Api Di Bukit Menoreh 14
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 14
kemudian aku pergi menjauhkan kambing-kambing ini dan
menjauhkan diriku sendiri."
"Bohong, bohong! Kalau kami tidak dapat menemukan
Gupita, maka kau akan kami ambil sebagai gantinya. Kau harus
menanggung kesalahannya. Dan kau harus menerima
hukumannya." "Tidak, Tuan. Jangan," minta orang tua itu hampir merintih.
"Dan apakah sebenarnya kesalahan anak itu terhadap Tuan?"
Sekali lagi orang-orang itu tidak dapat menjawab. Bahkan
pertanyaan itu terulang di dalam dada mereka, "Apakah
sebenarnya kesalahan anak itu?"
Tetapi mereka sama sekali tidak menghiraukan gema yang
memantul dari dinding hati itu. Orang yang berkumis dan
berjambang segera berteriak, "Anak itu telah berani melawan
kehendak kami. Kami tidak pernah gagal untuk memenuhi
kehendak kami. Tetapi anak itu mencoba membantahnya, dan
kau mencoba menyembunyikan kambing-kambing itu."
"Apakah keinginan Tuan itu?"
"Kambing-kambingmu semua. Tetapi karena Gupita telah
membuat kami marah, maka tuntutan kami sekarang adalah
kambing-kambingmu semua dan Gupita atau kau, Kakek tua."
"Jangan, Tuan," sekali lagi orang tua itu merintih.
"Aku tidak peduli meskipun kau akan menangis sambil
mencium ujung kakiku. Selama Gupita masih belum tertangkap,
kau harus berada bersama kami. Apabila kesabaran kami
kemudian habis, maka kaulah yang akan menerima hukuman
kami." "Tetapi, tetapi aku tidak bersalah, Tuan, dan anakku pun tidak
bersalah. Anakku hanya lari dan bersembunyi. Apakah itu
kesalahan yang harus dipertanggung-jawabkannya?"
"Apa?" teriak laklaki yang tubuhnya dijalari oleh jalur-jalur
bekas lecutan cambuk Gupita. "Kau sangka anakmu hanya lari
dan bersembunyi" Lihat, seluruh tubuhku menjadi merah biru."
Orang tua itu mengerinyitkan alisnya, "Kenapa, Tuan?"
"Inilah pokal anakmu sebelum lari. Dengan membabi buta ia
mencambuk tubuhku tanpa aku sangka-sangka. Kemudian ia
berlari meninggalkan kami dan bersembunyi."
"Apakah anak itu berhasil mengenai Tuan?"
"Kenapa kau bertanya, Kakek tua" Kau lihat sendiri, betapa
tubuhku menjadi berjalur-jalur merah hitam."
Orang tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil
berdecik. "Anak itu luar biasa. Aku tidak menyangka, bahwa ia
mampu melakukannya. Ternyata ia memiliki keberanian
berbuat." "Apa, apa yang kau katakan tentang anak itu" Kau heran dan
kagum akan keberaniannya" Anak gila itu kemudian lari. Lari
dan bersembunyi. Itukah keberanian yang kau katakan itu?"
Orang itu berhenti sejenak. Nafasnya menjadi terengah-engah
menahan marah. Lalu, "Karena itu, kau harus aku tangkap.
Kalau anakmu tidak segera datang, kau akan mendapat hukum
cambuk seperti anakmu mencambuk aku. Bahkan sepuluh kali
lipat." "Jangan, Tuan, jangan."
"Aku tidak peduli. Sekarang, sebelum kami menentukan
hukuman itu kau harus membawa kambing-kambingmu bersama
kami. Dengan demikian kau akan mendapat keringanan
hukuman sekedarnya."
"Tetapi, tetapi," orang tua itu berkata terpotong-potong.
"Tetapi kambing-kambing itu adalah milik kami yang paling
berharga, Tuan. Kalau kambing-kambing itu Tuan ambil, kami
akan kehilangan milik kami. Hidup kami akan menjadi semakin
miskin, dan mungkin kami akan kehilangan sumber makan kami
sekeluarga, karena kami tidak dapat menjual setiap kali untuk
membeli kebutuhan-kebutuhan kami seharhari."
Jawaban orang tua itu sama sekali tidak dihiraukan oleh
orang-orang yang keras dan kasar itu. Mereka sama sekali tidak
peduli, apakah hal itu akan menutup kemungkinan bagi keluarga
orang tua itu untuk mendapat makan, atau kemungkinan
apapun. Mereka hanya ingin kehendak mereka terpenuhi,
meskipun sangat merugikan bagi orang lain.
Karena itu orang yang kekurus-kurusan berkata, "Jangan
banyak bicara. Ikut kami bersama kambing-kambingmu."
"Jangan, Tuan. Anak-anak dan isteriku akan menunggu aku
pulang bersama dengan kambing-kambing itu. Kalau kambingkambing
itu tidak pulang, apalagi bersama aku, maka hidup
mereka akan terguncang. Mereka tidak akan dapat mencari
makan. Dan milik mereka yang paling berharga telah hilang
pula." "Jangan banyak bicara!" teriak yang agak pendek. "Kalau kau
membantah sekali lagi, mulutmu akan aku remas sampai
hancur." Orang tua itu menggigil. Wajahnya menjadi tegang. Agaknya
ia masih ingin berbicara, tetapi kedua telapak tangannya
menutupi mulutnya. "Cepat!" teriak yang lain.
Tetapi orang tua itu belum beranjak dari tempatnya. Ia masih
berdiri gemetar di tempatnya dengan wajah yang tegang. Kedua
telapak tangannya masih saja menutup mulutnya.
"Cepat! Atau aku cambuk kau dengan pedang, he?"
Laklaki tua itu sama sekali tidak berani berbicara, karena
orang yang agak pendek itu mengancam apabila ia berbicara
sepatah kata lagi, maka mulutnya akan diremas sampai hancur.
Namun dalam ketegangan itu, tiba-tiba mereka dikejutkan
oleh derap kaki seekor kuda. Semakin lama semakin dekat.
Suaranya gemeretak di atas tanah berbatu padas.
"Setan! Siapakah yang berkuda itu" Sidanti atau Argajaya
atau siapa?" bertanya yang berkumis dan berjambang lebat.
Kawan-kawannya tidak segera dapat menjawab, sebab
mereka pun ingin bertanya demikian pula. Mereka hanya saling
pandang memandang untuk sejenak. Lalu menggeram hampir
bersamaan. Sedang derap kuda itu menjadi semakin dekat.
Seolah-olah mengarah ke tempat mereka.
Tetapi agaknya kuda-kuda itu sama sekali tidak menuju ke
tempat itu. Kuda itu berderap terus, meskipun agak dekat dari
tempat mereka. Tetapi mereka tidak dapat melihat kuda itu,
terhalang oleh pepohonan dan gerumbul-gerumbul di sekitar
mereka. "Siapakah orang itu?" sekali lagi orang berjambang itu
berdesis. "Apakah ia sengaja mencari kita di sini?"
Tak ada jawaban. Namun wajah-wajah itu menjadi semakin
tegang. Dan ketegangan itu menjadi semakin tegang ketika
sekali lagi mereka mendengar derap seekor kuda yang lain,
seolah-olah sedang mengejar kuda yang pertama. Berpacu tidak
kalah cepatnya, dan suara derap kakinya pun gemeretak
menyentuh batu-batu padas di sepanjang jalan.
"Apakah yang telah terjadi?" desis yang kekurus-kurusan.
"Apakah mereka orang-orang Pandan Wangi yang telah
men"dengar tentang persoalannya?"
Kawan-kawannya tidak menyahut. Tetapi ketegangan
semakin mencengkam dada mereka. Meskipun derap kuda yang
kedua ini pun semakin lama menjadi semakin jauh, dan lambat
laun lenyap pula dari pendengaran mereka.
"Kita harus segera kembali," desis yang berkumis dan
berjambang. "Mungkin kita harus segera mempersiapkan diri
kita. Siapa tahu, Argapati telah mulai menggerakkan orangorang
karena persoalan Pandan Wangi."
"Marilah," sahut yang lain. "Tetapi kita bawa orang tua ini dan
kambing-kambingnya pula."
Sejenak mereka saling memandang. Namun kemudian yang
seorang lagi berkata, "Ya, kita bawa orang tua ini beserta
kambing-kambingnya." Lalu kepada gembala tua itu ia
membentak, "Cepat, sebelum aku memanggal lehermu."
"Tetapi, tetapi," gembala tua itu ingin berbicara.
Tetapi suaranya terpotong, "Tutup mulutmu. Ayo bawa
kambing-kambingmu segera bersama kami."
Gembala itu berpaling. Dilihatnya kambing-kambingnya yang
gemuk-gemuk sedang makan dengan asyiknya, rerumputan dan
daun-daun muda pada gerumbul-gerumbul di sekitarnya, di
dalam pategalan. Orang tua itu membawa kambing-kambingnya
ke tempat itu untuk bersembunyi dan menyembunyikan
kambing-kambing itu, tetapi ternyata orang-orang itu dapat
menemukannya. Agaknya ia tidak dapat berbuat lain daripada menuruti
perintah orang-orang yang buas itu. Membawa kambingkambingnya
berserta mereka. Betapapun beratnya.
Tetapi sekali lagi mereka dicengkam oleh ketegangan yang
memuncak. Sekali lagi mereka mendengar derap seekor kuda,
dari jurusan yang sama dari kuda-kuda yang telah
mendahuluinya. Berpacu seperti angin. Cepat sekali derap itu
mendekat dan lewat tidak jauh dari tempat itu.
"Gila," geram salah seorang dari orang-orang itu. "Kita harus
melihat siapakah mereka itu. Cepat, kita keluar dari pategalan
ini. Tetapi hathati, jangan menampakkan diri kita sebelum tahu
siapakah mereka itu."
Sejenak mereka tidak mengingat lagi kepentingan mereka
dengan kambing-kambing itu. Perlahan-lahan mereka merayap
ke pinggir pate"galan, supaya dari atas dinding batu, mereka
dapat melihat lepas menyeberang bulak yang sempit, sampai ke
jalan kecil yang melintas di tengah sawah yang sempit pula.
Suara kuda yang berderap itu, agaknya berasal dari jalan sempit
itu. Belum lagi mereka sampai ke pinggir dinding batu, ternyata
suara derap yang sudah hampir tidak terdengar lagi itu disusul
oleh derap kakkaki kuda berikutnya. Secepat kuda-kuda yang
terdahulu pula. "Apakah artinya ini?" desis yang berdahi lebar. Kawankawannya
tidak menyahut. Tetapi mereka merangkak semakin
cepat supaya mereka dapat melihat siapakah yang sedang
berkuda dengan cepatnya itu.
Ketika mereka menjengukkan kepala mereka, ternyata kuda
itu telah agak lampau, sehingga mereka hanya dapat melihat
punggung seseorang di atas kudanya yang berpacu secepat
tatit. Nampaknya seorang anak muda dengan pakaian yang baik,
dan sebilah keris di punggungnya.
Sejenak keenam orang itu seolah-olah membeku. Mereka
tidak melihat wajah orang berkuda itu, dan mereka tidak dapat
mengenalnya. Lebih daripada itu, mereka sama sekali tidak
dapat menduga, orang-orang siapakah yang berkuda berurutan
dari arah dan menuju ke arah yang sama. Apakah mereka
sekelompok orang-orang tertentu, ataukah mereka saling
berkejaran. Wajah-wajah yang kasar itu pun sejenak menegang. Mereka
saling berpandangan, tetapi mereka tidak menemukan jawaban
apapun pada wajah-wajah yang kasar dan tegang itu.
Dalam kesenyapan itu tiba-tiba yang berkumis dan
berjambang menggeram, "Kita harus segera kembali. Mungkin
sesuatu segera akan terjadi di atas Tanah Perdikan ini. Mungkin
Argapati tidak dapat mengendalikan diri lagi karena Pandan
Wangi mengatakan apa yang telah terjadi atasnya."
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Marilah. Kita memang harus segera kembali."
"Tetapi bagaimana dengan kambing-kambing itu?"
Yang berkumis dan berjambang mengerutkan keningnya.
Tetapi ia kemudian berkata, "Kita tidak dapat menunggu lebih
lama lagi. Orang-orang berkuda itu merupakan teka-teki bagi
kita. Marilah, lain kali saja kita pasti akan mendapatkannya lebih
banyak dari kambing-kambing itu."
Ajakan itu ternyata merupakan yang paling baik buat
melepaskan ketegangan hati mereka. Karena itu, maka ketika
orang yang berjambang, dan berkumis itu meloncati pagar batu,
maka yang lain pun segera berloncatan pula tanpa berpaling lagi
kepada sekawanan kambing-kambing yang sedang asik makan
rerumputan. Dengan tergesa-gesa mereka berjalan beriringan
menuju ke rumah Argajaya untuk mendapat penjelasan, apakah
yang sudah terjadi" Apakah api di atas bukit Menoreh memang
sudah mulai berkobar" Bagi mereka, apabila hal itu terjadi lebih
cepat, memang lebih baik. Mereka akan segera lebih leluasa lagi
untuk melakukan kehendak mereka. Merampas dan merampok,
dan apa saja selain janji mereka membantu Sidanti
mengalahkan Argapati. Sementara itu, Pandan Wangi dan Samekta telah hampir
sampai ke pedukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Dengan
berdebar-debar mereka mempercepat langkah kuda-kuda
mereka. Mereka ingin segera sampai kepada Argapati, supaya
orang tua itu tidak terlampau cemas menunggu puterinya.
Ketika mereka semakin dekat dengan padukuhan induk, hati
mereka menjadi semakin berdebar-debar. Tiba-tiba saja dari
balik dedaunan, mereka melihat ujung-ujung senjata berkilatkilat.
Di mulut jalan berkumpul beberapa orang pemimpin
pengawal Tanah Per"dikan, siap dengan segala perlengkapan
perang. Bahkan beberapa ekor kuda dan perlengkapanperlengkapan
lain yang diperlukan. "Apakah artinya ini, Paman Samekta?" bertanya Pandan
Wangi. "Ini adalah ujud dari kecemasan seorang Kepala Tanah
Perdikan yang kehilangan seorang anaknya," jawab Samekta.
"Ketika aku berangkat ayahmu berpesan, supaya aku
membawamu pulang. Kalau tidak, maka pertumpahan darah
akan segera ter"jadi."
"Ah," Pandan Wangi tiba berdesah, "jangan. Jangan, Paman."
"Tergantung kepada Ki Argapati dalam menanggapi keadaan
ini." Wajah Pandan Wangi tiba-tiba menjadi tegang. Tanpa
sesadarnya dilecutnya kudanya dengan ujung kendali, sehingga
kuda itu pun meloncat, dan berlari semakin cepat.
Ketika mereka memasuki mulut padukuhan induk, maka
Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar karenanya.
Dilihatnya ujung senjata seperti ujung batang ilalang. Bertebaran
di halaman, di sissisi jalan. Para pengawal Tanah Perdikan
yang masih setia kepada Argapati ternyata sudah benar-benar
siap melakukan tugasnya. Meskipun mereka dipersiapkan
dengan tergesa-gesa, namun karena kesiagaan mereka, maka
kekuatan mereka pun cukup mendebarkan jantung.
Terasa ketegangan mencengkam dada Pandan Wangi.
Sejenak kudanya terhenti ketika ia menarik kendali.
Diedarkannya pandangan matanya di sekitarnya, dan dilihatnya
wajah yang tegang dan menahan kemarahan. Tetapi wajahwajah
itu membayangkan kelegaan hati ketika mereka melihat
Pandan Wangi datang kembali bersama utusan Ki Argapati,
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang bertugas untuk menjemputnya. Tiba-tiba Pandan Wangi
terkejut ketika ia mendengar suara memanggilnya, "Pandan
Wangi." Suara itu adalah suara yang telah sangat dikenalnya. Dan
ketika ia berpaling, maka dilihatnya ayahnya berdiri tegak
dengan sebatang tombak pendek di tangannya.
Melihat sikap ayahnya, debar di dada Pandan Wangi terasa
semakin berguncang. Ia kenal sikap itu. Ayahnya dengan
tombak pendek itu di tangan, adalah pertanda bahwa ia sudah
siap untuk melakukan apa pun.
"Ayah," tiba-tiba Pandan Wangi meloncat turun dari
kuda"nya, dan segera berlari kepada ayahnya. Seperti kanakkanak
yang mendapat perlakuan yang nakal dari kawankawannya,
Pandan Wangi memeluk pinggang ayahnya sambil
menangis tersedu-sedu. "Apakah yang sudah terjadi, Wangi?" bertanya ayahnya.
Pandan Wangi tidak menyahut. Bahkan isak tangisnya serasa
semakin menyumbat dadanya.
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk
menenangkan dirinya sendiri, dan menenangkan hati puterinya.
"Jangan menangis, Wangi. Berkatalah apa yang telah terjadi
denganmu. Aku telah memerintahkan Pamanmu Samekta, untuk
menjemputmu dengan segala macam akibat yang dapat terjadi.
Dan aku kini telah siap, apa pun yang akan dilakukan oleh
Sidanti, anak durhaka itu."
"Tidak, Ayah, tidak," desis Pandan Wangi disela-sela
tangisnya. "Ayah jangan tergesa-gesa berbuat sesuatu."
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Dengan nada yang
dalam ia bertanya, "Kenapa, Wangi?"
Sejenak Pandan Wangi tidak menyahut. Terasa isaknya
se"makin menyekat dadanya. Ketika ia melepaskan pelukannya,
dan memandang berkeliling, dilihatnya beberapa orang
pemimpin pengawal Tanah Perdikan sedang mengerumuninya.
Dari wajah-wajah mereka memancarlah tekad hati yang bulat,
untuk melakukan apa saja yang diperintahkan oleh Ki Argapati,
Kepala Tanah Per"dikan Menoreh.
Terasa jantung Pandan Wangi menjadi semakin cepat
berdetak. Terbayang di pelupuk matanya, apa yang dapat terjadi
atas Tanah kelahiran ini. Pertumpahan darah dan pepati. Tanah
yang selama ini selalu dinafasi oleh kedamaian dan
ketenteraman tiba-tiba kini bergolak demikian dahsyatnya.
"Pandan Wangi," terdengar suara Argapati, "kita sudah tidak
mempunyai pilihan lain daripada ini."
Pandan Wangi tidak segera menjawab. Tetapi titik-titik air
matanya masih mengalir di pipinya.
"Apalagi apabila telah terjadi sesuatu dengan kau. Maka aku
sama sekali tidak akan menunda lagi, meskipun saat purnama
naik sudah berada di depan hidungku. Aku tidak akan menunggu
lagi, betapapun aku akan disebut sebagai seorang yang
kehilangan sifat-sifat kejantananku, karena aku tidak memenuhi
janjiku." Argapati diam sejenak. Lalu, "Apakah terjadi sesuatu
atasmu?" Perlahan-lahan Pandan Wangi mengangguk lemah.
"He," wajah Argapati menjadi semakin merah. "Katakan,
apakah yang sudah terjadi, supaya hati ini menjadi semakin
terbakar oleh kepastian, bahwa aku akan menghancurkannya."
Sejenak Pandan Wangi berpaling. Dipandanginya Samekta
yang kini telah berdiri di belakangnya pula. Dan sejenak
kemudian ia mulai menceriterakan apa yang telah dialaminya.
Ketika ia dihentikan oleh orang-orang yang tidak dikenalnya
dengan wajah-wajah yang bengis dan kasar.
Terdengar Argapati menggeram. Tangannya menggenggam
tangkai tombaknya semakin erat. Hampir tidak sabar ia
mendengarkan Pandan Wangi masih juga meneruskan
ceriteranya. "Aku bertempur dengan mereka, Ayah," desis
Pandan Wangi. "Mereka berenam berkelahi bersama-sama."
Mata Argapati kini seakan-akan telah menyala. Dan hanya
dengan susah payah ia masih berhasil menahan dirinya untuk
mendengar ceritera puterinya itu. Meskipun semakin lama
dadanya menjadi semakin panas dan bahkan hampir meledak
karenanya. "Tidak ada pilihan lain. Aku harus mulai sekarang, apapun
yang akan terjadi." "Aku belum selesai Ayah."
"Aku sudah tahu akhir dari ceriteramu. Untung Samekta
datang tepat pada waktunya, sehingga ia dapat membantumu
melepaskan diri dari tangan mereka," nada suara Argapati
terlampau dalam, dan datar. Tetapi ketika ia bergerak untuk
berbuat sesuatu, tangannya ditahan oleh puterinya.
"Bukan, bukan begitu, Ayah," berkata Pandan Wangi.
Argapati mengerutkan keningnya. "Bagaimanakah akhirnya?"
Pandan Wangi berpaling kepada Samekta. Dan tanpa
sesadarnya Samekta menggelengkan kepalanya dan berkata,
"Memang bukan begitu. Aku datang agak terlambat."
"Kau terlambat?" Argapati membelalakkan matanya, "Jadi kau
tidak dapat menolongnya sama sekali."
Samekta mengangguk. Tetapi ia menjawab, "Aku memang
terlambat Ki Gede, justru setelah Pandan Wangi mendapat
pertolongan." Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Dan ia
mendengar Samekta itu berkata seterusnya, "Dan Pandan
Wangi itu pun terselamatkan dari kebuasan orang-orang liar itu."
"Siapakah yang telah menolongnya?" suara Argapati seolaholah
tertahan di kerongkongannya.
"Sidanti dan Argajaya."
"He," Argapati terperanjat sehingga ditatapnya wajah
Samekta dengan tajamnya. "Jadi yang menolong Pandan Wangi
adalah Sidanti dan Argajaya?"
Samekta menganggukkan kepalanya, "Ya, Ki Gede."
Argapati seolah-olah tidak percaya kepada keterangan itu,
sehingga kemudian ia bertanya kepada Pandan Wangi, "Benar
begitu, Wangi. Yang menolongmu adalah Sidanti dan Argajaya?"
Pandan Wangi mengangguk. Jawabnya, "Ya, Ayah. Kakang
Sidanti datang tepat pada waktunya. Pada saat aku hampir
menjadi putus asa." "Apakah Sidanti kemudian berkelahi melawan mereka?"
"Hal itu hampir saja terjadi," jawab Pandan Wangi. "Tetapi
agaknya Ki Tambak Wedi masih berhasil menahan mereka."
"Tambak Wedi?" bertanya Ki Argapati. "Jadi ia hadir juga
ketika itu dan menahan Sidanti dan Argajaya supaya tidak
berkelahi?" "Ya," jawab Pandan Wangi. "Tetapi terasa betapa dendam
telah membakar hati masing-masing."
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Bahkan di dalam hati
ia berdesah, "Oh, kenapa Sidanti dan Argajaya" Kenapa anak
itulah yang telah menolong Pandan Wangi, sehingga aku
merasa berhutang budi kepada mereka" Adalah wajib bagiku
untuk mengucapkan terima kasih kepada mereka karena mereka
telah melepaskan anakku dari malapetaka bahkan kematian,
meskipun Sidanti itu kakak seibu Pandan Wangi."
Perlahan-lahan wajah Argapati itu menunduk. Perlahan-lahan
pula ia melangkahkan kakinya sambil menjinjing tombaknya,
selangkah-selangkah menuju ke mulut lorong yang membelah
padukuhan induk itu. Ketika ia sudah berdiri selangkah di luar
padukuhan, ia berhenti. Dilontarkannya pandangan matanya
jauh-jauh ke depan, seolah-olah ingin dilihatnya langsung rumah
adiknya, Argajaya. Sekali lagi Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam.
Dalam sekali. Dan di dalam hatinya pula ia berkata, "Apabila
tidak ada Ki Tambak Wedi, maka persoalannya akan menjadi
jauh berbeda." Lama sekali Ki Argapati tidak beranjak dari tempatnya.
Tatapan matanya masih saja melekat di kejauhan. Jauh sekali,
sejauh angan-angannya yang membumbung ke daerah yang
tidak bertepi. Pandan Wangi merasakan, betapa benturan-benturan yang
dahsyat telah terjadi di dalam dada ayahnya. Persoalannya telah
mendorong ayahnya menjadi semakin jelas bahwa di Tanah ini
telah hadir kekuatan-kekuatan dari luar rangkah, yang justru
akan menambah kemelutnya keadaan. Tetapi ia tidak segera
dapat berbuat banyak atas Sidanti dan adiknya Argajaya, apalagi
setelah mereka menolong Pandan Wangi sendiri dari
kehancuran mutlak, bahkan melepaskannya dari maut yang
akan ditentukannya sendiri.
Ki Argapati masih tegak berdiri di tempatnya. Tampaklah di
dalam rongga matanya seolah-olah gelembung-gelembung
udara yang bergerak-gerak. Dalam terik matahari yang
membakar di siang hari, Ki Argapati merasakan betapa
panasnya hati yang membara di dalam dadanya.
Beberapa orang berdiri tegak di belakangnya. Mereka telah
bersiap menunggu perintah. Dan bahkan Pandan Wangi pun kini
telah berdiri selangkah di sampingnya. Sekalsekali Pandan
Wangi ikut, sekalsekali ditatapnya wajah Ayahnya yang keras
seperti batu padas serta memandang ke kejauhan, ke dalam
terik sinar matahari dan di pegunungan, tidak larut oleh titik-titik
air hujan, dan tidak retak dibakar terik matahari.
Setiap dada menjadi berdebar-debar karenanya. Keheningan
itu berpusar kepada Ki Gede Menoreh, yang dadanya sedang
bergetar dengan dahsyatnya. Setiap katanya kini akan
menentukan apakah yang akan terjadi di atas Bukit Menoreh itu.
Apakah bukit itu akan dibakar oleh api peperangan, ataukah
pengawal-pengawal yang telah siap untuk melepaskan senjatasenjatanya
akan ditarik kembali ke dalam kubunya.
Perlahan-lahan matahari bergeser di langit yang cerah.
Semakin lama semakin condong ke Barat. Bayang-bayang
dedaunan dan pepohonan mendadak semakin lama semakin
panjang. Ki Argapati masih berdiri mematung. Wajahnya menjadi
basah oleh keringat yang merentul di keningnya. Kulitnya pun
kini telah menjadi semerah warna tembaga.
Ki Argapati adalah seorang pemimpin yang tegas. Yang
menentukan sikap tanpa ragu-ragu, apabila perhitungannya
sudah menentu. Ia dapat berbuat apa saja untuk kepentingan
Tanah Perdikannya. Bahkan kalau perlu kekerasan.
Tetapi dada Ki Argapati kini dibakar oleh keragu-raguan yang
dahsyat. Perasaan yang hampir tidak pernah dikenalinya
sebelumnya. Tetapi karena ia sadar akan akibat tindakannya kali
ini, maka justru karena itulah ia menjadi ragu-ragu. Sudah tentu
ia sama sekali tidak menginginkan Tanah yang dibinanya selama
ini akan dimakan oleh benturan di antara mereka sendiri. Sudah
tentu ia tidak ingin melihat api akan menjilat langit di atas Tanah
Perdikan Menoreh, dan menelan rumah, dan lumbung-lumbung
padi. Sudah tentu ia tidak ingin melihat batang-batang padi muda
yang sedang menghijau di sawah-sawah akan disasak oleh kakikaki
kuda yang mendukung orang-orang bersenjata di atas
punggungnya. Dan sudah tentu hatinya akan menjadi terlampau
pedih melihat air-air di parit-parit yang jernih, sejernih embun,
akan berwarna merah karena dinodai oleh darah yang mengalir
dari luka di dada. Ketegangan yang dahsyat telah melanda setiap jantung.
Mereka menungu, dan menunggu. Sedang Argapati masih
berdiri tegak bagaikan patung yang mati.
Akhirnya ketegangan itu memuncak ketika tiba-tiba Ki
Argapati memalingkan wajahnya. Dipandanginya pengawalpengawal
Tanah Perdikan yang berada di belakangnya, yang
tersebar di halaman-halaman, dan yang berkumpul di belakang
gardu. Dipandanginya ujung-ujung senjata yang berkilat-kilat di
sela-sela pepohonan, dan yang mencuat di atas dinding-dinding
batu. Sejenak ia diam membisu, kemudian menarik nafas dalamdalam.
Dalam sekali. Para pemimpin pengawal yang berdiri dekat di belakangnya
menjadi berdebar-debar. Mereka menduga-duga perintah
apakah yang akan diterimanya. Mereka sudah tidak ada pilihan
lain. Mereka tidak dapat menunggu anak harimau itu menjadi
dewasa dan buas, yang kelak akan dapat menerkam mereka itu
sendiri. Perlahan-lahan Ki Argapati memanggil Samekta dan
beberapa orang lainnya dengan isyarat tangannya. Kemudian
dipanggilnya pula Pandan Wangi mendekat. Ia tidak dapat
melepaskan pertimbangan puterinya. Dan ia tidak dapat
menutup kenyataan bahwa Sidanti dan Pandan Wangi adalah
dua orang bersaudara yang lahir dari ibu yang sama.
Ketika orang-orang itu telah dekat sekali di samping dan di
belakangnya, terdengar suaranya parau, "Kita urungkan
pertumpahan darah hari ini."
Kata-kata itu menggetarkan setiap hati para pengawal itu.
Sejenak mereka terpaku diam di tempatnya. Mereka sama sekali
tidak mengharap bahwa tindakan Ki Argapati atas orang-orang
yang sudah jelas melawannya itu tertunda. Beberapa pasang
mata kemudian hinggap pada wajah Pandan Wangi, seolah-olah
ingin berkata kepadanya, bahwa gadis itulah agaknya yang
menunda tindakan yang seharusnya dilakukan oleh ayahnya.
Bahkan saat ini pun sudah agak terlambat menurut perhitungan
para pengawal itu. Karena itulah, maka tidak seorang pun yang segera beranjak
dari tempatnya. Para pengawal itu masih berdiri dengan wajah
dan hati yang tegang. "Kita masih harus menunda tindakan ini," sekali lagi mereka
mendengar Ki Argapati berdesis.
Beberapa orang menundukkan kepalanya sambil menggigit
bibirnya. Bahkan salah seorang dari mereka bertanya dengan
suara gemetar, "Kenapa kita masih harus menundanya Ki
Gede?" Ki Gede Menoreh tidak segera menjawab. Tetapi
tatapan matanya sekali lagi menembus terik matahari hinggap di
kejauhan yang seolah-olah tidak bertepi.
Baru sejenak kemudian terdengar suaranya dalam, "Aku akan
memberitahukan kemudian. Tetapi jangan tinggalkan kesiapTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
siagaan. Besok malam, purnama akan naik. Aku akan
mendapatkan kepastian, pada saat purnama itu turun, dan hilang
di balik bukit." Para pengawal itu saling berpandangan sejenak. Besok
malam memang purnama akan naik. Saat itu seolah-olah
mempunyai arti yang luar biasa bagi Ki Argapati. Beberapa
orang memang pernah mendengar, meskipun tidak jelas, bahwa
Ki Gede Menoreh pernah berjanji bahwa mereka akan
menunggu purnama naik. "Hari itu adalah hari yang menentukan masa depan Tanah
Perdikan ini," desis Ki Gede kemudian.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dada Pandan Wangi tiba-tiba berdesis mendengar saat yang
diucapkan oleh ayahnya. Saat purnama naik, saat ayahnya akan
bertemu dengan Ki Tambak Wedi.
Tiba-tiba terasa bulu-bulu di seluruh tubuh gadis itu
meremang. Betapa ia menjadi ngeri, membayangkan apakah
yang akan terjadi dengan ayahnya pada saat yang telah
ditentukannya itu. Sejenak Pandan Wangi terpukau diam karena angan-angan
tentang saat yang mendebarkan jantung itu. Berbagai bayangan
hilir mudik di dalam rongga matanya. Sejenak ia terkenang yang
pernah diceriterakan ayahnya kepadanya, pada saat purnama
naik beberapa puluh tahun yang lampau, seumur kakaknya
Sidanti. Pada saat ayahnya bertempur melawan Ki Tambak
Wedi untuk kehormatan nama masing-masing. Pertempuran
yang dahsyat sekali, yang tidak dapat ditentukan siapakah yang
akan menang dan siapakah yang akan kalah.
Peristiwa itu besok malam akan terulang lagi di bawah
Pucang Kembar. Ayahnya akan bertempur pula melawan Ki
Tambak Wedi. Seorang lawan seorang untuk mempertaruhkan
harga diri masing-masing, dalam mempertahankan sikap dan
tindakan. Sepercik kecemasan telah menusuk jantung Pandan Wangi
dengan tajamnya, sehingga tanpa sesadarnya gadis itu
memegang dadanya. Dan tanpa sesadarnya pula Pandan Wangi
menggigit bibirnya keras-keras.
Sekali lagi ia merasa berdiri di persimpangan jalan yang
sama-sama menuju ke dalam lembah yang gelap. Betapa
sulitnya untuk memilih jalan yang akan ditempuhnya. Yang
berdiri berhadapan dengan ayah kandungnya adalah kakaknya
sendiri. Kakak seibu. Yang selama ini dicintainya sepenuh hati.
Baru setelah ibunya itu meninggal, ia melihat seberkas noda
melekat pada warna yang selama ini dianggapnya putih bersih,
sebersih bunga menur. Namun tiba-tiba Pandan Wangi itu meloncat berlari memeluk
ayahnya sambil berkata di antara isak tangisnya, "Tidak, Ayah.
Jangan ditunda. Sebaiknya sekarang Ayah bertindak sebelum
terlam"bat. Sebelum besok Ayah sampai pada saat purnama
naik." Ki Argapati terperanjat. Sejenak ia berdiri mematung. Namun
kemudian ia dapat menangkap perasaan puterinya, Pandan
Wangi mencemaskan nasibnya besok apabila ia harus
bertempur melawan Ki Tambak Wedi di bawah Pucang Kembar.
"Ayah jangan menunggu Ki Tambak Wedi beserta orang yang
tidak kita kenal itu mendahului Ayah. Karena itu, Ayah harus
melakukannya sekarang."
Ki Argapati menahan nafasnya. Perlahan-lahan tangannya
bergerak membelai rambut anaknya. Dengan nada yang berat ia
berkata, "Tidak, Wangi. Aku tidak dapat melakukannya
sekarang. Aku ingin sampai pada janjiku dengan Ki Tambak
Wedi. Sesudah itu, barulah aku akan melakukannya."
"Tetapi, tetapi ?"?"" suara Pandan Wangi patah di
tengah. "Aku tahu yang kau cemaskan, Wangi. Bagaimanakah
seandainya aku tidak dapat lepas dari perkelahian itu, dan untuk
seterusnya aku akan kehilangan kesempatan mempertahankan
Tanah ini?" "Ayah," Pandan Wangi memekik kecil.
"Jangan kau cemaskan. Aku akan berusaha sebaik-baiknya
agar aku masih berkesempatan untuk mempertahankan Tanah
ini. Aku akan berusaha. Apabila usahaku tidak berhasil, maka
demikianlah takdir yang harus aku jalani. Tetapi aku tidak
menyerah tanpa melakukan sesuatu. Dan aku siap untuk
melakukannya. Jangan kau cemaskan aku, Wangi." Ki Argapati
berhenti sejenak. Tatapan matanya masih jauh hinggap pada
tempat yang tidak terbatas. Titik-titik keringat mengembun di
kening dan dahinya. "Tetapi Ayah harus bertindak cepat, sebelum Ki Tambak Wedi
sempat mempersiapkan diri."
(***) Buku 35 KI ARGAPATI menarik nafas dalam. Tetapi tatapan matanya
sama sekali tidak bergeser serambut pun. Perlahan-lahan ia
berkata, "Pandan Wangi. Aku tahu, betapa sulitnya perasaanmu.
Seandainya kau tidak mencemaskan nasibku besok malam,
maka kau akan berkata seperti yang sudah kau ucapkan
sebelum ini. Bukankah kau berusaha mencegah aku melakukan
gerakan hari ini?" Sekali lagi Ki Argapati berhenti. Dan sejenak
kemudian dilanjutkannya, "Tetapi itu adalah wajar sekali. Kau
sama sekali tidak berbuat kesalahan, sebagai seorang gadis
yang kebetulan menjadi adik Sidanti. Kau berusaha untuk
mencegah benturan yang terjadi antara ayah dan kakakmu."
"Tidak Ayah. Tidak. Kakang Sidanti telah mendurhakai
ayahnya." Terasa dada Argapati berdesir. Perlahan-lahan, perlahan
sekali ia berkata supaya tidak didengar oleh orang lain, "Tidak
Wangi. Anak itu tidak mendurhakai ayahnya. Justru ia
melakukan perintah ayahnya tanpa berpikir lagi."
"Oh," nafas Pandan Wangi serasa semakin sesak. Dan tibatiba
tangisnya pun menjadi semakin keras.
"Sudahlah Wangi. Jangan kau risaukan apa yang akan
terjadi. Kau adalah pewaris satu-satunya tanah ini. Seandainya
terjadi sesuatu dengan aku, maka kaulah yang akan menjadi
Kepaia Tanah Perdikan Menoreh."
Pandan Wangi masih akan menjawab. Tetapi ketika ia
mengangkat wajahnya, ayahnya mendahuluinya, "Sudahlah.
Tenangkan hatimu. Marilah kita pulang."
Gadis itu sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk
menyatakan perasaannya, ketika ia melihat ayahnya memberi
isyarat kepada para pemimpin pengawal tanah terdikan ini untuk
menarik pasukannya. Kepada Samekta ia berkata, "Kita tunda
sampai lusa. Besok malam aku mendapat kepastian. Tetapi
kalian harus tetap dalam kesiagaan penuh. Setiap saat dapat
terjadi sesuatu. Keadaan akan dapat berkembang dengan
cepatnya." Segores kekecewaan membayang di wajah Samekta, seperti
di setiap wajah para pemimpin pasukan pengawal tanah
perdikan. Bahkan pada setiap pengawal yang ada di tempat itu.
Mereka serasa mempunyai sebuah bisul di dada mereka.
Apabila bisul itu masih belum pecah, maka mereka pun sama
sekali tidak dapat merasa tenang. Bagi para pengawal itu, lebih
baik mereka datang kepada lawan daripada mereka harus
bertahan, apabila Sidanti dan pasukannya mendahului.
Tetapi apa boleh buat, Ki Argapati menghendaki demikian.
Betapa beratnya, maka para pengawal itupun segera ditarik ke
tempat yang sudah disediakan bagi mereka. Tetapi mereka tidak
segera pulang ke rumah masing-masing. Hanya mereka yang
dengan sukarela ikut serta di dalam pasukan itu sajalah yang
diperkenankan pulang. Namun setiap saat mereka harus
berkumpul dengan senjata siap di tangan.
Mekipun demikian, para peronda menjadi semakin sibuk
memutari daerah masing-masing. Setiap gardu telah terisi.
Setiap saat mereka harus menanggapi keadaan. Keadaan yang
paling suram dalam sejarah pertumbuhan tanah perdikan itu.
Sementara itu matahari menjadi semakin lama semakin
rendah. Kemudian cahayanya yang kemerah-merahan mewarnai
langit yang bersih, ketika matahari itu hampir tenggelam di balik
pebukitan. Selembar awan yang putih terbang perlahan-lahan
didorong oleh angin ke Utara.
Pandan Wangi duduk termenung di pembaringannya.
Berbagai gambaran hilir mudik di dalam angan-angannya. yang
paling pahit dan yang paling dahsyat memang dapat terjadi.
Terasa dadanya menjadi berdebar-debar. Ia tidak akan dapat
tenang, apapun yang dilakukannya. Kadang-kadang ia berdiri
dan berjalan hilir mudik. Kadang-kadang ia mencoba
membaringkan tubuhnya dan mencoba memejamkan matanya.
Tetapi kegelisahannya tidak dapat dilupakannya.
Ia sama sekali tidak melepaskan pakaian berburunya. Seperti
pakaian seorang laklaki. Pakaian yang tidak biasa
dikenakannya seharhari. Tetapi kali ini merasa perlu untuk
selalu mengenakan pakaian itu. Seolah-olah sesuatu akan
terjadi. Dan seolah-olah ia harus ikut serta berbuat sesuatu.
Pandan Wangi mengerutkan keningnya melihat seseorang
masuk ke dalam biliknya dan memasang lampu minyak. Tanpa
berkata sepatah kata pun, orang itu segera keluar lagi. Ternyata
hari sudah menjadi semakin suram. Satu-satu bintang mulai
bergayutan di langit, seakan-akan berebut dahulu.
"Malam ini adalah malam terakhir sebelum purnama naik,"
desisnya perlahan-lahan sekali. Namun terasa hatinya menjadi
pedih oleh angan-angannya sendiri.
Dalam kegelisahannya itu, Pandan Wangi melangkah keluar
biliknya. Tanpa sesadarnya ia berjalan lewat di muka pintu bilik
ayahnya yang terbuka. Dilihatnya ayahnya sedang menimangnimang
tombak pendeknya. Seolah-olah ia sedang asyik
berbicara, apakah sebaiknya yang akan mereka lakukan
bersama-sama besok malam.
"Ayah," perlahan-lahan Pandan Wangi memanggil.
Ayahnya mengangkat wajahnya. Ketika dilihatnya puterinya
berdiri di muka pintu, maka katanya, "Masuklah, Pandan Wangi."
Dengan ragu-ragu Pandan Wangi melangkah masuk.
"Duduklah," berkata ayahnya pula. Dengan ragu-ragu pula
Pandan Wangi duduk di sisi ayahnya sambil memandangi
tombak yang berada di tangannya. Hati Pandan Wangi menjadi
kian berdebar-debar melihat mata tombak yang sudah dilulus
dari wrangkanya itu. "Tombak ini bukan tombakku, Wangi, tombak ini adalah
tombak pamanmu. Aku tidak tahu, kapan pamanmu
menukarnya. Tetapi hal itu pasti sengaja dilakukannya. Sebab
selongsongnya adalah selongsongku, dan bahkan wrangka
tombak inipun ternyata wrangkaku pula."
Debar di dada Pandan Wangi menjadi semakin karas
memukul jantungnya. Tombak yang pada saatnya akan memikul
tugas yang berat itu, ternyata bukan tombak ayahnya, tombak
yang selalu menjadi sipat kandelnya.
Namun ia mendengar ayahnya berkata, "Tetapi itu tidak
penting Wangi. Aku dapat mempergunakan senjata apa saja.
Jangankan tombak sebaik ini, bahkan sebuah parang pembelah
kayu pun sudah cukup bagiku. Dengan apa pun dan dengan
cara yang bagaimanapun, aku sudah siap menjelang saat yang
kami janjikan. Besok malam. Dan kau tidak usah
mencemaskannya. Kau harus berbesar hati menghadapi setiap
akibat dari peristiwa itu, Wangi."
Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Tetapi tombak
pendek yang telah ditukar itu menambah kecemasannya.
Mungkin tombak itu tidak sebaik tombak ayahnya yang telah
menemaninya sejak muda. Kini menghadapi saat yang paling
genting, tombak itu sudah tidak ada lagi. Yang ada adalah
tombak lain, tombak pamannya.
Dalam pada itu terdengar ayahnya berkata pula, "Sekarang
beristirahatlah Wangi. Kau harus banyak beristirahat. Sehariharian
kau mengalami persoalan yang membuatmu lelah.
Mandilah, dan berganti pakaian. Pakaianmu terlampau kotor dan
bahkan noda-noda darah itu masih melekat.
Pandan Wangi memandangi pakaiannya yang kotor. Yang
selama ini tidak diperhatikannya. Ia memang tidak ingin mandi
dan berganti pakaian dengan pakaiannya seharhari.
Seandainya ia mandi dan berganti pakaian, maka ia pun akan
mengenakan pakaian serupa itu. Pakaian berburu, seperti
pakaian seorang laklaki. "Mandilah. Malam ini aku akan bertemu dengan beberapa
orang pemimpin tanah perdikan yang masih dapat berpikir
bening. Yang masih dapat melihat siapakah sebenarnya yang
berhak memerintah tanah ini. Meskipun sebagian dari mereka
telan berpihak kepada Argajaya dan Sidanti, namun sebagian
terbesar masih tetap setia kepadaku. Bukan karena aku,
Argapati orang yang baik, tetapi mereka menghargai kebenaran
kedudukanku sebagai Kepala Tanah Perdikan yang sah.
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian ia bertanya, "Apakah aku boleh hadir di dalam
pertemuan itu, Ayah?"
"Sebaiknya kau beristirahat Tetapi kalau kau ingin mendengar
pembicaraan itu, dan kau tidak terlampau lelah, baiklah kau ikut
mendengarkannya sebentar. Kemudian sebaiknya kau pergi
tidur. Sekarang pergilah mandi. Kau akan menjadi segar dan
bersih." Pandan Wangi kemudian berdiri dan melangkah
meninggalkan bilik itu. Ia berdiri sejenak di muka biliknya, namun
kemudian ia melangkah masuk. Mengambil beberapa lembar
pakaiannya yang lain, tetapi juga pakaian berburu seperti yang
dipakainya. Kemudian pergi ke perigi. Namun ia tidak melepas
sepasang pedangnya dari lambung. Seolah-olah ia merasa
bahwa ia memerlukan pedang itu setiap saat.
Ketika ia mandi pun, sepasang pedangnya terletak dekat
sekali di sisinya. Ketika ia mendengar suara langkah mendekat,
segera dirabanya hulu pedangnya. Tetapi langkah itu adalah
langkah pelayannya yang lewat dari kebun belakang.
Malam itu Argapati menyelenggarakan pertemuan dengan
para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh. Berbagai macam
persoalan dibicarakannya. Tetapi setiap Para pemimpin
pengawal mensendesaknya untuk segera bertindak, maka
jawabnya selalu, "Besok malam aku akan mengambil keputusan
terakhir. Tidak terlalu lama. Aku minta waktu semalam saja lagi.
Besok lusa, sebelum fajar, kita harus sudah menentukan sikap.
Seandainya kalian tidat dapat menemui aku, maka kalian dapat
berbicara dengan pewarisku, Pandan Wangi."
Jawaban itu benar-benar membuat para pemimpin dan
pengawal menjadi gelisah. Mereka tidak mengerti benar
maksudnya. Namun segera mereka menghubungkan keterangan
itu dengan saat purnama naik di bawah Pucang Kembar. Karena
itu maka salah seorang dari mereka bertanya, "Ki Gede, kenapa
besok lusa ada kemungkinan bahwa kami tidak dapat menemui
Ki Gede, dan dengan demikian kami harus berhubungan dengan
Pandan Wangi sebagai pewaris tunggal" Kami tidak mengerti,
apakah yang dapat terjadi dengari Ki Gede besok lusa" Tentang
pewaris tunggal, kami dapat mengerti, agaknya Ki Gede sudah
menganggap Sidanti mendurhakai ayahnya dan untuk
selanjutnya, haknya atas tanah ini sudah dicabut."
"O," Ki Gede berdesah. Katanya kemudian, "Bukan maksudku
berkata demikian. Besok lusa aku ada di rumah ini besok lusa
aku akan menentukan sikap dan memimpin setiap pergolakan
yang dapat terjadi."
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sebagai
seorang yang sudah cukup umur ia bertanya, "Ki Gede. Kami
telah pernah mendengar, bahwa Ki Gede mengadakan sebuah
perjanjian dengan Ki Tambak Wedi pada saat purnama naik di
bawah Pucang Kembar. Kami tidak tahu pasti apa yang akan
terjadi, tetapi kami dapat membayangkannya. Kami dapat pula
menghubungkan persoalan dengan sikap Ki Gede saat ini
menghadapi Angger Sidanti. Supaja kami tidak selalu bertanyatanya,
Ki Gede, kami ingin tahu, apakah yang sebenarnya akan
terjadi, dan apakah hal itu ada hubungannya dengan kami?"
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Sekilas dipandangnya
Pandan Wangi yang menundukkan kepalanya. Namun kemudian
ia menjawab dengan nada yang dalam, "Tidak ada hubungan
apa-apa dengan persoalan kalian. Persoalan ini adalah
persoalan pribadi. Aku ingin menyelesaikan secara pribadi."
Tetapi keadaan tanah perdikan ini demikian gawatnya
sehingga agaknya Ki Gede tidak akan dapat menerima setiap
persoalan secara pribadi."
"Persoalan ini tidak ada hubungan apa pun dengan persoalan
tanah perdikan ini, Samekta. Jangan kau persoalkan persoalan
pribadiku. Aku akan menyelesaikannya sendiri. Tugas kalian
besok adalah menyiapkan semua kekuatan pasukan pengawal
yang masih dapat dipercaya dan setiap laklaki yang dengan
sukarela ikut mengangkat senjata. Tetapi hathatilah. Kau harus
dapat menilai sikap seseorang. Lawan kita kali ini ada di antara
kita. Kita terlampau sulit untuk membedakan, siapakah diantara
kita yang sepenuhnya masih dapat dipercaya. Siapakah yang
ragu-ragu, siapakah yang berdiri dengan sebelah menyebelah
kaki nya berpijak pada alas yang berbeda, dan siapakah yang
sengaja memulas diri sendiri untuk kepentingan-kepentingan
pribadi, seperti seekor bunglon yang dapat merubah warna
kulitnya." Samekta menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih
mencoba memperingatkan Ki Argapati, "Ki Gede. Aku tidak
dapat mempercayai Ki Tambak Wedi sepenuhnya. Apakah Ki
Tambak Wedi juga bersikap seperti Ki Gede dalam menanggapi
persoalan pribadinya dengan Ki Gede" Aku ragu-ragu. Bahkan
aku mendapat kesan, bahwa Ki Tambak Wedi bukanlah seorang
yang jujur." Ki Gede Menoreh tidak segera menjawab. Peringatan itu
menggurat jantungnya, membuat seberkas goresan yang dalam.
Jauh di dasar hatinya memang tersimpan dugaan serupa itu.
Tetapi kenyataan yang pernah di hadapinya, beberapa puluh
tahun yang lampau, ternyata Paguhan pernah menghadapinya
secara jantan di dalam perang tanding seperti yang telah mereka
janjikan. Apakah sekarang Paguhan yang bergelar Ki Tambak
Wedi itu telah berubah" Bukan seperti Paguhan pada waktu itu"
Dalam keragu-raguan itu, Ki Gede Menoreh mendengar suara
Samekta, "Ki Gede, kami harap Ki Gede
rmempertimbangkannya masak-masak. Apakah salahnya,
apabila janji itu dibatalkan, meskipun aku tidak tahu pasti janji
apakah yang telah dibuat, tetapi aku dapai menduga-duga."
Perlahan-lahan Ki Gede menggelengkan kepalanya.
Jawabnya, "Aku tidak dapat membatalkannya Samekta. Aku
harus datang. Seorang diri. Janji itu sudah kita setujui bersama.
Dan akan menepatinya. Terkutuklah Ki Tambak Wedi, apabila ia
tidak menepati seperti janji yang pernah dikatakannya sendiri,
apalagi apabila ia berbuat curang. Kalian akan mengingatnya di
dalam hati dan akan mengatakannya kepada setiap orang,
bahwa seorang yang bernama Paguhan bergelar Ki Tambak
Wedi, telah berbuat curang dan licik."
Samekta menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya lambat,
"Apakah artinya sebutan itu bagi seorang yang telah menebalkan
telinganya dan lelah membutakan matanya?"
Sekali lagi Ki Gede berkata, "Samekta, aku tahu, bahwa kau
bermaksud baik. Terima kasih. Tetapi aku ingin menyelesaikan
persoalan pribadiku. Kalau aku berhasil, maka aku akan dapat
mengurangi penumpahan darah yang akan membanjiri tanah
ini." Samekta mengangkat wajahnya. Hampir saja rnulutnya
mengucapkan sebuah pertanyaan, "Tetapi bagaimana kalau Ki
Gede gagal?" Tetapi pertanyaan itu ditelannya kembali.
Namun demikian, Samekta melihat bahwa pertanyaan yang
serupa telah membersit pula di dalam dada Pandan Wangi.
Samekta melihat gadis itu memandangi ayahnya dengan
pandangan yang suram. Lamat-lamat Samekta melihat setitik air
yang mengambang di kelopak mata gadis itu. Tetapi Pandan
Wangi pun tidak mengucapkan pertanyaan itu.
Samekta, para pemimpin tanah perdikan dan para pemimpin
pengawal, hanya dapat menyimpan kecemasan di dalam hati
mereka. Mereka telah mengenal watak Ki Gede Menoreh yang
keras hati. Sukar bagi mereka untuk mencoba merubah
pendiriannya Apalagi yang langsung menyangkut harga dirinya
sebagai seorang laklaki. Karena itu, maka mereka tidak berani
untuk mencoba lagi merubah sikap itu. Sebab apabila KI Gede
Menoreh kemudian menjadi marah, maka sulitlah bagi mereka
untuk dapaf berbicara. Pandan Wangi pun mengenal watak itu pula. Karena itu,
maka ia pun lebih baik diam sambil menahan air matanya.
Bayangan yang semakin jelas di pelapuk matanya melukiskan,
betapa pertarungan yang dahsyat akan terjadi di bawah Pucang
Kembar besok malam. Sementara itu waktu berjalan terus. Malam menjadi semakin
malam. Meskipun Pandan Wangi kemudian tidak lagi duduk di
antara para pemimpin Menoreh dan berada di dalam biliknya,
namun yang bergolak di dalam hatinya adalah persoalan yang
dibawanya dari pembicaraan itu.
Justru semakin lama ia berbaring di pembaringannya, maka
hatinya menjadi semakin dicengkam oleh kegelisahan dan
kecemasan. Bermacam-macam angan-angan dan gambaran
telah membuatnya menjadi terlampau bingung. Jantungnya
seakan-akan menjadi terlampau bingung. Jantungnya seakanakan
menjadi terlampau cepat berdetak, dan darahnya menjadi
terlampau deras mengalir.
Sekalkali Pandan Wangi itu tersentak duduk. Kemudian
berdiri dan berjalan hilir mudik. Bahkan kemudian ia tidak
menahan diri lagi untuk tetap tinggal di dalam biliknya. Perlahanlahan
ia melangkah keluar dan menuju ke pringgitan, tempat
para pemimpin yang terpenting bertemu, setelah beberapa orang
termasuk dirinya diperkenankan meninggalkan pembicaraan.
Tetapi ketika ia menjenguk pintu pringgitan, dilihatnya
pringgitan itu sudah kosong. Ternyata pertemuan sudah lampau.
Yang ditemuinya di pringgitan tinggallah beberapa buah
mangkuk dan sisa makanan yang tidak terhabiskan.
"Di manakah Ayah?" desisnya.
Berjingkat Pandan Wangi berjalan menuju ke bilik ayahnya.
Perlahan-lahan didorongnya pintu bilik itu. Ia menarik nafas
dalam-dalam ketika dilihatnya ayahnya sudah tertidur di
pembaringannya. Pandan Wangi berdesah perlahan-lahan, "Ternyata aku lebih
gelisah dari Ayah sendiri," desisnya di dalam hati. "Ayah masih
dapat tidur dengan nyenyaknya. Sedang aku sama sekali tidak
dapat memejamkan mata. Tetapi baiklah, aku mencoba seperti
Ayah." Perlahan-lahan sekail Pandan Wangi menutup pintu itu
kembali. Perlahan-lahan pula ia berjalan berjingkat ke biliknya
mencoba tidur meskipun hanya sejenak.
Tetapi Pandan Wangi sama sekali tidak tahu, bahwa setelah
pintu bilik ayahnya tertutup, ayahnya membuka matanya
kembali. Sebenarnya ayahnya itupun sama sekali belum dapat
tidur sekejap pun. Ia pun dibayangi oleh kegelisahan dan
kecemasan. Tetapi sama sekali bukan tentang dirinya sendiri.
Seandainya persoalannya hanya terbatas pada dirinya sendiri,
pada perang tanding di bawah Pucang Kembar, maka hal itu
sama sekali tidak akan digelisahkannya. Tetapi kali ini
persoalannya berkait dengan persoalan tanah perdikannya.
Persoalan yang sebenarnya memang berpusar pada sumber
yang sama. Janji yang terucapkan didorong oleh perbedaan
sikap mereka, menanggapi keadaan Sidanti berhadapan dengan
Pajang. Kini, api yang kemelut di tanah perdikan ini pun
disebabkan karena Sidanti pula.
"Samekta benar," desis Ki Argapati di dalam hatinya,
"persoalan ini bukan sekedar persoalan pribadi. Tetapi aku tidak
dapat melepaskan janji pribadi ini, meskipun di dalam kaitannya
dengan persoalan seruruh tanah perdikan, karena justru aku
tidak dapat melepaskan pribadiku dari tanggung jawabku
sebagai Kepala Tanah Perdikan ini. Karena itu, aku besok
malam harus menghadapi Ki Tambak Wedi. Apa pun yang akan
terjadi. Tetapi kegagalanku tidak harus mengorbankan tanah ini
dan menyerahkannya kepada Sidanti. Seandainya aku gagal,
maka biarlah Pandan Wangi memegang pimpinan. Aku
mengharap bahwa para pemimpin pengawal yang setia akan
dapat mendampinginya, meskipun harus berhadapan dengan Ki
Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya."
Tiba-tiba pandangan Ki Argapati tersangkut pada sebatang
rombak pendek yang masih berada di dalam selongsongnya.
Terasa desir yang lernbut menyentuh hatinya. Tombak itu bukan
tombaknya sendiri, sehingga besok, ia harus menghadapi Ki
Tambak Wedi yang memiliki sepasang senjata yang mengerikan,
tidak dengan tombak yang paling dipercayanya.
"Aku tidak boleh terpengaruh olehnya. Tombak itu tidak akan
tanyak berpengaruh. Tergantung pada tangan yang
menggcrakkannya." Tetapi dibantahnya sendiri di dalam hat,
"Namun aku mengenal tombakku seperti aku mengenal diriku
sendiri. Aku tahu pasti jangkauan ujungnya dan berat pangkal
landeannya. Aku tahu pasti,
di mana tanganku harus menggenggam tangkainya. Aku tahu
pasti imbangan gerak ujung dan pangkalnya. Bahkan aku tahu
pasti kekuatan yang tersimpan pada tombakku itu. Tetapi
tombak ini belum begitu aku kenal."
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia
bergumam, "Semuanya terserah kepada Tuhan Sang Maha
Adil." Ki Argapati kemudian mencoba melepaskan segala
kegelisahannya. Ia mencoba untuk beristirahat, meskipun hanya
sejenak. Lamat-lamat ia masih mendengar ayam jantan
berkokok untuk yang kedua kalinya. Namun karena lelah lahir
dan batinnya, akhirnya Ki Gede Menoreh itu lelap juga untuk
sejenak. Sedang di bilik yang lain, Pandan Wangi pun terlena karena
kelelahan pula. Namun di sisinya tergolek sepasang pedangnya.
Bahkan tangannya terletak pada hulu pedang itu.
Kesibukan pagi telah mewarnai rumah Ki Argapati, ketika
matahari telah mulai melambung di langit. Ki Gede Menoreh
duduk di pringgitan bersama Pandan Wangi menghadipi
semangkuk air hangat, gula kelapa, dan beberapa potong
makanan. Adalah kebiasaan Ki Gede Menoreh, untuk minum air
hangat di pagi hari sambil makan beberapa potong makanan
sebagai makan paginya. Tetapi Ki Argapati tidak pernah makan
nasi di waktu pagi. Namun terasa kegelisahan telah membakar seluruh tanah
perdikan, jauh melebihi terik matahari di tengah hari. Setiap
orang seolah-olah selalu dihantui oleh kegelisahan. Tidak saja di
padukuhan induk, tetapi di mana-mana. Di sekitar rumah
Argajaya pun terjadi kesibukan-kesibukan yang luar biasa.
Persiapan-persiapan telah mereka adakan dengan saksama.
Tidak kalah dari kesibukan yang dilakukan oleh para pengawal
yang masih setia kepada Ki Argapati. Meskipun jumlah mereka
yang terpengaruh oleh Sidanti tidak terlampau banyak, tetapi
Sidanti telah melakukan kecerobohan yang mempunyai
kemungkinan yang paling parah atas tanah perdikan yang ingin
dikuasainya. Ia telah mengundang orang-orang liar
dari berbagai golongan. Orang-orang yang menyimpan
pamrih terlampau besar atas tanah ini, orang-orang yang ingin
mendapatkan upah, dan orang-orang yang paling liar adalah
orang-orang yang tidak menentu, yang tidak mempunyai rumah
dan tempat tinggal. Mereka coba mengadu untung di Tanah
Perdikan Menoreh. Tetapi Ki Tambak Wedi bukan pula seorang yang bodoh.
Sengaja ia memanggil orang-orang yang mempunyai
kepentingan yang berbeda-beda. Ia ingin membenturkan mereka
satu sama lain apabila persoalannya sudah selesai, lalu
menumpas mereka dengan mudahnya.
Namun permainan itu adalah permainan yang terlampau
berbahaya. Apabila perhitungan itu meleset serambut, maka
Tanah Perdikan Menoreh akan menjadi karang abang. Tanah
akan tinggal arang yang sudah membara, kemudian hancur
menjadi abu. Ia tidak akan dapat berhasil mencapai maksudnya,
menjadikan tanah ini pancadan bagi anak dan sekaligus
muridnya yang dimanjakannya, untuk naik ke jenjang yang lebih
tinggi lagi. Tetapi adalah mungkin sekali, bahwa tanah ini akan
menjadi tanah di mana anak itu segera akan dikuburkan. Kalau
ia mati dalam perlawanannya atas Ki Argapati, masih juga ia
dapat merasa dirinya pahlawan dari suatu cita-cita. Tetapi
apabila ia mati oleh tangan-tangan yang hitam yang dipanggilnya
sendiri masuk ke dalam rumahnya, maka yang tinggal adalah
penyesalan. Tetapi setiap kali Ki Tambak Wedi berkata, "Kita harus
membuat perimbangan. Kekuatan yang kita undang, harus lebih
kecil dari kekuatan kita sendiri, supaya kelak apabila persoalan
kita dengan Argapati sudah selesai, maka kita akan dengan
mudahnya menyelesaikan mereka pula."
Namun ternyata Ki Tambak Wedi tidak menghiraukan, apa
yang telah dilakukan oleh orang-orang itu atas orang-orang
Menoreh sendiri. Ia sama sekali tidak menghiraukan, bahwa
orang-orang itu telah berbuat terlampau gila di tanah perdikan
ini. Dalam keadaan yang gelisah, tegang, dan kemelutnya
kecemasan itulah, matahari naik semakin tinggi di atas
perbukitan Menoreh. Betapa sibuknya para pengawal
mengadakan persiapan di beberapa tempat, dan betapa sepinya
jalan-jalan dan pedukuhan-pudukuhan di seluruh tanah perdikan
itu. Seperti angin, yang bertiup dari segala penjuru, maka setiap
telinga di tanah perdikan itu telah mendengar, bahwa nanti
malam, disaat purnama naik, akan terjadi sesuatu yang paling
mengerikan di atas tanah ini. Mereka tidak tahu pasti, apakah
yang kira-kira akan terjadi. Yang paling mungkin menurut
dugaan mereka, adalah benturan antara Ki Argapati dan Sidanti.
Namun janji yang telah ditentukan antara Ki Tambak Wedi dan
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Gede Menoreh, telah membuat kepala mereka semakin
pening, dan membuat dada mereka semakin berdebar-debar.
Dan kegelisahan yang semakin memuncak telah membakar
dada Pandan Wangi. Dalam pakaian laklakinya ia mondarmandir
di dalam rumahnya. Sekalkali ia pergi kepringgitan
melihat ayahnya sedang berbicara dengan beberapa orang
pemimpin tanah perdikan ini, kemudian berjalan ke dapur,
melihat perempuan-perempuan sedang memasak. Namun
kegelisahannya tidak juga dapat disingkirkannya dari hatinya,
setidak-tidaknya meredakannya.
Tanpa sesadarnya, maka langkahnya telah membawanya
turun ke halaman ketika tiba-tiba seseorang datang
memanggilnya, "Pandan Wangi, Ki Argapati ingin bertemu."
Dada Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar.
Dengan tergesa-gesa ia pergi ke pringgitan. Dilihatnya ayahnya
masih duduk di antara para pemimpin yang lain.
"Pandan Wangi," berkata ayahnya sebelum ia duduk,
"sebaiknya kau hentikan usahamu untuk bertemu dengan
Sidanti, dan mencoba membuatnya mengerti. Aku kira kau tidak
akan berhasil." Dada Pandan Wangi berdesir mendengar peringatan ayahnya
itu. Sejenak ia berdiri mematung tanpa dapat menjawab sepatah
kata pun. Selanjutnya ia mendengar ayahnya berkala
seterusnya, "Aku menjadi cemas melihat kau gelisah seperti
dipanggang di atas bara. Mondar-mandir tidak menentu. Aku
sangka, kau masih dihinggapi oleh angan-angan untuk bertemu
dengan kakakmu dan berbicara dengannya. Pandan Wangi,
demi keselamatanmu, jangan pergi lagi dari batas pedukuhan
induk ini. Keadaan telah menjadi semakin panas. Orang-orang di
kedua belah pihak sudah terlampau sulit untuk dikendalikan.
Apalagi orang-orang yang tidak dikenal, yang sama sekali tidak
merasa bertanggung jawab apa pun atas tanah ini. Apakah kau
metngerti?" Debar di dada Pandan Wangi menjadi semakin cepat. Tetapi
ia telah mengenal betul sifat-sifat ayahnya. Apabila demikian,
berarti bahwa ia sama sekali tidak boleh melanggarnya lagi. Apa
pun alasannya. Karena itu maka yang dapat dilakukannya
adalah menganggukkan kepalanya sambil menjawab, "Baik
Ayah." "Nah, kalau kau ingin keluar halaman, berhathatilah. Ingat,
jangan meninggalkan padukuhan induk. Kau masih dapat
merasa aman di dalam padukuhan induk ini, karena aku
memagarinya dengan pasukan pengawal. Meskipun aku
menempatkannya juga di padukuhan-padukuhan lain, tetapi kau
tidak akan tahu, apakah yang akan terjadi di bulak-bulak yang
betapa pun sempitnya."
Sekali lagi Pandan Wangi mengangguk dan menjawab, "Ya,
Ayah." Namun dengan demikian, justru Pandan Wangi seolah-olah
mendapat kesempatan untuk keluar dari halaman rumahnya.
Semula ia sama sekali tidak ingin melangkah keluar regol
halaman, apabila setiap saat ayahnya memerlukannya. Tetapi
kini seolah-olah ia diperingatkan, bahwa di luar halaman ia
masih mempunyai tempat untuk sedikit menghibur dirinya,
asalkan tidak keluar dari pedukuhan induk.
Karena itu, maka Pandan Wangi pun segera setelah
meninggalkan pringgitan, justru berjalan keluar regol halaman.
Selangkah demi selangkah. Dan hampir setiap langkahnya ia
bertemu dengan dua tiga orang peronda, sehingga akhirnya ia
sampai pada ujung sebuah lorong di dalam pedukuhan induk,
yang menuju ke rumah pamannya.
"Hem, jalur ini akan sampai kepada Kakang Sidanti," desisnya
di dalam hati. Tetapi ia sadar, bahwa ayahnya -melarangnya
untuk mengikuti jalur itu. Dan ia menyadari pula, bahaya yang
dapat dijumpainya di tengah-tengah bulak dan pategalan, seperti
yang pernah terjadi atasnya.
Ketika Pandan Wangi itu berdiri sambil bersilang tangan di
dadanya, memandangi ujung jalan yang seolah-olah hilang
ditelan kaki langit, dua orang peronda berjalan mendekatinya.
Perlahan-lahan salah seorang dari mereka berkata, "Ki Gede
telah memerintahkan kepada kami, kau tidak boleh keluar dari
pedukuhan ini, Pandan Wangi. Siang mau pun malam nanti."
Dada Pandan Wangi berdesir. Ternyata perintah itu telah
tersebar kepada seluruh pengawal. Tetapi apa artinya, ia tidak
boleh meninggalkan padukuhan induk ini siang dan malam nanti,
justru malam nanti ayahnya akan memenuhi janjinya dengan Ki
Tambak Wedi di bawah Pucang Kembar.
Terasa jantung Pandan Wangi berdenyut semakin cepat di
dalam dadanya. Berbagai pertanyaan hilir mudik tidak hentihentinya.
Tetapi Pandan Wangi tidak bertanya apa pun kepada
pengawal itu. Ia tahu, bahwa pengawal itu tidak akan mengerti,
kenapa. Ia hanya sekedar melakukan perintah. Selebihnya
adalah persoalan para pemimpinnya.
Pandan Wangi berpaling kepada mereka, ketika mereka
bertanya, "Apakah kau sendiri sudah mengerti pesan Ki Argapati
itu?" Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Jawabnya, "Ya,
aku sudah mengerti."
"Sokurlah," desis pengawal yang sedang meronda itu.
Kemudian ditinggalkannya Pandan Wangi berdiri di
tempatnya. Keduanya melangkah ke gardunya di sudut
pedukuhan. Di dalam gardu itu ternyaata masih ada beberapa
kawan-kawannya lagi yang sedang berjaga-jaga.
Pandan Wangi masih tetap berdiri di tempatnya. Tegak
seperti sebuah patung dengan sepasang pedang di lambung.
Dipandangnya berkas-berkas sinar matahari yang jatuh di atas
tanah, di sepanjang jalur jalan berdebu di depannya.
Gadis itu mengerutkan keningnya, ketika ia melihat sesuatu
bergerak-gerak di dalam sinar matahari. Beberapa ekor kambing
berjalan di atas pematang. Di belakang sekumpulan kambing itu
berjalan seorang gembala. Gembala yang pernah ditemuinya
diperjalanannya kemarin. Gupita.
Tiba-tiba saja, dada gadis itu menjadi berdebar-debar.
Ternyata hari ini anak muda itu masih menggembalakan
kambing-kambingnya. Dengan demikian, maka kemarin
kambing-kambing itu pasti tidak dirampas oleh orang-orang liar
yang telah mencegatnya. "Mungkin orang-orang itu hanya memerlukannya satu atau
dua," desis Pandan Wangi di dalam hatinya. Tetapi ia masih
belum bergerak. Ia masih berdiri tegak di tempatnya. Sepasang
pedangnya berjuntai di lambungnya. Sebelah-menyebelah.
Sejenak kemudian ia melihat kumpulan kambing-kambing itu
berjalan mcnyeberangi jalan. Sekepul debu yang putih terlontar
di udara ketika kakkaki kambing itu menyentuh tanah berdebu
yang menjelujur panjang. Seorang pengawal melonccat turun dari gardunya.
Memandangi sekumpulan kambing itu sambil berkata, "Aneh,
masih juga ada seorang gembala yang berani membawa
kambing-kambing ke tempai terbuka seperti ini. Apakah anak itu
tidak tahu apa yang kini sedang kemelut di tanah pendikan ini?"
Tetapi tidak ada seorang pun yang menjawab. Kawankawannya
yang sedang berjaga-jaga itupun menjadi keheranheranan
pula. Namun pengawal itu menjawabnya sendiri,
"Mungkin ia menyadari, bahwa di tempat ini ada sebuah gardu
pengawal. Dengan demikian ia merasa aman menggembala
kambingnya di sekitar tempat ini."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun
ia tidak diajak berbicara. Pikiran itu memang dapat dimengerti. Di
tempat ini ada sebuah pengawalan yang baik, sehingga tidak
mungkin ada orang-orang liar yang berkeliaran sampai di tempat
ini. Sejenak kemudian, Pandan Wangi melihat kambing-kambing
itu berhenti di sebuah tempat yang ditumbuhi rerumputan hijau,
di pinggir padesan. Gambala itu mengikat seekor di antara
kambing-kambing itu. Seekor kambing jantan yang paling besar,
pada sebatang pohon perdu, supaya kambing itu tidak dapat
pergi dan kawan-kawannya pun tidak akan pergi juga dari
tempat itu. Sedang masuk ke dalam tanaman di persawahan.
Dengan demikian, maka gembalanya kemudian duduk di bawah
sebatang pohon yang rindang sambil menyandarkan dirinya.
Cambuknya diletakkannya di pangkuannya. Sejenak kemudian
diambilnya sebatang seruling bambu yang terselip di ikat
pinggangnya. Sejenak gembala itu duduk memandangi warna langit yang
jernih, sambil mengusap-usap serulingnya. Seperti ayah Pandan
Wangi sedang mengusap landean tombaknya.
Pandan Wangi sendiri tidak menyadari, kenapa ia tertarik
melihat tingkah laku gembala itu. Dengan demikian, maka
diawasinya saja ketika gembala itu kemudian mengangkat
serulingnya dan meletakkannya di mulutnya.
Sejenak kemudian terdengarlah suara seruling itu berlagu.
Dilontarkannya lagu yang segar, sesegar burung-burung liar
yang berloncatan didahan-dahan pepohonan.
Pandan Wangi terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar salah
seorang pengawal berkata, "Aku merasa aneh dengan gembala
itu. Adalah mustahil, bahwa seorang gembala berani
menggembalakan kambingnya di tempat terbuka seperti saat ini
tanpa suatu maksud tertentu. Apakah dengan demikian tidak
cukup alasan bagi kita untuk mencurigainya" Mungkin anak itu
adalah seorang petugas sandi dan Sidanti."
Beberapa orang kawannya mengerutkan keningnya. Dan
terdengar hampir bersamaan mereka menjawab, "Hal itu juga
mungkin. Tetapi mungkin pula ia merasa aman di sini."
"Tetapi apakah kau pernah mengenal anak itu?"
Kawan-kawannya terdiam. Dan sejenak kemudian mereka
menjawab, "Belum. Aku belum mengenalnya."
"Belum ada yang mengenalnya di antara kita. Bukankah kita
wajib bercuriga?" Tetapi para pengawal itu terkejut, ketika tiba-tiba Pandan
Wangi yang masih berdiri di ujung jalan itu berkata, "Aku sudah
mengenalnya. Namanya Gupita."
Serentak para pengawal itu berpaling ke arah Pandan Wangi.
Kini Pandan Wangi memandang mereka pula dan, berkata, "Aku
akan menemuinya." "Tetapi kau tidak boleh meninggalkan padukuhan ini."
"Bukankah aku tidak meninggalkan padukuhan ini" Gembala
itu duduk di pinggir padukuhan ini. Dan kalian dapat mengawasi
aku dari gardu, kalian seandainya aku harus berkelahi
melawannya." Para pengawal itu sejenak saling berpandangan. Mereka
sama sekali belum yakin, bahwa Pandan Wangi benar-benar
mampu berkelahi. Belum lama mereka mendengar hal itu.
Sebelumnya mereka hanya mengetahui, bahwa gadis itu senang
ikut bersama ayahnya. Hanya satu dua orang sajalah yang
menemaninya. Karena itu, maka mereka pun menjadi ragu-ragu pula untuk
melepaskannya pergi sendiri mendekati gembala yang sedang
membunyikan serulingnya itu.
Ketika Pandan Wangi kemudian melangkahkan kakinya,
mendekati gembala itu, maka beberapa orang pengawal segera
berloncatan turun dari gardunya. Sekali lagi mereka saling
berpandangan, dan beberapa di antara mereka segera
mengikutinya. Tetapi Pandan Wangi justru tertegun. Sambil berpaling ia
bertanya, "Kalian akan pergi kemana?"
Para pengawal itu tidak segera dapat menjawab. Mereka
menjadi ragu-ragu. Namun salah seorang dari mereka akhirnya
menyahut, "Kami tidak dapat melepaskan kau pergi sendiri. Kami
wajib mencurigai setiap keadaan yang tidak wajar bagi kami.
Termasuk kehadiran gembala itu."
"Kalian akan mengantar aku?"
Orang itu mengangguk dan menjawab ragu-ragu, "Ya."
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak
usah. Biarlah aku pergi sendiri. Kalau aku memerlukan kalian,
kalian akan dapat melihat dari sini, atau aku akan berteriak-teriak
memanggil kalian. Aku kira kalian akan dapat mendengarnya."
Para pengawal itu terdiam sejenak. Memang jarak antara
gardu dan gembala yang duduk di bawah pohon itu tidak
terlampau jauh. Tetapi bagaimanakah apabila terjadi sesuatu
yang tidak terduga-duga" Para pengawal memang pernah
mendengar, bahwa Pandan Wangi sebenarnya mampu pula
bertempur. Bahkan menurut Samekta, melawan enam orang
laklaki sekaligus. Tetapi mereka masih dicengkam oleh keraguraguan.
"Tinggallah kalian di sini," berkata Pandan Wangi kemudian,
"Jangan cemas tentang aku."
Para pengawal itu kemudian berdiri tegak seperti patung.
Dengan hati yang berdebar-debar, mereka memandangi saja
langkah Pandan Wangi menuju ke arah seorang gembala yang
duduk sambil membunyikan serulingnya. Sepasang pedang
yang berjuntai di lambungnya, sebelah menjebelah, bergerakgerak
seirama dengan langkah kakinya.
Beberapa orang pengawal menarik nafas dalam-dalam.
Mereka biasa melihat Pandan Wangi dalam pakaian seorang
gadis. Hanya kadang-kadang saja ia berpakaian demikian,
apabila ia pergi berburu.
Gembala yang bersandar pada pokok sebatang kayu itu,
masih saja meniup serulingnya. Lagunya mengalun menyusur
arus angin yang lembut. Lagu yang gembira kini terasa
mengetuk dinding jantung. Seolah-olah gembala itu sedang
berceritera tentang langit yang cerah. Angin yang lemah dan
burung-burung yang berterbangan dengan riangnya. Bahkan
kemudian suara seruling itu meninggi, melonjak seperti gelak
tertawa seorang gadis yang sedang bercanda dengan kekasih.
"Hem," Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.Ia belum
pernah merasakan betapa mesra bercanda dengan kekasih.
Tetapi ia pernah mendengar kisah tentang kasih. Kisah Panji
dan Kirana. Kisah Ratih dan Kama. Dan pernah dijumpainya
pula kemesraan di sekitarnya. Pandan Wangi memang
menghadiri peralatan perkawinan kawan-kawannya yang sebaya
atau sedikit lebih tua daripadanya.
Tetapi lagu itu rasa-rasanya berceritera kepadanya. Lagu
yang melukiskan kasih yang dalam. Kidung tentang cinta.
Pandan Wangi seakan-akan tersadar dari sebuah mimpi yang
asing, ketika tangannya menyentuh hulu pedangnya. Tiba-tiba ia
berdesis, "Persetan dengan suara seruling itu. Kini Menoreh
sedang diasapi oleh kemelutnya pertentangan yang tajam antara
Ayah dan Kakang Sidanti."
Tiba-tiba Pandan Wangi itu menengadahkan wajahnya. Ia
tidak mau dihanyutkan oleh angan-angan seorang gadis yang
meningkat dewasa. Kini ia sedang menggenggam tugas, bukan
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebagai seorang gadis, tetapi sebagai seorang puteri Kepala
Tanah Perdikan Menoreh yang sedang bergolak.
Selangkah demi selangkah Pandan Wangi menjadi semakin
dekat. Tanpa disadarinya, maka dadanya menjadi berdebardebar.
Ia mengharap gembala itu berpaling. Tetapi agaknya ia
begitu asyik dengan serulingnya, sehingga sama sekali tidak
menghiraukan keadaan di sekitarnya.
Tanpa sesadarnya pula, kaki Pandan Wangi menyentuh
daun-daun kering yang bertebaran di atas jalan sempit di pinggir
padukuhan itu, melontarkan suara gemersik. Tetapi gembala itu
seakan-akan benar-benar sedang tenggelam dalam suara
serulingnya. Sejenak kemudian Pandan Wangi telah berdiri di
belakangnya. Ia yakin, bahwa gembala itu pasti sudah tahu
kedatangannya. Tetapi gembala itu sama sekali tidak
melepaskan serulingnya. Bahkan matanya menjadi hampir
terpejam ketika suara serulingnya melonjak mengalun
menyentuh hati. Terasa perasaan aneh bergetar di dada Pandan Wangi.
Dalam suasana yang tegang, ia mendengar lagu yang
memancarkan kedamaian hati seorang anak muda. Ya, gembala
itu adalah seorang anak muda yang aneh.
Wajah Pandan Wangi serasa menjadi panas dan kemerahmerahan.
Kini baru disadarinya, bahwa gembala itu adalah
seorang anak muda, sedang dirinya adalah seorang gadis.
Tiba-tiba Pandan Wangi menggeretakkan giginya. "Aku tidak
peduli," katanya di dalam hati, "aku harus melihat, apakah
gembala ilu tidak mencurigakan?"
Pandan Wangi itu kemudian berdiri tegak dengan kaki
renggang. Tangannya bertolak pinggang. Dengan tajamnya
dipandanginya gembala yang masih asyik membunyikan
serulingnya itu. Lalu, tiba-tiba pula ia memanggil, "Gupita.
Bukankah kau Gupita yang kemarin aku jumpai di jalan bersama
kambing-kambingmu." Gupita masih meniup serulingnya beberapa lama. Kemudian
memutus lagunya pada nada yang merendah. Sesaat kemudian
ia berpaling dan menganggukkan kepalanya dalam-dalam, "Ya,
aku adalah Gupita yang kemarin kau jumpai."
Ketika terpandang mata gembala itu, terasa dada Pandan
Wangi berdesir. Mata itu adalah mata yang dilihatnya kemarin.
Mata yang memancarkan kejujuran yang bodoh. Tetapi kini
Pandan Wangi menjadi ragu-ragu. Apakah benar, bahwa mata
itu memancarkan kejujuran yang dungu"
Sckali lagi Pandang Wangi menggeretakkan giginya,
Wajahnya menjadi tegang, dan nada suaranya merendah datar,
"Apa kerjamu di sini?"
Gapita bergeser setapak. Kini ia duduk menghadap Pandan
Wangi yang masih berdiri bertolak pinggang. Dengan penuh
keheranan, Gupita menjawab, "Bukankah aku seorang gembala"
Kehadiranku di sini bersama kambing-kambingku adalah
kenyataan kerjaku kini. Dada Pandan Wangi berdesir mendengar jawaban gembala
itu. Sejenak ia terdiam. Terasa jantungnya menjadi semakin
cepat berdentangan. Namun dengan demikian, sejenak ia
berdiam diri. Ia tidak segera menemukan kata-kata untuk
menyahut. Gupata masih duduk di tanah. Karena Pandan Wangi
berdiam diri, maka ia pun diam pula menunggu. Sekalsekali
dilemparkannya pandangan matanya kepada para pengawal di
mulut lorong agak jauh daripadanya.
Baru sejenak kemudian, Pandan Wangi dapat menguasai
dirinya dan berkata, "Gupita. Aku memang melihat bahwa kau
sekarang sedang menggembalakan kambing-kambingmu. Tetapi
apakah kau tidak berbuat lain daripada menggembala?"
Gembala itu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, "Tidak.
Seperti kau lihat. Aku hanya menggembala saja dan duduk
membunyikan serulingku."
Debar di dada Pandan Wangi menjadi semakin cepat. Terasa
memancarkan kelainan dengan gembala-gembala yang lain,
yang terasa sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Wajah
gembala itu dikenalnya. Tetapi ia tidak tahu, apakah bentuk
kelainan itu. Sikali lagi Pandan Wangi terpaku diam. Nafasnya terasa
semakin cepat mengalir, ia merasa kehilangan kata-kata untuk
menyatakan pikirannya. Namun sejenak kemudian tiba-tiba dada Pandan Wangi itu
seolah-olah meledak, setelah ditahannya kuat-kuat. Pandan
Wangi tidak tahu, apakah yang mendorongnya untuk berbuat
demikian. Tetapi ia merasa memerlukan cara untuk mengurangi
pepat di dalam dadanya. Karena itu maka tiba-tiba ia berkata lantang, "Tidak! Aku tidak
percaya! Di dalam keadaan serupa ini, mustahil kalau kau hanya
sekedar menggembala saja sampai di tempat ini, justru di
samping gardu peronda. Nah, katakan, bahwa kau termasuk
salah seorang petugas sandi dari Kakang Sidanti!"
Gembala itu memandang wajah Pandan Wangi tanpa
mengedipkan matanya. Tergagap ia menyahut, "Tetapi, tetapi,
aku tidak kenal dengan Sidanti."
*** "Bohong!" bentak Pandan Wangi, "Kau kira aku dapat
mempercayainya" Aku tidak dapat melupakan saat kita bertemu
di tengah jalan, ketika aku kembali dari Kakang Sidanti.
Beberapa orang liar yang tak dikenal berjalan menyusulku. Kau
berada di tempat itu juga pada waktu itu. Mustahil bahwa kau
bukan tidak kehilangan kambing-kambingmu, atau bahkan
nyawamu, kalau kau salah seorang dari mereka. Aku tahu,
bahwa waktu itu kau sengaja menghambat perjalanannku,
supaya orang yang tidak aku kenal itu dapat menangkapku."
Gupita menjadi semakin heran mendengar kata-kata Pandan
Wangi yang mengalir seperti banjir itu. Dipandanginya saja
wajah gadis itu dengan mulut ternganga.
"Nah, apakah kau masih akan ingkar?" bertanya Pandan
Wangi. Wajah gembala itu menjadi tegang, sejenak kemudian
menjadi pucat dan berubah lagi menjadi kemerah-merahan.
"Jangan ingkar!" Pandan Wangi membentak pula.
Kini gembala ilu menjadi gemetar. Tergagap ia mencoba
Menjelaskan, "Aku benar-benar seorang gembala yang
sedang menggembala kambing-kambingku di sini. Aku tidak
berbuat lain, dan aku sama sekali bukan petugas sandi dari
Sidanti." "Coba katakan kepadaku, Gupita," berkata Pandan Wangi,
"kenapa kau terlepas dari tangan orang-orang liar yang waktu itu
mendatangi kau sepeninggalku?"
Gupita tampak menjadi semakin gugup, "Aku tidak tahu,
kenapa mereka membiarkan aku. Mereka hanya bertanya, apa
kerjaku di sana waktu itu. Mereka bertanya, apakah aku petugas
sandi dari Ki Argapati. Tetapi aku menjawab, bahwa aku
hanyalah seorang gembala. Lalu salah seorang dari mereka
menampar mukaku seningga aku jatuh ke dalam parit.
Seterusnya, mereka pergi. Dan bukankah aku bukan petugas
sandi dari Ki Argapati dan bukan pula dari Sidanti?"
"Bohong!" potong Pandan Wangi. Namun terasa sesuatu
yang aneh semakin mencengkam jantungnya. Gembala itu
benar-benar memiliki kelainan dari gembala-gembala di Tanah
Perdikan Menoreh. Dan kelainan itu telah mendebarkan jantung
Pandan Wangi semakin cepat. Tatapan matanya seolah-olah
telah mengguncang seluruh isi dadanya.
Tetapi Pandan Wangi mencoba menolak pengaruh yang tidak
dikenalnya itu. Sambil menggeretakkan giginya, ia menunjuk ke
arah kejauhan. Sejenak kemudian ia menggeram, "Pergi! Pergi
kau dari tempat ini supaya kau tidak menjegal. Bawalah
kambing-kambingmu sejauh-jauhnya dari induk padukuhan
Menoreh, sebelum kami bertindak atasmu. Menurut penilaian
kami, kau pantas dicurigai dalam keadaan serupa ini. Tidak ada
seorang gembala pun yang berani menggembalakan kambingkambingnya
di tempat terbuka seperti kau. Mereka hanya
mencoba menggembala di pategalan-pategalan yang berada di
ujung-ujung padesan."
"Tetapi, tetapi," suara gembala itu semakin tergagap,
bukankah aku juga menggembala di ujung padesan. Aku berani
menggembala di sekitar tempat ini, justru aku tahu, bahwa
tempat ini pasti aman karena dekat dengan gardu peronda."
"Tetapi kau kemarin menggembala di seberang bulak ini."
"Pengalaman yang kemarinlah yang memaksa aku untuk
menggembala di sini."
"Bohong! Bohong!" Pandan Wangi tiba-tiba berteriak.
Tangannya masih menunjuk ke kejauhan dan mulutnya berkata,
"Pergi, cepat, selagi kau masih mendapat kesempatan. Apabila
kesempatan itu tidak ada lagi, maka sikap kami akan sangat
berlainan. Mungkin kau dapat kami tangkap dan kami bawa
kepada pimpinan pengawal tanah ini."
"Jangan, jangan," gembala itu kini berjongkok dan kemudian
berdiri pada lututnya, "aku jangan ditangkap. Aku akan pulang
kepada ayahku yang sudah tua."
"Kalau kau akan pulang, cepat, pulanglah sekarang."
"Baik. Baik. Aku akan pulang sekarang," jawab gembala itu
sambil tertatih-tatih berdiri. Selangkah-selangkah ia berjalan
meninggalkan Pandan Wangi, menghampiri kambingnya yang
sedang diikati. Namun tiba-tiba langkahnya tertegun, karena
Pandan Wangi memanggilnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya
Pandan Wangi sedang berjongkok memungut serulingnya yang
agaknya terjatuh. Gupita terpaku sejenak di tempatnya. Sejak pertemuannya
kemarin, ia masih belum sempat memandangi wajah gadis itu,
seperti saat ia berjengkok mengambil serulingnya. Wajah yang
tegang itu tiba-tiba menjadi tenang. Ketika gadis itu mengangkat
wajahnya, memandanginya dengan seruling di tangangannya,
tampaklah betapa wajah itu memancar seperti bintang pagi.
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia menyadari
dirinya, maka tiba-tiba ia pun berjongkok sambil berkata, "Itu
serulingku." Pandan Wangi mengangguk perlahan. Ia tidak tahu,
pengaruh apakah yang telah mencengkamnya. Tiba-tiba ia tidak
dapat membentak lagi seakan-akan terpesona oleh seruling
yang telah didengar, betapa merdu suaranya.
"Marilah," desis Pandan Wangi, kemudian sambil
mengacungkan seruling itu.
Gupita menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia
bergeser maju sambil menjawab, "Terima kasih."
Ketika Gupita menerima serulingnya, terasa tangan Pandan
Wangi itu bergelar. Dan seolah-olah getar itu telah merambat
sepanjang tangannya menyentuh dadanya.
"Terima kasih," sekali lagi Gupita berdesis, "sekarang
perkenankanlah aku pergi."
Pandan Wangi mengangguk kecil. Tetapi tanpa sesadarnya,
ia berkata, "Kau pandai meniup seruling."
"Aku belajar sejak kecil. Sejak aku dapat membedakan tinggi
rendah nada." Pandan Wangi mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berkata
sesuatu. "Sekarang aku akan pulang," berkata Gupita kemudian, "kalau
kalian berubah pendirian, maka aku tidak akan mendapat
kesempatan lagi untuk pergi meninggalkan tempat ini."
Sekali lagi Pandan Wangi mengangguk. Tetapi ia masih saja
berdiam diri. "Bukankah aku harus pergi?"
Terasa dada Pandan Wangi menjedi berdebar-debar.
Sejenak ia terpukau dalam kebingungan. Sesaat ia seakan-akan
telah kehilangan akal. Namun tiba-tiba kesadarannya seakanakan
telah melonjak kembali di dalam dadanya. Tiba-tiba pula ia
menggeretakkan gigi. Dengan tangkasnya ia meloncat berdiri
sambil membentak, "Pergi. Pergi. Cepat. Kau membuat aku
muak dengan solah tingkahmu yang bodoh itu."
Gupita terkejut, melihat sikap yang tiba-tiba saja berubah.
Tetapi sejenak kemudian ia menyadari keadaannya. Sekali ia
membungkukkan kepalanya dalam-dalam sambil bergumam,
"Terima kasih atas kesempatan ini. Aku akan pulang kepada
ayahku, dan mengatakan bahwa aku telah bertemu dengan
puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh, yang bernama Pandan
Wangi. Aku telah diberinya kesempatan untuk meninggalkan
tempat ini, meskipun dengan tidak sengaja aku telah memasuki
daerah terlarang." "Jangan banyak bicara. Cepat pergi. Kau terlampau
memuakkan bagiku. Setiap gembala yang malas seperti kau,
tidak akan banyak berarti bagi tanah ini."
Gupita masih ingin menjawab. Tetapi Pandan Wangi telah
mendahului membentaknya, "Jangan bicara lagi. Pergi sebelum
aku memanggil para pengawal untuk menangkapmu."
Gupita mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia
membungkukkan kepalanya, kemudian melangkah surut.
Dengan ragu-ragu ia memutar tubuhnya dan berjalan
menghampiri kambingnya yang sedang diikatnya. Dengan
tergesa-gesa ia melepas tali yang mengikat kambing itu pada
sebatang pohon perdu. Kemudian dilecutkannya cambuknya dan
digiringnya kambing-kambing itu pergi.
Tetapi belum lagi sepuluh langkah, maka diletakkan ujung
serulingnya di mulutnya. Sejenak kemudian terdengarlah sebuah
lagu yang melengking tinggi, seperti jerit seorang gadis yang
kegirangan menyambut kekasih dari medan perang. Kemudian
suara seruling itu berderai seperti gelak tertawa yang renyah.
"Diam. Diam kau!" teriak Pandan Wangi tanpa sebab.
Suara seruling itu membuat jantungnya seakan-akan berhenti
bergetar. Dengan serta merta dipungutnya sebutir batu dan
dilemparkannya kuat-kuat ke arah Gupita yang masih meniup
serulingnya sambil melangkah menjauh. Tetapi suara
serulingnya itu segera terputus, ketika sebuah batu jatuh tepat di
sampingnya. Ketika ia berpaling dilihatnya Pandan Wangi berdiri tegak
sambil bertolak pinggang. Tetapi Gupita tidak berani lagi berkata
sepatah kata pun. Bahkan kemudian langkahnya pun dipercepat
meninggalkan tempat itu. Namun dikejauhan sekali lagi ia
berpaling. Ketika ia masih melihat Pandan Wangi berdiri di
tempatnya, maka tiba-tiba diangkatnya cambuknya tinggtinggi.
Cambuk itu berputar di udara seperti baling-balinh. Sejenak
kemudian terdengarlah cambuk itu seolah-olah meledak di
udara. Letupan cambuk itu serasa memecahkan dada Pandan
Wangi. Semula ia telah dicengkam keheranan, bahwa gembala
itu dapat meledakkan cambuk sekeras itu. Tetapi kemudian,
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebagai seorang yang memiliki ilmu yang cukup, segera Pandan
Wangi menyadari, bahwa letupan cambuk itu bukan sekedar
letupan biasa. Terasa sebuah tenaga yang terlampau kuat lelah
membantu menggerakkan tangannya dan meledakkan cambuk
itu. Terasa darahnya menjadi semakin cepat mengalir. Kini baru
disadarinya, bahwa sorot mata yang lain pada gembala itu, sama
sekali bukan sorot mata yang jujur tetapi dungu. Kini baru
disadarinya, bahwa pada sorot mata itu memancar sebuah
kekuatan yang luar biasa.
Sejenak Pandan Wangi terpaku di tempatnya. Ia merasa
bahwa bukan gembala itulah yang dungu, tetapi betapa
bodohnya dirinya sendiri. Tetapi gembala itu sudah jauh.
Gembala itu sudah tidak dilihatnya lagi.
Yang kemudaan merambat di dadanya adalah dugaan yang
kuat, bahwa sebenarnyalah gembala itu seorang petugas sandi
yang dikirim oleh kakaknya, Sidanti. Berbareng dengan itu, maka
segera ingatannya terbang kepada ayahnya. Malam nanti, saat
purnama naik. Ayahnya akan menjumpai Ki Tambak Wedi di
bawah Pucang Kembar. Dada Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar.
Menoreh benar-benar sedang disaput oleh asap yang tebal.
Gelap. Masa depan dari tanah perdikan ini sama sekali tidak
dapat diduga-duga. Mungkin Menoreh akan tetap tegak berdiri
setelah mengalami goncangan yang dahsyat, tetapi mungkin
Menoreh akan menjadi abu, terbakar oleh api perselisihan di
antara mereka sendiri. Tetapi Pandan Wangi tidak dapat berbuat sesuatu.
Semuanya telah meluncur menuju ke puncak peristiwa ini.
Malam nanti, saat purnama naik. Ki Gede Menoreh akan
berhadapan dengan Ki Tambak Wedi. Baru setelah itu Ki Gede
Menoreh akan menentukan sikap. Tetapi bagaimana kalau ia
sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi" Apalagi melakukan
perlawanan". Bahkan menyaksikan apa yang terjadi kemudian
pun sudah tidak mungkin lagi.
Dalam kegelisahan itu, Pandan Wangi mendengar suara
langkah di belakangnya. Ketika ia berpaling dilihatnya seseorang
mendekatinya. Seorang pemimpin pengawal yang tadi berada di
rumahnya berbicara dengan ayahnya.
"Pandan Wangi," katanya, "Ki Gede Menoreh memanggilmu.
Kau harus pulang sekarang."
"Kenapa?" Orang itu menjadi heran. Keadaan sudah sedemikian
panasnya dan Pandan Wangi masih bertanya mengapa. Namun
ia menjawab juga, "Ayahmu ingin berbicara dengan kau."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Kemudian
dianggukkannya kepalanya sambil berkata, "Baiklah. Aku akan
segera pulang." Dengan langkah yang malas, Pandan Wangi meninggalkan
tempat itu. Sekalsekali ia masih berpaling ke arah Gupita
menghilang di balik dedaunan. Aneh sekali kesannya tentang
gembala itu. Ia menyangka, bahwa gembala itu seorang petugas
sandi dari kakaknya. Mungkin ia termasuk salah seorang dari
orang-orang liar yang kini berada di Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi meskipun demikian, perasaannya mendapat sentuhan
yang lain dari orang-orang liar yang lelah dijumpainya, dan
bahkan mencegat perjalanannya. Kesannya kepada Gupita
mempunyai corak tersendiri. Sorot matanya dan tingkah lakunya.
"Seandainya ia salah seorang dari mereka yang membantu
kakang Sidanti, maka orang ini pasti golongan yang lain dari
orang-orang yang telah mencegatku kemarin," berkata Pandan
Wangi di dalam hatinya. Namun kemudian ia sekali lagi
menggeretakkan giginya sambil berdesis, "Buat apa aku
mempersoalkannya dari mana ia datang" Kalau benar-benar ia
berpihak kepada Kakang Sidanti, maka orang itu pun harus
disingkirkan. Ia hanya akan mengotori tanah ini dengan
tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab," Pandan
Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian ia
berdesis, "Ia harus dilenyapkan. Tak ada orang lain yang pantas
mempersoalkan tanah ini, selain orang-orang Menoreh sendiri.
Tidak seorang pun dari para pengawal yang telah mengenalnya.
Gupita. Nama itu pun asing bagi para pengawal. Seandainya
benar-benar ia anak Menoreh, pasti salah seorang dari para
pengawal itu mengenalnya atau setidak-tidaknya mendengar
namanya." Tiba-tiba Pandan Wangi mempercepat langkahnya. Tiba-tiba
saja ia ingin segera bertemu dengan ayahnya dan
menceriterakan tentang seorang gembala yang aneh yang telah
dijumpainya dua hari berturut-turut.
Ketika Pandan Wangi masuk ke pringgitan, ayahnya masih
duduk bersama beberapa orang. Ketika ia membuka pintu,
dilihatnya ayahnya itu berpaling. Tetapi sinar mata ayahnya telah
mengejutkan hati Pandan Wangi. Mata itu tampaknya terlampau
dalam, dan terlampau suram.
Sejenak Pandan Wangi berdiri termangau-mangu, sehingga
ayahnya menyapainya, "Darimana kau, Wangi?"
"Dari ujung jalan di mulud desa, Ayah."
"Kemarilah, Wangi," suara ayahnya datar, dalam nada yang
dalam sekali, "duduklah."
Pandan Wangi pun kemudian duduk di hadapan ayahnya.
Sejenak ia menundukkan kepalanya sambil berdiam diri. Ia
menunggu ajahnya mendahului bertanya kepadanya. Tetapi
ternyata ayahnya tidak bertanya lagi. Yang didengarnya adalah
keterangan ayahnya tentang pembicaraan yang telah
dibicarakannya dengan para pemimpin tanah perdikan ini dan
para pemimpin pengawal. "Pandan Wangi," berkata ayahnya, "kau sudah cukup
dewasa. Kau tidak boleh tetap pada angan-angan seorang gadis
kecil yang sedang bermain-main. Tanah perdikan ini sekarang
sedang dibakar oleh suasana yang semakin panas. Setiap saat
dapat meledak peristiwa-peristiwa yang tidak kita kehendaki.
Dan kau tahu, bahwa nanti malam aku telah mengikat janji
dengan Ki Tambak Wedi. Janji itu harus aku tepati. Aku harus
datang ke bawah Pucang Kembar, untuk membuat perhitungan
pribadi. Meskipun persoalan yang berkembang kini adalah
persoalan antara Menoreh dan Pajang, yang menyangkut diri
kakakmu, Sidanti, tetapi masalah pribadilah yang telah
meledakkan hati kami masing-masing, sehingga kami telah
melontarkan janji tanpa dapat kami kendalikan lagi."
Ayahnya berhenti sejenak. Sesaat ia berdiam diri sambil
memandangi anyaman tikar di bawah kakinya. Sejenak
kemudian, suaranya yang datar terdengar lagi mengambang,
"Pandan Wangi. Semuanya akan mungkin terjadi. Tentang tanah
ini dan tentang diriku sendiri. Karena itu, aku minta kalian selalu
bersiaga. Mungkin Sidanti dan Argajaya akan menggunakan
kesempatan selagi aku berada di bawah Pucang Kembar
bersama Ki Tambak Wedi. Karena itu, selagi aku pergi, Pandan
Wangi, kau harus tetap berada di rumah ini untuk memegang
segenap pimpinan, bersama para pemimpin pengawal. Kau
dapat mendengar nasehat mereka. Kau pertimbangkan,
kemudian kau dapat mengambil keputusan yang kau anggap
baik. Lakukanlah menurut kata hatimu, Kau tidak perlu
menunggu aku lagi. Juga seandainya malam nanti ayah tidak
kembali." "Ayah," suara Pandan Wangi terpotong di kerongkongan.
"Sudah aku katakan. Kau bukan anak-anak lagi. Kau bukan
seorang gadis yang sedang menunggu kekasih merantau. Kau
adalah seorang puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang
telah sanggup membawa sepasang pedang di kedua
lambungnya. Nah, hatimu harus sesuai dengan sikapmu, dengan
pedangmu dan dengan kedudukanmu sebagai seorang pewaris
satu-satunya Tanah Perdika Menoreh. Apakah kau mengerti?"
Sejenak Pandan Wangi tidak dapat mengucapkan sepatah
kata pun, Tetapi gelora di hatinya justru menjadi semakin keras
melanda dinding jantung. Pesan ayahnya itu terdengar olehnya,
seolah-olah ayahnya minta diri kepadanya, untuk tidak kembali
lagi. Memang kemungkinan yang demikian itu dapat terjadi di
dalam perang tanding. Salah seorang akan terbunuh. Dan
siapakah yang akan tertunuh itu, tidak seorang pun yang tahu.
Argapati melihat kecemasan di hati puterinya. Tetapi hal itu
adalah hal yang wajar sekali. Namun ia harus mencoba
memberinya sedikit pengharapan. Katanya, "Pandan Wangi.
Sudah berulang kali aku katakan. Aku tidak akan menyerahkan
leherku sukarela. Aku akan berlahan. Aku tahu, siapakah orang
yang bergelar Tambak Wedi itu, sehingga aku dapat menduga,
apakah yang akan terjadi kemudian. Meskipun demikian,
semuanya terserah kepada kekuasaan Yang Tunggal. Namun
sejauh mungkin kita memang harus berusaha."
Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Tetapi tidak sepatah
kata pun yang diucapkannya.
"Hadapilah hari depanmu dengan dada tengadah, Wangi,"
berkata ayahnya kemudian, "semuanya akan dapat kau atasi,
apabila kau berusaha sungguh-sungguh sambil berdoa kepada
Yang Maha Esa." Ayahnya berhenti sejenak, lalu, "sekarang
biarlah aku beristirahat. Aku akan mencoba mengumpulkan
tenaga dan kekuatanku. Aku juga akan berdoa supaya aku
mendapat perlindungan. Aku tidak akan berbuat seperti saat ini,
mengumpulkan para pemimpin dan memberimu terlampau
banyak pesan, seandainya keadaan tanah ini tidak sedang
panas seperti ini. Seandainya janji itu tidak kami ucapkan dalam
kemelutnya asap perpecahan di tanah perdikan ini, maka aku
tidak akan memberitahukannya kepada siapa pun juga. Tetapi
kali ini tidak mungkin, sebab keadaan akan berkembang di luar
kemungkinan aku tangani sendiri selagi aku sedang berada di
bawah Pucang Kembar. Itulah sebabnya aku berpesan
kepadamu dan kepada para pemimpin tanah perdikan ini dan
para pemimpin pengawal. Tetapi kau tidak perlu menjadi cemas.
Kau harus bersikap benar-benar seperti seorang putera Kepala
Tanah Perdikan. Kalau kau menjumpai goncangan-goncangan
perasaan, dan kau tenggelam di dalamnya, maka seluruh tanah
ini akan tenggelam pula. Karena itu, kau harus tetap tabah. Kau
harus mampu menguasai perasaanmu, supaya kau dapat
berbuat sebaik-baiknya demi tanah yang kita pertahankan ini."
Pandan Wangi masih menundukkan kepalanya. Ia masih
tetap diam. Namun ia berjanji di dalam hatinya, akan melakukan
segala pesan ayahnya. "Wangi," berkata ayahnya, "kau jangan pergi lagi. Kau harus
selalu berada di rumah, supaya kau melihat aku meninggalkan
rumah ini." Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Dengan mata yang
basah, dipandanginya wajah ayahnya yang suram. Dan ia
mendengar ayahnya berkata, "Jangan kau basahi pipimu dengan
air mata. Itu adalah tingkah laku seorang gadis manja. Kau
bukan seorang gadis manja, dan kau bukan seorang gadis
cengeng. Kau adalah seorang gadis dengan sepasang pedang
di lambungmu." Sekali lagi Pandan Wangi tertunduk dalam-dalam. Ia tidak
dapat memandangi wajah ayahnya. Terasa getaran yang asing
menyentuh dinding hatinya.
Pandan Wangi itu masih mendengar beberapa nasehat
ayahnya, sehingga akhirnya ayahnya merasa cukup. Maka
katanya kemudian, "Sudahlah. Tinggallah kau di sini bersama
para pemimpin tanah ini. Aku akan pergi ke dalam bilikku."
Gadis itu menganggukkan kepalanya. Diawasinya saja ketika
ayahnya kemudian melangkah meninggalkan pertemuan itu.
Terasa matanya menjadi panas dan pandangannya menjadi
kabur. Ayahnya seolah-olah melangkahkan kakinya masuk ke
dalam asap putih yang tebal. Semakin lama menjadi semakin
suram. Sehingga pada suatu saat ayahnya itu seolah-olah hilang
dari pandangan matanya, tepat pada saat ayahnya melangkahi
pintu, masuk ke ruang dalam.
Bersamaan dengan itu, terasa setitik air jatuh di
pangkuannya. Baru disadarinya, bahwa air matanyalah yang
telah menghalangi pandangannya. Bukan kabut yang putih dan
bukan asap yang menelan tubuh ayahnya.
Dengan lengan bajunya, Pandan Wangi mengusap air
matanya. Tetapi ketika kemudian disadarinya dirinya, di mana ia
sedang berada, maka ia mencoba berjuang sekuat-kuatnya
untuk tidak menangis. Disekitarnya duduk beberapa orang pemimpin tanah perdikan
dan pemimpin pengawal yang terpenting. Namun tidak
seorangpun yang berbicara. Mereka tenggelam dalam
kediaman, Masing-masing menundukkan kepala mereka.
Namun dengan-demikian, dada Pandan Wangi menjadi
sesak. Kediaman itu terasa terlampau tegang menghimpit
dadanya. Karena itu, maka ingin ia pergi meninggalkan ruangan
itu, dan berjalan di luar untuk melepaskan diri dari kepengapan
udara yang menyesikkan nafasnya.
Pandan Wangi menarik nafasnya dalam-dalam sambil
mengedarkan pandangan matanya di sekitarnya. Dilihatnya
beberapa orang tua duduk termenung. Beberapa orang
pengawal dengan pedang di lambung. Seorang yang bertubuh
raksasa, masih muda duduk tepekur. Bahkan agak mengantuk.
Ketegangan suasana di pringgitan itu, seolah-olah sama sekadi
tidak mempengaruhinya. "Hem," Pandan Wangi berdesah. Ia kenal anak muda yang
bertubuh raksasa itu. Ia adalah seorang pemimpin pengawai
yang mendapat kepercayaan dari ayahnya, dan dari pempinanpimpinaa
pengawal yang lain, karena ketrampilannya bermain
senjata dan karena kekuatannya yang luar biasa. Tubuhnya
yang tinggi besar, berdada bidang, memberi kesan yang
meyakinkan, bahwa anak muda yang bernama Wrahasta itu
adalah seorang pengawal yang baik.
Pandan Wangi yang dadanya menjadi semakin sesak itu,
tiba-tiba bergumam, tidak ditujukan kepada siapapun, "Aku akan
keluar sebentar. Aku akan berada di halaman."
Anak muda yang bernama Wrahasta itu memandanginya.
Kemudian katanya, "Jangan Pandan Wangi. Kau harus tetap
berada di ruangan, ini seperti pesan Ki Gede Menoreh. Setiap
saat semua persoalan akan dibicarakan di sini. Selama Ki Gede
tidak ada, maka kaulah yang harus mengambil keputusan. Aku
telah mendapat kepercayaan untuk melindungimu, dalam
keadaan yang bagaimanapun juga, bersama beberapa orang
pengawal yang lain."
Dada Pandan Wangi berdesir. Agaknya ayahnya telah
membuat persiapan yang matang, untuk menahannya supaya ia
tidak pergi keluar padukuhan ini. Bahkan keluar halaman ini.
Mungkin ayahnya benar-benar menghendaki agar ia tetap
berada di rumah ini untuk memimpin perlawanan, apabila
keadaan tiba-tiba saja memburuk selama ayahnya berada di
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bawah Pucang-Kembar. Tetapi mungkin pula ayahnya sama
sekali tidak menghendaki, apabila pergi juga melihat apa yang
terjadi di tempat yang telah di janjikan oleh ayahnya dan Ki
Tambak Wedi itu. Karena itu, sejenak Pandan Wangi berdiam diri. Ditatapnya
wajah anak muda yang bertubuh raksasa itu. Tubuhnya memang
meyakinkan, bahwa ia adalah seorang pengawal yang baik.
Tetapi untuk tetap berada di dalam ruangan itu, Pandan
Wangi sama sekali tidak akan dapat betah. Terasa ruangan itu
terlampau panas dan sesak. Meskipun sebenarnya bahwa
dadanyalah yang terasa pepat.
"Aku akan keluar sebentar," tiba-tiba Pandan Wangi
mengulangi. Seolah-olah ia tidak mendengar kata-kata
Wrahasta. "Jangan," Wrahasta pun mencegahnya pula, "kau tetap
tinggal di sini seperti pesan ayahmu."
"Ya, aku tidak akan pergi. Tetapi aku tidak tahan berada di
dalam ruangan yang panas ini. Aku tidak akan keluar dari
halaman ini, apabila memang Ayah menghendakinya. Setiap
saat aku dapat dipanggil dan berbicara apa saja di dalam
ruangan ini." Wrahasta mengerutkan keningnya. Sesaat ia berpaling
kepada beberapa orang tua yang berada di dalam ruangan itu.
"Bagaimanakah pertimbangan kalian?"
Seorang yang berjanggut putih berkata, "Apabila Angger
Pandan Wangi tidak meninggalkan halaman, aku kira Ki Gede
Menoreh pun tidak akan berkeberatan. Sebab setiap saat ada
perkembangan keadaan Angger Pandan Wangi akan dapat
diberitahukannya untuk membuat pertimbangan dan kemudian
keputusan apa yang harus dilakukan."
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,
"Baiklah Pandan Wangi. Tetapi jangan keluar dari regol
halaman. Selain itu, aku harus mengawasimu sesuai dengan
kepercayaan Ki Gede Menoreh kepadaku."
Tetapi Pandan Wangi menggelengkan kepalanya, "Tidak
usah Wrahasta. Aku tidak akan disergap oleh musuh di dalam
halaman ini. Seandainya, ya seandainya demikian, aku akan
berteriak memanggilmu."
"Tetapi aku harus melakukan pesan Ki Gede, Pandan Wangi.
Aku harus mengawalmu disetiap keadaan."
"Sudah tentu maksud Ayah, apabila aku berada di dalam
bahaya. Tidak di halaman rumahku sendiri."
Sekali lagi Wrahasta memandang berkeliling. Dan sekali lagi
orang berjanggut putih itu berkata, "Pandan Wangi benar,
Wrahasta. Ia memerlukan pengawalan hanya apabila keadaan
sangat berbahaya baginya. Tidak di setiap keadaan seperti yang
kau katakan, apalagi selama ia berada di halaman rumah ini."
Wrahasta sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya dan
berkata, "Baiklah, tetapi jangan keluar dari halaman mi. Setiap
petugas di regol halaman telah mendapat perintah itu."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Dengan
demikian, ia merasa tidak lebih dari seorang tahanan daripada
seorang wakil Kepala Tanah Perdikan, selagi ayahnya
berhalangan melakukan tugasnya. Tetapi dengan demikian,
dugaannya menjadi semal kuat, bahwa yang penting bagi
ayahnya, bukan masalah pemecahan setiap masalah yang
berkembang apabila ia harus tetap berada di rumah ini, tetapi
supaya ia tidak pergi ke Pucang Kembar melihat pertempuran
itu. Sesaat kemudian, Pandan Wangi itupun meninggalkan
ruangan yang dirasanya terlampau panas itu. Ketika kakinya
melangh turun ke halaman, terasa udara yang sejuk menyusup
ke dalam tubuhnya. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka
dilihat matahari telah condong ke Barat.
Tiba-tiba saja dadanya berdebar kembali. Saat purnama tidak
akan terlalu lama lagi. Begitu matahari tenggelam, maka
datanglah saat yang mendebarkan jantung itu.
Dalam kegelisahannya, Pandan Wangi berjalan menyusuri
sudut-sudut rumahnya. Ketika ia sampai di muka pintu dapur,
dilihatnya beberapa orang perempuan lagi sibuk menyiapkan
makan, lebih-sibuk dari harhari biasa.
Pandan Wangi terkejut, ketika seorang perempuan setengah
umur menegurnya, "Kau belum makan, Wangi."
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Tetapi ia sama
sekali tidak merasa lapar. Karena itu, maka jawabnya, "Aku tidak
makan." "Makanlah, supaya kau menjadi segar."
Pandan Wangi menggeleng. Langkahnya kemudian
diteruskannya menuju ke halaman belakang. Menyusup di
antara tanaman di kebun. Pohon buah-buahan dan batangbatang
perdu yang rimbun. Namun di halaman belakang itupun
dilihatnya beberapa orang sedang berjaga-jaga di depan regolregol
butulan. Panas udara telah membawa Pandan Wangi duduk di bawah
sebatang pohon yang rimbun. Terasa angin yang sejuk
mengusap tubuhnya yeng penat.
Tiba-tiba Pandan Wangi itu mengangkat kepalanya. Lamatlamat
ia mendengar suara seruling mengalun lirih, seakan-akan
menyusur sepanjang silirnya angin. Suara seruling yang
menyentuh-nyentuh dinding hatinya. Ia tidak tahu, pengaruh
apakah yang telah mencengkamnya. Tetapi suara seruling itu
telah mendebarkan jantungnya.
Perlahan-lahan Pandan Wangi berdiri. Ditangkapnya suara
seruling itu selengkapnya. Nadanya yang meninggi, kemudian
perlahan-lahan menurun, seperti debar dada seorang gadis yang
menunggu kedatangan kekasih.
Tetapi sejenak kemudian, Pandan Wangi itu terkejut, ketika ia
mendengar suara gemersik di belakangnya. Ketika ia berpaling,
dilihatnya Wrahasta yang bertubuh raksasa itu telah berdiri
beberapa langkah di belakangnya.
Sejenak mereka saling memandang, namun sejenak
kemudian, Pandan Wangi melemparkan tatapan matanya ke
kejauhan, sambil bertanya, "Apakah Ayah memanggil aku?"
Perlahan-lahan anak muda yang bertubuh raksasa dan
bernama Wrahasta itu menggelengkan kepalanya. Namun
tatapan matanya masih saja melekat pada wajah Pandan Wangi,
sehingga Pandan Wangi pun kemudian terpaksa menundukkan
kepalanya. "Tidak, Wangi," jawab Wrahasta itu kemudian.
"Ayahmu tidak memanggilmu."
"Kenapa kau menyusul aku" Apakah ada sesuatu yang
penting yang harus dibicarakan?"
Wrahasta tampak ragu-ragu. Tanpa sesadarnya
dilayangkannya pandangan matanya ke sekelilingnya. Namun ia
tidak segera menjawab. Wajahnya tampak berkerut-merut, dan
di keningnya mengembun beberapa titik keringat.
Pandan Wangi menjadi heran melihat sikap Wrahasta itu. Ia
kenal betul kepadanya, karena anak muda itu terlampau sering
berada di rumahnya. Sebagai seorang pengawal yang mendapat
kepercayaan melampaui orang lain, maka setiap kali Wrahasta
mendapat tugas-tugas dari ayahnya, sehingga dengan demikian,
anak muda yang bertubuh raksasa itu sering benar berada di
antara keluarganya. Tetapi ia tidak pernah melihat sikap yang
begitu aneh dan kaku. "Pandan Wangi," berkata Wrahasta kemudian dengan suara
gemetar, "memang ada hal yang harus kita bicarakan."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Maka jawabnya,
"Baiklah. Aku akan segera kembali."
"Tidak Wangi, Tidak. Aku tidak akan membicarakannya
dengan orang lain, selain dengan kau sendiri."
Pandan Wangi menjadi semakin heran. Apalagi ketika ia
melihat keringat yang semakin banyak mengalir di kening
Wrahasta yang tinggi besar dan berdada bidang itu.
"Kenapa tidak dengan orang lain?" bertanya Pandan
Wangi. "Persoalan ini sama sekali bukan persoalan orang lain,
Wangi. Tetapi persoalan ini adalah persoalan kita berdua. Hanya
kita berdua." "Aku tidak mengerti," desis Pandan Wangi kemudian, "aku
tidak mempunyai persoalan dengan kau, Wrahasta.
"Mungkin. Mungkin kau merasa bahwa kau tidak mempunyai
persoalan dengan aku. Tetapi aku lain, Wangi. Aku merasa
mempunyai persoalan dengan kau," Wrahasta berhenti sejenak.
Wayahnya kini menjadi tegang dan nafasnya menjadi terengahengah.
Sejenak kemudian dilanjutkannya, "Persoalan ini tidak
langsung menyangkut keadaan tanah perdikan di masa yang
menegangkan ini. Tetapi mau tidak mau, persoalan ini akan
sangat berpengaruh."
"Apakah persoalan yang kau maksud itu?" bertanya Pandan
Wangi. "Wangi. Aku tidak tahu, kenapa ayahmu menyerahkan rumah
ini dalam perlindunganku. Di tanah perdikan ini ada beberapa
orang yang mendapat kepercayaan dari ayahmu selain aku.
Tetapi Ki Gede justru menyerahkannya kepadaku." Wrahasta itu
berhenti sejenak, lalu, "Dan penyerahan itu telah membuat
jantungku berdebar-debar. Sudah lama aku mengenal kau,
Wangi. Tetapi aku tidak pernah mendapat kesempatan untuk
berbicara. Dan aku memang tidak sering berbicara. Namun
dalam kediaman itu, aku telah menyimpan sesuatu di dalam
hatiku Wangi. Apakah kau dapat menangkap maksudku?"
Kini terasa jantung Pandan Wangi menjadi berdebar-debar.
Dalam keadaan serupa ini, ia mendengar persoalan yang lain
sekali dengan persoalan yang selama ini membuat darahnya
serasa bergolak. Sebagai seorang gadis yang lelah meningkat
dewasa, Pandan Wangi segera dapat menangkap maksud
Wrahasta. Tetapi sebagai seorang gadis yang belum pernah
mendengar kata-kata serupa itu, maka bajunya telah dibasahi
oleh keringat dingin, yang seolah-olah mengalir dari setiap
lubang di kulitnya. "Pandan Wangi," Wrahasta berkata seterusnya, aku ingin
mendengar tanggapanmu tentang perasaanku. Perasaanku
sebagai seorang laklaki terhadap seorang gadis. Aku
mempunyai tangkapan, bahwa ayahmu sengaja
mempertemukan kita di dalam keadaan yang sulit ini. Aku tahu
benar, bahwa apa yang dipikirkannya semata-mata
diperuntukkannya bagi tanah perdikan ini. Aku kira hal inipun
telah dihubungkannya dengan kepentingan itu pula. Supaya aku
selalu dapat melindungimu, tidak hanya sekedar di saat-saat
yang kemelut ini, maka aku harap kau dapat menerimainya."
Debar jantung Pandan Wangi menjadi semakin cepat
berdentang, seolah-olah menggelepar di dalam dadanya. Sesaat
ia tidak dapat mengucapkan kata-kata. Ia membeku, seperti
sebatang tonggak mati. Namun keringatnya mengalir seperti
terperas dari dalam tubuhnya.
"Aku ingin mendengar jawabmu, Wangi."
Pandan Wangi masih belum mampu menjawab. Bahkan
kemudian kepalanya menjadi semakin menunduk.
"Wangi. Jawablah, supaya aku dapat berbuat apa saja
untukmu, dan untuk tanah perdikan ini. Hidup matiku akan aku
serahkan sepenuhnya untuk kepentinganmu dan kepentingan
tanah ini. Seandainya aku mati sebelum aku dapat memenuhi
keinginan ini, tetapi apabila aku sudah mendengar
kesanggupanmu, aku akan rela. Aku merasa bahwa aku
berkorban untuk sesuatu yang paling berharga bagiku. Kau dan
tanah ini." Terasa kini tubuh Pandan Wangi menjadi gemetar. Ia tidak
menduga sama sekali, bahwa ia akan di hadapkan pada
persoalan ini begitu tiba-tiba. Justru pada saat hatinya
dicengkam oleh kegelisahan dan kecemasan tentang nasib
ayahnya sebentar lagi. Sebentar lagi, apabila matahari
tenggelam dan purnama naik. Pada saat itulah, akan terjadi
suatu peristiwa yang dahsyat bagi keluarganya.
"Jawablah Wangi," desak Wrahasta, "aku ingin
mendengarnya, meskipun aku sudah dapat menduga
sebelumnya. Kau pasti tidak akan ingkar dari keinginan ayabmu.
Ingat, bahwa kau telah diserahkan kepadaku."
Pandan Wangi kini menjadi semakin bingung. Persoalan yang
begitu tiba-tiba di hadapkan kepadanya, menambah hatinya
menjadi semakin pepat. "Jawablah. Jawablah Wangi, meskipun hanya sepatah kata."
The Name Of Rose 12 Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo Pedang Dan Kitab Suci 13
kemudian aku pergi menjauhkan kambing-kambing ini dan
menjauhkan diriku sendiri."
"Bohong, bohong! Kalau kami tidak dapat menemukan
Gupita, maka kau akan kami ambil sebagai gantinya. Kau harus
menanggung kesalahannya. Dan kau harus menerima
hukumannya." "Tidak, Tuan. Jangan," minta orang tua itu hampir merintih.
"Dan apakah sebenarnya kesalahan anak itu terhadap Tuan?"
Sekali lagi orang-orang itu tidak dapat menjawab. Bahkan
pertanyaan itu terulang di dalam dada mereka, "Apakah
sebenarnya kesalahan anak itu?"
Tetapi mereka sama sekali tidak menghiraukan gema yang
memantul dari dinding hati itu. Orang yang berkumis dan
berjambang segera berteriak, "Anak itu telah berani melawan
kehendak kami. Kami tidak pernah gagal untuk memenuhi
kehendak kami. Tetapi anak itu mencoba membantahnya, dan
kau mencoba menyembunyikan kambing-kambing itu."
"Apakah keinginan Tuan itu?"
"Kambing-kambingmu semua. Tetapi karena Gupita telah
membuat kami marah, maka tuntutan kami sekarang adalah
kambing-kambingmu semua dan Gupita atau kau, Kakek tua."
"Jangan, Tuan," sekali lagi orang tua itu merintih.
"Aku tidak peduli meskipun kau akan menangis sambil
mencium ujung kakiku. Selama Gupita masih belum tertangkap,
kau harus berada bersama kami. Apabila kesabaran kami
kemudian habis, maka kaulah yang akan menerima hukuman
kami." "Tetapi, tetapi aku tidak bersalah, Tuan, dan anakku pun tidak
bersalah. Anakku hanya lari dan bersembunyi. Apakah itu
kesalahan yang harus dipertanggung-jawabkannya?"
"Apa?" teriak laklaki yang tubuhnya dijalari oleh jalur-jalur
bekas lecutan cambuk Gupita. "Kau sangka anakmu hanya lari
dan bersembunyi" Lihat, seluruh tubuhku menjadi merah biru."
Orang tua itu mengerinyitkan alisnya, "Kenapa, Tuan?"
"Inilah pokal anakmu sebelum lari. Dengan membabi buta ia
mencambuk tubuhku tanpa aku sangka-sangka. Kemudian ia
berlari meninggalkan kami dan bersembunyi."
"Apakah anak itu berhasil mengenai Tuan?"
"Kenapa kau bertanya, Kakek tua" Kau lihat sendiri, betapa
tubuhku menjadi berjalur-jalur merah hitam."
Orang tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil
berdecik. "Anak itu luar biasa. Aku tidak menyangka, bahwa ia
mampu melakukannya. Ternyata ia memiliki keberanian
berbuat." "Apa, apa yang kau katakan tentang anak itu" Kau heran dan
kagum akan keberaniannya" Anak gila itu kemudian lari. Lari
dan bersembunyi. Itukah keberanian yang kau katakan itu?"
Orang itu berhenti sejenak. Nafasnya menjadi terengah-engah
menahan marah. Lalu, "Karena itu, kau harus aku tangkap.
Kalau anakmu tidak segera datang, kau akan mendapat hukum
cambuk seperti anakmu mencambuk aku. Bahkan sepuluh kali
lipat." "Jangan, Tuan, jangan."
"Aku tidak peduli. Sekarang, sebelum kami menentukan
hukuman itu kau harus membawa kambing-kambingmu bersama
kami. Dengan demikian kau akan mendapat keringanan
hukuman sekedarnya."
"Tetapi, tetapi," orang tua itu berkata terpotong-potong.
"Tetapi kambing-kambing itu adalah milik kami yang paling
berharga, Tuan. Kalau kambing-kambing itu Tuan ambil, kami
akan kehilangan milik kami. Hidup kami akan menjadi semakin
miskin, dan mungkin kami akan kehilangan sumber makan kami
sekeluarga, karena kami tidak dapat menjual setiap kali untuk
membeli kebutuhan-kebutuhan kami seharhari."
Jawaban orang tua itu sama sekali tidak dihiraukan oleh
orang-orang yang keras dan kasar itu. Mereka sama sekali tidak
peduli, apakah hal itu akan menutup kemungkinan bagi keluarga
orang tua itu untuk mendapat makan, atau kemungkinan
apapun. Mereka hanya ingin kehendak mereka terpenuhi,
meskipun sangat merugikan bagi orang lain.
Karena itu orang yang kekurus-kurusan berkata, "Jangan
banyak bicara. Ikut kami bersama kambing-kambingmu."
"Jangan, Tuan. Anak-anak dan isteriku akan menunggu aku
pulang bersama dengan kambing-kambing itu. Kalau kambingkambing
itu tidak pulang, apalagi bersama aku, maka hidup
mereka akan terguncang. Mereka tidak akan dapat mencari
makan. Dan milik mereka yang paling berharga telah hilang
pula." "Jangan banyak bicara!" teriak yang agak pendek. "Kalau kau
membantah sekali lagi, mulutmu akan aku remas sampai
hancur." Orang tua itu menggigil. Wajahnya menjadi tegang. Agaknya
ia masih ingin berbicara, tetapi kedua telapak tangannya
menutupi mulutnya. "Cepat!" teriak yang lain.
Tetapi orang tua itu belum beranjak dari tempatnya. Ia masih
berdiri gemetar di tempatnya dengan wajah yang tegang. Kedua
telapak tangannya masih saja menutup mulutnya.
"Cepat! Atau aku cambuk kau dengan pedang, he?"
Laklaki tua itu sama sekali tidak berani berbicara, karena
orang yang agak pendek itu mengancam apabila ia berbicara
sepatah kata lagi, maka mulutnya akan diremas sampai hancur.
Namun dalam ketegangan itu, tiba-tiba mereka dikejutkan
oleh derap kaki seekor kuda. Semakin lama semakin dekat.
Suaranya gemeretak di atas tanah berbatu padas.
"Setan! Siapakah yang berkuda itu" Sidanti atau Argajaya
atau siapa?" bertanya yang berkumis dan berjambang lebat.
Kawan-kawannya tidak segera dapat menjawab, sebab
mereka pun ingin bertanya demikian pula. Mereka hanya saling
pandang memandang untuk sejenak. Lalu menggeram hampir
bersamaan. Sedang derap kuda itu menjadi semakin dekat.
Seolah-olah mengarah ke tempat mereka.
Tetapi agaknya kuda-kuda itu sama sekali tidak menuju ke
tempat itu. Kuda itu berderap terus, meskipun agak dekat dari
tempat mereka. Tetapi mereka tidak dapat melihat kuda itu,
terhalang oleh pepohonan dan gerumbul-gerumbul di sekitar
mereka. "Siapakah orang itu?" sekali lagi orang berjambang itu
berdesis. "Apakah ia sengaja mencari kita di sini?"
Tak ada jawaban. Namun wajah-wajah itu menjadi semakin
tegang. Dan ketegangan itu menjadi semakin tegang ketika
sekali lagi mereka mendengar derap seekor kuda yang lain,
seolah-olah sedang mengejar kuda yang pertama. Berpacu tidak
kalah cepatnya, dan suara derap kakinya pun gemeretak
menyentuh batu-batu padas di sepanjang jalan.
"Apakah yang telah terjadi?" desis yang kekurus-kurusan.
"Apakah mereka orang-orang Pandan Wangi yang telah
men"dengar tentang persoalannya?"
Kawan-kawannya tidak menyahut. Tetapi ketegangan
semakin mencengkam dada mereka. Meskipun derap kuda yang
kedua ini pun semakin lama menjadi semakin jauh, dan lambat
laun lenyap pula dari pendengaran mereka.
"Kita harus segera kembali," desis yang berkumis dan
berjambang. "Mungkin kita harus segera mempersiapkan diri
kita. Siapa tahu, Argapati telah mulai menggerakkan orangorang
karena persoalan Pandan Wangi."
"Marilah," sahut yang lain. "Tetapi kita bawa orang tua ini dan
kambing-kambingnya pula."
Sejenak mereka saling memandang. Namun kemudian yang
seorang lagi berkata, "Ya, kita bawa orang tua ini beserta
kambing-kambingnya." Lalu kepada gembala tua itu ia
membentak, "Cepat, sebelum aku memanggal lehermu."
"Tetapi, tetapi," gembala tua itu ingin berbicara.
Tetapi suaranya terpotong, "Tutup mulutmu. Ayo bawa
kambing-kambingmu segera bersama kami."
Gembala itu berpaling. Dilihatnya kambing-kambingnya yang
gemuk-gemuk sedang makan dengan asyiknya, rerumputan dan
daun-daun muda pada gerumbul-gerumbul di sekitarnya, di
dalam pategalan. Orang tua itu membawa kambing-kambingnya
ke tempat itu untuk bersembunyi dan menyembunyikan
kambing-kambing itu, tetapi ternyata orang-orang itu dapat
menemukannya. Agaknya ia tidak dapat berbuat lain daripada menuruti
perintah orang-orang yang buas itu. Membawa kambingkambingnya
berserta mereka. Betapapun beratnya.
Tetapi sekali lagi mereka dicengkam oleh ketegangan yang
memuncak. Sekali lagi mereka mendengar derap seekor kuda,
dari jurusan yang sama dari kuda-kuda yang telah
mendahuluinya. Berpacu seperti angin. Cepat sekali derap itu
mendekat dan lewat tidak jauh dari tempat itu.
"Gila," geram salah seorang dari orang-orang itu. "Kita harus
melihat siapakah mereka itu. Cepat, kita keluar dari pategalan
ini. Tetapi hathati, jangan menampakkan diri kita sebelum tahu
siapakah mereka itu."
Sejenak mereka tidak mengingat lagi kepentingan mereka
dengan kambing-kambing itu. Perlahan-lahan mereka merayap
ke pinggir pate"galan, supaya dari atas dinding batu, mereka
dapat melihat lepas menyeberang bulak yang sempit, sampai ke
jalan kecil yang melintas di tengah sawah yang sempit pula.
Suara kuda yang berderap itu, agaknya berasal dari jalan sempit
itu. Belum lagi mereka sampai ke pinggir dinding batu, ternyata
suara derap yang sudah hampir tidak terdengar lagi itu disusul
oleh derap kakkaki kuda berikutnya. Secepat kuda-kuda yang
terdahulu pula. "Apakah artinya ini?" desis yang berdahi lebar. Kawankawannya
tidak menyahut. Tetapi mereka merangkak semakin
cepat supaya mereka dapat melihat siapakah yang sedang
berkuda dengan cepatnya itu.
Ketika mereka menjengukkan kepala mereka, ternyata kuda
itu telah agak lampau, sehingga mereka hanya dapat melihat
punggung seseorang di atas kudanya yang berpacu secepat
tatit. Nampaknya seorang anak muda dengan pakaian yang baik,
dan sebilah keris di punggungnya.
Sejenak keenam orang itu seolah-olah membeku. Mereka
tidak melihat wajah orang berkuda itu, dan mereka tidak dapat
mengenalnya. Lebih daripada itu, mereka sama sekali tidak
dapat menduga, orang-orang siapakah yang berkuda berurutan
dari arah dan menuju ke arah yang sama. Apakah mereka
sekelompok orang-orang tertentu, ataukah mereka saling
berkejaran. Wajah-wajah yang kasar itu pun sejenak menegang. Mereka
saling berpandangan, tetapi mereka tidak menemukan jawaban
apapun pada wajah-wajah yang kasar dan tegang itu.
Dalam kesenyapan itu tiba-tiba yang berkumis dan
berjambang menggeram, "Kita harus segera kembali. Mungkin
sesuatu segera akan terjadi di atas Tanah Perdikan ini. Mungkin
Argapati tidak dapat mengendalikan diri lagi karena Pandan
Wangi mengatakan apa yang telah terjadi atasnya."
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Marilah. Kita memang harus segera kembali."
"Tetapi bagaimana dengan kambing-kambing itu?"
Yang berkumis dan berjambang mengerutkan keningnya.
Tetapi ia kemudian berkata, "Kita tidak dapat menunggu lebih
lama lagi. Orang-orang berkuda itu merupakan teka-teki bagi
kita. Marilah, lain kali saja kita pasti akan mendapatkannya lebih
banyak dari kambing-kambing itu."
Ajakan itu ternyata merupakan yang paling baik buat
melepaskan ketegangan hati mereka. Karena itu, maka ketika
orang yang berjambang, dan berkumis itu meloncati pagar batu,
maka yang lain pun segera berloncatan pula tanpa berpaling lagi
kepada sekawanan kambing-kambing yang sedang asik makan
rerumputan. Dengan tergesa-gesa mereka berjalan beriringan
menuju ke rumah Argajaya untuk mendapat penjelasan, apakah
yang sudah terjadi" Apakah api di atas bukit Menoreh memang
sudah mulai berkobar" Bagi mereka, apabila hal itu terjadi lebih
cepat, memang lebih baik. Mereka akan segera lebih leluasa lagi
untuk melakukan kehendak mereka. Merampas dan merampok,
dan apa saja selain janji mereka membantu Sidanti
mengalahkan Argapati. Sementara itu, Pandan Wangi dan Samekta telah hampir
sampai ke pedukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Dengan
berdebar-debar mereka mempercepat langkah kuda-kuda
mereka. Mereka ingin segera sampai kepada Argapati, supaya
orang tua itu tidak terlampau cemas menunggu puterinya.
Ketika mereka semakin dekat dengan padukuhan induk, hati
mereka menjadi semakin berdebar-debar. Tiba-tiba saja dari
balik dedaunan, mereka melihat ujung-ujung senjata berkilatkilat.
Di mulut jalan berkumpul beberapa orang pemimpin
pengawal Tanah Per"dikan, siap dengan segala perlengkapan
perang. Bahkan beberapa ekor kuda dan perlengkapanperlengkapan
lain yang diperlukan. "Apakah artinya ini, Paman Samekta?" bertanya Pandan
Wangi. "Ini adalah ujud dari kecemasan seorang Kepala Tanah
Perdikan yang kehilangan seorang anaknya," jawab Samekta.
"Ketika aku berangkat ayahmu berpesan, supaya aku
membawamu pulang. Kalau tidak, maka pertumpahan darah
akan segera ter"jadi."
"Ah," Pandan Wangi tiba berdesah, "jangan. Jangan, Paman."
"Tergantung kepada Ki Argapati dalam menanggapi keadaan
ini." Wajah Pandan Wangi tiba-tiba menjadi tegang. Tanpa
sesadarnya dilecutnya kudanya dengan ujung kendali, sehingga
kuda itu pun meloncat, dan berlari semakin cepat.
Ketika mereka memasuki mulut padukuhan induk, maka
Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar karenanya.
Dilihatnya ujung senjata seperti ujung batang ilalang. Bertebaran
di halaman, di sissisi jalan. Para pengawal Tanah Perdikan
yang masih setia kepada Argapati ternyata sudah benar-benar
siap melakukan tugasnya. Meskipun mereka dipersiapkan
dengan tergesa-gesa, namun karena kesiagaan mereka, maka
kekuatan mereka pun cukup mendebarkan jantung.
Terasa ketegangan mencengkam dada Pandan Wangi.
Sejenak kudanya terhenti ketika ia menarik kendali.
Diedarkannya pandangan matanya di sekitarnya, dan dilihatnya
wajah yang tegang dan menahan kemarahan. Tetapi wajahwajah
itu membayangkan kelegaan hati ketika mereka melihat
Pandan Wangi datang kembali bersama utusan Ki Argapati,
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang bertugas untuk menjemputnya. Tiba-tiba Pandan Wangi
terkejut ketika ia mendengar suara memanggilnya, "Pandan
Wangi." Suara itu adalah suara yang telah sangat dikenalnya. Dan
ketika ia berpaling, maka dilihatnya ayahnya berdiri tegak
dengan sebatang tombak pendek di tangannya.
Melihat sikap ayahnya, debar di dada Pandan Wangi terasa
semakin berguncang. Ia kenal sikap itu. Ayahnya dengan
tombak pendek itu di tangan, adalah pertanda bahwa ia sudah
siap untuk melakukan apa pun.
"Ayah," tiba-tiba Pandan Wangi meloncat turun dari
kuda"nya, dan segera berlari kepada ayahnya. Seperti kanakkanak
yang mendapat perlakuan yang nakal dari kawankawannya,
Pandan Wangi memeluk pinggang ayahnya sambil
menangis tersedu-sedu. "Apakah yang sudah terjadi, Wangi?" bertanya ayahnya.
Pandan Wangi tidak menyahut. Bahkan isak tangisnya serasa
semakin menyumbat dadanya.
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk
menenangkan dirinya sendiri, dan menenangkan hati puterinya.
"Jangan menangis, Wangi. Berkatalah apa yang telah terjadi
denganmu. Aku telah memerintahkan Pamanmu Samekta, untuk
menjemputmu dengan segala macam akibat yang dapat terjadi.
Dan aku kini telah siap, apa pun yang akan dilakukan oleh
Sidanti, anak durhaka itu."
"Tidak, Ayah, tidak," desis Pandan Wangi disela-sela
tangisnya. "Ayah jangan tergesa-gesa berbuat sesuatu."
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Dengan nada yang
dalam ia bertanya, "Kenapa, Wangi?"
Sejenak Pandan Wangi tidak menyahut. Terasa isaknya
se"makin menyekat dadanya. Ketika ia melepaskan pelukannya,
dan memandang berkeliling, dilihatnya beberapa orang
pemimpin pengawal Tanah Perdikan sedang mengerumuninya.
Dari wajah-wajah mereka memancarlah tekad hati yang bulat,
untuk melakukan apa saja yang diperintahkan oleh Ki Argapati,
Kepala Tanah Per"dikan Menoreh.
Terasa jantung Pandan Wangi menjadi semakin cepat
berdetak. Terbayang di pelupuk matanya, apa yang dapat terjadi
atas Tanah kelahiran ini. Pertumpahan darah dan pepati. Tanah
yang selama ini selalu dinafasi oleh kedamaian dan
ketenteraman tiba-tiba kini bergolak demikian dahsyatnya.
"Pandan Wangi," terdengar suara Argapati, "kita sudah tidak
mempunyai pilihan lain daripada ini."
Pandan Wangi tidak segera menjawab. Tetapi titik-titik air
matanya masih mengalir di pipinya.
"Apalagi apabila telah terjadi sesuatu dengan kau. Maka aku
sama sekali tidak akan menunda lagi, meskipun saat purnama
naik sudah berada di depan hidungku. Aku tidak akan menunggu
lagi, betapapun aku akan disebut sebagai seorang yang
kehilangan sifat-sifat kejantananku, karena aku tidak memenuhi
janjiku." Argapati diam sejenak. Lalu, "Apakah terjadi sesuatu
atasmu?" Perlahan-lahan Pandan Wangi mengangguk lemah.
"He," wajah Argapati menjadi semakin merah. "Katakan,
apakah yang sudah terjadi, supaya hati ini menjadi semakin
terbakar oleh kepastian, bahwa aku akan menghancurkannya."
Sejenak Pandan Wangi berpaling. Dipandanginya Samekta
yang kini telah berdiri di belakangnya pula. Dan sejenak
kemudian ia mulai menceriterakan apa yang telah dialaminya.
Ketika ia dihentikan oleh orang-orang yang tidak dikenalnya
dengan wajah-wajah yang bengis dan kasar.
Terdengar Argapati menggeram. Tangannya menggenggam
tangkai tombaknya semakin erat. Hampir tidak sabar ia
mendengarkan Pandan Wangi masih juga meneruskan
ceriteranya. "Aku bertempur dengan mereka, Ayah," desis
Pandan Wangi. "Mereka berenam berkelahi bersama-sama."
Mata Argapati kini seakan-akan telah menyala. Dan hanya
dengan susah payah ia masih berhasil menahan dirinya untuk
mendengar ceritera puterinya itu. Meskipun semakin lama
dadanya menjadi semakin panas dan bahkan hampir meledak
karenanya. "Tidak ada pilihan lain. Aku harus mulai sekarang, apapun
yang akan terjadi." "Aku belum selesai Ayah."
"Aku sudah tahu akhir dari ceriteramu. Untung Samekta
datang tepat pada waktunya, sehingga ia dapat membantumu
melepaskan diri dari tangan mereka," nada suara Argapati
terlampau dalam, dan datar. Tetapi ketika ia bergerak untuk
berbuat sesuatu, tangannya ditahan oleh puterinya.
"Bukan, bukan begitu, Ayah," berkata Pandan Wangi.
Argapati mengerutkan keningnya. "Bagaimanakah akhirnya?"
Pandan Wangi berpaling kepada Samekta. Dan tanpa
sesadarnya Samekta menggelengkan kepalanya dan berkata,
"Memang bukan begitu. Aku datang agak terlambat."
"Kau terlambat?" Argapati membelalakkan matanya, "Jadi kau
tidak dapat menolongnya sama sekali."
Samekta mengangguk. Tetapi ia menjawab, "Aku memang
terlambat Ki Gede, justru setelah Pandan Wangi mendapat
pertolongan." Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Dan ia
mendengar Samekta itu berkata seterusnya, "Dan Pandan
Wangi itu pun terselamatkan dari kebuasan orang-orang liar itu."
"Siapakah yang telah menolongnya?" suara Argapati seolaholah
tertahan di kerongkongannya.
"Sidanti dan Argajaya."
"He," Argapati terperanjat sehingga ditatapnya wajah
Samekta dengan tajamnya. "Jadi yang menolong Pandan Wangi
adalah Sidanti dan Argajaya?"
Samekta menganggukkan kepalanya, "Ya, Ki Gede."
Argapati seolah-olah tidak percaya kepada keterangan itu,
sehingga kemudian ia bertanya kepada Pandan Wangi, "Benar
begitu, Wangi. Yang menolongmu adalah Sidanti dan Argajaya?"
Pandan Wangi mengangguk. Jawabnya, "Ya, Ayah. Kakang
Sidanti datang tepat pada waktunya. Pada saat aku hampir
menjadi putus asa." "Apakah Sidanti kemudian berkelahi melawan mereka?"
"Hal itu hampir saja terjadi," jawab Pandan Wangi. "Tetapi
agaknya Ki Tambak Wedi masih berhasil menahan mereka."
"Tambak Wedi?" bertanya Ki Argapati. "Jadi ia hadir juga
ketika itu dan menahan Sidanti dan Argajaya supaya tidak
berkelahi?" "Ya," jawab Pandan Wangi. "Tetapi terasa betapa dendam
telah membakar hati masing-masing."
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Bahkan di dalam hati
ia berdesah, "Oh, kenapa Sidanti dan Argajaya" Kenapa anak
itulah yang telah menolong Pandan Wangi, sehingga aku
merasa berhutang budi kepada mereka" Adalah wajib bagiku
untuk mengucapkan terima kasih kepada mereka karena mereka
telah melepaskan anakku dari malapetaka bahkan kematian,
meskipun Sidanti itu kakak seibu Pandan Wangi."
Perlahan-lahan wajah Argapati itu menunduk. Perlahan-lahan
pula ia melangkahkan kakinya sambil menjinjing tombaknya,
selangkah-selangkah menuju ke mulut lorong yang membelah
padukuhan induk itu. Ketika ia sudah berdiri selangkah di luar
padukuhan, ia berhenti. Dilontarkannya pandangan matanya
jauh-jauh ke depan, seolah-olah ingin dilihatnya langsung rumah
adiknya, Argajaya. Sekali lagi Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam.
Dalam sekali. Dan di dalam hatinya pula ia berkata, "Apabila
tidak ada Ki Tambak Wedi, maka persoalannya akan menjadi
jauh berbeda." Lama sekali Ki Argapati tidak beranjak dari tempatnya.
Tatapan matanya masih saja melekat di kejauhan. Jauh sekali,
sejauh angan-angannya yang membumbung ke daerah yang
tidak bertepi. Pandan Wangi merasakan, betapa benturan-benturan yang
dahsyat telah terjadi di dalam dada ayahnya. Persoalannya telah
mendorong ayahnya menjadi semakin jelas bahwa di Tanah ini
telah hadir kekuatan-kekuatan dari luar rangkah, yang justru
akan menambah kemelutnya keadaan. Tetapi ia tidak segera
dapat berbuat banyak atas Sidanti dan adiknya Argajaya, apalagi
setelah mereka menolong Pandan Wangi sendiri dari
kehancuran mutlak, bahkan melepaskannya dari maut yang
akan ditentukannya sendiri.
Ki Argapati masih tegak berdiri di tempatnya. Tampaklah di
dalam rongga matanya seolah-olah gelembung-gelembung
udara yang bergerak-gerak. Dalam terik matahari yang
membakar di siang hari, Ki Argapati merasakan betapa
panasnya hati yang membara di dalam dadanya.
Beberapa orang berdiri tegak di belakangnya. Mereka telah
bersiap menunggu perintah. Dan bahkan Pandan Wangi pun kini
telah berdiri selangkah di sampingnya. Sekalsekali Pandan
Wangi ikut, sekalsekali ditatapnya wajah Ayahnya yang keras
seperti batu padas serta memandang ke kejauhan, ke dalam
terik sinar matahari dan di pegunungan, tidak larut oleh titik-titik
air hujan, dan tidak retak dibakar terik matahari.
Setiap dada menjadi berdebar-debar karenanya. Keheningan
itu berpusar kepada Ki Gede Menoreh, yang dadanya sedang
bergetar dengan dahsyatnya. Setiap katanya kini akan
menentukan apakah yang akan terjadi di atas Bukit Menoreh itu.
Apakah bukit itu akan dibakar oleh api peperangan, ataukah
pengawal-pengawal yang telah siap untuk melepaskan senjatasenjatanya
akan ditarik kembali ke dalam kubunya.
Perlahan-lahan matahari bergeser di langit yang cerah.
Semakin lama semakin condong ke Barat. Bayang-bayang
dedaunan dan pepohonan mendadak semakin lama semakin
panjang. Ki Argapati masih berdiri mematung. Wajahnya menjadi
basah oleh keringat yang merentul di keningnya. Kulitnya pun
kini telah menjadi semerah warna tembaga.
Ki Argapati adalah seorang pemimpin yang tegas. Yang
menentukan sikap tanpa ragu-ragu, apabila perhitungannya
sudah menentu. Ia dapat berbuat apa saja untuk kepentingan
Tanah Perdikannya. Bahkan kalau perlu kekerasan.
Tetapi dada Ki Argapati kini dibakar oleh keragu-raguan yang
dahsyat. Perasaan yang hampir tidak pernah dikenalinya
sebelumnya. Tetapi karena ia sadar akan akibat tindakannya kali
ini, maka justru karena itulah ia menjadi ragu-ragu. Sudah tentu
ia sama sekali tidak menginginkan Tanah yang dibinanya selama
ini akan dimakan oleh benturan di antara mereka sendiri. Sudah
tentu ia tidak ingin melihat api akan menjilat langit di atas Tanah
Perdikan Menoreh, dan menelan rumah, dan lumbung-lumbung
padi. Sudah tentu ia tidak ingin melihat batang-batang padi muda
yang sedang menghijau di sawah-sawah akan disasak oleh kakikaki
kuda yang mendukung orang-orang bersenjata di atas
punggungnya. Dan sudah tentu hatinya akan menjadi terlampau
pedih melihat air-air di parit-parit yang jernih, sejernih embun,
akan berwarna merah karena dinodai oleh darah yang mengalir
dari luka di dada. Ketegangan yang dahsyat telah melanda setiap jantung.
Mereka menungu, dan menunggu. Sedang Argapati masih
berdiri tegak bagaikan patung yang mati.
Akhirnya ketegangan itu memuncak ketika tiba-tiba Ki
Argapati memalingkan wajahnya. Dipandanginya pengawalpengawal
Tanah Perdikan yang berada di belakangnya, yang
tersebar di halaman-halaman, dan yang berkumpul di belakang
gardu. Dipandanginya ujung-ujung senjata yang berkilat-kilat di
sela-sela pepohonan, dan yang mencuat di atas dinding-dinding
batu. Sejenak ia diam membisu, kemudian menarik nafas dalamdalam.
Dalam sekali. Para pemimpin pengawal yang berdiri dekat di belakangnya
menjadi berdebar-debar. Mereka menduga-duga perintah
apakah yang akan diterimanya. Mereka sudah tidak ada pilihan
lain. Mereka tidak dapat menunggu anak harimau itu menjadi
dewasa dan buas, yang kelak akan dapat menerkam mereka itu
sendiri. Perlahan-lahan Ki Argapati memanggil Samekta dan
beberapa orang lainnya dengan isyarat tangannya. Kemudian
dipanggilnya pula Pandan Wangi mendekat. Ia tidak dapat
melepaskan pertimbangan puterinya. Dan ia tidak dapat
menutup kenyataan bahwa Sidanti dan Pandan Wangi adalah
dua orang bersaudara yang lahir dari ibu yang sama.
Ketika orang-orang itu telah dekat sekali di samping dan di
belakangnya, terdengar suaranya parau, "Kita urungkan
pertumpahan darah hari ini."
Kata-kata itu menggetarkan setiap hati para pengawal itu.
Sejenak mereka terpaku diam di tempatnya. Mereka sama sekali
tidak mengharap bahwa tindakan Ki Argapati atas orang-orang
yang sudah jelas melawannya itu tertunda. Beberapa pasang
mata kemudian hinggap pada wajah Pandan Wangi, seolah-olah
ingin berkata kepadanya, bahwa gadis itulah agaknya yang
menunda tindakan yang seharusnya dilakukan oleh ayahnya.
Bahkan saat ini pun sudah agak terlambat menurut perhitungan
para pengawal itu. Karena itulah, maka tidak seorang pun yang segera beranjak
dari tempatnya. Para pengawal itu masih berdiri dengan wajah
dan hati yang tegang. "Kita masih harus menunda tindakan ini," sekali lagi mereka
mendengar Ki Argapati berdesis.
Beberapa orang menundukkan kepalanya sambil menggigit
bibirnya. Bahkan salah seorang dari mereka bertanya dengan
suara gemetar, "Kenapa kita masih harus menundanya Ki
Gede?" Ki Gede Menoreh tidak segera menjawab. Tetapi
tatapan matanya sekali lagi menembus terik matahari hinggap di
kejauhan yang seolah-olah tidak bertepi.
Baru sejenak kemudian terdengar suaranya dalam, "Aku akan
memberitahukan kemudian. Tetapi jangan tinggalkan kesiapTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
siagaan. Besok malam, purnama akan naik. Aku akan
mendapatkan kepastian, pada saat purnama itu turun, dan hilang
di balik bukit." Para pengawal itu saling berpandangan sejenak. Besok
malam memang purnama akan naik. Saat itu seolah-olah
mempunyai arti yang luar biasa bagi Ki Argapati. Beberapa
orang memang pernah mendengar, meskipun tidak jelas, bahwa
Ki Gede Menoreh pernah berjanji bahwa mereka akan
menunggu purnama naik. "Hari itu adalah hari yang menentukan masa depan Tanah
Perdikan ini," desis Ki Gede kemudian.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dada Pandan Wangi tiba-tiba berdesis mendengar saat yang
diucapkan oleh ayahnya. Saat purnama naik, saat ayahnya akan
bertemu dengan Ki Tambak Wedi.
Tiba-tiba terasa bulu-bulu di seluruh tubuh gadis itu
meremang. Betapa ia menjadi ngeri, membayangkan apakah
yang akan terjadi dengan ayahnya pada saat yang telah
ditentukannya itu. Sejenak Pandan Wangi terpukau diam karena angan-angan
tentang saat yang mendebarkan jantung itu. Berbagai bayangan
hilir mudik di dalam rongga matanya. Sejenak ia terkenang yang
pernah diceriterakan ayahnya kepadanya, pada saat purnama
naik beberapa puluh tahun yang lampau, seumur kakaknya
Sidanti. Pada saat ayahnya bertempur melawan Ki Tambak
Wedi untuk kehormatan nama masing-masing. Pertempuran
yang dahsyat sekali, yang tidak dapat ditentukan siapakah yang
akan menang dan siapakah yang akan kalah.
Peristiwa itu besok malam akan terulang lagi di bawah
Pucang Kembar. Ayahnya akan bertempur pula melawan Ki
Tambak Wedi. Seorang lawan seorang untuk mempertaruhkan
harga diri masing-masing, dalam mempertahankan sikap dan
tindakan. Sepercik kecemasan telah menusuk jantung Pandan Wangi
dengan tajamnya, sehingga tanpa sesadarnya gadis itu
memegang dadanya. Dan tanpa sesadarnya pula Pandan Wangi
menggigit bibirnya keras-keras.
Sekali lagi ia merasa berdiri di persimpangan jalan yang
sama-sama menuju ke dalam lembah yang gelap. Betapa
sulitnya untuk memilih jalan yang akan ditempuhnya. Yang
berdiri berhadapan dengan ayah kandungnya adalah kakaknya
sendiri. Kakak seibu. Yang selama ini dicintainya sepenuh hati.
Baru setelah ibunya itu meninggal, ia melihat seberkas noda
melekat pada warna yang selama ini dianggapnya putih bersih,
sebersih bunga menur. Namun tiba-tiba Pandan Wangi itu meloncat berlari memeluk
ayahnya sambil berkata di antara isak tangisnya, "Tidak, Ayah.
Jangan ditunda. Sebaiknya sekarang Ayah bertindak sebelum
terlam"bat. Sebelum besok Ayah sampai pada saat purnama
naik." Ki Argapati terperanjat. Sejenak ia berdiri mematung. Namun
kemudian ia dapat menangkap perasaan puterinya, Pandan
Wangi mencemaskan nasibnya besok apabila ia harus
bertempur melawan Ki Tambak Wedi di bawah Pucang Kembar.
"Ayah jangan menunggu Ki Tambak Wedi beserta orang yang
tidak kita kenal itu mendahului Ayah. Karena itu, Ayah harus
melakukannya sekarang."
Ki Argapati menahan nafasnya. Perlahan-lahan tangannya
bergerak membelai rambut anaknya. Dengan nada yang berat ia
berkata, "Tidak, Wangi. Aku tidak dapat melakukannya
sekarang. Aku ingin sampai pada janjiku dengan Ki Tambak
Wedi. Sesudah itu, barulah aku akan melakukannya."
"Tetapi, tetapi ?"?"" suara Pandan Wangi patah di
tengah. "Aku tahu yang kau cemaskan, Wangi. Bagaimanakah
seandainya aku tidak dapat lepas dari perkelahian itu, dan untuk
seterusnya aku akan kehilangan kesempatan mempertahankan
Tanah ini?" "Ayah," Pandan Wangi memekik kecil.
"Jangan kau cemaskan. Aku akan berusaha sebaik-baiknya
agar aku masih berkesempatan untuk mempertahankan Tanah
ini. Aku akan berusaha. Apabila usahaku tidak berhasil, maka
demikianlah takdir yang harus aku jalani. Tetapi aku tidak
menyerah tanpa melakukan sesuatu. Dan aku siap untuk
melakukannya. Jangan kau cemaskan aku, Wangi." Ki Argapati
berhenti sejenak. Tatapan matanya masih jauh hinggap pada
tempat yang tidak terbatas. Titik-titik keringat mengembun di
kening dan dahinya. "Tetapi Ayah harus bertindak cepat, sebelum Ki Tambak Wedi
sempat mempersiapkan diri."
(***) Buku 35 KI ARGAPATI menarik nafas dalam. Tetapi tatapan matanya
sama sekali tidak bergeser serambut pun. Perlahan-lahan ia
berkata, "Pandan Wangi. Aku tahu, betapa sulitnya perasaanmu.
Seandainya kau tidak mencemaskan nasibku besok malam,
maka kau akan berkata seperti yang sudah kau ucapkan
sebelum ini. Bukankah kau berusaha mencegah aku melakukan
gerakan hari ini?" Sekali lagi Ki Argapati berhenti. Dan sejenak
kemudian dilanjutkannya, "Tetapi itu adalah wajar sekali. Kau
sama sekali tidak berbuat kesalahan, sebagai seorang gadis
yang kebetulan menjadi adik Sidanti. Kau berusaha untuk
mencegah benturan yang terjadi antara ayah dan kakakmu."
"Tidak Ayah. Tidak. Kakang Sidanti telah mendurhakai
ayahnya." Terasa dada Argapati berdesir. Perlahan-lahan, perlahan
sekali ia berkata supaya tidak didengar oleh orang lain, "Tidak
Wangi. Anak itu tidak mendurhakai ayahnya. Justru ia
melakukan perintah ayahnya tanpa berpikir lagi."
"Oh," nafas Pandan Wangi serasa semakin sesak. Dan tibatiba
tangisnya pun menjadi semakin keras.
"Sudahlah Wangi. Jangan kau risaukan apa yang akan
terjadi. Kau adalah pewaris satu-satunya tanah ini. Seandainya
terjadi sesuatu dengan aku, maka kaulah yang akan menjadi
Kepaia Tanah Perdikan Menoreh."
Pandan Wangi masih akan menjawab. Tetapi ketika ia
mengangkat wajahnya, ayahnya mendahuluinya, "Sudahlah.
Tenangkan hatimu. Marilah kita pulang."
Gadis itu sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk
menyatakan perasaannya, ketika ia melihat ayahnya memberi
isyarat kepada para pemimpin pengawal tanah terdikan ini untuk
menarik pasukannya. Kepada Samekta ia berkata, "Kita tunda
sampai lusa. Besok malam aku mendapat kepastian. Tetapi
kalian harus tetap dalam kesiagaan penuh. Setiap saat dapat
terjadi sesuatu. Keadaan akan dapat berkembang dengan
cepatnya." Segores kekecewaan membayang di wajah Samekta, seperti
di setiap wajah para pemimpin pasukan pengawal tanah
perdikan. Bahkan pada setiap pengawal yang ada di tempat itu.
Mereka serasa mempunyai sebuah bisul di dada mereka.
Apabila bisul itu masih belum pecah, maka mereka pun sama
sekali tidak dapat merasa tenang. Bagi para pengawal itu, lebih
baik mereka datang kepada lawan daripada mereka harus
bertahan, apabila Sidanti dan pasukannya mendahului.
Tetapi apa boleh buat, Ki Argapati menghendaki demikian.
Betapa beratnya, maka para pengawal itupun segera ditarik ke
tempat yang sudah disediakan bagi mereka. Tetapi mereka tidak
segera pulang ke rumah masing-masing. Hanya mereka yang
dengan sukarela ikut serta di dalam pasukan itu sajalah yang
diperkenankan pulang. Namun setiap saat mereka harus
berkumpul dengan senjata siap di tangan.
Mekipun demikian, para peronda menjadi semakin sibuk
memutari daerah masing-masing. Setiap gardu telah terisi.
Setiap saat mereka harus menanggapi keadaan. Keadaan yang
paling suram dalam sejarah pertumbuhan tanah perdikan itu.
Sementara itu matahari menjadi semakin lama semakin
rendah. Kemudian cahayanya yang kemerah-merahan mewarnai
langit yang bersih, ketika matahari itu hampir tenggelam di balik
pebukitan. Selembar awan yang putih terbang perlahan-lahan
didorong oleh angin ke Utara.
Pandan Wangi duduk termenung di pembaringannya.
Berbagai gambaran hilir mudik di dalam angan-angannya. yang
paling pahit dan yang paling dahsyat memang dapat terjadi.
Terasa dadanya menjadi berdebar-debar. Ia tidak akan dapat
tenang, apapun yang dilakukannya. Kadang-kadang ia berdiri
dan berjalan hilir mudik. Kadang-kadang ia mencoba
membaringkan tubuhnya dan mencoba memejamkan matanya.
Tetapi kegelisahannya tidak dapat dilupakannya.
Ia sama sekali tidak melepaskan pakaian berburunya. Seperti
pakaian seorang laklaki. Pakaian yang tidak biasa
dikenakannya seharhari. Tetapi kali ini merasa perlu untuk
selalu mengenakan pakaian itu. Seolah-olah sesuatu akan
terjadi. Dan seolah-olah ia harus ikut serta berbuat sesuatu.
Pandan Wangi mengerutkan keningnya melihat seseorang
masuk ke dalam biliknya dan memasang lampu minyak. Tanpa
berkata sepatah kata pun, orang itu segera keluar lagi. Ternyata
hari sudah menjadi semakin suram. Satu-satu bintang mulai
bergayutan di langit, seakan-akan berebut dahulu.
"Malam ini adalah malam terakhir sebelum purnama naik,"
desisnya perlahan-lahan sekali. Namun terasa hatinya menjadi
pedih oleh angan-angannya sendiri.
Dalam kegelisahannya itu, Pandan Wangi melangkah keluar
biliknya. Tanpa sesadarnya ia berjalan lewat di muka pintu bilik
ayahnya yang terbuka. Dilihatnya ayahnya sedang menimangnimang
tombak pendeknya. Seolah-olah ia sedang asyik
berbicara, apakah sebaiknya yang akan mereka lakukan
bersama-sama besok malam.
"Ayah," perlahan-lahan Pandan Wangi memanggil.
Ayahnya mengangkat wajahnya. Ketika dilihatnya puterinya
berdiri di muka pintu, maka katanya, "Masuklah, Pandan Wangi."
Dengan ragu-ragu Pandan Wangi melangkah masuk.
"Duduklah," berkata ayahnya pula. Dengan ragu-ragu pula
Pandan Wangi duduk di sisi ayahnya sambil memandangi
tombak yang berada di tangannya. Hati Pandan Wangi menjadi
kian berdebar-debar melihat mata tombak yang sudah dilulus
dari wrangkanya itu. "Tombak ini bukan tombakku, Wangi, tombak ini adalah
tombak pamanmu. Aku tidak tahu, kapan pamanmu
menukarnya. Tetapi hal itu pasti sengaja dilakukannya. Sebab
selongsongnya adalah selongsongku, dan bahkan wrangka
tombak inipun ternyata wrangkaku pula."
Debar di dada Pandan Wangi menjadi semakin karas
memukul jantungnya. Tombak yang pada saatnya akan memikul
tugas yang berat itu, ternyata bukan tombak ayahnya, tombak
yang selalu menjadi sipat kandelnya.
Namun ia mendengar ayahnya berkata, "Tetapi itu tidak
penting Wangi. Aku dapat mempergunakan senjata apa saja.
Jangankan tombak sebaik ini, bahkan sebuah parang pembelah
kayu pun sudah cukup bagiku. Dengan apa pun dan dengan
cara yang bagaimanapun, aku sudah siap menjelang saat yang
kami janjikan. Besok malam. Dan kau tidak usah
mencemaskannya. Kau harus berbesar hati menghadapi setiap
akibat dari peristiwa itu, Wangi."
Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Tetapi tombak
pendek yang telah ditukar itu menambah kecemasannya.
Mungkin tombak itu tidak sebaik tombak ayahnya yang telah
menemaninya sejak muda. Kini menghadapi saat yang paling
genting, tombak itu sudah tidak ada lagi. Yang ada adalah
tombak lain, tombak pamannya.
Dalam pada itu terdengar ayahnya berkata pula, "Sekarang
beristirahatlah Wangi. Kau harus banyak beristirahat. Sehariharian
kau mengalami persoalan yang membuatmu lelah.
Mandilah, dan berganti pakaian. Pakaianmu terlampau kotor dan
bahkan noda-noda darah itu masih melekat.
Pandan Wangi memandangi pakaiannya yang kotor. Yang
selama ini tidak diperhatikannya. Ia memang tidak ingin mandi
dan berganti pakaian dengan pakaiannya seharhari.
Seandainya ia mandi dan berganti pakaian, maka ia pun akan
mengenakan pakaian serupa itu. Pakaian berburu, seperti
pakaian seorang laklaki. "Mandilah. Malam ini aku akan bertemu dengan beberapa
orang pemimpin tanah perdikan yang masih dapat berpikir
bening. Yang masih dapat melihat siapakah sebenarnya yang
berhak memerintah tanah ini. Meskipun sebagian dari mereka
telan berpihak kepada Argajaya dan Sidanti, namun sebagian
terbesar masih tetap setia kepadaku. Bukan karena aku,
Argapati orang yang baik, tetapi mereka menghargai kebenaran
kedudukanku sebagai Kepala Tanah Perdikan yang sah.
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian ia bertanya, "Apakah aku boleh hadir di dalam
pertemuan itu, Ayah?"
"Sebaiknya kau beristirahat Tetapi kalau kau ingin mendengar
pembicaraan itu, dan kau tidak terlampau lelah, baiklah kau ikut
mendengarkannya sebentar. Kemudian sebaiknya kau pergi
tidur. Sekarang pergilah mandi. Kau akan menjadi segar dan
bersih." Pandan Wangi kemudian berdiri dan melangkah
meninggalkan bilik itu. Ia berdiri sejenak di muka biliknya, namun
kemudian ia melangkah masuk. Mengambil beberapa lembar
pakaiannya yang lain, tetapi juga pakaian berburu seperti yang
dipakainya. Kemudian pergi ke perigi. Namun ia tidak melepas
sepasang pedangnya dari lambung. Seolah-olah ia merasa
bahwa ia memerlukan pedang itu setiap saat.
Ketika ia mandi pun, sepasang pedangnya terletak dekat
sekali di sisinya. Ketika ia mendengar suara langkah mendekat,
segera dirabanya hulu pedangnya. Tetapi langkah itu adalah
langkah pelayannya yang lewat dari kebun belakang.
Malam itu Argapati menyelenggarakan pertemuan dengan
para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh. Berbagai macam
persoalan dibicarakannya. Tetapi setiap Para pemimpin
pengawal mensendesaknya untuk segera bertindak, maka
jawabnya selalu, "Besok malam aku akan mengambil keputusan
terakhir. Tidak terlalu lama. Aku minta waktu semalam saja lagi.
Besok lusa, sebelum fajar, kita harus sudah menentukan sikap.
Seandainya kalian tidat dapat menemui aku, maka kalian dapat
berbicara dengan pewarisku, Pandan Wangi."
Jawaban itu benar-benar membuat para pemimpin dan
pengawal menjadi gelisah. Mereka tidak mengerti benar
maksudnya. Namun segera mereka menghubungkan keterangan
itu dengan saat purnama naik di bawah Pucang Kembar. Karena
itu maka salah seorang dari mereka bertanya, "Ki Gede, kenapa
besok lusa ada kemungkinan bahwa kami tidak dapat menemui
Ki Gede, dan dengan demikian kami harus berhubungan dengan
Pandan Wangi sebagai pewaris tunggal" Kami tidak mengerti,
apakah yang dapat terjadi dengari Ki Gede besok lusa" Tentang
pewaris tunggal, kami dapat mengerti, agaknya Ki Gede sudah
menganggap Sidanti mendurhakai ayahnya dan untuk
selanjutnya, haknya atas tanah ini sudah dicabut."
"O," Ki Gede berdesah. Katanya kemudian, "Bukan maksudku
berkata demikian. Besok lusa aku ada di rumah ini besok lusa
aku akan menentukan sikap dan memimpin setiap pergolakan
yang dapat terjadi."
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sebagai
seorang yang sudah cukup umur ia bertanya, "Ki Gede. Kami
telah pernah mendengar, bahwa Ki Gede mengadakan sebuah
perjanjian dengan Ki Tambak Wedi pada saat purnama naik di
bawah Pucang Kembar. Kami tidak tahu pasti apa yang akan
terjadi, tetapi kami dapat membayangkannya. Kami dapat pula
menghubungkan persoalan dengan sikap Ki Gede saat ini
menghadapi Angger Sidanti. Supaja kami tidak selalu bertanyatanya,
Ki Gede, kami ingin tahu, apakah yang sebenarnya akan
terjadi, dan apakah hal itu ada hubungannya dengan kami?"
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Sekilas dipandangnya
Pandan Wangi yang menundukkan kepalanya. Namun kemudian
ia menjawab dengan nada yang dalam, "Tidak ada hubungan
apa-apa dengan persoalan kalian. Persoalan ini adalah
persoalan pribadi. Aku ingin menyelesaikan secara pribadi."
Tetapi keadaan tanah perdikan ini demikian gawatnya
sehingga agaknya Ki Gede tidak akan dapat menerima setiap
persoalan secara pribadi."
"Persoalan ini tidak ada hubungan apa pun dengan persoalan
tanah perdikan ini, Samekta. Jangan kau persoalkan persoalan
pribadiku. Aku akan menyelesaikannya sendiri. Tugas kalian
besok adalah menyiapkan semua kekuatan pasukan pengawal
yang masih dapat dipercaya dan setiap laklaki yang dengan
sukarela ikut mengangkat senjata. Tetapi hathatilah. Kau harus
dapat menilai sikap seseorang. Lawan kita kali ini ada di antara
kita. Kita terlampau sulit untuk membedakan, siapakah diantara
kita yang sepenuhnya masih dapat dipercaya. Siapakah yang
ragu-ragu, siapakah yang berdiri dengan sebelah menyebelah
kaki nya berpijak pada alas yang berbeda, dan siapakah yang
sengaja memulas diri sendiri untuk kepentingan-kepentingan
pribadi, seperti seekor bunglon yang dapat merubah warna
kulitnya." Samekta menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih
mencoba memperingatkan Ki Argapati, "Ki Gede. Aku tidak
dapat mempercayai Ki Tambak Wedi sepenuhnya. Apakah Ki
Tambak Wedi juga bersikap seperti Ki Gede dalam menanggapi
persoalan pribadinya dengan Ki Gede" Aku ragu-ragu. Bahkan
aku mendapat kesan, bahwa Ki Tambak Wedi bukanlah seorang
yang jujur." Ki Gede Menoreh tidak segera menjawab. Peringatan itu
menggurat jantungnya, membuat seberkas goresan yang dalam.
Jauh di dasar hatinya memang tersimpan dugaan serupa itu.
Tetapi kenyataan yang pernah di hadapinya, beberapa puluh
tahun yang lampau, ternyata Paguhan pernah menghadapinya
secara jantan di dalam perang tanding seperti yang telah mereka
janjikan. Apakah sekarang Paguhan yang bergelar Ki Tambak
Wedi itu telah berubah" Bukan seperti Paguhan pada waktu itu"
Dalam keragu-raguan itu, Ki Gede Menoreh mendengar suara
Samekta, "Ki Gede, kami harap Ki Gede
rmempertimbangkannya masak-masak. Apakah salahnya,
apabila janji itu dibatalkan, meskipun aku tidak tahu pasti janji
apakah yang telah dibuat, tetapi aku dapai menduga-duga."
Perlahan-lahan Ki Gede menggelengkan kepalanya.
Jawabnya, "Aku tidak dapat membatalkannya Samekta. Aku
harus datang. Seorang diri. Janji itu sudah kita setujui bersama.
Dan akan menepatinya. Terkutuklah Ki Tambak Wedi, apabila ia
tidak menepati seperti janji yang pernah dikatakannya sendiri,
apalagi apabila ia berbuat curang. Kalian akan mengingatnya di
dalam hati dan akan mengatakannya kepada setiap orang,
bahwa seorang yang bernama Paguhan bergelar Ki Tambak
Wedi, telah berbuat curang dan licik."
Samekta menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya lambat,
"Apakah artinya sebutan itu bagi seorang yang telah menebalkan
telinganya dan lelah membutakan matanya?"
Sekali lagi Ki Gede berkata, "Samekta, aku tahu, bahwa kau
bermaksud baik. Terima kasih. Tetapi aku ingin menyelesaikan
persoalan pribadiku. Kalau aku berhasil, maka aku akan dapat
mengurangi penumpahan darah yang akan membanjiri tanah
ini." Samekta mengangkat wajahnya. Hampir saja rnulutnya
mengucapkan sebuah pertanyaan, "Tetapi bagaimana kalau Ki
Gede gagal?" Tetapi pertanyaan itu ditelannya kembali.
Namun demikian, Samekta melihat bahwa pertanyaan yang
serupa telah membersit pula di dalam dada Pandan Wangi.
Samekta melihat gadis itu memandangi ayahnya dengan
pandangan yang suram. Lamat-lamat Samekta melihat setitik air
yang mengambang di kelopak mata gadis itu. Tetapi Pandan
Wangi pun tidak mengucapkan pertanyaan itu.
Samekta, para pemimpin tanah perdikan dan para pemimpin
pengawal, hanya dapat menyimpan kecemasan di dalam hati
mereka. Mereka telah mengenal watak Ki Gede Menoreh yang
keras hati. Sukar bagi mereka untuk mencoba merubah
pendiriannya Apalagi yang langsung menyangkut harga dirinya
sebagai seorang laklaki. Karena itu, maka mereka tidak berani
untuk mencoba lagi merubah sikap itu. Sebab apabila KI Gede
Menoreh kemudian menjadi marah, maka sulitlah bagi mereka
untuk dapaf berbicara. Pandan Wangi pun mengenal watak itu pula. Karena itu,
maka ia pun lebih baik diam sambil menahan air matanya.
Bayangan yang semakin jelas di pelapuk matanya melukiskan,
betapa pertarungan yang dahsyat akan terjadi di bawah Pucang
Kembar besok malam. Sementara itu waktu berjalan terus. Malam menjadi semakin
malam. Meskipun Pandan Wangi kemudian tidak lagi duduk di
antara para pemimpin Menoreh dan berada di dalam biliknya,
namun yang bergolak di dalam hatinya adalah persoalan yang
dibawanya dari pembicaraan itu.
Justru semakin lama ia berbaring di pembaringannya, maka
hatinya menjadi semakin dicengkam oleh kegelisahan dan
kecemasan. Bermacam-macam angan-angan dan gambaran
telah membuatnya menjadi terlampau bingung. Jantungnya
seakan-akan menjadi terlampau bingung. Jantungnya seakanakan
menjadi terlampau cepat berdetak, dan darahnya menjadi
terlampau deras mengalir.
Sekalkali Pandan Wangi itu tersentak duduk. Kemudian
berdiri dan berjalan hilir mudik. Bahkan kemudian ia tidak
menahan diri lagi untuk tetap tinggal di dalam biliknya. Perlahanlahan
ia melangkah keluar dan menuju ke pringgitan, tempat
para pemimpin yang terpenting bertemu, setelah beberapa orang
termasuk dirinya diperkenankan meninggalkan pembicaraan.
Tetapi ketika ia menjenguk pintu pringgitan, dilihatnya
pringgitan itu sudah kosong. Ternyata pertemuan sudah lampau.
Yang ditemuinya di pringgitan tinggallah beberapa buah
mangkuk dan sisa makanan yang tidak terhabiskan.
"Di manakah Ayah?" desisnya.
Berjingkat Pandan Wangi berjalan menuju ke bilik ayahnya.
Perlahan-lahan didorongnya pintu bilik itu. Ia menarik nafas
dalam-dalam ketika dilihatnya ayahnya sudah tertidur di
pembaringannya. Pandan Wangi berdesah perlahan-lahan, "Ternyata aku lebih
gelisah dari Ayah sendiri," desisnya di dalam hati. "Ayah masih
dapat tidur dengan nyenyaknya. Sedang aku sama sekali tidak
dapat memejamkan mata. Tetapi baiklah, aku mencoba seperti
Ayah." Perlahan-lahan sekail Pandan Wangi menutup pintu itu
kembali. Perlahan-lahan pula ia berjalan berjingkat ke biliknya
mencoba tidur meskipun hanya sejenak.
Tetapi Pandan Wangi sama sekali tidak tahu, bahwa setelah
pintu bilik ayahnya tertutup, ayahnya membuka matanya
kembali. Sebenarnya ayahnya itupun sama sekali belum dapat
tidur sekejap pun. Ia pun dibayangi oleh kegelisahan dan
kecemasan. Tetapi sama sekali bukan tentang dirinya sendiri.
Seandainya persoalannya hanya terbatas pada dirinya sendiri,
pada perang tanding di bawah Pucang Kembar, maka hal itu
sama sekali tidak akan digelisahkannya. Tetapi kali ini
persoalannya berkait dengan persoalan tanah perdikannya.
Persoalan yang sebenarnya memang berpusar pada sumber
yang sama. Janji yang terucapkan didorong oleh perbedaan
sikap mereka, menanggapi keadaan Sidanti berhadapan dengan
Pajang. Kini, api yang kemelut di tanah perdikan ini pun
disebabkan karena Sidanti pula.
"Samekta benar," desis Ki Argapati di dalam hatinya,
"persoalan ini bukan sekedar persoalan pribadi. Tetapi aku tidak
dapat melepaskan janji pribadi ini, meskipun di dalam kaitannya
dengan persoalan seruruh tanah perdikan, karena justru aku
tidak dapat melepaskan pribadiku dari tanggung jawabku
sebagai Kepala Tanah Perdikan ini. Karena itu, aku besok
malam harus menghadapi Ki Tambak Wedi. Apa pun yang akan
terjadi. Tetapi kegagalanku tidak harus mengorbankan tanah ini
dan menyerahkannya kepada Sidanti. Seandainya aku gagal,
maka biarlah Pandan Wangi memegang pimpinan. Aku
mengharap bahwa para pemimpin pengawal yang setia akan
dapat mendampinginya, meskipun harus berhadapan dengan Ki
Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya."
Tiba-tiba pandangan Ki Argapati tersangkut pada sebatang
rombak pendek yang masih berada di dalam selongsongnya.
Terasa desir yang lernbut menyentuh hatinya. Tombak itu bukan
tombaknya sendiri, sehingga besok, ia harus menghadapi Ki
Tambak Wedi yang memiliki sepasang senjata yang mengerikan,
tidak dengan tombak yang paling dipercayanya.
"Aku tidak boleh terpengaruh olehnya. Tombak itu tidak akan
tanyak berpengaruh. Tergantung pada tangan yang
menggcrakkannya." Tetapi dibantahnya sendiri di dalam hat,
"Namun aku mengenal tombakku seperti aku mengenal diriku
sendiri. Aku tahu pasti jangkauan ujungnya dan berat pangkal
landeannya. Aku tahu pasti,
di mana tanganku harus menggenggam tangkainya. Aku tahu
pasti imbangan gerak ujung dan pangkalnya. Bahkan aku tahu
pasti kekuatan yang tersimpan pada tombakku itu. Tetapi
tombak ini belum begitu aku kenal."
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia
bergumam, "Semuanya terserah kepada Tuhan Sang Maha
Adil." Ki Argapati kemudian mencoba melepaskan segala
kegelisahannya. Ia mencoba untuk beristirahat, meskipun hanya
sejenak. Lamat-lamat ia masih mendengar ayam jantan
berkokok untuk yang kedua kalinya. Namun karena lelah lahir
dan batinnya, akhirnya Ki Gede Menoreh itu lelap juga untuk
sejenak. Sedang di bilik yang lain, Pandan Wangi pun terlena karena
kelelahan pula. Namun di sisinya tergolek sepasang pedangnya.
Bahkan tangannya terletak pada hulu pedang itu.
Kesibukan pagi telah mewarnai rumah Ki Argapati, ketika
matahari telah mulai melambung di langit. Ki Gede Menoreh
duduk di pringgitan bersama Pandan Wangi menghadipi
semangkuk air hangat, gula kelapa, dan beberapa potong
makanan. Adalah kebiasaan Ki Gede Menoreh, untuk minum air
hangat di pagi hari sambil makan beberapa potong makanan
sebagai makan paginya. Tetapi Ki Argapati tidak pernah makan
nasi di waktu pagi. Namun terasa kegelisahan telah membakar seluruh tanah
perdikan, jauh melebihi terik matahari di tengah hari. Setiap
orang seolah-olah selalu dihantui oleh kegelisahan. Tidak saja di
padukuhan induk, tetapi di mana-mana. Di sekitar rumah
Argajaya pun terjadi kesibukan-kesibukan yang luar biasa.
Persiapan-persiapan telah mereka adakan dengan saksama.
Tidak kalah dari kesibukan yang dilakukan oleh para pengawal
yang masih setia kepada Ki Argapati. Meskipun jumlah mereka
yang terpengaruh oleh Sidanti tidak terlampau banyak, tetapi
Sidanti telah melakukan kecerobohan yang mempunyai
kemungkinan yang paling parah atas tanah perdikan yang ingin
dikuasainya. Ia telah mengundang orang-orang liar
dari berbagai golongan. Orang-orang yang menyimpan
pamrih terlampau besar atas tanah ini, orang-orang yang ingin
mendapatkan upah, dan orang-orang yang paling liar adalah
orang-orang yang tidak menentu, yang tidak mempunyai rumah
dan tempat tinggal. Mereka coba mengadu untung di Tanah
Perdikan Menoreh. Tetapi Ki Tambak Wedi bukan pula seorang yang bodoh.
Sengaja ia memanggil orang-orang yang mempunyai
kepentingan yang berbeda-beda. Ia ingin membenturkan mereka
satu sama lain apabila persoalannya sudah selesai, lalu
menumpas mereka dengan mudahnya.
Namun permainan itu adalah permainan yang terlampau
berbahaya. Apabila perhitungan itu meleset serambut, maka
Tanah Perdikan Menoreh akan menjadi karang abang. Tanah
akan tinggal arang yang sudah membara, kemudian hancur
menjadi abu. Ia tidak akan dapat berhasil mencapai maksudnya,
menjadikan tanah ini pancadan bagi anak dan sekaligus
muridnya yang dimanjakannya, untuk naik ke jenjang yang lebih
tinggi lagi. Tetapi adalah mungkin sekali, bahwa tanah ini akan
menjadi tanah di mana anak itu segera akan dikuburkan. Kalau
ia mati dalam perlawanannya atas Ki Argapati, masih juga ia
dapat merasa dirinya pahlawan dari suatu cita-cita. Tetapi
apabila ia mati oleh tangan-tangan yang hitam yang dipanggilnya
sendiri masuk ke dalam rumahnya, maka yang tinggal adalah
penyesalan. Tetapi setiap kali Ki Tambak Wedi berkata, "Kita harus
membuat perimbangan. Kekuatan yang kita undang, harus lebih
kecil dari kekuatan kita sendiri, supaya kelak apabila persoalan
kita dengan Argapati sudah selesai, maka kita akan dengan
mudahnya menyelesaikan mereka pula."
Namun ternyata Ki Tambak Wedi tidak menghiraukan, apa
yang telah dilakukan oleh orang-orang itu atas orang-orang
Menoreh sendiri. Ia sama sekali tidak menghiraukan, bahwa
orang-orang itu telah berbuat terlampau gila di tanah perdikan
ini. Dalam keadaan yang gelisah, tegang, dan kemelutnya
kecemasan itulah, matahari naik semakin tinggi di atas
perbukitan Menoreh. Betapa sibuknya para pengawal
mengadakan persiapan di beberapa tempat, dan betapa sepinya
jalan-jalan dan pedukuhan-pudukuhan di seluruh tanah perdikan
itu. Seperti angin, yang bertiup dari segala penjuru, maka setiap
telinga di tanah perdikan itu telah mendengar, bahwa nanti
malam, disaat purnama naik, akan terjadi sesuatu yang paling
mengerikan di atas tanah ini. Mereka tidak tahu pasti, apakah
yang kira-kira akan terjadi. Yang paling mungkin menurut
dugaan mereka, adalah benturan antara Ki Argapati dan Sidanti.
Namun janji yang telah ditentukan antara Ki Tambak Wedi dan
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Gede Menoreh, telah membuat kepala mereka semakin
pening, dan membuat dada mereka semakin berdebar-debar.
Dan kegelisahan yang semakin memuncak telah membakar
dada Pandan Wangi. Dalam pakaian laklakinya ia mondarmandir
di dalam rumahnya. Sekalkali ia pergi kepringgitan
melihat ayahnya sedang berbicara dengan beberapa orang
pemimpin tanah perdikan ini, kemudian berjalan ke dapur,
melihat perempuan-perempuan sedang memasak. Namun
kegelisahannya tidak juga dapat disingkirkannya dari hatinya,
setidak-tidaknya meredakannya.
Tanpa sesadarnya, maka langkahnya telah membawanya
turun ke halaman ketika tiba-tiba seseorang datang
memanggilnya, "Pandan Wangi, Ki Argapati ingin bertemu."
Dada Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar.
Dengan tergesa-gesa ia pergi ke pringgitan. Dilihatnya ayahnya
masih duduk di antara para pemimpin yang lain.
"Pandan Wangi," berkata ayahnya sebelum ia duduk,
"sebaiknya kau hentikan usahamu untuk bertemu dengan
Sidanti, dan mencoba membuatnya mengerti. Aku kira kau tidak
akan berhasil." Dada Pandan Wangi berdesir mendengar peringatan ayahnya
itu. Sejenak ia berdiri mematung tanpa dapat menjawab sepatah
kata pun. Selanjutnya ia mendengar ayahnya berkala
seterusnya, "Aku menjadi cemas melihat kau gelisah seperti
dipanggang di atas bara. Mondar-mandir tidak menentu. Aku
sangka, kau masih dihinggapi oleh angan-angan untuk bertemu
dengan kakakmu dan berbicara dengannya. Pandan Wangi,
demi keselamatanmu, jangan pergi lagi dari batas pedukuhan
induk ini. Keadaan telah menjadi semakin panas. Orang-orang di
kedua belah pihak sudah terlampau sulit untuk dikendalikan.
Apalagi orang-orang yang tidak dikenal, yang sama sekali tidak
merasa bertanggung jawab apa pun atas tanah ini. Apakah kau
metngerti?" Debar di dada Pandan Wangi menjadi semakin cepat. Tetapi
ia telah mengenal betul sifat-sifat ayahnya. Apabila demikian,
berarti bahwa ia sama sekali tidak boleh melanggarnya lagi. Apa
pun alasannya. Karena itu maka yang dapat dilakukannya
adalah menganggukkan kepalanya sambil menjawab, "Baik
Ayah." "Nah, kalau kau ingin keluar halaman, berhathatilah. Ingat,
jangan meninggalkan padukuhan induk. Kau masih dapat
merasa aman di dalam padukuhan induk ini, karena aku
memagarinya dengan pasukan pengawal. Meskipun aku
menempatkannya juga di padukuhan-padukuhan lain, tetapi kau
tidak akan tahu, apakah yang akan terjadi di bulak-bulak yang
betapa pun sempitnya."
Sekali lagi Pandan Wangi mengangguk dan menjawab, "Ya,
Ayah." Namun dengan demikian, justru Pandan Wangi seolah-olah
mendapat kesempatan untuk keluar dari halaman rumahnya.
Semula ia sama sekali tidak ingin melangkah keluar regol
halaman, apabila setiap saat ayahnya memerlukannya. Tetapi
kini seolah-olah ia diperingatkan, bahwa di luar halaman ia
masih mempunyai tempat untuk sedikit menghibur dirinya,
asalkan tidak keluar dari pedukuhan induk.
Karena itu, maka Pandan Wangi pun segera setelah
meninggalkan pringgitan, justru berjalan keluar regol halaman.
Selangkah demi selangkah. Dan hampir setiap langkahnya ia
bertemu dengan dua tiga orang peronda, sehingga akhirnya ia
sampai pada ujung sebuah lorong di dalam pedukuhan induk,
yang menuju ke rumah pamannya.
"Hem, jalur ini akan sampai kepada Kakang Sidanti," desisnya
di dalam hati. Tetapi ia sadar, bahwa ayahnya -melarangnya
untuk mengikuti jalur itu. Dan ia menyadari pula, bahaya yang
dapat dijumpainya di tengah-tengah bulak dan pategalan, seperti
yang pernah terjadi atasnya.
Ketika Pandan Wangi itu berdiri sambil bersilang tangan di
dadanya, memandangi ujung jalan yang seolah-olah hilang
ditelan kaki langit, dua orang peronda berjalan mendekatinya.
Perlahan-lahan salah seorang dari mereka berkata, "Ki Gede
telah memerintahkan kepada kami, kau tidak boleh keluar dari
pedukuhan ini, Pandan Wangi. Siang mau pun malam nanti."
Dada Pandan Wangi berdesir. Ternyata perintah itu telah
tersebar kepada seluruh pengawal. Tetapi apa artinya, ia tidak
boleh meninggalkan padukuhan induk ini siang dan malam nanti,
justru malam nanti ayahnya akan memenuhi janjinya dengan Ki
Tambak Wedi di bawah Pucang Kembar.
Terasa jantung Pandan Wangi berdenyut semakin cepat di
dalam dadanya. Berbagai pertanyaan hilir mudik tidak hentihentinya.
Tetapi Pandan Wangi tidak bertanya apa pun kepada
pengawal itu. Ia tahu, bahwa pengawal itu tidak akan mengerti,
kenapa. Ia hanya sekedar melakukan perintah. Selebihnya
adalah persoalan para pemimpinnya.
Pandan Wangi berpaling kepada mereka, ketika mereka
bertanya, "Apakah kau sendiri sudah mengerti pesan Ki Argapati
itu?" Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Jawabnya, "Ya,
aku sudah mengerti."
"Sokurlah," desis pengawal yang sedang meronda itu.
Kemudian ditinggalkannya Pandan Wangi berdiri di
tempatnya. Keduanya melangkah ke gardunya di sudut
pedukuhan. Di dalam gardu itu ternyaata masih ada beberapa
kawan-kawannya lagi yang sedang berjaga-jaga.
Pandan Wangi masih tetap berdiri di tempatnya. Tegak
seperti sebuah patung dengan sepasang pedang di lambung.
Dipandangnya berkas-berkas sinar matahari yang jatuh di atas
tanah, di sepanjang jalur jalan berdebu di depannya.
Gadis itu mengerutkan keningnya, ketika ia melihat sesuatu
bergerak-gerak di dalam sinar matahari. Beberapa ekor kambing
berjalan di atas pematang. Di belakang sekumpulan kambing itu
berjalan seorang gembala. Gembala yang pernah ditemuinya
diperjalanannya kemarin. Gupita.
Tiba-tiba saja, dada gadis itu menjadi berdebar-debar.
Ternyata hari ini anak muda itu masih menggembalakan
kambing-kambingnya. Dengan demikian, maka kemarin
kambing-kambing itu pasti tidak dirampas oleh orang-orang liar
yang telah mencegatnya. "Mungkin orang-orang itu hanya memerlukannya satu atau
dua," desis Pandan Wangi di dalam hatinya. Tetapi ia masih
belum bergerak. Ia masih berdiri tegak di tempatnya. Sepasang
pedangnya berjuntai di lambungnya. Sebelah-menyebelah.
Sejenak kemudian ia melihat kumpulan kambing-kambing itu
berjalan mcnyeberangi jalan. Sekepul debu yang putih terlontar
di udara ketika kakkaki kambing itu menyentuh tanah berdebu
yang menjelujur panjang. Seorang pengawal melonccat turun dari gardunya.
Memandangi sekumpulan kambing itu sambil berkata, "Aneh,
masih juga ada seorang gembala yang berani membawa
kambing-kambing ke tempai terbuka seperti ini. Apakah anak itu
tidak tahu apa yang kini sedang kemelut di tanah pendikan ini?"
Tetapi tidak ada seorang pun yang menjawab. Kawankawannya
yang sedang berjaga-jaga itupun menjadi keheranheranan
pula. Namun pengawal itu menjawabnya sendiri,
"Mungkin ia menyadari, bahwa di tempat ini ada sebuah gardu
pengawal. Dengan demikian ia merasa aman menggembala
kambingnya di sekitar tempat ini."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun
ia tidak diajak berbicara. Pikiran itu memang dapat dimengerti. Di
tempat ini ada sebuah pengawalan yang baik, sehingga tidak
mungkin ada orang-orang liar yang berkeliaran sampai di tempat
ini. Sejenak kemudian, Pandan Wangi melihat kambing-kambing
itu berhenti di sebuah tempat yang ditumbuhi rerumputan hijau,
di pinggir padesan. Gambala itu mengikat seekor di antara
kambing-kambing itu. Seekor kambing jantan yang paling besar,
pada sebatang pohon perdu, supaya kambing itu tidak dapat
pergi dan kawan-kawannya pun tidak akan pergi juga dari
tempat itu. Sedang masuk ke dalam tanaman di persawahan.
Dengan demikian, maka gembalanya kemudian duduk di bawah
sebatang pohon yang rindang sambil menyandarkan dirinya.
Cambuknya diletakkannya di pangkuannya. Sejenak kemudian
diambilnya sebatang seruling bambu yang terselip di ikat
pinggangnya. Sejenak gembala itu duduk memandangi warna langit yang
jernih, sambil mengusap-usap serulingnya. Seperti ayah Pandan
Wangi sedang mengusap landean tombaknya.
Pandan Wangi sendiri tidak menyadari, kenapa ia tertarik
melihat tingkah laku gembala itu. Dengan demikian, maka
diawasinya saja ketika gembala itu kemudian mengangkat
serulingnya dan meletakkannya di mulutnya.
Sejenak kemudian terdengarlah suara seruling itu berlagu.
Dilontarkannya lagu yang segar, sesegar burung-burung liar
yang berloncatan didahan-dahan pepohonan.
Pandan Wangi terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar salah
seorang pengawal berkata, "Aku merasa aneh dengan gembala
itu. Adalah mustahil, bahwa seorang gembala berani
menggembalakan kambingnya di tempat terbuka seperti saat ini
tanpa suatu maksud tertentu. Apakah dengan demikian tidak
cukup alasan bagi kita untuk mencurigainya" Mungkin anak itu
adalah seorang petugas sandi dan Sidanti."
Beberapa orang kawannya mengerutkan keningnya. Dan
terdengar hampir bersamaan mereka menjawab, "Hal itu juga
mungkin. Tetapi mungkin pula ia merasa aman di sini."
"Tetapi apakah kau pernah mengenal anak itu?"
Kawan-kawannya terdiam. Dan sejenak kemudian mereka
menjawab, "Belum. Aku belum mengenalnya."
"Belum ada yang mengenalnya di antara kita. Bukankah kita
wajib bercuriga?" Tetapi para pengawal itu terkejut, ketika tiba-tiba Pandan
Wangi yang masih berdiri di ujung jalan itu berkata, "Aku sudah
mengenalnya. Namanya Gupita."
Serentak para pengawal itu berpaling ke arah Pandan Wangi.
Kini Pandan Wangi memandang mereka pula dan, berkata, "Aku
akan menemuinya." "Tetapi kau tidak boleh meninggalkan padukuhan ini."
"Bukankah aku tidak meninggalkan padukuhan ini" Gembala
itu duduk di pinggir padukuhan ini. Dan kalian dapat mengawasi
aku dari gardu, kalian seandainya aku harus berkelahi
melawannya." Para pengawal itu sejenak saling berpandangan. Mereka
sama sekali belum yakin, bahwa Pandan Wangi benar-benar
mampu berkelahi. Belum lama mereka mendengar hal itu.
Sebelumnya mereka hanya mengetahui, bahwa gadis itu senang
ikut bersama ayahnya. Hanya satu dua orang sajalah yang
menemaninya. Karena itu, maka mereka pun menjadi ragu-ragu pula untuk
melepaskannya pergi sendiri mendekati gembala yang sedang
membunyikan serulingnya itu.
Ketika Pandan Wangi kemudian melangkahkan kakinya,
mendekati gembala itu, maka beberapa orang pengawal segera
berloncatan turun dari gardunya. Sekali lagi mereka saling
berpandangan, dan beberapa di antara mereka segera
mengikutinya. Tetapi Pandan Wangi justru tertegun. Sambil berpaling ia
bertanya, "Kalian akan pergi kemana?"
Para pengawal itu tidak segera dapat menjawab. Mereka
menjadi ragu-ragu. Namun salah seorang dari mereka akhirnya
menyahut, "Kami tidak dapat melepaskan kau pergi sendiri. Kami
wajib mencurigai setiap keadaan yang tidak wajar bagi kami.
Termasuk kehadiran gembala itu."
"Kalian akan mengantar aku?"
Orang itu mengangguk dan menjawab ragu-ragu, "Ya."
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak
usah. Biarlah aku pergi sendiri. Kalau aku memerlukan kalian,
kalian akan dapat melihat dari sini, atau aku akan berteriak-teriak
memanggil kalian. Aku kira kalian akan dapat mendengarnya."
Para pengawal itu terdiam sejenak. Memang jarak antara
gardu dan gembala yang duduk di bawah pohon itu tidak
terlampau jauh. Tetapi bagaimanakah apabila terjadi sesuatu
yang tidak terduga-duga" Para pengawal memang pernah
mendengar, bahwa Pandan Wangi sebenarnya mampu pula
bertempur. Bahkan menurut Samekta, melawan enam orang
laklaki sekaligus. Tetapi mereka masih dicengkam oleh keraguraguan.
"Tinggallah kalian di sini," berkata Pandan Wangi kemudian,
"Jangan cemas tentang aku."
Para pengawal itu kemudian berdiri tegak seperti patung.
Dengan hati yang berdebar-debar, mereka memandangi saja
langkah Pandan Wangi menuju ke arah seorang gembala yang
duduk sambil membunyikan serulingnya. Sepasang pedang
yang berjuntai di lambungnya, sebelah menjebelah, bergerakgerak
seirama dengan langkah kakinya.
Beberapa orang pengawal menarik nafas dalam-dalam.
Mereka biasa melihat Pandan Wangi dalam pakaian seorang
gadis. Hanya kadang-kadang saja ia berpakaian demikian,
apabila ia pergi berburu.
Gembala yang bersandar pada pokok sebatang kayu itu,
masih saja meniup serulingnya. Lagunya mengalun menyusur
arus angin yang lembut. Lagu yang gembira kini terasa
mengetuk dinding jantung. Seolah-olah gembala itu sedang
berceritera tentang langit yang cerah. Angin yang lemah dan
burung-burung yang berterbangan dengan riangnya. Bahkan
kemudian suara seruling itu meninggi, melonjak seperti gelak
tertawa seorang gadis yang sedang bercanda dengan kekasih.
"Hem," Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.Ia belum
pernah merasakan betapa mesra bercanda dengan kekasih.
Tetapi ia pernah mendengar kisah tentang kasih. Kisah Panji
dan Kirana. Kisah Ratih dan Kama. Dan pernah dijumpainya
pula kemesraan di sekitarnya. Pandan Wangi memang
menghadiri peralatan perkawinan kawan-kawannya yang sebaya
atau sedikit lebih tua daripadanya.
Tetapi lagu itu rasa-rasanya berceritera kepadanya. Lagu
yang melukiskan kasih yang dalam. Kidung tentang cinta.
Pandan Wangi seakan-akan tersadar dari sebuah mimpi yang
asing, ketika tangannya menyentuh hulu pedangnya. Tiba-tiba ia
berdesis, "Persetan dengan suara seruling itu. Kini Menoreh
sedang diasapi oleh kemelutnya pertentangan yang tajam antara
Ayah dan Kakang Sidanti."
Tiba-tiba Pandan Wangi itu menengadahkan wajahnya. Ia
tidak mau dihanyutkan oleh angan-angan seorang gadis yang
meningkat dewasa. Kini ia sedang menggenggam tugas, bukan
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebagai seorang gadis, tetapi sebagai seorang puteri Kepala
Tanah Perdikan Menoreh yang sedang bergolak.
Selangkah demi selangkah Pandan Wangi menjadi semakin
dekat. Tanpa disadarinya, maka dadanya menjadi berdebardebar.
Ia mengharap gembala itu berpaling. Tetapi agaknya ia
begitu asyik dengan serulingnya, sehingga sama sekali tidak
menghiraukan keadaan di sekitarnya.
Tanpa sesadarnya pula, kaki Pandan Wangi menyentuh
daun-daun kering yang bertebaran di atas jalan sempit di pinggir
padukuhan itu, melontarkan suara gemersik. Tetapi gembala itu
seakan-akan benar-benar sedang tenggelam dalam suara
serulingnya. Sejenak kemudian Pandan Wangi telah berdiri di
belakangnya. Ia yakin, bahwa gembala itu pasti sudah tahu
kedatangannya. Tetapi gembala itu sama sekali tidak
melepaskan serulingnya. Bahkan matanya menjadi hampir
terpejam ketika suara serulingnya melonjak mengalun
menyentuh hati. Terasa perasaan aneh bergetar di dada Pandan Wangi.
Dalam suasana yang tegang, ia mendengar lagu yang
memancarkan kedamaian hati seorang anak muda. Ya, gembala
itu adalah seorang anak muda yang aneh.
Wajah Pandan Wangi serasa menjadi panas dan kemerahmerahan.
Kini baru disadarinya, bahwa gembala itu adalah
seorang anak muda, sedang dirinya adalah seorang gadis.
Tiba-tiba Pandan Wangi menggeretakkan giginya. "Aku tidak
peduli," katanya di dalam hati, "aku harus melihat, apakah
gembala ilu tidak mencurigakan?"
Pandan Wangi itu kemudian berdiri tegak dengan kaki
renggang. Tangannya bertolak pinggang. Dengan tajamnya
dipandanginya gembala yang masih asyik membunyikan
serulingnya itu. Lalu, tiba-tiba pula ia memanggil, "Gupita.
Bukankah kau Gupita yang kemarin aku jumpai di jalan bersama
kambing-kambingmu." Gupita masih meniup serulingnya beberapa lama. Kemudian
memutus lagunya pada nada yang merendah. Sesaat kemudian
ia berpaling dan menganggukkan kepalanya dalam-dalam, "Ya,
aku adalah Gupita yang kemarin kau jumpai."
Ketika terpandang mata gembala itu, terasa dada Pandan
Wangi berdesir. Mata itu adalah mata yang dilihatnya kemarin.
Mata yang memancarkan kejujuran yang bodoh. Tetapi kini
Pandan Wangi menjadi ragu-ragu. Apakah benar, bahwa mata
itu memancarkan kejujuran yang dungu"
Sckali lagi Pandang Wangi menggeretakkan giginya,
Wajahnya menjadi tegang, dan nada suaranya merendah datar,
"Apa kerjamu di sini?"
Gapita bergeser setapak. Kini ia duduk menghadap Pandan
Wangi yang masih berdiri bertolak pinggang. Dengan penuh
keheranan, Gupita menjawab, "Bukankah aku seorang gembala"
Kehadiranku di sini bersama kambing-kambingku adalah
kenyataan kerjaku kini. Dada Pandan Wangi berdesir mendengar jawaban gembala
itu. Sejenak ia terdiam. Terasa jantungnya menjadi semakin
cepat berdentangan. Namun dengan demikian, sejenak ia
berdiam diri. Ia tidak segera menemukan kata-kata untuk
menyahut. Gupata masih duduk di tanah. Karena Pandan Wangi
berdiam diri, maka ia pun diam pula menunggu. Sekalsekali
dilemparkannya pandangan matanya kepada para pengawal di
mulut lorong agak jauh daripadanya.
Baru sejenak kemudian, Pandan Wangi dapat menguasai
dirinya dan berkata, "Gupita. Aku memang melihat bahwa kau
sekarang sedang menggembalakan kambing-kambingmu. Tetapi
apakah kau tidak berbuat lain daripada menggembala?"
Gembala itu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, "Tidak.
Seperti kau lihat. Aku hanya menggembala saja dan duduk
membunyikan serulingku."
Debar di dada Pandan Wangi menjadi semakin cepat. Terasa
memancarkan kelainan dengan gembala-gembala yang lain,
yang terasa sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Wajah
gembala itu dikenalnya. Tetapi ia tidak tahu, apakah bentuk
kelainan itu. Sikali lagi Pandan Wangi terpaku diam. Nafasnya terasa
semakin cepat mengalir, ia merasa kehilangan kata-kata untuk
menyatakan pikirannya. Namun sejenak kemudian tiba-tiba dada Pandan Wangi itu
seolah-olah meledak, setelah ditahannya kuat-kuat. Pandan
Wangi tidak tahu, apakah yang mendorongnya untuk berbuat
demikian. Tetapi ia merasa memerlukan cara untuk mengurangi
pepat di dalam dadanya. Karena itu maka tiba-tiba ia berkata lantang, "Tidak! Aku tidak
percaya! Di dalam keadaan serupa ini, mustahil kalau kau hanya
sekedar menggembala saja sampai di tempat ini, justru di
samping gardu peronda. Nah, katakan, bahwa kau termasuk
salah seorang petugas sandi dari Kakang Sidanti!"
Gembala itu memandang wajah Pandan Wangi tanpa
mengedipkan matanya. Tergagap ia menyahut, "Tetapi, tetapi,
aku tidak kenal dengan Sidanti."
*** "Bohong!" bentak Pandan Wangi, "Kau kira aku dapat
mempercayainya" Aku tidak dapat melupakan saat kita bertemu
di tengah jalan, ketika aku kembali dari Kakang Sidanti.
Beberapa orang liar yang tak dikenal berjalan menyusulku. Kau
berada di tempat itu juga pada waktu itu. Mustahil bahwa kau
bukan tidak kehilangan kambing-kambingmu, atau bahkan
nyawamu, kalau kau salah seorang dari mereka. Aku tahu,
bahwa waktu itu kau sengaja menghambat perjalanannku,
supaya orang yang tidak aku kenal itu dapat menangkapku."
Gupita menjadi semakin heran mendengar kata-kata Pandan
Wangi yang mengalir seperti banjir itu. Dipandanginya saja
wajah gadis itu dengan mulut ternganga.
"Nah, apakah kau masih akan ingkar?" bertanya Pandan
Wangi. Wajah gembala itu menjadi tegang, sejenak kemudian
menjadi pucat dan berubah lagi menjadi kemerah-merahan.
"Jangan ingkar!" Pandan Wangi membentak pula.
Kini gembala ilu menjadi gemetar. Tergagap ia mencoba
Menjelaskan, "Aku benar-benar seorang gembala yang
sedang menggembala kambing-kambingku di sini. Aku tidak
berbuat lain, dan aku sama sekali bukan petugas sandi dari
Sidanti." "Coba katakan kepadaku, Gupita," berkata Pandan Wangi,
"kenapa kau terlepas dari tangan orang-orang liar yang waktu itu
mendatangi kau sepeninggalku?"
Gupita tampak menjadi semakin gugup, "Aku tidak tahu,
kenapa mereka membiarkan aku. Mereka hanya bertanya, apa
kerjaku di sana waktu itu. Mereka bertanya, apakah aku petugas
sandi dari Ki Argapati. Tetapi aku menjawab, bahwa aku
hanyalah seorang gembala. Lalu salah seorang dari mereka
menampar mukaku seningga aku jatuh ke dalam parit.
Seterusnya, mereka pergi. Dan bukankah aku bukan petugas
sandi dari Ki Argapati dan bukan pula dari Sidanti?"
"Bohong!" potong Pandan Wangi. Namun terasa sesuatu
yang aneh semakin mencengkam jantungnya. Gembala itu
benar-benar memiliki kelainan dari gembala-gembala di Tanah
Perdikan Menoreh. Dan kelainan itu telah mendebarkan jantung
Pandan Wangi semakin cepat. Tatapan matanya seolah-olah
telah mengguncang seluruh isi dadanya.
Tetapi Pandan Wangi mencoba menolak pengaruh yang tidak
dikenalnya itu. Sambil menggeretakkan giginya, ia menunjuk ke
arah kejauhan. Sejenak kemudian ia menggeram, "Pergi! Pergi
kau dari tempat ini supaya kau tidak menjegal. Bawalah
kambing-kambingmu sejauh-jauhnya dari induk padukuhan
Menoreh, sebelum kami bertindak atasmu. Menurut penilaian
kami, kau pantas dicurigai dalam keadaan serupa ini. Tidak ada
seorang gembala pun yang berani menggembalakan kambingkambingnya
di tempat terbuka seperti kau. Mereka hanya
mencoba menggembala di pategalan-pategalan yang berada di
ujung-ujung padesan."
"Tetapi, tetapi," suara gembala itu semakin tergagap,
bukankah aku juga menggembala di ujung padesan. Aku berani
menggembala di sekitar tempat ini, justru aku tahu, bahwa
tempat ini pasti aman karena dekat dengan gardu peronda."
"Tetapi kau kemarin menggembala di seberang bulak ini."
"Pengalaman yang kemarinlah yang memaksa aku untuk
menggembala di sini."
"Bohong! Bohong!" Pandan Wangi tiba-tiba berteriak.
Tangannya masih menunjuk ke kejauhan dan mulutnya berkata,
"Pergi, cepat, selagi kau masih mendapat kesempatan. Apabila
kesempatan itu tidak ada lagi, maka sikap kami akan sangat
berlainan. Mungkin kau dapat kami tangkap dan kami bawa
kepada pimpinan pengawal tanah ini."
"Jangan, jangan," gembala itu kini berjongkok dan kemudian
berdiri pada lututnya, "aku jangan ditangkap. Aku akan pulang
kepada ayahku yang sudah tua."
"Kalau kau akan pulang, cepat, pulanglah sekarang."
"Baik. Baik. Aku akan pulang sekarang," jawab gembala itu
sambil tertatih-tatih berdiri. Selangkah-selangkah ia berjalan
meninggalkan Pandan Wangi, menghampiri kambingnya yang
sedang diikati. Namun tiba-tiba langkahnya tertegun, karena
Pandan Wangi memanggilnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya
Pandan Wangi sedang berjongkok memungut serulingnya yang
agaknya terjatuh. Gupita terpaku sejenak di tempatnya. Sejak pertemuannya
kemarin, ia masih belum sempat memandangi wajah gadis itu,
seperti saat ia berjengkok mengambil serulingnya. Wajah yang
tegang itu tiba-tiba menjadi tenang. Ketika gadis itu mengangkat
wajahnya, memandanginya dengan seruling di tangangannya,
tampaklah betapa wajah itu memancar seperti bintang pagi.
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia menyadari
dirinya, maka tiba-tiba ia pun berjongkok sambil berkata, "Itu
serulingku." Pandan Wangi mengangguk perlahan. Ia tidak tahu,
pengaruh apakah yang telah mencengkamnya. Tiba-tiba ia tidak
dapat membentak lagi seakan-akan terpesona oleh seruling
yang telah didengar, betapa merdu suaranya.
"Marilah," desis Pandan Wangi, kemudian sambil
mengacungkan seruling itu.
Gupita menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia
bergeser maju sambil menjawab, "Terima kasih."
Ketika Gupita menerima serulingnya, terasa tangan Pandan
Wangi itu bergelar. Dan seolah-olah getar itu telah merambat
sepanjang tangannya menyentuh dadanya.
"Terima kasih," sekali lagi Gupita berdesis, "sekarang
perkenankanlah aku pergi."
Pandan Wangi mengangguk kecil. Tetapi tanpa sesadarnya,
ia berkata, "Kau pandai meniup seruling."
"Aku belajar sejak kecil. Sejak aku dapat membedakan tinggi
rendah nada." Pandan Wangi mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berkata
sesuatu. "Sekarang aku akan pulang," berkata Gupita kemudian, "kalau
kalian berubah pendirian, maka aku tidak akan mendapat
kesempatan lagi untuk pergi meninggalkan tempat ini."
Sekali lagi Pandan Wangi mengangguk. Tetapi ia masih saja
berdiam diri. "Bukankah aku harus pergi?"
Terasa dada Pandan Wangi menjedi berdebar-debar.
Sejenak ia terpukau dalam kebingungan. Sesaat ia seakan-akan
telah kehilangan akal. Namun tiba-tiba kesadarannya seakanakan
telah melonjak kembali di dalam dadanya. Tiba-tiba pula ia
menggeretakkan gigi. Dengan tangkasnya ia meloncat berdiri
sambil membentak, "Pergi. Pergi. Cepat. Kau membuat aku
muak dengan solah tingkahmu yang bodoh itu."
Gupita terkejut, melihat sikap yang tiba-tiba saja berubah.
Tetapi sejenak kemudian ia menyadari keadaannya. Sekali ia
membungkukkan kepalanya dalam-dalam sambil bergumam,
"Terima kasih atas kesempatan ini. Aku akan pulang kepada
ayahku, dan mengatakan bahwa aku telah bertemu dengan
puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh, yang bernama Pandan
Wangi. Aku telah diberinya kesempatan untuk meninggalkan
tempat ini, meskipun dengan tidak sengaja aku telah memasuki
daerah terlarang." "Jangan banyak bicara. Cepat pergi. Kau terlampau
memuakkan bagiku. Setiap gembala yang malas seperti kau,
tidak akan banyak berarti bagi tanah ini."
Gupita masih ingin menjawab. Tetapi Pandan Wangi telah
mendahului membentaknya, "Jangan bicara lagi. Pergi sebelum
aku memanggil para pengawal untuk menangkapmu."
Gupita mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia
membungkukkan kepalanya, kemudian melangkah surut.
Dengan ragu-ragu ia memutar tubuhnya dan berjalan
menghampiri kambingnya yang sedang diikatnya. Dengan
tergesa-gesa ia melepas tali yang mengikat kambing itu pada
sebatang pohon perdu. Kemudian dilecutkannya cambuknya dan
digiringnya kambing-kambing itu pergi.
Tetapi belum lagi sepuluh langkah, maka diletakkan ujung
serulingnya di mulutnya. Sejenak kemudian terdengarlah sebuah
lagu yang melengking tinggi, seperti jerit seorang gadis yang
kegirangan menyambut kekasih dari medan perang. Kemudian
suara seruling itu berderai seperti gelak tertawa yang renyah.
"Diam. Diam kau!" teriak Pandan Wangi tanpa sebab.
Suara seruling itu membuat jantungnya seakan-akan berhenti
bergetar. Dengan serta merta dipungutnya sebutir batu dan
dilemparkannya kuat-kuat ke arah Gupita yang masih meniup
serulingnya sambil melangkah menjauh. Tetapi suara
serulingnya itu segera terputus, ketika sebuah batu jatuh tepat di
sampingnya. Ketika ia berpaling dilihatnya Pandan Wangi berdiri tegak
sambil bertolak pinggang. Tetapi Gupita tidak berani lagi berkata
sepatah kata pun. Bahkan kemudian langkahnya pun dipercepat
meninggalkan tempat itu. Namun dikejauhan sekali lagi ia
berpaling. Ketika ia masih melihat Pandan Wangi berdiri di
tempatnya, maka tiba-tiba diangkatnya cambuknya tinggtinggi.
Cambuk itu berputar di udara seperti baling-balinh. Sejenak
kemudian terdengarlah cambuk itu seolah-olah meledak di
udara. Letupan cambuk itu serasa memecahkan dada Pandan
Wangi. Semula ia telah dicengkam keheranan, bahwa gembala
itu dapat meledakkan cambuk sekeras itu. Tetapi kemudian,
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebagai seorang yang memiliki ilmu yang cukup, segera Pandan
Wangi menyadari, bahwa letupan cambuk itu bukan sekedar
letupan biasa. Terasa sebuah tenaga yang terlampau kuat lelah
membantu menggerakkan tangannya dan meledakkan cambuk
itu. Terasa darahnya menjadi semakin cepat mengalir. Kini baru
disadarinya, bahwa sorot mata yang lain pada gembala itu, sama
sekali bukan sorot mata yang jujur tetapi dungu. Kini baru
disadarinya, bahwa pada sorot mata itu memancar sebuah
kekuatan yang luar biasa.
Sejenak Pandan Wangi terpaku di tempatnya. Ia merasa
bahwa bukan gembala itulah yang dungu, tetapi betapa
bodohnya dirinya sendiri. Tetapi gembala itu sudah jauh.
Gembala itu sudah tidak dilihatnya lagi.
Yang kemudaan merambat di dadanya adalah dugaan yang
kuat, bahwa sebenarnyalah gembala itu seorang petugas sandi
yang dikirim oleh kakaknya, Sidanti. Berbareng dengan itu, maka
segera ingatannya terbang kepada ayahnya. Malam nanti, saat
purnama naik. Ayahnya akan menjumpai Ki Tambak Wedi di
bawah Pucang Kembar. Dada Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar.
Menoreh benar-benar sedang disaput oleh asap yang tebal.
Gelap. Masa depan dari tanah perdikan ini sama sekali tidak
dapat diduga-duga. Mungkin Menoreh akan tetap tegak berdiri
setelah mengalami goncangan yang dahsyat, tetapi mungkin
Menoreh akan menjadi abu, terbakar oleh api perselisihan di
antara mereka sendiri. Tetapi Pandan Wangi tidak dapat berbuat sesuatu.
Semuanya telah meluncur menuju ke puncak peristiwa ini.
Malam nanti, saat purnama naik. Ki Gede Menoreh akan
berhadapan dengan Ki Tambak Wedi. Baru setelah itu Ki Gede
Menoreh akan menentukan sikap. Tetapi bagaimana kalau ia
sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi" Apalagi melakukan
perlawanan". Bahkan menyaksikan apa yang terjadi kemudian
pun sudah tidak mungkin lagi.
Dalam kegelisahan itu, Pandan Wangi mendengar suara
langkah di belakangnya. Ketika ia berpaling dilihatnya seseorang
mendekatinya. Seorang pemimpin pengawal yang tadi berada di
rumahnya berbicara dengan ayahnya.
"Pandan Wangi," katanya, "Ki Gede Menoreh memanggilmu.
Kau harus pulang sekarang."
"Kenapa?" Orang itu menjadi heran. Keadaan sudah sedemikian
panasnya dan Pandan Wangi masih bertanya mengapa. Namun
ia menjawab juga, "Ayahmu ingin berbicara dengan kau."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Kemudian
dianggukkannya kepalanya sambil berkata, "Baiklah. Aku akan
segera pulang." Dengan langkah yang malas, Pandan Wangi meninggalkan
tempat itu. Sekalsekali ia masih berpaling ke arah Gupita
menghilang di balik dedaunan. Aneh sekali kesannya tentang
gembala itu. Ia menyangka, bahwa gembala itu seorang petugas
sandi dari kakaknya. Mungkin ia termasuk salah seorang dari
orang-orang liar yang kini berada di Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi meskipun demikian, perasaannya mendapat sentuhan
yang lain dari orang-orang liar yang lelah dijumpainya, dan
bahkan mencegat perjalanannya. Kesannya kepada Gupita
mempunyai corak tersendiri. Sorot matanya dan tingkah lakunya.
"Seandainya ia salah seorang dari mereka yang membantu
kakang Sidanti, maka orang ini pasti golongan yang lain dari
orang-orang yang telah mencegatku kemarin," berkata Pandan
Wangi di dalam hatinya. Namun kemudian ia sekali lagi
menggeretakkan giginya sambil berdesis, "Buat apa aku
mempersoalkannya dari mana ia datang" Kalau benar-benar ia
berpihak kepada Kakang Sidanti, maka orang itu pun harus
disingkirkan. Ia hanya akan mengotori tanah ini dengan
tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab," Pandan
Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian ia
berdesis, "Ia harus dilenyapkan. Tak ada orang lain yang pantas
mempersoalkan tanah ini, selain orang-orang Menoreh sendiri.
Tidak seorang pun dari para pengawal yang telah mengenalnya.
Gupita. Nama itu pun asing bagi para pengawal. Seandainya
benar-benar ia anak Menoreh, pasti salah seorang dari para
pengawal itu mengenalnya atau setidak-tidaknya mendengar
namanya." Tiba-tiba Pandan Wangi mempercepat langkahnya. Tiba-tiba
saja ia ingin segera bertemu dengan ayahnya dan
menceriterakan tentang seorang gembala yang aneh yang telah
dijumpainya dua hari berturut-turut.
Ketika Pandan Wangi masuk ke pringgitan, ayahnya masih
duduk bersama beberapa orang. Ketika ia membuka pintu,
dilihatnya ayahnya itu berpaling. Tetapi sinar mata ayahnya telah
mengejutkan hati Pandan Wangi. Mata itu tampaknya terlampau
dalam, dan terlampau suram.
Sejenak Pandan Wangi berdiri termangau-mangu, sehingga
ayahnya menyapainya, "Darimana kau, Wangi?"
"Dari ujung jalan di mulud desa, Ayah."
"Kemarilah, Wangi," suara ayahnya datar, dalam nada yang
dalam sekali, "duduklah."
Pandan Wangi pun kemudian duduk di hadapan ayahnya.
Sejenak ia menundukkan kepalanya sambil berdiam diri. Ia
menunggu ajahnya mendahului bertanya kepadanya. Tetapi
ternyata ayahnya tidak bertanya lagi. Yang didengarnya adalah
keterangan ayahnya tentang pembicaraan yang telah
dibicarakannya dengan para pemimpin tanah perdikan ini dan
para pemimpin pengawal. "Pandan Wangi," berkata ayahnya, "kau sudah cukup
dewasa. Kau tidak boleh tetap pada angan-angan seorang gadis
kecil yang sedang bermain-main. Tanah perdikan ini sekarang
sedang dibakar oleh suasana yang semakin panas. Setiap saat
dapat meledak peristiwa-peristiwa yang tidak kita kehendaki.
Dan kau tahu, bahwa nanti malam aku telah mengikat janji
dengan Ki Tambak Wedi. Janji itu harus aku tepati. Aku harus
datang ke bawah Pucang Kembar, untuk membuat perhitungan
pribadi. Meskipun persoalan yang berkembang kini adalah
persoalan antara Menoreh dan Pajang, yang menyangkut diri
kakakmu, Sidanti, tetapi masalah pribadilah yang telah
meledakkan hati kami masing-masing, sehingga kami telah
melontarkan janji tanpa dapat kami kendalikan lagi."
Ayahnya berhenti sejenak. Sesaat ia berdiam diri sambil
memandangi anyaman tikar di bawah kakinya. Sejenak
kemudian, suaranya yang datar terdengar lagi mengambang,
"Pandan Wangi. Semuanya akan mungkin terjadi. Tentang tanah
ini dan tentang diriku sendiri. Karena itu, aku minta kalian selalu
bersiaga. Mungkin Sidanti dan Argajaya akan menggunakan
kesempatan selagi aku berada di bawah Pucang Kembar
bersama Ki Tambak Wedi. Karena itu, selagi aku pergi, Pandan
Wangi, kau harus tetap berada di rumah ini untuk memegang
segenap pimpinan, bersama para pemimpin pengawal. Kau
dapat mendengar nasehat mereka. Kau pertimbangkan,
kemudian kau dapat mengambil keputusan yang kau anggap
baik. Lakukanlah menurut kata hatimu, Kau tidak perlu
menunggu aku lagi. Juga seandainya malam nanti ayah tidak
kembali." "Ayah," suara Pandan Wangi terpotong di kerongkongan.
"Sudah aku katakan. Kau bukan anak-anak lagi. Kau bukan
seorang gadis yang sedang menunggu kekasih merantau. Kau
adalah seorang puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang
telah sanggup membawa sepasang pedang di kedua
lambungnya. Nah, hatimu harus sesuai dengan sikapmu, dengan
pedangmu dan dengan kedudukanmu sebagai seorang pewaris
satu-satunya Tanah Perdika Menoreh. Apakah kau mengerti?"
Sejenak Pandan Wangi tidak dapat mengucapkan sepatah
kata pun, Tetapi gelora di hatinya justru menjadi semakin keras
melanda dinding jantung. Pesan ayahnya itu terdengar olehnya,
seolah-olah ayahnya minta diri kepadanya, untuk tidak kembali
lagi. Memang kemungkinan yang demikian itu dapat terjadi di
dalam perang tanding. Salah seorang akan terbunuh. Dan
siapakah yang akan tertunuh itu, tidak seorang pun yang tahu.
Argapati melihat kecemasan di hati puterinya. Tetapi hal itu
adalah hal yang wajar sekali. Namun ia harus mencoba
memberinya sedikit pengharapan. Katanya, "Pandan Wangi.
Sudah berulang kali aku katakan. Aku tidak akan menyerahkan
leherku sukarela. Aku akan berlahan. Aku tahu, siapakah orang
yang bergelar Tambak Wedi itu, sehingga aku dapat menduga,
apakah yang akan terjadi kemudian. Meskipun demikian,
semuanya terserah kepada kekuasaan Yang Tunggal. Namun
sejauh mungkin kita memang harus berusaha."
Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Tetapi tidak sepatah
kata pun yang diucapkannya.
"Hadapilah hari depanmu dengan dada tengadah, Wangi,"
berkata ayahnya kemudian, "semuanya akan dapat kau atasi,
apabila kau berusaha sungguh-sungguh sambil berdoa kepada
Yang Maha Esa." Ayahnya berhenti sejenak, lalu, "sekarang
biarlah aku beristirahat. Aku akan mencoba mengumpulkan
tenaga dan kekuatanku. Aku juga akan berdoa supaya aku
mendapat perlindungan. Aku tidak akan berbuat seperti saat ini,
mengumpulkan para pemimpin dan memberimu terlampau
banyak pesan, seandainya keadaan tanah ini tidak sedang
panas seperti ini. Seandainya janji itu tidak kami ucapkan dalam
kemelutnya asap perpecahan di tanah perdikan ini, maka aku
tidak akan memberitahukannya kepada siapa pun juga. Tetapi
kali ini tidak mungkin, sebab keadaan akan berkembang di luar
kemungkinan aku tangani sendiri selagi aku sedang berada di
bawah Pucang Kembar. Itulah sebabnya aku berpesan
kepadamu dan kepada para pemimpin tanah perdikan ini dan
para pemimpin pengawal. Tetapi kau tidak perlu menjadi cemas.
Kau harus bersikap benar-benar seperti seorang putera Kepala
Tanah Perdikan. Kalau kau menjumpai goncangan-goncangan
perasaan, dan kau tenggelam di dalamnya, maka seluruh tanah
ini akan tenggelam pula. Karena itu, kau harus tetap tabah. Kau
harus mampu menguasai perasaanmu, supaya kau dapat
berbuat sebaik-baiknya demi tanah yang kita pertahankan ini."
Pandan Wangi masih menundukkan kepalanya. Ia masih
tetap diam. Namun ia berjanji di dalam hatinya, akan melakukan
segala pesan ayahnya. "Wangi," berkata ayahnya, "kau jangan pergi lagi. Kau harus
selalu berada di rumah, supaya kau melihat aku meninggalkan
rumah ini." Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Dengan mata yang
basah, dipandanginya wajah ayahnya yang suram. Dan ia
mendengar ayahnya berkata, "Jangan kau basahi pipimu dengan
air mata. Itu adalah tingkah laku seorang gadis manja. Kau
bukan seorang gadis manja, dan kau bukan seorang gadis
cengeng. Kau adalah seorang gadis dengan sepasang pedang
di lambungmu." Sekali lagi Pandan Wangi tertunduk dalam-dalam. Ia tidak
dapat memandangi wajah ayahnya. Terasa getaran yang asing
menyentuh dinding hatinya.
Pandan Wangi itu masih mendengar beberapa nasehat
ayahnya, sehingga akhirnya ayahnya merasa cukup. Maka
katanya kemudian, "Sudahlah. Tinggallah kau di sini bersama
para pemimpin tanah ini. Aku akan pergi ke dalam bilikku."
Gadis itu menganggukkan kepalanya. Diawasinya saja ketika
ayahnya kemudian melangkah meninggalkan pertemuan itu.
Terasa matanya menjadi panas dan pandangannya menjadi
kabur. Ayahnya seolah-olah melangkahkan kakinya masuk ke
dalam asap putih yang tebal. Semakin lama menjadi semakin
suram. Sehingga pada suatu saat ayahnya itu seolah-olah hilang
dari pandangan matanya, tepat pada saat ayahnya melangkahi
pintu, masuk ke ruang dalam.
Bersamaan dengan itu, terasa setitik air jatuh di
pangkuannya. Baru disadarinya, bahwa air matanyalah yang
telah menghalangi pandangannya. Bukan kabut yang putih dan
bukan asap yang menelan tubuh ayahnya.
Dengan lengan bajunya, Pandan Wangi mengusap air
matanya. Tetapi ketika kemudian disadarinya dirinya, di mana ia
sedang berada, maka ia mencoba berjuang sekuat-kuatnya
untuk tidak menangis. Disekitarnya duduk beberapa orang pemimpin tanah perdikan
dan pemimpin pengawal yang terpenting. Namun tidak
seorangpun yang berbicara. Mereka tenggelam dalam
kediaman, Masing-masing menundukkan kepala mereka.
Namun dengan-demikian, dada Pandan Wangi menjadi
sesak. Kediaman itu terasa terlampau tegang menghimpit
dadanya. Karena itu, maka ingin ia pergi meninggalkan ruangan
itu, dan berjalan di luar untuk melepaskan diri dari kepengapan
udara yang menyesikkan nafasnya.
Pandan Wangi menarik nafasnya dalam-dalam sambil
mengedarkan pandangan matanya di sekitarnya. Dilihatnya
beberapa orang tua duduk termenung. Beberapa orang
pengawal dengan pedang di lambung. Seorang yang bertubuh
raksasa, masih muda duduk tepekur. Bahkan agak mengantuk.
Ketegangan suasana di pringgitan itu, seolah-olah sama sekadi
tidak mempengaruhinya. "Hem," Pandan Wangi berdesah. Ia kenal anak muda yang
bertubuh raksasa itu. Ia adalah seorang pemimpin pengawai
yang mendapat kepercayaan dari ayahnya, dan dari pempinanpimpinaa
pengawal yang lain, karena ketrampilannya bermain
senjata dan karena kekuatannya yang luar biasa. Tubuhnya
yang tinggi besar, berdada bidang, memberi kesan yang
meyakinkan, bahwa anak muda yang bernama Wrahasta itu
adalah seorang pengawal yang baik.
Pandan Wangi yang dadanya menjadi semakin sesak itu,
tiba-tiba bergumam, tidak ditujukan kepada siapapun, "Aku akan
keluar sebentar. Aku akan berada di halaman."
Anak muda yang bernama Wrahasta itu memandanginya.
Kemudian katanya, "Jangan Pandan Wangi. Kau harus tetap
berada di ruangan, ini seperti pesan Ki Gede Menoreh. Setiap
saat semua persoalan akan dibicarakan di sini. Selama Ki Gede
tidak ada, maka kaulah yang harus mengambil keputusan. Aku
telah mendapat kepercayaan untuk melindungimu, dalam
keadaan yang bagaimanapun juga, bersama beberapa orang
pengawal yang lain."
Dada Pandan Wangi berdesir. Agaknya ayahnya telah
membuat persiapan yang matang, untuk menahannya supaya ia
tidak pergi keluar padukuhan ini. Bahkan keluar halaman ini.
Mungkin ayahnya benar-benar menghendaki agar ia tetap
berada di rumah ini untuk memimpin perlawanan, apabila
keadaan tiba-tiba saja memburuk selama ayahnya berada di
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bawah Pucang-Kembar. Tetapi mungkin pula ayahnya sama
sekali tidak menghendaki, apabila pergi juga melihat apa yang
terjadi di tempat yang telah di janjikan oleh ayahnya dan Ki
Tambak Wedi itu. Karena itu, sejenak Pandan Wangi berdiam diri. Ditatapnya
wajah anak muda yang bertubuh raksasa itu. Tubuhnya memang
meyakinkan, bahwa ia adalah seorang pengawal yang baik.
Tetapi untuk tetap berada di dalam ruangan itu, Pandan
Wangi sama sekali tidak akan dapat betah. Terasa ruangan itu
terlampau panas dan sesak. Meskipun sebenarnya bahwa
dadanyalah yang terasa pepat.
"Aku akan keluar sebentar," tiba-tiba Pandan Wangi
mengulangi. Seolah-olah ia tidak mendengar kata-kata
Wrahasta. "Jangan," Wrahasta pun mencegahnya pula, "kau tetap
tinggal di sini seperti pesan ayahmu."
"Ya, aku tidak akan pergi. Tetapi aku tidak tahan berada di
dalam ruangan yang panas ini. Aku tidak akan keluar dari
halaman ini, apabila memang Ayah menghendakinya. Setiap
saat aku dapat dipanggil dan berbicara apa saja di dalam
ruangan ini." Wrahasta mengerutkan keningnya. Sesaat ia berpaling
kepada beberapa orang tua yang berada di dalam ruangan itu.
"Bagaimanakah pertimbangan kalian?"
Seorang yang berjanggut putih berkata, "Apabila Angger
Pandan Wangi tidak meninggalkan halaman, aku kira Ki Gede
Menoreh pun tidak akan berkeberatan. Sebab setiap saat ada
perkembangan keadaan Angger Pandan Wangi akan dapat
diberitahukannya untuk membuat pertimbangan dan kemudian
keputusan apa yang harus dilakukan."
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,
"Baiklah Pandan Wangi. Tetapi jangan keluar dari regol
halaman. Selain itu, aku harus mengawasimu sesuai dengan
kepercayaan Ki Gede Menoreh kepadaku."
Tetapi Pandan Wangi menggelengkan kepalanya, "Tidak
usah Wrahasta. Aku tidak akan disergap oleh musuh di dalam
halaman ini. Seandainya, ya seandainya demikian, aku akan
berteriak memanggilmu."
"Tetapi aku harus melakukan pesan Ki Gede, Pandan Wangi.
Aku harus mengawalmu disetiap keadaan."
"Sudah tentu maksud Ayah, apabila aku berada di dalam
bahaya. Tidak di halaman rumahku sendiri."
Sekali lagi Wrahasta memandang berkeliling. Dan sekali lagi
orang berjanggut putih itu berkata, "Pandan Wangi benar,
Wrahasta. Ia memerlukan pengawalan hanya apabila keadaan
sangat berbahaya baginya. Tidak di setiap keadaan seperti yang
kau katakan, apalagi selama ia berada di halaman rumah ini."
Wrahasta sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya dan
berkata, "Baiklah, tetapi jangan keluar dari halaman mi. Setiap
petugas di regol halaman telah mendapat perintah itu."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Dengan
demikian, ia merasa tidak lebih dari seorang tahanan daripada
seorang wakil Kepala Tanah Perdikan, selagi ayahnya
berhalangan melakukan tugasnya. Tetapi dengan demikian,
dugaannya menjadi semal kuat, bahwa yang penting bagi
ayahnya, bukan masalah pemecahan setiap masalah yang
berkembang apabila ia harus tetap berada di rumah ini, tetapi
supaya ia tidak pergi ke Pucang Kembar melihat pertempuran
itu. Sesaat kemudian, Pandan Wangi itupun meninggalkan
ruangan yang dirasanya terlampau panas itu. Ketika kakinya
melangh turun ke halaman, terasa udara yang sejuk menyusup
ke dalam tubuhnya. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka
dilihat matahari telah condong ke Barat.
Tiba-tiba saja dadanya berdebar kembali. Saat purnama tidak
akan terlalu lama lagi. Begitu matahari tenggelam, maka
datanglah saat yang mendebarkan jantung itu.
Dalam kegelisahannya, Pandan Wangi berjalan menyusuri
sudut-sudut rumahnya. Ketika ia sampai di muka pintu dapur,
dilihatnya beberapa orang perempuan lagi sibuk menyiapkan
makan, lebih-sibuk dari harhari biasa.
Pandan Wangi terkejut, ketika seorang perempuan setengah
umur menegurnya, "Kau belum makan, Wangi."
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Tetapi ia sama
sekali tidak merasa lapar. Karena itu, maka jawabnya, "Aku tidak
makan." "Makanlah, supaya kau menjadi segar."
Pandan Wangi menggeleng. Langkahnya kemudian
diteruskannya menuju ke halaman belakang. Menyusup di
antara tanaman di kebun. Pohon buah-buahan dan batangbatang
perdu yang rimbun. Namun di halaman belakang itupun
dilihatnya beberapa orang sedang berjaga-jaga di depan regolregol
butulan. Panas udara telah membawa Pandan Wangi duduk di bawah
sebatang pohon yang rimbun. Terasa angin yang sejuk
mengusap tubuhnya yeng penat.
Tiba-tiba Pandan Wangi itu mengangkat kepalanya. Lamatlamat
ia mendengar suara seruling mengalun lirih, seakan-akan
menyusur sepanjang silirnya angin. Suara seruling yang
menyentuh-nyentuh dinding hatinya. Ia tidak tahu, pengaruh
apakah yang telah mencengkamnya. Tetapi suara seruling itu
telah mendebarkan jantungnya.
Perlahan-lahan Pandan Wangi berdiri. Ditangkapnya suara
seruling itu selengkapnya. Nadanya yang meninggi, kemudian
perlahan-lahan menurun, seperti debar dada seorang gadis yang
menunggu kedatangan kekasih.
Tetapi sejenak kemudian, Pandan Wangi itu terkejut, ketika ia
mendengar suara gemersik di belakangnya. Ketika ia berpaling,
dilihatnya Wrahasta yang bertubuh raksasa itu telah berdiri
beberapa langkah di belakangnya.
Sejenak mereka saling memandang, namun sejenak
kemudian, Pandan Wangi melemparkan tatapan matanya ke
kejauhan, sambil bertanya, "Apakah Ayah memanggil aku?"
Perlahan-lahan anak muda yang bertubuh raksasa dan
bernama Wrahasta itu menggelengkan kepalanya. Namun
tatapan matanya masih saja melekat pada wajah Pandan Wangi,
sehingga Pandan Wangi pun kemudian terpaksa menundukkan
kepalanya. "Tidak, Wangi," jawab Wrahasta itu kemudian.
"Ayahmu tidak memanggilmu."
"Kenapa kau menyusul aku" Apakah ada sesuatu yang
penting yang harus dibicarakan?"
Wrahasta tampak ragu-ragu. Tanpa sesadarnya
dilayangkannya pandangan matanya ke sekelilingnya. Namun ia
tidak segera menjawab. Wajahnya tampak berkerut-merut, dan
di keningnya mengembun beberapa titik keringat.
Pandan Wangi menjadi heran melihat sikap Wrahasta itu. Ia
kenal betul kepadanya, karena anak muda itu terlampau sering
berada di rumahnya. Sebagai seorang pengawal yang mendapat
kepercayaan melampaui orang lain, maka setiap kali Wrahasta
mendapat tugas-tugas dari ayahnya, sehingga dengan demikian,
anak muda yang bertubuh raksasa itu sering benar berada di
antara keluarganya. Tetapi ia tidak pernah melihat sikap yang
begitu aneh dan kaku. "Pandan Wangi," berkata Wrahasta kemudian dengan suara
gemetar, "memang ada hal yang harus kita bicarakan."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Maka jawabnya,
"Baiklah. Aku akan segera kembali."
"Tidak Wangi, Tidak. Aku tidak akan membicarakannya
dengan orang lain, selain dengan kau sendiri."
Pandan Wangi menjadi semakin heran. Apalagi ketika ia
melihat keringat yang semakin banyak mengalir di kening
Wrahasta yang tinggi besar dan berdada bidang itu.
"Kenapa tidak dengan orang lain?" bertanya Pandan
Wangi. "Persoalan ini sama sekali bukan persoalan orang lain,
Wangi. Tetapi persoalan ini adalah persoalan kita berdua. Hanya
kita berdua." "Aku tidak mengerti," desis Pandan Wangi kemudian, "aku
tidak mempunyai persoalan dengan kau, Wrahasta.
"Mungkin. Mungkin kau merasa bahwa kau tidak mempunyai
persoalan dengan aku. Tetapi aku lain, Wangi. Aku merasa
mempunyai persoalan dengan kau," Wrahasta berhenti sejenak.
Wayahnya kini menjadi tegang dan nafasnya menjadi terengahengah.
Sejenak kemudian dilanjutkannya, "Persoalan ini tidak
langsung menyangkut keadaan tanah perdikan di masa yang
menegangkan ini. Tetapi mau tidak mau, persoalan ini akan
sangat berpengaruh."
"Apakah persoalan yang kau maksud itu?" bertanya Pandan
Wangi. "Wangi. Aku tidak tahu, kenapa ayahmu menyerahkan rumah
ini dalam perlindunganku. Di tanah perdikan ini ada beberapa
orang yang mendapat kepercayaan dari ayahmu selain aku.
Tetapi Ki Gede justru menyerahkannya kepadaku." Wrahasta itu
berhenti sejenak, lalu, "Dan penyerahan itu telah membuat
jantungku berdebar-debar. Sudah lama aku mengenal kau,
Wangi. Tetapi aku tidak pernah mendapat kesempatan untuk
berbicara. Dan aku memang tidak sering berbicara. Namun
dalam kediaman itu, aku telah menyimpan sesuatu di dalam
hatiku Wangi. Apakah kau dapat menangkap maksudku?"
Kini terasa jantung Pandan Wangi menjadi berdebar-debar.
Dalam keadaan serupa ini, ia mendengar persoalan yang lain
sekali dengan persoalan yang selama ini membuat darahnya
serasa bergolak. Sebagai seorang gadis yang lelah meningkat
dewasa, Pandan Wangi segera dapat menangkap maksud
Wrahasta. Tetapi sebagai seorang gadis yang belum pernah
mendengar kata-kata serupa itu, maka bajunya telah dibasahi
oleh keringat dingin, yang seolah-olah mengalir dari setiap
lubang di kulitnya. "Pandan Wangi," Wrahasta berkata seterusnya, aku ingin
mendengar tanggapanmu tentang perasaanku. Perasaanku
sebagai seorang laklaki terhadap seorang gadis. Aku
mempunyai tangkapan, bahwa ayahmu sengaja
mempertemukan kita di dalam keadaan yang sulit ini. Aku tahu
benar, bahwa apa yang dipikirkannya semata-mata
diperuntukkannya bagi tanah perdikan ini. Aku kira hal inipun
telah dihubungkannya dengan kepentingan itu pula. Supaya aku
selalu dapat melindungimu, tidak hanya sekedar di saat-saat
yang kemelut ini, maka aku harap kau dapat menerimainya."
Debar jantung Pandan Wangi menjadi semakin cepat
berdentang, seolah-olah menggelepar di dalam dadanya. Sesaat
ia tidak dapat mengucapkan kata-kata. Ia membeku, seperti
sebatang tonggak mati. Namun keringatnya mengalir seperti
terperas dari dalam tubuhnya.
"Aku ingin mendengar jawabmu, Wangi."
Pandan Wangi masih belum mampu menjawab. Bahkan
kemudian kepalanya menjadi semakin menunduk.
"Wangi. Jawablah, supaya aku dapat berbuat apa saja
untukmu, dan untuk tanah perdikan ini. Hidup matiku akan aku
serahkan sepenuhnya untuk kepentinganmu dan kepentingan
tanah ini. Seandainya aku mati sebelum aku dapat memenuhi
keinginan ini, tetapi apabila aku sudah mendengar
kesanggupanmu, aku akan rela. Aku merasa bahwa aku
berkorban untuk sesuatu yang paling berharga bagiku. Kau dan
tanah ini." Terasa kini tubuh Pandan Wangi menjadi gemetar. Ia tidak
menduga sama sekali, bahwa ia akan di hadapkan pada
persoalan ini begitu tiba-tiba. Justru pada saat hatinya
dicengkam oleh kegelisahan dan kecemasan tentang nasib
ayahnya sebentar lagi. Sebentar lagi, apabila matahari
tenggelam dan purnama naik. Pada saat itulah, akan terjadi
suatu peristiwa yang dahsyat bagi keluarganya.
"Jawablah Wangi," desak Wrahasta, "aku ingin
mendengarnya, meskipun aku sudah dapat menduga
sebelumnya. Kau pasti tidak akan ingkar dari keinginan ayabmu.
Ingat, bahwa kau telah diserahkan kepadaku."
Pandan Wangi kini menjadi semakin bingung. Persoalan yang
begitu tiba-tiba di hadapkan kepadanya, menambah hatinya
menjadi semakin pepat. "Jawablah. Jawablah Wangi, meskipun hanya sepatah kata."
The Name Of Rose 12 Sengatan Satu Titik Karya Gedungsongo Pedang Dan Kitab Suci 13