Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 8

01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 8


berturut-turut. karena itu maka tak ada jalan lain daripada
dengan tenaganya, memaksa Untara dan Widura mengakui
kelebihan Sidanti dari mereka untuk beberapa persoalan,
sehingga kesempatan-kesempatan Sidanti akan menjadi lebih
besar lagi dalam lingkungan Wiratamtama.
Itulah sebabnya, maka tekadnya menjadi bulat. Ia harus
menampakkan dirinya. Tetapi ketika sekali lagi ia mendesak maju, didengarnya
seseorang mendehem disampingnya. Mula-mula Ki Tambak
Wedi sama sekali tidak menaruh perhatian kepada orang lain,
namun setiap ia menyusup, maka orang itupun selalu berada
disampingnya, dan bahkan selalu saja mendehem tak habishabisnya.
Ki Tambak Wedi itupun kemudian berpaling. Dilihatnya
disampingnya seseorang yang sebaya dengan umurnya
tersenyum kepadanya. Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Meskipun malam
menjadi semakin gelap. Namun matanya yang tajam dapat
melihat beberapa bagian dari wajah orang yang berdiri sambil
tersenyum disampingnya itu.
Namun orang itu sama sekali tak menarik perhatian Ki
Tambak Wedi, sehingga ia sama sekali tak mempedulikannya. Tetapi ketika ia melangkah kembali,
maka sekali lagi orang itu
mengikutinya, bahkan kemudian mendesaknya. Kini Ki Tambak Wedi tidak
dapat mengabaikannya lagi.
Orang ini pasti bukan tidak
punya maksud dengan perbuatan-perbuatannya itu.
karena itu sebagai seorang yang telah masak, maka segera
pikirannya hinggap pada seseorang yang telah melemparkan
cemeti kuda ketengah-tengah arena. Dan Ki Tambak Wedipun
tak mau bertanya melingkar-lingkar. Langsung ia bertanya
kepada orang disampingnya itu perlahan-lahan "Kaukah yang
memiliki cemeti kuda itu tadi?"
Ternyata orang yang berdiri disamping Ki Tambak Wedi
itupun tidak mau berputar-putar pula. maka jawabnya lirih "Ya,
aku" "Hem" Ki Tambak Wedi menggeram. "Apa maumu?"
"Tidak apa-apa" jawab orang itu. "Aku juga ingin menonton
seperti kau" "Hanya menonton?" desak Ki Tambak Wedi.
"Ya" jawab orang itu "Selama kau juga hanya menonton"
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Kini ia telah
berhadapan dengan orang yang selama ini menimbulkan
bermacam-macam teka-teki padana. Pasti orang ini pulalah
yang kemarin malam telah menggagalkan maksudnya
membunuh Widura dengan bunyi cambuk yang menghentakhentak.
karena itu maka katanya perlahan-lahan pula "He,
kaukah yang kemarin malam bermain-main dengan cambuk?"
"Ya" jawab orang itu pendek.
Sekali lagi Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya.
Kemudian katanya "Siapakah kau?"
Orang itu tertawa. Sesaat ia berdiam diri, sedang orangorang
disamping mereka, yang sedang terpukau oleh
perkelahian ditangah-tengah arena itu, agaknya sama sekali
tak memperhatikan percakapan itu.
Baru sesaat kemudian orang itu menjawab "Gringsing.
Namaku Kiai Gringsing"
"Hem" kembali Ki Tambak Wedi menggeram. Nama yang
dapat disebutkan oleh setiap mulut, juga setiap mulut dapat
menyebut nama sekehendak hatinya. Ki Tambak Wedi itupun
segera maklum, bahwa kl itu pasti nama yang dibuatnya untuk
tujuan-tujuan tertentu. karena itu sahutnya "Ternyata kau lebih
beruntung daripadaku"
"Kenapa?" bertanya orang itu.
"Kau telah menabung satu kemenangan. Kau mengenal
aku, tetapi aku tidak mengenalmu" jawab Ki Tambak Wedi.
"Aku sudah memperkenalkan diri" berkata orang itu.
"Hem. Aku bukan anak-anak" potong Ki Tambak Wedi.
Kemudian untuk sesaat merekapun berdiam diri.
Pertempuran antara Sidanti dan Untara menjadi semakin
lambat. Masing-masing hampir tak dapat lagi menguasai
dirinhya. Ayunan-ayunan tangan mereka adalah tenaga yang
akan membawa mereka sendiri dalam satu tarikan yang
kadang-kadang tak dapat mereka cegah, menjerumuskan
mereka sehingga terguling ditanah. Tetapi mata-mata yang
tajam akan meragukan keadaan Untara. Betapapun ia
mencoba berbuat sebaik-baiknya namun kadang-kadang
kelincahannya masih tampak juga. Tetapi sedemikian jauh,
Sidanti dan orang-orang yang berdiri disekitarnya pada
umumnya tak dapat mengertinya. Bahkan didalam hati
mereka, mereka berkata "Sidanti benar-benar seorang yang
tangguh. Ternyata ia mampu juga melawan orang yang
bernama Untara itu. Seorang yang namanya menjadi buah
bibir setiap prajurit didaerah selatan dan barat daya. Disekitar
gunung Merapi". Tetapi Widura berkali-kali menarik nafas dalam-dalam,
sedang Agung Sedayu yang mengetahui keadaan sebenarnya
itupun menggeretakkan giginya. Namun mereka menyadari,
betapa Untara telah mementingkan tugasnya daripada
sekedar harga dirinya yang berlebih-lebihan.
Gigi Ki Tambak Wedi itupun beradu pula. seakan-akan ia
sedang menahan sesuatu yang bergelora didalam dadanya.
Maka ketika kemudian ia melihat Sidanti dan Untara itu jatuh
bangun berganti-ganti, Ki Tambak Wedi itupun berkata "Aku
akan masuk kedalam arena"
Kiai Gringsing itu berpaling. Kemudian ia tersenyum kecil.
Katanya "Aku ikut. Boleh?"
"Jangan membuat persoalan dengan aku. Apakah kau guru
Untara atau Widura?" bertanya Ki Tambak Wedi.
Kiai Gringsing tertawa pula. "Aneh" jawabnya "Apakah kau
benar-benar tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu. Bukankah
guru anak-anak itu telah mati?"
"Hem" Ki Tambak Wedi menggeram. Katanya "Mungkin kau
meneruskan pekerjaan Sadewa?"
Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepala. Sahutnya
"Kaupun tahu, bahwa unsur-unsur gerak mereka hampirhampir
murni. Kalau mereka memiliki guru lain, maka kau
pasti akan mengetahui"
"Hem" sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram "Persetan.
Tetapi jangan ganggu aku. Apa kepentinganmu dengan anakanak
itu?" "Tidak apa-apa. aku bukan sanak bukan kadangnya. Tetapi
sebaiknya, biarlah anak-anak itu bermain-main sesama
mereka. Bukankah Untara telah berlaku bijaksana?"
"Suatu penghinaan bagi perguruan Tambak Wedi" jawab
guru Sidanti itu. "Kau terlalu perasa" berkata Kiai Gringsing "Jangan terlalu
kau manjakan muridmu itu, supaya ia dapat menemukan
kebahagiaan hidup kelak"
"Jangan gurui aku. Pergi kemana kau kehendaki. Aku akan
mengajar Untara itu menilai pendapat orang lain"
"Aku ikut" "Jangan gila" "Biarlah anak-anak bermain-main sesama mereka. Dan
biarlah kami orang-orang tua membuat permainan sendiri"
Mata Ki Tambak Wedi kini benar-benar memancarkan
kemarahan yang menyala didalam dadanya. Diamatinya
wajah orang yang berdiri disampingnya itu dengan seksama.
Wajah itu sama sekali belum pernah dilihatnya. Tetapi tiba-tiba
Ki Tambak Wedi itu menjadi curiga. Meskipun malam menjadi
semakin gelap. Namun kemudian Ki Tambak Wedi itu melihat
garis-garis yang tidak wajar pada wajah itu.
"Kenapa kau coreng-coreng mukamu?" tiba-tiba ia
bertanya. Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Jawabnya "apakah
kau melihat coreng moreng ini?"
"Aku tidak buta" sahut Ki Tambak Wedi.
"Kau benar-benar bermata tajam melampaui mata burung
hantu" sahut Kiai Gringsing. Dan katanya kemudian "Ya. Aku
agak sakit mata. karena itu aku menggoreskan beberapa jenis
obat-obatan dahi dan pelipisku"
"Hem" kembali Ki Tambak Wedi menggeram. Betapa
kemarahannya melanda-landa dadanya, namun semakin lama
menjadi semakin menyadari, bahwa orang yang menamakan
diri Kiai Gringsing itu bukanlah seseorang yang
membanggakan diri hanya karena kemenangankemengangan
kecil yang pernah dialaminya.
"Jadi bagaimanakah maksudmu?" bertanya Ki Tambak
Wedi "Biarkan mereka hidup dalam damai. Kalau Sidanti itu tidak
terlalu bernafsu untuk hal-hal yang aneh-aneh, dan kau tak
mendorong-dorongnya, maka tak akan ada persoalan diantara
mereka" "Itu adalah suatu contoh dari seorang tua yang berotak
beku. Ketenangan tidak selamanya baik. Dengan ketenangan
itu Sidanti selamanya akan tetap ditempatnya"
"Tetapi tingkat demi tingkat harus dicapainya dengan wajar"
"Diamlah. Jangan ganggu aku"
Ki Tambak Wedi itu kemudian melangkah setapak maju
diantara beberapa orang yang berdiri disekitarnya. Namun Kiai
Gringsing itupun melangkah maju pula.
"Aku peringatkan kau sekali lagi" desah Ki Tambak Wedi.
"Peringatan buatmu sendiri" sahut Kiai Gringsing.
Kini Ki Tambak Wedi sudah tidak dapat menahan dirinya
lagi. Tetapi untuk bertempur dengan orang yang menyebut
namanya Kiai Gringsing itupun masih memerlukan berbagai
pertimbangan. Sidanti telah benar-benar payah. Sedang
agaknya Untara masih cukup segar untuk menundukkan
apabila mau. Bahkan untuk membinasakan sekali. Kalau
orang yang bernama Kiai Gringsing itu tidak dapat
dikalahkannya dengan segera, maka baik Sidanti maupun
dirinya sendiri pasti akan menemui kesulitan. Widura, Agung
Sedayu dan orang-orang Widura yang lain masih ada dalam
keadaan yang segar. Betapapun mereka seorang demi
seorang tak akan berarti baginya, namun kalau mereka
bergerak bersama-sama dan diantaranya orang yang
bernama Kiai Gringsing ini, maka keadaannya akan sangat
berbeda. Setidak-tidaknya keadaan Sidantilah yang akan
menjadi sangat berbahaya. Tidak mustahil Untara menjadi
bermata gelap dan membinasakannya.
karena itu, maka Ki Tambak Wedi itu ingin mengetahui
sampai dimana kemampuan kekuatan Kiai Gringsing.
Meskipun apa yang akan diketahuinya itu tidak tepat seperti
keadaan sebenarnya, namun dengan caranya maka Ki
Tambak Wedi akan dapat mengira-irakan sampai berapa jauh
kemungkinan yang dimiliki oleh Kiai Gringsing itu.
Maka, ketika lg itu telah berdiri disampingnya, Ki Tambak
Wedi itupun berkata sambil menepuk bahu Kiai Gringsing "Ki
sanak, apakah kau benar-benar tidak menghendaki aku ikut
serta dalam permainan itu?"
Tetapi Kiai Gringsingpun bukan anak-anak yang
menundukkan wajahnya apabila seseorang membelai
pundaknya. Ketika Kiai Gringsing melihat tangan Ki Tambak
Wedi bergerak untuk menepuk pundaknya, maka segera
orang itu seakan-akan mengerutkan tubuhnya, sehingga
ketika pundaknya tersentuh tangan Ki Tambak Wedi, keduaduanya
menjadi kagum akan kekuatan masing-masing.
Sentuhan itu seolah-olah beradunya dua batang besi baja
yang berlaga. Ketika Ki Tambak Wedi kemudian berpaling dan
memandang wajah Kiai Gringsing, dilihatnya wajah itu
tersenyum. katanya "Kau akan mematahkan pundakku.
Tanganmu keras seperti batu"
"Hem" Ki Tambak Wedi menggeram. Orang ini benar-benar
bukan orang yang sekedar menyombongkan diri. Ketika ia
meraba pundak Kiai Gringsing, seluruh kekuatannya telah
dipusatkannya diujung jari-jarinya. Seandainya Kiai Gringsing
tidak memiliki daya tahan yang seimbang, maka pundak itu
pasti akan luka didalam. Bahkan mungkin sebelah tangannya
akan lumpuh. Apalagi orang kebanyakan, maka tulang-tulang
bahunya pasti akan remuk.
Tetapi orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu,
ternyata telah memberikan perlawanan yang wajar tanpa
menggerakkan badannya selain sekedar berkerut. Agaknya
Kiai Gringsing itu telah menyalurkan kekuatan daya tahannya
dipundaknya. Sehingga karena itu ketukan tangan Ki Tambak
Wedi tak melukainya. Dengan demikian maka Ki Tambak Wedi benar-benar
harus berpikir. Diarena, pertempuran menjadi semakin lambat.
Bahkan hampir berhenti sama sekali. Sekali-sekali dilihatnya
Sidanti menebarkan pandangan matanya berkeliling. Agaknya
anak itu benar-benar mengharapkan kehadiran gurunya.
Tetapi kini disamping Ki Tambak Wedi, berdiri seorang yang
dapat mengimbangi kekuatannya.
Namun Ki Tambak Wedi agaknya belum puas dengan
percobaannya. Ketukan tangannya itu belum meyakinkannya.
Ia ingin sekali lagi melihat apakah ia harus
mempertimbangkan orang itu benar-benar. karena itu maka
desisnya "Ki sanak. Aku akan mengucapkan selamat atas
kesentausaan ki sanak. Pundak Ki Sanak itu benar-benar
sekeras baja. Aku kira aku belum pernah melihat seorangpun
dari daerah gunung Merapi ini yang kuat seperti Ki Sanak.
Dan nama Kiai Gringsingpun merupakan nama baru bagiku"
Kiai Gringsing itupun tiba-tiba tertawa, meskipun ia
berusaha untuk menahannya, sehingga satu dua orang
berpaling kepadanya. Tetapi karena kemudian suara tertawa
itu terputus, maka orang-orang itupun tidak
memperhatikannya lagi. Kiai Gringsing itu segera menyadai tantangan Ki Tambak
Wedi. bahkan didalam hati ia berkata "Tantangan yang
bijaksana. Kami harus bertempur tanpa seorangpun yang
mengetahuinya" "bagaimana ki Sanak?" desak Ki Tambak Wedi.
"Terima kasih atas ucapan selamat ini" belum lagi Kiai


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gringsing selesai berkata, dilihatnya Ki Tambak Wedi
mengulurkan tangannya. Kiai Gringsingpun kemudian
menyambut tangan itu. Dan keduanya bersalaman. Namun tak
seorangpun yang mengetahui, bahwa sebenarnya mereka itu
sedang bertempur. Masing-masing mengerahkan segenap
kekuatan lahir dan batinnya ketelapak tangannya, yang
sedang bersalaman itu. Masing-masing menekankan jarijarinya
sekuat-kuat tenaga mereka dan berusaha meremukkan
tulang-tulang lawannya. Namun ternyata mereka berdua
adalah orang-orang yang benar-benar sakti. Kedua tangan
itupun seakan-akan berubah menjadi gumpalan-gumpalan
besi baja yang saling himpit menghimpit. Betapa mereka
berjuang untuk melumatkan tangan lawannya. Tetapi mereka
akhirnya harus mengakui bahwa mereka satu sama lain tak
akan dapat saling mengalahkan. Meskipun demikian, keringat
mengalir dari seluruh permukaan kulit mereka, melampaui
keringat mereka yang sedang bertempur, namun mereka
harus menyadari, bahwa kekuatan mereka berimbang.
Sedemikian kuatnya mereka memeras tenaga lahir dan
batin mereka, sehingga terasa tubuh-tubuh mereka menjadi
panas, dan leher mereka serasa kering. Tetapi genggaman
mereka tidak juga menjadi berubah. Keseimbangan itu tetap
berlangsung sehingga kemudian terdengar Ki Tambak Wedi
menggeram "Bukan main"
"Apa yang bukan main?" sahut Kiai Gringsing.
Ki Tambak Wedi tidak menjawab. dicobanya unruk
menuntaskan tenaganya, namun Kiai Gringsingpun berbuat
serupa. Sehingga karenanya maka keadaan itupun tidak juga
berubah. Akhirnya Ki Tambak Wedi melihat, bahwa tidak ada
gunanya pertempuran yang aneh itu diteruskan. karena itu
maka katanya "Aku sudah menyampaikan ucapan selamat itu"
Kiai Gringsing masih belum melemahkan genggamannya.
Jawabnya "Terima kasih atas ucapan selamat yang cukup
hangat ini" Akhirnya keduanya sedikit demi sedikit mengurangi
tekanan-tekanan pada telapak-telapak tangan mereka.
Sehingga dengan demikian maka akhirnya tangan mereka
itupun terurai. "Hem" Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian sambil tersenyum ia berkata "Baru sekali ini aku
menerima ucapan selamat yang sedemikian hangatnya
melampaui hangatnya api neraka"
"karena itu sebabnya maka kau berani menghalang-halangi
maksudku" berkata Ki Tambak Wedi tanpa menjawab katakata
Kiai Gringsing "Ternyata orang yang menamakan diri Kiai
Gringsing adalah orang yang mampu menyamai kekuatan
kitw. Namun apakah ilmu kanuragan dan tata perkelahianmu
dapat menyamai Ki Tambak Wedi?"
Kiai Gringsing menggeleng "Entahlah, aku belum pernah
berkelahi melawan Ki Tambak Wedi. sebenarnyalah bahwa
aku tidak senang berkelahi seperti anak-anak berebut tulang
tanpa arti" "Omong kosong" desak Ki Tambak Wedi.
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi kini ia melihat
perkelahian diarena. Dan Ki Tambak Wedipun kemudian
melihat kesana pula. Sekali-sekali mereka masih mengayunkan seranganserangan
mereka berganti-ganti. Tetapi perkelahian itu sudah
tidak merupakan perkelahian lagi. Mereka hanya sekedar
berdiri berhadap-hadapan dan kadang-kadang menggerakkan
tangan-tangan mereka atau kaki-kaki mereka, untuk kemudian
terhuyung-huyung beberapa langkah. Kalau tangan mereka
sekali-sekali beradu. Maka mereka kedua-duanya terdorong
kebelakang dan jatuh bersama-sama.
Kini Untara dan Sidanti itu berdiri berhadap-hadapan.
Hanya mata mereka sajalah yang masih tetap menyala.
Sidanti sekali-sekali masih menggeram penuh kemarahan.
Namun kemudian terdengar Untara berkata "Sidanti, apakah
hasil dari perkelahian ini?"
Terdengat gigi Sidanti gemeretak. Nyala yang memancar
dari matanya itu seakan-akan ingin membakar hangus
lawannya. Namun demikian ia menjawab dengan bangganya
"Untara, ternyata namamu hanya sekedar untuk menakutnakuti
lawan-lawanmu. Disini sekarang orang dapat melihat
bahwa kau tidak lebih dari Sidanti"
"Ya" sahut Untara "Itukah hasil yang memang kau inginkan
dari perkelahian ini, sehingga orang dapat menilai keunggulan
Sidanti dari setiap orang di Sangkal Putung?"
"Ya, Sidanti ingin membuktikan, bahwa Sidanti berhak
untuk menamakan dirina sejajar dengan Untara"
"Bagus" berkata Untara "Kalau hanya itu yang kau inginkan,
kenapa tidak kau katakan sejak tadi" Dengan demikian kita
tidak perlu membuang-buang tenaga. Kau lihat bukan"
Tenaga kita terbuang tanpa arti"
"Cukup berarti bagiku"
"Kau menjadi puas karenanya?"
"Belum, aku ingin menundukkanmu"
"Apakah kausangka akan berhasil?"
"Kalau tidak sekarang, pada kesempatan lain"
"Baik, kalau begitu biarlah kita bicarakan pada kesempatan
lain itu. Sekarang kau sudah puas?"
Sekali lagi Sidanti menggertakkan giginya. Tetapi ia tidak
dapat menjawab pertanyaan itu. Ya, apakah ia sudah puas"
Kalau tidak, apakah yang akan dilakukan"
Sidanti itu terdiam sesaat. Tetapi untuk menutupi
kegelisahannya ia bertanya "Apakah perkelahian ini kita
lanjutkan Untara?" Untara tersenyum pahit. Jawabnya "Apakah kau
memandang bahwa perkelahian seterusnya akan bermanfaat
bagimu?" *** "Persetan. Aku bertanya kepadamu"
Sekarang Untara terdiam sesaat. Tetapi tiba-tiba kemudian
ia berkata "Persoalan antara aku dan Sidanti telah kami
anggap selesai saat ini. Terserahlah apabila pada masa-masa
yang akan datang, persoalan itu akan diungkapkan kembali.
Sekarang kembali ke kademangan"
"Jangan menganggap soal diantara kita sudah selesai. Soal
itu baru selesai apabila Untara telah mengakui keunggulan
Sidanti daripadanya" berkata Sidanti dengan sombongnya.
Tetapi Untara seakan-akan tidak mendengar kata-kata itu.
Bahkan sekali lagi ia mengangkat wajahnya sambil berkata
"Paman Widura, kembali ke kademangan"
Widura itupun seakan-akan menjadi tersadar dari mimpinya
yang dahsyat. karena itu dengan tergagap ia menjawab "Baik,
Untara. Kita akan segera kembali"
Kemudian kepada orang-orangnya Widura berkata
"Tinggalkan lapangan ini. Kembali ke kademangan"
Orang-orang Widurapun kemudian mulai bergerak dari
tempat mereka, setelah mereka terpaku beberapa lama.
Orang-orang lainpun kemudian menghambur pula dari
lingkaran itu, pulang kerumah masing-masing dengan kesan
yang aneh didalam hati mereka. Mereka melihat perkelahian
yang tanpa ujung dan pangkal itu. Sebagian dari mereka
bertanya-tanya pula didalam hati mereka "Apakah Untara
benar-benar tak mampu mengalahkan Sidanti?" Sedang orang
lain berkata didalam hatinya "Sidanti benar-benar seorang
anak muda yang luar biasa. Ternyata ia mampu melawan
Untara dalam perkelahian yang tidak berakhir"
Tetapi Widura, Agung Sedayu, Ki Tambak Wedi dan Kiai
Gringsing melihat apa yang sebenarnya terjadi, bahkan
beberapa orang anak buah Widurapun merasakan sesuatu
yang aneh dari pertempuran itu. Meskipun demikian, mereka
tidak dapat mengerti, apakah yang aneh itu.
Ketika orang-orang disekitar arena itu sudah siap
meninggalkan lapangan, maka terdengar Sidanti itu berkata
"Aku tinggal disini"
"Kaupun kembali ke kademangan, Sidanti" berkata Untara.
"Tidak" jawab Sidanti.
"Kau dengar perintah ini" Kali ini aku berbicara bukan atas
nama pribadiku. Kau dengar?"
Tubuh Sidanti itu menggigil karena marah. Tetapi tubuhnya
benar-benar telah lemah. Sedang gurunya masih belum juga
menampakkan dirinya. Namun Sidanti itu kemudian menduga
bahwa gurunya pasti memperhitungkan juga, hadirnya
seseorang yang telah melemparkan cemeti kuda diarena itu.
Karena Sidanti itu masih tegak ditempatnya terdengar
Untara mengulangi "Sidanti, kembali ke kademangan. Jangan
melawan perintah" Sidanti menggeram. Tetapi ia telah menjadi sedikit puas,
bahwa orang-orang Sangkal Putung telah melihat, bahwa ia
mampu melawan Untara yang perkasa dalam perkelahian
yang tak berakhir. Dengan demikian, maka meskipun ia
terpaksa menuruti perintahnya, namun itu adalah karena
tugasnya sebagai seorang prajurit. Tetapi nilai seorangseorang,
ia adalah sejajar dengan Untara. Dan karena
kebanggaannya itulah, maka ia tidak menjadi terlalu berkeras
hati. Betapapun segannya, ia berjalan juga meninggalkan
lapangan itu menuju kekademangan. Disepanjang jalan ia
masih dapat menengadahkan wajahnya, seakan-akan berkata
kepada setiap orang yang dijumpainya "Inilah Sidanti, yang
mampu menyamai keperwiraan Untara, orang yang mendapat
kuasa langsung dari pimpinan tertinggi Wiratamtama"
Demikianlah maka satu demi satu orang-orang yang
berada dilapangan itu pergi dengan kesan masing-masing.
Dibelakang Sidanti yang sedang menikmati kebanggaannya,
berjalan Untara dan Widura. Dibelakang mereka berjalan
Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu itu kini tidak lagi
berjalan menunduk, tetapi wajahnyapun tengadah seperti juga
Sidanti. Dan orang-orangpun memandangnya dengan penuh
kekaguman. Apabila Sidanti mampu menyamai keperwiraan
Untara, maka Agung Sedayu memiliki ketangkasan memanah
melampaui Sidanti. Bahkan ada diantara mereka yang bertanya-tanya didalam
hati mereka "Apakah Agung Sedayu ini melampaui kakak
kandungnya, sehingga iapun akan sanggup mengalahkan
Sidanti?" Namun perlombaan dilapangan itu telah benar-benar
berkesan dihati para penontonnya, orang-orang Sangkal
Putung. Mereka itu kini tahu dengan jelas, bahkan hampir
pasti, siapakah orang-orangnya yang menjadi tiang
kademangannya, Sidanti, Agung Sedayu dan sekarang hadir
Untara disamping Widura sendiri. Meskipun mereka ternyata
seakan-akan bersaing satu dengan yang lain, namun
berkumpulnya tokoh-tokoh itu di Sangkal Putung, agaknya
telah memberi sedikit ketenangan kepada penduduk yang
menyimpan berbagai macam perbekalan dipadukuhan dan
kademangan mereka itu. Sekar Mirah kini tak dapat berlari-lari menyusul Agung
Sedayu maupun Sidanti. Ayahnya membimbingnya tanpa
melepaskan tangannya, sedang Swandaru berjalan agak jauh
dibelakang mereka sambil menuntun kudanya. Tetapi
wajahnya kini telah menjadi lebih terang. Untunglah bahwa
dipalangan itu benar-benar tidak jatuh korban. Ia menjadi
menyesal juga atas perbuatannya. Namun sebenarnya,
disudut hatinya, terasa juga kekecewaannya atas Untara.
Ternyata Untatra itu tidak mampu untuk melumpuhkan Sidanti.
Meskipun kadang-kadang ia berpikir juga, ketika ia melihat
Untara dan Widura lewat dimukanya, langkah Untara itu masih
jauh lebih tegap dari langkah Sidanti yang hampir terhuyunghuyung
meskipun dengan wajah tengadah.
Ketika mereka telah meninggalkan lapangan, dan berjalan
menyusur jalan-jalan padukuhan, Widura yang berjalan
disamping kemenakannya itu tiba-tiba menggamit pundaknya
"Untara" Untara berpaling. "Ya" katanya.
"Aku belum sempat bertanya kepadamu, kemana kau
selama ini, namun aku masih menyimpan pertanyaan lain
yang ingin aku katakan lebih dahulu kepadamu. Kenapa kau
biarkan Sidanti masih menepuk dadanya?"
Untara tersenyum sambil menarik nafas. Ketika ia menoleh
dilihatnya adiknya berjalan dibelakangnya. Tiba-tiba
terbesitlah sesuatu didalam dadanya. Adiknya kini benarbenar
telah menjadi seorang anak laki-laki. Karena itu,
sebelum ia menjawab pertanyaan pamannya ia berkata
seakan-akan kepada dirinya sendiri "Hem, Sedayu agaknya
telah menemukan dirinya sendiri"
Agung Sedayu yang berjalan sambil mengangkat wajahnya
itu terkejut. Tiba-tiba saja kepalanya itu ditundukkannya.
Meskipun demikian, ia menjadi terharu juga mendengar katakata
kakaknya itu. Namun ia masih berdiam diri saja.
Sesaat kemudian baru Untara itu menjawab pertanyaan
Widura "Sidanti adalah seorang anak perasa dan pendendam.
Karena itu ia sebenarnya sangat berbahaya. Biarlah ia
menikmati kebanggaan-kebanggaan yang dapat sekedar
membujuknya. Kalau anak itu memberontak terhadap
perintah-perintah paman bersamaan waktunya dengan
kedatangan Tohpati, maka keadaan paman disini akan
menjadi sangat kalut. Biarlah anak itu mendapat sekedar
kepuasan dan besok kalau Tohpati itu datang, maka kita akan
dapat melawannya dengan kekuatan sepenuhnya"
"Hem" Widura menarik nafas panjang-panjang. Katanya
"Sudah aku usahakan dengan beribu-ribu cara. Aku biarkan ia
berbuat sekehendaknya, meskipun kadang-kadang aku
memaksanya dengan kekerasan. Namun anak itu memang
mempunyai tuntutan pribadi yang berlebih-lebihan. Apalagi
agaknya gurunya selalu memberinya harapan-harapan,
sehingga karena itu perbuatan-perbuatannya kadang-kadang
melampaui batas" "Mudah-mudahan paman bijaksana" sahut Untara.
"Tetapi" tiba-tiba Agung Sedayu menyela "Apabila paman
telah memanjakannya, maka ia akan bertambah berani
menentang kehendak paman"
Widura dan Untara berpaling bersama-sama. Namun
kemudian Widura itu tersenyum. Katanya "Tentu tidak
mungkin kalau aku sendiri harus memaksanya dalam suatu
persoalan. Anak-anak yang lainpun menganggap demikian.
Namun bukankah berkali-kali aku memberi kesempatan
kepadamu, Agung Sedayu" Aku mengharap bahwa kaulah,


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebelum kedatangan kakakmu, seperti juga harapan anak
buahku, akan dapat sedikit memberinya peringatan.
Tersenyum agaknya kau selama ini terlalu baik hati, sehingga
kau tidak pernah melayaninya, betapapun Sidanti itu menyakiti
hatimu" Agung Sedayu menggigit bibirnya sambil menundukkan
wajahnya. Sedang Untarapun tersenyum pula karenanya.
Katanya "Paman, apakah yang dikerjakan Agung Sedayu
selama ini?" "Ia datang sebagai pahlawan" sehut pamannya. "Namun
seterusnya ia lebih senang duduk dipringgitan siang dan
malam" "Ah" desah Agung Sedayu.
Untara tertawa. Kemudian katanya "Aku dengar, kau telah
berhasil mengalahkan genderuwo bermata satu ditikungan
randu alas, Sedayu?"
Agung Sedayu masih menundukkan wajahnya. Sudah
beberapa lama ia lupa pada genderuwo itu. Dan tiba-tiba ia
kini menjadi geli terhadap dirinya sendiri. Betapa ia takut
kepada nama-nama yang belum pernah dikenal adanya.
Genderuwo bermata satu, macan putih dari Lemah Cengkar,
namun ia lebih geli lagi kalau diingatnya, lututnya dua-duanya
menjadi gemetar ketika tiba-tiba Sidanti marah kepadanya,
pada saat ia sedang bercakap-cakap dengan Sekar Mirah.
"Sekar Mirah. Ya, Sekar Mirah" tiba-tiba hatinya berteriak
"Aku kehilangan setiap kesempatan bertemu dengan gadis itu,
bukankah karena aku takut kepada Sidanti" Kini aku tidak
takut lagi kepadanya. Dan aku tidak akan menghindari setiap
pertemuan dengan gadis itu"
Tetapi yang kemudian didengarnya adalah kata-kata
pamannya "Untara, kedatanganmu aku harap akan membawa
angin baru bagi kademangan ini. Dan malam nanti jangan kau
harap kau akan dapat tidur. Betapapun letihnya, kau harus
bercerita kepada kami disini, dimana kau selama ini, dan apa
yang telah terjadi dengan dirimu. Berhari-hari aku dan Agung
Sedayu mencarimu, namun yang kami ketemukan adalah
seorang bertopeng yang menyebut dirinya Kiai Gringsing".
Betapapun dinginnya malam, namun Untara itupun merasa,
bahwa keringatnya tidak juga menjadi kering. Ketika ia sampai
dikademangan, maka pertama kali yang dilakukannya adalah
mandi. Tetapi demikian ia selesai berpakaian, peluhnya telah
mulai mengaliri tubuhnya kembali. Sedang dikepalanya selalu
berputar-putar berbagai pertanyaan yang nanti pasti harus
dijawabnya. Apakah yang akan dikatakan, seandainya
seseorang bertanya kepadanya, kemanakah ia selama ini, dan
apa sajakah yang sudah dilakukannya"
Tetapi akhirnya yan dicemaskannya itupun terjadi. Ketika ia
duduk dipringgitan bersama-sama dengan Widura, Agung
Sedayu dan Ki Demang Sangkal Putung, maka dari pintu
berunculan parapemimpin laskar Pajang yang berada di
Sangkal Putung. Satu demi satu, tanpa dipersilakan. Mereka
kemudian duduk melingkar diatas tikar anyaman ditengahtengah
pringgitan itu. Dipendapa Sidanti duduk ditempatnya sambil meniangbimang
senjatanya yang masih terbalut wrangka dikedua
ujungnya, kemudian dengan rapinya senjatanya itu
diselubunginya dengan kain putih.
Keitka ia melihat beberapa orang masuk kepringgitan, ia
mencibirkan bibirnya. "Buat apa mengerumuni anak yang
sombong itu?" katanya dalam hati. "Aku sangka Untara itu
setidak-tidaknya dapat menyamai kesaktian Macan Kepatihan.
Tetapi ternyata ia tidak lebih baik dari Widura sendiri"
Dengan mata yang redup ia memandangi setiap orang
yang berjalan didekatnya. Bahkan kemudian dengan
malasnya ia berbaring sambil menguap keras-keras.
Seorang prajurit yang tidak jauh daripadanya berkata "Ah,
kakang Sidanti, kau mengejutkan aku"
"Huh" sahut Sidanti "Kenapa kau tidak ikut masuk
kepringgitan saja?" "Hanya para pemimpin kelompok yang boleh masuk.
Pringgitan itu terlalu sempit" jawab orang itu. "Kenapa kakang
tidak ikut masuk dan mendengarkan cerita Untara itu?"
"Buat apa aku mendengarkan bualannya" Ternyata aku
kecewa setelah aku menilai sendiri kekuatan orang yang
bernama Untara itu. Dahulu aku kagum apabila aku
mendengar namanya. Sekarang ternyata aku sama sekali
tidak mempunyai harapan apapun atas kehadirannya. Kalau
Macan Kepatihan itu datang kembali, maka nasib kita masih
akan sama saja. Apalagi agaknya Macan Kepatihan telah
melihat kekuatan yang ada di Sangkal Putung. Ia psati tidak
akan datang dengan kekuatan yang sama dengan pada saat
ia datang dahulu" Prajurit itu tidak menjawab. iapun mempunyai perasaan
yang sama seperti apa yang dikatakan oleh Sidanti. Ada juga
rasa kecewa didadanya, setelah ia melihat Untara dan Sidanti
bertempur. Sedang hasilnya, keduanya tak dapat saling
mengalahkan. Dengan demikian, maka apa yang diharapkan
dari Untara untuk melawan Macan Kepatihan akan tidak
terpenuhi. Apabila kelak Macan Kepatihan itu dtang beserta laskarnya
yang lebih kuat, serta apabila Macan Kepatihan berhasil
mengumpulkan orang-orang ternama yang tersebar, maka
keadaan Sangkal Putung pasti benar-benar ada dalam
bahaya. Tetapi prajurit itu tidak bertanya apapun. Perlahan-lahan ia
berjalan kehalaman dan duduk termenung diatas sebuah batu.
Dilihatnya beberapa kawannya yang berada diregol halaman,
tampak selalu berwaspada, sedang dimuka gandok dilihatnya
beberapa orang tidur mendengkur sambil memeluk pedangpedang
mereka. Tetapi sebentar kemudian prajurit itupun menjadi
mengantuk pula, sehingga dengan segannya iapun berjalan
kegandok wetan, dan merebahkan diri disamping kawankawannya.
Tetapi ia tidak berhasil memejamkan matanya.
Berkali-kali ia tersadar karena kegelisahannya.
Dipringgitan, Untara terpaksa mendengarkan berbagai
pertanyaan yang bertubi-tubi menghujaninya. Beberapa
pertanyaan dapat dijawabnya dengan mudah. Namun yang
lain telah membingungkannya.
Pelun dingin mengalir dikening Untara ketika ia mendengar
pamannya bertanya "Untara, aku telah sampai kerumah Ki
Tanu Metir, sehari setelah kau hilang. Aku tidak dapat
menemukan jejakmu dan Ki Tanu Metir. Seseorang
mengatakan bahwa kau telah diculik oleh gerombolan Alapalap
Jalatunda. Tetapi sekarang, tiba-tiba saja kau muncul
dengan segar bugar. Apakah yang sebenarnya telah terjadi di
dukuh Pakuwon?" Untara menarik nafas dalam-dalam. Sesaat ia berpikir,
kemudian ia menjawab "Ya, aku memang dalam kesulitan
waktu itu. Tetapi seseorang telah menyelamatkan aku"
"Siapa?" bertanya Widura.
Untara itu kemudian memandang berkeliling. Satu per satu,
wajah-wajah yang penuh minat memperhatikannya itu
ditatapnya. Kemudian dengan hati-hati ia menjawab "Aku
ditolong oleh seorang yang tak kukenal, karena wajahnya
ditutup oleh sebuah topeng"
"Kiai Gringsing?" sela Widura.
"Ya" Widura tertawa. Agung Sedayupun tersenyum juga. Tetapi
orang lain, yang belum pernah mengenal Kiai Gringsing
menjadi terkejut karenanya. Tetapi mereka berdiam diri.
Mereka menunggu pertanyaan-pertanyaan Widura
selanjutnya. Tetapi yang berkata kemudian adalah Untara "Kenapa
paman tertawa?" "Aku pernah bertemu dengan Kiai Gringsing"
"Lalu?" "Aku pernah melihat jejak-jejak kuda dari kandang Ki Tanu
Metir" "Apa hubungannya dengan Kiai Gringsing?"
"Kiai Gringsing menyangkal bahwa ia pernah datang
kerumah Ki Tanu Metir"
Untara mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian iapun
tersenyum pula. katanya "Kiai Gringsing memang orang yang
aneh. Karena itu biarlah untuk sementara aku tidak bercerita
tentang orang itu" Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memahami
jawaban Untara. Kiai Gringsing pasti berpesan kepadanya,
untuk merahasiakan dirinya.
"Tetapi" berkata Untara kemudian "Aku mengharap bahwa
waktu itu tidak terlalu lama. Syukurlah kalau Kiai Gringsing
sendiri datang kepada kita disini dan bercerita tentang dirinya".
"Bukankah Kiai Gringsing hadir juga dilapangan siang
tadi?" bertanya Widura.
"Ya" sahut Untara "Aku melihat ciri-cirinya dilemparkan
ketengah-tengah arena, ketika seseorang melemparkan ciricirinya
yang lain, yang agaknya Ki Tambak Wedi"
Widura mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya
"Kau kenal juga ciri Ki Tambak Wedi?"
Untara tidak menjawab. Tetapi ia tersenyum.
Beberapa orang lain yang mendengarkan cerita itu,
sebagian besar sama sekali tidak tahu ujung pangkalnya.
karena itu mereka hanya berdiam diri mendengarkan.
Swandaru yang kemudian duduk dibelakang ayahnyapun
sama sekali tidak mengerti apa saja yang sedang
dipersoalkan. Tetapi pertemuan itu tidak berlangsung lebih lama lagi.
Beberapa orang menjadi sangat mengantuk dan Untara
sendiri menjadi sangat lelah. karena itu katanya "Aku minta
maaf, karena aku sangat lelah, apakah aku boleh
meninggalkan pertemuan ini?"
Widura tersenyum, jawabnya "Pertemuan tanpa kau tidak
akan ada gunanya. karena itu, biarlah pertemuan ini berakhir.
Kita harus beristirahat, meskipun kita hampir sampai keujung
malam. Sebentar lagi kita harus sudah bangun dan
menunaikan kewajiban kita masing-masing."
Pringgitan itu sesaat kemudian menjadi sepi. Untara tidak
mau tidur dipembaringan Widura. Ia lebih senang tidur diatas
sehelai tikar bersama adiknya.
Ketika semuanya telah pergi, dan ketika Untara telah
membaringkan dirinya disamping adiknya, maka katanya
perlahan-lahan "Apakah yang kau kerjakan selama ini?"
Agung Sedayu menarik nafas. Jawabnya "Aku hampir mati
kecemasan" Untara tersenyum. Katanya "Kalau tidak karena terpaksa
oleh keadaan, aku kira kau masih saja suka merengek-rengek.
Aku turut berbangga dengan keadaanmu sekarang. Mudahmudahan
penyakitmu tidak kambuh lagi setelah aku datang"
"Mudah-mudahan" gumam Agung Sedayu. Dalam pada itu,
terasa sesuatu bergolak didalam dadanya. Ia tiba-tiba saja
memiliki perasaan yang asing tentang dirinya. Tentang dunia
sekitarnya. Tiba-tiba tanpa disengaja ia meraba luka
dipundaknya yang telah dibalut rapi. Luka itu tidak seberapa.
Tetapi luka itu seakan-akan telah membangunkannya dari
tidur yang nyenyak. Apa yang telah dilakukannya dilapangan,
ternyata mampu membangkitkan kebanggaan atas diri sendiri,
sehingga karena itu, Agung Sedayu kini melihat kemampuan
yang dimilikinya. karena itulah maka kini ia percaya akan
dirinya sendiri. Dihari berikutnya, hampir seluruh penduduk Sangkal
Putung bercerita sesamanya tentang apa yang mereka
saksikan dilapangan. Mereka menjadi kagum kepada Agung
Sedayu, yang dalam ketangkasan memanah dapat melampaui
Sidanti. Mereka menjadi kagum pula, bahwa sebelumnya
Agung Sedayu sama sekali tidak berhasrat untuk ikut serta
dalam perlombaan itu. "Alangkah rendah hatinya anak muda
itu" beberapa orang diatara mereka memujinya.
Namun ada pula yang menjadi semakin kagum kepada
Sidanti, atau yang menjadi kecewa terhadap Untara. Meskipun
demikian, maka mereka menjadi agak tenang juga dengan
kehadiran Untara. Dengan demikian maka kekuatan di
Sangkal Putung itu menjadi bertambah.
Tetapi dalam pada itu, penduduk Sangkal Putung menjadi
cemas ketika mereka melihat kesiagaan laskar Pajang itu
meningkat. Setiap hari mereka melihat, peronda-peronda
berkuda hilir mudik dipadukuhan mereka. Peronda-peronda
berkuda yang menghubungkan satu desa dengan desa yang
lain dalam lingkungan kademangan Sangkal Putung. Bahkan
kesiap-siagaan anak-anak muda Sangkal Putungpun
meningkat pula. gardu-gardu peronda yang dikhususkan bagi
merekapun selalu dipenuhi oleh anak-anak muda itu. Setiap
saat mereka berlatih mempergunakan senjata. Sebab mereka
merasa, bahwa ilmu tata berkelahi yang ada pada mereka,
masih belum mencukupi dibandingkan dengan laskar Pajang,
maupun laskar Jipang. Namun tekad merekalah yang agaknya
telah memperkuat ketahanan mereka menghadapi setia
keadaan. Sebenarnyalah Widura telah memberikan beberapa
peringatan kepada laskarnya, bahwa kemungkinan Macan
Kepatihan akan menyergap mereka setiap saat. Karena itulah
maka setiap gardu peronda diujung-ujung desa selalu
diperlengkapi dengan alat-alat tanda bahaya yang sebaikbaiknya
serta beberapa ekor kuda. Dihalaman
kademanganpun telah dikumpulkan beberapa ekor kuda yang
cukup baik dari segenap penduduk Sangkal Putung. Setiap
saat laskar Pajang itu harus bergerak cepat ketempat-tempat
yang dianggap sangat berbahaya.
Sedang pada hari itu pula Untara sedang mengagumi cara
adiknya untuk meningkatkan ilmunya. Untara melihat
beberapa lembar rontal yang telah dilukis oleh Agung Sedayu.
Dengan pengetahuan yang jauh lebih luas, Untara berhasil
memberikan beberapa petunjuk kepada adiknya mengenai
lukisan-lukisannya. Beberapa unsur gerak ternyata menjadi
lebih mantap dan lebih sempurna. Untara mencoba
mengurangi kelemahan-kelemahan yang ada didalam lukisan
adiknya. "Nanti malam biarlah aku melihat ketangkasanmu"
berkata Untara kepada adiknya "mudah-mudahan Tohpati
tidak menyergap kita hari ini"
Sehari itu dilalui dengan berbagai ketegangan dihati
anggota laskar Pajang. Dan bahkan oleh segenap penduduk


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sangkal Putung. Pagi-pagi mereka sudah pergi kewarung
diujung desa, kemudian memasak agak lebih banyak dari
biasanya. Apabila sewaktu-waktu datang keributan, mereka
sudah menyimpan makanan dirumahnya. Bahkan beberapa
orang telah mempersiapkan barang-barang yang mereka
anggap berharga. Ketika seorang perempuan sibuk membungkus barangbarangnya,
bertanyalah suaminya "Untuk apa barang-barang
itu kau kumpulkan?" "Apakah kita tidak pergi mengungsi saja kakang?"
"Kemana kita akan mengungsi?"
"Ke kademangan- kademangan sebelah"
"Tak ada gunanya. Di kademangan ini ditempatkan
sejumlah laskar Pajang. Di kademangan- kademangan lain
sama sekali tidak, selain hanya kadang-kadang saja dilewati
oleh para peronda dari kademangan ini juga"
Istrinya termenung sesaat, namun kemudian jawabnya
"Tetapi aku dengar, kademangan ini menjadi tujuan
penyerbuan dari laskar Jipang, sebab kademangan inilah yang
dianggap menjadi sumber perbekalan. Sedang kademangan
lain tidak" "Sesudah kademangan ini, akan datang gilirannya
kademangan- kademangan lain. Dan kita akan mengungsi dari
satu kademangan kelain kademangan"
Istrinya tidak berkata-kata lagi. Meloncat dari satu tempat
ketempat lain dengan seluruh anak-anaknya adalah pekerjaan
yang tidak menyenangkan. Tetapi tinggal dirumahpun hatinya
selalu gelisah. Sehingga kemudian suaminya berkata "Yang
sebaik-baiknya adalah mempertahankan kademangan ini
bersama-sama dengan laskar Pajang"
"Sampai berapa tahun laskar Pajang itu akan tinggal disini"
Bukankah dengan demikian akibatnya akan hampir sama?"
"Kenapa?" "Mereka makan beras kita yang kita pertahankan dari
sergapan laskar Jipang"
"Tidak seberapa. Mereka makan hanya sepenuh-penuh
perut mereka. Sedang laskar Jipang akan mengambil
semuanya, bahkan dengan semua benda-benda berharga dari
kademangan ini" Kembali istrinya berdiam diri. Ketika suaminya kemudian
berkata lagi, hatinya berdebar-debar. Katanya "Nyai,
sebaiknya kita pertahankan kademangan ini. Sebaiknya setiap
laki-laki ikut serta. Tidak hanya anak-anak muda saja"
"Kau akan pergi juga?"
"Ya" jawab suaminya "Seperti Ranu dan Harda"
Alangkah cemasnya istrinya mendengar kata-kata itu.
Kenapa timbul perselisihan dipusat kerajaan, sehingga
daerah-daerah yang jauhpun mengalamai akibatnya"
Peperangan benar-benar merupakan sesuatu yang
mengerikan sekali. Yang memisahkan suami-suami dari istriistri
mereka, ayah dari anak-anak mereka, dan anak dari ibuibu
mereka. Peperangan telah mematahkan cinta manusia.
Cinta sesama. Tetapi laki-laki itu kemudian pergi juga ke banjar desa
bersama dengan laki-laki yang lain. Mereka mengganti
cangkul, bajak dan garu dengan pedang digenggaman
tangannya. Demikianlah tidak saja anak-anak muda, kemudian orangorang
yang telah meningkat kepertengahan abadpun ikut serta
menyerahkan dirinya pada pengabdian bagi tanah
kelahirannya, bagi kampung halamannya. Mereka
menempatkan diri dibawah pengawasan langsung Demang
Sangkal Putung. Dan bagi mereka telah dibagikan tugas,
untuk menjaga kademangan dan lumbung-lumbung desa pada
saat-saat yang genting. Sedang anak-anak muda
diperkenankan ikut dalam perlawanan langsung apabila
musuh-musuh mereka benar-benar datang.
Tetapi hari itu telah dilewati dengan aman. Laskar Macan
Kepatihan sama sekali tidak menampakkan diri. Tetapi tidak
mustahil bahwa mereka akan menyergap dimalam hari.
"Setan itu benar-benar mengganggu kademangan ini"
gerutu Widura, ketika malam turun. "Mereka barangkali kini
sedang tidur dengan nyenyaknya, sedang kita harus selalu
berjaga-jaga menunggu kedatangan mereka"
"Pada suatu ketika, kitalah yang mengambil prakarsa.
Bukan mereka. Sebab dengan demikian, keadaan kita
merekalah yang menentukan" sahut Untara.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Seharusnyalah
demikian. Apabila datang saatnya, laskar Pajanglah yang
harus mencari sisa-sisa laskar Macan Kepatihan untuk
dimusnahkan. Malam itu seperti yang biasa dilakukan oleh Widura, adalah
pergi berkeliling gardu-gardu peronda. Kali ini Widura tidak
hanya pergi berdua dengan Agung Sedayu, tetapi Untara turut
serta bersama mereka. Satu persatu Widura mengunjungi gardu-gardu besar, dan
pusat-pusat penjagaan. Ternyata tak seorangpun dari anak
buahnya yang mengabaikan segala perintahnya. Sebab
sedikit kelengahan yang mereka lakukan, maka akibatnya
dapat mengerikan sekali. Sehingga dengan dem dengan
penuh kesadaran mereka melakukan tugas-tugas mereka
dengan penuh tanggung jawab.
Yang terakhir dilakukan oleh Widura adalah pergi kegunung
Gowok. Untara ingin melihat, bagaimanakah perkembangan
adiknya selama ini. karena itu, maka ketika mereka telah
beristirahat sejenak, Untara itupun berkata "Nah Agung
Sedayu. Aku ingin melihat, apakah kau hanya sekedar pandai
melukis diatas rontal-rontal itu, ataukah kau pandai juga
melakukannya" "Anak itu luar biasa" berkata Widura "Kalau ia memiliki
keteguhan hati, maka ia tak akan kalah dengan aku atau
Sidanti." Untara tersenyum. Katanya kepada adiknya "Hatimu
sekecil hati kelinci. Namun agaknya sekarang kau telah
menemukan harga dirimu, sehingga karena itu hatimu akan
berkembang. Dengan demikian maka kau akan dapat menjadi
seorang laki-laki yang tidak menggantungkan nasibmu kepada
orang lain." Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia ingin
menunjukkan kepada kakaknya, apakah yang telah yang
dimilikinya selama ini. **** Buku 06 Untara dan Agung Sedayu kemudian tidak membuangbuang
waktu lagi. Segera mereka mulai dengan suatu latihan
yang keras. Ternyata Untara benar-benar ingin melihat,
sampai dimana puncak kemampuan adiknya.
Ketika latihan itu telah berjalan beberapa lama, maka
tahulah Untara bahwa apa yang dikatakan oleh Widura itu
memang sebenarnya demikian. Agung Sedayu mempunyai
bekal yang cukup untuk menjadi seorang anak muda yang
perkasa. Ketangkasan, kekuatan tenaga dan kelincahan.
Apalagi kini, setelah anak
muda itu menemukan kepercayaannya kepada diri
sendiri, maka setiap geraknyapun seolah-olah menjadi lebih mantap. Meskipun beberapa kali Untara
melihat kesalahan-kesalahan
yang masih dilakukan oleh
adiknya, namun kesalahankesalahan
kecil itu segera dapat diperbaikinya. Dalam latihan-latihan itulah,
maka Widura melihat betapa
Untara sebenarnya mempunyai ilmu yang hampir
mumpuni. Bahkan kemudian Widura itu tersenyum sendiri
mengenangkan perkelahian antara Untara dan Sidanti. "Aneh"
pikirnya "Jarang aku temui anak muda sesabar Untara dalam
menghadapi lawan perkelahian apapun alasannya. Tetapi
terbawa oleh tugas yang diembannya, maka agaknya Untara
harus berlaku bijaksana. Kalau ia mau, maka Sidanti adalah
bukan lawannya." Namun Agung Sedayu ternyata telah mengagumkan pula.
Kini anak itu tampaknya tidak ragu-ragu lagi untuk sekalisekali
membenturkan tenaganya apabila perlu. Meskipun
beberapa kali ia terdorong surut oleh kekuatan Untara, namun
segera ia berhasil menguasai keseimbangan dengan
kelincahannya. Untara melihat ketangkasan adiknya itu dengan penuh
kebanggaan didalam dadanya. Apa yang dilakukan oleh
Agung Sedayu, benar-benar jarang ditemuinya. Melatih diri
dalam lukisan-lukisan. Membuat perhitungan-perhitungan
dengan gambar. Tetapi ternyata dalam pelaksanaannyapun
Agung Sedayu mampu melakukan sebagian besar dari anganangannyayang
dituangkannya diatas rontal-rontal. Hanya
disana-sini Untara masih perlu memberinya beberapa
petunjuk dan perubahan, sehingga dengan demikian ilmu
Sedayu itupun menjadi semakin sempurna.
Ketika Untara telah cukup mengenal ilmu adiknya, serta
menganggap latihan itu telah cukup, maka segera ia
menghentikannya. Agung Sedayu,yang sebenarnya telah
menjadi kelelahan, sgera meloncat surut dan dengan wajah
yang riang ia berdiri bertolak pinggang. Meskipun demikian,
tampak juga dadanya menggelombang karena nafasnya yang
terengah-engah. "Kau lelah" bertanya Untara.
Agung Sedayu mengangguk, jawabnya "latihan ini terlalu
keras bagiku." "Belum sekeras perkelahian sebenarnya" Untara menyahut
"Apalagi kalau kau bertemu dengan Macan Kepatihan dengan
tongkatnya yang mengerikan itu."
Agung Sedayu menarik nafas. Kemudian iapun segera
duduk diatas seonggok tanah disamping pamannya. Sedang
Untara masih saja berdiri untuk kemudian memberikan
beberapa petunjuk tentenag kesakahan-kesalahan yang
dibuat oleh Agung Sedayu.
"Sedayu" berkata kakaknya "kau ternyata mampu
bertempur seorang lawan seorang. Tetapi suatu ketika kau
akan turut serta dalam pertempuran brubuh. Pertempuran
antara laskar Pajang dan laskar Jipang. Dalam pertempuran
yang demikian kau tidak hanya dapat membanggakan
kekuatan pertempuran seorang lawan seorang. Tetapi kau
harus dapat menempatkan dirimu diantara kawan dan lawan."
Agung Sedayu kemudian memperhatikan dengan seksama
petunjuk-petunjuk yang diberikan oelah kakaknya.
Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi didalam perang
atara dua kekuatan dalam jumlah yang banyak. Hal-hal yang
sebagian lagi pamannya telah memberitahukannya
kepadanya. Tetapi Untara itupun berhenti ketika dilihatnya sebuah
bayangan yang bergerak-gerak dibelakang pucuk kecil itu.
Namun mereka tidak menjadi cemas karenanya. Orang itu
telah mereka kenal baik-baik. Kiai Gringsing.
Namun mereka menjadi heran ketika melihat Kiai Gringsing
itu tidak datang sendiri.
Ketika Untara melihat orang yang datang bersama dengan
Kiai Gringsing itu, tampak wajahnya menjadi tegang. Dengan
agak tergesa-gesa ia kemudian bertanya "Apakah ada
sesuatu yang penting dengan pekerjaanmu?"
Sebelum orang itu menjawab, terdengar Kiai Gringsing
tertawa. Katanya "Kenapa kau tidak mempersilahkan aku
dahulu, baru bertanya kepada orang ini?"
Untara tertawa. Jawabnya "Marilah Kiai. Aku
mempersilahkan Kiai."
"Hem" Kiai Gringsing menarik nafas. Kemudian kepada
Agung Sedayu ia berkata " Apakah muridmu bertambah
seoang lagi Sedayu?"
Agung Sedayu tersenyum, tetapi ia tidak menjawab.
Bahkan yang berkata kemudian adalah Kiai Gringsing "Nah,
sekarang bertanyalah kepada orang itu."
Untara mengerutkan keningnya. Kemudian katanya kepada
orang yang datang bersama dengan Kiai Gringsing
"Kemarilah" Orang itu ragu-ragu sejenak. Ditatapnya wajah Agung
Sedayu dan Widura berganti-ganti.
Untara yang dapat meraba keraguan orang itu berkata
"Mereka adalah pemimpin laskar-laskar Pajang di Sangkal
Putung. Yang satu adalah adikku Agung Sedayu dan yang lain
adalah paman Widura."
Orang itu menganggukkan kepalanya sambil berkata "Aku
pernah mendengar tentang paman Widura di Sangkal Putung,
tetapi baru kali ini aku melihat orangnya."
Widura tersenyum, sahutnya "inilah orangnya. Tak ada
yang menarik." Orang itu tertawa pendek, yang mendengarpin tertawa
pula. kemudian Untaralah yang berkata "Soma, berkatalah.
Biarlah paman Widura mendengar pula."
Soma menarik nafas dalam-dalam, kemudian setelah
menelan ludahnya ia berkata "Ada beberapa berita tentang
orang itu." Sebelum Soma meneruskan, terdengar Widura menyela
"Untara,aku telah memperkenalkan diriku, tetapi siapakah
kisanak ini?" Untara mengerutkan keningnya. Sesaat ia berdiam diri,
namun kemudian jawabnya "ia salah seorang pembantuku."
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Segera ia
mengerti, orang itu pasti dari pasukan sandi. Karena itu maka
Widura tidak bertanya lagi.
Kemudian berkatalah Soma itu seterusnya "Ketika aku
datang kepondokan kakang, ternyata kakang telah tidak ada.
Menurut pesan kakang terakhir, aku harus datang kerumah
itu. Dan yang aku jumpai adalah Kiai Gringsing."
"Aku meninggalkan rumah itu dengan tergesa-gesa tanpa
aku rencanakan terlebih dahulu. Tetapi bukankah aku telah
berpesan kepada Kiai Gringsing?"
"Pesan yang aneh" gumam Kiai Gringsing.
Untara tersenyum dan Soma itupun tersenyum.


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak ada orang yang dapat berbicara dalam bahasamu
Untara" berkata Kiai Gringsing kemudian "dan pesan itu sudah
aku sampaikan. "Kemudian kepada Agung Sedayu Kiai
Gringsing berkata "He, Sedayu apakah kau dapat mengerti
bahasa Untara itu. Bulan muda,angin selatan, bintang utara.
Laju bersama gubug penceng. "Kiai Gringsing itupun
kemudian tertawa terkekeh-kekeh. "Ayo Sedayu apakah kau
tahu artinya?" "Aku tahu Kiai" jawab Agung Sedayu.
"Apa?" "Kisanak itu harus datang bersama Kiai menemui kakang
Untara disini." Jawab Agung Sedayu sambil tertawa.
Untara tertawa, Soma itupun tertawa dan yang lain-lain
juga tertawa. "Akupun dapat memberikan arti menurut kehendakku"
berkata Kiai Gringsing. "Tetapi bukankah Kisanak itu datang kemari bersama Kiai?"
berkata Sedayu. Kembali mereka tertawa. Tetapi Untara tidak berkata apaapa
tentang kata-kata sandi itu.
"Nah,Soma" berkata Untara kemudian "katakan berita itu?"
"Macan Kepatihan menempatkan beberapa orang untuk
mengamat-amati Benda, namun kemudian pergi ke Timur."
Untara mengerutkan keningnya, katanya "Apakah dapat
diketahui, pada siapakah orang-orang Tohpati itu
bersembunyi?" "Sudah, tetapi kami belum mengetahui jumlah itu." Jawab
Soma "sedang dihutan-hutan disebelah barat kadang-kadang
tampak juga beberapa orang Jipang. Diantara mereka adalah
Plasa Ireng." Kini tidak saja Untara yang mengerutkan keningnya. Tetapi
Widurapun kemudian memperhatikan berita itu dengan
seksama. Bahkan dengan serta-merta ia berkata "Ada tandatanda
Tohpati akan menyergap dari barat?"
Untara mengangguk "Ya" jawabnya "Mereka sedang
menyusun kekuatannya di barat. Plasa Ireng dan pasti Alapalap
Jalatunda telah ditarik pula kedalamnya."
Widura kemudian termenung sejenak. Agaknya Tohpati
benar-benar mengerahkan segala kekuatan dari sisa-sisa
laskar Jipang Plasa Ireng, Alap-alap Jalatunda dan mungkin
pula pimpinan laskar Jipang didaerah utara, yang terkenal
dengan nama Sanakeling. Sesaat gunuk Gowok itu menjadi sepi. Mereka masingmasing
hanyut dalam arus angan-angannya. Widura merasa
bersyukur bahwa sampai saat ini Sidanti masih dapat
dikuasainya atas kebijaksanaan Untara,sehingga apabila
sergapan Tohpati itu datang beserta beberapa orang terkenal
dari laskar Jipang, tenaganya masih dapat dipergunakan.
Widurapun mengharap Agung Sedayu akan memperkuat
laskarnya pula disamping Untara sendiri.
Untara itupun kemudian mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya kepada pembantunya "Aku terima
beritamu. Hubungi Trigata. Aku berada di Sangkal Putung.
Beritahukan setiap perkembangan keadaan."
Orang itu mengangguk. Jawabnya "Tetapi pasti tidak
malam ini. Mungkin besok malam atau lusa."
"Apakah ada tanda-tanda Tohpati menyergap malam hari?"
"Mungkin. Mereka menyiapkan obor dan panah-panah api."
"Setan" Untara menggeram "Tetapi bukan tujuan mereka
menghancurkan Sangkal Putung,sebab mereka memerlukan
lumbung-lumbung padi disini. Tetapi bahwa mereka
menyerang pada malam hari adalah mungkin sekali."
"Nah, aku akan pergi dulu kakang. Mungkin keadaan
berkembang terlalu cepat."
"Baik,aku akan berada di Sangkal Putung ."
Orang itupun kemudian mengangguk, minta diri kepada
semua yang hadir ditempat itu, dan menghilang diantara
gelapnya malam. "Petygas yang baik" gumam Untara.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
wajahnya masih tegang. Sebagai seorang yang bertanggung
jawab atas daerah itu, maka segera Widura membuat
perhitungan.-perhitungan.
Tiba-tiba ia teringat kepada Tambak Wedi. "Sepasar"
katanaya dalam hati. Kini dua hari telah dilampauinya. Tiga
dengan besok. "Gila orang yang tak tahu keadaan itu. Ia
terlalu mementingkan diri sendiri dan muridnya tanpa
memandang segenap persoalan dalam jangkauan yang luas.
Tetapi tiba-tiba ia teringat pula pada orang yang bertopeng
yang duduk dimukanya. Dan dengan serta-merta Widura itu
bertanya "Kiai" katanya "apakah Kaia bertemu dengan
Tambak Wedi di lapangan. Bukankah Kiai telah melemparkan
cemeti Kiai setelah Tambak Wedi melemparkan gelang
besinya." Orang itu tertawa "ya" jawabnya "ia memberi aku salam
yang hangat, sehangat api neraka. Tetapi setelah kalian bubar
orang itu pergi juga tanpa berbuat sesuatu. Aku sangka ia
akan marah kepadaku. Tetapi ia hanya mengancamku."
"Apakah katanya?"
Kiai Gringsing itu diam sesaat. Kemudian dijawabnya "Ki
Tambak Wedi minta aku tidak ikut mencampuri urusannya
dengan kau. Kalau aku tidak memenuhinya, maka aku akan
dibunuhnya." Widura mengangkat alisnya. Setelah termenung sejenak ia
bertanya pula "Bagaimanakah jawaban Kiai?"
"Hem" Kiai Gringsing menarik nafas. Kemudian katanya
"Aku kira tak seorang pun yang berhak berbuat seperti Ki
Tambak Wedi itu. Kalau ia ingin berbuat sekehendaknya,
maka akupun akan berbuat sekehendakku. Bukankah nanti
apabila Ki Tambak Wedi marah aku mencari perlindungan
kepada Agung Sedayu?"
"Ah" Agung Sedayu mendesah, tetapi Widura dan Untara
tertawa. Dan Kiai Gringsing itupun berkata seterusnya "Tetapi
lupakan sajalah Ki Tambak Wedi itu. Aku harap ia tidak
bersungguh-sungguh. Yang perlu kau pikirkan, bagaimana
kau dapat menghindarkan Sangkal Putung dari bencana yang
akan dapat ditimbulkan oleh Tohpati."
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Untarapun
kemudian berdiam diri, sedang Agung Sedayu memandang
jauh kelangit, seakan-akan sedang menghitung bintang yang
berhamburan diatas dataran yang biru pekat.
Sesaat mereka saling berdiam diri. Widura sedang
mencoba menghitung-hitung kekuatan dipihaknya dan
membandingkan dengan kekuatan Tohpati. Dalam jumlah,
maka Widura dapat berbesar hati. Dengan anak-anak muda
Sangkal Putung, laskarnya pasti berjumlah lebih banyak dari
jumlah laskar Tohpati. Namun dalam penilaian seorangseorang,
maka Widura masih harus berkeprihatin. Meskipun
setiap orang di dalam laskarnya tidak akan kalah dari setiap
orang dalam laskar Jipang, tetapi anak-anak muda Sangkal
Putung, Widurapun tidak yakin kalau jumlah laskarnya akan
memadai. Karena laskar Jipang dapat berada dimana saja
yang mereka kehendaki, sehingga suatu ketika, jumlah laskar
Jipang itu dapat menjadi banyak sekali.
Karena itu maka Widura mengambil kesimpulan, bahwa
anak-anak muda Sangkal Putung itupun selagi sempat harus
mendapat penempaan sejauh-jauh mungkin. Bahkan orangorang
yang sudah agak lanjut usianya, asal mereka sanggup
dan bersedia, pasti akan menjadi tenaga bantuan yang berarti.
Sesaat kemudian, maka Kiai Gringsing itupun pergi
meninggalkan mereka. Katanya "Aku akan pulang kerumahku
diantara rumpun-rumpun bambu. Hati-hatilah, setiap saat
Tohpati itu akan datang. Mungkin benar ia akan menyergap
dari arah barat. Karena itu, awasilah arah itu baik-baik. Namun
jangan lengahkan penjagaan-penjagaan ditempat-tempat lain."
"Baik Kiai" jawab Widura.
Namun Kiai Gringsing itu berpalingpun tidak. Orang itu
berjalan mendaki puntuk kecil, lewat dibawah pohon kelapa
sawit dan seterusnya hilang dibalik puntuk kecil itu.
Belum lagi Untara sempat berpaling, terdengar Agung
Sedayu bertanya"Siapakah sebenarnya orang itu?"
Untara tersenyum, jawabnya "Kiai Gringsing."
Agung Sedayu hanya dapat menggigit bibirnya. Ketika
kemudian Untara dan Widura tertawa, maka anak muda itu
berdiri sambil menggeliat. Katanya "Apakah kita akan tidur
disini?" Widura bahkan tertawa semakin keras. Katanya "Apakah
kau berani tidur disini" Bukankah setiap malam, apabila kita
berada ditempat ini kau selalu saja mengajak pulang" apalagi
ketika kau dengar Tohpati sedang berkeliaran didaerah ini?"
"Ketika itu tidak ada kakang Untara" jawab Sedayu.
"Bagaimanakah kalau aku lari apabila ada
bahaya?"bertanya Untara.
"Apa kakang sangka aku tidak bisa lari secepat kakang?"
bantah Agung Sedayu. Kembali mereka tertawa. Namun terasa oleh Widura,
betapa kemenakannya itu mengalami banyak perubahan. Kini
ia sama sekali tidak tampak menjadi cemas seandainya
bahaya betul-betul mengancamnya. Apalagi setelah ia
mendapat beberapa petunjuk oleh kakaknya. Baik lukisanlukisannya
maupun pelaksanaannya, maka ternyata Agung
Sedayu benar-benar dapat menjadi seorang anak muda yang
perkasa. Apalagi hatinya benar-benar menjadi besar dan
tangguh. Maka kekuatan Agung Sedayu pantas
diperhitungkan. Sesaat kemudian Widura dan Untarapun berdiri pula.
keperluan mereka agaknya sudah cukup buat kali ini.
Sehingga dengan demikian segera merekapun kembali ke
kademangan. Hari itu setiap penjagaan menjadi lebih diperkuat. Gardugardu
peronda dan peronda-peronda keliling. Tohpati yang
berada disekitar tempat mereka, setiap saat dapat menyergap.
Namun yang harus mendapat pengawasan paling ketat adalah
justru daerah barat. Sedang kerja Widura hari itu adalah menangani sendiri
latihan-latihan bagi anak-anak muda Sangkal Putung
disamping beberapa orang anak buahnya. Langsung
diberikannya beberapa petunjuk penting apa dan bagaimana
mereka harus berbuat di dalam pertempuran-pertempuran.
Swandaru, yang memimpin anak-anak muda itupun berlatih
dengan sekuat-kuat tenaganya, supaya namanya tidak terlalu
jauh dibawah nama-nama yang dikaguminya.
Sidanti,Sedayu,Widura dan Untara.
Hanya Sidantilah yang selalu bersikap acuh tak acuh atas
semua kesibukan itu. Meskipun demikian, sampai saat itu,
Sidanti masih berada dalam barisan Widura.
Hari itupun ternyata Tohpati belum menyergap Sangkal
Putung. Sehingga pada malam harinyau dan Agung Sedayu
masih dapat memanfaatkannya dengan beberapa latihan
penting. Juga anak-anak muda Sangkal Putung, oleh Widura
diajarinya bertempur dimalam hari. Bagaimana mereka harus
mengenal kawan dan lawan di dalam gelap dan bagaimana
mereka harus memberikan ciri masing-masing dan tandatanda
sandi. Selain itu Widurapun telah membuat beberapa
persiapan untuk bertempur malam hari. Obor-obor dan panahpanah
api untuk mengimbangi laskar Tohpati yang dengan api
akan mencoba mengacaukan pertahanan pasukan yang
berada di Sangkal Putung.
Namun dipagi hari berikutnya,ketika Untara dan Agung
Sedayu sedang sibuk mengurai lukisannya datanglah seorang
penjual keris yang ingin menemui Untara. Kepada para
penjaga dikatakannya bahwa ia mendapat pesanan dari
Untara itu. Ketika seseorang menyampaikannya kepada Untara, maka
Untara itupun mengerutkan keningnya, kemudian katanya "Ya,
aku memang memesan sebuah keris. Bawalah orang itu
masuk." Sesaat kemudian orang yang menyebut dirinya pedagang
keris itu diantar masuk ke pringgitan.
"Duduklah" Untara mempersilahkan.
Orang itupun kemudian duduk diatas sehelai tikar pandan.
Dipunggungnya terselip sebilah keris, dan dianggarnya pula
keris yang lain, pada sangkutannya didalam jumbai dibagian
depan ikat pinggangnya. "Paman" berkata Untara kemudian kepada Widura "apakah
paman tidak ingin melihat beberapa bilah keris?"
Widura tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Namun
demikian ia duduk pula dihadapan orang yang menyebut
dirinya pedagang keris itu. Agung Sedayupun kemudian hadir
juga diantara mereka. Sesaat kemudian barulah Untara berkata kepada orang itu
"Apakah kau membawa keris itu?"
Orang itu menggangguk. Kemudian dijawabnya "Ya, Soma
telah menyampaikan pesan itu."
Untara mengangguk-angguk. Bahkan Widurapun
mengangguk-angguk pula. Sedang Agung Sedayu sekalisekali
mencoba memandang wajah orang itu.
"Nah, marilah aku perkenalkan dengan pemimpin laskar
Pajang di Sangkal Putung" berkata Untara sambil menunjuk
Widura "Paman Widura."
Orang itu mengangguk dalam sambil berkata "Aku adalah
utusan kakang Untara."
Kembali Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
Segera ia tahu bahwa orang itu sama sekali bukan pedagang
keris. Tetapi orang itu adalah salah seorang pembantu sandi
dari Untara dalam kedudukannya sebagai seorang senopati
yang memegang kekuasaan atas nama Panglima Wira
Tamtama. Ki Gede Pemanahan.
"Namanya Trigata" sambung Untara.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung Sedayu
mengangguk-angguk pula. nama itu pernah didengarnya di
Gunung Gowok dahulu, ketika kakaknya berpesan pada
Soma. "Nah sekarang, apakah yang akan kau sampaikan?"
"Kelanjutan dari berita-berita yangdibawa oleh Soma."
"Ya" "Tohpati hari ini berada dihutan-hutan sebelah barat
padukuhan Benda." Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya "apakah sangkamu persiapannya sudah selesai?"
"Kami menyangka demikian. Orang menyelundup kami
yang disekitar lingkungan mereka yang dapat kami hubungi
telah mendengar perintah untuk tetap ditempat bagi mereka."
Kembali Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bagaimanakah dengan obor dan panah api?"
Trigata berpikir sejenak, kemudian jawabnya "Mungkin
akan benar-benar mereka pergunakan. Mereka tidak mau
gagal kali ini. Karena itu mereka akan mempergunakan alatalat
untuk mengacaukan pertahanan kita disini."
Sesaat mereka kini berdiam diri. Masing-masing mencoba
membayangkan apakah kira-kira yang akan terjadi seandainya
laskar Macan Kepatihan itu benar-benar akan datang.
Yang mula-mula berbicara adalah Widura, katanya "Aku
harus menyiapkan orang-orangku."
"Ya" berkata Untara "Tetapi tidak sekarang. Nanti sore
setelah matahari hampir tenggelam, supaya Tohpati tidak
sempat mengetahui, bahwa rencananya telah kita mengerti
sebelumnya." "Kau benar" berkata Widura "aku hanya akan membuat
latihan-latihan khusus pagi ini."
Untara menggangguk. Kemudian kepada Trigata Untara itu
berkata "Apakah menurut dugaanmu malam nanti Tohpati
akan bergerak." "Demikianlah" sahut Trigata.
"Baik" berkata Untara "usahakan melihat gerakan mereka
meskipun dari jarak yang jauh. Berilah tanda dengan panah
sanderan. Tetapi ingat, kau tidak usah membunuh diri.
Demikian kau melepaskan anak panah sanderan, kau harus
segera melarikan dirimu. Terserahlah kepadamu, siapakah
yang berani bertaruh nyawa berdiri diujung, yang lain akan
menerima tanda itu dan meneruskan ke Sangkal Putung."
"Ah pekerjaan itu tidak terlalu berbahaya" sahut Trigata
"apalagi dimalam hari, kami akan dapat melakukannya dengan
aman. Sebab dapat kami lakukan dari jarak yang cukup jauh.
Pekerjaan ini jauh lebih aman dari melakukan pertempuran itu
sendiri." "Bagus, dimana kalian berada?"
"Di Tegal" jawab Trigata "dirumah seorang petani miskin
bernama Pada." "Kelak, apabila kau tidak datang sesudah serangan selesai,
kami akan mencari kalian."
"Terima kasih" sahut Trigata.
Kembali kemudian mereka berdiam diri. Wajah Agung
Sedayu tampak tegang. Ada sesuatu yang bergolak didalam
dadanya. Setelah ia menemukan kepercayaannya pada
kekuatan yang tersimpan dalam dirinya, tiba-tiba timbullah
keinginannya untuk ikut serta dalam pertempuran itu.
Meskipun demikian maksudnya itu tidak segera
disampaikannya kepada kakaknya maupun pamannya. Ia
akan menunggu sampai nanti apabila diadakan pertemuan
diantara para pemimpiin laskar di Sangkal Putung.
Widura kemudian meninggalkan Pringgitan. Diberinya anak
buahnya beberapa petunjuk khusus. Meskipun belum
diberitahukannya bahwa Tohpati mungkin sekali akan
menyergap malam nanti, namun secara tidak langsung telah
dipersiapkannya anak buahnya untuk menghadapi
kemungkinan itu. Dipersiapkannya pula anak-anak muda
Sangkal Putung untuk menghadapi setiap kemungkinan,pula
laki-laki yang telah berumur agak lanjut. Diberikannya petunjuk
tempat-tempat yang harus mereka pertahankan dan
diberitahukannya pula cara-cara untuk melawan api apabila
timbul kebakaran. Meskipun Widura belum mengatakan, namun sudah terasa
oleh anak buahnya, bahwa bahaya itu semakin dekat. Karena
itu, maka merekapun telah mulai mengatur hati masingmasing.
Siap menghadapi setiap kemungkinan.
Penduduk Sangkal Putung merasa pula, bahwa mereka
harus ikut serta mempersiapkan diri. Perempuan-perempuan
telah membuat persiapan secukupnya menghadapi masamasa
yang sulit. Kalau terjadi pertempuran, belum pasti
sehari, dua hari akan selesai. Dan yang paling mengerikan
bagi mereka, bagaimanakah kalau laskar Pajang bersamasama
anak-anak muda Sangkal Putung tidak mampu
menahan arus Macan Kepatihan"
Siang itu juga, Trigata meninggalkan Sangkal Putung
kembali ketempatnya. Di tempat persembunyiannya ternyata
telah berkumpul lima orang yang sipa melakukan tugas-tugas
mereka. Beberapa tanda sandi harus mereka berikan lewat
panah sanderan yang nanti akan memberitahukan beberapa
masalah mengenai gerakan Tohpati.
Hari itu Sangkal Putung benar-benar menjadi sibuk.
Dimuka banjar anak-anak Sangkal Putung sibuk berlatih.
Sedang anak buah Widura sibuk pula mempersiapkan
senjata-senjata mereka. "Jangan memeras tenaga kalian" Widura menasehati anakanak
muda Sangkal Putung "nanti apabila setiap saat
diperlukan, kalian telah menjadi kelelahan."
Anak-anak muda itupun menurut pula. Mereka kini tinggal
mendengarkan beberapa petunjuk-petunjuk yang harus
mereka lakukan dalam pertempuran yang setiap saat mungkin
akan datang. Ketika matahari telah condong kebarat, beberapa orang
penjaga diujung induk desa Sangkal Putung terkejut
mendengar pandah sanderan yang meraung-raung dilangit,
kemudian jatuh didekat mereka. Seseorang segera memungut
anak panah itu. Namun mereka tidak melihat sesuatu pada
anak panah itu. Karena itu, maka seorang dari mereka segera
meloncat keatas punggung kuda dan langsung berpacu ke
Kademangan. Widura dan beberapa orang terkejut karenanya, ketika
seorang dengan tergesa-gesa lari naik ke pringgitan.
"Ki Lurah" berkata orang itu kepada Widura "sebuah anak
panah sanderan telah jatuh didekat gardu penjagaan kami.
Tetapi kami tidak menemukan sesuatu apapun pada anak
panah itu" Widura mengerutkan keningnya. "Bawalah kemari" berkata
Widura. ketika Untara ikut serta melihat anak panah itu, maka
iapun mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada
peronda yang menemukan anak panah itu ia berkata "Perkuat
penjagaan digardumu"
"Baik tuan" jawab orang itu.
"Kembalilah. Setiap perkembangan akan kami beritahukan,
tetapi kaupun harus melaporkan setiap perkembangan yang
kau ketahui" berkata Untara pula.
*** Orang itupun kemudian pergi meninggalkan pringgitan.
Disepanjang jalan ia menggerutu "Tidak juga mau
memberitahukan apakah sebenarnya yang akan terjadi"
Namun karena itulah maka para peronda itu menjadi semakin
berhati-hati. Sepeninggal orang itu, maka Untarapun berkata kepada
Widura "Paman, anak-anak buahku telah mendapat kepastian.
Malam nanti Tohpati akan mulai menyergap Sangkal Putung.
Anak panah yang dikirim saat ini hanya sebuah. Menurut
pesan yang aku berikan kepada mereka, kalau Tohpati akan
bergerak sebelum tengah malam, mereka harus mengirimkan
dua anak panah. Sedang kalau kira-kira antara tengah malam
atau sesudah itu, satu anak panah. Sehingga dengan
demikian maka kemungkinan terbesar, Tohpati nanti akan
bergerak pada tengah malam"
Widura mengerutkan keningnya. "Waktu yang baik"
gumamnya. "Mungkin Tohpati memperhitungkan, bahwa pada
saat fajar mereka akan memasuki Sangkal Putung"
Keduanya kemudian berdiam diri. Masing-masing sedang
mencoba melihat setiap kemungkinan yang dapat terjadi.
Yang mula-mula berbicara adalah Agung Sedayu "Kakang,
apakah Alap-alap Jalatunda akan ikut serta dengan Tohpati?"
Untara mengangguk "Mungkin sekali"
Agung Sedayu menarik nafas. Namun ia tidak berkata
apapun. Untara yang melihat wajahnya, segera mengerti
perasaan adiknya. "Apakah kau sudah rindu kepadanya?"
Agung Sedayu tersenyum, tetapi ia masih belum menjawab
"Kalau begitu, apakah kau ingin bertemu malam nanti?"
Kini Agung Sedayu mengangguk "Ya" jawabnya "Aku
sangka Alap-alap Jalatunda itu tidak terlalu menakutkan"
Untara tersenyum, namun kini ia berkata kepada Widura
"Paman, barangkali sudah sampai waktunya paman
memberitahukan persoalan Sangkal Putung kepada para
pemimpin kelompok anak buah paman"
Widura mengangguk "Ya. Aku sangka demikian. Aku akan
memanggilnya beserta beberapa pemimpin anak-anak muda
Sangkal Putung, bapak Ki Demang Sangkal Putung dan
bapak Jagabaya" "Jagabaya?" bertanya Untara
"Ya. Iapun bekas prajurit yang baik. Meskipun umurnya
telah agak lanjut, namun tekadnya masih menyala seperti
anak-anak muda" Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
Widurapun kemudian memanggil semua orang-orang
penting di Sangkal Putung. Orang-orangnya sendiri, maupun
orang-orang Sangkal Putung. Dengan singkat Widura
menjelaskan kepada mereka, apakah yang sedang mereka
hadapi sekarang. "Mungkin orang-orang Tohpati itu lebih
banyak dari orang-orangnya terdahulu" berkata Widura
kemudian. "Karena itu setiap tenaga harus kita manfaatkan"
Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan
kepalanya. Iapun ikut bertanggung jawab atas apa saja yang
terjadi diwilayahnya. karena itu, maka katanya "Semua anakTiraikasih
website - http://kangzusi.com/
anak, akan dikerahkan dan semua laki-laki yang masih
mungkin mengangkat senjata. Ada beberapa orang bekas
prajurit yang meskipun sudah ubanan, tetapi menyatakan
kesediaan mereka untuk ikut serta dalam pertempuran ini.
Enam atau tujuh orang. Bahkan mungkin lebih dari itu"
"Bagus" sambut Widura. "Beberapa orangku akan berada
dalam barisan anak-anak muda Sangkal Putung"
Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Bagus" katanya "Anak-anak Sangkal Putung akan
menjadi bergembira karenanya"
Tetapi hampir semuanya kemudian tak bersuara ketika
Widura berkata "Tetapi perhatian terbesar harus kita berikan
kepada pemimpin laskar Jipang itu, Macan Kepatihan. Disini
kita akan menentukan, siapakah yang pantas untuk
melawannya tanpa menimbulkan kemungkinan yang terlalu
buruk bagi kita" Sesaat pringgitan itu menjadi sepi. Tak seorangpun yang
menyahut. Mereka saling berpandangan dan sebagian dari
mereka memandangi Untara dan Sidanti berganti-ganti. Tetapi
ada pula diantara mereka yang berpikir "Ternyata yang pantas
melawan Tohpati itu adalah Agung Sedayu"
Kesepian itu kemudian dipecahkan oleh suara Sidanti
perlahan-lahan "Kakang Widura, siapakah yang menurut
kakang paling pantas melawan Macan Kepatihan itu"
Widura terdiam sejenak. Ia menunggu Untara menjawab
pertanyaan itu. Dan sebenarnyalah kemudian Untara berkata
"biarlah kita melihat keseluruhan dari musuh kita. Diantaranya
mereka akan datang juga Plasa Ireng, Alap-alap Jalatunda
dan beberapa orang yang lain. Karena itu, maka tugas kita
akan menjadi berat. Aku sama sekali tidak menganggap
bahwa akulah yang paling pantas melawan Tohpati. Tetapi
aku akan bertanggung jawab terhadap atasanku. Biarlah aku
mencoba melawannya, dan sudah tentu Plasa Ireng, Alapalap
Jalatunda dan yang lain-lain itupun perlu mendapat
perhatian." Sidanti tersenyum. Jawabnya "aku sudah menyangka"
katanya "kemudian kami, yang lain-lain adalah anak-anak
yang tidak perlu ikut campur dalam pertempuran itu."
"Bukan begitu" sahut Untara "aku,paman Widura tak akan
dapat berbuat sendiri-sendiri. Kekuatan laskar Sangkal Putung
adalah karena kita semua. Satu-satu dari diri kita masingmasing."
Sidanti itu masih tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Ia
sudah memperhitungkan sejak semula, bahwa Untara pasti
akan menempatkan dirinya melawan Macan Kepatihan.
Sedang ditangan Untara itu tergenggam kekuasaan. Sehingga
dengan demikian, tak akan ada kesempatan baginya untuk
menyainginya. Namun meskipun demikian, Sidanti
mengharap, mudah-mudahan kepala Untara dipecahkan olah
Macan yang garang itu dengan tongkat baja putihnya.
Untara melihat senyum yang aneh itu. Tetapi ia sama sekali
tidak berkata apapun. Dalam keadaan yang demikian, maka
kekuatan mereka sepenuhnya sangat diperlukannya. Karena
itu, maka ia pura-pura sama sekali tidak melihat senyum
Sidanti itu. Namun Hudaya, Citra Gati dan bahkan Agung
Sedayu tidak dapat melepaskan perasaannya yang ganjil. Dari
senyum itu mereka melihat, bahwa sesuatu tersembunyi
dibelakangnya. "Kalau Untara itu telah mati oleh Tohpati" berkata Sidanti
"Maka keadaan Sangkal Putung akan kembali seperti semula.
Apalagi kalau aku mampu membunuh Macan Kepatihan itu.
Mudah-mudahan apa yang aku peroleh sekarang ini dari
guruku, setidak-tidaknya akan dapat mengimbanginya. Sebab
Tohpati itu sudah tidak sempat lagi mendalami ilmunya"
Akhirnya setelah Widura memberikan beberapa pesan
kepada pemimpin-pemimpin kelompok itu, maka pertemuan
itu segera dibubarkan. Mereka masing-masing kembali
kepada kelompoknya, memberikan kepada mereka beberapa
petunjuk dan sesaat kemudian mereka itu telah
mempersiapkan diri masing-masing untuk menghadapi suatu
pertempuran yang berat. Anak-anak muda Sangkal Putungpun kemudian berlarilarian
hilir mudik. Mereka segera memanggil kelompok
masing-masing dan seperti juga anak buah Widura,
merekapun segera mempersiapkan diri mereka masingmasing.
Ketika kemudian matahari tenggelam dibalik punggung
bukit, laskar Sangkal Putung itupun telah siap dilapangan.
Beberapa orang bekas prajurit ada diantara mereka. Meskipun
orang-orang itu telah menjelang setengah abad, namun tubuhtubuh
mereka masih tegap, dan senjata-senjata mereka, yang
selama ini disimpannya. Namun kini senjata-senjata itu


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diambilnya kembali. Terkenanglah mereka pada masa muda
mereka. Bertempur untuk suatu keyakinan yang
digenggamnya. Kini merekapun akan bertempur kembali untuk
suatu pengabdian atas kampung halaman mereka.
Swandaru berdiri dengan gagahnya. Pedangnya yang
besar tergantung dipinggangnya. Sekali-sekali ia menatap
langit yang biru bersih, yang dibayangi oleh warna-warna
merah. Matahari itu seakan-akan betapa malasnya. Gelap
yang turun perlahan-lahan terasa sangat menjemukan.
Mereka itu, anak-anak muda Sangkal Putung sedang
menunggu datangnya tengah malam.
Orang-orang yang sudah setengah tua, mendapat tugas
mereka sendiri. meskipun mereka membawa senjata pula,
namun mereka harus berada didalam desa mereka. Kalau
orang-orang Macan Kepatihan itu berhasil menembus
pertahanan laskar Pajang dan anak-anak muda Sangkal
Putung, maka merekapun akan ikut serta bertempur.
Disamping itu, kalau Tohpati itu kemudian menjadi putus asa,
dan mempergunakan panah-panah api untuk menimbulkan
kebakaran, maka adalah pekerjaan mereka untuk
mengatasinya. Sedang perempuan-perempuan muda tidak
kalah sibuknya. Mereka mendapat pekerjaan yang pantas
untuk mereka. Mempersiapkan makanan bagi mereka yang
akan berangkat berperang. Meskipun demikian, diantara anakanak
gadis itupun ada pula yang menyelipkan keris dan
patrem diantara ikat pinggang mereka seakan-akan
merekapun siap pula, apabila perlu, untuk ikut serta bertempur
bersama anak-anak mudanya.
Tetapi disamping semuanya itu, perempuan- perempuan
yang bersembunyi dibalik-balik pintu rumahnya mendekap
anak-anak mereka yang masih terlalu kecil dengan eratnya.
Mereka mencoba untuk menghibur anak-anak mereka.
Ketika malam turun, maka Sangkal Putung benar-benar
dikuasai oleh kegelapan. Hampir tak ada rumah yang
menyalakan lampunya, dan bahkan hampir tiada rumah yang
berpenghuni. Hampir setiap laki-laki telah keluar dengan
senjata ditangan, dan hampir setiap perempuan pergi
mengungsikan diri ke kademangan, berkumpul bersama
mereka untuk menanggungkan segala macam keadaan
bersama-sama. Apapun yang mereka alami, apabila
dipikulnya bersama-sama, maka terasa akan menjadi
bertambah ringan. Meskipun hampir semua kekuatan laskar Widura dan anakanak
muda Sangkal Putung ditarik kearah barat, namun
Widura tidak mengosongkan setiap gardu di sudut-sudut lain.
Namun isi dari gardu-gardu itulah yang kemudian sebagian
diserahkan kepada laki-laki Sangkal Putung yang tidak ikut
serta dalam pertempuran langsung dengan anak-anak Macan
Kepatihan, meskipun satu dua diantara mereka telah
diperlengkapi dengan alat-alat tanda bahaya yang sebaikbaiknya,
untuk setiap kali apabila bahaya mengancam
mereka,segera mereka dapat memberitahukannya kepada
laskar cadangan yang ditinggalkan di kademangan, bersama
dengan beberapa orang Sangkal Putung sendiri, disekitar
lumbung-lumbung dan di banjar desa.
Kini para peronda telah tahu benar, apa arti panah
sanderan yang setiap saat akan meluncur disekitar tempattempat
mereka. Untara telah berpesan kepada anak buahnya,
bahwa apabila ada tanda-tanda Tohpati menggerakkan
laskarnya, supaay mereka segera mengirimkan anak panah
sanderan dua kali ganda berturut-turut. Dan apabila keadaan
amat mendesak karena suatu perubahan, sedang mereka
para petugas yang telah dikirim oleh Untara, tidak sempat
memberitahukan langsung, supaya dikirimnya panah
sanderan tiga kali berturut-turut.
Beberapa saat kemudian maka laskar Widura dan anakanak
muda Sangkal Putung telah siap seluruhnya dilapangan
dimuka banjar desa, segera untuk berangkat. Beberapa orang
laki-laki telah siap menempati tempat-tempat yang ditentukan,
dan tanda-tanda telah mereka kenal dengan baiknya.
Namun tiba-tiba mereka menjadi tegang ketika mereka
mendengar derap kuda yang berlari kencang memecah
kesepian. Widura dan Untara segera melangkah maju
menyongsong orang berkuda itu, sedang dibelakangnya
Agung Sedayu berdiri dengan berdebar-debar. Kali ini untuk
pertama kalinya ia mendapat kesempatan untuk ikut serta
bertempur dengan lawan yang sebenarnya. Sebilah pedang
tergantung dipinggangnya. Namun tanpa setahu kakaknya,
disakunya terdapat beberapa butir batu sebesar telur ayam. Ia
sendiri tidak tahu pasti apakah batu-batu itu akan bermanfaat.
Namun begitu saja timbul keinginannya untuk mencoba
apakah ia benar-benar dapat membidik dalam arti yang
sebenarnya. Membidik tidak saja dalam permainan-permainan
yang menggembirakan tetapi membidik dalam pertempuran
yang berbahaya. Sesaat kemudian tampaklah seekor kuda berlari dengan
kencangnya. Demikian kuda itu berhenti, maka meloncatlah
seorang prajurit dihadapan Widura.
Widura dengan tergesa-gesa bertanya kepadanya "Ada
yang penting dipenjagaanmu?"
Orang itu mengangguk, katanya "kami menerima panah
sanderan tiga kali berturut-turut."
Widura mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada
Untara maka tampaklah Untara sedang berpikir. " Ada sesuatu
yang menyimpang dari rencana semula." desisnya.
Widura mengangguk. Setelah Untara itu diam sejenak, maka katanya "siapkan
seluruh laskar yang ada. Kita siap berangkat kemana saja.
Beberapa orang berkuda supay bersiap pula. Apabila ada
perubahan arah, orang-orang itu dapat memberitahukannya
kesegenap sudut penjagaan."
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
terdengar ia bersuit dua kali. Seorang yang bertubuh kecil
berlari-lari datang kepadanya.
"Sonja" berkata Widura "siapkan orang-orangmu. Setiap
saat kami memerlukan mereka."
"Baik" sahut Sonja. Kemudian iapun berlari-lari kembali
ketempat kawan-kawannya sekelompoknya menunggu
didekat kuda-kuda ditambatkan. Mereka adalah kelompok
yang harus menyampaikan setiap berita kepada segenap
tempat yang diperlukan. Sebelum Widura memberikan perintah-perintah berikutnya,
kembali mereka mendengar suara kaki kuda berderap. Sekali
lagi Widura, Untara dan orang-orang disekitarnya menjadi
tegang. Seperti orang yang pertama orang itupun tergesa-gesa
berkata kepada Widura "kami telah menerima panah sanderan
dua kali berturut-turut."
"He" Widura mengerutkan keningnya "mereka
mempercepat gerakan mereka."
"itulah kecerdikan Macan Kepatihan itu" sahut Untara
"setiap rencana dirahasiakan didalam otaknya. Baru pada saat
terakhir dilakukannya rencana itu, sehingga orang-orang
mereka sendiri tidak dapat mengetahui sebelumnya. Karena
itulah maka Trigata itupun tidak dapat mengetahuinya dengan
tepat apa yang akan dilakukan oleh Macan Kepatihan. Karena
orang-orangnya yang dapat melakukan hubungan dengan
orang-orang dalam laskat Tohpati itupun tidak dapat
mengatakan dengan tepat pula.
Sekali lagi Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian katanya " Kita juga sudaj siap untuk berangkat.
Bukankah kita segera berangkat pula."
"Marilah" sahut Untara. Sementara tetap kebarat."
Sekali lagi Widura bersuit dua kali. Dan sekali lagi Sonja
berlari-lari kepadanya. "Satu diantara kalian pergi ke Kademangan. Yang lain ke
setiap gardu peronda. Tohpati telah mulai bergerak. Ingat
jangan menimbulkan kegelisahan diantara mereka. Kemudian
kalian kembali ketempat ini dan separo dari kalian harus
berada digardu pertama sebelah barat."
"Baik" Sonja mengangguk,kemudian kembali ia meloncat
berlari kekelompoknya. Sesaat kemudian maka mereka telah
menghambur kesegenap penjuru.
Kedua penjaga yang datang berkuda berturut-turut telah
kembali ketempat mereka pula mendahului laskar Widura.
Sedang para penghubung telah menghubungi gardu-gardu
yang lain. Mereka sengaja tidak mempergunakan tanda-tanda,
seperti dahulu, supaya Tohpati tidak menyadari bahwa
kehadirannya telah dinantikan.
Para prajurit serta laki-laki dari Sangkal Putung yang
merupakan kekuatan cadangan segera bersiap pula. Dengan
senjata ditangan mereka, mereka mengawasi setiap tempat
yang mereka anggap penting. Beberapa orang berjalan hilirmudik,
dari sudut yang satu ke sudut yang lain dengan pedang
terhunus. Setiap jalan yang masuk ke induk desa Sangkal
Putung telah tertutup rapat olah penjagaan yang ketat. Gardugardu
peronda telah dilengkapi dengan senjata-senjata jarak
jauh, panah, bandil dan alat-alat tanda bahaya.
Sementara itu laskar Widura telah mulai merayap kepintu
sebelah barat, lewat tiga jalan. Yang separi menyusur jalan
besar, sednag yang separo lagi dibagi menjadi dua pula.
Sebagian lewat sebelah utara dan sebagian lewat sebelah
selatan. Demikian pula anak-anak muda Sangkal Putung
itupun dibagi menjadi tiga. Sepertiga lewat jalan besar,
sepertiga lewat utara dan sepertiga lewat selatan.
Laskar itu kini telah keluar dari induk desa Sangkal Putung.
Setelah melewati sebuah bulaj kecil mereka akan sampai
kesebuah desa kecil yang hampir-hampir telah dikosongkan.
Semua orang-orangnya telah pergi mengungsi keinduk desa
Sangkal Putung. Ketika Widura yang berjalan disamping Untara
menengadahkan wajahnya, tampaklah langut yang bersih
ditaburi oleh bintang-binang yang gemerlapan. Selembarselembar
awan mengalir dihanyutkan oleh angin yang lambut.
Sejenak kemudian laskar itupun telah sampai didesa kecil
itu. Induk pasukan tepat berada ditengah, sedang kedua
sayapnya masing-masing berada diujung desa-desa itu
sebelah utara dan selatan.
Para penjaga masih tetap berada ditempat mereka. Namun
mereka tidak lagi berada didalam gardu. Mereka lebih senang
berada dibali pepohonan. Ketika mereka melihat induk
pasukan itu datang, maka seakan-akan mereka bersorak
didalam hati mereka. Sebab dengan demikian, apabila laskar
Tohpati itu datang setiap saat, mereka tidak harus melakukan
perlawanan darurat. Laskar Widura dan anak-anak muda Sangkal Putung itu
tidak maju terus. Mereka tinggal didalam desa itu, supaya
lawan mereka tidak segera melihat kehadiran mereka.
Ketika Widura telah mengenal keadaan sejenak ditempat
itu, maka segera diperintahkannya kepada para penjaga
"Nyalakan pelita didalam gardumu. Dan nyalakan beberapa
lampu di rumah-rumah yang terdekat."
"Kenapa justru dinyalakan,Ki Lurah?" bertanya penjaga itu.
Biarlah laskar Tohpati menyangka, bahwa keadaan didalam
desa ini seperti dalam keadaan biasa. Kalau kau padamkan
lampunya dan semua lampu-lampu, maka itu pasti akan
mencurigakan Macan Kepatihan yang cerdik itu."
Penjaga itu mengangguk-angguk. "Alangkah bodohnya
aku" katanya dalam hati.
Karena itu maka segera ia bergegas-gegas pergi kerumahrumah
yang telah kosong, untuk menyalakan lampulampunya.
Sedang ting digardunyapun segera dinyalakannya
pula. "Bagus" desis Widura kemudian "desa ini akan memiliki
wajah seperti wajahnya disetiap hari. Tohpati yang
berpengalaman luas itu pasti pernah melihat pedesaan ini
dimalam hari sebelum ia memilih arah. Dan dengan demikian
ia pasti akan mengenal keadaan ini baik-baik."
Dalam pada itu, maka beberapa pengawaspun telah dikirim
kedepan. Ketengah-tengah sawah yang menurut perhitungan
mereka akan dilalui oleh laskar Tohpati.
Malam yang masih terlalu muda itu telah menjadi semakin
gelap. Dan didalam gelap itulah berkeliaran laskar dari kedua
belah pihak dengan alat-alat penyebar maut ditangan mereka
masing-masing. Sebenarnyalah Tohpati telah berada dihadapan hidung
laskar Pajang itu. Namun mereka menunggu untuk
menyakinkan, apakah yang sebenarnya terjadi dihadapan
mereka. Laskar Tohpati yang bergerak jauh sebelum waktu
yang ditentuka semula itu, dengan cepatnya mendekati
Sangkal Putung. Namun laskar itu terhenti ketika Tohpati
melihat suasana pedesaan dihadapannya.
"Desa itu terlampau sepi" desisnya.
Disampingnya berdiri seorang yang berwajah keras itu,
yang bernama Plasa Ireng, tertawa. Gumamnya "setidaktidaknya
mereka telah mendengar bahwa pedesaan mereka
terancam bahaya." Tohpati berdesis, kemudian gumamnya "Sanakeling.
Bawalah laskarmu melingkar ke selatan."
"Baik" sahut orang yang bernama sanakeling. Bekas
pimpinan laskar Jipang daerah utara. Namun untuk
kepentingan kali ini agaknya mereka telah ditarik dalam satu
kesatuan. Namun sebelum Sanakeling itu bergerak, terdengar
Alap-alap Jalatunda yang berdiri dibelakang mereka berkata
"Aku melihat pelita-pelita itu dinyalakan."
Tohpati tertawa. Dengan nada yang tinggi ia berkata
"Paman Widura benar-benar cerdik. Ia ingin menjadikan desa
itu seolah-olah tidak mengalami perubahan apa-apa. Namun
agaknya anak buahnyalah yang terlalu bodoh. Sanakeling.
Berjalanlah melingkari desa itu, langsung ke Sangkal Putung.
Sayang Paman Widura agak terlambat menyalakan lampulampu
itu. Kalau tidak maka kembali kami akan terjebak."
Sanakeling kemudian dengan cepat membaw alaskarnya
ke selatan melingkari desa itu langsung menuju Sangkal
Putung. Tetapi Widura dan Untarapun bukan anak kemarin petang.
Itulah sebabnya mereka telah memasang beberapa orang
jauh dihadapan laskar mereka.
Dalam keheningan malam yang dingin itu, tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh sanderan yang meraung-raung diudara.


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekali, dua kali dan kemudian satu kali lagi.
Untara mengangka alisnya "ada sesuatu yang terjadi dalam
barisan Tohpati itu." Desis Untara.
Wajah Widura berubah menjadi tegang. Dengan gelisah ia
menunggu orang-orangnya yang diperintahkannya untuk
mengawasi setiap kemungkinan yang ada dihadapan mereka.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan seorang
pengawas dengan nafas terengah-engah. Tubuhnya dan
seluruh pakaiannya kotor oleh lumpur. Dengantergesa-gesa ia
berkata " aku melihat laskar berjalan melingkar diarah selatan
langsung menuju induk desa Sangkal Putung. Mereka pasti
masuk dari arah selatan pula. Tetapi barisan itu tidak begitu
besar." "Hem" geram Widura "Macan Kepatihan itu selalu membuat
berbagai macam permainan."
"Mereka telah mencapai simpang empat di bulak sebelah"
orang itu berkata seterusnya.
"He?" Widura terkejut "begitu cepatnya?"
"Ya" Tiba-tiba demang Sangkal Putung itu memotong "serangan
yang sangat berbahaya. Apakah aku bolah menarik laskar
Sangkal Putung kembali menyongsong mereka?"
"Jangan" sahut Widura. "kita belum tahu, siapakah yang
memimpin laskar Jipang itu. Mungkin justru itu adalah induk
pasukan mereka." Demang Sangkal Putung itupun terdiam. Baru sesaat
kemudian Widura berkata "keadaan itu sangat gawat. Biarlah
aku bawa laskar sayap kiri kembali ke kademangan.
Seterusnya aku serahkan pimpinan ini kepadamu Untara.
Kalau keadaan tidak terlalu gawat aku akan kembali kemari."
Untara mengangguk "baiklah" jawabnya.
Widura itupun dengan cepat berlari kesayap kiri. Kemudian
segera laskar kiri itu ditarik mundur, kembali ke kademangan
Sangkal Putung. Dengan tergesa-gesa mereka berjalan memintas. Mereka
tidak lagi lewat diatas jalan diantara daerah persawahan.
Namun mereka langsung memotong arah. Melompati
tanaman-tanaman yang menghijau. Bahkan sekali-sekali
tanam-tanaman itupun terpaksa terinjak-injak kaki mereka.
Namun tanaman itu besok bisa disulami. Tetapi kehancuran
kademangan mereka akan memerlukan banyak sekali
pengorbanan. Harta, benda, tenaga dan waktu. Itulah
sebabnya maka mereka tidak lagi sempat berpikir tentang
tanaman-tanaman itu. Sesaat kemudian mereka dikejutkan oleh bunyi tanda
bahaya dari gardu selatan. Ternyata para peronda sempat
melihat kedatangan mereka, sehingga mereka terpaksa
membunyikan tanda itu, sementara beberapa orang yang lain,
telah mencoba menghambat gerakan itu dengan senjatasenjata
jarak jauh. Tetapi mereka terkejut ketika mereka mendengar suara
tertawa dari barisan yang datang itu. "He" kenapa kalian
berteriak-teriak minta tolong?"
Pimpinan gardu itu sama sekali tidak memperhatikannya.
Dengan cekatan mereka terus-menerus menghujani anakanak
panah dari balik gardu mereka seberang menyeberang.
Dua orang lagi telah meloncat kebalik semak-semak
dibelakang pagar. Anak panah merekapun meluncur tak hentihentinya.
Ternyata usaha itu menolong pula. gerakan laskar
Sanakeling itu terpaksa berhenti sebentar. Mereka seang
melihat, apakah yang sedang dihadapi. Tetapi sesaat
kemudian Sanakeling itu tertawa pula, katanya sambil
menghitung " tiga orang dibelakang gardu, dua orang dibalik
pagar dan satu orang memukul kentongan. Apakah kalian
berenam sudah jemu hidup" Dua diantara kalian benar-benar
mampu memanah. Namun yang tiga itu sama sekali tak akan
berarti apa-apa. Jangan membidik terlalu tinggi. Tarik tali
busurmu agak kuat, supaya lari panahmu agak cepat dan
keras." Yang mendengar suara Sanakeling itu benar-benar manjadi
sangat cemas. Orang itu dapat menebak dengan tepat berapa
orang yang sedang berjaga-jaga digardu itu. Mungkin
pemimpin barisan itu dapat melihat arah lepasnya anak-anak
panah. Tetapi ternyata orang itu dapat menebak pula,
siapakah diantara mereka yang benar-benar mampu
melepaskan senjata-senjata itu.
Karena itu maka orang itu pasti seorang yang telah
kenyang makan garam pertempuran.
Sebenarnyalah para pemuda di gardu itu berjumlah enam
orang. Dua diantaranya adalah anggota laskar Widura.
Sedang yang empat adalah orang-orang Sangkal Putung.
Karena itu, maka perlawanan merekapun berbeda dari mereka
yang telah mengalami pertempuran berkali-kali. Meskipun
demikian, panah-panah itu benar-benar menjengkelkang
Sanakeling. karena itu, maka tiba-tiba ia berteriak "He, dua
atau tiga orang, pergilah mendahului kami. Ambillah orangorang
yang mencoba merintangi perjalanan kami"
Pemimpin gardu itu terkejut. Sanakeling hanya
memerintahkan dua atau tiga orang. Apakah menurut
perhitungannya, orang-orang yang berada digardu itu benarbenar
tidak akan mampu berkelahi melawan tiga orang saja"
Kedua prajurit Pajang itu menggeram. Merekapun prajurit
yang telah masak. karena itu maka jawabnya "Kami berenam
disini seperti dugaanmu. Jangan mengirimkan dua atau tiga
orang. Marilah, datanglah bersama-sama, supaya kalian dapat
menilai pertahanan Sangkal Putung"
Sanakeling mengerutkan keningnya. Alangkah besarnya
kata-kata penjaga gardu itu. Namun kemudian Sanakeling itu
menjawab "Baiklah. Agaknya kau ingin bunuh diri" Sanakeling
itu diam sejenak. Namun tiba-tiba ia berteriak "Menyebar.
Masuki Sangkal Putung. Langsung ke kademangan dan
kuasai daerah-daerah perbekalan"
Serentak laskarnya bergerak. Kini mereka sama sekali tak
menghiraukan lagi anak panah yang menghujani mereka dari
balik gardu dan semak-semak.
Ketika kemudian terdengar seorang anggota laskar
Sanakeling itu mengaduh, karena pundaknya terkena anak
panah, Sanakeling menggeram "Setan, bunuh mereka
berenam" Para penjaga gardu mendengar pula perintah itu. Karena
itu maka terasa dadanya berdesir. Betapapun juga, maka
mereka benar-benar tidak sedang membunuh diri. Dengan
demikian maka mereka harus memperhitungkan setiap
kemungkinan yang akan terjadi.Pemimpin peronda itupun
kemudian menusup dibalik semak-semak pula bersama ketiga
orang yang berada disekitar gardu. Ketika tanda bahaya dari
gardu itu telah disahut oleh gardu-gardu yang lain dengan
tanda kekhususannya, bahwa sumber tanda itu adalah dari
gardunya, maka pemukul tanda bahaya itupun melepaskan
kentongannya dan bersama-sama dengan kawan-kawannya
menyusup dibalik semak-semak pula. dengan beringsut sedikit
demi sedikit, mereka terus mengadakan perlawanan dengan
anak-anak panah mereka. *** Namun laskar lawan mereka, menjadi semakin dekat pula.
bahkan beberapa orang tleah berlari melingkar dan meloncati
pagar-pagar batu yang melingkari desa itu.
Orang-orang yang berada didalam semak-semak itu
merasa, bahwa mereka tidak akan dapat melawan mereka.
karena itu maka merekapun semakin dalam membenamkan
diri kedalam padesan sambil mencari perlindungan didalam
gelapnya malam. Tiba-tiba, keenam orang itu menengadahkan wajah-wajah
mereka. Dari kejauhan mereka mendengar derap orang
berlari-lari. "Laskar cadangan" pikir mereka. karena itu maka
pemimpin gardu itupun segera memberikan tanda sandi
kepada mereka. "Gardu selatan. Langsung dari arah angin.
Laskar lawan mendekati pada jarak limapuluh depa"
Sebenarnyalah mereka adalah laskar cadangan yang
berada dikademangan. Namun kekuatan merekapun tidak
seberapa. Meskipun demikian, keenam orang peronda itu
menjadi berbesar hati. Sebab dengan demikian, maka
perlawanan mereka akan menjadi lebih berarti. Dari
kejauhan terdengar pemimpin
laskar cadangan itu menjawab
"Kami segera datang"
Yang menyahut kemudian adalah suara Sanakeling. "Hem.
Kalian memanggil kawan-kawan
kalian. Baiklah. Agaknya kalian
ingin mendapat kawan lebih
banyak lagi dalam perjalanan
kalian ke akhirat" Namun beberapa orang Sanakeling itupun telah sedemikian dekatnya. Sehingga
tiba-tiba saja mereka telah terlibat dalam perkelahian. Kedua
laskar Widura itu segera melepaskan busur mereka, dan
dengan serta-merta mereka telah mencabut pedang-pedang
mereka. Ketika beberapa orang melompat menerkamnya,
maka segera terjadi perkelahian yang sengit. Keempat
kawannya itupun tidak membiarkan kedua orang itu bertempur
sendiri. ketika mereka sudah tidak dapat membidikkan anak
panah mereka, maka merekapun segera melemparkan busur
mereka, dan dengan golok ditangan mereka menyerbu pula
dalam perkelahian iu. Namun mereka benar-benar belum
banyak berpengalaman dalam pertempuran malam. karena
itu, maka mereka tidak dapat melakukan perlawanan dengan
sebaik-baiknya. Setapak demi setapak mereka terdesak
mundur. Apalagi lawan-lawan mereka kemudian datang
berloncatan. Tetapi dalam pada itu, laskar cedangan itupun telah datang
pula. segera mereka melibatkan diri dalam perkelahian itu.
Meskipun jumlah mereka belum memadai jumlah laskar
Sanakeling, namun didalam malam yang gelap itu, amatlah
sukar untuk membedakan, siapa kawan siapa lawan.
Meskipun laskar masing-masing agaknya telah memiliki tandatanda
sandi mereka masing-masing, namun dalam keributan
pertempuran itu, maka banyak diatara mereka yang menjadi
ragu-ragu. Laskar Jipang dan laskar Pajang yang telah jauh
lebih berpengalaman dari anak-anak muda Sangkal Putung
itupun masih juga belum dapat menempatkan diri mereka
dengan baik. Sebab sebenarnya mereka tidak terlalu biasa
mengadakan pertempuran dimalam hari dalam jumlah yang
cukup besar. Sanakeling melihat kesulitan itu. Maka teriaknya kemudian
"Nyalakan obor. Jumlah kita lebih banyak. Apalagi lawanlawan
kita adalah cucurut-cucurut dari Sangkal Putung"
Pemimpin laskar cadangan itupun tak mau anak buahnya
berkecil hati karena teriakan-teriakan lawannya. Maka dengan
lantang pula mereka menjawab "He anak-anak muda Sangkal
Putung yang ikut dalam pertempuran ini. Lihatlah apa yang
kami lakukan. anggaplah pertempuran ini sebagai latihan.
Sebaba ternyata yang dikirim oleh Tohpati kemari tidak lebih
dari laskar yang mereka tempukan disepanjang pengungsian
mereka" "Gila" sahut Sanakeling. "Inilah Sanakeling. Siapa yang
berteriak-teriak itu"
Pemimpin laskar cadangan itu tergetar hatinya. Sanakeling.
Nama itu pernah didengarnya sebagai pemimpin laskar Jipang
disebelah utara. Namun ia tidak mau mengecilkan hati anak
buahnya yang sedang bertempur itu. Maka katana didalam
gelap "Ha. Bukankah terkaanku benar. Sanakeling yang lari
dari tekanan laskar Pajang disebelah utara, yang dipimpin
langsung oleh Ki Panjawi"
"Gila. Siapakah kau. Ayo tampakkan dirimu"
Namun pemimpin laskar cadangan itu tidak mendekati
Sanakeling. Sebab ia tahu, bahwa orang itu benar-benar
bukan lawannya. Meskipun demikian ia menjawab "Disini.
Datanglah kemari" Sanakeling menjadi marah bukan buatan. Ia meloncat
dengan garangnya kearah suara itu. Namun perkelahian
menjadi semakin ribut. Dan sekali lagi ia berteriak "Tenaga
kita berlebihan. Sebagian dari kalian nyalakan obor"
Sesaat kemudian beberapa obor telah menyala. karena itu
daerah pertempuran itu menjadi agak terang. Dibeberapa
bagian segera tampak wajah-wajah mereka samar-samar
didalam bayang-bayang yang selalu bergerak-gerak.
Pemimpin laskar Pajang menjadi cemas karenanya. Dengan
demikian keringkihan laskarnya segera akan nampak. Namun
demikian, laskar Pajang bersama laki-laki dari Sangkal Putung
sendiri itu telah siap mengorbankan apa saja yang ada pada
mereka. Karena itu maka betapapun besarnya bahaya yang
mengancam, namun mereka sama sekali tidak gentar. Bahkan
dengan demikian, mereka segera menyerbu musuh-musuh
mereka, mengamuk sejadi-jadinya. Mereka telah siap
berkorban untuk kampung halaman mereka yang mereka
cintai. Sawah ladang mereka yang telah memberi kepada
mereka makan dan minum, serta lumbung-lumbung mereka,
persediaan buat hari-hari mendatang, persediaan buat anakanak
mereka dimusim paceklik. Dengan demikian, maka
pertempuran diujung desa Sangkal Putung itu segera
berkobar dengan dahsyatnya. Sanakeling yang melihat
keberanian laskar Sangkal Putung itu menggeram marah.
Dengan wajah yang merah padam segera iapun terjun
kekancah pertempuran itu.
Namun segera mereka dikejutkan oleh sorak-sorai yang
membahana, seolah-olah mengalir disepanjang jalan disisi
desa itu. Sesaat kemudian mereka melihat obor yang
beterbangan menuju kekancah pertempuran itu. Kemudian
diantara sorak yang menggelegar itu terdengar suara lantang
"He, siapakah yang memimpin sempalan laskar Tohpati?"
Suara itu belum terjawab. Namun obor-obor yang seolaholah
beterbangan berebut dahulu itu menjadi semakin dekat.
Dari antara mereka terdengar kembali suara "Angin barat.
Sayap selatan. Ayo, siapa yang berada dipihak lawan?"
Mendengar suara itu laskar Pajang yang sedang bertempur
itupun tiba-tiba bersorak pula. mereka mengenal tanda sandi


01 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, dan merekapun mengenal suara itu, suara Widura. Karena
itu maka segera mereka menyahut "Laskar mereka dipimpin
oleh Sanakeling" "Setan"geram Sanakeling "Siapa yang datang?"
Sebenarnyalah yang datang itu adalah Widura beserta
sebagian laskarnya. Dengan tergesa-gesa mereka
berloncatan diatas parit-parit dan pematang supaya mereka
segera sampai ke Sangkal Putung. Ketika mereka melihat
nyala obor yang menerangi daerah sekitar gardu selatan itu
hati mereka menjadi berdebar-debar. Rupanya laskar lawan
benar-benar telah sampai ke Sangkal Putung. Tanda bahaya
yang menggema diseluruh kademangan, telah mendorong
mereka untuk berjalan lebih cepat. Karena itu kemudian
mereka tidak saja berjalan cepat-cepat, namun mereka telah
berlari-larian berebut dahulu.
Demikian mereka memasuki Sangkal Putung. Maka segera
Widura memerintahkan kepada laskarnya untuk
mempengaruhi pertempuran itu dengan caranya. Laskar yang
dibawanya itu segera bersorak dengan riuhnya.
Ternyata usaha Widura itupun mempunyai pengaruh pula.
laskar cadangan yang lebih dahulu telah terlibat dalam
pertempuran itu menjadi berbesar hati, sehingga karena itu
maka perlawanannya menjadi semakin seru. Meskipun saatsaat
itu tidak terlalu panjang, namun saat-saat itu adalah saatsaat
yang menentukan. Tekanan yang berat dari laskar
Sanakeling, hanpir-hampir menjebolkan laskar cadangan itu.
Apabila demikian, maka arus mereka benar-benar akan
melanda kademangan. Sehingga kademangan dan seluruh
Sangkal Putung pasti akan menjadi geger.
Beberapa orang dari laskar Sanakeling itu telah siap untuk
langsung menerobos masuk ke Sangkal Putung. Namun
karena sorak sorai yang riuh itu, serta nyala api obor yang
meluncur dengan cepatnya kedaerah pertempuran, terpaksa
mereka mengurungkan niat itu. Mereka menunggu sementara
apa yang akan terjadi. Sanakeling yang melihat perubhan didalam tata
pertempuran itu segera mengatur anak buahnya. Mereka yang
telah bersiap untuk langsung masuk kejantun Sangkal Putung
segera ditariknya kembali. Mula-mula Sanakeling itu berharap,
bahwa dengan sebagian saja dari laskarnya, maka laskar
cadangan itu akan dapat dimusnahkan, sedang yang lain-lain
akan dapat merambas jalan masuk kepusat kademangan itu
sebelum laskar Tohpati datang. Namun tiba-tiba rencananya
itu terpaksa diurungkan. Dengan marahnya terdengar
Sanakeling itu menggeram "He, ternyata cecurut-cecurut itu
bertambah pula. jangan diberi kesempatan untuk memandang
fajar esok" Terdengar kemudian suara tertawa "Aku pernah
mendengar suara itu" berkata suara itu diantara tertawanya.
"Setan" Sanakeling itu mengumpat "Siapakah yang
memimpin laskar Pajang itu?"
"apakah kau Sanakeling?" sahut Widura yang belum
menampakkan dirinya. Sanakeling menggeram keras sekali. Sementara itu, laskar
Widura telah terjun pula kedalam pertempuran yang menjadi
semakin riuh. "Inilah Sanakeling" teriak Sanakeling.
Sesaat Widura melihat pertempuran itu. Ia melihat
beberapa orang laskarnya menebar. Mengambil arah yang
tepat, langsung menghadapi laskar Sanakeling. Beberapa
orang diantaranya memegang obor ditangan kiri dan pedang
ditangan kanan. Sedang beberapa orang yang lain berusaha
melindunginya. karena itu maka pertempuran itupun
bertambah ribut pula. obor-obor berhamburan kian kemari
pada kedua belah pihak. Sedang kawan-kawan mereka sibuk
mempertaruhkan nyawa mereka.
Gemerincing pedang diantara pekik sorak gemuruh
Liang Lahat Gajahmungkur 3 Lima Sekawan 01 Mencari Warisan Ratu Name Of Rose 6
^