Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 7

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 7


seharusnya tidak berkelahi. Tetapi mereka harus
menjadi laki-laki jantan yang mampu menempatkan dirinya
dalam segala keadaan. Ia harus menjadi seorang yang dapat
melakukan pengabdian dalam segala bentuk. Mereka harus
menghindari segala bentuk kekerasan, namun merekapun
harus dapat melenyapkan kekerasan. Kekerasan yang
bertentangan dengan rasa pengabdiannya. karena itu
merekapun harus dibekali pula dengan ilmu yang mungkin
akan berguna bagi pengabdian mereka. Melawan kejahatan,
bukan untuk sebaliknya"
Apabila demikian, maka ibunya segera memeluknya sambil
mengusap air mata. Bisiknya "Biarlah pekerjaan itu dilakukan
orang lain. Tetapi bukan anakku. Kekerasan akan dapat
berakibat buruk perkelahian dapat meneteskan darah. Aku
tidak mau kehilangan lagi"
Ayahnya tidak membantah lagi. Bahkan ayahnya selalu
berkata dengan lembut "Maafkan aku nyai. Aku masih selalu
ingat pada masa-masa mudaku"
Tetapi kalau ia kemudian keluar dari bilik ibunya, Untara,
kakaknya berkata kepadanya "Ibu sekarang berubah. Ibu
dahulu ikut berbangga kalau ayah berhasil melenyapkan
kejahatan. Meliindungi orang-orang lemah dari penindasan.
Ibulah yang sering menggosok pedang ayah dengan minyak
dan getah-getahan untuk menjadikan pedang ayah mengkilat
seperti bersinar. Dan ibu pulalah yang menggosok busur ayah
dengan angkup kayu sehingga busur itu menjadi gemerlapan"
Suasana yang demikian itulah yang kemudian
membentuknya menjadi seorang yang kerdil. Ibunya yang
selalu memanjakannya dan menakut-nakutinya dengan segala
macam cara. Menyekapnya dalam pelukannya. Apabila ia
bertanya "Ibu, bukankah ibu dahulu berbangga atas
kejantanan ayah?" Maka ibunya akan menjawab "Sebuha
mimpi yang menakutkan anakku. Itu terjadi pada masa-masa
ayahmu masih muda. Ternyata kini ayahmupun
menyadarinya. Bahwa tak ada yang dapat dicapainya dengan
pedang ditangan. Tak akan ditemui ketentraman dan
kedamaian dihati: dan ayahnyapun pernah pula
mengatakannya demikian. Namun menurut ayahnya, dunia
masih tetap sepeti keadaannya. Parah, karena kejahatan,
nafsu, kebencian, dan segala macam bentuk kekerasan,
karena itu maka segala itu harus mendapat imbangan. Tetapi
harus memiliki landasan yang berlawanan. Dan landasan itu
adalah cinta kasih antar sesama. Kalau sekali-sekali harus
digenggamnya tangkai pedang, maka haruslah dilandasi pula
dengan cinta kasih. Untuk menegakkan sendi-sendi kehidupan
manusia dan kemanusiaan berdasarkan cinta kasih itu.
Dan terjadilah benturan-benturan perasaan didalam dada
Agung Sedayu. Ia menjadi seorang penakut karena ibunya,
namun angan-angannya kadang-kadang membumbung tinggi
dalam sifat-sifat kejantanan dan kesatriaan.
Perasaan-perasaan itulah yang kini sedang saling
mendesak. Seorang jantan tidak boleh membiarkan dirinya
dihina tanpa sebab. Seorang jantan harus mempertahankan
namanya demi kebenaran seperti mempertahankan
nyawanya. Kalau nama itu lenyap, maka biarlah lenyap pula
nyawanya. Tetapi dilain pihak, betapa tiba-tiba lututnya
menjadi gemetar apabila ia dihadapkan pada persoalanpersoalan
yang dapat menimbulkan pertentangan.
Agung Sedayu yang kini sedang berdiri diarena itu masih
mendengar tepuk tangan yang semakin lama menjadi semakin
surut. Dilihatnya pula, pamannya sedang berbicara dengan
beberapa orang. Diantaranya Ki Demang Sangkal Putung dan
Citra Gati. Agaknya mereka sedang sibuk mencari
kemungkinan untuk membua sasaran yang lebih sulit dari
sasaran-sasaran yang pernah dibuatnya. Ketika ia berpaling,
dilihatnya Sidanti berdiri dengan angkuhnya. Dengan acuh tak
acuh anak muda itu melihat Widura yang sedang sibuk itu.
Sekali-sekali Sidanti itu memandang berkeliling lapangan dan
melambaikan tangannya menyambut lambaian tangan anakanak
muda yang mengaguminya. Agung Sedayupun kemudian memandang sekeliling
lapangan. Orang-orang berjejal-jejal itu seperti sudah tidak
sabar lagi menunggu. Beberapa orang yang sudah berteriakteriak
dan dengan tidak sabar mereka melambai-lambaikan
tangan mereka. Ketika dilihatna Sekar Mirah, maka dada
Agung Sedayu itupun berdesir. Gadis itu tersenyum
kepadanya. Senyum yang aneh "Ah" katanya dalam hati.
"Baru tadi aku lihat ia tersenyum dan memuji-muji Sidanti".
Namun gadis itu mempunyai kesan yang aneh didalam
hatinya. Tiba-tiba timbullah keinginannya agar Sekar Mirah itu
selalu tersenyum kepadanya, tidak kepada Sidanti.
Sorak sorai ditepi lapangan, serta senyum Sekar Mirah itu
agaknya berpengaruh juga dihati Agung Sedayu. Ternyata
didalam hatinya yang kerdil itu tumbuh juga keinginannya
untuk mempertahankan namanya.
"Sidanti itu pasti tidak akan mendendam" pikirnya "Ia
seharusnya bersikap jujur. Kalah atau menang. Akupun
demikian juga. Namun aku mengharap untuk memenangkan
pertandingan ini. Seandainya, ya seandainya Sidanti itu marah
kepadaku, biarlah paman Widura menyelesaikannya"
karena itulah maka kemudian Sedayu berketetapan hati
untuk berbuat sebaik-baiknya. Akan ditandinginya apa saja
yang akan dilakukan oleh Sidanti. "Tetapi seandainya aku
mampu" desanya didalam hati.
Widura masih sibuk berbicara dengan Ki Demang Sangkal
Putung. Agaknya mereka belum menemukan cara yang paling
baik untuk mengadakan pertandingan berikutnya.
Sidanti yang berdiri disamping Agung Sedayu itupun
menjadi tidak sabar. Ia ingin segera mengakhiri pertandingan
itu. Ia ingin segera mendengar orang-orang disekitar lapangan
itu bertepuk gemuruh untuknya. Dan ia ingin anak-anak muda
Sangkal Putung melambaikan tangannya kepadanya dan
mengelu-elukannya, mengikutinya dibelakang sambil
memujinya sampai dikademangan. Dan lebih dari itu, ia ingin
Sekar Mirah itupun berjalan disampingnya sambil mengumpati
Agung Sedayu yag ternyata tidak mampu melampaui
kecakapannya. Karena itu, maka anak muda yang sombong itu tiba-tiba
bereriak "Kakang Widura. marilah kita akhiri prtandingan ini
supaya kita tidak berlarut-larut, membidik sasaran yang terlalu
baik seperti perlombaan anak-anak saja. Biarlah sekarang aku
dapat menganjurkan cara yang baik"
Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Swandaru, dan orangorang
yang sedang sibuk berpikir itupun berpaling kepadanya.
Dengan ragu-ragu Widura berkata "Apakah cara itu?"
Seklai Sidanti berpaling kepada Agung Sedayu, kemudian
katanya "Namun terserah juga, apakah adi Sedayu sanggup
melakukannya. Kalau tidak, biarlah aku mempertunjukkan
permainan itu sendiri. Dengan demikian pemenang
pertandingan ini segera dapat ditentukan"
"Ya" sahut Widura "Tetapi bagaimanakan cara itu?"
Sidanti tersenyum. jawabnya "Agak sukar dimengerti.
Tetapi aku pasti dapat melakukannya". Sidanti itu berhenti
sebentar. Sengaja ia membiarkan orang-orang yan
gmendengar kata-katanya itu menjadi semakin bernafsu untuk
mengetahuinya. Baru sesaat kemudian ia berkata "Cara yang
pasti akan menarik perhatian"
"Ya" sahut Citra Gati tidak sabar "Jangan melingkar-lingkar.
Sebutkan cara itu" "Jangan tergesa-gesa kakang Citra Gati. Kau pasti akan
keheranan. Melihatpun kau tak akan dapat mengerti, apalagi
melakukannya" Citra Gati tersinggung karenanya. Maka jawabnya lantang
"Jangan sombong anak muda. Kau masih belum mampu
mengalahkan Macan Kepatihan dipertempuran, dan
melampaui lawanmu diarena pertandingan ini"
Sidanti mengerutkan keningnya. Tetapi dengan cepat
Widura menengahinya "Nah baiklah. Marilah kita mulai. Aku
setuju dengan cara apapun yang kehendaki, asal masih dalam
batas kemungkinan dan tidak berbahaya. Kalau Sedayu tidak
sanggup melakukannya, maka ia dapat dianggap kalah"
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kembali ia
tersenyum dan sekali lagi ia memandang wajah Agung
Sedayu. Kini Agung Sedayulah yang menjadi acuh tak acuh.
Apapun cara itu, ia akan menerimanya. Kalau masih mungkin
dilakukan oleh Sidanti maka iapun akan mempunyai
kemungkinan yang sama. Citra Gati masih bersungut-sungut, bahkan katanya dalam
hati "Widura terlalu memanjakannya, sehingga kepentingan
kemenakannya sendiri sama sekali tidak diperhatikannya"
Dalam pada itu terdengarlah Sidanti berkata "kakang
Widura, perintahlah salah seorang melepaskan anak panah
menyilang lapangan ini melambung keudara. Nah, biarlah
kami mencoba mengenainya"
Widura tertegun mendengar pendapat itu. Apalagi Ki
Demang Sangkal Putung. Bahkan sesaat Citra Gatipun
terbungkam, namun kemudian bergumam lirih "Aneh, benarbenar
aneh" Sidanti melihat orang-orang itu menjadi keheranan. Karena
itu, maka ia menjadi semakin menengadahkan dadanya.
Dengan lantang ia berkata "Marilah, sebelum senja. Supaya
aku masih dapat melihat anak panah yang terbang diudara itu"
Widura tidak dapat berbuat lain dari menyetujuinya.
Meskipun demikian sekilas ia menyambar wajah Agung
Sedayu dengan pandangan matanya. Namun dilihatnya anak
muda itu masih acuh tak acuh saja. Sehingga dengan
demikian maka Widura itupun tidak berkata apapun
kepadanya. Sidanti yang melihat Agung Sedayu sama sekali tidak
terperanjat mendengar usulnya itu, maka ialah yang menjadi
heran. Apakah anak itu tidak mendengar, atau anak itupun
akan acuh tak acuh terhadap pertandingan berikutnya. Dan
teka-teki itu ternyata telah mendebarkan jantung Sidanti.
Meskipun demikian, ia masih dapat berteriak nyaring didalam
hatinya "Ayolah Agung Sedayu, yang merasa menjadi
pemanah terbaik di Sangkal Putung, tandingilah Sidanti."
Widura itupun km mengumumkan cara yang akan ditempuh
atas usul Sidanti. belum lagi mereka mulai dengan
pertandingan itu, maka lapangan itu telah menjadi gempar.
Para penonton yang keheran-heranan itu telah menyambut
pengumuman Widura dengan tepuk tangan dan sorak sorai
yang bergelora. Hudayalah yang mendapat tugas untuk melepaskan anak
panah menyilang garis bidik Sidanti dan Agung Sedayu. Ia
sendiri tidak dapat mengerti, bagaimana cara anak-anak muda
itu akan membidikkan anak panahnya. Namun Hudaya itu
bergumam pula didalam hatinya "Bukan siatu hal yang tak
mungkin. Sebab laju anak panah itu dapat diperhitungkan"
Tetapi kemudian Swandarupun menjadi gelisah. Ialah yang
pertama-tama berteriak-teriak sepanjang jalan, bahwa bukan
Sidantilah pemanah terbaik di Sangkal Putung. Namun
sekarang ia mendengar sendiri usul Sidanti itu. Memanah
sebatang anak panah yang melaju diudara, tentu lebih sukar
mengenai sasaran kepala orang-orangan itu. Karena itu ia
masih belum dapat menebak, apakah Agung Sedayu dapat
juga berbuat sebaik Sidanti. Kalau kemudian Agung Sedayu
tak mampu menandingi Sidanti, maka iapun pasti akan
mendapat banyak kesulitan. Agung Sedayu pasti akan marah
padanya dan Sidanti akan semakin mentertawakannya.
Karena itu, maka Swandaru itupun mendekati Agung
Sedayu yang berdiri tegak ditempatnya. Bisiknya perlahanlahan
"Bagaimanakah tuan, apakah tuan mungkin juga
berbuat demikian?" Agung Sedayu menggeleng lemah, jawabnya "Entahlah
Swandaru" Swandaru menjadi semakin gelisah. Dalam pada itu,
Hudayapun telah siap pula. kini Widura sendirilah yang
memegang bende untuk memberi tanda kepada Hudaya,
kapan ia harus melepaskan anak panahnya.
Ketika kemudian Sidanti telah menganggukkan kepalanya,
maka dibunyikahlah bende itu. Dan Hudaya menarik tali
busurnya pula. sambil tersenyum ia membidik anak panah
yang terbang itu. Orang-orang yang berjejal-jejal ditepi
lapangan itu menjadi diam kaku seperti beratus-ratus patting
yang berjajar-jajar. Semuanya memandang kearah anak
panah Sidanti. Dan sesaat kemudian anak panah itu meloncat
dari busurnya. Cepat, melampaui kecepatan anak panah
Hudaya. Semua matapun kemudian seakan-akan terpancang
pada anak panah itu. Wajah-wajah yang tegang dan hati yang
tegang pula. Yang terjadi kemudian, betapa lapangan itu menjadi
menggelegar, seakan-akan seribu guntur meledak dilangit.
Tepuk tangan sorai sorai dan bahkan diantara mereka
melonjak-lonjak dan menari-nari. Anak-anak muda saling
berteriak-teriak dan orang-orang tua mengangguk-anggukkan
kepala mereka. "Luar biasa. Luar biasa" desisnya.
Citra Gati menggigit bibirnya, sedang Hudaya menggarukgaruk
kepalanya. Widurapun sesaat terpaku diam
ditempatnya. Semua mata melihat, anak panah Sidanti itu
seakan-akan menyongsong anak panah Hudaya dalam garis
silang. Dan pada suatu titik yang condong, anak panah Sidanti
berhasil mengenai ekor anak panah Hudaya, sehingga kedua
anak panah itupun kemudian terpelanting dan berubah
arahnya masing-masing. Ketika Sidanti berpaling kearah Sekar Mirah, dilihatnya
gadis itu melonjak-lonjak sambil mengacung-acungkan
tangannya. "Dahsyat" teriaknya. Sidanti tersenyum sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
dilambaikannya tangannya kepada orang-orang yang masih
saja berteriak-teriak tak jemu-jemunya. Betapa mereka
menjadi kagum. Seakan-akan mereka tak percaya, bahwa hal
yang demikian dapat terjadi. Dua batang anak panah saling
berkejaran diudara. Tetapi ternyata hal itu telah terjadi dihadapan mata kepala
mereka. Dan karena itu, maka merekapun menjadi takjub.
Gemuruh dilapangan itupun kemudian mereda, ketika
mereka melihat Widura mengangkat tangannya. Kemudian
dengan tangannya pula Widura memberi isyarat kepada
Hudaya untuk bersiap-siap. Kini pertandingan itu sampai pada


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penentuan terakhir. Semua orang itupun kini terpaku
memandang Agung Sedayu. Namun semua orang itupun telah
menjadi ragu-ragu pula. Apakah Agung Sedayu juga dapat
melakukannya" Swandaru yang berdiri dibelakang Agung Sedayu telah
menjadi gemetar karenanya. Ia sama sekali tidak menyangka
bahwa Sidanti itu mampu berbuat demikian menakjubkannya.
Dalam dada anak muda itupun kini menjalar kebimbangan
yang semakin lama semakin tebal. Karena itu, maka tubuhnya
telah menjadi basah oleh keringat dingin yang mengalir tak
putus-putusnya. "Apakah kau sudah siap Sedayu?" terdengar suara Widura
perlahan-lahan. Terasa pula pada nada suaranya, keraguraguan
terhadap kemenakannya itu.
Agung Sedayu itupun mengangguk perlahan. Jawabnya
"Sudah paman" Widura memandang kemenakannya itu dengan seksama.
Seakan-akan ia menyesal juga atas pertandingan yang
dilakukan itu. Kalau Agung Sedayu gagal, maka jiwanya yang
kerdil itu akan menjadi semakin kerdil. Ia akan menjadi
semakin merasa dirinya tak berharga. Sedang Sidanti telah
melakukan suatu permainan yang mengagumkan. Meskipun
demikian, pertandingan itu harus dilangsungkan. Kalah atau
menang. Sedayu harus menghadapinya dengan jujur.
Maka, setelah semuanya siap, dengan ragu-ragu Widura
memukul bendenya sebagai pertanda bahwa Hudaya harus
melepaskan satu anak panah lagi.
Perlahan-lahan Hudaya mengangkat busurnya. Semua
mata seakan-akan melekat pada anak panah itu. Dan sesaat
kemudian, anak panah Hudaya yang kedua lepas dari
busurnya, melambung keudara seperti anak panahnya yang
pertama. Kini semua mata dengan cepatnya berpindah ketangan
Agung Sedayu. Ternyata Agung Sedayu tidak membidik
perlahan-lahan seperti Sidanti. Ia tidak menunggu anak panah
Hudaya melampaui titik yang tegak lurus dihadapannya.
Dengan tangkasnya ia menarik tali busurnya kuat-kuat,
seakan-akan busur itu ingin dipatahkannya. Kemudian, semua
orang menjadi tegang karenanya. Kini anak panah itu
melontar dengan cepat, secepat petir menyambar dilangit.
Para penonton tidak mendapat kesempatan yang cukup untuk
melihat anak panah itu. Namun yang terjadi kemudian telah
memukau mereka. Bahkan karena itu, maka lapangan itu
menjadi sunyi senyap. Seandainya sebatang jarum terjatuh,
maka suaranya pasti akan mengejutkan seperti suara guruh.
Yang terdengar kemudian adalah suatu derak diudara.
Kemudian sepi kembali. Sesepi padang yang tak berpenghuni.
Beratus-ratus pasang mata tak sempat berkedip, sedang
beratus-ratus mulut menjadi ternganga karenanya.
Seperti orang bermimpi mereka melihat anak panah Agung
Sedayu secepat tati menyambar anak panah Hudaya tepat
ditengah-tengah. Demikian kerasnya anak panah Agung
Sedayu sehingga anak panah Hudaya menjadi retak ditengahtengah,
dan terlontar kesamping terbawa oleh anak panah
Agung Sedayu. *** Demikian kedua anak panah itu jatuh ditanah, mak semua
orang yang terpukau itu seakan-akan terbangun dari
mimpinya. Dengan serta-merta maka meledaklah sorak sorai
mereka. Seperti gemuruhnya gunung runtuh menimpa ombak
lautan yang dahsyat. Menggelegar beruntun susul menyusul.
Tidak saja anak-anak, namun orang-orang dewasa, anak-anak
muda Sangkal Putungpun berloncat-loncatan dilapangan itu.
Menari-nari dan melemparkan apa saja keudara. Capingcaping
mereka, ikat pinggang selebar telapak tangan, tongkattongkat
dan bahkan terompah-terompah mereka.
Swandaru yang berdiri dibelakang Agung Sedayu melihat
pula penturan kedua anak panah itu. Terasa dadanya menjadi
bergetar seakan-akan benturan anak panah itu terjadi didalam
rongga dadanya. Ia melihat pula kedua anak panah itu jatuh
ditanah. Dan dengan serta-merta, ia berlari sekencangkencangnya,
memungut kedua batang anak panah itu.
Sambil berlari-lari kembali anak yang gemuk itu berteriakteriak
sekeras-kerasnya seperti sedang mabuk tuak. Katanya
"Lihat, lihat. Anak panah paman Hudaya dikenai ditengahtengah
sehingga menjadi retak karenanya"
Widurapun menjadi terpaku ditempatnya. Terasa sesuatu
berdesir didadanya. Bahkan kemudian mulutnya seakan-akan
menjadi terbungkam. Dari tempatnya berdiri, ditatapnya wajah
Agung Sedayu. Dan seakan-akan terpancar dari wajah itu,
bayangan wajah ayahnya. Ki Sadewa., ipar Widura itu. Wajah
itupun tampaknya memancarkan kerendahan hati yang tulus.
karena itu maka timbullah iba hatinya, kalau selama ini anak
itu dibiarkannya kecemasan tentang nasibnya.dan tiba-tiba
pula terpancarlah janji didalam hatinya "Kalau aku mampu,
biarlah aku mencoba menjadikannya seorang anak muda
yang berhati jantan. Kecakapannya bermain panah,
ketrampilannya berolah pedang dan bahkan kekuatankekuatan
jasmaniah yang tersimpand didalam tubuhnya, pasti
akan memungkinkan anak itu melampaui anak-anak
sebayanya, bahkan akan dapat melampaui diriku sendiri"
Jang benar-benar tak dapat menahan perasaannya adalah
Sekar Mirah. Gadis itu benar-benar lupa akan dirinya. Seperti
kuda yang lepas dari ikatannya ia berlari kencang-kencang
kearah Agung Sedayu yang masih berdiri ditempatnya.
Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Terasa seseorang
menangkap tangannya dan menariknya.
"Apakah yang akan kau lakukan?"
Sekar Mirah berpaling. Dilihatnya ayahnya memandangnya
dengan tajam. Dan Sekar Mirahpun menundukkan wajahnya.
jawabnya "Tidak apa-apa ayah"
"Ingat Mirah" berkata ayahnya "Kau adalah seorang gadis"
"Aku tidak akan berbuat apa-apa ayah" sahut Sekar Mirah
sekali lagi. Ki Demang Sangkal Putung melepaskan tangannya sambil
berkata "Jangan menodai namamu sendiri. Bersoraklah kalau
kau mau bersorak. Berteriaklah kalau kau mau berteriak.
Namun ditempatmu. Tak perlu kau pergi mendekat. Baik
Sidanti maupun Agung Sedayu"
Sekar Mirah menggigit bibirnya. Namun dengan demikian ia
mulai menyadari dirinya, bahwa ia kini berada ditengah-tengah
ratusan orang yang menyaksikan pertunjukan itu. Karena itu,
ia harus lebih hati-hati membawa diri. Meskipun demikian ia
berkata juga "Ayah, aku hanya ingin mengucapkan selamat
atas kemenangan Agung Sedayu."
"Siapa bilang ia menang?" semuanya yang mendengar
pertanyaan itu menjadi terkejut, sehingga serentak mereka
berpaling. Ternyata mereka melihat Sidanti dengan wajah
yang merah membara. Dengan tajamnya ia memandang
Sekar Mirah yang masih berdiri disamping ayahnya. Agaknya
Sidanti telah mendengar Sekar Mirah memuji Agung Sedayu
dengan kemenangannya. Ketika Sekar Mirah melihat wajah Sidanti itu, hatinya
menjadi berdebar-debar. Namun ia merasa erhak berbuat
apapun sekehendaknya. karena itu, maka ia tidak mau
dibentak-bentak oleh Sidanti.
Tetapi sebelum ia menjawab, terasa ayahnya
menggamitnya sambil berbisik "Diamkan anak itu"
Sekar Mirah memandangi wajah ayahnya dengan kecewa.
Tetapi ia tidak bernai melanggarnya. Namun ternyata
terdengar jawab dari arah lain "Bukankah sudah, ternyata
bahwa bidikan Agung Sedayu lebih baik dari bidikanmu"
Warna merah di wajah Sidanti menjadi semakin menyala.
Apalagi ketika ia menyadari bahwa suara itu suara Swandaru.
demikian marahnya Sidanti sehingga untuk sesaat ia bahkan
menjadi terbungkam. Namun tubuh dan dadanya menjadi
bergetar. Agung Sedayu yang melihat wajah Sidanti itupun tiba-tiba
menjadi cemas pula. apakah anak itu akan menjadi marah"
Bahkan bukan saja Agung Sedayu, tetapi juga Widura menjadi
cemas. karena itu segera wajah melangkah maju.
Diangkatnya kedua tangannya tinggi-tinggi sambil berteriak
diantara sorak para penonton yang masih saja menggema,
katanya "Pertandingan sudah selesai. Kedua-duanya berhasil
mengenai panah-panah yang masih berada diudara. karena
itu maka kedua-duanya memiliki kecakapan membidik yang
sama. Dengan demikian dalam pertandingan ini tidak ada
yang menang dan tidak ada yang kalah"
Mendengar keputusan itu, sorak para penonton justru
menjad idiam. Mereka merasa aneh atas keputusan itu.
Meskipun benar, kedua-duanya dapat mengenai sasarannya,
namun terasa bidikan Agung Sedayu lebih tepat dari bidikan
Sidanti. karena itu menurut mereka Agung Sedayu dapat
dianggap memenangkan pertandingan ini. Bahkan hampir
bersamaan Hudaya, Citra Gati, Sendawa meloncat masuk
kelapangan. Yang mula-mula berkata adalah Citra Gati
"Apakah menilaian ini cukup adil?"
Widura mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan itu.
Pertanyaan itu adalah wajar dan bahkan didalam dirinya
sendiri, timbul pula pertanyaan semacam itu.
Namun demikian, tebaran pandangan Widura tidak saja
terbatas ditengah-tengah lapangan dan membiarkan
perasaannya berbicara. Pandangannya telah jauh melampaui
batas-batas yang dapat dilihatnya ditempat yang sempit itu.
Dilihatnya disuatu tempat Tohpati telah mulai menyusun
kekuatannya, dan ditempat lain Ki Tambak Wedi seakan-akan
selalu mengintipnya. karena itu, ia dengan pertimbangan yang
masak ia menjawab "Kita tidak menentukan, bagian manakah
yang harus dikenaik oleh pemanah-pemanahnya. Kita hanya
melepaskan anak panah keudara. Nah, salah seorang dari
para pemanah itu membidik ekornya, yang lain membidik tepat
ditengah-tengah. Dan keduanya mengenai tepat diarah yang
dikehendakinya. Bukankah dengan demikian kedua-duanya
telah berhasil?" Hudaya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil
menjawab "Kami menjadi saksi. Perasaan kami, aku dan para
penonton, mengatakan bahwa Agung Sedayu lebih baik dari
Sidanti." Widura mengerutkan keningnya. Ia benar-benar berada
ditempat yang sulit. Ia tidak mau melepaskan Sidanti. Tetapi
Hudaya, Citra Gati, Sendaya dan beberapa orang itu adalah
orang-orang yang menpunyai pengaruh yang kuat diantara
laskarnya. Sudah tentu ia tidak dapat bekerja berdua saja
dengan Sidanti, atau dengan satu dua orang yang lain.
Sementara itu, sementara Widura sedang sibuk berpikir
untuk memecahkan persoalan yang sulit itu, terdengar suara
Sidanti parau "Kakang Widura, pertandingan dapat diulangi.
Kita harus sampai paada penentuan, siapakah yang menang
dan yang kalah. Kita tidak boleh menjadi orang-orang banci"
"Bagus" teriak Hudaya, Citra Gati, Sendawa dan orangorang
lain "Ulangi" teriak mereka.
Widura benar-benar menjadi pening. Namun ia harus
mempunyai sikap. Maka katanya "Tidak. Pertandingan sudah
selesai. Tak ada gunanya kita ulangi. Aku sudah tahu pasti.
Hasilnya akan sama saja. Keduanya akan mendapat nilai
yang sama" "Tidak" teriak Sidanti. "Aku menuntut perlakuan yang adil.
Tidak ada yang menentukan arah bidikan pada panah yang
dilepaskan oleh kakang Hudaya. Tetapi meskipun aku
mengenai tempat yang aku kehendaki, namun orang-orang
menganggap bidikan adi Sedayu lebih tepat. Aku ingin
menghilangkan kesan itu"
Widura menggeleng. "Sudah aku katakan. Aku akan
menyelenggarakannya lain kali"
"Sekarang" teriak Sidanti pula.
Suasana segera meningkat menjadi semakin tegang.
Beberapa langkah Sidanti maju mendekati Widura dengan
wajah yang merah menyala. Sedang dari arah lain, Citra Gati,
Hudaya, Sendawa, Sonya, dan beberapa orang lagipun maju
pula. wajah mereka tidak kalah tegangnya dengan wajah
Widura sendiri. Sesaat Agung Sedayu menjadi bingung melihat
perkembangan keadaan. Ia melihat Sidanti menjadi marah,
dan dilihatnya pula Hudaya dan kawan-kawannyapun menjadi
tegang. Sehingga setiap kemungkinan akan dapat terjadi.
karena itu maka tiba-tiba berkata "Paman, seandainya
pertandingan ini diadakan lagi, maka aku tidak akan dapat
mengikutinya" Kata-kata itu seolah-olah merupakan penggerak yang
menggerakkan setiap kepala untuk berpaling kearahnya.
Sidantipun memandang wajah Agung Sedayu dengan
tajamnya. Dan bahkan Citra Gati yang tidak dapat menahan
perasaannya berteriak "Kanapa?"
Sedayu menjadi berdebar-debar. Jawabnya "Aku tidak
dapat melakukan permainan yang lebih baik. Seandainya
kakang Sidanti mempunyai cara yang lain, maka pasti aku
tudak dapat mengikutinya. Aku sudah sampai pada puncak
kecakapan yang ada padaku"
"Bohong" teriak Sidanti dan Hudaya hampir bersamaan,
meskipun maksudnya berbeda-beda, sehingga keduanya
menjadi terkejut karenanya. Namun yang meneruskan katakatanya
hanyalah Sidanti "Kau hanya akan mempertahankan
keadaan serupa ini. Dimana orang-orang mempunyai kesan
bahwa kau adalah pemanah yang lebih baik daripadaku"
Agung Sedayu menjadi bingung. karena itu ia tidak
menjawab. sehingga yang menjawab kemudian adalah Widura
"Sedayu berkata benar. Kalau Sidanti masih mungkin
melakukan permainan yang lebih baik lagi, maka Sedayu akan
kalah" "Tidak adil" teriak Citra Gati.
"Tidak adil" teriak Sidanti "Kesan orang-orang akan menjadi
semakin menguntungkannya. Seolah-olah ia sekedar
mengalah untuk memberi kesempatan kepadaku. Tidak.
Bukan perlakuan jantan bagi Sidanti. Sidanti tidak sekedar
ingin mendapat perlakuan yang cengeng Sidanti adalah
seorang anak muda yang jantan"
Kata-kata itu benar-benar berkesan bagi Widura. bahkan
Hudaya, Citra Gati dan yang lain-lainpun terdiam pula
karenanya. Betapapun mereka harus mengakui kelebihan
Sidanti daripada mereka, meskipun apabila mereka


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dihadapkan pada suatu keadaan yang memaksa, mereka
tidak takut pula melawan Sidanti.
Lapangan itu tiba-tiba menjadi hening. Dengan hati yang
semakin tegang, mereka, para penonton itu melihat keadaan
yang semakin tegang pula. Beberapa orang laki-laki telah
mendekat mereka. Dan membentuk sebuah gelang memagari
mereka yang sedang bertengkar. Yang berkata kemudian
adalah Widura tegas "Tak akan ada pertandingan lagi"
"Ada" sahut Sidanti.
Sekali lagi Widura menjawab lebih keras "Tidak!"
Tetapi tiba-tiba hati Widura itu berdesir. Ditengah-tengah
lingkaran orang-orang yang melihat keributan itu, tiba-tiba
terjatuh sebuah benda yang benar-benar mengejutkannya.
Sepotong besi yang lengkung hampir berbentuk lingkaran.
"Setan" Widura mengumpat didalam hati. "Ki Tambak Wedi itu
ada pula disini" Ketika ia memandang wajah Sidanti, dilihatnya anak muda
itu tersenyum. senyum yang sangat menyakitkan hati.
Sementara itu beberapa orang menjadi heran juga. Namun tak
seorangpun diantara mereka yang melihat, siapakah yang
telah melemparkan sepotong besi ditengah-tengah mereka.
Meskipun demikian, beberapa orang menjadi berdebar-debar.
Meskipun mereka idak tahu arti sepotong besi itu selain
Widura, namun mereka merasakan sesuatu yang tidak wajar.
Ternyata benda itu sangat berpengaruh bagi Widura. ia
tidak tahu pasti maksud Ki Tambak Wedi, namun ia dapat
menduga bahwa Ki Tambak Wedi telah memperkuat pendapat
muridnya. Dengan demikian maka Widura itu berpikir dan
berpikir sehingga kepalanya hampir meledak karenanya.
Ditinjaunya segenap segi-segi. Kalai ia mengadakan
pertandingan sekali lagi maka persoalannya tidak akan
terpecahkan. Apalagi Sidanti merasa bahwa ada semacam
perlakuan yang tidak wajar terhadapnya. Menang atau kalah,
Sidanti pasti akan kecewa. Kalau ia kalah, maka darahnya
pasti akan semakin menyala, tetapi kalau ia kalah, maka ia
akan menyangka bahwa Agung Sedayu tidak bersungguhsungguh.
Tetapi ternyata guru Sidanti itu telah ikut campur
pula. bagi Widura yang sebaik-baiknya adalah bubar. Pulang
ke kademangan. Namun Sidanti menolak dan gurunya
memperkuat. Sehingga untuk menjaga ketenangan
kademangan, apakah ia harus memenuhi permintaan Sidanti
yang juga merupakan permintaraan dari Hudaya, Citra Gati
dan yang lain-lain, meskipun dalam perhitungan yang
berlawanan" Widura menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia hanyut
oleh kehendak orang-orang yang sedang kehilangan
kejernihan pikiran itu. Hampir ia kehilangan ketetapan hati
sebagai seorang pemimpin.
Dalam keadaan yang demikian itu, ketika dada Widura
sedang bergetar karena benturan-benturan pertimbangannya,
maka sekali lagi orang-orang yang berdiri melingkar itu
terkejut. Kali ini mereka melihat sebuah cemeti kuda melenting
dan jatuh hampir menimpa Widura. Widurapun terkejut pula
karenanya. Tetapi tiba-tiba jantungnya serasa berhenti.
Dengan nanar ia memandang berkeliling. Namun yang
dilihatnya adalah wajah-wajah yang tegang dan penuh
kecemasan. Widura tidak berhasil melihat seseorang yang
dicarinya. Ia tidak berhasil menemukan orang yang dapat
disangkanya Kiai Gringsing. Namun ia pasti, bahwa orang
aneh itu hadir pula ditengah-tengah lapangan. Cemeti kuda itu
telah memberitahukan kepadanya, bahwa orang itu ada
didekatnya. Dengan demikian, maka pertimbangan-pertimbangan
Widura yang hampir condong dan roboh sama sekali itu itu,
seakan-akan menemukan kekuatannya yang baru. Ia tahu
benar maksud Kiai Gringsing itu. Dan ia percaya bahwa Kiai
Gringsing tidak hanya sekedar mengganggunya seperti
biasanya. Dengan cemetinya itu Kiai Gringsing pasti ingin
berkata kepadanya "Jangan hiraukan orang yang bergelang
besi itu, biarlah ia menjadi urusanku"
Dan kini sekali lagi Widura mengangkat wajahnya. ia
melihat Sidanti keheran-heranan melihat cemeti itu. Juga
Hudaya, Citra Gati dan yang lain-lain. Namun ketika ia
memandang Agung Sedayu dilihatnya wajah Agung Sedayu
tidak lagi sepucat tadi. Agaknya Agung Sedayupun mengenal
cemeti itu pula. dan tanpa disengaja, hatinya menjadi tenang.
Kiai Gringsing yang belum dikenalnya baik-baik itu, telah
mencengkam kepercayaannya, sehingga seakan-akan orang
aneh itu dapat dipakainya sebagai sandaran apabila terjadi
sesuatu. Ketegangan itu kemudian dipecahkan oleh suara Widura
tegas dan lantang "Tidak ada apa-apa lagi. Itulah
keputusanku!" Terdengar gigi Sidanti gemeretak. Betapa dadanya dibakar
oleh kemarahan. Dengan demikian, maka setiap orang di
Sangkal Putung dan setiap orang yang melihat pertandingan
itu, termasuk kawan-kawannya sendiri, akan tetap berkesan
bahwa Agung Sedayu telah mengalahkannya.
karena itu maka sekali lagi ia mencoba memaksakan
kehendaknya, katanya "Kakang Widura, aku minta
pertandingan diadakan lagi"
Widura menggeleng, namun sebelum ia menjawab
terdengarlah Citra Gati berkata "Apakah keberatannya
kakang. Marilah kita melihat keadaan dengan jujur. Siapa
yang kalah biarlah ia kalah dan siapa yang menang biarlah ia
menang. Setan atau malaikat. Dengan demikian kita melihat
kenyataan dengan pasti"
Widura mengerutkan keningnya. Dengan tajam ia
memandang Citra Gati. Jawabnya "Apakah tujuan kita berada
di Sangkal Putung ini" Apakah kita hanya sekedar ingin
mengetahui siapakah diantara kita yang paling sakti dan
paling cakap" Bahkan apakah cukup apabila kita menemukan
siapakah diantara kita yang paling benar dan paling jujur"
Sedang tujuan pokok dari perjuangan kita tidak selesai. Ayo,
katakan kepadaku, apakah dengan saling ribut diantara kita,
Tohpati dapat terselesaikan. Sisa-sisa laskar Jipang akan
dapat kita batasi kegiatannya, atau bahkan kita hancurkan.
Sekarang katakan padaku, apakah tujuan pertandingan
ulangan ini jujur pula, sekedar untuk mendapatkan
pemenangnya dengan kukur" Atau karena keinginan kita
sekalian untuk menunjuk kelemahan orang lain dan
menghinakannya?" Kata-kata itu benar-benar menusuk jantung Citra Gati.
Sehingga orang itupun kemudian menundukkan wajahnya.
demikian juga Hudaya, Sendawa yang bertubuh raksasa dan
Sonya yang kecil serta beberapa orang lainnya. Mereka
merasakan kebenaran kata-kata Widura itu. Sebenarnyalah
bahwa pertandingan ulangan itupun tidak dilakukan dengan
tujuan jujur. karena itu, maka merekapun menjadi terdiam
karenanya. Tetapi ternyata kata-katawi itu tanpa disengaja telah
menjadikan Sidanti makin marah. Ia merasa bahwa didalam
kata-kata itu tersembunyi pengertian-pengertian yang seakanakan
memastikan bahwa Agung Sedayu akan dapat
memenangkannya pula. pebih-lebih menurut anggapan Citra
Gati. karena itu, Sidanti tidak mau diam. Apalagi ketika
diingatnya bahwa gurunya ada pula dtempat itu. Katanya
"Kenapa kakang Widura takut melihat kenyataan seandaiknya
adi Sedayu itu tak mampu menandingi kecakapanku?"
Sekali lagi dada Widura berdesir. Namun ia harus menahan
diri. Ia tidak bileh hanyut dalam arus perasaannya, supaya
anak buahnya tidak menjadi berantakan karenanya. Tetapi
sebelum ia menjawab tiba-tiba meloncatlah seorang gadis
yang telah kehilangan pengamatan diri. Digoncanggoncangnya
tubuh Agung Sedayu sambil berteriak "Kenapa
tuan diam saja" Kenapa tuan tidak menyanggupinya dan
membuktikannya bahwa tuan dapat memenangkannya?"
Bukan main terkejutnya Widura dan Agung Sedayu sendiri.
Tetapi Hudaya, Citra Gati dan Sendawa sama sekali tidak
terkejut. Sejak tadi mereka melihat gadis itu menjadi gelisah.
Sekali-sekali ia maju, namun kemudian mundur kembali.
Mereka melihat gadis itu meremas-remas tangannya sendiri
dan bahkan menghentak-hentakkan kakinya. Tetapi yang
terkejut sekali adalah Ki Demang Sangkal Putung. Dengan
cepatnya ia meloncat dan menarik anaknya itu ketepi. Dengan
marahnya ia membentak "Mirah, apakah kau sudah menjadi
gila?" Sekar Mirah, gadis yang selalu hanyut menurut arus
persaannya itupun terkejut pula. karena itu ia menyesal,
namun hal itu telah terlanjur dilakukannya. Ketika ia mencoba
melihat wajah-wajah disekitarnya, maka seakan-akan mereka
itu memandangnya dengan heran, sehingga kemudian Sekar
Mirah itupun menundukkan wajahnya.
Tetapi apa yang dilakukan Sekar Mirah itu ternyata seakanakan
minyak yang ditumpahkan kedalam api yang menyala
didada Sidanti. Gadis itu benar-benar telah menggelaplan
matanya. Gadis yang selalu mengganggu perasaannya itu.
karena itu tiba-tiba ia berteriak "Aku akan melangsungkan
pertandingan. Disetujui atau tidak disetujui. Tidak ada sasaran
yang lebih baik yang harus kita kenai. Ayo Sedayu bersiaplah.
Sasaran itu adalah kita masing-masing!"
Kata-kata Sidanti itu seperti guruh yang menyambar setiap
telinga yang mendengarnya. Kata-kata itu jelas mereka
mengerti maksudnya. Bukankah dengan demikian Sidanti
telah menjerumuskan dirinya dalam suatu perang tanding
dengan senjata panah"
Belum lagi gema kata-kata itu lenyap, terdengar Sidanti itu
berkata pula "Kita tentukan cara-cara menurut kehendak kita
sendiri. Jangan hiraukan orang lain kalau kau jantan. Kita
berdiri beradu pungung. Kita melangkah maju masing-masing
sepuluh langkah. Kemudian siapakah diantara kita yang paling
cepat memutar tubuh kita, membidikkan anak panah dan
mengenai kepala lawan, itulah yang menang. Kita akan tahu
dengan pasti, siapakah yang lebih baik diantara kita. Sebab
yang kalah dapat segera ditandai, mati"
Denyut nadi Sedayu terasa berhenti karenanya. Tantangan
itu tak disangka-sangkanya. karena itu betapa tiba-tiba terasa
lututnya menjadi gemetar. Mati. Kata-kata itu sangat
menakutkannya. Ia tidak pernah berpikir untuk dibunuh atau
membunuh. Apalagi dalam keadaan serupa itu.
Swandaru yang berdiri dibelakang Agung Sedayupun jadi
tergetar karenanya. Disadarilah kini, betapa jauh akibat yang
sudah terjadi akibat kelancangannya. Kalau terjadi sesuatu
atas mereka, apakah ia Agung Sedayu ataupun Sidanti, maka
itu benar-benar akan merugikan Sangkal Putung. Sidanti telah
berhasil menyelamatkan hidupnya pada saat ia melawan
Tohpati, dan Sedayupun selamat pula meskipun ia
berpapasan dengan pande besi Sendang Gabus, Alap-alap
Jalatunda berempat. Dan sekarang, salah seorang dari
mereka harus mati karena tangan keluarga sendiri. Dengan
demikian maka Swandaru itupun menyesal tak habis-habinya.
Tetapi ia sama sekali tidak tahu, bagaimana ia harus
memperbaiki kesalahannya. Apalagi sekali-sekali ia melihat
ayahnya memandanginya dengan penuh penyesalan pula.
Widura masih tegak seperti patung. Kata-kata Sidanti itu,
tak disangka-sangkanya. Juga Hudaya, Citra Gati dan kawankawannyapun
tidak menyangka. Namun Widura
memakluminya, bahwa Sekar Mirahlah sebab langsung dari
keputusan Sidanti itu. Ketika Widura itu memandang Agung Sedayu, ia melihat
anak itu gemetar. Beberapa orang lainpun melihat pula.
namun mereka mempunyai sangkaan lain. Seperti Sidanti
yang gemetar karena marah, maka merekapun menyangka
bahwa Agung Sedayu menjadi marah pula. namun
kemarahannya itu ditahannya, karena anak muda yang patuh
itu takut benar kepada pamannya. Dengan demikian maka
semua mata kini memandang kepada Widura, seakan-akan
semua menunggu keputusan apakah yang akan diambilnya.
Tetapi kepala Widura itu benar-benar akan pecah
karenanya. Ia kini tidak tahu, bagaimana ia akan
mengatasinya. Apakah ia sendiri harus mengambil keputusan
yang dapat berakibat dirinya sendiri yang harus berkelahi
seperti beberapa waktu yang lalu. Dan ternyata pula terdengar
Sidanti berkata "Kali ini aku tidak mau dihalang-halangi.
Siapapun yang mencoba mencegahnya, orang itulah yang
akan menjadi lawanku. Sekarang atau kapanpun"
Lapangan itu benar-benar dicengkam oleh ketegangan. Tak
seorangpun yang berani berkata sepatah katapun. Mereka
melihat wajah-wajah yang kaku. Widura, Hudaya, Citra Gati,
Agung Sedayu. Swandaru. Ki Demang Sangkal Putung. Sekar
Mirah dan Sidanti sendiri. Bahkan wajah Sidanti itu kini benarbenar
telah menjadi merah biru.
Widura yang tahu benar perasaan Agung Sedayu, menjadi
semakin bingung. Kalau saja anak itu berani dan
menghadapinya dengan tatag, maka ia yakin bahwa Sidanti
tak akan dapat mendahuluinya. Widura itu yakin benar, bahwa
anak-anak Ki Sadewa telah mewarisi keahliannya dalam
berbagai senjata bidik. Tetapi hati Agung Sedayu adalah hati
yang kerdil. Meskipun demikian, apabila keadaan memaksa ia
harus membesarkan hati anak itu. Ia harus mencoba
meyakinkah bahwa ia akan menang. Dan keputusan itu
akhirnya menjadi bulat didada Widura. Ia tidak melihat
persoalan lain lagi. Namun ia hanya ingin merubah tata cara
pertandingan itu. Tidak sampai mati. Dan yang harus dikenai
bukanlah tempat-tempat yang berbahaya. Namun apakah
Sidanti yang menjadi seolah-olah gila itu mau menerimanya
dan apakah meskipun sudah diperlunak itu Agung Sedayu
berani menghadapinya. Dada Widura menjadi semakin berdebar-debar ketika ia
mendengar Sidanti berteriak "Minggir. Pertandingan akan
dimulai" Ketika semua orang menyibak, maka Agung Sedayu
menjadi semakin takut. Dipandangnya wajah pamannya, dan
hampir-hampir ia berteriak memanggilnya. Hampir ia
kehilangan rasa malunya untuk sedikit saja mepertahankan
namanya yang selama ini menjadi semakin dikagumi.
Lingkaran yang mengitari mereka yang sedang dibakar
oleh ketegangan itu, semakin lama menjadi semakin luas.
Sementara itu Sidanti sudah bergerak setapak maju. Namun
Widura dengan wajah yang tegang kaku masih berdiri


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditempatnya. Ketika ia memandang wajah Sidanti, dilihatnya
wajah itu telah benar-benar menjadi sedemikian liarnya.
Dalam pada itu, Widurapun menyadari, bahwa Sidanti benarbenar
tak akan dapat diajak berbicara. Kehadiran gurunya
agaknya berpengaruh juga kepadanya. Sebab dengan
demikian ia menyangka, bahwa apa yang dikehendakinya
pasti akan terpenuhi. Tetapi Widura itupun memperhitungkan kehadiran Kiai
Gringsing. Ia tidak tahu pasti, apakah Kiai Gringsing akan
dapat mengimbangi kekuatan Ki Tambak Wedi apabila
diperlukan. Namun ia pernah melihat, tangan Kiai Gringsing itu
mampu meluruskan kembali sepotong besi yang melengkung
karena tangan Ki Tambak Wedi, sehingga untuk sementara,
maka ia dapat mengabaikan kehadiran guru Sidanti. Biarlah
Kiai Gringsing mengurusnya.
Ketika keadaan semakin meningkat, maka Widura tidak
dapat tetap berdiam diri ditempatnya. Ia harus berbuat
sesuatu. Kalau mungkin mengurungkannya. Kalau tidak,
apapun yang dapat mengurangi kemungkinan-kemungkinan
yang tak diharapkan. karena itu, maka dengan lantang ia berkata "Bagus,
pertandingan akan segera dimulai. Tetapi kita belum
menentukan peraturannya"
"Aku tidak memerlukannya" teriak Sidanti. Aku sudah
menetapkan peraturan itu"
"Apakah hakmu?" bertanya Widura.
"Akulah yang berkepentingan" jawab Sidanti.
"Aku yang berkuasa disini" sahut Widura tidak kalah
lantangnya "Aku akan membuat peraturan"
"Tidak" jawab Sidanti pula "Apapun yang akan kau lakukan,
aku tetap pada pendirianku. Aku akan membidik jantung
Agung Sedayu dan membunuhnya. Meskipun Agung Sedayu
tidak melawan" Dada Widura kini telah bergetar semakin cepat.
Sedemikian peningnya kepalanya, sehingga ia hampir muntah
karenanya. Kini ternyata Sidanti tak dapat diajaknya berbicara.
karena itu maka ia harus berbuat sesuatu. Adalah tidak adil
apabila dibiarkannya Agung Sedayu mati ketakutan.
"Apakah kau sudah tetap pada pendirianmu?" bertanya
Widura kepada Sidanti. "Jangan hiraukan aku" kemudian kepada Agung Sedayu ia
berkata "Aku akan berdiri dibelakangmu beradu punggung.
Aku mengharap seseorang menghitung sampai hitungan yang
kesepuluh. Nah, kemudian kau atau aku yang akan mati"
Widura telah benar-benar kehilangan kesempatan. Maka
tak ada yang dapat dilakukan kecuali mencoba
menyelamatkan Agung Sedayu. karena itu dengan langkah
yang panjang ia berjalan disamping Agung Sedayu. Widura
itupun berhenti sesaat. Ditatapknya wajah kemenakannya itu
dengan penuh iba. Namun dari mulutnya meluncurlah katakatanya
perlahan sekali "Matilah kau pengecut. Apapun yang
akan kau lakukan, kau pasti akan mati dilapangan ini. Satusatunya
jalan untuk menyelamatkan dirimu adalah melawan.
Melawan. Mendahuluinya, membidik dadanya, atau kepalanya
atau bahu kanannya. Kalau kau tak sampai hati untuk
membunuh, maka yang dapat kau kenai adalah tangannya
yang memegang busur itu. Secepatnya, sebelum panahnya
menembus otakmu. Kalau kau tak mampu melakukannya,
maka otakmulah yang akan dirobeknya dengan anak
panahnya, dan jangan mencoba menyebut nama Ki Sadewa.
Itu hanya akan menodai nama kakak iparku. Hanya mulut
yang jantan sajalah yang pantas menyebut namanya"
Mendengar kata-kata pamannya, dada Agung Sedayu yang
sudah gemetar menjadi semakin gemetar. Namun tiba-tiba
terasa sesuatu yang aneh dikepalanya. Ia akan mati. Dan
sebenarnya ia takut sekali kepada mati itu. Sedang kini, tanpa
diduganya ia dihadapkan pada kekuasaan maut. Namun
pamannya itu berkata "Satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan dirimu adalah melawan"
Kata-kata itu melingkar-lingkar saja didalam benaknya.
Betapa ia takut menghadapi lawannya, namun betapa ia lebih
takut lagi kepada maut. karena itu maka tiba-tiba ia
dahadapkan pada dua pilihan. Mati atau melawan.
Tubuh Agung Sedayu masih bergetar. Namun tiba-tiba ia
mengangkat wajahnya. dipandangnya wajah Sidanti yang
menyala. Sesaat getar didadanya menjadi bertambah cepat.
Namun ketakutannya kepada maut itu telah semakin
mendesaknya. Ia tidak mau mati, apalagi ditengah-tengah
lapangan dihadapan beratus-ratus orang, dan diantaranya
adalah Sekar Mirah.Terasa sesuatu bergolak didadanya. Dan
karena itulah maka tubuhnya menjadi semakin bergetar.
Namun kini ia menemukan suatu sikap untuk menyelamatkan
dirinya. Dan jalan satu-satunya adalah melawan. Tak ada
jalan lain. Kalau ia masih mungkin melarikan dirinya, maka ia
akan lari dan bersembunyi.
*** Namun ia tahu pasti, demikian ia melangkah, maka anak
panah Sidanti pasti akan hinggap dipunggungnya. karena itu
Agung Sedayu tidak berani melarikan diri.
Sedayupun terkejut ketika terdengar suara Sidanti
menggelegar ditelinganya "Ayo Sedayu. Siapkan busurmu"
Sedayu mengangkat wajahnya. dan tiba-tiba terdengar ia
berkata dengan suaranya yang bergetar "Swandaru, berilah
aku anak panah" Semua yang mendengar kata-kata itu terkejut. Dan
keteganganpun menjadi semakin memuncak. Mereka segera
akan menyaksikan suatu perang tanding antara dua anak
muda yang mereka angap memiliki kekuatan-kekuatan diluar
kekuatan kebanyakan orang, sehingga dengan demikian maka
perang tanding ini pasti akan menjadi sangat dahsyatnya.
Widurapun terkejut mendengar jawaban Sedayu. Namun
tiba-tiba dadanyapun bergelora. Ia menjadi terharu melihat
Agung Sedayu berusaha untuk mempertahankan hidupnya.
Tetapi meskipun demikian, perasaan khawatir merayaprayap
didalam dada Widura. meskipun Agung Sedayu
kemudian berusaha untuk menyelamatkan dirinya, namun
betapapun juga, hatinya yang kerdil pasti masih akan
mengganggunya. Dengan demikian, Widura kembali menjadi
ragu-ragu apakah Agung Sedayu akan berhasil
menyelamatkan dirinya. Tetapi seandainya terjadi sesuatu,
maka lebih baik apabila Agung Sedayu itu menghadapinya
secara jantan daripada mati seperti kelinci betina.
Swandarupun dengan tangan yang gemetar pula
menyerahkan sebatang anak panah kepada Agung Sedayu.
Betapa ia menyesal. Namun semuanya telah terjadi, dan kini
ia tinggal menunggu akibat dari perbuatannya.
Sementara itu Sidantipun telah memegang sebatang anak
panah pula. kini ia maju lagi beberapa langkah. Kemudian ia
berkata dengan lantang "Siapakah yang akan mengucapkan
hitungan sampai sepuluh?"
Lapangan itu menjadi hening seketika. Tak seorangpun
yang menjawab. karena itu Sidanti mengulangi lebih keras lagi
"Ayo, siapakah yang akan mengucapkan hitungan?"
Kembali lapangan itu tenggelam dalam kesepian. Gema
suara Sidanti itupun kemudian lenyap pula. sehingga dengan
demikian Sidanti menjadi semakin marah karenanya. Ia
merasa seakan-akan semua orang dilapangan itu sama sekali
tidak menghargainya. Karena itu tiba-tiba ia berkata "Ayo adi
Sedayu. Suapaya aku tidak disangka curang, kaulah yang
mengucapkan hitungan itu"
Agung Sedayu tidak dapat menjawab kata-kata itu. Ia
sedang sibuk berjuang melawan
perasaannya sendiri yang saling
berbenturan. Namun Sidanti
tidak menunggu Agung Sedayu
menjawab. ia langsung berjalan
mendekati anak muda itu dan
berdiri dibelakangnya beradu
punggung. Sementara itu, sepasang mata yang tajam diatara para
penonton, memperhatika nperkembangan keadaan dengan
seksama. Ia tersenyum ketika melihat Sedayu menerima
sebatang anak panah dari Swandaru. ia tersenyum pula ketika
melihat Sedayu menempatkan anak panah ditali busurnya.
Namun meskipun demikian, orang yang bermata tajam itu
dapat menilai apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh
Agung Sedayu. Seandainya Agung Sedayu itu berhati jantan,
maka kekalahannya tak usah dikhawatirkan. Namun didalam
dada orang itu bergolaklah perasaan seperti perasaan yang
tersimpan didalam dada Widura. dan karena itu pula ia
menjadi cemas akan nasib anak muda itu.
Dalam pada itu, Sidanti sudah tidak sabar lagi. Ia sudah
berdiri tegak dibelakang Agung Sedayu beradu punggung.
Namun Agung Sedayu masih belum mulai dengan
hitungannya. Sehingga Sidanti sekali lagi berteriak "Mulailah
adi Sedayu. Kalau tidak akulah yang akan menghitung, dan
aku akan melangkah menurut irama hitungan itu. Aku tidak
peduli apa yang akan kau kalukan, namun sesudah hitungan
kesepuluh aku akan melepaskan anak panahku ini"
Debar didada Agung Sedayu menjadi semakin cepat dan
cepat saja. Sedang mulutnya masih saja terbungkam. Ia
sengaja tidak mau mulai dengan mengucapkan hitungan.
Dibiarkannya Sidanti menghitungnya. Ia ingin dapat
memusatkan segenap kekuatan yang ada padanya untuk
menindas perasaannya. Perasaan yang selalu
mengganggunya. Bahkan kemudian dicobanya untuk
membulatkan tekadnya. " Kalau aku ingin menghindari
kematian, aku harus melawan. Menghentikan sumber gerak
dari terkaman kematian itu."
Ssidanti kemudian benar-benar tidak sabar lagi. Apalagi
ketika dilihatnya matahari telah semakin rendah diatas
cakrawala. Dengan agak silau Sidanti memandang punggungpunggung
bukit disebelah barat, sebagaimana ia menghadap.
Kemudian katanya "Lihat, matahari hampir terbenam."
Tetapi Agung Sedayu masih berdiam diri, sehingga Sidanti
yang telah kehabisan kesabaran itu berteriak "Aku akan mulai
dengan hitungan itu."
Anak muda yang sedang dibakar oleh nyala kemarahan itu
tidak menunggu lebih lama lagi. Maka terdengarlah suaranya
lantang "Satu" kemudian "Dua" dan sejalan dengan itu,
kakinyapun terayun maju, selangkah demi selangkah. Pada
saat yang bersamaan Agung Sedayupun bergerak pula,
setapak demi setapak. Tetapi tiba-tiba terdengar sebuah tawa yang lunak bergetar
diantara para penonton yang berjejalan itu. Meskipun
demikian suara itu telah mengejutkan setiap orang yang
berdiri dilapangan. Apalagi ketika diantara derai tertawanya
terdengar kata-katanya "Sidanti, ternyata kau curang."
Langkah dan hitungan Sidantipun terhenti pula. Mendengar
kata-kata itu nyala didalam dadanya serasa tersiram minyak.
Dengan serta-merta ia berpaling sambil berteriak "tidak. Aku
tidak curang" namun Sidanti tidak segera dapat melihat orang
itu. Orang yang telah mentertawakannya.
Sementara itu terdengar orang itu berkata pula "Kenapa
kau memilih arah itu" Bukankah dengan demikian kau
mengharap, bahwa apabila hitunganmu telah sampai hitungan
ke sepuluh, dan Agung Sedayu itupun berbalik maka sinar
matahari yang silau ini akan melindungimu"
"Gila" teriak Sidanti "Siapakah kau?" Sidanti benar-benar
tersinggung mendengar kata-kata itu. Memang, keadaan
itupun mendapat perhatiannya pula, dan bahkan
diperhitungkannya. Tetapi ketika seseorang menebak dengan
tepat, maka kemarahannya menjadi semakin menggelegak.
Bukan saja Sidanti namun Agung Sedayu,Widura, dan
bahkan setiap orang menjadi sibuk mencari orang yang
berkata demikian itu. Setiap orang dengan menegakkan
lehernya memandang kesatu arah, ketempat orang yang telah
menghentikan perang tanding yang mendebarkan itu.
Dan akhirnya mereka melihat juga. Melihat orang yang
berbicara itu sedang berjalan menyibak orang-orang yang
berdiri berjejalan dihadapannya.
Kata-kata orang yang belum diketahui itupun merupakan
sebuah singgungan pada perasaan Widura. Kenapa ia tidak
melihat ketidakadilan itu" Baru kemudian ia menyadari, bahwa
alangkah berbahayanya seandainya pertandingan itu
berlangsung. Demikian Agung Sedayu memutar tubuhnya,
maka segera ia akan segera menjadi silau karena matahari
sudah sedemikian rendahnya. Ternyata kemudian orang
lainlah yang memberi peringatan akan hal itu. Bukan dirinya
pemimpin laskar Pajang yang bertanggung jawab di Sangkal
Putung. Karena itu Widurapun segera ingin tahu, siapakah orang
itu. Dan orang itupun datanglah kepadanya. Semakin lama
menjadi semakin dekat menyusup diantara penonton yang
sengaja memberi jalan, sehingga akhirnya, muncullah orang
itu ditengah-tengah lingkaran.
Demikian yang muncul dari antara para penonton, maka
berdesirlah dada Widura. Betapa ia terkejut melihat
kehadirannya. Seorang anak muda yang sebaya dengan
Sidanti. Bertubuh kekar padat berwajah tenang dan terang.
Dengan sebuah senyum yang segar anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi sebelum Widura sempat berkata sesuatu karena
getar dadanya, terdengar Agung Sedayu seakan-akan
menjerit tinggi "Kakang. Kakang Untara. Kaukah itu?"
Untara, ia sebenarnyalah anak muda itu Untara, berpaling
kepada adiknya. Kini ia tertawa. Suara tertawanya masih
selunak seperti suaranya yang pertama-tama diperdengarkan.
Kemudian terdengar ia berkata "aku datang untuk
menyaksikan pertunjukkan yang diselenggarakan oleh paman
Widura" Sekali lagi dada Widura berdesir. Dan yang didengarnya
kemudian adalah suara ribut diantara penonton. Ternyata
mereka terkejut pula melihat kehadiran anak muda itu, apalagi
setelah Agung Sedayu menyebut namanya, Untara. Jadi itulah
orangnya yang bernama Untara, kakak Agung Sedayu.
Dengan demikian, maka kembali para penonton itu berjejalan
mendesak maju. Mereka ingin melihat wajah anak muda yang
namanya telah jauh lebih dahulu hadir daripada orangnya.


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dada Widura kini telah menjadi tenang kembali. Dengan
sebuah senyum yang tulus ia mendekati kemenakannya.
Diulurkannya tangannya sambil berkata lirih "Aku tidak dapat
mencegahnya" Untara menyambut uluran tangan pamannya. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata "aku senang
melihat perang tanding ini. Namun aku ingin melihat perang
tanding ini berjalan dengan sempurna"
"Suatu kekhilafan, Untara" sahut Widura.
Sekali lagi Untara tertawa. Wajahnya yang terang itu
kemudian memandang berkeliling. Setiap wajah yang
dipandangnya, maka tanpa sengaja, wajah itu mengangguk,
dan dengan rendah hati Untarapun menganggukkan
kepalanya pula. Sidanti yang melihat kehadiran Untara itu dadanya
berdentang pula seperti melihat hantu yang palin dibencinya.
Wajahnya yang merah membara itu seakan-akan benar-benar
telah menyala. Kini ia melihat Untara itu berdiri dihadapannya.
Sedang orang-orang disekitarnya telah mendesak maju
sekedar ingin melihat wajah Untara itu. Dengan demikian,
maka Sidanti itupun telah kehilangan segenap
pertimbangannya. Maka semua orang yang berada dilapangan itu tiba-tiba
terkejut ketika mereka mendengar Sidanti itu berteriak
"Minggir. Pertandingan akan tetap berlangsung terus. Jangan
hiraukan orang yang tidak tahu menahu persoalannya"
Untara mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada
Widura, maka Widura itupun memandangnya, seakan-akan
minta pertimbangan kepadanya.
Untara mengangkat bahunya, katanya "Kekuasaan
didaerah ini berada ditangan
paman Widura. silahkan. Aku
hanya ingin melihat apakah
pertandingan ini akan berlangsung dengan jujur"
"Jangan menyindir" teriak
Sidanti. "Aku tahu maksudmu.
Meskipun semula aku tidak
memperdulikan matahari itu,
namun seandainya hal-hal yang tak berarti itu harus
dipertimbangkan, baiklah kita
menghadap arah utara dan selatan".
Kembali terdengar Untara tertawa, sambil berkata "Jangan
marah Sidanti." Terasa kata-kata itu menusuk jantung Sidanti seperti
tusukan sembilu. Dengan menggeretakkan gigi ia berkata
lantang "Nah Sedayu. Kau dengar?"
Sedayu yang seakan-akan terpesona karena kehadiran
kakaknya itu, tiba-tiba seperti terbangun dari mimpinya. Ia
terkejut ketika ia merasa Sidanti mendorongnya. Dan
didengarnya sekali lagi Sidanti berteriak "Bersiaplah".
Seperti seorang anak yang mengharapkan sesuatu dari
bapaknya Agung Sedayu memandang wajah kakaknya. Dan
tiba-tiba dilihatnya kakaknya itu mengangguk kepadanya.
Hanya mengangguk, namun anggukan kepala itu seperti telah
mengalirkan suatu kekuatan baru didalam hatinya. Kehadiran
Untara yang tiba-tiba itu, benar-benar memperbesar hati
Agung Sedayu. karena itu, maka dengan gerak yang lebih
tenang kini ia berdiri menghadap keutara, sedang Sidanti
berdiri dibelakangnya menghadap keselatan.
Dan ketika kemudian Sidanti hampir mengulangi
hitungannya, terdengarlah Untara berkata "Biarlah aku
menolong kalian. Akulah yang akan menghitung sampai
bilangan kesepuluh" "Bagus" teriak Sidanti. "Mulailah"
Untara berjalan mendekati mereka yang telah berdiri
beradu punggung itu. Terdengar ia bergumam "Aku telah
melihat pertandingan ini sejak permulaan. Dan aku
mengagumi kalian yang telah melakukan permainan yang
aneh-aneh. Namun ternyata kalian hanya memanah bendabenda
mati. Sekarang kalian akan memanah benda-benda
yang hidup, yang mungkin mengelakkan diri dari kejaran anak
panah kalian. Benar-benar pekerjaan yang tidak terlalu
mudah" "Mulailah" potong Sidanti tidak sabar. Tetapi kata-kata
Untara itu seakan-akan memberikan petunjuk-petunjuk baru
bagi Agung Sedayu. Memberikan petunjuk bahwa dalam
perang tanding yang demikian, maka mereka diperkenankan
untuk mengelakkan serangan lawan.
Demikianlah maka akhirnya Untara itupun mulai dengan
hitungannya. Untara itu kini berdiri tegak. Sesaat ia memandang orangorang
yang melingkari mereka. Kemudian dengan tenang ia
berkata kepada para penonton "Mundurlah kalian. Jangan
berdiri diujung utara dan selatan. Kalau anak panah itu nanti
tidak mengenai sasaran, maka kalianlah yang akan terkena"
Penonton diujung utara dan selatan itupun mendesak
mundur. Mereka menjadi takut, kalau justru dada merekalah
yang akan tembus oleh anak panah-anak panah itu. Namun
setiap kata-kata Untara itu, semakin meyakinkan Agung
Sedayu, bahwa ia masih mungkin untuk menyelamatkan
dirinya dari maut. Ia masih mungkin mengelak, dan panahpanah
itu masih mungkin tidak mengenai sasaran.
Tetapi Sidanti menjadi semakin tidak sabar. Dengan
marahnya ia berteriak sekali lagi "He Untara. Apakah kau tidak
sanggup menghitung?"
"Baiklah" sahut Untara. "Sekarang bersiaplah"
"Aku sudah siap sejak kau belum menampakkan dirimu"
jawab Sidanti. Untara tersenyum. kemudian selangkah ia maju. Dan kini
mulailah ia menghitung "Satu"dua?"
Suasana meningkat menjadi semakin tegang, semakin
tegang, sejalan dengan bilangan-bilangan yang disebutkan
Untara. Untara sendiri sebenarnya menjadi cemas juga,
seperti Widura yang tegang kaku seperti patung batu. Namun
baik Untara maupun Widura, bahkan beberapa orang lain,
Hudaya, Citra Gati, Swandaru dan beberapa orang lagi,
ternyata berdoa didalam hatinya, setidak-tidaknya Sedayu
tidak menjadi binasa karenanya.
Kini bilangan-bilangan yan diucapkan Untara sudah
semakin tinggi. "Enam"tujuh?" Dan lapangan itu menjadi
semakin hening. Tetapi dalam pada itu, tekad didalam dada
Agung Sedayu menjadi semakin bulat. Ia tidak mau mati.
Dan akhirnya sampailah hitungan itu pada akhirnya. Seperti
bisul yang akan pecah disetiap ubun-ubun penonton,
terdegarlah Untara menyebut bilangan terakhir dengan suara
gemetar "Sepuluh "."
Sidanti yan dibakar oleh kemarahan, hampir tidak sabar
menunggu bilangan yang kesepuluh. Dan ketidak sabarannya
itu sama sekali tidak menguntungkannya. Demikian ia
mendengar Untara menyebut bilangan kesepuluh itu, dengan
serta-merta ia memutar tubuhnya sekaligus menarik busurnya.
Hanya sesaat ia membidikkan panahnya, dan panah itu
dengan cepatnya meluncur kedada Agung Sedayu arah kekiri.
Arah jantung. Tetapi Agung Sedayupun telah memutar tubuhnya pula. ia
tidak menyangka bahwa lawannya bertindak secepat itu. Ia
sama sekali belum pernah melihat, mengatahui dan apalagi
mengalami perang tanding semacam itu, sehingga karena itu
ia masih ragu-ragu untuk melakukannya meskipun tekadnya
untuk menghindari maut telah bulat didalam hatinya. karena
itu, ternyata Sidanti berhasil mendahuluinya.
Dan sebenarnya Sidanti adalah pembidik yang bail. Panah
itu dengan lajunya menuju kesasarannya dengan tepat. Dada
kiri Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu itupun sebenarnya bukan sebuah
patung. Didalam tubuhnya tersimpan berbagai macam ilmu
yang tidak dapat diabaikan. Namun ilmi-ilmu itu seakan-akan
tersimpan dalam kotak yang tertutup.
Kini ia melihat sebuah anak panah meluncur dengan
cepatnya, menuju kedadanya. karena itu, dengan gerak
naulriah maka Sedayu yang memiliki ketangkasan yang tinggi
itupun segera bergesar setapak sambil memiringkan
tubuhnya. Namun panah Sidanti terlampau cepat. Betapapun
cepatnya gerak Agung Sedayu, namun ia tidak mampu
menghindari anak panah itu sepenuhnya. Sehingga dengan
cepatnya panah itu mematuk lengan kirinya. Tetapi untunglah
bahwa anak panah itu tidak mengenai bagian yang penting
pada lengannya itu, sehingga anak panah itupun kemudian
bergeser dan jatuh disamping Agung Sedayu. Meskipun
demikian, maka segera sepercik darah mengalir dari luka itu.
Semakin lama menjadi semakin deras.
Tampaklah Agung Sedayu menyeringai menahan sakit.
Tetapi hanya sesaat. Ternyata darah yang mengalir dari
lukanya itu telah menghangatkan hatinya. Kini ia telah terluka,
dan ternyata demikianlah rasa sakit yang menggigit
pundaknya. Rasa sakit itu kini tidak saja ditakutkannya, namun
sudah dirasakannya. Dan rasa sakit itu ternyata tidak seperti
apa yang dibayangkannya. Darah yang mengalir dari lukanya
itu bukanlah pertanda akan kematiannya. Dan meskipun kini
darah itu telah mengalir, tetapi ia masih tetap berdiri tegak dan
hampir luka itu dapat diabaikannya. Tiba-tiba timbullah
perasaan heran didalam dadanya. Apakah hanya perasaan ini
yang harus ditanggungnya. Alangkah ringannya. Bahkan
berkatalah Agung Sedayu didalam hatinya "Jadi ternyata aku
tidak mati. Aku ternyata dapat juga membebaskan diri dari
kematian itu. Dan kini aku telah melakukannya. Perang
tanding" Terasalah sesuatu bergolak didalam dada Agung Sedayu.
Terasa seakan-akan ia telah melampaui suatu masa yang
tidak pernah dibayangkannya. Terasa seakan-akan ia telah
menerobos suatu batas yang selama ini mengungkungnya.
Dan sebenarnya dinding yang memagari Agung Sedayu kini
telah terpecahkan. Dan lenyaplah seluruh perasaan takutnya.
Kini Agung Sedayu itu tidak takut lagi kepada luka, kepada
darah dan kepada maut sekalipun. Sebab ternyata ia mampu
menghindari maut, apabila Tuhan belum menghendakinya.
"Ya" katanya dalam hati, sebagai seorang yang percaya
kepada Tuhan, akhirnya Sedayu itu menemukan keyakinan
"Aku tidak perlu takut mati. Sebab kematian adalah takdir
Tuhan. Ternyata kali ini aku telah bebas dari kematian itu,
karena Tuhan belum menghendakinya".
Bahkan kini Agung Sedayu mengangkat wajahnya.
dipandanginya Sidanti yang berdiri gemetar menahan marah,
duapuluh langkah dihadapannya. Ditangannya kini masih
tergenggam sebatang anak panah. Sedang Sidanti telah
melepaskan satu-satunya anak panahnya.
Ketegangan dilapangan itu segera sampai kepuncaknya.
Ddg tajamnya Agung Sedayu menandang lawannya. Sidanti,
yang dalam pandangan mata Sedayu, kini tidak lebih daripada
dirinya sendiri. Sidanti itu tiba-tiba bukanlah seorang yang
menakutkan lagi. Agung Sedayu, meskipun pundaknya telah terluka, namun
luka yang tidak begitu dalam itu sama sekali tidak
berpengaruh padanya. Kini ia dapat berbuat apa saja atas
lawannya. Betapapun tangkasnya lawannya itu, namun ia
mempunyai banyak waktu untuk membidiknya, menarik
busurnya dalam-dalam dan melepaskan anak panah secepat
tati. Dalam keadaan yang demikian, alangkah sulitnya untuk
menghindari, sebab setiap kali ia dapat melepaskan anak
panahnya dengan tiba-tiba.
Sidanti masih berdiri tegak seperti tonggak. Kini tubuhnya
bergetar semakin keras. Kemarahannya benar-benar telah
memuncak sampai keubun-ubunnya. Meskipun demikian ia
tidak gentar menghadapi panah Agung Sedayu. Dengan
kecepatannya bergerak ia yakin bahwa ia mampu menghindari
anak panah lawannya. Tetapi Agung Sedayu itu masih belum membidik lawannya.
Meskipun kini ia sudah dapat melepaskan diri dari sebuah
belenggu yang selama ini mengungkungnya dalam satu dunia
yang gelap, namun masih belum terlintas didalam anganangannya
untuk membunuh seseorang. Itulah sebabnya maka
ia masih berdiri dengan ragu.
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara Sidanti serak "He
Sedayu, apa yang kau tunggu?"
Agung Sedayu terkejut mendengar suara itu. Sekali lagi ia
menatap wajah lawannya dengan tajamnya. Wajah yang kras
dan penuh dendam. Namun, betapa ia menjadi muak melihat
wajah Sidanti, tetapi perasaan itu belum dapat memaksanya
untuk mencoba membunuh seseorang. Dan kembali Agung
Sedayu berdiri termangu-mangu.
Lapangan kecil itu kini benar-benar dikuasai oleh
kesenyapan yang tegang. Matahari dilangit menjadi semakin
rendah. Warna-warna merah dengan segarnya membayang
diujung-ujung pepohonan dan menyangkut iditepi-tepi
gumpalan mega dilagnit. Sekali-sekali tampak diudara burungburung
cangak berbondong-bondong terbang pulang
kesarangnya. Melintas dari arah barat ketimur.
Dalam kesenyapan itu, tiba-tiba terdengar suara Untara
dengan nada yang rendah "Agung Sedayu. Pertandingan ini
akan segera selesai apabila kau telah melepaskan anak
panahmu itu" Agung Sedayu menjadi semakin bimbang. Dicobanya untuk
menenangkan perasaannya. Dan dicobanya untuk
memandang dada Sidanti. Tetapi, kembali ia tidak dapat
memaksa dirinya untuk membunuh seseorang meskipun
orang itu telah bertekad untuk membunuhnya.
Yang terdengar kemudian kembali suara Untara "Agung
Sedayu, adalah tidak bijaksana untuk membunuh lawan yang
sudah tidak berdaya"
Agung Sedayu berpaling kepada kakaknya, seakan-akan ia
telah menemukan suatu penyelesaian yang baik bagi
perselisihannya. Ia dapat mengerti kata-kata kakaknya,
sebagaimana ia selalu mendengar cerita ayahnya dahulu,
bahwa penyelesaian dari persengketaan tidak harus ditandai
dengan kematian. Tetapi tanpa disangka-sangka, maka Agung Sedayu itu
mendengar suara Sidanti menggelegar "Agung Sedayu, aku


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukan pengecut yang minta kau kasihani. Ayo kalau kau
jantan. Cobalah membunuh Sidanti"
Agung Sedayu mengangkat keningnya. Namun Untara itu
berkata pula "Anak panah yang sebatang itu hakmu Sedayu.
Kemana saja kau bidikkan, maka perang tanding ini sudah
selesai. Dan semua persoalanpun selesai pula"
"Jangan turut campur Untara. Urusan ini sama sekali bukan
urusanmu" bentak Sidanti sambil menggertakkan giginya
karena marah. Tetapi Untara seakan-akan tidak mendengar kata-kata
Sidanti. Bahkan Widurapun kemudian berkata "Kau benar
Untara" Agung Sedayu masih tegak dengan penuh kebimbangan.
Ia kini telah berhasil menerobos dinding yang menyekapnya
dalam ketakutan. Namun ia masih belum dapat berbuat lebih
jauh daripada melihat kenyataan diri dan melihat kekuasaan
yang menguasai hidupnya dan hidup orang-orang lain. karena
itu, ia menjadi semakin bimbang. Membunuh adalah
perbuatan yang melawan kehendak Tuhan.
Dalam kebimbangan itu tiba-tiba Agung Sedayu melihat
serombongan brung cangak terbang rendah melintas
dilapangan. Dan tiba-tiba pula ia ingin melepaskan
ketegangan yang mencekam dadanya. Dengan serta-merta, ia
mengangkat busurnya. Dan sesaat kemudian satu-satunya
anak panahnya itu meloncat dengan cepatnya, menyambar
seekor cangak yang terbang dengan tenang dan perlahanlahan
diatasnya. Semua orang terkejut melihat perbuatan Agung Sedayu.
Mereka hanya sesaat melihat Agung Sedayu mengangkat
busurnya. Dan sesaat kemudian mereka sudah melihat,
seekor dari burung-burung cangak itu terpelanting dan jatuh
ditanah. Agung Sedayu sendiri terkejut melihat hasil bidikannya.
Cangak yang sama sekali tidak tahu menahu persoalannya itu
tiba-tiba jatuh menjadi korbannya. Namun, adalah lebih baik
melepaskan ketegangan didadanya dengan membunuh
seekor burung daripada membunuh Sidanti.
Tanpa diduga-duga sebelumnya, maka tiba-tiba semua
orang yang berdiri dilapangan itupun kemudian melepaskan
ketegangan yang selama ini mencengkam dada mereka.
Dengan serta-merta meledaklah sorak-sorai yang gemuruh
dengan dasyatnya, sedahsyat gunung Merapi itu meledak.
Mereka bersorak karena mereka melihat akhir dari perang
tanding itu tanpa jatuhnya korban. Mereka bersorak pula
karena mereka melihat ketangkasan Agung Sedayu.
Beberapa orang dari mereka bergumam "Alangkah
dahsyatnya anak muda itu"
Tetapi, bagi Sidanti, apa yang terjadi itu seakan-akan
merupakan tamparan yang langsung mengenai wajahnya.
karena itu, maka darhnya menjadi seakan-akan mendidih. Ia
sudah tidak ingat lagi apakah yang sebaiknya dilakukan.
Dengan gigi yang gemeretak ia meloncat maju sambil
berteriak "Perang tanding ini belum selesai. Aku tantang kau
dengan cara yang lain"
Teriakan Sidanti itu benar-benar mengejutkan. Semua
orang yang mendengar tertegun heran. Bahkan Widura,
Untara dan bahkan Agung Sedayu sendiri. mereka melihat
Sidanti dengan wajah yang menyala-nyala datang mendekati
Sedayu. Dilemparkannya busurnya ketanah, lalu berkata
"Agung Sedayu. Ada seribu macam cara untuk melakukan
perang tanding. Marilah kita pilih salah satu diantaranya. Tidak
mempergunakan jarak yang sejauh duapuluh langkah, tetapi
kita lakukan dalam jarak yang dekat"
Agung Sedayu menjadi bingung. Ia telah menghindari
kemungkinan yang lebih buruk dari perang tanding yang baru
saja dilakukan. Ia dengan sengaja tidak membidik lawannya
dengan anak panahnya. Tetapi kini bahkan ia dihadapkan
pada kemungkinan yang lebih jelek.
Namun dengan demikian, Hudaya, Citra Gati, Sendaya dan
orang-orang lain menjadi semakin muak melihat
kesombongan Sidanti. Hampir-hampir saja mereka tidak dapat
mengendalikan diri mereka pula. Tetapi yang maju kedepan
adalah Widura "Cukup Sidanti. Jangan membuat persoalan
menjadi lebih parah"
Tetapi dengan kasarnya Sidanti menyahut "Apa pedulimu.
Persoalan ini adalah persoalan antara Sidanti dan Agung
Sedayu" "Tetapi aku kali ini tidak akan mengijinkan" berkata Widura
pula. "Aku tidak perlu ijinmu" bantah Sidanti.
*** Widura itupun kemudian menjadi marah pula. meskipun
demikian ia tetap pada pendiriannya, bahwa ia tidak ingin
melihat orang-orangnya menjadi hancur karena menikam
dada sendiri, sementara Macan Kepatihan sudah soap untuk
menerkam mereka. karena itu maka katanya "Simpanlah
tenaga kalian. Marilah kita adakan perlombaan yang lain.
Kalau kalian tetap pada pendirian kalian ingin melihat
siapakah yang lebih unggul diantara kalian, nah perlihatkanlah
dalam perlawanan kalian atas Macan Kepatihan. Siapakah
yang mampu membunuh Macan Kepatihan, maka ialah yang
menang" "Aku tidak akan menunggu sampai kesempatan itu datang"
jawab Sidanti. "Biarlah kita melakukannya sekarang. Yang
menanglah yang kelak harus membunuh Macan Kepatihan.
Kalau tidak biarlah ia dibunuh saja sama sekali"
"Aku tidak mengijinkan" berkata Widura tegas-tegas.
"Persetan" teriak Sidanti. Kemudian kepada Agung Sedayu
ia berkata "Bersiaplah Agung Sedayu. Marilah kita bertempur
tanpa senjata. Kita akan sampai pada suatu kepastian,
siapakah yang akan mati diantara kita. Jangan berhenti
sebelum keputusan itu jatuh"
Dada Agung Sedayu itupun bergelora. Setelah darah
tertumpah dari luka dipundaknya itu, tiba-tiba Agung Sedayu
kini seolah-olah telah menemukan dirinya sendiri dalam nilainilai
yang sewajarnya. Karena itu tiba-tiba terdengar anak
muda itu menggeram. Dengan tatagnya ia berkata "Kalau itu
yang kau kehendaki Sidanti, marilah aku layani"
Kembali suasana menjadi semakin tegang. Widura benarbenar
terkejut mendengar jawaban Agung Sedayu. Jawaban
yang sama sekali tak disangka-sangka. Dan sebenarnya
memang Widura tidak tahu apa yang sudah bergolak didalam
dada Agung Sedayu. Setelah ia merasakan luka ditangannya,
seakan-akan tumbuhlah kepercayaannya pada diri sendiri,
bahwa Sidanti bukanlah seorang yang tak dapat dikalahkan.
Untara tersenyum didalam hati mendengar jawabann
Agung Sedayu. Katanya dalam hati "Kalau anak itu selalu ikut
saja bersama aku, maka tak akan ditemukannya kepercayaan
pada dirinya. Agaknya keadaannya selama ini telah memaksa
dirinya untuk mencoba menggantungkan nasibnya kepada diri
sendiri". namun meskipun demikian, Untara tidak
menghendaki perkelahian itu berlangsung. Ia dapat mengerti
sepenuhnya, apa yang sedang dijaga sebaik-baiknya oleh
Widura. karena itu, maka Untara itupun berkata "Agung
Sedayu. Tidak seharusnya setiap tantangan kau terima. Kau
dapat menolaknya untuk kepentingan yang lebih besar dari
kepentingan diri kita sendiri. Pertandingan hari ini
sebenarnyalah telah selesai. Laskar Pajang di Sangkal Putung
hanya diperkenankan melakukan perlombaan memanah.
Lebih daripada itu tidak. Bahkan kalian telah melakukannya
melampaui kebiasaan, dimana kalian mempergunakan diri
kalian untuk sasaran"
"Jangan ikut campur Untara" teriak Sidanti keras-keras.
"Kedatanganmu kemari sama sekali tidak kami harapkan.
Pergilah dan kalau ingin menonton, nontonlah. Jangan ribut"
"Sidanti" jawab Untara "aku mencoba melihat jauh seperti
yang dikatakan paman Widura. Jangan mempertajam
pertentangan diantara kita sendiri"
"Aku tidak perlu mendengar sesorahmu" bentak Sidanti.
"Jangan gurui aku. Aku tahu apa yang akan terjadi di Sangkal
Putung. Kau sangka tanpa Agung Sedayu pekerjaan di
Sangkal Putung ini tidak akan selesai?"
Untara menarik alisnya. Sebelum ia menjawab,
didengarnya Agung Sedayu berkata "Kakang, berilah aku
kesempatan" Untara menjadi heran pula mendengar tekad adiknya.
Bahkan kemudian Agung Sedayu itu berkata pula kepada
Widura "Paman, biarlah aku mencobanya"
"Tidak Sedayu" jawab Widura dan Untara hampir
bersamaan. Rupanya Agung Sedayu itupun menjadi kecewa. Ledakan
yang meronta-ronta didalam dadanya setelah selama ini
terkekang dalam suatu himpitan ketakutan, seakan-akan
sedang mencari salurannya. karena itu betapa tak terduga
arus yang melanda dada Agung Sedayu itu. Meskipun
demikian, Agung Sedayu adalah seorang anak yang patuh
kepada kakaknya sejak masa kecilnya. Karena itu, maka ia
tidak akan dapat memaksa seandainya kakaknya
mencegahnya. Tetapi Sidanti tidak menjadi reda karenanya. Seperti orang
gila ia berteriak-teriak "Jangan halangi aku. Siapa yang
menghalangi aku itulah lawanku. Aku bunuh ia tanpa sebab"
Widura mengangkat wajahnya memandang wajah Sidanti
yang telah benar-benar menjadi buas. Sekali lagi ia ingin
mencoba melunakkannya. Dengan hati-hati Widura melangkah maju sambil berkata
"Sidanti, sadarilah keadaanmu. Keadaan kita bersama di
Sangkal Putung ini. Jangan memandang keadaan dalam
suatu lingkungan yang sempit. Tetapi pandanglah seluruh
persoalan yang kita hadapi"
Namun agaknya kata-kata Widura itu sia-sia saja. Sidanti
telah menjadi seakan-akan wuru. Yang ada didalam benaknya
hanyalah kekerasan, perkelahian, dan membunun atau
dibunuh. karena itu ia menjawab "Jangan halangi aku"
Untarapun melihat, bahwa sama sekali tak ada
kemungkinan untuk dapat mengekang Sidanti. Karena itu
maka ia akan berusaha untuk menyingkirkan adiknya. Apabila
Agung Sedayu dapat dijauhkannya, dan perkelahian iu dapat
ditunda, maka nanti apabila kepala Sidanti telah bertambah
dingin, segala sesuatu akan dapat diselesaikannya dengan
baik. Karena itu, betapa kecewanya Agung Sedayu, namun ia
tidak dapat berbuat apapun ketika kakaknya menarik
tangannya dan membawanya meninggalkan tempat itu.
Tetapi sebelum Agung Sedayu dan Untara berhasil
menerobos lingkaran yang pepat itu terdengar Sidanti
berteriak "Jangan pergi pengecut. Tak ada gunanya. Aku akan
mengejarmu sampai keujung bukit Merapi itu sekalipun"
Namun Untara tak menghiraukannya. Didorongnya adiknya
dan disibakkannya orang-orang yang mengerumuninya.
Meskipun demikian Sidanti yang gila itu meloncat maju sambil
berteriak lebih keras lagi "Berhenti pengecut"
Widuralah yang kemudian kehabisan kesabaran. Ia sudah
menjadi sedemikian bingungnya mencegah perkelahian itu.
karena itu, tiba-tiba iapun berteriak nyaring "Sidanti, berhenti
ditempatmu. Aku adalah pimpinan laskar Pajang di Sangkal
Putung. Aku mempunyai wewenang untuk melakukan segala
kebijaksanaan disini. Aku perintahkan kau tetap ditempatmu"
Kata-kata itu menggelegar ditelinga Sidanti. Dengan
cepatnya ia memutar tubuhnya menghadapi Widura. namun
Widura benar-benar telah siap. Dan bahkan tiba-tiba Sidanti
itupun melihat Hudaya, Citra Gati, Sendawa dan bahkan
Swandaru meloncat maju. Tanpa berjanji mereka seakan-akan
telah mengpung Sidanti yang hampir menjadi gila itu.
Sidanti menggeram. Matanya yang buas menjadi semakin
buas. Ditatapnya orang-orang yang berdiri disekitarnya
seolah-olah hendak ditelannya bulat-bulat. Dengan
kemarahan yang seakan-akan hendak meledakkan dadanya
Sidanti berteriak "ayo, ayo. Majulah bersama-sama. Inilah
Sidanti, murid Ki Tambak Wedi"
Widura menatap wajah Sidanti yang menyala itu dengan
mata menyala pula. tiba-tiba saja ia berkata "Sidanti, apakah
kau sedang menunggu bantuan gurumu" Jangan kau
harapkan itu, sebab disini hadir pula orang yang dahulu
pernah mencegah gurumu membunuh aku itu. Kau lihat
cemeti kuda yang terjatuh disamping tanda yang dilemparkan
gurumu itu?" Kata-kata itu terasa berdentangan didada Sidanti. Namun
tidak hanya Sidanti yang terkejut karenanya. Semua orang
menjadi terkejut pula. ternyata lingkaran besi dan cemeti kuda
itu adalah permulaan dari pertentangan-pertentangan yang
akan menjadi semakin memuncak dari dua orang sakti yang
tak mereka ketahui dan belum pernah mereka lihat pula
orangnya. Sesaat Sidanti berdiam diri. Memang ia mengharap
gurunya akan membantunya, melawan kelinci-kelinci yang tak
berarti itu dihadapan Ki Tambak Wedi. Tetapi kemudian
disadarinya, bahwa ternyata dilapangan itu hadir pula, orang
lain yang pernah mencegah langkah gurunya ditegalan
kemarin malam. karena itu maka Sidanti itu berbimbang untuk
sesaat. Tetapi kemarahannya telah benar-benar menguasai
otaknya. Sehingga betapapun yang akan dihadapinya, namun
ia sama sekali tidak dapat memperhitungkannya.
Dengan demikian, maka Sidanti itu sama sekali tidak
menjadi surut. Bahkan dengan lantangnya ia menjawab
"Apakah kau sangka Sidanti hanya dapat menggantungkan
dirinya kepada orang lain" Ki Tambak Wedi telah menempa
Sidanti untuk menjadi seorang laki-laki jantan. Ayo. Siapakah
yang pertama-tama. Agung Sedayu atau kakaknya yang
bernama Untara itu."
Untara mencoba untuk tidak menghiraukannya. Tetapi
Agung Sedayu tiba-tiba berhenti ditempatnya. Tiba-tiba ia
merasa, bahwa sebenarnya ia tidak mau pula dihinakan.
Apalagi setelah ia menemukan penilaian yang wajar atas
dirinya, justru setelah sebatang anak panah menyobek
pundaknya. "Menyingkirlah Sedayu " desah Untara.
"Ia menghinaku kakang." Jawab Sedayu.
Tetapi Untara berbisik "Sidanti adalah seorang anak muda
yang tangguh. Sedangkan kau, agaknya baru saja menyadari


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelaki-lakianmu. Kau tidak akan dapat melawannya."
Tetapi ledakan-ledakan yang dasyat didada Agung Sedayu
itupun telah membakar hatinya pula. karena itu ia menjawab
"berilah aku kesempatan."
Untara menjadi jengkel karenanya. Maka dibentaknya
adiknya "Pergi. Biar paman Widura mengurus Sidanti"
Tiba-tiba Untara terkejut ketika ia mendengar Sidanti
berteriak "Untara. Jangan kau sembunyikan adikmu. Atau kau
sendiri yang hendak bersembunyi?"
Terasa sesuatu berdesir didalam dada Untara. Ia dapat
mencegah orang lain untuk tidak menghiraukan maki dan
cerca, namun ketika kata-kata itu ditujukan kepada dirinya,
terasa dadanya itu bergetar. Meskipun demikian, Untara itu
tidak berpaling. Yang didengarnya kemudian adalah suara
pamannya, Widura "Sidanti, kalau kau tetap dalam
pendirianmu, maka perintah untuk menangkapmu segera akan
aku jatuhkan" Ternyata Sidanti benar-benar telah kehilangan segenap
pertimbangannya. Ia seolah-olah tidak mendengar kata-kata
Widura. bahkan kemudian ia berkata kepada Untara "Untara,
kalau kau sembunyikan adikmu maka kaulah lawanku"
Kini Untara terpaksa berhenti. Terasa dadanya bergetar
semakin cepat. Namun ketika dilihatnyan luka dipundak
Sedayu, Untara menarik nafas. Sedayu, betapapun tinggi
ilmunya, namun ia sama sekali belum berpengalaman dalam
satu perkelahian yang benar-benar menentukan hidup dan
mati. Apalagi kini pundaknya itu telah terluka, dan darah
mengalir dari luka itu. karena itu maka kekuatannyapun pasti
berkurang. Untara terkejut ketika Agung Sedayu mendesaknya
"Kakang, apakah kakang akan membiarkan Sidanti menghina
kita?" "Jangan Sedayu" sahut Untara "Sadarilah keadaanmu.
Pundakmu telah terluka. Mungkin pundak itu tidak terganggu
pada saat kau menarik busur, tetapi dalam pertempuran jarak
dekat, maka luka itu akan sangat berpengaruh"
Agung Sedayu meraba lukanya. Terasa luka itu memang
pedih. Tetapi serasa sama sekali tidak berpengaruh baginya.
Namun Untara itupun dapat memperitungkannya dengan
tepat, maka sambungnya "Kalau kau bergerak, maka darah
akan semakin banyak mengalir dari luka itu. Kau akan menjadi
lemas, dan lehermu akan dipilin sampat patah oleh iblis itu"
Tetapi seperti bendungan yang baru saja pecah oleh banjir,
maka Agung Sedayu benar-benar sedang mencari saluran
untuk menumpahkan ledakan-ledakan yang terjadi didadanya.
Namun ia tidak berani melawan kehendak kakaknya. karena
itu hanya dadanya sajalah yang bergelora.
Sementara itu terdengar Sidanti berkata pula "Untara.
Jangan kau sembunyikan anak itu. Atau kau sendiri terpaksa
aku bunuh dilapangan ini"
Sekali lagi dada Untara bergetar. Ketika ia berpaling, ia
melihat Widura mengangkat tangannya. Hampir saja Widura
menjatuhkan perintah untuk menangkap Sidanti. Tetapi
segera Untara mencegahnya "Jangan paman"
Widura tertegun. Tangannya itupun terkulai kembali.
Dengan tegangnya ia memandang wajah Untara. Tetapi
untara itu kemudian berkata "Paman, biarlah Agung Sedayu
aku bawa kembali kekademangan. Aku harap Sidanti dapat
menenangkan hatinya sehingga kemudian ia mendapat
pertimbangan-pertimbangan yang wajar"
Tetapi kata-kata Untara itu justru semakin menyakitkan
telinga Sidanti. Hatinya yang marah itu menjadi semakin
parah. Dengan serta-merta ia melontarkan dirinya, langsung
menyerang Untara yang sekali lagi tidak bersiaga.
Tetapi Untara bukanlah anak-anak yang menangis melihat
barongan-ndadi. Ketika ia melihat Sidanti itu dengan satu
loncatan panjang menyerangnya, segera ia menarik satu
kakinya kesamping dan dengan merendahkan dirinya, Untara
berhasil menghindari tangan Sidanti yang menyambar
kepalanya. Agung Sedayu yang berdiri dimuka Untarapun terpaksa
menghindar pula. tidak kalah tangkasnya, iapun meloncat
surut. Sementara itu terdengar Widura berteriak nyaring "Sidanti.
Apakah kau telah benar-benar menjadi gila. Hai Citra Gati,
bersiaplah" Citra Gatipun segera meloncat maju diikuti oleh beberapa
orang yang lain. Tetapi segera Untara berteriak pula "Jangan
maju bersama-sama" "Aku berhak menangkapnya" sahut Widura.
"Jangan" berkata Untara.
"Aku adalah senapati Pajang di Sangkal Putung" desak
Widura. "Aku adalah pememgang kuasa dari panglima
Wiratamtama, Ki Gede Pemanahan untuk daerah disekitar
gunung Merapi. Mengamati dan mengamankan segala
kebijaksanaan panglima, termasuk daerah Sangkal Putung"
potong Untara. "Oh" Widura itupun terdiam. Kini benar-benar disadarinya
akan kedudukan kemenakannya itu. karena itu, maka
kemudian dibiarkannya kemenakannya itu membuat
kebijaksanaan sendiri. Sidantipun mendengar kata-kata Untara itu. Sesaat katakata
itu berpengaruh juga didalam benaknya. Namun sesaat
kemudian ia sudah tidak memperdulikannya lagi.
Pertimbangan-pertimbangannya sudah tidak dapat
mempengaruhi kemarahannya. Dihadapan sekian banyak
orang, Sidanti yang merasa dirinya pahlawan yang tak
terkalahkan itu, harus menunjukkan bahwa sebenarnyalah ia
tak dapat dikalahkan. Karena itu, bahkan Sidanti itu berkata
"Apa yang akan kau lakukan Untara, pemegang kuasa
penglima Wiratamtama untuk daerah ini?"
"Sidanti" berkata Untara. "Atas nama kekuasaan yang ada
padaku, jangan berbuat hal-hal yang dapat merugikan nama
baik Wiratamtama" "Ini adalah kesempatan bagiku" berkata Sidanti
"Seharusnya akulah yang memegang jabatan itu. Sebenarnya
Sidanti lebih tangguh daripada Untara"
"Jangan mengigau Sidanti" potong Untara. Betapapun ia
mencoba menyabarkan dirinya, namun darahnyapun adalah
darah seorang prajurit muda. Ketika ia melihat Agung Sedayu
melangkah maju, didorongnya adiknya itu kesamping sambil
berkata pula "Sadari kedudukanmu. Atau aku harus
menempuh kebijaksanaan lain seperti paman Widura"
"Terserah padamu Untara" sahut Sidanti "Tetapi aku ingin
menantangmu kini. Apakah kau benar-benar berhak memakai
pangkatmu itu. Atau ternyata akulah yang sebenarnya berhak"
Untara menggigit bibirnya. Sidanti benar-benar keras
kepala. Pengaruh kehadiran gurunyalah yang telah
memaksanya untuk berbuat gila itu.
Sementara itu, matahari telah temggelam dibawah garis
cakrawala. Lapangan itupun menjadi semakin lama menjadi
semakin gelap. Hanya bintang-bintang dilangit sajalah yang
kemudian gemerlapan, seolah-olah ikut serta berdesakdesakan
menyaksikan apa yang akan terjadi dilapangan itu.
Untara masih berdiri sambil menggigit bibirnya. Getar
didalam dadanya terasa menjadi semakin bergelora. Kalau ia
bertindak atas nama jabatannya, serta mengerahkan anak
buah Widura untuk menangkap Sidanti, maka dendam yang
membakar hati anak muda itu masih akan menyala untuk
selama-lamanya. Sidanti akan mungkin sekali kelak mencari
kesempatan untuk membalas dendam terhadap orang-orang
Widura itu satu per satu. Dengan demikian maka keadaan
Sangkal Putung akan menjadi bertambah sulit.
Namun tiba-tiba Untara itupun melangkah maju. Dengan
lantang ia berkata "Aku terima tantangan Sidanti"
"Untara" terdengar Widura memotong kata-kata
kemenakannya. "Paman" sahut Untara. "Persoalan ini biarlah aku jadikan
persoalan antara aku dan Sidanti. Persoalan perseorangan
yang sama sekali tidak menyangkut kedudukan kami masingmasing.
Persoalan perseorangan yang akan kami selesaikan
secara perseorangan pula. Bukankah begitu Sidanti?"
Sidanti benar-benar sudah tidak dapat membedakan antara
persoalan perseorangan dan peroalannya dalam ikatan
kelaskaran. Tiba-tiba saja ia berteriak menjawab "Ya. Aku
tidak perduli persoalan apapun yang kau pilih. Namun biarlah
kita bertakar darah, melihat siapa yang lebih keras tulangnya
dan siapakah yang lebih liat kulitnya"
Widura sudah tidak mungkin lagi untuk mencegah
perkelahian itu. Kini Sidanti dan Untara telah maju dan orangorang
disekitarnya dengan sendirinya, berdesakan mundur.
Meskipun lapangan itu menjadi semakin gelap, dan sebagian
dari mereka sudah tidak dapat lagi melihat apa yang terjadi
ditengah-tengah lingkaran manusia itu, namun mereka masih
belum mau meninggalkan lapangan itu. Mereka masih hendak
menunggu, apakah yang terjadi dengan Untara dan Sidanti.
Ternyata Sidanti benar-benar tak dapat mengekang dirinya.
Dengan penuh nafsu ia meloncat menghadapi Untara. Sedang
Untara itupun segera bersiaga pula. Untara itupun sadar
sesadar-sadarnya bahwa lawannya kali ini adalah murid Ki
Tambak Wedi. seorang sakti yang namanya telah dikenal oleh
setiap orang hampir dari segala penjuru.
Sidanti itu ternyata tak mau banyak bicara lagi. Dengan
suatu peringatan pendek ia menggeram "Untara, aku mulai"
Sebelum Untara sempat menjawab, Sidanti telah meloncat
menyerangnya. Sebuah pukulan mendatar mengarah
kepelipis lawannya. Namun Untara telah bersiaga
sepenuhnya. Betapapun cepatnya gerak Sidanti, namun
Untara masih sempat dengan tangkasnya menghindari.
Dengan satu gerakan yang cepat, Untara menundukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak membiarkan tangan Sidanti yang
masih terjulur itu. Dengan cepatnya disambarnya tangan itu
dengan sebuah ketukan dipergelangan. Tetapi Sidanti cukup
cekatan pula. dengan kecepatan yang sama Sidanti berhasil
menarik tangannya dan membebaskannya dari ketukan
tangan Untara. Untara menarik nafas dalam-dalam melihat kecepatan
Sidanti. Nama Ki Tambak Wedi benar-benar bukan sekedar
cerita yang berlebih-lebihan. Kini ternyata Untara mengalami
sendiri, betapa cekatannya murid Ki Tambak Wedi.
Ternyata pula, sesaat kemudian Sidanti telah mulai
menyerangnya kembali. Dengan garangnya Sidanti
melontarkan sebuah serangan dengan kakinya kearah
lambung lawannya. Namun sekali lagi Untara berhasil menarik
satu kakinya, dan dengan memiringkan tubuhnya ia telah
terhindar dari serangan Sidanti. Tetapi Sidanti tidak mau
membiarkan lawannya, dengan sebuah putaran pada satu
kakinya, Sidanti melepaskan serangan kaki berganda.
Demikian cepatnya, sehingga Untara terpaksa meloncat
selangkah mundur. Ketika Sidanti akan mencoba mengejarnya dengan
serangan pula, maka Untaralah yang kini mendahului
lawannya. Dengan tangkasnya ia melontar menyambar dada
Sidanti yang masih mencoba menyergapnya. Sidanti terkejut
melihat serang yang tiba-tiba itu. Dengan cepat ia
merendahkan dirinya dan bahkan kemudian ketika tangan
Untara yang lain menyambar kepalanya, Sidanti terpaksa
melontar kesamping. Demikianlah maka mereka sesaat kemudian tenggelam
dalam satu pertempuran yang sengit. Sidanti yang tangkas
dan lincah melawan Untara yang tangguh-tanggon. Betapa
ilmu Ki Tambak Wedi terpaksa berbenturan dengan ilmu dari
Jati Anom, Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Hudaya, Citra Gati,
Swandaru dan bahkan Agung Sedayu yang berdiri disekitar
arena itu, melihat perkelahian itu dengan wajah yang tegang.
Mereka mengenal Sidanti sebagai seorang anak muda yang
telah berhasil mempertahankan diri, meskipun tidak
sepenuhnya, terhadap serangan-serangan Tohpati. karena itu,
maka mereka menjadi berdebar-debar. Seandainya Untara tak
berhasil mempertahankan dirinya, maka Sidanti yang gila itu
pasti dapat berbuat hal-hal diluar kemungkinan yang wajar.
Namun sebenarnya Widura tidak menjadi cemas atas nasib
Untara. Ia ahu betul bahwa kemenakannya yang besar itu,
setidak-tidaknya pasti akan dapat menyamai Sidanti. Tetapi
apakah selama ini lukanya telah benar-benar sembuh,
sehingga segenap kekuatannya telah pulih kembali. Namun
melihat kecepatannya bergerak Widura menduga untara telah
mencapai keadaan dan kemantapan ilmu seperti sediakala.
Sehingga dengan demikian, maka perkelahian itu pasti akan
berlangsung dahsyat sekali.
Sebenarnyalah pertempuran itu semakin lama menjadi
semakin seru. Sidanti yang dengan penuh nafsu bertempur
itu, segera mengerahkan segenap kemampuannya. Semakin
cepat ia dapat menjatuhkan lawannya, semakin tinggi pula
nilai dirinya. Bahkan apabila kelak Agung Sedayu tidak puas
melihat kekalahan kakaknya, biarlah ia sendiri mencobanya.
karena itulah maka serangan-serangan Sidanti menjadi
semakin seru seperti angin ribut yang menghantam
pepohonan. Berputar-putar dengan dahsyatnya. Namun
Untara itupun tangguh setangguh batu karang pantai. Tegak
dengan kokohnya, seakan-akan berakar menghunjam bumi.
Tetapi apabila serangannya melanda lawannya, beruntun
seperti batu-batu yang berguguran dilereng Merapi.
Dengan demikian maka pertempuran dilapangan dimuka
banjar desa itu semakin lama menjadi semakin seru.
Keduanya adalah anak-anak muda yang sedang berkembang.
Mereka meiliki bekal ilmu yang tak dimiliki oleh kebanyakan
orang. Maka perkelahian diantara mereka benar-benar
menjadi sedemikian sengitnya seperti petir yang sedang
bersabung diudara. Sambar menyambar dalam kecepatan
yang hampir tak dapat diikuti oleh mata.
Sehingga karena itu, maka mereka berdua kemudian,
seakan-akan telah berubah menjadi bayangan-bayangan yang
terbang berputaran, bahkan kemudian mereka seakan-akan
telah berubah menjadi gumpalan asap hitam dimalam yang
gelap. Tetapi semakin lama menjadi semakin terang bagi Untara.
Selah ia bertempur dengan segenap tenaga pada taraf


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

permulaan, akhirnya berhasil menemukan dan mengetahui
letak kekuatan dan kelemahan ;awannya. Meskipun
Sidantipun mampu pula mengamati kelemahan lawannya,
namun ternyata Untara menang seulas dari Sidanti. Untara,
yang memegang kekuasaan dari Panglima Wiratamtama
didaerah itu, ternyata buka nseorang yang hanya mempunyai
nama mengagumkan. Tetapi Untara benar-benar seorang
yang dapat dipercaya. Lahir dan batinnya. Dengan demikian,
maka kemudian Untara dapat menempatkan dirinya pada
keadaan yang tepat. Tetapi justru karena ia telah dapat melihat nilai dari dirinya
sendiri dihadapan lawannya itu, maka ia menjadi semakin
tenang. Dengan demikian sambil bertempur ia kini sempat
mencari kemungkinan-kemungkinan yang sebaik-baiknya
untuk menyelesaikan persoalan yang disebutnya dengan
persoalan pribadi. Namun ternyata Sidanti masih memeras tenaganya habishabisan.
Ia telah benar-benar waringuten. Otaknya seakanakan
telah berhenti bekerja kecuali mencari kemungkinankemungkinan
untuk membinasakan lawannya dalam
perkelahian itu. Mula-mula memang ia merasakan tekanan
Untara menjadi semakin bertambah tajam. Namun kemudian
tekanan-tekanan itu seolah-olah menjadi terurai kembali. Dan
dalam penilaian Sidanti, keadan mereka menjadi seimbang
kembali. Sebenarnyalah, kini Untara telah menemukan suatu cara
untuk menyelesaikan persengketaan ini tampa menimbulkan
dendam. Meskipun kemudian terasa olehnya, bahwa
meskipun berat, namun ia akan dapat menguasai lawannya,
tetapi Untara tidak mau berbuat demikian. Sebab, apabila ia
menekan Sidanti, sehingga anak muda yang keras hati itu
dilumpuhkan, maka dendam akan tetap membara didadanya.
Dendam itu akan dapat berbahaya bagi Sangkal Putung.
Apabila dendam itu meledak pada saat kedatangan laskar
Jipang, maka akibatnya akan mengerikan sekali.
Dengan demikian, terbesitlah kebijaksanaan didalam diri
Senapati muda dari Jati Anom itu. Ai kini tidak benar-benar
ingin menundukkan Sidanti. Meskipun ia tetap memberi kesan,
bahwa ia bertempur mati-matian, namun sebenarnya Untara
kin seakan-akan tinggal melayani segala solah lawannya.
Sekali-sekali ia menghindar, dan sekali-sekali ia menyerang
pula. Tetapi serangannya tidak benar-benar mengarah
ketempat-tempat yang berbahaya.
Demikian cakapnya Untara membawakan dirinya, serta
karena kelebihan ilmunya yang kemudian meyakinkannya,
maka Sidanti selama ini masih belum tahu apa yang dilakukan
oleh Untara. Itulah sebabnya ia masih berjuang sekuat-kuat
tenaganya. Dan memang demikianlah yang dikehendaki oleh
Untara. Sekali-sekali ia menekan lawannya, kemudian
melepaskannya dalam keadaan yang menguntungkan.
Dengan demikian maka nafsu bertempur Sidanti itu menjadi
melonjak-lonjak tak terkendali. Sebab sekali-sekali ia menjadi
cemas, namun tiba-tiba ia melihat kesempatan terbuka.
Sehingga mau tidak mau ia ingin mempergunakan
kesempatan itu sebaik-baiknya.
Tetapi bagi mereka yang tidak mengalami pertempuran itu,
mempunyai kesempatan untuk menilai apa yang sebenarnya
telah terjadi. Tetapi tidak semua orang dapat berbuat
demikian. Yang pertama-tama melihat permainan Untara itu
adalah Widura, dan kemudian Agung Sedayu. Mereka dengan
dada yang berdebar-debar menanti, bagaimana akhir dari
pertempuran itu. Sebab dengan permainannya maka Untara
tidak akan mau melumpuhkan lawannya.
Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang laskar Pajangpun
melihat sesuatu yang aneh. Tetapi mereka tidak dapat
mengerti, apakah sebabnya maka pertempuran itu kadangkadang
menjadi sangat berat sebelah, namun kemudian
menjadi seimbang kembali.
Sedang orang-orang lain yang berdiri melingkari arena itu,
sama sekali tidak tahu, bagaimana mereka harus menilai
perkelahian itu. Bahkan ada diantara mereka yang menjadi
pening, dan ada pula yang bahkan tidak melihat sesuatu
karena malam yang menjadi semakin kelam.
Dalam pada itu, semakin lama, maka usaha Untara untuk
mencapai penyelesaian menurut rencananya, tampaknya
akan berhasil. Tenaga Sidanti yang terperas itu semakin lama
menjadi semakin susut. Sedang Untara, yangmemiliki bekal
serta pengalaman yang lebih banyak, masih tetap pada
kesegarannya semula. Tetapi ia tidak mau menunjukkan
kelebihannya itu. Ia ingin Sidanti menyelesaikan pertempuran
tanpa menjadi kecewa, malu atau dendam. Untara ingin
memberi kesan, bahwa perkelahian itu akan berhenti dengan
sendirinya tanpa ada yang kalah tanpa ada yang menang.
*** Meskipun hati kecilnya, kadang-kadang ingin juga
menunjukkan kelebihannya, sebagai seorang yang mendapat
kekuasaan yang luas, namun ia berpikir lebih jauh dari harga
diri itu. Ia melihat Sangkal Putung tidak saja malam ini. Tetapi
besok, lusa, beberapa hari dan minggu yang akan datang,
bahkan Sangkal Putung untuk masa yang tak terbatas dalam
lingkungan pemerintahan Pajang.
Dan ternyata pula kemudian, tandang Sidanti itupun
menjadi semakin susut. Kegarangannya lambat laun menjadi
berkurang dan lincahannyapun menjadi surut pula. demikian
pula yangdilakukan oleh Untara. Meskipun darahnya masih
sesegar pada saat ia datang, namun dikurangi segala
ketangkasan dan ketangguhannya.
Tetapi, dalam pada itu, selain Widura dan Agung Sedayu,
diantara penonton itu, seseorang memandangi perkelahian itu
dengan nafas tertahan-tahan. Betapa matanya menyalakan
kemarahan yang tiada taranya, dan betapa hatinya
mengumpat tak habis-habisnya.
Orang itu melihat peristiwa dilapangan sejak permulaan
sampai saat-saat terakhir. Namun selalu saja ia menjadi
kecewa dan marah. Apalagi sejak kehadiran Untara, maka
berkali-kali ia menggeretakkan giginya. Tetapi ia masih saja
selalu menahan dirinya. Kini ia melihat permainan yang dilakukan oleh Untara itu.
Betapa iapun menjadi tersinggung karenanya. Ia melihat
kesempatan-kesempatan untuk melumpuhkan Sidanti, namun
kesempatan itu tak dipergunakan oleh Untara. Tetapi sudah
tentu Sidanti sendiri tidak dapat melihat keadaan itu. Sidanti
sendiri sedang memusatkan perhatiannya dalam
perlawanannya, sehingga kempatan dan jarak yang diperlukan
tidak dimilikinya. Orang itu adalah Ki Tambak Wedi.
Dengan menghentak-hentakkan kakinya, ia menahan
segenap perasaan yang bergelora didalam dadanya. Ia
melihat betapa Agung Sedayu berhasil melampaui muridnya
itu dalam perlombaan memanah. Namun didalam hati kecilnya
ia bergumam "Benar-benar anak setan. Kecakapan Sadewa
bermain panah tercermin pada anak itu"
Sedang kini anak Ki Sadewa yang besar, Untara, sedang
bertempur pula melawan muridnya. Dan ternyata anak
Sedawa itu tak dapat dikalahkannya. Bahkan anak Sadewa itu
telah memberi beberapa peluang kepada Sidanti. Bukankah
itu suatu penghinaan bagi perguruan Tambak Wedi.
Dengan nafas yang tertahan-tahan, ia melihat Sidanti
masih bertempur mati-matian. Namun ia melihat juga bahwa
sebenarnya Untara dengan segera dapat menghancurkan
pertahanan Sidanti. "Hem" geramnya.
Ki Tambak Wedi itu kemudian memandang berkeliling
diantara orang-orang yang melihat perkelahian itu. Dadana
tiba-tiba menjadi berdebar-debar. Ia telah mencoba memaksa
Widura untuk memenuhi tuntutan muridnya dan menakutnekutinya
dengan tanda-tanda yang diberikannya. Tetapi Ki
Tambak Wedi itu akhirnya mengumpat habis-habisan didalam
hatinya, ketika ia melihat sebuah cemeti yang melenting jatuh
ditengah-tengah arena itu pula. Meskipun ia belum tahu,
betapa tinggi nilai orang itu, namun itu adalah suatu pertanda
bahwa seseorang telah bersedia untuk ikut serta melibatkan
diri dalam pertentangan melawannya, apabila ia ikut campur
dalam persoalan anak-anak muda di Sangkal Putung itu.
Tetapi sampai demikian jauh, Ki Tambak Wedi belum
mengetahui, siapakah orangnya yang telah berani meletakkan
diri untuk melawan Ki Tambak Wedi, yang berilmu hampir
sempurna itu. Tetapi kini, ia melihat Sidanti berada dalam kesulitan.
karena itu, maka apakah ia akan berdiam diri saja,
membiarkan Sidanti menjadi bahan permainan Untara" Tibatiba
Ki Tambak Wedi itu mendesak maju. Menyusup diantara
para penonton dan kemudian berusaha untuk dapat melihat
setiap peristiwa dengan semakin jelas.
Pertempuran diarena itu masih saja berlangsung dengan
serunya, meskipun semakin lama sudah menjadi semakin
kendor. Namun serangan-serangan Sidanti masih cukup
berbahaya apabila Untara sedikit kurang berwaspada.
Sedangkan Untara sendiri dengan sengaja telah mengurangi
tekanan-tekanannya atas Sidanti, sehingga kemudian Sidanti
benar-benar mendapat kesan seperti yang diharapkan oleh
Untara. Sidanti menganggap kemudian, bahwa perkelahian itu
tidak akan dapat berakhir. Kedua-duanya pasti akan berhenti
kelelahan. Meskipun Sidanti itu mengumpat-umpat didalam
hatinya, namun hal yang demikian itu pasti akan lebih baik
daripada apabila dirinya dilumpuhkan. Dengan keadaanya itu,
maka Sidanti masih akan dapat menepuk dada, bahwa Sidanti
tidak dapat dikalahkan oleh seeorang yang sekalipun
mendapat kepercayaan dari pimpinan tertinggi Wiratamtama.
Maka Sidanti itupun teringat pula akan perkelahiannya
dengan Widura. mereka akhirnya terpaksa menghentikan
perkelahian setelah mereka hampir-hampir tak mampu lagi
berdiri. Kini peristiwa itu akan terulang kembali.
Dan sebenarnyalah hal itu berlaku baginya.
Ketika malam menjadi semakin dalam, maka tenaga Sidanti
itu seakan-akan benar-benar telah habis terperas. Setiap kali,
ia sendiri terdorong oleh kekuatan serangan-serangannya
yang tak mengenai sasarannya. Beberapa kali ia terjatuh dan
bangun kembali. Sedang Untarapun berbuat hal-hal serupa.
Kadang-kadang mereka berdua terpaksa jatuh bersama-sama
dan kemudian dengan susah payah bangun bersama-sama
pula. sedemikian sering hal-hal yang serupa terjadi, sehingga
akhirnya Widura dan Agung Sedayu menjadi ragu-ragu,
apakah Untara itu sebenarna kelelahanm ataukah ia masih
dalam permainannya yang baik. Tetapi yang mereka lihat
kemudian, kedua-duanya itupun menjadi jatuh bangun berkalikali.
Dalam pada itu, Ki Tambak Wedi sudah tidak sabar lagi
melihat peristiwa itu. Ia akan berbuat sesuatu sebelum Sidanti
benar-benar menjadi lemas. Ia ingin menunjukkan kepada
Widura dan Untara, bahwa kemauannya tak boleh diabaikan.
Ia akan tetap pada pendiriannya, sepasar sejak malam
kemarin. Widura harus sudah merubah sikapnya terhadap
Sidanti. Meskipun rencana itu kemudian pasti akan
terpengaruh oleh kehadiran Untara, namun Untara itu
sendiripun harus dapat ditundukkannya pula seperi Widura.
Tetapi Ki Tambak Wedi itupun sadar, bahwa agaknya
pendirian Widura sukar untuk dapat ditundukkan. Ia telah
bertekad untuk memeluk kewajibannya dengan sebaikbaiknya.
Apalagi kini Untara ada diantara mereka, sehingga
dengan demikian pekerjaannya akan menjadi semakin sulit.
"Aku akan hadir diantara mereka" pikir Ki Tambak Wedi
"Dan aku akan memberikan beberapa pertunjukan, supaya
Untara itupun meyakini keadaannya, serta keadaan Sangkal
Putung. Sedang apaliba orang yang melontarkan cemetinya
itu benar-benar ingin membuat perhitungan dengan Tambak
Wedi, maka kesempatan inipun akan aku terima pula"
Setelah mendapat ketetapan itu, maka Ki Tambak Wedi
itupun beringsut semakin maju lagi. Sekali lagi matanya
beredar berkeliling untuk melihat segala kemungkinan yang
ada disekitar tempat itu.
Ketika kemudian dipandanginya arena diantara lingkaran
orang yang pepat, Ki Tambak Wedi masih melihat muridnya
berjuang sekuat tenaganya. Namun sekali lagi ia melihat,
Sidanti menyerang Untara dengan kakinya. Tetapi serangan
itu dapat dihindari oleh lawannya, sehingga karena tubuhnya
sudah sedemikian lemahnya Sidanti terbawa oleh
kekuatannya sendiri, terhuyung-huyung hanya beberapa
langkah disamping Untara. Kalau pada saat itu Untara
meloncat kesampingnya dan menghantam tengkuknya, maka
pertempuran itupun akan berakhir. Tetapi Untara tidak berbuat
demikian. Dibiarkannya Sidanti menemukan
keseimbangannya kembali. Kemudian baru ia melangkah
maju dan mengayunkan tangannya menyerang dada
lawannya dengan gerak yang amat lamban. Sudah tentu
Sidanti telah sempat menarik dirinya mundur, sehingga
serangan Untara itu tidak mengenainya. Bahkan Sidanti itu
masih sempat dengan tangan kanannya menghantam
pergelangan tangan Untara, meskipun Untara masih cukup
cepat menghindarinya. Tetapi bagi Ki Tambak Wedi, perbuatan Untara itu adalah
suatu penghinaan bagi harga dirinya. Ki Tambak Wedi
mengumpat tak habis-habisnya atas kekalahan muridnya
Bloon Cari Jodoh 24 Goosebumps - Darah Monster 2 Petualang Asmara 2
^