Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 7

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 7


"Aku ingin dapat melindungi diriku sendiri ayah. Setiap waktu
aku terancam bahaya, aku ingin dapat menyelamatkan diriku
sendiri. Setidak-tidaknya aku dapat memperpanjang waktu
sebelum aku mendapatkan pertolongan."
Ayahnya masih tetap berdiam diri.
"Aku sudah menemui Ki Sumangkar."
Ayah dan ibunya mengerutkan keningnya.
"Ayah dan ibu jangan cemas, aku tidak akan ngunggahunggahi
untuk melamar Ki Sumangkar."
"Ah," ayahnya berdesah.
"Ki Sumangkar telah menyatakan kesanggupannya untuk
menuntun aku dalam tata bela diri. Asal ayah dan ibu
mengijinkan." Ki Demang suami isteri menarik nafas dalam-dalam.
"Ki Sumangkar pun telah berjanji untuk melakukannya di
tempacang terasing. Seperti yang sering dilakukan oleh kakang
Swandaru, di dekat Gunung Gowok."
"Oh," sekali lagi ayahnya berdesah, "kau membuat kepalaku
hampir terlepas Mirah. Kau membuat aku dan ibumu menjadi
sangat bingung." "Salah ayah dan ibu sendiri. Aku belum selesai berbicara,
ayah dan ibu seolah-olah telah tahu persoalannya. Akupun
ternyata keliru menangkap kata-kata ayah dan ibu."
"Kau tidak mengatakannya tentang itu, tentang ilmu tata bela
diri." "Aku kira ayah telah mengerti maksudku, atau mendengar
ketika aku berbicara dengan Ki Sumangkar, sehingga dengan
tergesa-gesa ayah melarang."
Ki Demang menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kau memang
selalu membuat kepalaku menjadi pening, sejak Sidanti ada di
halaman ini. Kemudian kehadiran angger Agung Sedayu. Lalu
kau hilang, dan sekarang kau membuat aku hampir kehilangan
akal." "Nah, bukankah sekarang ayah tahu persoalannya "
Mudahnya, aku akan berguru kepada Ki Sumangkar. Meskipun
aku seorang gadis. Tetapi hal ini akan dapat dirahasiakan. Tidak
ada orang lain yang mengetahuinya. Setidaknya, orang yang
mengetahuinya sangat terbatas." Sekar Mirah berhenti
sebentar, lalu, "Boleh ayah. Boleh bukan?"
"Hem," ayahnya menggigit bibirnya, "kau aneh Mirah.
Sebenarnya hal yang kau sebut itupun tidak biasa dilakukan oleh
gadis-gadis." Wajah Sekar Mirah yang sudah mulai cerah, kini menjadi
suram kembali. Dipandanginya wajah ayahnya yang tampaknya
masih disaput oleh kebingungan dan keragu-raguan. Seperti
anak-anak yang dihadapkan pada teka-teki yang sangat sulit,
kedua suami isteri itu duduk tanpa berkisar sejengkalpun.
Kadang-kadang mereka saling berpandangan dan kadangkadang
ibu Sekar Mirah itu memandangi wajah puterinya dengan
mulut ternganga. Sedang Ki Demangpun selalu bertanya-tanya
di dalam dirinya "Apakah sebenarnya kemauan anak ini ?"
Sejenak kemudian mereka mendengar suara Sekar Mirah,
"Jadi bagaimana ayah, boleh bukan" Aku akan dapat banyak
berbuat untuk diriku sendiri, untuk keluarga, bahkan untuk
Sangkal Putung. Bukankah dengan demikian aku tidak akan
merendahkan namaku dan nama keluargaku. Meskipun hal ini
masih belum biasa terjadi, tetapi bukankah tidak menjadi
pantangan seperti orang gadis yang melamar laklaki bakal
suaminya?" "Ah," sekali lagi Ki Demang berdesah.
"Boleh bukan ayah ?"
Ki Demang Sangkal Pulung yang masih saja ragu-ragu dan
bingung itu akhirnya tidak dapat lagi mengelakkan desakan
Sekar Mirah yang mengalir seperti bendungan pecah. Sehingga
akhir ia berkata, "Baiklah Mirah. Aku tidak berkeberatan. Tetapi
jaga dirimu baik-baik. Sekali lagi aku peringatkan, kau seorang
gadis. Kau harus tetap dapat menjaga dirimu sebagai seorang
gadis. Meskipun seandainya kemudian kau berhasil memperoleh
ilmu tata bela diri yang baik, tetapi kau tidak boleh melupakan
dirimu sendiri. Kau harus tetap memegang adat kesopanan
dalam tindak tanduk, tingkah Iaku dan tutur kata. Aku tidak akan
berbangga melihat kau, sebagai seorang gadis, meskipun kau
memiliki kecakapan seperti Iaklaki dalam tata bela diri, tetapi
lalu bersikap seperti Iaki. Apalagi apabila kau menjadi sombong
dan setiap saat ingin mencari saluran untuk menunjukkan
kelebihanmu." "Itulah ayah, aku telah mengatakan, bahwa aku telah dewasa,
telah cukup mengerti untuk membuat pertimbanganpertimbangan
tentang baik dan buruk. Dewasa tidak saja dalam
pengertian bentuk jasmaniah, tetapi juga dewasa dalam berpikir
dan berbuat." "Kata-katamu seperti kata-kata orang dewasa yang
sebenarnya. Baiklah Mirah. Tetapi ingat selalu pesan ayah dan
ibu. Kau tetap seorang gadis, meskipun kau mampu menangkap
angin." "Tentu ayah, aku tidak akan berubah menjadi laklaki. Aku
tetap seorang gadis."
"Maksudku dengan tingkah laku seorang gadis. Dengan sikap
dan sifat seorang gadis. Kau mengerti ?"
"Tentu ayah. Aku mengerti," sahut Sekar Mirah dengan serta
merta. Lalu, "Sekarang aku akan menemui Ki Sumangkar, Ayah.
Aku akan berkata kepadanya bahwa ayah tidak berkeberatan."
"Tunggu Mirah. Aku masih belum selesai."
"Apa lagi ayah " Aku sudah cukup. Aku akan
menyampaikannya kepada Ki Sumangkar."
"Tunggu Mirah," potong ayahnya. Tetapi Sekar Mirah telah
meloncat. berdiri. Ketika beberapa langkah ia berlari, ia
mendengar ayahnya berkata, "Itu pertanda bahwa kau masih
belum dewasa Mirah."
Sekar Mirah tertegun dimuka pintu. Perlahan-lahan ia
memutar diri menghadap kepada ayahnya. Dan ia mendengar
ayahnya berkata, "Kau sebenarnya masih terlampau kanakkanak.
Kau masih belum dapat mengendapkan perasaanmu dan
berbuat dengan tenang. Kau masih selalu dikuasai oleh
perasaanmu yang melonjak-lonjak itu Mirah."
Dada Sekar Mirah menjadi berdebar-debar.
"Tetapi baiklah. Kau ingat-ingat saja pesan ayah dan ibu dan
bahkan kata-katamu sendiri, bahwa kau telah mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk."
"Ya ayah," sahut Sekar Mirah.
"Pergilah. Hathati."
"Terimakasih ayah." Sekar Mirah itupun kemudian melangkah
keluar. Tetapi ia tidak berlarlari lagi. Langkahnya dibuatnya
menjadi perlahan-lahan namun mantap. Ia ingin menjadi
seseorang yang benar-benar telah dewasa, tindak tanduk dan
cara berpikir. Sumangkar bergembira pula mendengar keputusan ayah dan
ibu Sekar Mirah. Sambil tersenyum ia berkata, "Akupun akan
menemui ayah dan ibumu ngger. Aku harus berbicara dengan
mereka supaya kelak tidak ada persoalan yang dapat
mengejutkannya." "Silahkan Kiai," jawab Sekar Mirah," tetapi cepatlah. Aku
tidak sabar lagi. Aku merasa bahwa diriku seakan-akan telah
mampu berbuat apa saja."
"Jangan tergesa-gesa. Kau memerlukan waktu. Tidak hanya
sehari dua hari. Tetapi setahun dua tahun."
"Berapapun waktu yang diperlukan, tetapi bukankah lebih
cepat lebih baik ?" Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Sumangkar
tertawa, "Baiklah. Tetapi aku harus bertemu dengan ayah dan
ibumu dahulu." Ternyata Sumangkar melakukan apa yang
dikatakannya. Ia memerlukan secara khusus menemui Ki
Demang Sangkal Putung suami isteri. Bahkan Widura
diberitahukannya pula. "Kami tidak berkeberatan," berkata ayah dan ibu Sekar Mirah.
Tetapi kami menuntut agar Sekar Mirah tidak kehilangan sifatsifat
kegadisannya dan kelak sifat-sifat keibuannya."
"Aku akan mencobanya," sahut Sumangkar.
"Mudah-mudahan paman berhasil," sela Widura, "sebab
Sekar Mirah kelak akan berhubungan dengan seorang laklaki
sebagai suami isteri. Kadang-kadang didalam hubungan
keluarga sering terjadi persoalan-persoalan kecil yang harus
dipecahkan. Kalau Sekar Mirah kehilangan sifat keibuannya,
maka tidak mustahil akan terjadi pertempuran kecil-kecilan
didalam lingkungan keluarga itu. Kalau keduanya kemudian lupa
diri, akibatnya akan berbahaya."
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat
mengerti sikap Widura, karena mau tidak mau pemimpin
pasukan Pajang di Sangkal Putung itu kelak akan
berkepentingan. Sumangkar bukannya tidak tahu hubungan
yang ada antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Sebagai
paman Agung Sedayu, Widura ingin mendapat gambaran yang
baik bagi kemenakannya kelak. Karena itu, Sekar Mirah yang
apabila tidak ada perubahan sikap dari kedua anak muda itu,
akan menjadi menantu kemenakannya, diharapkannya akan
menjadi seorang isteri yang baik, seorang ibu yang dapat
mengerti tentang kedudukannya sebagai seorang ibu. Widura
tahu benar sifat-sifat Agung Sedayu. Sifat yang Iebih banyak
dipengaruhi oleh sifat-sifat kanak-kanak yang dekat dengan
ibunya. "Angger Widura," berkata Sumangkar kemudian, "aku akan
berusaha sejauh mungkin, bahwa ilmu tata bela diri yang akan
dipelajarinya tidak menghilangkan sifat-sifat keibuannya. Angger
benar, bahwa apabila seorang gadis telah kehilangan sifatsifatnya,
maka ia tidak akan dapat menjadi ibu yang baik kelak.
Padahal hari depan dari Kademangan ini dan dari seluruh
Pajang, terletak ditangan angkatan yang bakal datang. Dan
angkatan yang bakal datang itu akan lahir dari ibu-ibu."
"Tepat," sahut Widura, "kalau ibu-ibu tidak lagi dapat berbuat
seperti seorang ibu, maka apakah yang akan terjadi pada masamasa
mendatang" Bagaimanakah dengan anak-anak yang
bakal dilahirkan" Meskipun tidak seluruhnya akan dibebankan
pada pertanggungan jawab seorang ibu, tetapi orang yang
terdekat dari kanak-kanak dimasa kecilnya adalah ibu. Ibulah
yang pertama-tama meletakkan dasar kejiwaan pada kanakkanak
itu." Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia menjadi agak berlega hali karena ternyata
Sumangkar dapat mengerti maksudnya, bahkan Widura pun
telah menambah penjelasan sesuai dengan keinginannya.
"Mudah-mudahan Sekar Mirah tidak melepaskan diri dari
tanggungjawab itu. Kelak, kalau ia menjadi seorang ibu, ia tidak
hanya sekedar menjadi seorang ibu tanpa menghiraukan
keibuannya. Apapun yang dapat dilakukan di luar dinding
halaman rumahnya, tetapi yang terpenting adalah rumah itu bagi
seorang ibu. Kita tidak akan dapat berbicara tentang angkatan
mendatang tanpa berbicara tentang orang tua-tua yang mengisi
angkatan kini. Kita tidak dapat berbicara tentang Sidanti tanpa
berbicara tentang angkatan sebelumnya, Argapati, isterinya dan
Ki Tambak Wedi. Dan kita tidak akan dapat berbicara tentang
angkatan mendatang tanpa berbicara tenang anak-anak muda
kini. Semakin tipis perhatian kita terhadap angkatan mendatang
karena kesibukan kita dengan persoalan kita sendiri, maka
semakin suramlah masa-masa mendatang itu," gumam Widura
seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri. Dan tiba-tiba saja
mendesak didadanya kerinduannya kepada keluarganya.
Apakah ia termasuk orang-orang yang tidak bertanggungjawab
kepada masa datang karena tidak sempat mendidik anakanaknya"
Dalam melakukan kewajibannya sebagai seorang
prajurit, maka ia Iebih banyak berada diluar rumahnya.
"Tetapi aku percaya kepada isteriku," desis Widura di dalam
hatinya. "Isteriku mengerti akan tugasku. Ia telah menempatkan
dirinya benar-benar sebagai seorang isteri prajurit. Ia telah
menyisihkan segala macam kesenangan diri, meskipun isteriku
masih terhitung belum terlampau jauh dari masa-masa
mudanya." Widura menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tidak semua isteri
dari mereka yang tidak sempat berada di lingkungan
keluarganya berbuat baik. Isteristeri yang terlampau sering
ditinggalkan oleh suaminya, karena tugas-tugasnya, dan
kemudian isteristri itu tenggelam dalam kesibukan sendiri,
maka anak-anak yang lahir dari keadaan yang demikian itu
kadang-kadang kehilangan pengamatan. Dan anak-anak itu
akan melakukan apa saja yang disenanginya. Baik atau buruk.
Demikianlah, maka Ki Demang Sangkal Putung telah
mempercayakan Sekar Mirah kepada Sumangkar. Ki Demang
Sangkal Putung suami isteri mengharap, bahwa Sumangkar
akan benar-benar berhasil membuat anaknya menjadi seorang
gadis yang mempunyai kecakapan yang baik untuk membela
dirinya, tetapi tanpa melepaskan diri dari suasana kegadisannya.
Ternyata kepercayaan ini menjadi terlampau berat bagi
Sumangkar. Apalagi pada dasarnya Sekar Mirah adalah seorang
gadis yang terlampau manja, terlampau menghargai dirinya
sendiri meIampaui orang Iain. Namun dengan sabar dan tekun
Sumangkar menuntunnya. Seperti yang dilakukan oleh Kiai Gringsing, Sumangkar setiap
kali membawa Sekar Mirah ke Gunung Gowok yang kecil.
Disamping puntuk itulah Sekar Mirah mulai menekuni ilmu yang
diberikan oleh Sumangkar. Karena Sekar Mirah sama sekali
belum mengenal ilmu semacam itu, maka Ki Sumangkar
terpaksa menuntunnya dari permulaan sekali.
Tetapi Sekar Mirah benar-benar seorang gadis yang
mentakjubkan. Tekadnya yang bulat telah banyak
membantunya. Apapun yang harus dilakukan, dilakukannya
dengan baik tanpa menghiraukan keadaan dirinya. Gadis itu
seolah-olah tidak mengenal lelah. Tenaganya ternyata cukup
kuat. Yang terpenting dari segalanya adalah kemauannya yang
menyala-nyala. Ia tidak mau untuk seterusnya selalu dihantui saja oleh
Sidanti. Ia tidak mau bahwa pada suatu ketika ia akan diculik
dan disembunyikan. Bahkan mungkin Sidanti yang telah
kehilangan akal akan menjadi buas. Tidak saja menculik dan
menyembunyikan, tetapi ia tidak mau membiarkan Sekar Mirah
hilang lagi dari tangannya.
Itulah yang mendorong Sekar Mirah keras tanpa mengenal
lelah. Kapan saja gurunya menyuruhnya. Dan apa saja yang
harus dilakukannya. Hasratnya yang sangat besar telah
membuatnya menjadi seorang murid yang sangat patuh.
Seorang murid yang dengan tekun dan sebaik-baiknya


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukan perintah gurunya. Tetapi yang paling menarik bagi
Sekar Mirah adalah latihan-latihan jasmaniah. Ia tidak begitu
tertarik kepada nasehat-nasehat gurunya, meskipun tampaknya
gadis itu mendengarkan dengan baik segala petuah Sumangkar.
Tetapi Sumangkar yang tua itupuh cukup tajam menangkap
sikap muridnya. Karena itu ia tidak pernah mempergunakan
waktu-waktu yang khusus untuk memberikan petunjuk kepada
Sekar Mirah tentang jalan hidup yang harus ditempuhnya. Sebab
jika demikian, maka Sekar Mirah menjadi gelisah. Ia ingin
gurunya segera selesai dengan petunjuk-petunjuknya. Ia
tergesa-gesa untuk segera mulai dengan latihan-latihan
jasmaniah dan petunjuk-petunjuk tentang latihannya.
Sumangkar menyelipkan nasehat-nasehatnya justru pada
saat Sekar Mirah sedang dibakar oleh gairah latihannya. Setiap
kali, tidak jemu-jemunya. Setiap kali Sumangkar
mempergunakan waktu-waktu yang sebaik-baiknya untuk
kepentingan hari depan Sekar Mirah itu sendiri. Sumangkar tahu,
bahwa kemauan yang keras dari gadis itu, selain karena sifatnya
yang memang keras, juga karena dendam yang membakar
dadanya. Dendam dan kecemasan, bahwa Sidanti akan datang
lagi untuk mengambilnya. Tetapi bukan saja itu, bukan saja
dendam dan kecemasan. Sekar Mirah juga diamuk oleh
perasaan kecewanya terhadap Agung Sedayu. Agung Sedayu,
orang yang telah berhasil menangkap hatinya, tetapi tidak
bersikap seperti yang dikehendakinya. Ia ingin kelak
menunjukkan kepada Agung Sedayu, bahwa meskipun ia bukan
seorang laklaki, tetapi ia akan dapat lebih bersikap jantan
daripada Agung Sedayu yang seolah-olah selalu dibayangi oleh
keragu-raguan dan kebimbangan.
Agung Sedayu yang diharapkannya itu ternyata tidak
memberi kepuasan sikap kepadanya. Kepergiannya sama sekali
tidak membayangkan tekadnya yang membaja untuk
menangkap Sidanti, hidup atau mati. Bahkan yang diucapkannya
adalah, "Mudah-mudahan aku selamat Mirah."
"O ," Sekar Mirah setiap kali berdesis, "kalau kau hanya ingin
selamat Sedayu, baiklah kau tinggal di dapur, menanak atau
mengupas kulit melinjo. Tetapi tidak bagi Iaklaki jantan. Ia tidak
hanya sekedar berbuat supaya selamat. Tetapi seorang laklaki
harus berteriak Iantang sambil mengangkat pedangnya tinggitinggi.
"Gunung akan aku runtuhkan, dan laut akan aku
keringkan." Tetapi Agung Sedayu tidak berkata demikian. Tidak."
Sekar Mirah kian kecewa karena angan-angannya sendiri, lalu,
"Biarlah aku lah kelak yang akan berkata kepadanya : Akulah
yang akan membawa kepala Sidanti kepadamu, kakang."
Semula, Sumangkar yang tua
itu memang dirambati oleh
kecemasan melihat dendam yang
membara dihati Sekar Mirah.
Ternyata latihan-latihan dan
hasratnya telah didorong oleh
perasaannya itu. Tetapi Sumangkar akhirnya menemukan
juga cara, setidak-tidaknya untuk
mengurangi api dendam yang
telah mendidihkan darah gadis
Sangkal Putung itu. Betapapun
Iambatnya. Sementara itu, tiga sosok
tubuh yang berjalan tertatih-tatih berada di dalam padatnya
hutan Mentaok. Semakin lama semakin jauh. Wajah-wajah
mereka yang tegang membayangkan dendam yang menyala di
dalam dada mereka. Mereka adalah Ki Tambak Wedi, Argajaya, dan Sidanti.
Langkah mereka terasa terlampau berat, dan sekalsekali
Sidanti bergumam di dalam mulutnya, "Kenapa kita tidak
bertemu dengan orang-orang gila yang sering menyamun di
hutan ini ?" "Untuk apa kau mencari mereka?" bertanya gurunya.
"Aku ingin melepaskan perasaan yang menekan dan hampir
memecahkan dadaku." "Kau ingin membunuh, asal membunuh saja"
"Supaya aku tidak mati karena dadaku sendiri yang seolaholah
mencekik jalan pernafasanku."
Gurunya tidak menjawab. Mereka masih berjalan maju
perIahan-lahan karena jalan yang mereka Ialui adalah hutan
yang padat, yang dipenuhi oleh bermacam-macam tumbuhtumbuhanan
yang paling besar hingga yang paling kecil. Yang
merambat dan berduri yang roboh malang melintang.
"Perjalanan ini telah benar-benar menyiksaku guru," desis
Sidanti itu kemudian. "Aku sudah berkata kepadamu, bahwa perjalanan yang kita
lakukan sama sekali bukan perjalanan yang akan memberi
harapan bagi kita. Bukankah aku pernah mengatakan, apakah
tidak Iebih baik berbuat sesuatu, tanpa mengganggu ayahmu
Argapati." "Bukan, bukan itu maksudku guru," cepat-cepat Sidanti
membantah. "Aku justru menjadi tersiksa karena perjalanan yang
sepi. Aku tidak mendapat kesempatan untuk melepaskan
perasaanku yang menyesak ini."
Gurunya tidak menyahut. Dipandanginya kemladean yang
menyangkut di cabang-cabang pepohonan. Kemladean yang
menjadi semakin rimbun, tetapi batang-batang yang
ditempelinya menjadi semakin keras.
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi berdesis, "Bagaimana luka
dipundakmu?" "Sudah sembuh sama sekali guru. Bekasnya sudah hampir
hilang sama sekali."
Kemudian mereka terdiam. Argajaya sama sekali tidak
bernafsu untuk ikut berbicara. Ia berjalan saja sambil
menundukkan kepalanya. Tetapi meskipun demikian, hatinya
tidak juga dapat melupakan dendam yang menyala.
Kekalahannya yang terjadi berturut-turut benar-benar telah
membuatnya mendendam sampai keujung ubun-ubun.
Tetapi mereka adalah laklaki yang Iuar biasa. Laklaki yang
memiliki banyak kelebihan dari Iaklaki Iain. Karena itu, maka
betapapun lebatnya hutan Mentaok, namun mereka sama sekali
tidak gentar. Bahkan Sidanti menjadi terlampau kecewa karena
perjalanan itu dirasanya terlampau sepi dan menjemukan. Ia
akan menjadi senang sekali seandainya mereka bertemu
dengan sekelompok penyamun.
Namun mereka tidak menjumpainya.
Meskipun Ki Tambak Wedi dan Argajaya tidak berkata
sesuatu, tetapi mereka menjadi heran pula, bahwa hulan ini
serasa terlampau sepi. Biasanya, meskipun hanya sekali dua
kali, mereka pasti bertemu dengan gerombolan-gerombolan
penyamun yang selalu mengganggu diperjalanan.
Tetapi kali ini, sejak mereka memasuki hutan Tambak Baya
serasa hutan-hutan ini menjadi sesepi tanah pekuburan.
"Kemanakah orang-orang yang biasanya berkeliaran di hutanhutan
ini" Daruka misalnya" Apakah mereka telah mati
semuanya saling berkelahi diantara mereka?" desis Ki Tambak
Wedi di dalam hatinya. Tetapi pertanyaan itu tidak dapat dicari
jawabnya. Penyamun-penyamun yang paling kecilpun sama
sekali tidak mereka jumpai pula diperjalanan itu.
Namun sejenak kemudian angan-angan Ki Tambak Wedi
sudah tidak lagi terikat kepada hutan yang sedang dilaluinya.
Berbeda dengan Sidanti, yang menyimpan harapan didalam
dirinya. Semakin dekat dengan kampung halamannya, ia
menjadi semakin segar. Tetapi kening Ki Tambak Wedi tampak
semakin berkerut-merut. Banyak sekali persoalan yang bergulat
didalam dirinya. Keragu-raguan, cemas, gelisah dan
ketidaktentuan. Setiap kali teringat olehnya nama Argapati, maka
setiap kali dadanya berdesir.
"Kita akan segera keluar dari hutan ini guru," gumam Sidanti
kemudian. Seperti orang yang tersedar dari mimpi yang mencemaskan,
Ki Tambak Wedi menyahut, "Ya, ya. Kita akan segera keluar dari
hutan ini." "Kita akan segera dapat melepaskan diri dari siksaan dendam
yang mencengkam dada kita," Argajaya yang tidak banyak
berbicara disepanjang perjalanan itu menyambung.
Ki Tambak Wedi tidak menjawab. Tetapi wajahnya dilukisi
oleh kebimbangan hatinya yang semakin dalam.
"Bukan demikian Kiai ?" bertanya Argajaya.
"Ya, ya, demikianlah hendaknya."
"Apakah Kiai masih juga ragu-ragu"
Ki Tambak Wedi tidak segera menjawab.
"Aku mengenal kakang Argapati luar dan dalamnya. Aku
adalah adiknya. Kakang Argapati adalah seorang yang percaya
kepada diri sendiri. Orang yang memiliki pengamatan yang tajam
terhadap persoalan yang dihadapinya. Kalau Sidanti kelak
mengatakan apa yang telah terjadi, dan Kiai membenarkannya,
maka aku tidak akan ragu-ragu. Sidanti adalah putera satusatunya
bagi kakang Argapati. Ada seorang saudaranya, tetapi
ia adalah seorang gadis. Dan kebanggaan kakang Argapati pasti
tertumpah kepada Sidanti. Itulah sebabnya maka Sidanti
diserahkannya kepada Kiai, karena kakang Argapati merasa
bahwa Kiai lebih banyak menyimpan kemungkinan bagi Sidanti
dihari depannya." Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Matanya yang
tajam setajam mata burung hantu itu tiba-tiba meredup. Orang
tua itu tidak berpaling kearah Argajaya dan muridnya. Tetapi
matanya menatap kekejauhan, menembus sela-sela dedaunan
yang rimbun. Dan hatinyalah yang menyahut tanpa
diucapkannya. "Tidak. Kau tidak tahu Argapati seluruhnya,
meskipun kau adiknya."
Argajaya heran melihat sikap Ki Tambak Wedi. Kalau
Argapati telah menyerahkan Sidanti ke dalam tangannya, berarti
Argapati mempunyai kepercayaan yang besar kepadanya. Dari
hal itu terjadi karena Argapati pasti sudah mengenal Ki Tambak
Wedi dengan baik dan sebaliknya. Tetapi agaknya Ki Tambak
Wedi kini sedang dicengkam oleh kebimbangan.
"Mungkin Ki Tambak Wedi merasa bahwa ia telah gagal
membentuk Sidanti menjadi seorang yang berpangkat didalam
tata keprajuritan Pajang," berkata Argajaya di dalam hatinya,
"tetapi hal itu sangat tergantung kepada banyak hal. Tidak dapat
disalahkan kepada Ki Tambak Wedi sepenuhnya."
Sejenak mereka kemudian saling berdiam diri. Kadangkadang
mreka diganggu oleh suara binatang-binatang hutan
yang maraung dikejauhan. Tetapi sebagian besar dari mereka,
binatang-binatang buas itu, keluar dari sarang mereka dimalam
hari. Dalam keheningan itu terdengar Sidanti bergumam. "Kalau
kita sudah keluar dari hutan ini, maka kita akan berjalan lebih
cepat. Tetapi sebelum kita masuk ke Menoreh, kita harus
menjadi orang-orang yang pantas berjalan di tanah perdikan
ayahku itu." "Kau akan mencari pakaian disepanjang jalan?" bertanya
Argajaya. "Ya, tidak hanya untuk aku sendiri, tetapi untuk guru dan
paman juga." Argajaya tidak menyahut lagi sedang gurunyapun masih
berdiam diri. Dengan pakaian mereka yang kumal itu ternyata
mereka tidak terlampau banyak menarik perhatian orang. Hanya
karena mereka membawa senjata yang agak tidak lazim dibawa
oleh orang-orang padesan sajalah yang kadang-kadang
membuat beberapa orang mengawasi mereka sampai beberapa
langkah. Orang-orang padesan, hampir setiap orang, memang
selalu membawa golok. Bukan saja senjata untuk menghadapi
binatang-binatang buas yang memang sering datang ke sawah
dan ladang mereka, tetapi juga untuk memotong dan menebas
kayu. Golok atau parang itu selalu terselip di pinggang mereka di
dalam wrangka yang sederhana.
Tetapi ketiga orang ini membawa senjata-senjata yang lain.
Pedang, tombak pendek dan senjata yang disembunyikan di
dalam selongsong kain putih.
Beberapa orang dapat mencoba menjawab pertanyaan yang
bergelut di dalam dada mereka tentang ketiga orang itu. Mereka
adalah pemburu-pemburu binatang hutan. Tetapi yang lain
mencurigai mereka sebagai orang-orang jahat yang berkeliaran
mencari sasaran yang baik.
Tetapi apabila mereka telah sampai dikampung halaman
sendiri, maka pakaian yang kumal dan bernoda darah itu akan
justru menjadi pembicaraan. Mungkin mereka membuat
tanggapan-tanggapan kehendak mereka sendiri. Mungkin
mereka mengagumi, tetapi mungkin mencurigai.
Perjalanan seterusnya di dalam hutan itu hampir tidak
menjumpai persoalan-persoalan yang berarti. Mereka hanya
menjumpai rintangan-rintangan alam yang ketat dan padat.
Tetapi mereka tidak bertemu dengan penyamun atau perampokperampok
kecil. Tetapi justru membuat mereka menjadi heran.
Akhirnya mereka itupun keluar dari hutan itu. Harapan Sidanti
untuk bertemu dengan seseorang atau segerombolan penyamun
tidak terpenuhi sampai pohon yang terakhir mereka lampaui.
Sidanti tidak mendapat tempat untuk menumpahkan kemarah
yang terendam di dalam dada bersama dendam dan kebencian.
"Sidanti," berkata gurunya ketika mereka telah berada sebuah
lapangan perdu. "Aku tidak ingin mengecewakan kau. Tetapi aku
juga tidak ingin perjalanan ini terganggu. Kau jangan mencaricari
persoalan saja disepanjang jalan. Kau dapat berbuat sesuka
hatimu di hutan Mentaok terhadap gerombolan penyamun dan
perampok. Tetapi kau tidak dapat berbuat demikian dengan
orang-orang lain yang akan kau jumpai diperjalanan ini. Kita
akan segera menginjak padesan dan pedukuhan. Beberapa
Kademangan dan sudah ada yang mengenal kau, atau angger
Argajaya sebagai putera dan adik Kepala Tanah Perdikan
Menoreh. Kala kau berbuat sesuka hatimu yang akan dapat
menyakitkan hati mereka, maka berita itu akan segera tersebar
sampai kepada orang Menoreh, mungkin akan sampai pula
kepada keluargamu. Kepada ayahmu, Argapati."
Sidanti mengerutkan keningnya. Tetapi ia menjawab, "Aku
masih memerlukan pakaian tiga pengadeg guru. Buat aku,
paman Argajaya, dan guru."
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Pendapat ini
memang ada benarnya. Ia tidak akan dapat masuk ke tlatah
Menoreh dengan keadaannya. Karena itu maka ia tidak segera
dapat menjawab. "Bagaimana guru?"
Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam, Tetapi
persoalan itu telah memukul dadanya seperti tangan-tangan


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang keras dan kuat. Seorang yang mempunyai nama yang
menakutkan dilereng Gunung Merapi terpaksa melakukan
perampasan yang tidak berarti sekedar untuk berganti pakaian.
Perbuatan itu tidak ubahnya dengan perbuaian pencurpencuri
ayam yang takut kelaparan Tetapi keadaannya memang
memerlukannya. "Apakah tidak ada jalan lain Sidanti?"
"Membeli " Atau menukarkan senjata kita?" sahut Sidanti
yang hampir-hampir tenggelam dalam arus perasaannya.
"Hem," Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Hampirhampir
ia membentak anak muda yang kasar itu. Tetapi ia sadar,
bahwa Sidanti sedang dicengkam oleh kekecewaan yang
bertubtubi. Karena itu maka anak itu akan dapat menjadi
semakin berputus asa apabila ia ikut pula menyakitkan hatinya.
Sesaat kemudian orang tua itu bertanya, "Lalu cara apakah
yang akan kau lakukan Sidanti, seperti caramu yang pernah kau
perbuat untuk mendapatkan bajumu itu?"
"Aku akan berbuat baik guru, tetapi kalau orang itu
menentang maksudku, maka aku akan berbuat dengan
kekerasan." "Hem," sekali lagi Ki Tambak Wedi menarik nafas dalamdalam.
"Aku tidak melihat cara lain," gumam Sidanti.
Ki Tambak Wedi tidak menyahut lagi. Akhirnya ia tidak lagi
mau memikirkannya. Kepalanya sendiri sudah cukup pening
memikirkan apa yang akan terjadi nanti sesudah ia bertemu
dengan Argapati. Pertemuan yang menggetarkan jantungnya.
Banyak persoalan-persolan yang terpendam didalam dadanya.
Tetapi apakah dengan kegagalan Sidanti ini, ia tidak akan
menjadi semakin terdesak kedalam keadaan yang paling
menyakitkan hati" Mereka kemudian berjalan sambil berdiam diri. Masingmasing
menyelusuri angan-angan sendiri. Tetapi ada kesamaan
diantara mereka, kecewa, dendam, benci, dan kecemasan
menghadapi masa datang. Disepanjang jalan, Sidanti mencoba untuk menemukan rumah
yang mungkin dapat dimasuknya. Rumah yang di dalamnya
tersimpan pakaian yang diperlukan. Tetapi agaknya rumah yang
bertebaran di padukuhan-padukuhan dan padesan-padesan
kecil yang dilampauinya, tidak Iebih dari rumah-rumah petani
yang kekurangan. "Gila," gumamnya, lalu, "apakah tidak ada seorangpun yang
cukup mampu untuk menyimpan tiga pengadeg pakaian?"
Gurunya dan pamannya tidak menyahut. Betapapun juga
perasaan mereka masih terlampau berat untuk melakukan
perampasan yang hina itu.
"Aku sudah tidak peduli lagi," geram Sidanti, "tetapi aku harus
masuk ke tanah ayahku sebagai putera Kepala Daerah Tanah
Perdikan Menoreh." Tetapi disepanjang perjalanan mereka, mereka benar-benar
tidak menjumpainya. Padesan demi padesan, sehingga mereka
telah menjadi semakin dekat dengan tlatah Menoreh.
"Gila," Sidanti menjadi semakin jengkel. "Di depan kita
terbentang hutan rindang. Hutan perburuan dari keluarga kita.
Kalau aku belum mendapatkan pakaian, bagaimanakah kalau
aku bertemu dengan keluarga Menoreh diperburuan itu."
"Kalau demikian, tidak apa-apa," sahut Argajaya, "adalah
kebetulan sekali. Mereka akan dapat mengerti keadaan kita yang
sebenarnya. Merekalah yang harus mencari pakaian untuk kita
sebelum orang-orang Menoreh melihat kita. Kita masuk ke
Tanah Perdikan kita sebagai seorang anggota keluarga kakang
Argapati." "Tetapi apa kata ayah tentang kita?"
"Tidak apa-apa. Justru kakang Argapati akan mengerti yang
sebenarnya telah terjadi dan mempercepat tindakan yang akan
diambilnya." Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih
juga heran melihat gurunya berwajah semakin muram. Gurunya
sama sekali tidak membayangkan harapan bahwa setelah
mereka sampai di Menoreh maka mereka akan menemukan
suatu kekuatan untuk melepaskan dendam yang membara di
pusar jantung mereka. Bahkan semakin dekat dengan
Pegunungan Menoreh, maka ia me jadi semakin diam dan
penuh dengan kebimbangan.
Ternyata teka-teki itu telah menggelisahkan hati Sidanti pula.
Namun Sidanti tidak akan dapat memaksa gurunya untuk
mengatakan. la masih tetap menyangka bahwa gurunya merasa
cemas tentang nasibnya, karena ternyata ia tidak dapat maju
dalam keprajuritan Pajang, bahkan kini ia tersingkir sebagai
buruan. Satu-satu padesan telah mereka lampaui. Akhirnya mereka
sampai ke hutan yang tidak begitu lebat. Hutan yang sengaja
dipelihara untuk menjadi tempat berburu keluarga Kepala Tanah
Perdikan Menoreh. Sidanti mengenal daerah ini sebaik-baiknya. Ia sendiri sering
melakukan perburuan di hutan ini dahulu, ketika ia masih
terlampau muda, sebelum ia mengikuti gurunya ke padepokan
Tambak Wedi. Meskipun itu telah bertahun-tahun lampau tetapi
seolah-olah baru kemaren terjadi. Derap kakkaki kudanya dan
beberapa orang pengiringnya memecah kesunyian butan ini.
Beberapa ujung panah berterbangan mengejar binatangbinatang
buruan yang berlari ketakutan.
"Hem," Sidanti menarik nafas dalam-dalam. "Itu telah terjadi
beberapa tahun yang lampau. Paman masih muda dan cekatan.
Aku masih terlampau muda," katanya didalam batin.
Sidanti menggigit bibirnya seperti kenangan yang menggigit
jantungnya. "Menyenangkan sekali," desisnya.
Namun kemudian Sidanti meninggalkan tanah perdikan ini.
Meninggalkan ayahnya, tanah kelahiran dan kawan-kawan
bermain lebih dari sepuluh tahun yang lampau.
Seolah-olah terngiang kembali pesan ayahnya ketika ia telah
siap berangkat bersama gurunya ke padepokan Tambak Wedi,
"Sidanti, kau adalah harapan masa depan dari Tanah Perdikan
ini. Kau harus mampu membawa dirimu. Kau harus menurut
segala petunjuk dan peperintah gurumu, supaya kau tidak
tersesat jalan." "Ah," Sidanti mengeluh. Apa yang sudah terjadi atas dirinya"
Siapakah yang bersalah" Sidanti sendiri, atau gurunya, atau
kedua-duanya" Sidanti tidak berani mencari jawab. Digeleng-gelengkannya
kepalanya untuk mengusir kenangan yang mengejar-ngejarnya.
Ia ingin berdiri diatas kenyataannya. Dan ia akan melangkah ke
depan dari keadaan yang ada kini. Ia tidak dapat beranganangan
dan tidak dapat melangkah surut kebeberapa tahun yang
lampau. Tidak. Ia harus maju, seperti majunya waktu.
Sidanti tersadar ketika ia mendengar Argajaya berkata, "Kita
harus bermalam di jalan semalam lagi, Kiai."
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Mungkin ngger. Tetapi kalau kita ingin berjalan tanpa diketahui
orang, justru dimalam hari."
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Ya
Kiai, dimalam hari kita dapat berjalan dengan aman, tanpa
diketahui oleh siapapun juga. Sebelum fajar kita akan sudah
sampai di rumah kakang Argapati."
Tetapi tiba-tiba Sidanti itu memotong, "Tetapi aku tidak ingin
masuk ke halaman rumah ayahku dengan keadaan serupa ini.
Aku harus pantas menjadi seorang anak yang tidak memalukan
orang tua. Mungkin para peronda melihat kita, dan mereka akan
berbicara kepada orang-orang lain. Tidak sampai sehari
semalam seluruh tanah perdikan akan berkata, "Sidanti datang
ke rumahnya kembali sebagai seorang pengemis yang paling
malang." Tidak, aku tidak mau."
"Lalu apa yang akan kau lakukan" Merampas pakaian di
tanah sendiri?" "Aku dapat menyamar. Menutup mukaku dengan ikat kepala
supaya aku tidak dikenal orang."
"Mungkin karena kau sudah lama tidak berada di tanah ini.
Tetapi bagaimana dengan aku?"
"Paman tidak perlu ikut. Biarlah aku lakukan sendiri."
"Kau memang keras kepala Sidanti." desis gurunya. Sidanti
tidak menyahut. Tetapi gurunya menangkap sorot matanya. la
tidak akan mengurungkan niatnya yang seolah-olah telah bulat,
mencari pakaian yang baik untuk mereka bertiga.
"Bukan main anak ini," desah Argajaya di dalam hatinya.
Mereka telah berada di tlatah tanah sendiri. Bagaimana mungkin
mereka dapat melakukannya. Apabila kemudian diketahui,
bahwa yang melakukan itu adalah Sidanti, putera Argapati
Kepala Tanah Perdikan Menoreh, lalu dimana Argapati harus
menyembunyikan wajahnya. Tetapi Sidanti benar-benar tidak mau mundur.
Ketika matahari menjadi semakin dalam terbenam di balik
cakrawala, mereka telah sampai di ujung hutan itu. Sejenak lagi
mereka akan keluar dan sampai ke padesan tlatah Menoreh.
Padesan yang subur, yang diantara penghuninya ada beberapa
orang yang cukup memberi kesempatan kepada Sidanti
melakukan niatnya. "Anak ini tidak dapat dicegah lagi," desis Argajaya, "mudahmudahan
anak ini tidak melakukannya di rumah Kiai Sentol.
Orang itu mengenal baik-baik siapakah aku. Aku sering singgah
di rumahnya jika aku pergi berburu. Bahkan kakang Argapatipun
tinggal di rumah itu pula untuk beristirahat setiap kali ia pergi
berburu." "Kita berjalan terus guru," desis Sidanti. Ia sudah tidak lagi
banyak membuat pertimbangan-pertimbangan. Apalagi gurunya
tidak sampai hati untuk menyakiti perasaan murid satu-satunya
itu, sehingga dibiarkannya saja muridnya itu untuk menentukan
sikapnya. "Semakin malam semakin baik. Aku akan
mendapatkan pakaian itu. Siapa yang mencoba menentang,
harus aku selesaikan."
"Pakaian itu akan dikenal orang Sidanti. Bahwa pakaian itu
milik seseorang. Apalagi kalau orang itu mencarinya dan orang
Iain mengatakan bahwa pakaian itu dipakai oleh Sidanti,
pamannya, dan gurunya," desis Ki Tambak Wedi.
"Kita berjalan di malam hari. Sebelum pagi kita harus sudah
sampai di rumah. Dan kita akan segera mengganti pakaian yang
kita rampas itu, untuk dibakar."
Ki Tambak Wedi hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala
mendengar jawaban muridnya. Sidanti memang keras kepala. la
benar-benar tidak mau masuk ke halaman rumahnya dengan
pakaian yang tidak pantas. Harga dirinya telah memaksanya
untuk berkeras kepala, meskipun cara yang akan ditempuhnya
dapat justru berakibat sebaliknya. Tetapi gurunya tidak akan
dapat mencegahnya. Karena itu, maka sekali lagi Tambak Wedi
membiarkannya saja berbuat sesuka hatinya, seperti yang
dikehendakinya. Sikap Ki Tambak Wedi yang demikian, yang
berulang kali telah dilakukan, untuk menanggapi persoalanpersoalan
yang kecil maupun yang besar yang dilakukan oleh
Sidanti, ternyata menjadi pendorong bagi anak itu untuk menjadi
semakin keras kepala. Sejenak kemudian mereka terdiam. Hanya Iangkah-langkah
mereka sajalah yang terdengar gemerisik di atas tanah berbatubatu.
Sekalsekali angin malam yang dingln berhembus
mengusap tubuh-tubuh mereka yang berkeringat.
"Daerah ini masih belum banyak berubah sejak saat terakhir
aku menjenguk keluargaku beberapa tahun yang lalu," desis
Sidanti kemudian untuk menghilangkan ketegangan yang
mencemkam jantungnya. "Ya," sahut pamannya, "belum banyak perubahan. Jalan ini
masih juga berdebu. Padesan yang kita lalui adalah padesan
seperti lima tahun yang lalu."
Sidanti mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bergumam , "He,
bukankah di ujung padesan ini ada sebuah rumah joglo yang
besar dan baik?" Dada Argajaya berdesir. Rumah joglo di ujung padesan ini
adalah rumah Ki Sentol. "Bukankah begitu pamam" Rumah itu cukup besar dan cukup
bersih, sehingga isinyapun aku kira cukup banyak. He, bukankah
kita pernah singgah dirumah itu pada saat-saat kita berburu
dahulu?" "Selalu Sidanti. Ayahmu selalu singgah di rumah itu apabila
pergi berburu. Bahkan sekalsekali bermalam pula disitu. Aku
selalu singgah pula dirumah itu."
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba pula ia
berdesis, "Aku akan mencari pakaian di rumah itu."
"Sidanti," dengan serta merta pamannya memotong, "jangan."
"Kenapa?" "Rumah itu selalu didatangi oleh keluarga ayahmu. Rumah itu
seolah-olah telah menjadi pesanggrahan bagi keluarga kita
apabila kita pergi berburu di hutan perburuan itu. Kau jangan
menyakiti hatinya. Ia akan dapat menyampaikannya kepada
kakang Argapati. Dan kau pasti tahu, bahwa kakang Argapati
tidak senang kepada perbuatan-perbuatan yang demikian."
"Tetapi orang itu tidak akan tahu siapa aku."
"Jangan. Meskipun orang itu tidak tahu siapa kau karena kau
dapat menutup wajahmu dengan ikat kepalamu misalnya atau
dengan apapun, tetapi seandainya perbuatanmu itu tidak dapat
diketahui orang meskipun lambat laun, maka kau pasti akan
menyesal." "Bagalmana akan dapat diketahui paman" Sudahlah, jangan
menjadi cemas. Aku tidak akan merampok apapun kecuali tiga
pengadeg pakaian. Sesudah itu, kita akan berjalan dimalam hari.
Kita masuk ke halaman rumah untuk menemui ayah sebagai
orang-orang yang pantas menyebut dirinya keluarganya.
Keluarga Kepala Tanah Perdikan Menoreh."
"Terserah kepadamu Sidanti. Tetapi jangan di rumah itu."
"Aku tidak ingin kehilangan kesempatan kali ini, paman. Kalau
aku melepaskannya, mungkin untuk waktu yang lama aku tidak
akan menemukan rumah sebaik itu. Semakin dekat dengan
rumahku, maka aku akan menjadi kian sulit. Orang-orang disitu
akan menjadi semakin besar kemungkinannya untuk mengenal
aku." Argajaya menarik nafas dalam" Anak ini memang keras
kepala. "Sidanti, kalau kau hanya ingin tiga pengadeg pakaian saja
maka aku kira kau tidak perlu masuk ke rumah joglo di ujung
padesan itu. Rumah-rumah di desa ini cukup baik dan
kemungkinan kau menemukan pakaian itu cukup besar."
"Tetapi pakaian-pakaian kumal seperti yang kita pakai ini.
Tidak. Aku harus mendapat pakaian yang pantas dipakai oleh
seorang putera Kepala Tanah Perdikan, pamannya, dan
gurunya."

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terserahlah kepadamu. Aku tidak akan ikut serta."
"Akan aku lakukan sendiri. Paman dan guru sebaiknya
menunggu saja di tempat yang terlindung. Aku yakin orang itu
tidak akan mengenal aku."
Argajaya menggeleng-gelengkan kepalanya. Anak ini
memang anak bengal. Sejak kanak-kanak.
Rupanya Sidanti benar-benar akan melakukan maksudnya.
Ketika mereka telah sampai di dekat rumah ujung jalan, yang
terpancang di tengah-tengah halaman yang luas, ia berhenti.
Kemudian dilepaskannya ikat kepalanya untuk menutupi
wajahnya. PerIahan-lahan ia berdesis, "Tunggulah aku di luar
desa ini paman. Aku akan membawa pakaian untuk paman dan
guru. Aku akan masuk ke rumah ini untuk mencarinya."
"Sidanti," nada suara gurunya terlampau datar dan dalam.
Sesuatu agaknya telah terlampau memberati hatinya. "Aku kira
kau tidak hanya sekedar ingin masuk ke rumahmu sebagai
seorang putera Argapati yang besar itu. Tetapi hatimu juga telah
dikoyak oleh dendam yang tidak dapat kau tahankan lagi. Tetapi
Sidanti. Aku pesan kepadamu, jangan berbuat-terlampau kasar.
Tanah ini, adalah tanah ayahmu. Tanahmu sendiri. Dan kau
telah sampai hati untuk menodainya. Kau telah terlampau
mementingkan dirimu sendiri. Sidanti, jangan sampai kau
terdorong oleh dendam di dalam dadamu sehingga kau
kehilangan pengamatan diri dan berbuat sesuatu yang semakin
menambah parah luka di dalam hati kita, supaya aku tidak
kehilangan kesabaran dan bertindak sendiri atasmu yang keras
kepala itu." Dada Sidanti berdentang mendengar ancamah gurunya itu.
Sejenak wajahnya memerah seperti soga. Tetapi wajah itu
kemudian menjadi pucat dan berkeringat. Ia sadar, bahwa
gurunya telah hampir kehabisan kesabaran. Karena itu maka ia
tidak berani membantahnya. Ia kenal benar sifat gurunya.
Apabila ia kehilangan pengamatan diri, maka ia pasti benarbenar
akan bertindak. Karena Sidanti tidak segera menjawab, Ki Tambak Wedi
menggeram, "Kau mengerti Sidanti?"
"Ya guru," sahut anak muda itu.
Ki Tambak Wedi kemudian tidak berbicara lagi. Langkahnya
menjadi semakin cepat, diikuti oleh Argajaya. Mereka seolaholah
tidak menghiraukan lagi, apa yang akan dilakukan oleh
Sidanti. Sidanti masih berdebar-debar mengingat kata-kata gurunya.
Tetapi ia merasa, bahwa gurunya masih memberinya
kesempatan. Karena itu, maka ia tidak mengikuti gurunya keluar
dari desa. Ia tetap pada niatnya untuk mendapatkan pakaian,
supaya ia pantas masuk ke dalam rumah ayahnya, Kepala
Tanah Perdikan Menoreh yang besar dan kaya.
Sidanti kemudian berdiri termangu-mangu di muka regol
halaman yang luas itu. Sejenak ia masih melihat bayangan
gurunya dan pamannya berjalan menjauh. Tetapi bayangan itu
kemudian seolah-olah lenyap ditelan gelap.
"Mereka akan menunggu aku di luar desa ini," gumam Sidanti.
Ketika kedua bayangan itu telah hilang, maka terasa dada
Sidanti menjadi lapang. Seolah-olah ia sudah tidak terikat lagi
kepada kedua orang itu. Kini ia merasa bebas untuk berbuat
sesuai dengan kehendaknya.
Sejenak ia berdiri tegak memandangi pintu regol halaman
yang tertutup. Terasa dadanya diganggu oleh debar jantungnya
yang menjadi semakin cepat. Tetapi sejenak kemudian ia sudah
berhasil menguasai perasaannya.
Perlanan-lahan ia melangkah maju. Kini tubuhnya menjadi
kemerah-merahan oleh sinar oncor yang terpasang di regol
halaman. Namun terasa halaman itu terlampau sepi. la tidak
melihat seorangpun yang berjalan di halaman. Sepi.
Dengan tangannya Sidanti menyentuh pintu regol. Ternyata
pintu regol itu tidak dipalang dari dalam. Dengan hathati pintu
itu didorongnya. Dan dengan hathati pula ia melangkah masuk.
Halaman rumah itu benar-benar sepi. Yang terdengar
hanyalah gemerisik angin yang membelai dedaunan.
Sidanti merasa aneh. la adalah seorang yang hampir tidak
pernah diganggu oleh perasaan takut. Tetapi kali ini merasakan
sesuatu yang lain di dalam dirinya. Ia merasa seolah-olah diintai
oleh sepasang mata yang selalu mengikutinya di dalam
gelapnya malam. "Aku diganggu oleh perasaanku," katanya di dalam hati, "ini
adalah akibat dari pesan guru dan keragu-raguan paman.
Rumah ini adalah rumah Ki Sentol. Rumah seseorang yang telah
mengenal keluargaku dengan baik. Tetapi kalau aku lampaui
rumah ini, maka belum tentu aku akan menjumpai rumah seperti
ini. Rumah yang menyimpan pakaian yang pantas untuk kami
bertiga." Sidanti masih berdiri tegak ditempatnya. Kini ia menjadi raguragu.
Justru karena itu, maka perasaannya menjadi semakin
mengganggunya. Seolah-olah di balik kegelapan itu benar-benar
memancar sepasang mata yang tajam sedang mengawasinya.
"Gila," geram Sidanti, "aku tidak takut. Biar seisi desa ini
keluar dari rumahnya, mengeroyok aku bersama-sama, aku tidak
akan takut." Terdengar anak muda itu menggeretakkan giginya.
Tetapi ia mendengar suara di dalam dirinya. "Ya, kau akan
mampu membunuh semua laklaki seisi desa ini. Tetapi kalau
masih ada yang hidup seorang saja di antara mereka. Dan
mengenal bahwa kau adalah Sidanti, putera Kepala Tanah
Perdikan ini, maka apakah kira-kira kata orang tentang dirimu,
tentang Sidanti putera Ki Gede Menoreh yang perkasa, yang
disegani oleh rakyatnya?"
Sidanti menggelengkan kepalanya. Ia mencoba mengusir
perasaan yang membelit jantungnya. Ia ingin membebaskan
dirinya dari kegelisahan dan kebimbangan.
"Aku harus dapat melakukannya. Aku bukan laklaki
cengeng. Aku hanya memerlukan pakaian itu. Tidak yang lainlain."
Sekali lagi Sidanti menggeretakkan giginya. Tiba-tiba ia
melangkah. Tetapi tidak mendekati pendapa yang remangremang
oleh cahaya pelita yang redup. Dengan tergesa-gesa ia
meloncat ke tempat yang gelap terlindung oleh dedaunan.
"Setan," ia menggeram, "kenapa aku bersembunyi. Aku harus
naik ke pendapa. Mengetuk pintu dan berkata terus terang. Aku
membutuhkan tiga pengadeg pakaian yang baik. Itu saja. Sidanti
mencoba mengatur detak jantungnya. Disapunya halaman itu
dengan sorot matanya. Ia tidak melihat sesuatu. Ya, matanya
tidak melihat sesuatu. Tetapi perasaannya selalu
memperingatkan kepadanya, bahwa sepasang mata sedang
mengintainya. "Siapa" Siapa?" giginya sekali Iagi bergemeretak.
Darahnya tersirap ketika tiba-tiba ia dikejutkan oleh ringkik
kuda dikejauhan. Di dalam kandang, di belakang rumah.
"Gila," ia menggeram pula, "suara kuda itu mengejutkan aku.
Kalau sekali lagi ia meringkik, aku patahkan lehernya." Tiba-tiba
debar di dadanya semakin keras memukul dinding jantungnya.
"Apakah Ki Sentol atau seseorang anggota keluarganya sedang
berada di kandang kuda itu?"
"Tidak. Aku harus datang sebagai laklaki. Aku harus
mengetuk pintu dan berkata berterus terang."
Sidanti kemudian membulatkan tekadnya. la tidak akan gentar
menghadapi apapun. Dengan langkah yang berat ia berjalan ke
pendapa. Tetapi meskipun demikian, ia seolah-olah merasa
bahwa seseorang sedang memandangnya. Firasat itu biasanya
tidak terlampau jauh menyimpang.
Dan sebenarnyalah bahwa sepasang mata yang tajam
sedang memandanginya dari ujung gandok rumah itu, dari
tempat yang gelap. Sepasang mata itu melihat bayangan yang mencurigakan
masuk, ke dalam halaman. Meskipun tidak begitu jelas, tetapi
mata itu melihat bahwa bayangan yang masuk regol itu menutup
wajahnya dengan ikat kepalanya. Cahaya lampu yang redup di
regol itu dan sinar yang lemah yang meloncat dari pendapa,
sedikit dapat membantunya.
Adalah kebetulan sekali bahwa karena udara yang sesak ia
berada di luar gandok rumah itu untuk mengisap sejuknya nafas
malam di antara dedaunan yang bergoyang disentuh angin yang
silir. Ketika ia melihat sesosok tubuh muncul dari balik pintu regol
halaman, maka segera ia meloncat dengan lincahnya ke tempat
yang terlindung. Apalagi ketika ia melihat orang yang masuk ke
halaman itu terlampau mencurigakan.
Dengan tajamnya ia mengikuti segala gerak Sidanti. Ia
melihat Sidanti berdiri terrmangu-mangu. Ia melihat Sidanti
meloncat ke tempat yang gelap. Kemudian ia melihat Sidanti
berjalan lambat ke pendapa.
"Siapakah yang ingin berbuat gila itu?" pertanyaan itu tumbuh
di dalam hatinya. Sejenak ia masih berdiri mematung. Tetapi ia sama sekali
tidak melepaskan Sidanti dengan pandangan matanya yang
bulat tajam. Tanpa disengajanya tangannya meraba lambungnya. Kiri dan
kanan. Sepasang pedang yang tipis tergantung di kedua belah
sisi. Sepasang pedang yang hampir tidak pernah terlepas
daripadanya, meskipun ia sedang tidur sekali pun jika tidak di
rumahnya sendiri. Dan malam ini ia tidak berada di rumahnya sendiri, ia adalah
tamu Ki Sentol, pemilik rumah itu. Ia mendapat tempat di gandok
bersama tiga orang temannya. Tetapi ia sendiri, berada di
biliknya. Ketiga kawannya berada di bilik yang lain, sehingga
saat itu ia sendiri pulalah yang perada di luar gandok.
Kini ia melihat Sidanti itu berdiri di depan tangga pendapa. Ia
melihat di lambung Sidanti itu pun tergantung sebilah pedang.
Tetapi ia tidak dapat melihat wajah yang tersembunyi di balik ikat
kepalanya. "Apakah aku harus menunggu orang itu naik ke pendapa dan
masuk ke dalam pringgitan, atau berbuat apa saja?" katanya di
dalam hati. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Tetapi akhirnya ia berdesis
lambat, "Aku harus mencegah sebelum ia naik. Lebih baik aku
selesaikan saja orang itu sendiri. Mudah-mudahan aku tidak
memerlukan kawan untuk menangkapnya dan menyerahkannya
Kepada Ki Sentol nanti untuk diselesaikan."
Tetapi ternyata orang yang bermata bulat tajam itu masih
ragu-ragu. Apakah orang ini orang Ki Sentol sendiri"
"Mustahil," gumamnya, "sikapnya dan tutup di wajahnya itu
meyakinkan, bahwa orang itu bermaksud jahat."
Akhirnya orang itu membulatkan hatinya. Ia harus menahan
orang yang memakai tutup di wajahnya itu. Karena itu, maka
segera ia membenahi pakaiannya. Disingsingkannya lengan
bajunya, kain panjangnya dan dikuatkannya ikat pinggangnya.
"Aku harus mendapat gambaran tentang kemampuan orang
itu," katanya di dalam hati.
Maka diambilnya sebutir batu kerikil sebesar biji rambutan.
Dengan kerikil itu ia ingin mengetahui, siapakah yang akan
dilawannya. Ketika ia sudah mendapatkan kerikil itu, maka segera ia
meloncat dari kegelapan. Dengan teguhnya ia berdiri di alas
kedua kakinya yang merenggang. Ia mengharap bahwa orang
yang bertutup di wajahnya itu mendengar langkahnya.
Ternyata harapannya tidak sia-sia. Sidanti yang mendengar
langkah halus itu segera meloncat, memutar tubuhnya dan
menghadap ke arah suara itu. Darahnya tersirap ketika ia
melihat sesosok bayangan berada di kegelapan.
Sebelum ia sempat berbuat sesuatu, matanya yang tajam
telah menangkap sebutir benda yang terbang dengan kecepatan
yang luar biasa menyambar dadanya.
Tetapi Sidanti adalah murid satu-satunya dari perguruan
Tambak Wedi. Sehingga kali ini pun ia sama sekali tidak
mengecewakan. Betapa pun cepat terbang sebutir batu kerikil itu, namun
ternyata Sidanti mampu bergerak lebih cepat. Ia menarik
sebelah kakinya, dan dengan gerak yang tidak terlampau
banyak, ia memiringkan tubuhnya. Kerikil itu terbang senyari dari
dadanya. "Betapa tangkasnya," berkata orang yang melemparnya di
dalam hatinya. Namun dengan demikian ia menyadari, dengan
siapa ia berhadapan. Orang yang menutup wajahnya dengan
ikat kepala itu ternyata seorang yang tangkas, setangkas kijang.
Tetapi orang itu tidak gentar. Ketangkasan Sidanti merupakan
peringatan baginya, bahwa ia harus berhathati.
Sidanti, yang berhasil membebaskan dirinya dari sambaran
batu kerikil, sejenak menjadi bingung. Bukan karena ia menjadi
cemas atau takut. Tetapi ia merasa bahwa seseorang
melihatnya dan langsung menyerangnya. Orang itu tidak
memberinya banyak kesempatan. Dengan hadirnya orang itu,
maka rencananya menjadi bubrah. Gambaran di dalam otaknya
adalah dengan sekali bentak Ki Sentol akan menjadi ketakutan
dan tidak banyak persoalan lagi yang dikemukakan, langsung
akan diberikannya tiga pengadeg pakaian. Tetapi ternyata orang
itu, yang berdiri di dalam keremangan malam telah
menyerangnya" Sidanti menjadi ragu-ragu. Ia mencemaskan dirinya bukan
karena takut menghadapi sepasang pedang. Tetapi,
bagaimanakah kalau dirinya kemudian dikenal.
Dadanya menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat
bayangan yang membawa sepasang pedang di kedua
lambungnya itu berjalan perlahan-lahan mendekatinya.
Sidanti, seorang yang memiliki pengalaman yang cukup,
segera dapat mengetahui, bahwa orang yang berjalan itu
memiliki kepercayaan yang kuat kepada dirinya sendiri.
Langkahnya yang tetap dan pandangannya yang lurus ke depan.
Tetapi jarak mereka masih belum terlampau dekat. Karena itu,
Sidanti masih belum dapat melihat bayangan itu dengan jelas.
Tetapi Sidanti tidak dapat berpikir terlampau lama. Ia semakin
di desak oleh kecemasan di dalam dirinya. Ia sama sekali tidak
takut menghadapi orang itu betapa tinggi ilmunya, yang paling
dicemaskannya adalah apabila kemudian dirinya dapat dikenali
sebagai Sidanti, putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itu, maka ia harus segera mengambil keputusan. Ia
harus segera berbuat sesuatu.
Ternyata sikap bayangan dalam kegelapan yang masih
melangkah satu-satu mendekatinya itu benar-benar telah
membakar dadanya. Kegelisahan yang bercampur-baur dengan
darah mudanya, melihat seseorang yang terlampau yakin
kepada kekuatan sendiri, ternyata segera menyala memanasi
jantungnya. Meskipun demikian ia masih ingat pesan gurunya
yang tajam dengan ancaman. Karena itu, maka ia masih
berusaha mengekang dirinya. Namun kegelisahan yang paling


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tajam menghunjam di dadanya adalah kegelisahan tentang
dirinya. Bahwa ia adalah Putera Kepala Tanah Perdikan
Menoreh. "Hem," desisnya kemudian, "aku harus menutup mulutnya.
Orang itu harus diam dan tidak usah turut campur dalam
persoalan ini. Orang-orang di rumah ini harus tidak tahu siapa
aku. Kalau orang ini mendapat kesempatan terlampau banyak ia
akan dapat mengganggu rencanaku."
Sidanti yang kebingungan itu kemudian mengambil keputusan
yang dirasanya paling aman. Meskipun ia masih mengingat
pesan gurunya namun ia perlu membuat orang ini diam,
meskipun tidak membunuhnya.
"Aku harus membuatnya pingsan untuk waktu yang cukup
lama." Dengan keputusan itu, maka Sidanti tidak lagi menunggunya
di halaman rumah itu. Selagi orang itu belum masuk ke dalam
cahaya lampu yang lemah di halaman, Sidanti segera meloncat
menyongsongnya. "Mumpung masih berada di kegelapan. Aku mengharap, ia
tidak dapat mengenali sama sekali siapa aku."
Ternyata orang itu terkejut melihat sikap orang yang bertutup
wajahnya itu. Ia tidak menyangka bahwa orang akan
menyerangnya. Karena itu, maka langkahnya terhenti.
Tetapi serangan Sidanti datang terlampau cepat, sehingga
kesempatan bayangan yang berpedang sepasang itu sangat
kecil. Serangan yang tidak terduga-duga dan gerak yang
terlampau cepat, membuatnya agak bingung. Karena itu, maka
satu-satunya yang dapat dilakukannya adalah menghindari jauhjauh
supaya ia mendapat waktu untuk mengatur perlawanannya.
Dengan demikian maka orang itu menjadi semakin masuk
kembali ke dalam kegelapan. Loncatannya yang lincah dan
cepat, telah melemparkannya ke dalam bayangan yang kelam.
Tetapi Sidanti ternyata tidak ingin memberinya kesempatan.
Tanpa berkata sepatah kata pun serangannya datang beruntun.
Ia ingin menjatuhkan orang itu, membuatnya pingsan dan
meninggalkannya di dalam gelap. Ia ingin mendapat kesempatan
untuk masuk ke dalam rumah Ki Sentol dan segera
meninggalkannya. Serangan Sidanti yang datang membadai itu telah mendorong
lawannya semakin dalam. Orang itu berloncatan kian kemari
untuk menghindari serangan-serangan Sidanti. Tetapi ternyata
geraknya cukup cepat dan cekatan sehingga beberapa saat
kemudian, ia telah menemukan keseimbangan perlawanannya.
"Setan," geram Sidanti. Ia sama sekali tidak menduga bahwa
ia akan bertemu deugan seseorang yang dapat menghindari
serangan-angannya yang datang beruntun. Ternyata orang ini
memiliki ilmu yang cukup untuk melawannya.
Dengan demikian Sidanti menjadi semakin gelisah. Kalau ia
tidak segera dapat menguasai lawannya, maka akibatnya akan
sangat menyulitkannya. Apabila datang orang-orang lain,
menyaksikan perkelahian itu, apalagi kemudian mengenalnya,
maka ia akan kehilangan namanya. Bahkan mungkin ayahnya
pun akan terlampau marah kepadanya. Juga gurunya sendiri, Ki
Tambak Wedi. "Aku harus segera berhasil," desisnya.
Tetapi perkelahian itu menjadi semakin seru. Orang itu benarbenar
dapat mengimbangi ketangkasan dan kecepatan bergerak
Sidanti. Dalam kegelapan malam, dan dalam kegelapan pikiran,
Sidanti tidak sempat memperhatikan wajah orang itu. Ia
merasakan sesuatu yang agak aneh pada lawannya. Tenaganya
tidak terlampau kuat, tetapi kecepatannya melampaui kecepatan
sambaran burung sikatan. Dalam perkelahian yang segera
menjadi semakin sengit, Sidanti belum dapat mengenali ilmu
yang dipakai oleh lawannya. Tetapi segera ia mendapat
kesimpulan, bahwa orang ini sama sekali bukan murid Ki Tanu
Metir. Bukan Agung Sedayu, apalagi Swandaru, yang
mempunyai ciri tubuh yang khusus dan akan langsung dapat
dikenalinya. Sekalkali Sidanti ingin juga melihat wajah lawannya. Tetapi
dalam gerakan-akan yang cepat, apalagi di dalam kelamnya
malam dan terlindung oleh dedaunan, maka wajah itu tidak
segera jelas baginya. Semakin lama perkelahian itu berlangsung, dada Sidanti
menjadi semakin dicengkam oleh kegelisahannya. Bahkan
kadang-kadang tumbuh samar-samar sifat-sifatnya yang keras.
Sekalkali berdenyut di nadinya keinginan untuk membunuh saja
lawannya itu. Dengan demikian ia akan segera dapat
menyelesaikan pekerjaannya. Tetapi setiap kali ia selalu teringat
kepada pesan gurunya. Pesan yang disertai dengan ancaman
yang tajam. Karena itu, maka di samping bertahan terhadap seranganangan
lawannya yang cepat, Sidanti harus juga bertahan
terhadap perasaan sendiri. Ia harus berusaha untuk tetap sadar,
bahwa gurunya tidak ingin persoalan ini melibatkan dirinya ke
dalam keadaan yang semakin parah. Itulah sebabnya, maka ia
harus berhathati. Berbuat tanpa kehilangan keseimbangan."
Namua ternyata lawannya bukan lawan yang dapat
dianggapnya ringan. Sidanti sama sekali tidak menyangka,
bahwa di daerah ini dijumpainya seseorang yang memiliki
kecakapan tata bela diri setinggi itu. Kegelisahan yang
membakar dada Sidanti semakin lama menjadi semakin panas.
Kadang-kadang terasa di dalam hatinya, penyesalan atas
keterlanjuran. Kini ia terlibat dalam keadaan yang sulit. Kalau ia
kehilangan pengamatan diri, maka mungkin ia akan melakukan
perbuatan yang membuat gurunya sangat marah kepadanya.
Sementara itu perkelahian mereka menjadi semakin seru.
Ternyata orang yang berpedang rangkap itu benar-benar lincah.
Langkahnya ringan dan cekatan. Serangan-serangannya
berbahaya, langsung menuju ke bagian tubuh Sidanti yang
berbahaya. "Bukan main," Sidanti berdesah di dalam dadanya,
"seandainya guru tidak berpesan wantwanti."
Namun seandainya demikian, maka Sidanti pasti tidak akan
dapat juga menyelesaikan perkelahian itu dengan segera.
Meskipun seandainya Sidanti mengerahkan segenap tenaganya,
tanpa mencemaskan nasib lawannya sekali pun, maka Sidanti
pasti akan memerlukan waktu yang lama.
Sekalsekali timbul juga niatnya untuk bertanya, siapakah
orang yang telah mengganggu rencananya itu. Tetapi ia takut,
bahwa suaranya akan dapat dikenal, sehingga lawannya itu
dapat mengetahuinya, bahwa ia adalah putera Kepala Tanah
Perdikan Menoreh. Tetapi tanpa bertanya kepada lawannya itu,
ia selalu diganggu saja oleh pertanyaan di dalam dadanya.
"Siapakah orang ini, siapakah orang ini?"
"Tetapi," gumam Sidanti kemudian di dalam hati, "seandainya
aku bertanya, orang itu pun pasti tidak akan menyebut dirinya."
Dengan demikian, Sidanti sudah tidak ingin lagi bertanya atau
mengucapkan sepatah kata pun. Ia takut kalau justru dengan
demikian orang itu dapat mengenalnya.
Yang dilakukan kemudian adalah mendesak lawannya sekuat
kemampuannya. Ia harus dapat menguasainya, menjatuhkannya
dan membuatnya pingsan. Tetapi lawannya ternyata tidak menyerahkan dirinya begitu
saja. Semakin sengit datangnya serangan-angan Sidanti, maka
perlawanan orang itu pun menjadi semakin gigih.
Ternyata, bukan Sidanti sajalah yang diganggu oleh
pertanyaan tentang lawannya. Orang yang berpedang rangkap
itu pun ternyata bertanya-tanya juga di dalam hatinya, siapakah
orang yang wajahnya ditutup dengan ikat kepala itu" Orang itu
pun sama sekali tidak menyangka, bahwa rumah ini akan
didatangi oleh seseorang yang memiliki ilmu berkelahi yang
demikian tinggi. Bahkan setelah mereka berkelahi beberapa
lama, orang itu mengakui di dalam hatinya, bahwa apabila
perkelahian itu berlangsung lama, ia merasa, bahwa ia tidak
akan dapat mengalahkan lawannya yang wajahnya tertutup oleh
ikat kepalanya. "Tetapi aku belum tahu, apakah ia juga seorang ahli bermain
pedang," desisnya di dalam hati.
Namun sampai sekian lama, mereka berdua masih belum
menarik pedang mereka dari wrangkanya.
Sidanti merasa bahwa pedang di tangannya akan sangat
berbahaya. Kalau ia kehilangan pengamatan diri atau akan
terulang lagilah nasib Plasa Ireng dan Alap-alap Jalatunda.
Tetapi apabila demikian, kali ini gurunya pasti tidak akan
memaafkannya lagi. Tetapi akhirnya Sidanti tidak dapat mengelak lagi. Ia terkejut
ketika ia melihat lawannya tiba-tiba saja telah menggenggam
sepasang pedangnya di kedua tangannya. Geraknya terlampau
cepat, hampir tidak dapat dilihat oleh mata.
Dada Sidanti berdesir. Ia sadar bahwa lawannya adalah
seorang yang cakap mempergunakan senjatanya.
Ketika sejenak mereka terhenti, Sidanti mencoba untuk
mengamati wajah lawannya. Tetapi sekali lagi ia terperanjat.
Sebelum ia sempat memandang wajah itu, matanya telah
melekat di ujung pedang lawannya. Ujung pedang yang bergerak
seperti tatit di udara menyambar pundaknya.
Dengan dada yang berdebar-debar Sidanti meloncat
menghindari sambaran senjata itu. Tetapi ternyata serangan itu
tidak terhenti sampai sekian. Ujung pedang lawannya itu pun
segera mengejarnya. Hampir berbareng kedua mata pedang itu
mematuk kedua pundaknya. Berkalkali Sidanti harus berloncatan menghindar sebelum
akhirnya ia memutuskan, bahwa ia pun harus mempergunakan
pedangnya. Demikianlah sesaat kemudian keduanya telah menggenggam
senjata di tangan masing-masing. Sidanti dengan pedang
tunggal, sedang lawannya mempergunakan sepasang
pedangnya yang tipis. Dengan demikian maka perkelahian itu pun menjadi semakin
lama semakin seru. Keduanya mampu bergerak secepat kilat
yang menyambar-nyambar. Keduanya lincah dan cekatan.
Dalam pada itu, perhatian Sidanti terhadap lawannya semakin
lama menjadi semakin besar. Ia melihat beberapa kelainan pada
lawannya itu. Lawannya hampir tidak pernah membentur
serangan. Sidanti menyadari bahwa kekuatan lawannya tidak
sebesar kekuatannya. Tetapi lebih dari pada itu. Betapa pun
mereka terlibat dalam perkelahian yang sengit, namun gerak
lawannya yang cepat cekatan itu mengandung suatu unsur yang
tidak dimengertinya. Membingungkan, tetapi ia melihat seolaholah
lawannya itu berubah rnenjadi seorang penari yang mampu
menggerakkan berpasang-pasang pedang bersama-sama.
Sidanti adalah seorang anak muda yang berpengalaman, ia
pernah berkelahi melawan orang-orang dengan bermacammacam
watak dan kebiasaan. Ia pernah berkelahi melawan
Plasa Ireng yang tangguh tanggon seperti seekor badak. Ia
pernah berkelahi melawan Alap-alap yang kasar tetapi
trengginas, dengan senjatanya yang menyambar-nyambar
seperti angin pusaran melilit tubuhnya. Ia pernah berkelahi
melawan Agung Sedayu yang lincah cekatan. Geraknya cepat
dan membingungkan. Dan ia pernah pula berkelahi dengan
orang lain, bahkan dengan Tohpati dan Untara.
Tetapi ia belum pernah melawan seseorang seperti yang
dilawannya kini. Orang-orang yang pernah berkelahi dengannya,
menang atau kalah, dengan sifat pembawaan dan ilmunya
masing-masing, namun di antara mereka ada beberapa
persamaan. Mereka adalah orang-orang kuat dan tangguh.
Mereka mempergunakan kecepatan dan kekuatan. Mereka
dengan tegas melawan serangan-serangan yang
dilancarkannya, bahkan kadang-kadang sengaja membenturkan
senjata-senjata mereka. Namun orang ini mempunyai sifat dan watak yang jauh
berbeda. Geraknya hampir tidak menunjukkan sifat-sifat
kekerasan meskipun cepatnya seperti tatit menyambar di langit.
Gerak tangannya tampaknya lembut selembut tangan penari.
Kakinya yang lincah melontar-lontarkan tubuhnya seringan
kapas, dalam gerak yang luwes. Tiba-tiba Sidanti menggeram di
dalam dadanya, "Ia seorang perempuan dalam pakaian laklaki."
Tetapi Sidanti tidak bertanya sepatah kata pun. Namun
tanggapannya terhadap lawannya telah membuatnya bertambah
gelisah. Semakin ia yakin bahwa lawannya adalah seorang
perempuan, maka dadanya menjadi semakin berdebar.
"Aku tidak segera dapat mengalahkan perempuan ini," ia
menggeram di dalam dadanya. "Ada juga perempuan yang
garang seperti orang ini. Tetapi meskipun ia dapat memutar
gunung, namun ia tidak akan dapat melepaskan diri dari tangan
Sidanti. Aku harus menguasainya, membuatnya kehilangan
kesadaran, kemudian melakukan rencanaku sebaik-baiknya."
Dengan demikian Sidanti menjadi semakin bernafsu.
Geraknya menjadi semakin cepat. Ia masih tetap sadar, bahwa
ia tidak akan membuat dirinya menjadi semakin parah dengan
membunuh orang di halaman rumah Ki Sentol, di halaman
Tanah Perdikannya sendiri, atas orang yang belum dikenalnya.
Tetapi ternyata ilmu pedang perempuan itu sangat baik.
Kedua senjata itu seakan-akan digerakkan oleh satu kekuatan
dalam keserasian yang sempurna. Hampir-hampir Sidanti tidak
mendapat kesempatan sama sekali untuk melawannya. Tetapi
Sidanti memiliki beberapa kelebihan. Sidanti merasa bahwa
kekuatannya lebih besar dari kekuatan lawannya, sehingga
justru setiap kali ia tidak berusaha menghindar atau memukul
senjata lawannya ke samping untuk menghapuskan kekuatan
ayunannya, tetapi Sidanti sengaja melawan dalam benturan
yang mantap. Setiap kali ia merasakan bahwa tenaga lawannya tidak dapat
mengimbangi tenaganya. Setiap kali senjata lawannya terdorong
beberapa jengkal. Tetapi ternyata lawannya menyadari pula
keadaannya, sehingga karena itu, setiap kali terjadi benturan,
maka lawannya tidak bertahan pada kekuatannya. Tetapi ia
selalu berusaha memunahkan tenaga lawannya dengan
perlawanan tenaganya yang liat, kemudian melepaskannya ke
samping. Dengan cara itulah, maka beberapa kali Sidanti gagal untuk
melontarkan senjata lawannya. Betapa pun besar tenaganya,
tetapi ia tidak dapat melepaskan sepasang senjata lawannya itu
dari sepasang tangannya. "Perempuan ini benar keras kepala," desah Sidanti di dalam
hatinya. Namun setiap kali ia masih harus berjuang melawan
perasaan sendiri. Setiap kali hatinya menyala memanaskan
darahnya, setiap kali ia teringat kepada pesan gurunya.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi siapakah sebenarnya perempuan ini?" desah Sidanti
di dalam hatinya. "Adalah sangat mengherankan bahwa seorang
perempuan di daerah ini mampu melawan aku sampai sekian
lama. Meskipun aku yakin bahwa ilmunya masih berada selapis
di bawah ilmuku, tetapi tidaklah mudah untuk mengalahkannya
tanpa melukainya. Kalau aku tidak mengingat pesan guru, maka
aku kira aku akan dapat lebih cepat melakukannya, meskipun
dengan susah payah. Tetapi apakah ia hanya seorang diri?"
Sidanti semakin lama menjadi semakin cemas tentang
dirinya. Bukan tentang hidup dan matinya, tetapi justru ia cemas
apabila dirinya kemudian akan dapat dikenal sebagai Sidanti,
Putera Argapati. "Ah," sekali lagi ia berdesah, "kalau ia masih tetap berkeras
kepala, apa boleh buat. Aku kira guru sudah tidak melihat lagi
apa yang aku kerjakan. Aku tidak dapat selamanya hanya
berusaha mempertahankan diri dan menyerang tempat-tempat
yang sama sekali tidak berbahaya. Suatu saat aku harus
mengarahkan ujung pedangku ke arah jantungnya."
Perkelahian itu kemudian berlangsung semakin sengit.
Ternyata Sidanti harus mengagumi kelincahan perempuan itu.
Lincah dan cekatan seperti anak rusa yang bermain-main di
rerumputan. Sidanti yang telah bekerja memeras segala macam
kemampuannya pun masih belum dapat menguasai lawan itu
sepenuhnya. Apalagi apabila tiba-tiba datang satu dua orang
seperti perempuan itu. Namun bagaimana pun juga Sidanti tidak akan meninggalkan
arena. Sementara itu Ki Tambak Wedi dan Argajaya berdiri
termangu-mangu di ujung desa menunggu Sidanti. Tetapi untuk
sekian lamanya anak itu tidak muncul-muncul dari mulut lorong
padesan. "Apa saja yang dilakukan oleh anak gila itu," desis Ki Tambak
Wedi. "Ia keras kepala sejak kanak-anak," sahut Argajaya.
"Anak itu sudah terlampau lama. Apakah yang telah terjadi?"
Argajaya tidak segera menjawab. Tetapi ia pun diganggu pula
oleh kegelisahan. Seperti Ki Tambak Wedi, ia pun menganggap
bahwa Sidanti sudah cukup lama mereka tinggalkan. Kalau ia
segera mengetuk pintu, masuk, dan dengan lancar menerima
tiga pengadeg pakaian, maka waktu yang dipergunakannya telah
cukup lama. Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu pun bergumam, "Aku tidak
dapat melepaskan anak itu tanpa pengawasan. Aku akan
melihatnya apa saja yang sudah dikerjakan. Mudah-mudahan ia
tidak berbuat sesuatu yang dapat mencemarkan namanya dan
nama ayahnya, Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh."
"Aku juga mencemaskannya. Anak itu memang anak bengal
sejak kanak-anak." Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Kemudian ia
berkata, "Aku akan kembali ke rumah Ki Sentol."
"Aku ikut bersama Kiai."
"Terserahlah kepadamu, Ngger."
"Aku juga ingin melihat apa yang terjadi."
"Marilah." Keduanya segera melangkah kembali. Tetapi mereka tidak
ingin dilihat orang. Mereka segera menyusup ke dalam gelapnya
bayangan dedaunan yang rimbun di dalam kelamnya malam.
Perlahan-lahan mereka merayap semakin dekat dengan
halaman rumah di ujung lorong padesan itu. Dari kejauhan
mereka tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Mereka tidak
melihat kesibukan apa pun. Mereka tidak melihat orang-orang di
dalam rumah itu terbangun, membuat kegaduhan sehingga
Sidanti harus bertindak kasar.
"Halaman itu tampaknya sepi saja, Kiai," gumam Argajaya.
Ki Tambak Wedi tidak segera menjawab. Ternyata telinganya
jauh lebih tajam dari telinga Argajaya. Meskipun ia masih belum
melihat sesuatu tetapi ia mendengar gemerincingnya senjata
beradu. "Kita harus mendekat, Ngger," desis Ki Tambak Wedi, "ada
sesuatu yang tidak wajar."
"Apakah Kiai melihat sesuatu?"
Keduanya pun kemudian melangkah semakin dekat. Kini
halaman rumah itu tampak semakin jelas Tetapi halaman itu
masih juga tampak sepi. Tidak ada keributan dan tidak ada
kegaduhan. Namun tiba-tiba Argajaya mengangkat wajahnya. Katanya,
"Aku mendengar sesuatu, Kiai."
"Apakah baru sekarang Angger mendengarnya?"
"Tidak. Tetapi aku kurang memperhatikannya. Aku sangka
bunyi itu bukan seperti yang aku dengar sekarang."
"Apakah yang Angger dengar sekarang?"
"Perkelahian. Senjata beradu. Tetapi tidak terlampau sering.
Aku menduga bahwa salah seorang dari mereka merasa bahwa
kekuatan mereka tidak seimbang. Tetapi orang yang merasa
lebih lemah itu pasti memiliki kelebihan lain."
"Pendengaran Angger cukup baik. Aku sependapat. Dan
salah seorang dari kedua orang yang berkelahi itu pasti Sidanti."
Argajaya menggangguk-anggukkan kepalanya. "Aku pun
berpendapat demikian," desisnya.
"Hem," Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam "Sidanti
memang terlampau sulit untuk dikendalikan. Kalau ia membuat
sedikit saja kesalahan di sini, maka akibatnya akan menjadi
terlampau berat baginya. Ayahnya pasti akan menjadi sangat
marah." "Mudah-mudahan ia belum dikenal sebagai Sidanti."
"Marilah kita mendekat, Ngger. Aturlah langkah dan nalarmu
supaya tidak mengganggu perkelahian itu. Aku ingin melihat
siapakah yang sedang berkelahi melawan Angger Sidanti itu."
Argajaya mengerti maksud Ki Tambak Wedi. Ia harus berhatihati
supaya tidak mengejutkan orang-orang yang sedang
berkelahi. Sebab dengan demikian, maka akibatnya akan sangat
mengganggu dan mungkin sama sekali tidak mereka kehendaki.
Apalagi Argajaya adalah orang yang banyak dikenal di padesan
itu, apalagi oleh Ki Sentol sendiri.
"Aku tidak menyangka bahwa di daerah ini ada seseorang
yang mampu bertahan terhadap Sidanti sedemikian lama," bisik
Ki Tambak Wedi. "Namun justru karena itu, kita harus segera
mendekat, supaya seandainya Sidanti kehilangan pengamatan
diri, kita sempat mencegahnya."
"Aku, seorang dari Tanah Perdikan ini pun heran, bahwa di
padesan ini ada seseorang yang mampu berkelahi melawan
Sidanti." Keduanya terdiam. Mereka menjadi semakin dekat, dengan
halaman rumah Ki Sentol. Dentang senjata beradu itu pun
menjadi semakin keras. Semakin sering. Tetapi telinga-telinga
yang cukup terlatih akan segera mengerti, bahwa salah seorang
dari kedua orang yang bertempur itu pasti selalu menghindari
benturan-benturan kekuatan. Dengan demikian maka benturanbenturan
itu tidak beradu terlampau keras dan terlampau sering.
Bunyi benturan itu pun menjadi tidak terlampau keras.
Telinga Ki Tambak Wedi yang tajam setajam pandangan
matanya, segera menuntunnya kemana ia harus pergi. Mereka
tidak memasuki halaman itu lewat regol yang telah terbuka.
Tetapi mereka mencari tempat yang gelap di bawah rimbunnya
dedaunan, untuk meloncati pagar batu yang tidak terlampau
tinggi, masuk ke dalam halaman. Ketika mereka sudah berada di
halaman, maka langkah mereka pun menjadi semakin berhatihati.
Mereka merayap setapak demi setapak maju, sehingga
akhirnya mereka dapat melihat di dalam kegelapan dua
bayangan yang sedang berkelahi.
Sekilas, mereka berdua segera mengetahui, bahwa yang
seorang dari mereka adalah Sidanti. Keadaannya ternyata lebih
baik dari keadaan lawannya. Namun adalah mengherankan,
bahwa lawannya mampu bertahan sekian lamanya.
Sejenak kedua orang itu terpaku di tempatnya. Dengan
tajamnya mereka memandangi perkelahian yang tengah
berlangsung di dalam gelapnya malam. Kilatan cahaya langit di
kejauhan yang sudah tidak berdaya, tampak menarnari pada
mata-mata pedang yang sedang bergerak-gerak dengan
cepatnya. Namun mereka yang sedang berkelahi itu sendiri,
hampir tidak dapat dilihat bentuknya.
Ternyata perkelahian itu semakin menarik perhatian Ki
Tambak Wedi dan Argajaya. Perlahan-lahan tetapi pasti mereka
dapat mengenali orang yang sedang berkelahi melawan Sidanti.
Meskipun mereka masih bertempur, di tempat yang kelam,
namun kedua orang yang mengintai mereka, dapat mengenal
mereka masing-masing dari tata geraknya. Apalagi Ki Tambak
Wedi yang mempunyai beberapa kelebihan dari orang lain.
Kecuali ia segera dapat mengenal Sidanti yang mempergunakan
ilmu dari Tambak Wedi dengan baiknya, maka ia pun segera
mengenal ilmu lawan Sidanti itu.
"Angger," perlahan Ki Tambak Wedi berdesis. "perkelahian
yang menarik. Meskipun mereka telah hampir sampai pada
penggunaan puncak ilmu yang mereka miliki, namun perkelahian
itu sama sekali tidak terjadi dengan banyak keributan. Orangorang
yang tidur di dalam rumah itu pun tidak terbangun
karenanya." "Ya, Kiai," jawab Argajaya.
"Tetapi ada yang lebih menarik daripada itu," berkata Ki
Tambak Wedi selanjutnya. Argajaya berpaling. Di dalam gelap malam ia mencoba
menangkap maksud kata-kata yang tersirat di wajah orang tua
itu. Tetapi ia tidak berhasil.
"Apakah yang lebih menarik itu, Kiai."
"Lawan Sidanti."
"Ya. Aku pun tertarik pula kepadanya. Bukankah ia seorang
gadis?" Ki Tambak Wedi menggangguk, "Ya, ia memang seorang
gadis. Tetapi itu pun kurang menarik bagiku. Yang paling
menarik adalah bagaimana caranya melawan Sidanti."
Argajaya mengerutkan keningnya. " Bagaimana menurut
pertimbangan Kiai?" "Seharusnya kau tidak bertanya demikian, Ngger. Kau pasti
sudah mengenalinya. Tata gerak itu adalah tata gerak yang
sudah seharusnya kau kenal. Cabang perguruan itu pun pasti
akan menunjukkan, setidak-tidaknya membatasi persoalannya."
Argajaya menahan nafasnya. Ia memang sudah menduga
siapakah gadis yang sedang berkelahi itu. Ia mengenalnya
menilik tata geraknya. Tetapi bukan itu saja. Ia mengenal gadis
itu dengan baik. Tetapi ia tidak menyangka bahwa gadis itu
mempunyai kecakapan yang hampir sejajar dengan Sidanti.
"Bukankah ilmu itu ilmu cabang perguruan Menoreh" Aku kira
kau mengenal, bahwa ilmu itu adalah ilmu Argapati yang
bergelar Ki Gede Menoreh. Bukankah Angger sendiri sebagian
terpercik oleh ilmu dari cabang perguruan itu meskipun Angger
tidak bersaudara seperguruan dengan kakak Angger, Argapati?"
"Kami seperguruan Kiai, tetapi jarak yang membatasi kami
cukup jauh." Ki Tambak Wedi menggeleng, "Tidak. Kalian bukan
seperguruan. Angger memang pernah mendapat ilmu itu, tetapi
yang terbesar tersimpan pada diri Angger bukan perguruan yang
sama dengan perguruan Argapati."
Argajaya mengganggukkan kepalanya.
"Tetapi gadis itu adalah seorang gadis yang menyimpan ilmu
dari cabang perguruan Menoreh. Kau lihat bukan?"
"Ya, Kiai. Aku mengenalnya seperti aku mengenal Sidanti.
Tatapi dalam pakaian laklaki aku semula agak kabur
karenanya. Tetapi kini aku sudah yakin, bahwa aku tidak akan
salah lagi." Ki Tambak Wedi menggangguk-anggukkan kepalanya, "Luar
biasa. Ilmu yang dimilikinya belum matang benar. Seharusnya ia
bukan lawan yang terlampau berat bagi Sidanti. Mungkin Sidanti
sudah mengenal bahwa lawannya seorang gadis."
"Sidanti harus mengenalnya. Tetapi pakaian laklakinya
apalagi mereka berkelahi di dalam gelap itulah yang
menyebabkan Sidanti tidak segera mengetahui dengan siapa ia
sedang berkelahi. Tetapi ternyata Kakang Argapati telah
membuat suatu teka-teki. Aku tidak pernah melihat anak itu
berlatih sama sekali. Tetapi tiba-tiba aku melihatnya ia sudah
berada dalam tataran yang demikian tinggi. Aku melihatnya
seharhari sebagai seorang gadis pendiam dan pemalu. Tetapi
dalam pakaian laklaki ternyata ia cukup garang."
"Kau mengenal gadis itu, Ngger, bukan hanya sekedar
mengenal tata geraknya?"
"Tentu," kata-kata Argajaya terputus karena mereka
mendengar suara yang lain dari suara perkelahian itu. Karena itu
maka segera mereka terdiam. Mereka menjadi semakin berhatihati
dan mencoba untuk menangkap apa saja yang terjadi.
Tiba-tiba dada mereka bergetar. Mereka melihat tiga orang
berloncatan dari belakang gandok. Mereka segera berlari ke
depan dan berhenti sejenak sambil menebarkan pandangan
mata mereka. "Di sana, aku sudah mendengar gemerincing senjata," salah
seorang dari mereka berkata lantang.
Ketiganya segera menghadap ke arah suara yang mereka
dengar. Suara gemerincing senjata. Gemerincingnya pedang
Sidani yang beradu dengan sepasang senjata lawannya.
Ternyata Sidanti juga mendengar suara itu. Terasa betapa
dadanya bergelora. Sesaat ia menjadi bingung. Apakah yang
akan dilakukannya" Melawan mereka dan membunuh mereka
satu per satu" Kalau ia tidak ragu-ragu, dan tidak tertahan oleh
pesan gurunya, lawannya itu pun telah binasa. Ia ingin
mengalahkannya dan sekedar membuatnya pingsan tanpa
menggores kulitnya dengan ujung pedangnya. Tetapi justru
dengan demikian keadaannya menjadi semakin sulit.
Kehadiran ketiga orang itu telah mencemaskan hati Ki
Tambak Wedi pula. Kalau Sidanti menjadi bingung, maka ia pasti
akan berbuat di luar perhitungan. Mungkin ia menjadi mata
gelap. Ia akan berusaha untuk membinasakan lawan-lawannya
tanpa pertimbangan lain, asal mereka tidak dapat mengenalnya.
Tidak dapat mengetahui bahwa yang menutupi wajahnya
dengan ikat kepala itu adalah Sidanti, putera Argapati.
Ternyata Argajaya pun berpikir demikian pula. Tetapi ia
menjadi lebih cemas lagi, karena ia yakin bahwa ia mengerti
benar, siapakah gadis lawan Sidanti itu.
"Kiai," Argajaya itu kemudian berdesis, "perkelahian itu harus
dicegah." "Ya," sahut Ki Tambak Wedi, "aku akan membuat mereka
kehilangan lawannya. Aku akan mengambil dan menyingkirkan


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sidanti." "Mereka akan mengejar."
"Aku terpaksa menghilangkan kesadaran mereka untuk
sementara. Hanya sekedar memberi kesempatan Sidanti
melarikan diri." "Tetapi gadis itu?"
"Oh, siapakah gadis itu. Angger belum mengatakannya."
"Pandan Wangi."
"Pandan Wangi," ulang Ki Tambak Wedi sambil mengerutkan
keningnya, "Pandan Wangi kau bilang?"
"Ya." Dada Ki Tambak Wedi berdesir. Sejenak ia termangu-mangu.
Nama itu telah mengejutkannya. Meskipun ia tidak begitu
mengenal anak itu seperti ia mengenal Sidanti, tetapi Pandan
Wangi adalah gadis yang dikenalnya dengan baik di masa
kanak-anaknya. Tetapi karena sudah bertahun-tahun ia tidak
bertemu, apalagi kini ia mengenakan pakaian laklaki, maka ia
menjadi lupa kepadanya. "Bukankah Kiai pernah mengenalnya dahulu."
"Ya, ya. Aku pernah mengenalnya. Tetapi sudah bertahuntahun
yang lalu. Aku sudah lama sekali tidak mengunjungi
Argapati itulah sebabnya aku melihat ilmu Argapati ada
padanya." "Lalu, apakah yang akan kita lakukan sekarang."
Ki Tambak Wedi terdiam sejenak. Ia melihat ketiga orang
yang berlarlari itu sudah berada di samping tempat perkelahian
antara Sidanti dan gadis yang bernama Pandan Wangi itu.
"Aku menjadi agak bingung. Tetapi sebaiknya perkelahian
yang lebih seru harus dicegah." Ki Tambak Wedi berhenti
sejenak, lalu, "Tetapi apakah Sidanti mengenal gadis itu?"
"Melihat perkelahian itu, aku kira Sidanti belum mengenalnya.
Apalagi kini," Argajaya menjadi tegang, "lihat Kiai, Sidanti hampir
menjadi mata gelap."
Ketika Ki Tambak Wedi memandang perkelahian itu, ternyata
ia melihat tekanan Sidanti menjadi semakin dahsyat. Ia
tampaknya telah kehilangan segala pengamatan diri karena ia
kehilangan akal. Ia tidak menemukan cara yang sebaik-baiknya
untuk menghindar dan karena kecemasannya bahwa dirinya
akan dikenal. Dengan demikian, maka ia tidak dapat mengekang
dirinya lagi. Ia harus melawan dan berusaha menutup mulut
orang-orang itu bagaimana pun caranya. Memang ada juga
terbersit pikiran di kepalanya untuk melarikan diri. Tetapi setiap
kali kakinya akan melontarkan dirinya menghindari perkelahian
itu, perasaan harga dirinya telah mengekangnya, sehingga
setiap kali ia menjadi ragu-ragu. Akhirnya ia tidak mendapat
kesempatan lagi, ketika ketiga orang yang baru datang itu
mengepungnya. "Jangan diberi kesempatan untuk melarikan diri," berkata
salah seorang dari mereka, "kita harus tahu, siapakah orang ini."
Sidanti hanya dapat menggeretakkan giginya. Ia selalu saja
dibayangi oleh kecemasan tentang dirinya sendiri. Ia tidak berani
mengucapkan kata-kata supaya suaranya tidak dikenal.
Ketika ketiga orang itu sudah menarik senjata masing-masing,
maka Sidanti tidak akan dapat berbuat lain. Melawan, kalau
terpaksa, ya kalau terpaksa apa boleh buat. Pedangnya akan
membuat penyelesaian. Tetapi ketika ketiga orang itu sudah mulai menggerakkan
pedangnya, tiba-tiba mereka mendengar suara tertawa di
belakang gerumbul yang rimbun. Tanpa berjanji mereka
berloncatan menjauhi lawan-lawannya untuk mendapat
kesempatan berpaling. Meskipun pedang-pedang mereka siap
untuk bergetar, tetapi mereka memerlukan juga menunggu,
siapakah yang akan ke luar dari dalam rimbunnya gerumbul itu"
Yang kemudian muncul di dalam kegelapan itu adalah dua
bayangan sosok tubuh yang hitam. Mereka tidak segera dapat
mengenal. Namun sejenak kemudian salah seorang dari kedua
orang itu berkata sambil tertawa, "Cukup Sidanti. Permainan
yang menyenangkan." Sidanti terkejut bukan buatan. Ia mengenal suara itu, suara
pamannya, Argajaya. Tetapi pamannya telah menyebut
namanya, sedang ia sendiri matmatian menyembunyikan
dirinya dari pengenalan orang-orang itu.
Tetapi bukan saja Sidanti yang terkejut bukan kepalang,
ternyata lawannya yang bernama Pandan Wangi itu pun
terperanjat bukan main, sehingga seolah-olah darahnya berhenti
mengalir. "Paman, Pamankah ini?" bertanya suara wanita itu.
"Ya, aku pamanmu, Pandan Wangi."
"Pandan Wangi," hampir-hampir Sidanti berteriak, tetapi
suaranya tertahan di dadanya. Tetapi dengan demikian ia
menjadi seolah-olah membeku di tempatnya. Nama itu benarbenar
telah mengejutkannya. Tetapi ketika ia mendapat
kesempatan untuk memandangi wajah lawannya, maka ia
merasakan sesuatu bergetar di dalam dirinya. Wajah itu masih
belum jelas baginya. Tetapi karena gadis lawannya itu berdiri
diam, maka kesempatan untuk mengenalinya menjadi semakin
luas. Kedua bayangan yang ternyata Argajaya dan Ki Tambak
Wedi itu sudah menjadi semakin dekat. Dan terdengar lagi
Argajaya berkata, "Aku telah melihat dengan senang hati kalian
bermain-main. Jangan marah Pandan Wangi. Sidanti sengaja
ingin melihat, apakah kau sudah cukup baik menguasai ilmu
pedang rangkap dari Perguruan Menoreh itu."
Kedua orang yang baru saja bertempur itu terpukau diamdiam
mereka tidak segera mengerti, apakah yang sebenarnya
mereka hadapi. Mereka hanya berdiri saja memandangi langkah
Argajaya dan Ki Tambak Wedi mendekati mereka.
"Pandan Wangi," berkata Argajaya kemudian, "Sidanti telah
terlampau lama, bahkan bertahun-tahun tidak bertemu dengan
kau karena kakakmu itu sedang menuntut ilmu di padepokan
Tambak Wedi. Ketika kakakmu menjejakkan kakinya di Tanah
Perdikan ini, untuk pertama kali setelah bertahun-tahun tidak
melihatnya, maka yang pertama-tama ditemuinya adalah kau
dalam pakaianmu yang aneh itu. Sehingga timbulah niatnya
untuk mengganggumu."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling
memandangi wajah orang yang baru saja berkelahi melawannya,
ia masih melihat wajah itu bertutup ikat kepala.
"Bukalah penyamaranmu, Sidanti," berkata Argajaya,
"bukankah kau tidak perlu lagi memakainya" Kau sudah cukup
mengganggu adikmu dengan cara itu. Sekarang bukalah. Kau
sudah terlampau lama membuat adikmu berdebar-debar."
Sidanti masih belum tahu benar, apakah yang sebenarnya
dimaksud oleh paman dan gurunya. Tetapi ia tidak dapat
membantah lagi. Dengan ragu-ragu dibukanya tutup wajahnya.
"Nah, bukankah ia seorang anak muda yang bernama Sidanti,
putera Kakang Argapati?" desis Argajaya sambil tertawa.
"Apakah kau sudah tidak dapat mengenal wajah kakakmu lagi,
Pandan Wangi" Aneh. Sidanti tidak banyak mengalami
perubahan. Sedang kau, yang sedang tumbuh dalam masamasa
yang paling cepat, tidak dapat mengelabui kakakmu,
walau pun kau memakai pakaian yang aneh itu pula."
"Tetapi," tergagap Pandan Wangi berkata, "tetapi dari mana
paman tahu kalau aku berada di sini?"
"Bukankah kau sering berada di tempat ini?"
Pandan Wangi menjadi ragu-ragu. Tetapi Argajaya pun
menjadi berdebar-debar. Pertanyaan yang aneh-aneh dapat
membuatnya bingung untuk mencari jawab.
"Tetapi," Pandan Wangi masih ingin bertanya lagi, tetapi
Argajaya mendahului, "Lihatlah baik-baik. Itu adalah kakakmu
Sidanti." Pandan Wangi berpaling sekali lagi memandangi wajah
Sidanti yang kini sudah tidak tertutup lagi. Meskipun sudah lama
mereka tidak bertemu, tetapi garis wajah itu sama-sama dapat
dikenalinya. "Marilah kita pergi ke halaman. Cahaya lampu itu akan segera
memperkenalkan kalian."
Argajaya segera membimbing Pandan Wangi berjalan
mendahului yang lain pergi ke halaman. Kepada kedua orang
pengawal Pandan Wangi yang juga sudah dikenalnya, Argajaya
berkata, "Marilah ikut aku."
Mereka tidak membantah lagi. Mereka segera berjalan ke
halaman depan rumah Ki Sentol yang cukup luas.
Yang tinggal di dalam kegelapan adalah Sidanti dan Ki
Tambak Wedi. Ketika jarak mereka menjadi semakin jauh
dengan Argajaya dan orang-orang Menoreh yang lain, maka Ki
Tambak Wedi berbisik, "Tidak ada cara lain. Lebih baik kau
berpura-pura mencoba adikmu untuk melihat ilmunya, atau
sengaja mengganggunya."
Sidanti menarik nafas dalam-dalam. Kini ia menjadi jelas
maksud paman dan gurunya. Namun meskipun demikian ia
berkata, "Tetapi pertanyaan-pertanyaan Pandan Wangi akan
membingungkan aku, Guru, seperti yang ditanyakannya kepada
Paman Argajaya, kenapa kita mengetahui bahwa Pandan Wangi
ada di sini." Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Kemudian ia
bertanya, "Di mana kau temui anak itu?"
"Ia menghampiri aku di halaman ini ketika aku akan naik ke
pendapa. Tetapi karena aku takut dikenal di dalam cahaya
lampu minyak di pendapa, akulah yang menyerangnya di dalam
gelap." "Di mana ia berada, atau dari mana ia datang."
"Dari arah gandok."
"Tiga orang pengawalnya datang dari belakang gandok itu
pula. Kalau begitu mereka pasti di tempatkan di gandok itu
sebagai tamu. Nah, katakan bahwa kau telah mengintainya dari
luar gandok." "Tetapi kenapa aku masuk ke halaman ini dan sampai ke
gandok itu." "Bukankah tempat ini seakan-akan menjadi pesanggrahan
keluargamu. Katakan, kau memang sedang melihat-lihat apakah
ada salah seorang anggauta keluargamu yang sedang berada di
sini." Sidanti menggangguk-anggukkan kepalanya, meskipun
hatinya masih berdebar-debar. Ternyata gadis itu adalah
adiknya. Adiknya sendiri. Tetapi sudah sekian lama ia tidak
bertemu, sejak yang terakhir ia mengunjungi kampung
halamannya. Apalagi dalam pakaian laklaki di dalam kegelapan
pula. "Aneh," desisnya tiba-tiba, "ia mampu berkelahi."
"Kau tidak mengenal ilmu itu?"
"Tidak." "Ilmu ayahmu. Ilmu Argapati. Memang ayahmu tidak mau
membimbingmu, dan menyerahkannya kepadaku."
"Kenapa, Guru?" bertanya Sidanti.
Pertanyaan itu telah memukul jantung Ki Tambak Wedi. Ia
menyesal bahwa ia telah terlanjur mengatakan sesuatu yang
tersimpan di dalam hatinya. "Seharusnya aku tidak
mengatakannya," desisnya di dalam hati.
"Kenapa, Guru, kenapa ayah tidak mau mengajari aku, tetapi
ayah justru mengajari Pandan Wangi, seorang gadis?"
Dada Ki Tambak Wedi menjadi semakin berdebar-debar.
Tetapi ia harus menjawab. Katanya, "Itu adalah cara ayahmu
untuk memperkaya ilmu Perguruan Menoreh. Ayahmu merasa
bahwa aku mempunyai kemampuan yang seimbang. Maka
dititipkannya kau kepadaku, dan diturunkannya ilmunya kepada
Pandan Wangi. Bukankah dengan demikian kau dan Pandan
Wangi akan mampu bersama-sama menyusun ilmu yang
lengkap dan mengagumkan kelak?"
Sidanti mengerutkan keningnya. Memang hal yang demikian
itu mungkin saja terjadi, tetapi masih juga kurang dapat
dipahami. Kenapa ayahnya menempuh cara itu untuk
memperkaya ilmu Perguruan Menoreh" Kenapa ayahnya,
Argapati tidak saja bersama-sama dengan Ki Tambak Wedi
menyusun suatu ilmu yang mencakup berbagai macam unsur
dari kedua cabang perguruan yang memiliki nama yang cukup
besar itu" Apabila demikian, dan mereka dapat menemukan
unsur-unsur yang dapat dipadukan dalam suatu bentuk yang
baru, maka ilmu itu akan menggemparkan seluruh Demak.
Tetapi kenapa yang ditempuh oleh ayahnya adalah jalan yang
terlampau jauh" Menyerahkannya kepada Ki Tambak Wedi dan
menurunkan ilmunya kepada Pandan Wangi, adik
perempuannya, kemudian baru dicari kemungkinan untuk
memadukan kedua ilmu itu"
Pertanyaan-pertanyaan itu meronta-ronta di dalam dadanya.
Tetapi ketika ia ingin menyatakannya, didengarnya Ki Tambak
Wedi berkata, "Marilah kita pergi ke halaman itu. Lihat, mereka
telah menunggu kita."
Sidanti berpaling. Di dalam keremangan cahaya lampu di
halaman ia melihat pamannya, Pandan Wangi dan pengawalpengawalnya
berdiri tegak. Mereka agaknya memang sedang
menunggunya. Sidanti mengikuti saja di belakangnya ketika gurunya
melangkah ke halaman. Namun ia berdesis, "Aku pasti akan
dibingungkan oleh pertanyaan-pertanyaan Pandan Wangi.
Bahkan mungkin apabila orang-orang lain di dalam rumah ini
terbangun." "Kau harus cepar berpikir. Carilah jawaban yang paling
mungkin. Kadang-kadang kau harus berusaha memotong
pertanyaan mereka. Dan kita seharusnya tidak terlampau lama
tinggal di rumah ini. Malam ini juga kita akan meneruskan
perjalanan." "Tetapi bagaimana dengan pakaian kita, Kiai. Pakaian kita
terlampau lusuh dan kotor."
"Jangan hiraukan. Kau dapat membuat ceritera-ceritera lucu
tentang hutan Mentaok. Demikian pula tentang luka di pundakmu
yang sudah hampir sembuh sama sekali itu."
Dada Sidanti menjadi semakin berdebar-debar ketika ia
menjadi semakin dekat dengan orang-orang Menoreh yang telah
agak lama ditinggalkannya.
Namun kemudian cahaya lampu telah menolongnya untuk
mengenali wajah gadis yang telah mampu melawannya itu.
Meskipun anak itu telah tumbuh dengan suburnya, serta
berpakaian laklaki namun Sidanti telah mulai dapat
mengenalnya. Anak itu memang Pandan Wangi.
Tetapi ternyata Pandan Wanglah yang lebih dahulu
menegurnya. Hampir berteriak ia memanggil, "Kakang Sidanti,
bukankah kau benar-benar Kakang Sidanti?"
Sidanti mengganggukkan kepalanya. Tetapi suaranya
tersendat di kerongkongan, sehingga jawabnya terlampau


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pendek, "Ya." Pandan Wangi tertegun sejenak. Tetapi semakin, dekat
semakin jelas baginya, bahwa orang yang semula menutup
wajahnya dengan ikat kepalanya itu adalah Sidanti.
Sidanti yang telah menyarungkan pedangnya itu
mendekatinya dengan penuh kebimbangan.
Pandan Wangi yang kemudian yakin bahwa orang itu adalah
kakaknya berkata pula, "Kau mengganggu aku, Kakang. Aku
hampir berteriak-teriak memanggil Paman Kerti untuk
menangkapmu." Sidanti mendekati adiknya dengan dada yang berdebardebar,
tetapi ia memaksa bibirnya untuk tersenyum, "Aku senang
melihat kau marah," katanya. Namun sikapnya masih juga
canggung. "Tetapi kau telah menyakiti tanganku."
"Kenapa dengan tanganmu?"
"Tidak apa-apa, tetapi untuk mempertahankan pedangku,
tanganku terasa terlampau nyeri. Kau bersungguh-sungguh
berusaha melepaskan genggaman pedangku."
Terdengar Argajaya tertawa. Katanya, "Kakakmu hampir tidak
percaya bahwa kau benar-benar mampu berkelahi. Aku yang
hampir setiap hari melihat kau bermain-main dakon dan jirak,
tidak tahu sama sekali, bahwa kau mampu bermain-main
dengan pedang. Ayahmu benar-benar aneh, Wangi. Aku menjadi
pening memikirkannya. Kapan saja kau menyisihkan waktumu
untuk berlatih?" Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Ia adalah seorang
gadis yang baru mekar. Pujian pamannya telah membuat
wajahnya menjadi kemerah-merahan.
"Tetapi sarungkanlah sepasang pedangmu itu," berkata
Argajaya kemudian. "Oh," Pandan Wangi baru sadar, bahwa ia masih
menggenggam sepasang pedangnya.
"Orang yang wajahnya bertutup ikat kepala itu kini sudah tidak
akan berani lagi menyerangmu, karena di sini ada Kerti dan
kedua kawannya." Wajah Pandan Wangi menjadi semakin kemerah-merahan.
Tanpa sesadarnya ia berpaling kepada pengawalnya, seorang
yang sudah setengah tua, yang bernama Kerti.
"Aku tidak menyangka," Kerti itu berkata, "bahwa aku akan
berjumpa dengan Angger Sidanti di sini, dan aku juga tidak
bermimpi menyaksikan Angger Pandan Wangi mampu
bertempur setangkas itu. Aku, pamomongnya dihadapkan pada
suatu kenyataan yang mengejutkan."
"Ah, kau juga mengganggu aku, Paman."
"Benar Angger Sidanti. Adikmu, Angger Pandan Wangi
memang luar biasa. Aku memang pernah melihat Angger
Pandan Wangi berlatih, tetapi tidak berlatih bermain pedang.
Angger Pandan Wangi selalu berlatih memanah. Dan malam ini
aku mengantarkannya untuk berburu nanti lewat lengah malam.
Tetapi tanpa aku duga, bahwa aku akan bertemu dengan Angger
Sidanti dan sekaligus melihat kedua bersaudara ini
memamerkan ilmunya masing-masing."
"Aku tidak ingin memamerkan kecakapan itu, Paman," potong
Pandan Wangi. "Ya, ya. Maksudku, aku melihat Anggger berdua adalah anakanak
muda yang luar biasa. Lebih-lebih Angger Sidanti. Bukan
main. Meskipun agaknya Angger tidak bersungguh-sungguh,
tetapi aku menjadi ngeri karenanya."
Sidanti tersenyum, meskipun senyumnya masih juga hambar,
ia memang sudah mengenal Kerti sebagai seorang yang
meskipun sudah setengah umur, tetapi masih juga senang
bergurau dan jenaka. Dan orang itu masih berkata lagi, "Ketika
aku melihat Angger bertempur melawan Angger Pandan Wangi,
aku menjadi ragu-ragu untuk berbuat sesuatu. Aku dan kedua
kawanku ini sebenarnya harus mengawal Angger Pandan
Wangi, tetapi ternyata kamilah yang dikawal olehnya, karena
kami tidak berani ikut campur melawan Angger Sidanti."
"Ah," hampir bersamaan Sidanti dan Pandan Wangi
berdesah. "Sekarang," Kerti itu berkata, "kita akan membangunkan Ki
Sentol. Aku ingin memperkenalkannya dengan Angger Sidanti."
"Aku sudah mengenalnya."
"O, tetapi Angger Sidanti yang dahulu. Bukan Angger Sidanti
yang sekarang." "Terima kasih, Paman Kerti, tetapi aku segera ingin
menghadap ayah." "He," Kerti itu mengerutkan keningnya, "jadi Angger mampir di
halaman ini hanya sekedar ingin mengganggu Angger Pandan
Wangi?" Sidanti menjadi ragu-ragu sejenak. Ketika ia berpaling kepada
gurunya kemudian kepada pamannya, ia tidak segera mendapat
kesan apa pun dari kedua orang itu, sementara Kerti telah
menyambung kata-katanya, "Kau memang senang bergurau
sejak kanak-anak, Ngger. Marilah singgah ke rumah ini. Ki
Sentol akan sangat bergembira melihat Angger."
Sidanti masih belum dapat menyahut.
"Ki Sentol akan menjadi kagum mendengar ceritera tentang
Angger Sidanti, dan Angger Pandan Wangi."
Sidanti masih juga diam. Tetapi Argajaya-lah yang menyahut.
"Terima kasih Kerti. Kami sekarang tidak sedang bertamasya
mengantarkan Sidanti berburu. Tetapi kami membawa seorang
tamu yang akan bertemu dengan Kakang Argapati."
"Siapa?" "Ki Tambak Wedi, guru Sidanti."
"Oh, yang mana?"
"Kenapa, kau bertanya?" sahut Argajaya, "Kami hanya
bertiga. Kau mengenal aku dan Sidanti."
"Oh," tiba-tiba Kerti mengganggukkan kepalanya dalam-dalam
kepada Ki Tambak Wedi. Sekilas dilihatnya wajah orang tua dari
lereng Gunung Merapi itu. Terasa sebuah desir yang lembut
menggores dadanya. Mata yang tajam setajam mata burung
hantu di dalam kegelapan, hidung yang mancung, kumis yang
hitam dan garis-garis wajah yang tegas tergores di sisi matanya
yang seolah-olah menyala.
Namun segera ia berkata, "Kalau demikian, aku memang
harus membangunkan Ki Sentol. Seharusnya aku sudah tahu,
bahwa yang datang sekarang adalah Angger Sidanti bersama
gurunya. Aku yang sudah terlampau lama berada di Menoreh,
seharusnya sudah mengetahui bahwa guru Angger Sidanti
berada di sini." Kerti berhenti sejenak, lalu kepada Ki Tambak
Wedi ia berkata, "Maafkan aku, Kiai. Aku adalah seorang yang
tidak tahu diri. Tetapi agaknya aku memang belum pernah
melihat Kiai di Menoreh, meskipun agaknya Kiai sering
berkunjung kepada Ki Gede Menoreh."
Tiba-tiba wajah Ki Tambak Wedi menjadi tegang. Tetapi
hanya sesaat. Sesaat kemudian ia telah berhasil menguasai
dirinya. Bahkan ia telah dapat memaksa bibirnya untuk
tersenyum, "Ya. Aku memang jarang sekali datang ke Menoreh.
Argapatlah yang sering berkunjung kepadaku, atau Angger
Argajaya." Kerti menggangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak
melihat dada Ki Tambak Wedi yang bergetar justru karena
pertanyaannya. Ki Tambak Wedi seolah-olah dihadapkan
kepada suatu pertanyaan yang menggores dinding jantungnya,
menumbuhkan luka yang tidak akan dapat sembuh seumurnya.
"Ya, kenapa aku seolah-olah tidak berani lagi datang ke
Menoreh" Bukan hanya sekarang, tetapi bertahun-tahun yang
lalu. Sejak Sidanti masih seorang kanak-anak."
Tetapi kini Ki Tambak Wedi ingin menyembunyikan deburan
perasaannya itu. Sekali lagi ia memaksa bibirnya tersenyum dan
berkata, "Nah, karena itulah maka aku segera ingin bertemu
dengan Ki Gede Menoreh. Sebaiknya kalian tidak usah bersusah
payah membangunkan pemilik rumah ini."
"Itu aneh. Aneh sekali, Kiai," sahut Kerti, "marilah, Ki Sentol
sudah seperti keluarga sendiri. Apalagi hari sudah jauh malam."
"Kami sengaja berjalan malam hari," desis Argajaya.
"Kenapa?" "Kami baru saja menempuh perjalanan yang jauh. Sidanti
perlu memperluas pengalaman dengan sebuah perjalanan
hampir mengelilingi seluruh daerah Demak lama. Dalam pakaian
yang kusut ini, perjalanan kami menjadi lancar. Kini, akhir dari
perjalanan itu adalah menghadap Kakang Argapati."
"Apakah Paman ikut dalam perjalanan itu?" bertanya Pandan
Wangi tiba-tiba. "Tentu. Aku pun ingin memperluas pengalaman."
"Begitu cepat."
"Kenapa?" Argajaya mengerutkan keningnya.
"Berapa lamakah Paman meninggalkan Menoreh?"
Argajaya terdiam sejenak. Pertanyaan itu memaksanya untuk
berpikir. Tetapi segera ia menjawab, "Bukankah aku sudah
cukup lama pergi" Aku mempergunakan waktuku sebaikbaiknya.
Begitu aku sampai di Tambak Wedi, Sidanti sudah siap
untuk memulai dengan perjalanannya."
Pandan Wangi menggangguk-anggukkan kepalanya. Dan
tiba-tiba saja ia bertanya, "Di manakah kedua orang yang pergi
bersama Paman dari Menoreh itu?"
Dada Argajaya berdesir mendengar pertanyaan itu. Dan
sekali lagi ia harus berbohong. "Orang-orang itu masih berada di
Tambak Wedi. Mereka tidak ikut dalam perjalanan kami."
Ternyata Pandan Wangi hanya menggangguk-anggukkan
kepalanya saja. Ia sama sekali tidak berprasangka apa-apa. Ia
sama sekali tidak membayangkan bahwa di padepokan Tambak
Wedi telah terjadi pertempuran yang sengit. Pandan Wangi
sama sekali tidak membayangkan bahwa kedua orang itu telah
menjadi korban kelicikan Ki Tambak Wedi, yang mengorbankan
orang-orang lain untuk keselamatannya. Kedua orang itu
ternyata terbunuh dalam peperangan yang kisruh di Tambak
Wedi melawan prajurit-prajurit Pajang.
Argajaya, yang memang tidak ingin mendengar berbagai
pertanyaan yang mungkin tidak dapat dijawabnya, segera
berkata, "Nah, aku kira keperluan kami sudah cukup. Kami akan
meneruskan perjalanan. Bukankah begitu, Kiai?"
"Ya, ya Ngger. Kita akan meneruskan perjalanan."
"Tetapi itu aneh sekali. Kalian telah berada di halaman rumah
ini. Tetapi kenapa kalian tidak singgah, meskipun hanya
sepenginang." "Terima kasih, Kerti," jawab Argajaya, "sampaikan salamku
kepada Ki Sentol. Lain kali aku akan datang dalam keadaan
yang lebih baik. Ki Sentol pasti akan heran melihat pakaianku
yang jelek dan kotor ini."
Sebelum Kerti menjawab, tanpa disangka Pandan Wangi
bertanya, "Apakah Paman dan Kakang Sidanti sama sekali tidak
membawa ganti pakaian?"
Argajaya mengerutkan keningnya. Pertanyaan yang tidak
berarti itu justru membingungkannya. Namun dalam
kebingungannya ia mendengar Ki Tambak Wedi menjawab
sambil tertawa itu, "Tidak lazim, Ngger. Tidak lazim kita
membawa pakaian dalam perantauan. Kalau kita sedang pergi
bertamasya atau berburu seperti Angger ini, maka kita wajib
membawa ganti pakaian. Tetapi perjalanan kami mempunyai
bentuk yang lain." Sekali lagi Pandan Wangi menggangguk-anggukkan
kepalanya. Sekali lagi ia tidak mempunyai prasangka apa pun
terhadap jawaban itu. "Sekarang, kami minta diri," berkata Argajaya. Tetapi belum
lagi mereka beranjak dari tempatnya, tiba-tiba pintu rumah Ki
Sentol terbuka. Ternyata mereka yang berada di rumah itu telah
terbangun karena percakapan di halaman. Apalagi suara Kerti
yang agak lebih keras dari suara orang-orang lain.
Ketika sepercik sinar meloncat ke luar dari sela-sela pintu
yang terbuka, terdengar Argajaya berdesah. Untuk seterusnya
apakah ia dapat meninggalkan halaman rumah itu tanpa singgah
lebih dahulu meskipun hanya sebentar" Tetapi yang sebentar itu
mungkin akan dapat membuat kepalanya pening. Jawabanjawaban
yang salah akan dapat membuat orang-orang itu
semakin banyak bertanya. "Siapa di halaman?" terdengar suara orang tua itu dalam
nada yang tinggi. Sebelum orang lain menjawab, yang pertama-tama terdengar
adalah suara Kerti melengking, "He, Ki Sentol. Di sini hadir
seorang tamu yang akan menyenangkan hatimu."
"Siapa?" Terdengar Argajaya mengeluh pendek. Dan ia mendengar
Kerti menjawab, "Kemarilah, dan kau akan melihatnya."
Mereka kemudian melihat seorang laklaki tua berjalan
perlahan-lahan mendekat melintasi pendapa. Perlahan-lahan
pula ia turun sambil memandang dengan tajamnya. Dilihatnya
beberapa orang berdiri di halaman rumahnya, di muka pendapa.
Ia segera dapat mengenal salah seorang yang berteriak
memanggilnya, Kerti. Tetapi yang lain masih, belum jelas
baginya." Semakin dekat dengan orang-orang yang berdiri di halaman
itu, maka Ki Sentol menjadi semakin jelas melihat mereka. Yang
kemudian dikenalinya adalah Pandan Wangi yang berpakaian
laklaki. Anak itu memang selalu mengenakan pakaian itu
apabila ia pergi berburu. Yang dua orang lagi adalah pengawal
Pandan Wangi di samping Kerti. Tetapi siapakah yang lain"
"Ki Sentol," berkata Kerti kemudian, "Ki Argajaya datang
berkunjung." "He" orang tua itu terkejut, "benarkah?"
"Kemarilah." Kini langkah Ki Sentol menjadi tergesa-gesa. Ketika ia
menjadi semakin dekat, maka segera dikenalnya wajah itu,
Argajaya. Namun Ki Sentol merasa heran dengan penglihatannya
sendiri. Ia melihat perbedaan pada adik Kepala Tanah Perdikan
itu. Tetapi ia tidak tahu, apakah yang lain itu.
Agaknya Kerti melihat sorot mata keheranan dari Ki Sentol.
Segera ia tanggap, dan berkata, "Kau heran melihat pakaian Ki
Argajaya?" Ki Sentol sejenak tidak bergerak dan tidak mengucapkan
kata-kata. Dipandanginya saja Argajaya tajam-tajam. Lalu
sejenak kemudian baru ia berkata, "Ya. Di situlah perbedaannya.
Aku melihat sesuatu yang aneh padamu, Ngger. Ternyata
pakaianmu. Pakaianmu sama sekali bukan pakaian seorang adik
dari Ki Gede Menoreh. Kusut, kumal dan bahkan ada beberapa
bagian yang telah sobek."
Bloon Cari Jodoh 4 Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang Tiga Dara Pendekar 18
^