Reborn Sepasang Kaos 3
Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting Bagian 3
"Pantesan tiap sakit bisa langsung sembuh," katanya. "Ternyata ada obat khususnya toh."
"Errr....enggak. Tadi nggak ngapa-ngapain kok!" gw ngotot. "Lo dateng di saat yg ngga tepat."
"Iya gw ngerti kok. Makanya maaf yah.."
Berkali-kali gw klarifikasi tapi Indra tetap sok bego. Dan akhirnya malam itu gw abis tuh disindir si
gundul.. Part 41 Satu hal yg unik, gw lebih suka mengatakannya istimewa, dari diri Meva adalah dia sering tahu apa yg
orang banyak nggak tahu dan menyukai apa yg orang nggak menyukainya. Satu lagi, dia juga memikirkan
yg orang lain nggak memikirkannya.
Suatu sore di akhir Maret...
Hujan lagi-lagi turun deras. Gw kepalang basah ada di jalan jadi ya sudah terpaksa gw basah-basahan
nyampe di kamar. Mandi dan berganti pakaian hangat, gw segera bersembunyi di balik selimut.
Masih dingin. Minum teh anget aja deh, lumayan ngangetin badan. Gw ambil gelas, ah sial. Air di galon
belum gw isi ulang. Gw ke kamer Indra. Pintunya dikunci. Dia pasti masih molor. Lagi shif malem soalnya.
"Mevaa," gw ketuk pintu kamarnya. Mengecek keberadaan penghuni kamar di depan kamar gw.
"Masuuk aja Riii..." terdengar suara cewek dari dalam.
Gw masuk dan memburu dispenser. Sambil nunggu airnya panas gw melompat ke kasur dan menarik
selimut sampai menutup kepala.
"Lo kenapa sih Ri?" Maen sradak-sruduk aja."
Gw buka selimut. Lupa gw kalo Meva juga ada di dalem kamer. Dia lagi baca buku.
"Dingin," jawab gw pendek.
Meva melirik sebentar lalu melanjutkan membaca.
"Ya udah tidur aja," komentarnya.
"Ini juga mau tidur. Ntar abis minum teh gw tidur deh."
Saat itu gw beneran kedinginan. Telapak tangan dan kaki gw serasa kebas.
"Gw tidur di sini yah?" kata gw.
Meva kernyitkan dahi. Sejenak gw pikir dia bakal ngusir gw.
"Lo kayak yg baru ngekos aja pake minta ijin segala," sahutnya.
"Itu artinya gw menghormati lo sebagai tuan rumah."
"Sok baik loe."
"Haha.. Gw emang baik kali."
"Alaaah...tuh aernya panas."
Gw liat lampunya memang sudah menyala. Langsung gw seduh tehnya.
"Matiin lagi dispensernya," kata Meva lagi.
Gw melakukan yg dimintanya tanpa berkomentar. Hujan di luar masih deras menderu atap kamar dan
gw sedang asyiknya menikmati kehangatan teh yg menjalar ke seluruh tubuh ketika Meva bertanya.
"Ri, lo tau tentang lagu Gloomy Sunday nggak?"
Gw balikkan badan dan menggeleng.
"Apaan tuh" Nggak pernah denger gw," kembali ke posisi duduk semula membelakangi Meva dan
meneguk lagi teh hangat. "Lagu kematian," jawab Meva. "Banyak orang bunuh diri setelah dengerin lagu itu."
"Oh ya?" gw menanggapinya acuh. Hanya satu kata yg terlintas di benak gw : mitos.
"Kok reaksi lo biasa aja?"
"Lha, emang mesti gimana" Heboh gitu?"
"Ya enggak..." Meva menutup bukunya dan menaruhnya di atas bantal. "Kayaknya ekspresi lo datar aja
denger orang mati?" "Ya emang udah kayak gini, mau diapain lagi?" teh di dalam cangkir hampir habis.
"Ri..." "Apa?" "Lo percaya surga nggak sih?" kata Meva.
Gw diam sebentar. "Maksudnya?" gw balik tanya.
"Maksud gw, lo percaya nggak kalo surga itu ada?" Meva menjelaskan.
"Pertanyaan lo aneh."
"Enggak. Ini samasekali enggak aneh. Gw mau tau pendapat lo."
"Surga ya" Emmmh....bentar ya gw pikir-pikir dulu."
"Yah, kelamaan mikir elo mah."
"Emang kenapa sih lo tanya kayak gitu" Bukannya semua agama meyakini ada kehidupan setelah
manusia mati?" "Tapi gimana kalo itu semua nggak pernah ada" Gimana kalo ini adalah satu-satunya kehidupan yg kita
jalani, dan nggak ada kehidupan lagi setelah ini" Gimana kalo surga ternyata nggak pernah ada?""
Gw diam. Jujur aja, pertanyaan semacam itu sempat hinggap juga di otak gw. Tapi gw selalu nggak
menemukan jawabannya. "Seandainya ini memang satu-satunya kehidupan, apa yg akan lo lakukan?" ujar gw tanpa bermaksud
apa-apa. Giliran Meva yg diam. "Gw percaya kok surga itu ada.." akhirnya dia bicara.
"Nah ya udah, sekarang tinggal mikirin aja gimana caranya biar bisa masuk surga. Gampang kan?"
"Tapi, apa kita bakal ketemu lagi di sana?"
"Maksud lo?" gw heran. "Ada apa sih sama lo Va, ngomongnya aneh banget hari ini."
Dia menatap gw sayu. "Gw tau, saat-saat seperti ini nggak akan berlangsung selamanya," ucapnya pelan. Sejenak diam,
membiarkan suara rintikan hujan yg jadi musik pengiring, lalu bicara lagi. "Gw tau Ri, suatu hari nanti
kita pasti akan jalani hidup kita sendiri-sendiri. Tapi, apa nanti kita akan ketemu lagi di surga?"
"Pertanyaan lo terlalu jauh."
"Jawab pertanyaan gw."
"Iya, kita pasti ketemu di surga. Tinggal sms aja, ketemunya dimana," kata gw ngelantur.
Dan tanpa gw duga, Meva melompat, memeluk gw, lalu menangis.
"Apa saat kita ketemu di surga nanti, kita masih bisa seperti ini?"
"Hei..hei...lo napa Va?"
"Apa di surga lo masih akan kenal gw?"
"Meva...." gw dorong tubuhnya menjauh tapi pelukannya terlalu kuat. "Oke. Dengerin gw."
Meva masih menangis. "Terlalu jauh mikirin hal itu. Lebih baik sekarang lo kejar aja dulu cita-cita lo. Udah, itu aja dulu deh. Ya?"
Meva malah makin jadi. Dia menangis kencang.
"Va, gw masih disini kok. Kita masih sama-sama kan" Udah ah, ngapain sih nangis.."
Tapi Meva tetap menangis.
Untuk pertama kalinya, gw memeluk Meva. Dia tetap hangat, sehangat kecupannya di kening gw
kemarin. Dia tetap sosok yg nggak tertebak. Dan diam-diam gw berharap, semua akan tetap seperti ini.
Gw nggak mau ini berakhir.
Please God........... Part 42 "Maafin gw," kata Meva. Dia melepaskan pelukannya dan usapi airmata di kedua pipinya.
Di luar hujan masih bergemericik. Tapi udah nggak sedingin tadi.
"Lo kenapa sih mendadak mellow?" tanya gw.
Meva menggeleng. Dia tertawa kecil untuk menghibur dirinya sendiri.
"Udah dua hari ini gw mimpi buruk," ujarnya pelan.
"Mimpi buruk apa?" selidik gw.
"Cukup buruk. Buruk banget malah.........."
"Mimpi apa sih?" gw penasaran.
"Tapi lo jangan marah ya?"
Gw mengangguk. "Gw........mimpi lo meninggal, Ri."
Sejenak kami sama-sama terdiam.
"Terus?" kata gw lagi. Datar.
"Kok nanya 'terus'" Lo nggak sedih ya ada yg mimpiin lo mati?" Meva protes.
Gw tersenyum lalu berkata.
"Kenapa mesti sedih" Itu kan cuma mimpi" Lagian, semua orang pasti akan mati kok. Nggak usah
dipermasalahkan lah," saat mengatakan ini bayangan Echi berkelebat di benak gw.
"Iya loe mah enak, tinggal mati, udah! Nah yg sedihnya kan yg ditinggalin!"
Gw tertawa pelan. Kenapa sih mesti ngebahas kayak ginian"
"Udahlah, mimpi itu cuma bunganya tidur Va.." kata gw. "Nggak perlu dipermasalahkan."
"Kenapa?" Gw diam. "Kenapa" Kenapa lo nggak bisa ngerasain takutnya gw kehilangan loe.....?"
Gw terhenyak. Meva lagi ngomong apa sih"
"Jangan ngomongin itu sekarang boleh ya" Gw jadi parno nih kalo udah ngebahas soal mati."
Meva menarik napas berat.
"Lo pernah nggak ditinggal orang yg paling lo sayang?" tanya Meva lagi.
Ah, akhirnya pertanyaan itu keluar juga.
"Maksudnya..ditinggal mati?" gw memastikan.
Meva mengangguk. "Pernah," jujur aja berat sekali buat gw ngebahas ini. "Cewek gw. Dia meninggal hampir setahun yg
lalu." "Siapa namanya?"
"Penting ya?" "Gw cuma mau tau."
"Echi." "Oooh..." Meva mengangguk pelan. "Terus gimana, apa lo udah relain dia pergi?"
"Yaah...gimana yak, rela nggak rela, masalahnya dia nggak akan kembali lagi kan" Jadi ya udah deh
ikhlasin aja." "Jadi lo nggak terlalu kehilangan ya?"
"Bukannya gitu. Jelas gw kehilangan lah! Cuma kan namanya orang hidup harus move on..nggak boleh
terlalu larut sama yg namanya kesedihan. Yah gw bisa ngomong gini juga karna gw udah ngerasain
gimana sakitnya kehilangan."
Kami diam lagi. "Seandainya, ini seandainya loh! Seandainya gw mati duluan, lo bakal kehilangan gw nggak Ri?"
"Ah, napa sih loe hari ini nanya yg aneh-aneh?"
"Udah jawab aja laah.."
"Emh, gimana yak" Buat ngebayanginnya aja udah sakit banget, apalagi kalo sampe kejadian.."
Meva tersenyum. "Gini Ri, misalnya gw adalah cewek lo," katanya. "Terus gw mati. Nah, lo bakal mati juga demi gw
nggak?" Gak perlu waktu lama buat gw jawab.
"Masih banyak cewek yg seksi, bahenol dan cantik. Ngapain susah-susah mati buat lo?" kata gw ngasal.
"Aaah! Loe itu!! Gw udah seiya-iya nangisin loe, malah kayak gitu reaksi loe! Mengecewakan!" Meva
ngambek. Wajahnya berubah cemberut. Sementara gw di depannya cuma cengar-cengir geli. "Awas aja,
kalo nanti loe duluan yg mati, gw juga nggak akan nangisin loe!"
Gw tertawa lebar. "Udah ah, serius, gw nggak suka ngomongin soal mati. Biarin aja ngalir apa adanya, nggak usah terlalu
dipikirin, tapi juga ya jangan sampe dilupain sih."
Meva mendelik masih dengan ekspresi marah yg dibuat-buat. Justru gw malah pengen ketawa liatnya.
"Nyesel gw nanyain loe," gerutunya.
"Haha.. Iya, maaf. Abisnya lo gitu sih.."
"Gitu gimana?"?"
"Ya itu tadi. Masih muda juga udah ngomongin soal mati."
"Lah, emang apa salahnya" Usia muda nggak menjamin seseorang punya durasi umur yg lebih lama
kan?" Banyak ah, contohnya yg mati di usia muda."
"Iyaa gw tau itu. Yg nikah di usia muda juga banyak kan?"
"Ah, loe beneran nggak bisa diajak serius!!" Meva mengambil bantal dan memukul-mukulkannya ke gw
sambil ngomel nggak jelas. Gw cuma bisa meringkuk di balik tangan gw.
"Gw benci sama loe!" kata Meva lalu membanting bantal ke kasur. Dia masih cemberut.
"Yah marah nih..." canda gw. Gw yakin tadi dia nggak serius bilang gitu. "Beneran benci?"
"Marah!" "Yakin?" "Kesel!" "Oiya?"" "Iya, iya. Gw sebel," Meva menurunkan taraf kemarahannya.
Gw senyum-senyum geli melihat kelakuan Meva sore ini.
"Sini deh Va," gw menarik tangannya mendekat.
".............................."
Ini kedua kalinya gw memeluk Meva. Masih sama seperti tadi, gw bisa merasakan kehangatan tubuhnya.
"Dengerin gw ya Va," bisik gw di telinganya. "Gw emang nggak tau apa-apa soal surga. Tapi satu hal yg
gw yakin....enggak pernah ada airmata di surga. Surga itu tempatnya semua kebahagiaan berujung.
Ketenangan, kedamaian dan kenyamanan."
"Lo yakin Ri?" "Yakin banget," gw peluk dia makin erat. "Saat kita udah dapetin semua ketenangan, kebahagiaan,
kedamaian dan kenyamanan dalam hidup kita..saat itulah kita ada dalam surga buat diri kita."
Ah, ngomong apa sih gw"
"Thanks ya Ri," bisik Meva.
Dan sore itu sebenarnya kami sama-sama saling menunjukkan ketakutan dalam diri kami. Sebuah
ketakutan yg nyata. Takut bahwa salahsatu dari kami akan meninggalkan yg lain. Takut kehilangan. Dan
saat itulah gw sadar, ternyata kami saling menyayangi............
Part 43 Well, ngga ada sedikitpun yg berubah dari gw dan Meva. Hanya saja, sekarang gw sedikit lebih perasa.
Gw bisa merasakannya, ada semacam keterikatan antara kami berdua. Tapi gw nggak terlalu ambil
pusing. Gw biarkan semua berjalan apa adanya tanpa ada satu dari kami yg memaksakan ego. Biar
sajalah. "Ciiieeee.... Lisa!!" suara keras Meva membuat gw terlompat mundur dari pintu kamar.
"Ngagetin aja!" gw balas berteriak. Nasi bungkus di tangan gw nyaris terjatuh saking kagetnya. "Apaapaan sih teriak-teriak nggak jelas?"
"Suiit..suiiit.... Ehem!"
Gw mengacuhkannya. Dia lagi gila kali, kata gw dalam hati. Gw masuk dan ambil piring, bersiap
menyantap mie ayam favorit gw.
"Pantesan akhir-akhir ini lo keliatan girang banget," lanjut Meva.
"Maksudnya?" tanya gw acuh.
"Lisa!" dia berteriak lagi. "Dia pacar baru lo kan?""
Gw tersedak begitu mendengar ucapannya. Dan seperti gw duga, Meva menggenggam handphone gw.
"Dia bukan pacar gw," kata gw protes. "Cuma rekan kerja di kantor."
"Oh ya" Kok sms nya mesra amat yak" Dan di inbox lo juga cuma ada pesan dari Lisa."
Gw mulai merasa nggak nyaman ngomongin ini.
"Ngga sopan lo baca sms orang lain," gw kesal.
"Lo bukan orang lain buat gw, jadi gw sah-sah aja baca sms lo"."
"Oh ya" Berarti gw juga sah aja donk ngelakuin apapun ke loe?" Yah misalnya apa yaa..."
"Enggak! Itu beda!"
"Beda di mana nya?""
"Pokoknya sama. Lo mau menang sendiri nih."
"Beda..beda..beda!!"
Gw tertawa pelan. "Oke, kembali ke topik pembicaraan," ujar Meva. "Udah berapa lama lo jadian sama cewek bernama
Lisa?" "Udah gw bilang kan...dia itu temen kerja doank. Nggak lebih! Lo jangan sembarangan ngegosip." gw
masih asyik dengan mie di mulut gw.
"Kalo gitu, berarti Lisa suka sama lo."
"Darimana lo tau" Ketemu aja nggak pernah."
"Gw tau dari cara dia ngomong di sms loe. Mana ada sih cewek yg perhatian banget sama cowok, tanpa
dia nggak suka sama tuh cowok" Gw cewek Ri, gw tau itu."
"Tapi lo juga perhatian sama gw," kata gw. "Berarti lo suka sama gw?"
Meva diam sejenak, lalu meledaklah tawanya. Gw cuma mencibir.
"Punya selotip?" tanya Meva. Dia nampak mengalihkan pembicaraan.
"Di laci lemari baju," jawab gw singkat.
Meva berjalan ke lemari, meninggalkan handphone gw di lantai. Gw ambil dan segera gw hapus semua
pesan di inbox gw. Lisa memang rekan kerja di kantor, dan gw jamin nggak lebih dari itu. Dia termasuk karyawan senior,
satu tahun lebih awal bekerja di sana. Tadinya dia di HRD, kemudian sejak ganti tahun dia dimutasi ke
Divisi Machining tempat gw selama ini. Jadilah kami saling kenal dan ketemu tiap hari. Namanya juga
temen kerja, sering ngobrol di kantor pas jam kerja atau sms an sepulang kerja, gw rasa itu normalnormal aja ah. Nggak ada yg lebih dari itu. Gw anggap perhatiannya ke gw sebatas teman. That's all.
Meva duduk di sebelah gw.
"Kenapa diapusin semua?" dia mengintip layar handphone gw.
"Pengen aja," jawab gw.
"Gimana sih rasanya pacaran?" kata Meva lagi. Dia sedang mencari ujung selotip hitam di tangannya.
"Gw belum pernah sekalipun pacaran soalnya."
"Bohong." "Serius. Mana gw sempet pacaran, kalo semua cowok aja pada ngejauhin gw?"
"Nggak semua." "Iya, kecuali loe. Terus, gimana rasanya" Pasti seneng ya punya pacar?" dia sudah menemukan ujung
selotip, menariknya sedikit lalu mengguntingnya.
"Pertanyaan bodoh," kata gw dalam hati. Kalo diliat dari fisik, gw yakin nggak ada yg percaya kalo Meva
ternyata nggak pernah pacaran. Dia cantik! (gw semangat banget ngomong ini)
"Sebenernya biasa aja sih, nggak ada sensasi khusus," kata gw.
"Masa" Lo pasti pernah ngelakuinnya kan?"
"Ngelakuin apa maksud lo?"
Meva meletakkan telunjuknya tepat di bibirnya.
"Kissing," lanjut dia. "Pasti lo pernah kan?" Jujur aja."
Gw tertawa kecil. "Iya gw pernah," kata gw sedikit malu.
"Terus terus terus, gimana rasanya?" Kalo gw ngebayanginnya, kayaknya iiiih.....agak gimana gitu."
"Lo mau tau rasanya ciuman" Sini," gw tarik kepalanya biar mendekat ke gw.
Dan... Plakk!
Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meva menampar pipi kanan gw.
"Udah pernah gw bilang kan?" Jangan bikin gw kaget!!!" teriaknya. "Gw cuma mau tau aja, bukan
praktek!" "Becanda Va...gw becanda tadi!" kata gw kesal. Ini ke empat kalinya gw kena tampar Meva.
"Iya, tapi gw kaget! Makanya gw refleks nampar lo!"
"Nggak asyik ah."
Meva masih cemberut. Dia mengeluarkan sesuatu, seperti kalung, dari saku celananya. Menaruhnya
melingkar di lantai, lalu menempelkan selotip hitam di bagian yg nggak tersambung.
"Lagi diapain tuh?" tanya gw.
"Ini kalung salib dari nenek gw."
Gw ingat. Itu memang kalung yg biasa dipakainya.
"Patah nih, mau gw sambung." Meva selesai merekatkan selotip di talinya.
"Kok bisa sih putus gitu?"
"Tadi ngga sengaja nyangkol di tas waktu di kampus."
Meva merentangkan kalungnya lalu mengenakannya di leher. Meva tersenyum manis.
"Gw cantik nggak Ri?" tiba-tiba dia bertanya.
Sejenak gw diam. "Banget," kata gw.
Meva tersenyum lagi lalu beranjak keluar. Selama beberapa saat, wanginya masih tertinggal. Wangi yg
khas....... Part 44 Gw baru beberapa langkah keluar dari gerbang ketika dari belakang terdengar bunyi klakson motor. Gw
menepi, dan pengendara motor itu tersenyum lalu hentikan motor di depan gw.
"Mau bareng?" tanya Lisa. "Gw juga lewat Teluk Jam*e."
"Nggak ngerepotin nih?" kata gw memastikan.
"Enggak lah... Lo kayak sama siapa aja sih pake basa-basi. Udah tinggal naek aja."
Dan nggak butuh dua kali berpikir buat gw menyetujui niat baiknya. Maka sore itu gw pun diantar
pulang oleh Lisa, temen kerja gw. Lumayan lah skali-kali ngirit ongkos. Hehehe..
Motor berhenti tepat di depan gerbang kosan. Gw turun dan bersiap mengucapkan terimakasih,
sebelum Lisa juga turun dan membuka pintu lalu memarkir motornya ke dalam.
"Gw mampir ke kosan lo, boleh khan?" katanya menjawab pandangan heran gw.
"Oh, boleh kok. Enggak papa," ujar gw.
Lisa tersenyum senang. "Gw bosen di rumah terus, skali-kali refreshing," katanya. "Kamer lo yg mana?"
"Kamer gw di atas. Paling atas."
Dan kami segera menuju lantai atas. Saat itu kosan sudah mulai ramai karena rata-rata penghuninya
balik kerja jam-jam segini. Jujur aja, gw sedikit malu karena ini pertama kalinya gw "bawa" cewek ke
kosan. Yah walaupun dalam konotasi yg sedikit berbeda, gw nggak enak aja membalas senyuman
temen-temen yg liat gw jalan sama Lisa.
Lisa adalah cewek periang yg punya pandangan luas tentang hidupnya. Selalu berpikir kritis, dan tentu
saja, dia sedikit banyak bawel. Buat gw Lisa adalah orang yg cocok sebagai partner kerja. Dia giat dan
beberapa kali malah dia yg menyelesaikan job gw di kantor, tentu saja tanpa sepengetahuan bos.
Hehehe. "Capek juga ya tiap hari mesti naik tangga kayak gini," Lisa berkomentar.
Kami sampai di lantai atas. Sebagai catatan, gw nggak pernah mengunci kamar gw ketika gw pergi.
Kalaupun dikunci, gw taroh di lubang fentilasi, tempat yg sudah bukan rahasia buat Indra dan Meva.
Maka gw nggak begitu terkejut ketika mendapati Meva ada di dalam kamar gw sedang tiduran di kasur
sambil maen gamewatch. Ekspresi yg berbeda ditunjukkan Lisa.
"Eh, lo udah balik Ri.." Meva bangun dan menatap gw dan Lisa sedikit gugup.
Gw tersenyum. "Ini..." kata Lisa menunjuk Meva. Kelihatannya dia nggak biasa liat cewek di dalem kamer cowok.
"Oh, kenalin. Ini Meva," gw memperkenalkan. "Meva, ini Lisa.."
"Ooh...ini Lisa, yg di sms itu ya?" kata Meva, ingat sms yg dibacanya di handphone gw. "Hay.."
Meva menyodorkan tangan, mengajak salaman.
"Eh, hay.." sahut Lisa. Mengacuhkan ajakan Meva berjabat tangan.
Gw mulai merasa nggak enak di sini. Meva berusaha menutupi kekesalannya, menarik tangannya dan
nyengir lebar. "Gw udah beliin mie ayam buat lo Ri, tuh di atas galon. Piringnya juga udah gw cuciin tuh, tinggal makan
aja," katanya. "Gw ke kamer dulu deh."
Lalu Meva bergegas keluar menuju kamarnya.
"Ehm, mau di sini atau ngobrol di luar aja?" kata gw ke Lisa.
"Di sini aja deh," Lisa duduk di lantai.
Gw merapikan beberapa barang yg berserakan di lantai. Nggak begitu berantakan sih sebenernya,
karena Meva pasti sudah merapikannya.
"Cewek yg tadi siapa sih?" tanya Lisa.
"Meva." "Maksud gw, dia itu siapa nya lo" Kok ada di kamer lo?"
"Seperti yg lo liat, dia penghuni kamer depan gw. Dia cuma temen kok."
"Oiya?" Dia temen yg baik yah, sampe beliin lo makan dan nyuciin piring?" kata Lisa lagi dengan nada
menyindir. "Udah biasa kok."
"Hebat! Kalo gw, gw nggak biasa tuh ada cowok tiduran di dalem kamer gw. Nggak tau deh kalo lo
gimana.." Nada bicaranya nggak enak banget. Kayaknya lebih baik nggak memperpanjang pembicaraan ini.
"Lo mau teh?" gw menawarinya.
"Boleh. Eh, ada kopi nggak" Kopi aja deh, kalo ada."
Gw mengangguk dan mempersiapkan dua gelas kecil buat gw dan Lisa.
"Sejak kapan lo kenal sama cewek itu?" tanya Lisa. Dia sepertinya masih tertarik membahas soal Meva.
"Udah lama. Sejak gw kerja di sini."
"Kalian udah deket banget ya?"
"Yah begitulah."
"Sedeket apa?" "Emmh..ya pokoknya deket ajah. Temen gw juga bukan dia aja."
"Apa dia cewek lo?"
"Maksudnya?" "Pacar. Apa si Meva itu pacar loe?"
Gw tertawa kecil. "Bukan. Dia cuma temen kok."
Lisa berdiri. "Numpang ke kamer mandi yah?" katanya.
"Oh, boleh.." Lisa masuk ke kamar mandi, sementara gw sudah selesai dengan kopi dan teh di tangan gw.
"Sebenernya hubungan kalian tuh apa sih?" kata Lisa begitu keluar dari kamar mandi. Di kedua
tangannya ada sesuatu yg seharusnya cuma ada di kamer cewek, karena itu memang punya cewek. "Ini
punya dia kan?" "Eh..mungkin tadi dia numpang nyuci di sini. Iya, pasti gitu."
Lisa menarik nafas berat.
"Oke. Kalian emang deket banget kayaknya," katanya lagi. Melempar 'punya' Meva ke kasur lalu duduk
di dekat gw. "Kami emang deket, tapi cuma sebatas temen."
"Enggak papa kok, nyantai aja. Nggak masalah."
Dia tersenyum seperti biasanya. Sempat sedikit kikuk, lalu suasana mencair kembali.
Dan akhirnya kami ngobrol-ngobrol ringan sampai sore hampir habis. Lisa pamit pulang saat matahari
sudah benar-benar terbenam..
Part 45 "Ciiiiieeeeeeeee..!!" suara Meva terdengar memekakan sebelah telinga gw. Dia bergelayutan di
punggung gw, nyaris membuat gw terpelanting ke belakang. Untung gw masih bisa meraih gagang pintu.
"Udah gede ya lo sekarang," katanya mengacak rambut gw. "Udah ngerti pacaran."
"Ekh...tokh...log....tagam..lokh...." leher gw tercekik. Kayaknya gw udah deket sama malaikat pencabut
nyawa. "Ups, sorry." Meva melepaskan tangannya dari leher gw.
"Lo mau ngebunuh gw ya?"" gw usapi leher gw yg memerah.
"Hehehe.." Meva malah tertawa tanpa rasa bersalah. Eh, lebih tepatnya bodoh. "Dia ke mana" Udah
balik?" "Udah, baru aja tuh."
Gw buka pintu kamar. Dan Meva menyelinap mendahului gw masuk. Ketika dilihatnya barang miliknya
tergeletak di kasur, buru-buru dia ambil dan sembunyikan di balik badannya. Dia nyengir lebar.
"Kok bisa ada di luar sih" Perasaan gw taro di dalem kamer mandi deh," katanya malu.
"Gw yg ngeluarin," kata gw bohong.
"Hah" Buat apaan?"
"Apa yak" Sedikit berimajinasi aja siih."
"Whats" Maksud loe?"" dua mata Meva melotot ke gw.
Gw tertawa lebar. "Laen kali jangan gantung barang-barang kayak gitu di kamer mandi gw."
"Iya iya sorry gw lupa tadi mah."
"Pikun lo. Kalo aja kepala nggak nempel di leher, kayaknya sekarang lo lagi sibuk nyariin kepala lo deh.
Sekarang lo cocok dipanggil Nenek Meva deh.."
"Enak aja! Nggak mau!"
Gw duduk di samping galon. Membuka bungkusan mie ayam yg belum sempat gw makan.
"Ri," kata Meva. "Tadi kayaknya Lisa nggak suka ya sama gw?"
"Kata sapa" Dia fine-fine aja kok. Malah sering nanya soal lo." Gw bohong lagi.
"Masa" Tapi tadi nggak gitu deh yg gw liat."
"Lo mah liat semut aja dibilang gajah."
"Ih, serius gw Ri!" Meva ngotot. "Tadi itu keliatan banget dia nggak suka sama gw."
"Terus kenapa" Itu hak dia kan" Sama kayak elo, lo juga berhak buat nggak suka sama dia.."
"Ah, enggak ah. Entar lo nya marah sama gw."
"Marah kenapa" Nggak ada hubungannya sama gw."
"Ya ada lah! Lo kan pacarnya!"
"Udah berapa kali sih gw bilang dia itu bukan siapa-siapa gw."
"Enggak... Mata lo. Gw bisa baca hati lo, dari tatapan mata lo."
"Wah, jangan-jangan lo bisa liat tembus pandang lagi?"
Meva tertawa. "Ngawur lo," katanya.
Hampir setengah mangkok mie sudah gw habiskan.
"Oiya, si Indra mana" Kok sekarang dia jarang keliatan ya?" tanya Meva.
"Lagi sibuk dia.. Namanya juga orang penting."
"Eh iya ya, dia sekarang udah jadi bos."
"Begitulah." "Lo gimana" Kapan lo jadi bos" Perasaan gw liat lo nggak ada bosennya jadi anak buah."
"Haha.. Enggak papa deh. Belum waktunya kali. Biar aja, kalo gw emang takdirnya jadi orang gede ya
nggak akan kemana. Kalo enggak, ya itu berarti gw emang nggak punya bakat jadi orang sukses."
Meva tertawa lagi. "Eh eh, balik ke topik semula!" katanya lagi. "Soal Lisa!"
Gw meliriknya sebentar. Kayaknya hari ini Lisa jadi trending topic.
"Udah berapa lama kalian jadian?"
"Udah berapa lama gw bilang kalo gw sama dia nggak punya hubungan khusus?"
"Ah, sejak kapan lo jadi pembohong?"
"Dan sejak kapan lo jadi o-o-n?"
Meva mencibir. "Gw tau kok Ri, lo suka kan sama dia?"
"Tau dari mana?"
"Kayak yg udah gw bilang, gw bisa baca pandangan mata lo."
"Kalo gitu sama kayak yg gw bilang, apa lo bisa liat gw tembus pandang?"
"Enggak bisa!" "Oooh..." gw mengangguk pelan. "Kalo gw bisa."
"Hah?" Asli nggak?"" Meva menarik selimut di kasur menutupi badannya.
Gw terkikih. "Jadi selama ini...loe..."
"Enggak lah! Gw becanda! Punya ilmu dari mana sih gw bisa liat kayak gituan" Hehe.."
"Oh, kirain!" dia melempar selimut ke kasur.
Mie sudah habis. Meskipun rasanya agak sedikit aneh dan lembek gara-gara terlalu lama didiamkan,
perut gw lumayan kenyang.
"Oiya, kan lo bilang tadi bisa baca isi hati orang dari tatapan matanya?" kata gw. Meva mengangguk.
"Kalo gitu coba tebak isi hati gw, dari cara gw ngeliat loe. Bisa?"
Sejenak gw dan Meva saling adu pandang.
"Gw tau yg lo pikirin," katanya.
"Apa coba?" Dia tersenyum. "Ada deeh....." kata Meva lagi.
"Jiaah, dasar. Bilang aja nggak bisa."
Malam baru saja beranjak datang. Masih terlalu sore buat gw tidur. Dan waktu Meva mengajukan usul
maen catur, tanpa ragu gw setujui usulnya. Kebetulan akhir-akhir ini kami memang jarang tanding catur
lagi. Dan rupanya Meva makin jago aja.
Berkali-kali menteri gw diteror, nyaris mati kalau saja gw nggak mengorbankan dua luncur yg gw punya
untuk menyelamatkannya. Meva juga punya strategi baru. Dia secara frontal mengejar menteri gw dan
membuatnya tersudut, sangat berambisi memakannya.
Daaan......hasil pertandingan malam ini adalah : 5-0 !! YESSS !!! Gw kalah lagi !!
Saking kecewanya gw sampe lupa kalo gw belum mandi dari sore.
Huaah...malam ini kerasa panjang banget. Gw baru selesai maen catur pas jam setengah duabelas
malam. Sempat gitar-gitaran juga sebelum akhirnya gw beranjak ke kasur.
Satu hal yg gw sadari malam itu adalah, gw nggak pernah bisa ngalahin Meva maen catuur !!
Part 46 Waktu bergulir begitu cepat. Nggak kerasa udah nyampe pertengahan tahun. Kehidupan anak kos di
tempat gw juga mulai berubah. Beberapa orang temen memutuskan pindah ke kosan yg lain. Diganti
dengan orang baru yg tentunya butuh adaptasi lagi sama orang lama kayak gw. Begitu juga Indra.
Setelah sekian lama jarang bertemu, di satu sore yg panas dia menemui gw dengan membawa sebuah
kabar. "Gw mau beli rumah Ri," katanya bersemangat ke gw yg waktu itu lagi ngadem di balkon sepulang kerja.
"Wah serius tuh?"" kata gw hampir nggak percaya, tapi dari dalam hati gw ikut gembira denger kabar
itu. Indra mengangguk. "Insya Allah bulan depan gw udah pindah ke rumah baru gw itu. Lagi diproses sama bank yg
bersangkutan, dan planning nya beres akhir bulan ini."
Gw berdecak kagum. "Beli rumah dimana lo dul?" gw tetep manggil dia seperti itu meski sekarang potongan rambut dia sudah
sangat mirip dengan Nirvana.
"Di Kara*a. Enggak cash sih belinya. Ikut program dari perusahaan aja."
"Mau cash ataupun nyicil, yg penting punya rumah," kata gw. "Hebat lo Dul, gw ikut seneng deh."
Indra tertawa pelan. "Thanks Ri. Gw udah mulai mikirin hidup gw ke depan soalnya.."
"Tunggu dulu," potong gw. "Maksud lo mikirin hidup ke depan itu ada hubungannya sama KUA?"
Dia tertawa lagi, kali ini sambil anggukkan kepala beberapa kali.
"Kurang lebih begitu..." katanya.
"Wah udah punya calonnya emang" Kok nggak pernah cerita siih?"
"Haha.. Gw bukan artis Ri. Ngapain juga gw cerita-cerita soal kehidupan pribadi?"
"Ya seenggaknya sama gw laah. Masa temen sendiri nggak tau lo mau married" Lo juga sih ngilang
mulu." "Iya Ri gw terlalu sibuk ama kerjaan soalnya. Lumayan lah nambah-nambah buat modal nikah nanti."
"Kapan lo nikahnya" Gw diundang nggak nih?"
"Pasti lah. Masa temen sebelah segitu deketnya nggak diundang?"
"Jadi kapan waktunya?"
"Emmh...keluarganya cewek gw sih pengennya sebelum tahun depan kita udah resmi. Gw setuju-setuju
aja. Paling lambat akhir tahun lah. Masih dalam tahap perundingan, gw juga kudu ketemu langsung
sama orangtua gw. Nyari hari baiknya kapan. Kan gitu tradisi orang Jawa."
Gw tersenyum. "Sama orang Jawa juga?" tanya gw.
"Enggak," dia menggeleng. "Orang sini kok. Anak Klari."
Gw tarik napas panjang. Baru denger kabar temen married aja gw udah seneng, gimana seandainya gw
yg married yah?" Haha... Gw ketawa sendiri dalam hati.
Jujur aja sekarang-sekarang ini gw belum terlalu kepikiran jauh ke depan, dalam hal ini soal nikah. Tapi
liat Indra udah seserius itu, gw juga jadi mulai berandai-andai. Kapan gw nikah" Dan siapa pasangan yg
tepat buat gw" Begitu nyampe di pertanyaan kedua, yg terbayang di benak gw adalah Echi. Hati gw
mencelos. Seperti ada sebalok es batu yg meluncur dalam perut gw tiap kali inget dia. Biar gimanapun
kami pernah merencanakan mimpi yg sama buat masa depan kami. Mungkin karena itu juga gw belum
berani memikirkan yg jauh-jauh. Gw masih menikmati masa-masa lajang dan bebas. Bebas memilih,
bebas melakukan apapun bareng temen-temen, dan tentu saja bebas menentukan kapan waktunya gw
mengakhiri kebebasan ini.
"Lo nggak kepikiran buat married Ri?" tanya Indra. Sama persis dengan yg lagi gw pikirin.
"Bukan 'enggak' tapi 'belum' aja. Gw belum siap," kata gw apa adanya.
"Terus kapan siapnya" Umur lo udah tua juga. Ditunda-tunda entar malah jadi bujang lapuk loh."
"Haha.. Insya Allah enggak. Gw juga nggak tua-tua amat kok. Baru juga 22 tahun. Masih mau nikmatin
hidup sama temen-temen. Belum mau terikat aja. Kan kalo udah punya bini pasti susah tuh buat sekedar
nongkrong sama temen-temen" Nggak bebas aja. Beda sama lo, kalo lo kan udah kepala tiga umurnya."
"Busseett!! Gw baru dualima Ri. Emang tampang gw ketuaan banget yah?"
Gw mengangguk bersemangat.
"Sialan lo," gerutunya. "Tapi kapanpun lo siap, jangan lupa undang gw. Gw akan bantu lo sebisa gw. Ya
mungkin gw bisa berbagi pengalaman sama lo nantinya. Pokoknya tenang aja deh, lo itu bestfriend gw.
Apapun gw lakuin buat bantu lo."
"Hahaha.. Thanks dul," gw menjabat tangannya.
Kami sama-sama tertawa bahagia.
Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi pasti nanti kosan ini bakal sepi tanpa loe.." kata gw.
"Kan masih ada Meva?"
"Jiaah, beda itu mah. Temen cowok sama temen cewek beda laah. Kalo sama cowok kan bisa bebas
becanda dan ngomong apa juga, nggak kayak sama cewek, mereka lebih sensi soalnya."
"Lo bisa ikut gw kok. Kan gw nikahnya masih lama, jadi lo bisa bareng sama gw di rumah gw, kalo lo
mau. Sampe nanti gw married?"
Gw berpikir sejenak. "Gw di sini aja deh, takut ngerepotin lo kalo gw numpang di rumah lo."
"Hahaha.. Kayak sama siapa aja."
Dan sore itu, gw bener-bener menikmati momen itu. Becanda bareng, ngobrol-ngobrol tentang impian
kami ke depan. Dan di titik ini jg gw mulai sadar, hidup setiap orang pasti akan berubah. Nggak mungkin
selamanya melajang. Nggak mungkin juga terus-terusan jdi anak kos yg males-malesan. Harus ada titik
balik untuk membangun kehidupan bersama keluarga kelak. Dan semoga udah gw siap untuk itu kalau
waktunya tiba nanti. Part 47 Di suatu malam minggu yg cerah. Waktu itu sekitar seminggu menjelang kepindahan Indra ke rumah
barunya. Gw dan beberapa temen mengadakan semacam acara perpisahan. Dengan beberapa botol soft
drink dan makanan ringan sebagai pelengkap menu ikan bakar malam itu acara berlangsung sederhana
tapi menyenangkan. Mulai bakar ikan jam sembilan dan baru bisa disantap sekitar jam sebelas. Cukup
lama juga buat memastikan ikannya bener-bener mateng.
Ini bukan acara resmi. Nggak ada MC, nggak ada undangan, semuanya berjalan apa adanya. Kabar
tentang acara ini pun cuma menyebar dari mulut ke mulut sesama anak kos. Yg punya waktu silakan
ngeramein, begitu kesepakatannya. Dan yg namanya anak kos, kapan sih kita nggak punya waktu?"
Selain dua kamar di atas yg terpaksa menyesali ketidakhadirannya demi loyalitas lembur, ada juga
beberapa temen yg sudah punya jadwal mudik ataupun ngapel, jadi nggak bisa ikut. Selebihnya semua
yg gw kenal hadir. Ada Raja, Hilman, Akbar, Miko dan Iwan dari lantai bawah dan juga Nendra dan Teguh
serta Kurniawan dari lantai dua.
Semua hadir, kecuali Meva. Sejak selepas isya, pintu kamarnya tertutup rapat. Gw tahu dia ada di dalam
dan tentu saja dia juga mendengar suara-suara kami yg cukup berisik. Becanda, nyetel lagu lewat
speaker aktif di kamernya Indra dan nyanyi-nyanyi nggak jelas diiringi gitar tua milik Indra, kurang lebih
begitulah susunan acara malem itu. Acaranya sendiri diadakan di depan kamer gw karena kamer gw yg
paling ujung, dan berakhir begitu ikan bakarnya habis dan temen-temen mulai balik ke kamernya
masing-masing menjelang dini hari. Kurniawan dan Teguh bilang mau begadang sampe pagi, tapi baru
jam satu mereka udah tepar dan akhirnya balik ke kamer mereka.
Tinggal gw dan Indra di balkon, ditemani tumpukan piring kotor bekas makan tadi, hasil minjem dari
temen-temen juga. Indra duduk tenang di tembok balkon sementara gw membereskan panggangan
ikan, arangnya ada yg berserakan di lantai dan bekas asapnya tadi meninggalkan jejak hitam di dinding
balkon. "Biar nanti gw aja yg cuci piringnya," kata Indra tetap pada posisinya.
"Oke. Gw cuma beresin bekas bakar ikannya," sahut gw. Setelah selesai berbenah gw ke kamer mandi,
cuci tangan, kemudian balik lagi ke balkon.
Suasananya beda banget. Tadi rame dan berisik, sekarang bahkan suara jangkrik di rerumputan belakang
kosan ini pun terdengar nyaring. Gw duduk di tembok juga. Dan saat itulah terdengar derit pintu terbuka
dari kamar Meva. Yg sebenernya gw harap ikut ngeramein acara tadi akhirnya nongol juga. Gw sih
maklum Meva nggak muncul pas bakaran ikan, dia memang nggak suka ada di tengah keramaian kayak
tadi. Dan kemunculannya pagi ini gw anggap sebagai bentuk penghormatan kepada Indra yg punya
gawe, seenggaknya Meva tetep hadir.
Dia tersenyum pada kami berdua lalu duduk di kursi kecil di depan kamer gw.
"Udah beres yaah acaranya?" katanya.
"Belum kok. Masih ada segmen ke dua, khusus buat lo," sahut Indra.
"Wah yg benerr?" Meva terlihat seneng.
"Iya. Tuh," Indra menunjuk tumpukan piring dengan dua jarinya yg mengepit batang rokok. "Namanya
segmen cuci piring."
"Maksudnya, gw nyuciin piring gitu?" ekspresinya mendadak berubah.
Gw dan Indra sontak tertawa.
"Enak aja!" cibir Meva.
"Lo sih malah ngumpet. Nggak kebagian kan jadinya," kata gw.
"Gw kan udah bilang gw nggak akan ikut kalo ramean kayak tadi."
Indra mengangguk. "Udah gw sisain kok, ada ikan bakarnya satu di kamer gw." katanya.
"Enggak usah Ndra, gw nggak doyan makan ikan," Meva menolak halus.
"Loh, terus siapa dong yg mau ngabisin ikannya?"
"Ari aja tuh," Meva menunjuk gw.
"Enggak ah gw udah kenyang. Perut gw mau meledak malah," gw juga menolak.
Kami bertiga diam. "Ya udah buat sarapan pagi gw aja deh," kata Indra.
Dia embuskan asap putih dari mulutnya. Dan saat itulah mendadak gw merasa suatu hari nanti gw pasti
akan kangen dengan momen-momen kebersamaan seperti ini. Apalagi tadi sempet ada temen-temen yg
lain. Kita emang jarang banget kumpul kayak tadi.
"Gw bakal kangen nih sama kosan ini," kata Indra seolah ikut ada dalam pikiran gw. "Sama kalian berdua
juga pastinya." Gw tersenyum. "Lo bisa ke sini kapanpun lo mau kok dul," kata gw.
Indra balas tersenyum. Dari sela bibirnya keluar asap putih.
"Yah seenggaknya sampe beberapa bulan lagi, sampe gw married. Lo ngerti lah, gw bakal susah
ngelayab kalo ada bini di rumah. Hehehe.."
Gw tertawa. "Huh, kayaknya waktu berjalan cepet banget..." lanjutnya. "Gw pikir baru kemaren gw lulus sekolah,
sekarang udah mau married aja."
Gw ngerti yg Indra rasain. Dia orang pertama yg gw kenal di kosan ini. Dia temen terdekat gw. Wajar lah
kalo gw bakal kangen sama becandaannya yg kadang-kadang garing. Indra juga baik, jadi menurut gw
cewek yg jadi istrinya nanti adalah cewek paling beruntung di dunia ini.
Gw, Indra maupun Meva memilih diam. Kami sedang larut dalam pikiran kami. Tapi gw yakin, kami
merasakan hal yg sama pagi itu. Rasa yg sudah selayaknya dimiliki seorang sahabat.
I love friendship.................
Part 48 "Kayaknya asyik ya kalo kita bisa ngeliat masa depan kita kayak apa," tiba-tiba Meva nyeletuk memecah
kesunyian pagi. Gw melirik ke arahnya dan tersenyum lebar.
"Bener banget tuh Va," sahut gw. "Gw pengen liat siapa bini gw di masa depan nanti."
Dan gw tertawa. "Bukannya sekarang lo udah liat yaa?"" Indra menyenggol kaki gw. Melirik Meva, lalu ke gw lagi, dan
akhirnya nyengir nggak jelas.
Gw sih ngerti maksud senggolan dan lirikan Indra itu. Itu yg bikin gw tertawa lagi.
"Kalian kenapa?"" Meva bingung.
"Ah, enggak enggak. Nggak usah dipikirin," gw langsung berfikir mencari topik lain.
"Emangnya," Indra memotong. "Apa yg mau lo liat dari masa depan?" tanyanya ke Meva. Dia
mendapatkan topik pengalih yg tepat.
"Emmmhh...kalo gw yaa, gw pengen tau, jadi apa gw setelah lulus kuliah?"" jawab Meva sumringah.
"Oke, kalo lo Ri?" tanya Indra ke gw.
"Udah gw bilang tadi," jawab gw.
"Oke. Jadi gini loh," katanya. "Menurut gw, bisa ngeliat masa depan tuh nggak sepenuhnya baik buat
kita." "Kenapa nggak baik" Bukannya justru itu bagus ya" Kan kita bisa mencegah sesuatu yg buruk yg terjadi
di masa depan?" sergah gw. Gw nggak setuju dengan pendapat Indra.
"Ari bener banget tuh. Gw setuju," kata Meva.
Indra tertawa pelan. "Oke. Sekarang gini, misalnya lo tau, di masa yg akan datang, tahun 2020 misalnya, akan ada wabah
penyakit yg mematikan di negeri ini... Apa yg akan lo lakuin" Yah anggep aja lo adalah presiden."
"Gw," gw berpikir. "Kalo gw, gw akan mengumpulkan semua orang sakit di negeri ini untuk diobati. Jadi,
wabah itu nggak akan pernah ada. Gw berhasil mencegahnya sebelum terjadi. Itu yg gw maksud 'melihat
masa depan' dul!" Indra tersenyum senang. "Gw setuju sama Ari," kata Meva.
"Nggak kreatif ah daritadi lo cuma bilang setuju aja," ujar gw.
Meva nyengir bloon. "Nah kalo loe Va," Indra bertanya ke Meva. "Seandainya lo tau sepuluh tahun yg akan datang lo akan
jadi wanita karir yg sukses, apa yg akan lo lakukan sekarang?"
"Jelas gw enjoy laah!" jawab Meva bersemangat. "Gw bisa lebih santai ngejalanin hidup. Gw bisa sedikit
males-malesan. Toh gw udah dapet kepastian gw akan jadi orang sukses nantinya."
"Gw setuju sama Meva," kata gw disambut cibiran Meva.
Indra malah ketawa. "Nggak ada salahnya kalian berpendapat kayak gitu," katanya. "Tapi apa kalian sadar sesuatu yg penting,
dari 'melihat masa depan'" Ketika kita tau ada sesuatu yg buruk yg terjadi di masa depan, yg kita lakukan
sekarang justru adalah mewujudkannya terjadi, bukan mencegahnya. Dan ketika kita mendapatkan
kabar baik, justru kita malah membuatnya nggak terjadi."
Gw dan Meva diam. "Maksud lo" Gw belum ngerti," komentar gw.
"Dengan mengumpulkan semua orang sakit di seluruh negeri, itu bukan mencegah, tapi justru dari
situlah wabah mematikan itu lahir. Iya kan" Ribuan virus yg orang-orang sakit itu bawa, akan bercampur
dan jadi wabah mematikan. Itu dia yg gw maksud, kita malah membuat itu benar-benar terjadi," Indra
menjelaskan panjang lebar. "Nah, soal wanita karir yg sukses.. Dengan lo malas-malasan kayak yg lo
bilang itu Va, apa mungkin dengan malas lo akan bisa jadi orang sukses di masa depan?"
Meva menggelengkan kepala.
"Mana ada orang males bisa sukses" Iya kan?" lanjut Indra.
Gw merasakan kebenaran dari penjelasan Indra barusan.
"Lo bener juga dul.." kata gw.
Indra tersenyum penuh kemenangan. Gw lirik Meva. Nampaknya dia satu pikiran dengan gw.
"Dari dulu gw benci sama yg namanya peramal," kata Indra. "Menurut gw, masa depan itu adalah
misteri. Jadi dengan memberitahukan masa depan orang lain, justru dia merampas harapan orang itu
untuk berusaha mewujudkannya. Iya kan?"
Lagi-lagi gw terdiam. Gw setuju banget kali ini.
"Buat gw, lebih baik nggak pernah tau apa yg akan terjadi di masa depan. Karena dengan begitu gw
masih punya harapan tentang misteri hidup gw. Gw masih bebas berharap, akan jadi apa gw kelak. Dan
gw juga bisa bebas memilih impian gw."
Well, pagi ini gw seperti sedang mendengar motivator yg bicara, dan bukan sahabat gw.
"Buat sebagian orang, hidup itu berawal dari mimpi," lanjutnya. "Tapi buat gw, hidup justru berawal
ketika gw baru memejamkan mata. Gw yg memilih mau mimpi apa gw malam ini. Gw yg menentukan
mimpi buat hidup gw, bukan mimpi yg menentukan hidup gw."
Gw dan Meva saling pandang. Cukup lama, kami mencoba menelaah omongan Indra tadi.
"Ah, ngomong apa sih gw?"" Indra tertawa lagi. "Udahlah anggep aja gw tadi lagi mabok dan ngoceh
nggak jelas. Nggak usah terlalu dipikirin lah."
"Thanks dul buat sedikit wejangannya. Emang ya, yg namanya orang tua itu pasti banyak
pengalamannya?" "Maksud lo, gw tua dong?""
Kami bertiga tertawa. Dan setelah sedikit membahas tentang masa depan yg tadi dijelaskan Indra, kami
mulai ngobrol nggak jelas. Ketawa-ketiwi sesukanya, sejenak melupakan bahwa momen kebersamaan
ini mungkin akan segera berakhir. Tapi satu yg gw yakini, semua akan berakhir indah nantinya...............
Part 49 Jumat sore di minggu yg sama...
Gw baru balik kerja. Tiba di lantai atas gw mendapati Indra sedang berdiri membelakangi gw.
Menyandarkan kedua tangannya di tembok balkon, dia menatap kosong ke sawah-sawah luas yg
letaknya sekitar tigaratus meter dari sini. Pakaiannya sudah rapi. Di bawahnya, di lantai tepat di samping
kakinya tergeletak sebuah tas ransel berisi pakaian.
"Lo udah siap pindahan?" tanya gw.
Dia cukup terkejut. Menatap kaget gw lalu mengangguk pelan.
"Gw udah beresin semuanya. Udah gw pindahin juga barang-barang gw," ujarnya. "Tinggal gw nya aja yg
pindah." "Oke. Gw mandi dulu ya?" gw bergegas ke kamer gw.
Sore ini emang rencananya gw mau nganter Indra pindah ke rumahnya. Dia dapet jatah shif malem,
kayaknya dia udah pindahin barangnya sebelum gw balik. Lagipula barangnya nggak seberapa kok. Cuma
perlengkapan standar anak kos.
Limabelas menit kemudian gw udah siap. Gw berdiri di depan pintu kamar yg sudah gw kunci.
"Oke, gw siap." kata gw. "Gw nggak sabar pengen tau rumah lo dul.."
Indra tersenyum. Senyum yg aneh menurut gw. Senyum yg nggak biasanya. Sebuah senyum yg
menandakan dengan jelas bahwa si pemiliknya begitu berat untuk melakukan itu. Gw maklum. Sama
seperti Indra, gw juga sedih kok temen kos gw selama dua tahun ini pergi.
"Boleh gw bicara sama lo dulu, sebelum pergi?" ujar Indra. Mendadak dia mellow gimana gitu.
"Ngomong aja," kata gw berusaha memberikan ekspresi yg menenangkannya.
Indra terdiam. Jelas ada satu beban yg tergambar jelas di kedua matanya. Beban yg mungkin selama ini
dipikulnya. Apa terlalu berat kepindahan ini sampe dia sebegitunya" Gw rasa enggak. Jadi gw mulai
menebak-nebak beberapa pertanyaan yg mendadak muncul di otak besar gw.
Indra masih diam. Saat itulah gw menyadari secarik kertas di tangan Indra. Kertas lusuh yg sepertinya gw
kenal. Gara-gara kertas itukah" Masa sih" Apa hebatnya kertas itu sampe bikin Indra merasa terbebani
gitu" Jujur aja, gw masih belum tau apa kaitannya tingkah Indra yg aneh sore ini dengan kertas itu, yg
pasti beberapa kali Indra melirik kertas di tangannya lalu menarik napas berat. Napas yg sepertinya
cuma bisa tertahan di tenggorokan tanpa mampu mengalir keluar. Dan gw semakin yakin, ada lebih dari
sekedar beban berat yg ada di hatinya. Ada sesuatu yg harus sesegera mungkin diungkapkan.
"Ada apa sih dul?" gw menunggu dengan sabar tiap kata yg akan dikatakan Indra.
Dia menatap gw, lalu kembali menatap kertas di tangannya, dan seketika tubuhnya bergetar hebat.
Kertas di tangannya sampe terjatuh. Indra menangis!
"Lo kenapa dul?" gw heran dengan perubahan sikapnya. Dalam hati gw berharap semoga ini bukan
pertanda buruk. Indra masih terisak. Benar dugaan gw. Ada sesuatu yg mungkin selama ini dipendamnya. Dan ketika
sekarang harus diungkapkan, itu terasa amat berat. Gw bisa melihatnya. Tapi gw nggak tahu harus
berbuat apa. Terakhir kali gw berhadapan dengan perubahan mendadak ekspresi seperti ini adalah
waktu Natal tahun lalu. "Kalo memang ada yg mau lo bagi," kata gw. "Cerita aja. Gw akan dengerin kok."
Indra menggeleng. Dia menyeka kedua matanya. Tapi dengan deras airmatanya jatuh lagi.
"Ada...ada yg harus gw bilang ke elo Ri..." dia berusaha mengatakannya.
"Oke. Bilang aja nggak papa kok."
Apa perpisahan ini terlalu berat buat Indra" Gw rasa nggak segitunya ah. Karaba sama Teluk Jambe
deket. Dia bisa mampir ke kosan ini kapanpun dia mau. Dia juga punya motor, jadi nggak ada kesulitan
akses menurut gw. Lalu apa yg sebenernya mau dikatakan Indra"
Gw masih berdiri. Maaf gw ralat. Kami masih berdiri dalam diam. Gw lebih memperhatikan sohib gw yg
sekarang sedang bergulat dengan isak tangisnya ketimbang menengok barang sebentar saja kertas yg
tergeletak di lantai. Indra menunduk, berjongkok pelan mengambil kertas itu. Jari-jarinya gemetaran
memegangnya. Lalu dia menunjukkan kalimat yg tertera di atas kertas.
Bukan kalimat. Cuma rangkaian huruf dan angka. Gw kenal tulisan itu. Ya, gw yg nulis sendiri makanya
gw kenal. "Ada apa sama plat nomor itu dul?" gw membaca lagi perlahan nomor polisi kendaraan yg gw tulis di
kertas. Ah, bahkan gw sendiri sebenernya nggak tahu kertas itu masih ada sampe sekarang.
N 6689 M, plat nomor kendaraan asal kota Malang.
"Maafin gw Ri....." Indra tampak begitu frustasi. Gw sangat iba dengannya sekarang.
"Maaf untuk apa?" tanya gw masih belum mengerti arah pembicaraan Indra.
"Gw yakin lo pasti nggak pernah berharap denger ini," kata Indra kemudian. "Sesuatu yg gw sembunyiin
cukup lama. Tapi gw juga yakin, lo harus tahu yg sebenernya. Gw nggak bisa nyimpen rahasia ini
selamanya." "Hey...ada apa sih sama loe dul?"" gw makin nggak ngerti. "Apa ini ada hubungannya sama Echi?"
Sekali lagi Indra menarik napas berat. Lalu perlahan dia anggukkan kepala.
"Lo tau tentang identitas pelaku penabrakan Echi setahun yg lalu?" ini seperti mengorek luka lama.
Indra mengangguk lagi. "Siapa?" lanjut gw.
Indra diam sejenak. "Gw," kata Indra. "Gw yg menyebabkan kecelakaan maut itu Ri.............."
Part 50 "Apa maksud lo dul?" gw cukup terkejut setengah mati mendengar pengakuan Indra tadi. "Lo lagi
ngelantur kan" Plat nomer motor lo bukan N, seinget gw punya lo tuh W..sesuai kota asal lo, Sidoarjo."
"Maksud lo...ini?" dan selanjutnya Indra memutar posisi kertas di tangannya.
Dalam sekejap hati gw mencelos. Rasanya ada ratusan, bahkan ribuan belati yg menusuk-nusuk ulu hati
gw. Sebelumnya, dan selama ini gw selalu yakin pelaku tabrak lari itu meninggalkan jejak yaitu plat
nomor "N 6689 M". Tapi hari ini....
"W 6899 N?"?" napas gw tertahan membaca tulisan yg sekarang tampak di kertas putih yg lusuh itu. "Ini
kaan..." "Ya, ini plat nomer motor gw," kata Indra. Dia belum berhenti menangis.
Gw menggeleng nggak percaya. Benar-benar nggak percaya!
"Mungkin saksi mata waktu malem itu ngebaca dalam posisi terbalik, asal lo tau motor gw waktu itu
emang sempet kolaps di tengah jalan," lanjutnya. "Lo bisa cek motor gw di bawah kalo lo nggak
percaya." "Gw nggak percaya!! Mana mungkin?"?"
"Terima aja Ri, ini kenyataannya. Gw yg menyebabkan kecelakaan itu!"
"Iya. Tapi bukan lo yg nabrak Echi, Ndra!"
Ada suara ke tiga. Bukan Indra, juga bukan gw. Seketika itu gw dan Indra menoleh ke asal suara. Ada
Raja, temen kami yg ngekos di lantai bawah. Dia berdiri di ujung tangga. Gw nggak pernah menyadari
keberadaannya. "Udah gw bilang berapa kali ke elo, berhenti menyalahkan diri lo sendiri!!" Raja setengah berteriak.
"Emang gw yg bersalah!" balas Indra nggak kalah sengit. "Motor yg dipake nabrak Echi itu motor gw!
Dan yg minta si Benny nganter gw malem itu, gw kan?" Siapa lagi yg layak disalahkan kalo bukan gw?""
"Iya, tapi yg nabrak itu Benny dan bukan elo!?"
Hey, apa lagi ini!!! Gw makin bingung.
Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Please....." kata gw antara pasrah dan bingung. "Jelasin ke gw, apa yg sebenernya terjadi?"
Indra diam. Dia masih sesenggukan sambil tangannya meremas kertas di genggamannya. Raja menatap
gw iba. Dia tampak berpikir sebelum mengucapkan apa yg akan dikatakannya.
"Gw yg ngebunuh cewek lo Ri..." kata Indra lemah.
"Tolong kasih gw kesempatan buat jelasin yg sebenernya ke Ari," sela Raja. "Dia berhak tau yg
sebenernya." Gw diam. Entah apa yg saat ini gw rasakan. Gw sendiri malah bingung sedang apa gw di sini.
"Malem waktu terjadi kecelakaan itu," Raja mulai bercerita. "Indra minta Benny, lo kenal Benny kan,
anak bawah, buat nganter dia ke tempat kerja. Waktu itu Indra baru aja ngalamin kecelakaan kerja dan
belum bisa bawa motor. Singkat aja deh, sepulangnya nganter Indra, Benny bermaksud balik ke kosan.
Dan di perjalanan balik itulah semuanya terjadi...."
Gw diam mendengarkan. Entah apa yg harus gw lakukan saat itu.
"Benny nabrak seorang cewek, yg belakangan diketahui adalah Echi. Benny kabur, nggak mau
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bahkan malem itu dia nggak balik ke kosan. Dia sempet balik
beberapa hari kemudian, tapi itu buat melarikan diri. Dia bener-bener kabur.
"Gw dan Indra yg tau kejadian sebenernya, langsung lapor ke pihak Polisi yg menangani kasus ini. Benny,
dia ketangkep dalam razia di jalanan Gucci. Tentu saja, ini berkat kerjasama pihak polisi di sini dengan
polisi di Gucci." Gw tertunduk lesu. Bener-bener bingung sekaligus speechless gw dengernya. Beberapa kali bahkan gw
memaki dalam hati. Kenapa gw harus tahu ini" Padahal gw udah anggap semuanya berakhir, dan gw
nggak mau ngungkit lagi masalah ini. Tapi dengan tahu cerita sebenernya, ini bener-bener seperti
mengorek luka yg sudah tertutup rapat. Napas gw tercekat di tenggorokan. Gw bener-bener speechless!
"Indra selalu ngerasa bahwa dia yg menyebabkan semua malapetaka itu, cuma karena motor yg dipake
Benny adalah motornya. Kalo lo tau Ri, Indra udah cukup merasa bersalah selama lebih dari setahun ini."
Gw menarik napas berat. Kali ini gw berhasil mengembuskannya.
"Kenapa kalian berdua nyembunyiin semua ini dari gw?" tanya gw akhirnya.
Indra mengangkat wajahnya.
"Sumpah demi Tuhan Ri, gw nggak punya maksud nyembunyiin ini semua dari lo," katanya. "Gw cuma
nggak mau nambah beban pikiran lo waktu itu. Gw udah janji akan kasihtau yg sebenernya, kalo
situasinya udah memungkinkan. Dan gw pikir saat ini waktu yg tepat. Saat lo udah dapet semangat baru,
ini waktu yg tepat."
"Gw masih nyimpen koran Komp*s edisi Agustus tahun kemaren yg memuat berita penangkapan Benny.
Gw yakin lo akan butuh itu buat ngeyakinin bahwa pelaku tabrakan itu udah mendapat balasan yg
setimpal.." kata Raja. "Korannya ada di kamer gw. Sengaja gw rawat baik-baik."
Huffft...entah apa yg harus gw katakan saat ini. Sakit, bingung dan marah seperti bercampur di hati gw.
"Maafin gw Ri..." ucap Indra.
"Lo nggak perlu minta maaf dul," jawab gw. "Bukan lo yg bikin Echi pergi."
"Iya, tapi..." "Gw udah ikhlasin Echi. Itu alasan yg kuat buat gw nggak perlu ngungkit masalah ini. Okay?"
Indra tersenyum senang lalu dia merangkul gw. Beberapa kali dia meminta maaf. Gw cuma balas dengan
anggukan pelan. Entah kenapa saat ini gw justru kangen banget sama Meva.
Part 51 Sebagai sahabat dekat, jujur aja gw merasa kehilangan setelah kepergian Indra. Biasanya tiap
balik kerja gw mendapati pintu kamarnya terbuka dan di dalamnya dia lagi asyik maen PS. Tapi
selama berhari-hari, dan gw yakin akan sama seterusnya, pintu itu akan terus tertutup. Menunggu
sampai ada penghuni barunya.
Memang ada sedikit yg mengganggu dengan pengakuan soal Echi kemarin, tapi gw nggak bisa
begitu saja menepikan Indra sebagai sahabat gw. Dia orang pertama yg gw utangin waktu
pertama dateng ke kota ini dan kehabisan duit. Hahaha.. Masih cukup banyak yg bisa disebutkan
untuk membuktikan dia memang orang yg baik.
Tapi gw juga turut gembira dengan keberhasilannya itu. Sebentar lagi hidupnya akan nyaris
sempurna. Karir yg baik serta materi yg cukup, akan dilengkapi dengan pendamping setia.
Tinggal menunggu kelahiran buah hati beberapa bulan kemudian, maka sudah benar-benar
sempurna lah hidupnya. "Kapan lo nyusul Indra?" suara Meva membuyarkan lamunan gw.
"Eh, kenapa?" gw tutup majalah di tangan gw dan meletakannya di lantai. "Lo tanya apa tadi?"
"Yeeee lo ngelamun ya?"" tanya Meva.
"Enggak kok. Dikit doank sih."
"Haha...ngelamun jorok pasti, gw tau deh."
"Iya, gw ngebayangin lo tiduran di kasur pake bikini doank, terus...terus manggil gw pake suara
mendesah gitu.... 'Ariii...' "
"Cukup, cukup. Sebelum buku ini melayang ke kepala lo, tolong hentikan cerita konyol itu."
"...'sini..'..." dan gw tiduran di kasur sambil memeragakan yg gw omongkan sementara Meva
menatap gw dengan tatapan jijik. "terus gw deketin lo...."
"Aaaah...udah cukup!" Meva mengambil bantal dan menutupi wajah gw dengan bantal sampe gw
susah bernapas. "Cerita lo nggak lucu!"
Gw berteriak tapi yg muncul cuma seperti gumaman. Suara gw tertelan bantal. Dan beberapa
saat setelah gw nyaris sesak napas gw berhasil melepaskan diri dari bantal Meva.
"Otak lo ngeres yah...gw baru tau." Meva berkomentar.
"Sialan lo Va, tadi malaikat pencabut nyawa udah nanyain gw tuh mau di kamer nomer berapa,"
kata gw dengan napas memburu. "Untung aja dia pergi lagi."
"Kenapa pergi?"
"Nggak nemuin harga yg cocok."
Meva tertawa. "Malah ketawa! Orang hampir mati juga malah lo ketawain," gerutu gw.
Glekk...segelas air terasa segar membasahi kerongkongan gw.
"Hehehe..maaf deh," kata Meva. Dia kembali asyik dengan bukunya. Ada tugas kuliah yg lagi
dikerjainnya. "Eh, sejak kapan lo pake kacamata?" gw baru menyadari bingkai tipis yg melingkari kedua bola
matanya. Meva mengangkat wajahnya. Dia tertawa geli.
"Lo kemana aja" Dari dulu kali, gw udah pake kacamata," jawabnya.
Gw kernyitkan dahi. "Masa sih?" dan gw mencoba mengingat-ingat. "Enggak ah, gw baru kali ini liat lo pake
kacamata." "Masa" Syukurlah, berarti mata lo udah sembuh sekarang."
Gw mencibir. Tapi jujur aja gw memang baru liat Meva pake kacamata itu hari ini. Sebelumsebelumnya nggak pernah.
"Mata gw minus setengah, cukup nggak jelas buat ngebaca tulisan cacing ini," dia menunjuk
tulisannya sendiri. "Tiap kuliah juga gw pake kacamata kok. Ada yg aneh ya kalo gw pake
kacamata?" Gw menggeleng. "Enggak. Lo malah keliatan tambah cantik kalo pake kacamata," kata gw. Tapi dalam hati.
Hehehe.. "Berarti selama ini lo nggak bisa liat muka gw donk?" tanya gw tolol.
"Ya bisa laah," protes Meva. "Cuma emang rada nggak jelas aja sih. Menurut gw lo cakep kok.
Tapi setelah gw pake kacamata, lo keliatan banget jeleknya tuh." Dan dia pun tertawa puas.
"Tapi gw nggak butuh kacamata buat liat seberapa cantiknya elo Va..." kata gw lagi. Dalam hati
tentunya. "Ya ya ya puas-puasin aja deh ngejeknya," gerutu gw.
"Hahaha gitu aja ngambek," sahut Meva. "Iya iya lo cakep kok Ri.."
"Kenapa mesti pake 'cakep kok', nggak 'cakep' aja" Nggak ikhlas banget nih ngomongnya."
Meva tertawa lagi. "Udahlah, gw mau ngerjain tugas. Sore ini lo udah lebih dari sepuluh kali bikin gw ketawa.
Tugas gw nggak kelar-kelar niih."
"Yah itu mah elo nya aja Va yg nggak bisa. Pake nyalahin gw."
"Sapa yg nyalahin" Enggak kok, gw nggak nyalahin lo. Cuma nyari penyebab kenapa gw nggak
cepet nyelesein tugas gw."
"Sama aja!" "Enggak, beda..."
"Heeuh beda...embe jeung kuda."
Meva kernyitkan dahi. Menatap gw lalu meledak lagi tawanya ke penjuru kamar.
"Tuh kan, lo itu bikin gw ketawa mulu. Udah balik sana ke kamer lo, sampe gw selesai ngerjain
ini," katanya. "Gw diusir nih?"
"Iya!!" Gw mendengus keras. Lalu berjalan keluar menuju kamar gw. Dari luar sudah terdengar dering
handphone gw di dalam. Buru-buru gw masuk dan ambil handphone gw.
"Halo?" gw menjawab tanpa melihat siapa yg menelepon.
"Hai Ri. Kenapa baru diangkat sih" Lagi ngapain aja dari tadi?" sepertinya suaranya gw kenal.
Gw liat layar handphone gw. Di situ terpampang nama Lisa_cantik. Weitz! Sejak kapan gw kasih
nama itu" Pasti Lisa sendiri yg edit kontaknya!
"Maaf tadi disilent hp nya."
"Nggak papa kok. Kamu lagi di kosan kan?"
"Iya. Kenapa?" "Aku ke situ sekarang ya.."
Tuut...tuut...tuut... "Halo" Halo?"
Ah, kurang ajar maen nutup telepon aja!!
Part 52 "Halo," setelah sepuluh menit berlalu akhirnya Lisa menelepon gw.
"Eh Lis, lo jadi ke kosan gw?" tanya gw.
"Iyalah jadi...kan tadi udah gw bilang?"
"Mmmm....tapi gw lagi di luar Lis," kata gw. Tentu aja bohong. Waktu itu gw lagi duduk di
ujung tangga. "Yah..kok gitu" Katanya lo ada di kosan?"
"Iya tadi sih ada, tapi sekarang gw lagi keluar. Lo nanti aja ya maennya?"
"Nggh.....kalo gitu gw tunggu di kosan lo aja deh" Udah kepalang tanggung. Lo nya masih lama
nggak?" "Weittz...nunggu?" gw kaget kan ceritanya. "Emang lo sekarang udah nyampe mana?"
"Gw udah di kosan lo," suara Lisa sedikit aneh. Seperti bergema dan keluar dari speaker
handphone gw. "Oiya?" "Iya. Nih gw bisa liat lo," suaranya benar-benar keluar. Bukan dari speaker handphone, tapi dari
ujung bawah anak tangga. Lisa ada di sana. Berdiri di ujung belokan tangga sambil menengadah menatap gw yg ada di
ujung atas. "Eh, lo udah di sini aja..." ujar gw. Malu setengah mampus gw!
"Katanya lagi di luar?" dia berjalan menaiki anak tangga menuju gw.
Beberapa kali gw presentasi dengan bos-bos gw dan ditanyai pertanyaan menyulitkan, tapi jujur
aja rasanya saat ini pertanyaan sederhana dari Lisa susah banget dijawab!
"Eh, ngg... anu...." apa yg kudu gw jawab yaa" "I...iya...ini..... Ini lagi di luar kok."
Lisa kernyitkan dahi. "Maksud gw tadi, gw lagi di luar kamer. Iya! Itu dia maksud gw!!" dan gw cengengesan malu.
Lisa tertawa pelan. "Wah lo humoris juga yah?" komentarnya.
Hahaha...gw tertawa garing dalem hati. Maaf Lisa...gw bukan humoris, tapi ngeles-is. Kali ini
gw salut sama diri gw sendiri atas keberhasilan ngeles tadi!
Lisa duduk di sebelah gw. Kami berdua mendadak jadi portal sukarelawan di tangga.
"Udah makan?" tanya Lisa ke gw.
Gw, yg masih sedikit shock dengan kesuksesan tadi, menjawab dengan anggukan kepala.
"Lo baru balik Lis?" gw balik tanya.
"Enggak juga, gw bareng kok sama lo pulang jam empat tadi. Cuma gw mampir dulu ke
supermarket, ada yg gw beli."
Gw nyengir malu. Lisa celingukan memandang sekitar.
"Nyari apa sih?" tanya gw heran.
"Mana cewek itu?" katanya.
"Cewek yg mana ah?"
"Yg waktu itu di kamer lo. Siapa namanya...Neva ya" Mana dia?"
"Meva. Ada kok di kamernya. Emang kenapa sama dia?"
Lisa senyum simpul. "Enggak papa...enggak papa..." jawabnya. Gw tau nih, cewek kalo ngomong 'enggak papa' justru
artinya 'ada apa-apanya'.
"Dia anak mana sih?" lanjut Lisa.
"Meva, maksudnya?"
Lisa anggukkan kepala. "Bukan orang sini kok. Rumah di Jakarta, tapi asalnya dari Padang. Kelahiran Kuala Lumpur dan
sempet SD di Inggris sebelum namatin SMA di Padang. Terus kuliah di Karawang."
Lisa menatap gw heran. "Lo tau banyak yaa tentang dia," katanya.
"Enggak juga kok. Cuma sebatas tau dari obrolan aja."
"Dia tipe lo ya?"
Kali ini butuh lima detik buat ngerti pertanyaan Lisa.
"Maksud lo, tipe cewek buat pacar gitu?"
"Iyalah." "Emmmh...kalo gw sih nggak terlalu pinter milih cewek. Nggak ada tipe khusus buat gw, yg
penting cocok aja. It's oke."
"Oiya" Masa cuma cocok" Kalo cocok tapi punya penyakit bisul gimana?""
"Hah" Ada-ada aja lo mah."
Gw dan Lisa tertawa. "Yah gw mah standar aja lah. Terlalu muluk kalo gw pengen dapet yg sempurna, karna gw tau
gw sendiri nggak cukup sempurna buat itu."
"Haha..sok bijak lo."
Gw nyengir. Sore ini Lisa masih pake pakaian kantor, tapi ada sedikit yg beda dari
penampilannya. Tapi apa ya" Di mana nya"
"Kalo tipe cewek lo sesederhana itu," kata Lisa. "Kira-kira gw masuk kriteria enggak?"
Entah gw yg berasa apa emang iya, tapi kalo gw liat Lisa nanya ini dengan tatapan aneh. Enggak
tau gw juga nggak ngeh. "Gw masuk kriteria lo enggak?" Lisa mengulangi pertanyaannya.
"Emmh...masuk nggak ya?" kata gw sambil bingung nyari jawaban yg pas. "Lo cantik kok."
"Ah, masa?" Gw ngangguk-ngangguk bloon.
"Jadi, gw masuk kriteria?" tanyanya penuh harap.
"Ehm....." "Ari?" sebuah suara mengejutkan kami.
Suara Meva. Dia berdiri di depan pintu kamarnya.
"Kirain lagi ngobrol sama siapa. Dari dalem rame banget kedengerannya. Hay Lisa," sapanya
ramah. Dia senyum lebar ke Lisa.
Lisa menatap risih ke arah Meva.
"Kita pernah kenal ya?" sahut Lisa. Cukup mengejutkan gw.
Meva sendiri nampaknya nggak terganggu dengan pertanyaan Lisa tadi.
"Hay Va. Gabung sini yuk ngobrol bareng kita," kata gw berusaha menyenangkan.
"Hah?" Lisa menatap gw heran. "Bukannya kita mau jalan ya Ri?"
"Jalan" Kapan?" gw lebih heran lagi.
"Sekarang lah, kan tadi udah janjian?"
Gw memandang Meva dan Lisa bergantian. Seinget gw tadi gw samasekali nggak ngomongin
soal jalan deh ke Lisa...
"Oh mau jalan ya?" kata Meva. "Ya udah ati-ati di jalan ya sayang.." dia memandang gw.
"Kamer aku nggak dikunci, ntar malem kita ngobrol-ngobrol lagi yah?"
Meva tersenyum nakal ke gw, melambaikan tangan, lalu menutup pintu kamarnya perlahan...
Part 53 "Dia manggil lo apa tadi?" Lisa menatap sebal ke gw.
"Eh, enggak kok...dia lagi becanda doank," gw berkilah.
Lisa mendengus kasar. Dari ekspresi wajahnya keliatan banget dia kesal. Kalo aja di depannya sekarang
ada tumpukan piring, pasti udah langsung dia cuci tuh!! Hehehe...apa hubungannya yak"
"Hubungan kalian apa sih" Kalian enggak pacaran kan?" tanyanya lagi.
"Mmmmh...entahlah. Gw juga bingung nyari kata yg pas buat ngegambarinnya."
Lisa menarik nafas berat.
"Lo suka sama dia?" tanyanya kemudian.
Sejenak gw diam. Setelah berpikir beberapa saat akhirnya gw memutuskan menyudahi pembicaraan
tentang Meva. "Lo tunggu di sini bentar. Gw mau ganti pakaian dulu," kata gw.
"Mau ke mana?" "Kan kita udah janjian mau jalan?""
Lisa diam sebentar. "Di sini aja deh," kata Lisa. "Ntar jalannya kalo hari libur. Sekarang juga udah mau malem."
Benar. Jam di handphone gw menunjukkan pukul lima sore lewat tigapuluh tiga menit.
"Kalo gitu mending lo balik aja," usul gw. Lisa pernah cerita tentang nyokapnya yg rewel kalo dia pulang
telat. "Oke, gw balik. Selamat ngobrol-ngobrol ya sama si Neva?"?"" wajahnya masih kusut.
Gw tertawa geli. "Kalo emang belum mau balik ya udah di sini aja nggak papa," gw meralat ucapan gw sebelumnya.
"Enggak deh makasih, gw cuma jadi pengganggu aja!"
"Hey Lisa..." kata gw. "Kenapa jadi kayak anak kecil gitu sih" Nyantai aja laah. Gw minta maaf kalo
ucapan Meva tadi sedikit nyinggung lo."
"Sedikit" Banget tau nggak!"
Gw menatapnya iba. Gw yakin aktifitasnya hari ini sudah cukup membuatnya lelah.
"Sini deh," gw menariknya ke balkon. Berdiri berhadapan di sana dengan gw bersikap sok cool. Haha!
"Gw boleh tanya sesuatu?" kata gw. Lisa anggukkan kepala sebagai jawaban. "Gw cuma pengen tau,
sebenernya apa sih yg bikin lo nggak suka sama Meva?"
Lisa tampak sedikit kebingungan dengan pertanyaan yg gw ajukan.
Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya nggak suka aja!" jawabnya. "Dia nggak asyik."
"Nggak asyik gimana" Dari pertama ketemu bukannya lo yg nggak mau waktu diajak salaman?"
"Lho, kok lo malah nyalahin gw"!"
"Enggak kok gw nggak nyalahin lo," gw nyengir. Kayaknya sore ini Lisa beneran lagi sensi. "Cuma
menurut gw, justru lo yg nggak asyik. Yaah apa ya namanya...lo nggak nunjukin sikap bersahabat aja ke
dia..." "Tuh kan nyalahin gw!" seru Lisa sewot. "Udah aja terus salahin gw! Bela aja tuh cewek itu!"
Suaranya cukup keras untuk didengar oleh Meva di kamarnya.
"Gw nggak nyalahin lo. Gw juga nggak ngebela Meva. Gw heran aja, kenapa sih kalian berdua nggak
akur" Lo sama dia tuh sama-sama temen deket gw."
"Karena gw sama dia punya perasaan yg sama."
Gw kernyitkan dahi. "Ah iya, sesama cewek pasti ada semacam ikatan batin buat ngebaca perasaan orang ya?" gw
berkomentar konyol. "Ternyata hebat ya cewek itu!"
"Bukannya cewek yg hebat, tapi lo nya aja yg terlalu bodoh dan nggak bisa ngebaca perasaan cewek,"
sergah Lisa. "Atau lo memang pura-pura bodoh?""
Gw tersenyum simpul. "Gw bukan Copperfield yg bisa baca pikiran orang," kata gw.
"Perasaan, Ri..bukan pikiran," tandasnya geram.
"Ah yah apapun itu lah, gw lebih suka baca komik atau koran..."
Lisa menggeleng pelan. "Oke," katanya. "Lo pikir selama ini gw bersikap baik ke lo, karna apa coba?"
"Karena lo memang orang baik. Bukan begitu" Atau gw salah" Mungkin ternyata lo adalah monster jahat
dari planet Mars yg berpura-pura baik padahal lagi mengintai manusia, dan berusaha mencari cara
supaya bisa membunuh Ultraman" Haha.. Lucu juga."
Lisa menatap malas ke gw. Tatapan matanya cukup mengatakan "nggak lucu!" yg nggak dikatakannya.
"Oke oke, lo memang orang baik. Menyenangkan dan bersahabat. Itu aja."
Lisa mengembuskan nafas berat.
"Yah lo kayaknya butuh les private ke psikiater biar bisa baca perasaan orang.." katanya dengan ekspresi
dan nada bicara yg lebih kalem. "Udah ah gw balik ya" Males gw buang-buang waktu buat debat nggak
penting." "Oh, oke. Ati-ati di jalan..."
cuupppph... Lisa mengecup pipi kanan gw. Berhenti selama dua detik buat gw merasakan embusan nafasnya di
telinga gw. Lalu membisikkan kalimat perpisahan.
"Sampe ketemu besok di kantor," ucapnya.
Dan sebelum gw sempat sadar dari kejadian mengejutkan tadi Lisa sudah beranjak pergi meninggalkan
gw yg terdiam sendiri di balkon. Gw usapi pipi gw. Nggak basah... Tapi sempat ada sensasi hangat gitu.
Kecupan tadi......sama seperti yg pernah gw rasakan, dulu waktu gw sama Echi! Entah apa yg
membuatnya sama, tapi rasanya seperti dejavu! Gw nggak pernah ngerasain lagi seperti itu setelah
kepergian Echi... Dan hari ini.......... Ah, sudahlah. Itu cuma salam perpisahan kok. Di banyak negara maju kan cipika-cipiki semacam itu
adalah lumrah. Gw nya kelewat lebay. Haha...
Dan setelah beberapa saat terdiam, gw baru sadar satu hal. Ada yg beda dari penampilan Lisa hari ini.
Dari tadi gw nyari-nyari apa dan di mana bedanya. Gw baru inget, hari ini Lisa pake stoking hitam seperti
yg biasa dipake Meva..........
Part 54 "Ekhem!" Meva muncul dari tangga.
Malem itu gw lagi nyetem gitar warisan Indra di beranda. Kayaknya Meva baru balik dari warung abis
makan malem. "Ada yg lagi fallin in love yah!?" serunya.
"Siapa?" tanya gw.
"Ya siapa lagi kalo bukan cowok yg tadi sore abis dapet ciuman di pipi!" katanya bersemangat.
Glekk... Gw menelan ludah. Ni anak rupanya ngintip pas adegan tadi sore. Jadi malu gimana gitu!
"Nggak sopan ngintipin orang," ujar gw sambil tetap memutar pengunci senar, berusaha menemukan
nada yg pas. "Gw nggak ngintip kok," Meva berkilah. "Kejadiannya di depan mata kepala gw sendiri. Tadinya mau
nggak liat, tapi yah terlanjur...gw mau tau ajah! Hehehehe."
"Dasar otak mesum," sindir gw.
"Enak aja. Lo kali yg mesum! Gw mah enggak."
Gw tertawa mengejek. "Eh eh kenapa tadi si Lisa nggak lo seret aja ke dalem kamer?"?" kata Meva tampak antusias.
"Tuh kan elo yg otak mesum!" sahut gw. "Ngapain juga coba bawa dia ke kamer?""
"Yaah sapa tau loe butuh sukarelawan buat beresin kamer?"
"Enggak. Kamer gw nggak pernah berantakan. Gw mah orangnya rapi, enggak kayak loe.....cewek tapi
males beres-beres. Segala daleman dipajang di tembok pula!"
Meva nyengir malu. "Ngapain gw capek-capek beresin kamer, yg keluar masuk kamer gw kan cuma elo" Nggak perlu rajinrajin laah.. Lo juga bukan tamu."
"Pake alibi lagi. Males mah males aja neng."
Meva pasang wajah cemberut. Tapi entah kenapa gw justru malah pengen ketawa liat mukanya. Kocak
banget kalo lagi belagak sewot gitu.
"Jadi..." "Jadi apaan?" potong gw.
"Bentar dulu, kasih kesempatan gw ngomong napa" Maen serobot ajah!"
"Oh, kalo gitu waktu dan tempat kami persilakan..."
"Nggak lucu. Garing. Lo nggak ada bakat jadi pelawak."
"Siapa bilang" Gw ada bakat kok, cuma yah bakat terpendam gitu. Saking terpendamnya sampe nggak
keliatan!" Meva tertawa. "Jadi, lo sama Lisa..." Meva membentuk dua paruh burung yg berhadapan dengan jari-jari kedua
tangannya, lalu menempelkan ujungnya beberapa kali. "Kalian resmi pacaran?"
"Ah enggak kok. Belum diresmiin sama Lurah."
"Yee lo mah gitu, gw tanya serius juga!" Meva mencibir. "Kalian pacaran yak?"
"E-N-G-G-A-K." "Alaah...bokis banget. Ngapain juga cipokan kalo belum jadian?"
"Dia yg nyosor gw, jadi nggak bisa dibilang sebagai bentuk kissing. Okay" Lagian cuma di pipi doank."
"Tapi lo nggak nolak kan" Sama aja itu mah!"
"Beda laah... Ciuman itu kalo bibir sama bibir, itu baru disebut ciuman. Yg tadi sore mah bukan. Apa
perlu gw praktekin?" gw bergerak maju. Waktu itu jarak kami sekitar setengah meter. Dengan cepat
Meva melempar sendal jepit dari lantai ke arah muka gw, tapi kali ini gw bergerak cepat menghalau
dengan gitar. Sendalnya jatuh ke lantai. Gw tertawa kemudian duduk kembali di kursi.
"Berani gerak satu inchi ke arah gw, gw jamin gw ada
lah orang terakhir yg lo liat di hidup lo," Meva
mengultimatum. Tapi gw yakin dia nggak serius dengan ucapannya.
Gw tertawa lagi. "Gw enggak jadian kok sama Lisa," kata gw. "Lo tenang aja, masih ada peluang lebar buat lo," lanjut gw
dengan pede nya. "Huh, nggak minat gw sama cowok tukang tidur kayak loe."
Gw tertawa kecil. Baru sadar gitarnya sekarang makin fals aja gara-gara nggak konsen diajak ngobrol
Meva. "Kedengerannya tadi dia marah sama lo?"
"Marah" Enggak juga.."
"'Enggak juga' gw anggap kata lain dari 'iya'."
"Dia nggak marah ke gw, tapi marahnya ke elo."
Meva tampak sedikit terkejut.
"Oiya" Kok bisa?""
"Enggak ngerti gw juga. Serah deh cewek mah susah dimengerti," gw menyetem ulang gitar.
"Dia cemburu tuh sama gw. Hehehe... Lucu banget liat ekspresinya waktu gw bilang yg soal kamer itu.
Hihihi.." "Ooh jadi lo sengaja ya bilang gitu, biar manas-manasin Lisa?"
"Iya," Meva mengangguk mantap. "Dan tadi berhasil banget tuh. Kayaknya gw sekarang jadi the public
enemy number one buat dia. Hahaha."
"Lo jahat ah." "Weittz...tunggu dulu. Dia yg jahat! Waktu pertama ketemu, lo inget kan, dia nolak ajakan salaman gw"
Tadi juga dia belagak nggak kenal pas gw sapa! Ya udah daripada kesel mending gw kerjain ajah!"
Gw menyeringai kecil. "Eh, emang lo sendiri ngerespon dia kayak gimana?" Kayaknya masih cuek-cuek aja deh."
"Emang kudu gimana" Biasa aja ah."
"Yee elu mah, ada cewek yg suka sama lo malah dicuekin!"
"Belum mau pacaran gw... Kata mamah, nggak boleh pacaran dulu minimal sampe punya rumah. Punya
mobil, punya landasan pribadi buat helikopter pribadi gw, punya..."
"Keburu tua dulu itu mah!!" potongnya. Dan kami berdua tertawa.
"Lo suka nggak sih sebenernya sama Lisa?"
Gw berpikir sejenak. "Ada iya nya ada enggak nya juga. Jadi gimana yak?"
"Yaah parah abis deh loe."
Gw nyengir lebar. Dan malem itu, topik pembicaraan kami adalah Lisa. Meva banyak tanya soal dia.
Tentang asalnya, sifatnya, juga tentang perform dia di kantor. Kalo gw liat sih Meva pengen tuh jadi
wanita karir kayak Lisa. Dan akhirnya obrolan ditutup dengan rencana maen ke rumah Indra akhir pekan ini. Sip. Gw setuju.
Bakal ada reunian nih... Part 55 Sabtu pagi yg cerah. Gw bangun saat jam di handphone gw menunjukkan pukul setengah
delapan. Gw langsung inget hari ini gw janji berkunjung ke rumah Indra. Kemaren jg gw udah
sms Indra soal ini, dan katanya dia siap jadi tuan rumah yg baik buat dua tamu istimewanya.
Dua tamu" Oh iya, gw sama Meva. Tapi kayaknya dia belum bangun tuh. Pas gw keluar kamer
juga pintu kamernya masih tertutup rapat. Di samping gw masih ada papan catur bekas
pertandingan semalem yg lupa gw bereskan saking ngantuknya.
Dan weekend pagi selalu sama dengan weekend-weekend sebelumnya. Jadwal pertama adalah
nyari sarapan, terus nyuci pakaian plus seragam kerja, lalu mandi dan diakhiri dengan ngejemur
pakaian di bawah. Kosan ini nggak punya selasar buat jemur pakaian, jadi gw biasa jemur di
samping parkiran motor. Tapi kebanyakan yg lain pada pasang kawat di depan kamar sebagai
jemuran, jadi yg biasa jemur di bawah cuma beberapa orang termasuk gw.
Dengan hanya mengenakan celana kolor pendek gw gotong ember penuh cucian. Di lantai
bawah, aktifitas Sabtu pagi sudah terasa. Musik-musik yg beradu dengan suara televisi yg
menyiarkan berita pagi diselingi obrolan beberapa teman. Tentu saja, ditemani kepulan asap
rokok di mana-mana. Kalau saja Indra belum pindah, dia pasti lagi nyuci motornya di pojokan
sambil ngudud rokok favoritnya. Sekarang tempat tongkrongannya dipake si Raja. Katanya ini
wasiat dari Indra, supaya dia meneruskan nyuci motor di sana. Haha..
"Gw mau maen ke rumah Indra ntar siang, loe mau ikut nggak?" gw berbincang dengan Raja yg
sedang menyemprot motornya dengan selang air. Backsound pagi ini lagunya Stinky yg waktu
itu masih lumayan tenar. Ada juga yg nyetel Bukan Pujangga nya Base Jam. Tapi gw sih suka
classic rock yg selalu diputer "anak tengah" (sebutan buat penghuni kamar di lantai dua).
"Wah gw udah janjian sama cewek gw Ri mau ke Cikarang. Lo sama siapa emang ke sananya?"
"Berdua doank," gw kibaskan baju lalu menaruhnya di kawat jemuran. "Sama Meva."
"Ooh..." Raja mengangguk beberapa kali. "Cewek depan kamer lo itu ya?"
Giliran gw yg ngangguk. "Kok bisa sih loe deket sama tuh anak" Perasaan kalo sama gw, sama yg lain juga, dia nggak
pernah nyapa deh. Ya nggak ramah aja kalo menurut kita."
"Masa" Karna nggak kenal aja itu mah. Dia orangnya asyik kok."
"Loe naksir ya?"
"Naksir sapa?" "Emang kita lagi ngobrolin siapa?"
"Hehehe. Enggak kok biasa aja. Gw sama dia emang deket, tapi sebatas temen baik. Itu aja."
"Hah..klasik! Entar ujungnya juga kalian pacaran" Tempatnya udah strategis tuh buat pacaran.
Tapi inget, jangan sampe bocor." Raja tertawa lepas.
"Sialan! Loe pikir gw mau ngapain?"
"Hahaha.. Ya kali aja! Namanya juga cowok, apalagi sama cewek cakep kayak dia!"
"Udah udah kita cukupkan aja, sebelum loe tambah ngelantur." Gw angkat ember kosong di
tangan gw lalu hendak balik ke kamer waktu terdengar derit pagar terbuka.
"Wuih! Pagi-pagi udah ada tamu bening aja!!" ucapan Raja menarik perhatian gw.
Di depan pagar, seorang cewek sedang menutup lagi pintu pagar lalu berjalan ke arah kami.
"Lisa?" gw menyapanya.
Lisa balas tersenyum lalu menyalami tangan gw, membiarkan pipinya yg halus menyentuh
punggung tangan gw yg basah. Sementara gw liat si Raja melongo aja tuh kayak kambing
congek. Hehehe "Abis nyuci ya?" Lisa melirik ember di tangan gw.
"Iya. Lo kok pagi-pagi udah ke sini sih" Ada perlu apa?" jujur aja gw sedikit terkejut dengan
kedatangannya. Apalagi siang ini kan gw udah janjian sama Meva.
"Lho, kenapa" Nggak boleh ya gw maen ke sini?"
"Eh ya enggak juga sih. Aneh aja pagi-pagi lo udah kemari."
"Mau maen, sekalian ada urusan kerjaan yg mau gw bicarakan ke elo."
"Oh ya udah ke kamer gw deh," gw dan Lisa berjalan meninggalkan Raja yg masih bengong.
Hmm pagi ini Lisa wangi banget. Hehehe.
"Lo udah sarapan?" tanya Lisa.
"Udah." "Sarapan apa?" "Nasi uduk doank kok."
"Tanya donk, gw udah sarapan belum gitu" Nggak ada inisiatifnya banget sih jadi cowok."
"Hehehe," gw nyengir malu. "Ya udah tuh lo udah tanya sendiri, langsung lo jawab aja dah."
Lisa mencibir lalu berkata.
"Gw belum sarapan. Temenin gw nyari sarapan yah" Sekalian abis itu kita jalan-jalan, gimana?"
katanya. Weiitz. .jalan" Terus gimana sama janji gw ke Indra"
"Gw bisa temenin sarapan doank kayaknya. Siang ini gw janji mau ke rumah temen."
"Emh...kalo gitu ya udah gantian gw yg temenin lo ke rumah temen lo deh. Gimana?"
"Hah" Eh, itu..apa yak...lo nggak bakalan betah deh. Enggak enak juga entar lo dicuekin. Mau?"
"Ya udah deh nggak papa..."
"Hmmm tapi gw perginya sama Meva?"
Lisa hentikan langkahnya. Beberapa anak tangga lagi kami sampe di beranda kamer gw.
"Oh.." serunya tertahan. "Kalo gitu gw balik aja deh. Enggak enak, GANGGU kalian!" dan dia
langsung berbalik pergi. "Heyy mau ke mana lo" Katanya ada masalah kerjaan juga?"
"Gampang di kantor aja."
Huffft...gw salah lagi ternyata. Enggak enak juga sih bikin dia kesel lagi. Tapi yah gw kan
emang udah ada janji siang ini" Whatever lah..
Part 56 Gw dan Meva sudah bersiap berangkat ke rumah Indra sekitar pukul sepuluh siang. Yg bikin lama tuh
nunggu Meva mandi plus dandan. Yah namanya cewek semua sama laah kalo soal durasi gituan. Karena
gw memang gak punya motor, maka kami memutuskan untuk pake angkot. Nanti ganti pake becak deh
buat sampe ke rumah Indra.
Dan gw inget banget hari itu Meva pake kaos oblong putih plus celana jeans panjang biru muda. Dengan
rambut panjangnya dikuncir ke belakang, Meva keliatan manis banget. Ah, andai aja dia cewek gw!
Hahahahaha... Nyampe di lantai bawah gw ketemu Raja lagi ngunci pintu kamernya. Dia keliatannya mau pergi. Gw
inget dia kan mau keluar sama ceweknya.
"Wuiih....Pangeran Charles dan Putri Diana," katanya mengejek begitu melihat gw dan Meva. "Mau
kemanakah gerangan?"
"Sialan lo," bales gw sementara Meva di sebelah gw cuma senyum-senyum. "Mana cewek lo" Katanya
mau ke Cikarang?" "Iya ini gw mau berangkat. Cewek gw nunggu di kosannya."
"Lo nggak pake motor?" lanjut gw.
Raja menggeleng. "Mau pake bus aja. Cewek gw nggak demen lama-lama pake motor."
"Nah, kalo gitu gw pinjem motor loe aja deh!"
Raja diam sebentar. "Boleh.." katanya. "Lo punya SIM kan?"
"Punya donk." "Ya udah, tapi balik nanti tank gw full loh."
"Beres!" Raja membuka pintu kamernya lagi dan mengeluarkan sepeda motornya. Dia juga menyerahkan satu
buah helm hitamnya. "Surat-suratnya ada kan?" tentu saja yg gw maksud adalah STNK.
"Ada tuh lengkap di bagasi. Tenang aja pake motor gw mah aman. Dua tahun gw pake ni motor nggak
pernah sekalipun kena tilang," kata Raja setengah promosi.
"Sip deh. Gw cabut dulu ya," gw dan Meva sudah bersiap di atas jok motor.
"Ya ya ya. Salamin buat si gundul yaah."
"Oke." Dan berangkatlah kami menuju Karawang Barat. Gw baru sekali ke sana waktu nganter Indra pindahan,
tapi gw masih inget jelas jalannya.
"Lo kok dari tadi diem aja Va?" gw ajak ngobrol Meva. Motor melaju cukup pelan di angka 50.
"Eh, enggak kok enggak papa. Masih ngantuk aja..." jawabnya. "Kirain tuh mau ke Indra nya sore atau
malem. Tau gini kan semalem gw nggak begadang?"
"Ya udah kita balik lagi aja kalo gitu?"
"Yeeey udah tanggung laah masa balik lagi?"
"Emmh ya udah lo tidur aja, gw jalannya pelan deh. Tapi lo peluk gw, biar nggak jatoh."
"Yaaaaah maunya elo itu mah biar dipeluk sama gw!" Meva menempeleng kepala gw.
Gw tertawa lebar. Selama perjalanan kemudian kami lebih banyak diam. Kami baru saja melewati Mall Karawang, ketika
Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tiba-tiba dari belakang terdengar bunyi klakson nyaring. Sebuah motor gede warna putih dikendarai
seorang pria berseragam lengkap memepet kami ke tepi.
"Selamat siang Pak," dia memberi hormat sesaat. Di helmnya ada tulisan "Polisi" warna biru terang.
"Mau ke mana nih?" lanjutnya.
"Mmmh...ke Karaba Pak," jawab gw cukup gugup. Baru pertama ini gw di gape sama Polisi di jalanan.
Tukang becak dan warung yg ada di sekitar kami memandang penuh minat ke arah kami bertiga.
Gw lirik Meva, dia cuma diam sambil mengangkat bahu.
"Bisa tolong tunjukkan surat-suratnya?"
"Oh bisa bisa," gw turun dari motor dan bergegas membuka bagasi. "Ada di sini suratnya."
"Ini Pak," gw menyerahkan selembar kertas dari dalam bagasi secara sembarangan. Cukup banyak
kertas-kertas di sini. "Apaan nih?"" Polisi di depan gw merentangkan kertas di tangannya. "Ini kan fotokopi Kartu Keluarga?"
Weiitz !! Iya, gw baru inget biasanya STNK kan pake sampul plastik gitu yak" Kertasnya jg warna kuning
gitu. Yg di tangan Polisi itu memang Kartu Keluarga. Meva di sebelah gw udah cekikikan aja tuh. Nggak
tau apa gw lagi nervous gini?"
"Saya minta STNK sama SIM. Bukan Kartu Keluarga?" Polisi itu geram. Dikiranya gw sengaja kali yak.!
Langsung dah tuh gw ambil tumpukan kertas surat yg gepeng ditimpa jok motor. Polisi di depan gw
berdiri menunggu dengan tidak sabar.
"Sialan, dasar anak gendenk! Ngapain segala Akte Lahir ditaro di bagasi!" gw memaki dalam hati.
"Ada nggak STNK nya?" bisik Meva ke gw.
"Lagi gw cari," jawab gw pendek. Kesel sendiri jadinya.
"Ada nggak?"" Polisi itu makin tidak sabar.
Setelah selanjutnya menemukan kopian surat dokter dan surat keterangan domisili, akhirnya gw
dapatkan STNK. Buru-buru gw serahkan tuh STNK plus SIM gw ke Polisi yg kayaknya lagi laper.
"Kenapa nggak pake spion" Plat luar kota, tapi belagu banget di jalanan Karawang.." lanjut Polisi itu
setelah beberapa saat mengecek SIM dan STNK gw.
"Maaf Pak, kemaren abis kecelakaan soalnya. Ini baru mau beli spion." Ada aja yg kena kalo sama Polisi!
Gw deg-degan, tapi nggak tau kenapa si Meva masih aja cekikikan menahan tawa. Apanya yg lucu
siih?"" Dan setelah beberapa menit mendengarkan ocehan si Polisi tentang pasal yg gw langgar, akhirnya
disepakatilah ganti denda sebesar tigapuluhlima ribu perak karena gw menolak untuk melakukan sidang
di Polres Karawang. "Laen kali jangan lewat jalan gede kalo nggak mau ditilang," kata petugas Polisi sebelum gw pergi.
Aarrrggggh.......nggak papa lah, gw anggep sodakoh aja buat fakir miskin.!
Part 57 Ada sebuah cerita unik yg terselip selama bertahun-tahun gw di Karawang bersama Meva..
Suatu malam di akhir Agustus...
Gw lagi asyik-asyiknya mimpi indah waktu gw mendadak terjaga karena guncangan di kepala
gw. "Bangun Ri..." suara Meva terdengar jelas.
"Apa-apaan siih bangunin gw jam segini?" gw menepis tangannya dari rambut gw. Kepala gw
terasa berdenyut akibat jambakan tadi. "Pake jambak-jambak kepala orang" Besok gw kerja
Va.." Gw mengeluh kesal. Gw yakin saat ini belum nyampe tengah malam. Rasanya baru beberapa
menit yg lalu gw tidur. Kamer gw juga masih gelap. Gw memang selalu tidur dengan lampu
padam. "Bangun dulu bentar lah," kata Meva lagi.
"Ada apaan sih?" bahkan gw nggak bisa melihat wajah Meva. Gw cuma tau dari suaranya, dia
ada di sisi kiri gw. "Bangun aja dulu," lanjutnya.
"Gw udah bangun. Bilang aja apaan. Nggak usah bertele-tele, ngantuk gw."
"Bangun," dia menarik gw duduk. Dan dengan sangat terpaksa gw bangun sambil otak gw masih
berusaha mengingat mimpi apa tadi.
"Oke. Ikut gw keluar," siluet seseorang menghalangi pandangan tepat di depan gw. Siluet
seorang perempuan. "Mau ngapain siih?" Ganggu orang tidur tau!!" gw setengah berteriak mulai kehabisan
kesabaran. "Yeeeee nggak pake nyolot kali!" bayangan hitam di depan gw berkacak pinggang.
"Iya iya ada apaan sih emang?" gw pelankan suara gw.
"Ikut gw keluar," ucapnya lalu menarik tangan gw.
Aah, kerasukan apa siih ni anak?" Gw menggerutu dalam hati. Malem-malem bangunin orang
tidur! Pintu terbuka dan sinar lampu di luar akhirnya melunturkan bayangan hitam di depan gw,
menggantinya dengan sosok Meva yg tetap saja terlihat manis meski kesadaran gw belum
sepenuhnya pulih. Meva membawa gw berdiri di beranda, menghadap sawah luas di depan sana. Bulan sedang
nyaris purnama jadi cukup jelas buat gw melihat yg ada di kejauhan.
"Ini?" tanya gw. "Jadi lo bangunin gw cuma mau nunjukkin ini" Sawah-sawah ini?""
Meva nggak menjawab. Dia malah menggoyang-goyang kepala gw.
"Udah kumpul belum nyawa loe?" ujarnya.
Mau nggak mau kantuk gw lenyap.
"Ada apaan sih Va?"
Meva tersenyum lalu menunjuk bulan di langit.
"Indah yaa..." kalimat yg sudah bisa gw tebak.
"Biasa aja," komentar gw pendek.
"Indah tau! Lo nggak sensitif banget siih?"
Gw mencibir pelan. "Akan lebih indah kalo lo mengijinkan gw balik ke kasur. Gw ngantuk Va, besok kudu kerja."
lalu gw berbalik hendak kembali ke kamer gw.
"Tunggu bentar," Meva menahan tangan gw.
Dengan sejuta perasaan dongkol gw turuti maunya. Gw tetap berdiri di posisi gw, menghadap
sawah yg harus gw akui memang indah tertimpa cahaya bulan, sementara Meva bergegas ke
kamernya. Oke deh, gw mau liat maksud dan tujuannya malem ini bangunin gw secara paksa.
Gw menatap pemandangan di hadapan gw sambil bertopang dagu. Dari belakang gw terdengar
derit pintu dibuka disusul derap langkah pelan menuju tempat gw berdiri. Pasti si Meva.
"Ri," panggilnya.
Gw menoleh dan langsung terkejut. Meva sedang menenteng di depan dadanya, sebuah kue
cokelat kecil dengan lilin angka '23' menyala cantik di atasnya.
"Happy birthday...!" kata Meva penuh semangat.
Gw terperangah. Jadi ini maksudnya bangunin gw tengah malem" Sumpah gw sendiri nggak
inget kapan ultah gw! "Buat gw nih?" gw masih bingung.
"Emang sapa lagi, dodol" Ya elo lah! Selamat ulang tahun yg ke enampuluhtiga!"
"Enak aja! Gw tua banget donk?" dan kami berdua pun tertawa.
"Lo tau dari mana hari ini gw ultah?" tanya gw ingin tahu.
"Gw pernah liat di KTP lo." Meva menaruh piring kue di tembok. Apinya bergoyang pelan
tertiup angin. "Tapi seinget gw kayaknya bukan hari ini deh..." gw coba mengingat. "Bentar gw cek dulu deh
KTP nya." Gw ke kamer, ambil KTP dari dompet lalu keluar dan bersama-sama Meva mengecek tanggal
lahir gw. "Tuh kan?" seru gw. "30 September Va! Bukan 30 Agustus!"
Meva melongo. Meski berkali-kali mengecek, tanggal lahir di KTP gw nggak berubah. Meva
menutup mulut dengan kedua tangannya tanda terkejut.
"Masa sih?" katanya kaget. "Gw salah donk"..." dan memandang gw malu.
Gw nggak bisa menahan tawa. Wajah Meva bersemu merah saking malunya. Dia nampaknya
cukup shock. "Sorry..gw pikir hari ini," Meva menatap iba kue di tembok.
"Makanya laen kali pastiin dulu lah," gw masih terkikih. Dalam hati kasian juga dia udah siapin
surprize ini. "Jadi gimana donk" Gw udah sengaja siapin kuenya juga.."
"Emh..ya udah, berhubung udah terlanjur, khusus buat tahun ini gw majuin ultah gw sebulan
deh. Anggep aja hari ini gw beneran ultah." usul gw.
Meva tertawa pelan. "Ide bagus tuh," sahutnya. "Ya udah deh tiup tuh lilinnya. Keburu mati dulu."
Fiiuuuh..... Gw langsung meniup mati dua api lilin itu disusul tepukan tangan Meva. Dan akhirnya, malam
itu jadi salahsatu malam yg nggak terlupakan buat gw. Kami duduk di tepi tembok, makan
bareng kuenya sambil ngobrol ringan. Meski tanpa kado, toh nggak mengurangi makna malam
ini secara keseluruhan. Biar gimanapun gw sangat menghargai upaya Meva merayakan ultah gw.
Hmmm...malem ini memang indah Va....
Part 58 Dan hari yg paling membahagiakan itu pun akhirnya tiba. Sohib gw Indra akhirnya menggelar resepsi
pernikahannya, sekitar dua minggu setelah lebaran Iedul Fitri. Tanpa tunangan dan langsung ke gelaran
pernikahan. Jauh-jauh hari dia pernah mengenalkan calon istrinya, Dea namanya. Waktu itu mereka berdua maen ke
kosan, dan diperkenalkan lah Dea ke gw dan Meva. Indra juga minta gw buat jadi pendamping pengantin
pria, saat ijab qabul nanti. Oke gw setuju. Meva juga dilibatkan. Kalo gw jadi yg mendampingi Indra dari
rumahnya menuju tempat hajat dan saat momen ijab qabul, maka Meva diminta Indra untuk
mendampingi Dea, yg pada prosesi nya akan "menjemput" pengantin pria setelah prosesi akad nikahnya
selesai. Meva nggak langsung setuju. Dia tadinya keberatan karena dia nggak terbiasa dengan suasana
rame seperti pernikahan, tapi setelah dibujuk oleh Dea, akhirnya dia mau juga. Dea berjanji akan
menyiapkan busana khusus buat kami berdua.
Gw seneng banget dilibatkan dalam acara ini karena gw juga jadi bisa belajar buat resepsi gw yang entah
kapan itu terjadi. Hahaha.. Pokoknya mah gw akan laksanakan 'tugas negara' dengan sebaik-baiknya.
Minggu pagi yg cerah seolah jadi pertanda bahwa hari ini benar-benar akan jadi hari yg paling bersejarah
di hidup Indra. Gw dan Meva tiba di rumah Indra sekitar jam setengah tujuh pagi dan langsung disambut
pelukan bahagia sohib gw. Indra sedang akan dirias karena dijadwalkan akadnya jam sembilan ini. Tapi
kalo gw liat dia agak nervous juga. Sudah selayaknya gw memberinya dorongan semangat.
"Thanks banget ya Ri udah mau bantu gw," kata Indra. "Loe juga Va..thanks berat deh buat kalian
berdua!" "Udah sana siap-siap," kata gw. "Biar gw sama Meva nunggu di sini aja." waktu itu kami ada di ruang
tengah. "Kalian udah sarapan belum?" tanyanya.
"Beluum!" Meva yg menjawab, setengah frustasi dan setengah bersemangat. Tadi kami memang buruburu berangkat ke sini takut terlambat.
"Ya udah kalian sarapan aja dulu gieh. Di dapur banyak masakan tuh. Abis itu kalian ke kamer gw. Kalian
juga akan dirias. Kalian kan pendamping pengantin." lanjut Indra yg kemudian masuk ke kamarnya.
Suasana rumah ini cukup ramai. Selain nyokap Indra yg tentu saja datang, ada juga rombongan sanak
family dari Sidoarjo. Jadilah rumah ini seperti panggung ludruk, karena mereka semua berbicara dalam
logat Jawa yg kental. Layaknya orang yg menggelar hajatan, masing-masing orang di sini juga sibuk
dengan tugasnya. Ada yg menyiapkan seserahan, memastikan keadaan mobil yg akan dipakai, dan
beberapa hal lain yg tentunya harus dipersiapkan sebaik-baiknya demi acara sakral ini. Gw dan Meva
sarapan di dapur sambil ngobrol-ngobrol sama nyokapnya Indra. Rupanya Indra cukup banyak bercerita
tentang kami ke nyokapnya, karena tanpa memperkenalkan diri pun beliau udah tau kami berdua yg
akan jadi pendamping pengantin. Jadilah kami asyik ngobrol sampe Indra kemudian meminta gw dan
Meva untuk segera dirias. Gw dirias di kamer Indra, sementara Meva di kamer yg lain.
Sebenernya bukan dirias kayak cewek siih. Dengan make up sederhana dan setelan jas hitam rapi
dengan kopiah, rasanya orang akan bingung membedakan yg mana pendamping dan yg mana
pengantinnya. Hahaha. Tapi enggak dink. Indra dengan busana kolaborasi Jawa-Sunda tampak mencolok
dari yg lain. Hari ini yg gw liat seperti bukan Indra yg gw kenal selama ini. Dia begitu beda sekarang, lebih dewasa
dan matang dengan busana pengantinnya. Setelah semua dirasa beres, sekitar jam setengah sembilan
semua berkumpul di ruang tamu. Di luar terdengar suara mesin mobil yg sedang dipanaskan. Gw dan
Indra berjalan berdampingan menuju ruang tengah. Di sana nyokapnya Indra udah nunggu. Beliau
langsung memeluk anaknya dengan tangis bahagia. Gw jadi terharu liatnya. Ada beberapa kalimat yg gw
ingat diucapkan nyokapnya, sebenernya dalam bahasa Jawa, tapi karena keterbatasan ingatan gw
dengan bahasa yg satu ini, gw tulis dalam bahasa Indonesia deh. Kurang lebih seperti ini yg diucapkan
nyokapnya ke Indra. "Ibu sayang kamu Nak. Ibu bahagia sekali liat kamu hari ini," katanya sambil tak hentinya mengucurkan
airmata. Suasana hening ketika ini berlangsung. "Kalau saja ayahmu masih ada, dia pasti akan sangat
bangga liat anaknya sudah jadi 'orang' seperti ini!"
"Iya Bu. Indra juga sayang Ibu dan semuanya.." Indra ikut menangis haru.
"Jadilah suami yg baik buat istrimu dan ayah yg teladan buat anak-anakmu kelak. Hari ini Ibu lepas
kamu. Mulai saat ini kamu bukan tanggungan Ibu lagi, karena kamu sekarang adalah imam untuk
keluargamu." Hening dan khidmat. Itu yg gw rasakan. Kalimat yg diucapkan begitu meresap di hati gw. Jadi kangen
juga sama nyokap di kampung.
"Nak, inget pesen Ibu akan satu hal : bimbing keluargamu untuk selalu melaksanakan sholat lima waktu.
Kamu juga jangan lupa sholat malam..." lalu dikecupnya kening Indra.
Dan setelah diakhiri dengan doa bersama sebelum berangkat, Indra melangkahkan kaki kanannya
melewati pintu simbol bahwa kebaikan akan selalu menyertai langkah nya kelak.....
Part 59 Perjalanan menuju rumah mempelai wanita terasa lama karena empat mobil yg berangkat berjalan
pelan berderet ke belakang. Gw ada di mobil paling depan bareng Indra dan nyokapnya. Dua mobil di
belakang membawa seserahan lamaran dan satu lagi untuk family yg ikut hadir. Ada juga beberapa yg
pake motor, rekan kerja dari perusahaan Indra. Sampe saat itu gw belum ketemu Meva. Kayaknya dia di
salahsatu mobil yg bawa seserahan. Nggak lucu kan kalo dia ketinggalan di rumah Indra" Haha..
Selama perjalanan Indra tampak tenang didampingi nyokapnya. Beda sewaktu pagi tadi. Mobil
rombongan berhenti di pinggir jalan. Indra keluar dari mobil, tentu saja gw mendampinginya. Di sisi kiri
Indra adalah nyokapnya. Kami dan rombongan berjalan perlahan masuk ke gang ditemani suara petasan
yg memekakan telinga. Di kanan kiri kami banyak penduduk setempat yg memandang kami penuh
minat. Sementara rumah Dea berada sekitar seratus meter dari gang. Berdampingan sama pengantin
dengan dipayungi sebuah payung besar khas kekeratonan, entah kenapa justru sekarang gw yg nervous!
Suasana di tempat hajat sudah begitu ramai. Pengantin ceweknya pasti lagi nunggu di dalem rumah.
Agak jauh dari rumah hajat, berdiri berbaris beberapa orang menunggu rombongan. Kami berhenti dan
berdiri berhadapan dengan mereka. Salahsatu dari mereka yg membawa mikrofon, yg belakangan gw
tau adalah bokapnya Dea a.k.a mertuanya Indra, mengucapkan penyambutan. Selesai itu giliran
nyokapnya Indra menjawab sambutan tadi. Lalu kami dibimbing bokapnya Dea menuju sebuah musholla
yg akan menjadi tempat berlangsungnya momen sakral dari acara ini, sementara rombongan seserahan
lanjut menuju rumah mempelai.
"Ri, doain gw..." bisik Indra begitu kami duduk berhadapan dengan penghulu di dalam musholla.
"Pasti," gw menepuk bahunya. "Jangan gugup."
Indra mengangguk setuju. Bersama puluhan orang yg ikut hadir di dalam tempat suci ini, kami semua
melakukan doa bersama sebelum prosesi akad. Pamannya Indra ditunjuk sebagai wali menggantikan
bokapnya. Gw sendiri nggak hentinya deg-degan nunggu detik-detik akad nya.
Indra dengan mantap menjabat tangan penghulu dan menjawab lantang pernyataan sang penghulu.
Sontak semua berseru "sah!" waktu pak penghulu kemudian memastikan keabsahan ijab qobul tadi.
Indra menarik napas lega lalu memeluk gw bahagia.
"Selamat Dul," kata gw. "Gw ikut bahagia."
"Thanks Ri. Thanks!"
Dan lalu kembali terdengar suara petasan meledak, disusul tetabuhan semacem rebana kalo gak salah.
Iringan pengantin wanita nampak berjalan mendekat ke tempat kami. Indra, gw dan pamannya berjalan
keluar dan berdiri di tempat kami menunggu kedatangan "penjemput".
Dan tibalah mereka... Dea yg sekarang sudah sah sebagai istrinya Indra muncul didampingi mamahnya,
dan.....Meva! Itu dia! Pake kebaya putih dan rambut disanggul, dia keliatan beda banget. Ini pertama
kalinya gw liat dia pake kebaya. Wouw..wouw..wouw! Hahaha.
Keliatan banget sebenernya Meva nggak nyaman dengan keberadaannya di dalam sini. Pamannya Indra
berhadapan dengan nyokapnya Dea, Indra berhadapan langsung dengan Dea, dan gw ketemunya Meva
tentu saja. Dia tampak malu-malu. Pipinya bersemu merah. Kali ini Meva lebih banyak menunduk dan
sesekali memandang Indra dan Dea, seperti enggan melihat gw.
"Penjemputan" sendiri diisi dengan pernyataan dari kedua mempelai yg sama-sama mengikrarkan janji
setia sehidup semati. Wuiih so sweet banget! Lalu keduanya berjalan berdampingan menuju pelaminan
di rumahnya. Dan dengan begitu selesailah tugas gw. Meva juga.
Suasana di luar sudah ramai disesaki warga yg berderet menepi, ingin ikut menyaksikan momen-momen
berharga ini. Begitu keluar, gw menarik Meva agak menjauh dari rombongan.
"Mau ke mana Ri?"" tanyanya kaget.
Gw berhenti di tempat yg memberi kami sedikit ruang bebas.
"Kita ke dalem lagi yuk?" kata gw.
"Mau ngapain?"?"
"Mumpung penghulunya masih ada tuh, kita married yuk" Giliran kita tuh. Lumayan lah gratisan, jadi
nggak perlu bayar lagi. Kan udah dibayar sama Indra," canda gw.
"Hah?" Meva terkejut. "Nggak modal banget loe pake penghulu bekas orang!" dia melepaskan
tangannya dari genggaman gw lalu menempeleng gw pelan.
Gw tertawa lebar liat ekspresi wajah Meva.
"Yah lumayanan lah!" kata gw.
"Ogah!" lalu Meva berjalan kembali ke dalam rombongan.
Gw segera menyusulnya dan berjalan di sampingnya.
"Jadi lo nggak mau nih gw ajak married?" goda gw lagi.
"Lo punya apa" Berani-beraninya ngajak gw married," jawab Meva dengan nada yg dibuat-buat.
"Gw punya cintaaa...." sumpah gw lagi niat banget tuh godain Meva.
Meva mencibir. "Makan tuh 'cinta'.! Cari duit dulu yg banyak baru ngelamar gw!" dan kami pun tertawa, nggak peduli
dengan tatapan orang-orang di dekat kami yg keheranan.
Setelah menyantap hidangan dan berfoto bareng kedua mempelai, gw dan Meva duduk di meja pager
ayu. Kami memutuskan hari ini ganti profesi jadi penyambut tamu. Padahal pager ayu yg aslinya udah
ada empat tuh. Well, acaranya meriah banget. Gw dan Meva pamit pulang menjelang malam.......
Part 60 Gw diam sejenak dan mencoba sedikit berfikir tentang semua yg udah gw lewati di hidup gw. Gw cuma
mau review, seandainya saat lahir dulu gw ada di angka nol..maka sekarang ini gw nyampe di angka
berapa yak" Oke, anggap saja finishnya adalah angka 100. Apa gw sekarang sudah mendekati itu"
Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Limapuluh" Tujuhpuluh" Atau bahkan cuma beberapa angka dari nol"
Rasanya waktu terlalu cepet berlalu tanpa gw bisa banyak berbuat untuk hidup gw sendiri. Gw udah
nyampe di usia 23 tapi belum banyak perubahan yg gw rasakan. Semuanya masih sama seperti baru
lulus SMA. Dibandingkan dengan Indra yg nyaris sudah mendapat semuanya, jelas gw nggak ada apaapanya. Rumah, istri, dan segala tetek bengeknya, gw masih jauh dari itu.
Tapi toh kalau gw cuma memikirkan soal materi, semua nggak akan ada habisnya. Gw akan selalu
merasa kekurangan, gw yakin lah. Bener kata Indra, masa depan gw adalah misteri. Dan yg bisa gw
lakukan cuma ngejalanin yg ada sambil menunggu ke mana misteri ini akan berujung.
Gw embuskan asap putih dari mulut gw ketika terdengar langkah kaki menapaki tangga. Pasti Meva baru
balik dari kampus. "Hayy Ri.." panggilnya dengan nada khas nya.
Bener kan itu Meva. Ah, bahkan cuma mendengar irama langkah kakinya gw hafal itu dia! Hebat banget
ya gw?" "Tumben baru balik jam segini?" sahut gw tanpa mengalihkan pandangan dari sawah yg nampak indah
tertimpa sinar senja di depan gw.
"Ada tugas banyak banget," Meva berdiri di sebelah gw dan menggeliatkan badannya. Dan wangi
parfumnya langsung menyeruak ke hidung gw.
"Eh, loe ngerokok?"" kata Meva lagi kaget.
Gw menatap batang rokok yg terhimpit diantara telunjuk dan jari tengah gw. Hebat banget yak dia bisa
tau kalo ini rokok?" (dengan nada menyindir)
"Enggak kok. Ini kan singkong?" jawab gw santai.
"Mana ada singkong ngeluarin asap kayak gitu!?""
"Ini singkong ajaib."
"Bukan, itu rokok Ri. Bego amat gw kalo nggak bisa bedain mana rokok mana singkong?"
"Yeeeeey kan udah gw bilang ini singkong ajaib?" gw bertahan dengan argumen gw. "Orang lain akan
ngeliat singkong ini adalah rokok, padahal ini cuma singkong goreng kok."
Meva menatap lekat-lekat rokok di jari tangan gw. Dia seperti ingin meyakinkan dirinya kalo ini memang
singkong goreng! "Ini rokok ah!" akhirnya Meva sampai pada kesimpulan akhirnya.
"Emang ini rokok, siapa yg bilang ini singkong goreng?"
Meva mendengus kesal. Direbutnya rokok dari tangan gw dan langsung dilempar ke bawah.
"Sejak kapan loe ngerokok" Setau gw loe nggak pernah ngerokok," cecarnya.
"Itu batang rokok pertama gw. Baru juga sekali isep, kok dibuang sih?" protes gw.
"Gw nggak suka liat loe ngerokok!"
"Ya udah gw ngerokok dalem kamer aja biar lo nggak liat.."
"Rokok itu nggak baik buat kesehatan tau!"
Gw tertawa pelan. Sial banget gw, baru pertama nyoba ngerokok eh malah dibuang rokoknya.
"Masa lo nggak tau sih riset yg dilakukan seorang profesor Jepang tentang rokok?" ujar gw. "Gw baca di
majalah, katanya rokok bisa mencegah rambut seseorang beruban lho!"
"Jelas aja perokok nggak punya uban, mereka kan mati sebelum sempat ubanan?""
Gw tertawa lebar. Ah, udahlah. Gw juga kayaknya nggak bakat jadi perokok.
"Loe tau" Dalam satu batang rokok, ada jutaan racun mematikan yg bisa bikin lo mati kapanpun." Meva
mulai berceramah. "Oke oke. Sorry, tadi gw cuma coba-coba kok.."
"Nyoba tuh hal baik kek, jangan nyoba yg nggak bener lah."
"Iya, ibu guru..."
Meva mencibir. "Tapi kok ibu guru perhatian banget sih sama saya, sampe segitunya" Hohoho.."
"Bukan apa-apa. Gw males aja kalo nanti gw harus jadi saksi di pengadilan, seandainya lo mati
keracunan rokok di kamer lo."
"Yah gw pikir saking baiknya lo, ternyata..." gw mendesah kecewa.
Meva terkikih pelan. "Udahlah nggak ada gunanya ngerokok. Sayang duit lo. Mending kumpulin aja tuh duit buat modal
kimpoi," kata Meva masih menasehati gw.
"Emang gw mesti punya berapa duit sih buat ngelamar loe Va?" iseng gw tanyain itu. Haha.
Meva tampak terkejut. Setelah berfikir beberapa detik dia menjawab.
"Emmh..gw punya syarat buat lo kalo mau jadi laki gw."
"Apa tuh?" "Lo harus buatin gw mall di atas Bendungan Walahar. Terus, buatin gw perahu yg gede biar gw gampang
kalo mau ke mall. Dan semua itu harus dikerjakan dalam satu malam sebelum fajar tiba!" katanya.
"Wah kalo gitu gw nyerah deh...entar ujung-ujungnya gw dikerjain pake suara ayam," kami pun tertawa.
"Eh Ri, hari Sabtu besok lo lembur nggak?" tanya Meva.
Gw menggeleng. "Emang napa?" gw balik tanya.
"Ikut gw yuk ke Jakarta."
"Mau ngapain emangnya?"
"Duit gw udah mau abis. Udah waktunya gw dapet suntikan dana. Yah sekalian gw kenalin lo ke nyokap
gw.." "Masa" Apa ini ada hubungannya sama lamaran?" Wah gw nggak nyangka secepet ini.!" canda gw.
"GR amat lo!" Meva menempeleng gw pelan. "Baru dikenalin aja udah ngehayal jauh."
Gw nyengir bego. Pasti muka gw keliatan aneh dah.
"Ya udah ntar kita omongin lagi deh. Gw capek nih mau mandi dulu," Meva berjalan menuju kamarnya
lalu klik...dan pintunya tertutup rapat.
Part 61 Sabtu pagi-pagi bener Meva udah gedor kamer gw, ngingetin janji gw nemenin dia ke Jakarta. Saking
semangatnya dia kayak lagi ngajak Perang Dunia ke 3. Dan setelah berdebat sengit selama setengah jam
soal waktu keberangkatan akhirnya tepat jam tujuh gw dan Meva berangkat pake bus jurusan Priok.
Berhubung mata lagi sepet-sepetnya gw tidur deh selama perjalanan, nggak peduli si Meva mau ngoceh
kayak apa juga. Gw anggep radio rusak aja. Salah dia sendiri kan ngajak gw pas ngantuk-ngantuknya"!
Gw bangun gara-gara kepala gw kejedot jendela. Si Meva malah ketawa-ketawa puas liat gw sakit.
"Nggak di kosan nggak di tempat umum kerjaannya ngebooo mulu," komentarnya.
"Ngantuk Va..semalem kan gw begadang," sergah gw. Baru sadar kalo badan gw basah oleh keringat.
Selain panas, busnya juga hampir penuh penumpang. Gw dan Meva kebagian di bangku ujung dekat
pintu belakang. "Panas banget yak?"
"Buka aja kacanya."
Gw menggeser kaca jendela di samping gw. Bus berhenti di loket pintu tol Pondok Gede.
"Berapa lama lagi sih?" tanya gw.
"Sekitar limabelas menit ke Priok. Abis itu ganti bus yg jurusan Blok M."
"Yah masih lama donk?" gw mendesah kecewa. Akhirnya gw putuskan mencoba tidur lagi walaupun
ternyata sia-sia. Panasnya bener-bener menyengat.
Dan bukan Jakarta namanya kalo nggak macet. Setengah jam setelah lewat tol Pondok Gede tadi, baru
deh nyampe terminal Tanjung Priok. Gw udah kayak orang mandi aja. Kaos gw basah kuyup. Meva juga
kepanasan sebenernya. Buliran peluh bercucuran membasahi bulu-bulu halus di lehernya. Tapi dia
samasekali nggak mengeluh kepanasan. Nih anak kayaknya lagi semangat 45.
Butuh sejam sebelum akhirnya kami tiba di terminal blok M. Dari situ lanjut lagi pake mikrolet, nggak tau
jurusan mana. Yg gw tau adalah akhirnya kami berdiri di depan sebuah rumah model kuno zaman
Belanda. Di sini sejuk banget. Mungkin karena letak rumahnya yg cukup jauh dari jalan raya jadi nggak
begitu kena polusi. "Ini dia, akhirnya nyampe juga!" Meva membuka pagar besi bercat kuning yg sudah aus termakan usia.
"Selamat datang di rumah gw."
Gw memandang berkeliling. Ada satu pohon besar di tengah halaman yg dipasangi ayunan di dahannya.
Gw perkirakan usia ayunan itu sudah lebih dari sepuluh tahun dan sangat jarang digunakan karena tali
rantainya sudah berkarat parah. Sayup-sayup terdengar lagu gambang kromong yg diputar dari dalam
rumah. "Woy, malah bengong." Meva membuyarkan lamunan gw. "Masuk yuk?"
Kami sampai di depan pintu dan sebelum Meva sempat mengetuknya pintu sudah terbuka. Seorang
wanita tua berusia 60an berbaju cokelat muncul dan melempar senyum ke arah kami.
"Hay Oma," Meva memeluk neneknya.
"Kamu tambah gemuk aja Va," Oma berseru gembira.
"Masa sih" Baru juga sebulan nggak ketemu udah dibilang gemuk," Meva meraba-raba perutnya.
"Emang gw gemukan ya Ri?" tanyanya ke gw.
Gw asal ngangguk aja. "Ah enggak ah! Kalian berdua sekongkolan nih bilangin gw gemuk!" dia memprotes sendiri.
"Va..itu...?" Oma menunjuk ke gw.
"Oh...kenalin ini temen Meva, namanya Ari," dia menarik gw mendekat dan menyalami Oma nya.
"Temen kuliah?" tanya Oma.
"Bukan. Temen di kosan." Meva nyengir malu.
"Oooh," Oma menganggukkan kepala. "Ya udah masuk sini..."
Dan akhirnya gw bisa selonjoran juga. Gw duduk di sofa tua di ruang tamu sementara Meva melempar
tas nya sembarangan ke sofa lalu bergegas ke dalam. Oma duduk di seberang gw. Seperti penghuninya,
perabot-perabot di rumah ini terbilang tua. Kuno tepatnya. Banyak aksesoris rumah khas zaman Belanda
yg dipajang di ruangan ini.
"Mau minum apa Ri?" Meva muncul dari balik tembok.
"Jus alpukat deh," jawab gw.
"Gila aja, lo kira ini kafe" Mana ada jus alpukat!"
"Kalo gitu jus melon deh."
"Nggak ada, dodol!"
"Ya udah es teh manis aja. Ada?"
Meva menggeleng. "Adanya aer putih doank," jawabnya bodoh.
"Terus ngapain donk lo nawarin kalo nggak ada pilihannya?"
Meva cengar-cengir. "Kan basa basi" Biar lebih akrab aja gitu.."
Gw mendengus kesal. "Ada kopi di lemari tuh Va," kata Oma.
"Lemari mana?" "Yg tengah tuh, samping tivi.."
Bergegas Meva kembali ke dalam. Sementara menunggu gw dan Oma ngobrol-ngobrol basa basi gitu.
Tentang asal dan kerjaan gw.
"Hayoo lagi ngomongin gw yak?" kata Meva dengan pedenya yg muncul membawa segelas air dingin.
Padahal kan tadi katanya ada kopi yaa?"
"GR loe," jawab gw pelan.
"Kamu udah ke Mamah, Va?" tanya Oma.
"Belum. Ini baru mau ke sana, istirahat dulu bentar deh. Oiya tante mana Ma?"
"Belum dateng. Mungkin nanti sore.. Kamu mau minta duit ya?"
"Hehehe...tau aja nih si Oma. Lagian kalo bukan minta duit, ngapain lagi coba Meva ke sini?"
"Ya udah tunggu aja tante kamu dateng."
"Oke." Kami bertiga akhirnya ngobrol-ngobrol ringan. Ditemani musik khas gambang kromong yg mengalun
pelan dari kamar Oma, suasana siang itu bener-bener bikin ngantuk. Udah dasarnya ngantuk, ditambah
lagi suasana mendukung, ya udah deh akhirnya gw tanpa sadar tertidur di tengah obrolan kami
bertiga..... Part 62 "Ri..bangun Rii..." sebuah tepukan di pipi membuat gw terjaga.
Meva sedang berdiri di depan gw sambil satu tangannya berkacak pinggang.
"Ni anak kebonya minta ampun!" dia gelengkan kepala beberapa kali. "Nggak di kosan nggak di rumah
orang, kerjaannya ngeboooo mulu!"
"Ngantuk gw Va.." gw benahi posisi duduk gw.
"Mata lo ada lem nya yak" Kayaknya gampang banget tuh mata nutup," dia lanjutkan ngomelin gw.
Gw menguap malas. "Oma mana?" tanya gw.
"Di kamer. Lo nya nggak sopan sih ada orangtua ngajak ngobrol malah molor."
"Iya iya maap.."
Meva mencibir. "Ya udah buruan cuci muka," lalu menarik tangan gw menuju dapur. Ada wastafel di sana. "Abis ini ke
rumah nyokap gw." "Kok nggak bareng di sini" Katanya ini rumah lo?"
"Sapa bilang" Ini rumah nenek gw."
"Tadi pas baru dateng, lo bilang kayak gitu. Ah, nevermind lah. Kita ke mana nih?"
"Grogol," jawab Meva pendek.
Selesai cuci muka kami kembali ke ruang tamu. Setelah pamitan ke Oma, gw dan Meva berangkat pake
bus. Gw nggak hafal kota Jakarta jadi gw ngikut Meva aja. Selama perjalanan Meva nggak banyak
ngomong. Dia lebih banyak melamun menatap keluar jendela. Tiba-tiba saja dia berubah jadi pendiam.
Dan Meva benar-benar nggak bicara sampai kami tiba di depan sebuah pintu teralis besi. Seorang wanita
berseragam membuka gemboknya dan mempersilakan kami masuk. Ruangan ini terletak agak terpisah
dari ruangan-ruangan lainnya.
"Dua malam yg lalu mamah kamu kumat, jadi kami pindahkan ke tempat favoritnya," kata wanita
berseragam itu pada Meva.
Meva hanya membalas dengan senyuman lalu mendahului gw masuk ke ruangan. Sebuah ruangan kecil
yg pengap dengan satu tempat tidur yg sangat kotor tanpa sprei. Orang waras manapun pasti enggan
berada di ruangan ini. "Mah..." Meva berjalan cepat menuju seorang wanita di sudut ruangan. "Mamah apa kabar?" dan
langsung memeluknya. Langkah gw terhenti di depan pintu. Menatap lekat-lekat wanita paro baya yg sedang dipeluk Meva.
Seolah tidak peduli dengan kotor dan baunya wanita itu, Meva memeluknya penuh cinta.
Gw disuguhi pemandangan yg mengejutkan sekaligus mengharukan di depan mata gw. Seorang wanita
muda, cantik dan rapi, tengah memeluk wanita yg tampak jauh lebih tua dari usia sebenarnya.
Berpenampilan serba kusut, rambut panjang yg tidak pernah disisir hingga mengeras, wajah yg keriput
dan berminyak serta jari-jari kasar yg hitam. Sangat kontras dengan Meva.
"Mah," lanjut Meva. "Mamah baik-baik aja kan?"
Wanita itu tetap diam. Nggak berusaha melepaskan diri dari pelukan Meva tapi juga nggak
menyambutnya. Dia menatap kosong atap bangsal yg berjamur.
"Meva kangen sama Mamah..." Meva masih memeluknya erat.
Jadi, inikah dia" Wanita tua gila ini adalah mamahnya Meva" Ya, sudah jelas wanita itu gila. Gw langsung
menyadari adanya keganjilan begitu Meva tadi menggandeng gw masuk melewati gerbang Rumah Sakit
Jiwa ini. Tadinya gw pikir akan menemui seorang dokter wanita pengurus pasien di sini, tapi nyatanya...
Hemmmpph......napas gw seperti tertahan di kerongkongan. Bener-bener sesuatu yg nggak terduga. Gw
cuma bisa terpaku, memandang Meva di sudut sana yg kini menitikkan airmata. Entah bahagia entah
sedih.. "Mah, ini Meva Mah..." Meva melepas pelukannya, lalu membelai rambut wanita itu. Jelas sekali jarijarinya yg lentik cukup kesulitan mengikuti bentuk rambut yg mengeras. "Mamah udah makan belum?"
Wanita itu akhirnya menatap Meva.
"Makan?" ucapnya pelan.
"Sebentar," Meva merogoh saku celana jeans nya dan mengeluarkan sebatang permen lolipop. "Ini
permen kesukaan Mamah. Masih dingin lho, tadi Meva ambil dari kulkas di rumah."
Meva membuka bungkusnya lalu menyerahkannya ke mamahnya yg sangat antusias menerima permen
dari Meva. Meva tertawa pelan. Bahagia tapi airmatanya nggak berhenti menitik.
"Mamah cantik banget hari ini," diusapnya pelan pipi wanita tua itu.
Meva menatapnya penuh sayang.
"Mamah, Meva kangen banget sama Mamah..."
Dia mengacuhkan Meva. Hati gw mencelos. Sangat tidak bisa dibayangkan rasanya ada di posisi Meva sekarang.
"Mamah kapan pulang ke rumah" Kita bikin puding bareng lagi ya?"
Rasanya seperti bukan melihat Meva yg gw kenal. Seolah terbalik, Meva mengusapi pipi wanita itu,
layaknya usapan seorang ibu pada bayinya yg baru lahir. Penuh kasih dan harapan.
"Oiya Mah, coba tebak Meva ke sini sama siapa?" Meva memandang gw dan melambaikan tangannya
mengajak gw mendekat. Gw jongkok berlutut di samping Meva.
"Kenalin Mah, ini Ari..."
Kedua mata wanita itu menatap gw tajam, dan sedetik kemudian dia berteriak histeris. Melempar gw
dengan permen di tangannya lalu mulai mengoceh. Wanita berseragam yg menunggu di depan pintu
berteriak memanggil dua rekannya, dan beberapa detik kemudian mereka menyergap nyokapnya Meva,
menahan tendangan dan pukulan yg diarahkan sporadis ke udara. Mendadak gw jadi ngeri.
Meva langsung menggandeng gw keluar.
"Sampe ketemu lagi Mah..." ucapnya setengah berteriak mengatasi raungan nyokapnya di dalam. Dia
Lukisan Darah 2 Wiro Sableng 025 Cinta Orang-orang Gagah Anak Pendekar 3
"Pantesan tiap sakit bisa langsung sembuh," katanya. "Ternyata ada obat khususnya toh."
"Errr....enggak. Tadi nggak ngapa-ngapain kok!" gw ngotot. "Lo dateng di saat yg ngga tepat."
"Iya gw ngerti kok. Makanya maaf yah.."
Berkali-kali gw klarifikasi tapi Indra tetap sok bego. Dan akhirnya malam itu gw abis tuh disindir si
gundul.. Part 41 Satu hal yg unik, gw lebih suka mengatakannya istimewa, dari diri Meva adalah dia sering tahu apa yg
orang banyak nggak tahu dan menyukai apa yg orang nggak menyukainya. Satu lagi, dia juga memikirkan
yg orang lain nggak memikirkannya.
Suatu sore di akhir Maret...
Hujan lagi-lagi turun deras. Gw kepalang basah ada di jalan jadi ya sudah terpaksa gw basah-basahan
nyampe di kamar. Mandi dan berganti pakaian hangat, gw segera bersembunyi di balik selimut.
Masih dingin. Minum teh anget aja deh, lumayan ngangetin badan. Gw ambil gelas, ah sial. Air di galon
belum gw isi ulang. Gw ke kamer Indra. Pintunya dikunci. Dia pasti masih molor. Lagi shif malem soalnya.
"Mevaa," gw ketuk pintu kamarnya. Mengecek keberadaan penghuni kamar di depan kamar gw.
"Masuuk aja Riii..." terdengar suara cewek dari dalam.
Gw masuk dan memburu dispenser. Sambil nunggu airnya panas gw melompat ke kasur dan menarik
selimut sampai menutup kepala.
"Lo kenapa sih Ri?" Maen sradak-sruduk aja."
Gw buka selimut. Lupa gw kalo Meva juga ada di dalem kamer. Dia lagi baca buku.
"Dingin," jawab gw pendek.
Meva melirik sebentar lalu melanjutkan membaca.
"Ya udah tidur aja," komentarnya.
"Ini juga mau tidur. Ntar abis minum teh gw tidur deh."
Saat itu gw beneran kedinginan. Telapak tangan dan kaki gw serasa kebas.
"Gw tidur di sini yah?" kata gw.
Meva kernyitkan dahi. Sejenak gw pikir dia bakal ngusir gw.
"Lo kayak yg baru ngekos aja pake minta ijin segala," sahutnya.
"Itu artinya gw menghormati lo sebagai tuan rumah."
"Sok baik loe."
"Haha.. Gw emang baik kali."
"Alaaah...tuh aernya panas."
Gw liat lampunya memang sudah menyala. Langsung gw seduh tehnya.
"Matiin lagi dispensernya," kata Meva lagi.
Gw melakukan yg dimintanya tanpa berkomentar. Hujan di luar masih deras menderu atap kamar dan
gw sedang asyiknya menikmati kehangatan teh yg menjalar ke seluruh tubuh ketika Meva bertanya.
"Ri, lo tau tentang lagu Gloomy Sunday nggak?"
Gw balikkan badan dan menggeleng.
"Apaan tuh" Nggak pernah denger gw," kembali ke posisi duduk semula membelakangi Meva dan
meneguk lagi teh hangat. "Lagu kematian," jawab Meva. "Banyak orang bunuh diri setelah dengerin lagu itu."
"Oh ya?" gw menanggapinya acuh. Hanya satu kata yg terlintas di benak gw : mitos.
"Kok reaksi lo biasa aja?"
"Lha, emang mesti gimana" Heboh gitu?"
"Ya enggak..." Meva menutup bukunya dan menaruhnya di atas bantal. "Kayaknya ekspresi lo datar aja
denger orang mati?" "Ya emang udah kayak gini, mau diapain lagi?" teh di dalam cangkir hampir habis.
"Ri..." "Apa?" "Lo percaya surga nggak sih?" kata Meva.
Gw diam sebentar. "Maksudnya?" gw balik tanya.
"Maksud gw, lo percaya nggak kalo surga itu ada?" Meva menjelaskan.
"Pertanyaan lo aneh."
"Enggak. Ini samasekali enggak aneh. Gw mau tau pendapat lo."
"Surga ya" Emmmh....bentar ya gw pikir-pikir dulu."
"Yah, kelamaan mikir elo mah."
"Emang kenapa sih lo tanya kayak gitu" Bukannya semua agama meyakini ada kehidupan setelah
manusia mati?" "Tapi gimana kalo itu semua nggak pernah ada" Gimana kalo ini adalah satu-satunya kehidupan yg kita
jalani, dan nggak ada kehidupan lagi setelah ini" Gimana kalo surga ternyata nggak pernah ada?""
Gw diam. Jujur aja, pertanyaan semacam itu sempat hinggap juga di otak gw. Tapi gw selalu nggak
menemukan jawabannya. "Seandainya ini memang satu-satunya kehidupan, apa yg akan lo lakukan?" ujar gw tanpa bermaksud
apa-apa. Giliran Meva yg diam. "Gw percaya kok surga itu ada.." akhirnya dia bicara.
"Nah ya udah, sekarang tinggal mikirin aja gimana caranya biar bisa masuk surga. Gampang kan?"
"Tapi, apa kita bakal ketemu lagi di sana?"
"Maksud lo?" gw heran. "Ada apa sih sama lo Va, ngomongnya aneh banget hari ini."
Dia menatap gw sayu. "Gw tau, saat-saat seperti ini nggak akan berlangsung selamanya," ucapnya pelan. Sejenak diam,
membiarkan suara rintikan hujan yg jadi musik pengiring, lalu bicara lagi. "Gw tau Ri, suatu hari nanti
kita pasti akan jalani hidup kita sendiri-sendiri. Tapi, apa nanti kita akan ketemu lagi di surga?"
"Pertanyaan lo terlalu jauh."
"Jawab pertanyaan gw."
"Iya, kita pasti ketemu di surga. Tinggal sms aja, ketemunya dimana," kata gw ngelantur.
Dan tanpa gw duga, Meva melompat, memeluk gw, lalu menangis.
"Apa saat kita ketemu di surga nanti, kita masih bisa seperti ini?"
"Hei..hei...lo napa Va?"
"Apa di surga lo masih akan kenal gw?"
"Meva...." gw dorong tubuhnya menjauh tapi pelukannya terlalu kuat. "Oke. Dengerin gw."
Meva masih menangis. "Terlalu jauh mikirin hal itu. Lebih baik sekarang lo kejar aja dulu cita-cita lo. Udah, itu aja dulu deh. Ya?"
Meva malah makin jadi. Dia menangis kencang.
"Va, gw masih disini kok. Kita masih sama-sama kan" Udah ah, ngapain sih nangis.."
Tapi Meva tetap menangis.
Untuk pertama kalinya, gw memeluk Meva. Dia tetap hangat, sehangat kecupannya di kening gw
kemarin. Dia tetap sosok yg nggak tertebak. Dan diam-diam gw berharap, semua akan tetap seperti ini.
Gw nggak mau ini berakhir.
Please God........... Part 42 "Maafin gw," kata Meva. Dia melepaskan pelukannya dan usapi airmata di kedua pipinya.
Di luar hujan masih bergemericik. Tapi udah nggak sedingin tadi.
"Lo kenapa sih mendadak mellow?" tanya gw.
Meva menggeleng. Dia tertawa kecil untuk menghibur dirinya sendiri.
"Udah dua hari ini gw mimpi buruk," ujarnya pelan.
"Mimpi buruk apa?" selidik gw.
"Cukup buruk. Buruk banget malah.........."
"Mimpi apa sih?" gw penasaran.
"Tapi lo jangan marah ya?"
Gw mengangguk. "Gw........mimpi lo meninggal, Ri."
Sejenak kami sama-sama terdiam.
"Terus?" kata gw lagi. Datar.
"Kok nanya 'terus'" Lo nggak sedih ya ada yg mimpiin lo mati?" Meva protes.
Gw tersenyum lalu berkata.
"Kenapa mesti sedih" Itu kan cuma mimpi" Lagian, semua orang pasti akan mati kok. Nggak usah
dipermasalahkan lah," saat mengatakan ini bayangan Echi berkelebat di benak gw.
"Iya loe mah enak, tinggal mati, udah! Nah yg sedihnya kan yg ditinggalin!"
Gw tertawa pelan. Kenapa sih mesti ngebahas kayak ginian"
"Udahlah, mimpi itu cuma bunganya tidur Va.." kata gw. "Nggak perlu dipermasalahkan."
"Kenapa?" Gw diam. "Kenapa" Kenapa lo nggak bisa ngerasain takutnya gw kehilangan loe.....?"
Gw terhenyak. Meva lagi ngomong apa sih"
"Jangan ngomongin itu sekarang boleh ya" Gw jadi parno nih kalo udah ngebahas soal mati."
Meva menarik napas berat.
"Lo pernah nggak ditinggal orang yg paling lo sayang?" tanya Meva lagi.
Ah, akhirnya pertanyaan itu keluar juga.
"Maksudnya..ditinggal mati?" gw memastikan.
Meva mengangguk. "Pernah," jujur aja berat sekali buat gw ngebahas ini. "Cewek gw. Dia meninggal hampir setahun yg
lalu." "Siapa namanya?"
"Penting ya?" "Gw cuma mau tau."
"Echi." "Oooh..." Meva mengangguk pelan. "Terus gimana, apa lo udah relain dia pergi?"
"Yaah...gimana yak, rela nggak rela, masalahnya dia nggak akan kembali lagi kan" Jadi ya udah deh
ikhlasin aja." "Jadi lo nggak terlalu kehilangan ya?"
"Bukannya gitu. Jelas gw kehilangan lah! Cuma kan namanya orang hidup harus move on..nggak boleh
terlalu larut sama yg namanya kesedihan. Yah gw bisa ngomong gini juga karna gw udah ngerasain
gimana sakitnya kehilangan."
Kami diam lagi. "Seandainya, ini seandainya loh! Seandainya gw mati duluan, lo bakal kehilangan gw nggak Ri?"
"Ah, napa sih loe hari ini nanya yg aneh-aneh?"
"Udah jawab aja laah.."
"Emh, gimana yak" Buat ngebayanginnya aja udah sakit banget, apalagi kalo sampe kejadian.."
Meva tersenyum. "Gini Ri, misalnya gw adalah cewek lo," katanya. "Terus gw mati. Nah, lo bakal mati juga demi gw
nggak?" Gak perlu waktu lama buat gw jawab.
"Masih banyak cewek yg seksi, bahenol dan cantik. Ngapain susah-susah mati buat lo?" kata gw ngasal.
"Aaah! Loe itu!! Gw udah seiya-iya nangisin loe, malah kayak gitu reaksi loe! Mengecewakan!" Meva
ngambek. Wajahnya berubah cemberut. Sementara gw di depannya cuma cengar-cengir geli. "Awas aja,
kalo nanti loe duluan yg mati, gw juga nggak akan nangisin loe!"
Gw tertawa lebar. "Udah ah, serius, gw nggak suka ngomongin soal mati. Biarin aja ngalir apa adanya, nggak usah terlalu
dipikirin, tapi juga ya jangan sampe dilupain sih."
Meva mendelik masih dengan ekspresi marah yg dibuat-buat. Justru gw malah pengen ketawa liatnya.
"Nyesel gw nanyain loe," gerutunya.
"Haha.. Iya, maaf. Abisnya lo gitu sih.."
"Gitu gimana?"?"
"Ya itu tadi. Masih muda juga udah ngomongin soal mati."
"Lah, emang apa salahnya" Usia muda nggak menjamin seseorang punya durasi umur yg lebih lama
kan?" Banyak ah, contohnya yg mati di usia muda."
"Iyaa gw tau itu. Yg nikah di usia muda juga banyak kan?"
"Ah, loe beneran nggak bisa diajak serius!!" Meva mengambil bantal dan memukul-mukulkannya ke gw
sambil ngomel nggak jelas. Gw cuma bisa meringkuk di balik tangan gw.
"Gw benci sama loe!" kata Meva lalu membanting bantal ke kasur. Dia masih cemberut.
"Yah marah nih..." canda gw. Gw yakin tadi dia nggak serius bilang gitu. "Beneran benci?"
"Marah!" "Yakin?" "Kesel!" "Oiya?"" "Iya, iya. Gw sebel," Meva menurunkan taraf kemarahannya.
Gw senyum-senyum geli melihat kelakuan Meva sore ini.
"Sini deh Va," gw menarik tangannya mendekat.
".............................."
Ini kedua kalinya gw memeluk Meva. Masih sama seperti tadi, gw bisa merasakan kehangatan tubuhnya.
"Dengerin gw ya Va," bisik gw di telinganya. "Gw emang nggak tau apa-apa soal surga. Tapi satu hal yg
gw yakin....enggak pernah ada airmata di surga. Surga itu tempatnya semua kebahagiaan berujung.
Ketenangan, kedamaian dan kenyamanan."
"Lo yakin Ri?" "Yakin banget," gw peluk dia makin erat. "Saat kita udah dapetin semua ketenangan, kebahagiaan,
kedamaian dan kenyamanan dalam hidup kita..saat itulah kita ada dalam surga buat diri kita."
Ah, ngomong apa sih gw"
"Thanks ya Ri," bisik Meva.
Dan sore itu sebenarnya kami sama-sama saling menunjukkan ketakutan dalam diri kami. Sebuah
ketakutan yg nyata. Takut bahwa salahsatu dari kami akan meninggalkan yg lain. Takut kehilangan. Dan
saat itulah gw sadar, ternyata kami saling menyayangi............
Part 43 Well, ngga ada sedikitpun yg berubah dari gw dan Meva. Hanya saja, sekarang gw sedikit lebih perasa.
Gw bisa merasakannya, ada semacam keterikatan antara kami berdua. Tapi gw nggak terlalu ambil
pusing. Gw biarkan semua berjalan apa adanya tanpa ada satu dari kami yg memaksakan ego. Biar
sajalah. "Ciiieeee.... Lisa!!" suara keras Meva membuat gw terlompat mundur dari pintu kamar.
"Ngagetin aja!" gw balas berteriak. Nasi bungkus di tangan gw nyaris terjatuh saking kagetnya. "Apaapaan sih teriak-teriak nggak jelas?"
"Suiit..suiiit.... Ehem!"
Gw mengacuhkannya. Dia lagi gila kali, kata gw dalam hati. Gw masuk dan ambil piring, bersiap
menyantap mie ayam favorit gw.
"Pantesan akhir-akhir ini lo keliatan girang banget," lanjut Meva.
"Maksudnya?" tanya gw acuh.
"Lisa!" dia berteriak lagi. "Dia pacar baru lo kan?""
Gw tersedak begitu mendengar ucapannya. Dan seperti gw duga, Meva menggenggam handphone gw.
"Dia bukan pacar gw," kata gw protes. "Cuma rekan kerja di kantor."
"Oh ya" Kok sms nya mesra amat yak" Dan di inbox lo juga cuma ada pesan dari Lisa."
Gw mulai merasa nggak nyaman ngomongin ini.
"Ngga sopan lo baca sms orang lain," gw kesal.
"Lo bukan orang lain buat gw, jadi gw sah-sah aja baca sms lo"."
"Oh ya" Berarti gw juga sah aja donk ngelakuin apapun ke loe?" Yah misalnya apa yaa..."
"Enggak! Itu beda!"
"Beda di mana nya?""
"Pokoknya sama. Lo mau menang sendiri nih."
"Beda..beda..beda!!"
Gw tertawa pelan. "Oke, kembali ke topik pembicaraan," ujar Meva. "Udah berapa lama lo jadian sama cewek bernama
Lisa?" "Udah gw bilang kan...dia itu temen kerja doank. Nggak lebih! Lo jangan sembarangan ngegosip." gw
masih asyik dengan mie di mulut gw.
"Kalo gitu, berarti Lisa suka sama lo."
"Darimana lo tau" Ketemu aja nggak pernah."
"Gw tau dari cara dia ngomong di sms loe. Mana ada sih cewek yg perhatian banget sama cowok, tanpa
dia nggak suka sama tuh cowok" Gw cewek Ri, gw tau itu."
"Tapi lo juga perhatian sama gw," kata gw. "Berarti lo suka sama gw?"
Meva diam sejenak, lalu meledaklah tawanya. Gw cuma mencibir.
"Punya selotip?" tanya Meva. Dia nampak mengalihkan pembicaraan.
"Di laci lemari baju," jawab gw singkat.
Meva berjalan ke lemari, meninggalkan handphone gw di lantai. Gw ambil dan segera gw hapus semua
pesan di inbox gw. Lisa memang rekan kerja di kantor, dan gw jamin nggak lebih dari itu. Dia termasuk karyawan senior,
satu tahun lebih awal bekerja di sana. Tadinya dia di HRD, kemudian sejak ganti tahun dia dimutasi ke
Divisi Machining tempat gw selama ini. Jadilah kami saling kenal dan ketemu tiap hari. Namanya juga
temen kerja, sering ngobrol di kantor pas jam kerja atau sms an sepulang kerja, gw rasa itu normalnormal aja ah. Nggak ada yg lebih dari itu. Gw anggap perhatiannya ke gw sebatas teman. That's all.
Meva duduk di sebelah gw.
"Kenapa diapusin semua?" dia mengintip layar handphone gw.
"Pengen aja," jawab gw.
"Gimana sih rasanya pacaran?" kata Meva lagi. Dia sedang mencari ujung selotip hitam di tangannya.
"Gw belum pernah sekalipun pacaran soalnya."
"Bohong." "Serius. Mana gw sempet pacaran, kalo semua cowok aja pada ngejauhin gw?"
"Nggak semua." "Iya, kecuali loe. Terus, gimana rasanya" Pasti seneng ya punya pacar?" dia sudah menemukan ujung
selotip, menariknya sedikit lalu mengguntingnya.
"Pertanyaan bodoh," kata gw dalam hati. Kalo diliat dari fisik, gw yakin nggak ada yg percaya kalo Meva
ternyata nggak pernah pacaran. Dia cantik! (gw semangat banget ngomong ini)
"Sebenernya biasa aja sih, nggak ada sensasi khusus," kata gw.
"Masa" Lo pasti pernah ngelakuinnya kan?"
"Ngelakuin apa maksud lo?"
Meva meletakkan telunjuknya tepat di bibirnya.
"Kissing," lanjut dia. "Pasti lo pernah kan?" Jujur aja."
Gw tertawa kecil. "Iya gw pernah," kata gw sedikit malu.
"Terus terus terus, gimana rasanya?" Kalo gw ngebayanginnya, kayaknya iiiih.....agak gimana gitu."
"Lo mau tau rasanya ciuman" Sini," gw tarik kepalanya biar mendekat ke gw.
Dan... Plakk!
Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meva menampar pipi kanan gw.
"Udah pernah gw bilang kan?" Jangan bikin gw kaget!!!" teriaknya. "Gw cuma mau tau aja, bukan
praktek!" "Becanda Va...gw becanda tadi!" kata gw kesal. Ini ke empat kalinya gw kena tampar Meva.
"Iya, tapi gw kaget! Makanya gw refleks nampar lo!"
"Nggak asyik ah."
Meva masih cemberut. Dia mengeluarkan sesuatu, seperti kalung, dari saku celananya. Menaruhnya
melingkar di lantai, lalu menempelkan selotip hitam di bagian yg nggak tersambung.
"Lagi diapain tuh?" tanya gw.
"Ini kalung salib dari nenek gw."
Gw ingat. Itu memang kalung yg biasa dipakainya.
"Patah nih, mau gw sambung." Meva selesai merekatkan selotip di talinya.
"Kok bisa sih putus gitu?"
"Tadi ngga sengaja nyangkol di tas waktu di kampus."
Meva merentangkan kalungnya lalu mengenakannya di leher. Meva tersenyum manis.
"Gw cantik nggak Ri?" tiba-tiba dia bertanya.
Sejenak gw diam. "Banget," kata gw.
Meva tersenyum lagi lalu beranjak keluar. Selama beberapa saat, wanginya masih tertinggal. Wangi yg
khas....... Part 44 Gw baru beberapa langkah keluar dari gerbang ketika dari belakang terdengar bunyi klakson motor. Gw
menepi, dan pengendara motor itu tersenyum lalu hentikan motor di depan gw.
"Mau bareng?" tanya Lisa. "Gw juga lewat Teluk Jam*e."
"Nggak ngerepotin nih?" kata gw memastikan.
"Enggak lah... Lo kayak sama siapa aja sih pake basa-basi. Udah tinggal naek aja."
Dan nggak butuh dua kali berpikir buat gw menyetujui niat baiknya. Maka sore itu gw pun diantar
pulang oleh Lisa, temen kerja gw. Lumayan lah skali-kali ngirit ongkos. Hehehe..
Motor berhenti tepat di depan gerbang kosan. Gw turun dan bersiap mengucapkan terimakasih,
sebelum Lisa juga turun dan membuka pintu lalu memarkir motornya ke dalam.
"Gw mampir ke kosan lo, boleh khan?" katanya menjawab pandangan heran gw.
"Oh, boleh kok. Enggak papa," ujar gw.
Lisa tersenyum senang. "Gw bosen di rumah terus, skali-kali refreshing," katanya. "Kamer lo yg mana?"
"Kamer gw di atas. Paling atas."
Dan kami segera menuju lantai atas. Saat itu kosan sudah mulai ramai karena rata-rata penghuninya
balik kerja jam-jam segini. Jujur aja, gw sedikit malu karena ini pertama kalinya gw "bawa" cewek ke
kosan. Yah walaupun dalam konotasi yg sedikit berbeda, gw nggak enak aja membalas senyuman
temen-temen yg liat gw jalan sama Lisa.
Lisa adalah cewek periang yg punya pandangan luas tentang hidupnya. Selalu berpikir kritis, dan tentu
saja, dia sedikit banyak bawel. Buat gw Lisa adalah orang yg cocok sebagai partner kerja. Dia giat dan
beberapa kali malah dia yg menyelesaikan job gw di kantor, tentu saja tanpa sepengetahuan bos.
Hehehe. "Capek juga ya tiap hari mesti naik tangga kayak gini," Lisa berkomentar.
Kami sampai di lantai atas. Sebagai catatan, gw nggak pernah mengunci kamar gw ketika gw pergi.
Kalaupun dikunci, gw taroh di lubang fentilasi, tempat yg sudah bukan rahasia buat Indra dan Meva.
Maka gw nggak begitu terkejut ketika mendapati Meva ada di dalam kamar gw sedang tiduran di kasur
sambil maen gamewatch. Ekspresi yg berbeda ditunjukkan Lisa.
"Eh, lo udah balik Ri.." Meva bangun dan menatap gw dan Lisa sedikit gugup.
Gw tersenyum. "Ini..." kata Lisa menunjuk Meva. Kelihatannya dia nggak biasa liat cewek di dalem kamer cowok.
"Oh, kenalin. Ini Meva," gw memperkenalkan. "Meva, ini Lisa.."
"Ooh...ini Lisa, yg di sms itu ya?" kata Meva, ingat sms yg dibacanya di handphone gw. "Hay.."
Meva menyodorkan tangan, mengajak salaman.
"Eh, hay.." sahut Lisa. Mengacuhkan ajakan Meva berjabat tangan.
Gw mulai merasa nggak enak di sini. Meva berusaha menutupi kekesalannya, menarik tangannya dan
nyengir lebar. "Gw udah beliin mie ayam buat lo Ri, tuh di atas galon. Piringnya juga udah gw cuciin tuh, tinggal makan
aja," katanya. "Gw ke kamer dulu deh."
Lalu Meva bergegas keluar menuju kamarnya.
"Ehm, mau di sini atau ngobrol di luar aja?" kata gw ke Lisa.
"Di sini aja deh," Lisa duduk di lantai.
Gw merapikan beberapa barang yg berserakan di lantai. Nggak begitu berantakan sih sebenernya,
karena Meva pasti sudah merapikannya.
"Cewek yg tadi siapa sih?" tanya Lisa.
"Meva." "Maksud gw, dia itu siapa nya lo" Kok ada di kamer lo?"
"Seperti yg lo liat, dia penghuni kamer depan gw. Dia cuma temen kok."
"Oiya?" Dia temen yg baik yah, sampe beliin lo makan dan nyuciin piring?" kata Lisa lagi dengan nada
menyindir. "Udah biasa kok."
"Hebat! Kalo gw, gw nggak biasa tuh ada cowok tiduran di dalem kamer gw. Nggak tau deh kalo lo
gimana.." Nada bicaranya nggak enak banget. Kayaknya lebih baik nggak memperpanjang pembicaraan ini.
"Lo mau teh?" gw menawarinya.
"Boleh. Eh, ada kopi nggak" Kopi aja deh, kalo ada."
Gw mengangguk dan mempersiapkan dua gelas kecil buat gw dan Lisa.
"Sejak kapan lo kenal sama cewek itu?" tanya Lisa. Dia sepertinya masih tertarik membahas soal Meva.
"Udah lama. Sejak gw kerja di sini."
"Kalian udah deket banget ya?"
"Yah begitulah."
"Sedeket apa?" "Emmh..ya pokoknya deket ajah. Temen gw juga bukan dia aja."
"Apa dia cewek lo?"
"Maksudnya?" "Pacar. Apa si Meva itu pacar loe?"
Gw tertawa kecil. "Bukan. Dia cuma temen kok."
Lisa berdiri. "Numpang ke kamer mandi yah?" katanya.
"Oh, boleh.." Lisa masuk ke kamar mandi, sementara gw sudah selesai dengan kopi dan teh di tangan gw.
"Sebenernya hubungan kalian tuh apa sih?" kata Lisa begitu keluar dari kamar mandi. Di kedua
tangannya ada sesuatu yg seharusnya cuma ada di kamer cewek, karena itu memang punya cewek. "Ini
punya dia kan?" "Eh..mungkin tadi dia numpang nyuci di sini. Iya, pasti gitu."
Lisa menarik nafas berat.
"Oke. Kalian emang deket banget kayaknya," katanya lagi. Melempar 'punya' Meva ke kasur lalu duduk
di dekat gw. "Kami emang deket, tapi cuma sebatas temen."
"Enggak papa kok, nyantai aja. Nggak masalah."
Dia tersenyum seperti biasanya. Sempat sedikit kikuk, lalu suasana mencair kembali.
Dan akhirnya kami ngobrol-ngobrol ringan sampai sore hampir habis. Lisa pamit pulang saat matahari
sudah benar-benar terbenam..
Part 45 "Ciiiiieeeeeeeee..!!" suara Meva terdengar memekakan sebelah telinga gw. Dia bergelayutan di
punggung gw, nyaris membuat gw terpelanting ke belakang. Untung gw masih bisa meraih gagang pintu.
"Udah gede ya lo sekarang," katanya mengacak rambut gw. "Udah ngerti pacaran."
"Ekh...tokh...log....tagam..lokh...." leher gw tercekik. Kayaknya gw udah deket sama malaikat pencabut
nyawa. "Ups, sorry." Meva melepaskan tangannya dari leher gw.
"Lo mau ngebunuh gw ya?"" gw usapi leher gw yg memerah.
"Hehehe.." Meva malah tertawa tanpa rasa bersalah. Eh, lebih tepatnya bodoh. "Dia ke mana" Udah
balik?" "Udah, baru aja tuh."
Gw buka pintu kamar. Dan Meva menyelinap mendahului gw masuk. Ketika dilihatnya barang miliknya
tergeletak di kasur, buru-buru dia ambil dan sembunyikan di balik badannya. Dia nyengir lebar.
"Kok bisa ada di luar sih" Perasaan gw taro di dalem kamer mandi deh," katanya malu.
"Gw yg ngeluarin," kata gw bohong.
"Hah" Buat apaan?"
"Apa yak" Sedikit berimajinasi aja siih."
"Whats" Maksud loe?"" dua mata Meva melotot ke gw.
Gw tertawa lebar. "Laen kali jangan gantung barang-barang kayak gitu di kamer mandi gw."
"Iya iya sorry gw lupa tadi mah."
"Pikun lo. Kalo aja kepala nggak nempel di leher, kayaknya sekarang lo lagi sibuk nyariin kepala lo deh.
Sekarang lo cocok dipanggil Nenek Meva deh.."
"Enak aja! Nggak mau!"
Gw duduk di samping galon. Membuka bungkusan mie ayam yg belum sempat gw makan.
"Ri," kata Meva. "Tadi kayaknya Lisa nggak suka ya sama gw?"
"Kata sapa" Dia fine-fine aja kok. Malah sering nanya soal lo." Gw bohong lagi.
"Masa" Tapi tadi nggak gitu deh yg gw liat."
"Lo mah liat semut aja dibilang gajah."
"Ih, serius gw Ri!" Meva ngotot. "Tadi itu keliatan banget dia nggak suka sama gw."
"Terus kenapa" Itu hak dia kan" Sama kayak elo, lo juga berhak buat nggak suka sama dia.."
"Ah, enggak ah. Entar lo nya marah sama gw."
"Marah kenapa" Nggak ada hubungannya sama gw."
"Ya ada lah! Lo kan pacarnya!"
"Udah berapa kali sih gw bilang dia itu bukan siapa-siapa gw."
"Enggak... Mata lo. Gw bisa baca hati lo, dari tatapan mata lo."
"Wah, jangan-jangan lo bisa liat tembus pandang lagi?"
Meva tertawa. "Ngawur lo," katanya.
Hampir setengah mangkok mie sudah gw habiskan.
"Oiya, si Indra mana" Kok sekarang dia jarang keliatan ya?" tanya Meva.
"Lagi sibuk dia.. Namanya juga orang penting."
"Eh iya ya, dia sekarang udah jadi bos."
"Begitulah." "Lo gimana" Kapan lo jadi bos" Perasaan gw liat lo nggak ada bosennya jadi anak buah."
"Haha.. Enggak papa deh. Belum waktunya kali. Biar aja, kalo gw emang takdirnya jadi orang gede ya
nggak akan kemana. Kalo enggak, ya itu berarti gw emang nggak punya bakat jadi orang sukses."
Meva tertawa lagi. "Eh eh, balik ke topik semula!" katanya lagi. "Soal Lisa!"
Gw meliriknya sebentar. Kayaknya hari ini Lisa jadi trending topic.
"Udah berapa lama kalian jadian?"
"Udah berapa lama gw bilang kalo gw sama dia nggak punya hubungan khusus?"
"Ah, sejak kapan lo jadi pembohong?"
"Dan sejak kapan lo jadi o-o-n?"
Meva mencibir. "Gw tau kok Ri, lo suka kan sama dia?"
"Tau dari mana?"
"Kayak yg udah gw bilang, gw bisa baca pandangan mata lo."
"Kalo gitu sama kayak yg gw bilang, apa lo bisa liat gw tembus pandang?"
"Enggak bisa!" "Oooh..." gw mengangguk pelan. "Kalo gw bisa."
"Hah?" Asli nggak?"" Meva menarik selimut di kasur menutupi badannya.
Gw terkikih. "Jadi selama ini...loe..."
"Enggak lah! Gw becanda! Punya ilmu dari mana sih gw bisa liat kayak gituan" Hehe.."
"Oh, kirain!" dia melempar selimut ke kasur.
Mie sudah habis. Meskipun rasanya agak sedikit aneh dan lembek gara-gara terlalu lama didiamkan,
perut gw lumayan kenyang.
"Oiya, kan lo bilang tadi bisa baca isi hati orang dari tatapan matanya?" kata gw. Meva mengangguk.
"Kalo gitu coba tebak isi hati gw, dari cara gw ngeliat loe. Bisa?"
Sejenak gw dan Meva saling adu pandang.
"Gw tau yg lo pikirin," katanya.
"Apa coba?" Dia tersenyum. "Ada deeh....." kata Meva lagi.
"Jiaah, dasar. Bilang aja nggak bisa."
Malam baru saja beranjak datang. Masih terlalu sore buat gw tidur. Dan waktu Meva mengajukan usul
maen catur, tanpa ragu gw setujui usulnya. Kebetulan akhir-akhir ini kami memang jarang tanding catur
lagi. Dan rupanya Meva makin jago aja.
Berkali-kali menteri gw diteror, nyaris mati kalau saja gw nggak mengorbankan dua luncur yg gw punya
untuk menyelamatkannya. Meva juga punya strategi baru. Dia secara frontal mengejar menteri gw dan
membuatnya tersudut, sangat berambisi memakannya.
Daaan......hasil pertandingan malam ini adalah : 5-0 !! YESSS !!! Gw kalah lagi !!
Saking kecewanya gw sampe lupa kalo gw belum mandi dari sore.
Huaah...malam ini kerasa panjang banget. Gw baru selesai maen catur pas jam setengah duabelas
malam. Sempat gitar-gitaran juga sebelum akhirnya gw beranjak ke kasur.
Satu hal yg gw sadari malam itu adalah, gw nggak pernah bisa ngalahin Meva maen catuur !!
Part 46 Waktu bergulir begitu cepat. Nggak kerasa udah nyampe pertengahan tahun. Kehidupan anak kos di
tempat gw juga mulai berubah. Beberapa orang temen memutuskan pindah ke kosan yg lain. Diganti
dengan orang baru yg tentunya butuh adaptasi lagi sama orang lama kayak gw. Begitu juga Indra.
Setelah sekian lama jarang bertemu, di satu sore yg panas dia menemui gw dengan membawa sebuah
kabar. "Gw mau beli rumah Ri," katanya bersemangat ke gw yg waktu itu lagi ngadem di balkon sepulang kerja.
"Wah serius tuh?"" kata gw hampir nggak percaya, tapi dari dalam hati gw ikut gembira denger kabar
itu. Indra mengangguk. "Insya Allah bulan depan gw udah pindah ke rumah baru gw itu. Lagi diproses sama bank yg
bersangkutan, dan planning nya beres akhir bulan ini."
Gw berdecak kagum. "Beli rumah dimana lo dul?" gw tetep manggil dia seperti itu meski sekarang potongan rambut dia sudah
sangat mirip dengan Nirvana.
"Di Kara*a. Enggak cash sih belinya. Ikut program dari perusahaan aja."
"Mau cash ataupun nyicil, yg penting punya rumah," kata gw. "Hebat lo Dul, gw ikut seneng deh."
Indra tertawa pelan. "Thanks Ri. Gw udah mulai mikirin hidup gw ke depan soalnya.."
"Tunggu dulu," potong gw. "Maksud lo mikirin hidup ke depan itu ada hubungannya sama KUA?"
Dia tertawa lagi, kali ini sambil anggukkan kepala beberapa kali.
"Kurang lebih begitu..." katanya.
"Wah udah punya calonnya emang" Kok nggak pernah cerita siih?"
"Haha.. Gw bukan artis Ri. Ngapain juga gw cerita-cerita soal kehidupan pribadi?"
"Ya seenggaknya sama gw laah. Masa temen sendiri nggak tau lo mau married" Lo juga sih ngilang
mulu." "Iya Ri gw terlalu sibuk ama kerjaan soalnya. Lumayan lah nambah-nambah buat modal nikah nanti."
"Kapan lo nikahnya" Gw diundang nggak nih?"
"Pasti lah. Masa temen sebelah segitu deketnya nggak diundang?"
"Jadi kapan waktunya?"
"Emmh...keluarganya cewek gw sih pengennya sebelum tahun depan kita udah resmi. Gw setuju-setuju
aja. Paling lambat akhir tahun lah. Masih dalam tahap perundingan, gw juga kudu ketemu langsung
sama orangtua gw. Nyari hari baiknya kapan. Kan gitu tradisi orang Jawa."
Gw tersenyum. "Sama orang Jawa juga?" tanya gw.
"Enggak," dia menggeleng. "Orang sini kok. Anak Klari."
Gw tarik napas panjang. Baru denger kabar temen married aja gw udah seneng, gimana seandainya gw
yg married yah?" Haha... Gw ketawa sendiri dalam hati.
Jujur aja sekarang-sekarang ini gw belum terlalu kepikiran jauh ke depan, dalam hal ini soal nikah. Tapi
liat Indra udah seserius itu, gw juga jadi mulai berandai-andai. Kapan gw nikah" Dan siapa pasangan yg
tepat buat gw" Begitu nyampe di pertanyaan kedua, yg terbayang di benak gw adalah Echi. Hati gw
mencelos. Seperti ada sebalok es batu yg meluncur dalam perut gw tiap kali inget dia. Biar gimanapun
kami pernah merencanakan mimpi yg sama buat masa depan kami. Mungkin karena itu juga gw belum
berani memikirkan yg jauh-jauh. Gw masih menikmati masa-masa lajang dan bebas. Bebas memilih,
bebas melakukan apapun bareng temen-temen, dan tentu saja bebas menentukan kapan waktunya gw
mengakhiri kebebasan ini.
"Lo nggak kepikiran buat married Ri?" tanya Indra. Sama persis dengan yg lagi gw pikirin.
"Bukan 'enggak' tapi 'belum' aja. Gw belum siap," kata gw apa adanya.
"Terus kapan siapnya" Umur lo udah tua juga. Ditunda-tunda entar malah jadi bujang lapuk loh."
"Haha.. Insya Allah enggak. Gw juga nggak tua-tua amat kok. Baru juga 22 tahun. Masih mau nikmatin
hidup sama temen-temen. Belum mau terikat aja. Kan kalo udah punya bini pasti susah tuh buat sekedar
nongkrong sama temen-temen" Nggak bebas aja. Beda sama lo, kalo lo kan udah kepala tiga umurnya."
"Busseett!! Gw baru dualima Ri. Emang tampang gw ketuaan banget yah?"
Gw mengangguk bersemangat.
"Sialan lo," gerutunya. "Tapi kapanpun lo siap, jangan lupa undang gw. Gw akan bantu lo sebisa gw. Ya
mungkin gw bisa berbagi pengalaman sama lo nantinya. Pokoknya tenang aja deh, lo itu bestfriend gw.
Apapun gw lakuin buat bantu lo."
"Hahaha.. Thanks dul," gw menjabat tangannya.
Kami sama-sama tertawa bahagia.
Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi pasti nanti kosan ini bakal sepi tanpa loe.." kata gw.
"Kan masih ada Meva?"
"Jiaah, beda itu mah. Temen cowok sama temen cewek beda laah. Kalo sama cowok kan bisa bebas
becanda dan ngomong apa juga, nggak kayak sama cewek, mereka lebih sensi soalnya."
"Lo bisa ikut gw kok. Kan gw nikahnya masih lama, jadi lo bisa bareng sama gw di rumah gw, kalo lo
mau. Sampe nanti gw married?"
Gw berpikir sejenak. "Gw di sini aja deh, takut ngerepotin lo kalo gw numpang di rumah lo."
"Hahaha.. Kayak sama siapa aja."
Dan sore itu, gw bener-bener menikmati momen itu. Becanda bareng, ngobrol-ngobrol tentang impian
kami ke depan. Dan di titik ini jg gw mulai sadar, hidup setiap orang pasti akan berubah. Nggak mungkin
selamanya melajang. Nggak mungkin juga terus-terusan jdi anak kos yg males-malesan. Harus ada titik
balik untuk membangun kehidupan bersama keluarga kelak. Dan semoga udah gw siap untuk itu kalau
waktunya tiba nanti. Part 47 Di suatu malam minggu yg cerah. Waktu itu sekitar seminggu menjelang kepindahan Indra ke rumah
barunya. Gw dan beberapa temen mengadakan semacam acara perpisahan. Dengan beberapa botol soft
drink dan makanan ringan sebagai pelengkap menu ikan bakar malam itu acara berlangsung sederhana
tapi menyenangkan. Mulai bakar ikan jam sembilan dan baru bisa disantap sekitar jam sebelas. Cukup
lama juga buat memastikan ikannya bener-bener mateng.
Ini bukan acara resmi. Nggak ada MC, nggak ada undangan, semuanya berjalan apa adanya. Kabar
tentang acara ini pun cuma menyebar dari mulut ke mulut sesama anak kos. Yg punya waktu silakan
ngeramein, begitu kesepakatannya. Dan yg namanya anak kos, kapan sih kita nggak punya waktu?"
Selain dua kamar di atas yg terpaksa menyesali ketidakhadirannya demi loyalitas lembur, ada juga
beberapa temen yg sudah punya jadwal mudik ataupun ngapel, jadi nggak bisa ikut. Selebihnya semua
yg gw kenal hadir. Ada Raja, Hilman, Akbar, Miko dan Iwan dari lantai bawah dan juga Nendra dan Teguh
serta Kurniawan dari lantai dua.
Semua hadir, kecuali Meva. Sejak selepas isya, pintu kamarnya tertutup rapat. Gw tahu dia ada di dalam
dan tentu saja dia juga mendengar suara-suara kami yg cukup berisik. Becanda, nyetel lagu lewat
speaker aktif di kamernya Indra dan nyanyi-nyanyi nggak jelas diiringi gitar tua milik Indra, kurang lebih
begitulah susunan acara malem itu. Acaranya sendiri diadakan di depan kamer gw karena kamer gw yg
paling ujung, dan berakhir begitu ikan bakarnya habis dan temen-temen mulai balik ke kamernya
masing-masing menjelang dini hari. Kurniawan dan Teguh bilang mau begadang sampe pagi, tapi baru
jam satu mereka udah tepar dan akhirnya balik ke kamer mereka.
Tinggal gw dan Indra di balkon, ditemani tumpukan piring kotor bekas makan tadi, hasil minjem dari
temen-temen juga. Indra duduk tenang di tembok balkon sementara gw membereskan panggangan
ikan, arangnya ada yg berserakan di lantai dan bekas asapnya tadi meninggalkan jejak hitam di dinding
balkon. "Biar nanti gw aja yg cuci piringnya," kata Indra tetap pada posisinya.
"Oke. Gw cuma beresin bekas bakar ikannya," sahut gw. Setelah selesai berbenah gw ke kamer mandi,
cuci tangan, kemudian balik lagi ke balkon.
Suasananya beda banget. Tadi rame dan berisik, sekarang bahkan suara jangkrik di rerumputan belakang
kosan ini pun terdengar nyaring. Gw duduk di tembok juga. Dan saat itulah terdengar derit pintu terbuka
dari kamar Meva. Yg sebenernya gw harap ikut ngeramein acara tadi akhirnya nongol juga. Gw sih
maklum Meva nggak muncul pas bakaran ikan, dia memang nggak suka ada di tengah keramaian kayak
tadi. Dan kemunculannya pagi ini gw anggap sebagai bentuk penghormatan kepada Indra yg punya
gawe, seenggaknya Meva tetep hadir.
Dia tersenyum pada kami berdua lalu duduk di kursi kecil di depan kamer gw.
"Udah beres yaah acaranya?" katanya.
"Belum kok. Masih ada segmen ke dua, khusus buat lo," sahut Indra.
"Wah yg benerr?" Meva terlihat seneng.
"Iya. Tuh," Indra menunjuk tumpukan piring dengan dua jarinya yg mengepit batang rokok. "Namanya
segmen cuci piring."
"Maksudnya, gw nyuciin piring gitu?" ekspresinya mendadak berubah.
Gw dan Indra sontak tertawa.
"Enak aja!" cibir Meva.
"Lo sih malah ngumpet. Nggak kebagian kan jadinya," kata gw.
"Gw kan udah bilang gw nggak akan ikut kalo ramean kayak tadi."
Indra mengangguk. "Udah gw sisain kok, ada ikan bakarnya satu di kamer gw." katanya.
"Enggak usah Ndra, gw nggak doyan makan ikan," Meva menolak halus.
"Loh, terus siapa dong yg mau ngabisin ikannya?"
"Ari aja tuh," Meva menunjuk gw.
"Enggak ah gw udah kenyang. Perut gw mau meledak malah," gw juga menolak.
Kami bertiga diam. "Ya udah buat sarapan pagi gw aja deh," kata Indra.
Dia embuskan asap putih dari mulutnya. Dan saat itulah mendadak gw merasa suatu hari nanti gw pasti
akan kangen dengan momen-momen kebersamaan seperti ini. Apalagi tadi sempet ada temen-temen yg
lain. Kita emang jarang banget kumpul kayak tadi.
"Gw bakal kangen nih sama kosan ini," kata Indra seolah ikut ada dalam pikiran gw. "Sama kalian berdua
juga pastinya." Gw tersenyum. "Lo bisa ke sini kapanpun lo mau kok dul," kata gw.
Indra balas tersenyum. Dari sela bibirnya keluar asap putih.
"Yah seenggaknya sampe beberapa bulan lagi, sampe gw married. Lo ngerti lah, gw bakal susah
ngelayab kalo ada bini di rumah. Hehehe.."
Gw tertawa. "Huh, kayaknya waktu berjalan cepet banget..." lanjutnya. "Gw pikir baru kemaren gw lulus sekolah,
sekarang udah mau married aja."
Gw ngerti yg Indra rasain. Dia orang pertama yg gw kenal di kosan ini. Dia temen terdekat gw. Wajar lah
kalo gw bakal kangen sama becandaannya yg kadang-kadang garing. Indra juga baik, jadi menurut gw
cewek yg jadi istrinya nanti adalah cewek paling beruntung di dunia ini.
Gw, Indra maupun Meva memilih diam. Kami sedang larut dalam pikiran kami. Tapi gw yakin, kami
merasakan hal yg sama pagi itu. Rasa yg sudah selayaknya dimiliki seorang sahabat.
I love friendship.................
Part 48 "Kayaknya asyik ya kalo kita bisa ngeliat masa depan kita kayak apa," tiba-tiba Meva nyeletuk memecah
kesunyian pagi. Gw melirik ke arahnya dan tersenyum lebar.
"Bener banget tuh Va," sahut gw. "Gw pengen liat siapa bini gw di masa depan nanti."
Dan gw tertawa. "Bukannya sekarang lo udah liat yaa?"" Indra menyenggol kaki gw. Melirik Meva, lalu ke gw lagi, dan
akhirnya nyengir nggak jelas.
Gw sih ngerti maksud senggolan dan lirikan Indra itu. Itu yg bikin gw tertawa lagi.
"Kalian kenapa?"" Meva bingung.
"Ah, enggak enggak. Nggak usah dipikirin," gw langsung berfikir mencari topik lain.
"Emangnya," Indra memotong. "Apa yg mau lo liat dari masa depan?" tanyanya ke Meva. Dia
mendapatkan topik pengalih yg tepat.
"Emmmhh...kalo gw yaa, gw pengen tau, jadi apa gw setelah lulus kuliah?"" jawab Meva sumringah.
"Oke, kalo lo Ri?" tanya Indra ke gw.
"Udah gw bilang tadi," jawab gw.
"Oke. Jadi gini loh," katanya. "Menurut gw, bisa ngeliat masa depan tuh nggak sepenuhnya baik buat
kita." "Kenapa nggak baik" Bukannya justru itu bagus ya" Kan kita bisa mencegah sesuatu yg buruk yg terjadi
di masa depan?" sergah gw. Gw nggak setuju dengan pendapat Indra.
"Ari bener banget tuh. Gw setuju," kata Meva.
Indra tertawa pelan. "Oke. Sekarang gini, misalnya lo tau, di masa yg akan datang, tahun 2020 misalnya, akan ada wabah
penyakit yg mematikan di negeri ini... Apa yg akan lo lakuin" Yah anggep aja lo adalah presiden."
"Gw," gw berpikir. "Kalo gw, gw akan mengumpulkan semua orang sakit di negeri ini untuk diobati. Jadi,
wabah itu nggak akan pernah ada. Gw berhasil mencegahnya sebelum terjadi. Itu yg gw maksud 'melihat
masa depan' dul!" Indra tersenyum senang. "Gw setuju sama Ari," kata Meva.
"Nggak kreatif ah daritadi lo cuma bilang setuju aja," ujar gw.
Meva nyengir bloon. "Nah kalo loe Va," Indra bertanya ke Meva. "Seandainya lo tau sepuluh tahun yg akan datang lo akan
jadi wanita karir yg sukses, apa yg akan lo lakukan sekarang?"
"Jelas gw enjoy laah!" jawab Meva bersemangat. "Gw bisa lebih santai ngejalanin hidup. Gw bisa sedikit
males-malesan. Toh gw udah dapet kepastian gw akan jadi orang sukses nantinya."
"Gw setuju sama Meva," kata gw disambut cibiran Meva.
Indra malah ketawa. "Nggak ada salahnya kalian berpendapat kayak gitu," katanya. "Tapi apa kalian sadar sesuatu yg penting,
dari 'melihat masa depan'" Ketika kita tau ada sesuatu yg buruk yg terjadi di masa depan, yg kita lakukan
sekarang justru adalah mewujudkannya terjadi, bukan mencegahnya. Dan ketika kita mendapatkan
kabar baik, justru kita malah membuatnya nggak terjadi."
Gw dan Meva diam. "Maksud lo" Gw belum ngerti," komentar gw.
"Dengan mengumpulkan semua orang sakit di seluruh negeri, itu bukan mencegah, tapi justru dari
situlah wabah mematikan itu lahir. Iya kan" Ribuan virus yg orang-orang sakit itu bawa, akan bercampur
dan jadi wabah mematikan. Itu dia yg gw maksud, kita malah membuat itu benar-benar terjadi," Indra
menjelaskan panjang lebar. "Nah, soal wanita karir yg sukses.. Dengan lo malas-malasan kayak yg lo
bilang itu Va, apa mungkin dengan malas lo akan bisa jadi orang sukses di masa depan?"
Meva menggelengkan kepala.
"Mana ada orang males bisa sukses" Iya kan?" lanjut Indra.
Gw merasakan kebenaran dari penjelasan Indra barusan.
"Lo bener juga dul.." kata gw.
Indra tersenyum penuh kemenangan. Gw lirik Meva. Nampaknya dia satu pikiran dengan gw.
"Dari dulu gw benci sama yg namanya peramal," kata Indra. "Menurut gw, masa depan itu adalah
misteri. Jadi dengan memberitahukan masa depan orang lain, justru dia merampas harapan orang itu
untuk berusaha mewujudkannya. Iya kan?"
Lagi-lagi gw terdiam. Gw setuju banget kali ini.
"Buat gw, lebih baik nggak pernah tau apa yg akan terjadi di masa depan. Karena dengan begitu gw
masih punya harapan tentang misteri hidup gw. Gw masih bebas berharap, akan jadi apa gw kelak. Dan
gw juga bisa bebas memilih impian gw."
Well, pagi ini gw seperti sedang mendengar motivator yg bicara, dan bukan sahabat gw.
"Buat sebagian orang, hidup itu berawal dari mimpi," lanjutnya. "Tapi buat gw, hidup justru berawal
ketika gw baru memejamkan mata. Gw yg memilih mau mimpi apa gw malam ini. Gw yg menentukan
mimpi buat hidup gw, bukan mimpi yg menentukan hidup gw."
Gw dan Meva saling pandang. Cukup lama, kami mencoba menelaah omongan Indra tadi.
"Ah, ngomong apa sih gw?"" Indra tertawa lagi. "Udahlah anggep aja gw tadi lagi mabok dan ngoceh
nggak jelas. Nggak usah terlalu dipikirin lah."
"Thanks dul buat sedikit wejangannya. Emang ya, yg namanya orang tua itu pasti banyak
pengalamannya?" "Maksud lo, gw tua dong?""
Kami bertiga tertawa. Dan setelah sedikit membahas tentang masa depan yg tadi dijelaskan Indra, kami
mulai ngobrol nggak jelas. Ketawa-ketiwi sesukanya, sejenak melupakan bahwa momen kebersamaan
ini mungkin akan segera berakhir. Tapi satu yg gw yakini, semua akan berakhir indah nantinya...............
Part 49 Jumat sore di minggu yg sama...
Gw baru balik kerja. Tiba di lantai atas gw mendapati Indra sedang berdiri membelakangi gw.
Menyandarkan kedua tangannya di tembok balkon, dia menatap kosong ke sawah-sawah luas yg
letaknya sekitar tigaratus meter dari sini. Pakaiannya sudah rapi. Di bawahnya, di lantai tepat di samping
kakinya tergeletak sebuah tas ransel berisi pakaian.
"Lo udah siap pindahan?" tanya gw.
Dia cukup terkejut. Menatap kaget gw lalu mengangguk pelan.
"Gw udah beresin semuanya. Udah gw pindahin juga barang-barang gw," ujarnya. "Tinggal gw nya aja yg
pindah." "Oke. Gw mandi dulu ya?" gw bergegas ke kamer gw.
Sore ini emang rencananya gw mau nganter Indra pindah ke rumahnya. Dia dapet jatah shif malem,
kayaknya dia udah pindahin barangnya sebelum gw balik. Lagipula barangnya nggak seberapa kok. Cuma
perlengkapan standar anak kos.
Limabelas menit kemudian gw udah siap. Gw berdiri di depan pintu kamar yg sudah gw kunci.
"Oke, gw siap." kata gw. "Gw nggak sabar pengen tau rumah lo dul.."
Indra tersenyum. Senyum yg aneh menurut gw. Senyum yg nggak biasanya. Sebuah senyum yg
menandakan dengan jelas bahwa si pemiliknya begitu berat untuk melakukan itu. Gw maklum. Sama
seperti Indra, gw juga sedih kok temen kos gw selama dua tahun ini pergi.
"Boleh gw bicara sama lo dulu, sebelum pergi?" ujar Indra. Mendadak dia mellow gimana gitu.
"Ngomong aja," kata gw berusaha memberikan ekspresi yg menenangkannya.
Indra terdiam. Jelas ada satu beban yg tergambar jelas di kedua matanya. Beban yg mungkin selama ini
dipikulnya. Apa terlalu berat kepindahan ini sampe dia sebegitunya" Gw rasa enggak. Jadi gw mulai
menebak-nebak beberapa pertanyaan yg mendadak muncul di otak besar gw.
Indra masih diam. Saat itulah gw menyadari secarik kertas di tangan Indra. Kertas lusuh yg sepertinya gw
kenal. Gara-gara kertas itukah" Masa sih" Apa hebatnya kertas itu sampe bikin Indra merasa terbebani
gitu" Jujur aja, gw masih belum tau apa kaitannya tingkah Indra yg aneh sore ini dengan kertas itu, yg
pasti beberapa kali Indra melirik kertas di tangannya lalu menarik napas berat. Napas yg sepertinya
cuma bisa tertahan di tenggorokan tanpa mampu mengalir keluar. Dan gw semakin yakin, ada lebih dari
sekedar beban berat yg ada di hatinya. Ada sesuatu yg harus sesegera mungkin diungkapkan.
"Ada apa sih dul?" gw menunggu dengan sabar tiap kata yg akan dikatakan Indra.
Dia menatap gw, lalu kembali menatap kertas di tangannya, dan seketika tubuhnya bergetar hebat.
Kertas di tangannya sampe terjatuh. Indra menangis!
"Lo kenapa dul?" gw heran dengan perubahan sikapnya. Dalam hati gw berharap semoga ini bukan
pertanda buruk. Indra masih terisak. Benar dugaan gw. Ada sesuatu yg mungkin selama ini dipendamnya. Dan ketika
sekarang harus diungkapkan, itu terasa amat berat. Gw bisa melihatnya. Tapi gw nggak tahu harus
berbuat apa. Terakhir kali gw berhadapan dengan perubahan mendadak ekspresi seperti ini adalah
waktu Natal tahun lalu. "Kalo memang ada yg mau lo bagi," kata gw. "Cerita aja. Gw akan dengerin kok."
Indra menggeleng. Dia menyeka kedua matanya. Tapi dengan deras airmatanya jatuh lagi.
"Ada...ada yg harus gw bilang ke elo Ri..." dia berusaha mengatakannya.
"Oke. Bilang aja nggak papa kok."
Apa perpisahan ini terlalu berat buat Indra" Gw rasa nggak segitunya ah. Karaba sama Teluk Jambe
deket. Dia bisa mampir ke kosan ini kapanpun dia mau. Dia juga punya motor, jadi nggak ada kesulitan
akses menurut gw. Lalu apa yg sebenernya mau dikatakan Indra"
Gw masih berdiri. Maaf gw ralat. Kami masih berdiri dalam diam. Gw lebih memperhatikan sohib gw yg
sekarang sedang bergulat dengan isak tangisnya ketimbang menengok barang sebentar saja kertas yg
tergeletak di lantai. Indra menunduk, berjongkok pelan mengambil kertas itu. Jari-jarinya gemetaran
memegangnya. Lalu dia menunjukkan kalimat yg tertera di atas kertas.
Bukan kalimat. Cuma rangkaian huruf dan angka. Gw kenal tulisan itu. Ya, gw yg nulis sendiri makanya
gw kenal. "Ada apa sama plat nomor itu dul?" gw membaca lagi perlahan nomor polisi kendaraan yg gw tulis di
kertas. Ah, bahkan gw sendiri sebenernya nggak tahu kertas itu masih ada sampe sekarang.
N 6689 M, plat nomor kendaraan asal kota Malang.
"Maafin gw Ri....." Indra tampak begitu frustasi. Gw sangat iba dengannya sekarang.
"Maaf untuk apa?" tanya gw masih belum mengerti arah pembicaraan Indra.
"Gw yakin lo pasti nggak pernah berharap denger ini," kata Indra kemudian. "Sesuatu yg gw sembunyiin
cukup lama. Tapi gw juga yakin, lo harus tahu yg sebenernya. Gw nggak bisa nyimpen rahasia ini
selamanya." "Hey...ada apa sih sama loe dul?"" gw makin nggak ngerti. "Apa ini ada hubungannya sama Echi?"
Sekali lagi Indra menarik napas berat. Lalu perlahan dia anggukkan kepala.
"Lo tau tentang identitas pelaku penabrakan Echi setahun yg lalu?" ini seperti mengorek luka lama.
Indra mengangguk lagi. "Siapa?" lanjut gw.
Indra diam sejenak. "Gw," kata Indra. "Gw yg menyebabkan kecelakaan maut itu Ri.............."
Part 50 "Apa maksud lo dul?" gw cukup terkejut setengah mati mendengar pengakuan Indra tadi. "Lo lagi
ngelantur kan" Plat nomer motor lo bukan N, seinget gw punya lo tuh W..sesuai kota asal lo, Sidoarjo."
"Maksud lo...ini?" dan selanjutnya Indra memutar posisi kertas di tangannya.
Dalam sekejap hati gw mencelos. Rasanya ada ratusan, bahkan ribuan belati yg menusuk-nusuk ulu hati
gw. Sebelumnya, dan selama ini gw selalu yakin pelaku tabrak lari itu meninggalkan jejak yaitu plat
nomor "N 6689 M". Tapi hari ini....
"W 6899 N?"?" napas gw tertahan membaca tulisan yg sekarang tampak di kertas putih yg lusuh itu. "Ini
kaan..." "Ya, ini plat nomer motor gw," kata Indra. Dia belum berhenti menangis.
Gw menggeleng nggak percaya. Benar-benar nggak percaya!
"Mungkin saksi mata waktu malem itu ngebaca dalam posisi terbalik, asal lo tau motor gw waktu itu
emang sempet kolaps di tengah jalan," lanjutnya. "Lo bisa cek motor gw di bawah kalo lo nggak
percaya." "Gw nggak percaya!! Mana mungkin?"?"
"Terima aja Ri, ini kenyataannya. Gw yg menyebabkan kecelakaan itu!"
"Iya. Tapi bukan lo yg nabrak Echi, Ndra!"
Ada suara ke tiga. Bukan Indra, juga bukan gw. Seketika itu gw dan Indra menoleh ke asal suara. Ada
Raja, temen kami yg ngekos di lantai bawah. Dia berdiri di ujung tangga. Gw nggak pernah menyadari
keberadaannya. "Udah gw bilang berapa kali ke elo, berhenti menyalahkan diri lo sendiri!!" Raja setengah berteriak.
"Emang gw yg bersalah!" balas Indra nggak kalah sengit. "Motor yg dipake nabrak Echi itu motor gw!
Dan yg minta si Benny nganter gw malem itu, gw kan?" Siapa lagi yg layak disalahkan kalo bukan gw?""
"Iya, tapi yg nabrak itu Benny dan bukan elo!?"
Hey, apa lagi ini!!! Gw makin bingung.
Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Please....." kata gw antara pasrah dan bingung. "Jelasin ke gw, apa yg sebenernya terjadi?"
Indra diam. Dia masih sesenggukan sambil tangannya meremas kertas di genggamannya. Raja menatap
gw iba. Dia tampak berpikir sebelum mengucapkan apa yg akan dikatakannya.
"Gw yg ngebunuh cewek lo Ri..." kata Indra lemah.
"Tolong kasih gw kesempatan buat jelasin yg sebenernya ke Ari," sela Raja. "Dia berhak tau yg
sebenernya." Gw diam. Entah apa yg saat ini gw rasakan. Gw sendiri malah bingung sedang apa gw di sini.
"Malem waktu terjadi kecelakaan itu," Raja mulai bercerita. "Indra minta Benny, lo kenal Benny kan,
anak bawah, buat nganter dia ke tempat kerja. Waktu itu Indra baru aja ngalamin kecelakaan kerja dan
belum bisa bawa motor. Singkat aja deh, sepulangnya nganter Indra, Benny bermaksud balik ke kosan.
Dan di perjalanan balik itulah semuanya terjadi...."
Gw diam mendengarkan. Entah apa yg harus gw lakukan saat itu.
"Benny nabrak seorang cewek, yg belakangan diketahui adalah Echi. Benny kabur, nggak mau
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bahkan malem itu dia nggak balik ke kosan. Dia sempet balik
beberapa hari kemudian, tapi itu buat melarikan diri. Dia bener-bener kabur.
"Gw dan Indra yg tau kejadian sebenernya, langsung lapor ke pihak Polisi yg menangani kasus ini. Benny,
dia ketangkep dalam razia di jalanan Gucci. Tentu saja, ini berkat kerjasama pihak polisi di sini dengan
polisi di Gucci." Gw tertunduk lesu. Bener-bener bingung sekaligus speechless gw dengernya. Beberapa kali bahkan gw
memaki dalam hati. Kenapa gw harus tahu ini" Padahal gw udah anggap semuanya berakhir, dan gw
nggak mau ngungkit lagi masalah ini. Tapi dengan tahu cerita sebenernya, ini bener-bener seperti
mengorek luka yg sudah tertutup rapat. Napas gw tercekat di tenggorokan. Gw bener-bener speechless!
"Indra selalu ngerasa bahwa dia yg menyebabkan semua malapetaka itu, cuma karena motor yg dipake
Benny adalah motornya. Kalo lo tau Ri, Indra udah cukup merasa bersalah selama lebih dari setahun ini."
Gw menarik napas berat. Kali ini gw berhasil mengembuskannya.
"Kenapa kalian berdua nyembunyiin semua ini dari gw?" tanya gw akhirnya.
Indra mengangkat wajahnya.
"Sumpah demi Tuhan Ri, gw nggak punya maksud nyembunyiin ini semua dari lo," katanya. "Gw cuma
nggak mau nambah beban pikiran lo waktu itu. Gw udah janji akan kasihtau yg sebenernya, kalo
situasinya udah memungkinkan. Dan gw pikir saat ini waktu yg tepat. Saat lo udah dapet semangat baru,
ini waktu yg tepat."
"Gw masih nyimpen koran Komp*s edisi Agustus tahun kemaren yg memuat berita penangkapan Benny.
Gw yakin lo akan butuh itu buat ngeyakinin bahwa pelaku tabrakan itu udah mendapat balasan yg
setimpal.." kata Raja. "Korannya ada di kamer gw. Sengaja gw rawat baik-baik."
Huffft...entah apa yg harus gw katakan saat ini. Sakit, bingung dan marah seperti bercampur di hati gw.
"Maafin gw Ri..." ucap Indra.
"Lo nggak perlu minta maaf dul," jawab gw. "Bukan lo yg bikin Echi pergi."
"Iya, tapi..." "Gw udah ikhlasin Echi. Itu alasan yg kuat buat gw nggak perlu ngungkit masalah ini. Okay?"
Indra tersenyum senang lalu dia merangkul gw. Beberapa kali dia meminta maaf. Gw cuma balas dengan
anggukan pelan. Entah kenapa saat ini gw justru kangen banget sama Meva.
Part 51 Sebagai sahabat dekat, jujur aja gw merasa kehilangan setelah kepergian Indra. Biasanya tiap
balik kerja gw mendapati pintu kamarnya terbuka dan di dalamnya dia lagi asyik maen PS. Tapi
selama berhari-hari, dan gw yakin akan sama seterusnya, pintu itu akan terus tertutup. Menunggu
sampai ada penghuni barunya.
Memang ada sedikit yg mengganggu dengan pengakuan soal Echi kemarin, tapi gw nggak bisa
begitu saja menepikan Indra sebagai sahabat gw. Dia orang pertama yg gw utangin waktu
pertama dateng ke kota ini dan kehabisan duit. Hahaha.. Masih cukup banyak yg bisa disebutkan
untuk membuktikan dia memang orang yg baik.
Tapi gw juga turut gembira dengan keberhasilannya itu. Sebentar lagi hidupnya akan nyaris
sempurna. Karir yg baik serta materi yg cukup, akan dilengkapi dengan pendamping setia.
Tinggal menunggu kelahiran buah hati beberapa bulan kemudian, maka sudah benar-benar
sempurna lah hidupnya. "Kapan lo nyusul Indra?" suara Meva membuyarkan lamunan gw.
"Eh, kenapa?" gw tutup majalah di tangan gw dan meletakannya di lantai. "Lo tanya apa tadi?"
"Yeeee lo ngelamun ya?"" tanya Meva.
"Enggak kok. Dikit doank sih."
"Haha...ngelamun jorok pasti, gw tau deh."
"Iya, gw ngebayangin lo tiduran di kasur pake bikini doank, terus...terus manggil gw pake suara
mendesah gitu.... 'Ariii...' "
"Cukup, cukup. Sebelum buku ini melayang ke kepala lo, tolong hentikan cerita konyol itu."
"...'sini..'..." dan gw tiduran di kasur sambil memeragakan yg gw omongkan sementara Meva
menatap gw dengan tatapan jijik. "terus gw deketin lo...."
"Aaaah...udah cukup!" Meva mengambil bantal dan menutupi wajah gw dengan bantal sampe gw
susah bernapas. "Cerita lo nggak lucu!"
Gw berteriak tapi yg muncul cuma seperti gumaman. Suara gw tertelan bantal. Dan beberapa
saat setelah gw nyaris sesak napas gw berhasil melepaskan diri dari bantal Meva.
"Otak lo ngeres yah...gw baru tau." Meva berkomentar.
"Sialan lo Va, tadi malaikat pencabut nyawa udah nanyain gw tuh mau di kamer nomer berapa,"
kata gw dengan napas memburu. "Untung aja dia pergi lagi."
"Kenapa pergi?"
"Nggak nemuin harga yg cocok."
Meva tertawa. "Malah ketawa! Orang hampir mati juga malah lo ketawain," gerutu gw.
Glekk...segelas air terasa segar membasahi kerongkongan gw.
"Hehehe..maaf deh," kata Meva. Dia kembali asyik dengan bukunya. Ada tugas kuliah yg lagi
dikerjainnya. "Eh, sejak kapan lo pake kacamata?" gw baru menyadari bingkai tipis yg melingkari kedua bola
matanya. Meva mengangkat wajahnya. Dia tertawa geli.
"Lo kemana aja" Dari dulu kali, gw udah pake kacamata," jawabnya.
Gw kernyitkan dahi. "Masa sih?" dan gw mencoba mengingat-ingat. "Enggak ah, gw baru kali ini liat lo pake
kacamata." "Masa" Syukurlah, berarti mata lo udah sembuh sekarang."
Gw mencibir. Tapi jujur aja gw memang baru liat Meva pake kacamata itu hari ini. Sebelumsebelumnya nggak pernah.
"Mata gw minus setengah, cukup nggak jelas buat ngebaca tulisan cacing ini," dia menunjuk
tulisannya sendiri. "Tiap kuliah juga gw pake kacamata kok. Ada yg aneh ya kalo gw pake
kacamata?" Gw menggeleng. "Enggak. Lo malah keliatan tambah cantik kalo pake kacamata," kata gw. Tapi dalam hati.
Hehehe.. "Berarti selama ini lo nggak bisa liat muka gw donk?" tanya gw tolol.
"Ya bisa laah," protes Meva. "Cuma emang rada nggak jelas aja sih. Menurut gw lo cakep kok.
Tapi setelah gw pake kacamata, lo keliatan banget jeleknya tuh." Dan dia pun tertawa puas.
"Tapi gw nggak butuh kacamata buat liat seberapa cantiknya elo Va..." kata gw lagi. Dalam hati
tentunya. "Ya ya ya puas-puasin aja deh ngejeknya," gerutu gw.
"Hahaha gitu aja ngambek," sahut Meva. "Iya iya lo cakep kok Ri.."
"Kenapa mesti pake 'cakep kok', nggak 'cakep' aja" Nggak ikhlas banget nih ngomongnya."
Meva tertawa lagi. "Udahlah, gw mau ngerjain tugas. Sore ini lo udah lebih dari sepuluh kali bikin gw ketawa.
Tugas gw nggak kelar-kelar niih."
"Yah itu mah elo nya aja Va yg nggak bisa. Pake nyalahin gw."
"Sapa yg nyalahin" Enggak kok, gw nggak nyalahin lo. Cuma nyari penyebab kenapa gw nggak
cepet nyelesein tugas gw."
"Sama aja!" "Enggak, beda..."
"Heeuh beda...embe jeung kuda."
Meva kernyitkan dahi. Menatap gw lalu meledak lagi tawanya ke penjuru kamar.
"Tuh kan, lo itu bikin gw ketawa mulu. Udah balik sana ke kamer lo, sampe gw selesai ngerjain
ini," katanya. "Gw diusir nih?"
"Iya!!" Gw mendengus keras. Lalu berjalan keluar menuju kamar gw. Dari luar sudah terdengar dering
handphone gw di dalam. Buru-buru gw masuk dan ambil handphone gw.
"Halo?" gw menjawab tanpa melihat siapa yg menelepon.
"Hai Ri. Kenapa baru diangkat sih" Lagi ngapain aja dari tadi?" sepertinya suaranya gw kenal.
Gw liat layar handphone gw. Di situ terpampang nama Lisa_cantik. Weitz! Sejak kapan gw kasih
nama itu" Pasti Lisa sendiri yg edit kontaknya!
"Maaf tadi disilent hp nya."
"Nggak papa kok. Kamu lagi di kosan kan?"
"Iya. Kenapa?" "Aku ke situ sekarang ya.."
Tuut...tuut...tuut... "Halo" Halo?"
Ah, kurang ajar maen nutup telepon aja!!
Part 52 "Halo," setelah sepuluh menit berlalu akhirnya Lisa menelepon gw.
"Eh Lis, lo jadi ke kosan gw?" tanya gw.
"Iyalah jadi...kan tadi udah gw bilang?"
"Mmmm....tapi gw lagi di luar Lis," kata gw. Tentu aja bohong. Waktu itu gw lagi duduk di
ujung tangga. "Yah..kok gitu" Katanya lo ada di kosan?"
"Iya tadi sih ada, tapi sekarang gw lagi keluar. Lo nanti aja ya maennya?"
"Nggh.....kalo gitu gw tunggu di kosan lo aja deh" Udah kepalang tanggung. Lo nya masih lama
nggak?" "Weittz...nunggu?" gw kaget kan ceritanya. "Emang lo sekarang udah nyampe mana?"
"Gw udah di kosan lo," suara Lisa sedikit aneh. Seperti bergema dan keluar dari speaker
handphone gw. "Oiya?" "Iya. Nih gw bisa liat lo," suaranya benar-benar keluar. Bukan dari speaker handphone, tapi dari
ujung bawah anak tangga. Lisa ada di sana. Berdiri di ujung belokan tangga sambil menengadah menatap gw yg ada di
ujung atas. "Eh, lo udah di sini aja..." ujar gw. Malu setengah mampus gw!
"Katanya lagi di luar?" dia berjalan menaiki anak tangga menuju gw.
Beberapa kali gw presentasi dengan bos-bos gw dan ditanyai pertanyaan menyulitkan, tapi jujur
aja rasanya saat ini pertanyaan sederhana dari Lisa susah banget dijawab!
"Eh, ngg... anu...." apa yg kudu gw jawab yaa" "I...iya...ini..... Ini lagi di luar kok."
Lisa kernyitkan dahi. "Maksud gw tadi, gw lagi di luar kamer. Iya! Itu dia maksud gw!!" dan gw cengengesan malu.
Lisa tertawa pelan. "Wah lo humoris juga yah?" komentarnya.
Hahaha...gw tertawa garing dalem hati. Maaf Lisa...gw bukan humoris, tapi ngeles-is. Kali ini
gw salut sama diri gw sendiri atas keberhasilan ngeles tadi!
Lisa duduk di sebelah gw. Kami berdua mendadak jadi portal sukarelawan di tangga.
"Udah makan?" tanya Lisa ke gw.
Gw, yg masih sedikit shock dengan kesuksesan tadi, menjawab dengan anggukan kepala.
"Lo baru balik Lis?" gw balik tanya.
"Enggak juga, gw bareng kok sama lo pulang jam empat tadi. Cuma gw mampir dulu ke
supermarket, ada yg gw beli."
Gw nyengir malu. Lisa celingukan memandang sekitar.
"Nyari apa sih?" tanya gw heran.
"Mana cewek itu?" katanya.
"Cewek yg mana ah?"
"Yg waktu itu di kamer lo. Siapa namanya...Neva ya" Mana dia?"
"Meva. Ada kok di kamernya. Emang kenapa sama dia?"
Lisa senyum simpul. "Enggak papa...enggak papa..." jawabnya. Gw tau nih, cewek kalo ngomong 'enggak papa' justru
artinya 'ada apa-apanya'.
"Dia anak mana sih?" lanjut Lisa.
"Meva, maksudnya?"
Lisa anggukkan kepala. "Bukan orang sini kok. Rumah di Jakarta, tapi asalnya dari Padang. Kelahiran Kuala Lumpur dan
sempet SD di Inggris sebelum namatin SMA di Padang. Terus kuliah di Karawang."
Lisa menatap gw heran. "Lo tau banyak yaa tentang dia," katanya.
"Enggak juga kok. Cuma sebatas tau dari obrolan aja."
"Dia tipe lo ya?"
Kali ini butuh lima detik buat ngerti pertanyaan Lisa.
"Maksud lo, tipe cewek buat pacar gitu?"
"Iyalah." "Emmmh...kalo gw sih nggak terlalu pinter milih cewek. Nggak ada tipe khusus buat gw, yg
penting cocok aja. It's oke."
"Oiya" Masa cuma cocok" Kalo cocok tapi punya penyakit bisul gimana?""
"Hah" Ada-ada aja lo mah."
Gw dan Lisa tertawa. "Yah gw mah standar aja lah. Terlalu muluk kalo gw pengen dapet yg sempurna, karna gw tau
gw sendiri nggak cukup sempurna buat itu."
"Haha..sok bijak lo."
Gw nyengir. Sore ini Lisa masih pake pakaian kantor, tapi ada sedikit yg beda dari
penampilannya. Tapi apa ya" Di mana nya"
"Kalo tipe cewek lo sesederhana itu," kata Lisa. "Kira-kira gw masuk kriteria enggak?"
Entah gw yg berasa apa emang iya, tapi kalo gw liat Lisa nanya ini dengan tatapan aneh. Enggak
tau gw juga nggak ngeh. "Gw masuk kriteria lo enggak?" Lisa mengulangi pertanyaannya.
"Emmh...masuk nggak ya?" kata gw sambil bingung nyari jawaban yg pas. "Lo cantik kok."
"Ah, masa?" Gw ngangguk-ngangguk bloon.
"Jadi, gw masuk kriteria?" tanyanya penuh harap.
"Ehm....." "Ari?" sebuah suara mengejutkan kami.
Suara Meva. Dia berdiri di depan pintu kamarnya.
"Kirain lagi ngobrol sama siapa. Dari dalem rame banget kedengerannya. Hay Lisa," sapanya
ramah. Dia senyum lebar ke Lisa.
Lisa menatap risih ke arah Meva.
"Kita pernah kenal ya?" sahut Lisa. Cukup mengejutkan gw.
Meva sendiri nampaknya nggak terganggu dengan pertanyaan Lisa tadi.
"Hay Va. Gabung sini yuk ngobrol bareng kita," kata gw berusaha menyenangkan.
"Hah?" Lisa menatap gw heran. "Bukannya kita mau jalan ya Ri?"
"Jalan" Kapan?" gw lebih heran lagi.
"Sekarang lah, kan tadi udah janjian?"
Gw memandang Meva dan Lisa bergantian. Seinget gw tadi gw samasekali nggak ngomongin
soal jalan deh ke Lisa...
"Oh mau jalan ya?" kata Meva. "Ya udah ati-ati di jalan ya sayang.." dia memandang gw.
"Kamer aku nggak dikunci, ntar malem kita ngobrol-ngobrol lagi yah?"
Meva tersenyum nakal ke gw, melambaikan tangan, lalu menutup pintu kamarnya perlahan...
Part 53 "Dia manggil lo apa tadi?" Lisa menatap sebal ke gw.
"Eh, enggak kok...dia lagi becanda doank," gw berkilah.
Lisa mendengus kasar. Dari ekspresi wajahnya keliatan banget dia kesal. Kalo aja di depannya sekarang
ada tumpukan piring, pasti udah langsung dia cuci tuh!! Hehehe...apa hubungannya yak"
"Hubungan kalian apa sih" Kalian enggak pacaran kan?" tanyanya lagi.
"Mmmmh...entahlah. Gw juga bingung nyari kata yg pas buat ngegambarinnya."
Lisa menarik nafas berat.
"Lo suka sama dia?" tanyanya kemudian.
Sejenak gw diam. Setelah berpikir beberapa saat akhirnya gw memutuskan menyudahi pembicaraan
tentang Meva. "Lo tunggu di sini bentar. Gw mau ganti pakaian dulu," kata gw.
"Mau ke mana?" "Kan kita udah janjian mau jalan?""
Lisa diam sebentar. "Di sini aja deh," kata Lisa. "Ntar jalannya kalo hari libur. Sekarang juga udah mau malem."
Benar. Jam di handphone gw menunjukkan pukul lima sore lewat tigapuluh tiga menit.
"Kalo gitu mending lo balik aja," usul gw. Lisa pernah cerita tentang nyokapnya yg rewel kalo dia pulang
telat. "Oke, gw balik. Selamat ngobrol-ngobrol ya sama si Neva?"?"" wajahnya masih kusut.
Gw tertawa geli. "Kalo emang belum mau balik ya udah di sini aja nggak papa," gw meralat ucapan gw sebelumnya.
"Enggak deh makasih, gw cuma jadi pengganggu aja!"
"Hey Lisa..." kata gw. "Kenapa jadi kayak anak kecil gitu sih" Nyantai aja laah. Gw minta maaf kalo
ucapan Meva tadi sedikit nyinggung lo."
"Sedikit" Banget tau nggak!"
Gw menatapnya iba. Gw yakin aktifitasnya hari ini sudah cukup membuatnya lelah.
"Sini deh," gw menariknya ke balkon. Berdiri berhadapan di sana dengan gw bersikap sok cool. Haha!
"Gw boleh tanya sesuatu?" kata gw. Lisa anggukkan kepala sebagai jawaban. "Gw cuma pengen tau,
sebenernya apa sih yg bikin lo nggak suka sama Meva?"
Lisa tampak sedikit kebingungan dengan pertanyaan yg gw ajukan.
Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya nggak suka aja!" jawabnya. "Dia nggak asyik."
"Nggak asyik gimana" Dari pertama ketemu bukannya lo yg nggak mau waktu diajak salaman?"
"Lho, kok lo malah nyalahin gw"!"
"Enggak kok gw nggak nyalahin lo," gw nyengir. Kayaknya sore ini Lisa beneran lagi sensi. "Cuma
menurut gw, justru lo yg nggak asyik. Yaah apa ya namanya...lo nggak nunjukin sikap bersahabat aja ke
dia..." "Tuh kan nyalahin gw!" seru Lisa sewot. "Udah aja terus salahin gw! Bela aja tuh cewek itu!"
Suaranya cukup keras untuk didengar oleh Meva di kamarnya.
"Gw nggak nyalahin lo. Gw juga nggak ngebela Meva. Gw heran aja, kenapa sih kalian berdua nggak
akur" Lo sama dia tuh sama-sama temen deket gw."
"Karena gw sama dia punya perasaan yg sama."
Gw kernyitkan dahi. "Ah iya, sesama cewek pasti ada semacam ikatan batin buat ngebaca perasaan orang ya?" gw
berkomentar konyol. "Ternyata hebat ya cewek itu!"
"Bukannya cewek yg hebat, tapi lo nya aja yg terlalu bodoh dan nggak bisa ngebaca perasaan cewek,"
sergah Lisa. "Atau lo memang pura-pura bodoh?""
Gw tersenyum simpul. "Gw bukan Copperfield yg bisa baca pikiran orang," kata gw.
"Perasaan, Ri..bukan pikiran," tandasnya geram.
"Ah yah apapun itu lah, gw lebih suka baca komik atau koran..."
Lisa menggeleng pelan. "Oke," katanya. "Lo pikir selama ini gw bersikap baik ke lo, karna apa coba?"
"Karena lo memang orang baik. Bukan begitu" Atau gw salah" Mungkin ternyata lo adalah monster jahat
dari planet Mars yg berpura-pura baik padahal lagi mengintai manusia, dan berusaha mencari cara
supaya bisa membunuh Ultraman" Haha.. Lucu juga."
Lisa menatap malas ke gw. Tatapan matanya cukup mengatakan "nggak lucu!" yg nggak dikatakannya.
"Oke oke, lo memang orang baik. Menyenangkan dan bersahabat. Itu aja."
Lisa mengembuskan nafas berat.
"Yah lo kayaknya butuh les private ke psikiater biar bisa baca perasaan orang.." katanya dengan ekspresi
dan nada bicara yg lebih kalem. "Udah ah gw balik ya" Males gw buang-buang waktu buat debat nggak
penting." "Oh, oke. Ati-ati di jalan..."
cuupppph... Lisa mengecup pipi kanan gw. Berhenti selama dua detik buat gw merasakan embusan nafasnya di
telinga gw. Lalu membisikkan kalimat perpisahan.
"Sampe ketemu besok di kantor," ucapnya.
Dan sebelum gw sempat sadar dari kejadian mengejutkan tadi Lisa sudah beranjak pergi meninggalkan
gw yg terdiam sendiri di balkon. Gw usapi pipi gw. Nggak basah... Tapi sempat ada sensasi hangat gitu.
Kecupan tadi......sama seperti yg pernah gw rasakan, dulu waktu gw sama Echi! Entah apa yg
membuatnya sama, tapi rasanya seperti dejavu! Gw nggak pernah ngerasain lagi seperti itu setelah
kepergian Echi... Dan hari ini.......... Ah, sudahlah. Itu cuma salam perpisahan kok. Di banyak negara maju kan cipika-cipiki semacam itu
adalah lumrah. Gw nya kelewat lebay. Haha...
Dan setelah beberapa saat terdiam, gw baru sadar satu hal. Ada yg beda dari penampilan Lisa hari ini.
Dari tadi gw nyari-nyari apa dan di mana bedanya. Gw baru inget, hari ini Lisa pake stoking hitam seperti
yg biasa dipake Meva..........
Part 54 "Ekhem!" Meva muncul dari tangga.
Malem itu gw lagi nyetem gitar warisan Indra di beranda. Kayaknya Meva baru balik dari warung abis
makan malem. "Ada yg lagi fallin in love yah!?" serunya.
"Siapa?" tanya gw.
"Ya siapa lagi kalo bukan cowok yg tadi sore abis dapet ciuman di pipi!" katanya bersemangat.
Glekk... Gw menelan ludah. Ni anak rupanya ngintip pas adegan tadi sore. Jadi malu gimana gitu!
"Nggak sopan ngintipin orang," ujar gw sambil tetap memutar pengunci senar, berusaha menemukan
nada yg pas. "Gw nggak ngintip kok," Meva berkilah. "Kejadiannya di depan mata kepala gw sendiri. Tadinya mau
nggak liat, tapi yah terlanjur...gw mau tau ajah! Hehehehe."
"Dasar otak mesum," sindir gw.
"Enak aja. Lo kali yg mesum! Gw mah enggak."
Gw tertawa mengejek. "Eh eh kenapa tadi si Lisa nggak lo seret aja ke dalem kamer?"?" kata Meva tampak antusias.
"Tuh kan elo yg otak mesum!" sahut gw. "Ngapain juga coba bawa dia ke kamer?""
"Yaah sapa tau loe butuh sukarelawan buat beresin kamer?"
"Enggak. Kamer gw nggak pernah berantakan. Gw mah orangnya rapi, enggak kayak loe.....cewek tapi
males beres-beres. Segala daleman dipajang di tembok pula!"
Meva nyengir malu. "Ngapain gw capek-capek beresin kamer, yg keluar masuk kamer gw kan cuma elo" Nggak perlu rajinrajin laah.. Lo juga bukan tamu."
"Pake alibi lagi. Males mah males aja neng."
Meva pasang wajah cemberut. Tapi entah kenapa gw justru malah pengen ketawa liat mukanya. Kocak
banget kalo lagi belagak sewot gitu.
"Jadi..." "Jadi apaan?" potong gw.
"Bentar dulu, kasih kesempatan gw ngomong napa" Maen serobot ajah!"
"Oh, kalo gitu waktu dan tempat kami persilakan..."
"Nggak lucu. Garing. Lo nggak ada bakat jadi pelawak."
"Siapa bilang" Gw ada bakat kok, cuma yah bakat terpendam gitu. Saking terpendamnya sampe nggak
keliatan!" Meva tertawa. "Jadi, lo sama Lisa..." Meva membentuk dua paruh burung yg berhadapan dengan jari-jari kedua
tangannya, lalu menempelkan ujungnya beberapa kali. "Kalian resmi pacaran?"
"Ah enggak kok. Belum diresmiin sama Lurah."
"Yee lo mah gitu, gw tanya serius juga!" Meva mencibir. "Kalian pacaran yak?"
"E-N-G-G-A-K." "Alaah...bokis banget. Ngapain juga cipokan kalo belum jadian?"
"Dia yg nyosor gw, jadi nggak bisa dibilang sebagai bentuk kissing. Okay" Lagian cuma di pipi doank."
"Tapi lo nggak nolak kan" Sama aja itu mah!"
"Beda laah... Ciuman itu kalo bibir sama bibir, itu baru disebut ciuman. Yg tadi sore mah bukan. Apa
perlu gw praktekin?" gw bergerak maju. Waktu itu jarak kami sekitar setengah meter. Dengan cepat
Meva melempar sendal jepit dari lantai ke arah muka gw, tapi kali ini gw bergerak cepat menghalau
dengan gitar. Sendalnya jatuh ke lantai. Gw tertawa kemudian duduk kembali di kursi.
"Berani gerak satu inchi ke arah gw, gw jamin gw ada
lah orang terakhir yg lo liat di hidup lo," Meva
mengultimatum. Tapi gw yakin dia nggak serius dengan ucapannya.
Gw tertawa lagi. "Gw enggak jadian kok sama Lisa," kata gw. "Lo tenang aja, masih ada peluang lebar buat lo," lanjut gw
dengan pede nya. "Huh, nggak minat gw sama cowok tukang tidur kayak loe."
Gw tertawa kecil. Baru sadar gitarnya sekarang makin fals aja gara-gara nggak konsen diajak ngobrol
Meva. "Kedengerannya tadi dia marah sama lo?"
"Marah" Enggak juga.."
"'Enggak juga' gw anggap kata lain dari 'iya'."
"Dia nggak marah ke gw, tapi marahnya ke elo."
Meva tampak sedikit terkejut.
"Oiya" Kok bisa?""
"Enggak ngerti gw juga. Serah deh cewek mah susah dimengerti," gw menyetem ulang gitar.
"Dia cemburu tuh sama gw. Hehehe... Lucu banget liat ekspresinya waktu gw bilang yg soal kamer itu.
Hihihi.." "Ooh jadi lo sengaja ya bilang gitu, biar manas-manasin Lisa?"
"Iya," Meva mengangguk mantap. "Dan tadi berhasil banget tuh. Kayaknya gw sekarang jadi the public
enemy number one buat dia. Hahaha."
"Lo jahat ah." "Weittz...tunggu dulu. Dia yg jahat! Waktu pertama ketemu, lo inget kan, dia nolak ajakan salaman gw"
Tadi juga dia belagak nggak kenal pas gw sapa! Ya udah daripada kesel mending gw kerjain ajah!"
Gw menyeringai kecil. "Eh, emang lo sendiri ngerespon dia kayak gimana?" Kayaknya masih cuek-cuek aja deh."
"Emang kudu gimana" Biasa aja ah."
"Yee elu mah, ada cewek yg suka sama lo malah dicuekin!"
"Belum mau pacaran gw... Kata mamah, nggak boleh pacaran dulu minimal sampe punya rumah. Punya
mobil, punya landasan pribadi buat helikopter pribadi gw, punya..."
"Keburu tua dulu itu mah!!" potongnya. Dan kami berdua tertawa.
"Lo suka nggak sih sebenernya sama Lisa?"
Gw berpikir sejenak. "Ada iya nya ada enggak nya juga. Jadi gimana yak?"
"Yaah parah abis deh loe."
Gw nyengir lebar. Dan malem itu, topik pembicaraan kami adalah Lisa. Meva banyak tanya soal dia.
Tentang asalnya, sifatnya, juga tentang perform dia di kantor. Kalo gw liat sih Meva pengen tuh jadi
wanita karir kayak Lisa. Dan akhirnya obrolan ditutup dengan rencana maen ke rumah Indra akhir pekan ini. Sip. Gw setuju.
Bakal ada reunian nih... Part 55 Sabtu pagi yg cerah. Gw bangun saat jam di handphone gw menunjukkan pukul setengah
delapan. Gw langsung inget hari ini gw janji berkunjung ke rumah Indra. Kemaren jg gw udah
sms Indra soal ini, dan katanya dia siap jadi tuan rumah yg baik buat dua tamu istimewanya.
Dua tamu" Oh iya, gw sama Meva. Tapi kayaknya dia belum bangun tuh. Pas gw keluar kamer
juga pintu kamernya masih tertutup rapat. Di samping gw masih ada papan catur bekas
pertandingan semalem yg lupa gw bereskan saking ngantuknya.
Dan weekend pagi selalu sama dengan weekend-weekend sebelumnya. Jadwal pertama adalah
nyari sarapan, terus nyuci pakaian plus seragam kerja, lalu mandi dan diakhiri dengan ngejemur
pakaian di bawah. Kosan ini nggak punya selasar buat jemur pakaian, jadi gw biasa jemur di
samping parkiran motor. Tapi kebanyakan yg lain pada pasang kawat di depan kamar sebagai
jemuran, jadi yg biasa jemur di bawah cuma beberapa orang termasuk gw.
Dengan hanya mengenakan celana kolor pendek gw gotong ember penuh cucian. Di lantai
bawah, aktifitas Sabtu pagi sudah terasa. Musik-musik yg beradu dengan suara televisi yg
menyiarkan berita pagi diselingi obrolan beberapa teman. Tentu saja, ditemani kepulan asap
rokok di mana-mana. Kalau saja Indra belum pindah, dia pasti lagi nyuci motornya di pojokan
sambil ngudud rokok favoritnya. Sekarang tempat tongkrongannya dipake si Raja. Katanya ini
wasiat dari Indra, supaya dia meneruskan nyuci motor di sana. Haha..
"Gw mau maen ke rumah Indra ntar siang, loe mau ikut nggak?" gw berbincang dengan Raja yg
sedang menyemprot motornya dengan selang air. Backsound pagi ini lagunya Stinky yg waktu
itu masih lumayan tenar. Ada juga yg nyetel Bukan Pujangga nya Base Jam. Tapi gw sih suka
classic rock yg selalu diputer "anak tengah" (sebutan buat penghuni kamar di lantai dua).
"Wah gw udah janjian sama cewek gw Ri mau ke Cikarang. Lo sama siapa emang ke sananya?"
"Berdua doank," gw kibaskan baju lalu menaruhnya di kawat jemuran. "Sama Meva."
"Ooh..." Raja mengangguk beberapa kali. "Cewek depan kamer lo itu ya?"
Giliran gw yg ngangguk. "Kok bisa sih loe deket sama tuh anak" Perasaan kalo sama gw, sama yg lain juga, dia nggak
pernah nyapa deh. Ya nggak ramah aja kalo menurut kita."
"Masa" Karna nggak kenal aja itu mah. Dia orangnya asyik kok."
"Loe naksir ya?"
"Naksir sapa?" "Emang kita lagi ngobrolin siapa?"
"Hehehe. Enggak kok biasa aja. Gw sama dia emang deket, tapi sebatas temen baik. Itu aja."
"Hah..klasik! Entar ujungnya juga kalian pacaran" Tempatnya udah strategis tuh buat pacaran.
Tapi inget, jangan sampe bocor." Raja tertawa lepas.
"Sialan! Loe pikir gw mau ngapain?"
"Hahaha.. Ya kali aja! Namanya juga cowok, apalagi sama cewek cakep kayak dia!"
"Udah udah kita cukupkan aja, sebelum loe tambah ngelantur." Gw angkat ember kosong di
tangan gw lalu hendak balik ke kamer waktu terdengar derit pagar terbuka.
"Wuih! Pagi-pagi udah ada tamu bening aja!!" ucapan Raja menarik perhatian gw.
Di depan pagar, seorang cewek sedang menutup lagi pintu pagar lalu berjalan ke arah kami.
"Lisa?" gw menyapanya.
Lisa balas tersenyum lalu menyalami tangan gw, membiarkan pipinya yg halus menyentuh
punggung tangan gw yg basah. Sementara gw liat si Raja melongo aja tuh kayak kambing
congek. Hehehe "Abis nyuci ya?" Lisa melirik ember di tangan gw.
"Iya. Lo kok pagi-pagi udah ke sini sih" Ada perlu apa?" jujur aja gw sedikit terkejut dengan
kedatangannya. Apalagi siang ini kan gw udah janjian sama Meva.
"Lho, kenapa" Nggak boleh ya gw maen ke sini?"
"Eh ya enggak juga sih. Aneh aja pagi-pagi lo udah kemari."
"Mau maen, sekalian ada urusan kerjaan yg mau gw bicarakan ke elo."
"Oh ya udah ke kamer gw deh," gw dan Lisa berjalan meninggalkan Raja yg masih bengong.
Hmm pagi ini Lisa wangi banget. Hehehe.
"Lo udah sarapan?" tanya Lisa.
"Udah." "Sarapan apa?" "Nasi uduk doank kok."
"Tanya donk, gw udah sarapan belum gitu" Nggak ada inisiatifnya banget sih jadi cowok."
"Hehehe," gw nyengir malu. "Ya udah tuh lo udah tanya sendiri, langsung lo jawab aja dah."
Lisa mencibir lalu berkata.
"Gw belum sarapan. Temenin gw nyari sarapan yah" Sekalian abis itu kita jalan-jalan, gimana?"
katanya. Weiitz. .jalan" Terus gimana sama janji gw ke Indra"
"Gw bisa temenin sarapan doank kayaknya. Siang ini gw janji mau ke rumah temen."
"Emh...kalo gitu ya udah gantian gw yg temenin lo ke rumah temen lo deh. Gimana?"
"Hah" Eh, itu..apa yak...lo nggak bakalan betah deh. Enggak enak juga entar lo dicuekin. Mau?"
"Ya udah deh nggak papa..."
"Hmmm tapi gw perginya sama Meva?"
Lisa hentikan langkahnya. Beberapa anak tangga lagi kami sampe di beranda kamer gw.
"Oh.." serunya tertahan. "Kalo gitu gw balik aja deh. Enggak enak, GANGGU kalian!" dan dia
langsung berbalik pergi. "Heyy mau ke mana lo" Katanya ada masalah kerjaan juga?"
"Gampang di kantor aja."
Huffft...gw salah lagi ternyata. Enggak enak juga sih bikin dia kesel lagi. Tapi yah gw kan
emang udah ada janji siang ini" Whatever lah..
Part 56 Gw dan Meva sudah bersiap berangkat ke rumah Indra sekitar pukul sepuluh siang. Yg bikin lama tuh
nunggu Meva mandi plus dandan. Yah namanya cewek semua sama laah kalo soal durasi gituan. Karena
gw memang gak punya motor, maka kami memutuskan untuk pake angkot. Nanti ganti pake becak deh
buat sampe ke rumah Indra.
Dan gw inget banget hari itu Meva pake kaos oblong putih plus celana jeans panjang biru muda. Dengan
rambut panjangnya dikuncir ke belakang, Meva keliatan manis banget. Ah, andai aja dia cewek gw!
Hahahahaha... Nyampe di lantai bawah gw ketemu Raja lagi ngunci pintu kamernya. Dia keliatannya mau pergi. Gw
inget dia kan mau keluar sama ceweknya.
"Wuiih....Pangeran Charles dan Putri Diana," katanya mengejek begitu melihat gw dan Meva. "Mau
kemanakah gerangan?"
"Sialan lo," bales gw sementara Meva di sebelah gw cuma senyum-senyum. "Mana cewek lo" Katanya
mau ke Cikarang?" "Iya ini gw mau berangkat. Cewek gw nunggu di kosannya."
"Lo nggak pake motor?" lanjut gw.
Raja menggeleng. "Mau pake bus aja. Cewek gw nggak demen lama-lama pake motor."
"Nah, kalo gitu gw pinjem motor loe aja deh!"
Raja diam sebentar. "Boleh.." katanya. "Lo punya SIM kan?"
"Punya donk." "Ya udah, tapi balik nanti tank gw full loh."
"Beres!" Raja membuka pintu kamernya lagi dan mengeluarkan sepeda motornya. Dia juga menyerahkan satu
buah helm hitamnya. "Surat-suratnya ada kan?" tentu saja yg gw maksud adalah STNK.
"Ada tuh lengkap di bagasi. Tenang aja pake motor gw mah aman. Dua tahun gw pake ni motor nggak
pernah sekalipun kena tilang," kata Raja setengah promosi.
"Sip deh. Gw cabut dulu ya," gw dan Meva sudah bersiap di atas jok motor.
"Ya ya ya. Salamin buat si gundul yaah."
"Oke." Dan berangkatlah kami menuju Karawang Barat. Gw baru sekali ke sana waktu nganter Indra pindahan,
tapi gw masih inget jelas jalannya.
"Lo kok dari tadi diem aja Va?" gw ajak ngobrol Meva. Motor melaju cukup pelan di angka 50.
"Eh, enggak kok enggak papa. Masih ngantuk aja..." jawabnya. "Kirain tuh mau ke Indra nya sore atau
malem. Tau gini kan semalem gw nggak begadang?"
"Ya udah kita balik lagi aja kalo gitu?"
"Yeeey udah tanggung laah masa balik lagi?"
"Emmh ya udah lo tidur aja, gw jalannya pelan deh. Tapi lo peluk gw, biar nggak jatoh."
"Yaaaaah maunya elo itu mah biar dipeluk sama gw!" Meva menempeleng kepala gw.
Gw tertawa lebar. Selama perjalanan kemudian kami lebih banyak diam. Kami baru saja melewati Mall Karawang, ketika
Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tiba-tiba dari belakang terdengar bunyi klakson nyaring. Sebuah motor gede warna putih dikendarai
seorang pria berseragam lengkap memepet kami ke tepi.
"Selamat siang Pak," dia memberi hormat sesaat. Di helmnya ada tulisan "Polisi" warna biru terang.
"Mau ke mana nih?" lanjutnya.
"Mmmh...ke Karaba Pak," jawab gw cukup gugup. Baru pertama ini gw di gape sama Polisi di jalanan.
Tukang becak dan warung yg ada di sekitar kami memandang penuh minat ke arah kami bertiga.
Gw lirik Meva, dia cuma diam sambil mengangkat bahu.
"Bisa tolong tunjukkan surat-suratnya?"
"Oh bisa bisa," gw turun dari motor dan bergegas membuka bagasi. "Ada di sini suratnya."
"Ini Pak," gw menyerahkan selembar kertas dari dalam bagasi secara sembarangan. Cukup banyak
kertas-kertas di sini. "Apaan nih?"" Polisi di depan gw merentangkan kertas di tangannya. "Ini kan fotokopi Kartu Keluarga?"
Weiitz !! Iya, gw baru inget biasanya STNK kan pake sampul plastik gitu yak" Kertasnya jg warna kuning
gitu. Yg di tangan Polisi itu memang Kartu Keluarga. Meva di sebelah gw udah cekikikan aja tuh. Nggak
tau apa gw lagi nervous gini?"
"Saya minta STNK sama SIM. Bukan Kartu Keluarga?" Polisi itu geram. Dikiranya gw sengaja kali yak.!
Langsung dah tuh gw ambil tumpukan kertas surat yg gepeng ditimpa jok motor. Polisi di depan gw
berdiri menunggu dengan tidak sabar.
"Sialan, dasar anak gendenk! Ngapain segala Akte Lahir ditaro di bagasi!" gw memaki dalam hati.
"Ada nggak STNK nya?" bisik Meva ke gw.
"Lagi gw cari," jawab gw pendek. Kesel sendiri jadinya.
"Ada nggak?"" Polisi itu makin tidak sabar.
Setelah selanjutnya menemukan kopian surat dokter dan surat keterangan domisili, akhirnya gw
dapatkan STNK. Buru-buru gw serahkan tuh STNK plus SIM gw ke Polisi yg kayaknya lagi laper.
"Kenapa nggak pake spion" Plat luar kota, tapi belagu banget di jalanan Karawang.." lanjut Polisi itu
setelah beberapa saat mengecek SIM dan STNK gw.
"Maaf Pak, kemaren abis kecelakaan soalnya. Ini baru mau beli spion." Ada aja yg kena kalo sama Polisi!
Gw deg-degan, tapi nggak tau kenapa si Meva masih aja cekikikan menahan tawa. Apanya yg lucu
siih?"" Dan setelah beberapa menit mendengarkan ocehan si Polisi tentang pasal yg gw langgar, akhirnya
disepakatilah ganti denda sebesar tigapuluhlima ribu perak karena gw menolak untuk melakukan sidang
di Polres Karawang. "Laen kali jangan lewat jalan gede kalo nggak mau ditilang," kata petugas Polisi sebelum gw pergi.
Aarrrggggh.......nggak papa lah, gw anggep sodakoh aja buat fakir miskin.!
Part 57 Ada sebuah cerita unik yg terselip selama bertahun-tahun gw di Karawang bersama Meva..
Suatu malam di akhir Agustus...
Gw lagi asyik-asyiknya mimpi indah waktu gw mendadak terjaga karena guncangan di kepala
gw. "Bangun Ri..." suara Meva terdengar jelas.
"Apa-apaan siih bangunin gw jam segini?" gw menepis tangannya dari rambut gw. Kepala gw
terasa berdenyut akibat jambakan tadi. "Pake jambak-jambak kepala orang" Besok gw kerja
Va.." Gw mengeluh kesal. Gw yakin saat ini belum nyampe tengah malam. Rasanya baru beberapa
menit yg lalu gw tidur. Kamer gw juga masih gelap. Gw memang selalu tidur dengan lampu
padam. "Bangun dulu bentar lah," kata Meva lagi.
"Ada apaan sih?" bahkan gw nggak bisa melihat wajah Meva. Gw cuma tau dari suaranya, dia
ada di sisi kiri gw. "Bangun aja dulu," lanjutnya.
"Gw udah bangun. Bilang aja apaan. Nggak usah bertele-tele, ngantuk gw."
"Bangun," dia menarik gw duduk. Dan dengan sangat terpaksa gw bangun sambil otak gw masih
berusaha mengingat mimpi apa tadi.
"Oke. Ikut gw keluar," siluet seseorang menghalangi pandangan tepat di depan gw. Siluet
seorang perempuan. "Mau ngapain siih?" Ganggu orang tidur tau!!" gw setengah berteriak mulai kehabisan
kesabaran. "Yeeeee nggak pake nyolot kali!" bayangan hitam di depan gw berkacak pinggang.
"Iya iya ada apaan sih emang?" gw pelankan suara gw.
"Ikut gw keluar," ucapnya lalu menarik tangan gw.
Aah, kerasukan apa siih ni anak?" Gw menggerutu dalam hati. Malem-malem bangunin orang
tidur! Pintu terbuka dan sinar lampu di luar akhirnya melunturkan bayangan hitam di depan gw,
menggantinya dengan sosok Meva yg tetap saja terlihat manis meski kesadaran gw belum
sepenuhnya pulih. Meva membawa gw berdiri di beranda, menghadap sawah luas di depan sana. Bulan sedang
nyaris purnama jadi cukup jelas buat gw melihat yg ada di kejauhan.
"Ini?" tanya gw. "Jadi lo bangunin gw cuma mau nunjukkin ini" Sawah-sawah ini?""
Meva nggak menjawab. Dia malah menggoyang-goyang kepala gw.
"Udah kumpul belum nyawa loe?" ujarnya.
Mau nggak mau kantuk gw lenyap.
"Ada apaan sih Va?"
Meva tersenyum lalu menunjuk bulan di langit.
"Indah yaa..." kalimat yg sudah bisa gw tebak.
"Biasa aja," komentar gw pendek.
"Indah tau! Lo nggak sensitif banget siih?"
Gw mencibir pelan. "Akan lebih indah kalo lo mengijinkan gw balik ke kasur. Gw ngantuk Va, besok kudu kerja."
lalu gw berbalik hendak kembali ke kamer gw.
"Tunggu bentar," Meva menahan tangan gw.
Dengan sejuta perasaan dongkol gw turuti maunya. Gw tetap berdiri di posisi gw, menghadap
sawah yg harus gw akui memang indah tertimpa cahaya bulan, sementara Meva bergegas ke
kamernya. Oke deh, gw mau liat maksud dan tujuannya malem ini bangunin gw secara paksa.
Gw menatap pemandangan di hadapan gw sambil bertopang dagu. Dari belakang gw terdengar
derit pintu dibuka disusul derap langkah pelan menuju tempat gw berdiri. Pasti si Meva.
"Ri," panggilnya.
Gw menoleh dan langsung terkejut. Meva sedang menenteng di depan dadanya, sebuah kue
cokelat kecil dengan lilin angka '23' menyala cantik di atasnya.
"Happy birthday...!" kata Meva penuh semangat.
Gw terperangah. Jadi ini maksudnya bangunin gw tengah malem" Sumpah gw sendiri nggak
inget kapan ultah gw! "Buat gw nih?" gw masih bingung.
"Emang sapa lagi, dodol" Ya elo lah! Selamat ulang tahun yg ke enampuluhtiga!"
"Enak aja! Gw tua banget donk?" dan kami berdua pun tertawa.
"Lo tau dari mana hari ini gw ultah?" tanya gw ingin tahu.
"Gw pernah liat di KTP lo." Meva menaruh piring kue di tembok. Apinya bergoyang pelan
tertiup angin. "Tapi seinget gw kayaknya bukan hari ini deh..." gw coba mengingat. "Bentar gw cek dulu deh
KTP nya." Gw ke kamer, ambil KTP dari dompet lalu keluar dan bersama-sama Meva mengecek tanggal
lahir gw. "Tuh kan?" seru gw. "30 September Va! Bukan 30 Agustus!"
Meva melongo. Meski berkali-kali mengecek, tanggal lahir di KTP gw nggak berubah. Meva
menutup mulut dengan kedua tangannya tanda terkejut.
"Masa sih?" katanya kaget. "Gw salah donk"..." dan memandang gw malu.
Gw nggak bisa menahan tawa. Wajah Meva bersemu merah saking malunya. Dia nampaknya
cukup shock. "Sorry..gw pikir hari ini," Meva menatap iba kue di tembok.
"Makanya laen kali pastiin dulu lah," gw masih terkikih. Dalam hati kasian juga dia udah siapin
surprize ini. "Jadi gimana donk" Gw udah sengaja siapin kuenya juga.."
"Emh..ya udah, berhubung udah terlanjur, khusus buat tahun ini gw majuin ultah gw sebulan
deh. Anggep aja hari ini gw beneran ultah." usul gw.
Meva tertawa pelan. "Ide bagus tuh," sahutnya. "Ya udah deh tiup tuh lilinnya. Keburu mati dulu."
Fiiuuuh..... Gw langsung meniup mati dua api lilin itu disusul tepukan tangan Meva. Dan akhirnya, malam
itu jadi salahsatu malam yg nggak terlupakan buat gw. Kami duduk di tepi tembok, makan
bareng kuenya sambil ngobrol ringan. Meski tanpa kado, toh nggak mengurangi makna malam
ini secara keseluruhan. Biar gimanapun gw sangat menghargai upaya Meva merayakan ultah gw.
Hmmm...malem ini memang indah Va....
Part 58 Dan hari yg paling membahagiakan itu pun akhirnya tiba. Sohib gw Indra akhirnya menggelar resepsi
pernikahannya, sekitar dua minggu setelah lebaran Iedul Fitri. Tanpa tunangan dan langsung ke gelaran
pernikahan. Jauh-jauh hari dia pernah mengenalkan calon istrinya, Dea namanya. Waktu itu mereka berdua maen ke
kosan, dan diperkenalkan lah Dea ke gw dan Meva. Indra juga minta gw buat jadi pendamping pengantin
pria, saat ijab qabul nanti. Oke gw setuju. Meva juga dilibatkan. Kalo gw jadi yg mendampingi Indra dari
rumahnya menuju tempat hajat dan saat momen ijab qabul, maka Meva diminta Indra untuk
mendampingi Dea, yg pada prosesi nya akan "menjemput" pengantin pria setelah prosesi akad nikahnya
selesai. Meva nggak langsung setuju. Dia tadinya keberatan karena dia nggak terbiasa dengan suasana
rame seperti pernikahan, tapi setelah dibujuk oleh Dea, akhirnya dia mau juga. Dea berjanji akan
menyiapkan busana khusus buat kami berdua.
Gw seneng banget dilibatkan dalam acara ini karena gw juga jadi bisa belajar buat resepsi gw yang entah
kapan itu terjadi. Hahaha.. Pokoknya mah gw akan laksanakan 'tugas negara' dengan sebaik-baiknya.
Minggu pagi yg cerah seolah jadi pertanda bahwa hari ini benar-benar akan jadi hari yg paling bersejarah
di hidup Indra. Gw dan Meva tiba di rumah Indra sekitar jam setengah tujuh pagi dan langsung disambut
pelukan bahagia sohib gw. Indra sedang akan dirias karena dijadwalkan akadnya jam sembilan ini. Tapi
kalo gw liat dia agak nervous juga. Sudah selayaknya gw memberinya dorongan semangat.
"Thanks banget ya Ri udah mau bantu gw," kata Indra. "Loe juga Va..thanks berat deh buat kalian
berdua!" "Udah sana siap-siap," kata gw. "Biar gw sama Meva nunggu di sini aja." waktu itu kami ada di ruang
tengah. "Kalian udah sarapan belum?" tanyanya.
"Beluum!" Meva yg menjawab, setengah frustasi dan setengah bersemangat. Tadi kami memang buruburu berangkat ke sini takut terlambat.
"Ya udah kalian sarapan aja dulu gieh. Di dapur banyak masakan tuh. Abis itu kalian ke kamer gw. Kalian
juga akan dirias. Kalian kan pendamping pengantin." lanjut Indra yg kemudian masuk ke kamarnya.
Suasana rumah ini cukup ramai. Selain nyokap Indra yg tentu saja datang, ada juga rombongan sanak
family dari Sidoarjo. Jadilah rumah ini seperti panggung ludruk, karena mereka semua berbicara dalam
logat Jawa yg kental. Layaknya orang yg menggelar hajatan, masing-masing orang di sini juga sibuk
dengan tugasnya. Ada yg menyiapkan seserahan, memastikan keadaan mobil yg akan dipakai, dan
beberapa hal lain yg tentunya harus dipersiapkan sebaik-baiknya demi acara sakral ini. Gw dan Meva
sarapan di dapur sambil ngobrol-ngobrol sama nyokapnya Indra. Rupanya Indra cukup banyak bercerita
tentang kami ke nyokapnya, karena tanpa memperkenalkan diri pun beliau udah tau kami berdua yg
akan jadi pendamping pengantin. Jadilah kami asyik ngobrol sampe Indra kemudian meminta gw dan
Meva untuk segera dirias. Gw dirias di kamer Indra, sementara Meva di kamer yg lain.
Sebenernya bukan dirias kayak cewek siih. Dengan make up sederhana dan setelan jas hitam rapi
dengan kopiah, rasanya orang akan bingung membedakan yg mana pendamping dan yg mana
pengantinnya. Hahaha. Tapi enggak dink. Indra dengan busana kolaborasi Jawa-Sunda tampak mencolok
dari yg lain. Hari ini yg gw liat seperti bukan Indra yg gw kenal selama ini. Dia begitu beda sekarang, lebih dewasa
dan matang dengan busana pengantinnya. Setelah semua dirasa beres, sekitar jam setengah sembilan
semua berkumpul di ruang tamu. Di luar terdengar suara mesin mobil yg sedang dipanaskan. Gw dan
Indra berjalan berdampingan menuju ruang tengah. Di sana nyokapnya Indra udah nunggu. Beliau
langsung memeluk anaknya dengan tangis bahagia. Gw jadi terharu liatnya. Ada beberapa kalimat yg gw
ingat diucapkan nyokapnya, sebenernya dalam bahasa Jawa, tapi karena keterbatasan ingatan gw
dengan bahasa yg satu ini, gw tulis dalam bahasa Indonesia deh. Kurang lebih seperti ini yg diucapkan
nyokapnya ke Indra. "Ibu sayang kamu Nak. Ibu bahagia sekali liat kamu hari ini," katanya sambil tak hentinya mengucurkan
airmata. Suasana hening ketika ini berlangsung. "Kalau saja ayahmu masih ada, dia pasti akan sangat
bangga liat anaknya sudah jadi 'orang' seperti ini!"
"Iya Bu. Indra juga sayang Ibu dan semuanya.." Indra ikut menangis haru.
"Jadilah suami yg baik buat istrimu dan ayah yg teladan buat anak-anakmu kelak. Hari ini Ibu lepas
kamu. Mulai saat ini kamu bukan tanggungan Ibu lagi, karena kamu sekarang adalah imam untuk
keluargamu." Hening dan khidmat. Itu yg gw rasakan. Kalimat yg diucapkan begitu meresap di hati gw. Jadi kangen
juga sama nyokap di kampung.
"Nak, inget pesen Ibu akan satu hal : bimbing keluargamu untuk selalu melaksanakan sholat lima waktu.
Kamu juga jangan lupa sholat malam..." lalu dikecupnya kening Indra.
Dan setelah diakhiri dengan doa bersama sebelum berangkat, Indra melangkahkan kaki kanannya
melewati pintu simbol bahwa kebaikan akan selalu menyertai langkah nya kelak.....
Part 59 Perjalanan menuju rumah mempelai wanita terasa lama karena empat mobil yg berangkat berjalan
pelan berderet ke belakang. Gw ada di mobil paling depan bareng Indra dan nyokapnya. Dua mobil di
belakang membawa seserahan lamaran dan satu lagi untuk family yg ikut hadir. Ada juga beberapa yg
pake motor, rekan kerja dari perusahaan Indra. Sampe saat itu gw belum ketemu Meva. Kayaknya dia di
salahsatu mobil yg bawa seserahan. Nggak lucu kan kalo dia ketinggalan di rumah Indra" Haha..
Selama perjalanan Indra tampak tenang didampingi nyokapnya. Beda sewaktu pagi tadi. Mobil
rombongan berhenti di pinggir jalan. Indra keluar dari mobil, tentu saja gw mendampinginya. Di sisi kiri
Indra adalah nyokapnya. Kami dan rombongan berjalan perlahan masuk ke gang ditemani suara petasan
yg memekakan telinga. Di kanan kiri kami banyak penduduk setempat yg memandang kami penuh
minat. Sementara rumah Dea berada sekitar seratus meter dari gang. Berdampingan sama pengantin
dengan dipayungi sebuah payung besar khas kekeratonan, entah kenapa justru sekarang gw yg nervous!
Suasana di tempat hajat sudah begitu ramai. Pengantin ceweknya pasti lagi nunggu di dalem rumah.
Agak jauh dari rumah hajat, berdiri berbaris beberapa orang menunggu rombongan. Kami berhenti dan
berdiri berhadapan dengan mereka. Salahsatu dari mereka yg membawa mikrofon, yg belakangan gw
tau adalah bokapnya Dea a.k.a mertuanya Indra, mengucapkan penyambutan. Selesai itu giliran
nyokapnya Indra menjawab sambutan tadi. Lalu kami dibimbing bokapnya Dea menuju sebuah musholla
yg akan menjadi tempat berlangsungnya momen sakral dari acara ini, sementara rombongan seserahan
lanjut menuju rumah mempelai.
"Ri, doain gw..." bisik Indra begitu kami duduk berhadapan dengan penghulu di dalam musholla.
"Pasti," gw menepuk bahunya. "Jangan gugup."
Indra mengangguk setuju. Bersama puluhan orang yg ikut hadir di dalam tempat suci ini, kami semua
melakukan doa bersama sebelum prosesi akad. Pamannya Indra ditunjuk sebagai wali menggantikan
bokapnya. Gw sendiri nggak hentinya deg-degan nunggu detik-detik akad nya.
Indra dengan mantap menjabat tangan penghulu dan menjawab lantang pernyataan sang penghulu.
Sontak semua berseru "sah!" waktu pak penghulu kemudian memastikan keabsahan ijab qobul tadi.
Indra menarik napas lega lalu memeluk gw bahagia.
"Selamat Dul," kata gw. "Gw ikut bahagia."
"Thanks Ri. Thanks!"
Dan lalu kembali terdengar suara petasan meledak, disusul tetabuhan semacem rebana kalo gak salah.
Iringan pengantin wanita nampak berjalan mendekat ke tempat kami. Indra, gw dan pamannya berjalan
keluar dan berdiri di tempat kami menunggu kedatangan "penjemput".
Dan tibalah mereka... Dea yg sekarang sudah sah sebagai istrinya Indra muncul didampingi mamahnya,
dan.....Meva! Itu dia! Pake kebaya putih dan rambut disanggul, dia keliatan beda banget. Ini pertama
kalinya gw liat dia pake kebaya. Wouw..wouw..wouw! Hahaha.
Keliatan banget sebenernya Meva nggak nyaman dengan keberadaannya di dalam sini. Pamannya Indra
berhadapan dengan nyokapnya Dea, Indra berhadapan langsung dengan Dea, dan gw ketemunya Meva
tentu saja. Dia tampak malu-malu. Pipinya bersemu merah. Kali ini Meva lebih banyak menunduk dan
sesekali memandang Indra dan Dea, seperti enggan melihat gw.
"Penjemputan" sendiri diisi dengan pernyataan dari kedua mempelai yg sama-sama mengikrarkan janji
setia sehidup semati. Wuiih so sweet banget! Lalu keduanya berjalan berdampingan menuju pelaminan
di rumahnya. Dan dengan begitu selesailah tugas gw. Meva juga.
Suasana di luar sudah ramai disesaki warga yg berderet menepi, ingin ikut menyaksikan momen-momen
berharga ini. Begitu keluar, gw menarik Meva agak menjauh dari rombongan.
"Mau ke mana Ri?"" tanyanya kaget.
Gw berhenti di tempat yg memberi kami sedikit ruang bebas.
"Kita ke dalem lagi yuk?" kata gw.
"Mau ngapain?"?"
"Mumpung penghulunya masih ada tuh, kita married yuk" Giliran kita tuh. Lumayan lah gratisan, jadi
nggak perlu bayar lagi. Kan udah dibayar sama Indra," canda gw.
"Hah?" Meva terkejut. "Nggak modal banget loe pake penghulu bekas orang!" dia melepaskan
tangannya dari genggaman gw lalu menempeleng gw pelan.
Gw tertawa lebar liat ekspresi wajah Meva.
"Yah lumayanan lah!" kata gw.
"Ogah!" lalu Meva berjalan kembali ke dalam rombongan.
Gw segera menyusulnya dan berjalan di sampingnya.
"Jadi lo nggak mau nih gw ajak married?" goda gw lagi.
"Lo punya apa" Berani-beraninya ngajak gw married," jawab Meva dengan nada yg dibuat-buat.
"Gw punya cintaaa...." sumpah gw lagi niat banget tuh godain Meva.
Meva mencibir. "Makan tuh 'cinta'.! Cari duit dulu yg banyak baru ngelamar gw!" dan kami pun tertawa, nggak peduli
dengan tatapan orang-orang di dekat kami yg keheranan.
Setelah menyantap hidangan dan berfoto bareng kedua mempelai, gw dan Meva duduk di meja pager
ayu. Kami memutuskan hari ini ganti profesi jadi penyambut tamu. Padahal pager ayu yg aslinya udah
ada empat tuh. Well, acaranya meriah banget. Gw dan Meva pamit pulang menjelang malam.......
Part 60 Gw diam sejenak dan mencoba sedikit berfikir tentang semua yg udah gw lewati di hidup gw. Gw cuma
mau review, seandainya saat lahir dulu gw ada di angka nol..maka sekarang ini gw nyampe di angka
berapa yak" Oke, anggap saja finishnya adalah angka 100. Apa gw sekarang sudah mendekati itu"
Reborn Sepasang Kaos Kaki Hitam Oleh Ariadi Ginting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Limapuluh" Tujuhpuluh" Atau bahkan cuma beberapa angka dari nol"
Rasanya waktu terlalu cepet berlalu tanpa gw bisa banyak berbuat untuk hidup gw sendiri. Gw udah
nyampe di usia 23 tapi belum banyak perubahan yg gw rasakan. Semuanya masih sama seperti baru
lulus SMA. Dibandingkan dengan Indra yg nyaris sudah mendapat semuanya, jelas gw nggak ada apaapanya. Rumah, istri, dan segala tetek bengeknya, gw masih jauh dari itu.
Tapi toh kalau gw cuma memikirkan soal materi, semua nggak akan ada habisnya. Gw akan selalu
merasa kekurangan, gw yakin lah. Bener kata Indra, masa depan gw adalah misteri. Dan yg bisa gw
lakukan cuma ngejalanin yg ada sambil menunggu ke mana misteri ini akan berujung.
Gw embuskan asap putih dari mulut gw ketika terdengar langkah kaki menapaki tangga. Pasti Meva baru
balik dari kampus. "Hayy Ri.." panggilnya dengan nada khas nya.
Bener kan itu Meva. Ah, bahkan cuma mendengar irama langkah kakinya gw hafal itu dia! Hebat banget
ya gw?" "Tumben baru balik jam segini?" sahut gw tanpa mengalihkan pandangan dari sawah yg nampak indah
tertimpa sinar senja di depan gw.
"Ada tugas banyak banget," Meva berdiri di sebelah gw dan menggeliatkan badannya. Dan wangi
parfumnya langsung menyeruak ke hidung gw.
"Eh, loe ngerokok?"" kata Meva lagi kaget.
Gw menatap batang rokok yg terhimpit diantara telunjuk dan jari tengah gw. Hebat banget yak dia bisa
tau kalo ini rokok?" (dengan nada menyindir)
"Enggak kok. Ini kan singkong?" jawab gw santai.
"Mana ada singkong ngeluarin asap kayak gitu!?""
"Ini singkong ajaib."
"Bukan, itu rokok Ri. Bego amat gw kalo nggak bisa bedain mana rokok mana singkong?"
"Yeeeeey kan udah gw bilang ini singkong ajaib?" gw bertahan dengan argumen gw. "Orang lain akan
ngeliat singkong ini adalah rokok, padahal ini cuma singkong goreng kok."
Meva menatap lekat-lekat rokok di jari tangan gw. Dia seperti ingin meyakinkan dirinya kalo ini memang
singkong goreng! "Ini rokok ah!" akhirnya Meva sampai pada kesimpulan akhirnya.
"Emang ini rokok, siapa yg bilang ini singkong goreng?"
Meva mendengus kesal. Direbutnya rokok dari tangan gw dan langsung dilempar ke bawah.
"Sejak kapan loe ngerokok" Setau gw loe nggak pernah ngerokok," cecarnya.
"Itu batang rokok pertama gw. Baru juga sekali isep, kok dibuang sih?" protes gw.
"Gw nggak suka liat loe ngerokok!"
"Ya udah gw ngerokok dalem kamer aja biar lo nggak liat.."
"Rokok itu nggak baik buat kesehatan tau!"
Gw tertawa pelan. Sial banget gw, baru pertama nyoba ngerokok eh malah dibuang rokoknya.
"Masa lo nggak tau sih riset yg dilakukan seorang profesor Jepang tentang rokok?" ujar gw. "Gw baca di
majalah, katanya rokok bisa mencegah rambut seseorang beruban lho!"
"Jelas aja perokok nggak punya uban, mereka kan mati sebelum sempat ubanan?""
Gw tertawa lebar. Ah, udahlah. Gw juga kayaknya nggak bakat jadi perokok.
"Loe tau" Dalam satu batang rokok, ada jutaan racun mematikan yg bisa bikin lo mati kapanpun." Meva
mulai berceramah. "Oke oke. Sorry, tadi gw cuma coba-coba kok.."
"Nyoba tuh hal baik kek, jangan nyoba yg nggak bener lah."
"Iya, ibu guru..."
Meva mencibir. "Tapi kok ibu guru perhatian banget sih sama saya, sampe segitunya" Hohoho.."
"Bukan apa-apa. Gw males aja kalo nanti gw harus jadi saksi di pengadilan, seandainya lo mati
keracunan rokok di kamer lo."
"Yah gw pikir saking baiknya lo, ternyata..." gw mendesah kecewa.
Meva terkikih pelan. "Udahlah nggak ada gunanya ngerokok. Sayang duit lo. Mending kumpulin aja tuh duit buat modal
kimpoi," kata Meva masih menasehati gw.
"Emang gw mesti punya berapa duit sih buat ngelamar loe Va?" iseng gw tanyain itu. Haha.
Meva tampak terkejut. Setelah berfikir beberapa detik dia menjawab.
"Emmh..gw punya syarat buat lo kalo mau jadi laki gw."
"Apa tuh?" "Lo harus buatin gw mall di atas Bendungan Walahar. Terus, buatin gw perahu yg gede biar gw gampang
kalo mau ke mall. Dan semua itu harus dikerjakan dalam satu malam sebelum fajar tiba!" katanya.
"Wah kalo gitu gw nyerah deh...entar ujung-ujungnya gw dikerjain pake suara ayam," kami pun tertawa.
"Eh Ri, hari Sabtu besok lo lembur nggak?" tanya Meva.
Gw menggeleng. "Emang napa?" gw balik tanya.
"Ikut gw yuk ke Jakarta."
"Mau ngapain emangnya?"
"Duit gw udah mau abis. Udah waktunya gw dapet suntikan dana. Yah sekalian gw kenalin lo ke nyokap
gw.." "Masa" Apa ini ada hubungannya sama lamaran?" Wah gw nggak nyangka secepet ini.!" canda gw.
"GR amat lo!" Meva menempeleng gw pelan. "Baru dikenalin aja udah ngehayal jauh."
Gw nyengir bego. Pasti muka gw keliatan aneh dah.
"Ya udah ntar kita omongin lagi deh. Gw capek nih mau mandi dulu," Meva berjalan menuju kamarnya
lalu klik...dan pintunya tertutup rapat.
Part 61 Sabtu pagi-pagi bener Meva udah gedor kamer gw, ngingetin janji gw nemenin dia ke Jakarta. Saking
semangatnya dia kayak lagi ngajak Perang Dunia ke 3. Dan setelah berdebat sengit selama setengah jam
soal waktu keberangkatan akhirnya tepat jam tujuh gw dan Meva berangkat pake bus jurusan Priok.
Berhubung mata lagi sepet-sepetnya gw tidur deh selama perjalanan, nggak peduli si Meva mau ngoceh
kayak apa juga. Gw anggep radio rusak aja. Salah dia sendiri kan ngajak gw pas ngantuk-ngantuknya"!
Gw bangun gara-gara kepala gw kejedot jendela. Si Meva malah ketawa-ketawa puas liat gw sakit.
"Nggak di kosan nggak di tempat umum kerjaannya ngebooo mulu," komentarnya.
"Ngantuk Va..semalem kan gw begadang," sergah gw. Baru sadar kalo badan gw basah oleh keringat.
Selain panas, busnya juga hampir penuh penumpang. Gw dan Meva kebagian di bangku ujung dekat
pintu belakang. "Panas banget yak?"
"Buka aja kacanya."
Gw menggeser kaca jendela di samping gw. Bus berhenti di loket pintu tol Pondok Gede.
"Berapa lama lagi sih?" tanya gw.
"Sekitar limabelas menit ke Priok. Abis itu ganti bus yg jurusan Blok M."
"Yah masih lama donk?" gw mendesah kecewa. Akhirnya gw putuskan mencoba tidur lagi walaupun
ternyata sia-sia. Panasnya bener-bener menyengat.
Dan bukan Jakarta namanya kalo nggak macet. Setengah jam setelah lewat tol Pondok Gede tadi, baru
deh nyampe terminal Tanjung Priok. Gw udah kayak orang mandi aja. Kaos gw basah kuyup. Meva juga
kepanasan sebenernya. Buliran peluh bercucuran membasahi bulu-bulu halus di lehernya. Tapi dia
samasekali nggak mengeluh kepanasan. Nih anak kayaknya lagi semangat 45.
Butuh sejam sebelum akhirnya kami tiba di terminal blok M. Dari situ lanjut lagi pake mikrolet, nggak tau
jurusan mana. Yg gw tau adalah akhirnya kami berdiri di depan sebuah rumah model kuno zaman
Belanda. Di sini sejuk banget. Mungkin karena letak rumahnya yg cukup jauh dari jalan raya jadi nggak
begitu kena polusi. "Ini dia, akhirnya nyampe juga!" Meva membuka pagar besi bercat kuning yg sudah aus termakan usia.
"Selamat datang di rumah gw."
Gw memandang berkeliling. Ada satu pohon besar di tengah halaman yg dipasangi ayunan di dahannya.
Gw perkirakan usia ayunan itu sudah lebih dari sepuluh tahun dan sangat jarang digunakan karena tali
rantainya sudah berkarat parah. Sayup-sayup terdengar lagu gambang kromong yg diputar dari dalam
rumah. "Woy, malah bengong." Meva membuyarkan lamunan gw. "Masuk yuk?"
Kami sampai di depan pintu dan sebelum Meva sempat mengetuknya pintu sudah terbuka. Seorang
wanita tua berusia 60an berbaju cokelat muncul dan melempar senyum ke arah kami.
"Hay Oma," Meva memeluk neneknya.
"Kamu tambah gemuk aja Va," Oma berseru gembira.
"Masa sih" Baru juga sebulan nggak ketemu udah dibilang gemuk," Meva meraba-raba perutnya.
"Emang gw gemukan ya Ri?" tanyanya ke gw.
Gw asal ngangguk aja. "Ah enggak ah! Kalian berdua sekongkolan nih bilangin gw gemuk!" dia memprotes sendiri.
"Va..itu...?" Oma menunjuk ke gw.
"Oh...kenalin ini temen Meva, namanya Ari," dia menarik gw mendekat dan menyalami Oma nya.
"Temen kuliah?" tanya Oma.
"Bukan. Temen di kosan." Meva nyengir malu.
"Oooh," Oma menganggukkan kepala. "Ya udah masuk sini..."
Dan akhirnya gw bisa selonjoran juga. Gw duduk di sofa tua di ruang tamu sementara Meva melempar
tas nya sembarangan ke sofa lalu bergegas ke dalam. Oma duduk di seberang gw. Seperti penghuninya,
perabot-perabot di rumah ini terbilang tua. Kuno tepatnya. Banyak aksesoris rumah khas zaman Belanda
yg dipajang di ruangan ini.
"Mau minum apa Ri?" Meva muncul dari balik tembok.
"Jus alpukat deh," jawab gw.
"Gila aja, lo kira ini kafe" Mana ada jus alpukat!"
"Kalo gitu jus melon deh."
"Nggak ada, dodol!"
"Ya udah es teh manis aja. Ada?"
Meva menggeleng. "Adanya aer putih doank," jawabnya bodoh.
"Terus ngapain donk lo nawarin kalo nggak ada pilihannya?"
Meva cengar-cengir. "Kan basa basi" Biar lebih akrab aja gitu.."
Gw mendengus kesal. "Ada kopi di lemari tuh Va," kata Oma.
"Lemari mana?" "Yg tengah tuh, samping tivi.."
Bergegas Meva kembali ke dalam. Sementara menunggu gw dan Oma ngobrol-ngobrol basa basi gitu.
Tentang asal dan kerjaan gw.
"Hayoo lagi ngomongin gw yak?" kata Meva dengan pedenya yg muncul membawa segelas air dingin.
Padahal kan tadi katanya ada kopi yaa?"
"GR loe," jawab gw pelan.
"Kamu udah ke Mamah, Va?" tanya Oma.
"Belum. Ini baru mau ke sana, istirahat dulu bentar deh. Oiya tante mana Ma?"
"Belum dateng. Mungkin nanti sore.. Kamu mau minta duit ya?"
"Hehehe...tau aja nih si Oma. Lagian kalo bukan minta duit, ngapain lagi coba Meva ke sini?"
"Ya udah tunggu aja tante kamu dateng."
"Oke." Kami bertiga akhirnya ngobrol-ngobrol ringan. Ditemani musik khas gambang kromong yg mengalun
pelan dari kamar Oma, suasana siang itu bener-bener bikin ngantuk. Udah dasarnya ngantuk, ditambah
lagi suasana mendukung, ya udah deh akhirnya gw tanpa sadar tertidur di tengah obrolan kami
bertiga..... Part 62 "Ri..bangun Rii..." sebuah tepukan di pipi membuat gw terjaga.
Meva sedang berdiri di depan gw sambil satu tangannya berkacak pinggang.
"Ni anak kebonya minta ampun!" dia gelengkan kepala beberapa kali. "Nggak di kosan nggak di rumah
orang, kerjaannya ngeboooo mulu!"
"Ngantuk gw Va.." gw benahi posisi duduk gw.
"Mata lo ada lem nya yak" Kayaknya gampang banget tuh mata nutup," dia lanjutkan ngomelin gw.
Gw menguap malas. "Oma mana?" tanya gw.
"Di kamer. Lo nya nggak sopan sih ada orangtua ngajak ngobrol malah molor."
"Iya iya maap.."
Meva mencibir. "Ya udah buruan cuci muka," lalu menarik tangan gw menuju dapur. Ada wastafel di sana. "Abis ini ke
rumah nyokap gw." "Kok nggak bareng di sini" Katanya ini rumah lo?"
"Sapa bilang" Ini rumah nenek gw."
"Tadi pas baru dateng, lo bilang kayak gitu. Ah, nevermind lah. Kita ke mana nih?"
"Grogol," jawab Meva pendek.
Selesai cuci muka kami kembali ke ruang tamu. Setelah pamitan ke Oma, gw dan Meva berangkat pake
bus. Gw nggak hafal kota Jakarta jadi gw ngikut Meva aja. Selama perjalanan Meva nggak banyak
ngomong. Dia lebih banyak melamun menatap keluar jendela. Tiba-tiba saja dia berubah jadi pendiam.
Dan Meva benar-benar nggak bicara sampai kami tiba di depan sebuah pintu teralis besi. Seorang wanita
berseragam membuka gemboknya dan mempersilakan kami masuk. Ruangan ini terletak agak terpisah
dari ruangan-ruangan lainnya.
"Dua malam yg lalu mamah kamu kumat, jadi kami pindahkan ke tempat favoritnya," kata wanita
berseragam itu pada Meva.
Meva hanya membalas dengan senyuman lalu mendahului gw masuk ke ruangan. Sebuah ruangan kecil
yg pengap dengan satu tempat tidur yg sangat kotor tanpa sprei. Orang waras manapun pasti enggan
berada di ruangan ini. "Mah..." Meva berjalan cepat menuju seorang wanita di sudut ruangan. "Mamah apa kabar?" dan
langsung memeluknya. Langkah gw terhenti di depan pintu. Menatap lekat-lekat wanita paro baya yg sedang dipeluk Meva.
Seolah tidak peduli dengan kotor dan baunya wanita itu, Meva memeluknya penuh cinta.
Gw disuguhi pemandangan yg mengejutkan sekaligus mengharukan di depan mata gw. Seorang wanita
muda, cantik dan rapi, tengah memeluk wanita yg tampak jauh lebih tua dari usia sebenarnya.
Berpenampilan serba kusut, rambut panjang yg tidak pernah disisir hingga mengeras, wajah yg keriput
dan berminyak serta jari-jari kasar yg hitam. Sangat kontras dengan Meva.
"Mah," lanjut Meva. "Mamah baik-baik aja kan?"
Wanita itu tetap diam. Nggak berusaha melepaskan diri dari pelukan Meva tapi juga nggak
menyambutnya. Dia menatap kosong atap bangsal yg berjamur.
"Meva kangen sama Mamah..." Meva masih memeluknya erat.
Jadi, inikah dia" Wanita tua gila ini adalah mamahnya Meva" Ya, sudah jelas wanita itu gila. Gw langsung
menyadari adanya keganjilan begitu Meva tadi menggandeng gw masuk melewati gerbang Rumah Sakit
Jiwa ini. Tadinya gw pikir akan menemui seorang dokter wanita pengurus pasien di sini, tapi nyatanya...
Hemmmpph......napas gw seperti tertahan di kerongkongan. Bener-bener sesuatu yg nggak terduga. Gw
cuma bisa terpaku, memandang Meva di sudut sana yg kini menitikkan airmata. Entah bahagia entah
sedih.. "Mah, ini Meva Mah..." Meva melepas pelukannya, lalu membelai rambut wanita itu. Jelas sekali jarijarinya yg lentik cukup kesulitan mengikuti bentuk rambut yg mengeras. "Mamah udah makan belum?"
Wanita itu akhirnya menatap Meva.
"Makan?" ucapnya pelan.
"Sebentar," Meva merogoh saku celana jeans nya dan mengeluarkan sebatang permen lolipop. "Ini
permen kesukaan Mamah. Masih dingin lho, tadi Meva ambil dari kulkas di rumah."
Meva membuka bungkusnya lalu menyerahkannya ke mamahnya yg sangat antusias menerima permen
dari Meva. Meva tertawa pelan. Bahagia tapi airmatanya nggak berhenti menitik.
"Mamah cantik banget hari ini," diusapnya pelan pipi wanita tua itu.
Meva menatapnya penuh sayang.
"Mamah, Meva kangen banget sama Mamah..."
Dia mengacuhkan Meva. Hati gw mencelos. Sangat tidak bisa dibayangkan rasanya ada di posisi Meva sekarang.
"Mamah kapan pulang ke rumah" Kita bikin puding bareng lagi ya?"
Rasanya seperti bukan melihat Meva yg gw kenal. Seolah terbalik, Meva mengusapi pipi wanita itu,
layaknya usapan seorang ibu pada bayinya yg baru lahir. Penuh kasih dan harapan.
"Oiya Mah, coba tebak Meva ke sini sama siapa?" Meva memandang gw dan melambaikan tangannya
mengajak gw mendekat. Gw jongkok berlutut di samping Meva.
"Kenalin Mah, ini Ari..."
Kedua mata wanita itu menatap gw tajam, dan sedetik kemudian dia berteriak histeris. Melempar gw
dengan permen di tangannya lalu mulai mengoceh. Wanita berseragam yg menunggu di depan pintu
berteriak memanggil dua rekannya, dan beberapa detik kemudian mereka menyergap nyokapnya Meva,
menahan tendangan dan pukulan yg diarahkan sporadis ke udara. Mendadak gw jadi ngeri.
Meva langsung menggandeng gw keluar.
"Sampe ketemu lagi Mah..." ucapnya setengah berteriak mengatasi raungan nyokapnya di dalam. Dia
Lukisan Darah 2 Wiro Sableng 025 Cinta Orang-orang Gagah Anak Pendekar 3