Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 12

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 12


orang yang menyertaiku. Berempat dengan aku sendiri"
jawab Ki Sarpa Kuning. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
Namun mereka tidak dapat memaksa Ki Sarpa Kuning
untuk mengatakan rencananya pada saat itu juga. Sehingga
dengan demikian, maka merekapun harus menunggu
dengan sabar. Tetapi mereka telah dapat membayangkan,
apa yang akan dilakukan oleh Ki Sarpa Kuning.
Dalam pada itu, maka Ki Sarpa Kuningpun kemudian
berkata "Aku memang menjelajahi daerah Kediri Sampai
jarak yang jauh. Aku mengemban satu tugas yang berat.
Karena itu, jika kalian memasuki padepokanku, berarti
kalian akan ikut memikul beban yang berat itu. Mungkin
tidak dengan saudara seperguruan. Tetapi beberapa kawan
dari padepokan lain akan hadir bersama kita dalam tugas
tertentu, seperti dua orang muridku yang terpaksa aku
binasakan sendiri itu, setelah kawan-kawannya, seperti yang
aku katakan, bukan seperguruan, gagal menyingkirkannya"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Sementara itu, Ki Sarpa Kuningpun berkata "Mungkin
kalian kelak juga tidak akan terlalu lama berada di
padepokan. Kalian akan mendapat ilmu kalian disepanjang
perjalanan untuk tugas tertentu. Kali ini di Kabuyutan ini.
Kita tidak harus mempergunakan sanggar atau ruang
khusus untuk berlatih. Kita dapat berlatih di lereng gunung,
dihutan atau di lembah-lembah yang curam"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab lagi.
Mereka sadar, bahwa merekapun akan segera terlibat dalam
tugas-tugas yang mendebarkan. Yang pertama akan mereka
lakukan adalah campur tangan dalam memperebutkan
kekuasaan di Kabuyutan yang tenang itu. Namun yang
pada saat terakhir telah diguncang oleh pertentangan
diantara mereka setelah mereka kehilangan pemimpin
mereka. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun mulai dengan kebimbangan kebimbangan baru.
Jika Ki Sarpa Kuning dengan langsung melibatkan diri
dalam pertentangan antara mereka yang ingin memimpin
Kabuyutan itu, apakah mereka berdua akan dengan
sepenuhnya melibatkan diri pula. Apakah pada suatu saat
mereka berdua akan berhadapan dengan orang-orang
Kabuyutan itu, yang nampaknya telah bersiap-siap justru
mempersiapkan senjata-senjata yang akan mereka
pergunakan. Sehingga dengan demikian, maka nampaknya
sudah membayang, kekerasan yang akan timbul di
Kabuyutan itu. Tetapi kedua orang anak muda itu masih belum
mengambil sikap apapun juga. Mereka masih mempunyai
waktu untuk membicarakan diantara mereka. Bahkan jika
perlu mereka akan minta petunjuk dari Ki Waruju.
Karena itu maka merekapun tidak lagi menanyakan
sesuatu. Ketika Ki Sarpa Kuning kemudian diam saja
sambil bersandar sebongkah hatu, maka kedua orang anak
muda itupun sama sekali tidak mengusiknya. Mahisa Murti
dan Mahisa Pukatpun duduk pula sambil berdiam diri
dibayangan daun preh yang rimbun.
Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Namun
kemudian Ki Sarpa Kuning itupun berkata "Kita akan
berada di tempat ini sampai seseorang datang"
"Siapa?" bertanya Mahisa Murti hampir diluar sadarnya.
"Salah seorang muridku" jawab Ki Sarpa Kuning "ia
akan memberikan beberapa keterangan tentang Kabuyutan
ini. Aku tidak berkeberatan jika kalian mendengarkannya.
Kalian boleh sejak hari ini mengikuti beberapa kegiatan
yang akan kita lakukan pada waktu yang dekat"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Namun mereka justru menjadi semakin berhati-hati.
Mereka merasa hahwa mereka baru saja memasuki
lingkungan Ki Sarpa Kuning yang bagi keduanya
merupakan suatu rahasia yang masih tertutup. Namun
mereka telah mendapat kesempatan untuk mengikuti
kegiatan tertentu yang penting. Sehingga justru karena itu,
maka merekapun merasa, bahwa ada sesuatu yang harus
mereka perhatikan sebaik-baiknya
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu tidak
bertanya lebih lanjut. Mereka kembali duduk sambil
berdiam diri dibawah bayangan rimbunnya daun preh.
Sebenarnyalah, setelah beberapa lama mereka
menunggu, maka seseorang telah datang mendekati Ki
Sarpa Kuning. Tetapi demikian orang itu melihat Mahisa
Murti dan mabisa Pukat, maka orang itupun telah tertegun
sejenak. Tetapi Ki Sarpa Kuning yang melihat orang itu datang,
dan tertegun, tersenyum sambil berkata "Jangan terkejut.
Kedua anak muda itu adalah saudara seperguruanmu yang
baru. Aku telah memungut mereka dan menjadikan mereka
murid-muridku untuk menggantikan dua orang adik
seperguruanmu yang telah aku bunuh itu"
Orang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian orang
itupun bertanya "Siapa nama mereka?"
Ki Sarpa Kuning mengerutkan keningnya. Baru
kemudian ia berkata "Bertanyalah sendiri. Aku tidak
sempat menanyakannya."
Orang itupun kemudian mendekati Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat yang duduk terkantuk-kantuk. Namun sikap
orang itu benar-benar mengejutkan kedua anak muda itu.
Dengan kasar orang itu telah mengguncang kaki Mahisa
Murti dengan kakinya sambil membentak "Siapa namamu
he?" Mahisa Murti benar-benar terkejut. Darahnya tiba-tiba
saja menggelegak. Untunglah, bahwa ia masih dapat
mengendalikan dirinya, sehingga ia tidak berbuat sesuatu.
Bahkan iapun kemudian perlahan-lahan berdiri sambil
menjawab "Namaku Nandi"
"Yang seorang?"orang itu membentak lagi.
"Kawanku. Namanya Wastu" jawab Mahisa Murti
sambil berpaling kepada Mahisa Pukat.
Mahisa Pukatpun telah berdiri pula. Ketika orang yang
baru datang itu memandanginya, maka Mahisa Pukatpun
mengangguk hormat. Sementara itu di dalam hatinya ia
mengulang nama yang diberikan kepadanya "Wastu. Aku
tidak boleh lupa" "Apa alasan kalian, bahwa kalian telah memasuki
perguruan kami?" bertanya orang itu.
"Ki Sanak" berkata Mahisa Murti sareh "Ki Sanak sudah
mengenal namaku. Apakah aku boleh mengenal nama Ki
Sanak" Orang itu memandang Mahisa Murti dengan tajamnya
Namun kemudian ia berkata "Namaku Gajah Wareng"
"Gajah Wareng?" ulang Mahisa Murti.
"Ya. Kenapa?" bertanya orang itu.
"Tidak apa-apa" Mahisa Murti menjawab. Namun ia
berkata di dalam hatinya "Satu nama yang tidak pantas
baginya. Hanya orang-orang yang mempunyai kedudukan
yang mapan sajalah yang pantas menyebut dirinya bernama
Gajah. Tetapi-agaknya memang siapapun dapat membuat
namanya sendiri menjadi kebanggaan"
Dalam pada itu, maka Gajah Wareng itupun bertanya
sekali lagi "Kalian belum menjawab, apa alasan kalian
memasuki perguruan kami"
"Kami mendapat tawaran dari Ki Sarpa Kuning. Dan
kamipun tidak berkeberatan karena kami memang ingin
meningkatkan ilmu kami" jawab Mahisa Murti.
Orang yang bernama Gajah Wareng itupun berpaling
kearah Ki Sarpa Kuning. Kemudian dengan nada rendah ia
bertanya "Jadi guru yang memintanya?"
"Ya" jawab Ki Sarpa Kuning acuh tidak acuh "sudah
aku katakan. Aku memungutnya dan mengambilnya
sebagai ganti kedua orang adik seperguruan yang aku
bunuh itu" Orang yang bernama Gajah Wareng itu menganggukangguk.
Namun katanya kemudian "Baik. Aku akan
memerlakukan kalian seperti aku memerlakukan kedua adik
seperguruanku yang terbunuh itu"
"Nah, anak-anak muda" berkata Ki Sarpa Kuning "sejak
saat ini, kau adalah anggauta dari perguruan yang besar ini.
Kau berhak menerima tuntunan ilmu. Tetapi kau
berkewajiban untuk menjalankan semua perintah dari guru
serta saudara-saudara seperguruanmu yang lebih tua"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai merasa, bahwa
mereka tengah memasuki satu pengalaman baru. Namun
karena mereka memang sudah bertekad untuk
melakukannya, maka merekapun telah bersiap menghadapi
segala kemungkinan yang dapat terjadi atas mereka.
Dalam pada itu, maka orang yang menyebut dirinya
bernama Gajah Wareng itupun kemudian berkata "Guru,
apakah anak-anak ini dapat kita ikut sertakan dalam tugastugas
kita di Kabuyutan ini?"
"Ajari mereka untuk mengerti. Kemudian mereka akan
dengan patuh melakukan segala perintahmu" jawab Ki
Sarpa Kuning. Namun kemudian Ki Sarpa Kuning itupun
melanjutkan "Tetapi hati-hatilah dengan mereka. Aku
melihat keduanya mampu bertahan melawan dua orang
murid "O, jadi mereka telah berbekal ilmu?" bertanya Gajah
Wareng. "Ya. Agaknya kita harus menilik ilmu yang telah ada di
dalam diri mereka. Kita akan menyesuaikannya, untuk
mengisi dan meningkatkan ilmu mereka, sesuai dengan
tataran yang ada di dalam perguruan kita" berkata Ki Sarpa
Kuning. "Apakah kemampuan mereka perlu dijajagi untuk
menemukan alas peningkatan ilmu mereka?" bertanya
Gajah Wareng. "Terserah kepadamu. Mungkin perlu juga kau lakukan.
Sebelum kau mulai dengan mengajarinya, maka kau perlu
mengetahui dari mana kau akan mulai" jawab Ki Sarpa
Kuning. Gajah Wareng mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah.
Aku dapat melakukannya sekarang"
"Jangan" berkata Ki Sarpa Kuning "kita bawa anak-anak
ini ke pasanggrahan kita. Kita tidak terlalu tergesa-gesa"
Gajah Wareng mengangguk-angguk. Katanya "Baik
guru. Kita akan pergi ke pasanggrahan"
Ki Sarpa Kuningpun kemudian bangkit pula. Sambil
menggeliat ia berkata "Aku sebenarnya mulai mengantuk.
Tetapi marilah, kita akan pergi ke pasanggrahan"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja termangumangu
Bahkan mereka menjadi heran, bahwa Ki Sarpa
Kuning itu telah membuat sebuah pasanggrahan di sekitar
Kabuyutan yang sedang menjadi sasaran rencananya yang
merupakan bagian dari sebuah rencana yang besar.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak berbuat
sesuatu. Mereka menurut saja ketika Gajah Wareng
memerintahkan kepada mereka untuk berjalan
mengikutinya. "Kau sudah menjadi murid dari perguruan kami
"berkata Gajah Wareng "kau harus mematuhi segala
peugeran yang ada di dalam lingkungan kami"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Mereka mengikut saja kemana kedua orang itu pergi.
Setelah meniti pematang beberapa lamanya, maka
merekapun meloncati parit dan sampai kesebuah jalan
setapak, masih ditengah-tengah bulak. Mengikuti jalan kecil
itu mereka menuju kearah lereng pegunungan yang menjadi
daerah Kabuyutan yang sedang mengalami pergeseran
kekuasaan sepeninggal Buyut yang memerintah.
"Paranggrahan kami berada di lereng bukit itu" berkata
Gajah Wareng. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi
pengertian tentang pasanggrahan itu sangat menarik
perhatian. Karena itu, maka merekapun telah didorong oleh
satu keinginan untuk segera sampai ke lereng bukit dan
melihat, apakah benar di lereng bukit itu terdapat sebuah
pasanggrahan. Perjalanan mereka semakin lama menjadi semakin cepat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun selalu menyesuaikan
dengan langkah-langkah Ki Sarpa Kuning dan Gajah
Wareng. Karena itu, maka merekapun tidak memerlukan waktu
yang terlalu lama. Beberapa saat kemudian, mereka telah
mulai mendaki lereng bukit berhutan. Mereka menyusup diantara
hijaunya dedaunan di lereng gunung dan diantara
pepohonan yang tumbuh dengan liar.
Ketika tiba-tiba saja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
melihat seekor ular yang cukup besar melilit di batang
pohon yang tidak terlalu besar, maka merekapun terkejut,
sehingga langkah mereka terhenti.
Namun sambil tertawa Ki Sarpa Kuning berkata "Jangan
takut. Ular adalah sahabatku yang paling baik"
Namun terasa tengkuk kedua anak muda itu merenung
ketika mereka merunduk di dekat kepala ular yang justru
berkerut dan kemudian justru bergeser mundur.
Diluar sadarnya Mahisa Murti meraba cincin dijarinya,
sementara Mahisa Pukat menyentuh gelang Kayu Bulenya.
Seolah-olah mereka berusaha untuk meyakinkan diri
mereka, bahwa bagi mereka ular itupun tidak akan
berbahaya. Demikianlah, setelah menyusup gerumbul-gerumbul
perdu diantara pepohonan yang besar, maka ke empat
orang tiupun memasuki Daerah hutan yang tidak begitu
lebat. Seolah-olah beberapa bagian dari tetumbuhan di
tempat itu telah dibersihkan, sehingga hutan itu
memberikan tempat bagi beberapa orang untuk tinggal.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin heran.
Mereka dibawa menyusup lebatnya hutan di lereng
pegunungan, sehingga mereka sama sekali tidak dapat
membayangkan, dimana letaknya pesanggrahan Ki Sarpa
Kuning itu.

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
itupun menarik nafas dalam-dalam ketika Gajah Wareng
berkata "sudah sampai"
Mahisa Murti dan Matfisa Pukat melihat sebuah gubug
yang terbuat dari kulit kayu dan beratap ilalang.
Sambil tertawa Ki Sarpa Kuningpun kemudian berkata
kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat "Inilah
pesanggrahan itu" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Merekapun sadar, bahwa yang dimaksud dengan
pesanggrahan itu adalah sarana yang telah mereka buat
untuk tempat tinggal sementara.
Dalam pada itu, ternyata dua orang yang berada di
dalam gubug itu telah merunduk, lewat pintu yang rendah,
keluar dari gubug itu. Dengan kening yang berkerut mereka
melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat datang bersama
Gajah Wareng dan Sarpa Kuning.
"Siapa orang itu?" bertanya salah seorang dari keduanya.
Orang berkumis lebat itu memandang Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat berganti-ganti. Namun kemudian katanya
"Nampaknya kedua anak ini tidak meyakinkan"
"Mereka memiliki bekal yang cukup" jawab Ki Sarpa
Kuning "Aku melihat keduanya berkelahi melawan anakanak
dari Gemulung. Menurut penilaianku, keduanya
memiliki ilmu yang cukup. Jika mereka berada diantara kita
untuk waktu yang cukup lama, maka mereka akan dapat
mengikuti pendadaran ilmu dasar dari perguruan kita.
Orang berkumis lebat itupun kemudian mmendekati
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Katanya kemudian "Apa
kelebihannya sehingga anak ini berani melawan anak-anak
Gemulung ?" "Ilmunya cukup untuk mengimbangi tingkat ilmu orangorang
Gemulung itu" jawab Ki Sarpa Kuning "katakan
kepada Gajah Wareng, sebelum kalian meningkatkan ilmu
kedua anak-anak itu sesuai dengan kedudukan mereka
sebagai murid dari padepokan kita, maka kalian akan dapat
menjajagi. Tetapi hati-hati. Sudah aku katakan, keduanya
mampu mengimbangi murid-murid Ajar Gemulung"
"Bukan soal" jawab orang berkumis itu "anak-anak
Gemulung sama sekali tidak berarti apa-apa bagi kita.
Seandainya Ajar Gemulung sendiri datang ke padepokan
kita, maka murid yang paling lemah diantara kami, akan
dapat mengimbangi llmunya. Karena itu, maka murid
Gemulung tidak lebih dari seorang cantrik yang paling
dungu di perguruan kita"
"Jangan berkata begitu" jawab Ki Sarpa Kuning "Ajar
Gemulung tentu merasa, bahwa dirinya memiliki ilmu yang
tinggi" "Setiap orang dapat merasa demikian, tetapi
kenyataannya. Ajar Gemulung tidak lebih dari orang orang
kita yang paling bodoh sekalipun" jawab orang berkumis
lebat "tetapi baiklah. Lebih baik kita menjajaginya sehingga
kita akan mendapat kenyataan yang sebenarnya"
"Tetapi biarlah keduanya beristirahat" berkata Ki Sarpa
Kuning "kita tidak tergesa-gesa"
Orang berkumis lebat itupun mengangguk-angguk.
Katanya "Baiklah. Biarlah keduanya beristirahat. Besok
mereka akan mengenal arti perguruan kita sebaik-baiknya.
Baru hari berikutnya kita akan meningkatkan ilmu mereka
sambil menjalankan tugas kita disini"
Gajah Warengpun kemudian berkata "Marilah. Masuklah.
Kau akan mendapat tempat di dalam pesanggrahan kita"
Mmahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menyahut sama
sekali. Keduanyapun kemudian memasuki pintu gubug itu.
Di dalamnya terdapat sebuah amben bambu yang besar.
Agaknya semua orang tidur di amben bambu itu. karena
amben itu adalah satu-satunya isi dalam gubug itu.
Sebenarnyalah, terdengar Gajah Wareng berkata "Kalian
akan mendapat tempat dipaling tengah, karena kalian
adalah orang-orang bungsu diantara kita. Kalian akan
terlindung seandainya tiba-tiba saja pesanggrahan kita telah
mendapat serangan dari siapapun juga"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat
mengangguk-angguk. Namun kemudian merekapun
menjadi berdebar-debar ketika orang berkumis lebat itu
berkata "Letakkan bungkusan kalian itu di amben itu. Atau
barangkali kalian memang akan tidur sekarang ?"
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun katanya
"Kamii tidak akan tidur. Tetapi kami akan beristirahat saja
barang sejenak" Orang berkumis lebat itu mengerutkan keningnya.
Namun Ki Sarpa Kuning berkata "Silahkan. Kalian dapat
saja beristirahat sepuas-puasnya. Mumpung kau belum
mulai dengan satu tugas tertentu"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebardebar.
Arti kata-kata itu akan dapat menggelisahkan
mereka. Dalam pada itu, maka kedua anak muda itupun telah
ditinggalkan oleh para pengikut Ki Sarpa Kuning. Dengan
ragu-ragu keduanya mengamati gubug yang disebut
pesanggrahan itu. Dindingnya yang dibuat dari kulit kayu
nampak berlubang-lubang. Sedangkan amben bambu yang
merupakan perabot gubug itu satu-satunya dibuat dengan
kasar meskipun sempat juga diberi galar dan dibentangkan
tikar selembar diatasnya.
Mahisa Pukatlah yang pertama-tama duduk diatas
amben itu. Terdengar amben itu berderit dan bergoyang
sehingga suaranya terasa menggelitik telinga kedua orang
anak muda itu. Baru sejenak kemudian, Mahisa Murtipun duduk pula
di-amben itu. Sekali lagi amben itu berderit.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian terdiam
sejenak untuk mendengarkan apakah ada orang yang
dengan sengaja telah mengamatinya.
Mahisa Murtilah yang kemudian menggeleng lemah.
Sementara Mahisa Pukat berdesis "Mereka telah pergi"
"Tetapi mereka tentu ada disekitar tempat ini. Mereka
tentu mengamati kita jika kita keluar" desis Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun katanya
kemudian "Aku tidak peduli. Aku benar-benar akan
beristirahat" Tanpa menunggu jawaban Mahisa Murti, maka Mahisa
Pukat itupun kemudian membaringkan dirinya sambil
menguap. "Kau akan tidur?" bertanya Mahisa Murti.
"Aku memang mengantuk Tetapi aku tidak ingin tidur
jawab Mahisa Pukat. Mahisa Murti tidak menjawab. Bahkan iapun kemudian.
berdiri dan melangkah ke pintu yang masih tetap terbuka.
Ketika Mahisa Murti berdiri di telundak pintu, maka
iapun melihat dua orang murid Ki Sarpa Kuning duduk
dibawah sebatang pohon yang lebat, sementara itu Ki Sarpa
Kuning sendiri dan Gajah Wareng tidak nampak olehnya.
"Kemana kedua orang itu?" bertanya Mahisa Murti di
dalam hatinya. Namun Mahisa Murtipun kemudian yakin,
bahwa kedua orang itu tidak berada dekat di seputar rumah
itu, karena Mahisa Murtipun telah mengelilingi ruangan itu
dan meyakinkan tidak melihat seorangpuh dari antara
lubang-lubang dinding dan tidak pula mendengar suara
apapun juga. "Tutup pintu itu" desis Mahisa Pukat.
Tetapi Mahisa Murti kemudian menjawab "Biar saja.
Jika pintu itu bergerak, maka mungkin sekali akan menarik
perhatian mereka" Mahisa Pukat tidak menjawab. Sementara itu Mahisa
Murtipun telah berbaring pula di sebelahnya sambil berkata
"Malam nanti kita akan tidur diantara mereka. Kita harus
mengatur diri. Kita jangan tidur bersama-sama"
"Aku setuju" jawab Mahisa Pukat.
"Nampaknya tempat ini bukan tempat yang nyaman"
desis Mahisa Murti. "Jika demikian, sekarang aku benar-benar ingin tidur"
berkata Mahisa Pukat. Namun kemudian "He, bagaimana
kita akan makan?" "Kita sudah berada diantara para murid Ki Sarpa
Kuning. Kita harus menunggu, apakah kita akan mendapat
makan dari mereka" jawab Mahisa Murti.
"Baiklah. Kita akan menunggu. Dan aku akan
menunggu sambil tidur. Malam nanti, biarlah aku berjagajaga
lebih lama" berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tidak menjawab. Dibiarkannya Mahisa
Pukat yang benar-benar ingin tidur, sementara ia akan
berjaga-jaga meskipun juga sambil berbaring. Sementara itu,
pintu gubug itu masih tetap terbuka. Namun Mahisa Murti
telah menempatkan dirinya sedemikian, sehingga ia dapat
langsung memandangi keluar pintu.
Namun nampaknya para murid Ki Sarpa Kuning itu
memang tidak berbuat apa-apa pada hari itu. Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat sama sekali tidak diusiknya.
Dibiarkannya kedua anak muda itu berbaring. Meskipun
demikian, Mahisa Murti sama sekali tidak tertidur sedang
Mahisa Pukat benar-benar telah mendengkur
disampingnya. Tetapi karena Mahisa Murti juga tidak bergerak-gerak
serta pernafasannya yang mengalir dengan teratur, maka
seoian-olah iapun tertidur puia.
Dengan demikian, ketika salah seorang dari murid Ki
Sarpa Kuning itu menjenguk kedua anak muda itu, mereka
mendapat kesan, seolah-olah keduanya memang sedang
tertidur. Murid Ki Sarpa Kuning itu agaknya telah memanggil
kawannya. Ketika kawannya mendekatinya, maka iapun
berbisik "Keduanya tertidur nyenyak. Mereka benar-benar
tidak menaruh kecurigaan apapun juga terhadap kita"
"Belum tentu" jawab kawannya "mungkin demikian.
Tetapi kemungkinan yang lain adalah, mereka anak-anak
muda yang sangat sombong"
Kawannya tidak menjawab. Tetapi Mahisa Murti
mendengar desah nafas panjang. Kemudian keduanyapun
telati meninggalkan pintu yang masih saja terbuka itu.
Sepeninggal mereka, maka Mahisa Murti menarik nafas
dalam-dalam. Agaknya ia berhasil mengelabuhi kedua
murid Ki Sarpa Kuning itu. Namun Mahisa Murtipun
sadar, bahwa ia tidak akan dapat mengelabuinya untuk
selanjutnya tanpa kemungkinan untuk diketahui.
Namun kedua anak muda itu memang sudah bertekad.
Karena itu, apapun yang akan terjadi, akan mereka hadapi
dengan tabah. Apalagi mereka telah memakai cincin dan
gelang yang akan dapat membebaskan mereka dari
ketajaman racun para pengikut Ki Sarpa Kuning.
Dalam pada itu, ternyata keduanya mendapat
kesempatan yang cukup untuk beristirahat tanpa diganggu
oleh siapapun. Meskipun Mahisa Murti tetap tidak tertidur,
namun iapun merasakan bahwa istirahatnya itu dapat
menyegarkan tubuhnya. Bagaimanapun juga, ia telah
mengerahkan tenaganya saat-saat ia berkelahi melawan
orang-orang yang disebut murid-murid dari Gemulung.
Namun Mahisa Murtipun kemudian tidak membiarkan
dirinya berbaring diam di amben yang besar itu. Justru
karena tidak seorangpun yang mengganggunya, Mahisa
Murti merasa aneh. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murtipun telah bangkit
dan duduk di bibir pembaringan. Derit amben itu telah
membangunkan Mahisa Pukat, sehingga iapun duduk pula
di sebelah Mahisa Murti. "Kau tidur nyenyak" desis Mahisa Murti.
"Tubuhku menjadi segar. He, apakah kau akan tidur
sekarang. Biarlah aku menungguimu" berkata Mahisa
Pukat. Tetapi Mahisa Murti menggeleng. Katanya "Kita sudah
terlalu lama beristirahat tanpa diusik sama sekali. Sebentar
lagi senja akan turun. Biarlah kita keluar dan melihat-lihat
keadaan di sekeliling gubug yang disebutnya sebagai satu
pesanggrahan ini" Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun iapun
kemudian bangkit sambil membenahi diri. Katanya "Rasarasanya
hari berjalan dengan cepat"
"Tetapi mungkin kerimbunan hutan membuat hari terasa
sangat cepat. Marilah kita melihat. Jika kita melihat
matahari, kita akan dapat mengira-ngirakan waktu" jawab
Mahisa Murti. "Tetapi kitapun kehilangan kiblat. Mungkin kita akan
salah hitung mengetahui kiblat" jawab Mahisa Pukat.
"Kita tunggu matahari mendekati terbenam. Kita akan
mengetahui arah Barat. Kita dapat mengira-ngirakan
disebelah mana matahari bergeser sekarang ini. Kita tahu
musim dan kitapun akan dapat mengetahui disaat matahari
terbit, arah yang pasti" jawab Mahisa Murti pula.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan demikian,
mereka akan (dapat mengetahui arah, dan membuat
perhitungan-perhitungan tertentu yang dalam keadaan yang
memaksa akan dapat dipergunakan untuk melindungi diri
mereka. Dengan demikian, maka kedua orang anak muda itupun
membenahi diri. Mereka belum tahu dimana mereka
mendapatkan air. Mungkin sebuah belik yang tidak terlalu
jauh, atau dengan cara-cara yang lain. Dan merekapun
belum tahu. apakah dimalam itu mereka akan mendapatkan
makanan. Ketika mereka berdiri di depan pintu yang masih saja
terbuka itu, mereka sudah tidak melihat lagi kedua orang
murid Ki Sarpa Kuning di tempatnya.
Namun, merekapun berpaling ketika tiba-tiba saja
mereka mendengar suara tertawa.
Kedua anak muda itu menjadi berdebar-debar. Mereka
melihat Ki Sarpa Kuning dengan ketiga muridnya berjalan
menuju kearah mereka dari sisi.
Meskipun kedua anak muda itu telah bersiap-siap,
namun mereka sama sekali tidak menunjukkan kecurigaan
apa-apa. Keduanya justru melangkah keluar dan berdiri


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

termangu-mangu di serambi yang rendah.
Dengan wajah cerah, Ki Sarpa Kuningpun kemudian
berhenti beberapa langkah dari Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Katanya "Kita sudah akan mulai. Menurut
perhitunganku, kita tidak akan memerlukan waktu yang
lama untuk menyelesaikannya. Kemudian tugas kita yang
sebenarnya akan mulai. Hutan di lereng bukit ini akan
menjadi hak kita. Kita akan dapat berbuat apa saja.
Membiarkan hutan ini menjadi semakin lebat, atau
menjadikan tanah ini tanah pertanian yang subur"
Mahisa Murti hampir saja membantah. Namun ternyata
ia masih mampu menahan diri, sehingga niatnya telah
diurungkannya. Namun ia sadar sepenuhnya, bahwa yang
akan terjadi adalah, hutan itu akan dibuat menjadi gundul
seperti yang akan terjadi dimana-mana. Sama sekali tidak
untuk dijadikan tanah pertanian seperti yang dikatakannya.
"Orang itu memang bodoh" berkata Gajah Wareng
"dalam keadaan yang tidak ada pilihan itu, ia masih
bertanya, kenapa kita memilih hutan-hutan di lereng
pegunungan, sedangkan ada hutan di tanah ngarai yang
datar" Ki Sarpa Kuning tertawa. Katanya "Mereka memang
dungu. Tetapi untunglah bagi kita, bahwa mereka tidak
mengetahui makna dari keinginan kita"
"Seandainya orang itu mengetahui, apakah ia akan
berani menolaknya?" bertanya Gajah Wareng.
"Kita tidak ingin bertengkar dengan orang-orang
Kabuyutan itu. Bukan karena kita takut, tetapi kita tidak
mau terganggu apabila kita sudah mulai dengan kerja kita
yang sebenarnya" jawab Ki Sarpa Kuning "yang terjadi
sekarang ini sebenarnya tidak lebih dari sekedar persiapan.
Baru kemudian kita akan melakukan tugas kita yang
sebenarnya" Ki Sarpa Kuning berhenti sejenak, lalu katanya
"Nah, anak-anak. Bersiaplah. Kalian akan mendapat tugas.
Disamping tugas-tugas itu, kalian adalah murid muridku
yang berhak menerima bimbingan dan pembinaan bagi
kemajuan ilmu kalian. Namun karena kalian sudah
memiliki dasar ilmu, maka yang ingin kami lihat duhulu
adalah kesediaanmu untuk mentaati paugeran perguruan
ini. Aku ingin kalian menunjukkan bukti kerja yang berarti
bagi perguruan ini" "Apakah yang harus kami lakukan?" bertanya Mahisa
Murti. "Bersiap-siap sajalah. Mungkin kita akan menunjukkan
kepada salah satu pihak di Kabuyutan itu, bahwa kehendak
kita tidak dapat di cegah oleh siapapun juga"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mendesaknya
lagi. Tetapi mereka sudah mengerti, bahwa pada suatu saat
mereka harus melakukan tugas khusus di Kabuyutan yang
telah kehilangan pemimpinnya itu. Bersama dengan muridmurid
Ki Sarpa Kuning yang lain, mereka akan menakutnakuti
penduduk yang berpihak kepada menantu Ki Buyut
yang sudah tidak ada lagi itu, agar mereka tunduk kepada
sikap saudara sepupu Ki Buyut yang juga menginginkan
kedudukan tertinggi di Kabuyutan itu.
Namun dengan demikian, telah timbul satu pertentangan
di hati kedua orang anak muda itu. Apakah mereka akan
tetap berada diantara murid-murid Ki Sarpa Kuning jika
mereka harus ikut memaksakan kehendak orang itu
terhadap penduduk padukuhan. Penduduk yang sebagian
besar berpihak kepada menantu Ki Buyut, namun yang
sayangnya lemah hati. Sementara hanya sebagian kecil saja
dari penduduk Kabuyutan itu yang berpihak kepada sudara
sepupu Ki Buyut. Tetapi kedua orang anak muda itu masih belum
mendapat kesempatan untuk berbicara diantara mereka.
Apalagi ketika kemudian Ki Sarpa Kuning mengajak muridmuridnya
untuk masuk ke dalam gubugnya.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat berkata "Aku belum
mandi. Tetapi aku tidak tahu, dimana aku harus mandi"
Ki Sarpa Kuning mengerutkan keningnya. Namun
masalahnya memang sederhana. Karena itu, maka katanya
kepada salah seorang muridnya "Tunjukkan belik di bawah
pohon kemuning itu" "Apakah disini tidak ada semacam sungai atau parit?"
bertanya Mahisa Pukat. Ki Sarpa Kuning tiba-tiba tertawa. Katanya "Belik itu
cukup besar. Karena itu, maka dibawah belik itu mengalir
sebuah parit yang cukup deras"
Seorang dari murid Ki Sarpa Kuning itupun kemudian
mengantar kedua anak muda itu pergi ke belik. Murid yang
menurut penilaian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat agak
lebih lunak dari murid-murid yang lain. Orang Itu
nampaknya tidak seganas Gajah Wareng dan orang
berkumis lebat itu. Meskipun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
bertindak cukup hati-hati. Bahkan justru orang-orang yang
demikian itulah yang mungkin akan dapat mencelakai
mereka. Karena itu, selama mereka menuju ke belik yang berada
di bawah pohon kemuning itu, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat sama sekali tidak berbicara apapun juga, sementara
orang yang menyertainya itupun tidak bertanya apapun
juga. Namun ketika mereka sudah berada di belik, maka
Mahisa Murtipun berkata "Terima kasih Ki Sanak. Kami
akan mandi sejenak. Jika Ki Sanak akan mendahului kami,
kami persilahkan" Orang itu termangu-mangu sejenak Namun kemudian
iapun menjawab "Aku tidak tergesa-gesa. Silahkan mandi.
Akupun akan mandi" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Namun mereka tidak dapat mengusir orang itu
agar mereka mendapat kesempatan untuk membicarakan
langkah-langkah mereka berikutnya"
Namun pada satu kesempatan Mahisa Murti sempat
berbisik "Orang itu mendapat tugas untuk mengawasi kita"
"Jika kita miu kita akan dapat menyingkirkannya" jawab
Mahisa Pukat. "Itu tidak mungkin. Kita harus mempertanggungjawahkannya
jika orang itu tidak kembali ke pasanggrahan"
berkata Mahisa Murti selanjutnya.
Namun Mahisa Pukat menjawab "Kau juga
menyebutnya pesanggrahan?"
Mahisa Murti tersenyum. Katanya "Tidak ada sebut lain
yang lebih sesuai dari sebutan itu"
Mahisa Pukatpun tersenyum pula. Namun mereka tidak
dapat berbicara lebih banyak lagi, karena orang yang
menunjukkan jalan kepada mereka itupun mendekat.
Namun adalah tiba-tiba saja Mahisa Pukat bertanya
kepada orang itu "Ki Sanak. Kenapa gubug itu kalian sebut
pesanggrahan?" Orang itu mengerutkan keningnya. Namun adalah diluar
dugaan bahwa orang itupun kemudian tertawa. Katanya
"Itu adalah satu sebutan yang paling menggelitik hati.
Tetapi demikianlah yang dikehendaki oleh guru. Dan kita
semuapun mengatakannya demikian pula"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling herpandangan
sejenak. Namun merekapun akhirnya tertawa juga.
"Agaknya Ki Sarpa Kuning juga termasuk orang yang
mempunyai selera Jenaka" berkata Mahisa Pukat.
"Ya" jawab orang itu "tetapi dalam keadaan yang lain,
maka ia bersikap lain pula. Sebagaimana ia tertawa dalam
gurau yang Jenaka, maka demikian pula dilakukannya saat
ia menusukkan senjatanya ke lambung korbannya"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun mengerutkan
keningnya. Namun kemudian katanya "Tetapi sikapnya
tidak menunjukkan kegarangannya"
"Sudah aku katakan. Ia memang tidak melakukannya
dengan garang. Tetapi dilakukannya sambil tertawa" jawab
orang itu. Namun kemudian "Tetapi itu tidak berarti bahwa
guru tidak dapat bersikap garang. Pada suatu saat guru
adalah orang yang paling garang yang pernah aku lihat"
"Apakah Ki Sarpa Kuning membunuh kedua muridnya
sambil tertawa pula?" bertanya Mahisa Murti tiba-tiba.
"Dan mana kau tahu?" bertanya orang itu.
"Ki Sarpa Knning sendiri mengatakannya, bahwa ia
telah membunuh dua orang muridnya karena mereka telah
melakukan satu kesalahan yang besar" jawab Mahisa
Murti. Wajah orang itu menjadi tegang. Namun sekilas
kemudian, kesan itu telah ditekannya dalam-dalam ke
dalam dadanya, sehingga seolah-olah ia tidak mengalami
satu sentuhan perasaan. Namun yang sekilas itu telah dapat ditangkap oleh
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, meskipun langit menjadi
semakin suram dan wajah orang itupun menjadi semakin
kabur. Tiba-tiba saja orang itu berkata "Cepat. Jika kalian mau
mandi, mandilah. Aku juga akan mandi"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mendesak lagi.
Merekapun kemudian mandi di belik dibawah pohon
kemuning tua yang besar. Sementara itu. maka gelappun
mulai menjamah hutan itu.
Demikian mereka selesai mandi, maka murid Ki Sarpa
Kuning itupun berkata "Kita sudah selesai. Kita harus
segera kembali" "Aku mengerti, bahwa kita harus kembali. Tetapi kenapa
segera?" bertanya Mahisa Pukat
Wajah orang itu menegang. Namun hanya sejenak. Ia
berusaha sebagaimana selalu dilakukan untuk menekan
perasaannya. "Kita mempunyai banyak tugas" jawab orang itu "kita
bukan orang-orang malas"
Mahisa Pukatpun tidak mendesaknya lagi. Namun yang
tiba-tiba bertanya tentang sesuatu yang paling dibenci oleh
orang itu adalah Mahisa Murti "Ki Sanak. Apakah memang
benar, bahwa dua orang murid Ki Sarpa Kuning yang
dibunuh itu mendapatkan hukuman mati secara wajar.
Maksudku, apakah kesalahannya cukup besar untuk
dibunuh oleh gurunya sendiri"
"Cukup" tiba-tiba orang itu membentak "jangan
persoalkan lagi hukuman itu"
"Ki Sanak sudah lama berada dilingkungan perguruan
Ki Sarpa Kuning" jawab Mahisa Murti "aku tidak
mempunyai niat apapun juga, kecuali sekedar bertanya,
apakah sudah sepantasnya kedua orang murid itu dihukum
mati. Dengan demikian aku ingin mengerti, batas-batas
yang paling jauh dari tingkah laku murid-murid Ki Sarpa
Kuning. Karena aku adalah orang baru, maka aku tidak
ingin terjerumus ke dalam kesalahan yang akan dapat
menjerat leherku" Orang itu tidak segera menjawab. Tetapi ketegangan itu
kembali mencengkamnya. Namun yang terdengar adalah
geramnya "Sekali lagi aku peringatkan, jangan persoalkan
lagi kematian kedua orang murid Ki Sarpa Kuning itu"
"Kami tidak mempersoalkan kematiannya" sahut
Mahisa Pukat "tetapi bingkai yang harus kami ketahui, agar
kami tidak salah langkah keluar dari bingkai itu sehingga
kami mengalami nasib yang buruk diluar kesadaran kami,
bahwa kami telah melakukan kesalahan"
Orang itu menggertakkan giginya. Namun dengan
demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengetahui,
bahwa sesuatu tengah bergejolak di dalam hati orang itu.
Tentu ada hubungannya dengan peristiwa kematian dua
orang murid yang dianggap bersalah itu.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun
berusaha untuk menyudutkan orang itu sehingga pada suatu
saat orang itu akan mengatakan sesuatu yang mungkin
berarti bagi keduanya. Karena itu, maka Mahisa Murtipun berkata "Baiklah.
Marilah kita kembali. Tetapi jika kau berniat untuk berbaik
hati, kau tentu akan mengatakan sesuatu tentang kematian
kedua orang itu, agar aku tidak mengalami nasib serupa"
"Peristiwa itu memang merupakan satu hal yang sangat
menggelitik hati kami. Bahkan terasa mengerikan" berkata
Mahisa Pukat pula. Orang itu menggeram. Tetapi ternyata dadanya telah
menjadi penuh oleh gejolak perasaannya, sehingga hampir
diluar sadarnya ia bergumam "Peristiwa yang sangat aku
sesalkan" "Tentu semua murid Ki Sarpa Kuning menyesali
peristiwa itu. Ki Sarpa Kuningpun menyesali pula, justru
karena kedua muridnya telah melanggar paugerannya"
berkata Mahisa Murti. "Keduanya memang bersalah" jawab orang itu "tetapi
hukuman mati itu bukan karena kesalahan keduanya.
Tetapi karena keduanya jatuh ke tangan orang-orang
Singasari. Guru tidak berusaha untuk membebaskannya,
tetapi guru telah membunuhnya"
"Maksud Ki Sarpa Kuning tentu wajar sekali, agar kedua
orang itu tidak.akan dapat membuka rahasia. Tetapi jika
keduanya tidak melakukan satu kesalahan, maka keduanya
tidak akan ditangkap oleh orang-orang Singasari" potong
Mahisa Pukat. "Ternyata kau sudah tahu segala-galanya. Kenapa kau
bertanya?" desis orang itu.
"AKu baru mendengar dari Ki Sarpa Kuning" jawab
Mahisa Pukat "tetapi apakah memang sebenarnya
demikian, atau oleh hal-hal lain yang sebenarnya dilakukan
oleh kedua orang itu?"
"Tidak ada hal-hal lain" jawab murid Ki Sarpa Kuning
itu "tetapi sebenarnya guru dapat menempuh cara lain. Ia
tidak membunuh kedua muridnya, tetapi membebaskannya
dari tangan-tangan orang Singasari itu"
"Tetapi yang dilakukan tidak demikian" sela Mahisa
Murti "Ki Sarpa Kuning telah membunuh mereka"
"Itulah yang gila. Salah seorang dari kedua orang yang
terbunuh itu adalah adikku" suara orang itu hampir hilang
ditelannya sendiri.

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Rahasia itulah yang ternyata tersimpan di. dalam
dada orang itu. Salah seorang murid Ki Sarpa Kuning yang
terbunuh itu adalah adiknya.
Karena itulah, maka meskipun hanya sekilas, terbayang
dendam di wajah murid Ki Sarpa Kuning itu. Sehingga ia
betapapun kecilnya, akan dapat menjadi benih yang akan
dapat tumbuh dan menjadi satu sikap yang dapat
menyulitkan kedudukan Ki Sarpa Kuning sendiri.
Dalam pada itu, rasa penyesalan dihati murid Ki Sarpa
Kuning itu, justru ia sudah mengatakan bahwa yang
terbunuh itu adalah adiknya. Namun ia tidak akan dapat
menahan deru angin prahara yang bergejolak di dalam
dadanya. Tetapi rahasia itu sudah dikatakannya. Sementara itu
gelappun menjadi semakin pekat. Murid Ki Sarpa Kuning
itupun kem udian berkata "Marilah. Kita sudah pergi terlalu
lama" ia berhenti sejenak, lalu "tetapi jangan menyebut
kematian kedua murid yang terbunuh itu lagi dihadapan Ki
Sarpa Kuning. Menyangkut atau tidak menyangkut adikku
yang terbunuh itu. Jika hal itu kalian lakukan, maka aku
mempunyai kesempatan untuk berbuat banyak atas kalian
berdua" Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun menganggukangguk.
Bagi mereka sikap murid Ki Sarpa Kuning itu
merupakan pertanda baik. Jika mereka dengan tepat dapat
menanggapi api dendam yang menyala di hati orang itu,
maka mereka akan dapat memanfaatkannya untuk
kepentingan tertentu. Namun sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
sama sekali tidak menyahut lagi. Merekapun kemudian
menyusuri jalan sempit menuju kembali ke gubug yang
disebut Pasanggrahan itu.
Ketika mereka memasuki ruang dalam gubug itu, maka
sebuah lampu minyak telah terpasang. Diamben yang besar
itu masih berserakan mangkuk, cething dan tenong berisi
nasi dan lauk-pauknya. Ki Sarpa Kuning yang duduk di sudut amben itu
memandang mereka bertiga yang memasuki ruang itu
sekilas. Tetapi iapun kemudian tidak menghiraukannya
lagi. Sementara orang berkumis lebat itu berkata "Aku kira
kalian akan bermalam di belik itu. He, bukankah kalian
belum makan?" "Belum" jawab murid Ki Sarpa Kuning yang mengantar
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ke balik dibawah pohon
kemuning tua yang besar itu "Kami baru selesai mandi"
"Makanlah" berkata orang berkumis itu lagi.
Murid Ki Sarpa Kuning yang pernah kehilangan muridnya
itupun kemudian duduk di sebelah cething yang berisi nasi
itu sambil berkata kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
"Makanlah, mumpung kalian masih mempunyai
kesempatan" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan
keningnya. Namun orang itu kemudian melanjutkan "Jika
tenang ini sudah disingkirkan, maka kesempatan tinggal
mencuci mangkuk itu saja"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Namun keduanyapun telah ikut pula bersama orang
yang kehilangan adiknya itu makan di amben besar, satusatunya
perabot rumah yang lebih tepat disebut gubug itu.
Meskipun gubug yang agak besar.
Dalam pada itu, maka seperti yang dikatakan
sebelumnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mendapatkan tempat di tengah-tengah am ben besar itu.
Namun ketika Ki Sarpa Kuning dan murid-muridnya
yang lain telah berbaring di amben itu, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat masih saja duduk di bibir amben itu sambil
bersandar tiang. "Kalian tidak tidur?" bertanya orang berkumis lebat.
"Siang tadi kami tidur nyenyak" jawab Mahisa Murti
"karena itu, sekarang aku tidak mengantuk"
"Terserahlah" berkata Ki Sarpa Kuning kemudian "aku
akan tidur. Besok aku mempunyai tugas yang penting"
Gajah Warengpun berusaha untuk segera dapat tidur.
Sementara itu, maka Mahisa Murti dan mahisa Pukat
masih saja duduk sambil berdiam diri. Meskipun orangorang
itu nampaknya sudah tertidur nyenyak, namun
mungkin sekali mereka akan mendengar segala
pembicaraan. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu
tidak berani beranjak dari tempatnya, apalagi membuka
pintu dan pergi keluar gubug itu.
Malam terasa menjadi semakin dingin. Sementara itu,
nyamukpun berterbangan mengerumuni orang-orang yang
berada di dalam gubug itu. Tetapi keempat orang yang
tertidur itu, seakan-akan tidak menghiraukan beberapa ekor
nyamuk yang melekat ditubuh dan menghisap darah
mereka. Dengan isyarat Mahisa Pukat mempersilahkan Mahisa
Murti untuk tidur. Disiang hari, Mahisa Murti tidak tidur
sama sekali, sementara Mahisa Pukat sempat tidur beberapa
lamanya. Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun iapun
kemudian bergeser dan menempatkan diri diantara keempat
orang yang telah berbaring lebih dahulu.
Dalam pada itu, tinggal Mahisa Pukat sajalah yang
duduk bersandar tiang. Namun agaknya ia memang merasa
perlu untuk tetap mengamati keadaan.
Tetapi ternyata tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan.
Keempat orang penghuni gubug itu benar-benar telah
tertidur nyenyak. Sehingga akhirnya, Mahisa Pukatpun
telah ikut serta berbering disisi Mahisa Murti, meskipun
seperti yang sudah mereka sepakati, bahwa mereka akan
tidur bergantian. Karena itu, meskipun Mahisa Pukat juga berbaring disisi
Mahisa Murti, tetapi ia tidak memejamkan matanya. Ia
bertahan untuk pada saatnya lewat tengah malam, ia akan
membangunkan Mahisa Murti.
Dalam pada itu, malampun menjadi semakin dalam.
Udara menjadi semakin dingin. Sementara itu suara kehidupan
malam di hutan terdengar ngelangut.
Bagaimanapun juga mata Mahisa Pukat kemudian
diganggu pula oleh perasaan kantuk, namun ia berusaha
untuk bertahan. Oleh latihan yang berat dan kebiasaannya
yang telah menempanya, maka Mahisa Pukat berhasil
mengatasi perasaannya dan tetap sampai lewat tengah
malam, meskipun ia juga tetap berbaring disisi Mahisa
Murti. Baru setelah ia yakin, tengah malam telah lewat, maka
menjelang ujung malam, ia telah menyentuh Mahisa Murti
beberapa kali, sehingga Mahisa Murtilah yang kemudian
terbangun. Mahisa Murti tidak saja membuka matanya sambil
berbaring. Tetapi iapun kemudian bangkit duduk sambil
menggosok matanya. Sejenak Mahisa Murti duduk mengusir kantuknya yang
masih tersisa. Bahkan kemudian ia telah mengguncang
tubuh Mahisa Pukat sambil berdisis "Kau tidak akan
keluar" Mahisa Pukat yang kurang tahu maksudnya justru termangu-
mangu. Namun Mahisa Murti mengulang tanpa
ragu-ragu "Kau pergi keluar tidak?"
"Untuk apa?"Mahisa Pukat yang kurang mengerti
maksudnya justru bertanya.
"Kalau kau tidak ingin keluar, antar aku keluar" berkata
Mahisa Murti. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Baru ia
mengerti maksud Mahisa Murti. Karena itu, maka iapun
kemudian bangkit sambil berdesis "Kau tidak berani keluar
sendiri?" "Gelap sekali. Aku beium mengenal daerah ini" jawab
Mahisa Murti. "Kau kira aku sudah mengenalnya?" jawab Mahisa
Pukat. "Kita sama-sama belum mengenal. berkata Mahisa
Murti kemudian "karena itu, marilah, kita berdua keluar
sebentar" Sebelum Mahisa Pukat menjawab, Gajah Wareng yang
menggeliat bergumam "Penakut. Pergilah berdua. Jangan
mengganggu orang tidur"
Kedua orang anak muda itupun kemudian turun dari
pembaringan dan melangkah ke pintu.
Tetapi langkah mereka tertegun ketika mereka
mendengar Ki Sarpa Kuning tertawa. Katanya "Gajah
Wareng, kau sangka keduanya benar-benar takut?" Aku
juga merasa terganggu oleh sikap mereka. Tetapi mereka
sama sekali tidak didorong oleh perasaan takut meskipun
agaknya mereka mempergunakan alasan itu. Tetapi
agaknya mereka ingin melepaskan ketegangan karena
mereka berada diantara kita hampir semalam suntuk"
"O" Gajah Warengpun justru bangkit. Tetapi Ki Sarpa
Kuning berkata "Biarkan saja"
Gajah Warengpun kembali berbaring, sementara Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat meneruskan langkah kepintu.
Perlahan-lahan mereka membuka selarak pintu dan
mendorongnya hingga terbuka.
"Persetan" Mahisa Murti bergumam "orang itu mengerti
niat kita" "Jangan pedulikan" jawab Mahisa Pukat" Mahisa
Murtipun tidak menjawab lagi. Tetapi keduanyapun
kemudian telah berada diluar gubug yang pengab dan
seolah-olah tidak berudara lagi itu.
Diluar terasa udara menjadi segar meskipun dingin.
Keduanya sempat menggeliat dan mengendorkan
ketegangan. Sebenarnyalah mereka merasa tegang tidur
diantara orang-orang yang belum banyak mereka kenal, dan
bahkan menyimpan kemungkinan-kemungkinan yang tidak
diharapkan. Kedua anak muda itu berada diluar gubug itu untuk
beberapa lama. Mereka menghirup udara dan menggeliat
sambil menguap. Namun tiba-tiba terasa sesuatu telah
mengenai tubuh mereka. Tidak hanya sekali dua kaii.
Tetapi beberapa kali. Keduanya menjadi curiga. Akhirnya keduanya
menyadari, bahwa mereka telah dikenai dengan kerikilkerikil
kecil yang dilontarkan dari dalam gelapnya hutan.
Kedua anak muda itu saling berpandangan. Namun
keduanya tidak segera dapat mengambil satu kesimpulan.
Bahkan Mahisa Pukat yang kemudian mendekati Mahisa
Murti berdesis "Kau merasakan sesuatu?"
"Ya, sentuhan kerikil-kerikil yang tentu sengaja
dilemparkan oleh seseorang" jawab Mahisa Murti sambil
berbisik. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
mengatakan sesuatu. Dengan cermat kedua anak muda itu
berusaha untuk mengetahui, dari arah manakah kerikilkerikil
itu dilontarkan. Ternyata mereka masih merasakannya. Kerikil-kerikil itu
masih menyentuhnya. Tidak terlalu keras, tetapi cukup
menggelitik keduanya. "Apakah kita akan mencarinya?" bertanya Mahisa
Pukat. "Aku menjadi bimbang" jawab Mahisa Murti "aku
sebenarnya ingin mengetahui, siapakah yang telah
melemparkan kerikil-kerikil itu. Tetapi jika kita terlalu lama
berada diluar, apakah orang-orang di dalam gubug itu tidak
menjadi curiga" "Tetapi agaknya kita tidak perlu terlalu lama mencari"
jawab Mahisa Pukat "orang itu agaknya memang
memanggil kita. Lemparan-Iemparan kerikil ini terasa
maksudnya" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja ragu-ragu.
Namun merekapun sadar, bahwa orang itu tentu memiliki
ilmu yang jauh lebih baik dari ilmu kedua orang anak muda
itu. "Seandainya orang itu berniat buruk, maka lontaran
pisau akan dapat membunuh kita berdua" desis Mahisa
Pukat. Mahisa Murti mengangguk-angguk. Jawabnya "Ya Aku
mengerti. Tetapi bagaimana dengan orang-orang di dalam
gubug itu?" "Kita hanya memerlukan waktu sedikit saja. Jika kita
tidak segera menemukannya, kita akan segera kembali"
berkata Mahisa Pukat. Mahisa Murti masih bimbang. Namun terasa kerikil itti
menjadi semakin sering menyentuhnya. Sehingga karena
itu, maka katanya "Baiklah. Kita pergi ke kegelapan itu
sejenak. Tetapi hati-hatilah. Mungkin kita telah dijebak"
Keduanyapun kemudian begerak mendekati bayangan
gerumbul yang sangat pekat. Mereka menganggap bahwa
lontaran-lontaran kerikil itu datang dari tempat itu.
Beberapa saat kemudian, selagi keduanya masih belum
terbenam dalam kekelaman bayangan rimbunnya gerumbul-
gerumbul itu, terdengar suara "Cukup dekat. Jangan
maju lagi. Kau diawasi oleh seseorang dari pintu gubuk itu"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berpaling diluar sadar
mereka. Sebenarnyalah, mereka melihat bayangan lampu
minyak yang bergerak. Agaknya memang ada seseorang
yang mengamatinya dari dalam rumah gubug yang disebut
pesanggrahan itu. "Berdiri sajalah disitu. Orang yang mengawasimu itu
tidak akan melihat dengan jelas, apa yang kau lakukan"
berkata suara itu "Asal kau masih dapat dilihatnya dari
tempatnya, itu sudah cukup"
"Siapa kau" desis Mahisa Murti.
"Kau tentu tidak mengenal aku, karena aku
bersembunyi" jawab suara itu. Lalu "Tetapi apakah kau
masih ingat dengan seorang petani yang bernama Waruju?"
"O, kau?" desis Mahisa Pukat.
"Ya. Aku Ki Waruju" jawab suara itu "hampir aku
kehilangan kesabaran untuk menemuimu malam ini. Tetapi


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku-memang sengaja mengawasimu. Mungkin kau
menemui kesulitan berada di dalam lingkungan orang-orang
itu. Tetapi agaknya hari pertama ini kau tidak mengalami
kesulitan apa-apa. Bukankah begitu?"
"Ya Ki Waruju" jawab Mahisa Murti "hari ini kami
tidak mengalami kesulitan"
"Bagus. Agaknya harapanku itu benar-benar terjadi.
Meskipun demikian aku tidak sampai hati membiarkan
kalian berdua mengatasi sendiri apabila kalian mendapat
perlakuan yang tidak wajar dari Ki Sarpa Kuning" berkata
Ki Waruju "sokurlah Sekarang kembalilah ke pesanggrahan
itu. Aku akan berusaha untuk dapat selalu mengamatimu.
Tetapi mungkin kalian pada saat-saat tertentu lepas dari
pengamatanku karena aku sedang berada di sawah. Karena
itu, kalian harus selalu berhati-hati"
"Baik. Aku akan selalu mengingat pesan Ki Waruju"
jawab Mahisa Murti. "Pertemuan kita kali ini sudah cukup. Aku tidak
mempunyai kepentingan khusus. Tetapi jangan terlalu
tergantung kepada kehadiranku. Jika kalian membuat
perhitungan sesuatu, anggap bahwa aku tidak ada" berkata
Ki Waruju "dengan demikian maka segala perhitungan
tergantung kepada kekuatan kalian sendiri"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk,
sementara Ki Waruju itu berkata selanjutnya "Meskipun
demikian, aku berusaha untuk selalu dekat dengan kalian.
Hanya disiang hari aku tidak akan dapat terlalu dekat"
"Terima kasih jawab Ki Waruju "Kami mengerti
maksud Ki Waruju" "Nah, kembalilah. Agar kalian tidak dkurigai oleh orangorang
dalam gubug itu" berkata Ki Waruju selanjutnya"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian
melangkah surut. Mereka sadar, bahwa orang-orang di
dalam gubug itu memang berusaha untuk mengamatinya,
meskipun tidak semata-mata. Karena itu, maka Mahisa
Murti dan Mahisa Pukatpun dengan sengaja telah berhenti
pula di halaman yang tidak terlalu kelam oleh dedaunan
yang padat. Mereka berbincang tentang apa saja dan seolaholah
mereka benar-benar sedang melepaskan ketegangan
tanpa maksud apa-apa. Orang yang berada di dalam gubug itu melihat dalam
gelapnya malam bayangan keduanya. Tetapi mereka
memang tidak tahu dengan pasti, apa yang telah dilakukan
oleh kedua anak muda itu. Bahkan mereka mendengar
suaranya, tetapi tidak jelas apa yang di bicarakannya.
Ki Sarpa Kuning sendiri adalah orang yang memiliki
ilmu yang tinggi. Ia memiliki ketajaman penglihatan
melampaui murid-muridnya. Tetapi Ki Sarpa Kuning
itupun tidak melihat apa yang dilakukan oleh Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Namun nampaknya keduanya tidak
melakukan sesuatu yang berbahaya. Meskipun demikian,
akhirnya Ki Sarpa Kuning itu berkata "Cepat sedikit. Apa
saja yang kalian lakukan" Pintu yang terbuka itu membuat
udara sangat dingin"
"Silahkan pintunya ditutup saja" jawab Mahisa Murti.
Tetapi Ki Sarpa Kuning berkata "Cepat. Masuklah.
Jangan menjawab lagi"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak membantah lagi.
Merekapun kemudian melangkah kepintu yang masih
sedikit terbuka itu. Demikian mereka berada di dalam.
maka mereka telah menutup pintu rapat-rapat dan
menyelaraknya. Sehingga Ki Sarpa Kuning berdesis "Nah,
bukankah dengan demikian udara terasa hangat?"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab lagi.
Tetapi mereka tidak segera berbaring di tempatnya.
Keduanya masih saja duduk di bibir pembaringan untuk
beberapa saat. Namun sementara itu, tidak ada lagi orang
yang menghiraukan mereka, sehingga akhirnya
keduanyapun telah berbaring pula di tempat mereka
semula. Meskipun demikian, Mahisa Murti benar-benar tidak
tertidur lagi sebagaimana disepakati bersama dengan
Mahisa Pukat. Meskipun Mahisa Murti seolah-olah telah
tertidur pula seperti Mahisa Pukat, namun sebenarnyalah ia
berjaga-jaga dengan hati-hati.
Namun dalam pada itu, sama sekali tidak terjadi sesuatu
atas kedua anak muda itu. Ki Sarpa Kuning dan ketiga
orang muridnya sama sekali tidak berbuat sesuatu. Mereka
membiarkan saja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tetap
berbaring ketika mereka terbangun dan keluar dari gubug
mereka. Bahkan seorang diantara murid-murid Ki Sarpa
Kuning itu telah menjerang air dan menanak nasi.
Tetapi justru karena itu, kedua anak muda itu menjadi
curiga. Dalam pada itu, ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
akhirnya bangkit juga dari pembaringan mereka, dan selagi
keduanya keluar dari pintu gubug itu, maka orang
berkumis, salah seorang murid Ki Sarpa Kuning itupun
berkata "Nah, kau sudah cukup tidur. Makan telah tersedia.
Karena itu, makanlah"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Namun Mahisa Murti telah menjawab "Tetapi kami belum
mandi" Orang berkumis itu menggeram. Namun Gajah
Warenglah yang kemudian berkata "Mandilah, dan
makanlah. Jangan menunggu kami menjadi muak"
Rasa-rasanya ada sesuatu yang akan terjadi. Namun
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja berusaha untuk
tidak memberikan kesan apapun juga.
Bahkan Mahisa Pukatpun berkata seolah-olah tidak
merasakan sesuatu atas sikap murid-murid Ki Sarpa Kuning
itu "Baiklah. Kami akan mandi dahulu di belik itu"
"Cepat" bentak Gajah Wareng "aku tidak sabar lagi
menunggu" Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun telah melangkah.
Tetapi Gajah Wareng berkata kepada kawannya yang
kemarin mengantarkan kedua anak muda itu "Pergilah.
Kau juga belum mandi"
Orang itupun mengangguk kecil. Meskipun seakan-akan
dari sorot matanya terbaca gejolak perasaannya.
Ketiga orang itupun kemudian pergi ke belik untuk
mandi. Sementara itu, Mahisa Murti telah mencoba untuk
bertanya "Aku tidak mengerti sikap Ki Sarpa Kuning
dengan murid-muridnya. Mereka kadang-kadang nampak
ramah dan baik hati, tetapi kadang-kadang wajah mereka
menjadi seram dan menakutkan"
"Kau belum terbiasa dalam perguruan kami" jawab
orang itu. Lalu "Pada suatu saat kau akan terbiasa dengan
sifat-sifat mereka. Mereka dapat lunak seperti sutera. Tetapi
mereka kadang-kadang keras seperti batu hitam. Dan
kadang-kadang menjadi tajam setajam duri landak"
"Membingungkan. Apakah ketika kau memasuki
perguruan ini kau tidak menjadi bingung?" bertanya Mahisa
Pukat. "Aku membiasakan diri selama sepuluh bulan. Baru
kemudian aku menjadi biasa dan mengerti apa yang harus
aku lakukan. Pada saat yang demikian, baru terasa bahwa
tempat ini agak kurang sesuai dengan pribadiku. Tetapi aku
sudah terlambat. Aku tidak dapat keluar lagi dari tempat
ini" ia berhenti sejenak, lalu "Agak berbeda dengan adikku.
Ia justru merasa tempat ini adalah tempat yang paling
sesuai dengan dirinya"
"Apakah adikmu menyusul kemudian?" bertanya
Mahisa Murti. "Kami datang bersama-sama" jawab orang itu.
Kemudian "Tetapi ia pergi lebih dahulu justru ialah yang
menganggap tempat ini adalah tempat yang paling baik
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Keduanya semakin mengenal orang yang pendiam itu.
Orang yang lebih banyak berbuat- daripada berbicara.
Meskipun wajahnya nampak keras dan garang, namun
ternyata isi dadanya jauh lebih lunak dari wadagnya itu.
Justru karena ia merasa tersesat memasuki perguruan itu.
Dalam pada itu, Mahisa Pukatpun bertanya pula "Jika
kau merasa tidak sesuai dengan tempat ini, kenapa kau
tidak meninggalkannya?"
"Terlambat" jawab orang itu "sudah aku katakan, bahwa
ketika aku menyadari bahwa tempat ini kurang sesuai
bagiku, aku tidak mempunyai kesempatan lagi untuk pergi.
Kecuali jika aku memang sudah tidak ingin lagi hidup.
"Mereka mengancammu?" bertanya Mahisa Murti.
"Bagi perguruan ini, siapapun yang tidak lagi diperlukan,
maka mereka akan disingkirkan dalam arti yang
sebenarnya" jawab orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murtipun bertanya
"Kenapa mereka tergesa-gesa memaksa aku mandi dan
makan" Apakah ada tugas yang akan segera kita lakukan?"
"Ya. Kita akan pergi ke Kabuyutan dibawah" jawab
orang itu "tetapi apakah sebelumnya ada sesuatu yang
penting akan dilakukan oleh guru, aku tidak
mengetahuinya" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun mereka telah mendapat gambaran lebih banyak
tentang perguruan yang aneh itu, perguruan yang diliputi
oleh tajamnya racun dan bisa.
Beberapa saat lamanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mandi. Murid Ki Sarpa Kuning yang mengantarkan itupun
mandi pula, meskipun ia berkata "Aku tidak terbiasa mandi
sepagi ini. Aku mandi kapan saja aku mau. Kadang-kadang
sehari penuh aku tidak mandi. Tetapi kadang-kadang
sampai tiga kali atau lebih lagi"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi
dengan demikian mereka mendapat gambaran lebih banyak
lagi. Kehidupan di perguruan itu memang tidak teratur.
"Jangan terlalu lama" berkata murid Ki Sarpa Kuning itu
kemudian" kita tentu dan ditunggu"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itupun segera kembali
ke pesanggrahan bersama murid Ki Sarpa Kuning yang
menyertai mereka. Sebenarnyalah, mereka memang sudah ditunggu.
Dengan tergesa-gesa merekapun kemudian makan dan
minum. Namun sebelum mereka selesai, Ki Sarpa Kuning
telah memberikan penjelasan tentang rencananya hari itu.
"Kita akan pergi ke padukuhan diujung Kabuyutan itu"
berkata Ki Sarpa Kuning "hari ini kedua anak muda itu
belum sempat mendapat latihan-latihan dan pengenalan diri
mereka. Tetapi hal itu akan segera dilakukan. Meskipun
demikian, kalian telah terikat oleh paugeran ini"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Namun mereka mengangguk-angguk kecil. Bagaimanapun
juga, mereka harus menunjukkan, bahwa mereka akan
berusaha untuk menjadi murid yang baik.
Demikian mereka yang makan itu selesai, maka Ki Sarpa
Kuningpun berkata "Kita akanberangkat. Hari ini kita
berjanji untuk mengunjungi mereka. Padukuhan yang
memiliki penghuni paling baik dari seluruh Kabuyutan.
Mereka menghargai sikap yang wajar tanpa dibuat-buat.
Mereka menerima pemimpin yang paling baik yang akan
dapat membuat Kabuyutan mereka menjadi Kabuyutan
yang besar, subur dan sejahtera"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak bertanya apapun
juga. Tetapi ia dapat menghubungkan hal itu dengan
keterangan yang pernah mereka dengar di kedai, bahwa dua
padukuhan merupakan pengukung dari saudara sepupu Ki
Buyut yang sebenarnya tidak berhak untuk mewarisi
jabatan itu, karena Ki Buyut mempunyai seorang anak
perempuan. Namun sayang bahwa menantunya adalah
orang yang berhati lemah, sehingga ia hampir tidak pernah
berbuat sesuatu untuk mencepatkan jabatan tertinggi di
Kabuyutan itu. Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, Ki Sarpa
Kuning bersama dengan lima orang muridnya telah
meninggalkan pesanggrahannya dan melangkah menuju ke
Kabuyutan yang sedang bergejolak itu.
"Kita akan memiliki hutan-hutan di pegunungan ini"
berkata Ki Sarpa Kuning "hutan ini akan kita buka menjadi
tanah pertanian. Kita akan menebangi semua pepohonan
agar kita dapat memanfaatkan tanahnya?"
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, Ki Sarpa
Kuning bersama dengan lima orang muridnya telah
meninggalkan pesanggrahannya dan melangkah menuju ke
Kabuyutan yang sedang bergejolak.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan.
Namun mereka yakin bahwa Ki Sarpa Kuning tahu benar
akan ucapan-ucapannya. Ki Sarpa Kuning tentu tahu,
bahwa dengan menjadikan lereng pegunungan itu daerah
yang tidak berpohon, maka bencana akan menyerang
daerah subur yang memberikan alas persediaan makanan
bagi Singasari. Sawah dan ladang di setiap tahun akan
mengalami bencana. Banjir atau kekeringan.
Demikianlah, maka iring-iringan kecil itupun kemudian
menuruni lereng bukit dan keluar dari daerah berhutan yang
hijau rimbun. Perlahan-lahan mereka melangkah maju
melalui padang rumput dan perdu yang sempat. Kemudian
mereka telah memasuki bulak-bulak persawahan.
"Kita menuju kepadukuhan yang nampak itu" berkata
Ki Sarpa Kuning "kita akan meyakinkan mereka, bahwa
mereka tentu akan dapat mencapai kemenangan dalam
persoalan yang sedang mereka hadapi. Sebenarnyalah
saudara sepupu Ki Buyut itulah yang berhak atas
kedudukan itu, karena Ki Buyut yang telah meninggal itu
sebenarnya telah merampas hak saudara sepupunya"
Keterangan itu sangat menarik bagi Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Mungkin hal itu sekedar merupakan alasan.
Tetapi keterangan itu tentu akan melengkapi
pengetahuannya terhadap seluruh Kabuyutan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang merasa bahwa keterangan
Ki Sarpa Kuning itu ditujukan kepada merekapun
telah memperhatikannya dengan sungguh-sungguh, karena


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

murid-murid Ki Sarpa Kuning yang lain tentu telah
mengetahuinya. Dengan tanpa berpaling kearah kedua anak muda itu, Ki
Sarpa Kuning berkata lebih lanjut "Ayah saudara sepupu Ki
Buyut yang meninggal itulah yang seharusnya menerima
warisan kedudukan Buyut di Kabuyutan itu. Tetapi tanpa
diketahui sebabnya, maka orang itu telah meninggal.
Sementara itu, anaknya masih terlalu kecil untuk dapat
menggantikannya. Dalam keadaan yang tidak menentu,
maka ayah Ki Buyut itulah yang kemudian mengambil alih
kekuasaan saudaranya yang meninggal itu. Sehingga
akhirnya, kedudukan itu telah di warisi pula oleh Ki Buyut.
Tetapi sepeninggal Ki Buyut, kedudukan itu kembali
menjadi persoalan. Saudara sepupunya yang bukan kanakkanak
lagi sebagaimana saat ia ditinggalkan oleh ayahnya,
sehingga ia tidak kehilangan untuk yang kedua kalinya"
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian iapun bertanya "Apakah saudara sepupu Ki
Buyut itu lebih tua dari Ki Buyut yang telah meninggal itu?"
"Ya. Aliran darah di dalam tubuhnya lebih tua dari Ki
Buyuf yang meninggal meskipun umurnya lebih muda
sedikit dari Ki Buyut yang meninggal itu" jawab Ki Sarpa
Kuning. Mahisa Murti tidak bertanya lagi. Tetapi ia tidak dapat
mempercayai sepenuhnya ceritera tentang saudara sepupu
Ki Buyut itu. Demikianlah, maka merekapun telah berada di ngarai
yang luas. Selangkah demi selangkah mereka mendekati
padukuhan yang oleh Ki Sarpa Kuning disebut padukuhan
yang paling baik dan dihuni orang-orang yang paling
pandai di seluruh Kabuyutan yang sedang bergejolak itu.
Padukuhan itu memang sebuah padukuhan yang besar.
Agak lebih besar dari padukuhan padukuhan yang lain.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun pernah
mendengar bahwa ada dua padukuhan yang mendukung
saudara sepupu Ki Buyut itu untuk memegang jabatan yang
kosong itu. Tetapi Kabuyutan yang lain berpihak kepada
menantu Ki Buyut yang telah meninggal dunia itu.
Ternyata kedatangan Ki Sarpa Kuning ke Kabuyutan itu
sama sekali tidak mengejutkan penghuninya yang rasarasanya
sudah mengenalnya. Bahkan beberapa orang telah
menyapanya dengan ramah dan tersenyum sambil
menganggukkan kepalanya. "Agaknya Ki Sarpa Kuning telah sering datang ke Kabuyutan
ini" berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di
dalam hatinya. Sebenarnya kedatangan Ki Sarpa Kuning saat itu
bukannya untuk yang pertama kali. Sebelumnya ia memang
sudah beberapa kali mengunjungi saudara sepupu Ki Buyut
yang sudah meninggal itu dan membicarakan berbagai
kemungkinan yang dapat dilakukannya.
Karena itu, maka kedatangannya itupun telah disambut
dengan baik oleh orang-orang yang menghuni padukuhan
itu. Perlahan-lahan iring-iringan itu maju menyusuri jalan
padukuhan menuju ke sebuah halaman rumah yang cukup
luas. Halaman rumah yang menjadi pusat perhatian bukan
saja penghuni padukuhan itu, tetapi juga padukuhan-pa
dukuhan di sekitarnya. Ketika iring-iringan itu memasuki regol halaman rumah
itu, maka seorang yang bertubuh tinggi, kekar dan berdada
bidang, diiringi oleh dua orang laki-laki yang memiliki
tubuh yang sama seperti orang yang pertama, telah
menyongsongnya. Sambil tersenyum orang itu berkata "Marilah Ki Sarpa
Kuning. Kami sudah menunggu sejak kemarin"
Ki Sarpa Kuning tertawa. Katanya "Aku sedang
mempersiapkan diri. Seperti yang aku katakan, maka aku
telah datang dengan murid-muridku. Mereka akan dengan
senang hati membantu usaha Ki Sendawa untuk
menegakkan keadilan di Kabuyutan ini"
Orang bertubuh raksasa itu tersenyum. Katanya
"Nampaknya orang-orang dungu itu benar-benar tidak
dapat dikasihani. Mereka menjadi putus asa dan dengan
membabi buta berusaha mempertahankan keinginan
mereka dengan kekerasan. Di beberapa tempat pande-pande
besi dikerahkan untuk membuat senjata. Dengan demikian,
maka mereka lelah mempersiapkan perlawanan untuk
mempertahankan ketamakan yang sudah harus dihentikan
itu" Ki Sarpa Kuning tertawa. Katanya "Semakin cepat
mereka mengangkat senjata, akan menjadi semakin baik.
Tetapi aku tetap menasehatkan, agar Ki Sendawa tidak
mendahului menyerang mereka dengan kekerasan. Dengan
demikian, maka Ki Sendawa tidak dapat dituduh
membangkitkan perselisihan berdarah di Kabuyutan ini,
karena bagaimanapun juga, kemungkinan Akuwu akan
menilai keadaan untuk mengambil satu keputusan, akan
menentukan sekali" "Aku sependapat" berkata Ki Sendawa, yang kemudian
mempersilahkan tamu-tamunya untuk duduk di pendapa
"Tetapi keadaan seperti ini sangat menegangkan. Seolaholah
tidak akan ada habis-habisnya"
Ki Sarpa Kuning tersenyum. Katanya "Itu merupakan
satu ujian bagi Ki Sendawa. Namun, bukan berarti bahwa
Ki Sendawa hanya dapat menunggu sambil berdiam diri"
"Apa yang sebaiknya aku lakukan?" bertanya Ki
Sendawa. "Seperti yang sudah pernah aku sarankan" jawab Ki
Sarpa Kuning "menyatakan diri sebagai Buyut yang
memerintah Kabuyutan ini dan mewajibkan semua orang
tunduk kepada perintah Ki Sendawa sebagai Buyut yang
baru" "Jika mereka tidak bersedia tunduk akan perintahku?"
bertanya Ki Sendawa. "Ki Sendawa dapat bertindak atas nama penguasa di
Kabuyutan ini" jawab Ki Sendawa "siapa yang menentang
perintah Ki Sendawa, berarti menentang perintah Ki Buyut
yang berkuasa. Orang itu dapat ditangkap"
"Bukankah itu berarti aku mempergunakan kekerasan?"
bertanya Ki Sendawa. "Tidak. Tetapi itu adalah hak Ki Buyut" jawab Ki Sarpa
Kuning. "Mereka akan menentang" jawab Ki Sendawa "apalagi
mereka merasa jumlah mereka lebih banyak. Bukankah
sudah aku katakan, bahwa mereka telah mempersiapkan
senjata" Setiap laki-laki akan bersenjata dan akan
menentang setiap tindakanku"
"Bukankah itu yang kita tunggu?" Kita akan menuduh
mereka melakukan satu pemberontakan. Kita akan dapat
menindak mereka dengan kekerasan. Bukan kita yang
mendahului, tetapi mereka. Kita bertindak setelah mereka
melakukan pemberontakan" berkata Ki Sarpa Kuning.
"Jumlah mereka jauh lebih banyak" berkata Ki Sendawa.
"Jumlah itu tidak berarti. Laki-laki di padukuhanpadukuhan
yang mendukung Ki Sendawa cukup banyak,
meskipun tidak sebanyak pihak lawan. Tetapi kami
berenam dapat Ki Sendawa nilai sama dengan orang-orang
dungu itu sebanyak lima atau enam padukuhan?" berkata
Ki Sarpa Kuning. "Seorang diantara kalian dapat melawan orang
sepadukuhan?" bertanya Ki Sendawa.
"Aku hanya memerlukan sejumlah orang untuk
mengacaukan perhatian mereka" jawab Ki Sarpa Kuning.
Ki Sendawa termangu-mangu. Ia tidak mengerti maksud
Ki Sarpa Kuning, sehingga Ki Sarpa Kuning itu
menjelaskan "Salah seorang dari kami, akan dapat melawan
laki-laki sepadukuhan jika beberapa orang membantu kami.
Mereka hanya memancing berhatian dan bertahan.
Sementara kami akan menghancurkan yang lain, yang
bukan merupakan persoalan yang sulit. Apalagi jika sudah
sampai kepada puncak kekerasan, sehingga kami
mmenggenggam senjata di tangan. Maka kami akan dapat
bekerja dengan cepat"
Ki Sendawa mengangguk-angguk. Namun dalam pada
itu, terasa tengkuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
meremang. Namun dalam pada itu, Ki Sarpa Kuning berkata
"Tetapi kami bukan pembunuh biadab yang tidak mengenal
peri-kemanusiaan. Kami hanya membunuh dalam keadaan
yang terpaksa sekali. Karena itu, maka jika harus terjadi
kekerasan pada tataran pertama, kami tidak akan
mempergunakan senjata. Sukurlah jika orang-orang dungu
itu segera menyadari kekeliruan mereka, sehingga mereka
tidak memerlukan langkah kekerasan yang lebih tajam lagi"
Ki Sendawa mengangguk-angguk. Kemudian katanya
"Apakah yang akan kalian lakukan pertama-tama?"
"Sudah aku katakan" jawab Ki Sendawa "angkat dirimu
sendiri sebagai Buyut. Berikan perinlah. Yang tidak mau
tunduk, harus dianggap sebagai pemberontak. Kami akan
memakan mereka tunduk kepada semua perintahmu. Nah,
jika mereka kemudian melawan dengan senjata, barulah
kami akan mempergunakan senjata pula, bersama-sama
orang-orang yang mendukungmu"
Ki Sendawa mengangguk-angguk. Ia sudah mempunyai
gambaran, apa yang harus dilakukannya. Dan iapun
ternyata sependapat dengan Ki Sarpa Kuning, Padahal
menurut penilaian Ki Sendawa, upah yang dituntut Ki
Sarpa Kuning sama sekali tidak memadai. Ki Sarpa Kuning
hanya menghendaki hutan di lereng perbukitan yang
termasuk wilayah Kabuyutan yang sedang bergejolak itu.
Namun Ki Sendawa sama sekali tidak mengetahui,
bahwa yang dilakukan oleh Ki Sarpa Kuning itu bukan
berdiri sendiri. Di tempat lain, di lereng pebukitan yang
lain, maka sekelompok orang telah melakukan hal yang
sama. Bahkan ada diantara mereka yang dengan serta
mereka menebangi hutan-hutan di lereng bukit yang
menghadap daerah persawahan yang dapat mendukung
persediaan makan bagi Singasari.
Ternyata Ki Sendawa tidak menunda rencananya lebih
lama lagi. Iapun kemudian mengumpulkan pendukungpendukungnya
untuk menentukan, langkah yang segera
akan mereka ambil. "Sambil menunggu Keputusan Akuwu, maka aku akan
menyatakan diri sebagai orang yang bertanggung jawab atas
pedukuhan ini" berkata Ki Sendawa kepada para
pendukungnya. Ternyata para pendukungnya sependapat. Salah seorang
dari mereka justru berkata "Jika akan terjadi sesuatu biarlah
segera terjadi. Dengan demikian semuanya akan segera
menjadi jelas. Yang akan mukti biarlah mukti, yang akan
mati biarlah mati" Ki Sendawa mengangguk-angguk. Bahkan iapun
kemudian berkata "Pada purnama naik sepekan
mendatang, aku akan menyatakan diri menjadi Buyut yang
berkuasa sepenuhnya di Kabuyutan Talang Amba.
Kabuyutan yang memiliki kemungkinan yang sangat baik
bagi kesejahteraan di hari depan"
"Kita akan menyelenggarakan semua persiapannya"
berkata salah seorang pendukungnya "kita tidak perlu
menghiraukan lagi orang-orang lain mengigau tentang hak"
"Aku adalah orang yang paling berhak atas Kabuyutan
ini. Hanya karena ayahku meninggal disaat aku masih
terlalu kecil, maka aku tidak dapat menggantikan
kedudukannya dan dengan serakah telah diambil oleh
pamanku sendiri" jawab Ki Sendawa "bahkan tidak
mustahil bahwa kematian ayahku itu adalah satu akibat dari
rencana yang telah tersusun sebelumnya. Jika benar
demikian, maka adalah hakku, bukan saja mengambil
jabatan yang ditinggalkan oleh ayahku itu kembali, tetapi
juga menuntut balas atas kematian ayahku itu"
"Ki Sendawa telah melangkah kearah yang benar"
berkata Ki Sama Kuning "kami akan membantu sejauh
dapat kami lakukan" "Baiklah" berkata Ki Sendawa "sebaiknya kalian tinggal
saja di padukuhan ini agar semua rencana dapat kami
bkarakan tanpa saling menunggu"
Ki Sarpa Kuning berpaling kearah murid-muridnya.
Sementara itu Gajah Wareng berkata "Aku sependapat
dengan Ki Sendawa guru"
Ki Sarpa Kuning mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba
ia memandang kearah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
sambil bertanya "Bagaimana dengan kalian?"
Mahisa Murti sudah memutuskan untuk tidak
kehilangan kesempatan. Karena itu dengan mantap ia
menjawab "Aku setuju. Dengan demikian kita tidak banyak
kehilangan waktu untuk hilir mudik"
"Disini kita akan dapat cepat bertindak" sambung
Mahisa Pukat. Ki Sarpa Kuning mengerutkan keningnya. Ia masih
belum mengenal tabiat kedua anak muda itu sedalamdalamnya.
Meskipun demikian, Ki Sarpa Kuning itupun
mengangguk-angguk sambil berkata "Baiklah. Kita tinggal
disini. Tetapi bagaimana dengan pasanggrahan kita?"
"Tidak ada yang akan berani mengusiknya" jawab Gajah
Wareng "apalagi mereka yang mengetahuinya, bahwa
rumah itu adalah pesanggrahan kita"
Ki Sarpa Kuning mengangguk-angguk. Agaknya muridmuridnya
sependapat, bahwa mereka akan tetap berada di
padukuhan itu. Namun akhirnya Ki Sarpa Kuningpun
mengerti, bahwa hidup dipadukuhan itu memang lebih
menarik daripada hidup di hutan diantara lebatnya
dedaunan dan batang-batang kayu yang menjulang ke
langit. Diantara aum harimau dan derik cengkerik.
Tetapi di padukuhan mereka hidup diantara ringkik kuda
dan dengus lembu di kandang. Pagi-pagi tercium bau ketela
pohon yang direbus dengan santan atau dengan badek gula
kelapa. Menjelang matahari sepenggalah, terdengar suara
lesung berdentang. Orang-orang mulai menumbuk padi.
Gadis-gadis pergi ke sungai untuk mencuci dan api di


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapurpun menjadi semakin besar menyala.
Ki Sarpa Kuningpun masih mengangguk-angguk.
Katanya kemudian "Baiklah. Akupun tidak akan
mengecewakan kalian. Kita akan tinggal dipadukuhan ini.
Sementara itu, Ki Sendawa akan menyatakan dirinya
sebagai Buyut yang berkuasa.
Demikianlah, maka sejak saat itu Ki Sarpa Kuning dan
murid-muridnya tinggal di gandok rumah Ki Sendawa.
Dengan sungguh-sungguh Ki Sarpa Kuning berpesan, agar
murid-muridnya tidak mengecewakan penduduk
padukuhan itu. Mereka harus menunjukkan bahwa mereka
adalah orang-orang yang benar-benar akan dapat
memberikan jalan keluar dari kesulitan yang tengah mereka
hadapi. "Aku benci kepada orang-orang yang bertindak sendirisendiri"
berkata Ki Sarpa Kuning "apalagi yang ternyata
kemudian dapat merugikan kita semuanya. Merusak
rencana besar kita. Aku akan sampai pada suatu keputusan
untuk membunuh orang-orang yang demikian"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kadang-kadang masih
bingung menghadapi sifat orang aneh itu, sebagaimana Ki
Sarpa Kuningpun masih berusaha untuk mengerti sikap
kedua anak muda itu. Dalam pada itu, Ki Sendawa benar-benar telah
mempersiapkan diri untuk mengangkat dirinya sendiri
menjadi Buyut tanpa menghiraukan pertimbangan orang
lain. Sesuai dengan pendapat Ki Sarpa Kuning, maka
setelah ia menyatakan diri menjadi Buyut maka ia akan
dapat mejmerin-tah Kabuyutan itu. Siapa yang tidak tunduk
kepada perintahnya, maka ia akan dapat menundukkan
mereka dengan kekerasan. Dan iapun telah mempunyai
kekuatan untuk berbuat demikian. Kecuali sebagian
penghuni Kabuyutan itu memang berpihak kepadanya,
maka enam orang yang ada di rumahnya itu tentu akan
dapat membuat pengeram-eram, sehingga tidak akan ada
lagi orang yang akan berani menentangnya.
Ternyata persiapan Ki Sendawa itu terdengar oleh pihak
yang tidak sependapat dengan sikap itu. Dengan serta
merta, maka berita itupun segera tersebar sampai ke setiap
telinga. "Apakah benar demikian?" bertanya menantu Ki Buyut
yang telah meninggal itu.
"Ya kakang" jawab seorang anak muda yang mendengar
berita itu ketika ia berada di pasar "tidak salah perhitungkan
kita, bahwa akhirnya kita memang akan mempergunakan
pedang. Kita sudah cukup banyak mempersiapkan senjata.
Jika Sendawa keras kepala, maka kita akan bertindak tegas.
Tidak ada cara lain yang dapat kita lakukan selain
mempergunakan pedang"
Seorang anak muda yang lain, yang berwajah bulat juga
menggeram "Jangan terlalu lamban. Sudah waktunya kita
berbuat sesuatu. Beberapa hari lagi, Sendawa akan
menyatakan diri sebagai Buyut di Kabuyutan ini. Tetapi ia
tidak berhak sama sekali. Bukankah anak Ki Buyut satusatunya
adalah isterimu?" Menantu Ki Buyut itu menarik nafas dalam-dalam.
Dengan ragu-ragu ia berkata "Apakah keuntunganku
memperebutkan kedudukan itu. Seandainya aku benarbenar
menjadi Buyut di Kabuyutan ini, apakah kalian
yakin, bahwa aku akan berbuat lebih baik dari paman
Sendawa?" "Tentu, kau akan dapat berbuat lebih baik" jawab anak
muda yang berwajah bulat "bagi kamipun lebih baik. Kami
akan dapat lebih mudah berhubungan dengan Buyut dari
Kabuyutan ini. Kau tentu akan lebih banyak mengerti
tentang kami. Kaupun tentu akan dapat lebih banyak
memikirkan kepentingan kami"
"Bukankah tidak seharusnya demikian" jawab menantu
Ki Buyut itu "seorang Buyut tidak boleh hanya
menguntungkan satu pihak saja. Dalam hal ini kawankawannya.
Bukan pendukungnya sekalipun. Seorang Buyut
harus dapat berbuat sesuatu yang menguntungkan seluruh
rakyatnya. Merata. Siapapun mereka. Dan aku tidak yakin
bahwa aku akan dapat berbuat demikian"
"Hatimu terlalu membeku" berkata seorang anak muda
yang bertubuh raksasa "cobalah sedikit bergairah
memandang hidup dan kehidupan ini. Jika orang lain
berbuat bagi kepentingan diri sendiri, apakah kau tidak
berhak berbuat demikian pula. Bahkan jangkauan mu lebih
luas lagi. Bukan sekedar diri sendiri, tetapi untuk
kepentingan lingkunganmu. Kawan-kawanmu dan orangorang
yang mendukungmu" "Jangan begitu" jawab Ki Buyut "bagiku akan menjadi
semakin sulit untuk menerima tawaran ini, jika kedudukan
yang kalian julurkan kepadaku itu semata-mata hanya
karena kalian akan mendapat kesempatan pertama dalam
banyak hal yang bakal terjadi di Kabuyutan ini. Bukan
karena jika aku, salah seorang kawanmu menjadi Buyut,
maka segalanya akan menjadi mudah bagi kalian"
"Kau memang terlalu lemah" berkata anak muda yang
berwajah bulat. Tetapi, lihat, berapa padukuhan yang
berdiri dipihakmu dan berapa padukuhan yang berpihak
kepada Sendawa yang tamak itu?"
Menantu Ki Buyut itu termangu-mangu. Dipandanginya
beberapa orang kawannya yang dengan keras
mendorongnya untuk berjuang agar kedudukan ayah
mertuanya itu dapat dipegangnya. Tetapi menantu Ki
Buyut itupun sadar, bahwa kawan-kawannya itu tidak
memiliki pandangan yang jauh. Mereka mendorongnya
untuk menjadi seorang Buyut, agar dengan demikian
kawan-kawannya itu mendapat banyak kesempatan untuk
berbuat sesuai dengan keinginan mereka di Kabuyutan itu,
karena Buyut yang berkuasa adalah kawan sendiri.
Merekapun tidak akan segera mengajukan permintaan atas
satu hal yang mereka anggap akan dapat menguntungkan.
Selebihnya Buyut muda itu tidak akan banyak menentang
jika mereka mengusulkan sesuatu, karena mereka telah
dengan gigih mendorongnya untuk menduduki tempatnya.
Karena itu, maka menantu Ki Buyut itu menjadi
semakin segan untuk berbuat sesuatu. Meskipun ia melihat
juga. bahwa tidak semua pendukungnya berbuat demikian.
Sebenarnya bahwa diantara anak-anak muda itu,
terdapat seorang yang agak lebih tua dari mereka. Orang
yang tidak banyak berbicara itu tiba-tiba saja berkata
"Kalian telah melakukan satu kesalahan yang sangat besar"
Anak-anak muda itu berpaling kepadanya. Anak muda
yang bertubuh raksasa itupun bertanya "Apa maksudmu
berkata demikian?" Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Kalian
membuat satu gambaran yang salah terhadap kedudukan
yang sedang dipertengkarkan itu"
"Kenapa?" Apakah kau setuju jika Sendawa itu
mengangkat dirinya menjadi Buyut di Kabuyutan ini?"
bertanya anak muda yang berwajah bulat.
"Tidak tentu tidak, ia sama sekali tidak berhak" jawab
orang itu. Lalu "Aku sudah banyak mendengar ceritera
tentang Sendawa yang mengaku berhak atas kedudukan
Buyut itu. Ia merasa dirinya mewarisi kedudukan itu,
karena menurut ceriteranya, ayahnyalah yang seharusnya
menjadi Buyut seandainya ayahnya itu tidak meninggal.
Bahkan ia telah membuat dongeng khusus tentang kematian
ayahnya itu. untuk meyakinkan banyak orang tentang
haknya" "Nah, jika demikian, apakah keberatanmu jika menantu
Ki Buyut ini duduk dalam jabatan yang memang menjadi
haknya" bertanya anak muda berwajah bulat itu.
"Aku tidak berkeberatan" jawab orang yang sudah lebih
tua itu "tetapi latar belakang dukungan kalian itulah yang
salah. Kalian menyudutkan calon Buyut itu ke dalam satu
keadaan yang sulit. Jika ia kelak benar-benar menduduki
jabatan itu, maka seolah-olah ia terikat kepada satu
perjanjian untuk memberikan wewenang khusus kepada
kalian. Dan itu akan sangat merugikan kedudukannya"
Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak.
Kemudian anak muda bertubuh raksasa itu bertanya
dengan wajah yang tegang "Jadi kau ingin mengurangi hak
kami. Kami adalah anak-anak muda yang memang
memiliki hari depan yang lebih panjang dari kau orangorang
sebaya dengan kalian"
"Aku juga belum terlalu tua. Umurku tidak terpaut
banyak dengan umurmu" jawab orang itu "tetapi sikapku
justru sebaliknya. Justru karena kalian adalah anak-anak
muda. Kalian harus ikut membina masa depan yang baik
bagi Kabuyutan ini. Dan jangan lupa. Anak-anak muda
bukan hanya kalian. Beberapa orang yang sekarang ada
disini" Anak muda bertubuh raksasa itu bangkit berdiri dan
selangkah mendekat "Baiklah. Jika kau berbeda sikap
dengan kami, jangan campuri persoalan kami. Pergi sajalah
kepada Sendawa dan nyatakan dukunganmu atas orang itu"
"Tidak anak-anak muda. Aku tetap disini. Aku
mendukung pewaris yang lebih sah dari Sendawa. Tetapi
juga yang lebih baik. Aku melihat umsur itu ada pada
menantu Ki Buyut itu. Tetapi jangan racuni sifat-sifat itu
dengan kepentingan kalian sendiri tanpa menghiraukan
kepentingan orang banyak"
"Aku mengerti" tiba-tiba menantu Ki Buyut memotong
"aku sadar bahwa kedudukan yang berat itu menuntut
beberapa hal. Dan itu yang aku tidak punya Selebihnya aku
memang tidak sanggup memenuhi keinginan kalian.
Karena keinginan kalian, tercermin dalam sikap kalian yang
mementingkan diri sendiri"
Beberapa orang anak muda itu menjadi tegang. Na mun
orang yang lebih tua itu berkata "Kita akan melihat sikap
anak-anak muda pada umumnya. Bukan hanya pada
beberapa orang yang justru sahabat dekatmu"
Menantu Ki Buyut itulah yang menjadi tegang. Semen
tara orang yang lebih tua itu berkata "Aku akan berbicara
dengan mereka" "Itu tidak perlu" berkata anak muda berwajah bulat
"kami mewakili mereka"
"Tidak" jawab orang yang lebih tua "kalian justru
menodai kejernihan tekad mereka. Aku yakin, jika kalian
bertemu dengan anak-anak muda dari padukuhan diujung
Kabuyutan Talang Ambo ini, kalian akan melihat sikapsikap
wajar dari anak-anak muda. Tetapi justru kalian yang
ada disekitar priadi harapan, telah memberikan alasan yang
salah" Anak-anak muda itu menjadi ragu-ragu untuk bersikap.
Mereka memang tidak berani mengambil satu tindakan
apapun terhadap orang yang lebih tua dari mereka itu,
karena mereka .mengetahui bahwa orang itu memiliki
lingkungan yang luas juga dari lingkungan anak-anak muda
seperti yang dikatakannya. Karena itu, untuk beberapa saat
anak-anak muda itu saling berdiam diri.
Dalam pada itu, ternyata orang yang lebih tua itupun
menjadi kecewa melihat sikap beberapa orang anak muda
yang lebih memandang kepentingan sendiri dari
kepentingan seisi Kabuyutan. Bagi mereka, jika seorang
sahabat mereka dapat menduduki tempat yang paling tinggi
di wewengkon itu, maka hal itu akan merupakan
kesempatan yang sangat baik bagi mereka. Seakan-akan apa
yang akan mereka lakukan akan dapat terjadi tanpa ada
yang berani menghalangi. Namun ternyata bahwa menantu Ki Buyut sendiri
menyadari akan hal itu. Tetapi dengan demikian akibatnya,
menantu Ki Buyut itu menjadi semakin jauh dari satu
kesanggupan untuk berjuang mencapai kedudukan yang
ditinggalkan oleh mertuanya.
"Jika kedudukan itu benar-benar dipegang oleh
Sendawa, maka hancurlah Kabuyutan ini" berkata orang
yang lebih tua itu di dalam hatinya. Karena orang itupun
mengetahui, hubungan Sendawa dengan orang-orang yang
menginginkan hutan di lereng bukit sebelah, hutan-hutan
yang lebat yang membuat bukit itu menjadi hijau.
"Kita masih mempunyai waktu" berkata orang itu
"menurut pendengaranku, di saat purnama naik, Sendawa
akan mengangkat dirinya menjadi Buyut di Kabuyutan ini.
Semua persiapan sudah dilakukan. Sementara itu, kita akan
mematangkan sikap disini. Aku condong untuk
mempertemukan beberapa unsur yang ada, sehingga sikap
kita akan dilandasi oleh satu sikap yang jujur terhadap
Kabuyutan ini. Anak-anak muda, sahabat menantu Ki Buyut itu tidak
menyahut. Mereka memang harus membuat perhitungan
sebaik-baiknya menghadapi perkembangan keadaan.
Demikianlah, orang yang lebih tua itupun kemudian
minta diri. Namun ia tentu tidak akan tinggal diam.
Dengan lahdasan sikapnya, ia tentu akan berbuat banyak
bagi Kabuyutan mereka. Menantu Ki Buyut masih duduk termangu-mangu.
Beberapa orang sahabatnya masih berada di rumahnya.
Namun akhirnya orang berwajah bulat itu berkata "Kau
memang terlalu lemah. Tetapi baiklah. Apapun yang akan
kau lakukan, aku masih tetap memilih kau daripada
Sendawa itu" Orang bertubuh raksasa itu memandangnya dengan kerut
di dahi. Dengan suara bergetar ia bertanya "Hatimupun
sudah menjadi cair?"
"Tidak. Tetapi aku melihat kekerasan di hati menantu Ki
Buyut ini diantara kelemahannya. Ia tetap tidak mau
mengerti niat baik kita" jawab anak muda berwajah bulat.
Namun kemudian "Atau ia justru sudah mengerti
sepenuhnya, bahwa kita sekedar ingin memanfaatkannya
untuk kepentingan kita sendiri"
"Kepana kau berkata begitu?" bertanya kawannya yang
lain. "Aku dapat mengerti, apa yang dikatakan oleh orang
tadi. Dan aku kira, kita wajib memikirkannya" jawab orang
berwajah bulat.

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menantu Ki Buyut itupun menjadi berdebar-debar.
Nampaknya ada perkembangan sikap pada sahabatsahabatnya
itu. Dalam pada itu, maka anak-anak muda itupun kemudian
mulai merenungi diri mereka sendiri. Sementara itu, anak
muda berwajah bulat itupun berkata "Baiklah. Aku akan
minta diri. Aku akan memikirkan, apa yang sebaiknya aku
lakukan" "Terima kasih" berkata menantu Ki Buyut itu "tetapi
sebaiknya kalian melihat kemungkinan lain untuk me
nunjuk seorang calon Buyut yang baik, berwibawa dan
memiliki kemampuan" Anak muda berwajah bulat itu tersenyum Katanya
"Kami akan merenungi diri kami Tetapi kaupun harus
merenungi dirimu pula. Kau itu siapa" Kau itu anak siapa,
menantu siapa dan bagaimana sikap dan tanggapan orangorang
Kabuyutan ini terhadapmu?" Ingat, kau adalah anak
Ki Sanggabaya. He, apakah kau masih ingat akan namamu
sendiri" Bukankah kau bernama Sanggarana?"
Wajah menantu Ki Buyut itu menjadi tegang. Sementara
anak muda berwajah bulat itu berkata "Selebihnya kau
adalah menantu Ki Buyut. Isterimu adalah anak satusatunya.
Jika sikap kami semula membuatmu semakin ragu,
maka marilah kita bersama-sama mulai menilai diri"
Menantu Ki Buyut itu menarik nafas dalam-dalam.
Namun ia tidak sempat berpikir terlalu lama, karena anakanak
muda itupun kemudian telah meninggalkannya.
Sepeninggal anak-anak muda itu, maka isterinyapun
telah mendekatinya. Dengan lembut isterinya itu berkata
"Kakang Jangan risaukan kedudukan ayah yang
nampaknya menjadi masalah sekarang ini. Aku tidak terlalu
berharap, bahwa kau akan dapat mewarisinya. Yang
penting bagi kita, bahwa hidup kita menjadi tenang. Tidak
ada masalah-masalah yang dapat menggangu rumah tangga
ini. Aku tidak terlalu tertarik kepada kekuasaan. Kepada
harta dan benda yang mungkin akan kita dapatkan dengan
alas kedudukan ayah itu. Yang aku rindukan adalah satu
suasana yang damai diantara kita, diantara lingkungan kita"
Suaminya mengangguk-angguk. Namun katanya
kemudian "Aku mengerti. Tetapi masalahnya bukan
kedudukan dan kekuasaan. Tetapi apakah kita akan dapat
hidup tenang tanpa menghiraukan apa yang terjadi disekitar
kita" Apakah kita dapat merasa damai hidup diantara
kegelisahan. Yang aku inginkan, tidak harus aku yang akan
mewarisi kedudukan ayah. Tetapi jangan paman Sendawa.
Rasa-rasanya aku memang tidak rela melihat paman
Sendawa berkuasa di Kabuyutan ini"
Isterinya menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Paman
Sendawa memang memiliki sifat yang aneh"
Suaminya merenung sejenak. Tiba-tiba saja ia teringat
kata-kata kawannya tentang dirinya. Terngiang kembali
kata-kata sahabatnya itu "Ingat, kau adalah anak
Sanggabaya. He, apakah kau masih ingat akan namamu
sendiri?" Bukankah kau bernama Sanggarana?"
Menantu Ki Buyut itu menarik nafas dalam-dalam.
Nama itu memang nama kebanggaan, sebagaimana
ayahnya berbangga dengan namanya. Ayannya adalah
seorang pemburu yang disegani. Bukan saja karena ia
memiliki ketajaman pengamatan terhadap binatang
buruannya, tetapi Ki Sanggabaya adalah orang yang dekat
sekali dengan orang-orang disekitarnya. Orang yang
mempunyai ruang pergaulan yang luas, yang mempunyai
kebiasaan menolong orang yang memerlukannya. Bukan
saja dalam soal-soal yang pelik. Tetapi ketika seorang janda
miskin tidak lagi dapat tidur di musim hujan karena atap
rumahnya tiris disegala tempat, maka Ki Sanggabaya
dengan senang hati memperbaiki atap rumah itu.
Itulah sebabnya, maka ketika Ki Buyut melihat anak
gadisnya berhubungan dengan anak Ki Sanggabaya, ia
sama sekali tidak berkeberatan. Bahkan kemudian anak Ki
Sanggabaya itu benar-benar diambilnya sebagai menantu.
Namun, dalam keadaan yang gawat setelah Ki Buyut
meninggal dan ayahnya sendiri juga sudah tidak ada, ia
tidak dapat mengambil sikap yang mantap untuk mengatasi
keadaan. Selagi menantu Ki Buyut itu merenung, maka
isterinyapun berkata "Kakang, apakah kau pernah bertemu
dan berbicara langsung dengan paman Sendawa?"
Suaminya menggeleng. Katanya "Belum. Tetapi aku
sebenarnya merasa segan untuk berbicara. Paman Sendawa
nampaknya sudah mengambil satu keputusan untuk
mewarisi jabatan itu. Pada saat bulan purnama mendatang,
paman ingin menyatakan dirinya sebagai Buyut yang sah di
Kabuyutan ini" "Ah, aku tidak merisaukannya" desah isterinya "biar
sajalah paman Sendawa menjadi Buyut di Kabuyutan.
Mungkin dalam waktu satu dua hari masih ada orang yang
menentangnya. Tetapi lambat laun akan menjadi tenang
juga nantinya" Suaminya menarik nafas dalam-dalam. Isterinya
memang tidak memandang persoalannya cemas melihat
perkembangan hubungan antara suaminya dengan
pamannya, agaknya lebih senang memilih kedamaian di
dalam lingkungan keluarganya.
"Tetapi persoalannya tidak terbatas pada persoalan
keluarga" berkata menantu Ki Buyut itu dalam hatinya.
Namun demikian, menantu Ki Buyut itu tidak dapat
mengabaikan sifat isterinya. Sementara itu kegelisahannya
tentang keadaan Kabuyutan itu tetap mencengkamnya.
Dalam pada itu, akhirnya menantu Ki Buyut itu berkata
"Baiklah Nyai. Biarlah aku memikirkannya. Tetapi aku
kira, aku tidak dapat mengambil sikap sendiri. Aku akan
selalu berhubungan dengan kawan-kawanku. Mungkin juga
aku memerlukan pendapat orang-orang tua di Kabuyutan
ini" "Tetapi berhati-hati dengan kawan-kawanmu itu
kakang" berkata isterinya.
"Aku mengerti. Ada diantara mereka yang ingin melihat
aku mempunyai kekuasaan itu, namun merekalah yang
akan dapat mempergunakannya. Aku akan berhati-hati"
jawab menantu Ki Buyut. Dalam pada itu, selagi menantu Ki Buyut selalu
diselubungi oleh berbagai macam pertimbangan, juga
karena sikap isterinya, orang-orang di Kabuyutan itu
digelisahkan oleh persiapan yang dilakukan oleh Ki
Sendawa. Tanpa menghiraukan pendapat orang lain, Ki
Sendawa yang merasa dirinya kuat karena kehadiran Ki
Sarpa Kuning dan murid-muridnya, benar-benar berniat
untuk mengangkat dirinya sendiri menjadi Buyut di
Kabuyutan Talang Amba. Sebenarnyalah bahwa Ki Sarpa Kuning dan muridmuridnya
telah berusaha untuk menakut-nakuti pihak-pihak
yang tidak sependapat dengan Ki Sendawa. Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat yang ingin mendapat kepercayaan dari
Ki Sarpa Kuningpun telah melakukan sebagaimana
dilakukan oleh murid-muridnya yang lain. Bahkan kadangkadang
kedua anak-anak muda itu justru bertindak lebih
keras dan kasar. "Anak-anak yang aneh" berkata Gajah Wareng
"nampaknya mereka benar-benar petualang yang tidak
mempunyai tujuan" Ki Sarpa Kuning mengangjuk-angguk. Katanya
kemudian "Tetapi menilik ilmunya, keduanya tentu pernah
berguru kepada seseorang yang berhasil membentuknya,
sehingga keduanya mempunyai dasar ilmu yang mapan.
Bahkan aku pernah menjajaginya, dan keduanya
menunjukkan satu kemampuan yang tinggi"
"Karena itu, kita tidak boleh terlalu percaya kepadanya"
berkata orang berkumis. Sementara murid Ki Sarpa Kuning yang seorang lagi
tidak menyambung sama sekali.
"Jangan sakiti hati mereka" berkata Ki Sarpa Kuning
"jika mereka kemudian merasa kerasan bersama kita,
mereka merupakan kekuatan yang cukup membantu. Satu
dua kali, aku akan benar-benar membimbing mereka,
meningkatkan ilmu dasar yang telah mereka miliki"
"Tetapi apakah guru sudah pernah menanyakan,
siapakah guru anak-anak itu?" bertanya Gajah Wareng.
"Mereka mengatakan, bahwa gurunya adalah kakeknya"
jawab Ki Sarpa Kuning "tetapi aku belum bertanya lebih
jauh agar mereka tidak merasa dicurigai"
Gajah Wareng mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ia
berkata "Tetapi keduanya tidak boleh terlalu manja"
"Tidak. Tetapi jangan terlalu terasa diawasi dan
dkurigai" berkata Ki Sarpa Kuning "jika pekerjaan kita di
Kabuyutan ini selesai, maka terserahlah kepada kalian"
Namun dalam pada itu, diluar pengamatan Ki Sarpa
Kuning dan murid-muridnya, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat berusaha untuk dapat berhubungan dengan seseorang
Ketika pada suatu hari keduanya sedang membentak-bentak
seorang petani yang lewat dijalan kecil di sebelah
padukuhan tempat tinggal Ki Sendawa, diantara oleh
sebuah bulak kecil, Ki Sarpa Kuning memandanginya
sambil tersenyum. "Apa yang dilakukan anak-anak itu?" bertanya Ki Sarpa
Kuning. "Aku kurang tahu" jawab Gajah Wareng "tetapi mereka
sekarang mempunyai kesukaan baru. Menakuti orang lewat
sambil memberitakan niat Ki Sendawa untuk mengangkat
dirinya beberapa hari lagi"
Ki Sarpa Kuning tertawa. Katanya "Mereka meniru saja
apa yang kalian lakukan. Nampaknya mereka mempunyai
darah yang cukup panas. Aku cenderung untuk
menganggap bahwa mereka memang petualang"
Gajah Wareng tertawa. Katanya "Ada niatku untuk
sedikit mengekang kemajuan mereka"
"Jangan sekarang" cegah Ki Sarpa Kuning. Gajah
Wareng menarik nalas dalam dalam Sementara itu, orang
berkumis itupun berkata Jika mereka mendapat kesempatan
bermanja-manja terlalu lama, maka mereka akan salah
menilai diri mereka dalam pandangan kami. Seolah-olah
mereka memang orang-orang penting yang pantas
bermanja-manja. Ki Sarpa Kuning tidak menjawab. Tetapi ia melihat
Mahisa Pukat mendorong petani itu sehingga jatuh ke
dalam parit yang berair. Kedua anak muda itu tertawa berkepanjangan sehingga
perut mereka berguncang-guncang. Sementara itu, orang
yang terjatuh ke dalam parit itu berusaha untuk bangkit dan
kemudian lariterbirit-birit menjauhi anak-anak muda yang
bengal itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih berdiri bertolak
pinggang sambil memandani orang yang melarikan diri itu
Namun dalam pada itu Mahisa Murti berkata "Orang-orang
Talang Amba menjadi gelisah karena sikap menantu Ki
Buyut itu. Nampaknya Ki Waruju mencemaskannya"
"Ya" desis Mahisa Pukat "terakhir tadi Ki Waruju minta
agar kita berusaha menunda rencana Ki Sendawa"
"Itu yang sulit kita lakukan" jawab Mahisa Murti
"apakah yang dapat membuat rencana itu tertunda?"
"Kita harus mencarinya" jawab Mahisa Pukat
"sementara itu Ki Waruju akan berusaha menghubungi
menantu Ki Buyut dan mendorongnya untuk menerima
desakan orang-orang Talang Amba untuk menerima
warisan jabatan mertuanya"
"Tugas yang pelik" berkata Mahisa Murti "tetapi kita
akan mempelajarinya. Tetapi ada dua cara. Menunda
rencana Ki Sendawa, atau mempercepat usaha Ki Waruju.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Kemudian katanya
"Kedua-duanya" Namun keduanya tidak berbicara lebih panjang lagi.
Ketika mereka kemudian berpaling, mereka melihat Gajah
Wareng memperhatikan mereka. Namun Ki Sarpa Kuning
dan murid-muridnya yang lain sudah tidak ada lagi di
tempatnya. "Marilah" berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tidak menjawab. Keduanyapun kemudian
mendekati Gajah Wareng yang berdiri termangu-mangu.
Ketika kedua orang anak muda itu menjadi semakin
dekat, Gajah Wareng bertanya "Apa yang kau lakukan?"
Mahisa Murti tersenyum. Katanya "Tidak apa-apa.
Tetapi ketika aku bertanya kepadanya, maka jawabnya
sangat menyakitkan hati"
"Kau bertanya tentang apa?" bertanya Gajah Wareng.
"Tentang menantu Ki Buyut itu" jawab Mahisa Murti.
"Tentang apanya?" desak Gajah Wareng.
"Rencananya, menurut petani itu, orang-orang Talang
Amba sependapat, bahwa menantu Ki Buyut itu kelak
menggantikannya He, bukankah kita tidak berpendapat
begitu" justru Mahisa Murtilah yang bertanya.
"Tetapi kenapa kau sakiti orang itu?" bertanya Gajah
Wareng pula. "Kenapa" Pertanyaanmu aneh sekali. Bukankah kau
yang mula-mula melakukannya" Ternyata menyenangkan
sekali melihat orang lain ketakutan. Sebelumnya aku tidak
pernah memperhatikan orang lain menjadi ketakutan dan
kehilangan pegangan" jawab Mahisa Pukat.
"Anak gila" geram Gajah Wareng "apakah kau
mendapat kesenangan melihat orang-orang ketakutan"
"Ya. Lucu sekali" Mahisa Pukat tertawa "pada
kesempatan lain aku ingin melihat, bagaimanakah wajah
orang yang akan mengalami ketakutan menjelang
kematiannya" "Gila" geram Gajah Wareng "apa yang akan kau
lakukan untuk itu?" "Jika seseorang harus dibunuh, maka kesempatan itu
akan aku pergunakan sebaik-baiknya. Senang sekali melihat
orang yang tahu pasti, bahwa dirinya akan dibunuh tanpa
dapat melawan" Mahisa Pukat tertawa berkepanjangan.
"Ternyata kau anak iblis. Kau benar-benar petualang


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sangat buas. Jauh melampaui dugaanku saat aku
melihat wajah-wajah kalian yang nampak lunak" geram
Gajah Wareng "tetapi ingat. Kau adalah murid-murid dari
perguruan Ki Sarpa Kuning. Segala yang kau lakukan,
berarti langkah yang diambil oleh Ki Sarpa Kuning pula.
Jika kalian salah langkah, maka kalian harus menyadari"
"Mati" sahut Mahisa Pukat.
Wajah Gajah Wareng menjadi tegang. Tetapi iapun
menjawab "Ya" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun merekapun tidak menjawab lagi. Mereka
memang sudah mengerti sebagaimana setiap kali dikatakan,
baik oleh Ki Sarpa Kuning sendiri maupun oleh muridmuridnya,
bahwa mereka tidak segan-segan membunuh
meskipun murid sendiri, apabila dianggap melakukan
kesalahan. "Marilah" berkata Gajah Wareng kemudian "kita
kembali ke pondok kita"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab lagi.
Merekapun kemudian berjalan menuju kerumah Ki
Sendawa, dimana mereka tinggal untuk sementara.
Dalam pada itu, untuk mengikat Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, maka Ki Sarpa Kuning telah memberikan
kesempatan kepada kedua orang anak muda yang disebut
pula sebagai muridnya itu untuk berlatih bersamanya.
Dengan demikian, maka Ki Sarpa Kuning ingin mengikat
kedua anak muda itu dalam satu paugeran yang lebih ketat
lagi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun ternyata cukup
berhati-hati. Dalam latihan-latihan yang kesempatan tidak
terlalu banyak itu, mereka selalu berusaha untuk
menyembunyikan unsur gerak yang mungkin akan
dikenalnya oleh Ki Sarpa Kuning yang pernah bertempur
melawan Witantra. Untunglah bahwa kedua anak muda itu mendapat
bimbingan yang cukup pula dari Mahisa Agni meskipun
tidak sedalam sebagaimana mereka terima dari ayahnya
sendiri yang memiliki sumber ilmu dari perguruan yang
sama dengan Witantra. Namun dengan menonjolkan
beberapa ciri khusus dari perguruan lain maka ilmu mereka
yang sejalan dengan ilmu Witantra dapat mereka
sembunyikan untuk sementara.
Yang dilakukan oleh Ki Sarpa Kuningpun hanya sekedar
untuk mengikat kedua anak muda itu saja Tanpa sasaran
dan ke dalaman yang jelas, sehingga memang tidak ada
apapun yang dapat meningkatkan ilmu kedua anak muda
itu dengan pasti, meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
harus mengakui, bahwa Ki Sarpa Kuning termasuk orang
yang memiliki kelebihan meskipun ia tidak dapat
mengimbangi kemampuan Witantra.
Namun daiam pada itu, yang selalu menjadi pikiran
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dalam cara untuk
menunda niat Ki Sendawa mengangkat dirinya sendiri
menjadi Buyut di Kabuyutan itu. Dengan demikian maka
mereka akan dapat memberi kesempatan Ki Waruju
membuat satu perubahan keadaan pada pihak yang lain
yang merupakan im-bangan kemungkinan bagi seorang
Buyut yang baru. Sementara itu, Ki Warujupun sedang sibuk mencari
jalan, untuk ikut serta melibatkan diri ke dalam satu pacuan
yang kurang seimbang itu. Ki Sendawa dengan sepenuh
hati dan bahkan memberikan pengorbanan yang mahal
untuk mencapai keinginannya, sementara menantu Ki
Buyut itu nampaknya dengan segan menanggapi
perkembangan keadaan. Bahkan setiap kali ia berkata
"Apakah tidak ada orang lain yang lebih baik dari aku?"
Orang-orang tua Kabuyutan Talang Ambapun telah
menentukan satu pendapat. Mereka tidak melihat orang
lain yang lebih berhak daripada menantu Ki Buyut itu.
"Soalnya bukan berhak atau tidak berhak berkata
menantu Ki Buyut itu "tetapi apakah ada orang yang lebih
baik dari aku. Seandainya benar aku mempunyai hak itu,
apakah aku dapat melimpahkan hak itu kepada orang lain"
Jika orang lain yang akan terpilih, maka agaknya paman
Sendawa tidak akan terlalu sakit hati"
Tiba-tiba saja diantara orang-orang tua itu terdapat
seorang pedagang keliling yang memperdagangkan batubatu
akik dan besi aji. Tetapi orang itu bukan Mahendra.
Melainkan Ki Waruju. Dengan penuh minat orang itu
mengikuti segala pembkaraan tentang kemungkinan
diangkatnya seorang Buyut bagi Kabuyutan Talang Amba.
Dengan memperhatikan setiap pembkaraan, maka Ki
Waruju itupun kemudian berkata diantara orang-orang tua
di Talang Amba "Memang tidak ada pilihan lain. kecuali
menantu Ki Buyut itu"
"Ya" desis seorang diantara mereka anak-anak muda
juga sependapat, bahwa menantu Ki Buyut itulah yang
paling sesuai. Bukan saja karena ia disukai orang banyak,
tetapi ia memang berhak. Jika ia menolak, maka hak itu
tentu akan jatuh ke tangan Sendawa. Karena menurut
aliran darahnya, maka ia adalah saudara sepupu Ki Buyut.
Dengan Ydemikiun. maka kemungkinan itupun akan dapat
terjadi" Hal itulah yang membuat menantu Ki Buyut itu menjadi
semakin bingung. Iapun akhirnya menyadari, jika ia
menolak, maka berarti hak itu akan jatuh ke tangan orang
kedua. Orang itu adalah Ki Sendawa.
Namun menantu Ki Buyut itupun melihat kemungkinan
yang lain. Ia melihat pande-pande besi membuat pedang
Dengan demikian, maka kemungkinan timbulnya kekerasan
akan dapat terjadi. Jika demikian, maka alangkah pahitnya
untuk menjadi seorang Buyut yang berdiri diatas runtuhnya
korban. Dan korban itu adalah kawan-kawan bahkan
saudara-saudara sendiri. "Kau terlalu dibayangi oleh kekerdilan sikapmu" seorang
kawannya menjadi tidak sabar lagi. Lalu "Apa sebenarnya
yang kau kehendaki" Sendawa menjadi Buyut, kemudian
menindas kita semuanya sehingga memaksa kita untuk
melawannya" Dalam keadaan yang demikian, maka kitalah
yang berdiri dalam alas yang lemah. Kita telah melawan Ki
Buyut Talang Amba yang memegang kekuasaan sambil
menunggu pengesahan dari Akuwu"
Menantu Ki Buyut itu menjadi semakin bingung. Rasarasanya
ia berdiri di jalan simpang yang kedua-duanya
menuju kesulitan. Jika ia menerima permintaan kawankawannya,
maka ia akan ditetapkan menjadi Buyut sambil
menunggu pengesahan Akuwu. Tetapi orang-orang tua di
Talang Amba akan mempertanggung jawabkannya. Namun
dengan demikian tentu akan terjadi sesuatu. Mungkin
benturan kekerasan. Sementara itu isterinya akan
menyalahkannya, seolah-olah ia lebih mementingkan
kedudukan Ki Buyut, mertuanya yang telah meninggal itu
dari pada isterinya. Seolah-olah bahwa ia bersedia kawin
dengan isterinya itu karena ia memang menginginkan
kedudukan. Ternyata ia lebih mementingkan kedudukan
itu, meskipun isterinya, anak perempuan Ki Buyut itu
sendiri berkeberatan. Selebihnya, Talang Amba tentu akan
bergejolak. Dengan suara parau menantu Ki Uuyut itu berkata "Ada
berbagai macam pertimbangan yang memberati hatiku.
Semula kawan-kawanku ingin memanfaatkan aku.
Kemudian, kita tidak boleh menutup mata, bahwa paman
Penyakit The Sickness 3 Pendekar Bodoh 9 Sengketa Ahli Sihir Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 21
^