Pencarian

The Name Of Rose 12

The Name Of The Rose Karya Umberta Eco Bagian 12


Antara Vespers dan komplina
Ini secara singkat menceritakan tentang jam-jam panjang penuh kegelisahan.
Sulit untuk menceritakan apa yang telah ter-
jadi selama jam-jam berikutnya, antara vespers dan komplina.
William tidak ada. Aku keluyuran di sekitar kandang kuda tetapi tidak melihat sesuatu yang tidak wajar. Para gembala memasukkan hewan-hewan itu dengan gugup karena angin kencang; kalau tidak semuanya berjalan dengan tenang.
Aku masuk gereja. Setiap orang sudah siap di tempatnya di antara bangku-bangku, tetapi Abbas melihat Jorge tidak ada.
Dengan suatu isyarat ia menunda acara doa itu dimulai. Ia ingin menyuruh Benno keluar mencari orang tua itu, tetapi Benno tidak ada. Ada yang memberitahukan bahwa mungkin Benno sedang bersiap menutup skriptorium malam itu. Abbas tersebut, dengan jengkel, mengatakan bahwa sudah diputuskan bahwa Benno tidak akan menutup apa-apa karena belum tahu aturan menutupnya.
Aymaro dari Alessandria bangkit dari bangkunya,
"Jika Bapa berkenan, aku akan pergi memanggilnya..."
"Tak ada yang minta kau melakukan apa-apa," kata Abbas itu singkat, dan Aymaro duduk lagi, namun sambil melontarkan lirikan yang tak dapat dimengerti ke arah Pacificus dari Tivoli. Abbas itu menghendaki Nicholas, yang tidak hadir. Seseorang mengingatkannya bahwa Nicholas sedang menyiapkan makan malam, dan Abbas itu menunjukkan sikap kejengkelan, seakan ia tidak suka semua orang tahu bahwa ia kecewa.
"Aku menginginkan Jorge di sini," teriaknya. "Cari dia! Kau!" ia memerintahkan guru novis itu.
Seorang lain memberitahukan bahwa Alinardo juga tidak ada.
"Aku tahu," kata Abbas itu, "ia tidak enak badan." Aku duduk di dekat Petrus dari Sant'Albano dan mendengarnya mengatakan kepada orang yang duduk sebelahnya, Gunzo dari Nola, dalam dialek vulgar Italia-Tengah yang hanya kupahami sedikit. "Seharusnya aku mengira begitu. Hari ini, waktu keluar setelah musyawarah, orang tua malang itu bingung. Abo berperilaku seperti pelacur Avignon!"
Para novis gelisah: dengan kepekaan murni, kekanak kanakan, mereka merasakan ketegangan menguasai bagian koor, seperti yang kurasakan. Selanjutnya keadaan jadi sepi dan membingungkan untuk waktu cukup lama. Abbas menyuruh beberapa mazmur dilantunkan dan ia asal comot tiga yang tidak ditetapkan untuk vespers oleh Regula.
Semua saling berpandangan, lalu mulai berdoa dengan suara pelan.
Guru novis itu kembali, diikuti oleh Benno, yang mengambil tempat duduknya, kepalanya menunduk. Jorge tidak ada di skriptorium maupun di biliknya. Abbas itu memerintahkan acara doa dimulai.
Setelah doa itu s elesai, sebelum setiap orang pergi untuk makan malam, aku mencari William. Ia telentang di atas dipannya, berdandan rapi, tak bergerak. Katanya ia tidak menyadari bahwa sudah malam. Kuceritakan kepadanya secara singkat apa yang telah terjadi. Ia menggelengkan kepala.
Di pintu ruang makan kami melihat Nicholas, yang beberapa jam lalu telah mengantar Jorge. William menanyakan apakah orang tua itu langsung masuk untuk menemui Abbas tadi. Kata Nicholas, Jorge harus menunggu lama di luar pintu, karena Alinardo dan Aymaro dari Alessandria berada di aula. Setelah disuruh masuk, Jorge tinggal agak lama di dalam, sementara Nicholas menunggunya.
Kemudian Jorge keluar dan minta Nicholas mengantarnya ke gereja, satu jam sebelum vespers.
Abbas itu melihat kami bercakap-cakap dengan Kepala Gudang tersebut. "Bruder William," ia memperingatkan, "apa Anda masih melakukan investigasi"" Ia menyilakan William duduk di mejanya seperti biasa. Bagi rahib Benediktin, keramahta-mahan itu suci.
Makan malam itu lebih sunyi daripada biasa, dan murung. Abbas makan terus-menerus, tertekan oleh pikiran-pikiran sedih.
Akhirnya ia menyuruh para rahib buru-buru mengadakan komplina.
Alinardo dan Jorge masih belum tampak. Para rahib menunjuk ke arah tempat kosong orang buta itu dan berbisik-bisik. Waktu acara doa selesai, Abbas minta agar semua mengucapkan doa khusus untuk kesehatan Jorge dari Burgos. Tidak jelas apa yang ia maksudkan kesehatan jasmani atau kesehatan abadi. Semua paham bahwa komunitas itu bakal ditimpa malapetaka lagi. Kemudian Abbas menyuruh masing-masing rahib bergegas, dengan lebih serta merta, ke biliknya sendiri-sendiri. Ia memerintahkan bahwa tak seorang pun, dan ia menekankan kata-kata "tak seorang pun", boleh berjalanjalan di luar asrama. Para novis yang ketakutan itu keluar dulu, tudung mereka menutupi wajah, kepala tertunduk, tidak seperti biasanya saling bercakap-cakap, saling mendorong, saling melontarkan sekilas senyum, saling diam-diam menjegal untuk mendorong kemarahan yang lain (para novis, meskipun rahib muda, tetap masih anak-anak, dan bentakan guru mereka tidak banyak berhasil mencegah mereka semua untuk berperilaku seperti anak-anak, seperti tuntutan usia muda mereka).
Waktu orang dewasa mulai keluar, aku masuk ke dalam barisan, dengan rendah hati, di belakang kelompok yang sekarang sudah kuanggap berciri "orang Italia". Pacificus menggumam kepada Aymaro, "Apa kau sungguh-sungguh percaya Abo tidak tahu di mana Jorge berada"" Dan Aymaro
menjawab, "Ia mungkin tahu, dan tahu bahwa Jorge tidak bakal pernah kembali dari tempat ia berada sekarang.
Bisa jadi orang tua itu menginginkan terlalu banyak, dan Abo tidak menginginkannya lagi
Ketika William dan aku pura-pura mau istirahat di penginapan, sekilas tampak Abbas memasuki Aedificium lagi melalui pintu ruang makan yang masih terbuka. William menyarankan untuk menunggu sebentar; begitu tempat itu kosong sama sekali, ia menyuruhku mengikutinya. Dengan cepat kami menyeberang daerah kosong itu dan masuk gereja. []
Setelah komplina Dalam cerita ini, hampir secara kebetulan, William menemukan rahasia memasuki finis Africa e.
Bagaikan sepasang pembunuh, kami mondar-mandir di dekat pintu masuk itu, di balik sebuah pilar yang dari situ kami bisa mengamati kapel dengan tengkorak- tengkorak itu.
"Abo sudah pergi untuk menutup Aedificium," kata William. "Kalau sudah memalang pintu-pintu dari sebelah dalam, ia hanya bisa keluar lewat osarium." "Lalu""
"Lalu kita akan melihat apa yang ia lakukan."
Kami tidak melihat apa yang telah dilakukan Abbas itu. Satu jam lewat dan Abbas masih belum muncul lagi. Ia sudah masuk ke dalam finis Africae, kataku. Mungkin, jawab William. Karena ingin sekali menyusun hipotesis lebih banyak, aku menambahkan: Mungkin ia keluar lagi lewat ruang makan dan mencari Jorge. Dan William menjawab: Itu juga mungkin. Boleh jadi Jorge sudah mati, aku membayangkan lebih jauh. Mungkin ia berada dalam
Aedificium dan akan membunuh Abbas. Mungkin mereka berdua berada dalam suatu tempat lain dan seseorang lain sudah menunggu mereka. Apa yang dii
nginkan orang-orang "Italia" itu" Dan mengapa Benno begitu takut"
Mungkinkah ia hanya berpura-pura, untuk mengecoh kita"
Mengapa ia berdiam agak lama dalam skriptorium selama vespers, jika ia tidak tahu caranya menutup skriptorium atau caranya keluar"
Apa dia ingin menyusuri gang-gang labirin itu"
"Semua mungkin," kata William. "Tetapi hanya satu hal yang akan terjadi, atau sudah terjadi, atau hampir terjadi. Dan akhirnya Tuhan Yang Suci mengaruniai kita dengan kepastian yang cemerlang."
"Apa itu"" tanyaku, penuh harapan.
"Bahwa Bruder William dari Baskerville, yang sekarang mendapat kesan telah memahami segala sesuatunya, tidak tahu bagaimana memasuki finis Africae itu. Ke kandang kuda, Adso, ke kandang kuda."
"Dan bagaimana jika Abbas memergoki kita""
"Kita akan pura-pura jadi sepasang hantu."
Menurutku ini kelihatannya bukan satu solusi praktis, tetapi aku diam saja. William makin gelisah. Kami keluar dari pintu utara dan menyeberang makam, sementara angin bertiup dengan berisik dan aku mohon kepada Tuhan agar jangan berpapasan dengan dua hantu, karena biara itu, pada malam itu, tidak kekurangan jiwa-jiwa yang gentayangan. Kami sampai di kandang kuda dan mendengar
kuda-kuda, lebih gelisah daripada biasanya karena cuaca yang marah itu. Pintu utama bangunan itu dipasangi, setinggi dada manusia, kisi-kisi metal yang lebar, yang lewat itu tampak bagian dalamnya. Dalam kegelapan, samar-samar kami melihat bentuk kudakuda itu. Aku mengenali Brunellus, yang pertama di sebelah kiri.
Di kanannya, hewan ketiga dalam urutan itu mengangkat kepalanya, merasakan kehadiran kami, dan meringkik. Aku tersenyum. "Tertius equi," kataku.
"Apa"" tanya William.
"Tidak ada apa-apa. Aku jadi ingat Salvatore malang. Ia ingin menunjukkan bahwa Tuhan tahu apa keajaiban kuda itu, dan dengan bahasa Latinnya ia menyebut kuda itu 'tertius equi'. Yang seharusnya u."
"U"" tanya William yang sudah mendengar ocehanku tanpa terlalu banyak memberi perhatian.
"Ya, karena 'tertius equi' artinya bukan kuda ketiga, tetapi yang ketiga dari kuda itu, dan huruf ketiga dari kata 'equus' adalah u. Tetapi semua ini omong kosong
William memandangku, dan dalam kegelapan aku seakan melihat wajahnya berubah. "Tuhan memberkatimu, Adso!" katanya kepadaku.
"Mengapa, tentu saja, suppositio materialis, percakapan itu dianggap de dicto dan bukan de re ... bodoh sekali aku!" Ia menepuk keningnya begitu keras sampai aku mendengar suara plak, dan aku yakin tangannya sendiri terasa sakit. "Anakku, hari
ini untuk kedua kalinya kebijaksanaan telah bicara lewat mulutmu, pertama dalam keadaan bermimpi dan sekarang dalam keadaan terjaga! Lari, lari sana ke bilikmu dan ambil lampu itu, atau, lebih tepatnya, kedua lampu yang kita sembunyikan. Jangan sampai ada orang memergokimu, dan langsung temui aku di gereja. Jangan tanya apa-apa. Pergi!"
Aku tidak bertanya apa-apa dan pergi. Kedua lampu itu berada di bawah dipanku, sudah diisi dengan minyak, dan tadi aku sudah merapikan sumbunya. Aku menyimpan pemantik api dalam jubahku.
Sambil mendekap kedua benda berharga itu pada dadaku, aku lari ke gereja.
William berada di bawah tripod dan sedang membaca lagi perkamen yang berisi catatan Venantius.
"Adso," katanya kepadaku. "Jadi 'primum et septimum de quatuor' artinya bukan yang pertama dan yang ketujuh dari empat, tetapi dari empat itu, kata 'empat' itu!" Untuk sejenak aku tidak paham, tetapi kemudian aku mendapat pencerahan: "Super thronos viginti quatuor! Tulisan itu! Bait itu! Kata-kata itu diukir di atas cermin!"
"Ayo," kata William, "mungkin kita masih tepat waktu untuk menyelamatkan sebuah jiwa!"
"Jiwa siapa"" tanyaku, waktu William memanipulasi tengkoraktengkorak dan membuka jalan ke osarium itu.
"Jiwa seseorang yang tidak sepantasnya mati," katanya. Kami sudah berada dalam gang bawah
tanah itu, dengan lampu menyala, berjalan ke arah pintu yang menuju dapur.
Aku pernah bilang bahwa di situ, sebuah pintu kayu harus didorong dan kau akan berada di dapur, di balik perapian, di kaki anak tangga melingkar yang menuju skriptorium. Dan persis ketika mulai mendorong
pintu itu, kami mendengar semacam bunyi terbungkam di dalam dinding di sebelah kiri kami. Bunyi itu datang dari dinding di sebelah pintu, di mana deretan relung dengan tengkorak dan tulang itu berakhir. Sebagai ganti relung terakhir, terentang sebuah dinding kosong terbuat dari balok batu persegi besar-besar, dengan sebuah plakat tua di tengah yang berhias suatu ukiran monogram yang sudah rusak. Bunyi itu datang, rasanya, dari balik plakat itu, atau mungkin dari atas plakat itu, yang sebagian terpasang di atas dinding, dan sebagian hampir di atas kepala kami.
Jika pada malam pertama telah terjadi sesuatu semacam itu, aku tentu langsung mengira itu suara para rahib yang telah mati.
Tetapi sekarang ini aku cenderung untuk berharap yang lebih buruk dari seorang rahib yang masih hidup. "Kira-kira siapa, ya"" tanyaku.
William membuka pintu itu dan muncul di balik perapian. Pukulan-pukulan itu juga terdengar sepanjang dinding yang membatasi anak tangga, seakan ada orang ditawan di dalam dinding itu, atau kalau tidak, dalam celah (betul-betul tebal) yang kemungkinan ada di antara dinding sebelah-dalam dapur dan dinding sebelah-luar menara
selatan. "Ada orang terkurung di dalam sana," kata William. "Selama ini aku sudah membayangkan apakah tidak ada jalan masuk lain ke finis Africae, dalam Aedificium yang penuh lorong ini. Jelas ada. Dari osarium, sebelum kau sampai ke dalam dapur, tampak dinding kosong, dan kau memanjat sebuah anak tangga yang paralel dengan ini, tersembunyi dalam pintu, yang langsung menuju ruang buntu."
"Tetapi siapa yang berada di sana"" berusaha menangkapnya, tetapi yang di atas tentu sudah memblokir mekanisme yang mengendalikan pintu-pintu itu. Jadi, tamu itu terjebak. Dan ia meronta-ronta karena, kubayangkan, tidak banyak udara dalam ruang sempit itu."
"Siapa, ya" Kita harus menyelamatkannya!"
"Kita akan segera tahu siapa dia. Dan akan halnya menyelamatkan dia, yang hanya bisa dilakukan dengan melepaskan mekanisme itu dari atas: kita tidak tahu rahasia dari ujung ini. Mari kita cepat-cepat naik."
Maka kami naik ke skriptorium, dan dari sana ke labirin, dan kami segera mencapai menara selatan. Dua kali aku harus menahan kecepatan jalanku, karena angin yang muncul lewat celah-celah malam itu menciptakan arus yang, karena menembusi gang-gang tersebut, menderu-deru melewati ruang-ruang, membuat kertaskertas yang berserakan di atas meja bergemerisik, sehingga aku harus melindungi lampuku dengan tangan.
Tidak lama kemudian kami berada di ruang cer-
min, kali ini siap untuk permainan pengrusakan yang menunggu kami. Kami mengangkat lampu untuk menerangi bait di atas cermin itu. Super thronos viginti quatuor .... Saat itu rahasia tersebut jadi jelas sekali: kata "quatuor" punya tujuh huruf, dan kami harus menekan huruf q dan r. Aku berpikir, dengan gembira, untuk melakukannya sendiri.
Cepat-cepat kuletakkan lampu itu ke atas meja di tengah ruangan tersebut. Tetapi aku melakukannya dengan gugup, dan nyalanya mulai menjilat jilid sebuah buku yang juga ditaruh di sana.
"Awas, tolol!" seru William, dan dengan sekali tiup memadamkan api itu. "Kau ingin membakar perpustakaan, ya""
Aku minta maaf dan mulai menyalakan lampu itu lagi. "Tidak usah," kata William, "lampuku sudah cukup. Nih, pegang ini dan terangi aku, karena tombol itu terlalu tinggi dan kau tidak bisa meraihnya. Kita harus cepat-cepat."
"Bagaimana jika ada seseorang bersenjata di dalam sana"" tanyaku, ketika William, hampir meraba-raba, berusaha mencari huruf-huruf fatal itu, sambil berjinjit, meskipun ia jangkung, untuk menyentuh bait tentang kiamat itu.
"Kasih aku cahaya, demi Iblis, dan jangan pernah takut: Tuhan bersama kita!" jawabnya, agak tidak cocok. Jari-jarinya sedang menyentuh q dari "quatuor" dan, karena berdiri beberapa langkah lebih jauh, aku melihat lebih baik daripada dia apa yang sedang ia lakukan. Aku pernah bilang bahwa huruf-huruf bait itu seakan diukir atau ditempel di
dalam dinding: jelas huruf-huruf dari "quatuor" itu berbingkai metal, yang di baliknya telah dipasang mekanisme mengagumkan dan ditutup tembok. Kalau dit
ekan, q itu membuat bunyi klik keras, dan hal yang sama terjadi waktu William menekan huruf r. Seluruh kerangka cermin itu seakan bergetar dan permukaan kacanya melesak mundur. Cermin itu sebuah pintu, dengan engsel di bagian kirinya. William menyelipkan tangannya ke dalam celah terbuka yang sekarang tercipta di antara tepi kanan pintu dan tembok itu, dan menarik ke arah dirinya sendiri. Dengan berderit, pintu itu membuka keluar, ke arah kami. William menyelip lewat pintu itu dan aku menguntit di belakangnya dengan lampu kuangkat di atas kepala.
Dua jam setelah komplina, pada akhir hari keenam, di tengah malam yang tengah melahirkan hari ketujuh, kami memasuki finis Africae. []
HARI KETUJUH Malam Dalam cerita ini, kalau hendak diringkaskan penyingkapan yang tentang itu cerita ini bicara, judulnya seharusnya sepanjang bab itu sendiri, berlawanan dengan gunanya.
Sekarang kami ternyata berada di ambang
sebuah ruangan yang serupa bentuknya de-
ngan tiga ruang buntu heptagonal lainnya, dipenuhi bau amat sengak, seperti bau buku yang lembap. Lampu itu, yang kuangkat tinggi tinggi, mula-mula menerangi kubahnya; lalu, setelah lenganku agak kuturunkan, ke kanan dan ke kiri, cahayanya yang remang-remang menyinari rak-rak buku sepanjang tembok yang jauh. Akhirnya, di tengah, kami melihat sebuah meja penuh kertas, dan di balik meja itu ada sosok yang duduk, yang agaknya sudah menunggu kami dalam kegelapan, tidak bergerak, andaikan masih hidup. Bahkan sebelum cahaya menerangi wajahnya, William bicara.
"Malam yang bahagia, Jorge yang suci," katanya. "Apa kau sedang menunggu kami""
Sekarang lampu itu, begitu kami maju beberapa langkah, menerangi wajah orang tua yang memandang kami seakan bisa melihat.
"Kaukah itu, William dari Baskerville"" tanyanya. "Aku sudah menunggumu sejak sore ini sebelum vespers, waktu aku datang dan mengunci diriku di sini. Aku tahu kau akan datang."
"Dan Abbas itu"" tanya William. "Apa dia yang menimbulkan bunyi di balik anak tangga rahasia itu""
Jorge termangu sejenak. "Dia masih hidup"" tanyanya.
"Kukira dia sudah mati sesak napas."
"Sebelum kita mulai bicara," kata William, "tentunya aku mau menyelamatkan dia. Kau bisa membuka dari sini."
"Tidak," kata Jorge letih, "sudah tidak bisa lagi. Mekanismenya dikontrol dari bawah, dengan menekan plakat, dan di atas sini sebuah pengungkit akan terkatup, yang membuka sebuah pintu di belakang sana, di balik kotak itu." Ia mengangguk di atas bahunya. "Di samping kotak itu kau bisa melihat sebuah roda dengan semacam imbangan, yang mengontrol mekanisme dari atas sini. Tetapi waktu aku mendengar roda itu mulai berputar, suatu tanda bahwa Abo telah masuk di bawah sana, aku menyentak tali yang menahan berat itu, dan tali itu putus. Sekarang kedua sisi gang itu tertutup, dan kau tidak pernah bisa memperbaiki alat tersebut. Abbas itu mati."
"Mengapa kau membunuhnya""
"Hari ini, waktu memanggilku, ia menceritakan kepadaku bahwa berkat kau ia telah menemukan segala sesuatunya. Ia belum tahu apa yang selama ini berusaha kulindungi ia belum pernah memahami
secara tepat harta dan tujuan perpustakaan ini. Ia
minta aku menjelaskan apa yang tidak ia ketahui. Ia
ingin finis Africae dibuka.
Orang-orang Italia itu sudah memintanya
mengakhiri apa yang mereka sebut misteri yang
tetap dihidupkan olehku dan para pendahuluku itu.
Mereka terdorong oleh hasrat untuk hal-hal baru..."
"Dan tidak diragukan lagi kau berjanji akan datang ke sini dan mengakhiri hidupmu seperti kau sudah mengakhiri hidup yang lainlainnya, dalam cara sedemikian rupa sehingga kehormatan biara ini bisa diselamatkan dan tak ada yang bakal tahu apa saja. Lalu kau memberi tahu caranya masuk, nantinya, dan memeriksa. Tetapi kau justru menunggunya, untuk membunuhnya. Apa kau tidak mengira mungkin akan masuk lewat cermin""
"Tidak. Abo terlalu pendek; ia tidak bakal pernah bisa meraih bait itu sendiri. Aku memberi tahunya tentang gang lain, yang hanya aku sendiri yang masih tahu. Ini gang yang kupakai selama bertahun-tahun, karena lebih sederhana dalam kegelapan. Aku hanya harus samp
ai ke kapel, lalu mengikuti tulang-tulang orang mati sampai ujung gang."
"Jadi, kau suruh dia datang ke sini, karena tahu kau bisa membunuhnya
"Aku sudah tidak memercayainya lagi. Ia ketakutan. Ia sudah jadi tenar karena di Fassanova ia berhasil menurunkan sebuah tubuh lewat semacam anak tangga melingkar. Kemenangan yang
tidak sepantasnya diperoleh. Sekarang ia mati karena tidak bisa memanjat anak tangganya sendiri."
"Kau sudah menggunakan anak tangga itu selama empat puluh tahun.
Waktu kau menyadari bahwa kau akan buta dan tidak bisa lagi menguasai perpustakaan, kau bertindak kejam. Kau punya seseorang yang bisa kaupercayai sebagai Abbas terpilih, dan pertama-tama kau menyuruhnya memilih Robert dari Bobbio sebagai pustakawan, yang bisa kauarahkan semau-mu, dan kemudian Maleakhi, yang membutuhkan bantuanmu dan tidak pernah mengambil langkah sebelum minta saranmu. Selama empat puluh tahun kau menguasai biara ini.
Ini yang disadari oleh grup Italia itu, ini yang terus menerus diulangi oleh Alinardo, tetapi tak seorang pun mau mendengarkannya karena mereka sekarang menganggapnya gila. Betul, kan" Tetapi kau masih menungguku, dan kau tidak bisa memblokir pintu masuk cermin itu, karena mekanismenya dipasang di dalam dinding. Mengapa kau menungguku" Bagaimana mungkin kau bisa yakin aku akan datang"" tanya William, tetapi dari nadanya, jelas ia sudah membayangkan jawabannya dan mulai mengharapkan itu untuk memuji keterampilannya sendiri.
"Sejak hari pertama aku menyadari kau akan paham. Dari suaramu, dari caramu menarikku untuk berdebat tentang suatu subjek yang tidak ingin kusebutkan. Kau lebih baik daripada lainlainnya : kau bakal sampai pada solusi, apa pun yang terjadi.
Kau tahu bahwa sudah cukup untuk berpikir dan merekonstruksi apa yang dipikirkan orang-orang lain dalam pikiran sendiri. Dan kemudian aku dengar kau menanyai rahib-rahib lain, semua pertanyaan yang betul. Tetapi kau tidak pernah mengajukan pertanyaan tentang perpustakaan ini, seakan kau sudah mengetahui setiap rahasianya.
Suatu malam aku datang dan mengetuk bilikmu, dan kau tidak ada di dalam. Kau tentu berada di sini. Dua lampu sudah lenyap dari dapur, aku dengar kata seorang pelayan. Dan akhirnya, waktu Severinus datang untuk membicarakan sebuah buku denganmu lusa kemarin di teras aula, aku yakin kau akan melacakku."
"Tetapi kau berhasil mengambil buku itu dariku. Kau dekati Maleakhi, yang tidak punya gagasan tentang situasi itu. Karena iri hati, si tolol itu masih terus memikirkan gagasan bahwa Adelmo telah mencuri kekasihnya, Berengar, yang waktu itu adalah daging muda menggairahkan. Maleakhi tidak mengerti apa hubungan Venantius dengan masalah ini, dan kau justru membuatnya lebih bingung. Mungkin kau menceritakan kepadanya bahwa selama ini Berengar intim dengan Severinus, dan sebagai imbalan Severinus telah memberinya sebuah buku dari finis Africae; aku tidak tahu persis apa yang sudah kaukatakan kepadanya. Karena dipenuhi rasa cemburu, Maleakhi mendatangi Severinus dan membunuhnya. Lalu ia tidak punya cukup waktu untuk berburu buku yang sudah kaujelaskan kepadanya, karena Kepala Gudang tiba.
Begitu kejadiannya"" "Kurang lebih."
"Tetapi kau tidak ingin Maleakhi mati. Mungkin ia belum pernah melihat buku-buku dari finis Africae, karena ia memercayaimu, menghormati laranganmu. Ia membatasi dirinya sendiri untuk menata daun-daun jamu itu pada malam hari untuk menakuti setiap pengganggu.
Severinus menyediakan untuknya. Ini sebabnya Severinus membiarkan Maleakhi masuk ke klinik lusa itu: itu kunjungan reguler untuk mengambil ramuan yang ia siapkan setiap hari, atas perintah Abbas. Tebakanku betul""
"Kau sudah menebak. Aku tidak ingin Maleakhi mati. Kusuruh dia mencari buku itu lagi, dengan cara apa saja, dan mengembalikannya ke sini tanpa membukanya. Kukatakan kepadanya bahwa buku itu punya kekuatan seribu kalajengking. Tetapi untuk pertama kalinya orang sinting itu memilih bertindak atas inisiatifnya sendiri.
Aku tidak ingin dia mati: ia seorang agen yang setia. Tetapi jangan ulangi kepadaku apa yang kauketahui: aku tahu bahwa kau tahu. Aku t
idak ingin membuat kau lebih bangga; kau sudah menyelidikinya sendiri. Kudengar pagi ini kau menanyai Benno tentang Coena Cypriani di skriptorium. Kau hampir sampai pada kebenaran. Aku tidak tahu bagaimana kau menemukan rahasia cermin itu, tetapi waktu aku mendengar dari Abbas bahwa kau telah menyebutkan finis Africae, aku yakin kau akan datang sebentar lagi.
Itulah sebabnya aku menunggumu. Nah, sekarang, apa yang kauinginkan""
"Aku ingin," kata William, "melihat naskah terakhir dari buku yang berisi satu naskah Arab, satu naskah Syria, dan satu interpretasi atau transkripsi dari Coena Cypriani. Aku ingin melihat salinannya dalam bahasa Yunani, mungkin oleh seorang Arab, atau seorang Spanyol, yang kautemukan ketika, sebagai asisten dari Paul dari Rimini, kauupayakan untuk dikirim kembali ke negerimu dalam rangka mengumpulkan naskah-naskah terbaik dari Kitab Wahyu di Leon dan Castile, suatu barang rampasan yang membuatmu terkenal dan dihormati di biara sini dan menyebabkan kau memenangkan pos pustakawan, yang sebenarnya hak Alinardo, sepuluh tahun lebih tua darimu. Aku ingin melihat salinan Yunani yang ditulis di atas kertas linen, yang waktu itu amat langka dan dibikin di Silos, dekat Burgos, tempat asalmu. Aku ingin melihat buku yang kaucuri di sana setelah membacanya, agar orang lain tidak bisa membacanya, dan kau menyembunyikannya di sini, sambil melindunginya dengan pintar, dan kau tidak menghancurkannya karena orang seperti kau tidak suka merusak buku, tetapi sekadar menjaganya dan memastikan jangan ada yang menyentuhnya. Aku ingin melihat buku Poetics karya Aristoteles, buku yang oleh setiap orang dikira hilang atau tidak pernah ditulis, dan yang mungkin kau memegang salinan satu-satunya."
"Kau sungguh seorang pustakawan yang hebat, William," kata Jorge, dengan nada yang langsung
mengagumi sekaligus kecewa.
"Jadi, kau tahu segala sesuatu. Ayolah, aku yakin ada sebuah kursi di meja di sampingmu. Duduk. Ini hasil jerih payahmu."
William duduk dan menaruh lampunya, yang sudah kuserahkan kepadanya, sehingga menerangi wajah Jorge dari bawah. Orang tua itu mengambil sebuah buku yang tergeletak di depannya dan menyerahkannya kepada William. Aku mengenali jilidnya: itu buku yang sudah kubuka di klinik, sementara mengira itu sebuah naskah Arab.
"Nah, bacalah, buka saja halamannya, William," kata Jorge. "Kau menang."
William memandang buku itu, tetapi tidak menyentuhnya. Dari jubahnya ia mengeluarkan sepasang sarung tangan, bukan sarung tangannya yang biasa dengan ujung jari kelihatan, tetapi sarung tangan yang dipakai Severinus waktu kami menemukannya sudah mati. Pelan-pelan ia membuka buku yang rentan dan usang itu. Dan aku lebih mendekat dan membungkuk di atas bahu William. Jorge, dengan pendengarannya yang peka, menangkap bunyi yang kubikin. "Kau juga di sini, Nak"" katanya. "Aku akan menunjukkannya kepadamu, juga ... nanti."
Dengan cepat William melirik isi halaman pertama. "Ini naskah berbahasa Arab tentang ucapan seseorang yang tolol, menurut katalog," katanya. "Apa ini""
"Oh, legenda tolol tentang penyembah berhala, yang berpendapat bahwa orang tolol mengucapkan
komentar pintar yang bahkan membuat heran
pendeta mereka dan menyenangkan kalifah mereka..."
"Yang kedua adalah naskah dalam bahasa Syria, tetapi menurut katalog ini terjemahan dari buku kecil berbahasa Mesir tentang alkimia. Kenapa bisa masuk kumpulan ini""
"Itu karya seorang Mesir dari abad ketiga zaman kita.
Bertalian dengan karya yang berikutnya, tetapi kurang berbahaya.
Tak seorang pun mau mendengarkan ceracau seorang alkimis Afrika.
Ia menghubungkan penciptaan dunia ini dengan tawa suci Ia mengangkat kepalanya dan
mengucapkan, dengan memori menakjubkan dari seorang pembaca yang sampai sekarang sudah empat puluh tahun mengulangi dalam hati hal-hal yang sudah ia baca waktu ia masih punya karunia penglihatan, '"Pada saat Tuhan tertawa, lahir tujuh dewa yang menguasai dunia, saat Ia tertawa terbahak-bahak, muncul cahaya, waktu tertawa untuk kedua kalinya muncul air, dan saat Ia tertawa pada hari ketujuh muncul jiwa ....' Omong kosong. Begi
tu pula karya yang muncul setelah itu, oleh salah satu dari banyak sekali orang idiot yang merasa diri mereka harus memperjelas Coena itu .... Tetapi ini semua bukan yang menarik bagimu."
William, nyatanya, sudah dengan cepat melewati halaman-halaman itu dan sudah sampai pada naskah berbahasa Yunani. Aku langsung melihat
bahwa halaman-halaman itu terbuat dari bahan lain yang lebih empuk, yang pertama sudah hampir rusak sama sekali, yang sebagian dari tepinya hilang, penuh dengan bercak-bercak tipis, seperti yang biasa terjadi pada buku lainnya kalau sudah tua dan lembap. William membaca kalimat-kalimat pembukaannya, mula-mula dalam bahasa Yunani, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, dan sesudah itu ia melanjutkan dalam bahasa ini sehingga aku, juga, bisa tahu bagaimana buku mematikan itu mulai:
Dalam buku pertama kita membicarakan tragedi dan melihat bagaimana, dengan membangkitkan rasa kasihan dan takut, tragedi menghasilkan katarsis, pemurnian perasaan-perasaan tersebut. Seperti sudah dijanjikan, sekarang kita akan membicarakan komedi (begitu pula satire dan lawak) dan melihat bagaimana, dengan merangsang kenikmatan dari kelucuan, komedi sampai pada pemurnian kegemaran itu. Bahwasanya kegemaran semacam itu pasti ada gunanya dipikirkan, sudah dibicarakan dalam buku tentang jiwa, dikarenakan sendirian di antara hewan manusia mampu tertawa. Kemudian kita akan menjabarkan tipe aksi yang dari itu komedia adalah mimesis, lalu kita akan memeriksa cara-cara dengan apa komedi merangsang tawa, dan cara-cara ini adalah gerak-gerik dan cara bicara. Kita akan
menunjukkan bagaimana gerak-gerik yang lucu itu lahir dari persamaan dari yang terbaik dengan yang terburuk dan sebaliknya, dari perangsangan kejutan lewat tipuan, dari yang mustahil, dari pelanggaran hukum alam, dari yang tidak relevan dan tidak konsekuen, dari perendahan derajat tokoh-tokoh, dari penggunaan pantomim yang vulgar dan lucu, dari ketidakharmonisan, dari pilihan benda yang paling tidak berharga. Lalu kita akan menunjukkan bagaimana kelucuan cara bicara lahir dari kesalahpahaman kata-kata yang serupa untuk benda-benda yang berbeda, dan kata-kata yang berbeda untuk hal-hal yang serupa, dari omelan dan pengulangan, dari pemainan kata, dari kata-kata yang memperkecil, dari kesalahan ucapan, dan dari barbarisme.
William agak sulit menerjemahkannya, sambil mencari kata-kata yang tepat, sebentar-sebentar berhenti. Sementara menerjemahkan dia tersenyum, seakan ia mengenali hal-hal yang mulai ia harapkan bakal ditemukan. Ia membaca halaman pertama keras-keras, lalu berhenti, seakan tidak tertarik untuk mengetahui lagi, dan cepatcepat membalik halaman-halaman berikutnya. Tetapi setelah beberapa halaman ia mendapat kesulitan, karena dekat sudut atas tepi pinggir, dan sepanjang tepi atas, beberapa halaman lengket jadi satu, seperti yang biasa terjadi kalau bahan kertas usang dan lembap membentuk semacam pasta yang lengket.
Jorge menyadari bahwa gemerisik kertas itu sudah berhenti, dan ia mendorong William untuk terus.
"Teruskan, baca saja, balik halaman itu. Buku itu milikmu, kau pantas mendapatkannya."
William tertawa, seakan agak gembira. "Kalau begitu tidak betul bahwa kau menganggapku begitu pintar, Jorge! Kau tidak bisa melihat: aku pakai sarung tangan. Dengan jari-jariku yang kikuk ini, aku tidak bisa melepaskan satu halaman dari yang selanjutnya. Seharusnya aku melanjutkan dengan tangan kosong, sambil membasahi jari-jariku dengan ludahku, seperti yang kebetulan kulakukan pagi ini waktu membaca di skriptorium, sehingga tiba-tiba misteri itu juga jadi jelas bagiku. Dan seharusnya aku terus membalik halaman seperti itu sampai racun yang masuk ke mulutku cukup porsinya. Aku bicara tentang racun yang, suatu hari, dulu sekali, kau curi dari laboratorium Severinus. Mungkin waktu itu kau sudah cemas, karena sudah mendengar seseorang dalam skriptorium menunjukkan rasa ingin tahu, entah tentang finis Africae atau buku Aristoteles yang hilang, atau tentang keduanya. Aku yakin kau menyimpan ampul itu untuk waktu yang lama, sambil merencanakan untuk menggunakannya pad
a saat kau mencium bahaya.
Dan kau mencium bahaya itu berharihari yang lalu, waktu Venantius sampai terlalu dekat pada isi buku ini, dan pada waktu yang sama, Berengar, gegabah, sombong, mulai berusaha menarik perhatian Adelmo, menunjukkan bahwa ia tidak terlalu berahasia seperti yang kauharapkan. Maka
kau datang dan memasang jebakanmu. Tepat pada waktunya, karena beberapa malam kemudian Venantius masuk, mencuri buku itu, dan berusaha keras membalik-balik halamannya, hampir dengan sekuat tenaganya.
Ia langsung merasa sakit dan lari untuk cari bantuan di dapur. Di mana ia mati. Apa aku salah""
"Tidak. Lanjutkan."
"Selebihnya sederhana. Berengar menemukan mayat Venantius di dapur, jadi takut akan adanya penyidikan, karena, bagaimanapun juga, malam hari itu Venantius masuk ke dalam Aedificium akibat penyampaian isi hati Berengar sebelumnya kepada Adelmo. Berengar tidak tahu harus berbuat apa: ia mengangkat mayat itu ke atas bahunya dan melemparkannya ke dalam belanga darah, sambil berpikir setiap orang akan yakin Venantius tenggelam."
"Dan bagaimana kau tahu itu yang terjadi""
"Kau juga tahu. Aku melihat bagaimana kau bereaksi waktu mereka menemukan secarik kain bernoda darah Berengar. Orang tolol tersebut menyeka kedua tangannya dengan kain itu setelah memasukkan Venantius ke dalam belanga. Tetapi karena Berengar sudah lenyap, tentunya ia pergi bersama buku itu, yang pada saat itu telah membangkitkan rasa ingin tahunya, pula. Dan kau tengah mengharapkan ia akan diketemukan di suatu tempat, tidak bersimbah darah, tetapi kena racun. Yang selebihnya sudah jelas, Severinus menemukan buku itu, karena mula-mula Berengar pergi ke klinik
untuk membacanya, aman dari mata orang yang
curiga. Maleakhi, atas doronganmu, membunuh
Severinus, lalu meninggal sendiri ketika ia kembali
ke sini untuk menemukan apa yang begitu terlarang
tentang benda yang telah menjadikannya seorang
pembunuh. Dan dengan begitu kita punya
penjelasan untuk semua mayat itu .... Tolol sekali..."
"Siapa"" "Aku. Karena suatu komentar dari Alinardo, aku yakin rangkaian kejahatan itu mengikuti urutan ketujuh sangkakala dari Kitab Wahyu. Hujan es untuk Adelmo, dan kematiannya adalah bunuh diri.
Darah untuk Venantius, dan sejak itu sikap Berengar jadi membingungkan; air untuk Berengar sendiri, padahal itu satu tindakan tidak sengaja; sepertiga bagian langit untuk Severinus, dan Maleakhi telah memukulnya dengan bola dunia karena itu satusatunya benda yang bisa ia temukan. Dan akhirnya kalajengking untuk Maleakhi .... Mengapa kaukatakan kepadanya bahwa buku itu punya kekuatan seribu kalajengking""
"Karena kau. Alinardo sudah menceritakan gagasannya kepadaku, dan lalu aku mendengar dari seseorang bahwa kau, juga, mengiranya persuasif .... Aku jadi yakin bahwa suatu rencana suci mulai mengarahkan kematian kematian tersebut, yang bukan aku penyebabnya.
Dan kukatakan kepada Maleakhi bahwa andaikan ia jadi ingin tahu ia bisa binasa sesuai dengan rencana suci yang sama; dan ia berbuat begitu."
"Jadi, kalau begitu ... aku mendapat pola keliru untuk menginterpretasikan gerak-gerik orang yang bersalah itu, dan orang yang bersalah itu runtuh dengan itu. Dan pola keliru yang sama itu yang membuat aku bisa melacakmu. Sekarang ini setiap orang dihantui oleh kitab Yohanes, tetapi menurutku agaknya kau orang yang paling merenungkannya, dan tidak terlalu disebabkan oleh spekulasimu tentang Antikristus karena kau berasal dari negeri yang telah menghasilkan Kitab Wahyu yang paling luar biasa. Suatu hari seseorang menceritakan kepadaku bahwa kaulah yang telah membawa naskah kuno paling indah dari buku ini ke perpustakaan itu. Lalu, pada hari lain, Alinardo mengoceh tentang seorang musuh misterius yang telah dikirim untuk mencari buku-buku di Silos (rasa ingin tahuku tergelitik waktu ia bilang musuh ini sudah pulang sebelum waktunya ke dalam kerajaan kegelapan: mula-mula mungkin kelihatannya orang itu bicara tentang mati muda, tetapi ternyata ia mengacu kepada kebutaanmu). Silos letaknya dekat Burgos, dan pagi ini, dalam katalog, aku menemukan serangkaian buku tambahan, s
emua Kitab Wahyu berbahasa Spanyol, dari periode waktu kau sudah menggantikan atau hampir menggantikan Paul dari Rimini. Dan buku ini juga ada dalam kelompok tambahan itu. Tetapi aku tidak bisa positif dalam rekonstruksiku sebelum akhirnya tahu bahwa buku yang dicuri itu ditulis di atas kertas linen. Lalu aku ingat Silos, dan aku jadi yakin. Tentu saja, karena gagasan dari buku ini dan kekuatan racunnya
pelan-pelan mulai mengambil bentuk, gagasan tentang pola dalam Kitab Wahyu itu mulai runtuh, meskipun aku tidak bisa mengerti bagaimana buku itu dan urutan sangkakala itu keduanya menunjuk kepadamu. Tetapi aku memahami kisah buku itu lebih baik karena, diarahkan oleh pola dalam Kitab Wahyu itu, aku makin lama makin dipaksa memikirkan kau, dan perdebatanmu tentang tawa. Karenanya, malam ini, waktu aku sudah tidak lagi memercayai pola dalam Kitab Wahyu itu, aku bersikeras mengawasi kandang kuda, dan dalam kandang kuda, benar-benar secara kebetulan, Adso memberiku kunci untuk memasuki finis Africae."
"Aku tidak bisa mengikutimu," kata Jorge. "Kau sombong untuk menunjukkan kepadaku bagaimana, dengan didikte oleh nalarmu, kau sampai kepadaku, dan toh kau telah menunjukkan kepadaku bahwa kau sampai ke sini dengan mengikuti penalaran keliru. Apa maksudmu mengatakan itu kepadaku""
"Kepadamu, tidak apa-apa. Aku bingung, itu saja. Tetapi tidak masalah. Aku sudah berada di sini."
"Allah telah membunyikan ketujuh sangkakala itu. Dan kau, meskipun dalam kekeliruanmu, mendengar suatu gema membingungkan dari bunyi itu."
"Kau sudah mengatakan ini dalam khotbahmu malam kemarin. Kau mau berusaha meyakinkan dirimu sendiri bahwa seluruh kisah ini berlangsung menurut suatu rencana suci, dengan tujuan menutupi kenyataan bahwa kau seorang pembunuh dari dirimu sendiri."
"Aku tidak membunuh siapa pun. Masing-masing meninggal menurut nasibnya karena dosa-dosanya. Aku hanya suatu alat."
"Kemarin, kau bilang bahwa Yudas juga suatu alat. Namun, itu tidak mencegahnya menjadi orang terkutuk."
"Aku menerima risiko kutukan itu. Tuhan akan mengampuniku, karena Dia tahu bahwa aku bertindak demi kemuliaan-Nya. Tugasku melindungi perpustakaan itu."
"Beberapa menit yang lalu kau sudah siap membunuhku, pula, dan juga anak ini
"Kau lebih halus, tetapi tidak lebih baik dari pada lainlainnya."
"Dan sekarang apa yang akan terjadi, karena sekarang aku sudah menghindari jebakan itu""
"Akan kita lihat," jawab Jorge. "Aku tidak perlu menginginkan kematianmu; mungkin aku akan berhasil meyakinkan kau. Tetapi ceritakan dulu kepadaku: bagaimana kau menerka itu buku kedua Aristoteles""
"Anatema-mu melawan tawa sudah jelas tidak akan cukup bagiku, atau betapa sedikit yang kuketahui tentang argumentasimu dengan lain-lainnya. Mula-mula aku tidak paham arti pentingnya. Tetapi ada acuan kepada sebuah batu tak punya malu yang menggelinding di atas dataran, dan kepada burung cicadas yang akan menyanyi dari tanah, bagi pohon-pohon ara yang suci. Aku sudah membaca sesuatu semacam itu: aku memeriksanya selama beberapa hari ini. Itu semua
adalah contoh yang dipakai oleh Aristoteles dalam buku pertama Poetics dan dalam Rhetoric. Kemudian aku ingat bahwa Isidore dari Seville mendefinisikan komedi sebagai sesuatu yang menceritakan tentang stupra virginum et amores meretricum[Pemerkosaan perawan dan cinta para pelacur- penerj.] bagaimana, ya, menjelaskannya" memerkosa perawan seperti tindakan cinta suci .... Sedikit demi sedikit buku kedua ini mengambil bentuk dalam pikiranku seperti yang seharusnya. Aku bisa menceritakan kepadamu hampir semuanya, tanpa membaca halaman-halaman yang dimaksudkan untuk meracuniku. Komedi berasal dari kata komai yaitu, desa petani yang artinya suatu perayaan gembira setelah makan-makan atau pesta. Komedi tidak menceritakan tentang orang kuat dan terkenal, tetapi tentang makhluk-makhluk lucu dan miskin, meskipun tidak jahat; dan ini tidak berakhir dengan kematian para protagonis. Ini mencapai efek kelucuan dengan menunjukkan kelemahan dan kejahatan orang biasa. Di sini Aristoteles melihat kecenderungan kepada tawa sebagai kekuatan untuk kebaikan
, yang juga bisa mempunyai nilai instruktif: lewat teka-teki cerdik dan metafora tak terduga, meskipun menceritakan kepada kita hal-hal dengan cara berbeda dari yang seharusnya, seakan berbohong.
Sebenarnya ini mengharuskan kita memeriksa hal-hal itu secara lebih cermat, dan membuat kita mengatakan: Ah, ini sekadar bagaimana hal-hal itu, dan aku tidak mengetahuinya. Kebenaran tercapai
dengan menceritakan manusia dan dunia sebagai lebih buruk daripada yang sebenarnya atau dari pada yang kita duga tentang itu, bagaimanapun juga, lebih buruk daripada epik, tragedi itu, kehidupan para santo sudah menunjukkannya kepada kita. Bukankah begitu""
"Cukup mendekati. Kau merekonstruksinya dengan membaca bukubuku lain""
"Banyak dari itu tengah dikerjakan oleh Venantius. Aku yakin Venantius sudah memburu buku ini selama beberapa waktu. Ia tentu sudah membaca indikasi dalam katalog yang juga kubaca, dan tentunya sudah menjadi yakin ini adalah buku yang sedang ia cari.
Tetapi ia tidak tahu caranya memasuki finis Africae. Waktu ia mendengar Berengar membicarakannya dengan Adelmo, maka ia lari bagaikan seekor anjing melihat jejak seekor kelinci."
"Itu yang telah terjadi. Aku langsung paham. Aku menyadari bahwa saatnya sudah tiba saat aku akan harus mati-matian mempertahankan perpustakaan itu
"Dan menyebarkan salep itu. Tentunya suatu tugas yang berat ... dalam kegelapan
"Sekarang ini tanganku melihat lebih banyak daripada matamu.
Aku sudah mengambil sebuah kuas dari Severinus, dan aku juga mengenakan sarung tangan. Itu gagasan yang bagus, kan" Kau butuh waktu lama untuk sampai pada itu
"Ya. Aku mulai memikirkan alat yang lebih rumit,
sepucuk jarum beracun atau sesuatu semacam itu. Aku harus mengatakan bahwa solusimu luar biasa, korban itu meracuni dirinya sendiri waktu sedang sendirian, dan hanya sampai sejauh bahwa ia ingin membaca
Aku menyadari, dengan gemetar, bahwa saat itu kedua orang tersebut, siap siaga dalam satu pertikaian mematikan, mulai saling memuji, seakan masing-masing hanya harus berbuat sesuatu agar mendapat tepuk tangan yang lain. Terlintas dalam pikiranku bahwa kelicikan yang dipakai Berengar untuk merayu Adelmo, serta tindakan alami dan sederhana gadis yang membangkitkan hasrat dan berahiku itu, tidak ada artinya dibandingkan dengan kepintaran dan keterampilan gila yang dipakai masing-masing untuk mengalahkan yang lainnya, tidak ada artinya dibandingkan dengan tindakan merayu yang terjadi di depan mataku saat itu, yang telah terbuka lebih dari tujuh hari, masing-masing dari kedua teman bicara itu tengah mengadakan, memang, perjanjian misterius dengan yang lain, masing-masing secara diam-diam berharap diterima dengan baik oleh yang lain, masing-masing sambil takut kepada dan membenci yang lain.
"Tapi, sekarang katakan terus terang," kudengar William bicara, "mengapa" Mengapa kau ingin melindungi buku ini lebih daripada begitu banyak buku lainnya" Mengapa kau menyembunyikan walau tidak harus dengan melakukan kejahatan risalah tentang nekromansi, halaman-halaman yang mungkin telah menghujat nama Tuhan, sementara
demi halaman-halaman ini kau mengutuk saudara-saudaramu dan telah mengutuk dirimu sendiri" Ada banyak buku lain yang bicara tentang komedi, banyak lainnya yang memuji tawa.
Mengapa yang ini membuatmu amat sangat ketakutan""
"Karena itu tulisan Filsuf tersebut. Setiap buku tulisan orang itu telah menghancurkan sebagian pengetahuan yang selama berabadabad telah dikumpulkan oleh Kristianitas. Para penatua telah mengatakan segala sesuatu yang perlu diketahui tentang kekuatan Sabda itu, tetapi kemudian Boethius hanya harus menerjemahkan Filsuf itu dan misteri suci Sabda itu diubah menjadi suatu parodi dari kategori dan silogisme manusia. Kitab Kejadian mengatakan apa yang harus diketahui tentang komposisi kosmos, tetapi ditemukannya kembali Physics karya Filsuf itu sudah cukup untuk membuat alam semesta diterima lagi dalam istilah menjemukan dan benda berlendir, dan Averroes orang Arab itu hampir meyakinkan setiap orang bahwa dunia ini abadi. Kita tahu segala sesuatu tentang orang-orang suci, dan orang
Dominikan yang dikubur oleh Abo itu didorong oleh Filsuf itu mengganti nama mereka, karena mengikuti jalur pikiran alami. Dan begitu pula kosmos, yang bagi Areopagite itu dengan sendirinya terungkap bagi mereka yang tahu caranya mengagumi retakan bercahaya dari alasan pertama yang patut dicontoh itu, telah menjadi suatu cagar bukti duniawi yang untuk itu mereka mengacu kepada suatu benda
abstrak. Sebelumnya kita biasa memandang ke langit, hanya mau sekadar melirik sambil mengerenyitkan kening terhadap benda lumpur itu; sekarang kita menatap bumi, dan kita memercayai surga karena pernyataan duniawi.
Setiap kata Filsuf itu, yang sekarang bahkan para santo dan nabi dia suruh bersumpah, telah membalik citra dunia itu. Tetapi ia belum berhasil membalik citra Tuhan. Andaikan buku ini akan menjadi ... telah menjadi suatu objek untuk interpretasi terbuka, tentunya kita sudah menyeberangi perbatasan terakhir."
"Tetapi apa yang membuatmu takut dalam diskusi tentang tawa ini" Kau tidak bisa menghilangkan tawa dengan melenyapkan buku itu."
"Tidak, jelas tidak. Tetapi tawa adalah kelemahan, pengrusakan, ketololan dari daging kita. Ini hiburan petani, surat izin pemabuk; bahkan dalam kebijaksanaannya gereja mengizinkan diadakannya pesta, karnaval, pasar malam, polusi sepanjang hari ini yang membebaskan humor dan memisahkan dari hasrat dan ambisi lainnya ini .... Toh, tawa tetap rendah, suatu pertahanan bagi orang biasa, suatu misteri najis bagi orang kampungan. Rasul itu juga bicara begini: lebih baik menikah daripada dibakar. Daripada menentang aturan Tuhan yang sudah mapan, tertawalah dan nikmati parodi aturanmu yang jahat, sehabis makan, sehabis kau mengeringkan guci dan botol. Pilih raja orang tolol, masuki dengan bebas liturgi keledai dan babi, naiklah ke pentas untuk meramaikan pestamu dengan kepala
di bawah .... Tetapi di sini, di sini" sekarang Jorge mengetuk meja dengan jarinya, dekat buku yang dibiarkan terbuka oleh William-"di sini, fungsi tawa dibalik, dinaikkan derajatnya menjadi seni, pintu-pintu dunia pengetahuan kita membuka ke arahnya, dijadikan bahan pembicaraan filsafat, dan teologi yang bersifat durhaka .... Kemarin kau menyaksikan bagaimana orang biasa dapat menerima dan menjalankan kebidahan yang paling seram, sementara mengingkari hukum Tuhan dan hukum alam. Tetapi gereja bisa menangani kebidahan orang biasa, yang mengutuki diri atas kebidahan mereka sendiri, dihancurkan oleh ketidaktahuan mereka. Kegilaan murni Dolcino dan yang semacam dia tidak akan menimbulkan krisis dalam ordo suci itu. Ia akan berkhotbah tentang kekerasan dan akan mati karena kekerasan, tidak akan meninggalkan bekas, akan terlupakan seperti karnaval dilupakan, dan tidak masalah apakah selama pesta itu, di bumi akan kedatangan tiga raja dari dunia yang terbalik ini sebentar. Asalkan tindakan itu tidak diubah menjadi rencana, asalkan bahasa vulgar ini tidak diterjemahkan dalam bahasa Latin. Tawa membuat penjahat tidak takut kepada Iblis, karena dalam pesta orang tolol Iblis juga tampak miskin dan tolol, dan karenanya bisa dikuasai. Tetapi buku ini bisa mengajarkan bahwa membebaskan diri dari ketakutan akan Iblis adalah kebijaksanaan. Saat tertawa, saat anggur menggelegak dalam tenggorokannya, penjahat itu merasa ia adalah majikan, karena ia telah membalik
posisinya berkaitan dengan majikannya: tetapi buku ini bisa mengajarkan kepintaran itu kepada orang terpelajar, mulai saat itu, kelicikan hebat yang bisa membenarkan pembalikan tersebut. Maka yang masih ada dalam penjahat itu, untungnya, adalah suatu cara kerja perut yang bisa diubah menjadi suatu cara kerja otak. Bahwa tawa pantas bagi manusia adalah suatu tanda dari keterbatasan kita, karena kita adalah pendosa. Tetapi dari buku ini banyak pikiran rusak seperti pikiranmu akan menarik silogisme ekstrem, sehingga tawa menjadi tujuan manusia! Tawa, untuk sesaat, membuat penjahat itu melupakan rasa takut. Tetapi hukum dihadapkan dengan ketakutan, yang sebutan sebenarnya adalah takut akan Allah. Buku ini bisa memperbesar percikan api Lucifer yang akan menimbulkan suatu kebakaran baru atas
seluruh dunia, dan tawa akan ditetapkan sebagai seni yang baru, bahkan tidak dikenal oleh Prometheus, untuk menunda rasa takut. Bagi penjahat yang tertawa, saat itu, mati bukan masalah: tetapi kemudian, kalau surat izin tertawa itu habis, ia berhadapan lagi dengan, sesuai dengan rencana suci, ketakutan akan kematian. Dan buku ini mungkin saja melahirkan tujuan baru yang buruk untuk menghancurkan kematian lewat penebusan dari rasa takut. Dan apa jadinya dengan kita, makhluk pendosa ini, kalau tidak punya rasa takut, mungkin menjadi peramal terbaik, yang paling banyak menerima karunia suci" Selama berabad-abad para doktor dan penatua telah merahasiakan sari-sari wangi dari penge-
tahuan suci untuk mendapatkan kembali melalui pemikiran mulia tentang itu keadaan menyedihkan dan godaan tentang itu yang buruk. Dan buku ini karena menganggap komedi suatu obat ajaib, dengan satire dan lawaknya, yang tentunya akan menghasilkan pemurnian hasrat melalui pengumuman cacat, kesalahan, kelemahan akan mendorong ilmuwan palsu untuk berusaha mendapatkan kembali yang mulia itu dengan suatu pembalikan jahat: dengan cara menerima yang buruk. Buku ini bisa saja memancing ide bahwa manusia bisa berharap mempunyai banyak tanah Cockaigne di bumi (seperti kesan yang diberikan Baconmu berkaitan dengan keajaiban alam). Tetapi ini adalah apa yang tidak bisa dan tidak boleh kita miliki. Lihat saja para rahib muda yang tanpa malu membaca parodi lawakan dalam Coena Cypriani. Sungguh suatu pembalikan jahat dari Injil Suci! Dan toh waktu membaca mereka tahu bahwa itu jahat. Tetapi pada hari ketika pendapat Filsuf itu bisa membenarkan lelucon marginal dari imajinasi bejat ini, atau ketika apa yang selama ini marginal akan melompat ke pusat, setiap jejak dari yang pusat itu akan hilang. Rakyat Tuhan akan diubah menjadi sekumpulan monster yang dimuntahkan dari jurang terra incognita,[Wilayah tak dikenal-pen.] dan saat itu tebing dari dunia yang dikenal akan menjadi pusat kerajaan Kristen, Arimaspi menduduki singgasana Petrus, orang Blemmy dalam biara-biara, orang kerdil dengan perut buncit dan kepala besar sekali mengepalai
perpustakaan! Para pelayan menentukan hukum, kami (tetapi kau, juga, ketika itu) mematuhinya, dalam ketiadaan hukum apa saja. Seorang filsuf Yunani (yang dikutip di sini oleh Aristoteles-mu, seorang pandai yang kejam dan jahat) mengatakan bahwa keseriusan lawan harus dilenyapkan dengan tawa, dan tawa menjadi lawan keseriusan. Dengan bijaksana para penatua telah menetapkan pilihan: jika tawa adalah kegembiraan orang kampungan, surat izin kampungan itu harus dicegah dan dipandang hina, dan diintimidasi dengan keras. Dan orang kampungan tidak punya senjata untuk memperhalus tawa mereka sebelum menjadikannya alat untuk melawan keseriusan para gembala spiritual yang harus membimbing mereka kepada hidup kekal dan menyelamatkan mereka dari rayuan perut, pudenda, makanan, hasrat jorok mereka. Tetapi jika suatu hari seseorang, sambil mengacungkan kata-kata Filsuf itu dan karenanya bicara seakan seorang filsuf, mengangkat derajat senjata tawa menjadi senjata yang halus, jika retorika keyakinan digantikan oleh retorika ejekan, jika pokok pembicaraan tentang konstruksi cermat gambaran penebusan itu digantikan oleh pokok pembicaraan tentang setiap gambar suci dan agung yang buru-buru dibongkar dan dikacaukan oh, hari itu bahkan kau, William, dan semua pengetahuanmu, akan tersapu bersih!"
"Mengapa" Aku akan mencocokkan akalku dengan akal orang-orang lain. Akan ada dunia yang lebih baik daripada dunia di mana api dan besi
membara dari Bernard Gui melecehkan api dan besi membara dari Dolcino."
"Saat itu kau sendiri akan terperangkap dalam rencana busuk Iblis. Kau bakal bertempur di sisi lain di padang Armageddon, di mana konflik terakhir harus terjadi. Tetapi pada hari itu, gereja harus mampu memaksakan lagi aturan atas konflik tersebut.
Penghujatan tidak membuat kita takut, karena dalam kutukan Allah, kita justru mengenali gambar rusak dari kegusaran Yehova, yang mengutuk para malaikat pemberontak itu. Kita tidak takut akan kekerasan dari mereka
yang membunuh para gembala yang mengatasnamakan cita-cita pembaruan, karena kekerasan itu sama dengan kekerasan para pangeran yang berusaha membinasakan bangsa Israel. Kita tidak takut pada kekejian kelompok Donatis, tindakan bunuh diri gila kelompok Circum-cellion, berahi kelompok Bogomil, kemurnian angkuh orang Albigensia, kebutuhan akan darah dari mereka yang menyiksa diri, kegilaan jahat dari Bruder-bruder Semangat Bebas: kita kenal mereka semua dan kita tahu akar kejahatan mereka, yang juga merupakan akar dari kesucian kita.
Kita tidak takut, dan yang terpenting, kita tahu caranya menghancurkan mereka dengan lebih baik, caranya membiarkan mereka menghancurkan diri mereka sendiri, yang dengan arogan membawa keinginan untuk mati sampai ke puncak yang dibikin oleh kelemahan mereka sendiri yang paling besar. Sungguh, aku bisa mengatakan bahwa kehadiran
mereka berharga bagi kita, ini sudah tertulis dalam rencana Tuhan, karena dosa mereka mendorong kebajikan kita, kutukan mereka mendorong himne pujian kita, hukuman atas mereka yang tidak disiplin menambah rasa pengorbanan kita, sikap tidak saleh mereka membuat kesalehan kita bercahaya. Demikian pula Pangeran Kegelapan itu perlu, dengan pemberontakan dan kesiasiaannya, untuk membuat kemuliaan Tuhan bersinar lebih terang, awal dan akhir dari semua harapan. Namun jika suatu hari dan tidak lagi sebagai keistimewaan orang kampungan, tetapi sebagai kebangkitan orang terpelajar, yang setia kepada kesaksian Kitab Injil yang tak bisa dihancurkan seni penghinaan akan dibuat bisa diterima, dan seakan agung dan liberal dan tidak lagi mekanikal; jika suatu hari seseorang akan bilang (dan terdengar), 'Aku menertawai Inkarnasi,' maka kita sudah tentu tidak punya senjata untuk memerangi penghujatan itu, karena itu akan memanggil kekuatan-kekuatan gelap jasmaniah, kekuatan yang ditegaskan dalam kentut dan serdawa, dan kentut serta serdawa tentu akan menuntut hak yang hanya milik jiwa, untuk bernapas di mana mereka ada!"
"Lycurgus menyuruh didirikan patung untuk tawa."
"Kau membacanya dalam libellus orang Cloriti-an, yang berusaha mengampuni lawakan tentang dosa ketidaksalehan, dan menceritakan bagaimana seorang sakit disembuhkan oleh seorang dokter yang membantunya tertawa. Apa gunanya me-
nyembuhkan dia, jika Tuhan telah menetapkan bahwa harinya di bumi sudah mencapai akhir""
"Kukira dokter itu tidak menyembuhkannya. Ia mengajari orang itu menertawakan sakitnya."
"Sakit tidak disembuhkan dengan mengusir setan. Sakit dibasmi."
"Bersama tubuh orang sakit itu."
"Jika perlu." "Kau Iblis," kata William waktu itu.
Jorge seakan tidak paham. Andaikan ia mampu melihat, aku berani taruhan bahwa ia menatap lawan bicaranya dengan pandangan bingung.
"Aku"" katanya.
"Ya. Mereka mendustaimu. Iblis bukan Pangeran Kejahatan, Iblis adalah kesombongan jiwa, iman tanpa senyum, kebenaran yang tak pernah direnggut oleh keraguan. Iblis itu murung karena ia tahu ke mana ia akan pergi, dan, kalau berjalan, ia selalu kembali ke tempat dari mana ia datang. Kau adalah Iblis, dan seperti Iblis kau hidup dalam kegelapan. Jika kau ingin meyakinkan aku, kau telah gagal. Aku membencimu, Jorge, dan andaikan bisa, aku akan menggiringmu turun, menyeberang halaman, telanjang, dengan bulu unggas menempel dalam pantatmu dan wajahmu dicat seperti tukang sulap dan pelawak, sehingga seluruh biara akan menertawaimu dan tidak takut lagi. Dengan senang hati aku bersedia melumuri seluruh tubuhmu dengan madu dan kemudian menggulingkan tubuhmu di tengah bulu-bulu, dan membawamu dengan tali kekang ke pasar malam, untuk mengatakan kepada
semua: Ia mau mengumumkan kebenaran kepada kalian dan mau memberi tahu kalian bahwa kebenaran punya rasa kematian, dan kalian percaya, bukan dalam katakatanya, tetapi dalam kemurungannya. Dan sekarang aku mengatakan kepada kalian bahwa, dalam putaran tak ada akhirnya dari hal-hal yang mungkin, Tuhan juga mengizinkan kalian membayangkan suatu dunia yang di dalamnya yang dianggap penerjemah kebenaran itu bukan apa-apa kecuali seekor gagak yang canggung, yang mengulangi kata-kata yang dulu s
ekali ia pelajari." "Kau lebih buruk daripada iblis, Minorit," kata Jorge. "Kau seorang badut, seperti santo yang melahirkan kalian semua. Kau seperti Fransiskus Assisi, yang de toto corpore fecerat linguam,[Dari seluruh tubuhnya membuat bahasa- penerj.] yang memberikan khotbah sambil berpenampilan seperti orang yang berusaha menipu dengan kata-kata pintar, yang membungkam orang pelit dengan menaruh kepingan emas ke dalam tangannya, yang mengejek devosi para biarawati dengan membacakan 'Miserere' sebagai ganti khotbah, yang mengemis dalam bahasa Prancis, dan meniru gerakan seorang pemain biola dengan sepotong kayu, yang menyamar sebagai gelandangan untuk membungkam para rahib yang serakah, yang menelungkup di atas salju dalam keadaan telanjang, yang bicara dengan binatang dan tanaman, mengubah misteri Kelahiran Yesus itu sendiri ke dalam suatu pemandangan desa, menyebut domba
Bethlehem itu dengan meniru embik seekor domba .... Itu aliran yang bagus. Apa Biarawan Diotisalvi dari Florence itu bukan seorang Minorit"" pengkhotbah dan mengatakan bahwa ia mau menerima makanan asalkan lebih dulu diberi sepotong tunik Bruder Yohanes untuk dilestarikan sebagai relikui, dan waktu diberi, ia pakai untuk membersihkan pantatnya dan membuangnya ke kakus, dan dengan sebatang kayu memutarnya dalam kakus sambil berteriak: Astaga, bantu aku saudara-saudara, relikui santo itu jatuh ke dalam kakus!"
"Cerita itu jelas membuatmu senang. Mungkin kau juga suka menceritakan kepadaku kisah tentang Minorit lain, Biarawan Paul Millemosche, yang pada suatu hari jatuh telentang di atas es; waktu penduduk mengejeknya dan salah seorang menanyakan apa ia ingin berbaring di atas sesuatu yang lebih baik, ia mengatakan kepada orang itu: Ya, istrimu .... Begitulah caranya kau dan saudarasaudaramu mencari kebenaran."
"Itu caranya Fransiskus mengajari orang untuk melihat hal-hal dari arah lain."
"Tetapi kita telah mendisiplinkan mereka. Kau menyaksikan mereka kemarin, saudara-saudaramu. Mereka telah bergabung kembali dengan peringkat kita, mereka tidak lagi bicara seperti orang biasa. Orang biasa tidak boleh bicara. Buku ini tentu sudah membenarkan ide bahwa lidah orang biasa adalah sarana kebijaksanaan. Ini harus dicegah, yang sudah kulakukan. Kau bilang aku Iblis itu, tetapi ini
tidak betul: selama ini aku menjadi tangan Tuhan."
"Tangan Tuhan mencipta; tidak merahasiakan."
"Ada batas-batas yang lebih dari itu tidak diizinkan untuk terus. Tuhan menetapkan bahwa naskah-naskah tertentu harus dikasih tanda 'hic sunt leones'."
Jorge mengulurkan tangannya dan menarik buku itu. Ia membiarkannya terbuka tetapi memutarnya, sehingga William masih bisa melihatnya dalam posisi yang betul. "Lalu kenapa," katanya.
"Dia membiarkan naskah ini menghilang selama berabad abad, dan hanya satu salinan yang diselamatkan, dan salinan dari salinan itu, telah berakhir di tempat yang hanya Tuhan yang tahu, untuk selama bertahun-tahun tetap terkubur di tangan seorang penyembah berhala yang tidak bisa berbahasa Yunani, dan kemudian tergeletak tak terurus dalam kerahasiaan suatu perpustakaan tua, di mana aku, bukan kau, dipanggil Allah untuk menemukannya dan menyembunyikannya lebih lama lagi" Aku tahu, aku tahu seakan aku melihatnya ditulis dalam huruf-huruf yang tak berubah, dengan mataku, yang melihat hal-hal yang tak kau lihat, aku tahu bahwa ini kehendak Tuhan, dan aku bertindak, menginterpretasikannya. Dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus." []
Malam Dalam cerita ini kebakaran itu terjadi, dan karena kemuliaan yang eksesif maka kekuatan neraka menang.
Orang tua itu diam. Ia membuka kedua ta-ngannya di atas buku itu, seakan membelai -halaman-halamannya, sambil melicinkan kertasnya agar bisa dibaca lebih baik, atau seakan ingin melindungi buku itu dari cakar seekor burung pemangsa.
"Semua ini, apa pun yang terjadi, selama ini tidak ada gunanya," kata William kepadanya. "Sekarang sudah berakhir. Aku sudah menemukan kau, aku sudah menemukan buku itu, dan yang lainlainnya mati sia-sia."


The Name Of The Rose Karya Umberta Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak sia-sia," kata Jorge. "Mungkin jumlah mereka terlalu banyak. Dan
jika dulu kau memerlukan bukti bahwa buku ini terkutuk, sekarang kau sudah dapat. Dan untuk memastikan bahwa mereka tidak mati sia-sia, satu kematian lagi tidak akan terlalu banyak."
Ia bicara, dan dengan tangannya yang berkulit amat tipis, pelan-pelan ia mulai menyobek kertas
yang lemas dari naskah itu menjadi sobekan kecil-kecil, sambil menyumpalkan ke mulutnya, menelan perlahan-lahan seakan sedang menyantap hosti dan ingin membuatnya menjadi daging dari dagingnya.
William memandang Jorge, terpesona, dan seakan tidak menangkap apa yang tengah terjadi. Lalu ia sadar dan mengajukan tubuhnya sambil berteriak, "Apa yang kaulakukan"" Jorge tersenyum, sambil menunjukkan gusinya yang pucat, ketika lendir kekuningan menetes dari bibirnya yang pasi ke atas rambut putih yang jarang pada dagunya.
"Kalian tengah menunggu bunyi sangkakala ketujuh, ya kan" Sekarang dengar apa yang dikatakan suara itu: Meteraikanlah apa yang dikatakan oleh ketujuh guruh itu dan janganlah engkau menuliskannya. Ambillah dan makanlah dia, ia akan membuat perutmu terasa pahit, tetapi di dalam mulutmu ia akan terasa manis seperti madu. Begitu, kan" Sekarang aku memeteraikan apa yang tidak boleh dikatakan, ke kubur aku akan pergi."
Dia tertawa, dia, Jorge. Untuk pertama kalinya aku mendengar dia tertawa .... Dia tertawa dengan tenggorokannya, meskipun bibirnya tidak menunjukkan bentuk kegembiraan, dan tampak hampir menangis. "Kau tidak menduganya, William, tidak kesimpulan ini, ya kan" Orang tua ini, demi kemuliaan Tuhan, sekali lagi menang, ya kan"" Dan ketika William berusaha merebut buku itu, Jorge, yang merasakan gerakan tersebut, karena merasakan getaran di udara, mundur, sambil mendekap buku itu di dadanya dengan tangan kiri, sementara
tangan kanannya terus menyobek buku itu dan menyumpalkannya ke mulutnya.
Jorge berada di seberang meja itu, dan William, yang tidak bisa meraihnya, cepat-cepat berusaha mengitari halangan itu.
Tetapi ia tersandung kursinya sendiri, jubahnya terkait, sehingga Jorge berhasil mendengar keributan itu. Orang tua itu tertawa lagi, kali ini lebih keras, dan dengan kecepatan tak terduga menjulurkan tangan kanannya, sambil meraba mencari lampu itu. Dengan dibimbing oleh panas, ia meraih nyala api lampu itu dan menekankan tangannya di atasnya, tanpa takut panas, dan lampu itu mati. Ruangan itu jadi gelap gulita, dan untuk terakhir kalinya kami mendengar tawa Jorge, yang berkata, "Tangkap aku! Sekarang aku yang melihat paling jelas!" Lalu ia diam dan tidak menimbulkan bunyi lagi, sambil bergerak dengan langkah pelan yang selalu membuat kehadirannya tak terduga, dan kami hanya mendengar, dari waktu ke waktu, di bagian-bagian yang berbeda di ruang itu, bunyi kertas dirobek.
"Adso," teriak William. "Jaga pintunya. Jangan biarkan dia keluar!"
Tetapi sudah terlalu terlambat, karena aku, yang untuk beberapa saat sudah bersiaga untuk menerpa orang tua itu, sudah melompat maju ketika ruang itu jadi gelap, sambil berusaha mengitari meja yang terletak di seberang meja yang dikitari guruku. Aku terlalu terlambat menyadari bahwa aku sudah membuat Jorge sempat mencapai pintu, karena
orang tua itu bisa bergerak dalam gelap dengan rasa percaya diri yang luar biasa. Kami mendengar bunyi kertas dirobek di belakang kami agak teredam, karena datang dari ruang sebelah. Dan pada saat yang sama kami mendengar bunyi lain, gerit makin keras, derak dari engselengsel.
"Cermin itu!" seru William. "Ia mau mengunci kita di dalam!"
Mengikuti bunyi itu, kami berdua bergegas lari ke pintu masuk; aku tersandung sebuah kursi dan kakiku luka tetapi tidak kuperhatikan, karena sekilas aku menyadari bahwa jika Jorge mengunci kami di dalam, kami tidak bakal bisa keluar: dalam kegelapan kami tidak bakal pernah menemukan cara untuk membuka pintu itu, karena tidak tahu apa yang harus ditekan dari bagian dalam, atau caranya.
Aku yakin William bergerak dengan putus asa seperti diriku, karena aku merasakannya di sampingku ketika kami berdua, waktu mencapai ambang pintu, menekankan tubuh kami pada bagian belakang cermin itu, yang mulai menutup ke arah kami. Ka
mi tiba tepat waktu; pintu itu berhenti, lalu lepas dan membuka lagi. Jelaslah bahwa Jorge, karena merasakan konflik itu tidak setara, telah pergi. Kami keluar dari ruang terkutuk itu, tetapi sekarang kami tidak tahu ke mana orang tua itu pergi dan keadaan masih gelap gulita.
Tiba-tiba saja aku ingat, "Guru! Aku bawa pemantik!"
"Terus, apa yang kautunggu"" teriak William. "Cari lampu itu dan nyalakan!" Aku bergegas kembali
ke dalam kegelapan, masuk ke finis Africae, meraba-raba mencari lampu itu. Aku langsung menemukannya, berkat mukjizat suci, lalu merogoh skapularku dan mengeluarkan pemantik itu. Kedua tanganku gemetaran, dan dua atau tiga kali aku gagal sebelum berhasil menyalakan lampu itu, sementara William terengah-engah di pintu. "Cepat! Cepat!"
Akhirnya, aku berhasil menyalakan lampu itu.
"Cepat!" desak William lagi. "Kalau tidak, orang tua itu akan menghabiskan buku Aristoteles itu semuanya."
"Dan mati!" teriakku ngeri, sambil mengejarnya dan sama sama mencari.
"Aku tidak peduli dia mati, monster terkutuk!" teriak William sambil mengintip dalam segala arah, sementara asal berjalan. "Dengan apa yang sudah ia makan, nasibnya sudah dimeteraikan. Tetapi aku menginginkan buku itu!"
Lalu ia berhenti dan menambahkan, dengan lebih kalem. "Tunggu. Jika terus jalan seperti ini, kita tidak akan pernah menemukannya. Ssst: kita diam dulu sejenak." Kami tidak bergerak, dalam kesunyian. Dan dalam kesunyian kami mendengar, tidak terlalu jauh, bunyi seseorang menabrak kotak, dan serentetan bunyi buku-buku berjatuhan. "Di sana!" kami berseru, berbarengan.
Kami lari ke arah bunyi itu, tetapi segera menyadari bahwa kami harus memperlambat langkah kami. Nyatanya malam itu, di luar finis Africae ini, perpustakaan tersebut dipenuhi arus udara yang
mendesis dan mengerang, sebanding dengan kuatnya angin di luar.
Makin kencang oleh kecepatan langkah kami, angin itu hampir mematikan lampu, yang sudah dengan susah payah ditemukan kembali.
Karena kami sendiri tidak bisa bergerak lebih cepat, seharusnya Jorge bisa dibuat berjalan lebih lambat. Tetapi William punya gagasan sebaliknya dan berteriak, "Kami sudah menangkapmu, orang tua; sekarang kami punya lampu!" Dan itu adalah keputusan yang bijaksana, karena kenyataan itu mungkin membuat Jorge jengkel, yang bergerak lebih cepat, sambil berkompromi dengan kesanggupannya yang luar biasa untuk merasakan, bakatnya untuk melihat dalam gelap. Tidak lama kemudian kami mendengar bunyi lain dan, dengan mengikutinya, waktu kami memasuki ruang Y dari YSPANIA, kami melihatnya terbaring di atas lantai, masih memegangi buku itu, sementara berusaha bangkit di antara buku-buku yang berserakan dari meja yang ia tabrak dan terbalik. Ia sedang berusaha berdiri, tetapi sambil terus menyobek kertas, berketetapan untuk menyantap mangsanya secepat mungkin.
Waktu kami menangkapnya ia sudah berdiri; sambil merasakan kehadiran kami, ia menghadapi kami, dengan berjalan mundur. Wajahnya, dalam cahaya lampu yang kemerahan, sekarang tampak mengerikan bagi kami: raut wajahnya rusak, keringat bercucuran pada kening dan pipinya, kedua matanya, biasanya putih mengerikan, sekarang merah menyala, sobekan perkamen menggelantung
dari mulutnya, dan ia tampak bagai seekor binatang buas hitam yang kekenyangan dan tidak sanggup menelan makanannya lagi. Wajahnya rusak oleh kecemasan, oleh daya racun yang sekarang mengalir deras dalam pembuluh darahnya, oleh ketetapan hatinya yang jahat dan sia-sia, orang tua saleh itu sekarang tampak menjijikkan dan aneh sekali. Pada kesempatan lain mungkin ia bisa membuat kami tertawa, tetapi kondisi kami, juga, sudah merosot menjadi binatang, anjing-anjing yang mengejar buruan mereka.
Seharusnya kami menangkapnya pelan-pelan, tetapi kami menubruknya dengan kuat; ia mengelak, sambil menekankan kedua tangannya kuat-kuat pada dadanya untuk mempertahankan buku itu; aku merenggutnya dengan tangan kiriku sementara tangan kananku berusaha mengangkat lampu itu tinggi-tinggi, tetapi aku memanasi wajahnya dengan nyala lampu itu, ia merasakan panas itu, mengeluarkan jeritan tercekik, hampir sepe
rti raungan, sementara potongan-potongan kertas itu berjatuhan dari mulutnya, dan tangan kanannya melepaskan buku itu, diulurkan ke arah lampu, dan dengan cepat merebutnya dariku, sambil melemparkannya jauh-jauh ....
Lampu itu jatuh tepat di atas setumpuk buku yang telah jatuh dari meja, semua menumpuk, halaman-halamannya terbuka. Minyaknya tumpah keluar, api itu langsung melahap perkamen yang rentan itu, yang langsung menyala bagaikan seikat ranting kering. Segala sesuatunya terjadi dalam
beberapa saat, seakan kertas-kertas kuno itu sudah berabad-abad lamanya merindukan api dan bersukaria karena rasa haus yang entah sejak kapan untuk dibakar mendadak dipuaskan. William menyadari apa yang tengah terjadi dan melepaskan orang tua itu, yang, karena merasa bebas, mundur beberapa langkah. William termangu sejenak, boleh dibilang terlalu lama, tidak yakin mau menangkap Jorge lagi atau bergegas mematikan kebakaran kecil itu. Satu buku, lebih tua daripada lainnya, hampir langsung terbakar sambil menjulurkan lidah api.
Embusan tipis angin itu, yang mungkin telah mematikan percikan api yang lemah, justru membesarkan nyala yang lebih kuat, yang lebih hidup, dan bahkan menerbangkan percikan api dari situ.
"Matikan api itu! Cepat!" teriak William. "Segala sesuatunya akan terbakar habis!"
Aku lari ke arah api itu, lalu berhenti, karena tidak yakin harus berbuat apa. William bergerak lagi di belakangku, mau membantu. Kami mengulurkan tangan sementara mata kami mencaricari sesuatu untuk menjinakkan api itu. Aku mendapat sekilas ilham: aku mencopot jubahku dan melemparkannya ke atas sumber api itu. Tetapi nyalanya seakan sudah terlalu tinggi; bajuku terbakar habis dan api itu justru membesar. Sambil menarik tanganku yang hangus, aku menoleh ke arah William dan melihat Jorge, yang sudah mendekat lagi, berada di belakang William. Panasnya sekarang begitu kuat sehingga orang tua itu bisa dengan mudah
merasakannya, sehingga ia tahu dengan amat pasti di mana api itu: ia melemparkan buku Aristoteles ke dalam api.
Dengan ledakan kemarahan, William mendorong orang tua itu kuat-kuat. Jorge terempas ke sebuah kotak, kepalanya membentur salah satu sudutnya. Ia jatuh ke lantai .... Tetapi William, yang aku yakin mendengarnya mengucapkan kutukan mengerikan, tidak memedulikan Jorge. Ia menoleh ke buku itu. Terlalu terlambat. Buku Aristoteles itu, atau apa yang masih tersisa setelah dimakan orang tua itu, sudah mulai terbakar.
Sementara itu, beberapa percikan api sudah terbang ke arah dinding, dan rak buku lain sudah mulai berkerut dalam amarah api.
Sekarang, bukan satu, tetapi dua api yang mulai membara dalam ruang itu.
William, karena menyadari bahwa kami tidak mungkin mematikan api dengan tangan, memutuskan untuk menggunakan buku untuk menyelamatkan buku. Ia merenggut sebuah buku yang menurutnya lebih kuat jilidnya daripada yang lainnya, lebih kukuh, dan ia berusaha menggunakannya sebagai senjata untuk mematikan api yang besar.
Tetapi, memukulkan jilid yang bertatah metal itu ke atas tungku buku-buku yang membara justru merangsang lebih banyak percikan api. Biarpun ia berusaha menyingkirkannya dengan kakinya, ia mendapat efek yang sebaliknya: sobekan perkamen yang bergetar, setengah terbakar, naik dan terbang seperti kelelawar, sementara udara, bersekutu
dengan sesama unsurnya yang ringan, menerbangkan sobekan perkamen itu untuk menyalakan lebih banyak kertas yang berserakan di lantai.
Malangnya, itu salah satu ruang paling tidak rapi dari labirin tersebut. Gulungan naskah bergelantungan dari rak-rak; buku-buku lain, sudah rusak jilidnya, beberapa halamannya mencuat keluar, seakan dari mulut-mulut yang menganga, serpihan perkamen yang kering dimakan usia: dan di atas meja banyak sekali naskah belum dikembalikan Maleakhi (waktu itu tidak punya asisten selama beberapa hari) ke tempatnya. Maka ruangan penuh perkamen itu, setelah Jorge menumpahkan minyak itu, tinggal menunggu untuk diubah menjadi unsur lain.
Tanpa menunggu lebih lama tempat itu menjadi suatu semak menyala membara. Rak-rak buku itu sendiri juga ikut mengorbankan diri dan mu
lai retak-retak. Aku menyadari bahwa seluruh labirin itu hanya sekadar tempat pembakaran kurban, semua siap menunggu percikan api pertama.
"Air. Kita butuh air!" kata William, tetapi lalu menambahkan, "Tetapi di mana yang ada airnya dalam neraka ini""
"Di dapur, di bawah, di dapur!" teriakku.
William memandangku, bingung, wajahnya merona oleh nyala api membara itu. "Ya, tetapi kalau kita turun maka saat kembali naik ... Iblis mengambilnya!" serunya. "Ruang ini toh sudah hilang, dan mungkin yang sebelahnya juga. Ayo turun. Aku akan cari air, dan kau lari mengumumkan
tanda bahaya. Kita butuh orang banyak sekali!"
Kami menemukan jalan menuju anak tangga: kebakaran itu juga menerangi ruang-ruang berikutnya, tetapi makin lama makin redup, sehingga kami menyeberangi dua ruang terakhir dengan meraba-raba lagi. Di atas, rembulan remang-remang menerangi skriptorium, dan dari sana kami turun ke ruang makan. William bergegas masuk dapur: aku ke pintu ruang makan, sambil berusaha membukanya dari dalam. Aku berhasil setelah berupaya cukup keras karena kemarahanku membuatku canggung dan tidak terampil. Aku melangkah ke rerumputan, lari ke arah asrama, lalu menyadari bahwa aku tidak bisa membangunkan para rahib itu satu per satu. Aku dapat ilham, aku masuk gereja, sambil mencari jalan ke menara lonceng.
Setelah menemukannya, aku meraih semua tali itu, sambil membunyikan tanda bahaya. Aku menarik tali itu keras-keras, dan waktu lonceng utama berayun naik, talinya membuatku ikut naik. Di perpustakaan, punggung tanganku telah terbakar. Telapak tanganku masih belum luka, tetapi sekarang aku membakarnya, juga, dengan membiarkan kedua telapak tanganku meluncur sepanjang tali-tali itu sampai berdarah dan aku harus melepaskannya.
Tetapi toh waktu itu aku sudah membuat bunyi cukup keras. Aku bergegas keluar dan tepat waktu melihat rahib-rahib pertama mulai keluar dari asrama, sementara di kejauhan aku mendengar suara para pelayan, yang mulai muncul di pintu-
pintu bilik mereka. Aku tidak dapat menjelaskan dengan terang, karena tidak mampu memformulasikan kata, dan yang pertama muncul dari bibirku adalah bahasa negeriku. Dengan tangan berdarah aku menuding ke arah jendela-jendela sayap selatan Aedificium itu, yang panel alabasternya tampak terang tidak seperti biasanya. Aku menyadari, dari kuatnya cahaya itu, bahwa api telah menyebar ke ruang-ruang lain sementara aku turun dan membunyikan lonceng. Semua jendela ruang Afrika dan seluruh lorong di antaranya dan menara timur sekarang tampak penuh percikan api. "Air! Ambil air!" teriakku.
Mula-mula tak ada yang paham. Para rahib sudah terbiasa menganggap perpustakaan itu suatu tempat suci dan terlarang untuk dimasuki sehingga tidak bisa mengerti bahwa tempat itu diancam oleh malapetaka seperti yang biasa menimpa gubuk petani. Yang pertama memandang ke jendela di atas membuat tanda salib sambil bergumam ketakutan, dan aku menyadari bahwa mereka membayangkan hantu. Aku merenggut pakaian mereka dan memohon agar mereka mengerti, sampai akhirnya seseorang menerjemahkan isak tangisku ke dalam kata-kata manusia.
Itu adalah Nicholas dari Morimondo, yang mengatakan, "Perpustakaan terbakar!"
"Memang," bisikku sambil melorot ke tanah, keletihan.
Nicholas langsung bersemangat, ia berteriak memberi perintah kepada para pelayan, memberi
saran kepada para rahib di sekelilingnya, menyuruh beberapa orang membuka pintu-pintu lain Aedificium, beberapa lainnya disuruh mencari air dan wadah apa saja. Ia mengajak mereka yang ada pergi ke sumur-sumur dan tangki air di biara itu. Ia memerintahkan para gembala sapi untuk menggunakan bagal dan keledai untuk mengangkut air .... Jika seseorang yang punya otoritas memberi perintah, tentu ia langsung ditaati. Tetapi para pelayan itu terbiasa mendapat perintah dari Remigio, para penulis dari Maleakhi, semua orang dari Abbas. Dan, astaga, tak seorang pun dari ketiganya ada di situ. Para rahib menoleh ke sana kemari mencari Abbas, untuk minta instruksi dan penghiburan, dan tidak menemukannya; hanya aku yang tahu bahwa Abbas itu sudah mati, atau hampir mati, saat itu, t
erkunci dalam suatu gang hampa udara yang sekarang mulai berubah menjadi sebuah oven, bagai seekor kerbau dari Phalaris.
Nicholas menyuruh para gembala pergi ke satu arah, tetapi beberapa rahib lainnya, dengan maksud terbaik, mendorong mereka ke arah lain. Beberapa imam agaknya kehilangan akal, yang lainnya masih pusing karena ngantuk. Aku berusaha menjelaskan, karena sekarang sudah punya kekuatan untuk bicara lagi, namun harus diingat bahwa aku hampir bugil, karena sudah melemparkan jubahku ke api, dan melihat seorang anak lelaki, seperti keadaanku waktu itu, berdarah, wajahnya coreng moreng kena angus, tubuhnya memalukan tak berbulu, sekarang kaku karena dingin, jelas tidak membuat orang amat
percaya. Akhirnya, Nicholas berhasil menyeret beberapa saudara dan beberapa orang lain ke dapur, yang sudah beberapa waktu dibuka seseorang.
Seorang rahib lain punya akal bagus untuk membawa beberapa obor. Kami menemukan tempat itu dalam keadaan kacau balau, dan aku menyadari bahwa William tentu sudah menjungkir balik segalanya, sambil mencari air dan ember untuk membawanya.
Saat itu aku melihat William sendiri muncul dari pintu ruang makan, wajahnya hangus, jubahnya berasap. Ia sedang membawa sebuah belanga besar, dan aku merasa kasihan kepadanya, alegori ketakberdayaan yang memelas. Aku menyadari bahwa andaikan ia berhasil membawa sepanci air ke lantai atas tanpa menumpahkannya, dan andaikan ia bisa melakukannya lebih dari sekali, tentunya hanya mencapai sedikit sekali. Aku ingat kisah Santo Agustinus, waktu ia melihat seorang anak lelaki berusaha menyendoki air laut: anak itu seorang malaikat dan berbuat begitu untuk menertawakan seorang santo yang ingin memahami misteri alam suci.
Dan, seperti seorang malaikat, sambil menyandar kelelahan pada kusen pintu, William mengatakan kepadaku, "Mustahil, kita tidak bakal pernah memadamkannya, bahkan bersama semua rahib di biara ini. Perpustakaan itu sudah hilang." Tidak seperti malaikat itu, William menangis.
Aku mendekapnya ketika ia menarik sehelai kain
dari sebuah meja dan berusaha menutupi tubuhku. Kami berhenti dan, akhirnya kalah, hanya mengamati apa yang tengah terjadi di seputar kami.
Tampak kesibukan yang membingungkan, orang-orang menaiki anak tangga melingkar dengan tangan hampa, dan berpapasan dengan lainnya, juga dengan tangan hampa, yang tadi naik ke lantai atas karena terdorong oleh rasa ingin tahu mereka dan sekarang mulai turun untuk mencari ember. Yang lain-lainnya, lebih pintar, langsung mulai mencari panci dan baskom, hanya untuk menyadari bahwa air di dapur tidak cukup. Tiba-tiba ruangan luas itu dipenuhi bagal yang mengangkut gentong besar-besar, dan para gembala menggiring hewan-hewan itu, menurunkan beban mereka dan mulai mengangkat air itu ke atas. Tetapi mereka tidak tahu caranya naik ke skriptorium, dan baru beberapa saat kemudian diberi tahu beberapa penulis, dan waktu naik ke atas mereka bertabrakan dengan lain-lainnya yang bergegas turun, ketakutan.
Gentong-gentong pecah dan air tumpah ke tanah, meskipun gentonggentong lainnya disambut naik oleh tangan-tangan yang berkemauan baik. Aku mengikuti kelompok itu dan naik ke skriptorium. Asap tebal datang dari pintu masuk perpustakaan; orang-orang terakhir yang sudah berusaha naik ke menara timur sudah mulai turun, sambil batuk-batuk, mata merah dan mengumumkan bahwa sudah tidak mungkin lagi menembus neraka itu.
Lalu aku melihat Benno. Wajahnya tidak keru-
an, ia naik dari lantai bawah membawa belanga besar sekali. Ia mendengar apa yang dikatakan oleh mereka yang mulai turun dan ia menyerang mereka, "Neraka akan menelan kalian semua, pengecut!" Ia menoleh, seolah minta bantuan, dan melihatku. "Adso," teriaknya, "perpustakaan itu ... perpustakaan itu Ia tidak menunggu jawabanku tetapi lari ke kaki tangga dan dengan berani mencebur ke dalam asap. Itu saat terakhir aku melihatnya.
Aku mendengar bunyi berderak dari atas. Potongan batu bercampur semen mulai rontok dari langit-langit skriptorium. Batu utama dari sebuah kubah, diukir dalam bentuk bunga, copot, dan hampir mendarat di atas kepalaku. Lantai la
birin itu mulai runtuh. Aku cepat-cepat turun dan lari ke tempat terbuka. Beberapa pelayan yang bersemangat sudah membawa tangga dan berusaha mencapai jendela-jendela lantai atas, untuk membawa air dengan cara itu.
Tetapi tangga paling tinggi hampir tidak bisa mencapai jendela skriptorium, dan mereka yang sudah naik ke atas tidak bisa membuka jendela itu dari luar. Mereka berteriak ke bawah untuk menyuruh membuka jendela itu dari dalam, tetapi pada saat itu tak seorang pun berani naik ke atas.
Sementara itu aku mulai memandangi jendela-jendela lantai paling atas. Sekarang seluruh perpustakaan itu tentu sudah menjadi suatu perapian tunggal karena api dengan cepat menjalar dari ruang ke ruang, menyebar cepat di antara
ribuan kertas kering. Semua jendela itu terang sekali, asap hitam muncul dari atap: api itu sudah menjalar ke genting. Aedificium tersebut, yang selama itu tampak begitu kukuh dan tetragonus, kini tampak kelemahannya, retakan-retakannya, dinding-dinding yang keropos dari dalam, batu-batu berjatuhan yang membuat nyala api bisa mencapai unsur-unsur kayu di mana saja.
Tiba-tiba beberapa kaca jendela pecah seakan didorong oleh sebuah kekuatan dari dalam, percikan api terbang ke udara di luar, berkelap-kelip bergetar menerangi kegelapan malam itu. Angin kuat sudah menjadi pemantik: satu kemalangan, karena, kuat, tentunya sudah mengembus percikan api itu, yang cuma ringan, angin itu membawanya, menstimulasinya, dan meniup sobekan-sobekan perkamen ke udara bersama percikan api itu, percikan kecil dari suatu obor di dalam. Pada saat itu terdengar bunyi ledakan: lantai labirin itu runtuh di suatu tempat dan tegelnya yang membara tentu jatuh ke lantai di bawahnya. Sekarang aku melihat lidah-lidah api naik dari skriptorium, yang juga berisi buku dan kotak-kotak, dan lembaran kertas, berserakan di atas meja-meja, siap memancing percikan api. Aku mendengar jeritan sedih sekelompok penulis yang menjambaki rambut mereka dan masih berpikir untuk naik ke atas dengan heroik, untuk menyelamatkan perkamen tercinta mereka.
Dalam keadaan putus asa: dapur dan ruang makan sekarang menjadi persimpangan jalan dari jiwa-jiwa yang tersesat, lari ke sana kemari,
masing-masing menghalangi jalan yang lain. Orang-orang saling bertabrakan, jatuh, mereka yang membawa ember menumpahkan isinya yang berharga; bagal-bagal yang sudah dibawa masuk ke dapur mulai mencium bau api dan, dengan tapak kaki berderap-derap, lari ke arah pintu-pintu, sambil menabrak manusia-manusia dan bahkan gembala mereka yang ketakutan. Bagaimanapun juga, jelaslah, bahwa kumpulan besar budak feodal dan orang saleh, bijak, tetapi tidak terampil, tanpa ada yang memimpin itu, justru menghalangi bantuan apa saja yang tiba.
SELURUH biara itu berada dalam cengkeraman kekacauan, tetapi ini baru awal dari tragedi tersebut. Sementara tumpah dari jendelajendela dan atap, awan percikan api yang menang itu, dibantu oleh angin, sekarang mulai turun dari semua sisi, mulai menyentuh atap gereja. Setiap orang tahu bahwa katedral paling indah justru amat rentan terhadap sengatan api: rumah Tuhan tampak cantik dan kukuh bagaikan Jerusalem surgawi sendiri, berkat batu yang diperagakan dengan bangga, tetapi dinding dan langit-langitnya disangga oleh arsitektur kayu yang lemah, meski menakjubkan. Dan apabila gereja batu itu mengingatkan akan hutan paling rentan dengan pilar-pilar menjulang, kukuh bagai pohon oak, sampai ke kubah langitlangitnya, pilar-pilar tersebut seringnya dilapisi kayu oak dan banyak mimbarnya juga dari kayu: altar, koor, panel-panel berlukis, bangku, meja
untuk berlutut, tempat lilin. Demikian pula halnya dengan gereja biara itu, yang keindahan pintunya membuatku begitu terpesona pada hari pertama. Gereja itu langsung dilahap api. Para rahib dan seluruh penghuni tempat itu lalu sadar bahwa kelangsungan hidup biara itu sendiri sedang di pertaruhkan, dan semua mulai bekerja lebih rajin, dan bahkan dengan lebih bingung, untuk mengatasi bahaya baru itu.
Untuk jelasnya, gereja itu lebih mudah dimasuki, lebih gampang dipertahankan daripada perpustakaan. Perpustakaan
itu sudah sejak dulu ditakdirkan oleh keadaannya yang tidak bisa dimasuki, oleh misteri yang melindunginya, oleh pintu masuknya yang sedikit.
Gereja itu, bagaikan seorang ibu yang terbuka bagi semua orang pada jam berdoa, selamanya terbuka bagi semua orang yang butuh pertolongan. Tetapi air sudah tidak ada lagi, simpanan air tinggal sedikit, dan sumur-sumur menyediakan air dengan kepelitan alam dan dalam langkah pelan tidak bisa memenuhi kebutuhan gawat itu. Semua rahib akan bersedia mematikan api di gereja itu, tetapi saat itu tak ada yang tahu caranya. Di samping itu, api tersebut menyebar dari atas, dan sulit menaikkan orang untuk mengguyur nyala api atau mematikannya dengan tanah atau karung.
Dan waktu api mulai turun, sudah tidak ada gunanya melemparkan tanah atau pasir ke atasnya, karena langit-langit gereja mulai menjatuhi mereka yang memadamkan api, tidak sedikit yang terluka.
Dan karenanya jeritan kecewa atas banyaknya harta yang terbakar itu sekarang ditambah dengan jeritan kesakitan wajahwajah yang terluka, tangan kaki yang tertindih, tubuh-tubuh yang tertimbun di bawah kubah kubah tinggi yang tiba-tiba runtuh.
Angin makin kencang, dan dengan lebih gila-gilaan membantu menyebarkan api. Langsung setelah gereja, lumbung dan kandang terbakar.
Hewan-hewan yang ketakutan melepaskan diri dari tali kekangnya, menendang pintu-pintu sampai jatuh, menyebar di seluruh halaman, melenguh, mengembik, meringkik, menggeram mengerikan. Percikan api menangkap bulu tengkuk banyak kuda, dan tampaklah makhluk-makhluk neraka berlari-lari menyeberangi padang rumput, membakar apa saja yang menghalangi jalan mereka, tanpa tujuan atau berhenti. Aku melihat Alinardo tua berjalan ke sana kemari, tidak memahami apa yang tengah terjadi, ditabrak sampai jatuh oleh Brunellus yang dahsyat, disambar api; orang tua itu terseret di tengah debu, lalu ditinggalkan di sana, tinggal berupa benda tak berbentuk. Tetapi aku tidak punya cara atau waktu untuk menolongnya, atau meratapi akhir hidupnya, karena adegan-adegan serupa mulai terjadi di mana-mana.
Kuda-kuda yang terbakar itu telah membawa api ke tempat-tempat di mana angin belum membawanya ke sana: sekarang bengkel mulai terbakar, dan rumah novis. Orang berduyun-duyun lari dari satu ujung bangunan ke ujung lain, tanpa tujuan atau untuk tujuan siasia.
Aku melihat Nicholas, kepalanya luka, jubahnya cabik cabik, sekarang kalah, sedang berlutut di jalan ke gerbang, sambil mengucapkan kutukan suci. Aku melihat Pacificus dari Tivoli, yang, sambil mengabaikan semua sikap membantu, mulai berusaha menunggangi seekor bagal yang lewat sambil melompat-lompat; waktu berhasil, ia berteriak kepadaku untuk melakukan hal yang sama dan untuk lari, menghindari replika Armageddon yang mengerikan itu.
Aku mencari-cari William, karena takut kalau-kalau ia terjebak di bawah suatu dinding yang runtuh. Setelah lama mencari, aku menemukannya, di dekat kloster. Ia membawa kantong perjalanannya: waktu api sudah mulai menjalar ke penginapan, ia masuk ke biliknya untuk paling sedikit menyelamatkan miliknya yang berharga. Ia juga sudah mengambil kantongku, dan di dalamnya aku menemukan sesuatu untuk dipakai. Kami mengaso sebentar, sesak napas, sambil mengamati apa yang tengah terjadi di sekitar kami.
Sekarang biara itu sudah kiamat. Hampir semua bangunannya, ada yang sebagian besar, ada sebagian kecil, sudah disambar api. Yang masih utuh tentu tidak akan bertahan lama, karena segala sesuatunya, dari unsur-unsur alami sampai kerja kacau para penyelamat itu, sekarang justru menyebabkan api menyebar. Hanya bagian-bagian yang tidak ada bangunannya tetap aman, kebun sayuran, taman di luar kloster .... Tidak ada lagi yang bisa dikerjakan untuk menyelamatkan
bangunan-bangunan itu; sambil membuang gagasan untuk menyelamatkan mereka, kami mengamati segala sesuatu dengan aman, karena berdiri di tempat terbuka.
Kami memandangi gereja, sekarang terbakar perlahan lahan, karena bagian-bagian bangunan besar yang dari kayu itu cepat terbakar, lalu membara selama berjam-jam, kadang berhari-hari.
Kebakaran besar Aedificium itu ber
beda. Di sini ada jauh lebih banyak bahan mudah terbakar, dan api itu, karena sudah menyebar ke seluruh skriptorium, telah menguasai pintu dapur. Akan halnya lantai paling atas, yang dulunya, dan selama ratusan tahun, berdiri labirin itu, sekarang pada hakikatnya sudah hancur.
"Ini perpustakaan paling hebat di seluruh dunia Kristen," kata William. "Sekarang," tambahnya, "Antikristus itu benar-benar sudah tiba, karena tidak ada pengetahuan yang akan menghalanginya lagi. Dan kita sudah melihat wajahnya malam ini."
"Wajah siapa"" tanyaku, bingung.
"Jorge, maksudku. Dalam wajah itu, yang dirusak oleh kebencian filsafat, untuk pertama kalinya aku melihat potret Antikristus, yang tidak berasal dari suku Yudas, seperti yang sudah dicanangkan, atau dari negeri yang jauh. Antikristus itu bisa lahir dari kesalehan itu sendiri, dari cinta yang terlalu besar kepada Tuhan atau kebenaran, seperti orang bidah lahir dari santo dan orang majenun dari petapa. Takutilah para nabi, Adso, dan mereka yang bersedia mati demi kebenaran, karena
biasanya mereka mengajak banyak orang lain ikut mati, bahkan sebelum mereka mati, kadang sebagai ganti mereka. Jorge melakukan hal yang kejam untuk menghancurkan kebohongan. Jorge takut pada buku kedua Aristoteles itu karena buku itu mungkin memang mengajarkan caranya merusak wajah setiap kebenaran, sehingga kita tidak akan menjadi budak dari hantu kita sendiri. Mungkin misi dari mereka yang mencintai umat manusia adalah untuk membuat orang menertawakan kebenaran, agar kebenaran itu sendiri tertawa, karena satu-satunya kebenaran terletak dalam pengetahuan untuk membebaskan diri kita sendiri dari nafsu gila akan kebenaran."
"Tetapi, Guru," tukasku, dengan sedih, "Anda bicara seperti ini sekarang karena lubuk hati Anda terluka. Bagaimanapun juga, ada satu kebenaran yang Anda temukan malam ini, kebenaran yang Anda capai dengan menafsirkan kunci-kunci yang Anda baca selama beberapa hari ini. Jorge telah menang, tetapi Anda telah mengalahkan Jorge karena Anda mengungkap rencana jahatnya
"Tidak ada rencana jahat," kata William, "dan aku tidak sengaja menemukannya."
Pernyataan itu berlawanan, dan aku tidak bisa memutuskan apa itu memang kemauan William yang sebenarnya. "Tetapi memang benar bahwa tapak kuda di atas salju itu membawa kita kepada Brunellus," kataku, "memang betul bahwa Adelmo bunuh diri, memang benar bahwa Venantius tidak terbenam dalam belanga, memang benar bahwa
orang memasuki finis Africae dengan menyentuh kata 'quator', memang betul bahwa buku misterius itu tulisan Aristoteles .... Aku bisa terus mendaftar semua hal yang Anda temukan dengan bantuan pengetahuan yang telah Anda pelajari
"Aku belum pernah meragukan kebenaran tanda-tanda, Adso; hanya itu semua yang dimiliki manusia yang dengan itu manusia bisa mengorien-tasi dirinya sendiri di dunia. Yang tidak kupahami adalah hubungan di antara tanda tanda itu. Aku sampai pada Jorge melalui satu pola menurut Kitab Wahyu yang seakan menggarisbawahi semua kejahatan tersebut, dan toh itu cuma kebetulan. Aku sampai pada Jorge karena mencari-cari seorang kriminal untuk semua kejahatan dan kita menemukan bahwa setiap kejahatan itu dilakukan oleh seseorang yang berbeda, atau bukan oleh siapa-siapa. Aku sampai pada Jorge karena mau mengikuti rencana suatu pikiran rasional dan jahat, dan ternyata tidak ada rencana, atau, lebih tepatnya, Jorge sendiri dikuasai oleh rancangan pertamanya sendiri dan mulai muncul suatu urutan penyebab, dan lawan-sebab, dan penyebab yang saling bertentangan, yang berjalan sendirisendiri, sambil menciptakan hubungan-hubungan yang tidak berasal dari rencana apa saja. Di mana semua kebijaksanaanku, kalau begitu" Aku bertindak dengan bebal, mengejar suatu kemiripan urutan, padahal aku tahu betul bahwa tidak ada urutan dalam alam semesta ini."
"Tetapi dalam membayangkan suatu urutan
yang keliru Anda tetap menemukan sesuatu
"Yang kaukatakan bagus sekali, Adso, dan terima kasih. Urutan yang dibayangkan oleh pikiran itu bagaikan sebuah jaring, atau sebuah tangga, dibikin untuk mencapai sesuatu. Tetapi setelah itu kau harus
menyingkirkan tangga itu, karena kau menemukan bahwa, bahkan seandainya berguna, tangga itu ternyata tidak berarti. Er muoz gelichesame die leiter abewerfen, so er an ir ufgestigen ... begitu, kan""
"Begitu dikatakan dalam bahasaku. Dari siapa Anda tahu""
"Seorang mistik dari negerimu. Ia menulisnya entah di mana, aku lupa. Dan suatu hari seseorang tidak perlu menemukan naskah itu lagi. Kebenaran satu-satunya yang berguna adalah sarana yang harus dibuang."
"Anda tidak punya alasan untuk marah kepada diri sendiri: Anda sudah melakukan yang terbaik."
"Terbaik buat manusia, yang berarti amat kecil. Sukar sekali menerima ide bahwa tidak ada urutan dalam alam semesta karena itu bisa menghalangi kehendak bebas Tuhan dan kemahakuasaan-Nya.
Jadi, kebebasan Tuhan adalah kutukan kita, atau paling sedikit kutukan dari kesombongan kita."
Untuk pertama dan terakhir kali dalam hidupku, aku berani mengungkapkan satu kesimpulan teologis, "Tetapi bagaimana seorang makhluk yang perlu ada, sepenuhnya dikotori dengan yang mungkin"
Kalau begitu, apa bedanya antara Tuhan dan
kekacauan masa purba"
Bukankah ini menegaskan bahwa kemahakuasaan absolut Tuhan dan kebebasan absolut-Nya sehubungan dengan pilihan-Nya sendiri, sama saja dengan menunjukkan bahwa Tuhan tidak ada""
William memandangku tanpa wajahnya menyembunyikan perasaan apa saja, dan berkata, "Bagaimana seseorang terpelajar bisa terus mengomunikasikan pengetahuannya jika ia menjawab pertanyaanmu dengan kata 'ya'"" Aku tidak mengerti arti kata-katanya. "Maksud Anda," tanyaku, "pengetahuan yang bisa dikomunikasikan itu mungkin tidak ada lagi jika kriteria kebenaran itu sendiri tidak ada, atau maksudnya Anda tidak bisa lagi mengomunikasikan apa yang Anda ketahui karena yang lain-lain tidak akan membiarkannya""
Saat itu sebagian dari atap penginapan runtuh dengan bunyi keras, sambil melemparkan awan percikan api ke langit. Beberapa biri-biri dan kambing berkeliaran melewati kami sambil mengembik keras-keras. Sekelompok pelayan juga melewati kami, sambil berteriak-teriak, hampir menabrak kami.
"Di sini terlalu kacau," kata William. "Non in commotione, non in commotione Dominus."["Bukan dalam kegelisahan. Tuhan ada bukan dalam kegelisahan"- penerj.] []
Halaman Terakhir Biara itu terbakar selama tiga hari tiga malam, dan upaya terakhir tidak ada gunanya. Pada subuh hari ketujuh dari kunjungan kami ke tempat itu, ketika mereka yang selamat sepenuhnya sadar bahwa tidak ada bangunan yang bisa diselamatkan lagi, ketika konstruksi bangunan paling apik itu hanya tinggal reruntuhan tembok sebelah luar, dan gereja itu, seakan menyedot dirinya sendiri, menelan menaranya saat itu kemauan setiap orang untuk melawan hukuman suci itu justru gagal. Kesibukan untuk membawa beberapa ember air terakhir makin lama makin jarang, sementara gedung pertemuan dan apartemen mewah Abbas masih terbakar. Saat itu api mencapai jauh ke tepi, ke tempat berbagai bengkel. Para pelayan sudah sejak tadi menyelamatkan sebanyak mungkin benda yang dapat mereka selamatkan, dan sudah memilih menyebar ke pedesaan untuk sedapat mungkin menangkap lagi sebagian ternak yang melarikan diri keluar tembok dalam kegemparan tadi malam.
Aku melihat beberapa orang pelayan berusaha masuk ke dalam puing gereja: kukira mereka
berusaha masuk ruang bawah tanah untuk mengambil suatu benda berharga sebelum melarikan diri. Aku tidak tahu apakah mereka berhasil, apa ruang bawah tanah itu sudah ambruk, apakah para pencuri itu tidak terbenam ke dalam perut bumi dalam upaya mereka mencapai harta itu.
Sementara itu, orang-orang mulai berdatangan dari desa untuk membantu atau berusaha menjarah sesuatu. Sebagian besar yang mati tetap ditinggalkan di antara puing-puing, yang masih panas membara. Pada hari ketiga, ketika yang terluka sudah dirawat dan mayat-mayat yang ditemukan di luar sudah dimakamkan, para rahib dan semua yang lainnya mengumpulkan milik mereka dan meninggalkan biara yang masih berasap itu, untuk pergi entah ke mana.
William dan aku meninggalkan tempat ini dengan menunggang dua kuda yang kami temukan tersesat di
hutan; kami menganggap mereka tunggangan kami sekarang. Waktu sampai Bobbio lagi, kami mulai menerima berita buruk tentang Kaisar. Begitu sampai di Roma, ia dinobatkan oleh rakyat. Karena sekarang mustahil untuk mempertimbangkan setiap kesepakatan dengan Yohanes, ia memilih seorang Paus tandingan, Nicholas V. Marsilius telah diangkat menjadi vikaris spiritual di Roma, tetapi karena kesalahannya, atau kelemahannya, mulai terjadi hal-hal amat menyedihkan di kota itu.
Imam yang loyal kepada Paus dan tidak mau mempersembahkan misa disiksa, seorang kepala
biara Agustin telah dilemparkan ke dalam lubang singa di Capitoline. Marsilius dan Yohanes dari Jandun telah menyatakan Paus Yohanes sebagai bidah, dan Louis telah menyuruhnya dihukum mati. Tetapi yang salah adalah bahwa pemerintahan Kaisar itu menimbulkan kemarahan tuan tanah setempat dan menghabiskan dana masyarakat. Lama-kelamaan, karena mendengar berita-berita ini, kami tidak jadi masuk ke Roma, dan aku menyadari bahwa William tidak ingin menemukan dirinya menyaksikan kejadian-kejadian yang akan menghancurkan harapannya.
Waktu sampai ke Pomposa, kami mendengar bahwa Roma telah memberontak terhadap Louis, yang sudah kembali bergerak ke arah Pisa, sementara para pembesar Yohanes mulai memasuki kota kepausan itu dengan kemenangan.
Sementara itu Michael dari Cesena telah menyadari bahwa kehadirannya di Avignon tidak menghasilkan apa-apa nyatanya ia mencemaskan hidupnya maka ia telah melarikan diri, untuk bergabung dengan Louis di Pisa.
Tidak lama kemudian, karena meramalkan kejadian kejadian dan mulai mendengar bahwa kaum Bavaria akan terus bergerak ke Munich, kami mengubah rute perjalanan kami dan memutuskan untuk melanjutkan ke sana, juga karena William merasa bahwa Italia mulai tidak aman baginya. Dalam bulan-bulan dan tahun-tahun berikutnya, Louis menyaksikan bubarnya aliansi pendukungnya, para tuan tanah Ghibelin; dan setahun kemudian
Nicholas, Paus-tandingan itu menyerah kepada Yohanes, datang sendiri dengan tali dikalungkan pada lehernya.
Sampai di Munich aku harus berpamitan dari guruku yang baik, diiringi derai air mata. Nasib guruku tidak pasti, dan keluargaku lebih suka aku kembali ke Melk. Setelah malam tragis ketika William mengungkapkan kekecewaannya sebelum biara itu runtuh, seakan diam diam sepakat, kami belum membicarakan lagi kisah itu.
Kami juga tidak membicarakan itu pada acara perpisahan kami yang menyedihkan itu.
Guruku memberiku banyak nasihat tentang studiku di masa depan dan menghadiahiku kacamata yang dibuat Nicholas untuknya, karena ia sudah mendapatkan kembali kacamatanya. Aku masih muda, katanya kepadaku, tetapi suatu hari kacamata itu akan siap kupakai (dan memang, sekarang aku memasangnya pada hidungku, sementara menulis baris-baris ini). Lalu ia memelukku dengan kasih sayang seorang bapak dan melepaskan aku pergi.
Aku tidak pernah bertemu lagi dengannya. Lama setelah itu aku mendengar dia meninggal akibat wabah yang menyerang Eropa sebelum pertengahan abad ini. Aku selalu berdoa agar Tuhan menerima jiwanya dan memaafkan banyak tindakan sombong yang terpaksa ia lakukan akibat keangkuhan intelektualnya.
BERTAHUN-TAHUN kemudian, sebagai orang dewasa, aku mendapat kesempatan melakukan perjalanan ke Italia, dikirim oleh abbasku.
Aku tidak bisa melawan godaan, dan dalam perjalanan pulang aku menyimpang jauh untuk mengunjungi lagi puing biara itu.
Kedua desa di lereng gunung itu sudah ditinggalkan, tanah sekitarnya tidak ditanami. Waktu aku mendaki ke puncak, di depan mataku tampak suatu pemandangan terbengkalai dan kematian, dan mataku jadi basah.
Dari bangunan besar dan hebat yang pernah memperindah tempat itu, hanya puing berceceran yang tersisa, seperti yang telah terjadi sebelumnya dengan monumen-monumen berhala kuno di kota Roma. Tumbuhan menjalar menutupi sisa-sisa tembok, pilar-pilar, beberapa karya arsitektur yang masih kuat. Ilalang menguasai tanah di semua sisi, dan tidak bisa lagi dikenali di mana sayuran dan bunga dulu tumbuh. Hanya lokasi pemakaman yang bisa dikenali, karena beberapa nisan masih tampak tinggi di atas pe
rmukaan tanah. Tanda kehidupan satu-satunya, beberapa burung pemangsa memburu kadal dan ular yang, seperti basilisk, melata menyelinap di antara batu-batu atau merangkak di atas tembok. Dari pintu gereja hanya tinggal beberapa puing, dirusak oleh lumut. Separuh dari timpanum itu masih ada, dan aku masih bisa melihatnya sekilas di sana, melebar akibat unsur-unsur, suram oleh lumut, mata kiri Kristus di atas singgasana, dan sesuatu dari muka singa itu.
Aedificium, kecuali dinding sebelah selatan, yang rusak berantakan,seakan masih mau berdiri dan menentang jalannya waktu. Kedua menara sebelah luar, di atas jurang, tampak hampir tak tersentuh, namun semua jendelanya kosong, bagai lubang mata dengan sulur busuk bak air matanya yang kental. Bagian dalamnya, karya seni itu, hancur, karena membaur dengan karya alam, dan ke seberang hamparan luas dapur itu, mata kita bisa langsung menatap langit lewat ruang kosong antara lantai atas dan atap, yang jatuh bagai malaikat jatuh. Segala sesuatu yang tidak hijau masih hitam bekas asap puluhan tahun silam.
Sementara mengorek reruntuhan, berkali-kali kutemukan sobekan perkamen yang berjatuhan dari skriptorium dan perpustakaan dan sudah bertahan hidup bagaikan harta terpendam di bawah tanah; aku mulai mengumpulkannya, rasanya ingin menambal kembali halaman-halaman sobek sebuah buku. Lalu tampak olehku bahwa di dalam sebuah menara tampak, retak-retak tapi masih tegak, tangga melingkar menuju skriptorium itu, dan dari sana, dengan memanjat reruntuhan yang agak licin, aku bisa mencapai perpustakaan: yang, bagaimanapun juga, hanya tinggal berupa semacam teras di samping dinding sebelah luar, seluruhnya menghadap alam kosong.
Ajian Duribang 1 Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung Bulan Jatuh Dilereng Gunung 13
^