Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 35

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 35


sehingga akhirnya justru ditelan oleh pergeseran yang terjadi di
luar Tanah ini sendiri. Apalagi apabila selama ini, kami keluarga
Tanah Perdikan ini masih belum dapat mengatasi goncangangoncangan
keadaan yang telah timbul sebagai akibat api yang
baru saja membakar Tanah ini."
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Karena itu, aku memanggil Argajaya segera. Kemudian
Sidanti. Aku harus mendapat kepastian, apakah mereka akan
ikut serta, atau harus kita tinggalkan."
Gembala tua itu masih mengangguk-angguk. Memang tidak
ada jalan lain daripada berbicara langsung dengan keduanya.
Baik Argajaya maupun Sidanti.
"Tetapi," berkata gembala itu, "apakah Ki Gede tidak
menunggu keadaan Ki Gede menjadi semakin baik?"
"Kapan, Kiai?" jawab Ki Argapati. "Kalau aku masih harus
menunggu lagi, maka aku kira Tanah Perdikan ini akan banyak
kehilangan waktu." Gembala tua itu tidak menjawab, ia mengerti bahwa Ki
Argapati harus bertindak cepat. Apabila Ki Argapati sudah
mempunyai keputusan, apakah yang sebaiknya dilakukan atas
Argajaya dan Sidanti, maka ia pun akan segera dapat membuat
rencana bagi keseluruhan Tanah Perdikannya, meskipun masih
banyak masalah yang harus diatasinya. Putera Ki Argajaya yang
masih berkeliaran dengan beberapa orang yang keras kepala,
tanah yang kering karena parit-parit yang rusak, persediaan
makanan yang menipis, dan panen yang harus segera dapat
diusahakan untuk mengatasi kekurangan bahan makanan akibat
peperangan. Menoreh memang harus mengadakan perbaikan di segala
bidang, terutama mengembalikan kepercayaan rakyat kepada
pemimpinnya. Dalam keadaannya, Ki Gede pasti tidak akan dapat bekerja
selincah sebelumnya. Badannya sudah tidak memungkinkan lagi
meskipun bukan berarti bahwa Ki Gede harus selalu berada di
pembaringan. "Kiai," berkata Ki Gede Menoreh kemudian, "aku ingin
bertemu dengan Argajaya. Tetapi maaf, aku kira lebih baik tidak
seorang pun. yang mendengarkan pembicaraan kami. Bukan
karena aku tidak percaya kepada siapa pun juga terutama
kepada Kiai, tetapi aku menjaga agar Argajaya dapat berkata
dengan hati terbuka."
Gembala itu mengerutkan keningnya. Namun katanya, "Ki
Gede memerlukan saksi meskipun hanya seorang. Saksi itu
bukan orang lain, tetapi sebaiknya adalah Angger Pandan
Wangi." Ki Argapati merenung sejenak. Katanya, "Apakah, kehadiran
Pandan Wangi tidak justru mengganggu?"
"Menurut pendapatku tidak, Ki Gede. Pandan Wangi adalah
puteri Ki Gede yang diharap kelak akan berperanan di dalam
pemerintahan." Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, "Baiklah. Aku
sependapat. Aku minta tolong sama sekali, apakah Kiai dapat
membawa keduanya kemari?"
"Maksud Ki Gede aku harus membawa Angger Pandan
Wangi dan Ki Argajaya?"
"Ya." Gembala itu merenung sejenak. Kemudian, "Sebaiknya
biarlah Angger Pandan Wangi sajalah yang membawa
pamannya kemari?" "Tetapi Argajaya adalah seorang yang keras kepala.
Meskipun menurut laporan yang kami terima, orang itu sudah
menjadi agak lunak, tetapi aku belum mempercayainya
sepenuhnya." Gembala itu tidak segera menjawab.
"Bagaimana kalau tiba-tiba timbul niatnya untuk melakukan
perbuatan yang tidak terpuji?"
"Ki Gede, kami akan mengawasi dari kejauhan."
"Argajaya dapat berbuat cukup cepat."
"Tetapi Angger Pandan Wangi adalah seorang gadis yang
cukup terlatih, ia mempunyai kemampuan yang seandainya
terpaut, tidak terlampau banyak dari Ki Argajaya. Karena itu,
setidak-tidaknya ia mempunyai kesempatan bertahan sampai
kami datang mendekati mereka."
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku sependapat, Kiai," katanya kemudian, "tetapi aku titipkan
keselamatan Pandan Wangi kepadamu."
Gembala itu mengangguk, "Ya. Aku akan mencoba."
"Baiklah. Aku menunggu kedatangan Argajaya dan Pandan
Wangi." Gembala tua itu pun kemudian minta diri. Ditemuinya Pandan
Wangi, dan diberitahukannya maksud ayahnya untuk berbicara
langsung dengan Ki Argajaya.
"Bagus," Pandan Wangi menjawab dengan serta-merta,
"sudah lama aku memikirkan hal itu. Sebaiknya ayah memang
berbicara langsung apabila keadaannya sudah memungkinkan."
"Ya, Ngger. Aku juga mengharap bahwa segala sesuatunya
akan segera selesai."
"Lalu?" "Kami sudah terlampau lama di sini. Aku dan anak-anakku
harus kembali menyeberang Kali Praga dan Alas Mentaok."
"Bukankah Alas Mentaok sudah mulai ramai?"
"Kami masih harus membuktikan."
Pandan Wangi tidak menjawab. Sekilas terbayang kedua
anak-anak muda yang mengaku anak gembala tua itu, yang
ternyata bernama Agung Sedayu dan Swandaru Geni. Terasa
sesuatu berdesir di dadanya. Apakah ia akan dapat membiarkan
keduanya pergi begitu saja tanpa kesan apa pun" Bagaimana
dengan pesan Swandaru lewat Agung Sedayu"
Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Ia sudah pasti tidak
akan dapat memikirkan Agung Sedayu. Sama sekali tidak akan
ada gunanya, karena sudah hadir Sekar Mirah.
Tetapi anak yang gemuk itu pun agaknya, sudah mulai
tersangkut di hatinya, meskipun perlahan-lahan. Sikapnya yang
terbuka meskipun tidak terhadapnya dan mengenai masalahnya.
Tertawanya yang lepas dan tidak tertahan-tahan. Sikap dan
tingkah lakunya yang kadang-kadang penuh kejenakaan.
"Bagaimana, Ngger?" suara gembala tua itu mengejutkannya.
"O," Pandan Wangi tergagap, "maksud Kiai, aku sekarang
supaya membawa Paman Argajaya menghadap Ayah?"
"Ya, Ngger, kami akan mengamat-amati dari kejauhan."
"Kenapa Kiai masih harus mengamat-amati?"
"Ayahmu masih belum mempercayainya sepenuhnya."
"Aku percaya kepadanya. Paman tidak akan berbuat apa-apa.
Karena itu Kiai tidak perlu mengawasinya. Aku bertanggung
jawab atas Paman Argajaya."
Gembala itu menarik nafas dalam-dalam. Ada juga sifat keras
hati pada gadis ini, seperti juga pada keluarga Menoreh yang
lain. Pada Ki Argapati dan Ki Argajaya, dan meskipun berbeda
sumber aliran darahnya, namun juga Sidanti. Bahkan putera
Argajaya itu pun ternyata keras kepala juga.
"Kapan ayah akan menerima Paman?" bertanya Pandan
Wangi. "Sekarang ayahmu sudah siap, Ngger."
"Baik. Baik. Aku akan pergi kebilik Paman di ujung gandok."
Pandan Wangi pun kemudian berlarlari pergi ke bilik Ki
Argajaya. Gupita, Gupala, dan beberapa orang pengawal
terkejut melihat kedatangannya. Bahkan Sekar Mirah dan
Sumangkar yang duduk agak jauh dari mereka pun mengerutkan
keningnya. "Kenapa anak itu berlarlari" desis Sumangkar.
Sekar Mirah menggelengkan kepalanya. Tetapi ia pun
kemudian berdiri dan berjalan mendekatinya.
Gupita dan Gupala yang merasa diserahi tanggung jawab
atas Ki Argajaya serentak berdiri dan bertanya, "Ada apa
Wangi?" "O," Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam, "Ayah
memanggil Paman Argajaya."
Gupita dan Gupala berpandangan sejenak. Namun kemudian
guru mereka pun datang sambil berkata, "Ya, Ki Argapati
memanggil Ki Argajaya."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Katanya, "Apakah
kalian tidak percaya kepadaku, sehingga ayahmu perlu
menjelaskan?" "Tidak. Sama sekali tidak," Gupalalah yang menjawab. "Aku
percaya kepadamu." Pandan Wangi memandang Gupala dengan tajamnya. Dan
Gupala berkata terus, "Silahkan mengambil Ki Argajaya."
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi kemudian ia
melangkah menghampiri pintu yang diselarak dari luar.
Perlahan-lahan ia menarik selarak itu, lalu perlahan pula pintu
bilik itu terbuka. "Paman," desis Pandan Wangi sebelum ia memasuki bilik itu.
Argajaya yang duduk termenung di atas pembaringannya
mengangkat wajahnya. Ketika ia berpaling, memandang ke arah
pintu, dilihatnya seorang gadis dengan ragu-ragu memasuki
biliknya. "Paman," sekali lagi Pandan Wangi berdesis.
"O," Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam, "kau Wangi."
"Ya, Paman." "Jangan masuk. Udara sangat lembab dan aku hampir tidak
dapat bernafas di dalam bilik yang sempit dan gelap ini."
Pandan Wangi tertegun sejenak.
"Apakah keperluanmu Wangi?"
"Aku akan berbicara sedikit, Paman."
Argajaya tidak segera menjawab. Matanya yang menyala kini
menjadi cekung dan dalam.
Perlahan-lahan ia berdiri dan melangkah mendekati Pandan
Wangi. "Kau lebih baik tetap berada di muka pintu itu Wangi. Kau
tidak akan menjadi sesak nafas."
Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi ditungguinya
pamannya mendekatinya. "Paman," katanya kemudian setelah pamannya berdiri di
hadapannya, "Ayah memanggil Paman."
Ki Argajaya mengerutkan keningnya. Kemudian kepalanya
terangguk-angguk. Sejenak kemudian ia menarik nafas sambil
bertanya, "Wangi, apakah ayahmu sudah menemukan
keputusan, hukuman apakah yaag akan dijatuhkan atasku?"
"Tidak, Paman," jawab Pandan Wangi, "Ayah sekedar ingin
berbicara dengan Paman."
"Apakah yang akan dibicarakan?"
"Aku tidak tahu, Paman. Tetapi sudah terang, tentang Tanah
Perdikan ini." "Pandan Wangi," berkata Argajaya, "kau tahu bahwa aku pasti
sudah dianggap bersalah oleh ayahmu. Sudah tentu ayahmu
akan mengambil suatu keputusan untuk menghukum aku."
"Tidak, Paman. Tidak."
"Sejak semula ayahmu tidak mau bertanggung jawab
terhadap semua tindakanku dan Sidanti yang menyangkut
kekuasaan Pajang. Itulah sebabnya Sidanti mencoba mencari
kekuatan dibantu oleh gurunya. Karena aku terlibat dalam
masalah Tambak Wedi yang langsung berbenturan dengan
kekuasaan Pajang di Selatan yang dipimpin oleh Untara, maka
aku tidak mempunyai pilihan lain daripada mencoba mencuri
kekuatan bersama Sidanti untuk menghadapi setiap tindakan
Pajang atas diri kami."
"Tetapi ternyata Pajang tidak berbuat apa-apa. Bahkan
sekarang mereka tidak akan sempat lagi mengurus masalahmasalah
yang kecil seperti itu, Paman."
"Kenapa"."
"Aku tidak tahu pasti. Tetapi Ki Gede Pemanahan sudah tidak
menjadi panglima lagi. Bersama puteranya mereka membuka
hutan Mentaok di sebelah Kali Praga."
*** Argajaya mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia
berkata, "Mungkin kau salah, Wangi. Mereka membuka Alas
Mentaok sebagai batu landasan untuk meloncat ke Barat."
"Aku kira tidak begitu, Paman."
Argajaya mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera
menjawab. "Tetapi entahlah, apa yang terjadi di seberang Kali Praga.
Yang penting sekarang Paman diminta datang oleh Ayah. Tetapi
Ayah sama sekali tidak akan menjatuhkan keputusan saat ini."
Ki Argajaya merenung sejenak. Dari sela-sela pintu yang
terbuka ia memandang ke luar, ke hijaunya dedaunan. Ketika
terasa angin yang silir menyusup lewat pintu yang terbuka
menyentuh wajahnya, ia menarik nafas dalam-dalam.
"Marilah, Paman," berkata Pandan Wangi, "aku antarkan
Paman menghadap ayah."
"Sudah tentu aku tidak akan dapat ingkar," jawab Argajaya.
"Adalah hak ayahmu untuk memanggil aku, bahkan
menggantung aku di alun-alun kalau aku dianggapnya sebagai
seorang pengkhianat yang telah menodai Tanah Perdikan ini."
Pandan Wangi menahan nafasnya sejenak. Ditatapnya wajah
pamannya yang cekung dan pucat. Tetapi pada wajah itu kini
sudah tidak dilihatnya lagi gelora yang menyala seperti sebelum
terjadi peperangan yang telah membuat Tanah Perdikan
Menoreh menjadi abu. Wajah yang pucat itu kini seolah-olah
seperti wajah telaga yang tenang. Pasrah.
"Paman," berkata Pandan Wangi kemudian, "aku menjamin
bahwa ayah tidak akan menghukum Paman, apabila Paman
sejak kini masih tetap menjadi seorang putera Menoreh yang
bersedia uutuk bersama-sama membangun tanah ini kembali."
"Jangan, Pandan Wangi," potong pamannya, "jangan
memberikan jaminan apa-apa. Kalau kau berbeda pendirian
dengan ayahmu, maka akan timbul persoalan-persoalan
berikutnya sebagai akibat jaminan yang kau berikan itu."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sifat-sifat itu
masih juga ditemui pada pamannya yang agaknya sudah
pasrah. "Sekarang, bawalah aku menghadap ayahmu. Apa pun yang
akan diperlakukan atasku, aku tidak akan dapat ingkar. Aku tidak
dapat menolak dengan cara apa pun. Kasar atau halus."
Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi ia bergeser ketika
pamannya perlahan-lahan melangkah ke luar pintu.
Selangkah di luar pintu Ki Argajaya berhenti sejenak.
Disekanya matanya, seakan-akan ia menjadi silau melihat sinar
matahari yang menyala di halaman. Namun sejenak kemudian ia
melangkah lagi dengan kepala tunduk. Ki Argajaya sama sekali


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak mempedulikan siapa saja yang memandanginya dari dekat
dan kejauhan. Ia tidak melihat gembala tua, Gupita dan Gupala,
Sumangkar dan bahkan Sekar Mirah yang memandanginya
dengan tatapan mata yang tidak berkedip.
Perlahan-lahan Ki Argajaya berjalan naik ke pendapa,
kemudian masuk ke pringgitan diantar oleh Pandan Wangi.
Beberapa langkah di belakangnya, gembala tua itu
mengikutinya. Tetapi ia tidak ikut memasuki bilik Ki Argapati.
Karena itu, maka ia pun kemudian duduk saja di ruang tengah
bersama beberapa orang prajurit yang bertugas mengawasi bilik
Sidarti. Ketika kaki Argajaya memasuki bilik kakaknya yang masih
berbaring, rasanya kaki itu menjadi lemah dan gemetar. Karena
itu maka langkahnya pun tertegun sejenak. Terlampau sulit
baginya untuk mengendalikan perasaannya yang tiba-tiba saja
bergolak. "Kau Argajaya," terdengar suara Ki Argapati datar.
Ki Argajaya menelan ludahnya.
"Marilah. Duduklah."
Ki Argajaya tidak menjawab. Tetapi ia maju selangkah.
"Duduklah." Pandan Wangi pun kemudian memberikan sebuah dingklik
kayu kepadanya. Ki Argajaya pun kemudian duduk di atas dingklik kayu itu di
dekat pembaringannya Ki Argapati.
"Mendekatlah Argajaya. Badanku masih belum terlampau baik
untuk duduk terlampau lama."
Argajaya tidak menjawab dan tidak bergeser dari tempatnya.
Terdengar desah nafas Ki Gede, kemudian Ki Gede itu pun
perlahan-lahan bangkit. Pandan Wangi segera mendekatinya dan menolongnya
duduk. Tetapi ia bertanya, "Apakah Ayah tidak terlampau lelah?"
Ki Argapati menggeleng, "Tidak, Wangi."
Pandan Wangi tidak bertanya lagi. Dibantunya ayahnya
menempatkan diri, duduk menghadap kepada adiknya, Argajaya.
Setelah menarik nafas dalam-dalam Ki Argapati berkata,
"Argajaya. Kau sudah mendengar akibat dari peperangan yang
baru saja terjadi?" Ki Argajaya yang menundukkan kepalanya itu mengangguk.
"Ya, Kakang. Aku mendengarnya."
"Baik," sahut Ki Argapati, "bukankah kau juga mendengar
bahwa Tanah Perdikan ini sudah benar-benar menjadi abu?"
"Ya, Kakang." "Ini adalah suatu contoh dan pengalaman yang baik bagi
masa depan. Setiap perpecahan tidak akan membawa manfaat
apa pun bagi Tanah ini. Seandainya Ki Tambak Wedi, kau, dan
Sidanti memenangkan perang yang baru saja terjadi itu, kalian
pun pasti hanya akan menemukan sisa-sisa seperti Tanah
Perdikan ini sekarang. Kerusuhan masih terdapat di mana-mana.
Setiap saat rakyat masih selalu dicengkam oleh ketakutan.
Mereka yang selalu menghantui rakyat Tanah Perdikan Menoreh
ini." Dan tiba-tiba saja Ki Argapati bertanya, "Bagaimana dengan
anakmu?" Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Dengan kepala yang
masih menunduk ia berkata, "Aku tidak tahu, apa yang telah
terjadi atasnya." "Pandan Wangi sudah mencoba mencarinya."
Ki Argajaya tidak menyahut, sedang Pandan Wangi menjadi
berdebar-debar. Untunglah bahwa mereka tidak membicarakan
anak itu lebih jauh. "Itu adalah salah satu gambaran, Argajaya," berkata Ki
Argapati, "ayah yang terpisah dari anak, anak yang terpisah dari
ibu dan isterinya yang terpisah dari suami."
Argajaya masih tetap berdiam diri.
"Meskipun hal itu dapat dianggap wajar terjadi dalam
peperangan, tetapi alangkah baiknya kalau peperangan,
perpecahan lebih-lebih di antara keluarga sendiri itu tidak terjadi.
Dengan demikian tidak akan ada suami yang terpisah dari
isterinya, ibu yang terpisah dari anaknya dan anak yang terpisah
dari bapaknya. Lebih menyedihkan lagi, apabila anak dan ayah,
adik dan kakak telah memilih pihak yang berlawanan seperti
yang sudah terjadi atas kita berdua, justru sebagai pusat
perhatian orang-orang dari tlatah Menoreh ini. Maka jalur
perpecahan itu akan membelah seluruh rakyat Tanah Perdikan
ini. Bahkan akan membelah keluarga-keluarga dan saudarasaudara
sekandung seperti kita pula."
Ki Argajaya masih saja menundukkan kepalanya. Tetapi katakata
kakaknya itu telah menyentuh hatinya. Terbayang kembali
peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di atas Tanah Perdikan ini.
Pertempuran demi pertempuran. Kekerasan dan perampasan
yang hampir tidak terkendali atas rakyat yang seakan-akan tidak
terlindungi lagi. Dan tiba-tiba Ki Argajaya itu memandang ke dirinya sendiri.
Benarkah bahwa ia melakukan perlawanan atas kakaknya itu
hanya karena ia memerlukan perlindungan terhadap orangorang
Pajang yang mungkin masih mencarinya sampai ke Tanah
Perdikan Menoreh" Benarkah bahwa ia tidak mempunyai pilihan
lain kecuali berpihak kepada Sidanti dan Ki Tambak Wedi karena
ia sudah terlanjur terlibat dalam peperangan di Tambak Wedi"
Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat
membohongi dirinya sendiri, bahwa ia merasa satu-satunya
keluarga trah Argapati. Kalau Ki Argapati tidak ada lagi, maka ia
adalah satu-satunya waris yang sah atas Tanah Perdikan ini.
Sudah tentu ia harus menyingkirkan pandan Wangi pula. Ia tidak
lagi terhalang oleh Sidanti, karena ia akan segera dapat
mengumumkan bahwa Sidanti sama sekali bukan darah
keturunan Ki Argapati. Tetapi yang terjadi kini adalah sama sekali tidak seperti yang
dibayangkannya waktu itu. Yang terjadi, Tanah Perdikan
Menoreh kini menjadi abu setelah terbakar oleh api peperangan
di antara keluarga sendiri.
Dan Ki Argajaya yang sedang merenung itu kemudian
mendengar suara Ki Argapati, "Argajaya, apakah kau merasakan
semuanya itu kini?" Argajaya mengangguk perlahan, "Ya, Kakang. Aku
merasakan kini. Dan aku tidak ingkar, bahwa aku telah ikut
membakar Tanah Perdikan Menoreh apa pun alasanku. Karena
itu, sekarang Kakang dapat menjatuhkan keputusan, apakah aku
akan digantung, atau dipancung atau dipicis sekalipun."
Ki Argapati mengerutkan alisnya. Katanya, "Kau masih seperti
dulu. Apakah kau tidak dapat menanggapi keadaan ini dengan
cara yang lain-lain. Apakah kau masih saja mengeraskan hatimu
meskipun kau sudah melihat sendiri Tanah Perdikan ini terbakar
menjadi abu?" Ki Argajaya mengangkat wajahnya. Sorot matanya
memancarkan pertanyaan yang tersimpan di dalam hatinya atas
kata-kata kakaknya. "Argajaya," berkata Ki Argapati kemudian, "kalau kau masih
berkeras hati, maka harapanku untuk membangun Tanah ini
akan lenyap sama sekali. Aku sendiri bukan orang yang dapat
menahan diri dan bersabar menghadapi persoalan-persoalan
yang berat. Apalagi dalam keadaanku sekarang. Karena itu, aku
harap kau dapat mengerti maksudku. Aku pun tidak akan dapat
merendahkan diri, mohon kepadamu agar kau sudi membantu
aku, seperti kau tidak akan mengatakan kepadaku, bahwa kau
merasa bersalah, kemudian minta agar kesalahan itu diampuini
dan mendapat kesempatan untuk hidup. Tidak. Kau tidak mau
dan aku pun tidak, karena kita masing-masing adalah orangorang
yang berhati batu." Dada Ki Argajaya tiba-tiba menjadi berdebar-debar. Dan ia
mendengar Ki Argapati berkata seterusnya, "Kau merasa lebih
jantan apabila kau digantung atau dipacung di alun-alun,
sehingga karena itu kau menantang aku untuk melakukannya."
Argapati berhenti sejenak, lalu, "Argajaya. Kalau aku menuruti
perasaanku, aku cenderung untuk memenuhi tantanganmu.
Tetapi dengan demikian aku tidak berhasil mengatasi persoalan
di antara kita sendiri dengan cara yang baik. Yang aku inginkan,
kita dapat membangun Tanah yang sudah menjadi abu ini. Tentu
saja dengan ikhlas."
Ki Argajaya tidak menjawab. Tetapi kepalanya kini tertunduk
semakin dalam. "Kita masing-masing harus bersedia mengorbankan sebagian
kecil harga diri kita masing-masing. Mungkin aku terpaksa
menelan ucapan-ucapan orang yang tidak senang melihat sikap
ini, bahwa aku tidak berani mengambil sikap yang tegas, atau
karena kau adalah adik kandungku. Dan kaupun barangkali akan
mendapat sebutan seorang pengecut yang minta ampun dan
tidak bertanggung jawab setelah kalah di peperangan. Tetapi
kalau kelak kita dapat membuktikan bahwa kita berhasil
membangun Tanah Perdikan ini sehingga menjadi pulih kembali,
maka suara-suara itu akan hilang dengan sendirinya."
Ki Argajaya tidak menyahut.
"Tetapi sudah tentu, bahwa persetujuan di antara kita harus
dibuat dengan ikhlas. Kalau tidak, maka benih-benih api yang
akan membakar Tanah ini, kelak masih belum terpadamkan."
Terasa sesuatu bergetar di dada Argajaya. Belum pernah ia
mendapat sentuhan begitu tajam pada dinding jantungnya,
sehingga tanpa sesadarnya kepalanya terangguk-angguk lemah.
"Bagaimana pendapatmu, Argajaya?"
Sejenak ia masih berdiam diri. Tetapi kepalanya masih
terangguk-angguk. "Apakah kau dapat mengerti dan bersedia untuk bersamasama
dengan semua orang yang masih ada dan sejalan dengan
pikiran kita untuk membangun kembali Tanah ini."
Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
diangkatnya kepalanya perlahan-lahan sambil berdesis, "Ya,
Kakang. Aku mengerti maksud Kakang. Agaknya meskipun
samar-samar aku telah dapat melihat ke dalam diriku sendiri.
Apakah memang benar kata-kata Kakang Argapati bahwa aku
adalah orang yang keras kepala" Jika demikian, maka biarlah
aku mencoba untuk melunakkan diri sendiri. Dan agaknya aku
memang harus mengakui bahwa aku kadang-kadang tidak dapat
mempertimbangkan sikapku lebih dahulu."
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sekarang," berkata Ki Argapati, "apakah katamu tentang
masa depan Tanah ini, tentang kau dan tentang aku" Apakah
kau dapat menerima pendapatku?"
Ki Argajaya mengangguk-angguk kecil pula, sambil menyahut
perlahan-lahan, "Aku akan menerima kemurahan hati Kakang itu
dengan segala senang hati dan terima kasih. Kalau aku memang
masih mendapat kesempatan, maka kesempatan itu akan aku
pergunakan sebaik-baiknya."
Sejenak Ki Argapati berdiam diri sambil menatap wajah
adiknya seakan-akan ingin mengunyah jawaban itu di dalam
hati. Sepercik harapan telah tumbuh di dalam dada Ki Argapati,
bahwa ia akan dapat menyiapkan kembali Tanah Perdikan
Menoreh, meskipun ia masih harus tetap mempunyai
kecurigaan, bahwa masih ada benih-benih yang dapat
menyalakan api di kemudian hari.
"Agaknya laporan-laporan tentang Argajaya ada juga
benarnya," katanya di dalam hati. "Setelah ia mendapat
kesempatan menilai perbuatannya, maka agaknya ia
menemukan kesadarannya."
Tanpa sesadarnya Ki Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ketika terpandang olehnya wajah puterinya Pandan Wangi,
maka puterinya itu pun mengangguk kecil.
"Agaknya Pandan Wangi menyetujui pembicaraan ini,"
katanya di dalam hati pula, "tetapi, apabila pembicaraan nanti
sampai pada Sidanti, apakah juga akan dapat selancar ini?"
Sejenak mereka yang ada di dalam ruangan itu saling
berdiam diri, tenggelam dalam angan-angan masing-masing.
"Argajaya," berkata Ki Argapati kemudian, "aku merasa
bahwa aku pun akan segera sembuh sama sekali. Kalau kau
dapat melupakan apa yang terjadi, maka aku kira Tanah ini akan
segera pulih kembali seperti sedia kala."
Argajaya tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Argajaya," berkata Ki Argapati kemudian, "aku akan segera
mempersiapkan segala sesuatunya. Aku juga akan segera
bertemu dengan Sidanti. Mudah-mudahan hatinya pun sudah
terbuka. Dengan demikian kita akan segera dapat bersamasama
membangun Tanah yang tinggal sisa-sisanya ini."
Tetapi dada Argajaya tiba-tiba menjadi berdebar-debar. Ia
mengenal benar sifat Sidanti yang keras seperti batu hitam.
Karena itu, apakah usaha Ki Argapati itu akan berhasil"
Sejenak Ki Argajaya melihat ke dirinya sendiri. Ke hatinya
yang semula tidak kalah kerasnya dari Sidanti. Namun akhirnya
hatinya menjadi luluh. Bukan saja karena ia menyadari segala
kekeliruannya, tetapi sebagian juga karena sikap Argapati yang
tidak disangka-sangka. Menurut pengenalan Ki Argajaya,
kakaknya itu pun berhati padas. Namun agaknya kali ini ia
sempat mempergunakan nalarnya. Bukan sekedar perasaannya.
"Argajaya," berkata Ki Argapati kemudian, "meskipun kita
sudah menemukan persetujuan, tetapi aku minta maaf, bahwa
aku masih akan mempersilahkan kau kembali ke dalam bilikmu.
Mungkin bilik itu sama sekali tidak memadai. Setelah aku
menemukan kesamaan pendapat dengan Sidanti, kita akan
segera berbuat sesuatu. Kau akan segera dapat mencari
anakmu bersama dengan beberapa orang yang akan
mengawani kau dalam perjalanan, karena orang-orang yang
tidak puas mungkin masih akan melakukan tindakan-tindakan
yang tidak sepantasnya."
"Terserahlah kepada Kakang," jawab Ki Argajaya.
"Nah, Argajaya, biarlah Pandan Wangi membawamu kembali.
Besok atau lusa kita akan bertemu lagi. Hari ini aku akan
berusaha bertemu dengan Sidanti supaya masalahnya, lekas
selesai." Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tibatiba
ia tidak dapat menahan diri ketika dari mulutnya meloncat
suatu peringatan kepada kakaknya, "Hathatilah terhadap
Sidanti, Kakang." Ki Argapati mengerutkan keningnya. Tetapi dari lontaran katakata
itu ia melihat ketulusan hati Argajaya. Karena itu maka ia
menjawab, "Terima kasih Argajaya. Aku akan berhathati
kepadanya. Tetapi aku telah mengenalnya sejak kecil. Ia adalah
anakku." Ki Argajaya memandang wajah Argapati sejenak. Tetapi


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tampaklah kemuraman yang dalam menikam jantungnya. Katakata
itu telah dipaksanya untuk meloncat dari bibirnya, sedang
hatinya sendiri tersayat karenanya.
Namun Ki Argajaya tidak berkata apa pun lagi.
"Argajaya," Ki Argapatilah yang berkata lagi, "biarlah Pandan
Wangi mengantarkan kau." Kemudian kepada Pandan Wangi ia
berkata, "Langsung sajalah kau pergi menjemput kakakmu.
Bawalah ia kemari. Aku ingin berbicara pula kepadanya."
"Baik, Ayah," jawab Pandan Wangi.
"Marilah, Wangi," berkata Ki Argajaya. Lalu kepada Ki
Argapati, "Aku minita diri Kakang. Aku menunggu apa pun yang
akan Kakang lakukan. Tetapi sebelumnya aku mengucapkan
diperbanyak terima kasih atas kebaikan hati Kakang itu."
"Sudahlah. Kita saling memerlukan."
Pandan Wangi pun kemudian, mengantarkan pamannya
keluar dari bilik ayahnya. Di ambang pintu, Pandan Wangi
melihat gembala tua itu duduk di antara mereka yang bertugas
menjaga Sidanti. "Hem, gembala itu tidak percaya lagi kepada Paman Argajaya
dan barangkali juga kepada Kakang Sidanti," katanya di dalam
hati. Tetapi ia tidak mengucapkan kata-kata itu.
Ketika Argajaya juga melihat gembala itu, maka ia pun segera
berpaling. Ia masih belum dapat mengatur perasaannya apabila
ia melihat orang-orang dari luar Tanah Perdikan ini, tetapi
terlampau banyak ikut mencampuri masalah di dalam wilayah ini.
Karena itu, maka Argajaya pun kemudian melangkah tanpa
berpaling lagi diikuti oleh Pandan Wangi. Apalagi ketika di luar
pendapa ia melihat Gupita dan Gupala dan bahkan Sekar Mirah
ada di antara mereka. Dahinya pun segera menjadi berkerutmerut.
Tetapi tidak ada yang dapat dilakukannya selain
membuang wajahnya. Ia menjadi muak mendengar suara
Gupala dan Gupita dari dalam biliknya, selama Gupala dan
Gupita bertugas di luar pintu menungguinya.
"Mereka pun harus pergi. Selama mereka masih ada di atas
Tanah ini, Kakang Argapati tidak akan dapat melakukan
pekerjaannya sesuai dengan kehendaknya yang murni. Orangorang
ini pun pasti mempunyai maksud pula untuk kepentingan
diri mereka sendiri, yang mungkin bertentangan dengan
kepentingan Tanah Perdikan ini," katanya di dalam hati.
Gupala dan Gupita pun sama sekali tidak menegurnya.
Bahkan mereka pun kemudian berpaling pula memandang
kearah lain. Sejenak kemudian Ki Argajaya telah masuk kembali ke dalam
biliknya. Namun pertemuannya dengan kakaknya
menjadikannya semakin menyadari diri. Meskipun perlahanlahan
namun pasti, bahwa Ki Argajaya merasa, bahwa tidak ada
jalan lain daripada menundukkan kepalanya kembali di hadapan
kakaknya. Baik sebagai seorang saudara muda, maupun
sebagai seorang warga Tanah Perdikan Menoreh.
Ki Argajaya mengangkat wajahnya ketika ia mendengar
Pandan Wangi berkata, "Silahkan, Paman, aku minta diri untuk
menemui Kakang Sidanti."
"O," Ki Argajaya menjawab, "baiklah. Mudah-mudahan
semuanya dapat berjalan lancar seperti yang diharapkan oleh
ayahmu. Sekali lagi aku menyampaikan terima kasih atas
kemurahannya. Tetapi aku pun berpesan, agar orang-orang
asing itu segera diusir dari Tanah ini. Mereka akan menjadi
benalu yang memuakkan apabila mereka dibiarkan untuk tetap
berada di atas Tanah ini."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. "Maksud Paman?" ia
bertanya. "Orang-orang gila itu. Swandaru, Agung Sedayu, gurunya,
dan orang-orang lain yang datang bersamanya. Termasuk
perempuan muda itu pula."
Pandan Wangi menarik nafas. Tetapi ia tidak menjawab.
Yang dikatakannya kemudian, "Silahkan Paman beristirahat. Aku
akan menemui Kakang Sidanti."
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia
melangkah ke pembaringannya di dalam bilik yang gelap dan
lembab. Sejenak kemudian pintu bilik itu pun tertutup kembali.
Argajaya merasa bahwa kini ia kembali terpisah dari dunia di
sekitarnya. Dunianya adalah ruangan yang sempit, gelap, dan
lembab. Dunia yang sama sekali tidak berarti apa-apa itu.
Ia mengangkat kepalanya ketika ia mendengar pintu, biliknya
diselarak dari luar. Dan ia berdesah ketika ia mendengar suara
Gupala, "Aku akan menungguinya."
"Jagalah ia baik-baik," pesan Pandan Wangi.
"Tentu. Aku akan menjaganya baik-baik."
Sejenak kemudian tidak terdengar apa-apa lagi. Sepi.
Agaknya Pandan Wangi telah pergi meninggalkan pintu biliknya.
Sebenarnyalah bahwa Pandan Wangi telah pergi. Dengan
hati yang berdebar-debar ia menuju ke bilik kakaknya. Terasa
sesuatu yang lain. Dan gadis itu sadar, bahwa kakaknya Sidanti
memang bersikap lain dari pamannya, Ki Argajaya.
"Aku akan mencoba melunakkan hatinya," katanya di dalam
hati. Namun demikian Pandan Wangi sendiri masih ragu-ragu.
Apakah ia akan berhasil" Agaknya hati Sidanti benar-benar
sudah mengeras, sekeras batu hitam.
"Tetapi kami harus berusaha. Keputusan terakhir terserah
kepada ayah," ia berbicara kepada dirinya sendiri.
Di muka pintu ruangan tengah ia menjadi ragu-ragu sejenak.
Ia masih melihat gembala tua itu duduk di antara penjaga bilik
Sidanti. "Marilah, Ngger," gembala itu mempersilahkan.
Pandan Wangi maju beberapa langkah, kemudian katanya,
"Kiai, aku mendapat perintah dari ayah untuk membawa Kakang
Sidanti menghadap sekarang."
"Sekarang?" bertanya gembala itu.
"Ya. Ayah ingin menyelesaikan pembicaraan ini sama sekali.
Kemudian ayah akan segera dapat menyusun rencana untuk
Tanah Perdikan ini. Rencana yang segera dapat dikerjakan, dan
rencana yang akan dikerjakan kemudian."
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Pembicaraan antara Ki Argapati dan Sidanti pasti akan
merupakan peristiwa yang cukup penting. Sementara itu ia tidak
melihat Ki Samekta dan Ki Kerti.
"Karena itu," berkata Pandan Wangi kemudian, "aku akan
menemui Kakang Sidanti sekarang."
"Ya, ya. Silahkan," berkata orang tua itu. "Tetapi apakah
Angger melihat Ki Samekta dan Ki Kerti?"
?"Mereka berada di antara para pengawal. Mungkin sekarang
mereka sedang nganglang atau melihat-lihat apa pun."
"Apakah mereka tidak dipanggil oleh Ki Argapati?"
"Kali ini tidak."
Gembala itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
kemudian, "Kalau begitu, silahkanlah. Tetapi hathatilah."
"Aku adalah adiknya. Aku mengenal tabiatnya sejak kanakkanak."
Gembala itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya
Pandan Wangi sama sekali tidak dapat melepaskan hubungan
yang telah mengikatnya sejak ia dilahirkan. Sebagai dua orang
anak yang dilahirkan oleh ibu yang sama, maka Pandan Wangi
tetap merasa sebagai seorang adik dan Sidanti adalah seorang
kakak. Pergaulan mereka di masa kanak-kanak pun agaknya
membekas terlampau dalam di hati gadis itu.
Pandan Wangi pun kemudian melangkah perlahan-lahan
mendekati ujung ruangan itu. Di muka pintu bilik Sidanti, Pandan
Wangi menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia berusaha menindas
setiap perasaan yang telah menghambatnya.
"Sekasar-kasar Kakang Sidanti, ia tetap kakakku. Ia masih
berusaha menolongku justru di permulaan pertentangan antara
ayah dan Kakang Sidanti itu, sedang Kakang Sidanti sadar,
bahwa aku pasti akan berpihak kepada ayah."
Ketika Pandan Wangi maju semakin dekat, maka seorang
pengawal telah mendekatinya dan berkata, "Apakah pintu ini
akan dibuka." "Ya," jawab Pandan Wangi.
Pengawal itu pun kemudian maju ke depan pintu. Perlahanlahan
ia meraba selaraknya, dan perlahan-lahan ia mulai
menarik. Namun demikian dadanya menjadi kian berdebardebar.
Berbagai bayangan melonjak di kepalanya. Bagaimana
kalau tiba-tiba saja pintu ini menyentak terbuka. Kemudian
sebuah pukulan melayang ke wajahnya, sehingga ia menjadi
pingsan. Oleh angan-angannya sendiri, maka tangannya menjadi
semakin gemetar. Ketika selarak itu telah terlepas, maka tibatiba
selarak itu sekan-akan meloncat dari tangannya dan jatuh
berderak-derak dilantai. Semua orang terkejut karenanya. Lebih-lebih lagi adalah
orang itu sendiri, sehingga ia meloncat beberapa langkah surut
sambil menarik pedangnya.
"He, kenapa kau?" bertanya kawannya.
Ketika ia menyadari keadaanya, maka wajahnya menjadi
merah padam. Tersipu-sipu ia menyarungkan pedangnya
kembali sambil melangkah maju.
"Kenapa kau, he?" bertanya Pandan Wangi.
"Tidak apa-apa," jawab pengawal itu. Tetapi hatinya masih
tetap berdebaran. Ketika kemudian Pandan Wangi perlahan-lahan membuka
pintu, pengawal itu menekan nafasnya. Namun kemudian ia
menarik nafas dalam-dalam ketika dari sela-sela pintu yang
mulai terbuka itu ia melihat Sidanti duduk saja di
pembaringannya. Bahkan berpaling pun tidak. Seakan-akan ia
tidak mendengar pintu itu terbuka dan adiknya melangkah
masuk. "Kakang," desis Pandan Wangi kemudian.
Tanpa berpaling Sidanti katanya, "Kenapa kau kemari?"
Pandan Wangi tidak segera menyahut. Selangkah ia maju.
Ditatapnya wajah kakaknya yang muram dan gelap. Rambutnya
yang kusut dan ikat kepalanya yang tersangkut di lehernya.
Terasa dada Pandan Wangi tergetar. Setiap kali ia melihat
kakaknya itu dikawani oleh beberapa orang pengawal dan
diawasi oleh gembala tua, apabila ia pergi ke sumur atau ke
pakiwan. Namun ia tidak melihat wajah yang semuram dan
segelap itu. "Kenapa?" suaranya datar.
Terasa kesepian yang tajam membakar dada anak muda itu.
Ia merasa bahwa kini ia tinggal hidup sendiri. Karena itu maka
setiap orang sama sekali sudah tidak berarti lagi baginya. Juga
Pandan Wangi. "Kakang," berkata Pandan Wangi, "aku perlu berbicara
sedikit." "Tidak," jawab Sidanti, "tidak ada yang dapat kita bicarakan."
"Tentu ada Kakang. Soal apa pun juga."
"Tidak. Pergilah. Tinggalkan aku sendiri."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Namun ia maju
selangkah, "Kakang, aku ingin berbicara kepadamu. Bukankah
aku adikmu." "Dahulu kau adikku. Tetapi sekarang kau sudah berpihak
kepada laklaki tamak itu."
Dada Pandan Wangi tergetar. Ia memang sudah menyadari
bahwa ia seakan-akan berdiri di simpang jalan yang paling sulit
untuk memilih arah. Sidanti adalah kakaknya, dan Argapati
adalah ayahnya. Tetapi sama sekali tidak ada hubungan darah
antara Argapati dan Sidanti itu. Bahkan sejak dilahirkan, sebuah
jurang yang dalam memang telah ternganga di antara keduanya.
Betapa pun Ki Argapati mencoba menimbuni jurang itu, namun
ketika banjir bandang yang dahsyat melanda dari tebing-tebing
pegunungan, maka semua lumpur di dalam jurang yang sedikit
demi sedikit tertimbun itu telah hanyut kembali seluruhnya. Dan
jurang itu kini menganga semakin dalam dan semakin lebar.
"Kakang," berkata Pandan Wangi, "apa pun yang telah terjadi
atas diri kita masing-masing, tetapi ikatan itu tidak akan dapat
berubah. Kau dilahirkan oleh Rara Wulan, dan aku pun
dilahirkan oleh perempuan itu pula. Kita tidak akan dapat lari dari
kenyataan itu. Kenyataan bahwa kita seibu. Kita adalah kakakberadik."
"Aku bukan laklaki cengeng," suara Sidanti meninggi, "aku
tidak mau terbelenggu oleh ikatan-ikatan yang tidak aku
kehendaki. Aku tidak minta dilahirkan oleh perempuan yang
melahirkan kau juga. Aku tidak pernah menghendaki apa pun
atas kelahiranku. Justru aku merasa tersiksa bahwa aku telah
dilahirkan oleh perempuan yang bernama Rara Wulan itu,
karena ia berhubungan dengan laklaki yaug bukan bakal
suaminya." "Kakang." "Apakah kau akan ingkar" Bukankah kau yang mengatakan
bahwa kita tidak dapat lari dari kenyataan. Dan kenyataan itu
mengatakan bahwa perempuan yang bernama Rara Wulan itu
telah berbuat keji karena ia berhubungan dengan Ki Tambak
Wedi sehingga aku terlempar ke dunia dengan cacat yang tidak
akan terhapuskan. Apakah aku harus berbangga dan berterima
kasih atas kejadian serupa itu" Kalau kemudian Rara Wulan itu
melahirkan kau juga itu sama sekali tidak aku minta." Sidanti
berhenti sejenak, lalu, "apakah sekarang aku harus tetap
mengikatkan diri pada masalah-masalah dan hubungan yang
tidak aku kehendaki itu. Tidak. Tidak. Aku kini sudah
melepaskan diri dari semuanya itu. Aku adalah aku. Aku tidak
terikat oleh siapa pun."
"Kakang," suara Pandan Wangi menjadi semakin dalam,
"hatimu menjadi gelap. Kau sudah kehilangan dirimu sendiri."
"Di dalam bilik yang sempit ini aku menemukan diriku. Aku.
Aku. Tanpa orang lain aku tetap Sidanti. Dan kini suatu
kenyataan pula, yang menurut kau, sebaiknya tidak kita hindari
bahwa aku adalah aku sendiri. Tanpa kau, tanpa Argapati, tanpa
Tambak Wedi seandainya ia masih hidup, tanpa Argajaya, dan
tanpa Rara Wulan seandainya ia masih ada pula."
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Tetapi matanya
mulai basah, "Tidak, Kakang. Tidak mungkin. Kau adalah putera
ibuku. Itu tidak akan dapat berubah betapa pun kau
membencinya, betapa kau menganggap ia perempuan yang
paling hina sekalipun. Kau dapat malu kepada dirimu sendiri,
bahwa kau mempunyai seorang ibu bernama Rara Wulan dan
seorang ayah bernama Tambak Wedi, tetapi kau tidak dapat
menghapusnya. Itu sudah terjadi. Kau sudah lahir. Dan kau
adalah kau itu juga."
Suara Pandan Wangi terpotong oleh isaknya yang seakanakan
menyumbat kerongkongannya. Sejenak ia tidak dapat
mengucapkan kata-kata selain suara isaknya yang tertahantahan.
Sidanti masih duduk di tempatnya. Ia sama sekali tidak
berpaling dan beringsut sama sekali. Tatapan matanya yang


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tajam, seakan-akan terpaku ke sudut bilik yang sempit itu.
Dengan susah payah Pandan Wangi mencoba menahan
perasaannya. Dengan susah payah ia membendung air
matanya. Tetapi setitik-setitik air mata itu jatuh pecah di atas
lantai. "Kau hanya akan memamerkan tangismu," geram Sidanti
kemudian. Pandan Wangi tidak segera menjawab. Dengan ujung
bajunya ia mengusap matanya yang basah.
"Kalau kau hanya akan menangis, sebaiknya kau keluar."
"Tidak. Aku tidak menangis," jawab Pandan Wangi terputusputus.
"Bohong! Kau menangis."
"Tidak." "Air matamu mengalir semakin deras."
"Itu adalah air mata kegadisanku. Tetapi aku tidak mau
tunduk pada perasaan itu. Aku harus tetap pada suatu pendirian
bahwa kau harus menghadap ayah saat ini. Memang itu bukan
ayahmu, itu adalah ayahku. Tetapi kita bersama-sama adalah
putera Tanah Perdikan ini yang bersama-sama mempunyai
tanggung jawab bagi masa depannya. Kau dilahirkan dan
dibesarkan di atas Tanah ini meskipun kau kemudian pergi ke
Tambak Wedi. Ibumu adalah anak Tanah ini juga. Kau tidak
dapat acuh tidak acuh terhadap masa depan Tanah ini. Mungkin
orang yang bernama Ki Tambak Wedi itu seandainya masih
hidup sama sekali tidak peduli, apakah Tanah ini menjadi abu
atau akan tetap berkembang. Tetapi kau tidak. Kau tidak dapat."
"Diam! Diam!" bentak Sidanti.
"Kenapa aku harus diam" Marilah kita berbicara tentang diri
kita, pendirian kita, sikap kita dan pandangan hidup kita masingmasing.
Baik atas Tanah Perdikan Menoreh maupun atas diri
kita sendiri." "Cukup! Cukup!"
"Aku akan berbicara. Kalau kau akan berbicara, berbicaralah.
Mungkin kau akan melepaskan endapan-endapan yang selama
ini terpaksa kau simpan di dalam dadamu. Sekarang
lontarkanlah semuanya. Mungkin kau akan mengatakan bahwa
Argapati adalah seorang yang tamak, yang tidak bertanggung
jawab, yang hanya mementingkan dirinya sendiri, yang apa lagi,
apa lagi. Kemudian kau dapat menilai orang-orang lain, menilai
aku, menilai ibuku dan ibumu itu dan menilai apa pun juga.
Berbicaralah, berteriaklah sepuas-puasmu." Pandan Wangi
berhenti sejenak, kemudian, "Tetapi apa yang sudah terjadi akan
tetap seperti yang sudah terjadi itu. Kau akan tetap menjadi anak
Rara Wulan seperti aku."
"Cukup, cukup!" Sidanti berteriak semakin keras, sehingga
setiap orang yang berada di ruang tengah menjadi berdebardebar.
Gembala tua yang ada di ruangan itu telah beringsut
mendekat. Ia tidak dapat lengah, seandainya Sidanti kehilangan
kendali atas dirinya sendiri.
Tetapi yang dilihatnya, Sidanti itu tiba-tiba menundukkan
kepalanya dalam-dalam. Sejenak bilik itu menjadi sepi. Hanya desah nafas mereka
sajalah yang terdengar, saling berkejaran.
Dengan dada yang berdebar-debar mereka yang berada di
luar bilik itu melihat lewat pintu yang masih terbuka, apa yang
kira-kira akan terjadi. Mereka kemudian menahan nafas ketika tiba-tiba saja mereka
melihat Pandan Wangi meloncat maju. Dengan serta-merta ia
berjongkok di hadapan kakaknya yang masih menundukkan
kepalanya dalam-dalam. Dengan nada suara yang meninggi
Pandan Wangi berkata sambil mengguncangi lengan Sidanti,
"Kakang. Kakang. Dengarlah kata-kataku. Aku datang kepadamu
sebagai seorang anak Tanah Perdikan ini, dan lebih daripada itu
aku tidak akan dapat melepaskan diri dari ikatan kekeluargaan
kita. Kakang. Apakah kau tidak sempat melihat ke dalam dirimu,
ke masa lampau kita dan ke masa datang yang panjang?"
Sidanti tidak menjawab. Tetapi ia tidak dapat menatap wajah
adiknya, sehingga karena itu ia memalingkan wajahnya.
"Kakang. Berbicaralah seperti kau dahulu berbicara
kepadaku." Sidanti masih tetap berdiam diri.
"Kakang. Kenapa kau diam saja, kenapa?"
Tetapi Sidanti masih tetap mematung.
Akhirnya bagaimanpun juga, Pandan Wangi tetap seorang
gadis yang tidak kuat menahan gelora perasaannya. Seperti
bendungan yang tidak tahan lagi menahan arus banjir yang
melandanya, Pandan Wangi kemudian menangis sejadjadinya.
Tanpa malu-malu diletakkannya kepalanya di pangkuan
kakaknya yang masih duduk diam seperti patung batu.
Tetapi Sidanti tidak mengusirnya. Sidanti tidak lagi berkata.
Terasa sesuatu bergetar di dada anak muda yang keras hati itu.
Guncangan isak tangis Pandan Wangi telah mengguncang
jantungnya pula. Kembali keduanya terdiam. Tetapi kini yang terdengar adalah
isak tangis Pandan Wangi yang semakin keras. Air matanya pun
menjadi semakin deras mengalir.
Tetapi Sidanti tidak mengusirnya Sidanti tidak lagi berteriakteriak.
Meskipun hatinya telah mengeras sekeras batu, namun
Pandan Wangi tetap mempunyai kesan yang lain padanya.
Meskipun ia berusaha, tetapi ia tidak akan dapat melepaskan
dirinya dari kenangan masa kanak-kanaknya.
Terbayang di angan-angannya gadis kecil itu menangis
memeluknya sambil berkata terputus-putus, "Kakang, anak itu
nakal Kakang. Aku dicubitnya. Permainanku diambilnya."
Di saat-saat yang demikian itulah ia berteriak, "Siapa yang
nakal" Tunggu di sini. Aku pilin tangannya."
Tetapi apakah yang harus dilakukannya kini" Pandan Wangi
kini menangis di pangkuannya dalam keadaan yang jauh
berbeda dari tangis seorang gadis kecil.
Apalagi pikiran Sidanti sendiri memang sedang kalut oleh
keadaan yang tidak menentu baginya. Sidanti tidak tahu apa
yang akan terjadi atas dirinya. Mungkin Ki Argapati kini sudah
menyiapkan seorang pengawal untuk memenggal lehernya, atau
menggantungnya di alun-alun. Sedang kini Pandan Wangi
sedang membujuknya untuk menghadap ayahnya, agar ia dapat
mendengar keputusan hukuman itu.
Terasa dada Sidanti bergetar. Hampir saja ia mendorong
Pandan Wangi dan melemparkannya ke sudut ruangan.
"Ia membawa sepasang pedang," katanya di dalam hati, "Aku
dapat mengambilnya dan mempergunakannya. Atau aku dapat
menjadikan gadis ini sebagai perisai untuk keluar dari rumah ini."
Ketika Sidanti hampir saja melakukannya, tiba-tiba tangannya
menjadi gemetar. Ia benar-benar tidak dapat berbuat demikian
betapa pun ia sendiri sedang dilanda oleh kekalutan hati.
Meskipun Sidanti mencoba menyingkirkan segala macam
pertimbangan, namun ia masih tetap diam tanpa berbuat
sesuatu. Sejenak kemudian, ketika tangis Pandan Wangi mereda,
maka terdengar suaranya kembali, "Kakang, apakah kau
mendengarkan aku?" Sidanti tidak menjawab. "Akulah yang minta kepadamu."
"Kau membujuk aku, Wangi. Kau ingin mengeluarkan aku dari
bilik ini, dan tidak akan kembali lagi ke mari."
"Kenapa, Kakang?"
"Sidanti akan tinggal namanya saja," sahut Sidanti. "Aku
menyesal bahwa aku tidak terbunuh di peperangan. Itu akan
menjadi jauh lebih baik dari keadaanku sekarang."
"Tidak. Kalau kau terbunuh, maka tidak akan ada
kemungkinan lagi bagimu, untuk turut serta membangun Tanah
ini." "Sekarang pun tidak."
"Ada. Seperti Paman Argajaya. Paman telah menyatakan
kesediaanya untuk ikut serta membangkitkan Tanah ini kembali.
Sidanti mengerutkan keningnya. "Begitukah dengan Paman
Argajaya?" "Ya." Sidanti terdiam sejenak. Wajahnya menjadi tegang kembali.
Namun sejenak kemudian ia menarik nafas.
"Argajaya adalah adik Argapati," katanya. "Aku bukan apaapanya."
"Itu tidak penting. Yang penting, kita adalah putera-putera
Tanah Perdikan. Pada kitalah terletak tanggung jawab masa
depan Tanah ini. Tanah yang kini sudah menjadi abu."
"He, kau ingin mengatakan bahwa akulah yang telah
membakar Tanah ini, dan adalah menjadi tanggung jawabku
untuk mengembalikannya kembali."
"Tidak. Bukan itu. Kita akan melupakan apa yang sudah
terjadi. Kita akan melupakannya."
Sidanti terdiam sejenak. Ditatapnya wajah adiknya dengan
saksama. Dilihatnya wajah itu tidak secerah wajahnya dahulu.
Betapa sayunya. Ketika Pandan Wangi kemudian menatapnya dengan mata
yang merah karena tangis, Sidanti tidak dapat menolaknya lagi.
"Aku minta kau pergi kepada ayah, Kakang."
Sidanti tidak menjawab. "Bukankah kau bersedia?"
Sidanti akhirnya menganggukkan kepalanya.
"Kalau bukan kau, Wangi, aku tidak akan beranjak dari tempat
ini apa pun yang akan terjadi atasku. Aku kira aku akan lebih
merasa berbahagia kalau aku mati di bilik ini daripada di alunalun."
"Aku yang meminta kau pergi."
Sidanti mengangkat wajahnya. Dipandanginya sudut-sudut
bilik ini, seolah-olah ia tidak akan dapat melihatnya lagi.
"Di sini aku tinggal di masa kecil itu. Di bilik ini pula aku tidur.
Kadang-kadang sendiri, kadang-kadang bersama Paman
Argajaya." Sidanti terdiam sejenak, "aku merasa bersukur bahwa aku
masih sempat melihat untuk yang terakhir kalinya sebelum aku
mati." "Kau tidak akan mati."
"Marilah, Pandan Wangi," berkata Sidanti, "aku sudah muak
melihat wajah-wajah di luar bilik ini. Kau lupa menutup pintu."
Pandan Wangi berpaling. Ia melihat beberapa orang yang
duduk di ruang dalam agak jauh dari pintu bilik itu.
"Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa."
"Maksudku, mereka adalah orang-orang yang memuakkan.
Mereka adalah penjilat-penjilat yang tidak tahu diri."
Pandan Wangi tidak menjawab. Ia takut kalau suasana itu
akan rusak karenanya. Karena itu, maka ia hanya sekedar
menganggukkan kepalanya saja.
Pandan Wangi kemudian berdiri ketika air matanya sudah
menjadi agak kering. Sidanti pun berdiri pula dan berjalan
mengikuti Pandan Wangi. Sekalsekali matanya masih juga
tertarik pada sepasang pedang di lambung adiknya. Tetapi ia
tidak berbuat apa-apa. Ketika ia melintasi ruang tengah, anak muda itu sama sekali
tidak mengacuhkan, siapa saja yang duduk di atas tikar pandan
itu. Ia hanya sekilas melihat sebuah tombak pendek yang
mencuat di antara mereka. Maka sadarlah ia bahwa orang-orang
yang duduk itu pasti para pengawal yang sedang menjaganya,
sedang di antara mereka adalah gembala tua yang dikenalnya
bernama Kiai Gringsing. *** Seperti Argajaya, maka ketika kakinya melangkah memasuki
ruangan bilik Ki Argapati, hatinya menjadi berdebar-debar.
Tetapi ia merasa heran, bahwa di dalam bilik itu sama sekali
tidak terdapat para pengawal yang berjaga-jaga.
Ki Argapati yang melihat kedatangannya pun segera bangkit
dan duduk di pembaringannya. Dengan nada yang dalam ia
berkata, "Kemarilah, Sidanti."
Sidanti tidak menjawab. Tetapi yang pertama-tama dilihatnya
adakah tombak pendek yang bersandar dinding di atas
pembaringan Ki Argapati. Tetapi segera ia menggeser tatapan matanya kepada Ki
Argapati yang duduk dengan nafas yang masih belum teratur
benar karena luka-lukanya.
"Duduklah dulu, Sidanti," orang tua itu mempersilahkan
Sidanti duduk di atas dingklik kayu di dekat pembaringannya.
Tetapi Sidanti tidak segera duduk. Ia berdiri saja di
tempatnya. Meskipun demikian ia masih juga merasa heran. Bilik
tempat Ki Argapati berbaring itu sama sekali tidak seperti yang
dibayangkannya. Tidak ada seorang pengawal pun yang ada di
dalam. Ki Argapati yang sakit itu tidak juga diapit-apit oleh dua
orang pengawal pilihan, kemudian di setiap sudut, dan di sisi
pintu, tidak juga ada ujung-ujung senjata yang merunduk ke
arahnya. "Duduklah," Ki Argapati mengulangi. Tetapi Sidanti masih
tetap berdiam diri. Pandan Wanglah yang kemudian membimbingnya dan
meletakkannya di atas dingklik itu. Seperti anak-anak yang
dibimbing ibunya Sidanti tidak melawan. Ia melangkah dengan
berat, dan kemudian duduk di atas dingklik kayu itu dengan
kepala tunduk. "Sudah lama aku ingin berbicara dengan kau, Sidanti,"
berkata Ki Argapati, "tetapi lukaku agaknya masih belum
mengijinkan. Hari ini aku merasa agak ringan, sehingga aku
segera memanggil kau dan pamanmu bergantganti."
Sidanti tidak menjawab. Kepalanya masih saja menunduk.
"Apakah adikmu sudah mengatakan sesuatu kepadamu?"
Sidanti mengangkat wajahnya sejenak, kemudian
dipalingkannya kepalanya kepada Pandan Wangi. Tetapi
kepalanya itu pun kemudian menunduk lagi tanpa menjawab apa
pun juga. "Aku belum mengatakan apa-apa kepadanya, Ayah," sela
Pandan Wangi. "Aku hanya mengajaknya kemari, agar Ayah
mengatakan sendiri maksud Ayah itu."
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, "Baiklah,
Pandan Wangi. Aku akan mengatakannya seperti aku
mengatakan kepada Argajaya."
Tetapi Sidanti sama sekali tidak menyahut.
Ki Argapati terdiam sejenak. Dipandanginya kepala Sidanti
yang menunduk. Tetapi tangkapan mata hati Ki Argapati yang
tajam segera merasakan, bahwa hati Sidanti masih belum dapat
dilunakkan sama sekali, tidak seperti pamannya Argajaya.
"Anak ini benar-benar keras kepala," berkata Ki Argapati di
dalam hatinya. Meskipun demikian Ki Argapati masih akan
mencobanya untuk menjajagi hati Sidanti lebih jauh.
"Sidanti," katanya, "apakah hatimu sudah terbuka untuk
berbicara" Seperti pamanmu Argajaya, aku membawanya
berbicara tentang keadaan kita saat ini. Tentang Tanah Perdikan


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menoreh, dan tentang masa depannya. Aku ingin bersama
melihat, di mana kita sekarang ini berada. Dan ke mana kita
masing-masing akan pergi. Kalau kita dapat menemukan
persesuaian arah, maka kita akan dapat berjalan bersamasama."
Ternyata Sidanti masih belum menjawab. Kepalanya masih
menunduk, seakan-akan ia sedang merenungi dirinya sendiri
dalam-dalam. "Sidanti, kenapa kau diam saja?" bertanya Ki Argapati.
"Katakanlah apa yang ingin kau katakan. Aku memang ingin
mendengarkan isi hatimu dengan terbuka, supaya aku dapat
memperhitungkan segala sesuatu buat masa depan Tanah ini."
Perlahan-lahan Sidanti mengangkat wajahnya. Tetapi wajah
itu adalah wajah yang suram dan gelap. Dengan suara parau ia
berkata datar, "Kalau kau akan menjatuhkan hukuman atasku,
segera katakan. Ternyata aku menjadi muak berada di bilik ini
lebih lama lagi." "Kakang," Pandan Wangi memotong, "sadarilah keadaan ini,
Kakang. Kita sedang mencari jalan sebaik-baiknya, agar kita
menemukan titik pertemuan."
"Itulah yang sulit. Kalian kini sedang berkuasa atasku. Kalian
dapat berbuat apa saja."
"Tetapi kami tidak ingin berbuat demikian. Kami ingin mencari
cara yang baik. Seperti Paman Argajaya, yang dengan hati
terbuka menyatakan keinginannya untuk bersama-sama
membangun kembali Tanah Perdikan ini."
"Apakah aku harus berjanji seperti Paman Argajaya itu pula?"
"Tidak, Sidanti," sela Ki Argapati, "tidak seorang pun yang
mengharuskannya. Mungkin aku dapat memaksa berjanji. Tetapi
janji yang demikian adalah janji yang tidak akan menghasilkan
buah yang wajar. Janji itu sendiri harus terlontar dari hati dan
kesadaran diri." Jawab Sidanti ternyata telah mengejutkan Pandan Wangi dan
Ki Argapati, "Aku tidak akan berjanji apa-apa. Aku tidak merasa
wajib untuk berbuat sesuatu."
"Kakang," Pandan Wangi hampir berteriak, "kita adalah anakanak
Tanah ini. Kita dilahirkan di atas Tanah ini."
"Tetapi aku sudah mengkhianati Tanah ini menurut
anggapanmu dan anggapan orang-orang yang sekarang ini
berkuasa. Kenapa kalian tidak menghukum aku saja" Apakah
kalian sedang berusaha untuk memperalat aku, agar perlawanan
yang mungkin masih ada itu segera padam?"
"Seandainya demikian, Sidanti," jawab Ki Argapati, "itu sudah
merupakan urusanmu membangun Tanah ini. Dengan demikian
maka ketenteraman akan segera pulih kembali."
"Aku tidak mau diperalat dengan cara itu, dengan cara yang
licik. Kalian sudah menang atas pasukanku. Kalian berhak
membunuh aku. Aku tidak boleh berkhianat untuk kedua kalinya.
Berkhianat menurut anggapanmu dan berkhianat terhadap
pasukanku yang telah kau hancurkan. Apalagi berkhianat
terhadap guruku, dan?"?" Sidanti tidak dapat
mengatakannya. Terasa sesuatu menahan di kerongkongannya
sehingga kata-katanya terputus. Tetapi dengan demikian api
kebenciannya kepada Ki Argapati serasa meluap. Tiba-tiba saja
ia merasa terlempar pada kenyataannya. Seperti yang dikatakan
oleh Pandan Wangi. Dan ia tidak dapat mengingkari kenyataan
itu, bahwa Argapati bukan apa-apa baginya.
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bahwa
usahanya kali ini tidak akan dapat berhasil. Agaknya hati Sidanti
benar-benar telah mengeras seperti batu hitam.
Namun demikian, berbeda dengan Ki Argapati, Pandan
Wangi merasa bahwa masih ada harapan untuk merubah sikap
kakaknya itu. Meskipun harapan itu tampaknya semakin lama
menjadi semakin tipis. Tetapi ia masih berkata, "Apakah kita
tidak dapat melupakan apa yang telah terjadi" Atau bahkan kita
menganggap hal itu sebagai suatu pengalaman?"
"Tidak, tidak!" Sidanti berteriak.
Pandan Wangi terkejut mendengar teriakan itu. Sekilas
dipandanginya wajah ayahnya yang tegang. Terasa bahwa di
wajah ayahnya itu telah terbayang warna hatinya yang muram.
"Apakah Kakang Sidanti tidak juga dapat dilunakkan?"
pertanyaan itu mulai membelit hatinya.
Dalam pada itu, di ruang tengah beberapa orang duduk
dengan cemasnya. Mereka kini sudah beringsut dari depan pintu
bilik Sidanti ke depan pintu bilik Ki Argapati. Bahkan kini jumlah
mereka telah bertambah pula karena Ki Samekta dan Ki Kerti
telah ada di antara mereka.
"Apakah Ki Gede memang memanggil Angger Sidanti?"
bertanya Samekta sambil berbisik.
"Ya," jawab gembala tua itu.
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Kerti pun
berkata, "Ki Argapati masih juga dipengaruhi oleh hubungan
masa lampau. Bagaimana pun juga Sidanti pernah dianggap
sebagai anaknya." "Ya," jawab Samekta, "tetapi apakah pantas bahwa anak itu
kini berteriak-teriak begitu di dalam bilik Ki Argapati yang sedang
sakit." Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Siapa sajakah yang ada di dalam?" bertanya Kerti kemudian.
"Selain Angger Sidanti hanyalah Angger Pandan Wangi."
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ia percaya
kepada Pandan Wangi. Tetapi hatinya hampir-hampir tidak tahan
lagi mendengar Sidanti berteriak-teriak dan membentak-bentak.
"Itu sudah terlalu," gumam Samekta. "Sedang Sidanti yang
bukan tawanan saja, tidak sepantasnya berteriak-teriak dan
membentak-bentak seperti itu. Apalagi kini Sidanti adalah
tawanan." "Kalau ia bukan seorang tawanan, aku kira ia tidak akan
membentak-bentak," berkata gembala tua itu lirih.
"Kenapa?" "Sebagai seorang tawanan ia merasa bahwa tubuhnya
terbelenggu. Karena itu, maka yang dapat dilakukan hanyalah
sekedar melepaskan suaranya menembus ikatan-ikatan yang
membatasinya." "Tetapi akibatnya dapat berbahaya bagi dirinya. Kalau Ki
Argapati marah, maka segala kebaikan hatinya akan larut,
karena ia adalah manusia biasa."
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
ia menjawab, "Sidanti telah dicengkam oleh keputus-asaan dan
kehilangan pegangan. Ia menyadari hal itu, tetapi agaknya ia
memang memilih jalan yang terdekat untuk mati."
Samekta dan Kerti mengerutkan keningnya. Namun kepala
mereka pun kemudian terangguk-angguk lemah.
Sejenak mereka pun terdiam. Mereka mencoba
mendengarkan apa yang dikatakan oleh Pandan Wangi. Tetapi
mereka tidak dapat mendengarnya dengan jelas, apalagi
kemudian terdengar suara Pandan Wangi seakan-akan
tenggelam di dalam isaknya.
"Jangan membujuk lagi," suara Sidantlah yang terdengar
jelas, "aku sudah memutuskan. Kalau kalian akan membunuh
aku, segera lakukanlah. Jangan memaksa aku untuk melakukan
hal-hal yang tidak akan mungkin bagiku. Aku tidak bertabiat
serendah itu." "Kau tidak mau memikirkannya, Kakang," sahut Pandan
Wangi, "kau menanggapinya dengan perasaan tanpa nalar. Itu
adalah kebiasaan perempuan. Kau adalah seorang anak muda.
Seorang laklaki. Tetapi hatimu digelapi oleh perasaanmu.
Seharusnya kau mempergunakan nalarmu, Kakang."
"Tidak. Aku tidak dapat kau paksa lagi dengan cara apa pun."
"Kalau begitu, maka kau adalah laklaki cengeng. Bukan
sebaliknya, karena kau tidak dapat mempergunakan nalarmu."
Wajah Sidanti menjadi merah padam. Sejenak ia membeku.
Dipandanginya wajah Pandan Wangi dan Argapati bergantiganti.
Melihat kakaknya berdiam diri, maka tumbuh kembalilah
harapan Pandan Wangi. Karena itu maka suaranya segera
menurun, "Bukankah begitu, Kakang" Bukankah kau seorang
laklaki yang berani menghadapi kenyataan" Seharusnya kau
memang tidak usah lari. Marilah kita terima apa yang sudah
tersedia di hadapan kita. Kalau kita menerimanya dengan ikhlas,
maka semuanya akan berlangsung dengan baik."
Sidanti tidak menjawab. Dengan demikian maka Pandan
Wangi pun menjadi semakin berpengharapan. Bahkan Ki
Argapati yang sudah berputus asa untuk dapat mengait Sidanti
dari kegelapan, menjadi heran. Apakah Pandan Wangi akan
berhasil. "Kau mengerti maksudku bukan, Kakang?"
Sidanti masih tetap berdiam diri.
Perlahan-lahan Pandan Wangi melangkah mendekati tempat
duduk kakaknya sambil berkata pula, "Bukankah kau mengerti"
Ini bukan kebaikan hati kami. Tidak. Tetapi kita akan
bertanggung jawab bersama-sama."
Namun yang terjadi kemudian benar-benar di luar dugaan
Pandan Wangi. Ternyata kediaman Sidanti telah menumbuhkan
kelengahan pada Pandan Wangi. Pandan Wangi tidak dapat
mencegahnya ketika tiba-tiba saja Sidanti meloncat menyambar
tombak yang terletak di atas pembaringan Ki Argapati. Demikian
cepatnya, sehingga Pandan Wangi sadar, ketika tombak itu
sudah ada di tangan Sidanti.
Argapati pun terkejut bukan buatan. Getaran dadanya yang
tergoncang agaknya telah membuat lukanya menjadi seakanakan
terhenti. Dengan darah yang seakan-akan terhenti ia
menatap ujung tombaknya itu merunduk ke arah dadanya yang
luka. Pandan Wangi tidak mendapat kesempatan untuk merebut
tombak itu dari tangan kakaknya. Tetapi ia tidak tinggal diam
menyaksikan ujung tombak itu menembus dada ayahnya.
Karena itu, maka dengan secepat-cepat kemampuannya ia
meloncat memeluk kakangnya dari belakang.
Tetapi Sidanti telah menjadi wuru. Seakan-akan ia telah
kehilangan akal. Tanpa menghiraukan apa pun lagi, maka
dikibaskannya Pandan Wangi sekuat-kuatnya.
Pandan Wangi yang belum siap benar menanggapi peristiwa
itu, tidak dapat bertahan. Ia terlempar membentur dinding kayu
bilik itu, kemudian terjatuh di lantai.
Kini Sidanti berdiri dengan mata yang merah menghadap
Argapati yang belum mampu melakukan perlawanan apa pun
karena luka-lukanya. Tombak di tangannya kini telah merunduk
kembali setelah diguncang oleh Pandan Wangi, tepat mengarah
ke dada Ki Argapati. Benturan tubuh Pandan Wangi pada dinding kayu telah
mengejutkan beberapa orang yang berada di luar pintu. Tetapi
mereka tidak segera melihat apa yang telah terjadi di dalamnya.
Pintu yang terbuka sedikit, tidak tepat pada pembaringan Ki
Argapati, sehingga orang-orang yang di luar pintu, tidak melihat
Sidanti yang menggenggam tombak telah menggeram seperti
seekor harimau yang terluka.
"Suara apakah itu?" bertanya Ki Samekta.
Tetapi yang lain hanya menggelengkan kepalanya saja. Tidak
seorang pun yang beranjak dari tempatnya. Mereka agaknya
segan untuk memasuki ruangan itu, sebelum mereka dipanggil.
Namun demikian, tanpa mereka sadari, seorang demi
seorang telah beringsut dari tempat duduknya semula.
Pandan Wangi yang terbanting di lantai masih sempat melihat
kakaknya maju setapak dengan tombak di tangannya. Dan tibatiba
saja ia terpekik, "Kakang, Kakang Sidanti. Jangan."
Tetapi Sidanti sama sekali tidak mendengarkan lagi suara ini.
Ia maju selangkah lagi. Kini ia sudah memusatkan tenaganya di
telapak tangannya yang menggenggam tombak pendek itu.
Ki Argapati benar-benar telah tidak mempunyai kesempatan
apa pun. Ia tidak melihat senjata apa pun yang akan dapat
menolongnya, sedang tenaganya sama sekali belum cukup kuat
untuk melontarkan tubuhnya dari pembaringannya itu. Karena
itu, ia hanya menunggu apa yang akan terjadi, ia mengharap
bahwa ia masih sempat untuk mengelak apabila Sidanti benarbenar
ingin menghunjamkan, tombak pendeknya.
Ternyata suara Pandan Wangi telah mengejutkan mereka
yang berada di luar pintu. Serentak mereka berloncatan dan
tanpa menunggu lagi, mereka berlarlarian ke bilik Ki Argapati.
Tetapi untuk memasuki pintu itu mereka memerlukan waktu.
Sedang Sidanti telah benar-benar siap menusukkan tombaknya.
Terdengar ia menggeram, "Orang-orang Menoreh hanya
dapat menghukum mati aku satu kali. Meskipun aku
membunuhmu, maka hukuman itu tidak akan dapat ditambah
lagi." Ketika gembala tua, Ki Samekta, Kerti, dan beberapa orang
prajurit meloncat tlundak pintu, maka pada saat itu, mereka
kehilangan segala kemungkinan untuk dapat menolong Ki
Argapati karena Sidanti sudah mulai mengayunkan tombaknya
untuk menusuk langsung ke dada Ki Argapati.
Tetapi dalam kecemasan yang amat sangat, yang telah
mencekam setiap dada, mereka melihat kilatan senjata yang
langsung menghunjam ke lambung Sidanti. Demikian, cepat dan
kerasnya, sehingga Sidanti yang telah mengayunkan tombak itu
terdorong ke samping. Terdengar sebuah keluhan tertahan. Kemudian perlahanlahan
tombak yang sudah hampir saja menembus dada Ki
Argapati itu menjadi bergetar, dan terjatuh di lantai.
Yang telah terjadi itu telah benar-benar mencengkam semua
orang yang menyaksikannya. Nafas mereka seakan-akan telah
berhenti mengalir ketika kemudian mereka melihat, apakah yang
sebenarnya telah terjadi.
Pandan Wangi berdiri dengan tubuh gemetar di sisi
pembaringan ayahnya. Dengan wajah yang pucat pasi
dipandanginya pedangnya yang masih menghunjam di lambung
kakaknya yang berdiri tertatih-tatih. Sejenak Sidanti memandang
adiknya, namun kemudian ia tidak lagi mampu bertahan.
Perlahan-lahan ia jatuh di atas lututnya, sedang darah yang
merah mengalir dari lukanya.
Dengan kekuatan terakhirnya Sidanti masih sempat mencabut
pedang yang telah terlepas dari tangan Pandan Wangi itu,
kemudian meletakkannya di sampingnya.
Pandan Wangi memandanginya dengan wajah yang tegang
beku. Namun ketika kemudian Sidanti tidak lagi mampu berdiri di
atas lututnya, dan perlahan-lahan menahan tubuhnya dengan
kedua tangannya, terdengar Pandan Wangi menjerit keras
sekali, "Kakang. Kakang Sidanti."
Seperti orang yang kehilangan akal, Pandan Wangi memeluk
kakaknya yang sudah hampir kehabisan tenaganya, sehingga
justru dengan demikian Sidanti tidak lagi dapat bertahan.
Perlahan-lahan ia menelentang dan terbaring dilantai, sedang
Pandan Wangi menelungkup memeluknya sambil menangis


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sejadjadinya. Darah Sidanti yang bergelimang di lantai, telah
memerahi pakaian gadis itu pula.
"Kakang, Kakang Sidanti."
Ki Argapati yang masih berada di pembaringan hanya dapat
menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia beringsut dan
memaksa dirinya untuk duduk di pinggir pembaringan,
sementara gembala tua, Samekta, dan Ki Kerti serta beberapa
orang yang lain telah melingkarinya.
"Kakang, Kakang, kenapa jadi begini, Kakang. Aku tidak
sengaja, Kakang. Aku tidak sengaja melukaimu."
Nafas Sidanti semakin cepat memburu. Ketika ia membuka
matanya ia melihat Pandan Wangi yang menangis seperti kanakkanak,
meraung-raung tidak terkendali lagi. Penyesalan yang
tiada taranya telah melanda dadanya. Dengan gerak naluriah
ternyata ia telah meloncat dan menusuk lambung Sidanti untuk
mencegah Sidanti membenamkan ujung tombaknya di dada
ayahnya. Ternyata akibat dari tusukan di lambung anak muda itu
terlampau parah, sehingga maut telah membayang di wajahnya.
Dalam suatu saat, ternyata Pandan Wangi memang harus
memilih. Dan saat itu terlampau pendek. Hanya sekejap. Ia tidak
dapat membuat pertimbangan lebih jauh ketika ia melihat
kakaknya sudah siap menusukkan tombak pendeknya ke dada
Argapati. Dan Pandan Wangi pun memang sudah melakukan pilihan
itu. Betapa besar ikatan kasih antara kakak-beradik, namun ia
tidak dapat membiarkan ayahnya terbunuh di pembaringan
selagi ia tidak kuasa berbuat apa-apa. Dan di saat yang sekejap
itu, ia telah memilih ayahnya daripada kakaknya meskipun
akhirnya ia harus memeras air matanya.
"Pandan Wangi," terdengar suara Sidanti parau.
"Kakang. Aku minta maaf."
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang-orang
yang kini berjongkok di sekitarnya melihat Sidanti menyeringai
menahan sakit. Namun kemudian mereka menjadi heran dan
kemudian terharu ketika mereka melihat Sidanti itu tersenyum,
"Kau tidak bersalah, Adikku," desisnya.
"Aku tidak sengaja, Kakang."
"Aku tahu bahwa kau memang tidak sengaja. Tetapi
dipandang dari segi keharusanmu, kau sudah bertindak tepat.
Kau berusaha menyelamatkan ayahmu."
"Tetapi maksudku tanpa mengorbankan kau."
"Dalam keadaan ini tidak mungkin, Pandan Wangi," jawab
kakaknya. "Alangkah anehnya hati ini. Justru pada saat terakhir
aku melihat cahaya yang terang."
"Maksudmu, Kakang?"
"Aku merasa bersalah."
"Kakang," Pandan Wangi menggucang-guncang tubuh
kakaknya. "Jangan kau guncang, Wangi. Sakit."
"Tetapi jangan berkata saat-saat terakhir. Kau pasti akan
sembuh," tiba-tiba saja Pandan Wangi dengan nanar
mengedarkan tatapan matanya. "Kiai. Kiai," katanya kepada
gembala tua itu, "kenapa kau diam saja" Kenapa kau tidak
berbuat sesuatu untuk mengobati luka Kakang Sidanti."
Gembala tua itu beringsut maju. Tetapi suara Sidanti menjadi
semakin lemah, "Tidak ada gunanya. Aku akan mati."
"Tidak. Tidak. Kau tidak akan mati."
Sekali lagi Pandan Wangi melihat Sidanti tersenyum.
Kemudian dicobanya memandangi Argapati yang duduk di
pinggir pembaringannya. "Ayah," desisnya.
Terasa sesuatu berdesir di dada Ki Argapati. Panggilan itu
selalu didengarnya dahulu. Tetapi di saat-saat api membakar
Tanah Perdikan, anak muda itu telah menjadi musuhnya. Kini,
ketika jarjari maut mulai merabanya, ia mendengar panggilan
itu lagi. "Aku minta maaf."
"Kau tidak bersalah, Sidanti," suara Ki Argapati berat.
Tetapi Sidanti tertawa, "Maafkan aku, Ayah, jangan berkata
aku tidak bersalah."
Ki Argapati terdiam sesaat.
Dan Sidanti mengulanginya, "Aku mengharap Ayah
memaafkan kesalahanku."
"Ya, ya, Sidanti. Aku maafkan semua kesalahanmu."
"Terima kasih," nafas Sidanti menjadi semakin sendat.
Dan yang terdengar adalah suara Pandan Wangi, "Kiai,
kenapa Kiai diam saja" Apakah Kiai memang mengharap luka
itu tidak dapat ditolong lagi."
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi, sebagai
seorang yang telah mengenal beribu jenis luka, maka luka
Sidanti itu tidak akan dapat ditolong lagi.
"Sudahlah," Sidanti sendiri memang menolak, "aku sudah
sampai pada batas," suaranya menjadi semakin lambat. Lalu,
"Kiai, bukankah murid-muridmu ada di sini?"
"Ya. Mereka ada di sini, Ngger."
"Apakah aku dapat bertemu."
Gembala itu mengerutkan keningnya, "Apakah maksud
Angger Sidanti, anak-anak itu dipanggil kemari?"
Sidanti mengangguk lemah. "Apakah Paman Argajaya juga
ada?" Gembala itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian kepada
seseorang yang ada di belakangnya ia memberi isyarat untuk
memanggil mereka. Dengan tergesa-gesa orang itu berdiri. Tetapi di muka pintu ia
tertegun sejenak. Dipandanginya Ki Argapati, seolah-olah ingin
mendapat ketegasannya. Ketika Ki Airgapati pun kemudian menganggukkan kepalanya,
maka orang itu pun berlari ke gandok. Dengan singkat
disampaikannya berita tentang Sidanti dan diperintahkannya
kedua murid gembala tua itu membawa Ki Argajaya menghadap.
Mereka pun segera memenuhinya pula. Argajaya justru
berjalan di paling depan. Kemudian Gupala dan Gupita. Tetapi
tidak hanya mereka, Sekar Mirah dan Sumangkar pun ikut serta
pula. Ketika mereka sampai ke dalam bilik itu, Sidanti sudah
menjadi terlampau lemah. Tetapi ia masih sempat melihat
Argajaya, Agung Sedayu, dan Swandaru berjongkok di
sampingnya. Dan ia masih sempat berbisik, "Maafkan aku."
Agung Sedayu yang dikenal juga bernama Gupita dan
Swandaru yang dipanggil Gupala itu menganggukkan kepalanya.
Tetapi mereka tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun.
Betapa kebencian mencengkam dada mereka, namun mereka
menjadi terharu juga melihat kematian yang tidak disangkasangka
itu. Dalam pada itu, semua orang yang ada di seputarnya
terkejut, ketika tiba-tiba saja Sidanti menghentakkan kepalanya
dan seolah-olah ia berusaha untuk bangkit. Tetapi ia sudah
terlampau lemah, sehingga ia sama sekali tidak berhasil
menggerakkan dirinya. Yang terdengar kemudian suaranya
lambat, "Apakah mataku masih juga tidak salah" Apakah benar
aku melihat Sekar Mirah."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ia menjawab,
"Ya, Sekar Mirah memang ada di sini."
Sidanti tersenyum. Bibirnya bergetar lamban sekali. Dan
Pandan Wangi masih mendengar ia berdesis, "Mirah."
Tidak seorang pun yang dapat mengucapkan kata-kata ketika
mereka melihat Sidanti menjadi semakin lemah. Tatapan
matanya menjadi semakin redup. Tetapi ia masih berusaha
tersenyum. Dipandanginya Argajaya yang seolah-olah menjadi
semakin kabur, Argapati, Pandan Wangi, Sekar Mirah, dan yang
lain-lain. Sekali lagi Sidanti menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia
ingin menyambung nafasnya yang menjadi semakin pendek.
Tetapi ketika ia melepaskan nafas itu, ternyata itu adalah tarikan
nafasnya yang terakhir. Yang terdengar adalah jerit Pandan Wangi yang melengking.
Sidanti telah meninggal, justru karena ujung senjatanya, yang
tidak dengan sengaja telah menghunjam ke lambung kakaknya
yang selama ini masih diharapkannya untuk dapat hidup dan
berbuat sesuatu bersama-sama untuk kepentingan Tanah
Perdikan Menoreh. Beberapa orang telah mencoba menenangkan hati gadis itu.
Sekar Mirah pun kemudian mendekatinya dan mencoba
membawanya pergi meninggalkan mayat Sidanti yang masih
terbujur di lantai. Tetapi Pandan Wangi masih saja memeluknya,
betapa tubuh itu telah mulai menjadi dingin.
"Pandan Wangi," bisik Sekar Mirah, "biarlah tubuh Kakang
Sidanti segera mendapat perawatan yang sebaik-baiknya."
Tetapi Pandan Wangi masih belum melepaskannya.
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian
ditatapnya mayat Sidanti yang pucat.
Tiba-tiba dada Sekar Mirah berdesir. Teringat olehnya,
bagaimana Sidanti pernah menculiknya dan
menyembunyikannya di padepokan Tambak Wedi. Pada saat itu,
hatinya yang seakan-akan terbakar oleh kemarahan dan
kebencian, seakan-akan berjanji, bahwa pada suatu saat ia
menginginkan kepala anak muda itu. Ia pernah mengharap
Agung Sedayu berkata kepadanya, "Aku akan pergi ke Menoreh
dan akan kembali, dengan membawa kepala Sidanti."
Tetapi ketika kini ia melihat anak muda itu terbujur sambil
memejamkan matanya, hatinya menjadi iba juga. Bagaimana
pun juga, Sidanti pernah tinggal serumah dengan keluarganya di
Sangkal Putung. Dan tiba-tiba pula ia merasa, bahwa perasaan
Sidanti kepadanya saat itu agaknya memang bersungguhsungguh.
Sidanti tidak sekedar ingin melepaskan ketegangan
urat syarafnya selagi ia berada di peperangan. Tetapi Sidanti
benar-benar mencintainya.
Argajaya, gembala tua yang dikenal juga bernama Kiai
Gringring, Argapati yang duduk di pembaringan, dan orangorang
lain yang ada di sekitar mayat Sidanti itu pun telah
mencoba untuk menenteramkan hati Pandan Wangi.
Akhirnya tangis gadis itu pun mereda. Sekali lagi Sekar Mirah
berbisik di telinganya, "Marilah kita tinggalkan Kakang Sidanti,
agar ia segera mendapat perawatan yang sebaik-baiknya.
Ternyata bahwa setiap orang masih menaruh hormat
kepadanya. Kepada kejantanannya dan kekerasan hatinya. Ia
mati setelah ia mempertahankan keyakinannya sampai batas
terakhir." Pandan Wangi masih terisak-isak. Dan di sela-sela isaknya ia
menjawab, "Tetapi kekerasan hatinya itu pulalah yang
menyeretnya ke dalam keadaannya yang pahit ini. Kakang
Sidanti sama sekali tidak mau melihat kenyataan yang
dihadapinya." "Ya, hatinya memang sekeras batu. Tetapi itu adalah ciri
kejantanannya. Meskipun ia tersesat jalan. Karena itu, maka
biarlah ia dihormati karena kekerasan hatinya pula."
Pandan Wangi tidak menjawab.
"Marilah. Kau pun perlu membersihkan dirimu. Mandi dan
berganti pakaian." Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi ketika Sekar Mirah
membimbingnya, maka perlahan-lahan ia pun melepaskan
pelukannya dan bangkit berdiri. Pakaiannya yang kusut telah
dinodai oleh darah Sidanti yang menjadi kehitam-hitaman.
"Marilah," ajak Sekar Mirah.
Sambil menundukkan kepalanya Pandan Wangi melangkah
setapak demi setapak meninggalkan bilik itu dibimbing oleh
Sekar Merah. Di depan pintu ia berpaling. Sejenak ia berdiri
memandangi tubuh kakaknya yang pucat membeku. Namun
kemudian ia meneruskan langkahnya meninggalkan bilik itu.
Sepeninggal Pandan Wangi, barulah mayat Sidanti itu
diangkat dan dibawa keluar dari bilik Ki Argapati. Atas perintah
Ki Argapati, Sidanti dirawat sebagai putera Kepala Tanah
Perdikan Menoreh apa pun yang telah dilakukannya.
Dalam pada itu, ketika tubuh Sidanti sedang sibuk
dibersihkan dan dirawat seperlunya, Pandan Wangi duduk di
dalam biliknya dengan air mata yang selalu membasah pipinya.
Yang paling mencengkamnya adalah justru penyesalan yang
sangat, bahwa ia adalah lantaran kematian kakaknya itu.
"Kau tidak dapat berbuat lain, Pandan Wangi," berkata Sekar
Mirah. Lalu, "Aku kira setiap orang akan berbuat seperti yang
telah kau lakukan dalam saat-saat serupa itu."
Pandan Wangi tidak menjawab.
"Kau dapat membuat perbandingan, sekedar untuk
mengurangi penyesalan yang selalu menyesakkan dadamu.
Seandainya kau tidak berbuat demikian, maka apakah kira-kira
jadinya. Kau harus bersukur, bahwa kau hadir pada saat itu.
Bukan berarti bahwa Kakang Sidanti pantas dikorbankan, tetapi
kau sudah menghindarkan korban yang lebih banyak lagi."
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk
kecil. "Kau harus berusaha untuk melupakan apa yang sudah
terjadi. Dan kau harus mencoba melihat ke masa depan."
Pandan Wangi mengangguk pula. Setiap kali ia sendiri selalu
mengatakan tentang masa depan. Karena itu, ia tidak harus
mengorbankan masa depan itu karena peristiwa yang meledak
sesaat. "Tanah ini memerlukan penanganan," katanya di dalam hati.
Dan Pandan Wangi sadar, bahwa ia tidak boleh tenggelam
dalam kekecewaan dan kesedihan.
Dalam pada itu, maka di pendapa orang-orang sedang sibuk
merawat tubuh Sidanti yang segera akan dimakamkan.
Seperti perintah Ki Argapati, maka Sidanti diperlakukan
sebagai seorang putera Kepala Tanah Perdikan. Meskipun ada
di antara mereka, para pengawal dan rakyat Menoreh yang
melakukannya dengan setengah hati, karena mereka tidak dapat
menutup mata, apa yang telah dilakukan oleh Sidanti itu.
Tetapi bagaimana pun juga mereka harus melakukan perintah
Kepala Tanah Perdikannya.
Ketika semuanya sudah selesai, maka mayat Sidanti pun
segera dimakamkan dengan penghormatan secukupnya.
Argajaya, Pandan Wangi dan para pemimpin Tanah Perdikan
Menoreh, gembala tua yang juga bernama Kiai Gringsing serta
kedua muridnya, Sumangkar, dan Sekar Mirah hadir di
pemakaman itu. "Aku kehilangan satu-satunya saudara laklakiku," gumam
Pandan Wangi ketika mereka kembali dari tanah pekuburan.
"Kau akan segera mendapatkan," desis Sekar Mirah.
Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi terasa bahwa kini
hatinya yang kosong menjadi kian sepi.
"Satu-satunya keluarga adalah ayah," berkata Pandan Wangi


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seterusnya. "Hari ini," jawab Sekar Mirah, "tetapi keluarga itu akan segera
berkembang. Bahkan kita akan meninggalkan ayah-ayah kita
untuk hidup dalam keluarga yang baru."
Pandan Wangi tertegun sejenak. Ditatapnya wajah Sekar
Mirah yang tersenyum karenanya.
Tetapi Pandan Wangi tidak menyahut. Kepalanya masih
selalu tunduk. Terasa bahwa apa yang baru saja terjadi itu
adalah suatu goncangan yang sangat berat baginya.
Di rumahnya pun Pandan Wangi seakan-akan kehilangan
segala kegairahannya. Ia tidak mau makan dan sama sekali
tidak dapat memejamkan matanya. Terbayang-bayang selalu di
rongga matanya, Sidanti yang terbaring berlumuran darah.
Sebuah luka yang dalam telah menghunjam di lambungnya.
"Akulah yang membunuhnya. Justru aku."
Atas desakan Swandaru, Agung Sedayu, dan gurunya
sendiri, Sekar Mirah selalu berusaha mengawani Pandan Wangi
untuk mengurangi kesepian yang mencengkam dadanya. Tetapi
bagaimana pun juga Sekar Mirah sudah mencoba, namun
agaknya masih saja ada ruang-ruang yang kosong di dalam hati
Pandan Wangi. Dalam saat-saat yang demikian itulah maka Agung Sedayu
berkata kepada Swandaru, "Kau lihat, betapa akibat yang sangat
parah telah mencengkam hati gadis itu."
"Ya. Ia menjadi sangat sedih dan menjadi semakin diam."
"Swandaru," berkata Agung Sedayu, "Sekar Mirah memang
dapat menjadi sekedar isi di dalam kekosongan jiwa Pandan
Wangi. Tetapi ia memerlukan seorang kakak. Tidak sekedar
menghiburnya, tetapi yang dapat memberinya ketenangan.
Ketenangan seorang gadis dewasa."
"Maksudmu?" "Aku tahu, bahwa kau bersungguh-sungguh menaruh hati
kepada gadis itu, bukan?"
Swandaru mengerutkan keningnya, "Tentu. Aku memang
menaruh hati kepada gadis itu. Sepenuh hati."
"Nah," berkata Agung Sedayu, "kini adalah waktunya bagimu.
Kau akan dapat mengisi kekosongan hatinya."
Swandaru termenung sejenak, lalu, "Bagaimana aku dapat
mengisinya?" "Jangan kau tunggu gadis itu melamarmu. Kaulah, yang harus
datang kepadanya. Dengan bijaksana dan sopan, rebutlah
hatinya." "Tetapi, tetapi bukankah kau sudah mengatakan kepadanya?"
"Belum sepenuhnya."
"Kalau begitu, kau pasti bersedia menolong aku."
"Swandaru," berkata Agung Sedayu, "kau sendirilah yang
harus melakukannya. Ia memerlukan seseorang setelah ia
kehilangan kakaknya."
"Tetapi aku tidak mengerti, bagaimana aku harus mulai."
"Hem," Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam,
"pergunakanlah Sekar Mirah. Bukankah kau dapat saja
menemuinya bersama Sekar Mirah, kemudian berbicara apa
saja?" Swandaru berpikir sejenak, kemudian ia menganggukanggukkan
kepalanya, "Ya, aku mengerti."
"Nah, lakukanlah. Semakin lama ia mengalami kekosongan,
semakin berbahaya baginya. Ia akan selalu merenung dan
memikirkan banyak sekali kemungkinan di dalam hidupnya.
Kalau kau tidak segera hadir di dalam hatinya, mungkin ia tidak
akan dapat lagi membuka kemungkinan itu bagi siapa pun."
"Ya, ya. Aku mengerti."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dipandanginya wajah Swandaru sejenak. Ia melihat sesuatu
membayang di wajah yang bulat itu. Agak lain dari
kebiasaannya. Ketika dahi Swandaru mulai berkerut, tahulah
Agung Sedayu, bahwa adik seperguruannya itu mulai berpikir
dengan sungguh-sungguh. Sebenarnyalah Swandaru memikirkan petunjuk Agung
Sedayu itu. Ia sadar, bahwa kekosongan jiwa itu memerlukan isi.
Bahkan kemudian ia pun sadar, seandainya Agung Sedayu yang
datang kepadanya setiap kali, meskipun membawa pesannya,
namun akan dapat terjadi kesalah-pahaman. Justru Agung
Sedayu-lah yang akan mengisi kekosongan hati gadis itu.
"Terima kasih," desisnya, "memang aku harus berbuat
sesuatu. Aku sendiri. Tanpa perantara orang lain."
"Bagus. Tetapi hathatilah. Jangan tergesa-gesa supaya tidak
terjadi hal yang sebaliknya. Kalau kau salah langkah, maka
hatinya tidak akan tersentuh."
"Ya, ya. Aku mengerti."
Demikianlah Swandaru mulai berpikir sungguh-sngguh atas
masalah yang dihadapinya. Masalah ini memang bukan masalah
yang dapat dilakukannya sambil lalu, dengan tertawa dan
kemudian dilupakannya. Masalah ini akan menyangkut seluruh
hidupnya kelak, yang menurut perhitungan lahiriah masih cukup
panjang. Kali ini Swandaru tidak akan dapat melakukannya dengan
cara yang semudah-mudahnya saja. Setiap langkah harus
diperhitungkannya masak-masak.
Untunglah bahwa di antara mereka hadir Sekar Mirah yang
dapat menjadi jembatan, yang akan menghubungkannya dengan
gadis itu. "Mirah," berkata Swandaru dalam suatu kesempatan,
"sekarang kau harus menolong aku."
"Apa yang harus aku kerjakan?"
"Kawani aku." "Untuk apa?" "Aku ingin mengatakan sesuatu kepada Pandan Wangi. Aku
harus mengatakannya sendiri. Menurut Kakang Agung Selayu,
saat ini Pandan Wangi sedang dicengkam oleh kekosongan
jiwa." Meskipun Sekar Mirah lebih muda dari Swandaru, tetapi ia
lebih cepat dapat mengerti apa yang dimaksud. Karena itu maka
katanya sambil tersenyum, "Ah, sudah tentu aku tidak akan
dapat mengawanimu. Kau harus pergi sendiri kepadanya."
"Jangan mengganggu aku, Sekar Mirah."
"Kau keliru. Sudah tentu maksudnya, kau harus dapat mengisi
kekosongan jiwanya kalau kau ingin merebut hatinya. Kalau aku
selalu mengawanimu, maka maksud itu tidak akan tercapai.
Pandan Wangi akan dibayangi oleh perasaan malu seorang
gadis." Swandaru mengerutkan keningnya.
"Tetapi Kakang Sedayu mengatakan, bahwa kau dapat
menjadi penghubung yang baik."
"Tentu. Maksudnya, aku hanya sekedar mendekatkan kau
kepadanya, sehingga kau mendapat kesempatan itu. Bukan
mengawani." Swandaru mengangguk-angguk kecil.
"Jadi, bagaimana?"
"Ikuti aku. Tetapi kemudian kau harus melakukannya sendiri."
"Kapan?" "Sekarang." "Jangan sekarang. Dadaku sudah mulai berdebar-debar."
"Lalu?" "Sebaiknya nanti, atau besok, agar aku dapat mengatur
perasaanku sebaik-baiknya."
Sekali lagi Sekar Mirah tertawa. Katanya, "Terserahlah
kepadamu. Tetapi kalau kau terlampau lamban maka burung itu
akan terlepas dan terbang terlampau tinggi. Padahal kau
terlampau pendek, sehingga kau akan mengalami kesulitan
untuk meraihnya." Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia bersungut-sungut.
Adiknya memang nakal. Tetapi bahwa Sekar Mirah telah
menyanggupinya untuk mendekatkannya kepada Pandan
Wangi, maka anak yang gemuk itu menjadi agak berlega hati.
Ketika saat itu tiba di keesokan harinya, maka Sekar Mirah
berkata, "Marilah, bukankah perasaanmu telah tenang. Selagi
Pandan Wangi tidak sedang sibuk. Ia sedang duduk di serambi
gandok. Baru saja ia membagikan makan para pengawal."
Swandaru berpikir sejenak. Namun kemudian, "Ayolah,
Kakang, sebaiknya kau ikut pula."
"Ah, ada-ada saja kau. Aku akan mengganggu," jawab Agung
Sedayu. "Tetapi kehadiran kita tidak akan menimbulkan kecurigaan.
Kita menemuinya seperti biasanya saja."
"Kalau begitu waktu ini pun akan terbuang seperti biasanya
pula." "Jadi, bagaimana?"
"Pergilah bersama Sekar Mirah. Kemudian Sekar Mirah akan
meninggalkan kau berdua."
"Jangan sekarang. Jangan sekarang."
"Kapan. Kapan lagi," Sekar Mirah hampir berteriak. "Kau akan
kehilangan waktu. Suatu ketika kau hanya akan melihat orang
datang melamarnya, dan kau kehilangan segala kesempatan."
Swandaru yang juga dikenal bernama Gupala itu termangumangu
sejenak. "Tetapi kali ini aku minta kalian mengawani aku."
*** Agung Sedayu tidak dapat menghindar lagi ketika Swandaru
menarik tangannya. Sehingga kemudian mereka bertiga berjalan
ke serambi gandok. Tetapi apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Pembicaraan
mereka sama sekali tidak dapat mengarah seperti yang
dimaksudkan. Ketegangannya hampir tidak berkata apa-apa,
karena Pandan Wangi nampaknya masih diliputi oleh kepedihan
hati. Sekalsekali Sekar Mirah-lah yang mencoba menenteramkan
hatinya seperti yang setiap kali dilakukannya. Seperti setiap kali
ia mendengar kata-kata Sekar Mirah, maka Pandan Wangi
selalu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Lihat," bisik Agung Sedayu, "kau tidak akan mendapat
kesempatan." Swandaru mengerutkan keningnya.
Akhirnya Swandaru benar-benar tidak berbuat apa-apa,
karena Pandan Wangi kemudian dipanggil oleh ayahnya.
"Maaf," berkata gsdis itu, "ayah memanggil aku."
"Silahkan," jawab Sekar Mirah, "tetapi di saat lain kami akan
selalu mengawani kau kalau kau memerlukan."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, "Terima
kasih." Namun demikian tumbuhlah sebuah pertanyaan di hatinya.
Sekar Mirah setiap hari sudah selalu mengawaninya. Kenapa
tiba-tiba ia harus berkata, bahwa ia selalu akan mengawani di
kesempatan lain" "Tetapi katanya "Kami akan selalu mengawani". Kami, bukan
aku," berkata Pandan Wangi di dalam hatinya.
Ia merasa aneh, bahwa ia sempat mempersoalkan kata-kata
itu di dalam hatinya yang sedang pepat. Bahkan sekalsekali
terbayang wajah-wajah yang telah menggetarkan jantungnya.
Dalam kekosongan jiwa, wajah-wajah itu rasanya menjadi
semakin terbayang. Bahkan semakin dibayangkannya di dalam
hatinya. Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun
meninggalkan anak-anak muda itu berserta Sekar Mirah, masuk
dalam bilik ayahnya. Sepeninggal Pandan Wangi, Sekar Mirah tertawa
berkepanjangan meskipun ia berusaha menahannya. Ditatapnya
wajah kakaknya yang kecewa dan sekaligus gelisah.
"Nah, apakah yang kau dapatkan?"
Swandaru tidak menjawab. Tetapi dahinya menjadi berkerutmerut.
"Lain kali," berkata Agung Sedayu, "berbuatlah lebih baik.
Kalau kau tetap ragu-ragu, maka kau akan kehilangan banyak
waktu. Siapa tahu, besok atau lusa kita harus sudah
meninggalkan tempat ini. Sepeninggal Sidanti, agaknya tidak
banyak lagi yang harus dilakukan oleh Ki Argapati untuk
mengatasi pertentangan yang setiap kali masih akan meledak."
"Anak Argajaya masih belum diketemukan."
"Ah, anak-anak itu tidak banyak dapat berbuat. Ia masih
belum mempunyai sikap sekuat Sidanti. Kalau pada suatu saat
ia bertemu dengan ayah ibunya, ia akan segera tunduk kepada
mereka." Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Di dalam setiap tindakan kau pasti lebih cepat mengambil
keputusan daripadaku. Kau kadang-kadang menjadi jengkel
karena aku selalu saja menunggu dan menurut kau ragu-ragu.
Tetapi sekarang kau lebih ragu-ragu daripadaku."
"Tetapi persoalan ini belum pernah aku hadapi," jawab
Swandaru. "Berapa kali kau akan menghadapi masalah serupa ini,
Kakang?" bertanya Sekar Mirah.
"Maksudku, aku masih sangat asing."
"Cobalah." "Baiklah. Aku akan mencobanya. Aku akan menemuinya
dengan Sekar Mirah. Kemudian biarlah Sekar Mirah
meninggalkan aku." Sekar Mirah tersenyum. "Sungguh. Aku bersungguh-sungguh."
Sambil melangkah Sekar Mirah berkata, "Aku percaya. Tetapi
marilah kita pergi. Aku akan menemui guru."
"Untuk apa?" "He, apakah kita akan selamanya di sini" Bukankah pada
suatu saat kita akan kembali ke tempat kita masing-masing"
Ayah dan Ibu dahulu berpesan, kami jangan terlampau lama di
perjalanan. Ibu pasti menunggu kita dengan gelisah. Aku akan
bertanya kepada guru, apakah kami dapat menunggu kau yang
maju mundur ini." "Hus, jangan mengacaukan perasaanku. Kau dan Ki
Sumangkar harus menunggu sampai aku selesai dengan
persoalan ini." "Kau belum mulai. Kapan akan selesai."
Swandaru menjadi bersungut-sungut karenanya. Tetapi ia
tidak menjawab. Sambil mengikuti langkah adiknya ia
menundukkan kepalanya. Sedang Agung Sedayu berjalan di
sampingnya. Tetapi mereka pun kemudian tidak berkata apa pun
juga. Seharharian Swandaru hanya berbaring saja di ujung
gandok, di atas sebuah lincak kayu. Wajahnya tampak
bersungguh-sungguh dan gelisah sekaligus. Sekalsekali ia
menarik nafas dalam-dalam. Direka-rekanya apa yang akan
dikatakan seandainya ia nanti benar-benar dapat berbicara
dengan Pandan Wangi.

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun tiba-tiba sesuatu telah meledak di dadanya, "Kenapa
aku tiba-tiba saja menjadi pengecut?"
Swandaru mengerutkan keningnya. Di dalam pergaulan
seharhari ia dapat berbuat wajar, berbicara dan bahkan
bergurau, dengan gadis itu. Tetapi apabila masalahnya
membentur perasaannya terhadap gadis itu, tiba-tiba saja
lehernya seakan-akan menjadi berkerut terlampau pendek.
"Aku tidak boleh berlaku demikian," katanya kepada diri
sendiri, "aku harus mulai dengan sikap yang bersungguhsungguh."
Perlahan-lahan maka Swaudaru pun kemudian menemukan
kepercayaan kepada diri sendiri. Katanya di dalam hati,
"Seandainya aku menunda-nunda, maka akhirnya aku pun harus
sampai pada masalah itu. Aku harus sampai pada suatu batas,
bahwa aku harus mengucapkannya dengan mulutku sendiri."
Demikianlah di saat Swandaru mendapat kesempatan untuk
menjumpai Pandan Wangi bersama Sekar Mirah ketika senja
turun di serambi belakang, sikapnya sudah berlainan. Meskipun
dadanya masih juga berdebar-debar, tetapi Swandaru
tampaknya sudah menjadi tenang.
"Apakah Ki Argapati sudah menjadi semakin baik?" bertanya
Sekar Mirah. "Ya, gembala tua yang ternyata bernama Kiai Gringsing itu
dengan tekun merawatnya"
Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ia seorang
dukun yang luar biasa," desis Sekar Mirah. "Namanya bukan
saja Kiai Gringsing. Ketika ia pertama kali muncul di Sangkal
Putung, ia memakai pakaian gringsing. Tetapi ia dikenal juga
dengan nama Ki Tanu Metir."
"Tidak," sahut Swandaru, "ia menyebut dirinya Kiai Gringsing
pertama-tama ketika ia menjumpai Kakang Agung Sedayu di
perjalanan ke Sangkal Putung."
"O," Sekar Mirah mengerutkan keningnya.
Sementara itu, Swandaru meneruskan ceriteranya tentang
dukun yang aneh itu, sehingga akhirnya ia menjadi muridnya
bersama Agung Sedayu. "Sampai saat ini, aku masih belum tahu benar, siapakah
sebenarnya Kiai Gringsing itu."
Pandan Wangi mendengarkannya dengan penuh minat.
Namun tiba-tiba ia berpaling ketika Sekar Mirah meloncat
berdiri, "He, ada yang harus aku tanyakan kepada guruku di
padepokan Ki Gede Menoreh di adbmcadangan dot wordpress
dot com." "Sesuatu. Tunggulah kau di sini sebentar. Hanya sebentar."
"Apa?" Sekar Mirah tidak menunggu jawaban. Dengan tergesa-gesa
ia meninggalkan Pandan Wangi dan Swandaru sambil berkata,
"Teruskan ceriteramu, Kakang. Aku tidak lama."
"He," Pandan Wangi memanggil.
Sekar Mirah berpaling sambil tersenyum. Tetapi ia berjalan.
Swandaru dan Pandan Wangi yang ditinggalkannya sejenak
menjadi termangu-mangu. Mereka memandangi langkah Sekar
Mirah yang hilang di sudut serambi.
Tetapi Swandaru yang benar-benar ingin menyatakan
perasaannya, dan yang perlahan-lahan telah menemukan
keberanian itu pun kemudian menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Biar saja anak itu pergi."
Pandan Wangi tidak menjawab, tetapi kepalanya tiba-tiba
saja tertunduk dalam-dalam.
"Sampai di mana aku tadi berceritera?" bertanya Swandaru.
Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Ia tidak menyangka
bahwa pembicaraan mereka masih akan tetap dapat berjalan
lancar. Namun ia tidak menjawab.
"O, ya, kita sudah sampai di jilid limapuluh tiga" berkata
Swandaru, "aku sendiri sampai sekarang tidak tahu, siapakah
sebenarnya guruku." "Aneh," desis Pandan Wangi tiba-tiba.
"Apa yang aneh."
"Kau. Kau yang sudah sekian lama berguru, masih juga tidak
tahu siapakah gurumu."
"Memang aneh." "Dan sekarang, aku dan orang-orang Menoreh lebih-lebih lagi
tidak tahu. Bukan saja siapa gurumu itu, tetapi siapakah kau
sebenar-benarnya. Mula-mula kau mengaku seorang gembala.
Kemudian adikmu itu mengatakan bahwa kau bukan bernama
Gupala, tetapi Swandaru yang kau tambahi sendiri menjadi
Swandaru Geni, anak seorang Demang di Sangkal Putung."
Swandaru tersenyum. "Kakakmu itu pun orang aneh."
Swandaru tertawa pendek. Katanya, "Kami memang
kumpulan orang aneh-aneh. Tetapi itu adalah ajaran guru. Guru
orang aneh. Murid-muridnya pun orang aneh pula."
Pandan Wangi pun tersenyum pula.
"Tetapi kepadamu aku pasti harus berterus terang," berkata
Swandaru kemudian. Terasa bahwa nadanya menjadi agak
gemetar. Pandan Wangi mengangkat wajahnya, memandang langit
yang menjadi semakin hitam. Tanpa memandang Swandaru itu
berkata, "Kenapa?"
Swandaru menjadi agak bingung. Tetapi kemudian ia
menjawab, "Karena kau pemilik rumah ini, di mana aku, kakak
seperguruanku, adikku, dan guru tinggal."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
segera menyahut, sehingga suasana menjadi hening sejenak.
Dan tiba-tiba saja terdengar Pandan Wangi menarik nafas
panjang. Panjang sekali. Meskipun yang ada di sampingnya kini
adalah Gupala, yang ternyata bernama Swandaru itu, namun
sekali melintas juga bayangan gembala yang lain, yang telah
menyentuh hatinya dengan suara serulingnya.
Tetapi sudah pasti bahwa ia tidak akan dapat menyebut
namanya lagi di dalam hatinya, karena kini sudah pasti baginya
bahwa telah terjadi ikatan antara gembala yang pandai bermain
seruling itu dengan Sekar Mirah.
"Aku memang tidak memerlukannya," ia menghentak di dalam
hatinya sendiri. Namun kemudian terasa seolah-olah dunianya
menjadi sepi. Apalagi sepeninggal Sidanti.
Terasa kekosongan yang sunyi telah melihatnya. Di dalam
saat-saat tertentu ia merasa, seakan-akan terlempar ke dalam
suatu dunia yang asing. Kadang-kadang ia merasa berdiri di atas
jalur yang panjang sekali. Seolah-olah tidak ada ujung dan
pangkalnya. Kadang-kadang ia seakan-akan berdiri di sebuah
padang yang luas. Luas sekali tanpa tepi. Hanya kadang-kadang
ia melihat ayahnya berdiri di kejauhan. Dengan luka di dadanya
ia berjalan tertatih-tatih. Lambat sekali.
Dalam kesepian, dalam kesendirian di dunia yang serasa
asing dan sunyi itu hadir seorang anak nuuda. Anak muda yang
mempunyai beberapa kelebihan dari anak-anak muda yang lain.
Tiba-tiba terasa sesuatu telah menyentuh hatinya. Sentuhansenyuhan
yang semula tidak begitu terasa, kini benar-benar
telah menumbuhkan kesan yang agak mendalam.
Dalam keadaan itu, Swandaru tidak mau kehilangan
kesempatan. Ia harus sampai pada pokok masalah yang selama
ini telah direndamnya. Karena itu, maka ia masih juga berusaha
mencari jalan, untuk dapat sampai pada masalah itu.
Karena Pandan Wangi masih juga diam saja maka Swandaru
itu pun bertanya, "Kenapa kau tiba-tiba terdiam?"
Pandan Wangi berpaling. Tetapi ia tidak menjawab.
Swandaru menjadi agak gelisah. Namun ia tidak mau mundur
lagi. Dengan suara yang semakin gemetar, ia kemudian
bertanya, "Pandan Wangi, pada suatu saat aku dan
rombonganku yang kecil ini pasti akan meninggalkan Tanah
Perdikan Menoreh. Karena itu, tidak akan ada salahnya kalau
kau mengenal aku bukan sebagai murid seorang guru yang
selalu terselubung."
Pandan Wangi masih tetap berdiam diri.
"Apakah Sekar Mirah sudah mengatakan tentang dirinya dan
diriku?" Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
"Nah, baiklah. Kalau ia berkata bahwa aku adalah anak
seorang Demang di Sangkal Putung itu berarti bahwa ia berkata
sebenarnya." Sekali lagi Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
"Dan selain Sekar Mirah, apakah Kakang Agung Sedayu
sudah pernah mengatakan sesuatu tentang dirinya sendiri?"
"Belum," jawab Pandan Wangi lambat.
"Mungkin. Mungkin ia tidak akan mengatakan tentang dirinya
sendiri, sehingga sampai saat ini kau pasti belum mengenalnya
dengan baik. Ia adalah seorang anak Jati Anom. Kakaknya
adalah seorang Senapati Pajang yang mempunyai daerah
kekuasaan di sepanjang sisi Selatan Pulau ini. Tetapi yang
penting bukan itu." Swandaru berhenti sejenak, lalu, "Yang
penting bagiku adalah Kakang Agung Sedayu pernah
mengatakan sesuatu tentang diriku?"
Sepercik warna merah membayang di wajah Pandan Wangi.
Kini ia merasa bahwa ia sudah diseret ke dalam suatu
pembicaraan pribadi yang berat.
Dengan demikian Pandan Wangi menjadi semakin tunduk.
Diusapnya keringatnya yang membasahi keningnya. Kemudian
dengan jarjarinya ia mempermainkan ujung kain panjangnya.
Tetapi Pandan Wangi masih tetap berdiam diri.
"Pandan Wangi," desis Gupala, "kau belum menjawab
pertanyaanku." Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.
"Apakah Kakang Agung Sedayu yang kau panggil seharhari
dengan nama Gupita itu sudah pernah mengatakan sesuatu
pesan dari padaku?" Tiba-tiba kepala Pandan Wangi terangguk lemah.
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Kini ia
sudah, hampir sampai pada pokok pembicaraannya. Karena itu,
meskipun dadanya menjadi semakin berdebar-debar ia berkata
selanjutnya, "Bagaimanakah jawabmu?"
Pandan Wangi tidak segera menjawab. Kepalanya kini
terangkat. Dipandanginya hitamnya malam yang kini telah
merata. Hijaunya dedaunan yang menjadi kelam dan seolah-olah
bersembunyi di balik kegelapan.
Sejemput angin yang silir mengalir mengusap wajah-wajah
yang menegang itu. Di kejauhan sinar obor yang lemah telah
menyentuh kulit mereka yang menjadi merah tembaga.
Tetapi Pandan Wangi tidak segera menjawab. Di dalam
dirinya masih saja terjadi gelora yang mengguncang jantungnya.
Namun ia tidak akan dapat lari dari kenyataan, bahwa Swandaru
memang mempunyai sentuhan-sentuhan yang membekas di
hatinya. "Bagaimana, Pandan Wangi?" desak Swandaru.
Pandan Wangi menarik nafas. Kemudian terdengar suaranya
lemah sekali, "Tetapi Agung Sedayu belum mengatakan
pesanmu seluruhnya. Tiba-tiba kalimat-kalimatnya terganggu
oleh gerombolan di bawah pimpinan adik sepupuku sendiri."
"Tetapi bukankah kau sudah tahu maksudnya?"
Swandaru menggerutu di dalam hatinya ketika ia melihat
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Belum.
Aku belum tahu maksudnya."
"Tetapi, menurut Kakang Agung Sedayu, ia sudah
mengatakannya." "Kalau begitu akulah yang tidak mendengarnya," jawab
Pandan Wangi. "Jalan itu memang menegangkan, sehingga
perhatianku terlampau banyak tertuju kepada daerah yang
sedang kami lewati daripada yang lain-lain."
"O," Swandarulah yang kini menundukkan kepalanya,
"memang mungkin pesan itu sama sekali tidak berharga bagimu,
sehingga kau sama sekali tidak berkesempatan untuk
mendengarkannya." Pandan Wangi terkejut mendengar suara Swandaru yang
tiba-tiba mendatar itu, sehingga ia pun berpaling. Ketika
dilihatnya Swandaru menunduk dalam-dalam maka ia pun
berdesis, "Tidak. Bukan maksudku untuk mengabaikannya.
Tetapi, aku tidak dapat menangkapnya dengan jelas karena
berbagai macam keadaan. Aku sudah mencoba untuk
mengetahuinya, tetapi tidak seluruhnya aku mengerti."
"Apakah kesanmu terhadap yang sedikit itu?" desak
Swandaru. Namun jawaban yang didengarnya sama sekali tidak
diduganya. Sambil menundukkan kepalanya Pandan Wangi
menjawab, "Aku tidak dapat mengatakan sesuatu. Aku takut
kalau pesan yang sedikit itu keliru."
Swandaru menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa
sesadarnya. Kini sudah pasti baginya untuk mengatakan sendiri.
Agaknya Pandan Wangi memang ingin mendengar hal itu
daripadanya. Setelah beberapa kali ini menarik nafas dalam-dalam, maka
ia berkata lambat, "Begitulah, Pandan Wangi. Seperti yang aku
pesankan kepada Kakang Agung Sedayu," Swandaru berhenti
sejenak. Kemudian, "Seperti yang dinasehatkan oleh Kakang
Agung Sedayu kepadaku. Katanya "Swandaru, kau harus mulai
dengan suatu sikap hidup yang baru karena umurmu sudah
cukup dewasa. Kalau kau memang menaruh hati kepadanya,
katakanlah berterus terang." Dan aku memang tidak ingkar lagi
akan hal itu." Swandaru berhenti sejenak. Ia menunggu kesan Pandan
Wangi atas kata-katanya itu, tetapi Pandan Wangi masih tetap
berdiam diri. "Begitulah Pandan Wangi, dan aku sekarang telah mencoba
memenuhi petunjuk Kakang Agung Sedayu."
Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Sekali lagi
dilontarkannya tatapan matanya jauh ke alam gelap. Tanpa
memandangi Swandaru ia berkata, "Hanya sekedar memenuhi
pesan Kakang Agung Sedayu?"
"O, tidak. Tidak," cepat-cepat Swandaru menyahut. Kini
keringatnya sudah mengalir membasahi tubuhnya. Betapa ia
mengatur perasaannya, namun terasa jantungnya menjadi
semakin cepat berdebaran.
"Bukan maksudku, Pandan Wangi," katanya, "tetapi aku
memang harus mengatakannya. Maksudku bahwa aku sama
sekali tidak mengerti apa yang harus aku perbuat. Dan Kakang
Agung Sedayu memberi nasehat itu kepadaku."
Pandan Wangi menundukkan kepalanya pula. Malam menjadi
semakin lama semakin gelap, dan obor di regol butulan halaman
belakang terombang ambing disentuh angin. Lamat-lamat
tampak bayangan para penjaga yang hilir-mudik, meskipun tidak
begitu jelas. Dalam pada itu, seseorang yang sedang berjalan ke regol


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belakang berhenti sejenak di balik bayangan yang kelam.
Tatapan matanya yang tajam memandang kedua sosok tubuh
yang duduk di serambi. Meskipun keduanya tidak tersentuh
langsung oleh sinar-sinar lampu, tetapi tampak olehnya betapa
mereka sedang berbicara bersungguh-sungguh.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia
pun melangkah pergi sambil menundukkan kepalanya. Terasa
sesuatu berdesir di dadanya. Namun kemudian ia mengatupkan
bibirnya rapat-rapat. "Mudah-mudahan Swandaru berhasil," desisnya. "Tidak
pantas lagi aku memikirkan tentang seseorang."
Sambil menggigit bibirnya orang itu pun sekali lagi berpaling.
Tetapi orang itu, Agung Sedayu, tidak berhenti. Ia sadar bahwa
ia harus berdiri di atas kaki yang kuat. Perasaannya memang
kadang-kadang menjadi agak lentur. Namun ia mencoba
melawannya sekuat-kuatnya.
Sementara itu Swandaru sendiri duduk dengan gelisahnya.
Punggungnya menjadi basah oleh keringat. Sekalsekali ia
menarik nafas dalam-dalam, karena serasa dadanya tersumbat
oleh perasaannya yang bergejolak.
"Pandan Wangi," berkata Swandaru kemudian.
Dikerahkannya segenap keberaniannya, sehingga meledaklah
kata-katanya, "Aku ingin mendengar jawabmu, apakah kau
bersedia menjadi imbangan hidupku kelak?"
Pertanyaan Swandaru yang terlampau langsung itu ternyata
telah menggetarkan isi dadanya. Terasa darah-darahnya
seakan-akan menjadi semakin cepat mengalir.
Kini mulutnya justru menjadi seakan-akan terbungkam. Ia
memang mengharapkan Swandaru mengatakan hal itu langsung
kepadanya. Bukan sekedar pesan atau cara-cara yang miring.
Tetapi ia ingin mendengarnya langsung. Namun justru karena ia
kini mendengar pertanyaan itu langsung, maka sejenak ia
menjadi kebingungan. Swandaru yang dengan segala macam usaha dengan
pengerahan keberaniannya telah berhasil melontarkan
pertanyaan itu, seakan-akan merasa dadanya menjadi terlampau
lapang. Seakan-akan ia telah melontarkan sesuatu yang selama
ini membebaninya. Karena itu, kini darahnya menjadi tidak
terasa terlampau panas, sedang dadanya tidak lagi berguncangguncang.
Bahkan karena Pandan Wangi tidak segera menjawab
ia mendesaknya, "Kau belum menjawab, Pandan Wangi."
Untunglah bahwa cahaya obor di kejauhan tidak mencapai
langsung ke tempat mereka, sehingga Swandaru tidak melihat
wajah itu menjadi kemerah-merahan.
"Aku sudah mengucapkannya," berkata Swandaru pula, "dan
aku ingin mendengar kau menjawabnya."
Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak
berpaling kearah Swandaru. Perlahan-lahan ia berkata, "Kakang
Swandaru. Aku adalah seorang gadis. Sudah menjadi kelaziman
bagi seorang gadis Menoreh, bahwa lamaran itu ditujukan
kepada orang tuanya. Demikian pula aku. Sebaiknya Kakang
Swandaru memintanya kepada ayah."
"Tetapi, bagaimana dengan kau sendiri, Wangi. Aku ingin
mendengar perasaanmu."
"Aku tidak dapat menentukan sesuatu atas diriku sendiri."
"Tetapi bukankah kau mempunyai perasaan itu?" suara
Swandaru menjadi gelisah kembali. "Aku tidak peduli, apakah
jawaban orang tuamu nanti. Tetapi bagaimana perasaanmu
sendiri?" "Tidak, Kakang Swandaru," sahut Pandan Wangi, "kau tidak
dapat untuk tidak menghiraukan suara ayahku. Suara ayah itu
Renjana Pendekar 8 Misteri Tirai Setanggi Tujuh Manusia Harimau (4) Karya Motinggo Busye Reborn Sepasang Kaos 3
^