Banjir Darah Di Borobudur 4
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
perampok kasar inipun masih setia. Hal ini menggugah semangatnya dan Pancapana
lalu berkata keras. Koleksi Kang Zusi "Sudahlah, tak perlu segala kelemahan hati ini! Sekarang bukan waktunya untuk
bertangis-tangisan! Mataram berada di ambang pintu mereka, di pinggir jurang
kehancuran! Siapa lagi kalau bukan kita anak-anak Mataram yang membangunya
kembali" Mataram sedang berada dalam bahaya, siapa lagi kalau bukan kita yang
harus menolongnya" Siapa diantara kalian yang mau ikut dengan aku, Pangeran
Pancapana, Putera Mahkota Mataram?"
Serentak semua mulut orang-orang di situ berseru hampir berbareng.
"Hamba ikut....!"
Pancapana girang sekali melihat hal ini dan ia lalu turun tangan bersama
Indrayana memberi pertolongan kepada mereka yang menderita luka memulihkan
kembali otot-otot yang keseleo, menyambung kembali tulang-tulang patah dan
membebaskan pengaruh keampuhan bekas pukulan mereka.
Setelah menolong mereka semua dan juga memulihkan kesehatan Surarudira, si
brengos ini lalu menceritakan keadaan Mataram yang masih terkurung oleh musuh
yang kuat, yakni Bupati Yudasena.
"Memang Bupati Yudasena amat tangguh dan sakti Gusti Pangeran Pancapana. akan
tetapi hamba belum pernah mencoba tenaganya. Jangan khawatir Gusti, kalau Gusti
kehendaki hamba akan sanggup menghadapi Yudasena! Kata Surarudira yang tabah
itu. "Berapa banyakkah pasukan Yudasena yang mengepung Mataram?"
Koleksi Kang Zusi "Menurut berita yang hamba dengar, sedikitnya ada selaksa orang!"
Kalau begitu, marilah kita cepat-cepat pergi ke Mataram mengumpulkan tenaga-
tenaga bantuan dari Rama Prabu dahulu, kemudian baru kita membantu Paman Prabu
Panamkaran! kata Pancapana. Semua bekas perampok itu menyatakan setuju.
"Akan tetapi, paman Surarudira, apakah benar-benar engkau dan kawan-kawanmu
sudah tetap hendak mengikut dan membantu" Dengan hati setia?"
"Hamba bersumpah, Gusti..."
"Ssst, tak perlu bersumpah. Hanya, harus kau ketahui bahwa aku dan dimas
Indrayana adalah orang-orang miskin. Bahkan sekarangpun kami merasa lapar karena
semenjak pagi belum makan. Apakah kalian sanggup menderita sengsara dalam
mengikuti perjalanan kami ke Mataram?"
Tiba-tiba Surarudira tertawa gelak-gelak. "Ha, ha, ha, ampun Gusti Pangeran.
Mengapa paduka berkata demikian" Jangankan baru haus dan lapar, biarpun harus
berkorban nyawa, hamba Surarudira dan kawan hamba yang empat puluh orang
jumlahnya ini akan bersedia mengikuti dan membela paduka, sesembahan semua
kawula Mataram!' "Bagus, paman Sura, kau benar-benar seorang panglima sejati. Hayo, kita
berangkat!" Koleksi Kang Zusi "Siap, Gusti!" Maka berangkatlah Pancapana dan Indrayana diiringi oleh Surarudira dan
pasukannya ketika mereka melewati dusun-dusun, Surarudira memperkenalkan
Pangeran Pancapana kepada penduduk dusun sehingga ramai orang menyambut Pangeran
Pati ini, menyambut dengan penuh penghormatan, penuh harapan bahwa pengeran akan
mendatangkan bahagia pada Mataram dan rakyatnya. Hidangan-hidangan dikeluarkan
orang tanpa diminta lagi.
Makin dekat dengan Mataram, makin banyaklah pengikut Pancapana.
Bahkan para panglima tua yang dahulu mengabdi kepada Sang Prabu Sanjaya lalu
datang membawa pasukan-pasukan mereka menggabungkan diri sehingga kini Pangeran
Pancapana mempunyai sebuah pasukan besar yang amat kuat, terdiri tidak kurang
dari setengah laksa orang.
Barisan besar ini masih berkembang lagi ketika dengan cepat bergerak ke ibu kota
Mataram yang masih terkepung oleh pasukan-pasukan Yudasena.
Sudah sembilan bulan lebih barisan-barisan Yudasena mengepung Dieng di mana
terletak pusat Kerajaan ataram. Mataram telah kehabisan senapati-senapatinya
karena semua orang yang maju menghadapi Yudasena terpukul kalah oleh Bupati yang
digdaya ini. Akan tetapi Yudasena masih ragu-ragu untuk menyerang naik ke atas,
karena kedudukan benteng Mataram masih amat kuat terjaga oleh sisa-sisa barisan
Mataram. Pernah Yudasena mencoba untuk menyerang naik, akan tetapi ia dan
berisannya disambut dengan anak-anak panah dan batu-batu yang datang melayang
dari atas bagaikan hujan lebat sehingga terpaksa mereka turun kembali,
mendirikan pesanggrahan di kaki bukit dan mengepung benteng Mataram.
Koleksi Kang Zusi Biarkan mereka mati kelaparan, akhirnya tentu menyerah kalah tanpa kita bersusah
payah. Ha ha ha! kata Yudasena kepada para senapatinya.
Seluruh penduduk dan kawula Mataram yang terkepung merasa gelisah.
Akan tetapi Sang Prabu Panamkaran sendiri masih saja enak-enak menghibur diri
dengan para selirnya, seakan-akan pengurungan itu tidak mengganggunya sedikitpun
juga. Padahal, sebetulnya di dalam hatinya, ia merasa amat gelisah dan khawatir.
akan tetapi, ia merasa yakin bahwa betapapun juga Yudasena takkan membunuhnya,
hanya akan merampas kedudukannya yang sudah tak diperdulikannya lagi itu. Oleh
karena itu, dalam saat terakhir dari kejayaaanya, mengapa bersusah hati" Lebih
baik bersenang-senang selagi
masih bisa. Sang Prabu Panamkara belum tua benar, akan tetapi tubuhnya sangat ringkih dan
lemah. dalam kekuatan penjagaan kerajaan, ia hanya mengandalkan dua senapati tua
yakni Senapati Bandudarma dan Bandupati, dua orang kakak beradik yang semenjak
pemerintah Prabu Sanjaya dahulu telah menjadi senapati di Mataram. Dua orang
senapati inilah yang dulu membanti Panamkaran untuk menduduki tahta kerajaan dan
mengejar-ngejar Pangeran Pati Pancapana. Bahkan mereka berdua telah menyerahkan
puteri-puteri mereka untuk menjadi selir dari raja itu agar mereka bisa
mendapatkan kedudukan yang tinggi. Memang benar, keduanya kini telah menjadi
panglima tertinggi, juga merangkap patih dalam.
Berkat pengalaman dan kepandaian kedua orang senapati tua inilah, maka sampai
sedemikian jauh Mataram masih dapat dipertahankan, oleh Senapati Bandudarma
serta adiknya, Bandupati yang juga mempertahankan benteng daripada serbuan
Yudasena. Koleksi Kang Zusi Sungguhpun Prabu Panamkara sama sekali tidak memusingkan pengepungan yang
diadakan oleh Yudasena itu, namun kedua senapatinya ini merasa amat gelisah.
Mereka mengandalkan kedudukan dan kemuliaan mereka kepada Sang Prabu Panamkara
saja. Kalau Mataram dikuasai oleh lain raja, tak mungkin mereka berdua akan
dapat mempertahankan kedudukan dan kemuliaannya. Maka mereka berlaku nekad dan
hendak membela Mataram dengan mati-matian. Bukan Mataram, bukan rakyatnya
ataupun kedudukan rajanya yang penting, akan tetapi kedudukan dan pangkat serta
kemuliaan mereka sendirilah yang mereka pertahankan mati-matian! Banyak di
antara para prajurit Mataram yang telah melarikan diri, dan hanya berkat
penghamburan uang dan hadiah belaka yang membuat sebagian besar masih bertahan
dan menjaga benteng itu. Hampir setiap hari terdengar suara seruan-seruan dan tantangan-tantangan dari
Yudasena, tantangan-tantangan yang disertai makian-makian pedas. Akan tetapi
pihak Mataram yang mengakui kelemahan sendiri dan hanya mengandalkan kedudukan
benteng yang amat kuat, tidak mau dan tidak berani melayani tantangan-tantangan
itu. Setelah Senapati Bandudarma roboh dan digotong dalam keadaan luka-luka,
kalah oleh Yudasena yang digdaya, siapa lagikah yang berani menghadapi bupati
itu" Pada suatu malam gelap gulita, seorang muda yang bertubuh tegap dan berwajah
tampan bergerak bagaikan seekor ular, menyelinap di antara pohon-pohon dan
tetumbuhan, berhasil melampaui penjagaan para barisan pengepung dan kemudian
bagaikan seekor kijang ia berlari cepat sekali mendaki bukit.
Beberapa orang penjaga di benteng Mataram ketika melihat berkelabatnya bayangan
hitam, lalu menyerang dengan anak panah, akan tetapi dengan mudah saja pemuda
itu menerkam anak panah tadi dengan tangannya sambil berseru
Koleksi Kang Zusi "Perajurit-perajurit Mataram, jangan salah sangka! Aku bukanlah musuh dan
kedatanganku membawa berita baik! Bawalah aku menghadap Sang Prabu!"
Pemuda ini bukan lain adalah Indrayana sendiri. Sebagaimana diketahui, Pancapana
berhasil mengumpulkan perajurit-perajurit yang dibantu oleh panglima-panglima
tua dan akhirnya pangeran ini sampai di perbatasan Mataram. Ia sengaja berhenti
di tempat yang agak jauh dari pesanggrahan Yudasena dan bala tentaranya, karena
sebelum menyerang dan membebaskan Mataram dari kepungan mereka, para panglima
tua hendak menyampaikan syarat dan tuntutan kepada Sang Prabu Panamkaran lebih
dahulu. Maka ditulislah surat oleh para panglima itu, ditandatangani oleh
sebelas orang panglima-panglima tua dari Mataram. Kemudian, mereka menemui
kesukaran dalam memilih siapa orangnya yang dapat mengantarkan surat itu kepada
Sang Prabu Panamkaran. Bukit dimana kerajaan itu terletak telah dikurung oleh barisan musuh, maka
bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah untuk menerobos penjagaan rumah itu dan
naik ke bukit. tak seorangpun diantara merek, sungguhpun banyak yang mengajukan
diri, dapat dipercaya akan berhasil melakukan tugas berat ini. Bahkan Surarudira
sendiri yang memaksa untuk membawa surat itu, tidak di perkenankan oleh
Pacapana. Akhirnya Indrayana maju dan tentu saja Pancapana setuju sekali, karena
ia yakin bahwa adik seperguruannya ini pasti akan sanggup melakukan pekerjaan
itu. Demikian, dengan gerakan-gerakannay yang amat gesit, Indrayana bergerak di malam
gelap itu akhirnya dapat juga mencapai puncak bukit dan berada di luar benteng.
Para penjaga setelah melihat dengan jelas bahwa pendatang itu hanya seorang
pemuda yang tiada berkawan, lalu membuka pintu benteng dan memperkenankan
Indrayana masuk ke dalam benteng.
Begitu ia melangkah masuk, setengah losin prajurit penjaga meyergapnya !
Koleksi Kang Zusi Empat menangkap kaki tangannya, seorang memeluk pinggangnya dan seorang lagi
memiting lehernya! Menyerahlah sebagai tawanan sebelum putus lehermu ! " seorang di antara mereka
mengancam. Bukan main mendongkolnya hati Indrayana menghadapi penyambutan yang tak
disangka-sangkanya ini. Ia mengerahkan tenaganya dan sekali ia menggoyang tubuh
dengan gerakan melempar, enam orang peyergapnya itu terpelanting ke kanan kiri
lalu jatuh bergulingan. Kurang ajar ! " bentak Indrayana. " Aku datang membawa berita pertolongan, akan
tetapi kalian menyambut dengan serangan ! Butakan mata kalian menyambut dengan
serangan ! Butakah mata kalian memaksakan dan menganggap aku sebagai musuh, hayo
majulah ! Jangan maju seorang dua orang, kerahkan seluruh barisanmu. Aku, Raden
Indrayana takkan mundur selagkahpun ! "
Pada penjaga terkejut menyaksikan kehebatan sepak terjang pemuda tampan ini,
apalagi ketika mendengar ucapannya yang gagah, mereka menjadi gentar. Seorang
kepala pasukan yang telah agak tua usianya lalu bertanya.
" Anak muda, kau datang pada malam gelap, tentu saja mencurigakan hati kami.
Sesungguhnya, engkau diutus oleh siapakah dan ada keperluan apa " "
Koleksi Kang Zusi " Nah, sedikitnya kalian harus bertanya dahulu sebelum turun tangan secara
sembrono dan serampangan ! " Indrayana menegur dengan gemas.
" Maafkan kami, anak muda, " kata penjaga kepala itu. Musuh telah berlalu
mendesak, sehingga anak buahku merasa kurang sabar dan gelisah. Sekali lagi,
siapakah yang mengutusmu naik ke sini " "
" Buka telinga kalian baik-baik ! Aku adalah Raden Indrayana, utusan dari
Pangeran Pancapana ! "
Semua prajurit yang mendengar nama ini menjadi pucat dan memandang dengan mata
terbelalak. " tak mungkin ...... Gusti Pangeran sudah meninggal dunia ketika masih
kecil ...... " " Memang demikian sangkaan orang ! " kata Indrayana. " Akan tetapi pada saat itu
Gusti Pangeran Pancapana, telah atang bersama para panglima Mataram tua yang
gagah berani, diikuti oleh barisan kawula Mataram yang setia dan yang hampir
selaksa orang jumlahnya ! "
Tiba-tiba bersoraklah semua orang mendengar ucapan ini dan dengan meriah mereka
menyambut Indrayana. Ribuan macam pertanyaan dihujankan kepada Indrayana, akan
tetapi pemuda ini berkata.
" Tidak ada gunanya semua pertanyaan itu dijawab. Kelak kalian akan tahu
sendiri. Sekarang lebih baik bawalah aku ke hadapan Sang Prabu Panamkaran. "
Koleksi Kang Zusi Penjaga kepala yang tua itu menggeleng kepala. " Tidak bisa, Raden Indrayana.
Tak mungkin menghadap Sang Prabu pada saat seperti ini. Tak seorangpun berani
mengganggu Gusti Prabu dari pada tidurnya. "
Menghadapi keadaan seperti ini, siapakah orangnya yang masih mementingkan urusan
tidur " " Indrayana berseru marah, akan tetapi penjaga itu dengan isarat
tangannya minta agar supaya pemuda ini bersabar.
" Orang lain boleh binggung dan gelisah sehingga lupa makan lupa tidur, akan
tetapi Sang Prabu tak boleh diganggu kalau sedang berada di kamar beserta semua
selir-selirnya! " Sambil berkata demikian sebelah mata penjaga itu dikejapkan kepada Indrayana.
Pemuda ini mengigit bibirnya dengan gemas sekali.
" Pantas saja Mataram menjadi lemah dan menghadapi keruntuhannya ! "
Ia menggumam, Kemudian ia berkata kepada penjaga kepala itu. " Kalau demikian,
biarlah besok pagi-pagi aku menghadap dan sekrang akupun hendak mengaso dan
jangan menggangu tidurku ! "
Penjaga itu lalu membawanya ke sebuah bilik di tempat penjagaan. Setelah
merebahkan dirinya di ats bale-bale, sebentar saja pulaslah Indrayana.
*** " Apa " " seru Patih Bandudarma dengan mata melotot memandang wajah Indrayana
penuh kecurigaan. " Pangeran Pancapana masih hidup " Tidak bohongkah kau, anak
muda " " Koleksi Kang Zusi Indrayana menantang pandang mata Bandudarma dengan sinar marah.
" Untuk apa aku membohong kepadamu " Aku datang sebagai utusan Pangeran
Pancapana, Putera Mahkota Mataram, juga utusan para senopati sepuh dari Mataram
untuk menyampaikan surat kehadapan Sang Prabu Panamkaran. Mengapa aku harus
membohong " Untuk apa " Lekas bawa kau menghadap Sang Prabu ! " Indrayana sudah
kehilangan sabarnya karena semenjak ia datang di Mataram, orang selalu
mencurigakannya dan menyambut tidak sebagaimana mestinya.
" Serahkan saja surat itu kepada kami. Sebagai patih dalam dan senapati Mataram,
kami hendak menerima surat itu mewakili Sang Prabu. "
" Tidak ! " jawab Indrayana tegas. " Harus tanganku sendiri yang menyerahkan
surat ini kepada Sang Prabu Panamkaran. Itu adalah tugasku.
Mengapakah kalian agaknya tidak rela membiarkan aku menghadap Sang Prabu " "
Bandudarma menyeringai. " Kami masih belum percaya penuh kepadamu, Indrayana.
Siapa tahu kalau-kalau kau adalah seorang pesuruh dari Yudasena yang datang
untuk membunuh Sang Prabu 1 "
Merahkan muka Indrayana mendengar ini. " kalau aku benar seorang pesuruh
Yudasena, yang kubunuh bukannya Sang Prabu, melainkan kalian berdualah yang
semenjak tadi tentu sudah menjadi makanan kerisku ! "
Koleksi Kang Zusi " Bangsat kurang ajar ! " seru andupati marah sekali. Tanpa memberi peringatan
terlebih dahulu, kepalan tangannya melayang ke arah kepala, Indrayana menangkap
lengan lawan yang memukul itu, membetot, mengayun dan melepaskan dan ......
melayanglah tubuh Bandupati keluar dari pendapat kepatihan itu, jatuh berdebuk
di atas tanah ! Indrayana berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangan bertolak
pinggang. " Patih Bandudarma ! " bentaknya dengan muka merah dan mata berapai, "
Bukan aku yang kurang ajar, akan tetapi kau dan adikmu itulah ! Kalian sebagai
patih yang sudah tua tentu maklum akan tata susila, maklum bagaimana harus
menyambut seorang utusan raja ! Kalian tidak menyambut aku sebagai mana
mestinya, bahkan berani menghina. Hayo, sekarang kau mau membawa aku menghadap
Sang Prabu, ataukah aku akan menghadap dengan kekerasan " "
Melihat kedigdayaan pemuda ini, Bandudarma menjadi gentar juga dan cepat ia
menghantarkan Indrayana menghadap Sang Prabu Panamkaran.
Bandudarma setelah sadar tadi, lalu mengikuti dari belakang tanpa banyak cakap
lagi. Seperti juga kedua orang patihnya, Sang Prabu Panamkaran merasa terkejut sekali
mendengar bahwa pemuda yang tampan itu adalah seorang utusan dari Pangeranpati
Pancapana. Akan tetapi ia tidak menyatakan sesuatu dan hanya menerima surat yang
di bawa oleh Indrayana dan membaca surat itu. Kedua tangannya gemetar dan
jantungnya berdebar keras ketika ia membaca surat itu, yang ditulis dengan
singkat oleh para panglima tua dari Mataram. Beginilah bunyi surat itu : Sang
Prabu Panamkaran.
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Koleksi Kang Zusi Kiranya tak perlu dijelskan lagi betapa buruk dan lemah keadaan Mataram semenjak
paduka menggantikan kedudukan mendiang Sang Prabu Sanjaya.
Pengepungan yang dilakukan oleh pemberontak Yudasena tentu akan menamatkan
riwayat Mataram apabila tidak segera dipukul hancur. Kami, sebelas orang
panglima-panglima dari Kerajaan Mataram yang pernah mengabdi dengan setia,kepada
mendiang Sang Prabu Sanjaya dan telah ikut pula membauat Mataram menjadi jaya
pada masa itu, telah berkumpul dan bertemu dengan Gusti Pangeran Pancapana,
putera mahkota yang berhak penuh menduduki singgasana Kerajaan Mataram.
Melihat bahaya mengancam mataram kami berpendapat perlu sekali untuk
menghancurkan musuh Mataram dengan syarat bahwa setelah pemberontak Yudasena
dapat kami hancurkan, paduka harus mengundurkan diri dengan baik dan memberikan
hak atas singgasana kepada Gusti Pangeran Pancapana. Kalau paduka menolak, kami
akan membiarkan saja pemberontak Yudasena merampas kedudukan paduka, kemuliaan
kamilah yang akan merampas pula singgasana Mataram dari tangan si pemberontak
Yudasena. Semua jawaban sapat dipercayakan kepada Raden Indrayana pembawa surat ini,
Tertanda : Sebelas orang Panglima sepuh Mataram
Setelah membaca surat itu, untuk beberapa lama Sang Prabu berdiam diri, tak
kuasa berkata-kata. Apakah dayanya " Daripada kerajan jatuh ke dalam tangan
Yudasena , lebih baik diserahlan secara baik kepada Pancapana yang berhak dan
masih terhitung keponakan sendiri. Dari Pancapana ia dapat mengharapkan
pengampunan dan mungkin kedudukan tinggi sebagai penasehat dan sebagainya.
Koleksi Kang Zusi Maka setelah berpikir-pikir, iaa lalu berkata.
" Raden Indrayana, katakanlah kepada keponakanku, Pangeran Pancapana itu bahwa
hatiku merasa amat terharu bahwa dalam keadaan terjepit ini, dia masih mau
membantuku mengusir musuh. Aaku sendiri tidak mempunyai putera, amaka siapa lagi
kalau bukan Pancapana yang menggantikan kedudukanku " Tentu saja singgasana akan
kuberikan kepada Pancapana, ini sudah emestinya. Nah, kataklanlah kepada para
senapati sepuh dan kepada Pangeran Pacapana agar supaya segera menghancurkan
Yudasena. Aku berjanji bahwa setelah ia berhasil mengusir musuh, aku akan
mengundurkan diri dan mengangkat dia sebagai Raja Mataram. "
Giranglah hati Indrayana. Kalau tadi ia masih bersikap angkuh terhadap Sang
Prabu Panamkaran, kini ia menyembah dengan khidmat, " Duhai, Sang Prabu, legalah
hati hamba mendengar kebijaksanaan paduka ini. Hamba percaya bahwa tidak saja
Gusti Pangeran akan merasa lega, juga para senopati dan prajurit Mataram tentu
akan memuji keputusan paduka ini.
Sekarang hamba mohon diri untuk menyampaikan warta menggirangkan ini kepada
Gusti Pangeran, harap saja paduka berhati-hati menjaga serangan-serangan musuh
dalam selimut, karena di dalam setiap kerusuhan selalu timbul penghianat-
penghianat. " Dengan kata-kata yang merupakan sindirian bagi kedua patih itu.
Indrayna mengundurkan diri dan kembali kepada Pangeran Pancapana, melalui
penjagaan musuh dengan agagh berani.
Berbeda dengan ketika berangkatnya, kini Indrayana tidka lagi bersembunyi-
sembunyi, bahkan menjagaan pasukan Yudasena dengan berani, dan berhasil
merobohkan dan menewaskan banyak musuh sebelum ia sampai di tempat pasukan
pangeran pancapana berkumpul.
Sementara itu ketika kedua patih Bandudarma dan Bandupati mendengar jawaban Sang
Prabu Panamkaran kepada Indrayana menjadi terkejut sekali. Mereka mengundurkan
diri dan berunding dengan cepat bersama para pembantu dan perwira lain yang
menjadi kaki tangan mereka. Setelah Koleksi Kang Zusi
mengadakan perundingan kilat mereka lalu mengutus seorang perwira untuk diam-
diam mendatangi kubu-kubu pertahanan musuh di bawah bukit, bertemu dengan Bupati
Yudasena. Perwira ini berhasil bertemu dengan Yudasena dan menyerahkan sepucuk
surat yang ditandatangani oleh Bandudarma dan Bandupati.
Yudasena menjadi amat terkejut dan juga girang setelah membaca surat itu. Di
dalam surat itu, ia diberitahu bahwa sepasukan benar balatentara yang dipimpin
oelh Pangeran Pancapana telah datang hendak membantu an menghancurkan pasukan
Yudasena, dan kedua patih itu menawarkan kerjasama yang baik. Karena pasukan-
pasukan Pangeran Pancapana itu dipimpin oleh senopati-senopati yang pandai dan
merupakan lawan berat, maka kedua patih yang menjadi penghianat itu mengusulkan
agar supaya Yudasena pura-pura kalah dan melarikan diri, menjaga sedapat mungkin
agar jangan sampai pasukan-pasukannya menjadi lelah karena pertempuran itu.
Jadi, dengan sengaja barisan-barisan Pangeran Pancapana itu dibiarkan naik ke
atas menduduki Kerajaan Mataram, kalau sudah tiba di depan benteng, perajurit
yang dipimpin oelh kedua patih itu akan menyerang dari dalam benteng dan pada
saat itu, barisan Yudasena harus esegera naik dan menggempur tentara Pangeran
Pancapana yang akan terjepit, digempur dari atas dan dari bawah bukit !
Sebagai penutup surat, kedua patih itu akan membantu agar singgasana kerajaan
Mataram diserahkan kepada Yudasena, kemudian sebagai pengganti jasa, kedua patih
itu akan diberi kedudukan tinggi dan tidak dianggap sebagai musuh !
Yudasena tertawa bergelak denagn girangnya " Ha, ha, paman Patih Bandudarma dan
Bandupati memang benar-benar cerdik sekali. Baiklah, akau setuju dengan uslnya,
dan bawalah balasan surat ini ke atas bukit ! "
Demikianlah persekutuan gelap telah terjalin antara kedua penghianat an si
pemberontak Yudasena itu.
Koleksi Kang Zusi Sementara itu,setelah mendengar penuturan Indrayana, para pengliam tua dan
Pangeran Pancapana menjadi girang sekali. Mereka lalu mengerahkan pasukan-
pasukan mereka dan bergeraklah balatentara itu maju menuju ke kubu-kubu musuh,
yakni tentara Yudasena. Sebelum tentara Pangeran Pancapana sampai di kubu-kubu pertahanannya.
Bupati Yudasena telah mengadakan perundingan denagn para pembantunya dan semua
anggota barisan telah tahu belaka bahwa dalam menghadapi pasukan penyerbu dari
luar, mereka tidak boelh menyerang dengan sungguh-sungguh dan setelah ada
komando untuk mundur, mereka harus segera mengundurkan diri.
Kedua pasukan besar itu berhadapan dan Yudasena sendiri beserta belasan orang
senapatinya menyambut rombongan Pangeran Pancapana yang menunggang kuda. " Ha-ha
! " Yudasena tertawa bergelak. " Aku mendengar bahwa ada orang yang ebrani
mengaku bernama Pangeran Pancapana yang sudah meninggal dunia. Manakah Pancapana
palsu itu " " Pangeran Panacana mengajukan kudanya dan membentak, " Yudasena, pemberontak
rendah ! Di waktu kerajaan sedang mengalami kemunduran, kau tidak berusaha
membantu dan membangun kembali, bahkan datang melakukan penyerangan. Alangkah
rendah watakmu ! Kalau kau pernah mengabdi kepada mending rama prabu, tentu kau
dapat melihat bahwa aku adalah Pangeran Pancapana yang asli. Tengoklah para
panglima sepuh bekas senapati-senapati mendiang rama prabu, adakah mereka ini
juga palsu " Lihat paman Senapati Cakraluyung, paman Kelabangwulung, dan yang lain-lain.
Benar-benarkah kau tidak kenal mereka " "
Diam-diam Yudasena mengakui bahwa pemuda yang tampan ini memang serupa benar
dengan mendiang Prabu Sanjaya, dan bahwa semua senapati tua itu memang benar
jago-jago mataram pada masa Sang Prabu Sanjaya masihmemegang tampuk kerajaan.
Akan tetapi ia memang sengaja berpura-pura tidak kenal, untuk menjalankan siasat
yang telah diatur bersama-Koleksi Kang Zusi
sama kedua patih Mataram.
Seorang pembantunya, yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam, adalah
seorang senopati yang amat kuat. Orang ini bernama Limandaka dan bersenjata
ebuah penggada besar yang mengerikan. Limandaka melompat maju dan berkata,
" Para perampok dari manakah berani datang menggangu kami " Laki-laki berunding
dengan kepalan dan senjata, tidak seperti perempuan mengandalkan bibirnya. Hayo,
aku menjadi senopati pertama dari barisan Pasisir, siapakah yang berani
menghadapiku " "
Melihat sikap orang yang kasar ini, Pancapana lalu memberi tanda kepala
Surarudira untuk maju menghadapi senopati musuh itu. Surarudira menjadi girang
sekali. Ia melompat turun dari kudanya dan amenghampiri si muak hitam yang juga
tinggi besar seperti dia, lalu menuding dengan telunjuknya.
" Eh, muka hitam bermulut lebar ! Akulah orangnya yang sanggup mengirim kau
kembali ke tempat asalmu, di neraka ! "
Marah sekali Limandaka mendengar ucapan ini " Siapakah kau, siluman brengos
bermata jengkol " Katakan dulu namamu sebelum kedua matamu yang hampir keluar
itu betul-betul melompat keluar terkena pukulan yang keras ! "
" Aku tak pernah meninggalkan nama di rumah da tak pernah menyembunyikan nama
atau menggantinya. Namaku Surarudira, senopati Mataram yang tiada taranya. Kau
ini prajurit baru yang masih belajar memegang keris, siapakah namamu yang rendah
" " Koleksi Kang Zusi Surarudira, aku pernah mendengar bahwa orang yang bernama Surarudira hanyalah
menjadi tukang membersihkan kandang kuda di Mataram ! Ha, ha ha ! Dan kau maju
menjadi senopati menghadapi aku Senopati Limandaka yang sakti " Kau benar-benar
sudah rindu kepada kuburan ! "
Surarusdira marah sekali. Memang, sebelum ia menjadi seorang kepala barian
pengawal dari Sang Prabu Sanjaya dahulu, ia bekerja sebagai pemeliharaan kuda,
akan tetapi bukan kuda sembarangan kuda, melainkan kuda kelangenan
( kesayangan ) Sang Prabu Sanjaya, yang tidak mau mempercayakan pemeliharaan
kuda itu ke tangan orang lain. Kini mendengar ejekan Limandaka, Sararudira
menjadi mata gelap dan menubruk dengan terkam kedua tangannya yang kuat !
Alimandaka tidak mau membiarkan dirinya diterkam bagaikan seekor kelinci
diterkam harimau, Ia mengangkat kedua tangannya dan menangkis pukulan
Surarudira. " Buk ! " ketika kedua lengan orang tinggi besar itu saling beradu, keduanya
terhuyung ke belakang beberapa tindak. Ternyata tenaga mereka sama kuatnya.
" Jahanam, rasakan tendangan mautku ! " seru Limandaka sambil mengayun kaki
kanan yang sebesar kaki gajah, menyambar ke arah wadah nasi Surarudira yang
gedut, Surarudira hendak mengelak, akan tetapi tendangan itu merupakan
keistimewaan dari kepandaia Limanaka, dan bukan seperti tendangan biasa yang
mudah dielakkan. Tendangan itu dapat mengikuti gerakan yang mengelak, sehingga
ketika tubuh Surarudira mengelak ke kiri, secepat angin kakai yang besar itu
ikut membelok pula, dan masih dapat menendang paha Surarudira sehingga mencelat
empat dapa lebih ! Koleksi Kang Zusi Namun, Surarudira adalah seorang yang kebal dan kulitnya lebih tebal daripada
kulit seekor badak. Biarpun tendangan keras itu membuat tubuhnya mencelat dan
membuat daging pahanya merasa sakit, njarem (
pegel-pegel ) dan ketika ia maju, kakinay agak terpincang-pincang, namun tidak
mengurangi semangatnya bertempur. Ia mendengus lalu membentak.
" Keparat, rasakan pembalasanku ! " Ia Ia menubruk dengan kedua tangan dipentang
bagaikan seekor harimau menerkam. Limandaka menyambutnay dengan tangan
terpentang pula sehingga keduanya lalu saling terkam dan saling piting, akan
tetapi keistmewaan Surarudira adalah main gulat.
Dengan beberapa gerakan yang amat cerdik ia berhasil memeting leher lawannya dan
membekuk tubuhnya sehingga tubuh Limandaka ditekuk ke belakang, lehernya berada
dalam kempitan ketiak Surarudira. Ia meronta-ronta, akan tetapi tak dapat
melepaskan diri. Sebaliknya, sungguhpun tak dapat mengirim pukulan, karena kedua
tangannya tak bebas. Sedikit saja ia mengendurkan kempitannya, lawannya yang
sama kuatnya itu tentu akan dapat melepaskan diri. Terdengar suara, " ah, uh,
ah, uh, ! " dan dengus dari hidung dan mulut mereka ketika keduanya mengerahkan
tenaga, yang satu hendak mematahkan batang leher lawan, yang laih hendak
melepaskan diri. Bukan main ramainay pergulatan itu. Akhirnya, karena payah
menahan usaha Limandaka yang hendak melepaskan diri, Surarudira lalu mengangkat
tubuh lawannya dan membantingnya sekuat tenaga !
Blek !! " Debu mengepul tinggi ketika tubuh Limandaka yang besar itu menimpa
tanah dan bergulingan sampai enam kali. Kalau tadi ketika Surarudira kena
tendang, barisan Pesisir bersorak-sorai, kini barisan Pangeran Pancapana
bertepuk tangan dengan riang melihat Surarudira dapat membanting lawannya. Akan
tetapi, ternyata bahwa Limandaka juga kebal dan kuat sekali tubuhnya. Bantingan
yang cukup kuat itu hanya membuatnya nanar sejenak sehingga tanah yang
dipijaknya serasa terputar-putar. Akan tetapi segera ia memeramkan mata dan
menenangkan pikirannya dan tak lama kemudian, ia telah mengeluarkan senjata yang
mengerikan, yakni penggada yang besarnya bukan main itu.
Koleksi Kang Zusi Melihat lawannya mengeluarkan senjata. Surarudira tidak mau kalah dan
dicabutnyalah klewangnya yang tajam dan lebar berkilau terkena sinar matahari.
Dan kini keduanya saling serang dengan senjata, jauh lebih hebat dan menegangkan
daripada tadi. Barisan kedua belah pihak bersorak-sorai memberi tambahan
semangat kepada jago masing-masing.
Sementara itu, beberapa orang senopati barisan Pesisir maju pula dan disambut
oleh para senopati sepuh dari Mataram. Akan tetapi Indrayana mendahului para
panglima tua itu dan pemuda yang gagah perkasa ini lalu mengamuk bagaikan seekor
banteng terluka. Tiap lawan yang terkena pukulannya, roboh tak dapat bengun
pula. Melihat kehebatan pemuda ini Yudasena marah sekali dan ia sendiri maju ke medan
pertempuran, setelah memberi tanda para barisan untuk maju menyerbu. Maka
menyerbulah kedua barisan itu dan perang di mulai dengan gemuruh dan hebatnya.
Yudasena sendiri yang menyergap Indrayana segera ditandingi oleh Pangeran
Pancapana sendiri, Yudasena memang hanya hendak perang secara pura-pura saja
untuk kemudian melarikan diri sebagaimana yang telah direncanakan akan tetapi
ebagai seorang panglima, hatinya belum merasa puas kalau belum mencoba sampai di
mana kedisdayaan lawan. Ia tela mendengar akan kedigdayaan para senopati sepuh
dari Mataram, sehingga ia merasa gentar juga menghadapi mereka, akan tetapi
melihat Pangeran Pancapana dan Indrayana yang masih muda belia, tentu saja ia
merasa penasaran kalau harus mundur tanpa mencoba dulu kepandaian mereka !
Yudasena, bupati yang memberontak terhadap Mataram dan yang memimpin selaksa
orang prajurit Pesisir untuk mengepung Mataram, adalah seorang yang mempunyai
aji kesaktian di tangan kanannya yang disebut Asta Dahana ( Tangan Api ). Jarang
sekali ada lawan yang sanggup menerima pukulan tangannya ini, ampuhnya melebihi
tusukan senjata runcing atau babatan senjata tajam !
Koleksi Kang Zusi Ketika perang tanding antara pasukan Pesisir melawan psukan Mataram berlangsung.
Yudasena ikut menyerbu dan ia disambut oleh Pangeran sendiri, karena Indrayana
sedang sibuk mengamuk dan melayani fihak musuh.
Dengan seruan keras yang terdengar seperti seekor macam mengaum, Yudasena
melompat dan mengirim pukulan tangan kanannya yan ampuh kepada Pangeran
Pancapana. Melihat betapa pukulan itu didahului dengan sinar kemerahan berkilat
dan juga terasa panas menyambar, maklumlah pemuda itu bahwa tangan lawannya ini
ampuh dan mengandung hawa sakti.
Cepat dan lincah sekali Pangeran Pancapana mengelak ke kiri dan tangan kirinya
menyambar ke arah sambungan siku tangan lawan dengan maksud untuk mengetok
sambungan siku itu agar terputus atau terlepas.
Akan tetapi Yudasena adalah seorang perwira yang selain gagah perkasa, juga
telah banyak sekali pengalamannya dalam perkelahian, maka tentu saja tak mudah
dirobohkan dengan segebrakan saja. Sebelum tangan Pancapana berhasil menghantam
sikunya, lebih dulu ia telah menarik lengan kanannya dan sebuah tendangan keras
ia layangkan ke arah perut pangeran itu. Kembali Pancapana dapat menghindarkan
diri denagn sebuah tangkisan tangan kanannya. Ramailah mereka bertempur, kuat
sama kuat, ketangkasan di lawan dengan kesigapan. Untuk menandingi Aji Kesaktian
Asta Dahana dari lawannya, Pancapana juga mengerahkan aji kesaktian yang disebut
tangan Kilat ( Asta Braja ) juga berada di tangan kanannya.
Yudasena cukup wasapada dan tahu pula bahwa tangan kanan pemuda itu ampuh sekali
dan mengandung kekuatan yang berbahaya, maka seperti juga Pancapana, ia selalu
mengelak pukulan tangan Pancapana, tidak berani untuk mencoba menerima pukulan
itu. Keduanya memiliki kekuatan dan kekebalan, dan pukulan tangan kiri lawan
diterimanya dengan senyum di bibir, akan tetapi pukulan tangan kanan selalu
dielakkan atau ditangkis.
Koleksi Kang Zusi Yudasena diam-diam terkejut juga menyaksikan kedigdayaan pemuda yang mencalonkan
diri menjadi Raja Mataram itu. Lebih-lebih kaget dan herannya ketika ia memukul
dengan tangan kananya sambil menggerakkan tenaga. Pancapana menyambut pukulan
itu dengan pukulan tangan pula.
" Duk !! " Dua tanagn raksasa yang didorong oelh aji kesaktian yang amat ampuh
bertumbuk melalui dua kepalan tangan itu. Tubuh keduanya tergoncang karenanya
dan terhuyun-huyun mundur lima langkah. Yudasena benar-benar merasa kagum dan
juga penasaran mengapa lawannya yan masih muda itu sangup menerima pukulannya
dengan pukulan pula, bahkan dari pukulan pemuda itu ia maklum bahwa ilmu tenaga
lawannya tidak kalah hebatnya. Menurut rasa penasaran di hatinya, ia ingin
mencabut senjatanya, akan tetapi ia teringat akan siasat yang telah diaturnya,
maka ia berpikir bahwa belum tiba saatnya untuk mengadu jiwa.
" Bagus, kepandaianmu tidak buruk ! " serunya sambuil melompat mundur, lalu ia
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memberi aba-aba kepada anak buanya untuk mengundurkan diri.
Para prajurit Pasisir yang telah maklum bahwa telah direncanakan sejak semula
untuk penarikan mundur ini, dengan serentak meninggalkan gelanggang perang
melarikan diri. Pancapana dan Indrayana saling pandang sambil tersenyum puas. Mereka merasa
bangga dan menganggap bahwa musuh terlampau lemah dan pengecut sehingga belum
lagi pertempuran itu sampai di pncaknya, musuh telah mengundurkan diri. Kalau
saja di situ tidka terdapat banyak senopati sepuh yang telah banyak makan asam
garam peperangan dan pengalaman pertempuran, tentu kedua orang muda ini terkena
tipu muslihat yang dijadikan siasat oleh Yudasena.
Koleksi Kang Zusi " Gusti Pangeran, " kata senopati Cakraluyung yang sudah tua dan berpengalaman,
" gerakan Yudasena ini benar-benar amat mencurigakan.
Penarikan mundur barisannya yang belum mengalami kehancuran itu lebih menyerupai
siasat peperangan daripada kekalahan yang sewajarnya. Hamba tahu sampai di mana
kekuatan barisan Yudasena dan kiranya takkan semudah ini mereka dapat dipukul
mundur. " " Habis, bagaimana baiknya, paman Cakraluyung " " tanya Pangeran Pancapana.
" Kita masih belum tahu siasat apakah yang mereka jalankan, " jawab senopati tua
itu, " maka kita harus berlaku wasapada. Juga kita harus berlaku cerdik dan
berbuat seakan-akan kita belum mempunyai kecurigaan terhadap mereka. Oleh karena
itu, harap paduka membawa sebagaian pasukan menyerbu terus ke atas dan masuk ke
dalam benteng Mataram. Adapun hamba bersama sebagaian pasukan pula bersembunyi di belakang dan melihat
apakan yang sesungguhnya menjadi siasat Yudasena. Kalau kiranya hamba menduga
salah dan mereka akan membawa betul-betul kalah dan mundur, hamba akan membawa
pasukan menyusul ke atas bukit. "
Pangeran Pancapana menyetujui rencana ini, maka ia lalu membawa barsiannay terus
mendaki bukit yang kini tak terkepung oleh musuh lagi itu.
Sebagaimana telah di rencanakan oleh Yudasena dan kedua Patih mataram yang
berkhianat, ketika melihat barisan Pangeran Pancapana naik ke bukit, kedua Patih
Bandudarma dan Bandupati itu lalu menegrahkan barisan untuk menyambut kedatangan
Pangeran itu dengan serangan tiba-tiba. Sang Prabu Panamkara terkejut melihat
persiapan ini dan ia menegur kedua orang paihnya, akan tetapi kedua orang patih
yang berkhianat itu bahkan memerintahkan kaki tangannya untuk menangkap Sang
Prabu Panamkaran dan dimasukkan ke dalam tahanan !
Koleksi Kang Zusi Sementara itu, setelah barisan Pangeran Pancapana tiba di luar tembok benteng,
tiba-tiba pintu benteng itu terbuka dan dari dalam benteng menyerbulah tentara
Mataram dibarengi dengan hujan anak panah dari atas tembok benteng yang
menyerang pasukan-pasukan Pangeran Pancapana ! Pancapana dan Indrayana terkejut
sekali melihat sambutan ini.
" Dimas Indrayana " Bagaimana ini " Bukankah paman prabu sudah berjanji akan
menerimaku dengan baik " "
Entahlah, kangmas Pancapana. Aku sendiripun amat heran ! Benar-benarkah seorang
ratu menjilat ludah sendiri yang sudah keluar dari mulutnya " "
Tiba-tiba terdengar sorakan hebat dan dari bawah menyerbulah barisan Yudasena
yang tadi mengundurkan diri ! Bukan main sibuknya barisan Pancapana yang
diserang dari atas dan bawah ini !
" Kangmas Pancapana, biarlah aku masuk dulu ke dalam benteng dan mematahkan
batang leher raja curang itu ! "
" Nanti dulu, dimas, jangan kau binggung dan khawatir. Baiknya siasat curang ini
telah diduga oleh paman Senopati Cakraluyung, kalau tidak celakalah barisan
kita. Mari kita menyerbu dan merampas benteng.
Pasukan Yudasena biarkan saja naik tentu akan diserang oleh paman Cakra luyung
dari belakang. " Pangeran Pancapana lalu memberi aba-aba kepada pasukannya untuk Koleksi Kang
Zusi menyerbu terus ke dalam benteng. Banyak korabn jatuh bertumpuk di fihak pasukan
penyerbu, akan tetapi berkat kegagahan Pancapana dan Indrayana yang memberi
contoh menyerbu paling depan, pasukan itu besar sekali semangatnya dan terus
menyerbu sehingga pintu benteng dapat dibobolkan pertahannya !
Sementara itu, sorakan yang tadi dikeluarkan oleh pasukan-pasukan Yudasena
ketika mengejar naik untuk menggunting barisan Pancapana, tiba-tibamenjadi sirep
dan terganti oleh teriakan-teriakan kaget ketika tiba-tiba dari kanan kiri dan
belakang keluar pasukan-pasukan Cakraluyung menyerbu mereka ! Yudasena terkejut
sekali dan dalam kegugupannya, ia tak dapat memberi komando yang tepat sehingga
barisannya berperang secara liar. Banyak sekali korban tewas dalam pertempuran
dahsyat ini, perang campur menjadi satu sehingga sukar dibedakan mana kawan mana
lawan. Yudasena dengan marah sekali lalu menyerbu dan akhirnya ia bertanding
melawan Senopati Cakraluyung sendiri !
" Bangsat tua ! " Yudasena memaki. " Rupanya kaulah yang mengalahkan siasatku !
" " Pemberontak hina dina ! Dewata selalu melindungi orang yang benar mengutuk
yang sesat ! " jawab Cakraluyung yang menagkis serangan tombak di tangan
Yudasena dengan perisainya, kemudian membalas serangan lawan denagn pedangnya.
Pertempuran hebat dan mati-matian terjadi. Sungguhpun dalam siasat perang
Cakraluyung tak usah kalah oleh Yudasena dan juga dalam ilmu pertempuran
senopati tua ini amat pandai, namun ia telah tua sekali dan tenaganya sudah
banyak berkurang. Apalagi tombak di tangan Yudasena selain merupakan tombak
pusaka yang ampuh, juga dimainkan secara luar biasa cepat dan kuatnya, setelah
melawan mati-matian akhirnya, Senopati Cakraluyung roboh dengan dada terluka
oleh tombak. Ha-ha-ha Cakraluyung ! Ternyata kau tidak dilindungi oleh Dewata, maka Koleksi
Kang Zusi tentu kau yang sesat dan aku yang benar ! " Yudasena mengejek, lalu mengamuk
dengan tombaknya sehingga barisan Mataram yang sudah kehilangan pemimpinnya ini
sekarang menjadi kacau-balau dan kalau dilanjutkan pertempuran itu, tentu mereka
akan terpukul hancur. Akan tetapi, pada saat itu fihak barisan Yudasena menjadi kacau dan prajurit-
prajurit barisan ini lari ke kanan kiri, yang kurang ceopat larinya terlempar ke
kanan kiri bagaikan rumput kering saja. Terdegar pekik kesakitan susul menyusul.
Ternyata bahwa yang datang mengamuk itu adalah Indrayana ! Para prajurit Mataram
ketika melihat oemuda yang gagah perwira ini, timbul lagi semangat mereka dan
kembali peperangan dimulai dengan lebih hebat. Yudasena ketika mengetahui bahwa
yang mengamuk itu Indrayana, segera memburu dengan tombak di tangan.
Pada saat itu, Indrayana tengah berlutut di dekat tubuh senopati Cakraluyung
yang mandi darah an sudah tak berdaya lagi. Ketika Indrayana memangkunya,
senopati sepu ini hanya bisa berbisik perlahan. " Raden Indrayana ...... sampaikan
pesanku kepada Gusti Pangeran ...... pandai dan bijaksanalah ia memerintah Mataram
...... melindungi dan memimpin rakyat jelata ...... semoga Mataram dapat di bangun
kembali, makmur dan jaya sebagaimana dahulu ...... " Maka meninggallah pahlawan tua
ini di dalam pelukan Indrayana.
Ketika Yudasena datang menyerbu denagn tombaknya, Indrayana memandang kepada
bupati ini dengan mata merah karena maranya. Ia meletakkan tubuh Cakraluyung di
atas rumput, mencabut krisnya dan melompat ke depan menyambut kedatangan
Yudasena. Tanpa banyak cakap Indrayana menyerang dengan kerisnya dan Yudasena
pun tak mau mengalah begitu saja. Tombaknya diputar-putar dan bagaikan seekor
ular hidup, tombak itu meluncur mendatangkan angin dan menghujani tubuh
Indrayana dengan serangan-serangan kilat. Kalau melihat keadaan senjata mereka,
sungguh berat sebelah, senjata di tangan Yudasena adalah sebatang tombak panjang
sedangkan sebantang tombak Indrayana adalah sebilah keris yang pendek. Akan
tetapi, Indrayana memiliki kecepatan gerakan yang luar biasa sekali sehingga
Yudasena tidak mempunyai banyak Koleksi Kang Zusi
kesempatan untuk mempergunakan tombaknya. Tubuh pemuda itu berkelebat menyambar-
nyambar bagaikan seekor burung serikatan, membuat Yudasena merasa terkejut
sekali dan kepalanya pening.
" Yudasena, kau harus membayar dengan nyawamu untuk tewasnya Paman Cakraluyung !
" Indrayana membentak dan sebuah tusukan kilat denagn kerisnya membuat Yudasena
terhuyung mundur, tangan kiri mendekap luka di dada yang tertembus keris,
sedangkan tanagn kananya mengangkat tombak ini cepat sekali datangnya dan
Indrayana tidak terburu mengelak lagi. Pemuda yang gagah ini lalu mengibas
dengan tangan kirinya sehingga tombak itu dapat tertangkis dan meluncur ke
samping. Terdengar pekik ketika tombak itu menembus punggung seorang prajurit
yang sedang bertempur. Sementara itu, Pancapana berhsil memasuki benteng. Dengan gemesnya pangeran ini
mengamuk dan ketika ia dapat memegang batang leher seorang perwira, ia mencekik
dan menghardik Jilid 6 Sang Prabu Samaratungga berdiri dari kursinya dengan wajah pucat. Ia teringat
akan sabda seorang wiku sakti yang telah meinggal dunia dahulu yang menyatakan
bahwa apabila gendewa pusaka Dewandanu patah, maka itu berarti bahwa Kerajaan
Syailendra telah tiba masanya untuk lenyap dari tanah Jawa !
Siddha Kalagana melemparkan patahan dan gendewa itu ke tanah, tertawa bergelak
dan berkata kepada Sang Prabu Samaratungga, " Ha, ha, ha !
Koleksi Kang Zusi Tidak tahunya gendewa pusaka itu hanay terbuat dari bahan kayu yang lembek
saja ! Mana dia dapat menahan tenaga tanganku Sang Prabu, sekarang setelah saya
dapat menempuh syarat pertama dengan baik, umumkanlah apakah syarat
selanjutnya " Menurut pendengaranku, ditetapkan adanya tiga macam syarat ! "
Terpaksa Sang Prabu Samaratungga lalu berdiri dan berkata dengan suara lantang.
"Telah kusaksikan bahwa yang kuat menarik gendewa pusaka Dewandana ada lima
orang. Syarat-syarat sayembara ini masih ada dua macam lagi, yaitu pertama kali,
peserta harsu dapat menlenyapkan hawa siluman yang mengotori puncak Gunung
Papak. Adapun syarat terakhir ialah bahwa si peserta harus dapat mengusir semua
ancaman musuh yang hendak menyerang atau menganggu keamanan Kerajaan
Syailendra ! " Tiba-tiba Pramodawardani berbisik kepada ayahnya,
"Ramanda Prabu, hamba kira lebih baik kalau para peserta itu memperkenalkan diri
masing-masing terlebih dahulu. "
Diam-diam Prabu Samaratungga memuji kecerdikan puterinya ini, karena memang perlu sekali mengetahui nama-nama
daripada calon suami puteri mahkota.
"Sebelum sayembara ini dilanjutkan, perlu diketahui nama-nama para peserta yang
lulus dalam syarat pertama. Orang pertama dan kedua telah diketahui, yaitu
utusan-utusan dari Kerajaan Sriwijaya yang bernama Senapati Kalinggapati dan
Kalinggajaya. Orang ke empat adalah Raden Koleksi Kang Zusi
Indrayana putera Wiku Dutaprayoga seorang kawula Syailendra sendiri, dan orang
kelima adalah Siddha Kalagana yang terkenal sebagai seorang pendeta dan juga
kini menjadi raja. Akan tetapi, seapakah peserta ke tiga
" Harap suka memperkenalkan nama dan kedudukan ! "
Sang Rakai Pikatan berdiri dengan tenang dan senyum di bibirnya yang tak pernah
meninggalkan wajahnya. "Sang Maha Raja yang mulai harap maklum bahwa saya adalah Raja dari Mataram yang
berjuluk Sang Rakai Pikatan. "
Berisiklah para penonton ketika mendengar nama raja muda yang amat terkenal ini.
Memang, nama Rakai Pikatan sebagai raja muda di Mataram amat terkenal dan
menjadi buah bibir rakyat, karena raja muda yang masih perjaka itu dikhabarkan
amat tampan, sakti dan bijaksana sehingga dalam waktu setahun saja telah
berhasil membangun Mataram kembali menjadi jaya dan makmur.
Sang Prabu Samaratungga sendiri tertegun sejenak mendengar nama ini.
Ia merasa amat bangga dan juga binggung. Raja Mataram merupakan tandingan berat
bagi pangeran sriwijaya, maka kini pilihannya hanya condong kepada ketua calon
ini, yakni pangeran pati dari Sriwijaya atau raja muda dari Mataram.
Sebaiknya, Pramodawardani mengerutkan keningnya. Ia maklum bahwa raja muda dari
Mataram itu beragama Hindu, maka bagaimanakah kalau sampai ia menjadi
permaisurinya " Kalau mengingat akan kedudukan, tentu saja lebih baik menjadi
permaisuri Mataram, akan tetapi kalau mengingat akan agama, agaknya lebih baik
menjadi istri Raden Indrayana. Adapun tentang kegagahan dan kecakapan, sukarlah
untuk memilih antara kedua pemuda ksatria itu ! Sama halus, sama tampan, sama
gagah ! Tiba-tiba Koleksi Kang Zusi
mendapat sebuah pikiran yang baik. Betapapun juga, agaknya ayahnya tentu akan
memilih Raja Mataram daripada Raden Indrayana, dan untuk mencoba dari raja muda
yang beragama Hindu itu hanya ada satu jalan yang amat baik.
Ibu kota Mataram dipindahkan kembali dari puncak Gunung ieng ke ibu kota medang
yang makin lama makin menjadi besar dan ramai. Belum setahun Sang Prabu Pikatan
memegang tampuk kerajaan, Mataram telah menjadi besar dan jaya, bahkan boleh
dikata lebih besar daripada dahulu-dahulu. Semua ini berkat kebijaksanaan Sang
Prabu Rakai Pikatan yang adil dan membela rakyat. Para petugas yang curang dan
memeras rakyat disapu habis-habisan. Semua pamongpraja bekerja dengan setia dan
jujur, benar-benar merupakan pimpinan dan pembimbing rakyat yang membela dan
melindungi kawula Mataram, tidak seperti di bawah perintah Prabu Panamkaran, di
mana tidak ada pemimpin yang benar-benar memimpin, yang ada melainkan pembesar
yang hanya mementingkan urusan perut sendiri tak perduli akan keadaan rakyat
jelata yang tercekik, kelaparan dan telanjang!
Setelah Sang Prabu Pikatan pindah ke Medang, Indrayana lalu minta diri dari
sahabatnya ini untuk kembali ke Syailendra mencari ayahnya, Sang Wiku
Dutaprayoga, "Aduhai, dimas Indrayana. Mengapa hendak meninggalkan aku" Kita telah bersama
semenjak mengalami kesengsaraan, sama-sama berjuang bahu-membahu. Setelah kini
aku mencapai pantai cita dan menikmati hasil perjuangan kita, mengapa kau hendak
meninggalkanku" Marilah kita bersama menikmati kebahagiaan di Mataram dan kau
bantulah pekerjaanku. Tidak ada patih yang lebih kuingini selain engkau, adikku
yang budiman!" kata Sang Prabu Pikatan.
Indrayana tersenyum dan menyembah. Setelah Pancapana menjadi raja, tentu saja ia
tidak dapat bersikap seperti dahulu, dan menurut tatasusila, ia harus
menunjukkan sikap sebagai seorang hamba kepada junjungannya.
Koleksi Kang Zusi "Paduka telah maklum bahwa tiada kegembiraan lain kecuali mengabdi kepada pasuka
dan bekerja sama dengan paduka yang selalu menjadi cita-cita hamba. Akan tetapi,
sekarang Mataram telah bangkit kembali, sudah tercapai idam-idaman hati yang
dikandung selama kita berjuang. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban hamba
untuk mengingatkan kembali kepada Kerajaan Syailendra. Oleh karena betapapun
juga, hamba adalah kawula Syailendra. Hamba mendengar berita angin bahwasannya
kerajaan Sang Prabu Samaratungga kini sedang berada dalam ancaman musuh dari
timur. Tentu takkan membenarkan apabila hamba berpeluk tangan saja."
Sang Prabu Pikatan mengangguk-angguk. "Kau benar, dimas, memang demikianlah
seharusnya watak seorang ksatrya, siap-siaga berjuang membela negara, membela
kebenaran, dam mengerahkan tenaga untuk menghancurkan segala macam kejahatan.
Akan tetapi, sebelum kau pergi ke Syailendra, kuharap kau suka mampir lebih
dahulu di pondok paman Panembahan Bayumurti."
Merahlah wajah Indrayana mendengar ini karena tentu saja nama panembahan ini
mengingatkan dia akan puteri panembahan itu, Candra Dewi, kekasihnya.
"Baiklah, dan ada pesan apakah yang harus hamba sampaikan?"
"Dimas Indrayana, dengarlah baik-baik, dimas. Aku hendak mengirim sebuah surat
kepada paman panembahan, dan kau sebagai utusan dan wakilku, ada baiknya bila
kau mengetahui apa yang menjadi maksud hatiku.
Ketahuilah bahwa para pinisepuh yang mengembani Kerajaan Mataram, termasuk para
panembahan dan senopati sepuh yang banyak berjasa semenjak tama prabu masih
hidup, telah berkali-kali mendesak kepadaku untuk segera krama (menikah).
Seorang raja besar tanpa permaisuri akan tampak janggal dan dapat mengecewakan
hati para kawula. Kupikir benar Koleksi Kang Zusi
juga desakan itu dan kurang enaklah kalau aku menolak terus-menerus, apalagi
karena sekarang akupun telah cukup dewasa."
Indrayana tersenyum dan mukanya berseri gembira. "Catatlah Sang Prabu, bahwa
hamba juga menjadi seorang di antara mereka yang mendesak usul ini! Alangkah
gembira hati hamba menyaksikan paduka bersanding dengan permaisuri yang cantik
dan juga mulia dan agung bijaksana."
"Benar katamu, dimas. Seorang permaisuri harus cantik dan juga mulia, harus
indah lahir batin. Inilah yang amat kukhawatirkan. Mudah saja mencari wanita
cantik jelita, akan tetapi sukarlah mendapatkan yang cantik hatinya. Oleh karena
itu, menurut pandanganku, hanay seoranglah wanita di dunia ini yang cantik lahir
batin, yang sudah kuuji dan kuketahui sendiri keindahan lahir batinnya. Hanay
dia seoranglah yang patut menjadi permaisuriku, dan terutama sekali, menjadi
seorang wanita termulia yang dipuja-puja oleh seluruh rakyat di Mataram ! "
Makin berserilah wajah Indrayana. Tak pernah disangkanya bahwa Pancapana telah
mempunyai pilihan ! Belum pernah pemuda itu dahulu memberitahukannya.
"Bolehkah kiranya hamba mengetahui siapa adanya puteri yang mulia itu "
" Siapa lagi kalu bukan diajeng Candra Dewi " " Kalau ada halilintar menyambar
masuk ke dalam ruang keraton itu dan meledak di depan matanya, tak mungkin
Indrayana akan sekaget itu. Wajahnya seketika menjadi pucat dan sepasang matanya
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memandang ke arah Sang Prabu Pikitan dengan bengong bagaikan padang mata orang
yang kehilangan semangatnya.
Koleksi Kang Zusi "Ampunkah hamba, mohon diulang sekali lagi nama puteri itu, agar haba tidak
sampai salah dengar, " akhirnya Indrayana dapat juga mengeluarkan suara, lalu
mendengarkan jawaban yang akan diucapkan oleh raja muda itu dengan penuh
perhatian hampir tak bernapas saking tegangnya.
Melihat pandangan mata Indrayana, terharulah Sang Prabu Pikitan, sehingga ia
turun dari singasana, menghampiri kawannya itu dan memegang kedua pundaknya.
"Indrayana, tidak salah pendengaranmu tadi, memang yang kumaksudkan adalah
diajeng Candra Dewi, puteri tunggal paman Panembahan Bayumurti, atau juga adik
seperguruan kita. " Kedua pundak Indrayana mengeras di bawah pegangan Prabu Pikatan dan wajahnya
kini seakan-akan tak berdarah lagi.
"Tidak ...... tidak kelirukah pilihan paduka...... " " tanyanya perlahan dan lemah.
Sang Prabu Pikatan menarik napas panjang lalu duduk kembali di atas
singgasananya. Ia memandang tajam lalu berkata dengan suara tenang.
"Dimas Indrayana, aku mklum akan perasaan hatimu. Aku tahu bahwa kau mencintai
diajeng Candra Dewi dan mungkin juga dia mencintaimu. Akan tetapi, harus
kauketahui bahwa sebelum dia berjumpa denganmu, akupun telah menaruh hati kasing
sayang yang besar kepadanya. Kasih sayangku Koleksi Kang Zusi
itu dahulu seperti kasih sayang kepada seorang adik kandung, akan tetapi
sekarang, karena aku membutuhkan seorang permaisuri yang sempurna, kiraku selain
diajeng Candra Dewi, tidak ada lagi lain wanita yang patut menduduki singgasana
Mataram sebagai permaisuri. Kalai kiranay aku tidak menjadi raja di Mataram,
agakany akan dapat aku merelakan hati, mengalah terhadapmu, dimas Indrayana.
Akan tetapi ketahuilah bahwa mataram adalah yang terutama bagiku, yang harus
kujaga, baik namanay maupun kemakmuran dan kejayaannya. Kerajaan Mataram bagiku
lebih berharga, lebih suci dan lebih kuutamakan daripada apapun juga. Lebih
besar daripada rasa sayangku kepadamu, bahkan lebih besar daripada sayangku
kepada nyawa sendiri. Harap kau mklum akan hal ini, dimas, "
Ucapan yang panjang itu terdengar oleh Indrayana bagaikan suara dari Khayangan
yang lambat laun turun dan berubah menjadi sebatang keris yang menacap di
jantungnya sehingga berdarah dan perih ia menundukkan mukanya dan berkata dengan
suara berisik, "Sang Prabu, tidak adakah lain wanita yang sepadan menjadi permaisurimu
" " "Jangan salah faham, dimas Indrayana. Banyak sekali wanita yang cukup pantas
mejadi isteri Pancapana, akan tetapi, selain diajeng Candra Dewi, kiranya tidak
ada lain dara yang patut menjadi permaisuri Sang Prabu Pikatan, raja dari
Mataram ! mengerti aku " "
Indrayana tak kuasa menjawab, hanya mengganguk. Kemudian ia menggigit bibirnya
dan berkata, " Serahkanlah surat itu kepada hamba, hendak hamba kerjakan tugas
terakhir untuk paduka. "
Sang Prabu Pikatan memberikan suaranya kepada Indrayana dan berkata,
" Dimas Indrayana, selama hidupku takkan kulupakan kemuliaan budimu, Koleksi
Kang Zusi dan kalau sewaktu-waktu kau telah menjatuhkan pilihanmu kepada seorang puteri,
katakan saja kepadaku. Akulah yang akan mendapatkannya untukmu, baik dengan cara
halus maupun kasar ! "
Akan tetapi, tanpa menjawab Indrayana lalu menerima surat itu dan mundur.
Bagaikan terbang, ia ia berlari keluar dari keraton dan terus melakukan
perjalanan menuju ke tempat pertapaan Panembahan Bayumurti.
Setelah bayangan Indrayana lenyap dari hadapannya. Sang Prabu Pikatan menarik
napas panjang berulang-ulang dan berbisik seorang diri.
"Maafkan aku, dimas Indrayana. Aku tidak melihat jalan lain. Selain Candra Dewi,
siapakah lagi yang patut disembah oleh rakyatku " Tidak ada pilihan lain bagiku.
Biarlah kau dan aku berkorban perasaan demi kejayaan dan kebesaran nama
Mataram...... " Candra Dewi, anakku yang ayu, anakku yang manis. Mengapa dalam beberapa hari ini
kulihat engkau selalu bermuram durja " " demikian pertanyaan yang keluar dari
mulut Sang Panembahan Bayumurti kepada puteri tunggalnya yang duduk menundukkan
mukanya. Dara itu hanya memandang sekejap kepada ayahnya tannpa berani menentang pandang
mata ayahnya yang tajam menembus itu, lalu menunduk kembali.
"Tidak apa-apa, rama. Aku hanya merasa agak kesal dan sunyi. Rama, mengapa
engkau tidka mau pindah ke kota " Alangkah akan senangnya kalau kita tinggal di
ibu kota Mataram. " "Ayahnya tersenyum. " Baru sekarang aku mendengar bahwa engkau Koleksi Kang Zusi
merasa kesunyian di puncak bukit yang indah dan yang selamanya engkau suka ini.
Mengapa, nak " Adakah sesuatu yang membimbangkan hatimu "
Katakanlah terus terang kepada ayahmu ! "
Akan tetapi, gadis itu hanya menunduk dan menggelengkan kepala, dan tiba-tiba
mukanya menjadi kemerahan seakan-akan jawaban yang terkandung dalam hatinya
membuatnya merasa malu dan jawaban itu hanya terdengar yang manis itu tidak
kuasa mengucapkannya. "Candra Dewi, tak perlu kiranyanya kau menyembunyikan perasaan hatimu terhadap
ayahmu sendiri. Aku tahu bahwa engkau telah cukup dewasa, sudah tiba saatnya
untuk meladeni pria, menjadi isteri dan ibu yang bijaksana. "
Panembahan Bayumurti mengelus-elus jengotnya, lalu tersenyum-senyum dan
mengangguk-anggukkan kepalanya. " Candra, anakku, kurasa aku tidak mendahuli
kehendak Dewata dan juga tidak menduga keliru kalau kukatakan bahwa ahtimu telah
tertambat kapada jaka bagus Indrayana, bukan " "
"Ah, rama Panembahan ...... " sambil menahan-nahan senyum gadis itu menunduk makin
rendah dan jari-jari tangannya meremas-remas ujung kembennya.
"Candra, tak usah engkau ragu-ragu dan khawatir anakku yang manis. Aku sebagai
ayahmu dan juga kakang Wiku Dutaprayoga sebagai ayah Indrayana, sudah cukup
awasa dan mklum akan keadaan hatimu dan hati pemuda itu. Oleh karena itu, diam-
dieam ketika kami berdua mengunjungi Sang Panembahan Ekalaya dahulu itu, kami
telah berjanji untuk mengikat tali perjodohan antara engkau dan Indrayana ! "
Koleksi Kang Zusi "Ah, rama ...... "
"Ha-ha-ha, tidka senangkah hatimu, Candra " " panembahan itu tertawa dengan hati
penuh kebahagiaan itu tertawa dengan hati penuh kebahagiaan. " Betapapun juga,
perjanjian kami belum resmi, nakku. Belum diadakan upacara untuk itu, hanya
sebagai pembicaraan sambil lalu saja.
Sebelum mengambil keputusan, aku dan kakang Wiku akan bertanya kepada orang-
orang yang bersangkutan lebih dulu. Maka sekarang, jawablah, anakku. Maukah
engkau menjadi sisihan Raden Indrayana " "
"Rama ...... ! " Candra Dewi tak dapat menahan rasa girangnya dan juga tak dapat
menyembunyikan senyum bahagianya, akan tetapi ia merasa amat malu. Ia bangkit
berdiri dan sambil berkata, " Masabodoh rama panembahan sajalah ! " Ia lalu
berlari-lari ke belakang, keluar dari pintu belakang dan terus berlari ke dalam
hutan di belakang rumahnya !
Candra Dewi berlari ke sebuah tempat di mana banyak tumbuh pohon waringin yang
besar-besar. Pohon itu tumbuh sedemikian rapatnya sehingga daun-daunnya
merupakan atap dan tempat di bawah pohon-pohon itu tidak sampai basah kuyup
apabila hujan turun dan juga tidak terlalu panas apabila Sang Surya memanggang
jagat. Di sebelah kiri tempat teduh ini terdapat sebuah pondok kecil yang
dipergunaka oleh Panembahan Bayumurti sebagai sanggar pemujaan, tempat bermuja
samadhi, dan sebelah kanan dijadikan sebuah taman bunga oleh Candra Dewi. Tempat
ini selain indah, harum, juga bersih sekali karena setiap hari disapu dan
dibikin bersih oleh gadis itu, dijadikan tempat bermain, tempat membuat patung
dan juga melepas lelah setelah bekerja dan melayani keperluan ayahnay sehari-
hari. Candra Dewi masuk ketempat itu dan mengambil sebuah patung tanah yang dibuatnya
dan disembunyikan di balik semak-semak. Ia mengangkat Koleksi Kang Zusi
patung itu ketengah taman, kemudian duduk bersimpuh di depan patung yang tak
berapa besar itu. Dipandangnya patung itu sampai beberapa lamanya dengan mata mesra dan mulut
tersenyum kemudian diraihnya patung itu dan diusapinya pipi patung beberapa
kali. "Mengapa malah setahun lebih kau tidak datang mengunjungiku " Mengapa kau tidak
mengirim berita, tidka memberi kabar sedikitpun juga " Apakah kau sudah lupa
kepadaku, lupa kepada Dewimu " Apakah hatimu terpikat oleh sinar mata seorang
puetri di Mataram " "
Candra Dewi sama sekali tidak tahu bahwa semua perbuatannya itu diawasi oleh
pasang mata yang semenjak tadi mengintainya, tidak menyangka bahwa semua
ucapannya setengah berbisik itu didengarkan orang. Dan orang ini bukan lain
adalah Indrayana sendiri !
Sebagaimana telah dituturkan bagian depan pemuda ini dengan hati hancur
meninggalkan Kerajaan mataram, menjadi utusan Sang Prabu Pikatan dan membawa
surat lamaran raja itu untuk Candr Dewi kekasihnya.
Telah semenjak tadi ia tiba di lerang bukit tempat tinggal kekasihnya, akan
tetapi berat rasa hatinya untuk naik ke puncak dan menyerahkan surat lamaran
yang merupakan surat pembawa sengsara baginya itu. Ia bahkan lalu naik dari
belakang pondok Panembahan Bayumurti dan tiba di belakang rumah di mana terdapat
taman bunga Candra Dewi. Berkali-kali ia hendak melanjutkan perjalanannya
menjumpai Sang Panembahan, akan tetapi kedua kakinya mengigil dan terpaksa
berkali-kali ia menunda pula niatnya dan duduk di bawah sebatang pohon waringin
yangbesar. Kemudian ia melihat Candra Dewi berlari-lari memasuki taman di bawah
pohon waringin itu ! Koleksi Kang Zusi Berdebar-debar jantung Indrayana ketika melihat gadis itu dan ia cepat
menyembunyikan diri di belakang pohon. Naik sedu-sedan dari dadanay yang membuat
kerongkongannay tertutup dari sesak bernapas ketika ia menyaksikan betapa
kekasihnya itu nampak makin ayu dan denok. Dengan mata berlinang ia memandang
Candra Dewi mengagumi kecantikan dara itu, bekas kekasihnya yang tal lama lagi
akan menjasi permaisuri taja di Mataram !
"Dewi ......, kekasihku ...... " ratapnya di dalam hati, akan tetapi ia tidka keluar
dari tempat sembunyinya da hanay mengintai dengan dada berdebar. Ia melihat
betapa dara itu lari ke rumput alang-alang dan mengeluarkan duduk menghadapi
patung sambil bicara seorang diri.
Alangkah terkejut dan panas hati Indrayana ketika mendengar kata-kata yang
diucapkan oleh gadis itu kepada patung tadi. Ia memandang denagn penuh perhatian
dan telinga terasa panas. Telinganya terngiang-ngiang dan pelupuk matanya
menggigil. Tiba-tiba saja ia merasa amat cemburu terhadap patung itu. Memang
sungguh mengherankan keadaan pemuda ini.
Kalau tadinya ia hanya dapat bersedih mengingat berapa kekasihnya akan
diperistri oleh Sang Prabu Pikatan atau Raden Pancapana bekas sahabatnya, kini
tiba-tiba ia merasa cemburu dan marah melihat kekasihnya bercumbu rayu terhadap
sebuah patung ! Sesungguhnya, kalau saja hendak merampas gdis itu dari tangannya
bukan Sang Raja Pikatan, tentu ia akan malabrak perampas itu dan mengajaknya
bertanding mati-matian ! Ia memandang lagi dengan hati panas dan melihat betapa
Candra Dewi mendekap patung itu sambil berkata,
"Ah, kusuma hatiku, tidka tahukah kau betapa kau telah membuat hatiku sunyi dan
tak berarti semenjak kau meninggalkanku " Tidak tahukah kau betapa besar rindu
dendamku kepadamu " Sudah musnakah rasa cinta kasihmu terhadap Candra Dewi " "
Koleksi Kang Zusi Indrayana tak dapat menahan sabar lagi. Ingin ia merampas patung itu dan
membantingnya sampai hancur berkeping-keping ! Ia melompat dari tempat
persembunyiannya dan berdiri di depan Candra Dewi dengan kedua kaki terpentang
lebar dan kedua tangan bertolak pingang !
Candra Dewi terkejut dan mengangkat muka memandang. Sepasang matanya yang
seperti bintang pati itu membelalak lebar, mulutnay yang berbibir indah segar
itu ternganga, seakan-akan tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Tak terasa
lagi, patung yang dipegangnya terlepas terlepas dan patung itu rebah terletang
sedangkan gadis itu sendiri perlahan-lahan berdiri sambil berbisik berkali-kali.
"kau ...... " Kau ...... " Kangmas ...... " " "
Akan tetapi Indrayana tidak memandang kepadanya. Pemuda itu sedang tunduk,
memandang kepada patung tadi dengan mata terbelalak. Seperti belum maupercaya
kepada matanya sendiri, ia menggerakkan kedua tangannya mengambil patung
itumemandang wajah patung itu dengan penuh perhatian. Ternyata patung itu adalah
patung Indrayana sendiri ! Pemuda itu tiba-tiba membanting patung itu sampai
hancur lalu mendekapkan kedua tangannya di depan mukanya. Sepuluh jari tangannya
mengigil, kedua kakinya yang berdiri juga ikut mengigil sedangkan dari celah-
celah jari tangannya keluarlah butir-butir air mata !
"Dewi ...... Dewi ...... " terdengar keluhnya tercampur isak tertahan. Ia merasa seakan-
akan dadanya ditusuk oleh ribuan ujung keris berbisa.
Melihat kekasihnya demikian setia, tetap mencintainya sepenuh jiwa, kemudian
mengingat betapa ia tadi telah menyangka yang bukan-bukan !
Meyangka gadis sesuci ini berlaku serong mencinta orang lain ! Mengingat betapa
kekasihnya yang demikian setia dan memang mencintainya, akan dipersunting oleh
Sang Prabu Pikatan ! Ah, hancurlah hati Indrayana.
Koleksi Kang Zusi Sebaliknya, ketika Candra Dewi menyaksikan keadaan pemuda itu aia amat terheran-
heran dan juag gelisah. Terutama sekali ketika ia melihat air mata pemuda itu
megalir keluar keluar dari celah-celah jari tangannya.
Serentak gadis itu melompat maju dan memegang kedua lengan indrayana,
membetotnay dengan keras sehingga Indrayana melepaskan tangannya dari depan
mata. Pemuda itu memeramkan kedua matanya, hidungnya berkembang kempis menahan
dorongan isak yang menaik dari dalam dada, mulutnya terengah menahan hawa
perasaan yang bergolak. "Kakangmas Indrayana ...... kau kenapa ?" " Candra Dewi bertanya sambil mempererat
pegangan tangan pada lengan pemuda itu.
Mendengar suara ini sadarlah Indrayana daripada keadaannya. Ia membuak kedua
matanya melalui jari-jarinya ia emmandang kepada wajah gadis itu. Melihat betapa
sinar mata gadis itu dengan sayu dan mesra menatapi wajahnya, Indrayana
menggeleng-geleng dengan kepala dengan keras untuk menahan hasrat hatinya yang
ingin memeluk dan mendekap kepala kekasihnya itu ke dadanya, Ia bahkan segera
menarik kembali kedua tangannya sehingga terlepas dari pegangan Candra Dewi,
"Kakangmas Indrayana ...... mengapakah " Apa yang terjadi " " gadis itu mendesak dan
kini iapun menjadi pucat karena menduga bahwa pasti terjadi sesuatu yang amat
hebat sehingga pemuda peujaan hatinya itu bersikap sedemikian rupa.
"Tidak ..... tidak ...... jeng Dewi ...... jangan kau menyentuh aku ...... jangan. "
Akan tetapi Candra Dewi bahkan menubruk maju dan memeluk pinggang pemuda itu,
menjatuhkan mukanya pada ada Indrayana sambil menangis.
Koleksi Kang Zusi "Kangmas Indrayana ...... agaknya kau telah membenci aku ...... agaknya kau telah lupa
kepadaku ...... Gusti Yang Maha Agung ...... benar-benarkah kau telah terpikat oleh
seorang gadis lain di Mataram ...... " " Dara ini lalu menangis sehingga Indrayana
merasa betapa kulit dadanya menjadi basah dan hangat oleh air mata gadis itu.
Lupakan segala hal dan kedua lengannya yang kuat itu segera merangkul dan
memeluk kepala kekasihnya, didekapnay kuat-kuat ke dadanya.
"Dewi ...... Dewi ...... Dewata menjadi saksi bahwa kaulah satu-satunya wanita di
mayapada ini yang menjadi pujaan kalbu dan kesuma hatiku ...... "
"Kangmas Indrayana ...... " bisik Candra Dewi dan terisaklah gadis ini karena
terharu dan girang. Untuk beberapa lamanya, sepasang teruna remaja ini diam tak
bergerak, tenggelam dalam ayunan perasaan masing-masing. Akan tetapi Indrayana
sadar kembali dan segera melepaskan rangkulnya, lalu melangkah mundur sambil
menggeleng-geleng kepalanya.
"Kangmas Indrayana ...... ! " Candra Dewi mengembangkan kedua lengannya dan
memandang heran. Jeng Dewi, jangan ...... jangan kau mendekati aku ! Ketahuilah bahwa aku
...... aku tak berhak menyentumu, aku tak berhak memandangmu ...... bahkan
...... bahkan aku seharusnya berlutut menyembahmu sebagai junjungan ......
sebagai ...... sebagai Maha Puteri Mataram ...... "
"Eh-eh, kau kenapakah, kakangmas Indrayana " Sungguh berobah sekali sikapmu.
Apakah yang telah terjadi " Katakanlah, aku bersedia menerima pukulan yang
bagaimana beratpun, katakanlah."
Koleksi Kang Zusi "Diajeng ...... aku ...... aku datang sebagai utusan Sang Prabu Pikatan dari Mataram ! "
Wajah Candra Dewi berseri. " Apakah buruknay hal itu " Tentu yang kau maksudkan
dengan Sang Prabu Pikatan itu adalah Raden Pancapana, bukan
" Ah, kau tentu akan menjadi patihnya ! Bagaimanakah keadaan Sang Prabu
" " Melihat kegembiraan Candra Dewi mengenangkan Raden Pancapana yang hampir seperti
kakak kandungnya sendiri itu, Indrayana menarik napas panjang. " Ah, kau tidka
tahu, Dewi ...... " keluhnya di dalam hati, " kau tidak tahu ...... "
"Jeng Dewi, memang kakangmas Pancapana yang mengutusku ke sini, untuk
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyerahkan sepucuk surat kepada paman panembahan. "
"Rama panembahan berada di dalam pondoknya, akan tetapi, kau masih belum
menceritakan apa yang menjadikan kau bersikap seperti itu. Kau nampak berduka
sekali, ada apakah " Apakah hubungannya penyerahan surat ini dengan kedukaanmu "
" "Dengarlah baik-baik, jeng Dewi, surat ini ...... maksudnay tidak lain bahwa Sang
Prabu Pikatan dari Mataram meminang engkau untuk menjadi permaisuri Kerajaan
Mataram ! " Lenyaplah semua warna muka merah dari Candra Dewi, sepasang matanya terbentang
lebar-lebar memandang kepada Indrayana.
Koleksi Kang Zusi "Tak mungkin Raden Pancapana mempunyai niat seperti itu ! Dia seperti kakakku
sendiri ...... ! Ah, tak mungkin ! "
Indrayana menunduk. " Bagaimanapun juga, memang demikianlah halnya.
Sang Prabu harus menaikah dan mencari seorang permaisuri, dan ......
menurut pandangannya ...... hanay engkaulah orangnya yang patut menjadi
permaisurinya, menjadi wanita termulia di Mataram !
"Tidak ...... tidak ...... aku tidak mau ! Ah, kakangmas Indrayana ......, bagaimanakah
engkau ini ...... " dan kau ...... justeru engkau yang melakukan tugas meminang ini ...... "
Apakah kita sudah gila " "
Melihat betapa kekasihnya berdiri dengan binggung dan wajah pucat, hampir saja
Indrayana tidka kuat menahan gelora hatinya, hendak menghiburnya ingin sekali ia
memeluk gadis itu, membisikkan kata-kata hiburan, menyenangkan hatinya,
mengatakan bahwa semua itu hanay kelakar belaka, bahwa tidak ada seorangpun di
dunia ini, dewatapun tidak, yang sanggup untukmemisahkan mereka, memutuskan
kasih sayang mereka. Akan tetapi, ia harus menarik napas berkali-kali dan menunduk saja.
"Kakangmas Indrayana ! Jawablah ! Mengapa engkau membiarkan saja hal ini terjadi
" Mengapa engkau tidka menentangnya, tidak mengajaknya bertanding, tidak
mengubur ujung karismu di dadanya " Mengapa " "
Indrayana mengangkat muka dan memandang tajam. " Tidak, jeng dewi, Sang Prabu
Pikatan adalah seorang raja besar di Mataram. Di dalam tangannyalah terletak
keselamatan, kejayaan dan kemuliaan Mataram.
Sesunggunya daripada ...... daripada ...... mengikuti aku yang bodoh dan hina.
Koleksi Kang Zusi Dan dalam pandanganku, tidak ada wanita yang lebih patut menjadi sesembahan
rakyat Mataram selain engkau ! "
Ucapan ini merupakan keris yang menusuk jantung Candra Dewi. Ia memeramkan kedua
matanya, keningnay berkerut dan giginya megigit bibir.
Tak sebutirpun air mata mengalir turun dari matanya, akan tetapi tubuhnya
seakan-akan telah ditinggalkan sukmanya sehingga tiada daya sama sekali.
Akhirnya ia terhuyung-huyung dan tentu ia sudah roboh kalau tidak Indrayana
cepat melompat dan memeluknya.
Aduh, jeng Dewi ..... jeng Dewi, kuatkanlah hatimu ...... " kata Indrayana dengan
terharu sekali. Untuk beebrapa lama Candra Dewi tak bergerak dalam pelukan
Indrayana, kemudian ia menangis tersedu-sedu.
"Kangmas Indrayana ...... mengapa terjadi hal begini ...... " Mengapa ...... "
aku lebih baik mati daripada harus mengalami derita sebesar ini ...... sampai hati
Raden Pancapana berbuat seperti ini an bagaimana pula engkau orangnya yang
menjadi utusannya untuk melamarku...... " "
"Tenanglah, jeng Dewi dan pikirkan baik-baik. Raden Pancapana yang dulu tisak
ada lagi, yang ada adalah Sang Prabu Pikatan yang mulia dan berkuasa atas kawula
Mataram. Kita tak dapat membantah kehendaknya dan anggaplah saja bahwa kita
tidak berjodoh, diajeng. Akan tetapi percayalah bahwa selama hidupku aku takkan
manikah dengan wanita lain dan bahwa cinta kasihku terhadapmu akan sama kekalnya
dengan sukmaku ! " Tiba-tiba Candra Dewi merenggutkan tubuhnya dari pelukan Indrayana dan kedua
matanya bersinar-sinar bagikan mengeluarkan api.
"Kangmas Indrayana ! kau sungguh mengecewakan hatiku ! Kau, seorang yang tadinya
kukira segagah-gagahnya orang, ksatriya yang kusangka Koleksi Kang Zusi
seorang raja ksatriya yang semulia-mulianya, ternyata hanay seorang pemuda yang
lemah ! Kau bukan seorang kawula Mataram, kau seorang kawula Syailendra, mengapa
kau harus tunduk kepada Raja Maratam "
Sudah terang bahwa Raden Pancapana telah berlaku khianat terhadap kawan dan adik
angkatnya sendiri, mengapa kau diam dan mengalah saja "
Aku akan seribu kali lebih senang melihat kau tewas dalam usahamu menentang
kehendak Sang Prabu Pikatan yang kurang patut ini untuk membelaku, dari pada
melihat kau berlemah hati dan mengalah serta mengorbankan aku ! Kalau kau tidak
berani, biarlah aku sendiri yang akan menentangnya ! Awas kau, Pancapana, jangan
kau kira bahwa aku Candra Dewi selemah Indrayana ! Awas dan tunggulah datangnya
pembalasanku ! " Setelah berkata demikian Candra Dewi melompat dan lari pergi dari situ.
Indrayana hendak mengejar, akan tetapi ia mengehal napas dan merasa bahwa untuk
saat ini lebih baik menjauhkan diri dari gadis itu. Ia lalu pergi menuju ke
pondok tempat tinggal Panembahan Bayumurti.
"Selamat datang, Raden Indrayana ! " tegur sang panembahan dengan gembira. "
Duduklah ! " Indrayana berusaha untuk menekan penderitaan hatinya, duduk memberi hormat,
bersila dengan spontannya lalu berkata.
"Maafkan saya, paman panembahan, kalau kedatangan saya ini menaggangu. "
"Ah, tidak sama sekali Raden. Apakah selama ini aku sehat-sehat saja " "
"Terima kasih paman panembahan, saya sehat dan selamat, karena doa Koleksi Kang
Zusi restu paman. Tak lain saya menghaturkan sembah bakti kepada paman panembahan,
juga saya membawa sambah bakti dari Sang Prabu Pikatan untuk disampaikan kepada
paman panembahan. " Panembahan Bayumurti tertawa girang. " Ya, ya, aku sudah mendengar tetang
kemajuan Mataram dalam bimbingan Raden Pancapana. Sukurlah, saat ini telah lama
kunanti-nanti. Adakah kau datang berkunjung untuk menengok saja ataukah ada
keperluan khusus yang lain, Raden " "
"Pertama-tama saya datang untuk menengok keadaan paman panembahan yang etlah
lama berpisah dan kedua kalinya, sebenarnya saya datang membawa perintah dari
Sang Prabu Pikatan untuk menghaturkan sebuah suratnya kepada paman panembahan.
Inilah surat itu, paman. " Sambil berkata demikian, Indrayana lalu mengeluarkan
surat dari Sang Prabu Pikatan itu dan menyerahkan kepada Sang Panembahan
Bayumurti. Pertapa, itu mengeluarkan tanagn menerima surat itu lalu membuka
kemudian membacanya. Indrayana hanay duduk bersila sambil menundukkan mukanya, maka ia tidka melihat
betapa itu memandangany dengan tajam sehabis membaca surat, kemudian ia
mendengar pendeta itu menarik napas panjang berkali-kali.
Jagad Dewa Batara ...... kehendak Dewata pasti terjadi ! Apakah yang dapat
dilaklukan seorang manusia yang menjalankan dharma hidup di mayapada tanpa
dikehendakinya " Raden Indrayana, anakku, kau tentu sudah maklum akan isi surat
ini, bukan ?" Indrayana mengangguk diam. " Kau sudah maklum bahwa Sang Prabu Pikatan meminang
adikmu Candra untuk diangkat menjadi permaisuri di Kerajaan Mataram " " Kembali
Indrayana mengangguk diam Koleksi Kang Zusi
Terdengar lagi pertapa itu menghela napas, " Aku tak akan menyalahkan Sang Prabu
Pikatan. Ia hanya hendak menjaga nama dan sekalian juga memuliakan nama Candr
Dewi dan aku sebagai ayahnya. Akan tetapi ia lupa akan kata-kataku dahulu, lupa
akan tugasnya mempersatukan Kerajaan Mataram Dan Syailendra, lupa akan tugasnya
mempererat ikatan batin antara Agama Hindu dan Buddha. " Kembali ia menarik
napas, " Memang, segala kemuliaan dan kebaikan selalu harus ditebus oelh
pengorbanan dari manusia-manusia mulia ! Raden Indrayana, aku orang tua yang
dapat mengibur kepadamu yang kutahu sedang menderita tekanan batin ! "
Indrayana terkejut dan mengangkat muka memandang dengan heran akan tetapi segera
menundukkan kepalanya lagi ketika melihat betapa sinar mata pendeta itu betul-
betul menyatakan bahwa pertalian cinta kasih antara dia dan Candra Dewi buakn
merupakan rahasia lagi bagi orang tua itu.
"Hanya sedikit peringantanku kepadamu Raden, yang patut kau jadikan obor ntuk
menerangi kegelapan pikiranmu. Manusia hanay menjadi pelaku yang dapat berlaku
menurut kehendak sendiri. Tak seorangpun manusia terlahir dan mati atas kehendak
sendiri, namun sekali kelahiran dan kematian menyeretnya, iapun takkan dapat
menolak atau membantah ! Liku-liku hidup telah terbentang di depan kita, dan kita harus ebrjalan di atas
lorong yang lebar, apakah kita suka atau tidak ! Oleh karena itu, senjata yang
paling ampuh hanyalah kesabaran dan ketenganan. Tenang dan sabarlah dalam
menghadapi apapun juag yang terjadi dan menimpa padamu, karena tanpa dua senjata
ini, kau akan mudah tergelincir dan tersesat.
Sekian, Raden, sedikit nasehat untuk bekal kau pulang ke Syailendra ! "
Kembali Indrayana terkejut karena tak disangkanya bahwa pendeta ini demikian
waspada sehingga tahu pula bahwa ia mengambil keputusan hendak pulang ke
Syailendra. Ia menyembah dengan hormat lalu berkata.
"Terima kasih banyak, paman Panembahan. Mudah-mudahan saja saya yng bodoh ini
dapat selalu mengingat akan nasehat dan petuah paman yang amat mulia. Karena
tugas saya hanay menyampikan surat, maka setelah Koleksi Kang Zusi
tugas ini selasai, perkenankanlah saya meneruskan perjalanan saya ke Syailendra.
" "Baiklah, " pendeta itu menghela napas, " semoga para dewata melindungi
perjalananmu. " Dengan hati kosong dan semangat lemah, Indrayana meninggalkan bukit itu dan
berjalan cepat sekali menuju ke syailendra. Di dalam hatinya, ia hanya dapat
berdoa semoga Candra Dewi akan hidup bahagia dengan Sang Prabu Pikatan, dan ia
mengobati jantungnya yang terluka dan berdarah itu dengan pikiran bahwa ia akan
bertapa dan menjadi pendeta seperti ayahnya.
Ayahnya merasa terharu melihat keadaan puteranya yang kurus dan pucat. Ketika
mendengar bahwa Sang Prabu Pikatan meminang Candra Dewi, diam-diam Wiku
Dutaprayoga maklum pula akan luka di hati pueteranya, maka ia taidak banyak
bertanya. Kedua ayah dan anak ini allu tinggal di atas bukit ebelah batar Sungai
Praga di mana mereka hidup sebagai petani sambil bertapa dan kadang-kadang
membuat senjata keris yang dipesan oleh para perwira Kerajaan Syailendra.
Walaupun kini tidak menjadi ahli Dutaprayoga masih tetap setia dan selalu
mengerjakan perintah Sang Prabu Samaratungga apabila Raja ini membutuhkan
senjata yang baik. Kalau Kerajaan Mataram di bawah perintah Sang Prabu Pikatan makin lama makin
jaya dan makmur, sebaliknya Kerajaan Syailendra makin lemah dan surut,
sungguhpun Agama Buddha yang dikembangkan oleh kerajaan ini makin luas dan makin
banyak pengikutnya. Diam-diam Sang Maha Samaratungga merasa kagum akan kepandaian Sang Prabu
Pikatan, karena di dalam waktu singkat saja Mataram telah bangun Koleksi Kang
Zusi kembali, bahkan kini menjadi makin jaya, sehingga sebagian besar wilayah yang
dahulu dirampas oleh para raja kecil, kini telah kembali. Anyak raja-raja kecil
kini takluk tanpa diserang lagi dan kejayaan Mataram makin bersinar sampai di
daerah Syailendra ! Syailendra pada waktu itu mengalami dua hal yang amat mengelisahkan pikiran Sang
Maha Raja Samaratungga. Pertama-tama karena danay gangguan dari gerombolan
Srigala Hitam di bawah pimpinan Siddha Kalagana, pendeta yang sakti mandraguna,
penyembah Sang Batari Durga itu. Pendeta itu kini makin besar kekuasannya, makin
berani melakukan penggaran di wilayah kerajaan lain. Bahkan kini Siddha Kalagana
telah mengangkat diri senidri menjadi seorang raja dengan gelar masih tetap Sang
Maha aja Siddha Kalagana dan kerajaannya disebut Kerajaan Durgaloka !
Hal kedua yang memusingkan Sang Prabu Samaratungga adalah puteri Pramodawardani.
Telah banyak pengeran dan raja yang datang mengajukan pinangan, akan tetapi
selalu Sang Puteri menolak. Hal ini amat mengelisahkan hari Sang Prabu
Samaratungga, oleh karena pinangan datanganay dari banyak fihak dan kalau selalu
ditolaknya, maka hal ini akan membuat sakit hati para pangeran itu dan
menimbulkan permusuhan. Pada suatu hari, rombongan perahu layar yang besar-besar dan mewah berlabuh dan
merapat di pantai Laut Jawa Rombongan ini ternyata adalah perahu-perahu dari
Kerajaan Sriwijaya di seberang, dan setelah para penumpangnya mendarat, ternyata
bahwa mereka adalah utusan dari Kerajaan Sriwijaya yang datang melamar Puteri
Pramodawardani. Menerma pinagan ini, Sang Maha Raja Samaratungga menjadi girang sekali, oleh
karena pinangan ini dianggap yang paling berharga dan mulia bagi puterinya.
Pangeran manakah yang datang melebihi pangeran dari kerajaan yang juga beragama
Buddha ini " Setelah menerima para utusan itu diberi tempat yang layak segera
Sang Prabu memanggil peuterinya Koleksi Kang Zusi
menghadap Raja, permaisuri dan puteri mereka itu lalu mengadakan pertemuan di
dalam istana. "Pramodawardani, puteriku yang tercinta, " kata Sang Prabu Samaratungga dengan
suara halus, "Ketahuilah bahwa hari ini datang warta yang amat menggirangkan dan
membanggakan hatiku. Sudah sepatutnya pula kaumerasa bangga pula karena warta
ini sesungguhnya merupakan penghormatan besar bagimu. "
"Hamba ikut merasa gembira mendengar bahwa ramanda prabu menerima warta girang.
Berita apakah gerangan yang mendatangkan kebanggaan itu, rama " " tanya
Pramodawardani sambil memandang kepada ayahnya dengan sepasang matanya yang
indah dan bening. "Baru saja ku menerima utusan dari Kerajaan Sriwijaya yang besar di seberang,
dan utusan itu membawa tugas dari Kerajaan Sriwijaya untuk meminangmu, anakku.
Kau akan menjadi permaisuri dari kerajaan yang besar dan jaya ! Nama Syailendra
akan menjadi lebih besar dan terhormat karenanya. Maka, bergiranglah kau, anakku
! " Akan tetapi, sang puteri yang cantik jelita itu tidak menjadi girang sebagaimana
yang diharapkan oleh ayahnya, sebaliknya bermenunglah ia dengan sepasang alis
yang hitam kecil dan panjang itu dikerutkan. Setelah agak lama, Sang Prabu
Samaratungga menegur puterinya,
"Pramodawardani, mengapa kau nampak tidak bergirang hati " Apakah kau tidka
merasa puas menjadi calon permaisuri kerajaan besar itu " "
"Ramanda prabu, mohon ampun apabila hamba mengecewakan hati Koleksi Kang Zusi
ramanda. Akan tetapi, terus terang saja hamba belum ada niat untuk meninggalkan
ramanda dan bunda ratu. Hamba ingin pergi dari istana ini, di mana hamba
dilahirkan dan dibesarkan. Kasihilah hamba, ramanda, jangan mengirim hamba ke
tanah yang sasing bagi hamba itu ! "
Merahlah wajah Sang Maha Raja Samaratungga mendengar ucapan puterinya ini. "
Pramodawardani ! Alasan-alasan usang yang kau ucapkan itu sudah membosankan
hatiku. Penolakan-penolakan atas pinangan banyak pangeran dan bangsawan masih
dapat kuterima oleh karena mengingat bahwa para peminang itu derajatnya masih
belum melebihi kita. Akan tetapi kau harus tahu bahwa peminang yang terakhir ini
adalah pangeran pati Sriwijaya ! Kau tak boleh selalu ebrkepala batu dan
membantah orang tuamu. Apakah selamanya kau takkan menikah " "
Ampun beribu ampun, ramanda ! Sesungguhnya, semenjak remaja puteri hamba telah
mempaunyai serta telah mempunyai menanam sebuah prasetia di dalam hati tentang
pernikahan hamba yaitu calon suami hamba haruslah seorang pemuda yang selain
berbudi mulia, berwatak ksatria, juga harus memiliki kepandaian dan sakti
mandraguna." Tiba-tiba Sang Prabu Samaratungga tertawa bergelak, kemudian berkata,
" Ha, ha , ha, tentu saja anakku ! Tentu saja ! Akupun tidak pastti suka
mempunyai seorang anak mantu yang berbudi rendah, yang lemah dan tidak memiliki
kepandaian. Jangan kau khawatir, anakku. Pangeran pati Sriwijaya memenuhi semua
syarat. Ia masih muda, gagah perkasa, dan bijaksana pula.
" "Akan tetapi hamba menghendaki bukti, ramanda. Hamba hanya mau menjalani tugas
pernikahan kalau calon suami hamba dapat membuktikan semua sifat-sifat yang
menjadi syarat itu. "
Koleksi Kang Zusi "Hm, jadi kau menghendaki agar suapaya diadakan sayembara untuk memilih calon
suami " " "Demikianlah yang menjadi prsetia hamba, ramanda prabu. "
Sang Maha Raja Samaratungga mengangguk-angguk lalu menarik napas sambil meraba-
raba kumisnya. " Akan tetapi, di dalam sayembara, semua orang boleh memasukinya,
Pramodawardani. Bagaimana nanti kalau pemenang sayembara itu seorang keturunan
biasa saja. " "
"Bagi hamba, lebih baik menjadi isteri seorang pemuda keturunan biasa yang
memenuhi idaman hati daripada menjadi isteri seorang raja besar yang tidak
memenuhi syarat ! " Setelah tertegun beberapa lama, Sang Prabu menggeleng-gelengkan kepala " Sungguh
berbahaya, anakku. Akan tetapi kalau sudah menjadi prasetiamu, tidak baik kalau
dilanggar. Biarlah Yang Maha Agung menetapkan pilihan untukmu. Aku hendak
mengadakan tiga macam sayembara. Pertama, peminangmu harusa apat menarik gendewa
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pusaka Dewandanu. Ke dua, ia harus dapat membersihkan hawa siluman yang
mengotori puncak Gunung Papak. Dan ke tiga, ia harus dapat bertanggung jawab dan
menyambut semua erangan dari mereka yang menyerbu karena pinangannya ditolak dan
harus membela Syailendra dari serangan musuh !
Sudah puaskah hatimu, Pramodawardani " "
Berserilah wajah puteri jelita itu. Kalau seorang ksatria muda dapat melakukan
tiga buah hal yang disebutkan oleh ayahnya itu, maka terlaksanalah cita-citanya
yaitu menjadi isteri seorang yang gagah perkasa dan sakti ! Ia hanya mengangguk
lalu menundukkan kepalanya, akan tetapi kemudian terdengar kata-katanya
perlahan. Koleksi Kang Zusi "Sudah cukup, ramanda, hanya saja, siapapun juga yang memenangkan sayembara,
harus pula melakukan sebuah syarat yang hamba tentukan sendiri kelak ! "
Ayahnya tersenyum. Ia maklum bahwa puterinya mempunyaai watak yang keras dan
tinggi hati, dan tentu saja sebagai seorang puteri mahkota, Pramodawardani ingin
" menghargai " diri sendiri setinggi mungkin. Akan tetapi, bagi seorang yang
telah dapat menyelesaikan tiga macam tugas berat di atas, syarat apa lagi yang
tak dapat dilakukan "
"Baiklah, anakku. Sekarang juga akan kuumumkan sayembara ini, sekalian dijadikan
jawaban untuk pinangan Pangeran Kerajaan Sriwijaya ! "
Setelah itu, Sang Maha Raja Samaratungga lalu bersiniwaka mengumpulkan semua
pembesar dan hulubalang dan memerintahkan agar mengumumkan sayembara segera
disebar luas. Juga para utusan dari Sriwijaya mendapat jawaban yang sama, yaitu
pinangan dari pangeran pati Sriwijaya hanay dapat diterima apabila ketiga syarat
sayembara itu terpenuhi. Utusan dari Sriwijaya itu dikepalai oleh dua orang
senopati Sriwijaya yang bernama Kalinggajaya dan Kalinggapati, dua orang kakak
beradik yang gagah perkasa. Sebagai utusan yan berbakti, mereka berdua sanggup
untuk mengerjakan dan memenuhi syarat sayembara itu atas nama pangeran pati.
Selain utusan dari Sriwijaya ini, banyak pula pangeran dan ksatria yang memasuki
sayembara. Hari yang baik untuk pembukaan sayembara itu dipilih dan kemudian
diumumkan. Di alun-alun telah dibangun sebuah panggung untuk Sang Prabu,
Permaisuri dan Puteri Mahkota.
Koleksi Kang Zusi Pada pagi hari dibukanya sayembara itu, rakyat berduyun-duyun datang ke alun-
alun, mengelilingi pagar prajurit yang menjaga alun-alun itu. Di tengah alun-
alun duduk bersila belasan laki-laki gagh perkasa belaka. Kepada mereka itulah
semua mata penonton ditujukan dan mereka menjadi pusat perhatian dan kekaguman.
Di depan para calon itu terdapat sebuah meja tinggi di mana gendewa pusaka
keraton, pusaka Dewandanu, diletakkan, terbungkus sutera kuning.
Gamelan keraton sengaja dikeluarkan dan ditabuh meramaikan suasana.
Baru saja Sang Maha Raja Samaratungga beserta permaisuri dan Sang Dyah Ayu
Pramodawardani telah keluar dari kedaton dan naik ke atas panggung itu, diiringi
oleh para nayaka dan hulubalang. Kini perhatian orang ditujukan kepada Sang
Puteri yang cantik jelita itu, yang berjalan menaiki tangga panggung dengan
gerakan tubuh yang lemah gemulai, kemudian duduk disebelah kanan ayahndanya
dengan sikap agung, bagaikan seorang bidadari surgaloka. Para pengawal dengan
tombak atau pedang di tangan berdiri berbaris di depan an bawah panggung,
menjaga keselamatan keluarga besar itu, sedangkan para pelayan yang juga cantik-
cantik itu segera menggerakkan kipas bulu merak dan menyediakan segala keperluan
keluarga agung itu, seperti minuman, buah-buahan dan lain-lain.
Gendewa pusaka Dewandanu bukanlah sebuah gendewa biasa, karena gendewa itu
adalah milik seorang pemberontak pada zaman pemerintahan raja wanita di Kerajaan
Keling, yaitu Ratu Sima. Pemberontak itu tinggi besar seperti raksasa bernama
Kala Dibya, sakti dan memiliki tenaga yang mengerikan. Akan tetapi pemberontak
ini akhirnya binasa di tangan seorang senapati Ratu Sima dan gendewa dari Kala
Dibya yang telah menewasakan banyak sekali senapati dan prajurit dari Kerajaan
Keling itu, masi tesimpan sebagai senjata yang dahsyat dan ampuh, yang bernama
puaka Dewandanu. Akhirnya senjata ini terjatuh ke dalam tangan Sang Maha Raja
Samaratungga dan dianggap sebagai pusaka keraton.
Sang Prabu Samaratungga memberi tanda dengan mengangkat tangan kanannya, maka
dimulailah sayembara itu. Seorang perwira kerajaan dengan penuh khidmat maju
memberi hormat kepada pusaka itu, lalu Koleksi Kang Zusi
membuka bungkusannya. Nampaklah sebuah gendewa yang sebesar lengan dan
panjangnya hampir dua depa, terbuat dari pada kayu yang kehitam-hitaman dan
mengkilap. Tali gendewanya berwarna putih dan kuat sekali karena tali ini
terbuat daripada otot baak.
Pada saat seorang calon hendak maju menempuh ujian pertama ini, tiba-tiba para
penonton di sebelah selatan terdengar ribut-ribut dan bergerak perlahan, memberi
jalan kepada kedua pemuda yang tampan dan gagah.
Tadinya orang-orang ini hendak marah melihat pemuda yangmendesak ke depan akan
tetapi setelah melihat betapa pemuda itu amat tampan an berpakaian mewah seperti
seorang raja, juga wajah pemuda itu bercahaya dan penuh keagungan, maka mereka
lalu mengundurkan diri dengan sikap menghormat sekali. Seruan terdengar dari
banayk mulut sebagai tanda kagum akan kegagahan dan ketampanan pemuda ini,
terutama sekali ketiak mereka melihat bahwa pemuda bangsawan ini mempunyai
belasan orang pegiring yang terdiri dari orang-orang bangsawan belaka.
Dengan tindakan kaki yang tenang dan tegap, pemuda ini menuju ke tengah alun-
alun, kemudian duduk di deretan belakang, bersila dengan gagahnya, sama sekali
tidak menyembah kepada Sang Prabu Samaratungga permaisuri dan puterinya yang
berada di atas panggung. Pramodawardani memandang dan sepasang matanya bercahaya penuh kekaguman. Di
dalam hatainya ia bertanya siapakah adanya pemuda yang tampan dan gagh itu, yang
tejanya bersinar gemilang. Juga Sang Prabu Samaratungga memandang dengan penuh
perhatian, karena raja ini dapat menduga bahwa pemuda itu tentu bukan orang
sembarangan. Akan tetapi ia merasa penasaran melihat betapa pemuda itu sama
sekali tidak mau memberi hormat dan menyembah ke arah penggung sebagaimaan
mestinya. Seorang penjaga yang melaihat sikap pemuda itu, segera melangkah maju hendak
menegur, akan tetapi ketika telah berdiri di depan pemuda itu dan bertemu
pandang ia terejut dan melangkah mundur. Bukan main hebatany Koleksi Kang Zusi
pengaruh pandang mata pemuda itu, mengandung perbawa yang luar biasa.
"Kau siapakah, Raden " Agaknya kau tidak tahu bahwa yang berada di atas panggung
itu adalah Sang Prabu sendiri bersama permaisuri. Kau harus memberi hormat
terlebih dahulu. " "Ponggawa, mundurlah kau. Seorang raja tidak memberi hormat kepada raja lain
kalau tidka bertemu muka. Lagipula, paman Prabu Samaratungga duduk di atas
panggung sedangkan aku berada di bawah. Kedatanganku untuk mengikuti sayembara,
bukan untuk menghadap Sang Prabu ! "
Ponggawa itu tertegun. Ucapan seperti itu hanay dapat dikeluarkan oleh seorang
raja ! Siapakah raja muda ini " Akan tetapi ia tidak berani banyak bertanya dan
lalu mundur, berdiri di tempat penjagaannya kembali, yaitu di bawah. Sementara
itu, pemuda itu lalu mengerling ke atas panggung.
Siapakah pemuda ini " Tentu mudah diterka, karena ia bukan lain ialah Sang Prabu
Pikatan atau pemuda Raden Pancapana yang tampan dan gagah !
ebagaimana diketahui di bagian depan, Sang Prabu atau Sang Raja Pikatan ini
mengutus Indrayana untuk meminang Candra Dewi puteri Penembahan Bayumurti, akan
tetapi beberapa hari kemudian ia menerima berita balasan dari Panembahan bahwa
Candra Dewi tidak mau menerima pinagannya, bahkan gadis itu telah melarikan diri
tanpa memberi tahu kepada ayahnya !
Mendengar ini, Sang Prabu Pikatan menghela napas dan ia tidak menjadi marah,
bahkan berkata perlahan "Candra Dewi, engkau sungguh setia. Aku tahu, penolakanmu ini tentu karena
cintakasihmu terhadap Indrayana ! " Raja muda ini mengira bahwa Candra Dewi
melarikan diri bersama Indrayana, maka ia tidka memikirkan lagi tentang gadis
itu, bahkan di dalam hatinya ia mendoakan kebahagiaan bagi Indrayana dan Candra
Dewi yang disayanginya itu.
Koleksi Kang Zusi Kemudian, Sang Rakai Pikatan itu mendengar tentang sayembara yang diadakan oleh
Kerajaan Syailendra. Tergeraklah hatinya, dan ia teringat akan cerita Indrayana
yang memuji-muji kecantikan Puteri Pramodawardani dari Syailendra. Kalau Candra
Dewi tidka suka menjadi sesembahan di Mataram, agakany yang patut menempati
kursi kedudukan permaisuri, selain Puteri Mahkota Pramodawardani dari
Syailendra, tidak ada orang lain lagi ! Kerajaan Syailendra terkenal sebagai
kerajaan besar dan juga nama Sang Prabu Samaratungga cukup terkenal. Tidak akan
memalukan apabila ia dapat berhasil memboyong Puteri Pramodawardani ke keraton
Mataram untuk dijadikan permaisurnya !
Akan tetapi, ketika ia berunding dengan senapati seph di Mataram, para senapati
itu menyatakan kesangsian mereka oleh karena Kerajaan Syailendra beragama
Buddha. "Kalau paduka mengajukan pinangan sebagai Raja Mataram, kemudian sampai ditolak
hanya karena alasan agama, bukankah itu meripakan tamparan besar bagi Kerajaan
Mataram " Sebagaimana paduak telah mengetahui, banayk terjadi kesalahfahaman
antara kawula Mataram dan kawula Syailendra karena agama maka janganlah sampai
kesalahfahaman ini menjalar kepada keraton kedua kerajaan. "
"Tidak demikian, paman senapati, " jawab Sang Raja Pikatan, " oleh karena
Kerajaan Syailendra telah mengadakan sayembara pilih menantu maka siapapun juga,
baik beragama Buddha atau lain, berhak untuk ikut memasuki sayembara, tidak
sebagai seorang raja besar yang datang meminang dengan membawa bala tentara,
melainkan sebagai seorang peserta dan aku harap akan pergi dengan beberapa orang
pengiring saja. " Akhirnya berangkatlah Sang rakai Pkatan diiringi oleh beberapa belas orang
prajurit saja. Koleksi Kang Zusi Ketika Sang Prabu Pikatan mengerling ke atas panggung dan bertemu pandang dengan
Puteri Pramodawardani, ia menjadi benggong dan tak dapat mengalihkan pandanagn
matanya dari atas panggung ! Kecantikan puteri itu jauh melampaui dugaannya,
jauh melampaui pujian-pujian Indrayana. Hatinay berdebar keras dan pada saat itu
juga ia merasa yakin bahwa inilah wanita idamananya dan ini pulalah wanita satu-
satunya yang benar-benar ia inginkan menjadi permaisurinya, bukan hanya untuk
pemantas atau demi keharuman nama kerajaannya akan tetapi oleh karena hatinya
membisikkan sesuatu yang aneh, yang membayangkan bahwa hanya dengan puteri
inilah hidupnya akan bahagia !
Sementara itu, Pramodawardani yang juga kebetulan sedang memandang kepada pemuda
gagah dan tampan itu, tak dapat lama-lama bertahan dan cepat-cepat menundukkan
mukanya yang berobah merah.
Sementara itu, sayembara telah dimulai. Seorang demi seorang maju dan mencoba
kekuatan mereka untuk menarik gendewa ampuh itu. Orang pertama adalah seorang
pangeran dari timur yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Pangeran itu
mengangkat dada, sengaja menanggalkan baju yang memperlihatkan dadanya yang
bidang dan membusung. Urat-uratnya melingkar-lingkar bagaikan ilar di seluruh
tubuhnya. Puteri Pramodawardani meramkan matanya. Ia tidak tahan untuk membayangkan
bagaimana kalau sampai pemuda raksasa ini berhasil memenangkan sayembara ! Diam-
diam ia menggigil penuh kegelian hati.
Ketika terdengar tepuk tanagn para penonton yang menyatakan kagum atas kehebatan
bentuk tubuh raksasa muda ini, Pramodawardani membuka matanya, Ia melihat betapa
pemuda bermuka hitam itu membungkuk, mengambil gendewa dari atas meja, memegang
batang gendewa dengan tanagn kiri, kemudian sambil tersenyum mengejek tangan
kanannya memegang tali gendewa, lalu dipentangnya. Mula-mula ia menarik
perlahan-lahan, dan tali itu dapat dapat tertarik kedua ujungnya olehtali,
ternyata tarikan pemuda itu menjadi mogok karena tali gendewa itu kali ini sama
Koleksi Kang Zusi sekali tak dapat digerakkan. Ia mengerahkan tenaga dan mulai hilanglah senyum
ejekan yang tadi terbayang pada wajahnya yang hitam. Akan tetapi percuma,
gendewa itu benar-benar kuat dan masih lempeng, sama sekali tak dapat dipentang
sedikitpun juga. Ia mengerahkan tenagan sambil menahan napas, mukanay makin
menghitam, urat-urat kedua tangannya tersembul makin besar, peluh sebesar kacang
hijau memenuhi jidatnya, namun percuma belaka. Beberapa kali ia memandang
gendewa itu denagn penasaran dan heran, mengganti pegangan batang dengan tangan
kanan dan menarik tali dengan tanagn kiri, amun usahanay tetap sia-sia.
Kini sorak-sorai penaonton makin ramai, akan tetapi bukan merupakan pujian lagi,
melainan sorak menertawakan. Akhirnya pangeran timur ini saking malunya,
melemparkan gedewa itu di atas meja dan tanpa banayk cakap lagi lalu lari
meninggalkan lapangan itu ! Suara terkekeh-kekeh mengikutinya dari belakang.
Sang Puteri Pramodawardani menarik napas panjang dengan hati lega, akan tetapi
juga merasa kasian kepada pemuda raksasa itu.
Berturut-turut para calon itu mencoba tenaga mereka, akan tetapi gendewa pusaka
Dewanana itu benar-benar luar biasa sekali. Ada di antara para calon yang kuat
menarik busur itu sampai setengah lengkungan, kan tetapi tidak dapat sampai
busur itu membulat. Baru setengah tarikan telah dilepaskan lagi karena tidak
kuat dan kehabisan tenaga !
Orang-orang terakhir yang mengikuti sayembara itu adalah Kalinggajaya,
Kalinggapati dan Sang Rakai Pikatan. Para calon lain yang tidak dapat menarik
busur itu telah meningalkan lapangan sehingga kini hanya tinggal tiga orang itu
saja yang masih belum mengukur tenaga. Sang Prabu Samaratungga telah menjadi
gelisah dan kecewa sekali, harapannya untuk memilih mantu menipis. Baru syarat
pertama saja sudah sedemikian mengecewakan, belasan orang ksatria pilihan tak
mampu menarik busur itu. Koleksi Kang Zusi "Ah, anak muda sekarang tiada gunanya ! " katanya perlahan akan tetapi cukup
keras sehingga terdengar oleh Pramodawarani yang duduk di sebelahnya. " " aku
biarpun sudah tua, masih sanggup menarik Dewandanu itu sampai bulat. Apakah
benar-benar tiak ada orang gagah lagi di dunia ini
" " Akan tetapi, pada saat itu Kalinggapati adik Kalinggajaya, utusan dari Sriwijaya
itu tampil ke muka. Sebelum melakukan percobaan tenaganya, ia menyembah lebih
dulu k earah panggung, kemudian ia menghampiri gendewa itu dengan wajah tenang.
Sang Prabu menahan napas dan berbisik kepada permaisurinya,
"Kudoakan semoga utusan-utusan dari Sriwijaya itu akan berhasil ! "
Permaisurinya setuju dengan pendirian suaminya ini dan diam-diam ikut pula
mendoa, akan tetapi Puteri Pramodawardani berpikir lain. Diam-diam puteri juita
ini berdoa semoga ksatria bagus itulah yang akan berhasil san keluar sebagai
pemenang sayembara ! Betapapun tinggi pujian ramandanya akan kegagahan dan
kebijaksanaan pangeran pati di Sriwijaya, akan tetapi ia belum menyaksikan
dengan kedua mata sendiri, sedangkan ksatria yang tidak diketahui siapa orangnya
itu sudah dilihatnya sendiri dan hatinya berdebat apabila ia melirik ke arah
ksatria itu. Kalinggapati berdiri menghadapi busur Dewandanu dan mulutnya berkemik membaca
menteranya kemudian ia menggerakkan tenaga dan kesaktiannya, mengambil busur itu
dan menarik tali gendewa. Nampakbetapa mukanay menjadi merah dan dahinya
berpeluh, akan tetapi ia berhasil menarik tali gendewa sampai melengkung !
Sorak-sorai menyambut menyambut hasil ini dan kalinggapati lalu menaruh kembali
gendewa itu di atas meja, menyembah ke arah meja dan " mundur kembali ", duduk
di dekat kakaknya sambil memeramkan mata mengatur napas yang terengah-engah
Gendewa itu terlampau berat sehingga ia harus mengerahkan seluruh tenaganya.
Koleksi Kang Zusi Kini kalinggajaya maju. Seperti adiknya tadi, ia menyembah kepada Sang Prabu
Samaratungga, kemudian iapun mengerahkan aji kesaktiannya, menarik tali gendewa
yang segera melengkung. Tidka ada peluh memenuhi dahinya, hanay wajahnay saja
menjadi merah dan urat lehernya mengembung, tanda bahwa ia mengerahkan tenaga
dan mudah di lihat bahwa Kalinggajaya lebih sakti dan lebih kuat daripada
adiknya. Kembali sorak-sorai riuh rendah menyambut kegagahan ini.
Bukan main girangnya Sang Prabu Samaratungga dan permaisurinya menyaksikan hasil
yang diperoleh utusan-utusan Sriwijaya.
Sorak-sorai sebagai sambutan atas kegagahan kedua orang utusan Sriwijaya tadi
masih riuh ketika Sang Sakai Pikatan berdiri dari tempat duduk, mengampiri meja
itu dengan langkah seorang bambang yang lemah lembut dan tenang. Berbeda dengan
kedua orang utusan tadi ia tidak menyembah ke arah panggung, hanya membungkuk
sedikit sebagai tanda penghormatan, kemudian ia menghampiri gendewa itu. Para
penonton diam kembali, kini memperhatikan ksatria yang tampan dan halus itu.
Orang yang begitu lemah lembut, mana dapat menarik gendewa pusaka
Dewandanu ?"terdengar orang berkata.
Puteri Pramodawardani juga mendengar ucapan itu dan ia menjadi gelisah.
Ketengannya dapat dilihat jelas karena ia duduk sambil membungkukkan tubuh
depan, memandang denagn kedua mata tak berkedip. Sang Prabu Samaratungga dan
permaisurinya sebagai orang tua dara jelita itu, tentu saja melihat keadaan
puterinya ini, maka mereka saling pandang denagn penuh pengertian, kemudian
mereka menundukkan pandangan mata ke bawah panggung pula.
Koleksi Kang Zusi Sang Rakai Pikatan menunduk dan mencium gendewa itu, bibirnay bergerak dan
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tersenyum. Kemudian dengan gerakan tenang dan lemah lembut ia mengambil gendewa
itu dengan tanagn kiri, mengangkatnya ke tas kepalanya, memegang tali gendewa
denagn tanagn kanan di belakang terpentang lebar, tubuhnya agak cendong ke
belakang dengan pundak kanan merendah, muka mengadah memandang angkasa, mukanya
yang tampan tersenym manis, kemudian tanagn kanannay menarik tali gendewa denagn
amat mudahnya, seakan-akan busur itu hanya terbuah dari pada lidi aren dan tali
gendewanya dari kulit pohon pisang. Busur itu melengkung sampai menjadi bulat
dan ketika tali gendewa dilepaskan, terdengar bunyi
" sing !! " karena tali gendewa itu menggetar keras. Biarpun gendewa itu tidak
dipasangi anak panah, akan tetapi getaran tali gendawa mendatangkan sinar
seakan-akan ada anak panah yang melesat ke cakrawala !
Bukan main hebatnya sambutan penonton atas hasil gemilang ini. Gegap-gempita
bunyi tepuk tangan dan sorak-sorai, jauh mengalahkan sambutan-sambutan yang
tadi. Sang Prabu Samaratungga dan permaisurinya menahan napas karena merekapun
tertegun melihat kesaktian anak muda itu, dan ketika melihat betapa puterinya
itu telah berdiri dari tempat duduknya dengan kedua tangan saling peluk,
meremas-remas jari ! "Pramodawardani ......! " terdengar permaisuri menegur dengan bisikan.
Pramodawardani baru sadar ketika mendengar teguran ini, ia menengok ke arah
kedua orang tuanya, kemudian duduk kembali dan menundukkan mukanya yang
kemerahan. Akan tetapi, pada saat itu, terjaid kegemparan baru di kalangan penonton.
Dua orang telah melompat masuk dalam kalangan, seorang dari utara dan seorang
dari selatan. Orang yang masuk dari utara adalah seorang pemuda Koleksi Kang
Zusi tampan dan gagah, sama tampan, sama halus dan sama gagah jika dibandingkan
dengan Sang Rakai Pikatan. Pemuda ini lagsung menuju ke tempat ketiga calon yang
berhasil itu duduk lalu menjatuhkan diri bersila dan menyembah ke tas panggung
dengan penuh khidmat. Ketika Pramodawardani memandang, kedua matanya terbelalak. Ia mengenal pemuda
itu yang bukan lain adalah Raden Indrayana, pemuda "
kurang ajar " yang dulu berani membuka tirainya ketika ia bersama ayahnya
menjunjung pembukaan Candi Lokesywara ! Juga Sang Prabu Samaratungga mengerutkan
alisnya. Sungguhpun pemuda itu cukup gagh dan tampan, akan tetapi ia hanya
keturunan seorang wiku dan pernah melakukan pelanggaran. Namun, apakah hendak
dikata, setiap orang boleh saja mengikuti sayembara. Yang lebih mengejutkan hati
Sang Prabu adalah kedua yang masuk ke dalam kalangan selatan.
Orang ini adalah seorang pertapa tua yang amat menyeramkan. Kulit mukanya hitam
gelap dan mukanya menunjukkan bahwa ia adalah seorang Hindu. Keningnya tinggi,
matanya amat dalam, dipayungi oleh sepasang alis yang panjang dan tebal.
Hidungnya panjang, mulutnya tipis. Telinganya oanjang dan lebar, dan kepalanya
terikat oleh pengikat kepala yang berwaarna putih dilibatkan beberapa kali di
atas kepalanya. Jenggotnya pendek dan kasar sekali bagaikan duk. Sang Prabu
Samaratungga tidak tahu siapakah orang ini dan apa perlunya masuk ke dalam
Pedang Guntur Biru 3 Pendekar Rajawali Sakti 159 Neraka Kematian Pedang Langit Dan Golok Naga 27
perampok kasar inipun masih setia. Hal ini menggugah semangatnya dan Pancapana
lalu berkata keras. Koleksi Kang Zusi "Sudahlah, tak perlu segala kelemahan hati ini! Sekarang bukan waktunya untuk
bertangis-tangisan! Mataram berada di ambang pintu mereka, di pinggir jurang
kehancuran! Siapa lagi kalau bukan kita anak-anak Mataram yang membangunya
kembali" Mataram sedang berada dalam bahaya, siapa lagi kalau bukan kita yang
harus menolongnya" Siapa diantara kalian yang mau ikut dengan aku, Pangeran
Pancapana, Putera Mahkota Mataram?"
Serentak semua mulut orang-orang di situ berseru hampir berbareng.
"Hamba ikut....!"
Pancapana girang sekali melihat hal ini dan ia lalu turun tangan bersama
Indrayana memberi pertolongan kepada mereka yang menderita luka memulihkan
kembali otot-otot yang keseleo, menyambung kembali tulang-tulang patah dan
membebaskan pengaruh keampuhan bekas pukulan mereka.
Setelah menolong mereka semua dan juga memulihkan kesehatan Surarudira, si
brengos ini lalu menceritakan keadaan Mataram yang masih terkurung oleh musuh
yang kuat, yakni Bupati Yudasena.
"Memang Bupati Yudasena amat tangguh dan sakti Gusti Pangeran Pancapana. akan
tetapi hamba belum pernah mencoba tenaganya. Jangan khawatir Gusti, kalau Gusti
kehendaki hamba akan sanggup menghadapi Yudasena! Kata Surarudira yang tabah
itu. "Berapa banyakkah pasukan Yudasena yang mengepung Mataram?"
Koleksi Kang Zusi "Menurut berita yang hamba dengar, sedikitnya ada selaksa orang!"
Kalau begitu, marilah kita cepat-cepat pergi ke Mataram mengumpulkan tenaga-
tenaga bantuan dari Rama Prabu dahulu, kemudian baru kita membantu Paman Prabu
Panamkaran! kata Pancapana. Semua bekas perampok itu menyatakan setuju.
"Akan tetapi, paman Surarudira, apakah benar-benar engkau dan kawan-kawanmu
sudah tetap hendak mengikut dan membantu" Dengan hati setia?"
"Hamba bersumpah, Gusti..."
"Ssst, tak perlu bersumpah. Hanya, harus kau ketahui bahwa aku dan dimas
Indrayana adalah orang-orang miskin. Bahkan sekarangpun kami merasa lapar karena
semenjak pagi belum makan. Apakah kalian sanggup menderita sengsara dalam
mengikuti perjalanan kami ke Mataram?"
Tiba-tiba Surarudira tertawa gelak-gelak. "Ha, ha, ha, ampun Gusti Pangeran.
Mengapa paduka berkata demikian" Jangankan baru haus dan lapar, biarpun harus
berkorban nyawa, hamba Surarudira dan kawan hamba yang empat puluh orang
jumlahnya ini akan bersedia mengikuti dan membela paduka, sesembahan semua
kawula Mataram!' "Bagus, paman Sura, kau benar-benar seorang panglima sejati. Hayo, kita
berangkat!" Koleksi Kang Zusi "Siap, Gusti!" Maka berangkatlah Pancapana dan Indrayana diiringi oleh Surarudira dan
pasukannya ketika mereka melewati dusun-dusun, Surarudira memperkenalkan
Pangeran Pancapana kepada penduduk dusun sehingga ramai orang menyambut Pangeran
Pati ini, menyambut dengan penuh penghormatan, penuh harapan bahwa pengeran akan
mendatangkan bahagia pada Mataram dan rakyatnya. Hidangan-hidangan dikeluarkan
orang tanpa diminta lagi.
Makin dekat dengan Mataram, makin banyaklah pengikut Pancapana.
Bahkan para panglima tua yang dahulu mengabdi kepada Sang Prabu Sanjaya lalu
datang membawa pasukan-pasukan mereka menggabungkan diri sehingga kini Pangeran
Pancapana mempunyai sebuah pasukan besar yang amat kuat, terdiri tidak kurang
dari setengah laksa orang.
Barisan besar ini masih berkembang lagi ketika dengan cepat bergerak ke ibu kota
Mataram yang masih terkepung oleh pasukan-pasukan Yudasena.
Sudah sembilan bulan lebih barisan-barisan Yudasena mengepung Dieng di mana
terletak pusat Kerajaan ataram. Mataram telah kehabisan senapati-senapatinya
karena semua orang yang maju menghadapi Yudasena terpukul kalah oleh Bupati yang
digdaya ini. Akan tetapi Yudasena masih ragu-ragu untuk menyerang naik ke atas,
karena kedudukan benteng Mataram masih amat kuat terjaga oleh sisa-sisa barisan
Mataram. Pernah Yudasena mencoba untuk menyerang naik, akan tetapi ia dan
berisannya disambut dengan anak-anak panah dan batu-batu yang datang melayang
dari atas bagaikan hujan lebat sehingga terpaksa mereka turun kembali,
mendirikan pesanggrahan di kaki bukit dan mengepung benteng Mataram.
Koleksi Kang Zusi Biarkan mereka mati kelaparan, akhirnya tentu menyerah kalah tanpa kita bersusah
payah. Ha ha ha! kata Yudasena kepada para senapatinya.
Seluruh penduduk dan kawula Mataram yang terkepung merasa gelisah.
Akan tetapi Sang Prabu Panamkaran sendiri masih saja enak-enak menghibur diri
dengan para selirnya, seakan-akan pengurungan itu tidak mengganggunya sedikitpun
juga. Padahal, sebetulnya di dalam hatinya, ia merasa amat gelisah dan khawatir.
akan tetapi, ia merasa yakin bahwa betapapun juga Yudasena takkan membunuhnya,
hanya akan merampas kedudukannya yang sudah tak diperdulikannya lagi itu. Oleh
karena itu, dalam saat terakhir dari kejayaaanya, mengapa bersusah hati" Lebih
baik bersenang-senang selagi
masih bisa. Sang Prabu Panamkara belum tua benar, akan tetapi tubuhnya sangat ringkih dan
lemah. dalam kekuatan penjagaan kerajaan, ia hanya mengandalkan dua senapati tua
yakni Senapati Bandudarma dan Bandupati, dua orang kakak beradik yang semenjak
pemerintah Prabu Sanjaya dahulu telah menjadi senapati di Mataram. Dua orang
senapati inilah yang dulu membanti Panamkaran untuk menduduki tahta kerajaan dan
mengejar-ngejar Pangeran Pati Pancapana. Bahkan mereka berdua telah menyerahkan
puteri-puteri mereka untuk menjadi selir dari raja itu agar mereka bisa
mendapatkan kedudukan yang tinggi. Memang benar, keduanya kini telah menjadi
panglima tertinggi, juga merangkap patih dalam.
Berkat pengalaman dan kepandaian kedua orang senapati tua inilah, maka sampai
sedemikian jauh Mataram masih dapat dipertahankan, oleh Senapati Bandudarma
serta adiknya, Bandupati yang juga mempertahankan benteng daripada serbuan
Yudasena. Koleksi Kang Zusi Sungguhpun Prabu Panamkara sama sekali tidak memusingkan pengepungan yang
diadakan oleh Yudasena itu, namun kedua senapatinya ini merasa amat gelisah.
Mereka mengandalkan kedudukan dan kemuliaan mereka kepada Sang Prabu Panamkara
saja. Kalau Mataram dikuasai oleh lain raja, tak mungkin mereka berdua akan
dapat mempertahankan kedudukan dan kemuliaannya. Maka mereka berlaku nekad dan
hendak membela Mataram dengan mati-matian. Bukan Mataram, bukan rakyatnya
ataupun kedudukan rajanya yang penting, akan tetapi kedudukan dan pangkat serta
kemuliaan mereka sendirilah yang mereka pertahankan mati-matian! Banyak di
antara para prajurit Mataram yang telah melarikan diri, dan hanya berkat
penghamburan uang dan hadiah belaka yang membuat sebagian besar masih bertahan
dan menjaga benteng itu. Hampir setiap hari terdengar suara seruan-seruan dan tantangan-tantangan dari
Yudasena, tantangan-tantangan yang disertai makian-makian pedas. Akan tetapi
pihak Mataram yang mengakui kelemahan sendiri dan hanya mengandalkan kedudukan
benteng yang amat kuat, tidak mau dan tidak berani melayani tantangan-tantangan
itu. Setelah Senapati Bandudarma roboh dan digotong dalam keadaan luka-luka,
kalah oleh Yudasena yang digdaya, siapa lagikah yang berani menghadapi bupati
itu" Pada suatu malam gelap gulita, seorang muda yang bertubuh tegap dan berwajah
tampan bergerak bagaikan seekor ular, menyelinap di antara pohon-pohon dan
tetumbuhan, berhasil melampaui penjagaan para barisan pengepung dan kemudian
bagaikan seekor kijang ia berlari cepat sekali mendaki bukit.
Beberapa orang penjaga di benteng Mataram ketika melihat berkelabatnya bayangan
hitam, lalu menyerang dengan anak panah, akan tetapi dengan mudah saja pemuda
itu menerkam anak panah tadi dengan tangannya sambil berseru
Koleksi Kang Zusi "Perajurit-perajurit Mataram, jangan salah sangka! Aku bukanlah musuh dan
kedatanganku membawa berita baik! Bawalah aku menghadap Sang Prabu!"
Pemuda ini bukan lain adalah Indrayana sendiri. Sebagaimana diketahui, Pancapana
berhasil mengumpulkan perajurit-perajurit yang dibantu oleh panglima-panglima
tua dan akhirnya pangeran ini sampai di perbatasan Mataram. Ia sengaja berhenti
di tempat yang agak jauh dari pesanggrahan Yudasena dan bala tentaranya, karena
sebelum menyerang dan membebaskan Mataram dari kepungan mereka, para panglima
tua hendak menyampaikan syarat dan tuntutan kepada Sang Prabu Panamkaran lebih
dahulu. Maka ditulislah surat oleh para panglima itu, ditandatangani oleh
sebelas orang panglima-panglima tua dari Mataram. Kemudian, mereka menemui
kesukaran dalam memilih siapa orangnya yang dapat mengantarkan surat itu kepada
Sang Prabu Panamkaran. Bukit dimana kerajaan itu terletak telah dikurung oleh barisan musuh, maka
bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah untuk menerobos penjagaan rumah itu dan
naik ke bukit. tak seorangpun diantara merek, sungguhpun banyak yang mengajukan
diri, dapat dipercaya akan berhasil melakukan tugas berat ini. Bahkan Surarudira
sendiri yang memaksa untuk membawa surat itu, tidak di perkenankan oleh
Pacapana. Akhirnya Indrayana maju dan tentu saja Pancapana setuju sekali, karena
ia yakin bahwa adik seperguruannya ini pasti akan sanggup melakukan pekerjaan
itu. Demikian, dengan gerakan-gerakannay yang amat gesit, Indrayana bergerak di malam
gelap itu akhirnya dapat juga mencapai puncak bukit dan berada di luar benteng.
Para penjaga setelah melihat dengan jelas bahwa pendatang itu hanya seorang
pemuda yang tiada berkawan, lalu membuka pintu benteng dan memperkenankan
Indrayana masuk ke dalam benteng.
Begitu ia melangkah masuk, setengah losin prajurit penjaga meyergapnya !
Koleksi Kang Zusi Empat menangkap kaki tangannya, seorang memeluk pinggangnya dan seorang lagi
memiting lehernya! Menyerahlah sebagai tawanan sebelum putus lehermu ! " seorang di antara mereka
mengancam. Bukan main mendongkolnya hati Indrayana menghadapi penyambutan yang tak
disangka-sangkanya ini. Ia mengerahkan tenaganya dan sekali ia menggoyang tubuh
dengan gerakan melempar, enam orang peyergapnya itu terpelanting ke kanan kiri
lalu jatuh bergulingan. Kurang ajar ! " bentak Indrayana. " Aku datang membawa berita pertolongan, akan
tetapi kalian menyambut dengan serangan ! Butakan mata kalian menyambut dengan
serangan ! Butakah mata kalian memaksakan dan menganggap aku sebagai musuh, hayo
majulah ! Jangan maju seorang dua orang, kerahkan seluruh barisanmu. Aku, Raden
Indrayana takkan mundur selagkahpun ! "
Pada penjaga terkejut menyaksikan kehebatan sepak terjang pemuda tampan ini,
apalagi ketika mendengar ucapannya yang gagah, mereka menjadi gentar. Seorang
kepala pasukan yang telah agak tua usianya lalu bertanya.
" Anak muda, kau datang pada malam gelap, tentu saja mencurigakan hati kami.
Sesungguhnya, engkau diutus oleh siapakah dan ada keperluan apa " "
Koleksi Kang Zusi " Nah, sedikitnya kalian harus bertanya dahulu sebelum turun tangan secara
sembrono dan serampangan ! " Indrayana menegur dengan gemas.
" Maafkan kami, anak muda, " kata penjaga kepala itu. Musuh telah berlalu
mendesak, sehingga anak buahku merasa kurang sabar dan gelisah. Sekali lagi,
siapakah yang mengutusmu naik ke sini " "
" Buka telinga kalian baik-baik ! Aku adalah Raden Indrayana, utusan dari
Pangeran Pancapana ! "
Semua prajurit yang mendengar nama ini menjadi pucat dan memandang dengan mata
terbelalak. " tak mungkin ...... Gusti Pangeran sudah meninggal dunia ketika masih
kecil ...... " " Memang demikian sangkaan orang ! " kata Indrayana. " Akan tetapi pada saat itu
Gusti Pangeran Pancapana, telah atang bersama para panglima Mataram tua yang
gagah berani, diikuti oleh barisan kawula Mataram yang setia dan yang hampir
selaksa orang jumlahnya ! "
Tiba-tiba bersoraklah semua orang mendengar ucapan ini dan dengan meriah mereka
menyambut Indrayana. Ribuan macam pertanyaan dihujankan kepada Indrayana, akan
tetapi pemuda ini berkata.
" Tidak ada gunanya semua pertanyaan itu dijawab. Kelak kalian akan tahu
sendiri. Sekarang lebih baik bawalah aku ke hadapan Sang Prabu Panamkaran. "
Koleksi Kang Zusi Penjaga kepala yang tua itu menggeleng kepala. " Tidak bisa, Raden Indrayana.
Tak mungkin menghadap Sang Prabu pada saat seperti ini. Tak seorangpun berani
mengganggu Gusti Prabu dari pada tidurnya. "
Menghadapi keadaan seperti ini, siapakah orangnya yang masih mementingkan urusan
tidur " " Indrayana berseru marah, akan tetapi penjaga itu dengan isarat
tangannya minta agar supaya pemuda ini bersabar.
" Orang lain boleh binggung dan gelisah sehingga lupa makan lupa tidur, akan
tetapi Sang Prabu tak boleh diganggu kalau sedang berada di kamar beserta semua
selir-selirnya! " Sambil berkata demikian sebelah mata penjaga itu dikejapkan kepada Indrayana.
Pemuda ini mengigit bibirnya dengan gemas sekali.
" Pantas saja Mataram menjadi lemah dan menghadapi keruntuhannya ! "
Ia menggumam, Kemudian ia berkata kepada penjaga kepala itu. " Kalau demikian,
biarlah besok pagi-pagi aku menghadap dan sekrang akupun hendak mengaso dan
jangan menggangu tidurku ! "
Penjaga itu lalu membawanya ke sebuah bilik di tempat penjagaan. Setelah
merebahkan dirinya di ats bale-bale, sebentar saja pulaslah Indrayana.
*** " Apa " " seru Patih Bandudarma dengan mata melotot memandang wajah Indrayana
penuh kecurigaan. " Pangeran Pancapana masih hidup " Tidak bohongkah kau, anak
muda " " Koleksi Kang Zusi Indrayana menantang pandang mata Bandudarma dengan sinar marah.
" Untuk apa aku membohong kepadamu " Aku datang sebagai utusan Pangeran
Pancapana, Putera Mahkota Mataram, juga utusan para senopati sepuh dari Mataram
untuk menyampaikan surat kehadapan Sang Prabu Panamkaran. Mengapa aku harus
membohong " Untuk apa " Lekas bawa kau menghadap Sang Prabu ! " Indrayana sudah
kehilangan sabarnya karena semenjak ia datang di Mataram, orang selalu
mencurigakannya dan menyambut tidak sebagaimana mestinya.
" Serahkan saja surat itu kepada kami. Sebagai patih dalam dan senapati Mataram,
kami hendak menerima surat itu mewakili Sang Prabu. "
" Tidak ! " jawab Indrayana tegas. " Harus tanganku sendiri yang menyerahkan
surat ini kepada Sang Prabu Panamkaran. Itu adalah tugasku.
Mengapakah kalian agaknya tidak rela membiarkan aku menghadap Sang Prabu " "
Bandudarma menyeringai. " Kami masih belum percaya penuh kepadamu, Indrayana.
Siapa tahu kalau-kalau kau adalah seorang pesuruh dari Yudasena yang datang
untuk membunuh Sang Prabu 1 "
Merahkan muka Indrayana mendengar ini. " kalau aku benar seorang pesuruh
Yudasena, yang kubunuh bukannya Sang Prabu, melainkan kalian berdualah yang
semenjak tadi tentu sudah menjadi makanan kerisku ! "
Koleksi Kang Zusi " Bangsat kurang ajar ! " seru andupati marah sekali. Tanpa memberi peringatan
terlebih dahulu, kepalan tangannya melayang ke arah kepala, Indrayana menangkap
lengan lawan yang memukul itu, membetot, mengayun dan melepaskan dan ......
melayanglah tubuh Bandupati keluar dari pendapat kepatihan itu, jatuh berdebuk
di atas tanah ! Indrayana berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangan bertolak
pinggang. " Patih Bandudarma ! " bentaknya dengan muka merah dan mata berapai, "
Bukan aku yang kurang ajar, akan tetapi kau dan adikmu itulah ! Kalian sebagai
patih yang sudah tua tentu maklum akan tata susila, maklum bagaimana harus
menyambut seorang utusan raja ! Kalian tidak menyambut aku sebagai mana
mestinya, bahkan berani menghina. Hayo, sekarang kau mau membawa aku menghadap
Sang Prabu, ataukah aku akan menghadap dengan kekerasan " "
Melihat kedigdayaan pemuda ini, Bandudarma menjadi gentar juga dan cepat ia
menghantarkan Indrayana menghadap Sang Prabu Panamkaran.
Bandudarma setelah sadar tadi, lalu mengikuti dari belakang tanpa banyak cakap
lagi. Seperti juga kedua orang patihnya, Sang Prabu Panamkaran merasa terkejut sekali
mendengar bahwa pemuda yang tampan itu adalah seorang utusan dari Pangeranpati
Pancapana. Akan tetapi ia tidak menyatakan sesuatu dan hanya menerima surat yang
di bawa oleh Indrayana dan membaca surat itu. Kedua tangannya gemetar dan
jantungnya berdebar keras ketika ia membaca surat itu, yang ditulis dengan
singkat oleh para panglima tua dari Mataram. Beginilah bunyi surat itu : Sang
Prabu Panamkaran.
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Koleksi Kang Zusi Kiranya tak perlu dijelskan lagi betapa buruk dan lemah keadaan Mataram semenjak
paduka menggantikan kedudukan mendiang Sang Prabu Sanjaya.
Pengepungan yang dilakukan oleh pemberontak Yudasena tentu akan menamatkan
riwayat Mataram apabila tidak segera dipukul hancur. Kami, sebelas orang
panglima-panglima dari Kerajaan Mataram yang pernah mengabdi dengan setia,kepada
mendiang Sang Prabu Sanjaya dan telah ikut pula membauat Mataram menjadi jaya
pada masa itu, telah berkumpul dan bertemu dengan Gusti Pangeran Pancapana,
putera mahkota yang berhak penuh menduduki singgasana Kerajaan Mataram.
Melihat bahaya mengancam mataram kami berpendapat perlu sekali untuk
menghancurkan musuh Mataram dengan syarat bahwa setelah pemberontak Yudasena
dapat kami hancurkan, paduka harus mengundurkan diri dengan baik dan memberikan
hak atas singgasana kepada Gusti Pangeran Pancapana. Kalau paduka menolak, kami
akan membiarkan saja pemberontak Yudasena merampas kedudukan paduka, kemuliaan
kamilah yang akan merampas pula singgasana Mataram dari tangan si pemberontak
Yudasena. Semua jawaban sapat dipercayakan kepada Raden Indrayana pembawa surat ini,
Tertanda : Sebelas orang Panglima sepuh Mataram
Setelah membaca surat itu, untuk beberapa lama Sang Prabu berdiam diri, tak
kuasa berkata-kata. Apakah dayanya " Daripada kerajan jatuh ke dalam tangan
Yudasena , lebih baik diserahlan secara baik kepada Pancapana yang berhak dan
masih terhitung keponakan sendiri. Dari Pancapana ia dapat mengharapkan
pengampunan dan mungkin kedudukan tinggi sebagai penasehat dan sebagainya.
Koleksi Kang Zusi Maka setelah berpikir-pikir, iaa lalu berkata.
" Raden Indrayana, katakanlah kepada keponakanku, Pangeran Pancapana itu bahwa
hatiku merasa amat terharu bahwa dalam keadaan terjepit ini, dia masih mau
membantuku mengusir musuh. Aaku sendiri tidak mempunyai putera, amaka siapa lagi
kalau bukan Pancapana yang menggantikan kedudukanku " Tentu saja singgasana akan
kuberikan kepada Pancapana, ini sudah emestinya. Nah, kataklanlah kepada para
senapati sepuh dan kepada Pangeran Pacapana agar supaya segera menghancurkan
Yudasena. Aku berjanji bahwa setelah ia berhasil mengusir musuh, aku akan
mengundurkan diri dan mengangkat dia sebagai Raja Mataram. "
Giranglah hati Indrayana. Kalau tadi ia masih bersikap angkuh terhadap Sang
Prabu Panamkaran, kini ia menyembah dengan khidmat, " Duhai, Sang Prabu, legalah
hati hamba mendengar kebijaksanaan paduka ini. Hamba percaya bahwa tidak saja
Gusti Pangeran akan merasa lega, juga para senopati dan prajurit Mataram tentu
akan memuji keputusan paduka ini.
Sekarang hamba mohon diri untuk menyampaikan warta menggirangkan ini kepada
Gusti Pangeran, harap saja paduka berhati-hati menjaga serangan-serangan musuh
dalam selimut, karena di dalam setiap kerusuhan selalu timbul penghianat-
penghianat. " Dengan kata-kata yang merupakan sindirian bagi kedua patih itu.
Indrayna mengundurkan diri dan kembali kepada Pangeran Pancapana, melalui
penjagaan musuh dengan agagh berani.
Berbeda dengan ketika berangkatnya, kini Indrayana tidka lagi bersembunyi-
sembunyi, bahkan menjagaan pasukan Yudasena dengan berani, dan berhasil
merobohkan dan menewaskan banyak musuh sebelum ia sampai di tempat pasukan
pangeran pancapana berkumpul.
Sementara itu ketika kedua patih Bandudarma dan Bandupati mendengar jawaban Sang
Prabu Panamkaran kepada Indrayana menjadi terkejut sekali. Mereka mengundurkan
diri dan berunding dengan cepat bersama para pembantu dan perwira lain yang
menjadi kaki tangan mereka. Setelah Koleksi Kang Zusi
mengadakan perundingan kilat mereka lalu mengutus seorang perwira untuk diam-
diam mendatangi kubu-kubu pertahanan musuh di bawah bukit, bertemu dengan Bupati
Yudasena. Perwira ini berhasil bertemu dengan Yudasena dan menyerahkan sepucuk
surat yang ditandatangani oleh Bandudarma dan Bandupati.
Yudasena menjadi amat terkejut dan juga girang setelah membaca surat itu. Di
dalam surat itu, ia diberitahu bahwa sepasukan benar balatentara yang dipimpin
oelh Pangeran Pancapana telah datang hendak membantu an menghancurkan pasukan
Yudasena, dan kedua patih itu menawarkan kerjasama yang baik. Karena pasukan-
pasukan Pangeran Pancapana itu dipimpin oleh senopati-senopati yang pandai dan
merupakan lawan berat, maka kedua patih yang menjadi penghianat itu mengusulkan
agar supaya Yudasena pura-pura kalah dan melarikan diri, menjaga sedapat mungkin
agar jangan sampai pasukan-pasukannya menjadi lelah karena pertempuran itu.
Jadi, dengan sengaja barisan-barisan Pangeran Pancapana itu dibiarkan naik ke
atas menduduki Kerajaan Mataram, kalau sudah tiba di depan benteng, perajurit
yang dipimpin oelh kedua patih itu akan menyerang dari dalam benteng dan pada
saat itu, barisan Yudasena harus esegera naik dan menggempur tentara Pangeran
Pancapana yang akan terjepit, digempur dari atas dan dari bawah bukit !
Sebagai penutup surat, kedua patih itu akan membantu agar singgasana kerajaan
Mataram diserahkan kepada Yudasena, kemudian sebagai pengganti jasa, kedua patih
itu akan diberi kedudukan tinggi dan tidak dianggap sebagai musuh !
Yudasena tertawa bergelak denagn girangnya " Ha, ha, paman Patih Bandudarma dan
Bandupati memang benar-benar cerdik sekali. Baiklah, akau setuju dengan uslnya,
dan bawalah balasan surat ini ke atas bukit ! "
Demikianlah persekutuan gelap telah terjalin antara kedua penghianat an si
pemberontak Yudasena itu.
Koleksi Kang Zusi Sementara itu,setelah mendengar penuturan Indrayana, para pengliam tua dan
Pangeran Pancapana menjadi girang sekali. Mereka lalu mengerahkan pasukan-
pasukan mereka dan bergeraklah balatentara itu maju menuju ke kubu-kubu musuh,
yakni tentara Yudasena. Sebelum tentara Pangeran Pancapana sampai di kubu-kubu pertahanannya.
Bupati Yudasena telah mengadakan perundingan denagn para pembantunya dan semua
anggota barisan telah tahu belaka bahwa dalam menghadapi pasukan penyerbu dari
luar, mereka tidak boelh menyerang dengan sungguh-sungguh dan setelah ada
komando untuk mundur, mereka harus segera mengundurkan diri.
Kedua pasukan besar itu berhadapan dan Yudasena sendiri beserta belasan orang
senapatinya menyambut rombongan Pangeran Pancapana yang menunggang kuda. " Ha-ha
! " Yudasena tertawa bergelak. " Aku mendengar bahwa ada orang yang ebrani
mengaku bernama Pangeran Pancapana yang sudah meninggal dunia. Manakah Pancapana
palsu itu " " Pangeran Panacana mengajukan kudanya dan membentak, " Yudasena, pemberontak
rendah ! Di waktu kerajaan sedang mengalami kemunduran, kau tidak berusaha
membantu dan membangun kembali, bahkan datang melakukan penyerangan. Alangkah
rendah watakmu ! Kalau kau pernah mengabdi kepada mending rama prabu, tentu kau
dapat melihat bahwa aku adalah Pangeran Pancapana yang asli. Tengoklah para
panglima sepuh bekas senapati-senapati mendiang rama prabu, adakah mereka ini
juga palsu " Lihat paman Senapati Cakraluyung, paman Kelabangwulung, dan yang lain-lain.
Benar-benarkah kau tidak kenal mereka " "
Diam-diam Yudasena mengakui bahwa pemuda yang tampan ini memang serupa benar
dengan mendiang Prabu Sanjaya, dan bahwa semua senapati tua itu memang benar
jago-jago mataram pada masa Sang Prabu Sanjaya masihmemegang tampuk kerajaan.
Akan tetapi ia memang sengaja berpura-pura tidak kenal, untuk menjalankan siasat
yang telah diatur bersama-Koleksi Kang Zusi
sama kedua patih Mataram.
Seorang pembantunya, yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam, adalah
seorang senopati yang amat kuat. Orang ini bernama Limandaka dan bersenjata
ebuah penggada besar yang mengerikan. Limandaka melompat maju dan berkata,
" Para perampok dari manakah berani datang menggangu kami " Laki-laki berunding
dengan kepalan dan senjata, tidak seperti perempuan mengandalkan bibirnya. Hayo,
aku menjadi senopati pertama dari barisan Pasisir, siapakah yang berani
menghadapiku " "
Melihat sikap orang yang kasar ini, Pancapana lalu memberi tanda kepala
Surarudira untuk maju menghadapi senopati musuh itu. Surarudira menjadi girang
sekali. Ia melompat turun dari kudanya dan amenghampiri si muak hitam yang juga
tinggi besar seperti dia, lalu menuding dengan telunjuknya.
" Eh, muka hitam bermulut lebar ! Akulah orangnya yang sanggup mengirim kau
kembali ke tempat asalmu, di neraka ! "
Marah sekali Limandaka mendengar ucapan ini " Siapakah kau, siluman brengos
bermata jengkol " Katakan dulu namamu sebelum kedua matamu yang hampir keluar
itu betul-betul melompat keluar terkena pukulan yang keras ! "
" Aku tak pernah meninggalkan nama di rumah da tak pernah menyembunyikan nama
atau menggantinya. Namaku Surarudira, senopati Mataram yang tiada taranya. Kau
ini prajurit baru yang masih belajar memegang keris, siapakah namamu yang rendah
" " Koleksi Kang Zusi Surarudira, aku pernah mendengar bahwa orang yang bernama Surarudira hanyalah
menjadi tukang membersihkan kandang kuda di Mataram ! Ha, ha ha ! Dan kau maju
menjadi senopati menghadapi aku Senopati Limandaka yang sakti " Kau benar-benar
sudah rindu kepada kuburan ! "
Surarusdira marah sekali. Memang, sebelum ia menjadi seorang kepala barian
pengawal dari Sang Prabu Sanjaya dahulu, ia bekerja sebagai pemeliharaan kuda,
akan tetapi bukan kuda sembarangan kuda, melainkan kuda kelangenan
( kesayangan ) Sang Prabu Sanjaya, yang tidak mau mempercayakan pemeliharaan
kuda itu ke tangan orang lain. Kini mendengar ejekan Limandaka, Sararudira
menjadi mata gelap dan menubruk dengan terkam kedua tangannya yang kuat !
Alimandaka tidak mau membiarkan dirinya diterkam bagaikan seekor kelinci
diterkam harimau, Ia mengangkat kedua tangannya dan menangkis pukulan
Surarudira. " Buk ! " ketika kedua lengan orang tinggi besar itu saling beradu, keduanya
terhuyung ke belakang beberapa tindak. Ternyata tenaga mereka sama kuatnya.
" Jahanam, rasakan tendangan mautku ! " seru Limandaka sambil mengayun kaki
kanan yang sebesar kaki gajah, menyambar ke arah wadah nasi Surarudira yang
gedut, Surarudira hendak mengelak, akan tetapi tendangan itu merupakan
keistimewaan dari kepandaia Limanaka, dan bukan seperti tendangan biasa yang
mudah dielakkan. Tendangan itu dapat mengikuti gerakan yang mengelak, sehingga
ketika tubuh Surarudira mengelak ke kiri, secepat angin kakai yang besar itu
ikut membelok pula, dan masih dapat menendang paha Surarudira sehingga mencelat
empat dapa lebih ! Koleksi Kang Zusi Namun, Surarudira adalah seorang yang kebal dan kulitnya lebih tebal daripada
kulit seekor badak. Biarpun tendangan keras itu membuat tubuhnya mencelat dan
membuat daging pahanya merasa sakit, njarem (
pegel-pegel ) dan ketika ia maju, kakinay agak terpincang-pincang, namun tidak
mengurangi semangatnya bertempur. Ia mendengus lalu membentak.
" Keparat, rasakan pembalasanku ! " Ia Ia menubruk dengan kedua tangan dipentang
bagaikan seekor harimau menerkam. Limandaka menyambutnay dengan tangan
terpentang pula sehingga keduanya lalu saling terkam dan saling piting, akan
tetapi keistmewaan Surarudira adalah main gulat.
Dengan beberapa gerakan yang amat cerdik ia berhasil memeting leher lawannya dan
membekuk tubuhnya sehingga tubuh Limandaka ditekuk ke belakang, lehernya berada
dalam kempitan ketiak Surarudira. Ia meronta-ronta, akan tetapi tak dapat
melepaskan diri. Sebaliknya, sungguhpun tak dapat mengirim pukulan, karena kedua
tangannya tak bebas. Sedikit saja ia mengendurkan kempitannya, lawannya yang
sama kuatnya itu tentu akan dapat melepaskan diri. Terdengar suara, " ah, uh,
ah, uh, ! " dan dengus dari hidung dan mulut mereka ketika keduanya mengerahkan
tenaga, yang satu hendak mematahkan batang leher lawan, yang laih hendak
melepaskan diri. Bukan main ramainay pergulatan itu. Akhirnya, karena payah
menahan usaha Limandaka yang hendak melepaskan diri, Surarudira lalu mengangkat
tubuh lawannya dan membantingnya sekuat tenaga !
Blek !! " Debu mengepul tinggi ketika tubuh Limandaka yang besar itu menimpa
tanah dan bergulingan sampai enam kali. Kalau tadi ketika Surarudira kena
tendang, barisan Pesisir bersorak-sorai, kini barisan Pangeran Pancapana
bertepuk tangan dengan riang melihat Surarudira dapat membanting lawannya. Akan
tetapi, ternyata bahwa Limandaka juga kebal dan kuat sekali tubuhnya. Bantingan
yang cukup kuat itu hanya membuatnya nanar sejenak sehingga tanah yang
dipijaknya serasa terputar-putar. Akan tetapi segera ia memeramkan mata dan
menenangkan pikirannya dan tak lama kemudian, ia telah mengeluarkan senjata yang
mengerikan, yakni penggada yang besarnya bukan main itu.
Koleksi Kang Zusi Melihat lawannya mengeluarkan senjata. Surarudira tidak mau kalah dan
dicabutnyalah klewangnya yang tajam dan lebar berkilau terkena sinar matahari.
Dan kini keduanya saling serang dengan senjata, jauh lebih hebat dan menegangkan
daripada tadi. Barisan kedua belah pihak bersorak-sorai memberi tambahan
semangat kepada jago masing-masing.
Sementara itu, beberapa orang senopati barisan Pesisir maju pula dan disambut
oleh para senopati sepuh dari Mataram. Akan tetapi Indrayana mendahului para
panglima tua itu dan pemuda yang gagah perkasa ini lalu mengamuk bagaikan seekor
banteng terluka. Tiap lawan yang terkena pukulannya, roboh tak dapat bengun
pula. Melihat kehebatan pemuda ini Yudasena marah sekali dan ia sendiri maju ke medan
pertempuran, setelah memberi tanda para barisan untuk maju menyerbu. Maka
menyerbulah kedua barisan itu dan perang di mulai dengan gemuruh dan hebatnya.
Yudasena sendiri yang menyergap Indrayana segera ditandingi oleh Pangeran
Pancapana sendiri, Yudasena memang hanya hendak perang secara pura-pura saja
untuk kemudian melarikan diri sebagaimana yang telah direncanakan akan tetapi
ebagai seorang panglima, hatinya belum merasa puas kalau belum mencoba sampai di
mana kedisdayaan lawan. Ia tela mendengar akan kedigdayaan para senopati sepuh
dari Mataram, sehingga ia merasa gentar juga menghadapi mereka, akan tetapi
melihat Pangeran Pancapana dan Indrayana yang masih muda belia, tentu saja ia
merasa penasaran kalau harus mundur tanpa mencoba dulu kepandaian mereka !
Yudasena, bupati yang memberontak terhadap Mataram dan yang memimpin selaksa
orang prajurit Pesisir untuk mengepung Mataram, adalah seorang yang mempunyai
aji kesaktian di tangan kanannya yang disebut Asta Dahana ( Tangan Api ). Jarang
sekali ada lawan yang sanggup menerima pukulan tangannya ini, ampuhnya melebihi
tusukan senjata runcing atau babatan senjata tajam !
Koleksi Kang Zusi Ketika perang tanding antara pasukan Pesisir melawan psukan Mataram berlangsung.
Yudasena ikut menyerbu dan ia disambut oleh Pangeran sendiri, karena Indrayana
sedang sibuk mengamuk dan melayani fihak musuh.
Dengan seruan keras yang terdengar seperti seekor macam mengaum, Yudasena
melompat dan mengirim pukulan tangan kanannya yan ampuh kepada Pangeran
Pancapana. Melihat betapa pukulan itu didahului dengan sinar kemerahan berkilat
dan juga terasa panas menyambar, maklumlah pemuda itu bahwa tangan lawannya ini
ampuh dan mengandung hawa sakti.
Cepat dan lincah sekali Pangeran Pancapana mengelak ke kiri dan tangan kirinya
menyambar ke arah sambungan siku tangan lawan dengan maksud untuk mengetok
sambungan siku itu agar terputus atau terlepas.
Akan tetapi Yudasena adalah seorang perwira yang selain gagah perkasa, juga
telah banyak sekali pengalamannya dalam perkelahian, maka tentu saja tak mudah
dirobohkan dengan segebrakan saja. Sebelum tangan Pancapana berhasil menghantam
sikunya, lebih dulu ia telah menarik lengan kanannya dan sebuah tendangan keras
ia layangkan ke arah perut pangeran itu. Kembali Pancapana dapat menghindarkan
diri denagn sebuah tangkisan tangan kanannya. Ramailah mereka bertempur, kuat
sama kuat, ketangkasan di lawan dengan kesigapan. Untuk menandingi Aji Kesaktian
Asta Dahana dari lawannya, Pancapana juga mengerahkan aji kesaktian yang disebut
tangan Kilat ( Asta Braja ) juga berada di tangan kanannya.
Yudasena cukup wasapada dan tahu pula bahwa tangan kanan pemuda itu ampuh sekali
dan mengandung kekuatan yang berbahaya, maka seperti juga Pancapana, ia selalu
mengelak pukulan tangan Pancapana, tidak berani untuk mencoba menerima pukulan
itu. Keduanya memiliki kekuatan dan kekebalan, dan pukulan tangan kiri lawan
diterimanya dengan senyum di bibir, akan tetapi pukulan tangan kanan selalu
dielakkan atau ditangkis.
Koleksi Kang Zusi Yudasena diam-diam terkejut juga menyaksikan kedigdayaan pemuda yang mencalonkan
diri menjadi Raja Mataram itu. Lebih-lebih kaget dan herannya ketika ia memukul
dengan tangan kananya sambil menggerakkan tenaga. Pancapana menyambut pukulan
itu dengan pukulan tangan pula.
" Duk !! " Dua tanagn raksasa yang didorong oelh aji kesaktian yang amat ampuh
bertumbuk melalui dua kepalan tangan itu. Tubuh keduanya tergoncang karenanya
dan terhuyun-huyun mundur lima langkah. Yudasena benar-benar merasa kagum dan
juga penasaran mengapa lawannya yan masih muda itu sangup menerima pukulannya
dengan pukulan pula, bahkan dari pukulan pemuda itu ia maklum bahwa ilmu tenaga
lawannya tidak kalah hebatnya. Menurut rasa penasaran di hatinya, ia ingin
mencabut senjatanya, akan tetapi ia teringat akan siasat yang telah diaturnya,
maka ia berpikir bahwa belum tiba saatnya untuk mengadu jiwa.
" Bagus, kepandaianmu tidak buruk ! " serunya sambuil melompat mundur, lalu ia
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memberi aba-aba kepada anak buanya untuk mengundurkan diri.
Para prajurit Pasisir yang telah maklum bahwa telah direncanakan sejak semula
untuk penarikan mundur ini, dengan serentak meninggalkan gelanggang perang
melarikan diri. Pancapana dan Indrayana saling pandang sambil tersenyum puas. Mereka merasa
bangga dan menganggap bahwa musuh terlampau lemah dan pengecut sehingga belum
lagi pertempuran itu sampai di pncaknya, musuh telah mengundurkan diri. Kalau
saja di situ tidka terdapat banyak senopati sepuh yang telah banyak makan asam
garam peperangan dan pengalaman pertempuran, tentu kedua orang muda ini terkena
tipu muslihat yang dijadikan siasat oleh Yudasena.
Koleksi Kang Zusi " Gusti Pangeran, " kata senopati Cakraluyung yang sudah tua dan berpengalaman,
" gerakan Yudasena ini benar-benar amat mencurigakan.
Penarikan mundur barisannya yang belum mengalami kehancuran itu lebih menyerupai
siasat peperangan daripada kekalahan yang sewajarnya. Hamba tahu sampai di mana
kekuatan barisan Yudasena dan kiranya takkan semudah ini mereka dapat dipukul
mundur. " " Habis, bagaimana baiknya, paman Cakraluyung " " tanya Pangeran Pancapana.
" Kita masih belum tahu siasat apakah yang mereka jalankan, " jawab senopati tua
itu, " maka kita harus berlaku wasapada. Juga kita harus berlaku cerdik dan
berbuat seakan-akan kita belum mempunyai kecurigaan terhadap mereka. Oleh karena
itu, harap paduka membawa sebagaian pasukan menyerbu terus ke atas dan masuk ke
dalam benteng Mataram. Adapun hamba bersama sebagaian pasukan pula bersembunyi di belakang dan melihat
apakan yang sesungguhnya menjadi siasat Yudasena. Kalau kiranya hamba menduga
salah dan mereka akan membawa betul-betul kalah dan mundur, hamba akan membawa
pasukan menyusul ke atas bukit. "
Pangeran Pancapana menyetujui rencana ini, maka ia lalu membawa barsiannay terus
mendaki bukit yang kini tak terkepung oleh musuh lagi itu.
Sebagaimana telah di rencanakan oleh Yudasena dan kedua Patih mataram yang
berkhianat, ketika melihat barisan Pangeran Pancapana naik ke bukit, kedua Patih
Bandudarma dan Bandupati itu lalu menegrahkan barisan untuk menyambut kedatangan
Pangeran itu dengan serangan tiba-tiba. Sang Prabu Panamkara terkejut melihat
persiapan ini dan ia menegur kedua orang paihnya, akan tetapi kedua orang patih
yang berkhianat itu bahkan memerintahkan kaki tangannya untuk menangkap Sang
Prabu Panamkaran dan dimasukkan ke dalam tahanan !
Koleksi Kang Zusi Sementara itu, setelah barisan Pangeran Pancapana tiba di luar tembok benteng,
tiba-tiba pintu benteng itu terbuka dan dari dalam benteng menyerbulah tentara
Mataram dibarengi dengan hujan anak panah dari atas tembok benteng yang
menyerang pasukan-pasukan Pangeran Pancapana ! Pancapana dan Indrayana terkejut
sekali melihat sambutan ini.
" Dimas Indrayana " Bagaimana ini " Bukankah paman prabu sudah berjanji akan
menerimaku dengan baik " "
Entahlah, kangmas Pancapana. Aku sendiripun amat heran ! Benar-benarkah seorang
ratu menjilat ludah sendiri yang sudah keluar dari mulutnya " "
Tiba-tiba terdengar sorakan hebat dan dari bawah menyerbulah barisan Yudasena
yang tadi mengundurkan diri ! Bukan main sibuknya barisan Pancapana yang
diserang dari atas dan bawah ini !
" Kangmas Pancapana, biarlah aku masuk dulu ke dalam benteng dan mematahkan
batang leher raja curang itu ! "
" Nanti dulu, dimas, jangan kau binggung dan khawatir. Baiknya siasat curang ini
telah diduga oleh paman Senopati Cakraluyung, kalau tidak celakalah barisan
kita. Mari kita menyerbu dan merampas benteng.
Pasukan Yudasena biarkan saja naik tentu akan diserang oleh paman Cakra luyung
dari belakang. " Pangeran Pancapana lalu memberi aba-aba kepada pasukannya untuk Koleksi Kang
Zusi menyerbu terus ke dalam benteng. Banyak korabn jatuh bertumpuk di fihak pasukan
penyerbu, akan tetapi berkat kegagahan Pancapana dan Indrayana yang memberi
contoh menyerbu paling depan, pasukan itu besar sekali semangatnya dan terus
menyerbu sehingga pintu benteng dapat dibobolkan pertahannya !
Sementara itu, sorakan yang tadi dikeluarkan oleh pasukan-pasukan Yudasena
ketika mengejar naik untuk menggunting barisan Pancapana, tiba-tibamenjadi sirep
dan terganti oleh teriakan-teriakan kaget ketika tiba-tiba dari kanan kiri dan
belakang keluar pasukan-pasukan Cakraluyung menyerbu mereka ! Yudasena terkejut
sekali dan dalam kegugupannya, ia tak dapat memberi komando yang tepat sehingga
barisannya berperang secara liar. Banyak sekali korban tewas dalam pertempuran
dahsyat ini, perang campur menjadi satu sehingga sukar dibedakan mana kawan mana
lawan. Yudasena dengan marah sekali lalu menyerbu dan akhirnya ia bertanding
melawan Senopati Cakraluyung sendiri !
" Bangsat tua ! " Yudasena memaki. " Rupanya kaulah yang mengalahkan siasatku !
" " Pemberontak hina dina ! Dewata selalu melindungi orang yang benar mengutuk
yang sesat ! " jawab Cakraluyung yang menagkis serangan tombak di tangan
Yudasena dengan perisainya, kemudian membalas serangan lawan denagn pedangnya.
Pertempuran hebat dan mati-matian terjadi. Sungguhpun dalam siasat perang
Cakraluyung tak usah kalah oleh Yudasena dan juga dalam ilmu pertempuran
senopati tua ini amat pandai, namun ia telah tua sekali dan tenaganya sudah
banyak berkurang. Apalagi tombak di tangan Yudasena selain merupakan tombak
pusaka yang ampuh, juga dimainkan secara luar biasa cepat dan kuatnya, setelah
melawan mati-matian akhirnya, Senopati Cakraluyung roboh dengan dada terluka
oleh tombak. Ha-ha-ha Cakraluyung ! Ternyata kau tidak dilindungi oleh Dewata, maka Koleksi
Kang Zusi tentu kau yang sesat dan aku yang benar ! " Yudasena mengejek, lalu mengamuk
dengan tombaknya sehingga barisan Mataram yang sudah kehilangan pemimpinnya ini
sekarang menjadi kacau-balau dan kalau dilanjutkan pertempuran itu, tentu mereka
akan terpukul hancur. Akan tetapi, pada saat itu fihak barisan Yudasena menjadi kacau dan prajurit-
prajurit barisan ini lari ke kanan kiri, yang kurang ceopat larinya terlempar ke
kanan kiri bagaikan rumput kering saja. Terdegar pekik kesakitan susul menyusul.
Ternyata bahwa yang datang mengamuk itu adalah Indrayana ! Para prajurit Mataram
ketika melihat oemuda yang gagah perwira ini, timbul lagi semangat mereka dan
kembali peperangan dimulai dengan lebih hebat. Yudasena ketika mengetahui bahwa
yang mengamuk itu Indrayana, segera memburu dengan tombak di tangan.
Pada saat itu, Indrayana tengah berlutut di dekat tubuh senopati Cakraluyung
yang mandi darah an sudah tak berdaya lagi. Ketika Indrayana memangkunya,
senopati sepu ini hanya bisa berbisik perlahan. " Raden Indrayana ...... sampaikan
pesanku kepada Gusti Pangeran ...... pandai dan bijaksanalah ia memerintah Mataram
...... melindungi dan memimpin rakyat jelata ...... semoga Mataram dapat di bangun
kembali, makmur dan jaya sebagaimana dahulu ...... " Maka meninggallah pahlawan tua
ini di dalam pelukan Indrayana.
Ketika Yudasena datang menyerbu denagn tombaknya, Indrayana memandang kepada
bupati ini dengan mata merah karena maranya. Ia meletakkan tubuh Cakraluyung di
atas rumput, mencabut krisnya dan melompat ke depan menyambut kedatangan
Yudasena. Tanpa banyak cakap Indrayana menyerang dengan kerisnya dan Yudasena
pun tak mau mengalah begitu saja. Tombaknya diputar-putar dan bagaikan seekor
ular hidup, tombak itu meluncur mendatangkan angin dan menghujani tubuh
Indrayana dengan serangan-serangan kilat. Kalau melihat keadaan senjata mereka,
sungguh berat sebelah, senjata di tangan Yudasena adalah sebatang tombak panjang
sedangkan sebantang tombak Indrayana adalah sebilah keris yang pendek. Akan
tetapi, Indrayana memiliki kecepatan gerakan yang luar biasa sekali sehingga
Yudasena tidak mempunyai banyak Koleksi Kang Zusi
kesempatan untuk mempergunakan tombaknya. Tubuh pemuda itu berkelebat menyambar-
nyambar bagaikan seekor burung serikatan, membuat Yudasena merasa terkejut
sekali dan kepalanya pening.
" Yudasena, kau harus membayar dengan nyawamu untuk tewasnya Paman Cakraluyung !
" Indrayana membentak dan sebuah tusukan kilat denagn kerisnya membuat Yudasena
terhuyung mundur, tangan kiri mendekap luka di dada yang tertembus keris,
sedangkan tanagn kananya mengangkat tombak ini cepat sekali datangnya dan
Indrayana tidak terburu mengelak lagi. Pemuda yang gagah ini lalu mengibas
dengan tangan kirinya sehingga tombak itu dapat tertangkis dan meluncur ke
samping. Terdengar pekik ketika tombak itu menembus punggung seorang prajurit
yang sedang bertempur. Sementara itu, Pancapana berhsil memasuki benteng. Dengan gemesnya pangeran ini
mengamuk dan ketika ia dapat memegang batang leher seorang perwira, ia mencekik
dan menghardik Jilid 6 Sang Prabu Samaratungga berdiri dari kursinya dengan wajah pucat. Ia teringat
akan sabda seorang wiku sakti yang telah meinggal dunia dahulu yang menyatakan
bahwa apabila gendewa pusaka Dewandanu patah, maka itu berarti bahwa Kerajaan
Syailendra telah tiba masanya untuk lenyap dari tanah Jawa !
Siddha Kalagana melemparkan patahan dan gendewa itu ke tanah, tertawa bergelak
dan berkata kepada Sang Prabu Samaratungga, " Ha, ha, ha !
Koleksi Kang Zusi Tidak tahunya gendewa pusaka itu hanay terbuat dari bahan kayu yang lembek
saja ! Mana dia dapat menahan tenaga tanganku Sang Prabu, sekarang setelah saya
dapat menempuh syarat pertama dengan baik, umumkanlah apakah syarat
selanjutnya " Menurut pendengaranku, ditetapkan adanya tiga macam syarat ! "
Terpaksa Sang Prabu Samaratungga lalu berdiri dan berkata dengan suara lantang.
"Telah kusaksikan bahwa yang kuat menarik gendewa pusaka Dewandana ada lima
orang. Syarat-syarat sayembara ini masih ada dua macam lagi, yaitu pertama kali,
peserta harsu dapat menlenyapkan hawa siluman yang mengotori puncak Gunung
Papak. Adapun syarat terakhir ialah bahwa si peserta harus dapat mengusir semua
ancaman musuh yang hendak menyerang atau menganggu keamanan Kerajaan
Syailendra ! " Tiba-tiba Pramodawardani berbisik kepada ayahnya,
"Ramanda Prabu, hamba kira lebih baik kalau para peserta itu memperkenalkan diri
masing-masing terlebih dahulu. "
Diam-diam Prabu Samaratungga memuji kecerdikan puterinya ini, karena memang perlu sekali mengetahui nama-nama
daripada calon suami puteri mahkota.
"Sebelum sayembara ini dilanjutkan, perlu diketahui nama-nama para peserta yang
lulus dalam syarat pertama. Orang pertama dan kedua telah diketahui, yaitu
utusan-utusan dari Kerajaan Sriwijaya yang bernama Senapati Kalinggapati dan
Kalinggajaya. Orang ke empat adalah Raden Koleksi Kang Zusi
Indrayana putera Wiku Dutaprayoga seorang kawula Syailendra sendiri, dan orang
kelima adalah Siddha Kalagana yang terkenal sebagai seorang pendeta dan juga
kini menjadi raja. Akan tetapi, seapakah peserta ke tiga
" Harap suka memperkenalkan nama dan kedudukan ! "
Sang Rakai Pikatan berdiri dengan tenang dan senyum di bibirnya yang tak pernah
meninggalkan wajahnya. "Sang Maha Raja yang mulai harap maklum bahwa saya adalah Raja dari Mataram yang
berjuluk Sang Rakai Pikatan. "
Berisiklah para penonton ketika mendengar nama raja muda yang amat terkenal ini.
Memang, nama Rakai Pikatan sebagai raja muda di Mataram amat terkenal dan
menjadi buah bibir rakyat, karena raja muda yang masih perjaka itu dikhabarkan
amat tampan, sakti dan bijaksana sehingga dalam waktu setahun saja telah
berhasil membangun Mataram kembali menjadi jaya dan makmur.
Sang Prabu Samaratungga sendiri tertegun sejenak mendengar nama ini.
Ia merasa amat bangga dan juga binggung. Raja Mataram merupakan tandingan berat
bagi pangeran sriwijaya, maka kini pilihannya hanya condong kepada ketua calon
ini, yakni pangeran pati dari Sriwijaya atau raja muda dari Mataram.
Sebaiknya, Pramodawardani mengerutkan keningnya. Ia maklum bahwa raja muda dari
Mataram itu beragama Hindu, maka bagaimanakah kalau sampai ia menjadi
permaisurinya " Kalau mengingat akan kedudukan, tentu saja lebih baik menjadi
permaisuri Mataram, akan tetapi kalau mengingat akan agama, agaknya lebih baik
menjadi istri Raden Indrayana. Adapun tentang kegagahan dan kecakapan, sukarlah
untuk memilih antara kedua pemuda ksatria itu ! Sama halus, sama tampan, sama
gagah ! Tiba-tiba Koleksi Kang Zusi
mendapat sebuah pikiran yang baik. Betapapun juga, agaknya ayahnya tentu akan
memilih Raja Mataram daripada Raden Indrayana, dan untuk mencoba dari raja muda
yang beragama Hindu itu hanya ada satu jalan yang amat baik.
Ibu kota Mataram dipindahkan kembali dari puncak Gunung ieng ke ibu kota medang
yang makin lama makin menjadi besar dan ramai. Belum setahun Sang Prabu Pikatan
memegang tampuk kerajaan, Mataram telah menjadi besar dan jaya, bahkan boleh
dikata lebih besar daripada dahulu-dahulu. Semua ini berkat kebijaksanaan Sang
Prabu Rakai Pikatan yang adil dan membela rakyat. Para petugas yang curang dan
memeras rakyat disapu habis-habisan. Semua pamongpraja bekerja dengan setia dan
jujur, benar-benar merupakan pimpinan dan pembimbing rakyat yang membela dan
melindungi kawula Mataram, tidak seperti di bawah perintah Prabu Panamkaran, di
mana tidak ada pemimpin yang benar-benar memimpin, yang ada melainkan pembesar
yang hanya mementingkan urusan perut sendiri tak perduli akan keadaan rakyat
jelata yang tercekik, kelaparan dan telanjang!
Setelah Sang Prabu Pikatan pindah ke Medang, Indrayana lalu minta diri dari
sahabatnya ini untuk kembali ke Syailendra mencari ayahnya, Sang Wiku
Dutaprayoga, "Aduhai, dimas Indrayana. Mengapa hendak meninggalkan aku" Kita telah bersama
semenjak mengalami kesengsaraan, sama-sama berjuang bahu-membahu. Setelah kini
aku mencapai pantai cita dan menikmati hasil perjuangan kita, mengapa kau hendak
meninggalkanku" Marilah kita bersama menikmati kebahagiaan di Mataram dan kau
bantulah pekerjaanku. Tidak ada patih yang lebih kuingini selain engkau, adikku
yang budiman!" kata Sang Prabu Pikatan.
Indrayana tersenyum dan menyembah. Setelah Pancapana menjadi raja, tentu saja ia
tidak dapat bersikap seperti dahulu, dan menurut tatasusila, ia harus
menunjukkan sikap sebagai seorang hamba kepada junjungannya.
Koleksi Kang Zusi "Paduka telah maklum bahwa tiada kegembiraan lain kecuali mengabdi kepada pasuka
dan bekerja sama dengan paduka yang selalu menjadi cita-cita hamba. Akan tetapi,
sekarang Mataram telah bangkit kembali, sudah tercapai idam-idaman hati yang
dikandung selama kita berjuang. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban hamba
untuk mengingatkan kembali kepada Kerajaan Syailendra. Oleh karena betapapun
juga, hamba adalah kawula Syailendra. Hamba mendengar berita angin bahwasannya
kerajaan Sang Prabu Samaratungga kini sedang berada dalam ancaman musuh dari
timur. Tentu takkan membenarkan apabila hamba berpeluk tangan saja."
Sang Prabu Pikatan mengangguk-angguk. "Kau benar, dimas, memang demikianlah
seharusnya watak seorang ksatrya, siap-siaga berjuang membela negara, membela
kebenaran, dam mengerahkan tenaga untuk menghancurkan segala macam kejahatan.
Akan tetapi, sebelum kau pergi ke Syailendra, kuharap kau suka mampir lebih
dahulu di pondok paman Panembahan Bayumurti."
Merahlah wajah Indrayana mendengar ini karena tentu saja nama panembahan ini
mengingatkan dia akan puteri panembahan itu, Candra Dewi, kekasihnya.
"Baiklah, dan ada pesan apakah yang harus hamba sampaikan?"
"Dimas Indrayana, dengarlah baik-baik, dimas. Aku hendak mengirim sebuah surat
kepada paman panembahan, dan kau sebagai utusan dan wakilku, ada baiknya bila
kau mengetahui apa yang menjadi maksud hatiku.
Ketahuilah bahwa para pinisepuh yang mengembani Kerajaan Mataram, termasuk para
panembahan dan senopati sepuh yang banyak berjasa semenjak tama prabu masih
hidup, telah berkali-kali mendesak kepadaku untuk segera krama (menikah).
Seorang raja besar tanpa permaisuri akan tampak janggal dan dapat mengecewakan
hati para kawula. Kupikir benar Koleksi Kang Zusi
juga desakan itu dan kurang enaklah kalau aku menolak terus-menerus, apalagi
karena sekarang akupun telah cukup dewasa."
Indrayana tersenyum dan mukanya berseri gembira. "Catatlah Sang Prabu, bahwa
hamba juga menjadi seorang di antara mereka yang mendesak usul ini! Alangkah
gembira hati hamba menyaksikan paduka bersanding dengan permaisuri yang cantik
dan juga mulia dan agung bijaksana."
"Benar katamu, dimas. Seorang permaisuri harus cantik dan juga mulia, harus
indah lahir batin. Inilah yang amat kukhawatirkan. Mudah saja mencari wanita
cantik jelita, akan tetapi sukarlah mendapatkan yang cantik hatinya. Oleh karena
itu, menurut pandanganku, hanay seoranglah wanita di dunia ini yang cantik lahir
batin, yang sudah kuuji dan kuketahui sendiri keindahan lahir batinnya. Hanay
dia seoranglah yang patut menjadi permaisuriku, dan terutama sekali, menjadi
seorang wanita termulia yang dipuja-puja oleh seluruh rakyat di Mataram ! "
Makin berserilah wajah Indrayana. Tak pernah disangkanya bahwa Pancapana telah
mempunyai pilihan ! Belum pernah pemuda itu dahulu memberitahukannya.
"Bolehkah kiranya hamba mengetahui siapa adanya puteri yang mulia itu "
" Siapa lagi kalu bukan diajeng Candra Dewi " " Kalau ada halilintar menyambar
masuk ke dalam ruang keraton itu dan meledak di depan matanya, tak mungkin
Indrayana akan sekaget itu. Wajahnya seketika menjadi pucat dan sepasang matanya
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memandang ke arah Sang Prabu Pikitan dengan bengong bagaikan padang mata orang
yang kehilangan semangatnya.
Koleksi Kang Zusi "Ampunkah hamba, mohon diulang sekali lagi nama puteri itu, agar haba tidak
sampai salah dengar, " akhirnya Indrayana dapat juga mengeluarkan suara, lalu
mendengarkan jawaban yang akan diucapkan oleh raja muda itu dengan penuh
perhatian hampir tak bernapas saking tegangnya.
Melihat pandangan mata Indrayana, terharulah Sang Prabu Pikitan, sehingga ia
turun dari singasana, menghampiri kawannya itu dan memegang kedua pundaknya.
"Indrayana, tidak salah pendengaranmu tadi, memang yang kumaksudkan adalah
diajeng Candra Dewi, puteri tunggal paman Panembahan Bayumurti, atau juga adik
seperguruan kita. " Kedua pundak Indrayana mengeras di bawah pegangan Prabu Pikatan dan wajahnya
kini seakan-akan tak berdarah lagi.
"Tidak ...... tidak kelirukah pilihan paduka...... " " tanyanya perlahan dan lemah.
Sang Prabu Pikatan menarik napas panjang lalu duduk kembali di atas
singgasananya. Ia memandang tajam lalu berkata dengan suara tenang.
"Dimas Indrayana, aku mklum akan perasaan hatimu. Aku tahu bahwa kau mencintai
diajeng Candra Dewi dan mungkin juga dia mencintaimu. Akan tetapi, harus
kauketahui bahwa sebelum dia berjumpa denganmu, akupun telah menaruh hati kasing
sayang yang besar kepadanya. Kasih sayangku Koleksi Kang Zusi
itu dahulu seperti kasih sayang kepada seorang adik kandung, akan tetapi
sekarang, karena aku membutuhkan seorang permaisuri yang sempurna, kiraku selain
diajeng Candra Dewi, tidak ada lagi lain wanita yang patut menduduki singgasana
Mataram sebagai permaisuri. Kalai kiranay aku tidak menjadi raja di Mataram,
agakany akan dapat aku merelakan hati, mengalah terhadapmu, dimas Indrayana.
Akan tetapi ketahuilah bahwa mataram adalah yang terutama bagiku, yang harus
kujaga, baik namanay maupun kemakmuran dan kejayaannya. Kerajaan Mataram bagiku
lebih berharga, lebih suci dan lebih kuutamakan daripada apapun juga. Lebih
besar daripada rasa sayangku kepadamu, bahkan lebih besar daripada sayangku
kepada nyawa sendiri. Harap kau mklum akan hal ini, dimas, "
Ucapan yang panjang itu terdengar oleh Indrayana bagaikan suara dari Khayangan
yang lambat laun turun dan berubah menjadi sebatang keris yang menacap di
jantungnya sehingga berdarah dan perih ia menundukkan mukanya dan berkata dengan
suara berisik, "Sang Prabu, tidak adakah lain wanita yang sepadan menjadi permaisurimu
" " "Jangan salah faham, dimas Indrayana. Banyak sekali wanita yang cukup pantas
mejadi isteri Pancapana, akan tetapi, selain diajeng Candra Dewi, kiranya tidak
ada lain dara yang patut menjadi permaisuri Sang Prabu Pikatan, raja dari
Mataram ! mengerti aku " "
Indrayana tak kuasa menjawab, hanya mengganguk. Kemudian ia menggigit bibirnya
dan berkata, " Serahkanlah surat itu kepada hamba, hendak hamba kerjakan tugas
terakhir untuk paduka. "
Sang Prabu Pikatan memberikan suaranya kepada Indrayana dan berkata,
" Dimas Indrayana, selama hidupku takkan kulupakan kemuliaan budimu, Koleksi
Kang Zusi dan kalau sewaktu-waktu kau telah menjatuhkan pilihanmu kepada seorang puteri,
katakan saja kepadaku. Akulah yang akan mendapatkannya untukmu, baik dengan cara
halus maupun kasar ! "
Akan tetapi, tanpa menjawab Indrayana lalu menerima surat itu dan mundur.
Bagaikan terbang, ia ia berlari keluar dari keraton dan terus melakukan
perjalanan menuju ke tempat pertapaan Panembahan Bayumurti.
Setelah bayangan Indrayana lenyap dari hadapannya. Sang Prabu Pikatan menarik
napas panjang berulang-ulang dan berbisik seorang diri.
"Maafkan aku, dimas Indrayana. Aku tidak melihat jalan lain. Selain Candra Dewi,
siapakah lagi yang patut disembah oleh rakyatku " Tidak ada pilihan lain bagiku.
Biarlah kau dan aku berkorban perasaan demi kejayaan dan kebesaran nama
Mataram...... " Candra Dewi, anakku yang ayu, anakku yang manis. Mengapa dalam beberapa hari ini
kulihat engkau selalu bermuram durja " " demikian pertanyaan yang keluar dari
mulut Sang Panembahan Bayumurti kepada puteri tunggalnya yang duduk menundukkan
mukanya. Dara itu hanya memandang sekejap kepada ayahnya tannpa berani menentang pandang
mata ayahnya yang tajam menembus itu, lalu menunduk kembali.
"Tidak apa-apa, rama. Aku hanya merasa agak kesal dan sunyi. Rama, mengapa
engkau tidka mau pindah ke kota " Alangkah akan senangnya kalau kita tinggal di
ibu kota Mataram. " "Ayahnya tersenyum. " Baru sekarang aku mendengar bahwa engkau Koleksi Kang Zusi
merasa kesunyian di puncak bukit yang indah dan yang selamanya engkau suka ini.
Mengapa, nak " Adakah sesuatu yang membimbangkan hatimu "
Katakanlah terus terang kepada ayahmu ! "
Akan tetapi, gadis itu hanya menunduk dan menggelengkan kepala, dan tiba-tiba
mukanya menjadi kemerahan seakan-akan jawaban yang terkandung dalam hatinya
membuatnya merasa malu dan jawaban itu hanya terdengar yang manis itu tidak
kuasa mengucapkannya. "Candra Dewi, tak perlu kiranyanya kau menyembunyikan perasaan hatimu terhadap
ayahmu sendiri. Aku tahu bahwa engkau telah cukup dewasa, sudah tiba saatnya
untuk meladeni pria, menjadi isteri dan ibu yang bijaksana. "
Panembahan Bayumurti mengelus-elus jengotnya, lalu tersenyum-senyum dan
mengangguk-anggukkan kepalanya. " Candra, anakku, kurasa aku tidak mendahuli
kehendak Dewata dan juga tidak menduga keliru kalau kukatakan bahwa ahtimu telah
tertambat kapada jaka bagus Indrayana, bukan " "
"Ah, rama Panembahan ...... " sambil menahan-nahan senyum gadis itu menunduk makin
rendah dan jari-jari tangannya meremas-remas ujung kembennya.
"Candra, tak usah engkau ragu-ragu dan khawatir anakku yang manis. Aku sebagai
ayahmu dan juga kakang Wiku Dutaprayoga sebagai ayah Indrayana, sudah cukup
awasa dan mklum akan keadaan hatimu dan hati pemuda itu. Oleh karena itu, diam-
dieam ketika kami berdua mengunjungi Sang Panembahan Ekalaya dahulu itu, kami
telah berjanji untuk mengikat tali perjodohan antara engkau dan Indrayana ! "
Koleksi Kang Zusi "Ah, rama ...... "
"Ha-ha-ha, tidka senangkah hatimu, Candra " " panembahan itu tertawa dengan hati
penuh kebahagiaan itu tertawa dengan hati penuh kebahagiaan. " Betapapun juga,
perjanjian kami belum resmi, nakku. Belum diadakan upacara untuk itu, hanya
sebagai pembicaraan sambil lalu saja.
Sebelum mengambil keputusan, aku dan kakang Wiku akan bertanya kepada orang-
orang yang bersangkutan lebih dulu. Maka sekarang, jawablah, anakku. Maukah
engkau menjadi sisihan Raden Indrayana " "
"Rama ...... ! " Candra Dewi tak dapat menahan rasa girangnya dan juga tak dapat
menyembunyikan senyum bahagianya, akan tetapi ia merasa amat malu. Ia bangkit
berdiri dan sambil berkata, " Masabodoh rama panembahan sajalah ! " Ia lalu
berlari-lari ke belakang, keluar dari pintu belakang dan terus berlari ke dalam
hutan di belakang rumahnya !
Candra Dewi berlari ke sebuah tempat di mana banyak tumbuh pohon waringin yang
besar-besar. Pohon itu tumbuh sedemikian rapatnya sehingga daun-daunnya
merupakan atap dan tempat di bawah pohon-pohon itu tidak sampai basah kuyup
apabila hujan turun dan juga tidak terlalu panas apabila Sang Surya memanggang
jagat. Di sebelah kiri tempat teduh ini terdapat sebuah pondok kecil yang
dipergunaka oleh Panembahan Bayumurti sebagai sanggar pemujaan, tempat bermuja
samadhi, dan sebelah kanan dijadikan sebuah taman bunga oleh Candra Dewi. Tempat
ini selain indah, harum, juga bersih sekali karena setiap hari disapu dan
dibikin bersih oleh gadis itu, dijadikan tempat bermain, tempat membuat patung
dan juga melepas lelah setelah bekerja dan melayani keperluan ayahnay sehari-
hari. Candra Dewi masuk ketempat itu dan mengambil sebuah patung tanah yang dibuatnya
dan disembunyikan di balik semak-semak. Ia mengangkat Koleksi Kang Zusi
patung itu ketengah taman, kemudian duduk bersimpuh di depan patung yang tak
berapa besar itu. Dipandangnya patung itu sampai beberapa lamanya dengan mata mesra dan mulut
tersenyum kemudian diraihnya patung itu dan diusapinya pipi patung beberapa
kali. "Mengapa malah setahun lebih kau tidak datang mengunjungiku " Mengapa kau tidak
mengirim berita, tidka memberi kabar sedikitpun juga " Apakah kau sudah lupa
kepadaku, lupa kepada Dewimu " Apakah hatimu terpikat oleh sinar mata seorang
puetri di Mataram " "
Candra Dewi sama sekali tidak tahu bahwa semua perbuatannya itu diawasi oleh
pasang mata yang semenjak tadi mengintainya, tidak menyangka bahwa semua
ucapannya setengah berbisik itu didengarkan orang. Dan orang ini bukan lain
adalah Indrayana sendiri !
Sebagaimana telah dituturkan bagian depan pemuda ini dengan hati hancur
meninggalkan Kerajaan mataram, menjadi utusan Sang Prabu Pikatan dan membawa
surat lamaran raja itu untuk Candr Dewi kekasihnya.
Telah semenjak tadi ia tiba di lerang bukit tempat tinggal kekasihnya, akan
tetapi berat rasa hatinya untuk naik ke puncak dan menyerahkan surat lamaran
yang merupakan surat pembawa sengsara baginya itu. Ia bahkan lalu naik dari
belakang pondok Panembahan Bayumurti dan tiba di belakang rumah di mana terdapat
taman bunga Candra Dewi. Berkali-kali ia hendak melanjutkan perjalanannya
menjumpai Sang Panembahan, akan tetapi kedua kakinya mengigil dan terpaksa
berkali-kali ia menunda pula niatnya dan duduk di bawah sebatang pohon waringin
yangbesar. Kemudian ia melihat Candra Dewi berlari-lari memasuki taman di bawah
pohon waringin itu ! Koleksi Kang Zusi Berdebar-debar jantung Indrayana ketika melihat gadis itu dan ia cepat
menyembunyikan diri di belakang pohon. Naik sedu-sedan dari dadanay yang membuat
kerongkongannay tertutup dari sesak bernapas ketika ia menyaksikan betapa
kekasihnya itu nampak makin ayu dan denok. Dengan mata berlinang ia memandang
Candra Dewi mengagumi kecantikan dara itu, bekas kekasihnya yang tal lama lagi
akan menjasi permaisuri taja di Mataram !
"Dewi ......, kekasihku ...... " ratapnya di dalam hati, akan tetapi ia tidka keluar
dari tempat sembunyinya da hanay mengintai dengan dada berdebar. Ia melihat
betapa dara itu lari ke rumput alang-alang dan mengeluarkan duduk menghadapi
patung sambil bicara seorang diri.
Alangkah terkejut dan panas hati Indrayana ketika mendengar kata-kata yang
diucapkan oleh gadis itu kepada patung tadi. Ia memandang denagn penuh perhatian
dan telinga terasa panas. Telinganya terngiang-ngiang dan pelupuk matanya
menggigil. Tiba-tiba saja ia merasa amat cemburu terhadap patung itu. Memang
sungguh mengherankan keadaan pemuda ini.
Kalau tadinya ia hanya dapat bersedih mengingat berapa kekasihnya akan
diperistri oleh Sang Prabu Pikatan atau Raden Pancapana bekas sahabatnya, kini
tiba-tiba ia merasa cemburu dan marah melihat kekasihnya bercumbu rayu terhadap
sebuah patung ! Sesungguhnya, kalau saja hendak merampas gdis itu dari tangannya
bukan Sang Raja Pikatan, tentu ia akan malabrak perampas itu dan mengajaknya
bertanding mati-matian ! Ia memandang lagi dengan hati panas dan melihat betapa
Candra Dewi mendekap patung itu sambil berkata,
"Ah, kusuma hatiku, tidka tahukah kau betapa kau telah membuat hatiku sunyi dan
tak berarti semenjak kau meninggalkanku " Tidak tahukah kau betapa besar rindu
dendamku kepadamu " Sudah musnakah rasa cinta kasihmu terhadap Candra Dewi " "
Koleksi Kang Zusi Indrayana tak dapat menahan sabar lagi. Ingin ia merampas patung itu dan
membantingnya sampai hancur berkeping-keping ! Ia melompat dari tempat
persembunyiannya dan berdiri di depan Candra Dewi dengan kedua kaki terpentang
lebar dan kedua tangan bertolak pingang !
Candra Dewi terkejut dan mengangkat muka memandang. Sepasang matanya yang
seperti bintang pati itu membelalak lebar, mulutnay yang berbibir indah segar
itu ternganga, seakan-akan tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Tak terasa
lagi, patung yang dipegangnya terlepas terlepas dan patung itu rebah terletang
sedangkan gadis itu sendiri perlahan-lahan berdiri sambil berbisik berkali-kali.
"kau ...... " Kau ...... " Kangmas ...... " " "
Akan tetapi Indrayana tidak memandang kepadanya. Pemuda itu sedang tunduk,
memandang kepada patung tadi dengan mata terbelalak. Seperti belum maupercaya
kepada matanya sendiri, ia menggerakkan kedua tangannya mengambil patung
itumemandang wajah patung itu dengan penuh perhatian. Ternyata patung itu adalah
patung Indrayana sendiri ! Pemuda itu tiba-tiba membanting patung itu sampai
hancur lalu mendekapkan kedua tangannya di depan mukanya. Sepuluh jari tangannya
mengigil, kedua kakinya yang berdiri juga ikut mengigil sedangkan dari celah-
celah jari tangannya keluarlah butir-butir air mata !
"Dewi ...... Dewi ...... " terdengar keluhnya tercampur isak tertahan. Ia merasa seakan-
akan dadanya ditusuk oleh ribuan ujung keris berbisa.
Melihat kekasihnya demikian setia, tetap mencintainya sepenuh jiwa, kemudian
mengingat betapa ia tadi telah menyangka yang bukan-bukan !
Meyangka gadis sesuci ini berlaku serong mencinta orang lain ! Mengingat betapa
kekasihnya yang demikian setia dan memang mencintainya, akan dipersunting oleh
Sang Prabu Pikatan ! Ah, hancurlah hati Indrayana.
Koleksi Kang Zusi Sebaliknya, ketika Candra Dewi menyaksikan keadaan pemuda itu aia amat terheran-
heran dan juag gelisah. Terutama sekali ketika ia melihat air mata pemuda itu
megalir keluar keluar dari celah-celah jari tangannya.
Serentak gadis itu melompat maju dan memegang kedua lengan indrayana,
membetotnay dengan keras sehingga Indrayana melepaskan tangannya dari depan
mata. Pemuda itu memeramkan kedua matanya, hidungnya berkembang kempis menahan
dorongan isak yang menaik dari dalam dada, mulutnya terengah menahan hawa
perasaan yang bergolak. "Kakangmas Indrayana ...... kau kenapa ?" " Candra Dewi bertanya sambil mempererat
pegangan tangan pada lengan pemuda itu.
Mendengar suara ini sadarlah Indrayana daripada keadaannya. Ia membuak kedua
matanya melalui jari-jarinya ia emmandang kepada wajah gadis itu. Melihat betapa
sinar mata gadis itu dengan sayu dan mesra menatapi wajahnya, Indrayana
menggeleng-geleng dengan kepala dengan keras untuk menahan hasrat hatinya yang
ingin memeluk dan mendekap kepala kekasihnya itu ke dadanya, Ia bahkan segera
menarik kembali kedua tangannya sehingga terlepas dari pegangan Candra Dewi,
"Kakangmas Indrayana ...... mengapakah " Apa yang terjadi " " gadis itu mendesak dan
kini iapun menjadi pucat karena menduga bahwa pasti terjadi sesuatu yang amat
hebat sehingga pemuda peujaan hatinya itu bersikap sedemikian rupa.
"Tidak ..... tidak ...... jeng Dewi ...... jangan kau menyentuh aku ...... jangan. "
Akan tetapi Candra Dewi bahkan menubruk maju dan memeluk pinggang pemuda itu,
menjatuhkan mukanya pada ada Indrayana sambil menangis.
Koleksi Kang Zusi "Kangmas Indrayana ...... agaknya kau telah membenci aku ...... agaknya kau telah lupa
kepadaku ...... Gusti Yang Maha Agung ...... benar-benarkah kau telah terpikat oleh
seorang gadis lain di Mataram ...... " " Dara ini lalu menangis sehingga Indrayana
merasa betapa kulit dadanya menjadi basah dan hangat oleh air mata gadis itu.
Lupakan segala hal dan kedua lengannya yang kuat itu segera merangkul dan
memeluk kepala kekasihnya, didekapnay kuat-kuat ke dadanya.
"Dewi ...... Dewi ...... Dewata menjadi saksi bahwa kaulah satu-satunya wanita di
mayapada ini yang menjadi pujaan kalbu dan kesuma hatiku ...... "
"Kangmas Indrayana ...... " bisik Candra Dewi dan terisaklah gadis ini karena
terharu dan girang. Untuk beberapa lamanya, sepasang teruna remaja ini diam tak
bergerak, tenggelam dalam ayunan perasaan masing-masing. Akan tetapi Indrayana
sadar kembali dan segera melepaskan rangkulnya, lalu melangkah mundur sambil
menggeleng-geleng kepalanya.
"Kangmas Indrayana ...... ! " Candra Dewi mengembangkan kedua lengannya dan
memandang heran. Jeng Dewi, jangan ...... jangan kau mendekati aku ! Ketahuilah bahwa aku
...... aku tak berhak menyentumu, aku tak berhak memandangmu ...... bahkan
...... bahkan aku seharusnya berlutut menyembahmu sebagai junjungan ......
sebagai ...... sebagai Maha Puteri Mataram ...... "
"Eh-eh, kau kenapakah, kakangmas Indrayana " Sungguh berobah sekali sikapmu.
Apakah yang telah terjadi " Katakanlah, aku bersedia menerima pukulan yang
bagaimana beratpun, katakanlah."
Koleksi Kang Zusi "Diajeng ...... aku ...... aku datang sebagai utusan Sang Prabu Pikatan dari Mataram ! "
Wajah Candra Dewi berseri. " Apakah buruknay hal itu " Tentu yang kau maksudkan
dengan Sang Prabu Pikatan itu adalah Raden Pancapana, bukan
" Ah, kau tentu akan menjadi patihnya ! Bagaimanakah keadaan Sang Prabu
" " Melihat kegembiraan Candra Dewi mengenangkan Raden Pancapana yang hampir seperti
kakak kandungnya sendiri itu, Indrayana menarik napas panjang. " Ah, kau tidka
tahu, Dewi ...... " keluhnya di dalam hati, " kau tidak tahu ...... "
"Jeng Dewi, memang kakangmas Pancapana yang mengutusku ke sini, untuk
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyerahkan sepucuk surat kepada paman panembahan. "
"Rama panembahan berada di dalam pondoknya, akan tetapi, kau masih belum
menceritakan apa yang menjadikan kau bersikap seperti itu. Kau nampak berduka
sekali, ada apakah " Apakah hubungannya penyerahan surat ini dengan kedukaanmu "
" "Dengarlah baik-baik, jeng Dewi, surat ini ...... maksudnay tidak lain bahwa Sang
Prabu Pikatan dari Mataram meminang engkau untuk menjadi permaisuri Kerajaan
Mataram ! " Lenyaplah semua warna muka merah dari Candra Dewi, sepasang matanya terbentang
lebar-lebar memandang kepada Indrayana.
Koleksi Kang Zusi "Tak mungkin Raden Pancapana mempunyai niat seperti itu ! Dia seperti kakakku
sendiri ...... ! Ah, tak mungkin ! "
Indrayana menunduk. " Bagaimanapun juga, memang demikianlah halnya.
Sang Prabu harus menaikah dan mencari seorang permaisuri, dan ......
menurut pandangannya ...... hanay engkaulah orangnya yang patut menjadi
permaisurinya, menjadi wanita termulia di Mataram !
"Tidak ...... tidak ...... aku tidak mau ! Ah, kakangmas Indrayana ......, bagaimanakah
engkau ini ...... " dan kau ...... justeru engkau yang melakukan tugas meminang ini ...... "
Apakah kita sudah gila " "
Melihat betapa kekasihnya berdiri dengan binggung dan wajah pucat, hampir saja
Indrayana tidka kuat menahan gelora hatinya, hendak menghiburnya ingin sekali ia
memeluk gadis itu, membisikkan kata-kata hiburan, menyenangkan hatinya,
mengatakan bahwa semua itu hanay kelakar belaka, bahwa tidak ada seorangpun di
dunia ini, dewatapun tidak, yang sanggup untukmemisahkan mereka, memutuskan
kasih sayang mereka. Akan tetapi, ia harus menarik napas berkali-kali dan menunduk saja.
"Kakangmas Indrayana ! Jawablah ! Mengapa engkau membiarkan saja hal ini terjadi
" Mengapa engkau tidka menentangnya, tidak mengajaknya bertanding, tidak
mengubur ujung karismu di dadanya " Mengapa " "
Indrayana mengangkat muka dan memandang tajam. " Tidak, jeng dewi, Sang Prabu
Pikatan adalah seorang raja besar di Mataram. Di dalam tangannyalah terletak
keselamatan, kejayaan dan kemuliaan Mataram.
Sesunggunya daripada ...... daripada ...... mengikuti aku yang bodoh dan hina.
Koleksi Kang Zusi Dan dalam pandanganku, tidak ada wanita yang lebih patut menjadi sesembahan
rakyat Mataram selain engkau ! "
Ucapan ini merupakan keris yang menusuk jantung Candra Dewi. Ia memeramkan kedua
matanya, keningnay berkerut dan giginya megigit bibir.
Tak sebutirpun air mata mengalir turun dari matanya, akan tetapi tubuhnya
seakan-akan telah ditinggalkan sukmanya sehingga tiada daya sama sekali.
Akhirnya ia terhuyung-huyung dan tentu ia sudah roboh kalau tidak Indrayana
cepat melompat dan memeluknya.
Aduh, jeng Dewi ..... jeng Dewi, kuatkanlah hatimu ...... " kata Indrayana dengan
terharu sekali. Untuk beebrapa lama Candra Dewi tak bergerak dalam pelukan
Indrayana, kemudian ia menangis tersedu-sedu.
"Kangmas Indrayana ...... mengapa terjadi hal begini ...... " Mengapa ...... "
aku lebih baik mati daripada harus mengalami derita sebesar ini ...... sampai hati
Raden Pancapana berbuat seperti ini an bagaimana pula engkau orangnya yang
menjadi utusannya untuk melamarku...... " "
"Tenanglah, jeng Dewi dan pikirkan baik-baik. Raden Pancapana yang dulu tisak
ada lagi, yang ada adalah Sang Prabu Pikatan yang mulia dan berkuasa atas kawula
Mataram. Kita tak dapat membantah kehendaknya dan anggaplah saja bahwa kita
tidak berjodoh, diajeng. Akan tetapi percayalah bahwa selama hidupku aku takkan
manikah dengan wanita lain dan bahwa cinta kasihku terhadapmu akan sama kekalnya
dengan sukmaku ! " Tiba-tiba Candra Dewi merenggutkan tubuhnya dari pelukan Indrayana dan kedua
matanya bersinar-sinar bagikan mengeluarkan api.
"Kangmas Indrayana ! kau sungguh mengecewakan hatiku ! Kau, seorang yang tadinya
kukira segagah-gagahnya orang, ksatriya yang kusangka Koleksi Kang Zusi
seorang raja ksatriya yang semulia-mulianya, ternyata hanay seorang pemuda yang
lemah ! Kau bukan seorang kawula Mataram, kau seorang kawula Syailendra, mengapa
kau harus tunduk kepada Raja Maratam "
Sudah terang bahwa Raden Pancapana telah berlaku khianat terhadap kawan dan adik
angkatnya sendiri, mengapa kau diam dan mengalah saja "
Aku akan seribu kali lebih senang melihat kau tewas dalam usahamu menentang
kehendak Sang Prabu Pikatan yang kurang patut ini untuk membelaku, dari pada
melihat kau berlemah hati dan mengalah serta mengorbankan aku ! Kalau kau tidak
berani, biarlah aku sendiri yang akan menentangnya ! Awas kau, Pancapana, jangan
kau kira bahwa aku Candra Dewi selemah Indrayana ! Awas dan tunggulah datangnya
pembalasanku ! " Setelah berkata demikian Candra Dewi melompat dan lari pergi dari situ.
Indrayana hendak mengejar, akan tetapi ia mengehal napas dan merasa bahwa untuk
saat ini lebih baik menjauhkan diri dari gadis itu. Ia lalu pergi menuju ke
pondok tempat tinggal Panembahan Bayumurti.
"Selamat datang, Raden Indrayana ! " tegur sang panembahan dengan gembira. "
Duduklah ! " Indrayana berusaha untuk menekan penderitaan hatinya, duduk memberi hormat,
bersila dengan spontannya lalu berkata.
"Maafkan saya, paman panembahan, kalau kedatangan saya ini menaggangu. "
"Ah, tidak sama sekali Raden. Apakah selama ini aku sehat-sehat saja " "
"Terima kasih paman panembahan, saya sehat dan selamat, karena doa Koleksi Kang
Zusi restu paman. Tak lain saya menghaturkan sembah bakti kepada paman panembahan,
juga saya membawa sambah bakti dari Sang Prabu Pikatan untuk disampaikan kepada
paman panembahan. " Panembahan Bayumurti tertawa girang. " Ya, ya, aku sudah mendengar tetang
kemajuan Mataram dalam bimbingan Raden Pancapana. Sukurlah, saat ini telah lama
kunanti-nanti. Adakah kau datang berkunjung untuk menengok saja ataukah ada
keperluan khusus yang lain, Raden " "
"Pertama-tama saya datang untuk menengok keadaan paman panembahan yang etlah
lama berpisah dan kedua kalinya, sebenarnya saya datang membawa perintah dari
Sang Prabu Pikatan untuk menghaturkan sebuah suratnya kepada paman panembahan.
Inilah surat itu, paman. " Sambil berkata demikian, Indrayana lalu mengeluarkan
surat dari Sang Prabu Pikatan itu dan menyerahkan kepada Sang Panembahan
Bayumurti. Pertapa, itu mengeluarkan tanagn menerima surat itu lalu membuka
kemudian membacanya. Indrayana hanay duduk bersila sambil menundukkan mukanya, maka ia tidka melihat
betapa itu memandangany dengan tajam sehabis membaca surat, kemudian ia
mendengar pendeta itu menarik napas panjang berkali-kali.
Jagad Dewa Batara ...... kehendak Dewata pasti terjadi ! Apakah yang dapat
dilaklukan seorang manusia yang menjalankan dharma hidup di mayapada tanpa
dikehendakinya " Raden Indrayana, anakku, kau tentu sudah maklum akan isi surat
ini, bukan ?" Indrayana mengangguk diam. " Kau sudah maklum bahwa Sang Prabu Pikatan meminang
adikmu Candra untuk diangkat menjadi permaisuri di Kerajaan Mataram " " Kembali
Indrayana mengangguk diam Koleksi Kang Zusi
Terdengar lagi pertapa itu menghela napas, " Aku tak akan menyalahkan Sang Prabu
Pikatan. Ia hanya hendak menjaga nama dan sekalian juga memuliakan nama Candr
Dewi dan aku sebagai ayahnya. Akan tetapi ia lupa akan kata-kataku dahulu, lupa
akan tugasnya mempersatukan Kerajaan Mataram Dan Syailendra, lupa akan tugasnya
mempererat ikatan batin antara Agama Hindu dan Buddha. " Kembali ia menarik
napas, " Memang, segala kemuliaan dan kebaikan selalu harus ditebus oelh
pengorbanan dari manusia-manusia mulia ! Raden Indrayana, aku orang tua yang
dapat mengibur kepadamu yang kutahu sedang menderita tekanan batin ! "
Indrayana terkejut dan mengangkat muka memandang dengan heran akan tetapi segera
menundukkan kepalanya lagi ketika melihat betapa sinar mata pendeta itu betul-
betul menyatakan bahwa pertalian cinta kasih antara dia dan Candra Dewi buakn
merupakan rahasia lagi bagi orang tua itu.
"Hanya sedikit peringantanku kepadamu Raden, yang patut kau jadikan obor ntuk
menerangi kegelapan pikiranmu. Manusia hanay menjadi pelaku yang dapat berlaku
menurut kehendak sendiri. Tak seorangpun manusia terlahir dan mati atas kehendak
sendiri, namun sekali kelahiran dan kematian menyeretnya, iapun takkan dapat
menolak atau membantah ! Liku-liku hidup telah terbentang di depan kita, dan kita harus ebrjalan di atas
lorong yang lebar, apakah kita suka atau tidak ! Oleh karena itu, senjata yang
paling ampuh hanyalah kesabaran dan ketenganan. Tenang dan sabarlah dalam
menghadapi apapun juag yang terjadi dan menimpa padamu, karena tanpa dua senjata
ini, kau akan mudah tergelincir dan tersesat.
Sekian, Raden, sedikit nasehat untuk bekal kau pulang ke Syailendra ! "
Kembali Indrayana terkejut karena tak disangkanya bahwa pendeta ini demikian
waspada sehingga tahu pula bahwa ia mengambil keputusan hendak pulang ke
Syailendra. Ia menyembah dengan hormat lalu berkata.
"Terima kasih banyak, paman Panembahan. Mudah-mudahan saja saya yng bodoh ini
dapat selalu mengingat akan nasehat dan petuah paman yang amat mulia. Karena
tugas saya hanay menyampikan surat, maka setelah Koleksi Kang Zusi
tugas ini selasai, perkenankanlah saya meneruskan perjalanan saya ke Syailendra.
" "Baiklah, " pendeta itu menghela napas, " semoga para dewata melindungi
perjalananmu. " Dengan hati kosong dan semangat lemah, Indrayana meninggalkan bukit itu dan
berjalan cepat sekali menuju ke syailendra. Di dalam hatinya, ia hanya dapat
berdoa semoga Candra Dewi akan hidup bahagia dengan Sang Prabu Pikatan, dan ia
mengobati jantungnya yang terluka dan berdarah itu dengan pikiran bahwa ia akan
bertapa dan menjadi pendeta seperti ayahnya.
Ayahnya merasa terharu melihat keadaan puteranya yang kurus dan pucat. Ketika
mendengar bahwa Sang Prabu Pikatan meminang Candra Dewi, diam-diam Wiku
Dutaprayoga maklum pula akan luka di hati pueteranya, maka ia taidak banyak
bertanya. Kedua ayah dan anak ini allu tinggal di atas bukit ebelah batar Sungai
Praga di mana mereka hidup sebagai petani sambil bertapa dan kadang-kadang
membuat senjata keris yang dipesan oleh para perwira Kerajaan Syailendra.
Walaupun kini tidak menjadi ahli Dutaprayoga masih tetap setia dan selalu
mengerjakan perintah Sang Prabu Samaratungga apabila Raja ini membutuhkan
senjata yang baik. Kalau Kerajaan Mataram di bawah perintah Sang Prabu Pikatan makin lama makin
jaya dan makmur, sebaliknya Kerajaan Syailendra makin lemah dan surut,
sungguhpun Agama Buddha yang dikembangkan oleh kerajaan ini makin luas dan makin
banyak pengikutnya. Diam-diam Sang Maha Samaratungga merasa kagum akan kepandaian Sang Prabu
Pikatan, karena di dalam waktu singkat saja Mataram telah bangun Koleksi Kang
Zusi kembali, bahkan kini menjadi makin jaya, sehingga sebagian besar wilayah yang
dahulu dirampas oleh para raja kecil, kini telah kembali. Anyak raja-raja kecil
kini takluk tanpa diserang lagi dan kejayaan Mataram makin bersinar sampai di
daerah Syailendra ! Syailendra pada waktu itu mengalami dua hal yang amat mengelisahkan pikiran Sang
Maha Raja Samaratungga. Pertama-tama karena danay gangguan dari gerombolan
Srigala Hitam di bawah pimpinan Siddha Kalagana, pendeta yang sakti mandraguna,
penyembah Sang Batari Durga itu. Pendeta itu kini makin besar kekuasannya, makin
berani melakukan penggaran di wilayah kerajaan lain. Bahkan kini Siddha Kalagana
telah mengangkat diri senidri menjadi seorang raja dengan gelar masih tetap Sang
Maha aja Siddha Kalagana dan kerajaannya disebut Kerajaan Durgaloka !
Hal kedua yang memusingkan Sang Prabu Samaratungga adalah puteri Pramodawardani.
Telah banyak pengeran dan raja yang datang mengajukan pinangan, akan tetapi
selalu Sang Puteri menolak. Hal ini amat mengelisahkan hari Sang Prabu
Samaratungga, oleh karena pinangan datanganay dari banyak fihak dan kalau selalu
ditolaknya, maka hal ini akan membuat sakit hati para pangeran itu dan
menimbulkan permusuhan. Pada suatu hari, rombongan perahu layar yang besar-besar dan mewah berlabuh dan
merapat di pantai Laut Jawa Rombongan ini ternyata adalah perahu-perahu dari
Kerajaan Sriwijaya di seberang, dan setelah para penumpangnya mendarat, ternyata
bahwa mereka adalah utusan dari Kerajaan Sriwijaya yang datang melamar Puteri
Pramodawardani. Menerma pinagan ini, Sang Maha Raja Samaratungga menjadi girang sekali, oleh
karena pinangan ini dianggap yang paling berharga dan mulia bagi puterinya.
Pangeran manakah yang datang melebihi pangeran dari kerajaan yang juga beragama
Buddha ini " Setelah menerima para utusan itu diberi tempat yang layak segera
Sang Prabu memanggil peuterinya Koleksi Kang Zusi
menghadap Raja, permaisuri dan puteri mereka itu lalu mengadakan pertemuan di
dalam istana. "Pramodawardani, puteriku yang tercinta, " kata Sang Prabu Samaratungga dengan
suara halus, "Ketahuilah bahwa hari ini datang warta yang amat menggirangkan dan
membanggakan hatiku. Sudah sepatutnya pula kaumerasa bangga pula karena warta
ini sesungguhnya merupakan penghormatan besar bagimu. "
"Hamba ikut merasa gembira mendengar bahwa ramanda prabu menerima warta girang.
Berita apakah gerangan yang mendatangkan kebanggaan itu, rama " " tanya
Pramodawardani sambil memandang kepada ayahnya dengan sepasang matanya yang
indah dan bening. "Baru saja ku menerima utusan dari Kerajaan Sriwijaya yang besar di seberang,
dan utusan itu membawa tugas dari Kerajaan Sriwijaya untuk meminangmu, anakku.
Kau akan menjadi permaisuri dari kerajaan yang besar dan jaya ! Nama Syailendra
akan menjadi lebih besar dan terhormat karenanya. Maka, bergiranglah kau, anakku
! " Akan tetapi, sang puteri yang cantik jelita itu tidak menjadi girang sebagaimana
yang diharapkan oleh ayahnya, sebaliknya bermenunglah ia dengan sepasang alis
yang hitam kecil dan panjang itu dikerutkan. Setelah agak lama, Sang Prabu
Samaratungga menegur puterinya,
"Pramodawardani, mengapa kau nampak tidak bergirang hati " Apakah kau tidka
merasa puas menjadi calon permaisuri kerajaan besar itu " "
"Ramanda prabu, mohon ampun apabila hamba mengecewakan hati Koleksi Kang Zusi
ramanda. Akan tetapi, terus terang saja hamba belum ada niat untuk meninggalkan
ramanda dan bunda ratu. Hamba ingin pergi dari istana ini, di mana hamba
dilahirkan dan dibesarkan. Kasihilah hamba, ramanda, jangan mengirim hamba ke
tanah yang sasing bagi hamba itu ! "
Merahlah wajah Sang Maha Raja Samaratungga mendengar ucapan puterinya ini. "
Pramodawardani ! Alasan-alasan usang yang kau ucapkan itu sudah membosankan
hatiku. Penolakan-penolakan atas pinangan banyak pangeran dan bangsawan masih
dapat kuterima oleh karena mengingat bahwa para peminang itu derajatnya masih
belum melebihi kita. Akan tetapi kau harus tahu bahwa peminang yang terakhir ini
adalah pangeran pati Sriwijaya ! Kau tak boleh selalu ebrkepala batu dan
membantah orang tuamu. Apakah selamanya kau takkan menikah " "
Ampun beribu ampun, ramanda ! Sesungguhnya, semenjak remaja puteri hamba telah
mempaunyai serta telah mempunyai menanam sebuah prasetia di dalam hati tentang
pernikahan hamba yaitu calon suami hamba haruslah seorang pemuda yang selain
berbudi mulia, berwatak ksatria, juga harus memiliki kepandaian dan sakti
mandraguna." Tiba-tiba Sang Prabu Samaratungga tertawa bergelak, kemudian berkata,
" Ha, ha , ha, tentu saja anakku ! Tentu saja ! Akupun tidak pastti suka
mempunyai seorang anak mantu yang berbudi rendah, yang lemah dan tidak memiliki
kepandaian. Jangan kau khawatir, anakku. Pangeran pati Sriwijaya memenuhi semua
syarat. Ia masih muda, gagah perkasa, dan bijaksana pula.
" "Akan tetapi hamba menghendaki bukti, ramanda. Hamba hanya mau menjalani tugas
pernikahan kalau calon suami hamba dapat membuktikan semua sifat-sifat yang
menjadi syarat itu. "
Koleksi Kang Zusi "Hm, jadi kau menghendaki agar suapaya diadakan sayembara untuk memilih calon
suami " " "Demikianlah yang menjadi prsetia hamba, ramanda prabu. "
Sang Maha Raja Samaratungga mengangguk-angguk lalu menarik napas sambil meraba-
raba kumisnya. " Akan tetapi, di dalam sayembara, semua orang boleh memasukinya,
Pramodawardani. Bagaimana nanti kalau pemenang sayembara itu seorang keturunan
biasa saja. " "
"Bagi hamba, lebih baik menjadi isteri seorang pemuda keturunan biasa yang
memenuhi idaman hati daripada menjadi isteri seorang raja besar yang tidak
memenuhi syarat ! " Setelah tertegun beberapa lama, Sang Prabu menggeleng-gelengkan kepala " Sungguh
berbahaya, anakku. Akan tetapi kalau sudah menjadi prasetiamu, tidak baik kalau
dilanggar. Biarlah Yang Maha Agung menetapkan pilihan untukmu. Aku hendak
mengadakan tiga macam sayembara. Pertama, peminangmu harusa apat menarik gendewa
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pusaka Dewandanu. Ke dua, ia harus dapat membersihkan hawa siluman yang
mengotori puncak Gunung Papak. Dan ke tiga, ia harus dapat bertanggung jawab dan
menyambut semua erangan dari mereka yang menyerbu karena pinangannya ditolak dan
harus membela Syailendra dari serangan musuh !
Sudah puaskah hatimu, Pramodawardani " "
Berserilah wajah puteri jelita itu. Kalau seorang ksatria muda dapat melakukan
tiga buah hal yang disebutkan oleh ayahnya itu, maka terlaksanalah cita-citanya
yaitu menjadi isteri seorang yang gagah perkasa dan sakti ! Ia hanya mengangguk
lalu menundukkan kepalanya, akan tetapi kemudian terdengar kata-katanya
perlahan. Koleksi Kang Zusi "Sudah cukup, ramanda, hanya saja, siapapun juga yang memenangkan sayembara,
harus pula melakukan sebuah syarat yang hamba tentukan sendiri kelak ! "
Ayahnya tersenyum. Ia maklum bahwa puterinya mempunyaai watak yang keras dan
tinggi hati, dan tentu saja sebagai seorang puteri mahkota, Pramodawardani ingin
" menghargai " diri sendiri setinggi mungkin. Akan tetapi, bagi seorang yang
telah dapat menyelesaikan tiga macam tugas berat di atas, syarat apa lagi yang
tak dapat dilakukan "
"Baiklah, anakku. Sekarang juga akan kuumumkan sayembara ini, sekalian dijadikan
jawaban untuk pinangan Pangeran Kerajaan Sriwijaya ! "
Setelah itu, Sang Maha Raja Samaratungga lalu bersiniwaka mengumpulkan semua
pembesar dan hulubalang dan memerintahkan agar mengumumkan sayembara segera
disebar luas. Juga para utusan dari Sriwijaya mendapat jawaban yang sama, yaitu
pinangan dari pangeran pati Sriwijaya hanay dapat diterima apabila ketiga syarat
sayembara itu terpenuhi. Utusan dari Sriwijaya itu dikepalai oleh dua orang
senopati Sriwijaya yang bernama Kalinggajaya dan Kalinggapati, dua orang kakak
beradik yang gagah perkasa. Sebagai utusan yan berbakti, mereka berdua sanggup
untuk mengerjakan dan memenuhi syarat sayembara itu atas nama pangeran pati.
Selain utusan dari Sriwijaya ini, banyak pula pangeran dan ksatria yang memasuki
sayembara. Hari yang baik untuk pembukaan sayembara itu dipilih dan kemudian
diumumkan. Di alun-alun telah dibangun sebuah panggung untuk Sang Prabu,
Permaisuri dan Puteri Mahkota.
Koleksi Kang Zusi Pada pagi hari dibukanya sayembara itu, rakyat berduyun-duyun datang ke alun-
alun, mengelilingi pagar prajurit yang menjaga alun-alun itu. Di tengah alun-
alun duduk bersila belasan laki-laki gagh perkasa belaka. Kepada mereka itulah
semua mata penonton ditujukan dan mereka menjadi pusat perhatian dan kekaguman.
Di depan para calon itu terdapat sebuah meja tinggi di mana gendewa pusaka
keraton, pusaka Dewandanu, diletakkan, terbungkus sutera kuning.
Gamelan keraton sengaja dikeluarkan dan ditabuh meramaikan suasana.
Baru saja Sang Maha Raja Samaratungga beserta permaisuri dan Sang Dyah Ayu
Pramodawardani telah keluar dari kedaton dan naik ke atas panggung itu, diiringi
oleh para nayaka dan hulubalang. Kini perhatian orang ditujukan kepada Sang
Puteri yang cantik jelita itu, yang berjalan menaiki tangga panggung dengan
gerakan tubuh yang lemah gemulai, kemudian duduk disebelah kanan ayahndanya
dengan sikap agung, bagaikan seorang bidadari surgaloka. Para pengawal dengan
tombak atau pedang di tangan berdiri berbaris di depan an bawah panggung,
menjaga keselamatan keluarga besar itu, sedangkan para pelayan yang juga cantik-
cantik itu segera menggerakkan kipas bulu merak dan menyediakan segala keperluan
keluarga agung itu, seperti minuman, buah-buahan dan lain-lain.
Gendewa pusaka Dewandanu bukanlah sebuah gendewa biasa, karena gendewa itu
adalah milik seorang pemberontak pada zaman pemerintahan raja wanita di Kerajaan
Keling, yaitu Ratu Sima. Pemberontak itu tinggi besar seperti raksasa bernama
Kala Dibya, sakti dan memiliki tenaga yang mengerikan. Akan tetapi pemberontak
ini akhirnya binasa di tangan seorang senapati Ratu Sima dan gendewa dari Kala
Dibya yang telah menewasakan banyak sekali senapati dan prajurit dari Kerajaan
Keling itu, masi tesimpan sebagai senjata yang dahsyat dan ampuh, yang bernama
puaka Dewandanu. Akhirnya senjata ini terjatuh ke dalam tangan Sang Maha Raja
Samaratungga dan dianggap sebagai pusaka keraton.
Sang Prabu Samaratungga memberi tanda dengan mengangkat tangan kanannya, maka
dimulailah sayembara itu. Seorang perwira kerajaan dengan penuh khidmat maju
memberi hormat kepada pusaka itu, lalu Koleksi Kang Zusi
membuka bungkusannya. Nampaklah sebuah gendewa yang sebesar lengan dan
panjangnya hampir dua depa, terbuat dari pada kayu yang kehitam-hitaman dan
mengkilap. Tali gendewanya berwarna putih dan kuat sekali karena tali ini
terbuat daripada otot baak.
Pada saat seorang calon hendak maju menempuh ujian pertama ini, tiba-tiba para
penonton di sebelah selatan terdengar ribut-ribut dan bergerak perlahan, memberi
jalan kepada kedua pemuda yang tampan dan gagah.
Tadinya orang-orang ini hendak marah melihat pemuda yangmendesak ke depan akan
tetapi setelah melihat betapa pemuda itu amat tampan an berpakaian mewah seperti
seorang raja, juga wajah pemuda itu bercahaya dan penuh keagungan, maka mereka
lalu mengundurkan diri dengan sikap menghormat sekali. Seruan terdengar dari
banayk mulut sebagai tanda kagum akan kegagahan dan ketampanan pemuda ini,
terutama sekali ketiak mereka melihat bahwa pemuda bangsawan ini mempunyai
belasan orang pegiring yang terdiri dari orang-orang bangsawan belaka.
Dengan tindakan kaki yang tenang dan tegap, pemuda ini menuju ke tengah alun-
alun, kemudian duduk di deretan belakang, bersila dengan gagahnya, sama sekali
tidak menyembah kepada Sang Prabu Samaratungga permaisuri dan puterinya yang
berada di atas panggung. Pramodawardani memandang dan sepasang matanya bercahaya penuh kekaguman. Di
dalam hatainya ia bertanya siapakah adanya pemuda yang tampan dan gagh itu, yang
tejanya bersinar gemilang. Juga Sang Prabu Samaratungga memandang dengan penuh
perhatian, karena raja ini dapat menduga bahwa pemuda itu tentu bukan orang
sembarangan. Akan tetapi ia merasa penasaran melihat betapa pemuda itu sama
sekali tidak mau memberi hormat dan menyembah ke arah penggung sebagaimaan
mestinya. Seorang penjaga yang melaihat sikap pemuda itu, segera melangkah maju hendak
menegur, akan tetapi ketika telah berdiri di depan pemuda itu dan bertemu
pandang ia terejut dan melangkah mundur. Bukan main hebatany Koleksi Kang Zusi
pengaruh pandang mata pemuda itu, mengandung perbawa yang luar biasa.
"Kau siapakah, Raden " Agaknya kau tidak tahu bahwa yang berada di atas panggung
itu adalah Sang Prabu sendiri bersama permaisuri. Kau harus memberi hormat
terlebih dahulu. " "Ponggawa, mundurlah kau. Seorang raja tidak memberi hormat kepada raja lain
kalau tidka bertemu muka. Lagipula, paman Prabu Samaratungga duduk di atas
panggung sedangkan aku berada di bawah. Kedatanganku untuk mengikuti sayembara,
bukan untuk menghadap Sang Prabu ! "
Ponggawa itu tertegun. Ucapan seperti itu hanay dapat dikeluarkan oleh seorang
raja ! Siapakah raja muda ini " Akan tetapi ia tidak berani banyak bertanya dan
lalu mundur, berdiri di tempat penjagaannya kembali, yaitu di bawah. Sementara
itu, pemuda itu lalu mengerling ke atas panggung.
Siapakah pemuda ini " Tentu mudah diterka, karena ia bukan lain ialah Sang Prabu
Pikatan atau pemuda Raden Pancapana yang tampan dan gagah !
ebagaimana diketahui di bagian depan, Sang Prabu atau Sang Raja Pikatan ini
mengutus Indrayana untuk meminang Candra Dewi puteri Penembahan Bayumurti, akan
tetapi beberapa hari kemudian ia menerima berita balasan dari Panembahan bahwa
Candra Dewi tidak mau menerima pinagannya, bahkan gadis itu telah melarikan diri
tanpa memberi tahu kepada ayahnya !
Mendengar ini, Sang Prabu Pikatan menghela napas dan ia tidak menjadi marah,
bahkan berkata perlahan "Candra Dewi, engkau sungguh setia. Aku tahu, penolakanmu ini tentu karena
cintakasihmu terhadap Indrayana ! " Raja muda ini mengira bahwa Candra Dewi
melarikan diri bersama Indrayana, maka ia tidka memikirkan lagi tentang gadis
itu, bahkan di dalam hatinya ia mendoakan kebahagiaan bagi Indrayana dan Candra
Dewi yang disayanginya itu.
Koleksi Kang Zusi Kemudian, Sang Rakai Pikatan itu mendengar tentang sayembara yang diadakan oleh
Kerajaan Syailendra. Tergeraklah hatinya, dan ia teringat akan cerita Indrayana
yang memuji-muji kecantikan Puteri Pramodawardani dari Syailendra. Kalau Candra
Dewi tidka suka menjadi sesembahan di Mataram, agakany yang patut menempati
kursi kedudukan permaisuri, selain Puteri Mahkota Pramodawardani dari
Syailendra, tidak ada orang lain lagi ! Kerajaan Syailendra terkenal sebagai
kerajaan besar dan juga nama Sang Prabu Samaratungga cukup terkenal. Tidak akan
memalukan apabila ia dapat berhasil memboyong Puteri Pramodawardani ke keraton
Mataram untuk dijadikan permaisurnya !
Akan tetapi, ketika ia berunding dengan senapati seph di Mataram, para senapati
itu menyatakan kesangsian mereka oleh karena Kerajaan Syailendra beragama
Buddha. "Kalau paduka mengajukan pinangan sebagai Raja Mataram, kemudian sampai ditolak
hanya karena alasan agama, bukankah itu meripakan tamparan besar bagi Kerajaan
Mataram " Sebagaimana paduak telah mengetahui, banayk terjadi kesalahfahaman
antara kawula Mataram dan kawula Syailendra karena agama maka janganlah sampai
kesalahfahaman ini menjalar kepada keraton kedua kerajaan. "
"Tidak demikian, paman senapati, " jawab Sang Raja Pikatan, " oleh karena
Kerajaan Syailendra telah mengadakan sayembara pilih menantu maka siapapun juga,
baik beragama Buddha atau lain, berhak untuk ikut memasuki sayembara, tidak
sebagai seorang raja besar yang datang meminang dengan membawa bala tentara,
melainkan sebagai seorang peserta dan aku harap akan pergi dengan beberapa orang
pengiring saja. " Akhirnya berangkatlah Sang rakai Pkatan diiringi oleh beberapa belas orang
prajurit saja. Koleksi Kang Zusi Ketika Sang Prabu Pikatan mengerling ke atas panggung dan bertemu pandang dengan
Puteri Pramodawardani, ia menjadi benggong dan tak dapat mengalihkan pandanagn
matanya dari atas panggung ! Kecantikan puteri itu jauh melampaui dugaannya,
jauh melampaui pujian-pujian Indrayana. Hatinay berdebar keras dan pada saat itu
juga ia merasa yakin bahwa inilah wanita idamananya dan ini pulalah wanita satu-
satunya yang benar-benar ia inginkan menjadi permaisurinya, bukan hanya untuk
pemantas atau demi keharuman nama kerajaannya akan tetapi oleh karena hatinya
membisikkan sesuatu yang aneh, yang membayangkan bahwa hanya dengan puteri
inilah hidupnya akan bahagia !
Sementara itu, Pramodawardani yang juga kebetulan sedang memandang kepada pemuda
gagah dan tampan itu, tak dapat lama-lama bertahan dan cepat-cepat menundukkan
mukanya yang berobah merah.
Sementara itu, sayembara telah dimulai. Seorang demi seorang maju dan mencoba
kekuatan mereka untuk menarik gendewa ampuh itu. Orang pertama adalah seorang
pangeran dari timur yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Pangeran itu
mengangkat dada, sengaja menanggalkan baju yang memperlihatkan dadanya yang
bidang dan membusung. Urat-uratnya melingkar-lingkar bagaikan ilar di seluruh
tubuhnya. Puteri Pramodawardani meramkan matanya. Ia tidak tahan untuk membayangkan
bagaimana kalau sampai pemuda raksasa ini berhasil memenangkan sayembara ! Diam-
diam ia menggigil penuh kegelian hati.
Ketika terdengar tepuk tanagn para penonton yang menyatakan kagum atas kehebatan
bentuk tubuh raksasa muda ini, Pramodawardani membuka matanya, Ia melihat betapa
pemuda bermuka hitam itu membungkuk, mengambil gendewa dari atas meja, memegang
batang gendewa dengan tanagn kiri, kemudian sambil tersenyum mengejek tangan
kanannya memegang tali gendewa, lalu dipentangnya. Mula-mula ia menarik
perlahan-lahan, dan tali itu dapat dapat tertarik kedua ujungnya olehtali,
ternyata tarikan pemuda itu menjadi mogok karena tali gendewa itu kali ini sama
Koleksi Kang Zusi sekali tak dapat digerakkan. Ia mengerahkan tenaga dan mulai hilanglah senyum
ejekan yang tadi terbayang pada wajahnya yang hitam. Akan tetapi percuma,
gendewa itu benar-benar kuat dan masih lempeng, sama sekali tak dapat dipentang
sedikitpun juga. Ia mengerahkan tenagan sambil menahan napas, mukanay makin
menghitam, urat-urat kedua tangannya tersembul makin besar, peluh sebesar kacang
hijau memenuhi jidatnya, namun percuma belaka. Beberapa kali ia memandang
gendewa itu denagn penasaran dan heran, mengganti pegangan batang dengan tangan
kanan dan menarik tali dengan tanagn kiri, amun usahanay tetap sia-sia.
Kini sorak-sorai penaonton makin ramai, akan tetapi bukan merupakan pujian lagi,
melainan sorak menertawakan. Akhirnya pangeran timur ini saking malunya,
melemparkan gedewa itu di atas meja dan tanpa banayk cakap lagi lalu lari
meninggalkan lapangan itu ! Suara terkekeh-kekeh mengikutinya dari belakang.
Sang Puteri Pramodawardani menarik napas panjang dengan hati lega, akan tetapi
juga merasa kasian kepada pemuda raksasa itu.
Berturut-turut para calon itu mencoba tenaga mereka, akan tetapi gendewa pusaka
Dewanana itu benar-benar luar biasa sekali. Ada di antara para calon yang kuat
menarik busur itu sampai setengah lengkungan, kan tetapi tidak dapat sampai
busur itu membulat. Baru setengah tarikan telah dilepaskan lagi karena tidak
kuat dan kehabisan tenaga !
Orang-orang terakhir yang mengikuti sayembara itu adalah Kalinggajaya,
Kalinggapati dan Sang Rakai Pikatan. Para calon lain yang tidak dapat menarik
busur itu telah meningalkan lapangan sehingga kini hanya tinggal tiga orang itu
saja yang masih belum mengukur tenaga. Sang Prabu Samaratungga telah menjadi
gelisah dan kecewa sekali, harapannya untuk memilih mantu menipis. Baru syarat
pertama saja sudah sedemikian mengecewakan, belasan orang ksatria pilihan tak
mampu menarik busur itu. Koleksi Kang Zusi "Ah, anak muda sekarang tiada gunanya ! " katanya perlahan akan tetapi cukup
keras sehingga terdengar oleh Pramodawarani yang duduk di sebelahnya. " " aku
biarpun sudah tua, masih sanggup menarik Dewandanu itu sampai bulat. Apakah
benar-benar tiak ada orang gagah lagi di dunia ini
" " Akan tetapi, pada saat itu Kalinggapati adik Kalinggajaya, utusan dari Sriwijaya
itu tampil ke muka. Sebelum melakukan percobaan tenaganya, ia menyembah lebih
dulu k earah panggung, kemudian ia menghampiri gendewa itu dengan wajah tenang.
Sang Prabu menahan napas dan berbisik kepada permaisurinya,
"Kudoakan semoga utusan-utusan dari Sriwijaya itu akan berhasil ! "
Permaisurinya setuju dengan pendirian suaminya ini dan diam-diam ikut pula
mendoa, akan tetapi Puteri Pramodawardani berpikir lain. Diam-diam puteri juita
ini berdoa semoga ksatria bagus itulah yang akan berhasil san keluar sebagai
pemenang sayembara ! Betapapun tinggi pujian ramandanya akan kegagahan dan
kebijaksanaan pangeran pati di Sriwijaya, akan tetapi ia belum menyaksikan
dengan kedua mata sendiri, sedangkan ksatria yang tidak diketahui siapa orangnya
itu sudah dilihatnya sendiri dan hatinya berdebat apabila ia melirik ke arah
ksatria itu. Kalinggapati berdiri menghadapi busur Dewandanu dan mulutnya berkemik membaca
menteranya kemudian ia menggerakkan tenaga dan kesaktiannya, mengambil busur itu
dan menarik tali gendewa. Nampakbetapa mukanay menjadi merah dan dahinya
berpeluh, akan tetapi ia berhasil menarik tali gendewa sampai melengkung !
Sorak-sorai menyambut menyambut hasil ini dan kalinggapati lalu menaruh kembali
gendewa itu di atas meja, menyembah ke arah meja dan " mundur kembali ", duduk
di dekat kakaknya sambil memeramkan mata mengatur napas yang terengah-engah
Gendewa itu terlampau berat sehingga ia harus mengerahkan seluruh tenaganya.
Koleksi Kang Zusi Kini kalinggajaya maju. Seperti adiknya tadi, ia menyembah kepada Sang Prabu
Samaratungga, kemudian iapun mengerahkan aji kesaktiannya, menarik tali gendewa
yang segera melengkung. Tidka ada peluh memenuhi dahinya, hanay wajahnay saja
menjadi merah dan urat lehernya mengembung, tanda bahwa ia mengerahkan tenaga
dan mudah di lihat bahwa Kalinggajaya lebih sakti dan lebih kuat daripada
adiknya. Kembali sorak-sorai riuh rendah menyambut kegagahan ini.
Bukan main girangnya Sang Prabu Samaratungga dan permaisurinya menyaksikan hasil
yang diperoleh utusan-utusan Sriwijaya.
Sorak-sorai sebagai sambutan atas kegagahan kedua orang utusan Sriwijaya tadi
masih riuh ketika Sang Sakai Pikatan berdiri dari tempat duduk, mengampiri meja
itu dengan langkah seorang bambang yang lemah lembut dan tenang. Berbeda dengan
kedua orang utusan tadi ia tidak menyembah ke arah panggung, hanya membungkuk
sedikit sebagai tanda penghormatan, kemudian ia menghampiri gendewa itu. Para
penonton diam kembali, kini memperhatikan ksatria yang tampan dan halus itu.
Orang yang begitu lemah lembut, mana dapat menarik gendewa pusaka
Dewandanu ?"terdengar orang berkata.
Puteri Pramodawardani juga mendengar ucapan itu dan ia menjadi gelisah.
Ketengannya dapat dilihat jelas karena ia duduk sambil membungkukkan tubuh
depan, memandang denagn kedua mata tak berkedip. Sang Prabu Samaratungga dan
permaisurinya sebagai orang tua dara jelita itu, tentu saja melihat keadaan
puterinya ini, maka mereka saling pandang denagn penuh pengertian, kemudian
mereka menundukkan pandangan mata ke bawah panggung pula.
Koleksi Kang Zusi Sang Rakai Pikatan menunduk dan mencium gendewa itu, bibirnay bergerak dan
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tersenyum. Kemudian dengan gerakan tenang dan lemah lembut ia mengambil gendewa
itu dengan tanagn kiri, mengangkatnya ke tas kepalanya, memegang tali gendewa
denagn tanagn kanan di belakang terpentang lebar, tubuhnya agak cendong ke
belakang dengan pundak kanan merendah, muka mengadah memandang angkasa, mukanya
yang tampan tersenym manis, kemudian tanagn kanannay menarik tali gendewa denagn
amat mudahnya, seakan-akan busur itu hanya terbuah dari pada lidi aren dan tali
gendewanya dari kulit pohon pisang. Busur itu melengkung sampai menjadi bulat
dan ketika tali gendewa dilepaskan, terdengar bunyi
" sing !! " karena tali gendewa itu menggetar keras. Biarpun gendewa itu tidak
dipasangi anak panah, akan tetapi getaran tali gendawa mendatangkan sinar
seakan-akan ada anak panah yang melesat ke cakrawala !
Bukan main hebatnya sambutan penonton atas hasil gemilang ini. Gegap-gempita
bunyi tepuk tangan dan sorak-sorai, jauh mengalahkan sambutan-sambutan yang
tadi. Sang Prabu Samaratungga dan permaisurinya menahan napas karena merekapun
tertegun melihat kesaktian anak muda itu, dan ketika melihat betapa puterinya
itu telah berdiri dari tempat duduknya dengan kedua tangan saling peluk,
meremas-remas jari ! "Pramodawardani ......! " terdengar permaisuri menegur dengan bisikan.
Pramodawardani baru sadar ketika mendengar teguran ini, ia menengok ke arah
kedua orang tuanya, kemudian duduk kembali dan menundukkan mukanya yang
kemerahan. Akan tetapi, pada saat itu, terjaid kegemparan baru di kalangan penonton.
Dua orang telah melompat masuk dalam kalangan, seorang dari utara dan seorang
dari selatan. Orang yang masuk dari utara adalah seorang pemuda Koleksi Kang
Zusi tampan dan gagah, sama tampan, sama halus dan sama gagah jika dibandingkan
dengan Sang Rakai Pikatan. Pemuda ini lagsung menuju ke tempat ketiga calon yang
berhasil itu duduk lalu menjatuhkan diri bersila dan menyembah ke tas panggung
dengan penuh khidmat. Ketika Pramodawardani memandang, kedua matanya terbelalak. Ia mengenal pemuda
itu yang bukan lain adalah Raden Indrayana, pemuda "
kurang ajar " yang dulu berani membuka tirainya ketika ia bersama ayahnya
menjunjung pembukaan Candi Lokesywara ! Juga Sang Prabu Samaratungga mengerutkan
alisnya. Sungguhpun pemuda itu cukup gagh dan tampan, akan tetapi ia hanya
keturunan seorang wiku dan pernah melakukan pelanggaran. Namun, apakah hendak
dikata, setiap orang boleh saja mengikuti sayembara. Yang lebih mengejutkan hati
Sang Prabu adalah kedua yang masuk ke dalam kalangan selatan.
Orang ini adalah seorang pertapa tua yang amat menyeramkan. Kulit mukanya hitam
gelap dan mukanya menunjukkan bahwa ia adalah seorang Hindu. Keningnya tinggi,
matanya amat dalam, dipayungi oleh sepasang alis yang panjang dan tebal.
Hidungnya panjang, mulutnya tipis. Telinganya oanjang dan lebar, dan kepalanya
terikat oleh pengikat kepala yang berwaarna putih dilibatkan beberapa kali di
atas kepalanya. Jenggotnya pendek dan kasar sekali bagaikan duk. Sang Prabu
Samaratungga tidak tahu siapakah orang ini dan apa perlunya masuk ke dalam
Pedang Guntur Biru 3 Pendekar Rajawali Sakti 159 Neraka Kematian Pedang Langit Dan Golok Naga 27