Pencarian

Bunga Di Batu Karang 12

Bunga Di Batu Karang Karya Sh Mintardja Bagian 12


Tetapi menghadapi peristiwa se maca m itu, maka ha mpir tidak ada bedanya antara seorang Pangeran, seorang Senapati dan seorang rakyat kecil. Dengan penuh penyesalan seorang ayah melihat anaknya meninggal da la m keadaan seperti itu. Anak muda yang baru tumbuh. Betapapun bengal, kasar dan keras kepala, namun kesalahan seluruhnya tidak dapat ditimpakan kepada Raden Rudira. Dalam kedukaan yang paling dala m, Pangeran Ranakusuma me lihat anaknya itu telah menjadi korban tingkah laku orang tuanya sendiri. Pangeran Ranakusumapun ke mudian berdiri termangumangu. Dipandanginya tubuh anaknya yang terbaring dia m me mbe ku. Wajahnya menjadi putih dan tampak senyumnya masih me mbayang. Tetapi di balik senyum itu seakan-akan tampak penyesalan yang tiada taranya. Kecewa dan pedih. "Dipana la" berkata Pangeran Ranakusuma dengan suara parau "pindahkan tubuh itu ke pe mbaringan ibunya" Ki Dipanala termangu-mangu mendengar perintah itu. Sehingga Pangeran Ranakusuma mengulanginya "Pindahkanlah tubuh itu ke bilik ibunya. Selimuti seperti jika ia sedang tidur. Jangan memberikan kesan apapun juga atas ke matian Rudira. Berbuatlah seolah-olah tidak terjadi apa-apa sama seka li jika nanti ibunya datang" Ki Dipanala menganggukkan kepalanya dalam-dala m sa mbil menjawab "Ba ik Pangeran" "Aku akan duduk di pendapa. Setelah kau selesai, pergilah ke pendapa juga" lalu katanya kepada tabib yang mencoba mengobati Raden Rudira tetapi gagal "Aku mengucapkan terima kasih atas usahamu. Sekarang tidak ada gunanya lagi kau berbuat sesuatu atas mayat anakku. Karena itu, kau dapat meninggalkan rumah ini. Pada saatnya kami akan menyelesaikan perhitungan atas jasa-jasamu"
"Terima kasih tuanku. Ha mba sangat menyesal bahwa hamba t idak berhasil" "Bukan salahmu. Kau sudah berusaha. Bantulah Dipanala, ke mudian kau boleh pulang" Pangeran Ranakusuma itupun ke mudian pergi ke pendapa. Ditingga lkannya Rudira yang sudah tida k bernafas lagi itu dengan hati yang luka. Sepeninggal Pangeran Ranakusuma, maka Ki Dipanala yang mengerti maksud Pangeran itu, segera membawa Raden Rudira ke bilik ibunya dan dibaringkannya di pe mbaringan Raden Ayu Galih Warit, dengan diselimut inya baik-baik seolaholah Raden Rudira sedang tidur nyenyak. Kemudian disusutkannya nyala la mpu di dala m ruang itu dan dibersihkannya ruang Raden Rudira sendiri. Setelah semuanya selesai, maka tabib itupun minta diri kepada Ki Dipanala. "Sa mpaikan kepada Pangeran Ranakusuma. Aku tidak usah mohon diri lagi kepadanya" "Baiklah. Tetapi jangan mengatakan kepada siapapun apa yang sudah terjadi" Tabib itu me nganggukkan kepalanya, dan ke mudian iapun meninggalkan istana Ranakusuman. sejenak
Para pelayan yang berusaha menanyakan kepadanya tentang Raden Rudira, sama sekali tidak dijawabnya. Namun karena tabib itu na mpaknya tersenyum-senyum, ma ka para abdi mengira bahwa keadaan Raden Rudira menjadi berangsur baik. Tetapi mereka masih tetap menjadi gelisah, karena Pangeran Ranakusuma belum me mberikan perintah apapun bagi mayat Mandra yang masih dibaringkan belakang.
Dala m pada itu, Pangeran Ranakusuma duduk di ruang depan dengan wajah yang murung. Terbayang apa saja yang sudah dilakukan sela ma ini. Usahanya untuk mendapatkan pengaruh dan kedudukan telah mera mpas seluruh waktunya sehingga ia tidak sempat menelit i tingkah lakunya sendiri. Sejenak ke mudian ma ka Pangeran Ranakusuma itupun berdiri. Dilihatnya Dipanala sudah duduk di bibir tangga pendapa. Tetapi ia tidak menyapanya. Perlahan-lahan ia masuk ke ruang dalam dan menengok ke bilik sebelah bilik Rudira. Dilihatnya pembaringan Raden Rara Warihpun masih kosong. "Tanpa diajari oleh ibunya, agaknya Warih me mpunyai kebiasaan yang sama dengan ibunya" berkata Pangeran Ranakusuma "sela ma ini aku tidak pernah me mperhatikan kedua anak-anakku. Aku t idak tahu apa saja yang dila kukan dan apa saja akibatnya. Apalagi ibunya yang tampaknya sangat menyayangi anak-anaknya" Ketika Pangeran Ranakusuma ke mbali ke pendapa, terbayang sekilas pergaulan anak gadisnya itu menurut penglihatannya yang hanya sepintas. Setiap kali ia pergi bersama anak-anak gadis putera bangsawan. Meskipun mereka adalah saudara-saudaranya juga, bahkan ada di antara mereka yang masih sepupunya, namun kadang-kadang akan dapat menumbuhkan persoalan pula di antara mereka. Tiba-tiba Pangeran Ranakusuma mengangguk-angguk. Katanya kepada diri sendiri "Tetapi kali ini ia pergi ke kakeknya. Mungkin besok ia baru ke mbali" Sambil menarik nafas dalam-dala m Pangeran Ranakusuma itu mula i melihat apa yang sudah dikerjakan oleh anakanaknya. Akhir-akhir ini puterinya sering pergi ke istana kakeknya. Di sana ada beberapa orang gadis sepupunya. "Apakah anak itu harus diberi tahu tentang kakaknya?" pertanyaan itu mulai me ngganggunya.
Namun akhirnya Pangeran Ranakusuma me mutuskan, bahwa ia akan menunggu kedatangan Raden Ayu Galih Warit lebih dahulu, ke mudian baru berbicara tentang Warih. Untuk beberapa la manya Pangeran Ranakusuma merenung. Sa mbil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata "Mungkin itu pula sebabnya, kenapa ia justru sering menyuruh Warih pergi ke kakeknya. Mungkin Warih dapat mengganggunya apabila ia ada di rumah. Bukan karena anak itu ingin menyertainya, tetapi mungkin kehadirannya dapat me mbuatnya bimbang untuk mela kukan perbuatan yang tercela itu" Ki Dipanala yang duduk di ujung pendapa, sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun. Ia hanya duduk sambil menundukkan kepalanya. Ia menunggu jika Pangeran Ranakusuma bertanya sesuatu kepadanya. Tetapi karena Pangeran Ranakusuma sa ma sekali tida k mengucapkan sepatah katapun, maka Ki Dipanalapun hanya dia m saja sambil merenungi peristiwa yang baru saja terjadi. Dengan de mikian, meskipun di pendapa itu duduk dua orang yang tidak begitu berjauhan, namun suasananya benarbenar dicengka m kesenyapan. Pangeran Ranakusuma setiap kali menundukkan wajahnya dan mengusap keringat dingin yang meleleh dikeningnya, sedang Ki Dipanala setiap kali menarik nafas dala m-da la m. Mereka berdua bersama-sa ma mengangkat ketika mereka mendengar suara kereta. wajahnya
"Tentu Galih Warit" desis Pangeran Ranakusuma, karena bukan kebiasaan Rara Warih datang berkereta di mala m hari apabila ia pergi ke istana kakeknya, ayahanda ibunya. Dugaannya itu ternyata benar. Sejenak kemudian sebuah kereta berderap me masuki hala man istana Ranakusuman. Di dalamnya duduk seorang perempuan cantik dala m pakaian yang cemerlang. Sedang di samping sais seorang prajurit yang
agaknya telah mengantarnya lengkap dengan senjata di la mbungnya. Ki Dipanala dengan tergesa-gesa berdiri ketika kereta itu langsung menuju ke tangga pendapa. Sambil melangkah turun sampai ke anak tangga yang paling bawah, Dipanala me mandang kereta itu dengan hampir tidak berkedip. Tibatiba saja dadanya menjadi berdebar-debar seperti sedang menghadapi bahaya yang tidak mungkin dapat diatasinya. Kereta itu berhenti tepat di kuncung pendapa. Prajurit yang duduk di de kat sais itupun segera me loncat turun dan me mbuka pintu kereta. Sambil me mbungkuk dala m-da la m ia me mpersilahkan Raden Ayu Galih Warit keluar dari kereta itu. Pangeran Ranakusuma me mandang isterinya yang baru turun dari kereta itu dari tempat duduknya. Ia sama sekali tidak beringsut dan apalagi berdiri. Ketika Raden Ayu Galih Warit turun dari keretanya dan dilihatnya Pangeran Ranakusuma sudah duduk di pendapa, dadanya berdesir. Namun ia segera berusaha tersenyum sambil bertanya "Kakanda sudah ke mbali dari istana?" "Belum la ma" jawab Pangeran Ranakusuma. Jawaban itu ternyata mengejutkan Ki Dipanala. Ha mpir tidak ada kesan sama sekali, bahwa sebenarnya hati Pangeran Ranakusuma sedang dibe lit oleh kedukaan yang tiada taranya. "O, Pangeran tidak langsung pergi ke pertemuan itu" "Aku kira Ranakusuma. kau sudah ke mbali" jawab Pangeran
"Pertemuan itu baru saja bubar. Yang hadir mela mpaui yang diundang. Dan itu menimbulkan kesulitan" Raden Ayu Galih Warit tertawa, lalu "untunglah kesulitan itu dapat segera di atasi"
Pangeran Ranakusuma mengangguk-angguk. Lalu, katanya "Apakah kereta itu masih akan ke mbali ke te mpat pertemuan itu?" "Ya kakanda. Masih ada beberapa orang yang harus dije mput" Pangeran Ranakusuma mengangguk-angguk pula. Tetapi ia tidak berkata apapun lagi. Raden Ayu Galih Waritlah yang kemudian menyuruh sais keretanya untuk meningga lkan istananya. "Ke mbalilah, mungkin masih me mperguna kannya" katanya. ada yang akan
Sejenak ke mudian maka kereta itupun segera berderap meninggalkan hala man. Prajurit yang ada di samping sais itu mengangguk da la m-dala m ketika kereta itu mula i bergerak. "Cukup meriah" berkata Raden Ayu Galih Warit sambil tersenyum. Perlahan-lahan ia mendekati sua minya yang masih duduk Di tempatnya. "Sayang, kakanda tidak pergi menyusul ha mba. Beberapa orang Pangeran hadir juga di da la m perja muan itu" Raden Ayu Galih Warit berhenti sejenak, lalu "Kenapa mere ka tidak menghadap Kangjeng Susuhunan" Pangeran Ranakusuma Jawabnya "Aku tidak tahu" menggelengkan kepa lanya.
Raden Ayu Galih Warit mengerutkan keningnya. Lalu sambil berdiri di bela kang Pangeran Ranakusuma ia bertanya "Apakah ada sesuatu yang sulit di dalam pe mbicaraan Pangeran dengan piha k istana atau kumpeni?" "Tida k, tidak" jawab Pangeran Ranakusuma "se muanya berjalan lancar. Justru karena itu aku pulang lebih awal dari pertemuan yang pernah dila kukan di istana"
"O" Raden Ayu Galih Warit tertawa. Kedua tangannya meraba pundak Pangeran Ranakusuma sa mbil berkata "Apakah kakanda akan duduk saja di pendapa?" "Aku akan duduk di sini sebentar. Udara terlampau panas. Aku minta Ki Dipanala mene mui aku" Raden Ayu Galih Warit berpaling me mandang Dipanala yang sudah duduk ke mbali di lantai pendapa tepat di atas tangga. Sejenak terbersit kecemasan di dala m hatinya. Sikap Pangeran Ranakusuma ka li ini agak meragukan. "Apakah cucurut itu sudah mulai me njilat dan mengatakan apa yang pernah diketahuinya?" bertanya Raden Ayu Galih Warit di dala m hatinya. Tetapi dijawabnya sendiri "Jika demikian ia tentu tidak akan duduk tenang menerima kedatanganku. Mungkin Pangeran Ranakusuma langsung mengusir aku mala m ini juga atau me manggil ayahanda untuk menje mputku" Karena itu, maka Raden Ayu Galih Warit itupun ke mudian tersenyum pula sa mbil bertanya "Apakah Dipanala tidak me mpunyai pekerjaan lain?" "Tentu tida k di ma la m hari" jawab Pangeran Ranakusuma. "O" Raden Ayu Galih Warit tertawa "Tentu tidak. Ia bukan peronda di istana ini" "Ya. Ia me mang bukan peronda " "Tetapi udara akan menjadi se makin dingin ka mas. Apakah tidak sebaiknya Pangeran masuk ke da la m?" "Masuklah dahulu. Aku akan duduk di sini sejenak" Raden Ayu Galih Warit menjadi ragu-ragu. Sekali lagi ia me mandang Ki Dipanala yang duduk sa mbil menundukkan kepalanya.
"Pangeran" berkata Raden Ayu Galih Warit "terasa tubuh Pangeran menjadi sangat dingin. Tentu Pangeran sudah kedinginan" "Udara terasa segar sekali di pendapa " "Kalau begitu, aku a kan ikut duduk di sini" Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. "Masuklah. Atau berganti pakaianlah dahulu" Lalu
Raden Ayu Galih Warit tertawa. Katanya kemudian "Barangkali ada juga yang ditunggu. Tetapi jika kakanda menunggu Warih, tentu ia tida k akan ke mbali mala m ini. Mungkin besok bahkan mungkin lusa. Ia merasa kerasan di rumah kakeknya, karena di rumah eyangnya ia mendapatkan beberapa orang kawan sebaya" "Ya. Tentu ia kerasan di rumah eyangnya. Tetapi aku me mang tida k sedang menunggu Warih. Jika kau ingin duduk pula bersama kami, berganti pakaianlah lebih dahulu" "Baiklah kakanda. Aku akan berganti pakaian dahulu, dan aku akan menyusul duduk di sini. Tetapi sebaiknya Dipanala menyuruh seorang pelayan untuk me mbuat minuman panas" "Baiklah. Biar ia nanti pergi"
Raden Ayu Galih Waritpun ke mudian melangkah masuk. Di muka pintu langkahnya terhenti. Serasa ada sesuatu yang menahannya. "Ka mas" Raden Ayu itu me manggil "Apakah tidak ada seorang pelayanpun yang ada di da la m?" "Di belakang" jawab Pangeran Ranakusuma. "Kenapa la mpu di dala m bilik itu sura m sekali?" "O, tentu. Kau baru datang dari perjamuan. Tentu la mpunya terang benderang sehingga lampu di dala m rumah kita itu rasa-rasanya terlampau sura m. Tetapi nanti akhirnya akan terbiasa juga" Raden Ayu Galih Warit mengangguk-angguk. Tetapi ia masih juga ragu-ragu me langkah. Rasa-rasanya tengkuknya mere mang dan jantungnya berdebaran. "Belum pernah a ku merasakan perasaan seperti ini" berkata Raden Ayu itu kepada diri sendiri. Tetapi kemudian dibantahnya sendiri "Mungkin aku menjadi gelisah karena kebetulan Pangeran Ranakusuma sudah datang mendahului. Tentu ada. perasaan yang kurang jernih padanya. Tetapi aku kira Dipanala t idak me ngatakan sesuatu. Jika benar, Pangeran Ranakusuma tentu tidak akan setenang itu" "Ah, aku ternyata telah diganggu oleh perasaanku sendiri" berkata pula Raden Ayu Galih Warit kepada diri sendiri. Dengan demikian, maka ka kinyapun terayun pula me masuki, ruangan dalam. Ke mudian dengan ragu-ragu ia menuju ke pintu biliknya yang tertutup. Namun sekali lagi langkahnya tertegun. Ruangan dalam itu terasa terlampau sepi. Sepi sekali seperti kuburan. Dipandanginya pintu-pintu bilik yang tertutup. Biliknya sendiri, bilik kedua anak-anaknya dan bilik Pangeran Ranakusuma.
Dan pintu-pintu yang tertutup itu kesannya bagaikan wajahwajah yang murung dengan mata yang terpejam. Terasa sekali lagi tengkuknya mera mang, seakan-akan dira mbati oleh binatang-binatang kecil tetapi berjumlah banyak sekali. "Ah, tentu karena aku datang dari pertemuan yang ramai sehingga rumahku ini terasa sangat sepi" Ia mencoba bertahan. Dipaksanya juga kakinya melangkah ke pintu biliknya. Meskipun hatinya ragu-ragu, na mun perlahan-lahan didorongnya juga pintu bilik yang tertutup itu. Ketika terlihat olehnya sesosok tubuh terbaring di pembaringannya, Raden Ayu Galih Warit terkejut. Tetapi hanya sejenak, karena di dalam cahaya lampu minyak yang ke merah-merahan, ia segera mengenal wajah anak laki-la kinya Rudira. Raden Ayu Galih Warit menarik nafas dalam-dala m. Tetapi ia merasa aneh, bahwa Rudira tidur di pe mbaringannya. Hal itu tidak pernah dilakukannya. Tiba-tiba saja dada Raden Ayu Galih Warit berdebar-debar. Katanya di dalam hati "Tentu ayahnya yang menyuruhnya tidur di pe mbaringanku sebagai cara untuk menegur keterlambatanku. Atau barangkali Dipanala me mang sudah mengatakannya?" Raden Ayu Galih Warit menjadi ragu-ragu. Bahkan iapun ke mudian menduga, bahwa sebenarnya Rudira itu tentu belum tidur. Anak itu tidak pernah tidur lurus me mbujur di pembaringannya. Kadang-kadang ia tidur sambil me lingkarkan tubuhnya atau bahkan menelungkup. Raden Ayu Galih Warit menarik nafas dala m-dala m. "Biarlah aku a kan bertanya kepadanya. Jika sesuatu akan terjadi, aku tentu masih me mpunyai cara untuk me ngelak. Aku akan mendapat bantuan dari para perwira kumpeni dan
beberapa orang lainnya. Aku dapat mengupah beberapa orang untuk mengingkarinya dan me mberikan kesaksian palsu. Tentu Rudira sendiri akan me mbantuku" na mun ke mudian dengan ragu-ragu ia berkata kepada diri sendiri "Atau justru Rudira yang menjadi sangat marah kepadaku?" "O, Dipanala me mang pengkhianat. Kenapa ia masih be lum terbunuh. Ia me mang harus mati segera. Segera" Namun dengan de mikian ibunda Raden Rudira itu justru ingin segera mengetahui, kenapa puteranya itu tidur di dala m biliknya. Perlahan-lahan ia mendekatinya agar Rudira itu tidak terkejut. Kemudian dengan perlahan-lahan pula ia meraba tubuh itu dan mengguncang pada ujung kakinya "Rudira, Rudira" Tetapi menurut dugaan Raden Ayu itu, Rudira tidak segera terbangun. "Anak ini" katanya "Jika sudah tertidur, betapa sukarnya untuk me mbangunkannya" namun ke mudian "Tetapi anak ini tentu belum tidur" "Rudira, Rudira" Panggilnya pula. Dan tubuh itu sama sekali tidak bergerak. Sama sekali. Bahkan dadanyapun tida k. Raden Ayu Galih Warit mulai curiga. Tetapi sekali lagi ia justru tertawa sambil berkata "Ah, bukan begitu caranya tidur Rudira. Orang yang tidur nyenyak tidak menjadi sekaku potongan kayu. Ayo bangun dan katakan, kenapa kau tidur di sini mala m ini" Siapakah yang me nyuruhmu" Ayahanda barangkali?" Tetapi tetap tidak ada jawaban. Rudira tidak bangkit sambil tertawa. Tidak pula marah dan merajuk. Tetapi ia tetap berbaring dia m me mbeku.
"Rudira" akhirnya kesabaran ibunyapun menjadi se makin susut. Katanya "Ayo bangun. Apa sebenarnya maumu?" Masih tetap tidak ada jawaban. Raden Ayu Galih Warit tidak sabar lagi menunggu jawaban anaknya. Karena itu maka didekatinya tubuh Raden Rudira itu dan ditariknya selimut yang me nyelubungi badannya. Ketika tubuh itu terbuka, dada Raden Ayu Galih Warit bagaikan dihentakkan oleh sesuatu di dala m dirinya. Dengan mata terbelalak ia me lihat sesuatu yang aneh. Namun ke mudian darahnya bagaikan terhenti menga lir ketika dilihatnya tubuh Raden Rudira itu benar-benar telah me mbeku dengan tangan yang disilangkan di dadanya. Noda-noda darah yang masih belum terhapus dan luka-luka yang tampak di antara bajunya yang bagaikan disayat. "O" Raden Ayu Galih Warit berdiri sejenak. Na mun ke mudian sebuah pekik yang tinggi me mecah keheningan ma la m itu. Dengan sekuat-kuat tenaganya Raden Ayu Galih Warit menjerit sa mbil me me luk tubuh anaknya. Beberapa orang pelayan yang mendengar jerit itupun segera berlari-lari ke pendapa, karena mereka tahu, bahwa kereta yang me mbawa Raden Ayu Galih Warit baru saja datang. Mungkin Raden Ayu Galih Warit terkejut melihat keadaan puteranya yang terluka itu. Dala m pada itu, Pangeran Ranakusuma me mang sudah menduga bahwa isterinya akan menjerit sekuat-kuatnya. Karena itu, ia sama sekali tidak terkejut karenanya. Bahkan ketika beberapa orang berlari-larian ke pendapa, Pangeran itu berdiri dan mende kati mereka sa mbil berkata "Tida k ada apaapa. Ia hanya terkejut. Nanti ia akan tenang kembali. Pergilah ke tempat mu masing-masing" Para pelayan itu menjadi termangu-ma ngu. Satu-satu mereka berjalan meninggalkan pendapa ke mbali ke te mpat masing-masing.
Di dala m bilik Raden Ayu Galih Warit menangis sejadijadinya. Dengan mengguncang-guncang tubuh yang terbaring itu dipanggilnya nama anaknya. Tetapi Raden Rudira tidak menyahut sa ma sekali. "Pangeran, Pangeran" Raden Ayu Galih Warit itu berteriak "Bagaimana dengan Rudira ini Pangeran" Pangeran Ranakusuma perlahan-lahan mende kati bilik itu sambil berkata kepada Dipanala "Ikut aku" Demikian Pangeran Ranakusuma sampa i kedepan pintu bilik, isterinya segera berlari mendapatkannya. Sambil me me luk sua minya Raden Ayu Galih Warit berkata di antara tangisnya "Apa yang terjadi kakanda. Apa yang telah terjadi?" Tetapi sikap Pangeran Ranakusuma sama sekali tidak seperti kebiasaannya. Setiap kali Raden Ayu Galih Warit menga la mi goncangan perasaan, atau bahkan kadang-kadang sekedar me manja kan diri, Pangeran Ranakusuma selalu berusaha untuk menenangkannya. Tetapi kali ini Pangeran Ranakusuma bagaikan patung yang me mbeku. Raden Ayu Galih Warit tidak segera dapat menanggapi keadaan. Bahkan iapun mengguncang-guncang tubuh Pangeran Ranakusuma sekuat-kuatnya sambil bertanya diselasela isak tangisnya "Apa yang sudah terjadi atas Rudira?" Perlahan-lahan Pangeran Ranakusuma mendorong tubuh Raden Ayu Galih Warit sa mbil berkata "Dia mlah" Raden Ayu Galih Warit mula i merasakan sikap yang semakin asing dari Pangeran Ranakusuma. Karena itu, ketika Pangeran Ranakusuma ke mudian berjalan mendekati tubuh Rudira, ia justru terdia m karenanya. "Ke marilah" berkata Pangeran Ranakusuma isterinya yang justru menjadi termangu-mangu. kepada
"Ke marilah" Pangeran Ranakusuma mengulang "Rudira ternyata telah mengala mi bencana tanpa kita duga-duga sebelumnya" Raden Ayu Galih Warit dengan ragu-ragu me langkah mende kat. "Ia sudah meninggal beberapa saat yang lalu" Raden Ayu Galib Warit menganggukkan kepalanya. Katanya terputus-putus "Kakanda tidak me mberitahukan apapun pada saat aku datang" "Aku tidak ingin mengejutkanmu dan apalagi merusak kesan yang cerah di dalam hatimu, setelah kau mengunjungi pertemuan itu" Raden Ayu Galih Warit me ngangkat wajahnya. Sekilas dipandanginya Dipanala yang berdiri sa mbil menundukkan kepalanya dalam-dala m. Bagaimanapun juga, hatinya merasa pedih me lihat seorang ibu yang harus menghadapi kenyataan yang sangat pahit itu. "Siapakah yang telah mence lakai Rudira ka kanda?" Pangeran Ranakusuma mengge lengkan kepalanya. Katanya "Aku tida k tahu. Ia diketemukan terkapar di ja lan" "O" "Lihatlah lukanya. Luka itu bukan luka senjata tajam, tetapi lukanya adalah luka peluru" "Peluru?" "Ya. Peluru kumpeni" "O, bagaimana mungkin hal itu terjadi?" "Tida k ada yang dapat mengatakan dengan pasti" "Apakah Rudira hanya seorang diri" Biasanya ia pergi bersama Mandra "
"Mandra juga mati" "Mandra juga mati?" "Ya, tetapi dalam kedudukan yang lain. Bagaimanapun juga nakalnya Rudira, tetapi kali ini ia terbunuh selagi ia ingin menyatakan sikapnya sebagai seorang anak laki-la ki yang baik" "Aku tida k mengerti" "Tentu kau tidak mengerti" jawab Pangeran Ranakusuma. Raden Ayu Galih Warit menjadi se makin bingung. Dipandanginya suaminya yang benar-benar terasa asing baginya, seperti juga Pangeran Ranakusuma merasa sebagai orang asing di dala m bilik itu. Isterinya yang cantik itu sama sekali tidak dapat me mberinya gairah lagi kepadanya sebagai seorang suami. Bukan saja karena ia sedang berdiri di sisi mayat puteranya, namun apa yang terjadi memang sudah me misahkannya dari perasaan seorang suami. "Ke matian Rudira me ma ng me mberikan suasana yang asing di dala m rumah ini" berkata Pangeran Ranakusuma ke mudian. Na mun ia masih tetap berusaha menahan gejolak hatinya yang bagaikan meretakkan dada "Me mang tidak ada bukti apapun yang dapat disangkutkan dengan ke matian Rudira, selain luka peluru ini. Tetapi di Surakarta ini ada beberapa buah senjata yang dapat melepaskan peluru seperti ini" Raden Ayu Galih Warit mengangguk kosong. "Tetapi senjata yang manakah yang telah melepaskan peluru dan melukai Rudira, tentu sulit se kali untuk diketahui" Isterinya menganggukkan kepalanya sekali lagi. "Tetapi" berkata Pangeran Ranakusuma selanjutnya "masih ada ke mungkinan kita dapat mene mukan pe mbunuh anak kita"
"Siapa yang telah me mbunuhnya ka mas?" "Seseorang me lihatnya, kumpeni mene mbaknya" bagaimana seorang perwira
"O" dada Raden Ayu Ga lih Warit menjadi berdebar-debar. "Perwira kumpeni itu meloncat dari sebuah kereta" "Kereta?" suara Raden Ayu Galih Warit menjadi bergetar. "Ya. Seseorang melihat, sebuah kereta yang baru saja keluar dari tempat pertemuan yang meriah. Tetapi ternyata ada kereta lain yang sudah menunggunya di tempat yang gelap. Seorang perwira kumpeni telah berpindah tempat dari kereta yang berhenti lebih dahulu ke dala m kereta yang ke mudian" "O, siapakah yang mengatakannya?" "Tunggu. Ada hubungannya dengan ke matian Rudira" Wajah Raden Ayu Galih Warit menjadi pucat. "Apakah yang sudah dilakukan oleh Rudira?" Pangeran Ranakusuma me narik nafas dalam-da la m. Seakan-akan sesuatu telah menyumbat di kerongkongannya. Namun akhirnya terucapkan juga dari sela-sela bibirnya "Rudira ingin melihat apa yang sudah dilakukan oleh perwira itu, karena ia mendengar suara seorang perempuan di dalam kereta yang kemudian. Ia tidak rela melihat bahwa sesuatu telah terjadi karena tingkah perwira kumpeni itu, karena ia tahu, bahwa seorang perempuan yang ada di dalam kereta itupun tentu seorang bangsawan" Wajah Raden Ayu Galih Warit yang pucat menjadi se makin pucat. Dengan suara gemetar ia bertanya "Apakah yang ke mudian dilakukan oleh Rudira" "Ia menyusul kereta itu"
"O" tubuh Raden Ayu Galih Waritlah yang ke mudian menjadi ge metar "Tidak. Tidak terjadi apa-apa. Tidak terjadi apa-apa. Itu hanyalah kebetulan saja, bahwa kereta itu bertemu di tengah ja lan" "Apa yang tidak terjadi apa-apa?" bertanya Pangeran Ranakusuma. "Perwira itu tidak berbuat apa-apa" "Tentu ia berbuat apa-apa" "Tida k, tidak" Pangeran Ranakusuma me mandang isterinya sejenak, lalu "Akulah yang me mberitahukan hal ini kepada mu. Bukan kau" "Tetapi tida k terjadi apa-apa dengan kumpeni itu" "Darimana kau tahu" Dan apa kah kau juga me lihatnya?" Pertanyaan itu terdengar bagaikan bunyi guntur yang me ledak di langit. Sejenak Raden Ayu Galih Warit berdiri me matung. Dengan tatapan mata yang tajam dipandanginya wajah Pangeran Ranakusuma yang tegang. Lalu dengan suara gemetar ia berkata seakan-akan tidak terpikirkan lebih dahulu karena kegelisahan, kece masan, kepedihan yang bercampur baur "Aku t idak tahu. Aku tidak tahu apa-apa" "Tetapi Rudira mengetahuinya" berkata Pangeran Ranakusuma "Ia tahu siapa yang berada di dalam kereta itu. Ia tahu siapa yang mengatur pertemuan itu. Na mun dengan demikian ia sudah terjebak oleh pengkhianat Mandra" "O" "Ketika Rudira dan Mandra mengejar kereta itu, dan Rudira berada di depan, ia me lihat seorang perwira kumpeni me loncat dari kereta. Ia mendengar sebuah ledakan yang me me kakkan telinga dan terasa ia terdorong pada pundaknya. Ia tidak dapat menguasai diri lagi. Dengan derasnya ia terlempar dan jatuh di atas jalan berbatu itu"
"O" "Ia masih hidup ketika aku datang karena disusul oleh seorang abdi. Ia masih dapat mengatakan, siapakah yang ada di dala m kereta itu" Raden Ayu Galih Warit rasa-rasanya tidak lagi berpijak di atas tanah. "Dari orang yang telah dite mbak oleh kumpeni yang sedang dibakar oleh nafsu kecantikan seorang putera bangsawan itu adalah Rudira. Anakmu" Rasa-rasanya langit bagaikan runtuh menimpa dadanya. Sejenak Raden Ayu Galih Warit tidak dapat bergerak. Sekilas terbayang kembali perwira kumpeni yang me loncat turun. Kemudian disusul oleh bunyi te mbakan dan suara tertawa yang berkepanjangan. Ketika dengan ketakutan ia bertanya, maka perwira itu menjawab, bahwa ia telah menembak seorang penjahat yang mencoba hendak me mbunuhnya. -ooo0dw0ooo-
Karya SH MINTARDJA Jilid 10 "O" MATA Raden Ayu Galih Warit mulai berkunang-kunang. Kini ia sadar, bahwa yang ditembak itu tentu Rudira, anaknya. Dan setelah anaknya itu terkapar di tengah jalan berbatubatu, maka ia masih se mpat tertawa meringkik seperti iblis betina di dala m pe lukan orang asing berkulit putih itu. "O" Tida k ada sepatah katapun yang dapat diucapkannya. Tetapi yang pernah dilakukan bagaikan terbayang kembali di dalam rongga matanya. Kemaksiatan yang pernah dilakukan. Dan akhirnya anaknya sendiri mati terbunuh selagi ia sedang menikmati nafsu yang gila. Tiba-tiba nafasnya menjadi terhenti. Sekilas ia me lihat Rudira yang terbujur itu. Tetapi se makin la ma se makin kabur. Raden Ayu Galih Warit masih se mpat menjerit. Terlalu keras. Sambil berlari ia me manggil na ma anaknya. Kemudian dijatuhkannya dirinya di atas mayat yang sudah me mbeku itu. "Rudira, Rudira" suaranya me lengking tinggi "Tidak. Tidak" Suara Raden Ayu Galih Warit tiba-tiba terhenti. Tubuhnya menjadi le mas dan ia tidak lagi dapat berpegangan ketika
tubuh itu psrlahan-lahan berguling dan jatuh di lantai. Pingsan. Pangeran Ranakusuma sama sekali tida k berbuat apa-apa. Dipandanginya saja isterinya yang tergolek di lantai di bawah pembaringannya. Dipanala me njadi termangu-mangu. Ia tahu, bahwa beberapa orang pelayan berkumpul di pintu belakang. Tetapi mereka t idak berani masuk ke dala m. "Pangeran" desis Dipana la "Apakah tidak sebaiknya Raden Ayu itu dibangunkan dari pingsannya" Pangeran Ranakusuma menandanginya "Biarkan saja ia terbaring di situ" "Tetapi itu berbahaya bagi Raden Ayu" "Kenapa?" "Jika Raden Ayu terla mpau la ma kesehatannya akan menjadi jele k seka li" "Aku tida k peduli" "Tetapi, tetapi, apakah hamba diperkenankan mencobanya bersama para pelayan?" "Apa kepentinganmu" Bukankah kau pernah akan dibunuhnya" Rudira dan Mandralah yang mengatur segala sesuatunya. Buat apa kau sekarang akan menolongnya" "Ha mba mengerti Pangeran. Tetapi hamba tidak sampai hati melihatnya, seperti pada saat hamba me lihat Mandra sudah siap me mbunuh Raden Rudira" Pangeran Ranakusuma menarik nafas dala m-dala m. Sa mbil me langkah meninggalkan ruangan itu ia berdesis "Terserah kepadamu" Ki Dipanala menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya saja Pangeran Ranakusuma yang melangkah keluar biliknya. pingsan, maka sejenak, lalu
Meskipun tampa knya Pangeran itu tetap tenang, namun tatapan matanya yang tunduk me mbayangkan, betapa sakitnya dera yang menyentuh perasaannya. Ia telah kehilangan anak laki-lakinya, dan sekaligus telah kehilangan semuanya. Isterinya yang dianggapnya paling sesuai itu ternyata sama sekali t idak setia kepadanya, sedang isterinya yang lain telah meninggal lebih dahulu dan yang seorang telah dike mbalikan kepada orang tuanya. Demikian juga kedua anak laki-lakinya. Yang seorang meningga l, dan yang seorang bagaikan telah dibuangnya. Anak perempuannya hampir seperti orang lain saja baginya. Meskipun kadang-kadang anak itu dengan manjanya merengek minta sesuatu, namun ia lebih dekat dengan ibunya bahkan dengan kakeknya daripada dengan dirinya sendiri. Ki Dipanala masih berdiri sa mbil termenung ketika ia me lihat Pangeran Ranakusuma duduk di pendapa. Seakanakan tidak terjadi sesuatu di dalam istananya yang besar. Seakan-akan tidak ada sesosok mayat yang terbujur di dala m bilik, dan tubuh yang terbaring pingsan di lantai di sisi mayat itu. Seakan-akan tidak pernah terjadi pengkhianatan dari abdi yang dianggapnya setia oleh anaknya itu, dan yang kemudian juga terbujur mati di ruang bela kang. Ki Dipanala menarik nafas dalam-dala m. Na mun tiba-tiba saja ia sadar bahwa Raden Ayu Galih Warit memerlukan pertolongan. Jika ia sama sekali tidak mendapat perawatan, maka akan ada t iga sosok mayat di dala m rumah ini. Karena itu, maka Ki Dipana la mencoba me lupakan Pangeran Ranakusuma yang duduk me matung di pendapa. Dengan tergesa-gesa iapun ke mudian pergi ke bela kang. Di depan pintu Ki Dipanala ha mpir tidak dapat me langkah keluar karena para pelayan yang berdiri berjejal-jejal. "Apa yang terjadi?" seseorang bertanya.
"Ambillah minyak kelapa dan berambang. Raden Ayu Galih Warit sedang pingsan. " Tidak ada yang sempat bertanya lagi. Ki Dipana la segera ke mbali masuk ke dala m bilik. Dipapahnya Raden Ayu Ga lih Warit yang pingsan itu ke bilik Raden Rudira, dan dibaringkannya di pembaringan puteranya yang sudah dibersihkan. Sejenak Ki Dipanala me mandang wajah yang pucat itu. Wajah yang me mang sangat cantik. Meskipun Raden Ayu Galih Warit sudah me mpunyai seorang anak laki-laki dan seorang perempuan yang menginja k dewasa, namun ia masih tetap seorang perempuan yang cantik dengan tubuh yang me mpesona. "Sayang" desis Ki Dipana la di dala m hatinya "kecantikannya hanyalah sekedar kulit. Sama sekali tidak meresap sampai ke dalam hati dan jantungnya" Sejenak ke mudian, maka seseorang yang membawa minyak kelapa me masuki bilik itu setelah ia mencarinya di bilik Raden Ayu Galih Warit, tetapi tidak mene mukannya di sana. "Bawa ke mari" Pelayan itupun mendekat. Namun ia berbisik "Apa yang terjadi dengan Raden Rudira itu" Apakah tabib yang pandai itu tidak berhasil?" Ki Dipana la me mandanginya sejenak, lalu katanya tanpa menjawab pertanyaan itu "Bantu a ku" Orang itu tidak menjawab. Dibantunya Ki Dipanala mengusap kaki dan telinga Raden Ayu Galih Warit dengan minyak kelapa dan bera mbang merah. Namun Raden Ayu Galih Warit masih tetap diam. Karena itu maka berkata Ki Dipanala "Panggil seorang e mban. Cepat"
Pelayan itupun dengan tergesa-gesa pergi ke belakang. Ia sudah me lupakan, bahwa iapun telah ikut me mbenci Dipanala selama ini. Sejenak kemudian seorang emban yang sudah agak lanjut umurnya datang tergopoh-gopoh ke dalam bilik itu, sementara pelayan yang me manggilnya mengikut inya dari be lakang. "Tunggulah di luar" berkata Ki Dipanala kepada pelayan itu ke mudian. Pelayan itu termangu-mangu sejenak. ke mudian pergi ke be lakang. Na mun iapun
Dengan de mikian berita ke matian Raden Rudira segera tersebar. Beberapa maca m tanggapan telah dilontarkan oleh para pelayan dan para pengawal. Sebagian dari mereka telah menganggap, bahwa Ki Dipanala telah me mbunuh dua orang sekaligus. "Tetapi kenapa Pangeran Ranakusuma seakan-akan tidak mengacuhkannya sama sekali?" bertanya seseorang. "Kebingungan yang me muncak itu telah me mbuatnya seperti orang yang terganggu ingatannya" "Tetapi ke marahannya tentu akan me mba kar jantungnya dan Dipanala akan dicincangnya. Bukankah Pangeran Ranakusuma seorang Senapati yang dibanggakan di Surakarta" Yang lain mengerutkan keningnya. Seseorang berkata "Kita me mang tidak tahu apa-apa. Baiklah kita menunggu penjelasan yang dapat kita percaya" Dala m pada itu, setelah pintu bilik ditutup rapat-rapat, maka Ki Dipanala dibantu oleh e mban itupun segera berusaha untuk menyadarkan Raden Ayu Galih Warit. Ikat pinggang yang terlalu keras itupun telah dikendorkan, dan ha mpir seluruh tubuhnya telah diusap dengan minyak kelapa dan
berambang merah. Tetapi Raden Ayu Galih Warit tidak segera sadarkan diri. Semakin la ma Ki Dipanala menjadi sema kin ge lisah. Karena itu maka apa saja yang dapat dilakukan, telah dilakukannya. Digerak-gerakkannya tangan Raden Ayu Galih Warit. Kemudian kakinya, kepalanya dan dengan cemas diguncangguncangnya tubuh yang masih tetap dia m itu. Tetapi Raden Ayu Galih Warit t idak bergerak sa ma sekali. Ki Dipana la dan e mban yang me mbantunya itu se makin la ma menjadi se ma kin ce mas. Karena itu, maka Ki Dipanalapun ke mudian berkata dengan gugup "Aku akan menghadap Pangeran Ranakusuma. Aku akan me mohon agar Pangeran sekali lagi me manggil tabib itu. Kali ini bagi Raden Ayu Galih Warit" Emban itu hanya dapat mengangguk-angguk saja tanpa mengucapkan sepatah katapun. Ki Dipanalapun ke mudian menghadap Pangeran Ranakusuma dengan ragu-ragu. Dengan ragu-ragu pula iapun ke mudian berkata "Ampun Pangeran. Hamba tidak berhasil me mbangunkan Raden Ayu" Pangeran Ranakusuma masih saja me mandang kekejauhan. Kekegelapan yang bagaikan me misahkan dunianya dengan dunia di balik tabir yang hitam itu. Ki Dipanala menarik nafas dalam-dala m. Tetapi ia tidak berani bertanya lagi. Ia tahu benar, betapa sakit dan pedihnya hati Pangeran Ranakusuma yang selama ini menda mbakan kekuasaan yang berlebihan di Surakarta. Ia adalah salah seorang Pangeran yang merasa dirinya me miliki ke ma mpuan yang tidak ada tandingnya diantara para Pangeran yang lain. Bahkan Pangeran Mangkubumipun sebenarnya secara pribadi tidak menggetarkan se le mbar bulunya.
Namun karena di hati kecilnya Pangeran Ranakusuma sadar, bahwa sebenarnya sikap Pangeran Mangkubumi yang kadang-kadang aneh itu didorong oleh perasaan kecewa yang menda la m, maka kadang-kadang Pangeran Ranakusuma merasa dirinya lebih kecil. Ia sa ma sekali tida k berani me mperguna kan kelebihannya untuk berdiri di atas sikap yang teguh seperti Pangeran Mangkubumi. Bukan sekedar tidak berani, tetapi juga karena didorong oleh nafsu duniawi yang berlebih-lebihan. Namun akhirnya yang didapatinya adalah kekosongan. Kekosongan dan kesepian. Semuanya seakan-akan pergi menjauh daripadanya. Hilang tanpa dapat diketemukannya lagi. Dala m kepahitan yang ha mpir tidak tertelan ia baru menyadari, bahwa ia telah me mberikan korban terlalu banyak bagi ketama kannya. Ternyata bahwa anak laki-lakinya telah lepas dari kendali dan sukar untuk ditarik ke mbali. Akhirnya, ia adalah korban sifat sifat yang me muakkan dari orang tuanya. Orang tua yang hampir tidak menghiraukan tentang anakanaknya. Disangkanya bahwa menyuapi mulut anaknya sebanyak-banyaknya dengan kemewahan, uang dan kekuasaan akan dapat me mbentuk anak itu menjadi seorang yang baik. Ternyata bahwa yang terjadi adalah sebaliknya. Korban yang sia-sia. Ki Dipanala masih duduk dengan ge lisah. Ia melihat seakan-akan wajah Pangeran Ranakusuma itu me muat ceritera tentang dirinya sendiri sepenuhnya. Pangeran Ranakusuma me narik nafas dalam-da la m. Terbayang kembali hubungannya yang gelap dengan adik kandung Ga lih Warit. Dan itupun merupakan getar yang berpengaruh di dalam jiwa anak laki-la kinya meskipun secara wadag ia tida k me lihatnya.
Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dala m. Ketika terlihat olehnya Ki Dipanala duduk tepekur, maka iapun bertanya dengan sada yang datar "Kau mau apa?" Ki Dipanala termangu-mangu sejenak. Na mun dipaksakannya juga mulutnya berkata "Pangeran, agaknya Raden Ayu tidak segera dapat sadar" "Aku tidak peduli" jawab Pangeran Ranakusuma acuh t idak acuh. "Maksud ha mba, apakah tidak sebaiknya tuan mengutus seorang untuk seka li lagi me manggil tabib itu?" "Tida k ada gunanya" "Mungkin ada Pangeran" "Ia sudah gagal mengobati Rudira. Tentu ia akan gagal lagi jika ia mengobati siapapun juga hari ini" "Tetapi Raden Ayu tidak perlu diobati" "Jadi kenapa harus me manggil tabib itu?" "Ia perlu dibangunkan. Tidak diobati Pangeran" Sekali lagi Pangeran Ranakusuma terdia m. Dan seka li lagi ia menatap kekejauhan, ke dala m gelapnya mala m. Satu satu dilihatnya bintang yang bergayutan di langit yang hitam di atas atap rumah di hadapan istananya. Sejenak ke mudian maka katanya "Aku tidak peduli Dipanala. Apa saja yang akan kau kerjakan dengan Ga lih Warit. Aku tidak me merlukannya lagi. Jika kau mau, ambillah dan bawa ia pulang" "Ampun Pangeran, tentu hamba tidak akan berani berbuat demikian, karena derajat hamba. Namun hamba me mang tidak sampa i hati me mbiarkannya dalam keadaan yang demikian"
"Terserah kepadamu"
kepadamu. Aku sudah berkata, terserah Ki Dipanala tidak segera berani menangkap kata-kata itu secara pasti. Karena itu, maka iapun masih saja tetapi duduk di te mpatnya, sehingga Pangeran Ranakusuma menjawab "He, kenapa kau masih tetap duduk saja" Pergilah, dan berbuat sekehendak hatimu" Ki Dipanala menarik nafas dalam-dala m. mengangguk data m-da la m iapun bergeser surut. Sambil
Ketika ia sampa i di bilik Raden Rudira, maka Raden Ayu itupun sudah menjadi terlalu pucat. Wajahnya bagaikan sudah tidak berdarah sa ma seka li. "Emban" berkata Ki Dipanala ke mudian "Aku mohon agar Pangeran Ranakusuma me manggil seorang tabib yang pandai. Tetapi se muanya terserah saja kepadaku. Pangeran menjadi acuh tidak acuh" "Aneh. Raden Ayu Galih Warit dalam keadaan ini, Pangeran Ranakusuma masih tetap berdiam diri saja. Apakah ia sama sekali tidak mengerti keadaan Raden Ayu, atau barangkali sedang marah atau ada persoalan-persoalan lain?" Ki Dipanala hanya mengerutkan dahinya. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk mengatakan keadaan Pangeran itu, tetapi ia masih berusaha untuk me lindungi na ma baik Raden Ayu Galih" Warit di hadapan para pe layan di Ranakusuman. "Jadi, apakah yang sebaiknya kita lakukan?" bertanya emban itu. Ki Dipanala termangu-mangu sejenak. Tetapi ketika terpandang olehnya wajah yang pucat itu ia berkata "Baiklah kita me manggil tabib itu" "Tetapi apakah Pangeran Ranakusuma me mperkenankan?" "Itu terserah kepadaku"
"Itulah kata-katanya. Tetapi apakah demikian juga yang dipikirkannya dan sikapnya yang sebenarnya?" Ki Dipana la menjadi ragu-ragu pula. "Tetapi apakah kita akan me mbiarkan Raden Ayu Galih Warit itu di dala m keadaannya?" Emban itu tidak menjawab. Perlahan-lahan ia mengusap kening Raden Ayu Galih Warit. Dan tiba-tiba saja ia berdesis "Ki Dipanala, lihatlah. Raden Ayu mulai bergerak" Dipanala segera meloncat mendekatinya. Seperti yang dikatakan e mban itu, maka ia melihat gerak yang lemah pada Raden Ayu Galih Warit. Terdengar tarikan nafas yang lamban. Namun ke mudian dia m lagi. "Emban, panggillah seseorang, Biarlah ia menje mput tabib itu sekali lagi. Suruhlah ia mengatakan bahwa kali ini ia harus menyadarkan Raden Ayu yang pingsan" Emban itupun ke mudian meninggalkan bilik itu dan menyuruh seorang pelayan me manggil tabib itu sekali lagi. Sejenak ke mudian seekor kuda berderap meningga lkan halaman istana Pangeran Ranakusuma. Sedang Pangeran Ranakusuma sendiri yang melihat kuda itu berlari keluar regol dari pendapa, sama sekali tida k berbuat apa-apa. Ia masih saja duduk sambil merenungi diri sendiri, keluarganya dan ke mudian justru Surakarta. "Kumpeni itu sudah me mbunuh anakku" katanya di dalam hati "Apapula yang akan aku dapatkan dari mereka, ternyata harganya terlampau maha l. Aku harus mengorbankan Rudira dan bahkan aku harus menjual isteriku pula kepada mereka. Gila. Gila" Pangeran Ranakusuma menggeretakkan giginya. Namun ke mudian tubuhnya bagaikan terkulai le mah. Semuanya sudah terjadi. Bukan kesalahan orang lain, tetapi ia adalah orang yang justru paling bersalah. Juga atas ke matian Rudira.
Pangeran Ranakusuma menarik nafas dala m-dala m. Dala m pada itu, Ki Dipanala benar-benar mulai berpengharapan. Emban yang sudah ada ke mbali di dala m bilik itupun mula i berpengharapan pula. Sekali-sekali mereka me lihat Raden Ayu Galih Warit mulai bergerak meskipun sedikit sekali. Pernafasannya mula i teratur dan kadang-kadang sudah terdengar ia berdesah perlahan-lahan. Ki Dipana la dan e mban itupun dengan ge lisah menunggu tabib yang telah diundang. Seakan-akan mereka menunggu terlampau la ma. Jika Raden Ayu Galih Warit mulai bergerak, keduanya berlutut di samping pe mbaringannya sambil meraba-raba tubuh yang terbaring itu, seakan-akan mendorongnya untuk segera bangun dan berbicara apa saja. Namun Raden Ayu Galih Warit belum sadarkan dirinya. Sejenak kemudian mereka mendengar kuda berderap me masuki regol. Namun ketika mereka melihat Pangeran Ranakusuma duduk di pendapa, maka penungganyapun segera berloncatan turun sambil menghent ikan kuda mere ka. Setelah mengikat kudanya di ha la man sebelah, maka tabib itupun telah dibawa masuk oleh seorang pelayan langsung ke dalam bilik. "Bagaimana dengan Raden Ayu?" bertanya pelayan itu. Ki Dipanala menarik nafas dalam-dala m, lalu "Sebagaimana kau lihat. Ia pingsan ketika ia melihat mayat puteranya" Tabib itu menarik keningnya. Sambil berpaling ke pintu ia berkata "Pangeran ada di pendapa" "Ya. Pangeran me mang ada di pendapa" "Kenapa Pangeran tida k menunggui Raden Ayu" Ki Dipanala tidak segera dapat menjawab. Namun ke mudian ia me nggelengkan kepa lanya sambil berkata "Mungkin Pangeran benar-benar telah dibingungkan oleh
ke matian puteranya, sehingga ia tidak dapat lagi berpikir bening" Tabib itu mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia mende kati Raden Ayu Galih Warit yang pingsan. Dirabanya tubuh yang masih dia m itu sa mbil berkata "Apakah Raden Ayu sudah cukup la ma pingsan?" "Ya. Sudah cukup la ma" Tabib itu mengangguk-angguk. Lalu katanya "Berilah aku air hangat" Emban itupun ke mudian pergi ke belakang untuk menga mbil air hangat. Dala m kesempatan itulah ma ka Ki Dipanala berkata "Raden Ayu telah mengecewakan Pangeran Ranakusuma, justru pada saat puteranya meningga l" "Kenapa?" "Besok a ku a kan me mberitahukan kepadamu" Tabib itu mengangguk-angguk pula. Tetapi ia tidak bertanya lebih banyak lagi. Dan ketika emban yang me mbawa air hangat itu datang, maka iapun segera mencoba me mbangunkan Raden Ayu Ga lih Warit yang pingsan itu. Dala m pada itu Ki Dipanalapun berkata kepada e mban yang masih ada di dala m bilik itu "Sudahlah, beristirahatlah. Biarlah aku menunggui tabib ini, dan me mbantunya apabila diperlukan. Kau tentu le lah dan barangkali kantuk" "Ah" desah e mban itu. "Tinggalkan saja ka mi. Jika perlu aku akan me manggilmu" Emban itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun ke mudian meninggalkan bilik itu meskipun dengan ragu-ragu. Sepeninggal e mban itu, maka tabib itupun mula i menyeka kaki dan tangan Raden Ayu Galih Warit dengan a ir hangat
yang sudah dibubuhi dengan berbagai maca m obat-obatan yang dapat menghangatkan urat-urat darahnya. Dengan selembar kain yang dibasahi dengan air hangat itu sedikit, diusapnya bagian-bagian tubuhnya sehingga hampir merata. Sejenak ke mudian Raden Ayu Galih Warit yang sudah mulai bergerak itupun berdesah. Semakin la ma se makin sering. Dan bahkan kemudian terdengar ia merint ih. "Raden Ayu" me manggilnya. Ki Dipanala
Tetapi agaknya suara Ki Dipanala itu masih be lum didengarnya. Tabib itupun ke mudian menggerakkan tangan Raden Ayu itu perlahan-lahan beberapa kali. Dan nafas Raden Ayu itupun menjadi se makin teratur. Ki Dipanala bergeser maju ketika ia melihat Raden Ayu Galih Warit itu me mbuka matanya sejenak. Hanya sejenak. Dan mata itupun terpejam ke mba li. "Raden Ayu" sekali lagi Ki Dipanala me manggil Namun Ki Dipanala terkejut ketika ia melihat mulut Raden Ayu Galih Warit itu bergerak-gerak sejenak. Dan sebe lum Ki Dipanala dan tabib yang merawatnya mengerti apa yang dikatakan, tiba-tiba saja Raden Ayu Galih Warit menjerit keras sekali. Keras dan panjang. "Raden Ayu" desis Ki Dipanala. Tetapi suaranya tidak didengar. Raden Ayu itu masih menjerit kerasi. Kepalanya digeleng-gelengkannya sema kin
la ma sema kin cepat, sedang kedua belah matanya tetap terbuka. "Raden Ayu, Raden Ayu" Ki Dipanala menjadi ce mas. Apalagi ketika dilihatnya dahi tabib yang masih muda itu berkerur-merut" "Bagaimana Ki Sanak" bertanya Ki Dipanala. Tabib itu tidak segera menjawab. Dirabanya dahi Raden Ayu Galih Warit. Tetapi dahi itu sa ma se kali tidak menjadi hangat. "Raden Ayu" tabib itupun me manggilnya. Tetapi Raden Ayu Galih Warit sa ma seka li t idak menghiraukannya. Tabib yang biasanya selalu tenang itu menjadi ta mpak agak ce mas. Keringat dingin menge mbun dikeningnya. Sekali-sekali diusapnya keringat itu dengan tangannya. Tetapi Raden Ayu masih berteriak-teriak keras sekali. Disela-sela suaranya yang me lengking, kadang-kadang terdengar ia me manggil na ma puteranya. "Rudira, Rudira" Ki Dipanala menjadi tegang. Tanpa disadarinya ia menjenguk Pangeran Ranakusuma yana duduk di pendapa. Tetapi ternyata Pangeran itu masih duduk di tempatnya. Ki Dipanala menjadi heran. Begitu besar ke kecewaan yang mencengka m hatinya. sehingga seakan-akan teriakan Raden Ayu itu sama sekali tidak didengarnya. Sebenarnyalah bahwa Pangeran Ranakusuma t idak me mpedulikan suara itu. Ke matian anak laki-la kinya. ketidak setiaan isterinya, justru yang menyebabkan kematian Raden Rudira itu, bagaikan titik-t itik e mbun yang tersimpan sewindu, yang menyiram dan telah me mbekukan hati dan jantungnya. Ada juga sentuhan suara isterinya yang menyayat itu. Bahkan
ia sudah bergerak untuk berdiri. Na mun ke mudian Pangeran Ranakusuma itu duduk ke mba li di te mpatnya. Hatinya telah benar-benar me mbeku seperti tubuh anak laki-la kinya yang sudah meningga l itu. Dari dala m bilik masih terdengar jerit yang melengkinglengking. Ki Dipana la masih berdiri termangu-mangu. Tetapi Dipanala itu tidak berani mengatakan sesuatu. Tentu Pangeran Ranakusuma sudah mendengar. Jika ia ingin bangkit dan mendekati isterinya tentu sudah dilakukannya. "Bukan ma in" desis Ki Dipanala kepada diri sendri "kekecewaan yang tiada taranya lelah me mbuatnya sama sekali tidak menghiraukan apa yang terjadi Demikian parah kepedihan seorang suami yang sama sekali tida k menyangka bahwa ketidak setiaan itu sudah terjadi, dan sekaligus menyebabkan ke matian anak laki-la kinya" Dengan hati yang terpecah. Ki Dipanala ke mbali ke dala m bilik. Ia melihat beberapa orang pelayan berdiri di muka pintu butulan. Merekapun menjadi heran, bahwa Pangeran Ranakusuma masih tetap duduk dia m di pendapa. "Rudira, Rudira" teriak Raden Ayu Galih Warit "Maafkan aku. Aku tidak sengaja me mbunuhmu. Bukan sa lahku saja. Bukan sa lahku" Tabib itu menjadi tegang. Dipandanginya Ki Dipanala sejenak, lalu "Apakah yang sudah terjadi Ki Dipanala?" Ki Dipanala tidak menjawabnya. Sementara itu Raden Ayu itu masih saja berteriak "O, bukan ma ksudku. Kumpeni itu bermaksud baik. Aku menyerahkan diriku karena aku mendapat imba lan yang tidak terkira. Aku bermaksud me mberikan kepadamu Rudira. Kepada mu dan kepada Warih. Tetapi tidak untuk me mbunuhmu. Aku ingin me mpengaruhi mereka untuk kepentingan ayahandamu. Ayahandamu harus menjadi Senopati Agung di Surakarta. Ayahandamu harus mendapat imbalan tanah yang jauh lebih banyak dari Tanah
Sukawati. Tanah Sukawati itu me mang harus diminta ke mba li dari Pangeran Mangkubumi, ke mudian diserahkan kepada ayahandamu dan masih harus dita mbah dengan daerah sekitarnya. Juga Jati Sari seisinya harus diserahkan, termasuk gadis itu Rudira, Arum dan juga ke matian Juwiring" "O" tabib itu berdiri ge metar. Dan Ki Dipanalapun baga ikan tidak dapat berpikir lagi mendengar isi hati Raden Ayu Galih Warit yang tidak se mpat dikekangnya, karena ia masih belum sadar sepenuhnya. Untunglah bahwa bilik itu tertutup rapat, sehingga para pelayan yang berdiri di pintu butulan di be lakang tida k begitu jelas mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Raden Ayu Galih Warit itu. Mereka hanya mendengar la mat-la mat, Raden Ayu Galih Warit berteriak-teriak. Tetapi mereka sa ma sekali tidak mengerti maksudnya. Dala m pada itu, Pangeran Ranakusuma yang sa ma sekali tidak berniat untuk menengok isterinya, mendengar juga serba sedikit teriakan Raden Ayu itu, sehingga hatinya tergelar karenanya. Bagaimanapun juga ia bertahan untuk tetap duduk Di te mpatnya, namun iapun ke mudian bangkit dan bergegas masuk ke dalam bilik itu sambil me mbentak "Suruh orang itu dia m. Suruh orang itu dia m" Ki Dipanala dan tabib itu menjadi termangu-mangu. Sementara itu Raden Ayu Galih Warit masih berteriak "Aku sama sekali tidak ingin berkhianat. Apa yang aku lakukan adalah suatu perjuangan. Aku telah berkorban dengan segala yang ada padaku untuk kepentingan ke luargaku" "Dia m, dia m" Pangeran Ranakusumapun berteriak pula. Tetapi Raden Ayu Galih Warit yang tidak sadar atas apa yang terjadi itu masih saja berteriak. Betapa gelapnya hati Pangeran Ranakusuma. Pengakuan yang langsung dapat didengarnya itu bagaikan pisau yang mengiris jantungnya. Itulah sebabnya maka ia tidak dapat
mendengar suara itu lebih la ma lagi. Dengan garangnya ia me loncat dengan jari-jari berkembang menerka m leher Radefn Ayu Galih Warit. "Pangeran, Pangeran" hampir berbareng Ki Dipanala dan tabib yang masih muda itu meloncat pula. Sambil me megangi lengan Pangeran itu Ki Dipana la berkata "Pangeran, hamba mengharap Pangeran mengerti. Raden Ayu sedang dalam keadaan tidak sadar" "Justru karena itulah maka ia mengatakan yang sebenarnya, la berkata apa yang pernah ia lakukan, dan apa yang pernah dilakukan itu sangat menyakitkan hati. Aku akan me mbunuhnya. Aku harus me mbunuhnya" "Pangeran" berkata tabib itu "terserahlah kepada Pangeran. Tetapi biarlah Raden Ayu sadar lebih dahulu dari pingsannya. Itu adalah kuwajiban hamba sebagai seorang tabib. Setelah Raden Ayu menyadari keadaannya maka semuanya adalah hak Pangeran untuk berbuat apapun dengan segala tanggung jawab Pangeran sendiri" Pangeran Ranakusuma me mandang tabib itu sejenak. Lalu "Tetapi me ma lukan sekali. Aku tida k mau mendengar ia mengigau seperti itu" "Pangeran" berkata tabib ini biarlah ha mba mencoba untuk menenangkan Raden Ayu Galih Warit. Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Tetapi hatinya bagaikan menyala ketika ia masih mendengar isterinya mengigau. Katanya "Mudah-mudahan aku berhasil. Jika kumpeni dapat me mbantuku, maka ka mas Ranakusuma akan menjadi seorang Senapati Agung di Surakarta dan akan mendapat tanah kalenggahan yang mencukupi untuk tujuh turunan. Untuk anak cucuku, untuk anak cucu Rudira dan Warih" "Dia m, dia m. Aku tidak mau mendapatkan kedudukan yang harus dibeli dengan noda pada kesetiaan seorang isteri. Aku
txt oleh http://www.mardias.mywapblog.com
me mbiarkan kau bergaul dengan mereka, tetapi tidak untuk mengotori ke luarga ini" Raden Ayu Galih Warit sa ma se kali tidak mendengar, sehingga karena itu ia masih saja berkata "Dan usaha itu tampaknya akan segera berhasil da la m wa ktu singkat" "Tida k, tidak" Pangeran Ranakusumapun berteriak. Tetapi Raden Ayu Galih Warit sa ma sekali tidak mendengarnya. Namun dala m pada itu, justru telinga hati Pangeran Ranakusuma lah yang telah mendengar suaranya sendiri. Sebenarnyalah bahwa ia me mang telah me mberikan waktu dan kesempatan terlalu banyak kepada isterinya. Dan sudah barang tentu dengan pamrih seperti yang dikatakan oleh Raden Ayu Galih Warit itu. Pangeran Ranakusuma me mang tidak dapat ingkar kepada diri sendiri, bahwa sebenarnyalah ia telah berma in api. Ia ingin me mbiarkan isterinya berdiri di atas pagar ayu, tetapi tidak me la mpauinya. Namun batas yang tidak berjarak itu ternyata tidak dapat dipertahankannya, sehingga akhirnya Raden Ayu Galih Warit itu telah terjerumus ke dala m tindakan yang tidak dapat dibenarkan. "O" Pangeran Ranakusuma me langkah surut. Tangannya yang sudah siap mencekik leher isterinya, ditariknya kembali. Dengan kepala tunduk ia melangkah menjauh. Dengan hati yang pedih dilihatnya isi hatinya sendiri. Pa mrih yang terlampau besar, seperti yang disebut-sebut isterinya itu. Ia me mang ingin menjadi seorang Senapati Besar dengan tanah kelenggahan seluas tujuh kali tanah kalenggahan seorang Pangeran biasa. Karena itulah maka ia tidak berbuat apa-apa lagi. Sekalisekali Raden Ayu Galih Warit masih juga mengigau, meskipun tidak sekeras sebelumnya. Tabib itu berusaha untuk menitikkan obat yang dapat menenangkannya meskipun hanya sedikit Tetapi obat itu bukan untuk menghentikan sa ma sekali, karena tabib itu tidak
berani menanggung akibat, bahwa Raden Ayu Galih Warit akan terdia m untuk sela ma-la manya. Meskipun suara Raden Ayu Galih Warit menurun, tetapi ia tidak juga berhenti mengigau. Ia masih saja berbicara tentang dirinya, tentang anak-anaknya dan tentang cita-citanya. Pangeran Ranakusuma yang tidak mau lagi mendengar igauannya itupun ke mudian meninggalkan bilik itu dan ke mba li duduk di pendapa. Bagaimana ia berusaha untuk me ngusir angan-angannya, namun ternyata bahwa setiap kali iapun dihadapkan kepada sikapnya yang tamak. Sehingga karena itulah, ma ka yang terjadi sekarang bagaikan telah mere mukkan jantung dan hatinya. Ki Dipanala dan tabib yang masih muda itu masih menunggui Raden Ayu Galih Warit. Setiap kali mereka harus menahan nafasnya jika Raden Ayu itu kadang-kadang menyebutkan rahasia dirinya yang paling dala m. Bahkan di dalam keadaannya yang semakin le mah karena obat yang dititikkan di mulutnya, ia masih dapat menyebut beberapa nama orang asing dengan kata-kata yang tidak jelas. "Bagaimana mungkin ha l itu dapat terjadi" desis tabib itu perlahan-lahan. Terasa bulu kuduk Ki Dipanalapun mere mang. Ia tidak pernah menduga, bahwa ia akan mendengar penga kuan yang mengerikan. Apalagi dari mulut seorang perempuan bangsawan. "Apakah kau tidak dapat berusaha agar Raden Ayu itu terdiam?" desak Ki Dipanala. "Aku tidak berani melakukannya. Aku tidak berani menanggung akibatnya jika ia akan terdia m untuk seterusnya. Dan hal itu akan mungkin terjadi, jika aku menit ikkan agak terlalu banyak" "Kau dapat me mperhitungkannya. Kau sudah cukup ahli"
"Tetapi tidak ada ja minan yang pasti tentang kekuatan jasmaniah seseorang. Dan aku me mang tidak biasa me mberikan lebih dari yang sudah aku berikan" Ki Dipanala hanya menahan nafasnya saja. kegelisahan yang sangat telah me ncengka m jiwanya. Namun
Namun tiba-tiba Ki Dipanala itu terkejut. Dilihatnya Raden Ayu Galih Warit yang lemah itu tiba-tiba saja berhenti. Kemudian matanya terbelalak sejenak, hanya sejenak, karena iapun ke mudian me meja mkan matanya. "Bagaimana?" bertanya Ki Dipanala. Tabib itu meraba tubuh Raden Ayu Galih Warit. Dipijitpijitnya bagian belakang telinganya. Kemudian diusapnya dengan sejenis obat yang cair seperti minyak ke lapa. "Mudah-mudahan ia a kan segera sadar" berkata tabib itu. "Apakah itu gejalanya" "Me mang ada kelainan. Tetapi mudah-mudahan" Sejenak Raden Ayu Galih Warit me meja mkan matanya. Nafasnya dengan teratur lewat lubang hidungnya yang mancung. Tabib itu menjadi berdebar-debar. Dicobanya untuk mengusap kening Raden Ayu Galih Warit. Kemudian bagian belakang telinganya dan pundaknya. Perlahan-lahan Raden Ayu Galih Warit me mbuka matanya. Ki Dipanala dan tabib yang menungguinya menahan nafas dengan tegangnya. Sepercik harapan telah tumbuh di dala m hati mereka. Ki Dipanala bergeser mendekat ketika ia me lihat Raden Ayu Galih Warit itu ke mudian bergerak. Diangkatnya kepalanya sedikit. Namun karena badannya yang masih sangat lemah, maka kepala Raden Ayu itupun terkulai ke mba li di pembaringan.
Ki Dipanala me mandang tabib itu sejenak mengangguk sedang tabib itupun mengangguk pula.
sambil Namun keduanya mengerutkan keningnya ketika mereka me lihat Raden Ayu Galih Warit itu tersenyum. "Kenapa ia justru tersenyum" bertanya Ki Dipanala di dala m hatinya. Dan keduanya terkejut ketika Raden Ayu itu justru tertawa perlahan-lahan. "Raden Ayu" Panggil Ki Dipanala dengan ce mas. Raden Ayu Galih Warit berpaling me mandanginya. Ternyata bahwa ia sudah mendengar suara itu. Namun yang mence maskan justru ketika Raden Ayu itu tertawa sambil bertanya "He, siapa kau?" "Raden Ayu, apakah Raden Ayu tidak mengenal ha mba lagi" Raden Ayu Galih Warit mengerutkan keningnya. Kemudian perlahan-lahan ia bangkit. Ternyata tubuhnya masih terlampau le mah, meskipun iapun ke mudian berhasil duduk di pembaringan. "O" katanya kemudian "Kenapa kau ada di sini?" "Raden Ayu baru saja pingsan" jawab Ki Dipanala. Raden Ayu itu mengerutkan keningnya. Lalu sambil tertawa ia berkata "He, kau mengigau. Dima nakah kapitan Dungkur?" "Siapa Raden Ayu?" "Kapitan Dungkur. He, apakah ia sudah pergi?" Ki Dipanala tertegun sejenak. Dipandanginya tabib yang sedang termangu-mangu, sementara Raden Ayu Galih Warit itupun ke mudian berdiri tertatih-tatih.
"Uh, Dungkur me mang rakus. Ia begitu saja pergi dengan dia m-dia m" Raden Ayu itupun ke mudian tertawa "Tetapi ia me mpunyai Barang-barang yang aneh. Dan ia me mpunyai pengaruh yang besar dika langan istana" Ki Dipanala hanya dapat berpaling ketika ke mudian Raden Ayu Galih Warit itu berdiri sa mbil dengan tangannya me mbenahi paka iannya yang me mang dikendorkan ketika ia pingsan. "Dungkur yang rakus itu tida k mau menunggu aku berpakaian dengan rapi. Gila " Lalu tiba-tiba dipandanginya tabib itu "He siapa kau?" "Ampun Raden Ayu. Hamba berusaha mengobati Raden Ayu" "Mengobati" Aku kenapa" O, bodoh sekali kau " Raden Ayu itu tertawa "Apa yang kau obati padaku" Jika aku sakit kumpeni me mpunyai obat yang tidak kau punyai. He, siapa kau?" Ki Dipanala menjadi se makin ce mas. Apalagi ketika ia ke mudian mendengar Raden Ayu itu tertawa terbahak-bahak. Tanpa menghiraukan kedua orang yang ada di dala m biliknya Raden Ayu Galih Warit me mperbaiki letak pa kaiannya sambil tersenyum-senyum. Ternyata senyum Raden Ayu itu telah menggetarkan hati Ki Dipanala dan tabib yang masih muda itu. Mereka menjadi cemas bahwa kejutan perasaan itu telah membuatnya berubah. Dengan ragu-ragu Ki Dipanala masih mencoba me manggil "Raden Ayu, apakah Raden Ayu tidak mengenal ha mba lagi?" "He?" Raden Ayu berpaling Dengan taja mnya ia me mandang Ki Dipanala. Lalu katanya "Kau tentu bukan Kapitan Dungkur. Kenapa kau di sini he" Apakah kau juga kumpeni" Tentu bukan. Kulit mu seperti kulit sawo"
Terasa kulit Dipanala yang dikatakan seperti kulit sawo itu mere mang ketika Raden Ayu Galih Warit merabanya. Sambil tertawa Raden Ayu itu berkata "Tentu bukan. Dungkur kulitnya putih ke merah-merahan seperti kulit babi. Tetapi tidak sekasar kulit Panderpol" Raden Ayu itu tertawa, lalu "meskipun kulit mu tidak putih, tetapi ternyata lebih halus dari kulit orangorang asing itu" "Raden Ayu" suara Ki Dipanala bagaikan orang menge luh "ha mba adalah seorang abdi kapangeranan. Apakah Raden Ayu belum menyadari apa yang terjadi" Raden Ayu itu tertawa. Kemudian iapun me langkah ke mbali ke pembaringan. Tanpa menghiraukan orang-orang yang ada di dala m bilik itu ia berbaring sa mbil berdendang perlahanlahan. "O Tuhan" desis Ki Dipanala. Ia menjadi sema kin ce mas me lihat keadaan Raden Ayu Galih Warit itu. Ternyata tabib yang menunggui Raden Ayu Galih Warit itupun menjadi berdebar-debar pula. Bahkan ke mudian ia berbisik kepada Ki Dipanala "Sesuatu telah terjadi pada diri Raden Ayu Galih Warit itu. Goncangan perasaan yang tidak tertanggungkan agaknya telah mengganggu keseimbangan jiwanya." "Jadi bagaimanakah keadaannya itu?" Tabib itu menarik nafas dalam-da la m sambil mengangkat pundaknya. "Apakah Raden Ayu telah terganggu syarafnya?" Tabib itu ragu-ragu sejenak. Na mun katanya kemudian "Agaknya me mang de mikian Ki Dipanala. Apakah Ki Dipanala dapat menyampaikannya kepada Pangeran Ranakusuma?" Ki Dipanala tidak segera menjawab. Sejenak ia termangumangu.
"La mbat atau cepat, Pangeran Ranakusuma me mang harus mengetahuinya. Selain persoalan Raden Ayu Galih Warit, bukankah masih harus dipikirkan apa yang sebaiknya dilakukan terhadap Raden Rudira yang terbaring di bilik sebelah dan tubuh Mandra yang disimpan di belakang?" Ki Dipanala menarik nafas dalam-dala m. Sekilah dilihatnya Raden Ayu Ranakusuma yang berbaring sa mbil berdendang perlahan-lahan. Na mun ke mudian pere mpuan itu me loncat berdiri sambil bertanya "He, dimana anakku" Dimana Rudira" Apakah kau lihat" Ia tidak boleh mengikuti aku. Ia tidak boleh tahu apa yang terjadi dan apa yang aku lakukan meskipun semuanya itu untuknya dan untuk suamiku. Ia akan menjadi Senapati Agung di Surakarta, dan kami akan menjadi pangeran yang paling berpengaruh dan pa ling kaya raya. Tentu mela mpaui pepatih Surakarta sendiri" Ki Dipanala tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Karena itu untuk beberapa la manya ia hanya berdia m diri saja. "Dima na he" Raden Ayu Ranakusuma mendesak "kau lihat anakku yang laki-laki?" "Raden Ayu" berkata Dipanala kemudian "ha mba berharap Raden Ayu beristirahat. Cobalah Raden Ayu tidur sejenak. Mungkin dapat menentera mkan hati Raden Ayu" "Tidur" Kau suruh aku tidur?" tiba-tiba Raden Ayu tertawa berkepanjangan. Tabib itu menjadi tegang sejenak. Katanya kemudian "Aku akan me mberikan obat yang dapat me maksanya tidur sejenak. Ramuan kulit dala m buah pala dengan beberapa maca m reramuan yang lain. Tetapi sebelumnya, beritahukanlah kepada Pangeran Ranakusuma, agar Pangeran dapat melihat akibat yang telah terjadi pada isterinya" Ki Dipana la mengangguk sa mbil bergeser. Kemudian iapun me langkah keluar pintu.
Ketika pintu bilik itu berderit, Raden Ayu Galih Waritpun me langkah ke pintu. Tetapi tabib muda itu mencoba menahannya "Raden Ayu. Silahkan Raden Ayu tinggal saja di dalam bilik ini. Sebentar lagi Dipana la akan ke mbali" "Apa?" dipandanginya tabib itu sejenak, lalu "Kenapa kau me larang aku pergi?" "Tinggallah di dala m bilik ini, saja Raden Ayu?" "Apakah Rudira t idak a kan me lihat aku di sini?" "Ya, ya Raden Ayu. Raden Rudira tidak akan me lihat Raden Ayu tinggal di dala m" "Apakah Dungkur, atau Panderpol atau Setepen akan datang" "O" tabib itu mengusap dadanya. Ternyata Raden Ayu Itu sudah menyebut sedikit-sedikitnya tiga buah nama. "Terlalu, terlalu" tabib itu menge luh sendiri. "He, kenapa kau dia m saja?" bentak Raden Ayu. "Di luar ada Raden Rudira" katanya begitu saja terloncat dari bibirnya "karena itu silahkan Raden Ayu tinggal di dala m" "O, apakah ia tidak akan datang kemari?" "Tida k. Tida k"
Raden Ayu itu tertawa. Katanya "Sekali-sekali ada juga baiknya menipu kanak-kana k. Tetapi niatku baik. Niatku bersih untuk anak dan sua miku" Tabib itu menyahut "Ya, me mang niat Raden Ayu bersih, karena itu, silahkan Raden Ayu duduk saja di da la m" Raden Ayu Galih Waru melangkah ke mbali ke pembaringan. Kemudian dibaringkannya dirinya seenaknya tanpa menghiraukan orang la in di da la m bilik itu. Dala m pada itu, dengan sangat ragu-ragu Ki Dipanala bagaikan merayap mendekati Pangeran Ranakusuma yang masih duduk me matung di pendapa. Dengan dada yang berdebar-debar Ki Dipanala ke mudian berkata perlahan-lahan "A mpun Pangeran. Ha mba akan mohon kesempatan untuk mengatakan sesuatu tentang Raden Ayu" "Apa yang akan kau katakan" Tentu kau akan mengatakan bahwa perempuan itu sudah mula i sadar" Pangeran Ranakusuma terdia m. Ia masih belum berani mengatakan dugaannya tentang Raden Ayu Galih Warit karena ia mendengar suara tertawa berkepanjangan. Jika isterinya itu masih dala m keadaan tidak sadar seperti pada saat m berteriak-teriak, maka ia harus menunggu isterinya itu bangun. Tetapi ka lau pere mpuan itu sudah terbangun" "Ha mba Pangeran" jawab Ki Dipana la "sebenarnya Raden Ayu sudah sadar. Maksud hamba, Raden Ayu sudah bangun dari pingsan dan bayang-bayang yang menyelubunginya. Tetapi, tetapi..." Ki Dipanala tida k dapat meneruskan katakatanya. Namun karena justru kece masan yang serupa itu sudah ada di dala m hati Pangeran Ranakusuma, maka tiba-tiba saja ia menyahut "Gila maksudmu" Atau setengah gila atau apa?"
Ki Dipanala menarik nafas dalam-dala m. Jawabnya "Hamba tidak dapat menyebutnya Pangeran. Tetapi me mang ada gangguan pada syaraf kesadarannya. Raden Ayu tidak dapat mengenal ha mba lagi" "O" Pangeran Ranakusuma meletakkan dagunya pada kedua tangannya yang bertelekan pada pahanya dengan sikunya. Bahkan ke mudian kepa la itu menunduk dan bersembunyi di balik kedua telapak tangannya. "Hancur, semuanya sudah hancur. Aku masih mengharap bahwa cemar yang melumuri ke luargaku masih dapat dise mbunyikan, meskipun tidak bagi hatiku sendiri. Tetapi aku masih mengharap bahwa pere mpuan itu a kan menyimpan rahasianya meskipun aku sudah menga mbil keputusan untuk menyingkirkannya dari istana ini. Tetapi jika ia menjadi gila, maka ia akan berkicau apa saja tanpa menghiraukan noda yang tercoreng di kening" "Perlahan-lahan tabib itu dapat Pangeran perintahkan untuk mengobati sejauh-jauh dapat dilakukan" "Persetan" Pangeran Ranakusuma itupun ke mudian berdiri. Dengan tergesa-gesa ia melangkah ke bilik isterinya. Ketika dengan keras ia mendorong daun pintu, Raden Ayu Ranakusuma terkejut. Dengan serta-merta ia me loncat bangun. Dipandanginya Pangeran Ranakusuma sejenak, lalu tiba-tiba saja ia berlari sa mbil berteriak "Kakanda, ka kanda" Tetapi ketika Raden Ayu itu mencoba me meluk Pangeran Ranakusuma, maka pere mpuan itupun telah didorongnya sehingga terjatuh di lantai. Raden Ayu Galih Warit itu masih se mpat me me kik. Na mun ke mudian ia terdia m sejenak. Dipandanginya suaminya dengan tajamnya. Perlahan-lahan ia bangkit. Dan tiba-tiba saja Raden Ayu itu tertawa sambil berkata "He, aku belum mengenal cara mu. Ternyata kau kasar seperti Setepen"
"Dia m" teriak Pangeran Ranakusuma. Ha mpir saja tangannya menampar mulut Raden Ayu Galih Warit yang tertawa itu jika Ki Dipanala tidak cepat-cepat berkata "Jangan Pangeran. Raden Ayu sedang dalam keadaan tidak sadar" "O" Pangeran Ranakusuma melangkah menjauhi isterinya sambil berdesah "me ma lukan seka li. Me malukan sekali. Aku sudah terjerumus ke da la m kehancuran mut lak" Dan sambil menggeretakkan giginya Pangeran Ranakusuma menggera m "Ia harus dia m. Ia harus dia m" Lalu tiba-tiba ia berbalik sambil berkata "Aku akan me mbunuhnya. Aku akan me mbunuhnya" "Pangeran" berkata Ki Dipanala "ternyata Raden Ayu Galih Warit telah kehilangan kesadarannya. Hamba berharap bahwa tuanku akan tetap sadar menghadapi keadaan ini. Betapapun pahitnya empedu, jika itu me mang harus ditelan, maka Pangeran tidak akan dapat me muntahkannya lagi" Pangeran Ranakusuma menggigit bibirnya seakan-akan ia sedang menahan, sesuatu yang bergejolak di dala m hatinya. "Dipana la" berkata Pangeran Ranakusuma sa mbil me mandang isterinya, hanya sekilas "Apa yang harus aku lakukan" Terasa jantungnya seakan-akan berhenti berdenyut ketika tiba-tiba saja ia mendengar isterinya itu tertawa. Perlahanlahan Raden Ayu Galih Warit pergi ke pe mbaringan dan seperti yang telah dilakukan, Raden Ayu itu berdendang perlahanlahan sa mbil me mpermainkan ujung jari-jarinya. "Ia benar-benar Ranakusuma. sudah gila " guma m Pangeran
"Itulah sebabnya kita harus mengasihani" "Jika ia tidak berlumuran dengan noda, aku tidak akan ingkar. Aku menga mbilnya sebagai isteriku dala m keadaan seutuhnya. Ia aku terima dengan segala yang ada padanya.
Gelak tertawanya, tetapi juga tangisnya. Dan seharusnya aku juga bertanggung jawab sela ma ia terganggu jiwanya" Pangeran Ranakusuma berhenti sejenak "Tetapi sekarang aku tidak dapat melakukannya. Tidak dapat, justru karena Galih Warit tidak setia kepadaku, ia telah berkhianat apapun alasannya" Tidak seorangpun yang menjawab. "Aku akan mengantarnya pulang. Mala m ini" "Pangeran, jadi bagaimana dengan tubuh Raden Rudira dan bagaimana dengan Mandra yang ternyata telah berkhianat itu" "Tida k ada gunanya Galih Warit ada di sini. Ia tidak akan tahu apa yang akan kita la kukan atas Rudira dan Mandra. Karena itu, siapkan kereta. Aku akan me mbawanya pulang kepada ayahanda dan ibundanya" "Pangeran" Ki Dipanala berusaha untuk mencegah "akan timbul berbagai akibat dari tindakan Pangeran itu. Sebaiknya Pangeran me mikirkannya masak-masak" Pangeran Ranakusuma me mandang Ki Dipanala sejenak, lalu "Aku tidak dapat me mbiarkan hatiku terbakar dan ke mudian di luar sadarku, aku me mbunuhnya. Selagi kau dan tabib itu ada di sini, biarlah aku me mbawanya kepada ayahnya. Mungkin itu akan lebih baik baginya dan bagiku sendiri" Ki Dipanala menarik nafas dalam-da la m. Katanya kemudian "Tetapi jika de mikian, tentu akan merupakan kejutan yang dahsyat bagi ayahanda dan ibunda Raden Ayu Galih Warit. Apalagi kini puteri Pangeran ada di sana pula " "Apaboleh buat" desis Pangeran Ranakusuma "Tetapi jika aku masih saja selalu mendengar ia mengigau, aku selalu didorong oleh suatu keinginan untuk me mbunuhnya"
Ki Dipanala tidak segera menyahut. Teringat, sekilas pada saat ia menyebutnya untuk pertama kali di hadapan Kiai Danatirta tentang ketamakan Raden Ayu Galih Warit yang sudah berhasil mengusir madunya dari rumah Pangeran Ranakusuma sebagai seorang puteri dari seorang Pangeran yang kurang waras. "Pangeran Sindurata me mang kurang waras. Apakah me mang ada se macam penyakit keturunan pada Raden Ayu Galih Warit, sehingga goncangan perasaan itu tidak tertanggungkan, dan penyakit yang se mula masih terse mbunyi itu tiba-tiba melonjak keluar?" bertanya Ki Dipanala kepada diri sendiri. "Nah Dipanala" berkata Pangeran Ranakusuma ke mudian "siapkan kereta. Aku akan pergi mengantarkannya kepada Pangeran Sindurata" "Pangeran Sindurata akan terkejut sekali Pangeran" "Ialah yang mewariskan sifat yang tidak waras itu kepada Galih Warit" Ki Dipanala menjadi termangu-mangu. Dan tabib itupun ke mudian berkata "Pangeran, sebaiknya Pangeran mengantarkannya tidak di mala m hari. Mungkin mala m ini Pangeran dapat menjauhi Raden Ayu untuk beberapa lamanya sementara Pangeran dapat memerintahkan menyelenggarakan jenazah Raden Rudira. Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dala m. Lalu katanya "Apa yang dapat aku lakukan agar Galih Warit Tidak mengigau terus menerus. Apalagi jika ada orang lain di dala m bilik ini" Tabib itu menarik nafas dalam-da la m. "Katakan, apakah kau dapat melakukannya?"
"Ha mba tidak berani mencoba tuan. Jika hamba berbuat kesalahan, maka akibatnya, hamba a kan dapat menjadi seorang pembunuh" "Persetan. Aku tidak minta kau me mbunuhnya. Tetapi jika itu terjadi, bukan sa lahmu" "Ampun Pangeran, ha mba tidak berani melakukannya" "Lakukan, lakukanlah. Katakanlah kepada dirimu sendiri bahwa kau tidak berniat untuk me mbunuhnya. Kau me mbuatnya tertidur untuk beberapa lamanya, sementara itu, biarlah orang-orang me mbersihkan tubuh Rudira dan menyelenggarakan sebaik-baiknya. Usahakan agar Galih Warit tidak segera terbangun di pagi hari agar aku dapat mengantarkannya selagi ia masih tertidur nyenyak" "Ampun Pangeran, tugas ini terla mpau berat bagi ha mba " "Kau adalah seorang tabib. Jika kau tida k dapat me mperguna kan caramu, aku akan me mpergunakan caraku. Aku dapat me matikan syaraf kesadarannya untuk beberapa saat dengan sebuah pukulan pada punggungnya bagian atas atau me mijit tengkuknya. Tetapi itu adalah cara yang dilakukan oleh seorang prajurit. Bukan oleh seorang tabib. Karena di sini ada seorang tabib, maka lakukanlah. Kita samasama menghadapi ke mungkinan yang serupa. Jika aku yang me lakukannya, ke mungkinan itupun dapat terjadi, bahwa ia tidak akan bangun untuk se la ma-la manya?" Tabib itu menjadi ragu-ragu. "Baiklah. Jika kau masih tetap pada pendirianmu, biarlah aku yang melakukannya. Mudah-mudahan tulang be lakangnya tidak patah karenanya" "Pangeran" Ki Dipanala bergeser setapak ketika Pangeran Ranakusuma melangkah maju mendekati isterinya yang sedang bermain-ma in dengan ujung bajunya tanpa
menghiraukan persoalan yang sedang diperbincangkan oleh orang-orang yang ada di da la m bilik itu. "Apakah kau yang ingin me lakukannya?" "Tida k Pangeran. Tetapi apakah Raden Ayu Galih Warit tidak terlalu le mah untuk mengala mi perlakuan yang keras itu?" "Karena itu, aku harapkan ada jalan lain. Jika tabib itu mau me lakukannya, biarlah ia me ncobanya" "Tetapi, tetapi . . " tabib itu ragu-ragu. "Maksudmu, kau tida k mau bertanggung jawab jika Galih Warit tidak mau bangun lagi untuk sela manya?" "Bukan tidak mau bertanggung jawab Pangeran. Tetapi hamba t idak berani me lakukannya" "Lakukanlah atas nama ku. Aku akan bertanggung jawab apapun yang akan terjadi. Jika kemudian terjadi peristiwa yang tidak kau ingini itu, biarlah a ku yang diseret ke depan pengadilan Istana Sura karta. Dipanala menjadi saksi" "Bukan saja oleh pengadilan di Sura karta, Pangeran" "Maksudmu jika ada dosa yang terjadi atas perbuatan itu" Kau tentu yakin, bahwa kau tidak berbuat salah. Akupun tidak. Yang terjadi adalah kecelakaan" "Mungkin kita dapat berkata demikian justru kepada pengadilan di Surakarta Pangeran. Tetapi tentu tidak kepada Yang Maha Kuasa" "Yang Maha Kuasa tentu me lihat, bahwa kita benar-benar tidak ingin me mbunuhnya" Tabib itu masih tetap ragu-ragu. Na mun tentu hal itu lebih baik daripada jika Pangeran Ranakusuma sendiri yang me lakukan dengan sebuah hentakkan atau pukulan pada punggungnya.
Karena itu, betapapun juga beratnya, maka iapun terpaksa mencobanya. Tetapi me mang dengan niat di dala m hatinya, bahwa ia ingin me mbuat Raden Ayu Galih Warit itu tertidur sejenak. Bukan me mbunuhnya. Dan ia masih mengharap bahwa Raden Ayu Galih Warit itu akan terbangun. Demikianlah, maka tabib itupun ke mudian me mbuat reramuan yang sedikit lebih keras dari yang sudah dipergunakannya. Namun ia tidak dapat menentukan, berapa la manya obatnya itu akan me mpengaruhi kesadaran Raden Ayu Galih Warit. Ia pernah me mpergunakan obat serupa itu untuk seseorang yang karena suatu kecelakaan harus me motong kakinya. Tetapi begitu parah keadaannya, maka pada waktu itu tabib itu melakukannya dengan tanpa pilihan. Jika tidak, orang itu tentu akan mati, tetapi jika dilakukannya, maka masih ada harapan meskipun terla mpau kecil. Tetapi waktu itu ia berhasil, dan orang itu ke mudian dapat sadar ke mbali setelah beberapa la manya ia tida k dapat mengingat sesuatu lagi. Sejenis dedaunan yang seolah-olah dapat membius dica mpur dengan serbuk sejenis kulit kayu telah dipergunakan. Dengan hati-hati obat yang sudah dicairkannya dengan air itupun ke mudian diberikannya kepada Raden Ayu Galih Warit. "He, apakah ini?" bertanya Raden Ayu itu. "Minuman Raden Ayu?" "Minuman keras?" "Bukan, bukan minuman keras" Raden Ayu itu tertawa. Katanya "Aku jera meneguk minuman keras. Aku jadi mabuk dan aku tidak ingat apa-apa lagi. Tidak ingat apa yang dilakukan oleh Setepen yang kasar itu"
"Gila" Pangeran Ranakusuma ha mpir berteriak "bunuh saja perempuan itu" Ki Dipanala menarik nafas dalam-dala m. Tetapi ia tidak berkata apapun juga. "Raden Ayu" berkata tabib itu "ini adalah obat yang paling baik bagi Raden Ayu, agar Raden Ayu tetap awet muda" "He" Raden Ayu Galih Warit itu tertawa. Tetapi suara tertawanya lepas seperti tertawa perempuan yang sering menyusuri jalanan. Bukan tertawa seorang perempuan bangsawan. "Kau tahu bahwa aku ingin tetap awet muda" Dan aku ingin tetap awet muda sa mpa i sua miku berhasil menjadi seorang Senapati Agung di Surakarta" "Bungka m mulutnya, bungka m mulutnya" Pangeran Ranakusuma benar-benar tidak dapat menahan perasaannya. "Siapakah orang itu" Kenapa ia berteriak-teriak?" "Sudahlah Raden Ayu. Silahkan minum obat ini. Bukan saja obat ini akan me mbuat Raden Ayu awet muda, tetapi juga me mbuat Raden Ayu sehat dan tida k mudah menjadi sakit" "Uh, kau tentu akan meracun aku. Kau tentu ingin me mbunuh a ku karena kau iri hati?" Raden Ayu itu tertawa berkepanjangan sambil berkata "Jangan berbuat begitu. Aku tidak mau kau racun" "Tentu bukan racun Raden Ayu. Kenapa hamba harus meracun Raden Ayu" Bukankah hamba ini abdi yang paling setia?" "He" Raden Ayu Galih Warit me mandang tabib itu dengan tajamnya, namun Raden Ayu itu t idak dapat mengenalnya. Katanya "Aku belum mengenalmu. Jangan berpura-pura. Pergi, pergi dari ruangan ini. Nanti jika Dungkur datang, kau tentu akan dibunuhnya"
"Persetan" Pangeran Ranakusuma menggera m. Namun Ki Dipanala segera mendekatinya sa mbil berkata "Biarlah tabib itu berusaha Pangeran" Dan tabib itupun ke mudian menjawab "Raden Ayu, inilah obat yang dikirimkan oleh Dungkur itu. Tentu Raden Ayu akan senang sekali menerimanya. Obat ini me mang khusus dibuat di negerinya untuk Raden Ayu, karena bagi Dungkur perempuan sebangsanya tidak ada yang secantik Raden Ayu" "Benar begitu?" "Ha mba Raden Ayu, cobalah" Raden Ayu itu tertawa, sementara Ranakusuma serasa akan retak. dada Pangeran
Namun Raden Ayu Galih Warit itu menerima ma ngkuk berisi cairan itu. Kemudian dipandanginya beberapa lamanya. Lalu iapun bertanya "Kau t idak bohong?" "Silahkan minum" Tetapi Raden Ayu itupun masih juga ragu-ragu, sehingga Ki Dipanala ma ju beberapa langkah dan berkata "Sebenarnyalah Raden Ayu" Raden Ayu Galih Warit me mandang Dipanala sejenak, lalu "Kau siapa?" "Dipana la. Dipanala Raden Ayu" "O" Raden Ayu itu tertawa "Kau Dipanala. Kau sudah tahu semua rahasia ku. Tetapi Dipanala siapa?" Ki Dipana la menjadi termangu-mangu. Na mun katanya "Ha mbalah yang me mbawa obat itu bagi Raden Ayu. Tentu Raden Ayu akan meminumnya. Bukankah jika Raden Ayu awet muda, Pangeran Ranakusuma akan selalu mencintai Raden Ayu apapun yang terjadi" "Gila" gera m Pangeran Ranakusuma.
Raden Ayu itu tertawa. Kemudian dengan kedua tangannya ia me megangi mangkuk itu. Perlahan-lahan mangkuk itu diangkatnya dan perlahan-lahan pula dilekatkannya di mulutnya. "Tida k mau" tiba-tiba saja ia berguma m. "Tentu, silahkan, silahkanlah Raden Ayu. Adalah menjadi ida man setiap perempuan untuk mendapat obat seperti itu, dan kini Raden Ayu sudah mendapatkannya. Silahkan, silahkan" tabib itu bagaikan berbisik di telinga Raden Ayu Ga lih Warit. Raden Ayu Galih Warit yang sedang dala m keadaan terganggu kesadarannya itu sejenak termangu-mangu. Tetapi kata-kata dukun itu seakan-akan langsung me nghunja m kehatinya. Karena itu tanpa pengamatan pikiran, tangan Raden Ayu Galih Warit itu terangkat, dan obat itupun diminumnya. Bukan sekedar obat yang membuatnya tidur sesaat. Tetapi obat itu adalah obat yang menghentikan segala kegiatan nalar dan perasaannya untuk beberapa la manya, seperti yang dikehendaki oleh Pangeran Ranakusuma, sa mpai besok menjelang pagi karena Raden Ayu Galih Warit itu akan dibawa dalam keadaan tidak sadar ke rumah orang tuanya. Karena itu maka yang diberikan di dala m rera muan itu bukan sekedar kulit bagian dala m buah pa la. Dengan tegang tabib itu menunggu apa yang akan terjadi pada Raden Ayu Galih Warit setelah minum obatnya itu. Demikian pula agaknya Ki Dipanala dan Pangeran Ranakusuma sendiri. Sesaat Raden Ayu Galih Warit masih berdiri. Ke mudian tampak keningnya berkerut merut. Agaknya pengaruh obat itu mulai terasa di kepa lanya yang kosong. Ketika Raden Ayu Galih Warit mula i terhuyung-huyung, maka tabib itupun me mbimbingnya ke pe mbaringan.
"Siapa kau he?" suara Raden Ayu itu menjadi la mbat "Apakah kau Dungkur. He, jangan paksa aku ke pembaringan. Kepalaku aga k pening. Oh" suaranya terputus. Demikian Raden Ayu Ga lih Warit terbaring, maka matanyapun mulai terpejam. Tetapi masih terdengar ia berguma m "A ku tidak minta apa-apa. Sekali ini aku minta senjata yang dapat meledak itu. Rudira harus me mpunyainya. Dan ia harus me mbunuh musuh-musuhnya. Ia harus me mbunuh Dipanala yang mengetahui segala rahasiaku. Me mbunuh Juwiring supaya warisan ayahnya tidak terbagi, me mbunuh orang yang selalu me mbayanginya dengan rahasia yang gelap, petani dari Sukawati itu" "O" Pangeran Ranakusuma menutup kedua belah telinganya dengan kedua telapak tangannya. Meskipun suara itu sudah sangat lemah, namun masih juga dapat didengar dengan jelas. Dipana lapun mendengarnya pula. Tabib itu menarik nafas dala m-dala m. Itulah rahasia yang tersimpan di dala m diri Raden Ayu Galih Warit, yang sema kin la ma suaranya menjadi se makin la mbat, dan akhirnya hilang sama seka li. "Mudah-mudahan ia Pangeran Ranakusuma. tidak akan bangun lagi" desis
"Jangan Pangeran. Hamba masih mengharap bahwa hamba bukan pe mbunuh" Pangeran Ranakusuma me mandang tabib itu sejenak, lalu katanya "Bawalah pere mpuan itu menyingkir dari bilik ini" Tabib itu termangu-mangu sejenak, karena ia tidak begitu pasti pada perintah itu. Dan karena itulah maka Pangeran Ranakusuma mengulangi perintahnya, kali ini kepada Dipanala "Bawa ia menyingkir Dipanala" Ki Dipana la menelan ludahnya. Na mun ke mudian ia bertanya "Hamba harus me mbawanya ke mana Pangeran"
"Bawa ke bilik Warih. Tutup pintunya dan uruslah Rudira" "Ha mba tuanku. Tetapi apakah setelah Raden Ayu dibaringkan di pe mbaringan Raden Ajeng, hamba boleh me manggil para abdi yang lain untuk menylenggarakan jenazah Raden Rudira" "Lakukanlah mana yang baik menurut pikiranmu dan tabib itu" Ki Dipanalapun ke mudian bersama-sa ma tabib itu mengangkat tubuh Raden Ayu Galih Warit yang telah kehilangan kesadarannya sama sekali. Dengan hati-hati tubuh itupun ke mudian diletakannya di pe mbaringan Rara Warih. Dala m pada itu, Ki Dipanala se mpat berbisik "Kenapa kau ragu-ragu me mberikan obat ini" Bukankah kau sudah mengatakan bahwa kau dapat me maksa Raden Ayu dia m dengan semaca m obat yang dapat me mbuatnya tidur, tetapi justru setelah Pangeran Ranakusuma me merintahkan kepadamu, kau berusaha menolak?" "Aku ingin me mbagi tanggung jawab" jawab tabib itu "Sebenarnyalah bahwa aku me mang ragu-ragu. Apalagi yang diminta oleh Pangeran Ranakusuma bukan sekedar obat yang me mbuatnya tidur untuk beberapa saat. Tetapi benar-benar sejenis obat yang dapat membiusnya untuk waktu yang la ma. Dan itu agak berbahaya bagi Raden Ayu" Ki Dipanala menarik nafas dalam-da la m. Iapun kemudian menyadari betapa keragu-raguan dan kegelisahan yang bergejolak di dala m hati tabib itu. Disatu pihak ia me mang ingin me mbantu menenangkan hati Pangeran Ranakusuma dengan me maksa Raden Ayu Galih Warit untuk diam, namun dilain pihak ia selalu dibayangi oleh ke mungkinanke mungkinan yang mengerikan yang dapat terjadi atas Raden Ayu itu. Namun obat itu telah diminum oleh Raden Ayu Galih Warit. Dan kini Raden Ayu itu sudah terbaring dia m.
Setelah menyelimutinya dan kemudian menutup pintu bilik itu, keduanya kembali menghadap Pangeran Ranakusuma yang masih berdiri termangu-mangu di bilik ana k la ki-lakinya. Sedang anak laki-la kinya itu kini sedang terbujur me mbeku di bilik isterinya. Ketika ia melihat kedua orang itu, ma ka katanya "Sekarang uruslah Rudira. Yang terjadi adalah akhir yang berlawanan dari yang aku harapkan se la ma ini. Dan aku me mang harus menanggungkannya" Kata-kata itu me muat penyesalan yang luar biasa di dala m hati Pangeran Ranakusuma. Tetapi sebagai seorang laki-laki Pangeran Ranakusuma sadar, bahwa ia tidak boleh tenggelam terlalu dalam digenangan perasaannya saja. Semuanya harus diselesaikan. Jenazah anak laki-la kinya, mayat Mandra yang ternyata telah berkhianat dan isterinya yang terganggu jiwanya. Ki Dipanala dan tabib itu berdiri saja me matung. Dan Pangeran Ranakusuma berkata seterusnya "Dipanala, mungkin kau menganggap bahwa keluarga ka mi sela ma ini bersikap pura-pura terhadapmu. Ka mi bersikap baik dan kadangkadang harus mendengar kata-katamu bukan karena ka mi sependapat dengan kau, tetapi karena kami merasa tidak dapat menentang kehendakmu. Ka mi ternyata masing-masing me mpunyai rahasia yang kau ketahui. Yang ka mi masingmasing menjadi ce mas, jika kau pada suatu saat akan me mbuka rahasia itu. Sehingga pada puncak kebingungannya Galih Warit telah berusaha me mbunuhmu dengan me mperguna kan tangan Rudira dan orang-orangnya. Tetapi usaha itu ternyata gagal. Dan kau masih tetap hidup. Bahkan kau telah berbuat sesuatu yang justru me mbuat aku merasa terlalu kecil" Pangeran Ranakusuma terhenti sejenak, lalu "Dipana la, sekarang aku berkata sebenarnya. Bukan karena kau mengetahui rahasia diriku karena aku tidak perlu lagi
cemas bahwa Galih Warit akan me ngetahuinya, atau bahkan Pangeran Sindurata sendiri. Tetapi aku berkata dengan jujur, bahwa aku menyerahkan semua persoalan tentang Rudira dan Mandra kepadamu. Kau dapat berbuat apa saja yang baik bagi penyelenggaraan jenazah itu. Jika kau me mbutuhkan sesuatu, kau dapat mengambil sendiri di dala m kotak di bilikku. Maksudku, beaya dari upacara pemaka man Rudira dan Mandra" "Pangeran" "Ternyata tidak ada orang lain yang dapat aku percaya kecuali kau. Barangkali aku sendiri tidak a kan ma mpu me mikirkan apakah yang sebaiknya aku lakukan" "Tetapi Pangeran, sebenarnyalah hamba sudah merasa bahwa pada saat itu, seakan-akan hamba telah me lakukan pe merasan terhadap Pangeran sehingga kadang-kadang pendapat hamba dengan terpaksa sekali tuan dengarkan. Namun demikian, terasa pula kebencian Raden Rudira terhadap hamba sehingga para abdi di istana inipun sebagian terbesar tidak akan percaya kepada ha mba" "Aku yang akan me merintahkan kepada mere ka tunduk kepadamu sebagai orang yang mendapat limpahan wewenang daripadaku sendiri" Ki Dipana la menarik nafas dala m-dala m. "Nah, lakukanlah. Kasihan tubuh Rudira yang sudah terlampau la ma terbaring. Bagiku, kini tidak ada lagi yang
ingin a ku lakukan lagi kecuali mengubur Rudira sebaikbaiknya. Aku tidak akan bermimpi lagi me njadi orang terpenting di Surakarta karena justru keinginanku itulah yang telah mera mpas semuanya daripadaku. Aku tidak me merlukan lagi Galih Warit, aku tidak me merlukan lagi pengaruh dari kumpeni dan aku tida k me merlukan lagi kedudukan apapun" Ki Dipanala menarik nafas dalam-dala m. Tetapi ia tidak segera menyahut. "Nah, panggillah beberapa orang pelayan dan kumpulkan mereka di ruang belakang. Aku a kan berbicara kepada mereka" Pangeran Ranakusuma itu berhenti sejenak, lalu katanya kepada tabib yang masih berdiri me matung "Kau tinggal di sini. Kau bantu aku besok pagi-pagi benar me mbawa Galih Warit ke mba li ke rumahnya. Jika terjadi sesuatu, mungkin kau dapat berusaha untuk menolongnya. Tetapi jika tidak berhasil, apaboleh buat. Aku tida k akan menyesal" Tabib itu menarik nafas dalam-dala m. terdengar ia menyahut "Baik Pangeran. me lakukannya" "Ya Pangeran" "Nah, sekarang, panggillah pe layan-pelayan itu" Ki Dipanalapun ke mudian pergi ke be lakang istana Pangeran Ranakusuma. Dengan nada yang dalam, ia me mberitahukan bahwa para pelayan dalam dipanggil menghadap di ruang bela kang. Para pelayan memandang Ki Dipana la dengan wajah yang aneh. Sebagian dari mereka sudah tidak dapat me mpercayainya lagi karena Dipanala adalah orang yang tidak disenangi. Lebih-lebih lagi mereka tahu benar bahwa Raden Rudira me mbenci orang itu setengah mati. Hampir Hamba tidak akan
"Se mentara ini kau dapat me mbantu Dipanala"
Ki Dipanala yang memang merasa dirinya dibenci oleh orang-orang dalam, meskipun mereka tidak tahu persoalannya, mencoba menjelaskan "Aku kali ini hanya menja lankan perintah" Pelayan-pelayan itu termangu-mangu sejenak. Seorang yang mendengar ceritera e mban dan pelayan yang me masuki bilik Raden Ayu Ga lih Warit tetapi tidak tahu persoalannya dengan pasti bertanya "Apakah sebenarnya yang terjadi?" "Masuklah, Pangeran penjelasan kepada ka lian" Ranakusuma akan me mberikan
"Apakah benar Raden Rudira telah meninggal?" Ki Dipanala termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian "Biarlah Pangeran Ranakusuma saja yang mengabarkan hal itu kepadamu" "Ka mi hanya ingin tahu, apakah Raden Rudira meninggal?" Ki Dipanala t idak dapat mengela k. Katanya "Ya, Raden Rudira meninggal" "Siapakah yang me mbunuhnya?" desak yang lain. "Sudah aku katakan, biarlah Pangeran Ranakusuma me mberitahukan kepada kalian. Akupun tida k tahu pasti. Karena itu, agar tidak terjadi salah paham, maka Pangeran me manggil ka lian me mang untuk keperluan itu. Pangeran akan me mberitahukan sebab ke matian Raden Rudira dan Mandra" "Kau me mbunuhnya" tiba-tiba seorang kawan Mandra yang paling akrab bertanya. Ki Dipanala menggeleng "Aku tidak dapat me mbunuh seseorang tanpa sebab" "Jadi kau me mbunuhnya" tiga orang berbareng bertanya.
"Cepat, masuklah ke ruang belakang. Jika Pangeran marah karena kalian tida k segera menghadap, dala m keadaan yang pedih seperti sekarang, dapat saja ia mengambil tindakan yang tidak menguntungkan kalian" "Jawab pertanyaan kami" teriak seseorang. Ki Dipanala me njadi termangu-mangu. Orang-orang itu agaknya benar-benar telah mencurigainya. Namun agaknya, seandainya ia berkata sebenarnyapun mereka tida k akan percaya. Karena itu maka se kali lagi ia menjawab "Jangan me ma ksa aku. Nanti Pangeran Ranakusuma akan menjawab pertanyaanmu itu" "Jangan sombong Dipanala" teria k yang lain "Kau me mang pandai berbicara. Mungkin kau sekarang dapat juga me mbujuk Pangeran, sehingga kau mendapat kepercayaan. Setiap kali kau me mang berhasil me mbujuknya, bahkan kadang-kadang kau berhasil merubah keputusan yang sudah dijatuhkan oleh Pangeran Ranakusuma. Tetapi ka mi sudah mua k. Kau adalah seekor ular yang berkepala dua. Kau menggigit Raden Rudira, tetapi kau sempat menjilat untuk mendapatkan kepercayaan. Jika kau masih tetap seperti sekarang, kamilah yang akan me mbunuhmu" Wajah Dipanala menjadi merah pada m. Ha mpir saja ia kehilangan kesabaran. Namun ia masih mencoba untuk menahan diri dan berkata "Kalian kehilangan na lar yang bening. Tetapi aku hanya mendapat perintah untuk me manggil ka lian. Karena itu aku tidak berani melanggar perintah itu dan berbuat sesuatu mela mpaui tugas yang diberikan kepadaku" "Bohong, bohong" teriak orang-orang itu sahut menyahut. Ki Dipanala tidak mau melayaninya lagi. Jika demikian maka keadaannya tentu akan menjadi kacau. Karena itu, maka ia tida k menghiraukannya lagi. Dit inggalkannya orangorang itu sambil berkata "Terserah kepada kalian, apakah
kalian masih ma u me matuhi perintah Pangeran Ranakusuma atau tidak" Ketika Ki Dipana la me masuki pintu masih terdengar beberapa orang berteriak "Berhenti, berhenti. Jawab pertanyaan ka mi" Tetapi Ki Dipanala tidak menghiraukannya lagi. Sepeninggal Ki Dipanala para pelayan itu menjadi termangu-mangu. Di antara mereka adalah beberapa orang pengiring Raden Rudira jika Raden Rudira pergi berburu atau pergi ke manapun yang agak berbahaya baginya. "Orang itu benar-benar gila. Ia berhasil menjilat mela mpaui orang lain meskipun ta mpaknya ia tidak disukai. Agaknya Raden Rudira merupakan penghalang baginya, sehingga dengan licik Raden Rudira dan Mandra seka ligus dibinasakan. Kita tidak tahu, alasan apakah yang dikatakannya kepada Pangeran, sehingga ia justru me ndapat kepercayaan" "Marilah kita menghadap. Kita akan mendengar penjelasan itu, dan agar Pangeran tidak marah kepada kita. Mungkin Ki Dipanala dapat me mbumbuinya, dan mengatakan yang tidak sebenarnya, bahkan berlawanan. Gagak disebutnya bangau dan bangau dikatakannya gagak" "Ya, lebih baik kita menghadap. Mudah-mudahan Pangeran mendengarkan suara kita" "Kita bersama-sa ma tentang orang itu" akan menya mpaikan kebenaran
"Ya. Orang itu me mang harus digantung karena ia telah me mbunuh dua orang seka ligus" Demikianlah para pelayan dan pengawal Raden Rudira itupun ke mudian me masuki ruang belakang dan duduk berdesak-desakan di Iantai me nunggu kehadiran Pangeran Ranakusuma.
Namun dala m pada itu, selagi mereka sedang mereka-reka tuduhan yang paling baik untuk menggantung Ki Dipanala. beberapa orang di antaranya bertanya kepada diri sendiri "Apakah benar Dipana la telah melakukannya" Dan apakah benar-benar Ki Dipanala pantas me lakukannya" Sebelum peristiwa akhir-akhir ini, Ki Dipanala adalah orang yang berpikir bening. Ia bukan sejenis orang yang dapat berbuat licik" Meskipun demikian orang-orang yang masih dapat me mbedakan sikap dan perbuatan seseorang itu tidak mengatakannya kepada orang la in, karena suasananya me mang tidak menguntungkan. Sejenak ke mudian Pangeran Ranakusumapun me masuki ruangan belakang diiringi oleh Ki Dipanala dan tabib yang telah gagal mencoba menyelamatkan jiwa Raden Rudira, serta telah mengetahui serba sedikit rahasia yang tidak dapat dikekang meloncat dari mulut Raden Ayu Ga lihwarit. Para abdi itupun ke mudian menundukkan kepala mereka dalam-da la m ketika Pangeran Ranakusuma sudah duduk di hadapan mereka. Mereka hanya dapat menunggu apa yang akan dikatakannya. Pangeran Ranakusuma me mandang mereka sejenak. Para abdi itu adalah para abdi yang setia. Tetapi tentu ada di antara mereka sekedar mengabdi karena ingin mendapat nafkah dan bahkan tentu ada orang yang mempunyai pertimbangan seperti Mandra meskipun dala m bentuk yang lebih kecil, yang tidak segan-segan meninggalkan pekerjaannya di istana ini jika ada kesempatan yang lebih baik baginya. Baru sejenak kemudian Pangeran Ranakusuma itu berkata langsung pada persoalannya "Rudira telah meninggal"
Beberapa orang di antara para abdi itu mengangkat wajahnya. Namun wajah-wajah itupun segera tertunduk ke mbali. "Seperti ka lian me ngetahui, Mandrapun sudah mati" Kepala para abdi itupun terangguk-angguk. "Tentu ka lian bertanya, kenapa mereka mati" Kepala itupun terangguk-angguk lagi. "Mandra telah dibunuh oleh Dipanala" Serentak orang-orang itu mengangkat wajah mereka. Bahkan beberapa di antara mereka bergeser sejengkal. Kemudian dengan mata yang bagaikan menyala mereka me mandang wajah Dipanala yang berkerut-merut. "Apakah kalian tida k bertanya kenapa Mandra telah dibunuh oleh Ki Dipanala?" Hampir serentak para pelayan itu menjawab "Ha mba Pangeran. Hamba ingin tahu, apakah sebabnya" Pangeran Ranakusuma me mandang Ki Dipanala sejenak. Lalu katanya "Mereka berte mpur di tengah ja lan" Terdengar suara bergeramang. Lalu mereka terdia m ketika Pangeran Ranakusuma me lanjutkan "Ternyata bahwa Mandra tidak dapat me menangkan perte mpuran itu sehingga ia justru terbunuh" Wajah-wajah itu menjadi tegang. Pangeran Ranakusuma belum menjawab, kenapa Ki Dipanala berte mpur dan me mbunuh Mandra. Tetapi mereka sudah menetapkan, bahwa Ki Dipanala me mang akan me mbunuh Raden Rudira, sedangkan Mandra mencoba menyela matkannya. Tetapi orang-orang itu terkejut bukan buatan, dan bahkan mereka tidak percaya Kepada pendengarannya ketika Pangeran Ranakusuma berkata "Mandra dibunuh oleh
Dipanala karena Mandra berkhianat dan me mbunuh Rudira dengan me minja m tangan orang lain" Wajah-wajah yang tegang itu menjadi bertambah tegang. Dengan mulut ternganga mereka saling berpandangan sejenak. Lalu mereka mendengar Pangeran Ranakusuma berkata selanjutnya "Ternyata Mandra telah menjual Rudira kepada orang asing. Kalian tidak usah bertanya apakah sebabnya, namun Mandra ingin mendapat hadiah yang banyak dan kedudukan yang baik di dala m lingkungan orang asing itu" Sejenak mereka merenungi kata-kata itu. Namun beberapa orang di antara mereka segera berkata di dalam hatinya "Nah, bukankah Dipanala telah me mutar balik keadaan. Gagak dikatakan bangau dan bangau dikatakannya gagak. Yang hitam dikatakan putih dan yang put ih dikatakannya hita m" Dala m pada itu Pangeran Ranakusuma berkata terus "Dala m usaha itulah, Dipanala dapat mengetahuinya meskipun agak terlambat, sehingga akhirnya Mandra terbunuh olehnya. Tetapi Rudirapun tidak lagi dapat dise la matkan" Beberapa orang abdi me ngangguk-anggukkan kepa lanya. Namun di antara mereka, terutama para pengiring Raden Rudira menganggap bahwa Ki Dipanalalah yang sudah me mfitnah Mandra. Karena itu ma ka mereka menjadi gelisah karenanya. Agaknya Pangeran Ranakusuma me lihat kegelisahan itu, sehingga iapun bertanya "Apakah ada yang akan mengatakan sesuatu?" Untuk beberapa saat tidak ada seorangpun yang berbicara. Namun ke mudian salah seorang yang tidak dapat menahan perasaannya bergeser sedikit sambil berkata "A mpun Pangeran. Apakah yang dikatakan oleh Ki Dipanala itu dapat dipercaya sepenuhnya?" "Apa yang dikatakan oleh Dipanala?"
"Bahwa Mandra telah berkhianat?" "Siapakah yang mengatakan bahwa hal itu diceriterakan oleh Dipanala?" Orang itu menjadi tergagap. Namun iapun menjawab "Ampun Gusti. Bukankah Gusti mengatakan, bahwa Dipanala me lihat usaha pengkhianatan itu" "Ya" "Dan, apakah hal itu dapat hamba artikan bahwa Ki Dipanala yang kemudian me mbawa jenazah Raden Rudira dan mayat Mandra, telah menceriterakan peristiwa itu" "Kau tahu bahwa Rudira masih hidup waktu dibawa pulang. Dan aku telah me manggil tabib untuk mengobatinya" "Ha mba Pangeran" "Nah, kenapa kau me mastikan bahwa Ki Dipana lalah yang telah menceriterakan hal itu kepadaku" "Ampun Gusti" "Yang mengatakan se muanya itu ada lah Rudira. Rudira sendiri" Orang-orang itu tercenung sejenak. Mereka benar-benar diombang-a mbingkan oleh kebimbangan dan keragu-raguan untuk me mpercayai pendengaran mere ka sendiri. "Kenapa kalian menjadi bingung. Dengar. Mandra telah berkhianat dengan menjerumuskan Rudira, sehingga seorang asing telah mene mbaknya. Tetapi ternyata Rudira tidak mati seketika. Ia masih me mpunyai kese mpatan untuk berusaha menyela matkan dirinya. Ternyata bahwa Mandra tidak me mbiarkannya. Mandra berusaha untuk me mbunuh Rudira dengan pedang, kemudian menghilangkan be kas luka peluru dengan pedangnya pula. Setelah itu, ia akan me le mparkan tubuh Rudira ke te mpat yang sepi, atau jika. mungkin di sepanjang bulak Jati Sari sehingga dapat menimbulkan kesan
bahwa Juwiring telah terlibat. Nah, apakah kalian percaya" Rudira sendiri mengatakannya. Dipanalalah yang menyela matkan Rudira dari pedang Mandra dan me mbunuhnya. Kemudian me mbawa tubuh Rudira yang terluka parah itu ke mba li" Pangeran Ranakusuma berhenti sejenak lalu "Siapa yang tidak percaya" Siapa yang menganggap bahwa Mandra tidak bersalah?" Wajah-wajah itu menjadi tertunduk dala m-dala m. Terlebihlebih orang yang sudah me mberanikan diri bertanya tentang kebenaran ceritera itu. "Nah, siapa yang tidak percaya kepada ceriteraku, aku beri kesempatan untuk meninggalkan rumah ini. Aku beri kesempatan untuk me mbawa mayat Mandra yang dianggapnya sebagai seorang pahlawan. Siapa, ayo siapa?" Wajah-wajah yang tunduk itu menjadi se makin tunduk. Dan Pangeran Ranakusumapun ke mudian berkata "Jika tidak ada, maka kalian sudah mengetahui persoalannya dengan pasti. Nah, sekarang kalian akan menyelenggarakan jenazah Rudira. Semuanya aku serahkan kepada Dipanala dan tabib ini. Aku menjadi terla mpau bingung untuk berbuat sesuatu" Pangeran Ranakusuma berhenti sejenak, lalu "Terserahlah kepada kalian apakah yang akan kalian la kukan terhadap mayat Mandra" Tidak seorangpun yang kemudian berani mengangkat wajahnya. Mereka mengerti, di balik kata-kata yang keras itu sebenarnya tersembunyi perasaan yang pedih. Sangat pedih. Pangeran Ranakusumapun terdia m pula sesaat. Beberapa kali ia menelan ludahnya. Disekanya keringatnya yang me mbasah di kening. "Aku akan berada di pendapa. Jika kau me merlukan a ku, aku ada di sana Dipana la" berkata Pangeran Ranakusuma ke mudian.
Pena Wasiat 23 Lima Sekawan Di Gua Kelelawar Petualangan Tom Sawyer 2
^