Your Eyes 1
Your Eyes Karya Jaisii Q Bagian 1
"YOUR EYES. By: Jaisii Q. Chapter 1 - Selamat Ulang Tahun Naura.
*** "Kamu mau ngajak aku kemana, sih?" Naura bertanya kepada Adrian dengan mata yang masih ditutupi kain. Di belakang, Adrian terus menginteruksi kemana saja
Naura halus melangkah, menuntunnya dengan sabar, demi memamerkan kejutan kepada istri tercintanya.
"Sabar yaa. Nanti juga sampai. Ih kamu bawel banget."
"Yaa aku kan pemasaran Iaaan. Hampir satu jam lebih kamu tutup mata aku, kamu pikir aku gak bosen," dumal Naura memorotkan bibir.
Perlahan Adrian mulai membuka kain yang menutupi mata Naura, tersenyum kepada pemandangan permai yang telah disiapkan dengan sedemikian apik. Pelan-pelan,
kedua mata milik Naura terbuka. Sebuah lilin yang menerangi ruangan gelap ini, mejadi obyek utama iris hitam yang kini berbinar. Lilin bertuliskan 20 itu
tersemat di atas kue bolu berbentuk kotak persegi. Ada tulisan 'Selamat Ulang Tahun Naura, istri tercinta aku' juga. Ini cukup sederhana, tapi begitu menakjubkan.
Adrian tersenyum, memandang dalam Naura yang sedang menikmati suasana gelap dan lilin yang menjadi penerang. Berharap Naura senang dengan kejutan yang
ia buat. "Kue itu, bukan kue yang aku beli di toko kue. Tapi, kue itu buatan tangan aku sendiri, spesial buat kamu. Bagi aku kamu itu spesial, Ra. Untuk itu, aku
kasih kamu hadiah spesial. Hadiah yang nggak bakal diterima oleh cewek mana pun."
Naura masih tertegun lama, bola air mata menggantung di pelupuk mata. Ini sebabnya, mengapa hari ini Adrian begitu menyebalkan. Sekarang Naura mengerti.
"Ian bukaaa!! Adrian nggak lucu tau!! Masa kamu kunci aku di kamar" Aku janji gak bakal genit sama cowok lain di luar. Aku cintanya cuma sama kamu!!!"
Naura menggedor pintu kamar. "Kamu tega ih sama istri sendiri. Pakek kurung-kurung segala."
Di luar, Adrian tertawa sendiri, membayangkan bagaimana ekspresi sangar Naura di sana. Pasti sangat lucu dan mengocok perut. "Nggak mau. Pokoknya hari
ini kamu jangan kemana-mana. Aku gak bakal ngebiarin kamu keluar kamar apalagi ke luar rumah. Hari ini, kamu harus tinggal di dalam kamar. Kita ini pengantin
baru, aku nggak mau kamu kepincut sama cowok lain. Kamu cuma milik aku Naura Noraaa... Diem dan duduk manis di kamar, aku mau selingkuh dulu di sini."
"Kamu suami yang jahat. Bukan aku yang bakalan genit, tapi kamu. Ayolah Ian, buka pintunya. Aku nggak mau tinggal di kamar. Dan aku nggak bakal biarin
kamu selingkuh. Jangan sampai kamu ingkarin janji kamu." Naura merengek gemas, sudah seperti anak kecil yang meminta untuk dibelikan balon gas. "Suami
yang jahat. Awas aja, aku bakalan laporin kamu ke pihak yang berwajib, bilang kalau kamu udah ngelakuin KDRT. Kamu tau KDRT" Kekerasan dalam rumah tangga,
dan itu adalah tindakan yang ngelanggar hukum. Kamu bisa dihukum, aku nggak mau kamu dihukum, nanti aku bakal jadi janda. Janda muda."
"Ya udah laporin aja sana. Gue kagak takut!!"
Naura memelotot, "Apa lo bilang?"?""
"Maaf sayang. Itu kan udah perjanjian kita. Kalau kita marah, kita bisa manggil lo-gue, kan" Kayak anak SMA yang emosinya masih labil?"
"Ian kamu nyebeliiin!! Jadi kamu marah"! Aku yang dikunci kok kamu yang marah"!"
Adrian menggeleng, masih belum menghilangkan gurat tawanya, lalu berbalik meninggalkan suara Naura yang merengek untuk dibukakan pintu. Adrian mulai membuka
gadget, mencari resep kue yang enak dan menggiurkan. Tenang, Adrian sudah menyiapkan sarapan di kamar, jadi Naura tak perlu repot-repot masak atau keluar
dari kamarnya. Adrian jadikan hari ini sebagai hari spesial Naura.
Naura berbalik, menyadari kalau Adrian telah pergi. Percuma berteriak, tak akan ada yang mendengar. Perempuan itu menghela napas, belum mengerti maksud
Adrian apa. Yang jelas, Naura yakin, Adrian tak akan mungkin mengecewakannya. Dia bukan laki-laki kurang ajar, yang hanya berlaku manis di masa pacaran,
lalu berubah jahat setelah menikah. Dia adalah Adrian, yang akan selalu membahagiakannya, menjadi penerang kehidupan di masa depan. Dia laki-laki, yang
akan menemaninya hingga tua. Yang menjadi alasan terbentuknya senyum di bibir, terdengarnya degupan jantung yang merambat ke telinga, serta trenyuhnya
hati yang menenangkan jiwa. Naura melangkah, mendekati nakas. Ada sepiring sandwich, dengan dua mata, satu hidung dan bibir tersenyum yang dibuat dengan
saus tomat. Ia tersenyum.
Sementara di dapur, Adrian mulai bermain dengan tepung terigu, gula, telur, dan alat-alat pembuatan kue. Untuk pertama kalinya dia membuat kue di sepanjang
hidupnya. Entah akan berhasil atau tidak, yang penting ia sudah berusaha. Kalau hanya membeli, itu terlalu mudah, Adrian ingin mencoba yang lebih menantang.
Naura mengalihkan pandangannya kepada Adrian, mengecup bibir Adrian gemas. Lalu memandangnya, air mata jatuh di pipi. Ini adalah hari ulang tahun terindah.
"Makasih Ian." Adrian menghapus air mata haru Naura. "Jangan nangis, ah. Nantu cantiknya ilang."
"Abisnya kamu romantis banget." Naura terisak. "Ya udah, kamu tiup lilinnya," sambung Adrian. Mereka melangkah lebih mendekat.
"Make a wish, make a wish." Adrian memperingati tidak sabaran.
"Iya-iya baweeeel."
Naura memejamkan mata, mulai membuat harapan. Harapan yang cukup sederhana. Hanya ingin bisa hidup seperti ini selamanya bersama Adrian. Tak usah harta
berlimpah, rumah mewah, dan perhiasan berkilo-kilo gram. Semoga, mereka menjadi keluarga yang sakinah, mawadah dan warrahmah. Cinta dan kasih sayang Adrian
sudah cukup bagi Naura. Ia tak berani meminta apa-apa, tak mau serakah. Naura membuka matanya lagi, lalu meniup lilin hingga lilin itu terbawa angin dan
redup. Otomatis, seluruh ruangan menjadi gelap gulita, pekat.
"Yah jadi gelap." Naura tidak bisa melihat apa-apa. "Ian di mana kamu?" ia mencari keberadaan Adrian dengan kedua tangannya, tapi yang ditangkap hanyalah
angin, tak ada Adrian. "Jangan ngumpet-ngumpet gitu, deh. Nggak lucu." Naura menduga
Tak lama kemudian, ruangan menjadi terang, lampu di atas menyala. Naura terperanjat. Keluar pula, sebuah musik dengan lagu Seventeen yang berjudul Menemukanmu.
Dentingan musik mengalun merdu, terdengar nyaring di telinga Naura. Perempuan itu berbalik, menemukan sosok Adrian yang berdiri, bersandar di tembok, melipatkan
kedua tangannya yang menggenggam handphone. Cowok itu tersenyum jail.
Kiniku menemukanmu... Di ujung waktu ku patah hati..
Lelah hati ku menunggu, cinta yang selamatkan hidupku...
Kini ku tlah bersamamu, berjanji tuk sehidup semati..
Sampai akhir sang waktu, kita bersama tuk slamanya..
Lantunan musik itu mengalun sonor di dalam ruangan, menerbitkan kesan romantis. Naura dan Adrian saling tersenyum di tempat masing-masing. Naura segera
melangkah, mendekati Adrian dan langsung memeluknya mesra.
"Selamat ulang tahun sayang." Adrian melepaskan pelukannya. "Semoga panjang umur, sehat selalu. Selalu ada buat aku, selalu tampil apa adanya. Semoga mimpi-mimpi
kamu tercapai, semoga makin tinggi, pipi makin chubby kayak bakpaw, daan, makin sayang sama aku." Adrian menarik pipi tembem milik Naura. Sebelumnya ia
membayangkan akan mendapatkan perempuan cantik dengan pipi yang tirus. Tapi takdir tidak menginginkan hal itu. Jodoh, sudah diatur oleh Tuhan. Dan nyatanya,
pilihan Tuhan memang tak akan salah. Di dunia ini, apa yang kamu inginkan belum tentu menjadi nyata.
"Kamu itu sebenernya ngedo'ain atau ngatain, sih?" selidik Naura dengan pandangan introgerasinya.
"Becanda... Bentar, masih ada satu kalimat yang ketinggalan."
Terpaksa Naura harus mengurungkan niat untuk mengoceh.
"Semoga, Tuhan bisa cepet-cepet kasih kita momongan." Adrian nyengir. Naura sedikit kaget, dan akhirnya mengerti. Ia tertawa. "Emang kalau kita punya anak,
kamu mau berapa" Terus, jenis kelaminnya apa?"
"Aku pengen punya anak sepuluh. Semuanya lelaki, biar kita bisa sama-sama ngeledek Mamanya. Jadi kan, aku punya temen buat ngeledek kamu."
"Iih nyebelin. Apa kamu nggak inget" Alasan kenapa kita bisa suami istri kayak gini" Kamu gak inget kenapa kita menikah muda" Kamu nggak inget kenapa sekarang
aku udah jadi ibu rumah tangga" Kamu nggak ingeet" Gara-gara kamu itu," cecar Naura tanpa jeda. Menyalahkan Adrian atas apa yang telah terjadi. Padahal
dia bahagia karena sekarang Adrian sudah seutuhnya menjadi miliknya. Candaan-candaan garing kembali terjalin setelah sebelumnya manis-manisan. Saling mengejek.
"Oooh jadi kamu nyalahin aku" Kamu nggak mau jadi istri aku" Udah sekarang terima kenyataan aja yah, kalau kamu itu udah jadi milik Adrian. Kamu harusnya
bersyukur, masih ada cowok yang mau nikah sama cewek bawel dan pesek kaya kamu Naura Nora. Cowok ganteng lagi."
"Idih kamu. Aku taplok pakek kue itu biar tau rasa." Naura gregetan. Dalam situasi seperti ini pun, Adrian masih saja mengejeknya.
*** Bersambung... "YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul Chapter 2 - Gara-Gara Kiss"
*** Hujan deras membasahi kota, di malam hari ini, udara dingin menusuk tulang. Rintikan air terdengar nyaring. Seorang gadis berlari sekencangnya, menimbulkan
picrikan air kala sepatu itu menginjak genangan air dari jalan yang berlubang. Lampu jalan meremang. Di belakang, seorang pria berusaha mengejarnya, menerobos
air hujan yang memaksa untuk berteduh. Seperti tak akan membiarkan perempuan itu pergi, ia terus berlari.
Tiba di teras rumah, perempuan berambut panjang yang telah basah kuyup itu membuka pintu, tapi nyatanya pintu dikunci dari dalam. Ia mendengus resah. Situasi
darurat mengepungnya, layaknya dikejar ribuan zombie, bahkan lebih menyeramkan daripada mereka yang berlumuran darah. Pria berjaket kaos segera meraih
pergelangan si perempuan dengan paksa. "Naura, please. Jangan langsung ambil kesimpulan."
"Lepasin!" "Apa yang kamu liat, nggak sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran kamu."
"Jelas-jelas, aku liat kamu pelukan sama cewek lain, di halte, di waktu hujan turun. Romantis banget. Itu selingkuhan kamu" Kenapa kamu gak cerita kalau
kamu punya selingkuhan" Hati cewek mana sih yang nggak sakit saat liat pacarnya lagi pelukan sama cewek lain?" suara Naura berusaha mengalahkan suara air
hujan. Saat ini amarahnya benar-benar tidak bisa dikontrol. Hatinya terlanjur sakit. Ibarat kaca yang berdiri kokoh, lalu jatuh ke dasar lantai, menimbulkan
kepingan-kepingan berantakan, berserakan di mana-mana. Kepercayaan yang dibangun dengan sedemikian rupa, rampak dalam sekejap.
"Dua tahun kita pacaran, kamu nggak percaya sama aku."
Naura terdiam. Bukan karena kehabisan kata-kata ataupun mengalah, tapi ia malas. Memang perempuan mana yang hanya diam ketika lelaki yang ia cintai sekaligus
ia cintai bermesraan dengan perempuan lain" Perempuan mana yang rela melupakan pelukan itu" Pada hakikatnya, semua lelaki memang gampang bosan. Mereka
bisa langsung berpaling ketika melihat perempuan yang lebih 'waw'. Dan melupakan yang lama, mengganggap mereka basi.
"Dia cuma sepupu aku. Udah lama kita nggak ketemu. Jadi wajar kalau kita pelukan, cuma sekadar basa-basi. Ayolah, Na. Kita bukan anak SMA lagi."
"Apa" Anak SMA?"
Adrian bungkam. "Apa bedanya anak SMA sama aku" Sama kamu" Ketauan selingkuh ya ketauan. Cemburu ya cemburu. Emang aku nggak boleh cemburu" Cuma anak SMA aja yang boleh
cemburu" Cewek kayak aku gak boleh" Aku tetep cewek, yang marah waktu liat cowoknya pelukan."
Adrian kehilangan kata-kata. Naura mendesak dengan kalimat-kalimat tak enak didengar.
"Kamu pikir dua tahun itu lama" Sebentar, Ian. Itu waktu yang sebentar banget. Bisa aja kamu lagi cari perempuan yang lebih dari aku. Plis jangan sakitin
hati aku. Aku tuh cinta banget sama kamu, cuma butuh satu jam buat jatuh cinta sama kamu, jangan kecewain aku. Aku mohon jangan bosen sama aku." Naura
tertunduk, membiarkan air matanya berjatuhan. Terlalu takut jika harus dihadapi dengan kenyataan pahit. Adrian menatap Naura serbasalah. Kalau boleh meminta,
Adrian ingin mengulang waktu. Menata kembali segmen-segmen yang terjadi di menit-menit ke belakang. Agar kesalahpahaman ini tak akan terjadi.
"Jangan hancurin kepercayaan aku. Aku takut sama cowok, karena mereka bisa seenaknya mainin hati cewek. Cowok adalah makluk yang paling serem. Tapi kamu
jangan, aku berusaha usir rasa takut aku demi kamu. Aku kasih pengecualian."
"Apa yang harus aku lakuin supaya kamu percaya?" Adrian memegang dagu Naura dengan jari jempol dan telunjuknya. Memaksa gadis itu untuk mengangkat kepala,
mau melihatnya. Mereka saling beradu pandang. Mata Adrian adalah area paling menonjol. Teritori utama yang menjadi tempat Naura untuk meminta sebuah kejujuran.
Dan sekarang, mata itu hanya memancarkan sorot ketulusan, kelembutan, dan kejujuran. Tak ada maksud lain untuk memanipulasi. Seketika, Naura luluh.
"Kamu mau bukti?" tanya Adrian. Mata yang awalnya tertuju pada mata Naura, kini beralih ke bawah ---bibir Naura. Adrian semakin mendekat, seiring dengan
wajahnya yang mendekati wajah Naura yang matanya sedang memejam. Jika ini cara supaya Naura percaya, Adrian akan lakukan. Percayalah, hanya Naura yang
Adrian inginkan untuk menjadi pendamping hidup.
Dalam malam itu, di antara rintikan air hujan, Adrian resmi mencium bibir Naura ---untuk yang pertama kalinya. Dan itu benar-benar first kiss mereka berdua.
Bibir itu bertautan, telinga dan mata terkatup, tak memberikan rangsangan apa-apa. Seolah dunia mati.
Pintu terbuka dari dalam, menampakkan sesosok pria berkumis tebal. Telak, ciuman itu berhasil disaksikan oleh kedua mata minusnya. Pria dengan kisaran
umur 50 tahun itu terkejut bukan main. Jantungnya nyaris melompat dari sarang.
"Astagfirullahaladzim!"
Sontak, Adrian dan Naura melepaskan tautan bibir itu. Keduanya sama-sama kaget, saling menutup mulut. Gawat! Pria tua itu menatap kedua remaja di depannya
tajam. Penuh penyelidikan. Wajah garangnya membuat Naura takut.
Naura tidak sadar kalau sekarang ia berada di rumah, tempat yang tak pernah disinggahi untuk berpacaran. Naura lekas merutuki diri, memaki kasar. Ayahnya
pernah memesan agar Naura mau menjaga diri, agar Naura tidak boleh menjalin hubungan dengan seorang pria. Agar Naura bisa menunggu laki-laki yang nanti
akan menjadi jodohnya, laki-laki pilihan ayahnya. Adrian kikuk di tempat, kujur ketika mendapatkan tatapan tak sedap yang diterbitkan cowok berbadan besar
itu. "Ini Ayah aku."
Adrian ingat, Naura pernah memamerkan foto ayahnya dalam hp.
Ini kali pertama Adrian melihat ayah Naura secara langsung. Masih dengan gerakan kaku, Adrian mengangkat tangan, mencoba menyalami, atau lebih tepatnya
---berkenalan---. Naura memicingkan mata, terlalu takut dengan reaksi yang akan segera diluncurkan sang Ayah.
Di malam itulah, ayah Naura memutuskan, kalau Adrian harus segera menikahi Naura. Dia harus bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat. Bagaimana
pun, sebelum menjadi mukhrim, seorang laki-laki dilarang menyentuh bibir putrinya. Jangan berlama-lama untuk berpacaran. Kalau Adrian menolak, berarti
ayah Naura tak akan merestui hubungan mereka. Mereka harus secepatnya putus sebelum hal-hal yang lebih membahayakan terjadi.
Adrian dan Naura saling melirik.
*** "Mah, Adrian mau menikah."
Perempuan berambut hitam panjang bergelombang itu menoleh dengan kaget. Refleks tangannya memegang dada. Di pagi buta ini, anaknya tiba-tiba ngelantur.
"What?" "Aku mau nikah."
"Apa kamu bilang Adrian" Apa telinga Mama nggak salah denger" Coba-coba ulangin." Belinda mendekatkan telinga di bibir anak bungsunya. Meminta pengulangan
kata. Bagi dia, ucapan Adrian barusan hanyalah halusinasi semata. Sambil membenarkan anting, Belinda menunggu.
"Adrian mau nikah."
Belinda menarik kepalanya, menatap Adrian tak percaya. Keningnya berlipat. Tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan Adrian. "Maksud kamu apa?"
"Apa mau ngerestuin Adrian?"
"Seumur-umur, Mama belum pernah liat tuh kamu bawa perempuan ke rumah. Kamu gak punya pacar, mau menikah sama siapa" Haduuuh." Belinda terkekeh seraya
menggeleng. "Kalau ada pun, Mama gak bakal ngerestuin. Kamu masih muda, masih punya cita-cita yang harus dicapai. Sayang, anak Mama yang paling ganteng,
kamu lagi becanda, ya?"
Adrian tahu, mamanya akan bereaksi seperti ini. Belinda tampak merapikan rambutnya yang selalu terlihat glamor. Sepagi ini anaknya sudah membuat ulah dengan
berkata yang tidak-tidak. Menurunkan semangat untuk pergi bekerja. Mood-nya hancur dalam sekejap.
"Adrian serius. Nggak lagi becanda," sahut Adrian menegaskan. Belinda kembali tertawa meremehkan, sampai rentetan giginya yang rapi dan putih terlihat.
"Kakak kamu aja belum menikah. Masa kamu mau ngeduluin dia?"
"Ada apa, Ma?" sosok lelaki berjas rapi tampak turun menuruni anak tangga. Harum parfumnya sampai di hidung Adrian dan Belinda, membekap seluruh ruangan.
Benar-benar pria yang maskulin. Setelah berada di bawah, dia lantas melangkah mendekati adik dan mamanya.
"Ini loh, adik kamu. Masa dia baru aja bilang mau nikah. Gak habis pikir deh mama." Belinda berkata heboh. Jalan pemikiran Adrian membuatnya pusing tujuh
keliling. "Dia pikir nikah itu gampang?"
"Bang" Salah ya gue?" Adrian meminta pendapat kakaknya. Siapa tau dia mengerti dan memberikan solusi. Adrian benar-benar bingung.
"Ya jelas salah lah Adrian!" Belinda menatap Adrian lagi, menjawab pertanyaan yang sesungguhnya ditujukan kepada Angga ---kakaknya---. Angga masih tercenung,
kurang paham dengan percakapan mereka.
"Emang dengan menikah aku bakal kehilangan karir aku sebagai seorang mahasiswa" Aku masih bisa sekolah, kan" Aku cuma nggak mau lama-lama pacaran. Nggak
baik kan, Ma?" "Tau apa sih kamu tentang menikah" Nikah itu ribet, kamu harus jadi orang yang mapan sebelum menikah. Kamu itu masih bau kencur. Apa kamu nggak tau cewek
zaman sekarang" Mereka tuh pada rewel semua. Matre dan gak tau diuntung."
Kata-kata mamanya menyinggung Adrian. Naura tidak seperti itu. Dia gadis yang bisa menerima Adrian apa adanya, dia gadis yang asik, dia gadis yang dewasa.
Bukan perempuan matre seperti apa yang dikatakan mamanya. Paradigma itu salah besar. "Kalau aku udah mapan, semua cewek bakal ngantri. Dan aku gak tau,
mana cewek yang tulus dan mana yang nggak." Adrian membela.
"Woow. Kamu udah berani ngebantah Mama kamu yang cantik ini, ya" Mama yang selalu nurutin semua kemauan kamu. Tapi untuk kali ini, Mama nggak akan setuju.
No way." Belinda menggoyangkan jari telunjuknya. Tak akan pernah mengubah keputusan.
Adrian kelabakan. Ia sudah berjanji kepada ayah Naura. Janji yang harus benar-benar ditepati. Lagipula, apa salahnya menikah" Dia dan Naura bisa membangun
karir sama-sama, membangun semuanya dari nol. Tanpa ikut campur tangan orangtua.
"Biarin aja, Ma. Itu kan kemauan Adrian. Fine-fine aja menutut aku," tanggap Angga yang mulai mengerti dengan arah pembicaraan mereka. Duduk di kursi meja
makan. Menyiapkan sarapan. Tak akan ikut ambil pusing.
"Fine-fine aja gimana menurut kamu" Kamu mau dilangkahin sama adik kamu" Lagian kamu tuh! Udah berumur belum nikah juga. Mama butuh keturunan nih, Mama
butuh cucu." Belinda beralih kepada putra pertamanya, meminta penjelasan, kapan Angga akan menikah. Adrian menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Kalau
mamanya ingin cucu, seharusnya ia merestui keinginan Adrian untuk menikah. Bukan malah menekan abangnya yang sampai sekarang masih menjomblo. Sibuk dengan
pekerjaan. "Sabar lah, Ma. Ibarat pepatah, nih. Jodoh nggak usah dicari. Dia bakal datang dengan sendirinya dengan waktu yang udah ditentukan. Mama tau lagi D'masiv"
Yang liriknya kaya gini; 'Bukan aku yang mencarimu, bukan kamu yang mencari aku. Cinta yang mempertemukan, dua hati yang berbeda ini...'" Angga melahap
rotinya, mengangguk-anggukan kepala, masih menyanyikan lagamnya. Belinda mendelik, Angga selalu menjawab seenaknya. Sama seperti papanya. Di sana Adrian
tertawa, mendekati mereka.
"Nah bener tuh, bang!" komentar Adrian antusias, mengacungkan jari jempol. Angga balas mengacungkan jempol yang sama. Adik-kakak yang akur sehidup semati.
"Mama mau cucu" Adrian siap kasih, kok."
"Adrian! Jangan bantah Mama, pokoknya Mama gak setuju kalau kamu menikah. Sebelum kakak kamu nikah, kamu dilarang menikah. Titik." Belinda tetap bersikukuh
pada pendiriannya. Adrian menyatukan alis gemas. Sadar, sulit menaklukan keinginan perempuan yang telah melahirkannya itu.
"Siapa yang mau menikah?" suara itu menghentikan dialog ibu dan anak-anaknya. Dengan serempak mereka mengalihkan pandangan pada asal suara. Belinda mengembuskan
napas, melipat bibir ke dalam mulut.
"Adrian, Pah! Adrian!" Adrian langsung menyahut. Melangkah mendekati papanya sambil terus menepuk-nepuk dadanya. Belinda memutar bola mata, tahu apa yang
akan terjadi selanjutnya.
"Wah" Serius kamu?" Papanya tampak tertarik. Suara khasnya mampu membuat Adrian nyaman dan tenang. Berbeda dengan mamanya.
"Iya, Pah. Kapan sih Adrian bohong" Tapi sayang, Pah. Mama larang aku." Adrian mengeluh. Papanya tersenyum hangat. Ini berita yang bagus sekaligus menyenangkan.
Bukan hal yang patut untuk dibantah. "Tenang aja, Mama bisa diatur."
Belinda melotot. "Emang siapa calonnya?"
"Ada. Nanti Adrian kenalin." Adrian berubah sumeringah. Sebelumnya ia yakin, kalau papanya yang satu ini tak akan menolak. Dia akan setuju selama itu tidak
melanggar peraturan undang-undang. Kalau Adrian meminta untuk membunuh seseorang, baru, papanya yang akan membunuh anaknya duluan.
Angga beranjak, berbisik sesuatu di telinga mamanya yang sedang kesal setengah mati. "Mama kalaah, Mama kalaaah. Biarin aja lah, Ma. Angga percaya, pilihan
anak itu nggak bakal salah. Percaya, deh. Yang penting sekarang, kita ketemu dulu sama cewek yang udah bikin Adrian ngebet pengin nikah."
"Iihh!" Belinda menjauhkan telinganya dari mulut Angga, wajah putih yang selalu dirawatnya berubah merah padam. Mengapa semua anggota keluarga rumah ini
tak ada yang setuju dengan pendapatnya" Ia hanya belum siap menyerahkan putra kesayangannya ke tangan perempuan yang Adrian cinta. Siap diduakan cintanya.
"Tenang, masih ada Angga," cowok itu berkata meyakinkan dan terdengar geli.
"Ceweknya cantik, Pa. Baik hati, tidak sombong dan rajin menabung. Tapi sayang, bawel, Pa." Tapi sesungguhnya, Adrian tidak menyayangkan hal itu. Karena
cewek tak ada yang sempurna. Justru, karena bawel dan apa adanya itulah yang membuat Adrian jatuh hati. Papanya terkekeh pelan, tidak memedulikan eskpresi
masam yang diluncurkan istrinya, Belinda.
Kalau sang kepala rumah tangga sudah menentukan, Belinda tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tak bisa menolak atau memberikan masukan. Hanya bisa diam dan pasrah.
"Besok, bawa calonnya ke sini." Satria melanjutkan, menepuk bahu Adrian karib.
Adrian memberikan hormat layaknya bawahan yang patuh kepada komandan. Mereka pun tertawa. Ketika tertawa, mereka terlihat mirip sekali. Adrian memang sering
disebut anak yang paling tampan, ia mewarisi wajah papanya. Manis. Sementara Angga mewarisi wajah mamanya, jadi wajah adik-kakak itu banyak sekali perbedaannya.
Namun tetap, mereka sama-sama tampan. Anak kebanggaan Belinda dan Satria.
Seperti yang dijanjikan, esoknya Adrian mengajak Naura ke rumah untuk mengadakan pertemuan dan perkanalan. Mereka memang sudah menjalin hubungan selama
dua tahun, tapi keduanya sama-sama belum pernah menceritkan hal itu kepada orangtua masing-masing.
*** Bersambung... "Your EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 3 - Menghadapi Mertua.
*** Pagi menyapa, matahari membentangkan sinar keemasannya. Dalam sebuah rumah, terdengar suara musik berbahasa asing yang menggema ---berasal dari DVD yang
disambungkan lewat kabel USB. Setelah selesai menyiapkan sarapan pagi, Naura berlekas membersihkan rumah. Menyapu, mengepel lantai dengan riang, sambil
bejoged, mengikuti kemana arah lagu. Karena dengan lagu, bisa membuat Naura semangat dalam mengerjakan pekerjaan rumahnya. Semangat paginya berkobar. Kalau
siang, waktunya untuk malas-malasan.
Adrian belum bisa menghilangkan kebiasaan bangun siangnya. Kalau sedang di rumah pun, dia hanya akan bangun jika dibangunkan oleh mamanya. Begitu keluar
dari kamar, Adrian bisa mencium bebauan pewangi lantai. Juga wangi lainnya yang menyerebak. Ia mengucek-ngucek matanya yang masih ada belek. Telinganya
terasa panas, ini benar-benar berisik. Seperti sedang berada di diskotik.
Naura mengepel dengan gerakan mundur, bibirnya terus bernyanyi sesuai dengan lagu, ya walaupun liriknya beda jauh, hingga ia tak melihat ada Adrian yang
sudah berdiri di belakang. Kepala Naura pun mengenai dagu Adrian. Perempuan itu segera berbalik, menyadari ada sesuatu yang tidak beres.
"Lagu apaan sih ini?" tanya Adrian sedikit kesal, bahkan suaranya nyaris tenggelam. Bukannya menyapa, dia malah bertanya demikian.
"Kamu udah bangun, sayang?" Naura malah balik bertanya.
Adrian yang sudah tidak tahan lagi dengan lagu entah dari negara mana itu segera melangkah menuju TV. Mengambil remote DVD dan mematikan DVD. Seketika
ruangan menjadi senyap, lagu The Boys yang dinyanyikan girlband Korea paling nge-hitz itu hilang dalam sekejap. Tentu saja, tindakan Adrian membuat Naura
dongkol. Lekas ia menghampiri Adrian, siap menyemburka api amarah.
"Kamu kenapa sih bangun-bangun malah matiin lagunya" Jahat, ih. Padahal susah banget buat ngehubungin kabel USB-nya. Cuma sama lagu-lagu itu yang bikin
aku semangat beres-beres. Iiiih kamu nyebelin!" protes Naura melengking. Padahal baru saja Adrian merasa hening. Lagi-lagi telinganya harus dijejali amukan
cempreng. "Nyetel musik ya nyetel musik, tapi nggak usah kenceng-kenceng amat. Lagian barusan lagu apaan sih, gaje banget. Selera kamu emang rendah."
Naura mengepalkan tangan, cukup tersinggung dengan perkataan Adrian. Sama saja dia sudah menghina seleranya. "Apa kamu bilaaang" Selera aku rendah?"
"Nggak aku nggak bilang gitu." Adrian menyadari kesalahannya. Untuk menutupi, ia memilih tidak tahu apa-apa.
"Kamu pikir aku budek" Aku denger dengan jelas, kamu bilang selera aku rendahan. Emang ada ya suami yang hina-hina istrinya" Ian kamu bener-bener nyebelin.
Aku udah masakin sarapan buat kamu, udah beres-beres, tapi kamu nggak ngehargain itu. Kamu malah ngatain aku. Aku punya salah apa sih sama kamu" Aku udah
kasih kamu cinta, masih kurang?"
Adrian mengernyit. Ia tidak bermaksud seperti itu. Itu hanya sebatas candaan semata. Seharusnya Naura tidak perlu berlebihan seperti ini dan seharusnya
dia balas mengejek. "Kamu mau rumah kita berantakan" Kamu mau aku biarin kamu kelaperan" Kamu mau aku dikatain tetangga gara-gara aku gak bisa ngurus rumah tangga dengan baik"
Ya udah terima aja aku apa adanya. Aku emang suka lagu-lagu Korea. Aku ini K-Popers sejati. Kamu harusnya ngerti. Kamu inget janji kamu saat sebelum kita
nikah, kalau kamu bakal terus bahagiain aku, kamu gak bakal bikin aku nangis. Kamu nggak bakal marahin aku, kamu harus tepatin janji kamu..."
Adrian menggeleng. Hanya ada satu cara yang dapat dilakukan sekarang, yaitu meminta 'maaf'. Kalau tidak, Naura tak akan mau berhenti mengoceh. Ia akan
nyerocos sampai ke akar-akarnya, sampai keluar dari inti masalah ---curhat lebih tepatnya. Terus saja seperti itu hingga lebaran monyet tiba.
"Ya udah iya-iya aku minta maaf. Aku salah iya aku salah." Naura yang nyaris menangis dibawa Adrian ke dalam pelukannya. Naura menenggelamkan kepalanya
di dada Adrian dengan wajah yang masih masam. Adrian tidak mengerti, akhir-akhir ini Naura lebih sensitif dibandingkan dengan sebelum-sebelumnya. Tingkat
Your Eyes Karya Jaisii Q di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bawelnya naik lima level.
Naura yang butuh pelukan pagi, terus memeluk Adrian rapat. Mengambil kesempatan dalam kesempitan.
"Setel lagi aja lagunya. Tapi aku yang pilih, ya." Adrian melepaskan pelukannya. Beralih untuk menyalakan kembali DVD. Memilih lagu yang lebih tepat. Begitu
menemukan lagu yang tepat, jemarinya menekan tombol play. Adrian mengecilkan volumenya dahulu, lalu keluarlah suara lagu yang barusan dipilih.
Lagu milik Armada dengan judul Wanita Paling Berharga.
"Sini biar aku yang ngepel. Emangnya kamu pembantu, ngepel segala." Adrian merebut alat pel yang berada di tangan Naura. Sementara Naura mulau asik dengan
lagu yang membungkus ruangan ini. Naura mengerti mengapa Adrian memilih lagu romantis ini. Liriknya membuat Naura tersenyum-senyum, mungkin untuk mewakili
perasaan Adrian. Pandangan Naura beralih kepada Adrian yang sedang mengepel. Perempuan itu mengedip-ngedipkan mata. Masa harus Adrian yang mengepel" Tidak
bisa dibiarkan. Naura bergegas pergi ke belakang. Lalu setelah beberapa detik kemudian, ia kembali dengan membawa lap pel yang lain. Ikut mengepel di sebelah Adrian. Begitu
Adrian menoleh, Naura melemparkan senyumnya.
"Nah, gitu dong senyum," komentar Adrian.
Dasar labil. Adrian membatin seraya menggeleng.
Mereka pun mengepel lantai bersama-sama. Hingga lagu berganti ke lagu yang lain. Kalau dilihat-lihat, mereka bukan seperti sedang mengepel, tapi sedang
bermain dengan lap dan air. Adrian dan Naura mendorong lap pel bersamaan di jalur berbeda. Lalu mundur secara bersamaan. Saat bersebelahan secara pas,
Adrian mengecup pipi Naura, begitu pun dengan Naura yang juga mencium pipi Adrian. Keduanya sama-sama menerima kecupan manis di pagi buta, lalu tertawa.
Keduanya kembali mendorong lap pel dengan riang, kadang berputar. Sempat-sempatnya juga menari.
Bukannya bersih, lantai itu malah becek. Adrian dan Naura saling melirik, mungkin ada kesalahan teknis. Seharusnya lantai ini bersih, kinclong, tapi malah
berbanding terbalik. "Gimana mau kering, orang kita nggak peres dulu lapnya," ucap Naura blo'on. Adrian hampir tersedak.
'Tok tok tok' Pembicaraan mereka teralih kepada suara pintu yang diketuk. Mengira, pasti sudah sejak tadi pintu itu berbunyi. Naura memberikan lap pelnya kepada Adrian.
"Pegangin, aku mau bukain pintu dulu. Kayaknya ada tamu." Ia bergegas mendekati pintu. Adrian menerka tentang siapakah orang yang sekarang berdiri di luar.
Jangan sampai orang penting, nanti kalau dia melihat rumahnya yang kacau-balau, itu bisa memalukan. Ia pun berinisiatif untuk segera mematikan lagu.
Cekrek. Pintu terbuka. "Yaaaa?" Naura membesarkan bola matanya, wajahnya yang riang berubah kaku, ternyata bukan tamu biasa, bukan tetangga sebelah. Sosok perempuan
berbadan tinggi, memakai celana bahan abu, baju yang memakai rompi berwarna hijau, rambut digelung, berada di depan mata sambil tersenyum. Entah senyuman
yang bermakna apa, yang jelas, Naura harus balas tersenyum lebih lebar. Harus terlihat sesopan mungkin.
"Lama banget buka pintunya. Kamu lagi ngapain?" Nada suaranya memang lembut, tapi justru itulah yang membuat Naura gemang. Naura tahu persis bagaimana
sikap mama Adrian. "Eeh Mama." Naura cengengesan. Jantungnya berdebar jika harus bertemu dengan mertua. Ia lantas mengangkat tangan, menyalami Belinda, membawa telapak tangannya
ke kening. Lalu memberikan senyum. "Maaf, Ma. Aku lagi beres-beres sambil dengerin lagu, jadi gak kedenger, deh."
Tanpa menyahut, Belinda langsung melangkah masuk. Baru satu langkah, Naura sudah lebih dulu mencegah, melarang mertuanya untuk masuk. "Eeh jangan dulu
masuk, Ma. Aku belum selesai ngepel lantai soalnya." Naura berusaha sesopan mungkin, memegang kedua lengan Belinda. Belinda memandang Naura tak masuk akal.
"Emmm... Emmmm mending Mama tunggu dulu di luar. Biar aku selesain dulu. Nanti kalau udah bersih, aku bakal nyuruh Mama masuk. Sebentar ya, Ma." Dengan
penuh kekikukan, Naura berbalik, masuk ke dalam, waswas. Perempuan itu tidak mampu melihat langsung bagaimana ekspresi mertuanya sekarang. Sudah pasti
kesal. Ia harus cepat-cepat membersihkan semuanya, berharap bisa selesai dalam jangka waktu 10 menit.
Belinda menggeleng-gelengkan kepala. Gadis itu selalu saja membuat ulah. Ada saja hal yang membuat darahnya naik. Dulu, saat Adrian dan Naura masih tinggal
di rumah keluarga, Naura pernah melakukan kesalahan. Menumpahkan susu putih yang sangat panas ke baju mertuanya. Walaupun tidak sengaja, tapi tetap saja,
Belinda marah besar. Dan yang lebih parahnya lagi, Adrian malah membela istrinya.
"Mending sekarang kamu mandi dulu, Mama kamu dateng. Biar aku yang beresin semuanya. Jadi waktu Mama masuk, kamu udah siap."
"Mama dateng di waktu yang nggak tepat, nih." Adrian menyeloteh. Belok arah. Naura mulai mengepel lagi, menata kursi dan lain sebagainya. Naura lakukan
semuanya dengan gesit. Untunglah ia sudah menyiapkan sarapan.
Di luar, Belinda duduk di kursi sembari mengetuk-ngetukan hak sepatu ke atas teras, sudah lewat 10 menit tapi Naura belum juga memanggilnya. Kalau dua
menit lagi dia belum keluar, Belinda akan masuk secara paksa. Dia datang ke sini bukan untuk menunggu di luar, dibengkalaikan begini.
"Ma, silahkan masuk, Ma," kata Naura sukaria. Belinda berdiri sembari mendelik. Terlalu bosan dan sebenarnya sedang menahan amarah.
"Sekarang rumahnya udah rapi, udah seger, udah wangi. Pokoknya Mama bakal nyaman, deh. Hehe." Naura mengajak mertuanya tertawa, tapi Belinda tidak menggubris,
melangkah masuk dan duduk di atas sofa. Naura menarik napas dan mengangkat kedua alisnya. Naura masuk kembali, ia harus bersabar menghadapi mertuanya yang
judes, tegas dan pemarah.
Adrian muncul di pintu kamar, sudah berpakaian rapi, berpapasan dengan Naura yang hendak pergi ke dapur.
"Kok wajah kamu ditekuk?"
"Jangan protes. Izinin aku kayak gini di sela waktu di belakang Mama kamu. Aku harus siapin wajah paling ramah di depan tante Belinda alias Mama kamu yang
selalu ngeliat aku sinis," bisik Naura lugas.
Adrian terkekeh, mengusap puncak kepala Naura sampai rambut perempuan itu acak-acakan. "Dia Mama kamu juga. Aku percaya, kamu cuma kesel doang, tapi sebenernya
kamu sayang kan sama dia" Kalau kamu nggak sayang, mana mungkin kamu sayang sama anaknya yang paling ganteng."
"Hmmm." Naura tak minat dengan gurauan Adrian. Dia terlalu percaya diri. Selalu bilang kalau dia ganteng dan istrinya itu jelek.
"Dia loh yang udah ngelahirin aku. Itu sebabnya sekarang aku ada di dunia, dan ketemu kamu, jadi orang yang ngebahagiain kamu."
"Lebaaay." Adrian membesarkan bola matanya. "Sekali lagi kamu bilang aku lebay, aku gigit." Adrian menggertakan gigi, hampir menggigit pipi Naura yang tembem. Tapi
Naura lebih dulu menghindar. "Wleeee gak kena." Naura menjulurkan lidah, meledek Adrian abis-abisan, lalu berlalu, meneruskan niat untuk pergi ke dapur
menyiapkan minum dan cemilan. Sementara Adrian tersenyum menjangkau kepergian Naura. Adrian harus segera menemui mamanya di ruang tamu.
Naura mengambil tiga gelas dari rak piring. Ia ingat percakapan dengan almarhum ibunya dulu, sewaktu Naura masih duduk di kelas 9 SMP. Sebelum ibunya meninggalkan
Naura untuk selama-lamanya. Mungkin, itu adalah pesan terakhir almarhum.
"Naura. Kamu itu harus belajar cuci piring, cuci baju sendiri, beres-beres yang rajin. Karena nanti, kamu bakalan tinggal di rumah suami kamu." Ibunya
menyisir rambut Naura yang tergerai panjang di teras rumah, memandang langit yang mulai keorenan. Udara sejuk menggoyangkan daun, menyapu debu-debu.
"Tapi kan Naura masih SMP, masa Ibu udah nyuruh Naura kayak gituan. Kan ada Ibu."
"Itu kan sekarang, kalau nanti" Kamu harus belajar mulai dari kecil, dari sekarang, supaya nanti kamu nggak akan terlalu kaget. Kamu itu gak bakal selamanya
hidup sama Ibu. Suatu saat nanti, saat kamu tumbuh besar, tumbuh dewasa, kamu bakal ketemu sama jodoh kamu. Seorang laki-laki yang nantinya bakal jadi
suami kamu. Kita kan nggak tau, kamu bakal dapetin jodoh orang dari kalangan mana. Entah dari keluarga kaya, sederhana, atau susah."
Sambil memandang langit dan burung-burung yang hinggap ke ranting-ranting pohon, Naura mendengarkan amanah ibunya dengan cermat. Sadar, kalau dia jarang
sekali mencuci piring, semua pekerjaan rumah, dikerjakan oleh ibunya. Sesekali Naura mengedipkan mata. Ketika orangtua sedang berbicara, kita tidak boleh
sedikit pun membantah, atau memotong.
"Nah kalau di depan mertua, kita harus sopan. Gak semuanya mertua itu baik loh Naura. Ada yang begini, begitu. Pokoknya bervariasi, deh. Ada yang rewel,
nyuruh menantu harus ginilah, gitulah. Ada juga yang judes dan bawelnya kebangetan. Kamu jangan protes, tetep hormatin mereka aja. Cari aman Naura. Dulu
juga, almarhum nenek kamu itu terkenal bawel. Nyuruh Ibu harus pakai kerudung lah, harus setiap hari masak lah, aaah pokoknya bener-bener galak," ibu Naura
terkekeh. Naura ikut tertawa, membayangkan betapa sulitnya hidup ibunya dulu. "Tau gak, Nak" Ibu pernah kesiangan nggak bangun shubuh, nenek kamu terus
ngomelin Ibu sampai maghrib."
"Serem juga ya, Bu," tanggap Naura ikut takut. "Pokoknya Naura nanti pengen punya mertua yang baik, yang mau ngajarin Naura masak. Jangan marah-marah kayak
Nenek." "Amiiin sayang amiiin." Ibunya mulai mengikat rambut hitam panjang Naura, rambut yang satu tahun lebih ini tidak dipotong. Ibunya senang melihat rambut
anaknya panjang, biar bisa lebih terlihat cantik dan feminim. Sayang jika rambut hitam halusnya dibuang.
"Ibu do'ain, yah. Semoga kamu dapet jodoh yang baik, yang bisa terima kamu apa adanya. Yang sayang sama kamu tulus."
"Aaah ibu ngomongon jodoh. Orang Naura baru aja mau pakai seragam putih abu-abu," gurau Naura aneh. Masa depannya masih jauh, mana mungkin dia berpikir
soal menikah. "Ibu cuma mau ngingetin. Ini tips rahasia, lho. Harus kamu pegang sampai nanti. Jangan sampai nanti kamu malu-maluin di depan keluarga jodoh kamu. Kalau
ada cucian, cuci. Murah senyum, jangan cemberut. Mau diomelin mertua" Jangan mau, sakit hati."
"Ciyeee sakit hati diomelin ibu dari Ayah." Naura berbalik, menggoda ibunya yang baru menyelesaikan ikatan di rambut Naura. "Kasian banget sih Ibu. Untung
cinta sama anaknya, kalau nggak mungkin Ibu udah kabur."
"Eeeh itu kok kamu ada kutunya?" Ibunya memegang kepala Naura, melotot. Mengatakan adanya binatang yang paling Naura benci, putrinya itu tidak mau kalau
rambutnya ditumbuhi kutu. Itu hal yang sangat menjijikan.
"Ah masa sih, bu?" Naura gentar.
"Becandaaaa." "Ih Ibu ngeselin."
"Abisnya kamu nyebelin."
Naura mengeluarkan jurusnya, menggelitiki pinggang sang Ibu gemas. Matahari turun dari peraduan, menyisakan langit yang menggelap, suara-suara adzan Magrhib
mulai terdengar di penjuru komplek, berasal dari masjid-masjid yang berbeda. Dari yang jauh, hingga yang dekat. Ibunya tertawa terkikih-kikih, merasa lucu
saat mengingat wajah anaknya yang takut, juga gara-gara gelitikan Naura yang geli. Teras itu terasa hangat untuk beberapa menit.
Naura menyadari, betapa pentingnya amanah yang disampaikan ibunya pada saat itu. Itu adalah pesan terakhir sekaligus pesan yang akan terus terpatri dalam
jiwa Naura. Nyaris saja air matanya turun, tapi Naura segera menyekanya. Naura menyimpan nampan berisi tiga gelas air putih di atas meja, memindahkan gelas-gelas
dari dalam nampam. Adrian dan mamanya terdengar sedang bercakap-cakap tentang Angga yang belum juga membawa calonnya. Setelah itu, Naura berdiri kembali
untuk menyimpan nampan. "Nggak usah, Na. Simpen aja di atas meja. Dan kamu duduk di sebelah aku," kata Adrian tak ingin merepotkan Naura.
Naura mengurungkan niat dan duduk di sebelah Adrian.
"Silahkan diminum, Ma airnya," ucap Naura. "Maaf mejanya nggak penuh sama makanan. Soalnya Naura males buat pergi ke luar," lanjutnya, memaksa bibir untui
tetap tertawa. "Kenapa Papa sama kak Angga nggak ikut?"
"Kamu nggak mau nanya tentang kondisi Mama" Malah nanyain yang nggak ada."
Naura menelan ludah. Salah lagi.
"Biasaa mereka lagi sibuk," lanjut Belinda pada akhirnya. Meraih segelas air putih dan menyeruputnya pelan.
"Oooh gitu, yah." Naura manggut-manggut. Tidak terlalu menanggapi ucapan-ucapan pedas mertuanya. Di sebelahnya, Adrian terus menepuk-nepuk bahu Naura.
Setidaknya, dia cukup mengerti dengan perasaan Naura.
"Kenapa sih kalian nggak tinggal di rumah Mama sama Papa aja" Biar Mama bisa leluasa mantau kalian. Apa kalian nggak sumpek gitu tinggal di rumah sekecil
ini?" tanya Belinda dengan nada tak mengenakan, memandangi bangunan sederhana ini serba tidak tertarik. Merasa kalau Adrian tidak pantas tinggal di rumah
yang tidak mewah dan serbaada.
"Kecil dari mananya sih, Ma" Aku kan udah pernah bilang. Mama nggak usah khawatir. Aku pengin hidup mandiri sama Naura, aku nggak mau nyusahin Mama sama
Papa. Lagipula, ini tempat yang pas buat aku sama Naura tinggalin. Kamar ada dua, dapur sama kamar mandi ada, tuang TV ada, ruang tamu ada. Apa kurangnya"
Cuma nggak pakek tangga doang" Aku nggak butuh rumah tingkat."
Belinda tercengang. Naura memejamkan mata, setuju dengan jawaban Adrian. Berarti dia tipe laki-laki jantan, bukan keturunan anak Mama. Mau memulai semuanya dari awal. Jatuh,
bangun lagi. Jatuh, bangun lagi.
"Makasih buat tawaran Mama supaya aku bisa tinggal di rumah Adrian yang dulu. Tapi izinin Adrian buat mandiri. Adrian mau cari kerja sendiri. Adrian cuma
mau Mama selalu buka pintu rumah saat Adrian pengin pulang, ketemu sama Mama Papa. Kasih kalian kabar gembira. Aku janji sama Mama, aku bakal hidup bahagia
sama Naura. Adrian pengin jadi orang dewasa."
Naura tersenyum-senyum memandang Adrian dari samping. Ia kagum, Adrian mau hidup sederhana dengannya. Asal Adrian bisa setia, Naura yakin, mereka bisa
melewati semuanya. Belinda mati kutu. Sambil terus merutuk dalam hati, mengapa anaknya bisa jadi seperti ini.
"Iya-iya Mama ngerti. Ya udah Naura, kamu udah siapin sarapan."
"Udah dong, Ma. Udah selesai semuanya. Masak makanan kesukaan Adrian, ayam krispi sama sayuran ya, kan sayang?" Naura melirik Adrian, mengedipkan sebelah
matanya. Adrian mencubit pipi Naura. "Naura bangun shubuh, shalat shubuh bareng Adrian terus nggak tidur lagi, biar ngerjain kerjaan rumahnya nggak terlalu
siang. Ya tapi Ad..."
"Euuh Mama nggak nanya itu, buktinya pas Mama dateng rumahnya masih berantakan!" Belinda malas mendengar menantunya yang terlalu banyak curhat, nggak penting.
"Perut Mama laper, butuh makan, bukan denger curhatan kamu."
Naura berusaha untuk tetap tertawa. Iya, ini kesalahannya. Adrian mengusap-ngusap dada Naura.
Bersambung. "YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 4 - Pasar Malam. *** Berjalan memasuki area pasar malam, Naura memeluk lengan Adrian, untuk sekadar mengurangi rasa dingin yang diakibatkan angin malam. Selama perjalanan terjalin
obrolan dan candaan kecil, yang membuat kedua bibir mereka melekukkan senyum, dan tawa. Adrian menertawakan tentang Naura yang tak pandai memakai hak sepatu
yang tinggi. Naura menertawakan tentang kue buatan Adrian yang rasanya terlalu asin. Dan di hari ulang tahun itu, Naura malah memaki Adrian, bisa saja
Adrian mau kawin lagi. "Kalau nggak bisa bikin kue, ya nggak usah maksain lah."
"Iiih gak tau terima kasih banget. Tapi sayang kaan?"
"Biasanya kalau orang masak sesuatu, terus rasanya asin, artinya dia pengin nikah lagi." Naura kembali mengejeknya. "Silahkan kalau kamu mau nikah lagi,
tuh banyak cewek-cewek yang cantik, tuuuh." Naura menunjuk-nunjuk kumpulan cewek remaja yang memakai celana pendek, rambut diwarna, listik merah tebal
di bibir. Adrian malah bergidik ngeri.
Ada saatnya mereka berhenti untuk membeli permen harum manis, jajanan yang paling sering dijumpai di kawasan pasar malam. Bisa disebut sebacemberut, lan
khas di pasar malam, sesuatu yang sangat lumrah. Jajanan kegemaran anak kecil. Ada warna pink, ungu, hijau, dan kuning. Pasar malam selalu terlihat warna-warni.
Adrian dan Naura suap-suapan manja. Adrian menempelkan secuil harum manis itu di hidung pesek Naura, dengan cepat Naura membuangnya dan melototi Adrian.
Musim sedang bersahabat, tak ada hujan yang bisa mengakibatkan pasar malam becek. Banyak sekali wahana-wahana yang dapat dijumpai. Ada komedi putar dengan
berbagai jenis bentuk tempat duduk; kuda, bebek, jerapah dan lain sebagainya. Yang ditumpaki oleh para anak kecil menggemaskan. Tak lupa dengan lampu kerlap-kerlip
yang membuat peremainan itu terlihat asik. Wahana bianglala tampak mendominasi pasar malam, itu adalah wahana paling menonjol, lampu-lampu kerlipnya tampak
menyinari langit hitam di atas, berputar santai.
Ada pedagang makanan, aksesoris, baju, dan lain-lain. Suara-suara orang berseru, musik dari permainan, musik dari penjual es krim, semakin membuat suasana
ramai. Tempat yang cocok untuk mereka yang ingin berpacaran, juga untuk keluarga yang ingin refreshing.
Adrian dan Naura asik berdua di antara orang-orang yang berseliweran di tempat permainan lempar gelang. Adrian berusaha melempar gelang ke gelas bernomor
5, maka mereka akan mendapatkan hadiah sebuah boneka besar. Di sebelahnya, Naura terus memberi support, dia gregetan, ingin melihat Adrian memasukkan gelang-gelang
itu secara mulus. Di tengah kefokusannya, Adrian tertawa mendengar teriakan semangat dari Naura, itu artinya dia bahagia. Bahagia itu sesederhana ini.
Tersisa satu gelang lagi, dan...
Plus. Gelang terakhir berhasil masuk ke dalam gelas. Adrian menyeringai puas, menjentikkan jari jempolnya. Naura memekik senang. "Yeee kamu berhasil sayaang,
kamu berhasiil." Ia bertepuk tangan gembira, heboh. Hadiahnya memang tidak seberapa, tapi Naura sangat senang. Karena itu berasal dari ketelitian Adrian
dalam melempar gelang yang konon sangat sulit ditaklukan. Adrian dan Naura saling menyatukan kening sambil menggeleng-geleng mesra. Pemuda pemilik permainan
itu memberikan boneka beruang besar berwarna krem kepada Naura. Naura segera memeluknya sukacita.
Mereka beralih ke permainan lain, menaiki permainan bianglala yang sudah dipenuhi penumpang lain. Untung, masih ada satu tempat yang tersisa, jadi Adrian
dan Naura tidak perlu berlama-lama menunggu. Saat menaiki wahana ini, kita bisa berada di ketinggian 30 meter dalam sekali putaran, melihat pemandangan
pasar malam dari atas. Melihat kerlap-kerlip lampu, penjual, pembeli, pengungjung dan balon-balon sabun. Juga anak kecil yang meronta ingin dibelikan balon
berbentuk tokoh kartun Upin dan Ipin.
Dengan membawa boneka beruang itu, Adrian dan Naura duduk bersebelahan di dalam kabin berukuran kecil.
"Kamu nggak perlu ngajak aku ke tempat yang mewah, yang mahal, yang terkenal. Gak usah jauh-jauh ke luar negri, di tempat kaya gini juga..., aku bahagia."
Adrian tidak menjawab perkataan Naura, pandangannya berada di samping, menatap ke bawah ketika mereka telah berada di atas. Naura memerhatikan Adrian penuh
selidik, tampak jakunnya yang berulang kali dialiri air liur. Hening menyelimuti. Oooh, Naura baru mengerti.
Adrian kan takut ketinggian.
Nyaris Naura tergelak. Ia pun membawa pipi Adrian, agar dia melihat ke arahnya, berhenti memandang ketinggian. Untuk apa terus memandang hal yang membuat
kita takut" Lagipula, itu hanya sementara, sebentar lagi mereka akan berada di bawah. Mata Adrian dan Naura saling beradu, Adrian masih memasang wajah
datar. "Kalau kita lagi di atas, lebih baik kamu liat wajah aku. Kamu boleh ngumpet, seenggaknya kalaupun aku jelek, wajah aku nggak seserem ketinggian."
Naura tersenyum manis, lesung pipinya terlihat, matanya berbinar. Refleks Adrian ikut tersenyum, degupan jantungnya kembali normal. Hanya Naura yang mampu
mengusir kegelisahannya. Embusan angin menerbangkan anak-anak rambut Naura, kadar kecantikannya semakin terlihat. Meski Adrian sering mengatai Naura jelek,
tapi dalam lubuk hatinya, Naura adalah perempuan tercantik. Kedua senyuman mereka penuh cinta dan makna.
Adrian menaiki wahana ini karena ingin menemani Naura, ia tidak bisa menolak keinginannya. Naura sendiri tidak sadar kalau sebenarnya Adrian takut ketinggian.
Kalaupun ia tau, Naura tak akan memaksa. Naura menyimpan kepalanya di hahu Adrian, menikmati momen berdua ini dengan tenang. Naura ingin terus seperti
ini dengan Adrian. "Nanti suatu saat, bukan boneka ini yang bakal nemenin kita. Tapi sama kesepuluh anak kita," kata Naura. Mengangkat kepala, melihat wajah Adrian lamat.
"Emang muat?" tanya Adrian polos.
"Ya muat, lah."
Kening Adrian berlipat. Penuturan Naura memang tidak masuk akal. Bagaimana bisa tempat sekecil ini bisa menampung sebanyak 12 orang"
"Kata siapa aku mau bikin 10" Aku cuma mau dua. Dua anak lebih baik," katanya dengan logat seperti di iklan-iklan. Mencolek hidung Adrian.
"Jadi kamu nggak mau nurutin keinginan aku?"
"Nggak mau." Naura mengeluarkan lidahnya. "Kamu kira, ngelahirin anak itu gampang" Nggak segampang ngebalikin telapak tangan."
"Serius" Kamu nggak mau nurutin permintaan aku?" ulang Adrian lagi.
Naura mengangguk pasti. Adrian mencubit kedua pipi Naura gemas. "Mau aku cium bibirnya beratus-ratus kali" Emmm?" Atau mau aku tarik hidung kamu yang pesek" Atau mau aku selingkuhin?"
Ia masih menarik-narik pipi Naura gemas. Tidak peduli dengan suara desisan Naura.
"Aaaaa ampuuun."
"Pokoknya aku pengin kita punya anak 10. Jangan dikurangin jangan dilebihin. Kalau nanti kita ke sini, bianglala ini isinya cuma keluarga kita doang,"
lanjut Adrian lagi, akhirnya dia melepaskan cubitannya. Menatap Naura gemas sekaligus lucu. Pipi Naura menjadi merah.
"Sakiiiit Iaaaaaan," pekik Naura kesal.
"Makannya jangan mancing-mancing aku."
"Padahal kan maksud aku baiik. Supaya kamu lupa kalau giliran kita yang ada di atas." Naura mencibir. Adrian tidak mengerti dengan tujuannya.
"Oh iya, ya." Segera Adrian mengangkup pipi Naura, wajah mereka saling berdekatan, menyisakan jarak 3 cm. Naura yang masih marah, hanya cemberut, memandang
sinis Adrian. Tanpa aba-aba, tanpa izin, tanpa perintah, Adrian mengecup bibir Naura sedetik, gadis yang dikecupnya melotot. "Oke jangan marah." Adrian
mendaratkan kecupan yang kedua, satu detik, Naura masih melotot. "Kamu makin jelek kalau marah." 'Cup' dan itu adalah kecupan yang terakhir. "And thank
you so much my wife." Adrian memeluk Naura yang masih terkejut. Takut kalau misalkan tadi ada orang yang lihat. Naura mengerjap-ngerjapkan mata. Pelukan
itu berlangsung lama, kira-kira dalam satu putaran kincir.
"Owalaaah. Mas, mbak malah asik pacaran," suara seseorang kontan membuat Adrian dan Naura melepaskan pelukan mereka, terperanjat. Boneka yang dipegang
Naura jatuh ke bawah. Cepat-cepat Naura membawanya dengan gerakan super kaku. Memaki dalam hati.
"Hehe, udah selesai ya, mas?" tanya Adrian jengah.
"Iya. Kasian, nenek sama kakek ini udah nungguin katanya pengin naik kincir angin."
*** Rumah hantu adalah tujuan selanjutnya. Setelah membeli tiket, Adrian dan Naura masuk ke dalam. Suasana horor menyambut, tembok lusuh, dan banyak sekali
sosok-sosok menyeramkan yang sengaja menampakkan diri untuk menakut-nakuti para pengunjung. Kini, bukan Adrian yang ketakutan, melainkan Naura. Di sepanjang
perjalanan, Naura terus saja menggenggam erat lengan Adrian tanpa ingin lepas sedikit saja. Romannya penuh ketegangan, seperti sedang berada di gedung
tua yang banyak makhluk halusnya. Oke, ini rumah hantu pasar malam, tapi tetap saja, Naura paranoid.
Ada pocong yang sedang loncat-loncat, kain putihnya kotor oleh tanah merah, wajahnya pucat, bibir dan alisnya hitam. Naura bergidik, bulu kuduknya meremang.
Sosok genderuwo muncul, rambutnya yang gonrong dan tubuhnya yang besar hitam membuat Naura memekik dan menutup mata. Adrian nyengir. "Mereka itu manusia
kaya kita, jadi kenapa harus takut?"
"Ya abis wajah mereka serem-serem. Aku takut lah."
Ada pula kuntilanak yang sedang tertawa, suaranya melengking, memantul di ruangan. Kadang dia menangis meratap nasib. "Hihihihihihiiii..." Dengan terus
menelan ludah, Naura melewati sosok berbaju putih berambut panjang itu. Ketika tertawa, gigi-giginya ompong, hitam. Tak ingin melihat, Naura mengalanginya
dengan telapak tangan. Cengkeramannya pada lengan Adrian semakin kuat. Karena terlalu fokus pada kuntilanak barusan, Naura tidak menyadari di depannya
ada sundelbolong yang berlari ke arahnya.
"Aaaaa!!" Naura menjerit histeris. Pegangannya terlepas karena terlalu kaget. Adrian juga ikut kaget, bukan karena sundelbolong barusan, tapi gara-gara
suara teriakan Naura yang melebihi suara bayi ketika menangis kelaparan. Di depan Naura, masih ada sundelbolong lainnya, perutnya yang bolong dan berlumuran
darah membuat Naura semakin ngeri. Perempuan itu terus melirik-lirik di sekitarnya, takut ada sosok yang tiba-tiba muncul dan mengagetkan.
"Ciee yang takut cieee yang takut," goda Adrian. Naura yang tak lagi memegang tangan Adrian, membuat Adrian memulai aksi jailnya. Naura masih sibuk jaga
diri, waswas. Tidak mendengar godaan Adrian, fokus menengok ke sana-kemari. Suasana menjadi hening. Merasa ada yang tidak beres, Naura segera menoleh ke
arah Adrian. "Waaaaaaaaaaaaaaah."
"Aaaaaaa!" Naura kembali memekik, mundur. Wajahnya merah padam. Jantungnya hampir melorot ke perut. Berdetak 10 kali lipat lebih cepat.
"Hahahahahaha." Adrian tertawa ngakak melihat eskpresi Naura yang takutnya luar biasa. Seperti orang yang baru saja melihat kecoak terbang. Apa wajahnya
seburuk itu sampai membuat istrinya berteriak ketakutan" Apa memang Naura parnoan"
"Iiiih Iaaaan!" Naura lekas memukuli punggung Adrian geram. Namun beberapa tuyul botak datang, mengelilingi Naura yang di detik itu juga mati kutu, menatap
tuyul-tuyul jail yang tertawa dan menyanyi memutarinya. Adrian menjauh, menertawakan mimik Naura yang hampir menangis melihat tuyul botak dan hanya bercelanakan
celana dalam itu. Mereka seolah ingin mengajak Naura bermain.
"Upin-Ipiin," kata Naura menahan takut, napasnya tersengal. "Aaaaaa....." Naura nekad menerobos, berlari mencari jalan keluar. Tidak mau tahu, pokoknya
dia harus cepat keluar dari rumah hantu menyebalkan ini. Naura berlari terpontang-panting. Bahkan ia tidak sadar, kalau Adrian masih di dalam.
Adrian yang sibuk menertawakan Naura, sampai membuat dadanya sakit, dihampiri kuntilanak. Cowok itu tercengang, si kunti bukan sedang menakut-nakuti, tapi
ternyata sedang menggoda, mengedip-ngedipkan mata memamerkan gigi hitamnya. Darah merah mengucur di wajahnya yang rusak. Adrian bergidik. Daripada terus
diganggu, lebih baik ia ikut keluar seperti Naura.
Tiba di luar, Naura berusaha mengontrol detakan jantungnya, mengatur napas yang tersendat-sendat. Disusul Adrian dari belakang, ia masih tergelak, tertawa
ngakak sengakak- ngakaknya. Naura berbalik, merapatkan bibir.
"Seneng banget ya liat aku takut! Euuuuh!!" Naura menjewer kuping Adrian hingga lelaki itu merintih kesakitan, tapi Adrian masih belum bisa menghentikan
tawanya yang menggelitik, orang-orang yang lewat memerhatikan mereka penuh tanda tanya. "Kamu mau aku jantungan terus meninggal" Kamu mau jadi duda muda"
Kamu nggak butuh aku lagi Adrian Wijaya" Kamu mau aku meninggal terus kamu bisa cari cewek lain" Hmmmm?"?" Naura mendecakkan lidah, melepas jewerannya.
Adrian mengusap-usap telinganya yang memerah. Terlihat nelangsa.
"Sakit ih." Bersambung. "YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 5 - Pergi. ***
Your Eyes Karya Jaisii Q di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Naura sedang asik bertelfonan dengan ayahnya di tepi ranjang. Naura telah menargetkan, kalau ia harus sering berkomunikasi dengan ayahnya minimal satu
hari satu kali. Bibirnya tersenyum-senyum ketika di seberang sana sang Ayah menggoda. Naura terlihat sedang senang sekali. Hatinya berbunga-bunga.
"Iya Naura seneng, kok. Pokoknya Ayah nggak usah khawatir. Ayah tenang aja, kalau Adrian sampai selingkuhin aku, aku bakal langsung ngehubungin Ayah, dan
Ayah adalah orang pertama yang harus gebukin Adrian."
Adrian yang mendengar namanya disebut-sebut, segera menghampiri Naura, menghentikan aktifitasnya yang sedang memasukkan baju-baju ke dalam koper.
Pandangan Naura beralih kepada koper yang tergeletak di dekat lemari, untuk apakah koper itu" Dan di dalamnya, ada satu-dua buah pakaian Adrian. Apa jangan-jangan
Adrian akan meninggalkannya pergi" Apa jangan-jangan Adrian sudah bosan" Kedua alis Naura menyatu, lupa kalau ia sedang berbicara dengan ayahnya. Adrian
yang telah duduk di sebelah, melemparkan raut pertanyaan. Mengapa ekspresi perempuan itu berubah" Padahal tadi dia sangat bahagia.
"Kamu mau kemana?" tanya Naura, masih menatap koper itu lamat. Nada suaranya penuh dengan ketakutan bercampur kekhawatiran. Di telfon genggamnya, terdengar
suara ayah Naura yang terus memanggil nama Naura, ber-halau-halau kebingungan.
"Nanti aku jelasin."
"Nggak kamu harus jelasin sekarang."
"Kan kamu lagi telfonan sama Ayah."
"Halo iya, Ayah. Udah dulu, ya. Nanti aku telfon lagi. Assalamu'alaikum." Naura memutuskan sambungan telefon, melepaskan benda itu dari telinganya. Lalu
matanya terfokus kepada Adrian, meminta penjelasan tentang koper itu.
"Kamu mau kemana?"
"Kok kamu kayak polisi yang ngeintrogerasi aku, sih?" balik tanya Adrian, bergurau.
"Kamu mau kemana pakek bawa koper segala?" Naura mengulangi pertanyaannya lagi. Untuk kali ini ia ingin serius.
"Astagfirullah Naura. Kamu kayak orang yang ketakutan gitu. Kayak lagi ngeliat pemandangan aneh. Misalkan, abis liat motor terbang ke angkasa."
"Jawab aku apa susahnya sih. Cepetan jawab."
Adrian menelan ludah. Naura masih sensitif, apa dia sedang datang bulan"
"Iaaaaaaaan...."
"Aku ada urusan ke luar kota."
Naura membulatkan bola matanya. Kenapa Naura baru tahu" Kenapa Adrian tidak mengatakan hal itu sejak tadi pagi" Mengapa tiba-tiba"
"Iya." "Dalam rangka?"
"Kerjaan dari kantor. Aku nggak mungkin nolak, ini tugas aku yang pertama sebagai karyawan di sana."
Adrian menolak untuk bekerja di perusahaan papanya. Memilih untuk mencari pekerjaan sendiri, tak ingin sukses di bawah naungan sang Papa. Ingin tahu bagaimana
caranya mencari pekerjaan dan melamar. Setelah satu bulan lamanya mencari pekerjaan yang cocok, akhirnya Adrian menemukannya. Seperti mendapat kesempatan
brilian, Adrian senang. Di samping itu pula, Naura selalu berada di sampingnya. Menemani Adrian ketika sibuk menyelesaikan tugas kuliah sampai larut malam.
Rela tidur di bahu Adrian ketika Adrian masih berkutik dengan laptopnya. Rela ikut begadang di tengah malam sambil ditemani minuman hangat. Rela menjadi
bahan ejekan Adrian, lalu tertawa bersama-sama, saling memukul gemas dan mencubit. Menjadi penyemangatnya, menjadi pembimbing. Di mata Adrian, Naura adalah
sosok istri yang sempurna. Ia tak salah memilih pendamping hidup.
"Berapa lama?" tanya Naura lagi.
"Seminggu." "Harus, ya?" "Wajib." Naura mengembuskan napas pelan, melepaskan pandangannya dari Adrian. Menatap ke samping. Mengundang garis kernyit di kening Adrian. Padahal baru saja Naura
mendapatkan kabar gembira, kabar kurang menyenangkan datang menyusul. Naura takut di rumah sendirian.
"Kamu kenapa, sih" Ya ampun Naura Nora. Aku cuma pergi ke Bandung. Bukan ke Singapura ataupun Hong Kong, apalagi Jerman. Bukan setahun ataupun dua tahun,
cuma se..." Naura meletakkan sesuatu di tangan Adrian. Adrian lekas menurunkan pandangannya ke bawah, melihat benda apakah yang baru saja diberikan Naura. Benda putih
berbentuk panjang tipis. Begitulah Adrian memprediksinya.
"Aku butuh kamu," kata Naura.
Itu adalah testpack. Adrian mengangkat benda itu, agar lebih mendekati mata. Melihatnya lebih jeli dan teliti. Ada dua garis merah yang tertera dalam alat
tes itu. Sedikit Adrian membuka mulutnya, baru menyadari sesuatu. Tatapannya berpindah kepada Naura. "Naura kamu serius?"
Naura mengangguk. "Asli?" "Nggak percaya?"
"Kamu nggak nyuri alat ini dari lokasi syuting sinetron, kan?"
"Ya ampun Ian. Kalau ngomong ngelantur mulu, deh. Itu asli punya aku. Barusan aku tes. Soalnya aku bingung kenapa aku nggak dateng bulan juga, padahal
udah lewat dua bulan. Dan bawaannya aku tuh stres mulu, makannya sensitif. Kamu juga selalu mancing-mancing."
Adrian masih belum memercayainya, tidak menyangka kalau sebentar lagi ia akan menjadi seorang Ayah. Itu artinya, sekarang Naura sedang mengandung anaknya.
Mama dan Papa Adrian akan segera mendapatkan cucu pertama. Impian mamanya akan segera terwujud. Detik berikutnya, Adrian menyeringai, wajahnya berseri.
Mendapat tatapan terus menerus dari Adrian, membuat Naura ingin melekukkan senyum dan tawa. Seperti biasa, tatapan Adrian sungguh menghipnotis. Yang tadinya
kesal, bisa menjadi luluh dalam jangka waktu sedetik.
"Berarti, 10 dari anak kita baru muncul satu. Tinggal sembilan lagi yang masih ngumpet. Tapi siapa tau yang keluar anak kembar, jadi kamu nggak perlu repot-repot
ngelahirin 10 kali."
"Yang satu aja belum lahir kamu udah mikirin yang sembilan?"
Adrian nyengir. "Aku nggak lagi mimpi, kan Naura?" Adrian masih meminta kepastian. Cowok itu terlalu senang sampai menganggap ini hanya mimpi. Mimpi indah
dalam tidurnya, tidur dengan posisi memeluk Naura.
"Ini beneran sayang. Bukan mimpi. Aku, lagi hamil beby kitaa. Sebentar lagi kita bakal punya anak. Sebentar lagi kita bakal jadi orangtua." Naura tersenyum
bangga. Menaik- turunkan kedua alisnya.
"Perfect Naura. Ini kabar bahagia." Adrian langsung memeluk Naura. "Selamat buat kita. Aku sayang kamu." Naura balas memeluk. Di balik punggung Naura,
Adrian menciumi rambut harum Naura, juga mencium tengkungnya secara berkali-kali. "Aku cinta kamu aku cinta kamu aku cinta kamu, ini kejutan terindah buat
aku." Naura kian memepererat rengkuhannya. Bahagia dengan anugerah yang telah Tuhan turunkan.
Ketika pertama kali Naura memeriksa, sekujur tubuhnya gemetar. Awalnya ia hanya iseng, tapi nyatanya, dugaan itu benar. Ketika garis merah itu muncul,
Naura belum siap. Tapi demi membahagiakan Adrian, semuanya terasa mudah. Euforia datang membungkus sanubarinya. Hingga akhirnya Naura tersenyum. Tak sabar
memberikan kabar gembira ini kepada Adrian.
*** "Selamat Naura. Ternyata sebentar lagi aku bakalan jadi Paman, nih." Angga memberikan selamat dengan celotehannya. Mengulurkan tangan kepada Naura. Naura
balas menerima ulurannya antusias. Keduanya saling tersenyum. "Iya kak makasih ya, kak." Namun dengan cepat Adrian menebas tangan mereka hingga acara salaman
itu berakhir dalam sekejap.
"Eh bang, nggak usah lama-lama banget kali pegang tangan istri gue yang halus," protes Adrian.
"Ya elah lo parnoan banget, sih. Gue kangen sama adik ipar. Udah lama nggak ketemu semenjak kalian pindah rumah. Lo kan tau sendiri, gue sama Naura itu
akrabnya nggak ketulungan. Ya nggak adik ipar?" tanya Angga pada Naura. Lebih kepada menggoda. "Hmmm iya betul, kak. Maklum kak, Adrian akhir-akhir ini
cemburuan. Hehe." "Bukannya kamu yang kayak gitu?"
Naura tersenyum sampai matanya mengecil. Menyadari adanya kesalahan dalam ucapannya barusan. "Ish ish ish.." Adrian menggeleng seraya mencolek hidung Naura.
"Kamu tuh, ya."
"Et daah malam manis-manisan," ucap Angga.
"Kakak mau yang manis" Nanti aku bikinin kue, deh." Naura beralih kepada Angga---kakak iparnya--- sembari tertawa. "Naura bikinin yang paling manis. Khusus
buat kak Angga. Adrian nggak usah dikasih."
"Serius?" "Buat aku nggak ada" Kok aku nggak boleh dikasih?" tanya Adrian tak ingin kalah.
"Kamu kan mau berangkat sayaang."
"Kan bisa nanti waktu pulang."
"Pokoknya jangan deh anak kamu nanti ngewarisin papanya. Wajahnya harus kayak kamu, biar bagus hasilnya," canda Angga tanpa memikirkan perasaan adiknya.
Adrian melemparkan tatapan antipati kepada kakaknya.
Belinda dan Satria sangat bahagia dengan kabar ini. Adrian benar-benar menepati janjinya, ingin dan bisa memberikan mamanya cucu. Untuk sementara Belinda
tidak menekan Angga untuk segera menikah. Putra bungsunya berhasil mewujudkan impian sederhananya itu. Akhirnya Angga terlepas dari ocehan Belinda. Jika
belum menemukan yang cocok, Angga tak akan pernah mau menikah.
"Naura," panggil Belinda. "Pokoknya kamu harus dengerin apa kata Mama. Di sini kamu harus jadi anak yang nurut. Mama punya pengalaman banyak untuk perempuan
yang baru pertama kali ngidam. Selama satu minggu, kamu ikutin peraturan Mama."
"Tapi jangan bentakin Naura ya, Ma. Kasian, dia itu selalu takut sama Mama yang selalu bersikap galak. Nggak, Adrian salah ngomong, iya Mama galak tapi
di dalem hati Mama itu baik hati." Buru-buru Adrian menginterupsi pelototan yang diluncurkan mamanya. "Adrian titip Naura. Perlakukan dia seperti seorang
putri, putri dari khayangan yang jatuh ke bumi. Yang menyebabkan seorang Adrian jatuh hati." Naura melongo mendengar kata-kata Adrian yang terkesan lebay
alias terlalu berlebihan. Kalau disandingkan dengan pantun, itu pantun paling tidak berbobot, atau lebihnya, tidak pantas untuk dikatakan pantun.
"Ya elaah bahasa lo Adrian, dangdut banget," komentar kakaknya pedas. "Adek gue alay juga ya ternyata."
"Sirik aja lo, bang."
"Kamu tenang aja Adrian. Naura ini menantu kita. Tanpa kamu suruh, Papa sama Mama bakal perlakuin Naura dengan sangat baik. Kamu ini, kayak nganggap kita
orang lain." Papanya menjelaskan sembari terkekeh. Adrian adalah putra kesayangannya, yang selalu membuat suasana di rumah terasa sangat hangat. Jujur,
dia bangga kepada Adrian, anaknya yang satu itu selalu ingin hidup mandiri. Hidup mandiri yang nanti akan menjadi bekal di masa depan. Mengenyampingkan
harta warisan. Adrian tidak mau menjadi orang kaya, tapi dia ingin menjadi orang sukses. Satria setuju dengan kata-kata itu. Dia anak paling sempurna.
"Hehe Papa. Cucunya mau cewek atau cowok, Pah" Atau mau bencong?" tanya Adrian sekenanya. Angga dan Naura melotot secara bersamaan. Belinda menahan tawa,
ia terlalu jaim untuk tertawa terbahak-bahak. Menurutnya, tak bagus tertawa sambil terkikih-kikih, hal yang tidak sopan.
"Aah kamu ini. Ngelantur mulu."
"Nggak tau tuh, Pah. Adrian kalau ngomong suka ngaler-ngidul gitu. Yaa kadang, bikin Naura kesel. Dulu, pernah ngajak aku ke rumah hantu di pasar malam.
Dia malah ngetawain aku waktu aku ketakutan diganggu sama tuyul. Aku jewer telinganya sampai merah. Kesel banget."
"Liat aja kakaknya kayak gimana." Adrian melirik Angga yang duduk di depannya.
"Jadi lo nyalahin gue?"
"Iyalah. Prilaku adik, mewarisi perilaku kakaknya."
"Ih kamu. Yang ada, perilaku anak mewarisi orangtuanya," kata Naura menoleh ke Adrian. Mencoba meralat kata-kata Adrian yang keluar dari fakta.
"Kebiasaan kalian, berantem terus. Akur cuma kalau lagi ngejek mamanya," timpal Belinda melerai. Namun dalam hatinya ia bahagia, kalau tak ada pertengkaran
atau ocehan mereka, rumah ini akan lengang, tak akan ramai.
Ruang tamu itu seketika dipenuhi gelak tawa.
*** "Kamu jaga diri baik-baik, ya." Adrian mengelus kepala Naura sayang. Naura yang kurang menyetujui kepergian Adrian sulit sekali rasanya untuk tersenyum.
Tak ada gairah apa-apa. Sehari tanpa Adrian itu rasanya hampa, apalagi satu minggu. Adrian yang bisa menangkap sorot kecewa dari Naura mencoba mencari
cara agar Naura bisa tersenyum.
"Aku janji, bakal beliin kamu sesuatu di sana. Hadiah buat istri aku tercinta," kata Adrian. "Kamu mau kan nunggu aku" Kalau aku pulang, kamu harus udah
berdiri di sini nungguin aku." Lelaki itu memegaing kedua pipi Naura, lalu mengecup kening Naura beberapa kali--- terdiri dari lima kecupan berturut-turut.
Namun tetap, wajah Naura masih ditekuk. Belum rela.
"Oke kalau kamu masih ngambek. Aku gak jadi pergi," kata Adrian pada akhirnya.
Naura membeliak. "Daripada ninggalin kamu dalam keadaan marah, ya udah lebih baik aku nggak usah pergi."
"Eh jangan. Iya-iya, aku nggak marah, kok. Maafin aku." Naura berusaha mengeluarkan senyumannya. Agar Adrian mengurungkan niat untuk membatalkan kepergiannya.
Bagaimana pun itu adalah pekerjaan yang harus Adrian lakukan, Naura tidak mau mengganggu.
"Naah gitu, dong." Adrian tersenyum. Kedua jemarinya disimpan di ujung bibir Naura, menariknya agar terbentuk senyuman. Dengan amat terpaksa, Naura tersenyum.
"Eh tapi kamu harus janji, ya. Jangan kegatelan sama cewek lain di sana. Kalau sampai gitu, aku susul kamu ke sana," ancam Naura.
"Masa sih aku selingkuhin perempuan sempurna kayak kamu?"
Naura menaikkan alisnya, "Emm bisa aja."
"Nggak. Aku janji, aku tetep setia sama kamu." Adrian mengangkat tangannya, juga mengangkat tangan Naura, lalu ia kaitkan jari kelingkingnya di jari kelingking
Naura. Kedua kelingking itu bertautan penuh makna. Mereka tersenyum berbarengan, mata berbinar. Untuk kesekian kalinya, Adrian mengecup kening Naura lagi
penuh penghayatan selama beberapa detik hingga mata Naura terpejam nyaman. Kecupan Adrian mampu membuat Naura damai, hangat, dan menyentuh. Tangannya merengkuh
erat jaket Adrian, seperti tak ingin melepasnya. Begitu kecupan itu terlepas, Naura memeluk tubuh Adrian. Adrian lebih mengeratkan pagutannya.
"Ketemu kamu adalah anugerah terindah Tuhan, aku bersyukur. Dulu, kamu itu junior-nya aku di kampus. Dan aku senior kamu yang selalu ngatur ini dan ngatur
itu. Awalnya kita sering berantem, karena kamu selalu nggak mau nurutin perintah senior. Kayak cerita dalam novel. Dari benci jadi cinta. Dari berantem
jadi saling sayang. Terkesan klise, namun maknanya sangat indah. Itu adalah kita. Kita yang pada akhirnya saling mencintai, mengikrarkan janji, untuk saling
setia. Kita yang berbalutkan canda dan tawa. Kita yang saling menyempurnakan. Tak pernah mengenal air mata. Susah, sedih, seneng, kita lewatin sama-sama.
Aku cinta kamu Naura, bahkan lebih dari sekadar kata cinta. Kamu adalah perempuan yang bikin aku jatuh cinta untuk yang kedua kalinya, setelah mamaku.
Terima kasih, kamu udah pilih aku sebagai lelaki berarti dalam hidup kamu. Karena kamu, aku ngerasa sempurna. Kamu bagaikan air, yang mengguyur jiwa aku,
mengubah bagian kotor, menjadi bersih, bahkan lebih bersih dari sebelumnya. Menimbulkan sinar terang, yang akan menerangi kamu sebagai gantinya. Kamu yang
cemburuan, aku suka. Kamu yang selalu ngingetin aku supaya jangan kepincut sama cewek lain, aku suka. Semua yang ada dalam diri kamu yang apa adanya, aku
suka." Adrian menghirup wangi rambut Naura. Dari dulu sampai sekarang, Naura tak pernah mengganti merk shampo. Dari zaman pacaran, hingga sekarang. Hingga
Adrian tahu, wangi ini adalah wangi favorit Naura. Wanginya telah melekat dalam. Ketika hidungnya tak sengaja mencium harum aloe vera, Adrian akan langsung
teringat dengan Naura. Lelaki itu sangat senang menghirup dan membelai halus rambut panjang kesayangan Naura.
Dalam pelukan Adrian, Naura terenyuh. Tidak biasanya Adrian mengatakan kata-kata indah bak puisi yang ditulis para pujangga itu. Tak pernah tebersit dalam
benaknya, bahwa Adrian bisa seromantis ini. Mata Naura sedikit berair.
"Karena aku cinta sama kamu, dan hati ini cuma buat kamu, aku nggak akan pernah ngelupain perintah kamu. Meski aku sering ledek kamu, kamu pasti percaya,
cinta aku cuma buat kamu." Untuk yang terakhir, Adrian mencium rambut Naura, melepas pelukannya dan beralih memandang wajah Naura yang tampak sudah lebih
baik. "Apalagi, sebentar lagi kita bakalan punya anak. Jaga janin kamu baik-baik. Kasih dia asupan makanan yang bergizi, yang berkualitas, yang sehat.
Supaya jadi Adrian junior yang kuat, yang ganteng dan nurut sama orangtua."
"Kamu mau kalau anak yang lahir perempuan punya wajah ganteng?" Naura bertanya polos.
Adrian tertawa menyadari kebodohannya.
"Kok ngomongnya kayak orang yang pergi dan nggak akan kembali lagi?" mata Naura menyipit. Merasa ada yang janggal.
"Itu kan kata-kata spesial. Senin depan, aku di sini lagi, kok. Jemput kamu."
"Janji?" "Janji." "Oke aku pegang janji kamu." Naura berjinjit, giliran dia yang mencium kening, juga pipi Adrian. Menimbulkan suara kecupan yang romantis.
"Ininya nggak?" Adrian menyimpan telunjuknya di bibir. Berharap Naura mau mencium bibirnya.
"Kalau kamu udah balik lagi, aku bakal lakuin itu. Terserah kamu mau berapa lama."
"Asiiiiik." Adrian tertawa gemas. Menarik sebelah pipi Naura. "Ya udah aku berangkat dulu ya sayangku, cintakuu..."
"Lebaaay." "Berapa kali kamu bilang aku lebay?"
"Hehe nggak kok, nggak." Naura memeluk Adrian lagi. Bagaimana rasanya jika dalam waktu seminggu Naura tidak mendapatkan kecupan, gombalan, pelukan, ejekan
dari Adrian" Pasti sepi, sunyi, senyap.
Come on Naura. Adrian cuma pergi sebentar, ke Bandung doang, tapi kenapa kamu kayak yang nggak rela gini" Kenapa kamu takut terjadi apa-apa sama Adrian"
Kenapa perasaan kamu nggak enak" Takut kalau Adrian nggak akan balik lagi. Firasat apa ini" Apa kamu terlalu takut"
Bersambung. "YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 6 - Video Call Adrian & Naura.
*** Naura menepati janji untuk membuatkan kakak iparnya kue. Menurutnya, ucapan yang telah dilontarkan, harus ditepati. Setalah semua bahan dan alat disiapkan,
Naura mulai memecahkan beberapa telur, menyatukan bahan-bahan ke dalam wadah agar menjadi satu adonan. Daripada tidak ada kerjaan, lebih baik ia membuat
kue. Kue yang akan dimakan oleh keluarga ini. Padahal Belinda sudah melarang Naura untuk berdiam diri di dapur. Melarang ini itu, memaksa Naura untuk diam
di kamar. Naura terlihat riang, bagaimana tidak, dua hari lagi adalah kepulangan Adrian. Naura tidak sabar menanti kehadirannya. Hampir setiap hari mereka berkomunikasi
lewat video call. Untuk sekadar menyapa, dan bertanya tentang kondisi masing-masing, atau seperti biasa; becanda dan tertawa sebagai penutupnya.
"Wiih lagi ngapain kamu Naura?"
Naura menoleh ke belakang, ada Angga yang sedang membuka kulkas, mengambil air dingin.
"Eh kak Angga. Ini aku lagi bikin kue." Naura sedang fokus mengocok telur. "Kan sesuai sama janji aku waktu itu."
Angga tampak tertarik, setelah selesai menenggaka air putih, ia lekas menghampiri Naura. Memastikan tentang ucapan Naura. "Beneran kamu bikin kue" Padahal
dulu kan cuma becanda."
"Yang namanya janji harus ditepatin, lah. Lagian, aku seneng kok, biar ada kegiatan. Kan bosen harus dieeem terus."
"Ya udah kakak bantu, ya?"
"Emang kakak bisa?"
"Kalau cuma bikin kue sih gampang, kecil!" Angga meremehkan.
"Oke." Naura menyetujuinya.
Semenjak pernikahan Adrian dan Naura, Angga jadi lebih dekat dengan Naura. Adik-kakak ipar yang akur dan karib. Angga bersyukur, adiknya bisa berjodoh
dengan perempuan seperti Naura. Menurutnya, Naura itu orang yang asik, cepat sekali akrab, baik, dan bawelnya mampu membuat suasana menjadi lebih hidup.
Pantas saja adiknya tergila-gila. Dia pandai dalam memilih perempuan.
Seperti sekarang, di tengah pembuatan kue pun, Naura terus menginteruksi Angga tata cara yang benar dalam memasukkan bahan-bahan, mengaduknya dan memberikan
rasa yang pas. Beberapakali Angga melakukan kesalahan, Naura segera menegurnya secara gamblang, sampai membuat Angga takut sekaligus ingin tertawa. "Kakak
tau nggak, kak. Dulu waktu ulang tahun aku, Adrian nyiapin kejutan. Dia bikinin aku kue bolu pake tangannya sendiri. Sampai kurung aku di dalem kamar selama
berjam-jam." "Oh, ya?" Dapur itu berubah kotor, tepung terigu di berserakan di atas meja, juga tetesan-tetesan adonan yang berjatuhan --dikarenakan cara pembuatan yang tidak
teratur, sambil main-main pula. Wajah Naura juga banyak dipenuhi tepung, begitu pun dengan Angga. Tadi mereka sempat saling melempati tepung akibat ulah
Angga yang jail. "Hmmmm iya. Dan kakak tau nggak rasanya gimana?"
"Manis." Naura menggembungkan pipi, "Manis?" Tawanya hampir pecah, bukan karena kenyataan tentang kue buatan Adrian yang asin, melainkan karena mengingingat Adrian
yang berani-beraninya membuat kue tapi hasilnya zonk.
"Rasanya asin, asiiin banget." Akhirnya Naura tertawa.
Angga ikut tertawa, "Waduh ada-ada aja tuh anak. So jago banget bikin kue, buat hadiah ulang tahun istri lagi. Mana hasilnya gagal." Angga menggeleng,
masih tersisa tawanya yang renyah.
"Ya tapi aku bangga, sih. Adrian mau usaha. Dan menurut aku, kue itu lebih spesial daripada kue yang dibeli di toko, yang rasanya jauh lebih enak." Naura
tetap membanggakan suaminya. Bukan rasa kue itu yang menjadi prioritas, melainkan tentang siapakah yang membuatnya. Adrian bilang, dia membuat kue itu
dengan penuh cinta. Angga tersenyum memandang wajah Naura yang mungkin sedang merindukan Adrian.
Terdengar suara deringan telepon genggam milik Naura yang tergeletak di atas meja, layarnya nyaris dipenuhi titik-titik putih.
"Hp kamu bunyi, tuh." Angga mengarahkan dagunya pada ponsel Naura. Dengan cepat Naura berdiri dan mengambil ponsel itu, duduk kembali. Begitu melihat layar,
ada panggilan video lewat Whatsapp, dari 'My husband' alias Adrian. Naura melekukkan senyum, dugaannya benar. Ia segera menggeser layar.
"Hallo sayaaaang," sapa Adrian di sana. Dalam layar, ada wajah close up Adrian yang sedang tersenyum menampilkan giginya setelah sebelumnya menyapa.
"Iaaan." Naura tertawa. Wajahnya lebih bercahaya. Tampak bersemangat. Hari ini Adrian baru menghubunginya. Padahal Naura sudah menunggu sejak tadi pagi,
sejak bangun tidur. Dan untunglah, Adrian masih mau menyempatkan diri.
"Emmm." Angga yakin, sekarang Naura akan mengacanginya, sibuk dengan Adrian.
"Kamu ngapain, tuh" Kok wajahnyanya putih-putih gitu" Kayak pake kapur ajaib."
"Bukan kapur. Enak aja masa aku coret-coret wajah aku pakek kapur buat ngusir kecoak" Kamu pikir aku gila?"
"Hahaha sori becanda. Terus apa" Sayang loh wajah kamu yang jelek makin tambah jelek." Adrian tertawa lagi. Sepertinya untuk mengejek Naura, sudah menjadi
makanan sehari-hari. Naura melotot. Adrian malah semakin menjadi-jadi. Bukannya bertanya kabar, ini malah sempat-sempatnya meledek.
"Kak liat nih kelakuan adik kakak, nyebelin banget." Naura mengarahkan layar hp-nya ke wajah Angga, agar wajah kakaknya bisa Adrian lihat. "Eh kok ada
elo, sih?" tanya Adrian begitu gambar di layar ponselnya berubah menjadi wajah Angga. "Awas ya lo macem-macem sama Naura."
"Siapa yang macem-macem. Gue cuma nemenin dia bikin kue. Masa gue tikung ade gue sendiri, sih?"
Naura kembali menatap layar hp, "Iya. Kita lagi bikin kue bolu rasa cokelat. Dan yang pasti, rasanya nggak bakal asin," sindir Naura dengan suara elegannya,
bermaksud untuk membalas ejekan Adrian tadi. "Kue-nya bakalan enak, manis dan sempurna. Seperti buatan koki di London."
"Idiiiih Naura Nora. Kamu nyindir aku ya gara-gara nggak bisa bikin kue yang sempurna" Jangan disama-samain sama koki di London, lah. Orang rasanya bakal
beda jauh." Adrian mengerti akan sindiran keras Naura. Merasa kalau ia pernah membuat kue yang rasanya asin.
"Buat aku, pembuatnya juga udah sempurna," kata Naura, yang membuat kedua ujung bibir Adrian tertarik ke samping. Keduanya pun tertawa bersama, melupakan
pertengkaran kecil sebelumnya. Adrian senang bisa melihat tawa Naura, begitupun Naura yang senang melihat tawa Adrian. Meski mereka sedang berada di jarak
yang berjauhan, tapi hati mereka tetap dekat.
"Udah stop becandanya. Kita berlanjut ke sesi serius." Naura melanjutkan, mengakhiri gelakannya. "Sekarang aku tanya, kenapa kamu baru hubungin aku sekarang"
Nge-SMS nggak, nelepon juga nggak. Aku khawatir tau. Takut terjadi apa-apa sama kamu."
"Maaf ya sayang. Hari ini aku bener-bener sibuk. Ini juga aku cuma dikasih waktu 10 menit. Dan itu cuma buat kamu seorang."
"Cius?" "Mi apa?" "Mi cintaa." "Naura alay, yaa. Kalau aku ada di sana, udah aku cubit pipi kamu yang tembem itu, sama udah aku tarik hidung kamu yang pesek," di layar itu Adrian terlihat
gregetan. Menunjuk-nunjukkan jari telunjuknya ke layar. Eskpresinya super gemas.
"Kayaknya tangan kamu gatel banget, ya. Pasti bawaannya itu pengen cubit aku. Aku yang jadi korbannya cuma bisa pasrah."
"Ikhlas, kan?" Naura tersenyum. Bukan hanya ikhlas, tapi ridha hita'ala. Rela kalau itu bisa membuat Adrian bahagia. Bahagia yang sederhana.
"Ya udah kayaknya waktu aku udah abis. Aku tutup dulu, ya. Nanti aku hubungin kamu lagi. Jangan lupa jaga baik-baik Adrian junior-nya Juga jangan terlalu
capek, nggak baik." "Siap! Kiss-nya mana kiss-nya?" pinta Naura manja. Memamerkan bibirnya.
"Sejak kapan Naura minta di-kiss?"
Sebelum Naura menjawab, Adrian sudah lebih dulu mengecup dari jauh, sebatas mengecup layar ponselnya. Namun maknanya, sampai dengan selamat ke dalam hati
Naura. Naura pun ikut mengecup layar ponselnya. Mereka tersenyum kembali.
Your Eyes Karya Jaisii Q di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsallam."
Wajah Adrian pun menghilang dari layar hp Naura. Perempuan itu tersenyum untuk beberapa detik. Adrian selalu berhasil membuatnya merasa bahagia dengan
perlakuan-perlakuan sederhananya. Anggap saja ejekan-ejekan Adrian sebagai tanda kasih sayangnya.
Angga menggeleng-gelengkan kepala. "Emang bener ya kalian, nggak bisa terpisahkan."
"Iya dong, kak." Naura menyimpan ponselnya, kembali melanjutkan pekerjaannya. "Kakak kapan bawa calon istrinya" Biar Naura ada temen gitu."
"Belum ada yang pas, nih."
"Belum ada apa nggak laku?" gurau Naura yang langsung mendapatkan tatapan serius dari Angga. "Hahahaha becanda kali, kak. Jangan ambil serius. Naura yakin,
kok. Cewek-cewek banyak yang ngantri, kan?"
"Yaaa begitu, deh." Angga masih terlihat acuh tak acuh dengan kisah asmaranya.
"Naura!" Kontan Naura mengalihkan pandangannya pada asal suara. Begitu pun dengan Angga yang ikut melihat. Di lawang dapur, ada Belinda yang mendekat. Naura patah
lidah, kenapa mama Adrian sudah pulang" "Aduuuuh kamu lagi ngapain, sih" Mama kan udah bilang, kamu harus diem di kamar. Jangan kemana-mana apalagi ngerjain
kayak beginian aduuuuuh." Belinda yang sangat hati-hati tidak menginginkan Naura lalai dalam menjaga kandungannya.
"Cuma bikin kue, Ma. Lagipula Naura sehat-sehat aja, kok. Bosen kan di kamar terus. Nanti Mama boleh cobain deh kue bikinan Naura. Pasti enak."
"Kamu mau ngelawan Mama" Iya" Ini buat kebaikan kamu sama anak kamu. Punya menantu kok susah diatur, sih?"
Naura gelagapan. Menurutnya, mama Adrian terlalu berlebihan. Ia tidak berlari, hanya sebatas duduk dan membuat adonan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
"Kamu juga Angga, kamu nggak larang Naura?"
"Hehe, nggak-lah. Lagian, aku malah seneng Naura buat kue. Buat kita makan sama-sama."
"Beli juga bisa, kan?"
Naura terdiam, tertunduk. Tak mampu dan tak berani menentang kehendak mertuanya Di sisi lain, ia senang karena Belinda telah begitu perhatian. Namun di
sisi lain pula, Naura merasa dirinya dikekang. Naura bisa mengerti, Belinda bersikap seperti itu hanya karena ingin cucunya baik-baik saja. Mendapatkan
seorang cucu, adalah cita-cita yang paling mama Adrian inginkan.
"Kita ke kamar."
*** Sambil terus melakukan video call dengan Adrian, Naura terus meminum segelas susunya. Tak lupa dengan buah-buahan seperti, apel, jeruk, dan anggur juga
ia makan. Hingga pipi Naura terlihat lebih mengembang. Di sana Adrian menangguk-anggukan kepala sembari tertawa, merasa lucu dengan cerita yang barusan
Naura ceritakan tentang perintah-perintah mamanya yang terlalu berlebihan. Kasihan juga Naura. Setiap hari harus curhat tentang mertuanya. Kasihan, harus
terus diatur dengan cara yang Naura tak suka.
"Kamu kapan pulang, siih" Aku udah nggak tahan lagi." Naura cemberut. "Aku udah tepatin janji aku buat ngasih bayi kita asupan sehat. Liat nih, aku udah
makan buah-buahan yang banyak, susu sehat pagi siang malam." Naura mengunyah buah apel merah di tangannya. Begitu semangat dan ceria. "Olahraga, dan makan
sayuran setiap hari. Mama larang aku makan tanpa sayuran. Aku janji sama kamu, anak kita bakal lahir dan tumbuh sehat."
Adrian asik mendengar ocehan-ocehan Naura, tanpa ingin menginterupsi. Yang ia terbitkan hanya tawaan juga anggukan.
"Semoga aja aku nggak gendut karna terus makan. Kalau aku gendut, kamu nggak bakal suka, dong. Kalau nggak suka, gawat. Kamu bakal cari yang lebih seksi,
yang lebih bagus badannya."
"Kata siapa" Mau kamu gendut, mau kamu kerempeng. Aku tetep cinta. Cinta aku cuma buat kamu, dan kamu harus percaya itu."
"Hmmm?" Seriuus?"
"Karena Adrian, hanya untuk Naura."
Lagi-lagi Naura tersenyum. Adrian selalu mempunyai cara yang istimewa untuk kembali menormalkan perasaannya. Kembali memberikan hawa yang meyakinkan kalau,
Adrian tak akan pernah berpaling pada yang lain.
"Eh itu kamu lagi ada di mana" Di tempat tidur, kan" Ini baru jam lima sore. Biasanya kamu hubungin aku malem, jam sembilan waktu kamu udah selesai kerja."
"Tebak aja." Naura mengernyit bingung.
Adrian menjauhkan ponsel dari wajahnya, supaya Naura bisa melihat dan tahu sekarang ia berada di mana. Tampak Naura membuka setengah mulutnya, bibirnya
komat-kamit tidak percaya. Ini baru hari ke lima, tapi Adrian sudah berada di dalam bus" "I... itu... itu di bis, kan?" Naura tertegun. Apakah Adrian di
sana dalam perjalan pulang" Atau ada pekerjaan lain yang mengharuskan dia untuk naik bus"
"Iya. Sekarang aku udah ada di bis. Perjalan pulang menuju Jakarta, ketemu kamuu sekaraaang."
"Serius kamu"!" Naura beringsut dari sandarannya. Lebih antusias dan berapi-api. Matanya berbinar. Menyorotkan harapan penuh. Euforia menyelubunginya.
"Iya aku sengaja pulang lebih awal. Kerjaan aku udah selesai, kok. Dan untungnya, atasan aku ngizinin aku buat pulang duluan, nggak bareng sama yang lain.
Surpirseee buat kamu. Aku janji, hari ini kita ketemu. Kembali pulang ke rumah. Terlepas dari perintah-perintah Mama."
"Kenapa?" Naura bertanya mengapa Adrian begitu menginginkan itu semua.
"Buat kamu." "Buat aku?" Tiba-tiba saja suasana berubah menjadi lebih serius. Naura terlalu senang, Adrian begitu menyayanginya. Dia selalu mengedepankan kebahagiaannya.
Rela melakukan apa pun. "Aku bawain kamu hadiah. Tapi nanti aku kasih taunya kalau aku udah sampai, ya."
Naura mengangguk. Ia tak butuh hadiah, yang hanya ia inginkan adalah; Adrian bisa pulang secepatnya, dengan selamat. Bisa kembali becanda sama-sama, tertawa
sama-sama, dan bercinta seperti biasa.
"I Love you Naura. Kamu tunggu aku di sana."
"Love you to." Terlalu rindu dan terharu, Naura meneteskan air mata. "Aku bakalan nunggu kamu."
*** Sekiranya, itulah beberapa fragmen dari kisahku bersama Adrian. Alasan mengapa kami menikah, kejutan Adrian di hari ulang tahunku, kue bolu asin buatannya,
bagaimana caranya aku menghadapi seorang mertua. Bermain mesra di pasar malam menaiki wahana bianglala dan mengunjungi rumah hantu. Tentang dia yang takut
ketinggian, tentang aku yang takut hantu. Sampai akhirnya dia pergi. Kisah yang amat manis untuk dikenang, dan amat pahit untuk ditelan. Yang terlalu indah
untuk dilupakan. Malam itu adalah, malam paling mengerikan di sepanjang hidupku. Malam yang telah mengubah semua, mengubah arus kehidupanku. Mengubah semua
angan. Berbelok arah pada kenyataan tak sejalan. Termasuk mengubah kisah asmaraku. Untuk kak Angga, Mama Belinda, Papa Satria, mereka seakan telah jauh
dari jangkauanku. Mereka bukan siapa-siapa lagi. Takdir telah mengubah segalanya. Takdir yang menurutku paling kejam. Aku di sini terluka sendirian. Untuk
selebihnya, akan kuceritakan nanti. Karena pada bagian selanjutnya, aku belum mampu untuk bercerita kepada kalian. Aku yakin, aku akan menangis lagi, mengingat
Adrian lagi. Naura menutup buku diary-nya. Sebutir air matan jatuh membasahi jilid buku diary biru yang selalu ia jadikan sebagai tempat curhat, tempat bercerita tentang
keluh kesah. Di malam ini, Naura merenung, menatap bintang berkelip di langit hitam lewat jendela kamar tidurnya. Akankah besok ia akan menemukan kebahagiaan"
Bersambung. "YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 7 - Dan Takkan Kembali.
*** Sebuah kabar mengejutkan, Belinda baru saja menjatuhkan telepon rumah dari genggamannya. Pandangannya datar, jantungnya berdegup kencang. Dagunya gemetar,
matanya memerah. Acara nonton televisi di ruang tv akhirnya terinterupsi kala Satria dan Angga melihat ekspresi aneh Belinda setelah ia menerima telepon
yang entah dari mana itu. Belinda yang nyaris terjatuh segera ditahan Satria.
"Ada apa, Ma" Barusan telepon dari siapa?" tanya Satria kelimpungan. Istrinya seperti baru saja melihat penampakan hantu.
"A... Aad..., Adrian, Pah. Adrian kecelakaan." Belinda mengusap dadanya yang naik-turun.
Angga dan Satria terkejut secara bersamaan. Kecelakaan" Adrian" Ruang tv itu lengang.
"Ayo sekarang kita cepet pergi ke rumah sakit, Pah. Cepetaaaan."
Naura yang berada di ujung tangga berhenti melangkah, terpegun di pijakannya. Adrian" Kecelakaan" Apa telinganya tidak salah mendengar" Kakinya melangkah
mundur, pertahanannya hampir jatuh. Naura menelan ludah, sekujur tubuhnya seperti mati rasa.
*** Menurut berita, bus rute Bandung menuju Jakarta yang ditumpangi Adrian mengalami kecelakaan besar, badan bus bertabrakan dengan truk, terguling parah.
Diduga akibat kelalaian sopir yang mengantuk. Berita itu mulai menyebar di beberapa stasiun tv. Sementara Belinda, Satria, Angga dan Naura berlarian di
koridor salah satu rumah sakit. Rumah sakit yang paling dekat dari lokasi kejadian. Rumah sakit itu ramai, karena seluruh korban kecelakaan ditampung di
sana. Baik korban yang masih bisa tertolong, juga korban yang telah meninggal dunia.
"Nggak. Adrian itu pulangnya besok, jadi dia nggak ikut dalam kecelakaan ini, Pah," kata Belinda yakin. Mungkin saja orang yang barusan meneleponnya keliru.
Nama Adrian banyak sekali. Belinda yakin itu, tetap beroptimis penuh. Naura masih belum angkat bicara, sibuk meneleponi nomor Adrian di ponselnya, barangkali
lelaki itu akan mengangkatnya. Tapi tidak, sudah berpuluh-puluh kali Naura memanggil, jawabannya sama; nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada
di luar jangkauan. "Mama nggak mau terjadi sesuatu sama Adrian, Pah." Satria segera membawa kepala Belinda ke pelukannya. Sebagai seorang Ibu, Belinda tidak mau anak lelakinya
terluka. Sebelumnya dia tidak pernah membuat mamanya sekhawatir ini. Belinda terus berlirih pelan, menggeleng tidak mau. Angga hanya bisa menunggu kabar
dari dokter. "Nggak Ian. Kamu nggak boleh lakuin ini sama aku." Naura masih terus menghubungi nomor Adrian. Ia bersandar, menyimpan ponsel di telinganya, lalu mengembuskan
napas lelah, Adrian tak kunjung mengaktifkan ponselnya. Naura telah berada di ujung keputusasaan. Rasa takut benar-benar melingkupinya, belum percaya kalau
Adrian-lah yang berada dalam ruang UGD sana. Kalaupun benar Adrian, Naura berharap dia baik-baik saja.
Tak lama kemudian, dokter keluar. Mereka berempat langsung memusatkan pandangan pada doker berkacamata itu, mendekatinya dengan raut antusias.
"Kalian keluarga dari Adrian Wijaya?" tanya sang dokter. Belinda mengangguk-anggukan kepala. "Iya-iya, kami keluarganya, dok."
"Syukurlah. Pihak polisi menemukan dompet, berisi kartu nama korban bernama Adrian Wijaya. Dan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya..." dokter itu menarik
napas pelan, siap meluncurkan kata-kata yang membuatnya tak enak. Belinda, Satria, Angga dan Naura menunggu, dengan wajah penuh pengharapan bercampur tegang.
"Korban tidak bisa kami selamatkan. Luka yang dialaminya di kepala cukup parah. Oleh sebab itu, kami memohon maaf. Semoga kalian bisa menerima dengan lapang
dada. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi takdir berkata lain."
Naura menjatuhkan ponselnya, benda itu terpelanting sampai menimbulkan suara. DEG! Jantungnya berdetak hebat. Ini pasti mimpi, dokter itu pasti sedang
berbohong. Naura mencubit lengannya sekeras mungkin yang ia bisa, menekannya kuat-kuat, berharap akan terbangun dari mimpi buruk. Tapi ia malah meringis
kesakitan. Harapan mimpi itu pupus.
Napas Belinda tersengal, karena terlalu terkejut, perempuan itu hampir kehilangan kesadaran. Satria berusaha menopang tubuh Belinda, dan akhirnya istrinya
itu pingsan. Matanya tertutup. Angga segera membantu papanya untuk membawa mamanya berbaring di salah satu kamar rumah sakit.
Tidak. Ini tidak mungkin. Orang itu pasti bukan Adrian. Naura bergegas masuk ke dalam ruang UGD. "Nggak dokter pasti salah orang. Dokter pasti salah orang.
Dia bukan Adrian." Dokter itu hanya menundukkan kepala, menyesal karena gagal menyelamatkan pasien.
Begitu sampai di lawang, Naura lihat tubuh lelaki yang terbaring di atas brankar dengan luka-lukanya. Suster-suster sedang mencabut alat-alat yang menancap
di tubuhnya, mematikan monitor alat pendeteksi jantung. Naura memejamkan matanya yang berair, kakinya terus melangkah mendekat, seluruh tubuhnya betul-betul
lemas tak bertenaga. Naura tiba di pinggir brangkar, terlihatlah wajah lelaki yang sangat ia cintai. Itu wajah Adrian, benar, itu adalah wajah Adrian.
Kedua suster yang telah selesai, segera keluar dari ruangan, setelah sebelumnya memberi ucapan prihatin juga liontin perak berinisial 'N' kepada Naura.
"Kami menemukan kalung itu di saku bajunya. Siapa nama mbak?"
"Saya Naura." "Hmm, ini pasti milik mbak."
Naura memandang liontin perak di tangannya dengan mata mengabur. Apa ini hadiah yang dimaksud Adrian" Kalung berinisial 'N' yang berarti Naura. Ia genggam
kalung itu kuat-kuat, lalu pandangannya beralih kepada Adrian. Naura menarik napas lewat mulutnya, dokter itu tidak salah. Ini benar-benar Adrian, suaminya.
"Apa kamu tega lakuin ini sama aku" Kamu tega ninggalin aku gitu aja" Ninggalin Adrian junior kamu" Kamu kasih aku kebahagiaan, canda, tawa, tapi setelah
itu kenapa kamu malah kayak gini" Kamu pergi untuk selama-lamanya. Kamu tutup mata kamu, harusnya kamu buka mata kamu saat aku datang. Harusnya kamu sambut
aku dengan senyuman dan candaan seperti biasa, bukan malah tiduran kayak gini. Harusnya sekarang kamu tepatin janji kamu. Kamu jelasin apa arti kalung
ini. Aku gak butuh dia, aku cuma butuh kamu. Seindah apa pun bentuk kalung ini, aku cuma pengin kamu. Kamu jahat, Ian. Kamu jahat..."
Naura memegang kedua pipi Adrian yang beku dengan tangannya yang gemetar hebat, tangisnya tersekat di tenggorokan, menatap Adrian intens. "Nggak Ian. Nggak,
jangan lakuin ini sama aku. Ian buka mata kamu, bilang kalau ini semua salah. Kamu nggak mungkin ninggalin aku secepat ini, nggak, Ian. Bangun sayaaang."
Naura menangis sambil terus menepuk pipi Adrian, menggeleng-gelengkan kepala tak ikhlas. Hatinya seperti teriris sembilu. Berharap kalau ini hanya mimpi
buruk. Tadi Adrian baik-baik saja, bahkan ia menyuruh Naura untuk menunggu di rumah. Naura mencium pipi Adrian penuh pendalaman, sebuah kecupan ketulusan.
"Adrian buka mata kamu! Bilang kalau kamu baik-baik aja, ini bukan kamu, aku percaya ini bukan kamu. Iaan tolong jangan nakut-nakutin aku. Kali ini becandaan
kamu nggak lucu! Nggak lucu Ian!" bentak Naura berlinangan air mata, mengguncang kedua bahu Adrian kencang, kesal karena Adrian tidak mau membuka mata
dan menghentikan aksi gilanya. "Kamu boleh becanda sesuka hati kamu, tapi jangan sampai begini. Bukan ini kejutan yang aku mau. Jangan kasih aku kejutan
kayak gini, aku nggak kau. Kamu mau aku sakit jantung" Kamu mau aku sakit gara-gara becandaan kamu ini yang berlebihan" Ian banguuuuun." Naura mencengkeram
baju Adrian, tubuhnya benar-benar lemas, perutnya terasa nyeri. Tangannya masih setia menggenggam liontin perak itu. Napas Naura tersendat, tubuhnya terperenyak
ke bawah dengan setengah kesadaran, namun suara tangisnya masih terdengar.
Angga yang baru saja masuk, mendapati Naura yang sudah tak berdaya. Rasa sakit di perutnya tak sebanding dengan rasa sakit ketika menghadapi kenyataan
bahwa kini Adrian telah tiada. Laki-laki yang begitu ia sayang, yang begitu ia cinta. Laki-laki yang begitu istimewa. "Naura!" pekik Angga panik. Untung
Angga datang tepat waktu, saat itu juga Naura pingsan.
Angga segera menggendong tubuh Naura yang lemah, membawanya keluar. Tersisa bekas air mata di wajah pucat Naura.
'Kamu nggak inget janji kamu Ian" Untuk nggak bikin air mata aku jatuh" Di mana janji kamu" Apa kamu udah gak peduli lagi sama aku" Perempuan yang kamu
bilang sebagai perempuan yang paling kamu cintain.'
Naura berbaring tak sadarkan diri. Angga mendapatkan berita setelah salah satu dokter memeriksa keadaan Naura.
"Janin dalam rahimnya tidak bisa tertolong. Mungkin karena Ibu Naura yang terlalu syok berat. Kabar buruk yang datang secara tiba-tiba, bisa mengakibatkan
masalah yang fatal bagi calon anak yang baru menginjak fase sensitif."
Begitulah penjelasan sang dokter, Angga mengusap wajahnya frustrasi. Naura telah kehilangan Adrian, dia juga harus kehilangan bayinya. Apa Tuhan sekejam
itu" Angga juga masih belum percaya, kalau adiknya, Adrian, telah tiada. Dia meninggalkan orang-orang yang menyayanginya tanpa pamit. Terlalu mendadak.
Jenazah Adrian yang telah dipindahkan ke kamar mayat, dihampiri papanya. Satria memandang kain yang menutupi seluruh tubuh Adrian selama beberapa detik.
Dengan penuh keberanian dan ketegaran, Satria membuka kain putih itu. Wajah Adrian yang pucat dan kaku menjadi pemandangan utama kedua iris hitamnya. Melihat
Adrian seperti ini, hati Satria terasa sangat perih. Bagaimana bisa dia meninggalkan papanya dengan waktu yang sangat cepat"
Satria tersenyum bangga. "Kamu anak kesayangan Papa Adrian. Kamu anak yang paling penurut. Dibandingkan kakak kamu, kamu yang paling takut sama orangtua.
Papa minta ke kamu tolong beliin ini Adrian, tolong beliin itu Adrian, kamu langsung denger. Beda sama kakak kamu yang malas-malasan dan nyuruh lagi ke
pembantu. Banyak yang bilang, kalau wajah Papa sama kamu itu mirip. Mau tetangga, saudara, dan orang lain yang baru melihat kita," ia tersenyum lagi. "Kita
punya senyum yang sama. Dan kamu setuju itu, kamu ingin seperti Papa, jadi orang yang sukses. Bukan orang kaya, melainkan orang yang sukses. Seperti kamu
bilang, orang kaya belum tentu sukses, sementara orang sukses, pasti dia punya masa depan cerah. Papa bangga, punya anak seperti kamu Adrian. Papa bangga
sekali." Di antara heningnya kamar mayat, di depan Adrian yang tak akan pernah bernapas lagi, papanya terus bercerita. Mungkin ini untuk yang terakhir
kalinya dia bisa bercerita panjang dengan Adrian.
"Di umur kamu yang baru menginjak 22 tahun, kamu ketemu sama perempuan yang sangat kamu cintain, sampai kamu ngelangkahin kakak kamu untuk menikah dengan
dia. Papa masih inget, dengan bangganya kamu bilang kalau kamu mau menikah. Papa masih inget, wajah cemberut kamu gara-gara Mama kamu yang nggak setuju.
Dan selanjutnya, kamu tersenyum saat mendengar kalau Papa setuju dengan pernikahan kamu. Di sana, kita tertawa sama-sama. Kamu sangat mencintai Naura,
Adrian. Jiwa kamu sebagai seorang laki-laki hebat itu ada. Kamu anak yang penuh tanggung jawab, kamu mandiri, kamu segalanya untuk Papa." Laki-laki memang
sosok yang tak kenal dengan istilah air mata. Tapi, Satria hanya sebatas laki-laki biasa. Sebagai seorang Ayah, dia sangat terpukul dengan kematian anaknya.
Anak yang begitu ia banggakan. Kedua matanya memerah, hingga satu tetes air mata jatuh dari pelupuknya. Satria mengusap hidung dan mulutnya, berusaha untuk
tetap tegar dan kuat menerima kenyataan. "Mungkin Tuhan lebih sayang kamu, Nak. Itu sebabnya kamu pergi paling awal, ngeduluin Papa. Takdir yang berkata,
bahwa Papa yang harus mengubur kamu," terasa begitu berat saat Satria mengatakan itu.
Hati Satria bagaikan dihujami ribuan jarum. Rasanya sakit, sangat sakit. Diam dan berusaha ikhlas, itu salah satu cara yang tepat untuk merelakan. Senyum
Adrian masih terbayang dalam benaknya, suaranya ketika ia kecil, berlarian ke sana-kemari dengan kapal-kapalannya. Bermain bola, dan berenang. Tangisannya,
juga pertengkaran bersama kakaknya. Memori itu seakan mengulas ulang kenangan indah, yang tak akan pernah terlupakan.
Satria merunduk. Naura baru saja sadarkan diri. Angga yang semenjak tadi duduk di sebelahnya segera bergerak, menatap Naura khawatir. Perempuan itu sedang berusaha menjelaskan
pengelihatannya. "Syukurlah kamu udah sadar, Naura," kata Angga cemas. Naura menatap sekelilingnya, merasa ada yang janggal. Ia segera bangun dari rebahan
kala menyadari sesuatu. Cepat-cepat Angga membantu.
"Aku ada di rumah kan, Kak" Aku ada di rumah. Aku harus cepet-cepet turun ke bawah. Adrian udah nunggu aku." Naura menurunkan kakinya, bergegas pergi,
tapi perutnya terasa begitu sakit. Ada apa ini" Tindakannya terhenti di detik itu.
"Kamu jangan ke mana-mana. Kamu baru aja keguguran..."
"A... apa?" "Iya. Kamu baru aja kehilangan calon anak kamu."
"Maksud kakak apa aku keguguran" Kenapa bisa" Aku gak mau keguguran, nanti Adrian marah. Itu adalah anak yang paling dia dambain. Aku nggak mau keguguran..."
Naura menatap kakak iparnya penuh permohonan. Memaksa agar dia mengatakan kalau semua ini hanya mimpi. Adrian masih ada, begitu pun dengan janinnya.
Namun Angga hanya membalas tatapan Naura tak bersemangat. Ia juga menginginkan hal itu, menganggap kalau ini semua hanyalah mimpi. Adrian adalah adik kesayangannya,
menyulitkan Angga untuk menerima kenyataan.
"Kamu udah ikhlasin kepergian Adrian?" tanya Angga, pelan.
Naura tertegun, paru-parunya berhenti bernapas. Seakan dunianya redup. Lampu-lampu amor padam dalam waktu tak kurang dari satu detik.
"Nggak aku yakin banget semua ini cuma mimpi, kak. Adrian masih hidup, dia masih hidup. Nggak mungkin Adrian pergi, nggak mungkin, Kak! Kemarin-kemarin
kita masih main video call, kemarin dia baru aja ngeledek aku. Bahkan tadi, dia nyuruh aku buat tunggu di rumah buat nyambut kedatangan dia. Aku masih
inget, wajah Adrian, dia baik-baik aja, dia nggak lagi sakit. Jadi mana mungkin Adrian meninggal...?" Di depan Naura, Angga kehilangan kata-kata. Gagap.
Naura terus ngelantur, tak memberikan waktu untuk Angga yang ingin membuat Naura sadar. "Kakak gak percaya sama aku" Ayo, kak kita ke rumah, Adrian udah
nungguin di sana. Kasian kalau dia dateng terus nggak ada yang nyambut. Aku belum siapin makanan. Mama sama Papa, aku, kak Angga, kita harus pulang. Ayo,
Kak." Naura memegang kerah baju Angga, menarik-nariknya secara paksa, merengek gemas. "Ayo cepetan, Kak. Kita temuin Ad..."
"Stop Naura. Adrian udah nggak ada!"
Sentakan Angga membuat Naura terpegun. Perlahan, pegangan tangan pada kerah baju Angga mengendur. Tangan itu melemas. Butiran-butiran air memenuhi matanya
yang mengisyaratkan ketidakmampuan untuk menerima kenyataan. Angga langsung memeluk Naura, memberikan afeksi, tidak tega melihat Naura yang terlihat seperti
orang gila. Dalam pelukan Angga, isak tangis Naura mulai terdengar. Tangisan yang awalnya kecil, semakin keras seiring dengan gerakan jarum jam yang berdenting
di tembok. Angga berusaha untuk terus menenangkan Naura.
Di luar, ada ayah Naura yang baru saja tiba, telinganya langsung dihampiri suara tangisan putrinya yang sangat tersakiti. Batin ayah Naura ikut sakit.
Belum siap bertemu dengan Naura yang sedang rapuh. Dia bersandar sejenak di dinding bercat putih itu, memandang langit-langit. Mengapa Tuhan menimpakan
masalah yang sangat besar kepada putri semata wayangnya"
Bersambung. "YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 8 - Tak Apa. *** Dengan pakaian serba hitam, Naura bersandar di dinding dapur. Sementara semua keluarga berbondong-bondong pergi ke pemakaman untuk menguburkan Adrian ke
tempat peristirahatan terakhirnya. Air mata meluncur bebas di pipi Naura. Kejadian tadi malam seakan mengutuknya dengan telak. Ia tidak sanggup melihat
Adrian disemayamkan. Terlalu berat dan sakit. Naura meremas dadanya.
"Kamu nggak ikut ke pemakaman Adrian?" Angga yang sejak tadi mencari keberadaan Naura akhirnya menemukan Naura di sini.
"Aku nggak sanggup, Kak. Aku nggak sanggup." Naura menggeleng. "Gimana bisa aku ngeliat orang yang paling aku sayang pergi" Dikubur di antara tanah-tanah
merah. Ini terlalu berat buat aku."
"Tapi kamu istri Adrian. Kamu harus ada di sana. Kasian Adrian, kamu nggak nganter dia ke tempat peristirahatan terakhirnya," bujuk Angga.
Namun Naura hanya diam, menatap lurus ke depan, berusaha menahan tangis. Tak menganggap kata-kata Angga, sibuk dengan kesedihannya. Angga memandang Naura
iba, tangannya terangkat dan mengusap bahu Naura pelan. Oke, dia mengerti perasaan Naura, Angga tak akan memaksa. Detik berikutnya, Angga pun melangkah
pergi, ikut dalam pemakaman jenazah Adrian. Tubuh Naura tergelosor. Memeluk kedua lipatan kakinya sendirian, di antara kesunyian. Matanya terangkat, Naura
menyeka air mata. *** Proses pemakaman telah selesai dilaksanakan. Orang-orang mulai meninggalkan area pemakaman, tinggal tersisa keluarga terdekat. Belinda, Satria dan Angga.
Suasana berkabung sedang melingkupi. Memang berat rasanya, kehilangan orang tersayang. Namun, siapa yang bisa melawan takdir" Usia, jodoh, dan rezeki sudah
diatur oleh yang Maha Kuasa. Tugas kita hanyalah menerima baik. Anggap kalau kehendak Tuhan adalah jalan yang paling terbaik.
Belinda masih menangis, menaburi bunga-bunga di atas makam bertanah merah dan masih basah itu sambil berjongkok. Melihat batu nisan bertuliskan Adrian
Wijaya yang berada di ujung makam, membuat hati Belinda kembali tergores. Di belakang, Satria berusaha menenangkan istrinya, agar dia mau belajar ikhlas,
kuat dalam menghadapi cobaan.
"Adrian anak yang baik, Pah. Mama yakin, dia pasti udah tenang di sana. Tapi kenapa dia tega ninggalin Mama?" suaranya patah-patah. "Adrian anak kesayangan
Topeng Kuning 1 Pendekar Naga Putih 72 Pertarungan Dua Naga Banjir Darah Di Tambun 1
"YOUR EYES. By: Jaisii Q. Chapter 1 - Selamat Ulang Tahun Naura.
*** "Kamu mau ngajak aku kemana, sih?" Naura bertanya kepada Adrian dengan mata yang masih ditutupi kain. Di belakang, Adrian terus menginteruksi kemana saja
Naura halus melangkah, menuntunnya dengan sabar, demi memamerkan kejutan kepada istri tercintanya.
"Sabar yaa. Nanti juga sampai. Ih kamu bawel banget."
"Yaa aku kan pemasaran Iaaan. Hampir satu jam lebih kamu tutup mata aku, kamu pikir aku gak bosen," dumal Naura memorotkan bibir.
Perlahan Adrian mulai membuka kain yang menutupi mata Naura, tersenyum kepada pemandangan permai yang telah disiapkan dengan sedemikian apik. Pelan-pelan,
kedua mata milik Naura terbuka. Sebuah lilin yang menerangi ruangan gelap ini, mejadi obyek utama iris hitam yang kini berbinar. Lilin bertuliskan 20 itu
tersemat di atas kue bolu berbentuk kotak persegi. Ada tulisan 'Selamat Ulang Tahun Naura, istri tercinta aku' juga. Ini cukup sederhana, tapi begitu menakjubkan.
Adrian tersenyum, memandang dalam Naura yang sedang menikmati suasana gelap dan lilin yang menjadi penerang. Berharap Naura senang dengan kejutan yang
ia buat. "Kue itu, bukan kue yang aku beli di toko kue. Tapi, kue itu buatan tangan aku sendiri, spesial buat kamu. Bagi aku kamu itu spesial, Ra. Untuk itu, aku
kasih kamu hadiah spesial. Hadiah yang nggak bakal diterima oleh cewek mana pun."
Naura masih tertegun lama, bola air mata menggantung di pelupuk mata. Ini sebabnya, mengapa hari ini Adrian begitu menyebalkan. Sekarang Naura mengerti.
"Ian bukaaa!! Adrian nggak lucu tau!! Masa kamu kunci aku di kamar" Aku janji gak bakal genit sama cowok lain di luar. Aku cintanya cuma sama kamu!!!"
Naura menggedor pintu kamar. "Kamu tega ih sama istri sendiri. Pakek kurung-kurung segala."
Di luar, Adrian tertawa sendiri, membayangkan bagaimana ekspresi sangar Naura di sana. Pasti sangat lucu dan mengocok perut. "Nggak mau. Pokoknya hari
ini kamu jangan kemana-mana. Aku gak bakal ngebiarin kamu keluar kamar apalagi ke luar rumah. Hari ini, kamu harus tinggal di dalam kamar. Kita ini pengantin
baru, aku nggak mau kamu kepincut sama cowok lain. Kamu cuma milik aku Naura Noraaa... Diem dan duduk manis di kamar, aku mau selingkuh dulu di sini."
"Kamu suami yang jahat. Bukan aku yang bakalan genit, tapi kamu. Ayolah Ian, buka pintunya. Aku nggak mau tinggal di kamar. Dan aku nggak bakal biarin
kamu selingkuh. Jangan sampai kamu ingkarin janji kamu." Naura merengek gemas, sudah seperti anak kecil yang meminta untuk dibelikan balon gas. "Suami
yang jahat. Awas aja, aku bakalan laporin kamu ke pihak yang berwajib, bilang kalau kamu udah ngelakuin KDRT. Kamu tau KDRT" Kekerasan dalam rumah tangga,
dan itu adalah tindakan yang ngelanggar hukum. Kamu bisa dihukum, aku nggak mau kamu dihukum, nanti aku bakal jadi janda. Janda muda."
"Ya udah laporin aja sana. Gue kagak takut!!"
Naura memelotot, "Apa lo bilang?"?""
"Maaf sayang. Itu kan udah perjanjian kita. Kalau kita marah, kita bisa manggil lo-gue, kan" Kayak anak SMA yang emosinya masih labil?"
"Ian kamu nyebeliiin!! Jadi kamu marah"! Aku yang dikunci kok kamu yang marah"!"
Adrian menggeleng, masih belum menghilangkan gurat tawanya, lalu berbalik meninggalkan suara Naura yang merengek untuk dibukakan pintu. Adrian mulai membuka
gadget, mencari resep kue yang enak dan menggiurkan. Tenang, Adrian sudah menyiapkan sarapan di kamar, jadi Naura tak perlu repot-repot masak atau keluar
dari kamarnya. Adrian jadikan hari ini sebagai hari spesial Naura.
Naura berbalik, menyadari kalau Adrian telah pergi. Percuma berteriak, tak akan ada yang mendengar. Perempuan itu menghela napas, belum mengerti maksud
Adrian apa. Yang jelas, Naura yakin, Adrian tak akan mungkin mengecewakannya. Dia bukan laki-laki kurang ajar, yang hanya berlaku manis di masa pacaran,
lalu berubah jahat setelah menikah. Dia adalah Adrian, yang akan selalu membahagiakannya, menjadi penerang kehidupan di masa depan. Dia laki-laki, yang
akan menemaninya hingga tua. Yang menjadi alasan terbentuknya senyum di bibir, terdengarnya degupan jantung yang merambat ke telinga, serta trenyuhnya
hati yang menenangkan jiwa. Naura melangkah, mendekati nakas. Ada sepiring sandwich, dengan dua mata, satu hidung dan bibir tersenyum yang dibuat dengan
saus tomat. Ia tersenyum.
Sementara di dapur, Adrian mulai bermain dengan tepung terigu, gula, telur, dan alat-alat pembuatan kue. Untuk pertama kalinya dia membuat kue di sepanjang
hidupnya. Entah akan berhasil atau tidak, yang penting ia sudah berusaha. Kalau hanya membeli, itu terlalu mudah, Adrian ingin mencoba yang lebih menantang.
Naura mengalihkan pandangannya kepada Adrian, mengecup bibir Adrian gemas. Lalu memandangnya, air mata jatuh di pipi. Ini adalah hari ulang tahun terindah.
"Makasih Ian." Adrian menghapus air mata haru Naura. "Jangan nangis, ah. Nantu cantiknya ilang."
"Abisnya kamu romantis banget." Naura terisak. "Ya udah, kamu tiup lilinnya," sambung Adrian. Mereka melangkah lebih mendekat.
"Make a wish, make a wish." Adrian memperingati tidak sabaran.
"Iya-iya baweeeel."
Naura memejamkan mata, mulai membuat harapan. Harapan yang cukup sederhana. Hanya ingin bisa hidup seperti ini selamanya bersama Adrian. Tak usah harta
berlimpah, rumah mewah, dan perhiasan berkilo-kilo gram. Semoga, mereka menjadi keluarga yang sakinah, mawadah dan warrahmah. Cinta dan kasih sayang Adrian
sudah cukup bagi Naura. Ia tak berani meminta apa-apa, tak mau serakah. Naura membuka matanya lagi, lalu meniup lilin hingga lilin itu terbawa angin dan
redup. Otomatis, seluruh ruangan menjadi gelap gulita, pekat.
"Yah jadi gelap." Naura tidak bisa melihat apa-apa. "Ian di mana kamu?" ia mencari keberadaan Adrian dengan kedua tangannya, tapi yang ditangkap hanyalah
angin, tak ada Adrian. "Jangan ngumpet-ngumpet gitu, deh. Nggak lucu." Naura menduga
Tak lama kemudian, ruangan menjadi terang, lampu di atas menyala. Naura terperanjat. Keluar pula, sebuah musik dengan lagu Seventeen yang berjudul Menemukanmu.
Dentingan musik mengalun merdu, terdengar nyaring di telinga Naura. Perempuan itu berbalik, menemukan sosok Adrian yang berdiri, bersandar di tembok, melipatkan
kedua tangannya yang menggenggam handphone. Cowok itu tersenyum jail.
Kiniku menemukanmu... Di ujung waktu ku patah hati..
Lelah hati ku menunggu, cinta yang selamatkan hidupku...
Kini ku tlah bersamamu, berjanji tuk sehidup semati..
Sampai akhir sang waktu, kita bersama tuk slamanya..
Lantunan musik itu mengalun sonor di dalam ruangan, menerbitkan kesan romantis. Naura dan Adrian saling tersenyum di tempat masing-masing. Naura segera
melangkah, mendekati Adrian dan langsung memeluknya mesra.
"Selamat ulang tahun sayang." Adrian melepaskan pelukannya. "Semoga panjang umur, sehat selalu. Selalu ada buat aku, selalu tampil apa adanya. Semoga mimpi-mimpi
kamu tercapai, semoga makin tinggi, pipi makin chubby kayak bakpaw, daan, makin sayang sama aku." Adrian menarik pipi tembem milik Naura. Sebelumnya ia
membayangkan akan mendapatkan perempuan cantik dengan pipi yang tirus. Tapi takdir tidak menginginkan hal itu. Jodoh, sudah diatur oleh Tuhan. Dan nyatanya,
pilihan Tuhan memang tak akan salah. Di dunia ini, apa yang kamu inginkan belum tentu menjadi nyata.
"Kamu itu sebenernya ngedo'ain atau ngatain, sih?" selidik Naura dengan pandangan introgerasinya.
"Becanda... Bentar, masih ada satu kalimat yang ketinggalan."
Terpaksa Naura harus mengurungkan niat untuk mengoceh.
"Semoga, Tuhan bisa cepet-cepet kasih kita momongan." Adrian nyengir. Naura sedikit kaget, dan akhirnya mengerti. Ia tertawa. "Emang kalau kita punya anak,
kamu mau berapa" Terus, jenis kelaminnya apa?"
"Aku pengen punya anak sepuluh. Semuanya lelaki, biar kita bisa sama-sama ngeledek Mamanya. Jadi kan, aku punya temen buat ngeledek kamu."
"Iih nyebelin. Apa kamu nggak inget" Alasan kenapa kita bisa suami istri kayak gini" Kamu gak inget kenapa kita menikah muda" Kamu nggak inget kenapa sekarang
aku udah jadi ibu rumah tangga" Kamu nggak ingeet" Gara-gara kamu itu," cecar Naura tanpa jeda. Menyalahkan Adrian atas apa yang telah terjadi. Padahal
dia bahagia karena sekarang Adrian sudah seutuhnya menjadi miliknya. Candaan-candaan garing kembali terjalin setelah sebelumnya manis-manisan. Saling mengejek.
"Oooh jadi kamu nyalahin aku" Kamu nggak mau jadi istri aku" Udah sekarang terima kenyataan aja yah, kalau kamu itu udah jadi milik Adrian. Kamu harusnya
bersyukur, masih ada cowok yang mau nikah sama cewek bawel dan pesek kaya kamu Naura Nora. Cowok ganteng lagi."
"Idih kamu. Aku taplok pakek kue itu biar tau rasa." Naura gregetan. Dalam situasi seperti ini pun, Adrian masih saja mengejeknya.
*** Bersambung... "YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul Chapter 2 - Gara-Gara Kiss"
*** Hujan deras membasahi kota, di malam hari ini, udara dingin menusuk tulang. Rintikan air terdengar nyaring. Seorang gadis berlari sekencangnya, menimbulkan
picrikan air kala sepatu itu menginjak genangan air dari jalan yang berlubang. Lampu jalan meremang. Di belakang, seorang pria berusaha mengejarnya, menerobos
air hujan yang memaksa untuk berteduh. Seperti tak akan membiarkan perempuan itu pergi, ia terus berlari.
Tiba di teras rumah, perempuan berambut panjang yang telah basah kuyup itu membuka pintu, tapi nyatanya pintu dikunci dari dalam. Ia mendengus resah. Situasi
darurat mengepungnya, layaknya dikejar ribuan zombie, bahkan lebih menyeramkan daripada mereka yang berlumuran darah. Pria berjaket kaos segera meraih
pergelangan si perempuan dengan paksa. "Naura, please. Jangan langsung ambil kesimpulan."
"Lepasin!" "Apa yang kamu liat, nggak sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran kamu."
"Jelas-jelas, aku liat kamu pelukan sama cewek lain, di halte, di waktu hujan turun. Romantis banget. Itu selingkuhan kamu" Kenapa kamu gak cerita kalau
kamu punya selingkuhan" Hati cewek mana sih yang nggak sakit saat liat pacarnya lagi pelukan sama cewek lain?" suara Naura berusaha mengalahkan suara air
hujan. Saat ini amarahnya benar-benar tidak bisa dikontrol. Hatinya terlanjur sakit. Ibarat kaca yang berdiri kokoh, lalu jatuh ke dasar lantai, menimbulkan
kepingan-kepingan berantakan, berserakan di mana-mana. Kepercayaan yang dibangun dengan sedemikian rupa, rampak dalam sekejap.
"Dua tahun kita pacaran, kamu nggak percaya sama aku."
Naura terdiam. Bukan karena kehabisan kata-kata ataupun mengalah, tapi ia malas. Memang perempuan mana yang hanya diam ketika lelaki yang ia cintai sekaligus
ia cintai bermesraan dengan perempuan lain" Perempuan mana yang rela melupakan pelukan itu" Pada hakikatnya, semua lelaki memang gampang bosan. Mereka
bisa langsung berpaling ketika melihat perempuan yang lebih 'waw'. Dan melupakan yang lama, mengganggap mereka basi.
"Dia cuma sepupu aku. Udah lama kita nggak ketemu. Jadi wajar kalau kita pelukan, cuma sekadar basa-basi. Ayolah, Na. Kita bukan anak SMA lagi."
"Apa" Anak SMA?"
Adrian bungkam. "Apa bedanya anak SMA sama aku" Sama kamu" Ketauan selingkuh ya ketauan. Cemburu ya cemburu. Emang aku nggak boleh cemburu" Cuma anak SMA aja yang boleh
cemburu" Cewek kayak aku gak boleh" Aku tetep cewek, yang marah waktu liat cowoknya pelukan."
Adrian kehilangan kata-kata. Naura mendesak dengan kalimat-kalimat tak enak didengar.
"Kamu pikir dua tahun itu lama" Sebentar, Ian. Itu waktu yang sebentar banget. Bisa aja kamu lagi cari perempuan yang lebih dari aku. Plis jangan sakitin
hati aku. Aku tuh cinta banget sama kamu, cuma butuh satu jam buat jatuh cinta sama kamu, jangan kecewain aku. Aku mohon jangan bosen sama aku." Naura
tertunduk, membiarkan air matanya berjatuhan. Terlalu takut jika harus dihadapi dengan kenyataan pahit. Adrian menatap Naura serbasalah. Kalau boleh meminta,
Adrian ingin mengulang waktu. Menata kembali segmen-segmen yang terjadi di menit-menit ke belakang. Agar kesalahpahaman ini tak akan terjadi.
"Jangan hancurin kepercayaan aku. Aku takut sama cowok, karena mereka bisa seenaknya mainin hati cewek. Cowok adalah makluk yang paling serem. Tapi kamu
jangan, aku berusaha usir rasa takut aku demi kamu. Aku kasih pengecualian."
"Apa yang harus aku lakuin supaya kamu percaya?" Adrian memegang dagu Naura dengan jari jempol dan telunjuknya. Memaksa gadis itu untuk mengangkat kepala,
mau melihatnya. Mereka saling beradu pandang. Mata Adrian adalah area paling menonjol. Teritori utama yang menjadi tempat Naura untuk meminta sebuah kejujuran.
Dan sekarang, mata itu hanya memancarkan sorot ketulusan, kelembutan, dan kejujuran. Tak ada maksud lain untuk memanipulasi. Seketika, Naura luluh.
"Kamu mau bukti?" tanya Adrian. Mata yang awalnya tertuju pada mata Naura, kini beralih ke bawah ---bibir Naura. Adrian semakin mendekat, seiring dengan
wajahnya yang mendekati wajah Naura yang matanya sedang memejam. Jika ini cara supaya Naura percaya, Adrian akan lakukan. Percayalah, hanya Naura yang
Adrian inginkan untuk menjadi pendamping hidup.
Dalam malam itu, di antara rintikan air hujan, Adrian resmi mencium bibir Naura ---untuk yang pertama kalinya. Dan itu benar-benar first kiss mereka berdua.
Bibir itu bertautan, telinga dan mata terkatup, tak memberikan rangsangan apa-apa. Seolah dunia mati.
Pintu terbuka dari dalam, menampakkan sesosok pria berkumis tebal. Telak, ciuman itu berhasil disaksikan oleh kedua mata minusnya. Pria dengan kisaran
umur 50 tahun itu terkejut bukan main. Jantungnya nyaris melompat dari sarang.
"Astagfirullahaladzim!"
Sontak, Adrian dan Naura melepaskan tautan bibir itu. Keduanya sama-sama kaget, saling menutup mulut. Gawat! Pria tua itu menatap kedua remaja di depannya
tajam. Penuh penyelidikan. Wajah garangnya membuat Naura takut.
Naura tidak sadar kalau sekarang ia berada di rumah, tempat yang tak pernah disinggahi untuk berpacaran. Naura lekas merutuki diri, memaki kasar. Ayahnya
pernah memesan agar Naura mau menjaga diri, agar Naura tidak boleh menjalin hubungan dengan seorang pria. Agar Naura bisa menunggu laki-laki yang nanti
akan menjadi jodohnya, laki-laki pilihan ayahnya. Adrian kikuk di tempat, kujur ketika mendapatkan tatapan tak sedap yang diterbitkan cowok berbadan besar
itu. "Ini Ayah aku."
Adrian ingat, Naura pernah memamerkan foto ayahnya dalam hp.
Ini kali pertama Adrian melihat ayah Naura secara langsung. Masih dengan gerakan kaku, Adrian mengangkat tangan, mencoba menyalami, atau lebih tepatnya
---berkenalan---. Naura memicingkan mata, terlalu takut dengan reaksi yang akan segera diluncurkan sang Ayah.
Di malam itulah, ayah Naura memutuskan, kalau Adrian harus segera menikahi Naura. Dia harus bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat. Bagaimana
pun, sebelum menjadi mukhrim, seorang laki-laki dilarang menyentuh bibir putrinya. Jangan berlama-lama untuk berpacaran. Kalau Adrian menolak, berarti
ayah Naura tak akan merestui hubungan mereka. Mereka harus secepatnya putus sebelum hal-hal yang lebih membahayakan terjadi.
Adrian dan Naura saling melirik.
*** "Mah, Adrian mau menikah."
Perempuan berambut hitam panjang bergelombang itu menoleh dengan kaget. Refleks tangannya memegang dada. Di pagi buta ini, anaknya tiba-tiba ngelantur.
"What?" "Aku mau nikah."
"Apa kamu bilang Adrian" Apa telinga Mama nggak salah denger" Coba-coba ulangin." Belinda mendekatkan telinga di bibir anak bungsunya. Meminta pengulangan
kata. Bagi dia, ucapan Adrian barusan hanyalah halusinasi semata. Sambil membenarkan anting, Belinda menunggu.
"Adrian mau nikah."
Belinda menarik kepalanya, menatap Adrian tak percaya. Keningnya berlipat. Tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan Adrian. "Maksud kamu apa?"
"Apa mau ngerestuin Adrian?"
"Seumur-umur, Mama belum pernah liat tuh kamu bawa perempuan ke rumah. Kamu gak punya pacar, mau menikah sama siapa" Haduuuh." Belinda terkekeh seraya
menggeleng. "Kalau ada pun, Mama gak bakal ngerestuin. Kamu masih muda, masih punya cita-cita yang harus dicapai. Sayang, anak Mama yang paling ganteng,
kamu lagi becanda, ya?"
Adrian tahu, mamanya akan bereaksi seperti ini. Belinda tampak merapikan rambutnya yang selalu terlihat glamor. Sepagi ini anaknya sudah membuat ulah dengan
berkata yang tidak-tidak. Menurunkan semangat untuk pergi bekerja. Mood-nya hancur dalam sekejap.
"Adrian serius. Nggak lagi becanda," sahut Adrian menegaskan. Belinda kembali tertawa meremehkan, sampai rentetan giginya yang rapi dan putih terlihat.
"Kakak kamu aja belum menikah. Masa kamu mau ngeduluin dia?"
"Ada apa, Ma?" sosok lelaki berjas rapi tampak turun menuruni anak tangga. Harum parfumnya sampai di hidung Adrian dan Belinda, membekap seluruh ruangan.
Benar-benar pria yang maskulin. Setelah berada di bawah, dia lantas melangkah mendekati adik dan mamanya.
"Ini loh, adik kamu. Masa dia baru aja bilang mau nikah. Gak habis pikir deh mama." Belinda berkata heboh. Jalan pemikiran Adrian membuatnya pusing tujuh
keliling. "Dia pikir nikah itu gampang?"
"Bang" Salah ya gue?" Adrian meminta pendapat kakaknya. Siapa tau dia mengerti dan memberikan solusi. Adrian benar-benar bingung.
"Ya jelas salah lah Adrian!" Belinda menatap Adrian lagi, menjawab pertanyaan yang sesungguhnya ditujukan kepada Angga ---kakaknya---. Angga masih tercenung,
kurang paham dengan percakapan mereka.
"Emang dengan menikah aku bakal kehilangan karir aku sebagai seorang mahasiswa" Aku masih bisa sekolah, kan" Aku cuma nggak mau lama-lama pacaran. Nggak
baik kan, Ma?" "Tau apa sih kamu tentang menikah" Nikah itu ribet, kamu harus jadi orang yang mapan sebelum menikah. Kamu itu masih bau kencur. Apa kamu nggak tau cewek
zaman sekarang" Mereka tuh pada rewel semua. Matre dan gak tau diuntung."
Kata-kata mamanya menyinggung Adrian. Naura tidak seperti itu. Dia gadis yang bisa menerima Adrian apa adanya, dia gadis yang asik, dia gadis yang dewasa.
Bukan perempuan matre seperti apa yang dikatakan mamanya. Paradigma itu salah besar. "Kalau aku udah mapan, semua cewek bakal ngantri. Dan aku gak tau,
mana cewek yang tulus dan mana yang nggak." Adrian membela.
"Woow. Kamu udah berani ngebantah Mama kamu yang cantik ini, ya" Mama yang selalu nurutin semua kemauan kamu. Tapi untuk kali ini, Mama nggak akan setuju.
No way." Belinda menggoyangkan jari telunjuknya. Tak akan pernah mengubah keputusan.
Adrian kelabakan. Ia sudah berjanji kepada ayah Naura. Janji yang harus benar-benar ditepati. Lagipula, apa salahnya menikah" Dia dan Naura bisa membangun
karir sama-sama, membangun semuanya dari nol. Tanpa ikut campur tangan orangtua.
"Biarin aja, Ma. Itu kan kemauan Adrian. Fine-fine aja menutut aku," tanggap Angga yang mulai mengerti dengan arah pembicaraan mereka. Duduk di kursi meja
makan. Menyiapkan sarapan. Tak akan ikut ambil pusing.
"Fine-fine aja gimana menurut kamu" Kamu mau dilangkahin sama adik kamu" Lagian kamu tuh! Udah berumur belum nikah juga. Mama butuh keturunan nih, Mama
butuh cucu." Belinda beralih kepada putra pertamanya, meminta penjelasan, kapan Angga akan menikah. Adrian menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Kalau
mamanya ingin cucu, seharusnya ia merestui keinginan Adrian untuk menikah. Bukan malah menekan abangnya yang sampai sekarang masih menjomblo. Sibuk dengan
pekerjaan. "Sabar lah, Ma. Ibarat pepatah, nih. Jodoh nggak usah dicari. Dia bakal datang dengan sendirinya dengan waktu yang udah ditentukan. Mama tau lagi D'masiv"
Yang liriknya kaya gini; 'Bukan aku yang mencarimu, bukan kamu yang mencari aku. Cinta yang mempertemukan, dua hati yang berbeda ini...'" Angga melahap
rotinya, mengangguk-anggukan kepala, masih menyanyikan lagamnya. Belinda mendelik, Angga selalu menjawab seenaknya. Sama seperti papanya. Di sana Adrian
tertawa, mendekati mereka.
"Nah bener tuh, bang!" komentar Adrian antusias, mengacungkan jari jempol. Angga balas mengacungkan jempol yang sama. Adik-kakak yang akur sehidup semati.
"Mama mau cucu" Adrian siap kasih, kok."
"Adrian! Jangan bantah Mama, pokoknya Mama gak setuju kalau kamu menikah. Sebelum kakak kamu nikah, kamu dilarang menikah. Titik." Belinda tetap bersikukuh
pada pendiriannya. Adrian menyatukan alis gemas. Sadar, sulit menaklukan keinginan perempuan yang telah melahirkannya itu.
"Siapa yang mau menikah?" suara itu menghentikan dialog ibu dan anak-anaknya. Dengan serempak mereka mengalihkan pandangan pada asal suara. Belinda mengembuskan
napas, melipat bibir ke dalam mulut.
"Adrian, Pah! Adrian!" Adrian langsung menyahut. Melangkah mendekati papanya sambil terus menepuk-nepuk dadanya. Belinda memutar bola mata, tahu apa yang
akan terjadi selanjutnya.
"Wah" Serius kamu?" Papanya tampak tertarik. Suara khasnya mampu membuat Adrian nyaman dan tenang. Berbeda dengan mamanya.
"Iya, Pah. Kapan sih Adrian bohong" Tapi sayang, Pah. Mama larang aku." Adrian mengeluh. Papanya tersenyum hangat. Ini berita yang bagus sekaligus menyenangkan.
Bukan hal yang patut untuk dibantah. "Tenang aja, Mama bisa diatur."
Belinda melotot. "Emang siapa calonnya?"
"Ada. Nanti Adrian kenalin." Adrian berubah sumeringah. Sebelumnya ia yakin, kalau papanya yang satu ini tak akan menolak. Dia akan setuju selama itu tidak
melanggar peraturan undang-undang. Kalau Adrian meminta untuk membunuh seseorang, baru, papanya yang akan membunuh anaknya duluan.
Angga beranjak, berbisik sesuatu di telinga mamanya yang sedang kesal setengah mati. "Mama kalaah, Mama kalaaah. Biarin aja lah, Ma. Angga percaya, pilihan
anak itu nggak bakal salah. Percaya, deh. Yang penting sekarang, kita ketemu dulu sama cewek yang udah bikin Adrian ngebet pengin nikah."
"Iihh!" Belinda menjauhkan telinganya dari mulut Angga, wajah putih yang selalu dirawatnya berubah merah padam. Mengapa semua anggota keluarga rumah ini
tak ada yang setuju dengan pendapatnya" Ia hanya belum siap menyerahkan putra kesayangannya ke tangan perempuan yang Adrian cinta. Siap diduakan cintanya.
"Tenang, masih ada Angga," cowok itu berkata meyakinkan dan terdengar geli.
"Ceweknya cantik, Pa. Baik hati, tidak sombong dan rajin menabung. Tapi sayang, bawel, Pa." Tapi sesungguhnya, Adrian tidak menyayangkan hal itu. Karena
cewek tak ada yang sempurna. Justru, karena bawel dan apa adanya itulah yang membuat Adrian jatuh hati. Papanya terkekeh pelan, tidak memedulikan eskpresi
masam yang diluncurkan istrinya, Belinda.
Kalau sang kepala rumah tangga sudah menentukan, Belinda tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tak bisa menolak atau memberikan masukan. Hanya bisa diam dan pasrah.
"Besok, bawa calonnya ke sini." Satria melanjutkan, menepuk bahu Adrian karib.
Adrian memberikan hormat layaknya bawahan yang patuh kepada komandan. Mereka pun tertawa. Ketika tertawa, mereka terlihat mirip sekali. Adrian memang sering
disebut anak yang paling tampan, ia mewarisi wajah papanya. Manis. Sementara Angga mewarisi wajah mamanya, jadi wajah adik-kakak itu banyak sekali perbedaannya.
Namun tetap, mereka sama-sama tampan. Anak kebanggaan Belinda dan Satria.
Seperti yang dijanjikan, esoknya Adrian mengajak Naura ke rumah untuk mengadakan pertemuan dan perkanalan. Mereka memang sudah menjalin hubungan selama
dua tahun, tapi keduanya sama-sama belum pernah menceritkan hal itu kepada orangtua masing-masing.
*** Bersambung... "Your EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 3 - Menghadapi Mertua.
*** Pagi menyapa, matahari membentangkan sinar keemasannya. Dalam sebuah rumah, terdengar suara musik berbahasa asing yang menggema ---berasal dari DVD yang
disambungkan lewat kabel USB. Setelah selesai menyiapkan sarapan pagi, Naura berlekas membersihkan rumah. Menyapu, mengepel lantai dengan riang, sambil
bejoged, mengikuti kemana arah lagu. Karena dengan lagu, bisa membuat Naura semangat dalam mengerjakan pekerjaan rumahnya. Semangat paginya berkobar. Kalau
siang, waktunya untuk malas-malasan.
Adrian belum bisa menghilangkan kebiasaan bangun siangnya. Kalau sedang di rumah pun, dia hanya akan bangun jika dibangunkan oleh mamanya. Begitu keluar
dari kamar, Adrian bisa mencium bebauan pewangi lantai. Juga wangi lainnya yang menyerebak. Ia mengucek-ngucek matanya yang masih ada belek. Telinganya
terasa panas, ini benar-benar berisik. Seperti sedang berada di diskotik.
Naura mengepel dengan gerakan mundur, bibirnya terus bernyanyi sesuai dengan lagu, ya walaupun liriknya beda jauh, hingga ia tak melihat ada Adrian yang
sudah berdiri di belakang. Kepala Naura pun mengenai dagu Adrian. Perempuan itu segera berbalik, menyadari ada sesuatu yang tidak beres.
"Lagu apaan sih ini?" tanya Adrian sedikit kesal, bahkan suaranya nyaris tenggelam. Bukannya menyapa, dia malah bertanya demikian.
"Kamu udah bangun, sayang?" Naura malah balik bertanya.
Adrian yang sudah tidak tahan lagi dengan lagu entah dari negara mana itu segera melangkah menuju TV. Mengambil remote DVD dan mematikan DVD. Seketika
ruangan menjadi senyap, lagu The Boys yang dinyanyikan girlband Korea paling nge-hitz itu hilang dalam sekejap. Tentu saja, tindakan Adrian membuat Naura
dongkol. Lekas ia menghampiri Adrian, siap menyemburka api amarah.
"Kamu kenapa sih bangun-bangun malah matiin lagunya" Jahat, ih. Padahal susah banget buat ngehubungin kabel USB-nya. Cuma sama lagu-lagu itu yang bikin
aku semangat beres-beres. Iiiih kamu nyebelin!" protes Naura melengking. Padahal baru saja Adrian merasa hening. Lagi-lagi telinganya harus dijejali amukan
cempreng. "Nyetel musik ya nyetel musik, tapi nggak usah kenceng-kenceng amat. Lagian barusan lagu apaan sih, gaje banget. Selera kamu emang rendah."
Naura mengepalkan tangan, cukup tersinggung dengan perkataan Adrian. Sama saja dia sudah menghina seleranya. "Apa kamu bilaaang" Selera aku rendah?"
"Nggak aku nggak bilang gitu." Adrian menyadari kesalahannya. Untuk menutupi, ia memilih tidak tahu apa-apa.
"Kamu pikir aku budek" Aku denger dengan jelas, kamu bilang selera aku rendahan. Emang ada ya suami yang hina-hina istrinya" Ian kamu bener-bener nyebelin.
Aku udah masakin sarapan buat kamu, udah beres-beres, tapi kamu nggak ngehargain itu. Kamu malah ngatain aku. Aku punya salah apa sih sama kamu" Aku udah
kasih kamu cinta, masih kurang?"
Adrian mengernyit. Ia tidak bermaksud seperti itu. Itu hanya sebatas candaan semata. Seharusnya Naura tidak perlu berlebihan seperti ini dan seharusnya
dia balas mengejek. "Kamu mau rumah kita berantakan" Kamu mau aku biarin kamu kelaperan" Kamu mau aku dikatain tetangga gara-gara aku gak bisa ngurus rumah tangga dengan baik"
Ya udah terima aja aku apa adanya. Aku emang suka lagu-lagu Korea. Aku ini K-Popers sejati. Kamu harusnya ngerti. Kamu inget janji kamu saat sebelum kita
nikah, kalau kamu bakal terus bahagiain aku, kamu gak bakal bikin aku nangis. Kamu nggak bakal marahin aku, kamu harus tepatin janji kamu..."
Adrian menggeleng. Hanya ada satu cara yang dapat dilakukan sekarang, yaitu meminta 'maaf'. Kalau tidak, Naura tak akan mau berhenti mengoceh. Ia akan
nyerocos sampai ke akar-akarnya, sampai keluar dari inti masalah ---curhat lebih tepatnya. Terus saja seperti itu hingga lebaran monyet tiba.
"Ya udah iya-iya aku minta maaf. Aku salah iya aku salah." Naura yang nyaris menangis dibawa Adrian ke dalam pelukannya. Naura menenggelamkan kepalanya
di dada Adrian dengan wajah yang masih masam. Adrian tidak mengerti, akhir-akhir ini Naura lebih sensitif dibandingkan dengan sebelum-sebelumnya. Tingkat
Your Eyes Karya Jaisii Q di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bawelnya naik lima level.
Naura yang butuh pelukan pagi, terus memeluk Adrian rapat. Mengambil kesempatan dalam kesempitan.
"Setel lagi aja lagunya. Tapi aku yang pilih, ya." Adrian melepaskan pelukannya. Beralih untuk menyalakan kembali DVD. Memilih lagu yang lebih tepat. Begitu
menemukan lagu yang tepat, jemarinya menekan tombol play. Adrian mengecilkan volumenya dahulu, lalu keluarlah suara lagu yang barusan dipilih.
Lagu milik Armada dengan judul Wanita Paling Berharga.
"Sini biar aku yang ngepel. Emangnya kamu pembantu, ngepel segala." Adrian merebut alat pel yang berada di tangan Naura. Sementara Naura mulau asik dengan
lagu yang membungkus ruangan ini. Naura mengerti mengapa Adrian memilih lagu romantis ini. Liriknya membuat Naura tersenyum-senyum, mungkin untuk mewakili
perasaan Adrian. Pandangan Naura beralih kepada Adrian yang sedang mengepel. Perempuan itu mengedip-ngedipkan mata. Masa harus Adrian yang mengepel" Tidak
bisa dibiarkan. Naura bergegas pergi ke belakang. Lalu setelah beberapa detik kemudian, ia kembali dengan membawa lap pel yang lain. Ikut mengepel di sebelah Adrian. Begitu
Adrian menoleh, Naura melemparkan senyumnya.
"Nah, gitu dong senyum," komentar Adrian.
Dasar labil. Adrian membatin seraya menggeleng.
Mereka pun mengepel lantai bersama-sama. Hingga lagu berganti ke lagu yang lain. Kalau dilihat-lihat, mereka bukan seperti sedang mengepel, tapi sedang
bermain dengan lap dan air. Adrian dan Naura mendorong lap pel bersamaan di jalur berbeda. Lalu mundur secara bersamaan. Saat bersebelahan secara pas,
Adrian mengecup pipi Naura, begitu pun dengan Naura yang juga mencium pipi Adrian. Keduanya sama-sama menerima kecupan manis di pagi buta, lalu tertawa.
Keduanya kembali mendorong lap pel dengan riang, kadang berputar. Sempat-sempatnya juga menari.
Bukannya bersih, lantai itu malah becek. Adrian dan Naura saling melirik, mungkin ada kesalahan teknis. Seharusnya lantai ini bersih, kinclong, tapi malah
berbanding terbalik. "Gimana mau kering, orang kita nggak peres dulu lapnya," ucap Naura blo'on. Adrian hampir tersedak.
'Tok tok tok' Pembicaraan mereka teralih kepada suara pintu yang diketuk. Mengira, pasti sudah sejak tadi pintu itu berbunyi. Naura memberikan lap pelnya kepada Adrian.
"Pegangin, aku mau bukain pintu dulu. Kayaknya ada tamu." Ia bergegas mendekati pintu. Adrian menerka tentang siapakah orang yang sekarang berdiri di luar.
Jangan sampai orang penting, nanti kalau dia melihat rumahnya yang kacau-balau, itu bisa memalukan. Ia pun berinisiatif untuk segera mematikan lagu.
Cekrek. Pintu terbuka. "Yaaaa?" Naura membesarkan bola matanya, wajahnya yang riang berubah kaku, ternyata bukan tamu biasa, bukan tetangga sebelah. Sosok perempuan
berbadan tinggi, memakai celana bahan abu, baju yang memakai rompi berwarna hijau, rambut digelung, berada di depan mata sambil tersenyum. Entah senyuman
yang bermakna apa, yang jelas, Naura harus balas tersenyum lebih lebar. Harus terlihat sesopan mungkin.
"Lama banget buka pintunya. Kamu lagi ngapain?" Nada suaranya memang lembut, tapi justru itulah yang membuat Naura gemang. Naura tahu persis bagaimana
sikap mama Adrian. "Eeh Mama." Naura cengengesan. Jantungnya berdebar jika harus bertemu dengan mertua. Ia lantas mengangkat tangan, menyalami Belinda, membawa telapak tangannya
ke kening. Lalu memberikan senyum. "Maaf, Ma. Aku lagi beres-beres sambil dengerin lagu, jadi gak kedenger, deh."
Tanpa menyahut, Belinda langsung melangkah masuk. Baru satu langkah, Naura sudah lebih dulu mencegah, melarang mertuanya untuk masuk. "Eeh jangan dulu
masuk, Ma. Aku belum selesai ngepel lantai soalnya." Naura berusaha sesopan mungkin, memegang kedua lengan Belinda. Belinda memandang Naura tak masuk akal.
"Emmm... Emmmm mending Mama tunggu dulu di luar. Biar aku selesain dulu. Nanti kalau udah bersih, aku bakal nyuruh Mama masuk. Sebentar ya, Ma." Dengan
penuh kekikukan, Naura berbalik, masuk ke dalam, waswas. Perempuan itu tidak mampu melihat langsung bagaimana ekspresi mertuanya sekarang. Sudah pasti
kesal. Ia harus cepat-cepat membersihkan semuanya, berharap bisa selesai dalam jangka waktu 10 menit.
Belinda menggeleng-gelengkan kepala. Gadis itu selalu saja membuat ulah. Ada saja hal yang membuat darahnya naik. Dulu, saat Adrian dan Naura masih tinggal
di rumah keluarga, Naura pernah melakukan kesalahan. Menumpahkan susu putih yang sangat panas ke baju mertuanya. Walaupun tidak sengaja, tapi tetap saja,
Belinda marah besar. Dan yang lebih parahnya lagi, Adrian malah membela istrinya.
"Mending sekarang kamu mandi dulu, Mama kamu dateng. Biar aku yang beresin semuanya. Jadi waktu Mama masuk, kamu udah siap."
"Mama dateng di waktu yang nggak tepat, nih." Adrian menyeloteh. Belok arah. Naura mulai mengepel lagi, menata kursi dan lain sebagainya. Naura lakukan
semuanya dengan gesit. Untunglah ia sudah menyiapkan sarapan.
Di luar, Belinda duduk di kursi sembari mengetuk-ngetukan hak sepatu ke atas teras, sudah lewat 10 menit tapi Naura belum juga memanggilnya. Kalau dua
menit lagi dia belum keluar, Belinda akan masuk secara paksa. Dia datang ke sini bukan untuk menunggu di luar, dibengkalaikan begini.
"Ma, silahkan masuk, Ma," kata Naura sukaria. Belinda berdiri sembari mendelik. Terlalu bosan dan sebenarnya sedang menahan amarah.
"Sekarang rumahnya udah rapi, udah seger, udah wangi. Pokoknya Mama bakal nyaman, deh. Hehe." Naura mengajak mertuanya tertawa, tapi Belinda tidak menggubris,
melangkah masuk dan duduk di atas sofa. Naura menarik napas dan mengangkat kedua alisnya. Naura masuk kembali, ia harus bersabar menghadapi mertuanya yang
judes, tegas dan pemarah.
Adrian muncul di pintu kamar, sudah berpakaian rapi, berpapasan dengan Naura yang hendak pergi ke dapur.
"Kok wajah kamu ditekuk?"
"Jangan protes. Izinin aku kayak gini di sela waktu di belakang Mama kamu. Aku harus siapin wajah paling ramah di depan tante Belinda alias Mama kamu yang
selalu ngeliat aku sinis," bisik Naura lugas.
Adrian terkekeh, mengusap puncak kepala Naura sampai rambut perempuan itu acak-acakan. "Dia Mama kamu juga. Aku percaya, kamu cuma kesel doang, tapi sebenernya
kamu sayang kan sama dia" Kalau kamu nggak sayang, mana mungkin kamu sayang sama anaknya yang paling ganteng."
"Hmmm." Naura tak minat dengan gurauan Adrian. Dia terlalu percaya diri. Selalu bilang kalau dia ganteng dan istrinya itu jelek.
"Dia loh yang udah ngelahirin aku. Itu sebabnya sekarang aku ada di dunia, dan ketemu kamu, jadi orang yang ngebahagiain kamu."
"Lebaaay." Adrian membesarkan bola matanya. "Sekali lagi kamu bilang aku lebay, aku gigit." Adrian menggertakan gigi, hampir menggigit pipi Naura yang tembem. Tapi
Naura lebih dulu menghindar. "Wleeee gak kena." Naura menjulurkan lidah, meledek Adrian abis-abisan, lalu berlalu, meneruskan niat untuk pergi ke dapur
menyiapkan minum dan cemilan. Sementara Adrian tersenyum menjangkau kepergian Naura. Adrian harus segera menemui mamanya di ruang tamu.
Naura mengambil tiga gelas dari rak piring. Ia ingat percakapan dengan almarhum ibunya dulu, sewaktu Naura masih duduk di kelas 9 SMP. Sebelum ibunya meninggalkan
Naura untuk selama-lamanya. Mungkin, itu adalah pesan terakhir almarhum.
"Naura. Kamu itu harus belajar cuci piring, cuci baju sendiri, beres-beres yang rajin. Karena nanti, kamu bakalan tinggal di rumah suami kamu." Ibunya
menyisir rambut Naura yang tergerai panjang di teras rumah, memandang langit yang mulai keorenan. Udara sejuk menggoyangkan daun, menyapu debu-debu.
"Tapi kan Naura masih SMP, masa Ibu udah nyuruh Naura kayak gituan. Kan ada Ibu."
"Itu kan sekarang, kalau nanti" Kamu harus belajar mulai dari kecil, dari sekarang, supaya nanti kamu nggak akan terlalu kaget. Kamu itu gak bakal selamanya
hidup sama Ibu. Suatu saat nanti, saat kamu tumbuh besar, tumbuh dewasa, kamu bakal ketemu sama jodoh kamu. Seorang laki-laki yang nantinya bakal jadi
suami kamu. Kita kan nggak tau, kamu bakal dapetin jodoh orang dari kalangan mana. Entah dari keluarga kaya, sederhana, atau susah."
Sambil memandang langit dan burung-burung yang hinggap ke ranting-ranting pohon, Naura mendengarkan amanah ibunya dengan cermat. Sadar, kalau dia jarang
sekali mencuci piring, semua pekerjaan rumah, dikerjakan oleh ibunya. Sesekali Naura mengedipkan mata. Ketika orangtua sedang berbicara, kita tidak boleh
sedikit pun membantah, atau memotong.
"Nah kalau di depan mertua, kita harus sopan. Gak semuanya mertua itu baik loh Naura. Ada yang begini, begitu. Pokoknya bervariasi, deh. Ada yang rewel,
nyuruh menantu harus ginilah, gitulah. Ada juga yang judes dan bawelnya kebangetan. Kamu jangan protes, tetep hormatin mereka aja. Cari aman Naura. Dulu
juga, almarhum nenek kamu itu terkenal bawel. Nyuruh Ibu harus pakai kerudung lah, harus setiap hari masak lah, aaah pokoknya bener-bener galak," ibu Naura
terkekeh. Naura ikut tertawa, membayangkan betapa sulitnya hidup ibunya dulu. "Tau gak, Nak" Ibu pernah kesiangan nggak bangun shubuh, nenek kamu terus
ngomelin Ibu sampai maghrib."
"Serem juga ya, Bu," tanggap Naura ikut takut. "Pokoknya Naura nanti pengen punya mertua yang baik, yang mau ngajarin Naura masak. Jangan marah-marah kayak
Nenek." "Amiiin sayang amiiin." Ibunya mulai mengikat rambut hitam panjang Naura, rambut yang satu tahun lebih ini tidak dipotong. Ibunya senang melihat rambut
anaknya panjang, biar bisa lebih terlihat cantik dan feminim. Sayang jika rambut hitam halusnya dibuang.
"Ibu do'ain, yah. Semoga kamu dapet jodoh yang baik, yang bisa terima kamu apa adanya. Yang sayang sama kamu tulus."
"Aaah ibu ngomongon jodoh. Orang Naura baru aja mau pakai seragam putih abu-abu," gurau Naura aneh. Masa depannya masih jauh, mana mungkin dia berpikir
soal menikah. "Ibu cuma mau ngingetin. Ini tips rahasia, lho. Harus kamu pegang sampai nanti. Jangan sampai nanti kamu malu-maluin di depan keluarga jodoh kamu. Kalau
ada cucian, cuci. Murah senyum, jangan cemberut. Mau diomelin mertua" Jangan mau, sakit hati."
"Ciyeee sakit hati diomelin ibu dari Ayah." Naura berbalik, menggoda ibunya yang baru menyelesaikan ikatan di rambut Naura. "Kasian banget sih Ibu. Untung
cinta sama anaknya, kalau nggak mungkin Ibu udah kabur."
"Eeeh itu kok kamu ada kutunya?" Ibunya memegang kepala Naura, melotot. Mengatakan adanya binatang yang paling Naura benci, putrinya itu tidak mau kalau
rambutnya ditumbuhi kutu. Itu hal yang sangat menjijikan.
"Ah masa sih, bu?" Naura gentar.
"Becandaaaa." "Ih Ibu ngeselin."
"Abisnya kamu nyebelin."
Naura mengeluarkan jurusnya, menggelitiki pinggang sang Ibu gemas. Matahari turun dari peraduan, menyisakan langit yang menggelap, suara-suara adzan Magrhib
mulai terdengar di penjuru komplek, berasal dari masjid-masjid yang berbeda. Dari yang jauh, hingga yang dekat. Ibunya tertawa terkikih-kikih, merasa lucu
saat mengingat wajah anaknya yang takut, juga gara-gara gelitikan Naura yang geli. Teras itu terasa hangat untuk beberapa menit.
Naura menyadari, betapa pentingnya amanah yang disampaikan ibunya pada saat itu. Itu adalah pesan terakhir sekaligus pesan yang akan terus terpatri dalam
jiwa Naura. Nyaris saja air matanya turun, tapi Naura segera menyekanya. Naura menyimpan nampan berisi tiga gelas air putih di atas meja, memindahkan gelas-gelas
dari dalam nampam. Adrian dan mamanya terdengar sedang bercakap-cakap tentang Angga yang belum juga membawa calonnya. Setelah itu, Naura berdiri kembali
untuk menyimpan nampan. "Nggak usah, Na. Simpen aja di atas meja. Dan kamu duduk di sebelah aku," kata Adrian tak ingin merepotkan Naura.
Naura mengurungkan niat dan duduk di sebelah Adrian.
"Silahkan diminum, Ma airnya," ucap Naura. "Maaf mejanya nggak penuh sama makanan. Soalnya Naura males buat pergi ke luar," lanjutnya, memaksa bibir untui
tetap tertawa. "Kenapa Papa sama kak Angga nggak ikut?"
"Kamu nggak mau nanya tentang kondisi Mama" Malah nanyain yang nggak ada."
Naura menelan ludah. Salah lagi.
"Biasaa mereka lagi sibuk," lanjut Belinda pada akhirnya. Meraih segelas air putih dan menyeruputnya pelan.
"Oooh gitu, yah." Naura manggut-manggut. Tidak terlalu menanggapi ucapan-ucapan pedas mertuanya. Di sebelahnya, Adrian terus menepuk-nepuk bahu Naura.
Setidaknya, dia cukup mengerti dengan perasaan Naura.
"Kenapa sih kalian nggak tinggal di rumah Mama sama Papa aja" Biar Mama bisa leluasa mantau kalian. Apa kalian nggak sumpek gitu tinggal di rumah sekecil
ini?" tanya Belinda dengan nada tak mengenakan, memandangi bangunan sederhana ini serba tidak tertarik. Merasa kalau Adrian tidak pantas tinggal di rumah
yang tidak mewah dan serbaada.
"Kecil dari mananya sih, Ma" Aku kan udah pernah bilang. Mama nggak usah khawatir. Aku pengin hidup mandiri sama Naura, aku nggak mau nyusahin Mama sama
Papa. Lagipula, ini tempat yang pas buat aku sama Naura tinggalin. Kamar ada dua, dapur sama kamar mandi ada, tuang TV ada, ruang tamu ada. Apa kurangnya"
Cuma nggak pakek tangga doang" Aku nggak butuh rumah tingkat."
Belinda tercengang. Naura memejamkan mata, setuju dengan jawaban Adrian. Berarti dia tipe laki-laki jantan, bukan keturunan anak Mama. Mau memulai semuanya dari awal. Jatuh,
bangun lagi. Jatuh, bangun lagi.
"Makasih buat tawaran Mama supaya aku bisa tinggal di rumah Adrian yang dulu. Tapi izinin Adrian buat mandiri. Adrian mau cari kerja sendiri. Adrian cuma
mau Mama selalu buka pintu rumah saat Adrian pengin pulang, ketemu sama Mama Papa. Kasih kalian kabar gembira. Aku janji sama Mama, aku bakal hidup bahagia
sama Naura. Adrian pengin jadi orang dewasa."
Naura tersenyum-senyum memandang Adrian dari samping. Ia kagum, Adrian mau hidup sederhana dengannya. Asal Adrian bisa setia, Naura yakin, mereka bisa
melewati semuanya. Belinda mati kutu. Sambil terus merutuk dalam hati, mengapa anaknya bisa jadi seperti ini.
"Iya-iya Mama ngerti. Ya udah Naura, kamu udah siapin sarapan."
"Udah dong, Ma. Udah selesai semuanya. Masak makanan kesukaan Adrian, ayam krispi sama sayuran ya, kan sayang?" Naura melirik Adrian, mengedipkan sebelah
matanya. Adrian mencubit pipi Naura. "Naura bangun shubuh, shalat shubuh bareng Adrian terus nggak tidur lagi, biar ngerjain kerjaan rumahnya nggak terlalu
siang. Ya tapi Ad..."
"Euuh Mama nggak nanya itu, buktinya pas Mama dateng rumahnya masih berantakan!" Belinda malas mendengar menantunya yang terlalu banyak curhat, nggak penting.
"Perut Mama laper, butuh makan, bukan denger curhatan kamu."
Naura berusaha untuk tetap tertawa. Iya, ini kesalahannya. Adrian mengusap-ngusap dada Naura.
Bersambung. "YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 4 - Pasar Malam. *** Berjalan memasuki area pasar malam, Naura memeluk lengan Adrian, untuk sekadar mengurangi rasa dingin yang diakibatkan angin malam. Selama perjalanan terjalin
obrolan dan candaan kecil, yang membuat kedua bibir mereka melekukkan senyum, dan tawa. Adrian menertawakan tentang Naura yang tak pandai memakai hak sepatu
yang tinggi. Naura menertawakan tentang kue buatan Adrian yang rasanya terlalu asin. Dan di hari ulang tahun itu, Naura malah memaki Adrian, bisa saja
Adrian mau kawin lagi. "Kalau nggak bisa bikin kue, ya nggak usah maksain lah."
"Iiih gak tau terima kasih banget. Tapi sayang kaan?"
"Biasanya kalau orang masak sesuatu, terus rasanya asin, artinya dia pengin nikah lagi." Naura kembali mengejeknya. "Silahkan kalau kamu mau nikah lagi,
tuh banyak cewek-cewek yang cantik, tuuuh." Naura menunjuk-nunjuk kumpulan cewek remaja yang memakai celana pendek, rambut diwarna, listik merah tebal
di bibir. Adrian malah bergidik ngeri.
Ada saatnya mereka berhenti untuk membeli permen harum manis, jajanan yang paling sering dijumpai di kawasan pasar malam. Bisa disebut sebacemberut, lan
khas di pasar malam, sesuatu yang sangat lumrah. Jajanan kegemaran anak kecil. Ada warna pink, ungu, hijau, dan kuning. Pasar malam selalu terlihat warna-warni.
Adrian dan Naura suap-suapan manja. Adrian menempelkan secuil harum manis itu di hidung pesek Naura, dengan cepat Naura membuangnya dan melototi Adrian.
Musim sedang bersahabat, tak ada hujan yang bisa mengakibatkan pasar malam becek. Banyak sekali wahana-wahana yang dapat dijumpai. Ada komedi putar dengan
berbagai jenis bentuk tempat duduk; kuda, bebek, jerapah dan lain sebagainya. Yang ditumpaki oleh para anak kecil menggemaskan. Tak lupa dengan lampu kerlap-kerlip
yang membuat peremainan itu terlihat asik. Wahana bianglala tampak mendominasi pasar malam, itu adalah wahana paling menonjol, lampu-lampu kerlipnya tampak
menyinari langit hitam di atas, berputar santai.
Ada pedagang makanan, aksesoris, baju, dan lain-lain. Suara-suara orang berseru, musik dari permainan, musik dari penjual es krim, semakin membuat suasana
ramai. Tempat yang cocok untuk mereka yang ingin berpacaran, juga untuk keluarga yang ingin refreshing.
Adrian dan Naura asik berdua di antara orang-orang yang berseliweran di tempat permainan lempar gelang. Adrian berusaha melempar gelang ke gelas bernomor
5, maka mereka akan mendapatkan hadiah sebuah boneka besar. Di sebelahnya, Naura terus memberi support, dia gregetan, ingin melihat Adrian memasukkan gelang-gelang
itu secara mulus. Di tengah kefokusannya, Adrian tertawa mendengar teriakan semangat dari Naura, itu artinya dia bahagia. Bahagia itu sesederhana ini.
Tersisa satu gelang lagi, dan...
Plus. Gelang terakhir berhasil masuk ke dalam gelas. Adrian menyeringai puas, menjentikkan jari jempolnya. Naura memekik senang. "Yeee kamu berhasil sayaang,
kamu berhasiil." Ia bertepuk tangan gembira, heboh. Hadiahnya memang tidak seberapa, tapi Naura sangat senang. Karena itu berasal dari ketelitian Adrian
dalam melempar gelang yang konon sangat sulit ditaklukan. Adrian dan Naura saling menyatukan kening sambil menggeleng-geleng mesra. Pemuda pemilik permainan
itu memberikan boneka beruang besar berwarna krem kepada Naura. Naura segera memeluknya sukacita.
Mereka beralih ke permainan lain, menaiki permainan bianglala yang sudah dipenuhi penumpang lain. Untung, masih ada satu tempat yang tersisa, jadi Adrian
dan Naura tidak perlu berlama-lama menunggu. Saat menaiki wahana ini, kita bisa berada di ketinggian 30 meter dalam sekali putaran, melihat pemandangan
pasar malam dari atas. Melihat kerlap-kerlip lampu, penjual, pembeli, pengungjung dan balon-balon sabun. Juga anak kecil yang meronta ingin dibelikan balon
berbentuk tokoh kartun Upin dan Ipin.
Dengan membawa boneka beruang itu, Adrian dan Naura duduk bersebelahan di dalam kabin berukuran kecil.
"Kamu nggak perlu ngajak aku ke tempat yang mewah, yang mahal, yang terkenal. Gak usah jauh-jauh ke luar negri, di tempat kaya gini juga..., aku bahagia."
Adrian tidak menjawab perkataan Naura, pandangannya berada di samping, menatap ke bawah ketika mereka telah berada di atas. Naura memerhatikan Adrian penuh
selidik, tampak jakunnya yang berulang kali dialiri air liur. Hening menyelimuti. Oooh, Naura baru mengerti.
Adrian kan takut ketinggian.
Nyaris Naura tergelak. Ia pun membawa pipi Adrian, agar dia melihat ke arahnya, berhenti memandang ketinggian. Untuk apa terus memandang hal yang membuat
kita takut" Lagipula, itu hanya sementara, sebentar lagi mereka akan berada di bawah. Mata Adrian dan Naura saling beradu, Adrian masih memasang wajah
datar. "Kalau kita lagi di atas, lebih baik kamu liat wajah aku. Kamu boleh ngumpet, seenggaknya kalaupun aku jelek, wajah aku nggak seserem ketinggian."
Naura tersenyum manis, lesung pipinya terlihat, matanya berbinar. Refleks Adrian ikut tersenyum, degupan jantungnya kembali normal. Hanya Naura yang mampu
mengusir kegelisahannya. Embusan angin menerbangkan anak-anak rambut Naura, kadar kecantikannya semakin terlihat. Meski Adrian sering mengatai Naura jelek,
tapi dalam lubuk hatinya, Naura adalah perempuan tercantik. Kedua senyuman mereka penuh cinta dan makna.
Adrian menaiki wahana ini karena ingin menemani Naura, ia tidak bisa menolak keinginannya. Naura sendiri tidak sadar kalau sebenarnya Adrian takut ketinggian.
Kalaupun ia tau, Naura tak akan memaksa. Naura menyimpan kepalanya di hahu Adrian, menikmati momen berdua ini dengan tenang. Naura ingin terus seperti
ini dengan Adrian. "Nanti suatu saat, bukan boneka ini yang bakal nemenin kita. Tapi sama kesepuluh anak kita," kata Naura. Mengangkat kepala, melihat wajah Adrian lamat.
"Emang muat?" tanya Adrian polos.
"Ya muat, lah."
Kening Adrian berlipat. Penuturan Naura memang tidak masuk akal. Bagaimana bisa tempat sekecil ini bisa menampung sebanyak 12 orang"
"Kata siapa aku mau bikin 10" Aku cuma mau dua. Dua anak lebih baik," katanya dengan logat seperti di iklan-iklan. Mencolek hidung Adrian.
"Jadi kamu nggak mau nurutin keinginan aku?"
"Nggak mau." Naura mengeluarkan lidahnya. "Kamu kira, ngelahirin anak itu gampang" Nggak segampang ngebalikin telapak tangan."
"Serius" Kamu nggak mau nurutin permintaan aku?" ulang Adrian lagi.
Naura mengangguk pasti. Adrian mencubit kedua pipi Naura gemas. "Mau aku cium bibirnya beratus-ratus kali" Emmm?" Atau mau aku tarik hidung kamu yang pesek" Atau mau aku selingkuhin?"
Ia masih menarik-narik pipi Naura gemas. Tidak peduli dengan suara desisan Naura.
"Aaaaa ampuuun."
"Pokoknya aku pengin kita punya anak 10. Jangan dikurangin jangan dilebihin. Kalau nanti kita ke sini, bianglala ini isinya cuma keluarga kita doang,"
lanjut Adrian lagi, akhirnya dia melepaskan cubitannya. Menatap Naura gemas sekaligus lucu. Pipi Naura menjadi merah.
"Sakiiiit Iaaaaaan," pekik Naura kesal.
"Makannya jangan mancing-mancing aku."
"Padahal kan maksud aku baiik. Supaya kamu lupa kalau giliran kita yang ada di atas." Naura mencibir. Adrian tidak mengerti dengan tujuannya.
"Oh iya, ya." Segera Adrian mengangkup pipi Naura, wajah mereka saling berdekatan, menyisakan jarak 3 cm. Naura yang masih marah, hanya cemberut, memandang
sinis Adrian. Tanpa aba-aba, tanpa izin, tanpa perintah, Adrian mengecup bibir Naura sedetik, gadis yang dikecupnya melotot. "Oke jangan marah." Adrian
mendaratkan kecupan yang kedua, satu detik, Naura masih melotot. "Kamu makin jelek kalau marah." 'Cup' dan itu adalah kecupan yang terakhir. "And thank
you so much my wife." Adrian memeluk Naura yang masih terkejut. Takut kalau misalkan tadi ada orang yang lihat. Naura mengerjap-ngerjapkan mata. Pelukan
itu berlangsung lama, kira-kira dalam satu putaran kincir.
"Owalaaah. Mas, mbak malah asik pacaran," suara seseorang kontan membuat Adrian dan Naura melepaskan pelukan mereka, terperanjat. Boneka yang dipegang
Naura jatuh ke bawah. Cepat-cepat Naura membawanya dengan gerakan super kaku. Memaki dalam hati.
"Hehe, udah selesai ya, mas?" tanya Adrian jengah.
"Iya. Kasian, nenek sama kakek ini udah nungguin katanya pengin naik kincir angin."
*** Rumah hantu adalah tujuan selanjutnya. Setelah membeli tiket, Adrian dan Naura masuk ke dalam. Suasana horor menyambut, tembok lusuh, dan banyak sekali
sosok-sosok menyeramkan yang sengaja menampakkan diri untuk menakut-nakuti para pengunjung. Kini, bukan Adrian yang ketakutan, melainkan Naura. Di sepanjang
perjalanan, Naura terus saja menggenggam erat lengan Adrian tanpa ingin lepas sedikit saja. Romannya penuh ketegangan, seperti sedang berada di gedung
tua yang banyak makhluk halusnya. Oke, ini rumah hantu pasar malam, tapi tetap saja, Naura paranoid.
Ada pocong yang sedang loncat-loncat, kain putihnya kotor oleh tanah merah, wajahnya pucat, bibir dan alisnya hitam. Naura bergidik, bulu kuduknya meremang.
Sosok genderuwo muncul, rambutnya yang gonrong dan tubuhnya yang besar hitam membuat Naura memekik dan menutup mata. Adrian nyengir. "Mereka itu manusia
kaya kita, jadi kenapa harus takut?"
"Ya abis wajah mereka serem-serem. Aku takut lah."
Ada pula kuntilanak yang sedang tertawa, suaranya melengking, memantul di ruangan. Kadang dia menangis meratap nasib. "Hihihihihihiiii..." Dengan terus
menelan ludah, Naura melewati sosok berbaju putih berambut panjang itu. Ketika tertawa, gigi-giginya ompong, hitam. Tak ingin melihat, Naura mengalanginya
dengan telapak tangan. Cengkeramannya pada lengan Adrian semakin kuat. Karena terlalu fokus pada kuntilanak barusan, Naura tidak menyadari di depannya
ada sundelbolong yang berlari ke arahnya.
"Aaaaa!!" Naura menjerit histeris. Pegangannya terlepas karena terlalu kaget. Adrian juga ikut kaget, bukan karena sundelbolong barusan, tapi gara-gara
suara teriakan Naura yang melebihi suara bayi ketika menangis kelaparan. Di depan Naura, masih ada sundelbolong lainnya, perutnya yang bolong dan berlumuran
darah membuat Naura semakin ngeri. Perempuan itu terus melirik-lirik di sekitarnya, takut ada sosok yang tiba-tiba muncul dan mengagetkan.
"Ciee yang takut cieee yang takut," goda Adrian. Naura yang tak lagi memegang tangan Adrian, membuat Adrian memulai aksi jailnya. Naura masih sibuk jaga
diri, waswas. Tidak mendengar godaan Adrian, fokus menengok ke sana-kemari. Suasana menjadi hening. Merasa ada yang tidak beres, Naura segera menoleh ke
arah Adrian. "Waaaaaaaaaaaaaaah."
"Aaaaaaa!" Naura kembali memekik, mundur. Wajahnya merah padam. Jantungnya hampir melorot ke perut. Berdetak 10 kali lipat lebih cepat.
"Hahahahahaha." Adrian tertawa ngakak melihat eskpresi Naura yang takutnya luar biasa. Seperti orang yang baru saja melihat kecoak terbang. Apa wajahnya
seburuk itu sampai membuat istrinya berteriak ketakutan" Apa memang Naura parnoan"
"Iiiih Iaaaan!" Naura lekas memukuli punggung Adrian geram. Namun beberapa tuyul botak datang, mengelilingi Naura yang di detik itu juga mati kutu, menatap
tuyul-tuyul jail yang tertawa dan menyanyi memutarinya. Adrian menjauh, menertawakan mimik Naura yang hampir menangis melihat tuyul botak dan hanya bercelanakan
celana dalam itu. Mereka seolah ingin mengajak Naura bermain.
"Upin-Ipiin," kata Naura menahan takut, napasnya tersengal. "Aaaaaa....." Naura nekad menerobos, berlari mencari jalan keluar. Tidak mau tahu, pokoknya
dia harus cepat keluar dari rumah hantu menyebalkan ini. Naura berlari terpontang-panting. Bahkan ia tidak sadar, kalau Adrian masih di dalam.
Adrian yang sibuk menertawakan Naura, sampai membuat dadanya sakit, dihampiri kuntilanak. Cowok itu tercengang, si kunti bukan sedang menakut-nakuti, tapi
ternyata sedang menggoda, mengedip-ngedipkan mata memamerkan gigi hitamnya. Darah merah mengucur di wajahnya yang rusak. Adrian bergidik. Daripada terus
diganggu, lebih baik ia ikut keluar seperti Naura.
Tiba di luar, Naura berusaha mengontrol detakan jantungnya, mengatur napas yang tersendat-sendat. Disusul Adrian dari belakang, ia masih tergelak, tertawa
ngakak sengakak- ngakaknya. Naura berbalik, merapatkan bibir.
"Seneng banget ya liat aku takut! Euuuuh!!" Naura menjewer kuping Adrian hingga lelaki itu merintih kesakitan, tapi Adrian masih belum bisa menghentikan
tawanya yang menggelitik, orang-orang yang lewat memerhatikan mereka penuh tanda tanya. "Kamu mau aku jantungan terus meninggal" Kamu mau jadi duda muda"
Kamu nggak butuh aku lagi Adrian Wijaya" Kamu mau aku meninggal terus kamu bisa cari cewek lain" Hmmmm?"?" Naura mendecakkan lidah, melepas jewerannya.
Adrian mengusap-usap telinganya yang memerah. Terlihat nelangsa.
"Sakit ih." Bersambung. "YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 5 - Pergi. ***
Your Eyes Karya Jaisii Q di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Naura sedang asik bertelfonan dengan ayahnya di tepi ranjang. Naura telah menargetkan, kalau ia harus sering berkomunikasi dengan ayahnya minimal satu
hari satu kali. Bibirnya tersenyum-senyum ketika di seberang sana sang Ayah menggoda. Naura terlihat sedang senang sekali. Hatinya berbunga-bunga.
"Iya Naura seneng, kok. Pokoknya Ayah nggak usah khawatir. Ayah tenang aja, kalau Adrian sampai selingkuhin aku, aku bakal langsung ngehubungin Ayah, dan
Ayah adalah orang pertama yang harus gebukin Adrian."
Adrian yang mendengar namanya disebut-sebut, segera menghampiri Naura, menghentikan aktifitasnya yang sedang memasukkan baju-baju ke dalam koper.
Pandangan Naura beralih kepada koper yang tergeletak di dekat lemari, untuk apakah koper itu" Dan di dalamnya, ada satu-dua buah pakaian Adrian. Apa jangan-jangan
Adrian akan meninggalkannya pergi" Apa jangan-jangan Adrian sudah bosan" Kedua alis Naura menyatu, lupa kalau ia sedang berbicara dengan ayahnya. Adrian
yang telah duduk di sebelah, melemparkan raut pertanyaan. Mengapa ekspresi perempuan itu berubah" Padahal tadi dia sangat bahagia.
"Kamu mau kemana?" tanya Naura, masih menatap koper itu lamat. Nada suaranya penuh dengan ketakutan bercampur kekhawatiran. Di telfon genggamnya, terdengar
suara ayah Naura yang terus memanggil nama Naura, ber-halau-halau kebingungan.
"Nanti aku jelasin."
"Nggak kamu harus jelasin sekarang."
"Kan kamu lagi telfonan sama Ayah."
"Halo iya, Ayah. Udah dulu, ya. Nanti aku telfon lagi. Assalamu'alaikum." Naura memutuskan sambungan telefon, melepaskan benda itu dari telinganya. Lalu
matanya terfokus kepada Adrian, meminta penjelasan tentang koper itu.
"Kamu mau kemana?"
"Kok kamu kayak polisi yang ngeintrogerasi aku, sih?" balik tanya Adrian, bergurau.
"Kamu mau kemana pakek bawa koper segala?" Naura mengulangi pertanyaannya lagi. Untuk kali ini ia ingin serius.
"Astagfirullah Naura. Kamu kayak orang yang ketakutan gitu. Kayak lagi ngeliat pemandangan aneh. Misalkan, abis liat motor terbang ke angkasa."
"Jawab aku apa susahnya sih. Cepetan jawab."
Adrian menelan ludah. Naura masih sensitif, apa dia sedang datang bulan"
"Iaaaaaaaan...."
"Aku ada urusan ke luar kota."
Naura membulatkan bola matanya. Kenapa Naura baru tahu" Kenapa Adrian tidak mengatakan hal itu sejak tadi pagi" Mengapa tiba-tiba"
"Iya." "Dalam rangka?"
"Kerjaan dari kantor. Aku nggak mungkin nolak, ini tugas aku yang pertama sebagai karyawan di sana."
Adrian menolak untuk bekerja di perusahaan papanya. Memilih untuk mencari pekerjaan sendiri, tak ingin sukses di bawah naungan sang Papa. Ingin tahu bagaimana
caranya mencari pekerjaan dan melamar. Setelah satu bulan lamanya mencari pekerjaan yang cocok, akhirnya Adrian menemukannya. Seperti mendapat kesempatan
brilian, Adrian senang. Di samping itu pula, Naura selalu berada di sampingnya. Menemani Adrian ketika sibuk menyelesaikan tugas kuliah sampai larut malam.
Rela tidur di bahu Adrian ketika Adrian masih berkutik dengan laptopnya. Rela ikut begadang di tengah malam sambil ditemani minuman hangat. Rela menjadi
bahan ejekan Adrian, lalu tertawa bersama-sama, saling memukul gemas dan mencubit. Menjadi penyemangatnya, menjadi pembimbing. Di mata Adrian, Naura adalah
sosok istri yang sempurna. Ia tak salah memilih pendamping hidup.
"Berapa lama?" tanya Naura lagi.
"Seminggu." "Harus, ya?" "Wajib." Naura mengembuskan napas pelan, melepaskan pandangannya dari Adrian. Menatap ke samping. Mengundang garis kernyit di kening Adrian. Padahal baru saja Naura
mendapatkan kabar gembira, kabar kurang menyenangkan datang menyusul. Naura takut di rumah sendirian.
"Kamu kenapa, sih" Ya ampun Naura Nora. Aku cuma pergi ke Bandung. Bukan ke Singapura ataupun Hong Kong, apalagi Jerman. Bukan setahun ataupun dua tahun,
cuma se..." Naura meletakkan sesuatu di tangan Adrian. Adrian lekas menurunkan pandangannya ke bawah, melihat benda apakah yang baru saja diberikan Naura. Benda putih
berbentuk panjang tipis. Begitulah Adrian memprediksinya.
"Aku butuh kamu," kata Naura.
Itu adalah testpack. Adrian mengangkat benda itu, agar lebih mendekati mata. Melihatnya lebih jeli dan teliti. Ada dua garis merah yang tertera dalam alat
tes itu. Sedikit Adrian membuka mulutnya, baru menyadari sesuatu. Tatapannya berpindah kepada Naura. "Naura kamu serius?"
Naura mengangguk. "Asli?" "Nggak percaya?"
"Kamu nggak nyuri alat ini dari lokasi syuting sinetron, kan?"
"Ya ampun Ian. Kalau ngomong ngelantur mulu, deh. Itu asli punya aku. Barusan aku tes. Soalnya aku bingung kenapa aku nggak dateng bulan juga, padahal
udah lewat dua bulan. Dan bawaannya aku tuh stres mulu, makannya sensitif. Kamu juga selalu mancing-mancing."
Adrian masih belum memercayainya, tidak menyangka kalau sebentar lagi ia akan menjadi seorang Ayah. Itu artinya, sekarang Naura sedang mengandung anaknya.
Mama dan Papa Adrian akan segera mendapatkan cucu pertama. Impian mamanya akan segera terwujud. Detik berikutnya, Adrian menyeringai, wajahnya berseri.
Mendapat tatapan terus menerus dari Adrian, membuat Naura ingin melekukkan senyum dan tawa. Seperti biasa, tatapan Adrian sungguh menghipnotis. Yang tadinya
kesal, bisa menjadi luluh dalam jangka waktu sedetik.
"Berarti, 10 dari anak kita baru muncul satu. Tinggal sembilan lagi yang masih ngumpet. Tapi siapa tau yang keluar anak kembar, jadi kamu nggak perlu repot-repot
ngelahirin 10 kali."
"Yang satu aja belum lahir kamu udah mikirin yang sembilan?"
Adrian nyengir. "Aku nggak lagi mimpi, kan Naura?" Adrian masih meminta kepastian. Cowok itu terlalu senang sampai menganggap ini hanya mimpi. Mimpi indah
dalam tidurnya, tidur dengan posisi memeluk Naura.
"Ini beneran sayang. Bukan mimpi. Aku, lagi hamil beby kitaa. Sebentar lagi kita bakal punya anak. Sebentar lagi kita bakal jadi orangtua." Naura tersenyum
bangga. Menaik- turunkan kedua alisnya.
"Perfect Naura. Ini kabar bahagia." Adrian langsung memeluk Naura. "Selamat buat kita. Aku sayang kamu." Naura balas memeluk. Di balik punggung Naura,
Adrian menciumi rambut harum Naura, juga mencium tengkungnya secara berkali-kali. "Aku cinta kamu aku cinta kamu aku cinta kamu, ini kejutan terindah buat
aku." Naura kian memepererat rengkuhannya. Bahagia dengan anugerah yang telah Tuhan turunkan.
Ketika pertama kali Naura memeriksa, sekujur tubuhnya gemetar. Awalnya ia hanya iseng, tapi nyatanya, dugaan itu benar. Ketika garis merah itu muncul,
Naura belum siap. Tapi demi membahagiakan Adrian, semuanya terasa mudah. Euforia datang membungkus sanubarinya. Hingga akhirnya Naura tersenyum. Tak sabar
memberikan kabar gembira ini kepada Adrian.
*** "Selamat Naura. Ternyata sebentar lagi aku bakalan jadi Paman, nih." Angga memberikan selamat dengan celotehannya. Mengulurkan tangan kepada Naura. Naura
balas menerima ulurannya antusias. Keduanya saling tersenyum. "Iya kak makasih ya, kak." Namun dengan cepat Adrian menebas tangan mereka hingga acara salaman
itu berakhir dalam sekejap.
"Eh bang, nggak usah lama-lama banget kali pegang tangan istri gue yang halus," protes Adrian.
"Ya elah lo parnoan banget, sih. Gue kangen sama adik ipar. Udah lama nggak ketemu semenjak kalian pindah rumah. Lo kan tau sendiri, gue sama Naura itu
akrabnya nggak ketulungan. Ya nggak adik ipar?" tanya Angga pada Naura. Lebih kepada menggoda. "Hmmm iya betul, kak. Maklum kak, Adrian akhir-akhir ini
cemburuan. Hehe." "Bukannya kamu yang kayak gitu?"
Naura tersenyum sampai matanya mengecil. Menyadari adanya kesalahan dalam ucapannya barusan. "Ish ish ish.." Adrian menggeleng seraya mencolek hidung Naura.
"Kamu tuh, ya."
"Et daah malam manis-manisan," ucap Angga.
"Kakak mau yang manis" Nanti aku bikinin kue, deh." Naura beralih kepada Angga---kakak iparnya--- sembari tertawa. "Naura bikinin yang paling manis. Khusus
buat kak Angga. Adrian nggak usah dikasih."
"Serius?" "Buat aku nggak ada" Kok aku nggak boleh dikasih?" tanya Adrian tak ingin kalah.
"Kamu kan mau berangkat sayaang."
"Kan bisa nanti waktu pulang."
"Pokoknya jangan deh anak kamu nanti ngewarisin papanya. Wajahnya harus kayak kamu, biar bagus hasilnya," canda Angga tanpa memikirkan perasaan adiknya.
Adrian melemparkan tatapan antipati kepada kakaknya.
Belinda dan Satria sangat bahagia dengan kabar ini. Adrian benar-benar menepati janjinya, ingin dan bisa memberikan mamanya cucu. Untuk sementara Belinda
tidak menekan Angga untuk segera menikah. Putra bungsunya berhasil mewujudkan impian sederhananya itu. Akhirnya Angga terlepas dari ocehan Belinda. Jika
belum menemukan yang cocok, Angga tak akan pernah mau menikah.
"Naura," panggil Belinda. "Pokoknya kamu harus dengerin apa kata Mama. Di sini kamu harus jadi anak yang nurut. Mama punya pengalaman banyak untuk perempuan
yang baru pertama kali ngidam. Selama satu minggu, kamu ikutin peraturan Mama."
"Tapi jangan bentakin Naura ya, Ma. Kasian, dia itu selalu takut sama Mama yang selalu bersikap galak. Nggak, Adrian salah ngomong, iya Mama galak tapi
di dalem hati Mama itu baik hati." Buru-buru Adrian menginterupsi pelototan yang diluncurkan mamanya. "Adrian titip Naura. Perlakukan dia seperti seorang
putri, putri dari khayangan yang jatuh ke bumi. Yang menyebabkan seorang Adrian jatuh hati." Naura melongo mendengar kata-kata Adrian yang terkesan lebay
alias terlalu berlebihan. Kalau disandingkan dengan pantun, itu pantun paling tidak berbobot, atau lebihnya, tidak pantas untuk dikatakan pantun.
"Ya elaah bahasa lo Adrian, dangdut banget," komentar kakaknya pedas. "Adek gue alay juga ya ternyata."
"Sirik aja lo, bang."
"Kamu tenang aja Adrian. Naura ini menantu kita. Tanpa kamu suruh, Papa sama Mama bakal perlakuin Naura dengan sangat baik. Kamu ini, kayak nganggap kita
orang lain." Papanya menjelaskan sembari terkekeh. Adrian adalah putra kesayangannya, yang selalu membuat suasana di rumah terasa sangat hangat. Jujur,
dia bangga kepada Adrian, anaknya yang satu itu selalu ingin hidup mandiri. Hidup mandiri yang nanti akan menjadi bekal di masa depan. Mengenyampingkan
harta warisan. Adrian tidak mau menjadi orang kaya, tapi dia ingin menjadi orang sukses. Satria setuju dengan kata-kata itu. Dia anak paling sempurna.
"Hehe Papa. Cucunya mau cewek atau cowok, Pah" Atau mau bencong?" tanya Adrian sekenanya. Angga dan Naura melotot secara bersamaan. Belinda menahan tawa,
ia terlalu jaim untuk tertawa terbahak-bahak. Menurutnya, tak bagus tertawa sambil terkikih-kikih, hal yang tidak sopan.
"Aah kamu ini. Ngelantur mulu."
"Nggak tau tuh, Pah. Adrian kalau ngomong suka ngaler-ngidul gitu. Yaa kadang, bikin Naura kesel. Dulu, pernah ngajak aku ke rumah hantu di pasar malam.
Dia malah ngetawain aku waktu aku ketakutan diganggu sama tuyul. Aku jewer telinganya sampai merah. Kesel banget."
"Liat aja kakaknya kayak gimana." Adrian melirik Angga yang duduk di depannya.
"Jadi lo nyalahin gue?"
"Iyalah. Prilaku adik, mewarisi perilaku kakaknya."
"Ih kamu. Yang ada, perilaku anak mewarisi orangtuanya," kata Naura menoleh ke Adrian. Mencoba meralat kata-kata Adrian yang keluar dari fakta.
"Kebiasaan kalian, berantem terus. Akur cuma kalau lagi ngejek mamanya," timpal Belinda melerai. Namun dalam hatinya ia bahagia, kalau tak ada pertengkaran
atau ocehan mereka, rumah ini akan lengang, tak akan ramai.
Ruang tamu itu seketika dipenuhi gelak tawa.
*** "Kamu jaga diri baik-baik, ya." Adrian mengelus kepala Naura sayang. Naura yang kurang menyetujui kepergian Adrian sulit sekali rasanya untuk tersenyum.
Tak ada gairah apa-apa. Sehari tanpa Adrian itu rasanya hampa, apalagi satu minggu. Adrian yang bisa menangkap sorot kecewa dari Naura mencoba mencari
cara agar Naura bisa tersenyum.
"Aku janji, bakal beliin kamu sesuatu di sana. Hadiah buat istri aku tercinta," kata Adrian. "Kamu mau kan nunggu aku" Kalau aku pulang, kamu harus udah
berdiri di sini nungguin aku." Lelaki itu memegaing kedua pipi Naura, lalu mengecup kening Naura beberapa kali--- terdiri dari lima kecupan berturut-turut.
Namun tetap, wajah Naura masih ditekuk. Belum rela.
"Oke kalau kamu masih ngambek. Aku gak jadi pergi," kata Adrian pada akhirnya.
Naura membeliak. "Daripada ninggalin kamu dalam keadaan marah, ya udah lebih baik aku nggak usah pergi."
"Eh jangan. Iya-iya, aku nggak marah, kok. Maafin aku." Naura berusaha mengeluarkan senyumannya. Agar Adrian mengurungkan niat untuk membatalkan kepergiannya.
Bagaimana pun itu adalah pekerjaan yang harus Adrian lakukan, Naura tidak mau mengganggu.
"Naah gitu, dong." Adrian tersenyum. Kedua jemarinya disimpan di ujung bibir Naura, menariknya agar terbentuk senyuman. Dengan amat terpaksa, Naura tersenyum.
"Eh tapi kamu harus janji, ya. Jangan kegatelan sama cewek lain di sana. Kalau sampai gitu, aku susul kamu ke sana," ancam Naura.
"Masa sih aku selingkuhin perempuan sempurna kayak kamu?"
Naura menaikkan alisnya, "Emm bisa aja."
"Nggak. Aku janji, aku tetep setia sama kamu." Adrian mengangkat tangannya, juga mengangkat tangan Naura, lalu ia kaitkan jari kelingkingnya di jari kelingking
Naura. Kedua kelingking itu bertautan penuh makna. Mereka tersenyum berbarengan, mata berbinar. Untuk kesekian kalinya, Adrian mengecup kening Naura lagi
penuh penghayatan selama beberapa detik hingga mata Naura terpejam nyaman. Kecupan Adrian mampu membuat Naura damai, hangat, dan menyentuh. Tangannya merengkuh
erat jaket Adrian, seperti tak ingin melepasnya. Begitu kecupan itu terlepas, Naura memeluk tubuh Adrian. Adrian lebih mengeratkan pagutannya.
"Ketemu kamu adalah anugerah terindah Tuhan, aku bersyukur. Dulu, kamu itu junior-nya aku di kampus. Dan aku senior kamu yang selalu ngatur ini dan ngatur
itu. Awalnya kita sering berantem, karena kamu selalu nggak mau nurutin perintah senior. Kayak cerita dalam novel. Dari benci jadi cinta. Dari berantem
jadi saling sayang. Terkesan klise, namun maknanya sangat indah. Itu adalah kita. Kita yang pada akhirnya saling mencintai, mengikrarkan janji, untuk saling
setia. Kita yang berbalutkan canda dan tawa. Kita yang saling menyempurnakan. Tak pernah mengenal air mata. Susah, sedih, seneng, kita lewatin sama-sama.
Aku cinta kamu Naura, bahkan lebih dari sekadar kata cinta. Kamu adalah perempuan yang bikin aku jatuh cinta untuk yang kedua kalinya, setelah mamaku.
Terima kasih, kamu udah pilih aku sebagai lelaki berarti dalam hidup kamu. Karena kamu, aku ngerasa sempurna. Kamu bagaikan air, yang mengguyur jiwa aku,
mengubah bagian kotor, menjadi bersih, bahkan lebih bersih dari sebelumnya. Menimbulkan sinar terang, yang akan menerangi kamu sebagai gantinya. Kamu yang
cemburuan, aku suka. Kamu yang selalu ngingetin aku supaya jangan kepincut sama cewek lain, aku suka. Semua yang ada dalam diri kamu yang apa adanya, aku
suka." Adrian menghirup wangi rambut Naura. Dari dulu sampai sekarang, Naura tak pernah mengganti merk shampo. Dari zaman pacaran, hingga sekarang. Hingga
Adrian tahu, wangi ini adalah wangi favorit Naura. Wanginya telah melekat dalam. Ketika hidungnya tak sengaja mencium harum aloe vera, Adrian akan langsung
teringat dengan Naura. Lelaki itu sangat senang menghirup dan membelai halus rambut panjang kesayangan Naura.
Dalam pelukan Adrian, Naura terenyuh. Tidak biasanya Adrian mengatakan kata-kata indah bak puisi yang ditulis para pujangga itu. Tak pernah tebersit dalam
benaknya, bahwa Adrian bisa seromantis ini. Mata Naura sedikit berair.
"Karena aku cinta sama kamu, dan hati ini cuma buat kamu, aku nggak akan pernah ngelupain perintah kamu. Meski aku sering ledek kamu, kamu pasti percaya,
cinta aku cuma buat kamu." Untuk yang terakhir, Adrian mencium rambut Naura, melepas pelukannya dan beralih memandang wajah Naura yang tampak sudah lebih
baik. "Apalagi, sebentar lagi kita bakalan punya anak. Jaga janin kamu baik-baik. Kasih dia asupan makanan yang bergizi, yang berkualitas, yang sehat.
Supaya jadi Adrian junior yang kuat, yang ganteng dan nurut sama orangtua."
"Kamu mau kalau anak yang lahir perempuan punya wajah ganteng?" Naura bertanya polos.
Adrian tertawa menyadari kebodohannya.
"Kok ngomongnya kayak orang yang pergi dan nggak akan kembali lagi?" mata Naura menyipit. Merasa ada yang janggal.
"Itu kan kata-kata spesial. Senin depan, aku di sini lagi, kok. Jemput kamu."
"Janji?" "Janji." "Oke aku pegang janji kamu." Naura berjinjit, giliran dia yang mencium kening, juga pipi Adrian. Menimbulkan suara kecupan yang romantis.
"Ininya nggak?" Adrian menyimpan telunjuknya di bibir. Berharap Naura mau mencium bibirnya.
"Kalau kamu udah balik lagi, aku bakal lakuin itu. Terserah kamu mau berapa lama."
"Asiiiiik." Adrian tertawa gemas. Menarik sebelah pipi Naura. "Ya udah aku berangkat dulu ya sayangku, cintakuu..."
"Lebaaay." "Berapa kali kamu bilang aku lebay?"
"Hehe nggak kok, nggak." Naura memeluk Adrian lagi. Bagaimana rasanya jika dalam waktu seminggu Naura tidak mendapatkan kecupan, gombalan, pelukan, ejekan
dari Adrian" Pasti sepi, sunyi, senyap.
Come on Naura. Adrian cuma pergi sebentar, ke Bandung doang, tapi kenapa kamu kayak yang nggak rela gini" Kenapa kamu takut terjadi apa-apa sama Adrian"
Kenapa perasaan kamu nggak enak" Takut kalau Adrian nggak akan balik lagi. Firasat apa ini" Apa kamu terlalu takut"
Bersambung. "YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 6 - Video Call Adrian & Naura.
*** Naura menepati janji untuk membuatkan kakak iparnya kue. Menurutnya, ucapan yang telah dilontarkan, harus ditepati. Setalah semua bahan dan alat disiapkan,
Naura mulai memecahkan beberapa telur, menyatukan bahan-bahan ke dalam wadah agar menjadi satu adonan. Daripada tidak ada kerjaan, lebih baik ia membuat
kue. Kue yang akan dimakan oleh keluarga ini. Padahal Belinda sudah melarang Naura untuk berdiam diri di dapur. Melarang ini itu, memaksa Naura untuk diam
di kamar. Naura terlihat riang, bagaimana tidak, dua hari lagi adalah kepulangan Adrian. Naura tidak sabar menanti kehadirannya. Hampir setiap hari mereka berkomunikasi
lewat video call. Untuk sekadar menyapa, dan bertanya tentang kondisi masing-masing, atau seperti biasa; becanda dan tertawa sebagai penutupnya.
"Wiih lagi ngapain kamu Naura?"
Naura menoleh ke belakang, ada Angga yang sedang membuka kulkas, mengambil air dingin.
"Eh kak Angga. Ini aku lagi bikin kue." Naura sedang fokus mengocok telur. "Kan sesuai sama janji aku waktu itu."
Angga tampak tertarik, setelah selesai menenggaka air putih, ia lekas menghampiri Naura. Memastikan tentang ucapan Naura. "Beneran kamu bikin kue" Padahal
dulu kan cuma becanda."
"Yang namanya janji harus ditepatin, lah. Lagian, aku seneng kok, biar ada kegiatan. Kan bosen harus dieeem terus."
"Ya udah kakak bantu, ya?"
"Emang kakak bisa?"
"Kalau cuma bikin kue sih gampang, kecil!" Angga meremehkan.
"Oke." Naura menyetujuinya.
Semenjak pernikahan Adrian dan Naura, Angga jadi lebih dekat dengan Naura. Adik-kakak ipar yang akur dan karib. Angga bersyukur, adiknya bisa berjodoh
dengan perempuan seperti Naura. Menurutnya, Naura itu orang yang asik, cepat sekali akrab, baik, dan bawelnya mampu membuat suasana menjadi lebih hidup.
Pantas saja adiknya tergila-gila. Dia pandai dalam memilih perempuan.
Seperti sekarang, di tengah pembuatan kue pun, Naura terus menginteruksi Angga tata cara yang benar dalam memasukkan bahan-bahan, mengaduknya dan memberikan
rasa yang pas. Beberapakali Angga melakukan kesalahan, Naura segera menegurnya secara gamblang, sampai membuat Angga takut sekaligus ingin tertawa. "Kakak
tau nggak, kak. Dulu waktu ulang tahun aku, Adrian nyiapin kejutan. Dia bikinin aku kue bolu pake tangannya sendiri. Sampai kurung aku di dalem kamar selama
berjam-jam." "Oh, ya?" Dapur itu berubah kotor, tepung terigu di berserakan di atas meja, juga tetesan-tetesan adonan yang berjatuhan --dikarenakan cara pembuatan yang tidak
teratur, sambil main-main pula. Wajah Naura juga banyak dipenuhi tepung, begitu pun dengan Angga. Tadi mereka sempat saling melempati tepung akibat ulah
Angga yang jail. "Hmmmm iya. Dan kakak tau nggak rasanya gimana?"
"Manis." Naura menggembungkan pipi, "Manis?" Tawanya hampir pecah, bukan karena kenyataan tentang kue buatan Adrian yang asin, melainkan karena mengingingat Adrian
yang berani-beraninya membuat kue tapi hasilnya zonk.
"Rasanya asin, asiiin banget." Akhirnya Naura tertawa.
Angga ikut tertawa, "Waduh ada-ada aja tuh anak. So jago banget bikin kue, buat hadiah ulang tahun istri lagi. Mana hasilnya gagal." Angga menggeleng,
masih tersisa tawanya yang renyah.
"Ya tapi aku bangga, sih. Adrian mau usaha. Dan menurut aku, kue itu lebih spesial daripada kue yang dibeli di toko, yang rasanya jauh lebih enak." Naura
tetap membanggakan suaminya. Bukan rasa kue itu yang menjadi prioritas, melainkan tentang siapakah yang membuatnya. Adrian bilang, dia membuat kue itu
dengan penuh cinta. Angga tersenyum memandang wajah Naura yang mungkin sedang merindukan Adrian.
Terdengar suara deringan telepon genggam milik Naura yang tergeletak di atas meja, layarnya nyaris dipenuhi titik-titik putih.
"Hp kamu bunyi, tuh." Angga mengarahkan dagunya pada ponsel Naura. Dengan cepat Naura berdiri dan mengambil ponsel itu, duduk kembali. Begitu melihat layar,
ada panggilan video lewat Whatsapp, dari 'My husband' alias Adrian. Naura melekukkan senyum, dugaannya benar. Ia segera menggeser layar.
"Hallo sayaaaang," sapa Adrian di sana. Dalam layar, ada wajah close up Adrian yang sedang tersenyum menampilkan giginya setelah sebelumnya menyapa.
"Iaaan." Naura tertawa. Wajahnya lebih bercahaya. Tampak bersemangat. Hari ini Adrian baru menghubunginya. Padahal Naura sudah menunggu sejak tadi pagi,
sejak bangun tidur. Dan untunglah, Adrian masih mau menyempatkan diri.
"Emmm." Angga yakin, sekarang Naura akan mengacanginya, sibuk dengan Adrian.
"Kamu ngapain, tuh" Kok wajahnyanya putih-putih gitu" Kayak pake kapur ajaib."
"Bukan kapur. Enak aja masa aku coret-coret wajah aku pakek kapur buat ngusir kecoak" Kamu pikir aku gila?"
"Hahaha sori becanda. Terus apa" Sayang loh wajah kamu yang jelek makin tambah jelek." Adrian tertawa lagi. Sepertinya untuk mengejek Naura, sudah menjadi
makanan sehari-hari. Naura melotot. Adrian malah semakin menjadi-jadi. Bukannya bertanya kabar, ini malah sempat-sempatnya meledek.
"Kak liat nih kelakuan adik kakak, nyebelin banget." Naura mengarahkan layar hp-nya ke wajah Angga, agar wajah kakaknya bisa Adrian lihat. "Eh kok ada
elo, sih?" tanya Adrian begitu gambar di layar ponselnya berubah menjadi wajah Angga. "Awas ya lo macem-macem sama Naura."
"Siapa yang macem-macem. Gue cuma nemenin dia bikin kue. Masa gue tikung ade gue sendiri, sih?"
Naura kembali menatap layar hp, "Iya. Kita lagi bikin kue bolu rasa cokelat. Dan yang pasti, rasanya nggak bakal asin," sindir Naura dengan suara elegannya,
bermaksud untuk membalas ejekan Adrian tadi. "Kue-nya bakalan enak, manis dan sempurna. Seperti buatan koki di London."
"Idiiiih Naura Nora. Kamu nyindir aku ya gara-gara nggak bisa bikin kue yang sempurna" Jangan disama-samain sama koki di London, lah. Orang rasanya bakal
beda jauh." Adrian mengerti akan sindiran keras Naura. Merasa kalau ia pernah membuat kue yang rasanya asin.
"Buat aku, pembuatnya juga udah sempurna," kata Naura, yang membuat kedua ujung bibir Adrian tertarik ke samping. Keduanya pun tertawa bersama, melupakan
pertengkaran kecil sebelumnya. Adrian senang bisa melihat tawa Naura, begitupun Naura yang senang melihat tawa Adrian. Meski mereka sedang berada di jarak
yang berjauhan, tapi hati mereka tetap dekat.
"Udah stop becandanya. Kita berlanjut ke sesi serius." Naura melanjutkan, mengakhiri gelakannya. "Sekarang aku tanya, kenapa kamu baru hubungin aku sekarang"
Nge-SMS nggak, nelepon juga nggak. Aku khawatir tau. Takut terjadi apa-apa sama kamu."
"Maaf ya sayang. Hari ini aku bener-bener sibuk. Ini juga aku cuma dikasih waktu 10 menit. Dan itu cuma buat kamu seorang."
"Cius?" "Mi apa?" "Mi cintaa." "Naura alay, yaa. Kalau aku ada di sana, udah aku cubit pipi kamu yang tembem itu, sama udah aku tarik hidung kamu yang pesek," di layar itu Adrian terlihat
gregetan. Menunjuk-nunjukkan jari telunjuknya ke layar. Eskpresinya super gemas.
"Kayaknya tangan kamu gatel banget, ya. Pasti bawaannya itu pengen cubit aku. Aku yang jadi korbannya cuma bisa pasrah."
"Ikhlas, kan?" Naura tersenyum. Bukan hanya ikhlas, tapi ridha hita'ala. Rela kalau itu bisa membuat Adrian bahagia. Bahagia yang sederhana.
"Ya udah kayaknya waktu aku udah abis. Aku tutup dulu, ya. Nanti aku hubungin kamu lagi. Jangan lupa jaga baik-baik Adrian junior-nya Juga jangan terlalu
capek, nggak baik." "Siap! Kiss-nya mana kiss-nya?" pinta Naura manja. Memamerkan bibirnya.
"Sejak kapan Naura minta di-kiss?"
Sebelum Naura menjawab, Adrian sudah lebih dulu mengecup dari jauh, sebatas mengecup layar ponselnya. Namun maknanya, sampai dengan selamat ke dalam hati
Naura. Naura pun ikut mengecup layar ponselnya. Mereka tersenyum kembali.
Your Eyes Karya Jaisii Q di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsallam."
Wajah Adrian pun menghilang dari layar hp Naura. Perempuan itu tersenyum untuk beberapa detik. Adrian selalu berhasil membuatnya merasa bahagia dengan
perlakuan-perlakuan sederhananya. Anggap saja ejekan-ejekan Adrian sebagai tanda kasih sayangnya.
Angga menggeleng-gelengkan kepala. "Emang bener ya kalian, nggak bisa terpisahkan."
"Iya dong, kak." Naura menyimpan ponselnya, kembali melanjutkan pekerjaannya. "Kakak kapan bawa calon istrinya" Biar Naura ada temen gitu."
"Belum ada yang pas, nih."
"Belum ada apa nggak laku?" gurau Naura yang langsung mendapatkan tatapan serius dari Angga. "Hahahaha becanda kali, kak. Jangan ambil serius. Naura yakin,
kok. Cewek-cewek banyak yang ngantri, kan?"
"Yaaa begitu, deh." Angga masih terlihat acuh tak acuh dengan kisah asmaranya.
"Naura!" Kontan Naura mengalihkan pandangannya pada asal suara. Begitu pun dengan Angga yang ikut melihat. Di lawang dapur, ada Belinda yang mendekat. Naura patah
lidah, kenapa mama Adrian sudah pulang" "Aduuuuh kamu lagi ngapain, sih" Mama kan udah bilang, kamu harus diem di kamar. Jangan kemana-mana apalagi ngerjain
kayak beginian aduuuuuh." Belinda yang sangat hati-hati tidak menginginkan Naura lalai dalam menjaga kandungannya.
"Cuma bikin kue, Ma. Lagipula Naura sehat-sehat aja, kok. Bosen kan di kamar terus. Nanti Mama boleh cobain deh kue bikinan Naura. Pasti enak."
"Kamu mau ngelawan Mama" Iya" Ini buat kebaikan kamu sama anak kamu. Punya menantu kok susah diatur, sih?"
Naura gelagapan. Menurutnya, mama Adrian terlalu berlebihan. Ia tidak berlari, hanya sebatas duduk dan membuat adonan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
"Kamu juga Angga, kamu nggak larang Naura?"
"Hehe, nggak-lah. Lagian, aku malah seneng Naura buat kue. Buat kita makan sama-sama."
"Beli juga bisa, kan?"
Naura terdiam, tertunduk. Tak mampu dan tak berani menentang kehendak mertuanya Di sisi lain, ia senang karena Belinda telah begitu perhatian. Namun di
sisi lain pula, Naura merasa dirinya dikekang. Naura bisa mengerti, Belinda bersikap seperti itu hanya karena ingin cucunya baik-baik saja. Mendapatkan
seorang cucu, adalah cita-cita yang paling mama Adrian inginkan.
"Kita ke kamar."
*** Sambil terus melakukan video call dengan Adrian, Naura terus meminum segelas susunya. Tak lupa dengan buah-buahan seperti, apel, jeruk, dan anggur juga
ia makan. Hingga pipi Naura terlihat lebih mengembang. Di sana Adrian menangguk-anggukan kepala sembari tertawa, merasa lucu dengan cerita yang barusan
Naura ceritakan tentang perintah-perintah mamanya yang terlalu berlebihan. Kasihan juga Naura. Setiap hari harus curhat tentang mertuanya. Kasihan, harus
terus diatur dengan cara yang Naura tak suka.
"Kamu kapan pulang, siih" Aku udah nggak tahan lagi." Naura cemberut. "Aku udah tepatin janji aku buat ngasih bayi kita asupan sehat. Liat nih, aku udah
makan buah-buahan yang banyak, susu sehat pagi siang malam." Naura mengunyah buah apel merah di tangannya. Begitu semangat dan ceria. "Olahraga, dan makan
sayuran setiap hari. Mama larang aku makan tanpa sayuran. Aku janji sama kamu, anak kita bakal lahir dan tumbuh sehat."
Adrian asik mendengar ocehan-ocehan Naura, tanpa ingin menginterupsi. Yang ia terbitkan hanya tawaan juga anggukan.
"Semoga aja aku nggak gendut karna terus makan. Kalau aku gendut, kamu nggak bakal suka, dong. Kalau nggak suka, gawat. Kamu bakal cari yang lebih seksi,
yang lebih bagus badannya."
"Kata siapa" Mau kamu gendut, mau kamu kerempeng. Aku tetep cinta. Cinta aku cuma buat kamu, dan kamu harus percaya itu."
"Hmmm?" Seriuus?"
"Karena Adrian, hanya untuk Naura."
Lagi-lagi Naura tersenyum. Adrian selalu mempunyai cara yang istimewa untuk kembali menormalkan perasaannya. Kembali memberikan hawa yang meyakinkan kalau,
Adrian tak akan pernah berpaling pada yang lain.
"Eh itu kamu lagi ada di mana" Di tempat tidur, kan" Ini baru jam lima sore. Biasanya kamu hubungin aku malem, jam sembilan waktu kamu udah selesai kerja."
"Tebak aja." Naura mengernyit bingung.
Adrian menjauhkan ponsel dari wajahnya, supaya Naura bisa melihat dan tahu sekarang ia berada di mana. Tampak Naura membuka setengah mulutnya, bibirnya
komat-kamit tidak percaya. Ini baru hari ke lima, tapi Adrian sudah berada di dalam bus" "I... itu... itu di bis, kan?" Naura tertegun. Apakah Adrian di
sana dalam perjalan pulang" Atau ada pekerjaan lain yang mengharuskan dia untuk naik bus"
"Iya. Sekarang aku udah ada di bis. Perjalan pulang menuju Jakarta, ketemu kamuu sekaraaang."
"Serius kamu"!" Naura beringsut dari sandarannya. Lebih antusias dan berapi-api. Matanya berbinar. Menyorotkan harapan penuh. Euforia menyelubunginya.
"Iya aku sengaja pulang lebih awal. Kerjaan aku udah selesai, kok. Dan untungnya, atasan aku ngizinin aku buat pulang duluan, nggak bareng sama yang lain.
Surpirseee buat kamu. Aku janji, hari ini kita ketemu. Kembali pulang ke rumah. Terlepas dari perintah-perintah Mama."
"Kenapa?" Naura bertanya mengapa Adrian begitu menginginkan itu semua.
"Buat kamu." "Buat aku?" Tiba-tiba saja suasana berubah menjadi lebih serius. Naura terlalu senang, Adrian begitu menyayanginya. Dia selalu mengedepankan kebahagiaannya.
Rela melakukan apa pun. "Aku bawain kamu hadiah. Tapi nanti aku kasih taunya kalau aku udah sampai, ya."
Naura mengangguk. Ia tak butuh hadiah, yang hanya ia inginkan adalah; Adrian bisa pulang secepatnya, dengan selamat. Bisa kembali becanda sama-sama, tertawa
sama-sama, dan bercinta seperti biasa.
"I Love you Naura. Kamu tunggu aku di sana."
"Love you to." Terlalu rindu dan terharu, Naura meneteskan air mata. "Aku bakalan nunggu kamu."
*** Sekiranya, itulah beberapa fragmen dari kisahku bersama Adrian. Alasan mengapa kami menikah, kejutan Adrian di hari ulang tahunku, kue bolu asin buatannya,
bagaimana caranya aku menghadapi seorang mertua. Bermain mesra di pasar malam menaiki wahana bianglala dan mengunjungi rumah hantu. Tentang dia yang takut
ketinggian, tentang aku yang takut hantu. Sampai akhirnya dia pergi. Kisah yang amat manis untuk dikenang, dan amat pahit untuk ditelan. Yang terlalu indah
untuk dilupakan. Malam itu adalah, malam paling mengerikan di sepanjang hidupku. Malam yang telah mengubah semua, mengubah arus kehidupanku. Mengubah semua
angan. Berbelok arah pada kenyataan tak sejalan. Termasuk mengubah kisah asmaraku. Untuk kak Angga, Mama Belinda, Papa Satria, mereka seakan telah jauh
dari jangkauanku. Mereka bukan siapa-siapa lagi. Takdir telah mengubah segalanya. Takdir yang menurutku paling kejam. Aku di sini terluka sendirian. Untuk
selebihnya, akan kuceritakan nanti. Karena pada bagian selanjutnya, aku belum mampu untuk bercerita kepada kalian. Aku yakin, aku akan menangis lagi, mengingat
Adrian lagi. Naura menutup buku diary-nya. Sebutir air matan jatuh membasahi jilid buku diary biru yang selalu ia jadikan sebagai tempat curhat, tempat bercerita tentang
keluh kesah. Di malam ini, Naura merenung, menatap bintang berkelip di langit hitam lewat jendela kamar tidurnya. Akankah besok ia akan menemukan kebahagiaan"
Bersambung. "YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 7 - Dan Takkan Kembali.
*** Sebuah kabar mengejutkan, Belinda baru saja menjatuhkan telepon rumah dari genggamannya. Pandangannya datar, jantungnya berdegup kencang. Dagunya gemetar,
matanya memerah. Acara nonton televisi di ruang tv akhirnya terinterupsi kala Satria dan Angga melihat ekspresi aneh Belinda setelah ia menerima telepon
yang entah dari mana itu. Belinda yang nyaris terjatuh segera ditahan Satria.
"Ada apa, Ma" Barusan telepon dari siapa?" tanya Satria kelimpungan. Istrinya seperti baru saja melihat penampakan hantu.
"A... Aad..., Adrian, Pah. Adrian kecelakaan." Belinda mengusap dadanya yang naik-turun.
Angga dan Satria terkejut secara bersamaan. Kecelakaan" Adrian" Ruang tv itu lengang.
"Ayo sekarang kita cepet pergi ke rumah sakit, Pah. Cepetaaaan."
Naura yang berada di ujung tangga berhenti melangkah, terpegun di pijakannya. Adrian" Kecelakaan" Apa telinganya tidak salah mendengar" Kakinya melangkah
mundur, pertahanannya hampir jatuh. Naura menelan ludah, sekujur tubuhnya seperti mati rasa.
*** Menurut berita, bus rute Bandung menuju Jakarta yang ditumpangi Adrian mengalami kecelakaan besar, badan bus bertabrakan dengan truk, terguling parah.
Diduga akibat kelalaian sopir yang mengantuk. Berita itu mulai menyebar di beberapa stasiun tv. Sementara Belinda, Satria, Angga dan Naura berlarian di
koridor salah satu rumah sakit. Rumah sakit yang paling dekat dari lokasi kejadian. Rumah sakit itu ramai, karena seluruh korban kecelakaan ditampung di
sana. Baik korban yang masih bisa tertolong, juga korban yang telah meninggal dunia.
"Nggak. Adrian itu pulangnya besok, jadi dia nggak ikut dalam kecelakaan ini, Pah," kata Belinda yakin. Mungkin saja orang yang barusan meneleponnya keliru.
Nama Adrian banyak sekali. Belinda yakin itu, tetap beroptimis penuh. Naura masih belum angkat bicara, sibuk meneleponi nomor Adrian di ponselnya, barangkali
lelaki itu akan mengangkatnya. Tapi tidak, sudah berpuluh-puluh kali Naura memanggil, jawabannya sama; nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada
di luar jangkauan. "Mama nggak mau terjadi sesuatu sama Adrian, Pah." Satria segera membawa kepala Belinda ke pelukannya. Sebagai seorang Ibu, Belinda tidak mau anak lelakinya
terluka. Sebelumnya dia tidak pernah membuat mamanya sekhawatir ini. Belinda terus berlirih pelan, menggeleng tidak mau. Angga hanya bisa menunggu kabar
dari dokter. "Nggak Ian. Kamu nggak boleh lakuin ini sama aku." Naura masih terus menghubungi nomor Adrian. Ia bersandar, menyimpan ponsel di telinganya, lalu mengembuskan
napas lelah, Adrian tak kunjung mengaktifkan ponselnya. Naura telah berada di ujung keputusasaan. Rasa takut benar-benar melingkupinya, belum percaya kalau
Adrian-lah yang berada dalam ruang UGD sana. Kalaupun benar Adrian, Naura berharap dia baik-baik saja.
Tak lama kemudian, dokter keluar. Mereka berempat langsung memusatkan pandangan pada doker berkacamata itu, mendekatinya dengan raut antusias.
"Kalian keluarga dari Adrian Wijaya?" tanya sang dokter. Belinda mengangguk-anggukan kepala. "Iya-iya, kami keluarganya, dok."
"Syukurlah. Pihak polisi menemukan dompet, berisi kartu nama korban bernama Adrian Wijaya. Dan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya..." dokter itu menarik
napas pelan, siap meluncurkan kata-kata yang membuatnya tak enak. Belinda, Satria, Angga dan Naura menunggu, dengan wajah penuh pengharapan bercampur tegang.
"Korban tidak bisa kami selamatkan. Luka yang dialaminya di kepala cukup parah. Oleh sebab itu, kami memohon maaf. Semoga kalian bisa menerima dengan lapang
dada. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi takdir berkata lain."
Naura menjatuhkan ponselnya, benda itu terpelanting sampai menimbulkan suara. DEG! Jantungnya berdetak hebat. Ini pasti mimpi, dokter itu pasti sedang
berbohong. Naura mencubit lengannya sekeras mungkin yang ia bisa, menekannya kuat-kuat, berharap akan terbangun dari mimpi buruk. Tapi ia malah meringis
kesakitan. Harapan mimpi itu pupus.
Napas Belinda tersengal, karena terlalu terkejut, perempuan itu hampir kehilangan kesadaran. Satria berusaha menopang tubuh Belinda, dan akhirnya istrinya
itu pingsan. Matanya tertutup. Angga segera membantu papanya untuk membawa mamanya berbaring di salah satu kamar rumah sakit.
Tidak. Ini tidak mungkin. Orang itu pasti bukan Adrian. Naura bergegas masuk ke dalam ruang UGD. "Nggak dokter pasti salah orang. Dokter pasti salah orang.
Dia bukan Adrian." Dokter itu hanya menundukkan kepala, menyesal karena gagal menyelamatkan pasien.
Begitu sampai di lawang, Naura lihat tubuh lelaki yang terbaring di atas brankar dengan luka-lukanya. Suster-suster sedang mencabut alat-alat yang menancap
di tubuhnya, mematikan monitor alat pendeteksi jantung. Naura memejamkan matanya yang berair, kakinya terus melangkah mendekat, seluruh tubuhnya betul-betul
lemas tak bertenaga. Naura tiba di pinggir brangkar, terlihatlah wajah lelaki yang sangat ia cintai. Itu wajah Adrian, benar, itu adalah wajah Adrian.
Kedua suster yang telah selesai, segera keluar dari ruangan, setelah sebelumnya memberi ucapan prihatin juga liontin perak berinisial 'N' kepada Naura.
"Kami menemukan kalung itu di saku bajunya. Siapa nama mbak?"
"Saya Naura." "Hmm, ini pasti milik mbak."
Naura memandang liontin perak di tangannya dengan mata mengabur. Apa ini hadiah yang dimaksud Adrian" Kalung berinisial 'N' yang berarti Naura. Ia genggam
kalung itu kuat-kuat, lalu pandangannya beralih kepada Adrian. Naura menarik napas lewat mulutnya, dokter itu tidak salah. Ini benar-benar Adrian, suaminya.
"Apa kamu tega lakuin ini sama aku" Kamu tega ninggalin aku gitu aja" Ninggalin Adrian junior kamu" Kamu kasih aku kebahagiaan, canda, tawa, tapi setelah
itu kenapa kamu malah kayak gini" Kamu pergi untuk selama-lamanya. Kamu tutup mata kamu, harusnya kamu buka mata kamu saat aku datang. Harusnya kamu sambut
aku dengan senyuman dan candaan seperti biasa, bukan malah tiduran kayak gini. Harusnya sekarang kamu tepatin janji kamu. Kamu jelasin apa arti kalung
ini. Aku gak butuh dia, aku cuma butuh kamu. Seindah apa pun bentuk kalung ini, aku cuma pengin kamu. Kamu jahat, Ian. Kamu jahat..."
Naura memegang kedua pipi Adrian yang beku dengan tangannya yang gemetar hebat, tangisnya tersekat di tenggorokan, menatap Adrian intens. "Nggak Ian. Nggak,
jangan lakuin ini sama aku. Ian buka mata kamu, bilang kalau ini semua salah. Kamu nggak mungkin ninggalin aku secepat ini, nggak, Ian. Bangun sayaaang."
Naura menangis sambil terus menepuk pipi Adrian, menggeleng-gelengkan kepala tak ikhlas. Hatinya seperti teriris sembilu. Berharap kalau ini hanya mimpi
buruk. Tadi Adrian baik-baik saja, bahkan ia menyuruh Naura untuk menunggu di rumah. Naura mencium pipi Adrian penuh pendalaman, sebuah kecupan ketulusan.
"Adrian buka mata kamu! Bilang kalau kamu baik-baik aja, ini bukan kamu, aku percaya ini bukan kamu. Iaan tolong jangan nakut-nakutin aku. Kali ini becandaan
kamu nggak lucu! Nggak lucu Ian!" bentak Naura berlinangan air mata, mengguncang kedua bahu Adrian kencang, kesal karena Adrian tidak mau membuka mata
dan menghentikan aksi gilanya. "Kamu boleh becanda sesuka hati kamu, tapi jangan sampai begini. Bukan ini kejutan yang aku mau. Jangan kasih aku kejutan
kayak gini, aku nggak kau. Kamu mau aku sakit jantung" Kamu mau aku sakit gara-gara becandaan kamu ini yang berlebihan" Ian banguuuuun." Naura mencengkeram
baju Adrian, tubuhnya benar-benar lemas, perutnya terasa nyeri. Tangannya masih setia menggenggam liontin perak itu. Napas Naura tersendat, tubuhnya terperenyak
ke bawah dengan setengah kesadaran, namun suara tangisnya masih terdengar.
Angga yang baru saja masuk, mendapati Naura yang sudah tak berdaya. Rasa sakit di perutnya tak sebanding dengan rasa sakit ketika menghadapi kenyataan
bahwa kini Adrian telah tiada. Laki-laki yang begitu ia sayang, yang begitu ia cinta. Laki-laki yang begitu istimewa. "Naura!" pekik Angga panik. Untung
Angga datang tepat waktu, saat itu juga Naura pingsan.
Angga segera menggendong tubuh Naura yang lemah, membawanya keluar. Tersisa bekas air mata di wajah pucat Naura.
'Kamu nggak inget janji kamu Ian" Untuk nggak bikin air mata aku jatuh" Di mana janji kamu" Apa kamu udah gak peduli lagi sama aku" Perempuan yang kamu
bilang sebagai perempuan yang paling kamu cintain.'
Naura berbaring tak sadarkan diri. Angga mendapatkan berita setelah salah satu dokter memeriksa keadaan Naura.
"Janin dalam rahimnya tidak bisa tertolong. Mungkin karena Ibu Naura yang terlalu syok berat. Kabar buruk yang datang secara tiba-tiba, bisa mengakibatkan
masalah yang fatal bagi calon anak yang baru menginjak fase sensitif."
Begitulah penjelasan sang dokter, Angga mengusap wajahnya frustrasi. Naura telah kehilangan Adrian, dia juga harus kehilangan bayinya. Apa Tuhan sekejam
itu" Angga juga masih belum percaya, kalau adiknya, Adrian, telah tiada. Dia meninggalkan orang-orang yang menyayanginya tanpa pamit. Terlalu mendadak.
Jenazah Adrian yang telah dipindahkan ke kamar mayat, dihampiri papanya. Satria memandang kain yang menutupi seluruh tubuh Adrian selama beberapa detik.
Dengan penuh keberanian dan ketegaran, Satria membuka kain putih itu. Wajah Adrian yang pucat dan kaku menjadi pemandangan utama kedua iris hitamnya. Melihat
Adrian seperti ini, hati Satria terasa sangat perih. Bagaimana bisa dia meninggalkan papanya dengan waktu yang sangat cepat"
Satria tersenyum bangga. "Kamu anak kesayangan Papa Adrian. Kamu anak yang paling penurut. Dibandingkan kakak kamu, kamu yang paling takut sama orangtua.
Papa minta ke kamu tolong beliin ini Adrian, tolong beliin itu Adrian, kamu langsung denger. Beda sama kakak kamu yang malas-malasan dan nyuruh lagi ke
pembantu. Banyak yang bilang, kalau wajah Papa sama kamu itu mirip. Mau tetangga, saudara, dan orang lain yang baru melihat kita," ia tersenyum lagi. "Kita
punya senyum yang sama. Dan kamu setuju itu, kamu ingin seperti Papa, jadi orang yang sukses. Bukan orang kaya, melainkan orang yang sukses. Seperti kamu
bilang, orang kaya belum tentu sukses, sementara orang sukses, pasti dia punya masa depan cerah. Papa bangga, punya anak seperti kamu Adrian. Papa bangga
sekali." Di antara heningnya kamar mayat, di depan Adrian yang tak akan pernah bernapas lagi, papanya terus bercerita. Mungkin ini untuk yang terakhir
kalinya dia bisa bercerita panjang dengan Adrian.
"Di umur kamu yang baru menginjak 22 tahun, kamu ketemu sama perempuan yang sangat kamu cintain, sampai kamu ngelangkahin kakak kamu untuk menikah dengan
dia. Papa masih inget, dengan bangganya kamu bilang kalau kamu mau menikah. Papa masih inget, wajah cemberut kamu gara-gara Mama kamu yang nggak setuju.
Dan selanjutnya, kamu tersenyum saat mendengar kalau Papa setuju dengan pernikahan kamu. Di sana, kita tertawa sama-sama. Kamu sangat mencintai Naura,
Adrian. Jiwa kamu sebagai seorang laki-laki hebat itu ada. Kamu anak yang penuh tanggung jawab, kamu mandiri, kamu segalanya untuk Papa." Laki-laki memang
sosok yang tak kenal dengan istilah air mata. Tapi, Satria hanya sebatas laki-laki biasa. Sebagai seorang Ayah, dia sangat terpukul dengan kematian anaknya.
Anak yang begitu ia banggakan. Kedua matanya memerah, hingga satu tetes air mata jatuh dari pelupuknya. Satria mengusap hidung dan mulutnya, berusaha untuk
tetap tegar dan kuat menerima kenyataan. "Mungkin Tuhan lebih sayang kamu, Nak. Itu sebabnya kamu pergi paling awal, ngeduluin Papa. Takdir yang berkata,
bahwa Papa yang harus mengubur kamu," terasa begitu berat saat Satria mengatakan itu.
Hati Satria bagaikan dihujami ribuan jarum. Rasanya sakit, sangat sakit. Diam dan berusaha ikhlas, itu salah satu cara yang tepat untuk merelakan. Senyum
Adrian masih terbayang dalam benaknya, suaranya ketika ia kecil, berlarian ke sana-kemari dengan kapal-kapalannya. Bermain bola, dan berenang. Tangisannya,
juga pertengkaran bersama kakaknya. Memori itu seakan mengulas ulang kenangan indah, yang tak akan pernah terlupakan.
Satria merunduk. Naura baru saja sadarkan diri. Angga yang semenjak tadi duduk di sebelahnya segera bergerak, menatap Naura khawatir. Perempuan itu sedang berusaha menjelaskan
pengelihatannya. "Syukurlah kamu udah sadar, Naura," kata Angga cemas. Naura menatap sekelilingnya, merasa ada yang janggal. Ia segera bangun dari rebahan
kala menyadari sesuatu. Cepat-cepat Angga membantu.
"Aku ada di rumah kan, Kak" Aku ada di rumah. Aku harus cepet-cepet turun ke bawah. Adrian udah nunggu aku." Naura menurunkan kakinya, bergegas pergi,
tapi perutnya terasa begitu sakit. Ada apa ini" Tindakannya terhenti di detik itu.
"Kamu jangan ke mana-mana. Kamu baru aja keguguran..."
"A... apa?" "Iya. Kamu baru aja kehilangan calon anak kamu."
"Maksud kakak apa aku keguguran" Kenapa bisa" Aku gak mau keguguran, nanti Adrian marah. Itu adalah anak yang paling dia dambain. Aku nggak mau keguguran..."
Naura menatap kakak iparnya penuh permohonan. Memaksa agar dia mengatakan kalau semua ini hanya mimpi. Adrian masih ada, begitu pun dengan janinnya.
Namun Angga hanya membalas tatapan Naura tak bersemangat. Ia juga menginginkan hal itu, menganggap kalau ini semua hanyalah mimpi. Adrian adalah adik kesayangannya,
menyulitkan Angga untuk menerima kenyataan.
"Kamu udah ikhlasin kepergian Adrian?" tanya Angga, pelan.
Naura tertegun, paru-parunya berhenti bernapas. Seakan dunianya redup. Lampu-lampu amor padam dalam waktu tak kurang dari satu detik.
"Nggak aku yakin banget semua ini cuma mimpi, kak. Adrian masih hidup, dia masih hidup. Nggak mungkin Adrian pergi, nggak mungkin, Kak! Kemarin-kemarin
kita masih main video call, kemarin dia baru aja ngeledek aku. Bahkan tadi, dia nyuruh aku buat tunggu di rumah buat nyambut kedatangan dia. Aku masih
inget, wajah Adrian, dia baik-baik aja, dia nggak lagi sakit. Jadi mana mungkin Adrian meninggal...?" Di depan Naura, Angga kehilangan kata-kata. Gagap.
Naura terus ngelantur, tak memberikan waktu untuk Angga yang ingin membuat Naura sadar. "Kakak gak percaya sama aku" Ayo, kak kita ke rumah, Adrian udah
nungguin di sana. Kasian kalau dia dateng terus nggak ada yang nyambut. Aku belum siapin makanan. Mama sama Papa, aku, kak Angga, kita harus pulang. Ayo,
Kak." Naura memegang kerah baju Angga, menarik-nariknya secara paksa, merengek gemas. "Ayo cepetan, Kak. Kita temuin Ad..."
"Stop Naura. Adrian udah nggak ada!"
Sentakan Angga membuat Naura terpegun. Perlahan, pegangan tangan pada kerah baju Angga mengendur. Tangan itu melemas. Butiran-butiran air memenuhi matanya
yang mengisyaratkan ketidakmampuan untuk menerima kenyataan. Angga langsung memeluk Naura, memberikan afeksi, tidak tega melihat Naura yang terlihat seperti
orang gila. Dalam pelukan Angga, isak tangis Naura mulai terdengar. Tangisan yang awalnya kecil, semakin keras seiring dengan gerakan jarum jam yang berdenting
di tembok. Angga berusaha untuk terus menenangkan Naura.
Di luar, ada ayah Naura yang baru saja tiba, telinganya langsung dihampiri suara tangisan putrinya yang sangat tersakiti. Batin ayah Naura ikut sakit.
Belum siap bertemu dengan Naura yang sedang rapuh. Dia bersandar sejenak di dinding bercat putih itu, memandang langit-langit. Mengapa Tuhan menimpakan
masalah yang sangat besar kepada putri semata wayangnya"
Bersambung. "YOUR EYES. By: Jaisii Quwatul. Chapter 8 - Tak Apa. *** Dengan pakaian serba hitam, Naura bersandar di dinding dapur. Sementara semua keluarga berbondong-bondong pergi ke pemakaman untuk menguburkan Adrian ke
tempat peristirahatan terakhirnya. Air mata meluncur bebas di pipi Naura. Kejadian tadi malam seakan mengutuknya dengan telak. Ia tidak sanggup melihat
Adrian disemayamkan. Terlalu berat dan sakit. Naura meremas dadanya.
"Kamu nggak ikut ke pemakaman Adrian?" Angga yang sejak tadi mencari keberadaan Naura akhirnya menemukan Naura di sini.
"Aku nggak sanggup, Kak. Aku nggak sanggup." Naura menggeleng. "Gimana bisa aku ngeliat orang yang paling aku sayang pergi" Dikubur di antara tanah-tanah
merah. Ini terlalu berat buat aku."
"Tapi kamu istri Adrian. Kamu harus ada di sana. Kasian Adrian, kamu nggak nganter dia ke tempat peristirahatan terakhirnya," bujuk Angga.
Namun Naura hanya diam, menatap lurus ke depan, berusaha menahan tangis. Tak menganggap kata-kata Angga, sibuk dengan kesedihannya. Angga memandang Naura
iba, tangannya terangkat dan mengusap bahu Naura pelan. Oke, dia mengerti perasaan Naura, Angga tak akan memaksa. Detik berikutnya, Angga pun melangkah
pergi, ikut dalam pemakaman jenazah Adrian. Tubuh Naura tergelosor. Memeluk kedua lipatan kakinya sendirian, di antara kesunyian. Matanya terangkat, Naura
menyeka air mata. *** Proses pemakaman telah selesai dilaksanakan. Orang-orang mulai meninggalkan area pemakaman, tinggal tersisa keluarga terdekat. Belinda, Satria dan Angga.
Suasana berkabung sedang melingkupi. Memang berat rasanya, kehilangan orang tersayang. Namun, siapa yang bisa melawan takdir" Usia, jodoh, dan rezeki sudah
diatur oleh yang Maha Kuasa. Tugas kita hanyalah menerima baik. Anggap kalau kehendak Tuhan adalah jalan yang paling terbaik.
Belinda masih menangis, menaburi bunga-bunga di atas makam bertanah merah dan masih basah itu sambil berjongkok. Melihat batu nisan bertuliskan Adrian
Wijaya yang berada di ujung makam, membuat hati Belinda kembali tergores. Di belakang, Satria berusaha menenangkan istrinya, agar dia mau belajar ikhlas,
kuat dalam menghadapi cobaan.
"Adrian anak yang baik, Pah. Mama yakin, dia pasti udah tenang di sana. Tapi kenapa dia tega ninggalin Mama?" suaranya patah-patah. "Adrian anak kesayangan
Topeng Kuning 1 Pendekar Naga Putih 72 Pertarungan Dua Naga Banjir Darah Di Tambun 1