Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 35

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 35


antara anak buah masing-masing.
Meskipun Sanakeling tidak setangguh Tohpati yang bergelar
Macan Kepatihan, namun melawan orang ini pun Untara harus
cukup berhati-hati. Apalagi ketika tumbuh keinginan di dalam
hatinya untuk menangkap Sanakeling hidup-hidup. Apabila
demikian, maka Sanakeling akan dapat dipergunakannya
untuk alat di bagian-bagian lain daripada bekas kekuasaan
Demak, untuk menenteramkan sisa-sisa pasukannya yang
liar. Apalagi di bagian Utara, bekas medan tempur yang
dipilihnya. Gerombolan-gerobolan kecil yang masih
berkeliaran di tempat itu pasti akan patah tekad dan kemauan
mereka, apabila mereka mendengar dan melihat, bahwa
Sanakeling benar-benar telah tertangkap.
Tetapi Sanakeling sendiri sudah bertekad, bahwa jangan
seorang pun di antara mereka yang tertangkap hidup. Itu
adalah suatu peristiwa yang sangat memalukan baginya dan
bagi orang-orangnya. Mereka akan mengalami penghinaan
yang jauh lebih berat daripada mati bagi seorang prajurit.
Sebab menurut gambaran angan-angan Sanakeling, apabila
mereka tertangkap hidup, maka mereka akan diarak di
sepanjang jalan. Orang-orang yang melihat mereka akan
bersorak-sorak sambil melempari mereka dengan batu.
Kemudian mereka akan diikat di alun-alun. Karena mereka
telah menyia-nyiakan kesempatan pertama untuk menyerah,
maka mereka akan mendapat hukuman picis. Mati pelahanlahan
di tiang hukuman, karena goresan-goresan pisau setiap
orang yang lewat sambil menaburi luka mereka dengan garam
dan air asam. Karena itu, maka yang terjadi selanjutnya adalah pertempuran
yang sangat dahsyat. Orang-orang Jipang yang putus asa,
berkelahi membabi buta. Demikian juga orang-orang Tambak
Wedi yang menganggap, bahwa peperangan ini bagi mereka
adalah mempertahankan padepokan mereka. Mereka
menganggap bahwa adalah menjadi kuwajiban mereka untuk
mempertahankan setiap jengkal tanah dengan darahnya dan
bahkan nyawanya. Untara yang langsung bertempur melawan Sanakeling
merasakan, betapa Sanakeling telah kehilangan segala
macam pertimbangannya. Seakan-akan wajah orang yang
hitam itu telah memancarkan tekadnya, tidak untuk bertempur
dan membinasakan lawannya, tetapi perkelahian itu hanya
merupakan alat baginya untuk membunuh diri. Dalam
keadaan itu Sanakeling telah lupa segala-galanya. Lupa
kepada Sidanti dan janjinya untuk melakukan perang tanding.
Meskipun demikian, sepasang senjata Sanakeling tetap
berbahaya bagi Untara. Bindi di tangan kiri dan pedang di
tangan kanan adalah pasangan senjata ciri kegarangan
Sanakeling. Dan sepasang senjata itu kini menyambarnyambar
mengerikan. Namun, yang dihadapinya adalah
Senapati Pajang yang bertugas langsung menyelesaikan
persoalannya di daerah itu. Meskipun Untara hanya
bersenjata tunggal, tetapi senjata itu cukup lincah untuk
melawan sepasang senjata lawannya yang mengerikan.
Di sisi lain, Sidanti dan Argajaya pun mengalami tekanan yang
tidak mudah diatasinya. Empat lima orang sekaligus
mengepungnya dengan rapat dan rapi, seakan-akan mereka
sengaja disiapkan untuk melawannya. Setiap kali mereka
berpaling ke arah Ki Tambak Wedi yang berkelahi di
sampingnya, maka setiap kali mereka melihat bahwa orang
tua itu pun ternyata sedang sibuk melayani musuh-musuhnya.
Betapa buasnya seekor harimau, namun melawan serigala
yang baik, yang jumlahnya tidak terbatas, maka akhirnya
harimau itu pun akan jatuh terkapar di tanah.
Demikian pula agaknya nasib iblis lereng Merapi yang merasa
dirinya tak terkalahkan, apabila ia masih tetap berada di
pertempuran itu. Karena itu, maka setelah pertempuran itu
menjadi semakin ribut, sampailah ia pada rencananya.
Menghindar dari padepokannya yang sebentar lagi akan
hancur dilanda arus prajurit Pajang.
Tetapi sudah barang tentu ia tidak akan dapat pergi begitu
saja, sebab prajurit Pajang telah mengepungnya dengan ketat.
Juga ia tidak boleh dilihat oleh orang-orang Jipang yang
sedang berkelahi mati-matian, bahkan oleh orang-orangnya
sendiri. Itulah sebabnya, maka setelah keputusannya jatuh untuk
melarikan diri, Ki Tambak Wedi itu tampaknya menjadi
semakin garang. Dilontar-lontarkannya beberapa gelang
besinya dan diamuknya setiap orang yang dekat. Orang tua
yang mengerikan itu berloncatan kian-kemari, menyusup di
antara kawan dan bahkan di antara lawan. Dengan demikian,
maka pertempuran menjadi kacau. Beberapa orang menjadi
ngeri melihat tandangnya.
Sidanti melihat sikap gurunya itu. Segera ia tanggap pada
keadaan, sehingga dengan isyarat ia memberitahukannya
kepada pamannya untuk mempersiapkan diri meninggalkan
perkelahian. Betapa kisruhnya perkelahian itu, sehingga ketiga orang yang
limpat tetapi licik itu akhirnya berhasil menyusup ke dalam
pasukan sendiri, perlahan-lahan mereka berlindung di antara
orang-orang Tambak Wedi yang berkelahi membabi buta.
Setiap kali mereka mendengar Tambak Wedi membakar nafsu
mereka dengan meneriakkan beberapa kata-kata.
Menyusupkan pengertian, bahwa mereka sedang berkelahi
untuk kepentingan kampung halaman. Sedumuk batuk,
senyari bumi, totohane pati.
Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya kemudian dengan
saling memberikan isyarat, melepaskan diri dari setiap ikatan
peperangan yang kacau. Mereka adalah orang-orang yang
mengenal padepokan itu dengan baiknya. Segala sudut dan
seginya telah mereka ketahui dengan saksama. Itulah
sebabnya, maka mereka berhasil melenyapkan diri mereka di
balik pagar dinding yang rendah, di belakang garis
peperangan itu. Kemudian menyusup menghilang di dalam
gerumbul-gerumbul yang lebat. Dengan diam-diam mereka
meloncat dari gerumbul yang satu ke gerumbul yang lain.
Mereka sadar, bahwa sebentar lagi, orang-orang di dalam
peperangan itu pasti akan menyadari, bahwa mereka bertiga
telah hilang dari antara mereka.
Setelah beberapa langkah mereka menghindar, maka segera
mereka mencari jalan untuk menembus lingkaran orang-orang
Pajang yang menebar, mengawasi medan dengan amat
cermatnya. Tetapi orang-orang Pajang tidak mengenal
padepokan itu sebaik Ki Tambak Wedi. Orang-orang Pajang
tidak mengenal batas-batas rumpun-rumpun bambu yang
lebat dan tanaman-tanaman liar yang tumbuh di antara
dinding-dinding yang bersilang melintang membatasi setiap
halaman. Dengan demikian, maka akhirnya ketiganya berhasil
menghilang dari peperangan. Untuk sementara tak seorang
pun yang mengetahuinya. Setiap orang di medan peperangan
itu sedang di sibukkan oleh lawan masing-masing. Bahkan
kemudian, perang itu menjadi seolah-olah perang brubuh.
Mereka tidak dapat mengenal lawan-lawan mereka seorang
demi seorang. Mereka bertempur bersama-sama dalam
pergumulan yang kacau. Mereka menikam lawan yang dekat
dari setiap orang, dan mereka menyerang siapa saja yang
lengah di sekitarnya tanpa pilih. Bahkan orang-orang yang
semula dipersiapkan untuk khusus melawan Ki Tombak Wedi
pun tidak berhasil selalu membayanginya. Sejenak sebelum
melarikan diri Ki Tambak Wedi meloncat-loncat dari satu
tempat ke tempat yang lain, hampir menyusur sepanjang
halaman. Bahkan sekali-sekali orang tua itu meloncat pula ke
pertempuran yang memanjang di jalan di muka halaman
banjar. Dengan demikian maka orang tua itu hampir mengitari
tidak saja satu halaman, tetapi di mana peperangan
berkecamuk, di situ Ki Tambak Wedi tiba-tiba saja muncul.
Namun apa yang dilakukan itu, semata-mata sebagai
persiapannya untuk menghilang. Dengan demikian, maka
orang-orangnya sendiri maupun lawan-lawannya menganggap
bahwa Ki Tambak Wedi sedang berada di medan yang lain.
Setelah mereka bertiga berhasil keluar dari pengawasan para
prajurit Pajang, maka segera mereka berlari semakin menjauhi
peperangan. Namun tiba-tiba Sidanti berkata, "Guru, aku
harus mengambil Sekar Mirah dahulu sebelum keluar dari
padepokan ini." "He," Ki Tambak Wedi berkerut.
"Gadis itu harus kita bawa serta. Banyak manfaatnya. Tidak
saja bagiku, tetapi juga bagi kita semua. Apabila kita
kehilangan kesempatan untuk keluar, maka Sekar Mirah akan
dapat kita jadikan alat."
Ki Tambak Wedi berpikir sejenak. Kemudian ia bergumam,
"Ada untungnya, tetapi ada pula kesulitannya. Kita tidak akan
dapat lari dengan cepat, sebab kita harus membawa gadis itu.
Namun benar juga katamu, bahwa gadis itu pun dapat kita
jadikan perisai demi keselamatan kita."
"Jadi, bagaimana Guru?"
Ki Tambak Wedi menjadi ragu-ragu sejenak. Tanpa
sesadarnya dipandanginya Argajaya yang berlari di
sampingnya. "Bagaimana, Ngger?" bertanya Ki Tambak Wedi.
"Terserah kepada Kiai," jawab Argajaya.
"Baiklah. Kita pergunakan gadis itu sebagai tanggungan.
Kecuali itu, aku takut kalau seterusnya kau akan kehilangan
segenap gairah untuk melanjutkan hidupmu, apabila gadis itu
lepas dari tanganmu."
Sidanti tidak menjawab. Tetapi ia menjadi gembira mendengar
ijin gurunya. Karena itu maka mereka pun segera berlari ke
pondok Sekar Mirah. Sementara itu pertempuran masih juga berkecamuk dengan
dahsyatnya. Namun segera dapat dirasakan bahwa prajurit
Pajang segera akan dapat menguasai keadaan. Mereka
segera berusaha untuk memperpanjang garis peperangan dan
memancing orang-orang Jipang dan Tambak Wedi dalam
perkelahian yang lebih luas. Dengan demikian maka lapisan
orang-orang yang bertempur itu menjadi semakin tipis.
Sementara itu, para prajurit Pajang yang melingkari daerah
peperangan itu pun segera menjadi semakin menyempitkan
diri. Seperti sehelai jaring yang besar, mereka merapat tanpa
melepaskan seorang pun dari tangkapan. Tetapi mereka tidak
menyadari, justru ikan yang paling besarlah yang sudah
berhasil lolos dari tangan mereka.
Tetapi sisa-sisa yang masih ada di dalam kepungan itu pasti
sudah tidak akan dapat lolos lagi. Semakin sempit jaring-jaring
kepungan prajurit Pajang, maka jarak mereka pun menjadi
semakin rapat. Akhirnya, setiap prajurit Pajang seakan-akan
telah merapat yang satu dengan yang lain. Dalam keadaan
yang demikian, seandainya Ki Tambak Wedi terlambat
beberapa lama, maka ia pun pasti tidak akan dapat lolos lagi
tanpa membunuh beberapa orang yang mengepung
pertempuran itu. Semakin dekat kepungan itu, maka pertempuran itu pun
semakin mendekati akhirnya. Prajurit Pajang semakin
mendesak maju, dan orang-orang Jipang dan Tambak Wedi
yang payah menjadi semakin payah. Namun seperti juga
Sanakeling, orang-orang Jipang menjadi seperti orang-orang
yang sedang kesurupan. Mereka mengamuk sejadi-jadinya.
Tetapi Untara, senapati yang berpengalaman itu segera
mengenal, bahwa sikap itu adalah sikap putus-asa. Justru
menghadapi orang-orang yang demikian Untara harus berhatihati.
Orang yang demikian sudah tidak lagi dapat menghitung
kalah atau menang, tidak lagi memikirkan siasat dan cara
yang sebaik-baiknya. Tetapi orang yang demikian hanya
cukup berpikir cukup mendapatkan korban sebanyakbanyaknya
yang akan bersama-sama pergi ke lubang
kematian. Demikian juga yang dilakukan Sanakeling saat itu. Ia sama
sekali sudah tidak mengharap bahwa pasukannya bersama
pasukan Tambak Wedi akan dapat memenangkan
pertempuran. Secara naluriah, sebagai seorang senapati, ia
dapat merasakan, bahwa pasukannya pasti akan segera
hancur, demikian juga pasukan Tambak Wedi. Dengan
demikian, maka sudah tidak ada lagi gunanya bagi Sanakeling
untuk mempertimbangkan kemungkinan berperang tanding
melawan Sidanti. "Kami semuanya akan mati bersama-sama
di sini," katanya di dalam hati.
Dengan demikian, maka tandangnya menjadi semakin garang.
Ia sudah tidak berpikir apa pun, kecuali membunuh sebanyakbanyaknya.
Kalau mungkin membunuh Untara dan
membawanya bersama-sama menjelang kematian.
Tetapi agaknya Untara tidak dengan sukarela menyerahkan
dirinya. Ia masih mencoba untuk menangkap Sanakeling
hidup-hidup. Tetapi karena tandang Sanakeling, maka tak ada
yang dapat dilakukan kecuali menyelesaikan tugasnya tanpa
mempertimbangkan apa yang akan terjadi atas lawannya.
Seandainya ia berhasil melumpuhkan Sanakeling hanya
dengan melukainya, tanpa membunuhnya, adalah lebih baik.
Tetapi apabila orang itu terpaksa mati terbunuh di dalam
peperangan, itu adalah kemungkinan yang sudah
diketahuinya. Diketahui oleh Untara dan oleh Sanakeling
sendiri. Dalam pertempuran yang semakin sengit, maka Untara dan
Sanakeling tidak segera mengetahui, bahwa Tambak Wedi,
Sidanti, dan Argajaya telah hilang dari medan peperangan.
Dengan licik mereka telah mengorbankan orang lain untuk
kepentingan mereka. Tanpa pertimbangan-pertimbangan lain,
mereka sengaja bersembunyi di balik bangkai kawan-kawan
mereka sendiri. Pertempuran di sela-sela pepohonan, dinding-dinding batu
dan rumpun-rumpun bambu, ternyata mampunyai pengaruh
tersendiri. Untara dan Sanakeling tidak dapat melihat medan
itu secara keseluruhan atau setidak-tidaknya gambaran yang
agak luas, karena terhalang oleh dedaunan dan batangbatang
pepohonan. Namun Untara telah mempercayakan
seluruh pasukannya kepada perwira-perwira bawahannya dan
kepada pemimpin-pemimpin kelompoknya. Ia ingin
memusatkan segenap perhatiannya kepada Sanakeling. Kali
ini ia harus dapat menyelesaikan tugas yang dibebankan
kepadanya oleh Panglima Wira Tamtama Pajang, setelah ia
membuat Panglima itu kecewa di Sangkal Putung. Setelah ia


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hampir menjerumuskan Ki Gede Pemanahan dan puteranya
Sutawijaya ke dalam kesulitan yang berbahaya. Bahkan tugas
yang diterimanya ini seakan-akan suatu hukuman atas
kesalahan dan kekhilafan yang pernah dilakukannya itu.
Sebagai seorang senapati di daerah yang luas, ia mendapat
perintah langsung menangani penangkapan dan penyelesaian
orang-orang Jipang yang berada di Tambak Wedi.
Demikianlah, pertempuran antara keduanya semakin lama
menjadi semakin sengit. Sanakeling yang putus asa benarbenar
mengamuk seperti serigala yang kelaparan. Menerkam
dengan sepasang senjatanya dengan garangnya, meskipun
tubuhnya dan pakaiannya menjadi semakin dibasahi oleh
keringat dan darahnya. Pedang Untara ternyata telah
menambah goresan-goresan luka di tubuh Sanakeling.
Semakin lama semakin banyak. Namun Sanakeling sama
sekali tidak menjadi semakin lemah. Tampaknya justru
menjadi semakin garang dan buas. Dalam keputus-asaan ia
bertempur, seakan-akan kesadarannya telah tidak dimilikinya
lagi. Menghadapi orang yang demikian, Untara harus semakin
berhati-hati. Ia telah berhasil mengalahkan Senapati Jipang
yang tangguh tanggon. Raden Tohpati yang bergelar Macan
Kepatihan. Namun Tohpati disaat-saat terakhirnya tidak
menjadi gila seperti Sanakeling dengan kedua jenis
senjatanya. Namun Untara adalah orang yang cukup mempunyai bekal
menghadapi keadaan itu, sehingga lambat laun ia pun berhasil
menguasai keadaan. Setiap kali ia berhasil menekan
lawannya dan setiap kali ia dapat menambah luka di tubuh
Sanakeling, dengan harapan orang itu akan jatuh lemas
sebelum terbunuh. Saat demi saat, pertempuran itu memanjat ke titik puncaknya.
Kini orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang sudah
hampir tidak mendapat tempat lagi untuk mempertahankan
diri. Medan peperangan menjadi semakin lama semakin
sempit. Untara sudah tidak berusaha lagi untuk memperluas
garis pertempuran, karena orangnya kini cukup banyak untuk
menghadapi lawannya. Bahkan prajurit-prajuritnya telah
memaksa lawan-lawannya untuk berkumpul di satu lingkaran
yang semakin sempit. Sementara itu Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya berlari
semakin cepat menyusup gerumbul dan meloncati pagarpagar
batu. Mereka ingin segera sampai di gubug Sekar Mirah
untuk mengambilnya, dan membawanya sebagai perisai yang
hidup. Sementara itu di gubug tempat Sekar Mirah disimpan,
Swandaru, Agung Sedayu, Wuranta dan Sekar Mirah sedang
bergumul dengan persoalan mereka sendiri. Mereka
dicengkam oleh kebingungan dan ketidakpastian, kenapa tibatiba
saja suasana perasaan mereka bergetar. Sikap Wuranta
benar-benar menjadi sebab, seakan-akan Agung Sedayu dan
Swandaru menjadi kehilangan pegangan untuk
menghadapinya. Untuk menghilangkan perasaan canggungnya, maka Agung
Sedayu tiba-tiba membentak kepada kedua orang Tambak
Wedi itu. "He, kenapa kalian diam saja mematung di situ?"
Kedua orang itu pun terkejut. Anak ini memang anak muda
yang aneh bagi mereka. Ketangkasannya hampir tak dapat
dibayangkannya. Bahkan mereka telah mencoba
memperbandingkan Agung Sedayu itu dengan Sidanti.
Dengan cemas kedua orang itu memandang wajah Agung
Sedayu yang tegang. Salah seorang dari mereka itu dengen
nada yang dalam menjawab, "Apakah yang harus, kami
lakukan?" Agung Sedayu tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu.
Tetapi tiba-tiba ia menyadari bahwa ia berada di antara lawanlawannya.
Karena itu untuk menjaga setiap kemungkinan yang
bakal terjadi apabila ada orang-orang lain yang datang, maka
tiba-tiba ia berkata, "Aku akan mengikat kalian di sini."
Wajah kedua orang itu tiba-tiba menjadi kian menegang.
Namun bagi mereka, hal itu akan lebih baik untuk
keselamatan mereka. Apabila Sidanti datang kepada mereka,
maka ia akan melihat, bahwa mereka telah berbuat sesuatu,
tetapi mereka tidak mampu.
Jawaban mereka benar-benar telah mengejutkan Agung
Sedayu. Berkata salah seorang dari mereka, "Silahkanlah
Tuan, apabila hal itu baik bagi Tuan."
"Pengecut!" Agung Sedayu hampir berteriak, perasaan yang
bersimpang siur telah saling mendorong di dalam hatinya,
sehingga menumbuhkan loncatan-loncatan yang kadangkadang
membuat dirinya sendiri menjadi terkejut.
Kedua orang Tambak Wedi itu pun terkejut. Tetapi mereka
tidak tahu apakah yang sedang bergolak di dalam dada Agung
Sedayu. Kebingungannya menghadapi Wuranta, dan
keheranannya melihat sikap orang-orang Tambak Wedi itu
membuatnya menjadi meledak-ledak. Mereka sama sekali
bukan orang-orang yang tidak berdaya. Bahkan salah seorang
dari mereka mampu mengimbangi, bahkan di dalam keadaan
yang khusus, di ruang yang sempit, ia mampu mendesak
Wuranta. Namun tiba-tiba mereka dengan tanpa berbuat
sesuatu menyerahkan diri mereka untuk diikat.
Agung Sedayu menganggap sikap itu sangat memuakkan.
Tetapi sebenarnyalah orang-orang Tambak Wedi belum
seluruhnya dapat disamakan ketahanan sikapnya dengan
orang-orang Jipang, prajurit-prajurit Pajang, atau mereka yang
pernah mendapat tuntunan khusus tentang olah kanuragan
dan sikap kejantanan. Orang-orang Tambak Wedi, betapa
mereka pernah melatih diri dalam tata perkelahian di bawah
tuntunan-tuntunan orang yang berilmu, namun ketahanan jiwa
mereka belum mendapat bentuk yang serupa di antara
mereka. Para pemimpin Tambak Wedi tidak sempat menilai
setiap orangnya satu demi satu. Ada di antara mereka yang
dengan gigih bertahan atas suatu keyakinan, bahwa Tambak
Wedi adalah kampung halaman yaug harus dipertahankan
sampai saat terakhir dari hayatnya. Tetapi ada juga yang acuh
tidak acuh, hanyut dalam arus ketamakan para pemimpinnya.
Dalam keadaan yang sulit, maka mereka akan lebih senang
memilih keselamatan nyawa mereka dan memeluk keyakinan
yang tidak pernah dapat tertanam dalam-dalam di dalam hati
mereka. Meskipun para pemimpin berusaha membuat orangorangnya
kehilangan nilai kediriannya, sehingga mereka
berpendirian bahwa sikap mereka itulah yang paling benar.
Kedua orang itu adalah bagian dari mereka yang belum dapat
dibentuk oleh orang-orang Tambak Wedi. Karena itu, maka
keduanya tidak akan bertahan sampai mengorbankan
nyawanya, meskipun keduanya mempunyai beberapa
kelebihan dari orang-orang kebanyakan.
Tetapi bagaimanapun juga Agung Sedayu masih tetap
menyadari keadaannya. Dengan nanar ditebarkannya
pandangan matanya ke sekeliling ruangan, kalau-kalau dapat
ditemukannya tali atau tampar atau apa pun.
Dan tiba-tiba ia meloncat beberapa langkah, mendorong
sebuah ajug-ajug gendi di sudut rumah itu, kemudian dengan
pedangnya di potongnya beberapa utas tali pengikat dinding
sudut. Dengan tali itu Agung Sedayu pergi mendapatkan
kedua orang Tambak Wedi sambil berdesis, "Berdiri beradu
punggung." Kedua orang itu tidak membantah. Mereka segera berdiri
beradu punggung. Mereka tahu benar bahwa Agung Sedayu
akan mengikat tangan-tangan mereka dengan tali anyaman
bambu dan lulup batang melinjo yang diambilnya dari sudut
rumah itu. *** Mereka menyeringai menahan nyeri ketika tali itu melukai
pergelangan tangan mereka. Tetapi mereka tidak dapat
berbuat sesuatu. Hanya mata mereka sajalah yang bergerakTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
gerak dari seorang ke orang yang lain yang berdiri di dalam
ruangan itu. Mereka melihat Wuranta berdiri seperti patung. Betapa
wajahnya menegang, tetapi Wuranta sama sekali tidak
bergerak. Namun perasaan di dalam dadanya sajalah yang
bergolak seperti angin prahara. Apa yang dilihatnya itu,
semakin membuat hatinya pedih. Wuranta menyangka bahwa
Agung Sedayu sengaja berbuat aneh-aneh untuk
menunjukkan kelebihannya. Seolah-olah Agung Sedayu itu
berkata kepadanya dengan sikapnya itu, "Lihat Wuranta,
bukankah aku mampu berbuat seperti ini" Dua orang ini dapat
aku kuasai dengan baik. Apalagi kau seorang diri."
Namun untuk sesaat, justru karena getar di dalam dadanya itu
Wuranta seolah-olah menjadi beku. Kehilangan
kemampuannya berpikir untuk sesaat. Dengan mata yang
hampir tidak berkejap ia melihat saja apa yang telah terjadi di
dalam ruangan itu. Tetapi tiba-tiba ia menyadari keadaannya ketika ia mendengar
suara derap kaki orang berlari-lari. Semakin lama semakin
dekat. Di antara derap langkah itu didengarnya suara orang
bergeramang. Bukan saja Wuranta yang terkejut mendengarnya. Tetapi
Swandaru dan Agung Sedayu yang baru saja selesai
mengikat orang-orang Tambak Wedi itu pun terkejut pula.
Suara derap itu pun semakin lama menjadi semakin dekat.
Mereka yang berada di dalam rumah itu pun segera
menyadari bahwa mereka harus menyiapkan diri mereka.
Seandainya yang datang itu orang-orang yang berbahaya bagi
mereka, maka mereka pun harus sudah bersiap untuk
menghadapinya. Perlahan-lahan Swandaru melepaskan Sekar Mirah.
Didorongnya gadis itu menepi sambil berbisik, "Hati-hatilah
Mirah." Sekar Mirah mengangguk, namun hatinya menjadi berdebardebar
ketika suara orang yang datang itu didengarnya,
"Pintunya terbuka sedikit guru."
"Mungkin ada orang di dalam," jawab yang lain. Jawaban itu
benar mengejutkan mereka yang ada di dalam rumah itu.
Mereka segera mengenal bahwa suara itu adalah suara
Sidanti dan pasti gurunya itu bernama Ki Tambak Wedi.
Suara langkah orang berlari itu pun segera berhenti. Yang
berada di dalam rumah itu tahu dengan pasti, bahwa mereka
berada di depan rumah itu di samping pintu.
Terdengar Sidanti berkata, "Mungkin para pengawas."
"Hati-hatilah," potong gurunya.
Sejenak mereka berdiam diri. Namun tiba-tiba terdengar
Sidanti berteriak, "Siapa di dalam?"
Swandaru dan Agung Sedayu saling berpandangan, sedang
Wuranta berdiri tegang di tempatnya
"Siapa, he?" Tiba-tiba Agung Sedayu menjulurkan pedangnya kearah leher
tawanannya yang diikat sambil berdesis di dalam mulutnya,
"Jawab." Kedua orang itu menjadi ragu-ragu. Tetapi pedang Agung
Sedayu semakin menekan lehernya.
"Siapa?" kembali Sidanti berteriak.
Dari luar Sidanti mendengar suara tergagap, "Aku. Aku, Tuan."
"He?" Sidanti semakin berteriak, "kau pengawas yang
mendapat tugas di sini?"
"Ya. Ya, Tuan."
Sidanti telah mengenal suara itu. Karena itu maka tiba-tiba
kemarahannya terungkat sampai ke ubun-ubun. Ia menyangka
bahwa para pengawas mempergunakan kesempatan
pertempuran di banjar untuk melakukan perbuatan yang jahat,
seperti apa yang akan dilakukan Alap-alap Jalatunda. Karena
itu tiba-tiba saja, seperti orang gila Sidanti meloncat masuk,
melanggar uger-uger pintu sehingga berderak roboh.
"Setan!" teriaknya. "Kau akan mati juga seperti Alap-alap
Jalatunda." Agung Sedayu yang berada di dalam rumah itu telah bersiap
sepenuhnya. Ia telah memperhitungkan bahwa Sidanti pasti
akan memasuki rumah itu, tetapi ia tidak menyangka bahwa
anak muda itu akan melanggar uger-uger sehingga roboh.
Beberapa potong bambu yang menyilang di atas pintu itu pun
rontok menimpa Sidanti, tetapi sama sekali tidak
dihiraukannya. Namun karena itu, maka untuk sejenak Agung
Sedayu tertegun karenanya.
Ketika Sidanti kemudian melihat siapa yang berada di dalam
rumah itu, maka darahnya menjadi serasa berhenti mengalir.
Sesaat ia tegak seperti patung. Mulutnya bergetar, namun tak
sepatah kata pun terloncat dari bibirnya. Dengan gemetar ia
menatap Agung Sedayu seperti melihat hantu. Kemudian
dipandanginya wajah Swandaru yang bulat.
Pertemuan itu begitu tiba-tiba sehingga kedua belah pihak
kehilangan kesadarannya untuk sekejap. Masing-masing
berdiri saja di tempatnya. Namun sorot mata merekalah yang
lebih dahulu berbicara. Dendam dan kebencian yang
tersimpan di dalam dada, seakan-akan tertumpah seluruhnya
lewat tatapan mata masing-masing.
Sejenak kemudian, tiba-tiba ketegangan itu sekali lagi
dipecahkan oleh peristiwa yang tidak terduga. Tak seorang
pun yang menyangka bahwa peristiwa itu akan terjadi.
Wuranta agaknya telah benar-benar ditelan oleh perasaannya,
sehingga ia sudah tidak mampu lagi berpikir bening.
Terdorong oleh berbagai macam perasaan yang bergolak di
dalam dadanya, serta dugaannya yang keliru tentang Agung
Sedayu, maka tiba-tiba anak muda itu telah berbuat hal yang
tidak menguntungkannya. Ia merasa bahwa Agung Sedayu seolah-olah telah
menghinanya dengan mempertunjukkan berbagai macam
kelebihan. Sehingga karena dorongan harga dirinya, setelah ia
merasa seakan-akan tidak berharga lagi di hadapan Sekar
Mirah dalam olah ketrampilan sebagai seorang laki-laki, maka
tiba-tiba timbullah kenekatan di hatinya. Itulah sebabnya,
maka ia telah berbuat tanpa pertimbangan.
Ketika Sidanti masih berdiri membeku memandangi Swandaru
dan Agung Sedayu berganti-ganti tiba-tiba Wuranta meloncat
menyerangnya. Pedangnya terjulur lurus langsung menusuk
lambung Sidanti. Tetapi Wuranta sama sekali tidak mengingat,
bahwa Sidanti sama sekali bukan kanak-kanak lagi. Apalagi
anak muda itu masih juga menggenggam pedang di
tangannya.

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Betapa pun Sidanti dicengkam oleh rasa terkejut, namun
dengan gerak naluriah ia bergeser ke samping. Dengan
sepenuh tenaganya maka dipukulnya pedang Wuranta.
Sidanti tidak perlu mengulangi lagi. Pedang itu pun
terpelanting beberapa langkah daripadanya. Bahkan Wuranta
sendiri terdorong ke samping beberapa langkah karena tarikan
kekuatannya sendiri dan pukulan pedang Sidanti yang telah
melepaskan pedangnya. Kini Wuranta berdiri terhuyung-huyung. Dengan susah payah
ia mencoba menjaga keseimbangannya. Dadanya tiba-tiba
berdesis ketika ia melihat dengan penuh kemarahan Sidanti
berteriak, "Kau tikus Jati Anom. Kenapa kau masih hidup dan
berada di sini pula" Tetapi memang sudah menjadi garis
nasibmu. Kau harus mati hari ini."
Wuranta yang masih belum menemukan keseimbangan
sepenuhnya itu hanya dapat memandang saja apa yang akan
dilakukan oleh Sidanti yang sedang dibakar oleh
kemarahannya. Maka sekali lagi Agung Sedayu dan Swandaru melihat,
Wuranta berada dalam kesulitan. Sidanti yang garang itu pasti
sudah tidak akan melepaskannya lagi. Apabila mereka
membiarkannya, maka Wuranta pasti akan benar-benar
dibunuhnya. Sejenak Agung Sedayu dilanda oleh kebimbangan. Baru saja
ia dibingungkan oleh sikap Wuranta, karena ia berusaha
menolongnya. Dan kini Wuranta berada dalam keadaan yang
serupa. Tetapi Agung Sedayu tidak akan sampai hati melihat pedang
Sidanti menghunjam ke dalam dada Wuranta. Maka tanpa
mempedulikan lagi apa yang akan dilakukan Wuranta atasnya,
maka sekali lagi Agung Sedayu berusaha menolongnya.
Namun kini yang menyerang Wuranta bukan sekedar seorang
pengawal padepokan Tambak Wedi. Tetapi yang menyerang
itu adalah Sidanti. Karena itu maka Agung Sedayu tidak berani
berbuat dengan tergesa-gesa. Ia harus mempertimbangkan
kekuatan Sidanti. Tenryata Agung Sedayu tidak mendapat kesempatan lebih
lama lagi. Sejenak kemudian ia melihat Sidanti dengan mata
yang menyala berteriak, "Kaulah yang pertama-tama aku
bunuh di dalam rumah ini di antara kalian."
Wuranta tidak dapat berbuat sesuatu. Tetapi ternyata hatinya
cukup tabah. Anak muda itu sama sekali tidak menjadi
ketakutan melihat Sidanti siap menerkamnya dengan ujung
pedang. Wuranta telah menyiapkan dirinya untuk menerima
ujung pedang itu dengan dadanya. Seandainya ia harus mati,
maka kesan yang ditinggalkannya adalah kesan yang dapat
membuatnya berbangga. Meskipun ia tidak setrampil Agung
Sedayu, tetapi ia bukan seorang pengecut. Mudah-mudahan
Sekar Mirah dapat menangkap api yang tersirat pada sikapnya
itu. Tetapi sekali lagi Wuranta harus melihat Agung Sedayu
berusaha menolongnya. Kali ini Agung Sedayu tidak berani
langsung melawan pedang Sidanti. Tetapi untuk
mengurungkan serangan Sidanti yang langsung dapat berarti
maut itu. Agung Sedayu dengan garangnya menyerangnya
pula. Seperti Sidanti, maka Agung Sedayu pun berteriak
nyaring, "Sidanti, aku dapat lebih cepat daripadamu. Ternyata
kaulah yang mati pertama-tama."
Sidanti terperanjat melihat sikap Agung Sedayu. Suaranya
telah membuat hati Sidanti berdesir. Apalagi ketika ia melihati
ujung pedang Agung Sedayu langsung mengarah ke ulu
hatinya. Tak ada cara lain kecuali menangkis pedang Agung Sedayu
itu. Tetapi Sidanti tidak ingin melepaskan korbannya. Karena
itu maka ia berusaha untuk melakukan keduanya. Membunuh
Wuranta dan kemudian menangkis serangan Agung Sedayu.
Namun waktu terlampau sempit, sehingga Sidanti tidak dapat
melakukan rencananya dengan sempurna. Pedangnya
kemudian tidak lagi terjulur lurus, tetapi pedang itu terayun
dengan cepatnya. Ia ingin menyobek dada Wuranta dan
langsung memukul pedang Agung Sedayu.
Yang terdengar kemudian adalah desah Wuranta tertahan,
disusul oleh dentang kedua pedang beradu. Wuranta ternyata
terdorong beberapa langkah surut. Apabila ia tidak membentur
dinding bambu maka ia pasti akan terpelanting jatuh. Kedua
tangannya tertekan di dadanya. Dan dari sela-sela jari-jari
tangannya itu mengalir darah yang merah segar.
Namun ternyata Sidanti yang tidak sepenuhnya dapat
melawan tenaga Agung Sedayu itu pun terdorong beberapa
langkah mundur. Betapa kemarahan membayang di wajahnya
sehingga wajah itu seolah-olah telah membara. Tetapi ketika
ia melihat darah di dada Wuranta, maka ia masih juga dapat
tertawa sambil berteriak.
"Nah, salahmulah kalau kau hari ini diterkam maut."
Wuranta memandang Sidanti dengan mata yang
memancarkan kebencian. Tampaklah mulutnya bergerakgerak,
dan terdengarlah ia berkata perlahan-lahan, "Lukaku
tidak seberapa Sidanti."
"Persetan!" teriak Sidanti. "Tetapi kau akan mati. Kau akan
mati. Kalau tidak oleh lukamu itu, maka sesudah aku
membunuh Agung Sedayu dan Swandaru, maka akan datang
juga giliranmu." Wuranta tidak menjawab tetapi bibirnya masih juga bergetar.
Yang terdengar adalah suara Swandaru tertawa menyakitkan
hati. Katanya, "Sidanti, kau masih juga sempat
menyombongkan dirimu. Aku sekarang bukan Swandaru yang
akan berdiam dirinya ditampar mulutnya. Aku sekarang
mempunyai kesempatan yang serupa dengan kau."
"O, jangan membual kau kerbau bodoh," sahut Sidanti. "Ayo,
majulah kalian berdua, aku sudah siap."
Agung Sedayu masih belum menjawab sepatah kata pun.
Sekilas ia memandangi wajah Wuranta yang menyeringai
menahan sakit. Tetapi menurut penilaian Agung Sedayu, luka
itu tidak akan membahayakan jiwanya, seandainya Wuranta
tidak kehabisan darah. Diam-diam Agung Sedayu mengharap
kehadiran Ki Tanu Metir. Bukan karena ia cemas menghadapi
lawan-lawannya, tetapi Ki Tanu Metir akan dapat menolong
Wuranta yang terluka itu.
Sebelum seorang pun menjawab, maka terdengar suara di
luar pintu, "Siapakah orang-orang itu Sidanti?"
Ketika mereka yang berada di dalam rumah itu berpaling,
maka yang mereka lihat adalah Argajaya dan Ki Tambak Wedi
berdiri sambil memandang mereka yang berada di dalam
rumah itu dengan marahnya.
"Guru," sahut Sidanti, "ternyata di sini ada tikus-tikus dari Jati
Anom dan Sangkal Putung bersama-sama."
"O," Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya,
"ternyata kalian telah berada di sini pula."
Agung Sedayu, Swandaru, Sekar Mirah, dan Wuranta seakanakan
membeku di tempatnya melihat orang tua itu berdiri
dengan wajah yang membayangkan kemarahan yang telah
membakar jantungnya. Apalagi ketika mereka mendengar Ki Tambak Wedi itu
berkata, "Sidanti, jangan kau perturutkan perasaanmu. Kita
harus segera menyelesaikan pekerjaan ini. Karena itu, supaya
semua dapat selesai dengan cepat, biarlah aku saja yang
menyelesaikannya. Aku akan membunuh mereka bertiga, dan
sementara itu bawa gadis itu pergi."
Kata-kata itu cukup tegas dan pasti. Tak akan ada orang yang
dapat menghalangi Ki Tambak Wedi berbuat demikian.
Memang Ki Tambak Wedi akan dapat menyelesaikannya
dengan cepat. Tetapi yang berada di dalam gubug itu bukan hanya tiga ekor
tikus dari Jati Anom dan Sangkal Putung. Tetapi mereka
cukup jantan yang mempunyai harga diri sebagai seorang lakilaki.
Karena itu maka Agung Sedayu menjawab, "Ki Tambak
Wedi. Kalau Kiai akan melakukan hal itu, maka Kiai akan
segera dapat menyelesaikan. Dan biarlah murid Kiai dan
pamannya itu melihat, bahwa ternyata Ki Tambak Wedi adalah
seorang pahlawan yang berani. Tetapi murid Kiai sendiri sama
sekali tidak mempunyai keberanian dan kemampuan berbuat
sesuatu." Betapa kata-kata itu menusuk jantung Sidanti. Dengan lantang
ia berteriak, "Cukup! Aku mampu membunuhmu dengan
tanganku." "Jangan hiraukan Sidanti," potong Ki Tambak Wedi, "orang itu
sengaja membakar perasaanmu supaya ia mendapat waktu
untuk menunggu bantuan dari orang-orang Pajang.
Dengarkan aku. Aku akan membunuhnya. Kita perlu
menghemat waktu. Nah, sekarang keluarlah."
Terdengar gigi Sidanti gemeretak. Betapa ia merasa
tersinggung mendengar kata-kata Agung Sedayu. Apalagi
ketika kemudian terdengar Swandaru tertawa mengejeknya
sambil berkata, "Keluarlah Sidanti, supaya kau tidak menjadi
pingsan mendengar aku dan Kakang Agung Sedayu berteriak
ketakutan, dan melihat darah yang memancar dari leher kami."
"Tutup mulutmu," Sidanti berteriak semakin keras, "aku masih
sanggup mencekikmu sampai mati."
"Tetapi kau tidak akan mendapat kesempaum untuk
melakukannya. Juga pamanmu itu," sahut Swandaru.
"Bukankah begitu Argajaya yang perkasa" Apakah kau masih
ingat kepada kami yang menjadi saksi betapa kau sama sekali
tidak berdaya menghadapi anak muda pengawal Kademangan
Sangkal Putung yang bernama Sutajia."
"Diam!" Argajaya pun berteriak. Tetapi Ki Tambak Wedi
berteriak lebih keras, "Cukup! Cukup. Ayo, kau keluar Sidanti.
Jangan hiraukan igauan mereka. Aku akan segera
membunuhnya." Sidanti tidak dapat berbuat lain dari menuruti perintah itu.
Perlahan-lahan ia melangkah ke arah pintu. Sekali ia berhenti
dan berpating memandangi wajah-wajah di dalam gubug itu.
Wajah Agung Sedayu, Swandaru, Wuranta, dan Sekar Mirah.
"Jangan cemaskan gadis itu," bentak Ki Tambak Wedi yang
sudah tidak bersabar lagi, "ia akan selamat dan kau dapat
membawanya setelah aku menyelesaikan pekerjaanku."
"Baik, Guru," sahut Sidanti perlahan-lahan sambil
meninggalkan ruangan itu. Tetapi ia masih juga berhenti ketika
ia mendengar suara tertawa Agung Sedayu, "Nah, keluarlah
anak manis. Dengarlah ibu akan berdendang supaya kau
segera tidur di pangkuannya.
"Gila, gila!" teriak Sidanti. Tetapi disusul oleh suara Ki Tambak
Wedi, "Kau yang gila Sidanti. Cepat keluar!"
Sidanti tidak sempat berbuat apa-apa lagi ketika ia merasa
sebuah tarikan yang kuat di lengannya. Ternyata Ki Tambak
Wedi telah benar-benar kehilangan kesabaran. Didorongnya
Sidanti keluar sehingga anak itu hampir jatuh terjerembab.
"Nah, membuallah untuk yang terakhir kali," geram Ki Tambak
Wedi. "Setelah ini kau akan diam untuk selamanya. Dan Sekar
Mirah akan ikut dengan kami meninggalkan padepokan ini."
Kali ini terdengar jerit gadis itu melengking tinggi, "Tidak! Aku
tidak mau. Lebih baik kau membunuh aku sama sekali
bersama orang-orang lain di dalam rumah ini."
"Itu bukan urusanku," sahut Ki Tambak Wedi, "mintalah
kepada Sidanti nanti sesudah aku selesai."
"Tidak! Tidak!" Sekar Mirah memekik-mekik.
Tetapi Ki Tambak Wedi sudah tidak menghiraukannya. Kini ia
berjalan perlahan-lahan memasuki rumah itu. Melangkahi
tlundak dan berhenti sejenak. Di tangannya ternyata
tergenggam senjata ciri kebesaran padepokan Tambak Wedi.
Nenggala. Diputarnya pandangan matanya di sekeliling ruangan.
Dilihatnya Wuranta dengan lemah bersandar dinding.
Darahnya masih juga menetes dari luka di dadanya. Meskipun
luka itu tidak terlampau dalam, tetapi darah yang keluar itulah
yang berbahaya baginya. "Tanpa kusentuh kau sudah akan mati," gumam Ki Tambak
Wedi. "Dengan membiarkan kau tidur di sini sehari ini, kau
sudah tidak akan mendapat kesempatan bangun lagi karena
kehabisan darah." Wuranta tidak menjawab. Mulutnya serasa membeku melihat
semua yang terjadi di sekitamya.
Tetapi sekali lagi mereka terkejut. Mereka mendengar derit
kecil di sudut rumah itu. Ketika mereka berpaling, mereka
melihat sesosok tubuh meluncur masuk ke dalam lewat
dinding yang terbuka di sudut. Hanya sekejap. Dan sekejap
kemudian mereka telah melihat tubuh itu tegak berdiri.
Tampaklah oleh mereka sebuah wajah yang tersenyum sambil
berkata. "Permainan di sini agaknya lebih menarik daripada di
banjar itu. Karena itu aku memilih ikut bermain-main di sini
saja." "Setan Alas!" Ki Tambak Wedi berteriak dengan penuh
kemarahan ketika ia menyadari siapakah yang berdiri di luar
rumah itu. Di tangan orang itu tergenggam sebuah cambuk
yang bertangkai pendek tetapi berjuntai panjang. Juntainya
masih tergulung, dan berada di dalam genggaman tangan
yang lain. "Selamat bertemu lagi, Kiai," berkata orang itu sambil
membungkuk hormat. "Persetan akan kedatanganmu. Kau hanya akan menyaksikan
orang-orang ini mati terbunuh."
"Aku tahu bahwa kau bersungguh-sungguh. Senjata di
tanganmu yang bukan hanya sekedar gelang-gelang besi
menyatakan bahwa kau tidak sedang bermain-main. Senjata
itu biasanya berada di tangan muridmu setelah senjatanya
tertinggal di Sangkal Putung. Tetap kini kau telah
menggenggamnya, tidak sekedar tergantung di lambungmu, di
dalam selongsongnya. Mungkin karena muridmu baru saja
menyelesaikan perang tanding, dan senjata itu tidak
diperlukannya. Tetapi bahwa senjata itu berada di tanganmu
adalah sangat membahayakan sekali. Karena itu aku terpaksa
membawa cambukku ini pula. Mudah-mudahan kita tidak akan
terganggu lagi kali ini."
Ki Tambak Wedi menggeram mendengar kata-kata Ki Tanu
Metir. Kata-kata itu tegas dan langsung menyentuh dinding
jantungnya. Tantangan Ki Tanu Metir agaknya juga tidak
hanya sekedar bersenda-gurau.
Betapa kemarahan menyala di dada Ki Tambak Wedi.
Kehadiran Ki Tanu Metir benar-benar telah mengganggunya.
Tetapi kini ia telah berdiri berhadapan sehingga sulitlah untuk
menghindari tantangannya itu.


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejenak Ki Tambak Wedi tidak menjawab. Dipandanginya
wajah Ki Tanu Metir yang tenang tetapi dalam, kemudian
wajah Agung Sedayu yang bersungguh-sungguh dan
Swandaru Geni yang gemuk.
"Kau dapat membawa muridmu dan pamannya serta," berkata
Ki Tanu Metir, "tetapi apabila tidak kau kehendaki, maka
biarlah mereka menjadi saksi. Kedua muridku pun tidak akan
mengganggumu. Bagaimana?"
Dada Ki Tambak Wedi serasa akan bengkah mendengarnya.
Namun ia masih harus mempertimbangkan segala
kemungkinan. Di dalam padepokan itu Untara dan
pasukannya seakan-akan telah melanda seperti banjir
bandang yang tidak akan dapat dibendung lagi.
Tetapi Sidanti yang melihat kehadiran Ki Tanu Metir dan
mendengar tantangannya di luar pintu berteriak, "Baiklah kami
terima tantangan itu guru. Aku memang ingin membelah dada
Agung Sedayu dan Swandaru. Biarlah Sekar Mirah menjadi
saksi, bahwa kedua laki-laki itu sama sekali tidak berarti.
Terutama Agung Sedayu itu."
Sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram. Ia pun menyadari
bahwa kini ia tidak mempunyai pilihan lain, kecuali Sidanti
masih ada Argajaya. Mungkin perbedaan keseimbangan yang
kecil, akan sangat berarti dalam keadaan serupa itu. Mungkin
Argajaya mempunyai sedikit kelebihan atas salah seorang
kedua murid Ki Tanu Metir atau mungkin Sidanti sendiri.
Karena itu, maka tidak ada kesempatan untuk berbuat lain
daripada menjawab, "Baiklah Kiai Gringsing. Tantanganmu
aku terima. Tentang murid-muridmu dan muridku serta
pamannya. Biarlah mereka menentukan sikap mereka sendiri.
Kalau mereka ingin bertempur, biarlah mereka mencoba diri,
apakah ilmu keturunan perguruan Tambak Wedi lebih baik
dari perguruan Kiai Gringsing."
"Bagus, bagus," sahut Kiai Gringsing, "marilah kita berbuat
seperti orang-orang yang sudah pikun. Kita pilih tempat yang
luas, tidak di dalam gubug yang sempit, supaya kita masingmasing
mendapat kesempatan leluasa untuk berbuat apa saja
sesuai dengan kegemaran orang tua-tua."
Ki Tambak Wedi terdiam sesaat. Ia menggenggam senjata
yang pendek. Baginya tempat yang sempit mempunyai
kemungkinan yang lebih baik daripada cambuk Ki Tanu Metir.
Tetapi di dalam tempat yang sempit, apabila tiba-tiba pasukan
Untara itu meluas sampai ketempat ini, maka sangat sulitlah
baginya untuk melepaskan diri. Ia juga tidak akan dapat
mengawasi murid dan pamannya, serta memberinya isarat
apa pun, karena mereka pasti akan berkelahi di luar.
Dengan demikian maka Ki Tambak Wedi itu pun menjawab,
"Baiklah, Kiai. Tantangamnu aku terima penuh. Aku bersedia
berkelahi di luar meskipun bagiku di dalam ruangan yang
sempit telah menguntungkan. Bukankah kau tidak berani
bertempur di dalam karena jenis senjata itu" Kau memerlukan
tempat yang cukup luas, supaya juntai cambukmu tidak
tersangkut dinding."
Ki Tanu Metir tertawa mendengar dawaban Ki Tambak Wedi
itu. Katanya, "Jangan seperti kanak-kanak, Kiai. Alasan
semacam itu adalah alasan bagi anak-anak cengeng. Kalau
seandainya kau merasa mendapat keuntungan berkelahi di
dalam, marilah kita berkelahi di dalam ruangan ini. Aku sama
sekali tidak berkeberatan. Cambukku pun tidak akan
terganggu pula, sebab cambukku adalah senjata yang telah
aku kenal sejak bertahun-tahun, sehingga sifat-sifatnya pun
aku kenal dengan baik seperti engkau mengenal jenis
senjatamu yang mengerikan itu."
Wajah Ki Tambak Wedi menjadi semakin merah mendengar
jawaban itu. Sahutnya hampir berteriak, "Jangan banyak
bicara lagi. Aku tunggu kau di luar bersama kedua muridmu."
"Baik. Di luar udaranya cerah dan angin membuat tubuh kita
menjadi segar. Kesempatan untuk lari pun lebih luas terbuka.
Seandainya salah satu pihak dari kita merasa tidak mampu
lagi untuk melawam, maka kita akan dapat segera meloncat
meninggalkan gelanggang. Tetapi di dalam ruangan yang
sempat ini, kesempatan itu hampir tidak ada."
"Persetan! Jangan mengigau lagi," kini Ki Tambak Wedi
benar-benar berteriak. Ia tidak lagi menunggu jawaban Kiai
Gringsing. Dengan tergesa-gesa ia melangkah ke luar. Dan
dengan garangnya berdiri bertolak pinggang di halaman, di
samping muridnya. Namun ia sempat berbisik, "Kalau pasukan
Untara datang kemari, kita harus meninggalkan tempat ini."
"Bagaimana dengan Sekar Mirah?" bertanya Sidanti perlahan.
"Kita melihat perkembangan keadaan. Tetapi setan itu benarbenar
mengganggu." Dada Sidanti menjadi pepat mendengar jawaban gurunya.
Kehadiran Kiai Gringsing benar-benar telah membuat
jantungnya hampir meledak. Tetapi ia tidak dapat menutup
kenyataan, bahwa mengalahkan orang-orang itu bukan
pekerjaan yang terlampau mudah. Mungkin Sidanti dan
Argajaya mempunyai beberapa kelebihan dari kedua murid
Kiai Gringsing. Namun kedua orang itu pun masih
memerlukan waktu untuk mengalahkannya.
Kiai Gringsing pun segera melangkah menyusul Ki Tambak
Wedi, keluar rumah. Tetapi langkahnya tertegun ketika ia
melihat Wuranta. Orang tua itu melihat luka di dada anak
muda itu, dan ia melihat darah masih saja menetes dari luka
itu. Maka Kiai Gringsing pun segera mengambil sebuah
bumbung kecil dari kantong ikat pinggangnya. "Inilah, Ngger,"
berkata orang tua itu, "di dalam bumbung ini ada bubuk yang
dapat kau pakai untuk menahan darah itu. Taburkanlah bubuk
itu sedikit saja pada lukamu. Mudah-mudahan luka itu tidak
akan mengeluarkan darah lagi. Tetapi jangan terlampau
banyak bergerak. Sisanya, tolong simpanlah dahulu."
Wuranta masih saja berdiri seperti tonggak. Ditatapnya saja
Kiai Gringsing seperti baru dilihatnya kali itu. Tetapi ketika
tangan Kiai Gringsing terjulur menyerahkan bumbung kecil,
maka seperti bukan kehendaknya sendiri, Wuranta pun
menerima. "Jangan kau sia-siakan waktumu," berkata Ki Tanu Metir.
"Cepat, usahakan lukamu itu tidak lagi mengeluarkan darah
supaya kau masih cukup mempunyai kekuatan untuk kembali
ke Jati Anom." Wuranta kini mengangguk. Kata-kata Ki Tanu Metir itu seperti
sebuah pesona yang tidak dimengertinya. Namun terasa
bahwa tak ada cara lain baginya daripada memenuhinya.
"Mudah-mudahan obat itu menolong," gumam Ki Tanu Metir.
"Kemudian awasilah Sekar Mirah. Mungkin masih ada bahaya
yang mengintainya. Kami akan berusaha untuk
menghindarkannya dari tangan Sidanti dan gurunya."
Tanpa sesadarnya Wuranta mengangguk.
"Nah, aku akan melayani Ki Tambak Wedi," guman Ki Tanu
Metir sambil melangkah meninggalkan anak muda itu. Sampai
di muka pintu ia berpaling. Dilihatnya Sekar Mirah berdiri
menggigil di belakang Swandaru Geni. Di sisi dinding yang
lain ia melihat Agung Sedayu. Sedang kedua orang Tambak
Wedi yang terikat tanganya masih berdiri beradu punggung.
"Marilah," berkata Ki Tanu Metir," kalian mempunyai
pekerjaan. Di luar ada dua orang yang menunggu kalian selain
Ki Tambak Wedi. Menurut penilaianku maka kau berdua,
Angger Swandaru Geni dan angger Agung Sedayu akan dapat
melayaninya apabila dikehendaki. Tetapi dengarlah
nasehatku. Keduanya adalah orang-orang yang tangguh
tanggon. Kalau mereka ingin bertempur pula, maka bagi
Angger Agung Sedayu, lebih baik memilih Angger Sidanti
untuk mendapatkan keseimbangan, sedang Angger Swandaru
dapat melayani tamu paman Angger Sidanti itu."
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir
bersamaan mereka menyahut, "Baik, Kiai."
"Ingat-ingatlah."
Sekali lagi keduanya menganggukkan kepala mereka. Kalau
gurunya berpesan, itu bukannya tidak berarti bagi mereka
keduanya. Dan keduanya menyadari, bahwa pesan itu harus dijalani.
Gurunya pasti mempunyai perhitungan-perhitungan tersendiri
atas kekuatan mereka masing-masing. Sebab mau tidak mau,
harus diakui bahwa kekuatan Swandaru dan Agung Sedayu
pun masih berselisih beberapa lapis tipis.
Ki Tanu. Metir itu mengangkat kepalanya ketika ia mendengar
Ki Tambak Wedi membentak, "Cepat sedikit Kiai! Aku sudah
tidak sabar lagi. Kau tidak perlu banyak berpesan kepada
murid-muridmu. Pesan itu sama sekali tidak akan berarti.
Sebab kau dan murid-muridmu sebentar lagi sudah akan
terbunuh di sini." "Baik, Ki Tambak Wedi. Baik. Aku akan cepat datang." Kiai
Gringsing itu segera melangkah keluar ketika ia melihat Ki
Tambak Wedi menebarkan pandangan matanya ke sekeliling
halaman. Sebagai seorang yang berpengalaman, maka
segera ia menangkap apa yang tersirat di hati orang tua yang
selama ini menghantui lereng Gunung Merapi.
"Apakah kau sedang mencari sesuatu, Kiai?" bertanya Kiai
Gringsing. "Aku hanya tidak sabar lagi menunggumu. Apakah kau
sedang mengulur waktu?"
"Tidak, aku memang harus segera mulai. Bukankah kau
sedang mencari jalan keluar" Seharusnya kau tidak perlu lagi
mencari, bukankah daerah ini kau kenal dengan baik?"
"Cukup!" potong Ki Tambak Wedi lantang. "Ternyata memang
kau ajari muridmu untuk membual. Ayo, bersiaplah kita akan
segera mulai." Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya. Kini wajahnya
yang biasanya selalu dihiasi dengan senyumnya yang jernih,
tampak, menjadi bersungguh-sungguh. Orang tua itu melihat
wajah Ki Tambak Wedi yang menyala. Menghadapinya kini
sama sekali bukan permainan yang dapat dianggap ringan. Ia
harus bersungguh-sungguh pula seperti Ki Tambak Wedi.
Sementara itu Agung Sedayu dan Swandaru telah keluar pula
dari dalam rumah. Tak ada pesan yang mereka ucapkan
kepada Wuranta. Tiba-tiba saja hubungan mereka menjadi
sangat kaku. Mereka ingin berkata seperti apa yang dikatakan
oleh Ki Tanu Metir. Menitipkan Sekar Mirah kepadanya. Tetapi
Wuranta sama sekali tidak memandang mereka ketika mereka
melangkahi tlundak pintu. Bahkan kemudian Sekar Mirah pun
berdiri saja membeku. Sekali ia mencoba mencuri pandang ke
arah wajah Wuranta yang pucat. Tetapi Wuranta
melemparkan pandangan matanya jauh menembus pintu ke
luar. Ia sama sekali tidak tertarik pada beberapa orang yang
berdiri di luar pintu. Tetapi sorot matanya hinggap pada
hijaunya dedaunan di kejauhan. Ditatapnya sinar matahari
yang seolah-olah menari-nari pada ujung pepohonan. Angin
yang lembut berhembus membelai ranting-ranting yang
bergerak-gerak di bawah bayangan yang seolah-olah
berloncatan dari daun ke daun.
"Alangkah nikmatnya menghayati sinar matahari yang
cemerlang," desisnya di dalam hati.
Tiba-tiba Wuranta teringat kepada obat yang digenggamnya.
Perlahan-lahan tangannya yang gemetar membuka sumbat
bumbung kecil itu. Ditaburkannya beberapa berkas serbuk di
tangannya yang merah karena darah. Kemudian diulaskannya
taburan itu pada luka di dadanya. Terasa pada lukanya
seolah-olah dijalari oleh perasaan yang dingin.
Setelah bumbung itu disumbatnya kembali, maka tanpa
disengaja matanya hinggap pada wajah Sekar Mirah yang
tunduk. Terasa dadanya bergetar. Gadis itu masih saja berdiri
kaku di tempatnya. Seperti dirinya sendiri yang sama sekali
belum beranjak selangkah pun. Sedang di luar beberapa
orang laki-laki telah bersiap untuk bertempur.
Wuranta terkejut ketika ia mendengar gemeletarnya suara
cambuk. Terasa dadanya berdesir. Suara cambuk itu telah
membuat tulang-tulang iganya seolah-olah akan rontok.
Apalagi ketika suara itu disusul oleh pekik kecil Sekar Mirah
yang ketakutan. Sejenak Wuranta menjadi bingung. Hampir-hampir ia
meloncat mendekati Sekar Mirah dan menenteramkan hati
gadis itu supaya ia menjadi tidak terlampau takut. Tetapi niat
itu tidak pernah dilakukannya. Bukan karena lukanya yang
membahayakan jiwanya. Sebab luka itu dalam keadaan yang
demikian seakan-akan tidak lagi terasa begitu pedih. Namun
ada perasaan yang lain yang mencegahnya untuk mendekati
Sekar Mirah. Dan perasaan itulah yang kini terasa sakit.
Ketika ia memandangi Sekar Mirah sekali lagi, maka dilihatnya
wajah gadis itu amat pucatnya, dan bahkan tubuhnya menjadi
gemetar. Lewat lubang pintu yang miring, gadis itu melihat
bayangan Ki Tambak Wedi dan Ki Tanu Metir sambarmenyambar.
Bahkan kemudian suara cambuk Kiai Gringsing
itu ternyata tidak hanya menggeletar satu kali, tetapi dua kali,
tiga kali dan berulang kali.
Sekar Mirah akhirnya tidak tahan lagi. Tiba-tiba ia duduk
dengan lemahnya di atas tanah. Sekali-sekali dilontarkannya
pandangan matanya kepada Wuranta, seolah-olah minta anak
muda itu menemaninya. Tetapi Sekar Mirah pun tiba-tiba
menjadi segan dan bingung menghadapinya.
Di dalam ruangan itu. kedua orang Tambak Wedi masih saja
terikat erat-erat. Sekilas mereka memandang Wuranta yang
lemah, kemudian Sekar Mirah yang pucat. Tetapi mereka
sendiri kemudian menjadi gemetar pula mendengar suara
lecutan yang dahsyat di luar rumah.
Ternyata Ki Tanu Metir dan Ki Tambak Wedi sudah terlibat
dalam perkelahian yang sengit. Perkelahian antara dua orang
yang jarang-jarang dicari tandingannya.
Sementara itu Sidanti dan Argajaya pun telah bersiap pula
menghadapi kedua murid Kiai Gringsing. Tetapi sejenak
mereka terpesona melihat pertempuran yang dahsyat itu.
Mereka melihat senjata ciri kebesaran perguruan Tambak
Wedi menyambar-nyambar seperti seribu tatit yang melonjaklonjak
di udara menyerang Kiai Grngsing dari segala arah.
Tetapi kemudian mereka melihat Kiai Gringsing mengambil
jarak beberapa langkah. Dan bergetarlah udara di atas
padepokan Tambak Wedi karena ledakan cambuk Kiai
Gringsing. Ledakan cambuk yang seolah-olah ledakan guruh
yang menyusul sambaran kilat yang mendahuluinya. Dan
cambuk itu pun kemudian berputar melampaui kecepatan
baling-baling yang ditiup angin prahara. Bergulung-bergulung
melanda hantu yang selama ini merajai lereng Merapi.
Tetapi nenggala Ki Tambak Wedi pun seolah-olah memiliki


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mata tujuh kali lipat tajam mata manusia. Betapa rapatnya
putaran cambuk Kiai Gringsing, namun senjata yang runcing
di kedua ujungnya itu mampu menyusup, untuk mematuk
tubuh Ki Tanu Metir. Namun Ki Tanu Metir pun cukat seperti
sikatan. Sehingga setiap kali serangan masing-masing tidak
menyenluh sasarannya. Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin dahsyat,
seperti angin pusaran di musim peralihan. Berputaran
mengerikan. Agung Sedayu dan Swandaru pun memperhatikan
pertempuran itu dengan dada berdebar-debar. Mereka sering
melihat gurunya bergerak-gerak dengan lincah dalam latihanlatihan
hampir setiap hari. Tetapi perkelahian kali ini agaknya
telah memeras hampir segenap kemampuan orang tua itu
sehingga tata geraknya menjadi semakin cepat dan lincah.
Tetapi kedua anak muda itu segera menyadari keadaannya
ketika mereka melihat Sidanti dan Argajaya telah siap
menerkam mereka dengan senjata masing-masing. Kali ini
Argajaya telah bersiap dengan tombak pendeknya, sedang
Sidanti menggenggam pedang.
"Kau tidak akan dapat lari lagi," desis Sidanti.
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi mengingat pesan
gurunya segera ia menempatkan diri untuk melawan murid
Tambak Wedi itu. Sedang Swandaru Geni telah bersedia pula
melawan Argajaya. Seleret Ki Tanu Metir memandang mereka. Hatinya menjadi
tenteram ketika murid-muridnya menuruti masehatnya. Ia tahu
benar perbandingan kekuatan kedua muridnya dan kedua
lawannya. Kiai Gringsing pernah melihat Sidanti berkelahi dan
pernah melihat Argajaya bertempur. Ia melihat pula keduaduanya
ketika mereka melawan para prajurit Pajang yang
datang bersama Untara. Karena itu maka ia dengan sungguhsungguh
berpesan kepada kedua muridnya untuk
menempatkan dirinya sesuai dengan keseimbangannya.
Dalam pada itu Swandaru telah berdiri beberapa langkah dari
Argajaya. Tiba-tiba ia membungkuk hormat sambil lersenyum.
Katanya, "Bukankah Tuan tidak lupa kepadaku?"
"Persetan!" geram Argajaya.
"Di Prambanan Tuan bertempur melawan anak muda yang
bernama Sutajia. Kini Tuan berhadapan dengan aku,
Swandaru Geni." "Tutup mulutmu. Aku sudah tahu siapa kalian dan siapa anak
yang menyebut dirinya Sutajia itu."
"O," Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kau sangka aku takut karenanya?" Argajaya semakin marah.
Swandaru menggeleng, "Tidak. Aku tahu bahwa Tuan tidak
mengenal takut seperti apa yang aku lihat di Prambanan
dahulu. Tuan memang luar biasa."
"Sekarang apa yang akan kau lakukan?"
"Sekarang aku akan bertempur melawan Tuan. Tetapi aku
tidak akan sekedar menakut-nakuti seperti Sutawijaya. Tetapi
aku ingin benar-benar membenamkan pedangku ini ke dalam
perut Tuan." Argajaya menjadi semakin marah. Wajahnya seolah-olah
terbakar oleh api yang menyala di dalam dadanya. Tetapi ia
ternyata lebih lambat dari Sidanti. Sebab saat itu Sidanti telah
meloncat menyerang Agung Sedayu sejadi-jadinya.
"Nah, lihat, kemanakan Tuan sudah mulai. Apa lagi yang Tuan
tunggu?" Argajaya tidak ingin menjawab lagi. Segera ditundukkannya
tombaknya. Selangkah demi selangkah ia maju mendekati
Swandaru ynng kemudian menyilangkan pedangnya di muka
dadanya. Jarak antara Swandaru Geni dan Argajaya itu pun menjadi
semakin pendek, dan sejalan dengan itu wajah-wajah mereka
pun menjadi semakin tegang. Swandaru pernah melihat
Argajaya bertempur, melawan Sutawijaya, dan melihat betapa
keras hati orang itu. Dengan demikian maka ia tidak lagi
berani bermain-main. Ia harus bersungguh-sungguh
menghadapi tombak pendek yang siap mematuknya itu.
Beberapa langkah dari Swandaru, Argajaya berhenti. Tetapi ia
sudah tidak ingin berbicara lagi. Sekilas ia melihat Sidanti
telah berkelahi semakin sengit dan Ki Tambak Wedi
bertempur semakin dahsyat. Karena itu, maka segera ia pun
akan membuka perkelahian pula.
Sejenak kemudian Swandaru melihat Argajaya mengambil
ancang-ancang. Dan sekejap kemudian orang itu telah
meloncat sambil menjulurkan tombaknya ke arah dadanya.
Swandaru dapat menduga kekuatan yang tersalur lewat
tombak itu. Dengan demikian maka ia harus sangat berhatihati.
Tetapi Swandaru pun memiliki kekuatan dasar yang
cukup, apalagi setelah mendapat petunjuk dari Kiai Gringsing
bagaimana ia harus menyalurkannya. Karena itu maka
Swandaru pun mempunyai kebanggaan pula atas tenaganya.
Kali ini pun Swandaru akan menjajagi kekuatan tenaga
lawannya, selagi Argajaya agaknya belum menumpukkan
segenap kekuatannya. Karena itu, maka Swandaru sama
sekali tidak menghindar. Dibiarkannya tombak itu semakin
lama menjadi semakin dekat ke dadanya. Namun ia telah
mempersiapkan pedangnya untuk menangkisnya.
Argajaya yang melihat sikap Swandaru itu mengumpat di
dalam, hatinya, "Setan kecil ini benar-benar sombong." Dan
dengan demikian maka Argajaya pun menambah tenaganya
lagi. Sejenak kemudian terjadilah sebuah benturan dari kedua
senjata itu. Senjata Argajaya, sebuah tombak pendek dan
pedang Swandaru Geni. Benturan yang cukup kuat, sehingga
telah menarik perhatian Ki Tanu Melir dan Agung Sedayu
serta lawan-lawannya. "Bukan main," desah Kiai Gringsing, "anak itu memang terlalu
banyak yang ingin diketahui. Dalam keadaan serupa ini pun ia
masih juga mencoba-coba."
Akibat dari benturan itu pun ternyata mengejutkan kedua
belah pihak. Swandaru Geni bergetar dan meloncat surut
selangkah. Tangannya merasakan betapa kuat tenaga
Argajaya yang tersalur lewat tombaknya, ditambah tenaga
dorong dari loncatannya. Namun Argajaya pun terdorong pula
ke samping. Hampir saja ia harus berputar karena tarikan
tombaknya yang dipukul ke samping oleh Swandaru Geni.
Hampir bersamaan mereka berdua menggeram. Tetapi wajah
Argajaya-lah yang tampak seolah-olah menyala karena
kemarahannya. Ternyata anak yang gemuk itu mempunyai
kekuatan yang cukup, meskipun tidak berhasil melepaskan
tombaknya seperti Sutawijaya di pinggir Kali Opak. Namun
apabila anak muda itu sudah melepaskan seluruh
kekuatannya, maka tidak mustahil bahwa kali ini pun
tombaknya akan meloncat dari tangannya. Justru karena itu
maka Argajaya menjadi semakin berhati-hati. Ia tidak dapat
lagi merendahkan lawannya. Ia tidak mau peristiwa di pinggir
Kali Opak itu terulang lagi meskipun ia sama sekali tidak takut
menghadapi akibat daripadanya. Namun mati di ujung senjata
anak-anak sama sekali tidak menyenangkannya.
Demikianlah maka perkelahian itu pun segera berkobar pula
dengan dahsyatnya. Tiga lingkaran perkelahian yang
seimbang. Ki Tanu Metir dan Ki Tambak Wedi pun ternyata
telah mengerahkan kekuatan dan ilmu mereka. Bukan main
dahsyat perkelahian itu. Sedahsyat angin prahara yang mengamuk di lautan. Senjatasenjata
mereka menyambar-nyambar dan menukik-nukik
seperti panggilan maut dari ujung bumi. Sentuhan-sentuhan
senjata itu telah menggoyangkan pepohonan dan
menggugurkan daun-daunnya. Sedang tanah tempat mereka
berjejak menjadi seperti baru saja dibajak.
Di sisi lain Sidanti bertempur melawan Agung Sedayu dengan
nyala dendam di dalam dada masing-masing. Bukan saja
karena mereka berdiri pada pihak yang berlawanan dalam
persoalan tata pemerintahan, tetapi ternyata di dalam dada
mereka telah berkobar pula kebencian dan kedengkian karena
seorang gadis. Bukan saja karena yang seorang berdiri pada barisan Tambak
Wedi dan yang lain sebagai seorang adik Senapati Pajang
yang bertugas untuk menyelesaikan masalah itu, tetapi juga
karena keduanya telah mencoba menambatkan hati mereka
kepada tambatan yang sama. Sekar Mirah.
Dengan demikian maka pertempuran di antara mereka benarbenar
merupakan usaha untuk menyelesaikan persoalan yang
bertimbun itu. Sebagai seorang murid Ki Tambak Wedi,
betapa Sidanti membenci adik Untara itu dan sebaliknya juga
sebagai seorang anak muda yang menginginkan Sekar Mirah,
maka mereka tidak melihat jalan lain daripada memusnakan
lawannya. Ternyata Agung Sedayu tidak mengecewakan gurunya.
Setelah mendapat tuntunan dengan sebaik-baiknya, serta
usaha yang tekun tanpa mengenal lelah, Agung Sedayu tidak
lagi mengalami banyak kesulitan menghadapi murid Tambak
Wedi. Gerak dan tandang Agung Sedayu memberikan
beberapa kebanggaan kepada gurunya. Cepat, namun
dilambari oleh kekuatan yang cukup. Sebagai seorang murid
dari Kiai Gringsing, maka anak muda ini benar-benar
mencerminkan gurunya. Tetapi sebagai putera dari seorang
yang bernama Ki Sadewa, Agung Sedayu telah membawa
dasar kekuatan tubuh serta otot bebayu. Ketajaman
pandangan mata dan perhitungan yang terang menghadapi
keadaan. Bahkan bekal yang sudah dibawanya pada saat ia
mendapat tuntunan dari Kiai Gringsing, ilmu yang didapat dari
ayahnya, kakaknya dan pamannya, ternyata telah luluh
menjadi susunan gerak yang manis tetapi cukup berbahaya
bagi Sidanti yang perkasa.
*** Sedang di sudut lain, Swandaru Geni menghadapi lawannya
dengan hati yang tegang. Ternyata Argajaya benar-benar
tangguh dan kuat. Ia mampu bergerak cepat dan cukup
membingungkan. Dengan demikian maka Swandaru kini sudah tidak sempat
lagi untuk tersenyum dan bergurau. Ia harus memusatkan
segenap tenaga dan pikirannya untuk menghadapi lawannya.
Namun, bekal Swandaru pun ternyata cukup baik untuk
menghadapinya. Meskipun Swandaru tidak, dapat berbuat
terlampau banyak seperti Sutawijaya, tetapi menghadapinya,
Argajaya pun tidak dapat berbuat sekehendak hatinya.
Ternyata anak ini pun meskipun bertubuh gemuk, namun
cukup lincah pula melawan segala macam serangannya.
Maka perkelahian itu pun menjadi semakin lama semakin
seru. Keduanya mengerahkan segenap kemampuan yang ada
pada diri masing-masing. Argajaya melihat bahwa yang terjadi
saat ini adalah berbeda dengan apa yang terjadi dipinggir Kali
Opak. Dahulu ia berkelahi benar-benar hanya menuruti
perasaan, tanpa sebab dan tanpa taruhan yang berarti. Tetapi
kini sebabnya adalah jelas dan taruhannya pun jelas.
Argajaya pun telah merasakan, bahwa Tambak Wedi pasti
tidak akan dapat dipertahankan lagi. Dengan demikian maka
satu taruhan telah pasti pula lepas dari tangan. Namun kini
kemanakannya baru mempertahankanya yang kedua. Bagi
Sidanti, taruhan ini tidak kalah penting dengan
mempertahankan Tambak Wedi ini sendiri. Sebagai seorang
paman, maka ia wajib ikut serta berbuat sesuatu dengan
kemampuannya untuk kepentingan kemanakannya, selain
dendamnya sendiri karena kekalahannya di pinggir Kali Opak.
Maka tak ada pikiran lain yang bergolak di dalam kepala
Argajaya selain membunuh anak yang gemuk ini. Apalagi
setelah mereka bertempur beberapa lama. Terasa oleh
Argajaya bahwa kekuatan lawannya kali uni tidak sama seperti
anak muda yang dilawannya di pinggir Kali Opak. Pada anak
ini ternyata masih dapat diketemukan beberapa segi
kelemahannya. Ternyata kecepatan bergerak Swandaru Geni
masih agak lambat dibanding dengan Argajaya yang cekatan.
Tetapi kekuatan tenaga Swandaru masih dapat dibanggakan.
Karena itulah maka Swandaru lebih banyak membenturkan
tenaganya daripada berusaha menghindar.
Namun setiap kali Argajaya masih harus mengumpat di dalam
hatinya. Apabila Swandaru dibingungkan oleh kecepatan
serangan lawannya, maka jalan yang ditempuhnya adalah
meloncat jauh-jauh untuk mengambil jarak. Kemudian dengan
demikian ia menemukan kesempatan untuk memperbaiki
keadaannya. Apabila lawannya tidak segera menyerangnya,
maka serangannyalah yang datang seperti runtuhnya lereng
Gunung Merapi. Bertubi-tubi, sehingga kadang-kadang
Argajaya pun terpaksa menghindarinya agak jauh.
Ki Tanu Metir sempat juga sekilas melihat perkelahian, muridmuridnya.
Ternyata Swandaru telah membuatnya agak
cemas. Meskipun Argajaya pasti tidak akan dapat
menguasainya dalam waktu yang singkat, tetapi orang tua itu
dapat melihat beberapa kelemahan muridnya menghadapi
Argajaya yang agaknya telah memiliki pengalaman yang
cukup menghadapi lawan yang tangguh.
Kekalahan yang pernah dialaminya di pinggir Kali Opak
agaknya telah mendorongnya menjadi semakin garang.
Bahkan di dalam hati orang itu berjanji untuk menebus
kekalahannya. Karena yang ada kini adalah Swandaru maka
kepadanyalah dendam dan pembalasan itu akan
ditumpahkan. "Mudah-mudahan anak itu tetap tenang dan tidak kehilangan
akal," gumam orang tua itu di dalam hatinya. "Yang dapat
menolongnya kali ini hanyalah ketenangan dan perhitungan
yang cermat menghadapi segala macam keadaan."
Untunglah bahwa Swandaru mempunyai sifat-sifat yang agak
luar biasa. Menghadapi kesulitan yang bagaimanapun juga
anak itu tidak segera menjadi bingung dan bermata gelap.
Bahkan kadang-kadang dalam keadaan yang berbahaya ia
masih juga dapat bergurau. Namun kali ini wajahnya menjadi
tegang dan bersungguh-sungguh. Tetapi seperti harapan
gurunya, Swandaru tidak kehilangan akal dan menjadi mata
gelap. Dengan demikian maka ia masih mampu menghadapi
lawannya dalam keadaan yang cukup baik.
Ki Tanu Metir sendiri pasti tidak akan segera dapat
menolongnya. Ki Tambak Wedi ternyata telah memeras
segenap ilmu untuk menguasai keadaan. Namun keduanya
adalah orang-orang yang cukup menyimpan ilmu dan
pengalaman, sehingga sampai sejauh itu, sama sekali tidak
ada tanda-tanda bahwa salah seorang dari padanya akan


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memenangkan perkelahian itu. Hanya sekali-sekali saja ujung
cambuk Kiai Gringsing mampu menyentuh tubuh K Tambak
Wedi. Sekali-sekali dan terlampau jarang. Itulah kemenangan
yang dapat dinikmati oleh Kiai Gringsing. Sedang senjata
lawannya sama sekali tidak dapat menyentuh kulitnya. Tetapi
tubuh Ki Tambak Wedi pun cukup kuat untuk bertahan atas
sengatan ujung cambuk lawannya, meskipun ia terpaksa
menyeringai menahan pedih.
Wuranta yang luka itu akhirnya tidak tahan berdiri saja di
tempatnya. Apalagi melihat Sekar Mirah yang duduk dengan
lemahnya di lantai dengan tubuh yang gemetar. Ia tidak dapat
pula mendekatinya dan berkata kepadanya supaya gadis itu
tidak takut melihat perkelahian di luar dan tidak gentar
mendengar suara ledakan cambuk itu, karena cambuk itu
adalah suara cambuk Ki Tanu Metir.
Tidak. Tak ada tenaga yang cukup mendorongnya untuk
mendekati Sekar Mirah. Tiba-tiba saja terasa ada sebuah tirai
yang memisahkannya. Tirai yang tidak mampu ditembusnya.
Maka tanpa dikehendakiuya sendiri, anak muda itu melangkah
dengan lemahnya ke arah pintu yang telah menjadi miring. Ia
tidak bernafsu lagi untuk segera memungut pedangnya yang
terlepas dari tangannya. Sejenak ia berdiri mematung. Tanpa berkedip ia menyaksikan
tiga lingkaran perkelahian di halaman rumah itu. Pertempuran
antara Ki Tanu Metir dan Ki Tambak Wedi membuatnya
menjadi pening. Keduanya seolah-olah telah kehilangan
bentuknya. Seolah-olah keduanya telah berubah menjadi
bayangan yang melontar-lontar tanpa berhenti, melingkarlingkar
dengan kecepatan yang tidak pernah dapat
dibayangkan. Di sudut lain ia melihat Swandaru bertempur melawan
Argajaya. Meskipun ia sendiri tidak mampu berkelahi secepat
dan sekuat itu, namun ia dapat menangkap betapa
dahsyatnya perkelahian itu, betapa berbahayanya ujung
senjata masing-masing yang seolah-olah menjadi kehausan,
untuk menghisap darah. Sedang Agung Sedayu dan Sidanti pun bertempur tidak kalah
sengitnya. Bahkan terasa betapa nyata dendam di hati
masing-masing berkobar dengan dahsyatnya. Ujung-ujung
pedang mereka berputaran dan melonjak-lonjak, mematuk ke
segenap bagian tubuh lawan masing-masing.
Wuranta tertegun menyaksikan pertempuran itu. Semakin seru
kedua orang itu berkelahi, semakin terasa betapa kecil dirinya
sendiri. Anak muda itu merasa, bahwa ia sama sekali bukan
akan dapat berbuat serupa itu. Apalagi serupa itu, bahkan
mengikuti perkelahian itu pun hampir-hampir ia tidak mampu
lagi. Gerak masing-masing terlampau cepat baginya. Apalagi
gerak ujung senjatanya. Tiba-tiba Wuranta itu merasa bahwa dirinya sama sekali tidak
berarti dalam persoalan ini. Apa yang dilakukan hanyalah
sekedar melakukan perintah. Ia tidak akan mampu berbuat
demikian tanpa petunjuk-petunjuk dari orang tua yang
menamakan dirinya Ki Tenu Metir. Dan bahkan ia merasa
bahwa dirinya tidak lebih berharga dari sehelai pedang.
"Aku hanya alat," desisnya, "apabila sudah tidak terpakai lagi
maka aku akan dibuang. Betapa pentingnya sebuah alat,
maka yang lebih penting adalah yang menggerakkannya."
Wuranta menarik nafas dalam-dalam. "Apa gunanya aku
mengobati lukaku," katanya pula di dalam hati, "bukankah aku
sudah tidak diperlukan lagi" Selama ini aku merupakan alat
yang hidup untuk melepaskan gadis itu. Kini saat pelepasan
sudah semakin dekat. Dan aku tinggallah di tempatku yang
lama." Kini sakit lukanya sudah tidak terasa lagi. Yang lebih pedih
adalah luka di hatinya. Hubungannya yang terjadi hanya
beberapa hari dengan Sekar Mirah, ternyata telah membekas
terlampau dalam di dadanya. Ia tidak lagi dapat berpura-pura,
seperti kepada Sidanti dan Alap-alap Jalatunda. Ia tidak lagi
dapat menipu seperti ia menipu orang-orang Tampak Wedi
dan orang-orang Jipang. Kali ini yang dihadapi adalah
perasaan sendiri. Dan ia tidak dapat mengingkari kenyataan
yang ada di dalam dirinya sendiri itu.
Tanpa disengaja, sekali Wuranta berpaling. Dilihatnya Sekar
Mirah yang duduk di lantai itu justru sedang memandanginya.
Terasa betapa hatinya meratap seperti belanga yang
terbanting di atas batu. Pecah hancur berserakan.
"Hem," Wuranta itu menarik nafas dalam-dalam, "seandainya
aku dapat bermain pedang dan berkelahi secepat Agung
Sedayu. Aku akan dapat menengadahkan dada dan berkata
seperti Sidanti, "Ayo, kita selenggarakan perang tanding,"
Tetapi aku tidak lebih dari anak padesan. Anak padesan yang
hanya pantas dipakai sebagai alat. Seandainya aku mati
dalam tugas yang diberikan oleh Ki Tanu Metir itu pun tak
seorang akan menangisi aku. Dan apakah sebenarnya hak Ki
Tanu Metir saat itu memberi tugas yang berbahaya ini" Tugas
yang ternyata telah hampir membunuhku, bukan karena ujung
pedang, tetapi oleh perasaan sendiri yang justru hancur di
dalam tugas ini?" Wuranta sekali lagi menarik nafas dalam-dalam. "Seharusnya
aku tidak melarikan diri dari tiang gantungan yang segera
akan dipasang oleh Sidanti hari ini. Aku tidak akan
menyaksikan dan merasakan kepahitan seperti ini."
Wuranta itu terkejut ketika kemudian ia mendengar lecutan
meledak di halaman itu. Agak lebih keras dari yang
mendahuluinya. Dan Wuranta itu kemudian melihat Ki Tambak
Wedi meloncat agak jauh ke belakang. Tetapi sejenak
kemudian keduanya telah terlibat lagi dalam perkelahian yang
kisruh menurut pandangan mata Wuranta.
Sedang di tempat lain Swandaru masih melawan Argajaya
dengan gigihnya meskipun beberapa kali ia harus meloncat
surut. Sedang Agung Sedayu dan Sidanti pun berkelahi
dengan dahsyatnya. Dan perkelahian yang semakin sengit itu ternyata telah
menyiksa perasaan Wuranta semakin pedih. Perkelahian itu
seolah-olah seperti sebuah cermin yang menunjukkan betapa
kerdil dirinya dalam lingkaran keprajuritan.
"Aku memang bukan prajurit. Aku tidak ingin menjadi seorang
prajurit. Apakah tidak ada lain bidang kebaktian selain menjadi
seorang prajurt" Bukankah aku seorang petani yang
mempunyai bidang tersendiri dalam mengabdikan diriku
kepada lingkungan hidupku, kepada kampung halaman dan
kepada Pajang. Biarlah mereka yang mampu bertempur
sebagai seorang prajurit berbuat dan mengabdi sesuai dengan
kemampuan mereka. Mereka pun pasti tidak akan mampu
memberikan pengabdian seperti aku. Dan biarlah aku
berbangga karena itu."
Dengan demikian maka Wurauta sedikit menemukan
ketenteraman di dalam dirinya. Ia mencoba membangunkan
kebanggaan atas dirinya sendiri yang hampir-hampir jatuh
tersungkur di dalam rasa rendah diri dan tidak berarti.
Meskipun demikian kepahitan yang dirasakannya, sama sekali
tidak dapat dimuntahkannya kembali. Gadis itu benar-benar
telah menyiksanya. Di luar pengetahuan Wuranta, maka Ki Tanu Metir selalu
diganggu oleh kecemasannya tentang Swandaru. Semakin
lama terasa bahwa kecepatan bergerak Argajaya agak
membahayakan anak muda itu. Untunglah bahwa Swandaru
menyadari kekurangannya, dan anak muda itu tidak
kehilangan akal karenanya. Setiap kali Swandaru berusaha
untuk beradu kekuatan. Setiap kali ada kesempatan,
Swandaru berusaha untuk membenturkan senjatanya. Dengan
demikian maka getaran-getaran yang timbul dari benturanbenturan
itu telah merayapi tangan Argajaya. Kadang-kadang
benturan itu terlampau keras, sehingga tangan Argajaya
terasa menjadi pedih. Namun sesaat kemudian Swandaru
telah dibingungkan oleh gerak yang cepat dari lawannya itu.
Hanya ketenangannyalah yang membantunya setiap kali
melepaskannya dari bahaya. Setiap kali tepat pada saatnya
pedangnya berhasil menggeser ujung tombak lawannya yang
hampir menyentuh kulitnya.
"Sampai berapa lama anak itu akan dapat bertahan," desah Ki
Tanu Metir di dalam hatinya. Tetapi adalah lebih baik melawan
Argajaya itu daripada harus melawan Sidanti yang garang dan
terlampau buas. Demikianlah maka mereka yang bertempur itu telah
tenggelam dalam suatu pemusatan segala macam
kemampuan mereka. Ki Tanu Metir telah mencoba pula
mengatasi lawannya. Tetapi setiap kali ia sadar, bahwa Ki
Tambak Wedi pun telah berbuat serupa pula sehingga tidak
mungkin baginya untuk menguasai lawannya dalam waktu
yang singkat. Sedang keadaan Swandaru semakin lama
menjadi semakin sulit. Agung Sedayu pun tidak akan dapat
berbuat apa-apa, sebab perkelahiannya sendiri tidak juga
tampak segera sampai ke ujung.
Namun ada satu harapan yang masih membersit di dalam
dada Ki Tanu Metir. Untara. Kalau anak muda itu segera
menyelesaikan perkelahiannya atau segera mengetahui
bahwa Ki Tambak Wedi dan Sidanti berserta pamannya hilang
dari pertempuran, maka ia pasti akan mencarinya. Setidaktidaknya
beberapa orang perwiranya akan disebarnya di
seluruh padepokan ini. Ki Tambak Wedi pasti diketahui tidak
akan meninggalkan padepokan ini lewat pintu padepokan,
sebab Untara telah menempatkan beberapa orang di sana.
"Ternyata Argajaya masih terlampau kuat untuknya," desis Ki
Tanu Metir di dalam hatinya. Meskipun demikian, tak ada cara
lain bagi orang tua itu, apabila keadaan memaksa, adalah
mencoba menggabungkan kekuatan kedua muridnya.
Bertempur berpasangan. Ia mengharap bahwa Agung Sedayu
dan Swandaru akan dapat bekerja sama lebih rapi dari Sidanti
dan pamannya. Kelincahan dan kecepatan bergerak Agung
Sedayu dan kekuatan tenaga Swandaru akan dapat
bergabung menghadapi kedua lawannya.
Tetapi tiba-tiba perkelahian itu terganggu. Di kejauhan samarsamar
mereka mendengar suara sorak sorai membelah udara
padepokan Tambaik Wedi. Suara itu bergelombang seolaholah
memecahkan dinding-dinding padepokan yang kokoh
kuat itu. "Gila," geram Ki Tambak Wedi, "apa yang telah terdiadi?"
"Selesai," sahut Ki Tanu Metir, "pertempuran itu pasti sudah
selesai." "Kau sangka bahwa pasukan Untara akan menang?"
"Ya." "Omong kosong!" bentak Ki Tambak Wedi. Sementara itu
mereka masih juga sibuk bertempur dengan serunya, "Untara
terbunuh. Yang bersorak itu adalah orang-orang Tambak Wedi
dan orang-orang Jipang. Kau mau mencoba mempengaruhi
perasaanku, supaya kau mendapat kesempatan baik untuk
menolong muridmu yang sebentar lagi pasti akan mati
terbunuh oleh tombak Angger Argajaya. Sesudah itu, maka
keseimbangan dari kekuatan kita akan miring. Agung Sedayu
harus melawan dua orang. Sidanti dan Angger Argajaya. Nah
akibat seterusnya dapat kau perhitungkan. Kau sendiri pasti
akan mati berkubur di padepokan ini."
Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. Tetapi terdengar suara
tertawanya menyakitkan hati. Baru kemudian ia berkata, "Kau
sangka aku tidak melihat perkelahian di halaman banjar itu"
Perkelahian yang menyenangkan" Pasukanmu dan orangorang
Jipang ternyata telah terlampau lelah untuk melawan
pasukan Angger Untara yang masih segar. Apalagi setelah
pasukannya yang berjalan kaki memasuki padepokan ini.
Kalau tidak demikian, maka kau pasti tidak akan lari dari arena
bersama muridmu dan pamannya itu."
"Tutup mulutmu!" bentak Ki Tambak Wedi. Serangarmya tibatiba
melonjak mengerikan. Hampir saja mulut Ki Tanu Metir
tersentuh ujung senjata hantu lereng Merapi itu.
"Ut," Ki Tanu Metir terpaksa mengelak mundur. Dengan sertamerta
cambuknya menyambar lawannya. Terdengar
ledakannya memekakkan telinga. Tetapi Ki Tambak Wedi
sempat menghindarkan dirinya.
Namun sorak yang terdengar di kejauhan telah mempengaruhi
hati Ki Tambak Wedi. Sebenarnya ia pun tahu bahwa
pasukannya sama sekali tidak aakan memenangkan
pertempuran. Tepat seperti kata-kata Ki Tanu Metir, apabila
imbangan pertempuran itu tidak terlampau berat sebelah,
maka ia tidak akan lari dari arena.
"Sorak itu adalah akhir dari pertempuran," desis Ki Tanu Metir
kemudian. Ki Tambak Wedi tidak menjawab. Ia berusaha semakin kuat
untuk menekan lawannya. Tetapi seperti Kiai Gringsing, usaha
yang demikian pasti hanya akan sia-sia.
Ketika sekali Ki Tambak Wedi melihat Argajaya dan Swandaru
Geni, maka segera ia melihat bahwa agaknya Argajaya akan
lebih cepat daripadanya menyelesaikan perkelahiannya.
Tetapi apakah Argajaya dapat lebih cepat dari kedatangan
pasukan Untara itu" Dengan demikian maka Ki Tambak Wedi sudah mulai dijalari
oleh perasaan gelisah. Sorak di kejauhan sudah mulai
menurun. Hampir dapat dipastikan bahwa sebentar lagi
pasukan berkuda yang tersisa akan berlari-larian di sepanjang
padepokan ini. Satu dua orang dari mereka tidak akan berarti
apa-apa bagi Ki Tambak Wedi. Tetapi selanjutnya pasti akan
menyusul yang lain lagi. Empat, lima, sepuluh dan kemudian
berpuluh-puluh bersama-sama dengan Untara sendiri.
Dalam kegelisahan itu Ki Tambak Wedi terpaksa meloncat
surut untuk menghidari serangan Kiai Gringsing yang justru
menjadi semakin garang. Berkali-kali cambuknya meledakledak
memekakkan telinga. Kedua muridnya seakan-akan
telah menjadi kebal mendengar suara cambuk itu. Tetapi bagi
Sidanti dan Argajaya suara itu agaknya cukup mengganggu
ketenangan mereka. Setiap kali cambuk itu meledak, maka Swandaru merasa
mendapat kekuatan baru. Setiap kali ia mendengar Argajaya
berdesah, dan bahkan mengumpat. Kesempatan yang kecil itu
dimanfaatkan oleh Swandaru sebaik-baiknya, sebab ia
merasa bahwa tekanan Argajaya semakin lama menjadi
semakin berat. Bahkan kemudian Argajaya seakan-akan telah
membuat telinganya menjadi tuli.
Meskipun suara cambuk Ki Tanu Metir masih juga kadangkadang
menghentak dadanya, tetapi Argajaya telah
memusatkan segenap perhatiannya atas lawannya. Ia yakin


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa lawannya yang gemuk itu akan dapat dikalahkan
apabila ia mendapat waktu yang cukup. Ia pun sadar, bahwa
pengaruh suara cambuk itu telah memperlambat
kemenangannya. Namun kini ia telah berhasil memusatkan
segenap tenaganya tanpa menghiraukan suara cambuk yang
meledak-ledak itu lagi. Tetapi meskipun demikian, meskipun ia berhasil melenyapkan
pengaruh suara cambuk Ki Tanu Metir, namun Argajaya sama
sekali tidak berhasil meniadakan pendengarannya atas suara
sorak-sorai di kejauhan yang seolah-olah membelah langit.
Suara itu langsung menyentuh hatinya.
"Setan alas!" orang itu mengumpat. "Aku tinggal memerlukan
waktu sedikit untuk membinasakan anak gemuk yang
sombong ini. Apakah sorak itu pertanda bahwa pertempuran
telah selesai?" Dengan demikian maka Argajaya pun menjadi gelisah pula.
Kegelisahannya kini yang mempengaruhinya, sehingga justru
kemenangannya menjadi tertunda pula. Setiap kali ia
mencoba memandang kemenakannya dan Ki Tambak Wedi.
Dan setiap kali pula suara sorak di kejauhan mengetuk
dadanya. Bukan saja Argajaya yang menjadi gelisah seperti Ki Tambak
Wedi, tetapi Sidanti pun demikian pula. Anak muda itu pun
mendengar suara sorak yang riuh menggetarkan udara
padepokan Tambak Wedi. Dengan demikian maka pemusatan
pikirannya pun menjadi terganggu. Setiap kali ia terpaksa
menghindar surut dan bahkan meloncat jauh-jauh.
Suara sorak yang gemuruh itu kini sudah mereda. Bahkan
hampir tidak terdengar lagi. Yang terdengar kini adalah
gemerincing senjata beradu. Tombak Argajaya yang sering
benar berbenturan dengan pedang Swandaru. Senjata Sidanti
dan Agung Sedayu, serta ledakan-ledakan cambuk Ki Tanu
Metir yang memekik-mekik tinggi.
"Setan tua ini licik sekali," geram Ki Tambak Wedi di dalam
hatinya. "Sengaja ia meledakkan cambuknya keras-keras
untuk memanggil kawan-kawannya."
Namun ternyata bukan saja demikian, tetapi Ki Tambak Wedi
yang terganggu itu benar-benar mulai terdesak. Beberapa kali
ia meloncat mundur seperti Sidanti. Beberapa kali pula ia
terkejut melihat serangan lawannya yang terlampau cepat dan
tiba-tiba. Tetapi perhatian Ki Tambak Wedi kini sudah tidak lagi pada
lawan-lawannya. Beberapa kali ia memandangi keadaan di
sekitarnya. Dan akhirnya ditemukannya jalan yang sebaikbaiknya
untuk menghindarkan diri dari bencana. Kalau Untara
dan pasukannya sebentar lagi datang, itu berarti bencana
baginya, bagi Sidanti beserta pamannya, Argajaya.
Karena itu, maka Ki Tambak Wedi segera mengambil
keputusan untuk melarikan dirinya. Orang tua itu yakin, bahwa
ia tidak akan dapat keluar lewat regol padepokannya. Karena
itu ia harus mempergunakan jalan lain. Tetapi satu hal yang
membuatnya ragu-ragu. Dengan demikian maka Sidanti tidak
akan dapat membawa Sekar Mirah bersama mereka. Betapa
akan kecewanya anak muda itu. Mungkin akan melampaui
segala macam kegagalannya yang lain. Hal ini akan dapat
membahayakan masa depannya.
Tetapi Ki Tambak Wedi tidak melihat jalan yang dapat
ditempuhnya untuk mengambil Sekar Mirah. Meskipun
mungkin Sekar Mirah kini sama sekali tidak diawasi oleh siapa
pun, namun tak ada jalan baginya untuk masuk ke dalam
gubug itu. Ki Tambak Wedi terkejut ketika tiba-tiba saja ia mendengar
kuda berderap. Terlampau cepat mendekati tempat
perkelahian itu. Terdengar Ki Tambak Wedi mengumpat. Kini tidak ada
kesempatan lagi untuk menimbang-nimbang. Ia harus segera
meninggalkan tempat itu bersama dengan Sidanti dan
pamannya. Ketika suara derap kaki kuda itu menjadi semakin dekat, maka
tiba-tiba terdengar Ki Tambak Wedi bersuit nyaring. Dengan
cekatan ia meloncat mundur, melepaskan diri dari lawannya
dan kemudian berlari meninggalkannya.
Sidanti dan Argajaya telah mengenal tanda itu. Mereka pun
dapat mengerti kesulitan yang bakal datang. Betapa kecewa
hati Sidanti dan Argajaya, namun mereka harus meninggalkan
tempat itu. Sidanti kecewa karena ia tidak berhasil membawa
Sekar Mirah yang dengan susah payah telah diambilnya dari
Sangkal Putung, sedang Argajaya kecewa karena ia tidak
berhasil melepaskan dendamnya karena kekalahannya di
pinggir Kali Opak. Tetapi keadaan telah memaksa mereka
pergi. Dan mereka pun mendengar derap kuda semakin dekat.
Ketika mereka melihat Ki Tambak Wedi telah meninggalkan
lawannya maka dengan tergesa-gesa mereka pun segera
melepaskan diri. Meloncat dan berlari secepat-cepat mereka
dapat. Semula mereka tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja Ki
Tambak Wedi mendahului meninggalkan mereka. Namun
mereka kemudian menyadari, bahwa orang itu ternyata telah
mencoba melindungi mereka dari kejaran lawan-lawannya.
Ternyata ketika Agung Sedayu meloncat dengan pedang
terjulur mengejar Sidanti, terdengar Ki Tambak Wedi berteriak
nyaring memanggilnya. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat
mengekang diri untuk berhenti. Untunglah bahwa Ki Tanu
Melir berhasil meloncat mendekatinya. Sejenak kemudian
terdengar cambuk meledak, dekat sekali di muka Agung
Sedayu. Mau tidak mau Agung Sedayu terpaksa berhenti.
Alangkah terkejut anak muda itu ketika ia melihat sebuah
gelang-gelang besi menggelepar di bawah kakinya.
"Hati-hatilah," desis Ki Tanu Metir, "iblis itu sangat licik."
Agung Sedayu sesaat berdiri saja seperti patung. Demikian
juga Swandaru yang tidak pula kalah terperanjat dari Agung
Sedayu ketika ia melihat gelang-gelang itu.
"Apakah mereka akan kita biarkan saja?" bertanya Agung
Sedayu. "Ikutlah di belakangku. Marilah mereka kita kejar," jawab
gurunya. Namun dengan demikian mereka telah kehilangan
waktu sejenak. Waktu yang sejenak itu ternyata telah dipergunakan sebaikbaiknya
oleh Ki Tambak Wedi. Dengan secepat-cepatnya ia
berlari diikuti oleh Sidanti dan Argajaya meloncati pagar
halaman yang tidak begitu tinggi menuju ke jalan sempit di
sebelah. "Kita kehilangan waktu sesaat," desis Ki Tanu Metir sambil
berlari mengejar. Di belakangnya kedua muridnya
mengikutinya "Uh," desah Swandaru sambil berlari-lari, "ternyata aku bukam
pelari yang baik." Meskipun demikian Swandaru itu tidak tertinggal terlampau
jauh dari saudara seperguruannya.
Sebenarnya kali ini Ki Tanu Metir benar-benar tidak ingin lagi
melepaskan lawannya. Namun ternyata lawannya mempunyai
cara yang licik untuk melepaskan dirinya. Untunglah bahwa ia
melihat orang tua yang selama ini menggetarkan lereng
Merapi itu mengambil gelang-gelang besinya dan siap untuk
melemparkan. Dengan demikian maka ia dapat
menyelamatkan Agung Sedayu, meskipun ia tahu juga bahwa
itu hanyalah suatu cara untuk mendapatkan sekedar waktu.
Tetapi ternyata Ki Tambak Wedi telah beberapa puluh langkah
berada di depan. Namun seandainya ia mempunyai
kesempatan yang cukup, setidak-tidaknya ia akan
mendapatkan Sidanti atau Argajaya, atau akan lebih baik lagi
kalau Ki Tambak Wedi sendiri mencoba melindungi muridnya.
Ketika Ki Tambak Wedi hampir mencapai jalan sempit di
sebelah halaman di samping, maka derap kuda yang mereka
dengar telah menjadi dekat sekali. Bahkan kemudian mereka
melihat seleret bayangan yang berlari di balik dedaunan.
Ki Tanu Metir menjadi berdebar-debar sejenak. Orang
berkuda itu pasti akan melihat Ki Tambak Wedi berlari
melintasi jalan yang dilalui kudanya. Tetapi apakah, yang akan
terjadi kemudian apabila mereka justru bertemu"
"Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi terhambat meskipun
hanya sekejap," desis Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Tetapi yang terjadi telah mengguncangkan dadanya.
Penunggang kuda itu ternyata adalah seorang prajurit Pajang.
Beberapa puluh langkah di belakangnya kuda yang kedua
menyusulnya. Ketika prajurit itu melihat seorang berlari
melintas halaman, maka segera prajurit itu bermaksud
memotong jalan. Namun nasibnya ternyata tidak terlampau
baik. Begitu ia mencoba menghalangi orang yang sedang
berlari itu, maka hampir tak dapat diketahui sangkan
parannya, sebuah gelang-gelang besi menghantam pundak
kanannya. Terasa pundaknya terdorong oleh kekuatan yang
tidak dapat dibayangkannya sehingga prajurit itu terpelanting
dari kudanya. Tanpa sesadarnya prajurit itu pun memekik
tinggi. Untunglah bahwa kaki-kaki kuda kawannya yang berada di
belakangnya sempat menghindar, sehingga tubuhnya yang
terbanting di tanah itu tidak terinjak. Meskipun demikian, maka
prajurit itu menjadi pingsan. Ia tidak tahu apa yang terjadi atas
dirinya. Ia tidak menyadari lagi bahwa kawannya itu kemudian
meloncat turun dan mencoba merawatnya.
Ternyata apa yang diharapkan Kiai Gringsing terjadi
sebaliknya. Ia ingin prajurit berkuda itu meskipun hanya
sekejap menghambat Ki Tambak Wedi, tetapi yang terjadi
adalah, Ki Tanu Metir sendirilah yang sekali lagi terpaksa
melepaskan waktu sesaat. Sebagai seorang dukun, maka
secara naluriah orang tua, itu berhenti sambil berteriak kepada
prajurit yang seorang, "Rawatlah kawanmu itu sejenak,
bawalah ia masuk ke rumah itu."
Meskipun dengan demikian maka jarak Ki Tambak Wedi
menjadi semakin jauh, tetapi ia tidak dapat melihat dan
membiarkan seseorang yang sedang dibelai maut.
Setelah Ki Tanu Metir yakin bahwa prajurit yang seorang itu
akan merawat kawannya, maka segera ia pun meneruskan
langkahnya mengejar Ki Tambak Wedi.
"Mudah-mudahan tak ada jalan yang dapat dilaluinya," berkata
orang tua itu kepada kedua muridnya yang berlarian di
belakangnya. "Kalau mereka memanjat dinding halaman,
maka kita akan sempat menangkapnya. Tidak mudah untuk
memanjat dinding yang cukup tinggi ini. Sedang apabila
mereka mencoba terjun kesungai, maka kitalah yang akan
mendapat giliran, melempar mereka dengan batu."
"Tetapi kalau mereka terjun lewat urung-urung, maka mereka
akan dapat meloloskan diri guru."
Ki Tanu Metir terdiam sejenak. Namun langkahnya justru
menjadi semakin cepat. "Ya," gumamnya, "tetapi mereka tidak menuju ke urungurung."
"Ya," Agung Sedayu menyahut.
Mereka kemudian terdiam. Mereka mencoba mempercepat
langkah mereka. Tetapi Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan
Argajaya pun berlari semakin cepat.
"Kemanakah mereka," Ki Tanu Metir dan kedua muridnya
berpikir di dalam hatinya. Orang-orang yang mereka kejar
ternyata berlari ke arah yang tidak mereka mengerti. "Apakah
ada pintu rahasia?" pertanyaan itu berputar-putar di dalam hati
mereka. Sejenak kemudian Ki Tanu Metir dan kedua muridnya melihat
Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya menyeberangi sungai.
Mereka sama sekali tidak berlari menyusur sungai itu. Apabila
demikian maka mereka akan dapat mencari jalan memintas.
Tetapi tidak, ketiganya berlari melintas sungai.
"Kemana mereka?" bertanya Swandaru yang ketinggalan
beberapa langkah di belakang.
Ki Tanu Metir tidak menjawab. Ia berlari semakin cepat,
sehingga kedua muridnya pun kini tertinggal semakin jauh.
Orang tua itu ingin setidak-tidaknya untuk menangkap Sidanti
atau Argajaya. Seperti kedua murid Ki Tanu Metir, maka jarak antara Sidanti
dan Argajaya dengan Ki Tambak Wedi pun menjadi semakin
jauh pula. Namun Ki Tanu Metir menyadari, bahwa setiap saat
Ki Tambak Wedi akan berhenti, berbalik dan melontarkan
gelang-gelang besinya untuk melindungi Sidanti beserta
pamannya. Dengan demikian maka Ki Tanu Metir tidak kehilangan
kewaspadaan meskipun tampaknya ia sedang mengejar
musuhnya. Setiap kali ia bersiap menerima serangan yang
bagaimanapun bentuknya. Tetapi yang masih menjadi teka-teki baginya, kemana Ki
Tambak Wedi ini akan berlari. Satu-satunya kemungkinan
yang sedang dilakukan adalah, keluar dari padepokan ini
lewat pintu rahasia. Karena itu maka ia harus menjadi semakin
dekat. Begitu pintu rahasia itu terbuka bagi Ki Tambak Wedi
dan Sidanti serta pamannya, maka ia pun harus dapat lewat
pula di situ. Ki Tanu Metir menjadi berdebar-debar ketika mereka sudah
hampir mencapai dinding padepokan. Beberapa puluh langkah
di muka mereka, dinding itu seakan-akan raksasa yang berdiri
tegak, bertolak pinggang menghadang jalan.
"Kemana mereka akan lari?" desis Ki Tanu Metir di dalam
hatinya. Beberapa langkah di hadapannya Sidanti dan Argajaya
tersuruk-suruk mempercepat larinya. Namun jarak mereka
dengan Ki Tanu Metir menjadi semakin dekat.
"Dalam keadaan yang wajar aku akan mendapatkan salah
seorang dari mereka," berkata Ki Tanu Metir di dalam hatinya,
"meskipun seandainya di muka itu ada sebuah pintu rahasia
yang tiba-tiba saja terbuka."
Tetapi apa yang diduganya sejak semula benar-benar terjadi.
Ketika Ki Tambak Wedi telah berdiri di bawah dinding
padepokan itu, maka tiba-tiba ia berbalik, dan sebuah gelangTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
gelang besi meluncur ke arah Ki Tanu Metir. Terdengar
cambuk Ki Tanu Metir meledak. Ia ingin tetap tidak berhenti di
tempatnya meskipun ia harus menangkis serangan-erangan Ki
Tambak Wedi. Tetapi ketika Ki Tambak Wedi melepaskan
gelang-gelang besinya yang kedua, sasarannya bukan Ki
Tanu Metir. Kali ini sasarannya adalah Agung Sedayu.
Untunglah bahwa Ki Tanu Metir melihat arah pandangan mata
iblis itu, sehingga cepat ia dapat mengetahui apa yang akan
dilakukan. Sekali lagi cambuk Ki Tanu Metir menggeletar. Tetapi ia tidak


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat menghindarkan Agung Sedayu dari bencana sambil
tetap berlari. Ki Tanu Metir terpaksa berhenti dan bahkan
mundur selangkah mendekati Agung Sedayu. Bagaimanapun
juga Ki Tanu Metir telah kehilangan lagi beberapa langkah.
Yang kemudian menghentak dada Ki Tanu Metir dan kedua
muridnya adalah soal-soal yang sama sekali tidak diduganya.
Ternyata mereka benar-benar mempergunakan pintu rahasia.
Tetapi sama sekali tidak terdapat pada dinding padepokan itu.
Sama sekali tidak ada sebuah pintu yang tiba-tiba saja
terbuka, atau sebuah goa tempat mereka menyuruk ke luar
dan yang tiba-tiba bibirnya runtuh menutup jalan.
Ternyata pintu rahasia itu adalah sebatang pohon. Merek
bertiga dengan cepatnya meloncat memanjat sebatang pohon
preh yang rimbun. "Oh, kalian sangka aku tidak dapat secepat itu," geram Ki
Tanu Metir di dalam hatinya, "aku akan mengejar mereka
sekalipun akan sampai ke puncak gunung ini."
Tetapi sekali lagi Ki Tanu Metir menggeram. Ternyata pohon
preh itu adalah pohon yang memang telah dipersiapkan
sebagai sebuah pintu rahasia untuk meninggalkan padepokan
ini tanpa melalui regol. Meskipun Ki Tanu Metir dan kedua muridnya telah memanjat
pohon itu pula, namun mereka terpaksa menarik nafas dalamdalam
untuk menenteramkan gelora di dada mereka. Mereka
hanya dapat saling berpandangan ketika mereka melihat
Argajaya, orang yang terakhir dari ketiga orang yang mereka
kejar itu lelah mencapai dinding padepokan. Dengan sebuah
sentuhan kaki, maka sebatang kayu yang mereka pergunakan
untuk melempar dari dahan pohon preh itu ke dinding,
terlempar jatuh. "Setan!" Swandaru berteriak tanpa sesadarnya ketika ia
melihat, ketiga orang itu meloncat turun dan hilang di
seberang dinding. "Ambil kayu itu," teriak Agung Sedayu kepada Swandaru yang
berada di paling bawah dari ketiganya.
"Tak ada gunanya," sahut Ki Tanu Metir dengan nada yang
dalam, "mereka sudah berlari semakin jauh, atau mereka
menunggu di bawah dinding itu. Setiap kepala yang
tersembul, pasti akan segera dipecahkan oleh gelang-gelang
besi Ki Tambak Wedi. Ia sudah mendapat waktu untuk
mempersiapkan dirinya. Tetapi apabila kita berada dekat di
belakangnya, maka ia tidak mendapat kesempatan itu."
"Kita meloncat dari dahan pohon ini langsung ke dinding itu,"
berkata Swandaru." "Tak ada kemungkinan. Aku sangka mereka akan berbuat
demikian juga. Dari bawah, kayu yang menyilang dari dahan
pohon ini ke dinding batu itu tidak begitu tampak, tertutup oleh
daun-daunnya. Sedang dahan-dahannya yang langsung
tumelung ke atas dinding itu terlampau kecil," sahut gurunya.
"Jadi bagaimana sekarang?" bertanya Agung Sedayu.
"Gagal," jawab gurunya.
"Tak ada jalan lain?"
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. "Satu-satunya
kemungkinan kita mencari kuda. Kita mencoba menjelajahi
daerah di sekitar padepokan ini. Tetapi kemungkinan untuk
menemukannya terlampau kecil."
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya mereka.
Mereka pun menyadari, bahwa mereka telab kehilangan
kemungkinan untuk segera dapat menemukan ketiga orang
itu. Terdengar Swandaru menggeretakkan giginya. Ia menjadi
sangat kecewa. Ia ingin menangkap orang-orang yang
melarikan adiknya dan membawanya ke Sangkal Pulung mati
atau hidup. Tetapi mereka telah lepas dari tangan.
"Mereka telah memelihara dan mengatur pohon preh ini baikbaik,"
berkata Kiai Gringsing kemuidian. "Mereka menebas
setiap dahan yang cukup besar yang dapat mencapai dinding
batu itu. Tetapi mereka sengaja membiarkan dahan2 yang
kecil dan berdaun agak rimbun untuk menutupi kayu yang
mereka silangkan itu."
Sejenak kemudian mereka bertiga saling berdiam diri. Tetapi,
mereka tidak segera turun dari atas pohon preh itu. Bahkan
Agung Sedayu mencoba memanjat semakin tinggi. Ia
mencoba untuk melihat ke luar dinding padepokan itu dari atas
pohon. Tetapi anak muda itu tidak melihat sesuatu. Yang
terbentang di luar padepokan itu adalah sebuah lapangan
rumput yang sempit, kemudian di sebelah lapangan rumput itu
adalah sebuah pategalan yang rimbun. Pategalan salak yang
digarap oleh orang-orang yang tinggal di dalam padepokan Ki
Tambak Wedi. Dengan demikian seandainya Ki Tambak Wedi,
Sidanti, dan Argajaya menyusup ke dalam kebun salak itu,
maka amat sukarlah untuk mencarinya.
"Dapatkah Kakang melihat?" bertanya Swandaru. Agung
Sedayu menggelengkan kepalanya. "Kebun salak," jawabnya.
"Marilah kita turun," berkata Kiai Gringsing kemudian, "kita
melihat Sekar Mirah. Apakah ia tidak terganggu selama ini."
"O," Swandaru berdesis, "marilah. Hampir aku lupa."
Tiba-tiba Agung Sedayu pun menjadi tergesa-gesa turun dari
pohon itu. Bahkan seolah-olah anak muda itu menyelusur saja
ke bawah. Ketiganya pun kemudian melangkah kembali ke gubug Sekar
Mirah. Swandaru dan Agung Sedayu merasa langkah mereka
itu terlampau lambat. Sekali-sekali mereka mendahului
gurunya, Ki Tanu Metir yang dapat mengetahui perasaan anak-anak
muda itu pun kemudian mempercepat langkahnya pula. Tetapi
ia tidak menjadi terlampau cemas. Menurut perhitungannya,
maka beberapa orang prajurit Untara pasti sudah sampai ke
tempat itu pula. Namun tanpa mereka duga-duga, tiba-tiba terdengar
Swandaru berdesah, "Aneh."
"Apa yang aneh?" bertanya Agung Scdatu tidak mengerti.
"Argajaya," jawab Swandaru.
"Kenapa?" "Di Prambanan, ia tidak gentar melihat ujung tombak
Sutawijaya. Bahkan tombak itu telah melekat di lambungnya.
Tetapi kini ia terpaksa melarikan diri seperti seekor tikus
melihat kucing." "Keadaannya sangat berbeda," potong gurunya. "Di
Prambanan Argajaya mempertaruhkan segalanya untuk harga
diri serta kehormatannya. Di sini ia sama sekali hampir tidak
berperan. Kebetulan ia adalah paman Sidanti. Ketika Sidanti
dan gurunya berlari meninggalkan arena, maka ia pun akan
lari juga. Bukan seharusnya ia bertahan mati-matian di
padepokan yang asing baginya. Apalagi mempertaruhkan
nyawanya." Swandaru dan Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya mereka. Mereka dapat mengerti keterangan
gurunya. Argajaya hampir tidak berkepentingan apa pun
dengan padepokan ini, selain secara kebetulan
kemanakannya berada di sini. Dan kemanakannya itu pun
telah menghindarkan diri pula.
Mereka bertiga kini telah menyeberangi sungai yang
membujur membelah padepokan itu. Semakin dekat mereka
dengan tempat tinggal Sekar Mirah, mereka menjadi semakin
cepat melangkah. Mereka selalu diganggu oleh perasaan
cemas, karena mereka merasa bahwa mereka berada di
tengah-tengah bahaya yang setiap saat dapat menerkam
mereka dari segala penjuru. Mungkin dari balik-balik dinding
batu halaman, mungkin dari dalam gerumbul atau rumpunrumpun
bambu. Apabila bahaya itu menimpa Sekar Mirah,
maka gadis itu pasti tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Wuranta yang berada di rumah itu pun telah terluka. Tak akan
banyak yang dapat dilakukannya seandainya ada seorang
saja orang padepokan ini yang datang menyerang rumah itu.
Mudah-mudahan prajurit Pajang yang merawat kawannya
yang terluka masih berada di sana.
Ketika mereka muncul di mulut sebuah lorong sempit, mereka
tertegun sejenak. Mereka melihat beberapa ekor kuda di
halaman rumah yang dipergunakan oleh Sekar Mirah. Sejenak
mereka saling berpandangan, namun kemudian Ki Tanu Metir
berkata, "Mereka pasti prajurit-prajurit Pajang. Aku memang
sudah menyangka bahwa mereka pasti akan segera datang."
"Bahkan mungkin Kakang Untara ada di antara mereka," desis
Swandaru. "Mungkin," sahut Ki Tanu Metir.
Agung Sedayu tidak berkata sepatah kata pun. Tetapi
langkahnya menjadi semakin panjang dan cepat. Seolah-olah
jarak di hadapannya itu mau diloncatinya dengan sekali
langkah. Sebenarnyalah bahwa di rumah itu telah berkumpul beberapa
orang prajurit Pajang, tetapi ternyata Untara tidak ada di
antara mereka. Ketika salah seorang dari mereka melihat Ki
Tanu Metir dan kedua muridnya, maka segera dipanggilnya
kawan-kawannya ke luar. Demikian Ki Tanu Metir beserta Agung Sedayu dan Swandaru
menginjakkan kakinya di halaman itu, maka segera para
prajurit Pajang mengerumuninya.
(***) Buku 25 "BAGAIMANA dengan Ki Tambak Wedi?" bertanya salah
seorang dari mereka. "Bukankah Kiai bertempur melawannya
di sini?" "Lari," jawab Ki Tanu Metir pendek.
"Orang itu benar-benar licin seperti hantu. Ia berhasil
menghilang dari kepungan kami, dan kini berhasil meloloskan
diri dari tangan Kiai. Bagaimana dengan Sidanti dan yang
seorang lagi?" "Ketiganya dapat melepaskan diri."
"Sayang," desis para prajurit Pajang," mereka akan menjadi
bibit persoalan di waktu-waktu mendatang."
"Ya. Bibit itu akan cepat tumbuh dan berkembang. Mereka
mempunyai tanah yang subur bagi pertumbuhan bibit itu."
"Di mana, Kiai?"
"Menoreh." Para prajurit itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Namun segera mereka memalingkan kepala mereka ketika
mereka mendengar Swandaru menyela, "Bagaimana dengan
Sekar Mirah?" Swandaru tidak menunggu jawaban. Segera ia melangkah
dan keluar dari kerumunan para prajurit itu. Dengan tergesagesa
ia melangkah menuju ke arah pintu yang masih saja
miring. Agung Sedayu ketika melihat Swandaru pergi, segera
menyusulnya di belakang. Ki Tanu Metir masih belum beranjak dari tempatnya.
Dibiarkannya kedua muridnya itu pergi menemui Sekar Mirah,
sedang Ki Tanu Metir sendiri kemudian kembali sibuk
menjawab pertanyaan para prajurit yang mengerumuninya.
Ketika Swandaru masuk ke dalam rumah bersama Agung
Sedayu, maka mereka melihat Sekar Mirah telah berdiri di
sudut ruangan. Di atas bale-bale bambu kini terbaring sesosok
tubuh. Ia, adalah prajurit yang telah dikenai gelang-gelanggelang
besi oleh Ki Tambak Wedi. Sedang di sudut yang lain
kedua orang Tambak Wedi yang terikat masih juga terikat.
Demikian Sekar Mirah melihat Swandaru masuk, maka sekali
lagi ia berlari mendapatkannya sambil menangis. Tetapi kini ia
sudah tidak menjerit-jerit lagi.
"Kakang, aku takut," katanya di antara isak tangisnya.
"Jangan takut, Mirah. Kau sekarang sudah bebas," jawab
Swandaru. Sekar Mirah mengangkat wajahnya. Pandangannya masih
mengandung kecemasan, "Apakah aku sekarang sudah
bebas?" "Sudah, Mirah."
"Tetapi kita masih berada di sini. Kita masih berada di Tambak
Wedi." "Ya, tetapi semuanya sudah selesai. Padepokan ini sudah
dikuasai oleh Kakang Untara."
"Lalu bagaimana dengan Sidanti dan orang-orang lain yang
menakutkan itu?" "Sidanti telah pergi. Ia telah melarikan diri dari padepokannya
bersama guru dan pamannya."
"Lari?" "Ya. Sayang kami tidak dapat menangkapnya hidup atau mati.
Ia berhasil meloncat dinding lewat sebatang pohon preh."
Sekar Mirah memandang wajah kakaknya dengan penuh
pertanyaan. Katanya, "Apakah kalian tidak dapat mengejarnya
lewat pohon preh itu pula?"
Swandaru menggeleng, "Tidak, Mirah. Kami tidak dapat
mengejarnya. Ternyata pohon preh itu memang sudah
dipersiapkannya menjadi sebuah pintu rahasia."
Sekar Mirah terdiam. Namun tampaklah bahwa ia menjadi
sangat kecewa. Sidanti baginya akan tetap menjadi hantu
sebelum terbunuh. Setiap kali ia akan muncul dan menakutnakutinya.
"Jangan takut," berkata Swandaru kemudian yang seakanakan
Bukit Pemakan Manusia 18 Pendekar Gila 33 Keris Naga Sakti Pedang Kayu Cendana 2
^