Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 27

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 27


ingin dilihatnya isi hatinya. Wajah anak muda itu agaknya
terlampau tenang menghadapi perkelahian yang berbahaya.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Lewat pintu yang separo
terbuka, berhembus angin yang silir menggerak-gerakan nyala
pelita di atas bancik yang tersangkut pada tiang.
Tiba-tiba mereka tersadar, bahwa mereka tidak usah
menunggu terlalu lama. Di kejauhan mereka mendengar suara
ayam jantan berkokok. Kemudian disahut oleh yang lain, dan
suara kokok ayam itu seolah-olah menjalar dari satu kandang
ke kandang yang lain. Bahkan ayam-ayam jantan yang
bertengger di pepohonan pun menyahut pula dengan suara
nyaring. "Hampir fajar," desis prajurit itu. "Kesempatan terakhir bagi
kalian." "Maaf, Tuan," desis Sutawijaya. "Aku tidak dapat melepaskan
janji itu. Betapa rendah martabatku, dan betapa kecil namaku
seperti disebut oleh Ki Demang Sangkal Putung, tetapi aku
harus menjunjung harga diriku dan harga diri keluargaku."
Prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
"Terjadilah di luar lingkungan kekuasaanku. Terjadilah di luar
tanggung jawabku. Kalian yang mendengar ini menjadi saksi,
bahwa aku telah berusaha untuk membatalkan perkelahian
ini." "Semuanya akan menjadi saksi," sahut Sutawijaya. Tetapi
darah mudanya telah mendorongnya berkata, "Tetapi Tuan
belum mencoba cara lain."
Prajurit itu mengerutkan dahinya. Katanya, "Cara apakah yang
kau maksud?" "Mungkin Tuan dapat menghubungi Argajaya, dan minta
kepadanya untuk membatalkan maksudnya. Minta kepadanya
untuk meninggalkan kademangan ini seperti yang Tuan
kehendaki atas kami."
Wajah prajurit itu menjadi tegang. Dipandanginya wajah
Sutawijaya dengan tajamnya. Bahkan Agung Sedayu pun
terkejut pula mendengar perkataan Sutawijaya. Hanya
Swandaru-lah yang tersenyum-senyum di dalam hati. Baginya
perkataan Sutawijaya itu masih terlampau berhati-hati. Namun
bagi Agung Sedayu, apa yang diucapkannya itu sebenarnya
tidak perlu. Apalagi ketika Agung Sedayu melihat wajah
prajurit yang menjadi tegang itu.
Tetapi meskipun demikian, meskipun Sutawijaya melihat juga
kerut-merut di wajah prajurit itu, ia sama sekali tidak
menyesal. Disadarinya benar-benar apa yang diucapkannya,
sehingga karena itu ia sama sekali tidak terkejut ketika prajurit
itu berkata, "Anak muda, aku hanya mencoba menjaga
keselamatanmu. Jangan menjadi sombong dan jangan
menyangka bahwa aku akan menjadi ketakutan seandainya
kau mengancam akan melaporkan setiap kesalahan yang
pernah aku lakukan di sini, meskipun apabila masih ada
kesempatan aku akan mencoba untuk memperbaikinya.
Mungkin kau mempunyai perhitungan tersendiri, bahwa
seandainya terjadi sesuatu atas dirimu, maka kesalahanku
bukan saja karena aku membiarkan itu terjadi, tetapi apa yang
pernah aku lakukan akan diusutnya pula. Namun itu bukan
berarti bahwa aku akan menundukkan kepalaku di bawah
pengaruhmu. Aku bermaksud baik, tetapi jangan mencoba
memeras dan memperalat aku. Aku akan dapat bersikap
sebaliknya." Swandaru mengerutkan keningnya mendengar jawaban itu,
sedang dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Apalagi
Astra yang tidak tahu ujung pangkal pembicaraan mereka
menjadi sangat ketakutan. Namun wajah Sutawijaya sendiri
sama sekali tidak berubah. Dengan tenang ia berkata,
"Maafkan, Tuan. Maksudku hanya ingin mengatakan. Bahwa
apabila benar-benar Tuan ingin bersikap baik sebagai seorang
prajurit, maka aku mengharap Tuan bersikap adil. Kalau Tuan
menawarkan kebaikan hati kepada kami, maka apakah
salahnya hal yang serupa Tuan berikan pula kepada tamutamu
dari Menoreh itu." "Apakah benar kata kawan-kawanku bahwa kau telah
menghina kami, para prajurit Pajang di Prambanan?"
"Tidak, Tuan," sahut Sutawijaya cepat-cepat. Tetapi ia masih
tetap tenang. "Sekali lagi aku minta maaf. Aku menyadari
maksud Tuan. Tetapi aku menyadari juga bahwa sikap Tuan
tidak adil terhadap kami dan para tamu itu. Mungkin karena
mereka datang dengan tanda-tanda kebesaran mereka
sebagai seorang adik dari kepala tanah perdikan yang besar,
sedang kami datang sebagai anak-anak gembala yang lusuh.
Tetapi jangan salah paham Tuan. Kami hanya ingin
mengatakan, bahwa kami sudah terlanjur menganggap bahwa
kami tidak kurang selapis pun dari tamu-tamu dari Bukit
Menoreh itu. Itulah sebabnya kami berusaha untuk
menjumpainya nanti di sebelah Bukit Baka."
"Terserahlah kepadamu. Kau sudah mulai menyombongkan
dirimu sebelum kau berbuat sesuatu."
"Aku hanya mencoba membesarkan hatiku sendiri Tuan. Aku
menyadari, bahwa setiap orang menganggap bahwa lebih baik
bagiku untuk menghindari perkelahian besok selain mereka
yang ingin melihat dadaku berlubang oleh ujung tombak. Tuan
memang bermaksud baik, dan karenanya sekali lagi aku
mengucapkan terima kasih. Tetapi sikap Tuan itu telah
memperkecil hatiku. Maaf, Tuan. Aku harap Tuan mengerti
supaya aku tidak menggigil pada saat aku melihat ujung
tombaknya. Namun tak ada niatku untuk lari dari janji yang
telah aku ucapkan." Wajah pemimpin prajurit Wira Tamtama di Prambanan itu
masih juga tegang. Tetapi ia merasa aneh mendengar katakata
anak muda dari Sangkal Putung itu. Ia merasa
tersinggung karenanya, tetapi ia merasakan kebenarannya
pula. Bahkan ia merasa hormat kepada anak yang melihat
kenyataan yang telah berlaku di Prambanan ini. Sehingga
dengan demikian ia menjadi ragu-ragu apakah benar ia hanya
berhadapan dengan seorang anak gembala yang karena
keadaan telah menjadi pengawal kademangannya"
Dalam pada itu maka prajurit itu pun menjadi ragu-ragu.
Dengan demikian, maka ruangan itu pun menjadi sunyi
kembali. Yang terdengar kemudian adalah kokok ayam jantan
yang menjadi semakin ramai di segenap sudut desa.
"Hampir fajar," tiba-tiba Sutawijaya berdesis.
Dalam keragu-raguannya tiba-tiba prajurit itu berkata, "Kau
belum sempat beristirahat menghadapi saat yang berbahaya
bagimu." "Aku sudah cukup beristirahat di sini. Aku sudah minum
minuman hangat dan makan pagi, jadah panggang dan jenang
manis." Prajurit itu tidak menjawab. Sejenak ia termenung. Kemudian
terdengar ia berkata, "Aku akan melihat apa yang terjadi. Aku
kira di sebelah Barat Bukit Baka pagi ini akan menjadi sangat
ramai dikunjungi orang. Mereka ingin melihat punggungmu
dipatahkan, atau dadamu menjadi berlubang. Tetapi aku tidak
bertanggung jawab." "Mudah-mudahan terjadi sebaliknya. Punggung tamu itulah
yang akan aku patahkan dan dadanyalah yang akan
berlobang." "Kau terlalu sombong."
"Tidak, Tuan," sahut Sutawijaya. "Sudah aku katakan, aku
hanya ingin membesarkan hatiku sendiri."
Prajurit itu memandangi wajah Sutawijaya dengan saksama.
Tiba-tiba ia sadar, bahwa wajah itu sama sekali bukan wajah
seorang gembala atau anak padesan Sangkal Putung. Tetapi
ia tidak tahu, bagaimana ia harus mengatakannya.
Tiba-tiba ia berkata, "Apakah kau memerlukan senjata"
Lawanmu akan mempergunakan sebuah pusakanya yang
berbahaya. Sebatang tombak pendek. Kalau kau perlukan,
kau dapat memakai pedangku."
"Terima kasih," sahut Sutawijaya. "Aku mempunyai senjataku
sendiri." Dada prajurit itu berdesir, tetapi ia berdiam diri.
Ketika suara ayam jantan menjadi semakin ramai, maka
berkatalah Sutawijaya, "Aku tidak ingin terlambat. Lebih baik
aku datang lebih dahulu. Aku akan berangkat segera."
"Angger," Astra yang sejak tadi berdiam diri tiba-tiba berkata,
"apakah Angger tidak dapat mengurungkan perkelahian itu"
Aku telah mendengar pula dari anak-anakku bahwa Angger
akan melakukan perang tanding pagi ini."
Sutawijaya tersenyum. Jawabnya, "Sayang, Paman. Doakan
saja aku selamat." Sutawijaya pun segera minta diri untuk memenuhi janjinya
pergi ke sebelah Barat Bukit Baka di tepi Sungai Opak.
Wajah Astra yang tua itu pun kemudian memancarkan
perasaan cemasnya. Sorot matanya menjadi suram dan
gelisah. Bahkan pemimpin prajurit itu pun tertegun-tegun
dicengkam oleh perasaan tak menentu.
Namun terdengar Sutawijaya berkata tegas, "Aku akan
berangkat." Kepada Agung Sedayu dan Swandaru ia berkata,
"Marilah. Aku tidak mempunyai waktu lagi."
Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab. Segera
mereka turun dari amben bambu yang besar itu dan
mengipas-ngipaskan kain mereka.
Prajurit itu pun tiba-tiba berkata, "Aku akan pergi bersama
kalian." "Terima kasih," sahut Sutawijaya yang kemudian sekali lagi
minta diri kepada Astra. "Kami akan berangkat, Paman."
Astra melepas mereka dengan hati yang gelisah dan cemas.
Ia sendiri tidak mengerti, kenapa ia mencemaskan nasib anakanak
muda yang baik itu. Meskipun anak-anak muda itu baru
saja dikenalnya. Namun dalam tutur kata dan sikapnya, serta
apa yang didengarnya dari kedua anaknya, maka hatinya
telah tertarik kepada mereka.
Tetapi Astra tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat
memandangi langkah-langkah yang tetap dari ketiga anakanak
muda itu bersama pemimpin prajurit Pajang di
Prambanan, meninggalkan halaman rumahnya.
Ketika Sutawijaya berbelok lewat sebuah pematang, maka
prajurit itu pun berkata, "Kita menempuh jalan ini. Jalan ini
adalah jalan yang paling dekat."
Sutawijaya menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya wajah
kedua kawannya seolah-olah ingin mendapat pertimbangan
dari padanya. Tetapi kedua kawannya itu sama sekali tidak
berbuat sesuatu bahkan sorot mata mereka pun sama sekali
tidak menunjukkan sesuatu sikap. Karena itu, maka
Sutawijaya-lah yang harus bersikap. Katanya, "Aku harus
lewat jalan ini, Tuan."
"Kau harus memutari ladang. Baru kau akan sampai ke jalan
yang sempit. Di ujung lain dari pematang itu, kau akan sampai
ke jalan kecil, dan jalan kecil itu adalah simpangan dari jalan
yang besar ini." Kembali Sutawijaya menjadi ragu-ragu. Tetapi ia harus
melewati batang gayam tempat mereka menyangkutkan
senjata-senjata mereka. Karena itu maka jawabnya, "Jalan
inilah yang aku kenal pada saat aku datang, Tuan. Karena itu
aku akan menempuh jalan ini pula."
"Aku mengenal setiap sudut Kademangan Prambanan seperti
aku mengenal rumahku sendiri."
Sutawijaya akhirnya tidak mempunyai alasan lain dari pada
alasan yang sebenarnya, sehingga ia tidak lagi dapat
menghindar. Maka katanya, "Aku harus lewat di bawah pohon
gayam di sebelah ladang ini, Tuan."
Pemimpin prajurit itu menjadi heran, sehingga dengan serta
merta ia bertanya, "Kenapa kau harus lewat di bawah pohon
gayam?" Sutawijaya benar-benar sudah tidak ada kesempatan untuk
menyembunyikan keadaannya. Maka jawabnya, "Senjata
kami, kami simpan di pohon itu, Tuan."
"Senjata?" kembali prajurit itu terkejut. Ia telah mendengar
Sutawijaya berkata bahwa ia akan mempergunakan
senjatanya sendiri, tetapi ketika ia mendengar bahwa senjata
itu tersimpan di pohon gayam, maka ia masih juga terperanjat.
"Ya, Tuan. Kami telah menyembunyikan senjata-senjata kami
di atas dahan yang rimbun."
Prajurit itu tidak menyahut, namun raut mukanya menjadi
berkerut-kerut. Ditatapnya ketiga anak-anak muda itu bergantiganti.
Sutawijaya dengan wajah yang pasti dan teguh, sedang
anak yang kedua berwajah tenang. Namun dalam ketenangan
itulah tersembunyi relung yang dalam. Seperti wajah air,
semakin tenang semakin dalamlah dasarnya. Anak muda
yang ketiga, yang gemuk, adalah anak muda yang berwajah
terang, tetapi membayangkan kekerasan tekadnya.
"Hem," desah prajurit itu di dalam hatinya. "Siapakah
sebenarnya anak-anak ini. Kenapa baru sekarang aku dapat
mengenali wajah-wajah mereka dengan baik justru di dalam
keremang-remangan. Kenapa aku tidak melihatnya tadi di
banjar desa yang terang benderang?"
Prajurit itu kini tidak membantah lagi. Diikutinya saja ketiga
anak-anak muda itu di belakangnya. Ketika mereka sampai di
bawah pohon gayam, maka segera mereka pun berhenti.
Sejenak mereka tegak berdiri sambil berpandang-pandangan.
Namun yang pertama-tama berkata adalah Swandaru, "Hem,
aku lagikah yang harus memanjat?"
Mau tidak mau Sutawijaya dan Agung Sedayu tersenyum.
Sebelum keduanya menjawab, maka Swandaru telah
menyingsingkan lengan bajunya dan menyangkutkan kain
panjangnya. "Tak ada pilihan lain," gumamnya.
"Jangan menggerutu," sahut Agung Sedayu. "Aku pun akan
memanjat pula." "Kalau aku tahu di mana senjata-senjata itu disangkutkan,
maka aku pun bersedia untuk memanjat pula. Tetapi aku tidak
tahu, apalagi hari masih gelap," berkata Sutawijaya.
"Huh," desis Swandaru. "Alasan yang sempurna."
Sutawijaya tertawa. Dibiarkannya kedua kawan-kawannya
memanjat ke atas. Namun terdengar ia berpesan, "Berhatihatilah.
Hari masih terlalu gelap."
Tetapi Swandaru dan Agung Sedayu kemudian berhasil
mengambil seluruh senjata-senjata mereka. Sebatang tombak,
dua batang pedang, tiga buah busur beserta endong
panahnya. Pemimpin prajurit itu terkejut melihat kelengkapan mereka.
Sehingga dengan serta merta ia berkata, "Bukan main.
Kelengkapan kalian telah menambah teka-teki di dalam


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepalaku. Siapakah sebenarnya kalian?"
"Sudah aku katakan," sahut Sutawijaya, "kami adalah
pengawal Kademangan Sangkal Putung."
Prajurit itu pun terdiam. Tetapi teka-teki di dadanya justru
menjadi semakin membayang di wajahnya. Sekali-kali nampak
mulutnya berkumat-kumit. Tetapi tak sepatah kata pun keluar
dari mulutnya. Ketika ketiga anak-anak muda itu sudah siap dengan senjata
masing-masing, maka berkatalah Sutawijaya, "Marilah. Kami
sudah siap." Prajurit itu menjadi semakin bimbang akan penglihatan
matanya. Sutawijaya kini tidak lagi kelihatan seperti seorang
gembala. Dibenahinya pakaiannya dan dibetulkannya lipatan
ikat kepalanya. Tampaklah betapa anak itu memiliki beberapa
kelebihan di dalam dirinya. Sedang kedua anak-anak muda
yang lain pun berbuat pula serupa. Di lambung mereka kini
tergantung sehelai pedang, dan di punggung mereka
tersangkut sebuah busur. Sedang pada ikat pinggang mereka,
tersangkut pula sebuah endong dengan anak-anak panah di
dalamnya. Nafas prajurit itu tiba-tiba menjadi semakin cepat mengalir.
Tetapi ia tidak bertanya sesuatu.
"Marilah," sekali lagi Sutawijaya mengajak kedua kawankawannya
dan prajurit itu. "Tetapi sebaiknya kita tidak
melewati jalan. Apakah ada jalan lain yang lebih sepi dari jalan
itu?" Prajurit itu kini telah benar-benar terpesona melihat ketiga
anak-anak muda itu, sehingga kata-kata Sutawijaya itu telah
memukaunya pula. Tanpa sesadarnya prajurit itu menjawab,
"Ada, kita dapat memintas, lewat pematang di sepanjang parit
kecil ini." "Bagus," sahut Sutawijaya. "Hari telah menjadi semakin
terang. Aku tidak mau lagi berpapasan terlalu banyak orang.
Mudah-mudahan aku tidak terlambat. Silahkan tuan berjalan di
depan." Sekali lagi prajurit itu melakukan permintaan Sutawijaya tanpa
disadarinya. Segera ia meloncat dan berjalan di paling depan,
memintas pematang di sepanjang parit, menyusur ke sebelah
Barat Bukit Baka. Kini warna semburat merah di langit sebelah Timur sudah
menjadi semakin nyata. Satu-satu bintang-bintang yang
bergayutan di udara seakan-akan lenyap ditelan cahaya fajar
yang segera pecah. Ujung-ujung pepohonan telah mulai
nampak berkilat-kilat oleh cahaya pagi yang terpantul dari
butir-butir embun yang mengantung di ujung dedaunan.
Sutawijaya dan kawan-kawannya pun segera mempercepat
langkah mereka. Prajurit yang berjalan di depan itu pun
digamitnya sambil berkata, "Aku agaknya akan terlambat."
"Tidak," sahut prajurit itu. "Matahari sedang terbit."
"Saat inilah yang dijanjikan. Pada saat matahari terbit
Argajaya menanti aku di sebelah Barat Gunung Baka."
"Seandainya kau terlambat, maka saat kelambatanmu tidak
ada sepemakan sirih."
"Aku berharap dapat datang lebih dahulu sebelum Argajaya.
Apalagi apabila kemudian ada orang-orang lain yang mencoba
menonton sabungan ini."
"Pasti. Aku dapat menduga bahwa hampir setiap laki-laki di
Prambanan akan hadir melihat perkelahianmu nanti."
Sutawijaya terdiam. Tetapi ia melangkah lebih cepat lagi.
Akhirnya ujung Gunung Baka itu pun menjadi semakin dekat.
Di antara semak-semak ilalang tampaklah batu-batu padas
yang menjorok seolah-olah ingin menggapai langit. Tetapi
Bukit Baka bukan pegunungan yang cukup tinggi. Meskipun
demikian, namun bukit itu tampak garang dalam keremangan
cahaya fajar. "Kita harus meloncat ke jalan. Parit ini akan menyilang jalan ke
Gunung Baka." "Apakah ada jalan ke pegunungan itu" Bukankah pegunungan
itu seakan-akan pegunungan yang tidak pernah disentuh
kaki?" "Tidak," sahut prajurit itu. "Banyak orang yang mencoba
mendaki ke puncak itu."
"Apa yang dicarinya?"
"Bermacam-macam kepercayaan telah dicengkam penduduk
di sekitar tempat ini tentang gunung kecil itu."
Sutawijaya mengerutkan dahinya. Tiba-tiba ia berkata, "Kita
turun ke Kali Opak. Adalah lebih baik bagiku menyusur tepian
sungai dari pada berjalan lewat jalan itu. Mudah-mudahan tak
banyak orang di sana."
Prajurit itu tidak menyahut. Tetapi ia pun segera membelok ke
Barat. Meloncat-loncat di antara puntuk-puntuk padas. Kini
mereka sudah meninggalkan tanah persawahan. Mereka telah
sampai di padang ilalang yang jarang. Di sana-sini berserakserakan
batu-batu padas yang kelabu.
Sesaat kemudian mereka telah sampai di pinggir tebing
Sungai Opak. Tebing yang tidak begitu tinggi, sehingga
mereka tidak mengalami kesukaran untuk meloncat turun.
Kini mereka berempat berjalan di sepanjang pasir tepi Sungai
Opak. Mereka berjalan dengan langkah yang panjang ke
Selatan. Janji itu mengatakan, bahwa mereka akan bertemu di
pinggir Kali Opak di sebelah Barat Pegunungan Baka.
Sutawijaya terkejut ketika ia melihat beberapa orang
berkerumun di kejauhan. Dengan serta merta ia berkata,
"Apakah kira-kira tempat itu yang disebut oleh Argajaya."
"Tak ada seseorang yang tahu pasti, manakah yang
dikehendaki oleh Argajaya. Tetapi pasti di sepanjang tepian
ini. Tempat orang berkerumun itu adalah tepat di sebelah
Barat ujung Gunung Baka."
"Mungkin di sana Argajaya menunggu. Ternyata aku datang
terlambat." Prajurit itu tidak menyahut. Mereka berjalan semakin cepat.
Sebelum mereka mendekat, berkatalah Sutawijaya kepada
Swandaru, "Sekali lagi aku minta tolong. Bawalah busurku.
Aku hanya akan mempergunakan tombakku."
Swandaru menarik nafas. Katanya "Baiklah. Apakah busurmu
tidak sama sekali kau berikan aku Kakang Agung Sedayu."
Sutawijaya tersenyum. Tetapi wajahnya kini menjadi
bersungguh-sungguh. Ia tidak lagi dapat bergurau ketika di
hadapannya telah menunggu sekelompok orang yang ingin
melihat dirinya berkelahi antara hidup dan mati."
Swandaru melihat kesungguhan wajah Sutawijaya itu
meskipun sambil tersenyum. Karena itu, maka Swandaru tidak
mau bersenda lagi. Wajahnya pun menjadi bersungguhsungguh
pula ketika kemudian ia menerima busur dan endong
anak panah Sutawijaya. Mereka berempat kini berjalan semakin cepat. Namun tak
sepatah kata pun yang terucap. Masing-masing terbenam
dalam angan-angannya sendiri.
Tiba-tiba orang-orang yang berkelompok itu pun mulai
bergerak-gerak seperti sarang semut yang tersentuh tangan.
Agaknya seseorang telah melihat kedatangan mereka, dan
berita itu pun telah menjalar ke segenap telingga, sehingga
semua orang di dalam kelompok itu pun berpaling dan
memandangi Sutawijaya dan kawan-kawannya.
Sutawijaya menarik nafas. Sekali ia menengadahkan
wajahnya. Seleret sinar memancar di langit yang jernih. Dari
balik Gunung Baka sinar matahari seolah-olah meluncur
menghujam ke segenap penjuru.
"Hem," guman Sutawijaya, "matahari telah memanjat naik."
"Belum secengkang," sahut prajurit itu.
Sutawijaya terdiam. Dengan wajah yang tegang ia berjalan
selangkah mendekati kelompok yang tiba-tiba menebar
seakan-akan memberikan jalan.
Langkah Sutawijaya pun menjadi tetap. Tanpa ragu-ragu ia
berjalan masuk ke dalam kerumunan orang-orang
Prambanan. Dengan sorot mata yang tajam ia memandang
berkeliling. Setiap pasang mata yang terbentur dengan sorot
mata anak muda itu, tiba-tiba terpaksa jatuh menunduk
memandangi pasir tepian. Sorot mata anak muda itu ternyata
terlampau tajam bagi mereka.
Tetapi Sutawijaya belum melihat orang yang menantangnya.
Meskipun hampir seluruh wajah di baris terdepan telah
dipandanginya, tetapi wajah Argajaya belum tampak berada di
tempat itu. Karena itu maka tanpa disadarinya ia bergumam,
"Di manakah tamu yang terhormat itu?"
Sutawijaya berpaling ketika ia mendengar jawaban di
belakangnya, "Belum datang, Kisanak."
Sutawijaya melihat Haspada telah berada di tempat itu pula.
Di sampingnya berdiri Trapsila dan beberapa orang kawankawannya.
Di sisi yang lain dilihatnya anak-anak muda saling
bergerombol. Satu dua Sutawijaya masih dapat mengenal. Di
sebelah Selatan adalah gerombolan anak-anak Sembojan,
sedang di sisi Utara adalah anak-anak Tlaga Kembar. Anakanak
induk kademangan bertebaran hampir di segenap sudut,
sedang anak-anak dari padesan-padesan kecil pun berkumpul
di antara mereka. Orang-orang tua berdiri agak ke belakang.
Tetapi agaknya mereka pun ingin melihat apa yang akan
terjadi. "Apakah Argajaya memilih tempat yang lain?" bertanya
Sutawijaya tanpa ditujukan kepada seorang pun.
Tak ada jawaban. Tetapi wajah-wajah orang yang
mengitarinya seakan-akan membantah kata-katanya itu.
Seakan-akan mereka ingin berkata, "Ini adalah batas
Kademangan Prambanan. Ini adalah tepian Kali Opak di
sebelah Barat Gunung Baka."
Tetapi tak seorang pun yang mengatakannya. Mereka seakanakan
terbungkam dan bahkan terpesona melihat anak muda
yang berdiri di tengah-tengah mereka. Anak muda itu seakanakan
bukan anak muda yang dilihatnya kemarin. Juga kedua
kawan-kawannya itu seakan-akan sama sekali bukan anak
muda yang berkelahi di pendapa. Dengan pedang di lambung
dan busur menyilang di punggung tampaknya mereka menjadi
gagah, segagah prajurit-prajurit Pajang.
"Apakah pemimpin prajurit Pajang yang datang bersama-sama
dengan mereka itulah yang meminjami mereka senjata?"
Pertanyaan itu tumbuh di setiap dada mereka yang berdiri
berkerumun itu. Namun yang terdengar adalah suara Sutawijaya, "Aku akan
menunggu Argajaya." Sutawijaya berkata tidak terlampau keras. Namun terdengar
menyusup dalam-dalam ke dalam telinga orang-orang yang
mengerumuninya. Suara yang terlontar dari bibir anak muda
itu terasa mengandung perbawa yang tajam.
Tetapi ternyata Sutawijaya tidak perlu menunggu terlampau
lama. Kembali orang-orang di dalam kelompok itu bergerakTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
gerak. Semua kepala berpaling ke satu arah. Ketika
Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru mengikuti
pandangan mereka, terasa dada mereka berdesir. Di
sepanjang jalan kecil yang menembus padang ilalang, tampak
beberapa orang berjalan beriringan. Debu yang tipis tampak
berhamburan terlontar dari tanah yang kering oleh sentuhan
kaki-kaki mereka. Di paling depan berjalan seorang yang bertubuh tegap kekar.
Dengan kepala tengadah ia melangkah menjinjing sebatang
tombak pendek, sependek tombak Sutawijaya. Orang itu
adalah Argajaya. Di belakangnya berjalan kedua orang
kawannya, kemudian pemimpin prajurit yang satu lagi dan
beberapa orang prajurit Pajang. Bahkan tampak di antara
mereka Ki Demang Prambanan, Ki Jagabaya yang kurus dan
beberapa orang perabot desa yang lain.
Tanpa disengajanya Sutawijaya berpaling ke arah pemimpin
prajurit yang seorang yang datang bersamanya. Tampaklah
wajahnya menjadi tegang, lebih tegang dari wajah Sutawijaya.
Ia melihat para prajurit bawahannya seakan-akan telah
berpihak kepada tamu yang sombong itu. Dengan demikian,
maka seakan-akan ia telah kehilangan kewibawaan bagi para
prajuritnya. Bahkan Ki Demang Prambanan yang semalam
membenarkan sikapnya, kini agaknya telah berganti pendirian.
Seakan-akan apa yang dikatakan semalam hanyalah suatu
mimpi yang kecut. Sekarang ia ingin bersikap lain. Besok
adalah soal besok. Sikapnya baru akan dipikirkannya besok
juga. Tetapi pemimpin prajurit itu menjadi agak tenang ketika ia
melihat Haspada, Trapsila, dan beberapa kawan-kawannya
berada di tempat itu pula. Kalau ia harus memberikan
keputusan, sedang para prajuritnya tidak dapat
dikendalikannya lagi, maka ia akan memerlukan bantuan
anak-anak muda Prambanan itu. Bahkan mungkin ia
memerlukan anak-anak Sangkal Putung ini. Ya, anak-anak
Sangkal Putung ini mungkin akan bersedia membantunya.
Kini iring-iringan itu sudah semakin dekat. Ketika wajah
mereka menjadi kian jelas, maka tampaklah bibir Argajaya
dihias oleh senyum yang cerah.
Sejenak orang-orang yang telah menanti di pinggir Kali Opak
itu terpesona melihat kehadiran Argajaya bersama orangorang
yang mengiringinya, seakan-akan kehadiran seorang
pemimpin bersama dengan anak buahnya, sehingga mereka
itu pun kemudian terdiam seperti orang-orang tersentuh kaki.
Yang mula-mula terdengar adalah suara Aryajaya
menggelegar, "He, agaknya kau telah datang lebih dahulu
anak muda. Ternyata kau benar-benar anak jantan. Aku
sangka kau semalam telah melarikan diri meninggalkan
Prambanan kembali ke rumahmu, bersembunyi di balik
selendang ibumu." Alangkah menyakitkan hati. Tetapi Sutawijaya tidak
menjawab. Ditungguinya sampai Argajaya semakin dekat.
Sejenak kemudian mereka telah melintasi rumput-rumput
kering di tebing, kemudian berloncatan turun ke tepian. Para
pengikutnya pun segera berloncatan pula. Dan tanpa mereka
sadari, mereka telah membuat suatu kelompok yang seakanakan
terpisah dari kelompok yang lebih dahulu datang.
Bahkan di antara mereka tampak satu dua anak-anak muda
Sembojan dan anak-anak muda Tlaga Kembar yang semalam
saling mengejar dan berkelahi. Ternyata pendapat mereka kini
telah terbelah silang menyilang. Anak-anak Sembojan dan
anak-anak Tlaga Kembar sebagian telah datang lebih dahulu
bersama Haspada dan Trapsila.
Sejenak kemudian kembali terdengar suara Argajaya,
"Bagaimanapun juga aku merasa kagum akan kejantananmu.


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun kalian menyadari apa yang kalian hadapi, tetapi
kalian tidak melarikan diri. Sidanti akan bergembira
mendengar berita ini. Aku harap ia akan mendengarnya kelak.
Dari salah seorang di antara kalian atau dari aku sendiri."
Sutawijaya masih berdiam diri. Ia tegak seperti tonggak.
Sedang Agung Sedayu dan Swandaru berdiri beberapa
langkah di belakangnya. Ketika Argajaya menjadi semakin dekat. Dilihatnya kini bahwa
di tangan Sutawijaya tergenggam sebatang tombak pendek
pula. Ia telah melihat tombak itu sejak ia masih berada di atas
tebing. Tetapi baru kini ia melihat ujung dari tombak yang
pendek itu. Tanpa disadarinya dipandanginya ujung
tombaknya sendiri. Tombaknya adalah tombak pusaka. Tetapi
dalam sekilas itu ia dapat melihat, bahwa tombak anak muda
itu pun bukan kebanyakan tombak.
Apalagi kemudian ia melihat Agung Sedayu dan Swandaru
yang berdiri tidak jauh dari Sutawijaya itu. Di lambungnya
tergantung pedang, dan di punggungnya menyilang busur.
Hati Argajaya menjadi berdebar-debar. Busur itu semuanya
berjumlah tiga buah. Pasti milik ketiga anak itu.
Meskipun demikian ia bertanya, "He, dari mana kau mendapat
pinjaman senjata anak muda?"
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun ia menjawab,
"Senjataku sendiri. Apakah senjatamu itu senjata pinjaman?"
Argajaya terkejut mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba sorot
matanya menjadi tajam dan dengan nada yang berat ia
menjawab, "Pertanyaanmu terlampau tajam anak muda.
Semalam, ketika aku meninggalkan pendapa banjar desa,
hatiku telah sedikit mereda. Aku menganggap bahwa kalian
adalah anak-anak yang patut dikasihani. Meskipun kali ini aku
datang dengan senjata di tangan, tetapi aku telah menjadi lilih.
Aku tidak ingin membunuh seperti semalam. Aku hanya ingin
memberimu sekedar peringatan, bahwa kau telah berbuat
kesalahan. Tetapi itu mungkin karena kau sama sekali belum
mengenal kami. Aku mengharap perkenalan pagi ini akan
memberimu kesadaran. Kalau kau dan kedua kawankawanmu
bersedia minta maaf kepadaku, maka kalian aku
anggap tidak bersalah."
"Terima kasih, Argajaya,"
sahut Sutawijaya. Namun kata-kata selanjutnya sangat mengejutkan, "Aku sudah menduga bahwa kau bukan seorang yang terlampau jahat. Kau hanya seorang pemarah yang tidak dapat mengendalikan diri.
Tetapi ingat, sikap yang demikian adalah berbahaya. Berbahaya bagi orang-orang di sekitarmu dan berbahaya bagi dirimu sendiri. Seperti kau, maka aku pun kini sebenarnya sudah kehilangan
gairah untuk berkelahi. Dan aku pun akan bersedia
memberimu maaf seandainya kau memerluknnya."
Darah Argajaya yang cepat mendidih itu pun tiba-tiba
bergejolak sampai kepalanya. Tombaknya pun menjadi
gemetar dan wajahnya menjadi merah membara. Tiba-tiba ia
berpaling kepada Ki Demang sambil berkata, "Kau dengar Ki
Demang, apa yang dikatakannya" Apakah salahku apabila
aku benar-benar membunuhnya?"
Ki Demang tidak segera menyahut. Dilihatnya setiap wajah
menjadi tegang. Wajah para prajurit pun menjadi tegang pula.
Bahkan pemimpin prajurit yang datang bersama Sutawijaya
pun tidak dapat mengerti, kenapa tiba-tiba sikap anak muda
itu menjadi semakin keras dan semakin tajam.
"Apa katamu, he Ki Demang?"
Demang Prambanan terkejut. Tergagap ia menjawab, "Ya, ya,
salahnya. Salahnya sendiri. Aku telah mendengar katakatanya
yang tidak sopan itu."
"Nah," tiba-tiba pemimpin prajurit yang lain, yang datang
bersama Argajaya menyambung, "apa kataku. Ia telah
menghina Prambanan dalam keseluruhan."
Argajaya itu pun kemudian mengangkat wajahnya. Sambil
memandang berkeliling ia berkata, "Lihatlah, betapa anak
muda dari Sangkal Putung itu telah mencoba membunuh
dirinya sendiri. Kalian menjadi saksi, bahwa aku bersedia
memaafkannya, apabila ia dengan baik dan penuh penyesalan
minta kepadaku. Tetapi kalian telah mendengar jawabnya."
Terdengar suara bergumam di belakang mereka. Salah
seorang yang telah setengah baya berkata lirih, "He, anak
yang keras kepala. Kenapa kesempatan itu dilewatkannya."
Yang terdengar kemudian adalah suara Argajaya pula,
"Sekarang adalah terserah kepadaku. Bagaimanapun aku
akan menyelesaikan persoalan ini."
Kembali setiap mulut menjadi terbungkam. Namun setiap
jantung berdetak semakin keras. Sebagian dari mereka
menyesali anak muda dari sangkal putung itu. Kesempatan
yang diberikan oleh Argajaya akan dapat menyelamatkan
mereka. Tetapi kesempatan itu tidak dipergunakannya.
Argajaya itu pun kemudian maju beberapa langkah mendekati
Sutawijaya yang berdiri tegak seperti patung. Wajahnya yang
merah membara itu pun kemudian tersenyum, meskipun
terasa betapa senyum itu hambar. Katanya, "Hem, kau
memang anak muda yang keras hati. Kau ingin tahu dari
mana aku mendapat senjata" Senjata ini adalah pusaka dari
Menoreh. Kau ingin tahu namanya" Namanya Kiai Petit.
Apalagi" Bertanyalah sebelum kau kehilangan kesempatan."
"Tidak," jawab Sutawijaya singkat.
"Nah, sekarang katakan kepadaku, siapakah yang memberimu
senjata?" bertanya Argajaya. Tetapi matanya berkisar
memandangi pemimpin prajurit yang datang bersama
Sutawijaya. Dada prajurit itu berdesir. Ia merasa, bahwa
Argajaya berprasangka kepadanya, dengan demikian, apabila
pekerjaan Argajaya atas Sutawijaya selesai, maka
hubungannya dengan tamu itu pasti tidak akan baik. Bahkan
mungkin anak buahnya sendiri pun akan bersikap tidak baik
pula kepadanya. Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar
jawaban Sutawijaya, "Setiap laki-laki Sangkal Putung pasti
bersenjata. Sebab laki-laki Sangkal Putung adalah pengawalpengawal
kademangannya menghadapi sisa-sisa laskar Arya
Penangsang." Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sekali lagi
ia melihat ujung tombak Sutawijaya. Tombak itu bukan tombak
kebanyakan. "Bagus," sahut Argajaya. "Mungkin kau pernah mendapat ilmu
dari Sidanti. Mungkin dari para prajurit yang lain. Tetapi
ternyata kau menjadi terlampau sombong. Sekarang tentukan
sikapmu yang terakhir. "Aku menunggu kau minta maaf kepadaku dan berjanji untuk
bertingkah laku baik dan sopan," jawab Sutawijaya.
Jawaban itu telah menutup setiap kemungkinan untuk
mengurungkan perkelahian. Argajaya benar-benar menjadi
gemetar. Matanya menyala seperti bara. Terdengar giginya
gemeretak. Dan dengan suara gemetar ia berkata,
"Bersiaplah. Kau telah membakar kemarahanku kembali
setelah aku bersedia memaafkanmu."
"Kau juga telah membuat aku marah," sahut Sutawijaya
lantang. Argajaya sudah tidak dapat mengendalikan dirinya lagi.
Selangkah ia maju, dan tombaknya pun kini telah terangkat
setinggi dada. Namun Sutawijaya telah bersiap pula. Sekali ia berpaling
kepada Agung Sedayu dan Swandaru. Kedua kawannya itu
pun berdiri dengan tegangnya. Namun ketika Sutawijaya telah
hampir mulai, mereka melangkah menjauhi satu sama lain,
sekan-akan mereka ingin melihat perkelahian itu dari arah
yang berbeda. Argajaya dan Sutawijaya kini telah berdiri berhadap-hadapan.
Tombak-tombak mereka telah mulai bergetar karena getar
jantung mereka yang menjadi semakin cepat. Tetapi agaknya
mereka masih saling menanti agar lawan-lawannyalah yang
mulai menggerakkan senjatanya.
Matahari kini telah merayap naik semakin tinggi. Warna-warna
merah di langit telah menjadi semakin bening. Lamat-lamat
terdengar burung-burung liar menyambut pagi. Sama sekali
tidak dihiraukannya ujung-ujung tombak yang telah siap
berbicara di pinggir Sungai Opak.
Sutawijaya-lah yang kemudian sekali lagi memancing
kemarahan lawannya supaya kehilangan pengekangan diri. Ia
mengharap bahwa lawannyalah yang akan menyerangnya
lebih dahulu. Karena itu maka katanya, "Argajaya. Ternyata
kau tidak mendengarkan kata-kataku. Karena itu, maka aku
tidak akan dapat memberimu ampun lagi, meskipun kau
paman Sidanti. Aku ingi memberitahukan pula kepada Sidanti,
bahwa sikap yang demikian seperti yang kau lakukan, adalah
sikap yang tercela. Apalagi kau ingin membuat daerah ini
menjadi semakin parah dengan segala macam kemaksiatan
itu." Ternyata Sutawijaya berhasil. Ia tidak sempat menyelesaikan
kalimatnya. Dengan garangnya Argajaya meloncat sambil
menggerakkan tombaknya langsung mematuk dada
Sutawijaya. Semua orang yang melihat gerakan itu terkejut. Mereka yang
sedang berdebar-debar mendengar kata-kata Sutawijaya yang
tajam itu dengan serta-merta telah melihat Argajaya meloncat
secepat kilat. Namun Sutawijaya telah benar-benar siap
menanggapi setiap serangan. Juga serangan Argajaya ini pun
telah diperhitungkannya. Dengan demikian, maka dengan
tangkasnya pula ia menarik tubuhnya selangkah ke samping.
Dengan merendahkan dirinya sedikit, Sutawijaya-lah yang kini
mencoba menusuk lambung lawannya.
Argajaya terkejut melihat sambutan itu. Menilik tata geraknya,
maka Argajaya menyadari, bahwa lawannya bukanlah sekedar
seorang anak muda yang pernah belajar bermain tombak
pada seorang prajurit saja, meskipun prajurit itu bernama
Sidanti. Karena itu, maka sikap Sutawijaya itu merupakan
peringatan baginya, untuk bersikap lebih hati-hati dan
waspada. Sambil menggeliat, Argajaya menghindarkan dirinya. Dengan
tombaknya ia menangkis serangan Sutawijaya. Dengan
demikian maka kedua tombak itupun bersentuhan. Namun
dari sentuhan itu terasa betapa kekuatan masing-masing
seakan-akan telah menjalari tangan-tangan lawannya.
Argajaya terkejut ketika terasa tangannya tergetar. Sentuhan
itu bukanlah suatu benturan yang keras. Namun sentuhan itu
telah cukup menggetarkan tangannya. Karena itu, maka
kemarahannya pun menjadi semakin memuncak. Agaknya di
tempat ini ia akan bertemu dengan seorang lawan yang
tangguh di luar dugaannya.
Sutawijaya pun merasakan sentuhan itu. Ia pun merasakan
betapa kekuatan tangan Argajaya mengguncang tangannya.
Tetapi tiba-tiba Sutawijaya tersenyum di dalam hatinya.
Ternyata Argajaya bukanlah orang yang perlu ditakuti. Ia
merasa bahwa setidak-tidaknya ia mempunyai kesempatan
yang sama dengan lawannya.
Demikianlah maka perkelahian itu semakin lama menjadi
semakin seru. Argajaya benar-benar tidak hanya menakutnakuti
namanya saja. Tetapi tandangnya benar-benar ngedabedabi.
Seperti rajawali di langit ia menyambar-nyambar
lawannya, kemudian tombaknya mematuk-matuk seperti anak
panah yang meluncur dari segenap penjuru. Orang-orang
Prambanan yang telah mengaguminya menjadi semakin
kagum. Mereka tidak menyangka, bahwa sampai sedemikian
dahsyatnya tata gerak tamunya yang perkasa itu. Tetapi ketika
mereka telah menyaksikannya sendiri, maka kekaguman
mereka menjadi kian bertambah-tambah. Para prajurit pun
menjadi kagum pula. Mereka telah sering melihat peperangan
yang dahsyat. Bahkan merekapun pernah melihat beberapa
orang yang luar biasa berkelahi. Namun mereka masih juga
menarik nafas dalam-dalam ketika mereka melihat betapa
Argajaya menggerakkan tombaknya.
Tetapi lebih daripada itu, di samping kekaguman mereka yang
menggetarkan dada mereka, maka lebih-lebih lagi anak muda
dari Sangkal Putung itu. Para prajurit itu pun berdiri dengan
dada berdebar-debar melihat tandang Sutawijaya. Tanpa
mereka sangka-sangka dengan lincahnya anak muda itu
dapat mengimbangi tata gerak Argajaya yang garang.
Sehingga semakin seru perkelahian itu, maka semakin
keraslah degup jantung mereka. Dan semakin keraslah
dentang pertanyaan di dalam kepalanya "siapakah
sebenarnya anak-anak muda itu?"
Pemimpin prajurit yang seorang, yang datang bersama-sama
dengan Sutawijaya pun menjadi heran bukan buatan. Tetapi
tanpa disadarinya sendiri seolah-olah ia berdiri di pihak
Sutawijaya. Karena itu, tanpa disadarinya pula, merayaplah
perasaan bangga membakar hatinya. Tanpa disadarinya ia
mengarap agar Sutawijaya mampu mempertahankan dirinya,
setidak-tidaknya menyelamatkan diri sendiri. Adalah di luar
sadarnya, bahwa ia pun kemudian tidak menyenangi sikap
tamunya yang merasa dirinya melampaui segala-galanya itu.
Argajaya ternyata bukan orang yang luar biasa. Kini ia
dihadapkan pada seorang anak muda dan anak muda itu
ternyata mampu mengimbanginya.
Bukan saja prajurit yang seorang itu yang menjadi tegang.
Prajurit-prajurit yang lain pun menjadi tegang pula. Ki Demang
Prambanan dan anak-anak muda kademangan itu, Hapada
dan Trapsila melihat perkelahian itu dengan tanpa berkedip.
Dadanya serasa dihinggapi perasaan yang aneh. Sutawijaya
telah benar-benar mempesona mereka.
Demikanlah setiap orang yang melihat perkelahian itu telah
dicengkam pula oleh suatu perasaan yang tidak mereka
mengerti sendiri. Wajah-wajah mereka semakin lama menjadi
semakin tegang, ketika tombak-tombak di arena perkelahian
itu pun menjadi semakin cepat berputar.
Adalah suatu kebetulan bahwa Argajaya pun seorang yang
menguasai senjatanya yang berbentuk tombak itu, seperti


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dipergunakan oleh Sutawijaya pula. Kedua tombak itu
seolah-olah menari-nari berloncat-loncatan, bersentuhan dan
bahkan berbenturan satu dengan yang lain. Kedua pasang
tangan yang menggerakkannya adalah pasangan-pasangan
tangan yang benar-benar cekatan dalam olah senjata.
Argajaya sama sekali tidak menyangka, bahwa ia akan
bertemu dengan anak muda seperti yang sedang dilawannya
itu. Hapir-hampir ia tidak dapat mempercayainya bahwa ujung
tombaknya sama-sekali tidak berdaya meyentuh tubuh
lawannya. Bahkan sekali-sekali tubuhnya sendiri hampirhampir
tersobek oleh senjata lawannya. Dengan demikian,
maka kemarahannya pun setiap saat menjadi kian berkobar di
dalam dadanya. Namun betapapun ia berusaha, tetapi
kemungkinan dari akhir perkelahian itu tidak ditentukannya
sendiri. Akhir dari perkelahian itu adalah tergantung pada
kedua belah pihak. Adalah sudah sewajarnya apabila masingmasing
pihak ingin segera memenangkannya dalam keadaan
serupa itu. Apalagi Argajaya. Tetapi lawannya bukan sekedar
menerima nasib yang ditentukan olehnya. Bahkan lawannya
pun mempunyai kemungkinan yang sama besarnya dari pada
dirinya sendiri. Pasir tepian itu pun kemudian menjadi seolah-olah diaduk
dengan bajak. Bekas-bekas kaki mereka telah membuat
sebuah arena yang luas. Keduanya berloncatan menghindar
dan menyerang. Berputar dan berguling-guling di pasir.
Dengan demikian, maka pakaian-pakaian mereka menjadi
kotornya. Pakaian yang basah karena keringat itu, kemudian
dilekati oleh pasir yang lembut.
Orang-orang Prambanan benar-benar seperti dicengkam oleh
suatu perasaan yang dahsyat. Perkelahian itu adalah
perkelahian yang belum pernah mereka saksikan. Perkelahian
antara dua orang yang perkasa. Jangankan orang-orang
Prambanan bahkan para prajurit-prajurit Pajang pun menjadi
kagum melihat tata gerak mereka.
Argajaya yang marah itu pun berjuang semakin dahsyat.
Berbagai perasaan telah mendorongnya untuk memenangkan
perkelahian itu. Ia adalah seorang tamu yang dihormati, yang
telah menunjukkan beberapa kelebihan yang mengherankan
orang-orang Prambanan dan prajurit-prajurit Pajang di
Prambanan. Dengan tombaknya itu ia mampu membunuh
seekor harimau yang besar dan garang. Sedang kini yang
dihadapinya hanyalah seorang anak muda Sangkal Putung.
Perasaan malu telah menggelitik hatinya. Sudah sekian lama
ia berkelahi, tetapi belum tampak suatu tanda bahwa ia
mampu menguasai keadaan. Tetapi ia tidak menyadari siapakah yang berdiri sebagai
lawannya. Sutawijaya yang setelah berkelahi beberapa lama,
segera dapat mengerti sampai di mana kemampuan Argajaya.
Meskipun perkelahian itu masih berlangsung dengan serunya,
seakan-akan dua tenaga raksasa yang sedang beradu, namun
kembali Sutawijaya tersenyum di dalam hati. Ia kini tahu benar
bagaimana ia harus menghadapi Argajaya. Di dalam hatinya
Sutawijaya itu bergumam, "Belum melampaui Sidanti."
Meskipun demikan Sutawijaya tidak berusaha secepatnya
memenangkan perkelahian itu. Kekecewaannya atas keadaan
yang telah disaksikannya di kademangan ini telah
memaksanya berbuat sesuatu. Ia ingin menguasai perhatian
orang-orang Prambanan atasnya, supaya mempunyai wibawa
yang cukup untuk dapat berbuat sesuatu.
Sebagai sorang putra dari Panglima Wira Tamtama Pajang,
maka keadaan di Prambanan telah benar-benar menyinggung
perasaan Sutawijaya. Sikap para prajurit dan sikap anak-anak
mudanya. Karena itu selagi ia berada di Prambanan maka apa
yang dapat dilakukan untuk membantu tugas ayahnya, akan
dilakukan. Ia ingin mempergunakan caranya sendiri untuk itu.
Cara seorang anak muda pula.
Orang-orang yang berdiri di seputar arena perkelahian itu
masih melihat perkelahian itu berlangsung dengan sengitnya.
Mereka masih melihat keduanya meloncat-loncat dan
berputar-putar. Menyerang dan menghindar. Mereka masih
melihat kedua batang tombak itu saling berbenturan dan
mematuk-matuk dengan dahsyatnya.
Sekali-kali terdengar Argajaya menggeram. Dengan
garangnya ia menerkam dada Sutawijaya dengan ujung
tombaknya. Tetapi setiap kali tombaknya selalu berputar dari
arahnya. Ternyata tombak Sutawijaya sangat lincah. Lebih
lincah dari tombak Argajaya.
Demikianlah ketika perkelahian itu telah berlangsung
beberapa lama, maka sampailah Sutawijaya pada rencananya
untuk mempengaruhi orang-orang Prambanan. Argajaya telah
mendapat kehormatan yang luar biasa karena orang-orang
Prambanan telah melihat ketrampilannya bermain dengan
senjatanya. Menurut mereka, Argajaya dapat berburu harimau
hanya dengan tombak pendek itu. Tetapi kini Sutawijaya tidak
ingin berburu harimau, tetapi dengan tombak pendeknya itu ia
ingin menjatuhkan Argajaya di hadapan orang-orang
Prambanan yang mengaguminya. Ia harus membuat para
prajurit itu menilai dirinya, supaya para prajurit itu kemudian
mendengarkan kata-katanya seperti mereka mendengarkan
kata-kata Argajaya. Matahari yang melambung di langit kini sudah menjadi
semakin tinggi. Sinarnya menjadi semakin cerah dan panas.
Angin yang bertiup dari Selatan menggerak-gerakkan daun
ilalang dan mengusap wajah-wajah yang tegang di pinggir Kali
Opak. Wajah-wajah yang tegang itu menjadi semakin tegang. Tibatiba
mereka melihat betapa tata gerak Sutawijaya menjadi
semakin lincah. Tombaknya menjadi semakin cepat bergetar,
berputar dan mematuk dari segenap arah. Sepasang tangan
anak muda itu seakan-akan telah berubah menjadi berpuluhpuluh
pasang tangan dengan berpuluh-puluh tombak di dalam
genggaman. Argajaya terkejut pula melihat perubahan itu. Untuk
meyakinkan dirinya, Argajaya terpaksa meloncat surut. Tetapi
ia tidak berhasil memisahkan dirinya dari lawannya yang
masih muda itu. Beberapa kali ia ingin melihat lawannya dan
mencoba menilai keadaan. Tetapi beberapa kali pula
lawannya selalu membawanya dalam keadaan yang sulit.
Kemarahan Argajaya pun menjadi semakin memuncak pula
sejalan dengan meningkatnya tata gerak Sutawijaya. Bahkan
kemudian anak muda itu menjadi agak membingungkannya.
Sekali-kalli ia terpaksa meloncat jauh-jauh untuk
menghindarkan diri dari kebingungan. Namun demikian ia
terlepas, demikian lawannya telah siap memaksanya menjadi
sibuk dan bingung kembali.
Sejenak Argajaya masih belum berhasil mengerti, apakah
yang sebenarnya dihadapi. Namun semakin lama, maka orang
itu pun menjadi semakin menyadari keadaannya. Tetapi
dengan demikan ia dihadapkan pada pertentangan di dalam
dirinya sendiri. Ia tidak mau melihat kenyataan itu. Ia tidak
mau mengerti apa yang sudah mulai dilihatnya. Dengan penuh
kemarahan ia mendesak setiap perasaan di dalam dadanya
yang mengatakan lawannya adalah anak muda yang pilih
tanding. "Anak setan itu harus mampus," geramnya di dalam hati. Ia
mencoba membutakan dirinya dari kenyataan yang
dihadapinya. Meskipun setiap kali ia terdesak mundur dan
bahkan beberapa kali ia harus jatuh berguling-guling di atas
pasir tepian untuk menghindari kejaran ujung tombak
lawannya, namun ia masih juga sesumbar di dalam hatinya,
"Kubunuh anak setan ini apabila ia tidak mau mohon maaf
kepadaku." Sutawijaya kini benar-benar sudah sampai pada puncak
permainannya. Ia harus meyakinkan kemenangannya kepada
orang-orang Prambanan dan para prajurit Pajang yang melihat
pertempuran itu. Ia tidak sekedar mendapat kesempatan
karena kelengahan Argajaya. Tetapi setiap orang harus yakin
bahwa memang anak muda yang menyebut dirinya pengawal
Sangkal Putung itu melampaui ketangkasan dan keperwiraan
lawannya. Meskipun demikian Sutawijaya masih sadar, bahwa ia tidak
sepatutnya menciderai lawannya. Ia ingin manunjukkan sikap
yang baik. Namun ia mempunyai pula maksud yang lain.
Karena itu maka ia harus menundukkan Argajaya dalam
keadaan hidup. Dalam kemarahannya Argajaya menjadi semakin garang.
Tandangnya menjadi semakin keras dan kasar. Tetapi dengan
demikian maka ketenangannya pun menjadi semakin kabur.
Bahkan yang tampak kemudian hanyalah nafsunya yang
menggelepar di dalam dadanya. Tetapi kemampuannya sama
sekali tidak dapat mengimbanginya.
Sutawijaya yang menjadi semakin yakin dalam menilai
lawannya, menjadi semakin matap. Dengan suatu gerakan
yang tiba-tiba ia berhasil mengejutkan Argajaya, sehingga
orang itu meloncat surut. Tetapi dengan tangkasnya anak
muda itu memburu, tombaknya berputar membingungkan.
Namun tiba-tiba tombak itu mematuk lambung.
Sekali lagi Argajaya terkejut. Namun ia masih mempunyai
kesempatan untuk menangkis serangan itu. Dengan
tombaknya ia berusaha memukul tombak Sutawijaya. Tetapi
tombak Sutawijaya itu tiba-tiba bergetar dan berputar
menghindari tombak Argajaya sehingga kedua tombak itu
sama sekali tidak bersentuhan.
Dalam keadaan yang demikain, Sutawijaya mempunyai
kesempatan yang baik, selagi Argajaya sedang dalam batas
keseimbangan. Gerakannya yang tidak dapat diperhitungkan
oleh Argajaya telah mendorong orang itu sehingga ia tidak
dapat menguasai keseimbangannya lagi. Dengan susah
payah, Argajaya meloncat supaya ia tidak jatuh. Tatapi dalam
keadaan itu, kembali serangan Sutawijaya melandannya.
Kali ini serangan itu benar-benar telah membingungkan
Argajaya. Ia tidak mampu lagi menghindar. Dengan demikian
maka kesempatan satu-satunya baginya adalah menangkis
serangan itu. Tetapi dalam pada itu keseimbangannya sudah
hampir-hampir tidak lagi dapat dikuasainya.
Demikianlah Argajaya yang garang itu kini benar-benar dalam
keadaan yang sulit. Tombak Sutawijaya yang menyergapnya
seakan-akan telah hampir menghunjam di dadanya.
Tetapi Argajaya tidak mau dadanya dilubangi dengan ujung
tombak anak yang menyebut dirinya pengawal Sangkal
Putung itu. Dengan kekuatannya yang disalurkannya pada
tangannya ia memukul tombak Sutawijaya. Namun dalam
pada itu dibiarkannya dirinya terjatuh untuk segera bergulingguling
menjauhi lawannya. Tetapi Sutawijaya tidak
melepaskan kesempatan ini. Dengan sekuat tenaga pula ia
membenturkan tombaknya pada tombak lawannya. Ia tidak
lagi berusaha menusuk dada, tetapi ia berusaha melawan
pukulan tombak Argajaya. Maka terjadi benturan yang keras di antara keduanya. Tetapi
keadaan Sutawijaya jauh lebih baik dari lawannya, sehingga
karena itu, maka Sutawijaya mempunyai kesempatan lebih
banyak untuk mengerahkan kekuatannya.
Demikian, maka terjadilah hal yang tidak tersangka-sangka
bagi orang-orang yang mengerumuni perkelahian itu. Apalagi
bagi mereka yang membabi buta mengagumi Argajaya yang
perkasa itu. Dengan dada yang berdebar-debar dan darah
yang seakan-akan membeku mereka melihat tombak Argajaya
terlontar dari tgangannya dan terjatuh beberapa langkah
daripadanya. Argajaya sendiri terkejut bukan buatan. Tetapi tangannya yang
nyeri itu sama sekali sudah tidak mampu untuk menahan
senjatanya. Dengan kemarahan yang memuncak sampai ke
ubun-ubun ia menggeram keras. Beberapa kali ia berguling
menjauhi lawannya, kemudian seperti singgat ia melenting
dengan lincahnya. Namun kembali ia terkejut bukan kepalang.
Kembali dadanya berguncang seperti tertimpa reruntuhan
Candi Jonggrang yang megah itu ketika tiba-tiba, tepat pada
saat kakinya berjejak di atas tanah, terasa ujung tombak
Sutawijaya menyentuh bajunya, tepat dilambungnya. Dengan
suara perlahan-lahan namun penuh tekanan terdengar suara
anak muda itu, "Sayang. Tombakmu kau lempar tuan."
Argajaya berdiri tegak seperti patung. Ujung tombak
Sutawijaya kini tidak sekedar menyentuhnya, tetapi ujung
tombak itu kini tertekan pada lambungnya. Betapapun
kemarahan membakar jantungnya, namun Argajaya terpaksa
tidak berbuat sesuatu. Ia berdiri saja dengan mata yang
menyala. Bukan saya Argajaya yang berdiri tegak seperti patung di
tengah-tengah arena perkelahian itu. Orang-orang yang
menyaksikan perkelahian dengan jantung yang tegang itu pun
seakan-akan merasa ujung tombak itu melekat di lambung
masing-masing, sehingga tak seorang pun di antara mereka
yang berani menggerakkan tubuhnya. Bahkan nafas mereka
pun menjadi tersendat-sendat dan dada mereka pun menjadi
sesak. Tombak itu masih melekat di lambung Argajaya. Ujung tombak
itu sama sekali tidak bergetar. Tangan yang menggengamnya
adalah tangan yang yakin akan kemampuannya.
Arena yang hiruk-pikuk oleh perkelahian itu, kini menjadi sunyi
tegang. Wajah-wajah yang membeku, tubuh-tubuh yang kaku
dan nafas yang tersengal-sengal tampak di seputar Argajaya
dan Sutawijaya yang masih belum berkisar dari tempatnya.
Yang terdengar memecah kesepian itu adalah suara
Sutawijaya, "Bagaimana, Tuan?"
"Bunuh aku," suara itu bergetar di antara bibir Argajaya yang
dibakar oleh kemarahannya. Wajahnya yang membara kini
bagaikan menyala. "Hem," Sutawijaya menarik nafas, "Kau benar-benar berhati
jantan. Tetapi aku bukan pengecut yang membunuh lawan
tanpa senjata." "Bunuh, jangan menghina."
"Tidak. Aku hanya akan membunuhmu selagi senjatamu
masih di tangan." Argajaya tidak menjawab. Kemarahannya hampir meledakkan
dadanya. Tetapi ujung tombak itu masih melekat di
lambungnya. Tiba-tiba semua semua orang yang berdiri di sekitar keduanya
terkejut. Agung Sedayu dan Swandaru pun terkejut ketika
mereka mendengar Sutawijaya berkata, "Kalau kau masih
berani, ambil senjatamu. Aku akan membunuhmu apabila kau


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih berani melawan aku."
Bukan main panas hati Argajaya, seakan-akan hati itu kini
berpijar. Terdengar ia menggeram. Namun sekali lagi
telinganya mendengar Sutawijaya berkata, "Ambil tombakmu,
supaya aku dapat membunuhmu. Kalu kau tidak berani maka
pergilah. Kembali ke ibumu dan sembunyi di belakang
selendangnya." Argajaya tidak dapat lagi menahan hatinya. Tiba-tiba kakinya
terayun memukul tombak Sutawijaya. Namun Sutawijaya
sudah bersiaga. Diangkatnya tombaknya, sehingga ujung kaki
itu sama sekali tidak menyentuh senjatanya. Sambil
tersenyum ia meloncat mundur dan berkata lantang, "Bagus.
Kau ternyata bukan seorang pengecut. Aku beri kesempatan
kau memungut senjata itu. Kita berhadapan dengan senjata
masing-masing di tangan."
"Kau akan menyesal anak iblis!" geram Argajaya.
Sutawijaya masih tersenyum. Ia berdiri tegak sambil menunjuk
tombak Argajaya, "Ambil. Ambilah. Aku tidak akan menusuk
punggungmu selagi kau membungkuk memungut tombak itu."
"Kau benar-benar akan menyesal. Ingat, aku tidak akan
memberi kau kesempatan. Aku benar-benar akan membelah
dadamu." Sutawijaya tertawa. Selangkah ia mundur, sambil berkata,
"Ambilah. Ambilah jangan ragu-ragu. Ada dua kesempatan
yang aku berikan kepadamu kini. Mengambil senjata itu untuk
melawan dan kemudian mati, atau berjongkok minta ampun
kepadaku. Pengawal Kademangan Sangkal Putung."
Kata-kata itu serasa merontokkan jantung Argajaya.
Sekali ia meloncat dengan
lincahnya dan tombaknya kini
telah digenggamnya kembali.
Tanpa menunggu lebih lama
lagi, Argajaya pun telah mulai
perkelahian itu kembali. Tombaknya kembali berputar
dan mematuk-matuk lawannya.
Tandangnya yang dilambari
kemarahan yang memuncak tanpa terkendali benar-benar
mengerikan. Tetapi justru
karena itu, maka perhitungannya pun menjadi semakin kabur.
Tanggapannya atas lawannya yang masih muda menjadi
kabur pula. Sutawijaya melayaninya dengan tenang. Semakin garang
lawannya maka ia pun menjadi semakin tenang. Ia semakin
banyak melihat kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh
Argajaya, justru karena kemarahan itu.
Orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu benar-benar
dicengkam oleh ketegangan yang memuncak pula. Beberapa
orang menjadi kabur menilai perkelahian itu. Beberapa orang
menjadi bingung dan beberapa orang menjadi gelisah.
Terutama para prajurit Pajang di Sangkal Putung.
Kemenangan bagi Sutawijaya berarti penghinaan pula bagi
mereka itu. Apalagi kemudian Argajaya terbunuh, maka
mungkin sekali mereka pun akan mendapat bencana. Ketika
terpandang olehnya pemimpinnya yang datang bersama-sama
dengan anak muda yang berkelahi itu, maka dada mereka
berdesir. Apakah kira-kira yang akan dilakukannya" Para
prajurit itu merasa, bahwa sedikit banyak mereka telah
menentang atau mengabaikan pemimpinnya itu.
Tetapi yang mereka cemaskan itu pun mendekati kenyataan.
Argajaya kembali terdesak. Orang yang garang itu hampirhampir
tidak mendapat kesempatan untuk berbuat apapun.
Sekali lagi orang-orang yang mengerumuni arena itu menahan
nafas ketika mereka melihat Argajaya terdesak jauh ke
belakang. Orang itu terpaksa meloncat-loncat dan terusmenerus
menghindar mundur. Sedang Sutawijaya pun
nampaknya menjadi garang dan berbahaya.
Akhirnya sekali lagi mereka melihat sebuah serangan
Sutawijaya membadai. Argajaya yang menjadi semakin lemah
kehilangan setiap kesempatan untuk menghindar. Maka
terulanglah apa yang pernah terjadi. Tombak Sutawijaya
memukul tangkai tombak Argajaya, sehingga tombak pendek
itu sekali lagi terlepas dari tangannya.
Dengan gerak naluriah Argajaya meloncat mundur. Tetapi kali
ini Sutawijaya tidak mengejarnya. Kali ini Sutawijaya tidak
menekankan ujung tombaknya ke dada lawannya.
Dibiarkannya lawannya berdiri tegak dengan nafas terengahengah.
Sutawijaya memandanginya dengah wajah terangkat. Dengan
nada suara yang tinggi ia bertanya, "He, kenapa tombakmu
kau lepaskan lagi, Tuan?"
Argajaya tidak menjawab. Sutawijaya yang telah menjadi cukup hangat hatinya ti
bertanya, "Apakah kau mencoba menyelamatkan dirimu
dengan cara pengecut itu?"
Terdengar gigi Argajaya gemeretak.
"Kau tahu aku tidak akan membunuh orang yang tidak
bersenjata. Karena itu ketika aku hampir berhasil
membunuhmu kau lepaskan senjatamu," desis Sutawijaya
Argajaya menggeram karena marah. Terasa seakan-akan di
dalam dadanya berpijar segumpal bara. Tetapi ia tidak dapat
menumpahkan kemarahannya.
"Ambil senjatamu kalau kau laki-laki," desis Sutawijaya.
Tetapi harga diri Argajaya menyentak di dalam hatinya.
Katanya kasar, "Ternyata kau pun pengecut. Kau tidak berani
melihat darah. Kalau kau jantan, bunuh aku tanpa
memejamkan mata." Sutawijaya mengerutkan keningnya. Darah mudanya
tersentuh. Tetapi kemudian ia tertawa sambil berkata, "Kau
benar-benar berani. Kalu demikian, apakah kau tidak sengaja
melepaskan tombakmu?"
Pertanyaan itu tidak kalah tajamnya menusuk jantungnya.
Sekali lagi ia menggeram. Tetapi ia tidak dapat berbuat
sesuatu. Dengan demikian, maka alangkah sakit hatinya.
Lebih baik dadanya segera ditembus senjata dari pada
menerima penghinaan itu. Tetapi Sutawijaya sama sekali tidak ingin membunuhnya.
Sekali lagi ia akan meyakinkan sikap lawannya. Katanya, "Aku
beri kau kesempatan sekali lagi. Ambil tombakmu."
"Tidak!" sahut Argajaya tegas. "Aku akan mati bersama harga
diriku," ambungnya. "Apakah kau akan minta maaf ?" bertanya Sutawijaya.
"Tidak. Aku tidak akan minta maaf. Aku masih menunggu kau
minta maaf kepadaku. Dan aku akan memaafkanmu. Kalau
tidak maka sikapku tidak akan berubah. Matilah yang merubah
pendirianku itu." "Bagus. Kau adalah seorang yang berani dan sombong,"
sahut Sutawijaya. "Tetapi sayang. Aku tidak akan
membunuhmu. Sudah aku katakan, aku tidak dapat
membunuh orang yang tidak bersenjata."
"Pengecut. Kau tidak berani melihat darah musuhmu. Apalagi
darahmu sendiri. Setetes darah dari tubuhmu, akan
menjadikan kau mati ketakutan."
"Untunglah, kau tidak berhasil meneteskan darahku," sahut
Sutawijaya pula. Kembali Argajaya menggeram. Darahnya serasa mendidih
dan kepalanya seakan-akan menyala.
"Aku beri kesempatan kau untuk lain kali. Kau dapat
mengambil senjatamu dan pergi meninggalkan Prambanan."
"Sekehendakku. Aku bukan bawahanmu, bukan budakmu.
Kalau kau tidak senang melihat aku di sini, bunuhlah aku, aku
tidak takut. Tetapi jangan mencoba memerintah."
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Orang itu benar-benar
keras kepala. Dengan wajah yang bersungguh-sungguh
Sutawijaya berkata, "Kau harus pergi meninggalkan
Prambanan." "Jangan kau ulangi, anak setan! Itu urusanku."
"Baik. Apabila kau tidak akan pergi terserah kepadamu.
Ternyata kau tidak mempunyai rasa harga diri seperti yang
kau ucapkan. Kau sama sekali tidak malu melihat berpasangpasang
mata menyaksikan kekalahanmu."
Kata-kata Sutawijaya itu terasa jauh lebih pedih menusuk
jantungnya dari ujung tombak. Karena itu, maka terdengar
gemeretak gigi Argajaya mengeras. Namun ia masih juga
berdiri tak bergerak. "Nah, apakah kau akan tetap tinggal di sini?" bertanya
Sutawijaya. "Itu urusanku, tahu!" bentak Argajaya. "Jangan kau tanyakan
lagi. Aku akan tetap tinggal di sini atau aku akan pergi adalah
sepenuhnya tergantung padaku. Kalau kau tidak senang
melihatnya, kau dapat membunuh aku. Ancaman apapun yang
kau ucapkan sama sekali tidak bernilai bagiku."
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba
menguasai perasaannya yang mulai bergetar. Aragajaya
memang seorang yang keras hati.
Ketegangan perasaan orang-orang yang menyaksikan sikap
keduanya pun menjadi bertambah-tambah. Mereka menjadi
heran melihat kenapa Sutawijaya masih tetap bersabar tidak
membunuh lawannya yang keras kepala itu, tetapi sebagian
dari mereka menjadi semakin kagum melihat keberanian
Argajaya. Meskipun tangannya tidak lagi menggenggam
senjata tapi ia sama sekali tidak takut.
Para prajurit yang datang bersama Argajaya kemudian dijalari
pula oleh kekerasan hati seperti orang yang dikaguminya itu.
Mereka pun tiba-tiba menjadi semakin benci melihat
Sutawijaya yang masih menggenggam tombak. Bahkan ada
beberapa orang di antara mereka yang tanpa sesadarnya
bergeser beberapa langkah maju. Seperti juga kedua kawan
Argajaya yang tidak dapat membiarkan pimpinannya dalam
keadaan yang sulit itu. Namun Agung Sedayu dan Swandaru pun melihat pula
gelagat itu. Juga tanpa disadari mereka bergerak selangkah
maju. Bahkan kemudian mereka berdua kini berdiri di dalam
lingkaran orang-orang Prambanan di sekeliling arena.
Keduanya telah menumbuhkan kebimbangan pula pada
orang-orang Argajaya itu. Mereka merasa bahwa mereka
berdua tidak akan dapat mengalahkan kedua anak-anak
Sangkal Putung itu. Tetapi mereka melihat bahwa para prajurit
agaknya ada di pihaknya. Namun pemimpin prajurit yang
datang bersama lawan Argajaya itu agaknya berpendirian lain.
Suasana di tepian Kali Opak itu menjadi semakin sepi dan
semakin tegang. Setiap dada bergolak karenanya. Anak-anak
muda yang melihat peristiwa itu pun mempunyai tanggapan
yang berbeda. Haspada dan Trapsila beserta beberapa orang
kawan-kawannya melihat sikap Sutawijaya dengan penuh
kekaguman dan keheranan. Anak itu pasti bukan sekedar
seorang pengawal dari sebuah kademangan.
Tetapi para prajurit yang semakin muak melihat sikap
Sutawijaya pun menjadi semakin panas. Terdengar beberapa
orang berdesis menahan perasaan mereka. Satu dua di
antaranya mereka, tanpa dikehendaki sendiri, telah meraba
hulu pedangnya. Tetapi ketika terpandang oleh mereka itu
busur-busur di tangan Agung Sedayu dan Swandaru, maka
mereka masih harus mencoba mengekang perasaan mereka.
Pemimpin prajurit yang datang bersama Sutawijaya pun
melihat keadaan itu. Ia melihat beberapa orang prajurit
menjadi marah atas kemenangan Sutawijaya, apalagi kedua
kawan Argajaya. Mereka akan dapat menemukan titik
persamaan kepentingan untuk bersama-sama menentang
Sutawijaya dan kedua kawannya. Sepuluh orang prajurit dan
tiga orang tamu itu pasti akan mempu melawan Sutawijaya
dan kedua kawannya. Lalu bagaimana denga dirinya" Tibatiba
pemimpin prajurit itu melihat Haspada dan Trapsila dan
beberapa anak-anak muda pun melangkah maju. Mereka
melihat wajah-wajah anak-anak muda itu menjadi tegang pula
setegang wajah-wajah prajurit Pajang yang berdiri di sisi yang
lain. "Apakah perkelahian ini harus diikuti oleh pertempuran yang
akan berakibat terlampau parah?" desis prajurit itu dalam
hatinya. "Bagaimanakah aku nanti harus mempertanggung
jawabkan peristiwa ini seandainya Ki Untara kelak
mendengarnya?" Pemimpin prajurit itu menjadi bimbang. Namun ia tidak segera
menemukan cara untuk mengatasi kesulitan itu.
Dalam pada itu terdengar suara Sutawijaya, "Jadi kau tidak
mau memenuhi permintaanku?"
"Tidak!" sahut Argajaya tegas.
"Tetapi sebaiknya kau pergi dari tempat ini dan menemui
Sidanti. Aku ingin mengetahui, apakah kira-kira yang akan
dilakukan oleh kemenakanmu yang tidak kalah sombongnya
daripadamu itu. mungkin ia akan malu mendengar kekalahan
pamannya dari seorang pengawal Sangkal Putung, meskipun
kau sendiri tidak mengenal malu. Atau barangkali kau akan
dibunuhnya karena kau telah menyuramkan namanya. Tetapi
mungkin pula Sidanti akan, menjadi marah melihat
kekalahanmu. Kalau demikian, maka ia akan berhadapan
dengan aku." "Tutup mulutmu!" potong Argajaya. "Jangan menghina anak
muda itu pula." "Tak ada kata-kata lain untuk memberi gelar kepadamu dan
kemanakanmu itu kecuali orang-orang yang sombong, tetapi
tidak bernilai." "Diam!" teriak Argajaya.
"Kalau kau marah, ambil tombakmu. Mari kita bertempur.
Kalau kau tidak berani mengambil tombakmu, diam dan
dengarkan kata-kataku. Itu adalah urusanku sendiri, apakah
aku akan berbicara terus, apakah aku akan berhenti. Itu
adalah tergantung kepadaku. Tetapi kelebihanku darimu
adalah, aku masih mengenggam tobakku."
Kepala Argajaya serasa akan meledak karenanya. Hampirhampir
ia meloncat memungut tombaknya, tetapi harga dirinya
telah mencegahnya. Ia telah mendapat kesempatan satu kali
untuk memungut tombak itu. Karena itu ia tidak akan
mengulanginya. Tetapi ia tidak mau mengakui kemenangan
lawannya meskipun akibatnya dadanya akan dibelah dengan
ujung tombak. Karena itu, maka yang dapat dilakukan
hanyalah menggeram dan menggeretakkan giginya. Sedang
Sulawijaya dengan acuh tak acuh masih saja membuatnya
marah dan malu.

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sutawijaya mengharap bahwa dengan demikian Argajaya
akan pergi meninggalkan Prambanan. Ia tidak memikirkan
akibat apa yang dapat terjadi. Bahkan sengaja ia membuat
Argajaya kelak membakar kemarahan Sidanti pula.
Tetapi ia masih saja melihat Argajaya berdiri tegak. Ia masih
melihat Argajaya tidak bergeser dari tempatnya.
"Kau tidak juga mau pergi?" bertanya Sutawijaya.
"Semauku," jawab Argajaya pendek.
"Baik. Kalau demikian dengarkan terus kata-kataku. Mungkin
kau memang senang mendengarkannya."
"Cukup!" semua orang terkejut mendengar kata-kata itu.
Ketika mereka berpaling dilihatnya pemimpin prajurit yang
seorang, yang datang bersama-sama dengan Argajaya dan Ki
Demang Prambanan. Dengan garang ia kemudian berkata,
"Kau membuat onar di Prambanan. Sepatutnya kau kami
tangkap. Kami prajurit Pajang mendapat tugas untuk menjaga
keamanan daerah ini, di samping pemuda-pemuda
Prambanan sendiri. Meskipun kau menang atas tamu kita,
tetapi kau tidak akan dapat menghadapi kami semuanya."
"Aku tidak kalah!" teriak Argajaya.
"Benar," sahut pemimpin prajurit itu. "Apalagi Ki Argajaya
belum mengakui kemenanganmu. Karena itu menyerahlah."
Kening Sutawijaya berdesir. Kemarahannya tiba-tiba melonjak
membakar jantungnya. Tetapi yang terdengar adalah suara
pemimpin prajurit yang datang bersamanya. "Jangan berbuat
sesuatu. Kita telah berjanji untuk menjadi saksi dalam
perkelahian ini. Biarlah yang berkepentingan menentukan
sendiri siapakah yang menang dan kalah secara jantan."
"Tetapi ia menghina seorang prajurit Pajang dari Sangkal
Puiung pula. Sidanti. Dengan demikian ia menghina segenap
prajurit Wira Tamtama."
Prajurit yang datang bersama dengan Sutawijaya terdiam
sejenak. Tetapi kemudian ia menjawab, "Ia tidak ingin
menghina Wira Tamtama. Itu hanyalah sekedar luapan
kemarahannya karena Argajaya berkeras kepala."
"Bohong! Aku tetap akan menangkapnya."
"Akulah pemimpin prajurit di sini," jawab pemimpin prajurit itu
tegas-tegas. "Aku memerintahkan kalian tinggal diam."
"Pengecut!" bantah pemimpin yang lain. "Lihat para prajurit
telah bersiap. Kalau kau tak mau turut dengan kami melakuan
tugas ini, kami tidak bertanggung jawab. Aku juga dapat
menyusun laporan tentang dirimu. Bahwa kau telah
mengingkari tugasmu karena kau ketakutan melihat anak
setan itu." Prajurit itu pun menjadi marah. Tiba-tiba ia meloncat maju
sambil berkata Iantang, "Dengar perintahku. Kalian tetap di
tempat kalian!" "Tidak! Kami akan menangkap anak muda itu."
"Kalau kalian berkeras kepala, aku berada di pihaknya. Aku
berada di pihak anak muda itu. Kalian memang harus dihukum
karena kalian tidak patuh atas perintahku. Atas nama
pimpinan Wira Tamtama di Pajang, khususnya senapati untuk
daerah ini, aku berkata, jangan berpihak. Tetapi kalau kalian,
memaksa, maka aku akan bertindak demi kekuasaan di
tanganku dan tanggung jawabku."
"Jangan mengigau tentang kekuasaan," bantah pemimpin
yang lain. "Kau ternyata menyalah-gunakan kekuasaan itu.
Kau tunduk kepada kehendak kami, atau minggir, supaya kau
tidak tergilas oleh sikap kami demi keamanan daerah ini."
Sutawijaya yang mendengar pertengkaran itu menjadi
kecewa, marah, dan cemas. Ternyata para prajurit Pajang di
Prambanan telah benar-benar kehilangan kepatuhan dan
ketaatannya kepada pimpinannya karena keadaan yang
selama ini seolah-olah tidak terkekang sama sekali. Kini ia
melihat pertentangan itu mencapai puncaknya. Bahkan
agaknya bukan saja para prajurit Pajang, namun anak-anak
mudanya pun agaknya telah berbeda pendirian dan sikap.
Mereka yang selama ini ikut serta dalam perbuatan-perbuatan
yang aneh-aneh bersama para prajurit itu, pasti akan berpihak
kepada mereka. Tetapi anak-anak muda yang lain sudah
barang tentu akan berdiri berseberangan dengan mereka.
Kini Sulawijaya harus berpikir. Kalau ia terseret oleh arus
perasaannya, maka ia akan melihat dua pihak bertempur di
pinggir Kali Opak ini. Pasti bukan sekedar berkelahi sampai
banak belur, dengan wajah merah biru bengap. Tetapi dalam
keadaan seperti kini, maka kemungkinannya pasti akan lebih
jauh. Bahkan mungkin akan jatuh korban pula karenanya.
Ia terkejut ketika ia mendengar sekali lagi pemimpin prajurit itu
mengancamnya. "Menyerahlah. Aku bersama Ki Demang
Prambanan mengemban pimpinan di Kademangan ini."
"Tidak!" prajurit yang satu itulah yang membantah. "Kau telah
memberontak atas pimpinanmu."
Tetapi agaknya kata-kata itu tidak dihiraukannya. Bahkan
pemimpin prajurit yang datang bersama dengan Argajaya dan
Ki Demang Prambanan itu dengan serta-merta menarik
pedangnya. Dada Sutawijaya berdesir ketika ia melihat para
prajurit pun menarik pedang masing-masing. Hatinya menjadi
semakin cemas ketika tiba-tiba pemimpin prajurit yang datang
bersamanya pun menarik pedangnya pula. Apalagi kemudian
Sutawijaya melihat Haspada, Trapsila, dan beberapa yang lain
berloncatan pula ke arena. Terdengar Haspada menggeram,
"Kami, anak-anak Prambanan yang setia pada pengabdian
kami telah menjadi muak melihat tingkah laku kalian di sini.
Kini ada alasan bagi kami untuk berbuat sesuatu. Kalian lelah
menolak perintah pimpinan kalian, sehingga dengan demikian
kalian tidak ada bedanya dengan laskar Arya Penangsang
yang melawan perintah itu."
Darah para prajurit itu pun menjadi semakin panas karenanya.
Mereka pun segera berloncatan maju dengan senjata di
tangan masing-masing. Tetapi mereka tertegun ketika tiba-tiba
mereka melihat ujung-ujung panah seakan-akan mengarah ke
titik-titik mata mereka. Terdengar Agung Sedayu menggeram,
"Aku mampu melepaskan anak panah ini dalam sekejap dan
melepaskan anak panah yang kedua dalam sekejap
berikutnya. Jumlah anak panahku masih melampaui jumlah
kalian. Apalagi bersama anak panah adikku itu."
Kata-kata Agung Sedayu itu bergetar di dalam setiap dada
para, prajurit Pajang yang sudah siap menerkam Sutawijaya.
Mereka semua kini berdiri tegak bagaikan patung. Tangan
Agung Sedayu yang menggenggam busur dan pangkal anak
panah itu tampaknya benar-benar meyakinkan.
Untuk menekankan kata-katanya Agung Sedayu berkata, "Aku
adalah seorang pemburu. Aku dapat memanah kijang yang
sedang berlari kencang. Apalagi kalian yang berdiri
mematung." Setiap dada para prajurit itu pun menjadi semakin bergelora.
Kemarahan telah bergolak di dalam dada itu, tetapi mereka
masih juga harus berpikir akibatnya apabila anak panah itu
terlepas dari busurnya. Apalagi kemudian Swandaru pun telah
memasang anak panahnya pula pada busurnya, sedang busur
yang lain bersilang di punggungnya. Katanya, "Aku bukan
pemanah sebaik kakakku itu. Tetapi sambil memejamkan
mata aku akan dapat mengenai salah seorang daripada
kalian." Beberapa orang prajurit menggeram. Namun mereka terdiam
sambil mengerutkan leher mereka ketika tiba-tiba Swandaru
membentak sambil melangkah maju. "Apakah kalian tidak
percaya" Baiklah aku mencoba."
Ketika Swandaru kemudian menarik busurnya, maka para
prajurit itu pun semakin berkerut. Adalah terlampau dekat
untuk mencoba menangkis anak panah yang sedang
meluncur. Bahkan Sutawijaya pun mengerutkan keningnya
melihat sikap Swandaru. Tetapi tiba-tiba Swandaru tertawa
sambil berkata, "Tidak, aku tidak akan mendahului. Lebih baik
aku menunggu kalian bergerak. Dengan demikian maka bukan
salah kami apabila kalian semuanya akan terbunuh di dalam
arena ini. Untara pun pasti tidak akan menyalahkan kami, dan
Sidanti pasti akan kehilangan kesombongannya apabila
pamannya pun terbunuh pula."
Agung Sedayu menggigit bibirnya. Adik seperguruannya itu
masih juga bergurau dalam keadaan serupa itu.
Kini sejenak mereka saling berdiam diri. Para prajurit,
Argajaya dan kedua kawannya, Sutawijaya, Agung Sedayu,
Swandaru dan anak-anak muda Prambanan, serta Ki
Demang, berdiri saja seolah-olah membeku.
Yang kemudian memecah kesepian adalah suara Sutawijaya.
"Kami telah terdorong ke dalam suatu keadaan yang tidak
kami kehendaki. Tetapi kalianlah yang lelah menyeret kami.
Karena itu maka kami tidak bertanggung jawab, apapun yang
akan terjadi. Juga apabila di sini akan jatuh korban kemudian.
Sekarang aku masih tetap ingin melihat Argajaya pergi dari
tempat ini. Aku tidak pcduli apakah kemudian ia akan kembali
membawa anak muda yang bernama Sidatli."
Mata Argajaya itu pun menjadi semakin menyala. Sekali lagi ia
menggeram, "Persetan!"
"Aku tidak akan membunuhmu Argajaya," berkata Sutawijaya.
"Kalau kau tidak mau pergi, baiklah. Kau dapat berbuat
sekehendakmu. Tetapi aku pun akan dapat berbuat
sekehendakku. Aku dapat membunuhmu, namun itu sama
sekali tidak akan aku lakukan karena kau tidak bersenjata.
Telapi aku mempunyai cara yang lain untuk menghukummu.
Aku akan melukaimu atau membuatmu cacat seumur
hidupmu." Kini tubuh Argajaya itu pun menggigil karena kemarahan yang
tidak dapat disalurkannya. Terdengar gemeretak giginya, dan
matanya seakan-akan menyalakan api kemarahannya itu.
Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya.
Sutawijaya akhirnya kehilangan kesabarannya. Tiba-tiba ia
meloncat maju. Terdengar beberapa orang menahan kejutan
jantungnya. Argajaya tidak sempat menghindar ketika tangkai
tombak Sutawijaya terjulur ke arah pelipisnya. Gerak itu sama
sekali tidak diduganya. (***) Buku 19 "Pergilah. Terima kasih bahwa kau mau mendengarkan
pesanku. Pesan seorang pengawal Kademangan Sangkal
Putung. Jangan lupa, sebut kami satu persatu di hadapan
Sidanti. Aku, adikku yang bertubuh sedang dan berwajah
tampan seperti topeng Panji, yang satu gemuk bulat seperti
kelapa. Kau telah mengenal nama-nama kami. Karena itu,
maka ?".." "Cukup! Kau menjadi besar kepala karenanya. Tetapi akan
datang saatnya, kepalamu itu aku penggal kelak."
Argajaya tidak menunggu jawaban Sutawijaya. Segera ia
memutar tubuhnya dan melangkah meninggalkan arena
dengan tergesa-gesa. Tetapi ia tertegun ketika ia mendengar
Sutawijaya berkata, "Tunggu. Kau kelupaan tombakmu. Kalau
tombakmu itu memang sebuah pusakan sipat kandel dari
Tanah Perdikan Menoreh, bawalah. Mungkin akan berguna
bagimu." Mata Argajaya menjadi merah, semerah darah. Giginya
gemeretak dan tubuhnya bergetar. Tetapi ia melangkah cepatcepat
kea rah tombaknya yang tergolek di atas pasir tepian.
"Anggaplah tombak itu sebuah kenang-kenangan daripadaku,"
barkata Sutawijaya. Argajaya berpaling pun tidak. Ia berjalan cepat-cepat
meninggalkan tempat itu. meskipun demikian, meskipun ia
meninggalkan lawannya, namun sebenarnya di dalam hati
Sutawijaya mengakui kejantanan lawannya itu. sikapnya yang
pantang menyerah dalam keyakinannya, meskipun ujung
tombak telah melekat di lambungnya. Tetapi orang yang
demikian, pasti benar-benar akan melakukan kata-katanya
yang diucapkan sebagai janji untuk melepaskan dendamnya
kelak apabila ada kesempatan.
Semua mata memandang langkah Argajaya yang tergesagesa
itu, yang kemudian disusul oleh kedua pengiringnya dari
Mentaok. Kesan keberanian dan keteguhan hatinya masih
terasa di dalam hati orang-orang yang berdiri di tepian itu.
Bahkan Agung Sedayu bergumam di dalam hatinya, "Seperti
Sidanti. Keras hati. Namun nalarnya kadang-kadang terdesak
jauh ke belakang, sehingga orang itu kurang memikirkan
akibat dari perbuatannya."
Belum lagi Argajaya itu jauh, terdengar prajurit yang datang
bersamanya menggeram, "Perbuatanmu tidak dapat lagi
dimaafkan. Kalau kelak Sidanti itu benar-benar datang kemari,
maka kami adalah saksi yang akan dapat mengatakan apa
yang sebenarnya telah terjadi."
"Sidanti tidak akan datang kemari," jawab Sutawijaya.
"Apakah kau pasti?" bertanya prajurit itu.
"Sidanti tidak lagi berada di Sangkal Putung."
"Bohong! Salah seorang dari kami akan menghadap ke
Sangkal Putung. Ki Untara harus mendengar bahwa pimpinan
kami di sini telah berbuat kesalahan dengan membiarkan
kalian membuat onar di Kademangan Prambanan. kalian
bersama pimpinan kami itu harus ditangkap."
Pemimpin prajurit yang datang bersama Sutawijaya itu pun
segera memotong, "Kalianlah yang telah memberontak. Aku
masih tetap pimpinan di sini. Aku pun dapat mengatakan apa
yang telah terjadi dan orang-orang yang berdiri di sini yang
semalam melihat apa yang terjadi di banjar desa akan menjadi
saksi." "Baik. Kita lihat, siapakah yang akan dipercaya oleh pimpinan
kita di Sangkal Putung."
Tiba-tiba Sutawijaya itu pun tertawa. Katanya, "Kalian terlalu
percaya bahwa Sidanti akan dapat memberimu perlindungan.
Tetapi sudah aku katakana, kami tidak takut kepada Sidanti.
Kami tidak takut pula seandainya Ki Untara mempercayai
kata-katamu. Bahkan kami tidak akan takut seandainya
Panglima Wira Tamtama sendir datang kemari."
Para prajurit itu pun terkejut mendengar kata-kata itu. Prajurit
yang berpihak kepadanya pun terkejut. Sejenak ia terbungkam
sambil memandangi anak muda yang masih menggenggam
tombak di tangannya itu. Sutawijaya melihat wajah-wajah yang menjadi semakin
tegang. Tetapi ia masih saja tertawa dan berkata, "Aku
berkata sebenarnya. Tidak ada seorang pun yang akan dapat
berbuat sesuatu atas kami. Tetapi sebaliknya, kami akan
dapat mengatakan apa yang telah terjadi di sini kepada siapa
pun yang akan datang kemari. Ki Untara, Ki Penjawi, Ki Juru
Mertani, atau Ki Gede Pemanahan sendiri."


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang mendengarkan kata-kata itu menjadi semakin tidak
mengerti. Bahkan para prajurit yang berpihak kepada Argajaya
menganggap bahwa anak muda itu sebenarnya anak yang
tidak tahu adat. Karena itu maka pemimpinnya pun berkata,
"Nah, semua orang telah mendengar kata-katamu. Kau benarTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
benar tekah menghina Wira Tamtama. Sedang pemimpin kami
yang bertanggung jawab di sini masih saja diam mematung."
Pemimpin prajurit yang datang bersama Sutawijaya itu pun
menjadi heran mendengar kata-kat Sutawijaya. Kata-kata itu
sendiri telah dapat digolongkan pada suatu tindakan yang
kurang pada tempatnya. Kata-kata itu sebenarnya memang
menyangkut nama Wira Tamtama dan apalagi panglimanya.
Karena itu, maka sejenak ia terdiam. Dicobanya untuk
mencernakan apa yang telah dilihatnya dan apa yang telah
didengarnya. "Aku sama sekali tidak menghinanya. Aku justru mempercayai
mereka, para pemimpin Wira Tamtama. Baik yang berada di
Prambanan, baik yang berada di Sangkal Putung maupun
yang berada di Pajang. Aku memang tidak takut seandainya
mereka datang bersama-sama kemari, sebab mereka pasti
dapat membedakan mana yang baik dan mana yang salah,"
berkata Sutawijaya. Pemimpin prajurit yang datang bersamanya tiba-tiba
menganggukkan kepalanya. Katanya, "Benar, kau benar anak
muda. Orang yang yakin akan kebenarannya tidak perlu takut
menghadapi apapun, apalagi mereka yang tegak pada
keadilan. Aku pun percaya bahwa para pemimpin itu akan
mempertahankan keadilan yang selurus-lurusnya."
"Persetan!" sahut pemimpin yang lain. "Kalian adalah orangorang
yang memang pandai berbicara. Tetapi marilah kita lihat
apakah yang akan terjadi kelak." Kemudian kepada kawankawannya
ia berkata, "Marilah kita tinggalkan tempat ini."
"Tunggu," cegah Sutawijaya. "Persoalan kalian belum selesai.
Dengan demikian, maka di Prambanan kini masih ada dua
pimpinan prajurit yang merasa masing-masing berkuasa.
Pimpinan yang sebenarnya dan pimpinan bayangan."
"Akulah yang memegang pimpinan sekarang. Semua prajurit
di Prambanan tunduk kepadaku."
"Tidak!" sahut yang datang bersama Sutawijaya. "Aku tetap
pimpinan di sini. Siapa yang tidak tunduk pada perintahku,
kepadanya akan dapat dikenakan hukuman."
"Omong koaong! Jangan hiraukan. Mari kita pergi."
Tetapi ketika mereka sudah mulai bergerak untuk
meninggalkan tempat itu, kembali mereka tertegun karena
Sutawijaya berkata, "Aku hanya mengakui pimpinan yang
seorang, yang datang bersamaku. Bukan karena ia
membenarkan sikapku, tetapi karena ialah yang menerima
kekuasaan dalam jabatan itu. setiap pelanggaran atas
perintahnya, berarti pemberontakan yang akan ditindak."
Wajah pemimpin prajurit yang lain menjadi merah menyala.
Dengan kasarnya ia berkata, "Apakah hakmu berkata
demikian, he anak Sangkal Putung. Prambanan bukan
bawahan Sangkal Putung, meskipun kebetulan pemimpin
kami berada di sana. Tetapi kami hanya bertanggung jawab
kepada Ki Untara. Kalau kau tidak mau mengakui kami, kami
tidak berkeberatan. Tetapi sebenarnya bahwa kami ingin
menangkap kalian dan mengikat di halaman banjar desa."
Prajurit itu tidak berpaling ketika Sutawijaya berkata, "Tunggu."
Beberapa prajurit yang lain pun segera mengikutinya. Tetapi
langkah mereka pun tertegun-tegun. Agaknya mereka sedang
membicarakan sesuatu. Sekali tampak mereka berpaling
ketika anak-anak muda yang datang bersama mereka pun
telah bergerak pula. Hanya Ki Demang-lah yang masih saja
berdiri mematung. Tetapi mereka pun terkejut ketika para prajurit itu berhenti dan
tiba-tiba saja mereka berlari berpencaran kembali mengelilingi
arena dari arah yang berbeda-beda.
Yang terjadi itu berlangsung terlampau cepat. Sutawijaya
tegak di tengah-tengah arena itu dengan hati yang berdebardebar,
sedang Agung Sedayu sejenak menjadi seakan-akan
membeku. Mereka menyadari apa yang akan dilakukan oleh
para prajurit itu, tetapi mereka tidak segera menemukan cara
untuk mengatasinya. "Aku tidak menyangka bahwa mereka segila itu," desah
Sutawijaya di dalam hatinya.
Sejenak kemudian terdengar pemimpin prajurit yang seorang,
yang datang bersama Argajaya berteriak, "Demi tegaknya
tanggung jawab para prajurit Pajang di Prambanan, marilah
kita tangkap anak setan itu. he, para pemuda Prambanan,
jangan tidur, kau pun telah mendapat penghinaan dari orang
itu." Tiba-tiba para pemudanya pun bergerak. Semula mereka
berdesak-desakan saja, namun kemudian sebagian dari
mereka segera memencar setelah mereka menyadari maksud
gerakan para prajurit itu. Dengan demikian mereka
menghindarkan diri mereka sejauh-jauh mungkin dari anak
panah Agung Sedayu dan Swandaru, karena mereka
terpencar-pencar. Para prajurit itu mengharap, bahwa mereka
dapat membuat gerakan-gerakan yang dapat membingungkan
Agung Sedayu dan Swandaru. Agung Sedayu dan Swandaru
pasti tidak akan mungkin lagi memanah mereka dalam
sekejap dan melepaskan anak panah yang kedua sekejap
kemudian, atau dengan mata terpejam mengarah kepada
sekelompok orang. Sutawijaya, Agung Sedayu, Swandaru, pemimpin prajurit yang
lain, dan beberapa orang kini terkepung oleh sebuah lingkaran
yang terdiri dari para prajurit Pajang di Prambanan beserta
beberapa anak-anak muda. Anak-anak muda itu bergerak saja
seperti kena pesona, karena hubungan mereka yang rapat
dengan para prajurit itu. Ki Demang pun tiba-tiba bergerak
pula bersama dengan mereka.
"Jangan berbuat sesuatu yang tidak akan ada gunanya,"
ancam pemimpin prajurit itu. "Kalian telah terkepung.
Meskipun kalian bertiga seorang-seorang menang dari orangorang
Menoreh, tetapi jangan mimpi untuk dapat melawan
kami semuanya ini." "Kalian benar-benar gila!" teriak pemimpin prajurit yang berada
di dekat Sutawijaya. "Uraikan kepungan ini!"
"Tidak!" "Demi kekuasaan Wira Tamtama yang berada di tanganku."
"Tidak! Menyerahlah!"
Gigi pemimpin prajurit itu pun gemeretak. Kini pedangnya
tergenggam erat di tangannya. Sedang para prajurit di luar
lingkaran itu pun telah menggenggam senjata masing-masing
pula. Suasana segera meningkat semakin tegang. Orang-orang tua
yang berdiri di dalam kepungan menjadi ketakutan dan
gemetar. Tetapi pemimpin prajurit yang memimpin
pengepungan itu berkata, "Siapa yang tidak turut dan tidak
ingin melibatkan dirinya, segera keluar dari kepungan ini,
kecuali empat orang yang akan kami tangkap."
Beberapa orang kemudian tersuruk-suruk berjalan ke luar
lingkaran dengan tubuh yang menggigil karena ketakutan.
Satu-satu mereka menghilang ke belakang kepungan,
sehingga orang-orang yang berada di dalam itu pun susut
dengan cepatnya. Tetapi ternyata tidak semua orang berlari ke luar lingkaran.
Ketika tidak seorang pun lagi yang bergerak, maka tampaklah
dengan jelas, siapa-siapa yang kini berdiri berseberangan.
Yang masih tinggal di dalam lingkaran itu, ternyata bukan saja
Sutawijaya, Agung Sedayu, Swandaru, dan pemimpin prajurit
yang seorang, tetapi di dalam lingkaran itu berdiri Haspada,
Trapsila, dan beberapa pemuda yang lain. Meskipun mereka
tidak bersenjata panjang, tetapi mereka dapat menduga,
bahwa sesuatu akan terjadi. Ternyata di dalam baju mereka
terselip sebilah keris. Ketika keadaan meningkat menjadi
semakin tegang, meka hulu-hulu keris itu pun telah tersembul
dari dalam baju-baju mereka.
Dada Sutawijaya menjadi semakin berdebar-debar melihat
peristiwa itu. Apakah benar-benar akan terjadi pertumpahan
darah di tepian Kali Opak itu"
Tiba-tiba udara digetarkan oleh suara tertawa
berkepanjangan. Ketika semua berpaling kea rah suara itu,
mereka melihat Swandaru masih saja tertawa sambil
mamandang pemimpin prajurit yang berdiri di lingkaran, siap
dengan senjata di tangan.
"Hem," berkata Swandaru, "kalau kalian bersungguh-sungguh,
maka sudah barang tentu bahwa kami tidak akan
mempergunakan anak panah ini. Sebenarnya kami tidak
senang berkelahi dengan anak panah. Kalau aku berhasil
membinasakan lawan dengan anak panah, aku sama sekali
tidak mendapat kepuasan karenanya. Aku lebih senang
membelah dada lawanku dengan pedangku ini."
Swandaru kemudian dengan tenangnya meletakkan busurnya,
melepaskan busur Sutawijaya di punggungnya, dan seolaholah
sedang melepaskan pakaiannya untuk mandi saja, anak
yang gemuk bulat itu melepas tali-tali endong anak panahnya.
Para prajurit Pajang, beberapa anak-anak muda yang berdiri
mengepungnya dan bahkan anak-anak muda yang berada di
dalam kepungan, menjadi heran melihat ketenangan sikapnya.
Orang-orang yang berdiri mengancamnya dengan senjata di
tangan itu seakan-akan sama sekali tidak mempengaruhinya.
Namun ketenangan Swandaru itu telah membuat para prajurit
Pajang bertanya-tanya di dalam hati dan membuat anak-anak
muda Prambanan menjadi gelisah.
Dengan tenang pula tangan kanannya kemudian menarik hulu
pedangnya yang terbuat dari gading dan kini berjuntai seutas
tali yang kekuning-kuningan. Ketika pedang itu kemudian
menjadi telanjang, maka tampaklah pedang itu adalah sebilah
pedang yang panjang. Dengan nada yang tinggi Swandaru itu pun berkata, "Apakah
kita benar-benar akan berkelahi?"
Sutawijaya dan Agung Sedayu melihat sikap itu dengan
cemas, apalagi ketika kemudian mereka melihat wajah-wajah
para prajurit Pajang itu pun menjadi semakin tegang.
Tanpa berjanji maka Agung Sedayu dan Sutawijaya itu pun
saling berpandangan. Seakan-akan mereka saling bertanya,
apakah yang sebaiknya mereka lakukan. Ternyata yang
merayap di dalam hati mereka serupa. Mereka
mencemasakan keadaan di sekitarnya. Bukan karena mereka
cemas tentang nasib mereka masing-masing, tetapi mereka
mencemaskan nasib anak-anak muda Prambanan. kalau
terjadi perkelahian di pinggir Kali Opak ini maka korban yang
paling banyak adalah anak-anak muda itu. Sebagian dari
mereka sama sekali tidak bersenjata. Tetapi terbakar oleh
darah mudanya, maka mereka akan menjadi mabuk
keberanian tanpa perhitungan. Dalam perkelahian yang
demikian, maka kemungkinan jatuhnya korban adalah besar
sekali. Mereka sendiri pasti tidak akan dapat menjamin, bahwa
senjata-senjata mereka tidak akan menyentuh tubuh lawan.
Sebelum menemukan sesuatu cara yang sebaik-baiknya
mereka mendengar pemimpin prajurit yang melingkari mereka
itu berkata, "Ternyata kalian benar-benar melawan perintah
kami. Bahkan ada beberapa anak-anak Prambanan sendiri
yang mencoba menentang kami pula. Aku memberi
kesempatan terakhir kepada anak-anak muda Prambanan.
Haspada, Trapsila dan kawan-kawannya. Tinggalkan orangorang
itu, supaya kami dapat segera menagkapnya tanpa
membuat korban anak-anak muda Prambanan sendiri."
Haspada memandang wajah prajurit itu dengan sorot mata
yang menyala. Tiba-tiba ia menjawab, "Aku sudah jemu
melihat tingkah lakumu. Bagi Prambanan sebenarnya lebih
baik apabila kalian pergi saja. Mungkin kami memerlukan
perlindungan dari para prajurit Pajang, tetapi bukan prajurit
semacam kalian." Kemarahan prajurit-prajurit Pajang itu kini telah memuncak.
Segera mereka bergerak maju, sehingga lingkaran itu pun
menjadi semakin sempit. Sutawijaya masih belum bergeser dari tempatnya, sedang
Agung Sedayu masih menggenggam anak panah pada
busurnya. Hati mereka pun menjadi semakin cemas melihat
perkembangan keadaan. Tetapi mereka menyadari, bahwa
mereka tidak dapat untuk sekedar mencemaskannya saja
tanpa berbuat sesuatu. Ketika lingkaran itu menjadi semakin menyempit, maka anakanak
muda Prambanan di dalam lingkaran itu pun segera
bersiap pula. Di tangan mereka kini tergenggam keris masingmasing.
Dengan wajah tengadah mereka menghadapi para
prajurit yang menggenggam pedang di tangannya. Sedang
pemimpin prajurit yang berpihak pada Sutawijaya pun berdiri
dengan mata menyala. Sambil mengacung-acungkan
pedangnya ia berkata, "Apa pun yang kalian lakukan, maka
kalian tidak akan dapat mengingkari pertanggungan jawab."
"Justru karena aku tidak mengingkari pertanggungan jawabku
maka aku berbuat, menangkap kalian, mengikat di halaman
banjar desa, minta maaf kepada tamu-tamu kami dan
kemudian menyerahkan kalian kepada Ki Sidanti atau Ki
Untara." Tiba-tiba kembali terdengar suara tertawa menggeletar. Kali
ini Sutawijaya-lah yang tertawa. Suara tertawanya itu pun
telah menarik perhatian pula, sehingga segenap mata seakanakan
tertumpah padanya. "Apakah kira-kira yang akan kau katakan kepada Ki Untara?"
terdengar Sutawijaya itu bertanya. Ia ingin mencoba untuk
mengurungkan perkelahian itu. Tak ada jalan yang dapat
ditempuhnya selain yang sedang dicobanya itu. Tetapi kalau
gagal, maka ia tidak tahu, apakah akibatnya. Terasa sejak
lama, sejak ia bertempur melawan Argajaya, penyesalan
merayapi hatinya. Apalagi kini, pertentangan itu seakan-akan
semakin menjadi-jadi. Prajurit yang memimpin pengepungan itu menjawab kasar,
"Aku akan melaporkan apa yang pernah kalian lakukan di
sini." "Apakah Ki Untara dapat mempercayaimu?"
"Ada berpuluh-puluh saksi di sini. Ki Demang Prambanan ini
pun akan dapat menjadi saksi pula."
Kembali Sutawijaya tertawa. Katanya, "Lalu apakah yang akan
dilakukan oleh Untara itu kira-kira?"
"Kalian akan diserahkan kepada kami. Dan kami akan


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencincang kalian di halaman banjar desa."
"Kalau kau berani mencincang anak itu," berkata Sutawijaya
sambil menunjuk Agung Sedayu, "maka leher kalianlah
taruhannya." Prajurit itu mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia
berkata hampir berteriak, "Pengecut, kalian mencoba mencari
jalan untuk menyelamatkan diri."
"Tidak. Kalau kau tidak percaya, pergilah ke Sangkal Putung.
Bukan saja Untara berada di sana kini. Tetapi Panglima Wira
Tamtama pun berada di sana pula. Kalau kalian ingin
memanggilnya, maka aku akan menunggu mereka itu di sini.
Untara dan Panglima Wira Tamtama itu."
Sebelum mereka menjawab, kini tertawa Swandaru-lah yang
terdengar memenuhi udara. "He," katanya, "apakah kau akan
mengatakan bahwa Agung Sedayu itu tak akan dihukum oleh
Untara." Agung Sedayu berpaling ke arah adik seperguruannya. Tetapi
ia pun tahu maksud Sutawijaya. Agaknya adi seperguruannya
yang tidak begitu senang menggunakan otaknya, karena ia
lebih senang mempergunakan perasaannya, kini menyadari
keadaan yang gawat itu. Sehingga dengan demikian maka
baik Sutawijaya maupun Agung Sedayu tersenyum
karenanya. "Apakah kau tidak ingin berkelahi?" terdengar Sutawijaya
bertanya kepadanya. "Sebenarnya. Tetapi agaknya Tuan akan menutup
kesempatan itu dengan cara Tuan."
"He," teriak pemimpin prajurit yang mengepungnya, "jangan
membuat cara yang aneh-aneh untuk menyelamatkan diri."
"Kalau Untara datang, maka kami akan selamat. Apakah tadi
kau dengar anak muda yang gemuk itu berkata?" bertanya
Sutawijaya, "Anak yang berwajah tampan seperti Panji itu
adalah adik Untara. Ya, ia adik senapati yang namanya selalu
kau sebut-sebut." Kata-kata Sutawijaya itu terdengar menggelegar seperti guntur
yang meledak di atas kepala mereka. Sejenak mereka terdiam
seperti kena pukau yang tajam. Semua mata memandangi
Agung Sedayu yang menjadi tersipu-sipu karenanya.
Meskipun demikian pemimpin prajurit yang mengepungnya
tidak segera mempercayainya. Dengan ragu-ragu kini ia
berkata, "Kau mendapatkan suatu cara yang baik sekali.
Memang kami tidak akan berani berbuat sesuatu atas adik Ki
Untara, seandainya adiknya benar-benar berada di sini. Tetapi
setiap orang dapat menyebut dirinya adik Ki Untara. Bukan
saja adik Ki Untara, setiap orang dapat menyebut dirinya adik
Panglima Wira Tamtama atau menyebut dirinya putera Ki
Gede Pemanahan." Suara prajurit itu terputus ketika terdengar meledak suara
tertawa Swandaru Geni. Anak itu benar-benar tertawa
terkekeh-kekeh sehingga tubuhnya yang bulat terguncangguncang.
Namun Sutawijaya-lah yang menyahut, "Memang kami tidak
akan dapat membuktikannya bahwa anak muda itu adik Ki
Untara. Tetapi jangan mencoba memancing pertengkaran.
Kalau anak muda itu mengayunkan pedangnya, maka dalam
gerakan yang pertama, lima dari kalian pasti sudah terbunuh
olehnya. Apalagi anak-anak muda Prambanan yang tidak
bersenjata atau yang bersenjata terlampau pendek. Untuk
melawan kalian, semua orang yang mencoba mengepung
kami, maka Agung Sedayu sendiri akan dapat
menyelesaikannya. Apakah kalian tidak percaya?"
Tampaknya wajah-wajah di sekitarnya menjadi bimbang.
Beberapa anak muda menjadi pucat dan beberapa yang lain
saling berpandangan. "Persetan!" teriak prajurit itu, "Cara yang sudah lapuk untuk
menakut-nakuti lawan. Sekarang kalau kalian ingin perlakuan
yang lebih baik, menyerahlah. Aku tidak akan percaya apakah
yang akan kalian katakan tentang diri kalian."
Sutawijaya menarik alisnya. Memang sulitlah untuk
membuktikan diri mereka di hadapan orang-orang itu. Tetapi
apabila ia tidak berhasil, maka mereka benar-benar akan
menyerang dan perkelahian pun akan terjadi. Meskipun
beberapa orang prajurit dan anak-anak muda Prambanan itu
sama sekali tidak akan menitikkan keringatnya, apalagi
dibantu oleh beberapa anak-anak muda Prambanan sendiri
justru yang paling kuat di antara mereka, namun setiap korban
yang jatuh pasti akan membuatnya menyesal.
Dalam keragu-raguannya itu tiba-tiba terdengar pemimpin
prajurit yang mengepungnya berteriak sekali lagi, "Ayo
menyerahlah meskipun kau mengaku anak dewa dari langit,
atau anak iblis dari dasar bumi."
"Tidak terlampau jauh," Sahut Swandaru sambil tertawa,
"tebakanmu yang pertama tepat."
Pemimpin prajurit itu memandanginya sambil menunjuk
Sutawijaya, "Apakah ia anak dewa dari langit."
"Yang pertama."
Prajurit itu terdiam. Tiba-tiba ia bertanya, "Yang mana?"
"Putra Ki Gede Pemanahan."
Kembali udara di pinggir kali Opak itu menggeletar oleh
jawaban Swandaru itu. Kembali orang-orang yang berdiri di
tempat itu diam mematung. Kini pusat perhatian mereka
adalah anak muda yang menggenggam tombak di tangannya,
yang telah berhasil mengalahkan Argajaya dengan tidak
mengalami kesulitan. Namun kemudian pemimpin prajurit itu berteriak kembali,
meskipun terasa bahwa dadanya diamuk oleh kebimbangan,
"Nah. Aku menjadi semakin tidak yakin akan kebenaran katakata
kalian. Mula-mula salah seorang dari kalian dinamakan
adik Ki Untara, kemudian kini yang lain disebut putera Ki Gede
Pemanahan. Nah, yang seorang itu, yang gemuk, akan kalian
namakan apalagi. Apakah anak yang gemuk itu akan disebut
sebagai Putera Sultan Hadiwijaya?"
Swandaru tertawa semakin keras mendengar kata-kata itu.
Sehingga beberapa titik air matanya membasahi pipinya yang
gembung. Sutawijaya dan Agung Sedayu pun terpaksa
tersenyum melihat tingkah lakunya.
Haspada, Trapsila, beberapa anak-anak muda yang berada di
dalam lingkaran, beserta pemimpin prajurit yang datang
bersamanya, benar-benar membeku melihat tingkah laku
ketiga anak-anak muda itu. Sebutan-sebutan yang mereka
ucapkan telah mempengaruhi sikap mereka. Tanpa mereka
kehendaki, maka tiba-tiba mereka kini semakin
memperhatikan wajah-wajah dari ketiga anak-anak muda yang
menyebut dirinya Pengawal Kademangan Sangkal Putung.
Wajah Agung Sedayu yang mantap dan tenang. Wajah
Sutawijaya yang tajam berwibawa dan wajah gemuk bulat
namun memancarkan keteguhan tekad. Ketiganya sudah pasti
bukan anak-anak gembala yang kebetulan menjadi seorang
pengawal kademangannya. Tetapi meskipun ragu-ragu, namun pemimpin prajurit yang
mengepungnya mencoba untuk tidak terpengaruh kata-kata
itu. *** Baginya setiap hidung akan dapat mengucapkan sebutansebutan
itu. Dengan demikian, maka apabila ia terpengaruh
olehnya, berarti kegagalan pula baginya.
Namun prajurit itu pun tidak lagi dapat bertindak segarang
semula. Di dalam hati kecilnya tersimpan pula pengakuan,
bahwa anak-anak muda itu pasti bukan anak kebanyakan.
Tetapi apabila mereka benar-benar adik Untara, apalagi
putera Ki Gede Pemanahan, apakah pula kerjanya
menyelusuri hutan sampai ke Kademangan Prambanan tanpa
pengawalan seorang prajurit pun.
Tetapi kini prajurit itulah yang terkejut, ketika Swandaru
membentaknya, "He, apakah kau tidak percaya?"
"Tidak," sahutnya dengan serta merta.
Swandaru menggeleng-gelengkan kepalanya, "Bagaimana
Tuan. Apakah kita berkelahi saja."
"Jangan," cegah Sutawijaya. Ia kini tinggal mempunyai satu
cara untuk mencoba meyakinkan dirinya. Sejenak ia terdiam.
Dipandanginya wajah pemimpin prajurit yang datang
bersamanya. Tiba-tiba ia berkata, "Kemarilah. Lihat landean
tombak pendekku ini. Bukankah kau pandai membaca?"
Prajurit yang dipanggil oleh Sutawijaya itu memandanginya
dengan penuh pertanyaan. Ia sama sekali tidak tahu maksud
anak muda itu. "Kemarilah," panggil Sutawijaya, "mendekatlah."
Yang terdengar adalah suara pemimpin prajurit yang
mengepungnya, "Jangan banyak tingkah. Menyerahlah."
Tetapi Sutawijaya seakan-akan sama sekali tidak
mendengarkannya. Sekali lagi ia berkata, "Kemarilah. Lihat
landean tombakku ini."
Seperti kena pesona pemimpin prajurit yang memihak kepada
Sutawijaya itu pun berjalan mendekatinya.
"Kau pandai membaca bukan?" bertanya Sutawijaya.
Prajurit itu menganggukkan kepalanya.
Pada landean itu ternyata tercoreng beberapa huruf yang
dipahatkan agak dalam. Sambil menunjuk kepada huruf-huruf
itu Sutawijaya berkata, "Baca. Bacalah huruf-huruf ini."
Prajurit itu masih belum tahu maksud Sutawijaya. Tetapi ia
membacanya juga. Diamatinya huruf-huruf yang berjejer-jejer
membentuk kata-kata itu. Pa-nglegena, sa-wulu-layar, sanglegena,
wa-suku dan ka-wulu-layar. "Pasir Sawukir," gumam
prajurit itu. "Apakah kau pernah mendengar nama itu?" bertanya
Sutawijaya. Prajurit itu menggeleng. Dan pemimpin yang lain berteriak,
"He. Apakah kau sedang bermain gila-gilaan?"
"Kau juga belum pernah mendengar nama itu?" bertanya
Sutawijaya kepada prajurit di luar lingkaran.
"Nama itu sama sekali tak berarti bagi kami."
"Baik," sahut Sutawijaya. Diputarnya landean tombaknya. Di
sisi yang lain ternyata tertera beberapa huruf pula. Sambil
menunjuk huruf yang tertera itu, maka Sutawijaya berkata,
"Sekarang bacalah huruf-huruf ini. Huruf-huruf ini akan
menyebut sebuah nama. Nama itu adalah namaku. Kalian
dapat percaya atau tidak. Tetapi itu adalah namaku.
Seandainya kalian tidak percaya, dan kalian tetap dalam
pendirian kalian, maka kalian pagi ini juga pasti akan menjadi
bangkai. Burung-burung gagak pasti akan kekucah di pinggir
Kali Opak ini. Nama yang akan dibaca oleh pemimpin kalian
ini adalah usahaku yang terakhir untuk mencegah
perkelahian." Kata-kata Sutawijaya itu menyusup ke dalam setiap dada
seperti tajamnya tombak yang menyusup ke jantung mereka.
Beberapa anak muda menjadi cemas dan ketakutan.
Beberapa yang lain setapak demi setapak surut ke belakang.
Tetapi para prajurit yang mengepungnya masih saja tegak di
tempatnya. Meskipun ke ragu-raguan semakin besar melanda
jantungnya, tetapi mereka masih belum dapat mempercayai
sesuatu. Pemimpin prajurit yang berdiri di samping Sutawijaya itu
mengamat-amati huruf demi huruf. Beberapa kali ia mencoba
membacanya di dalam hatinya. Nama itu pernah didengarnya.
Ya, nama itu telah pernah menggemparkan dada setiap
prajurit Pajang. Karena itu, tiba-tiba keringat dingin mengalir
melalui segenap lubang-lubang kulitnya. Sejenak ia diam
mematung. Diawasinya huruf-huruf itu, dan kemudian
diucapkannya nama itu kembali di dalam hatinya.
"Jadi?""," kata-katanya serasa terhenti di kerongkongan.
"Baca," minta Sutawijaya.
Prajurit itu memandang wajah Sutawijaya. Tiba-tiba prajurit itu
melihat seakan-akan wajah itu memancarkan sinar yang
menyilaukan. Dengan serta-merta ia menundukkan kepalanya
sambil berkata gemetar, "Ampun, Tuan. Ampun. Aku tidak
mengenal Tuan sebelumnya. Kalau benar Tuan yang datang
di sini, maka sepantasnyalah Tuan yang menghukum kami."
Orang-orang yang berdiri di sekelilingnya menjadi heran dan
terperanjat. Kenapa tiba-tiba pemimpin prajurit itu menjadi
pucat pasi seperti mayat.
Pemimpin prajurit yang sedang mengepungnya melihat
peristiwa itu dengan dada yang berdebar-debar. Tetapi tanpa
disadarinya ia berteriak, "He, kenapa kau menjadi takut seperti
melihat hantu. Apakah pada landean tombak itu tertera nama
hantu-hantu, atau penjaga hutan dan lereng Merapi" Atau
sebuah nama perguruan yang menakutkan, atau sebuah
gerombolan penjahat yang mengerikan?"
Tetapi prajurit yang sedang gemetar itu seakan-akan tidak
mendengarnya. Ia masih saja berkata, "Tuan. Kami sama
sekali tidak mengetahui, dengan siapa kami berhadapan.
Kalau kami mengenal Tuan sebelumnya, maka kami tidak
akan bersikap seperti ini. Juga kawan-kawan kami dan pasti
juga tamu-tamu kami akan bersikap lain. Apalagi anak-anak
muda Prambanan ini."
"He, siapa dia?" teriak beberapa orang prajurit yang tidak
sabar menunggu. Sebut namanya, supaya kami segera
bersikap." Yang terdengar justru suara tertawa Swandaru. Meskipun ia
berusaha untuk menahannya, tetapi suara itu meluncur juga
dari sela-sela bibirnya. Agung Sedayu memandanginya dengan kerut-merut di
dahinya. Kali ini mereka tidak sedang bergurau. Kalau bukti
terakhir ini tidak juga dipercaya, berarti darah akan mengalir di
pinggir Kali Opak ini. Tetapi suara tertawa Swandaru itu segera dapat
dihentikannya, seakan-akan ditelannya kembali, meskipun
perutnya terasa sakit. Prajurit-prajurit yang mengepung mereka itu kini sudah
menjadi tidak bersabar lagi. Hampir bersamaan mereka
berteriak, "Sebut, sebutlah namanya. Apakah kalian sedang
bermain-main untuk menakut-nakuti kami. Kalau benar nama
itu menggetarkan hatimu. Sebutlah."
Sutawijaya mengangkat dagunya. Dipandanginya orang-orang
di sekelilingnya. Wajah-wajah yang tegang dan penuh
pertanyaan. Haspada, Trapsila dan kawan-kawannya seakanTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
akan membeku di tempatnya. Namun pancaran wajahnya
Kisah Bangsa Petualang 15 Dating With The Dark Karya Shanty Agatha Banjir Darah Di Borobudur 4
^