You Are My Happines 8
You Are My Happines Karya Baskoro Bagian 8
Gue duduk sejenak di depan rotisserie itu dan menikmati segelas kopi yang kali itu adalah kopi terenak yang pernah gue minum. Mungkin karena gue kedinginan. Kemudian handphone gue berdenting lagi.
Sophia : Bas! Mbak Anin mau ke Geneva pagi ini! Gue : Geneva?"
Sophia : iya dia berangkat jam 8 nanti! Sekarang dia baru mau berangkat ke airport! SUSULIN SANA CEPET!
Gue : dia nginep di hotel mana"
Sophia : Berlin Marriott Hotel di Potsdamer Platz. Lo tau"
Gue : HAH" POTSDAMER PLATZ" GUE SEMALEMAN DI POTSDAMER PLATZ! Sophia : YAUDAH CEPET SANA BALIK! SUSULIN!
Gue segera membuang gelas kertas yang udah kosong di tempat sampah dan melesat melewati Leipzigerstrasse lagi menuju Potsdamer Platz. Gila, semalem gue turun disitu, dan ternyata Anin juga ada disitu. Gue mengerahkan seluruh kekuatan gue yang masih tersisa untuk berlari sekuat tenaga melalui Leipzigerstrasse yang panjang itu. Akhirnya gue sampai di Potsdamer Platz dan celingukan, bertanya-tanya dimana Marriott Hotel itu.
Gue bertanya ke salah satu orang yang lewat di samping gue, dan untungnya orang itu adalah orang Jerman, sehingga dia tau dimana letak Marriott Hotel. Setelah mendapatkan arah yang pasti, gue berlari menuju hotel tersebut yang ternyata hanya terletak di belakang Leipziger Platz tempat restoran fastfood gue semalam. Jaraknya masih cukup jauh ternyata, sampai akhirnya gue memasuki bagian depan Berlin Marriott Hotel. Dan gue melihat sosok yang sangat gue kenal berdiri di kejauhan.
Anin. Sosok wanita tinggi berambut coklat kemerahan dengan mantel berwarna hitam itu berdiri sekitar 50 meter dari gue, dan sebelum gue berteriak memanggilnya, dia telah masuk mobil. Gue kemudian berteriak memanggilnya, tapi terlambat. Mobil itu telah berjalan meninggalkan gue. Dan begitu juga dengan mimpi gue.
PART 127 Gue berhenti berlari dan terengah-engah, kemudian menundukkan badan bertumpu pada kedua lutut yang sudah melemah. Mobil Audi berwarna hitam itu telah menjauh, dan membawa serta orang yang gue cari setelah menempuh belasan ribu kilometer jauhnya. Semenit yang lalu dia di hadapan gue, dan sekarang dia menjauh lagi untuk pergi lebih jauh. Rasanya gue ingin berteriak sekeras-kerasnya karena frustasi. Setelah napas gue bisa sedikit kembali normal dan pikiran gue sedikit lebih jernih, gue kemudian mencari orang yang bisa gue tanyai untuk rute menuju airport.
Gue : Excuse me, Sir, bagaimana cara menuju airport dari sini" Stranger : ah, Flughafen Tegel"
Gue : ya,ya Flughafen Tegel. How do I get there by public transport" Stranger : First, you should take M41 Bus to Washingtonplatz and then from there you have to take TXL Bus to Tegel.
Gue : Umm, Washingtonplatz" I m not sure where it is. *dia kemudian menunjuk ke arah utara*
Stranger : It s about severals kilometers from here. You ll reach Bundestag, and then Bundeskanzler, and after that you ll arrive at Washingtonplatz. It s in the same area with Berlin Hauptbahnhof.
Gue : aah, yeah I know Berlin Hauptbahnhof. So, from Berlin Hauptbahnhof I must take TXL Bus to get to the airport, am I correct"
Strangers : yes, the bus is about to arrive in *dia melirik jamnya* 13 minutes. *gue terkejut*
Gue : why the bus takes so long to arrive" Strangers : they operates in 20-minutes intervals.
Gue : Err, okay. Thank you very much for the information, Sir. I m very appreciate that. Strangers : You re welcome, Sir.
Gue segera berlari lagi menuju ke tempat pemberhentian bus di sekitar Postdamer Platz Bahnhof, dan menunggu bus selama yang diinformasikan oleh orang tadi. Ketika akhirnya gue duduk di atas bus, gue merasakan kantuk dan lelah yang luar biasa. Semalaman gue bahkan gak bisa merasakan duduk secara nyaman. Waktu itu rasanya gue sudah melupakan bagaimana empuk dan nyamannya kasur. Gue memejamkan mata selama 5 menit, karena bus gak lama kemudian tiba di Washingtonplatz.
Dari Washingtonplatz gue berjalan menuju Berlin Hauptbahnhof dan menunggu bus yang akan membawa gue ke Tegel Airport. Bus yang gue tunggu-tunggu datang dalam waktu sekitar 5 menit, dan gue langsung menaikinya. Gak butuh waktu lama bagi gue untuk tiba di Tegel Airport. Hal pertama yang gue lakukan ketika turun dari bus adalah melihat sekeliling, untuk menentukan arah kemana gue harus menuju. Airport berbentuk hexagonal alias segi enam itu membingungkan gue, apalagi dalam keadaan terburu-buru seperti ini.
Gue kemudian melihat layar LCD besar diatas kepala gue, mencoba mencari mana pesawat yang menuju Geneva. Ternyata gue gak bisa menemukan Geneva disana, melainkan Zurich. Pasti turun di Zurich, trus baru ke Geneva via darat, pikir gue. Sesaat kemudian barulah gue sadar hal yang sangat jauh lebih penting dari melihat jadwal pesawat. Anin pasti ada disini sekarang.
Gue langsung melesat berlari menyusuri terminal Tegel Airport yang luas itu, berusaha mencari dimana terminal keberangkatan internasional. Setelah beberapa waktu gue mencari, akhirnya menemukan terminal keberangkatan internasional, dan bisa melihat kerumunan penumpang dari balik kaca. Gue mengamati seluruh kerumunan dengan seksama, berharap wanita yang gue liat tadi ada diantara kerumunan itu dan menyadari gue ada di belakangnya.
Selama beberapa waktu gue mencari, sesekali mengira orang lain sebagai Anin, dan gak membuahkan hasil. Gue bertumpu pada satu tangan dan bersandar di dinding kaca pembatas, sambil menghela napas berat. Gue mengeluarkan handphone dari kantong, dan menyambungkan dengan WiFi di airport tersebut. Seketika belasan chat dari Sophia masuk ke handphone gue, yang intinya menanyakan hal yang sama : ketemu Anin atau enggak.
Gue : panjang ceritanya, nanti gue ceritain kalo udah waktunya. Sophia : sekarang lo dimana"
Gue : Tegel Airport, Anin ada disini. Sophia : lo udah ketemu mbak Anin"
Gue : belom, ini daritadi gue cari-cari tapi gak ada. Sophia : lo gak bisa masuk kedalem kan" Gue : nah itu dia masalahnya.
Gue terdiam beberapa waktu, dan memikirkan segala kemungkinan yang masih bisa terpikirkan oleh otak gue dalam keadaan seperti ini. Gue masih berdiri di depan dinding kaca pembatas yang tebal, dan menunduk memegangi handphone.
Sebelumnya gue bertanya dulu kepada pembaca sekalian, percayakah kalian dengan hubungan batin yang tidak kasatmata antara kita dengan seseorang yang sangat kita cintai" Gue mengalaminya waktu itu.
Ketika gue menunduk memegangi handphone sambil bercakap-cakap dengan Sophia lewat chat, mendadak seperti ada yang menarik kepala gue untuk melihat kedalam. Seperti ada panggilan dan kekuatan yang tak terlihat yang membangkitkan kewaspadaan gue. Gue mendongak, dan memandangi kerumunan orang di dalam. Dan seketika tampaklah seorang wanita tinggi berambut coklat kemerahan dan bermantel hitam, berjalan melintasi kerumunan orang dengan menarik sebuah koper. Seorang wanita yang telah sangat gue kenal segala gesturenya. Seorang wanita yang selalu ada di hati gue selama 5 tahun. Untuk sepersekian detik gue seperti terbius dengan kehadirannya di hadapan gue. Tapi sayang dunia waktu itu memang sedang menunjukkan sisi kejamnya kepada gue.
Gue berteriak memanggil nama Anin, dan memukul-mukul dinding kaca tebal itu. Tapi sosok wanita di hadapan gue tetap berjalan tanpa menoleh sedikitpun. Gue berteriak dan berteriak, hingga orang-orang memandangi gue, tapi gue gak peduli. Gue kemudian berlari ke pintu masuk tempat para petugas memeriksa tiket, sebelum masuk melewati pemeriksaan X-Ray. Waktu itu pikiran gue gelap, dan dipenuhi rasa putus asa, dan keinginan bertemu yang baru kali itu gue rasakan sampai pada level sedemikian hebat. Gue menerobos penjagaan depan.
Sayangnya, upaya gue itu hanya bertahan 2-3 meter setelah pintu masuk, sebelum 4 orang petugas menahan gue di masing-masing tangan, dan leher gue. Gue kemudian diseret ke sebuah ruangan, dan disitu diperiksa selama beberapa waktu. Maaf gue gak bisa menuliskan apa aja yang gue alami disitu, karena gue ingin menghapus memori tentang itu. Gue malas mengungkitnya lagi. Gue percaya kalian bisa mengerti.
Ketika akhirnya gue keluar dari ruang pemeriksaan itu, gue kemudian duduk di salah satu kursi yang jauh dari situ, dan menutupi wajah gue dengan kedua tangan. Gue menangis. Gue menangis karena berbagai hal. Rasa putus asa, rasa sedih, rasa marah, dan lelah semua bercampur menjadi satu. Belum pernah dalam seumur hidup gue, gue berada dalam posisi se-down itu. Waktu itu gue bener-bener jatuh, sampai ke titik terendah kehidupan yang pernah gue rasakan. Gue menangis dan menangis, merindukan orang tua gue. Merindukan kehidupan gue yang normal. Merindukan segalanya kembali baik-baik saja.
Gue mengambil handphone dari tas ransel, karena tadi sempat digeledah dan diperiksa. Gue menyalakan handphone, dan kemudian menghubungi satu-satunya yang bisa gue ceritakan tentang keadaan gue disini.
Gue : Pi. Butuh waktu sekitar 10 menit sebelum balasan dari Sophia masuk ke handphone gue. Suara denting handphone itu adalah satu-satunya hal yang masih terdengar ramah bagi telinga dan perasaan gue waktu itu. Denting handphone itu adalah satu-satunya hal penghubung yang masih tersisa antara kehidupan gue di antah berantah ini dan rumah gue nun jauh disana.
Sophia : ya" Gimana" Ketemu mbak Anin"
Gue mengetikkan balasan sambil menangis. Tangisan putus asa dan tak berdaya. Gue : gue nyerah Pi. Gue mau pulang. Lo bisa bantuin gue"
PART 128 Sophia : Kenapa" Ada apa" Apa yang bisa gue bantu" Gue : *gue menceritakan garis besar apa yang gue alami* Sophia : astaga& .
Gue : sekarang gue udah capek, Pi. Duit gue juga udah abis. Gue mau pulang. Lo bisa bantuin gue"
Sophia : bantuin apa" Anything for you.
Gue : pesenin gue tiket pulang dong. Online. Nanti kalo udah kirim ke alamat email gue. Lo masih nyimpen kan alamat email yang dulu gue kasih ke lo"
Sophia : iya masih. Lo yakin mau pulang"
Gue : iya gue mau pulang.
Sophia : meskipun mbak Anin udah didepan hidung lo" Gue : Gue sepertinya harus belajar menerima kenyataan. Sophia : lo serius mau pulang"
Gue : entahlah. Pulang kemana gue" Sophia : lo yang lebih tau dimana rumah lo.
5 jam kemudian. Gue udah berada di dalam pesawat, sambil memejamkan mata dan meringkuk ke salah satu sisi. Kebetulan gue berada di kursi pojok dekat jendela, jadi gue bisa menyandarkan tubuh ke salah satu sisi tanpa takut mengganggu penumpang yang lain. Gue memasukkan tangan ke kantong jaket gue yang sudah lusuh, dan mencari posisi senyaman mungkin untuk tidur. Masih ada waktu 1,5 jam buat gue untuk tidur.
Kenapa gue hanya punya waktu 1,5 jam untuk tidur" Semuanya karena Sophia. -----
5 jam yang lalu. Gue sedang berjalan menyusuri terminal Airport Tegel sambil menggigit sebatang coklat. Setelah mencuci muka di toilet, gue kemudian duduk di salah satu bangku, sambil harap-harap cemas menunggu jawaban dari Sophia. Akhirnya 15 menit kemudian, datanglah denting handphone yang gue tunggu-tunggu beserta denting notifikasi email. Ini pasti tiket yang gue minta tadi, pikir gue. Gue melihat layar, dan membaca chat dari Sophia.
Sophia : cek email lo. Udah gue kirim.
Gue gak membuka chat dari Sophia itu melainkan langsung membuka email yang berisi tiket online pesanan gue tadi. Ketika gue membaca itinerary yang tertera di tiket itu, mata gue membelalak, dan gue gak percaya apa yang gue baca. Gue sampe membutuhkan 4 kali membaca ulang tiket online itu, supaya gue bener-bener yakin bahwa tiket itu diperuntukkan buat gue. Langsung gue mengetikkan chat ke Sophia.
Gue : Pi, maksud lo apa" Gue mau pulang.
Sophia : enggak. Lo gak boleh nyerah. Lo harus berhasil disana. Lo bukan pecundang kan" Gue : tapi gue udah gak ada duit lagi Piii.
Sophia : udahlah, itu gue yang tanggung. Sekarang lo siap-siap. Pesawat lo berangkat lima jam lagi kan" Lo urus semua yang harus lo urus disana.
Gue : tapi Anin gak kesitu kan"
Sophia : lo cari kereta lah kesono. Pake account gue aja. Nanti gue kirim nomernya ke lo.
Begitulah. Jadi gue udah di dalam pesawat menuju ke Zurich, yang dipesan oleh Sophia. Ketika akhirnya gue udah mendarat di Zurich, hal pertama yang gue lakukan adalah membeli nomor dan memesan tiket kereta secara online. Waktu itu di Zurich udah pukul 3 sore. Setelah semua beres, gue bergegas ke stasiun kereta yang ada di Zurich Flughafen itu, dan menunggu kereta Eurocites untuk ke Geneva.
Sekitar pukul 6 gue sampe di stasiun Geneva, waktu itu gue gak begitu memperhatikan nama stasiunnya, kalo gak salah sih Gare de Cornavin, di tepi Lake Geneva. Begitu sampai, gue langsung menghubungi Sophia, meskipun gue tau di Indonesia sudah larut malam. Tapi gue gak peduli. Gue melihat handphone, dan ternyata ada satu chat Sophia yang belum gue baca.
Sophia : mbak Anin di pinggir danau Geneva. Barusan aja dia bilang ke gue.
Gue liat chat itu bertanda 40 menit yang lalu. Satu-satunya harapan gue adalah Anin tetap di pinggir danau itu, hingga sekarang. Masalahnya adalah, danau Geneva atau Lake Geneva adalah danau terbesar di Swiss yang bahkan wilayahnya mencakup Prancis, Belgia dan Jerman. Sekarang semua gue serahkan ke keberuntungan gue. Berharap masih ada sisa-sisa dari keberuntungan gue di dalam tubuh yang sudah lelah ini.
Ketika gue berjalan keluar stasiun, dan semi berlari menuju ke arah danau Geneva berada, gue berdoa dalam hati.
Ya Allah, jika memang dia jodoh hamba, pertemukanlah.
Gue berjalan dengan cepat, melewati deretan bangunan-bangunan khas Eropa, kemudian melewati sebuah jembatan kecil, hingga jauh kemudian akhirnya gue sampai di tepi danau Geneva. Selama beberapa saat gue menyusuri tepi danau Geneva. Gue benar-benar mengharapkan keajaiban. Menemukan seseorang di tepi danau seluas 3 negara ini benar-benar merupakan suatu hal yang mustahil, apabila tidak ada campur tangan Sang Pencipta dan takdir yang sudah diatur oleh-Nya.
Gue melewati banyak kerumunan orang, yang mayoritas sedang menikmati pemandangan indah dari danau Geneva. Gue sebenarnya sangat ingin berhenti sejenak untuk menikmati, barangkali hati gue bisa lebih damai setelahnya. Tapi otak gue ternyata lebih kuat. Gue memutuskan untuk tetap mencari, dengan probabilitas yang sangat kecil. Selama gue mencari itu, bibir gue gak henti-hentinya melafalkan nama Allah, berharap Dia hadir bersama gue. Betapa gue merasa sangat kecil waktu itu. Gue merasa tak berdaya, dan memohon perlindungan-Nya. Dan ternyata Allah SWT mendengarkan doa gue.
Jika dalam hidup gue harus menyebutkan apa anugerah-Nya yang terbesar buat gue, salah satunya gue akan menunjuk ini. Keajaiban itu ada.
Gue melewati beberapa kerumunan, dan sekali lagi, gue merasakan ada kekuatan tak terlihat yang memaksa gue melihat ke satu sisi danau di hadapan gue, dan melihat satu kerumunan orang. Ada tiga orang berdiri dan berfoto-foto, sementara ada satu yang duduk di bangku sambil memandangi danau yang berkilau di hadapannya. Orang yang duduk memandangi danau itu adalah Anin.
Gue mempercepat langkah gue, dengan hati berdebar, dan perasaan syukur, gembira dan haru yang bercampur menjadi satu. Campuran rasa itu membuat dada gue serasa ingin meledak saking gembiranya. Waktu itu rasanya waktu di sekeliling gue berhenti, dan mempersilakan gue mendekati satu sosok wanita berambut coklat kemerahan dan bermantel hitam tebal, yang duduk bersandar di bangku, sambil memasukkan kedua tangannya ke kantong.
Gue mendekatinya, dan berdiri sekitar 3 meter di belakangnya. Dia sedekat ini, pikir gue terharu. Satu sosok yang selama ini bisa gue raih dengan mudah karena dia selalu ada di samping gue, tapi kali ini gue harus menempuh perjalanan belasan ribu kilometer, dengan segala perjuangan dan airmata yang jatuh untuk bisa melihatnya sedekat ini. Pada waktu itulah gue baru benarbenar merasakan betapa berharganya Anin untuk gue, seperti yang nyokap gue bilang. Dan waktu itulah gue benar-benar merasakan arti dari ungkapan kita baru akan mengerti betapa berharganya seseorang ketika orang itu sudah meninggalkan kita. Anin berada di depan gue. Dengan seluruh mimpi dan jiwa gue yang gue titipkan kepadanya.
Gue melepas ransel dari punggung, dan membawanya dengan satu tangan, kemudian bergerak menuju ke bangku tempat Anin duduk. Gue duduk di ujung bangku yang satunya, sehingga ada jarak cukup lebar diantara kami berdua. Gue kemudian menaruh ransel di antara kaki, dan mencondongkan badan ke depan, memandangi danau di depan. Sesaat kemudian gue menoleh ke samping kanan. Anin menatap gue dengan tatapan tak percaya. Gue tersenyum.
Gue : hai. PART 129 Gue : hai. Anin memandangi gue dengan tatapan tak percaya, kemudian menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Gue tersenyum memandangi Anin. Sosok yang telah gue rindukan selama ini. Berbulanbulan gue gak melihatnya. Belasan ribu kilometer gue mengejarnya. Tiga negara gue singgahi untuk bertemu dengannya. Sekarang dia di sebelah gue, dengan segala hal yang gue sayangi. Anin : kamu& ngapain disini"
*gue menghembuskan napas lewat mulut, berusaha mengatur perasaan gue sendiri* Gue : mengejar sesuatu yang paling penting di hidupku, mungkin. Anin : masihkah"
*gue tersenyum dan memiringkan kepala tanda persetujuan* Gue : well, you see me now.
Anin mengalihkan pandangan ke danau yang berkilau di hadapannya. Dia menghela napas, dan kemudian menggosok hidungnya pelan dengan satu sisi telapak tangannya. Gue memandangi Anin. Dia masih seperti yang dulu, dengan rambut coklat kemerahan kesayangan gue. Bahkan gelang etniknya mengintip dari balik mantelnya. Gue menyadari bahwa bibirnya sedikit bergetar.
Gue : melihat kamu ada di sampingku lagi adalah hal yang paling indah yang pernah terjadi di hidupku sampe sekarang& & *gue terdiam sejenak* & ..walaupun dalam keadaan seperti ini.
Anin : keadaan seperti apa"
*gue menghela napas berat, dan memandangi danau* Gue : ya kenyataan kalo kamu bukan milikku lagi.
Anin terdiam, membisu memandangi kapal-kapal kecil yang melintas di ujung seberang danau. Dia menggigit bibir, sambil menghapus air mata lembut yang mulai mengalir di pipinya. Gue masih menghapal kebiasaannya itu. Apabila dia menggigit bibir, hanya ada 2 kemungkinan, dia mau manja, atau dia menahan rasa sedih. Kali ini pasti yang terakhir. Kedua tangannya kembali dimasukkan ke dalam kantong mantel.
Anin : kenapa kamu kejar aku"
Gue : aku justru bakal lebih menyesal kalo aku gak ngejar kamu. Anin : kenapa"
*gue terdiam sejenak, dan tersenyum memandangi Anin* Gue : apa perlu alasan buat seseorang untuk mengejar cinta sejatinya"
Gue menunduk, dan memainkan jemari yang gue silangkan satu sama lain. Begitu banyak yang ingin gue ungkapkan ke Anin, tapi lidah gue terasa kelu. Segala angan dan pikiran itu hanya bermain-main di dalam kepala gue, tapi gak bisa gue ucapkan dalam kata-kata.
Gue : & .God only knows what I d be without you.
Anin menangis perlahan, dan dia menghapus airmata yang jatuh di pipinya. Ingin rasanya gue menghapus airmatanya, seperti yang telah gue lakukan selama 5 tahun ini. Tapi kali ini gue gak bisa melakukan itu, dan itu sangat menyiksa gue.
Gue : aku minta maaf atas semua yang udah aku lakuin, yang itu bikin kamu kecewa. Kalo di hidupku aku punya setitik kebaikan, aku rela menukar itu dengan maaf dari kamu. *gue menoleh ke Anin*
Gue : aku kepingin liat senyummu lagi.
Anin menarik napas panjang, hidungnya berair ternyata. Entah itu karena dia kedinginan, atau karena menangis. Dia kemudian memandangi arah lain sambil mengedip-kedipkan mata, berusaha menyetop airmatanya yang masih mengalir.
Anin : gimana kamu bisa sampe sini"
Gue tersenyum lembut, dan menegakkan punggung gue, kemudian membalikkan badan menghadap Anin.
Gue : aku ngikutin kamu dari Brussels, sampe sini. *Anin terkejut*
Anin : dari Brussels" Sejak dari Brussels"
*gue mengangguk* Gue : iya, dari Brussels, trus naik kereta ke Berlin. Kamu tau& . *gue tersenyum*& .aku liat kamu di Postdamer Platz tadi pagi. Aku berusaha ngejar kamu, manggil kamu, tapi terlambat& . *gue mengangkat bahu* & ..dan ternyata sekarang kita dipertemukan disini. Di tepi danau Geneva.
Anin : kamu ngikutin aku dari Brussels sampe sini" Gue : iya& .
Anin : untuk apa" Gue menarik ransel yang sedari tadi gue letakkan di antara kaki. Gue buka ransel itu, dan merogoh salah satu kantong terdalam yang ada. Sambil merogoh itu gue berkata ke Anin.
Gue : untuk ketemu kamu, meminta maaf ke kamu, dan yang paling penting& . *gue terdiam sejenak*
Gue : & .untuk ngasih ini ke kamu.
Gue mengeluarkan sebuah barang yang gue bawa dari Indonesia, berkelana di Eropa hingga akhirnya tiba di tepi danau Geneva. Sebuah barang kecil yang menjadi motivasi gue menempuh perjalanan panjang ini. Sebuah kotak kecil berlapiskan kain beludru berwarna biru tua.
Gue : Anindya & . *gue membuka kotak kecil itu, dan menghadapkannya ke Anin*
Gue : aku dateng dari Indonesia, menempuh perjalanan ribuan kilometer, dari Brussels, kedinginan di jalanan Berlin waktu malem, menunggu pagi di pinggir sungai Spree, lari-larian melintasi Postdamer Platz, diinterogasi petugas airport di Berlin, sampe akhirnya aku sampe di pinggir danau ini& .
*gue berhenti sejenak* Gue : & .untuk memakaikan ini di jari manismu.
Anin memandangi gue, dan barang yang gue bawa di hadapannya. Kemudian bibirnya bergetar lebih keras, dan akhirnya runtuhlah pertahanannya. Dia menangis cukup keras sambil menutupi mulutnya. Dia kemudian memegang pergelangan tangan gue, yang memegang kotak cincin itu. Gue tersenyum.
Gue : you re the best thing that ever happen to me. Maukah kamu jadi istriku"
PART 130 Gue : you re the best thing that ever happen to me. Maukah kamu jadi istriku"
Anin yang masih memegang sebelah tangan gue yang memegang kotak cincin itu, menangis keras, hingga gue panik. Gue takut kalo banyak orang yang mendengar, dan salah paham. Gue melihat ketiga orang yang foto-foto agak jauh di seberang kami menoleh ke arah kami berdua, dan memandangi dengan aneh. Gue memegang telapak tangan Anin yang tidak bersarung tangan itu, dan menyentuh kembali tangan yang sudah terpisah dari gue selama beberapa bulan. Satu sentuhan tangan yang selalu gue rindukan. Satu sentuhan tangan yang membuat gue merasa hangat hingga ke hati.
Gue berdiri, kemudian melangkah ke depan Anin yang masih duduk di bangku, kemudian berlutut di hadapannya. Berlutut dengan kedua lutut yang gue miliki, dan dengan segenap rasa cinta yang gue miliki. Gue mengulang lagi pertanyaan gue, kali ini dengan perlahan, dan sangat lembut.
Gue : Maukah kamu jadi istriku, and always be the one I love, forever and a day"
Anin masih menangis. Kemudian secara tak terduga, dia membungkuk, meraih gue dari hadapannya, dan menarik gue untuk berdiri. Sambil menangis, dia kemudian menutup kotak cincin dari beludru yang ada di tangan gue, dan memegang tangan gue erat sambil menangis. Gue menunggu apa yang akan dikatakan olehnya, sebagai jawaban. Waktu itu rasanya waktu berhenti, dan segalanya menjadi sunyi. Ketika itu rasanya hanya ada gue dan Anin yang menjadi satu-satunya objek bergerak di dunia. Seakan dunia menunggu kelanjutan kisah kami berdua.
Kemudian gue mendengar Anin bersuara. Sebuah suara indah, yang akan selalu ada di hati gue, kemanapun gue pergi. Sebuah suara yang selalu mengingatkan gue untuk pulang kerumah.
Anin : selama aku masih hidup, akan selalu ada kata ya buat kamu. Hati ini gak pernah berubah, masih dan akan selalu tetap jadi milikmu. Hari ini kamu sudah membuktikan segalanya. Dan aku tau suara hatiku gak pernah salah. Kamu masih dan selalu jadi yang terbaik dan& .
*Anin terdiam sejenak* Anin : & ..hari ini aku menemukan lagi rumahku. Sejauh apapun aku pergi, aku gak akan takut, karena aku tau rumahku akan selalu menunggu aku& .
*Anin mengusap air matanya yang keluar dengan deras* Anin : & ..aku tau bahwa kamu selalu menunggu aku& . Dan& . *Anin menangis lagi*
Anin : & ..dan aku tau kamu akan selalu menemukan aku sejauh apapun aku tersesat& .
Anin mengusap air matanya, dan menutup mulutnya dengan sebelah tangan, sebelum membukanya kembali. Kali ini tangisannya tak bisa ditahan, dan selama beberapa waktu suaranya hilang, digantikan oleh sedu-sedan tangisnya. Hingga akhirnya dia bisa berbicara lagi.
Anin : jawabanku, iya, aku mau. Dan aku yakin.
Seketika itu lenyaplah segala beban yang gue pikul selama ini. Segala rasa lelah, marah dan putus asa yang gue rasakan ketika menempuh perjalanan hingga ke titik ini, seakan lenyap tak berbekas. Yang bisa gue lakukan hanyalah menggerakkan bibir gue secara lembut, dan mengucap syukur, meskipun gue tau gak ada yang bisa menggambarkan betapa gue ingin bersyukur waktu itu.
Anin kemudian berdiri, dan kedua tangan kami saling berpegangan. Gue tersenyum dan sedikit menitikkan air mata, dan memandangi wanita yang menjadi tujuan hidup gue. Dia masih Anin yang dulu, yang selalu bawel dan manja, dan bisa menjadi dewasa dalam waktu yang sama. Dia masih wanita berambut coklat kemerahan yang rendah hati dan ramah. Dan dia masih Anin yang gue cintai, dan akan selalu gue cintai.
Gue : mimpiku adalah bisa menjadi tua bersama kamu. *Anin tersenyum kemudian berkembang menjadi tawa lembut* Anin : sepertinya aku harus belajar lagi bikin kopi yang enak setiap pagi. Gue : ya, sepertinya kamu harus&
Anin : ini bukan mimpi kan" Gue : ini berawal dari mimpi&
Kemudian Anin memeluk gue erat, dan tentunya gue balas itu dengan penuh cinta. Gue mengelus rambutnya, rambut coklat kemerahan kesayangan gue, yang selalu gue rindukan. Gue merasakan Anin menangis di bahu gue, dan itu membuat gue merasa telah kembali pulang. Gue udah pulang. Gue udah sampai dirumah.
Beberapa saat kemudian, kami berdua berjalan menyusuri jalan setapak di tepi danau Geneva. Suatu pemandangan yang kontras bagi orang-orang yang melihat. Sang wanita bergaya anggun dengan mantel hitam, scarf melingkar di lehernya dan menggunakan high heels, sementara sang laki-laki berpakaian lusuh, berjaket kotor dan menggendong ransel yang gak kalah lusuhnya pula.
Sampai kemudian kami berhenti di satu titik dimana kami bisa memandangi danau Geneva dalam keadaan terindahnya, dan kami berdiri berpegangan tangan. Kami melihat semburat matahari sore di hadapan kami, dan tersenyum. Gue berkata tanpa menoleh ke Anin.
Gue : aku gak tau harus gimana lagi harus bersyukur. Allah udah menuliskan tinta-Nya di lembaran hidupku. Dan Dia menciptakan karakter seperti kamu di hidupku. *gue tertawa lembut dan menoleh ke Anin*
Anin : kamu tau, waktu kita jauh, kadang-kadang aku suka nangis waktu malam. Gue : kenapa"
Anin : entahlah& gak kangen rumah, gak kangen kamu, gak kangen apapun. Tapi nangis aja, seperti ada satu bagian yang hilang dari hidup, dan alam bawah sadarku merespon lewat nangis.
*Anin menoleh ke gue* Anin : & and then I know, you re the last missing piece of my life. Bukan seperti rasa rindu, tapi seperti rasa hampa di dalam sini.
Gue : and now, I ll be your side until death do us part. We ve found each other, once again.
Anin : promise me that you ll never leave me anymore.
Gue tersenyum dan memandangi riak air danau agak jauh di hadapan kami. Danau itu berkilau karena sinar cahaya matahari sore yang sangat indah.
Gue : yeah. With all of my heart, honey. With all of my heart.
Anin kemudian melepaskan gandengannya, dan memeluk lengan gue, seperti yang selalu dia lakukan selama ini. Gue tersenyum dan kembali mengarahkan pandangan gue ke matahari sore di hadapan kami. Perjalanan gue yang sebelumnya gelap dan dingin bagaikan malam di Berlin, sekarang telah mencapai titik akhir, dimana gue mencapai titik terang, bagaikan sinar matahari sore di Geneva ini. Gue kemudian bergumam perlahan.
Gue : you are my happiness, and will always be.
PART 131 Gue membuka mata, dan hal pertama yang gue liat adalah langit-langit berwarna kuning, yang diterangi cahaya lampu dari bawah. Gue mengerjap-kerjapkan mata, berusaha mengingat dimana gue berada, dan jam berapa sekarang. Gue mengangkat sebelah tangan, memandangi tangan gue sendiri, kemudian menyadari gue menggunakan sweater tebal berwarna biru tua. Dimana gue"
Gue berusaha bangkit dari tempat tidur, tapi usaha gue itu menemui kesulitan. Kepala gue begitu sakit ketika gue gerakkan untuk bangkit. Seluruh tubuh gue mulai merasakan lelah dan pegalpegal yang luar biasa. Ketika akhirnya gue bisa duduk di tempat tidur, gue memandangi sekeliling, dan sebuah selimut tebal tetap menutupi setengah tubuh. Gue memicingkan mata, dan menemukan tas ransel kanvas gue yang kotor berada di sebuah sofa di seberang tempat tidur gue.
Gue kemudian menyibakkan selimut, dan turun dari tempat tidur. Gue baru menyadari kalo gue memakai celana panjang entah milik siapa, yang jelas bukan milik gue. Dengan kaku dan tertatih-tatih, gue berjalan menuju jendela, dan membuka tirai tebal yang menutupi sebagian jendela itu. Langit cukup gelap, tapi masih ada sinar matahari. Ini sore atau fajar, pikir gue bingung. Gue kemudian beranjak ke sofa, dan duduk di samping tas ransel gue, sambil memegang dahi, berusaha mengingat-ingat dimana gue, dan apa yang terjadi.
Gue kemudian mencari barang-barang pribadi gue, seperti dompet, handphone, paspor dan jam tangan, yang ternyata gue temukan itu semua ada di dalam tas ransel. Gue melihat jam, dan menunjukkan pukul 5.30. Kemudian gue melihat tanggal di jam gue. Tanggal 27. Ini sore atau fajar, pikir gue lagi. Gue kemudian menyalakan handphone yang kemudian gue tau ternyata itu mati karena lowbatt. Gue mencari charger, dan celingukan mencari colokan di sekitar situ.
Gue berjalan ke ruang sebelah, yang merupakan ruang tamu dan ruang makan. Langkah kaki gue nyaris tak terdengar, karena lantainya berlapis kayu tebal. Gue memandangi sekeliling, dan mata gue menemukan sesosok wanita yang sedang berdiri di salah satu sudut balkon. Gue menghampiri wanita itu, dan dia menoleh ke arah gue, kemudian tersenyum. Anin.
Dia menggunakan sweater tebal berwarna hitam, dengan bagian lengan yang sedikit ditarik ke atas. Rambutnya yang coklat kemerahan itu mengembang dengan indah di punggung dan bahunya. Dia tampaknya memahami kebingungan gue. Dia tersenyum sambil sedikit memiringkan kepala.
Anin : kita di Hotel Eastwest, Geneva, sayang. *gue menggaruk rambut*
Gue : ini pagi apa sore"
Anin : ini pagi, sebentar lagi matahari terbit. Gue : berapa lama aku tidur"
*Anin tertawa kecil* Anin : kamu tidur hampir 12 jam.
Gue tersenyum, kemudian menggelengkan kepala, menertawakan diri sendiri. Gue berdiri di sebelah Anin, memandangi danau Geneva jauh di depan kami. Kerlip lampu kota Geneva dari kejauhan terasa sempurna ketika dipadu dengan cahaya keperakan dari langit fajar.
Gue : bagus ya& *Anin tersenyum sambil memandangi danau jauh di seberang* Anin : lebih dari sekedar bagus&
*gue tertawa lembut* Gue : iya& *gue menoleh ke Anin* Gue : setelah ini, kita mau kemana"
Anin : aku hari ini ada acara sebentar di kantor sini, siang udah free kok. Nanti kita jalan sekalian cari makan siang ya"
*gue tertawa dan merangkul Anin* Gue : no, I mean after all this.
Anin yang berada dalam rangkulan gue, menoleh dan sedikit tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya dengan menggemaskan. Kali itu tandanya dia sedang berpikir sesuatu yang jahil. Wangi parfumnya menyeruak ketika tertiup angin.
Anin : pulang dan nikah, what else"
*gue tergelak kemudian menyentuh hidungnya lembut dengan satu jari* Gue : that s my girl.
Anin : siap LDR Jakarta Mumbai lagi" Hehehe.
Gue : ya mau gak mau sih gitu, ada pilihan lain lagi apa gimana" *Anin meringis dan menggeleng*
Anin : ya enggak sih hehehe.
Gue tertawa, dan kemudian memandangi danau lagi. Gue menikmati setiap detik dari suasana ini. Kemudian gue berbicara tanpa menoleh ke Anin.
Gue : siapa yang nyangka ya kita bakal berdiri disini berdua, dan ngeliat pemandangan kayak gini.
Anin : kalo gak karena kamu ngejar sampe sini, ya gak akan kayak gini, sayang. *gue tersenyum*
Gue : aslinya aku hampir nyerah sewaktu di Berlin kemaren. *Anin mengerling ke gue*
Anin : terus" Gue : ada seorang malaikat namanya Sophia yang nolong aku, dan ngebantu sampe sini. *Anin menunjukkan senyum pemahaman*
Anin : ooh ternyata tau aku disini dari Sophia, pantesan dia sering banget nanya-nanya aku dimana hahaha
*gue tertawa dan menoleh ke Anin*
Gue : emangnya kemaren kamu ngira Sophia kenapa" Anin : ya kirain mau minta oleh-oleh gitu hahaha Gue : dasar&
Kemudian dengan Anin berada dalam rangkulan gue, kami berdua memandangi matahari terbit yang sangat indah di ujung cakrawala, dengan kilauan danau Geneva sebagai penghias. Hari itu, bersamaan dengan matahari terbit di ujung timur, kami memulai satu masa baru. Satu masa, yang kami harap penuh dengan keindahan di dalamnya. Satu masa dimana kami bisa merajut mimpi bersama hingga akhir.
PART 132 Gue menarik koper kulit berwarna hitam, sambil menghirup kopi panas dalam gelas di genggaman gue dan berjalan menyusuri koridor yang luas itu. Di samping gue ada Anin yang hari itu memakai mantel bulu, dan memegang tiket beserta paspor kami berdua, serta tas tangan miliknya. Setelah menemukan gate tempat dimana kami akan berangkat, kamipun mencari tempat duduk. Sambil menunggu, gue menoleh ke Anin.
Gue : berapa lama ntar kita di Mumbai" Anin menjawab sambil mencari-cari sesuatu di tasnya.
Anin : paling dua malem doang sih, mas. Aku cuma mau meeting kok, sekalian ijin& *Anin menoleh ke gue sambil tertawa*
Anin : & .abis itu kita pulang ke Indonesia. *Gue tersenyum dan menyeruput kopi* Gue : banyak yang nunggu kita di Indonesia& *gue menoleh ke Anin*
Gue : & ..dan banyak yang harus kita lakuin disana hahaha. Anin : iya, banyak. Semoga nanti semua rencana kita lancar ya& *gue tersenyum sambil memandang kedepan*
Gue : iya, sayang. Semoga&
13 jam kemudian, kami sudah ada di taksi yang menyusuri jalanan Mumbai yang gelap karena hari sudah malam mendekati dini hari. Gue melihat Anin di samping gue, wajahnya lelah. Wajarlah karena menempuh perjalanan panjang. Akhirnya kami sampai di sebuah bangunan apartemen di suatu daerah di Mumbai. Kami naik ke lantai 7, dan masuk ke dalam. Gue memandangi sekeliling, ternyata hampir mirip dengan unit apartemen gue di Jakarta, cuma yang di Mumbai ini ukurannya lebih kecil.
Anin kemudian beberes meja dan menyiapkan sedikit makanan buat kami berdua disitu. Gue memperhatikan wajahnya, dan merasa iba karena dia sebenarnya lelah.
Gue : dek, istirahat aja. Kamu masih mau makan" Kalo udah gak laper mending gak usah nyiapin makanan. Aku udah kenyang kok.
Anin : lah nanti kalo mas laper gimana" *gue tertawa*
Gue : ya tinggal obrak abrik kulkas, makanin es batu. *Anin tertawa gemas dan memonyongkan bibirnya*
Gue : udah, mandi sana, trus tidur. Nanti kerja kan kamu. Eh dek, ada laptop gak disini" Anin : ada kok, ntar aku ambilin dari kamar. Mau ngapain emang mas" Gue : mulai ngurus kerjaan lagi dong, udah seminggu aku tinggalin kantor. Anin : hahaha aku lupa kalo kamu punya kerjaan mas.
Gue : aslinya aku juga lupa sih&
Anin kemudian mandi, dan setelah mandi itu dia mengantarkan laptop yang mau gue pakai tadi ke meja depan TV. Sebelum gue mengurus kerjaan yang sudah lama terbengkalai, pertama-tama gue mengurus badan sendiri dulu. Gue membersihkan badan dulu. Keluar kamar mandi, gue liat Anin duduk di sofa sambil memakai kaos dan celana pendek, sementara rambutnya dibebat oleh gulungan handuk. Dia sambil meminum sesuatu dari cangkir.
Gue duduk di samping Anin, dan mengalungkan handuk di leher sambil membuka email. Banyak kerjaan gue yang tertunda. Sepertinya sekembalinya gue ke Indonesia, bakal nginep kantor nih, pikir gue. Anin yang duduk bersila di sebelah gue ikutan melihat isi email beserta pekerjaan gue, dan dia menggumam perlahan sambil memegang cangkir di pangkuannya. Anin : banyak amat mas appointmentnya" Itu selama kamu di Eropa kemaren" *gue mengangguk sambil tertawa kecil dan tetap melihat layar laptop*
Gue : iya, sehari-hari ya segini juga dek. Cuma kebetulan ini lagi sibuk-sibuknya juga sih. Anin : lagi sibuk-sibuknya kok malah bolos kantor"
*gue tertawa gemas dan menggelengkan kepala* Gue : mending lembur seminggu daripada gak dapet istri.
Anin tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawaban asal gue itu, dan menyandarkan kepalanya ke punggung gue sambil tetap tertawa. Dia kemudian menyandarkan kepalanya di bahu gue sambil terus ikut memandangi pekerjaan gue. Sesekali dia bertanya-tanya tentang apa yang gue kerjakan. Gue menjelaskan kepadanya dengan telaten, dan Anin merupakan murid yang baik. Gue juga sesekali bertanya tentang detail pekerjaan dia disini, teman-teman sekantornya dan pengalamannya berdinas ke negara-negara yang sebelumnya belum pernah dia kunjungi. Lama kelamaan gue mendengar suaranya melemah, dan hilang. Gue menoleh ke samping, ternyata Anin tertidur bersandar di bahu gue.
Perlahan-lahan gue tutup laptop, kemudian gue gerakkan kepalanya, bersandar ke sofa yang empuk. Gue memandangi bidadari gue ini sambil tersenyum. Gue lepaskan balutan handuk di kepalanya, dan tampaklah rambut coklat kemerahan khas miliknya. Kemudian secara perlahan, gue bopong tubuhnya, masuk ke dalam kamar, dan gue selimuti dia. Sebelum keluar, gue mengecup keningnya lembut dan memandangi wajah cantiknya yang damai. Wajah yang selalu gue cintai hingga akhir gue menutup mata.
PART 133 Dua hari setelah gue dan Anin kembali ke tanah air.
Gue duduk di sofa ruang tamu yang besar dan diterangi lampu gantung kristal berwarna kuning. Sesekali gue menggerakkan kaki, untuk melemaskan otot paha dan kaki yang cukup kaku. Di hadapan gue ada beberapa cangkir berisi teh, dan stoples-stoples yang berisi makanan ringan. Hari itu, malam itu, di rumah tante Ratna, gue menjelaskan segalanya yang terjadi kepada kedua orang tua Anin, beserta tante Ratna sebagai tuan rumah.
Pertama-tama, gue meminta maaf atas perbuatan yang gue lakukan. Gue menjelaskan kronologis cerita antara gue dan Tami dari awal, tapi tanpa menjabarkan lebih lanjut apa yang menjadi masalah pribadi Tami. Awalnya Sophia menyarankan supaya masalah pribadi Tami itu diceritakan, agar memperkuat posisi gue di mata kedua orang tua Anin. Tapi setelah gue dan Anin berdiskusi berdua, dan itu cukup lama, kami memutuskan menghilangkan bagian itu. Bukan hak gue untuk menceritakan masalah orang lain, supaya gue bisa selamat. Gue harus bertanggung jawab.
Waktu itu, sebelumnya Anin berpesan kepada gue dengan gamblang.
Anin : kamu harus punya argumen yang kuat mas, karena gak semua orang bisa mengerti jalan pikiranmu waktu itu. Akupun juga gak ngerti waktu itu. Be bold, because they never be you.
Waktu gue mendengar pesan Anin itu, gue tersenyum tipis dan mengangguk. Kata-kata Anin merasuk ke dalam pikiran gue, be bold, because they never be you. Dari situlah gue mendapatkan tambahan keberanian, sekaligus rasa sesal yang semakin besar. Bagaimana tidak, seorang wanita yang tadinya gue kecewakan karena pilihan gue, sekarang berbalik menjadi orang yang paling depan mendukung dan menjaga gue. Dia memang, dan akan selalu menjadi malaikat pelindung gue.
Sewaktu gue menjelaskan segala duduk perkara kepada kedua orang tua Anin dan Tante Ratna, Anin duduk disamping gue, dan diam-diam dia selalu memegang jemari gue. Seakan dia tahu bahwa gue membutuhkan supportnya, bahwa gue membutuhkan kehadirannya, dan dia menjawab dengan sentuhan jemarinya itu. Sentuhan yang bergaung dengan sunyi: don t you worry, I ll always be by your side, you know that.
Tante Ayu : sekarang beri tante satu alasan yang masuk akal, kenapa tante harus mempercayai Mas Baskoro lagi"
Gue sebenarnya sudah sangat mengantisipasi pertanyaan semacam ini. Satu pertanyaan ringkas, tapi sangat berat untuk dijawab. Jawaban dari pertanyaan ini, adalah jawaban dari seluruh permasalahan ini. Di saat seperti itu, hal pertama yang gue lakukan adalah mengerling ke Anin, melihat raut wajahnya. Dari raut wajahnya, gue serta merta tahu apa yang harus dikatakan, dan gue mendapatkan keberanian itu.
Raut wajah Anin tenang, dan tanpa diduga, dia juga mengerling ke gue. Kami berdua berpandang-pandangan sesaat, sebelum gue bisa menerjemahkan segala bahasa diamnya, yang dia sampaikan melalui tatapan matanya. Gue menarik napas, dan mengumpulkan segenap keberanian.
Gue : saya tidak melalui apa yang sudah saya lalui selama ini, untuk mengulang sebuah kesalahan. Sebaliknya, saya juga tidak menafikan kesalahan saya, karena dari kesalahan itulah saya bisa belajar menjadi orang yang lebih baik& *gue tersenyum* & .kita tahu mana yang baik, karena ada yang buruk, bukan"
Tante Ayu : ya, tante paham itu. Bahkan sangat paham. Tapi apa jaminan bagi Om dan Tante dari Mas Baskoro, bahwa kejadian seperti kemarin tidak terulang lagi, atau kejadian semacam itu di kemudian hari" Apa jaminan buat Anin sendiri"
Gue mengerling lagi ke Anin, kemudian gue menyadari bahwa Anin mengangguk kecil. Sangat kecil, nyaris tidak kentara, tapi disertai dengan satu kedipan lembut matanya. Satu kedipan itu sudah lebih dari cukup buat gue memahami segalanya. Gue berkata dengan perlahan dan sangat jelas.
Gue : saya sudah melamar Anin sewaktu di Geneva, Om, Tante.
Bersamaan dengan itu, Anin mengangkat salah satu tangannya, dan menunjukkan jari manisnya yang telah dihiasi oleh cincin platinum. Cincin yang menjadi motivasi gue untuk membuat salah satu cerita terbesar di hidup gue. Cincin yang mengingatkan gue tentang mimpi dan tujuan hidup gue.
Kedua orang tua Anin tampak terkejut menyadari bahwa di tangan Anin telah tersemat cincin dari gue. Sejenak gue melihat ke arah Sophia yang duduk di ujung, dan dia memberikan anggukan kecil pula. Hati gue jadi semakin tegar dan mantap karena dukungan Sophia. Tante Ayu : Anin, kamu yakin"
Gue melihat Anin. Wajahnya tenang, dan damai. Tampak senyum kecil mengembang di bibirnya.
Anin : Aku enggak pernah seyakin ini dalam hidupku, Mama. Mama sendiri yang bilang ke aku dari dulu, untuk selalu mengikuti kata hatiku, selama aku yakin. Dan sekarang, aku tau apa yang sudah mas Bas lalui, dan apa yang mas Bas rasakan. Anin tau, Mama, kalo mas Bas masih mas Bas yang dulu yang selalu Anin ceritakan ke Mama.
Kedua orang tua Anin tampak berpikir dan mulai menyadari arti dari omongan Anin. Memang luar biasa sosok wanita disamping gue ini. Kata-kata yang dia ucapkan selalu lembut, terukur dan bisa membuat orang lain berpikir dari sisi dirinya, dalam sekejap saja. Satu anugerah yang dimiliki Anin, ketulusan yang begitu dalam hingga membuat orang bisa merasakan secara langsung lewat perkataannya yang santun dan lembut. Satu hal, yang di kemudian hari gue menyadari dalam lamunan gue, itulah yang dahulu disebut oleh Vina, Anin bagaikan malaikat. .
Om Harry, papanya Anin, angkat bicara.
Om Harry : apa yang membuat kamu, Mas Baskoro, yakin untuk melamar Anin"
Gue berpikir sesaat, sebelum gue menyadari remasan jemari Anin di jemari gue semakin erat. Sekali lagi dia meyakinkan gue, bahwa dia selalu bersama gue, apapun yang terjadi. Gue tersenyum lembut, dan berkata perlahan ke Om Harry.
Gue : setelah segala apa yang telah saya lalui, dan banyak hal yang mungkin tidak bisa saya jelaskan lewat kata-kata, saya yakin bahwa Anin, semoga, memang ditakdirkan bagi saya. Dan saya percaya Tuhan juga menghendaki demikian&
Om Harry : gimana kamu bisa yakin Tuhan menghendaki demikian" *gue tersenyum*
Gue : & ..Tuhan sudah terlalu berbaik hati pada saya, Om. Saya kira sudah sepantasnya kalau saya tidak mengecewakan-Nya.
Di halaman belakang, gue, Anin dan Sophia berdiri di teras sambil memandangi kolam renang yang beriak kecil. Sophia tertawa perlahan, dan meninju lengan gue lembut. Kami bertiga berdiri sambil memegangi gelas yang berisi minuman rasa jeruk di tangan masing-masing.
Sophia : gue bangga punya kakak kaya elo. *gue tersenyum dan memiringkan kepala* Gue : seharusnya gue yang bilang gitu. Tanpa lo, gue gak akan sampai disini. Anin : terimakasih ya Pi, buat semua yang udah kamu lakuin buat kami berdua.
Sophia memandangi minuman di tangannya sejenak, kemudian tertawa perlahan, dan memalingkan pandangan ke kolam renang. Dia kemudian berkata dengan lirih sambil tersenyum.
Sophia : iyalah, apapun bakal gue lakuin buat pasangan kesayangan gue.
Kami bertiga tertawa, dan Anin memeluk Sophia dengan sebelah tangan. Pelukan erat, yang juga mewakili rasa terimakasih gue kepadanya. Tanpa Sophia, cerita ini gak mungkin ada.
PART 134 Gue memandangi sepatu berbahan kanvas yang gue kenakan, dan memandangi danau buatan yang terhampar di hadapan gue. Sore itu cuaca cukup berawan, dengan angin yang cukup kencang menerpa. Gue duduk di sebuah bangku dari semen, dan sesekali memandang ke beberapa orang yang lewat di samping gue, dan melintas di balik punggung gue. Agak di kejauhan, gue melihat dua orang wanita, berjalan berdampingan melintasi jalan setapak di tepi danau. Mereka berbicara, sesekali tertawa, dan tersenyum. Ketika salah satu dari mereka melihat ke arah gue, dan diikuti oleh wanita yang satu lagi, gue balas tersenyum dan sedikit melambaikan tangan.
Kedua wanita itu tertawa kecil, dan berlalu dari hadapan gue, hingga sampai ke sebuah dermaga kecil di salah satu ujung danau. Dari kejauhan gue melihat mereka berdua bersandar di pagar dermaga yang terbuat dari kayu, dan rambut mereka berkibar karena angin yang bertiup kencang. Dari raut wajah mereka, gue bisa mengetahui kira-kira apa yang mereka bicarakan. Gue kemudian mengalihkan pandangan ke langit yang tertutupi oleh awan tipis.
Satu simpul dalam hidup gue dan Anin sudah terselesaikan, yaitu keluarga Anin. Sekarang satu simpul lain, yang menurut gue gak kalah sulitnya, Tami. Sore ini, untuk pertama kalinya setelah waktu yang lama, Anin dan Tami bertemu. Gue sengaja menarik diri dari pembicaraan mereka berdua, dan membiarkan kedua wanita ini memiliki quality time nya sendiri. Gue yakin, mereka telah sama-sama dewasa, dan bisa saling mengerti satu sama lain, ditambah lagi dengan sifatsifat yang mereka miliki.
Gue memandangi anak perempuan gendut berambut pendek, yang dengan bahagia memegang setangkai gula-gula kapas berwarna merah jambu, sambil memegang tangan ibunya erat. Wajah anak itu begitu damai, begitu murni dan bahagia. Dunia masih akan menjadi tempat yang ramah baginya, setidaknya untuk beberapa masa ke depan. Diam-diam, gue merindukan masa-masa kecil gue, dimana tangan gue berada di genggaman tangan bokap atau nyokap, dan gue tertawa bahagia ketika setangkai gulali berada di tangan gue yang lain. Gue tersenyum kecil dan diamdiam bersyukur atas senyum yang mengembang di bibir anak perempuan itu.
Gue menghela napas panjang, dan mencoba membayangkan jalan yang akan gue lalui kedepan. Gue mengingat-ingat lagi apa yang telah terjadi di hidup gue beberapa bulan terakhir ini, dan hal itu membuat gue tersenyum sambil menggelengkan kepala pelan. Gue masih takjub, betapa Tuhan menorehkan suatu kisah di hidup gue, suatu pengalaman yang akan terus berharga bagi hidup dan jiwa gue selamanya.
Tanpa gue sadari, ternyata Anin dan Tami melangkah mendekat ke arah gue. Sambil tersenyum bersyukur, gue memandangi mereka berjalan berdampingan, dengan tawa lembut menghiasi kebersamaan mereka. Dua wanita yang bersifat bagai kutub, ternyata ada satu masa dimana mereka bisa bersatu. Mereka kemudian duduk di sebelah gue, dengan posisi Anin ada di tengah. Kemudian gue mendengar Tami berbicara lembut.
Tami : gue turut berbahagia atas kalian.
Gue tersenyum sambil memainkan kaki gue. Entah apa yang harus gue katakan saat ini. Gue yakin Anin juga sedang memilah-milah kata di pikirannya, untuk merangkai sebuah kalimat yang ingin diucapkannya.
Tami : kalian berdua memang tercipta satu sama lain& .
Tami tertawa kecil dan menyibakkan rambutnya ke belakang. Gue memperhatikan, ternyata rambutnya dia sudah tumbuh cukup panjang, gak sependek dulu sewaktu masih kuliah.
Tami : & .dan gue bersyukur mengenal kalian di hidup gue. Kalian udah ngasih gue banyak pelajaran *Tami menoleh ke arah kami berdua* & .dan untuk itu gue mengucapkan banyak terima kasih.
Tami kemudian memandangi Anin sambil tersenyum dan memegang sebelah tangannya.
Tami : aku gak bisa membayangkan orang lain lagi yang bisa jagain Baskoro selain kamu, Nin. Kamu memang yang terbaik, dari semua cewek yang gue tau kenal Baskoro. *Anin tertawa lembut, kemudian menoleh ke gue sambil tersenyum jahil* Anin : ada cewek mana lagi yang belum kamu ceritain mas"
Kami bertiga tertawa, dan merasakan satu atmosfer yang damai. Satu keadaan yang akhirnya datang kepada kami, dengan tidak mudah. Dengan penuh pengorbanan, air mata dan doa yang selalu terucap dari setiap hening kami. Gue menarik napas panjang, dan menunggu apa yang akan terjadi setelah ini.
Anin : terimakasih ya Tami, buat semua yang sudah kamu rasakan selama ini. Terimakasih sudah ngejagain mas Bas selama 4 tahun kalian di kampus. Terimakasih buat segala ketulusan dan kebesaran hati kamu& .
*Anin menarik napas*
You Are My Happines Karya Baskoro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anin : kamu cewek yang hebat, Tami. Mulai sekarang, dan selamanya, kamu keluarga kami. Kalo kamu bersedia, tangan kami selalu terbuka buat kamu. Kami semua sayang kamu. Tami tersenyum memandangi Anin. Dan, sesaat kemudian, mereka berpelukan, dengan tangis haru di pundak masing-masing. Perasaan anak manusia memang bisa selalu berubah. Dulu, mereka bagaikan musuh, sekarang mereka bagaikan saudara yang tak terpisahkan.
PART 135 Gue menoleh tepat ketika microwave di sudut dapur berdenting, dan mengeluarkan sup krim dari dalamnya. Sambil membawa mangkok berisi sup itu, gue bergerak ke sofa, kemudian menghirup sedikit-sedikit sambil mengganti-ganti channel TV. Gue melirik ke handphone yang tergeletak di meja, ternyata sepi gak ada apa-apa. Hari itu hari Sabtu, dan tepat seminggu sejak Anin balik ke Mumbai. Sendirian lagi gue disini, pikir gue.
Setelah gue menghabiskan sup itu, perhatian gue beralih ke beberapa lembar brosur wedding organizer.Dengan serius gue membaca-baca lagi isi brosur itu, meskipun sebenernya udah puluhan kali gue liat. Beberapa WO yang brosurnya ada di tangan gue ini adalah hasil dari rekomendasi Sophia. Gue, Anin dan Sophia sebenernya udah berdiskusi kecil-kecilan tentang ini, tapi memang belum ada solusi yang bulat. Keputusannya nunggu Anin balik ke Jakarta lagi, sekalian membicarakan acara lamaran resmi.
Gue merapikan kembali tumpukan brosur itu, dan kemudian perhatian gue terpusat ke acara variety show Running Man. Gara-gara Anin nih gue jadi demen nonton korea-koreaan, sampe sekarang. Hahaha. Beberapa waktu kemudian, handphone gue berbunyi. Gue membaca identitas penelepon, dan mengangkatnya.
Gue : Halooo& Anin : Halo dengan Pak Baskoro" Ini dari polsek pak. *gue tertawa*
Gue : bu polwan dari polsek mana yah" *dari ujung sana terdengar Anin terkekeh* Anin : polsek Maharashtra& Kejauhan yak" Gue : nah itu tau hahaha&
Anin : lagi ngapain mas"
Gue : lagi nonton Running Man. Kena deh.
Anin : hahahahaha dibilangin juga apa, pasti kena virusnya deh. Gue : hahaha iya juga ya. Kamu lagi ngapain sayang" Anin : abis ngegym nih&
Gue : pasti belom mandi. Anin : hehehehe kok tau syiih& Gue : udah apal aku mah&
Dan begitulah, telepon dari Anin itu berlangsung sekitar 30 menit, sebelum gue ultimatum dia untuk mandi. Di negara orang yang tetep males mandi ya cuma Anin itu, setau gue. Ketika gue udah selesai bertelepon dengan Anin, mendadak handphone gue berbunyi lagi. Gue melihat nama penelepon dan tertawa. Laris amat gue pagi ini.
Gue : halooo& . Sophia : haloo, dimana lo" Gue : di hati kakak lo. Hahaha.
Sophia : aish, pasti ngaco deh. Di rumah" Gue : iya gue di rumah kok. Kenapa emang" Sophia : lo ada acara hari ini"
Gue : enggak, gak ada apa-apa. Kenapa" Mau ngajak main" Sophia : temenin gue yuk, gue mau cari sesuatu. Gue : oke siap, lo mau kesini"
Sophia : iya, lo siapnya jam berapa" *gue melirik ke jam dinding*
Gue : jam 11 gue udah siap kok. Lo bisa" Sophia : oke.
Jam 12 siang tepat gue udah berada di dalam mobil Sophia, tapi kali ini gue yang ada di kursi penumpang. Wajarlah, gue gak tau kemana dia mau pergi, kalo gue sok tau ntar malah kesasar. Ternyata gue dibawa ke GI. Wah, diajak belanja nih gue, pikir gue sambil memandangi jalanan di samping gue dan mengusap-usap bibir. Di GI itu gue menemaninya beli sepatu. Karena penasaran, gue iseng nyeletuk.
Gue : cowok lo gak kenapa-kenapa nih gue nemenin lo gini" *Sophia tertawa*
Sophia : gakpapa kok, tenang aja, tadi gue udah bilang kalo sama lo.
Gue : emang dia tau gue"
Sophia : tau lah, gue udah dari dulu cerita ke dia tentang lo, gue bilang lo itu calon kakak ipar gue yang gila. Hahaha.
Gue : buset gue dibilang gila. Emang kenapa gitu" *Sophia tersenyum ke gue*
Sophia : karena kalo lo gak gila, gak bakalan lo bisa dapetin mbak Anin lagi.
Sesaat kemudian dia bersungut-sungut sambil memandangi deretan sepatu di rak yang terletak di hadapannya.
Sophia : cowok gue tuh ya, kalo udah liat mbak Anin, matanya gak bisa diem! Kan kesel gue jadinya&
*Sophia menoleh ke gue* Sophia : & tapi abis gue tunjukkin foto lo, dia jadi takut sendiri hahaha. *gue tertawa*
Gue : kenapa emang" Sophia : ya abisnya lo sama mbak Anin gede-gede gitu badannya. Komentarnya dia kalo mereka nikah anaknya segede apa yah"
*gue menggeleng-gelengkan kepala*
Gue : itu kesekian kalinya gue denger pertanyaan semacam itu hahaha.
Setelah beberapa kali keluar masuk tenant yang ada, gue dan Sophia memutuskan berhenti di salah satu coffee shop yang gue yakin banyak pembaca yang tau. Sambil memandangi secangkir hazelnut latte yang diterangi oleh lampu diatas kepala, gue tersenyum ke Sophia, dan berkata lembut.
Gue : Pi, sekali lagi gue berterimakasih yang sebesar-besarnya atas apa yang udah lo lakuin ke gue dan Anin ya. Serius, seumur hidup gue akan selalu berterimakasih ke elo.
Sophia tersenyum dan mengaduk minumannya, kemudian mengibaskan rambutnya ke atas. Dia menyedot sedikit minumannya, sebelum menjawab gue.
Sophia : sudahlah, lo gak perlu terlalu berterimakasih ke gue kayak gini. Apa yang udah gue lakuin buat kalian berdua, gak ada apa-apanya sama apa yang udah lo lakuin buat mbak Anin.
*gue tersenyum* Gue : kebalik&
Sophia memandangi gue dengan tatapan aneh.
Sophia : kok bisa kebalik"
Gue : & . justru Anin lah yang udah berbuat banyak untuk hidup gue. Gue bersyukur, bahwa gue masih diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan gue kepadanya, kemarin. Dan kesempatan itu gue dapetin lewat lo. Gue gak bisa membayangkan gimana menyesalnya gue seumur hidup, kalo gue gak bisa meminta maaf ke Anin.
*Sophia tertawa kecil* Sophia : gue mau nanya& .
*Sophia membetulkan posisi duduknya*
Sophia : & ..waktu lo ke Eropa kemaren, lo udah yakin kalo lamaran lo bakal diterima mbak Anin"
Gue terdiam sejenak memikirkan pertanyaan Sophia itu, kemudian gue tersenyum sambil menunduk. Gue menggelengkan kepala.
Gue : enggak, gue samasekali gak tau& *gue mendongak memandangi Sophia*
Gue : & .yang gue tau adalah gue punya satu kesempatan sekali seumur hidup untuk meminta maaf ke seseorang yang sangat gue cintai, tapi gue mengecewakannya. Sophia : sebegitu berharganya kah"
Gue tertawa kecil, dan meminum minuman gue sebelum menjawab pertanyaan Sophia. Gue berkata dengan lembut dan perlahan.
Gue : adakah yang lebih buruk daripada hidup dalam rasa bersalah dan penyesalan yang gak terucap"
PART 136 Orang-orang dengan menarik koper atau menggendong tas berlalu lalang di depan gue. Sambil memasukkan jemari ke kantong jeans, gue berdiri memandangi pintu dan sesekali melihat layar di atasnya. Gue melirik jam tangan, sudah waktunya. Setelah beberapa waktu, tampaklah orang yang gue tunggu-tunggu. Seorang wanita cantik berambut coklat kemerahan, dengan baju terusan berwarna putih selutut. Di punggung dan bahunya membelit pashmina berwarna pastel yang ujung-ujungnya terlihat di tepi tubuhnya. Salah satu tangannya membawa tas berwarna coklat tua. Dan itu masih ditambah dengan heels yang menghiasi kakinya.
Dia menyadari gue ada disitu, dan langsung menghampiri gue sambil tersenyum dan membentangkan tangannya. Gue tersenyum dan menyambut pelukannya, dan mencium keningnya lembut. Gue memandangi wanita disamping gue ini, kemudian tertawa sendiri. Anin : kenapa"
*gue menggeleng* Gue : tambah gendut"
*Anin langsung melihat perutnya*
Anin : ah masak sih" kayaknya disana aku ngegym terus deh.
Gue : ya ngegym tapi abis itu makan rogan josh semangkok pake nasi ya sama aja, sayang.
Anin meringis kemudian menggigit sedikit bibir bawahnya. Mukanya jahil bener. Dia kemudian menggandeng lengan gue, dan kami berdua menuju ke parkiran mobil yang letaknya cukup jauh. Selama di mobil itu gue dan Anin ngobrol layaknya pasangan seperti biasa. Gue antarkan Anin ke rumah Tante Ratna, dan kemudian gue berjanji nanti malam gue akan main kesana.
Malamnya, gue, Anin, Sophia dan Tante Ratna duduk di gazebo di tepi kolam renang sambil ngobrol, ditemani dengan berbagai makanan ringan di hadapan kami. Tujuan Anin pulang ya sebenarnya ini, membicarakan banyak hal dengan keluarganya. Malam ini agendanya adalah ngobrolin acara lamaran, yang disarankan oleh Tante Ratna untuk dilakukan secepatnya. Anin duduk di samping gue sambil mengunyah keripik singkong, sampe dia menyadari kalo gue memandanginya. Dia sadar arti pandangan gue itu, dan kemudian meringis manja sambil menutup stoples berisi keripik singkong itu.
Tante Ratna yang menyadari apa yang terjadi antara gue dan Anin, tertawa gemas.
Tante Ratna : Anin ya kayak gitu itu Bas, tukang ngemil. Gak ada yang ngalahin dia kalo soal ngemil.
*gue tertawa* Gue : iya tante, kadang-kadang saya sampe tobat sendiri ngeliatnya. Tante Ratna : besok kalo udah serumah, dijamin banyak banget persediaan camilannya hahaha
*Anin cemberut* Gue : kayaknya saya perlu bikin satu gudang sendiri buat camilan& Seketika Anin bersemangat lagi, matanya berbinar-binar sambil memegangi lengan gue.
Anin : wah, ide bagus itu mas! Ya, ya, besok bikin ruangan khusus ya" Gue : wah salah ngomong aku& .
*Tante Ratna dan Sophia tertawa bareng*
Malam itu, banyak hal telah kami sepakati. Mulai dari tanggal, konsep hingga tamu-tamu yang akan diundang di acara sederhana itu. Sophia disitu bertugas sebagai notulis, sementara tiga yang lain bertugas sebagai pembicara dan tukang ngemil. Menjelang tengah malam, gue berpamitan dan pulang.
Sejak saat itu, segalanya terasa cepat bagi gue dan Anin. Rutinitas hidup kami berdua membuat waktu berjalan tanpa kami sadari. Tahu-tahu gue sudah berada di salah satu hari terpenting di hidup gue, yaitu hari lamaran gue dan Anin. Perhelatan sederhana itu mengambil tempat di rumah Anin, yang sepertinya para pembaca gue sudah pada menyadari dimana letak kotanya. Satu tempat yang sudah lama gak gue kunjungi, dan membangkitkan banyak kenangan bagi kami berdua.
Gue memakai baju batik berlengan panjang berwarna merah kehitaman, sementara kedua orang tua gue juga memakai batik kembar yang senada. Kakak-kakak gue juga hadir, bersama keponakan gue yang waktu itu baru berusia beberapa bulan. Keluarga gue disertai dengan beberapa kerabat lain datang di rumah Anin, dan disambut dengan sangat ramah.
Selama acara itu berlangsung, gue yang duduk di antara kedua orang tua gue, memandangi Anin yang duduk di sudut sambil tersenyum. Sesekali gue mengedipkan sebelah mata, dan dia tertawa sambil menutupi mulutnya dengan sebelah tangan. Di acara itu otomatis gue banyak terdiam, dan menjadi penonton, meskipun aslinya itu adalah acara lamaran gue. Gue juga melihat Sophia dan Shinta duduk bersebelahan, dan tersenyum ketika menyadari gue memandangi mereka. Gue mengangguk perlahan, dan tertawa.
Ketika akhirnya acara itu selesai, gue menyempatkan diri untuk bertemu mereka berdua.
Shinta : kok tumben ganteng amat mas"
Gue : ngeledek aja nih, biasanya kan juga ganteng. Shinta : ah udah lama gak liat mas Bas, kok jadinya buluk. Gue : au ah ngambek&
Shinta : Sophia : ini baru awal ya, Bas" Habis ini bakal tambah repot hahaha Gue : nah itu pokoknya gue serahin ke lo hahahaha
Sophia : ah lo mah jadi kebiasaan apa-apa minta tolongnya ke gue Gue : ya kan yang dekeeet hehehe
*gue menoleh ke Shinta* Gue : Shin, Opi dibantuin ya besok-besok ini. Kasian kalo dia sendirian& Shinta : ini ada komisinya gak"
Gue : dih ni anak& Gak lama kemudian, Anin datang sambil menggendong Raja, keponakan gue yang baru berusia beberapa bulan. Di belakang Anin gue liat mbak Novi juga ikut bergabung. Anin tersenyum lebar ketika melihat gue menoleh ke arahnya.
Anin : maaasss, Raja lucu banget yaaa! Emesh emesh emesh hiiihh!
Anin menciumi Raja yang memang mukanya bulat seperti bola itu. Kami semua tertawa melihat Anin sebegitu gemasnya sama si kecil Raja itu. Mendadak muncul niat iseng gue. Gue celingukan.
Gue : lho, mbak Novi mana ya"
Meskipun gue udah tau mbak Novi ada disitu, tapi karena badannya dia paling kecil diantara kami berlima, makanya gue kerjain. Dan itu sukses membuat dia nyubitin gue dengan kesel, kemudian bersungut-sungut ke gue sambil menyeringai gemas.
Mbak Novi : punya adek satu kok durhaka gini hiiih Semua :
Gue kemudian tersenyum memandangi semua orang yang ada di sekeliling gue ini. Gue memperhatikan mereka berbicara, bercanda dan tertawa satu sama lain. Gue sadar, mereka semua disini adalah karena gue dan Anin. Lewat kami berdua, mereka semua dipertemukan dan menjadi akrab. Gue sangat bersyukur karenanya. Mendadak mata gue menemukan satu sosok yang sudah sangat lama gak gue liat. Pembantu rumah tangga Anin yang sejak lama gue kenal, Mbok Nah.
Gue berjalan meninggalkan mereka, dan menuju ke dapur, tempat mbok Nah berada bersama beberapa orang lain yang membantu jalannya acara. Mbok Nah kaget melihat gue datang, dan berdiri. Gue tersenyum, memberikan isyarat kedua tangan kepada mbok Nah untuk tetap duduk. Gue kemudian berjongkok di depan ibu tua yang baik hati dan setia itu.
Gue : halo mbok, sehat-sehat kan"
Mbok Nah : alhamdulillah sehat, mas. Selamat ya mas, sudah lamaran. Semoga lancar sampe nikahan nanti.
*gue tersenyum* Gue : amiin, iya mbok, saya mohon doa restunya ya mbok.
Mbok Nah : iya pasti mas. Wong saya sudah kenal mas Bas ini sudah lama sekali& Berapa tahun ya mas"
Gue : 5 tahun mbok& Mbok Nah : wah sudah 5 tahun ya, gak terasa&
Gue tersenyum, memandangi wajah mbok Nah yang semakin menua dan renta. Dulu waktu pertama kali gue kemari, 5 tahun yang lalu, beliau juga sudah cukup tua. Sekarang, wajahnya semakin menua, dan giginya semakin jarang. Gue masih berjongkok di depan mbok Nah yang duduk di bangku plastik, sambil memegang tangannya dengan kedua tangan gue.
Mbok Nah : nanti kalo mas Bas sudah nikah sama mbak Anin, titip mbak Anin ya& *gue mengangguk*
Mbok Nah : mbok udah jagain mbak Anin sejak dia masih SD kelas 1 dulu, sekarang udah mau menikah& mbak Anin udah seperti anak mbok sendiri&
Gue menyadari bahwa mata mbok Nah berkaca-kaca. Betapa gue sangat menghormati sosok beliau ini. Sosok yang nyaris selalu ada di setiap kehidupan Anin, tapi mungkin gak dikenal oleh banyak orang. Beliau mencintai Anin, layaknya anak sendiri, tanpa mengharapkan balasan apapun. Gue menggenggam erat tangan beliau, dan berkata dengan sungguh-sungguh.
Gue : iya mbok, saya akan jagain Anin seperti mbok jaga Anin sejak dulu. Terimakasih ya mbok, udah ikut merawat dan membesarkan Anin. Sampai kapanpun, saya dan Anin akan tetap menganggap mbok seperti orang tua kami sendiri. Saya dan Anin minta doa restunya ya mbok& .
Mbok Nah kemudian menghapus air matanya yang telah mengalir di pipinya yang keriput dan merenta itu, kemudian tanpa gue duga, dia memeluk gue. Gue balas memeluk beliau, dan mengelus punggung beliau pelan. Gue tahu, tangisan beliau itu adalah tangis haru dan tangis sedih. Haru, karena akhirnya anak yang dia ikut besarkan semenjak kecil hampir menapaki satu masa baru. Sedih, karena beliau menyadari bahwa mungkin perannya akan semakin berkurang, dan dia akan semakin terlupakan dalam roda hidup manusia.
Waktu itu gue menyadari, sekali lagi gue mendapatkan pelajaran dari ketulusan cinta manusia. Betapa mbok Nah menyayangi Anin dan Shinta, dua anak perempuan yang bukan darah dagingnya, seperti anak kandungnya sendiri. Bahkan mungkin melebihi.
PART 137 Waktu berputar dan berlalu begitu cepat dalam hidup, seakan siap meninggalkan siapa saja yang gak bisa mengikuti ritmenya. Dan memang benar bahwa waktu selalu menjadi yang paling bijaksana terhadap hidup kita. Serahkan aja semua kepada waktu, nanti dia lah yang akan menjawab semuanya.
Kalau gue menghitung kembali skala tentang apa yang udah gue capai dalam hidup ini, dalam angka satu sampai dengan sepuluh, hitungan gue pasti akan berantakan. Karena akan selalu ada mimpi-mimpi baru yang menggantikan mimpi lama yang telah terwujud, atau tertunda. Waktu memang gak akan berjalan mundur, dan udah merupakan takdir kita untuk menyikapinya dengan mengisi waktu yang akan selalu berlalu itu dengan mimpi-mimpi kita.
Dan gue menyadari, bahwa Anin bukanlah mimpi gue. Anin bukanlah mimpi gue, melainkan dialah pembentuk mimpi gue. Kalau di masa-masa yang lalu gue bermimpi ingin membahagiakan Anin dengan segenap hati gue, maka sekarang gue mulai bisa bermimpi untuk bisa memiliki Anin seumur hidup gue. Mimpi gue suatu saat akan lenyap dan digantikan oleh mimpi yang baru, tapi gue berharap Anin tetap menjadi alasan gue untuk selalu bermimpi.
Gue mengangkat cangkir yang berisi teh di hadapan gue, sebelum sebuah suara membuyarkan lamunan.
Sophia : lo pernah gak, berpikir kemana lo akan berada sekarang, seandainya lo gak sama mbak Anin"
Gue menghirup sedikit isi cangkir, dan meletakkannya kembali. Gue memandangi Sophia, yang kali itu memakai celana pendek, dan kaos oblong seadanya. Rambutnya tergerai acak-acakan di bahu. Wajar kalau dia berpakaian seperti itu, karena sekarang kami berada di halaman belakang rumah Tante Ratna.
Gue : ya& kadang-kadang gue juga mempertanyakan hal yang sama. Tapi mungkin gue akan menemukan jalan lain& *gue menghela napas* & .dan terus berharap.
Sophia membetulkan rambutnya yang acak-acakan, menguncirnya ke belakang, dan bertanya ke gue.
Sophia : berharap seperti apa maksud lo"
Gue mengangkat bahu sedikit, kemudian tersenyum sambil memandangi kolam renang yang beriak lembut di hadapan kami. Suasana sunyi, yang terdengar hanyalah suara binatang malam dan nafas kami berdua.
Gue : entahlah. Berharap menemukan tujuan hidup yang baru mungkin"
Sophia terlihat berpikir, dan memandangi kolam renang. Gue diam-diam tersenyum, melihat transformasi cewek bernama Sophia ini. Di awal pertemuan kami, layaknya segala pertemuan dimana aja, masih terasa canggung. Kemudian ada insiden yang membuat dia membenci gue, tapi di sisi lain dia juga satu-satunya orang yang masih mau mendengarkan gue. Kemudian ada waktu dimana dia menjadi satu-satunya orang yang bisa menolong gue, dan dia melakukannya. Dan sekarang, dia jadi orang yang paling dekat dengan gue, selain kakaknya, tentu saja.
Sophia, yang punya insting tajam seperti elang, menyadari kalo gue memandangi dia sambil tersenyum.
Sophia : kenapa" Gue : ah enggak kenapa-kenapa&
*Sophia memiringkan kepala, tatapannya menyelidiki* Sophia : lo ngeliatin gue pasti ada sesuatu. Kenapa"
Gue tertawa lembut sambil memandangi kebun dan kolam renang di hadapan gue. Sophia bertanya ulang.
Sophia : kenapa" Gue : gakpapa, gue takjub aja liat perubahan lo. Sophia : perubahan yang kayak gimana maksud lo"
Gue : perubahan sikap lo ke gue. dari awal, kita gak begitu saling kenal, terus lo benci sama gue& *gue tertawa* & dan sewaktu gue di Eropa, lo pahlawan gue& *Sophia tertawa kecil*
Gue : & .dan sekarang lo adalah orang yang paling deket sama gue. Sophia : bukan mbak Anin"
Gue : diluar dia, tentunya.
Sophia tersenyum, kemudian memainkan karet gelang di tangannya. Dia menarik napas dan kemudian menghembuskannya dengan cepat lewat mulut.
Sophia : sepertinya lo dan gue adalah contoh paling nyata dari gimana manusia bisa berubah ya.
Gue : itu tergantung dari apa mimpi kita kok. Sophia : gue gak paham maksud lo.
Gue tersenyum, kemudian menjelaskan kepadanya sambil bertopang dagu.
Gue : kadangkala, kita butuh waktu untuk menemukan apa mimpi kita. Gue, seperti lo tau, pernah melakukan kesalahan kan" Waktu itu gue mungkin belum yakin apa mimpi gue yang sebenarnya&
*gue menghirup teh dari cangkir*
Gue : & .tapi kemudian gue udah pernah jatuh, dan gak cuma sekali. Dan itu membuat gue tersadar lagi apa mimpi gue, dan bagaimana berharganya kesempatan untuk kembali bangkit.
Sophia kemudian menggeser duduknya, dan bertopang dagu persis sama seperti gue. Sehingga sekarang kami berdua saling berhadap-hadapan dengan bertopang dagu. Dia tersenyum.
Sophia : gue kagum sama lo. Jarang gue bisa nemuin orang dengan kemauan dan pemikiran seperti lo.
Gue tersenyum. Sophia : entah apa yang udah mbak Anin lakuin, tapi sepertinya dia memilih lo bukan sekedar dari apa yang terlihat dari lo&
Gue : terus" Sophia : & .dia milih lo lewat mata hatinya.
Gue menjawabnya dengan menaikkan alis gue. Gue kemudian tertawa perlahan.
Gue : kenapa lo mendadak ngomongin soal ini sih" Sophia tertawa, dan kemudian gue menyadari bahwa pipinya sedikit bersemu merah. Dia kemudian menyilangkan kakinya diatas bantalan kursi, dan memandangi langit malam, yang waktu itu sedang bulan purnama.
Sophia : enggak papa. gue seneng liat kalian berdua aja& . *dia menurunkan kepalanya dan memandangi gue* & . berjanjilah sama gue, lo bakal selalu jagain mbak Anin. Ya" Gue terdiam, dan tersenyum. Butuh beberapa detik buat gue untuk menjawabnya.
Gue : iya, gue janji, Pi&
PART 138 Gue membuka mata, dan hal pertama yang gue liat adalah kegelapan. Beberapa kali gue mengedipkan mata, mencoba menerka dimana gue berada, dan mengumpulkan kesadaran. Gue menoleh perlahan ke samping dan melihat pemandangan gemerlap lampu kota tersaji di hadapan gue. Seketika gue sadar, bahwa hari masih gelap, dan malam sepertinya masih panjang. Tangan gue menggapai-gapai salah satu sisi tempat tidur, dan menemukan handphone disana. Gue melihat angka jam yang tertera di layar.
Pukul 2.18 pagi. Gue bangkit dan duduk di tepi tempat tidur, sambil menggaruk-garuk rambut yang sebenarnya gak gatal. Sesekali gue menguap, dan mengumpulkan lagi kesadaran gue. Setelah beberapa saat, mata gue telah terbuka sepenuhnya. Gue menyalakan lampu tidur di samping tempat tidur, dan berdiri di hadapan jendela besar di kamar gue, sambil memandangi kota. Pikiran gue melayang ke segala fragmen-fragmen kecil kehidupan yang pernah gue lalui. Beberapa sosok yang sebelumnya samasekali gak pernah teringat di otak, mendadak muncul kembali. Segala kenangan itu datang bagaikan lentera yang berputar.
Gue memandangi langit malam, yang kebetulan dihiasi oleh semburat kemerahan, pertanda awan sedang berada diatas kepala. Suasana hati dan pikiran gue waktu itu bener-bener susah untuk digambarkan. Hampa, kosong, tapi di sisi lain gue juga merasakan lelah karena segala kejadian yang telah gue lalui. Ada rasa syukur bahwa gue telah sampai di titik ini, tapi di sisi lain ada rasa ingin beristirahat.
Gue kemudian berjalan keluar kamar, dan membuat segelas kopi. Dengan membawa gelas kopi itu, gue kembali ke kamar. Sambil menunggu kopi tersebut siap diminum, gue berdiri di tempat gue berdiri sebelumnya. Mendadak pikiran gue kembali sewaktu gue di Geneva, beberapa waktu setelah gue melamar Anin. Gue ingat pembicaraan kami berdua.
------ Anin : kamu pasti udah melalui perjalanan yang berat ya" Gue tersenyum sambil berjalan disampingnya.
Gue : iya begitulah& Anin : apa yang bikin kamu sampe senekat ini"
Gue tersenyum, dan menghela napas, tapi kemudian gue terdiam. Butuh beberapa waktu sebelum akhirnya gue bisa menjawab pertanyaannya itu.
Gue : kamu. *Anin tersenyum sambil memandangi danau di samping kami* Anin : kamu kadang-kadang susah ditebak ya, kayak sekarang ini& Gue : ya mungkin& .
*gue menarik napas karena hidung berair*
Gue : & .kalo aku bisa ditebak, mungkin aku gak bakal kehilangan kamu, dan gak bakal sampe sini.
*Anin tertawa kecil* Anin : kamu selalu punya alasan ya.
Gue tersenyum sambil memandangi danau dan orang-orang yang berjalan di sekitar kami. Gue menarik napas panjang, dan menghembuskannya lewat mulut secara perlahan.
Gue : mungkin misteri terbesar kehidupan adalah pikiran kita sendiri& .
Gue ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kata itu tertahan di lidah gue untuk beberapa waktu. Gue kemudian menoleh ke Anin.
Gue : Aku bangga liat kamu jadi seperti sekarang. Kamu hebat.
Anin memandangi langit sore yang berwarna warni diatas kepala, sambil menghela napas.
Anin : tentunya kamu yang paling ngerti gimana perubahan aku selama ini ya" *dia tersenyum kemudian menjawab pertanyaannya sendiri*
Anin : & .ya iyalah, kamu udah sama aku sejak aku masih bocah, masih anak SMA labil dulu.
Kami berjalan terus, dan dalam kebisuan. Sampe kemudian Anin menoleh ke gue dan berkata dengan lembut.
Anin : terimakasih ya udah mendampingi aku tumbuh dewasa. Gue tersenyum dan menjawab perlahan.
Gue : semoga aku bisa terus mendampingi kamu sampe kita berdua beranjak tua& .
Anin menggandeng lengan gue.
Anin : iya, memang itu tugasmu kok. --------
Gue menghirup kopi yang mengepul sedikit demi sedikit, sambil menikmati suasana malam. Pikiran gue terus melayang ke berbagai hal, dan bermacam-macam orang yang telah hadir di hidup gue. Hingga akhirnya pikiran gue berhenti di salah satu fragmen terbesar dalam hidup gue, yaitu Anin. Tanpa disadari dan tanpa bisa dipungkiri, cinta gue ke Anin telah tumbuh sedemikian dalam. Dia bukan lagi gadis SMA tengil yang dulu menyapa gue di depan sekolahnya. Dia bukan lagi mahasiswi yang sering kesiangan. Dia sekarang telah bertransformasi menjadi satu wanita karir yang hebat dan membanggakan.
Gue menyadari sepenuhnya, bahwa Anin berubah bukan karena gue. Dia bisa menjadi Anin yang sekarang, murni karena usaha dan doanya, ditambah restu dari orang tuanya. Gue hanyalah seorang asing yang diberi kesempatan menyaksikan perubahannya itu. Dan gue bersyukur gue gak menghambatnya, setidaknya hingga saat ini.
Malam itu, gue tahu dalam hati gue, bahwa Anin adalah hal terindah yang pernah Tuhan ciptakan untuk gue.
PART 139 Anin : bagus gak mas"
Gue menoleh ketika Anin berkata demikian. Gue melihat ada sesosok wanita berambut coklat kemerahan yang tergerai dengan indah, serta dibalut dengan busana adat Jawa yang sangat panjang hingga terhampar di lantai parket kayu gelap. Pakaian yang dia kenakan berwarna biru tua, dengan lapisan beludru serta corak emas di bagian leher. Ujung-ujung pakaian yang terhampar di lantai juga dihiasi dengan corak emas yang indah. Gue terpana.
Anin : woi, ditanyain bengong aja. Bagus gak mas" Gue tersadar, dan kemudian tertawa.
Gue : iya, bagus kok. Perfect. Anin : keliatan gendut gak sih" Gue : enggak, siapa yang bilang"
Anin : tapi aku naik sekilo bulan ini& . Masak gak gendut sih" Gue : enggak. Baru sekilo doang itu. Kalo udah sepuluh kilo baru keliatan.
Anin tersenyum menggemaskan sambil menggigit bibirnya dengan khas. Gue memandangi koleksi busana di tempat itu, sambil mengagumi beberapa diantaranya. Gue teringat satu hal, dan kemudian gue tanyakan kepada ibu-ibu setengah baya yang membantu Anin mencoba pakaian. Gue : Bu, nanti untuk sepatunya pake yang berapa centi"
Ibu : sekitar 10-12 centi mas.
Gue : buset, lebih tinggi dari saya dong ntar.
Ibu-ibu setengah baya dan Anin tertawa bersama, sementara gue masih bengong. Gila aja ntar di pelaminan, Anin lebih tinggi dari gue. Ah, tapi gakpapa lah, istri sendiri ini. Gue lihat Anin berdiri di depan cermin besar setinggi badan manusia dengan bingkai berwarna emas, ditambah sorot lampu berwarna kuning dari atas kepalanya. Waktu itu dia benar-benar seperti bidadari yang turun dari surga.
----- Beberapa minggu kemudian.
Gue berada di sebuah pesawat menuju ke kota asal gue, dan kota tempat dimana gue bertemu dengan Anin. Gue memandangi wanita yang tertidur di bahu gue, dengan memeluk gulungan sweater berwarna hitam yang sebelumnya gue pakai. Gue tersenyum, dan mengelus pipi lembutnya dengan sebelah tangan. Gue teringat pembicaraan gue dan Anin 3 hari sebelumnya. Dia minta pulang ke kota asal kami, dan berjalan-jalan disana.
------ Gue : ngapain" Anin : ya gakpapa, pengen jalan-jalan aja ke tempat dulu kita ketemu. *gue tersenyum dan mengerling ke Anin*
Gue : napak tilas nih judulnya" *Anin meringis sambil mengangguk* Anin : iyah hehehe
*gue memiting kepala Anin dengan gemas, kemudian berbisik* Gue : whatta sentimental journey& .
-------- Begitulah. Kami tiba di kota asal, dan kemudian gue mengantarkan Anin pulang kerumah, sebelum gue sendiri pulang kerumah dengan taksi. Sesampainya dirumah, gue berbincang sebentar dengan nyokap, dan kemudian masuk ke kamar. Ketika gue membuka pintu kamar yang sudah berbulan-bulan gak gue masuki, gue menyalakan lampu dan memandangi seluruh penjuru kamar yang mungil itu. Gue tersenyum, dan memasuki kamar dengan perasaan rindu.
Gue memandangi meja belajar gue yang dulu, dan memainkan benda-benda kecil koleksi gue yang masih gue tinggalkan. Sambil tersenyum pikiran gue melayang ke masa lalu, dimana gue setiap hari berkutat dengan kamar ini dan kehidupan di kota ini, namun sekarang kehidupan gue telah berubah sedemikian banyak. Gue menoleh ketika menyadari nyokap ada di belakang gue, sambil bersandar di kusen pintu yang masih terbuka.
Nyokap : kangen ya" *gue tersenyum sambil memandangi satu benda kecil di tangan gue* Gue : iya mah. Kadang-kadang aku masih gak percaya aja udah sampe disini. Nyokap : sampe dirumah"
*gue menggeleng* Gue : bukan, sampe di titik kehidupan yang ini, mah&
Nyokap tersenyum, dan kemudian melangkah masuk ke kamar gue, sambil ikut memperhatikan barang-barang kecil di meja gue.
Nyokap : yah, kadang-kadang mamah juga gak nyangka anak-anak mamah udah pada gede-gede. Terutama kamu. Sebentar lagi mamah papah cuma tinggal berdua disini. Kalian bakal jadi pemilik kehidupan kalian masing-masing, dan jadi kepala rumah tangga masingmasing.
Gue seketika merasa sedih mendengar ucapan nyokap. Gue sedih karena gue menyadari sebentar lagi gue harus meninggalkan keluarga yang telah membesarkan gue, untuk membesarkan keluarga kecil gue sendiri nantinya. Kemudian gue mendengar nyokap berbicara lagi.
Nyokap : dulu, kalian berdua selalu berantem. Rumah gak pernah tenang. Tapi semakin kesini mamah sama papah justru merindukan suara-suara kalian waktu berantem, rebutan mainan, sampe kamu nangis& *nyokap tertawa kecil* & .sekarang mamah udah punya cucu dari anak-anak tukang ribut.
Gue terdiam, memperhatikan nyokap di samping gue yang sedang melihat barang-barang koleksi gue. Gue tahu, pikiran nyokap samasekali bukan di barang koleksi itu, melainkan tentang apa yang akan kami jalani kedepannya.
Gue : mah& *nyokap menoleh*
Gue : mamah ikhlas aku menikah dan keluar rumah"
Nyokap tersenyum, kemudian memegangi pipi gue dengan sebelah tangan.
Nyokap : semua orang tua pasti akan sampe di fase ini, Nak. Kalian gak akan selamanya ada di pelukan mamah papah. Kalian pasti akan jadi orang tua seperti kami. Waktu mas Panji menikah kemarin, mamah masih bisa sedikit terhibur karena masih ada kamu. Tapi sekarang kamu juga udah sampe waktunya untuk membentuk keluarga kecilmu sendiri.
Gue terdiam memandangi nyokap.
Nyokap : kalo kamu tanya kami ikhlas apa enggak, kami ikhlas, Nak. Kami ikhlas sepenuh hati. Itu memang udah takdir manusia, kehidupan selalu berputar. Suatu hari nanti pasti kamu juga bakal ngeliat anak-anakmu nanti menikah. Insya Allah.
Gue tersenyum. Gue : iya, insya Allah, mah&
Gue memeluk nyokap, dan merasakan betapa bersyukurnya gue memiliki ibu seperti beliau. Seorang wanita mulia, yang akan selalu gue hormati dan gue cintai sampe gue berhenti bernapas nanti. Gue kemudian memegang sebelah tangannya dan mencium tangan beliau. Beliau mengusap rambut gue dengan lembut.
Nyokap : mamah ikhlas, Nak. Pergilah dan bangun keluarga kecilmu sendiri, sampe jadi besar. Doa mamah selalu bersama kalian. Dari dulu mamah berdoa semoga anak-anak mamah dimudahkan jalannya oleh Allah. Dan sekarang mamah merasa doa mamah dikabulkan. Mamah papah sangat bangga sama kalian.
Gue tersenyum, dan sekali lagi memeluk nyokap. Memeluk seorang ibu yang telah melahirkan gue, membesarkan gue dan membentuk gue hingga menjadi gue detik ini. Sejak dahulu dan selamanya, nyokap tetap jadi wanita yang paling berharga di hidup gue. Dalam pelukan nyokap itu, gue berdoa dalam hati semoga kedua orangtua gue selalu dalam lindungan Tuhan. Dan gue juga berdoa, semoga Anin bisa menjadi seorang ibu yang hebat seperti nyokap gue.
PART 140 Gue memarkirkan mobil di bawah pohon di tepi jalan, dan mematikan mesin. Gue menoleh ke Anin, dan gue liat dia memandang jendela di sampingnya sambil tersenyum. Gue kemudian mengajak dia keluar, dan kami berdua berdiri diatas trotoar di siang hari yang panas itu. Kami berdua memandangi beberapa penjaja makanan kecil yang menunggu pembeli. Gue menggandeng tangan Anin dan mengajaknya ke salah satu titik gak jauh dari kami berdua.
Gue : masih inget" Dulu aku disini nungguin kamu pulang sekolah, untuk pertama kali.
Anin memandangi sebuah blok semen yang bisa dijadikan tempat duduk. Sambil tersenyum dia mengangguk pelan.
Anin : iya, dulu aku keluar dari gerbang itu& *dia menunjuk gerbang sekolahnya* & .trus langsung jalan kesini& . *Anin bergeser beberapa langkah kesamping* & .dulu aku berdirinya disini yak kalo gak salah"
*gue tertawa* Gue : iya, dulu kamu berdiri disitu. Sambil senyum-senyum dan bawa tas sekolah. Rambut kamu dulu dikuncir apa dibiarin jatuh gitu aja ya" Lupa.
Anin : aku juga lupa hehehe.
Gue : siapa yang nyangka sih yang ketemu aku siang itu ternyata sekarang hampir jadi istriku&
Anin : aku juga gak nyangka dulu waktu itu dijemput sama calon suami aku&
Gue merangkul Anin dengan satu tangan, sementara tangan yang lain gue masukkan ke kantong jeans. Kami berdua masih terbius, memandangi blok semen yang jadi monumen pertemuan pertama kami berdua. Gue berkata pelan.
Gue : jodoh itu seperti kotak Pandora ya. *Anin menoleh ke gue dengan tatapan bertanya* Anin : maksudnya"
*sesaat kemudian dia menunjukkan ekspresi pemahaman*
Anin : aaaah, iya aku ngerti maksudmu mas. Proses mendapatkan jodoh emang gak mudah kan, pasti ada pengorbanan dan air mata yang jatuh. Tapi selalu indah di akhir. *gue tersenyum dan semakin mendekatkan Anin ke tubuh gue* Gue : yah, seperti itulah kira-kira.
Setelah itu, seharian kami berdua melakukan perjalanan napak tilas, segala jejak-jejak pertemuan kami dulu. Gue dan Anin sepakat melakukan ini, meskipun terdengar konyol, karena gue menyadari kedepannya mungkin kami akan susah menemukan momen untuk seperti ini. Gue dan Anin berjalan ke mall tempat dimana kami berdua dulu sering menghabiskan waktu. Dan terutama, kami menuju ke kampus tempat kami berdua bertahun-tahun berjuang bersama.
Gue dan Anin berjalan berdampingan melewati lorong selasar kampus Anin yang hari itu sangat sepi. Dia sering berhenti dan tersenyum melihat beberapa sudut kampus, tempat kenangannya tersimpan.
Anin : rasanya udah lama banget sejak aku terakhir kesini. *Anin menghela napas*
Anin : sekarang hidupku udah jauh banget dari sini, dan dari semua yang pernah ada disini. Tempat ini saksi aku berkembang jadi kayak sekarang.
*gue tersenyum* Gue : seandainya mereka semua bisa ngomong, pasti mereka juga bangga sama kamu, dek. *Anin menunduk sambil tersenyum malu*
Anin : kadang-kadang aku kangen kembali jadi gadis kecil yang dulu mas& *Anin mendongak dan menghela napas* & ..sekarang hidup rasanya cukup berat buat aku. Gue : ya seperti itu kehidupan manusia, dek. Suatu hari nanti kamu bakal tersenyum waktu melihat kebelakang, melihat semua yang udah kamu lalui. Yang namanya awal itu gak ada yang mudah.
*Anin menoleh ke gue* Anin : emang ini awal dari apa" *gue tersenyum dan berkata lembut*
Gue : awal dari kehidupanmu yang baru. Pembuktianmu sebagai seorang Anin dan& . *gue menyentil hidungnya pelan*
Gue : & .sebagai seorang istri dan seorang ibu.
Anin tertawa lembut dan memeluk pinggang gue. Waktu itu kami berdua menyadari, bahwa segala hal yang udah pernah terjadi di masa lalu kami, adalah hal terbaik yang udah digariskan oleh-Nya. Hingga kapanpun, gue akan selalu bersyukur karenanya. Terutama, karena seorang wanita menakjubkan disamping gue ini.
Di rumah Anin, gue duduk di bangku taman belakang sambil melamun. Gue hanya tersenyum ketika Anin datang dan duduk disamping gue sambil membawa secangkir teh panas. Anin memandangi gue.
Anin : kenapa" Gue tersenyum dan menunduk, sambil menggeleng pelan.
Gue : pernikahan kita tinggal seminggu lagi. Anin : ya terus"
Gue : gakpapa, cuma masih takjub aja kita udah sampai di titik ini. Sesuatu yang belum berani aku bayangin setahun yang lalu.
Anin : aku tau kok, kalo kamu jodohku. *gue menoleh*
Gue : tau dari" Anin : dari tatapan mata kamu sewaktu nemuin aku pertama kali di Geneva dulu. *gue tertawa pelan*
Gue : emang ada apa sama tatapan mataku"
You Are My Happines Karya Baskoro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anin : I dunno. Tatapan seorang pria yang punya keyakinan gak tergoyahkan, sekaligus tatapan syukur dan pasrah. Buat aku, entah kenapa, aku ngeliat mukaku sendiri waktu ngeliat kamu. Seperti ada satu lagi diri aku.
*Anin tertawa lembut* Anin : & .sepertinya kamu terlalu banyak ikut membentuk aku, mas. Gue tersenyum, dan bersandar ke belakang, sambil menyilangkan kaki gue. Jari-jemari gue silangkan diatas perut. Gue tersenyum sambil memandangi hijaunya rumput dihadapan gue. Sesaat kemudian, gue menggeleng pelan.
Gue : bukan& . *gue menoleh ke Anin*
Gue : & .kita saling membentuk diri kita satu sama lain. Tanpa sadar kita melihat cerminan diri sendiri di diri yang satunya. Aku juga ngeliat diriku di dalem dirimu kok. Kita berdua sama-sama memiliki satu kepingan yang menyerupai satu sama lain.
Anin tersenyum, kemudian bersandar ke belakang dan menyandarkan kepalanya ke bahu gue, sambil sedikit mendongak memandangi wajah gue melalui sudut matanya.
Anin : ini semacam early-pillowtalk kah"
PART 141 (END) Bagian Satu
Gue memicingkan mata ketika cahaya lampu sorot kamera tepat mengenai wajah gue. Sesekali gue membetulkan blangkon" tutup kepala adat Jawa, yang gue kenakan. Gue duduk tegak, sambil memegang satu pergelangan tangan gue dengan tangan yang lain. Gue menoleh ke samping, melihat ada salah satu kakak dari nyokap, yang menjadi saksi pernikahan ini, dan seorang penghulu dari KUA setempat, serta tentu saja om Harry, papa Anin.
Gue menoleh ke sisi dimana keluarga besar gue duduk, dan melihat kedua orang tua gue duduk berdampingan. Wajah beliau berdua samasekali gak tegang, justru tersenyum dengan bahagia. Gue menoleh ke sisi dimana keluarga besar Anin duduk, dan gue melihat Shinta dan Sophia duduk di barisan kedua, sambil tersenyum cantik. Kemudian gue melihat Tante Ayu, mama Anin, duduk di barisan terdepan, dan kemudian tersenyum ke gue sambil mengangguk pelan.
Gue melirik ke jam tangan yang gue kenakan, pukul 8.04 pagi. Gue tersenyum, memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Sebuah gemerisik elektrik dari microphone yang akan digunakan menyadarkan gue kembali. Gue berada di ambang satu titik paling menentukan di hidup. Gue melihat beberapa lembar kertas yang terletak di dalam map berwarna hitam. Di beberapa lembar kertas itulah yang akan menjadi penanda berubahnya arah hidup gue. Maka terjadilah apa yang memang sudah direncanakan.
Saya terima nikah dan ka-winnya Anindya Putri Pertiwi binti Harry Armand Subagyo dengan mas ka-win tersebut, dibayar tunai."
Kata-kata tersebut meluncur dengan lancar dan mantap dari mulut gue, sementara tangan gue menggenggam tangan om Harry dengan erat. Ketika penghulu dan saksi-saksi menyatakan bahwa pernikahan ini sah, sontak para hadirin mengucapkan Alhamdulillah dan terdengar beberapa tepukan tangan dari belakang. Gue memejamkan mata, dan mencoba mencerna salah satu momen paling berharga dalam hidup gue yang barusan telah terlewati.
Ketika tiba waktunya penandatanganan buku nikah dan dokumen-dokumen yang harus dilengkapi untuk administrasi pernikahan, Anin keluar dari kamarnya, dengan diiringi oleh beberapa kakak dari Tante Ayu. Waktu itu rasanya dunia berhenti, dan gue melihat sesosok wanita cantik, dengan busana adat Jawa yang indah, dan wajah yang tersenyum bahagia keluar dari kamar. Wanita yang selalu ada di hati gue sejak awal pertemuan kami enam tahun lalu, dan sekarang dia telah menjadi istri gue.
Anin kemudian duduk di kursi di samping gue, dan kami berdua menandatangani buku nikah, serta beberapa dokumen lainnya. Di kesempatan itu gue juga mengikrarkan janji pernikahan di depan penghulu dan semua hadirin yang ada di acara tersebut. Gue sesekali memandangi Anin, dan tersenyum penuh syukur. Dari tatapan mata kami berdua, kami sama-sama sadar bahwa gue dan Anin pun masih belum bisa percaya sepenuhnya bahwa kini kami telah menjadi sepasang suami-istri.
Gue memasangkan cincin ka-win di jari manis tangan kanan Anin, dan begitu pula Anin, memakaikan cincin ka-win di jari gue. Anin kemudian mencium tangan gue lembut, dan gue balas dengan mencium keningnya. Perasaan gue waktu itu bener-bener susah digambarkan, dan gue yakin begitu pula dengan Anin.
Seluruh acara pernikahan kami itu berlangsung dengan lancar dan meriah. Gak terhitung temanteman kami, baik mulai dari SMA, kuliah hingga rekan kerja datang mengalir untuk memberi ucapan selamat kepada kami. Meskipun capek, tapi gue sangat amat bersyukur punya kehidupan dan lingkungan seperti ini. Gue sangat bersyukur bisa mengenal teman-teman gue, dengan berbagai rupa emosi. Dari situlah gue bertumbuh dan belajar menjadi manusia di masyarakat.
Di antara barisan tamu yang akan naik ke panggung pelaminan untuk memberi selamat kepada kami berdua, gue melihat sesosok wanita yang sudah sangat gue kenal. Style nya memang berubah, tapi gaya nya tetap sangat gue kenal, dan gak berubah. Di sampingnya ada sesosok pria gagah, berpakaian batik elegan, dan bertubuh tinggi dan sudah sangat gue kenal juga. Gue tersenyum melihat mereka dari kejauhan. Ketika ada jeda aliran tamu, gue menyenggol lengan Anin pelan, dan mengarahkan dagu gue ke arah kedua sosok tadi. Anin paham, dan langsung tersenyum.
Ketika akhirnya tiba kedua orang itu menaiki panggung, bersalaman dengan kedua orang tua Anin terlebih dahulu, kemudian baru tiba kepada kami berdua. Gue tersenyum lembut. Sang wanita menggenggam tangan gue terlebih dahulu.
Tami : selamat ya, Tapir. Akhirnya lo berdiri disini juga. *gue tertawa*
Gue : iye thanks ya Cum. Cepet nyusul lah. Tami : gak kuliah gak nikah, lo selalu ninggalin gue. Gue : nah tuh ada Bayu.
Gue kemudian menoleh ke cowok yang mendampingi Tami, gak lain dan gak bukan adalah Bayu, sohib gue sejak jaman awal kuliah. Bayu ngeliatin gue dengan gaya cengengesannya yang khas, dan membuat gue tertawa terbahak. Gue menjitak kepala Bayu pelan tapi dengan gemas.
Gue : woooii, anak badak, lo jadian gak ngomong-ngomong ye, baguuusss! Gue menggenggam tangan Bayu erat, dan kemudian kami berdua saling berangkulan.
Bayu : selamat ya Bas, sahabat terbaik gue akhirnya nikah juga sama putri impiannya. Gue : lo cepet nyusul lah, kasian itu burung lo dianggurin lama-lama.
Bayu : bangke looo, udah jadi suami orang masih aja gini kelakuannya. *gue tertawa*
Gue : Bay, jagain Tami yak.
*Bayu tersenyum kalem dan menyalami gue sekali lagi dengan erat* Bayu : pasti, Bas.
Bayu kemudian bergeser, menyalami Anin, sementara Tami berdiri di sampingnya.
Bayu : selamat ya, Nyonya Baskoro. *Anin tersenyum jahil*
Anin : thank youuu Bayuuu, itu Tami kapan dijadiin Nyonya Bayu" Bayu : secepatnya deh hehehehe
Karena aliran tamu undangan yang lain semakin banyak, maka kami gak bisa lama-lama ngobrol diatas pelaminan. Sebelum mereka turun, gue berteriak memanggil mereka.
Gue : Bay, Cum, jangan pulang dulu. Ntar gue mau ketemu abis ini kelar! Bayu menjawab dengan senyum lebar dan acungan jempol.
PART 141 (END) Bagian Dua
Resepsi telah usai, dan gue melihat beberapa orang dari catering berlalu lalang di hall yang luas di hadapan kami, sementara saudara-saudara gue berada di satu sisi ruangan dimana makanan untuk keluarga diperuntukkan. Gue dan Anin turun dari pelaminan, dengan Anin memegang lengan gue, sementara gue membantunya turun dengan busana yang sedemikian panjang.
Kami berdua turun, dan mencari dua sosok orang yang tadi kami temui. Anin yang pertama kali menemukan mereka duduk di salah satu sisi ruangan, sambil memandangi kami. Gue kemudian melambaikan tangan, dan memberikan isyarat pada mereka berdua untuk mengikuti kami menuju ke tempat makan. Akhirnya kami berempat duduk semeja dan cengengesan. Mungkin kami berempat gak menyangka akan bertemu lagi dalam situasi seperti ini. Sambil menusuk seiris daging di piring kecil di hadapan gue, gue bertanya.
Gue : tadi udah makan apa aja" Makan lagi gih. Bayu tertawa, kemudian menjawab.
Bayu : tadi semua udah gue cobain kok. Lo kenal gue lah Bas. *gue tertawa*
Gue : iya mulut lo sama gilingan semen gak ada bedanya kan yak" Bayu : anjrit.
Anin memandangi Tami, kemudian memandangi Bayu. Dia tersenyum, dan kemudian memegang telapak tangan Tami.
Anin : kalian kapan jadian" Kok gak bilang-bilang" Gue sambil mengunyah langsung nimbrung.
Gue : iya, kapan nih jadian" Kok diem-diem aja kayak patung pak polisi. *Tami tertawa geli*
Tami : jadian gak yaaa" Kayaknya sih enggak&
Tami kemudian melirik jahil ke Bayu, dan kami bertiga tertawa terbahak melihat wajah Bayu yang dongkol karena ulah Tami itu. Tami kemudian memegang tangan Bayu sambil tertawa.
Tami : hahahaha iyaiya, kita jadian kok iyaaa, gak usah nangis gitu ah! Malu ama bulu kaki!
Gue dan Anin tertawa semakin ngakak, sampe-sampe gue menutup mata dengan sebelah tangan saking gelinya. Gue masih gak percaya, bahwa dua sahabat terbaik gue ini ternyata saling menambatkan hatinya. Gue gak bisa membayangkan ada orang lain yang lebih cocok mendampingi Tami selain Bayu.
Anin : kapan kalian jadian"
Tami : sebulan yang lalu. Baru sebulan kok kita. Anin : masih anget-angetnya dong ya" Hihihi Gue : kalo sama Cumi mah bukan anget lagi, tapi gosong. Anin : selamat yaa, semoga bisa cepet nyusul hehehe
Gue : Bay, dah sono cepet Tami dikimpoiin, keburu ilang ntar. Lo udah nunggu 3 tahun buat dapetin Tami masa mau lo sia-siain.
Tami memandangi gue dengan heran, kemudian menoleh memandangi Bayu. Gue liat muka Bayu merah kayak abis makan kompor. Gue tertawa terbahak-bahak, karena gue tau cuma gue yang tau kalo Bayu udah memendam perasaan ke Tami sejak lama. Dulu Bayu cuma bisa curhat ke gue, karena menurut dia, gue lah yang paling dekat dengan Tami.
Tami : serius dari 3 tahun yang lalu"
Bayu : enggg& yak& gimana yak& .ya bener juga sih& hehehehe& . Tami : kok gak bilang dari dulu"
Bayu : kirain dulu kamu sukanya sama Baskoro& . *Tami tersenyum dan menyikut Bayu pelan*
Tami : ya seenggaknya kan kamu usaha nyatain perasaan atau gimana kek& Gue dan Anin tersenyum, kemudian Anin menengahi dengan suaranya yang lembut.
Anin : yang udah ya udah, kan nyatanya sekarang kalian jadian kan"
Tami : ya iya sih& Anin kemudian melepaskan beberapa untaian melati dari kepalanya, melipatnya menjadi beberapa bagian sehingga terlihat tebal, dan menjejalkannya ke genggaman tangan Tami. Tami kemudian memandangi Anin dengan heran.
Tami : buat apa Nin"
*Anin tersenyum* Anin : biar ketularan cepet nikah. Menurut adat Jawa katanya sih, bunga melati hiasan pengantin itu dipercaya bisa bikin orang yang dikasih itu hiasan jadi cepet nyusul nikah. Katanya sih. Hehehe.
Gue : diaminin gak nih"
Tami dan Bayu memandangi kami berdua dan tersipu malu. Gue dan Anin tertawa-tawa gak jelas melihat kedua sahabat terbaik kami yang sekarang menjadi sepasang kekasih ini.
Anin : diaminin dooong. Yok semua bilang amin yok. AAAAA& .. Gue : & ..Niiiin& .
Anin : Kok ANIN" AMIN dong! Sekali lagi, AAAAAA& .. Semua : & & Miiiin& .
Anin : nah, gitu kan pinter.
Kami berempat tertawa bahagia. Gue memandangi lampu-lampu gantung raksasa yang menghiasi ruangan besar itu, dan menghela napas. Satu lembaran baru hidup gue telah resmi dimulai, dengan seorang wanita yang sangat gue cintai berada di sisi gue, sebagai istri gue. Dan gue meninggalkan lembaran lama hidup gue tanpa rasa sesal, dan tanpa rasa sedih, karena gue tahu semua akan berakhir indah pada waktunya.
Ya, semua akan berakhir indah pada waktunya.
Epilog Teras bungalow yang terbuat dari kayu solid itu terasa akrab di hati gue. Dihiasi dengan debur ombak dan pasir putih di hadapan, gue berdiri di tepi lantai kayu teras, sambil bersandar di tiang kayu. Sesekali gue menoleh ke kanan-kiri, dan mendapati gak ada orang lain selain kami di sisi pantai yang itu. Rasanya kami seperti memiliki sebidang pantai pribadi, dan gue tertawa geli karena pemikiran itu. Gue melangkahkan kaki ke pasir putih hangat, dan berjalan-jalan sendirian ke arah tebing karang di sisi kanan gue, dan mencari tempat teduh, walaupun hanya sedikit.
Gue meraba dinding karang yang kasar itu, dan menikmati setiap detiknya. Suasana sunyi, hanya ada suara debur ombak yang yang menderu-deru. Gue melihat gelang etnik di pergelangan tangan gue, berwarna coklat tua yang sudah cukup aus dimakan usia, dan tersenyum. Barangkali memori dari gelang ini sebesar memori gue tentangnya.
------ Anin : pake ini deh mas. Anin melepaskan satu gelang etniknya, dan menyerahkannya ke gue. Dia kemudian meraih tangan gue, supaya dia bisa memasangkannya sendiri. Gue mengikutinya tanpa banyak bertanya. Kemudian dia menjelaskan ke gue sambil tersenyum.
Anin : kamu, aku dan gelang ini itu satu kesatuan yang gak terpisahkan. Gelang ini jadi saksi awal kita bertemu, kita menjalani kehidupan bersama, kita berpisah, sampe akhirnya kita dipertemukan lagi. Gelang ini jadi pengingat kita, bahwa kita selalu punya rumah untuk kembali. Dan pada akhirnya, semuanya akan kembali ke tempat kita seharusnya berada.
Gue tersenyum, dan membiarkan tangan gue terus dipegang olehnya. Gue menatap matanya yang indah, dan seakan-akan melalui matanya itu gue bisa melihat segala isi semesta pikirannya. Dan memang begitu.
Gue : hidup itu seperti puzzle ya" Semua akan kembali ke tempat keping-kepingnya berawal sebelum dipecahkan, dan gak akan tertukar dengan keping yang lain waktu mereka kembali.
Anin tersenyum sambil menunduk memainkan jemari gue yang masih berada di tangannya.
Anin : ya, seperti kamu, selalu kembali sejauh apapun kamu pergi. Seperti kita. Gue mencium keningnya lembut, dan menyibakkan beberapa helai rambut coklat kemerahan yang menutupi kening dan wajahnya.
Gue : If you need me, will I be there" Anin : It s always been a yes after all this time. ------
Gue menatap jendela berhiaskan gorden salem yang lembut di samping gue, dan sedikit meremas kaleng bir yang separuh kosong di tangan kiri gue. Kemudian gue menoleh sedikit ke kanan, dan melihat sesosok wanita berambut coklat kemerahan, sedang bersandar ke sofa empuk di belakang kami, dan menaruh kepalanya di bahu gue. Dia memakai kaos baseball berwarna putihhitam, dan celana panjang hitam.
Siaran TV yang entah menyiarkan apa, seakan hanya jadi pelengkap. Gue tahu kami berdua samasekali gak peduli tentang TV. Kami hanya ingin menikmati waktu-waktu seperti ini berdua. Mencoba mencerna apa yang sudah terjadi pada kehidupan kami berdua. Ketika satu semesta bertemu dengan semesta lain, dan mencoba menciptakan satu konstelasi baru.
Gue : I have something to say to you.
Anin menggerakkan kepalanya sedikit, dan memandangi gue. Menunggu apa yang akan gue katakan selanjutnya.
Gue : aku bisa inget dengan jelas apa yang terjadi di hidupku sejak dulu. Every single second of every day. Aku inget apa yang mama omongin ke aku sewaktu aku pertama kali masuk SD, sebelum aku naik becak yang akan membawa aku ke sekolah. Aku inget gimana aku pertama kali patah hati waktu SMP, dan menghabiskan seharian mengurung diri di kamar. Aku inget banyak hal tentang itu semua, nyaris semuanya.
Gue menarik napas sejenak, dan Anin memandangi gue dengan sabar.
Gue : But I can t remember when I fall in love with you& . *gue menunduk dan sedikit meremas kaleng bir di tangan*
Gue : it s just happened like that. I even don t know when I start to thinking about you.
Anin memejamkan mata, dan tersenyum lembut. Napasnya teratur dan halus, sehalus hatinya. Kemudian dia menggenggam sebelah tangan gue, dan menyilangkan jemarinya diantara jemari gue. Dan gue mendengar dia berkata dengan perlahan, sambil tetap memejamkan matanya.
Anin : what if I told you that we might never falling in love with each other" Gue terdiam sejenak, kemudian tersenyum sebelum akhirnya gue menjawab.
Gue : then you have to spent the rest of your life with a man who will never forgot your smile, even they didn t falling in love with each other.
Kami saling berpandangan sementara tangan kami masih terjalin satu sama lain. Selama beberapa waktu kebisuan diantara kami berdua, sampai kemudian bibir gue menyunggingkan senyum. Melihat gue tersenyum, Anin juga tersenyum. Gue kemudian memeluk kepalanya yang menempel di tubuh gue, dan mencium lembut rambutnya.
* * * * Pada akhirnya gue sadar, kisah kami berdua ini bukan melulu tentang cinta, karena kami tak pernah benar-benar bisa murni mencintai satu sama lain. Tapi kisah kami ini adalah tentang dua orang yang saling memasuki kehidupan satu sama lain, dan tak pernah pergi.
THE END Claire 2 Wiro Sableng 073 Guci Setan Perang Melawan Helmacron 1
Gue duduk sejenak di depan rotisserie itu dan menikmati segelas kopi yang kali itu adalah kopi terenak yang pernah gue minum. Mungkin karena gue kedinginan. Kemudian handphone gue berdenting lagi.
Sophia : Bas! Mbak Anin mau ke Geneva pagi ini! Gue : Geneva?"
Sophia : iya dia berangkat jam 8 nanti! Sekarang dia baru mau berangkat ke airport! SUSULIN SANA CEPET!
Gue : dia nginep di hotel mana"
Sophia : Berlin Marriott Hotel di Potsdamer Platz. Lo tau"
Gue : HAH" POTSDAMER PLATZ" GUE SEMALEMAN DI POTSDAMER PLATZ! Sophia : YAUDAH CEPET SANA BALIK! SUSULIN!
Gue segera membuang gelas kertas yang udah kosong di tempat sampah dan melesat melewati Leipzigerstrasse lagi menuju Potsdamer Platz. Gila, semalem gue turun disitu, dan ternyata Anin juga ada disitu. Gue mengerahkan seluruh kekuatan gue yang masih tersisa untuk berlari sekuat tenaga melalui Leipzigerstrasse yang panjang itu. Akhirnya gue sampai di Potsdamer Platz dan celingukan, bertanya-tanya dimana Marriott Hotel itu.
Gue bertanya ke salah satu orang yang lewat di samping gue, dan untungnya orang itu adalah orang Jerman, sehingga dia tau dimana letak Marriott Hotel. Setelah mendapatkan arah yang pasti, gue berlari menuju hotel tersebut yang ternyata hanya terletak di belakang Leipziger Platz tempat restoran fastfood gue semalam. Jaraknya masih cukup jauh ternyata, sampai akhirnya gue memasuki bagian depan Berlin Marriott Hotel. Dan gue melihat sosok yang sangat gue kenal berdiri di kejauhan.
Anin. Sosok wanita tinggi berambut coklat kemerahan dengan mantel berwarna hitam itu berdiri sekitar 50 meter dari gue, dan sebelum gue berteriak memanggilnya, dia telah masuk mobil. Gue kemudian berteriak memanggilnya, tapi terlambat. Mobil itu telah berjalan meninggalkan gue. Dan begitu juga dengan mimpi gue.
PART 127 Gue berhenti berlari dan terengah-engah, kemudian menundukkan badan bertumpu pada kedua lutut yang sudah melemah. Mobil Audi berwarna hitam itu telah menjauh, dan membawa serta orang yang gue cari setelah menempuh belasan ribu kilometer jauhnya. Semenit yang lalu dia di hadapan gue, dan sekarang dia menjauh lagi untuk pergi lebih jauh. Rasanya gue ingin berteriak sekeras-kerasnya karena frustasi. Setelah napas gue bisa sedikit kembali normal dan pikiran gue sedikit lebih jernih, gue kemudian mencari orang yang bisa gue tanyai untuk rute menuju airport.
Gue : Excuse me, Sir, bagaimana cara menuju airport dari sini" Stranger : ah, Flughafen Tegel"
Gue : ya,ya Flughafen Tegel. How do I get there by public transport" Stranger : First, you should take M41 Bus to Washingtonplatz and then from there you have to take TXL Bus to Tegel.
Gue : Umm, Washingtonplatz" I m not sure where it is. *dia kemudian menunjuk ke arah utara*
Stranger : It s about severals kilometers from here. You ll reach Bundestag, and then Bundeskanzler, and after that you ll arrive at Washingtonplatz. It s in the same area with Berlin Hauptbahnhof.
Gue : aah, yeah I know Berlin Hauptbahnhof. So, from Berlin Hauptbahnhof I must take TXL Bus to get to the airport, am I correct"
Strangers : yes, the bus is about to arrive in *dia melirik jamnya* 13 minutes. *gue terkejut*
Gue : why the bus takes so long to arrive" Strangers : they operates in 20-minutes intervals.
Gue : Err, okay. Thank you very much for the information, Sir. I m very appreciate that. Strangers : You re welcome, Sir.
Gue segera berlari lagi menuju ke tempat pemberhentian bus di sekitar Postdamer Platz Bahnhof, dan menunggu bus selama yang diinformasikan oleh orang tadi. Ketika akhirnya gue duduk di atas bus, gue merasakan kantuk dan lelah yang luar biasa. Semalaman gue bahkan gak bisa merasakan duduk secara nyaman. Waktu itu rasanya gue sudah melupakan bagaimana empuk dan nyamannya kasur. Gue memejamkan mata selama 5 menit, karena bus gak lama kemudian tiba di Washingtonplatz.
Dari Washingtonplatz gue berjalan menuju Berlin Hauptbahnhof dan menunggu bus yang akan membawa gue ke Tegel Airport. Bus yang gue tunggu-tunggu datang dalam waktu sekitar 5 menit, dan gue langsung menaikinya. Gak butuh waktu lama bagi gue untuk tiba di Tegel Airport. Hal pertama yang gue lakukan ketika turun dari bus adalah melihat sekeliling, untuk menentukan arah kemana gue harus menuju. Airport berbentuk hexagonal alias segi enam itu membingungkan gue, apalagi dalam keadaan terburu-buru seperti ini.
Gue kemudian melihat layar LCD besar diatas kepala gue, mencoba mencari mana pesawat yang menuju Geneva. Ternyata gue gak bisa menemukan Geneva disana, melainkan Zurich. Pasti turun di Zurich, trus baru ke Geneva via darat, pikir gue. Sesaat kemudian barulah gue sadar hal yang sangat jauh lebih penting dari melihat jadwal pesawat. Anin pasti ada disini sekarang.
Gue langsung melesat berlari menyusuri terminal Tegel Airport yang luas itu, berusaha mencari dimana terminal keberangkatan internasional. Setelah beberapa waktu gue mencari, akhirnya menemukan terminal keberangkatan internasional, dan bisa melihat kerumunan penumpang dari balik kaca. Gue mengamati seluruh kerumunan dengan seksama, berharap wanita yang gue liat tadi ada diantara kerumunan itu dan menyadari gue ada di belakangnya.
Selama beberapa waktu gue mencari, sesekali mengira orang lain sebagai Anin, dan gak membuahkan hasil. Gue bertumpu pada satu tangan dan bersandar di dinding kaca pembatas, sambil menghela napas berat. Gue mengeluarkan handphone dari kantong, dan menyambungkan dengan WiFi di airport tersebut. Seketika belasan chat dari Sophia masuk ke handphone gue, yang intinya menanyakan hal yang sama : ketemu Anin atau enggak.
Gue : panjang ceritanya, nanti gue ceritain kalo udah waktunya. Sophia : sekarang lo dimana"
Gue : Tegel Airport, Anin ada disini. Sophia : lo udah ketemu mbak Anin"
Gue : belom, ini daritadi gue cari-cari tapi gak ada. Sophia : lo gak bisa masuk kedalem kan" Gue : nah itu dia masalahnya.
Gue terdiam beberapa waktu, dan memikirkan segala kemungkinan yang masih bisa terpikirkan oleh otak gue dalam keadaan seperti ini. Gue masih berdiri di depan dinding kaca pembatas yang tebal, dan menunduk memegangi handphone.
Sebelumnya gue bertanya dulu kepada pembaca sekalian, percayakah kalian dengan hubungan batin yang tidak kasatmata antara kita dengan seseorang yang sangat kita cintai" Gue mengalaminya waktu itu.
Ketika gue menunduk memegangi handphone sambil bercakap-cakap dengan Sophia lewat chat, mendadak seperti ada yang menarik kepala gue untuk melihat kedalam. Seperti ada panggilan dan kekuatan yang tak terlihat yang membangkitkan kewaspadaan gue. Gue mendongak, dan memandangi kerumunan orang di dalam. Dan seketika tampaklah seorang wanita tinggi berambut coklat kemerahan dan bermantel hitam, berjalan melintasi kerumunan orang dengan menarik sebuah koper. Seorang wanita yang telah sangat gue kenal segala gesturenya. Seorang wanita yang selalu ada di hati gue selama 5 tahun. Untuk sepersekian detik gue seperti terbius dengan kehadirannya di hadapan gue. Tapi sayang dunia waktu itu memang sedang menunjukkan sisi kejamnya kepada gue.
Gue berteriak memanggil nama Anin, dan memukul-mukul dinding kaca tebal itu. Tapi sosok wanita di hadapan gue tetap berjalan tanpa menoleh sedikitpun. Gue berteriak dan berteriak, hingga orang-orang memandangi gue, tapi gue gak peduli. Gue kemudian berlari ke pintu masuk tempat para petugas memeriksa tiket, sebelum masuk melewati pemeriksaan X-Ray. Waktu itu pikiran gue gelap, dan dipenuhi rasa putus asa, dan keinginan bertemu yang baru kali itu gue rasakan sampai pada level sedemikian hebat. Gue menerobos penjagaan depan.
Sayangnya, upaya gue itu hanya bertahan 2-3 meter setelah pintu masuk, sebelum 4 orang petugas menahan gue di masing-masing tangan, dan leher gue. Gue kemudian diseret ke sebuah ruangan, dan disitu diperiksa selama beberapa waktu. Maaf gue gak bisa menuliskan apa aja yang gue alami disitu, karena gue ingin menghapus memori tentang itu. Gue malas mengungkitnya lagi. Gue percaya kalian bisa mengerti.
Ketika akhirnya gue keluar dari ruang pemeriksaan itu, gue kemudian duduk di salah satu kursi yang jauh dari situ, dan menutupi wajah gue dengan kedua tangan. Gue menangis. Gue menangis karena berbagai hal. Rasa putus asa, rasa sedih, rasa marah, dan lelah semua bercampur menjadi satu. Belum pernah dalam seumur hidup gue, gue berada dalam posisi se-down itu. Waktu itu gue bener-bener jatuh, sampai ke titik terendah kehidupan yang pernah gue rasakan. Gue menangis dan menangis, merindukan orang tua gue. Merindukan kehidupan gue yang normal. Merindukan segalanya kembali baik-baik saja.
Gue mengambil handphone dari tas ransel, karena tadi sempat digeledah dan diperiksa. Gue menyalakan handphone, dan kemudian menghubungi satu-satunya yang bisa gue ceritakan tentang keadaan gue disini.
Gue : Pi. Butuh waktu sekitar 10 menit sebelum balasan dari Sophia masuk ke handphone gue. Suara denting handphone itu adalah satu-satunya hal yang masih terdengar ramah bagi telinga dan perasaan gue waktu itu. Denting handphone itu adalah satu-satunya hal penghubung yang masih tersisa antara kehidupan gue di antah berantah ini dan rumah gue nun jauh disana.
Sophia : ya" Gimana" Ketemu mbak Anin"
Gue mengetikkan balasan sambil menangis. Tangisan putus asa dan tak berdaya. Gue : gue nyerah Pi. Gue mau pulang. Lo bisa bantuin gue"
PART 128 Sophia : Kenapa" Ada apa" Apa yang bisa gue bantu" Gue : *gue menceritakan garis besar apa yang gue alami* Sophia : astaga& .
Gue : sekarang gue udah capek, Pi. Duit gue juga udah abis. Gue mau pulang. Lo bisa bantuin gue"
Sophia : bantuin apa" Anything for you.
Gue : pesenin gue tiket pulang dong. Online. Nanti kalo udah kirim ke alamat email gue. Lo masih nyimpen kan alamat email yang dulu gue kasih ke lo"
Sophia : iya masih. Lo yakin mau pulang"
Gue : iya gue mau pulang.
Sophia : meskipun mbak Anin udah didepan hidung lo" Gue : Gue sepertinya harus belajar menerima kenyataan. Sophia : lo serius mau pulang"
Gue : entahlah. Pulang kemana gue" Sophia : lo yang lebih tau dimana rumah lo.
5 jam kemudian. Gue udah berada di dalam pesawat, sambil memejamkan mata dan meringkuk ke salah satu sisi. Kebetulan gue berada di kursi pojok dekat jendela, jadi gue bisa menyandarkan tubuh ke salah satu sisi tanpa takut mengganggu penumpang yang lain. Gue memasukkan tangan ke kantong jaket gue yang sudah lusuh, dan mencari posisi senyaman mungkin untuk tidur. Masih ada waktu 1,5 jam buat gue untuk tidur.
Kenapa gue hanya punya waktu 1,5 jam untuk tidur" Semuanya karena Sophia. -----
5 jam yang lalu. Gue sedang berjalan menyusuri terminal Airport Tegel sambil menggigit sebatang coklat. Setelah mencuci muka di toilet, gue kemudian duduk di salah satu bangku, sambil harap-harap cemas menunggu jawaban dari Sophia. Akhirnya 15 menit kemudian, datanglah denting handphone yang gue tunggu-tunggu beserta denting notifikasi email. Ini pasti tiket yang gue minta tadi, pikir gue. Gue melihat layar, dan membaca chat dari Sophia.
Sophia : cek email lo. Udah gue kirim.
Gue gak membuka chat dari Sophia itu melainkan langsung membuka email yang berisi tiket online pesanan gue tadi. Ketika gue membaca itinerary yang tertera di tiket itu, mata gue membelalak, dan gue gak percaya apa yang gue baca. Gue sampe membutuhkan 4 kali membaca ulang tiket online itu, supaya gue bener-bener yakin bahwa tiket itu diperuntukkan buat gue. Langsung gue mengetikkan chat ke Sophia.
Gue : Pi, maksud lo apa" Gue mau pulang.
Sophia : enggak. Lo gak boleh nyerah. Lo harus berhasil disana. Lo bukan pecundang kan" Gue : tapi gue udah gak ada duit lagi Piii.
Sophia : udahlah, itu gue yang tanggung. Sekarang lo siap-siap. Pesawat lo berangkat lima jam lagi kan" Lo urus semua yang harus lo urus disana.
Gue : tapi Anin gak kesitu kan"
Sophia : lo cari kereta lah kesono. Pake account gue aja. Nanti gue kirim nomernya ke lo.
Begitulah. Jadi gue udah di dalam pesawat menuju ke Zurich, yang dipesan oleh Sophia. Ketika akhirnya gue udah mendarat di Zurich, hal pertama yang gue lakukan adalah membeli nomor dan memesan tiket kereta secara online. Waktu itu di Zurich udah pukul 3 sore. Setelah semua beres, gue bergegas ke stasiun kereta yang ada di Zurich Flughafen itu, dan menunggu kereta Eurocites untuk ke Geneva.
Sekitar pukul 6 gue sampe di stasiun Geneva, waktu itu gue gak begitu memperhatikan nama stasiunnya, kalo gak salah sih Gare de Cornavin, di tepi Lake Geneva. Begitu sampai, gue langsung menghubungi Sophia, meskipun gue tau di Indonesia sudah larut malam. Tapi gue gak peduli. Gue melihat handphone, dan ternyata ada satu chat Sophia yang belum gue baca.
Sophia : mbak Anin di pinggir danau Geneva. Barusan aja dia bilang ke gue.
Gue liat chat itu bertanda 40 menit yang lalu. Satu-satunya harapan gue adalah Anin tetap di pinggir danau itu, hingga sekarang. Masalahnya adalah, danau Geneva atau Lake Geneva adalah danau terbesar di Swiss yang bahkan wilayahnya mencakup Prancis, Belgia dan Jerman. Sekarang semua gue serahkan ke keberuntungan gue. Berharap masih ada sisa-sisa dari keberuntungan gue di dalam tubuh yang sudah lelah ini.
Ketika gue berjalan keluar stasiun, dan semi berlari menuju ke arah danau Geneva berada, gue berdoa dalam hati.
Ya Allah, jika memang dia jodoh hamba, pertemukanlah.
Gue berjalan dengan cepat, melewati deretan bangunan-bangunan khas Eropa, kemudian melewati sebuah jembatan kecil, hingga jauh kemudian akhirnya gue sampai di tepi danau Geneva. Selama beberapa saat gue menyusuri tepi danau Geneva. Gue benar-benar mengharapkan keajaiban. Menemukan seseorang di tepi danau seluas 3 negara ini benar-benar merupakan suatu hal yang mustahil, apabila tidak ada campur tangan Sang Pencipta dan takdir yang sudah diatur oleh-Nya.
Gue melewati banyak kerumunan orang, yang mayoritas sedang menikmati pemandangan indah dari danau Geneva. Gue sebenarnya sangat ingin berhenti sejenak untuk menikmati, barangkali hati gue bisa lebih damai setelahnya. Tapi otak gue ternyata lebih kuat. Gue memutuskan untuk tetap mencari, dengan probabilitas yang sangat kecil. Selama gue mencari itu, bibir gue gak henti-hentinya melafalkan nama Allah, berharap Dia hadir bersama gue. Betapa gue merasa sangat kecil waktu itu. Gue merasa tak berdaya, dan memohon perlindungan-Nya. Dan ternyata Allah SWT mendengarkan doa gue.
Jika dalam hidup gue harus menyebutkan apa anugerah-Nya yang terbesar buat gue, salah satunya gue akan menunjuk ini. Keajaiban itu ada.
Gue melewati beberapa kerumunan, dan sekali lagi, gue merasakan ada kekuatan tak terlihat yang memaksa gue melihat ke satu sisi danau di hadapan gue, dan melihat satu kerumunan orang. Ada tiga orang berdiri dan berfoto-foto, sementara ada satu yang duduk di bangku sambil memandangi danau yang berkilau di hadapannya. Orang yang duduk memandangi danau itu adalah Anin.
Gue mempercepat langkah gue, dengan hati berdebar, dan perasaan syukur, gembira dan haru yang bercampur menjadi satu. Campuran rasa itu membuat dada gue serasa ingin meledak saking gembiranya. Waktu itu rasanya waktu di sekeliling gue berhenti, dan mempersilakan gue mendekati satu sosok wanita berambut coklat kemerahan dan bermantel hitam tebal, yang duduk bersandar di bangku, sambil memasukkan kedua tangannya ke kantong.
Gue mendekatinya, dan berdiri sekitar 3 meter di belakangnya. Dia sedekat ini, pikir gue terharu. Satu sosok yang selama ini bisa gue raih dengan mudah karena dia selalu ada di samping gue, tapi kali ini gue harus menempuh perjalanan belasan ribu kilometer, dengan segala perjuangan dan airmata yang jatuh untuk bisa melihatnya sedekat ini. Pada waktu itulah gue baru benarbenar merasakan betapa berharganya Anin untuk gue, seperti yang nyokap gue bilang. Dan waktu itulah gue benar-benar merasakan arti dari ungkapan kita baru akan mengerti betapa berharganya seseorang ketika orang itu sudah meninggalkan kita. Anin berada di depan gue. Dengan seluruh mimpi dan jiwa gue yang gue titipkan kepadanya.
Gue melepas ransel dari punggung, dan membawanya dengan satu tangan, kemudian bergerak menuju ke bangku tempat Anin duduk. Gue duduk di ujung bangku yang satunya, sehingga ada jarak cukup lebar diantara kami berdua. Gue kemudian menaruh ransel di antara kaki, dan mencondongkan badan ke depan, memandangi danau di depan. Sesaat kemudian gue menoleh ke samping kanan. Anin menatap gue dengan tatapan tak percaya. Gue tersenyum.
Gue : hai. PART 129 Gue : hai. Anin memandangi gue dengan tatapan tak percaya, kemudian menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Gue tersenyum memandangi Anin. Sosok yang telah gue rindukan selama ini. Berbulanbulan gue gak melihatnya. Belasan ribu kilometer gue mengejarnya. Tiga negara gue singgahi untuk bertemu dengannya. Sekarang dia di sebelah gue, dengan segala hal yang gue sayangi. Anin : kamu& ngapain disini"
*gue menghembuskan napas lewat mulut, berusaha mengatur perasaan gue sendiri* Gue : mengejar sesuatu yang paling penting di hidupku, mungkin. Anin : masihkah"
*gue tersenyum dan memiringkan kepala tanda persetujuan* Gue : well, you see me now.
Anin mengalihkan pandangan ke danau yang berkilau di hadapannya. Dia menghela napas, dan kemudian menggosok hidungnya pelan dengan satu sisi telapak tangannya. Gue memandangi Anin. Dia masih seperti yang dulu, dengan rambut coklat kemerahan kesayangan gue. Bahkan gelang etniknya mengintip dari balik mantelnya. Gue menyadari bahwa bibirnya sedikit bergetar.
Gue : melihat kamu ada di sampingku lagi adalah hal yang paling indah yang pernah terjadi di hidupku sampe sekarang& & *gue terdiam sejenak* & ..walaupun dalam keadaan seperti ini.
Anin : keadaan seperti apa"
*gue menghela napas berat, dan memandangi danau* Gue : ya kenyataan kalo kamu bukan milikku lagi.
Anin terdiam, membisu memandangi kapal-kapal kecil yang melintas di ujung seberang danau. Dia menggigit bibir, sambil menghapus air mata lembut yang mulai mengalir di pipinya. Gue masih menghapal kebiasaannya itu. Apabila dia menggigit bibir, hanya ada 2 kemungkinan, dia mau manja, atau dia menahan rasa sedih. Kali ini pasti yang terakhir. Kedua tangannya kembali dimasukkan ke dalam kantong mantel.
Anin : kenapa kamu kejar aku"
Gue : aku justru bakal lebih menyesal kalo aku gak ngejar kamu. Anin : kenapa"
*gue terdiam sejenak, dan tersenyum memandangi Anin* Gue : apa perlu alasan buat seseorang untuk mengejar cinta sejatinya"
Gue menunduk, dan memainkan jemari yang gue silangkan satu sama lain. Begitu banyak yang ingin gue ungkapkan ke Anin, tapi lidah gue terasa kelu. Segala angan dan pikiran itu hanya bermain-main di dalam kepala gue, tapi gak bisa gue ucapkan dalam kata-kata.
Gue : & .God only knows what I d be without you.
Anin menangis perlahan, dan dia menghapus airmata yang jatuh di pipinya. Ingin rasanya gue menghapus airmatanya, seperti yang telah gue lakukan selama 5 tahun ini. Tapi kali ini gue gak bisa melakukan itu, dan itu sangat menyiksa gue.
Gue : aku minta maaf atas semua yang udah aku lakuin, yang itu bikin kamu kecewa. Kalo di hidupku aku punya setitik kebaikan, aku rela menukar itu dengan maaf dari kamu. *gue menoleh ke Anin*
Gue : aku kepingin liat senyummu lagi.
Anin menarik napas panjang, hidungnya berair ternyata. Entah itu karena dia kedinginan, atau karena menangis. Dia kemudian memandangi arah lain sambil mengedip-kedipkan mata, berusaha menyetop airmatanya yang masih mengalir.
Anin : gimana kamu bisa sampe sini"
Gue tersenyum lembut, dan menegakkan punggung gue, kemudian membalikkan badan menghadap Anin.
Gue : aku ngikutin kamu dari Brussels, sampe sini. *Anin terkejut*
Anin : dari Brussels" Sejak dari Brussels"
*gue mengangguk* Gue : iya, dari Brussels, trus naik kereta ke Berlin. Kamu tau& . *gue tersenyum*& .aku liat kamu di Postdamer Platz tadi pagi. Aku berusaha ngejar kamu, manggil kamu, tapi terlambat& . *gue mengangkat bahu* & ..dan ternyata sekarang kita dipertemukan disini. Di tepi danau Geneva.
Anin : kamu ngikutin aku dari Brussels sampe sini" Gue : iya& .
Anin : untuk apa" Gue menarik ransel yang sedari tadi gue letakkan di antara kaki. Gue buka ransel itu, dan merogoh salah satu kantong terdalam yang ada. Sambil merogoh itu gue berkata ke Anin.
Gue : untuk ketemu kamu, meminta maaf ke kamu, dan yang paling penting& . *gue terdiam sejenak*
Gue : & .untuk ngasih ini ke kamu.
Gue mengeluarkan sebuah barang yang gue bawa dari Indonesia, berkelana di Eropa hingga akhirnya tiba di tepi danau Geneva. Sebuah barang kecil yang menjadi motivasi gue menempuh perjalanan panjang ini. Sebuah kotak kecil berlapiskan kain beludru berwarna biru tua.
Gue : Anindya & . *gue membuka kotak kecil itu, dan menghadapkannya ke Anin*
Gue : aku dateng dari Indonesia, menempuh perjalanan ribuan kilometer, dari Brussels, kedinginan di jalanan Berlin waktu malem, menunggu pagi di pinggir sungai Spree, lari-larian melintasi Postdamer Platz, diinterogasi petugas airport di Berlin, sampe akhirnya aku sampe di pinggir danau ini& .
*gue berhenti sejenak* Gue : & .untuk memakaikan ini di jari manismu.
Anin memandangi gue, dan barang yang gue bawa di hadapannya. Kemudian bibirnya bergetar lebih keras, dan akhirnya runtuhlah pertahanannya. Dia menangis cukup keras sambil menutupi mulutnya. Dia kemudian memegang pergelangan tangan gue, yang memegang kotak cincin itu. Gue tersenyum.
Gue : you re the best thing that ever happen to me. Maukah kamu jadi istriku"
PART 130 Gue : you re the best thing that ever happen to me. Maukah kamu jadi istriku"
Anin yang masih memegang sebelah tangan gue yang memegang kotak cincin itu, menangis keras, hingga gue panik. Gue takut kalo banyak orang yang mendengar, dan salah paham. Gue melihat ketiga orang yang foto-foto agak jauh di seberang kami menoleh ke arah kami berdua, dan memandangi dengan aneh. Gue memegang telapak tangan Anin yang tidak bersarung tangan itu, dan menyentuh kembali tangan yang sudah terpisah dari gue selama beberapa bulan. Satu sentuhan tangan yang selalu gue rindukan. Satu sentuhan tangan yang membuat gue merasa hangat hingga ke hati.
Gue berdiri, kemudian melangkah ke depan Anin yang masih duduk di bangku, kemudian berlutut di hadapannya. Berlutut dengan kedua lutut yang gue miliki, dan dengan segenap rasa cinta yang gue miliki. Gue mengulang lagi pertanyaan gue, kali ini dengan perlahan, dan sangat lembut.
Gue : Maukah kamu jadi istriku, and always be the one I love, forever and a day"
Anin masih menangis. Kemudian secara tak terduga, dia membungkuk, meraih gue dari hadapannya, dan menarik gue untuk berdiri. Sambil menangis, dia kemudian menutup kotak cincin dari beludru yang ada di tangan gue, dan memegang tangan gue erat sambil menangis. Gue menunggu apa yang akan dikatakan olehnya, sebagai jawaban. Waktu itu rasanya waktu berhenti, dan segalanya menjadi sunyi. Ketika itu rasanya hanya ada gue dan Anin yang menjadi satu-satunya objek bergerak di dunia. Seakan dunia menunggu kelanjutan kisah kami berdua.
Kemudian gue mendengar Anin bersuara. Sebuah suara indah, yang akan selalu ada di hati gue, kemanapun gue pergi. Sebuah suara yang selalu mengingatkan gue untuk pulang kerumah.
Anin : selama aku masih hidup, akan selalu ada kata ya buat kamu. Hati ini gak pernah berubah, masih dan akan selalu tetap jadi milikmu. Hari ini kamu sudah membuktikan segalanya. Dan aku tau suara hatiku gak pernah salah. Kamu masih dan selalu jadi yang terbaik dan& .
*Anin terdiam sejenak* Anin : & ..hari ini aku menemukan lagi rumahku. Sejauh apapun aku pergi, aku gak akan takut, karena aku tau rumahku akan selalu menunggu aku& .
*Anin mengusap air matanya yang keluar dengan deras* Anin : & ..aku tau bahwa kamu selalu menunggu aku& . Dan& . *Anin menangis lagi*
Anin : & ..dan aku tau kamu akan selalu menemukan aku sejauh apapun aku tersesat& .
Anin mengusap air matanya, dan menutup mulutnya dengan sebelah tangan, sebelum membukanya kembali. Kali ini tangisannya tak bisa ditahan, dan selama beberapa waktu suaranya hilang, digantikan oleh sedu-sedan tangisnya. Hingga akhirnya dia bisa berbicara lagi.
Anin : jawabanku, iya, aku mau. Dan aku yakin.
Seketika itu lenyaplah segala beban yang gue pikul selama ini. Segala rasa lelah, marah dan putus asa yang gue rasakan ketika menempuh perjalanan hingga ke titik ini, seakan lenyap tak berbekas. Yang bisa gue lakukan hanyalah menggerakkan bibir gue secara lembut, dan mengucap syukur, meskipun gue tau gak ada yang bisa menggambarkan betapa gue ingin bersyukur waktu itu.
Anin kemudian berdiri, dan kedua tangan kami saling berpegangan. Gue tersenyum dan sedikit menitikkan air mata, dan memandangi wanita yang menjadi tujuan hidup gue. Dia masih Anin yang dulu, yang selalu bawel dan manja, dan bisa menjadi dewasa dalam waktu yang sama. Dia masih wanita berambut coklat kemerahan yang rendah hati dan ramah. Dan dia masih Anin yang gue cintai, dan akan selalu gue cintai.
Gue : mimpiku adalah bisa menjadi tua bersama kamu. *Anin tersenyum kemudian berkembang menjadi tawa lembut* Anin : sepertinya aku harus belajar lagi bikin kopi yang enak setiap pagi. Gue : ya, sepertinya kamu harus&
Anin : ini bukan mimpi kan" Gue : ini berawal dari mimpi&
Kemudian Anin memeluk gue erat, dan tentunya gue balas itu dengan penuh cinta. Gue mengelus rambutnya, rambut coklat kemerahan kesayangan gue, yang selalu gue rindukan. Gue merasakan Anin menangis di bahu gue, dan itu membuat gue merasa telah kembali pulang. Gue udah pulang. Gue udah sampai dirumah.
Beberapa saat kemudian, kami berdua berjalan menyusuri jalan setapak di tepi danau Geneva. Suatu pemandangan yang kontras bagi orang-orang yang melihat. Sang wanita bergaya anggun dengan mantel hitam, scarf melingkar di lehernya dan menggunakan high heels, sementara sang laki-laki berpakaian lusuh, berjaket kotor dan menggendong ransel yang gak kalah lusuhnya pula.
Sampai kemudian kami berhenti di satu titik dimana kami bisa memandangi danau Geneva dalam keadaan terindahnya, dan kami berdiri berpegangan tangan. Kami melihat semburat matahari sore di hadapan kami, dan tersenyum. Gue berkata tanpa menoleh ke Anin.
Gue : aku gak tau harus gimana lagi harus bersyukur. Allah udah menuliskan tinta-Nya di lembaran hidupku. Dan Dia menciptakan karakter seperti kamu di hidupku. *gue tertawa lembut dan menoleh ke Anin*
Anin : kamu tau, waktu kita jauh, kadang-kadang aku suka nangis waktu malam. Gue : kenapa"
Anin : entahlah& gak kangen rumah, gak kangen kamu, gak kangen apapun. Tapi nangis aja, seperti ada satu bagian yang hilang dari hidup, dan alam bawah sadarku merespon lewat nangis.
*Anin menoleh ke gue* Anin : & and then I know, you re the last missing piece of my life. Bukan seperti rasa rindu, tapi seperti rasa hampa di dalam sini.
Gue : and now, I ll be your side until death do us part. We ve found each other, once again.
Anin : promise me that you ll never leave me anymore.
Gue tersenyum dan memandangi riak air danau agak jauh di hadapan kami. Danau itu berkilau karena sinar cahaya matahari sore yang sangat indah.
Gue : yeah. With all of my heart, honey. With all of my heart.
Anin kemudian melepaskan gandengannya, dan memeluk lengan gue, seperti yang selalu dia lakukan selama ini. Gue tersenyum dan kembali mengarahkan pandangan gue ke matahari sore di hadapan kami. Perjalanan gue yang sebelumnya gelap dan dingin bagaikan malam di Berlin, sekarang telah mencapai titik akhir, dimana gue mencapai titik terang, bagaikan sinar matahari sore di Geneva ini. Gue kemudian bergumam perlahan.
Gue : you are my happiness, and will always be.
PART 131 Gue membuka mata, dan hal pertama yang gue liat adalah langit-langit berwarna kuning, yang diterangi cahaya lampu dari bawah. Gue mengerjap-kerjapkan mata, berusaha mengingat dimana gue berada, dan jam berapa sekarang. Gue mengangkat sebelah tangan, memandangi tangan gue sendiri, kemudian menyadari gue menggunakan sweater tebal berwarna biru tua. Dimana gue"
Gue berusaha bangkit dari tempat tidur, tapi usaha gue itu menemui kesulitan. Kepala gue begitu sakit ketika gue gerakkan untuk bangkit. Seluruh tubuh gue mulai merasakan lelah dan pegalpegal yang luar biasa. Ketika akhirnya gue bisa duduk di tempat tidur, gue memandangi sekeliling, dan sebuah selimut tebal tetap menutupi setengah tubuh. Gue memicingkan mata, dan menemukan tas ransel kanvas gue yang kotor berada di sebuah sofa di seberang tempat tidur gue.
Gue kemudian menyibakkan selimut, dan turun dari tempat tidur. Gue baru menyadari kalo gue memakai celana panjang entah milik siapa, yang jelas bukan milik gue. Dengan kaku dan tertatih-tatih, gue berjalan menuju jendela, dan membuka tirai tebal yang menutupi sebagian jendela itu. Langit cukup gelap, tapi masih ada sinar matahari. Ini sore atau fajar, pikir gue bingung. Gue kemudian beranjak ke sofa, dan duduk di samping tas ransel gue, sambil memegang dahi, berusaha mengingat-ingat dimana gue, dan apa yang terjadi.
Gue kemudian mencari barang-barang pribadi gue, seperti dompet, handphone, paspor dan jam tangan, yang ternyata gue temukan itu semua ada di dalam tas ransel. Gue melihat jam, dan menunjukkan pukul 5.30. Kemudian gue melihat tanggal di jam gue. Tanggal 27. Ini sore atau fajar, pikir gue lagi. Gue kemudian menyalakan handphone yang kemudian gue tau ternyata itu mati karena lowbatt. Gue mencari charger, dan celingukan mencari colokan di sekitar situ.
Gue berjalan ke ruang sebelah, yang merupakan ruang tamu dan ruang makan. Langkah kaki gue nyaris tak terdengar, karena lantainya berlapis kayu tebal. Gue memandangi sekeliling, dan mata gue menemukan sesosok wanita yang sedang berdiri di salah satu sudut balkon. Gue menghampiri wanita itu, dan dia menoleh ke arah gue, kemudian tersenyum. Anin.
Dia menggunakan sweater tebal berwarna hitam, dengan bagian lengan yang sedikit ditarik ke atas. Rambutnya yang coklat kemerahan itu mengembang dengan indah di punggung dan bahunya. Dia tampaknya memahami kebingungan gue. Dia tersenyum sambil sedikit memiringkan kepala.
Anin : kita di Hotel Eastwest, Geneva, sayang. *gue menggaruk rambut*
Gue : ini pagi apa sore"
Anin : ini pagi, sebentar lagi matahari terbit. Gue : berapa lama aku tidur"
*Anin tertawa kecil* Anin : kamu tidur hampir 12 jam.
Gue tersenyum, kemudian menggelengkan kepala, menertawakan diri sendiri. Gue berdiri di sebelah Anin, memandangi danau Geneva jauh di depan kami. Kerlip lampu kota Geneva dari kejauhan terasa sempurna ketika dipadu dengan cahaya keperakan dari langit fajar.
Gue : bagus ya& *Anin tersenyum sambil memandangi danau jauh di seberang* Anin : lebih dari sekedar bagus&
*gue tertawa lembut* Gue : iya& *gue menoleh ke Anin* Gue : setelah ini, kita mau kemana"
Anin : aku hari ini ada acara sebentar di kantor sini, siang udah free kok. Nanti kita jalan sekalian cari makan siang ya"
*gue tertawa dan merangkul Anin* Gue : no, I mean after all this.
Anin yang berada dalam rangkulan gue, menoleh dan sedikit tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya dengan menggemaskan. Kali itu tandanya dia sedang berpikir sesuatu yang jahil. Wangi parfumnya menyeruak ketika tertiup angin.
Anin : pulang dan nikah, what else"
*gue tergelak kemudian menyentuh hidungnya lembut dengan satu jari* Gue : that s my girl.
Anin : siap LDR Jakarta Mumbai lagi" Hehehe.
Gue : ya mau gak mau sih gitu, ada pilihan lain lagi apa gimana" *Anin meringis dan menggeleng*
Anin : ya enggak sih hehehe.
Gue tertawa, dan kemudian memandangi danau lagi. Gue menikmati setiap detik dari suasana ini. Kemudian gue berbicara tanpa menoleh ke Anin.
Gue : siapa yang nyangka ya kita bakal berdiri disini berdua, dan ngeliat pemandangan kayak gini.
Anin : kalo gak karena kamu ngejar sampe sini, ya gak akan kayak gini, sayang. *gue tersenyum*
Gue : aslinya aku hampir nyerah sewaktu di Berlin kemaren. *Anin mengerling ke gue*
Anin : terus" Gue : ada seorang malaikat namanya Sophia yang nolong aku, dan ngebantu sampe sini. *Anin menunjukkan senyum pemahaman*
Anin : ooh ternyata tau aku disini dari Sophia, pantesan dia sering banget nanya-nanya aku dimana hahaha
*gue tertawa dan menoleh ke Anin*
Gue : emangnya kemaren kamu ngira Sophia kenapa" Anin : ya kirain mau minta oleh-oleh gitu hahaha Gue : dasar&
Kemudian dengan Anin berada dalam rangkulan gue, kami berdua memandangi matahari terbit yang sangat indah di ujung cakrawala, dengan kilauan danau Geneva sebagai penghias. Hari itu, bersamaan dengan matahari terbit di ujung timur, kami memulai satu masa baru. Satu masa, yang kami harap penuh dengan keindahan di dalamnya. Satu masa dimana kami bisa merajut mimpi bersama hingga akhir.
PART 132 Gue menarik koper kulit berwarna hitam, sambil menghirup kopi panas dalam gelas di genggaman gue dan berjalan menyusuri koridor yang luas itu. Di samping gue ada Anin yang hari itu memakai mantel bulu, dan memegang tiket beserta paspor kami berdua, serta tas tangan miliknya. Setelah menemukan gate tempat dimana kami akan berangkat, kamipun mencari tempat duduk. Sambil menunggu, gue menoleh ke Anin.
Gue : berapa lama ntar kita di Mumbai" Anin menjawab sambil mencari-cari sesuatu di tasnya.
Anin : paling dua malem doang sih, mas. Aku cuma mau meeting kok, sekalian ijin& *Anin menoleh ke gue sambil tertawa*
Anin : & .abis itu kita pulang ke Indonesia. *Gue tersenyum dan menyeruput kopi* Gue : banyak yang nunggu kita di Indonesia& *gue menoleh ke Anin*
Gue : & ..dan banyak yang harus kita lakuin disana hahaha. Anin : iya, banyak. Semoga nanti semua rencana kita lancar ya& *gue tersenyum sambil memandang kedepan*
Gue : iya, sayang. Semoga&
13 jam kemudian, kami sudah ada di taksi yang menyusuri jalanan Mumbai yang gelap karena hari sudah malam mendekati dini hari. Gue melihat Anin di samping gue, wajahnya lelah. Wajarlah karena menempuh perjalanan panjang. Akhirnya kami sampai di sebuah bangunan apartemen di suatu daerah di Mumbai. Kami naik ke lantai 7, dan masuk ke dalam. Gue memandangi sekeliling, ternyata hampir mirip dengan unit apartemen gue di Jakarta, cuma yang di Mumbai ini ukurannya lebih kecil.
Anin kemudian beberes meja dan menyiapkan sedikit makanan buat kami berdua disitu. Gue memperhatikan wajahnya, dan merasa iba karena dia sebenarnya lelah.
Gue : dek, istirahat aja. Kamu masih mau makan" Kalo udah gak laper mending gak usah nyiapin makanan. Aku udah kenyang kok.
Anin : lah nanti kalo mas laper gimana" *gue tertawa*
Gue : ya tinggal obrak abrik kulkas, makanin es batu. *Anin tertawa gemas dan memonyongkan bibirnya*
Gue : udah, mandi sana, trus tidur. Nanti kerja kan kamu. Eh dek, ada laptop gak disini" Anin : ada kok, ntar aku ambilin dari kamar. Mau ngapain emang mas" Gue : mulai ngurus kerjaan lagi dong, udah seminggu aku tinggalin kantor. Anin : hahaha aku lupa kalo kamu punya kerjaan mas.
Gue : aslinya aku juga lupa sih&
Anin kemudian mandi, dan setelah mandi itu dia mengantarkan laptop yang mau gue pakai tadi ke meja depan TV. Sebelum gue mengurus kerjaan yang sudah lama terbengkalai, pertama-tama gue mengurus badan sendiri dulu. Gue membersihkan badan dulu. Keluar kamar mandi, gue liat Anin duduk di sofa sambil memakai kaos dan celana pendek, sementara rambutnya dibebat oleh gulungan handuk. Dia sambil meminum sesuatu dari cangkir.
Gue duduk di samping Anin, dan mengalungkan handuk di leher sambil membuka email. Banyak kerjaan gue yang tertunda. Sepertinya sekembalinya gue ke Indonesia, bakal nginep kantor nih, pikir gue. Anin yang duduk bersila di sebelah gue ikutan melihat isi email beserta pekerjaan gue, dan dia menggumam perlahan sambil memegang cangkir di pangkuannya. Anin : banyak amat mas appointmentnya" Itu selama kamu di Eropa kemaren" *gue mengangguk sambil tertawa kecil dan tetap melihat layar laptop*
Gue : iya, sehari-hari ya segini juga dek. Cuma kebetulan ini lagi sibuk-sibuknya juga sih. Anin : lagi sibuk-sibuknya kok malah bolos kantor"
*gue tertawa gemas dan menggelengkan kepala* Gue : mending lembur seminggu daripada gak dapet istri.
Anin tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawaban asal gue itu, dan menyandarkan kepalanya ke punggung gue sambil tetap tertawa. Dia kemudian menyandarkan kepalanya di bahu gue sambil terus ikut memandangi pekerjaan gue. Sesekali dia bertanya-tanya tentang apa yang gue kerjakan. Gue menjelaskan kepadanya dengan telaten, dan Anin merupakan murid yang baik. Gue juga sesekali bertanya tentang detail pekerjaan dia disini, teman-teman sekantornya dan pengalamannya berdinas ke negara-negara yang sebelumnya belum pernah dia kunjungi. Lama kelamaan gue mendengar suaranya melemah, dan hilang. Gue menoleh ke samping, ternyata Anin tertidur bersandar di bahu gue.
Perlahan-lahan gue tutup laptop, kemudian gue gerakkan kepalanya, bersandar ke sofa yang empuk. Gue memandangi bidadari gue ini sambil tersenyum. Gue lepaskan balutan handuk di kepalanya, dan tampaklah rambut coklat kemerahan khas miliknya. Kemudian secara perlahan, gue bopong tubuhnya, masuk ke dalam kamar, dan gue selimuti dia. Sebelum keluar, gue mengecup keningnya lembut dan memandangi wajah cantiknya yang damai. Wajah yang selalu gue cintai hingga akhir gue menutup mata.
PART 133 Dua hari setelah gue dan Anin kembali ke tanah air.
Gue duduk di sofa ruang tamu yang besar dan diterangi lampu gantung kristal berwarna kuning. Sesekali gue menggerakkan kaki, untuk melemaskan otot paha dan kaki yang cukup kaku. Di hadapan gue ada beberapa cangkir berisi teh, dan stoples-stoples yang berisi makanan ringan. Hari itu, malam itu, di rumah tante Ratna, gue menjelaskan segalanya yang terjadi kepada kedua orang tua Anin, beserta tante Ratna sebagai tuan rumah.
Pertama-tama, gue meminta maaf atas perbuatan yang gue lakukan. Gue menjelaskan kronologis cerita antara gue dan Tami dari awal, tapi tanpa menjabarkan lebih lanjut apa yang menjadi masalah pribadi Tami. Awalnya Sophia menyarankan supaya masalah pribadi Tami itu diceritakan, agar memperkuat posisi gue di mata kedua orang tua Anin. Tapi setelah gue dan Anin berdiskusi berdua, dan itu cukup lama, kami memutuskan menghilangkan bagian itu. Bukan hak gue untuk menceritakan masalah orang lain, supaya gue bisa selamat. Gue harus bertanggung jawab.
Waktu itu, sebelumnya Anin berpesan kepada gue dengan gamblang.
Anin : kamu harus punya argumen yang kuat mas, karena gak semua orang bisa mengerti jalan pikiranmu waktu itu. Akupun juga gak ngerti waktu itu. Be bold, because they never be you.
Waktu gue mendengar pesan Anin itu, gue tersenyum tipis dan mengangguk. Kata-kata Anin merasuk ke dalam pikiran gue, be bold, because they never be you. Dari situlah gue mendapatkan tambahan keberanian, sekaligus rasa sesal yang semakin besar. Bagaimana tidak, seorang wanita yang tadinya gue kecewakan karena pilihan gue, sekarang berbalik menjadi orang yang paling depan mendukung dan menjaga gue. Dia memang, dan akan selalu menjadi malaikat pelindung gue.
Sewaktu gue menjelaskan segala duduk perkara kepada kedua orang tua Anin dan Tante Ratna, Anin duduk disamping gue, dan diam-diam dia selalu memegang jemari gue. Seakan dia tahu bahwa gue membutuhkan supportnya, bahwa gue membutuhkan kehadirannya, dan dia menjawab dengan sentuhan jemarinya itu. Sentuhan yang bergaung dengan sunyi: don t you worry, I ll always be by your side, you know that.
Tante Ayu : sekarang beri tante satu alasan yang masuk akal, kenapa tante harus mempercayai Mas Baskoro lagi"
Gue sebenarnya sudah sangat mengantisipasi pertanyaan semacam ini. Satu pertanyaan ringkas, tapi sangat berat untuk dijawab. Jawaban dari pertanyaan ini, adalah jawaban dari seluruh permasalahan ini. Di saat seperti itu, hal pertama yang gue lakukan adalah mengerling ke Anin, melihat raut wajahnya. Dari raut wajahnya, gue serta merta tahu apa yang harus dikatakan, dan gue mendapatkan keberanian itu.
Raut wajah Anin tenang, dan tanpa diduga, dia juga mengerling ke gue. Kami berdua berpandang-pandangan sesaat, sebelum gue bisa menerjemahkan segala bahasa diamnya, yang dia sampaikan melalui tatapan matanya. Gue menarik napas, dan mengumpulkan segenap keberanian.
Gue : saya tidak melalui apa yang sudah saya lalui selama ini, untuk mengulang sebuah kesalahan. Sebaliknya, saya juga tidak menafikan kesalahan saya, karena dari kesalahan itulah saya bisa belajar menjadi orang yang lebih baik& *gue tersenyum* & .kita tahu mana yang baik, karena ada yang buruk, bukan"
Tante Ayu : ya, tante paham itu. Bahkan sangat paham. Tapi apa jaminan bagi Om dan Tante dari Mas Baskoro, bahwa kejadian seperti kemarin tidak terulang lagi, atau kejadian semacam itu di kemudian hari" Apa jaminan buat Anin sendiri"
Gue mengerling lagi ke Anin, kemudian gue menyadari bahwa Anin mengangguk kecil. Sangat kecil, nyaris tidak kentara, tapi disertai dengan satu kedipan lembut matanya. Satu kedipan itu sudah lebih dari cukup buat gue memahami segalanya. Gue berkata dengan perlahan dan sangat jelas.
Gue : saya sudah melamar Anin sewaktu di Geneva, Om, Tante.
Bersamaan dengan itu, Anin mengangkat salah satu tangannya, dan menunjukkan jari manisnya yang telah dihiasi oleh cincin platinum. Cincin yang menjadi motivasi gue untuk membuat salah satu cerita terbesar di hidup gue. Cincin yang mengingatkan gue tentang mimpi dan tujuan hidup gue.
Kedua orang tua Anin tampak terkejut menyadari bahwa di tangan Anin telah tersemat cincin dari gue. Sejenak gue melihat ke arah Sophia yang duduk di ujung, dan dia memberikan anggukan kecil pula. Hati gue jadi semakin tegar dan mantap karena dukungan Sophia. Tante Ayu : Anin, kamu yakin"
Gue melihat Anin. Wajahnya tenang, dan damai. Tampak senyum kecil mengembang di bibirnya.
Anin : Aku enggak pernah seyakin ini dalam hidupku, Mama. Mama sendiri yang bilang ke aku dari dulu, untuk selalu mengikuti kata hatiku, selama aku yakin. Dan sekarang, aku tau apa yang sudah mas Bas lalui, dan apa yang mas Bas rasakan. Anin tau, Mama, kalo mas Bas masih mas Bas yang dulu yang selalu Anin ceritakan ke Mama.
Kedua orang tua Anin tampak berpikir dan mulai menyadari arti dari omongan Anin. Memang luar biasa sosok wanita disamping gue ini. Kata-kata yang dia ucapkan selalu lembut, terukur dan bisa membuat orang lain berpikir dari sisi dirinya, dalam sekejap saja. Satu anugerah yang dimiliki Anin, ketulusan yang begitu dalam hingga membuat orang bisa merasakan secara langsung lewat perkataannya yang santun dan lembut. Satu hal, yang di kemudian hari gue menyadari dalam lamunan gue, itulah yang dahulu disebut oleh Vina, Anin bagaikan malaikat. .
Om Harry, papanya Anin, angkat bicara.
Om Harry : apa yang membuat kamu, Mas Baskoro, yakin untuk melamar Anin"
Gue berpikir sesaat, sebelum gue menyadari remasan jemari Anin di jemari gue semakin erat. Sekali lagi dia meyakinkan gue, bahwa dia selalu bersama gue, apapun yang terjadi. Gue tersenyum lembut, dan berkata perlahan ke Om Harry.
Gue : setelah segala apa yang telah saya lalui, dan banyak hal yang mungkin tidak bisa saya jelaskan lewat kata-kata, saya yakin bahwa Anin, semoga, memang ditakdirkan bagi saya. Dan saya percaya Tuhan juga menghendaki demikian&
Om Harry : gimana kamu bisa yakin Tuhan menghendaki demikian" *gue tersenyum*
Gue : & ..Tuhan sudah terlalu berbaik hati pada saya, Om. Saya kira sudah sepantasnya kalau saya tidak mengecewakan-Nya.
Di halaman belakang, gue, Anin dan Sophia berdiri di teras sambil memandangi kolam renang yang beriak kecil. Sophia tertawa perlahan, dan meninju lengan gue lembut. Kami bertiga berdiri sambil memegangi gelas yang berisi minuman rasa jeruk di tangan masing-masing.
Sophia : gue bangga punya kakak kaya elo. *gue tersenyum dan memiringkan kepala* Gue : seharusnya gue yang bilang gitu. Tanpa lo, gue gak akan sampai disini. Anin : terimakasih ya Pi, buat semua yang udah kamu lakuin buat kami berdua.
Sophia memandangi minuman di tangannya sejenak, kemudian tertawa perlahan, dan memalingkan pandangan ke kolam renang. Dia kemudian berkata dengan lirih sambil tersenyum.
Sophia : iyalah, apapun bakal gue lakuin buat pasangan kesayangan gue.
Kami bertiga tertawa, dan Anin memeluk Sophia dengan sebelah tangan. Pelukan erat, yang juga mewakili rasa terimakasih gue kepadanya. Tanpa Sophia, cerita ini gak mungkin ada.
PART 134 Gue memandangi sepatu berbahan kanvas yang gue kenakan, dan memandangi danau buatan yang terhampar di hadapan gue. Sore itu cuaca cukup berawan, dengan angin yang cukup kencang menerpa. Gue duduk di sebuah bangku dari semen, dan sesekali memandang ke beberapa orang yang lewat di samping gue, dan melintas di balik punggung gue. Agak di kejauhan, gue melihat dua orang wanita, berjalan berdampingan melintasi jalan setapak di tepi danau. Mereka berbicara, sesekali tertawa, dan tersenyum. Ketika salah satu dari mereka melihat ke arah gue, dan diikuti oleh wanita yang satu lagi, gue balas tersenyum dan sedikit melambaikan tangan.
Kedua wanita itu tertawa kecil, dan berlalu dari hadapan gue, hingga sampai ke sebuah dermaga kecil di salah satu ujung danau. Dari kejauhan gue melihat mereka berdua bersandar di pagar dermaga yang terbuat dari kayu, dan rambut mereka berkibar karena angin yang bertiup kencang. Dari raut wajah mereka, gue bisa mengetahui kira-kira apa yang mereka bicarakan. Gue kemudian mengalihkan pandangan ke langit yang tertutupi oleh awan tipis.
Satu simpul dalam hidup gue dan Anin sudah terselesaikan, yaitu keluarga Anin. Sekarang satu simpul lain, yang menurut gue gak kalah sulitnya, Tami. Sore ini, untuk pertama kalinya setelah waktu yang lama, Anin dan Tami bertemu. Gue sengaja menarik diri dari pembicaraan mereka berdua, dan membiarkan kedua wanita ini memiliki quality time nya sendiri. Gue yakin, mereka telah sama-sama dewasa, dan bisa saling mengerti satu sama lain, ditambah lagi dengan sifatsifat yang mereka miliki.
Gue memandangi anak perempuan gendut berambut pendek, yang dengan bahagia memegang setangkai gula-gula kapas berwarna merah jambu, sambil memegang tangan ibunya erat. Wajah anak itu begitu damai, begitu murni dan bahagia. Dunia masih akan menjadi tempat yang ramah baginya, setidaknya untuk beberapa masa ke depan. Diam-diam, gue merindukan masa-masa kecil gue, dimana tangan gue berada di genggaman tangan bokap atau nyokap, dan gue tertawa bahagia ketika setangkai gulali berada di tangan gue yang lain. Gue tersenyum kecil dan diamdiam bersyukur atas senyum yang mengembang di bibir anak perempuan itu.
Gue menghela napas panjang, dan mencoba membayangkan jalan yang akan gue lalui kedepan. Gue mengingat-ingat lagi apa yang telah terjadi di hidup gue beberapa bulan terakhir ini, dan hal itu membuat gue tersenyum sambil menggelengkan kepala pelan. Gue masih takjub, betapa Tuhan menorehkan suatu kisah di hidup gue, suatu pengalaman yang akan terus berharga bagi hidup dan jiwa gue selamanya.
Tanpa gue sadari, ternyata Anin dan Tami melangkah mendekat ke arah gue. Sambil tersenyum bersyukur, gue memandangi mereka berjalan berdampingan, dengan tawa lembut menghiasi kebersamaan mereka. Dua wanita yang bersifat bagai kutub, ternyata ada satu masa dimana mereka bisa bersatu. Mereka kemudian duduk di sebelah gue, dengan posisi Anin ada di tengah. Kemudian gue mendengar Tami berbicara lembut.
Tami : gue turut berbahagia atas kalian.
Gue tersenyum sambil memainkan kaki gue. Entah apa yang harus gue katakan saat ini. Gue yakin Anin juga sedang memilah-milah kata di pikirannya, untuk merangkai sebuah kalimat yang ingin diucapkannya.
Tami : kalian berdua memang tercipta satu sama lain& .
Tami tertawa kecil dan menyibakkan rambutnya ke belakang. Gue memperhatikan, ternyata rambutnya dia sudah tumbuh cukup panjang, gak sependek dulu sewaktu masih kuliah.
Tami : & .dan gue bersyukur mengenal kalian di hidup gue. Kalian udah ngasih gue banyak pelajaran *Tami menoleh ke arah kami berdua* & .dan untuk itu gue mengucapkan banyak terima kasih.
Tami kemudian memandangi Anin sambil tersenyum dan memegang sebelah tangannya.
Tami : aku gak bisa membayangkan orang lain lagi yang bisa jagain Baskoro selain kamu, Nin. Kamu memang yang terbaik, dari semua cewek yang gue tau kenal Baskoro. *Anin tertawa lembut, kemudian menoleh ke gue sambil tersenyum jahil* Anin : ada cewek mana lagi yang belum kamu ceritain mas"
Kami bertiga tertawa, dan merasakan satu atmosfer yang damai. Satu keadaan yang akhirnya datang kepada kami, dengan tidak mudah. Dengan penuh pengorbanan, air mata dan doa yang selalu terucap dari setiap hening kami. Gue menarik napas panjang, dan menunggu apa yang akan terjadi setelah ini.
Anin : terimakasih ya Tami, buat semua yang sudah kamu rasakan selama ini. Terimakasih sudah ngejagain mas Bas selama 4 tahun kalian di kampus. Terimakasih buat segala ketulusan dan kebesaran hati kamu& .
*Anin menarik napas*
You Are My Happines Karya Baskoro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anin : kamu cewek yang hebat, Tami. Mulai sekarang, dan selamanya, kamu keluarga kami. Kalo kamu bersedia, tangan kami selalu terbuka buat kamu. Kami semua sayang kamu. Tami tersenyum memandangi Anin. Dan, sesaat kemudian, mereka berpelukan, dengan tangis haru di pundak masing-masing. Perasaan anak manusia memang bisa selalu berubah. Dulu, mereka bagaikan musuh, sekarang mereka bagaikan saudara yang tak terpisahkan.
PART 135 Gue menoleh tepat ketika microwave di sudut dapur berdenting, dan mengeluarkan sup krim dari dalamnya. Sambil membawa mangkok berisi sup itu, gue bergerak ke sofa, kemudian menghirup sedikit-sedikit sambil mengganti-ganti channel TV. Gue melirik ke handphone yang tergeletak di meja, ternyata sepi gak ada apa-apa. Hari itu hari Sabtu, dan tepat seminggu sejak Anin balik ke Mumbai. Sendirian lagi gue disini, pikir gue.
Setelah gue menghabiskan sup itu, perhatian gue beralih ke beberapa lembar brosur wedding organizer.Dengan serius gue membaca-baca lagi isi brosur itu, meskipun sebenernya udah puluhan kali gue liat. Beberapa WO yang brosurnya ada di tangan gue ini adalah hasil dari rekomendasi Sophia. Gue, Anin dan Sophia sebenernya udah berdiskusi kecil-kecilan tentang ini, tapi memang belum ada solusi yang bulat. Keputusannya nunggu Anin balik ke Jakarta lagi, sekalian membicarakan acara lamaran resmi.
Gue merapikan kembali tumpukan brosur itu, dan kemudian perhatian gue terpusat ke acara variety show Running Man. Gara-gara Anin nih gue jadi demen nonton korea-koreaan, sampe sekarang. Hahaha. Beberapa waktu kemudian, handphone gue berbunyi. Gue membaca identitas penelepon, dan mengangkatnya.
Gue : Halooo& Anin : Halo dengan Pak Baskoro" Ini dari polsek pak. *gue tertawa*
Gue : bu polwan dari polsek mana yah" *dari ujung sana terdengar Anin terkekeh* Anin : polsek Maharashtra& Kejauhan yak" Gue : nah itu tau hahaha&
Anin : lagi ngapain mas"
Gue : lagi nonton Running Man. Kena deh.
Anin : hahahahaha dibilangin juga apa, pasti kena virusnya deh. Gue : hahaha iya juga ya. Kamu lagi ngapain sayang" Anin : abis ngegym nih&
Gue : pasti belom mandi. Anin : hehehehe kok tau syiih& Gue : udah apal aku mah&
Dan begitulah, telepon dari Anin itu berlangsung sekitar 30 menit, sebelum gue ultimatum dia untuk mandi. Di negara orang yang tetep males mandi ya cuma Anin itu, setau gue. Ketika gue udah selesai bertelepon dengan Anin, mendadak handphone gue berbunyi lagi. Gue melihat nama penelepon dan tertawa. Laris amat gue pagi ini.
Gue : halooo& . Sophia : haloo, dimana lo" Gue : di hati kakak lo. Hahaha.
Sophia : aish, pasti ngaco deh. Di rumah" Gue : iya gue di rumah kok. Kenapa emang" Sophia : lo ada acara hari ini"
Gue : enggak, gak ada apa-apa. Kenapa" Mau ngajak main" Sophia : temenin gue yuk, gue mau cari sesuatu. Gue : oke siap, lo mau kesini"
Sophia : iya, lo siapnya jam berapa" *gue melirik ke jam dinding*
Gue : jam 11 gue udah siap kok. Lo bisa" Sophia : oke.
Jam 12 siang tepat gue udah berada di dalam mobil Sophia, tapi kali ini gue yang ada di kursi penumpang. Wajarlah, gue gak tau kemana dia mau pergi, kalo gue sok tau ntar malah kesasar. Ternyata gue dibawa ke GI. Wah, diajak belanja nih gue, pikir gue sambil memandangi jalanan di samping gue dan mengusap-usap bibir. Di GI itu gue menemaninya beli sepatu. Karena penasaran, gue iseng nyeletuk.
Gue : cowok lo gak kenapa-kenapa nih gue nemenin lo gini" *Sophia tertawa*
Sophia : gakpapa kok, tenang aja, tadi gue udah bilang kalo sama lo.
Gue : emang dia tau gue"
Sophia : tau lah, gue udah dari dulu cerita ke dia tentang lo, gue bilang lo itu calon kakak ipar gue yang gila. Hahaha.
Gue : buset gue dibilang gila. Emang kenapa gitu" *Sophia tersenyum ke gue*
Sophia : karena kalo lo gak gila, gak bakalan lo bisa dapetin mbak Anin lagi.
Sesaat kemudian dia bersungut-sungut sambil memandangi deretan sepatu di rak yang terletak di hadapannya.
Sophia : cowok gue tuh ya, kalo udah liat mbak Anin, matanya gak bisa diem! Kan kesel gue jadinya&
*Sophia menoleh ke gue* Sophia : & tapi abis gue tunjukkin foto lo, dia jadi takut sendiri hahaha. *gue tertawa*
Gue : kenapa emang" Sophia : ya abisnya lo sama mbak Anin gede-gede gitu badannya. Komentarnya dia kalo mereka nikah anaknya segede apa yah"
*gue menggeleng-gelengkan kepala*
Gue : itu kesekian kalinya gue denger pertanyaan semacam itu hahaha.
Setelah beberapa kali keluar masuk tenant yang ada, gue dan Sophia memutuskan berhenti di salah satu coffee shop yang gue yakin banyak pembaca yang tau. Sambil memandangi secangkir hazelnut latte yang diterangi oleh lampu diatas kepala, gue tersenyum ke Sophia, dan berkata lembut.
Gue : Pi, sekali lagi gue berterimakasih yang sebesar-besarnya atas apa yang udah lo lakuin ke gue dan Anin ya. Serius, seumur hidup gue akan selalu berterimakasih ke elo.
Sophia tersenyum dan mengaduk minumannya, kemudian mengibaskan rambutnya ke atas. Dia menyedot sedikit minumannya, sebelum menjawab gue.
Sophia : sudahlah, lo gak perlu terlalu berterimakasih ke gue kayak gini. Apa yang udah gue lakuin buat kalian berdua, gak ada apa-apanya sama apa yang udah lo lakuin buat mbak Anin.
*gue tersenyum* Gue : kebalik&
Sophia memandangi gue dengan tatapan aneh.
Sophia : kok bisa kebalik"
Gue : & . justru Anin lah yang udah berbuat banyak untuk hidup gue. Gue bersyukur, bahwa gue masih diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan gue kepadanya, kemarin. Dan kesempatan itu gue dapetin lewat lo. Gue gak bisa membayangkan gimana menyesalnya gue seumur hidup, kalo gue gak bisa meminta maaf ke Anin.
*Sophia tertawa kecil* Sophia : gue mau nanya& .
*Sophia membetulkan posisi duduknya*
Sophia : & ..waktu lo ke Eropa kemaren, lo udah yakin kalo lamaran lo bakal diterima mbak Anin"
Gue terdiam sejenak memikirkan pertanyaan Sophia itu, kemudian gue tersenyum sambil menunduk. Gue menggelengkan kepala.
Gue : enggak, gue samasekali gak tau& *gue mendongak memandangi Sophia*
Gue : & .yang gue tau adalah gue punya satu kesempatan sekali seumur hidup untuk meminta maaf ke seseorang yang sangat gue cintai, tapi gue mengecewakannya. Sophia : sebegitu berharganya kah"
Gue tertawa kecil, dan meminum minuman gue sebelum menjawab pertanyaan Sophia. Gue berkata dengan lembut dan perlahan.
Gue : adakah yang lebih buruk daripada hidup dalam rasa bersalah dan penyesalan yang gak terucap"
PART 136 Orang-orang dengan menarik koper atau menggendong tas berlalu lalang di depan gue. Sambil memasukkan jemari ke kantong jeans, gue berdiri memandangi pintu dan sesekali melihat layar di atasnya. Gue melirik jam tangan, sudah waktunya. Setelah beberapa waktu, tampaklah orang yang gue tunggu-tunggu. Seorang wanita cantik berambut coklat kemerahan, dengan baju terusan berwarna putih selutut. Di punggung dan bahunya membelit pashmina berwarna pastel yang ujung-ujungnya terlihat di tepi tubuhnya. Salah satu tangannya membawa tas berwarna coklat tua. Dan itu masih ditambah dengan heels yang menghiasi kakinya.
Dia menyadari gue ada disitu, dan langsung menghampiri gue sambil tersenyum dan membentangkan tangannya. Gue tersenyum dan menyambut pelukannya, dan mencium keningnya lembut. Gue memandangi wanita disamping gue ini, kemudian tertawa sendiri. Anin : kenapa"
*gue menggeleng* Gue : tambah gendut"
*Anin langsung melihat perutnya*
Anin : ah masak sih" kayaknya disana aku ngegym terus deh.
Gue : ya ngegym tapi abis itu makan rogan josh semangkok pake nasi ya sama aja, sayang.
Anin meringis kemudian menggigit sedikit bibir bawahnya. Mukanya jahil bener. Dia kemudian menggandeng lengan gue, dan kami berdua menuju ke parkiran mobil yang letaknya cukup jauh. Selama di mobil itu gue dan Anin ngobrol layaknya pasangan seperti biasa. Gue antarkan Anin ke rumah Tante Ratna, dan kemudian gue berjanji nanti malam gue akan main kesana.
Malamnya, gue, Anin, Sophia dan Tante Ratna duduk di gazebo di tepi kolam renang sambil ngobrol, ditemani dengan berbagai makanan ringan di hadapan kami. Tujuan Anin pulang ya sebenarnya ini, membicarakan banyak hal dengan keluarganya. Malam ini agendanya adalah ngobrolin acara lamaran, yang disarankan oleh Tante Ratna untuk dilakukan secepatnya. Anin duduk di samping gue sambil mengunyah keripik singkong, sampe dia menyadari kalo gue memandanginya. Dia sadar arti pandangan gue itu, dan kemudian meringis manja sambil menutup stoples berisi keripik singkong itu.
Tante Ratna yang menyadari apa yang terjadi antara gue dan Anin, tertawa gemas.
Tante Ratna : Anin ya kayak gitu itu Bas, tukang ngemil. Gak ada yang ngalahin dia kalo soal ngemil.
*gue tertawa* Gue : iya tante, kadang-kadang saya sampe tobat sendiri ngeliatnya. Tante Ratna : besok kalo udah serumah, dijamin banyak banget persediaan camilannya hahaha
*Anin cemberut* Gue : kayaknya saya perlu bikin satu gudang sendiri buat camilan& Seketika Anin bersemangat lagi, matanya berbinar-binar sambil memegangi lengan gue.
Anin : wah, ide bagus itu mas! Ya, ya, besok bikin ruangan khusus ya" Gue : wah salah ngomong aku& .
*Tante Ratna dan Sophia tertawa bareng*
Malam itu, banyak hal telah kami sepakati. Mulai dari tanggal, konsep hingga tamu-tamu yang akan diundang di acara sederhana itu. Sophia disitu bertugas sebagai notulis, sementara tiga yang lain bertugas sebagai pembicara dan tukang ngemil. Menjelang tengah malam, gue berpamitan dan pulang.
Sejak saat itu, segalanya terasa cepat bagi gue dan Anin. Rutinitas hidup kami berdua membuat waktu berjalan tanpa kami sadari. Tahu-tahu gue sudah berada di salah satu hari terpenting di hidup gue, yaitu hari lamaran gue dan Anin. Perhelatan sederhana itu mengambil tempat di rumah Anin, yang sepertinya para pembaca gue sudah pada menyadari dimana letak kotanya. Satu tempat yang sudah lama gak gue kunjungi, dan membangkitkan banyak kenangan bagi kami berdua.
Gue memakai baju batik berlengan panjang berwarna merah kehitaman, sementara kedua orang tua gue juga memakai batik kembar yang senada. Kakak-kakak gue juga hadir, bersama keponakan gue yang waktu itu baru berusia beberapa bulan. Keluarga gue disertai dengan beberapa kerabat lain datang di rumah Anin, dan disambut dengan sangat ramah.
Selama acara itu berlangsung, gue yang duduk di antara kedua orang tua gue, memandangi Anin yang duduk di sudut sambil tersenyum. Sesekali gue mengedipkan sebelah mata, dan dia tertawa sambil menutupi mulutnya dengan sebelah tangan. Di acara itu otomatis gue banyak terdiam, dan menjadi penonton, meskipun aslinya itu adalah acara lamaran gue. Gue juga melihat Sophia dan Shinta duduk bersebelahan, dan tersenyum ketika menyadari gue memandangi mereka. Gue mengangguk perlahan, dan tertawa.
Ketika akhirnya acara itu selesai, gue menyempatkan diri untuk bertemu mereka berdua.
Shinta : kok tumben ganteng amat mas"
Gue : ngeledek aja nih, biasanya kan juga ganteng. Shinta : ah udah lama gak liat mas Bas, kok jadinya buluk. Gue : au ah ngambek&
Shinta : Sophia : ini baru awal ya, Bas" Habis ini bakal tambah repot hahaha Gue : nah itu pokoknya gue serahin ke lo hahahaha
Sophia : ah lo mah jadi kebiasaan apa-apa minta tolongnya ke gue Gue : ya kan yang dekeeet hehehe
*gue menoleh ke Shinta* Gue : Shin, Opi dibantuin ya besok-besok ini. Kasian kalo dia sendirian& Shinta : ini ada komisinya gak"
Gue : dih ni anak& Gak lama kemudian, Anin datang sambil menggendong Raja, keponakan gue yang baru berusia beberapa bulan. Di belakang Anin gue liat mbak Novi juga ikut bergabung. Anin tersenyum lebar ketika melihat gue menoleh ke arahnya.
Anin : maaasss, Raja lucu banget yaaa! Emesh emesh emesh hiiihh!
Anin menciumi Raja yang memang mukanya bulat seperti bola itu. Kami semua tertawa melihat Anin sebegitu gemasnya sama si kecil Raja itu. Mendadak muncul niat iseng gue. Gue celingukan.
Gue : lho, mbak Novi mana ya"
Meskipun gue udah tau mbak Novi ada disitu, tapi karena badannya dia paling kecil diantara kami berlima, makanya gue kerjain. Dan itu sukses membuat dia nyubitin gue dengan kesel, kemudian bersungut-sungut ke gue sambil menyeringai gemas.
Mbak Novi : punya adek satu kok durhaka gini hiiih Semua :
Gue kemudian tersenyum memandangi semua orang yang ada di sekeliling gue ini. Gue memperhatikan mereka berbicara, bercanda dan tertawa satu sama lain. Gue sadar, mereka semua disini adalah karena gue dan Anin. Lewat kami berdua, mereka semua dipertemukan dan menjadi akrab. Gue sangat bersyukur karenanya. Mendadak mata gue menemukan satu sosok yang sudah sangat lama gak gue liat. Pembantu rumah tangga Anin yang sejak lama gue kenal, Mbok Nah.
Gue berjalan meninggalkan mereka, dan menuju ke dapur, tempat mbok Nah berada bersama beberapa orang lain yang membantu jalannya acara. Mbok Nah kaget melihat gue datang, dan berdiri. Gue tersenyum, memberikan isyarat kedua tangan kepada mbok Nah untuk tetap duduk. Gue kemudian berjongkok di depan ibu tua yang baik hati dan setia itu.
Gue : halo mbok, sehat-sehat kan"
Mbok Nah : alhamdulillah sehat, mas. Selamat ya mas, sudah lamaran. Semoga lancar sampe nikahan nanti.
*gue tersenyum* Gue : amiin, iya mbok, saya mohon doa restunya ya mbok.
Mbok Nah : iya pasti mas. Wong saya sudah kenal mas Bas ini sudah lama sekali& Berapa tahun ya mas"
Gue : 5 tahun mbok& Mbok Nah : wah sudah 5 tahun ya, gak terasa&
Gue tersenyum, memandangi wajah mbok Nah yang semakin menua dan renta. Dulu waktu pertama kali gue kemari, 5 tahun yang lalu, beliau juga sudah cukup tua. Sekarang, wajahnya semakin menua, dan giginya semakin jarang. Gue masih berjongkok di depan mbok Nah yang duduk di bangku plastik, sambil memegang tangannya dengan kedua tangan gue.
Mbok Nah : nanti kalo mas Bas sudah nikah sama mbak Anin, titip mbak Anin ya& *gue mengangguk*
Mbok Nah : mbok udah jagain mbak Anin sejak dia masih SD kelas 1 dulu, sekarang udah mau menikah& mbak Anin udah seperti anak mbok sendiri&
Gue menyadari bahwa mata mbok Nah berkaca-kaca. Betapa gue sangat menghormati sosok beliau ini. Sosok yang nyaris selalu ada di setiap kehidupan Anin, tapi mungkin gak dikenal oleh banyak orang. Beliau mencintai Anin, layaknya anak sendiri, tanpa mengharapkan balasan apapun. Gue menggenggam erat tangan beliau, dan berkata dengan sungguh-sungguh.
Gue : iya mbok, saya akan jagain Anin seperti mbok jaga Anin sejak dulu. Terimakasih ya mbok, udah ikut merawat dan membesarkan Anin. Sampai kapanpun, saya dan Anin akan tetap menganggap mbok seperti orang tua kami sendiri. Saya dan Anin minta doa restunya ya mbok& .
Mbok Nah kemudian menghapus air matanya yang telah mengalir di pipinya yang keriput dan merenta itu, kemudian tanpa gue duga, dia memeluk gue. Gue balas memeluk beliau, dan mengelus punggung beliau pelan. Gue tahu, tangisan beliau itu adalah tangis haru dan tangis sedih. Haru, karena akhirnya anak yang dia ikut besarkan semenjak kecil hampir menapaki satu masa baru. Sedih, karena beliau menyadari bahwa mungkin perannya akan semakin berkurang, dan dia akan semakin terlupakan dalam roda hidup manusia.
Waktu itu gue menyadari, sekali lagi gue mendapatkan pelajaran dari ketulusan cinta manusia. Betapa mbok Nah menyayangi Anin dan Shinta, dua anak perempuan yang bukan darah dagingnya, seperti anak kandungnya sendiri. Bahkan mungkin melebihi.
PART 137 Waktu berputar dan berlalu begitu cepat dalam hidup, seakan siap meninggalkan siapa saja yang gak bisa mengikuti ritmenya. Dan memang benar bahwa waktu selalu menjadi yang paling bijaksana terhadap hidup kita. Serahkan aja semua kepada waktu, nanti dia lah yang akan menjawab semuanya.
Kalau gue menghitung kembali skala tentang apa yang udah gue capai dalam hidup ini, dalam angka satu sampai dengan sepuluh, hitungan gue pasti akan berantakan. Karena akan selalu ada mimpi-mimpi baru yang menggantikan mimpi lama yang telah terwujud, atau tertunda. Waktu memang gak akan berjalan mundur, dan udah merupakan takdir kita untuk menyikapinya dengan mengisi waktu yang akan selalu berlalu itu dengan mimpi-mimpi kita.
Dan gue menyadari, bahwa Anin bukanlah mimpi gue. Anin bukanlah mimpi gue, melainkan dialah pembentuk mimpi gue. Kalau di masa-masa yang lalu gue bermimpi ingin membahagiakan Anin dengan segenap hati gue, maka sekarang gue mulai bisa bermimpi untuk bisa memiliki Anin seumur hidup gue. Mimpi gue suatu saat akan lenyap dan digantikan oleh mimpi yang baru, tapi gue berharap Anin tetap menjadi alasan gue untuk selalu bermimpi.
Gue mengangkat cangkir yang berisi teh di hadapan gue, sebelum sebuah suara membuyarkan lamunan.
Sophia : lo pernah gak, berpikir kemana lo akan berada sekarang, seandainya lo gak sama mbak Anin"
Gue menghirup sedikit isi cangkir, dan meletakkannya kembali. Gue memandangi Sophia, yang kali itu memakai celana pendek, dan kaos oblong seadanya. Rambutnya tergerai acak-acakan di bahu. Wajar kalau dia berpakaian seperti itu, karena sekarang kami berada di halaman belakang rumah Tante Ratna.
Gue : ya& kadang-kadang gue juga mempertanyakan hal yang sama. Tapi mungkin gue akan menemukan jalan lain& *gue menghela napas* & .dan terus berharap.
Sophia membetulkan rambutnya yang acak-acakan, menguncirnya ke belakang, dan bertanya ke gue.
Sophia : berharap seperti apa maksud lo"
Gue mengangkat bahu sedikit, kemudian tersenyum sambil memandangi kolam renang yang beriak lembut di hadapan kami. Suasana sunyi, yang terdengar hanyalah suara binatang malam dan nafas kami berdua.
Gue : entahlah. Berharap menemukan tujuan hidup yang baru mungkin"
Sophia terlihat berpikir, dan memandangi kolam renang. Gue diam-diam tersenyum, melihat transformasi cewek bernama Sophia ini. Di awal pertemuan kami, layaknya segala pertemuan dimana aja, masih terasa canggung. Kemudian ada insiden yang membuat dia membenci gue, tapi di sisi lain dia juga satu-satunya orang yang masih mau mendengarkan gue. Kemudian ada waktu dimana dia menjadi satu-satunya orang yang bisa menolong gue, dan dia melakukannya. Dan sekarang, dia jadi orang yang paling dekat dengan gue, selain kakaknya, tentu saja.
Sophia, yang punya insting tajam seperti elang, menyadari kalo gue memandangi dia sambil tersenyum.
Sophia : kenapa" Gue : ah enggak kenapa-kenapa&
*Sophia memiringkan kepala, tatapannya menyelidiki* Sophia : lo ngeliatin gue pasti ada sesuatu. Kenapa"
Gue tertawa lembut sambil memandangi kebun dan kolam renang di hadapan gue. Sophia bertanya ulang.
Sophia : kenapa" Gue : gakpapa, gue takjub aja liat perubahan lo. Sophia : perubahan yang kayak gimana maksud lo"
Gue : perubahan sikap lo ke gue. dari awal, kita gak begitu saling kenal, terus lo benci sama gue& *gue tertawa* & dan sewaktu gue di Eropa, lo pahlawan gue& *Sophia tertawa kecil*
Gue : & .dan sekarang lo adalah orang yang paling deket sama gue. Sophia : bukan mbak Anin"
Gue : diluar dia, tentunya.
Sophia tersenyum, kemudian memainkan karet gelang di tangannya. Dia menarik napas dan kemudian menghembuskannya dengan cepat lewat mulut.
Sophia : sepertinya lo dan gue adalah contoh paling nyata dari gimana manusia bisa berubah ya.
Gue : itu tergantung dari apa mimpi kita kok. Sophia : gue gak paham maksud lo.
Gue tersenyum, kemudian menjelaskan kepadanya sambil bertopang dagu.
Gue : kadangkala, kita butuh waktu untuk menemukan apa mimpi kita. Gue, seperti lo tau, pernah melakukan kesalahan kan" Waktu itu gue mungkin belum yakin apa mimpi gue yang sebenarnya&
*gue menghirup teh dari cangkir*
Gue : & .tapi kemudian gue udah pernah jatuh, dan gak cuma sekali. Dan itu membuat gue tersadar lagi apa mimpi gue, dan bagaimana berharganya kesempatan untuk kembali bangkit.
Sophia kemudian menggeser duduknya, dan bertopang dagu persis sama seperti gue. Sehingga sekarang kami berdua saling berhadap-hadapan dengan bertopang dagu. Dia tersenyum.
Sophia : gue kagum sama lo. Jarang gue bisa nemuin orang dengan kemauan dan pemikiran seperti lo.
Gue tersenyum. Sophia : entah apa yang udah mbak Anin lakuin, tapi sepertinya dia memilih lo bukan sekedar dari apa yang terlihat dari lo&
Gue : terus" Sophia : & .dia milih lo lewat mata hatinya.
Gue menjawabnya dengan menaikkan alis gue. Gue kemudian tertawa perlahan.
Gue : kenapa lo mendadak ngomongin soal ini sih" Sophia tertawa, dan kemudian gue menyadari bahwa pipinya sedikit bersemu merah. Dia kemudian menyilangkan kakinya diatas bantalan kursi, dan memandangi langit malam, yang waktu itu sedang bulan purnama.
Sophia : enggak papa. gue seneng liat kalian berdua aja& . *dia menurunkan kepalanya dan memandangi gue* & . berjanjilah sama gue, lo bakal selalu jagain mbak Anin. Ya" Gue terdiam, dan tersenyum. Butuh beberapa detik buat gue untuk menjawabnya.
Gue : iya, gue janji, Pi&
PART 138 Gue membuka mata, dan hal pertama yang gue liat adalah kegelapan. Beberapa kali gue mengedipkan mata, mencoba menerka dimana gue berada, dan mengumpulkan kesadaran. Gue menoleh perlahan ke samping dan melihat pemandangan gemerlap lampu kota tersaji di hadapan gue. Seketika gue sadar, bahwa hari masih gelap, dan malam sepertinya masih panjang. Tangan gue menggapai-gapai salah satu sisi tempat tidur, dan menemukan handphone disana. Gue melihat angka jam yang tertera di layar.
Pukul 2.18 pagi. Gue bangkit dan duduk di tepi tempat tidur, sambil menggaruk-garuk rambut yang sebenarnya gak gatal. Sesekali gue menguap, dan mengumpulkan lagi kesadaran gue. Setelah beberapa saat, mata gue telah terbuka sepenuhnya. Gue menyalakan lampu tidur di samping tempat tidur, dan berdiri di hadapan jendela besar di kamar gue, sambil memandangi kota. Pikiran gue melayang ke segala fragmen-fragmen kecil kehidupan yang pernah gue lalui. Beberapa sosok yang sebelumnya samasekali gak pernah teringat di otak, mendadak muncul kembali. Segala kenangan itu datang bagaikan lentera yang berputar.
Gue memandangi langit malam, yang kebetulan dihiasi oleh semburat kemerahan, pertanda awan sedang berada diatas kepala. Suasana hati dan pikiran gue waktu itu bener-bener susah untuk digambarkan. Hampa, kosong, tapi di sisi lain gue juga merasakan lelah karena segala kejadian yang telah gue lalui. Ada rasa syukur bahwa gue telah sampai di titik ini, tapi di sisi lain ada rasa ingin beristirahat.
Gue kemudian berjalan keluar kamar, dan membuat segelas kopi. Dengan membawa gelas kopi itu, gue kembali ke kamar. Sambil menunggu kopi tersebut siap diminum, gue berdiri di tempat gue berdiri sebelumnya. Mendadak pikiran gue kembali sewaktu gue di Geneva, beberapa waktu setelah gue melamar Anin. Gue ingat pembicaraan kami berdua.
------ Anin : kamu pasti udah melalui perjalanan yang berat ya" Gue tersenyum sambil berjalan disampingnya.
Gue : iya begitulah& Anin : apa yang bikin kamu sampe senekat ini"
Gue tersenyum, dan menghela napas, tapi kemudian gue terdiam. Butuh beberapa waktu sebelum akhirnya gue bisa menjawab pertanyaannya itu.
Gue : kamu. *Anin tersenyum sambil memandangi danau di samping kami* Anin : kamu kadang-kadang susah ditebak ya, kayak sekarang ini& Gue : ya mungkin& .
*gue menarik napas karena hidung berair*
Gue : & .kalo aku bisa ditebak, mungkin aku gak bakal kehilangan kamu, dan gak bakal sampe sini.
*Anin tertawa kecil* Anin : kamu selalu punya alasan ya.
Gue tersenyum sambil memandangi danau dan orang-orang yang berjalan di sekitar kami. Gue menarik napas panjang, dan menghembuskannya lewat mulut secara perlahan.
Gue : mungkin misteri terbesar kehidupan adalah pikiran kita sendiri& .
Gue ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kata itu tertahan di lidah gue untuk beberapa waktu. Gue kemudian menoleh ke Anin.
Gue : Aku bangga liat kamu jadi seperti sekarang. Kamu hebat.
Anin memandangi langit sore yang berwarna warni diatas kepala, sambil menghela napas.
Anin : tentunya kamu yang paling ngerti gimana perubahan aku selama ini ya" *dia tersenyum kemudian menjawab pertanyaannya sendiri*
Anin : & .ya iyalah, kamu udah sama aku sejak aku masih bocah, masih anak SMA labil dulu.
Kami berjalan terus, dan dalam kebisuan. Sampe kemudian Anin menoleh ke gue dan berkata dengan lembut.
Anin : terimakasih ya udah mendampingi aku tumbuh dewasa. Gue tersenyum dan menjawab perlahan.
Gue : semoga aku bisa terus mendampingi kamu sampe kita berdua beranjak tua& .
Anin menggandeng lengan gue.
Anin : iya, memang itu tugasmu kok. --------
Gue menghirup kopi yang mengepul sedikit demi sedikit, sambil menikmati suasana malam. Pikiran gue terus melayang ke berbagai hal, dan bermacam-macam orang yang telah hadir di hidup gue. Hingga akhirnya pikiran gue berhenti di salah satu fragmen terbesar dalam hidup gue, yaitu Anin. Tanpa disadari dan tanpa bisa dipungkiri, cinta gue ke Anin telah tumbuh sedemikian dalam. Dia bukan lagi gadis SMA tengil yang dulu menyapa gue di depan sekolahnya. Dia bukan lagi mahasiswi yang sering kesiangan. Dia sekarang telah bertransformasi menjadi satu wanita karir yang hebat dan membanggakan.
Gue menyadari sepenuhnya, bahwa Anin berubah bukan karena gue. Dia bisa menjadi Anin yang sekarang, murni karena usaha dan doanya, ditambah restu dari orang tuanya. Gue hanyalah seorang asing yang diberi kesempatan menyaksikan perubahannya itu. Dan gue bersyukur gue gak menghambatnya, setidaknya hingga saat ini.
Malam itu, gue tahu dalam hati gue, bahwa Anin adalah hal terindah yang pernah Tuhan ciptakan untuk gue.
PART 139 Anin : bagus gak mas"
Gue menoleh ketika Anin berkata demikian. Gue melihat ada sesosok wanita berambut coklat kemerahan yang tergerai dengan indah, serta dibalut dengan busana adat Jawa yang sangat panjang hingga terhampar di lantai parket kayu gelap. Pakaian yang dia kenakan berwarna biru tua, dengan lapisan beludru serta corak emas di bagian leher. Ujung-ujung pakaian yang terhampar di lantai juga dihiasi dengan corak emas yang indah. Gue terpana.
Anin : woi, ditanyain bengong aja. Bagus gak mas" Gue tersadar, dan kemudian tertawa.
Gue : iya, bagus kok. Perfect. Anin : keliatan gendut gak sih" Gue : enggak, siapa yang bilang"
Anin : tapi aku naik sekilo bulan ini& . Masak gak gendut sih" Gue : enggak. Baru sekilo doang itu. Kalo udah sepuluh kilo baru keliatan.
Anin tersenyum menggemaskan sambil menggigit bibirnya dengan khas. Gue memandangi koleksi busana di tempat itu, sambil mengagumi beberapa diantaranya. Gue teringat satu hal, dan kemudian gue tanyakan kepada ibu-ibu setengah baya yang membantu Anin mencoba pakaian. Gue : Bu, nanti untuk sepatunya pake yang berapa centi"
Ibu : sekitar 10-12 centi mas.
Gue : buset, lebih tinggi dari saya dong ntar.
Ibu-ibu setengah baya dan Anin tertawa bersama, sementara gue masih bengong. Gila aja ntar di pelaminan, Anin lebih tinggi dari gue. Ah, tapi gakpapa lah, istri sendiri ini. Gue lihat Anin berdiri di depan cermin besar setinggi badan manusia dengan bingkai berwarna emas, ditambah sorot lampu berwarna kuning dari atas kepalanya. Waktu itu dia benar-benar seperti bidadari yang turun dari surga.
----- Beberapa minggu kemudian.
Gue berada di sebuah pesawat menuju ke kota asal gue, dan kota tempat dimana gue bertemu dengan Anin. Gue memandangi wanita yang tertidur di bahu gue, dengan memeluk gulungan sweater berwarna hitam yang sebelumnya gue pakai. Gue tersenyum, dan mengelus pipi lembutnya dengan sebelah tangan. Gue teringat pembicaraan gue dan Anin 3 hari sebelumnya. Dia minta pulang ke kota asal kami, dan berjalan-jalan disana.
------ Gue : ngapain" Anin : ya gakpapa, pengen jalan-jalan aja ke tempat dulu kita ketemu. *gue tersenyum dan mengerling ke Anin*
Gue : napak tilas nih judulnya" *Anin meringis sambil mengangguk* Anin : iyah hehehe
*gue memiting kepala Anin dengan gemas, kemudian berbisik* Gue : whatta sentimental journey& .
-------- Begitulah. Kami tiba di kota asal, dan kemudian gue mengantarkan Anin pulang kerumah, sebelum gue sendiri pulang kerumah dengan taksi. Sesampainya dirumah, gue berbincang sebentar dengan nyokap, dan kemudian masuk ke kamar. Ketika gue membuka pintu kamar yang sudah berbulan-bulan gak gue masuki, gue menyalakan lampu dan memandangi seluruh penjuru kamar yang mungil itu. Gue tersenyum, dan memasuki kamar dengan perasaan rindu.
Gue memandangi meja belajar gue yang dulu, dan memainkan benda-benda kecil koleksi gue yang masih gue tinggalkan. Sambil tersenyum pikiran gue melayang ke masa lalu, dimana gue setiap hari berkutat dengan kamar ini dan kehidupan di kota ini, namun sekarang kehidupan gue telah berubah sedemikian banyak. Gue menoleh ketika menyadari nyokap ada di belakang gue, sambil bersandar di kusen pintu yang masih terbuka.
Nyokap : kangen ya" *gue tersenyum sambil memandangi satu benda kecil di tangan gue* Gue : iya mah. Kadang-kadang aku masih gak percaya aja udah sampe disini. Nyokap : sampe dirumah"
*gue menggeleng* Gue : bukan, sampe di titik kehidupan yang ini, mah&
Nyokap tersenyum, dan kemudian melangkah masuk ke kamar gue, sambil ikut memperhatikan barang-barang kecil di meja gue.
Nyokap : yah, kadang-kadang mamah juga gak nyangka anak-anak mamah udah pada gede-gede. Terutama kamu. Sebentar lagi mamah papah cuma tinggal berdua disini. Kalian bakal jadi pemilik kehidupan kalian masing-masing, dan jadi kepala rumah tangga masingmasing.
Gue seketika merasa sedih mendengar ucapan nyokap. Gue sedih karena gue menyadari sebentar lagi gue harus meninggalkan keluarga yang telah membesarkan gue, untuk membesarkan keluarga kecil gue sendiri nantinya. Kemudian gue mendengar nyokap berbicara lagi.
Nyokap : dulu, kalian berdua selalu berantem. Rumah gak pernah tenang. Tapi semakin kesini mamah sama papah justru merindukan suara-suara kalian waktu berantem, rebutan mainan, sampe kamu nangis& *nyokap tertawa kecil* & .sekarang mamah udah punya cucu dari anak-anak tukang ribut.
Gue terdiam, memperhatikan nyokap di samping gue yang sedang melihat barang-barang koleksi gue. Gue tahu, pikiran nyokap samasekali bukan di barang koleksi itu, melainkan tentang apa yang akan kami jalani kedepannya.
Gue : mah& *nyokap menoleh*
Gue : mamah ikhlas aku menikah dan keluar rumah"
Nyokap tersenyum, kemudian memegangi pipi gue dengan sebelah tangan.
Nyokap : semua orang tua pasti akan sampe di fase ini, Nak. Kalian gak akan selamanya ada di pelukan mamah papah. Kalian pasti akan jadi orang tua seperti kami. Waktu mas Panji menikah kemarin, mamah masih bisa sedikit terhibur karena masih ada kamu. Tapi sekarang kamu juga udah sampe waktunya untuk membentuk keluarga kecilmu sendiri.
Gue terdiam memandangi nyokap.
Nyokap : kalo kamu tanya kami ikhlas apa enggak, kami ikhlas, Nak. Kami ikhlas sepenuh hati. Itu memang udah takdir manusia, kehidupan selalu berputar. Suatu hari nanti pasti kamu juga bakal ngeliat anak-anakmu nanti menikah. Insya Allah.
Gue tersenyum. Gue : iya, insya Allah, mah&
Gue memeluk nyokap, dan merasakan betapa bersyukurnya gue memiliki ibu seperti beliau. Seorang wanita mulia, yang akan selalu gue hormati dan gue cintai sampe gue berhenti bernapas nanti. Gue kemudian memegang sebelah tangannya dan mencium tangan beliau. Beliau mengusap rambut gue dengan lembut.
Nyokap : mamah ikhlas, Nak. Pergilah dan bangun keluarga kecilmu sendiri, sampe jadi besar. Doa mamah selalu bersama kalian. Dari dulu mamah berdoa semoga anak-anak mamah dimudahkan jalannya oleh Allah. Dan sekarang mamah merasa doa mamah dikabulkan. Mamah papah sangat bangga sama kalian.
Gue tersenyum, dan sekali lagi memeluk nyokap. Memeluk seorang ibu yang telah melahirkan gue, membesarkan gue dan membentuk gue hingga menjadi gue detik ini. Sejak dahulu dan selamanya, nyokap tetap jadi wanita yang paling berharga di hidup gue. Dalam pelukan nyokap itu, gue berdoa dalam hati semoga kedua orangtua gue selalu dalam lindungan Tuhan. Dan gue juga berdoa, semoga Anin bisa menjadi seorang ibu yang hebat seperti nyokap gue.
PART 140 Gue memarkirkan mobil di bawah pohon di tepi jalan, dan mematikan mesin. Gue menoleh ke Anin, dan gue liat dia memandang jendela di sampingnya sambil tersenyum. Gue kemudian mengajak dia keluar, dan kami berdua berdiri diatas trotoar di siang hari yang panas itu. Kami berdua memandangi beberapa penjaja makanan kecil yang menunggu pembeli. Gue menggandeng tangan Anin dan mengajaknya ke salah satu titik gak jauh dari kami berdua.
Gue : masih inget" Dulu aku disini nungguin kamu pulang sekolah, untuk pertama kali.
Anin memandangi sebuah blok semen yang bisa dijadikan tempat duduk. Sambil tersenyum dia mengangguk pelan.
Anin : iya, dulu aku keluar dari gerbang itu& *dia menunjuk gerbang sekolahnya* & .trus langsung jalan kesini& . *Anin bergeser beberapa langkah kesamping* & .dulu aku berdirinya disini yak kalo gak salah"
*gue tertawa* Gue : iya, dulu kamu berdiri disitu. Sambil senyum-senyum dan bawa tas sekolah. Rambut kamu dulu dikuncir apa dibiarin jatuh gitu aja ya" Lupa.
Anin : aku juga lupa hehehe.
Gue : siapa yang nyangka sih yang ketemu aku siang itu ternyata sekarang hampir jadi istriku&
Anin : aku juga gak nyangka dulu waktu itu dijemput sama calon suami aku&
Gue merangkul Anin dengan satu tangan, sementara tangan yang lain gue masukkan ke kantong jeans. Kami berdua masih terbius, memandangi blok semen yang jadi monumen pertemuan pertama kami berdua. Gue berkata pelan.
Gue : jodoh itu seperti kotak Pandora ya. *Anin menoleh ke gue dengan tatapan bertanya* Anin : maksudnya"
*sesaat kemudian dia menunjukkan ekspresi pemahaman*
Anin : aaaah, iya aku ngerti maksudmu mas. Proses mendapatkan jodoh emang gak mudah kan, pasti ada pengorbanan dan air mata yang jatuh. Tapi selalu indah di akhir. *gue tersenyum dan semakin mendekatkan Anin ke tubuh gue* Gue : yah, seperti itulah kira-kira.
Setelah itu, seharian kami berdua melakukan perjalanan napak tilas, segala jejak-jejak pertemuan kami dulu. Gue dan Anin sepakat melakukan ini, meskipun terdengar konyol, karena gue menyadari kedepannya mungkin kami akan susah menemukan momen untuk seperti ini. Gue dan Anin berjalan ke mall tempat dimana kami berdua dulu sering menghabiskan waktu. Dan terutama, kami menuju ke kampus tempat kami berdua bertahun-tahun berjuang bersama.
Gue dan Anin berjalan berdampingan melewati lorong selasar kampus Anin yang hari itu sangat sepi. Dia sering berhenti dan tersenyum melihat beberapa sudut kampus, tempat kenangannya tersimpan.
Anin : rasanya udah lama banget sejak aku terakhir kesini. *Anin menghela napas*
Anin : sekarang hidupku udah jauh banget dari sini, dan dari semua yang pernah ada disini. Tempat ini saksi aku berkembang jadi kayak sekarang.
*gue tersenyum* Gue : seandainya mereka semua bisa ngomong, pasti mereka juga bangga sama kamu, dek. *Anin menunduk sambil tersenyum malu*
Anin : kadang-kadang aku kangen kembali jadi gadis kecil yang dulu mas& *Anin mendongak dan menghela napas* & ..sekarang hidup rasanya cukup berat buat aku. Gue : ya seperti itu kehidupan manusia, dek. Suatu hari nanti kamu bakal tersenyum waktu melihat kebelakang, melihat semua yang udah kamu lalui. Yang namanya awal itu gak ada yang mudah.
*Anin menoleh ke gue* Anin : emang ini awal dari apa" *gue tersenyum dan berkata lembut*
Gue : awal dari kehidupanmu yang baru. Pembuktianmu sebagai seorang Anin dan& . *gue menyentil hidungnya pelan*
Gue : & .sebagai seorang istri dan seorang ibu.
Anin tertawa lembut dan memeluk pinggang gue. Waktu itu kami berdua menyadari, bahwa segala hal yang udah pernah terjadi di masa lalu kami, adalah hal terbaik yang udah digariskan oleh-Nya. Hingga kapanpun, gue akan selalu bersyukur karenanya. Terutama, karena seorang wanita menakjubkan disamping gue ini.
Di rumah Anin, gue duduk di bangku taman belakang sambil melamun. Gue hanya tersenyum ketika Anin datang dan duduk disamping gue sambil membawa secangkir teh panas. Anin memandangi gue.
Anin : kenapa" Gue tersenyum dan menunduk, sambil menggeleng pelan.
Gue : pernikahan kita tinggal seminggu lagi. Anin : ya terus"
Gue : gakpapa, cuma masih takjub aja kita udah sampai di titik ini. Sesuatu yang belum berani aku bayangin setahun yang lalu.
Anin : aku tau kok, kalo kamu jodohku. *gue menoleh*
Gue : tau dari" Anin : dari tatapan mata kamu sewaktu nemuin aku pertama kali di Geneva dulu. *gue tertawa pelan*
Gue : emang ada apa sama tatapan mataku"
You Are My Happines Karya Baskoro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anin : I dunno. Tatapan seorang pria yang punya keyakinan gak tergoyahkan, sekaligus tatapan syukur dan pasrah. Buat aku, entah kenapa, aku ngeliat mukaku sendiri waktu ngeliat kamu. Seperti ada satu lagi diri aku.
*Anin tertawa lembut* Anin : & .sepertinya kamu terlalu banyak ikut membentuk aku, mas. Gue tersenyum, dan bersandar ke belakang, sambil menyilangkan kaki gue. Jari-jemari gue silangkan diatas perut. Gue tersenyum sambil memandangi hijaunya rumput dihadapan gue. Sesaat kemudian, gue menggeleng pelan.
Gue : bukan& . *gue menoleh ke Anin*
Gue : & .kita saling membentuk diri kita satu sama lain. Tanpa sadar kita melihat cerminan diri sendiri di diri yang satunya. Aku juga ngeliat diriku di dalem dirimu kok. Kita berdua sama-sama memiliki satu kepingan yang menyerupai satu sama lain.
Anin tersenyum, kemudian bersandar ke belakang dan menyandarkan kepalanya ke bahu gue, sambil sedikit mendongak memandangi wajah gue melalui sudut matanya.
Anin : ini semacam early-pillowtalk kah"
PART 141 (END) Bagian Satu
Gue memicingkan mata ketika cahaya lampu sorot kamera tepat mengenai wajah gue. Sesekali gue membetulkan blangkon" tutup kepala adat Jawa, yang gue kenakan. Gue duduk tegak, sambil memegang satu pergelangan tangan gue dengan tangan yang lain. Gue menoleh ke samping, melihat ada salah satu kakak dari nyokap, yang menjadi saksi pernikahan ini, dan seorang penghulu dari KUA setempat, serta tentu saja om Harry, papa Anin.
Gue menoleh ke sisi dimana keluarga besar gue duduk, dan melihat kedua orang tua gue duduk berdampingan. Wajah beliau berdua samasekali gak tegang, justru tersenyum dengan bahagia. Gue menoleh ke sisi dimana keluarga besar Anin duduk, dan gue melihat Shinta dan Sophia duduk di barisan kedua, sambil tersenyum cantik. Kemudian gue melihat Tante Ayu, mama Anin, duduk di barisan terdepan, dan kemudian tersenyum ke gue sambil mengangguk pelan.
Gue melirik ke jam tangan yang gue kenakan, pukul 8.04 pagi. Gue tersenyum, memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Sebuah gemerisik elektrik dari microphone yang akan digunakan menyadarkan gue kembali. Gue berada di ambang satu titik paling menentukan di hidup. Gue melihat beberapa lembar kertas yang terletak di dalam map berwarna hitam. Di beberapa lembar kertas itulah yang akan menjadi penanda berubahnya arah hidup gue. Maka terjadilah apa yang memang sudah direncanakan.
Saya terima nikah dan ka-winnya Anindya Putri Pertiwi binti Harry Armand Subagyo dengan mas ka-win tersebut, dibayar tunai."
Kata-kata tersebut meluncur dengan lancar dan mantap dari mulut gue, sementara tangan gue menggenggam tangan om Harry dengan erat. Ketika penghulu dan saksi-saksi menyatakan bahwa pernikahan ini sah, sontak para hadirin mengucapkan Alhamdulillah dan terdengar beberapa tepukan tangan dari belakang. Gue memejamkan mata, dan mencoba mencerna salah satu momen paling berharga dalam hidup gue yang barusan telah terlewati.
Ketika tiba waktunya penandatanganan buku nikah dan dokumen-dokumen yang harus dilengkapi untuk administrasi pernikahan, Anin keluar dari kamarnya, dengan diiringi oleh beberapa kakak dari Tante Ayu. Waktu itu rasanya dunia berhenti, dan gue melihat sesosok wanita cantik, dengan busana adat Jawa yang indah, dan wajah yang tersenyum bahagia keluar dari kamar. Wanita yang selalu ada di hati gue sejak awal pertemuan kami enam tahun lalu, dan sekarang dia telah menjadi istri gue.
Anin kemudian duduk di kursi di samping gue, dan kami berdua menandatangani buku nikah, serta beberapa dokumen lainnya. Di kesempatan itu gue juga mengikrarkan janji pernikahan di depan penghulu dan semua hadirin yang ada di acara tersebut. Gue sesekali memandangi Anin, dan tersenyum penuh syukur. Dari tatapan mata kami berdua, kami sama-sama sadar bahwa gue dan Anin pun masih belum bisa percaya sepenuhnya bahwa kini kami telah menjadi sepasang suami-istri.
Gue memasangkan cincin ka-win di jari manis tangan kanan Anin, dan begitu pula Anin, memakaikan cincin ka-win di jari gue. Anin kemudian mencium tangan gue lembut, dan gue balas dengan mencium keningnya. Perasaan gue waktu itu bener-bener susah digambarkan, dan gue yakin begitu pula dengan Anin.
Seluruh acara pernikahan kami itu berlangsung dengan lancar dan meriah. Gak terhitung temanteman kami, baik mulai dari SMA, kuliah hingga rekan kerja datang mengalir untuk memberi ucapan selamat kepada kami. Meskipun capek, tapi gue sangat amat bersyukur punya kehidupan dan lingkungan seperti ini. Gue sangat bersyukur bisa mengenal teman-teman gue, dengan berbagai rupa emosi. Dari situlah gue bertumbuh dan belajar menjadi manusia di masyarakat.
Di antara barisan tamu yang akan naik ke panggung pelaminan untuk memberi selamat kepada kami berdua, gue melihat sesosok wanita yang sudah sangat gue kenal. Style nya memang berubah, tapi gaya nya tetap sangat gue kenal, dan gak berubah. Di sampingnya ada sesosok pria gagah, berpakaian batik elegan, dan bertubuh tinggi dan sudah sangat gue kenal juga. Gue tersenyum melihat mereka dari kejauhan. Ketika ada jeda aliran tamu, gue menyenggol lengan Anin pelan, dan mengarahkan dagu gue ke arah kedua sosok tadi. Anin paham, dan langsung tersenyum.
Ketika akhirnya tiba kedua orang itu menaiki panggung, bersalaman dengan kedua orang tua Anin terlebih dahulu, kemudian baru tiba kepada kami berdua. Gue tersenyum lembut. Sang wanita menggenggam tangan gue terlebih dahulu.
Tami : selamat ya, Tapir. Akhirnya lo berdiri disini juga. *gue tertawa*
Gue : iye thanks ya Cum. Cepet nyusul lah. Tami : gak kuliah gak nikah, lo selalu ninggalin gue. Gue : nah tuh ada Bayu.
Gue kemudian menoleh ke cowok yang mendampingi Tami, gak lain dan gak bukan adalah Bayu, sohib gue sejak jaman awal kuliah. Bayu ngeliatin gue dengan gaya cengengesannya yang khas, dan membuat gue tertawa terbahak. Gue menjitak kepala Bayu pelan tapi dengan gemas.
Gue : woooii, anak badak, lo jadian gak ngomong-ngomong ye, baguuusss! Gue menggenggam tangan Bayu erat, dan kemudian kami berdua saling berangkulan.
Bayu : selamat ya Bas, sahabat terbaik gue akhirnya nikah juga sama putri impiannya. Gue : lo cepet nyusul lah, kasian itu burung lo dianggurin lama-lama.
Bayu : bangke looo, udah jadi suami orang masih aja gini kelakuannya. *gue tertawa*
Gue : Bay, jagain Tami yak.
*Bayu tersenyum kalem dan menyalami gue sekali lagi dengan erat* Bayu : pasti, Bas.
Bayu kemudian bergeser, menyalami Anin, sementara Tami berdiri di sampingnya.
Bayu : selamat ya, Nyonya Baskoro. *Anin tersenyum jahil*
Anin : thank youuu Bayuuu, itu Tami kapan dijadiin Nyonya Bayu" Bayu : secepatnya deh hehehehe
Karena aliran tamu undangan yang lain semakin banyak, maka kami gak bisa lama-lama ngobrol diatas pelaminan. Sebelum mereka turun, gue berteriak memanggil mereka.
Gue : Bay, Cum, jangan pulang dulu. Ntar gue mau ketemu abis ini kelar! Bayu menjawab dengan senyum lebar dan acungan jempol.
PART 141 (END) Bagian Dua
Resepsi telah usai, dan gue melihat beberapa orang dari catering berlalu lalang di hall yang luas di hadapan kami, sementara saudara-saudara gue berada di satu sisi ruangan dimana makanan untuk keluarga diperuntukkan. Gue dan Anin turun dari pelaminan, dengan Anin memegang lengan gue, sementara gue membantunya turun dengan busana yang sedemikian panjang.
Kami berdua turun, dan mencari dua sosok orang yang tadi kami temui. Anin yang pertama kali menemukan mereka duduk di salah satu sisi ruangan, sambil memandangi kami. Gue kemudian melambaikan tangan, dan memberikan isyarat pada mereka berdua untuk mengikuti kami menuju ke tempat makan. Akhirnya kami berempat duduk semeja dan cengengesan. Mungkin kami berempat gak menyangka akan bertemu lagi dalam situasi seperti ini. Sambil menusuk seiris daging di piring kecil di hadapan gue, gue bertanya.
Gue : tadi udah makan apa aja" Makan lagi gih. Bayu tertawa, kemudian menjawab.
Bayu : tadi semua udah gue cobain kok. Lo kenal gue lah Bas. *gue tertawa*
Gue : iya mulut lo sama gilingan semen gak ada bedanya kan yak" Bayu : anjrit.
Anin memandangi Tami, kemudian memandangi Bayu. Dia tersenyum, dan kemudian memegang telapak tangan Tami.
Anin : kalian kapan jadian" Kok gak bilang-bilang" Gue sambil mengunyah langsung nimbrung.
Gue : iya, kapan nih jadian" Kok diem-diem aja kayak patung pak polisi. *Tami tertawa geli*
Tami : jadian gak yaaa" Kayaknya sih enggak&
Tami kemudian melirik jahil ke Bayu, dan kami bertiga tertawa terbahak melihat wajah Bayu yang dongkol karena ulah Tami itu. Tami kemudian memegang tangan Bayu sambil tertawa.
Tami : hahahaha iyaiya, kita jadian kok iyaaa, gak usah nangis gitu ah! Malu ama bulu kaki!
Gue dan Anin tertawa semakin ngakak, sampe-sampe gue menutup mata dengan sebelah tangan saking gelinya. Gue masih gak percaya, bahwa dua sahabat terbaik gue ini ternyata saling menambatkan hatinya. Gue gak bisa membayangkan ada orang lain yang lebih cocok mendampingi Tami selain Bayu.
Anin : kapan kalian jadian"
Tami : sebulan yang lalu. Baru sebulan kok kita. Anin : masih anget-angetnya dong ya" Hihihi Gue : kalo sama Cumi mah bukan anget lagi, tapi gosong. Anin : selamat yaa, semoga bisa cepet nyusul hehehe
Gue : Bay, dah sono cepet Tami dikimpoiin, keburu ilang ntar. Lo udah nunggu 3 tahun buat dapetin Tami masa mau lo sia-siain.
Tami memandangi gue dengan heran, kemudian menoleh memandangi Bayu. Gue liat muka Bayu merah kayak abis makan kompor. Gue tertawa terbahak-bahak, karena gue tau cuma gue yang tau kalo Bayu udah memendam perasaan ke Tami sejak lama. Dulu Bayu cuma bisa curhat ke gue, karena menurut dia, gue lah yang paling dekat dengan Tami.
Tami : serius dari 3 tahun yang lalu"
Bayu : enggg& yak& gimana yak& .ya bener juga sih& hehehehe& . Tami : kok gak bilang dari dulu"
Bayu : kirain dulu kamu sukanya sama Baskoro& . *Tami tersenyum dan menyikut Bayu pelan*
Tami : ya seenggaknya kan kamu usaha nyatain perasaan atau gimana kek& Gue dan Anin tersenyum, kemudian Anin menengahi dengan suaranya yang lembut.
Anin : yang udah ya udah, kan nyatanya sekarang kalian jadian kan"
Tami : ya iya sih& Anin kemudian melepaskan beberapa untaian melati dari kepalanya, melipatnya menjadi beberapa bagian sehingga terlihat tebal, dan menjejalkannya ke genggaman tangan Tami. Tami kemudian memandangi Anin dengan heran.
Tami : buat apa Nin"
*Anin tersenyum* Anin : biar ketularan cepet nikah. Menurut adat Jawa katanya sih, bunga melati hiasan pengantin itu dipercaya bisa bikin orang yang dikasih itu hiasan jadi cepet nyusul nikah. Katanya sih. Hehehe.
Gue : diaminin gak nih"
Tami dan Bayu memandangi kami berdua dan tersipu malu. Gue dan Anin tertawa-tawa gak jelas melihat kedua sahabat terbaik kami yang sekarang menjadi sepasang kekasih ini.
Anin : diaminin dooong. Yok semua bilang amin yok. AAAAA& .. Gue : & ..Niiiin& .
Anin : Kok ANIN" AMIN dong! Sekali lagi, AAAAAA& .. Semua : & & Miiiin& .
Anin : nah, gitu kan pinter.
Kami berempat tertawa bahagia. Gue memandangi lampu-lampu gantung raksasa yang menghiasi ruangan besar itu, dan menghela napas. Satu lembaran baru hidup gue telah resmi dimulai, dengan seorang wanita yang sangat gue cintai berada di sisi gue, sebagai istri gue. Dan gue meninggalkan lembaran lama hidup gue tanpa rasa sesal, dan tanpa rasa sedih, karena gue tahu semua akan berakhir indah pada waktunya.
Ya, semua akan berakhir indah pada waktunya.
Epilog Teras bungalow yang terbuat dari kayu solid itu terasa akrab di hati gue. Dihiasi dengan debur ombak dan pasir putih di hadapan, gue berdiri di tepi lantai kayu teras, sambil bersandar di tiang kayu. Sesekali gue menoleh ke kanan-kiri, dan mendapati gak ada orang lain selain kami di sisi pantai yang itu. Rasanya kami seperti memiliki sebidang pantai pribadi, dan gue tertawa geli karena pemikiran itu. Gue melangkahkan kaki ke pasir putih hangat, dan berjalan-jalan sendirian ke arah tebing karang di sisi kanan gue, dan mencari tempat teduh, walaupun hanya sedikit.
Gue meraba dinding karang yang kasar itu, dan menikmati setiap detiknya. Suasana sunyi, hanya ada suara debur ombak yang yang menderu-deru. Gue melihat gelang etnik di pergelangan tangan gue, berwarna coklat tua yang sudah cukup aus dimakan usia, dan tersenyum. Barangkali memori dari gelang ini sebesar memori gue tentangnya.
------ Anin : pake ini deh mas. Anin melepaskan satu gelang etniknya, dan menyerahkannya ke gue. Dia kemudian meraih tangan gue, supaya dia bisa memasangkannya sendiri. Gue mengikutinya tanpa banyak bertanya. Kemudian dia menjelaskan ke gue sambil tersenyum.
Anin : kamu, aku dan gelang ini itu satu kesatuan yang gak terpisahkan. Gelang ini jadi saksi awal kita bertemu, kita menjalani kehidupan bersama, kita berpisah, sampe akhirnya kita dipertemukan lagi. Gelang ini jadi pengingat kita, bahwa kita selalu punya rumah untuk kembali. Dan pada akhirnya, semuanya akan kembali ke tempat kita seharusnya berada.
Gue tersenyum, dan membiarkan tangan gue terus dipegang olehnya. Gue menatap matanya yang indah, dan seakan-akan melalui matanya itu gue bisa melihat segala isi semesta pikirannya. Dan memang begitu.
Gue : hidup itu seperti puzzle ya" Semua akan kembali ke tempat keping-kepingnya berawal sebelum dipecahkan, dan gak akan tertukar dengan keping yang lain waktu mereka kembali.
Anin tersenyum sambil menunduk memainkan jemari gue yang masih berada di tangannya.
Anin : ya, seperti kamu, selalu kembali sejauh apapun kamu pergi. Seperti kita. Gue mencium keningnya lembut, dan menyibakkan beberapa helai rambut coklat kemerahan yang menutupi kening dan wajahnya.
Gue : If you need me, will I be there" Anin : It s always been a yes after all this time. ------
Gue menatap jendela berhiaskan gorden salem yang lembut di samping gue, dan sedikit meremas kaleng bir yang separuh kosong di tangan kiri gue. Kemudian gue menoleh sedikit ke kanan, dan melihat sesosok wanita berambut coklat kemerahan, sedang bersandar ke sofa empuk di belakang kami, dan menaruh kepalanya di bahu gue. Dia memakai kaos baseball berwarna putihhitam, dan celana panjang hitam.
Siaran TV yang entah menyiarkan apa, seakan hanya jadi pelengkap. Gue tahu kami berdua samasekali gak peduli tentang TV. Kami hanya ingin menikmati waktu-waktu seperti ini berdua. Mencoba mencerna apa yang sudah terjadi pada kehidupan kami berdua. Ketika satu semesta bertemu dengan semesta lain, dan mencoba menciptakan satu konstelasi baru.
Gue : I have something to say to you.
Anin menggerakkan kepalanya sedikit, dan memandangi gue. Menunggu apa yang akan gue katakan selanjutnya.
Gue : aku bisa inget dengan jelas apa yang terjadi di hidupku sejak dulu. Every single second of every day. Aku inget apa yang mama omongin ke aku sewaktu aku pertama kali masuk SD, sebelum aku naik becak yang akan membawa aku ke sekolah. Aku inget gimana aku pertama kali patah hati waktu SMP, dan menghabiskan seharian mengurung diri di kamar. Aku inget banyak hal tentang itu semua, nyaris semuanya.
Gue menarik napas sejenak, dan Anin memandangi gue dengan sabar.
Gue : But I can t remember when I fall in love with you& . *gue menunduk dan sedikit meremas kaleng bir di tangan*
Gue : it s just happened like that. I even don t know when I start to thinking about you.
Anin memejamkan mata, dan tersenyum lembut. Napasnya teratur dan halus, sehalus hatinya. Kemudian dia menggenggam sebelah tangan gue, dan menyilangkan jemarinya diantara jemari gue. Dan gue mendengar dia berkata dengan perlahan, sambil tetap memejamkan matanya.
Anin : what if I told you that we might never falling in love with each other" Gue terdiam sejenak, kemudian tersenyum sebelum akhirnya gue menjawab.
Gue : then you have to spent the rest of your life with a man who will never forgot your smile, even they didn t falling in love with each other.
Kami saling berpandangan sementara tangan kami masih terjalin satu sama lain. Selama beberapa waktu kebisuan diantara kami berdua, sampai kemudian bibir gue menyunggingkan senyum. Melihat gue tersenyum, Anin juga tersenyum. Gue kemudian memeluk kepalanya yang menempel di tubuh gue, dan mencium lembut rambutnya.
* * * * Pada akhirnya gue sadar, kisah kami berdua ini bukan melulu tentang cinta, karena kami tak pernah benar-benar bisa murni mencintai satu sama lain. Tapi kisah kami ini adalah tentang dua orang yang saling memasuki kehidupan satu sama lain, dan tak pernah pergi.
THE END Claire 2 Wiro Sableng 073 Guci Setan Perang Melawan Helmacron 1