari=hari itu datang pula kemenakan dan gadis=gadis lain
untuk menemani calon pengantin. Senda gurau, usik-mengusik
dan gelak tawa silih berganti. Wanita-wanita tua menghabiskan
waktunya dengan permainan kartu.
Sementara itu, bagaimanakah keadaan di Lebaksari" Karena
Maulana belum mendapat kepastian akan ditempatkan di mana
sebagai dokter, maka dimanfaatkan waktunya untuk mengunjungi
makam para leluhur dari pihak ayah maupun ibunya. Ia minta diri
dari orang tuanya dan pergi berziarah berjalan kaki.
Orang tuanya murung hati. Pertama, karena belum juga
kunjung datang sepucuk surat dari Asmara Dewi. Kedua, karena
Maulana rupanya sangat menyesali hal itu dan tampak merana.
Pada suatu hari raden ayu berkata kepada sang bupati, "Saya
mau mengingatkan bahwa beberapa hari lagi kita harus berangkat
ke Mayanegara untuk menghadiri perkawinan Munarsi dan
Indra. Bagaimana kiranya, apakah Maulana akan menyertai kita"
Kumalasari berharap-harap akan bertemu dengan sang pangeran.
Tetapi apakah Maulana mau ikut?" raden ayu ulang bertanya.
"Kita serahkan saja padanya," jawab sang bupati.
Setiap hari mereka menanti-nantikan kepulangan putra mereka.
Akhirnya, sehari sebelum mereka akan berangkat ke Mayanegara,
Maulana datang berjalan kaki. Tubuhnya kurus dan tampaknya
mm?" umu"um Balai Pustala
lelah. Ibunya menyambutnya penuh iba dan berkata, " Beris tirahatlah
baik-baik, Nak. jangan sampai jatuh sakit! Berdoalah pada Tuhan
agar terkabul keinginanmu. Aku pun akan turut berdoa."
Pada malam hari setelah Maulana beristirahat dan berdandan
sekedar, ia makan bersama orang tuanya. Mereka ingin mengetahui
pengalaman-pengalamannya ketika pada malam hari tidur di atas
tanah makam. "Pada malam pertama saya takut. Sekeliling saya gelap gulita.
Saya hanya mendengar bunyi jangkerik, kadangkadang bunyi jerit
burung malam yang lewat. Kemudian semua sunyi senyap kembali."
"Kau bermimpi, Maulana?" tanya ibunya.
"Pernah, Ibu." " Bagaimana mimpimu?"
"Aku bermimpi berjalan dalam lorong yang panjang dan gelap.
Tiba-tiba sarungku seakan-akan terbakar. Saya mencari jalan
keluar lorong itu. Setelah lama berjalan, di kejauhan saya akhir nya
melihat cahaya. Saya berhasil keluar dari lorong itu. Saya bernapas
lega dan merasa terbebas dari rasa tertekan. Apa arti mimpi itu, Ibu?"
"Nanti akan saya ceritakan makna mimpimu itu, itu pun
menurut perasaanku. Tetapi sekarang perlu saya ceritakan bahwa
besok pagi-pagi kami akan berangkat untuk menghadiri pernikahan
sepupumu Indra dengan Munarsi. Kau jadi ikut, bukan?"
Lama Maulana memandang ke hadapan. Akhirnya ia menjawab,
"Saya masih terlalu capai sekarang, Ibu. Bolehkah saya berdiri dan
pergi ke kamar?" "Saya sudah mengira begitu," kata Bupati Lebaksari kepada
istrinya. "Ia tentu takut kalau-kalau Asmara menolaknya."
"Kasihan anakku," raden ayu mengesah dalam.
Kumala mengikuti kakaknya. Tiba di kamar Maulana, Kumala
berkata kepadanya, "Kau tidak mau menulis surat pada Asmara" Saya
akan berhati-hati sekali, saya akan menanyakan padanya apakah dia
mau menerima surat darimu. "
"Ah, Kumala, kau tidak bisa menduga bagaimana perasaanku
sekarang. Rasanya seakan-akan berdiri antara sebuah gunung dan
sebuah jurang. Apakah saya akan berani mendaki gunung itu,
ataukah saya akan terjerembab ke dalam jurang?"
"Beranikan diri, Maulana. Siapa tahu, kali ini akan berhasil.
Mungkin Asmara akan memenuhi kehendakmu."
"Aku tidak tahu, Kumala. Kalau saya berani juga menulis surat
itu, kau akan menemukannya di atas meja. Kalau tidak, jangan
bangunkan aku." Pagi-pagi benar para pangreh praja dan para pengiring sudah
hadir di kabupaten untuk mengantar Bupati Lebaksari, raden ayu,
dan Kumalasari. Dengan hati_hati Kumalasari membuka pintu kamar
tidur kakaknya. Hatinya gembira melihat sepucuk surat siap di atas
meja. Gadis itu berharap benar, agar ia berhasil mempertemukan
kembali Asmara dan Maulana.
Di tengah jalan masing-masing sibuk dengan pikirannya. Tiba
di Mayanegara mereka disambut oleh para pangeran dan raden ayu
mereka. Kemudian mereka diantar ke tempat mereka menginap,
sebelah putra mahkota tingal. Tempat itu berupa sebuah pavilyun
dengan beberapa kamar dan ruang belakang. Di tempat itu pula
Indra dan orang tuanya akan menginap setelah tiba malam itu.
Bupati Lebaksari, raden ayu, dan Kumalasari diperkenalkan
kepada adik dan kemenakan sang raja, serta pada raden ayu-raden
ayu dan putri-putri mereka.
jam tujuh malam calon pengantin pria tiba dari Tralaya
bersama orang tua dan beberapa sanak saudaranya. Di stasiun telah
menungu kedua saudara dan kemenakan sri raja serta beberapa
angota keluarga pria yang sudah agak tua. Setelah bersalaman dan
mm?" umu"um Balai Pustala
berkenalan, mereka naik kendaraan mobil-mobil menuju pavilyun
tamu. Habis beristirahat dan berganti pakaian, mereka diundang
makan malam. Kemudian mereka duduk di serambi depan
men dengarkan alunan gamelan yang merdu. Wedana yang bertugas
memberi tahu bahwa putra mahkota akan berkunjung menemui
tarnwtamu pada jam sembilan.
Tepat jam sembilan Naren dra Putra yang tetap berketampilan
menarik menyambut Bupati Lebaksari dan raden ayunya, calon
pengantin pria, serta orang tuanya.
"Atas sabda raja, In dra harus di=senglzer, " kata Narendra. "Selama
dua hari ia tidakboleh keluar. Besok," ujar Narendra kemudian pada
Indra, "Anda akan dimandikan oleh beberapa angota keluarga
wanita yang sudah berusia lanjut. Pada kesempatan itu setiap wanita
akan menyiramkan segayung air bunga di atas kepala Anda. Tentu
Anda harus saya pangil Paman sekarang, sebagai calon suami Bibi
Munarsi. " Yang hadir tertawa semua dan bersenda gurau. Sebelum
Narendra nieningalkan mereka, ia memberitahukan kepada para
gadis bahwa esok pagi jam sepuluh mereka harus hadir di kamar
Munarsi. jam sebelas pagi itu akan diadakan upacara siraman.
Bupati Lebaksari mengemukakan bahwa ia terkesan oleh
suara pesinden yang merdu dan menawan hati itu. Narendra pun
tersenyum dan menjawab bahwa tidak ada pesinalen yang menyertai
gamelan. Suara yang merdu dan menawan itu berasal dari rebab.
"Bukan main", ujar sang bupati. "Belum pernah saya mendengat
suara-suara rebab yang demikian halus dan lembut. Pandai benar
pemainnya membunyikannya! "
Sehari sebelum upacara pernikahan dilangsungkan diadakan
siraman, yaitu memandikan calon pengantin wanita dan pria.
Waktunya sekitar jam sebelas pagi. Konon katanya saat itulah para
bidadari mandi pagi. . "," gp 53 Munarsi diapit duaorangbibi sangrajake kamar mandi.Seorang
adalah janda pangeran kerajaan yang bernama Prabu Kusumo. Ia
mempunyai rumah tangga tersendiri di sudut istana sebelah taman
besar. Bibi yang lain adalah janda Bupali Kusumopuro yang tingal
di luar istana bersama putra-putrinya.
Di muka sekali berjalan dua anak gadis, masih keluarga, yang
membawa sebuah nampan perak dengan pasaean di atasnya. Pasaian
itu sesudah pengantin dimandikan diselubungkan sekitar tubuhnya.
Pasaran itu boleh berwarna apa saja; yang paling disukai ialah
yang berwarna merah, terbuat dari sutra merah berbunga=bunga,
panjangnya empat meter. Anak gadis yang seorang lagi membawa
nampan kecil untuk tempat sabun dari perak dengan isinya.
Di sebuah sudut sesajen disiapkan di atas sebuah meja kecil,
berupa dua sisir pisang rajayang bagus, jajan pasar, yakni singkong
atau ubi rebus, kue-kue, dan buah-buahan. Di bawah meja kecil
itu tergeletak seekor ayam hidup. Di samping sajen ada sebuah
robyong di atas dulang yang dalam. Robyong itu gunung an nasi
yang ditusuki bawang pada puncak tumpeng dan di atas nya lagi
sebuah cabai merah. Sekitar tumpeng nasi itu ada sayuran seperti
tauge, kangkung dan kacang panjang yang dibumbui kelapa parut.
Seputar itu dibuat pagar dari kacang panjang pada batangbatang
kecil, itulah yang disebut rolayong. Pada nampan perak yang kecil
terletak berbagai bulatan kecil, seperti mangir, lulur kering, untuk
membersihkan dan mengharumkan tubuh.
Calon pengantin wanita itu duduk di atas sebuah bangku di
hadapan bak mandi yang berisi bunga_bungaan yang wangi. Bibi
Prabukusumo yang tertua dan tertinggi kedudukannya, pertama.
tama menyiramkan air bunga dari sebuah gayung perak membasahi
kepala Munarsi, sambil bergumamgumam. Kemudian menyusul
Bibi Kusumopuro, lalu angota-angota keluarga lain yang lanjut
usia. Sebagai penutup istri bupati penghulu menyirami kepala
54 .: ; . 153 mm?" umu"um Balai Pustala
Munarsi dengan air bunga dari kendi. Kendi itu lalu dibanting
sampai pecah. Munarsi yang berselubungan pasaian sutra merah diantar
keluar dari kamar mandi, kembali ke kamarnya. Rambutnya diratus
yang harum dan disisiri. Wanita yang keesokan paginya harus membuat paes, yaitu
lukisan pada kening, kini duduk di hadapan Munarsi. Pengantin
wanita itu duduk di atas sebuah tikar kecil yang didasari tujuh
macam daun. Pada daun itu terletak pula tujuh buah leirek, yaitu
kain=kain perca panjang, misalnya berwarna merah dengan rebak
berwarna hijau di tengah. Atau kain ungu dengan tengah hijau,
putih, persegi empat kuning, dan sebagainya.
Kemudian tukang paes itu mencukur b ieragian wajah yang
esoknya akan dipaesi. Muka pun dicukur' 'tuk menghilangkan
rambubrambutyanghalus. Setelah itu gagg giliran kedua alis yang
dicukur atas-bawahnya supaya bagxkgtnelengkung. Pucuk rambut
digunting oleh ayah pengantin nita. Karena ayah Munarsi sudah
meningal, maka Bibi Prabukukumo yang memotong sedikit dari
ujung rambut gadis itu. Sesudah itu dengan tipis dibuat lukisan paes sementara, dan
dibuat jambang'jainbarig di depan telinga. Setelah selesai barulah
Munarsi boleh berdiri untuk berpakaian.
Zeirek-leirelz yang diduduki Munarsi dibuang. Para gadis boleh
memperolehnya. Mereka berebutan untuk mendapat sebuah. Hanya
ada tujuh potongan kain, sedang yang hadir sekitar dua puluh orang
gadis. Konon katanya, barang siapa berhasil mendapatkan leirele,
segera akan menikah. Kumalasari memperhatikan semua itu penuh perhatian.
Bisiknya dalam telinga Asmara, "Mengapa kau tidak mencoba
merebut sehelai kain" Apakah tidak ingin menikah?"
. '1,'.':. ,jp 55 " Tidak," jawab Asmara dengan nada malu, "aku lebih muda
dari Narendra." Kumala terkejut mendengar jawaban itu dan
berpikir, "Kalau jadi hubungannya dengan Maulana, berapa lama
kakakku harus menantinya?" Gadis itu belum berani bertanya pada
Asmara, apakah dia bersedia menerima sepucuk surat dari Maulana.
Pada sore hari Munarsi makan bersama kemenakan-
kemenakannya, teman-teman dan kenalan, semua gadis-gadis
jelita, sepanjang meja rendah yang memanjang. Mereka duduk di
atas permadani-permadani yang indah. Pada malam hari datanglah
karangan-karangan bunga dan hadiah-hadiah. Wanita-wanita
angota keluarga yang harus berjaga semalaman menghabiskan
waktunya dengan permainan kartu. Gadis-gadis itu harus menemani
Munarsi karena sang pengantin wanita tidak boleh tidur sebelum
jam dua belas malam. Malam itu dijuluki malam midodareni. Menurut kepercayaan,
para bidadari di tengah malam turun ke marcapada untuk merestui
sang pengantin. Bunga-bunga melati ditebarkan di muka pelaminan
dan di dalam kamar pengantin di atas permadani-permadani. Gadis-
gadis bermain domino. Ada pula yang bersibuk dengan teka-teki,
sehinga malam terasa cepat berlalu.
Tengah malam barulah sang calon pengantin pergi tidur.
Munarsi harus terlentang di atas permadani dikelilingi para gadis,
supaya paesan sementara itu tidak rusak.
Tetapi menjelang pagi Munarsi melihat bahwa salah satu
jambang terlepas. Gadis-gadis pun bangun. Mereka menertawakan
sang pengantin ketika melihat salah sebuah jambang tertingal
di atas guling. Salah seorang dari wanita-wanita yang mendengar
keriuhan itu menanyakan apa yang terjadi. Mendengar keterangan
para gadis yang menertawakan Munarsi, ia pun berkata, "Munarsi,
rupanya kau terlalu banyak minum, sehinga jambangmu terlepas
mm?" umu"um Balai Pustala
Hari perkawinan pun tiba.
Pada pagi hari di tempat pengantin pria tampak kesibukan.
Alis dan kumis Indra dicukur menurut bentuk yang seharusnya. Ia
dipakaikan sebuah dodoi, yaitu kain berpola macam-macam binatang
berlatar belakang warna biru tua. Dodo: itu panjang dan lebarnya
dua kali kain biasa. Bagian tengahnya persegi empat berwarna putih.
Gambar-gambar binatang berwarna keemas-emasan.
Ada orang-orang khusus untuk memakaikan dodoi. Kemudian
sabuk Cinde dan epele berhiaskan benang emas diikatkan pada
pingang. Sebuah penutup kepala berbentuk kerucut yaitu ikuluk
warna putih dipasang pada kepala Indra. Sang pengantin pria kini
siap untuk melaksanakan nikah.
Dari ruang tamu sang pengantin pria berjalan kaki
diantarkan oleh Pangeran Purwaningrat, adiknya Projonegoro dan
kemenakannya, Bupati Cokronoto. Di belakangnya menyusul para
angota keluarga dan pungawa lain sampai mereka tiba di pendapa
besar depan istana. Gamelan menandakan kedatangan sang pengantin. Raja
Mayanegara, para tamu pangeran, serta pangreh lain yang tingi
kedudukannya semua berdiri dari tempat duduk mereka. Di tengah-
Tunjung Biru Karya Arti Purbani C di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tengah pendapa ada sebuah meja pualam persegi empat bertepi cat
emas, dan kursi-kursi beludru untuk sang raja dan pengantin pria.
Turut duduk pula bapak penghulu, dua orang saksi, dan beberapa
angota keluarga pria yang sudah berusia lanjut. Karena Munarsi
tidak berayah lagi, maka sang raja sebagai kakak tertua almarhum
ayah Munarsi menyerahkan nikah kepada Bupati Penghulu. Selesai
upacara, semuanya mengangkat gelas untuk kebahagiaan sang
pengantin pria. Kemudian Indra kembali lagi ke tempat tingalnya
di istana. Pertemuan antara pengantin pria dan wanita terjadi menjelang
magrib, sekitar jam setengah tujuh malam. Pengantin pria dipakaikan
. ",." gp 57 dodoi lagi, yang dilengkapi dengan kuluk biru. Pada lehernya ia
memakai kalung tebal panjang dari emas, dengan bros kecil yang
bisa digeser di tengahnya. Bagian atas tubuhnya tidak tertutup.
Sebuah bantal dipasang pada pingangnya.
Sementara upacara pernikahan berlangsung pada pagi hari
di pendapa, pengantin wanita dengan tenang mengikuti jalannya
upacara dari dalem bersama-sama gadis-gadis dan wanita-wanita
angota keluarga lain. Setelah makan siang bersama mereka, Munarsi dipakaikan
dodoi untuk pertemuan yang akan diselengarakan. Tukang paes
telah siap untuk mempertebal hiasan pada keningnya. Oleh tiga
wanita yang sudah mahir abdoi dilipatkan sekitar tubuhnya. Slepe
emas dengan ikat pingang emas diikatkan pada pingang. Di
bawah sape digantungkan Cinde sutra merah dari atas jatuh kr
bagian bawah, sebagai tanda pengantin putri bangsawan. Bantal
yang terdiri dari rangkaian daun kemuning, pandan, dan bunga-
bunga disusun sekeliling pingang seperti sebuah kalung.
Sisir emas berberlian ditusukkan pada kening di tengah-tengah
sejarak tiga jari. Centang-tentang yang dahulu dijalin dari rambut
asli dengan bentuk ikal, tetapi kini dibuat dari lilin yang disepuh
emas, ditempatkan kiri-kanan sisir itu. Rias rambut bernama oolzor
mengkurep karena kelihatan seperti bokor yang terbalik, diliputi
kuntum-kuntum melati yang dijalin bentuk rebak. Di antara kepala
dan tata rambut dicucukkan lima, tujuh atau sembilan buah sunduk
mental. Bentuknya seperti bunga-bunga atau kupu-kupu emas yang
diikatkan pada batang-batang kecil dan bisa bergetar-getar.
Sang pengantin wanita pun siap, lalu didudukkan di depan
pelaminan menantikan kedatangan pengantin pria. Munarsi
dibimbing Bibi Prabukusumo dan Bibi Kusumopuro ke tempat itu.
Tepat pada pukul setengah enam, gamelan memainkan lagu
Kodok Ngorek yang terkenal dan biasa diperdengarkan. Itulah
55 :i"- pmumm umu"um Balai Pustala
tandanya pengantin pria sudah tiba. Tampillah pengantin pria
dengan angunnya, sampai ke jenjang teratas pendapa yang tingi
itu, diapit oleh dua saudara Raja Mayanegara, yaitu Pangeran
Prawiraningrat dan Bupati Projonegoro. Semua yang hadir bangkit
dari kursinya. Munarsi yang didampingi kedua bibinya sampai ke pintu
pringgiian menungu di tempat itu sampai pengantin pria sejauh
dua meter daripadanya. Lalu Bibi Kusumopuro berkata padanya,
"Lemparkan gunial yang kaubawa lebih dahulu, supaya kau yang
bisa menguasainya." Kedua mempelai itu saling berlempar-lemparan
gamal-gu nial yang mereka bawa.
Selesai upacara itu, sang pengantin pria berjalan sampai dekat
berhadapan dengan pengantin wanita. Di tengah ambang pintu
tersedia sebuah telur mentah, di atas serbet putih pada sebuah
nampan dari perak. Telah disiapkan pula sebuah bokor perak
yang besar tempat bunga-bunga terapung serta sebuah gayung
kecil dari perak. Kini sang mempelai pria harus menginjak telur
itu dengan rumitnya. Pengantin perempuan kemudian bersimpuh
di hadapannya untuk membasuh kakinya dengan daun bunga.
Setelah berdiri kembali, keduanya berjalan menuju ke pelaminan,
bergandengan kelingking. Setelah mereka duduk, Raden Ayu Kusumopuro meminta
mempelai pria supaya duduk pada pelaminan dan menyerahkan
hadiahnya pada mempelai wanita. Hadiah itu terdiri dari segala
jenis uang logam, mulai dari setengah sen sampai dua setengah
rupiah. Uang logam itu bercampurkan beras yang diberi warna
kuning, kacang hijau, kedelai, dan macam-macam kacang lain. Sang
pengantin wanita duduk di hadapan sang pria di depan pelaminan.
Ia menerima hadiah yang dituangkan dari sebuah tikar lipat itu ke
atas sebuah kain putih persegi di pangkuannya. Oleh Raden Ayu
Kusumopuro semua diikat tapi untuk disimpan.
. ",." gp 59 Selesai upacara itu kedua mempelai duduk berdampingan
lagi. Karena Munarsi tidak mempunyai orang tua lagi, maka
upacara timang ditiadakan. Pada upacara timang ayah pengantin
wanita menyuruh pasangan mempelai duduk pada pangkuannya
sebelah-menyebelah. Kemudian ibu sang pengantin putri bertanya
pada suaminya, siapakah kiranya terberat. Maka jawab pria itu,
"Keduanya sama berat."
Kini masuklah sang rajadan mengambil tempat pada permadani
yang bertaburkan bunga melati. Di sebelahnya kedua bibi, kedua
saudara raja dengan raden-raden ayu mereka membentuk setengah
lingkaran. Munarsi dan suaminya lalu memberi sembah di lutut
mereka. Selesai upacara ini para pria kembali ke pendapa.
Kemudian pasangan mempelai menuju ke peringgitan tempat
menerima upacara selamat dari para tetamu. Kembali lagi mereka
duduk di depan pelaminan. Satu jam kemudian barulah mereka
kembali ke ruangan tempat kediaman mereka untuk berganti
pakaian. Di sana sudah banyak sanak-keluarga menunggu mereka di
depan tempat tingal mereka.
jam dua belas tengah malam, Munarsi dan Indra kembali lagi
ke dzkm masuk ranjang pengantin. Pada masa dahulu pasangan
mempelai harus tingal di sana sepanjang malam. Kini mereka hanya
menanti sampai upacara usai. Salah seorang angota keluarga yang
tua tiga kali mengelilingi pelaminan dengan membawa lilin yang
menyala, untuk memeriksa apakah mereka masih di situ. Menurut
cerita pernah terjadi bahwa pengantin perempuan dibunuh oleh
pengantin laki-laki yang telah berubah menjadi ular yang sangat
besar. Selesai upacara ini, akhirnya pasangan pengantin kembali ke
tempat tingal mereka. Keesokan harinya sang raja makan siang bersama kedua
mempelai dan keluarga mereka di balai tamu. Turut serta pula
Narendra, Asmara, ketiga kemenakan perempuan, dan Kumalasari.
mm?" umu"um Balai Pustala
GO .j- .__. _- . $ Kedua putri Bupati Projonegara, Marsinah dan Darinah,
mengajak Narendra berdayungdayung di taman selesai makan
siang. "Tetapi," ujar pria itu, "aku satu-satunya ayam jantan di
antara ayam-ayam betina! Begini saja: aku akan menjadi juri. Kalian
berempat, berpasangan dua-dua mendayung perahu dari ujung
sungai sini sampai ke ujung lain. Sepasang dahulu yang berangkat,
kemudian sepasang lain . Saya akan melihat pada jam pasangan mana
yang tercepati " "Apakah kita yang menang mendapat hadiah dari Kakanda?"
Darinah yang periang bertanya.
"Boleh dapat cium dariku," Narendra berjanji dengan sungguh-
sunguh. Maka sang raja berkata, "Kau pasti ingin memberi cium
kepada keempat-empatnya, anakku. Mereka berempat sama-sama
cantik!" Mereka bersenda-gurau, usik-mengusik, dan tertawa-tawa
gelak. Kumalasari melihat bahwa Amirati amat pendiam. Mengapa
gerangan ia tidak sebebas kedua kemenakannya" jawab Amirati,
"Ayahku kemenakan raja, dan saya datang dari daerah yang begitu
terpencil. Aku harus hati-hati sekali, jangan sampai membuat
kesalahan-kesalahan. Kata ibu, sewaktu aku masih anak kecil
beberapa kali datang ke Mayanegara, dan diajak ke mana-mana oleh
Narendra dan Asmara. Tetapi aku tidak ingat apa-apa lagi. Baru
setelah tamat sekolah menengah, aku boleh ikut orang tuaku kini."
Tampak oleh Kumalasari bahwa Narendara jarang sekali memberi
perhatian kepada Amirati. Malahan dia sendiri yang bukan keluarga
jauh lebih babas bergaul dengan putra raja itu.
Pada suatu malam, ketika kesibukan setelah pasta berkurang,
Kumalasari mendapatkan Asmara Dewi di ruang tinggalnya.
Asmara menyambutnya dengan riang. "Barangkali saya mencoba
mengetengahkan soal surat Maulana, selagi ia begitu gembira?" pikir
Kumalasari. Dengan lembut ia bertanya pada Asmara, apakah gadis
itu bersedia menerima surat Maulana yang dibawanya.
"Berikan saja, Kumala," jawab Asmara. Kumala senang sekali.
Ia menyampaikan surat itu, dan minta diri. Dengan perlahan-lahan
Asmara membuka surat Maulana. Isinya mohon maaf bahwa ia tidak
bisa menghadiri pasta perkawinan itu. Diceritakannya pengalaman
waktu mengunjungi makam leluhurnya.
Terbacapulaoleh Asmarabaris-baris berikut: "Dewi, kekasihku,
masa ini bagiku laksana sebuah gua. Tetapi di bagian terdalam gua
itu bersinar cahaya cinta kita berdua, yang menembus kegelapan
yang pekat. Marilah kita saling men cahari, kekasihku, dengan
sinar cinta dalam hati kita. janganlah kita berputus asa, dan terus
berusaha menuju tujuan kita. Semoga kita di dunia dan di akherat
tetap bersatu sebagai pasangan yang kekal. Semoga Tuhan menolong
kita dalam segala usaha dan tindak-tanduk. Percayalah kepadaku,
Dewiku yang terkasih."
Berulang kali Asmara membaca curahan hati Maulana.
Hatinya berdebar-debar, makin dekatlah rasa jiwanya. "Aku cinta
juga padanya?" pikirannya berbisik-bisik. Hatinya yang gulana pun
mengembang. Ia bisa bersuka cita lagi. Ketika berjumpa dengan
Kumala, Asmara berjanji akan membalas surat Maulana. Alangkah
gembira Kumala mendengar hal itu. "Akan kusampaikan pudanya, "
kata gadis itu. Semingu kemudian para tamu minta diri dari sang raja.
Pasangan pengantin baru itu harus mengunjungi orang tuapengantin
pria. Istilahnya nga ndah, artinya 'memetik' karena keluarga itu
memperoleh tambahan seorang anak perempuan. Narendra bertanya
pada paduka raja diperkenankan kiranya mengantar pasangan
pengantin baru itu ke Tralaya. Pun Bupati Cokronoto yang tingal
di Pulau Dandura dekat Tralaya mengiringi pasangan pengantin ke
Tralaya bersama raden ayu dan putrinya, Amirati.
mm?" umu"um Balai Pustala
Perayaan diTralaya berlangsung dua hari dua malam. Narendra
menyampaikan kepada Paman Cokronoto bahwa ia diizinkan sang
ayah mengunjungi Pulau Dandura seusai perayaan di Tralaya.
Perjalanan dari Tralaya ke Pulau Dandura sangat singkat.
Narendra melihat perbedaan kedua tempat itu. Ia menikmati
perjalanan itu. Di Tralaya tampak olehnya kapal-kapal besar di tepi
pantai, di Dandura ia menyaksikan bagaimana penduduk menghiasi
sapi-sapi mereka untuk lomba sapi. Semuanya serba baru baginya.||
Bentuk rumah-rumah, pakaian para penghuni, bahasa mereka,
pemandangannya, semua itu mempesonanya. Setiap hari Narendra
duduk bersama keluarga Gokronoto dan menanyakan kesibukan
dan pekerjaan mereka. Pada hari sebelum ia akan berangkat pulang, Narendra
berjumpa dengan Amirati. Gadis itu duduk di atas sebuah bangku
taman di bawah tempat peranginan yang penuh ditumbuhi bunga-
bunga mawar. Narendra melihat gadis itu sedang sibuk membuat
pekerjaan tangan. Dalam sebuah kranjang kecil tampak olehnya
berbagai gulungan wol, benang-benang berwarna, bingkai-bingkai
penyulam, dan aneka pola. Amirati begitu asyik bekerja, sehinga
ia tidak mengetahui bahwa Narendra sudah berdiri di hadapannya.
"Sunguh indah bantal-bantal dan taplak-taplak yang kaubuat.
Bolehkah saya duduk di sampingmu?"
"Tentu saja boleh. Tetapi lebih baik kita duduk berhadap
hadapan. Bukankah Tuan seorang putra mahkota?"
"Memang begitu, tetapi kau kemenakanku." Sesuai dengan
wataknya, Narendra langsung duduk dekat gadis itu. Amirati tidak
berani membantah dan menjawab semua pertanyaannya.
"Amirati, setelah selesai sekolah lanjutan, apakah tidak ingin
meneruskan pelajaran dan tingal bersama kami di Mayanegara'!"
"Saya tidak berani meneruskan, dan saya merasa lebih tertarik
pada urusan rumah tanga. "
. ",." gp 63 "Kau tahu, bukan, bahwa Asmara sekarang seorang diri.
Apakah kau tidak mau tingal di Mayanegara, menemaninya?"
Tanpa menengadah Amirati mengelengkan kepala.
"Sudahlah," jawab Narendra kemudian, "tetapi kau mau
sering-sering berkunjung ke Mayanegara, bukan?"
"Barangkali," jawab Amirati dengan singkat. Meskipun jawaban-
nya seakan terdengar lantang, tetapi timbul dari hati nuraninya.
Narendra meletakkan tangannya di atas tangan gadis itu.
Dengan terkejut gadis itu menarik tangannya. "Amirati, aku
mengagumi kecantikanmu. Bolehkah saya menyebutmu Ratih"
Dewi Ratih adalah istri Dewa Asmara, kau tahu, bukan?"
"Tidak," jawab Amirati keras kepala.
"Sekarang kau tahu, dan kalau besok aku pulang, sering-
seringlah teringat padaku. "
"Mengapa aku harus teringat pada Tuan?"
"Karena aku cinta padamu, Ratih."
Amirati terbelalak memandangnya dan berkata, "Tuan cinta
padaku" Beratus-ratus gadis dan wanita mengelilingi Tuan. Lalu
Tuan memilih diriku di antara mereka" Tak mungkin!"
"Kau tidak percaya?"
"Tidak" jawab gadis itu pula.
Di kejauhan mereka melihat orang tua Amirati datang. Mereka
memanggil Narendra, "kami mencari paduka. Kami khawatir
paduka bepergian seorang diri tanpa pengiring."
"Aku sedang mengagumi kerja tangan putri kalian."
"Mari kita makan siang dahulu," jawab tuan dan nyonya rumah.
Keesokan harinya Narendra dengan beberapa pengiringnya
berpamitan kepada paman dan bibinya dan mengucapkan terima
kasih atas kemurahan hati mereka. Sekali lagi ia mengharap agar
Amirati lebih sering datang ke Mayanegara untuk menemani Asmara
yang sendirian. 64 ;( . 153 mm?" umu"um Balai Pustala
Tlft'ilMiltlfil Kita kembali ke Tralaya, tempat Indra dan Mun arsi menempati
rumah mereka sendiri. Mereka seringkali berjalan-jalan berdua
di kebun ke kolam pualam yang dibuatkan Indra untuk istrinya.
Acapkali mereka beristirahat di bawah pohon-pohon yang rimbun
pada kursi-kursi malas. Mereka menikmati bunyi lembut arus air
sungai kecil yang mengarungi kebun dan bisik angin yang gemulai.
Tiba-tiba Indra duduk tegak dan berkata kepada kekasihnya,
"Sayang, aku mendengar dari Asmara bahwa kau suka sekali pada
bunga matahari!" "Memang betul," jawab Munarsi dengan riang.
"Kita masuk rumah, supaya bisa saya bacakan sajak tentang
bunga matahari!"
Tunjung Biru Karya Arti Purbani C di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan mesra mereka duduk pada sofa empuk beludru merah.
Indra membacakan istrinya sajak berikut:
"Bunga matahari, kau yang hanya menengadah ke sinar
matahari, Lalu mengatupkan mata ketika ia tengelam di ufuk! Tak
pernah sepandang lintas pun kauhadapkan padaku. Namun kau
mempesona, bangsawan bergerak anggun.
Inti yang tersembunyi dalam gemerlap, gelap laksana
persemaian bumi, Daun bunga emas, wajah yang cemerlang, cahayanya yang
pudar, Perkenankanlah daku menjelajahi rahasiamu yang terpendam,
tersimpan dalam, . '1,'.'.'. gp 65 Agar jiwaku yang lelah menikmati asri jiwamu!
Engan aku mati sebelum itu, namun engan pula lanjuthidup,
Kekasihku, perkenankan daku menerima cintamu dan aku
akan mati dalam kedamaian."
Munarsi terharu sekali mendengar sajak itu. Diletakkannya
tangannya di atas tangan Indra sambil berkata lirih," Kau telah
membahagiakan diriku, Indra ...."
Setelah masa cutinya habis, Indra setiap hari harus bekerja
seperti semula. Munarsi mengelola rumah tanganya dibantu
pengasuhnya serta dua anak cucunya. Selesai bekerja, Munarsi
duduk membaca atau menyulam di ruang duduk. Sepulang Indra
dari bekerja, Munarsi pun menyambutnya. Demikianlah hari demi
hari berlalu, dan mereka hidup tenang dan sentosa berdua.
Pada suatu hari Munarsi memandang jauh dari jendela kamar
seperti kebiasaannya. Di kejauhan tampak sawah-sawah milik
merreka. Ia menarik sebuah kursi ke dekat jendela. Sambil bertelekan
wajahnya pada silangan tangan ia memandang ke keramaian jalan.
Rasa bahagia memenuhi dirinya. Setiap hari ia melihat bertambahnya
kemajuan dan kemakmuran. Tampak olehnya kegiatan dan semangat
kerja penduduk. Mereka kini berpakaian lebih baik. Perang telah
lewat. Tak ada lagi perpecahan dalam kehidupan keluarga, dendam
dan benci. Munarsi memanjatkan doa kepada Yang Maha Esa, agar
akhirnya kekallah kedamaian dan kebahagiaan. "Semoga negeri
kita mencapai masa yang gemilang! Seperti bunga cempaka yang
memperagakan daun bunganya yang berwarna jinga, dengan
baunya yang semerbak yang tersebar ke segala penjuru, demikian
lah hendaknya bangsa kita menyebarkan kesemarakannya jauh
melewati samudera dan lautan. Semoga tercipta masyarakat yang
tertata, tersohor oleh keramahan dan keterbukaannya. Semoga
antara yang berkulit putih dan coklat terbentuk lagi persahabatan-
5'5 :i"- pmumm umu"um Balai Pustala
persahabatan baru, untuk membangun negeri kita menjadi negeri
yang masyhur di dunia."
Dengan bernapas dalam Munarsi tegak berdiri. Ia memandang
ke sawah-sawah yang jauh terbentang di kejauhan dan ia berkata
dalam dirinya, "Karena pergolakan, terjadilah pertumbuhan baru
pada tanaman padi yang berabad usianya. Tan gkai-tan gkainya agak
lebih tegak, bulir-bulirnya akan lebih sarat. Semoga ini berbuah
bagi yang muda, dan pengalaman itu merangsang orang-orang
muda. Semoga akan tumbuh pribadi-pribadi yang mandiri, semoga
pula usaha mereka akan membuahkan hasil yang lebih berlimpah.
Sebagai wanita dan pria mereka akan menyongsong hari depan yang
lebih cemerlang. Apakah bayangan ini akan menjadi kenyataan?"
Munarsi mendengar lonceng berbunyi dua kali. Pikirnya,
"janganlah menghabiskan waktu dengan melamun. Lebih baik
aku ke dapur untuk menyiapkan makanan siang. Indra sebentar
lagi akan sampai." Setelah berdandan lebih rapi, ia menungu di
serambi muka menantikan kedatangan suaminya.
Sebelum duduk di meja makan, Indra menceritakan kepada
istrinya hal-ihwal pekerjaan. Munarsi pun mengungkapkan apa
yang dikerjakan pagi itu dan apa yang dipikirkannya ketika pagi itu
memandang dari jendela. Indra berjanji akan mengajaknya menyaksikan kesibukan di
waktu panen. "Kau akan melihat kegiatan penduduk. Dan alangkah
bahagianya nanti melihat padi diikat dan dimuatkan ke dalam
gerobak-gerobak. " Pria itu melingkarkan lengannya pada pingang
istrinya dan membimbingnya ke meja makan yang sudah siap
dengan hidangannya. . ",." gp 67 llJBllillllLfilUlll: Putra mahkota kembali lagi ke Mayanegara. Ia menceritakan
pen galaman-pengalamannya di Tralaya dan Dandura kepada
ayahnya. Menarik perhatian sang raja bahwa berulang-ulang
Narendra menyebut nama Amirati.
"Apakah kau sudah membuat pilihan hatimu, anakku?"
"Saya masih harus berusaha merebut hati Amirati, Romo. Gadis
itu bersikap agak keras terhadap diriku, rupaya ia tidak mau tahu."
Sang raja tersenyum sambil menepuk bahu anaknya dan
berkata, "Bersabarlah, anakku! Rupanya inilah pertama kalinya kau
diperlakukan demikian oleh seorang gadis."
Kepada Asmara, Narendra mengisahkan bahwa di Tralaya ia
melihat kapal-kapal besar dan indah, dan menyaksikan kapal-kapal
barang membongkar muat-muatannya, kesibukan di dermaga, dan
lain-lain. "Di sini kita tidak pernah melihat hal-hal seperti itu,
Asmara. Sunguh menarik.|| Di Dandura suasana berbeda. Di sana
saya melihat perahu-perahu kecil, ada yang berhiaskan bendera-
bendera kecil, dan kaum nelayan yang sambil bernyanyi dengan
gembira melajukan perahu-perahunya. Tralaya meriah, Dandura
lebih hangat." Kemudian ia juga bercerita kepada adiknya panjang-lebar
tentang Amirati. "Saya mengharapkan ia mau tingal di sini untuk
ineneruskan pelajarannya dan menemanimu. Tetapi ia menolak,
dan berkeras kepala! " Segera Asmara melihat bahwa kakaknya yang
sebagai anak manja selalu dituruti kehendaknya, kini merasa kecewa
karena ulah perbuatan Amirati.
&& ;( . 153 mm?" umu"um Balai Pustala
Berbulan-bulan berlalu dan kehidupan berjalan seperti biasa.
Namun putra mahkota sering tampak marah-marah dan jengkel.
Karena tidak ada yang dapat memikat perhatiannya dan ia bosan
dengan hidup sehari-hari, maka Narendra minta izin pada ayahnya
untuk pergi ke daerah selatan di tepi raut dan melihat pemandangan
ombak-ombak yang ganas di sana. Ia ingin tahu bagaimana
penduduk setempat mengambil sarang-sarang burung dari gua-
gua, dan ia ingin pula menyaksikan daerah sang Dewi Laut. Paduka
raja memberi izin, tetapi adiknya, Pangeran Purwaningrat beserta
pengikut pangreh lainnya disertakan sebagai pengikut.
Karena berhati-hari sang putra raja berdiam jauh dari
kawedanaan, maka dekat pantai dibangunnya sebuah rumah kecil
dari papan kayu. Pada malam hari diundangnya orang-orang untuk
menceritakan dongeng"dongeng yang dikenal orang di daerah itu.
Tentang Dewi Laut, tentang orang-orang yang kadang-kadang
hilang di lautan dan tidak kembali lagi.
Narendra bersama pengikut-pengikutnya makan apa saja yang
tersedia di desa itu. Kalau ia lelah dari perjalanan, ia menyuruh
memetik kelapa muda, lalu meminumnya dari kulit kelapa, tanpa
gelas. Ia menyuruh datang seorang perunjukjalan yang membawanya
dari desa yang satu ke desa yang lain. Paman Purwaningrat minta
agar boleh tingal di rumah kayu. Baginya terlalu berat ikut
mengembara. Putra Pangeran Purwaningrat, Atmono, seorang pelajar
tamatan sekolah menengah, juga ikut serta. Ia senang sekali boleh
ikut mengembara bersama kemenakan nya, Naren dra.
Pada suatu malam sedang bulan purnama. Di luar semua
sunyi sepi. Mereka hanya mendengar bunyi ombak menderu-deru
melalui dinding-dinding kayu. Seorang di antara para pengikut
berkata, "Kadang-kadang suasana mengerikan di sini. Apalagi
kalau teringat pada dongeng-dongeng yang diceritakan orang. "
. ",." gp 69 "Kau takut akan dikunjungi Dewi Laut?" orang lain berkelakar.
Tiba-tiba Narendra berkata, "Paman, saya mau duduk di luar
sebentar." "Hawanya dingin, Narendra, pakailah mantelmu. jangan
sampai kau jatuh sakit di desa ini."
"Saya akan ikut," Atmono mengusulkan.
"jangan, jangan ikut, aku ingin sendiri ...."
Paman Narendra berkata lagi, "jangan sampai keluar pagar,
Nak!" Baru saja Narendra keluar, para pengikut membicarakan sang
putra mahkota. "Kanjeng", demikian kata salah seorang pangreh
praja kepada Pangeran Purwaningrat. "apakah putra mahkota tidak
tampak menjadi lebih pendiam?"
"Barangkali ia sedang murung," kata yang lain. Dan Atmono
herbisik pada ayahnya, "Barangkali ia sedang jatuh cinta."
Ayahnya tersenyum sambil berkata, "Anakku, ia cukup
menunjuk saja pada seorang gadis! Siapa yang akan menolak dia" Ia
tampan, selalu ramah ramah, dan besar hari."
"Mungkin gadis yang diingini itu, tidak membalas cintanya.
Kalau ia sedang mengembara, pikirannya entah di mana. Pada suatu
hari pernah ia duduk melamun terus di atas sebuah batu yang besar.
Sampai saya harus memberitahukannya bahwa kami akan kembali.
Lalu ia menjawab, "O, saya lupa bahwa kami masih harus berjalan
jauh kembali ke rumah kayu."
Waktunya tiba untuk membawa sesajen kepada Dewi Laut.
Pada suatu pagi tiga orang pangreh praja datang mengantarkan
pakaian dari kota untuk dibawa ke pantai Selatan. Mereka tiba di
rumah kayu tempat tingal putra mahkota dan paman nya.
Salah seorang pangreh praja menyampaikan sepucuk surat
titipan sang raja untuk putra mahkota di atas nampan kecil dari
perak. Menurut surat itu, raja minta agar putra mahkota kembali ke
kota karena sudah sebulan ia tingal di tepi Selatan. Sambil berpikir
mm?" umu"um Balai Pustala
70 .j- .__. _- . $ putra mahkota meletakkan surat itu di atas meja. Katanya pada para
pangreh, "Saya mau ikut untuk menyaksikan persembahan pakaian
dan sesajen kepada Dewi Laut." Semuanya berjalan ke pantai.
Tiba di sana kemenyan pun dibakar. Seperangkat pakaian
yang terdiri dari kain tenunan, kebaya brokat, dan selendang sutra
disusun di atas nampan-nampan perak, kemudian juga berbagai
sesajen. Menyan terus dibakar. Para pangreh praja yang ditugaskan
itu duduk di belakang sesajen sambil bergumam-gumam untuk
memberi tahu kepada Dewi Laut bahwa sesajennya sudah siap sedia.
Sebuah ombak besar datang mengulung dan menyeret semua yang
diperuntukkan sang dewi. Tak lama kemudian nampan-nampan
perak itu pun kembali. Dengan suara keras benda-benda itu
menghantam batu-batu karang.
Para pengikut putra mahkota dengan terkejut melihat nampan-
nampan yang tercampak itu. Seorang di antara mereka berkata,
"Sang dewi rupanya tidak menginginkan nampan-nampan itu.
Mungkin mereka di sana memakai nampan-nampan dari emas."
Atmono bertanya kepada ayahnya, "Mengapa nampan nampan
itu dikembalikan, Ayah?"
"Anakku, kau sudah lulus sekolah lanjutan, kau bisa
menemukan jawabannya sendiri."
Sambil berjalan pulang ke rumah kayu Atmono masih terus
memikirkan nampan-nampan perak yang berat yang tercampak
kembali itu. "Mengapa, mengapa, mengapa?" ia terus bertanya pada
dirinya. "jangan kaupikirkan lagi, tidurlah. Hari sudah malam," kata
ayahnya. "Tetapi saya harus menemukan jawabannya," Atmono
mengesah. Keesokan paginya Atmono mendapatkan ayahnya. Katanya,
"Kiranya saya sudah menemukan jawaban teka-teki itu, Ayah.
Pakaian dan sesajen itu semua ringan, lalu terbawa oleh air laut.
Tetapi nampan-nampan yang berat diangkat lagi oleh gelombang
dan dihempaskan kembali ke pantai."
"Bagus, kau memang anak yang pandai, anakku!" ayahnya
memuji. Ketiga pegawai kraton pulang setelah dua hari dan membawa
sepucuk surat dari putra mahkota yang memberitahukan kepada
ayahanda bahwa mingu berikut ia akan pulang.
Malam sebelum kembali ke kota, Pangeran Purwaningrat
mengusulkan agar membuat api unggun di belakang rumah
papan itu. "Bulannya bulan muda, tetapi hawanya sejuk. Sebagai
perpisahan malam ini sekitar api ungun saya akan mengisahkan
cerita Sultan Agung dan Dewi Laut."
"Bagus sekali, Ayah, saya ingin mendengar ceritanya," Atmono
menyambut. "Ceritanya ngeri, Paman?" tanya Narendra, "Tidak, ini
cerita percintaan." Semua berseru serentak, "Kalau begitu pasti akan
menarik!" Itulah yang dikerjakan. Semua petugas mengumpulkan kayu
bakar dan menyalakan api. Ketika nyala api tingi melambung dan
terang benderang menyinari sekeliling, sang pangeran memulai
kisahnya. "Cerita yang akan saya ungkapkan ini cerita lama, tetapi benar-
benar kejadian. Waktu itu zaman pemerintahan Sultan Pajang.
Sultan Pajang menguasai daerah-daerah pantai sampai ke
Gresik. Di jawa peperangan terus mengamuk. Pada salah seorang
bangsawan Sultan Pajang menghadiahkan sepotong tanah yang
dihuni sekitar tiga ratus keluarga. Bangsawan tersebut mempunyai
seorang anak bernamaSutaWijaya. Sultan Pajang mengangap Suta
Wijaya sebagai anak sulungnya. Ia mendapat pelajaran ilmu perang
dan cara memperoleh kekuatan -kekuatan luar biasa.
Suta Wijaya ini terus berperang dan terus menang. Ia berhasil
menaklukkan hampir seluruh tanah jawa kecuali dua tempat, yaitu
mm?" umu"um Balai Pustala
72 3.143, Surabaya dan Gresik. Ia memperoleh gelar Senopati dari Sultan
Pajang dan menjadi panglima perangnya.
Pada suatu hari Sultan memangil Senopati. Ketika utusan
Sultan Pajang datang dan menyampaikan panggilan itu kepada
Senopati, Senopati menjawab sambil tetap duduk di atas kudanya,
"Sultan Pajang melarangku makan, tetapi aku masih lapar. Sang
Sultan memerintah agar aku men guntin g rambutku, tetapi rambut
itu akan tumbuh lagi."
Dengan kata-kata itu Senopati memerintahkan utusan itu
kembali. Utusan itu bingung menyampaikan jawaban itu. Ketika
ia menghadap Sultan ia berdusta dan berkata, "Tuanku, putranda
memerintahkan hamba pulang lebih dahulu. Senopati segera akan
menghadap Tuanku." SangSultan diam saja mendengar jawaban mi.
Ketika Kyai jurumartani, guru Senopati, mendapatkannya,
ia segera dapat menerka pikiran muridnya. Maka ia berkata,
"Anakku, apa yang telah kaulakukan" Tentu saja Sri Sultan murka
terhadapmu! Pasukanmu hanya sedikit dan kau hendak berperang
melawan Sultan" Ia tersohor tak terkalahkan. Kuanjurkan, agar kau
Tunjung Biru Karya Arti Purbani C di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berperang saja melawan kerajaan lain. Tidakkah kau mendengar
bahwa ketika beberapa pencuri hendak menyerang Sultan untuk
membunuhnya, ia sama sekali tidak merasakan apa-apa" Ia tak
terlukai! Kesalahanmu ada tiga: Pertama, kau memusuhi Tuanmu
sendiri; kedua, kau bersikap bermusuhan terhadap ayahmu; ketiga:
kau bersikap bermusuhan terhadap gurumu. Kau pasti akan
ditertawakan orang!" Demikian Kyaijuru mengesah menyesalinya.
Pada suatu hari, ketika Kyaijuru Martani mendatangi muridnya
lagi, ia menemukan Senopati sedang tidur di udara luar, berbaring
pada sebuah batu yang besar. Di atasnya tampak sebuah bintang
bersinar, sebesar buah kelapa. Kyai juru membangunkan Senopati
dan berkata, "Anakku, bangunlah, kau tiduran saja di sini. Tahukah
kau apa yang terletak di atas tubuhmu" Benda apakah itu gerangan?"
. ",." gp 73 Senopati terkejut bangun dan bertanya kepada bintang itu,
"Benda apakah engkau?"
jawab Bintang itu, "Aku sebuah bintang. Aku datang
memberitakan bahwa Tuhan telah mengabulkan permohonanmu.
Keturunanmu semua akan menjadi raja-raja. Cicitmu akan menjadi
raja yang terakhir. Kemudian gunung-gunung akan meletus, akan
terjadi banyak banjir dan gempa bumi dan perang-perang pun akan
berkecamuk." Setelah berkata demikian, bintang itu pun hilang
lenyap. Senopati senang sekali mendengar berita itu. Kyai juru Martani
sekali lagi bisa menjebak pikiran muridnya, lalu berkata, "Anakku,
hati-hatilah dengan berita bintang itu. Mungkin ia berkata benar,
mungkin pula ia berdusta. Kalau ramalan itu tidak terlaksana,
kita, kau dan aku, akan diusir dari kerajaan Mataram." Senopati
pun terkejut, lalu bertanya kepada gurunya, "Paman, apa nasihat
Paman?" jawabnya, "Marilah kita membagi pekerjaan, malam ini
juga. Kau pergi ke arah Tengara, dan aku akan mendaki Gunung
Merapi." Senopati sampai ke pantai Kali Opak dan berdoa kepadaTuhan.
Air sungai mulai mendidih, badai pun mendatang karena kekuatan
gaibnya. Banyak ikan mati, dan suara gemuruh ombak-ombak yang
bergolak tiada hentinya men deru-deru.
Konon pada saat itu Dewi Laut Selatan, Ratu Roro Kidul,
sedang bersemayam di istana lautnya, pada sebuah dipan emas
bertatahkan berlian. Di hadapannya duduklah para jin dan demit
di atas permadani-permadani. Nyai Roro Kidul bangkit dengan
terkejut dan berkata, "Gemuruh apakah itu" Air laut bergolak, bunyi
menderu-deru terdengar Mungkinkah dunia akan kiamat?" Ratu
Kidul berjalan sampai ke tepi laut dan melihat di seberang seorang
makhluk berdiri. "Mungkin diakah yang menyebabkan taufan
74 ;( . 153 mm?" umu"um Balai Pustala
ini?" Dewi Laut berjalan di atas air laut sampai ke tempat makhluk
itu, lalu berlutut di hadapan kakinya. "Tuanku, kasihanilah daku,
berhentilah menciptakan kegaduhan badai ini. Akulah penguasa
daerah lautan. Kasihanilah ikan-ikan yang terbunuh karenanya,
hentikanlah air yang mendidih itu."
Senopati memegang tangannya dan membangunkannya. Pria
itu terpesona oleh kecantikan sang ratu, demikian pula sebaliknya.
Dewi laut merayunya dengan matanya yang cemerlang. dan
mengajaknya pergi ke istananya. Senopati berjalan di atas air, seperti
berpijak di bumi saja. Mereka pun sampailah ke istana lautan yang
tiada taranya. Tembok luar dari perak, tembok dalam dari emas
murni. Batu-batu adalah batu koral, batu akik, dan batu bulan.
Semua benda di tempat itu terbuat dari emas. Bunga-bunga yang
terindah berkembang di taman dalam aneka warna.
Berkata Senopati kepada Dewi Laut, ."Nimas, belum pernah
saya melihat istana seindah ini! Sesuai benar dengan pribadimu.
Bagaimana kiranya pemandangan di dalam ruang tidur Nimas,
kalau saya boleh bertanya?" Dewi Laut mengerlinginya, memegang
tangannya, kemudian berkata, "Tuanku pasti memiliki gadis-gadis
yang cantik, tetapi aku menyediakan diriku." Kemudian diajaknya
pria itu ke ruang-ruang tidur.
Tiga hari tiga malam Senopati dan Dewi Laut hidup
berdampingan di istana lautan. Kata Senopati, "Semua di sini serba
indah, tetapi ada juga sesuatu yang kurang."
"Apakah itu?" tanya Ratu Roro Kidul.
"Tidak ada pria di sini."
Jawab sang ratu, "Ah, aku lebih suka menjadi ratu daerah ini,
daripada menikah. Tetapi aku menyediakan diri untuk Tuanku.
Kalau tuanku memerlukan bantuan, mungkin dari para jin dan
makhluk halus, maka bisa saya tawarkan."
. _L. (;P 75 "Tetapi, Nimas, tak seorang pun mengenali Nimas. Bagaimana
saya harus menyampaikan pesan?"
"Mudah sekali. Kalau saya diminta datang, tuanku mengarahkan
mata ke langit, menyilangkan lengan pada dada, dan berdiri dengan
kaki merapat. Maka segera saya pun akan menyertai tuanku."
Mendengar jawaban itu, Senopati merasa senang sekali. Tak
lama kemudian ia meninggaan istana lautan, dan berjalan di atas
air laut seperti berpijak di bumi.
Pada tahun 1601, menurut sumber-sumber Belanda, Sultan
Pajang wafat. Senopati menggantinya sebagai Sultan Pajang. Ia
menyuruh membuka tanah Mataram, dan mendirikan sebuali
kraton di sana yang dinamai Surakarta. Ketika pada suatu hari
ia mengadakan rapat dengan para penasihatnya, Ki Mandoroko
menyarankan agar ia menaklukkan daerah-daerah Jawa Timur.
"Belum masanya," jawab Senopati, "Cucuku akan menaklukkan
daerah itu." Di Surakarta, Pangeran Purwaningrat meneruskan ceritanya,
"sampai sekarang masih ada menara bernama pangung Songgo
buwono. Senopati yang kemudian bernama Sultan Agung,
bertemu dengan Ratu Roro Kidul di menara itu. Keturunannya
juga dikunjungi oleh Ratu Roro Kidul yang memiliki keremajaan
yang abadi. Menurut dongeng, hanya Paku Buwono atau Sunan
kesembilan yang takut kepada Dewi Laut. Ketika ia harus memanggil
Nyai Roro Kidul, ia terkejut takut dan terhempas di atas permadani.
Dewi Laut lalu berseru, "Anakku, tiger, wahai, anakku!" Sambil
gemetar Sunan pun berkata, "Jadi saya anak tuanku. " Semenjak saat
itu Ratu Roro Kidul tidak pernah muncul lagi.
Dongeng pun mengisahkan bahwa bila tarian suci sekali
setahun dipertunjukkan oleh sembilan orangbedoyo, gadis-gadis itu
melihat di depan mereka Ratu Roro Kidul yang menari. Konon tari
mm?" umu"um Balai Puslaia
bedoyo ini pernah ditarikan oleh sang ratu di hadapan kekasihnya,
Senopati. Sebelum tarian bedoyo ditarikan, kesembilan gadis
itu harus berpuasa. Untuk pertunjukan itu mereka dirias sebagai
pengantin dan diolesi dengan lulur yang wangi.
Nah anak-anak muda, inilah kisah Sultan Agung dan Ratu
Kidul. Kita akhiri api ungun ini karena besok harus kembali ke
kota." Anak-anak muda membereskan minuman dan makanan
kecil, kemudian masuk ke dalam rumah papan.
Sebelum Narendra pulang, rumah papan kayu di tepi
pantai itu dihadiahkan kepada bapak lurah untuk mengadakan
pertemuan-pertemuan. Ia memberi hadiah-hadiah kepada mereka
yang membantunya, dan juga kepada pandu yang selama itu selalu
menemaninya. Seluruh desa menghantar kepergiannya. Sampai di
istana putra mahkota memberi laporan kepada sang raja tentang
pengalaman-pengalamannya. Beberapa hari berturut-turut mereka
makan bertiga mendengar cerita-cerita Narendra, yaitu sang
raja, Narendra, dan adiknya. Asmara sangat terkesan oleh kisah
pengalaman kakaknya. mmm Seminggu setelah tiba diistana, Narendrajatuh sakityanggawat.
Demamnya tinggi dan ia sering meracau. Sang raja mendatangkan
beberapa dokter. Ada yang mengatakan sakit itu di sebabkan
kelelahan; yang kedua menyatakan: mungkin typhus; yang ketiga
menasihatkan agar Narendra beristirahat karena ia sangat gugup."
Sang raja membaringkan Narendra dalam salah satu dari
dua kamar bersebelahan dengan kamar pengantin, yaitu tempat
bagian istana yang suci yang jarang dikunjungi orang. Asmara
tidak berpisah dari ranjang sakit. Salah seorang tua membisikkan
di telingn Asmara, "Apakah kakakmu barangkali memakai baju
hijau ketika berada di daerah Nyai Roro Kidul" Itu warna yang
terlarang." Anggota keluarga lain bertanya, "Apakah sang kakak
barangkali melanggar suatu peraturan?" Ada pula yang menasihati,
"Serahkan pada ayahanda agar mengadakant selamatan, kemudian
membawanya ke tempat kakanda berdiam dahulu." "Maksudnya di
rumah kecil dari papan itu?" "Ya," demikian jawabnya.
Semua usaha dilaksanakan, tetapi demam itu tidak mau turun
juga. Narendra terus meracau; ada kalanya Asmara mendengar
kakaknya menyebut-nyebut nama Ratih. "Siapa gerangan Ratih
itu?" Asmara bertanya pada dirinya. Setelah mendengar nama itu
beberapa kali, Asmara menyampaikan hal itu kepada ayahandanya.
Sang raja minta supaya Asmara menulis surat kepada Munarsi
dan kepada kemenakannya, bupati Danduro. Dalam kedua surat
itu ditanyakan apakah mereka mengenali seorang gadis bernanln
Ratih karena Narendra pernah mengunjungi keduanya. Namun
jawabannya ialah bahwa mereka tidak tahu siapa Ratih.
75 ;( . 153 mm?" umu"um Balai Puslala
"O, putraku yang tungal, apa yang harus kuperbuat," Raja
Mayanegara mengeluh dengan putus asa. Berhari-hari lamanya sang
rajamemikirkan apa yan g harus diperbuatnya. Kemudian dipanggilnya
adiknya, Pangeran Purwaningrat, dan dimintanya nasihatnya.
Pangeran Purwaningrat mendengarkan ucapn kakaknya yang putus
asa itu dengan penuh perhatian. Lama ia berdiam diri, kemudian
katanya, "Barangkali Kakanda bisa minta agar Bupati Cokronoto dan
keluarganya datang berkunjuag karena Asmara sendirian.
Tetapi jangan ceritakan bahwa Narendra sakit." Tiba-tiba sang
raja teringat akan cerita Narendra tentang putri Danduro yang
amat kaku terhadapnya. "Tetapi namanya bukan Ratih," sang raja
bergumam dalam dirinya. Dokter ketiga mengunjungi Narendra secara teratur .Berkat
obat-obatnya dan istirahat, Narendra mulai sembuh, meskipun
berlangsung setapak demi setapak.
Sementara itu Bupati Cokronoto menerima permintaan
pamannya, sang raja. Ia berangkat bersama istrinya dan Amirati
karena anak-anaknya yang lain tidak sedang berlibur. Waktu ia tiba
Asmara menyambutnya dengan ramah sambil berkata, "Alangkah
baiknya kau datang, Amirati. Tingallah lebih lama di sini, aku
merasa begitu kesepian tanpa Bibi Munarsi."
Agar Asmara bisa menemani Amirati dan gadis itu merasa
betah di istana, maka sang raja menugaskan dua orang perawat
yang baik untuk merawat Narendra. Sang raja langsung menanyai
kemenakan dan istrinya tentang nama Ratih. Tetapi keduanya t idak
tahu siapakah Ratih itu. Asmara memperhatikan bahwa Amirati ada kalanya dengan
gugup melihat sekelilingnya. Ketika hal itu berulang kali terjadi,
Asmara menanyakan sebabnya, "Ah, tidak, tidak apa-apa," jawab
gadis itu mengelak. Seminggu kemudian Bupati Cokronoto dan istrinya kembali
ke Danduro. Asmara gembira sekali mendengar bahwa Amirati
. _ (;P 79 mau menemaninya. Ketika pada suatu hari Amirati dengan gugup
memandang sekelilingnya, Asmara tidak dapat menahan dirinya.
"Mengapa kau terus melihat sekelilingmu, Mirati" Apakah mencari
Narendra" Dia tidak di sini, Mirati, jangan khawatir dia tidak akan
mengangu kita." Amirati lama memandang bibinya tetapi tidak
berkata suatu patali kata pun.
"Mari kita berdayung-dayung di kebun dan memetik-metik
bunga mawar. Lalu siang ini kita makan di rumah teh dari kaca,
setuju?" Amirati menyatakan, "Ya, itu menarik sekali."
"Dan Mirati, maukah kau membantu saya masak besok?"
Asmara bertanya pula. "Romo telah memerintahkan mBok Projo agar
mengajarku masak-memasak. Masakannya kemudian dicicipi oleh
ayahanda. Beberapa hari kemudian mBok Pranoto akan mengajarku
membatik pula. Sudah sehelai kain yang siap dengan pola yang
sederhana. Setelah itu datang mBok Sastro untuk mengajar saya
tembang Jawa. Pada kesempatan itu dia juga menceritakan cerita-
cerita dan dongeng-dongeng warisan nenek moyang."
"Menarik sekali, Bibi, mudah-mudahan saya bisa
memahaminya. " "Dan harapanku, semoga kau kerasan di sini, Mirati," jawab
Asmara. "Kalau saya kurang dalam sopan santun, Bibi, tolong
beritahukan. Saya belum pernah ke luar rumah, dan belum pernah
dibesarkan di dalam istana."
"Mirati, kau cukup bersantun, dan tahu tata cara, lagi kau
berkepribadian ramah."
"Semoga demikianlah sesunguhnya, Bibi," kata Amirati
merendah. Asmara senang mempunyai teman, sedang Amirati
berusaha untuk mengikuti semua pelajaran bersama Asmara. Ia
mulai merasa kerasan di dalam istana.
Sementara itu Narendra sudah mulai pulih kesehatannya,
meskipun masih tetap pendiam dan pelamun. Dokter mengizinkan
5" :Eri. pmumm umu"um Balai Puslala
Narendra menerima tamu. Mendengar hal itu Asmara gembira sekali
dan berkata kepada kemenakannya, "Ketahuilah, Mirati, bahwa Mas
Narendra baru sembuh dari sakit parah! Demamnya tingi dan ia
terus-menerus meracau. Sudah tiga orang dokter memeriksanya dan
menyatakan pendapat mereka. Yang pertama berkata, disebabkan
kelelahan. Yang kedua menduga ia sakit typhus, dan menurut yang
ketiga ia harus beristirahat benar-benar dan tidak boleh menerima
tamu. Selama sebulan ia bersama Paman Purwaningrat dan para
pengiring tingal di Laut Selatan, dan mengembara dari desa yang
satu ke desa yang lain."
"Jadi ia pergi ke daerah Nyai Roro Kidul?" Amirati bertanya,
"Ya, dan para orang tua langsung berkata, 'Ia pasti memakai sesuatu
yang berwarna hijau. Itu sebabnya sang Dewi Laut menjadi marah.'
Ada pula yang mengatakan, 'Ia pasti menginjak tempat yang
terlarang ...." "Di mana dia sekarang?" tanya Amirati tiba-tiba. Asmara
senang sekali bahwa keponakannya menanyakan Narendra. "Dia
sekarang tingal di salah satu dari dua kamar di bagian dalem karena
tidak boleh dikunjungi orang. Tetapi menurut Romo hari ini dokter
mengizinkan dia menerima tamu. Apakah kita berdua sekarang
akan ke sana?" Amirati memandang bibinya sambil berpikir. Asmara menarik
gadis itu masuk ke dalam. Sampai ke pintu, ia berkata, "Narendra
terus meracau dan menyebut-nyebut nama Ratih. Barangkali kau
tahu siapa dia?" Mendengar nama itu, Amirati menangis tersedu-sedu dan
hendak lari dari tempat itu. Tetapi Asmara menghalang-halanginya
dan mendorongnya langsung masuk kamar sambil menutup pintu.
Tunjung Biru Karya Arti Purbani C di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Supaya Narendra jangan kaget, ia telah mengutus seorang untuk
memberitahukan kedatangannya sebelumnya. Asmara mendekati
ranjang kakaknya dan berkata, " Kangmas, saya punya tamu.
Bolehkah ia datang menemui Kakanda?"
"Siapa tamu itu?"
"Saya jemput sebentar." Amirati dengan wajahnya bekas
menangis melawan. Tetapi Amirati, Asmara membina tangan
Amirati ke tempat tidur Narendara. Narendra riba-tiba duduk tegak
sambil berseru, "Ratih, kau datang dari langit untuk menengokku"
Setelah kau di sini, kau tetap akan tingal, bukan?"
Narendra memegang tangan Amirati dan berkata kepada
Asmara, "Tahukah kau siapa Ratih, Asmara" Ia istri dewa cinta
Kumajaya. Istrinya bernama Kumoratih, dan Mirati kusebut Ratih."
"Kini teka-teki telah diketahui jawabnya. Dan Kakanda
rupanya mengangap dirinya dewa asmara?" Asmara mengusik.
"Ya, begitulah kiranya, adikku sayang." Lama mereka
memperbincangkan bertiga pengalaman mereka masing-masing di
kamar itu. Sang raja lega melihat perkembangan itu. Ia masuk ke dalam
kamar mereka dan berkata kepada Amirati sambil menengadahkan
wajahnya yang berbekas tangis, "Inilah calon menantuku ...."
Sang raja menyuruh adiknya, Purwaningrat, menulis surat
kepada Bupati Cokronoto tentang putra raja dan Amirati. Mirati
diberi tahu tentang seluk-beluk adat kebiasaan di istana. Setelah
Narendra sembuh benar, ia pun diberi pelajaran agar kelak dapat
mengantikan ayahnya. Pada suatu hari sepucuk surat dari Maulana untuk Asmara
tiba. Bunyinya, " Dewiku yang tercinta, saya menerima berita bahwa
diterima bekerja sebagai dokter di Mahakarta. Kupinta padamu agar
sudi berjalan seiring dengan kehidupanku. Alangkah bahagia dan
bersyukur aku bila kau memberi kata seia. Ah, Dewi, bahagiakanlah
diriku dan jawablah permintaanku ...."
Amirati tidak berani menanyakan siapa pengirim surat itu.
Ia hanya memandangi bibinya penuh tanda tanya. "Keponakanku
manis," kata Asmara sambil mencium Amirati. "Surat ini dari
seorang yang sudah lama aku kenal, dan aku bahagia dengan
52 :Eri. pmumm umu"um Balai Puslala
permintaannya." Ia mempersembahkan surat itu kepada sang raja.
Pun pada kakaknya ia bercerita tentang surat yang baru diterima itu
Beberapa hari setelah sang raja membaca surat Maulana, ia
memanggil putra-putrinya menghadap. "Aku gembira melihat
kalian berdua kini bahagia. Asmara, tiga bulan lagi saya berniat akan
memaklumkan pertunanganmu. Pada saat itu Bupati Lebaksari bisa
membacakan surat lamaran yang akan kami susun di sini. Paman
Purwaningrat akan saya minta menulis surat kepada bupati agar
tiga bulan lagi ia datang bersama keluarganya untuk merayakan
pertunanganmu dalam lingkungan keluarga yang dekat. Dan kau,
putraku, bila kau akan menikah dengan Mirati?"
"Romo, Narendra menjawab, "saya mohon agar Asmara
dikawinkan lebih dahulu. Saya harus mempelajari dahulu soal-soal
kenegaraan. Mirati juga harus belajar banyak untuk menjadi nyonya
rumah yang baik. Lagi pula kelak ia harus menganti Asmara di
dalam istana. Jadi ia perlu tahu apa saja yang harus dikerjakannya
"Tetapi kau lebih tua, Narendra," raja bersabda pula.
"Kalau Ayahanda tidak keberatan, saya akan kawin sesudah
Asmara," jawab Narendra. "Sudah cukup lama Maulana
menantikannya. Biarlah Asmara menikah tidak lama setelah
pertunangannya, Romo."
Sang raja lama berdiam diri. Kemudian ia berkata kepada
Asmara, "Apakah kau setuju dengan saran kakakmu?"
"Ya, Romo," jawab putrinya.
"Baiklah. Kalau begitu saya akan memangil Pamanda untuk
menulis tentang hal itu ke Lebaksari."
Setelah kedua putra raja itu diizinkan kembali ke tempat
masing-masing, Narendra melingkarkan lengannya sekeliling
Asmara. Katanya, "aku turut bahagia denganmu, adik tersayang.
Berbahagialah bersama Maulana ...."
. ",. (;P 53 asmara main llllrilllllljllllal
Surat Pangeran Purwaningrat disambut dengan rasa syukur di
Lebaksari. Maulana setiap hari menghitung-hitung hari mendatang.
Tiga bulan kemudian keluarga Lebaksari berangkat ke
Mayanegara. Seperti terjadi sebelum itu, mereka menginap di
balai tamu. Kumalasari tetap lincah dan gembira seperti sediakala
bertemu dengan Asmara. Ia gembira bertemu kembali dengan sang
putra mah kota yang tampan.
Sebelum upacara pertunangan diadakan makan malam di
pringinm, yaitu bagian antarapmdzpa, dan dalam. Hanya dua puluh
angota keluarga yang sudah tua-tua yang ikut serta. Paman dan
bibi tua dari sang raja, raja sendiri bersama Narendra, Asmara dan
Maulana; Bupati dan Raden Ayu Lebaksari; Paman Purwaningrat
dan istrinya; patih dan istrinya, Bupati polisi beserta istri dan
kemenakannya; yang lain adalah kemenakan raja yang sudah lanjut
usia. Asmara dan wanita-wanita lain duduk di dalam, ditemani
oleh gadis-gadis, di antaranya Mirati dan Kumalasari. Setelah jam
berbunyi setengah delapan, raja dan para pria lain menuju ke Mew.
Sesudah semua mengambil tempat, raja minta kepada patih untuk
menyampaikan segulungan kertas kepada Bupati Lebaksari. Di
dalamnya tercantum lamaran yang akan dibacakan. Sang bupati
berdiri dan membacakan lamaran itu.
Selesai upacara, raja pun berdiri dan mempersilakan bibinya
yang tua mengandeng lengannya. Narendra pun berbuat demikian
terhadap kemenakan ayahnya yang tertua. Maulana mengantar
Asmara Dewi ke meja, dan hadirin lain juga bergandengan menuju
5554 .: ; . 153 mm?" umu"um Balai Puslala
ke meja makan. Mereka minum sampanye untuk mengucapkan
selamat kepada pasangan muda itu. Hanya wanita-wanita yang tua
tidak berani mencicipi minuman asing itu. Senda gurau dan kelakar
meriahkan suasana. Setelah makan malam diperbincangkan panjang
lebar perkawinan Asmara Dewi dan Maulana.
Keesokan harinya penghulu diterima di istana untuk
menentukan bulan dan hari yang baik. Ternyata saat yang cocok
ialah bulan keempat tahun itu, yaitu bulan Rabingulakir.
Berbulan-bulan pun lalu. Saat perkawinan Asmara dan Maulana
makin mendekat. Seluruh istana diperiksa untuk mengetahui apa
saja yang perlu diperbaiki, dicat, dan dipersolek. Tembok-tembok
dilabur putih, tiang-tiang dicat kembali, dan cat emas yang sudah
pudar ditimpali. Asmara mulai menyiapkan perlengkapan pengantinnya.
Keponakan-keponakan dan anak-anak gadis para pamongpraja
diminta membantu di istana. Beberapa gadis yang oekatan dipilih
untuk kemudian membantu Amirati, setelah Asmara men in galkan
istana bersama suaminya. Dipilih pula beberapa angota keluarga
yang tua untuk membantu Amirati dalam urusan rumah tanga.
Suasana sibuk yang hangat memenuhi istana seluruhnya. Masing-
masing mempunyai tugasnya sendiri. Cukup banyak yang harus
dibicarakan dan dilaksanakan!
Semingu sebelum perkawinan Asmara Dewi, seperti dahulu
Munarsi, diantar ke salah satu kamar sebelah pelaminan di Mew.
Beberapa keponakan dan anak-anak gadis pada pungawa bergiliran
menemaninya, sedang beberapa sanak keluarga yang lanjut usia
memberi nasihat kepada calon pengantin.
Tiga hari sebelum perkawinan pengantin pria dengan
pengiringnya pun tiba. Patih datang untuk menerangkan rencana
upacara pernikahan dan temu. Orang tua Maulana memadang
putranya dan bertanya, "Maulana, tidakkah merasa gugup"
. ",. (;P 55 Sangupkah kau melaksanakan semua itu?" Jawab Maulana dengan
tegap, "Ayah, ini kujalani dengan senang demi Asmara Dewi."
Di pintu luar Kumalasari melihat dua batang pisang, yang
diikat bersama cengkir kelapa muda, setandan pisang kuning yang
bagus, dan tanaman tebu. Ia melaporkan hal itu kepada ibunya,
yang langsung menanyakan artinya pada salah seorang keluarga raja
yang sudah tua. "Apakah kebiasaan ini tidak terdapat di Lebaksari?" wanita
itu ganti bertanya. "Artinya bahwa gedung (pisang) seiring dengan
kata ngmng, mengharapkan sebaiknya; cengkir, kelapa muda,
melambangkan kecenging pikir, keteguhan pikiran; sedang tebu
men giaskan anreping kalbu, kesetiaan hati. Jadi hiasan buah dan tebu
ini seluruhnya mengambarkan harapan agar mempelai berteguh
dalam kesetiaan mereka."
"Sunguh indah kiasan itu" raden ayu Lebaksari berpendapat.
Dan Kumalasari berkata kepada ibunya, "Kalau saya kawin nanti,
juga disusun seperti itu, ya Ibu!"
Hari yang penting pun tiba. Pagi-pagi benar gamelan
mengalunkan lagu-lagu. Tetapi tak seorangpun bisa menoegah hujan
turun. Sudah dua hari lamanya hari hujan. Sang raja menyuruh
menusukkan di tengah alun-alun tombaknya yang bisa mencegah
hujan. Hujan deras berhenti, tetapi pada siang hari masih terus
rintik-rintik. Pramuka-pramuka ditempatkan sepanjang jalan yang dilalui
pengantin pria. Karena sang pengantin pria tentu tidak boleh
berjalan di dalam curah hujan, maka ia lewat dari sebelah dalam
dan samping istana menuju ke pendapa. Ia didampingi dua orang
pangeran menghadap penghulu yang sudah siap untuk upacara
pernikahan. Upacara tersebut hanya dihadiri para pria. Para wanita,
termasuk pengantin wanita dan gadis-gadis lain, hanya boleh
menonton dari 455sz di kejauhan.
mm?" umu"um Balai Puslala
Raja Mayanegara menuju ke sebuah meja yang ditempatkan
di tengah-tengah pendapa. Ia mengambil tempat di hadapan
penghulu dan memberitahukan bahwa ia hendak menikahkan
putrinya, Asmara Dewi, dengan Maulana. Ia menitahkan agar nikah
dimulai. Selesai upacara Maulana diantar kembali ke ruang tempat
tingalnya, diapit oleh kedua pangeran.
Sebelum temu Maulana dijemput oleh kedua pangeran dan
beberapa angota keluarga pada pukul setengah tujuh malam.
la kemudian diantarkan ke pendapa. Banyak lampu mahkota
menghiasi pendapa yang tinggi dan luas itu sehinga tampak seperti
istana impian. Para gadis yang tidak diizinkan menghadiri tem, bisa
mengamati seluruh upacara dari kamar Asmara. Kata salah seorang
dengan khawatir, "Mudah-mudahan malam ini tidak hujan. Kalau
tidak, kedua mempelai harus makan dari piring tanah." Semuanya
tertawa, dan seorang lagi berkata, "Itu pun tidak apa-apa."
Keponakan pengantin wanita yang berusia antara tujuh dan
sepuluh tahun dipilih sebagai gadis-gadis pengiring pengantin.
Mereka memakai kain sutera hijau bertenun benang emas. Pengiring
terkecil yang berdiri di muka membawa paidon, tempolong, dari
perak. Gadis pengiring kedua membawa kotak sirih kulit penyu
bertatah perak, sedang gadis ketiga membawa kotak uang kecil dari
perak pada sebuah nampan dari perak pula.
Laki-laki pengiring ketiganya memakai kain berpola sama yang
dibelitkan sekeliling tubuh. Mereka memakai beskap sebagai jas,
dan bersisipkan keris kecil pada pungung.
Karena pengantin pria dan wanita berpakaian dadar, lengan
dan bahu mereka terbuka. Tubuh diolesi 570392! kuning yang
wangi. Dadar yang dipakai pengantin pria dan wanita pada temu
mempunyai pola khusus. Dodo: itu dua kali panjang dan lebar kain
biasa, dan perlu ketrampilan khusus untuk membelitnya dengan
. ",. (;P 57 rapi sekeliling tubuh. Pada peristiwa itu pengantin pria dan wanita
memakai perhiasan, sedang pada waktu nikah pengantin pria tidak
boleh memakai perhiasan. Waktu perkawinan Munarsi semua lebih sederhana. Kala itu
pengantin wanita memakai kebaya beludru hitam dengan pingir
sulaman emas. Pengantin pria memakai jas pendek terbuka, juga
dari beludru hitam dan bersulam emas. Di atas kepala dipakai kagak
hitam, yaitu tutup kepala bentuk kerucut terpancung dengan pentul
emas bertatahkan intan di atas tengah.
Bupati dan Raden Ayu Lebaksari tidak boleh menghadiri temu
pengantin. Mereka hanya boleh ikut serta selametan perkawinan
sesudah upacara. Selesai makan Raden Ayu I_ebaks ari berkata kepada
anaknya, Kumalasari, "Sayang sekali kami tidak boleh menghadiri
upacara itu. Kau harus menceritakan jalannya upacara, Kumala."
"Ibu tahu, kami gadis-gadis hanya bisa menyaksikannya dari
kamar Asmara Dewi" Saya menanyakan sebabnya kepada salah
seorang angota keluarga yang tua. Katanya, tahun-tahun yang
silam pernah seorang pengantin pria jatuh cinta pada seorang gadis
yang hadir. Semenjak itu larangan ini pun ditetapkan. Saya ganti
bercerita kepada wanita itu bahwa di I_ebaksari pada perkawinan
para gadis justru harus melayani para tamu. Gumam wanita tua itu
'Lain ladang, lain belalangnya ...."
"Kita tanyakan saja nanti pada Maulana, bagaimana jalan
upacara, dan bagaimana perasaannya sebagai pengantin pria."
"Menurut Ibu, bukankah Maulana tampak begitu ketakutan?"
"Ya, anakku, kau harus mengerti bahwa ia takut berbuat salah
dalam lingkungan istana yang serba angun ini. Aku bersyukur
dia bisa mengikuti petunjuk-petunjuk dengan baik. Mari kita
mengunjungi pasangan mempelai!"
Selesai upacara, pasangan mempelai segera ganti pakaian
pengantin dengan pakaian biasa. Mereka mendiami pavilyun kecil
55 :Eri. pmumm umu"um Balai Puslala
di istana. Orang tua Maulana bahagia melihat putra mereka sebagai
pengantin pria, sebagai suami Asmara Dewi, dan sebagai menantu
sang raja. Keesokan harinya waktu makan pagi, orang tua Maulana dan
Paman Purwaningrat duduk bersama pengantin baru itu. "Asmara,"
kata pamannya, "sesunguhnya kau harus digendong oleh suamimu."
"Digendong?" seru orang tua Maulana.
"Ya, sesunguhnya demikian," ujar Paman Purwaningrat.
"Patih dan saya sudah meminta perhatian sang raja. Tetapi jawabnya,
'Itu tidak perlu dilaksanakan. Mereka tidak mengenal kebiasaan ini,
dan pada perkawinan Munarsi juga tidak dilakukan."
"Tetapi ceritakanlah, Pangeran, bagaimana sesunguhnya,"
Bupati I_ebaksari minta keterangan.
"Kalau putri raja kawin dengan seorang bupati, meskipun
kemenakan raja sendiri, maka setelah pengantin pria menginjak
telur dan disirami kakinya dengan air bunga oleh pengantin wanita,
seorang kakak atau paman pengantin perempuan membantu
mengendong pengantin wanita ke pelaminan. Lengan kanan
pengantin pria dan orang lain itu ditaruh pada lengan kiri, sehinga
terbentuk persegi empat yang terbuka. Pengantin wanita harus
duduk di atasnya. Kemudian pengantin wanita melingkarkan lengan
kanannya sekeliling leher pengantin pria. Demikianlah mereka
berjalan sampai ke pelaminan."
Tunjung Biru Karya Arti Purbani C di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sesunguhnya menarik juga, kalau itu dilaksanakan," Raden
Ayu berpendapat. Pada sore hari diadakan makan siang untuk semua angota
keluarga yang telah melaksanakan tugasnya sedemikian baiknya,
bersama raja, orang tua Maulana dan pasangan mempelai. Pada malam
hari dilangsungkan pesta dansa untuk undangan mancanegara.
Keesokan malamnya lagi dipertunjukkan lakon wayang orang
perkawinan Gatotkaca dengan Pregiwa, putri Arjuna. Malam sesudah
. ",. (;P 59 itu ada permainan wayang di peringgitan semalam suntuk. Malam
kelima disebut sepasaran. Sesunguhnya pasangan pengantin harus
pindah ke rumah orang tua pengantin pria. Tetapi karena Lebaksari
terlampau jauh, maka perayaan itu dirayakan di lingkungan keluarga
Mayanegara. Sepuluh hari setelah perkawinan, Asmara Dewi harus berpisah
dari ayah nya, kakaknya, sanak saudaranya dan istana dan para
pembantu yang sudah melekat di hatinya. Pengasuhnya dan tiga
gadis muda boleh menyertainya.
Perjalanan ke I_ebaksari dahulu, tempat mereka dinanti-
nantikan. Pada malam hari diadakan resepsi. Asmara berkenalan
dengan sanak keluarga suaminya yang banyak itu. Keesokan
malam diadakan wayang golek, permainan boneka dari kayu, yang
sangat digemari rakyat I_ebaksari. Setelah itu pasangan muda itu
mengadakan ziarah ke makam keluarga.
Setelah tingal di Lebaksari selama semingu, pasangan muda
itu minta diri kepada bupati dan raden ayu, dan menuju kediaman
mereka yang baru di Mahakarta. Meskipun Asmara belum pernah
jauh dari istana, namun ia merasa penuh harap akan tingal di kota
besar seperti Mahakarta. Sunguh berbeda dengan keadaan di istana
dan di Lebaksari! Sebelum Maulana mulai bekerja, ia mengantar
Asmara melihat aneka wisata di Mahakarta. Ia menerangkan segala
sesuatu, dan Asmara segera merasa betah di kota yang besar itu.
Dengan bantuan seorang angota keluarga yang mengurus
rumah tanga Asmara segera belajar menyiapkan hidangan untuk
suaminya. Ia mulai senang menjadi seorang ibu rumah tanga.
Pengasuhnya serta tiga gadis yang ikut serta dengan cepat menguasai
bahasa di Mahakarta. Mereka mula-mula heran bahwa lampu listrik
di siang hari pun menyala. Mereka juga melihat bahwa sopir-
sopir mengendarai kendaraan dengan amat cepatnya dan kota itu
alangkah besarnya. Belum pernah mereka melihat toko-toko yang
90 :Eri. pmumm umu"um Balai Puslala
begitu besar dengan barang-barang yang dipajang seperti itu.
Maulana adalah seorang suami yang tenang dan berbudi. Kalau
sedang dudukberdua, Maulana menoeritakan kepada istrinya sejarah
Mahakarta. Pada suatu hari Maulana berkata kepada istrinya, "Kita
sudah sebulan di sini. Sudah waktunya berkenalan dengan para
tetanga. Kapan sebaiknya kita mulai?"
"Terserah kepadamu, Maulana," jawab Asmara.
"Baiklah, Dewi, pertama kita mengunjungi majikanku.
Kemudian kita pergi ke tetanga-tetangga dekat satu persatu.
Setuju?" Meskipun Asmara belum pernah jauh dari istana, dan
sudah terbiasa akan kehidupan di sana, namun ia merasa tenang
dan tenteram di dalam rumah sewa kecil yang mereka tempati.
Selesai makan malam, mereka duduk-duduk dengan tenang, dan
Maulana bercerita tentang studinya, tentang kota-kota yang telah
dikunjunginya dan tentang pekerjaannya.
Dengan penuh perhatian Asmara mendengarkan. "Aku masih
harus banyak belajar, dan mencari pengalaman," katanya dalam
dirinya. Dari para pembantu ia sering mendengar tentang macam-
macam makanan yang tidak dikenalnya di Mayanegara. Setiap hari
ada sesuatu yang baru, dan itulah yang membuat semarak kehidupan
pasangan muda itu. SLIllfrilll: gama llTlBlllEflUllllllanl
Setahun telah lampau. Sang raja menginginkan agar Narendra
bertunangan dengan Amirati. Maka ia pun dipangil menghadap
raja. "Putraku," kata sang nata, "kau kini cukup dewasa untuk
menjadi putra mahkota. Dan kalau kau tidak berkeberatan,
sebaiknya kau segera bertunangan dengan Amirati."
"SesuaiperintahAyahanda,putrandasangupmelaksanakannya.
Tetapi, saran putranda agar tidak diadakan perayaan pertunangan
karena semua orang sudah tahu, bahwa Amirati akan menjadi istri
saya." Tak lama kemudian dipermaklumkan kepada khayalak ramai
bahwa Narendra akan dinobatkan sebagai putra mahkota.
Pada waktu penobatan Narendra menerima payung putra
mahkota. Namanya pun diganti menjadi Pangeran Adipati
Narendra Nata. Sebagai putra mahkota ia harus ikut serta bila sang
raja tampil di depan umum. Ia juga harus mengetahui hal-ikhwal
kene"ugaraan. Sang raja menjelaskan kepada putranya berbagai hal,
serta memperbincangkan masalah-masalah kerajaan Mayanegara.
Asmara secara teratur berkirim surat dengan Kumalasari.
Diceritakannya segala sesuatu yang terjadi Mahakarta dan
Mayanegara. Demikianlah Kumalasari mengetahui bahwa Naren dra
telah diangkat menjadi putra mahkota, dan bahwa Amirati akan
menjadi permaisurinya. 92 if"- pmumm umu"um Balai Puslala
Membaca berita itu Kumalasari menangis tersedu-sedu.
"Mengapa, ah mengapa, Kakanda tidak menantikan Adinda"
Mengapa wanita lain yang akan dipersunting oleh Kakanda"
Mengapa, Narendra?" Setelah hatinya tenang kembali, Kumalasari menulis sepucuk
surat kepada Narendra: "Narendra Nata, surat ini adalah surat yang
terakhir kusampaikan. Kakanda kini menjadi putra mahkota, dan
akan menikah dengan sepupu Kakanda.
Mengapa adinda tidaklahir lebih dini, Narendra" Atau Kakanda
yang lahir kemudian" Mengapa usia kita jauh berbeda"
Namun, bagaimana sekalipun, kita tetap akan bersahabat.
Bukankah terjalin hubungan keluarga antara kita karena kakakku,
Maulana, adalah suami Asmara Dewi, adik Kakanda"
Semoga berbahagialah Kakanda, pu tra mahkota. Adinda tidak
akan mengangu Kakanda dengan surat-surat Adinda. Inilah kata-
kata terakhir untuk Kakanda dari Adinda. "
Setelah Narendra membaca surat itu, ia berkata mengumam,
"Ah, Sari, kau masih begitu muda ...." Hanya itulah yang
diutarakannya. Bertahun-tahun pun lewatlah.
Indra Cahya dan Munarsi hidup berbahagia. Perkawinan
mereka dikaruniai seorang putra, buah hati mereka berdua.
Pun pernikahan Maulana dan Asmara Dewi rukun sejahtera.
Setahun setelah pernikahan mereka, sang raja menerima berita
bahwa mereka menanti kedatangan seorang bayi.
Sementara itu Narendra Nata telah melangsungkan perkawinan
dengan Amirati. Sang raja bersyukur dengan menantunya, dan
Narendra pun sangat cinta pada istrinya yang sangat penurut dan
selalu penuh perhatian itu. Perkawinan mereka pun diberkahi
kelahiran seorang putra. Raja Mayanegara yang sudah lanjut usia
. '1,'.'.. (;P 93 kini merasa tentram dan berkata dalam dirinya, "Sekarang saya bisa
meningalkan dunia yang Fana ini dengan rasa damai."
Pada suatu hari Narendra sedang merapikan kertas-kertas yang
tersimpan di dalam lemari buku dan laci meja tulisnya. Tiba-tiba
pandangannya terantuk pada sebuah berkas
Di dalam berkas lama tersisip surat, lapuk oleh usia Tersimpan
sebagai kenangan berharga
Kini tiada terbaca dan rusak di sana-sini
Tertanya dirinya: Siapakah, di manakah, bilakah" Ah, mengapa aku terlupa"
Tiba-tiba dalam jiwa gulana
Terpetik gema samar suara gadis yang ria
Tibalah terang...sepasang mata lincah bercahaya
Wahai! Itulah kerlingan dia!
Secercah senyum lalu menghiasi wajahnya...
Demikianlah akhir kisah Tunjung Biru.
mm?" umu"um Balai Puslala
Penerbitan dan Percetakan
PT Balai Puetaka [Peres-ro)
6 Jalan Bunga Nata"BA
Matraman, Jakarta T|rnu r 1 3140
V TeIIFalts. taz-211353 3369
Website: http:!Mwwbalaipustakaeoi-d
I Let You Go 3 Supernova Petir Karya Dee Dewi Lestari Api Di Bukit Menoreh 11
itu, ia didengleer. Munarsi memakai kain dari bahan berkembang
dengan warna dan pola yang sama seperti kebayanya. Namanya
sawiian. Sepanjang mingu itu ia harus memakai bahan berbunga.
bunga untuk kain kebayanya.
Selama semingu setiap hari ia digosok dengan lulur. Lulur
itu terbuat dari daun kemuning dan kunir yang dicampur dengan
rempah-rempah yang wangi. Maksudnya agar rambut-rambut halus
pada kulit hilang dan agar seluruh tubuh harum semerbak. Pada
waktu itu perempuan-perempuan tua yang mempunyai hubungan
. "," gp 49 keluarga berdatangan memberi petunjuk-petunjuk padanya agar
perkawinannya bahagia. Misalnya, "Kau hendaknya mengurus suamimu dan hormat
kepadanya. Kalau suamimu tiba, sambutlah dia. Kalau ia sudah
masuk ke dalam rumah, tanyakanlah mau minum apa. Kalau ada
yang hendak kauceritakan padanya, tungulah sampai ia sudah
duduk dengan tenang." Demikianlah mereka memberi nasihat.
nasihat kepada Munarsi agar perkawinannya langeng.
Pada hari=hari itu datang pula kemenakan dan gadis=gadis lain
untuk menemani calon pengantin. Senda gurau, usik-mengusik
dan gelak tawa silih berganti. Wanita-wanita tua menghabiskan
waktunya dengan permainan kartu.
Sementara itu, bagaimanakah keadaan di Lebaksari" Karena
Maulana belum mendapat kepastian akan ditempatkan di mana
sebagai dokter, maka dimanfaatkan waktunya untuk mengunjungi
makam para leluhur dari pihak ayah maupun ibunya. Ia minta diri
dari orang tuanya dan pergi berziarah berjalan kaki.
Orang tuanya murung hati. Pertama, karena belum juga
kunjung datang sepucuk surat dari Asmara Dewi. Kedua, karena
Maulana rupanya sangat menyesali hal itu dan tampak merana.
Pada suatu hari raden ayu berkata kepada sang bupati, "Saya
mau mengingatkan bahwa beberapa hari lagi kita harus berangkat
ke Mayanegara untuk menghadiri perkawinan Munarsi dan
Indra. Bagaimana kiranya, apakah Maulana akan menyertai kita"
Kumalasari berharap-harap akan bertemu dengan sang pangeran.
Tetapi apakah Maulana mau ikut?" raden ayu ulang bertanya.
"Kita serahkan saja padanya," jawab sang bupati.
Setiap hari mereka menanti-nantikan kepulangan putra mereka.
Akhirnya, sehari sebelum mereka akan berangkat ke Mayanegara,
Maulana datang berjalan kaki. Tubuhnya kurus dan tampaknya
mm?" umu"um Balai Pustala
lelah. Ibunya menyambutnya penuh iba dan berkata, " Beris tirahatlah
baik-baik, Nak. jangan sampai jatuh sakit! Berdoalah pada Tuhan
agar terkabul keinginanmu. Aku pun akan turut berdoa."
Pada malam hari setelah Maulana beristirahat dan berdandan
sekedar, ia makan bersama orang tuanya. Mereka ingin mengetahui
pengalaman-pengalamannya ketika pada malam hari tidur di atas
tanah makam. "Pada malam pertama saya takut. Sekeliling saya gelap gulita.
Saya hanya mendengar bunyi jangkerik, kadangkadang bunyi jerit
burung malam yang lewat. Kemudian semua sunyi senyap kembali."
"Kau bermimpi, Maulana?" tanya ibunya.
"Pernah, Ibu." " Bagaimana mimpimu?"
"Aku bermimpi berjalan dalam lorong yang panjang dan gelap.
Tiba-tiba sarungku seakan-akan terbakar. Saya mencari jalan
keluar lorong itu. Setelah lama berjalan, di kejauhan saya akhir nya
melihat cahaya. Saya berhasil keluar dari lorong itu. Saya bernapas
lega dan merasa terbebas dari rasa tertekan. Apa arti mimpi itu, Ibu?"
"Nanti akan saya ceritakan makna mimpimu itu, itu pun
menurut perasaanku. Tetapi sekarang perlu saya ceritakan bahwa
besok pagi-pagi kami akan berangkat untuk menghadiri pernikahan
sepupumu Indra dengan Munarsi. Kau jadi ikut, bukan?"
Lama Maulana memandang ke hadapan. Akhirnya ia menjawab,
"Saya masih terlalu capai sekarang, Ibu. Bolehkah saya berdiri dan
pergi ke kamar?" "Saya sudah mengira begitu," kata Bupati Lebaksari kepada
istrinya. "Ia tentu takut kalau-kalau Asmara menolaknya."
"Kasihan anakku," raden ayu mengesah dalam.
Kumala mengikuti kakaknya. Tiba di kamar Maulana, Kumala
berkata kepadanya, "Kau tidak mau menulis surat pada Asmara" Saya
akan berhati-hati sekali, saya akan menanyakan padanya apakah dia
mau menerima surat darimu. "
"Ah, Kumala, kau tidak bisa menduga bagaimana perasaanku
sekarang. Rasanya seakan-akan berdiri antara sebuah gunung dan
sebuah jurang. Apakah saya akan berani mendaki gunung itu,
ataukah saya akan terjerembab ke dalam jurang?"
"Beranikan diri, Maulana. Siapa tahu, kali ini akan berhasil.
Mungkin Asmara akan memenuhi kehendakmu."
"Aku tidak tahu, Kumala. Kalau saya berani juga menulis surat
itu, kau akan menemukannya di atas meja. Kalau tidak, jangan
bangunkan aku." Pagi-pagi benar para pangreh praja dan para pengiring sudah
hadir di kabupaten untuk mengantar Bupati Lebaksari, raden ayu,
dan Kumalasari. Dengan hati_hati Kumalasari membuka pintu kamar
tidur kakaknya. Hatinya gembira melihat sepucuk surat siap di atas
meja. Gadis itu berharap benar, agar ia berhasil mempertemukan
kembali Asmara dan Maulana.
Di tengah jalan masing-masing sibuk dengan pikirannya. Tiba
di Mayanegara mereka disambut oleh para pangeran dan raden ayu
mereka. Kemudian mereka diantar ke tempat mereka menginap,
sebelah putra mahkota tingal. Tempat itu berupa sebuah pavilyun
dengan beberapa kamar dan ruang belakang. Di tempat itu pula
Indra dan orang tuanya akan menginap setelah tiba malam itu.
Bupati Lebaksari, raden ayu, dan Kumalasari diperkenalkan
kepada adik dan kemenakan sang raja, serta pada raden ayu-raden
ayu dan putri-putri mereka.
jam tujuh malam calon pengantin pria tiba dari Tralaya
bersama orang tua dan beberapa sanak saudaranya. Di stasiun telah
menungu kedua saudara dan kemenakan sri raja serta beberapa
angota keluarga pria yang sudah agak tua. Setelah bersalaman dan
mm?" umu"um Balai Pustala
berkenalan, mereka naik kendaraan mobil-mobil menuju pavilyun
tamu. Habis beristirahat dan berganti pakaian, mereka diundang
makan malam. Kemudian mereka duduk di serambi depan
men dengarkan alunan gamelan yang merdu. Wedana yang bertugas
memberi tahu bahwa putra mahkota akan berkunjung menemui
tarnwtamu pada jam sembilan.
Tepat jam sembilan Naren dra Putra yang tetap berketampilan
menarik menyambut Bupati Lebaksari dan raden ayunya, calon
pengantin pria, serta orang tuanya.
"Atas sabda raja, In dra harus di=senglzer, " kata Narendra. "Selama
dua hari ia tidakboleh keluar. Besok," ujar Narendra kemudian pada
Indra, "Anda akan dimandikan oleh beberapa angota keluarga
wanita yang sudah berusia lanjut. Pada kesempatan itu setiap wanita
akan menyiramkan segayung air bunga di atas kepala Anda. Tentu
Anda harus saya pangil Paman sekarang, sebagai calon suami Bibi
Munarsi. " Yang hadir tertawa semua dan bersenda gurau. Sebelum
Narendra nieningalkan mereka, ia memberitahukan kepada para
gadis bahwa esok pagi jam sepuluh mereka harus hadir di kamar
Munarsi. jam sebelas pagi itu akan diadakan upacara siraman.
Bupati Lebaksari mengemukakan bahwa ia terkesan oleh
suara pesinden yang merdu dan menawan hati itu. Narendra pun
tersenyum dan menjawab bahwa tidak ada pesinalen yang menyertai
gamelan. Suara yang merdu dan menawan itu berasal dari rebab.
"Bukan main", ujar sang bupati. "Belum pernah saya mendengat
suara-suara rebab yang demikian halus dan lembut. Pandai benar
pemainnya membunyikannya! "
Sehari sebelum upacara pernikahan dilangsungkan diadakan
siraman, yaitu memandikan calon pengantin wanita dan pria.
Waktunya sekitar jam sebelas pagi. Konon katanya saat itulah para
bidadari mandi pagi. . "," gp 53 Munarsi diapit duaorangbibi sangrajake kamar mandi.Seorang
adalah janda pangeran kerajaan yang bernama Prabu Kusumo. Ia
mempunyai rumah tangga tersendiri di sudut istana sebelah taman
besar. Bibi yang lain adalah janda Bupali Kusumopuro yang tingal
di luar istana bersama putra-putrinya.
Di muka sekali berjalan dua anak gadis, masih keluarga, yang
membawa sebuah nampan perak dengan pasaean di atasnya. Pasaian
itu sesudah pengantin dimandikan diselubungkan sekitar tubuhnya.
Pasaran itu boleh berwarna apa saja; yang paling disukai ialah
yang berwarna merah, terbuat dari sutra merah berbunga=bunga,
panjangnya empat meter. Anak gadis yang seorang lagi membawa
nampan kecil untuk tempat sabun dari perak dengan isinya.
Di sebuah sudut sesajen disiapkan di atas sebuah meja kecil,
berupa dua sisir pisang rajayang bagus, jajan pasar, yakni singkong
atau ubi rebus, kue-kue, dan buah-buahan. Di bawah meja kecil
itu tergeletak seekor ayam hidup. Di samping sajen ada sebuah
robyong di atas dulang yang dalam. Robyong itu gunung an nasi
yang ditusuki bawang pada puncak tumpeng dan di atas nya lagi
sebuah cabai merah. Sekitar tumpeng nasi itu ada sayuran seperti
tauge, kangkung dan kacang panjang yang dibumbui kelapa parut.
Seputar itu dibuat pagar dari kacang panjang pada batangbatang
kecil, itulah yang disebut rolayong. Pada nampan perak yang kecil
terletak berbagai bulatan kecil, seperti mangir, lulur kering, untuk
membersihkan dan mengharumkan tubuh.
Calon pengantin wanita itu duduk di atas sebuah bangku di
hadapan bak mandi yang berisi bunga_bungaan yang wangi. Bibi
Prabukusumo yang tertua dan tertinggi kedudukannya, pertama.
tama menyiramkan air bunga dari sebuah gayung perak membasahi
kepala Munarsi, sambil bergumamgumam. Kemudian menyusul
Bibi Kusumopuro, lalu angota-angota keluarga lain yang lanjut
usia. Sebagai penutup istri bupati penghulu menyirami kepala
54 .: ; . 153 mm?" umu"um Balai Pustala
Munarsi dengan air bunga dari kendi. Kendi itu lalu dibanting
sampai pecah. Munarsi yang berselubungan pasaian sutra merah diantar
keluar dari kamar mandi, kembali ke kamarnya. Rambutnya diratus
yang harum dan disisiri. Wanita yang keesokan paginya harus membuat paes, yaitu
lukisan pada kening, kini duduk di hadapan Munarsi. Pengantin
wanita itu duduk di atas sebuah tikar kecil yang didasari tujuh
macam daun. Pada daun itu terletak pula tujuh buah leirek, yaitu
kain=kain perca panjang, misalnya berwarna merah dengan rebak
berwarna hijau di tengah. Atau kain ungu dengan tengah hijau,
putih, persegi empat kuning, dan sebagainya.
Kemudian tukang paes itu mencukur b ieragian wajah yang
esoknya akan dipaesi. Muka pun dicukur' 'tuk menghilangkan
rambubrambutyanghalus. Setelah itu gagg giliran kedua alis yang
dicukur atas-bawahnya supaya bagxkgtnelengkung. Pucuk rambut
digunting oleh ayah pengantin nita. Karena ayah Munarsi sudah
meningal, maka Bibi Prabukukumo yang memotong sedikit dari
ujung rambut gadis itu. Sesudah itu dengan tipis dibuat lukisan paes sementara, dan
dibuat jambang'jainbarig di depan telinga. Setelah selesai barulah
Munarsi boleh berdiri untuk berpakaian.
Zeirek-leirelz yang diduduki Munarsi dibuang. Para gadis boleh
memperolehnya. Mereka berebutan untuk mendapat sebuah. Hanya
ada tujuh potongan kain, sedang yang hadir sekitar dua puluh orang
gadis. Konon katanya, barang siapa berhasil mendapatkan leirele,
segera akan menikah. Kumalasari memperhatikan semua itu penuh perhatian.
Bisiknya dalam telinga Asmara, "Mengapa kau tidak mencoba
merebut sehelai kain" Apakah tidak ingin menikah?"
. '1,'.':. ,jp 55 " Tidak," jawab Asmara dengan nada malu, "aku lebih muda
dari Narendra." Kumala terkejut mendengar jawaban itu dan
berpikir, "Kalau jadi hubungannya dengan Maulana, berapa lama
kakakku harus menantinya?" Gadis itu belum berani bertanya pada
Asmara, apakah dia bersedia menerima sepucuk surat dari Maulana.
Pada sore hari Munarsi makan bersama kemenakan-
kemenakannya, teman-teman dan kenalan, semua gadis-gadis
jelita, sepanjang meja rendah yang memanjang. Mereka duduk di
atas permadani-permadani yang indah. Pada malam hari datanglah
karangan-karangan bunga dan hadiah-hadiah. Wanita-wanita
angota keluarga yang harus berjaga semalaman menghabiskan
waktunya dengan permainan kartu. Gadis-gadis itu harus menemani
Munarsi karena sang pengantin wanita tidak boleh tidur sebelum
jam dua belas malam. Malam itu dijuluki malam midodareni. Menurut kepercayaan,
para bidadari di tengah malam turun ke marcapada untuk merestui
sang pengantin. Bunga-bunga melati ditebarkan di muka pelaminan
dan di dalam kamar pengantin di atas permadani-permadani. Gadis-
gadis bermain domino. Ada pula yang bersibuk dengan teka-teki,
sehinga malam terasa cepat berlalu.
Tengah malam barulah sang calon pengantin pergi tidur.
Munarsi harus terlentang di atas permadani dikelilingi para gadis,
supaya paesan sementara itu tidak rusak.
Tetapi menjelang pagi Munarsi melihat bahwa salah satu
jambang terlepas. Gadis-gadis pun bangun. Mereka menertawakan
sang pengantin ketika melihat salah sebuah jambang tertingal
di atas guling. Salah seorang dari wanita-wanita yang mendengar
keriuhan itu menanyakan apa yang terjadi. Mendengar keterangan
para gadis yang menertawakan Munarsi, ia pun berkata, "Munarsi,
rupanya kau terlalu banyak minum, sehinga jambangmu terlepas
mm?" umu"um Balai Pustala
Hari perkawinan pun tiba.
Pada pagi hari di tempat pengantin pria tampak kesibukan.
Alis dan kumis Indra dicukur menurut bentuk yang seharusnya. Ia
dipakaikan sebuah dodoi, yaitu kain berpola macam-macam binatang
berlatar belakang warna biru tua. Dodo: itu panjang dan lebarnya
dua kali kain biasa. Bagian tengahnya persegi empat berwarna putih.
Gambar-gambar binatang berwarna keemas-emasan.
Ada orang-orang khusus untuk memakaikan dodoi. Kemudian
sabuk Cinde dan epele berhiaskan benang emas diikatkan pada
pingang. Sebuah penutup kepala berbentuk kerucut yaitu ikuluk
warna putih dipasang pada kepala Indra. Sang pengantin pria kini
siap untuk melaksanakan nikah.
Dari ruang tamu sang pengantin pria berjalan kaki
diantarkan oleh Pangeran Purwaningrat, adiknya Projonegoro dan
kemenakannya, Bupati Cokronoto. Di belakangnya menyusul para
angota keluarga dan pungawa lain sampai mereka tiba di pendapa
besar depan istana. Gamelan menandakan kedatangan sang pengantin. Raja
Mayanegara, para tamu pangeran, serta pangreh lain yang tingi
kedudukannya semua berdiri dari tempat duduk mereka. Di tengah-
Tunjung Biru Karya Arti Purbani C di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tengah pendapa ada sebuah meja pualam persegi empat bertepi cat
emas, dan kursi-kursi beludru untuk sang raja dan pengantin pria.
Turut duduk pula bapak penghulu, dua orang saksi, dan beberapa
angota keluarga pria yang sudah berusia lanjut. Karena Munarsi
tidak berayah lagi, maka sang raja sebagai kakak tertua almarhum
ayah Munarsi menyerahkan nikah kepada Bupati Penghulu. Selesai
upacara, semuanya mengangkat gelas untuk kebahagiaan sang
pengantin pria. Kemudian Indra kembali lagi ke tempat tingalnya
di istana. Pertemuan antara pengantin pria dan wanita terjadi menjelang
magrib, sekitar jam setengah tujuh malam. Pengantin pria dipakaikan
. ",." gp 57 dodoi lagi, yang dilengkapi dengan kuluk biru. Pada lehernya ia
memakai kalung tebal panjang dari emas, dengan bros kecil yang
bisa digeser di tengahnya. Bagian atas tubuhnya tidak tertutup.
Sebuah bantal dipasang pada pingangnya.
Sementara upacara pernikahan berlangsung pada pagi hari
di pendapa, pengantin wanita dengan tenang mengikuti jalannya
upacara dari dalem bersama-sama gadis-gadis dan wanita-wanita
angota keluarga lain. Setelah makan siang bersama mereka, Munarsi dipakaikan
dodoi untuk pertemuan yang akan diselengarakan. Tukang paes
telah siap untuk mempertebal hiasan pada keningnya. Oleh tiga
wanita yang sudah mahir abdoi dilipatkan sekitar tubuhnya. Slepe
emas dengan ikat pingang emas diikatkan pada pingang. Di
bawah sape digantungkan Cinde sutra merah dari atas jatuh kr
bagian bawah, sebagai tanda pengantin putri bangsawan. Bantal
yang terdiri dari rangkaian daun kemuning, pandan, dan bunga-
bunga disusun sekeliling pingang seperti sebuah kalung.
Sisir emas berberlian ditusukkan pada kening di tengah-tengah
sejarak tiga jari. Centang-tentang yang dahulu dijalin dari rambut
asli dengan bentuk ikal, tetapi kini dibuat dari lilin yang disepuh
emas, ditempatkan kiri-kanan sisir itu. Rias rambut bernama oolzor
mengkurep karena kelihatan seperti bokor yang terbalik, diliputi
kuntum-kuntum melati yang dijalin bentuk rebak. Di antara kepala
dan tata rambut dicucukkan lima, tujuh atau sembilan buah sunduk
mental. Bentuknya seperti bunga-bunga atau kupu-kupu emas yang
diikatkan pada batang-batang kecil dan bisa bergetar-getar.
Sang pengantin wanita pun siap, lalu didudukkan di depan
pelaminan menantikan kedatangan pengantin pria. Munarsi
dibimbing Bibi Prabukusumo dan Bibi Kusumopuro ke tempat itu.
Tepat pada pukul setengah enam, gamelan memainkan lagu
Kodok Ngorek yang terkenal dan biasa diperdengarkan. Itulah
55 :i"- pmumm umu"um Balai Pustala
tandanya pengantin pria sudah tiba. Tampillah pengantin pria
dengan angunnya, sampai ke jenjang teratas pendapa yang tingi
itu, diapit oleh dua saudara Raja Mayanegara, yaitu Pangeran
Prawiraningrat dan Bupati Projonegoro. Semua yang hadir bangkit
dari kursinya. Munarsi yang didampingi kedua bibinya sampai ke pintu
pringgiian menungu di tempat itu sampai pengantin pria sejauh
dua meter daripadanya. Lalu Bibi Kusumopuro berkata padanya,
"Lemparkan gunial yang kaubawa lebih dahulu, supaya kau yang
bisa menguasainya." Kedua mempelai itu saling berlempar-lemparan
gamal-gu nial yang mereka bawa.
Selesai upacara itu, sang pengantin pria berjalan sampai dekat
berhadapan dengan pengantin wanita. Di tengah ambang pintu
tersedia sebuah telur mentah, di atas serbet putih pada sebuah
nampan dari perak. Telah disiapkan pula sebuah bokor perak
yang besar tempat bunga-bunga terapung serta sebuah gayung
kecil dari perak. Kini sang mempelai pria harus menginjak telur
itu dengan rumitnya. Pengantin perempuan kemudian bersimpuh
di hadapannya untuk membasuh kakinya dengan daun bunga.
Setelah berdiri kembali, keduanya berjalan menuju ke pelaminan,
bergandengan kelingking. Setelah mereka duduk, Raden Ayu Kusumopuro meminta
mempelai pria supaya duduk pada pelaminan dan menyerahkan
hadiahnya pada mempelai wanita. Hadiah itu terdiri dari segala
jenis uang logam, mulai dari setengah sen sampai dua setengah
rupiah. Uang logam itu bercampurkan beras yang diberi warna
kuning, kacang hijau, kedelai, dan macam-macam kacang lain. Sang
pengantin wanita duduk di hadapan sang pria di depan pelaminan.
Ia menerima hadiah yang dituangkan dari sebuah tikar lipat itu ke
atas sebuah kain putih persegi di pangkuannya. Oleh Raden Ayu
Kusumopuro semua diikat tapi untuk disimpan.
. ",." gp 59 Selesai upacara itu kedua mempelai duduk berdampingan
lagi. Karena Munarsi tidak mempunyai orang tua lagi, maka
upacara timang ditiadakan. Pada upacara timang ayah pengantin
wanita menyuruh pasangan mempelai duduk pada pangkuannya
sebelah-menyebelah. Kemudian ibu sang pengantin putri bertanya
pada suaminya, siapakah kiranya terberat. Maka jawab pria itu,
"Keduanya sama berat."
Kini masuklah sang rajadan mengambil tempat pada permadani
yang bertaburkan bunga melati. Di sebelahnya kedua bibi, kedua
saudara raja dengan raden-raden ayu mereka membentuk setengah
lingkaran. Munarsi dan suaminya lalu memberi sembah di lutut
mereka. Selesai upacara ini para pria kembali ke pendapa.
Kemudian pasangan mempelai menuju ke peringgitan tempat
menerima upacara selamat dari para tetamu. Kembali lagi mereka
duduk di depan pelaminan. Satu jam kemudian barulah mereka
kembali ke ruangan tempat kediaman mereka untuk berganti
pakaian. Di sana sudah banyak sanak-keluarga menunggu mereka di
depan tempat tingal mereka.
jam dua belas tengah malam, Munarsi dan Indra kembali lagi
ke dzkm masuk ranjang pengantin. Pada masa dahulu pasangan
mempelai harus tingal di sana sepanjang malam. Kini mereka hanya
menanti sampai upacara usai. Salah seorang angota keluarga yang
tua tiga kali mengelilingi pelaminan dengan membawa lilin yang
menyala, untuk memeriksa apakah mereka masih di situ. Menurut
cerita pernah terjadi bahwa pengantin perempuan dibunuh oleh
pengantin laki-laki yang telah berubah menjadi ular yang sangat
besar. Selesai upacara ini, akhirnya pasangan pengantin kembali ke
tempat tingal mereka. Keesokan harinya sang raja makan siang bersama kedua
mempelai dan keluarga mereka di balai tamu. Turut serta pula
Narendra, Asmara, ketiga kemenakan perempuan, dan Kumalasari.
mm?" umu"um Balai Pustala
GO .j- .__. _- . $ Kedua putri Bupati Projonegara, Marsinah dan Darinah,
mengajak Narendra berdayungdayung di taman selesai makan
siang. "Tetapi," ujar pria itu, "aku satu-satunya ayam jantan di
antara ayam-ayam betina! Begini saja: aku akan menjadi juri. Kalian
berempat, berpasangan dua-dua mendayung perahu dari ujung
sungai sini sampai ke ujung lain. Sepasang dahulu yang berangkat,
kemudian sepasang lain . Saya akan melihat pada jam pasangan mana
yang tercepati " "Apakah kita yang menang mendapat hadiah dari Kakanda?"
Darinah yang periang bertanya.
"Boleh dapat cium dariku," Narendra berjanji dengan sungguh-
sunguh. Maka sang raja berkata, "Kau pasti ingin memberi cium
kepada keempat-empatnya, anakku. Mereka berempat sama-sama
cantik!" Mereka bersenda-gurau, usik-mengusik, dan tertawa-tawa
gelak. Kumalasari melihat bahwa Amirati amat pendiam. Mengapa
gerangan ia tidak sebebas kedua kemenakannya" jawab Amirati,
"Ayahku kemenakan raja, dan saya datang dari daerah yang begitu
terpencil. Aku harus hati-hati sekali, jangan sampai membuat
kesalahan-kesalahan. Kata ibu, sewaktu aku masih anak kecil
beberapa kali datang ke Mayanegara, dan diajak ke mana-mana oleh
Narendra dan Asmara. Tetapi aku tidak ingat apa-apa lagi. Baru
setelah tamat sekolah menengah, aku boleh ikut orang tuaku kini."
Tampak oleh Kumalasari bahwa Narendara jarang sekali memberi
perhatian kepada Amirati. Malahan dia sendiri yang bukan keluarga
jauh lebih babas bergaul dengan putra raja itu.
Pada suatu malam, ketika kesibukan setelah pasta berkurang,
Kumalasari mendapatkan Asmara Dewi di ruang tinggalnya.
Asmara menyambutnya dengan riang. "Barangkali saya mencoba
mengetengahkan soal surat Maulana, selagi ia begitu gembira?" pikir
Kumalasari. Dengan lembut ia bertanya pada Asmara, apakah gadis
itu bersedia menerima surat Maulana yang dibawanya.
"Berikan saja, Kumala," jawab Asmara. Kumala senang sekali.
Ia menyampaikan surat itu, dan minta diri. Dengan perlahan-lahan
Asmara membuka surat Maulana. Isinya mohon maaf bahwa ia tidak
bisa menghadiri pasta perkawinan itu. Diceritakannya pengalaman
waktu mengunjungi makam leluhurnya.
Terbacapulaoleh Asmarabaris-baris berikut: "Dewi, kekasihku,
masa ini bagiku laksana sebuah gua. Tetapi di bagian terdalam gua
itu bersinar cahaya cinta kita berdua, yang menembus kegelapan
yang pekat. Marilah kita saling men cahari, kekasihku, dengan
sinar cinta dalam hati kita. janganlah kita berputus asa, dan terus
berusaha menuju tujuan kita. Semoga kita di dunia dan di akherat
tetap bersatu sebagai pasangan yang kekal. Semoga Tuhan menolong
kita dalam segala usaha dan tindak-tanduk. Percayalah kepadaku,
Dewiku yang terkasih."
Berulang kali Asmara membaca curahan hati Maulana.
Hatinya berdebar-debar, makin dekatlah rasa jiwanya. "Aku cinta
juga padanya?" pikirannya berbisik-bisik. Hatinya yang gulana pun
mengembang. Ia bisa bersuka cita lagi. Ketika berjumpa dengan
Kumala, Asmara berjanji akan membalas surat Maulana. Alangkah
gembira Kumala mendengar hal itu. "Akan kusampaikan pudanya, "
kata gadis itu. Semingu kemudian para tamu minta diri dari sang raja.
Pasangan pengantin baru itu harus mengunjungi orang tuapengantin
pria. Istilahnya nga ndah, artinya 'memetik' karena keluarga itu
memperoleh tambahan seorang anak perempuan. Narendra bertanya
pada paduka raja diperkenankan kiranya mengantar pasangan
pengantin baru itu ke Tralaya. Pun Bupati Cokronoto yang tingal
di Pulau Dandura dekat Tralaya mengiringi pasangan pengantin ke
Tralaya bersama raden ayu dan putrinya, Amirati.
mm?" umu"um Balai Pustala
Perayaan diTralaya berlangsung dua hari dua malam. Narendra
menyampaikan kepada Paman Cokronoto bahwa ia diizinkan sang
ayah mengunjungi Pulau Dandura seusai perayaan di Tralaya.
Perjalanan dari Tralaya ke Pulau Dandura sangat singkat.
Narendra melihat perbedaan kedua tempat itu. Ia menikmati
perjalanan itu. Di Tralaya tampak olehnya kapal-kapal besar di tepi
pantai, di Dandura ia menyaksikan bagaimana penduduk menghiasi
sapi-sapi mereka untuk lomba sapi. Semuanya serba baru baginya.||
Bentuk rumah-rumah, pakaian para penghuni, bahasa mereka,
pemandangannya, semua itu mempesonanya. Setiap hari Narendra
duduk bersama keluarga Gokronoto dan menanyakan kesibukan
dan pekerjaan mereka. Pada hari sebelum ia akan berangkat pulang, Narendra
berjumpa dengan Amirati. Gadis itu duduk di atas sebuah bangku
taman di bawah tempat peranginan yang penuh ditumbuhi bunga-
bunga mawar. Narendra melihat gadis itu sedang sibuk membuat
pekerjaan tangan. Dalam sebuah kranjang kecil tampak olehnya
berbagai gulungan wol, benang-benang berwarna, bingkai-bingkai
penyulam, dan aneka pola. Amirati begitu asyik bekerja, sehinga
ia tidak mengetahui bahwa Narendra sudah berdiri di hadapannya.
"Sunguh indah bantal-bantal dan taplak-taplak yang kaubuat.
Bolehkah saya duduk di sampingmu?"
"Tentu saja boleh. Tetapi lebih baik kita duduk berhadap
hadapan. Bukankah Tuan seorang putra mahkota?"
"Memang begitu, tetapi kau kemenakanku." Sesuai dengan
wataknya, Narendra langsung duduk dekat gadis itu. Amirati tidak
berani membantah dan menjawab semua pertanyaannya.
"Amirati, setelah selesai sekolah lanjutan, apakah tidak ingin
meneruskan pelajaran dan tingal bersama kami di Mayanegara'!"
"Saya tidak berani meneruskan, dan saya merasa lebih tertarik
pada urusan rumah tanga. "
. ",." gp 63 "Kau tahu, bukan, bahwa Asmara sekarang seorang diri.
Apakah kau tidak mau tingal di Mayanegara, menemaninya?"
Tanpa menengadah Amirati mengelengkan kepala.
"Sudahlah," jawab Narendra kemudian, "tetapi kau mau
sering-sering berkunjung ke Mayanegara, bukan?"
"Barangkali," jawab Amirati dengan singkat. Meskipun jawaban-
nya seakan terdengar lantang, tetapi timbul dari hati nuraninya.
Narendra meletakkan tangannya di atas tangan gadis itu.
Dengan terkejut gadis itu menarik tangannya. "Amirati, aku
mengagumi kecantikanmu. Bolehkah saya menyebutmu Ratih"
Dewi Ratih adalah istri Dewa Asmara, kau tahu, bukan?"
"Tidak," jawab Amirati keras kepala.
"Sekarang kau tahu, dan kalau besok aku pulang, sering-
seringlah teringat padaku. "
"Mengapa aku harus teringat pada Tuan?"
"Karena aku cinta padamu, Ratih."
Amirati terbelalak memandangnya dan berkata, "Tuan cinta
padaku" Beratus-ratus gadis dan wanita mengelilingi Tuan. Lalu
Tuan memilih diriku di antara mereka" Tak mungkin!"
"Kau tidak percaya?"
"Tidak" jawab gadis itu pula.
Di kejauhan mereka melihat orang tua Amirati datang. Mereka
memanggil Narendra, "kami mencari paduka. Kami khawatir
paduka bepergian seorang diri tanpa pengiring."
"Aku sedang mengagumi kerja tangan putri kalian."
"Mari kita makan siang dahulu," jawab tuan dan nyonya rumah.
Keesokan harinya Narendra dengan beberapa pengiringnya
berpamitan kepada paman dan bibinya dan mengucapkan terima
kasih atas kemurahan hati mereka. Sekali lagi ia mengharap agar
Amirati lebih sering datang ke Mayanegara untuk menemani Asmara
yang sendirian. 64 ;( . 153 mm?" umu"um Balai Pustala
Tlft'ilMiltlfil Kita kembali ke Tralaya, tempat Indra dan Mun arsi menempati
rumah mereka sendiri. Mereka seringkali berjalan-jalan berdua
di kebun ke kolam pualam yang dibuatkan Indra untuk istrinya.
Acapkali mereka beristirahat di bawah pohon-pohon yang rimbun
pada kursi-kursi malas. Mereka menikmati bunyi lembut arus air
sungai kecil yang mengarungi kebun dan bisik angin yang gemulai.
Tiba-tiba Indra duduk tegak dan berkata kepada kekasihnya,
"Sayang, aku mendengar dari Asmara bahwa kau suka sekali pada
bunga matahari!" "Memang betul," jawab Munarsi dengan riang.
"Kita masuk rumah, supaya bisa saya bacakan sajak tentang
bunga matahari!"
Tunjung Biru Karya Arti Purbani C di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan mesra mereka duduk pada sofa empuk beludru merah.
Indra membacakan istrinya sajak berikut:
"Bunga matahari, kau yang hanya menengadah ke sinar
matahari, Lalu mengatupkan mata ketika ia tengelam di ufuk! Tak
pernah sepandang lintas pun kauhadapkan padaku. Namun kau
mempesona, bangsawan bergerak anggun.
Inti yang tersembunyi dalam gemerlap, gelap laksana
persemaian bumi, Daun bunga emas, wajah yang cemerlang, cahayanya yang
pudar, Perkenankanlah daku menjelajahi rahasiamu yang terpendam,
tersimpan dalam, . '1,'.'.'. gp 65 Agar jiwaku yang lelah menikmati asri jiwamu!
Engan aku mati sebelum itu, namun engan pula lanjuthidup,
Kekasihku, perkenankan daku menerima cintamu dan aku
akan mati dalam kedamaian."
Munarsi terharu sekali mendengar sajak itu. Diletakkannya
tangannya di atas tangan Indra sambil berkata lirih," Kau telah
membahagiakan diriku, Indra ...."
Setelah masa cutinya habis, Indra setiap hari harus bekerja
seperti semula. Munarsi mengelola rumah tanganya dibantu
pengasuhnya serta dua anak cucunya. Selesai bekerja, Munarsi
duduk membaca atau menyulam di ruang duduk. Sepulang Indra
dari bekerja, Munarsi pun menyambutnya. Demikianlah hari demi
hari berlalu, dan mereka hidup tenang dan sentosa berdua.
Pada suatu hari Munarsi memandang jauh dari jendela kamar
seperti kebiasaannya. Di kejauhan tampak sawah-sawah milik
merreka. Ia menarik sebuah kursi ke dekat jendela. Sambil bertelekan
wajahnya pada silangan tangan ia memandang ke keramaian jalan.
Rasa bahagia memenuhi dirinya. Setiap hari ia melihat bertambahnya
kemajuan dan kemakmuran. Tampak olehnya kegiatan dan semangat
kerja penduduk. Mereka kini berpakaian lebih baik. Perang telah
lewat. Tak ada lagi perpecahan dalam kehidupan keluarga, dendam
dan benci. Munarsi memanjatkan doa kepada Yang Maha Esa, agar
akhirnya kekallah kedamaian dan kebahagiaan. "Semoga negeri
kita mencapai masa yang gemilang! Seperti bunga cempaka yang
memperagakan daun bunganya yang berwarna jinga, dengan
baunya yang semerbak yang tersebar ke segala penjuru, demikian
lah hendaknya bangsa kita menyebarkan kesemarakannya jauh
melewati samudera dan lautan. Semoga tercipta masyarakat yang
tertata, tersohor oleh keramahan dan keterbukaannya. Semoga
antara yang berkulit putih dan coklat terbentuk lagi persahabatan-
5'5 :i"- pmumm umu"um Balai Pustala
persahabatan baru, untuk membangun negeri kita menjadi negeri
yang masyhur di dunia."
Dengan bernapas dalam Munarsi tegak berdiri. Ia memandang
ke sawah-sawah yang jauh terbentang di kejauhan dan ia berkata
dalam dirinya, "Karena pergolakan, terjadilah pertumbuhan baru
pada tanaman padi yang berabad usianya. Tan gkai-tan gkainya agak
lebih tegak, bulir-bulirnya akan lebih sarat. Semoga ini berbuah
bagi yang muda, dan pengalaman itu merangsang orang-orang
muda. Semoga akan tumbuh pribadi-pribadi yang mandiri, semoga
pula usaha mereka akan membuahkan hasil yang lebih berlimpah.
Sebagai wanita dan pria mereka akan menyongsong hari depan yang
lebih cemerlang. Apakah bayangan ini akan menjadi kenyataan?"
Munarsi mendengar lonceng berbunyi dua kali. Pikirnya,
"janganlah menghabiskan waktu dengan melamun. Lebih baik
aku ke dapur untuk menyiapkan makanan siang. Indra sebentar
lagi akan sampai." Setelah berdandan lebih rapi, ia menungu di
serambi muka menantikan kedatangan suaminya.
Sebelum duduk di meja makan, Indra menceritakan kepada
istrinya hal-ihwal pekerjaan. Munarsi pun mengungkapkan apa
yang dikerjakan pagi itu dan apa yang dipikirkannya ketika pagi itu
memandang dari jendela. Indra berjanji akan mengajaknya menyaksikan kesibukan di
waktu panen. "Kau akan melihat kegiatan penduduk. Dan alangkah
bahagianya nanti melihat padi diikat dan dimuatkan ke dalam
gerobak-gerobak. " Pria itu melingkarkan lengannya pada pingang
istrinya dan membimbingnya ke meja makan yang sudah siap
dengan hidangannya. . ",." gp 67 llJBllillllLfilUlll: Putra mahkota kembali lagi ke Mayanegara. Ia menceritakan
pen galaman-pengalamannya di Tralaya dan Dandura kepada
ayahnya. Menarik perhatian sang raja bahwa berulang-ulang
Narendra menyebut nama Amirati.
"Apakah kau sudah membuat pilihan hatimu, anakku?"
"Saya masih harus berusaha merebut hati Amirati, Romo. Gadis
itu bersikap agak keras terhadap diriku, rupaya ia tidak mau tahu."
Sang raja tersenyum sambil menepuk bahu anaknya dan
berkata, "Bersabarlah, anakku! Rupanya inilah pertama kalinya kau
diperlakukan demikian oleh seorang gadis."
Kepada Asmara, Narendra mengisahkan bahwa di Tralaya ia
melihat kapal-kapal besar dan indah, dan menyaksikan kapal-kapal
barang membongkar muat-muatannya, kesibukan di dermaga, dan
lain-lain. "Di sini kita tidak pernah melihat hal-hal seperti itu,
Asmara. Sunguh menarik.|| Di Dandura suasana berbeda. Di sana
saya melihat perahu-perahu kecil, ada yang berhiaskan bendera-
bendera kecil, dan kaum nelayan yang sambil bernyanyi dengan
gembira melajukan perahu-perahunya. Tralaya meriah, Dandura
lebih hangat." Kemudian ia juga bercerita kepada adiknya panjang-lebar
tentang Amirati. "Saya mengharapkan ia mau tingal di sini untuk
ineneruskan pelajarannya dan menemanimu. Tetapi ia menolak,
dan berkeras kepala! " Segera Asmara melihat bahwa kakaknya yang
sebagai anak manja selalu dituruti kehendaknya, kini merasa kecewa
karena ulah perbuatan Amirati.
&& ;( . 153 mm?" umu"um Balai Pustala
Berbulan-bulan berlalu dan kehidupan berjalan seperti biasa.
Namun putra mahkota sering tampak marah-marah dan jengkel.
Karena tidak ada yang dapat memikat perhatiannya dan ia bosan
dengan hidup sehari-hari, maka Narendra minta izin pada ayahnya
untuk pergi ke daerah selatan di tepi raut dan melihat pemandangan
ombak-ombak yang ganas di sana. Ia ingin tahu bagaimana
penduduk setempat mengambil sarang-sarang burung dari gua-
gua, dan ia ingin pula menyaksikan daerah sang Dewi Laut. Paduka
raja memberi izin, tetapi adiknya, Pangeran Purwaningrat beserta
pengikut pangreh lainnya disertakan sebagai pengikut.
Karena berhati-hari sang putra raja berdiam jauh dari
kawedanaan, maka dekat pantai dibangunnya sebuah rumah kecil
dari papan kayu. Pada malam hari diundangnya orang-orang untuk
menceritakan dongeng"dongeng yang dikenal orang di daerah itu.
Tentang Dewi Laut, tentang orang-orang yang kadang-kadang
hilang di lautan dan tidak kembali lagi.
Narendra bersama pengikut-pengikutnya makan apa saja yang
tersedia di desa itu. Kalau ia lelah dari perjalanan, ia menyuruh
memetik kelapa muda, lalu meminumnya dari kulit kelapa, tanpa
gelas. Ia menyuruh datang seorang perunjukjalan yang membawanya
dari desa yang satu ke desa yang lain. Paman Purwaningrat minta
agar boleh tingal di rumah kayu. Baginya terlalu berat ikut
mengembara. Putra Pangeran Purwaningrat, Atmono, seorang pelajar
tamatan sekolah menengah, juga ikut serta. Ia senang sekali boleh
ikut mengembara bersama kemenakan nya, Naren dra.
Pada suatu malam sedang bulan purnama. Di luar semua
sunyi sepi. Mereka hanya mendengar bunyi ombak menderu-deru
melalui dinding-dinding kayu. Seorang di antara para pengikut
berkata, "Kadang-kadang suasana mengerikan di sini. Apalagi
kalau teringat pada dongeng-dongeng yang diceritakan orang. "
. ",." gp 69 "Kau takut akan dikunjungi Dewi Laut?" orang lain berkelakar.
Tiba-tiba Narendra berkata, "Paman, saya mau duduk di luar
sebentar." "Hawanya dingin, Narendra, pakailah mantelmu. jangan
sampai kau jatuh sakit di desa ini."
"Saya akan ikut," Atmono mengusulkan.
"jangan, jangan ikut, aku ingin sendiri ...."
Paman Narendra berkata lagi, "jangan sampai keluar pagar,
Nak!" Baru saja Narendra keluar, para pengikut membicarakan sang
putra mahkota. "Kanjeng", demikian kata salah seorang pangreh
praja kepada Pangeran Purwaningrat. "apakah putra mahkota tidak
tampak menjadi lebih pendiam?"
"Barangkali ia sedang murung," kata yang lain. Dan Atmono
herbisik pada ayahnya, "Barangkali ia sedang jatuh cinta."
Ayahnya tersenyum sambil berkata, "Anakku, ia cukup
menunjuk saja pada seorang gadis! Siapa yang akan menolak dia" Ia
tampan, selalu ramah ramah, dan besar hari."
"Mungkin gadis yang diingini itu, tidak membalas cintanya.
Kalau ia sedang mengembara, pikirannya entah di mana. Pada suatu
hari pernah ia duduk melamun terus di atas sebuah batu yang besar.
Sampai saya harus memberitahukannya bahwa kami akan kembali.
Lalu ia menjawab, "O, saya lupa bahwa kami masih harus berjalan
jauh kembali ke rumah kayu."
Waktunya tiba untuk membawa sesajen kepada Dewi Laut.
Pada suatu pagi tiga orang pangreh praja datang mengantarkan
pakaian dari kota untuk dibawa ke pantai Selatan. Mereka tiba di
rumah kayu tempat tingal putra mahkota dan paman nya.
Salah seorang pangreh praja menyampaikan sepucuk surat
titipan sang raja untuk putra mahkota di atas nampan kecil dari
perak. Menurut surat itu, raja minta agar putra mahkota kembali ke
kota karena sudah sebulan ia tingal di tepi Selatan. Sambil berpikir
mm?" umu"um Balai Pustala
70 .j- .__. _- . $ putra mahkota meletakkan surat itu di atas meja. Katanya pada para
pangreh, "Saya mau ikut untuk menyaksikan persembahan pakaian
dan sesajen kepada Dewi Laut." Semuanya berjalan ke pantai.
Tiba di sana kemenyan pun dibakar. Seperangkat pakaian
yang terdiri dari kain tenunan, kebaya brokat, dan selendang sutra
disusun di atas nampan-nampan perak, kemudian juga berbagai
sesajen. Menyan terus dibakar. Para pangreh praja yang ditugaskan
itu duduk di belakang sesajen sambil bergumam-gumam untuk
memberi tahu kepada Dewi Laut bahwa sesajennya sudah siap sedia.
Sebuah ombak besar datang mengulung dan menyeret semua yang
diperuntukkan sang dewi. Tak lama kemudian nampan-nampan
perak itu pun kembali. Dengan suara keras benda-benda itu
menghantam batu-batu karang.
Para pengikut putra mahkota dengan terkejut melihat nampan-
nampan yang tercampak itu. Seorang di antara mereka berkata,
"Sang dewi rupanya tidak menginginkan nampan-nampan itu.
Mungkin mereka di sana memakai nampan-nampan dari emas."
Atmono bertanya kepada ayahnya, "Mengapa nampan nampan
itu dikembalikan, Ayah?"
"Anakku, kau sudah lulus sekolah lanjutan, kau bisa
menemukan jawabannya sendiri."
Sambil berjalan pulang ke rumah kayu Atmono masih terus
memikirkan nampan-nampan perak yang berat yang tercampak
kembali itu. "Mengapa, mengapa, mengapa?" ia terus bertanya pada
dirinya. "jangan kaupikirkan lagi, tidurlah. Hari sudah malam," kata
ayahnya. "Tetapi saya harus menemukan jawabannya," Atmono
mengesah. Keesokan paginya Atmono mendapatkan ayahnya. Katanya,
"Kiranya saya sudah menemukan jawaban teka-teki itu, Ayah.
Pakaian dan sesajen itu semua ringan, lalu terbawa oleh air laut.
Tetapi nampan-nampan yang berat diangkat lagi oleh gelombang
dan dihempaskan kembali ke pantai."
"Bagus, kau memang anak yang pandai, anakku!" ayahnya
memuji. Ketiga pegawai kraton pulang setelah dua hari dan membawa
sepucuk surat dari putra mahkota yang memberitahukan kepada
ayahanda bahwa mingu berikut ia akan pulang.
Malam sebelum kembali ke kota, Pangeran Purwaningrat
mengusulkan agar membuat api unggun di belakang rumah
papan itu. "Bulannya bulan muda, tetapi hawanya sejuk. Sebagai
perpisahan malam ini sekitar api ungun saya akan mengisahkan
cerita Sultan Agung dan Dewi Laut."
"Bagus sekali, Ayah, saya ingin mendengar ceritanya," Atmono
menyambut. "Ceritanya ngeri, Paman?" tanya Narendra, "Tidak, ini
cerita percintaan." Semua berseru serentak, "Kalau begitu pasti akan
menarik!" Itulah yang dikerjakan. Semua petugas mengumpulkan kayu
bakar dan menyalakan api. Ketika nyala api tingi melambung dan
terang benderang menyinari sekeliling, sang pangeran memulai
kisahnya. "Cerita yang akan saya ungkapkan ini cerita lama, tetapi benar-
benar kejadian. Waktu itu zaman pemerintahan Sultan Pajang.
Sultan Pajang menguasai daerah-daerah pantai sampai ke
Gresik. Di jawa peperangan terus mengamuk. Pada salah seorang
bangsawan Sultan Pajang menghadiahkan sepotong tanah yang
dihuni sekitar tiga ratus keluarga. Bangsawan tersebut mempunyai
seorang anak bernamaSutaWijaya. Sultan Pajang mengangap Suta
Wijaya sebagai anak sulungnya. Ia mendapat pelajaran ilmu perang
dan cara memperoleh kekuatan -kekuatan luar biasa.
Suta Wijaya ini terus berperang dan terus menang. Ia berhasil
menaklukkan hampir seluruh tanah jawa kecuali dua tempat, yaitu
mm?" umu"um Balai Pustala
72 3.143, Surabaya dan Gresik. Ia memperoleh gelar Senopati dari Sultan
Pajang dan menjadi panglima perangnya.
Pada suatu hari Sultan memangil Senopati. Ketika utusan
Sultan Pajang datang dan menyampaikan panggilan itu kepada
Senopati, Senopati menjawab sambil tetap duduk di atas kudanya,
"Sultan Pajang melarangku makan, tetapi aku masih lapar. Sang
Sultan memerintah agar aku men guntin g rambutku, tetapi rambut
itu akan tumbuh lagi."
Dengan kata-kata itu Senopati memerintahkan utusan itu
kembali. Utusan itu bingung menyampaikan jawaban itu. Ketika
ia menghadap Sultan ia berdusta dan berkata, "Tuanku, putranda
memerintahkan hamba pulang lebih dahulu. Senopati segera akan
menghadap Tuanku." SangSultan diam saja mendengar jawaban mi.
Ketika Kyai jurumartani, guru Senopati, mendapatkannya,
ia segera dapat menerka pikiran muridnya. Maka ia berkata,
"Anakku, apa yang telah kaulakukan" Tentu saja Sri Sultan murka
terhadapmu! Pasukanmu hanya sedikit dan kau hendak berperang
melawan Sultan" Ia tersohor tak terkalahkan. Kuanjurkan, agar kau
Tunjung Biru Karya Arti Purbani C di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berperang saja melawan kerajaan lain. Tidakkah kau mendengar
bahwa ketika beberapa pencuri hendak menyerang Sultan untuk
membunuhnya, ia sama sekali tidak merasakan apa-apa" Ia tak
terlukai! Kesalahanmu ada tiga: Pertama, kau memusuhi Tuanmu
sendiri; kedua, kau bersikap bermusuhan terhadap ayahmu; ketiga:
kau bersikap bermusuhan terhadap gurumu. Kau pasti akan
ditertawakan orang!" Demikian Kyaijuru mengesah menyesalinya.
Pada suatu hari, ketika Kyaijuru Martani mendatangi muridnya
lagi, ia menemukan Senopati sedang tidur di udara luar, berbaring
pada sebuah batu yang besar. Di atasnya tampak sebuah bintang
bersinar, sebesar buah kelapa. Kyai juru membangunkan Senopati
dan berkata, "Anakku, bangunlah, kau tiduran saja di sini. Tahukah
kau apa yang terletak di atas tubuhmu" Benda apakah itu gerangan?"
. ",." gp 73 Senopati terkejut bangun dan bertanya kepada bintang itu,
"Benda apakah engkau?"
jawab Bintang itu, "Aku sebuah bintang. Aku datang
memberitakan bahwa Tuhan telah mengabulkan permohonanmu.
Keturunanmu semua akan menjadi raja-raja. Cicitmu akan menjadi
raja yang terakhir. Kemudian gunung-gunung akan meletus, akan
terjadi banyak banjir dan gempa bumi dan perang-perang pun akan
berkecamuk." Setelah berkata demikian, bintang itu pun hilang
lenyap. Senopati senang sekali mendengar berita itu. Kyai juru Martani
sekali lagi bisa menjebak pikiran muridnya, lalu berkata, "Anakku,
hati-hatilah dengan berita bintang itu. Mungkin ia berkata benar,
mungkin pula ia berdusta. Kalau ramalan itu tidak terlaksana,
kita, kau dan aku, akan diusir dari kerajaan Mataram." Senopati
pun terkejut, lalu bertanya kepada gurunya, "Paman, apa nasihat
Paman?" jawabnya, "Marilah kita membagi pekerjaan, malam ini
juga. Kau pergi ke arah Tengara, dan aku akan mendaki Gunung
Merapi." Senopati sampai ke pantai Kali Opak dan berdoa kepadaTuhan.
Air sungai mulai mendidih, badai pun mendatang karena kekuatan
gaibnya. Banyak ikan mati, dan suara gemuruh ombak-ombak yang
bergolak tiada hentinya men deru-deru.
Konon pada saat itu Dewi Laut Selatan, Ratu Roro Kidul,
sedang bersemayam di istana lautnya, pada sebuah dipan emas
bertatahkan berlian. Di hadapannya duduklah para jin dan demit
di atas permadani-permadani. Nyai Roro Kidul bangkit dengan
terkejut dan berkata, "Gemuruh apakah itu" Air laut bergolak, bunyi
menderu-deru terdengar Mungkinkah dunia akan kiamat?" Ratu
Kidul berjalan sampai ke tepi laut dan melihat di seberang seorang
makhluk berdiri. "Mungkin diakah yang menyebabkan taufan
74 ;( . 153 mm?" umu"um Balai Pustala
ini?" Dewi Laut berjalan di atas air laut sampai ke tempat makhluk
itu, lalu berlutut di hadapan kakinya. "Tuanku, kasihanilah daku,
berhentilah menciptakan kegaduhan badai ini. Akulah penguasa
daerah lautan. Kasihanilah ikan-ikan yang terbunuh karenanya,
hentikanlah air yang mendidih itu."
Senopati memegang tangannya dan membangunkannya. Pria
itu terpesona oleh kecantikan sang ratu, demikian pula sebaliknya.
Dewi laut merayunya dengan matanya yang cemerlang. dan
mengajaknya pergi ke istananya. Senopati berjalan di atas air, seperti
berpijak di bumi saja. Mereka pun sampailah ke istana lautan yang
tiada taranya. Tembok luar dari perak, tembok dalam dari emas
murni. Batu-batu adalah batu koral, batu akik, dan batu bulan.
Semua benda di tempat itu terbuat dari emas. Bunga-bunga yang
terindah berkembang di taman dalam aneka warna.
Berkata Senopati kepada Dewi Laut, ."Nimas, belum pernah
saya melihat istana seindah ini! Sesuai benar dengan pribadimu.
Bagaimana kiranya pemandangan di dalam ruang tidur Nimas,
kalau saya boleh bertanya?" Dewi Laut mengerlinginya, memegang
tangannya, kemudian berkata, "Tuanku pasti memiliki gadis-gadis
yang cantik, tetapi aku menyediakan diriku." Kemudian diajaknya
pria itu ke ruang-ruang tidur.
Tiga hari tiga malam Senopati dan Dewi Laut hidup
berdampingan di istana lautan. Kata Senopati, "Semua di sini serba
indah, tetapi ada juga sesuatu yang kurang."
"Apakah itu?" tanya Ratu Roro Kidul.
"Tidak ada pria di sini."
Jawab sang ratu, "Ah, aku lebih suka menjadi ratu daerah ini,
daripada menikah. Tetapi aku menyediakan diri untuk Tuanku.
Kalau tuanku memerlukan bantuan, mungkin dari para jin dan
makhluk halus, maka bisa saya tawarkan."
. _L. (;P 75 "Tetapi, Nimas, tak seorang pun mengenali Nimas. Bagaimana
saya harus menyampaikan pesan?"
"Mudah sekali. Kalau saya diminta datang, tuanku mengarahkan
mata ke langit, menyilangkan lengan pada dada, dan berdiri dengan
kaki merapat. Maka segera saya pun akan menyertai tuanku."
Mendengar jawaban itu, Senopati merasa senang sekali. Tak
lama kemudian ia meninggaan istana lautan, dan berjalan di atas
air laut seperti berpijak di bumi.
Pada tahun 1601, menurut sumber-sumber Belanda, Sultan
Pajang wafat. Senopati menggantinya sebagai Sultan Pajang. Ia
menyuruh membuka tanah Mataram, dan mendirikan sebuali
kraton di sana yang dinamai Surakarta. Ketika pada suatu hari
ia mengadakan rapat dengan para penasihatnya, Ki Mandoroko
menyarankan agar ia menaklukkan daerah-daerah Jawa Timur.
"Belum masanya," jawab Senopati, "Cucuku akan menaklukkan
daerah itu." Di Surakarta, Pangeran Purwaningrat meneruskan ceritanya,
"sampai sekarang masih ada menara bernama pangung Songgo
buwono. Senopati yang kemudian bernama Sultan Agung,
bertemu dengan Ratu Roro Kidul di menara itu. Keturunannya
juga dikunjungi oleh Ratu Roro Kidul yang memiliki keremajaan
yang abadi. Menurut dongeng, hanya Paku Buwono atau Sunan
kesembilan yang takut kepada Dewi Laut. Ketika ia harus memanggil
Nyai Roro Kidul, ia terkejut takut dan terhempas di atas permadani.
Dewi Laut lalu berseru, "Anakku, tiger, wahai, anakku!" Sambil
gemetar Sunan pun berkata, "Jadi saya anak tuanku. " Semenjak saat
itu Ratu Roro Kidul tidak pernah muncul lagi.
Dongeng pun mengisahkan bahwa bila tarian suci sekali
setahun dipertunjukkan oleh sembilan orangbedoyo, gadis-gadis itu
melihat di depan mereka Ratu Roro Kidul yang menari. Konon tari
mm?" umu"um Balai Puslaia
bedoyo ini pernah ditarikan oleh sang ratu di hadapan kekasihnya,
Senopati. Sebelum tarian bedoyo ditarikan, kesembilan gadis
itu harus berpuasa. Untuk pertunjukan itu mereka dirias sebagai
pengantin dan diolesi dengan lulur yang wangi.
Nah anak-anak muda, inilah kisah Sultan Agung dan Ratu
Kidul. Kita akhiri api ungun ini karena besok harus kembali ke
kota." Anak-anak muda membereskan minuman dan makanan
kecil, kemudian masuk ke dalam rumah papan.
Sebelum Narendra pulang, rumah papan kayu di tepi
pantai itu dihadiahkan kepada bapak lurah untuk mengadakan
pertemuan-pertemuan. Ia memberi hadiah-hadiah kepada mereka
yang membantunya, dan juga kepada pandu yang selama itu selalu
menemaninya. Seluruh desa menghantar kepergiannya. Sampai di
istana putra mahkota memberi laporan kepada sang raja tentang
pengalaman-pengalamannya. Beberapa hari berturut-turut mereka
makan bertiga mendengar cerita-cerita Narendra, yaitu sang
raja, Narendra, dan adiknya. Asmara sangat terkesan oleh kisah
pengalaman kakaknya. mmm Seminggu setelah tiba diistana, Narendrajatuh sakityanggawat.
Demamnya tinggi dan ia sering meracau. Sang raja mendatangkan
beberapa dokter. Ada yang mengatakan sakit itu di sebabkan
kelelahan; yang kedua menyatakan: mungkin typhus; yang ketiga
menasihatkan agar Narendra beristirahat karena ia sangat gugup."
Sang raja membaringkan Narendra dalam salah satu dari
dua kamar bersebelahan dengan kamar pengantin, yaitu tempat
bagian istana yang suci yang jarang dikunjungi orang. Asmara
tidak berpisah dari ranjang sakit. Salah seorang tua membisikkan
di telingn Asmara, "Apakah kakakmu barangkali memakai baju
hijau ketika berada di daerah Nyai Roro Kidul" Itu warna yang
terlarang." Anggota keluarga lain bertanya, "Apakah sang kakak
barangkali melanggar suatu peraturan?" Ada pula yang menasihati,
"Serahkan pada ayahanda agar mengadakant selamatan, kemudian
membawanya ke tempat kakanda berdiam dahulu." "Maksudnya di
rumah kecil dari papan itu?" "Ya," demikian jawabnya.
Semua usaha dilaksanakan, tetapi demam itu tidak mau turun
juga. Narendra terus meracau; ada kalanya Asmara mendengar
kakaknya menyebut-nyebut nama Ratih. "Siapa gerangan Ratih
itu?" Asmara bertanya pada dirinya. Setelah mendengar nama itu
beberapa kali, Asmara menyampaikan hal itu kepada ayahandanya.
Sang raja minta supaya Asmara menulis surat kepada Munarsi
dan kepada kemenakannya, bupati Danduro. Dalam kedua surat
itu ditanyakan apakah mereka mengenali seorang gadis bernanln
Ratih karena Narendra pernah mengunjungi keduanya. Namun
jawabannya ialah bahwa mereka tidak tahu siapa Ratih.
75 ;( . 153 mm?" umu"um Balai Puslala
"O, putraku yang tungal, apa yang harus kuperbuat," Raja
Mayanegara mengeluh dengan putus asa. Berhari-hari lamanya sang
rajamemikirkan apa yan g harus diperbuatnya. Kemudian dipanggilnya
adiknya, Pangeran Purwaningrat, dan dimintanya nasihatnya.
Pangeran Purwaningrat mendengarkan ucapn kakaknya yang putus
asa itu dengan penuh perhatian. Lama ia berdiam diri, kemudian
katanya, "Barangkali Kakanda bisa minta agar Bupati Cokronoto dan
keluarganya datang berkunjuag karena Asmara sendirian.
Tetapi jangan ceritakan bahwa Narendra sakit." Tiba-tiba sang
raja teringat akan cerita Narendra tentang putri Danduro yang
amat kaku terhadapnya. "Tetapi namanya bukan Ratih," sang raja
bergumam dalam dirinya. Dokter ketiga mengunjungi Narendra secara teratur .Berkat
obat-obatnya dan istirahat, Narendra mulai sembuh, meskipun
berlangsung setapak demi setapak.
Sementara itu Bupati Cokronoto menerima permintaan
pamannya, sang raja. Ia berangkat bersama istrinya dan Amirati
karena anak-anaknya yang lain tidak sedang berlibur. Waktu ia tiba
Asmara menyambutnya dengan ramah sambil berkata, "Alangkah
baiknya kau datang, Amirati. Tingallah lebih lama di sini, aku
merasa begitu kesepian tanpa Bibi Munarsi."
Agar Asmara bisa menemani Amirati dan gadis itu merasa
betah di istana, maka sang raja menugaskan dua orang perawat
yang baik untuk merawat Narendra. Sang raja langsung menanyai
kemenakan dan istrinya tentang nama Ratih. Tetapi keduanya t idak
tahu siapakah Ratih itu. Asmara memperhatikan bahwa Amirati ada kalanya dengan
gugup melihat sekelilingnya. Ketika hal itu berulang kali terjadi,
Asmara menanyakan sebabnya, "Ah, tidak, tidak apa-apa," jawab
gadis itu mengelak. Seminggu kemudian Bupati Cokronoto dan istrinya kembali
ke Danduro. Asmara gembira sekali mendengar bahwa Amirati
. _ (;P 79 mau menemaninya. Ketika pada suatu hari Amirati dengan gugup
memandang sekelilingnya, Asmara tidak dapat menahan dirinya.
"Mengapa kau terus melihat sekelilingmu, Mirati" Apakah mencari
Narendra" Dia tidak di sini, Mirati, jangan khawatir dia tidak akan
mengangu kita." Amirati lama memandang bibinya tetapi tidak
berkata suatu patali kata pun.
"Mari kita berdayung-dayung di kebun dan memetik-metik
bunga mawar. Lalu siang ini kita makan di rumah teh dari kaca,
setuju?" Amirati menyatakan, "Ya, itu menarik sekali."
"Dan Mirati, maukah kau membantu saya masak besok?"
Asmara bertanya pula. "Romo telah memerintahkan mBok Projo agar
mengajarku masak-memasak. Masakannya kemudian dicicipi oleh
ayahanda. Beberapa hari kemudian mBok Pranoto akan mengajarku
membatik pula. Sudah sehelai kain yang siap dengan pola yang
sederhana. Setelah itu datang mBok Sastro untuk mengajar saya
tembang Jawa. Pada kesempatan itu dia juga menceritakan cerita-
cerita dan dongeng-dongeng warisan nenek moyang."
"Menarik sekali, Bibi, mudah-mudahan saya bisa
memahaminya. " "Dan harapanku, semoga kau kerasan di sini, Mirati," jawab
Asmara. "Kalau saya kurang dalam sopan santun, Bibi, tolong
beritahukan. Saya belum pernah ke luar rumah, dan belum pernah
dibesarkan di dalam istana."
"Mirati, kau cukup bersantun, dan tahu tata cara, lagi kau
berkepribadian ramah."
"Semoga demikianlah sesunguhnya, Bibi," kata Amirati
merendah. Asmara senang mempunyai teman, sedang Amirati
berusaha untuk mengikuti semua pelajaran bersama Asmara. Ia
mulai merasa kerasan di dalam istana.
Sementara itu Narendra sudah mulai pulih kesehatannya,
meskipun masih tetap pendiam dan pelamun. Dokter mengizinkan
5" :Eri. pmumm umu"um Balai Puslala
Narendra menerima tamu. Mendengar hal itu Asmara gembira sekali
dan berkata kepada kemenakannya, "Ketahuilah, Mirati, bahwa Mas
Narendra baru sembuh dari sakit parah! Demamnya tingi dan ia
terus-menerus meracau. Sudah tiga orang dokter memeriksanya dan
menyatakan pendapat mereka. Yang pertama berkata, disebabkan
kelelahan. Yang kedua menduga ia sakit typhus, dan menurut yang
ketiga ia harus beristirahat benar-benar dan tidak boleh menerima
tamu. Selama sebulan ia bersama Paman Purwaningrat dan para
pengiring tingal di Laut Selatan, dan mengembara dari desa yang
satu ke desa yang lain."
"Jadi ia pergi ke daerah Nyai Roro Kidul?" Amirati bertanya,
"Ya, dan para orang tua langsung berkata, 'Ia pasti memakai sesuatu
yang berwarna hijau. Itu sebabnya sang Dewi Laut menjadi marah.'
Ada pula yang mengatakan, 'Ia pasti menginjak tempat yang
terlarang ...." "Di mana dia sekarang?" tanya Amirati tiba-tiba. Asmara
senang sekali bahwa keponakannya menanyakan Narendra. "Dia
sekarang tingal di salah satu dari dua kamar di bagian dalem karena
tidak boleh dikunjungi orang. Tetapi menurut Romo hari ini dokter
mengizinkan dia menerima tamu. Apakah kita berdua sekarang
akan ke sana?" Amirati memandang bibinya sambil berpikir. Asmara menarik
gadis itu masuk ke dalam. Sampai ke pintu, ia berkata, "Narendra
terus meracau dan menyebut-nyebut nama Ratih. Barangkali kau
tahu siapa dia?" Mendengar nama itu, Amirati menangis tersedu-sedu dan
hendak lari dari tempat itu. Tetapi Asmara menghalang-halanginya
dan mendorongnya langsung masuk kamar sambil menutup pintu.
Tunjung Biru Karya Arti Purbani C di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Supaya Narendra jangan kaget, ia telah mengutus seorang untuk
memberitahukan kedatangannya sebelumnya. Asmara mendekati
ranjang kakaknya dan berkata, " Kangmas, saya punya tamu.
Bolehkah ia datang menemui Kakanda?"
"Siapa tamu itu?"
"Saya jemput sebentar." Amirati dengan wajahnya bekas
menangis melawan. Tetapi Amirati, Asmara membina tangan
Amirati ke tempat tidur Narendara. Narendra riba-tiba duduk tegak
sambil berseru, "Ratih, kau datang dari langit untuk menengokku"
Setelah kau di sini, kau tetap akan tingal, bukan?"
Narendra memegang tangan Amirati dan berkata kepada
Asmara, "Tahukah kau siapa Ratih, Asmara" Ia istri dewa cinta
Kumajaya. Istrinya bernama Kumoratih, dan Mirati kusebut Ratih."
"Kini teka-teki telah diketahui jawabnya. Dan Kakanda
rupanya mengangap dirinya dewa asmara?" Asmara mengusik.
"Ya, begitulah kiranya, adikku sayang." Lama mereka
memperbincangkan bertiga pengalaman mereka masing-masing di
kamar itu. Sang raja lega melihat perkembangan itu. Ia masuk ke dalam
kamar mereka dan berkata kepada Amirati sambil menengadahkan
wajahnya yang berbekas tangis, "Inilah calon menantuku ...."
Sang raja menyuruh adiknya, Purwaningrat, menulis surat
kepada Bupati Cokronoto tentang putra raja dan Amirati. Mirati
diberi tahu tentang seluk-beluk adat kebiasaan di istana. Setelah
Narendra sembuh benar, ia pun diberi pelajaran agar kelak dapat
mengantikan ayahnya. Pada suatu hari sepucuk surat dari Maulana untuk Asmara
tiba. Bunyinya, " Dewiku yang tercinta, saya menerima berita bahwa
diterima bekerja sebagai dokter di Mahakarta. Kupinta padamu agar
sudi berjalan seiring dengan kehidupanku. Alangkah bahagia dan
bersyukur aku bila kau memberi kata seia. Ah, Dewi, bahagiakanlah
diriku dan jawablah permintaanku ...."
Amirati tidak berani menanyakan siapa pengirim surat itu.
Ia hanya memandangi bibinya penuh tanda tanya. "Keponakanku
manis," kata Asmara sambil mencium Amirati. "Surat ini dari
seorang yang sudah lama aku kenal, dan aku bahagia dengan
52 :Eri. pmumm umu"um Balai Puslala
permintaannya." Ia mempersembahkan surat itu kepada sang raja.
Pun pada kakaknya ia bercerita tentang surat yang baru diterima itu
Beberapa hari setelah sang raja membaca surat Maulana, ia
memanggil putra-putrinya menghadap. "Aku gembira melihat
kalian berdua kini bahagia. Asmara, tiga bulan lagi saya berniat akan
memaklumkan pertunanganmu. Pada saat itu Bupati Lebaksari bisa
membacakan surat lamaran yang akan kami susun di sini. Paman
Purwaningrat akan saya minta menulis surat kepada bupati agar
tiga bulan lagi ia datang bersama keluarganya untuk merayakan
pertunanganmu dalam lingkungan keluarga yang dekat. Dan kau,
putraku, bila kau akan menikah dengan Mirati?"
"Romo, Narendra menjawab, "saya mohon agar Asmara
dikawinkan lebih dahulu. Saya harus mempelajari dahulu soal-soal
kenegaraan. Mirati juga harus belajar banyak untuk menjadi nyonya
rumah yang baik. Lagi pula kelak ia harus menganti Asmara di
dalam istana. Jadi ia perlu tahu apa saja yang harus dikerjakannya
"Tetapi kau lebih tua, Narendra," raja bersabda pula.
"Kalau Ayahanda tidak keberatan, saya akan kawin sesudah
Asmara," jawab Narendra. "Sudah cukup lama Maulana
menantikannya. Biarlah Asmara menikah tidak lama setelah
pertunangannya, Romo."
Sang raja lama berdiam diri. Kemudian ia berkata kepada
Asmara, "Apakah kau setuju dengan saran kakakmu?"
"Ya, Romo," jawab putrinya.
"Baiklah. Kalau begitu saya akan memangil Pamanda untuk
menulis tentang hal itu ke Lebaksari."
Setelah kedua putra raja itu diizinkan kembali ke tempat
masing-masing, Narendra melingkarkan lengannya sekeliling
Asmara. Katanya, "aku turut bahagia denganmu, adik tersayang.
Berbahagialah bersama Maulana ...."
. ",. (;P 53 asmara main llllrilllllljllllal
Surat Pangeran Purwaningrat disambut dengan rasa syukur di
Lebaksari. Maulana setiap hari menghitung-hitung hari mendatang.
Tiga bulan kemudian keluarga Lebaksari berangkat ke
Mayanegara. Seperti terjadi sebelum itu, mereka menginap di
balai tamu. Kumalasari tetap lincah dan gembira seperti sediakala
bertemu dengan Asmara. Ia gembira bertemu kembali dengan sang
putra mah kota yang tampan.
Sebelum upacara pertunangan diadakan makan malam di
pringinm, yaitu bagian antarapmdzpa, dan dalam. Hanya dua puluh
angota keluarga yang sudah tua-tua yang ikut serta. Paman dan
bibi tua dari sang raja, raja sendiri bersama Narendra, Asmara dan
Maulana; Bupati dan Raden Ayu Lebaksari; Paman Purwaningrat
dan istrinya; patih dan istrinya, Bupati polisi beserta istri dan
kemenakannya; yang lain adalah kemenakan raja yang sudah lanjut
usia. Asmara dan wanita-wanita lain duduk di dalam, ditemani
oleh gadis-gadis, di antaranya Mirati dan Kumalasari. Setelah jam
berbunyi setengah delapan, raja dan para pria lain menuju ke Mew.
Sesudah semua mengambil tempat, raja minta kepada patih untuk
menyampaikan segulungan kertas kepada Bupati Lebaksari. Di
dalamnya tercantum lamaran yang akan dibacakan. Sang bupati
berdiri dan membacakan lamaran itu.
Selesai upacara, raja pun berdiri dan mempersilakan bibinya
yang tua mengandeng lengannya. Narendra pun berbuat demikian
terhadap kemenakan ayahnya yang tertua. Maulana mengantar
Asmara Dewi ke meja, dan hadirin lain juga bergandengan menuju
5554 .: ; . 153 mm?" umu"um Balai Puslala
ke meja makan. Mereka minum sampanye untuk mengucapkan
selamat kepada pasangan muda itu. Hanya wanita-wanita yang tua
tidak berani mencicipi minuman asing itu. Senda gurau dan kelakar
meriahkan suasana. Setelah makan malam diperbincangkan panjang
lebar perkawinan Asmara Dewi dan Maulana.
Keesokan harinya penghulu diterima di istana untuk
menentukan bulan dan hari yang baik. Ternyata saat yang cocok
ialah bulan keempat tahun itu, yaitu bulan Rabingulakir.
Berbulan-bulan pun lalu. Saat perkawinan Asmara dan Maulana
makin mendekat. Seluruh istana diperiksa untuk mengetahui apa
saja yang perlu diperbaiki, dicat, dan dipersolek. Tembok-tembok
dilabur putih, tiang-tiang dicat kembali, dan cat emas yang sudah
pudar ditimpali. Asmara mulai menyiapkan perlengkapan pengantinnya.
Keponakan-keponakan dan anak-anak gadis para pamongpraja
diminta membantu di istana. Beberapa gadis yang oekatan dipilih
untuk kemudian membantu Amirati, setelah Asmara men in galkan
istana bersama suaminya. Dipilih pula beberapa angota keluarga
yang tua untuk membantu Amirati dalam urusan rumah tanga.
Suasana sibuk yang hangat memenuhi istana seluruhnya. Masing-
masing mempunyai tugasnya sendiri. Cukup banyak yang harus
dibicarakan dan dilaksanakan!
Semingu sebelum perkawinan Asmara Dewi, seperti dahulu
Munarsi, diantar ke salah satu kamar sebelah pelaminan di Mew.
Beberapa keponakan dan anak-anak gadis pada pungawa bergiliran
menemaninya, sedang beberapa sanak keluarga yang lanjut usia
memberi nasihat kepada calon pengantin.
Tiga hari sebelum perkawinan pengantin pria dengan
pengiringnya pun tiba. Patih datang untuk menerangkan rencana
upacara pernikahan dan temu. Orang tua Maulana memadang
putranya dan bertanya, "Maulana, tidakkah merasa gugup"
. ",. (;P 55 Sangupkah kau melaksanakan semua itu?" Jawab Maulana dengan
tegap, "Ayah, ini kujalani dengan senang demi Asmara Dewi."
Di pintu luar Kumalasari melihat dua batang pisang, yang
diikat bersama cengkir kelapa muda, setandan pisang kuning yang
bagus, dan tanaman tebu. Ia melaporkan hal itu kepada ibunya,
yang langsung menanyakan artinya pada salah seorang keluarga raja
yang sudah tua. "Apakah kebiasaan ini tidak terdapat di Lebaksari?" wanita
itu ganti bertanya. "Artinya bahwa gedung (pisang) seiring dengan
kata ngmng, mengharapkan sebaiknya; cengkir, kelapa muda,
melambangkan kecenging pikir, keteguhan pikiran; sedang tebu
men giaskan anreping kalbu, kesetiaan hati. Jadi hiasan buah dan tebu
ini seluruhnya mengambarkan harapan agar mempelai berteguh
dalam kesetiaan mereka."
"Sunguh indah kiasan itu" raden ayu Lebaksari berpendapat.
Dan Kumalasari berkata kepada ibunya, "Kalau saya kawin nanti,
juga disusun seperti itu, ya Ibu!"
Hari yang penting pun tiba. Pagi-pagi benar gamelan
mengalunkan lagu-lagu. Tetapi tak seorangpun bisa menoegah hujan
turun. Sudah dua hari lamanya hari hujan. Sang raja menyuruh
menusukkan di tengah alun-alun tombaknya yang bisa mencegah
hujan. Hujan deras berhenti, tetapi pada siang hari masih terus
rintik-rintik. Pramuka-pramuka ditempatkan sepanjang jalan yang dilalui
pengantin pria. Karena sang pengantin pria tentu tidak boleh
berjalan di dalam curah hujan, maka ia lewat dari sebelah dalam
dan samping istana menuju ke pendapa. Ia didampingi dua orang
pangeran menghadap penghulu yang sudah siap untuk upacara
pernikahan. Upacara tersebut hanya dihadiri para pria. Para wanita,
termasuk pengantin wanita dan gadis-gadis lain, hanya boleh
menonton dari 455sz di kejauhan.
mm?" umu"um Balai Puslala
Raja Mayanegara menuju ke sebuah meja yang ditempatkan
di tengah-tengah pendapa. Ia mengambil tempat di hadapan
penghulu dan memberitahukan bahwa ia hendak menikahkan
putrinya, Asmara Dewi, dengan Maulana. Ia menitahkan agar nikah
dimulai. Selesai upacara Maulana diantar kembali ke ruang tempat
tingalnya, diapit oleh kedua pangeran.
Sebelum temu Maulana dijemput oleh kedua pangeran dan
beberapa angota keluarga pada pukul setengah tujuh malam.
la kemudian diantarkan ke pendapa. Banyak lampu mahkota
menghiasi pendapa yang tinggi dan luas itu sehinga tampak seperti
istana impian. Para gadis yang tidak diizinkan menghadiri tem, bisa
mengamati seluruh upacara dari kamar Asmara. Kata salah seorang
dengan khawatir, "Mudah-mudahan malam ini tidak hujan. Kalau
tidak, kedua mempelai harus makan dari piring tanah." Semuanya
tertawa, dan seorang lagi berkata, "Itu pun tidak apa-apa."
Keponakan pengantin wanita yang berusia antara tujuh dan
sepuluh tahun dipilih sebagai gadis-gadis pengiring pengantin.
Mereka memakai kain sutera hijau bertenun benang emas. Pengiring
terkecil yang berdiri di muka membawa paidon, tempolong, dari
perak. Gadis pengiring kedua membawa kotak sirih kulit penyu
bertatah perak, sedang gadis ketiga membawa kotak uang kecil dari
perak pada sebuah nampan dari perak pula.
Laki-laki pengiring ketiganya memakai kain berpola sama yang
dibelitkan sekeliling tubuh. Mereka memakai beskap sebagai jas,
dan bersisipkan keris kecil pada pungung.
Karena pengantin pria dan wanita berpakaian dadar, lengan
dan bahu mereka terbuka. Tubuh diolesi 570392! kuning yang
wangi. Dadar yang dipakai pengantin pria dan wanita pada temu
mempunyai pola khusus. Dodo: itu dua kali panjang dan lebar kain
biasa, dan perlu ketrampilan khusus untuk membelitnya dengan
. ",. (;P 57 rapi sekeliling tubuh. Pada peristiwa itu pengantin pria dan wanita
memakai perhiasan, sedang pada waktu nikah pengantin pria tidak
boleh memakai perhiasan. Waktu perkawinan Munarsi semua lebih sederhana. Kala itu
pengantin wanita memakai kebaya beludru hitam dengan pingir
sulaman emas. Pengantin pria memakai jas pendek terbuka, juga
dari beludru hitam dan bersulam emas. Di atas kepala dipakai kagak
hitam, yaitu tutup kepala bentuk kerucut terpancung dengan pentul
emas bertatahkan intan di atas tengah.
Bupati dan Raden Ayu Lebaksari tidak boleh menghadiri temu
pengantin. Mereka hanya boleh ikut serta selametan perkawinan
sesudah upacara. Selesai makan Raden Ayu I_ebaks ari berkata kepada
anaknya, Kumalasari, "Sayang sekali kami tidak boleh menghadiri
upacara itu. Kau harus menceritakan jalannya upacara, Kumala."
"Ibu tahu, kami gadis-gadis hanya bisa menyaksikannya dari
kamar Asmara Dewi" Saya menanyakan sebabnya kepada salah
seorang angota keluarga yang tua. Katanya, tahun-tahun yang
silam pernah seorang pengantin pria jatuh cinta pada seorang gadis
yang hadir. Semenjak itu larangan ini pun ditetapkan. Saya ganti
bercerita kepada wanita itu bahwa di I_ebaksari pada perkawinan
para gadis justru harus melayani para tamu. Gumam wanita tua itu
'Lain ladang, lain belalangnya ...."
"Kita tanyakan saja nanti pada Maulana, bagaimana jalan
upacara, dan bagaimana perasaannya sebagai pengantin pria."
"Menurut Ibu, bukankah Maulana tampak begitu ketakutan?"
"Ya, anakku, kau harus mengerti bahwa ia takut berbuat salah
dalam lingkungan istana yang serba angun ini. Aku bersyukur
dia bisa mengikuti petunjuk-petunjuk dengan baik. Mari kita
mengunjungi pasangan mempelai!"
Selesai upacara, pasangan mempelai segera ganti pakaian
pengantin dengan pakaian biasa. Mereka mendiami pavilyun kecil
55 :Eri. pmumm umu"um Balai Puslala
di istana. Orang tua Maulana bahagia melihat putra mereka sebagai
pengantin pria, sebagai suami Asmara Dewi, dan sebagai menantu
sang raja. Keesokan harinya waktu makan pagi, orang tua Maulana dan
Paman Purwaningrat duduk bersama pengantin baru itu. "Asmara,"
kata pamannya, "sesunguhnya kau harus digendong oleh suamimu."
"Digendong?" seru orang tua Maulana.
"Ya, sesunguhnya demikian," ujar Paman Purwaningrat.
"Patih dan saya sudah meminta perhatian sang raja. Tetapi jawabnya,
'Itu tidak perlu dilaksanakan. Mereka tidak mengenal kebiasaan ini,
dan pada perkawinan Munarsi juga tidak dilakukan."
"Tetapi ceritakanlah, Pangeran, bagaimana sesunguhnya,"
Bupati I_ebaksari minta keterangan.
"Kalau putri raja kawin dengan seorang bupati, meskipun
kemenakan raja sendiri, maka setelah pengantin pria menginjak
telur dan disirami kakinya dengan air bunga oleh pengantin wanita,
seorang kakak atau paman pengantin perempuan membantu
mengendong pengantin wanita ke pelaminan. Lengan kanan
pengantin pria dan orang lain itu ditaruh pada lengan kiri, sehinga
terbentuk persegi empat yang terbuka. Pengantin wanita harus
duduk di atasnya. Kemudian pengantin wanita melingkarkan lengan
kanannya sekeliling leher pengantin pria. Demikianlah mereka
berjalan sampai ke pelaminan."
Tunjung Biru Karya Arti Purbani C di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sesunguhnya menarik juga, kalau itu dilaksanakan," Raden
Ayu berpendapat. Pada sore hari diadakan makan siang untuk semua angota
keluarga yang telah melaksanakan tugasnya sedemikian baiknya,
bersama raja, orang tua Maulana dan pasangan mempelai. Pada malam
hari dilangsungkan pesta dansa untuk undangan mancanegara.
Keesokan malamnya lagi dipertunjukkan lakon wayang orang
perkawinan Gatotkaca dengan Pregiwa, putri Arjuna. Malam sesudah
. ",. (;P 59 itu ada permainan wayang di peringgitan semalam suntuk. Malam
kelima disebut sepasaran. Sesunguhnya pasangan pengantin harus
pindah ke rumah orang tua pengantin pria. Tetapi karena Lebaksari
terlampau jauh, maka perayaan itu dirayakan di lingkungan keluarga
Mayanegara. Sepuluh hari setelah perkawinan, Asmara Dewi harus berpisah
dari ayah nya, kakaknya, sanak saudaranya dan istana dan para
pembantu yang sudah melekat di hatinya. Pengasuhnya dan tiga
gadis muda boleh menyertainya.
Perjalanan ke I_ebaksari dahulu, tempat mereka dinanti-
nantikan. Pada malam hari diadakan resepsi. Asmara berkenalan
dengan sanak keluarga suaminya yang banyak itu. Keesokan
malam diadakan wayang golek, permainan boneka dari kayu, yang
sangat digemari rakyat I_ebaksari. Setelah itu pasangan muda itu
mengadakan ziarah ke makam keluarga.
Setelah tingal di Lebaksari selama semingu, pasangan muda
itu minta diri kepada bupati dan raden ayu, dan menuju kediaman
mereka yang baru di Mahakarta. Meskipun Asmara belum pernah
jauh dari istana, namun ia merasa penuh harap akan tingal di kota
besar seperti Mahakarta. Sunguh berbeda dengan keadaan di istana
dan di Lebaksari! Sebelum Maulana mulai bekerja, ia mengantar
Asmara melihat aneka wisata di Mahakarta. Ia menerangkan segala
sesuatu, dan Asmara segera merasa betah di kota yang besar itu.
Dengan bantuan seorang angota keluarga yang mengurus
rumah tanga Asmara segera belajar menyiapkan hidangan untuk
suaminya. Ia mulai senang menjadi seorang ibu rumah tanga.
Pengasuhnya serta tiga gadis yang ikut serta dengan cepat menguasai
bahasa di Mahakarta. Mereka mula-mula heran bahwa lampu listrik
di siang hari pun menyala. Mereka juga melihat bahwa sopir-
sopir mengendarai kendaraan dengan amat cepatnya dan kota itu
alangkah besarnya. Belum pernah mereka melihat toko-toko yang
90 :Eri. pmumm umu"um Balai Puslala
begitu besar dengan barang-barang yang dipajang seperti itu.
Maulana adalah seorang suami yang tenang dan berbudi. Kalau
sedang dudukberdua, Maulana menoeritakan kepada istrinya sejarah
Mahakarta. Pada suatu hari Maulana berkata kepada istrinya, "Kita
sudah sebulan di sini. Sudah waktunya berkenalan dengan para
tetanga. Kapan sebaiknya kita mulai?"
"Terserah kepadamu, Maulana," jawab Asmara.
"Baiklah, Dewi, pertama kita mengunjungi majikanku.
Kemudian kita pergi ke tetanga-tetangga dekat satu persatu.
Setuju?" Meskipun Asmara belum pernah jauh dari istana, dan
sudah terbiasa akan kehidupan di sana, namun ia merasa tenang
dan tenteram di dalam rumah sewa kecil yang mereka tempati.
Selesai makan malam, mereka duduk-duduk dengan tenang, dan
Maulana bercerita tentang studinya, tentang kota-kota yang telah
dikunjunginya dan tentang pekerjaannya.
Dengan penuh perhatian Asmara mendengarkan. "Aku masih
harus banyak belajar, dan mencari pengalaman," katanya dalam
dirinya. Dari para pembantu ia sering mendengar tentang macam-
macam makanan yang tidak dikenalnya di Mayanegara. Setiap hari
ada sesuatu yang baru, dan itulah yang membuat semarak kehidupan
pasangan muda itu. SLIllfrilll: gama llTlBlllEflUllllllanl
Setahun telah lampau. Sang raja menginginkan agar Narendra
bertunangan dengan Amirati. Maka ia pun dipangil menghadap
raja. "Putraku," kata sang nata, "kau kini cukup dewasa untuk
menjadi putra mahkota. Dan kalau kau tidak berkeberatan,
sebaiknya kau segera bertunangan dengan Amirati."
"SesuaiperintahAyahanda,putrandasangupmelaksanakannya.
Tetapi, saran putranda agar tidak diadakan perayaan pertunangan
karena semua orang sudah tahu, bahwa Amirati akan menjadi istri
saya." Tak lama kemudian dipermaklumkan kepada khayalak ramai
bahwa Narendra akan dinobatkan sebagai putra mahkota.
Pada waktu penobatan Narendra menerima payung putra
mahkota. Namanya pun diganti menjadi Pangeran Adipati
Narendra Nata. Sebagai putra mahkota ia harus ikut serta bila sang
raja tampil di depan umum. Ia juga harus mengetahui hal-ikhwal
kene"ugaraan. Sang raja menjelaskan kepada putranya berbagai hal,
serta memperbincangkan masalah-masalah kerajaan Mayanegara.
Asmara secara teratur berkirim surat dengan Kumalasari.
Diceritakannya segala sesuatu yang terjadi Mahakarta dan
Mayanegara. Demikianlah Kumalasari mengetahui bahwa Naren dra
telah diangkat menjadi putra mahkota, dan bahwa Amirati akan
menjadi permaisurinya. 92 if"- pmumm umu"um Balai Puslala
Membaca berita itu Kumalasari menangis tersedu-sedu.
"Mengapa, ah mengapa, Kakanda tidak menantikan Adinda"
Mengapa wanita lain yang akan dipersunting oleh Kakanda"
Mengapa, Narendra?" Setelah hatinya tenang kembali, Kumalasari menulis sepucuk
surat kepada Narendra: "Narendra Nata, surat ini adalah surat yang
terakhir kusampaikan. Kakanda kini menjadi putra mahkota, dan
akan menikah dengan sepupu Kakanda.
Mengapa adinda tidaklahir lebih dini, Narendra" Atau Kakanda
yang lahir kemudian" Mengapa usia kita jauh berbeda"
Namun, bagaimana sekalipun, kita tetap akan bersahabat.
Bukankah terjalin hubungan keluarga antara kita karena kakakku,
Maulana, adalah suami Asmara Dewi, adik Kakanda"
Semoga berbahagialah Kakanda, pu tra mahkota. Adinda tidak
akan mengangu Kakanda dengan surat-surat Adinda. Inilah kata-
kata terakhir untuk Kakanda dari Adinda. "
Setelah Narendra membaca surat itu, ia berkata mengumam,
"Ah, Sari, kau masih begitu muda ...." Hanya itulah yang
diutarakannya. Bertahun-tahun pun lewatlah.
Indra Cahya dan Munarsi hidup berbahagia. Perkawinan
mereka dikaruniai seorang putra, buah hati mereka berdua.
Pun pernikahan Maulana dan Asmara Dewi rukun sejahtera.
Setahun setelah pernikahan mereka, sang raja menerima berita
bahwa mereka menanti kedatangan seorang bayi.
Sementara itu Narendra Nata telah melangsungkan perkawinan
dengan Amirati. Sang raja bersyukur dengan menantunya, dan
Narendra pun sangat cinta pada istrinya yang sangat penurut dan
selalu penuh perhatian itu. Perkawinan mereka pun diberkahi
kelahiran seorang putra. Raja Mayanegara yang sudah lanjut usia
. '1,'.'.. (;P 93 kini merasa tentram dan berkata dalam dirinya, "Sekarang saya bisa
meningalkan dunia yang Fana ini dengan rasa damai."
Pada suatu hari Narendra sedang merapikan kertas-kertas yang
tersimpan di dalam lemari buku dan laci meja tulisnya. Tiba-tiba
pandangannya terantuk pada sebuah berkas
Di dalam berkas lama tersisip surat, lapuk oleh usia Tersimpan
sebagai kenangan berharga
Kini tiada terbaca dan rusak di sana-sini
Tertanya dirinya: Siapakah, di manakah, bilakah" Ah, mengapa aku terlupa"
Tiba-tiba dalam jiwa gulana
Terpetik gema samar suara gadis yang ria
Tibalah terang...sepasang mata lincah bercahaya
Wahai! Itulah kerlingan dia!
Secercah senyum lalu menghiasi wajahnya...
Demikianlah akhir kisah Tunjung Biru.
mm?" umu"um Balai Puslala
Penerbitan dan Percetakan
PT Balai Puetaka [Peres-ro)
6 Jalan Bunga Nata"BA
Matraman, Jakarta T|rnu r 1 3140
V TeIIFalts. taz-211353 3369
Website: http:!Mwwbalaipustakaeoi-d
I Let You Go 3 Supernova Petir Karya Dee Dewi Lestari Api Di Bukit Menoreh 11