Api Di Bukit Menoreh 10
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 10
tua. Diceriterakannya masalahnya, tentang isterinya dan tentang
penyakitnya. Arya Teja itu menjadi terheran-heran, ketika ia melihat bibinya
itu justru tertawa. Tertawa berkepanjangan, sehingga air
matanya meleleh di pipinya yang berkerut-merut oleh garis-garis
ketuaannya. "Oh, Ngger, Ngger," katanya, "kau memang masih terlampau
bodoh. Kau adalah anak muda yang lugu dan dungu.
Seharusnya kau pernah mendengar serba sedikit tentang
penyakit seperti penyakit isterimu itu."
Arya Teja menjadi semakin bingung. Dan suara tertawa
bibinya pun menjadi semakin berkepanjangan.
"Aku tidak mengerti, Bibi. Aku hampir gila dibuatnya."
"Angger Arya Teja," berkata bibinya, "ketahuilah, bahwa
penyakit yang demikian adalah penyakit yang wajar, hinggap
pada pengantin baru. Dalam keadaan yang demikian,
perempuan me"mang kadang-kadang menjadi aneh. Sifatnya
seakan-akan berubah. Ada-ada saja tingkahnya. Suami yang
tidak dapat mengerti keadaan isterinya, memang dapat menjadi
bingung, dan bahkan kadang-kadang ada yang setiap hari
menjadi marah dan memakmaki isterinya yang berbuat anehaneh
itu." "Bibi?" dada Arya Teja menjadi berdebar-debar. Dan bibinya
masih saja tertawa. "Mungkin sekarang kau sudah mengetahuinya. Isterimu pasti
sedang mengandung muda."
Kata-kata itu meledak seperti petir yang menyambar
kepalanya. Wajah Arya Teja menyadi tegang dan matanya
seolah-olah mem"bara. Keringat dingin mengalir dari segenap
permukaan kulitnya. "Bibi," ia tergagap. Tetapi kata-katanya seakan-akan
tersumbat di kerongkongan.
"Jangan gugup, Ngger," berkata bibinya, "Kau harus
mengucap sokur, bahwa perkawinanmu segera akan berbuah."
"Tetapi ?"?"
"Tetapi, tetapi apalagi, Ngger. Tidak ada tetapi. Kau tinggal
mengucap sokur dan terima kasih. Isterimu sudah sampai pada
saatnya menyiapkan dirinya untuk menjadi ibu. Isterimu harus
lebih sering lagi jejamu agar menjadi tetap sehat dan tidak
menjadi pucat." "Bibi, tetapi, tidak mungkin. Tidak mungkin."
"He?" bibinya mengerutkan keningnya yang memang sudah
berkerut. "Bagaimana mungkin, Bibi. Kami baru beberapa hari kawin.
Sejak kami kawin, isteriku selalu menangis melolong-lolong.
Bahkan isteriku pernah minta kepadaku, supaya aku
membunuhnya saja." "He?" kini yang terkejut bukan buatan adalah bibinya.
Wajahnya yang berkerut-merut menjadi pucat. Terdengar
suaranya gemetar, "Apa katamu he, Arya Teja?"
"Isteriku berlaku demikian sejak kami kawin. Kami sama
sekali belum pernah menikmati ketenteraman di dalam harhari
per"kawinan kami. Apalagi ketika ia menjadi sakit-sakitan.
Bahkan ia minta aku untuk membunuhnya."
"Ampun, ampun," orang tua itu tiba-tiba meratap, "ya, ya. Aku
lupa, bahwa kau baru beberapa minggu kawin. Tetapi isterimu
itu" Tanda-tanda dan kelakuannya mengatakan kepadaku,
bahwa isterimu sedang mengandung."
"Tidak mungkin, Bibi. Tidak mungkin."
"Oh, kalau begitu kau adalah laklaki yang durhaka. He,
agaknya kau tidak menunggu sampai saat perkawinanmu.
Sekarang kau menjadi bingung sendiri. Persetan dengan kau,
Arya Teja. Aku tidak senang mempunyai kemanakan seperti itu."
"Bibi. Tidak. Itu pun tidak. Sungguh Bibi. Aku adalah seorang
putera demang yang kemudian mendapat anugerah untuk
mengangkat diri sebagai Kepala Tanah Perdikan karena jasajasaku
bagi Demak. Apakah aku masih sempat untuk mengotori
namaku dengan nafsu yang gila itu."
Bibi Arya Teja itu tidak segera menyahut. Ditatapnya saja
wajah kemanakannya. Tetapi dari sorot matanya, Arya Teja
dapat menangkap perasaan yang aneh pada bibinya itu. Apalagi
ketika kemudian bibinya memalingkan wajahnya, melemparkan
pandangan matanya ke luar, menembus lubang pintu yang tidak
tertutup rapat. "Bibi," terdengar suara Arya Teja gemetar, "apakah Bibi tidak
percaya?" Perempuan tua itu berpaling. Sekilas ditatapnya sekali lagi
wayah Arya Teja. Namun segera orang tua itu berpaling pula
dan melontarkan pandangan matanya jauh-jauh.
"Bibi," suara Arya Teja menjadi semakin bergetar, "apakah
Bibi tidak percaya?"
Bibinya tidak menyahut. Tetapi wajah itu menjadi ber"sedih.
Arya Teja menarik nafas dalam-dalam. Terdengar ia berdesis,
"Baiklah kalau Bibi tidak percaya. Mudah-mudahan dugaan Bibi
atas penyakit isteriku itu salah."
Bibinya masih berdiam diri.
Arya Teja kemudian tidak lagi dapat duduk dengan tenang, ia
menjadi gelisah dan cemas. Bahkan kadang-kadang terasa
debar jantungnya menjadi semakin deras.
Akhirnya Arya Teja tidak dapat bertahan lagi duduk di
hadapan bibinya yang diam. Kalau sekalsekali Arya Teja
memandangi wajah orang tua itu, maka dilihatnya seolah-olah
wajah yang sudah berkerut-merut itu menjadi terlampau suram.
"O, apakah anggapan Bibi terhadapku sebenarnya?"
pertanyaan itu selalu mengganggu perasaan Arya Teja.
Karena itu, maka dadanya itu pun kemudian bergolak. "Aku
harus mendapat penjelasan," katanya di dalam hati, "Penjelasan
dari orang yang bersangkutan. Langsung. Aku tidak mau selalu
dicengkam oleh pertanyaan-pertanyaan yang sangat
menyakitkan hati." Tiba-tiba Arya Teja itu pun bergeser dari tempatnya sambil
berkata, "Bibi, aku mohon diri. Aku ingin tahu, apakah yang
sebenarnya telah terjadi?"
"Arya Teja," suara bibinya terlampau serak, "aku tidak melihat
keadaan isterimu. Sehingga dengan demikian, aku tidak akan
dapat mengatakan apakah yang dideritanya dengan tepat. Aku
hanya menduga-duga. Mudah-mudahan seperti katamu,
dugaanku salah." Arya Teja menundukkan kepalanya. Ia tidak dapat menjawab
kata-kata bibinya itu. "Kalau kau mau pulang, pulanglah, Ngger. Tetapi kau jangan
diburu oleh perasaanmu tentang isterimu. Kau harus ber"sabar
dan mencoba melihat penyakitnya semakin teliti. Lain kali aku
akan datang, dan melihat keadaan isterimu. Mudah-mudahan
aku dapat mengatakan serba sedikit tentang penyakitnya,
meskipun tidak tahu benar."
"Ya, Bibi. aku sangat mengharap kedatangan Bibi di rumah.
Aku belum mengatakan kepada orang lain kecuali Bibi. Kepada
keluargaku yang lain pun belum. Belum juga kepada ayah dan
ibu." Perempuan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Baiklah. Jangan Kau katakan kepada siapa pun juga. Kau
sudah cukup dewasa untuk menyelesaikannya sendiri. Tetapi,
kau harus cukup dewasa pula menanggapi setiap keadaan.
Isterimu sedang sakit. Jangan kau perberat penyakitnya dengan
berbagai macam dugaan."
"Ya, Bibi," jawab Arya Teja. Tetapi ia sendiri tidak dapat
meyakini dirinya sendiri, apakah ia akan dapat menghadapi
keadaan itu dengan bijaksana. Apalagi apabila kata-kata bibinya
tentang penyakit isterinya itu benar.
Arya Teja pun kemudian dengan tergesa-gesa pulang ke
rumah. Rumah yang belum lama ditempatinya bersama
isterinya. Rumah yang dibangunnya sesuai dengan kedudukan
yang akan dipangkunya. Bukan sekedar seorang Demang
menggantikan ayahnya yang sudah terlampau tua, tetapi ia
berwenang menyebut dirinya Kepala Tanah Perdikan yang
diperkuat dengan kekancingan yang diterimanya dari Sultan
Demak sebagai tanda terima kasih kepada lelabuhan Arya Teja.
Langkahnya yang panjang-panjang itu semakin lama menjadi
se"makin cepat seperti getar jantung di dadanya. Semakin lama
ia merenungkan diri, melimbang-limbang apakah yang
sebenarnya telah terjadi dengan isterinya, maka darahnya
seakan-akan menjadi se"makin cepat mengalir.
"Seandainya benar kata Bibi," desahnya, "apakah dosa yang
telah aku perbuat?" Arya Teja hanya dapat menarik nafasnya dalam-dalam untuk
me-nenteramkan hatinya. Tetapi setiap kali hati itu bergelora
semakin dahsyat dan dahsyat. Sehingga sama sekali tidak
diperhatikannya, ketika seorang yang berjalan di belakangnya,
selalu saja mengikutinya dengan pandangan penuh kecurigaan.
Arya Teja tidak pernah berjalan demikian tergesa-gesa,
bahkan dengan sikap yang sangat gelisah. Dengan pandangan
lurus ke depan, seolah-olah menembus segala macam gerumbul
dan rerangkudan, langsung menghunjam ke pusat rumahnya,
hinggap pada tubuh isterinya yang berbaring di pembaringannya
sambil mengusap air mata.
"Hem, kenapa Arya Teja berjalan demikian tergesa-gesa
setelah ia bertemu dengan bibinya?" pertanyaan itu tumbuh di
hati orang yang mengikutinya itu. Namun ia sama sekali tidak
berusaha menyusul Arya Teja dan bertanya kepadanya,
meskipun orang itu telah mengenalnya dengan baik.
Ternyata gelora di dada Arya Teja sama sekali tidak mereda.
Semakin dekat ia dengan halaman rumahnya, maka hatinya
serasa semakin pepat, terhimpit oleh getar yang semakin
bergejolak di dadanya. Berbagai bayangan hilir mudik di dalam
rongga matanya. Bayangan tentang dirinya sendiri, tentang
isterinya, tentang rumah tangganya dan tentang segala macam
kemungkinan yang dapat terjadi. Bahkan kemungkinan yang
paling pahit sekalipun. Dada Arya Teja terasa benar-benar menjadi pepat ketika ia
telah menginjakkan kakinya di halaman rumahnya. Tubuhnya
serasa menjadi gemetar, dan keringat yang dingin mengembus
di segenap wajah kulitnya.
Arya Teja menarik nafas dalam-dalam untuk mencoba
menenang"kan hatinya. Langkahnya pun kemudian
diperlambatnya. Ketika kakinya sudah menyentuh tangga
pendapa rumahnya, maka ditekankannya telapak tangannya di
dadanya. "Aku tidak boleh menjadi gila karenanya," katanya di dalam
hati. Terngiang kembali kata-kata bibinya. "Tetapi Kau ja"ngan
diburu oleh perasaanmu tentang isterimu. Kau harus bersabar
dan mencoba melihat penyakitnya semakin teliti," dan kemudian,
"Kau sudah cukup dewasa untuk menyelesaikannya sendiri.
Te"tapi kau harus cukup dewasa menanggapi setiap keadaan,
isterimu sedang sakit. Jangan kau perberat penyakitnya dengan
ber-bagamacam dugaan."
"Ya," Arya Teja berdesis, "aku harus menyadari setiap
persoalan. Aku tidak boleh kehilangan akal dan nalar."
Perlahan-lahan Arya Teja melangkahkan kakinya. Pendapa
yang diinjaknya serasa bergoncang. Kepalanya menjadi
terlampau berat dan urat-urat di keningnya menjadi tegang.
"Ah, aku tidak boleh menjadi gila," desisnya. Tetapi ia tidak
dapat mengingkari, bahwa dadanya telah dilanda oleh arus
darahnya yang menjadi semakin cepat menyusuri pembuluhpembuluhnya.
Dengan jantung yang berdentangan, Arya Teja memasuki
rumahnya. Rumah yang dirasanya terlampau sepi. Bahkan
rumah itu telah menjadi neraka yang membakarnya hidup-hidup
sejak ia mengawini gadis yang selama ini diimpimpikannya.
Ketika Arya Teja masuk ke dalam biliknya, dilihatnya isterinya
sedang berbaring. Tetapi desir telapak kakinya telah
mengejutkannya sehingga isterinya itu bangkit dan duduk di tepi
pembaringannya. "Oh," desahnya, "Kau sudah datang, Kakang?"
Arya Teja melihat wajah isterinya yang pucat. Tubuhnya yang
semakn lama semakin kurus, bahkan semakin kering. Perlahanlahan
maka gelora di dalam dadanya menjadi lilih. Isterinya
memang baru sakit. Dan bibinya berpesan, "Jangan kau
per"berat penyakitnya dengan berbagai macam dugaan."
"Tidurlah, Wulan," tiba-tiba terloncat kata-kata itu dari
mulutnya. Kata-kata yang lembut penuh iba, "Bukankah kau baru
sakit?" Arya Teja melihat Rara Wulan mengelengkan kepalanya,
"Tidak, Kakang. Aku tidak sakit."
Arya Teja tidak segera menjawab. Ia duduk di atas sebuah
dingklik kayu dekat di samping pembaringan isterinya.
*** "Kau pucat, Wulan. Apakah kau masih pening dan akan
muntah?" pertanyaan itu begitu saja meloncat dari mulut Arya
Teja. Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi dada Arya Teja mulai
bergetar lagi ketika ia melihat mata isterinya menjadi basah.
Apalagi ketika sesaat kemudian isterinya mulai terisak.
Dada Arya Teja mulai menjadi pepat. Karena itu maka justru
ia terdiam. Ia duduk saja seperti patung sambil memandang jauh
menembus lubang pintu bilik itu.
Tetapi isak isterinya yang mengeras telah benar-benar
mengganggunya. Setelah sejenak ia dicengkam oleh perasaan
iba, maka kini ia kembali dilemparkan ke dalam kegelisahan
yang sangat. Sejenak ruangan itu menjadi hening. Namun isak Rara Wulan
menjadi semakin keras. Arya Teja itu terkejut ketika kemudian isterinya terbatuk-batuk
dan mulai diganggu lagi oleh penyakitnya. Muntah-muntah.
Arya Teja segera berdiri. Dipanggilnya seorang pelayannya
untuk mengambil pasir dan ditaburkannya di bawah
pembaringan Wulan yang sedang muntah-muntah.
"Wulan," dada Arya Teja mulai gemetar, "apakah sebenarnya
penyakitmu itu?" Ketika pertanyaan itu menyentuh telinganya, maka
meledaklah tangis Rara Wulan yang sedang muntah-muntah itu.
Tetapi oleh tekan"an perasaan yang menghimpit jantungnya,
maka justru ia ber"henti muntah. Kini ia duduk sambil menangis
sejadjadinya. "Wulan," Arya Teja menjadi semakin cemas, "apakah kau
tidak dapat mengatakan, penyakit apakah yang sebenarnya
sedang kau tanggungkan" Apakah kau sedang menderita sakit
panas dingin" Apakah perutmu terasa mual ataukah sakit apa
lagi?" Tidak ada jawaban selain suara tangis isterinya.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh," Arya Teja menjadi semakin bingung. Ia berjalan
mondar-mandir. Sekalsekali dihentakkannya kakinya, namun
kemudian diingatnya lagi pesan bibinya.
Tetapi ternyata bukan saja pesan bibinya itu yang teringat
olehnya. Tetapi juga sikap bibinya yang mengherankan pada
mulanya. Bibinya itu justru tertawa-tawa mendengar
keterangannya tentang penyakit isterinya.
"Benarkah?" tiba-tiba pertanyaan itu meledak di kepalanya.
Dengan dada yang bergelora Arya Teja mendekati isterinya.
Ditatapnya isterinya yang sedang menangis itu berlama-lama.
Tetapi pertanyaan itu tidak juga terloncat dari mulutnya. Arya
Teja tidak mempunyai cukup kekuatan untuk melontarkan
pertanyaan itu. Ia mencemaskan keadaan isterinya dan
keadaannya sendiri apabila ia mendengar jawaban isterinya itu,
jika dugaan bibinya itu benar.
"Tetapi, apakah aku akan tinggal di dalam neraka ini untuk
seterusnya?" ia mencoba menggeretakkan giginya. Tetapi
hatinya kemudian menjadi luluh lagi.
"Wulan," katanya perlahan-lahan, "tidurlah. Kau harus
se"gera sembuh. Kau tidak boleh selalu disiksa oleh duka dan
air mata. Meskipun aku tidak tahu sebabnya, tetapi aku dapat
merasakannya." Tiba-tiba Rara Wulan itu membanting dirinya bersimpuh di
hadapan suaminya. Kata-kata yang lembut itu justru semakin
menyiksanya. Dengan pilu ia meratap, "Bunuh saja aku, Kakang.
Bunuhlah aku." Dada Arya Teja terguncang mendengar permintaan itu.
Permintaan itu telah seribu kali didengarnya. Tetapi setelah ia
mendengar dugaan bibinya tentang penyakit isterinya, maka
tanggapannya menjadi lain. Karena itu, maka tiba-tiba giginya
gemeretak dan matanya menjadi seakan-akan menyala.
Ditatapnya saja tubuh isterinya yang bersimpuh di
hadapannya. Didengarnya suara tangisnya yang serak dan
dilihatnya titik-titik air matanya yang menetes membasahi
kakinya. Dada Arya Teja itupun kemudian terasa bergolak semakin
dahsyat. Bahkan serasa akan meledak karenanya. Berbagai
macam prasangka telah mencengkam hatinya. Prasangka
tentang isterinya, penyakitnya dan sikapnya.
Tiba-tiba saja terdengar Arya Teja itu menggeram, "Pasti.
Pasti hal itu telah terjadi."
Tetapi isterinya yang menangis itu tidak mendengar suaminya
menggeram dan menggeretakkan giginya. Ia masih saja
menangis dan bahkan diulanginya permintaannya, "Kakang,
bunuh saya aku, Kakang, daripada hidupku akan tersiksa di
sepanjang umur"ku."
Tubuh Arya Teja menjadi gemetar. Pertanyaan yang selama
ini tersimpan di dadanya, tiba-tiba meledak tanpa dapat
dikendalikannya lagi. Justru karena selama ini ia tidak
mempunyai cukup kekuatan untuk melontarkannya, maka
ledakannya ternyata men"jadi sangat mengejutkan tidak
terkendali. Tiba-tiba tangan Arya Teja yang kokoh kuat itu mencengkam
pundak isterinya, Rara Wulan. Diguncangnya tubuh isterinya itu
sambil berteriak, "Wulan, Wulan. Katakan, katakan. Apakah kau
sedang sakit?" Rara Wulan terkejut sehingga tangisnya tertahan. Tetapi
ketika ia menengadahkan wajahnya, hampir yang menjerit
ketakutan. Dilihatnya wajah suaminya yang tegang, dan
sepasang matanya yang membara. Ia belum pernah melihat
wajah Arya Teja demikian menakutkan seperti saat ini.
"Katakan, Wulan. Apakah penyakitmu itu, he?"
Rara Wulan masih terbungkam. Tetapi kemudian ia menggigil
ketakutan. Dada Arya Teja yang serasa telah bengkah itu, benar-benar
tidak dapat ditahankannya lagi. Sekali lagi meledaklah
pertanyaannya yang serasa menghentikan arus darah Rara
Wulan, "Wulan, apakah kau sedang mengandung, he?"
Sejenak Rara Wulan membeku di tempatnya. Wajahnya yang
pucat kian menjadi pucat. Arya Teja yang sedang diamuk
kegelisahan, kegelisahan, kecemasan dan kebingungan itu
melihat Rara Wulan bergeser secengkang surut. Dilihatnya pula
bibir perempuan itu bergerak-gerak, tapi tidak sepatah kata pun
yang meluncur dari sela-sela mulutnya.
"Katakan, katakan. Apakah kau sedang mengandung?" Rara
Wulan masih belum menjawab, tetapi wajahnya kian menjadi
pucat seputih kapas. "Katakan, katakan," Arya Teja berteriak. Ketika Rara Wulan
tidak segera menjawab, maka terdengar Arya Teja itu menjadi
semakin keras berteriak, "Apakah kau sudah menjadi ibu, he"
Ayo katakan!" Arya Teja itu kemudian menghibaskan tangan Rara Wulan
yang menggenggam kakinya erat-erat sehingga perempuan itu
terdorong mundur. "Kenapa kau diam saja, he" Katakan, ya atau tidak?"
Rara Wulan benar-benar terbungkam. Kini ia tertelungkup di
lantai. Suara Arya Teja benar-benar seperti beribu-ribu petir
yang menyambar-nyambar di atas kepalanya.
"Wulan," berkata Arya Teja yang matanya menjadi semakin
menyala, "selama ini aku memandangmu sebagai seorang
bidadari yang bersih, yang putih tanpa setitik noda pun yang
lekat di tubuhmu. Tetapi, katakan, apakah benar begitu?"
Arya Teja itu surut selangkah ketika tiba-tiba ia melihatnya
bangkit. Rara Wulan yang sudah sampai ke puncak
ketakutannya justru sudah tidak menangis lagi. Ia mencoba
mengusap air matanya dengan ujung bajunya. Ketika ia sudah
duduk, maka ditengadahkannya wajahnya.
"Kakang," suara itu gemetar, "apakah aku harus menjawab
pertanyaan itu?" Arya Teja-lah yang kemudian terdiam sesaat. Hatinya yang
bergolak menjadi semakin bergolak. Sekali lagi ia diterkam oleh
ketakutan. Kalau isterinya itu nanti menjawab pertanyaanya,
apakah jawabnya tidak akan membuatnya gila.
Tetapi sekali lagi perasaanya meledak, "Ya, kau harus
menjawabnya. Kau tidak akan dapat ingkar lagi dari kenyataan."
Wajah Rara Wulan yang pucat itu kini justru dijalari oleh
warna darahnya. Semakin lama semakin merah. Dan dengan
suaranya yang gemetar, terdengar jawabnya, "Kakang. Sudah
aku katakan, bunuh saja aku. Aku memang sudah tidak
sepantasnya menjadi isterimu karena aku memang sudah
bernoda." Jawaban itu menyambar perasaan Arya Teja seperti guruh
yang memecahkan jantungnya. Sejenak ia terhenyak dalam
kebekuan seperti patung yang mati. Matanya memancarkan
perasaan yang asing dan mulutnya terkatup rapat-rapat.
Dan Arya Teja yang membeku itu mendengar isterinya
berkata, "Karena itu, Kakang, cara yang paling baik bagimu dan
bagiku adalah, bunuhlah aku."
Dunia ini serasa sudah tidak diinjaknya lagi. Arya Teja merasa
dirinya seperti terbang menerawang dalam dunia yang asing.
Bukan sekedar sebuah mimpi yang mengerikan, tetapi ia merasa
bahwa ia terlempar dalam kesenyapan yang dahsyat. Semuanya
seolah-olah menjadi semakin menjauh, menjauh daripadanya.
Akhirnya dunianya yang selama ini dimilikinya, seolah-olah
hilang. Hilang. Dan Arya Teja merasa dirinya berada dalam
kekosongan yang paling dalam, dibakar oleh kesepian dan
kebekuan yang paling dahsyat.
Arya Teja itu terhuyung-huyung surut sehingga tubuhnya
tersandar pada dinding biliknya. Meskipun matanya masih
terbuka, tetapi seolah-olah ia sudah tidak melihat lagi, meskipun
telinganya masih ada, tetapi seolah-olah pepat dan tidak
didengarnya apa pun. Namun kemudian, api yang membara di dadanya bergolak
menyala semakin dahsyat seperti api neraka. Perlahan-lahan api
telah memanasi darahnya kembali. Perlahan-lahan Arya Teja itu
jejakkan kakinya di dunia yang penuh murka, kemarahan
dendam. Dunia yang dibakar oleh nafsu manusiawi yang
menghancurkan. Sakit hati.
Dengan sorot mata yang aneh dipandanginya isterinya yang
masih saja duduk di lantai. Isterinya dianggap akan dapat
mendampinginya hidup dalam ketenteraman, tetapi ternyata
telah menyeretnya ke dalam neraka yang paling pedih.
Dalam luapan perasaanya, Arya Teja itu melihat seakan Rara
Wulan itu kini bukanlah perempuan yang selama ini telah
didambakannya untuk menjadi isterinya. Wajah isterinya yang
lembut dan sejuk itu, tiba-tiba telah berubah menjadi wajah
hewan betina yang paling terkutuk. Wajah yang penuh dengan
noda yang paling kotor yang pernah dilihatnya.
Sejenak Arya Teja mencoba menahan gejolak perasaannya,
tetapi ternyata ia kemudian terseret oleh arus yang dahsyat yang
mendamparkannya ke dalam suatu keadaan yang sama sekali
tidak berdaya untuk melawan luapan sakit hatinya. Lupa diri.
Tiba-tiba Arya Teja itu menggeretakkan giginya. Dengan kaki
yang gemetar ia selangkah maju mendekati isterinya yang masih
duduk di lantai. Dengan wajah yang membara ia menggeram,
"Setan betina kau Wulan! Tidak pantas kau hidup lagi di rumah
ini. Karena itu, lebih baik aku memenuhi permintaanmu. Aku
bunuh kau!" Tangan Arya Teja yang gemetar tiba-tiba telah meraih hulu
kerisnya. Keris pusaka yang selama ini hampir tidak pernah
ditarik dari wrangkanya. Namun keris itu kini telah berada di
tangannya. Keris yang seolah menyalakan api dendam yang
membara di dadanya. Rara Wulan melihat Arya Teja itu mengangkat kerisnya
dengan wajah yang merah tegang. Sejenak suaminya itu
memejamkan matanya, dan Rara Wulan yang sudah pasrah
itupun memejamkan matanya pula.
Tetapi tiba-tiba Arya Teja tertegun sejenak. Gelora di dadanya
terguncang semakin dahsyat ketika ia mendengar jerit seorang
perempuan memanggil namanya, "Arya Teja. Apakah yang kau
lakukan itu?" Tubuh Arya Teja menjadi gemetar, dan keris ditangannya pun
menjadi gemetar pula. Terasa pergelangan tangannya ditahan
oleh jarjari yang lembut. Meskipun tangan yang menahannya
itu sama sekali tidak mempunyai tenaga, tetapi terasa bahwa
tangannya seakan-akan tidak mampu lagi digerakkannya.
Dan Arya Teja mendengar lagi suara itu, "Arya Teja. Apakah
yang kau lakukan itu?"
Perlahan-lahan Arya Teja membuka matanya. Di sampingnya
berdiri seorang perempuan tua. Bibinya.
"Kenapa Bibi menahan aku?" terdengar suara Arya Teja
gemetar. "Kau telah membuat kesalahan yang akan kau sesali
sepanjang hidupmu." "Aku tidak memerlukannya lagi, Bibi. Ia menodai perkawin"an
kami. Dan ia sendiri minta aku untuk membunuhnya."
"Aku sudah menyangka, bahwa kau akan kehilangan akal.
Itulah sebabnya hatiku sama sekali tidak tenteram ketika kau
meninggal"kan rumahku."
"Ia akan menjadi hantu yang akan menyiksa hidupku, Bibi.
Biarlah, biarlah aku lenyapkan saja perempuan itu, supaya aku
terlepas dari neraka ini."
"Aria Teja. Kau akan menyesal."
"Tidak. Tidak. Aku tidak akan menyesal sama sekali.
Lepaskan, Bibi. Biarlah aku membunuhnya. Kalau Bibi tidak
sampai hati untuk menyaksikannya, tinggalkanlah kami di sini."
"Jangan menjadi mata gelap, Ngger."
Darah Arya Teja menjadi semakin menyala, ketika ia
men"dengar Rara Wulan menyahut, "Biar, Bibi. Biarlah Kakang
Arya Teja membunuhku. Itu adalah penyelesaian yang baik, baik
baginya dan bagiku sendiri."
"Nah, bukankah Bibi mendengar?" suara Arya Teja meninggi.
"Iblis itu menantangku. Lepaskan Bibi, biarlah aku
membunuhnya. Apakah darahnya juga merah seperti darah
manusia yang bersih."
Tetapi bibinya tidak melepaskan tangan Arya Teja. Tangan
laklaki yang sedang dibakar oleh kemarahannya itu masih
dipegangnya. Dengan cemasnya ia berkata, "Jangan, jangan
Ngger. Jangan." Arya Teja telah benar-benar menjadi waringuten. Ia sudah
tidak dapat lagi berpikir. Yang ada di dalam dirinya hanyalah api
kemarahan dan sakit hati. Itulah sebabnya, maka tanpa
dikehendakinya sendiri, didorongnya bibinya yang tua itu
sehingga terhuyung-huyung beberapa langkah. Untunglah,
bahwa tubuhnya yang lemah itu tersandar pada dinding
sehingga ia tidak jatuh tertelentang.
Begitu tangan bibinya terlepas, maka dengan menggeram
sekali lagi Arya Teja mengangkat kerisnya, "Kau harus mati. Kau
harus mati." Tetapi ia masih mendengar suara bibinya melengking, "He,
kau gila Arya Teja. Kau gila. Bunuhlah perempuan itu menurut
kehendakmu, apalagi ia adalah isteri yang mengkhianatimu.
Tetapi kau akan berdosa tujuh kali lipat karena kau membunuh
juga nyawa yang sama sekali tidak berdosa. Bayi di dalam
kandungan perempuan itu."
Kata-kata bibinya itu meledak di telinga Arya Teja seperti
seribu guruh. Dadanya terguncang dahsyat sekali, sehingga
rasa-rasanya seluruh tulang rusuknya terpatahkan. Sejenak
pandangan matanya menjadi gelap berkunang-kunang.
Tubuhnya gemetar dan nalarnya seakan-akan ditaburi oleh
kekelaman yang pekat. Sekali lagi Arya Teja terhenyak ke dinding. Tubuhnya menjadi
lemah, seolah-olah tulang-tulangnya dilolosi. Hampir-hampir ia
sudah tidak mampu lagi untuk berdiri.
Bibinya kini telah berdiri di hadapannya. Dipandanginya wajah
kemanakannya yang kadang-kadang pucat namun kemudian
merah membara. "Ingatlah akan dirimu."
Keringat dingin telah membasahi segenap tubuh Arya Teja.
Dari ubun-ubunnya sampai ke ujung kakinya.
"Tidak sepantasnya kau berbuat begitu, Ngger," berkata
bibinya. "Kau adalah laklaki, seperti ayahmu menginginkannya,
bahwa kau adalah laklaki jantan. Kau tidak dapat membunuh
pe"rempuan itu tanpa membunuh bayi yang sama sekali tidak
berdosa. Tetapi kau dapat berbuat demikian terhadap orang
yang menabur"kan benih di ladangmu tanpa membunuh bayi
itu." Kata-kata bibinya itu benar-benar telah menyentakkan
perasaan Arya Teja. Tubuhnya yang seolah-olah sudah tidak
berdaya itu, tiba-tiba tegak bagaikan tiang baja yang kokoh kuat
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak tergoyahkan. Kini matanya benar-benar mancarkan api
yang menyala di dalam dadanya.
Terdengar gigi Arya Teja gemeretak. Terngiang kembali katakata
bibinya itu, "Tetapi kau dapat berbuat demikian terhadap
orang yang menaburkan benih di ladangmu tanpa membunuh
bayi itu." Arya Teja menggeram. Terdengar suaranya parau, "Ya, Bibi.
Aku mengerti." Selangkah Arya Teja maju mendekati isterinya. Dengan suara
gemetar ia bertanya, "Wulan, katakan. Katakan. Siapakah yang
telah berbuat itu" Aku sadar kini, bahwa itu adalah peng"hinaan
yang sedalam-dalamnya bagi kejantananku. Orang itu ingin
mencoba mengukur lebar dada Arya Teja yang sebentar lagi
akan mendapat wisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan di
Menoreh. Kalau aku belum menemukan orang itu Wulan, maka
aku tidak akan dapat hidup dengan tenteram. Ada dua
kemungkinan yang dapat terjadi padaku. Membunuh atau
dibunuh. Tetapi itu adalah sikap jantan."
Rara Wulan yang sudah pasrah diri, yang justru seakan-akan
sudah tidak lagi dibayangi oleh kecemasan, dan bahkan air
matanya pun seolah-olah sudah kering, kini digoncangkan lagi
oleh kege"lisahan yang dahsyat. Terbayang di wajahnya, apa
yang dapat terjadi apabila dua orang laklaki jantan telah
berhadapan. "Wulan, katakan Wulan, supaya aku tidak jatuh ke dalam
dosa yang paling nista, membunuh perempuan yang tidak
berdaya dan membunuh bayi di dalam kandungannya. Bayi yang
tidak berdosa sama sekali.
Pernyataan itu telah benar-benar menghentakkan dada Rara
Wulan. Namun Rara Wulan itu mendengar bibi Arya Teja
berkata, "Tidak ada gunanya, Arya Teja. Sikap itu memang sikap
jan"tan. Tetapi tidak semua persoalan harus diselesaikan
dengan cara itu. Aku memperingatkan kau akan hal itu, sekedar
untuk mencegah kau menjadi kehilangan akal. Sikap itu jauh
lebih baik daripada kau membunuh perempuan dan bayinya
yang sama sekali tidak berdosa. Tetapi sikap itu sendiri bukan
sikap yang paling baik."
Mata Arya Teja yang menyala itu membayangkan keraguraguan
setelah ia mendengar kata-kata bibinya. Namun bibinya
itu berkata terus, "Sikap yang demikian masih akan
menumpahkan darah. Darah bukanlah penyelesaian yang paling
baik." Tubuh Arya Teja menjadi gemetar. Sekali lagi terdengar
suaranya yang parau, "Lalu apakah sebaiknya yang aku lakukan,
Bibi?" "Kau harus berjiwa besar, Arya Teja. Kau harus mem"buat
penyelesaian tanpa menitikkan darah. Kau harus bertemu
dengan laklaki itu. Kau atau orang itu yang seterusnya akan
me"miliki Rara Wulan. Sesudah itu, tidak ada lagi persoalan di
antara kalian. Darah Arya Teja menghentak-hentak di jantungnya. Dan
ter"dengar ia berkata terbata-bata, "Itu tidak mungkin, Bibi. Itu
tidak mungkin. Aku tidak mungkin melakukan kedua-duanya.
Terus mengawini Rara Wulan dengan menelan pengghinaan
dari seorang laklaki tanpa berbuat sesuatu, seolah-olah aku
bukan laklaki, atau mele"paskan Rara Wulan dengan
menyandang hina dan malu, karena orang-orang Menoreh akan
mengatakan, bahwa isteri kepala tanah perdikannya telah
direbut orang tanpa berbuat sesuatu."
Bibinya mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, "Itu
benar, Arya Teja. Tetapi bahwa Rara Wulan mengandung di luar
perkawinannya denganmu itu sama sekali tidak diketahui orang."
"Tetapi aku tahu, Bibi. Aku tahu, Wulan tahu dan laklaki yang
itu tahu pula." "Bukankah persoalan itu masih terbatas sekali" Kalau jiwamu
cukup besar, Arya, kau lupakan saja apa yang telah terjadi.
Tetapi laklaki itu memang harus datang kepadamu, minta maaf
dan untuk seterusnya tidak akan menyebut-nyebut anaknya
yang masih dalam kadungan."
"Hanya begitu, Bibi" Hanya cukup dengan permintaan maaf
dan untuk seterusnya tidak akan mengusik anaknya?"
"Arya Teja. Peristiwa ini harus kau pandang dari segi yang
lapang. Hubungan itu terjadi sebelum Rara Wulan menjadi
isterimu. Kau tidak dapat mengatakan, bahwa laklaki itu telah
merampas hakmu seluruhnya, sebab pada saat itu terjadi, Rara
Wulan masih belum isterimu."
"Oh," Arya Teja berdesah. Keringatnya menjadi sema"kin
banyak mengalir, "Tetapi aku telah terjebak dalam perangkap
yang keji itu. Laklaki itu ternyata pengecut. Kalau ia laklaki
jantan, maka ia akan bertanggung jawab dan tidak membiarkan
Wulan menjadi isteri orang lain. Mungkin hal itu disengaja pula
untuk menghindarkan diri dari keharusan bertanggung ja"wab.
Agaknya Wulan telah bersepakat pula menjerat leherku."
"Tetapi aku menyesal," tiba-tiba Rara Wulan memotong, "aku
menyesal bahwa hal itu terjadi. Karena itu maka aku akan rela
dibunuh. Nah, Kakang, kalau keputusanmu memang ingin
membunuhku, kenapa kau akan membatalkannya?"
"Begitu, begitu yang kau maksud?" tiba-tiba darah Arya Teja
meluap sekali lagi. Sehingga tanpa disadarinya ia melangkah
maju dengan tangan gemetar. Kerisnya masih juga berada di
dalam genggemannya. "Jangan gila," teriak bibinya, "kalian berdua memang gila."
Sekali lagi Arya Teja tertegun, "Dengar kata-kataku!" ben"tak
bibinya. Ternyata pengaruhnya besar sekali atas Arya Teja,
sehingga ia melangkah surut.
"Tidak patut kalian berbuat begitu," berkata bibinya pula,
"kalian harus menemukan penyelesaian sebaik-baiknya,
sebagamana penyelesaian yang dituntut oleh manusia beradab."
"Kami sama-sama laklaki, Bibi. Itu adalah penyelesaian yang
paling baik dan adil," geram Arya Teja, "aku tidak melihat jalan
lain. Sekarang sebutkan laklaki itu, he?"
Rara Wulan masih terduduk diam. Pertanyaan yang demikian,
benar-benar telah menguncangkan dadanya.
Seandainya ia menjawab berterus terang, maka ia yakin, pasti
akan terjadi pertumpahan darah dan bahkan kematian se"perti
yang dikatakan oleh Arya Teja. Membunuh atau dibunuh. Rara
Wulan tahu pula, bahwa laklaki yang ditanyakan oleh Arya Teja
itu pun pasti akan berkata begitu pula. Membunuh atau
di"bunuh. Penyesalan yang paling dalam telah menyesak di dada Rara
Wulan. Sebenarnya penyesalan itu datang sejak peristiwa itu
terjadi. Peristiwa yang seakan-akan berlangsung di luar
sadarnya, pada saat iblis datang menghuni hatinya tanpa dapat
dilawannya. Karena itu, maka tidak ada lain yang diharapkannya
kini, selain mati. Mati. Bahkan telah timbul pula hasratnya untuk
membunuh diri. Tetapi alangkah baiknya, apabila ia mati di
tangan Arya Teja. Mungkin hal itu akan dapat memberi sedikit
kepuasan kepada suaminya yang telah dikhianatinya itu.
Maka sejenak kemudian, terdengar Rara Wulan berkata,
"Kakang, aku tidak akan mengatakan, siapakah laklaki itu.
Timpakan semua kesalahan kepadaku, karena memang akulah
yang paling bersalah dalam hal ini. Semuanya tidak akan terjadi,
seandainya aku tidak menyurukkan diriku sendiri ke dalam
lumpur yang paling hina. Bagiku penyelesaian yang paling baik
adalah bunuhlah aku."
"Perempuan celaka!" potong bibi Arya Teja. "Kau benar-benar
tidak tahu diri. Bunuhlah dirimu sendiri seandainya kau ingin.
Tetapi tunggulah bayi di dalam perutmu itu lahir dan
ber"kesempatan hidup. Tak ada hak dari siapa pun juga untuk
mem"bunuh nyawa yang sama sekali tidak bersalah itu. Semua
hukuman harus ditimpakan dan ditanggung oleh mereka yang
berbuat salah, tetapi tidak pada nyawa itu."
Seperti juga Arya Teja, maka hati Rara Wulan pun ter"sentuh
pula. Apalagi sebagai seorang perempuan yang langsung
menyimpan nyawa itu di dalam dirinya. Karena itu, maka kini
ke"bingungan yang dahsyat telah melanda, jantungnya. Ia ingin
ma"ti, tetapi peringatan bibi Arya Teja telah membuatnya
bimbang. Apabila semula ia telah pasrah tanpa ragu-ragu
menghadapi saat-saat kematian yang memang sudah
diharapkannya, tetapi kini ia mulai bimbang. Nyawa yang ada di
dalam dirinya tidak hanya nyawanya sendiri saja. Tetapi ia pun
sedang menyimpan nyawa bayi di dalam perutnya itu.
Dalam keheningan itu terasa, betapa udara bilik itu seperti
dipanggang di atas api. Hening, tetapi tegang dan panas.
Sejenak kemudian terdengar suara Arya Teja parau, "Wulan.
Jangan memperlambat persoalan. Katakan siapa laklaki itu"
Aku akan membuat penyelesaian."
"Jangan dengan cara itu," bibi Arya Teja berkata, "kau harus
mendapatkan cara yang baik. Cara yang beradab. Ka"lian
bukan manusia-manusia liar yang hanya mengenal cara
penyelesaian yang serupa itu, darah."
Dada Arya Teja berdentangan mendengar kata-kata bibinya.
Kalau semula bibinya berhasil meredakan maksudnya untuk
membunuh Rara Wulan, tetapi kini nafsu Arya Teja untuk
membuat perhitungan dengan laklaki yang dianggapnya telah
menghinanya itu sama sekali tidak surut. Bahkan dengan
gemetar ia berkata, "Tidak ada pilihan lain, Bibi. Bukankah Bibi
sendiri berkata, bahwa aku tidak sepantasnya membunuh Rara
Wulan, tetapi aku dapat berbuat begitu kepada orang yang
menaburkan benih di ladangku."
"Tetapi bukan maksudku, Arya," berkata bibinya, "aku hanya
ingin mencegahmu membunuh Rara Wulan dan bayinya."
"Itu adalah keputusanku," geram Arya Teja. Lalu katanya
kepada Rara Wulan, "Wulan, sebutkan nama itu. Sebutkan."
Dada Arya Teja berdentang ketika ia melihat Rara Wulan
menggelengkan kepalanya yang tunduk, "Aku tidak dapat
mengatakannya, Kakang."
"He," mata Arya Teja kini seolah-olah menyala, "sebutkan!
Sebutkan! Kau hanya menyebutkan saja nama itu.
Penyelesaiannya ada di tanganku."
Air mata Rara Wulan kini menderas lagi. Dan bahkan seolaholah
ia tidak dapat lagi bernafas oleh isaknya yang menyesak di
dada. Tetapi sekali lagi ia menggelengkan kepalanya.
"Wulan. Wulan. Kau tidak mau menyebutkan he?" Arya Teja
tiba-tiba berteriak penuh kemarahan. Dihentakkannya kakimu di
lantai. Sambil menunjuk kepala isterinya dengan ujung kerisnya
ia berkata, "Kau ternyata penghianat yang paling jahat. Kau
sengaja menyembunyikan laklaki di belakang pinjungmu. He,
kalau aku laklaki itu, maka alangkah malunya. Kalau aku
menjadi laklaki itu, akulah yang akan membunuh diri. Bukan
sekedar bersembunyi dan bahkan mengorbankan nyawa
seorang perempuan dan bayi di dalam kandungannya."
Kata-kata itu serasa langsung menusuk jantung Rara Wulan.
Bagaimanapun juga, penghinaan Arya Teja terhadap laklaki
yang pernah membuat sentuhan langsung di hatinya itu,
membuatnya ber"debar-debar. Tetapi ia tidak dapat berbuat
apa-apa selain berdiam diri menutup mulutnya rapat-rapat.
Perasaannya semuanya tertuang lewat air matanya.
"Wulan, apakah kau benar-benar sudah menjadi bisu he?"
Arya Teja menjadi semakin marah dan berteriak-teriak.
"Arya Teja," berkata bibinya, "hentakan perasaan di dadamu
memang terlampau berat. Sekarang, marilah tinggalkan bilik ini,
Ngger. Beristirahatlah. Kau akan menemukan ketenangan.
Dalam ketenangan itulah kau baru mengambil sikap. Kalau
sekarang kau menentukan cara penyelesaian itu, maka kau akan
salah jalan. Kau sekarang tidak dikuasai oleh pikiran dan nalar,
tetapi kau sedang dikuasai oleh perasaan. Perasaanmu yang
lagi gelap." "Tidak, Bibi. Aku harus mendengarnya sekarang. Apakah aku
akan bersikap sekarang, hal itu dapat dipikirkan kemudian.
Tetapi nama itu harus aku dengar sekarang. Nama laklaki licik
yang hanya berani berperisai nyawa seorang perempuan,
sehingga laklaki betina itu tidak lebih dari seorang pengecut
besar." Ternyata kata-kata itu telah menggugah sebuah hati. Betapa
seseorang menahan diri, namun penghinaan itu tidak dapat
dibiarkannya. Karena itu, maka seorang laklaki yang selama ini
mendengar"kan pembicaraan itu dari balik dinding di luar rumah,
tidak dapat lagi menahan gejolak perasaannya pula.
Sejak beberapa lama ia mendengarkan pembicaraan Arya
Teja dan isterinya di dalam biliknya. Kadang-kadang ia terpaksa
mena"han nafasnya, namun kadang- kadang ia terpaksa
menggeretakkan giginya. Ia tidak mempedulikan satu dua orang pembantu di dalam
rumah itu memperhatikannya dari kejauhan. Pembantupembantu
rumah itu memang sudah mengenalnya, karena ia
sering pula datang berkunjung menemui Arya Teja sebelum
kawin dengan Rara Wulan. Pembantu-pembantu yang melihatnya pun sama sekali tidak
menegurnya. Mereka menyangka, bahwa orang itu akan
berkunjung seperti biasa, tetapi ketika didengarnya Arya Teja
sedang bertengkar dengan isterinya, maka ia menunggunya saja
di luar. Sedang para pembantu itu tidak tahu apakah yang
sebenarnya diperteng"karkan. Mereka hanya mendengar suara
Arya Teja hampir berteriak. Pembantu-pembantu itu menjadi
ketakutan, karena sebelum itu me"reka tidak pernah melihat
atau mendengar Arya Teja bersikap kasar, meskipun kadangkadang
dapat juga bersikap keras.
Tetapi orang itu sebenarnya sama sekali tidak senang
menunggu sampai pertengkaran itu reda. Pertengkaran itu
sendiri telah membakar jantungnya dan mendidihkan darahnya.
Ia-lah yang melihat Arya Teja berjalan dengan tergesa-gesa dan
kemudian mengikutinya. Terasa ada sesuatu yang tidak wajar
pada muda yang baru saja kawin itu.
Ternyata apa yang disangkanya itu benar-benar terjadi. Ia
mendengar pertengkaran itu. Ia mendengar Arya Teja bahkan
mengancam untuk membunuh isterinya, dan kini Arya Teja
sedang mendesak Rara Wulan untuk menyebut nama laklaki
yang dianggapnya telah mengkhianatinya.
Dada orang itu menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar
bahwa Rara Wulan berkeras hati untuk tidak menyebut nama
laklaki itu. Tetapi darahnya segera mendidih ketika ia
mendengar penghinaan Arya Teja atas laklaki itu.
"Hem, apakah aku akan berdiam diri saja?" desisnya di dalam
hati. Sebuah pergolakan telah terjadi di dadanya. Pergolakan yang
semakin lama menjadi semakin dahsyat. Sejak Arya Teja
menghunus kerisnya, ia telah berdiri dalam kebimbangan.
Apakah ia akan turut mencampurinya" Tetapi sebelum ia
mendapat keputusan, ia melihat bahwa bibi Arya Teja dengan
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tergesa-gesa memasuki rumah itu, dan ternyata perempuan itu
telah berhasil mencegahnya, sehingga dengan demikian, ia tidak
perlu mencampurinya. Tetapi ia tidak akan dapat terus menerus
berdiam diri sambil mendengarkan penghinaan yang tiada
berkeputusan. Kini sekali lagi ia mendengar suara Arya Teja, "Kau tidak mau
mengatakannya, Wulan" Baiklah. Simpanlah rahasia itu di dalam
dirimu. Aku sudah tidak berkeinginan untuk membunuh lagi.
Perbuatan itu hanya akan mengotori tanganku saja," Arya Teja
berhenti sejenak, lalu, "Besok aku akan membuat peryataan
terbuka. Setiap orang akan mendengar apa yang telah terjadi
atasmu, sampai saatnya seorang laklaki berani menampilkan
dirinya, dan mengaku bahwa ia telah melakukannya."
Sebuah hentakan yang keras telah menggoncangkan dada
Rara Wulan. Ancaman itu benar-benar telah membuat cemas
dan ketakutan, sehingga terdengar suaranya terpatah-patah di
sela tangis dan isaknya. "Oh, kau terlampau kejam, Kakang.
Kenapa kau tidak mau membunuh aku saja daripada kau
membuat aku malu tiada taranya."
"Laklaki itulah yang bersalah," sahut Arya Teja, "kecuali kau
bersedia menyebut namanya."
Betapa hati Rara Wulan benar-benar tersiksa saat itu. Ia
sama sekali tidak menyangka, bahwa kekhilafannya yang sesaat
itu benar-benar telah mematahkan hari depannya, bahkan jauh
lebih mengerikan daripada mati.
"Aku beri kau waktu," berkata Arya Teja, "apabila sampai fajar
besok kau belum juga mau mengatakannya, maka aku akan
melakukannya. Aku akan membunyikan kentongan memanggil
setiap orang di dalam padukuhan ini, yang sebentar lagi akan
menjadi tanah perdikan yang sempurna. Aku akan sesorah dan
mengatakan apa yang telah terjadi atas seorang perempuan
yang bernama Rara Wulan."
"Kakang," Rara Wulan memekik.
Tetapi suara itu hilang ditimpa oleh suara Arya Teja yang
lebih keras, "Sudah menjadi keputusanku."
"Oh," tangis Rara Wulan menjadi semakin keras. Kini
kepalanya ditelungkupkan di lantai. Rambutnya yang hitam
panjang berserakan dengan kusutnya.
Arya Teja masih berdiri tegak dengan sehelai keris di
tangannya. Dadanya masih terasa membara dan sorot matanya
masih memancarkan perasaannya yang bergolak. Sedang
bibinya berdiri kebingungan tanpa dapat berbuat sesuatu. Arya
Teja sama sekali tidak mau lagi mendengarkan nasehatnya.
Sebagai seorang perempuan, ia kemudian menjadi iba
melihat Rara Wulan. Tanpa disadarinya ia melangkah maju.
Dibelainya kepala perempuan itu sambil berkata, "Sudahlah,
Wulan. Semuanya sudah terjadi. Tidak ada jalan untuk kembali.
Tetapi jalan yang akan kau tempuh kelak, janganlah mengulangi
apa yang telah terjadi, meskipun dalam bentuk yang berbeda.
Kini yang terjadi hanyalah akibat dari perbuatan yang sudah
terlanjur itu. Memang pasti akan terasa pahit. Tetapi kalau kau
sudah maju setapak lagi dan kau atasi kepahitan ini, kau mudahmudahan
akan mendapat ampun dari Yang Maha Kuasa dan
mendapat hati yang terang."
Tetapi Rara Wulan tidak menyahut. Bahkan tangisnya
menjadi semakin keras. Dalam saat yang demikian itulah, Arya Teja terperanjat. Ia
mendengar langkah tergesa-gesa mendekati pintu bilik. Semakin
lama semakin dekat. Sejenak kemudian dadanya berdesir tajam.
Dilihatnya seorang laklaki berdiri di ambang pintu. Seorang lakilaki
yang memancarkan api kemarahan lewat matanya yang
tajam, setajam mata burung hantu, seorang laklaki yang
hidungnya meleng"kung seperti paruh burung betet, berkumis
dan beralis tebal. Bukan Aria Teja saja yang ternyata terkejut bukan buatan.
Tetapi bibinya pun terkejut, ketika tiba-tiba saja ia melihat lakilaki
itu. Ketika ia melihat mata yang seolah-olah memancarkan
nyala api. Tetapi yang lebih terkejut lagi adalah Rara Wulan.
Ketika ia mengangkat wajahnya, dan melihat laklaki itu, maka
darahnya serasa berhenti mengalir.
"Kau," suara yang parau itu tersekat di kerongkongannya.
Laklaki itu sama sekali tidak mengacuhkannya. Tetapi ia
berdiri tegak seperti tiang-tiang rumah itu.
Arya Teja bergeser setapak. Mereka, kedua laklaki itu kini
berdiri berhadapan. Namun belum sepatah kata pun yang
meluncur dari mulut-mulut mereka.
Meskipun demikian, mata merekalah yang seakan-akan
berbicara. Arya Teja seolah-olah menangkap kata-kata itu. Dan
telinga hatinya segera menterjemahkannya. Seakan-akan lakilaki
itu berkata, "Aku"lah yang telah berbuat."
Arya Teja menggeram. Dari sela-sela bibirnya kemudian
terucapkan sepatah kata, "Paguhan."
Laklaki yang berdiri di muka pintu itu masih belum
menjawab. Tetapi kata-kata Arya Teja itu telah menyentuh
dadanya setajam ujung keris yang masih digenggamnya.
Namun kedua laklaki itu kemudian berpaling ketika mereka
mendengar Rara Wulan berteriak, "Pergi, pergi kau iblis yang
paling jahat! Pergi, pergi!"
Tetapi laklaki yang bernama Paguhan itu tidak beranjak dari
tempatnya. "Pergi, pergi!" perempuan itu menjadi semakin berteriakteriak.
Dipukulkannya tinjunya bertubtubi pada lantai yang
basah oleh air matanya, "Pergi, pergi kau!"
Paguhan masih berdiri tegak. Sejenak kemudian terdengar
suaranya seakan-akan bergulung-gulung diperutnya, "Tidak,
Wulan. Aku tidak akan pergi. Aku bukan laklaki pengecut yang
bersembunyi di balik pinjungmu. Aku adalah laklaki yang
mempunyai harga diri."
"Bagus," Arya Teja-lah yang menyahut, "aku hormati kau
karena kejantanan itu. Kita adalah laklaki yang masing-masing
mem"punyai harga diri."
"Pergi, pergi!" Rara Wulan menjadi semakin memekik mekik.
"Tidak ada jalan lain," berkata Arya Teja, "kau atau aku yang
binasa." "Kau atau aku," Paguhan itu mengulang, "bukankah itu jalan
yang paling adil?" "Ya." Dan pembicaraan itu terputus ketika Rara Wulan menjerit
tinggi, "Pergi, pergi!" lalu tangisnya melonjak semakin keras. Dari
sela-sela suara tangisnya terdengar kata-katanya, "Aku tidak
mau melihat peristiwa itu terjadi. Akulah yang bersalah.
Bunuhlah aku. Bunuhlah aku." Suara Rara Wulan menjadi
semakin meninggi. Tiba-tiba ia kemudian diam. Diam, Rara
Wulan jatuh pingsan. Bibi Arya Teja kemudian menjadi sibuk. Diusap-usapnya dahi
perempuan itu. Sesaat kemudian ia berlari ke belakang mencari
minyak kelapa untuk menggosok telinga dan dada Rara Wulan.
Arya Teja dan Paguhan masih berdiri di tempatnya. Mereka
hanya mengikuti kebingungan bibi Arya Teja dengan mata
mereka. "Arya Teja," berteriak bibinya, "apa kau menunggu sampai
isterimu ini mati. Berbuatlah sesuatu. Berbuatlah sesuatu."
Tetapi Arya Teja tidak beranjak dari tempatnya. Ia sama
sekali tidak bergerak ketika ia melihat beberapa orang
pelayannya berlarlari menolong bibinya mengangkat Rara
Wulan ke atas pembaringan di bilik yang lain. Namun hati para
pelayan itu bergetar ketika mereka melihat di tangan Arya Teja
tergenggam sehelai keris.
Tetapi para pelayan itu menjadi agak tenang, karena mereka
tidak melihat setitik darah pun di tubuh Rara Wulan.
Dalam kesibukan itu, terdengar Paguhan berkata, "Arya Teja,
aku menunggumu. Aku memang ingin membuat penyelesaian
itu. Aku tunggu kau di bawah Pucang Kembar. Bulan hampir
bulat di langit. Supaya kau mendapat kesempatan merawat
isteri"mu, maka aku memberimu waktu sampai purnama penuh."
"Aku tidak memerlukan waktu itu. Aku tidak akan merawat
siapa pun. Apalagi orang yang telah mengkhianati aku."
"Terserah kepadamu. Tetapi aku akan berada di bawah
Pucang Kembar pada saat purnama naik, dua hari yang akan
da"tang. Aku tidak dapat berbuat dalam suasana seperti ini. Aku
ingin Wulan sembuh dan sehat."
"Kalau kau mau mengurusnya, uruslah perempuan yang telah
kau nodai itu. Aku tidak memerlukannya."
"Masih belum waktunya Arya. Sesaat setelah aku
membunuhmu di bawah Pucang Kembar, aku memang akan
melakukannya." *** "Baik. Dua hari yang akan datang, tepat pada saat purnama
naik, aku telah berada di bawah Pucang Kembar."
Paguhan tidak menyawab. Dengan wajah yang tegang ia
memandangi Rara Wulan yang terbaring di pembaringan di bilik
sebelah lewat lubang pintu lereg yang tidak tertutup.
Sejenak kemudian dengan langkah tergesa-gesa
ditinggalkannya rumah itu. Langkahnya panjang dan cepat.
Tanpa berpaling lagi ia turun dari pendapa dan melintasi
halaman rumah Arya Teja. Sejenak kemudian ia telah hilang di
balik regol. Arya Teja masih berdiri di tempatnya seakan-akan sebuah
patung. Dadanya bergelora seperti sedang terbakar. Sama
sekali tidak disangka-sangkanya, bahwa orang yang telah
mendorongnya ke dalam kepahitan hidup itu adalah Paguhan,
kawan yang terlampau dekat yang selama ini dianggapnya
sebagai seorang anak muda yang baik.
Tetapi ternyata yang terjadi adalah neraka yang paling
terkutuk, sehingga tanpa sesadarnya ia menggeram, "Dua hari
lagi. Kalau Paguhan tidak ingkar, maka aku atau anak itu yang
akan mati." Arya Teja tersadar ketika ia melihat bibinya masuk ke dalam
bilik itu. Dilihatnya wajah yang tua itu telah basah pula oleh air
matanya. Sejenak orang itu berdiri termangu-mangu, namun
kemudian, ia melangkah mendekati kemanakannya sambil
bertanya, "Kau telah bersepakat untuk melakukan perang
tanding?" Arya Teja menganggukkan kepalanya, "Ya bibi. Nanti apabila
purnama penuh naik. Aku dan Paguhan akan melakukannya di
bawah Pucang Kembar."
Bibinya termenung sejenak. Lalu katanya, "Aku tidak mengerti
bahwa kau lebih senang memilih jalan itu daripada cara yang
lain." "Aku tidak melihat cara yang lain itu," sahut Arya Teja.
Bibinya terdiam. Langkahnya yang berat telah membawanya
ke atas amben bambu. Sambil menarik nafas dalam-dalam
diletakkannya dirinya duduk di atas amben itu.
Sejenak mereka berdua saling berdiam diri. Arya Teja masih
berdiri kaku dengan keris di tangan.
"Isterimu sudah sadar," berkata bibinya kemudian "tetapi ia
mengalami kejutan yang luar biasa."
Arya Teja acuh tak acuh saja mendengar keterangan bibinya
tentang Rara Wulan. Seandainya perempuan itu mati sekalipun
ia tidak akan berkeberatan.
"Ia menyeyali segala dosanya," berkata bibinya lebih lanjut.
Arya Teja masih berdiam diri.
"Arya," berkata bibinya, "aku berpendapat bahwa Rara Wulan
bukanlah seorang perempuan yang jahat. Penyesalan yang
paling dalam telah mendorongnya untuk berputus-asa. Ia
merasa bahwa hidupnya sama sekali sudah tidak berarti lagi.
Kesalahannya itu lelah menyebabkannya malu melihat sinar
matahari." "Oh," Arya Teja menggeram, "sebuah permainan yang sangat
baik. Ternyata Rara Wulan dapat memainkan peranannya
dengan sempurna, sehingga Bibi menjadi iba kepadanya. Tetapi
apakah aku harus menerima penghinaan itu?"
"Arya Teja. Kau harus tahu, apakah sebabnya hal yang
serupa itu dapat terjadi" Kau tidak boleh melihat persoalan itu
hanya sepotong. Sepotong yang membuatmu menjatuhkan
hukuman yang paling berat atas isterimu. Kau harus melihat
keseluruhan dari persoalannya. Peristiwa yang mendahuluinya
dan yang kemudian mendorongnya melakukan perbuatan itu."
"Bibi, Rara Wulan dan Paguhan dapat saja menyusun seribu
macam alasan. Tetapi akibatnya sama saja buatku. Aku
menerima sampah yang telah dilemparkan oleh Paguhan ke
pawuhan. Bibi, aku tidak dapat. Aku tidak dapat menerimanya."
Bibinya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Ya,
Ngger. Aku tahu dan aku dapat mengerti perasaanmu. Tetapi
kau harus mempertimbangkan hal-hal yang dapat meringankan
dosa isterimu. Sebagai manusia ia dapat dilibat oleh nafsu tang
tidak dimengertinya sendiri. Tetapi yang terpenting kau ketahui,
bahwa ia menyesali apa yang telah terjadi sampai ke pusat
hatinya. Menyesal dan bertaubat."
"Apakah artinya sesal itu baginya" Seandainya ia tidak
bertaubat sekalipun, ia tidak akan dapat mengulanginya lagi. Ia
tidak akan mendapatkan masa-masa gadisnya dan melakukan
hal yang serupa. Bahkan seandainya itu dikehendakinya sendiri."
Bibinya menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang yang
telah lanjut usia, ia dapat mengerti perasaan yang bergolak di
dalam dada kemanakannya. Itulah sebabnya, ia kemudian
berdiam diri sambil menebah dada. Dalam keadaan yang
demikian Arya Teja pasti sulit untuk diajak berbicara.
"Aku masih mempunyai waktu dua hari lagi sebelum purnama
naik. Mudah-mudahan aku dapat mengurungkan cara
penyelesaian yang mengerikan itu," berkata bibinya di dalam
hati. "Penyelesaian yang demikian tidak akan dapat memberikan
ketenteraman hidup bagi yang memenangkannya. Hubungan
dengan Rara Wulan tidak akan terselesaikan. Bagi Rara Wulan,
penyelesaian itu adalah cara yang akan menyiksanya sepanjang
hidupnya. Siapa pun yang kalah, ia merasa kehilangan. Kalau
Arya Teja yang kalah, dan mati dalam perkelahian itu, ia akan
kehilangan suaminya. Tetapi, kalau Arya Teja berhasil
memenangkannya, dan Paguhan terbunuh, maka bayi di dalam
kandungan itu akan kehilangan bapanya."
Tetapi bibi Arya Teja itu tidak dapat berbuat apa-apa pada
saat itu. Arya Teja sama sekali tidak dapat diajaknya berbicara.
Kemanakannya itu sedang dikuasai oleh gejolak perasaan yang
dahsyat sekali. Sejenak mereka saling berdiam diri. Ruangan itu menjadi
sepi, tetapi terasa ketegangan telah menyesak di dada masingmasing.
Lamat-lamat mereka masih mendengar isak tangis Rara
Wulan di bilik sebelah ditunggui oleh pelayannya.
Dalam kesepian itu terdengar suara bibi Arya Teja, "Arya
Teja, sarungkanlah kerismu. Kau tidak memerlukannya
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekarang." Arya Teja menarik nafas. Perlahan-lahan tangannya seolaholah
telah digerakkan oleh kekuatan yang tidak dimengertinya
menyarungkan kerisnya pada wrangkanya.
"Beristirahatlah dan cobalah merenungkan apa yang telah
terjadi dengan tenang. Jangan diburu oleh nafsu yang bergejolak
di dalam dirimu." "Akulah yang telah menjadi korban nafsu itu, Bibi."
Bibinya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Baiklah, Ngger. Meskipun demikian apakah salahnya kalau kau
mencoba melihat persoalan ini dari segala segi. Segi yang
memberatkan namun juga segsegi lain, yang dapat
meringankan dorongan kemarahanmu."
"Tidak ada yang perlu aku pertimbangkan lagi. Aku sudah
memutuskan. Dua hari lagi, saat purnama naik, aku akan
membuat penyelesaian secara jantan."
Mereka pun kemudian terdiam pula. Ketika udara di dalam
bilik itu terasa semakin sesak, maka Arya Teja pun segera
melangkah ke luar. Saat-saat berikutnya adalah saat yang paling menegangkan,
seolah-olah waktu berjalan terlampau lamban.
Arya Teja seakan-akan merasakan bahwa rumahnya telah
menjadi tempat yang paling menyiksanya. Siang dan malam ia
seakan dipanggang di atas bara api. Ia sama sekali tidak mau
lagi masuk ke dalam ruang dalam rumahnya. Ia selalu berada di
pendapa atau di pringgitan saja.
Di dalam rumah itu Rara Wulan ditunggui oleh bibi Arya Teja.
Perempuan tua itu tidak sampai hati untuk meninggalkannya
dalam keadaan yang demikian. Selain Rara Wulan selalu
dihantui oleh kesalahannya sendiri, bibi Arya Teja itu
mencemaskannya pula apabila tiba-tiba saja perempuan itu
membunuh dirinya. Karena itu, ia tidak mau meninggalkannya.
Apabila malam kemudian tiba, Arya Teja selalu memandangi
bulan yang mengapung di langit. Meskipun ujudnya telah hampir
bulat, namun malam purnama masih harus ditunggunya. Dan
menunggu kesempatan itu adalah pekerjaan yang paling
menyakitkan hati. Di hari kedua Arya Teja benar-benar telah kehilangan
kesabaran. Sebelum matahari merendah di ujung barat, anak
muda itu telah mempersiapkan dirinya. Diambilnya senjatanya
yang selama ini telah disimpan di atas geledegnya. Sebuah
tombak pendek pemberian ayahnya sebagai sipat kandel dalam
kembaranya mengabdikan dirinya kepada pimpinan kerajaan di
Demak. Arya Teja terkejut ketika ia mendengar suara bibinya
memanggilnya, "Arya Teja, apakah selama dua hari ini kau tidak
menemukan cara lain yang lebih baik daripada cara-cara orang
biadab itu?" Arya Teja mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya
dengan nada yang dalam, "Tidak, Bibi. Aku tidak memikirkan
cara yang lain yang dapat aku lakukan."
"Sebaiknya kau mempergunakan mulutmu saja, Ngger. Tidak
mempergunakan senjata itu."
"Senjata ini lebih baik daripada mulutku, Bibi. Dengan senjata
ini semuanya akan segera selesai."
"Tidak. Persoalannya tidak dapat diselesaikan. Tetapi
persoalan itu membeku karena salah satu pihak terbunuh
karenanya" "Dan dengan demikian maka tidak akan ada persoalan lagi."
"Kau membohongi dirimu sendiri, Arya. Persoalan itu akan
bergolak di dalam dadamu. Justru lebih dahsyat dan lebih sulit
untuk kau selesaikan."
Arya Teja menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak, Bibi.
Aku tidak memikirkan jalan lain."
Bibi Arya Teja menjadi semakin gelisah. Dicobanya sekali lagi
untuk menjelaskan keadaan Rara Wulan. "Arya Teja. Kau harus
berjiwa besar menghadapi persoalan itu. Rara Wulan adalah
seorang manusia biasa yang dapat melakukan kekhilafan.
Seperti kau, pasti pada suatu waktu melakukannya. Aku,
ayahmu, dan ibumu. Bahkan semua orang. Kini isterimu telah
benar-benar menyesali kekhilafan itu. Apakah tidak ada terbersit
di dalam hatimu untuk memaafkannya" Ia telah cukup tersiksa.
Kelembutan sikapmu selama ini benar-benar membuat Rara
Wulan semakin merasa berdosa." Bibinya itu berhenti sejenak,
lalu, "Apalagi apabila kau bersedia memaafkan kesalahannya,
Ngger. Maka tidak ada hukuman lang lebih berat lagi bagi Rara
Wulan daripada menerima maafmu."
Arya Teja tidak menyahut. Kata-kata bibinya itu terasa
menyentuh hatinya. Namun kemudian teringat olehnya janji yang
telah diucapkannya, "Pada saat purnama naik, di bawah Pucang
kembar." "Tidak," Arya Teja itu tiba-tiba menggeram. "Tidak, Bibi. Aku
adalah seorang laklaki. Aku sudah mengucapkan janji untuk
melakukan perang tanding. Tidak ada yang dapat
mengurungkan niat itu."
"Kau tidak mau mendengarkan nasehatku, Arya.
Bagaimanakah kira-kira apabila ayah dan ibumu mendengar hal
ini." "Ayah dan ibu pasti akan membenarkan sikapku. Aku adalah
anak laklaki yang diharapkan bersikap jantan."
Bibinya menggelengkan kepalanya, "Aku kira tidak, Arya."
"Seandainya tidak, aku tidak akan mengurungkan janji itu.
Hari ini adalah hari yang kedua. Nanti apabila purnama naik, aku
harus sudah berada di bawah Pucang Kembar."
Bibinya mengelus dadanya. Tidak ada cara lagi untuk
membujuk kemenakannya yang keras hati itu. Apabila nanti
malam tiba, maka di bawah Pucang Kembar itu akan terjadi
pepati. Besok, setiap orang pasti akan memperkatakannya apa
yang terjadi. Apakah mereka akan menemukan mayat Paguhan
atau mayat Arya Teja. Namun keduanya adalah anak-anak
muda yang memiliki kelebihan dari anak-anak muda sebayanya.
Perempuan tua itu kemudian menundukkan kepalanya. Arya
Teja adalah anak muda yang keras hati. Ia mengenal anak itu
sejak dilahirkan oleh ibunya. Keras hati, nakal namun
bertanggung jawab. Harga dirinya tampak jelas sejak ia masih
kanak kanak. Pada saat ia menginjak dewasa, maka tampaklah
bahwa Arya Teja akan dapat memenuhi kekudangan orang
tuanya. Berbeda dengan adiknya. Adiknya pun nakal seperti
Arya Teja. Tetapi adiknya kurang bertanggung jawab dan agak
manja, sehingga perkembangan wataknya pun berbeda pula.
Dan kini Arya Teja itu sedang mengalami badai di dalam
hidupnya sebagai seorang anak muda.
Selapis air tergenang di mata perempuan tua itu. Dan ia
terkejut ketika ia mendengar suara Arya Teja, "Maafkan aku,
Bibi. Kali ini aku tidak dapat memenuhi permintaan Bibi."
Bibinya tidak menjawab. Tetapi terasa sesuatu menyekat
kerongkongannya. Apakah yang akan terjadi atas tanah
Menoreh seandainya Arya Teja malam nanti terbunuh oleh
lawannya, meskipun ia mati secara jantan"
Bibi Arya Teja itu mengangkat wajahnya ketika
kemenakannya berkata, "Bibi, matahari telah menjadi rendah,
hampir sampai ke punggung pegunungan itu. Aku minta doa
Bibi, semoga, aku dapat kembali ke rumah ini."
Bibinya mengangguk, meskipun ia berkata di dalam hatinya,
"Lalu, apa yang akan kau temui di rumah ini adalah bagian dari
kepedihan hati itu pula Arya."
Tetapi, bibinya tidak menyatakannya. Disimpannya saja katakata
itu di dalam hatinya. Ia tidak mengharap Arya Teja menjadi
semakin mendendam lawannya.
"Anak itu bukan seorang yang ganas," berkata bibinya di
dalam hatinya, "mudah-mudahan demikianlah sikapnya terhadap
lawannya apabila ia berhasil menguasainya." Namun kemudian
dada, perempuan itu berdesir. "Bagaimanakah yang akan terjadi
seandainya Arya Teja kalah dalam perang tanding itu?"
Mata perempuan tua itu menjadi semakin basah.
"Sudahlah, Bibi," terdengar suara Arya Teja berat, "jangan
hiraukan aku lagi. Apa pun yang akan aku lakukan dan apa pun
yang akan terjadi. Aku mohon maaf apabila aku telah melukai
hati Bibi." Bibinya tidak menjawab. "Perkenankan aku pergi sekarang. Aku harus berada di
bawah Pucang Kembar itu sebelum purnama naik."
Sebuah anggukan kecil menggerakkan kepala perempuan tua
itu. Terdengar suaranya lirih seolah-olah tersangkut di
kerongkongan, "Hathatilah, Arya."
"Terima kasih, Bibi. Aku masih ingin melihat matahari terbit
besok pagi." Bibinya tidak menyahut. Ditatapnya wajah kemenakannya
dalam-dalam. Ketika kemenakannya itu kemudian melangkah
meninggalkannya, maka perempuan itu tidak dapat menahan
perasaannya lagi. Menangis. Justru karena itu, ia lupa kepada
perempuan yang selama ini dijaganya. Kini ia sedang bergulat
dengan perasaan sendiri. Perlahan-lahan ia pergi ke bilik
kemenakannya dan meletakkannya dirinya, duduk di atas amben
bambu yang dibentangi oleh sehelai tikar pandan.
Arya Teja itu bukan anaknya sendiri, tetapi anak adik
perempuannya. Namun anak muda itu terlampau dekat
dengannya, seperti anak sendiri. Bahkan Arya Teja lebih banyak
menyatakan perasaannya kepada bibinya daripada kepada
ibunya. Karena itu, maka kepergian Arya Teja kali ini benarbenar
menyedihkannya. "Apakah anak itu akan kembali?" desisnya.
Perempuan tua itu menangis di dalam bilik kemenakannya
Angan-angannya mengembara sampai ke dunia yang terlampau
asing baginya. Tetapi ia merasa bahwa kesepian telah
mengintainya dan siap untuk menerkamnya .
"Apakah aku harus memberitahukannya kepada orang tua
Arya Teja?" pertanyaan itu sekalkali menyentuh hatinya. Tetapi
ia tidak berani mengambil sikap apa pun. Apakah hal itu akan
menguntungkan, atau bahkan sebaliknya" Bagaimanakah
apabila orang tua Arya Teja itu mengambil sikap sendiri, dan
mengurungkan perkelahian itu dengan kekerasan pula terhadap
Paguhan. Dengan demikian maka perasaan Arya Teja yang
sedang terbakar itu akan tersinggung pula. Karena itu, maka
yang dapat dilakukannya adalah menangis dalam kebimbangan
dan keragu-raguan. Sementara itu, Arya Teja berjalan dengan kepala tunduk
menyusuri jalan-jalan padukuhannya. Di tangan kanannya
tergenggam sebatang tombak pendek, pusaka pemberian
ayahnya yang selama ini selalu menemaninya di dalam keadaan
yang paling sulit. Di dalam masa pengabdiannya kepada Demak,
sehingga ia mendapat anugerah Tanah Perdikan yang lebih
sempurna bagi Menoreh. Beberapa orang yang menyaksikannya bertanya-tanya di
dalam hati mereka, "Kemanakah Arya Teja itu akan pergi"
Langkahnya tampak tergesa-gesa sedang tangannya menjinjing
senjata." Tetapi, tidak seorang pun yang bertanya kepadanya. Bahkan,
orang-orang yang ditemuinya di perjalanannya, bahkan hampir
bersentuhan, tidak dihiraukannya. Di dalam kepalanya
bergolaklah persoalan tentang dirinya dan isterinya, dalam
hubungannya dengan laklaki yang bernama Paguhan. Semakin
tajam ia menyoroti persoalan itu, maka kemarahannya pun
menjadi semakin membakar jantungnya. Sehingga langkahnya
menjadi semakin cepat pula. Ia ingin segera sampai ke bawah
Pucang Kembar. Di sana ia telah mengikat janji untuk
menyelesaikan masalahnya secara jantan.
Namun sekalsekali terngiang pula kata-kata bibinya, "Tidak
ada hukuman yang lebih berat bagi Rara Wulan daripada
menerima maafmu." Dada Arya Teja itu terasa berdesir. Tetapi semuanya segera
terusir seperti asap dihembus angin yang kencang.
Kemarahannya selalu menyapu semua perasaan lain yang
tumbuh di dalam hatinya. Semakin dekat Arya Teja dengan sepasang pohon pucang
yang tumbuh di lereng pebukitan, hatinya menjadi semakin
berdebar-debar. Langkahnya terasa terlampau lamban. Ingin ia
meloncat dan langsung berdiri di bawah Pucang Kembar sambil
memutar tombaknya. Ia ingin segera mendapat keputusan.
Meskipun Arya Teja menjadi hampir tidak sabar lagi, namun
akhirnya ia sampai juga di bawah Pucang Kembar itu. Ketikia
menengadahkan wajahnya ke langit, dilibatnya warna-warna
merah terbentang dari ujung sampai ke ujung. Matahari telah
menjadi semakin rendah bertengger di atas pegunungan.
"Hem," desisnya "aku masih harus menunggu. Apa matahari
itu tenggelam, maka sebentar kemudian purnama akan naik.
Dan aku harus membuat perhitungan terakhir."
Dengan gelisahnya Arya Teja berjalan mondar-mandir di
tanah berumput yang membentang di bawah Pucang Kembar
itu. Semakin rendah matahari di langit, Arya Teja pun menjadi
semakin kehilangan kesabarannya.
Tetapi Paguhan masih juga belum menampakkan dirinya.
"Mudah-mudahan ia tidak ingkar janji," desis Arya Teja.
"Kalau Paguhan tidak datang pada saat purnama naik, maka aku
akan mencarinya kemana pun, sampai ke ujung bumi. Aku tidak
mau membatalkannya lagi."
Arya Teja mencoba menyabarkan dirinya. Matahari masih
tampak tepat di punggung bukit. Perlahan-lahan sinarnya
menjadi kian pudar Warna-warna merah di langit pun menjadi
semakin suram. Sedang angin senja yang lemah berhembus
membelai daun sepasang pucang yang ikut terguncang-guncang
dengan gelisahnya. Arya Teja berdiri tegak seperti patung di antara kedua batang
Pucang Kembar itu menghadap ke Barat. Ditengadahkan
wajahnya memandang matahari yang hampir tenggelam, seolaholah
dihitungnya waktu yang diperlukan oleh matahari itu untuk
menyembunyikan dirinya di balik bukit.
Cahaya kemerah-merahan yang semakin gelap hinggap di
wajah Arya Teja. Perpaduan antara warna senja yang hampir
kelam dan wajah Arya Teja sendiri yang tegang, memancarkan
suasana yang mendebarkan jantung.
Dengan sorot mata yang tajam, Arya Teja seolah-olah ingin
mendorong agar matahari menjadi semakin cepat tenggelam.
Kesabarannya kian lama sudah menjadi kian menipis.
Ketika matahari kemudian hilang di balik pegunungan, Arya
Teja menarik nafas dalam-dalam. Alam di sekitarnya menjadi
samar-samar. Pepohonan yang hijau tampak menjadi hitam
seperti bayangan hantu yang berdiri memutari bentangan tanah
berumput di bawah pohon Pucang Kembar itu.
Wajah Arya Teja yang gelap menjadi semakin gelap. Tiba-tiba
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia memutar tubuhnya, dan berdiri tegak menghadap ke Timur.
Tatapan matanya yang tajam kini hinggap pada cakrawala di
ujung langit. Di sanalah nanti pada saatnya purnama akan naik.
Arya Teja menjadi hampir tidak bersabar lagi. Langit yang
menjadi semakin kelam kini mulai diwarnai oleh cahaya yang ke
kuning-kuningan. Cahaya purnama yang memancar seolah-olah
dari bawah bumi. Purnama yang sebentar lagi akan naik dan
mengapung di langit yang bersih.
"Tidak ada sepenginang lagi, purnama akan naik," anak muda
itu berdesis. Dadanya kini menengadah, seakan-akan
menantang cahaya purnama yang pertama kali akan
mematuknya. "Paguhan harus sudah berada di tempat ini," katanya di
dalam hati. Belum lagi ia sempat mengedarkan pandangan matanya,
terasa dadanya berdesir. Ia mendengar langkah halus di
rerumputan di sampingnya. Tetapi Arya Teja tidak berpaling. Ia
masih tetap berdiri tegak dengan kaki renggang, menanti bulan
yang sudah mulai terbit. Seleret warna kuning menyembul dari
balik kaki langit, di sebelah Timur. Cahayanya yang kuning
dengan serta-merta menguak kehitaman yang membentang
menyelubungi bumi. Semakin lama menjadi semakin terang.
Meskipun tidak secerah sinar matahari, namun cahaya bulan
memiliki wataknya sendiri.
Arya Teja masih memandang purnama yang tepat naik. Ia
mendengar telapak kaki semakin dekat kepadanya. Tanpa
berpaling ia bergumam, "Kau datang tepat pada waktunya,
Paguhan." "Ya," terdengar jawaban dalam nada yang berat, "aku tidak
mempunyai waktu sebanyak waktumu yang kau sia-siakan di
bawah Pucang Kembar ini dalam kegelisahan. Aku datang tepat
pada waktunya, dan segera akan pergi tepat pada waktu yang
aku kehendaki pula."
Dada Arya Teja berdesir mendengar jawaban itu. Tetapi ia
masih menghadap ke arah bulan yang semakin terang.
Dilihatnya sehelai awan yang putih mengalir ke utara, kemudian
buyar ditiup angin yang kencang.
Arya Teja menarik nafas dalam-dalam. Tidak terasa olehnya
betapa sejuknya angin malam di daerah terbuka, karena hatinya
yang membara. Perlahan-lahan ia berpaling. Dilihatnya Paguhan berdiri tegak
di sisi sebatang dari sepasang pucang itu. Dalam cahaya bulan
yang kekuning-kuningan tampaklah wajahnya seolah-olah
memancarkan api dari dalam dadanya.
"Kau terlampau sombong, Paguhan," Arya Teja menggeram.
"Terserah menurut penilaianmu, Arya. Aku sebenarnya tidak
ingin melakukan pembunuhan. Apalagi atas suami Rara Wulan.
Tetapi kau terlampau keras hati. Karena itu, apa boleh buat."
"Apakah kau yakin bahwa kau akan dapat membunuhku?"
"Tidak ada seorang pun yang dapat lepas dari tanganku."
"Hem, kau memang terlampau sombong."
"Jangankan kau, Arya, bawalah serta ayah dan kakekmu. Aku
akan membunuh mereka bersama-sama."
Terdengar Arya Teja menggeram.
"Jangan sakit hati mendengar kata-kataku," berkata Paguhan
"sebentar lagi kau harus melihat kenyataan itu."
"Agaknya karena kau terlampau yakin akan dirimu sendiri,
kau telah melakukan perbuatan terkutuk itu."
"Hampir tidak ada hubungannya," sahut Paguhan. "Kau
sendiri harus mengakui kesalahanmu. Kau tinggalkan gadis
bakal isterimu itu dalam waktu yang tidak terbatas. Dalam
kesempatan itulah, ia mencari tempat untuk melepaskan
kesepiannya. Tetapi aku bukan seorang pengecut, Arya. Kaulah
pengecut itu. Seandainya kau tidak mengikatnya jauh-jauh
sebelum waktunya, maka aku akan mengawininya. Tetapi
pembicaraan antara orang tuamu dan orang tua Rara Wulan
agaknya terlampau mengikat, sehingga terpaksa perkawinanmu
itu berlangsung. Tetapi bukan salahku dan bukan salah Rara
Wulan kalau kau tidak mendapatkan isterimu itu seperti yang kau
kehendaki." Terasa darah Arya Teja mendidih di dalam jantungnya. Katakata
Paguhan benar-benar merupakan penghinaan yang tiada
taranya. Justru karena itu, maka mulutnya menjadi seolah-olah
terbungkam. Meskipun bibirnya tampak bergerak-gerak, tetapi
tidak sepatah kata pun yang melontar.
"Sekarang kau menepuk dada sebagai Laklaki jantan,"
Paguhan meneruskannya. "Arya, jangan kau sangka bahwa
karena kau baru saja menerima anugerah dari Demak, yang
akan menempatkan kau sebagai Kepala Tanah Perdikan
Menoreh, tidak ada seorang pun di tanah ini yang dapat
mengimbangimu. Bukankah kita bersama-sama pergi berguru
pada saat itu, meskipun pada orang yang berbeda" Nah,
seterusnya kau tenggelamkan dirimu pada tugas-tugasmu.
Tetapi aku masih selalu meningkatkan ilmuku. Sekarang, kita
mendapat kesempatan untuk memperbandingkan, siapakah
yang lebih baik di antara kita. Tetapi, sekali lagi kau harus
melihat kenyataan, meskipun untuk saat terakhir dalam hidupmu.
Sepeninggalmu, Rara Wulan adalah isteriku. Anak itu adalah
anakku." Terdengar gigi Arya Teja gemeretak, seperti gemerak di
dalam jantungnya. Semakin lama semakin keras. Wajahnya
yang membara menjadi semakin merah seperti saga.
Dengan susah payah, ia mencoba menyabarkan
perasaannya, supaya ia tidak kehilangan pengamatan diri dalam
perkelahian yang akan terjadi.
Sejenak kemudian terdengar suara Arya Teja terbata-bata,
"Apa pun menurut perasaan dan penilaianmu atas persoalan ini,
Paguhan, tetapi kita telah menentukan, bagaimana kita akan
menyelesaikannya. Nah, jangan banyak berbicara lagi. Marilah
kita lihat, siapakah yang akan dapat keluar dri daerah ini.
Siapakah yang besok masih dapat menyebut bahwa malam ini
kita telah berkelahi di bawah Pucang Kembar."
"Huh," ujung-ujung bibir Paguhan tergerak, "kau memang
seorang pemimpi. Baiklah, semakin cepat memang semakin
baik. Ayo, apakah kau telah bersiap" Besok orang-orang
Menoreh akan menemukan bangkaimu di sini. Mungkin tinggal
kerangkamu saja yang akan diketemukan orang, karena anjinganjing
liar itu." Seadainya Arya Teja tidak berhasil menahan dirinya, ia akar
benar-benar jatuh ke dalam pengaruh kemarahannya, sehingga
ia akan kehilangan kejernihan berpikir. Apabila demikian, maka
keadaannya pasti akan sangat berbahaya, sebab ia berhadapan
dengan seorang yang sebenarnya memang pilih tanding.
"Nah, apa katamu Arya Teja" Kenapa kau berdiri saja seperti
patung" Apakah kau menyesal bahwa kau telah mengambil
keputusan untuk melakukan penyelesaian dengan cara ini?"
Hampir saja Arya Teja meloncat menyerang Paguhan. Tetapi
ia masih sempat menahan diri sekuat-kuatnya. Justru kini ia
sadar, bahwa Paguhan memang sedang memancing
kemarahannya. Sebab kemarahan yang meluap-luap, akan
membuatnya kehilangan perhitungan. Kesadaran itulah yang
justru menahan Arya Teja untuk tetap berdiri di tempatnya,
meskipun dadanya seakan-akan hampir meledak. Bahkan ia
masih dapat mengucapkan kata-kata, "Ayolah Paguhan. Apakah
kau hanya pandai berbicara tanpa ujung pangkal tetapi tidak
pandai menggenggam senjata" Kita sudah tidak perlu berbicara
lagi. Apakah besok bangkaiku atau bangkaimu yang akan
menjadi makanan anjing-anjing liar, marilah kita tentukan dengan
perbuatan. Tidak dengan kata-kata."
Dada Arya Teja berdesir ketika ia mendengar Paguhan justru
tertawa. "Kau agaknya menjadi ngeri membayangkan apa yang
akan terjadi atasmu. Jangan takut. Bukankah kau seorang lakilaki
jantan yang telah membawa nama cemerlang di dalam
pengabdianmu kepada Demak" Kau tidak perlu takut mati."
"Apakah kau sedang mencoba membuat aku marah dan
kehilangan akal?" sahut Arya Teja. "Paguhan, aku sudah bukan
anak-anak lagi yang mudah kau bakar dengan kata-kata
penghinaan. Kau akan menjadi salah hitung. Sebaiknya kita
berhadapan sebagai orang laklaki, tanpa banyak usaha untuk
mengalahkan lawan dengan licik seperti yang sedang kau
lakukan. Kau tidak perlu membuat aku marah, karena
sebenarnya aku memang sedang marah Tetapi kemarahanku
bukan kemarahan anak-anak lagi."
Dada Paguhan berdesir mendengar kata-kata Arya Teja.
Hampir-hampir ia sendirilah yang jatuh ke dalam perangkapnya
sendiri. Hampir-hampir ia kehilangan pengamatan diri. Tetapi
sejenak kemudian ia pun menyadari keadaannya.
Sekali, lagi ia tertawa dan berkata, "Kau selalu berprasangka
jelek. Baiklah, aku tidak akan berbicara lagi tentang
kemungkinan yang akan terjadi, supaya kau tidak menjadi
ketakutan. Marilah ita bersiap untuk menentukan siapakah di
antara kita yang akan dapat keluar dari daerah ini."
Arya Teja sama sekali sudah tidak bernafsu lagi untuk
berbicara. Namun kini ia telah menemukan kemantapan diri. Ia
tidak boleh terpancing dengan cara apa pun juga, supaya ia
dapat melakukan perlawanan dengan wajar.
Perlahan-lahan ia mengangkat tombaknya, dan perlahanlahan
ujung tombaknya merunduk setinggi dada. Tombak itu
adalah tombak yang jarang sekali dipergunakannya. Namun kali
ini ia akan berhadapan dengan seorang yang dianggapnya
mempunyai beberapa kelebihan dari anak-anak muda yang lain,
sehingga tombak itulah yang dibawanya untuk menemaninya
melawan Paguhan yang telah berkhianat terhadap persahabatan
mereka. Paguhan yang menyadari bahwa ia tidak dapat lagi
membakar hati Arya Teja, segera bersiap pula. Dari selongsong
putihnya, ia mengambil sepasang senjata yang dahsyat sekali.
Sepasang nenggala, yang bermata dua, di pangkal dan di
ujungnya. Dada Arya Teja berdesir melihat sepasang senjata yana
mengerikan itu. Senjata yang khusus dimiliki oleh Paguhan dari
gurunya. Sepasang senjata di kedua tangannya itu berarti empat
ujung yang tajamnya melampaui senjata-senjata biasa.
"Apakah kau heran melihat senjataku," terdengar suara
Paguhan datar. Arya Teja menggeleng. "Tidak. Kau pernah memperlihatkan
kepadaku." "Oh," Paguhan mengangguk-anggukkan kepalanya, "aku
memang pernah memperlihatkan kepadamu. Tetapi kau belum
pernah melihat bagaimana aku mempergunakannya."
"Aku ingin segera melihatnya, karena itu jangan banyak
berbicara." Sekali lagi dada Paguhan berdesir. Tetapi sekali lagi ia
bertahan untuk tidak masuk ke dalam perangkapnya sendiri.
Sejenak kemudian, kedua anak muda itu telah berdiri
berhadapan dengan senjata di tangan masing-masing. Paguhan
dengan sepasang senjata yang khusus, sedang Arya Teja
menggenggam tombak pendeknya dengan kedua tangannya.
Ujung tombak itu kini menjadi semakin merendah. Setapak ia
maju mendekati Paguhan. Matanya yang tajam menyambar
kedua senjata itu bergantganti, namun kemudian ditatapnya
mata Paguhan yang semakin membara.
Arya Teja sadar bahwa ia tidak akan dapat mengikuti
sepasang senjata itu dengan matanya. Keduanya pasti akan
bergerak dengan arah dan irama yang berbeda. Tetapi Arya Teja
tidak akan dapat ditipu lagi oleh arah pandangan mata Paguhan.
Pengalamannya telah cukup luas menghadapi segala macam
senjata. Juga jenis-jenis senjata berpasangan.
Bulan yang bulat telah memanjat langit semakin tinggi.
Cahayanya yang kekuning-kuningan memancar mewarnai
dedaunan yang hijau gelap. Satu-satu kelelawar berterbangan di
dalam kesenyapan langit yang cerah.
Arya Teja dan Paguhan telah berdiri berhadapan. Senjatasenjata
mereka telah bergetar. Beberapa langkah mereka
bergeser. Tetapi, tatapan mata mereka seolah-olah terpaku
kepada lawan. Mereka tidak boleh lengah sekejap pun.
Ketika di kejauhan terdengar anjing liar menyalak bersahutsahutan,
maka anak-anak muda itu sudah tidak dapat menahan
diri lagi. Setapak mereka mendekat, dan tiba-tiba terdengar
Paguhan berteriak nyaring. Sebuah loncatan yang hampir tidak
tertangkap oleh mata, telah membuka sebuah serangan yang
langsung mengarah kepada lawannya. Tetapi Arya Teja telah
bersiap sepenuhnya. Dengan lincahnya ia bergeser menghindar.
Selangkah ia surut, namun kemudian tombaknya terjulur lurus
mematuk lambung lawannya.
Terdengar sebuah dencingan yang keras. Kedua senjata
anak-anak muda itu beradu. Terasa getaran yang tajam
merambat dari ujung senjata masing-masing ke telapak tangan
mereka. Dan getaran itu ternyata telah menggetarkan jantung
mereka. Sehingga mereka masing-masing berdesah di dalam
hati, "Alangkah dahsyat tenaganya."
Dengan demikian kedua anak-anak muda yang sedang
berkelahi itu dapat mengukur, betapa besar kekuatan lawan.
Mereka menyadari bahwa mereka masing-masing tidak lebih
kuat dari lawan mereka. Paguhan yang bersenjata rangkap itu bertempur seperti
seekor naga berkepala empat. Mematuk dan menyergap dari
segenap penjuru. Sepasang senjatanya itu seakan-akan telah
berkembang menjadi ratusan bahkan ribuan mata nenggala
yang mengerikan Tetapi lawannya adalah seorang anak muda yang cukup
matang mempergunakan tombaknya. Tombak bertangkai
pendek di tangan Arya Teja itu berputar bergulung-gulung
seperti asap yang melindungi dirinya. Asap yang menyebarkan
racun yang terlampau tajam. Sentuhan asap itu akan berakibat
terlampau parah bagi lawannya.
Dengan demikian maka perkelahian itu menjadi kian lama
kian sengit. Bukan saja karena keduanya adalah anak-anak
muda yang memiliki ilmu yang tinggi, tetapi ternyata mereka
telah dibakar pula oleh dendam dan kebencian, sakit hati dan
harga diri yang berlebih-lebihan. Mereka sudah tidak dapat
berpikir lain kecuali membinasakan lawan masing-masing atau
mati terkapar sebagai laklaki jantan di bawah Pucang Kembar
itu. Ketika angin yang kencang bertiup dari utara, maka sepasang
pucang itupun terayun-ayun seakan-akan ikut serta menari,
menarikan tarian maut, seperti yang sedang terjadi di atas
bentangan berumput di bawahnya.
Dalam kilauan cahaya bulan yang memantul dari ujung-ujung
senjata yang bergerak-gerak itu, kadang-kadang terpercik
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bunga-bunga api yang meloncat karena benturan dua kekuatan
yang tiada taranya. Sementara itu, di rumah Arya Teja, bibinya masih duduk
sambil mengusap air matanya dengan ujung bajunya. Ia tidak
berpaling sama sekali ketika seorang pelayan menyalakan
lampu di dalam bilik yang sudah menjadi gelap itu.
Bayangan-bayangan yang paling mengerikan telah
menganggu angan-angannya. Segala kemungkinan dapat terjadi
atas kemanakannya itu. Bibi Arya Teja itu perlahan-lahan berdiri. Ia tidak mau datang
kepada Rara Wulan dalam keadaannya. Ia tidak mau
memberikan kesan tentang kecemasan yeng merayapi hatinya
atas Arya Teja. Karena itu, maka bibi Arya Teja itu tidak segera
pergi ke bilik Rara Wulan yang tertutup. Ia pergi dahulu ke perigi
untuk mencuci mukanya. Hati perempuan tua itu berdesir ketika ia melihat bulan yang
bulat mengapung di langit. Sejenak dipandanginya bulan yang
terang itu. Dilihatnya bayangan yang kehitam-hitaman di dalam
warna yang kuning cerah. Namun angan-angannya yang dilukisi
oleh kecemasannya tentang kemanakannya telah membuat
gambaran yang mengerikan pada wajah bulan itu. Seakan-akan
dilihatnya, di dalam bulatan bulan purnama, sesosok tubuh
terbaring diam. Semakin lama menjadi semakin jelas. Seorang
anak muda. Dan bahkan kemudian seakan-akan perempuan tua
itu melihat warna wajah anak muda itu.
Perempuan itu terkejut ketika terloncat dari bibimya desah,
"Arya Teja." Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Bayangan itu
menjadi semakin samar. Hilanglah kemudian gambarannya
tentang Arya Teja. Yang dilihatnya kemudian adalah ceritera
tentang seekor kucing Candramawa dan seorang bidadari yang
cantik duduk di bawah sebatang pohon beringin putih.
"Hem," orang tua itu berdesah. Kakinya yang sudah
berkeriput oleh umurnya itu digerakkannya kembali melangkah
ke perigi. Dalam kesenyapan malam terdengarlah gerit senggot
timba seakan sedang merintih.
Perempuan tua itu mencuci mukanya. Dicobanya untuk
menghilangkan segala macam kesan yang dapat menimbulkan
kecemasan kepada Rara Wulan yang sedang berputus asa.
"Aku harus membuat hatinya menjadi tenteram. Ia akan
mendengar berita yang lebih menyayat hatinya besok pagi
apabila seseorang telah menemukan sesosok tubuh terkapar di
bawah sepasang Pucang Kembar itu. Siapa pun orang itu."
Sambil mengusap mukanya yang basah dengan ujung kain
panjangnya, perempuan itu berjalan tertatih-tatih menuju ke bilik
Rara Wulan yang masih tertutup rapat.
Ketika perempuan itu sudah masuk ke dalam rumah, maka
pintu lereg di butulan belakang pun segera ditutupnya rapatrapat,
supaya angin yang dingin tidak menyusup masuk ke
dalam. Dibenahinya rambutnya yang kusut, sambil berjalan
perlahan-lahan menuju ke bilik Rara Wulan.
Dengan hathati bibi Arya Teja itu mendorong daun pintu bilik
itu ke samping, supaya seandainya Rara Wulan masih tidur
kelelahan, tidak menjadi terkejut karenanya.
Tetapi bibi Arya Teja itu mengerutkan keningnya. Ketika pintu
itu sudah separo terbuka, dan pembaringan Rara Wulan itu
sudah tampak di bagian bawahnya, perempuan tua itu tidak
segera melihat Rara Wulan.
"Oh, agaknya ia sudah bangun," desisnya.
Dengan hathati perempuan itu menjengukkan kepalanya.
Tetapi keningnya menjadi semakin berkerut. Ternyata bilik itu
telah kosong. "Kemanakah perempuan itu?" desis bibi Arya Teja. "Ah,
mungkin ia baru keluar sebentar. Ke dapur atau ke belakang."
Bibi Arya Teja itu kemudian melangkah masuk. Dibiarkannya
pintu tetap terbuka, supaya kehadirannya tidak mengejutkan
Rara Wulan seandainya ia masuk kembali ke dalam biliknya.
Dengan hathati pula bibi Arya Teja membenahi pembaringan
Rara Wulan. Dilipatnya kain yang masih berserak-serakan.
Ditebahinya pembaringan itu dengan sapu lidi, dan tikar yang
berkerut pun diluruskannya.
"Kemana perempuan ini," pertanyaan itu selalu
mengganggunya. Betapa ia mencoba menenangkan hatinya, namun
kegelisahan yang semakin dalam telah mencengkam
jantungnya. Akhirnya perempuan tua itu melangkah ke luar.
Dicarinya Rara Wulan ke segenap ruangan di dalam rumah itu,
tetapi ia tidak menemukannya.
"Wulan," akhirnya ia memanggil, "Wulan, dimana kau?"
Tetapi tidak ada jawaban. Suara perempuan tua itu
membentur dinding-dinding bambu dan lenyap dalam
kesenyapan malam. Bibi Arya Teja itu pun segera pergi ke ruang belakang.
Kepada seorang pelayan ia bertanya, "Apakah kau melihat Rara
Wulan?" "Oh," pelayan itu menjawab, "ia berada di dalam biliknya"
"Tidak. Ia tidak ada di dalam biliknya."
"O ya, ia sudah dipindahkan ke bilik sebelah. Mungkin sedang
tidur. Bilik itu telah diberi lampu pula."
"Ia tidak ada pula di dalam bilik itu. Seluruh ruangan di dalam
rumah itu telah aku cari, tetapi ia tidak ada di dalam."
Pelayan itu mengerutkan dahinya. "Tetapi ia ada di dalam,"
desisnya. Pelayan yang lain yang mendengar percakapan itu segera
mendekat pula dan berkata, "Rara Wulan sedang tidur ketika aku
memasang lampu di dalam biliknya."
"Ya, tetapi ia sudah bangun dan tidak ada di dalam bilik itu."
Pelayan itu menggigit bibirnya. "Aku tidak melihat ia pergi ke
belakang" "Biarlah aku mencarinya sebentar. Mungkin Rara Wulan ingin
menyejukkan hatinya di petamanan atau di kebun belakang,"
berkata salah seorang dari pelayan itu.
"Carilah, carilah di mana saja sampai ketemu," berkata bibi
Arya Teja. "Rara Wulan sedang dibayangi oleh kegelapan hati."
"Kenapa Rara Wulan itu tampaknya selalu bersedih?"
bertanya pelayannya yang lain.
"Aku tidak tahu," jawah bibi Arya Teja, "itu adalah persoalan
Rara Wulan dengan suaminya. Sekarang carilah, dan ajaklah ia
masuk ke dalam biliknya. Ia sedang sakit, sehingga angin malam
akan menyebabkan tubuhnya menjadi semakin tidak enak."
*** Kedua pelayan itu pun segera pergi. Yang seorang ke kebun
belakang, sedang yang lain ke petamanan di depan dan di sisi
rumah itu. Bibi Arya Teja kembali ke dalam biliknya dengan hati yang
semakin cemas. Perempuan muda yang sedang mengandung
itu tengah dicengkam oleh kegelisahan, kemurungan, kegelapan
hati dan segala macam perasaan menyesal dan bersalah.
Bahkan telah terucapkan bahwa lebih baik ia mati daripada
hidup menanggung segala macam siksaan perasaan itu.
"Apakah Rara Wulan membunuh dirinya?" tiba-tiba terbesit
pertanyaan itu di dalam hatinya, dan pertanyaan itu ternyata
telah mengejutkannya. Debar jantungnya serasa menjadi
semakin cepat berdentangan di dalam dadanya.
Tiba-tiba perempuan tua itu bangkit dan segera melangkah ke
luar. Ia tidak dapat menahan kecemasannya lagi. Bunuh diri
adalah suatu penyelesaian yang mungkin sekali ditempuh oleh
Rara Wulan yang sedang berputus asa dan dibayangi oleh
kegelapan hati. Dengan tergesa-gesa perempuan tua itu pergi ke ruang
depan. Dilihatnya selarak pintu tergolek di lantai. "Agaknya
selarak itu telah diletakkan dengan tergesa-gesa."
Ketika perempuan tua itu membuka pintu depan yang sudah
tidak terkancing dan berjalan melintasi pendapa, dilihatnya
pelayan yang sedang mencari Rara Wulan di halaman depan.
Maka pelayan itu segera dipanggilnya.
"Apakah kau sudah menutup pintu depan dan
menyelaraknya?" "Sudah. Karena tidak ada orang lagi di ruang depan, dan
angin malam menjadi semakin kencang, maka pintu itu telah aku
tutup dan aku kancing dengan selarak."
Perempuan tua itu menjadi semakin gelisah. Tetapi ia
berusaha menyembunyikan kesan itu.
Meskipun demikian ia berkata, "Pintu itu telah terbuka."
Pelayan itu terkejut, dan dengan serta-merta ia bertanya,
"Apakah Rara Wulan telah membukanya?"
Bibi Arya Teja mengangguk. "Mungkin."
Pelayan itu terdiam. Ia tidak tahu kemungkinan yang paling
pahit yang dapat terjadi atas Rara Wulan. Yang diucapkannya
kemudian adalah, "Mungkin Rara Wulan sedang berjalan-jalan
untuk mendapatkan sedikit ketenangan. Biarlah aku
mencarinya." "Tidak. Tinggallah kau dirumah. Akulah yang akan
mencarinya." Pelayan itu menjadi heran. Bibi Arya Teja telah berusia agak
lanjut. Apakah ia akan berjalan hilir mudik di malam begini
mencari Rara Wulan yang tidak diketahui ke mana perginya"
Justru karena itu maka pelayan itu berdiri saja seolah-olah
membeku. Hampir-hampir ia tidak percaya kepada
pendengarannya. Namun kemudian ia menjadi yakin, bahwa bibi
Arya Teja itu memang menghendaki demikian. Sekali ia
mendengar perempuan tua itu berkata, "Tunggulah rumah ini.
Aku sendirilah yang akan mencarinya."
Pelayan itu tidak dapat menahan keherannya. Maka ia pun
bertanya, "Apakah malam-malam begini Nyai sendiri akan pergi
mencari Rara Wulan?"
" Ya," sahut bibi Arya Teja pendek.
"Kalau begitu biarlah aku mengantar Nyai."
"Jangan. Aku akan pergi sendiri."
Pelayan itu menjadi semakin heran. Dan ia mendengar
perempuan tua itu berkata seterusnya "Jangan kau ributkan
kepergian Rara Wulan. Ia memang sedang bingung. Tetapi ia
akan segera kembali. Jangan kau tanyakan kepada siapa pun,
supaya tidak setiap orang mengetahui bahwa Rara Wulan
sedang diselimuti oleh kegelapan hati. Mungkin suaminya dapat
mengertinya. Namun tidak setiap orang berhak mengetahuinya,
dan kau tidak perlu bercerita tentang hal itu. Kau sengaja atau
tidak." Pelayan itu menganggukkan kepalanya sambit menjawab,
"Baik, Nyai." "Nah, tinggallah kau di dalam. Aku akan pergi."
Pelayan itu mengangguk sekali lagi. "Baik, Nyai."
Bibi Arya Teja itu pun segera meninggalkan halaman rumah
itu. Langkahnya tergesa-gesa. Namun ia tidak dapat berjalan
lebih cepat lagi. Bahkan sekalsekali kakinya yang telah lemah
itu terantuk batu dan menyebabkannya tertatih-tatih.
Meskipun bulan yang bulat tergantung di langit yang bersih,
tetapi perempuan tua itu merasa, pandangan matanya terlampau
kabur. Ia hanya melihat bayangan-bayangan hitam bertebaran di
sekitarnya. Tetapi, dalam jarak beberapa langkah, ia sudah tidak
dapat mengenal lagi, bayangan apakah yang sedang
dihadapinya. Tetapi, perempuan tua itu berjalan terus. Ia bertekad untuk
menemukan Rara Wulan. Meskipun kadang-kadang hatinya
berdesir mencemaskan perempuan yang sedang berhati gelap
itu, namun ia berdesis perlahan, "Mudah-mudahan aku dapat
membawanya pulang" Perempuan itu berusaha berjalan semakin cepat. Tetapi,
ketuaannya tidak memungkinkannya lagi. Sekalsekali terasa
kakinya menjadi pedih terantuk pada kerikil-kerikil yang tajam.
Namun ia berjalan terus. Meskipun seperti Arya Teja, ia menyesal bahwa sesuatu telah
terjadi sebelum perkawinan Rara Wulan itu dengan suaminya.
Tetapi, ia tidak dapat membiarkan perempuan itu mengambil
keputusan yang mengerikan.
Tetapi, langkah perempuan itu kemudian menjadi ragu-ragu,
"Kemana aku harus mencarinya?"
Meskipun demikian, perempuan tua itu sama sekali tidak ingin
mengurungkan niatnya. Diikutinya saja langkah kakinya,
menyusnr jalan pedukuhan yang samar-samar, kemudian masuk
ke dalam bulak yang luar. Di kejauhan tampak bayangan
padesan yang kehitam-hitaman dan agak jauh di belakang,
pegunungan yang membujur diam seperti seorang raksasa yang
sedang tidur dengan nyenyaknya.
Tiba-tiba perempuan tua itu teringat kepada janji Arya Teja
dengan Paguhan. Mereka akan bertemu untuk membuat
penyelesaian di bawah Pucang Kembar.
"Apakah yang dapat aku lakukan saat ini?" ia bertanya di
dalam hatinya. Samar-samar terbayang di dalam anganangannya
dua peristiwa yang mengerikan terjadi bersama-sama.
Di bawah Pucang Kembar itu Arya Teja terbaring mati karena
dadanya tersobek oleh senjata, dan di tempat lain diketemukan
mayat Rara Wulan yang membunuh dirinya sendiri.
Bulu-bulu tengkuk perempuan tua itu meremang.
"Benar-benar suatu peristiwa yang mengerikan. Menoreh
akan geger karenanya. Arya Teja adalah orang yang
terpandang. Sebentar lagi ia akan mendapat wisuda, menduduki
jabatannya. Tetapi sebelum hal itu terjadi, suami isteri itu telah
mati dalam keadaan yang menyedihkan."
Bibi Arya Teja itu terhenti sejenak, ditekankannya telapak
tangannya di dadanya. Sekali lagi diedarkannya pandangan
matanya. Yang tampak olehnya adalah bayangan-bayangan
hitam. Bahkan raksasa yang sedang tidur itu menjadi terlampau
mengerikan baginya Tiba-tiba terbersitlah di dalam kepalanya suatu pikiran untuk
pergi ke Pucang Kembar. "Aku akan mengatakan kepada mereka yang sedang
berkelahi itu bahwa Rara Wulan telah pergi. Apa pun tanggapan
mereka aku tidak peduli." Perempuan itu mengusap peluhnya
yang meleleh di keningnya, lalu, "Mudah-mudah hal ini akan
mencegah perkelahian itu berlangsung terus."
Agaknya pikiran itu sedikit memberinya harapan. Karena itu,
maka perempuan itu pun mencoba untuk berjalan secepatcepatnya
menuju ke Pucang Kembar. Tetapi, Pucang Kembar itu tidak terlampau dekat. Meskipun
demikian, ia berjalan juga menuju ke sana, ke tempat dua orang
laklaki sedang mencoba memperhitungkan harga diri mereka
dibumbui oleh sakit hati dan kecewa, menurut cara yang telah
nereka setujui bersama. Dengan hati yang lemas, maka bibi Arya Teja itu berjalan
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
secepat-cepat dapat dilakukannya. Ia sama sekali tidak
merasakan lagi betapa kakinya menjadi nyeri dan betapa tulangtulangnya
yang tua itu menjadi terlampau letih. Yang ada di
kepalanya adalah secepat-cepatnya mencapai Pucang Kembar
untuk memberitahukan, apa yang sudah terjadi rumah. Rara
Wulan telah hilang. "Mudah-mudahan aku belum terlambat.
Mudah-mudahan keduanya masih dapat mendengar dan
terpengaruh oleh peristiwa ini." Perempuan itu mengerutkan
keningnya, lalu, "Kecuali apabila mereka telah kehilangan
kemanusiaan mereka karena dendam dan kebencian."
Malam pun semakin lama menjadi semakin dalam. Bulan
yang terapung di langit perlahan-lahan bergeser menurut garis
edarnya. Semakin lama semakin memanjat hingga sampai ke
puncak langit. Angin malam yang dingin berhembus perlahan-lahan,
menggerakkan dedaunan. Namun kadang-kadang bertiup
semakin kencang. Sehingga daun-daun yang kuning berguguran
jatuh di atas tanah. Tetapi sebentar lagi angin itu mereda, namun
dinginnya masih saja sampai menyusup tulang.
Bibi Arya Teja yang berjalan, menyusuri jalan persawahan
tidak menghiraukannya. Langkahnya bahkan dipercepatnya
sedapat-dapat. Tetapi ketika di kejauhan terdengar salak anjing
liar, orang tua itu mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia
bergumam, "Apakah jalan ke Pucang Kembar harus melampaui
gerombolan anjing-anjing liar itu?"
Dada perempuan tua itu menjadi berdebar-debar. Ia memang
takut terhadap anjing-anjing yang liar itu. Apalagi ia adalah
seorang perempuan tua, sedang anak-anak mudapun selalu
moncoba menghindari gerombolan anjing-anjing yang ganas. itu.
"Mudah-mudahan tidak," desisnya pula. Dan perempuan itu
berjalan terus. Meskipun hatinya menjadi semakin berdebardebar
karena salak anjing yang saut menyahut di kejauhan itu.
Bahkan semakin lama menjadi semakin dekat.
Perempuan tua itu pernah mendengar, bahwa seseorang
yang telah dianggap hilang, ternyata dapat diketemukan
beberapa hari kemudian. Orang-orang menganggap bahwa
orang itu adalah korban dari anjing-anjing liar yang berkeliaran.
Bahkan seseorang menganggap bahwa lebih baik bertemu
dengan harimau loreng di perjalanan dekat daerah hutan
daripada bertemu anjing-anjing liar dalam jumlah yang cukup
besar. Oleh ingatan itu, maka terasa dentang jantung perempuan tua
itu menjadi semakin keras memukul rongga dadanya. Seperti
salak anjing yang terdengar semakin keras pula.
"Pucang Kembar masih jauh," gumamnya. Tetapi bibi Arya
Teja itu tidak berhenti. Di bawah Pucang Kembar Arya Teja dan Paguhan bertempur
semakin sengit. Mereka telah melupakan segala macam
perhubungan yang baik di antara keduanya. Mereka sama sekali
sudah tidak dapat lagi mengekang dirinya, sehingga mereka
telah sampai pada puncak ilmu masing-masing.
Sepasang senjata Paguhan benar-benar merupakan
pasangan senjata yang mengerikan. Seperti tatit yang menarinari
di udara senjata itu meloncat-loncat dari segala arah ke
segala arah. Seolah-olah sepasang senjata itu dapat berubah
menjadi puluhan pasang yang bergerak bersama-sama.
Kadang-kadang Arya Teja terpaksa meloncat surut beberapa
langkah, apabila gerak sepasang senjata lawannya itu
membingungkannya. Ia terpaksa mengambil jarak untuk dapat
melihat gerak lawannya, supaya dapat menyusun perlawanan
yang rapat. Namun setiap kali Paguhan selalu menyindirnya. Dengan
tertawa penuh hinaan ia berkata, "Ayo Arya Teja, bukankah kau
pernah berjasa bagi Demak sebagai prajurit pilihan" Kenapa kau
hanya mampu berlarlari tanpa dapat memberikan perlawanan
yang berarti?" Terasa darah Arya Teja seolah-olah mendidih di dalam
jantungnya. Tetapi kemudian kesadarannya dapat
mengekangnya sehingga ia tidak kehilangan nalar. Setiap kali ia
menyadari bahwa lawannya sedang berusaha memancing
kemarahannya, maka Arya Teja segera menemukan
ketenangannya kembali. "Apakah sebenarnya yang dibangggakan oleh para pemimpin
dan Senapati Demak atasmu, he, Arya Teja?" suara Paguhan
terdengar terlampau menyakitkan hati.
Arya Teja tidak segera menyahut. Dipusatkan perhatiannya
kepada tata gerak lawannya. Meskipun di dalam hatinya ia
mengakui bahwa Paguhan telah berhasil meningkatkan ilmunya,
tetapi Arya Teja masih belum merasa bahwa lawannya itu
melebihinya. Menurut penilaiannya, perkelahian itu masih belum
dapat menemukan kemungkinan, siapakah yang akan dapat
keluar dari bawah Pucang Kembar ini.
"He" Paguhan berteriak "apakah kau menjadi ketakutan
mendengar suaraku?" Arya Teja menggeram. Namun ia masih belum menjawab.
Bukan menjadi kebiasaannya, berkelahi sambil berbicara tanpa
ujung dan pangkal sekedar berusaha mempengaruhi perasaan
lawannya. Paguhan yang berusaha untuk membangkitkan kemarahan
Arya Teja menjadi kecewa. Arya Teja seakan-akan sama sekali
tidak mendengar kata-katanya. Meskipun kata-kata hinaan itu
beberapa tali diulanginya, namun Arya Teja masih tetap
membisu. Akhirnya Paguhanpun terdiam pula. Ia tidak bernafsu lagi
untuk mencoba memancing kemarahan lawannya. Tetapi
perhatiannya kini dimantapkannya kepada sepasang senjatanya
yang mengerikan itu. Benturan-benturan yang dahsyat telah terjadi antara dua
kekuatan yang sukar dicari bandingnya. Bunga api memercik di
udara di sela-sela suara dencing senjata beradu.
Semakin lama menjadi semakin sengit. Ujung-ujung senjata
kedua orang yang sedang bertempur itu menjadi semakin cepat
menarnari. Meskipun demikian mereka masih mendengar suara anjing
liar menggonggong di kejauhan. Telinga mereka yang telah
biasa mendengar suara gonggongan anjing-anjing liar itu sama
sekali tidak lagi dapat dipengaruhinya. Tetapi, meskipun
pertempuran itu tidak terhenti, namun kedua orang yang sedang
berkelahi itu mendengar suara gonggongan anjing-anjing liar itu
menjadi semakin ribut. Bahkan kemudian suara itu seolah-olah
melonjak-lonjak. Kedua orang itu sama sekali tidak menaruh perhatian untuk
seterusnya, karena mereka masih terikat di dalam perkelahian.
Tetapi dalam sekilas itu, mereka mengerti bahwa anjing-anjing
liar itu telah memperebutkan mangsa. Mungkin seekor kambing,
mungkin seekor kijang yang sering berkeliaran di gerumbulgerumbul
liar, di pinggir hutan, atau apa pun yang lain.
Tetapi anjing-anjing hutan itu sama sekali bukan persoalan
mereka. Yang kini mereka hadapi adalah ujung-ujung senjata
yang setiap kali siap merobek kulit daging mereka.
Dengan demikian, maka salak anjing yang sahut menyahut itu
sama sekali sudah tidak berpengaruh lagi atas kedua orang
yang sedang berkelahi itu. Mereka bahkan memeras segenap
kemampuan mereka untuk segera memenangkannya.
Ternyata tangan Arya Teja benar-benar mampu menguasai
senjatanya, sehingga seolah-olah tombak pendek di tangannya
itu melonjak-lonjak sendiri tanpa digerakkan. Bahkan seolah-olah
tangan Arya Teja hanya sekedar mengikuti gerak dari senjatanya
yang dahsyat itu Paguhan mengumpat di dalam hatinya. Peluhnya telah
semakin banyak mengalir di pelipis dan punggungnya. Bahkan
seluruh tubuhnya telah basah pula karenanya. Namun, terasa
bahwa perkelahian itu masih jauh dari selesai. Mereka sama
sekali masih belum dapat meyakini apa yang kira-kira akan
terjadi atas diri mereka masing-masing.
Dengan sepenuh kemampuan yang ada mereka bertempur
semakin sengit. Sekalsekali mereka terdorong surut, sekalisekali
salah seorang dari mereka berhasil mendesak lawannya,
tetapi sekejap kemudian keadaan segera berubah.
Rerumputan liar di bawah Pucang Kembar itu telah menjadi
bosah-baseh. Bahkan gerumbul-gerumbul yang terdekat di
sekitarnyapun telah menjadi rata terinjak-injak oleh kakkaki
mereka yang sedang bertempur itu.
Ketika di kejauhan terdengar bunyi burung hantu menyusur
kesuraman cahaya bulan, terdengar Paguhan berdesis pendek.
Dengan serta-merta ia meloncat surut. Terasa dadanya menjadi
pedih. Meskipun hanya segores kecil, namun setitik darah telah
meleleh dari lukanya. Terdengar Paguhan menggeram. Giginya gemeretak dan
matanya menjadi kian membara. Luka itu benar-benar telah
membakar seluruh urat nadinya.
Sejenak kemudian terdengar Paguhan berteriak nyaring.
Dengan dahsyatnya ia menyerang lawannya seperti badai yang
menghantam tebing. Bergulung-gulung susul menyusul.
Sepasang senjatanya yang mengerikan itu berputar seperti
pusaran yang berusaha melibat lawannya.
Dengan demikian maka perkelahian itu menjadi semakin seru.
Meskipun kulit Paguhan telah tergores oleh ujung senjata,
namun keseimbangan perkelahian itu sama sekali tidak
terpengaruh olehnya, bahkan Paguhan yang sudah terluka itu
menjadi semakin garang. Setapak demi setapak perkelahian itu memanjat ke
puncaknya. Beberapa goresan senjata berikutnya telah
mewarnai tubuh masing-masing. Namun betapapun juga pada
saatnya pasti akan sampai pada suatu penyelesaian.
Pertempuran itu pada suatu saat pasti akan berhenti, apapun
yang akan terjadi. Namun pada saat-saat itu, tidak seorangpun
yang dapat meramalkan, bagaimanakah akhir dari perkelahian
yang dahsyat itu. Perkelahian yang dialasi dengan kemarahan,
dendam, kebencian dan segala macam perasaan bercampurbaur.
Begitu dalam mereka dicengkam oleh nafsu, sehingga
mereka tidak sempat memperhatikan bahwa seseorang telah
mendekati mereka. Seorang yang dengan ragu-ragu melangkah
perlahan-lahan di antara gerumbul-gerumbul yang bertebaran di
sekitar Pucang Kembar. Perempuan muda yang matanya masih
dibasahi oleh air mata yang mengambang.
Ketika perempuan itu melihat kedua orang yang sedang
bertempur di bawah Pucang Kembar itu, maka sebuah desir
yang tajam telah menggores hatinya. Hampir-hampir ia tidak
mampu lagi berdiri dan apalagi melangkah maju.
Dengan gemetar ia berpegangan pada sebatang pohon
perdu. Dadanya serasa berguncang dan jantungnya
berdentangan. Sehingga, justru karena itu, maka perempuan itu
untuk sejenak membeku di tempatnya.
Tetapi tiba-tiba perempuan itu mengatupkan bibirnya rapatrapat.
Seolah-olah ia mendapatkan suatu tenaga yang gaib,
yang membuat tubuhnya menjadi pulih kembali. Sendsendinya
terasa menjadi kuat dan tulang-tulangnya serasa mengeras.
Perempuan itu berdesah perlahan-lahan. Dan tiba-tiba ia
mengangkat wajahnya, memandangi bulan yang bulat dilangit.
"Jadilah saksi," desisnya.
Kemudian dengan langkah yang tetap ia berjalan maju
mendekati kedua orang yang sedang bertempur di bawah
Pucang Kembar. Dadanya sama sekali sudah tidak berdebardebar
lagi, dan jantungnya sudah tidak berdentangan. Bahkan
diangkatnya dadanya tinggtinggi sambil berkata kepada dirinya
sendiri, "Di sinilah senjata-senjata itu harus menghunjam"
Kedatangan perempuan itu sama sekali tidak diduga-duga
oleh kedua laklaki yang sedang bertempur itu. Mereka
terperanjat ketika tiba-tiba saja mereka mendengar suara
melengking, "Berhenti! Berhentilah!"
Suara itu ternyata benar-benar berpengaruh atas kedua lakilaki
itu. Sehingga, tanpa berjanji mereka telah melepaskan diri
dari libatan perkelahian itu.
Hampir bersaman mereka berpaling dan melihat seorang
perempuan berdiri tegak di samping sebuah gerumbul yang
rimbun. "Rara Wulan," hampir bersamaan pula mereka menyebut
nama itu. "Ya," sahut Rara Wulan sambil mengangkat dadanya,
"ternyata kalian benar-benar, berkelahi. Ternyata kalian benarbenar
laklaki jantan." Arya Teja dan Paguhan tidak segera menyahut. Tetapi sikap
Rara Wulan telah mengherankan mereka.
"Tetapi ternyata kalian tidak berkelahi menuju kepada
penyelesaian persoalannya. Aku telah terlibat dalam persoalan
ini tetapi kalian mencoba menyelesaikannya sendiri tanpa aku."
Kedua laklaki yang masih menggenggam senjata itu sejenak
terdiam. Tetapi kemudian terdengar Arya Teja berdesis, "Dari
mana kau tahu. bahwa kami akan menempuh cara ini, Wulan."
"Aku mempunyai telinga. Dan aku mendengar percakapanmu
dengan bibi ketika kau minta diri kepadanya."
Dada Arya Teja berdesir mendengar jawaban Rara Wulan.
Bukan saja jawabnya, tetapi juga sikapnya. Perempuan itu kini
seolah-oah menjadi seorang perempuan yang garang.
Perubahan yang telah terjadi pada Rara Wulan sangat
berpengaruh pada Arya Teja. Semula ia melihat seolah-olah
perempuan itu seorang yang berhati bidadari putih dan
Darah Olympus 5 Goosebumps - 25 Serangan Mutan Bertopeng Darah Perawan Suci 1
tua. Diceriterakannya masalahnya, tentang isterinya dan tentang
penyakitnya. Arya Teja itu menjadi terheran-heran, ketika ia melihat bibinya
itu justru tertawa. Tertawa berkepanjangan, sehingga air
matanya meleleh di pipinya yang berkerut-merut oleh garis-garis
ketuaannya. "Oh, Ngger, Ngger," katanya, "kau memang masih terlampau
bodoh. Kau adalah anak muda yang lugu dan dungu.
Seharusnya kau pernah mendengar serba sedikit tentang
penyakit seperti penyakit isterimu itu."
Arya Teja menjadi semakin bingung. Dan suara tertawa
bibinya pun menjadi semakin berkepanjangan.
"Aku tidak mengerti, Bibi. Aku hampir gila dibuatnya."
"Angger Arya Teja," berkata bibinya, "ketahuilah, bahwa
penyakit yang demikian adalah penyakit yang wajar, hinggap
pada pengantin baru. Dalam keadaan yang demikian,
perempuan me"mang kadang-kadang menjadi aneh. Sifatnya
seakan-akan berubah. Ada-ada saja tingkahnya. Suami yang
tidak dapat mengerti keadaan isterinya, memang dapat menjadi
bingung, dan bahkan kadang-kadang ada yang setiap hari
menjadi marah dan memakmaki isterinya yang berbuat anehaneh
itu." "Bibi?" dada Arya Teja menjadi berdebar-debar. Dan bibinya
masih saja tertawa. "Mungkin sekarang kau sudah mengetahuinya. Isterimu pasti
sedang mengandung muda."
Kata-kata itu meledak seperti petir yang menyambar
kepalanya. Wajah Arya Teja menyadi tegang dan matanya
seolah-olah mem"bara. Keringat dingin mengalir dari segenap
permukaan kulitnya. "Bibi," ia tergagap. Tetapi kata-katanya seakan-akan
tersumbat di kerongkongan.
"Jangan gugup, Ngger," berkata bibinya, "Kau harus
mengucap sokur, bahwa perkawinanmu segera akan berbuah."
"Tetapi ?"?"
"Tetapi, tetapi apalagi, Ngger. Tidak ada tetapi. Kau tinggal
mengucap sokur dan terima kasih. Isterimu sudah sampai pada
saatnya menyiapkan dirinya untuk menjadi ibu. Isterimu harus
lebih sering lagi jejamu agar menjadi tetap sehat dan tidak
menjadi pucat." "Bibi, tetapi, tidak mungkin. Tidak mungkin."
"He?" bibinya mengerutkan keningnya yang memang sudah
berkerut. "Bagaimana mungkin, Bibi. Kami baru beberapa hari kawin.
Sejak kami kawin, isteriku selalu menangis melolong-lolong.
Bahkan isteriku pernah minta kepadaku, supaya aku
membunuhnya saja." "He?" kini yang terkejut bukan buatan adalah bibinya.
Wajahnya yang berkerut-merut menjadi pucat. Terdengar
suaranya gemetar, "Apa katamu he, Arya Teja?"
"Isteriku berlaku demikian sejak kami kawin. Kami sama
sekali belum pernah menikmati ketenteraman di dalam harhari
per"kawinan kami. Apalagi ketika ia menjadi sakit-sakitan.
Bahkan ia minta aku untuk membunuhnya."
"Ampun, ampun," orang tua itu tiba-tiba meratap, "ya, ya. Aku
lupa, bahwa kau baru beberapa minggu kawin. Tetapi isterimu
itu" Tanda-tanda dan kelakuannya mengatakan kepadaku,
bahwa isterimu sedang mengandung."
"Tidak mungkin, Bibi. Tidak mungkin."
"Oh, kalau begitu kau adalah laklaki yang durhaka. He,
agaknya kau tidak menunggu sampai saat perkawinanmu.
Sekarang kau menjadi bingung sendiri. Persetan dengan kau,
Arya Teja. Aku tidak senang mempunyai kemanakan seperti itu."
"Bibi. Tidak. Itu pun tidak. Sungguh Bibi. Aku adalah seorang
putera demang yang kemudian mendapat anugerah untuk
mengangkat diri sebagai Kepala Tanah Perdikan karena jasajasaku
bagi Demak. Apakah aku masih sempat untuk mengotori
namaku dengan nafsu yang gila itu."
Bibi Arya Teja itu tidak segera menyahut. Ditatapnya saja
wajah kemanakannya. Tetapi dari sorot matanya, Arya Teja
dapat menangkap perasaan yang aneh pada bibinya itu. Apalagi
ketika kemudian bibinya memalingkan wajahnya, melemparkan
pandangan matanya ke luar, menembus lubang pintu yang tidak
tertutup rapat. "Bibi," terdengar suara Arya Teja gemetar, "apakah Bibi tidak
percaya?" Perempuan tua itu berpaling. Sekilas ditatapnya sekali lagi
wayah Arya Teja. Namun segera orang tua itu berpaling pula
dan melontarkan pandangan matanya jauh-jauh.
"Bibi," suara Arya Teja menjadi semakin bergetar, "apakah
Bibi tidak percaya?"
Bibinya tidak menyahut. Tetapi wajah itu menjadi ber"sedih.
Arya Teja menarik nafas dalam-dalam. Terdengar ia berdesis,
"Baiklah kalau Bibi tidak percaya. Mudah-mudahan dugaan Bibi
atas penyakit isteriku itu salah."
Bibinya masih berdiam diri.
Arya Teja kemudian tidak lagi dapat duduk dengan tenang, ia
menjadi gelisah dan cemas. Bahkan kadang-kadang terasa
debar jantungnya menjadi semakin deras.
Akhirnya Arya Teja tidak dapat bertahan lagi duduk di
hadapan bibinya yang diam. Kalau sekalsekali Arya Teja
memandangi wajah orang tua itu, maka dilihatnya seolah-olah
wajah yang sudah berkerut-merut itu menjadi terlampau suram.
"O, apakah anggapan Bibi terhadapku sebenarnya?"
pertanyaan itu selalu mengganggu perasaan Arya Teja.
Karena itu, maka dadanya itu pun kemudian bergolak. "Aku
harus mendapat penjelasan," katanya di dalam hati, "Penjelasan
dari orang yang bersangkutan. Langsung. Aku tidak mau selalu
dicengkam oleh pertanyaan-pertanyaan yang sangat
menyakitkan hati." Tiba-tiba Arya Teja itu pun bergeser dari tempatnya sambil
berkata, "Bibi, aku mohon diri. Aku ingin tahu, apakah yang
sebenarnya telah terjadi?"
"Arya Teja," suara bibinya terlampau serak, "aku tidak melihat
keadaan isterimu. Sehingga dengan demikian, aku tidak akan
dapat mengatakan apakah yang dideritanya dengan tepat. Aku
hanya menduga-duga. Mudah-mudahan seperti katamu,
dugaanku salah." Arya Teja menundukkan kepalanya. Ia tidak dapat menjawab
kata-kata bibinya itu. "Kalau kau mau pulang, pulanglah, Ngger. Tetapi kau jangan
diburu oleh perasaanmu tentang isterimu. Kau harus ber"sabar
dan mencoba melihat penyakitnya semakin teliti. Lain kali aku
akan datang, dan melihat keadaan isterimu. Mudah-mudahan
aku dapat mengatakan serba sedikit tentang penyakitnya,
meskipun tidak tahu benar."
"Ya, Bibi. aku sangat mengharap kedatangan Bibi di rumah.
Aku belum mengatakan kepada orang lain kecuali Bibi. Kepada
keluargaku yang lain pun belum. Belum juga kepada ayah dan
ibu." Perempuan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Baiklah. Jangan Kau katakan kepada siapa pun juga. Kau
sudah cukup dewasa untuk menyelesaikannya sendiri. Tetapi,
kau harus cukup dewasa pula menanggapi setiap keadaan.
Isterimu sedang sakit. Jangan kau perberat penyakitnya dengan
berbagai macam dugaan."
"Ya, Bibi," jawab Arya Teja. Tetapi ia sendiri tidak dapat
meyakini dirinya sendiri, apakah ia akan dapat menghadapi
keadaan itu dengan bijaksana. Apalagi apabila kata-kata bibinya
tentang penyakit isterinya itu benar.
Arya Teja pun kemudian dengan tergesa-gesa pulang ke
rumah. Rumah yang belum lama ditempatinya bersama
isterinya. Rumah yang dibangunnya sesuai dengan kedudukan
yang akan dipangkunya. Bukan sekedar seorang Demang
menggantikan ayahnya yang sudah terlampau tua, tetapi ia
berwenang menyebut dirinya Kepala Tanah Perdikan yang
diperkuat dengan kekancingan yang diterimanya dari Sultan
Demak sebagai tanda terima kasih kepada lelabuhan Arya Teja.
Langkahnya yang panjang-panjang itu semakin lama menjadi
se"makin cepat seperti getar jantung di dadanya. Semakin lama
ia merenungkan diri, melimbang-limbang apakah yang
sebenarnya telah terjadi dengan isterinya, maka darahnya
seakan-akan menjadi se"makin cepat mengalir.
"Seandainya benar kata Bibi," desahnya, "apakah dosa yang
telah aku perbuat?" Arya Teja hanya dapat menarik nafasnya dalam-dalam untuk
me-nenteramkan hatinya. Tetapi setiap kali hati itu bergelora
semakin dahsyat dan dahsyat. Sehingga sama sekali tidak
diperhatikannya, ketika seorang yang berjalan di belakangnya,
selalu saja mengikutinya dengan pandangan penuh kecurigaan.
Arya Teja tidak pernah berjalan demikian tergesa-gesa,
bahkan dengan sikap yang sangat gelisah. Dengan pandangan
lurus ke depan, seolah-olah menembus segala macam gerumbul
dan rerangkudan, langsung menghunjam ke pusat rumahnya,
hinggap pada tubuh isterinya yang berbaring di pembaringannya
sambil mengusap air mata.
"Hem, kenapa Arya Teja berjalan demikian tergesa-gesa
setelah ia bertemu dengan bibinya?" pertanyaan itu tumbuh di
hati orang yang mengikutinya itu. Namun ia sama sekali tidak
berusaha menyusul Arya Teja dan bertanya kepadanya,
meskipun orang itu telah mengenalnya dengan baik.
Ternyata gelora di dada Arya Teja sama sekali tidak mereda.
Semakin dekat ia dengan halaman rumahnya, maka hatinya
serasa semakin pepat, terhimpit oleh getar yang semakin
bergejolak di dadanya. Berbagai bayangan hilir mudik di dalam
rongga matanya. Bayangan tentang dirinya sendiri, tentang
isterinya, tentang rumah tangganya dan tentang segala macam
kemungkinan yang dapat terjadi. Bahkan kemungkinan yang
paling pahit sekalipun. Dada Arya Teja terasa benar-benar menjadi pepat ketika ia
telah menginjakkan kakinya di halaman rumahnya. Tubuhnya
serasa menjadi gemetar, dan keringat yang dingin mengembus
di segenap wajah kulitnya.
Arya Teja menarik nafas dalam-dalam untuk mencoba
menenang"kan hatinya. Langkahnya pun kemudian
diperlambatnya. Ketika kakinya sudah menyentuh tangga
pendapa rumahnya, maka ditekankannya telapak tangannya di
dadanya. "Aku tidak boleh menjadi gila karenanya," katanya di dalam
hati. Terngiang kembali kata-kata bibinya. "Tetapi Kau ja"ngan
diburu oleh perasaanmu tentang isterimu. Kau harus bersabar
dan mencoba melihat penyakitnya semakin teliti," dan kemudian,
"Kau sudah cukup dewasa untuk menyelesaikannya sendiri.
Te"tapi kau harus cukup dewasa menanggapi setiap keadaan,
isterimu sedang sakit. Jangan kau perberat penyakitnya dengan
ber-bagamacam dugaan."
"Ya," Arya Teja berdesis, "aku harus menyadari setiap
persoalan. Aku tidak boleh kehilangan akal dan nalar."
Perlahan-lahan Arya Teja melangkahkan kakinya. Pendapa
yang diinjaknya serasa bergoncang. Kepalanya menjadi
terlampau berat dan urat-urat di keningnya menjadi tegang.
"Ah, aku tidak boleh menjadi gila," desisnya. Tetapi ia tidak
dapat mengingkari, bahwa dadanya telah dilanda oleh arus
darahnya yang menjadi semakin cepat menyusuri pembuluhpembuluhnya.
Dengan jantung yang berdentangan, Arya Teja memasuki
rumahnya. Rumah yang dirasanya terlampau sepi. Bahkan
rumah itu telah menjadi neraka yang membakarnya hidup-hidup
sejak ia mengawini gadis yang selama ini diimpimpikannya.
Ketika Arya Teja masuk ke dalam biliknya, dilihatnya isterinya
sedang berbaring. Tetapi desir telapak kakinya telah
mengejutkannya sehingga isterinya itu bangkit dan duduk di tepi
pembaringannya. "Oh," desahnya, "Kau sudah datang, Kakang?"
Arya Teja melihat wajah isterinya yang pucat. Tubuhnya yang
semakn lama semakin kurus, bahkan semakin kering. Perlahanlahan
maka gelora di dalam dadanya menjadi lilih. Isterinya
memang baru sakit. Dan bibinya berpesan, "Jangan kau
per"berat penyakitnya dengan berbagai macam dugaan."
"Tidurlah, Wulan," tiba-tiba terloncat kata-kata itu dari
mulutnya. Kata-kata yang lembut penuh iba, "Bukankah kau baru
sakit?" Arya Teja melihat Rara Wulan mengelengkan kepalanya,
"Tidak, Kakang. Aku tidak sakit."
Arya Teja tidak segera menjawab. Ia duduk di atas sebuah
dingklik kayu dekat di samping pembaringan isterinya.
*** "Kau pucat, Wulan. Apakah kau masih pening dan akan
muntah?" pertanyaan itu begitu saja meloncat dari mulut Arya
Teja. Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi dada Arya Teja mulai
bergetar lagi ketika ia melihat mata isterinya menjadi basah.
Apalagi ketika sesaat kemudian isterinya mulai terisak.
Dada Arya Teja mulai menjadi pepat. Karena itu maka justru
ia terdiam. Ia duduk saja seperti patung sambil memandang jauh
menembus lubang pintu bilik itu.
Tetapi isak isterinya yang mengeras telah benar-benar
mengganggunya. Setelah sejenak ia dicengkam oleh perasaan
iba, maka kini ia kembali dilemparkan ke dalam kegelisahan
yang sangat. Sejenak ruangan itu menjadi hening. Namun isak Rara Wulan
menjadi semakin keras. Arya Teja itu terkejut ketika kemudian isterinya terbatuk-batuk
dan mulai diganggu lagi oleh penyakitnya. Muntah-muntah.
Arya Teja segera berdiri. Dipanggilnya seorang pelayannya
untuk mengambil pasir dan ditaburkannya di bawah
pembaringan Wulan yang sedang muntah-muntah.
"Wulan," dada Arya Teja mulai gemetar, "apakah sebenarnya
penyakitmu itu?" Ketika pertanyaan itu menyentuh telinganya, maka
meledaklah tangis Rara Wulan yang sedang muntah-muntah itu.
Tetapi oleh tekan"an perasaan yang menghimpit jantungnya,
maka justru ia ber"henti muntah. Kini ia duduk sambil menangis
sejadjadinya. "Wulan," Arya Teja menjadi semakin cemas, "apakah kau
tidak dapat mengatakan, penyakit apakah yang sebenarnya
sedang kau tanggungkan" Apakah kau sedang menderita sakit
panas dingin" Apakah perutmu terasa mual ataukah sakit apa
lagi?" Tidak ada jawaban selain suara tangis isterinya.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh," Arya Teja menjadi semakin bingung. Ia berjalan
mondar-mandir. Sekalsekali dihentakkannya kakinya, namun
kemudian diingatnya lagi pesan bibinya.
Tetapi ternyata bukan saja pesan bibinya itu yang teringat
olehnya. Tetapi juga sikap bibinya yang mengherankan pada
mulanya. Bibinya itu justru tertawa-tawa mendengar
keterangannya tentang penyakit isterinya.
"Benarkah?" tiba-tiba pertanyaan itu meledak di kepalanya.
Dengan dada yang bergelora Arya Teja mendekati isterinya.
Ditatapnya isterinya yang sedang menangis itu berlama-lama.
Tetapi pertanyaan itu tidak juga terloncat dari mulutnya. Arya
Teja tidak mempunyai cukup kekuatan untuk melontarkan
pertanyaan itu. Ia mencemaskan keadaan isterinya dan
keadaannya sendiri apabila ia mendengar jawaban isterinya itu,
jika dugaan bibinya itu benar.
"Tetapi, apakah aku akan tinggal di dalam neraka ini untuk
seterusnya?" ia mencoba menggeretakkan giginya. Tetapi
hatinya kemudian menjadi luluh lagi.
"Wulan," katanya perlahan-lahan, "tidurlah. Kau harus
se"gera sembuh. Kau tidak boleh selalu disiksa oleh duka dan
air mata. Meskipun aku tidak tahu sebabnya, tetapi aku dapat
merasakannya." Tiba-tiba Rara Wulan itu membanting dirinya bersimpuh di
hadapan suaminya. Kata-kata yang lembut itu justru semakin
menyiksanya. Dengan pilu ia meratap, "Bunuh saja aku, Kakang.
Bunuhlah aku." Dada Arya Teja terguncang mendengar permintaan itu.
Permintaan itu telah seribu kali didengarnya. Tetapi setelah ia
mendengar dugaan bibinya tentang penyakit isterinya, maka
tanggapannya menjadi lain. Karena itu, maka tiba-tiba giginya
gemeretak dan matanya menjadi seakan-akan menyala.
Ditatapnya saja tubuh isterinya yang bersimpuh di
hadapannya. Didengarnya suara tangisnya yang serak dan
dilihatnya titik-titik air matanya yang menetes membasahi
kakinya. Dada Arya Teja itupun kemudian terasa bergolak semakin
dahsyat. Bahkan serasa akan meledak karenanya. Berbagai
macam prasangka telah mencengkam hatinya. Prasangka
tentang isterinya, penyakitnya dan sikapnya.
Tiba-tiba saja terdengar Arya Teja itu menggeram, "Pasti.
Pasti hal itu telah terjadi."
Tetapi isterinya yang menangis itu tidak mendengar suaminya
menggeram dan menggeretakkan giginya. Ia masih saja
menangis dan bahkan diulanginya permintaannya, "Kakang,
bunuh saya aku, Kakang, daripada hidupku akan tersiksa di
sepanjang umur"ku."
Tubuh Arya Teja menjadi gemetar. Pertanyaan yang selama
ini tersimpan di dadanya, tiba-tiba meledak tanpa dapat
dikendalikannya lagi. Justru karena selama ini ia tidak
mempunyai cukup kekuatan untuk melontarkannya, maka
ledakannya ternyata men"jadi sangat mengejutkan tidak
terkendali. Tiba-tiba tangan Arya Teja yang kokoh kuat itu mencengkam
pundak isterinya, Rara Wulan. Diguncangnya tubuh isterinya itu
sambil berteriak, "Wulan, Wulan. Katakan, katakan. Apakah kau
sedang sakit?" Rara Wulan terkejut sehingga tangisnya tertahan. Tetapi
ketika ia menengadahkan wajahnya, hampir yang menjerit
ketakutan. Dilihatnya wajah suaminya yang tegang, dan
sepasang matanya yang membara. Ia belum pernah melihat
wajah Arya Teja demikian menakutkan seperti saat ini.
"Katakan, Wulan. Apakah penyakitmu itu, he?"
Rara Wulan masih terbungkam. Tetapi kemudian ia menggigil
ketakutan. Dada Arya Teja yang serasa telah bengkah itu, benar-benar
tidak dapat ditahankannya lagi. Sekali lagi meledaklah
pertanyaannya yang serasa menghentikan arus darah Rara
Wulan, "Wulan, apakah kau sedang mengandung, he?"
Sejenak Rara Wulan membeku di tempatnya. Wajahnya yang
pucat kian menjadi pucat. Arya Teja yang sedang diamuk
kegelisahan, kegelisahan, kecemasan dan kebingungan itu
melihat Rara Wulan bergeser secengkang surut. Dilihatnya pula
bibir perempuan itu bergerak-gerak, tapi tidak sepatah kata pun
yang meluncur dari sela-sela mulutnya.
"Katakan, katakan. Apakah kau sedang mengandung?" Rara
Wulan masih belum menjawab, tetapi wajahnya kian menjadi
pucat seputih kapas. "Katakan, katakan," Arya Teja berteriak. Ketika Rara Wulan
tidak segera menjawab, maka terdengar Arya Teja itu menjadi
semakin keras berteriak, "Apakah kau sudah menjadi ibu, he"
Ayo katakan!" Arya Teja itu kemudian menghibaskan tangan Rara Wulan
yang menggenggam kakinya erat-erat sehingga perempuan itu
terdorong mundur. "Kenapa kau diam saja, he" Katakan, ya atau tidak?"
Rara Wulan benar-benar terbungkam. Kini ia tertelungkup di
lantai. Suara Arya Teja benar-benar seperti beribu-ribu petir
yang menyambar-nyambar di atas kepalanya.
"Wulan," berkata Arya Teja yang matanya menjadi semakin
menyala, "selama ini aku memandangmu sebagai seorang
bidadari yang bersih, yang putih tanpa setitik noda pun yang
lekat di tubuhmu. Tetapi, katakan, apakah benar begitu?"
Arya Teja itu surut selangkah ketika tiba-tiba ia melihatnya
bangkit. Rara Wulan yang sudah sampai ke puncak
ketakutannya justru sudah tidak menangis lagi. Ia mencoba
mengusap air matanya dengan ujung bajunya. Ketika ia sudah
duduk, maka ditengadahkannya wajahnya.
"Kakang," suara itu gemetar, "apakah aku harus menjawab
pertanyaan itu?" Arya Teja-lah yang kemudian terdiam sesaat. Hatinya yang
bergolak menjadi semakin bergolak. Sekali lagi ia diterkam oleh
ketakutan. Kalau isterinya itu nanti menjawab pertanyaanya,
apakah jawabnya tidak akan membuatnya gila.
Tetapi sekali lagi perasaanya meledak, "Ya, kau harus
menjawabnya. Kau tidak akan dapat ingkar lagi dari kenyataan."
Wajah Rara Wulan yang pucat itu kini justru dijalari oleh
warna darahnya. Semakin lama semakin merah. Dan dengan
suaranya yang gemetar, terdengar jawabnya, "Kakang. Sudah
aku katakan, bunuh saja aku. Aku memang sudah tidak
sepantasnya menjadi isterimu karena aku memang sudah
bernoda." Jawaban itu menyambar perasaan Arya Teja seperti guruh
yang memecahkan jantungnya. Sejenak ia terhenyak dalam
kebekuan seperti patung yang mati. Matanya memancarkan
perasaan yang asing dan mulutnya terkatup rapat-rapat.
Dan Arya Teja yang membeku itu mendengar isterinya
berkata, "Karena itu, Kakang, cara yang paling baik bagimu dan
bagiku adalah, bunuhlah aku."
Dunia ini serasa sudah tidak diinjaknya lagi. Arya Teja merasa
dirinya seperti terbang menerawang dalam dunia yang asing.
Bukan sekedar sebuah mimpi yang mengerikan, tetapi ia merasa
bahwa ia terlempar dalam kesenyapan yang dahsyat. Semuanya
seolah-olah menjadi semakin menjauh, menjauh daripadanya.
Akhirnya dunianya yang selama ini dimilikinya, seolah-olah
hilang. Hilang. Dan Arya Teja merasa dirinya berada dalam
kekosongan yang paling dalam, dibakar oleh kesepian dan
kebekuan yang paling dahsyat.
Arya Teja itu terhuyung-huyung surut sehingga tubuhnya
tersandar pada dinding biliknya. Meskipun matanya masih
terbuka, tetapi seolah-olah ia sudah tidak melihat lagi, meskipun
telinganya masih ada, tetapi seolah-olah pepat dan tidak
didengarnya apa pun. Namun kemudian, api yang membara di dadanya bergolak
menyala semakin dahsyat seperti api neraka. Perlahan-lahan api
telah memanasi darahnya kembali. Perlahan-lahan Arya Teja itu
jejakkan kakinya di dunia yang penuh murka, kemarahan
dendam. Dunia yang dibakar oleh nafsu manusiawi yang
menghancurkan. Sakit hati.
Dengan sorot mata yang aneh dipandanginya isterinya yang
masih saja duduk di lantai. Isterinya dianggap akan dapat
mendampinginya hidup dalam ketenteraman, tetapi ternyata
telah menyeretnya ke dalam neraka yang paling pedih.
Dalam luapan perasaanya, Arya Teja itu melihat seakan Rara
Wulan itu kini bukanlah perempuan yang selama ini telah
didambakannya untuk menjadi isterinya. Wajah isterinya yang
lembut dan sejuk itu, tiba-tiba telah berubah menjadi wajah
hewan betina yang paling terkutuk. Wajah yang penuh dengan
noda yang paling kotor yang pernah dilihatnya.
Sejenak Arya Teja mencoba menahan gejolak perasaannya,
tetapi ternyata ia kemudian terseret oleh arus yang dahsyat yang
mendamparkannya ke dalam suatu keadaan yang sama sekali
tidak berdaya untuk melawan luapan sakit hatinya. Lupa diri.
Tiba-tiba Arya Teja itu menggeretakkan giginya. Dengan kaki
yang gemetar ia selangkah maju mendekati isterinya yang masih
duduk di lantai. Dengan wajah yang membara ia menggeram,
"Setan betina kau Wulan! Tidak pantas kau hidup lagi di rumah
ini. Karena itu, lebih baik aku memenuhi permintaanmu. Aku
bunuh kau!" Tangan Arya Teja yang gemetar tiba-tiba telah meraih hulu
kerisnya. Keris pusaka yang selama ini hampir tidak pernah
ditarik dari wrangkanya. Namun keris itu kini telah berada di
tangannya. Keris yang seolah menyalakan api dendam yang
membara di dadanya. Rara Wulan melihat Arya Teja itu mengangkat kerisnya
dengan wajah yang merah tegang. Sejenak suaminya itu
memejamkan matanya, dan Rara Wulan yang sudah pasrah
itupun memejamkan matanya pula.
Tetapi tiba-tiba Arya Teja tertegun sejenak. Gelora di dadanya
terguncang semakin dahsyat ketika ia mendengar jerit seorang
perempuan memanggil namanya, "Arya Teja. Apakah yang kau
lakukan itu?" Tubuh Arya Teja menjadi gemetar, dan keris ditangannya pun
menjadi gemetar pula. Terasa pergelangan tangannya ditahan
oleh jarjari yang lembut. Meskipun tangan yang menahannya
itu sama sekali tidak mempunyai tenaga, tetapi terasa bahwa
tangannya seakan-akan tidak mampu lagi digerakkannya.
Dan Arya Teja mendengar lagi suara itu, "Arya Teja. Apakah
yang kau lakukan itu?"
Perlahan-lahan Arya Teja membuka matanya. Di sampingnya
berdiri seorang perempuan tua. Bibinya.
"Kenapa Bibi menahan aku?" terdengar suara Arya Teja
gemetar. "Kau telah membuat kesalahan yang akan kau sesali
sepanjang hidupmu." "Aku tidak memerlukannya lagi, Bibi. Ia menodai perkawin"an
kami. Dan ia sendiri minta aku untuk membunuhnya."
"Aku sudah menyangka, bahwa kau akan kehilangan akal.
Itulah sebabnya hatiku sama sekali tidak tenteram ketika kau
meninggal"kan rumahku."
"Ia akan menjadi hantu yang akan menyiksa hidupku, Bibi.
Biarlah, biarlah aku lenyapkan saja perempuan itu, supaya aku
terlepas dari neraka ini."
"Aria Teja. Kau akan menyesal."
"Tidak. Tidak. Aku tidak akan menyesal sama sekali.
Lepaskan, Bibi. Biarlah aku membunuhnya. Kalau Bibi tidak
sampai hati untuk menyaksikannya, tinggalkanlah kami di sini."
"Jangan menjadi mata gelap, Ngger."
Darah Arya Teja menjadi semakin menyala, ketika ia
men"dengar Rara Wulan menyahut, "Biar, Bibi. Biarlah Kakang
Arya Teja membunuhku. Itu adalah penyelesaian yang baik, baik
baginya dan bagiku sendiri."
"Nah, bukankah Bibi mendengar?" suara Arya Teja meninggi.
"Iblis itu menantangku. Lepaskan Bibi, biarlah aku
membunuhnya. Apakah darahnya juga merah seperti darah
manusia yang bersih."
Tetapi bibinya tidak melepaskan tangan Arya Teja. Tangan
laklaki yang sedang dibakar oleh kemarahannya itu masih
dipegangnya. Dengan cemasnya ia berkata, "Jangan, jangan
Ngger. Jangan." Arya Teja telah benar-benar menjadi waringuten. Ia sudah
tidak dapat lagi berpikir. Yang ada di dalam dirinya hanyalah api
kemarahan dan sakit hati. Itulah sebabnya, maka tanpa
dikehendakinya sendiri, didorongnya bibinya yang tua itu
sehingga terhuyung-huyung beberapa langkah. Untunglah,
bahwa tubuhnya yang lemah itu tersandar pada dinding
sehingga ia tidak jatuh tertelentang.
Begitu tangan bibinya terlepas, maka dengan menggeram
sekali lagi Arya Teja mengangkat kerisnya, "Kau harus mati. Kau
harus mati." Tetapi ia masih mendengar suara bibinya melengking, "He,
kau gila Arya Teja. Kau gila. Bunuhlah perempuan itu menurut
kehendakmu, apalagi ia adalah isteri yang mengkhianatimu.
Tetapi kau akan berdosa tujuh kali lipat karena kau membunuh
juga nyawa yang sama sekali tidak berdosa. Bayi di dalam
kandungan perempuan itu."
Kata-kata bibinya itu meledak di telinga Arya Teja seperti
seribu guruh. Dadanya terguncang dahsyat sekali, sehingga
rasa-rasanya seluruh tulang rusuknya terpatahkan. Sejenak
pandangan matanya menjadi gelap berkunang-kunang.
Tubuhnya gemetar dan nalarnya seakan-akan ditaburi oleh
kekelaman yang pekat. Sekali lagi Arya Teja terhenyak ke dinding. Tubuhnya menjadi
lemah, seolah-olah tulang-tulangnya dilolosi. Hampir-hampir ia
sudah tidak mampu lagi untuk berdiri.
Bibinya kini telah berdiri di hadapannya. Dipandanginya wajah
kemanakannya yang kadang-kadang pucat namun kemudian
merah membara. "Ingatlah akan dirimu."
Keringat dingin telah membasahi segenap tubuh Arya Teja.
Dari ubun-ubunnya sampai ke ujung kakinya.
"Tidak sepantasnya kau berbuat begitu, Ngger," berkata
bibinya. "Kau adalah laklaki, seperti ayahmu menginginkannya,
bahwa kau adalah laklaki jantan. Kau tidak dapat membunuh
pe"rempuan itu tanpa membunuh bayi yang sama sekali tidak
berdosa. Tetapi kau dapat berbuat demikian terhadap orang
yang menabur"kan benih di ladangmu tanpa membunuh bayi
itu." Kata-kata bibinya itu benar-benar telah menyentakkan
perasaan Arya Teja. Tubuhnya yang seolah-olah sudah tidak
berdaya itu, tiba-tiba tegak bagaikan tiang baja yang kokoh kuat
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak tergoyahkan. Kini matanya benar-benar mancarkan api
yang menyala di dalam dadanya.
Terdengar gigi Arya Teja gemeretak. Terngiang kembali katakata
bibinya itu, "Tetapi kau dapat berbuat demikian terhadap
orang yang menaburkan benih di ladangmu tanpa membunuh
bayi itu." Arya Teja menggeram. Terdengar suaranya parau, "Ya, Bibi.
Aku mengerti." Selangkah Arya Teja maju mendekati isterinya. Dengan suara
gemetar ia bertanya, "Wulan, katakan. Katakan. Siapakah yang
telah berbuat itu" Aku sadar kini, bahwa itu adalah peng"hinaan
yang sedalam-dalamnya bagi kejantananku. Orang itu ingin
mencoba mengukur lebar dada Arya Teja yang sebentar lagi
akan mendapat wisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan di
Menoreh. Kalau aku belum menemukan orang itu Wulan, maka
aku tidak akan dapat hidup dengan tenteram. Ada dua
kemungkinan yang dapat terjadi padaku. Membunuh atau
dibunuh. Tetapi itu adalah sikap jantan."
Rara Wulan yang sudah pasrah diri, yang justru seakan-akan
sudah tidak lagi dibayangi oleh kecemasan, dan bahkan air
matanya pun seolah-olah sudah kering, kini digoncangkan lagi
oleh kege"lisahan yang dahsyat. Terbayang di wajahnya, apa
yang dapat terjadi apabila dua orang laklaki jantan telah
berhadapan. "Wulan, katakan Wulan, supaya aku tidak jatuh ke dalam
dosa yang paling nista, membunuh perempuan yang tidak
berdaya dan membunuh bayi di dalam kandungannya. Bayi yang
tidak berdosa sama sekali.
Pernyataan itu telah benar-benar menghentakkan dada Rara
Wulan. Namun Rara Wulan itu mendengar bibi Arya Teja
berkata, "Tidak ada gunanya, Arya Teja. Sikap itu memang sikap
jan"tan. Tetapi tidak semua persoalan harus diselesaikan
dengan cara itu. Aku memperingatkan kau akan hal itu, sekedar
untuk mencegah kau menjadi kehilangan akal. Sikap itu jauh
lebih baik daripada kau membunuh perempuan dan bayinya
yang sama sekali tidak berdosa. Tetapi sikap itu sendiri bukan
sikap yang paling baik."
Mata Arya Teja yang menyala itu membayangkan keraguraguan
setelah ia mendengar kata-kata bibinya. Namun bibinya
itu berkata terus, "Sikap yang demikian masih akan
menumpahkan darah. Darah bukanlah penyelesaian yang paling
baik." Tubuh Arya Teja menjadi gemetar. Sekali lagi terdengar
suaranya yang parau, "Lalu apakah sebaiknya yang aku lakukan,
Bibi?" "Kau harus berjiwa besar, Arya Teja. Kau harus mem"buat
penyelesaian tanpa menitikkan darah. Kau harus bertemu
dengan laklaki itu. Kau atau orang itu yang seterusnya akan
me"miliki Rara Wulan. Sesudah itu, tidak ada lagi persoalan di
antara kalian. Darah Arya Teja menghentak-hentak di jantungnya. Dan
ter"dengar ia berkata terbata-bata, "Itu tidak mungkin, Bibi. Itu
tidak mungkin. Aku tidak mungkin melakukan kedua-duanya.
Terus mengawini Rara Wulan dengan menelan pengghinaan
dari seorang laklaki tanpa berbuat sesuatu, seolah-olah aku
bukan laklaki, atau mele"paskan Rara Wulan dengan
menyandang hina dan malu, karena orang-orang Menoreh akan
mengatakan, bahwa isteri kepala tanah perdikannya telah
direbut orang tanpa berbuat sesuatu."
Bibinya mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, "Itu
benar, Arya Teja. Tetapi bahwa Rara Wulan mengandung di luar
perkawinannya denganmu itu sama sekali tidak diketahui orang."
"Tetapi aku tahu, Bibi. Aku tahu, Wulan tahu dan laklaki yang
itu tahu pula." "Bukankah persoalan itu masih terbatas sekali" Kalau jiwamu
cukup besar, Arya, kau lupakan saja apa yang telah terjadi.
Tetapi laklaki itu memang harus datang kepadamu, minta maaf
dan untuk seterusnya tidak akan menyebut-nyebut anaknya
yang masih dalam kadungan."
"Hanya begitu, Bibi" Hanya cukup dengan permintaan maaf
dan untuk seterusnya tidak akan mengusik anaknya?"
"Arya Teja. Peristiwa ini harus kau pandang dari segi yang
lapang. Hubungan itu terjadi sebelum Rara Wulan menjadi
isterimu. Kau tidak dapat mengatakan, bahwa laklaki itu telah
merampas hakmu seluruhnya, sebab pada saat itu terjadi, Rara
Wulan masih belum isterimu."
"Oh," Arya Teja berdesah. Keringatnya menjadi sema"kin
banyak mengalir, "Tetapi aku telah terjebak dalam perangkap
yang keji itu. Laklaki itu ternyata pengecut. Kalau ia laklaki
jantan, maka ia akan bertanggung jawab dan tidak membiarkan
Wulan menjadi isteri orang lain. Mungkin hal itu disengaja pula
untuk menghindarkan diri dari keharusan bertanggung ja"wab.
Agaknya Wulan telah bersepakat pula menjerat leherku."
"Tetapi aku menyesal," tiba-tiba Rara Wulan memotong, "aku
menyesal bahwa hal itu terjadi. Karena itu maka aku akan rela
dibunuh. Nah, Kakang, kalau keputusanmu memang ingin
membunuhku, kenapa kau akan membatalkannya?"
"Begitu, begitu yang kau maksud?" tiba-tiba darah Arya Teja
meluap sekali lagi. Sehingga tanpa disadarinya ia melangkah
maju dengan tangan gemetar. Kerisnya masih juga berada di
dalam genggemannya. "Jangan gila," teriak bibinya, "kalian berdua memang gila."
Sekali lagi Arya Teja tertegun, "Dengar kata-kataku!" ben"tak
bibinya. Ternyata pengaruhnya besar sekali atas Arya Teja,
sehingga ia melangkah surut.
"Tidak patut kalian berbuat begitu," berkata bibinya pula,
"kalian harus menemukan penyelesaian sebaik-baiknya,
sebagamana penyelesaian yang dituntut oleh manusia beradab."
"Kami sama-sama laklaki, Bibi. Itu adalah penyelesaian yang
paling baik dan adil," geram Arya Teja, "aku tidak melihat jalan
lain. Sekarang sebutkan laklaki itu, he?"
Rara Wulan masih terduduk diam. Pertanyaan yang demikian,
benar-benar telah menguncangkan dadanya.
Seandainya ia menjawab berterus terang, maka ia yakin, pasti
akan terjadi pertumpahan darah dan bahkan kematian se"perti
yang dikatakan oleh Arya Teja. Membunuh atau dibunuh. Rara
Wulan tahu pula, bahwa laklaki yang ditanyakan oleh Arya Teja
itu pun pasti akan berkata begitu pula. Membunuh atau
di"bunuh. Penyesalan yang paling dalam telah menyesak di dada Rara
Wulan. Sebenarnya penyesalan itu datang sejak peristiwa itu
terjadi. Peristiwa yang seakan-akan berlangsung di luar
sadarnya, pada saat iblis datang menghuni hatinya tanpa dapat
dilawannya. Karena itu, maka tidak ada lain yang diharapkannya
kini, selain mati. Mati. Bahkan telah timbul pula hasratnya untuk
membunuh diri. Tetapi alangkah baiknya, apabila ia mati di
tangan Arya Teja. Mungkin hal itu akan dapat memberi sedikit
kepuasan kepada suaminya yang telah dikhianatinya itu.
Maka sejenak kemudian, terdengar Rara Wulan berkata,
"Kakang, aku tidak akan mengatakan, siapakah laklaki itu.
Timpakan semua kesalahan kepadaku, karena memang akulah
yang paling bersalah dalam hal ini. Semuanya tidak akan terjadi,
seandainya aku tidak menyurukkan diriku sendiri ke dalam
lumpur yang paling hina. Bagiku penyelesaian yang paling baik
adalah bunuhlah aku."
"Perempuan celaka!" potong bibi Arya Teja. "Kau benar-benar
tidak tahu diri. Bunuhlah dirimu sendiri seandainya kau ingin.
Tetapi tunggulah bayi di dalam perutmu itu lahir dan
ber"kesempatan hidup. Tak ada hak dari siapa pun juga untuk
mem"bunuh nyawa yang sama sekali tidak bersalah itu. Semua
hukuman harus ditimpakan dan ditanggung oleh mereka yang
berbuat salah, tetapi tidak pada nyawa itu."
Seperti juga Arya Teja, maka hati Rara Wulan pun ter"sentuh
pula. Apalagi sebagai seorang perempuan yang langsung
menyimpan nyawa itu di dalam dirinya. Karena itu, maka kini
ke"bingungan yang dahsyat telah melanda, jantungnya. Ia ingin
ma"ti, tetapi peringatan bibi Arya Teja telah membuatnya
bimbang. Apabila semula ia telah pasrah tanpa ragu-ragu
menghadapi saat-saat kematian yang memang sudah
diharapkannya, tetapi kini ia mulai bimbang. Nyawa yang ada di
dalam dirinya tidak hanya nyawanya sendiri saja. Tetapi ia pun
sedang menyimpan nyawa bayi di dalam perutnya itu.
Dalam keheningan itu terasa, betapa udara bilik itu seperti
dipanggang di atas api. Hening, tetapi tegang dan panas.
Sejenak kemudian terdengar suara Arya Teja parau, "Wulan.
Jangan memperlambat persoalan. Katakan siapa laklaki itu"
Aku akan membuat penyelesaian."
"Jangan dengan cara itu," bibi Arya Teja berkata, "kau harus
mendapatkan cara yang baik. Cara yang beradab. Ka"lian
bukan manusia-manusia liar yang hanya mengenal cara
penyelesaian yang serupa itu, darah."
Dada Arya Teja berdentangan mendengar kata-kata bibinya.
Kalau semula bibinya berhasil meredakan maksudnya untuk
membunuh Rara Wulan, tetapi kini nafsu Arya Teja untuk
membuat perhitungan dengan laklaki yang dianggapnya telah
menghinanya itu sama sekali tidak surut. Bahkan dengan
gemetar ia berkata, "Tidak ada pilihan lain, Bibi. Bukankah Bibi
sendiri berkata, bahwa aku tidak sepantasnya membunuh Rara
Wulan, tetapi aku dapat berbuat begitu kepada orang yang
menaburkan benih di ladangku."
"Tetapi bukan maksudku, Arya," berkata bibinya, "aku hanya
ingin mencegahmu membunuh Rara Wulan dan bayinya."
"Itu adalah keputusanku," geram Arya Teja. Lalu katanya
kepada Rara Wulan, "Wulan, sebutkan nama itu. Sebutkan."
Dada Arya Teja berdentang ketika ia melihat Rara Wulan
menggelengkan kepalanya yang tunduk, "Aku tidak dapat
mengatakannya, Kakang."
"He," mata Arya Teja kini seolah-olah menyala, "sebutkan!
Sebutkan! Kau hanya menyebutkan saja nama itu.
Penyelesaiannya ada di tanganku."
Air mata Rara Wulan kini menderas lagi. Dan bahkan seolaholah
ia tidak dapat lagi bernafas oleh isaknya yang menyesak di
dada. Tetapi sekali lagi ia menggelengkan kepalanya.
"Wulan. Wulan. Kau tidak mau menyebutkan he?" Arya Teja
tiba-tiba berteriak penuh kemarahan. Dihentakkannya kakimu di
lantai. Sambil menunjuk kepala isterinya dengan ujung kerisnya
ia berkata, "Kau ternyata penghianat yang paling jahat. Kau
sengaja menyembunyikan laklaki di belakang pinjungmu. He,
kalau aku laklaki itu, maka alangkah malunya. Kalau aku
menjadi laklaki itu, akulah yang akan membunuh diri. Bukan
sekedar bersembunyi dan bahkan mengorbankan nyawa
seorang perempuan dan bayi di dalam kandungannya."
Kata-kata itu serasa langsung menusuk jantung Rara Wulan.
Bagaimanapun juga, penghinaan Arya Teja terhadap laklaki
yang pernah membuat sentuhan langsung di hatinya itu,
membuatnya ber"debar-debar. Tetapi ia tidak dapat berbuat
apa-apa selain berdiam diri menutup mulutnya rapat-rapat.
Perasaannya semuanya tertuang lewat air matanya.
"Wulan, apakah kau benar-benar sudah menjadi bisu he?"
Arya Teja menjadi semakin marah dan berteriak-teriak.
"Arya Teja," berkata bibinya, "hentakan perasaan di dadamu
memang terlampau berat. Sekarang, marilah tinggalkan bilik ini,
Ngger. Beristirahatlah. Kau akan menemukan ketenangan.
Dalam ketenangan itulah kau baru mengambil sikap. Kalau
sekarang kau menentukan cara penyelesaian itu, maka kau akan
salah jalan. Kau sekarang tidak dikuasai oleh pikiran dan nalar,
tetapi kau sedang dikuasai oleh perasaan. Perasaanmu yang
lagi gelap." "Tidak, Bibi. Aku harus mendengarnya sekarang. Apakah aku
akan bersikap sekarang, hal itu dapat dipikirkan kemudian.
Tetapi nama itu harus aku dengar sekarang. Nama laklaki licik
yang hanya berani berperisai nyawa seorang perempuan,
sehingga laklaki betina itu tidak lebih dari seorang pengecut
besar." Ternyata kata-kata itu telah menggugah sebuah hati. Betapa
seseorang menahan diri, namun penghinaan itu tidak dapat
dibiarkannya. Karena itu, maka seorang laklaki yang selama ini
mendengar"kan pembicaraan itu dari balik dinding di luar rumah,
tidak dapat lagi menahan gejolak perasaannya pula.
Sejak beberapa lama ia mendengarkan pembicaraan Arya
Teja dan isterinya di dalam biliknya. Kadang-kadang ia terpaksa
mena"han nafasnya, namun kadang- kadang ia terpaksa
menggeretakkan giginya. Ia tidak mempedulikan satu dua orang pembantu di dalam
rumah itu memperhatikannya dari kejauhan. Pembantupembantu
rumah itu memang sudah mengenalnya, karena ia
sering pula datang berkunjung menemui Arya Teja sebelum
kawin dengan Rara Wulan. Pembantu-pembantu yang melihatnya pun sama sekali tidak
menegurnya. Mereka menyangka, bahwa orang itu akan
berkunjung seperti biasa, tetapi ketika didengarnya Arya Teja
sedang bertengkar dengan isterinya, maka ia menunggunya saja
di luar. Sedang para pembantu itu tidak tahu apakah yang
sebenarnya diperteng"karkan. Mereka hanya mendengar suara
Arya Teja hampir berteriak. Pembantu-pembantu itu menjadi
ketakutan, karena sebelum itu me"reka tidak pernah melihat
atau mendengar Arya Teja bersikap kasar, meskipun kadangkadang
dapat juga bersikap keras.
Tetapi orang itu sebenarnya sama sekali tidak senang
menunggu sampai pertengkaran itu reda. Pertengkaran itu
sendiri telah membakar jantungnya dan mendidihkan darahnya.
Ia-lah yang melihat Arya Teja berjalan dengan tergesa-gesa dan
kemudian mengikutinya. Terasa ada sesuatu yang tidak wajar
pada muda yang baru saja kawin itu.
Ternyata apa yang disangkanya itu benar-benar terjadi. Ia
mendengar pertengkaran itu. Ia mendengar Arya Teja bahkan
mengancam untuk membunuh isterinya, dan kini Arya Teja
sedang mendesak Rara Wulan untuk menyebut nama laklaki
yang dianggapnya telah mengkhianatinya.
Dada orang itu menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar
bahwa Rara Wulan berkeras hati untuk tidak menyebut nama
laklaki itu. Tetapi darahnya segera mendidih ketika ia
mendengar penghinaan Arya Teja atas laklaki itu.
"Hem, apakah aku akan berdiam diri saja?" desisnya di dalam
hati. Sebuah pergolakan telah terjadi di dadanya. Pergolakan yang
semakin lama menjadi semakin dahsyat. Sejak Arya Teja
menghunus kerisnya, ia telah berdiri dalam kebimbangan.
Apakah ia akan turut mencampurinya" Tetapi sebelum ia
mendapat keputusan, ia melihat bahwa bibi Arya Teja dengan
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tergesa-gesa memasuki rumah itu, dan ternyata perempuan itu
telah berhasil mencegahnya, sehingga dengan demikian, ia tidak
perlu mencampurinya. Tetapi ia tidak akan dapat terus menerus
berdiam diri sambil mendengarkan penghinaan yang tiada
berkeputusan. Kini sekali lagi ia mendengar suara Arya Teja, "Kau tidak mau
mengatakannya, Wulan" Baiklah. Simpanlah rahasia itu di dalam
dirimu. Aku sudah tidak berkeinginan untuk membunuh lagi.
Perbuatan itu hanya akan mengotori tanganku saja," Arya Teja
berhenti sejenak, lalu, "Besok aku akan membuat peryataan
terbuka. Setiap orang akan mendengar apa yang telah terjadi
atasmu, sampai saatnya seorang laklaki berani menampilkan
dirinya, dan mengaku bahwa ia telah melakukannya."
Sebuah hentakan yang keras telah menggoncangkan dada
Rara Wulan. Ancaman itu benar-benar telah membuat cemas
dan ketakutan, sehingga terdengar suaranya terpatah-patah di
sela tangis dan isaknya. "Oh, kau terlampau kejam, Kakang.
Kenapa kau tidak mau membunuh aku saja daripada kau
membuat aku malu tiada taranya."
"Laklaki itulah yang bersalah," sahut Arya Teja, "kecuali kau
bersedia menyebut namanya."
Betapa hati Rara Wulan benar-benar tersiksa saat itu. Ia
sama sekali tidak menyangka, bahwa kekhilafannya yang sesaat
itu benar-benar telah mematahkan hari depannya, bahkan jauh
lebih mengerikan daripada mati.
"Aku beri kau waktu," berkata Arya Teja, "apabila sampai fajar
besok kau belum juga mau mengatakannya, maka aku akan
melakukannya. Aku akan membunyikan kentongan memanggil
setiap orang di dalam padukuhan ini, yang sebentar lagi akan
menjadi tanah perdikan yang sempurna. Aku akan sesorah dan
mengatakan apa yang telah terjadi atas seorang perempuan
yang bernama Rara Wulan."
"Kakang," Rara Wulan memekik.
Tetapi suara itu hilang ditimpa oleh suara Arya Teja yang
lebih keras, "Sudah menjadi keputusanku."
"Oh," tangis Rara Wulan menjadi semakin keras. Kini
kepalanya ditelungkupkan di lantai. Rambutnya yang hitam
panjang berserakan dengan kusutnya.
Arya Teja masih berdiri tegak dengan sehelai keris di
tangannya. Dadanya masih terasa membara dan sorot matanya
masih memancarkan perasaannya yang bergolak. Sedang
bibinya berdiri kebingungan tanpa dapat berbuat sesuatu. Arya
Teja sama sekali tidak mau lagi mendengarkan nasehatnya.
Sebagai seorang perempuan, ia kemudian menjadi iba
melihat Rara Wulan. Tanpa disadarinya ia melangkah maju.
Dibelainya kepala perempuan itu sambil berkata, "Sudahlah,
Wulan. Semuanya sudah terjadi. Tidak ada jalan untuk kembali.
Tetapi jalan yang akan kau tempuh kelak, janganlah mengulangi
apa yang telah terjadi, meskipun dalam bentuk yang berbeda.
Kini yang terjadi hanyalah akibat dari perbuatan yang sudah
terlanjur itu. Memang pasti akan terasa pahit. Tetapi kalau kau
sudah maju setapak lagi dan kau atasi kepahitan ini, kau mudahmudahan
akan mendapat ampun dari Yang Maha Kuasa dan
mendapat hati yang terang."
Tetapi Rara Wulan tidak menyahut. Bahkan tangisnya
menjadi semakin keras. Dalam saat yang demikian itulah, Arya Teja terperanjat. Ia
mendengar langkah tergesa-gesa mendekati pintu bilik. Semakin
lama semakin dekat. Sejenak kemudian dadanya berdesir tajam.
Dilihatnya seorang laklaki berdiri di ambang pintu. Seorang lakilaki
yang memancarkan api kemarahan lewat matanya yang
tajam, setajam mata burung hantu, seorang laklaki yang
hidungnya meleng"kung seperti paruh burung betet, berkumis
dan beralis tebal. Bukan Aria Teja saja yang ternyata terkejut bukan buatan.
Tetapi bibinya pun terkejut, ketika tiba-tiba saja ia melihat lakilaki
itu. Ketika ia melihat mata yang seolah-olah memancarkan
nyala api. Tetapi yang lebih terkejut lagi adalah Rara Wulan.
Ketika ia mengangkat wajahnya, dan melihat laklaki itu, maka
darahnya serasa berhenti mengalir.
"Kau," suara yang parau itu tersekat di kerongkongannya.
Laklaki itu sama sekali tidak mengacuhkannya. Tetapi ia
berdiri tegak seperti tiang-tiang rumah itu.
Arya Teja bergeser setapak. Mereka, kedua laklaki itu kini
berdiri berhadapan. Namun belum sepatah kata pun yang
meluncur dari mulut-mulut mereka.
Meskipun demikian, mata merekalah yang seakan-akan
berbicara. Arya Teja seolah-olah menangkap kata-kata itu. Dan
telinga hatinya segera menterjemahkannya. Seakan-akan lakilaki
itu berkata, "Aku"lah yang telah berbuat."
Arya Teja menggeram. Dari sela-sela bibirnya kemudian
terucapkan sepatah kata, "Paguhan."
Laklaki yang berdiri di muka pintu itu masih belum
menjawab. Tetapi kata-kata Arya Teja itu telah menyentuh
dadanya setajam ujung keris yang masih digenggamnya.
Namun kedua laklaki itu kemudian berpaling ketika mereka
mendengar Rara Wulan berteriak, "Pergi, pergi kau iblis yang
paling jahat! Pergi, pergi!"
Tetapi laklaki yang bernama Paguhan itu tidak beranjak dari
tempatnya. "Pergi, pergi!" perempuan itu menjadi semakin berteriakteriak.
Dipukulkannya tinjunya bertubtubi pada lantai yang
basah oleh air matanya, "Pergi, pergi kau!"
Paguhan masih berdiri tegak. Sejenak kemudian terdengar
suaranya seakan-akan bergulung-gulung diperutnya, "Tidak,
Wulan. Aku tidak akan pergi. Aku bukan laklaki pengecut yang
bersembunyi di balik pinjungmu. Aku adalah laklaki yang
mempunyai harga diri."
"Bagus," Arya Teja-lah yang menyahut, "aku hormati kau
karena kejantanan itu. Kita adalah laklaki yang masing-masing
mem"punyai harga diri."
"Pergi, pergi!" Rara Wulan menjadi semakin memekik mekik.
"Tidak ada jalan lain," berkata Arya Teja, "kau atau aku yang
binasa." "Kau atau aku," Paguhan itu mengulang, "bukankah itu jalan
yang paling adil?" "Ya." Dan pembicaraan itu terputus ketika Rara Wulan menjerit
tinggi, "Pergi, pergi!" lalu tangisnya melonjak semakin keras. Dari
sela-sela suara tangisnya terdengar kata-katanya, "Aku tidak
mau melihat peristiwa itu terjadi. Akulah yang bersalah.
Bunuhlah aku. Bunuhlah aku." Suara Rara Wulan menjadi
semakin meninggi. Tiba-tiba ia kemudian diam. Diam, Rara
Wulan jatuh pingsan. Bibi Arya Teja kemudian menjadi sibuk. Diusap-usapnya dahi
perempuan itu. Sesaat kemudian ia berlari ke belakang mencari
minyak kelapa untuk menggosok telinga dan dada Rara Wulan.
Arya Teja dan Paguhan masih berdiri di tempatnya. Mereka
hanya mengikuti kebingungan bibi Arya Teja dengan mata
mereka. "Arya Teja," berteriak bibinya, "apa kau menunggu sampai
isterimu ini mati. Berbuatlah sesuatu. Berbuatlah sesuatu."
Tetapi Arya Teja tidak beranjak dari tempatnya. Ia sama
sekali tidak bergerak ketika ia melihat beberapa orang
pelayannya berlarlari menolong bibinya mengangkat Rara
Wulan ke atas pembaringan di bilik yang lain. Namun hati para
pelayan itu bergetar ketika mereka melihat di tangan Arya Teja
tergenggam sehelai keris.
Tetapi para pelayan itu menjadi agak tenang, karena mereka
tidak melihat setitik darah pun di tubuh Rara Wulan.
Dalam kesibukan itu, terdengar Paguhan berkata, "Arya Teja,
aku menunggumu. Aku memang ingin membuat penyelesaian
itu. Aku tunggu kau di bawah Pucang Kembar. Bulan hampir
bulat di langit. Supaya kau mendapat kesempatan merawat
isteri"mu, maka aku memberimu waktu sampai purnama penuh."
"Aku tidak memerlukan waktu itu. Aku tidak akan merawat
siapa pun. Apalagi orang yang telah mengkhianati aku."
"Terserah kepadamu. Tetapi aku akan berada di bawah
Pucang Kembar pada saat purnama naik, dua hari yang akan
da"tang. Aku tidak dapat berbuat dalam suasana seperti ini. Aku
ingin Wulan sembuh dan sehat."
"Kalau kau mau mengurusnya, uruslah perempuan yang telah
kau nodai itu. Aku tidak memerlukannya."
"Masih belum waktunya Arya. Sesaat setelah aku
membunuhmu di bawah Pucang Kembar, aku memang akan
melakukannya." *** "Baik. Dua hari yang akan datang, tepat pada saat purnama
naik, aku telah berada di bawah Pucang Kembar."
Paguhan tidak menyawab. Dengan wajah yang tegang ia
memandangi Rara Wulan yang terbaring di pembaringan di bilik
sebelah lewat lubang pintu lereg yang tidak tertutup.
Sejenak kemudian dengan langkah tergesa-gesa
ditinggalkannya rumah itu. Langkahnya panjang dan cepat.
Tanpa berpaling lagi ia turun dari pendapa dan melintasi
halaman rumah Arya Teja. Sejenak kemudian ia telah hilang di
balik regol. Arya Teja masih berdiri di tempatnya seakan-akan sebuah
patung. Dadanya bergelora seperti sedang terbakar. Sama
sekali tidak disangka-sangkanya, bahwa orang yang telah
mendorongnya ke dalam kepahitan hidup itu adalah Paguhan,
kawan yang terlampau dekat yang selama ini dianggapnya
sebagai seorang anak muda yang baik.
Tetapi ternyata yang terjadi adalah neraka yang paling
terkutuk, sehingga tanpa sesadarnya ia menggeram, "Dua hari
lagi. Kalau Paguhan tidak ingkar, maka aku atau anak itu yang
akan mati." Arya Teja tersadar ketika ia melihat bibinya masuk ke dalam
bilik itu. Dilihatnya wajah yang tua itu telah basah pula oleh air
matanya. Sejenak orang itu berdiri termangu-mangu, namun
kemudian, ia melangkah mendekati kemanakannya sambil
bertanya, "Kau telah bersepakat untuk melakukan perang
tanding?" Arya Teja menganggukkan kepalanya, "Ya bibi. Nanti apabila
purnama penuh naik. Aku dan Paguhan akan melakukannya di
bawah Pucang Kembar."
Bibinya termenung sejenak. Lalu katanya, "Aku tidak mengerti
bahwa kau lebih senang memilih jalan itu daripada cara yang
lain." "Aku tidak melihat cara yang lain itu," sahut Arya Teja.
Bibinya terdiam. Langkahnya yang berat telah membawanya
ke atas amben bambu. Sambil menarik nafas dalam-dalam
diletakkannya dirinya duduk di atas amben itu.
Sejenak mereka berdua saling berdiam diri. Arya Teja masih
berdiri kaku dengan keris di tangan.
"Isterimu sudah sadar," berkata bibinya kemudian "tetapi ia
mengalami kejutan yang luar biasa."
Arya Teja acuh tak acuh saja mendengar keterangan bibinya
tentang Rara Wulan. Seandainya perempuan itu mati sekalipun
ia tidak akan berkeberatan.
"Ia menyeyali segala dosanya," berkata bibinya lebih lanjut.
Arya Teja masih berdiam diri.
"Arya," berkata bibinya, "aku berpendapat bahwa Rara Wulan
bukanlah seorang perempuan yang jahat. Penyesalan yang
paling dalam telah mendorongnya untuk berputus-asa. Ia
merasa bahwa hidupnya sama sekali sudah tidak berarti lagi.
Kesalahannya itu lelah menyebabkannya malu melihat sinar
matahari." "Oh," Arya Teja menggeram, "sebuah permainan yang sangat
baik. Ternyata Rara Wulan dapat memainkan peranannya
dengan sempurna, sehingga Bibi menjadi iba kepadanya. Tetapi
apakah aku harus menerima penghinaan itu?"
"Arya Teja. Kau harus tahu, apakah sebabnya hal yang
serupa itu dapat terjadi" Kau tidak boleh melihat persoalan itu
hanya sepotong. Sepotong yang membuatmu menjatuhkan
hukuman yang paling berat atas isterimu. Kau harus melihat
keseluruhan dari persoalannya. Peristiwa yang mendahuluinya
dan yang kemudian mendorongnya melakukan perbuatan itu."
"Bibi, Rara Wulan dan Paguhan dapat saja menyusun seribu
macam alasan. Tetapi akibatnya sama saja buatku. Aku
menerima sampah yang telah dilemparkan oleh Paguhan ke
pawuhan. Bibi, aku tidak dapat. Aku tidak dapat menerimanya."
Bibinya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Ya,
Ngger. Aku tahu dan aku dapat mengerti perasaanmu. Tetapi
kau harus mempertimbangkan hal-hal yang dapat meringankan
dosa isterimu. Sebagai manusia ia dapat dilibat oleh nafsu tang
tidak dimengertinya sendiri. Tetapi yang terpenting kau ketahui,
bahwa ia menyesali apa yang telah terjadi sampai ke pusat
hatinya. Menyesal dan bertaubat."
"Apakah artinya sesal itu baginya" Seandainya ia tidak
bertaubat sekalipun, ia tidak akan dapat mengulanginya lagi. Ia
tidak akan mendapatkan masa-masa gadisnya dan melakukan
hal yang serupa. Bahkan seandainya itu dikehendakinya sendiri."
Bibinya menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang yang
telah lanjut usia, ia dapat mengerti perasaan yang bergolak di
dalam dada kemanakannya. Itulah sebabnya, ia kemudian
berdiam diri sambil menebah dada. Dalam keadaan yang
demikian Arya Teja pasti sulit untuk diajak berbicara.
"Aku masih mempunyai waktu dua hari lagi sebelum purnama
naik. Mudah-mudahan aku dapat mengurungkan cara
penyelesaian yang mengerikan itu," berkata bibinya di dalam
hati. "Penyelesaian yang demikian tidak akan dapat memberikan
ketenteraman hidup bagi yang memenangkannya. Hubungan
dengan Rara Wulan tidak akan terselesaikan. Bagi Rara Wulan,
penyelesaian itu adalah cara yang akan menyiksanya sepanjang
hidupnya. Siapa pun yang kalah, ia merasa kehilangan. Kalau
Arya Teja yang kalah, dan mati dalam perkelahian itu, ia akan
kehilangan suaminya. Tetapi, kalau Arya Teja berhasil
memenangkannya, dan Paguhan terbunuh, maka bayi di dalam
kandungan itu akan kehilangan bapanya."
Tetapi bibi Arya Teja itu tidak dapat berbuat apa-apa pada
saat itu. Arya Teja sama sekali tidak dapat diajaknya berbicara.
Kemanakannya itu sedang dikuasai oleh gejolak perasaan yang
dahsyat sekali. Sejenak mereka saling berdiam diri. Ruangan itu menjadi
sepi, tetapi terasa ketegangan telah menyesak di dada masingmasing.
Lamat-lamat mereka masih mendengar isak tangis Rara
Wulan di bilik sebelah ditunggui oleh pelayannya.
Dalam kesepian itu terdengar suara bibi Arya Teja, "Arya
Teja, sarungkanlah kerismu. Kau tidak memerlukannya
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekarang." Arya Teja menarik nafas. Perlahan-lahan tangannya seolaholah
telah digerakkan oleh kekuatan yang tidak dimengertinya
menyarungkan kerisnya pada wrangkanya.
"Beristirahatlah dan cobalah merenungkan apa yang telah
terjadi dengan tenang. Jangan diburu oleh nafsu yang bergejolak
di dalam dirimu." "Akulah yang telah menjadi korban nafsu itu, Bibi."
Bibinya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Baiklah, Ngger. Meskipun demikian apakah salahnya kalau kau
mencoba melihat persoalan ini dari segala segi. Segi yang
memberatkan namun juga segsegi lain, yang dapat
meringankan dorongan kemarahanmu."
"Tidak ada yang perlu aku pertimbangkan lagi. Aku sudah
memutuskan. Dua hari lagi, saat purnama naik, aku akan
membuat penyelesaian secara jantan."
Mereka pun kemudian terdiam pula. Ketika udara di dalam
bilik itu terasa semakin sesak, maka Arya Teja pun segera
melangkah ke luar. Saat-saat berikutnya adalah saat yang paling menegangkan,
seolah-olah waktu berjalan terlampau lamban.
Arya Teja seakan-akan merasakan bahwa rumahnya telah
menjadi tempat yang paling menyiksanya. Siang dan malam ia
seakan dipanggang di atas bara api. Ia sama sekali tidak mau
lagi masuk ke dalam ruang dalam rumahnya. Ia selalu berada di
pendapa atau di pringgitan saja.
Di dalam rumah itu Rara Wulan ditunggui oleh bibi Arya Teja.
Perempuan tua itu tidak sampai hati untuk meninggalkannya
dalam keadaan yang demikian. Selain Rara Wulan selalu
dihantui oleh kesalahannya sendiri, bibi Arya Teja itu
mencemaskannya pula apabila tiba-tiba saja perempuan itu
membunuh dirinya. Karena itu, ia tidak mau meninggalkannya.
Apabila malam kemudian tiba, Arya Teja selalu memandangi
bulan yang mengapung di langit. Meskipun ujudnya telah hampir
bulat, namun malam purnama masih harus ditunggunya. Dan
menunggu kesempatan itu adalah pekerjaan yang paling
menyakitkan hati. Di hari kedua Arya Teja benar-benar telah kehilangan
kesabaran. Sebelum matahari merendah di ujung barat, anak
muda itu telah mempersiapkan dirinya. Diambilnya senjatanya
yang selama ini telah disimpan di atas geledegnya. Sebuah
tombak pendek pemberian ayahnya sebagai sipat kandel dalam
kembaranya mengabdikan dirinya kepada pimpinan kerajaan di
Demak. Arya Teja terkejut ketika ia mendengar suara bibinya
memanggilnya, "Arya Teja, apakah selama dua hari ini kau tidak
menemukan cara lain yang lebih baik daripada cara-cara orang
biadab itu?" Arya Teja mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya
dengan nada yang dalam, "Tidak, Bibi. Aku tidak memikirkan
cara yang lain yang dapat aku lakukan."
"Sebaiknya kau mempergunakan mulutmu saja, Ngger. Tidak
mempergunakan senjata itu."
"Senjata ini lebih baik daripada mulutku, Bibi. Dengan senjata
ini semuanya akan segera selesai."
"Tidak. Persoalannya tidak dapat diselesaikan. Tetapi
persoalan itu membeku karena salah satu pihak terbunuh
karenanya" "Dan dengan demikian maka tidak akan ada persoalan lagi."
"Kau membohongi dirimu sendiri, Arya. Persoalan itu akan
bergolak di dalam dadamu. Justru lebih dahsyat dan lebih sulit
untuk kau selesaikan."
Arya Teja menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak, Bibi.
Aku tidak memikirkan jalan lain."
Bibi Arya Teja menjadi semakin gelisah. Dicobanya sekali lagi
untuk menjelaskan keadaan Rara Wulan. "Arya Teja. Kau harus
berjiwa besar menghadapi persoalan itu. Rara Wulan adalah
seorang manusia biasa yang dapat melakukan kekhilafan.
Seperti kau, pasti pada suatu waktu melakukannya. Aku,
ayahmu, dan ibumu. Bahkan semua orang. Kini isterimu telah
benar-benar menyesali kekhilafan itu. Apakah tidak ada terbersit
di dalam hatimu untuk memaafkannya" Ia telah cukup tersiksa.
Kelembutan sikapmu selama ini benar-benar membuat Rara
Wulan semakin merasa berdosa." Bibinya itu berhenti sejenak,
lalu, "Apalagi apabila kau bersedia memaafkan kesalahannya,
Ngger. Maka tidak ada hukuman lang lebih berat lagi bagi Rara
Wulan daripada menerima maafmu."
Arya Teja tidak menyahut. Kata-kata bibinya itu terasa
menyentuh hatinya. Namun kemudian teringat olehnya janji yang
telah diucapkannya, "Pada saat purnama naik, di bawah Pucang
kembar." "Tidak," Arya Teja itu tiba-tiba menggeram. "Tidak, Bibi. Aku
adalah seorang laklaki. Aku sudah mengucapkan janji untuk
melakukan perang tanding. Tidak ada yang dapat
mengurungkan niat itu."
"Kau tidak mau mendengarkan nasehatku, Arya.
Bagaimanakah kira-kira apabila ayah dan ibumu mendengar hal
ini." "Ayah dan ibu pasti akan membenarkan sikapku. Aku adalah
anak laklaki yang diharapkan bersikap jantan."
Bibinya menggelengkan kepalanya, "Aku kira tidak, Arya."
"Seandainya tidak, aku tidak akan mengurungkan janji itu.
Hari ini adalah hari yang kedua. Nanti apabila purnama naik, aku
harus sudah berada di bawah Pucang Kembar."
Bibinya mengelus dadanya. Tidak ada cara lagi untuk
membujuk kemenakannya yang keras hati itu. Apabila nanti
malam tiba, maka di bawah Pucang Kembar itu akan terjadi
pepati. Besok, setiap orang pasti akan memperkatakannya apa
yang terjadi. Apakah mereka akan menemukan mayat Paguhan
atau mayat Arya Teja. Namun keduanya adalah anak-anak
muda yang memiliki kelebihan dari anak-anak muda sebayanya.
Perempuan tua itu kemudian menundukkan kepalanya. Arya
Teja adalah anak muda yang keras hati. Ia mengenal anak itu
sejak dilahirkan oleh ibunya. Keras hati, nakal namun
bertanggung jawab. Harga dirinya tampak jelas sejak ia masih
kanak kanak. Pada saat ia menginjak dewasa, maka tampaklah
bahwa Arya Teja akan dapat memenuhi kekudangan orang
tuanya. Berbeda dengan adiknya. Adiknya pun nakal seperti
Arya Teja. Tetapi adiknya kurang bertanggung jawab dan agak
manja, sehingga perkembangan wataknya pun berbeda pula.
Dan kini Arya Teja itu sedang mengalami badai di dalam
hidupnya sebagai seorang anak muda.
Selapis air tergenang di mata perempuan tua itu. Dan ia
terkejut ketika ia mendengar suara Arya Teja, "Maafkan aku,
Bibi. Kali ini aku tidak dapat memenuhi permintaan Bibi."
Bibinya tidak menjawab. Tetapi terasa sesuatu menyekat
kerongkongannya. Apakah yang akan terjadi atas tanah
Menoreh seandainya Arya Teja malam nanti terbunuh oleh
lawannya, meskipun ia mati secara jantan"
Bibi Arya Teja itu mengangkat wajahnya ketika
kemenakannya berkata, "Bibi, matahari telah menjadi rendah,
hampir sampai ke punggung pegunungan itu. Aku minta doa
Bibi, semoga, aku dapat kembali ke rumah ini."
Bibinya mengangguk, meskipun ia berkata di dalam hatinya,
"Lalu, apa yang akan kau temui di rumah ini adalah bagian dari
kepedihan hati itu pula Arya."
Tetapi, bibinya tidak menyatakannya. Disimpannya saja katakata
itu di dalam hatinya. Ia tidak mengharap Arya Teja menjadi
semakin mendendam lawannya.
"Anak itu bukan seorang yang ganas," berkata bibinya di
dalam hatinya, "mudah-mudahan demikianlah sikapnya terhadap
lawannya apabila ia berhasil menguasainya." Namun kemudian
dada, perempuan itu berdesir. "Bagaimanakah yang akan terjadi
seandainya Arya Teja kalah dalam perang tanding itu?"
Mata perempuan tua itu menjadi semakin basah.
"Sudahlah, Bibi," terdengar suara Arya Teja berat, "jangan
hiraukan aku lagi. Apa pun yang akan aku lakukan dan apa pun
yang akan terjadi. Aku mohon maaf apabila aku telah melukai
hati Bibi." Bibinya tidak menjawab. "Perkenankan aku pergi sekarang. Aku harus berada di
bawah Pucang Kembar itu sebelum purnama naik."
Sebuah anggukan kecil menggerakkan kepala perempuan tua
itu. Terdengar suaranya lirih seolah-olah tersangkut di
kerongkongan, "Hathatilah, Arya."
"Terima kasih, Bibi. Aku masih ingin melihat matahari terbit
besok pagi." Bibinya tidak menyahut. Ditatapnya wajah kemenakannya
dalam-dalam. Ketika kemenakannya itu kemudian melangkah
meninggalkannya, maka perempuan itu tidak dapat menahan
perasaannya lagi. Menangis. Justru karena itu, ia lupa kepada
perempuan yang selama ini dijaganya. Kini ia sedang bergulat
dengan perasaan sendiri. Perlahan-lahan ia pergi ke bilik
kemenakannya dan meletakkannya dirinya, duduk di atas amben
bambu yang dibentangi oleh sehelai tikar pandan.
Arya Teja itu bukan anaknya sendiri, tetapi anak adik
perempuannya. Namun anak muda itu terlampau dekat
dengannya, seperti anak sendiri. Bahkan Arya Teja lebih banyak
menyatakan perasaannya kepada bibinya daripada kepada
ibunya. Karena itu, maka kepergian Arya Teja kali ini benarbenar
menyedihkannya. "Apakah anak itu akan kembali?" desisnya.
Perempuan tua itu menangis di dalam bilik kemenakannya
Angan-angannya mengembara sampai ke dunia yang terlampau
asing baginya. Tetapi ia merasa bahwa kesepian telah
mengintainya dan siap untuk menerkamnya .
"Apakah aku harus memberitahukannya kepada orang tua
Arya Teja?" pertanyaan itu sekalkali menyentuh hatinya. Tetapi
ia tidak berani mengambil sikap apa pun. Apakah hal itu akan
menguntungkan, atau bahkan sebaliknya" Bagaimanakah
apabila orang tua Arya Teja itu mengambil sikap sendiri, dan
mengurungkan perkelahian itu dengan kekerasan pula terhadap
Paguhan. Dengan demikian maka perasaan Arya Teja yang
sedang terbakar itu akan tersinggung pula. Karena itu, maka
yang dapat dilakukannya adalah menangis dalam kebimbangan
dan keragu-raguan. Sementara itu, Arya Teja berjalan dengan kepala tunduk
menyusuri jalan-jalan padukuhannya. Di tangan kanannya
tergenggam sebatang tombak pendek, pusaka pemberian
ayahnya yang selama ini selalu menemaninya di dalam keadaan
yang paling sulit. Di dalam masa pengabdiannya kepada Demak,
sehingga ia mendapat anugerah Tanah Perdikan yang lebih
sempurna bagi Menoreh. Beberapa orang yang menyaksikannya bertanya-tanya di
dalam hati mereka, "Kemanakah Arya Teja itu akan pergi"
Langkahnya tampak tergesa-gesa sedang tangannya menjinjing
senjata." Tetapi, tidak seorang pun yang bertanya kepadanya. Bahkan,
orang-orang yang ditemuinya di perjalanannya, bahkan hampir
bersentuhan, tidak dihiraukannya. Di dalam kepalanya
bergolaklah persoalan tentang dirinya dan isterinya, dalam
hubungannya dengan laklaki yang bernama Paguhan. Semakin
tajam ia menyoroti persoalan itu, maka kemarahannya pun
menjadi semakin membakar jantungnya. Sehingga langkahnya
menjadi semakin cepat pula. Ia ingin segera sampai ke bawah
Pucang Kembar. Di sana ia telah mengikat janji untuk
menyelesaikan masalahnya secara jantan.
Namun sekalsekali terngiang pula kata-kata bibinya, "Tidak
ada hukuman yang lebih berat bagi Rara Wulan daripada
menerima maafmu." Dada Arya Teja itu terasa berdesir. Tetapi semuanya segera
terusir seperti asap dihembus angin yang kencang.
Kemarahannya selalu menyapu semua perasaan lain yang
tumbuh di dalam hatinya. Semakin dekat Arya Teja dengan sepasang pohon pucang
yang tumbuh di lereng pebukitan, hatinya menjadi semakin
berdebar-debar. Langkahnya terasa terlampau lamban. Ingin ia
meloncat dan langsung berdiri di bawah Pucang Kembar sambil
memutar tombaknya. Ia ingin segera mendapat keputusan.
Meskipun Arya Teja menjadi hampir tidak sabar lagi, namun
akhirnya ia sampai juga di bawah Pucang Kembar itu. Ketikia
menengadahkan wajahnya ke langit, dilibatnya warna-warna
merah terbentang dari ujung sampai ke ujung. Matahari telah
menjadi semakin rendah bertengger di atas pegunungan.
"Hem," desisnya "aku masih harus menunggu. Apa matahari
itu tenggelam, maka sebentar kemudian purnama akan naik.
Dan aku harus membuat perhitungan terakhir."
Dengan gelisahnya Arya Teja berjalan mondar-mandir di
tanah berumput yang membentang di bawah Pucang Kembar
itu. Semakin rendah matahari di langit, Arya Teja pun menjadi
semakin kehilangan kesabarannya.
Tetapi Paguhan masih juga belum menampakkan dirinya.
"Mudah-mudahan ia tidak ingkar janji," desis Arya Teja.
"Kalau Paguhan tidak datang pada saat purnama naik, maka aku
akan mencarinya kemana pun, sampai ke ujung bumi. Aku tidak
mau membatalkannya lagi."
Arya Teja mencoba menyabarkan dirinya. Matahari masih
tampak tepat di punggung bukit. Perlahan-lahan sinarnya
menjadi kian pudar Warna-warna merah di langit pun menjadi
semakin suram. Sedang angin senja yang lemah berhembus
membelai daun sepasang pucang yang ikut terguncang-guncang
dengan gelisahnya. Arya Teja berdiri tegak seperti patung di antara kedua batang
Pucang Kembar itu menghadap ke Barat. Ditengadahkan
wajahnya memandang matahari yang hampir tenggelam, seolaholah
dihitungnya waktu yang diperlukan oleh matahari itu untuk
menyembunyikan dirinya di balik bukit.
Cahaya kemerah-merahan yang semakin gelap hinggap di
wajah Arya Teja. Perpaduan antara warna senja yang hampir
kelam dan wajah Arya Teja sendiri yang tegang, memancarkan
suasana yang mendebarkan jantung.
Dengan sorot mata yang tajam, Arya Teja seolah-olah ingin
mendorong agar matahari menjadi semakin cepat tenggelam.
Kesabarannya kian lama sudah menjadi kian menipis.
Ketika matahari kemudian hilang di balik pegunungan, Arya
Teja menarik nafas dalam-dalam. Alam di sekitarnya menjadi
samar-samar. Pepohonan yang hijau tampak menjadi hitam
seperti bayangan hantu yang berdiri memutari bentangan tanah
berumput di bawah pohon Pucang Kembar itu.
Wajah Arya Teja yang gelap menjadi semakin gelap. Tiba-tiba
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia memutar tubuhnya, dan berdiri tegak menghadap ke Timur.
Tatapan matanya yang tajam kini hinggap pada cakrawala di
ujung langit. Di sanalah nanti pada saatnya purnama akan naik.
Arya Teja menjadi hampir tidak bersabar lagi. Langit yang
menjadi semakin kelam kini mulai diwarnai oleh cahaya yang ke
kuning-kuningan. Cahaya purnama yang memancar seolah-olah
dari bawah bumi. Purnama yang sebentar lagi akan naik dan
mengapung di langit yang bersih.
"Tidak ada sepenginang lagi, purnama akan naik," anak muda
itu berdesis. Dadanya kini menengadah, seakan-akan
menantang cahaya purnama yang pertama kali akan
mematuknya. "Paguhan harus sudah berada di tempat ini," katanya di
dalam hati. Belum lagi ia sempat mengedarkan pandangan matanya,
terasa dadanya berdesir. Ia mendengar langkah halus di
rerumputan di sampingnya. Tetapi Arya Teja tidak berpaling. Ia
masih tetap berdiri tegak dengan kaki renggang, menanti bulan
yang sudah mulai terbit. Seleret warna kuning menyembul dari
balik kaki langit, di sebelah Timur. Cahayanya yang kuning
dengan serta-merta menguak kehitaman yang membentang
menyelubungi bumi. Semakin lama menjadi semakin terang.
Meskipun tidak secerah sinar matahari, namun cahaya bulan
memiliki wataknya sendiri.
Arya Teja masih memandang purnama yang tepat naik. Ia
mendengar telapak kaki semakin dekat kepadanya. Tanpa
berpaling ia bergumam, "Kau datang tepat pada waktunya,
Paguhan." "Ya," terdengar jawaban dalam nada yang berat, "aku tidak
mempunyai waktu sebanyak waktumu yang kau sia-siakan di
bawah Pucang Kembar ini dalam kegelisahan. Aku datang tepat
pada waktunya, dan segera akan pergi tepat pada waktu yang
aku kehendaki pula."
Dada Arya Teja berdesir mendengar jawaban itu. Tetapi ia
masih menghadap ke arah bulan yang semakin terang.
Dilihatnya sehelai awan yang putih mengalir ke utara, kemudian
buyar ditiup angin yang kencang.
Arya Teja menarik nafas dalam-dalam. Tidak terasa olehnya
betapa sejuknya angin malam di daerah terbuka, karena hatinya
yang membara. Perlahan-lahan ia berpaling. Dilihatnya Paguhan berdiri tegak
di sisi sebatang dari sepasang pucang itu. Dalam cahaya bulan
yang kekuning-kuningan tampaklah wajahnya seolah-olah
memancarkan api dari dalam dadanya.
"Kau terlampau sombong, Paguhan," Arya Teja menggeram.
"Terserah menurut penilaianmu, Arya. Aku sebenarnya tidak
ingin melakukan pembunuhan. Apalagi atas suami Rara Wulan.
Tetapi kau terlampau keras hati. Karena itu, apa boleh buat."
"Apakah kau yakin bahwa kau akan dapat membunuhku?"
"Tidak ada seorang pun yang dapat lepas dari tanganku."
"Hem, kau memang terlampau sombong."
"Jangankan kau, Arya, bawalah serta ayah dan kakekmu. Aku
akan membunuh mereka bersama-sama."
Terdengar Arya Teja menggeram.
"Jangan sakit hati mendengar kata-kataku," berkata Paguhan
"sebentar lagi kau harus melihat kenyataan itu."
"Agaknya karena kau terlampau yakin akan dirimu sendiri,
kau telah melakukan perbuatan terkutuk itu."
"Hampir tidak ada hubungannya," sahut Paguhan. "Kau
sendiri harus mengakui kesalahanmu. Kau tinggalkan gadis
bakal isterimu itu dalam waktu yang tidak terbatas. Dalam
kesempatan itulah, ia mencari tempat untuk melepaskan
kesepiannya. Tetapi aku bukan seorang pengecut, Arya. Kaulah
pengecut itu. Seandainya kau tidak mengikatnya jauh-jauh
sebelum waktunya, maka aku akan mengawininya. Tetapi
pembicaraan antara orang tuamu dan orang tua Rara Wulan
agaknya terlampau mengikat, sehingga terpaksa perkawinanmu
itu berlangsung. Tetapi bukan salahku dan bukan salah Rara
Wulan kalau kau tidak mendapatkan isterimu itu seperti yang kau
kehendaki." Terasa darah Arya Teja mendidih di dalam jantungnya. Katakata
Paguhan benar-benar merupakan penghinaan yang tiada
taranya. Justru karena itu, maka mulutnya menjadi seolah-olah
terbungkam. Meskipun bibirnya tampak bergerak-gerak, tetapi
tidak sepatah kata pun yang melontar.
"Sekarang kau menepuk dada sebagai Laklaki jantan,"
Paguhan meneruskannya. "Arya, jangan kau sangka bahwa
karena kau baru saja menerima anugerah dari Demak, yang
akan menempatkan kau sebagai Kepala Tanah Perdikan
Menoreh, tidak ada seorang pun di tanah ini yang dapat
mengimbangimu. Bukankah kita bersama-sama pergi berguru
pada saat itu, meskipun pada orang yang berbeda" Nah,
seterusnya kau tenggelamkan dirimu pada tugas-tugasmu.
Tetapi aku masih selalu meningkatkan ilmuku. Sekarang, kita
mendapat kesempatan untuk memperbandingkan, siapakah
yang lebih baik di antara kita. Tetapi, sekali lagi kau harus
melihat kenyataan, meskipun untuk saat terakhir dalam hidupmu.
Sepeninggalmu, Rara Wulan adalah isteriku. Anak itu adalah
anakku." Terdengar gigi Arya Teja gemeretak, seperti gemerak di
dalam jantungnya. Semakin lama semakin keras. Wajahnya
yang membara menjadi semakin merah seperti saga.
Dengan susah payah, ia mencoba menyabarkan
perasaannya, supaya ia tidak kehilangan pengamatan diri dalam
perkelahian yang akan terjadi.
Sejenak kemudian terdengar suara Arya Teja terbata-bata,
"Apa pun menurut perasaan dan penilaianmu atas persoalan ini,
Paguhan, tetapi kita telah menentukan, bagaimana kita akan
menyelesaikannya. Nah, jangan banyak berbicara lagi. Marilah
kita lihat, siapakah yang akan dapat keluar dri daerah ini.
Siapakah yang besok masih dapat menyebut bahwa malam ini
kita telah berkelahi di bawah Pucang Kembar."
"Huh," ujung-ujung bibir Paguhan tergerak, "kau memang
seorang pemimpi. Baiklah, semakin cepat memang semakin
baik. Ayo, apakah kau telah bersiap" Besok orang-orang
Menoreh akan menemukan bangkaimu di sini. Mungkin tinggal
kerangkamu saja yang akan diketemukan orang, karena anjinganjing
liar itu." Seadainya Arya Teja tidak berhasil menahan dirinya, ia akar
benar-benar jatuh ke dalam pengaruh kemarahannya, sehingga
ia akan kehilangan kejernihan berpikir. Apabila demikian, maka
keadaannya pasti akan sangat berbahaya, sebab ia berhadapan
dengan seorang yang sebenarnya memang pilih tanding.
"Nah, apa katamu Arya Teja" Kenapa kau berdiri saja seperti
patung" Apakah kau menyesal bahwa kau telah mengambil
keputusan untuk melakukan penyelesaian dengan cara ini?"
Hampir saja Arya Teja meloncat menyerang Paguhan. Tetapi
ia masih sempat menahan diri sekuat-kuatnya. Justru kini ia
sadar, bahwa Paguhan memang sedang memancing
kemarahannya. Sebab kemarahan yang meluap-luap, akan
membuatnya kehilangan perhitungan. Kesadaran itulah yang
justru menahan Arya Teja untuk tetap berdiri di tempatnya,
meskipun dadanya seakan-akan hampir meledak. Bahkan ia
masih dapat mengucapkan kata-kata, "Ayolah Paguhan. Apakah
kau hanya pandai berbicara tanpa ujung pangkal tetapi tidak
pandai menggenggam senjata" Kita sudah tidak perlu berbicara
lagi. Apakah besok bangkaiku atau bangkaimu yang akan
menjadi makanan anjing-anjing liar, marilah kita tentukan dengan
perbuatan. Tidak dengan kata-kata."
Dada Arya Teja berdesir ketika ia mendengar Paguhan justru
tertawa. "Kau agaknya menjadi ngeri membayangkan apa yang
akan terjadi atasmu. Jangan takut. Bukankah kau seorang lakilaki
jantan yang telah membawa nama cemerlang di dalam
pengabdianmu kepada Demak" Kau tidak perlu takut mati."
"Apakah kau sedang mencoba membuat aku marah dan
kehilangan akal?" sahut Arya Teja. "Paguhan, aku sudah bukan
anak-anak lagi yang mudah kau bakar dengan kata-kata
penghinaan. Kau akan menjadi salah hitung. Sebaiknya kita
berhadapan sebagai orang laklaki, tanpa banyak usaha untuk
mengalahkan lawan dengan licik seperti yang sedang kau
lakukan. Kau tidak perlu membuat aku marah, karena
sebenarnya aku memang sedang marah Tetapi kemarahanku
bukan kemarahan anak-anak lagi."
Dada Paguhan berdesir mendengar kata-kata Arya Teja.
Hampir-hampir ia sendirilah yang jatuh ke dalam perangkapnya
sendiri. Hampir-hampir ia kehilangan pengamatan diri. Tetapi
sejenak kemudian ia pun menyadari keadaannya.
Sekali, lagi ia tertawa dan berkata, "Kau selalu berprasangka
jelek. Baiklah, aku tidak akan berbicara lagi tentang
kemungkinan yang akan terjadi, supaya kau tidak menjadi
ketakutan. Marilah ita bersiap untuk menentukan siapakah di
antara kita yang akan dapat keluar dari daerah ini."
Arya Teja sama sekali sudah tidak bernafsu lagi untuk
berbicara. Namun kini ia telah menemukan kemantapan diri. Ia
tidak boleh terpancing dengan cara apa pun juga, supaya ia
dapat melakukan perlawanan dengan wajar.
Perlahan-lahan ia mengangkat tombaknya, dan perlahanlahan
ujung tombaknya merunduk setinggi dada. Tombak itu
adalah tombak yang jarang sekali dipergunakannya. Namun kali
ini ia akan berhadapan dengan seorang yang dianggapnya
mempunyai beberapa kelebihan dari anak-anak muda yang lain,
sehingga tombak itulah yang dibawanya untuk menemaninya
melawan Paguhan yang telah berkhianat terhadap persahabatan
mereka. Paguhan yang menyadari bahwa ia tidak dapat lagi
membakar hati Arya Teja, segera bersiap pula. Dari selongsong
putihnya, ia mengambil sepasang senjata yang dahsyat sekali.
Sepasang nenggala, yang bermata dua, di pangkal dan di
ujungnya. Dada Arya Teja berdesir melihat sepasang senjata yana
mengerikan itu. Senjata yang khusus dimiliki oleh Paguhan dari
gurunya. Sepasang senjata di kedua tangannya itu berarti empat
ujung yang tajamnya melampaui senjata-senjata biasa.
"Apakah kau heran melihat senjataku," terdengar suara
Paguhan datar. Arya Teja menggeleng. "Tidak. Kau pernah memperlihatkan
kepadaku." "Oh," Paguhan mengangguk-anggukkan kepalanya, "aku
memang pernah memperlihatkan kepadamu. Tetapi kau belum
pernah melihat bagaimana aku mempergunakannya."
"Aku ingin segera melihatnya, karena itu jangan banyak
berbicara." Sekali lagi dada Paguhan berdesir. Tetapi sekali lagi ia
bertahan untuk tidak masuk ke dalam perangkapnya sendiri.
Sejenak kemudian, kedua anak muda itu telah berdiri
berhadapan dengan senjata di tangan masing-masing. Paguhan
dengan sepasang senjata yang khusus, sedang Arya Teja
menggenggam tombak pendeknya dengan kedua tangannya.
Ujung tombak itu kini menjadi semakin merendah. Setapak ia
maju mendekati Paguhan. Matanya yang tajam menyambar
kedua senjata itu bergantganti, namun kemudian ditatapnya
mata Paguhan yang semakin membara.
Arya Teja sadar bahwa ia tidak akan dapat mengikuti
sepasang senjata itu dengan matanya. Keduanya pasti akan
bergerak dengan arah dan irama yang berbeda. Tetapi Arya Teja
tidak akan dapat ditipu lagi oleh arah pandangan mata Paguhan.
Pengalamannya telah cukup luas menghadapi segala macam
senjata. Juga jenis-jenis senjata berpasangan.
Bulan yang bulat telah memanjat langit semakin tinggi.
Cahayanya yang kekuning-kuningan memancar mewarnai
dedaunan yang hijau gelap. Satu-satu kelelawar berterbangan di
dalam kesenyapan langit yang cerah.
Arya Teja dan Paguhan telah berdiri berhadapan. Senjatasenjata
mereka telah bergetar. Beberapa langkah mereka
bergeser. Tetapi, tatapan mata mereka seolah-olah terpaku
kepada lawan. Mereka tidak boleh lengah sekejap pun.
Ketika di kejauhan terdengar anjing liar menyalak bersahutsahutan,
maka anak-anak muda itu sudah tidak dapat menahan
diri lagi. Setapak mereka mendekat, dan tiba-tiba terdengar
Paguhan berteriak nyaring. Sebuah loncatan yang hampir tidak
tertangkap oleh mata, telah membuka sebuah serangan yang
langsung mengarah kepada lawannya. Tetapi Arya Teja telah
bersiap sepenuhnya. Dengan lincahnya ia bergeser menghindar.
Selangkah ia surut, namun kemudian tombaknya terjulur lurus
mematuk lambung lawannya.
Terdengar sebuah dencingan yang keras. Kedua senjata
anak-anak muda itu beradu. Terasa getaran yang tajam
merambat dari ujung senjata masing-masing ke telapak tangan
mereka. Dan getaran itu ternyata telah menggetarkan jantung
mereka. Sehingga mereka masing-masing berdesah di dalam
hati, "Alangkah dahsyat tenaganya."
Dengan demikian kedua anak-anak muda yang sedang
berkelahi itu dapat mengukur, betapa besar kekuatan lawan.
Mereka menyadari bahwa mereka masing-masing tidak lebih
kuat dari lawan mereka. Paguhan yang bersenjata rangkap itu bertempur seperti
seekor naga berkepala empat. Mematuk dan menyergap dari
segenap penjuru. Sepasang senjatanya itu seakan-akan telah
berkembang menjadi ratusan bahkan ribuan mata nenggala
yang mengerikan Tetapi lawannya adalah seorang anak muda yang cukup
matang mempergunakan tombaknya. Tombak bertangkai
pendek di tangan Arya Teja itu berputar bergulung-gulung
seperti asap yang melindungi dirinya. Asap yang menyebarkan
racun yang terlampau tajam. Sentuhan asap itu akan berakibat
terlampau parah bagi lawannya.
Dengan demikian maka perkelahian itu menjadi kian lama
kian sengit. Bukan saja karena keduanya adalah anak-anak
muda yang memiliki ilmu yang tinggi, tetapi ternyata mereka
telah dibakar pula oleh dendam dan kebencian, sakit hati dan
harga diri yang berlebih-lebihan. Mereka sudah tidak dapat
berpikir lain kecuali membinasakan lawan masing-masing atau
mati terkapar sebagai laklaki jantan di bawah Pucang Kembar
itu. Ketika angin yang kencang bertiup dari utara, maka sepasang
pucang itupun terayun-ayun seakan-akan ikut serta menari,
menarikan tarian maut, seperti yang sedang terjadi di atas
bentangan berumput di bawahnya.
Dalam kilauan cahaya bulan yang memantul dari ujung-ujung
senjata yang bergerak-gerak itu, kadang-kadang terpercik
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bunga-bunga api yang meloncat karena benturan dua kekuatan
yang tiada taranya. Sementara itu, di rumah Arya Teja, bibinya masih duduk
sambil mengusap air matanya dengan ujung bajunya. Ia tidak
berpaling sama sekali ketika seorang pelayan menyalakan
lampu di dalam bilik yang sudah menjadi gelap itu.
Bayangan-bayangan yang paling mengerikan telah
menganggu angan-angannya. Segala kemungkinan dapat terjadi
atas kemanakannya itu. Bibi Arya Teja itu perlahan-lahan berdiri. Ia tidak mau datang
kepada Rara Wulan dalam keadaannya. Ia tidak mau
memberikan kesan tentang kecemasan yeng merayapi hatinya
atas Arya Teja. Karena itu, maka bibi Arya Teja itu tidak segera
pergi ke bilik Rara Wulan yang tertutup. Ia pergi dahulu ke perigi
untuk mencuci mukanya. Hati perempuan tua itu berdesir ketika ia melihat bulan yang
bulat mengapung di langit. Sejenak dipandanginya bulan yang
terang itu. Dilihatnya bayangan yang kehitam-hitaman di dalam
warna yang kuning cerah. Namun angan-angannya yang dilukisi
oleh kecemasannya tentang kemanakannya telah membuat
gambaran yang mengerikan pada wajah bulan itu. Seakan-akan
dilihatnya, di dalam bulatan bulan purnama, sesosok tubuh
terbaring diam. Semakin lama menjadi semakin jelas. Seorang
anak muda. Dan bahkan kemudian seakan-akan perempuan tua
itu melihat warna wajah anak muda itu.
Perempuan itu terkejut ketika terloncat dari bibimya desah,
"Arya Teja." Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Bayangan itu
menjadi semakin samar. Hilanglah kemudian gambarannya
tentang Arya Teja. Yang dilihatnya kemudian adalah ceritera
tentang seekor kucing Candramawa dan seorang bidadari yang
cantik duduk di bawah sebatang pohon beringin putih.
"Hem," orang tua itu berdesah. Kakinya yang sudah
berkeriput oleh umurnya itu digerakkannya kembali melangkah
ke perigi. Dalam kesenyapan malam terdengarlah gerit senggot
timba seakan sedang merintih.
Perempuan tua itu mencuci mukanya. Dicobanya untuk
menghilangkan segala macam kesan yang dapat menimbulkan
kecemasan kepada Rara Wulan yang sedang berputus asa.
"Aku harus membuat hatinya menjadi tenteram. Ia akan
mendengar berita yang lebih menyayat hatinya besok pagi
apabila seseorang telah menemukan sesosok tubuh terkapar di
bawah sepasang Pucang Kembar itu. Siapa pun orang itu."
Sambil mengusap mukanya yang basah dengan ujung kain
panjangnya, perempuan itu berjalan tertatih-tatih menuju ke bilik
Rara Wulan yang masih tertutup rapat.
Ketika perempuan itu sudah masuk ke dalam rumah, maka
pintu lereg di butulan belakang pun segera ditutupnya rapatrapat,
supaya angin yang dingin tidak menyusup masuk ke
dalam. Dibenahinya rambutnya yang kusut, sambil berjalan
perlahan-lahan menuju ke bilik Rara Wulan.
Dengan hathati bibi Arya Teja itu mendorong daun pintu bilik
itu ke samping, supaya seandainya Rara Wulan masih tidur
kelelahan, tidak menjadi terkejut karenanya.
Tetapi bibi Arya Teja itu mengerutkan keningnya. Ketika pintu
itu sudah separo terbuka, dan pembaringan Rara Wulan itu
sudah tampak di bagian bawahnya, perempuan tua itu tidak
segera melihat Rara Wulan.
"Oh, agaknya ia sudah bangun," desisnya.
Dengan hathati perempuan itu menjengukkan kepalanya.
Tetapi keningnya menjadi semakin berkerut. Ternyata bilik itu
telah kosong. "Kemanakah perempuan itu?" desis bibi Arya Teja. "Ah,
mungkin ia baru keluar sebentar. Ke dapur atau ke belakang."
Bibi Arya Teja itu kemudian melangkah masuk. Dibiarkannya
pintu tetap terbuka, supaya kehadirannya tidak mengejutkan
Rara Wulan seandainya ia masuk kembali ke dalam biliknya.
Dengan hathati pula bibi Arya Teja membenahi pembaringan
Rara Wulan. Dilipatnya kain yang masih berserak-serakan.
Ditebahinya pembaringan itu dengan sapu lidi, dan tikar yang
berkerut pun diluruskannya.
"Kemana perempuan ini," pertanyaan itu selalu
mengganggunya. Betapa ia mencoba menenangkan hatinya, namun
kegelisahan yang semakin dalam telah mencengkam
jantungnya. Akhirnya perempuan tua itu melangkah ke luar.
Dicarinya Rara Wulan ke segenap ruangan di dalam rumah itu,
tetapi ia tidak menemukannya.
"Wulan," akhirnya ia memanggil, "Wulan, dimana kau?"
Tetapi tidak ada jawaban. Suara perempuan tua itu
membentur dinding-dinding bambu dan lenyap dalam
kesenyapan malam. Bibi Arya Teja itu pun segera pergi ke ruang belakang.
Kepada seorang pelayan ia bertanya, "Apakah kau melihat Rara
Wulan?" "Oh," pelayan itu menjawab, "ia berada di dalam biliknya"
"Tidak. Ia tidak ada di dalam biliknya."
"O ya, ia sudah dipindahkan ke bilik sebelah. Mungkin sedang
tidur. Bilik itu telah diberi lampu pula."
"Ia tidak ada pula di dalam bilik itu. Seluruh ruangan di dalam
rumah itu telah aku cari, tetapi ia tidak ada di dalam."
Pelayan itu mengerutkan dahinya. "Tetapi ia ada di dalam,"
desisnya. Pelayan yang lain yang mendengar percakapan itu segera
mendekat pula dan berkata, "Rara Wulan sedang tidur ketika aku
memasang lampu di dalam biliknya."
"Ya, tetapi ia sudah bangun dan tidak ada di dalam bilik itu."
Pelayan itu menggigit bibirnya. "Aku tidak melihat ia pergi ke
belakang" "Biarlah aku mencarinya sebentar. Mungkin Rara Wulan ingin
menyejukkan hatinya di petamanan atau di kebun belakang,"
berkata salah seorang dari pelayan itu.
"Carilah, carilah di mana saja sampai ketemu," berkata bibi
Arya Teja. "Rara Wulan sedang dibayangi oleh kegelapan hati."
"Kenapa Rara Wulan itu tampaknya selalu bersedih?"
bertanya pelayannya yang lain.
"Aku tidak tahu," jawah bibi Arya Teja, "itu adalah persoalan
Rara Wulan dengan suaminya. Sekarang carilah, dan ajaklah ia
masuk ke dalam biliknya. Ia sedang sakit, sehingga angin malam
akan menyebabkan tubuhnya menjadi semakin tidak enak."
*** Kedua pelayan itu pun segera pergi. Yang seorang ke kebun
belakang, sedang yang lain ke petamanan di depan dan di sisi
rumah itu. Bibi Arya Teja kembali ke dalam biliknya dengan hati yang
semakin cemas. Perempuan muda yang sedang mengandung
itu tengah dicengkam oleh kegelisahan, kemurungan, kegelapan
hati dan segala macam perasaan menyesal dan bersalah.
Bahkan telah terucapkan bahwa lebih baik ia mati daripada
hidup menanggung segala macam siksaan perasaan itu.
"Apakah Rara Wulan membunuh dirinya?" tiba-tiba terbesit
pertanyaan itu di dalam hatinya, dan pertanyaan itu ternyata
telah mengejutkannya. Debar jantungnya serasa menjadi
semakin cepat berdentangan di dalam dadanya.
Tiba-tiba perempuan tua itu bangkit dan segera melangkah ke
luar. Ia tidak dapat menahan kecemasannya lagi. Bunuh diri
adalah suatu penyelesaian yang mungkin sekali ditempuh oleh
Rara Wulan yang sedang berputus asa dan dibayangi oleh
kegelapan hati. Dengan tergesa-gesa perempuan tua itu pergi ke ruang
depan. Dilihatnya selarak pintu tergolek di lantai. "Agaknya
selarak itu telah diletakkan dengan tergesa-gesa."
Ketika perempuan tua itu membuka pintu depan yang sudah
tidak terkancing dan berjalan melintasi pendapa, dilihatnya
pelayan yang sedang mencari Rara Wulan di halaman depan.
Maka pelayan itu segera dipanggilnya.
"Apakah kau sudah menutup pintu depan dan
menyelaraknya?" "Sudah. Karena tidak ada orang lagi di ruang depan, dan
angin malam menjadi semakin kencang, maka pintu itu telah aku
tutup dan aku kancing dengan selarak."
Perempuan tua itu menjadi semakin gelisah. Tetapi ia
berusaha menyembunyikan kesan itu.
Meskipun demikian ia berkata, "Pintu itu telah terbuka."
Pelayan itu terkejut, dan dengan serta-merta ia bertanya,
"Apakah Rara Wulan telah membukanya?"
Bibi Arya Teja mengangguk. "Mungkin."
Pelayan itu terdiam. Ia tidak tahu kemungkinan yang paling
pahit yang dapat terjadi atas Rara Wulan. Yang diucapkannya
kemudian adalah, "Mungkin Rara Wulan sedang berjalan-jalan
untuk mendapatkan sedikit ketenangan. Biarlah aku
mencarinya." "Tidak. Tinggallah kau dirumah. Akulah yang akan
mencarinya." Pelayan itu menjadi heran. Bibi Arya Teja telah berusia agak
lanjut. Apakah ia akan berjalan hilir mudik di malam begini
mencari Rara Wulan yang tidak diketahui ke mana perginya"
Justru karena itu maka pelayan itu berdiri saja seolah-olah
membeku. Hampir-hampir ia tidak percaya kepada
pendengarannya. Namun kemudian ia menjadi yakin, bahwa bibi
Arya Teja itu memang menghendaki demikian. Sekali ia
mendengar perempuan tua itu berkata, "Tunggulah rumah ini.
Aku sendirilah yang akan mencarinya."
Pelayan itu tidak dapat menahan keherannya. Maka ia pun
bertanya, "Apakah malam-malam begini Nyai sendiri akan pergi
mencari Rara Wulan?"
" Ya," sahut bibi Arya Teja pendek.
"Kalau begitu biarlah aku mengantar Nyai."
"Jangan. Aku akan pergi sendiri."
Pelayan itu menjadi semakin heran. Dan ia mendengar
perempuan tua itu berkata seterusnya "Jangan kau ributkan
kepergian Rara Wulan. Ia memang sedang bingung. Tetapi ia
akan segera kembali. Jangan kau tanyakan kepada siapa pun,
supaya tidak setiap orang mengetahui bahwa Rara Wulan
sedang diselimuti oleh kegelapan hati. Mungkin suaminya dapat
mengertinya. Namun tidak setiap orang berhak mengetahuinya,
dan kau tidak perlu bercerita tentang hal itu. Kau sengaja atau
tidak." Pelayan itu menganggukkan kepalanya sambit menjawab,
"Baik, Nyai." "Nah, tinggallah kau di dalam. Aku akan pergi."
Pelayan itu mengangguk sekali lagi. "Baik, Nyai."
Bibi Arya Teja itu pun segera meninggalkan halaman rumah
itu. Langkahnya tergesa-gesa. Namun ia tidak dapat berjalan
lebih cepat lagi. Bahkan sekalsekali kakinya yang telah lemah
itu terantuk batu dan menyebabkannya tertatih-tatih.
Meskipun bulan yang bulat tergantung di langit yang bersih,
tetapi perempuan tua itu merasa, pandangan matanya terlampau
kabur. Ia hanya melihat bayangan-bayangan hitam bertebaran di
sekitarnya. Tetapi, dalam jarak beberapa langkah, ia sudah tidak
dapat mengenal lagi, bayangan apakah yang sedang
dihadapinya. Tetapi, perempuan tua itu berjalan terus. Ia bertekad untuk
menemukan Rara Wulan. Meskipun kadang-kadang hatinya
berdesir mencemaskan perempuan yang sedang berhati gelap
itu, namun ia berdesis perlahan, "Mudah-mudahan aku dapat
membawanya pulang" Perempuan itu berusaha berjalan semakin cepat. Tetapi,
ketuaannya tidak memungkinkannya lagi. Sekalsekali terasa
kakinya menjadi pedih terantuk pada kerikil-kerikil yang tajam.
Namun ia berjalan terus. Meskipun seperti Arya Teja, ia menyesal bahwa sesuatu telah
terjadi sebelum perkawinan Rara Wulan itu dengan suaminya.
Tetapi, ia tidak dapat membiarkan perempuan itu mengambil
keputusan yang mengerikan.
Tetapi, langkah perempuan itu kemudian menjadi ragu-ragu,
"Kemana aku harus mencarinya?"
Meskipun demikian, perempuan tua itu sama sekali tidak ingin
mengurungkan niatnya. Diikutinya saja langkah kakinya,
menyusnr jalan pedukuhan yang samar-samar, kemudian masuk
ke dalam bulak yang luar. Di kejauhan tampak bayangan
padesan yang kehitam-hitaman dan agak jauh di belakang,
pegunungan yang membujur diam seperti seorang raksasa yang
sedang tidur dengan nyenyaknya.
Tiba-tiba perempuan tua itu teringat kepada janji Arya Teja
dengan Paguhan. Mereka akan bertemu untuk membuat
penyelesaian di bawah Pucang Kembar.
"Apakah yang dapat aku lakukan saat ini?" ia bertanya di
dalam hatinya. Samar-samar terbayang di dalam anganangannya
dua peristiwa yang mengerikan terjadi bersama-sama.
Di bawah Pucang Kembar itu Arya Teja terbaring mati karena
dadanya tersobek oleh senjata, dan di tempat lain diketemukan
mayat Rara Wulan yang membunuh dirinya sendiri.
Bulu-bulu tengkuk perempuan tua itu meremang.
"Benar-benar suatu peristiwa yang mengerikan. Menoreh
akan geger karenanya. Arya Teja adalah orang yang
terpandang. Sebentar lagi ia akan mendapat wisuda, menduduki
jabatannya. Tetapi sebelum hal itu terjadi, suami isteri itu telah
mati dalam keadaan yang menyedihkan."
Bibi Arya Teja itu terhenti sejenak, ditekankannya telapak
tangannya di dadanya. Sekali lagi diedarkannya pandangan
matanya. Yang tampak olehnya adalah bayangan-bayangan
hitam. Bahkan raksasa yang sedang tidur itu menjadi terlampau
mengerikan baginya Tiba-tiba terbersitlah di dalam kepalanya suatu pikiran untuk
pergi ke Pucang Kembar. "Aku akan mengatakan kepada mereka yang sedang
berkelahi itu bahwa Rara Wulan telah pergi. Apa pun tanggapan
mereka aku tidak peduli." Perempuan itu mengusap peluhnya
yang meleleh di keningnya, lalu, "Mudah-mudah hal ini akan
mencegah perkelahian itu berlangsung terus."
Agaknya pikiran itu sedikit memberinya harapan. Karena itu,
maka perempuan itu pun mencoba untuk berjalan secepatcepatnya
menuju ke Pucang Kembar. Tetapi, Pucang Kembar itu tidak terlampau dekat. Meskipun
demikian, ia berjalan juga menuju ke sana, ke tempat dua orang
laklaki sedang mencoba memperhitungkan harga diri mereka
dibumbui oleh sakit hati dan kecewa, menurut cara yang telah
nereka setujui bersama. Dengan hati yang lemas, maka bibi Arya Teja itu berjalan
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
secepat-cepat dapat dilakukannya. Ia sama sekali tidak
merasakan lagi betapa kakinya menjadi nyeri dan betapa tulangtulangnya
yang tua itu menjadi terlampau letih. Yang ada di
kepalanya adalah secepat-cepatnya mencapai Pucang Kembar
untuk memberitahukan, apa yang sudah terjadi rumah. Rara
Wulan telah hilang. "Mudah-mudahan aku belum terlambat.
Mudah-mudahan keduanya masih dapat mendengar dan
terpengaruh oleh peristiwa ini." Perempuan itu mengerutkan
keningnya, lalu, "Kecuali apabila mereka telah kehilangan
kemanusiaan mereka karena dendam dan kebencian."
Malam pun semakin lama menjadi semakin dalam. Bulan
yang terapung di langit perlahan-lahan bergeser menurut garis
edarnya. Semakin lama semakin memanjat hingga sampai ke
puncak langit. Angin malam yang dingin berhembus perlahan-lahan,
menggerakkan dedaunan. Namun kadang-kadang bertiup
semakin kencang. Sehingga daun-daun yang kuning berguguran
jatuh di atas tanah. Tetapi sebentar lagi angin itu mereda, namun
dinginnya masih saja sampai menyusup tulang.
Bibi Arya Teja yang berjalan, menyusuri jalan persawahan
tidak menghiraukannya. Langkahnya bahkan dipercepatnya
sedapat-dapat. Tetapi ketika di kejauhan terdengar salak anjing
liar, orang tua itu mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia
bergumam, "Apakah jalan ke Pucang Kembar harus melampaui
gerombolan anjing-anjing liar itu?"
Dada perempuan tua itu menjadi berdebar-debar. Ia memang
takut terhadap anjing-anjing yang liar itu. Apalagi ia adalah
seorang perempuan tua, sedang anak-anak mudapun selalu
moncoba menghindari gerombolan anjing-anjing yang ganas. itu.
"Mudah-mudahan tidak," desisnya pula. Dan perempuan itu
berjalan terus. Meskipun hatinya menjadi semakin berdebardebar
karena salak anjing yang saut menyahut di kejauhan itu.
Bahkan semakin lama menjadi semakin dekat.
Perempuan tua itu pernah mendengar, bahwa seseorang
yang telah dianggap hilang, ternyata dapat diketemukan
beberapa hari kemudian. Orang-orang menganggap bahwa
orang itu adalah korban dari anjing-anjing liar yang berkeliaran.
Bahkan seseorang menganggap bahwa lebih baik bertemu
dengan harimau loreng di perjalanan dekat daerah hutan
daripada bertemu anjing-anjing liar dalam jumlah yang cukup
besar. Oleh ingatan itu, maka terasa dentang jantung perempuan tua
itu menjadi semakin keras memukul rongga dadanya. Seperti
salak anjing yang terdengar semakin keras pula.
"Pucang Kembar masih jauh," gumamnya. Tetapi bibi Arya
Teja itu tidak berhenti. Di bawah Pucang Kembar Arya Teja dan Paguhan bertempur
semakin sengit. Mereka telah melupakan segala macam
perhubungan yang baik di antara keduanya. Mereka sama sekali
sudah tidak dapat lagi mengekang dirinya, sehingga mereka
telah sampai pada puncak ilmu masing-masing.
Sepasang senjata Paguhan benar-benar merupakan
pasangan senjata yang mengerikan. Seperti tatit yang menarinari
di udara senjata itu meloncat-loncat dari segala arah ke
segala arah. Seolah-olah sepasang senjata itu dapat berubah
menjadi puluhan pasang yang bergerak bersama-sama.
Kadang-kadang Arya Teja terpaksa meloncat surut beberapa
langkah, apabila gerak sepasang senjata lawannya itu
membingungkannya. Ia terpaksa mengambil jarak untuk dapat
melihat gerak lawannya, supaya dapat menyusun perlawanan
yang rapat. Namun setiap kali Paguhan selalu menyindirnya. Dengan
tertawa penuh hinaan ia berkata, "Ayo Arya Teja, bukankah kau
pernah berjasa bagi Demak sebagai prajurit pilihan" Kenapa kau
hanya mampu berlarlari tanpa dapat memberikan perlawanan
yang berarti?" Terasa darah Arya Teja seolah-olah mendidih di dalam
jantungnya. Tetapi kemudian kesadarannya dapat
mengekangnya sehingga ia tidak kehilangan nalar. Setiap kali ia
menyadari bahwa lawannya sedang berusaha memancing
kemarahannya, maka Arya Teja segera menemukan
ketenangannya kembali. "Apakah sebenarnya yang dibangggakan oleh para pemimpin
dan Senapati Demak atasmu, he, Arya Teja?" suara Paguhan
terdengar terlampau menyakitkan hati.
Arya Teja tidak segera menyahut. Dipusatkan perhatiannya
kepada tata gerak lawannya. Meskipun di dalam hatinya ia
mengakui bahwa Paguhan telah berhasil meningkatkan ilmunya,
tetapi Arya Teja masih belum merasa bahwa lawannya itu
melebihinya. Menurut penilaiannya, perkelahian itu masih belum
dapat menemukan kemungkinan, siapakah yang akan dapat
keluar dari bawah Pucang Kembar ini.
"He" Paguhan berteriak "apakah kau menjadi ketakutan
mendengar suaraku?" Arya Teja menggeram. Namun ia masih belum menjawab.
Bukan menjadi kebiasaannya, berkelahi sambil berbicara tanpa
ujung dan pangkal sekedar berusaha mempengaruhi perasaan
lawannya. Paguhan yang berusaha untuk membangkitkan kemarahan
Arya Teja menjadi kecewa. Arya Teja seakan-akan sama sekali
tidak mendengar kata-katanya. Meskipun kata-kata hinaan itu
beberapa tali diulanginya, namun Arya Teja masih tetap
membisu. Akhirnya Paguhanpun terdiam pula. Ia tidak bernafsu lagi
untuk mencoba memancing kemarahan lawannya. Tetapi
perhatiannya kini dimantapkannya kepada sepasang senjatanya
yang mengerikan itu. Benturan-benturan yang dahsyat telah terjadi antara dua
kekuatan yang sukar dicari bandingnya. Bunga api memercik di
udara di sela-sela suara dencing senjata beradu.
Semakin lama menjadi semakin sengit. Ujung-ujung senjata
kedua orang yang sedang bertempur itu menjadi semakin cepat
menarnari. Meskipun demikian mereka masih mendengar suara anjing
liar menggonggong di kejauhan. Telinga mereka yang telah
biasa mendengar suara gonggongan anjing-anjing liar itu sama
sekali tidak lagi dapat dipengaruhinya. Tetapi, meskipun
pertempuran itu tidak terhenti, namun kedua orang yang sedang
berkelahi itu mendengar suara gonggongan anjing-anjing liar itu
menjadi semakin ribut. Bahkan kemudian suara itu seolah-olah
melonjak-lonjak. Kedua orang itu sama sekali tidak menaruh perhatian untuk
seterusnya, karena mereka masih terikat di dalam perkelahian.
Tetapi dalam sekilas itu, mereka mengerti bahwa anjing-anjing
liar itu telah memperebutkan mangsa. Mungkin seekor kambing,
mungkin seekor kijang yang sering berkeliaran di gerumbulgerumbul
liar, di pinggir hutan, atau apa pun yang lain.
Tetapi anjing-anjing hutan itu sama sekali bukan persoalan
mereka. Yang kini mereka hadapi adalah ujung-ujung senjata
yang setiap kali siap merobek kulit daging mereka.
Dengan demikian, maka salak anjing yang sahut menyahut itu
sama sekali sudah tidak berpengaruh lagi atas kedua orang
yang sedang berkelahi itu. Mereka bahkan memeras segenap
kemampuan mereka untuk segera memenangkannya.
Ternyata tangan Arya Teja benar-benar mampu menguasai
senjatanya, sehingga seolah-olah tombak pendek di tangannya
itu melonjak-lonjak sendiri tanpa digerakkan. Bahkan seolah-olah
tangan Arya Teja hanya sekedar mengikuti gerak dari senjatanya
yang dahsyat itu Paguhan mengumpat di dalam hatinya. Peluhnya telah
semakin banyak mengalir di pelipis dan punggungnya. Bahkan
seluruh tubuhnya telah basah pula karenanya. Namun, terasa
bahwa perkelahian itu masih jauh dari selesai. Mereka sama
sekali masih belum dapat meyakini apa yang kira-kira akan
terjadi atas diri mereka masing-masing.
Dengan sepenuh kemampuan yang ada mereka bertempur
semakin sengit. Sekalsekali mereka terdorong surut, sekalisekali
salah seorang dari mereka berhasil mendesak lawannya,
tetapi sekejap kemudian keadaan segera berubah.
Rerumputan liar di bawah Pucang Kembar itu telah menjadi
bosah-baseh. Bahkan gerumbul-gerumbul yang terdekat di
sekitarnyapun telah menjadi rata terinjak-injak oleh kakkaki
mereka yang sedang bertempur itu.
Ketika di kejauhan terdengar bunyi burung hantu menyusur
kesuraman cahaya bulan, terdengar Paguhan berdesis pendek.
Dengan serta-merta ia meloncat surut. Terasa dadanya menjadi
pedih. Meskipun hanya segores kecil, namun setitik darah telah
meleleh dari lukanya. Terdengar Paguhan menggeram. Giginya gemeretak dan
matanya menjadi kian membara. Luka itu benar-benar telah
membakar seluruh urat nadinya.
Sejenak kemudian terdengar Paguhan berteriak nyaring.
Dengan dahsyatnya ia menyerang lawannya seperti badai yang
menghantam tebing. Bergulung-gulung susul menyusul.
Sepasang senjatanya yang mengerikan itu berputar seperti
pusaran yang berusaha melibat lawannya.
Dengan demikian maka perkelahian itu menjadi semakin seru.
Meskipun kulit Paguhan telah tergores oleh ujung senjata,
namun keseimbangan perkelahian itu sama sekali tidak
terpengaruh olehnya, bahkan Paguhan yang sudah terluka itu
menjadi semakin garang. Setapak demi setapak perkelahian itu memanjat ke
puncaknya. Beberapa goresan senjata berikutnya telah
mewarnai tubuh masing-masing. Namun betapapun juga pada
saatnya pasti akan sampai pada suatu penyelesaian.
Pertempuran itu pada suatu saat pasti akan berhenti, apapun
yang akan terjadi. Namun pada saat-saat itu, tidak seorangpun
yang dapat meramalkan, bagaimanakah akhir dari perkelahian
yang dahsyat itu. Perkelahian yang dialasi dengan kemarahan,
dendam, kebencian dan segala macam perasaan bercampurbaur.
Begitu dalam mereka dicengkam oleh nafsu, sehingga
mereka tidak sempat memperhatikan bahwa seseorang telah
mendekati mereka. Seorang yang dengan ragu-ragu melangkah
perlahan-lahan di antara gerumbul-gerumbul yang bertebaran di
sekitar Pucang Kembar. Perempuan muda yang matanya masih
dibasahi oleh air mata yang mengambang.
Ketika perempuan itu melihat kedua orang yang sedang
bertempur di bawah Pucang Kembar itu, maka sebuah desir
yang tajam telah menggores hatinya. Hampir-hampir ia tidak
mampu lagi berdiri dan apalagi melangkah maju.
Dengan gemetar ia berpegangan pada sebatang pohon
perdu. Dadanya serasa berguncang dan jantungnya
berdentangan. Sehingga, justru karena itu, maka perempuan itu
untuk sejenak membeku di tempatnya.
Tetapi tiba-tiba perempuan itu mengatupkan bibirnya rapatrapat.
Seolah-olah ia mendapatkan suatu tenaga yang gaib,
yang membuat tubuhnya menjadi pulih kembali. Sendsendinya
terasa menjadi kuat dan tulang-tulangnya serasa mengeras.
Perempuan itu berdesah perlahan-lahan. Dan tiba-tiba ia
mengangkat wajahnya, memandangi bulan yang bulat dilangit.
"Jadilah saksi," desisnya.
Kemudian dengan langkah yang tetap ia berjalan maju
mendekati kedua orang yang sedang bertempur di bawah
Pucang Kembar. Dadanya sama sekali sudah tidak berdebardebar
lagi, dan jantungnya sudah tidak berdentangan. Bahkan
diangkatnya dadanya tinggtinggi sambil berkata kepada dirinya
sendiri, "Di sinilah senjata-senjata itu harus menghunjam"
Kedatangan perempuan itu sama sekali tidak diduga-duga
oleh kedua laklaki yang sedang bertempur itu. Mereka
terperanjat ketika tiba-tiba saja mereka mendengar suara
melengking, "Berhenti! Berhentilah!"
Suara itu ternyata benar-benar berpengaruh atas kedua lakilaki
itu. Sehingga, tanpa berjanji mereka telah melepaskan diri
dari libatan perkelahian itu.
Hampir bersaman mereka berpaling dan melihat seorang
perempuan berdiri tegak di samping sebuah gerumbul yang
rimbun. "Rara Wulan," hampir bersamaan pula mereka menyebut
nama itu. "Ya," sahut Rara Wulan sambil mengangkat dadanya,
"ternyata kalian benar-benar, berkelahi. Ternyata kalian benarbenar
laklaki jantan." Arya Teja dan Paguhan tidak segera menyahut. Tetapi sikap
Rara Wulan telah mengherankan mereka.
"Tetapi ternyata kalian tidak berkelahi menuju kepada
penyelesaian persoalannya. Aku telah terlibat dalam persoalan
ini tetapi kalian mencoba menyelesaikannya sendiri tanpa aku."
Kedua laklaki yang masih menggenggam senjata itu sejenak
terdiam. Tetapi kemudian terdengar Arya Teja berdesis, "Dari
mana kau tahu. bahwa kami akan menempuh cara ini, Wulan."
"Aku mempunyai telinga. Dan aku mendengar percakapanmu
dengan bibi ketika kau minta diri kepadanya."
Dada Arya Teja berdesir mendengar jawaban Rara Wulan.
Bukan saja jawabnya, tetapi juga sikapnya. Perempuan itu kini
seolah-oah menjadi seorang perempuan yang garang.
Perubahan yang telah terjadi pada Rara Wulan sangat
berpengaruh pada Arya Teja. Semula ia melihat seolah-olah
perempuan itu seorang yang berhati bidadari putih dan
Darah Olympus 5 Goosebumps - 25 Serangan Mutan Bertopeng Darah Perawan Suci 1