Api Di Bukit Menoreh 12
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 12
didengarnya itu telah menodai pula kasihnya kepada ibunya itu.
"Ayah seorang diri akan berhadapan dengan Ki Tambak
Wedi, Paman Argajaya, dan Kakang Sidanti," desisnya.
Namun sekali lagi ia dilemparkan pada kesulitan perasaan.
Sidanti adalah kakaknya. Sejak kecil ia menganggap Sidanti itu
kakaknya. Memang sebenarnyalah Sidanti itu kakaknya seibu
meskipun kemudian ternyata tidak seayah. Tetapi karena tidak
ada orang lain, maka hubungan mereka benar-benar diikat oleh
kasih seorang kakak-beradik. Apakah yang akan dilakukannya
seandainya kakaknya Sidanti itu kini memusuhi ayahnya.
"Ayah memerlukan seorang yang berada di pihaknya. Ayah
memerlukan kawan untuk berbincang. Dan tidak ada orang lain,
selain aku," desis Pandan Wangi. "Tetapi apakah aku dapat
berbuat sesuatu atas Kakang Sidanti dan Paman Argajaya?"
Tiba-tiba sekilas teringatlah ia apa yang baru terjadi kemarin,
ketika ia harus berkelahi melawan Sidanti yang menutup
wajahnya dengan ikat kepalanya. Ternyata ia masih belum dapat
menyamai ilmu Sidanti, meskipun tidak terpaut terlampau
banyak "Apakah aku harus berangan-angan bahwa suatu ketika aku
akan berhadapan dengan Kakang Sidanti sendiri?"
Terasa segores luka menyentuh hati Pandan Wangi. Air
matanya yang masih belum kering benar, meleleh semakin
deras di pipinya. Dibayangkannya apa yang mungkin dapat
terjadi, dan dibayangkannya masa kanak-kanaknya. Sidanti
selalu mendukungnya apabila mereka bermain-main bersamalTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
sama. Kadang-kadang ia merengek untuk diantar ke neneknya,
ke bibi Arya Teja, di mana tinggal Sidanti. Atau Sidantlah yang
pergi ke rumahnya untuk sehari penuh. Mereka bermain
berkejar-kejaran, menangkap kupu-kupu dan bilalang. Memetik
bunga dan bermain air di pinggir sumur.
"Ah," Pandan Wangi berdesah. Namun apabila kemudian
terbayang wajah ibunya, wajah Ki Tambak Wedi yang memang
mempunyai beberapa persamaan dengan wajah Sidanti, tibatiba
gadis itu menggeretakkan giginya. Sekejap seolah-olah
lenyaplah sifat kegadisannya. Namun yang tidak dapat
ditinggalkannya, adalah air mata yang meleleh di pipinya itu,
betapapun ia bersikap garang.
Pandan Wangi memiringkan kepalanya ketika terdengar ayam
jantan berkokok bersahutan. Ternyata sebentar lagi fajar akan
menyingsing sebelum ia sempat memejamkan matanya barang
sekejap. Sementara itu Argapati duduk di pringgitan seorang diri,
merenungi mangkuk yang masih berisi air jahe yang masih
belum diminumnya. Tetapi air itu sudah menjadi dingin, sedingin
sisa-sisa malam yang sebentar lagi akan dihalaukan oleh sinar
fajar. Argapati menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia
berdiri, dan pergi ke belakang untuk membersihkan diri. Ketika ia
membuka pintu pringgitan, maka dilihatnya pendapa rumahnya
yang remang-remang oleh cahaya pelita yang redup. Pendapa
itu terasa terlampau sepi baginya kini. Rumah itu seakan-akan
menjadi hambar. Tidak ada lagi yang memberinya isi. Tetapi
ketika diingatnya Pandan Wangi di dalam biliknya, maka
Argapati itu berdesis, "Semuanya kini tinggal untuknya. Untuk
Pandan Wangi. Apabila Sidanti tidak mau kembali, dan Ki
Tambak Wedi tetap pada pendiriannya, maka Tanah ini akan
menjadi milik Pandan Wangi, bukan Sidanti, meskipun aku
masih belum menutup pintu baginya. Tetapi untuk seterusnya,
Sidanti pasti hanya akan dibayangi oleh gurunya dan
didorongnya untuk masuk kedalam jurang yang paling dalam
seperti saat ini. Menentang Pajang bukanlah mainan anak-anak."
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Terasa kesegaran pagi
menyusup kedalam lubang-lubang hidungnya. Ketika ia
kemudian melangkahkan kakinya menyentuh halaman, maka di
langit telah membayang warna-warna merah yang menjadi
semakin rata. Ketika matahari terbit di ujung timur, dan ketika perempuan
laklaki berjalan berurutan di sepanjang jalan pedukuhan dan di
sepanjang pematang-pematang, menuju ke pasar, terdengarlah
percakapan yang meloncat dari mulut ke mulut tentang
datangnya kembali Sidanti, putera Kepala Tanah Perdikan
mereka. Agaknya ada perselisihan antara Sidanti dan gurunya
dengan Argapati. Bahkan secepat sinar pagi menebar di atas
Tanah Perdikan Menoreh, secepat itu pula berita tentang
Pandan Wangi yang menangis semalam suntuk tersebar di
seluruh sudut Tanah itu. Betapa panjang jalan, masih juga lebih
panjang tenggorokan, demikianlah ceritera itu mendapatkan
tanggapan yang luar biasa. Setiap mulut yang menyampaikan ke
mulut yang lain, terdapat beberapa tambahan sesuai dengan
selera masing-masing, sehingga ceritera itu pun menjadi
bersimpang siur tanpa ujung dan pangkal.
"Argapati ingkar akan kuwajibannya," desis seorang laklaki
bertubuh besar tinggi dan berkumis jarang.
"He," kawannya terperanjat, "janji apakah yang diingkarinya?"
"Agaknya Argapati membedakan kedua anaknya. Emban
cinde, emban siladan."
"Aku tidak mengerti."
"Sidanti mutung. Ia tidak mau tinggal bersama ayahnya yang
menganggapnya tidak menurut kehendak orang tua itu."
"He, darimana kau tahu?"
"Tadi pagi aku mendengar sendiri dari mulut adiknya."
"Adik siapa?" "Adik Ki Gede Menoreh yang garang itu, Ki Argajaya. Ketika
aku bertemu di dekat rumahnya."
Kawannya berbicara itu seolah-olah menjadi pening
mendengar keterangan orang yang bertubuh besar tinggi dan
berkumis. Maka ia pun bertanya pula, "Kau mendengar dari Ki
Argajaya?" "Ya. Tadi pagi."
"Tadi pagi, kapan?"
"Ya tadi pagi, ketika aku berangkat ke pasar ini."
"He," sahut kawannya, "apakah kau bermimpi" Kapan kau
bertemu dengan. Ki Argajaya" Bukankah kita berangkat
bersama-sama dari rumahmu?"
Orang yang bertubuh tinggi besar itu mengerutkan keningnya.
"Oh, ya kita berangkat bersama-sama."
"Jadi kapan kau bertemu dengan Argajaya?"
"Bukan, bukan. Maksudku si Patra yang bertemu dengan Ki
Argajaya sendiri. Si Patra-lah yang berkata kepadaku. Tetapi ia
bertemu sendiri dengan Argajaya dan mendengar langsung dari
mulutnya." "Kapan kau bertemu dengan si Patra?"
"Sebelum fajar. Bukankah ia sering mengambil gula kelapa
dari padaku" Pagi tadi ia mengambil setenggok gula kelapa. Ia
bertemu dengan Ki Argajaya langsung."
"Bohong. Si Patra sebelum fajar datang pula kerumahku
mengambil gula kelapa pula. Ia tidak berkata-kata apa-apa.
Kalau ia telah bertemu dengan Argajaya, ia pasti akan berkata
pula kepadaku. Dari rumahku ia berkata, akan segera
menemuimu, karena ia takut kalau gulamu jatuh ketangan orang
lain." Orang yang tinggi besar itu mengerutkan dahinya. Dan tibatiba
ia berkata, "O, ya begitulah. Dari rumahmu ia memang
langsung pergi kerumahku. Di jalan itulah ia mendengarnya."
"Tidak mungkin. Apakah kerja Ki Argajaya di sepanjang jalan
di antara rumahku dan rumahmu yang tidak lebih dari limapuluh
langkah itu." "Aku tidak tahu," jawab orang bertubuh tinggi, lalu, "tetapi aku
kira ia berkata bahwa ia mendengar dari Busik. Ya, aku lupa. Ia
mendengar dari Busik, bahwa Sidanti menjadi mutung. Dan
Busik-lah yang langsung mendengarnya dari Ki Argajaya."
"He, darimanakah sebenarnya sumber kabar itu?"
"Aku mendengar, dari Patra, tetapi pasti bahwa sumber kabar
itu dari Argajaya." Kawannya mengerutkan keningnya, lalu katanya, "Tetapi apa
kepentingan kita atas hal itu?"
"Aku tidak tahu pasti. Tetapi menurut pendengaranku,
demikianlah yang terjadi."
"Tetapi agaknya kau menyambut kabar itu dengan penuh
gairah." "Aku tidak mengharapkan yang tidak baik dari persoalan ini.
Tetapi aku berkepentingan untuk mendapatkan kebebasan."
"Kebebasan apakah yang kau maksud?"
"Aku tidak ingin selalu terganggu. Aku tidak mempunyai
banyak kesenangan selain sedikit bersabung ayam. Dan Ki
Argapati setiap saat mencari jalan untuk mencegahnya. Apalagi
jirak kemiri dan beradu gemak. Tetapi, coba, apakah hal itu
mereda" Bukankah semakin hari semakin ngambra-ambra."
Kawannya terdiam sejenak. Ia tidak segera mengetahui
maksudnya. Hubungan antara Sidanti dan bebotohan itu tidak
begitu jelas baginya. Karena itu maka ia bertanya, "Apakah yang akan dilakukan
Argapati setelah Sidanti mutung" Apakah dengan demikian ia
akan membiarkan saja segala macam bentuk perjudian itu, atau
Sidanti mutung karena Sidanti sendiri menghendaki hal itu
dibiarkan saja, sedang ayahnya menghendaki lain."
"Demikianlah di antaranya," jawab orang yang bertubuh besar
tinggi dan berkumis jarang itu. "Sidanti memang tidak
sependapat dengan ayahnya dalam banyak hal. Sedang
Argajaya menganggap bahwa Sidanti berada di pihak yang
benar. Demikianlah Sidanti meninggalkan rumahnya bersama
gurunya. Tetapi ia tidak kembali ke perguruannya karena ia ingin
mengabdikan diri kepada Tanah Perdikan ini."
"Aku menjadi semakin tidak mengerti."
"O, kau memang terlampau bodoh. Kau hanya dapat
memanjat pohon kelapa dan nderes, kemudian membuatnya
menjadi gula kelapa. Selebihnya tidak."
"Mungkin kan benar. Tetapi aku ingin tahu, apakah yang
sebenarnya akan terjadi di sini?"
"Sidanti adalah putera Ki Gede Menoreh yang berhak atas
Tanah ini. Bukankah begitu?"
"Ya." "Dan ia sudah tidak dapat sesuai lagi dengan pendirian
ayahnya." "Ya." "Tidak ada orang lain yang berhak untuk memegang pimpinan
di sini, di atas Tanah Menoreh selain trah Argapati. Bukankah
begitu?" "Ya." "Nah, seharusnya kau sudah tahu. Kita tidak senang dengan
cara Argapati memerintah. Kini telah ada di Tanah ini Sidanti,
yang mempnnyai hak pula atas Tanah ini. Jelas."
"O," wajah orang itu menjadi merah. Katanya dengan nada
yang tinggi, "Jadi kau membayangkan bahwa akan terjadi
benluran antara ayah dan anak" Kau membayangkan bahwa
Sidanti akan nggege mangsa, mempercepat hak itu turun
kepadanya, kalau perlu dengan kekerasan?"
"Bukan begitu," jawab kawannya, "tetapi apabila terpaksa
begitu, ya, apa boleh buat."
"Tidak, tidak mungkin," tiba-tiba kawannya hampir berteriak
sehingga keduanya terhenti, "itu tidak mungkin. Argapati adalah
lambang keteguhan Tanah Perdikan ini. Ia berdiri tegak di dalam
keyakinannya seperti bukit-bukit karang itu. Tidak akan goyah
oleh apa pun. Tidak seorang pun yang berhak mendorongnya ke
samping. Puteranya laklaki itu pun tidak."
Orang yang bertubuh besar dan tinggi itu terkejut. Kemudian
katanya, "Kenapakah kau ini" Aku hanya sekedar mengatakan
bahwa aku mengharapkan pembaharuan di dalam pemerintahan
di Tanah Perdikan ini. Aku mengharap bahwa aku tidak merasa
dikejar-kejar lagi apa pun yang akan aku lakukan. Kau kira
bahwa aku berpendirian demikian itu hanya seorang diri?"
"Katakan, katakan, siapa yang lain."
"Patra, Busik, dan masih banyak lagi."
Kawannya berbicara itu mengerutkan dahinya. Kabar ini
adalah kabar yang aneh baginya. Dan kabar yang demikian, itu
pasti sudah tersebar di seluruh Tanah Perdikan Menoreh. Tanah
yang selama ini hampir tidak pernah dilanda oleh persoalanpersoalan
yang mencemaskan selain kerja keras untuk
kepentingan bersama. Hanya kadang-kadang terjadi benturanbenturan
perasaan, apabila Argapati terpaksa, sedikit berbuat
kekerasan untuk mencegah akibat buruk dari segala macam
taruhan dan perjudian. Sabung ayam, gemak, jirak kemiri dan
sebangsanya, yang kadang-kadang dapat menjerumuskan
seseorang kedalam neraka yang paling dalam.
Tetapi tiba-tiba tanpa ada mendung dan hujan, meledaklah
petir di langit. Sekelompok orang-orang yang kecewa
menghendaki pembaharuan. Pembaharuan yang tidak dilandasi
atas ketentuan yang berlaku.
Orang itu bukanlah orang yang mempunyai pengetahuan
cukup untuk memikirkannya. Ia hanya dibayangi oleh
kecemasan bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak
menyenangkan. Ia hanya tahu bahwa Argapati adalah seorang
yang baik, karena ia bukan seorang yang sering
mempertaruhkan nasibnya dengan segala macam cara. Yang
ditempuhnya untuk mendapatkan perbaikan adalah dengan
kerja. Kerja. Tetapi ia mendengar kawannya yang bertubuh linggi besar itu
berkata, "Marilah, kita masih belum sampai ke pasar. Bukankah
kita akan pergi ke pasar" Lupakan saja kabar itu. Kalau kau
sependapat, sambutlah, kalau tidak jangan risaukan lagi. Aku
kira tidak akan terjadi apa-apa."
Kawannya tidak menyahut. Mereka melangkahkan kaki
mereka, meneruskan perjalanan. Tetapi mereka kemudian saling
berdiam diri di sepanjang jalan. Masing-masing dibayangi oleh
angan-angan sendiri. Namun kabar yang demikian itu sebenarnya memang terlare
pau cepat menjalar. Hampir setiap mulut segera
mengucapkannya. Sidanti mutung, meninggalkan ayahnya dan
tinggal di rumah pamannya bersama gurunya, karena tidak
sependapat dengan cara ayahnya memerintah Tanah Perdikan
Menoreh. Beberapa orang penting, akhirnya, sebelum matahari
terbenam di ujung Barat, pada hari itu juga, mendengar pula
kabar itu. Tetapi mereka menganggap bahwa kabar itu agaknya
terlampau dibesar-besarkan. Memang mungkin sekait terjadi
perselisihan pendapat antara ayah dan puteranya yang sudah
dewasa. Tetapi perselisihan itu pasti hanya akan berlangsung
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sementara. "Aku mendengar, bahwa pertentangan yang paling tajam
justru terjadi antara Ki Argapati dan Ki Tambak Wedi," desis
seseorang. "Bahkan mereka berjanji untuk menyelesaikannya di
bawah Pucang Kembar."
"Ah, jangan mengigau," sahut yang lain," itu hanya sekedar
mimpi yang buruk." Yang mula-mula berbicara mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Mudah-mudahan itu hanya sekedar mimpi yang
buruk, atau pendengaran orang yang membuat kabar ini salah
dengar. Tetapi keduanya menyebut-nyebut Pucang Kembar dan
saat purnama naik." Ternyata kabar-kabar yang bersimpang siur, telah
menggetarkan seluruh Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan
seakan-akan Bukit Menoreh yang membujur membeku itu pun
ikut bergetar pula. Namun dalam pada itu, hati Sidanti selalu dicemaskan oleh
rahasia tentang dirinya. Bagaimanakah jadinya seandainya
Argapati sendiri yang menyebarluaskan rahasia itu"
"Itu tidak akan terjadi," berkata Ki Tambak Wedi. "Argapati
tidak akan mencoreng arang drkening sendiri. Ia tidak akan mau
membukakan rahasia itu kepada siapa pun, sebab dengan
demikian hanya akan membuat dirinya sendiri terpercik noda
dan malu." Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun
dadanya masih diamuk oleh keragu-raguan.
Tetapi dugaan Ki Tambak Wedi itu ternyata tidak salah.
Argapati berusaha menutup rahasia itu serapat-rapatnya.
Dipesankannya kepada Pandan Wangi untuk menyimpan
rahasia itu di dalam hatinya. Rahasia keluarga mereka yang
telah dipendamnya bertahun-tahun.
"Bagaimana kalau Ki Tambak Wedi sendiri yang membuka
rahasia ini?" bertanya Pandan Wangi.
"Aku kira tidak Wangi, setidak-tidaknya untuk sementara ini.
Aku mempunyai dugaan yang kuat, bahwa Sidanti dan Ki
Tambak Wedi masih tetap berkepentingan, apabila orang-orang
Menoreh menganggap ia sebagai anakku, yang akan berhak
sepenuhnya atas Tanah ini."
"Tetapi bukankah semua orang menganggap bahwa yang
kelak akan mewarisi Tanah ini adalah Sidanti?"
"Ya, apabila ia menurut jalan yang aku gariskan. Kalau jika
menyimpang dari jalan itu, apalagi membenturkan Tanah ini
dengan kekuatan Pajang, aku tidak dapat menerimanya. Hak itu
dapat aku cabut dan aku serahkan kepada orang lain."
Pandan Wangi tidak menjawab. Ditundukkan kepalanya
dalam-dalam. Ia sudah dapat menduga, bahwa dirinya pasti
akan tersangkut di dalamnya. Putera Argapati sebenarnya
ternyata hanya satu. Dirinya sendiri.
Dan sejenak kemudian ia mendengar ayahnya berkata,
"Wangi, apabila Sidanti hanya menurut kehendaknya sendiri,
atau menurut kehendak gurunya yang melonjak-lonjak itu, aku
tidak akan dapat mengikutinya. Terpaksa aku melepaskan
mereka bertindak sendiri."
Pandan Wangi masih belum menjawab.
"Karena itu aku memerlukan kau, Wangi. Aku mengharap
supaya kau dapat melepaskan dirimu dari himpitan perasaan.
Aku mengharap kau dapat mempergunakan nalar sejauh-jauh
mungkin, meskipun kau seorang gadis. Tidak ada lain yang
dapat membantu aku dalam setiap keadaan kecuali kau."
Pandan Wangi semakin menundukkan kepalanya. Dan
ayahnya berkata seterusnya, "Aku tahu, bahwa kau akan
mendapat beban yang terlampau berat bagi seorang gadis.
Tetapi aku minta keikhlasanmu untuk melakukannya. Karena
aku tidak melibat orang lain."
Terasa dada gadis itu berdesir. Ia mencoba sekuat-kuat
tenaganya untuk bertahan supaya perasaan kegadisannya tidak
mendorongnya untuk menitikkan air mata. Namun dengan
demikian, terasa tenggorokannya menjadi pepat, dan matanya
menjadi pedih. Dan ia mendengar ayahnya berkata seterusnya, "Tidak ada
jalan lain bagi kita Wangi. Demi keselamatan Tanah ini, Tanah
nenek moyang yang kemudian telah dikuatkan dengan
kekancingan, bahwa Tanah ini telah menjadi Tanah Perdikan."
Pandan Wangi mengusap wajahnya dengan tangannya.
Keringat dingin terasa membasahi punggungnya.
"Kalau kau sudah bersuami, Wangi, maka keadaannya akan
berbeda. Tetapi hal itu belum terjadi, sehingga semuanya masih
tergantung kepadamu."
Tanpa disengaja, Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
Tiba-tiba terasa hatinya dirayapi oleh getaran yang semula tidak
begitu dikenalnya. Tetapi lambat laun menjadi semakin jelas
baginya, bahwa getaran itu adalah getaran tekadnya untuk
berbuat seperti yang dikatakan oleh ayahnya. Tidak ada
kesempatan lagi untuk merajuk dan bermanja-manja.
Dihadapannya terbentang tanah garapan yang hampir menjadi
kering. Memang sekilas-sekilas melintas wajah ibunya yang sejuk
dan dalam. Sorot mata yang suram dan senyum yang terlampau
lembut. Tetapi kini diketahuinya, bahwa di balik sorot mata yang
suram dan senyum yang terlampau lembut itu tersembunyi
penyesalan tiada taranya. Penyesalan yang menjerat hidupnya.
Perlahan-lahan Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Dan
ayahnya berkata seterusnya, "Tetapi aku masih mempunyai
banyak harapan, Wangi, bahwa segalanya akan dapat
diselesaikan dengan baik."
"Tetapi," suara Pandan Wangi terlampau dalam, "bagaimana
dengan janji Ayah dan Ki Tambak Wedi bahwa pada saat
purnama naik akan bertemu di bawah Pucang Kembar itu lagi."
"Hem," ayahnya berdesah, "kenangan yang paling pahit.
Tetapi aku mengharap Tambak Wedi akan berbuat jujur seperti
pada masa mudanya. Kita menyelesaikan persoalan pribadi
dengan cara jantan."
"Tetapi ".," suara Pandan Wangi terputus.
"Aku tahu, Wangi. Kau ingin tahu apakah yang seharusnya
kau lakukan dalam keadaan dan kemungkinan yang paling
parah." Pandan Wangi tidak menyahut.
"Karena itu kau harus dapat berdiri di atas kedua belah
kakimu, meskipun kau seorang gadis. Kita masih mempunyai
waktu beberapa hari Wangi. Yang beberapa hari ini harus kau
pergunakan sebaik-baiknya, supaya kau memiliki bekal yang
cukup untuk membentuk diri kelak, meskipun tanpa tuntunan
seorang guru pun." "Ayah," Pandan Wangi memotong.
"Aku hanya mengatakan, apabila kemungkinan itu harus
terjadi. Sebab semuanya tergantung kepada Yang Maha Kuasa.
Kita wajib berusaha, namun ketentuan terakhir berada di tangan-
Nya. Sekali lagi Pandan Wangi terdiam.
"Kau sudah mempunyai pengetahuan serba sedikit untuk itu.
Karena itu, maka kita harus mempergunakan waktu sebaikbaiknya."
Pandan Wangi tidak menjawab.
Argapati pun kemudian sejenak berdiam diri. Dicarinya
kemungkinan yang paling baik yang dapat dilakukannya
bersama satu-satunya puterinya. Pandan Wangi.
Pandan Wangi tidak segera menjawab. Ia masih belum dapat
meredakan pergolakan yang bergulat di dalam dadanya.
Benturan-benturan perasaan dan nalar, benturan-benturan
tanggapan dan bayangan tentang masa-masa depan selalu
mengganggunya, sehingga sulitlah baginya untuk dapat
mengerti, apakah sebenarnya yang dikehendakinya sendiri.
Kadang-kadang hatinya terbakar oleh perasaan bencinya
terhadap keadaan yang telah membuat keluarganya retak sejak
dibentuk oleh ayah dan ibunya. Kadang ia ingin melepaskan
kebencian dan kemarahannya. Tetapi kadang-kadang tumbuhlah
sifat-sifat kegadisannya. Ia ingin merajuk dan bahkan kemudian
menjauhkan diri dari setiap persoalan. Ia ingin lari. Lari saja
entah ke mana. Tetapi setiap kali dipandanginya wajah ayahnya yang suram,
maka tumbuhlah getaran yang panas di dalam dirinya. Ayahnya
kini tinggal berdiri sendiri. Apabila ia pergi pula
meninggalkannya, maka ayahnya, satu-satunya orang yang
masih ada di dekatnya itu, akan ditelan oleh Ki Tambak Wedi.
Pandan Wangi tidak dapat mengerti, dorongan apakah yang
telah membawa pamannya ikut di dalamnya. Pandan Wangi
tidak dapat mengerti, kenapa adik ayahnya itu memusuhi
ayahnya pula Seharusnya Argajaya ikut pula mendendam,
bahwa Ki Tambak Wedi telah menodai kemulusan keluarga
kakaknya. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya.
Argapati telah mendengar pula apa yang bergolak di dalam
daerahnya dalam waktu yang terlampau singkat. Argapati yang
mempunyai tanggapan yang tajam itu segera dapat mengerti,
bahwa Ki Tambat Wedi telah mempergunakan Argajaya dan
Sidat untuk memecah Padang, dan dimulainya dari Tanah
Perdikan Menoreh. "Aku dapat menghubungi Adipati Pajang," berkata Argapati di
dalam hatinya, "tetapi harga diriku akan terkorbankan, seolaholah
aku tidak dapat mengatasi persoalan yang tumbuh di dalam
daerahku, daerah yang sudah diberi wewenang untuk menjadi
Tanah Perdikan. Aku sudah dibebaskan dari sebagian besar
kuwajiban-kuwajiban yang mengikat, sehingga seharusnya aku
tidak membuat Pajang menjadi sulit dan terpaksa menitikkan
keringat dan apalagi darah prajurit-prajuritnya."
Itulah sebabnya maka Argapati berpendirian untuk
menyelesaikan masalah Tanah Perdikannya tanpa campur
tangan orang luar. Pandan Wangi mengangkat wajahnya ketika ia mendengar
ayahnya kemudian berkata, "Bagaimana, Wangi, apakah kau
dapat mengerti maksudku?"
Sejenak Pandan Wangi terbungkam. Namun kemudian
kepalanya mengangguk kecil.
"Bagus, Wangi," berkata ayahnya, "Harapanku satu-satunya
kini adalah kau. Tidak ada orang lain yang dapat aku percaya
sepenuhnya. Apalagi setelah Argajaya dan Sidanti menyebarkan
segala macam desas-desus yang telah merusak sendi
kehidupan di Tanah Perdikan ini, menumbuhkan kegelisahan
dan kecurigaan di antara kita dan menyalakan api ketidakpuasan
yang sama sekali tidak beralasan. Tetapi aku tahu,
Wangi, bahwa di antara orang-orang yang tidak puas adalah
orang-orang kaya. Dengan uangnya mereka berusaha untuk
menyebarkan pendiriannya. Dan kita ternyata masih belum siap
untuk melawannya," "Dan ayah masih belum bertindak apa-apa?" bertanya
Pandan Wangi. Pertanyaan itu telah menyentuh hati Argapati, sehingga
wajahnya yang suram itu tiba-tiba seolah-olah menjadi cerah.
Dengan nada yang dalam ia berkata, "Pertanyaanmu telah
menumbuhkan gairah di dalam hatiku, Wangi. Aku memang
belum berbuat apa-apa. Aku menunggumu. Aku ingin
mendengar ketetapan hatimu. Karena kau seorang gadis,
Wangi. Aku ingin tahu, di mana kau hendak berdiri. Apakah kau
akan berdiri di samping ayahmu sebagai seorang Kepala Tanah
Perdikan yang kini sedang diguncang-guncang oleh orang lain,
ataukah kau akan berdiri sebagai seorang gadis yang sedang
kecewa menghadapi masalah dirinya, dan masalah keluarganya.
Ketidakjujuran dan noda-noda yang kotor telah melekat di wajah
kita, karena persoalan yang mengejutkan hati itu."
Getaran yang panas, yang seolah-olah menyala di dalam
dada Pandan Wangi menjadi semakin berkobar. Tiba-tiba air
matanya serasa kering. Jarjarinya yang halus itu tergenggam
seperti sedang menggenggam hulu pedang. Katanya, "Ayah.
Aku adalah satu-satunya keturunan Kepala Tanah Perdikan
Menoreh. Apa pun yang telah terjadi atas diriku, atas keluargaku,
tetapi aku bertanggung jawab atas kelangsungan hidup Tanah
ini. Karena itu, aku akan berdiri di samping Ayah sebagai
seorang putera satu-satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Akulah trah Argapati yang berhak atas Tanah ini."
Dada Argapati menjadi berdebar-debar karenanya. Dan ia
mendengar anak gadisnya itu berkata seterusnya, "Aku sama
sekali tidak diburu oleh nafsu untuk merampas hak atas Tanah
ini dari Kakang Sidanti. Tetapi aku dihadapkan pada keadaan
yang meskipun tidak aku kehendaki. Kakang Sidanti telah
melawan Ayah sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh
bersama Paman Argajaya dan Ki Tambak Wedi."
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
katanya, "Terima kasih, Pandan Wangi. Memang tidak ada orang
lain yang dapat berbuat demikian selain kau. Aku sudah
berkeputusan, apabila kau berdiri tegak dengan dada tengadah,
maka aku akan berbuat apa saja buatmu, Wangi. Meskipun aku
sudah lama meletakkan tombak pendekku, tetapi untuk
mempertahankan Tanah ini, untuk menempatkan kau di tempat
yang seharusnya, aku akan menariknya dari wrangka dan
selongsongnya. Aku akan dapat mempergunakan lagi seperti
aku pernah mempergunakannya dahulu. Tetapi apabila kau
berdiri di atas kegadisanmu, merajuk dan berputus asa, maka
kau hanya akan menemukan mayatku besok sesudah purnama
naik di bawah Pucang Kembar."
"Ayah." "Tidak, Wangi," potong ayahnya, "Sekarang aku berpendirian
lain, justru kau telah menyatakan tekadmu. Aku masih ingin
melihat betapa cerahnya matahari pagi sesudah purnama yang
cerah itu." Ayahnya berhenti sejenak, lalu, "Karena itu pula aku
harus cepat bertindak. Hari ini aku akan mengumpulkan tetua
Tanah Perdikan. Aku tidak dapat memberi kesempatan terlalu
lama kepada orang-orang yang sengaja membuat kegelisahan
itu. Aku harus memberi batasan waktu kepada mereka untuk
menghentikan kegiatan mereka. Kalau mereka tidak, bersedia,
apa boleh buat. Aku akan bertindak sesuai dengan kuwajibanku,
Kepala Tanah Perdikan Menoreh."
Dan Ki Argapati itu benar-benar bertindak cepat. Saat itu juga
ia memanggil beberapa orang tetua Tanah Perdikannya. Tetapi,
meskipun demikian Argapati tidak ingin membuat kesan yang
dapat menambah kegelisahan rakyatnya. Karena itu maka ia pun
berbuat dengan sangat berhathati.
Pembicaraan-pembicaraan di antara mereka segera
dilakukan. Argapati ingin mendapatkan laporan dan pendapat
beberapa orang tetua Tanah Perdikannya. Tetapi. Argapati
sebagai seorang laklaki jantan, sama sekali tidak menyinggungnyinggung
janjinya dengan Ki Tambak Wedi di bawah Pucang
Kembar nanti pada saat purnama naik.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang dibicarakan di antara mereka adalah desas-desus yang
makin tersebar luas. Yang dapat menumbuhkan tanggapan yang
berbeda-beda di antara rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Ada
yang dengan sepenuh hati menyambut Argajaya bersama
Sidanti untuk menumbuhkan suasana baru di Menoreh. Tetapi
ada pula di antaranya yang berkata "Kami tidak ingin terjeiumus
kedalam neraka yang paling jahanam. Seandainya benar kata
orang bahwa Sidanti telah kembali bersama gurunya, untuk
memberikan nafas baru di daerah ini, maka kami harus
menentangnya. Argapati adalah seorang pemimpin yang terbaik
yang pernah kami kenal. Apabila Sidanti ingin menjadi seorang
pemimpin yang baik, ia harus belajar dari ayahnya Jangan
sebaliknya justru memusuhinya."
Dan yang lain berkata, "Huh, anak durhaka. Apakah ia tidak
sabar menunggu sampai saatnya ia menerima waris itu dengan
sah menurut ketentuan yang seharusnya?"
Namun di antara sekian banyak orang-orang yang
menganggap bahwa Sidanti telah berbuat kesalahan, ada juga
yang dengan acuh tak acuh, menunggu apa yang akan terjadi di
Tanah Perdikan Menoreh. Di antara mereka berkata, "Itu adalah
urusan mereka. Bagiku lebih baik menunggu saja apa yang akan
terjadi, sambil melihat arah angin yang sedang bertiup."
Demikianlah, maka suasana Tanah Perdikan iu benar-benar
telah diguncangkan oleh kabar-kabar itu, meskipun tampaknya di
permukaan masih juga tenang dan seperti biasa. Tetapi di antara
orang-orang yang merasa tidak senang terhadap perlakuan
Argapati, segera mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia.
Berbicara berbisik-bisik.
"Mudah-mudahan trah Argapati yang masih muda itu
memenuhi harapan kita," berkata salah seorang dari mereka.
"Apakah kita hanya cukup berharap?"
"Tidak. Kita harus berbuat sesuatu."
"Banyak yang setia kepada Argapati yang sekarang."
Yang lain tertawa. Katanya, "Biarlah Argapati membuat
rumahnya berbenteng baja. Kita sebarkan emas di halaman,
maka benteng baja itu pasti akan pecah oleh rakyat yang justru
sebelumnya setia kepadanya."
Beberapa orang yang lain mengangguk-anggukkan
kepalanya. Berkata salah seorang dari mereka, "Kalau begitu
kita temui Sidanti. Kita taruhkan harapan kita kepadanya, supaya
kita tidak selalu dihantui oleh sikap Argapati yang memuakkan
itu." Tetapi ternyata semua bisik-bisik itu sampai juga ke telinga
Argapati. Dan bisik-bisik yang demikian itulah yang dibicarakan
oleh. Argapati dengan beberapa orang tetua, pemimpin, dan
agul-agul di Tanah Perdikan Menoreh.
"Apa yang harus aku lakukan?" bertanya salah seorang
pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu.
"Kita tidak boleh tergesa-gesa. Kita harus melihat setiap
perkembangan dengan saksama," jawab Argapati. Lalu, "Jangan
membuat rakyat semakin gelisah. Semua gerakan harus dibuat
sandi." Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Tetapi Ki Argajaya agaknya sudah jauh bertindak.
Bebera kelompok pengawal telah berada di pihaknya. Dan
beberapa kelompok anak-anak muda telah dipengaruhi pula oleh
Sidanti." Argapati mengerutkan keningnya. Ia memang sudah
menyangka bahwa akibatnya akan sampai sekian jauh. Tetapi ia
masih juga berkata, "Aku tahu, tetapi aku masih ingin mencoba
untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik. Sekian lama kita
bekerja keras untuk membangun Tanah ini. Apakah sekarang
kita akan membiarkan Tanah ini terbelah" Apakah kita akan
membiarkan rakyat kita hancur oleh kita sendiri?"
"Tidak," sahut pemimpin pengawal yang sudah setengah
umur itu, yang selama ini, sebelum peristiwa ini terjadi, selalu
mendampingi Argajaya. "Kami tidak menghendaki. Tetapi kalau
kami tidak bertindak cepat, maka keadaan pasti akan menjadi
semakin parah. Kalau kita tidak memberi mereka kesempatan,
maka kita pasti akan segera dapat mengatasinya."
"Tunggulah," jawab Argapati, "aku akan membuat
perhitungan." "Hem," pemimpin pengawal itu menggeram.
Namun dada Argapati pun digetarkan pula oleh geram di
dalam pusat jantungnya. Tetapi nalarnya masih cukup kuat untuk
membuat pertimbangan yang bagi pemimpin pengawal itu
dianggapnya terlampau lamban.
"Yang harus kau lakukan adalah membuat perhitungan yang
tepat," berkata Argapati. "Apabila ada diantara kalian yang
menyeberang, maka kau harus mengetahui imbangan kekuatan
itu. Tugasmu yang lain adalah mempersiapkan diri. Setiap saat
kalian harus dapat bergerak cepat."
Pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu menganggukanggukkan
kepalanya. "Aku akan segera memberikan petunjuk-petunjuk baru. Tetapi
kau harus menyampaikan laporan-laporan setiap saat."
Sekali lagi pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Selebihnya Argapati telah memberikan petunjuk-paporan bagi
para pemimpin Tanah Perdikan itu, bagaimana mereka harus
menghadapi kabar yang semakin merata. Kabar yang
sebenarnya. telah benar-benar menggelisahkan Argapati sendiri.
Tetapi Argapati itu terikat oleh janjinya. Pada saat purnama
naik, di bawah Pucang Kembar. Pada saat ia mengucapkan janji
itu, ia sama sekali tidak mempertimbangkan, bahwa ia sekarang
bukan lagi Arya Teja yang dahulu. Tetapi ia adalah Kepala
Tanah Perdikan yang mempunyai tanggung jawab yang besar
atas kuwajibannya. Dengan demikian maka setiap persoalan pribadinya, mau
tidak mau pasti akan menyangkut persoalannya sebagai seorang
Kepala Tanah Perdikan. Persoalannya dengan Ki Tambak Wedi
yang tampaknya sebagai persoalan pribadi itu pun ternyata tidak
dapat terlepas dari kaitan persoalannya dengan Sidanti.
Argapati menyadari persoalannya setelah ia terlibat dalam
kesulitan. Ternyata perkembangan keadaan tidak menjadi
semakin baik. Kabar yang tersiar semakin lama menjadi semakin
menggelisahkan, sehingga Argapati terpaksa mengirimkan
beberapa orang untuk langsung menemui Ki Tambak Wedi
membawa pesan pribadinya.
"Tidak, aku tidak akan berbicara apa pun," berkata Ki Tambak
Wedi setelah ia mendengar pesan dari utusan Argapati.
"Ki Argapati minta jawaban," jawab utusan itu.
"Tidak, kau dengar. Aku tidak akan memberikan jawaban apa
pun." "Baik. Kalau demikian, berarti kedatanganku tidak berarti.
Bagi Ki Argapati ini adalah keputusan yang akan jatuh," berkata
utusan itu. "Aku hanya sekedar utusan. Tetapi keputusan yang
diberikan oleh Ki Argapati akan mengikat seluruh Tanah
Perdikan Menoreh." Mendengar jawaban itu Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Ia tahu benar, bahwa Argapati tidak ingin melihat
pertumpahan darah. Ia pasti, akan berusaha sekuat-kuat
tenaganya untuk menyelesaikannya dengan cara yang sebaikbaiknya.
Maka berkata Ki Tambak Wedi yang licik itu, "Baiklah.
Aku akan mejawab. Katakan kepada Ki Argapati, bahwa aku
tetap pada pedirianku. Kalau Ki Argapati bersedia menempatkan
dirinya bersama aku dan puteranya yang digadangnya untuk
menduduki tempatnya kelak, maka semuanya akan menjadi
baik. Tidak ada pertentangan yang dalam. Kami hanya ingin
mendapat perlindundan pertanggungan jawab. Terutama
puteranya yang kini terancam bahaya. Sebaiknya Argapati
mempertimbangkan keputusannya."
"Bukan itu yang ditanyakannya," jawab utusan itu, "tetapi Ki
Argapati ingini tahu, apakah kalian bersedia menghentikan
segala macam kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan
yang berlaku di Tanah Perdikan ini."
"Diam!" bentak Ki Tambak Wedi yang hampir kehilangan
kesabaran, "Katakan saja kepada Ki Argapati. Aku tidak mau
berbicara dengan cecurut-cecurut macam kau."
"Ki Tambak Wedi," wajah orang itu menjadi merah padam,
"aku tahu bahwa sepuluh orang seperti aku, bahkan seratus
orang mungkin tidak dapat menyamaimu. Tetapi bahwa aku
sekarang sedang mengemban tugas dari Ki Gede Menoreh,
kedudukanku adalah kedudukan seorang utusan dari seorang
yang paling berkuasa di sini. Karena itu jawablah pertanyaan Ki
Ge Menoreh. Apakah kau bersedia menghentikan segala
kegiatan atau tidak. Hanya itu, dan jawabnya pun hanya ada
satu dianta dua, "ya, atau tidak"."
"Gila!" yang berteriak kemudian adalah Sidanti. Hampir saja ia
meloncat menerkam utusan itu. Tetapi Ki Tambak Wedi telah
menahannya. "Tunggu dulu Sidanti."
"Apa lagi yang ditunggu" Orang ini ternyata bermulut besar.
Betapa ia menjadi sombong hanya karena ia menjadi orang
utusan. Sudah sepantasnya ia dicincang di halaman."
" Ia hanya sekedar seorang utusan," berkata Ki Tambak Wedi.
"Tanganmu terlampau bernilai untuk melakukannya. Orang ini
tidak sepantasnya mendapat pelayanan dari kau apalagi aku."
"Lalu apakah yang akan Guru lakukan atasnya?"
"Biarkan saja ia pergi dan menghadap Argapati. Aku sudah
memberi penjelasan."
"Bukan itulah soalnya," utusan itu masih saja memotong.
Sidanti menggeram. Bahkan darah Ki Tambak Wedi sendiri
terasa telah mendidih. Tetapi ia adalah seorang yang licik.
Sehingga ia pun berkata, "Biarkan saja ia Sidanti. Meskipun
bukan itu yang ditanyakan, tetapi ia akan berceritera juga di
hadapan Ki Argapati. Ia akan berceritera tentang sikapku dan
semua yang didengarnya."
Kini utusan itulah yang menggeram. Tetapi ia berkata, "Aku
akan berceritera. Tetapi apakah kau yakin bahwa ceriteraku
tidak akan membakar hati Ki Argapati dan memaksanya untuk
bertindak hari ini juga" Aku tahu benar, bahwa kalian masih
belum siap seandainya Argapati mengambil tindakan hari ini."
"Bodoh sekali," sahut Sidanti. "Apakah kau tidak
mempertimbangkan bahwa dengan demikian aku dapat
membunuhmu." "Kematianku tidak akan berarti apa-apa. Baik bagi Menoreh,
maupun bagi Ki Argapati. Aku hanyalah seorang pengawal
Tanah Perdikan dari antara sekian banyak orang. Tetapi arti
kematianku akan sangat penting bagi kalian. Sebab kematianku
adalah jawaban yang tegas dari pertanyaan Ki Argapati. Ya atau
tidak." "Setan!" sahut Ki Tambak Wedi. "Pergi, cepat pergi!
Terserahlah apa yang akan kau katakan kepada Ki Argapati. Aku
sudah mengemukakan pendirianku. Aku tahu bahwa Argapati
masih berusaha mencari jalan yang baik untuk menemukan
penyelesaian. Aku pun berpendirian demikian. Kalau kau
sebagai seorang utusan telah memotong hasrat yang
bersamaan yang menyala dr dalam dada Argapati dan puteranya
bersama-sama, maka kutuk yang paling jahat akan jatuh
kepadamu. Seandainya kelak berkobar persoalan yang samasama
tidak kita kehendaki,maka kaulah sumber dari segala
macam sebab. Karena seandainya kau tidak membakar hati
Argapati, maka semuanya itu tidak akan terjadi."
Utusan itu mengerutkan keningnya. Ia dapat mengerti katakata
Ki Tambak Wedi. Tetapi ia pun curiga pula atas segala
macam kemauan baik yang diucapkannya. Karena itu maka
akhirnya ia berkata, "Aku hanya sekedar utusan. Aku akan
menghadap Ki Argapati, apabila aku tidak kau bunuh di sini.
Sebab untuk membunuhku kalian tidak akan mengalami
kesulitan meskipun aku pasti akan melawan dengan segenap
hati." "Pergi! Pergi!" teriak Sidanti. "Kau terlampau memuakkan
bagiku. Katakan kepada ayah Argapati semuanya yang pernah
kau dengar di sini."
Pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang menjadi utusan Ki
Argapati untuk menemui Ki Tambak Wedi dan Sidanti itu pun
kemudian meninggalkan rumah Argajaya yang seolah-olah telah
menjadi pusat dari segala kegiatan dan gerakan yang dilakukan
oleh ketiga orang itu. Mereka telah membuat rumah itu sebagi
pancadan untuk menggenggam seluruh kekuasaan tidak saja di
Menoreh, tetapi kekuasaan Pajang seluruhnya, apabila saatnya
telah datang. Argapati mendengar keterangan utusannya dengan hati yang
pedih. Terbayang di dalam rongga matanya bahwa sesuatu yang
tidak diharapkan benar-benar akan terjadi. Sudah tentu ia tidak
akan dapat membiarkan hal itu. Tidak dapat membiarkan Sidanti
merebut kekuasaannya alas Tanah Perdikan ini, meskipun
memang pernah dijanjikannya. Tetapi cara yang ditempuh oleh
Sidanti adalah cara yang sangat menyakitkan hati.
"Soalnya bukan karena aku tidak mau menyerahkan
kekuasaan itu kepada anakku," berkata Argapati kepada
pembantu-pembantunya, "tetapi yang lebih penting lagi bagiku,
adalah cara yang mereka pilih. Dan terlebih-lebih lagi, apakah
yang akan terjadi sesudah itu. Aku tidak berani membayangkan,
apakah yang akan dilakukan oleh Sidanti dengan orang-orang
yang kini meudukungnya. Orang-orang yang kecewa, orangorang
yang ingin berbuat sekehendak sendiri, tanpa dikendalikan
lagi, orang-orang yang kaya tanpa mempertimbangkan dari
mana ia mendapat kekayaan itu, orang-orang yang ingin
berkuasa, dan orang-orang yang mendapat keuntungan dari
segala macam benturan-benturan yang terjadi. Bahkan orangorang
yang sekedar mendapat janji untuk kepentingan pribadi.
Orang-orang yang terlampau miskin dengan harapan-harapan
yang dibayangkan akan dapat berlaku kelak. Kepentingankepentingan
yang berbeda, tetapi mempunyai satu titik tumpuan,
yaitu perubahan atas pimpinan Tanah Perdikan ini akan sangat
berbahaya bagi kelangsungan hidup Menoreh. Berbahaya bagi
keturunan kita kelak."
Pembantu-pembantu dan tetua-tetua Tanah Perdikan
Menoreh menyadari, betapa keadaan telah meluncur dengan
cepatnya ke dalam suatu kesulitan yang hampir tidak dapat
dicegah lagi. Para pemimpin Pengawal Tanah Perdikan itu hampir-hampir
sudah tidak dapat bersabar lagi. Membiarkan hal itu berlarutlarut
berarti membiarkan drinya diintai oleh seekor harimau lapar.
Setiap saat dalam kelengahan yang sekejap saja, pasti segera
akan menerkam dengan garangnya.
Tetapi Ki Argapati selalu mencoba menunggu sampai saat
purnama naik. Ia ingin menyelesaikan janjinya. Janji jantan yang
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak dapat diingkarinya.
Memang kadang-kadang tumbuh pertentangan di dalam
dirinya. Apakah ia akan membiarkan Menoreh ditelan oleh
kesulitan yang lebih parah, dengan taruhan yang lebih mahal
sekedar memenuhi harga diri pribadinya"
"Tidak. Saat purnama akan segera datang. Hanya tinggal
beberapa hari lagi. Selain itu, akupun akan sudah siap untuk
bertindak serentak. Sekali pukul, Ki Tambak Wedi harus hancur.
Kalau tidak, maka keadaan akan menjadi lebih parah agi," kata
Argapati di dalam hati Maka yang dilakukan oleh Argapati kemudian adalah memper
siapkan pasukan pengawal sejauh-jauhnya. Kepada para
pemimpin Tanah Perdikan, Argapati memerintahkan untuk melakukan
perlawanan atas kabar yang tersiar. Mereka harus tegas-tegas
mengatakan, bahwa pada saatnya apabila orang-orang yang
sesat itu tidak segera kembali ke jalan yang lurus, Argapati akan
melakukan tindakan yang keras kepada mereka.
Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh harus menarik garis
yang jelas, di manakah orang-orang yang melakukan
perlawanan itu menempatkan dirinya. Sejak saat itu, perondaperonda
harus ditempatkan di tempat-tempat tertentu. Para
pengawal harus berada dalam kesiap-siagaan penuh setiap
saat. Gardu peronda harus segera dilengkapi dengan alat-alat
untuk tengara setiap gerakan yang mencurigakan.
"Kita tidak dapat melakukannya dengan bersembunyisembunyi
lagi," berkata Argapati. "Kita terpaksa melakukannya
dengan terbuka justru untuk menenteramkan hati rakyat, bahwa
kita pun telah bersiap untuk menghadapi setiap kemungkinan
yang tidak kita kehendaki. Sementara itu setiap cara untuk
menempuh jalan lain, masih harus kita usahakan, agar Menoreh
tidak terjerumus ke dalam api yang dapat membakar seluruh
bukit ini, menjadi karang abang tanpa arti.
Ternyata setiap pemimpin Tanah Perdikan Menoreh dan
setiap pengawal yang masih setia kepada Argapati telah
melakukan perintah itu dengan baik. Di tempat-tempat tertentu
telah ditempatkan satuan-satuan pengawal yang dapat bertindak
setiap saat. Tetapi para pemimpin itu pun tidak dapat menutup
mata dari kenyataan bahwa sebagian dari mereka pun telah
terpengaruh oleh berbagai macam janji dan harapan yang
diberikan oleh Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya. Mereka
tidak segan-segan untuk melontarkan segala macam fitnah yang
paling keji sekalipun, untuk membangkitkan kebencian rakyat
kepada Ki Gede Menoreh. "Aku tidak menyangka, bahwa hal ini dapat terjadi," berkata Ki
Argapati kepada Pandan Wangi ketika mereka duduk berdua di
pringgitan rumahnya. "Ternyata, benih yang ditaburkan, oleh Ki
Tambak Wedi itu telah tumbuh menjadi sebatang pohon berduri
yang meracuni Tanah ini."
Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi tekadnya telah bulat,
untuk berbuat apa saja di samping ayahnya sebagai Kepala
Tanah Perdikan. "Pandan Wangi," berkata ayahnya, "ilmumu ternyata telah
menjadi jauh sekali maju. Kau tidak boleh berhenti. Setiap
malam kau masih harus melakukannya tanpa dilihat orang lain,
supaya tempat latihan kita itu tidak menjadi sasaran tindakan
licik Ki Tambak Wedi dan pengikut-pengikutnya."
Pandan Wangi mengangguk. "Malam nanti aku akan sampai kepada puncak unsur-unsur
gerak yang menjiwai seluruh perguruan Menoreh. Kau sudah
saatnya untuk menerimanya. Aku mempunyai perhitungan,
dengan demikian, kau akan berada lebih tinggi di dalam tataran
ilmumu dari Sidanti yang saat ini pasti tidak sempat melakukan
latihan-latihan yang berarti. Tetapi aku telah menyisihkan waktu
untuk itu. Untuk kepentinganmu. Seandainya terpaksa terjadi
sesuatu atas Tanah Perdikan ini, maka kau akan mampu
melindungi dirimu sendiri dari bencana."
Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi ternyata bahwa
ayahnya telah sampai pada suatu kemungkinan baginya untuk
melakukan perlawanan atas Sidanti, kakaknya. Meskipun Sidanti
bukan putera Ki Gede Menoreh, tetapi Sidanti itu telah dilahirkan
pula oleh Rara Wulan, ibunya.
Terasa desir yang tajam tergores di dinding hatinya. Tetapi
Pandan. Wangi mencoba menggeretakkan giginya untuk
mengusir perasaan yang mengganggu dirinya itu. Ia ingin berdiri
di tempat yang telah dipilihnya menurut nalarnya. Ia tidak mau
terombang-ambing oleh perasaannya yang kadang-kadang
kehilangan keseimbangan. Tetapi betapapun juga ia berusaha, namun setiap kali
terngiang di telinganya, "Sidanti adalah kakakmu seibu. Kakak
yang dengan sayang membawamu bermain-main di masa
kanak-kanak." "Kami bukan anak-anak lagi," Pandan Wangi mencoba
menahan gelora perasaannya. Namun ia tidak dapat menahan
ketika setitik-setitik air membasahi pelupuk matanya.
Ayahnya menyadari betapa beratnya bagi Pandan Wangi
untuk memilih sikap. Tetapi adalah kewajibannya untuk mencoba
menunjukkan arah. Seperti seseorang yang berdiri di simpang
jalan, yang sama-sama menuju ke dalam kesulitan, maka
Pandan Wangi harus memilih salah satu di antaranya. Salah
satu yang paling baik betapa, pun sulitnya.
Ketika kemudian malam tiba, yang semakin lama menjadi
semakin dalam, maka Ki Argapati dan Pandan Wangi telah
berada di sebuah tanah lapang sempit yang sepi. Tempat yang
mereka pilih untuk menempa satu-satunya anak yang akan
dapat meneruskan hadirnya Tanah Perdikan Menoreh apabila
Sidanti sama sekali sudah tidak menghiraukan lagi peringatanperingatan
yang diberikan oleh Ki Argapati.
Angin yang silir telah mengusap tubuh-tubuh yang basah oleh
keringat. Pandan Wangi telah mencoba untuk mencurahkan
segenap kemampuan yang ada padanya supaya ia tidak
mengecewakan ayahnya yang sedang dikalutkan oleh kakak
seibunya. Ternyata harapan Ki Argapati yang ditumpahkan kepada
puterinya itu tidak sia-sia. Pandan Wangi kini sedang berada di
dalam latihan yang paling sulit. Keringatnya telah membasahi
seluruh wajah kulitnya, dari ujung kakinya sampai ke ujung
rambutnya. Terasa getaran-getaran yang semakin cepat
mengalir di segenap otot bebayu, bahkan terasa seolah-olah
bergetar di seluruh bagian tubuhnya menyelusuri segenap tulang
sungsumnya. Getaran-getaran itulah sumber pancaran ilmu yang harus
dipelajarinya, diluluhkan dengan getar di dalam dirinya, dan
kemudian akan terpancar dalam satu bentuk yang dahsyat.
Dengan getaran-getaran yang harus dikenali bentuk dan
wataknya, Pandan Wangi akan mampu membangunkan
segenap tenaga cadangan di dalam dirinya seperti yang
dikehendakinya, yang kadang-kadang di dalam ujudnya, hampirhampir
tidak dapat digapai oleh akal. Tetapi sebenarnyalah
bahwa sumber kekuatan itu telah ada di dalam diri, lahir
bersama-sama dengan kelahiran dirinya dari Sumber Yang Esa.
Kekuatan itu sama sekali bukanlah hasil buatan manusia, bukan
karena kepandaian dan kemampuan manusia menciptakan
kekuatan dan kelebihan di dalam dirinya dari orang-orang lain,
tetapi manusia hanya dapat mengenali dan mempergunakannya,
yang sebelumnya memang telah ada di dalam diri. Sesuai
dengan sumbernya, maka tidak ada lain, bahwa tenaga
cadangan dan setiap pancaran kekuatan, hendaknya
dipergunakan menurut arah yang telah ditentukan. Untuk
kepentingan kasih sesama, dan untuk kepentingan Sumber itu
sendiri, dalam segala macam tuntutannya.
Tetapi ternyata bahwa di dalam diri manusia terdapat
pengenalan yang kadang-kadang sesat dari arah pancaran
Sumbernya. Sesat dan tidak ingin menemukan jalan kembali.
Dibangkitkannya kekuatan di dalam diri manusia dengan
landasan yang samar, dan bahkan dengan landasan yang kelam
dan hitam. Untuk tujuan yang kelam dan hitam pula, sehingga
manusia yang demikian semakin lama akan menjadi semakin
jauh tersesat. Ternyata Pandan Wangi benar-benar tidak mtngecewakan
ayahnya. Ketika keringatnya seolah-olah telah terperas habis
dari dalam tubuhnya, maka sampailah ia pada puncak ilmu yang
diturunkan ayahnya kepadanya. Unsur gerak yang merampas
segenap kekuatan lahir dari batinnya. Memukaunya dalam
pengaruh yang semula kurang dikenalnya. Tetapi kemudian
dimengertinya, bahwa yang kurang dikenalnya itu adalah dirinya
sendiri dalam bentuknya yang paling wajar. Tanpa pulasan
lahiriah dan bahkan seakan-akan tidak mengenal wadagnya
sendiri. Hakekat dari kekuatan manusiawi yang tersimpan di
dalam diri, dalam pancaran pribadi yang lengkap.
Ketika getaran itu terasa mencengkam seluruh tubuhnya,
maka Pandan Wangi merasakan betapa sulitnya ia melawan
kehendak di dalam diri. Seolah-olah suatu kekuatan yang
dahsyat telah menyeretnya ke dalam suatu keadaan yang tidak
dimengertinya. Tetapi Pandan Wangi tetap bertahan, ia
mencoba untuk tetap sadar dan mendengar kata-kata petunjuk
ayahnya. Ia mendengar kata demi kata meskipun seolah-olah
semakin lama menjadi semakin jauh. Dipusatkannya inderanya
untuk tetap mendengar suara itu.
Kini Pandan Wangi justru tidak bergerak sama sekali, ia
berdiri tegak dengan kaki rapat. Tangannya disilangkannya di
dadanya, sedang senjatanya, sepasang pedang, mencuat di
depan pundaknya. Didengarnya petunjuk-petunjuk ayahnya,
untuk melakukan unsur-unsur gerak yang paling sulit dari
ilmunya. Tetapi Pandan Wangi sudah tidak bergerak dengan
wadagnya. Dipusatkan inderanya, didengarkannya petunjukpetunjuk
ayahnya meskipun ia sudah tidak dapat melihat lagi, di
mana ayahnya berdiri karena matanya sedang terpejam, dan ia
tidak tahu lagi dari mana arah suara itu menyentuh lubang
telinganya. Namun meskipun demikian, Pandan Wangi merasakan,
bahwa ia telah melakukan gerak itu. Gerak yang justru paling
sempurna. Gerak yang telah memeras segenap kemampuan
batinnya. Semakin lama suara ayahnya itu pun menjadi semakan
samar, Ia tinggal harus melakukan satu unsur gerak. Yang
terakhir. Terasa dadanya berguncang dahsyat sekali ketika ia
merasa membenturkan kekuatannya itu dengan kekuatan
ayahnya. Dilontarkannya kekuatan terakhirnya dalam unsur
gerak terakhir. Pandan Wangi hanya merasakan dunia ini kemudian menjadi
gelap. Terlampau gelap, sehingga kemudian ia tidak melihat dan
mendengar apa pun lagi. Pingsan.
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Diusapnya keringat
yang, mengalir dikeningnya. Kemudian didekatinya puterinya
yang terbaring diam di atas rerumputan yang basah oleh embun.
Perlahan-lahan ia berjongkok di sampingnya. Dirabanya kening
Pandan Wangi, kemudian tangannya dan dadanya. Nafasnya
dan darahnya terasa terlampau cepat mengalir.
"Agak terlampau berat baginya," desis ayahnya," tetapi ia
mampu menyelesaikannya sampai unsur yang terakhir dari ilmu
perguruan Menoreh." Ketika angin silir mengusap dahinya, Ki Gede Menoreh
menengadahkan wajahnya. Di langit bintang gemintang
berkeredipan memenuhi layar yang biru kehitam-hitaman. Bulan
yang belum bulat telah bertengger di punggung bukit di sebelah
Barat. Sejenak dibiarkannya Pandan Wangi terbaring. Argapati yakin
bahwa puterinya itu tidak mengalami cidera apa pun kecuali
kelelahan dari pemusatan indera yang berlebih-lebihan. Sesudah
itu ia pasti akan menyadari dirinya sebagai seorang gadis yang
telah memiliki bekal yang cukup untuk menempuh kehidupan
yang betapapun sulitnya. Argapati mengerutkan keningnya ketika ia melihat Pandan
Wangi menarik nafas perlahan-lahan. Kemudian dibukanya
matanya perlahan-lahan pula. Yang pertama-tama diucapkannya
adalah, "Ayah."
"Bangunlah, Wangi. Kau telah berhasil."
Perlahan-lahan sekali Pandan Wangi mencoba
menggerakkan tangannya, kemudian kakinya. Berkalkali ia
menarik nafas dalam-dalam. Terasa tubuhnya masih nyeri dan
sendsendi tulangnya terlampau lemah.
"Kekuatanmu akan segera pulih kembali, bahkan dengan
kemungkinan yang jauh lebih baik dari keadaanmu sebelumnya."
Perlahan-lahan Pandan Wangi mengingat kembali apa yang
telah terjadi padanya sebelum ia jatuh pingsan. Latihan yang
terlampau berat dan yang terakhir, pemusatan indera untuk
menangkap unsur gerak yang paling sulit dari ilmunya. Meskipun
ia kemudian pingsan, tetapi ia sudah menyelesaikan apa yang
seharusnya dilakukannya. Ia mendengar petunjuk-petunjuk
ayahnya sampai kalimat yang terakhir.
Tetapi ia adalah seorang gadis. Secara alami ia mempunyai
perbedaan dengan seorang anak laklaki muda. Itulah
sebabnya, maka baginya latihan itu menjadi terlampau berat,
meskipun ia kemudian berhasil menyelesaikannya.
Pandan Wangi itu pun kemudian bangkit dan duduk di depan
ayahnya. Nafasnya masih terasa berkejaran dan darahnya
masih terlampau cepat mengalir. Jantungnya seakan-akan
berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Berdirilah, Wangi," berkata ayahnya.
Perlahan-lahan Pandan Wangi mencoba berdiri, betapa
lemahnya sendi tulangnya, namun ia kemudian tegak di atas
kedua bakinya. "Ambillah pedangmu."
Pandan Wangi menyadari bahwa kedua senjatanya itu
ternyata telah terlepas dari tangannya. Perlahan-lahan ia
membungkukkan badannya. Punggungnya masih terasa
terlampau penat. Diraihnya kedua pedangnya dan kemudian
disarungkannya di lambungnya.
"Kau telah selesai, Wangi," berkata ayahnya yang kemudian
berdiri di sampingnya. "Tetapi sama sekali bukan berarti bahwa
kau telah menjadi sempurna. Kau baru dapat menyelesaikan
latihan-latihan untuk menguasai unsur-unsur gerak itu sendiri.
Tetapi kau masih harus mengembangkannya dalam waktu-waktu
yang akan datang. Kau harus dapat mempergunakan, memilih
dan menggabungkan unsur yang telah kau kuasai itu, untuk
menanggapi keadaan yang berbeda-beda. Nah, untuk itu kau
memerlukan pengalaman. Tetapi dasar pengetahuanmu kini
sama sekali pasti tidak akan kalah lagi dari Sidanti, meskipun
kau sudah pasti kalah dalam pengalaman."
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pandan Wangi masih berdiri tegak sambil berdiam diri.
Berbagai macam perasaan bergelut di dalam dirinya. Sekali lagi
ia merasakan desir yang tajam menggores hatinya. Sidanti itu
adalah kakaknya. Memang tidak ada pertalian apa pun antara
ayahnya dan Sidanti meskipun selama ini Sidanti benar-benar
ditempatkan pada tempat yang baik di dalam keluarganya. Tidak
seorang pun yang merasakan sikap yang kurang baik dari
ayahnya terhadap anak muda itu. Namun ternyata ayahnya tidak
dapat melupakannya sama sekali apa yang telah terjadi itu.
Ternyata, ketika ayahnya dihadapkan pada suatu persoalan,
maka perasan itu meledak tanpa dapat ditahan-tahankan lagi.
Bahkan dengan serta-merta ayahnya telah menempatkannya
langsung berhadapan dengan kakaknya.
Tetapi baginya, Sidanti adalah saudara yang dilahirkan dari
ibu yang sama. Dan betapapun juga, samar-samar terbayang di
wajah Sidanti garis-garis wajah ibunya, meskipun kakaknya itu
jauh lebih serupa dengan Ki Tambak Wedi.
Pandan Wangi itu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar
ayahnya berkata, "Marilah kita pulang, Wangi. Hari telah
terlampau jauh malam. Bahkan mungkin sebentar lagi fajar akan
memancar di Timur. Kau perlu beristirahat."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya dengan
lemahnya. Ketika ia memandang ke Barat, maka bulan sudah
tidak dilihatnya lagi. Bulan yang masih belum bulat.
Tetapi dada Pandan Wangi berdesir karenanya. Sekilas
teringat olehnya, janji ayahnya dengan Ki Tambak Wedi. Pada
saat purnama naik. Dan purnama itu semakin lama menjadi
semakin dekat. Beberapa hari lagi. Dan beberapa hari lagi itu
adalah hari yang sangat menegangkan baginya, bagi keluarga
Tanah Perdikan Menoreh. Hari itu akan mempunyai banyak
sekali kemungkinan. Di antaranya adalah, perubahan yang
mendadak di atas Tanah Perdikan ini. Bahkan Tanah ini akan
dapat dibakar, oleh api yang dahsyat, dan memusnakan segala
macam bentuk dan peradaban.
Dapat terjadi saling membunuh di antara tetangga-tetangga
dan di antara sanak-kadang. Dapat pula terjadi pembantaian
besar-besaran di antara mereka yang berbeda pendirian.
Bulu-bulu kuduk Pandan Wangi terasa meremang.
Mengerikan sekali. Ternyata kedatangan Sidanti dan Tambak
Wedi di atas Bukit Menoreh sama sekali tidak membawa
kesentausaan. Tetapi yang dibawanya adalah bencana. Apakah
bencana itu harus terjadi"
Dan sekali lagi Pandan Wangi mendengar ayahnya berkata,
"Marilah kita pulang, Wangi. Kau perlu beristirahat. Kemudian
kita perlu segera mempertimbangkan perkembanganperkembangan
terakhir yang terlampau cepat terjadi."
Pandan Wangi, yang kelelahan itu pun kemudian melangkah
perlahan-lahan bersama ayahnya, meninggalkan lapangan
sempit itu, pulang ke rumahnya. Ketika mereka memasuki jalan
padukuhan induk dari Tanah Perdikan Menoreh, terdengar suara
ayam jantan berkokok bersahut-sahutan merambat dari kandang
ke kandang, menyongsong cahaya yang kemerah-merahan di
langit sebelah Timur. "Fajar," desis Argapati.
Pandan Wangi mengangkat wajahuya. Dipandanginya fajar
yang mulai memancar. Sebentar lagi matahari akan naik di hari
yang baru. "Kita masih sempat beristirahat meskipun hanya sekejap,"
berkata Argapati. "Aku akan pergi ke belakang, membersihkan
diri." Pandan Wangi mengangguk. Tetapi ia berkata, "Aku akan
kesiangan bangun apabila aku jatuh tertidur, Ayah."
"Meskipun kau tidak tidur, tetapi beristirahatlah."
"Baik, Ayah," sahut Pandan Wangi.
"Harhari mendatang, pekerjaan kita akan bertambah banyak.
Jauh lebih banyak dari yang kita duga semula."
Pandan Wangi tidak menjawab, tetapi dianggukkannya
kepalanya. Ketika mereka memasuki regol halaman rumahnya, para
peronda memandangi mereka dengan penuh keheranan. Tetapi
tidak seorang pun yang bertanya, dari manakah ayah dan anak
itu semalam-malaman. Argapati dan Pandan Wangi pun sama sekali sudah tidak
bernafsu lagi untuk terlampau banyak berbicara. Mereka hanya
menganggukkan kepala mereka kepada para peronda yang
masih ada di dalam gardunya sambil bergumam, "Apakah kalian
baik-baik?" "Ya, Ki Gede. Tidak ada apa-apa semalaman di rumah ini."
"Terima kasih."
Ki Gede Menoreh itu pun sama sekali tidak berhenti.
Langkahnya yang lemah membawanya langsung ke belakang,
ke perigi. Sedang Pandan Wangi langsung masuk ke dalam
biliknya, menyiapkan pakaian-pakaian untuk mengganti
pakaiannya yang kotor sesudah mandi.
Ketika fajar menyingsing, pada saat sinarnya yang kekuningkuningan
menyentuh ujung pepohonan, seorang pemimpin
pengawal Tanah Perdikan itu dengan tergesa-gesa datang
menemui Ki Argapati yang baru saja selesai, dan duduk-duduk di
pringgitan seorang diri menghadapi minuman hangat.
"Maaf, Ki Gede, aku datang terlampau pagi."
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Terlintas di dalam
hatinya, sesuatu yang kurang wajar pasti telah terjadi, sehingga
salah seorang pemimpin pengawal ini dengan tergesa-gesa
menemuinya. "Duduklah," Argapati mempersilahkan.
Dengan nafas terengah-engah pemimpin pengawal itu duduk
di hadapan Ki Argapati. Belum lagi debar jantungnya mereda, ia
sudah mulai berbicara, "Ki Gede. Kita benar-benar berada di
dalam kesulitan." Argapati mengerutkan keningnya. Dengan sareh ia bertanya,
"Apakah yang sudah terjadi?"
"Sidanti dan Ki Argajaya benar-benar telah tersesat," berkata
orang itu pula. "Mereka telah kehilangan sama sekali kecintaan
mereka kepada Tanah Kelahiran ini."
"Apakah yang telah mereka lakukan?" bertanya Ki Gede
Menoreh seterusnya. Pemimpin pengawal itu menggeser setapak maju. Katanya,
"Beberapa orang pengawal dan bahkan beberapa pemimpin
pengawal melihat beberapa orang tidak dikenal di dalam
lingkungan Tanah Perdikan ini. Mereka telah membuat
hubungan dengan Ki Argajaya dan Sidanti."
Sepercik warna mereka menjalar di wajah Argapati. Ia sama
sekali tidak menduga, bahwa tindakan adiknya dan anak muda
yang telah diakunya sebagai anaknya itu akan menjadi
sedemikian jauh. Namun kemudian Argapati itu teringat, bahwa
di dalam lingkungan mereka terdapat Ki Tambak Wedi.
Meskipun Ki Tambak Wedi pernah tinggal di atas Tanah ini,
tetapi sudah terlampau lama ia meniaggalkannya, dan
menjadikan dirinya seorang yang paling berkuasa di
padepokannya, padepokan Tambak Wedi. Dengan demikian,
maka kecintaannya kepada Tanah ini pun pasti tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Betapapun juga, Argajaya dan Sidanti
pasti masih mempunyai kesadaran, bahwa di sinilah mereka
dilahirkan, dibesarkan dan di sini pulalah mereka telah meneguk
air di saat haus dan menelan makanan di saat lapar. Tanah
inilah yang telah memberikan segala-galanya kepada mereka.
Apakah dengan demikian mereka akan sampai hati
menghubungi orang-orang yang tidak dikenal untuk ikut serta
merusak Tanah ini" Untuk ikut serta menitikkan darah orangorang
Menoreh yang kini sedang diamuk oleh perpecahan yang
semakin meruncing" Sejenak Argapati terdiam. Ia tidak segera dapat
mengucapkan kata-kata. Pringgitan itu pun menjadi sunyi untuk
sesaat. Kemudian terdengar Argapati menarik nafas dalamdalam
sambil berdesah, "Bencana benar-benar akan menimpa
Tanah ini. Apakah orang-orang yang tidak dikenal itu telah dapat
dipastikan, akan ikut campur di dalam persoalan antara aku dan
Sidanti yang telah dinyalakan oleh Ki TambakWedi?"
"Kami mempunyai penilaian yang demikian Ki Gede. Dua
orang dari orang-orang itu telah berada di rumah Ki Argajaya
pula." "Apakah kau kenal mereka, atau setidak-tidaknya dapat
menduga dari manakah mereka datang atau dari lingkungan
apa?" "Ki Gede, menurut perhitunganku dan beberapa kawan,
mereka ternyata dapat digolongkan orang-orang yang kurang
mendapat tempat di dalam lingkungan orang yang baik-baik.
Mereka datang di antar oleh Ki Prastawa."
"Oh," Ki Argapati tiba-tiba menjadi tegang. "Orang itu telah
melibatkan dirinya pula."
"Bagaimanakah penilaian Ki Gede tentang orang itu?"
"Ia adalah seorang yaiig paling senang melihat benturanbenturan
yang dapat terjadi di Tanah ini. Ia adalah seorang
penjudi yang tidak saja melakukan kegiataanya di Tanah ini,
tetapi ia telah mendatangi tempat-tempat judi, sabung ayam, dan
tempat lain semacamnya sampai ke tempat-tempat yang jauh.
Orang-orang itu pasti dibawanya dari lingkungannya. Bahkan
tidak mustahil bahwa orang-orang jahat untuk membuat Tanah
ini menjadi karang abang."
Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Penilaian itu tepat seperti penilaiannya. Orang itu bukannya
orang yang bermaksud baik, tetapi ia akan mempergunakan
kesempatan yang jelek ini untuk kepentingannya sendiri.
Karena itu maka ia bertanya, "Ki Gede, sudah tentu Ki
Prastawa akan memgambil keuntungan dari persoalan ini. Tetapi
keuntungan apakah yang diinginkannya" Apakah yang
didapatnya dari kekisruhan yang dapat timbul di Tanah Perdikan
ini?" Ki Gede Menoreh mengerutkan dahinya. Tampaklah betapa
ia menahan gelora hatinya. Jawabnya perlahan-lahan, "Orangorang
semacam itu kadang-kadang tidak mempunyai landasan
berpikir tertentu. Ia hanya ingin terjadi sesuatu. Mungkin
perubanan pimpinan atas Tanah Perdikan ini yang
diharapkannya dapat, memberikan keleluasaan bergerak
baginya dan bagi lingkungannya. Tetapi seandainya yang
dibawanya itu adalah orang-orang yang diangkatmya dari dunia
yang hitam, maka akibat daripadanya adalah parah sekali.
Setiap kesempatan dapat dipergunakan oleh mereka untuk
menumbuhkan malapetaka. Mungkin, perampokan,
perampasan, dan sebagainya."
"Hem," pemimpin pengawal itu menggeram. "Ki Gede
mumpung masih belum berlarut-larut. Aku kira Ki Gede harus
berbuat sesuatu." Ki Gede Menoreh tidak segera menyahut. Perhitungannya
memang berkata demikian. Tetapi apakah ia akan dapat melihat
pertumpahan darah terjadi di atas Tanah Perdikan ini" Tanah
yang dibinanya sejak bertahun-tahun" Hampir sepanjang
umurnya diberikannya untuk membuat Tanah ini menjadi Tanah
Perdikan yang baik. Tetapi kini ia dihadapkan kepada pilihan yang sulit. Bahkan,
ia terdorong kepada suatu pikiran di kepalanya, "Bagaimanakah
apabila aku serahkan saja pimpinan atas Tanah ini kepada
Sidanti. Betapapun juga jeleknya, ia adalah orang yang
dilahirkan di Tanah ini. Ia adalah seorang yang merasa dirinya
mampu dan berhak pula. Dengan demikian akan terhindarlah
segala macam pertumpahan darah dan keributan di atas Tanah
ini. Namun kemudian ia menggeretakkan giginya.Desisnya di
dalam hati, "Aku akan berkhianat atas Tanah ini apabila aku
biarkan Sidanti merebut pimpinan. Ia akan dikendalikan oleh
Tambak Wedi dan orang-orang yang kelak akan
mempengaruhinya dengan kekuatan masing-masing. Orangorang
yang memiliki kekuatan, karena kekayaannya, orangorang
yang dapat memberinya kepuasan lahiriah, dan mungkin
juga orang-orang yang merasa hidupnya terlampau sulit dan
mengharapkan perubahan keadaan, bagi Tanah ini dan bagi diri
mereka. Campur baur dari kepentingan yang berbeda-beda,
namun menempatkan harapan pada keadaan yang sama itulah
yang akan membakar Tanah ini menjadi abu."
"Bagaimana, Ki Gede?" bertanya pemimpin pengawal itu.
Wajah Ki Gede Menoreh tampak ragu-ragu. Ia masih dikuasai
oleh perasaannya yang kadang-kadang belum sejalan dengan
pikirannya. Kejantanan yang mengikatnya dalam janji dengan Ki
Tambak Wedi mempegaruhinya pula.
"Tunggullah," desis Ki Gede Menoreh.
Wajah orang itu menjadi kecewa. Perlahan-lahan ia berkata,
"Ki Gede, apakah kita menunggu banjir bandang yang akan
memecah Tanah Perdikan ini menjadi berkeping-keping?"
Ki Argapati terdiam sejenak. Ia dapat memahami pendapat
pengawal yang setia itu. Tetapi ia kemudian menjawab, "Aku
perhatikan pendapatmu. Tunggullah, hari ini aku akan
mengambil sikap. Aku akan memanggil kalian untuk menentukan
setiap tindakan yang akan kita ambil."
Pemimpin pengawal itu menundukkan kepalanya. Ki Argapati
dikenalnya sebagai seorang yang keras hati. Tetapi ketika ia di
hadapkan pada kekisruhan yang terjadi di Tanah sendiri, maka
terasa ia selalu diselubungi oleh keragu-raguan.
"Lakukanlah tugasmu baik-baik. Aku sendiri akan melihat
keadaan dengan saksama."
Pemimpin pengawal itu mengangguk lemah. "Baiklah Ki
Gede. Aku menunggu perintah."
Sepeninggal orang itu Ki Gede Menoreh menarik nafas
dalam-dalam. Keningnya tampak berkerut-kerut. Di dalam
dadanya terjadi suatu pergolakan yang dahsyat, yang
mendorongnya ke dalam suatu keadaan yang tidak menentu.
Namun tiba-tiba Ki Argapati itu teringat kepada puterinya,
Pandan Wangi. Satu-satunya keluarga yang dapat diajaknya
berbincang. Pandan Wangilah yang kelak diharapkan akan
dapat menegakkan Tanah Perdikan ini menjadi Tanah Perdikan
yang jauh lebih baik dari keadaannya kini.
Karena itu, maka Ki Argapati itu segera berdiri. Perlahanlahan
ia berjalan ke bilik Pandan Wangi. Perlahan-lahan pula ia
mengetuk pintunya yang masih tertutup sambil memanggil
namanya, "Pandan Wangi."
Tidak ada jawaban. Ki Argapati menyangka bahwa Pandan
Wangi masih terlampau lelah. Mungkin ia tertidur setelah
menyiapkan minuman paginya.
"Wangi," ia mengulangi.
Masih belum ada jawaban. Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. "Ia terlampau
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lelah," desisnya. Kini Ki Gede Menoreh tidak memanggilnya lagi. Perlahanlahan
didorongnya daun pintu leregan itu ke samping. Perlahanlahan
sekali supaya puterinya tidak terkejut.
Tetapi Ki Gede-lah yang kemudian terkejut. Ternyata bilik itu
telah kosong. "Kemenakah anak ini?" desisnya.
Ki Argapati itu pun kemudian pergi ke belakang.
Ditanyakannya kepada pelayan-pelayannya, apakah mereka
melihat Pandan Wangi. Tetapi pelayan-pelayan itu menggeleng sambil menjawab,
"Tidak Ki Gede, kami tidak melihatnya."
Sepercik kecemasan merambat di hati Argapati. Karena itu
maka kemudian disusurinya halaman rumahnya. Kalau-kalau
Pandan Wangi sedang berada di halaman, atau sedang berada
di kebun belakang. "Apakah Ki Gede sedang mencari Pandan Wangi bertanya
seorag pelayan tua."
"Ya," sahut Ki Gede.
"Ia mengenakan pakaian berburunya. Mungkin ia pergi."
Jantung Ki Argapati berdesir mendengarnya. Terkilas di
dalam angan-angan Argapati, bahwa sudah pasti Pandan Wangi
tidak akan pergi berburu. Tetapi Ki Argapati tidak segera dapat
menentukan, kemanakah puterinya itu pergi. Karena itu maka
sejenak kemudian ia bertanya, "Apakah kau tahu kemana ia
pergi?" "Sudah tentu ia akan pergi berburu," jawabpelayan tua
Itu. "Apakah ia membawa busur dan anak panah?"
Pelayan tua itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia
menjawab agak ragu-ragu, "Tidak. Aku kira ia tidak membawa
busur dan anak panah."
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Ia
tidak akan pergi berburu."
"Lalu kemanakah ia akan pergi?"
Argapati tidak segera menjawab, tetapi tampak keningnya
menjadi berkerut-merut. "Apakah Pandan Wangi pergi berkuda?" ia bertanya.
"Ya, ia pergi berkuda."
"Mungkin para penjaga di regol depan mengetahuinya,"
gumam Ki Argapati. "Tidak Ki Gede, Pandan Wangi tidak lewat regol depan tetapi
ia membuka pintu butulan. Akulah yang disuruhnya menutup."
Argapati mengerutkan keningnya. Meskipun, ia terkejut
mendengar keterangan itu, tetapi ia mencoba untuk tidak
memberikan kesan apa pun. Perlahan-lahan ia menganggukangguk,
kemudian ia bertanya, "Kemanakah ia pergi. Ke Utara
atau ke Selatan?" Pelayan tua itu mengingat-ingat sebentar. Kemudian katanya,
"Mungkin ia pergi ke Selatan. Aku tidak begitu menaruh
perhatian. Begitu ia keluar dari regol, aku segera menutupnya."
"Anak nakal,"desis Argapati.
"Apakah Pandan Wangi tidak minta ijin lebih dahulu kepada
Ki Gede?" Ki Gede Menoreh itu tidak menyahut.
"Bukankah biasanya Pandan Wangi mendapat ijin dari Ki
Gede untuk pergi berburu."
Ki Gede hanya mengangguk saja. Tetapi di dalam hati ia
berkata, "Aku tidak pernah melepaskannya seorang diri
meskipun ia hanya pergi berburu. Apalagi dalam keadaan
serupa ini." "Hem," Ki Argapati itu berdesah, sedang pelayan tua itu
memandanginya dengan heran. Ia melihat kegelisahan pada
wajah Argapati betapapun ia mencoba menyembunyikannya.
Tetapi pelayan tua itu tidak tahu apakah yang sebenarnya
digelisahkannya. Bukankah Pandan Wangi itu pergi di siang
hari" Pelayan tua itu sama sekali tidak tahu, betapa ketegangan
yang kemelut menyelubungi udara Tanah Perdikan Menoreh.
Apabila Argapati tidak berhasil mengatasinya dengan cara yang
diiginkannya maka api akan segera menyala.
Dalam keadaan demikian Pandan Wangi pergi seorang diri.
Berbagai macam persoalan telah menggelegak di dalam
dadanya. Bahkan kemudian keringat dingin membasahi seluruh
tubuhnya ketika terlintas di dalam hatinya, "Apakah Pandan
Wangi memilih kakaknya daripada ayahnya?"
"Tidak," Argapati mencoba membantahnya di dalam hati.
"Mustahil hal itu dilakukannya."
Tetapi Argapati tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Dengan kepala tunduk ia melangkah masuk ke dalam rumah.
Sedang pelayan tua itu masih berdiri termangu-mangu di
tempatnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia
bergumam, "Hem, apakah Pandan Wangi pergi tanpa pamit
setelah ayahnya melarangnya?"
Dengan hati yang gelisah Argapati duduk kembali di
pringgitan. Dicobanya menenangkan hatinya dengan meneguk
minuman paginya yang telah menjadi dingin. Tetapi debar di
jantungnya justru menjadi semakin tajam.
"Anak itu pasti pergi ke rumah pamannya," desis Argapati
seorang diri. Arah yang diambilnya adalah arah yang menuju ke
rumah Argajaya. "Aku tidak tahu, apakah maksudnya Dalam
keadaan yang panas ini, perjalanan yang pendek itu dapat
berbahaya baginya." Tetapi Argapati tidak dapat segera pergi menyusulnya. Ia
merasa segan untuk datang ke rumah itu, seolah-olah ia
memerlukan menemui orang-orang yang selama ini telah
membuat kekisruhan di dalam wilayahnya. Dengan demikian,
maka bagi mereka yang melihat kehadirannya ke rumah itu akan
dapat memberikan tanggapan yang bermacam-macam, seolaholah
ia telah merendahkan dirinya, memohon kepada Sidanti
untuk melepaskan tuntutannya.
"Tetapi bagaimana dengan Pandan Wangi?" desisnya. Tibatiba
Argapati itu meloncat berdiri. Dengan tergesa-gesa ia pergi
ke pendapa dan memanggil seorang penjaga regol halamannya.
"Panggil pemimpin pengawal," ia menggeram.
Perintah itu tidak perlu diulanginya. Segera penjaga regol itu
pergi memenuhinya, memanggil pemimpin pengawal.
Kepadanya, Argapati memberitahukan bahwa Pandan Wangi
telah pergi. Menurut pertimbangannya ia pergi ke rumah
Argajaya. "Apakah kepentingannya?" bertanya pemimpin pengawal itu.
"Aku tidak tahu. Tetapi aku yakin bahwa Pandan Wangi ingin
membantuku memecahkan kesulitan ini. Mungkin ia ingin
menemui kakaknya dan mencoba mempengaruhinya. Namun
aku mengkhawatirkannya. Aku tidak yakin bahwa ia berhasil,
meskipun seandainya demikian aku akan sangat berterima kasih
kepadanya. Tetapi seandainya Sidanti mengambil sikap-sikap
yang tidak mencerminkan persaudaraannya, misalnya
menahannya dan tidak diberikan kesempatan kepadanya untuk
kembali ke rumah ini dengan kekerasan, maka kita harus
bertindak. Aku menunggu sampai tengah hari. Apabila tengah
hari Pandan Wangi tidak kembali, kau harus menyusulnya. Kau
minta Pandan Wangi. Kalau tidak diberikannya, aku tidak tahu
akibat apa yang dapat terjadi. Pasukanmu harus bersiap
menghadapi setiap kemungkinan."
Wajah pemimpin pengawal itu menjadi tegang. Tetapi
kemudian matanya memancarkan api yang seolah-olah telah
membakar jantungnya. Dengan tegas ia berkata, "Aku akan
melakukannya. Aku dan pasukan pengawal Tanah Perdikan ini
sudah siap melakukan apa saja. Aku kira memang tidak ada
jalan lain selain perang. Kalau Pandan Wangi mengusahakan
jalan lain, itu pasti hanya akan sia-sia saja, meskipun aku ikut
mengharap, mudah-mudahan ada juga pengaruhnya."
Argapati melihat pancaran perasaan pemimpin pengawal itu.
Agaknya ia sudah menjadi jemu melihat perkembangan keadaan
yang seakan-akan tidak menentu. Tetapi kegelisahan dan
kecemasan telah merayapi hampir setiap hati di dalam dada
orang-orang Menoreh. Sehingga bentuk kehidupan seharhari
telah berubah sama sekali. Pasar-pasar menjadi semakin sepi,
dan sawah-sawah tidak lagi terpelihara sewajarnya. Sebagian
dari setiap laklaki di Menoreh telah mengelompokkan diri
mereka dengan orang-orang yang mempunyai persamaan sikap
dan pandangan. Menoreh telah terpecah dari dalam.
Ketika pemimpin pengawal itu kemudian meninggalkan rumah
Ki Gede Menoreh, maka Ki Gede itu berpesan, "Datanglah
sebelum tengah hari kemari, setelah kau selesai dengan segala
bentuk persiapanmu. Kau akan mendapat kepastian, apakah
Pandan Wangi telah kembali atau belum. Jangan kau bunyikan
tengara untuk mempersiapkan pasukanmu, supaya orang-orang
yang tidak mengerti masalahnya menjadi bingung dan
ketakutan." "Baik," sahut pengawal itu meskipun ia tidak sependapat
sepenuhnya. Sebenarnya ia ingin langsung membunyikan
tengara, memanggil mereka yang masih cukup kuat untuk
mengangkat senjata, kemudian langsung menghancurkan
Sidanti dan Argajaya. Tetapi pengawal itu menyadari, bahwa dengan demikian akan
terjadi pergolakan yang dahsyat dan mengerikan. Campur baur
antara lawan dan kawan akan membuat Tanah Perdikan ini
merah oleh darah sesama. Sepeninggal pengawal itu, Argapati masih saja selalu diliputi
oleh kegelisahan. Tanpa disengajanya ia memasuki bilik Pandan
Wangi. Hatinya berdesir ketika ia tidak melihat sepasang pedang
puterinya itu tergantung di tempatnya.
"Anak itu bersenjata," desisnya. Dan Argapati semakin yakin
bahwa Pandan Wangi pergi ke rumah pamannya karena ia
masih melihat busur dan anak panahnya berada di atas
pembaringannya, tergantung di dinding.
Dalam kegelisahannya, Argapati itu merasa bahwa hari
merangkak terlampau lamban. Matahari seolah-olah terpancang
saja di tempatnya, tanpa bergerak sama sekali. Bayanganbayangan
matahari yang lolos dari lubang-lubang dinding masih
tampak terlampau condong.
"Hem," Ki Gede Menoreh itu berdesah. Dan sekali lagi tanpa
disadarinya ia pergi ke biliknya sendiri. Perlahan-lahan ia pergi
ke geledeg di sudut biliknya. Beberapa saat ia berdiri termangumangu.
Namun kemudian tangannya itu bergerak meraih sebuah
selongsong kain putih. Argapati menarik nafas dalam-dalam.
Perlahan-lahan dengan tangan gemetar dibukanya
selongsong itu. Perlahan-lahan ditariknya sebatang tombak
pendek dari dalamnya. Tombak pendek yang disimpannya
beberapa lama, namun tiba-tiba kini begitu menarik
perhatiannya, dan seolah-olah telah menghisapnya untuk
membukanya. Ki Argapati mengerutkan keningnya. Ia melihat sesuatu yang
agak lain pada tombaknya. Maka dengan serta-merta tangannya
meraih wrangkanya. Dan ketika wrangkanya telah terbuka,
dadanya berdesir tajam sekali. Tombak itu bukan tombaknya
sendiri. Argapati menggeretakkan giginya. Wrangka itu adalah
wrangka tombaknya. Selongsong itu adalah selongsong
tombaknya. Tangkai itu pun memang tidak banyak berbeda
dengan tangkai tombaknya. Seandainya ia tidak merabanya,
maka ia tidak akan segera dapat melihat perbedaannya. Tetapi
jelas tombak itu bukan miliknya. Tombak itu agaknya adalah
tombak Argajaya. "Hem," Ki Gede Menoreh menggeram. Ternyata adiknya
benar-benar tidak tahu diri. Tombak itu telah dipertukarkannya.
Tombaknya yang selama ini menjadi kawan di dalam segala
keadaan, sebagai seorang prajurit, kemudian sebagai seorang
Kepala Tanah Perdikan. Tiba-tiba tombak itu kini lenyap. Hilang.
Tetapi Argapati dapat menduga, siapakah yang telah
mengambilnya. Adiknya sendiri, Argajaya, dan menukarnya
dengan tombaknya sendiri.
"Kapankah ia masuk ke dalam bilik ini?" Argapati menggeram.
Tetapi hal itu mungkin sekali terjadi. Rumah itu seolah-olah
sudah menjadi rumah Argajaya sendiri. Ia berada di dalam
rumah itu seperti ia berada di dalam rumahnya. Argapati sama
sekali tidak berprasangka apa pun terhadap adiknya, sebelum
peristiwa yang memilukan terjadi atas Tanah Perdikan Menoreh.
Bahkan seandainya benar Argajaya yang telah melakukannya,
tetapi tidak terjadi hal seperti ini, maka hatinya pun tidak akan
menjadi terlampau marah. Tetapi ternyata tombaknya telah ditukarnya.
Dengan kesal Argapati menyarungkan tombak itu kembali.
Dimasukkannya pula ke dalam selongsong dan meletakkannya
di atas geledegnya. "Argajaya benar-benar telah menempatkan dirinya di
seberang," desisnya. "Apakah aku masih harus merasa terikat
oleh kasih sayang seorang saudara tua di saat-saat begini" Aku
sudah tua, Argajaya pun telah menambat ke usia tuanya.
Harapan di masa datang kini tergantung kepada anakku. Kepada
Pandan Wangi. Pandan Wanglah yang harus diselamatkan dari
bencana. Bukan Argajaya, dan bahkan bukan diriku sendiri.
Apalagi Sidanti." Wajah Argapati tiba-tiba menegang. Argajaya agaknya telah
menukar tombak itu tidak baru kemarin. Tetapi sudah agak lama
terjadi. Sekilas teringat olehnya perjanjian yang dibuatnya
dengan Ki Tambak Wedi. Sepercik ingatan tentang peristiwa
yang jarang terjadi di bawah Pucang Kembar beberapa puluh
tahun yang lalu telah menyala pula di hatinya.
Tetapi tombak itu sudah tidak ada lagi di tangannya. Tombak
yang masih akan dipergunakan sekali lagi untuk melawan
senjata Tambak Wedi yang megerikan itu. Sepasang nenggala
yang masing-masing mempunyai mata tajam rangkap. Tetapi
Argapati tidak mengerti, bahwa sepasang nenggala itu pun
sudah tidak utuh lagi. Satu dari padanya ternyata telah tertinggal
di Sangkal Putung. Sementara itu, Pandan Wangi sedang berpacu di atas
kudanya menuju ke rumah pamannya seperti yang diduga oleh
ayahnya. Ia sendiri tidak tahu, dorongan apakah yang
memaksanya untuk pergi menemui kakaknya. Ia menyadari,
bahwa ayahnya pasti tidak akan mengijinkannya. Karena itu,
maka ia pergi tanpa minta ijin dahulu kepadanya. Keinginannya
untuk bertemu dan berbicara dengan Sidanti tidak dapat ditahantahankannya
lagi. Berbicara kepada seorang kakak, meskipun
kini ia tahu bahwa Sidanti bukanlah kakaknya seayah.
Tetapi bukan saja karena ia ingin berbicara dengan kakaknya,
bukan saja karena ada sesuatu yang telah mengikatnya dengan
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sidanti betapapun keadaan anak itu, karena mereka seibu,
namun lebih dari pada itu. Pandan Wangi telah dilanda oleh
kecemasan melihat nasib tanah kelahirannya. Tanah Perdikan
Menoreh yang diancam oleh bahaya yang justru meledak dari
dalam. "Aku harus menemui Kakang Sidanti dan paman Argajaya,"
katanya di dalam hati. "Aku harus berbicara dan mencoba
mengurungkan niat mereka. Seandainya Kakang Sidanti tahu,
bahwa ayah bukan ayahnya pula, namun seharusnya ia tidak
mengorbankan tanah ini untuk kepentingannya sendiri."
Sekalsekali Pandan Wangi menggeretakkan giginya melihat
keadaan yang menyedihkan. Jalan-jalan menjadi sepi dan pintupintu
rumah tertutup rapat-rapat. Tanah ini seolah-olah sedang
dilanda oleh bahaya yang akan menelan seluruh isinya menjadi
abu. Dengan demikian maka hasratnya untuk berbicara dengan
kakak dan pamannya menjadi semakin kuat di dalam hatinya.
Di perjalanan kadang-kadang Pandan Wangi bertemu juga
orang berjalan dengan tergesa-gesa. Satu-satu membawa
beberapa macam barang yang akan dipertukarkan dengan
kebutuhan-kebutuhan lain, karena pasar menjadi sepi. Ketika
orang-orang itu mendengar derap kudanya, maka dengan
tergesa-gesa mereka menyusup masuk ke regol halaman yang
terdekat dan bersembunyi di balik dinding halaman.
"Tanah ini menjadi sepi sesepi pekuburan," desis Pandan
Wangi. Tetapi derap kuda Pandan Wangi seolah-olah telah
menggetarkan seluruh Tanah Perdikan yang sedang dihantui
oleh perpecahan yang semakin lama semakin tajam.
Semakin dekat dengan rumah pamannya, hati Pandan Wangi
menjadi semakin berdebar-debar. Seolah-olah ia tidak sabar lagi
untuk segera meloncat dan menemui mereka. Bahkan sekalkali
ia berpaling. Seandainya ayahnya atau orang-orang yang
diperintahkan olehnya menyusul perjalanannya dan
membawanya kembali sebelum ia bertemu dengan Sidanti dan
pamannya Argajaya, maka ia akan berkeberatan.
Tetapi tiba-tiba dada Pandan Wangi itu berdesir. Di tikungan
di hadapannya, dilihatnya beberapa orang sedang berdiri
bertebaran. Mereka agaknya sedang asyik bercakap-cakap,
berkelakar atau apa saja.
"Siapakah mereka itu?" pertanyaan itu tumbuh di dada
Pandan Wangi. Ternyata bahwa derap kakkaki kudanya telah menarik
perhatian orang-orang itu. Serentak mereka berloncatan justru
ke tengah jalan. Beberapa orang bertolak pinggang dan yang
lain meraba hulu pedangnya.
"Enam atau tujuh orang," desis Pandan Wangi, "Mungkin
mereka para pengawal Tanah Perdikan yang sudah dipengaruhi
oleh kakang Sidanti."
Tetapi Pandan Wangi tidak menghentikan langkah kudanya.
Ia akan memberi penjelasan, bahwa ia hanya sekedar ingin
bertemu saja dengan Sidanti dan Ki Argajaya.
"Mudah-mudahan mereka dapat mengerti," gumamnya sambil
memacu kudanya. Tetapi dada Pandan Wangi itu berdesir semakin tajam.
Semakin dekat, maka semakin jelas baginya, bahwa agaknya
orang-orang itu bukan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.
"Siapakah mereka itu?" pertanyaan itu sekali lagi menyentuh
dadanya. "Apakah mereka orang-orang yang tidak kami kenal
yang berusaha ikut serta membuat keadaan semakin kisruh,
supaya mereka mendapat kesempatan untuk mengail di air
keruh?" Tanpa disengaja, Pandan Wangi menarik kendali kudanya,
sehingga derap larinya menjadi susut. Dengan hathati Pandan
Wangi mencoba untuk menilai keadaan. Tetapi bagaimanapun
juga ia tidak ingin kembali sebelum bertemu dengan kakaknya.
Dengan demikian maka tekadnya menjadi bulat, untuk
meneruskan perjalanannya. Rumah pamannya sudah tidak
begitu jauh lagi dari tikungan itu. Meskipun demikian, Pandan
Wangi harus berwaspada. Segala macam peristiwa dapat saja
terjadi dalam keadaan yang kisruh ini.
Orang-orang yang berada di tikungan masih berdiri di tengah
jalan. Mereka sengaja menghadang kuda Pandan Wangi.
Dengan berbagai macam sikap yang mengancam, mereka kini
melangkah perlahan-lahan menyongsong kuda yang semakin
dekat itu. Tiba-tiba salah seorang dari mereka melangkah ke paling
depan. Sambil mengangkat tangannya ia berseru, "Berhenti!"
Pandan Wangi terpaksa menghentikan kudanya. Kini
perlahan-lahan ia maju. "Siapa kau?" bertanya orang itu. Dan orang itu sama sekali
belum pernah dilihatnya. Orang itu terasa asing dan
mendebarkan hati. Tetapi supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka
Pandan Wangi menjawab, "Aku, Pandan Wangi."
Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia berpaling
memandangi kawan-kawannya yang berdiri di belakangnya.
Tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya orang itu tertawa terbahakbahak.
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Sikap itu benarbenar
sikap yang tidak menyenangkan. Meskipun demikian ia
masih mencoba menahan hati dan duduk diam di atas pungung
kudanya. "Aku sudah menduga," berkata orang itu, "bahwa kau adalah
seorang perempuan sejak aku melihatmu dari kejauhan. Tetapi
aku tidak menduga bahwa kau sedemikian cantiknya."
"Benar-benar memuakkan," desis Pandan Wangi di dalam
hatinya. Tetapi ia masih berdiam diri.
"Kenapa kau pergi seorang diri dalam keadaan begini"
Apakah kau tidak pernah mendengar berita, bahwa di Tanah
Perdikan ini akan menyala api yang dapat membakar hangus
seluruh isi dan penghuninya?"
(***) Buku 34 PANDAN WANGI masih belum menyahut. Tetapi ia
mendengar seorang yang lain berkata, "Lihat, ia membawa
sepasang pedang di lambungnya."
Orang yang berdiri di paling depan, yang berwajah
mengerikan dengan kumis dan jambang yang tumbuh bagaikan
rumput liar di musim hujan itu tertawa. "Ya, ya. Ia membawa
sepasang pedang di lambungnya seperti seekor ayam betina
yang bertaji di kakinya."
Dada Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Sikap
orang-orang yang tidak dikenalnya itu terasa semakin
memuakkan. Meskipun demikian dengan sekuat-kuat hati,
ditahankannya gelora di dalam dadanya, supaya ia tidak
menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, yang justru akan
menutup setiap kemungkinan untuk bertemu dengan kakaknya.
Lebih dari itu, ia tidak mau menyalakan setitik api dalam
genangan minyak seperti yang terjadi saat itu di Menoreh. Ia
sejauh mungkin akan menghindar, supaya ia tidak menjadi
sebab apabila Tanah ini harus menjadihangus terbakar oleh api
pertempuran di antara keluarga sendiri.
Tetapi sikap dan suara tertawa orang yang berdiri paling
depan itu terlampau menyakitkan hati. Meskipun demikian
Pandan Wangi masih juga berkata perlahan-lahan, "Paman,
apakah aku boleh lewat?"
"He,"orang yang berkumis dan berjambang itu mengerutkan
keningnya, "tentu. Tentu boleh. Tetapi siapa namamu he"
Pandan Wangi" Nama itu terlampau manis. Aku tidak
menyangka bahwa di atas bukit yang berbatu padas ini ada
wajah semanis wajahmu."
Pandan Wangi menahan hatinya sehingga keringatnya telah
membasahi seluruh pakaiannya. Hampir saja ia menyebut
dirinya sebagai puteri Kepala Tanah Perdikan. Tanah ini. Tetapi
maksud itu diurungkannya. Seandainya orang-orang ini benarbenar
ingin membuat Tanah ini menjadi kisruh, maka dengan
menyebutkan dirinya ia tidak akan mendapatkan keuntungan
apa-apa. Bahkan mungkin ia akan dijadikan sebab kekisruhan
yang menyeluruh. Karena itu maka dikatupkannya saja mulutnya
rapat-rapat. "He, Pandan Wangi, siapakah yang sedang kau cari" Apakah
kau mencari aku atau salah seorang dari kami?" berkata orang
yang berdiri paling depan itu disambut oleh suara tertawa dari
beberapa orang di belakangnya.
Pandan Wangi tidak menjawab. Semakin lama ia menjadi
semakin segan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan orangorang
itu. "Kau mencari siapa, he?"
Pandan Wangi masih tetap diam.
"Turunlah," berkata orang itu, "tidak baik berbicara dengan
orang tua-tua di atas punggung kuda."
Pandan Wangi menjadi ragu-ragu. Orang itu benar juga. Dan
apakah sikap orang-orang itu, yang dirasakannya terlampau
menyakitkan hati karena sikapnya yang kurang sopan" Apakah
sebaiknya ia meloncat turun dan minta maaf supaya segala
persoalan segera selesai dan ia diperbolehkan lewat tanpa
terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan" Tetapi Pandan Wangi
masih juga ragu-ragu. "Turunlah," orang yang berdiri di paling depan itu melangkah
maju semakin dekat sehingga bulu-bulu tengkuk Pandan Wangi
meremang. Sedang orang itu berkata lebih lanjut, "Aku hanya
mau berbicara, menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, apabila
kau berlaku agak sopan sedikit. Kalau kau berbicara dengan
orang-orang yang lebih tua, jangan dari atas punggung kuda.
Apakah orang tuamu tidak pernah memberitahukan kepadamu?"
Nada suara orang itu terasa begitu bersungguh-sungguh
sehingga Pandan Wangi menjadi semakin ragu-ragu.
"Mungkin ia tersinggung oleh sikapku," katanya di dalam hati,
"sehingga ia tampak menjadi terlampau kasar."
"Turunlah, Ngger." berkata orang itu pula sambil bersungutsungut.
Dada Pandan Wangi menjadi bergetar. Sekali lagi
dipandanginya wajah orang itu. Keningnya berkerut-merut dan
alisnya hampir bertemu di atas hidungnya.
"Ia agaknya benar-benar tersinggung," berkata Pandan Wangi
pula di dalam hatinya yang menjadi kian berdebar-debar. Namun
kemudian diputuskannya untuk memenuhi permintaan orang itu.
Turun dari kuda. Dan Pandan Wangi pun kemudian perlahan-lahan turun dari
kudanya. Sambil mengangguk ia berkata, "Maaf, Paman, apabila
aku Paman anggap kurang sopan. Aku agak terlampau tergesagesa,
sehingga aku telah melupakan suba-sita. Sekarang
apakah aku boleh lewat?"
Wajah orang itu menjadi tegang. Tiba-tiba, tanpa disangkasangka
oleh Pandan Wangi, orang itu membungkukkan
badannya dalam-dalam. Terlampau dalam. Tetapi ternyata
tangannya meraih sesuatu di atas tanah. Dan tanpa diduga-duga
pula orang itu telah melempar kuda Pandan Wangi dengan
sebutir batu sehingga kuda itu terkejut, meringkik dan melonjak.
Karena Pandan Wangi sama sekali tidak menduganya maka
kendalinya pun terlepas dari tangannya.
Lemparan yang kedua telah mendorong kuda itu meloncat
berlari kencang sekali. Orang-orang yang berdiri di tengahtengah
jalan itu dengan lincahnya berloncatan menepi,
menghindarkan diri dari injakan kakkaki kuda Pandan Wangi
itu. Sejenak Pandan Wangi berdiri terpaku seperti sebatang
tonggak mati. Tidak ada yang segera dikerjakannya selain berdiri
tegak di tempatnya. Ia tersadar ketika kemudian didengarnya
suara tertawa meledak hampir di telinganya. Suara orang yang
telah melempar kudanya sehingga Pandan Wangi terkejut bukan
buatan. Selangkah ia mundur. Ditatapnya wajah orang yang
sedang tertawa itu tajam-tajam.
Pandan Wangi itu pun menggeretakkan giginya. Kini ia
merasa tertipu oleh sikap orang itu. Apalagi kemudian orangorang
yang lain pun tertawa pula berkepanjangan.
"Kau berhasil, Kakang," terdengar salah seorang berteriak.
"Kau berhasil memetik bunga dari atas bukit karang ini,
meskipun agaknya bunga itu berduri."
Kata-kata itu terasa menusuk perasaan Pandan Wangi
terlampau dalam. Pedih sekali. Hampir saja ia menjerit keraskeras.
Tetapi tiba-tiba disadarinya, bahwa kini ia membawa
sepasang pedang di lambungnya. Ia kini bukan seorang gadis
cengeng yang takut melihat tikus berkejar-kejaran.
Selangkah Pandan Wangi surut.
"Nah, begitulah, Nak," berkata orang yang berkumis dan
berjambang itu, "begitulah berbicara dengan orang tua-tua. Kau
harus hormat dan jangan bersikap melawan. Bukankah kau
mendengar, bahwa seorang kawanku menyebutmu sebagai
bunga bukit karang meskipun berduri" Tetapi tidak ada gunanya
melawan kami. Kami adalah orang-orang yang paling liar di atas
bumi ini. Kami berbuat apa saja yang ingin kami lakukan. Juga
atasmu. Kau ternyata terlampau cantik bagi kami."
Dada Pandan Wangi berdesir tajam sekali mendengar katakata
itu. Dengan tegang Pandan Wangi berdiri tegak di atas
kedua kakinya yang merenggang. Orang-orang itu kini benarbenar
nampak terlampau liar seperti yang dikatakannya sendiri.
Ternyata bahwa Pandan Wangi sama sekali belum
mempunyai pengalaman yang cukup untuk menghadapi orangorang
seperti itu. Dengan mudahnya ia dapat ditipunya sehingga
ia kehilangan kudanya. Apalagi kini ia menghadapi sikap yang
paling menyakitkan hati dari laklaki yang kasar dan liar itu.
"Kenapa kau diam saja Pandan Wangi?" terdengar suara
orang yang berkumis dan berjambang itu.
Pandan Wangi sama sekali tidak menjawab, yang terdengar
adalah gemeretak giginya beradu.
"Kau marah, he?"
Tidak ada jawaban. "Jangan kau sesali lagi kudamu yang telah lari itu. Aku akan
mencari gantinya yang jauh lebih baik daripadanya. Tidak hanya
seekor, tetapi berapa yang kau minta. Setidak-tidaknya kami
masing-masing yang berada di sini dapat memberimu seekor
seorang." Orang itu kemudian berpaling kepada kawankawannya
sambil bertanya, "Begitu, bukan?"
Terdengar gelak tertawa meledak di antara mereka. Salah
seorang dari mereka menyahut, "Aku akan memberinya dua
ekor." Dan yang lain lagi mengatasi suaranya, "Aku empat ekor."
Sedang yang berada di sisi lain, yang kecil kurus berwajah
panjang, "Aku, berapa saja yang dimintanya."
Orang yang berdiri di paling depan mengerutkan keningnya
tetapi kemudian ia pun tertawa pula. Katanya, "Nah kau dengar.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua bersedia memberikan berapa saja yang kau minta.
Tetapi sudah tentu bahwa kau pun harus memberikan apa yang
kami minta." Orang itu berpaling dan berkata lagi kepada kawankawannya,
"Bukankah begitu?"
"Ya. ya. Tentu, tentu," meledak pulalah jawaban mereka, di
antara gelak tertawa yang riuh."
"Sikap yang memuakkan yang pernah aku lihat," gumam
Pandan Wangi di dalam hatinya. Tetapi mulutnya masih terkatup
rapat-rapat dan giginya masih bergemeretakkan.
"Nah, apakah katamu?" bertanya orang itu pula. "Kini letakkan
saja senjatamu. Tidak pantas seorang perempuan membawa
pedang. Apalagi sepasang. Aku kira kau akan lebih cantik
apabila kau memakai pakaian yang lumrah bagi seorang
perempuan." Pandan Wangi sama sekali tidak menyahut
"Jangan diam saja," berkata orang itu pula, "jawablah barang
sepatah kata. Apa maumu sebenarnya. Sebab bagiku, bagi
kami, biasanya tidak pernah memperhitungkan kemauan orang
lain. Aku kira juga kemauanmu tidak akan kami perhitungkan
meskipun kami ingin mendengarnya. Yang kami dengar dan
kami perhatikan adalah kemauan kami sendiri. Dan kemauan
kami atasmu sudah jelas. Aku bukan orang Menoreh. Aku
datang ke tempat ini karena aku diperlukan. Maka Menoreh
harus memberikan sambutan yang sebaik-baiknya bagi kami.
Penghuninya dan terutama perempuan-perempuannya."
Pandan Wangi masih tetap mematung.
"Hem," laklaki yang memuakkan itu menarik nafas dalamdalam.
Lalu katanya pula, "Ingat, jangan membuat kami kecewa
supaya kami dapat berbuat sebaik-baiknya atas Tanah ini. Kau
harus membantu kami seperti kami akan membantu kalian. Kami
memerlukan perempuan-perempuan seperti kau. Kami akan
lebih senang apabila kau memanggil kawan-kawanmu di saat
yang lain, supaya kami tidak sayang mengorbankan jiwa kami
untuk kepentingan kalian."
Pandan Wangi benar-benar sudah tidak tahan lagi. Sebagai
seorang gadis hatinya menjadi terlampau ngeri. Ia dapat
membayangkan apa yang akan terjadi atasnya apabila ia jatuh
ketangan orang-orang ini. Tetapi sebagai seorang gadis yang
mengenakan se"pasang pedang di lambungnya, ia dapat
berbuat sesuatu. Ia dapat bertahan, meskipun seandainya ia
tidak dapat melawan semua orang itu bersama-sama, maka ia
akan terbunuh. Tetapi terbunuh ternyata akan lebih baik baginya
daripada jatuh ke tangan mereka. Karena itu, maka wajah
Pandan Wangi menjadi semakin merah seperti darah. Kini kedua
tangannya telah bersilang memegang hulu sepasang
pedangnya. "He," orang yang berdiri di paling depan berseru, "apakah kau
akan melawan?" Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi sorot matanya
memancarkan kemarahan yang meluap-luap di dadanya.
Orang yang berjambang itu tertawa. Katanya, "Jangan nakal.
Jangan bermain-main dengan senjata. Lihat, kami pun
bersenjata. Pedangmu terlampau kecil untuk melawan golokgolok
kami yang jauh lebih besar ini. Mungkin kau pernah
melihat seseorang bermain pedang dan kau ingin
melakukannya. Tetapi jangan bermain-main dengan kami.
Apabila sikapmu menimbulkan kemarahan kami, maka kami
akan dapat berbuat jauh lebih liar daripada yang pernah kau
bayangkan." Tetapi Pandan Wangi tidak bergerak dan tidak menjawab.
Bahkan darahnya kini benar-benar telah mendidih.
"Lepaskanlah ikat pinggangmu yang kau gantungi dengan
sepasang pedang itu," berkata orang itu. "Cepat. Kami sudah
tidak sabar lagi. Buanglah senjata-senjata yang tidak akan
berarti sama sekali bagimu, bagi keselamatanmu dan bagi apa
pun itu." Kini Pandan Wangi telah sampai pada batas kemampuannya
untuk menahan dirinya. Meskipun sebagai seorang gadis, terasa
juga bulu-bulu tengkuknya yang meremang, tetapi karena ia
bersenjata di lambung, maka terpercik tekad di dadanya untuk
melawan orang-orang itu. Ia belum tahu betapa jauh
kemampuan orang-orang itu bersama-sama. Tetapi ia harus
melawan, membela dirinya dari kemungkinan yang lebih jelek
daripada mati. Hal ini pasti akan menjadi peringatan bagi orangorang
Menoreh sendiri, bahwa mereka harus berhathati
terhadap orang-orang yang tidak dikenal ini. Dan bahwa mereka
dapat membuat bencana yang lebih dahsyat lagi di atas Tanah
Perdikan ini. Maka ketika orang yang berkumis dan berjambang itu
kemudian maju lagi selangkah sambil tertawa seperti suara
tertawa hantu di pekuburan melihat mayat, maka Pandan Wangi
selangkah lagi surut. Namun sekejap kemudian kedua-belah
tangannya telah menggenggam sepasang pedangnya.
Langkah laklaki berjambang itu terhenti. Tampak keningnya
berkerut. Namun sejenak kemudian ia tertawa lagi. Lebih keras.
Dibarengi oleh suara tertawa orang lain di belakangnya.
"Ah, jangan nakal, Nak," berkata orang yang berkumis dan
berjambang itu. "Aku sudah berpengalaman menghadapi lebih
dari seratus orang gadis. Ada yang penurut, ada yang malumalu,
dan ada juga yang keras kepala seperti kau ini. Apa kau
kira pedang mu itu akan berguna?"
Pandan Wangi sadar, bahwa orang-orang yang berdiri di
hadapannya itu benar-benar sebuas serigala kelaparan. Karena
itu maka ia harus berhathati. Ia tidak boleh terpengaruh oleh
kengerian yang bergetar di dalam jantungnya, jantung seorang
gadis. Tetapi ia harus tegak dengan sepasang pedangnya itu.
"Letakkan pedangmu, Anak manis," terdengar suara orang itu
menggelitik hati. Benar-benar mengerikan. "Tidak kami sangka
bahwa di tanah yang keras dan di sekitar bukit padas ini dapat
berkembang bunga secantik ini. Meskipun justru karena itu maka
kau menjadi semakin cantik."
Kini seluruh bulu-bulu Pandan Wangi seolah-olah serentak
meremang. Terasa tubuhnya menjadi dingin dan keningnya telah
basah oleh keringat. Ia tidak dapat melepaskan diri sama sekali
dari perasaan kegadisannya.
"Letakkan senjata itu, Anak manis, letakkanyah. Kau lebih
cantik tanpa membawa senjata semacam itu. Ya, letakkanyah.
Mari, Nak." Tangan Pandan Wangi menjadi gemetar. Wajah-wajah itu
benar-benar mengerikan sekali. Terbayang di dalam anganTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
angannya kemungkinan yang paling pahit yang dapat terjadi
atasnya. "Bagus," desis orang itu sambil tersenyum, "letakkanlah.
Letakkan. Letakkan di situ."
Ujung pedang Pandan Wangi menjadi semakin tunduk.
Kengerian itu telah sampai di puncaknya dan hampir-hampir saja
membuatnya kehilangan kesadaran dan pingsan. Tetapi ketika
ujung pedangnya menyentuh tanah, Tanah Kelahirannya, serasa
sesuatu menggeletar di dalam dadanya. Tiba-tiba dadanya
serasa bergolak dahsyat sekali. Terbayang di matanya, dirinya
terbaring diam di atas ta"nah yang ditumbuhi oleh rumputrumput
liar dan batang-batang ilalang. Terba"yang wajah-wajah
yang buas itu berada di sekitarnya sambil tertawa
berkepanjangan. "Setan!" tiba-tiba giginya gemeretak. Tanpa disangka-sangka
oleh laklaki yang berjambang itu, maka ujung pedang Pandan
Wangi terangkat kembali. Bahkan kini terjulur lurus-lurus ke
depan. Terdengar ia kemudian berkata, "Lepaskan niatmu. Aku
akan memusnakan kalian."
Orang yang berkumis dan berjambang itu mengerutkan
keningnya. Kini mereka tidak tertawa lagi. Dilihatnya mata
Pandan Wangi memancarkan sinar yang begitu tajamnya
menusuk dada mereka langsung menembus ke pusat jantung.
Laklaki yang mengerikan itu merasakan segores keheranan
di dalam dadanya. Gadis ini agaknya bersungguh-sungguh.
Dan Pandan Wangi memang bersungguh-sungguh. Ia sama
sekali tidak ingin bergurau dengan orang-orang gila yang buas
dan liar itu. Karena itu, maka ia berkata pula, "Orang-orang
seperti kalian ini benar-benar harus dimusnahkan. Kalau tidak,
lain kali kalian pasti akan berbuat serupa. Adalah penghinaan
tiada taranya bagi kaumku, apabila kalian melakukan perbuatan
terkutuk itu. Apalagi apabila kalian bertemu dengan gadis-gadis
yang lemah dan sama sekali tidak mampu melawan. Bukan saja
gadis Menoreh. Tetapi di manapun juga di muka bumi ini."
Sejenak wajah laklaki berjambang dan berkumis itu menjadi
tegang, namun kemudian sekali lagi meledaklah suara
tertawanya. Sambil menunjuk kepada kawan-kawannya ia
berkata, "Apakah kau akan memusnahkan kami semua ini?"
"Ya," jawab Pandan Wangi tegas.
"Hem," orang itu menarik nafas, "aku semakin senang
kepadamu. Kepada seorang gadis pemberani. Tetapi ketahuilah
bahwa kedatanganku kemari atas permintaan Putera Kepala
Ta"nah Perdikan Menoreh beserta pamannya. Nah, dengarlah,
bahwa kami di sini adalah tamu dari orang-orang yang paling
penting." Dada Pandan Wangi berdesir mendengar keterangan itu.
Bu"kan karena orang-orang itu akan mendapat perlindungan
dari kakaknya, tetapi justru dengan demikian ia mengerti, bahwa
kakaknya sudah mengundang bencana yang paling dahsyat di
atas Tanah kelahirannya sendiri.
Maka dengan penuh kemarahan ia menjawab, "Aku tidak
peduli siapakah kalian. Aku tidak peduli siapakah yang
mengundang kalian. Tetapi perbuatan terkutuk itu harus
dihentikan. Perbuatan yang menentang sendi peradaban
manusia dan apalagi menentang ketentuan yang digariskan oleh
Sumber Hidup kita di dalam pergaulan antar umatnya."
Kening orang yang berkumis itu semakin berkerut. Tetapi ia
tertawa lagi sambil berkata, "Jangan gurui aku. Aku bukan
seorang yang terikat akan peradaban manusia. Aku bukan orang
yang mengikatkan diri kepada yang tidak pernah aku ketahui
adanya. Aku hanya menyadari adaku, akal dan kehendakku
sendiri. Aku tidak pernah tergantung dan menggantungkan diri
kepada apa pun dan siapa pun. Karena itu jangan berharap
bahwa kami akan mengurungkan niat kami."
Pandan Wangi menggeretakkan giginya. Terdengar ia
menggeram, "Baik. Baik. Sekarang aku pun tetap pada
pendirianku. Kalian harus dimusnahkan. Kalian ternyata adalah
orang-orang yang paling terkutuk di muka bumi. Kalian tidak saja
ingin merusak Tanah kelahiran ini, tetapi kalian ingin merusak
peradaban yang tumbuh di atasnya. Ketahuilah, aku adalah
puteri Kepala Tanah Perdikan ini. Aku dapat berbuat atas nama
ayahku. Termasuk membinasakan kalian."
Orang-orang yang berdiri dengan sikap yang paling
memuakkan itu terkejut mendengar kata-kata Pandan Wangi itu.
Sejenak mereka saling berpandangan. Namun sejenak
kemudian orang yang ber"kumis itu menjawab, "Jangan
menakut-nakuti aku dengan mengaku dirimu sebagai seorang
saudara perempuan dari orang yang mengundang kami. Karena
aku berkata bahwa aku diundang oleh putera Kepala Tanah
Perdikan ini, maka kini kau mengaku sebagai seorang puterinya.
Dengar. Aku tidak percaya. Aku tidak dapat kau tipu seperti kau
merasa tertipu karena kudamu lari. Sekarang kami tidak dapat
kau ajak berbicara berkepanjangan. Menyerahlah."
Darah Pandan Wangi kini telah benar-benar mendidih. Ia
telah berhasil menindas perasaan kegadisannya. Kini, yang
tegak berdiri menghadapi orang yang liar itu adalah Pandan
Wangi, murid dan puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang
sedang menggengam sepasang senjatanya.
Karena itu, maka ketika laklaki yang memuakkan itu
melangkah selangkah maju lagi, Pandan Wangi tidak
menghindar. Bahkan ia pun menyongsongnya selangkah maju.
Sikapnya itu benar-benar mengherankan. Namun justru
dengan demikian laklaki yang berdiri di hadapannya itu
terpaksa harus berpikir. Apakah yang telah mendorong gadis ini
untuk berbuat demikian berani.
"Ia telah berputus asa," laklaki itu mencoba menemukan
jawabnya, "aku harus segera berbuat sebelum ada orang yang
melihatnya." Maka laklaki itu menjadi semakin bernafsu. Wajahnya pun
menjadi merah karena darahnya yang naik sampai ke ubunubunnya.
Setiap kali ia menelan ludahnya. Gadis yang berdiri di
hadapannya itu memang terlampau cantik baginya. Tetapi justru
karena itu, maka ia telah benar-benar menjadi gila karenanya.
"Aku masih memberimu kesempatan," orang itu menggeram.
"Letakkan senjatamu supaya kami tidak menjadi semakin buas
dan liar." Tetapi Pandan Wangi menjawab, "Serahkan lehermu.
Manusia semacam kalian tidak pantas hidup di atas bumi
Menoreh." Bagaimanapun juga laklaki itu merasa terhina sekali. Apalagi
yang menghinanya itu adalah seorang perempuan. Seandainya
Pan"dan Wangi bukan seorang gadis yang cantik maka dengan
satu gerakan saja, ia ingin merontokkan tulang-tulang iganya.
Tetapi menghadapi Pandan Wangi, laklaki itu masih merasa
sayang. Betapapun dadanya bergolak, namun ia masih
berusaha untuk tidak melukainya. Karena itu maka katanya,
"Kalau kau tidak mau melepaskan senjatamu, maka biarlah aku
Bocah Sakti 14 Sepuluh Anak Negro Ten Lime Niggers Karya Agatha Christie Mempelai Liang Kubur 1
didengarnya itu telah menodai pula kasihnya kepada ibunya itu.
"Ayah seorang diri akan berhadapan dengan Ki Tambak
Wedi, Paman Argajaya, dan Kakang Sidanti," desisnya.
Namun sekali lagi ia dilemparkan pada kesulitan perasaan.
Sidanti adalah kakaknya. Sejak kecil ia menganggap Sidanti itu
kakaknya. Memang sebenarnyalah Sidanti itu kakaknya seibu
meskipun kemudian ternyata tidak seayah. Tetapi karena tidak
ada orang lain, maka hubungan mereka benar-benar diikat oleh
kasih seorang kakak-beradik. Apakah yang akan dilakukannya
seandainya kakaknya Sidanti itu kini memusuhi ayahnya.
"Ayah memerlukan seorang yang berada di pihaknya. Ayah
memerlukan kawan untuk berbincang. Dan tidak ada orang lain,
selain aku," desis Pandan Wangi. "Tetapi apakah aku dapat
berbuat sesuatu atas Kakang Sidanti dan Paman Argajaya?"
Tiba-tiba sekilas teringatlah ia apa yang baru terjadi kemarin,
ketika ia harus berkelahi melawan Sidanti yang menutup
wajahnya dengan ikat kepalanya. Ternyata ia masih belum dapat
menyamai ilmu Sidanti, meskipun tidak terpaut terlampau
banyak "Apakah aku harus berangan-angan bahwa suatu ketika aku
akan berhadapan dengan Kakang Sidanti sendiri?"
Terasa segores luka menyentuh hati Pandan Wangi. Air
matanya yang masih belum kering benar, meleleh semakin
deras di pipinya. Dibayangkannya apa yang mungkin dapat
terjadi, dan dibayangkannya masa kanak-kanaknya. Sidanti
selalu mendukungnya apabila mereka bermain-main bersamalTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
sama. Kadang-kadang ia merengek untuk diantar ke neneknya,
ke bibi Arya Teja, di mana tinggal Sidanti. Atau Sidantlah yang
pergi ke rumahnya untuk sehari penuh. Mereka bermain
berkejar-kejaran, menangkap kupu-kupu dan bilalang. Memetik
bunga dan bermain air di pinggir sumur.
"Ah," Pandan Wangi berdesah. Namun apabila kemudian
terbayang wajah ibunya, wajah Ki Tambak Wedi yang memang
mempunyai beberapa persamaan dengan wajah Sidanti, tibatiba
gadis itu menggeretakkan giginya. Sekejap seolah-olah
lenyaplah sifat kegadisannya. Namun yang tidak dapat
ditinggalkannya, adalah air mata yang meleleh di pipinya itu,
betapapun ia bersikap garang.
Pandan Wangi memiringkan kepalanya ketika terdengar ayam
jantan berkokok bersahutan. Ternyata sebentar lagi fajar akan
menyingsing sebelum ia sempat memejamkan matanya barang
sekejap. Sementara itu Argapati duduk di pringgitan seorang diri,
merenungi mangkuk yang masih berisi air jahe yang masih
belum diminumnya. Tetapi air itu sudah menjadi dingin, sedingin
sisa-sisa malam yang sebentar lagi akan dihalaukan oleh sinar
fajar. Argapati menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia
berdiri, dan pergi ke belakang untuk membersihkan diri. Ketika ia
membuka pintu pringgitan, maka dilihatnya pendapa rumahnya
yang remang-remang oleh cahaya pelita yang redup. Pendapa
itu terasa terlampau sepi baginya kini. Rumah itu seakan-akan
menjadi hambar. Tidak ada lagi yang memberinya isi. Tetapi
ketika diingatnya Pandan Wangi di dalam biliknya, maka
Argapati itu berdesis, "Semuanya kini tinggal untuknya. Untuk
Pandan Wangi. Apabila Sidanti tidak mau kembali, dan Ki
Tambak Wedi tetap pada pendiriannya, maka Tanah ini akan
menjadi milik Pandan Wangi, bukan Sidanti, meskipun aku
masih belum menutup pintu baginya. Tetapi untuk seterusnya,
Sidanti pasti hanya akan dibayangi oleh gurunya dan
didorongnya untuk masuk kedalam jurang yang paling dalam
seperti saat ini. Menentang Pajang bukanlah mainan anak-anak."
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Terasa kesegaran pagi
menyusup kedalam lubang-lubang hidungnya. Ketika ia
kemudian melangkahkan kakinya menyentuh halaman, maka di
langit telah membayang warna-warna merah yang menjadi
semakin rata. Ketika matahari terbit di ujung timur, dan ketika perempuan
laklaki berjalan berurutan di sepanjang jalan pedukuhan dan di
sepanjang pematang-pematang, menuju ke pasar, terdengarlah
percakapan yang meloncat dari mulut ke mulut tentang
datangnya kembali Sidanti, putera Kepala Tanah Perdikan
mereka. Agaknya ada perselisihan antara Sidanti dan gurunya
dengan Argapati. Bahkan secepat sinar pagi menebar di atas
Tanah Perdikan Menoreh, secepat itu pula berita tentang
Pandan Wangi yang menangis semalam suntuk tersebar di
seluruh sudut Tanah itu. Betapa panjang jalan, masih juga lebih
panjang tenggorokan, demikianlah ceritera itu mendapatkan
tanggapan yang luar biasa. Setiap mulut yang menyampaikan ke
mulut yang lain, terdapat beberapa tambahan sesuai dengan
selera masing-masing, sehingga ceritera itu pun menjadi
bersimpang siur tanpa ujung dan pangkal.
"Argapati ingkar akan kuwajibannya," desis seorang laklaki
bertubuh besar tinggi dan berkumis jarang.
"He," kawannya terperanjat, "janji apakah yang diingkarinya?"
"Agaknya Argapati membedakan kedua anaknya. Emban
cinde, emban siladan."
"Aku tidak mengerti."
"Sidanti mutung. Ia tidak mau tinggal bersama ayahnya yang
menganggapnya tidak menurut kehendak orang tua itu."
"He, darimana kau tahu?"
"Tadi pagi aku mendengar sendiri dari mulut adiknya."
"Adik siapa?" "Adik Ki Gede Menoreh yang garang itu, Ki Argajaya. Ketika
aku bertemu di dekat rumahnya."
Kawannya berbicara itu seolah-olah menjadi pening
mendengar keterangan orang yang bertubuh besar tinggi dan
berkumis. Maka ia pun bertanya pula, "Kau mendengar dari Ki
Argajaya?" "Ya. Tadi pagi."
"Tadi pagi, kapan?"
"Ya tadi pagi, ketika aku berangkat ke pasar ini."
"He," sahut kawannya, "apakah kau bermimpi" Kapan kau
bertemu dengan. Ki Argajaya" Bukankah kita berangkat
bersama-sama dari rumahmu?"
Orang yang bertubuh tinggi besar itu mengerutkan keningnya.
"Oh, ya kita berangkat bersama-sama."
"Jadi kapan kau bertemu dengan Argajaya?"
"Bukan, bukan. Maksudku si Patra yang bertemu dengan Ki
Argajaya sendiri. Si Patra-lah yang berkata kepadaku. Tetapi ia
bertemu sendiri dengan Argajaya dan mendengar langsung dari
mulutnya." "Kapan kau bertemu dengan si Patra?"
"Sebelum fajar. Bukankah ia sering mengambil gula kelapa
dari padaku" Pagi tadi ia mengambil setenggok gula kelapa. Ia
bertemu dengan Ki Argajaya langsung."
"Bohong. Si Patra sebelum fajar datang pula kerumahku
mengambil gula kelapa pula. Ia tidak berkata-kata apa-apa.
Kalau ia telah bertemu dengan Argajaya, ia pasti akan berkata
pula kepadaku. Dari rumahku ia berkata, akan segera
menemuimu, karena ia takut kalau gulamu jatuh ketangan orang
lain." Orang yang tinggi besar itu mengerutkan dahinya. Dan tibatiba
ia berkata, "O, ya begitulah. Dari rumahmu ia memang
langsung pergi kerumahku. Di jalan itulah ia mendengarnya."
"Tidak mungkin. Apakah kerja Ki Argajaya di sepanjang jalan
di antara rumahku dan rumahmu yang tidak lebih dari limapuluh
langkah itu." "Aku tidak tahu," jawab orang bertubuh tinggi, lalu, "tetapi aku
kira ia berkata bahwa ia mendengar dari Busik. Ya, aku lupa. Ia
mendengar dari Busik, bahwa Sidanti menjadi mutung. Dan
Busik-lah yang langsung mendengarnya dari Ki Argajaya."
"He, darimanakah sebenarnya sumber kabar itu?"
"Aku mendengar, dari Patra, tetapi pasti bahwa sumber kabar
itu dari Argajaya." Kawannya mengerutkan keningnya, lalu katanya, "Tetapi apa
kepentingan kita atas hal itu?"
"Aku tidak tahu pasti. Tetapi menurut pendengaranku,
demikianlah yang terjadi."
"Tetapi agaknya kau menyambut kabar itu dengan penuh
gairah." "Aku tidak mengharapkan yang tidak baik dari persoalan ini.
Tetapi aku berkepentingan untuk mendapatkan kebebasan."
"Kebebasan apakah yang kau maksud?"
"Aku tidak ingin selalu terganggu. Aku tidak mempunyai
banyak kesenangan selain sedikit bersabung ayam. Dan Ki
Argapati setiap saat mencari jalan untuk mencegahnya. Apalagi
jirak kemiri dan beradu gemak. Tetapi, coba, apakah hal itu
mereda" Bukankah semakin hari semakin ngambra-ambra."
Kawannya terdiam sejenak. Ia tidak segera mengetahui
maksudnya. Hubungan antara Sidanti dan bebotohan itu tidak
begitu jelas baginya. Karena itu maka ia bertanya, "Apakah yang akan dilakukan
Argapati setelah Sidanti mutung" Apakah dengan demikian ia
akan membiarkan saja segala macam bentuk perjudian itu, atau
Sidanti mutung karena Sidanti sendiri menghendaki hal itu
dibiarkan saja, sedang ayahnya menghendaki lain."
"Demikianlah di antaranya," jawab orang yang bertubuh besar
tinggi dan berkumis jarang itu. "Sidanti memang tidak
sependapat dengan ayahnya dalam banyak hal. Sedang
Argajaya menganggap bahwa Sidanti berada di pihak yang
benar. Demikianlah Sidanti meninggalkan rumahnya bersama
gurunya. Tetapi ia tidak kembali ke perguruannya karena ia ingin
mengabdikan diri kepada Tanah Perdikan ini."
"Aku menjadi semakin tidak mengerti."
"O, kau memang terlampau bodoh. Kau hanya dapat
memanjat pohon kelapa dan nderes, kemudian membuatnya
menjadi gula kelapa. Selebihnya tidak."
"Mungkin kan benar. Tetapi aku ingin tahu, apakah yang
sebenarnya akan terjadi di sini?"
"Sidanti adalah putera Ki Gede Menoreh yang berhak atas
Tanah ini. Bukankah begitu?"
"Ya." "Dan ia sudah tidak dapat sesuai lagi dengan pendirian
ayahnya." "Ya." "Tidak ada orang lain yang berhak untuk memegang pimpinan
di sini, di atas Tanah Menoreh selain trah Argapati. Bukankah
begitu?" "Ya." "Nah, seharusnya kau sudah tahu. Kita tidak senang dengan
cara Argapati memerintah. Kini telah ada di Tanah ini Sidanti,
yang mempnnyai hak pula atas Tanah ini. Jelas."
"O," wajah orang itu menjadi merah. Katanya dengan nada
yang tinggi, "Jadi kau membayangkan bahwa akan terjadi
benluran antara ayah dan anak" Kau membayangkan bahwa
Sidanti akan nggege mangsa, mempercepat hak itu turun
kepadanya, kalau perlu dengan kekerasan?"
"Bukan begitu," jawab kawannya, "tetapi apabila terpaksa
begitu, ya, apa boleh buat."
"Tidak, tidak mungkin," tiba-tiba kawannya hampir berteriak
sehingga keduanya terhenti, "itu tidak mungkin. Argapati adalah
lambang keteguhan Tanah Perdikan ini. Ia berdiri tegak di dalam
keyakinannya seperti bukit-bukit karang itu. Tidak akan goyah
oleh apa pun. Tidak seorang pun yang berhak mendorongnya ke
samping. Puteranya laklaki itu pun tidak."
Orang yang bertubuh besar dan tinggi itu terkejut. Kemudian
katanya, "Kenapakah kau ini" Aku hanya sekedar mengatakan
bahwa aku mengharapkan pembaharuan di dalam pemerintahan
di Tanah Perdikan ini. Aku mengharap bahwa aku tidak merasa
dikejar-kejar lagi apa pun yang akan aku lakukan. Kau kira
bahwa aku berpendirian demikian itu hanya seorang diri?"
"Katakan, katakan, siapa yang lain."
"Patra, Busik, dan masih banyak lagi."
Kawannya berbicara itu mengerutkan dahinya. Kabar ini
adalah kabar yang aneh baginya. Dan kabar yang demikian, itu
pasti sudah tersebar di seluruh Tanah Perdikan Menoreh. Tanah
yang selama ini hampir tidak pernah dilanda oleh persoalanpersoalan
yang mencemaskan selain kerja keras untuk
kepentingan bersama. Hanya kadang-kadang terjadi benturanbenturan
perasaan, apabila Argapati terpaksa, sedikit berbuat
kekerasan untuk mencegah akibat buruk dari segala macam
taruhan dan perjudian. Sabung ayam, gemak, jirak kemiri dan
sebangsanya, yang kadang-kadang dapat menjerumuskan
seseorang kedalam neraka yang paling dalam.
Tetapi tiba-tiba tanpa ada mendung dan hujan, meledaklah
petir di langit. Sekelompok orang-orang yang kecewa
menghendaki pembaharuan. Pembaharuan yang tidak dilandasi
atas ketentuan yang berlaku.
Orang itu bukanlah orang yang mempunyai pengetahuan
cukup untuk memikirkannya. Ia hanya dibayangi oleh
kecemasan bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak
menyenangkan. Ia hanya tahu bahwa Argapati adalah seorang
yang baik, karena ia bukan seorang yang sering
mempertaruhkan nasibnya dengan segala macam cara. Yang
ditempuhnya untuk mendapatkan perbaikan adalah dengan
kerja. Kerja. Tetapi ia mendengar kawannya yang bertubuh linggi besar itu
berkata, "Marilah, kita masih belum sampai ke pasar. Bukankah
kita akan pergi ke pasar" Lupakan saja kabar itu. Kalau kau
sependapat, sambutlah, kalau tidak jangan risaukan lagi. Aku
kira tidak akan terjadi apa-apa."
Kawannya tidak menyahut. Mereka melangkahkan kaki
mereka, meneruskan perjalanan. Tetapi mereka kemudian saling
berdiam diri di sepanjang jalan. Masing-masing dibayangi oleh
angan-angan sendiri. Namun kabar yang demikian itu sebenarnya memang terlare
pau cepat menjalar. Hampir setiap mulut segera
mengucapkannya. Sidanti mutung, meninggalkan ayahnya dan
tinggal di rumah pamannya bersama gurunya, karena tidak
sependapat dengan cara ayahnya memerintah Tanah Perdikan
Menoreh. Beberapa orang penting, akhirnya, sebelum matahari
terbenam di ujung Barat, pada hari itu juga, mendengar pula
kabar itu. Tetapi mereka menganggap bahwa kabar itu agaknya
terlampau dibesar-besarkan. Memang mungkin sekait terjadi
perselisihan pendapat antara ayah dan puteranya yang sudah
dewasa. Tetapi perselisihan itu pasti hanya akan berlangsung
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sementara. "Aku mendengar, bahwa pertentangan yang paling tajam
justru terjadi antara Ki Argapati dan Ki Tambak Wedi," desis
seseorang. "Bahkan mereka berjanji untuk menyelesaikannya di
bawah Pucang Kembar."
"Ah, jangan mengigau," sahut yang lain," itu hanya sekedar
mimpi yang buruk." Yang mula-mula berbicara mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Mudah-mudahan itu hanya sekedar mimpi yang
buruk, atau pendengaran orang yang membuat kabar ini salah
dengar. Tetapi keduanya menyebut-nyebut Pucang Kembar dan
saat purnama naik." Ternyata kabar-kabar yang bersimpang siur, telah
menggetarkan seluruh Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan
seakan-akan Bukit Menoreh yang membujur membeku itu pun
ikut bergetar pula. Namun dalam pada itu, hati Sidanti selalu dicemaskan oleh
rahasia tentang dirinya. Bagaimanakah jadinya seandainya
Argapati sendiri yang menyebarluaskan rahasia itu"
"Itu tidak akan terjadi," berkata Ki Tambak Wedi. "Argapati
tidak akan mencoreng arang drkening sendiri. Ia tidak akan mau
membukakan rahasia itu kepada siapa pun, sebab dengan
demikian hanya akan membuat dirinya sendiri terpercik noda
dan malu." Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun
dadanya masih diamuk oleh keragu-raguan.
Tetapi dugaan Ki Tambak Wedi itu ternyata tidak salah.
Argapati berusaha menutup rahasia itu serapat-rapatnya.
Dipesankannya kepada Pandan Wangi untuk menyimpan
rahasia itu di dalam hatinya. Rahasia keluarga mereka yang
telah dipendamnya bertahun-tahun.
"Bagaimana kalau Ki Tambak Wedi sendiri yang membuka
rahasia ini?" bertanya Pandan Wangi.
"Aku kira tidak Wangi, setidak-tidaknya untuk sementara ini.
Aku mempunyai dugaan yang kuat, bahwa Sidanti dan Ki
Tambak Wedi masih tetap berkepentingan, apabila orang-orang
Menoreh menganggap ia sebagai anakku, yang akan berhak
sepenuhnya atas Tanah ini."
"Tetapi bukankah semua orang menganggap bahwa yang
kelak akan mewarisi Tanah ini adalah Sidanti?"
"Ya, apabila ia menurut jalan yang aku gariskan. Kalau jika
menyimpang dari jalan itu, apalagi membenturkan Tanah ini
dengan kekuatan Pajang, aku tidak dapat menerimanya. Hak itu
dapat aku cabut dan aku serahkan kepada orang lain."
Pandan Wangi tidak menjawab. Ditundukkan kepalanya
dalam-dalam. Ia sudah dapat menduga, bahwa dirinya pasti
akan tersangkut di dalamnya. Putera Argapati sebenarnya
ternyata hanya satu. Dirinya sendiri.
Dan sejenak kemudian ia mendengar ayahnya berkata,
"Wangi, apabila Sidanti hanya menurut kehendaknya sendiri,
atau menurut kehendak gurunya yang melonjak-lonjak itu, aku
tidak akan dapat mengikutinya. Terpaksa aku melepaskan
mereka bertindak sendiri."
Pandan Wangi masih belum menjawab.
"Karena itu aku memerlukan kau, Wangi. Aku mengharap
supaya kau dapat melepaskan dirimu dari himpitan perasaan.
Aku mengharap kau dapat mempergunakan nalar sejauh-jauh
mungkin, meskipun kau seorang gadis. Tidak ada lain yang
dapat membantu aku dalam setiap keadaan kecuali kau."
Pandan Wangi semakin menundukkan kepalanya. Dan
ayahnya berkata seterusnya, "Aku tahu, bahwa kau akan
mendapat beban yang terlampau berat bagi seorang gadis.
Tetapi aku minta keikhlasanmu untuk melakukannya. Karena
aku tidak melibat orang lain."
Terasa dada gadis itu berdesir. Ia mencoba sekuat-kuat
tenaganya untuk bertahan supaya perasaan kegadisannya tidak
mendorongnya untuk menitikkan air mata. Namun dengan
demikian, terasa tenggorokannya menjadi pepat, dan matanya
menjadi pedih. Dan ia mendengar ayahnya berkata seterusnya, "Tidak ada
jalan lain bagi kita Wangi. Demi keselamatan Tanah ini, Tanah
nenek moyang yang kemudian telah dikuatkan dengan
kekancingan, bahwa Tanah ini telah menjadi Tanah Perdikan."
Pandan Wangi mengusap wajahnya dengan tangannya.
Keringat dingin terasa membasahi punggungnya.
"Kalau kau sudah bersuami, Wangi, maka keadaannya akan
berbeda. Tetapi hal itu belum terjadi, sehingga semuanya masih
tergantung kepadamu."
Tanpa disengaja, Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
Tiba-tiba terasa hatinya dirayapi oleh getaran yang semula tidak
begitu dikenalnya. Tetapi lambat laun menjadi semakin jelas
baginya, bahwa getaran itu adalah getaran tekadnya untuk
berbuat seperti yang dikatakan oleh ayahnya. Tidak ada
kesempatan lagi untuk merajuk dan bermanja-manja.
Dihadapannya terbentang tanah garapan yang hampir menjadi
kering. Memang sekilas-sekilas melintas wajah ibunya yang sejuk
dan dalam. Sorot mata yang suram dan senyum yang terlampau
lembut. Tetapi kini diketahuinya, bahwa di balik sorot mata yang
suram dan senyum yang terlampau lembut itu tersembunyi
penyesalan tiada taranya. Penyesalan yang menjerat hidupnya.
Perlahan-lahan Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Dan
ayahnya berkata seterusnya, "Tetapi aku masih mempunyai
banyak harapan, Wangi, bahwa segalanya akan dapat
diselesaikan dengan baik."
"Tetapi," suara Pandan Wangi terlampau dalam, "bagaimana
dengan janji Ayah dan Ki Tambak Wedi bahwa pada saat
purnama naik akan bertemu di bawah Pucang Kembar itu lagi."
"Hem," ayahnya berdesah, "kenangan yang paling pahit.
Tetapi aku mengharap Tambak Wedi akan berbuat jujur seperti
pada masa mudanya. Kita menyelesaikan persoalan pribadi
dengan cara jantan."
"Tetapi ".," suara Pandan Wangi terputus.
"Aku tahu, Wangi. Kau ingin tahu apakah yang seharusnya
kau lakukan dalam keadaan dan kemungkinan yang paling
parah." Pandan Wangi tidak menyahut.
"Karena itu kau harus dapat berdiri di atas kedua belah
kakimu, meskipun kau seorang gadis. Kita masih mempunyai
waktu beberapa hari Wangi. Yang beberapa hari ini harus kau
pergunakan sebaik-baiknya, supaya kau memiliki bekal yang
cukup untuk membentuk diri kelak, meskipun tanpa tuntunan
seorang guru pun." "Ayah," Pandan Wangi memotong.
"Aku hanya mengatakan, apabila kemungkinan itu harus
terjadi. Sebab semuanya tergantung kepada Yang Maha Kuasa.
Kita wajib berusaha, namun ketentuan terakhir berada di tangan-
Nya. Sekali lagi Pandan Wangi terdiam.
"Kau sudah mempunyai pengetahuan serba sedikit untuk itu.
Karena itu, maka kita harus mempergunakan waktu sebaikbaiknya."
Pandan Wangi tidak menjawab.
Argapati pun kemudian sejenak berdiam diri. Dicarinya
kemungkinan yang paling baik yang dapat dilakukannya
bersama satu-satunya puterinya. Pandan Wangi.
Pandan Wangi tidak segera menjawab. Ia masih belum dapat
meredakan pergolakan yang bergulat di dalam dadanya.
Benturan-benturan perasaan dan nalar, benturan-benturan
tanggapan dan bayangan tentang masa-masa depan selalu
mengganggunya, sehingga sulitlah baginya untuk dapat
mengerti, apakah sebenarnya yang dikehendakinya sendiri.
Kadang-kadang hatinya terbakar oleh perasaan bencinya
terhadap keadaan yang telah membuat keluarganya retak sejak
dibentuk oleh ayah dan ibunya. Kadang ia ingin melepaskan
kebencian dan kemarahannya. Tetapi kadang-kadang tumbuhlah
sifat-sifat kegadisannya. Ia ingin merajuk dan bahkan kemudian
menjauhkan diri dari setiap persoalan. Ia ingin lari. Lari saja
entah ke mana. Tetapi setiap kali dipandanginya wajah ayahnya yang suram,
maka tumbuhlah getaran yang panas di dalam dirinya. Ayahnya
kini tinggal berdiri sendiri. Apabila ia pergi pula
meninggalkannya, maka ayahnya, satu-satunya orang yang
masih ada di dekatnya itu, akan ditelan oleh Ki Tambak Wedi.
Pandan Wangi tidak dapat mengerti, dorongan apakah yang
telah membawa pamannya ikut di dalamnya. Pandan Wangi
tidak dapat mengerti, kenapa adik ayahnya itu memusuhi
ayahnya pula Seharusnya Argajaya ikut pula mendendam,
bahwa Ki Tambak Wedi telah menodai kemulusan keluarga
kakaknya. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya.
Argapati telah mendengar pula apa yang bergolak di dalam
daerahnya dalam waktu yang terlampau singkat. Argapati yang
mempunyai tanggapan yang tajam itu segera dapat mengerti,
bahwa Ki Tambat Wedi telah mempergunakan Argajaya dan
Sidat untuk memecah Padang, dan dimulainya dari Tanah
Perdikan Menoreh. "Aku dapat menghubungi Adipati Pajang," berkata Argapati di
dalam hatinya, "tetapi harga diriku akan terkorbankan, seolaholah
aku tidak dapat mengatasi persoalan yang tumbuh di dalam
daerahku, daerah yang sudah diberi wewenang untuk menjadi
Tanah Perdikan. Aku sudah dibebaskan dari sebagian besar
kuwajiban-kuwajiban yang mengikat, sehingga seharusnya aku
tidak membuat Pajang menjadi sulit dan terpaksa menitikkan
keringat dan apalagi darah prajurit-prajuritnya."
Itulah sebabnya maka Argapati berpendirian untuk
menyelesaikan masalah Tanah Perdikannya tanpa campur
tangan orang luar. Pandan Wangi mengangkat wajahnya ketika ia mendengar
ayahnya kemudian berkata, "Bagaimana, Wangi, apakah kau
dapat mengerti maksudku?"
Sejenak Pandan Wangi terbungkam. Namun kemudian
kepalanya mengangguk kecil.
"Bagus, Wangi," berkata ayahnya, "Harapanku satu-satunya
kini adalah kau. Tidak ada orang lain yang dapat aku percaya
sepenuhnya. Apalagi setelah Argajaya dan Sidanti menyebarkan
segala macam desas-desus yang telah merusak sendi
kehidupan di Tanah Perdikan ini, menumbuhkan kegelisahan
dan kecurigaan di antara kita dan menyalakan api ketidakpuasan
yang sama sekali tidak beralasan. Tetapi aku tahu,
Wangi, bahwa di antara orang-orang yang tidak puas adalah
orang-orang kaya. Dengan uangnya mereka berusaha untuk
menyebarkan pendiriannya. Dan kita ternyata masih belum siap
untuk melawannya," "Dan ayah masih belum bertindak apa-apa?" bertanya
Pandan Wangi. Pertanyaan itu telah menyentuh hati Argapati, sehingga
wajahnya yang suram itu tiba-tiba seolah-olah menjadi cerah.
Dengan nada yang dalam ia berkata, "Pertanyaanmu telah
menumbuhkan gairah di dalam hatiku, Wangi. Aku memang
belum berbuat apa-apa. Aku menunggumu. Aku ingin
mendengar ketetapan hatimu. Karena kau seorang gadis,
Wangi. Aku ingin tahu, di mana kau hendak berdiri. Apakah kau
akan berdiri di samping ayahmu sebagai seorang Kepala Tanah
Perdikan yang kini sedang diguncang-guncang oleh orang lain,
ataukah kau akan berdiri sebagai seorang gadis yang sedang
kecewa menghadapi masalah dirinya, dan masalah keluarganya.
Ketidakjujuran dan noda-noda yang kotor telah melekat di wajah
kita, karena persoalan yang mengejutkan hati itu."
Getaran yang panas, yang seolah-olah menyala di dalam
dada Pandan Wangi menjadi semakin berkobar. Tiba-tiba air
matanya serasa kering. Jarjarinya yang halus itu tergenggam
seperti sedang menggenggam hulu pedang. Katanya, "Ayah.
Aku adalah satu-satunya keturunan Kepala Tanah Perdikan
Menoreh. Apa pun yang telah terjadi atas diriku, atas keluargaku,
tetapi aku bertanggung jawab atas kelangsungan hidup Tanah
ini. Karena itu, aku akan berdiri di samping Ayah sebagai
seorang putera satu-satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Akulah trah Argapati yang berhak atas Tanah ini."
Dada Argapati menjadi berdebar-debar karenanya. Dan ia
mendengar anak gadisnya itu berkata seterusnya, "Aku sama
sekali tidak diburu oleh nafsu untuk merampas hak atas Tanah
ini dari Kakang Sidanti. Tetapi aku dihadapkan pada keadaan
yang meskipun tidak aku kehendaki. Kakang Sidanti telah
melawan Ayah sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh
bersama Paman Argajaya dan Ki Tambak Wedi."
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
katanya, "Terima kasih, Pandan Wangi. Memang tidak ada orang
lain yang dapat berbuat demikian selain kau. Aku sudah
berkeputusan, apabila kau berdiri tegak dengan dada tengadah,
maka aku akan berbuat apa saja buatmu, Wangi. Meskipun aku
sudah lama meletakkan tombak pendekku, tetapi untuk
mempertahankan Tanah ini, untuk menempatkan kau di tempat
yang seharusnya, aku akan menariknya dari wrangka dan
selongsongnya. Aku akan dapat mempergunakan lagi seperti
aku pernah mempergunakannya dahulu. Tetapi apabila kau
berdiri di atas kegadisanmu, merajuk dan berputus asa, maka
kau hanya akan menemukan mayatku besok sesudah purnama
naik di bawah Pucang Kembar."
"Ayah." "Tidak, Wangi," potong ayahnya, "Sekarang aku berpendirian
lain, justru kau telah menyatakan tekadmu. Aku masih ingin
melihat betapa cerahnya matahari pagi sesudah purnama yang
cerah itu." Ayahnya berhenti sejenak, lalu, "Karena itu pula aku
harus cepat bertindak. Hari ini aku akan mengumpulkan tetua
Tanah Perdikan. Aku tidak dapat memberi kesempatan terlalu
lama kepada orang-orang yang sengaja membuat kegelisahan
itu. Aku harus memberi batasan waktu kepada mereka untuk
menghentikan kegiatan mereka. Kalau mereka tidak, bersedia,
apa boleh buat. Aku akan bertindak sesuai dengan kuwajibanku,
Kepala Tanah Perdikan Menoreh."
Dan Ki Argapati itu benar-benar bertindak cepat. Saat itu juga
ia memanggil beberapa orang tetua Tanah Perdikannya. Tetapi,
meskipun demikian Argapati tidak ingin membuat kesan yang
dapat menambah kegelisahan rakyatnya. Karena itu maka ia pun
berbuat dengan sangat berhathati.
Pembicaraan-pembicaraan di antara mereka segera
dilakukan. Argapati ingin mendapatkan laporan dan pendapat
beberapa orang tetua Tanah Perdikannya. Tetapi. Argapati
sebagai seorang laklaki jantan, sama sekali tidak menyinggungnyinggung
janjinya dengan Ki Tambak Wedi di bawah Pucang
Kembar nanti pada saat purnama naik.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang dibicarakan di antara mereka adalah desas-desus yang
makin tersebar luas. Yang dapat menumbuhkan tanggapan yang
berbeda-beda di antara rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Ada
yang dengan sepenuh hati menyambut Argajaya bersama
Sidanti untuk menumbuhkan suasana baru di Menoreh. Tetapi
ada pula di antaranya yang berkata "Kami tidak ingin terjeiumus
kedalam neraka yang paling jahanam. Seandainya benar kata
orang bahwa Sidanti telah kembali bersama gurunya, untuk
memberikan nafas baru di daerah ini, maka kami harus
menentangnya. Argapati adalah seorang pemimpin yang terbaik
yang pernah kami kenal. Apabila Sidanti ingin menjadi seorang
pemimpin yang baik, ia harus belajar dari ayahnya Jangan
sebaliknya justru memusuhinya."
Dan yang lain berkata, "Huh, anak durhaka. Apakah ia tidak
sabar menunggu sampai saatnya ia menerima waris itu dengan
sah menurut ketentuan yang seharusnya?"
Namun di antara sekian banyak orang-orang yang
menganggap bahwa Sidanti telah berbuat kesalahan, ada juga
yang dengan acuh tak acuh, menunggu apa yang akan terjadi di
Tanah Perdikan Menoreh. Di antara mereka berkata, "Itu adalah
urusan mereka. Bagiku lebih baik menunggu saja apa yang akan
terjadi, sambil melihat arah angin yang sedang bertiup."
Demikianlah, maka suasana Tanah Perdikan iu benar-benar
telah diguncangkan oleh kabar-kabar itu, meskipun tampaknya di
permukaan masih juga tenang dan seperti biasa. Tetapi di antara
orang-orang yang merasa tidak senang terhadap perlakuan
Argapati, segera mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia.
Berbicara berbisik-bisik.
"Mudah-mudahan trah Argapati yang masih muda itu
memenuhi harapan kita," berkata salah seorang dari mereka.
"Apakah kita hanya cukup berharap?"
"Tidak. Kita harus berbuat sesuatu."
"Banyak yang setia kepada Argapati yang sekarang."
Yang lain tertawa. Katanya, "Biarlah Argapati membuat
rumahnya berbenteng baja. Kita sebarkan emas di halaman,
maka benteng baja itu pasti akan pecah oleh rakyat yang justru
sebelumnya setia kepadanya."
Beberapa orang yang lain mengangguk-anggukkan
kepalanya. Berkata salah seorang dari mereka, "Kalau begitu
kita temui Sidanti. Kita taruhkan harapan kita kepadanya, supaya
kita tidak selalu dihantui oleh sikap Argapati yang memuakkan
itu." Tetapi ternyata semua bisik-bisik itu sampai juga ke telinga
Argapati. Dan bisik-bisik yang demikian itulah yang dibicarakan
oleh. Argapati dengan beberapa orang tetua, pemimpin, dan
agul-agul di Tanah Perdikan Menoreh.
"Apa yang harus aku lakukan?" bertanya salah seorang
pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu.
"Kita tidak boleh tergesa-gesa. Kita harus melihat setiap
perkembangan dengan saksama," jawab Argapati. Lalu, "Jangan
membuat rakyat semakin gelisah. Semua gerakan harus dibuat
sandi." Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Tetapi Ki Argajaya agaknya sudah jauh bertindak.
Bebera kelompok pengawal telah berada di pihaknya. Dan
beberapa kelompok anak-anak muda telah dipengaruhi pula oleh
Sidanti." Argapati mengerutkan keningnya. Ia memang sudah
menyangka bahwa akibatnya akan sampai sekian jauh. Tetapi ia
masih juga berkata, "Aku tahu, tetapi aku masih ingin mencoba
untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik. Sekian lama kita
bekerja keras untuk membangun Tanah ini. Apakah sekarang
kita akan membiarkan Tanah ini terbelah" Apakah kita akan
membiarkan rakyat kita hancur oleh kita sendiri?"
"Tidak," sahut pemimpin pengawal yang sudah setengah
umur itu, yang selama ini, sebelum peristiwa ini terjadi, selalu
mendampingi Argajaya. "Kami tidak menghendaki. Tetapi kalau
kami tidak bertindak cepat, maka keadaan pasti akan menjadi
semakin parah. Kalau kita tidak memberi mereka kesempatan,
maka kita pasti akan segera dapat mengatasinya."
"Tunggulah," jawab Argapati, "aku akan membuat
perhitungan." "Hem," pemimpin pengawal itu menggeram.
Namun dada Argapati pun digetarkan pula oleh geram di
dalam pusat jantungnya. Tetapi nalarnya masih cukup kuat untuk
membuat pertimbangan yang bagi pemimpin pengawal itu
dianggapnya terlampau lamban.
"Yang harus kau lakukan adalah membuat perhitungan yang
tepat," berkata Argapati. "Apabila ada diantara kalian yang
menyeberang, maka kau harus mengetahui imbangan kekuatan
itu. Tugasmu yang lain adalah mempersiapkan diri. Setiap saat
kalian harus dapat bergerak cepat."
Pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu menganggukanggukkan
kepalanya. "Aku akan segera memberikan petunjuk-petunjuk baru. Tetapi
kau harus menyampaikan laporan-laporan setiap saat."
Sekali lagi pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Selebihnya Argapati telah memberikan petunjuk-paporan bagi
para pemimpin Tanah Perdikan itu, bagaimana mereka harus
menghadapi kabar yang semakin merata. Kabar yang
sebenarnya. telah benar-benar menggelisahkan Argapati sendiri.
Tetapi Argapati itu terikat oleh janjinya. Pada saat purnama
naik, di bawah Pucang Kembar. Pada saat ia mengucapkan janji
itu, ia sama sekali tidak mempertimbangkan, bahwa ia sekarang
bukan lagi Arya Teja yang dahulu. Tetapi ia adalah Kepala
Tanah Perdikan yang mempunyai tanggung jawab yang besar
atas kuwajibannya. Dengan demikian maka setiap persoalan pribadinya, mau
tidak mau pasti akan menyangkut persoalannya sebagai seorang
Kepala Tanah Perdikan. Persoalannya dengan Ki Tambak Wedi
yang tampaknya sebagai persoalan pribadi itu pun ternyata tidak
dapat terlepas dari kaitan persoalannya dengan Sidanti.
Argapati menyadari persoalannya setelah ia terlibat dalam
kesulitan. Ternyata perkembangan keadaan tidak menjadi
semakin baik. Kabar yang tersiar semakin lama menjadi semakin
menggelisahkan, sehingga Argapati terpaksa mengirimkan
beberapa orang untuk langsung menemui Ki Tambak Wedi
membawa pesan pribadinya.
"Tidak, aku tidak akan berbicara apa pun," berkata Ki Tambak
Wedi setelah ia mendengar pesan dari utusan Argapati.
"Ki Argapati minta jawaban," jawab utusan itu.
"Tidak, kau dengar. Aku tidak akan memberikan jawaban apa
pun." "Baik. Kalau demikian, berarti kedatanganku tidak berarti.
Bagi Ki Argapati ini adalah keputusan yang akan jatuh," berkata
utusan itu. "Aku hanya sekedar utusan. Tetapi keputusan yang
diberikan oleh Ki Argapati akan mengikat seluruh Tanah
Perdikan Menoreh." Mendengar jawaban itu Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Ia tahu benar, bahwa Argapati tidak ingin melihat
pertumpahan darah. Ia pasti, akan berusaha sekuat-kuat
tenaganya untuk menyelesaikannya dengan cara yang sebaikbaiknya.
Maka berkata Ki Tambak Wedi yang licik itu, "Baiklah.
Aku akan mejawab. Katakan kepada Ki Argapati, bahwa aku
tetap pada pedirianku. Kalau Ki Argapati bersedia menempatkan
dirinya bersama aku dan puteranya yang digadangnya untuk
menduduki tempatnya kelak, maka semuanya akan menjadi
baik. Tidak ada pertentangan yang dalam. Kami hanya ingin
mendapat perlindundan pertanggungan jawab. Terutama
puteranya yang kini terancam bahaya. Sebaiknya Argapati
mempertimbangkan keputusannya."
"Bukan itu yang ditanyakannya," jawab utusan itu, "tetapi Ki
Argapati ingini tahu, apakah kalian bersedia menghentikan
segala macam kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan
yang berlaku di Tanah Perdikan ini."
"Diam!" bentak Ki Tambak Wedi yang hampir kehilangan
kesabaran, "Katakan saja kepada Ki Argapati. Aku tidak mau
berbicara dengan cecurut-cecurut macam kau."
"Ki Tambak Wedi," wajah orang itu menjadi merah padam,
"aku tahu bahwa sepuluh orang seperti aku, bahkan seratus
orang mungkin tidak dapat menyamaimu. Tetapi bahwa aku
sekarang sedang mengemban tugas dari Ki Gede Menoreh,
kedudukanku adalah kedudukan seorang utusan dari seorang
yang paling berkuasa di sini. Karena itu jawablah pertanyaan Ki
Ge Menoreh. Apakah kau bersedia menghentikan segala
kegiatan atau tidak. Hanya itu, dan jawabnya pun hanya ada
satu dianta dua, "ya, atau tidak"."
"Gila!" yang berteriak kemudian adalah Sidanti. Hampir saja ia
meloncat menerkam utusan itu. Tetapi Ki Tambak Wedi telah
menahannya. "Tunggu dulu Sidanti."
"Apa lagi yang ditunggu" Orang ini ternyata bermulut besar.
Betapa ia menjadi sombong hanya karena ia menjadi orang
utusan. Sudah sepantasnya ia dicincang di halaman."
" Ia hanya sekedar seorang utusan," berkata Ki Tambak Wedi.
"Tanganmu terlampau bernilai untuk melakukannya. Orang ini
tidak sepantasnya mendapat pelayanan dari kau apalagi aku."
"Lalu apakah yang akan Guru lakukan atasnya?"
"Biarkan saja ia pergi dan menghadap Argapati. Aku sudah
memberi penjelasan."
"Bukan itulah soalnya," utusan itu masih saja memotong.
Sidanti menggeram. Bahkan darah Ki Tambak Wedi sendiri
terasa telah mendidih. Tetapi ia adalah seorang yang licik.
Sehingga ia pun berkata, "Biarkan saja ia Sidanti. Meskipun
bukan itu yang ditanyakan, tetapi ia akan berceritera juga di
hadapan Ki Argapati. Ia akan berceritera tentang sikapku dan
semua yang didengarnya."
Kini utusan itulah yang menggeram. Tetapi ia berkata, "Aku
akan berceritera. Tetapi apakah kau yakin bahwa ceriteraku
tidak akan membakar hati Ki Argapati dan memaksanya untuk
bertindak hari ini juga" Aku tahu benar, bahwa kalian masih
belum siap seandainya Argapati mengambil tindakan hari ini."
"Bodoh sekali," sahut Sidanti. "Apakah kau tidak
mempertimbangkan bahwa dengan demikian aku dapat
membunuhmu." "Kematianku tidak akan berarti apa-apa. Baik bagi Menoreh,
maupun bagi Ki Argapati. Aku hanyalah seorang pengawal
Tanah Perdikan dari antara sekian banyak orang. Tetapi arti
kematianku akan sangat penting bagi kalian. Sebab kematianku
adalah jawaban yang tegas dari pertanyaan Ki Argapati. Ya atau
tidak." "Setan!" sahut Ki Tambak Wedi. "Pergi, cepat pergi!
Terserahlah apa yang akan kau katakan kepada Ki Argapati. Aku
sudah mengemukakan pendirianku. Aku tahu bahwa Argapati
masih berusaha mencari jalan yang baik untuk menemukan
penyelesaian. Aku pun berpendirian demikian. Kalau kau
sebagai seorang utusan telah memotong hasrat yang
bersamaan yang menyala dr dalam dada Argapati dan puteranya
bersama-sama, maka kutuk yang paling jahat akan jatuh
kepadamu. Seandainya kelak berkobar persoalan yang samasama
tidak kita kehendaki,maka kaulah sumber dari segala
macam sebab. Karena seandainya kau tidak membakar hati
Argapati, maka semuanya itu tidak akan terjadi."
Utusan itu mengerutkan keningnya. Ia dapat mengerti katakata
Ki Tambak Wedi. Tetapi ia pun curiga pula atas segala
macam kemauan baik yang diucapkannya. Karena itu maka
akhirnya ia berkata, "Aku hanya sekedar utusan. Aku akan
menghadap Ki Argapati, apabila aku tidak kau bunuh di sini.
Sebab untuk membunuhku kalian tidak akan mengalami
kesulitan meskipun aku pasti akan melawan dengan segenap
hati." "Pergi! Pergi!" teriak Sidanti. "Kau terlampau memuakkan
bagiku. Katakan kepada ayah Argapati semuanya yang pernah
kau dengar di sini."
Pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang menjadi utusan Ki
Argapati untuk menemui Ki Tambak Wedi dan Sidanti itu pun
kemudian meninggalkan rumah Argajaya yang seolah-olah telah
menjadi pusat dari segala kegiatan dan gerakan yang dilakukan
oleh ketiga orang itu. Mereka telah membuat rumah itu sebagi
pancadan untuk menggenggam seluruh kekuasaan tidak saja di
Menoreh, tetapi kekuasaan Pajang seluruhnya, apabila saatnya
telah datang. Argapati mendengar keterangan utusannya dengan hati yang
pedih. Terbayang di dalam rongga matanya bahwa sesuatu yang
tidak diharapkan benar-benar akan terjadi. Sudah tentu ia tidak
akan dapat membiarkan hal itu. Tidak dapat membiarkan Sidanti
merebut kekuasaannya alas Tanah Perdikan ini, meskipun
memang pernah dijanjikannya. Tetapi cara yang ditempuh oleh
Sidanti adalah cara yang sangat menyakitkan hati.
"Soalnya bukan karena aku tidak mau menyerahkan
kekuasaan itu kepada anakku," berkata Argapati kepada
pembantu-pembantunya, "tetapi yang lebih penting lagi bagiku,
adalah cara yang mereka pilih. Dan terlebih-lebih lagi, apakah
yang akan terjadi sesudah itu. Aku tidak berani membayangkan,
apakah yang akan dilakukan oleh Sidanti dengan orang-orang
yang kini meudukungnya. Orang-orang yang kecewa, orangorang
yang ingin berbuat sekehendak sendiri, tanpa dikendalikan
lagi, orang-orang yang kaya tanpa mempertimbangkan dari
mana ia mendapat kekayaan itu, orang-orang yang ingin
berkuasa, dan orang-orang yang mendapat keuntungan dari
segala macam benturan-benturan yang terjadi. Bahkan orangorang
yang sekedar mendapat janji untuk kepentingan pribadi.
Orang-orang yang terlampau miskin dengan harapan-harapan
yang dibayangkan akan dapat berlaku kelak. Kepentingankepentingan
yang berbeda, tetapi mempunyai satu titik tumpuan,
yaitu perubahan atas pimpinan Tanah Perdikan ini akan sangat
berbahaya bagi kelangsungan hidup Menoreh. Berbahaya bagi
keturunan kita kelak."
Pembantu-pembantu dan tetua-tetua Tanah Perdikan
Menoreh menyadari, betapa keadaan telah meluncur dengan
cepatnya ke dalam suatu kesulitan yang hampir tidak dapat
dicegah lagi. Para pemimpin Pengawal Tanah Perdikan itu hampir-hampir
sudah tidak dapat bersabar lagi. Membiarkan hal itu berlarutlarut
berarti membiarkan drinya diintai oleh seekor harimau lapar.
Setiap saat dalam kelengahan yang sekejap saja, pasti segera
akan menerkam dengan garangnya.
Tetapi Ki Argapati selalu mencoba menunggu sampai saat
purnama naik. Ia ingin menyelesaikan janjinya. Janji jantan yang
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak dapat diingkarinya.
Memang kadang-kadang tumbuh pertentangan di dalam
dirinya. Apakah ia akan membiarkan Menoreh ditelan oleh
kesulitan yang lebih parah, dengan taruhan yang lebih mahal
sekedar memenuhi harga diri pribadinya"
"Tidak. Saat purnama akan segera datang. Hanya tinggal
beberapa hari lagi. Selain itu, akupun akan sudah siap untuk
bertindak serentak. Sekali pukul, Ki Tambak Wedi harus hancur.
Kalau tidak, maka keadaan akan menjadi lebih parah agi," kata
Argapati di dalam hati Maka yang dilakukan oleh Argapati kemudian adalah memper
siapkan pasukan pengawal sejauh-jauhnya. Kepada para
pemimpin Tanah Perdikan, Argapati memerintahkan untuk melakukan
perlawanan atas kabar yang tersiar. Mereka harus tegas-tegas
mengatakan, bahwa pada saatnya apabila orang-orang yang
sesat itu tidak segera kembali ke jalan yang lurus, Argapati akan
melakukan tindakan yang keras kepada mereka.
Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh harus menarik garis
yang jelas, di manakah orang-orang yang melakukan
perlawanan itu menempatkan dirinya. Sejak saat itu, perondaperonda
harus ditempatkan di tempat-tempat tertentu. Para
pengawal harus berada dalam kesiap-siagaan penuh setiap
saat. Gardu peronda harus segera dilengkapi dengan alat-alat
untuk tengara setiap gerakan yang mencurigakan.
"Kita tidak dapat melakukannya dengan bersembunyisembunyi
lagi," berkata Argapati. "Kita terpaksa melakukannya
dengan terbuka justru untuk menenteramkan hati rakyat, bahwa
kita pun telah bersiap untuk menghadapi setiap kemungkinan
yang tidak kita kehendaki. Sementara itu setiap cara untuk
menempuh jalan lain, masih harus kita usahakan, agar Menoreh
tidak terjerumus ke dalam api yang dapat membakar seluruh
bukit ini, menjadi karang abang tanpa arti.
Ternyata setiap pemimpin Tanah Perdikan Menoreh dan
setiap pengawal yang masih setia kepada Argapati telah
melakukan perintah itu dengan baik. Di tempat-tempat tertentu
telah ditempatkan satuan-satuan pengawal yang dapat bertindak
setiap saat. Tetapi para pemimpin itu pun tidak dapat menutup
mata dari kenyataan bahwa sebagian dari mereka pun telah
terpengaruh oleh berbagai macam janji dan harapan yang
diberikan oleh Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya. Mereka
tidak segan-segan untuk melontarkan segala macam fitnah yang
paling keji sekalipun, untuk membangkitkan kebencian rakyat
kepada Ki Gede Menoreh. "Aku tidak menyangka, bahwa hal ini dapat terjadi," berkata Ki
Argapati kepada Pandan Wangi ketika mereka duduk berdua di
pringgitan rumahnya. "Ternyata, benih yang ditaburkan, oleh Ki
Tambak Wedi itu telah tumbuh menjadi sebatang pohon berduri
yang meracuni Tanah ini."
Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi tekadnya telah bulat,
untuk berbuat apa saja di samping ayahnya sebagai Kepala
Tanah Perdikan. "Pandan Wangi," berkata ayahnya, "ilmumu ternyata telah
menjadi jauh sekali maju. Kau tidak boleh berhenti. Setiap
malam kau masih harus melakukannya tanpa dilihat orang lain,
supaya tempat latihan kita itu tidak menjadi sasaran tindakan
licik Ki Tambak Wedi dan pengikut-pengikutnya."
Pandan Wangi mengangguk. "Malam nanti aku akan sampai kepada puncak unsur-unsur
gerak yang menjiwai seluruh perguruan Menoreh. Kau sudah
saatnya untuk menerimanya. Aku mempunyai perhitungan,
dengan demikian, kau akan berada lebih tinggi di dalam tataran
ilmumu dari Sidanti yang saat ini pasti tidak sempat melakukan
latihan-latihan yang berarti. Tetapi aku telah menyisihkan waktu
untuk itu. Untuk kepentinganmu. Seandainya terpaksa terjadi
sesuatu atas Tanah Perdikan ini, maka kau akan mampu
melindungi dirimu sendiri dari bencana."
Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi ternyata bahwa
ayahnya telah sampai pada suatu kemungkinan baginya untuk
melakukan perlawanan atas Sidanti, kakaknya. Meskipun Sidanti
bukan putera Ki Gede Menoreh, tetapi Sidanti itu telah dilahirkan
pula oleh Rara Wulan, ibunya.
Terasa desir yang tajam tergores di dinding hatinya. Tetapi
Pandan. Wangi mencoba menggeretakkan giginya untuk
mengusir perasaan yang mengganggu dirinya itu. Ia ingin berdiri
di tempat yang telah dipilihnya menurut nalarnya. Ia tidak mau
terombang-ambing oleh perasaannya yang kadang-kadang
kehilangan keseimbangan. Tetapi betapapun juga ia berusaha, namun setiap kali
terngiang di telinganya, "Sidanti adalah kakakmu seibu. Kakak
yang dengan sayang membawamu bermain-main di masa
kanak-kanak." "Kami bukan anak-anak lagi," Pandan Wangi mencoba
menahan gelora perasaannya. Namun ia tidak dapat menahan
ketika setitik-setitik air membasahi pelupuk matanya.
Ayahnya menyadari betapa beratnya bagi Pandan Wangi
untuk memilih sikap. Tetapi adalah kewajibannya untuk mencoba
menunjukkan arah. Seperti seseorang yang berdiri di simpang
jalan, yang sama-sama menuju ke dalam kesulitan, maka
Pandan Wangi harus memilih salah satu di antaranya. Salah
satu yang paling baik betapa, pun sulitnya.
Ketika kemudian malam tiba, yang semakin lama menjadi
semakin dalam, maka Ki Argapati dan Pandan Wangi telah
berada di sebuah tanah lapang sempit yang sepi. Tempat yang
mereka pilih untuk menempa satu-satunya anak yang akan
dapat meneruskan hadirnya Tanah Perdikan Menoreh apabila
Sidanti sama sekali sudah tidak menghiraukan lagi peringatanperingatan
yang diberikan oleh Ki Argapati.
Angin yang silir telah mengusap tubuh-tubuh yang basah oleh
keringat. Pandan Wangi telah mencoba untuk mencurahkan
segenap kemampuan yang ada padanya supaya ia tidak
mengecewakan ayahnya yang sedang dikalutkan oleh kakak
seibunya. Ternyata harapan Ki Argapati yang ditumpahkan kepada
puterinya itu tidak sia-sia. Pandan Wangi kini sedang berada di
dalam latihan yang paling sulit. Keringatnya telah membasahi
seluruh wajah kulitnya, dari ujung kakinya sampai ke ujung
rambutnya. Terasa getaran-getaran yang semakin cepat
mengalir di segenap otot bebayu, bahkan terasa seolah-olah
bergetar di seluruh bagian tubuhnya menyelusuri segenap tulang
sungsumnya. Getaran-getaran itulah sumber pancaran ilmu yang harus
dipelajarinya, diluluhkan dengan getar di dalam dirinya, dan
kemudian akan terpancar dalam satu bentuk yang dahsyat.
Dengan getaran-getaran yang harus dikenali bentuk dan
wataknya, Pandan Wangi akan mampu membangunkan
segenap tenaga cadangan di dalam dirinya seperti yang
dikehendakinya, yang kadang-kadang di dalam ujudnya, hampirhampir
tidak dapat digapai oleh akal. Tetapi sebenarnyalah
bahwa sumber kekuatan itu telah ada di dalam diri, lahir
bersama-sama dengan kelahiran dirinya dari Sumber Yang Esa.
Kekuatan itu sama sekali bukanlah hasil buatan manusia, bukan
karena kepandaian dan kemampuan manusia menciptakan
kekuatan dan kelebihan di dalam dirinya dari orang-orang lain,
tetapi manusia hanya dapat mengenali dan mempergunakannya,
yang sebelumnya memang telah ada di dalam diri. Sesuai
dengan sumbernya, maka tidak ada lain, bahwa tenaga
cadangan dan setiap pancaran kekuatan, hendaknya
dipergunakan menurut arah yang telah ditentukan. Untuk
kepentingan kasih sesama, dan untuk kepentingan Sumber itu
sendiri, dalam segala macam tuntutannya.
Tetapi ternyata bahwa di dalam diri manusia terdapat
pengenalan yang kadang-kadang sesat dari arah pancaran
Sumbernya. Sesat dan tidak ingin menemukan jalan kembali.
Dibangkitkannya kekuatan di dalam diri manusia dengan
landasan yang samar, dan bahkan dengan landasan yang kelam
dan hitam. Untuk tujuan yang kelam dan hitam pula, sehingga
manusia yang demikian semakin lama akan menjadi semakin
jauh tersesat. Ternyata Pandan Wangi benar-benar tidak mtngecewakan
ayahnya. Ketika keringatnya seolah-olah telah terperas habis
dari dalam tubuhnya, maka sampailah ia pada puncak ilmu yang
diturunkan ayahnya kepadanya. Unsur gerak yang merampas
segenap kekuatan lahir dari batinnya. Memukaunya dalam
pengaruh yang semula kurang dikenalnya. Tetapi kemudian
dimengertinya, bahwa yang kurang dikenalnya itu adalah dirinya
sendiri dalam bentuknya yang paling wajar. Tanpa pulasan
lahiriah dan bahkan seakan-akan tidak mengenal wadagnya
sendiri. Hakekat dari kekuatan manusiawi yang tersimpan di
dalam diri, dalam pancaran pribadi yang lengkap.
Ketika getaran itu terasa mencengkam seluruh tubuhnya,
maka Pandan Wangi merasakan betapa sulitnya ia melawan
kehendak di dalam diri. Seolah-olah suatu kekuatan yang
dahsyat telah menyeretnya ke dalam suatu keadaan yang tidak
dimengertinya. Tetapi Pandan Wangi tetap bertahan, ia
mencoba untuk tetap sadar dan mendengar kata-kata petunjuk
ayahnya. Ia mendengar kata demi kata meskipun seolah-olah
semakin lama menjadi semakin jauh. Dipusatkannya inderanya
untuk tetap mendengar suara itu.
Kini Pandan Wangi justru tidak bergerak sama sekali, ia
berdiri tegak dengan kaki rapat. Tangannya disilangkannya di
dadanya, sedang senjatanya, sepasang pedang, mencuat di
depan pundaknya. Didengarnya petunjuk-petunjuk ayahnya,
untuk melakukan unsur-unsur gerak yang paling sulit dari
ilmunya. Tetapi Pandan Wangi sudah tidak bergerak dengan
wadagnya. Dipusatkan inderanya, didengarkannya petunjukpetunjuk
ayahnya meskipun ia sudah tidak dapat melihat lagi, di
mana ayahnya berdiri karena matanya sedang terpejam, dan ia
tidak tahu lagi dari mana arah suara itu menyentuh lubang
telinganya. Namun meskipun demikian, Pandan Wangi merasakan,
bahwa ia telah melakukan gerak itu. Gerak yang justru paling
sempurna. Gerak yang telah memeras segenap kemampuan
batinnya. Semakin lama suara ayahnya itu pun menjadi semakan
samar, Ia tinggal harus melakukan satu unsur gerak. Yang
terakhir. Terasa dadanya berguncang dahsyat sekali ketika ia
merasa membenturkan kekuatannya itu dengan kekuatan
ayahnya. Dilontarkannya kekuatan terakhirnya dalam unsur
gerak terakhir. Pandan Wangi hanya merasakan dunia ini kemudian menjadi
gelap. Terlampau gelap, sehingga kemudian ia tidak melihat dan
mendengar apa pun lagi. Pingsan.
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Diusapnya keringat
yang, mengalir dikeningnya. Kemudian didekatinya puterinya
yang terbaring diam di atas rerumputan yang basah oleh embun.
Perlahan-lahan ia berjongkok di sampingnya. Dirabanya kening
Pandan Wangi, kemudian tangannya dan dadanya. Nafasnya
dan darahnya terasa terlampau cepat mengalir.
"Agak terlampau berat baginya," desis ayahnya," tetapi ia
mampu menyelesaikannya sampai unsur yang terakhir dari ilmu
perguruan Menoreh." Ketika angin silir mengusap dahinya, Ki Gede Menoreh
menengadahkan wajahnya. Di langit bintang gemintang
berkeredipan memenuhi layar yang biru kehitam-hitaman. Bulan
yang belum bulat telah bertengger di punggung bukit di sebelah
Barat. Sejenak dibiarkannya Pandan Wangi terbaring. Argapati yakin
bahwa puterinya itu tidak mengalami cidera apa pun kecuali
kelelahan dari pemusatan indera yang berlebih-lebihan. Sesudah
itu ia pasti akan menyadari dirinya sebagai seorang gadis yang
telah memiliki bekal yang cukup untuk menempuh kehidupan
yang betapapun sulitnya. Argapati mengerutkan keningnya ketika ia melihat Pandan
Wangi menarik nafas perlahan-lahan. Kemudian dibukanya
matanya perlahan-lahan pula. Yang pertama-tama diucapkannya
adalah, "Ayah."
"Bangunlah, Wangi. Kau telah berhasil."
Perlahan-lahan sekali Pandan Wangi mencoba
menggerakkan tangannya, kemudian kakinya. Berkalkali ia
menarik nafas dalam-dalam. Terasa tubuhnya masih nyeri dan
sendsendi tulangnya terlampau lemah.
"Kekuatanmu akan segera pulih kembali, bahkan dengan
kemungkinan yang jauh lebih baik dari keadaanmu sebelumnya."
Perlahan-lahan Pandan Wangi mengingat kembali apa yang
telah terjadi padanya sebelum ia jatuh pingsan. Latihan yang
terlampau berat dan yang terakhir, pemusatan indera untuk
menangkap unsur gerak yang paling sulit dari ilmunya. Meskipun
ia kemudian pingsan, tetapi ia sudah menyelesaikan apa yang
seharusnya dilakukannya. Ia mendengar petunjuk-petunjuk
ayahnya sampai kalimat yang terakhir.
Tetapi ia adalah seorang gadis. Secara alami ia mempunyai
perbedaan dengan seorang anak laklaki muda. Itulah
sebabnya, maka baginya latihan itu menjadi terlampau berat,
meskipun ia kemudian berhasil menyelesaikannya.
Pandan Wangi itu pun kemudian bangkit dan duduk di depan
ayahnya. Nafasnya masih terasa berkejaran dan darahnya
masih terlampau cepat mengalir. Jantungnya seakan-akan
berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Berdirilah, Wangi," berkata ayahnya.
Perlahan-lahan Pandan Wangi mencoba berdiri, betapa
lemahnya sendi tulangnya, namun ia kemudian tegak di atas
kedua bakinya. "Ambillah pedangmu."
Pandan Wangi menyadari bahwa kedua senjatanya itu
ternyata telah terlepas dari tangannya. Perlahan-lahan ia
membungkukkan badannya. Punggungnya masih terasa
terlampau penat. Diraihnya kedua pedangnya dan kemudian
disarungkannya di lambungnya.
"Kau telah selesai, Wangi," berkata ayahnya yang kemudian
berdiri di sampingnya. "Tetapi sama sekali bukan berarti bahwa
kau telah menjadi sempurna. Kau baru dapat menyelesaikan
latihan-latihan untuk menguasai unsur-unsur gerak itu sendiri.
Tetapi kau masih harus mengembangkannya dalam waktu-waktu
yang akan datang. Kau harus dapat mempergunakan, memilih
dan menggabungkan unsur yang telah kau kuasai itu, untuk
menanggapi keadaan yang berbeda-beda. Nah, untuk itu kau
memerlukan pengalaman. Tetapi dasar pengetahuanmu kini
sama sekali pasti tidak akan kalah lagi dari Sidanti, meskipun
kau sudah pasti kalah dalam pengalaman."
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pandan Wangi masih berdiri tegak sambil berdiam diri.
Berbagai macam perasaan bergelut di dalam dirinya. Sekali lagi
ia merasakan desir yang tajam menggores hatinya. Sidanti itu
adalah kakaknya. Memang tidak ada pertalian apa pun antara
ayahnya dan Sidanti meskipun selama ini Sidanti benar-benar
ditempatkan pada tempat yang baik di dalam keluarganya. Tidak
seorang pun yang merasakan sikap yang kurang baik dari
ayahnya terhadap anak muda itu. Namun ternyata ayahnya tidak
dapat melupakannya sama sekali apa yang telah terjadi itu.
Ternyata, ketika ayahnya dihadapkan pada suatu persoalan,
maka perasan itu meledak tanpa dapat ditahan-tahankan lagi.
Bahkan dengan serta-merta ayahnya telah menempatkannya
langsung berhadapan dengan kakaknya.
Tetapi baginya, Sidanti adalah saudara yang dilahirkan dari
ibu yang sama. Dan betapapun juga, samar-samar terbayang di
wajah Sidanti garis-garis wajah ibunya, meskipun kakaknya itu
jauh lebih serupa dengan Ki Tambak Wedi.
Pandan Wangi itu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar
ayahnya berkata, "Marilah kita pulang, Wangi. Hari telah
terlampau jauh malam. Bahkan mungkin sebentar lagi fajar akan
memancar di Timur. Kau perlu beristirahat."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya dengan
lemahnya. Ketika ia memandang ke Barat, maka bulan sudah
tidak dilihatnya lagi. Bulan yang masih belum bulat.
Tetapi dada Pandan Wangi berdesir karenanya. Sekilas
teringat olehnya, janji ayahnya dengan Ki Tambak Wedi. Pada
saat purnama naik. Dan purnama itu semakin lama menjadi
semakin dekat. Beberapa hari lagi. Dan beberapa hari lagi itu
adalah hari yang sangat menegangkan baginya, bagi keluarga
Tanah Perdikan Menoreh. Hari itu akan mempunyai banyak
sekali kemungkinan. Di antaranya adalah, perubahan yang
mendadak di atas Tanah Perdikan ini. Bahkan Tanah ini akan
dapat dibakar, oleh api yang dahsyat, dan memusnakan segala
macam bentuk dan peradaban.
Dapat terjadi saling membunuh di antara tetangga-tetangga
dan di antara sanak-kadang. Dapat pula terjadi pembantaian
besar-besaran di antara mereka yang berbeda pendirian.
Bulu-bulu kuduk Pandan Wangi terasa meremang.
Mengerikan sekali. Ternyata kedatangan Sidanti dan Tambak
Wedi di atas Bukit Menoreh sama sekali tidak membawa
kesentausaan. Tetapi yang dibawanya adalah bencana. Apakah
bencana itu harus terjadi"
Dan sekali lagi Pandan Wangi mendengar ayahnya berkata,
"Marilah kita pulang, Wangi. Kau perlu beristirahat. Kemudian
kita perlu segera mempertimbangkan perkembanganperkembangan
terakhir yang terlampau cepat terjadi."
Pandan Wangi, yang kelelahan itu pun kemudian melangkah
perlahan-lahan bersama ayahnya, meninggalkan lapangan
sempit itu, pulang ke rumahnya. Ketika mereka memasuki jalan
padukuhan induk dari Tanah Perdikan Menoreh, terdengar suara
ayam jantan berkokok bersahut-sahutan merambat dari kandang
ke kandang, menyongsong cahaya yang kemerah-merahan di
langit sebelah Timur. "Fajar," desis Argapati.
Pandan Wangi mengangkat wajahuya. Dipandanginya fajar
yang mulai memancar. Sebentar lagi matahari akan naik di hari
yang baru. "Kita masih sempat beristirahat meskipun hanya sekejap,"
berkata Argapati. "Aku akan pergi ke belakang, membersihkan
diri." Pandan Wangi mengangguk. Tetapi ia berkata, "Aku akan
kesiangan bangun apabila aku jatuh tertidur, Ayah."
"Meskipun kau tidak tidur, tetapi beristirahatlah."
"Baik, Ayah," sahut Pandan Wangi.
"Harhari mendatang, pekerjaan kita akan bertambah banyak.
Jauh lebih banyak dari yang kita duga semula."
Pandan Wangi tidak menjawab, tetapi dianggukkannya
kepalanya. Ketika mereka memasuki regol halaman rumahnya, para
peronda memandangi mereka dengan penuh keheranan. Tetapi
tidak seorang pun yang bertanya, dari manakah ayah dan anak
itu semalam-malaman. Argapati dan Pandan Wangi pun sama sekali sudah tidak
bernafsu lagi untuk terlampau banyak berbicara. Mereka hanya
menganggukkan kepala mereka kepada para peronda yang
masih ada di dalam gardunya sambil bergumam, "Apakah kalian
baik-baik?" "Ya, Ki Gede. Tidak ada apa-apa semalaman di rumah ini."
"Terima kasih."
Ki Gede Menoreh itu pun sama sekali tidak berhenti.
Langkahnya yang lemah membawanya langsung ke belakang,
ke perigi. Sedang Pandan Wangi langsung masuk ke dalam
biliknya, menyiapkan pakaian-pakaian untuk mengganti
pakaiannya yang kotor sesudah mandi.
Ketika fajar menyingsing, pada saat sinarnya yang kekuningkuningan
menyentuh ujung pepohonan, seorang pemimpin
pengawal Tanah Perdikan itu dengan tergesa-gesa datang
menemui Ki Argapati yang baru saja selesai, dan duduk-duduk di
pringgitan seorang diri menghadapi minuman hangat.
"Maaf, Ki Gede, aku datang terlampau pagi."
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Terlintas di dalam
hatinya, sesuatu yang kurang wajar pasti telah terjadi, sehingga
salah seorang pemimpin pengawal ini dengan tergesa-gesa
menemuinya. "Duduklah," Argapati mempersilahkan.
Dengan nafas terengah-engah pemimpin pengawal itu duduk
di hadapan Ki Argapati. Belum lagi debar jantungnya mereda, ia
sudah mulai berbicara, "Ki Gede. Kita benar-benar berada di
dalam kesulitan." Argapati mengerutkan keningnya. Dengan sareh ia bertanya,
"Apakah yang sudah terjadi?"
"Sidanti dan Ki Argajaya benar-benar telah tersesat," berkata
orang itu pula. "Mereka telah kehilangan sama sekali kecintaan
mereka kepada Tanah Kelahiran ini."
"Apakah yang telah mereka lakukan?" bertanya Ki Gede
Menoreh seterusnya. Pemimpin pengawal itu menggeser setapak maju. Katanya,
"Beberapa orang pengawal dan bahkan beberapa pemimpin
pengawal melihat beberapa orang tidak dikenal di dalam
lingkungan Tanah Perdikan ini. Mereka telah membuat
hubungan dengan Ki Argajaya dan Sidanti."
Sepercik warna mereka menjalar di wajah Argapati. Ia sama
sekali tidak menduga, bahwa tindakan adiknya dan anak muda
yang telah diakunya sebagai anaknya itu akan menjadi
sedemikian jauh. Namun kemudian Argapati itu teringat, bahwa
di dalam lingkungan mereka terdapat Ki Tambak Wedi.
Meskipun Ki Tambak Wedi pernah tinggal di atas Tanah ini,
tetapi sudah terlampau lama ia meniaggalkannya, dan
menjadikan dirinya seorang yang paling berkuasa di
padepokannya, padepokan Tambak Wedi. Dengan demikian,
maka kecintaannya kepada Tanah ini pun pasti tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Betapapun juga, Argajaya dan Sidanti
pasti masih mempunyai kesadaran, bahwa di sinilah mereka
dilahirkan, dibesarkan dan di sini pulalah mereka telah meneguk
air di saat haus dan menelan makanan di saat lapar. Tanah
inilah yang telah memberikan segala-galanya kepada mereka.
Apakah dengan demikian mereka akan sampai hati
menghubungi orang-orang yang tidak dikenal untuk ikut serta
merusak Tanah ini" Untuk ikut serta menitikkan darah orangorang
Menoreh yang kini sedang diamuk oleh perpecahan yang
semakin meruncing" Sejenak Argapati terdiam. Ia tidak segera dapat
mengucapkan kata-kata. Pringgitan itu pun menjadi sunyi untuk
sesaat. Kemudian terdengar Argapati menarik nafas dalamdalam
sambil berdesah, "Bencana benar-benar akan menimpa
Tanah ini. Apakah orang-orang yang tidak dikenal itu telah dapat
dipastikan, akan ikut campur di dalam persoalan antara aku dan
Sidanti yang telah dinyalakan oleh Ki TambakWedi?"
"Kami mempunyai penilaian yang demikian Ki Gede. Dua
orang dari orang-orang itu telah berada di rumah Ki Argajaya
pula." "Apakah kau kenal mereka, atau setidak-tidaknya dapat
menduga dari manakah mereka datang atau dari lingkungan
apa?" "Ki Gede, menurut perhitunganku dan beberapa kawan,
mereka ternyata dapat digolongkan orang-orang yang kurang
mendapat tempat di dalam lingkungan orang yang baik-baik.
Mereka datang di antar oleh Ki Prastawa."
"Oh," Ki Argapati tiba-tiba menjadi tegang. "Orang itu telah
melibatkan dirinya pula."
"Bagaimanakah penilaian Ki Gede tentang orang itu?"
"Ia adalah seorang yaiig paling senang melihat benturanbenturan
yang dapat terjadi di Tanah ini. Ia adalah seorang
penjudi yang tidak saja melakukan kegiataanya di Tanah ini,
tetapi ia telah mendatangi tempat-tempat judi, sabung ayam, dan
tempat lain semacamnya sampai ke tempat-tempat yang jauh.
Orang-orang itu pasti dibawanya dari lingkungannya. Bahkan
tidak mustahil bahwa orang-orang jahat untuk membuat Tanah
ini menjadi karang abang."
Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Penilaian itu tepat seperti penilaiannya. Orang itu bukannya
orang yang bermaksud baik, tetapi ia akan mempergunakan
kesempatan yang jelek ini untuk kepentingannya sendiri.
Karena itu maka ia bertanya, "Ki Gede, sudah tentu Ki
Prastawa akan memgambil keuntungan dari persoalan ini. Tetapi
keuntungan apakah yang diinginkannya" Apakah yang
didapatnya dari kekisruhan yang dapat timbul di Tanah Perdikan
ini?" Ki Gede Menoreh mengerutkan dahinya. Tampaklah betapa
ia menahan gelora hatinya. Jawabnya perlahan-lahan, "Orangorang
semacam itu kadang-kadang tidak mempunyai landasan
berpikir tertentu. Ia hanya ingin terjadi sesuatu. Mungkin
perubanan pimpinan atas Tanah Perdikan ini yang
diharapkannya dapat, memberikan keleluasaan bergerak
baginya dan bagi lingkungannya. Tetapi seandainya yang
dibawanya itu adalah orang-orang yang diangkatmya dari dunia
yang hitam, maka akibat daripadanya adalah parah sekali.
Setiap kesempatan dapat dipergunakan oleh mereka untuk
menumbuhkan malapetaka. Mungkin, perampokan,
perampasan, dan sebagainya."
"Hem," pemimpin pengawal itu menggeram. "Ki Gede
mumpung masih belum berlarut-larut. Aku kira Ki Gede harus
berbuat sesuatu." Ki Gede Menoreh tidak segera menyahut. Perhitungannya
memang berkata demikian. Tetapi apakah ia akan dapat melihat
pertumpahan darah terjadi di atas Tanah Perdikan ini" Tanah
yang dibinanya sejak bertahun-tahun" Hampir sepanjang
umurnya diberikannya untuk membuat Tanah ini menjadi Tanah
Perdikan yang baik. Tetapi kini ia dihadapkan kepada pilihan yang sulit. Bahkan,
ia terdorong kepada suatu pikiran di kepalanya, "Bagaimanakah
apabila aku serahkan saja pimpinan atas Tanah ini kepada
Sidanti. Betapapun juga jeleknya, ia adalah orang yang
dilahirkan di Tanah ini. Ia adalah seorang yang merasa dirinya
mampu dan berhak pula. Dengan demikian akan terhindarlah
segala macam pertumpahan darah dan keributan di atas Tanah
ini. Namun kemudian ia menggeretakkan giginya.Desisnya di
dalam hati, "Aku akan berkhianat atas Tanah ini apabila aku
biarkan Sidanti merebut pimpinan. Ia akan dikendalikan oleh
Tambak Wedi dan orang-orang yang kelak akan
mempengaruhinya dengan kekuatan masing-masing. Orangorang
yang memiliki kekuatan, karena kekayaannya, orangorang
yang dapat memberinya kepuasan lahiriah, dan mungkin
juga orang-orang yang merasa hidupnya terlampau sulit dan
mengharapkan perubahan keadaan, bagi Tanah ini dan bagi diri
mereka. Campur baur dari kepentingan yang berbeda-beda,
namun menempatkan harapan pada keadaan yang sama itulah
yang akan membakar Tanah ini menjadi abu."
"Bagaimana, Ki Gede?" bertanya pemimpin pengawal itu.
Wajah Ki Gede Menoreh tampak ragu-ragu. Ia masih dikuasai
oleh perasaannya yang kadang-kadang belum sejalan dengan
pikirannya. Kejantanan yang mengikatnya dalam janji dengan Ki
Tambak Wedi mempegaruhinya pula.
"Tunggullah," desis Ki Gede Menoreh.
Wajah orang itu menjadi kecewa. Perlahan-lahan ia berkata,
"Ki Gede, apakah kita menunggu banjir bandang yang akan
memecah Tanah Perdikan ini menjadi berkeping-keping?"
Ki Argapati terdiam sejenak. Ia dapat memahami pendapat
pengawal yang setia itu. Tetapi ia kemudian menjawab, "Aku
perhatikan pendapatmu. Tunggullah, hari ini aku akan
mengambil sikap. Aku akan memanggil kalian untuk menentukan
setiap tindakan yang akan kita ambil."
Pemimpin pengawal itu menundukkan kepalanya. Ki Argapati
dikenalnya sebagai seorang yang keras hati. Tetapi ketika ia di
hadapkan pada kekisruhan yang terjadi di Tanah sendiri, maka
terasa ia selalu diselubungi oleh keragu-raguan.
"Lakukanlah tugasmu baik-baik. Aku sendiri akan melihat
keadaan dengan saksama."
Pemimpin pengawal itu mengangguk lemah. "Baiklah Ki
Gede. Aku menunggu perintah."
Sepeninggal orang itu Ki Gede Menoreh menarik nafas
dalam-dalam. Keningnya tampak berkerut-kerut. Di dalam
dadanya terjadi suatu pergolakan yang dahsyat, yang
mendorongnya ke dalam suatu keadaan yang tidak menentu.
Namun tiba-tiba Ki Argapati itu teringat kepada puterinya,
Pandan Wangi. Satu-satunya keluarga yang dapat diajaknya
berbincang. Pandan Wangilah yang kelak diharapkan akan
dapat menegakkan Tanah Perdikan ini menjadi Tanah Perdikan
yang jauh lebih baik dari keadaannya kini.
Karena itu, maka Ki Argapati itu segera berdiri. Perlahanlahan
ia berjalan ke bilik Pandan Wangi. Perlahan-lahan pula ia
mengetuk pintunya yang masih tertutup sambil memanggil
namanya, "Pandan Wangi."
Tidak ada jawaban. Ki Argapati menyangka bahwa Pandan
Wangi masih terlampau lelah. Mungkin ia tertidur setelah
menyiapkan minuman paginya.
"Wangi," ia mengulangi.
Masih belum ada jawaban. Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. "Ia terlampau
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lelah," desisnya. Kini Ki Gede Menoreh tidak memanggilnya lagi. Perlahanlahan
didorongnya daun pintu leregan itu ke samping. Perlahanlahan
sekali supaya puterinya tidak terkejut.
Tetapi Ki Gede-lah yang kemudian terkejut. Ternyata bilik itu
telah kosong. "Kemenakah anak ini?" desisnya.
Ki Argapati itu pun kemudian pergi ke belakang.
Ditanyakannya kepada pelayan-pelayannya, apakah mereka
melihat Pandan Wangi. Tetapi pelayan-pelayan itu menggeleng sambil menjawab,
"Tidak Ki Gede, kami tidak melihatnya."
Sepercik kecemasan merambat di hati Argapati. Karena itu
maka kemudian disusurinya halaman rumahnya. Kalau-kalau
Pandan Wangi sedang berada di halaman, atau sedang berada
di kebun belakang. "Apakah Ki Gede sedang mencari Pandan Wangi bertanya
seorag pelayan tua."
"Ya," sahut Ki Gede.
"Ia mengenakan pakaian berburunya. Mungkin ia pergi."
Jantung Ki Argapati berdesir mendengarnya. Terkilas di
dalam angan-angan Argapati, bahwa sudah pasti Pandan Wangi
tidak akan pergi berburu. Tetapi Ki Argapati tidak segera dapat
menentukan, kemanakah puterinya itu pergi. Karena itu maka
sejenak kemudian ia bertanya, "Apakah kau tahu kemana ia
pergi?" "Sudah tentu ia akan pergi berburu," jawabpelayan tua
Itu. "Apakah ia membawa busur dan anak panah?"
Pelayan tua itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia
menjawab agak ragu-ragu, "Tidak. Aku kira ia tidak membawa
busur dan anak panah."
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Ia
tidak akan pergi berburu."
"Lalu kemanakah ia akan pergi?"
Argapati tidak segera menjawab, tetapi tampak keningnya
menjadi berkerut-merut. "Apakah Pandan Wangi pergi berkuda?" ia bertanya.
"Ya, ia pergi berkuda."
"Mungkin para penjaga di regol depan mengetahuinya,"
gumam Ki Argapati. "Tidak Ki Gede, Pandan Wangi tidak lewat regol depan tetapi
ia membuka pintu butulan. Akulah yang disuruhnya menutup."
Argapati mengerutkan keningnya. Meskipun, ia terkejut
mendengar keterangan itu, tetapi ia mencoba untuk tidak
memberikan kesan apa pun. Perlahan-lahan ia menganggukangguk,
kemudian ia bertanya, "Kemanakah ia pergi. Ke Utara
atau ke Selatan?" Pelayan tua itu mengingat-ingat sebentar. Kemudian katanya,
"Mungkin ia pergi ke Selatan. Aku tidak begitu menaruh
perhatian. Begitu ia keluar dari regol, aku segera menutupnya."
"Anak nakal,"desis Argapati.
"Apakah Pandan Wangi tidak minta ijin lebih dahulu kepada
Ki Gede?" Ki Gede Menoreh itu tidak menyahut.
"Bukankah biasanya Pandan Wangi mendapat ijin dari Ki
Gede untuk pergi berburu."
Ki Gede hanya mengangguk saja. Tetapi di dalam hati ia
berkata, "Aku tidak pernah melepaskannya seorang diri
meskipun ia hanya pergi berburu. Apalagi dalam keadaan
serupa ini." "Hem," Ki Argapati itu berdesah, sedang pelayan tua itu
memandanginya dengan heran. Ia melihat kegelisahan pada
wajah Argapati betapapun ia mencoba menyembunyikannya.
Tetapi pelayan tua itu tidak tahu apakah yang sebenarnya
digelisahkannya. Bukankah Pandan Wangi itu pergi di siang
hari" Pelayan tua itu sama sekali tidak tahu, betapa ketegangan
yang kemelut menyelubungi udara Tanah Perdikan Menoreh.
Apabila Argapati tidak berhasil mengatasinya dengan cara yang
diiginkannya maka api akan segera menyala.
Dalam keadaan demikian Pandan Wangi pergi seorang diri.
Berbagai macam persoalan telah menggelegak di dalam
dadanya. Bahkan kemudian keringat dingin membasahi seluruh
tubuhnya ketika terlintas di dalam hatinya, "Apakah Pandan
Wangi memilih kakaknya daripada ayahnya?"
"Tidak," Argapati mencoba membantahnya di dalam hati.
"Mustahil hal itu dilakukannya."
Tetapi Argapati tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Dengan kepala tunduk ia melangkah masuk ke dalam rumah.
Sedang pelayan tua itu masih berdiri termangu-mangu di
tempatnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia
bergumam, "Hem, apakah Pandan Wangi pergi tanpa pamit
setelah ayahnya melarangnya?"
Dengan hati yang gelisah Argapati duduk kembali di
pringgitan. Dicobanya menenangkan hatinya dengan meneguk
minuman paginya yang telah menjadi dingin. Tetapi debar di
jantungnya justru menjadi semakin tajam.
"Anak itu pasti pergi ke rumah pamannya," desis Argapati
seorang diri. Arah yang diambilnya adalah arah yang menuju ke
rumah Argajaya. "Aku tidak tahu, apakah maksudnya Dalam
keadaan yang panas ini, perjalanan yang pendek itu dapat
berbahaya baginya." Tetapi Argapati tidak dapat segera pergi menyusulnya. Ia
merasa segan untuk datang ke rumah itu, seolah-olah ia
memerlukan menemui orang-orang yang selama ini telah
membuat kekisruhan di dalam wilayahnya. Dengan demikian,
maka bagi mereka yang melihat kehadirannya ke rumah itu akan
dapat memberikan tanggapan yang bermacam-macam, seolaholah
ia telah merendahkan dirinya, memohon kepada Sidanti
untuk melepaskan tuntutannya.
"Tetapi bagaimana dengan Pandan Wangi?" desisnya. Tibatiba
Argapati itu meloncat berdiri. Dengan tergesa-gesa ia pergi
ke pendapa dan memanggil seorang penjaga regol halamannya.
"Panggil pemimpin pengawal," ia menggeram.
Perintah itu tidak perlu diulanginya. Segera penjaga regol itu
pergi memenuhinya, memanggil pemimpin pengawal.
Kepadanya, Argapati memberitahukan bahwa Pandan Wangi
telah pergi. Menurut pertimbangannya ia pergi ke rumah
Argajaya. "Apakah kepentingannya?" bertanya pemimpin pengawal itu.
"Aku tidak tahu. Tetapi aku yakin bahwa Pandan Wangi ingin
membantuku memecahkan kesulitan ini. Mungkin ia ingin
menemui kakaknya dan mencoba mempengaruhinya. Namun
aku mengkhawatirkannya. Aku tidak yakin bahwa ia berhasil,
meskipun seandainya demikian aku akan sangat berterima kasih
kepadanya. Tetapi seandainya Sidanti mengambil sikap-sikap
yang tidak mencerminkan persaudaraannya, misalnya
menahannya dan tidak diberikan kesempatan kepadanya untuk
kembali ke rumah ini dengan kekerasan, maka kita harus
bertindak. Aku menunggu sampai tengah hari. Apabila tengah
hari Pandan Wangi tidak kembali, kau harus menyusulnya. Kau
minta Pandan Wangi. Kalau tidak diberikannya, aku tidak tahu
akibat apa yang dapat terjadi. Pasukanmu harus bersiap
menghadapi setiap kemungkinan."
Wajah pemimpin pengawal itu menjadi tegang. Tetapi
kemudian matanya memancarkan api yang seolah-olah telah
membakar jantungnya. Dengan tegas ia berkata, "Aku akan
melakukannya. Aku dan pasukan pengawal Tanah Perdikan ini
sudah siap melakukan apa saja. Aku kira memang tidak ada
jalan lain selain perang. Kalau Pandan Wangi mengusahakan
jalan lain, itu pasti hanya akan sia-sia saja, meskipun aku ikut
mengharap, mudah-mudahan ada juga pengaruhnya."
Argapati melihat pancaran perasaan pemimpin pengawal itu.
Agaknya ia sudah menjadi jemu melihat perkembangan keadaan
yang seakan-akan tidak menentu. Tetapi kegelisahan dan
kecemasan telah merayapi hampir setiap hati di dalam dada
orang-orang Menoreh. Sehingga bentuk kehidupan seharhari
telah berubah sama sekali. Pasar-pasar menjadi semakin sepi,
dan sawah-sawah tidak lagi terpelihara sewajarnya. Sebagian
dari setiap laklaki di Menoreh telah mengelompokkan diri
mereka dengan orang-orang yang mempunyai persamaan sikap
dan pandangan. Menoreh telah terpecah dari dalam.
Ketika pemimpin pengawal itu kemudian meninggalkan rumah
Ki Gede Menoreh, maka Ki Gede itu berpesan, "Datanglah
sebelum tengah hari kemari, setelah kau selesai dengan segala
bentuk persiapanmu. Kau akan mendapat kepastian, apakah
Pandan Wangi telah kembali atau belum. Jangan kau bunyikan
tengara untuk mempersiapkan pasukanmu, supaya orang-orang
yang tidak mengerti masalahnya menjadi bingung dan
ketakutan." "Baik," sahut pengawal itu meskipun ia tidak sependapat
sepenuhnya. Sebenarnya ia ingin langsung membunyikan
tengara, memanggil mereka yang masih cukup kuat untuk
mengangkat senjata, kemudian langsung menghancurkan
Sidanti dan Argajaya. Tetapi pengawal itu menyadari, bahwa dengan demikian akan
terjadi pergolakan yang dahsyat dan mengerikan. Campur baur
antara lawan dan kawan akan membuat Tanah Perdikan ini
merah oleh darah sesama. Sepeninggal pengawal itu, Argapati masih saja selalu diliputi
oleh kegelisahan. Tanpa disengajanya ia memasuki bilik Pandan
Wangi. Hatinya berdesir ketika ia tidak melihat sepasang pedang
puterinya itu tergantung di tempatnya.
"Anak itu bersenjata," desisnya. Dan Argapati semakin yakin
bahwa Pandan Wangi pergi ke rumah pamannya karena ia
masih melihat busur dan anak panahnya berada di atas
pembaringannya, tergantung di dinding.
Dalam kegelisahannya, Argapati itu merasa bahwa hari
merangkak terlampau lamban. Matahari seolah-olah terpancang
saja di tempatnya, tanpa bergerak sama sekali. Bayanganbayangan
matahari yang lolos dari lubang-lubang dinding masih
tampak terlampau condong.
"Hem," Ki Gede Menoreh itu berdesah. Dan sekali lagi tanpa
disadarinya ia pergi ke biliknya sendiri. Perlahan-lahan ia pergi
ke geledeg di sudut biliknya. Beberapa saat ia berdiri termangumangu.
Namun kemudian tangannya itu bergerak meraih sebuah
selongsong kain putih. Argapati menarik nafas dalam-dalam.
Perlahan-lahan dengan tangan gemetar dibukanya
selongsong itu. Perlahan-lahan ditariknya sebatang tombak
pendek dari dalamnya. Tombak pendek yang disimpannya
beberapa lama, namun tiba-tiba kini begitu menarik
perhatiannya, dan seolah-olah telah menghisapnya untuk
membukanya. Ki Argapati mengerutkan keningnya. Ia melihat sesuatu yang
agak lain pada tombaknya. Maka dengan serta-merta tangannya
meraih wrangkanya. Dan ketika wrangkanya telah terbuka,
dadanya berdesir tajam sekali. Tombak itu bukan tombaknya
sendiri. Argapati menggeretakkan giginya. Wrangka itu adalah
wrangka tombaknya. Selongsong itu adalah selongsong
tombaknya. Tangkai itu pun memang tidak banyak berbeda
dengan tangkai tombaknya. Seandainya ia tidak merabanya,
maka ia tidak akan segera dapat melihat perbedaannya. Tetapi
jelas tombak itu bukan miliknya. Tombak itu agaknya adalah
tombak Argajaya. "Hem," Ki Gede Menoreh menggeram. Ternyata adiknya
benar-benar tidak tahu diri. Tombak itu telah dipertukarkannya.
Tombaknya yang selama ini menjadi kawan di dalam segala
keadaan, sebagai seorang prajurit, kemudian sebagai seorang
Kepala Tanah Perdikan. Tiba-tiba tombak itu kini lenyap. Hilang.
Tetapi Argapati dapat menduga, siapakah yang telah
mengambilnya. Adiknya sendiri, Argajaya, dan menukarnya
dengan tombaknya sendiri.
"Kapankah ia masuk ke dalam bilik ini?" Argapati menggeram.
Tetapi hal itu mungkin sekali terjadi. Rumah itu seolah-olah
sudah menjadi rumah Argajaya sendiri. Ia berada di dalam
rumah itu seperti ia berada di dalam rumahnya. Argapati sama
sekali tidak berprasangka apa pun terhadap adiknya, sebelum
peristiwa yang memilukan terjadi atas Tanah Perdikan Menoreh.
Bahkan seandainya benar Argajaya yang telah melakukannya,
tetapi tidak terjadi hal seperti ini, maka hatinya pun tidak akan
menjadi terlampau marah. Tetapi ternyata tombaknya telah ditukarnya.
Dengan kesal Argapati menyarungkan tombak itu kembali.
Dimasukkannya pula ke dalam selongsong dan meletakkannya
di atas geledegnya. "Argajaya benar-benar telah menempatkan dirinya di
seberang," desisnya. "Apakah aku masih harus merasa terikat
oleh kasih sayang seorang saudara tua di saat-saat begini" Aku
sudah tua, Argajaya pun telah menambat ke usia tuanya.
Harapan di masa datang kini tergantung kepada anakku. Kepada
Pandan Wangi. Pandan Wanglah yang harus diselamatkan dari
bencana. Bukan Argajaya, dan bahkan bukan diriku sendiri.
Apalagi Sidanti." Wajah Argapati tiba-tiba menegang. Argajaya agaknya telah
menukar tombak itu tidak baru kemarin. Tetapi sudah agak lama
terjadi. Sekilas teringat olehnya perjanjian yang dibuatnya
dengan Ki Tambak Wedi. Sepercik ingatan tentang peristiwa
yang jarang terjadi di bawah Pucang Kembar beberapa puluh
tahun yang lalu telah menyala pula di hatinya.
Tetapi tombak itu sudah tidak ada lagi di tangannya. Tombak
yang masih akan dipergunakan sekali lagi untuk melawan
senjata Tambak Wedi yang megerikan itu. Sepasang nenggala
yang masing-masing mempunyai mata tajam rangkap. Tetapi
Argapati tidak mengerti, bahwa sepasang nenggala itu pun
sudah tidak utuh lagi. Satu dari padanya ternyata telah tertinggal
di Sangkal Putung. Sementara itu, Pandan Wangi sedang berpacu di atas
kudanya menuju ke rumah pamannya seperti yang diduga oleh
ayahnya. Ia sendiri tidak tahu, dorongan apakah yang
memaksanya untuk pergi menemui kakaknya. Ia menyadari,
bahwa ayahnya pasti tidak akan mengijinkannya. Karena itu,
maka ia pergi tanpa minta ijin dahulu kepadanya. Keinginannya
untuk bertemu dan berbicara dengan Sidanti tidak dapat ditahantahankannya
lagi. Berbicara kepada seorang kakak, meskipun
kini ia tahu bahwa Sidanti bukanlah kakaknya seayah.
Tetapi bukan saja karena ia ingin berbicara dengan kakaknya,
bukan saja karena ada sesuatu yang telah mengikatnya dengan
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sidanti betapapun keadaan anak itu, karena mereka seibu,
namun lebih dari pada itu. Pandan Wangi telah dilanda oleh
kecemasan melihat nasib tanah kelahirannya. Tanah Perdikan
Menoreh yang diancam oleh bahaya yang justru meledak dari
dalam. "Aku harus menemui Kakang Sidanti dan paman Argajaya,"
katanya di dalam hati. "Aku harus berbicara dan mencoba
mengurungkan niat mereka. Seandainya Kakang Sidanti tahu,
bahwa ayah bukan ayahnya pula, namun seharusnya ia tidak
mengorbankan tanah ini untuk kepentingannya sendiri."
Sekalsekali Pandan Wangi menggeretakkan giginya melihat
keadaan yang menyedihkan. Jalan-jalan menjadi sepi dan pintupintu
rumah tertutup rapat-rapat. Tanah ini seolah-olah sedang
dilanda oleh bahaya yang akan menelan seluruh isinya menjadi
abu. Dengan demikian maka hasratnya untuk berbicara dengan
kakak dan pamannya menjadi semakin kuat di dalam hatinya.
Di perjalanan kadang-kadang Pandan Wangi bertemu juga
orang berjalan dengan tergesa-gesa. Satu-satu membawa
beberapa macam barang yang akan dipertukarkan dengan
kebutuhan-kebutuhan lain, karena pasar menjadi sepi. Ketika
orang-orang itu mendengar derap kudanya, maka dengan
tergesa-gesa mereka menyusup masuk ke regol halaman yang
terdekat dan bersembunyi di balik dinding halaman.
"Tanah ini menjadi sepi sesepi pekuburan," desis Pandan
Wangi. Tetapi derap kuda Pandan Wangi seolah-olah telah
menggetarkan seluruh Tanah Perdikan yang sedang dihantui
oleh perpecahan yang semakin lama semakin tajam.
Semakin dekat dengan rumah pamannya, hati Pandan Wangi
menjadi semakin berdebar-debar. Seolah-olah ia tidak sabar lagi
untuk segera meloncat dan menemui mereka. Bahkan sekalkali
ia berpaling. Seandainya ayahnya atau orang-orang yang
diperintahkan olehnya menyusul perjalanannya dan
membawanya kembali sebelum ia bertemu dengan Sidanti dan
pamannya Argajaya, maka ia akan berkeberatan.
Tetapi tiba-tiba dada Pandan Wangi itu berdesir. Di tikungan
di hadapannya, dilihatnya beberapa orang sedang berdiri
bertebaran. Mereka agaknya sedang asyik bercakap-cakap,
berkelakar atau apa saja.
"Siapakah mereka itu?" pertanyaan itu tumbuh di dada
Pandan Wangi. Ternyata bahwa derap kakkaki kudanya telah menarik
perhatian orang-orang itu. Serentak mereka berloncatan justru
ke tengah jalan. Beberapa orang bertolak pinggang dan yang
lain meraba hulu pedangnya.
"Enam atau tujuh orang," desis Pandan Wangi, "Mungkin
mereka para pengawal Tanah Perdikan yang sudah dipengaruhi
oleh kakang Sidanti."
Tetapi Pandan Wangi tidak menghentikan langkah kudanya.
Ia akan memberi penjelasan, bahwa ia hanya sekedar ingin
bertemu saja dengan Sidanti dan Ki Argajaya.
"Mudah-mudahan mereka dapat mengerti," gumamnya sambil
memacu kudanya. Tetapi dada Pandan Wangi itu berdesir semakin tajam.
Semakin dekat, maka semakin jelas baginya, bahwa agaknya
orang-orang itu bukan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.
"Siapakah mereka itu?" pertanyaan itu sekali lagi menyentuh
dadanya. "Apakah mereka orang-orang yang tidak kami kenal
yang berusaha ikut serta membuat keadaan semakin kisruh,
supaya mereka mendapat kesempatan untuk mengail di air
keruh?" Tanpa disengaja, Pandan Wangi menarik kendali kudanya,
sehingga derap larinya menjadi susut. Dengan hathati Pandan
Wangi mencoba untuk menilai keadaan. Tetapi bagaimanapun
juga ia tidak ingin kembali sebelum bertemu dengan kakaknya.
Dengan demikian maka tekadnya menjadi bulat, untuk
meneruskan perjalanannya. Rumah pamannya sudah tidak
begitu jauh lagi dari tikungan itu. Meskipun demikian, Pandan
Wangi harus berwaspada. Segala macam peristiwa dapat saja
terjadi dalam keadaan yang kisruh ini.
Orang-orang yang berada di tikungan masih berdiri di tengah
jalan. Mereka sengaja menghadang kuda Pandan Wangi.
Dengan berbagai macam sikap yang mengancam, mereka kini
melangkah perlahan-lahan menyongsong kuda yang semakin
dekat itu. Tiba-tiba salah seorang dari mereka melangkah ke paling
depan. Sambil mengangkat tangannya ia berseru, "Berhenti!"
Pandan Wangi terpaksa menghentikan kudanya. Kini
perlahan-lahan ia maju. "Siapa kau?" bertanya orang itu. Dan orang itu sama sekali
belum pernah dilihatnya. Orang itu terasa asing dan
mendebarkan hati. Tetapi supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka
Pandan Wangi menjawab, "Aku, Pandan Wangi."
Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia berpaling
memandangi kawan-kawannya yang berdiri di belakangnya.
Tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya orang itu tertawa terbahakbahak.
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Sikap itu benarbenar
sikap yang tidak menyenangkan. Meskipun demikian ia
masih mencoba menahan hati dan duduk diam di atas pungung
kudanya. "Aku sudah menduga," berkata orang itu, "bahwa kau adalah
seorang perempuan sejak aku melihatmu dari kejauhan. Tetapi
aku tidak menduga bahwa kau sedemikian cantiknya."
"Benar-benar memuakkan," desis Pandan Wangi di dalam
hatinya. Tetapi ia masih berdiam diri.
"Kenapa kau pergi seorang diri dalam keadaan begini"
Apakah kau tidak pernah mendengar berita, bahwa di Tanah
Perdikan ini akan menyala api yang dapat membakar hangus
seluruh isi dan penghuninya?"
(***) Buku 34 PANDAN WANGI masih belum menyahut. Tetapi ia
mendengar seorang yang lain berkata, "Lihat, ia membawa
sepasang pedang di lambungnya."
Orang yang berdiri di paling depan, yang berwajah
mengerikan dengan kumis dan jambang yang tumbuh bagaikan
rumput liar di musim hujan itu tertawa. "Ya, ya. Ia membawa
sepasang pedang di lambungnya seperti seekor ayam betina
yang bertaji di kakinya."
Dada Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Sikap
orang-orang yang tidak dikenalnya itu terasa semakin
memuakkan. Meskipun demikian dengan sekuat-kuat hati,
ditahankannya gelora di dalam dadanya, supaya ia tidak
menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, yang justru akan
menutup setiap kemungkinan untuk bertemu dengan kakaknya.
Lebih dari itu, ia tidak mau menyalakan setitik api dalam
genangan minyak seperti yang terjadi saat itu di Menoreh. Ia
sejauh mungkin akan menghindar, supaya ia tidak menjadi
sebab apabila Tanah ini harus menjadihangus terbakar oleh api
pertempuran di antara keluarga sendiri.
Tetapi sikap dan suara tertawa orang yang berdiri paling
depan itu terlampau menyakitkan hati. Meskipun demikian
Pandan Wangi masih juga berkata perlahan-lahan, "Paman,
apakah aku boleh lewat?"
"He,"orang yang berkumis dan berjambang itu mengerutkan
keningnya, "tentu. Tentu boleh. Tetapi siapa namamu he"
Pandan Wangi" Nama itu terlampau manis. Aku tidak
menyangka bahwa di atas bukit yang berbatu padas ini ada
wajah semanis wajahmu."
Pandan Wangi menahan hatinya sehingga keringatnya telah
membasahi seluruh pakaiannya. Hampir saja ia menyebut
dirinya sebagai puteri Kepala Tanah Perdikan. Tanah ini. Tetapi
maksud itu diurungkannya. Seandainya orang-orang ini benarbenar
ingin membuat Tanah ini menjadi kisruh, maka dengan
menyebutkan dirinya ia tidak akan mendapatkan keuntungan
apa-apa. Bahkan mungkin ia akan dijadikan sebab kekisruhan
yang menyeluruh. Karena itu maka dikatupkannya saja mulutnya
rapat-rapat. "He, Pandan Wangi, siapakah yang sedang kau cari" Apakah
kau mencari aku atau salah seorang dari kami?" berkata orang
yang berdiri paling depan itu disambut oleh suara tertawa dari
beberapa orang di belakangnya.
Pandan Wangi tidak menjawab. Semakin lama ia menjadi
semakin segan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan orangorang
itu. "Kau mencari siapa, he?"
Pandan Wangi masih tetap diam.
"Turunlah," berkata orang itu, "tidak baik berbicara dengan
orang tua-tua di atas punggung kuda."
Pandan Wangi menjadi ragu-ragu. Orang itu benar juga. Dan
apakah sikap orang-orang itu, yang dirasakannya terlampau
menyakitkan hati karena sikapnya yang kurang sopan" Apakah
sebaiknya ia meloncat turun dan minta maaf supaya segala
persoalan segera selesai dan ia diperbolehkan lewat tanpa
terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan" Tetapi Pandan Wangi
masih juga ragu-ragu. "Turunlah," orang yang berdiri di paling depan itu melangkah
maju semakin dekat sehingga bulu-bulu tengkuk Pandan Wangi
meremang. Sedang orang itu berkata lebih lanjut, "Aku hanya
mau berbicara, menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, apabila
kau berlaku agak sopan sedikit. Kalau kau berbicara dengan
orang-orang yang lebih tua, jangan dari atas punggung kuda.
Apakah orang tuamu tidak pernah memberitahukan kepadamu?"
Nada suara orang itu terasa begitu bersungguh-sungguh
sehingga Pandan Wangi menjadi semakin ragu-ragu.
"Mungkin ia tersinggung oleh sikapku," katanya di dalam hati,
"sehingga ia tampak menjadi terlampau kasar."
"Turunlah, Ngger." berkata orang itu pula sambil bersungutsungut.
Dada Pandan Wangi menjadi bergetar. Sekali lagi
dipandanginya wajah orang itu. Keningnya berkerut-merut dan
alisnya hampir bertemu di atas hidungnya.
"Ia agaknya benar-benar tersinggung," berkata Pandan Wangi
pula di dalam hatinya yang menjadi kian berdebar-debar. Namun
kemudian diputuskannya untuk memenuhi permintaan orang itu.
Turun dari kuda. Dan Pandan Wangi pun kemudian perlahan-lahan turun dari
kudanya. Sambil mengangguk ia berkata, "Maaf, Paman, apabila
aku Paman anggap kurang sopan. Aku agak terlampau tergesagesa,
sehingga aku telah melupakan suba-sita. Sekarang
apakah aku boleh lewat?"
Wajah orang itu menjadi tegang. Tiba-tiba, tanpa disangkasangka
oleh Pandan Wangi, orang itu membungkukkan
badannya dalam-dalam. Terlampau dalam. Tetapi ternyata
tangannya meraih sesuatu di atas tanah. Dan tanpa diduga-duga
pula orang itu telah melempar kuda Pandan Wangi dengan
sebutir batu sehingga kuda itu terkejut, meringkik dan melonjak.
Karena Pandan Wangi sama sekali tidak menduganya maka
kendalinya pun terlepas dari tangannya.
Lemparan yang kedua telah mendorong kuda itu meloncat
berlari kencang sekali. Orang-orang yang berdiri di tengahtengah
jalan itu dengan lincahnya berloncatan menepi,
menghindarkan diri dari injakan kakkaki kuda Pandan Wangi
itu. Sejenak Pandan Wangi berdiri terpaku seperti sebatang
tonggak mati. Tidak ada yang segera dikerjakannya selain berdiri
tegak di tempatnya. Ia tersadar ketika kemudian didengarnya
suara tertawa meledak hampir di telinganya. Suara orang yang
telah melempar kudanya sehingga Pandan Wangi terkejut bukan
buatan. Selangkah ia mundur. Ditatapnya wajah orang yang
sedang tertawa itu tajam-tajam.
Pandan Wangi itu pun menggeretakkan giginya. Kini ia
merasa tertipu oleh sikap orang itu. Apalagi kemudian orangorang
yang lain pun tertawa pula berkepanjangan.
"Kau berhasil, Kakang," terdengar salah seorang berteriak.
"Kau berhasil memetik bunga dari atas bukit karang ini,
meskipun agaknya bunga itu berduri."
Kata-kata itu terasa menusuk perasaan Pandan Wangi
terlampau dalam. Pedih sekali. Hampir saja ia menjerit keraskeras.
Tetapi tiba-tiba disadarinya, bahwa kini ia membawa
sepasang pedang di lambungnya. Ia kini bukan seorang gadis
cengeng yang takut melihat tikus berkejar-kejaran.
Selangkah Pandan Wangi surut.
"Nah, begitulah, Nak," berkata orang yang berkumis dan
berjambang itu, "begitulah berbicara dengan orang tua-tua. Kau
harus hormat dan jangan bersikap melawan. Bukankah kau
mendengar, bahwa seorang kawanku menyebutmu sebagai
bunga bukit karang meskipun berduri" Tetapi tidak ada gunanya
melawan kami. Kami adalah orang-orang yang paling liar di atas
bumi ini. Kami berbuat apa saja yang ingin kami lakukan. Juga
atasmu. Kau ternyata terlampau cantik bagi kami."
Dada Pandan Wangi berdesir tajam sekali mendengar katakata
itu. Dengan tegang Pandan Wangi berdiri tegak di atas
kedua kakinya yang merenggang. Orang-orang itu kini benarbenar
nampak terlampau liar seperti yang dikatakannya sendiri.
Ternyata bahwa Pandan Wangi sama sekali belum
mempunyai pengalaman yang cukup untuk menghadapi orangorang
seperti itu. Dengan mudahnya ia dapat ditipunya sehingga
ia kehilangan kudanya. Apalagi kini ia menghadapi sikap yang
paling menyakitkan hati dari laklaki yang kasar dan liar itu.
"Kenapa kau diam saja Pandan Wangi?" terdengar suara
orang yang berkumis dan berjambang itu.
Pandan Wangi sama sekali tidak menjawab, yang terdengar
adalah gemeretak giginya beradu.
"Kau marah, he?"
Tidak ada jawaban. "Jangan kau sesali lagi kudamu yang telah lari itu. Aku akan
mencari gantinya yang jauh lebih baik daripadanya. Tidak hanya
seekor, tetapi berapa yang kau minta. Setidak-tidaknya kami
masing-masing yang berada di sini dapat memberimu seekor
seorang." Orang itu kemudian berpaling kepada kawankawannya
sambil bertanya, "Begitu, bukan?"
Terdengar gelak tertawa meledak di antara mereka. Salah
seorang dari mereka menyahut, "Aku akan memberinya dua
ekor." Dan yang lain lagi mengatasi suaranya, "Aku empat ekor."
Sedang yang berada di sisi lain, yang kecil kurus berwajah
panjang, "Aku, berapa saja yang dimintanya."
Orang yang berdiri di paling depan mengerutkan keningnya
tetapi kemudian ia pun tertawa pula. Katanya, "Nah kau dengar.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua bersedia memberikan berapa saja yang kau minta.
Tetapi sudah tentu bahwa kau pun harus memberikan apa yang
kami minta." Orang itu berpaling dan berkata lagi kepada kawankawannya,
"Bukankah begitu?"
"Ya. ya. Tentu, tentu," meledak pulalah jawaban mereka, di
antara gelak tertawa yang riuh."
"Sikap yang memuakkan yang pernah aku lihat," gumam
Pandan Wangi di dalam hatinya. Tetapi mulutnya masih terkatup
rapat-rapat dan giginya masih bergemeretakkan.
"Nah, apakah katamu?" bertanya orang itu pula. "Kini letakkan
saja senjatamu. Tidak pantas seorang perempuan membawa
pedang. Apalagi sepasang. Aku kira kau akan lebih cantik
apabila kau memakai pakaian yang lumrah bagi seorang
perempuan." Pandan Wangi sama sekali tidak menyahut
"Jangan diam saja," berkata orang itu pula, "jawablah barang
sepatah kata. Apa maumu sebenarnya. Sebab bagiku, bagi
kami, biasanya tidak pernah memperhitungkan kemauan orang
lain. Aku kira juga kemauanmu tidak akan kami perhitungkan
meskipun kami ingin mendengarnya. Yang kami dengar dan
kami perhatikan adalah kemauan kami sendiri. Dan kemauan
kami atasmu sudah jelas. Aku bukan orang Menoreh. Aku
datang ke tempat ini karena aku diperlukan. Maka Menoreh
harus memberikan sambutan yang sebaik-baiknya bagi kami.
Penghuninya dan terutama perempuan-perempuannya."
Pandan Wangi masih tetap mematung.
"Hem," laklaki yang memuakkan itu menarik nafas dalamdalam.
Lalu katanya pula, "Ingat, jangan membuat kami kecewa
supaya kami dapat berbuat sebaik-baiknya atas Tanah ini. Kau
harus membantu kami seperti kami akan membantu kalian. Kami
memerlukan perempuan-perempuan seperti kau. Kami akan
lebih senang apabila kau memanggil kawan-kawanmu di saat
yang lain, supaya kami tidak sayang mengorbankan jiwa kami
untuk kepentingan kalian."
Pandan Wangi benar-benar sudah tidak tahan lagi. Sebagai
seorang gadis hatinya menjadi terlampau ngeri. Ia dapat
membayangkan apa yang akan terjadi atasnya apabila ia jatuh
ketangan orang-orang ini. Tetapi sebagai seorang gadis yang
mengenakan se"pasang pedang di lambungnya, ia dapat
berbuat sesuatu. Ia dapat bertahan, meskipun seandainya ia
tidak dapat melawan semua orang itu bersama-sama, maka ia
akan terbunuh. Tetapi terbunuh ternyata akan lebih baik baginya
daripada jatuh ke tangan mereka. Karena itu, maka wajah
Pandan Wangi menjadi semakin merah seperti darah. Kini kedua
tangannya telah bersilang memegang hulu sepasang
pedangnya. "He," orang yang berdiri di paling depan berseru, "apakah kau
akan melawan?" Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi sorot matanya
memancarkan kemarahan yang meluap-luap di dadanya.
Orang yang berjambang itu tertawa. Katanya, "Jangan nakal.
Jangan bermain-main dengan senjata. Lihat, kami pun
bersenjata. Pedangmu terlampau kecil untuk melawan golokgolok
kami yang jauh lebih besar ini. Mungkin kau pernah
melihat seseorang bermain pedang dan kau ingin
melakukannya. Tetapi jangan bermain-main dengan kami.
Apabila sikapmu menimbulkan kemarahan kami, maka kami
akan dapat berbuat jauh lebih liar daripada yang pernah kau
bayangkan." Tetapi Pandan Wangi tidak bergerak dan tidak menjawab.
Bahkan darahnya kini benar-benar telah mendidih.
"Lepaskanlah ikat pinggangmu yang kau gantungi dengan
sepasang pedang itu," berkata orang itu. "Cepat. Kami sudah
tidak sabar lagi. Buanglah senjata-senjata yang tidak akan
berarti sama sekali bagimu, bagi keselamatanmu dan bagi apa
pun itu." Kini Pandan Wangi telah sampai pada batas kemampuannya
untuk menahan dirinya. Meskipun sebagai seorang gadis, terasa
juga bulu-bulu tengkuknya yang meremang, tetapi karena ia
bersenjata di lambung, maka terpercik tekad di dadanya untuk
melawan orang-orang itu. Ia belum tahu betapa jauh
kemampuan orang-orang itu bersama-sama. Tetapi ia harus
melawan, membela dirinya dari kemungkinan yang lebih jelek
daripada mati. Hal ini pasti akan menjadi peringatan bagi orangorang
Menoreh sendiri, bahwa mereka harus berhathati
terhadap orang-orang yang tidak dikenal ini. Dan bahwa mereka
dapat membuat bencana yang lebih dahsyat lagi di atas Tanah
Perdikan ini. Maka ketika orang yang berkumis dan berjambang itu
kemudian maju lagi selangkah sambil tertawa seperti suara
tertawa hantu di pekuburan melihat mayat, maka Pandan Wangi
selangkah lagi surut. Namun sekejap kemudian kedua-belah
tangannya telah menggenggam sepasang pedangnya.
Langkah laklaki berjambang itu terhenti. Tampak keningnya
berkerut. Namun sejenak kemudian ia tertawa lagi. Lebih keras.
Dibarengi oleh suara tertawa orang lain di belakangnya.
"Ah, jangan nakal, Nak," berkata orang yang berkumis dan
berjambang itu. "Aku sudah berpengalaman menghadapi lebih
dari seratus orang gadis. Ada yang penurut, ada yang malumalu,
dan ada juga yang keras kepala seperti kau ini. Apa kau
kira pedang mu itu akan berguna?"
Pandan Wangi sadar, bahwa orang-orang yang berdiri di
hadapannya itu benar-benar sebuas serigala kelaparan. Karena
itu maka ia harus berhathati. Ia tidak boleh terpengaruh oleh
kengerian yang bergetar di dalam jantungnya, jantung seorang
gadis. Tetapi ia harus tegak dengan sepasang pedangnya itu.
"Letakkan pedangmu, Anak manis," terdengar suara orang itu
menggelitik hati. Benar-benar mengerikan. "Tidak kami sangka
bahwa di tanah yang keras dan di sekitar bukit padas ini dapat
berkembang bunga secantik ini. Meskipun justru karena itu maka
kau menjadi semakin cantik."
Kini seluruh bulu-bulu Pandan Wangi seolah-olah serentak
meremang. Terasa tubuhnya menjadi dingin dan keningnya telah
basah oleh keringat. Ia tidak dapat melepaskan diri sama sekali
dari perasaan kegadisannya.
"Letakkan senjata itu, Anak manis, letakkanyah. Kau lebih
cantik tanpa membawa senjata semacam itu. Ya, letakkanyah.
Mari, Nak." Tangan Pandan Wangi menjadi gemetar. Wajah-wajah itu
benar-benar mengerikan sekali. Terbayang di dalam anganTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
angannya kemungkinan yang paling pahit yang dapat terjadi
atasnya. "Bagus," desis orang itu sambil tersenyum, "letakkanlah.
Letakkan. Letakkan di situ."
Ujung pedang Pandan Wangi menjadi semakin tunduk.
Kengerian itu telah sampai di puncaknya dan hampir-hampir saja
membuatnya kehilangan kesadaran dan pingsan. Tetapi ketika
ujung pedangnya menyentuh tanah, Tanah Kelahirannya, serasa
sesuatu menggeletar di dalam dadanya. Tiba-tiba dadanya
serasa bergolak dahsyat sekali. Terbayang di matanya, dirinya
terbaring diam di atas ta"nah yang ditumbuhi oleh rumputrumput
liar dan batang-batang ilalang. Terba"yang wajah-wajah
yang buas itu berada di sekitarnya sambil tertawa
berkepanjangan. "Setan!" tiba-tiba giginya gemeretak. Tanpa disangka-sangka
oleh laklaki yang berjambang itu, maka ujung pedang Pandan
Wangi terangkat kembali. Bahkan kini terjulur lurus-lurus ke
depan. Terdengar ia kemudian berkata, "Lepaskan niatmu. Aku
akan memusnakan kalian."
Orang yang berkumis dan berjambang itu mengerutkan
keningnya. Kini mereka tidak tertawa lagi. Dilihatnya mata
Pandan Wangi memancarkan sinar yang begitu tajamnya
menusuk dada mereka langsung menembus ke pusat jantung.
Laklaki yang mengerikan itu merasakan segores keheranan
di dalam dadanya. Gadis ini agaknya bersungguh-sungguh.
Dan Pandan Wangi memang bersungguh-sungguh. Ia sama
sekali tidak ingin bergurau dengan orang-orang gila yang buas
dan liar itu. Karena itu, maka ia berkata pula, "Orang-orang
seperti kalian ini benar-benar harus dimusnahkan. Kalau tidak,
lain kali kalian pasti akan berbuat serupa. Adalah penghinaan
tiada taranya bagi kaumku, apabila kalian melakukan perbuatan
terkutuk itu. Apalagi apabila kalian bertemu dengan gadis-gadis
yang lemah dan sama sekali tidak mampu melawan. Bukan saja
gadis Menoreh. Tetapi di manapun juga di muka bumi ini."
Sejenak wajah laklaki berjambang dan berkumis itu menjadi
tegang, namun kemudian sekali lagi meledaklah suara
tertawanya. Sambil menunjuk kepada kawan-kawannya ia
berkata, "Apakah kau akan memusnahkan kami semua ini?"
"Ya," jawab Pandan Wangi tegas.
"Hem," orang itu menarik nafas, "aku semakin senang
kepadamu. Kepada seorang gadis pemberani. Tetapi ketahuilah
bahwa kedatanganku kemari atas permintaan Putera Kepala
Ta"nah Perdikan Menoreh beserta pamannya. Nah, dengarlah,
bahwa kami di sini adalah tamu dari orang-orang yang paling
penting." Dada Pandan Wangi berdesir mendengar keterangan itu.
Bu"kan karena orang-orang itu akan mendapat perlindungan
dari kakaknya, tetapi justru dengan demikian ia mengerti, bahwa
kakaknya sudah mengundang bencana yang paling dahsyat di
atas Tanah kelahirannya sendiri.
Maka dengan penuh kemarahan ia menjawab, "Aku tidak
peduli siapakah kalian. Aku tidak peduli siapakah yang
mengundang kalian. Tetapi perbuatan terkutuk itu harus
dihentikan. Perbuatan yang menentang sendi peradaban
manusia dan apalagi menentang ketentuan yang digariskan oleh
Sumber Hidup kita di dalam pergaulan antar umatnya."
Kening orang yang berkumis itu semakin berkerut. Tetapi ia
tertawa lagi sambil berkata, "Jangan gurui aku. Aku bukan
seorang yang terikat akan peradaban manusia. Aku bukan orang
yang mengikatkan diri kepada yang tidak pernah aku ketahui
adanya. Aku hanya menyadari adaku, akal dan kehendakku
sendiri. Aku tidak pernah tergantung dan menggantungkan diri
kepada apa pun dan siapa pun. Karena itu jangan berharap
bahwa kami akan mengurungkan niat kami."
Pandan Wangi menggeretakkan giginya. Terdengar ia
menggeram, "Baik. Baik. Sekarang aku pun tetap pada
pendirianku. Kalian harus dimusnahkan. Kalian ternyata adalah
orang-orang yang paling terkutuk di muka bumi. Kalian tidak saja
ingin merusak Tanah kelahiran ini, tetapi kalian ingin merusak
peradaban yang tumbuh di atasnya. Ketahuilah, aku adalah
puteri Kepala Tanah Perdikan ini. Aku dapat berbuat atas nama
ayahku. Termasuk membinasakan kalian."
Orang-orang yang berdiri dengan sikap yang paling
memuakkan itu terkejut mendengar kata-kata Pandan Wangi itu.
Sejenak mereka saling berpandangan. Namun sejenak
kemudian orang yang ber"kumis itu menjawab, "Jangan
menakut-nakuti aku dengan mengaku dirimu sebagai seorang
saudara perempuan dari orang yang mengundang kami. Karena
aku berkata bahwa aku diundang oleh putera Kepala Tanah
Perdikan ini, maka kini kau mengaku sebagai seorang puterinya.
Dengar. Aku tidak percaya. Aku tidak dapat kau tipu seperti kau
merasa tertipu karena kudamu lari. Sekarang kami tidak dapat
kau ajak berbicara berkepanjangan. Menyerahlah."
Darah Pandan Wangi kini telah benar-benar mendidih. Ia
telah berhasil menindas perasaan kegadisannya. Kini, yang
tegak berdiri menghadapi orang yang liar itu adalah Pandan
Wangi, murid dan puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang
sedang menggengam sepasang senjatanya.
Karena itu, maka ketika laklaki yang memuakkan itu
melangkah selangkah maju lagi, Pandan Wangi tidak
menghindar. Bahkan ia pun menyongsongnya selangkah maju.
Sikapnya itu benar-benar mengherankan. Namun justru
dengan demikian laklaki yang berdiri di hadapannya itu
terpaksa harus berpikir. Apakah yang telah mendorong gadis ini
untuk berbuat demikian berani.
"Ia telah berputus asa," laklaki itu mencoba menemukan
jawabnya, "aku harus segera berbuat sebelum ada orang yang
melihatnya." Maka laklaki itu menjadi semakin bernafsu. Wajahnya pun
menjadi merah karena darahnya yang naik sampai ke ubunubunnya.
Setiap kali ia menelan ludahnya. Gadis yang berdiri di
hadapannya itu memang terlampau cantik baginya. Tetapi justru
karena itu, maka ia telah benar-benar menjadi gila karenanya.
"Aku masih memberimu kesempatan," orang itu menggeram.
"Letakkan senjatamu supaya kami tidak menjadi semakin buas
dan liar." Tetapi Pandan Wangi menjawab, "Serahkan lehermu.
Manusia semacam kalian tidak pantas hidup di atas bumi
Menoreh." Bagaimanapun juga laklaki itu merasa terhina sekali. Apalagi
yang menghinanya itu adalah seorang perempuan. Seandainya
Pan"dan Wangi bukan seorang gadis yang cantik maka dengan
satu gerakan saja, ia ingin merontokkan tulang-tulang iganya.
Tetapi menghadapi Pandan Wangi, laklaki itu masih merasa
sayang. Betapapun dadanya bergolak, namun ia masih
berusaha untuk tidak melukainya. Karena itu maka katanya,
"Kalau kau tidak mau melepaskan senjatamu, maka biarlah aku
Bocah Sakti 14 Sepuluh Anak Negro Ten Lime Niggers Karya Agatha Christie Mempelai Liang Kubur 1