Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 36

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 36


dapat mengerti perasaan adiknya, "kini Sidanti sama
sekali sudah tidak berdaya menghadapi Kakang Agung
Sedayu. Sidanti bukan lagi menjadi hantu bagi kami. Untuk
waktu yang lama aku kira ia tidak akan menampakkan dirinya
lagi." "Kemanakah orang itu bersembunyi?"
"Mungkin ia akan kembali ke kampung halamannya,
Menoreh." Sekar Mirah terdiam. Tanpa sesadarnya ia berpaling. Ketika
pandangan matanya bertemu dengan sorot mata Agung
Sedayu, maka cepat-cepat gadis itu menundukkan kepalanya.
Dada Agung Sedayu pun berdesir. Dilemparkannya
pandangan matanya jauh-jauh ke luar rumah lewat lubang
pintu. Dilihatnya di luar beberapa orang berdiri mengerumuni
Kiai Gringsing. Sejenak mereka dicengkam oleh keheningan. Sekar Mirah kini
sudah tidak menangis lagi. Tetapi ia masih juga selalu
dibayangi oleh ketakutan. Jangan-jangan Sidanti dan gurunya
akan muncul dengan tiba-tiba.
Namun kehadiran beberapa orang prajurit Pajang telah
menambah ketenteraman hatinya. Ia percaya bahwa Untara
telah menduduki padepokan Tambak Wedi.
Sejenak kemudian Ki Tanu Metir telah masuk ke dalam rumah
itu pula diiringi oleh beberapa orang prajurit. Ketika ia
melangkahkan kakinya masuk, maka segera ia berdesis, "Nini
Sekar Mirah, sekarang kau tidak perlu takut lagi. Kau akan
segera dapat kembali kepada ayah dan ibu di Sangkal Putung.
Semuanya sudah selesai di sini."
Hati Sekar Mirah yang sudah agak tenteram itu pun telah
dapat diaturnya, sehingga ia mampu menjawab, "Terima
kasih, Kiai. Aku sudah sangat rindu kepada ayah dan ibu."
"Setiap saat yang kau kehendaki kau akan kami antar ke
Sangkal Putung," sahut Ki Tanu Metir.
Sekali lagi Sekar Mirah menjawab, "Terima kasih, Kiai."
Ki Tanu Metir itu pun kemudian memandangi prajurit yang
terbaring diam. Tampaklah wajahnya berkerut. Perlahan-lahan
ia berjalan mendekatinya. Ketika ia meraba tangan prajurit itu
maka terdengar ia berdesah, "Hem, aku terlambat. Aku kira
aku masih dapat berbuat sesuatu atasnya."
Kawannya, yang merawatnya pada saat ia terpelanting dari
kudanya berdiri di belakang Ki Tanu Metir. Katanya, "Sejak ia
pingsan, ia tidak sempat bangun kembali, Kiai."
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam, desahnya, "Yang
aku kejar pun tidak aku dapat, sedang prajurit ini tidak
tertolong lagi." Tak seorang pun yang menyahut.
"Ini adalah keharusan di luar kemungkinan tangan manusia,"
gumam Ki Tanu Metir pula.
Ketika orang tua itu meraba pundak prajurit yang telah gugur
itu, maka terasa olehnya bahwa tulang prajurit itu pecah oleh
gelang-gelang Ki Tambak Wedi. Apalagi kemudian ia
terpelanting jatuh dari punggung kuda yang berlari kencang.
Namun tiba-tiba Ki Tanu Metir itu mengangkat wajahnya,
memandang berkeliling sambil berkata perlahan-lahan seperti
kepada diri sendiri, "He, di manakah Angger Wuranta" Sejak
aku datang aku belum melihatnya. Bukankah ia tinggal di
sini?" Semua kepala yang ada di dalam rumah itu terangkat. Mereka
saling memandang dan bertanya-tanya di dalam hati. Apalagi
Agung Sedayu dan Swandaru. Selama ini mereka telah
melupakan anak muda itu. Dan tiba-tiba saja mereka tersentak
dalam satu ingatan atasnya. Mereka mencoba mencari
Wuranta di sekitarnya, di dalam rumah itu. Tetapi mereka tidak
melihatnya. "Bukankah ia berada di rumah ini ketika kita pergi?" desis
Swandaru. Agung Sedayu mengangguk. Tampaklah perasaan aneh
membayang di wajahnya. Ia melihat sikap yang tak
dimengertinya pada anak muda itu. Pada saat-saat ia
mencoba menyelamatkannya, Wuranta menjadi salah paham
dan bahkan marah kepadanya. Sekarang anak muda itu pergi
tanpa menunggunya. Dalam kebingungan itu ia mendengar Ki Tanu Metir bertanya
kepada prajurit yang merawat kawannya yang terluka,
"Apakah kau melihat Angger Wuranta di sini?"
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Aku
terlampau sibuk sehingga aku tidak begitu memperhatikan
keadaan di rumah ini. Aku kira, aku hanya melihat gadis yang
menangis itu dan dua orang yang terikat."
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Prajurit ini
bukan prajurit yang pernah berada di Sangkal Putung. Prajurit
ini adalah prajurit yang baru datang dari Pajang ke Sangkal
Putung dekat sebelum berangkat ke Jati Anom, sehingga ia
belum begitu mengenal Sekar Mirah, meskipun persoalannya
telah pernah didengarnya.
"Gadis itulah yang bernama Sekar Mirah," berkata Ki Tanu
Metir. "Aku sudah menyangka," sahut prajurit itu, "tetapi aku belum
bertanya sesuatu kepadanya."
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
ia berpaling kepada Sekar Mirah dan bertanya, "Apakah
Angger Wuranta berkata kepadamu, bahwa ia akan pergi?"
Sekar Mirah menggelengkan kepalanya, jawabnya, "Tidak,
Kiai. Ia tidak berkata apa-apa."
"Apakah kau melihat ia pergi, Nini?"
"Aku melihat ia keluar dari rumah ini, Kiai. Hampir bersamaan
dengan saat Kiai mengejar Ki Tambak Wedi."
Ki Tanu Metir mengangguk-angguk pula. Kemudian katanya,
"Mungkin berada di luar rumah."
Agung Sedayu dan Swandaru segera melangkah ke luar.
Beberapa orang prajurit pun pergi pula bersamanya. Meskipun
mereka tidak begitu mengerti soalnya, namun mereka ingin
juga membantu mencarinya.
"Bukankah Wuranta anak Jati Anom itu yang kalian cari,"
bertanya salah seorang dari prajurit-prajurit itu.
"Ya," sahut Agung Sedayu.
Sejenak kemudian di halaman rumah itu berkeliaran beberapa
orang yang berusaha untuk menemukan Wuranta. Tetapi
agaknya Wuranta sudah tidak berada di halaman itu.
Ketika Agung Sedayu dan Swandaru kemudian masuk ke
dalam rumah itu lagi, maka mereka menggelengkan kepala
mereka. Terdengar Agung Sedayu berdesis, "Tidak ada, Kiai."
"Aneh, ke mana Angger Wuranta itu pergi?"
Tak seorang pun yang menjawab. Agung Sedayu dan
Swandaru hanya saling berpandangan saja.
Ki Tanu Metir itu pun kemudian menarik nafas dalam-dalam
sambil berkata, "Kita harus menemukannya. Apakah Angger
Untara akan datang ke mari juga?" bertanya orang tua itu
kemudian kepada para prajurit Pajang.
Salah seorang dari mereka menggelengkan kepalanya sambil
menjawab, "Aku tidak tahu, tetapi aku kira Ki Untara terlampau
sibuk. Ia berada di halaman banjar."
"Apakah tidak ada waktu baginya untuk melihat keadaan ini,"
bertanya Agung Sedayu, "di sini baru saja terjadi pertempuran
antara Ki Tanu Metir dan Ki Tambak Wedi."
Sekali lagi prajurit itu menggelengkan kepalanya.
"Dan di sini pula Sekar Mirah diketemukan," sambung
Swandaru. Prajurit itu masih juga menggelengkan kepalanya. "Aku tidak
tahu," katanya. Namun yang menjawab kemudian adalah Ki Tanu Metir.
"Persoalan Angger Untara cukup banyak. Ia adalah seorang
senapati perang. Perhatiannya terutama ada pada keadaan
peperangan seluruhnya. Maaf Angger Swandaru, bahwa soal
Angger Sekar Mirah adalah hanya sebagian dari seluruh
persoalan yang digarap oleh Angger Untara. Karena itu ia kini
berada di pusat pimpinan dari padepokan ini, itu bukan berarti
Angger Untara tidak menaruh perhatian atas peristiwa yang
terjadi di sini. Bukankah ia telah mengirimkan beberapa orang
prajurit ke mari?" Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia sama sekali tidak
menjawab. Sedang Agung Sedayu pun hanya menundukkan
kepalanya saja. Mereka dapat mengerti alasan yang diberikan
oleh Ki Tanu Metir meskipun tidak sepenuhnya.
Namun tangkapan Sekar Mirah agak berbeda. Keterangan itu
terasa agak menusuk perasaannya. Ia merasa bahwa
persoalannya dianggap kecil saja oleh Untara dan Ki Tanu
Metir. Pengaruh keadaannya selama di kademangan, sebagai
gadis yang paling dihargai di seluruh Sangkal Putung, Sekar
Mirah merasa dirinya cukup penting untuk menjadi
pusatpersoalan. Ia merasa bahwa persoalan yang terjadi
adalah persoalan tentang dirinya. Tentang hilangnya Sekat
Mirah dari Sangkal Pulung. Bukan persoalan antara Pajang
dengan Jipang dan padepokan Tambak Wedi. Itulah sebabnya
maka perasaan gadis itu tersinggung. Namun demikian Sekar
Mirah tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Yang berbicara kemudian adalah Ki Tanu Metir pula, "Marilah
kita pergi ke banjar. Kita menemui Angger Untara, sambil
mencari Angger Wuranta. Mungkin ia berada di sana pula.
Kita harus menemukannya. Apalagi anak muda itu sedang
terluka." Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru tidak menyahut. Mereka
masih berdiri saja di tempatnya ketika Ki Tanu Metir
melangkahkan kakinya. Dengan demikian, maka Ki Tanu Metir
itu pun tertegun sejenak sambil bertanya, "Kenapa kalian
masih diam saja?" Agung Sedayu berpaling ke arah kedua orang yang terikat itu.
Katanya, "Bagaimana dengan kedua orang itu?"
"O," Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian kepada salah seorang prajurit ia berkata,
"Keduanya adalah orang-orang Tambak Wedi yang bertugas
mengawasi Angger Sekar Mirah. Terserahlah kepada kalian.
Tetapi keduanya menyerah. Perlakukan mereka sebagai
orang-orang yang tidak melakukan perlawanan."
Prajurit itu mengangguk, jawabnya, "Baik, Kiai."
"Nah, sekarang marilah kita pergi," ajak Ki Tanu Metir. Agung
Sedayu pun kemudian melangkahkan kakinya pula.
Tetapi sekali lagi mereka tertegun ketika mereka mendengar
Swandaru berkata kepada adiknya, "Marilah, Sekar Mirah. Kita
pergi ke banjar untuk menemui Kakang Untara."
"Apakah kita perlu pergi ke banjar?" bertanya Sekar Mirah.
Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan. Ki Tanu Metir pun
mengerutkan keningnya. "Tentu," jawab Swandaru, "kita menemui Kakang Untara."
"Apakah ada gunanya?" sahut Sekar Mirah. Kata-kata itu
ternyata telah menarik perhatian setiap orang yang berada di
dalam rumah itu. Beberapa orang prajurit saling
berpandangan. "Tentu," jawab Swandaru pula.
"Bukankah kita sama sekali tidak penting bagi Kakang Untara,
Senapati Pajang yang perkasa itu" Kita adalah anak-anak
padesan yang tidak berarti. Apakah gunanya kita
menemuinya" Mungkin ia sama sekali tidak sempat
menyisihkan waktu buat melihat kedatangan kita."
"Ah," potong Agung Sedayu, "jangan begitu, Mirah. Jangan
terlampau perasa. Aku tahu apa yang mengganggu
perasaanmu. Tetapi sebaiknya kau mencoba memahami apa
yang terjadi." Sekar Mirah memandang wajah Agung Sedayu dengan sorot
mata yang tajam. Dengan tajam pula ia berkata, "Kau adalah
adik dari senapati besar itu. Tentu bagimu selalu tersedia
waktu. Tetapi bagi kami. Aku dan Kakang Swandaru" Kami
adalah anak-anak padukuhan Sangkal Putung yang tidak
berarti." "Kau salah terima, Nini," potong Ki Tanu Metir, "aku kira kita
masing-masing terlibat dalam persoalan kita sendiri. Marilah
kita coba melihat persoalan ini secara keseluruhan, tanpa
melihat kepentingan sendiri. Mungkin kata-katakulah yang
salah kau artikan. Sebab akulah yang menyatakan alasanalasan
kenapa Angger Untara tidak datang kemari, bukan
Angger Untara sendiri. Mungkin Angger Untara mempunyai
alasan lain. Bahkan mungkin Angger Untara sendiri yang
bertempur melawan Senapati Jipang. Sanakeling?" Ki Tanu
Metir berhenti sejenak. Diamatinya wajah Sekar Mirah yang
suram. Kemudian dilanjutkannya, "Karena itu, Nini, marilah
kita melihat apakah yang sudah terjadi di banjar."
Sejenak Sekar Mirah tidak menyahut. Ia mencoba mengerti
apa yang sebenarnya terjadi di padepoken ini. Namun kembali
ia terlempar pada kesimpulan, bahwa peperangan yang terjadi
adalah karena Sidanti mengambilnya dari Sangkal Putung.
Padepokan ini diduduki oleh sepasukan prajurit, Ki Tanu Metir,
Swandaru, dan Agung Sedayu, karena mereka berusaha
membebaskan dirinya. Namun ternyata setelah hal itu terjadi,
Untara agaknya acuh tak acuh saja terhadapnya. Ia sama
sekali tidak meneriakkan kemenangan atas kebebasannya,
dan bahkan menjengukpun ia sama sekali tidak sempat.
Meskipun Sekar Mirah mengetahui, bahwa Pajang dan Jipang
memang sedang dalam perselisihan, kemudian Sidanti telah
menempatkan diri sebagai lawan Pajang pula, namun semua
itu tidak akan terjadi secepat ini, seandainya ia tidak hilang
dari Sangkal Putung. Tetapi bagaimana juga ia kini berhadapan dengan Ki Tanu
Metir, orang yang telah langsung menyelamatkannya. Tanpa
orang tua itu maka Agung Sedayu dan Swandaru tidak akan
berarti apa-apa buat Ki Tambak Wedi, apalagi bersama
Sidanti dan Argajaya. Karena itu, maka ia masih juga
mempunyai rasa segan kepada orang tua itu.
Ketika Ki Tanu Metir mengajaknya sekali lagi, maka Sekar
Mirah tidak dapat menolak.
Maka pergilah kemudian mereka berempat, bersama
beberapa orang prajurit ke banjar Padepokan Tambak Wedi.
Beberapa orang prajurit yang lain tetap berada di rumah itu
mengurus kedua tawanan yang masih terikat.
Di sepanjang jalan mereka berusaha untuk menemukan
Wuranta. Anak muda itu terluka di dadanya. Meskipun luka itu
telah diobati namun obat itu masih perlu disempurnakan,
supaya luka itu lekas menjadi sembuh. Namun di sepanjang
jalan mereka sama sekali tidak melihatnya.
Semakin dekat dengan banjar, maka terasa tengkuk Sekar


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mirah menjadi semakin meremang. Ketika ia menengadahkan
kepalanya, maka dilihatnya beberapa ekor burung gagak
terbang melingkar-lingkar. Suaranya menggeletar dalam nada
yang berat seperti teriakan hantu yang penuh dendam dan
kebencian, bersahut-sahutan.
Agung Sedayu dan Swandaru pun sekali-sekali
menengadahkan kepalanya. Burung-burung gagak itu benarbenar
mempunyai alat pecium yang tajam. Begitu di
padepokan itu darah tertumpah, maka segera mereka
berdatangan seperti tamu-tamu dalam perhelatan yang
meriah. Tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar Sekar
Mirah memekik tinggi. Dengan serta-merta ia memeluk
kakaknya erat-erat sambil berteriak, "Kita kembali, Kakang.
Kita kembali. Aku takut. Aku tidak mau berjalan terus ke banjar
padepokan ini. Mari, antarkan aku kembali."
Rombongan kecil itu pun segera terhenti. Ketika mereka
memandang ke depan, maka mengertilah mereka, kenapa
Sekar Mirah tidak mau maju lagi. Dari tempat itu mereka telah
melihat beberapa orang prajurit Pajang sudah mulai
mengangkat mayat yang membujur-lintang di jalan di muka
banjar. Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Kalau mereka
berjalan terus, maka di halaman di sekitar banjar itu pasti juga
akan berserakan mayat orang-orang Jipang, orang-orang
Tambak Wedi dan para prajurit Pajang.
Dan Ki Tanu Metir itu masih mendengar Sekar Mirah berkata,
"Mari, Kakang, kita kembali. Kita jauhi tempat yang
mengerikan itu." Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi ragu-ragu.
Karena itu maka anak itu berdiri saja termangu-mangu di
tempatnya. Hanya sorot matanya sajalah yang seolah-olah
bertanya kepada gurunya, apakah yang sebaiknya dilakukan.
Ki Tanu Metir tanggap akan pertanyaan yang memancar dari
mata Swandaru, maka katanya, "Kita sudah dekat sekali, Nini.
Beberapa langkah lagi kita akan sampai ke banjar padepokan
Tambak Wedi." "Tidak, aku tidak mau. Aku takut."
"Tidak ada yang menakutkan. Mungkin ada beberapa orang
terluka yang tergolek di pinggir jalan. Tetapi mereka akan
segera mendapat perawatan."
"Mereka bukan orang-orang yang sekedar terluka. Mereka
adalah orang-orang yang terbunuh di dalam peperangan."
"Memang mungkin sekali hal itu terjadi," sahut Ki Tanu Metir,
"tetapi Angger dapat memejamkan mata apabila Angger lewat
di dekat tempat bekas perkelahian itu."
"Aku tidak mau. Lebih baik aku kembali."
"Nini," berkata Ki Tanu Metir pula, "jalan ini adalah jalan satusatunya.
Jalan ini pulalah jalan yang menuju ke satu-satunya
regol padepokan ini. Tak ada jalan lain. Nah, Ngger,
sebaiknya Nini lewat sekarang daripada menunggu sampai
nanti atau besok. Sekarang Nini masih mendapat kawankawan
yang dapat membayangi Nini dari pemandangan yang
mengerikan. Orang-orang yang sibuk di sekitar banjar akan
mengurangi kengerian itu."
"Aku tidak percaya, kalau jalan ini adalah jalan satu-atunya.
Dekat di pinggir-pinggir padepokan ini ada jalan pula yang
mengelilingi padepokan seperti dinding batu itu. Kita dapat
mencari jalan itu Dan kita akan sampai di seberang banjar
padepokan." Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Memang benar
seperti yang dikatakan Sekar Mirah. Di sekitar padepokan ini
masih di dalam lingkungan dinding batu memang ada jalan
yang mengelilingi padepokan ini. Meskipun demikian ia
berkata, "Tetapi kita akan mampir ke banjar itu, Nini. Kita akan
mencari Angger Wuranta dan menemui Angger Untara."
"Aku tidak perlu kedua-duanya. Aku tidak memerlukan
Wuranta dan Untara."
"Ah," Ki Tanu Metir menarik nafas sekali lagi, "Angger,
keduanya adalah orang-orang yang paling berjasa dalam
usaha melepaskan Angger dari padepokan ini."
"Tetapi keduanya sama sekali tidak mengacuhkan aku lagi.
Keduanya menganggap aku tidak berarti bagi mereka.
Mungkin bagi mereka aku hanyalah kebetulan saja berada di
sini. Sebab aku hanyalah seorang gadis Sangkal Putung."
"Angger terlampau perasa."
"Tidak, Kiai. Ternyata Wuranta pergi tanpa mengucapkan
sepatah kata pun kepadaku yang berdiri hanya beberapa
langkah daripadanya. Sedang Untara adalah seorang besar
yang mempunyai seribu macam persoalan, sehingga tidak ada
kesempatan baginya untuk mempersoalkan aku lagi."
"Nini," berkata Ki Tanu Metir sareh, "seandainya demikian.
Seandainya mereka tidak memerlukan kita lagi, sebab seperti
juga Nini Sekar Mirah, aku bukan orang yang penting bagi
Angger Untara, maka marilah kita mencoba menemuinya
untuk mengucapkan terima kasih kepadanya. Apabila usaha
kita untuk menemuinya gagal, maka bukan salah kita apabila
kita tidak berkesempatan untuk menyatakan terima kasih kita
itu," Sekar Mirah terdiam sejenak. Tetapi ia masih
menyembunyikan wajahnya di dada kakaknya. Gumamnya,
"Kiai, tidak saja karena aku merasa tidak mendapat tempat di
hadapan senapati besar yang perkasa itu, tetapi aku takut,
Kiai. Aku tidak berani lewat jalan yang penuh dengan
genangan darah." "Angger adalah seorang gadis yang berani dan tabah. Di
Sangkal Putung Angger dengan tanpa perasaan takut telah
meringankan para prajurit Pajang dan anak-anak muda
Sangkal Putung yang terluka. Nini telah membantu melakukan
pengobatan dan melayani mereka makan dan minum."
"Tetapi tidak seperti itu, Kiai. Di hadapan kita mayat
bertimbun-timbun seperti tebangan batang pisang."
"Tidak, Ngger. Tidak. Angger hanya salah lihat. Tetapi
sebaiknya Angger tidak usah melihatnya untuk yang kedua
kali, Angger akan berjalan di antara kami dan para prajurit
yang berjalan bersama kami. Angger sebaiknya memejamkan
mata atau memandang ke udara."
Sejenak Sekar Mirah tidak menjawab. Dicobanya untuk
memandang Agung Sedayu dengan sudut matanya. Dilihatnya
anak muda itu berdiri saja termangu-mangu, sedang para
prajurit berdiri tegak kaku seperti tiang-tiang di pendapa
rumahnya di Sangkal Putung.
"Bagaimana, Mirah?" terdengar kakaknya berdesis.
"Sebaiknya kita mengucapkan terima-kasih kepada Kakang
Untara dan Kakang Wuranta. Bukankah mereka telah
menentukan suatu keadaan di mana kita mungkin dapat
keluar dari padepokan ini?"
Sekar Mirah tidak membantah. Dianggukkannya kepalanya
perlahan-lahan. Namun ia bergumam, "Tetapi aku takut,
Kakang." "Jangan melihat keadaan di sekitarmu. Lihatlah burung yang
berputaran di udara, atau pejamkan saja matamu supaya kau
tidak melihat sesuatu."
Sekali lagi Sekat Mirah menganggukkan kepalanya. Maka
dengan dibimbing oleh Swandaru mereka berjalan lagi menuju
ke banjar padepokan. Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak
berani melihat keadaan di sekitarnya. Ditengadahkan saja
wajahnya melihat burung yang berterbangan di langit, awan
yang sehelai-sehelai mengalir dihanyutkan oleh angin yang
silir. Dilihatnya kebiruan langit yang sudah mulai dibayangi oleh
warna yang kemerah-merahan. Matahari semakin lama
menjadi makin rendah di Barat. Sebentar lagi matahari yang
terapung di langit itu sudah akan menyentuh punggung
Gunung Merapi. Ketika mereka memasuki halaman banjar, mereka melihat
beberapa orang sedang sibuk membersihkan halaman.
Merawat mereka yang terluka atau menyingkirkan mayat yang
berserak yang segera akan diselenggarakan pemakamannya.
Di pendapa banjar itu juga terbujur beberapa sosok jenazah
dari para jurit Pajang yang gugur dalam tugasnya.
Di muka banjar itu Ki Tanu Metir berhenti sejenak. Di lihatnya
beberapa orang prajurit sedang berkerumun. Ternyata di
antara mereka terdapat bintara dan beberapa orang perwira
bawahannya. Ketika Senapati Pajang itu melihat Ki Tanu Metir
maka segera ia mendapatkannya sambil berkata, "Silahkan
Kiai, silahkanlah masuk dan duduk di pringgitan. Aku
mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang Kiai
berikan sehingga semuanya dapat berlangsung dengan baik.
Marilah, silahkanlah semuanya masuk. Aku masih sibuk
dengan beberapa macam pekerjaan, sehingga sayang, aku
tidak dapat meninggalkannya."
"Silahkan, Ngger, silahkan menyelesaikan pekerjaan Angger.
Biarlah kami menunggu di pringgtan sampai Angger selesai."
"Terima kasih. Wah, silahkanlah." Untara berhenti sejenak.
Kemudian dipandanginya Sekar Mirah yang masih
berpegangan kakaknya. Untara mengerti bahwa gadis itu tidak
berani melihat keadaan di sekitar halaman dan pendapa
banjar. Maka katanya, "Silahkan Adi Swandaru segera
membawa Sekar Mirah masuk ke pringgitan rumah yang
dipergunakan menjadi banjar oleh Ki tambak Wedi ini, supaya
tidak melihat hal-hal yang mengerikan bagi seorang gadis."
"Terima kasih, Kakang Untara," sahut Swandaru.
Ki Tanu Metir, Swandaru, dan Sekar Mirah pun segera naik ke
atas pendapa. Sekar Mirah masih belum berani melihat
keadaan di sekitamya. Ketika ia mencoba mengerling, maka
segera ia memejamkan matanya, karena terlihat olehnya
beberapa sosok mayat tergolek di pendapa banjar itu.
Alangkah mengerikan. Rumah ini seolah-olah menjadi rumah
hantu penyimpan mayat. Di pendapa mereka masih mendengar. Agung Sedayu
bertanya kepada kakaknya, "Bagaimana dengan Sanakeling,
Kakang?" "Ia sudah terbunuh," jawab Untara. Tetapi kemudian terdengar
senapati itu bertanya, "Di mana kau selama ini" Apakah kau
tidak tahu bahwa di halaman ini telah terjadi pertempuran
yang sengit?" Agung Sedayu tidak segera menjawab. Tetapi pandangan
matanya hinggap pada gurunya yang tertegun di pendapa.
Untara pun kemudian berpaling. Ia melihat Ki Tanu Metir
masih berdiri di pendapa bersama dengan Swandaru dan
Sekar Mirah. "Silahkanlah, Kiai," katanya.
"Terima kasih .ngger," jawab Ki Tanu Metir, namun dalam
dada, orang tua itu telah tumbuh pertanyaan tentang sikap
Untara. Namun orang tua yang penuh dengan pengalaman
tentang sikap dan perasaan seseorang itu, segera dapat
memahami pertanyaan Untara kepada Agung Sedayu.
Tetapi bagi Swandaru dan Sekar Mirah, pertanyaan Untara
kepada Agung Sedayu itu telah menumbuhkan berbagai
macam tafsiran. Apalagi Sekar Mirah yang sudah menyimpan
bibit-bibit kejengkelan atas sikap Untara yang seolah-olah
acuh tak acuh kepadanya. Meskipun demikian Ki Tanu Metir dan kedua kakak beradik itu
melanjutkan langkahnya masuk ke dalam pringgitan, dan
duduk di atas tikar yang sudah terbentang. Di dalam pringgitan
tidak tampak seorang pun. Sepi, sehngga kulit Sekar Mirah
menjadi semakin merinding.
"Bakankah benar kataku," gumam Sekar Mirah. "Kakang
Untara tak ada waktu untuk menerima kedatangan kita."
"Ia terlampau sibuk, Nini," sahut Ki Tanu Metir. "Tetapi ia akan
segera menemui apabila pekerjaannya telah selesai."
Sekar Mirah tidak menjawab. Namun terasa rumah ini seperti
rumah yang penuh menyimpan rahasia. Udara yang lembab
terasa menekan dadanya sehingga nafasnya menjadi sesak.
Gadis itu tahu benar, bahwa di luar pringgitan ini, di seberang
dinding bambu ini, beberapa sosok tubuh terbujur
berselimutkan panjang. Sementara itu, di luar, di halaman,
Agung Sedayu masih diri di hadapan kakaknya. Ia masih
belum menjawab pertanyaan Untara. Ketika Ki Tanu Metir
telah hilang di balik pintu, maka pertanyaan itu diulanginya,
"Agung Sedayu, kemana kau selama ini?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ditenangkannya
hatinya. Jawabnya, "Aku berada di rumah yang dipergunakan
oleh Sidanti untuk menyimpan Sekar Mirah."
"Aku sudah menyangka," sahut kakaknya. "Apa kerjamu di
sana?"Dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debarberdebardebar.
Jawabnya, "Ternyata perhitungan Ki Tanu Metir tepat,
Kakang. Ki TambakWedi, Sidanti, dan Argajaya datang
kerumah itu. Seandainya kami tidak ada di sana, maka Sekar
Mirah itu pasti akan ter bawa, sehingga usaha kita untuk
membebaskannya menjadi tambah sulit."
Untara mengerutkan keningnya. Katanya, "Seharusnya kau
berada di bawah perintahku. Kalau aku bertemu kau
sebelumnya setelah aku melihat medan, maka perintahku
akan berbunyi lain. Kau tetap bersama para prajurit Pajang.
Juga Ki Tanu Metir dan Swandaru. Kalau kalian berbuat
demikian, maka Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya mesti
tertangkap. Aku menyesal bahwa kalian berbuat menurut
kehendak kalian sendiri. Dalam setiap peperangan harus ada
satu perintah bagi keseluruhan, sehingga setiap tindakan
bersumber pada satu perhitungan."
Mendengar kata-kata kakaknya itu, Agung Sedayu seakanakan
menjadi beku di tempatnya. Darahnya serasa berhenti
mengalir. Nmun dengan demikian maka mulutnya justru
seakan-akan terbungkam. Dan ia mendengar kakaknya
berkata seterusnya, "Sekarang kesempatan untuk menangkap
mereka bertiga munjadi semakin sulit. Apakah kau tidak
merasakan itu?" Nafas Agung Sedayu menjadi semakin cepat mengalir. Tetapi
ia tidak segera dapat menjawab pertanyaan kakaknya.
"Tetapi kau tidak berbuat demikian," sambung Untara, "kau
tidak menemui aku dan menunggu perintahku."
Baru sejenak kemudian Agung Sedayu dapat mengatur getar
di dadanya. Dengan suara bergetar ia menjawab, "Kakang,
aku hanya menurut perintah guruku. Bukankah kedatanggan
Wuranta ke Jati Anom juga membawa pesan Ki Tanu Metir"
Aku sangka, bahwa petunjuk-petunjuk Ki Tanu Metir itu
berlaku seluruhnya, sehinggga aku tidak perlu menunggu
perintah Kakang Untara. Aku gmenyangka bahwa Kakang


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untara saja bersedia melakukan petunjuknya. Apalagi aku."
"Bagus," sahut kakaknya. "Itu adalah petunjuk dalam garis
besar yang memang aku perlukan. Aku berterima kasih
kepada Kiai Gringsing dan kepada Wuranta, yang telah
memungkinkan aku memasuki padepokan ini. Namun
seterusnya yang memegang kebijaksanaan atas segala
pimpinan di sini adalah aku. Aku yang memperhitungkan
setiap kemungkinan. Dada Agung Sedayu masih merasa pepat karena jawabanjawaban
yang belum sempat diucapkan. Banyak sekali
keterangan yang dapat diberikan. Namun ia tidak dapat
mengatakannya. Mulutnya serasa tersumbat oleh nafasnya
yang terengah-engah. "Nah, bukankah kini kau lihat," berkata kakaknya itu "bahwa Ki
Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya dapat melarikan dirinya"
Aku tidak menyangka bahwa kalian bertiga mampu bertempur
berhadapan dengan Ki Tambak Wedi bertiga pula. Tetapi kalia
tidak mempunyai kekuatan untuk menangkap mereka hidup
atau mati, sebab kekuatan kalian berimbang."
"Kakang," akhirnya terloncat juga jawaban dari mulut Agung
Sedayu, "tetapi seandainya kami tidak berada di sana, apakah
Sekar Mirah dapat dibebaskan" Mungkin Ki Tambak Wedi kini
telah membawanya pergi, sehingga pekerjaan kitapun akan
menjadi semakin sulit."
"Itulah kesalahanmu, Sedayu," sahut kakaknya. "Pikiranmu
hanya terpusat kepada gadis itu. Kau tidak melihat
pertempuran dalam keseluruhan."
Terasa wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Sepercik warna
merah membayang di wajahnya yang basah oleh keringat.
"Agung Sedayu. Seandainya kau bertempur dalam pasukanku
bersama Ki Tanu Metir dan Swandaru, maka Ki Tambak Wedi,
Sidanti, dan Argajaya tidak akan dapat lolos lagi. Nah, apakah
dengan demikian mereka sempat mendatangi gubug Sekar
Mirah itu" Seandainya ada satu dua prajurit yang
diperintahkannya ke sana, maka aku pun telah mengirimkan
beberapa orang prajurit pula untuk membebaskannya.
Dapatkah kau mengerti?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti
keterangan kakaknya. Tetapi bagaimanakah caranya untuk
memerintahkan hal itu kepada Ki Tanu Metir, kepada gurunya
seandainya ia tahu maksud Untara sebelumnya"
Sambil menundukkan kepalanya Agung Sedalu menjawab
"Aku mengerti Kakang. Tetapi aku tidak dapat menolak
petunjuk guruku. Aku mempercayai perhitungannya seperti
Kakang juga mempercayainya. Sehingga dengan demikian
aku melakukan apa saja yang diberitahukannya kepadaku."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepalanya yang
masih diliputi oleh ketegangan peperangan itu terasa masih
memberati lehernya. "Meskipun seandainya kau tidak bersama-sama dengan
gurumu berada dalam pasukanku Sedayu, kau akan dapat
mengurangi korban yang jatuh di antara kita," Untara berhenti
sejenak. "Tetapi kau tidak dapat bertempur sendiri tanpa guru
dan saudara seperguruanmu."
"Aku tidak berani berbuat lain dari petunjuk guru," wajah
Agung Sedayu semakin tunduk. Terasa betapa sulit berada di
bawah dua kekuasaan. Gurunya dan kakaknya, yang kadangkadang-
kadang mempunyai pendirian yang berlainan.
Tetapi Untara yang melihat kepala adiknya tertunduk dalamdalam
itu, tiba-tiba menjadi lilih. Teringatlah masa kanakkanak
yang suram bagi adiknya. Adiknya yang hanya berani
bermain-main di belakang selendang ibunya itu, yang kini
telah berani bertempur melawan Sidanti, murid Ki Tambak
Wedi. Seharusnya ia mengucapkan terima kasih. Seandainya
adiknya tidak menjadi anak yang berani, maka ia masih harus
selalu melindunginya. Anak itu akan selalu mengganggu
pikirannya apa pun yang sedang dilakukan. Apalagi pada
saat-saat Jati Anom diambil oleh Sidanti dan orang-orang
Jipang. Maka adiknya pasti akan ketakutan apabila ia tidak
berhasil menyingkirkannya. Tetapi sekarang adiknya telah
berani menggenggam pedang dan melindunginya sendiri.
"Sudahlah, Sedayu," desis kakaknya. "Bukan maksudku
menyalahkan kau dan gurumu. Aku hanya ingin mengatakan,
jika terjadi demikian, keadaan kita akan bertambah baik.
Tetapi sudahlah, semuanya telah selesai. Meskipun kita tidak
dapat menangkap Ki Tambak Wedi sekarang, tetapi kita tetap
mengharap bahwa di^waktu-waktu yang pendek, kita akan
dapat melakukannya. Sekarang beristirahatlah di dalam
bersama gurumu dan adi Swandaru. Kau tidak usah
mempersoalkannya dengan gurumu." Untara berhenti sejenak.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian dengan nada datar ia meneruskan,
"Mungkin aku sedang diganggu oleh ketegangan saraf,
sehingga aku menegurmu. Tetapi lupakan itu. Mudahmudahan
lain kali kau dapat mengerti apa yang kau lakukan
apabila kau berbuat sesuatu bersama aku, bersama
pasukanku." "Ya, Kakang," jawab Agung Sedayu dengan nada yang dalam.
"Baik," sahut kakaknya, "masuklah. Aku masih akan mengatur
prajuritku. Bagaimanapun juga Sanakeling dan Alap-alap
Jalatunda harus mendapat perlakuan semestinya bersama
mayat-mayat yang lain."
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia merasa bahwa
kakaknya agak menyesal atas sikapnya yang keras
kepadanya. Namun dengan demikian ia menjadi semakin
segan dan hormat kepadanya. Ketika Agung Sedayu
kemudian menebarkan pandangannya ke sekeliling halaman,
maka ia melihat beberapa orang masih juga sibuk
menyingkirkan mayat yang terbujur lintang. Di sebelah lain ia
melihat sisa-sisa pasukan Jipang dan Tambak Wedi yang
menyerah sebelum terbunuh. Ternyata mereka tidak benarTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
benar bertempur sampai orang yang terakhir. Oleh beberapa
prajurit Pajang mereka ditempatkan di beberapa rumah di
sekitar banjar, dengan pengawasan yang kuat. Beberapa
orang dari mereka yang tidak terlalu berbahaya masih harus
membantu para prajurit Pajang, mengangkat mayat-mayat
kawan-kawannya dan menyingkirkannya dari halaman.
"Masuklah," desis Untara.
Agung Sedayu seakan-akan tersadar dari mimpinya yang
mengerikan. Tergagap ia menjawab, "Baik, baik Kakang."
"Gurumu dan kedua kakak beradik dari Sangkal Putung itu
menunggumu." "Ya, Kakang," jawab Agung Sedayu.
"Aku masih harus menyelesaikan pekeryaanku- Apabila sudah
selesai, maka aku akan datang kepada kalian."
"Baik, Kakang."
Untara pun kemudian melangkah meninggalkan Agung
Sedayu yang berdiri termangu-mangu di bawah tangga
pendapa. Diikutinya langkah kakaknya dengan pandangan
matanya, ke arah beberapa orang perwira Pajang yang lain.
Agaknya masih ada persoalan yang mereka percakapkan.
Sejenak kemudian Agung Sedayu melihat beberapa orang
prajurit mengawal beberapa orang perempuan masuk ke
halaman banjar. Perempuan-perempuan yang tinggal di
padepokan itu. Maka terdengarlah tangis mereka mengoyak
suasana yang lengang. Mereka ternyata adalah ibu, isteri, adik
atau kakak perempuan dari korban yang berjatuhan. Anakanak
muda dan laki-laki dari padepokan Tambak Wedi.
Seperti orang yang mencari anak-anaknya di antara puluhan
anak-anak yang lain, yang tidur berjajar di lantai, mereka
mencari keluarga mereka. Bahkan beberapa di antara mereka
telah jatuh pingsan sebelum mereka menemukan yang
mereka cari. Seorang gadis yang kematian kekasihnya tiba-tiba berteriak
sambil menunjuk seorang prajurit Pajang yang berdiri di
dekatnya, "Kau, kau pembunuh yang biadab. Kau bunuh lakilaki
yang akan menjadi suamiku."
Seorang perempuan tua, ibu gadis itu, dengan tergesa-gesa
memeluknya dengan tubuh gemetar. Perempuan tua itu
menjadi ketakutan. Prajurit Pajang yang berdiri dengan
garangnya, dan membawa pedang di lambungnya itu akan
dapat berbuat apa saja atas gadis yang mengumpatinya.
Apalagi terhadap gadis-gadis, sedangkan laki-laki yang kuat
dan bersenjata pun dapat terbunuh.
"Sudahlah, Ngger, sudahlah. Nasib kita yang terlampau jelek.
Jangan menyalahkan orang lain."
"Tidak biyung. Orang-orang itulah orang-orang yang paling
biadab yang pernah datang ke padepokan ini. Orang itu telah
membunuh setiap laki-laki."
"Sudahlah, Ngger, sudahlah."
Tetapi gadis itu meronta-ronta sehingga pelukan ibunya
menjadi lepas. "Kau, kau pembunuh," teriak gadis itu sambil menuding-nuding
wajah prajurit Pajang yang berdiri tegang, bahkan hampir
menyentuh hidungnya. Tetapi prajurit itu sama sekali tidak bergerak. Ia berdiri saja di
tempatnya seperti sebatang tonggak. Sepatah kata pun ia
tidak menjawab. Dibiarkannya gadis yang kehilangan
kekasihnya itu melimpahkan kemarahan, kekecewaan dan
kebencian kepadanya. Bagaimanapun juga ia mencoba
menjelaskan, maka gadis yang sedang dicengkam oleh
kegelapan pikiran itu, pasti tidak akan dapat mendengarnya. Ia
tidak akan dapat mendengar seandainya prajurit itu
memberitahukan, bahwa sebelum berkobar pertempuran
antara orang-orang padepokan Tambak Wedi dan Pajang,
maka orang-orang Tambak Wedi telah bertempur lebih dahulu
dengan orang-orang Jipang, sehingga kekasih gadis itu belum
pasti terbunuh oleh ujung senjata prajurit Pajang.
Tetapi prajurit itu tidak mengatakannya. Ia berdiri saja dengan
tegangnya. Bahkan sekali-sekali-sekali ia terpaksa
memalingkan wajahnya. Akhirnya gadis itu lelah sendiri. Suara menjadi semakin parau.
Tiba-tiba ia berteriak tinggi, lalu terhuyung-huyung jatuh.
Untunglah prajurit yang dituding-tudingnya itu cepat
menangkapnya dan meletakkannya di pangkuan ibunya yang
menangisinya. Gadis itu menjadi pingsan.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat salah
satu sudut yang kecil saja dari akibat peperangan. Alangkah
dahsyat akibat seluruhnya dari peperangan. Gadis-gadis
kehilangan kekasih, ibu-ibu kehilangan anak-anaknya yang
dicintainya, dan isteri-isteri kehilangan suami terkasih.
Meskipun demikian peperangan itu terjadi hampir di segala
jaman dan di segala abad. Berbagai-bagai macam nafsu yang
mendorong manusia melibatkan diri dalam peperangan. Nafsu
yang telah menabiri perasaan cinta kasih di antara sesama,
serta perasaan bakti yang utuh kepada Tuhannya. Nafsu
untuk berkuasa, nafsu untuk memiliki segala isi dunia, nafsu
keinginan, nafsu keangkara-murkaan, nafsu yang semuanya
itu berpusar kepada nafsu duniawi. Tetapi yang kemudian
telah mendorong pihak lain untuk mempertahankan diri,
melindungi sesama atas dasar kewajiban dan belas-kasian,
tetapi kadang-kadang juga karena pamrih yang lain. Apabila
pertentangan nafsu itu kemudian mencapai puncaknya, maka
tidak ada jalan lain daripada kekerasan. Manusia membunuh
sesamanya. Kadang-kadang dengan cara yang sama sekali
tidak berpijak pada kediriannya, kemanusiaannya. Bahkan
melampaui pekerti binatang yang paling buas sekalipun,
karena tidak ada binatang yang dengan sengaja menyakiti dan
menyiksa korbannya sebelum dibunuhnya.
*** Ketika seorang prajurit lewat dekat di belakangnya, Agung
Sedayu berpaling. Tetapi prajurit itu berjalan terus. Namun
demikian Agung Sedayu menjadi tersadar akan keadaannya.
Dengan langkah yang berat ia naik ke atas pendapa.
Dipandanginya beberapa sosok jenazah yang terbaring di
sebelah-menyebelah. Ketika ia sempat memandang ke
gandok kiri, ia melihat beberapa orang yang terluka dibawa
masuk ke dalamnya. "Mereka yang terluka dirawat di gandok kiri," desisnya di
dalam hati. Dengan dada yang berdebar-debar Agung Sedayu melangkah
terus, berjalan di antara tubuh-tubuh yang diam membeku.
Kadang-kadang Agung Sedayu masih melihat darah yang
meleleh dari tubuh-tubuh yang diam itu.
Tiba-tiba terasa bulu-bulu tengkuknya meremang. Ia kini
bukan Agung Sedayu yang dahulu, yang menjadi pingsan
melihat darah. Tetapi meskipun demikian, ia masih juga
menjadi ngeri melihat mayat yang berjajar-jajar.
Demikian ia membuka pintu pendapa, maka dilihatnya Ki Tanu
Metir dan Swandaru berpaling, bahkan Sekar Mirah menjadi
terkejut karenanya. "Marilah," Ki Tanu Metir mempersilahkan.
Selangkah Agung Sedayu memasuki pringgitan. Terasa
kesepian seolah-olah mencekiknya sehingga ia menjadi susah
untuk bernafas. Dengan sorot mata yang aneh ia memandangi
seluruh sudut pringgitan itu. Tetapi yang dilihatnya tidak ada
lain kecuali Ki Tanu Metir, Swandaru dan Sekar Mirah.
Hati anak muda itu berdesir ketika ia memandangi dinding
disisisi barat dari pringgitan itu. Warna merah menyala seperti
akan membakar rumah itu. Ternyata matahari telah menjadi
semakin rendah, dan bahkan telah menyinggung punggung
gunung. Dengan demikian pringgitan itu telah menjadi agak suram.
Warna-warna dindingnya yang kelabu menjadi semakin gelap.
Sedang di luar pintu mayat berjajar sebelah-menyebelah.
"Duduklah, Ngger," suara Ki Tanu Metir itu tidak terlampau
keras, tetapi Agung Sedayu terperanjat karenanya.
"Ya, ya Kiai," jawabnya patah-patah.
Agung Sedayu itu pun kemudian duduk pula di antara mereka.
Meskipun demikian ia masih saja memandangi berkeliling.
Sarang laba-laba melekat di hampir setiap sudut. Debu pada
dinding dan lumut yang hijau bertebaran di lantai, menjadi
pertanda bahwa banjar ini kurang mendapat perawatan.
"Apakah yang ditanyakan Angger Untara kepadamu?"
pertanyaan Ki Tanu Metir itu sekali lagi mengejutkan Agung
Sedayu. "Oh," anak muda itu berdesah, "tidak apa-apa. Kakang Untara
hanya menanyakan kemana aku selama ini."


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau katakan apa yang terjadi?" bertanya gurunya lanjut.
"Ya." "Apa katanya?" "Tidak apa-apa, Kiai," jawab Agung Sedayu.
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Apakah ia akan menemui kita," bertanya Swandaru
kemudian. "Ya, setelah pekerjaannya selesai."
Swandaru terdiam. Kembali ruangan itu menjadi sunyi. Sekalisekali
terdengar beberapa orang lewat di sebelah pringgitan di
sisi gandok. Terasa bahwa di halaman banjar itu terjadi bukan
yang luar biasa. "Angger berdua," berkata Ki Tanu Metir kemudian, "bukankah
kita ingin mencari Angger Wuranta di halaman banjar ini"
Apabila kita tetap berada di sini, maka kita tidak akan dapat
menemukannya." Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
katanya, "Sebaiknya kita mencarinya guru, tetapi aku merasa
sikap Kakang Wuranta menjadi aneh. Aku tidak mengerti."
Sekar Mirah yang mendengar kata-kata itu segera menunduk
wajahnya. Pada wajah itu terbersit sicercah warna merah.
Tetapi tak seorang pun yang dapat melihatnya.
"Marilah kita cari," berkata Ki Tanu Metir kemudian, "mumpung
belum gelap." "Marilah," jawab Agung Sedayu.
Kepada Sekar Mirah Ki Tanu Metir berkata, "Kau tinggal di sini
sebentar, Nini. Kami akan mencari Angger Wuranta yang
terluka itu." Tiba-tiba Sekar Mirah meraih tangan kakaknya sambil berkata,
"Kakang Swandaru tetap di sini. Aku takut."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia ingin ikut serta
mencari Wuranta di antara para prajurit Pajang, Tetapi ia tidak
sanpai hati meninggalkan Sekar Mirah sendiri dalam
ketakutan. Apalagi kemudian pringgitan itu menjadi kian
suram. "Kalau begitu," desis Ki Tanu Metir, "biarlah kalian tetap di sini
mengawani Sekar Mirah. Aku akan mencari sendiri. Mungkin
aku akan dapat minta tolong kepada para prajurit Pajang."
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Namun Ki Tanu Metir
menyambung, "Tinggallah di sini. Mungkin ada sesuatu yang
kalian dapat melakukannya. Sebab Nini Sekar Mirah tidak
berani tinggal sendiri di tempat yang lembab dan asing ini."
Perlahan-lahan Agung Sedayu menjawab, "Silahkan, Kiai."
"Nah tinggallah di sini sampai aku kembali. Jangan pergi ke
mana pun juga supaya aku tidak harus bergantian mencari
kalian sesudah aku menemukan Angger Wuranta."
"Baik, Kiai," jawab mereka hampir bersamaan.
Ki Tanu Metir itu pun kemudian pergi meninggalkan pringgitan
itu. Di luar ia bertemu dengan Untara, dan mengatakan
maksudnya. "Wuranta tidak ada di antara kalian?" bertanya anak muda itu.
"Tidak, Ngger," sahut Ki Tanu Metir.
Mendengar jawaban Ki Tanu Metir Untara mengerutkan
keningnya. Ia memang belum melihat Wuranta sejak ia
memasuki padepokan ini. Ternyata kini Ki Tanu Metir pun
sedang mencarinya. Sekilas terbersit kecemasan di dalam
hatinya sehingga senapati itu berdesis, "Apakah Wuranta
menemui bencana di dalam perang campuh ini?"
"Aku kira tidak, Ngger. Ia bersamaku pada saat aku harus
bertempur melawan Ki Tambak Wedi, tetapi anak muda itu
terlukadi dadanya." Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Lalu ke
manakah ia pergi?" "Tak kami ketahui. Ia tidak berkata kepada siapa pun juga,
kemana dan kenapa ia begitu saja pergi meninggalkan Sekar
Mirah di dalam gubug itu, sedang kami, aku, Angger Agung
Sedayu, dan Angger Swandaru sedang mengejar Ki Tambak
Wedi, Sidanti, dan Argajaya."
"Aneh," desis Untara, "apakah ada sesuatu yang menarik
hatinya sehingga ia terpaksa pergi meninggalkan Kiai?"
"Aku tidak tahu," jawab Kiai Gringsing. "Karena itu sekarang
aku akan mencarinya. Sokurlah apabila tidak terjadi sesuatu.
Aku mencemaskannya karena dadanya terluka. Mungkin juga
ada hal-hal yang tidak kita kehendaki yang terjadi atasnya.
Mungkin ia bertemu dengan prajurit Pajang yang belum
mengealnya dan tiba-tiba mencurigainya."
"Ia akan dapat memberikan penjelasan."
"Kalau ia sempat memberikan penjelasan itu. Dalam keadaan
yang kisruh, kesalah-pahaman dapat saja terjadi di manamana.
Kadang-kadang seseorang sama sekali tidak mendapat
kesempatan untuk mengatakan tentang diri sendiri. Bahkan
seseorang harus menyatakan dirinya seperti orang lain
menghendakinya. Seorang yang belum mengenal Wuranta
akan dapat memaksanya dengan kekerasansupaya Wuranta
menyatakan dirinya sebagai seorang dari padepokan Tambak
Wedi. Kemudian pengakuan yang dipaksakan akan menjadi
alasan untuk berbuat lebih jauh lagi."
"Ah," Untara berdesis, "prajurit Pajang tidak akan berbuat
demikian." "Para Senapati dan para perwira yang bertanggung jawab
mungkin tidak menghendakinya. Tetapi orang-orang yang
sedang terlibat dalam pertentangan dan ketegangan, mungkin
dapat berbuat meskipun ia seorang yang cukup matang. Di
dalam pertempuran serupa ini, Ngger, salah paham,
kecurigaan dan kebencian menguasai setiap hati. Dari prajurit
yang paling rendah sampai tingkat yang tertinggi. Mungkin
Angger sendiri. Meskipun demikian, masih juga tergantung
pada nilai batin seseorang. Bekal rokhaniah di samping bekal
jasmaniah, sangat berpengaruh di medan-medan perang."
"Hem," Untara menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
mengangguk, "Ya, Kiai benar. Aku tidak akan selak."
"Ah, jangan begitu, Ngger. Aku tidak bermaksud menuduh.
Aku hanya mengatakan keadaan umum yang terjadi di medan
perang." Untara masih mengangguk-anggukkan kepalanya "Aku
mengerti maksud Kiai. Aku ingin menjaga agar prajuritprajuritku
tidak melakukannya, atau setidak-tidaknya
mengurangi kemungkinan itu sejauh-jauhnya."
"Baiklah, Ngger. Bagiku, sepanjang pengalamanku, prajurit
Pajang di bawah pimpinan Angger Untara ternyata
mempunyai nilai rokhaniah yang tinggi di samping kenyataan
lahiriah yang mengagumkan."
"Kiai memuji." "Tidak, Ngger. Aku berkata sebenarnya meskipun tidak dapat
diingkari bahwa prajurit Pajang pun terdiri dari manusiamanusia
yang masih dapat berbuat salah. Karena itulah aku
akan mencari Angger Wuranta."
"Baiklah, Kiai."
"Apakah Angger tidak akan bertemu dengan adikmu itu?"
"Ya, ya Kiai. Nanti sesudah pekerjaanku selesai. Sebentar lagi
kami juga akan beristirahat. Kami harus makan. Nah, Kiai
jangan terlampau lama, supaya pada saatnya Kiai dapat
makan bersama kami di pringgitan."
"Baik, Ngger, baik," sahut Ki Tanu Metir sambil
menganggukkan kepalanya. "Sekarang perkenankanlah aku
pergi." "Silahkan, Kiai."
Maka sejenak kemudian Ki Tanu Metir itu melangkah
perlahan-lahan meninggalkan Untara yang segera
melanjutkan pekerjaannya.
Sementara itu, Wuranta yang sedang dicari oleh Ki Tanu
Metir, berjalan dengan langkah yang lemah di sepanjang
pagar halaman. Kadang-kadang dilompatinya pagar yang satu
dan dimasuki halaman sebelah. Lalu ditelusurinya pagar yang
lain-lain lagi. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Tetapi yang ada di dalam kepalanya adalah meninggalkan
rumah tempat tinggal Sekar Mirah itu.
Ia sudah tidak betah lagi melihat semua yang terjadi. Baginya,
apa yang dilihatnya itu seolah-olah merupakan cermin yang
menunjukkan segala macam kekurangannya, kekerdilannya,
dan segala macam kelemahannya, dihadapkan pada keadaan
seperti yang sedang terjadi. Keadaan yang dikuasai oleh
kekerasan dan senjata. Sedang ia sama sekali tidak mampu
berbuat sesuatu. Apalagi apabila ia melihat betapa Agung
Sedayu dengan lincahnya mampu berhadapan dengan
Sidanti, maka terasa kekecilan diri menjadi semakin tajam.
Maka ketika terpandang olehnya wajah Sekar Mirah yang
tunduk, hatinya seakan-akan meledak, pecah berserakan.
Itulah sebabnya maka tanpa setahu seorang pun, ia
melangkah meninggalkan sumah itu. Meninggalkan Sekar
Mirah, meninggalkan Agung Sedayu yang sedang bertempur
dan meninggalkan orang-orang lain di rumah itu yang seolaholah
memandangnya dengan penuh penghinaan.
Dan kini ia berjalan tanpa tujuan, asal saja menjauhi rumah
yang telah menyiksanya itu.
Tetapi tanpa dikehendakinya sendiri, langkah Wuranta itu pun
menjadi semakin dekat dengan banjar padepokan Tambak
Wedi. Beberapa halaman lagi ia akan sampai ke daerah yang
penuh dengan noda-noda darah.
Ia terhenti ketika ia melihat tidak terlampau jauh lagi, para
prajurit Pajang sibuk menyingkirkan mayat-mayat yang
bergelimpangan dan mengusung orang-orang yang terluka.
Dada Wuranta menjadi berdebar-debar karenanya. Namun
ada sesuatu yang mendorongnya untuk berjalan lebih dekat.
Ia tidak mengerti kenapa ia ingin melihat apa yang telah terjadi
di halaman di sekitar banjar. Agaknya kesibukan di sekitar
banjar itulah yang telah menariknya melangkah semakin
dekat. Ketika beberapa orang prajurit Pajang melihatnya, maka
mereka segera mendekatinya. Salah seorang dari mereka
segera bertanya kepadanya tentang dirinya. Katanya,
"Siapakah kau, dan apakah keperluanmu?"
Dada Wuranta berdesir mendengar pertanyaan itu.
Dipandanginya prajurit Pajang itu dengan tajamnya. Luka di
dadanya kini seolah-olah sudah tidak terasa lagi, tetapi luka di
hatinya masih juga terasa alangkah pedihnya. Pertanyaan itu
telah mengungkat kembali perasaan yang baru saja telah
menyiksanya. Kekerdilan diri, seolah-olah ia sama sekali tidak
mempunyai arti apa pun di hadapan orang-orang Pajang itu.
Padahal, ia telah cukup memberikan sumbangan, sehingga
kemenangan Untara ini mungkin terjadi.
Karena Wuranta tidak menjawab, maka prajurit itu mengulangi
pertanyaannya, "Siapakah kau" Agaknya kau terluka di
dadamu. Di lambungmu tergantung wrangka pedang,
meskipun tidak dengan pedangnya. Apakah kau orang
Tambak Wedi?" Hati Wuranta menjadi semakin sakit. Karena itu maka tiba-tiba
ia ingin melepaskan himpitan perasaannya. Jawabnya,
"Apakah kalian belum pernah mengenal aku?"
"Siapa?" "Aku Wuranta, anak Jati Anom."
Para prajurit itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba salah
seorang dari mereka berkata, "Kami tidak membawa laskar
Jati Anom. Yang datang ke Tambak Wedi adalah seluruhnya
pasukan dari Pajang."
Wuranta kini tidak dapat menahan dirinya lagi. Perasaan yang
bergelut di dadanya tiba-tiba saja ingin meledak. Perasaan
rendah diri yang mencengkamnya, telah memaksanya untuk
berbuat hal-hal yang berlebih-lebihan seperti pada saat ia
menyerang Sidanti. Dengan dada tengadah ia berkata,
"Apakah kalian belum tahu bahwa akulah yang memungkinkan
kalian memasuki padepokan ini" Tanpa aku, kalian telah
dihancurkan oleh pasukan Tambak Wedi sebelum kalian
sempat mendekati regol padepokan ini."
Beberapa orang prajurit Pajang itu saling berpandangan.
Namun jawaban itu tidak menyenangkan hati mereka. Prajurit
tertua di antara mereka segera melangkah maju dan bertanya,
"He Wuranta. Bukankah namamu Wuranta, menurut
pengakuanmu" Apakah yang telah kau lakukan sehingga kau
dapat mengatakan kepada kami bahwa kau telah
memungkinkan kami memasuki padepokan ini?"
"Hanya para pemimpinmu yang tahu siapakah Wuranta."
Sekali lagi para prajurit itu saling berpandangan. Dan prajurit
yang tertua itu bertanya sekali lagi, "Siapakah para pemimpin
yang kau maksud?" Sejenak Wuranta terdiam. Ia belum banyak mengenal namanama
para pemimpin prajurit Pajang. Tetapi satu, justru yang
tertinggi telah dikenalnya. Karena itu maka kemudian ia
menjawab, "Untara. Untara. Untara mengenal aku dengan
baik." Dada para prajurit itu berdesir. Tetapi tidaklah mustahil bahwa
orang ini langsung berhubungan dengan Untara. Hal itu
memang pernah juga dilakukan oleh Untara. Mempergunakan
orang-orang dalam tugas-tugas sandi. Dan orang-orang itu
yang mengenal hanyalah Untara sendiri.
Tetapi para prajurit Pajang itu tidak akan dapat melepaskan
kecurigaannya, sehingga prajurit yang tertua itu berkata,
"Baiklah, Ki Sanak. Seandainya kau benar petugas sandi yang
hanya dikenal oleh Ki Untara, maka marilah Ki Sanak aku
bawa langsung menghadap Ki Untara."
Hati Wuranta yang sedang melonjak-lonjak karena tekanantekanan
perasaan itu kini menjadi kian bergolak. Ia merasa
sama sekali tidak mendapat kepercayaan para prajurit itu.
Dengan wajah tegang ia berkata, "Aku akan dapat
menghadapnya sendiri. Apakah ini berarti bahwa kalian akan
menangkap aku?" Prajurit itu menggeleng, "Tidak, Ki Sanak. Tetapi dalam
peperangan kita harus berhati-hati."
"Tidak," jawab Wuranta "aku akan menghadap sendiri. Aku
orang bebas. Bahkan akulah yang telah raemungkinkan kalian
memasuki padepokan ini. Sekarang kalian akan menangkap
aku." "Kami tidak dapat melihat suatu bukti apa pun tentang katakatamu,
Ki Sanak. Karena itu, maka satu-satunya cara yang
dapat kami tempuh adalah membawa Ki Sanak menghadap Ki
Untara. Nah, Ki Untara akan dapat berkata sesuatu kepada
kami tentang Ki Sanak. Sebab seperti yang Ki Sanak katakan,
salah seorang dari para pemimpin Pajang yang telah
mengenal Ki Sanak dengan baik adalah Ki Untara."
Wajah Wuranta menjadi merah. Ia merasa alasan-alasannya


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak didengar sama sekali oleh prajurit-prajurit Pajang itu.
Karena itu maka katanya, "Biarkanlah aku berbuat menurut
kehendakku. Nanti aku akan datang kepadanya, atau Kakang
Untara akan mencari aku untuk mengucapkan terima kasih
kepadaku. Sekarang kalau kalian tidak percaya kepadaku, nah
pergilah, bertanyalah kepada Ki Untara, siapakah anak muda
Jati Anom yang bernama Wuranta."
Prajurit-prajurit itulah yang kini tersinggung mendengar
jawaban Wuranta yang aneh itu. Justru dengan demikian
maka nafsu mereka untuk membawa Wuranta menjadi
semakin besar. Bukan karena kecurigaan mereka, tetapi
karena mereka merasa kuwajiban mereka seolah-olah
dianggap kurang berarti. Bahkan pemimpin mereka, senapati
mereka pun telah diremehkan oleh anak muda yang menyebut
dirinya bernama Wuranta itu.
Dengan demikian maka wajah para prajurit itu menjadi
semakin tegang. Hati mereka yang panas terbakar oleh
pertempuran yang baru saja terjadi masih juga belum padam.
Karena itu maka sikap Wuranta agaknya telah menyalakan api
yang masih tersimpan di dalam hati mereka.
Maka sejenak kemudian prajurit yang tertua di antara, reka itu
berkata, "Kalau demikian Ki Sanak, maka kami akan
memaksamu. Kami adalah prajurit-prajurit Pajang yang berada
di dalam lingkungan lawan. Karena itu setiap orang yang
bukan berasal dari kami harus kami curigai. Termasuk kau."
Wajah Wuranta yang merah menjadi semakin menyala.
Kemarahannya kini telah memuncak. Ia merasa seolah-olah
orang Pajang itu sama sekali tidak mengenal terima kasih.
Seperti juga Agung Sedayu.
Sebelum semuanya ini terjadi, ia adalah umpan yang pertama
kali dilontarkan ke dalam sarang serigala ini. Ia adalah oyang
yang pertama kali harus berhadapan dengan Sidanti bahkan
Ki Tambak Wedi. Hampir saja lehernya dijerat di tiang
gantungan. Tetapi kini, setelah serauanya selesai, maka ia
seolah-olah tidak dibutuhkan.
Setelah Sekar Mirah bertemu dengan Agung Sedayu, maka
kehadirannya sama sekali tidak dihiraukannya. Bahkan yang
pertama-tama dilontarkan kepadanya adalah penghinaan.
Kemudian dengan sombongnya Agung Sedayu memamerkan
kelebihan-kelebihannya padanya.
Dan kini, prajurit-prajurit Pajang itu juga ingin menangkapnya.
Membawanya kepada Untara sebagai seorang tawanan.
Tiba-tiba Wuranta tidak dapat menahan desakan di dalam
rongga dadanya. Dengan lantang ia berteriak, "He orangorang
Pajang. Jangan terlampau sombong. Tak seorang pun
di antara kalian yang berani memasuki padepokan ini selagi
Tambak Wedi, Sidanti, beserta Sanakeling masih mampu
menggenggam senjata mereka. Tak seorang pun dari kalian,
termasuk Agung Sedayu adik Untara itu, yang berani
menghadapi Sidanti dan Sanakeling pada saat-saat mereka
masih bersatu tujuan. Kini aku berhasil memisahkan mereka
karena permainanku. Dengan mengumpankan Alap-alap
Jalatunda aku berhasil mengadu dua kekuatan yan ada di
Padepokan ini. Kekuatan Jipang dan kekuatan Tambak Wedi.
Baru setelah keduanya hancur kalian berani masuk. Sekarang
kalian menyombongkan diri akan menangkap Wuranta. Nah,
lakukanlah. Lakukanlah setelah Wuranta menjadi mayat. Apa
yang aku lakukan sebelum ini memang sudah harus bertaruh
nyawa. Pagi ini seharusnya aku sudah mati di tiang gantungan
apabila aku tidak berhasil melarikan diri. Umurku ini adalah
umur yang berlebihan. Karena itu, ayo, bunuhlah aku. Aku
tidak akan melawan. Tetapi jangan mimpi membawa Wuranta
hidup-hidup kepada Untara."
Darah para prajurit-prajurit Pajang itu segera mendidih.
Mereka lidak tahu apa yang telah dilakukan oleh Wuranta.
Karena itu maka yeng termuda di antara mereka segera
melangkah maju. Untunglah bahwa yang tertua masih juga
dapat menahan diri. Digamitnya prajurit yang masih muda itu
sambil berkata, "Biarlah aku yang menyelesaikannya."
"Bagus, ayo, selesaikan bersama-sama. Aku tidak akan lari.
Aku sudah bersedia untuk mati. Aku sudah hidup lebih lama
sesiang ini." Ketika prajurit yang tertua itu melangkah maju, ia melihat
Wuranta berdiri tegak sambil menengadahkan dada. Tetapi
tidak lampak tanda-tanda bahwa anak muda itu akan
melawannya. "Apakah kau memerlukan pedang?" bertanya prajurit tertua
itu. "Bukankah kau ingin melawan?"
Wuranta menggeleng. "Aku tidak perlu melawan kalian. Tak
ada artinya" Prajurit-prajurit Pajang mengerutkan kening mereka. Ada di
antara mereka yang mengartikan kata-kata Wuranta itu
sebagai suat penghinaan, seolah-olah para prajurit Pajang itu
tidak berarti buat dilawannya, tetapi ada pula yang melihat
keanehan sikap Wuranta itu. Ternyata ia benar-benar tidak
bersiap untuk melawan. Prajurit yang tertua di antara mereka itu menarik nafas dalamdalam.
Akhirnya ia berkata, "Kau membingungkan kami."
"Bukan maksudku," jawab Wuranta "kau sendirilah yang
membuat dirimu bingung."
"Apakah kau termasuk salah seorang prajurit Tambak Wedi
yang berusaha membunuh diri dengan cara itu."
Pertanyaan itu telah menggoncangkan dada Wuranta.
kemarahannya yang sudah memuncak seolah-olah kini
meluap lewat ubun-ubunnya. Namun dengan demikian maka
anak muda itu justru terdiam. Tetapi tubuh dan bibirnya
menjadi bergetar secepat getar jantungnya.
Sejenak mereka yang sedang dicengkam oleh ketegangan itu
saling berdiam diri, tetapi mata mereka menyorotkan
kemarahan yang hampir-hampir tidak terkendali.
Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara seseorang di
belakang pagar dinding batu, di antara dedaunan yang
rimbun. "Kalian ternyata telah menjadi salah paham."
Dengan serta-merta maka mereka segera berpaling. Dari
antara dedaunan yang rimbun itu, maka meloncatlah seorang
tua dengan cekatan. Orang itu adalah Ki Tanu Metir.
"Siapakah Ki Sanak?" bertanya salah seorang dari para
prajurit itu. Ternyata prajurit itu juga belum mengenal Ki Tanu
Metir. Ki Tanu Metir tersenyum, tetapi hatinya menjadi cemas juga.
Apabila para prajurit itu belum mengenalnya, maka
keadaannya tidak akan berbeda. Seperti juga Wuranta, maka
para prajurit itu pasti ingin membawanya kepada Umara.
"Apakah kalian belum mengenal aku?" bertanya Ki Tanu Metir
itu. Prajurit yang bertanya kepadanya itu menjawab, "Aku tidak
mengenalmu." Ki Tamu Metir mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia
melangkah maju. Diamatinya prajurit yang menjawab
pertanyaannya itu. Seorang prajurit muda yang gagah,
bertubuh tinggi dan berdada bidang. Di lambungnya
tergantung sehelai pedang yang panjang.
Tetapi Ki Tanu Metir semakin dicemaskan oleh sikap para
prajurit itu. Apakah yang harus dilakukan seandainya mereka
bersikap keras kepadanya seperti kepada Wuranta.
"Aku tidak boleh melawan," katanya di dalam hati "Mereka
melakukan kuwajiban. Tetapi bagaimana dengan Angger
Wuranta itu seandainya ia pun berkeras hati untuk tidak mau
tunduk kepada para prajurit itu?"
Dalam keceraasan itu tiba-tiba ia mendengar salah seorang
dari para prajurit itu berkata, "He, bukankah orang tua itu yang
tadi berjalan bersama dua orang anak muda dan seorang
gadis yang diantar oleh beberapa orang prajurit?"
Kawan-kawannya berpaling ke arahnya. Lalu seorang yang
lain berkata, "Ya, aku pernah melihat orang tua itu. Apakah
Kiai yang bernama Ki Tanu Mtetir?"
Dada Ki Tanu Metir menjadi lega. Ternyata ada di antara
mereka yang sudah mengenalnya. Dengan demikian maka
pekerjaannya menjadi bertambah ringan.
"Ya, ya, Ki Sanak, akulah yang bernama Ki Tanu Metir. Dari
siapa Angger mengetahuinya?"
"Aku pernah melihat Kiai sekali di Jati Anom, ketika Kiai
bersama adik Ki Untara dan anak muda yang gemuk itu, yang
tadi juga berjalan bersama Kiai menemui Ki Untara."
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
tertawa pendek, "Ya, itulah aku."
"Kenapa tiba-tiba saja Kiai sudah berada di sini pula?"
"Tidak, Ki Sanak, tidak dengan tiba-tiba. Aku telah datang
lebih dahulu dari pasukan Pajang. Aku datang bersama
Angger Wuranta ini," jawab Ki Tanu Metir sambil menunjuk
Wuranta yang masih berdiri tegak di tempatnya.
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Beberapa orang yang lain
saling berpandangan. Akhirnya hampir serempak mereka
memandang Wuranta. "Ya. Angger Wuranta telah datang lebih dahulu bersama aku,
Angger Agung Sedayu, adik Ki Untara, dan Angger Swandaru
Geni, anak muda yang gemuk itu."
"Apakah yang telah kalian lakukan?"
Ki Tanu Metir tersenyum, "Tidak terlampau penting Ki Sanak.
Hanya sekedar melepaskan anak-anak panah sendaren.
Bukankah Angger juga mendengarnya" Pasukan berkudalah
yang mendengarnya dengan jelas. Apakah Angger dari
pasukan berkuda?" "Prajurit itu menggeleng. Tetapi meskipun mereka bukan
anggauta pasukan berkuda, namun mereka tahu benar,
bahwa tanda-tanda yang memungkinkan mereka memasuki
padepokan ini adalah panah sendaren. Tetapi mereka tidak
tahu, siapakah yang telah melepaskan panah itu.
Dalam pada itu Ki Tanu Metir berkata pula, "Nah, itulah, Ki
Sanak. Kenapa kami berada di padepokan ini."
Prajurit yang tertua di antara mereka mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia dapat mempercayai keterangan Ki Tanu Metir,
sebab beberapa orang kawan-kawannya telah melihat orang
itu menghadap Untara. Karena itu mereka kini mengerti pula
bahwa Wuranta memang pernah melakukan seperti apa yang
dikatakannya. Tetapi meskipun demikian, sikap anak muda
Jati Anom itu telah terlanjur membuatnya kurang senang.
Namun prajurit yang tertua itu berusaha menahan dirinya.
Sebab kedua orang itu adalah orang-orang kepercayaan
Untara. Tetapi yang aneh bagi mereka, betapa Wuranta berani
mengatakan, bahwa Untara-lah yang harus datang
kepadanya. Sejenak para prajurit itu saling berdiam diri. Ki Tanu metir pun
berdiri saja sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
mengharap bahwa keadaan akan menjadi berangsur baik
setelah mereka, para prajurit itu mengetahui dan mengenal
Wuranta. Hati Ki Tanu Metir pun menjadi lega ketika prajurit yang tertua
itu berkata, "Baiklah, Kiai, apabila demikian, maka kami tidak
akan keberatan membiarkan kalian berada di padepokan ini
menurut kehendak kalian. Tetapi ingat, bahwa ada di antara
kami yang belum mengenal kalian sama sekali. Karena itu,
sebaiknys kalian tidak berada di tempat yang terlampau jauh
dari banjar. Setiap saat kalian akan mendapat pertanyaanpertanyaan
yang serupa, dan mungkin ada di antara kami,
prajurit-prajurit Pajang yang sama sekali tidak mengenal
kalian, sehingga sikapnya pasti tidak akan menyenangkan,
seperti sikap kami juga."
"Oh, tidak apa, Ki Sanak. Kalian sedang melakukan
kewajiban. Karena, itu maka sikap kalian dapat kita mengerti."
Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya "Terima kasih
atas pengerlian kalian. Sekarang, kami akan meneruskan
kewajiban kami. Aku nasehatkan pergilah ke banjar, supaya
kalian tidak menjumpai persoalan yang serupa."
"Terima kasih, Ki Sanak," jawab Ki Tanu Metir. Para prajurit itu
pun kemudian meninggalkan Ki Tanu Metir dan Wuranta
berdua. Mereka berjalan menyelusuri jalan-jalan padepokan
untuk melakukan pengawasan. Mungkin masih ada laskar
Tambak Wedi yang tersembunyi, atau mungkin orang-orang
Jipanng. Sepeninggal para prajurit itu, maka berkatalah Ki
Tanu Metir kepada Wuranta, "Marilah, Ngger, kita pergi ke
banjar padepokan ini. Di sana Agung Sedayu, Swandaru, dan
Sekar Mirah sudah menunggumu."
Wuranta mengerutkan keningnya. Kemudian terdengar
suaranya bernada rendah, "Untuk apa mereka menunggu
aku?" Ki Tanu Metir adalah seorang yang telah cukup umur.
Pengenalannya atas perangai anak-anak muda cukup tajam.
Ia mencoba untuk mengerti, apakah sebabnya maka tiba-tiba
Wuranta bersikap aneh. Sejak di dalam gubug Sekar Mirah,
kemudian hilang tanpa pesan apa pun.
Namun Ki Tanu Metir tidak segera dapat mengerti dengan
pasti, apakah sebabnya. Ia hanya dapat meraba-raba dan
menerka. Tetapi dugaan Ki Tanu Metir atas persoalan yang
sebenarnya masih sangat kabur.
Sekali lagi Tanu Metir itu mengajak, "Angger Wuranta. Marilah
kita pergi ke banjar. Kita harus menunjukkan diri kepada
Angger Untara. Agung Sedayu dan Swandaru sudah lama
menunggu Angger di sana. Aku sudah mencari Angger di
mana-mana. Baru sekarang aku menemukan Angger.
Kemana Angger selama ini dan kenapa Angger pergi tanpa
pesan apa pun" Dada Angger sedang terluka meskipun untuk
sementara telah tidak mengalirkan darah lagi."
"Hem," Wuranta menarik nafas dalam-dalam, "tugasku yang
lerbahaya, yang harus aku pertaruhkan dengan nyawa telah
selesai. Buat apa orang-orang Pajang dan Kiai memerlukan
aku lagi?" "Ah, jangan begitu, Ngger. Semua orang menunggu Angger."
Wuranta menggeleng, "Tidak. Mereka hanya memerlukan aku
selagi mereka tidak dapat melakukan sesuatu pekerjaan. Aku
bukan seorang prajurit dan bukan murid Kiai. Itulah sebabnya
Kiai menunjuk aku untuk masuk ke dalam api di Tambak Wedi
ini. Seandainya aku tertangkap dan mati, maka baik Untara
maupun Kiai tidak kehilangan. Untara tidak kehilangan
prajuritnya dan Kiai tidak kehilangan seorang murid. Bukankah
begitu?" "Jangan beranggapan begitu, Ngger. Sama sekali tidak
terlintas di dalam kepalaku perhitungan yang demikian.
Secara kebetulan dan tiba-tiba aku menjumpai Angger di Jati


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anom. Aku telah mencoba memperhitungkan semua rencana
sebaik-baiknya. Aku sama sekali tidak berbuat dengan
untung-untungan." "Tetapi apa yang terjadi" Apakah Kiai mengetahui aku telah
ditahan oleh Ki Tambak Wedi" Bahkan telah disediakan tiang
gantungan di regol padepokan ini" Apa yang dapat Kiai
lakukan dan apa yang dapat dilakukan oleh orang-orang
Pajang?" "Mereka telah datang, Ngger. Mereka telah masuk ke
padepokan ini. Dan Angger ternyata tidak naik ke tiang
gantungan itu." "Tetapi sama sekali bukan karena orang-orang Pajang dan
bukan pula karena Kiai dan murid-murid Kiai. Aku dapat
melarikan diriku dari tempat aku ditawan karena kekuatanku
sendiri, karena kesempatan yang aku dapatkan, bukan dari
kalian. Nah, seandainya aku saat itu tidak dapat melarikan diri,
seandainya aku mati, maka tidak ada kemungkinan kalian
dapat berbuat sesuatu."
"Angger Wuranta, sejak malam tadi aku sudah di padepokan
ini. Aku akan mengetahuinya seandainya hukuman mati itu
dilaksanakan." "Apa yang akan dapat Kiai lakukan seorang diri di sini" Apa"
Apakah Kiai juga akan membela kematianku dengan
membunuh diri, melawan Ki Tambak Wedi" Kiai mampu
melawan seorang lawan seorang, tetapi melawan Ki Tambak
Wedi dengan seluruh pengikutnya?"
"Ternyata mereka berbentrokan sendiri, Ngger."
"Kenapa mereka berbentrokan sendiri Kiai" Kenapa" Apakah
hal itu dapat terjadi begitu saja tanpa sebab?"
"Hal itu akan mungkin sekali, Ngger. Dua kekuatan yang
dasarnya telah berbeda. Berbeda sumbernya dan berbeda
tujuannya. Kalau di antara mereka terjadi persetujuan, maka
itu hanyalah untuk sementara."
"Omong kosong!"
Ki Tanu Metir terperanjat mendengar jawaban Wuranta. Kini ia
menjadi semakin tidak mengerti, apakah sebenarnya yang
telah mengganggu anak muda itu" Dugaannya tentang sebabsebab
dari tindakan-tindakan yang aneh itu justru menjadi
kabur. "Jadi bagaimanakah, Ngger?" bertanya Ki Tanu Metir dengan
dada berdebar-debar. "Pertempuran di antara mereka itu telah dibakar oleh suatu
sebab. Sebab yang berhasil aku tumbuhkan. Seandainya
Alap-alap Jsuatunda tidak menjadi gila, apakah pertempuran
itu dapat terjadi?" Ki Tamu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku berhasil menumbuhkan pertentangan itu. Aku
mengumpankan Alap-alap Jalatunda yang menjadi gila karena
Sekar Mirah. Kegilaannya itulah yang telah membakar
padepokan ini. Baru setelah padepokan ini hangus, pasukan
Untara itu datang. Itu pun karena aku pula. Karena aku datang
ke Jati Anom. Memberitahukan keadaan padepokan ini.
Kemudian membawa Agung Sedayu dan Swandaru masuk.
Nah, siapakah yang sebenarnya berhasil melakukan
tugasnya" Aku, Untara, Agung Sedayu dan Swandaru atau
Kiai" Sekarang, setelah semuanya selesai" Tak seorang pun
lagi menghiraukan aku. Semuanya tidak memerlukan aku lagi.
Mereka memamerkan kepandaian mereka bermain pedang.
Kiai, aku memang bukan seorang prajurit. Aku memang tidak
secakap Agung Sedayu dan tidak secepat para prajurit Pajang
memainkan senjata. Tetapi aku juga mempunyai harga diri,
Kiai. Setelah Agung Sedayu dapat bertemu dengan Sekar
Mirah, maka keduanya sama sekali tidak menghiraukan aku
lagi. Sekar Mirah yang sebelumnya hampir mati ketakutan itu,
kemudian sama sekali tidak mau melihat aku, meskipun hanya
dengan sebelah matanya. Mereka telah menemukan yang
mereka cari. Kedatangan Agung Sedayu telah membuat gadis
itu menjadi tamak dan besar kepala, seolah-olah semua orang
lain di dunia ini tidak berharga."
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Ia mencoba
menangkap maksud yang sedalam-dalamnya dari kata-kata
Wuranta. Dugaannya yang semula menjadi kabur kini menjadi
semakin jelas kembali. "Coba, coba Kiai, sebutkan. Siapakah yang sebenarnya dapat
mengalahkan padepokan Tambak Wedi dan membebaskan
Sekar Mirah" Siapa?"
Ki Tanu Metir tidak segera menjawab.
"Kini semua orang di padepokan ini menghina Wuranta. Para
prajurit itu, Sekar Mirah, Agung Sedayu, dan semuanya."
Wuranta berhenti sejenak. Nafasnya menjadi terengah-engah
dan wajahnya menjadi merah. Terasa betapa dadanya
dihentak-hentak oleh dentang jantungnya yang semakin cepat.
Ki Tanu Metir masih berdiam diri. Kini ia dapat meraba,
apakah yang telah mendorong Wuranta berbuat demikian.
Hampir pasti. Meskipun demikian Ki Tanu Metir masih cukup
berhati-hati untuk berbuat dan berkata sesuatu. Ternyata
perasaan Wuranta terlampau peka, dan terlampau mudah
tersentuh. Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam ketika ia
mendengar Wuranta itu mengulangi pertanyaannya, "Siapa
Kiai" Seharusnya Kiai dapat menyebutkan, siapa yang
sebenarnya berhasil di dalam tugasnya, sebab Kiai
mengetahuinya sejak permulaan. Tidak seperti prajurit-prajurit
Pajang itu. Begitu mereka datang, mereka menganggap
dirinyalah yang paling berjasa. Seperti juga Agung Sedayu
yang merasa, seolah-olah ialah yang telah membebaskan
Sekar Mirah. Siapa" Coba sebutkan, apakah Kiai berani
menyebutkannya karena Kiai guru Agung Sedayu barangkali?"
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
dengan nada yang berat tenang, "Ya, Ngger. Aku meugakui
karena penglihatanku sendiri, bahwa Angger Wuranta-lah
yang telah membawa kita semuanya di sini kepada
kemenangan yang mutlak. Semua rencana dapat berlangsung
sebaik-baiknya berkat keberanian dan ketrampilanmu, Ngger.
Aku mengakui. Dan mudah-mudahan Untara pun akan
mengakui." "Tidak. Ia pasti tidak akan mengakui. Ia Senapati besar di sini.
Ia merasa bahwa dirinya adalah orang yang paling penting.
Dan ia merasa bahwa dirinyalah yang telah menyebabkan
kemenangan ini. Apalagi Agung Sedayu adalah adiknya. Pasti
ia akan membenarkan sikapnya dan menyalahkan aku."
"Kenapa" Kenapa Untara akan membenarkan sikap Agung
Sedayu dan menyalahkan Angger" Dalam hal apa" Apakah
ada sesuatu persoalan di antara kalian berdua?"
Pertanyaan itu mengejutkan sekali bagi Wuranta. Sejenak ia
terdiam. "Angger Wuranta," berkata Ki Tanu Metir "seandainya ada
sesuatu persoalan yang mengecewakan Angger Wuranta,
katakanlah, Ngger. Aku adalah saksi yang akan mengatakan
kepada siapa pun juga, yang tidak mengakui Angger sebagai
seorang perintis yang telah membawa kita masuk ke
padepokan ini! Apakah Agung Sedayu merasa dirinya yang
paling berjasa dalam hal ini" Atau Angger Untara sendiri"
Katakanlah, Ngger. Aku adalah saksi yang masih hidup,
bahwa pahlawan dari kemenangan ini adalah Angger
Wuranta. Semua orang harus mendengar dan mengakui,
bahwa karena jasa-jasa Angger Wuranta, padepokan Tambak
Wedi yang diperkuat oleh orang-orang Jipang di bawah
pimpinan Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda ini dapat direbut
dengan mudah. Sebab pasukan Pajang datang pada saat-saat
orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang sudah
tidak kuasa untuk melawannya, setelah mereka bertempur
satu dengan yang lain. Bukankah begitu?"
Ki Tanu Metir berhenti sesaat. Dipandanginya wajah Wuranta
yang menjadi semakin lama semakin tegang. Mulutnya
mengatup rapat-rapat dan giginya menggeretak.
"Angger Wuranta, katakanlah, Ngger. Apakah Agung Sedayu
telah berbuat suatu kesalahan" Meskipun ia muridku, tetapi
apabila ia berbuat salah, maka aku wajib memberitahukan
kesalahan itu kepadanya. Seandainya ia tidak menyadarinya,
maka aku akan mencubitnya, supaya ia mengerti akan
dirinya." Kini Wuranta-lah yang terdiam.
"Katakanlah, Ngger. Tidak ada orang lain yang dapat
membanggakan dirinya di sini, selain Angger Wuranta. Tidak
ada orang lain yang dapat merasa dirinya berjasa, selain
Angger Wuranta. Kalau ada orang lain, maka orang lain itu
harus mendapat pengertian, bahwa pahlawan kemenangan ini
adalah Wuranta, anak Jati Anom."
"Cukup, cukup," Wuranta memotong kata-kata Ki Tanu Metir
dan dengan terbata-bata ia meneruskan, "Bukan maksudku.
Bukan maksudku." Terdengar suara Ki Tanu Metir sareh, "Mungkin Angger tidak
bermaksud demikian, tetapi apakah kita semuanya akan
mengingkari kenyataan?"
Wuranta menggigit bibirnya. Tiba-tiba dadanya serasa akan
meledak mendengar kata-kata Ki Tanu Metir. Seperti
terlempar ke dalam suatu kesadaran tentang dirinya, Wuranta
merasakan tusukan yang tajam dari kata-kata Ki Tanu Metir
itu. Terasa seolah-olah selembar tabir yang hitam pekat di
dalam hatinya kini tersingkap. Dan dilihatnya dirinya sendiri
dengan jelas. Dirinya sendiri yang kecil, yang kini berada di
antara raksasa-raksasa yang mengerikan. Raksasa-raksasa
Pajang telah berhasil memecahkan pertahanan padepokan
Tambak Wedi. Kembali terbayang di matanya, betapa Agung
Sedayu, Swandaru, dan Ki Tanu Metir bergulat melawan
hantu lereng Merapi yang mengerikan, Ki Tambak Wedi,
Sidanti, dan Argajaya. Terbayang betapa Untara berserta
pasukannya bertempur menghadapi sisa-sisa pasukan
Tambak Wedi yang pada saat-saat terakhir masih sempat
bergabung dengan sisa-sisa orang Jipang. Betapa Untara
masih harus mengatur orang-orangnya, dan dirinya sendiri
yang masih harus berhadapan melawan Sanakeling.
Alangkah malunya. Alangkah malunya seandainya ia berkata
tentang dirinya sendiri. Apakah semuanya ini dapat terjadi
seandainya Untara tidak berhasil mengalahkan sisa-sisa
pasukan Tambak Wedi dan Jipang" Apakah Sekar Mirah
dapat bebas seperti yang terjadi seandainya Ki Tanu Metir,
Agung Sedayu, dan Swandaru tidak dapat bertahan melawan
Ki Tambak Wedi, Sidanti dan Argajaya"
Ketika teringat oleh Wuranta akan kata-katanya sendiri "Coba.
Coba Kiai, sebutkan, siapakah yang sebenarnya dapat
mengalahkan padepokan Tambak Wedi dan membebaskan
Sekar Mirah. Siapa?" tiba-tiba Wuranta menutup wajahnya
dengan kedua telapak taagannya. Alangkah malunya.
Ki Tanu Metir masih berdiri tegak di hadapannya.
Dibiarkannya Wuranta menyadari dirinya. Dibiarkannya anak
itu dihanyutkan oleh perasaannya yang tiba-tiba saja seolaholah
terbuka. Sejenak mereka saling berdiam diri. Awan di langit yang
kemerah-merahan mengalir ke Utara dihembus oleh angin
lereng lembab. Matahari telah menjadi semakin rendah, dan
sebentar lagi hilang di balik dedaunan di sebelah Barat.
Sinarnya yang membara tersangkut di punggung gunung dan
di ujung-ujung awan yang bertebaran dilangit.
Di halaman banjar padepokan Tambak Wedi dan sekitarnya
para prajurit Pajang dan sebagian orang-orang Tambak Wedi
sendiri yang masih hidup dan tidak berbahaya masih sibuk
menyingkirkan mereka yang terluka dan mengumpulkan
mayat-mayat yang berserakan.
Ki Tanu Metir-lah yang kemudian memecahkan kesenyapan
itu. "Angger Wuranta. Marilah kita pergi ke banjar."
*** "Tidak. Tidak Kiai. Tidak ada gunanya."
"Tak akan ada orang yang tidak mengakui hasil jerih
payahmu, Ngger." "Bukan itu. Bukan itu, Kiai. Justru aku menjadi malu sekali.
Ternyata Kiai telah menunjukkan kekeliruanku. Kiai
menghadapkan sebuah cermin di muka wajahku. Aku sangka
bahwa aku adalah orang yang paling berjasa di peperangan
ini. Ternyata aku tidak lebih dari sehelai debu yang tidak
berarti, aku sadari sekarang, Kiai."
"Jangan begitu, Ngger. Aku memang sudah menyangka
bahwa kau sedang dihanyutkan oleh sebuah angan-angan
yang aku masih belum tahu pasti. Tetapi seharusnya Angger
segera menemukan keseimbangan perasaan."
"Kiai, aku semula merasa sebagai orang yang paling berjasa,
tetapi dilupakan karena pekerjaan telah selesai."
"Tidak, Ngger. Angger sama sekali tidak diabaikan."
"Ah, jangan menyenangkan hatiku, Kiai," sahut Wuranto.
"Sebenarnyalah aku diabaikan."
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Ia menjadi heran
mendengar jawaban Wuranta yang menurut perasaannya
agak bersimpang siur. "Bagaimanakah sebenamya menurut tanggapanmu, Ngger.
Aku menjadi agak bingung karenanya."
"Kiai, semula aku merasa sakit hati, bahwa aku diabaikan
orang. Padahal aku merasa bahwa akulah yang paling berjasa
di antara semua orang di sini. Tetapi ternyata Kiai telah
membuka hatiku. Aku sama sekali bukan seorang pahlawan.
Karena itu, tidak sewajarnyalah bahwa aku menjadi sakit hati.
Aku memang tidak berarti apa-apa di sini. Aku hanya seorang
pelaku yang tidak mempunyai bagian sama sekali dalam
kemenangan ini. Bukankah begitu Kiai?"
Ki Tanu Metir-lah kini yang meraba dadanya. Ternyata
perasaan Wuranta, yang selama ini mencoba menutup-nutupi
kekurangannya dan kekecewaan dengan tingkah laku yang
aneh-aneh itu terbanting terlampau dalam. Kini tampaklah
perasaan yang sebenarnya bergelut di dalam dada anak itu.
Rendah diri, di samping segala macam kekecewaan. Apalagi
ketika ia melihat kenyataan bahwa Agung Sedayu yang
dikenalnya sebagai seorang penakut dan pengecut di masa
kanak-kanaknya, kini ternyata terlampau jauh di atas
jangkauannya. Maka hatinya menjadi terpecah-pecah tidak
keruan. Agung Sedayu bagi Wuranta, menjadi sebab dari
segala macam kepahitan yang kini dialaminya.
Ki Tanu Metir kini sudah hampir pasti, bahwa soalnya berkisar
di sekitar Sekar Mirah. Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Seorang
perempuan memang kadang-kadang dapat menyebabkan


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lautan menjadi kering, dan gunung menjadi runtuh. Menurut
dongeng, Candi Prambanan tercipta dalam satu malam
karena seorang gadis, Rara Jonggrang. Bendungan yang
melintasi lautan, mencapai Alengka, dibuat karena seorang
wanita. Dewi Sinta. Keris mPu Gandring yang bertuah, yang
kemudian menghisap darah beberapa orang, bahkan
pembuatnya dan kemudian pemesannya sendiri, adalah
karena seorang wanita, Ken Dedes yang ingin direnggutkan
dari suaminya, Tunggul Ametung, oleh Ken Arok yang
memesan keris itu kepada mPu Gandring.
"O, tidak terlampau jauh," berkata Ki Tinu Metir di dalam
hatinya. "Alap-alap Jalatunda mati karena Sekar Mirah, dan
bahkan orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang
bertempur satu sama lain karena Sekar Mirah ini pula. Dan
kini apakah gadis itu masih akan menulis ceritera baru tentang
dirinya dan tentang anak-anak muda yang mengenalnya."
Ketika cahaya yang kemerah-merahan di langit menjadi
semakin pudar, maka Ki Tanu Metir pun berkata, "Marilah,
Ngger. Jangan terlampau membiarkan diri hanyut dalam arus
perasaan, Seharusnya Angger mencoba mempergunakan
pikiran untuk membuat keseimbangan. Nalar."
Wuranta menggeleng, "Sudahlali Kiai. Kiai tidak usah
memikirkan aku. Aku akan kembali ke Jati Anom. Aku sudah
puas dapat melakukan petunjuk-petunjuk Kiai. Aku sudah
puas dengan keadaan sekarang ini."
Ki Tanu IMietir tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah
Wuranta dengan tajamnya sehingga anak muda itu
melontarkan pandangan matanya jauh-jauh ke punggung
Gunung Merapi yang masih diwarnai oleh sisa-sisa sinar
Matahari yang kemerah-merahan.
"Ikutlah aku. Angger harus berjiwa besar menghadapi setiap
persoalan. Angger bukan anak kecil lagi."
Wuranta terdiam. "Angger adalah satu-satunya dari antara anak-anak muda Jati
Anom yang telah berhasil mendahului pasukan Pajang ke
dalam sarang yang berbahaya ini. Tengadahkan kepalamu.
Pandanglah seluruh persoalan dengan dada terbuka.
Sebagian anggapan Angger tentang diri Angger benar. Angger
adalah orang yang telah ikut berjasa dalam hal ini."
Tetapi Ki Tanu Metir terpaksa menahan hatinya ketika ia
melihat Wuranta menggelengkan kepalanya. Dengan nada
yang dalam anak muda itu berkata, "Terima kasih, Kiai. Aku
tidak usah pergi ke banjar. Pergilah Kiai sendiri menemui
murid-murid dan Kakang Untara. Aku akan kembali ke Jati
Anom sekarang." "Ah," Ki Tanu Metir berdesah, "lihat, matahari telah turun ke
balik gunung. Sebentar lagi hari akan gelap."
"Aku kemarin mondar-mandir antara Jati Anom dan Tambak
Wedi ini di dalam gelap juga."
"Tetapi justru kali ini aku menjadi cemas, karena Tambak
Wedi, Sidanti, dan Argajaya terlepas dari tangan kita."
"Kiai cecnas seandainya aku berjumpa dengan mereka?"
"Ya, Ngger." "Kiai tidak perlu cemas. Aku sudah cukup dewasa untuk
menjaga diriku sendiri. Tetapi seandainya aku akan mati juga,
itu pun sudah menjadi garis hidupku."
"Jangan, Ngger. Untara menunggumu. Ia ingin bertemu
dengan Angger." "Kalau ia ingin menemui aku, aku persilahkan datang ke Jati
Anom." "Hem," Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Wuranta
telah kehilangan keseimbangannya lagi.
"Silahkan Kiai kembali ke banjar. Katakanlah kepada Kakang
Untara bahwa aku telah kembali ke Jati Anom. Aku tidak
berguna apa pun juga di sini."
"Apakah maksud itu tidak dapat di ubah."
"Maaf, Kiai." Sekali lagi Ki Tanu Metir menarik nafas panjang. Ia tidak,
berhasil mengajak Wuranta pergi ke banjar padepokan
Tambak Wedi untuk bertemu dengan Untara, Agung Sedayu,
dan Swandaru. Tetapi orang tua itu dapat mengerti juga
perasaan yang golak di dalam dada Wuranta. Ia tidak ingin
lagi bertemu dengan Sekar Mirah dan Agung Sedayu. Ia tidak
mau menambah pedih luka di hatinya.
"Jadi bagaimana, Ngger?"
"Silahkan Kiai kembali ke banjar. Aku akan terus ke Jati
Anom." "Beberapa puluh langkah lagi Angger sampai ke banjar itu."
"Aku akan berbelok."
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu tibatiba
ia berkata, "Lukamu, Ngger."
"Sudah sembuh, Kiai."
"Belum," Ki Tanu Metir menggeleng, "besok aku akan
memberimu obat lagi di Jati Anom. Obat itu baru sekedar
memampat darah. Tetapi daya sembuhnya terlampau sedikit."
"Terima kasih, Kiai. Mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi."
"Ah, tentu. Kenapa tidak" Aku pun akan segera pergi ke Jati
Anom. Aku pun tidak akan terlampau lama di sini."
"Silahkanlah, Kiai." Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Sekarang, apakah Kiai masih akan pergi ke
banjar?" "Ya. aku akan pergi ke banjar."
Dengan menyesal Kiai Gringsing kemudian meninggalkan
Wuranta seorang diri. Menurut pertimbangannya, maka biarlah
Wuranta menuruti kehendakaya sendiri lebih dahulu, selagi ia
belum dapat berpikir dengan tenang. Karena itu, maka Ki
Tanu Metir tidak ingin memaksa-maksanya lagi. Ia mengharap
bahwa besok atau lusa Wuranta akan benar-benar dapat
menemukan keseimbangannya.
Sepeninggal Ki Tanu Metir, Wuranta masih sejenak berdiri di
tempatnya. Dilayangkannya pandangan matanya berkeliling.
Dalam cahaya yang menjadi semakin merah, ia melihat
beberapa orang masih saja sibuk di halaman banjar dan
sekitarnya. Mereka masih menyingkirkan mayat dan orangorang
yang terluka. Satu-satu, dikumpulkan menurut
keadaannya. Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa
dikehendakinya. Baru kali ini ia melihat pepati sebanyak itu.
Sejenak ia melupakan kepahitan hatinya sendiri.
Perlahan-lahan ia mengayunkan kakinya. Tetapi ia tidak
berjalan ke halaman banjar. Ia membelok sepanjang dinding
halaman yang agak rendah. Ketika ia meloncati dinding itu,
maka ia berada di belakang banjar, berantara dua halaman.
Namun di tempat itu ternyata orang pun sibuk pula
mengumpulkan orang-orang yang terluka dan mayat yang
bergelimpangan. Ketika seorang prajurit hendak menegurnya maka prajurit
yang lain berkata, "Bukankah ia anak Jati Anom?"
"Kau sudah mengenalnya?"
"Aku sudah mengenalnya. Kemarin malam ia berada
Kademangan Jati Anom. Bukankah anak itu pula yang
membawa kabar tentang keadaan di padepokan ini sehingga
Ki Untara dapat membuat perhitungan yang tepat?"
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya sehingga
maksudnya, untuk menegur Wuranta diurungkan.
Dibiarkannya anak muda itu berjalan dengan hati yang kosong
di antara para prajurit Pajang yang sibuk.
Namun tanpa dikehendakinya pula, kadang-kadang Wuranta
itu terhenti di antara orang-orang yang terluka. Ia masih
mendengar beberapa orang merintih meskipun tubuhnya telah
terbujur diam, tidak berbeda dengan mayat-mayat yang
terbujur di sampingnya. Ketika ia melihat seorang tua yang dengan lemahnya terbaring
di bawah sebatang pohon kelor, hati Wuranta berdesir. Tubuh
itu masih belum sempat di angkat dibawa ke banjar bersama
orang-orang lain yang terluka. Tetapi Wuranta yakin bahwa
orang itu masih hidup. Perlahan-lahan ia mendekatinya. Dalam kesuraman cahaya
matahari yang semakin redup ia melihat orang tua itu
menyeringai menahan sakit.
Sejenak kemudian Wuranta telah berlutut di sampingnya.
Perlahan-lahan ia berdesis, "Kek, Kakek. Kau terluka?"
Orang tua yang terbaring itu lamat-lamat mendengar suara
orang memanggilnya. Perlahan-lahan ia membuka matanya.
Betapa perasaan sakit menghentak-hentaknya, namun ia
masih sempat melihat remang-remang seseorang berjongkok
di sampingnya. Kepala orang tua itu dijalari oleh sebuah perasaan yang aneh.
Di dalam keadaan yang demikian, seseorang telah berjongkok
di sampingnya sambil menegumya ramah sekali.
"Siapakah engkau?" desis orang tua itu.
"Aku, Kek, Wuranta."
"O, kau, Ngger?" seleret warna merah membayang di wajah
yang pucat itu. "Benarkah kau Angger-Wuranta?"
"Ya, Kek." "Oh," orang tua itu terdiam. Matanya yang terbuka, itu
terpejam. Tampak betapa wajah yang tua itu menahan
penderitaan yang sangat berat.
Wuranta masih melihat darah yang meleleh dari luka di
lambung orang tua itu. Luka yang parah.
"Kau terluka, Kakek?" bertanya Wuranta.
"Hem," orang tua itu menarik nafas. Tetapi sejenak kemudian
wajahnya menyeringai menahankan perasaan sakit. "Ya,
Ngger aku terluka. Terlampau parah."
"Prajurit-prajurit Pajang melukaimu?"
Orang tua itu mencoba menggeleng. "Tidak, Ngger. Aku tidak
sempat berkelahi melawan orang-orang Pajang. Aku telah
terluka karena ujung pedang orang-orang Jipang."
"Oh," Wuranta terhenyak di tempatnya. Alangkah sedihnya.
Ujung pedang kawan sendiri yang tinggal bersama-sama di
dalam satu lingkungan. "Aku sudah kehabisan tenaga, Ngger."
"Sebentar lagi orang-orang Pajang itu akan mencoba
menolongmu, Kek." "He?" orang tua itu terkejut. "Tidak ngger. Mereka akan datang
dan mencekik aku sama sekali. Bukankah sebagian dari kita
mati karena ujung senjata orang-orang Pajang?"
"Tetapi aku melihat mereka menolong orang-orang yang
terluka dari segala pihak. Termasuk orang-orang dari
padepokan Tambak Wedi, bahkan orang-orang Jipang."
Perlahan-lahan orang tua itu menggeleng. "Mereka tidak
menolong, Ngger, mereka sekedar mengumpulkan orangorang
yang terluka dan yang mati. Besok kita bersama-sama
akan dimasukkan dalam sebuah lubang yang besar, dan
ditimbun dengan sampah dan tanah. Kita yang belum mati
sekalipun akan dikubur pula bersama mayat-mayat itu." Orang
tua itu berhenti sejenak. Nafasnya menjadi semakin lambat,
"Lebih baik mati bersama mereka, Ngger."
"Tidak, Kek. Kakek akan sembuh. Dan hal yang demikian,
tidak akan dilakukan oleh prajurit Pajang."
Kakek yang terbaring itu terdiam. Sekali-sekali dibukanya
matanya dan dilihatnya Wuranta duduk di sampingnya.
"Angger Wuranta, bukankah Angger termasuk pihak Pajang itu
pula" Nah, kalau demikian tolong, Ngger, bunuhlah aku sekali
supaya aku tidak terkubur hidup-hidup besok apabila malam
nanti aku tidak mati."
"Ah, jangan begitu, Kek. Kakek akan sembuh. Luka Kakek
akan mendapat perawatan."
"Seandainya demikian, apabila aku sudah sembuh, maka aku
akan digantung di alun-alun Pajang. Apalagi aku sudah
menangkapmu, Ngger. Menangkap seorang petugas sandi
dari Pajang." Wuranta menggelengkan kepalanya. "Tidak, Kek. Apa yang
Kakek lakukan adalah tugas Kakek. Tetapi Kakek telah
memberikan tempat tinggal lepas dari tangan Sidanti.
Bukankah itu sebuah pertolongan yang paling berarti selagi
aku melakukan tugasku" Kek, seandainya aku tidak dapat
keluar dari rumah tahanan itu, maka akhir dari peristiwa ini
pun akan berbeda." "Ah," orang tua itu mengeluh, "bunuh sajalah aku, Ngger."
"Tidak, Kek." "Tolong, supaya aku tidak terkubur hidup-hidup. Tetapi,
sebelum itu, apakah kau mau menolong aku, Ngger?"
"Apa, Kek?" "Apakah kau mau menyampaikan pesanku kepada nenekmu
yang tua dan sakit-sakitan itu?"
"O, tentu, tentu."
"Bawalah orang tua itu kemari, Ngger. Aku ingin bertemu
untuk yang terakhir kalinya. Nenekmu sudah terlalu tua dan
sakit-sakitan saja. Kasihan perempuan itu."
"Jadi, apakah aku harus memanggilnya kemari?"
"Ya," desis orang tua itu "tetapi kalau para prajurit Pajang itu
mengijinkannya." "Aku akan minta ijin itu untuk Kakek."
"Terima kasih, Ngger," orang tua itu menyeringai. sekali lagi
"Lukaku parah. Umurku sudah tidak akan mencapai semalam
ini. Tolong Ngger, panggillah nenekmu. Dan?" orang tua itu
terhenti. Perlaban-lahan ia melanjutkan, "dan tolong, Ngger
apabila mungkin, janganlah aku dibiarkan mati di sini lebih
dahulu. Apakah aku dapat Angger sisihkan, ke emper rumah
sebelah?" "Tentu, Kek, tentu."
"Tetapi apabila para prajurit Pajang mengijinkan, Ngger."
Wuranta tidak menjawab. Dengan sigapnya ia berdiri. Lukanya
sendiri sudah benar-benar tidak terasa olehnya. Tergesa-gesa
ia mendekati seorang prajurit yang sedang mengawal kawankawannya
dan orang-orang Tambak Wedi yang sedang sibuk
mengangkat orang-orang yang terluka ke rumah di halaman
itu, dan sebagian langsung dibawa ke banjar Padepokan.
"Apa Ki Sanak?" bertanya prajurit itu.
"Aku titip kakekku yang terluka itu."
Prajurit itu mengerutkan keningnya. "Kakekmu?"
"Ya." Prajurit itu menjadi heran. Ia mengenal Wuranta sebagai anak
Jati Anom, dan orang yang terluka itu adalah seorang dari
padepokan Tambak Wedi yang masih belum sempat
disisihkan. Sejenak prajurit itu berdiri kebingungan.
Dipandanginya Wuranta dan kakek yang terbaring itu bergantiganti.
"Benarkah ia kakekmu?" prajurit itu ingin menegaskan.
"Ya ia kakekku. Karena itu, tolong aku titipkan ia padamu.


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Biarlah kakek aku bawa ke emper rumah itu. Aku akan
memanggil nenek sebentar."
Prajurit itu masih berdiri kebingungan ketika Wuranta
kemudian melangkah mengambil kakek tua itu dan
mendukungnya ke emper rumah di halaman.
Tanpa minta ijin lagi, Wuranta pun kemudian
meninggalkannya untuk menyusul nenek seperti pesan kakek
tua yang terluka. Meskipun demikian, ketika ia lewat di muka
prajurit itu ia masih berpesan "Tolong awasilah kakek itu."
Prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Itu sama sekali bukan
pekerjaannya. Meskipun demikian ia terpaksa mengawasinya
juga. Ketika ada prajurit yang lain, yang akan membawa kakek
tua itu ke dalam rumah, maka prajurit itu berkata, "Biarkan
orang tua itu di sana."
"Kenapa?" "Wuranta, anak Jati Anom itu berpesan kepadaku, supaya
orang tua yang katanya adalah kakeknya itu tetap di sana."
"Tetapi semua orang yang terluka harus dikumpulkan supaya
mereka segera mendapat pertolongan. Luka kakek tua itu
agak parah." Prajurit yang sedang berjaga-jaga itu ragu-ragu sejenak.
Tetapi kemudian ia berkata, "Biarkan ia di situ. Kita tunggu
saja Wuranta. Barangkali ia ingin berbuat sesuatu dengan
kakeknya itu." Maka kakek tua itu pun ditinggalkannya. Beberapa orang yang
lain pun kemudian diangkut pula masuk ke dalam rumah,
sedang yang telah meninggal dikumpulkan pula menjadi satu
di halaman untuk dikuburkan besok pagi.
Langit pun semakin lama menjadi semakin suram. Cahaya
kemerah-merahan menjadi semakin redup dan kehitamhitaman.
Perlahan-lahan senja turun ke atas permukaan bumi.
Sesaat kemudian Wuranta itu datang kembali sambil
memapah seorang perempuan tua. Hampir setua kakek yang
sedang terluka di lambungnya.
"Dimanakah kakekmu itu, Ngger?" desis nenek itu.
"Di sana, Nek, di emper rumah itu."
Tertatih-tatih di dalam papahan Wuranta nenek itu berjalan
mendekati emper tempat kakek tua itu berbaring.
Hati Wuranta menjadi lega ketika ia masih melihat dalam
keremangan senja kakek tua ini masih terbaring di emper.
Namun kemudian hatinya berdesir ketika ia melihat kakek tua
itu sama sekali diam, seolah-olah orang tua itu sudah tidak
bernafas lagi. Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka hati Wuranta
menjadi semakin berdebar-debar. Perlahan-lahan dipapahhya
perempuan tua itu semakin mendekat.
Perempuan tua itu pun kemudian berlutut di samping
suaminya. Terdengar ia bergumam, tetapi tidak jelas, apa
yang dikatakannya. Namun tiba-tiba terdengar ia memanggil,
"Kek, Kakek." Laki-laki tua yang terbaring itu ternyata masih hidup. Ia masih
mendengar suara isterinya. Betapa lemah tubuhnya, namun ia
paksakan dirinya membuka mata. Lambat sekali ia menjawab,
"Nenek, kaukah itu?"
"O," nenek tua itu tidak dapat lagi menahan dirinya.
Ditelungkupkannya kepalanya di atas tubuh suaminya yang
telah menjadi semakin lemah.
"Lukaku parah, Nenek."
"Akan aku obati, Kek."
Perlahan-lahan laki-laki tua itu menggelengkan kepalanya.
"Tidak perlu. Tak ada obat yang dapat menyembuhkan lukaku.
Darah sudah terlampau banyak mengalir, meskipun aku
sendiri sudah mencoba menahan dengan sobekan kainku."
"Tidak, Kakek, aku akan mengobatinya. Kau harus sembuh."
Wuranta masih berdiri tegak seperti patung. Tiba-tiba ia
teringat obat yang diberikan Ki Tanu Metir kepadanya. Obat itu
dapat membantu sementara untuk menghentikan darah yang
meleleh dari luka. Dan luka kakek itu masih saja meneteskan
darah. Agaknya karena terlampau banyak darah yang keluar
itulah maka kakek itu menjadi terlampau lemah. Ia sudah
terluka sejak orang-orang Pajang memasuki padepokan ini.
Hampir sehari ia terbaring dalam lukanya tanpa pertolongan
kecuali atas usahanya sendiri. Meskipun, seandainya luka itu
sendiri tidak terlampau parah, namun terlampau banyak darah
yang mengalir pun akan dapat menyebabkan kematian.
Karena itu, maka segera dicarinya bumbung kecil sisa obat
yang dilumurkan luka di dadanya sendiri. Ketika ia
menemukan obat itu, maka hatinya melonjak kegirangan.
"Kakek," katanya terbata-bata, "aku mempunyai obat. Obat
yang dapat menolong sementara memampatkan luka."
Kakek yang terluka itu tidak segera menyahut, tetapi
isterinyalah yang menjawab, "Benar, Ngger" Benarkah kau
mempunyai obat itu."
Tetapi alangkah kecewanya Wuranta ketika ternyata obat itu
tinggal sedikit. Terlampau sedikit untuk mengobati luka
lambung laki-laki tua itu. Meskipun demikian, obat yang sedikit
itu dapat mengurangi penderitaannya dan dapat mengurangi
darah yang menetes dari lukanya.
"Aku sudah cukup tua, Ngger. Luka-luka di tubuhku betapapun
kecilnya agaknya terlampau sukar untuk diobati. Lukaku kali
ini pun terlampau sukar untuk diharapkan akan dapat
sembuh." "Tidak, Kek, kau akan sembuh," desis isterinya.
"Adalah suatu kebahagiaan bagiku, bahwa aku masih cukup
kuat menahan diri sampai sehari ini. Dengan demikian aku
masih dapat bertemu dengan kau, Nek," katanya semakin
lambat. Nenek tua, isteri laki-laki yang terluka itu merapatkan
kepalanya di dada suaminya. Meskipun ia berusaha sekuatkuat
tenaganya, namun terasa air matanya meleleh
membasahi dada yang bidang, namun sudah mulai berkeriput
karena garis-garis ketuaan yang semakin banyak.
"Jangan menangis, Nek," desis laki-laki itu.
"Tidak," jawab isterinya "aku tidak menangis."
Sekali lagi keduanya terdiam. Wuranta yang berjongkok di
sampingnya setelah mencoba mengobati luka orang tua itu
pun terdiam pula. Namun demikian perasaan iba dan haru
menyentak-nyentak dadanya. Ia tidak dapat berbuat sesuatu
meskipun ia melihat seorang laki-laki tua telah berada di
ambang maut, di dalam pelukan isterinya yang telah tua pula.
"Apakah mereka tidak mempunyai anak?" bertanya Wuranta di
dalam hatinya. Wuranta mendekat ketika lamat-lamat ia mendengar, "Angger
Wuranta." "Ya, Kakek," jawab Wuranta.
"Apakah Hari memang sudah mulai gelap?"
"Ya, Kek. Senja telah hampir lampau."
"O," desisnya, "pandanganku telah menjadi gelap benar. Aku
sudah tidak dapat melihat apa pun."
Dada Wuranta menjadi berdebar-debar.
"Tidak, Kek," tangis perempuan tua, isterinya, yang sudah
tidak terbendung lagi, "kau akan sembuh. Aku tidak berani kau
tinggalkan. Aku tidak mau hidup seorang diri."
"Kau tidak akan hidup seorang diri, Nek," jawabnya laki-laki itu
perlahan sekali. "Angger Wuranta akan menemanimu.
Bukankah begitu, Ngger?"
"Ya, ya Kek," sahut Wuranta dengan serta-merta.
"Hem," laki-laki tua itu mencoba menghela nafas dallamdalam.
"Ngger," desisnya lambat sekali.
Wuranta berkisar semakin dekat. Dan dilihatnya lamat-lamat
dalam keremangan senja laki-laki itu bergerak sedikit.
"Pagi tadi, Ngger," katanya justru ketika aku sudah terbaring
karena luka, aku dapat mengenali apa yang kau katakana,
Ngger. Aku sudah merasakan betapa nikmatnya."
"Apa, Kek?" bertanya Wuranta tergagap.
"Tadi pagi, ketika aku masih sanggup menahan tubuhku
dengan tanganku, aku sudah dapat menikmati betapa
cerahnya pagi. Saat-saat yang tidak pernah aku nikmati
sebelumnya. Aku melihat betapa cahaya yang kehitamhitaman
berubah menjadi merah, kemudian kekuningkuningan
dan yang terakhir, ketika matahari muncul dari balik
dedaunan, memancarlah cahaya yang putih cerah."
"Ya, ya Kek. Pagi memang cerah."
"Aku tidak pernah menikmatinya. Aku tidak pernah mendapat
kesempatan itu. Tetapi kesempatan itu datang pagi ini. Pada
hariku yang terakhir. "
"Bukan yang terakhir," potong Wuranta.
Dada Wuranta berdesir ketika ia melihat laki-laki tua yang luka
parah di lambungnya itu tersenyum. "Jangan menutup mata
melihat kenyataan ini, Ngger. Tetapi kini, sejak aku melihat
cerahnya pagi, aku merasa terlampau dekat dengan Nafas
dari seluruh kehidupan. Aku merasa bahwa aku mendapatkan
sesuatu, Ngger. Dan aku merasa menjadi semakin dekat."
"Ya, Kek. Kau akan menjadi semakin dekat dengan Nafas
segala kehidupan. Dan kau akan sembuh."
"Bagiku sndah tidak ada bedanya, Ngger. Dan aku merasa
bahwa hidupku di dunia ini sudah akan berakhir, berakhir hari
ini. Tetapi aku sudah tidak perlu takut lagi. Aku sekarang
sudah tahu ke mana aku harus pergi."
Wuranta tidak menjawab. Tetapi hatinya menjadi semakin
berdebar-debar. Apakah laki-laki tua itu benar-benar akian
mati" Alangkah sedih hati isterinya. Ternyata mereka hanya
hidup berdua saja selama ini. Agaknya mereka benar-benar
tidak mempunyai seorang anak pun.
Tiba-tiba Wuranta teringat kepada Ki Tanu Metir. Ki Tanu
Metir seorang dukun yang baik. Seorang dukun yang
berpengalaman mengobati segala macam penderitaan.
Karena itu maka tiba-tiba ia berkata, "Kek, tahankanlah
sebentar. Aku akan memanggil seorang dukun yang baik,
yang akan bersedia menolongmu."
"Siapa?" "Ki Tanu Metir."
"Orang manakah dukun itu?"
"Menurut pendengaran ia berasal dari Dukuh Pakuwon. Ia
adalah seorang dukun kepercayaan Kakang Untara.
"Untara Senapati Pajang?"
"Ya, Kek." "Tak ada gunanya. Ia tidak akan bersedia mengoba aku."
"Ia pasti bersedia. Baginya akan terbuka kemungkinan yang
sama bagi semua penderita. Ia tidak memperhitungkan
siapakah penderita itu. Tetapi setiap penderitaan harus
mendapat pertolongan."
"Sudah aku katakana, Ngger, apabila aku sembuh pun, aku
pasti hanya akan naik ke tiang gantungan."
"Tidak, tidak Kek. Aku akan menjadi tanggungan, sebab kakek
telah menolong aku, melepaskan aku dari tangan Sidanti."
Wuranta tidak menunggu jawaban orang tua itu. Segera ia
berdiri dan berkata kepada isteri laki-laki yang terluka itu, "Aku
akan memanggilnya. Tunggulah disini, Nek. Berilah kakek
harapan supaya ia dapat menahankan diri, sementara aku
memanggil Ki Tanu Metir."
Perempuan tua itu mengangguk lemah. Dari matanya masih
saja meleleh butiran-butiran air mata yang bening.
Wuranta itu pun kemudian melangkah dengan tergesa-gesa.
Ketika terlihat olehnya prajurit pengawal, maka ia berkata,
"Jangan kau ganggu mereka."
"Mereka harus segera dikumpulkan di antara orang-orang
yeng terluka." jawab prajurit itu.
Wuranta mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling
dilihatnya nenek tua itu masih memeluk suaminya sambil
menangis. Karena itu maka ia pun kamudian menjawab,
"Jangan. Laki-laki itu jangan disentuh."
"Kami mendapat perintah," jawab prajurit itu.
"Khusus bagi laki-laki tua itu. Ia adalah kakekku. Aku
sendirilah yang akan mengobatinya. Kemudian terserah
kepadamu, apakah yang seharusnya kau lakukan
terhadapnya." Prajurit itu terdiam sejenak. Kawan-kawannya yang
mengumpulkan orang-orang yang terluka serta
mengumpulkan mayat-mayat telah hampir selesai. Sebagian
dari mereka kini sudah mulai memilih, memisahkan mayatmayat
orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang dari
prajurit-prajurit Pajang. Mayat prajurit-prajurit Pajang yang
gugur mereka kumpulkan semuanya di halaman banjar
padepokan Tambak Wedi. "Nah, tolong," berkata Wuranta kemudian, "awasi kedua orang
tua itu. Jangan diganggu dan jangan dipindahkan dahulu. Aku
akan memanggil Ki Tanu Metir."
Prajurit itu tidak sempat menjawab. Wuranta segera
melangkahkan kakinya menuju ke banjar padepokan.
Namun sejenak langkahnya menjadi ragu-ragu. Ia tidak ingin
bertemu dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Ia sudah
menolak ajakan Ki Tanu Metir untuk pergi ke banjar.
"Hem," Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Kini ia berdiri
selangkah dari dinding belakang banjar padepokan. Sekali lagi
ia dicengkam oleh keragu-raguan.
"Tidak," desisnya, "aku tidak akan pergi ke banjar itu. Aku
tidak ingin bertemu dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah.
Aku tidak ingin datang kepada Untara. Biarlah ia yang dahulu
mencari aku. Tidak."
Wuranta melangkah selangkah surut. Ketika ia memutar
tubuhnya, maka terhalang kembali di ruang matanya, seorang
laki-laki tua yang terbaring di emper rumah di halaman
sebelah. Terbayang pula seorang perempuan tua yang
menangisinya. Perempuan yang tidak sadia bersedih karena
suaminya berada di ambang pintu maut, tetapi perempuan itu
juga dicengkam oleh ketakutan pada hari-harinya sendiri. Hariharinya
yang mendatang. Kini Wuranta itu berdiri seperti sebatang tonggak mati. Ia
benar-benar berada di dalam keragu-raguan yang sangat.
Apakah ia harus menemui Ki Tanu Metir di banjar untuk
memintanya mengobati kakek tua yang terluka itu, atau tidak.
Kalau tidak, maka laki-laki itu pasti akan mati, tetapi kalau ia
melangkah terus ke banjar padepokan, maka hatinya pasti
akan menjadi semakin pedih.
Dalam kebimbangan itu tiba-tiba Wuranta mendengar tangis
seorang perempuan. Ia terkejut. Namun kemudian disadarinya
bahwa tangis itu bukan tangis perempuan tua yang menangisi
suaminya. Tangis itu datang dari banjar padepokan. Namun
tangis itu telah mempertebal ingatannya tentang perempuan


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tua yang duduk bprsimpuh di samping suaminya yang telah
berada di ujung maut. Dengan demikian maka pergolakan perasaan di dada Wuranta
menjadi semakin dahsyat, dibakar oleh kebimbangan. Sekalisekali
ia menggeram. Dan kemudian berdiri lesu dengan
kepala tertunduk dalam-dalam.
Senja semakin lama menjadi semakin kelam. Perlahan-lahan
angin lereng yang silir bertiup mengusap tubuhnya.
Tiba-tiba Wuranta itu menggeretakkan giginya. Sambil
mengepalkan tangannya ia menggeram, "Aku akan menemui
Ki Tanu Metir. Persetan dengan Agung Sedayu, Sekar Mirah,
Kupu Kupu Mata Dewa 1 Pendekar Mata Keranjang 25 Bidadari Penyebar Cinta Ratu Maksiat Telaga Warna 1
^