Pencarian

Darah Perawan Suci 1

Pendekar Naga Putih 43 Darah Perawan Suci Bagian 1


DARAH PERAWAN SUCI Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Suhardi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Darah Perawan Suci
128 Hal ; 12 x 18 cm
1 Sesosok tubuh berjubah putih mengayun lang-
kahnya lambat-lambat Hembusan angin pagi yang
lembut mengiringinya menelusuri jalan berumput tebal yang masih basah oleh
butiran embun. Kicauan bu-rung masih ramai menghiasi pagi itu. Beberapa saat
kemudian, tampaklah wajah sang matahari yang baru
saja bangkit dari peraduannya.
Dengan tubuh tegak dan wajah penuh senyum,
sosok yang ternyata seorang pemuda itu terus membe-
lokkan langkahnya saat tiba di persimpangan jalan.
Dipilihnya jalan lebar di sebelah kanan. Beberapa tombak di depannya, tampak
sebuah tiang batu setinggi
bahu laki-laki dewasa. Tulisan besar-besar yang ber-
bunyi "Desa Pegatan" terlihat jelas tertera.
"Hem..."
Sosok pemuda gagah berwajah bersih dan tam-
pan itu bergumam perlahan. Langkahnya terhenti ke-
tika tiba di dekat tiang batu perbatasan desa. Alisnya yang tebal hitam dengan
bentuk melengkung tampak
berkerut, seolah tengah membayangkan sesuatu yang
pernah dialaminya.
Tidak berapa lama kemudian, terlihat pemuda
gagah dan tampan itu kembali melanjutkan perjala-
nannya. Diikutinya jalan lebar yang akan memba-
wanya ke Desa Pegatan.
Pemuda tampan berjubah putih itu menyapa pa-
ra petani yang kebetulan berpapasan dengannya di ja-
lan. Para petani itu pun tampak merasa senang meli-
hat pemuda tampan yang ramah itu. Malah, terlihat
pula mereka membungkukkan badan dalam-dalam se-
bagai tanda hormat mereka kepada pemuda itu.
Tidak berapa lama kemudian, tibalah pemuda itu
di mulut Desa Pegatan. Keadaan desa yang saat itu
kebetulan sedang ramai membuat kehadirannya tidak
begitu menarik perhatian orang. Pekan yang kebetulan tengah berlangsung di Desa
Pegatan itu tampak sangat ramai. Pekan seperti itu memang hanya diadakan sekali
dalam seminggu. Jadi, wajar saja kalau hampir seluruh warga Desa Pegatan datang
mengunjunginya.
Pemuda tampan berjubah putih melangkah lam-
bat di antara keramaian. Senyumnya tampak men-
gembang saat melihat hampir semua pedagang sibuk
melayani pembeli. Tapi, ia terus melangkah, seolah-
olah pekan itu sama sekali tidak menarik perhatian-
nya. Tidak berapa lama kemudian, setelah terbebas
dari keramaian pekan di mulut desa itu, tibalah pemu-da tampan berjubah putih di
sebuah bangunan besar
yang berhalaman luas. Sejenak ia berdiri ragu, seperti hendak membatalkan
niatnya memasuki rumah besar
di hadapannya ini.
Bangunan besar itu tidak terlalu megah, bahkan
sepertinya sudah cukup tua. Di sana-sini terlihat atap-atap yang menghitam dan
rusak. Meskipun demikian,
halamannya tampak bersih dan terawat dengan baik.
Jelas, penghuni bangunan besar itu sangat memperha-
tikan kebersihan.
"Hm..., pohon bambu kuning itu masih tetap se-
perti dulu, sama sekali tidak terlihat berubah kecuali beberapa di antaranya
mulai tua...."
Pemuda tampan berjubah putih bergumam, seo-
lah-olah berbicara pada dirinya sendiri. Sambil bergumam demikian, tangannya
menyentuh ujung dedau-
nan bambu kuning di depan wajahnya.
"Tuan..., ada perlu apakah...?"
Tiba-tiba saja datang seorang lelaki berpakaian
seperti tukang kebun, yang langsung menegur pemuda
itu. Herannya pemuda tampan berjubah putih sama
sekali tidak kelihatan terkejut. Meskipun tidak melihat, sepertinya pemuda itu
telah tahu kalau ada orang yang datang menghampirinya. Tampak jelas sekali,
sikapnya tetap tenang dan ramah.
"Hm..., maaf kalau aku telah mengejutkanmu,
Kisanak," ujar pemuda tampan berjubah putih kemu-
dian, sambil menatap penuh selidik ke arah tukang
kebun yang usianya tampak hanya sedikit lebih tua
darinya. Tentu saja, lelaki yang wajah dan pakaiannya memang tampak dikotori
tanah itu menjadi risih. Padahal, pemuda tampan berjubah putih tentu saja tidak
bermaksud menilai pakaian yang dikenakan orang di
depannya ini. Hanya saja, tampaknya ia merasa heran, bagaikan melihat seseorang
yang pernah dikenalnya.
"Ada yang bisa kubantu..., Tuan...?" ujar lelaki
berusia kira-kira sekitar dua puluh lima tahun itu. Tubuhnya yang terlihat agak
tegap tampak selalu mem-
bungkuk. Sepertinya sikap seperti itu memang sudah
menjadi bagian dari dirinya.
"Mmm..., sebenarnya kedatanganku kemari ingin
berjumpa dengan pemilik rumah ini, yaitu Ki Ganda
Buana. Apakah kau bekerja untuknya...?" tanya pe-
muda tampan berjubah putih dengan nada bersahabat
dan sama sekali tidak terlihat menunjukkan dirinya
lebih tinggi dan terhormat daripada tukang kebun itu.
"Benar. Aku memang bekerja untuk Tuan Besar
Ganda Buana. Kalau Tuan ingin bertemu, biar ku
panggilkan...," sahut tukang kebun itu.
Kelihatan sekali, tukang kebun itu menyukai pe-
muda tampan berjubah putih di depannya ini, walau-
pun mereka baru bercakap-cakap sebentar. Tampak-
nya sikap ramah dan tidak sombong yang diperli-
hatkan pemuda tampan berjubah putih membuatnya
merasa senang dan lebih menaruh hormat.
"Kalau kau tidak keberatan, bolehlah...," jawab
pemuda tampan berjubah putih sambil tersenyum dan
menepuk bahu tukang kebun muda itu.
Tukang kebun itu pun masuk ke dalam rumah
memberitahukan kedatangan pemuda tampan berju-
bah putih. Sedangkan pemuda tampan berjubah putih
melangkah memasuki halaman depan rumah besar
itu. Halaman ini dihiasi oleh bunga-bunga yang sedang mekar dan terawat baik.
Sehingga, siapa pun yang
memandangnya tentu akan merasa tertarik.
Karena terlalu asyik memperhatikan bunga-
bunga cantik yang bermekaran, tanpa sadar kaki pe-
muda tampan berjubah putih memasuki sebuah ta-
man kecil yang ditata dengan sangat indah. Bahkan,
bunga-bunga di taman itu lebih banyak dan beraneka
warna. "Bukan main...," decak pemuda tampan berjubah
putih, kagum. "Siapakah yang telah membentuk taman
seindah ini..." Rasanya tidak mungkin kalau tukang
kebun itu yang melakukannya. Sebab, tangannya ter-
lalu kasar untuk dapat menata seindah ini. Pasti yang memiliki kebun ini seorang
wanita. Mungkinkah Adik
Wulandari yang mengerjakan dan memiliki kebun
mungil ini..?"
Pemuda tampan berjubah putih terus menatapi
bunga-bunga yang bermekaran. Tampak ia terkagum-
kagum melihat kebun cantik yang teratur rapi itu.
"Hei, siapa kau..." Sedang apa di situ...?" Tiba-
tiba saja terdengar teriakan merdu yang membuat pe-
muda berjubah putih menolehkan kepalanya. Seorang
gadis cantik berusia tujuh belas tahun terlihat berlari-lari kecil menghampiri
pemuda tampan itu. Rambut-
nya yang panjang dan dikepang dua bergoyang-goyang
ke kiri dan ke kanan mengikuti irama langkah ka-
kinya. Meskipun suaranya barusan terdengar agak ke-
tus, tampaknya wajah gadis itu sama sekali tidak me-
nunjukkan tanda-tanda bahwa ia merasa marah meli-
hat kehadiran pemuda tampan berjubah putih.
Gadis cantik yang tampaknya bersifat periang itu
berdiri menatap wajah pemuda tampan berjubah putih
dengan berani. Sikapnya yang kelihatan bebas tanpa
terikat peraturan tentu saja membuat pemuda itu ter-
senyum-senyum. "Hm..., kau sudah semakin besar dan bertambah
cantik, Adik Wulandari. Bagaimana keadaan kakak-
mu" Apakah baik-baik saja...?" sapa pemuda tampan
berubah putih dengan nada akrab.
Gadis cantik yang dipanggilnya dengan nama
Wulandari itu terkejut keheranan. Sebab, ia sendiri tidak mengenali pemuda
tampan di depannya ini.
Wulandari menatap wajah tampan itu dengan
penuh selidik. Semakin lama ia meneliti wajah dan sosok pemuda di depannya,
semakin membulatlah sepa-
sang matanya. Hingga akhirnya, ia berteriak dan langsung memeluk tubuh pemuda
tampan itu. "Kau... Kakang Panjiii...!" jerit Wulandari begitu
mengenali pemuda tampan di depannya ini. Memang,
pemuda tampan berjubah putih tak lain adalah sauda-
ra sepupu Wulandari. Tentu saja, tanpa ragu, Wulan-
dari langsung memeluk tubuh pemuda yang pernah
menyelamatkan nyawa keluarganya itu. (Baca: Serial
Pendekar Naga Putih dalam kisah 'Kelabang Hitam').
"Wulandari..., kau tidak berubah sama sekali.
Kau masih tampak lincah dan nakal...." Pemuda tam-
pan berjubah putih yang tidak lain dari Panji itu menyambut pelukan saudara
sepupunya tanpa ragu.
Meskipun pertemuan mereka yang pertama dulu tidak
terlalu lama, keduanya telah saling menyukai satu sa-ma lain. Itulah sebabnya
Wulandari tidak merasa malu untuk memeluk Panji. Pemuda itu memang sudah
dianggap sebagai kakak kandungnya sendiri.
"Kakang Panji sengaja berkunjung kemari atau
sekedar singgah?" tanya Wulandari setelah mele-
paskan pelukannya pada tubuh pemuda itu.
Dari binar-binar yang terpancar di matanya, jelas
sekali bahwa Wulandari sangat gembira dengan keda-
tangan Panji. Sehingga, Panji sendiri merasa senang
melihat kegembiraan gadis itu.
"Aku sengaja hendak bertemu dengan kalian.
Dan, aku berniat tinggal beberapa hari, untuk mele-
paskan rasa rindu kepada kalian semua...," jawab Pan-ji sambil tersenyum dan
meletakkan tangannya ke ba-
hu Wulandari. "Betul, Kakang...?" tanya Wulandari, seolah-olah
belum percaya penuh akan ucapan pemuda itu, kare-
na dia memang sadar bahwa saudaranya ini adalah
seorang pendekar yang selalu mengembara tanpa tu-
juan. "Kalau begitu, aku akan meminta Kakang untuk
mengajariku ilmu silat Aku ingin menjadi pandai se-
perti Kakak Kenanga.... Eh, mengapa aku tidak meli-
hatnya, Kakang" Apa kau tidak mengajak Kakak Ke-
nanga kemari?"
Wulandari melepaskan rangkulan Panji dan me-
natap wajah pemuda itu lekat-lekat
"Hm... sayang sekali ia tidak bisa ikut bersama-
ku. Sebenarnya dia ingin sekali bertemu denganmu.
Tapi ada suatu urusan yang tidak bisa ditinggalkan-
nya...." Jawaban Panji sempat membuat Wulandari
agak kecewa. Tapi, sebentar kemudian wajah gadis itu kembali cerah setelah Panji
menghiburnya dan memberi pengertian.
Dan, ketika keduanya tengah bertukar cerita
sambil menatapi bunga-bunga yang bermekaran, tiba-
tiba terdengar suara langkah kaki mendekat. Cepat-
cepat keduanya menoleh ke belakang.
"Ayah, Ibu...!" Wulandari langsung berlari me-
nyambut sepasang suami istri yang tengah mengham-
piri. Panji sendiri sudah bergerak bangkit dan me-
nyongsong kedatangan paman dan bibinya, yang tak
lain adalah Ki Ganda Buana dan istrinya.
"Paman, Bibi...," sapa Panji sambil membungkuk
hormat kepada saudara satu-satunya dari ayahnya itu.
"Panji...."
Sepasang suami istri yang masing-masing beru-
sia sekitar lima puluh tahun dan empat puluh tahun
itu bergantian menepuk bahu Panji dengan penuh ka-
sih. Keduanya memang telah menganggap pemuda itu
seperti putra kandungnya sendiri.
"Ayo, mari kita ke dalam...," ajak Ki Ganda Bua-
na, setelah mereka bertukar sapa mengenai keadaan
masing-masing. Panji segera mengikuti langkah pamannya. Se-
dangkan Wulandari terus saja menempel padanya. Ga-
dis cantik itu tampaknya sangat menyukai Panji. Dan
sikapnya yang bebas dan tidak malu-malu itu mem-
buat Ki Ganda Buana dan istrinya hanya bisa mengge-
leng-gelengkan kepala saja. Mereka tahu, hubungan
antara Panji dan Wulandari memang tidak lebih dari
kasih sayang sesama saudara.
*** Malam sudah cukup lama jatuh. Panji, yang kini
menginap di rumah Ki Ganda Buana, semenjak tadi te-
lah memasuki kamar yang disediakan untuknya. Letak
kamar itu berada di ruang belakang sesuai dengan
permintaan Panji sendiri, yang tidak bisa ditolak oleh Ki Ganda Buana. Padahal,
Ki Ganda Buana telah meminta keponakannya itu untuk tidur di kamar yang
terletak di ruang utama.
Di luar rumah, suasana agak gelap. Rembulan


Pendekar Naga Putih 43 Darah Perawan Suci di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang muncul hanya sepotong tak mampu menebarkan
cahaya redupnya yang tertutup oleh gumpalan awan
kehitaman. Namun, tampak bias rembulan yang sa-
mar-samar cukup mampu juga membuat suasana ti-
dak terlalu gelap.
Dalam suasana seperti itu, tampak dari sebelah
Selatan desa, datang sesosok bayangan putih yang
berkelebat cepat Begitu cepat gerakannya. Sehingga,
siapapun akan merasa sangat sulit untuk menangkap
bayangan putih itu, apalagi untuk melihat bentuk tu-
buh dan raut wajah pemiliknya.
Sosok bayangan putih itu terus bergerak mema-
suki Desa Pegatan, lalu langsung menyelinap di antara rumah-rumah penduduk
dengan gerakan yang sangat
cepat Kemudian, dengan sangat cepat pula bayangan
putih itu lenyap di balik sebuah bangunan yang agak
besar. "Aaa...!"
Tidak berapa lama setelah sosok tubuh bayangan
putih itu lenyap, tiba-tiba terdengar jerit kematian yang melengking merobek
keheningan malam. Tentu
saja teriakan itu membuat para penduduk desa serta
para peronda berlarian mencari sumber suara. Dan,
sebentar saja daerah sebelah Selatan Desa Pegatan
menjadi ramai seketika.
Obor-obor bermunculan satu per satu hingga
kemudian berpuluh-puluh jumlahnya. Dengan berba-
gai macam senjata di tangan, para penduduk memu-
tuskan untuk berpencar. Karena, tidak seorang pun
yang mengetahui dari mana jeritan itu berasal.
Sementara itu di dalam bangunan tempat bera-
salnya jerit kematian tadi, empat orang centeng yang juga mendengarnya segera
berlompatan ke arah belakang bangunan. Karena, suara itu mereka kenali seba-
gai jeritan majikan wanita mereka, yang disebut den-
gan nyonya besar.
Begitu tiba di belakang bangunan, keempat cen-
teng yang sudah menggenggam senjata telanjang sege-
ra saja berindap-indap untuk menyelidiki, apa yang
sebenarnya terjadi dengan nyonya besar mereka. Se-
bab, selama ini mereka tidak pernah mendengar maji-
kan mereka itu bertengkar dengan suaminya.
Salah seorang dari keempat centeng yang tam-
paknya merupakan pemimpinnya, segera saja memberi
isyarat kepada ketiga orang kawannya. Setelah itu,
ujung goloknya digunakan untuk mengungkit daun
jendela yang tertutup. Semua itu dilakukannya untuk
mengetahui, apa sebenarnya yang terjadi di dalam ka-
mar majikannya.
Tapi gerakan golok lelaki tegap berkumis jarang
itu terhenti ketika tangannya dipegang oleh salah seorang kawannya. Jelas,
kawannya itu tidak setuju den-
gan cara yang akan diperbuatnya.
"Kita harus tahu, apakah kedua majikan kita
baik-baik saja...," desis lelaki tegap berkumis jarang itu, yang kelihatan tidak
senang dengan perbuatan
kawannya yang mencegahnya.
"Kita panggil saja. Kalau tidak menyahut, lang-
sung kita dobrak jendela ini. Kurasa hal itu jauh lebih baik dan kita tidak bisa
dipersalahkan...," usul lelaki yang bertubuh sedang yang rupanya mempunyai
pikiran lebih cemerlang. Dan langsung saja usul itu dijawab oleh anggukan ketiga
orang kawannya.
"Tuan Besar...!" lelaki tegap berkumis jarang itu
mulai memanggil majikannya dari dekat jendela samp-
ing. Suaranya yang besar dan berat terdengar cukup
mengejutkan. Bahkan, kalau saja di tempat itu ada
seekor kucing yang sedang bengong, kucing itu pasti
akan terlonjak kaget.
Tapi, suara yang bisa mengagetkan kucing ben-
gong itu ternyata sama sekali tidak membuat majikan-
nya terbangun. Sehingga, lelaki tegap itu berdiri bingung sambil menatap daun
jendela yang tidak juga
terbuka. "Lebih keras lagi, Kakang...," ketiga orang ka-
wannya yang lain memberi semangat agar pemimpin-
nya tidak berputus asa.
Lelaki bertubuh tegap dan berkumis jarang tapi
terlihat agak bodoh itu segera menarik napas panjang-panjang, hingga dadanya
membusung. Dan....
"Tuan Besoooaaarrr...!"
Lelaki tegap itu memang benar-benar berotak
udang. Usulan kawannya tadi ternyata ditanggapi
sungguh-sungguh. Bahkan, bukan hanya sekedar le-
bih keras dari semula, teriakannya kali ini pun tak
ubahnya sebuah raungan binatang buas yang tengah
marah. Tentu saja ketiga kawannya terlonjak bangkit
dengan wajah pucat Mereka tampak sangat terkejut
begitu mendengar teriakan lelaki tegap berkumis ja-
rang itu. Tapi, sayang sekali. Meskipun teriakan lelaki ber-
tubuh tegap itu sanggup membuat gajah bunting lari
terbirit-birit, majikannya tidak juga keluar. Rupanya sang majikan tidak bisa
disamakan dengan gajah
bunting. Dia sama sekali tidak terlihat lari terbirit-birit akibat teriakan
keras itu. "Dasar tolol...!" umpat lelaki kurus yang tadi
mencegah lelaki tegap mencongkel daun jendela.
Jelas sekali, lelaki kurus itu jengkel melihat ke-
bodohan pemimpinnya. Memang, pemimpin centeng
itu dipilih berdasarkan kepandaian silatnya bukan ke-pintaran otaknya. Dan,
kepandaian silat lelaki tegap berkumis jarang itu memang jauh lebih hebat
dibanding ketiga centeng lainnya.
Begitu teriakan kerasnya dikeluarkan dengan
pengerahan tenaga dalam tidak juga mendapat sahu-
tan, langsung saja lelaki bertubuh tegap itu melesat dan mendobrak daun jendela
setinggi setengah tombak
di atasnya. "Yeeaatt..!"
Braakkk...! Daun jendela kamar langsung jebol. Serpihan
kayu tampak berhamburan. Sedangkan tubuh lelaki
tegap itu sendiri telah lenyap ke dalam kamar maji-
kannya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, ketiga cen-
teng lainnya segera menyusul. Tubuh mereka bergerak
ke arah daun jendela.
"Huppp!"
Sekali menjejak tanah, tubuh ketiganya melam-
bung bergantian dan langsung lenyap di balik jendela kamar yang telah hancur
itu. *** 2 "Hahhh...!?"
Begitu menjejakkan kakinya di lantai kamar, mu-
lut ketiga centeng itu langsung menganga lebar. Mere-ka sangat terkejut melihat
keadaan kamar yang beren-
takan. Karena tidak menjumpai lelaki bertubuh tegap di dalam kamar itu, tentu
saja ketiganya bertambah
heran dan saling tatap tak mengerti.
"Ke mana perginya Kakang Junara...?" desis sa-
lah seorang dari ketiga centeng itu sambil menatap sekeliling kamar.
"Iya, ke mana pula perginya majikan kita...?"
sambung yang lain sambil juga menatapi sekeliling
kamar, seperti masih berharap dapat menemukan ke-
dua majikannya yang lenyap.
"Lebih baik kita cari di tempat lain. Atau... siapa
tahu nona muda kita juga tidak ada. Ayo, kita perik-
sa...." Setelah berkata demikian, centeng bertubuh kurus itu segera saja
melangkah keluar dari kamar majikannya. Dengan senjata di tangan, ia terus
bergerak diikuti centeng lainnya memeriksa seluruh ruangan di rumah besar itu.
"Aaahhh!?"
Ketika centeng-centeng itu tiba di ruangan dekat
kamar nona muda mereka, ketiganya terjingkat berba-
rengan dan langsung melompat mundur dengan wajah
pucat. Beberapa langkah di depan pintu kamar putri
majikan mereka, tergeletak tiga sosok tubuh berlumu-
ran darah, yaitu kedua orang pemilik rumah beserta
centeng bertubuh tegap yang dijadikan kepala penjaga rumah besar itu. Semuanya
tewas dengan usus memburai. Langsung saja ketiga centeng itu menekap mu-
lut yang hendak menumpahkan isinya ke luar.
"Hmhhhrrr...!"
Belum lagi centeng-centeng itu sempat mengua-
sai rasa mualnya, tiba-tiba terdengar gerungan lirih dan serak yang menggetarkan
jantung. Tentu saja jantung ketiga centeng yang memang
tengah berdetak keras semakin bertambah terguncang.
Dan, rasa takut ketiganya semakin bertambah saat
melihat kelebatan sesosok bayangan di dinding dekat
pintu kamar majikan mereka.
"Aaahhh!"
Dengan wajah yang semakin bertambah pucat,
ketiga orang yang biasanya sangat galak itu langsung kehilangan seluruh
keberaniannya. Apalagi, mereka
pun melihat adanya tangan yang memiliki cakar-cakar
aneh yang runcing sepanjang satu jengkal.
"Hhmmmrrr!"
Belum lagi rasa takut mereka sempat berkurang,
tahu-tahu muncullah sesosok tubuh berpakaian serba
putih dengan rambut panjang riap-riapan. Dan, di ba-
hu kirinya terlihat sesosok tubuh ramping yang tak
berdaya. Sepertinya sosok yang tampak pingsan dalam
pondongan di bahunya ini adalah putri majikan ketiga centeng itu.
Karena didesak oleh rasa takut yang sudah tidak
bisa ditahan lagi, tubuh ketiga orang itu pun melorot jatuh. Tapi, sebelum
mereka sempat pingsan, sosok
bayangan putih tadi dengan cepat berkelebat lewat di depan ketiga centeng itu.
Breettt! Breettt!
"Aakkhhh...!"
Bagai orang yang kerongkongannya tercekik, ke-
tiga centeng itu hanya bisa mengeluh pendek. Darah
segar tampak menyembur keluar dari leher menganga
yang hampir putus terkena sambaran cakar sosok
bayangan putih tadi. Seketika itu juga, tewaslah ketiga orang itu menyusul yang
lainnya. Tanpa mempedulikan korban-korbannya, sosok
bayangan putih tadi langsung saja bergerak mening-
galkan rumah besar ini sambil tetap memondong seo-
rang gadis cantik di bahu kirinya.
Namun, baru saja sosok bayangan putih itu
sampai di luar rumah, tiba-tiba saja terdengar teriakan-teriakan dari belasan
orang lelaki yang rupanya
tengah meronda desa. Dengan obor-obor di tangan,
mereka langsung menghadang begitu melihat sesosok
bayangan putih melesat dari dalam bangunan di dekat
tempat peronda lewat.
"Berhenti...!"
Dengan diterangi sinar obor dan senjata di tan-
gan, tiga belas orang peronda Desa Pegatan langsung menghadang jalan. Meskipun
hati mereka sempat bergetar melihat sepasang cakar mengerikan milik sosok
bayangan putih, para peronda desa itu tetap mengha-
dang. "Hmmm...."
Sosok berpakaian serba putih hanya bergumam
perlahan. Wajahnya yang tersembunyi di balik rambut
yang berjuntai ke sebagian wajahnya tampak me-
nyunggingkan senyum dingin. Para peronda desa sege-
ra menyebar dan langsung mengurung sosok berpa-
kaian putih itu.
Kisanak, siapakah kau" Mengapa kau malam-
malam begini keluyuran" Dan, siapa pula yang ada da-
lam pondonganmu itu..." Jawablah, sebelum kami ter-
paksa harus bertindak keras...."
Seorang lelaki gagah berdada bidang berkata
dengan nada memperingatkan. Sedangkan pedang di
tangan kanannya telah siap untuk membuktikan uca-
pannya barusan. Tapi, sosok berpakaian serba putih
sama sekali tidak menyahut. Dengan tenang, kakinya
melangkah melewati lelaki gagah itu. Jelas, sikap itu merupakan sebuah tantangan
halus. "Diam di tempatmu...! Selangkah lagi kau maju,
jangan salahkan aku kalau senjata ini terpaksa melu-
kai tubuhmu...," bentak lelaki gagah berdada bidang
itu sambil melintangkan senjatanya di depan dada.
Jelas, ancaman lelaki gagah itu bukan sekedar
gertakan kosong. Dan, sosok tubuh berpakaian putih
pun tampaknya tahu akan kesungguhan ancaman itu.
Meskipun demikian, sosok berpakaian serba pu-
tih berambut panjang riap-riapan itu tetap saja tidak peduli. Setelah
mengeluarkan dengusan kasar, kakinya kembali melangkah dengan tenang. Tentu saja
sikap ini membuat hati kepala ronda itu semakin pa-
nas. "Heaaattt..!"
Merasa sudah cukup memberikan peringatan,
kini lelaki gagah berdada bidang tidak lagi sungkan-
sungkan. Disertai dengan sebuah teriakan nyaring, ia langsung melesat dengan
putaran pedangnya yang
langsung menusuk ke arah punggung sosok berpa-
kaian serba putih.
Wuuuettt..! Bukan main jengkelnya hati lelaki gagah berdada
bidang. Ternyata tanpa kesulitan sedikit pun, sosok
berpakaian serba putih itu menggeser kaki kanannya
ke samping. Dan, begitu tusukan lelaki gagah itu le-
wat, tiba-tiba cakarnya yang panjang dan runcing
langsung bergerak menjambret lengan lawannya.
Dan.... Kreeppp! "Aaahhh...!"
Hebat dan sangat cepat gerakan tangan sosok
berpakaian putih itu. Terbukti, tangan lawannya yang menggenggam pedang langsung
dapat dijambretnya
hanya dengan sekali menggerakkan tangan. Benar-
benar sebuah kepandaian yang mengagumkan.


Pendekar Naga Putih 43 Darah Perawan Suci di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hmhhh...!"
Dibarengi dengan sebuah dengusan kasar, sosok
berpakaian serba putih menarik cakarnya dari tangan
lawan. Brrolll...!"
"Aaaa...!"
Lelaki gagah berdada bidang meraung kesakitan
ketika lengannya tercabut oleh cakar lawan hingga sebatas siku. Rupanya, selain
bisa digunakan untuk ca-
kar, jari-jari runcing itu pun dapat dijadikan pisau yang bisa mencelakakan
lawan-lawannya. Dan, lelaki
gagah berdada bidang sudah menjadi salah satu kor-
bannya. Tubuh lelaki gagah berdada bidang terjajar lim-
bung sambil memegangi tangannya yang mengalirkan
darah tanpa henti. Wajahnya tampak berkerut-kerut
menahan rasa sakit yang luar biasa pada lukanya. Se-
dangkan sosok berpakaian serba putih hanya tertawa
dingin, kemudian melangkah meninggalkan lawannya.
"Bunuh....!"
Ternyata, meskipun pemimpin peronda malam
itu sudah tak dapat berbuat apa-apa karena sibuk me-
rasakan sakit, ada salah seorang anggota yang bertindak mengambil alih pimpinan.
Dan, langsung diteriak-
kannya perintah membunuh sosok bayangan putih itu.
Tanpa diperintah dua kali, dua belas orang ang-
gota peronda malam itu langsung bergerak menerjang
dari segala arah. Sedangkan sosok berambut riap-
riapan itu hanya mengeluarkan suara tawa dingin
yang berkepanjangan.
"Heeaaahhh.. !"
Dibarengi bentakan nyaring, sosok berpakaian
serba putih merunduk. Dibiarkannya beberapa batang
senjata lewat di atas kepalanya. Kemudian, tangan kanannya yang berkuku runcing
dan sangat tajam itu
langsung berkelebat ke arah empat orang penyerang
yang berada paling dekat dengannya.
Wuuuttt...! Brreettt!
"Aakkhh...!"
Terdengar jerit kematian susul-menyusul mana-
kala cakar-cakar maut sosok berpakaian serba putih
merobek tubuh empat orang peronda. Tanpa ampun
lagi, tubuh keempat peronda malang itu langsung ter-
jungkal dengan usus memburai. Dan, tampak darah
segar membasahi permukaan tanah yang menjadi ba-
sah seketika. Kek kek kek...!"
Terdengar tawa yang mendirikan bulu roma. Ke-
pala sosok berpakaian serba putih terangkat ke atas.
Ditatapnya rembulan redup. Kemudian, ditatapinya si-
sa-sisa lawannya yang saat itu telah berloncatan mundur karena dicekam
kengerian. Sosok berpakaian serba putih tampaknya me-
mang sengaja hendak menunjukkan dirinya kepada
penduduk Desa Pegatan. Buktinya, dia sama sekali ti-
dak mengganggu para peronda yang hanya dapat me-
natap kepergian pembunuh keji itu dengan wajah pu-
cat. Setelah sosok mengerikan itu lenyap, baru mereka dapat bergerak kembali
untuk mengurus mayat ka-
wan-kawannya. *** "Hm..., kejadian ini tidak bisa kita diamkan!"
Seorang lelaki gagah berusia kira-kira enam pu-
luh tahun berkata geram sambil mengepalkan tin-
junya. Jelas sekali, lelaki tua itu tengah marah besar.
Terdengar teriakan-teriakan riuh-rendah me-
nyambut suara lelaki gagah itu. Mereka adalah pendu-
duk Desa Pegatan yang merasa marah dengan peristi-
wa semalam. Sebab, Desa Pegatan yang selama ini ten-
tram dan damai tiba-tiba ditimpa musibah yang meng-
gegerkan. Kematian Juragan Wanaba beserta istri dan
keempat centengnya benar-benar memukul hati warga
desa. Belum lagi, beberapa peronda malam yang sem-
pat menangkap basah pembunuh keji itu telah tewas
pula dengan cara yang mengerikan. Sudah pasti peris-
tiwa ini membuat penduduk Desa Pegatan menjadi
marah besar. "Mulai hari ini, kita akan tingkatkan perondaan.
Siapa saja yang memiliki anak gadis harap berhati-
hati. Karena, putri Juragan Wanaba telah lenyap. Dan menurut keterangan para
peronda, dia diculik oleh si pembunuh biadab itu."
Kembali lelaki gagah berusia enam puluh tahun
itu memperingatkan warga desanya.
Sementara itu, di antara kerumunan warga Desa
Pegatan, tampak seorang pemuda berjubah putih ber-
diri menyaksikan lelaki gagah itu menceritakan keja-
dian semalam. Di samping pemuda tampan berjubah putih itu,
tampak seorang gadis cantik yang lincah dan manja.
Siapa lagi kedua orang itu kalau bukan Pendekar Naga Putih dan Wulandari.
Rupanya merekapun ingin men-
dengar cerita tentang kejadian yang menggemparkan
semalam. "Lelaki tua itu Ki Sangaji. Beliaulah yang me-
mimpin Desa Pegatan dengan bijaksana dan penuh
perhatian pada warganya."
Wulandari menjelaskan perihal laki-laki gagah itu
kepada Panji. Panji hanya mengangguk mengiyakan.
"Hmmm...."
Panji, yang matanya selalu bergerak melihat
orang-orang di sekelilingnya, tertegun melihat sepa-
sang bola mata berapi yang sedang menatap tajam ke
arahnya. Tentu saja kening pemuda itu berkerut kehe-
ranan. Namun, Panji segera berpura-pura bodoh dan
mengalihkan perhatian. Diam-diam, otak pemuda
tampan mencatat wajah dan bentuk tubuh sosok yang
menatap dengan mata terbakar itu.
Tidak berapa lama kemudian, Ki Sangaji segera
membubarkan warganya untuk melanjutkan tugas
masing-masing. Tanpa diperintah dua kali, warga Desa Pegatan pun beranjak
meninggalkan balai desa. Demikian pula halnya dengan Panji. Pemuda tampan itu
melangkah mengikuti Wulandari yang menuntunnya
mengitari desa.
Wulandari tampak sangat suka menemani Panji
berjalan-jalan. Karena, di saat istirahat, selalu saja Panji menyempatkan diri
untuk mengajarkan gadis itu
beberapa jurus silat, atau membenarkan gerakan-
gerakannya yang masih terlalu lemah dan mudah dis-
erang. Pada hari ini pun, setelah meninggalkan balai de-
sa, Wulandari mengajak Panji ke sebuah tempat yang
sunyi. Dan, di sebuah lapangan rumput yang cukup
luas, gadis cantik itu menghentikan langkahnya, lalu memandang ke arah Panji.
Melihat sinar mata Wulandari, Panji pun tahu,
apa yang diinginkan gadis ini. Pemuda itu tersenyum
dan menganggukkan kepalanya mengiyakan. Langsung
saja Wulandari berseri gembira.
"Haaiittt..!"
Diawali dengan sebuah seruan nyaring, Wulan-
dari mulai melakukan gerakan yang diajarkan Panji.
Kaki kanannya bergeser ke belakang dengan dibarengi
sebuah tusukan jari-jari tangan setinggi leher. Jelas, tujuannya adalah
tenggorokan lawan. Kemudian, dengan gerakan pinggang yang luwes, gadis itu
merunduk sambil melakukan putaran cepat, lalu terus menyem-
bul sembari melontarkan sebuah cengkeraman ke peli-
pis. Setelah itu, Wulandari melompat panjang dengan
kedua lutut menekuk ke dada. Sedangkan sepasang
tangannya yang membentuk cakar harimau bergerak
susul-menyusul menimbulkan sambaran angin yang
cukup kuat. Kekuatan tenaga Wulandari tampaknya
telah bisa diandalkan.
"Heyyaahhh...!"
Setelah menyelesaikan jurusnya, Wulandari
kembali berseru sambil melesatkan tubuhnya dan ber-
jumpalitan di udara beberapa kali, lalu mendarat ringan beberapa langkah di
belakang Panji yang langsung tersenyum sambil bertepuk tangan keras. Pemuda itu
tampak sangat puas melihat kemajuan yang diperoleh
gadis cantik ini.
"Bagus sekali, Wulandari. Tampaknya kau me-
mang sangat berbakat. Gerakanmu demikian luwes
dan teratur baik. Kalau kau sering berlatih, dalam
waktu singkat siapapun akan kesulitan mencari lawan
yang cocok untukmu..." puji Panji dengan wajah berse-ri.
Gerakan-gerakan silat yang dilakukan Wulandari
tadi memang sangat mengagumkan. Sehingga, mau ti-
dak mau Panji harus mengakui, betapa berbakatnya
gadis cantik saudara sepupunya ini.
"Ah, Kakang tidak bersungguh-sungguh. Gera-
kanku tadi tentunya masih jelek dan kasar, tidak se-
perti kalau Kakang yang memainkannya. Kalau me-
mang kurang bagus, mengapa harus disembunyikan,
Kakang" Katakan saja terus terang, aku tidak akan
marah...," ujar Wulandari yang masih saja tampak ti-
dak mempercayai pujian Panji.
Memang, Wulandari selalu tidak suka jika ada
orang lain menyembunyikan hal yang sebenarnya. Ta-
pi, terhadap Panji, gadis itu bukannya tidak percaya.
Sesungguhnya ia terlalu manja dan selalu ingin men-
dengar pujian Panji.
Panji hanya tersenyum mendengar bantahan Wu-
landari. Gadis cantik itu, memang sangat manja kepa-
danya. Tapi, ada satu hal yang sangat disukai Panji
dari Wulandari, yaitu gadis ini tidak pernah memban-
tah suatu kebenaran, juga selalu mau mengikuti nasi-
hatnya. Sifat itulah yang membuat Panji semakin ber-
tambah sayang kepada Wulandari. Apalagi, pemuda
tampan ini memang tidak mempunyai seorang pun
adik. Tentu saja kehadiran Wulandari dalam hidupnya
membuat Panji menganggap gadis cantik putri paman-
nya itu sebagai adik kandungnya sendiri. Hal ini pun sering kali diungkapkannya
kepada Wulandari dalam
kesempatan mereka bercerita.
Demikian pula halnya dengan Wulandari. Gadis
ini juga menganggap Panji sebagai kakak kandungnya.
Wulandari memang mempunyai kakak kandung yang
bernama Wira Buana, tapi kakak kandungnya itu telah
tiada semenjak setahun yang lalu, sebelum kedatan-
gan Panji yang sekarang ini. Itulah sebabnya, mengapa semenjak Panji tinggal di
tempat kediaman pamannya
hanya Wulandari yang menemaninya bermain silat dan
melihat keindahan alam pedesaan.
Panji mengulurkan tangannya. Diacak-acaknya
rambut Wulandari. Bibirnya terlihat tersenyum melihat mimik tidak puas di wajah
gadis itu. "Mengapa aku harus berbohong kepadamu,
Adikku" Kalau itu kulakukan, tentunya aku sendirilah yang akan rugi. Sebab,
apabila aku memuji gerakanmu, padahal sebenarnya gerakanmu buruk, bagaima-
na nanti bila kau bertemu dengan seorang lawan un-
tuk kemudian kalah" Selain aku sendiri yang merasa
malu, tentunya kau pun tidak luput dari celaka. Nah, dengan alasan ini kau masih
menyangka aku akan
berbohong...?"
Panji menarik tubuh gadis cantik itu ke dalam
pelukannya. Sedangkan Wulandari sama sekali tidak
berusaha untuk menghindar, tapi malah menyurukkan
kepalanya ke dalam pelukan pemuda itu.
"Kakang..." panggil Wulandari yang masih me-
nyembunyikan wajahnya di dada Panji.
"Hmmm...," gumam Panji sambil menatap langit
yang masih cerah.
"Kalau Kakang mempunyai seorang sahabat yang
berwajah tampan, berhati lembut, dan penuh perha-
tian seperti Kakang, tolong kenalkan aku, ya...?" pinta gadis itu dengan wajah
kemerahan. Terlihat Wulandari merasa malu juga untuk menyampaikan hal seperti
ini, seberapa dekatnya pun dia dengan Panji.
Panji terdiam sejenak. Bibirnya mengulas se-
nyum. Diketatkan pelukannya dengan penuh kasih.
Lalu dia menyahuti ucapan Wulandari dengan suara
berbisik lembut.
"Mengapa, Wulandari...?"
"Aku ingin mempunyai seorang pelindung seperti
Kakang...," desah Wulandari yang kini berani men-
gangkat kepalanya menatap wajah pemuda itu.
"Hush..." tukas Panji, bergurau. Keduanya ter-
diam sesaat. Panji menatap bola mata gadis di depan-
nya. "Kelak kau akan menemukan orang yang kau
cintai tanpa harus membandingkannya denganku. Ji-
ka kau bertemu dengannya kelak, terimalah ia apa
adanya dan jangan terlalu banyak menuntut. Dengan
begitu, ia akan semakin sayang dan menaruh perha-
tian yang besar kepadamu..." jelas Panji, menasihati.
"Betul, Kakang...?" Wulandari masih belum per-
caya. "Tentu saja betul. Sekarang, ayo kita pulang. Sebentar lagi hari akan
senja..." ajak Panji sambil menarik tangan gadis itu agar tidak semakin terseret
dalam lamunannya.
Wulandari tidak membantah. Gadis cantik ini
mengikuti Panji dengan menggunakan ilmu larinya
yang semakin tinggi setelah diajarkan pemuda itu."
*** 3 Suatu iring-iringan kereta kuda bergerak lambat
menyusuri jalan lebar. Dilihat dari bentuknya yang
cukup besar, jelas kereta-kereta itu merupakan kereta barang.
"Heyyys...!"
Kusir kereta terdepan yang berusia sekitar lima
puluh tahun memecuti kuda-kudanya ketika roda ke-
reta terjeblos dalam sebuah ceruk tanah yang cukup
dalam. Namun, kedua ekor kuda yang menariknya
hanya meringkik keras, karena tak mampu mengelua-


Pendekar Naga Putih 43 Darah Perawan Suci di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rkan roda. kereta yang terjeblos itu.
"Hayo, kuda-kuda tolol! Makan saja kalian kuat!
Baru terjeblos ke lubang kecil saja, kereta ini tidak mampu kalian tarik!
Apalagi terjeblos ke dalam jurang!
Pasti tidak mungkin lagi kalian bisa menariknya...."
Kusir kereta terdepan itu mengomel panjang-
pendek. Sedangkan tiga kereta yang berada di bela-
kangnya segera berhenti, karena tidak bisa lewat. Selain itu, kereta terdepan
memang merupakan pemim-
pin iring-iringan kecil itu.
"Sudahlah, tidak perlu ribut-ribut. Percuma saja
kuda-kuda itu dimaki-maki."
Terdengar suara lembut seorang lelaki empat pu-
luh tahunan. Wajahnya bersih dan penampilannya
tampak gagah. Sedangkan pakaian yang dikenakannya
adalah pakaian seorang pendeta agama. Pantaslah ka-
lau nada bicaranya pun lembut.
Setelah berkata demikian, lelaki gagah itu me-
langkah turun. Rupanya ia berada di bagian belakang
kereta yang tertutup rapat oleh kain lebar itu. Bersama dengannya, tampak masih
ada beberapa orang lelaki,
berusia tiga puluh sampai lima puluh tahun. Wajah
mereka rata-rata menunjukkan kesabaran dan penuh
pancaran kasih.
"Hayo, Paman, siap-siaplah menjalankan kere-
ta...," ujar lelaki gagah berpakaian pendeta itu sambil memegang bagian samping
kereta. "Satu... dua... ti... ga...!"
Seiring dengan hitungan ketiga yang diserukan
pendeta muda itu, kereta pun terangkat pada bagian
yang terperosok. Sedangkan tubuh pendeta muda itu
tampak bergetar dengan otot-otot lengan mengembung.
Pendeta muda itu rupanya telah mengerahkan tenaga
sakti dalam usaha mengangkat roda kereta dari dalam
lubang. Tanpa membuang-buang waktu lagi, kusir kereta
segera melecutkan cambuknya berkali-kali ke pung-
gung kedua ekor kudanya pada waktu mendengar hi-
tungan ketiga. Sebentar kemudian, roda kereta itu pun telah terbebas dari lubang
yang menjeratnya.
"Wah..., tenagamu semakin hebat saja, Adi Wa-
lung. Rupanya kau telah memperoleh kemajuan yang
pesat...," puji salah seorang pendeta yang ada di dalam kereta itu.
Pujian yang diucapkan salah seorang pendeta itu
memang tidak terlalu berlebihan. Sebab, selain me-
nanggung beban barang, kereta itu pun masih men-
gangkut sekitar enam orang penumpang lagi. Tentu sa-
ja, terangkatnya roda kereta dengan beban seberat itu bukan merupakan hasil
pekerjaan yang ringan.
"Ah..., kau terlalu memuji, Kakang Kalpa Wira.
Kalau dibandingkan denganmu, tentu saja aku tidak
ada apa-apanya," sahut pendeta muda yang dipanggil
dengan nama Adi Walung itu, merendah.
Pendeta yang dipanggil dengan nama Kalpa Wira
hanya tertawa terkekeh. Tampaknya ia tidak mau
membantah pujian yang dilontarkan terhadap dirinya.
Tanpa banyak bicara lagi, Walung segera naik
kembali ke atas kereta, yang terus bergerak menyusuri jalan lebar. Tiga kereta
lainnya pun mulai bergerak
mengikuti kereta terdepan.
Tidak lama kemudian, rombongan itu pun tibalah
di mulut Desa Pegatan. Tapi, iring-iringan itu tidak diperbolehkan masuk ke
dalam desa. Tampak di mulut
desa telah berjaga-jaga belasan orang dalam keadaan
waspada semenjak kejadian menggemparkan yang me-
nimpa desa itu baru-baru ini. Ki Sangajilah yang telah memberi perintah untuk
memperketat penjagaan. Dan,
tanpa diperintah pun para penduduk sesungguhnya
telah bertekad memperketat keamanan Desa Pegatan.
"Hm..., dapatkah kami berjumpa dengan kepala
desa ini" Tolonglah, ada sesuatu yang sangat penting yang ingin kami sampaikan.
Harap Kisanak berkenan
mempertemukan kami dengan beliau...," ujar Walung
dengan sopan. Tampaknya karena tidak diperbolehkan mema-
suki desa, Walung memutuskan untuk bertemu lang-
sung dengan kepala desa. Dengan demikian, ia bisa
membicarakan keperluannya dengan penguasa Desa
Pegatan itu. "Baiklah, satu orang saja. Yang lain tinggal di si-
ni. Kalau tidak, terpaksa kami tidak akan memberikan izin kepada siapa pun untuk
menemuinya...," ujar seorang lelaki gagah yang menjadi pemimpin di batas desa
itu. Kekerasan hatinya sama sekali tidak berubah,
meskipun orang-orang yang dihadapinya adalah para
pendeta. Akhirnya Walung menganggukkan kepala dan
melangkah mengikuti laki-laki anggota penjaga perba-
tasan. Pendeta muda itu segera dihadapkan kepada
Kepala Desa Pegatan.
"Maaf, kalau kedatangan kami mengganggu kete-
nangan Ki Sangaji. Tapi, kami sangat memerlukan
bantuan kepala desa. Jadi, kami datang menghadap
untuk membicarakan hal itu...," ujar Walung begitu
bertemu dengan seorang lelaki berusia sekitar enam
puluh tahun yang masih terlihat gagah.
"Hm..., apa yang bisa aku bantu untuk kalian...?"
tanya Ki Sangaji setelah memperhatikan pendeta muda
itu sejenak. "Kami ingin membuat tempat ibadah di sekitar
daerah ini. Untuk itu, tentu saja kami memerlukan
bantuanmu, Ki Sangaji. Sebab, tanpa izin darimu, su-
kar rasanya untuk mencari daerah yang baru. Untuk
itu, kami mohon dengan sangat...."
Penuturan Walung terdengar cukup singkat dan
jelas. Tapi Ki Sangaji tidak bisa memberi jawaban segera. Lelaki gagah itu
termenung. Tampaknya ia tengah
mencari keputusan yang tepat.
Walung duduk tenang menunggu. Lelaki muda
berwajah bersih itu terlihat agak termenung memikir-
kan jawaban yang bakal diterimanya. Ia hanya terus
duduk menunggu tanpa berani mengganggu keasyikan
Ki Sangaji yang tengah mencari jawaban bagi permo-
honannya tadi. "Hm..., apa maksud kalian hendak membangun
tempat ibadah di sekitar desa ini..." Sedangkan di desa ini kalian tidak
mempunyai seorang penganut pun. La-lu, di mana kalian hendak mendirikannya kira-
kira. Kalian pasti sudah mengira-ngiranya, kan...?" tanya Ki Sangaji, yang ingin
mengetahui secara pasti tujuan
orang-orang itu datang ke tempatnya.
"Sudah pasti untuk beribadah, Ki. Dan, kami
berniat membuatnya agak ke ujung desa, agar tidak
mengganggu Ki Sangaji dengan persoalan-persoalan
kami. Untuk itu, kami mohon Ki Sangaji mau menga-
bulkannya...," jelas Walung, berusaha membujuk Ki
Sangaji. Ki Sangaji kembali terdiam. Untuk kedua kalinya,
Walung pun harus diam menunggu.
"Baiklah. Kami akan memberikan izin. Tapi ingat,
aku akan selalu memeriksanya setiap hari. Untuk itu, kalian harus
melaksanakannya dengan sungguh-
sungguh," tegas Ki Sangaji kemudian mengajukan per-
syaratan yang dianggap tidak terlalu berat
"Terima kasih, Ki. Semoga kau diberkahi...."
Dengan wajah cerah, Walung melangkah lebar ke
arah mulut desa, tempat kawan-kawannya masih ting-
gal. Kemudian dia memberitahukan pada mereka un-
tuk siap berangkat.
Begitu pintu batas desa dibuka atas perintah Ki
Sangaji, kereta-kereta itu pun bergerak menyusuri jalan utama Desa Pegatan, lalu
melangkah pelan ke
ujung desa. "Sebentar, aku akan memeriksa kalian...!"
Ki Sangaji yang sengaja menunggu di pinggir ja-
lan, mengingatkan bahwa ia belum memeriksa semua
isi kereta. Walung menganggukkan kepalanya sambil
membungkukkan tubuh.
*** Suasana malam yang hening, kembali mencekam
Desa Pegatan. Meskipun di dalam keheningan itu Ki
Sangaji dan para penduduk telah bersiap untuk men-
cegah terulangnya malapetaka, ternyata sosok berpa-
kaian serba putih tetap muncul mencari korban. Kali
ini sosok bayangan putih itu bergerak ke sebelah timur Desa Pegatan, tempat Ki
Ganda Buana tinggal.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, sosok berpa-
kaian serba putih berkelebatan cepat menuju Timur
desa. Bahkan para peronda malam tidak melihat atau
pun mendengarnya saat sosok bayangan putih itu me-
lintas di atas mereka. Dari sini saja dapat diukur betapa hebat ilmu meringankan
tubuh yang dimilikinya.
Sebentar kemudian, tubuh pembunuh biadab itu
lenyap di balik rumah salah seorang petani. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba
sosoknya telah berada di
dalam sebuah kamar yang cukup luas. Di atas pemba-
ringan dalam kamar itu tampak seraut wajah manis
tengah terlelap. Sosok berpakaian serba putih itu tersenyum dingin. Kemudian,
dia mengulurkan tangan-
nya untuk memberikan sebuah totokan pelumpuh. Se-
telah itu, tubuhnya kembali berkelebat lenyap tanpa
diketahui oleh seorang pun penghuni rumah.
Rupanya sosok berpakaian serba putih itu tidak
segera meninggalkan desa, meskipun ia telah menda-
patkan korbannya. Ia masih terus berkeliling memasu-
ki rumah-rumah penduduk lainnya sambil memon-
dong tubuh gadis tawanannya.
Sementara itu, tanpa setahu sosok berpakaian
serba putih yang tengah berkelebatan sambil memon-
dong gadis itu, ada sesosok bayangan putih lain yang membayanginya. Sosok
bayangan putih kedua ini
tampaknya sengaja menjaga jarak dan tidak segera
menangkap ataupun memergoki penculik perawan itu.
Dia terlihat terus membayangi, meskipun sesungguh-
nya dirinya merasa aneh melihat sosok berpakaian
serba putih yang keluar masuk rumah-rumah pendu-
duk dengan membawa-bawa tubuh gadis yang tertotok
pingsan di bahunya.
Baru ketika sosok berpakaian serba putih mele-
sat hendak meninggalkan desa, sosok berpakaian pu-
tih yang berada di belakangnya segera bergerak me-
nambah kecepatan larinya. Kemudian, tampak tubuh-
nya berjumpalitan beberapa kali di udara sebelum ka-
kinya menjejakkan tanah di depan pencuri perawan
yang memiliki cakar runcing mengerikan itu.
Sosok rambut panjang riap-riapan yang sebelah
bahunya menyandang tubuh seorang gadis itu tampak
terkejut. Dan, ia berusaha meloloskan diri dari kejaran sosok berjubah putih
yang gerakannya demikian cepat
bagaikan sambaran kilat di angkasa.
"Berhenti...!"
Disertai bentakan keras, sosok berjubah putih itu
kembali melenting ke udara dan berputaran beberapa
kali. Kemudian, tubuhnya dijatuhkan tepat di depan
sosok berpakaian serba putih yang menculik gadis de-
sa itu. "Bangsat! Mau apa kau" Siapa kau yang begitu
berani menghalangiku" Menyingkirlah sebelum me-
nyesal...!"
Sosok penculik putri petani itu mengancam den-
gan nada geram. Rupanya ia benar-benar jengkel meli-
hat sosok berjubah putih yang ternyata memiliki ilmu meringankan tubuh yang
tidak kalah dengan dirinya
sendiri. Bahkan, sosok berpakaian serba putih mau tidak mau harus mengakui bahwa
ilmu meringankan
tubuh pengejarnya itu masih lebih tinggi beberapa
tingkat. Tentu saja kenyataan ini membuatnya hampir
tak percaya. "Dengar, Kisanak. Siapa pun kau di balik pe-
nampilanmu yang seram ini, lebih baik menyerahlah
atau hentikan kejahatanmu. Lebih baik kau perguna-
kan ilmu kepandaianmu untuk kebaikan. Percayalah,
kau pasti akan merasa lebih tenteram ketimbang me-
lakukan kebiadaban seperti sekarang ini...."
Sosok berjubah putih yang ternyata seorang pe-
muda tampan itu mencoba menasihati lawannya. Na-
mun, yang didapat hanyalah tawa dingin dan dengu-
san kasar. "Hm..., tidak perlu mengguruiku, Bocah! Sebaik-
nya kau memang harus diberi pelajaran biar kapok!"
Baru saja ucapannya itu selesai, sosok yang me-
miliki sepasang cakar maut itu langsung mengulurkan
cakar-cakarnya ke arah pemuda tampan itu.
Wuuuttt! Wuuuttt!
"Maaf, aku tidak memerlukan pelajaranmu...."
Sambil berkata demikian, pemuda tampan itu
bergerak menghindar seraya menepiskan telapak tan-
gannya. Sehingga, cakar maut lawan pun melenceng
ke arahnya. "Hiaahhh...!
Zzeebbb...! Sebuah serangan balasan yang berupa tendangan
kilat terlontar cepat mengancam perut lawannya. Ten-
tu saja sosok berpakaian serba putih terkejut bukan
main. Cepat ia bergerak mundur ke belakang dengan
lompatan panjang.
Tapi, pemuda berjubah putih itu tidak tinggal di-
am. Begitu tendangannya luput, tubuhnya terus me-
luncur melakukan pengejaran. Telapak tangannya
yang juga membentuk cakar berkelebatan cepat susul-
menyusul. Tentu saja serangan yang bagaikan gelom-


Pendekar Naga Putih 43 Darah Perawan Suci di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bang badai di lautan itu membuat lawannya terdesak.
Dan.... Plakkk...! "Uuuhhh...!"
Ternyata serangan itu hanya mengenai pangkal
lengan lawannya. Dan, pada saat yang tepat cengke-
raman cakar pemuda itu terlihat berubah menjadi
hantaman telapak tangan, sehingga akibatnya tidaklah terlalu parah. Sosok tubuh
berpakaian serba putih
yang bertangan cakar runcing mengerikan itu hanya
terjajar mundur beberapa langkah. Meskipun, ia sem-
pat meringis merasakan kenyerian yang mengigit tu-
lang. "Bedebah! Kau... kau Pendekar Naga Putih...!?"
seru sosok bercakar maut itu dengan suara terkejut.
Rupanya ia baru dapat mengenali siapa lawannya sete-
lah melihat gerakan pemuda itu, yang memang telah
menggunakan jurus-jurus 'Naga Sakti'nya.
"Benar. Untuk itulah petualanganmu harus di-
akhiri. Karena, orang sepertimu tidak akan pernah
mengenal kata tobat," desis sosok berjubah putih yang ternyata memang Panji itu.
Panji kemudian melangkah perlahan-lahan dan
bersiap melanjutkan pertarungan.
"Tunggu...!" cegah sosok berpakaian serba putih
yang masih memondong gadis desa itu seraya melang-
kah mundur dan menatap Panji dengan sepasang ma-
tanya yang tajam.
"Hm..., apa lagi yang hendak kau sampaikan,
manusia licik. Atau kau ingin menyerahkan diri...?"
tanya Panji menatap sorot mata lawannya dengan ti-
dak kalah tajam.
"Hm..., bagaimana kalau kita adakan pertaru-
han...?" Tiba-tiba saja terdengar ucapan aneh dari mulut
sosok berpakaian serba putih. Tentu saja kening Panji berkerut mendengarnya.
"Pertaruhan..." Apa maksudnya, Kisanak..." Jan-
gan bertele-tele. Aku tidak mempunyai banyak waktu
untukmu...," ujar Panji, yang kelihatan berpikir keras mencari tahu maksud
ataupun arah pikiran lawannya.
"Benar. Aku bersedia bertarung denganmu den-
gan syarat yang ku ajukan ini. Jika kau menang, am-
billah gadis ini, dan aku tidak akan pernah lagi kembali ke desa ini. Tapi, jika
aku menang, kau harus pergi dari desa ini, Pendekar Naga Putih, dan tidak boleh
kembali lagi. Bagaimana" Kalau kau takut, tak apalah.
Segeralah kau pergi dari sini. Aku akan tetap merajai
daerah sekitar Desa Pegatan. Dengan tidak menyam-
but tantanganku, berarti kau telah kalah, Pendekar
Naga Putih!" ujar sosok berpakaian serba putih, men-
gajukan syarat seenaknya.
"Aku tidak menerima persyaratanmu dan tidak
akan pernah bertaruh denganmu. Ingat, kita berada di tempat yang berbeda. Kau
selalu mengumbar kejahatan dengan membunuhi dan mencelakai orang-orang
yang tidak berdosa. Sedangkan aku berada di pihak
yang mempunyai kewajiban mencegahmu. Dengan be-
gitu, tanpa taruhan pun aku akan tetap mengusir atau bahkan membunuhmu. Peduli
kau terima atau tidak.
Nah, bersiaplah...," desis Panji sambil melangkahkan kaki mengitari lawannya.
"Bangsat! Manusia Sombong! Apa kau kira aku
takut kepadamu, Bocah Tengik! Berani-beraninya kau
menantang si Cakar Setan! Lihatlah, akan kurobek-
robek tubuhmu dengan cakarku...!"
Cakar Setan segera menurunkan tubuh gadis
yang dibawanya. Kemudian, kakinya melangkah maju
dengan sepasang tangan runcingnya bergerak ke de-
pan. Terdengar suara berdecitan saat dia memutar
tangannya yang kini telah siap merencah tubuh la-
wannya. "Hemmhhh...!"
Sambil menggeram lirih, Cakar Setan mulai ber-
gerak maju dengan langkah-langkah yang cepat dan
bersilangan, sepasang tangannya yang meruncing dan
berkilat tertimpa cahaya rembulan bergerak kian ke-
mari menimbulkan decitan angin yang menulikan te-
linga. Jelas, sosok berpakaian serba putih itu telah siap mengerahkan tenaga
dalamnya setelah mengetahui siapa lawannya.
Demikian pula halnya dengan Panji. Pemuda itu
pun sudah bergerak maju dengan sekujur tubuh yang
terlapisi kabut bersinar putih keperakan. Sepasang
tangannya yang sudah membentuk cakar naga tampak
berkelabatan menimbulkan sambaran angin mencicit
tajam. Rupanya Pendekar Naga Putih pun tidak ingin
menganggap enteng lawannya. Sebab, biar pun belum
mengenal betul si Cakar Setan. Panji sadar bahwa la-
wannya ini sebenarnya memang memiliki kepandaian
yang tinggi, yang terlihat dari gerak-gerik ataupun serangannya ketika bertarung
beberapa jurus tadi. Un-
tuk itu, Pendekar Naga Putih harus berhati-hati. Apalagi, di pihak lawannya
masih ada seorang gadis tawanan. Mungkin saja, dalam keadaan terdesak, Cakar
Setan akan menggunakan gadis itu sebagai sandera.
"Yiiaaat..!"
"Haaiiittt...!"
Sebentar kemudian, kedua sosok tubuh yang
sama-sama berupa bayangan putih itu pun saling
menggempur dengan hebatnya. Ilmu meringankan tu-
buh mereka yang hampir seimbang membuat keleba-
tan-kelebatan tubuh keduanya bagaikan kilatan ca-
haya putih. Apalagi, tubuh Panji memang mengelua-
rkan pendaran sinar putih keperakan. Tentu saja, dilihat secara sepintas,
pertarungan itu merupakan se-
buah pertunjukan yang sangat menarik. Tapi, bagi to-
koh-tokoh berpengalaman, pandangannya tentu akan
lain lagi. "Heeaattt...!"
Untuk kesekian kalinya, kembali Cakar Setan
membentak nyaring. Sepasang cakar bajanya bergerak
kian kemari mengincar tubuh Pendekar Naga Putih.
Namun, pemuda tampan itu selalu dapat menghindari
serangan lawan dan bahkan membalasnya pada waktu
yang tepat Sehingga, meskipun Panji kelihatan agak
terdesak, justru Cakar Setan lah yang selalu kelabakan setiap kali menerima
serangan balasan dari Pendekar
Naga Putih. "Heeaaahhh..!"
Hantaman telapak tangan Pendekar Naga Putih
yang mengancam dada lawannya berhasil dielakkan.
Tapi, Panji tidak berhenti sampai di situ. Sepasang cakar naganya yang terkadang
berubah bentuk itu terus
mencecar Cakar Setan hingga makin terdesak.
Breettt.! "Aakkhhh...!"
Cakar Setan memekik kesakitan. Tubuhnya me-
lintir ketika ia tidak dapat lagi menghindari sambaran cakar naga Panji. Namun,
lagi-lagi tokoh sesat itu tidak kehabisan akal. Dengan tubuh yang pura-pura
limbung, Cakar Setan segera mengangkat tubuh gadis
yang tadi diletakkannya begitu saja. Kemudian, dengan pengerahan tenaga
dalamnya, dilemparkannya tubuh
gadis itu ke udara.
"Huak hak hak...! Kau tangkaplah aku, Pendekar
Naga Putih, dan tubuh gadis tak berdosa itu akan
hancur berantakan...."
Sambil berkata demikian, Cakar Setan melang-
kah meninggalkan tempat itu. Kemudian sosoknya
langsung berkelebat lenyap ditelan kegelapan malam.
"Keparat licik...!"
Panji hanya bisa memaki karena ia tidak mung-
kin membiarkan tubuh gadis itu terbanting hancur.
Akhirnya, Pendekar Naga Putih memutuskan untuk
menolongnya. Sekali menjejak tanah, tubuh Panji
langsung melambung ke udara. Kemudian ditangkap-
nya tubuh gadis yang masih pingsan itu dan diba-
wanya melayang turun.
*** 4 Tepat pada saat tubuh Panji meluncur turun
dengan tubuh gadis dalam pondonganya, sejarak dua
Kitab Pusaka 17 Gento Guyon 19 Dewa Sinting Kemelut Blambangan 10
^