Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 13

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 13


Sendawa telah membuat hubungan dengan orang-orang
yang akan dapat menyulitkan kita"
"Jangan hiraukan mereka" berkata salah seorang anak
muda "kita sudah mempunyai senjata"
Dalam hal yang demikian, Ki Waruju memang menjadi
berdebar-debar. Apalagi ketika anak muda itu melanjutkan
"Kita akan melawan setiap tindakan kekerasan dengan
kekerasan. Jika Sendawa ingin mempergunakan kekerasan,
maka kita semuanya, setiap laki-laki akan menggenggam
pedang. Nah, berapa jumlah mereka dan berapa jumlah
kita" Wajah menantu Ki Buyut itupun menjadi tegang.
Katanya "Mungkin jumlah mereka tidak terlalu banyak.
Tetapi jika paman Sendawa membawa orang-orang yang
memang menjual tenaganya untuk menyebarkan
pertentangan, maka apakah kita akan melawannya?"
"Coba" seorang anak muda yang lain dengan wajah
merah berkata "apakah kita akan menyerahkan leher kita
untuk dicekiknya?" Pembicaraan itu menjadi semakin meninggi. Namun
orang-orang itu masih belum dapat memaksa menantu Ki
Buyut untuk memberikan kesanggupannya. Katanya "Aku
ingin waktu sepekan"
"Saat purnama itu menjadi semakin dekat" desis seorang
yang sudah agak tua "pertimbangan baik-baik. Jika kita
akan mendesak, itu adalah karena kita ingin berbuat yang
paling baik bagi Kabuyutan kita"
Dalam pada itu, ketika menantu Ki Buyut itu masih
dicengkam oleh keragu-raguan, maka anak-anak muda
telah mempersiapkan diri untuk menghadapi sikap Ki
Sendawa. Seorang diantara mereka memutuskan untuk
bertindak sebelum saat Ki Sendawa menyatakan dirinya
menjadi Buyut di Talang Amba. Sekelompok yang lain
bahkan telah membuat rencana untuk menyerang
padukuhan tempat tinggal Ki Sendawa.
Dalam keadaan yang demikian, maka Ki Waruju telah
berusaha untuk menemui menantu Ki Buyut. Sambil
menawarkan berbagai jenis batu akik, maka Ki Waruju
berkata "Tanpa seorang yang memegang kendali, maka
keadaan akan menjadi sangat buruk. Berbagai pihak akan
dapat bertindak sendiri-sendiri. Sementara itu, Ki Sendawa
telah bersiap menyambut mereka"
"Aku akan memikirkannya" jawab menantu Ki Buyut.
Ki Waruju hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia tidak dapat berbuat lebih banyak lagi. Ia hanya
berharap mudah-mudahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
berhasil mencari cara agar rencana KI Sendawa dapat
tertunda. Tetapi sulit sekali bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
untuk dapat melakukan rencana itu. Hampir setiap langkah
mereka diawasi. Meskipun kadang kadang karena usaha
kedua anak muda itu untuk mendapatkan kepercayaan,
mereka dapat sesaat-sesaat melepaskan diri dari
pengamatan Ki Sarpa Kuning dan murid-muridnya.
Namun pada suatu saat, diluar dugaan, Manisa Murti dan
Mahisa Pukat yang berusaha untuk mendapat kesempatan
bertemu dengan Ki Waruju sebagaimana sering
dilakukannya, telah melihat sesuatu yang mula-mula sulit
dimengerti. Namun akhirnya merekapun menyadari apa
yang akan terjadi. Dengan sangat berhati-hati, mula-mula kedua orang
anak muda itu telah berusaha untuk keluar dari gandok
ketika tengah malam telah lewat. Ketika Ki Sarpa Kuning
dan murid-muridnya tengah tidur. Sementara merekapun
telah menyiapkan jawaban apabila salah seorang dan
mereka akan terbangun dan bertanya apa yang akan mereka
lakukan. "Ke belakang" desis Mahisa Murti "atau ke sungai"
Namun dengan sangat berhati-hati ternyata mereka berhasil
keluar dari gandok. Meskipun kemudian mereka tidak
dapat melampaui para peronda yang ada di gardu.
"Kita akan berpesan kepada mereka" berkata Mahisa
Murti "agaknya itu lebih baik daripada Ki Sarpa Kuning
mencurigai kita" Mahisa Pukatpun tidak berkeberatan. Mereka justru
berpesan kepada para peronda, bahwa keduanya akan pergi
ke sungai. "Seorang dari kawanmu juga baru saja keluar" berkata
peronda itu. "Siapa?" bertanya Mahisa Murti "Gajah Wareng atau
yang berkumis atau Ki Sarpa Kuning?"
Mahisa Pukatpun menjadi berdebar-debar. Ternyata
mereka masih kurang teliti mengamati keadaan, karena
mereka tidak sempat menghitung berapa orang yang sedang
tidur di gandok itu. "Yang paling muda" jawab peronda itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan.
Yang paling muda diantara mereka adalah seorang yang
adiknya telah dibunuh oleh Ki Sarpa Kuning, karena
dianggap bersalah dan justru jatuh ke dalam tangan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Dengan ragu-ragu Mahisa Murtipun bertanya "Kemana
perginya?" "Aku kurang tahu. Tetapi ia nampak gelisah. Sudah agak
lama ia duduk di serambi gandok tanpa berbuat sesuatu.
Namun kemudian ia turun kehalaman. Untuk beberapa
lamanya ia duduk ditangga pendapa, seolah-olah sedang
merenungi sesuatu. Baru kemudian ia keluar regol.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Agaknya orang itu sudah keluar lama sebelum Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat terbangun dan keluar dari gandok
untuk mencari kesempaan bertemu dengan Ki Waruju.
Mungkin Ki Waruju berada di luar regol padukuhan.
"Kemana orang itu pergi?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kenapa dengan kawanmu itu?" bertanya salah seorang
dari para peronda itu. "Entahlah. Nampaknya tidak apa-apa. Tetapi mungkin
iapun pergi ke sungai. Kegelisahannya disebabkan karena
kemalasannya. Mungkin ia segan pergi. Tetapi perutnya
memaksanya juga untuk pergi" jawab Mahisa Pukat.
Para peronda itu mengangguk-angguk. Yang seorang
kemudian berkata "Ia pergi kearah Barat"
--ooo0dw0ooo- Jilid 010 MAHISA MURTI dan Mahisa Pukat menganggukangguk.
Namun Mahisa Murtipun berkata "Biar sajalah
kemana ia akan pergi. Kami akan pergi ke sungai"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun telah pergi kearah
Barat pula. Tetapi mereka sama sekali tidak menunjukkan
sikap yang tergesa-gesa. Mereka melangkah sewajarnya
memasuki kegelapan. Namun demikian mereka merasa tidak terawasi oleh
orang-orang yang meronda di regol, maka merekapun telah
mengambil satu sikap tertentu.
"Apa yang harus kita kerjakan?" berkata Mahisa Murti.
"Orang itu memang mencurigakan" jawab Mahisa
Pukat. "Sudah lama aku memikirkannya" berkata Mahisa Murti
"ia adalah gambaran dari seorang yang kecewa"
"Tetapi ia sempat menyembunyikan perasaan itu
terhadap Ki Sarpa Kuning. Nampaknya Ki Sarpa Kuning
tidak mencurigainya" jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Lalu katanya "Aku
mempunyai dugaan buruk terhadap orang itu. Usahanya
menyembunyikan perasaannya tentu ada batasnya.
Agaknya kematian adiknya merupakan beban yang sulit
untuk dilupakannya" "Lalu, apa yang akan kita lakukan?" bertanya Mahisa
Pukat. Mahisa Murti merenung sejenak. Lalu katanya "Aku
mempunyai firasat bahwa orang itu ada disekitar halaman
rumah Ki Sendawa. Meskipun ia tidak mempunyai
persoalan dengan Ki Sendawa, namun agaknya ia tidak
segan-segan untuk berbuat sesuatu atas Ki Sarpa Kuning.
Karena ia merasa bahwa ia tidak akan dapat berhadapan
dengan Ki Sarpa Kuning, karena ia adalah muridnya, maka
ia akan dapat mengambil jalan lain"
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Lalu katanya Aku
sependapat. Marilah kita lihat, apakah ia benar-benar ada di
sekitar tempat ini" Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian
bersepakat untuk mencari orang yang meninggalkan gandok
itu disekitar halaman rumah Ki Sendawa.
Dengan hati-hati keduanyapun berputar memasuki
halaman rumah disamping rumah Ki Sendawa Halaman
yang sudah menjadi sepi. Dengan kemampuan mereka,
maka kedua anak muda itu sama sekali tidak menimbulkan
kegaduhan ketika mereka meloncati dinding dan sekat-sekat
halaman. Untuk beberapa saat keduanya mengamati keadaan.
Mereka bergeser dari satu tempat ketempat yang lain.
Bahkan keduanya seolah-olah telah melingkari halaman
rumah Ki Sendawa yang luas itu. Namun mereka tidak
melihat seseorang. "Nampaknya orang itu tidak ada disini" desis Mahisa
Pukat. Mahisa Murti mengangguk kecil. Jawabnya "Mungkin
orang itu benar-benar pergi ke sungai atau keluar dari
padukuhan untuk menenangkan hatinya yang gelisah.
Tetapi rasa-rasanya sesuatu akan terjadi. Baiklah kita
menunggu sejenak" Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian
menunggu dengan sabar meskipun ada juga kegelisahan
didalam hati. Jika Ki Sarpa Kuning terbangun dan
mencarinya, mungkin kesulitan akan terjadi.
"Mudah-mudahan ia mengira bahwa aku justru pergi
bersama seorang muridnya" berkata Mahisa Murti didalam
hatinya. Namun dalam pada itu, keduanya mulai mendengar
sesuatu. Keduanya mulai mendengar gemerisik tidak terlalu
jauh dari tempat mereka menunggu.
Mahisa Murti menggamit lengan Mahisa Pukat yang ternyata
sudah mendengar juga suara yang asing itu. Karena
itu, maka Mahisa Pukatpun mengangguk kecil ketika ia
merasa Mahisa Murti menggamitnya.
Perlahan-lahan keduanya berusaha untuk mendekat
suara itu. Dengan sangat berhati-hati. agar mereka sendiri
tidak justru menimbulkan suara yang dapat menarik
perhatian. Setapak demi setapak mereka berusaha mendekati
sumber suara yang tidak menarik perhatian mereka itu.
Kedua orang anak muda itu menjadi tegang. Apalagi
ketika mereka melihat murid Ki Sarpa Kuning itu menarik
sesuatu dari balik bajunya. Sumpit.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai meraba arti dari
perbuatan orang itu. Orang yang pernah menjadi kecewa
dan sakit hati. Apalagi setelah adiknya dibunuh oleh Ki
Sarpa Kuning. Dengan demikian, maka keduanyapun mulai dapat
menebak teka-teki yang mereka hadapi. Karena itu, maka
keduanyapun hampir diluar sadarnya telah bergeser
mendekat. Tetapi karena seluruh perhatian mereka tertuju kepada
orang yang berada diatas atap itu, maka Mahisa Pukat
menjadi kurang memperhatikan langkahnya. Diluar
kehendaknya, ia telah menginjak sepotong ranting kering,
sehingea kakinya itu telah menimbulkan suara yang
berderik. Suara itu telah menarik perhatian orang yang sedang
berada diatas atap itu. Dengan serta mereka, maka iapun
telah berpaling. Ternyata penglihatannya tidak kalah tajamnya dengan
penglihatan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Meskipun
malam cukup gelap, tetapi orang itu dapat melihat dalam
keremangan malam, bayangan dua orang yang berdiri
dibelakang dinding halaman.
Tiba-tiba saja orang itu meletakkan sumpitnya di
mulutnya. Dengan kecepatan yang tinggi, orang itu telah
melepaskan sumpitnya kearah Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Untunglah bahwa kedua orang anak muda itu mampu
mengimbangi kecepatan gerak orang yang berada diatap
rumah itu. Dengan serta merta, keduanya telah
menjatuhkan diri di balik dinding halaman, sehingga mata
sumpit itu tidak mengenai mereka.
Namun orang yang berada diatas atap itu merasa, bahwa
perbuatannya telah diketahui seseorang. Karena itu, maka
dengan tangkasnya orang itupun kemudian berkisar dan
meluncur turun lewat cabang dan batang pohon jambu air
yang dipanjatnya. Dalam waktu yang sangat singkat orang
itu sudah berdiri diatas dinding halaman dan meloncat
turun. Namun sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
yang menyadari apa yang telah terjadi, sempat mengambil
satu keputusan bahwa mereka akan menyingkir dari tempat
itu. Jika mereka harus berkelahi, mereka akan mengambil
tempat yang agak jauh dari rumah Ki Sendawa.
Tetapi keduanya dengan sengaja telah memancing orang
yang telah berada diatas dinding itu untuk mengikuti
mereka Dalam kegelapan merekapun telah saling mengejar.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak
ingin melepaskan diri dari pengamatan orang itu, sehingga
akhirnya mereka telah berada di sebuah halaman kosong
yang ditumbuhi semak semak belukar.
"Kita berhenti disini" berkata Mahisa Murti.
Sementara itu, orang yang mengejarnyapun telah berdiri
beberapa langkah dihadapan mereka.
Ternyata sumber suara itu berasal dari balik dinding


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

halaman, justru diarah halaman Ki Sendawa.
Kedua anak muda itu saling berpandangan sejenak.
Kemudian dengan isyarat keduanyapun berusaha untuk
dapat menjenguk. Tetapi keduanya harus berusaha, agar
mereka tidak melakukan kesalahan dengan menimbulkan
bunyi pula betapapun lemahnya. Karena dimalam yang sepi
itu, suara yang lemuhpun akan mudah didengar seperti
suara yang timbul di halaman rumah Ki Sendawa itu.
Yang paling mudah mereka lakukan kemudian adalah
salah seorang dari keduanya berdiri di pundak yang lain.
Perlahan lahan yang lain itu akan berdiri dan mengangkat
yang berdiri dipundaknya sehingga ia akan dapat
menjenguk apakah yang ada dibalik dinding itu tanpa
menimbulkan bunyi. Mahisa Pukatlah yang kemudian berdiri dipundak
Mahisa Murti yang berjongkok. Perlahan-lahan Mahisa
.Murti berdiri sehingga akhirnya, Mahisa Pukat berhasil
menjenguk halaman rumah Ki Sendawa.
Ternyata keduanya tidak menimbulkan suara sama sekali
Karena itu. maka Mahisa Pukat sempat melihat, apakah
yang sedang terjadi. Dengan dada yang berdebar-debar Mahisa Pukat melihat
murid Ki Sarpa Kuning yang telah keluar mendahuluinya
itu berusaha untuk memanjat sebatang pohon yang tumbuh
dibelakang gandok. Dengan isyarat Mahisa Pukatpun kemudian minta agar
Mahisa Murti menurunkannya, agar ia dapat berbicara
serba sedikit apa yang sebaiknya mereka lakukan.
"Apa yang akan dilakukannya" desis Mahisa Murti yang
kemudian mendengar hal itu dari Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat menggelengkan kepalanya. Namun iapun
kemudian menunjuk sebatang pohon yang rimbun.
Sebatang pohon jambu air.
Keduanyapun kemudian melekat dinding halaman
disebelah agar orang yang memanjat itu tidak segera
melihat mereka. Perlahan-lahan keduanya bergeser semakin
dekat dengan arah pohon jambu air itu.
Dari halaman di sebelah keduanya kemudian dapat
melihat dalam keremangan malam, orang itu memanjat
semakin tinggi. Sehingga kemudian ia berada diatas atap
gandok rumah Ki Sendawa. Kedua anak muda itu saling berpandangan. Keduanya
menjadi tegang, justru teka-teki yang dihadapinya tidak
segera dapat dipecahkan. Namun kemudian mereka melihat orang itu mulai
menyingkapkan atap gandok itu. tepat diarah Ki Sarpa
Kuning dan murid-muridnya itu tidur.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat semakin tertarik
melihat sikap orang itu. Dengan sangat hati-hati dan
hampir tidak menimbulkan suara apapun juga, atap gandok
itu mulai tersingkap. Ketika mereka sudah berhadapan, maka jelaslah bagi
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, siapakah yang berdiri
dihadapan mereka. Orang itu adalah murid Ki Sarpa
Kuning sendiri, yang telah keluar mendahului kedua anak
muda itu. "Apa yang sebenarnya kau lakukan?" bertanya Mahisa
Murti. Wajah orang itu menjadi tegang. Dengan suara bergetar
iapun bertanya "Kau sengaja mengikuti aku?"
"Aku memang mencarimu. Para peronda melihat kau
keluar dari gandok dengan sikap gelisah" jawab Mahisa
Murti "ternyata kau telah melakukan satu perbuatan yang
dapat mencelakai guru"
"Orang itu bukan gurumu" potong orang itu "kau telah
masuk ke dalam perangkapnya. Sekarang terserah
kepadamu. Apakah kau akan melawan atau tidak. Tetapi
aku harus membunuh kalian karena kalian melihat, apa
yang akan aku lakukan. Bukan karena aku seorang
pembunuh seperti Ki Sarpa Kuning, tetapi jika aku tidak
melakukannya, maka akulah yang akan dibunuhnya karena
kalian akan melaporkannya"
"Terserah apa yang akan kau lakukan" jawab Mahisa
Murti "tetapi beri aku penjelasan akan sikapmu. Kemudian
kita akan menentukan, kau atau kami berdua yang akan
mati jika kau masih berniat untuk membunuh kami"
"Persetan" geram orang itu "aku memang akan
membunuh orang yang telah merampas kebebasan hidupku
dan membunuh adikku itu"
"Kenapa kau mengambil jalan yang sulit. Kenapa kau
tidak membunuh guru ketika kau masih berbaring
disampingnya" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku tidak akan berhasil membunuh mereka semua. Jika
aku membunuh orang yang berada disisiku, maka yang lain
tentu akan segera terbangun" jawab orang itu "tetapi dari
atas atap dengan paser beracun ini, aku akan dapat
membunuh semua orang. Aku akan dapat menyumpit
mereka dengan cepat seorang demi seorang. Sentuhan paser
yang menjadi mata supitku ini tidak akan dapat ditawarkan.
Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya "Kau salah. Ki
Sarpa Kuning kebal akan segala bisa"
"Aku muridnya yang jauh lebih lama dari kehadiranmu
yang baru saja" jawab orang itu "aku tahu. Ki Sarpa
Kuning memiliki obat tertentu. Tetapi jika ia tidak makan
obatnya untuk waktu tertentu, maka kekebalannya akan
bisa menjadi berkurang. Biasanya ia makan obat itu
sebelum melakukan sesuatu dengan ular-ularnya yang
tersimpan baik-baik di dalam kotaknya. Tetapi aku tahu,
malam ini ia tidak menelan obat itu. Karena itu, aku akan
mengambil kesempatan ini"
Wajah kedua orang anak muda itu menjadi tegang.
Namun Mahisa Murtipun berkata "Apakah tidak ada
murid-murid Ki Sarpa Kuning yang lain yang akan
menuntutmu kelak" "Tidak ada yang tahu, bahwa aku yang telah
melakukannya. Seandainya ada yang menduga demikian,
tidak akan ada orang yang akan mampu mencari aku"
jawab orang itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebardebar.
Sementara orang itu berkata "Baiklah. Jika kalian
tidak keras kepala, maka kalian masih mempunyai
kesempatan untuk hidup. Jika kaiian menyerah, maka aku
akan mengikat kaiian pada batang-batang pohon itu. Aku
akan melaksanakan rencanaku dan kemudian
meninggalkan tempat ini tanpa seorangpun yang
mengetahui tujuanku. Besok kalian akan diketemukan oleh orang-orang
padukuhan ini dan kalian akan dibebaskan. Tetapi
seandainya murid-murid Ki Sarpa Kuning yang lain, yang
mendengar kematian gurunya kemudian menyangka kalian
yang melakukan pembunuhan, itu karena memang nasibmu
yang terlalu buruk" "Tunggu" berkata Mahisa Pukat "apakah kau tidak
mempunyai cara lain daripada membunuh?"
"Tidak ada cara lain terhadap Ki Sarpa Kuning" jawab
orang itu "meskipun sebenarnya aku bukan pembunuh.
Karena itu, aku akan memberi kalian kesempatan"
"Ki Sanak" berkata Mahisa Murti "sebaiknya kau tidak
usah memikirkan aku dan saudaraku. Lakukan apa yang
akan kau lakukan. Tetapi kalian tidak usah mengikat kami.
Itu tidak perlu. Dan kamipun merasa cemas, bahwa setelah
kami terikat, kau telah berubah pendirian. Tiba-tiba kau
ingin membunuh kami berdua"
"Memang mungkin" jawab orang itu "sebagaimana
timbul pula keinginanku sekarang untuk membunuh kalian.
Apalagi jika kalian memperlambat usahaku. Aku akan
melakukannya sebelum Ki Sarpa Kuning bangun. Aku
sudah mempelajari keadaan disekitar gandok rumah itu
sejak kita tinggal disana. Aku sudah mempelajari keadaan
batang jambu air itu. Dan akupun telah mempelajari letak
amben dimana Ki Sarpa Kuning tidur. Karena itu, kalian
jangan mengganggu aku"
"Ki Sanak" berkata Mahisa Pukat "aku tidak akan
mengganggumu. Aku tidak akan menghalangimu. Tetapi
akupun tidak mau jika ingin mengikat kami"
"Kalian tidak mempunyai pilihan lain" jawab orang itu
"aku tinggalkan dengan terikat, atau aku akan
membunuhmu sama sekali"
"Kami tidak memilih kedua-duanya" jawab Mahisa
Pukat "tetapi akupun tidak akan menghalangi apa yang
akan kau lakukan" "Omong kosong" jawab orang itu "cepat, ambil
keputusan. Waktuku sudah habis. Jika Ki Sarpa Kuning
terbangun, maka akulah yang akan mati"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang.
Nampaknya orang itu tidak sekedar mengancam. Tetapi
karena ia sendiri merasa terdesak oleh keadaan, maka ia
akan dapat menjadi garang.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
dapat meraba warna perasaan orang itu. Sebenarnyalah
bahwa ia memang bukan seorang pembunuh. Mereka
memang tidak sebenarnya ingin membunuh Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Ia juga tidak ingin membunuh Ki Sarpa
Kuning jika ia tidak tersudut ke dalam satu keadaan yang
tidak lagi dapat diatasinya. Ia merasa terjebak ke dalam satu
keterikatan yang Hangat menyakitkan hati. Ditambah lagi
dengan kemutian adiknya yang dibunuh oleh Ki Sarpa
Kuning meskipun adiknya memang bersalah.
Gejolak perasaannya yang tidak dapat dikendalikannya
lagi, kerinduannya atas perubahan sikap dan tatanan
kehidupannya telah mendorongnya untuk mengambil satu
sikap yang keras. Meskipun demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak mau menjadi korban keadaan orang itu. Mereka tidak
mau menjadi sasaran kebingungan orang yang seakan-akan
telah kehilangan pegangan itu. Namun Mahisa Murti dan
Mahisa Pukatpun tidak akan menghukumnya sebagaimana
ia bersikap dengan orang-orang yang akan membunuhnya.
Kedua anak muda itu justru merasa, betapa sakitnya hati
orang itu menghadapi keadaannya sendiri. Kematian
adiknya yang diketahuinya dengan pasti, tetapi tanpa dapat
berbuat apa-apa, sementara itu iu merasa terpenjara dalam
satu keadaan yang buram. Selagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merenungi orang
yang berdiri dihadapannya itu, tiba-tiba orang itu telah
membentak "Cepat. Jangan dengan sengaja memperlambat
waktu. Cepat katakan, yang manakah yang kau pilih.
Terikat dengan harapan bahwa besok kau akan
diketemukan oleh seseorang, atau aku akan membunuhmu"
"Jangan Ki Sanak" jawab Mahisa Murti "lakukan apa
yang akan kau lakukan. Aku akan berada disini, tetapi tidak
dengan tangan dan kaki terikat"
"Persetan" geram orang itu "aku tidak mempunyai
waktu lagi. Jika kalian tidak memilih kedua-duanya, maka
akulah yang akan menentukan. Aku lebih mudah
membunuh kalian daripada menangkap dan mengikat
kalian" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari, bahwa
orang itu ten!u akan melakukannya. Karena itu maka
Mahisa Murtipun kemudian justru berkata kepada saudara
laki-kalinya "Hati-hatilah. Kita agaknya terpaksa
mempertahankan diri"
Orang itu tidak ingin memperpanjang waktu lagi Ketika
ia mendengar keputusan Mahisa Murti itu, maka tiba-tiba
saja ia telah meloncat menyerang dengan garangnya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah
menduga. Karena itu, maka serangan yang pertama yang
diarahkan kepada Mahisa Murti itupun dengan mudah
dapat dihindarinya. Tetapi orang itu benar-benar ingin menyelesaikan
lawannya dengan cepat. Kegelisahannya tentang dirinya
sendiri, telah mendorongnya untuk melakukan kekerasan
dan bahkan sampai pada satu kemungkinan untuk
membunuh. Dalam pada itu, maka Mahisa Murtipun telah berusaha
bergeser mendekati Mahisa Pukat sambil berdesis "Kita
hadapi orang itu berdua"
"Bagus" ternyata orang itu mendengarnya pula "dengan
demikian kita akan cepat sampai kepada satu keputusan
akhir dari pertempuran ini"
Mahisa Murti bergeser pula ketika orang itu
menyerangnya. Namun Mahisa Murti masih sempat
berkata "Kami akan melawan karena kami tidak mau
diperlakukan tidak adil. Tetapi sebenarnya kami tidak ingin
berbuat sesuatu atas perbuatanmu, karena hal itu harus kau
pertanggung jawabkan sendiri"
"Aku tidak peduli. Tetapi membunuh kalian memang
lebih mudah dari menangkap kalian dan mengikat pada
sebatang pohon" berkata orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun mulai membalas
serangan-serangan orang itu dengan serangan pula. Tetapi
Mahisa Murti masih sempat berdesis "Jangan sakiti orang
itu" "Kau menghina aku" orang itu hampir berteriak
Sementara Mahisa Pukat memotong "Jangan berteriak. Jika
suaramu didengar seseorang, maka akibatnya akan semakin
parah. Bukan bagi kami, tetapi bagi kau"
"Tidak. Timbul pikiran baru padaku. Jika Ki Sarpa
Kuning atau saudara-saudara seperguruanku datang, aku
akan dapat mengatakan bahwa kalian ingin melarikan diri"
berkata orang itu. "Tentu tidak akan dipercaya" jawab Mahisa Murti "aku
masih mempunyai sesuatu yane tertinggal di gandok"
Namun dengan demikian pekerjaan mereka menjadi
sangat berat, karena yang mereka hadapi adalah seseorang
yangs memiliki ilmu yang cukup.
Dalam pada itu, ketika orang itu merasakan, tekanan
yang semakin berat dari kedua lawannya, maka iapun
berdesis "Agaknya kalian merasa memiliki ilmu yang cukup
tinggi untuk menggangguku. Tetapi kalian akan segera


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyesal, bahwa aku akan segera kehilangan pengekangan
diri. Jika aku tidak segera dapat menyelesaikan kalian
dengan cara yang lebih lunak, maka aku akan benar-benar
membunuh" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi
mereka telah meningkatkan tekanan mereka terhada
lawannya Semakin lama, orang itupun semakin merasakan tekanan
yang sulit untuk dielakkan Kedua anak muda itu mampu
bergerak cepat Jika yang seorang gagal menyerang, maka
yung lain telah menyusul dengan serangan berikutnya,
beruntun tanpa henti-hentinya.
"Gila" geram orang itu. Namun ia masih juga
mengancam "apakah kalian tidak berpikir untuk
menghentikan perlawanan kalian"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih tetap berdiam
diri. Tetapi mereka masih juga berusaha untuk
meningkatkan tekanan mereka terhadap lawannya.
Dalam pada itu, ketika orang itu merasa dirinya tidak
mampu lagi menghadapi kedua anak muda itu, agaknya
benar-benar telah dkengkam oleh kebingungan, karena
sudah barang tentu bahwa ia tidak akan mau mati tanpa
berbuat sesuatu. Jika ia dapat ditangkap atau dilumpuhkan
oleh kedua orang anak muda itu, maka berarti bahwa ia
akan mengalami kematian yang menyakitkan hati. Ki Sarpa
Kuning aKan membawa seekor ular sebesar jari
kelingkingnya. Dan ular kecil itu akan dibiarkan mematuk
kulitnya, sehingga akhirnya ia akan mati
Karena itu, maka orang itu tidak lagi berpikir terlalu
panjang. Tiba-tiba saja ia sudah menarik pedangnya.
Bagaimanapun juga, lebih baik baginya untuk membunuh
daripada dibunuh. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bergeser surut. Mereka
melihat lawannya telah kehilangan penalaran. Karena itu,
maka mereka harus berhati-hati menghadapinya.
Sejenak kemudian, maka murid Ki Sarpa Kuning itu
telah menyerang dengan ayunan pedangnya. Sekali sekali
teryun mendatar, namun kemudian terayun dalam putaran
yang berbahaya, sementara sejenak kemudian pedang itu
terjulur lurus mematuk kearah dada lawan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar harus
berhati-hati. Orang itu agaknya sudah tidak sempat berpikir
lagi. Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun telah berpencar. Keduanya berada diarah yang
berlawanan, sehingga dengan demikian, mereka dapat
memecah perhatian lawan mereka.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun berusaha untuk lebih cepat mengakhiri
pertempuran itu. Dengan kemampuan mereka yang tinggi
mereka mulai benar-benar mendesak lawannya. Mereka
tidak merasa perlu untuk menyembunyikan unsur-unsur
gerak yang manapun karena mereka tidak berhadaphadapan
dengan Ki Sarpa Kuning. Dalam tingkat tertinggi dari ilmu mereka, ternyata kedua
orang anak muda itu berhasil menguasai lawannya, -
meskipun lawannya itu berpedang. Dengan langkah
panjang dan beruntun berganti-ganti, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat mulai menyentuh tubuh lawannya. Dalam
kecepatan tertinggi dari kemampuan gerak mereka, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat berganti-ganti mampu menembus
putaran pedang lawannya. Apalagi ketika kedua anak muda
itu telah mempergunakan pisau-pisau belati yang selalu
mereka selipkan dibawah kain panjang mereka.
Justru karena kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, maka orang yang kehilangan nalar itu menjadi
semakin gugup. Sekali-kali ia merasa kecil. Namun
kemudian kemarahannya telah membuatnya semakin
garang. Tetapi bagaimanapun juga, ternyata bahwa orang itu
tidak akan mampu mengimbangi kecepatan gerak Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Semakin lama orang itu justru
semakin terdesak. Akhirnya, dalam keadaan yang paling sulit, maka orang
itu tidak lagi mempunyai pilihan lain. Dengan loncatan
panjang, maka ia telah mengambil jarak sambil menarik
sumpitnya yang diselipkannya diikat pinggangnya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Mereka
mereka mengerti, mata sumpit itu tentu beracun.
Namun murid Ki Sarpa Kuning itu bergerak terlalu
cepat. Sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat
berbuat sesuatu, orang itu telah meniup sumpitnya
mengarah ke dada Mahisa Murti.
Mahisa Murti berusaha mengelak. Tetapi ternyata ia
tidak dapat melepaskan diri sepenuhnya. Mata sumpit itu
telah menancap pada pundaknya.
Terdengar Mahisa Murti mengeluh pendek. Wajahnya
menjadi tegang. Bagaimanapun juga, darah mudanya mulai
mengaliri seluruh tubuhnya.
Sementara itu, Mahisa Pukatpun telah terkejut pula. la
menyadari bahwa Mahisa Murti telah dikenai oleh mata
sumpit murid Ki Sarpa Kuning itu.
Dalam pada itu, untuk sesaat, baik Mahisa Murti
maupun Mahisa Pukat seolah-olah justru telah membeku.
Jantung mereka bagaikan bedegup semakin cepat. Dengan
tajamnya kedua anak muda itu memandang lawan mereka
dengan sorot mata yang menyala.
Namun dalam pada itu, selagi kedua anak muda itu
mulai dipanasi oleh darah mereka yang mendidih, mereka
melihat lawan mereka berdiri termangu-mangu. Dengansikap
yang aneh orang itu memandang Mahisa Murti yang
telah dikenai mata sumpitnya yang memang beracun.
"Ki Sanak" tiba-tiba saja orang itu berdesis "kau kena
mata sumpitku?" Mahisa murti yang tidak mengerti sikap lawannya itu
tidak segera menjawab. Tetapi kedua anak muda itu telah
bersiap sepenuhnya menghadapi lawannya yang bersenjata
sumpit itu. Tetapi keduanya menjadi semakin bimbang ketika
mereka melihat orang itu menundukkan sumpitnya. Bahkan
dengan suara bergetar ia berkata "Maafkan aku anak-anak
muda. Aku tidak berniat untuk membunuh. Tetapi dalam
keadaan yang sulit, aku tidak dapat menguasai diriku lagi"
Mahisa Murti melihat perubahan sikap itu dengan hatihati.
Namun nampaknya orang itu bersungguh-sungguh.
Dalam keremangan malam, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat melihat orang itu melangkah mendekat. Namun,
bagaimanapun juga keduanya masih belum dapat
mempercayai lawannya itu sepenuhnya.
Tetapi ketika mereka melihat orang itu menyelipkan
sumpitnya, maka keduanya menjadi semakin meyakini
sikap orang itu. "Ki Sanak" berkata orang itu "mata sumpit itu beracun.
Racun itu kuat sekali, sehingga tidak ada orang ya'hg akan
dapat membebaskan diri dari kematian tanpa mendapat
pengobatan yang sebaik-baiknya. Karena itu, berilah aku
kesempatan untuk mengobati lukamu. Aku sama sekali
tidak ingin membunuh kalian. Karena sebenarnya aku tidak
mempunyai persoalan dengan kalian, kecuali jika kalian
memang akan melaporkan kepergianku dan usahaku untuk
melenyapkan Ki Sarpa Kuning. Hal itupun tidak akan aku
lakukan, jika tidak merasa diriku kehilangan harapan untuk
menyusun masa depanku"
"Apakah kau berkata dengan jujur?" bertanya Mahisa
Murti. "Aku berkata dengan jujur. Cepatlah. Beri aku
kesempatan memperbaiki kekeliruanku" jawab orang itu
"Jika terlambat maka aku tidak akan dapat berbuat apa-apa
lagi. Mahisa Murti termangu-mangu. Namun kemudian
katanya "Aku mempunyai obat penawar racun Ki Sanak"
"Mungkin obatmu dapat mengobati luka beracun itu.
Tetapi jika kalian gagal karena obatmu kurang tajam
menghadapi racunku, maka pengobatan selanjutnya sudah
terlambat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun mereka semakin menyadari, bahwa orang
itu telah berkata sebenarnya. Karena itu, maka Mahisa
Murtipun kemudian berkata "Jangan risaukan racunmu Ki
Sanak" "Aku tidak bergurau" jawab orang itu "racun itu adalah
racun sebagaimana dipergunakan oleh Ki Sarpa Kuning.
Kami, murid-muridnya telah mendapat senjata seperti ini,
tetapi juga sekaligus obat untuk menawarkan racun setajam
racun Ki Sarpa Kuning itu"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang melihat
kesungguhan sikap kemudian mendekatinya. Sementara
orang itu menjadi bertambah tegang. Katanya "Aku tidak
sedang bermain-main Ki Sanak. Nyawamu ada dalam
bahaya" Mahisa Murti yang terkena sumpit pada pundaknya
itupun kemudian dengan hati-hati menarik mata sumpit itu
dari tubuhnya. "Jangan. Tunggu, aku mengobatimu. Jika mata sumpit
itu kau tarik sebelum obat dipersiapkan, maka segalanya
akan terlambat" orang itu hampir berteriak.
Tetapi Mahisa Murti tersenyum sambil melangkah
semakin dekat. Katanya "Percayalah. Aku tidak akan
terpengaruh oleh racunmu itu"
Orang itu termangu-mangu. Namun nampak pada sikapsikapnya,
bahwa ia benar-benar dkengkam oleh ketegangan.
"Jangan risau Ki Sanak. Kau tidak sedang melakukan
pembunuhan, karena aku tidak akan mati karena racunmu.
Bahkan karena carun siapapun juga. Apakah kau tidak
percaya?" berkata Mahisa Murti kemudian.
Orang itu masih berdiri tegang. Ditatapnya Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat berganti-ganti, seolah-olah ia tidak
percaya akan penglihatannya. Ternyata Mahisa Murti itu
masih tetap berdiri tegak dan benar-benar tidak terpengaruh
oleh racun pada mata sumpitnya.
Untuk beberapa saat orang itu dicengkam oleh satu
perasaan yang kisruh di dalam dadanya. Ketika ia melihat
anak muda itu tidak mati, maka perasaan cemasnya telah
berubah. Bukan lagi kecemasan bahwa ia akan membunuh'
orang yang tidak mempunyai persoalan apapun dengan
dirinya, tetapi kecemasan tentang nasibnya sendiri. Anak
muda itu akan dapat berbuat apa saja atasnya. Jika mereka
tidak membunuhnya dengan tangannya, maka anak-anak
muda itu akan dapat melaporkannya kepada Ki Sarpa
Kuning yang akan membunuhnya juga.
Dalam kebimbangan dan kecemasan itu, akhirnya tidak
ada pilihan lain baginya kecuali bertempur sampai mati.
Agaknya cara mati yang demikianlah yang paling terhormat
baginya. Namun selagi ia mempersiapkan diri, terdengar Mahisa
Murti berkata "Ki Sanak. Aku kira kita tidak perlu
bertempur lagi. Tidak akan ada gunanya"
"Apakah kau kira akan membiarkan diriku dibantu oleh
Ki Sarpa Kuning jika kau melaporkannya" sahut orang itu.
"Tidak" jawab Mahisa Murti "aku tidak akan
melaporkannya" "Omong kosong" jawab orang itu" agaknya kau telah
mendapat kepercayaan Ki Sarpa Kuning melampaui aku,
muridnya yang lebih tua. Kau telah mendapatkan
kepercayaan untuk menerima obat penawar racun yang
kuat itu, sehingga racunku tidak dapat membunuhmu"
"Tidak" jawab Mahisa Murti "aku tidak mendapat
apapun juga dari Ki Sarpa Kuning. Karena itu, aku tidak
akan melaporkanmu. karena kaupun akan dapat
melaporkan aku. Nah, apakah kau percaya kepadaku"
"Aku tidak mengerti" desis orang itu.
Ki Sanak. Ki Sarpa Kuning tentu tidak akan senang
melihat seseorang memiliki kemampuan melawan racun,
karena dengan demikian, maka orang itu akan dapat
melawan senjatanya yang paling berbahaya" jawab Mahisa
Pukat. Karena orang itu masih saja dkengkam oleh
kebimbangan, maka Mahisa Pukatpun berkata "Ki Sanak.
Percayalah bah kami tidak akan melaporkanmu. Kita
masing-masing telah mengetahui rahasia kedua belah pihak.
Kami tahu, bahwa kau berniat untuk membunuh Ki Sarpa
Kuning, sementara itu kau tahu, bahwa kami memiliki
kekebalan atas bisa. Nah, bukankah jika kita saling
membuka rahasia itu, kita semuanya akan dibunuhnya"
"Jadi apa maksud kalian sebenarnya?" bertanya orang
itu. "Kita akan kembali ke gandok itu. Kita akan saling
berdiam diri. Tetapi kita sudah mengetahui, bahwa kita
tidak dengan setulus hati berpihak kepada Ki Sarpa Kuning.
Nah, apakah kau sudah mengerti maksud kami?" bertanya
Mahisa Pukat kemudian. Lalu "Sebenarnyalah kami tidak
perlu melaporkan kepada Ki Sarpa Kuning jika kami ingin
mencelekaimu, karena kami dapat melakukannya sendiri
sekarang" Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun akhirnyai
iapun mengerti maksud kedua orang anak muda itu.
Ternyata kedua anak muda itu tidak benar-benar ingin
menjadi murid Ki Sarpa Kuning.
"Anak-anak muda" berkata orang itu kemudian "aku
melihat sikap kalian yang bertentangan dengan yang kalian
lakukan sehari-hari. Apakah dengan demikian kalian ingin
mengatakan, bahwa apa yang kalian lakukan sekarang ini
hanyalah pura-pura saja?"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun akhirnya Mahisa Murtipun menjawab
"Ya. Kami tidak sebenarnya ingin menjadi murid Ki Sarpa
Kuning. Kami hanya sekedar ingin tahu, apa yang akan
dilakukannya. Kamipun menyadari bahwa Ki Sarpa
Kuning tidak sepenuhnya percaya kepada kami. Namun
kami telah berusaha untuk berbuat apa saja yang dapat


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempertebal kepercayaan itu.
"Ya. Ki Sarpa Kuning tetap mencurigai kalian ber kata
murid Ki Sarpa Kuning itu.
"Kami mengerti. Ketika Ki Sarpa Kuning memungut
kami justru pada saat Kami sedang berkelahi, maka kami
pun sudah menyadari" jawab Mahisa Murti. Lalu katanya
"Marilah kita kembali Jangan terlalu lama meninggalkan
gandok" "Apa kata Ki Sarpa Kuning nanti" desis muridnya itu.
Katakan, bahwa kau telah mengikuti aku pergi ke sungai
berkata Mahisa Murti" bukankah kami masih harus selalu
mendapat pengawasan"
Orang uu mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Pukat
berkata "Kita akan dapat bekerja sama untuk seterusnya.
Bukankah kau sudah tidak ingin berada dibawah pengaruh
Ki Sarpa kuning?" "Ya. Tetapi Ki Sarpa Kuning adalah orang yang tidak
terkalahkan" jawab muridnya. Lalu "Bahkan orang orang
berilmupun segan menghadapinya"
Mahisa Murti mengangguk-angguk sambil menyahut
"Kami mengerti. Tetapi itu bukan satu alasan bahwa
apapun yang akan dilakukan tidak akan dapat dicegah"
"Aku mengerti, tetapi siapakah yang akan dapat
mencegahnya?" bertanya orang itu.
Dalam pada itu, sebelum Mahisa Murti menjawab,
terdengar suara dari dalam kegelapan "Kita akan mencegah
bersama-sama" Ketiga orang itupun dengan serta merta telah
mempersiapkan diri. Mereka bergeser menghadap kearah
suara itu. Tetapi mereka terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar
suara dari arah lain" Aku akan disini ngger. Kenapa kalian
justru menghadap kesana?"
Sekali lagi orang-orang itu terkejut. Sekali lagi mereka
meloncat kearah yang lain
Terdengar suara tertawa. Mereka melihat seseorang berdiri
dihadapan mereka. Sambil tertawa orang itu berkata Kalian masih harus
belajar mengenal sumber suara lebih baik lagi. Aku ada
disini. dan kalian menyangka bahwa aku berada di tempat
lain. Dalam keadaan yang demikian, kalian berada dalam
bahaya. Sementara kalian kebingungan, aku dapat berbuat
banyak atas kalian" Ketiga orang itu menjadi berdebar-debar. Namun mereka
menyadari bahwa orang itu tentu orang yang memiliki ilmu
yang sangat tinggi, sehingga orang itu mampu
mengacaukan tanggapan mereka atas suara yang
ditimbulkannya. Namun sejenak kemudian Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itupun menarik nafas dalam-dalam. Yang berdiri
dihadapan mereka adalah Ki Waruju.
"Ki Waruju mengejutkan kami" berkata Mahisa Murti.
"Aku mengamati kalian sejak kalian berada di halaman
sebelah rumah Ki Sendawa" berkata Ki Waruju.
"Siapakah kau?" bertanya murid Ki Sarpa Kuning.
Orang itu tersenyum sambil melangkah mendekat.
Katanya "Kau belum mengenal aku Ki Sanak. Tetapi
kedua anak muda ini sudah mengenalku sebelumnya" Ki
Waruju berhenti sejenak, lalu "aku adalah seorang petani
dari padukuhan sebelah. Padukuhan yang dibelah oleh
sungai kecil yang mengalir di sebelah Timur padukuhan Ki
Sendawa ini. Murid Ki Sarpa Kuning itu termangu-mangu. Hampir
tidak percaya ia bertanya "Kau orang Kabuyutan ini?"
"Ya" jawab Ki Waruju "aku memang orang Kabuyutan
ini yang mengikuti perkembangan terakhir dengan jantung
yang berdebar-debar. Agaknya persoalan yang semakin
panas di Kabuyutan ini tidak akan segera dapat
dipecahkan" Murid Ki Sarpa Kuning itu menjadi heran. Jika benar
orang itu adalah orang Kabuyutan yang sedang bergejolak
itu, maka ternyata Kabuyutan itu mempunyai orang-orang
yang memiliki ilmu yang tinggi sebagaimana orang yang
berdiri dihadapannya itu.
"Ki Sanak" berkata Ki Waruju kemudian kepada murid
Ki Sarpa Kuning "aku dan beberapa orang kawan-kawanku
menjadi cemas melihat perkembangan keadaan, sehingga
kami merasa perlu untuk mengamati keadaan dengan
saksama. Termasuk orang-orang asing yang berada di
lingkungan Kabuyutan kami. Orang asing yang bukan saja
tinggal di Kabuyutan kami, tetapi telah mempengaruhi
perkembangan Kabuyutan kami dengan licik"
Murid Ki Sarpa Kuning itu menjadi berdebar-debar.
Sementara Ki Waruju itupun berkata "Sampai saat ini kami
baru sekedar mengamati-amati. Apa yang akan dilakukan
oleh orang-orang yang kami anggap asing bagi Kabuyutan
kami" "Jadi kalian selama ini selalu mengamati kami?"
bertanya murid Ki Sarpa Kuning itu.
"Ya. Kami selalu mengamati kalian" jawab Ki Waruju
"kamipun mengerti bahwa murid-murid Ki Sarpa Kuning
selalu menganggap bahwa gurunya tidak akan dapat
dicegah niatnya oleh siapapun juga. Tetapi ketahuilah,
bahwa aku dan beberapa orang kawan-kawanku akan
berusaha untuk mencegahnya"
Murid Ki Sarpa Kuning itu menjadi semakin gelisah.
Sementara Ki Waruju itupun berkata "Tetapi sudahlah.
Sekarang kembalilah ke rumah Ki Sendawa, agar Ki Sarpa
Kilning tidak mencurigai kalian"
Murid Ki Sarpa Kuning itu termangu-mangu. Sementara
Ki Waruju berkata "Aku sudah mengerti sikap kalian. Sejak
sebelumnya aku sudah mengerti tentang angger Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Dan sekarang aku mengerti
tentang kau Ki Sanak, bahwa kau sebenarnya tidak sejalan
dengan pandangan dan sikap hidup Ki Sarpa Kuning.
Karena itu, maka jangan cemas. Jika pada saatnya kawankawanku
bertindak atas Ki Sarpa Kuning, maka kau akan
mendapat perhatian khusus dari kami"
"Bagaimana dengan kedua orang anak muda ini?"
bertanya murid Ki Sarpa Kuning.
Ki Waruju tertawa. Katanya "Anak itu sejak semula
adalah sebagian dari kami. Adalah kebetulan sekali, bahwa
Ki Sarpa Kuning melihat mereka berkelahi dan tertarik
kepada mereka, sehingga Ki Sarpa Kuning menawarkan
kepada kedua anak itu untuk bergabung dengan mereka.
Karena menurut dugaan Ki Sarpa Kuning kedua orang
anak ini adalah dua orang perantau"
"Apakah keduanya bukan perantau?" bertanya murid Ki
Sarpa Kuning itu. "Bukan" jawab Ki Waruju "mereka bukan perantau.
Orang itu berpikir sejenak. Lalu iapun berkata "Aku tidak
mengerti. Tetapi kedua orang anak ini tentu bukan orang
Kabuyutan ini" "Kenapa?" bertanya Ki Waruju
"Jika keduanya orang Kabuyutan ini, keduanya tidak
asing dengan anak-anak muda dipadukuhan Ki Sendawa"
Jawab murid Ki Sarpa Kuning "tetapi kedua anak muda
ini sama sekali tidak mengenal seorang diantara mereka"
Ki Waruju tersenyum. Katanya "Kau memiliki
pengamatan yang cukup cermat Ki Sanak. Keduanya
memang bukan orang Kabuyutan ini sejak lahir. Tetapi
keduanya adalah kemanakanku. Aku memanggil mereka
untuk tinggal di Kabuyutan ini. Ternyata disini mereka
mendapatkan satu kerja yang menarik"
Murid Ki Sarpa Kuning itu menarik nafas dalam-dalam.
Meskipun ia tidak mempercayai ceritera itu sepenuhnya,
namun ia tidak dapat menyangkal bahwa orang yang
disebut Ki Waruju itu memiliki ilmu yang pantas
diperhitungkan. Oleh gurunya sekalipun.
Namun dalam pada itu, Ki Warujupun berkata "Cepat
Kembalilah. Kalian sudah terlalu lama* pergi. Mudahmudahan
kalian tidak dkurigai. Langkah-langkah
berikutnya akan kita bicarakan kemudian"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian mengajak
murid Ki Sarpa Kuning itu kembali kerumah Ki Sendawa,
karena mereka masih harus melakukan peranan mereka
untuk selanjutnya. Di perjalanan itu, Mahisa Murti berkata kepada murid
Ki Sarpa Kuning itu "Kita tidak akan dapat saling
membuka rahasia. Kita telah terikat ke dalam satu ikatan
tanpa kita kehendaki. Kita harus bersama-sama melawan Ki
Sarpa Kuning itu" "Apakah kita akan membunuhnya saja?" bertanya murid
Ki Sarpa Kuning itu. "Kita harus memperhitungkannya" jawab Mahisa Murti
"karena selain Ki Sarpa Kuning sendiri, terdapat Ki
Sendawa dan para pengikutnya. Pusar dari masalah yang
dihadapi orang-orang Kabuyutan ini bukannya Ki Sarpa
Kuning itu sendiri. Tetapi Ki Sendawa"
Orang itu mengangguk-angguk. Iapun menyadari, bahwa
hubungan antara Ki Sarpa Kuning dan Ki Sendawa
nampaknya merupakan masalah yang harus mendapat
pemecahan karena kedua belah pihak akan saling
mendapatkan keuntungan. Ki Sendawa akan mendapatkan kedudukan dan
kekuasaan, sementara Ki Sarpa Kuning akan mendapatkan
kesempatan untuk melaksanakan satu tugas besarnya tanpa
diganggu. Ia akan mendapatkan hak untuk menguasai
hutan di lereng bukit dan kemudian menebang hutan itu
sesuai dengan kehendaknya, dalam rangka pelaksanaan
satu rencana yang besar bukan saja yang akan dilaksanakan
oleh Ki Sarpa Kuning, tetapi oleh banyak pihak yang
dikendalikan oleh beberapa orang bangsawan di Kediri.
Dengan demikian, maka baik murid Ki Sarpa Kuning,
maupun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, harus membuat
pertimbangan-pertimbangan yang mapan sebelum mereka
melakukan satu tindakan yang akan berarti bagi mereka dan
lingkungan mereka. Dalam pada itu, maka ketiga orang itupun semakin lama
menjadi semakin mendekati halaman rumah Ki Sendawa.
Karena itu, maka merekapun mulai berpikir, alasan apakah
yang akan mereka berikan jika Ki Sarpa Kuning ternyata
mengetahui kepergian mereka bertiga untuk waktu yang
cukup lama. Namun akhirnya Mahisa Murti menemukan juga satu
alasan yang mungkin akan dapat dipercaya oleh Ki Sarpa
Kuning. Apa saja yang telah mereka lakukan selama
mereka meninggalkan rumah Ki Sendawa.
"Katakan" berkata Mahisa Murti "mudah-mudahan ia
mempercayainya" Murid Ki Sarpa Kuning itu mengangguk-angguk.
Memang tidak alasan lain yang lebih baik daripada yang di
katakan oleh Mahisa Murti.
Demikianlah, dengan hati yang berdebar-debar ketiga
orang itupun kemudian memasuki halaman rumah Ki
Sendawa, Para peronda di regol halaman yang telah
mengenal mereka, sama sekali tidak mengganggu. Mereka
membiarkan ketiga orang itu melintas halaman menuju ke
gandok. Namun debar jantung ketiga orang itu serasa menjadi
semakin cepat ketika mereka melihat Ki Sarpa Kuning dan
murid-muridnya yang lain duduk di serambi gandok rumah
Ki Sendawa. Ketika Ki Sarpa Kuning melihat kehadiran mereka,
maka sambil menarik nafas dalam-dalam iapun bertanya
"Darimana kalian bertiga malam-malam begini?"
Murid Ki Sarpa Kuning itulah yang menjawab, sesuai
dengan pembicaraannya dengan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat "Aku mengantar mereka pergi ke sungai. Aku tidak
dapat melepaskan keduanya pergi tanpa pengawasan
Ki Sarpa Kuning menarik nafas dalam-dalam. Namun
tiba-tiba saja ia bertanya "Kenapa kedua anak muda itu
harus diawasi?" Ketegangan telah mencengkam jantung murid Ki Sarpa
Kuning itu. Namun kemudian ia berkata "Mereka termasuk
orang baru bagi kita. Apakah yang aku lakukan itu keliru?"
Ki Sarpa Kuning merenungi wajah muridnya itu. Samun
kemudian katanya "Baiklah. Kau tidak melakukan
kesalahan. Tetapi sebenarnya kau tidak perlu terlalu
mencurigai kedua anak muda itu. Bukankah keduanya
adalah adik seperguruanmu?"
"Aku mengerti guru. Tetapi selama ini, kita memang
masih mengawasinya, apakah keduanya benar-benar dapat
dipercaya" jawab murid Ki Sarpa Kuning itu.
Namun Ki Sarpa Kuning tertawa sambil berkata
"Baiklah. Kau memang seorang yang dungu. Jika hal itu
kau katakan dihadapan kedua anak muda itu sendiri,
apakah hal itu tidak akan menumbuhkan persoalan di
dalam dirinya?" Sementara itu, sebelum murid Ki Sarpa Kuning itu men
jawab, Mahisa Murtilah yang menyahut "Sebenarnya
kamipun merasa bahwa kami memang masih dalam pe
ngamatan. Tetapi kami mengerti bahwa kami adalah orangorang
baru yang belum pernah menunjukkan kesetiaan
kami. Ki Sarpa Kuning mengangguk-angguk. Katanya Baiklah.
Sokurlah jika kau tidak menjadi sakit hati Tetapi sudah
menjadi kebiasaan kami untuk menilik setiap orang di
dalam lingkungan keluarga kami, apakah mereka
bersungguh-sungguh atau sekedar ingin menyadap ilmu
tanpa memberikan kenyataan sebagai keluarga yang baik"
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara
Mahisa Pukat dan murid Ki Sarpa Kuning itupun merasa
seolah-olah himpitan perasaan mereka telah terlepas Ki
Sarpa Kuning ternyata mempercayai mereka, bahwa
mereka tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
kedudukan mereka sebagai muridnya.
Dalam pada itu, maka Ki Sarjta Kuningpun kemudian
menyuruh murid-muridnya kembali ke ruang dalam
gandok, karena sudah larut malam"


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kepergian kalian memang membuat kami agak cemas"
berKata Ki Sarpa Kuning "Karena itu kami telah duduk di
serambi sambil menunggu"
"Kami tidak ingin mengganggu" sahut murid Ki Sarpa
Kuning "karena itu, kami tidak memberitahukan kepergian
kami" "Baiklah. Masih ada waktu bagi kalian untuk tidur"
berkata Ki Sarpa Kuning "Aku akan melihat-lihat keadaan"
"Guru akan pergi kemana?" bertanya orang berkumis
itu. "Hanya berjalan-jalan saja" jawab Ki Sarpa Kuning.
"Apakah aku boleh menyertai guru?" bertanya orang
rkumis itu pula. Sarpa Kuning termenung sejenak. Kemudian
dipandanginya Gajah Wareng sambil berkata "Biarlah ia
pergi bersama aku" "Silahkan" jawab Gajah Wareng "aku akan tidur"
Ki Sarpa Kuningpun kemudian meninggalkan halaman
rumah Ki Sendawa. Sementara itu, Gajah Warengpun
berkata "Tidurlah. Jangan berkcl'iaran di malam hari"
"Kami pergi ke sungai" jawab saudara seperguruannya.
Gajah Wareng tidak menyahut. Tetapi iapun kemudian
memasuki gandok dan menjatuhkan dirinya diatas amben
yang besar. Sementara itu, mereka yang masih diluar telah bangkit
pula. Namun saudara seperguruan Gajah Wareng itu masih
juga sempat berbisik "Kami adalah orang-orang yang selalu
berkeliaran di malam hari. Peringatan itu justru terdengar
aneh ditelingaku" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi
keduanyapun kemudian memasuki gandok itu. Baru
kemudian murid Ki Sarpa Kuning itu masuk pula.
Tanpa berbicara apapun juga, maka ketiga orang itupun
telah berbaring pula. Seolah-olah tidak ada persoalan sama
sekali yang sedang mereka pikirkan, karena sejenak
kemudian, ketiga orang itu seakan-akan telah tertidur
nyenyak. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah mendapatkan satu kepastian, bahwa orang yang telah
kehilangan adiknya dan kebebasannya itu benar-benar
memusuhi gurunya meskipun tidak dengan berterus terang.
Dengan demikian, maka dalam keadaan yang khusus orang
itu akan dapat diajak bekerja bersama.
"Orang itu tentu tidak akan menolak berkata Mahisa
Murti pada suatu saat kepada Mahisa Pukat kita memegang
satu rahasia besar yang akan dapat menjeratnya ke dalam
kematian meskipun mungkin akan menjadi sumber
kesulitan pula bagi kita"
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya "Kita akan
dapat mempergunakannya pada suatu. saat. Atau
barangkali kita akan dapat saling membantu"
Mahisa Murti memang ingin merencanakan satu kerja
sama yang sebaik-baiknya dengan orang itu untuk
menggagalkan usaha Ki Sendawa.
"Bagaimanapun juga, Ki Sarpa Kuning tentu lebih percaya
kepada muridnya itu daripada kepada kita, meskipun
kita juga disebut sebagai muridnya" berkata Mahisa Murti
"karena itu, kita sangat memerlukannya"
"Tetapi apakah Ki Sarpa Kuning tidak akan
mencurigainya juga?" bertanya Mahisa Pukat.
"Mungkin pada saat-saat mendatang" jawab Mahisa
Murti "tetapi tentu tidak dalam waktu dekat. Meskipun
orang itu telah kehilangan adiknya, tetapi agaknya ia
menyimpan dendamnya di dalam hatinya. Agaknya orang
itu dengan berpura-pura seperti yang kita lakukan, mampu
memelihara kepercayaan gurunya, sehingga pada suatu saat
ia akan dapat membalas sakit hatinya itu"
"Lalu, apa yang dapat kita lakukan bersamanya"
bertanya Mahisa Pukat. "Kita mengganggu Ki Sendawa tidak pada bentuk
lahiriahnya. Tetapi kita mengganggu perasaannya" jawab
Mahisa Murti. "Bagaimana. Aku belum mengetahui rencana semacam
itu" sahut Mahisa Pukat.
"Kita meletakkan benda-benda yang aneh di dalam
rumah Ki Sendawa. Tentu lebih baik bukan kita yang
meletakkannya. Pada saat-saat tertentu, kita harus selalu
berada di dekat Ki Sarpa Kuning atau murid-muridnya
yang lain. Jika diketemukan sesuatu di dalam rumah itu,
mereka tidak akan menuduh kita. Dan merekapun tidak
akan dengan cepat menuduh muridnya yang kehilangan
adiknya itu asal ia tidak tertangkap pada saat ia
melakukannya" jawab Mahisa Murti.
"Apakah ada gunanya?" bertanya Mahisa Pukat.
"Tentu ada. Jika di dalam satu sudut bilik rumah Ki
Sendawa terdapat sebungkus bunga dengan beberapa
rerangken yang aneh-aneh, misalnya duri ikan atau pecahan
kulit kerang atau sebangsa itu, maka Ki Sendawa akan
berpikir tentang benda-benda itu. Mudah-mudahan ia
memperhatikannya" jawab Mahisa Murti.
"Apakah hasilnya dengan permainan itu" bertanya
Mahisa Pukat. "Kita ingin menunda saat Ki Sendawa mengangkat
dirinya menjadi Buyut. Jika kita berhasil menyusupkan
sesuatu yang mencurigakan, sekaligus memberikan
sebangsa gangguan yang tidak perlu membunuhnya atau
jenis-jenis permainan lain, maka ia akan memperhitungkan
rencananya itu kembali. Mudah-mudahan permainan itu
demikian mencengkam hatinya, sehingga ia akan menunda
pengangkatannya sendiri itu. Sementara Ki Waruju akan
mendapat gambaran sikap dari pihak yang lain dari
perebutar ini" Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia kurang
yakin bahwa usaha itu akan berhasil. Meskipun demikian ia
tidak akan mencegah hal itu dilakukan.
Demikianlah, pada saat-saat tertentu, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat sempat berbicara dengan murid Ki Sarpa
Kuning yang kecewa itu. Disamping pembicaraan diantara
mereka, maka setiap kali Ki Waruju sempat pula menemui
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dalam kesempatankesempatan
yang khusus. "Cobalah kau berusaha" minta Mahisa Murti kepada
murid Ki Sarpa Kuning itu.
Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia mengerti sikap
Mahisa Murti. Ternyata bahwa orang itu memang lebih
leluasa bergerak dari pada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Nampaknya Gajah Wareng dan orang berkumis, murid Ki
Sarpa Kuning itu masih tetap menganggap penting untuk
mengawasi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Untunglah
bahwa kadang-kadang mereka menyerahkan
pengawasannya kepada saudara seperguruan mereka yang
diluar pengetahuan mereka, mempunyai hubungan yang
khusus dengan kedua orang anak muda itu.
Sesuai dengan rencana Mahisa Murti, maka orang yang
kecewa itu telah berhasil pada satu saat menyusupkan
sebilah keris tua yang sebenarnya tidak berarti apa-apa
dengan sebungkus bunga dari berbagai jenis. Orang itu
meletakkan benda-benda itu di sudut dapur Ki Sendawa.
Sebenarnyalah. benda-benda itu telah membuat seluruh
keluarga Ki Sendawa menjadi ribut. Mereka menganggap
yang terjadi itu satu peristiwa ajaib yang mempunyai
pengaruh tertentu. Mereka tidak menganggap bahwa keris
tua yang sudah karatan itu sebagai keris yang tidak berarti
apa-apa. Tetapi justru melihat ujudnya, maka Ki Sendawa
menganggap bahwa keris itu tentu mempunyai kekuatan
tertentu bagi keluarganya.
Tetapi peristiwa yang pertama itu, masih belum
dihubungkan oleh Ki Sendawa dan keluarganya dengan
rencana Ki Sendawa untuk mengangkat dirinya sendiri
menjadi Buyut Kabilyutan Talang Amba. Mereka
menganggap bahwa yang terjadi itu adalah usaha orangorang
yang tidak menyukainya dalam hubungan yang lain.
Namun sementara itu, Ki Waruju dengan tidak jemujemunya
telah menghubungi menantu Ki Buyut yang telah
tidak ada lagi itu untuk bengkit dari keragu-raguannya.
"Tidak ada waktu untuk memikirkannya
berkepanjangan" berkata, Ki Waruju kepada menantu Ki
Buyut "aku memang tidak banyak berkepentingan. Aku
adalah orang lain bagi Kabuyutan ini. Tetapi aku tahu
benar pendapat orang-orang Kabuyutan ini. Mereka
merupakan harapannya kepadamu"
Menantu Ki Buyut itu memandangi orang-orang yang
pada waktu itu ada disekitarnya. Wajah-wajah mereka
memancarkan berbagai macam perasaan.
Sebenarnyalah jantung orang-orang Kabuyutan Talang
Amba itu bagaikan terguncang-guncang melihat sikap
menantu Ki Buyut. Mereka merasa kasihan melihat
kekerdilan sikap itu. Namun merekapun menahan perasaan
marah dan kecewa. Karena menantu Ki Buyut itu masih belum juga dengan
tegas menentukan sikap, juga karena isterinya berusaha
mencegahnya melibatkan diri ke dalam pertentangan
perebutan kekuasaan itu, maka orang-orang Kabuyutan itu
telah mengambil langkah sendiri.
"Kita tidak akan mencegah usaha Ki Sendawa dengan
kekerasan" berkata Ki Waruju "nampaknya mereka
memiliki kekuatan yang mungkin akan dapat membuat
keadaan semakin rumit"
"Apa yang sebaiknya kita lakukan?" bertanya beberapa
orang anak muda yang perlahan-lahan terpengaruh oleh
sikap Ki Waruju. "Kita mempengaruhi Ki Sendawa dengan cara lain.
Kekerasan hanya akan kita pergunakan dal.im keadaan
yang tidak terelakkan lagi" jawab Ki Waruju.
"Ya. Tetapi apa yang dapat kita lakukan?" bertanya
orang-orang Talang Amba. Ternyata Ki Waruju telah membuat satu rencana yang
sudah disusun bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Pa-da malam yang sudah ditentukan, beberapa malam
menjelang purnama, saat Ki Sendawa akan mengumumkan
dirinya menjadi Buyut di Talang Amba, orang-orang yang
tinggal di beberapa pedukuhan telah membuat satu upacara.
Upacara yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya.
Mereka telah berkumpul di tempat terbuka dan membakar
seonggok kayu dan ranting-ranting yang kering.
"Api itu tidak boleh padam semalam suntuk" berkata Ki
Waruju. Sementara itu, di rumah Ki Sendawa, Mahisa Murti
telah berusaha lewat murid Ki Sarpa Kuning yang kecewa
untuk menyusupkan benda-benda aneh ke dalam rumah Ki
Sendawa. Sebilah mata tombak yang sudah geripis dan
sebuah cumplung kelapa yang sudah kering. Di dalam
cumplung kelapa itu terdapat beberapa jenis bunga.
Ternyata bahwa usaha itu dapat mempengaruhi
ketabahan hati Ki Sendawa. Dari beberapa orang
kepercayaannya, ia mendengar bahwa semalam disemua
padukuhan telah diadakan satu upacara yang khusus.
Orang-orang padukuhan itu telah menyalakan api semalam
suntuk. Sementara itu di sudut longkangan bagian dalam
rumahnya telah diketemukan mata tombak dan cumplung
kelapa. Usaha yang telah berhasil mengguncang keteguhan hati
Ki Sendawa, membuatnya tergesa-gesa memanggil
beberapa orang kepercayaannya termasuk Ki Sarpa Kuning.
"Mereka mempergunakan cara yang lembut" berkata Ki
Sendawa. "Omong kosong "Ki Sarpa Kuning hampir berteriak.
Orang-orang yang hadir dalam pertemuan itu memandanginya
dengan wajah yang tegang. Sementara itu Ki
Sarpa Kuning berkata selanjutnya "Hanya orang-orang
yang penakut sajalah yang percaya akan hal itu"
"Jangan berkata begitu Ki Sarpa Kuning" sahut
seseorang "bagaimanapun juga, percaya atau tidak percaya,
laku yang lembut seperti itu memang ada. Nampaknya
menantu Ki Buyut yang putus asa itu telah mempergunakan
cara itu" "Seandainya ada cara seperti itu" berkata Ki Sarpa
Kuning kemudian "Ki Sendawa juga dapat
mempergunakannya. Seandainya menantu Ki Buyut itu
memanggil seorang dukun atau seorang juru tenung,
apakah Ki Sendawa tidak dapat melakukannya?"
"Tetapi mereka telah melakukannya lebih dahulu" jawab
Ki Sendawa. "Apa bedanya" jawab Ki Sarpa Kuning.
"Sementara kita baru bersiap-siap serangan-serangan
lembut itu berdatangan. Untunglah, kali ini aku masih
selamat. Ujung tombak itu tidak menyusup ke dalam
dadaku" berkata Ki Sarpa Kuning "namun mereka tentu
akan mem pergunakan cara yang lain lagi.
"Aku tidak percaya" berkata Ki Sarpa Kuning. Namun
kemudian "Tetapi jika kalian semua percaya akan
kemampuan yang demikian, maka tidak ada jalan lain kita
harus lebih cepat bertindak. Kita tidak usah menunggu saat
purnama naik. Kita akan mengangkat Ki Sendawa menjadi
Buyut di Kabuyutan ini. Sekarang atau besok"
Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang.
Maksud mereka adalah menunda atau jika mungkin mengurungkan
niat Ki Sendawa mempergunakan caranya sendiri,
dengan mengangkat dirinya sendiri menjadi Buyut. Tetapi
akibatnya akan dapat justru sebaliknya. Ki Sarpa Kuning
justru akan mempercepat pelaksanaan dari rencana itu.
"Orang itu memang gila" berkata Mahisa Pukat didalam
hatinya. Namun dalam pada itu, seorang kepercayaan Ki
Sendawa yang hadir itupun berkata "Sebenarnya kita
mempunyai satu cara yang dapat mengakhiri laku lembut
menantu Ki Buyut itu"
"Bagaimana menurut caramu" bertanya Ki Sendawa.
"Jika terjadi benturan kekerasan, apaboleh buat. Kita
memang sudah bersiap. Aku kira Ki Sarpa Kuning dan


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

murid-muridnya tentu tidak berkeberatan untuk melibatkan
diri" jawab orang itu.
"Kita akan menyerang mereka?" bertanya Ki Sendawa.
"Tidak. Tetapi kita ambil menantu Ki Buyut itu" jawab
orang yang mengusulkan cara itu jika arang itu atau
pengikut "pengikutnya melawan, bukan salah kita. Orang
itu telah bertindak lebih dahulu"
Tiba-tiba saja Ki Sarpa Kuning menyahut "Bagus. Aku
sependapat. Kita ambil menantu Ki Buyut. Kita akan
mengadilinya, karena ia telah menyerang dengan tenung
saudaranya sendiri. Pamannya sendiri"
Ki Sendawa termangu-mangu. Namun kepercayaannya
itupun berkata "Kita tidak akan melepaskan kesempatan
ini, justru pada saat menantu Ki Buyut itu melakukan satu
kesalahan. Meskipun yang melakukan seluruh pengikutnya
dengan membuat api yang menyala semalam suntuk.
Namun tentu menantu Ki Buyut itulah yang telah
memerintahkannya" Beberapa orang yang ada di dalam ruangan itu
mengangguk-angguk. Nampaknya beberapa orang diantara
mereka telah sependapat. Yang benar-benar menjadi tegang adalah Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Ternyata perhitungan mereka keliru. Ki
Sendawa tidak mengurungkan niatnya atau menunda
rencananya, tetapi karena pengaruh orang-orang
disekitarnya dan Ki Sarpa Kuning, akibatnya justru
sebaliknya. Dalam pada itu, Ki Sarpa Kuningpun kemudian berkata
"Kapan kita akan mengambil orang itu"
"Jangan terlalu lama. Besok kita akan mengambilnya.
Sekarang sudah menjelang malam" jawab salah seorang
diantara mereka. Ki Sendawapun akhirnya tidak berkeberatan. Ia memang
tidak mempunyai pilihan lain. Jika hal itu tidak dilakukan,
maka menantu Ki Buyut itu tentu akan dapat melakukan
perbuatan yang lebih keji lagi. Mungkin malam berikutnya,
usaha menantu Ki Buyut itu berhasil, dan ujung sebilah
keris yang patah, akan menyusup ke jantungnya. Jika anak
itu sudah ditangkap, maka aku akan dapat mengadilinya
atas nama Buyut di Talang Amba" gumam Ki Sendawa di
dalam hatinya, karena menurut penilaiannya, memang
tidak ada kekuasaan yang lebih sah dari kekuasaannya.
Demikianlah, maka Ki Sendawa dan para pengikutnya
telah sepakat. Mereka akan mengerahkan kekuatan yang
ada, sementara kekuatan Ki Sarpa Kuning dan muridmuridnya
akan menjadi ujung kekuatan Ki Sendawa.
"Jika terjadi benturan kekuatan, aku akan membuat
pengeram-eram. Aku akan menunjukkan kepada rakyat
Talang Amba. bahwa aku mempunyai kekuasaan yang
tidak terlawan. Sebenarnya aku dapat berbuat lebih banyak
dari yang aku lakukan sekarang, misalnya memiliki hutan
itu tanpa berbicara dengan siapapun dari Kabuyutan ini.
Tetapi aku memang tidak mau berbuat demikian. Aku akan
melakukannya dengan tenang tanpa terganggu oleh
siapapun, dan tanpa terganggu oleh perasaan bersalah
karena aku telah mengambil milik orang" berkata Ki Sarpa
Kuning. Lalu "Memang agak berbeda dengan jika aku
memiliki hutan itu dengan sah, atas ijin orang yang
berkuasa di Kabuyutan ini.
Orang-orang yang mendengar keterangan itu
mengangguk-angguk. Bagi mereka, Ki Sarpa Kuning adalah
orang yang bersih dan jujur. Meskipun Ki Sarpa Kuning
dan pengikut-pengikutnya memiliki kemampuan untuk
merampas hutan itu dengan kekerasan, tetapi ia tidak
melakukannya. Bahkan ia telah menyerahkan kekuatan
yang ada padanya untuk menegakkan kekuasaan yang sah
di Kabuyutan itu. Demikianlah, orang-orang yang kerkumpul itu akhirnya
berniat bulat untuk melakukan sebagaimana telah mereka
bicarakan. Besok menantu Ki Buyut akan mereka ambil.
Jika perlu dengan kekerasan. Meskipun para pengikut
menantu Ki Buyut itu jauh lebih banyak, tetapi diantara
mereka terdapat orang-orang yang memiliki ilmu yang
tinggi. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak dapat tinggal diam. Mereka harus berbuat sesuatu,
sebelum orang-orang Ki Sendawa itu benar-benar
memasuki halaman rumah menantu Ki Buyut itu.
Tetapi jika mereka berdua meninggalkan pondok Ki
Sendawa, atau salah seorang dari mereka, dalam keadaan
yang demikian, tentu akan dapat menimbulkan kecurigaan.
Ki Sarpa Kuning dan murid-muridnya, terutama Gajah
Wareng, masih belum mempercayainya sepenuhnya.
Namun akhirnya menemukan akal. Mereka berbicara
dengan murid Ki Sarpa Kuning yang kecewa karena
kematian adiknya. "Kau lebih leluasa untuk berbuat sesuatu" berkata
Mahisa Murti. Orang itu termenung sejenak. Lalu katanya "Apa yang
harus aku lakukan?" "Kita sudah bekerja sama dengan baik selama ini"
berkata Mahisa Murti "tetapi sayang hasilnya justru
sebaliknya dari yang kita harapkan. Kita berharap bahwa
dengan cara kita itu Ki Sarpa Kuning akan menunda
rencananya. Tetapi yang terjadi, justrn mempercepat
ledakan yang ingin dihindarkan itu"
"Ya. Tetapi apa yang harus aku lakukan?" desak murid
Ki Sarpa Kuning itu. "Kau temui Ki Waruju. Bukankah kau sudah pernah
mengenalnya?" bertanya Ki Sarpa Kuning.
"Ya. Pada suatu saat kau sudah pernah mempertemukan
aku dengan orang yang bernama Ki Waruju itu" jawab
murid Ki Sarpa Kuning. "Baik. Datanglah kepadanya atau langsung kepada
menantu Ki Buyut itu. Katakan apa yang akan terjadi"
berkata Mahisa Murti. Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
Mahisa Pukat berkata "Soalnya rangkap. Bukan karena aku
mengetahui rahasiamu dan memerasmu. Tetapi yang
penting, dengan demikian kita akan dapat menyelamatkan
menantu Ki Buyut yang tidak bersalah dan mungkin akan
dapat mengurangi korban yang akan berjatuhan, jika terjadi
kekerasan" "Apakah justru bukan sebaliknya" berkata orang itu
"dengan demikian orang-orang yang menjadi pengikut
menantu Ki Buyut akan bersiap-siap, sehingga akan, terjadi
pertempuran" "Kita akan terlibat ke dalamnya. Tetapi jika yang terjadi
kemudian benturan-benturan yang pecah dimana-mana,
maka korbannya akan jatuh dimana-mana. Para pengikut
menantu Ki Buyut itu akan kehilangan pengekangan diri
dan menyerang tanpa perhitungan. Jika itu terjadi diluar
pengamatan kita, maka mereka akan menjadi korban yang
parah. Mungkin Gajah Wareng, mungkin saudara
seperguruanmu yang berkumis itu. Atau mungkin Ki
Sendawa sendiri yang agaknya juga memiliki kemampuan.
Selebihnya orang-orang yang selalu mengawalnya itu
nampaknya orang-orang yang tidak berjantung sama sekali"
jawab Mahisa Pukat. Murid Ki Sarpa Kuning itu mengangguk-angguk.
Namun kemudian iapun bertanya "Jika terjadi benturan
kekerasan, apakah kita akan berdiri dipihak menantu Ki
Buyut?" "Ya. Kita akan berdiri dipihak menantu Ki Buyut.
Dengan tenang murid-murid Ki Sarpa Kuning akan segera
selesai" berkata Mahisa Murti"Bukankah kau sudah
mengetahuinya?" Murid Ki Sarpa Kuning itu mengangguk-angguk. Katanya
kemudian "Baiklah. Aku akan berdiri dipihakmu"
"Pergilah malam ini. .Hanya kau sajalah yang dapat
melakukannya" berkata Mahisa Murti kemudian.
Demikianlah, ketika malam menjadi semakin kelam,
maka murid Ki Sarpa Kuning itupun telah pergi keluar
gandok. Kepada Gajah Wareng ia berkata "Aku akan pergi
kesungai. Hati-hatilah dengan kedua orang anak muda itu.
Kadang-kadang tengah malam ia keluar. Meskipun setelah
mereka tahu bahwa aku mengawasinya mereka hanya pergi
ke sungai, tetapi jika tidak ada orang yang melihatnya, aku
tidak tahu, apa yang akan mereka lakukan"
"Kau tidak usah menggurui aku" sahut Gajah Wareng
"aku lebih tahu dari pada kau"
"Mungkin, tetapi ternyata kau tidak melihatnya ketika
kedua orang anak itu keluar malam itu" berkata murid Ki
Sarpa Kuning itu. Gajah Wareng tidak menjawab. Tetapi ia berkata "Jika
kau mau pergi, pergilah"
Murid Ki Sarpa Kuning yang kecewa itu tidak
menjawab. Tetapi iapun kemudian meninggalkan gandok
itu. "Nampaknya ia terlalu iri" berkata murid Ki Sarpa
Kuning yang berkumis "tetapi itu bukan salahnya. Guru
tidak pernah memperlakukan murid yang baru seperti anakanak
itu" "Kita memerlukan tenaganya dalam waktu dekat ini"
jawab Gajah Wareng. Kemudian suaranya menjadi
semakin lambat "Jika kita tidak memerlukannya lagi,
akupun ingin memilih lehernya"
Kawannya yang berkumis itu mengerutkan keningnya.
Namun iapun tertawa sambil berkata "Aku mempunyai
rencana lain yang lebih menarik. Kita bawa kedua orang
anak itu ke padepokan. Saudara-saudara kita seperguruan
tentu akan mendapatkan satu permainan yang
mengasyikkan" "Apalagi anak yang merasa iri itu" jawab Gajah Wareng
"rencanamu memang menarik sekali. Semakin lama kedua
orang itu semakin menjemukan, sementara guru berusaha
mengambil hatinya, agar keduanya merasa benar-benar
murid Ki Sarpa Kuning sebagaimana kita semuanya"
Kawannya tidak menjawab. Sekilas mereka
memperhatikan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
duduk beberapa langkah dari kedua orang itu. Sementara Ki
Sarpa Kuning sama sekali tidak menghiraukan muridmuridnya.
Nampaknya ia sedang merenungi.
Dalam pada itja, murid Ki Sarpa Kuning yang
kehilangan adiknya dan pergi ke rumah menantu Ki Buyut
itu melangkah dengan ragu-ragu. Bagaimanapun juga ia
adalah orang asing di Kabuyutan itu. Mungkin sekali ia
akan mengalami sikap yang kurang menguntungkannya.
Tetapi ia memang tidak mempunyai cara lain dari yang
dapat dilakukannya itu. Ia memang memiliki kemungkinan
yang lebih baik dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Dalam pada itu, malampun menjadi semakin pekat.
Dengan langkah yang ragu, Orang itupun melintasi bulakbulak
persawahan menuju ke padukuhan induk dari
Kabuyutan Talang Amba, langsung menuju kerumah
menantu Ki Buyut. Ketika ia berada beberapa langkah dari sebuah padukuhan
yang harus dilaluinya, hatinya menjadi berdebardebar.
Orang itu melihat dari jarak yang masih belum
terlalu dekat, obor yang ada di sudut gardu.
"Agaknya di gardu itu penuh dengan anak-anak muda.
Bahkan semua laki-laki padukuhan itu agaknya telah keluar
dari rumah mereka dan berada di gardu-gardu" berkata
orang itu di dalam hatinya.
Karena itu, maka keragu-raguan telah menghambat
langkahnya. Orang itupun kemudian telah memilih jalan
lain. Ia lebih baik melingkari padukuhan itu dan berjalan di
pematang. Namun ia tidak dapat melakukannya, ketika ia sampai di
padukuhan induk. Ia tidak dapat sekedar melingkari
padukuhan itu. Tetapi ia harus memasukinya. Karena itu,
maka iapun tertegun beberapa saat ketika ia mendekati
mulut lorong padukuhan induk itu. Dengan bimbang ia
harus memilih, apakah akan berjalan memasuki padukuhan
induk itu lewat pintu gerbang yang penuh dengan anakanak
muda itu, atau ia harus memilih jalan lain.
Namun akhirnya murid Ki Sarpa Kuning itu memilih
jalan lain. Ia tidak memasuki padukuhan induk itu lewat
pintu gerbang yang manapun. Tetapi murid Ki Sarpa
Kuning itu A memilih meloncati dinding padukuhan.
Namun ia memang memiliki bekal ilmu. Yang
dilakukannya itu bukan sesuatu yang sulit baginya. Dengan
mudah ia meloncat memasuki lingkungan padukuhan induk
Talang Amba. Meskipun murid Ki Sarpa Kuning itu telah mengetahui
letak padukuhan induk, tetapi ia belum pernah melihat
rumah menantu Ki Buyut. Namun dari Mahisa Murti ia
telah mendapat petunjuk sebagaimana dikatakan oleh Ki
Waruju. Sebagai seorang petualang, maka tidak sulit baginya
untuk menemukan rumah menantu Ki Buyut. Namun
seperti yang telah terjadi, ia mengalami kesulitan. Ternyata
di rumah menantu Ki Buyut itu terdapat beberapa orang
anak muda. Bagaimanapun tidak harus berhenti di regol,
maka ia tentu akan berhadapan dengan anak-anak muda itu
dalam keadaan yang belum diketahui. Apakah anak-anak
muda itu akan menanggapi kedatangannya dengan baik,
atau justru sebaliknya. Dalam pada itu, murid Ki Sarpa Kuning itu memang
harus mempersiapkan diri. Ia bersedia membantu Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat justru karena kekecewaan dan
dendamnya kepada Ki Sarpa Kuning. Namun itu bukan
berarti bahwa iapun harus membiarkan dirinya dibantai
oleh anak-anak muda itu. Untuk beberapa saat, murid Ki Sarpa Kuning itu
menyiapkan dirinya. Baru kemudian ia menemukan satu
ketetapan, bahwa ia akan memasuki halaman rumah itu
lewat regol halaman, apapun yang terjadi. Namun, dengan
satu tekad pula, bahwa jika ia dihadapkan pada satu
keadaan yang sulit, maka ia akan mempertahankan dirinya.


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan ketetapan itu, maka murid Ki Sarpa Kuning
itupun kemudian mendekati regol halaman. Langkahnya
memang masih di warnai oleh keragu-raguan hatinya.
Tetapi ia berusaha untuk tidak nampak gelisah.
Dalam pada itu, kedatangannya telah membuat anakanak
muda yang berada di regol halaman
memperhatikannya. Anak-anak muda itu melihat orang itu
melangkah mendekati mereka.
Murid Ki Sarpa Kuning itu berhenti beberapa langkah
dihadapan anak-anak muda itu. Sejenak ia termangumangu.
Namun sementara itu, seorang anak muda. maju
selangkah sambil bertanya "Apakah Ki Sanak mencari
seseorang?" Murid Ki Sarpa Kuning itu ragu-ragu. Namun kemudian
katanya "Aku mencari Ki Sanggarana. Menantu Ki Buyut
yang sudah tidak ada lagi"
Anak-anak muda itu ragi-ragu sejenak. Namun mereka
nampaknya tidak begitu mudah untuk memenuhi keinginan
itu. Ternyata seseorang bertanya "Siapakah Ki Sanak dan
untuk keperluan apa?"
Murid Ki Sarpa Kuning itu tercenung sejenak Sekilas
diamatinya beberapa orang yang berdiri disekitarnya. Anakanak
muda garang dan penuh kecurigaan. Dengan
demikian, maka murid Ki Sarpa Kuning itupun menjadi
ragu-ragu. Jika ia salah langkah, maka sesuatu yang tidak
dikehendaki akan dapat terjadi. Karena itu, dengan sangat
berhati-hati iapun kemudian menjawab "Aku adalah salah
seorang kawan Ki Sanggarana. Ada sesuatu yang penting
harus aku sampaikan"
"Kami belum pernah melihat kau sebelumnya berkata
seorang anak muda bertubuh tinggi.
"Ya. Aku memang jarang sekali pergi kerumah ini"
jawab murid Ki Sarpa Kuning itu.
"Jarangpun tentu tidak " sahut anak muda yang lain
"kau orang asing bagi kami. Nah, apa keperluanmu
menemui menantu Ki Buyut itu?"
"Ada sesuatu yang akan aku katakan kepada Ki
Sanggarana" jawab murid Ki Sarpa Kuning.
"Katakan kepada kami" bentak seorang anak muda
bertubuh kekar "Kami akan menyampaikannya kepada
menantu Ki Buyut itu"
"Katakan kepada menantu Ki Buyut, bahwa aku akan
menemuinya" berkata murid Ki Sarpa Kuning itu.
"Aku siapa?" bentak seorang laki-laki yang sudah
melampaui masa mudanya. Murid Ki Sarpa Kuning itu termangu-mangu sejenak.
Tetapi iapun kemudian berkata "Rampon. Namaku
Rampon. Tetapi mungkin sekali Ki Sanggarana telah lupa
akan nama itu. Karena itu, jika aku dapat menemuinya,
maka ia akan mengenalku. Aku akan memberitahukan satu
masalah yang penting sekali baginya"
"Jangan membuat kami kehilangan kesabaran" geram
anak muda bertubuh kekar "jawabanmu berbelit-belit.
"Ki Sanak" berkata murid Ki Sarpa Kuning itu "aku
hanya seorang diri dan sama sekali tidak membawa senjata.
Jika aku berniat buruk, aku tidak akan mempergunakan
cara ini" Orang yang sudah lebih dewasa mendengarkan kata-kata
itu. Mereka melihat kebenarannya dan menganggap bahwa
orang itu berkata sebenarnya. Karena itu, salah seorang dari
mereka bertanya "Ki Sanak. Jika ada sesuatu yang ingin
kau sampaikan kepada menantu Ki Buyut, katakan, dalam
hubungan apa?" Murid Ki Sarpa Kuning itu menjadi semakin ragu-ragu.
Tetapi iapun akhirnya tidak melihat kemungkinan lain yang
lebih baik dari mengatakan yang sebenarnya.
"Ada sesuatu yang penting diketahui oleh menantu Ki
Buyut dalam hubungan dengan kemungkinan pengangkatan
Buyut yang baru" jawab murid Ki Buyut.
Orang yang sudah lebih dewasa itu mengangguk-angguk.
Orang itu memang hanya sendiri. Tidak mungkin ia akan
dapat berbuat sesuatu dihadapan sekian banyak orang.
Tetapi anak-anak yang lebih muda nampaknya sulit
untuk mengekang diri. Ketika seorang menjadi marah,
maka yang lainpun menjadi marah pula.
"Kau tentu orang yang ingin membuat onar disini
"seorang anak muda berambut keriting berteriak.
"Ya. Orang itu tentu bukan orang yang berniat baik.
Hanya karena ia tidak dapat mengelak lagi setelah kita
melihatnya, maka ia telah berbuat seolah-olah ia ingin
berjasa" sahut yang lain.
Namun seorang yang lebih tua berkata "Baiklah kita
bawa saja orang itu kepada Ki Sanggarana. Apa yang
dikatakannya, kita akan menurut saja"
"Menantu Ki Buyut itu orang yang terlalu baik. Bahkan
orang yang mencekik untuk membunuhnyapun masih juga
diterimanya dengan ramah disaat lain, seolah-olah tidak
pernah terjadi sesuatu" jawab seorang anak muda yang
gemuk. Namun tiba-tiba seseorang diantara mereka berkata
"Aku pernah melihatnya"
"Dimana?" bertanya yang lain.
Orang itu merenung. Kemudian katanya "Aku hanya
bertemu saja di jalan. Agaknya orang itu berada di
lingkungan pengikut Ki Sendawa"
"Nah, bukankah dugaanku benar?" teriak anak muda
yang berambut kerinting "orang itu telah meliaat
kelemahan kita. Hanya karena ia tidak dapat mengelak saja
maka ia justru datang kepada kita"
"Lalu, apa artinya niat yang dikatakannya untuk
menemui menantu Ki Buyut itu" bertanya seorang yang
sudah separuh baya. "Satu cara untuk melepaskan diri. Ia yakin, bahwa
Sanggarana akan melepaskan jika ia sedikit saja
mengutarakan satu alasan" sahut seorang anak muda
bertubuh gemuk. "Apa yang sebaiknya kita lakukan?" teriak anak muda
yang berambut kerinting. "Kita menangkapnya dan mengikatnya di halaman"
teriak yang lain. "Ya. Orang itu kita tangkap dan kita jadikan pengewanewan.
Orang itu tentu pengikut Sendawa" yang lain lagi
berteriak. Murid Ki Sarpa Kuning menjadi termangu-mangu. Ia
tidak ingin terjadi salah paham. Apalagi ia tidak
mempunyai waktu yang cukup lama. Ia harus segera
kembali. Jika Ki Sarpa Kuning mengetahui apa yang
dilakukannya, artinya mati tanpa dapat membela diri lagi.
Dalam pada itu, selagi di regol terjadi keributan, maka
suara itu telah terdengar dari pendapa. Karena itu, maka
menantu Ki Buyut yang sedang duduk bersama Ki Waruju
itupun kemudian tertarik juga kepada keributan itu. Tetapi
agaknya mereka telah terlambat.
Anak-anak muda yang berdarah panas itu, tidak lagi
dapat menahan diri. Kebencian mereka kepada Ki
Sendawa, kejemuan mereka terhadap keadaan yang tidak
menentu, serta kekecewaan mereka terhadap sikap menantu
Ki Buyut, telah membuat mereka cepat mengambil sikap
menurut selera mereka sendiri.
Demikianlah, anak-anak muda itu berniat untuk
menangkap murid Ki Sarpa Kuning itu. Baru dikeesokan
harinya mereka akan meyakinkan, siapakah orang itu
sebenarnya" "Jika orang itu benar-benar jujur, maka ia tentu tidak
akan berkeberatan untuk kami tangkap dan menunggu
sampai esok pagi" berkata seorang anak muda.
Murid Ki Sarpa Kuning itu benar-benar menjadi gelisah.
Ia tidak mau menjadi korban seandainya Ki Sarpa Kuning
mengetahuinya. Jika ia harus menunggu sampai esok, itu
berarti bahwa Ki Sarpa Kuning akan mendengar apa yang
telah terjadi itu. Namun dalam pada itu, agaknya anak-anak muda itu
tidak lagi dapat diajak berbicara. Mereka telah mengambil
satu sikap. Bahkan mereka tidak mau lagi mendengarkan
oendapat kawan-kawan mereka sendiri yang lebih tua dan
berpikir lebih bening. "Dengar" tiba-tiba murid Ki Sarpa Kuning itu berteriak
"aku tidak berkeberatan menunggu sampai kapanpun.
Tetapi aku harus dapat bertemu dengan Ki Sanggarana
sekarang, sebelum kalian semuanya menjadi korban yang
tidak berarti" "Omong kosong" teriak anak-anak muda itu.
"Apa yang dapat mengancam kami?" bertanya
seseorang. Tetapi murid Ki Sarpa Kuning itu ragu-ragu untuk
mengadakan dihadapan orang banyak.
"Jika kau tidak mengatakannya, maka kau tidak akan
mendapat kesempatan apapun juga" berkata anak muda
yang berambut keriting. Setelah ragu-ragu sebentar, maka murid Ki Sarpa Kuning
itupun akhirnya menjawab "Baiklah. Beri kesempatan aku
mengatakan sesuatu yang gawat dalam hubungan Ki
Sanggarana dengan Ki Sendawa"
"Jadi kau utusan Ki Sendawa" tiba-tiba saja seseorang
berteriak. "Bukan, sama sekali bukan" jawab murid Ki Sarpa
Kuning yang mengaku bersama Rampon itu.
"Omong kosong" yang lain berteriak "tangkap saja. Kita
tidak usah terlalu baik hati kepada orang-orang Ki
Sendawa" Keadaan memang tidak menguntungkan bagi murid Ki
Sarpa Kuning itu. Ada sedikit penyesalan di dalam hatinya,
bahwa ia telah memenuhi permintaan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Namun ia harus mengambil sikap.
Demikian anak-anak muda itu benar-benar akan
menangkapnya, maka tidak ada lain sikap yang dapat
diambilnya, kecuali melawan. Perlawanannya itulah yang
membuat anak-anak muda itu semakin yakin, bahwa orang
itu memang berniat buruk.
Pada saat orang itu sudah terlibat ke dalam satu benturan
kekerasan, barulah Ki Sanggarana dan Ki Waruju sampai
ke regol halaman. Namun dalam pada itu, perlawanan orang itu benarbenar
mengejutkan. Ketika anak-anak muda itu berusaha
menangkapnya, maka perlawanan orang itu telah
melemparkan beberapa orang anak muda keluar lingkaran,
justru pada langkah-langkah permulaan.
"Sudah aku katakan" berkata orang itu "aku tidak ingin
mencari persoalan. Tetapi kalian tidak mempercayainya.
Karena itu, apaboleh buat bahwa aku harus memberikan
perlawanan" Dalam pada itu, anak-anak muda yang ada di regol
itupun menjadi semakin marah. Beberapa orang bersamasama
menyerang murid Ki Sarpa Kuning itu.
Namun anak-anak muda Kabuyutan Talang Amba
bukannya anak-anak muda yang memiliki kemampuan
yang dapat diperbandingkan dengan kemampuan murid Ki
Sarpa Kuning. Karena itu, maka dalam saat-saat
berikutnya, merekapun menjadi semakin berdebar-debar
melihat perlawanan orang yang menyebut dirinya bernama
Rampon itu. Dalam pada itu, menantu Ki Buyut yang melihat
peristiwa itu telah meloncat mendekat untuk berusaha
melerainya. Namun Ki Waruju menangkap lengannya
sambil berkata "Biarkan saia"
"Mereka berkelahi" desis menantu Ki Buyut.
"Tidak akan terjadi apa-apa. Biarlah mereka saling
berkenalan sebentar. Aku mengenal orang itu" jawab Ki
Waruju. Menantu Ki Buyut menjadi semakin gelisah. Namun Ki
Waruju yang nampaknya sama sekali tidak menjadi cemas,
justru melangkah maju sambil berkata lantang "Bagus. Satu
latihan yang baik bagi kedua belah pihak"
Beberapa orang berpaling kepadanya Murid Ki Sarpa
Kuning itu juga. Murid Ki Sarpa Kuning itu menarik nafas dalam-dalam.
Kehadiran Ki Waruju memberikan ketenangan kepadanya.
Nampaknya Ki Waruju tetap mengenalnya dan bahkan
murid Ki Sarpa Kuning itupun rasa-rasanya dapat
menangkap maksud Ki Waruju.
Sebenarnyalah Ki Warujupun berkata kepada anak anak
muda Talang Amba "Perhatikan anak-anak muda.
Demikianlah caranya seseorang berkelahi dengan
mempergunakan ilmu kanuragan. Bukan sekedar
mempergunakan kekuatan yang terasa sudah ada di dalam
diri tanpa diungkapkan dengan baik dan teratur"
Sikap Ki Waruju itu ternyata telah mendorong murid Ki
Sarpa Kuning untuk bertempur lebih keras. Rasa-rasanya ia
menangkap maksud Ki Waruju untuk menunjukkan
kekerasan dunia kanuragan.
Dengan demikian maka murid Ki Sarpa Kuning yang
menyebut dirinya Rampon itupun justru telah
meningkatkan kemampuannya. Ia mulai menunjukkan
kepada anak-anak muda Talang Amba, bahwa mereka
belum mengenal arti kekerasan yang sebenarnya.
Demikianlah, maka anak-anak muda Talang Amba itu
menjadi sangat terkejut melihat tata gerak murid Ki Sarpa
Kuning itu. Dengan tangkasnya ia berloncatan. Sekali
menyerang orang yang berada di depannya, sejenak
kemudian tubuhnya berputar melingkar bertumpu kepada
satu kakinya. Sedangkan kakinya yang lain menyambar
seorang kawannya dan terlempar jatuh keluar arena.
Dengan demikian, maka anak-anak muda Talang Amba
itupun mulai menjadi cemas. Satu-satu mereka mulai
disakiti oleh lawannya. Tetapi ternyata anak-anak muda Talang Amba itu bukan
anak-anak muda yang berhati kerdil. Meskipun mereka
menjadi berdebar-debar dan mengalami kesulitan yang
belum pernah mereka kenal sebelumnya, ternyata pada


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dasarnya mereka adalah orang-orang yang berkeyakinan.
Setiap unsur yang mereka nilai sebagai pembantu atau
orang yang berpihak kepada Ki Sendawa, maka mereka
adalah musuh-musuh yang harus dilawan.
Namun kemudian mereka tidak dapat ingkar dari satu
kenyataan. Satu-satu anak-anak muda yang ada di regol itu
tidak lagi mampu berbuat apa-apa lagi. Tenaga mereka
terperas dan perasaan sakit menyengat-nyengat. Sentuhan
tangan orang yang menyebut dirinya Dernama Rampon itu
bagi anak-anak muda Talang Amba bagaikan sambaran besi
baja. Ki Waruju menyaksikan perkelahian itu dengan
saksama. Ia justru mendapat kesempatan untuk melihat apa
yang dapat dilakukan oleh anak-anak muda Talang Amba
apabila benar-benar akan terjadi kekerasan diantara dua
golongan yang ada di Talang Amba.
Dalam pada itu, selagi Ki Waruju mengangguk-angguk
di saat-saat ia menilai perkelahian itu, Ki Sanggarana
merasa sangat cemas. Dengan suara yang bergetar ia
berkata "Ki Sanak. Bagaimana dengan anak-anak itu"
Apakah mereka akan dihancurkan oleh orang asing yang
tidak kita kenal itu?"
"Tidak apa-apa. Orang itu tidak akan berbuat sesuatu
yang akan dapat mencelakai anak-anak muda Talang
Amba" jawab Ki Waruju.
"Mereka telah mengalami. Beberapa orang terlempar
dari arena dan tidak dapat bangkit lagi" jawab menantu Ki
Buyut itu. "Satu latihan yang baik. Aku yakin bahwa tidak akan
terjadi sesuatu. Aku mengenal orang itu. Orang itu sama
sekali bukan orang asing" jawab Ki Waruju.
Menantu Ki Buyut itu tidatc mengerti sikap Ki Waruju.
Namun nampaknya Ki Waruju sama sekali tidak menjadi
cemas melihat keadaan. Tetapi yang terjadi ternyata diluar perhitungan.. Tibatiba
saja salah seorang anak muda telah berlari ke serambi
gandok. Sebelum Ki Waruju dapat berbuat sesuatu, anak muda
itu sudah menggapai pemukul kentongan.
Tetapi Ki Waruju tidak ingin membuat seluruh
Kabuyutan menjadi kisruh. Jika kentongan itu sempat
ditabuh dalam nada titir maka seisi Kabuyutan tentu akan
menjadi gelisah. Bahkan mungkin akan dapat mempercepat
benturan antara para pengikut Ki Sendawa dan para
pengikut menantu Ki Buyut itu.
Karena itu, tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan
oleh Ki Waruju selain mempergunakan kemampuannya.
Untunglah bahwa dalam pada itu, perhatian sebagian
besar orang-orang yang ada di regol, termasuk Ki
Sanggarana sendiri tertuju kepada seorang anak muda yang
berteriak kesakitan karena kaki murid Ki Sarpa Kuning itu
mengenai perutnya. Pada saat yang demikian itulah, maka
Ki Waruju sempat meraih sebutir batu kerikil. Dengan
dorongan kemampuannya maka Ki Waruju telah
melontarkan kerikil itu dengan jari-jarinya.
Akibatnya adalah mengejutkan sekali. Ternyata daya
tahan anak muda yang menggapai pemukul kentongan itu
terlalu ringkih dibandingkan dengan kekuatan yang
mendorong batu kerikil yang mengenai tubuhnya.
Karena itu, ketika punggungnya tersentuh batu kerikil
itu, anak muda itupun telah berteriak nyaring. Sejenak
kemudian tubuhnya terhuyung-huyung dan jatuh
terjerembab sebelum tangannya sempat terayun dan
menyentuh kentongan yang tergantung di serambi itu.
Teriakan anak muda itu memang sangat mengejutkan.
Semua orang yang berada di regol telah berpaling
kepadanya. Beberapa orang telah berlari-lari mendekatinya.
Dalam kekalutan itn, maka Seolah-olah telah terdengar
aba-aba untuk menghentikan perkelahian. Anak-anak muda
Talang Amba yang mulai menjadi gentar melihat sikap dan
tata gerak Rampon tidak lagi memaksa diri untuk
bertempur. Apalagi setelah terjadi peristiwa yang
mengejutkan di "erambi gandok itu.
Ki Waruju ternyata cepat menanggapi keadaan. Dalam
keragu-raguan yang mencengkam ia berkata lantang "Kita
hentikan perkelahian. Marilah, kita akan naik ke pendapa.
Aku akan mengatakan sesuatu yang penting bagi kalian"
Namun dalam pada itu, seseorang bertanya "Bagaimana
dengan anak yang pingsan itu?"
"Bawa anak itu ke pendapa" jawab Ki Waruju.
"Tetapi kenapa tiba-tiba saja ia menjadi pingsan?"
bertanya yang lain. "Aku kurang tahu. Nanti kita akan bertanya kepadanya
setelah ia sadar" jawab Ki Waruju pula.
Untuk sesaat orang-orang yang ada dihalaman dan
diregol menjadi termangu-mangu. Namun Ki Warujupun
kemudian berkata kepada Ki Sanggarana "Marilah. Kita
akan berbicara" Menantu Ki Buyut itu memandangi orang-orang yang
ada disekitarnya. Namun kemudian tatapan matanya telah
terhenti pada orang yang menyebut dirinya bernama
Rampon itu. Ki Waruju seolah-olah dapat menangkap perasaan
menantu Ki Buyut itu. Karena itu, maka katanya kepada
orang yang menyebut dirinya bernama Rampon itu
"Marilah Ki Sanak. Kita akan berbicara di pendapa"
Murid Ki Sarpa Kuning itu menjadi ragu-ragu. Meskipun
ia mempercayai Ki Waruju, namun ia digelisahkan oleh
waktu yang semakin mendesak.
Karena itu, maka katanya "Ki Waruju. Aku tidak
mempunyai waktu terlalu banyak"
"Baiklah" berkata Ki Waruju "jika demikian, apakah kau
akan mengatakan sesuatu sekarang atau kau memerlukan
hubungan khusus dan tersendiri?"
"Tidak. Aku akan.dapat mengatakannya sekarang"
jawab murid Ki Sarpa Kuning.
"Jika demikian, katakanlah" sahut Ki Waruju. Murid Ki
Sarpa Kuning itu menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya ia
bergeser mendekat.Katanya "Ki Waruju. Sebenarnya
kedatanganku ini membawa berita yang barangkali penting
bagi Ki Sanggarana. Tetapi aku tidak mendapat kesempatan
untuk menemuinya karena aku tertahan di regol. Sementara
itu, aku tidak dapat menyampaikan pesan itu lewat orang
lain, karena selain pesan itu mungkin tidak dipercaya, ada
pula kemungkinan pesan itu diabaikan tidak sampai pada
saatnya" "Apakah kau dapat mengatakan pesan itu sekarang?"
bertanya Ki Waruju. Murid Ki Sarpa Kuning yang menyebut dirinya bernama
Rampon itu memandang beberapa orang disekitarnya.
Namun kemudian katanya "Ki Sanggarana. Pesan itu
sangat penting bagi Kabuyutan Talang Amba, karena akan
menyangkut pertumbuhan Kabuyutan ini untuk
selanjutnya" Menantu Ki Buyut itu mendengarkannya dengan
sungguh-sungguh. Sementara itu, murid Ki Sarpa Kuning
itu melanjutkan "Hari ini telah diambil keputusan oleh Ki
Sendawa, bahwa Ki Sanggarana dianggap bersalah telah
melakukan tindakan yang tercela terhadap Ki Sendawa. Ki
Sanggarana telah melakukan semacam tenung yang
mengakibatkan kegelisahan di dalam lingkungan keluarga
Ki Sendawa. Untuk mencegah kemungkinan yang lebih
buruk maka Ki Sendawa mengambil keputusan, akan
menangkap Ki Sanggarana untuk diadili"
"Apa yang sudah aku lakukan?"Ki Sanggarana itu menjadi
heran. "Tenung" jawab Rampon "semua yang berpihak kepada
Ki Sanggarana telah melakukannya dengan membuat api
semalam suntuk dan telah melontarkan semacam senjata
tajam ke alam lingkungan keluarga Ki Sendawa"
"Tidak" bantah Ki Sanggarana.
Namun Ki Warujulah yang memotong "Kenapa dengan
senjata tajam itu?" "Ki Waruju" berkata murid Ki Sarpa Kuning itu
kemudian "ternyata akibat dari permainan dengan
cumplung dan ujung tombak itu berakibat sebaliknya. Ki
Sendawa tidak menjadi cemas dan mengurungkan atau
menunda niatnya, tetapi justru ia akan mengambil tindakan
secepatnya" "Apa yang akan dilakukan?" bertanya Ki Waruju.
"Sudah aku katakan. Ki Sendawa akan menangkap Ki
Sanggarana" jawab orang itu.
Wajah Ki Waruju menjadi tegang. Sesaat dipandanginya
Ki Sanggarana yang menjadi cemas pula.
Sementara itu, murid Ki Sarpa Kuning itupun berkata
perlahan-lahan "Ki Waruju, seperti yang sudah aku
katakan, aku tidak mempunyai waktu banyak. Aku harus
segera kembali sebelum Ki Sarpa Kuning mengetahui apa
yang aku lakukan sekarang ini. Sementara itu, aku ingin
menjelaskan sikapku, bahwa aku telah melawan ketika aku
hendak ditangkap. Jika aku membiarkan diriku ditangkap
dan baru dikeesokan harinya aku dipertemukan dengan Ki
Sanggarana, mungkin semuanya sudah terlambat.
Selebihnya, maka nyawakupun akan terancam karena Ki
Sarpa Kuning mengetahui bahwa aku telah berkhianat
kepadanya" Ki Waruju mengangguk-angguk. Kemudian katanya
kepada menantu Ki Buyut "Ki Sanggarana. Orang ini tidak
akan dapat lebih lama tinggal. Biarlah ia kembali agar ia
tidak mengalami nasib yang sangat buruk. Aku akan dapat
menjelaskan semuanya yang telah terjadi dan yang akan
terjadi" Menantu Ki Buyut itu masih bimbang menanggapi
keadaan. Namun sementara itu, murid Ki Sarpa Kuning
itupun berkata "Aku minta maaf, atas semuanya yang
terjadi. Mungkin aku telah menyakiti beberapa orang
diantara anak-anak muda Kabuyutan ini"
"Tidak apa-apa" Ki Warujulah yang menyahut "kau
justru sudah memperkenalkan anak-anak muda itu dengan
kerasnya benturan olah kanuragan. Apalagi apabila anakanak
muda itu membentur langsung kekuatan olah
kanuragan yang sebenarnya"
Murid Ki Sarpa Kuning itu menarik nafas dalam-dalam,
sementara Ki Waruju berkata "Marilah Ki Sanggarana.
Kita akan membicarakan persoalan ini di pendapa. Biarlah
orang ini kembali ketempatnya, agar ia tidak mengalami
kesulitan di lingkungannya nanti"
Ki Sanggarana yang masih bimbang itu hanya
mengangguk saja. Namun dalam pada itu murid Ki Sarpa
Kuning itupun berkata "Mudah-mudahan tidak semua
pembicaraan ini ditangkap oleh anak-anak muda disekitar
kita. Terutama agar mereka tidak mengetahui bahwa aku
adalah murid Ki Sarpa Kuning"
Murid Ki Sarpa Kuning yang mengaku bernama
Rampon itu termenung sejenak. Beberapa orang memang
memperhatikan pembicaraan mereka. Tetapi agaknya
mereka memang tidak akan dapat mengetahui seluruh isi
pembicaraan, terutama tentang keadaan murid Ki Sarpa
Kuning itu sendiri. Dalam pada itu, maka murid Ki Sarpa Kuning itupun
kemudian berkata "Aku akan minta diri. Lakukan apa yang
dapat dilakukan. Besok Ki Sendawa akan datang bersama
Ki Sarpa Kuning dengan murid-muridnya, termasuk kedua
nrang anak muda itu"
Ki Waruju memandangi Ki Sanggarana yang menjadi
cemas. Namun kemudian katanya "Jangan cemas. Kita
akan dapat melakukan banyak usaha untuk mencegahnya.
"Tetapi paman Sendawa akan membawa sekelompok
orang-orang dari luar lingkungan Kabuyutan ini. Mereka
tentu akan membantai orang-orang yang tidak bersalah, jika
besok aku mencoba bertahan" berkata menantu Ki Buyut
"karena itu, biarlah besok aku menyerah. Apa saja yang
akan dilakukan oleh paman Sendawa. Namun dengan
demikian, korban tidak akan berjatuhan"
"Jadi, kau akan menyerah?" bertanya Ki Waruju dengan
jantung yang tegang. "Apaboleh buat. Aku tidak boleh mengorbankan kawankawanku
untuk keselamatanku. Orang-orang asing itu akan
dengan mudah membantai anak-anak muda Kabuyutan ini
tanpa dapat melawan. Satu contoh yang tidak dapat
diragukan, saat ini mereka tidak dapat berbuat apa-apa
hanya karena satu orang. Apalagi jika yang datang besok
lebih dari satu orang, dan gurunya ada pula diantara
mereka" "Tetapi jangan cepat berputus asa. Kau harus berusaha"
berkata Ki Waruju "lihat anak-anak muda kawankawanmu.
Kau kira jika kau menyerah, persoalannya akan
sudah selesai" Kau kira jika kau digantung oleh Ki Sendawa
dengan tuduhan tenung, persoalannya sudah teratasi"
Tidak. Jika kau kali ini menolak jatuhnya korban, katakan
sepuluh dua puluh orang anak muda, dan selanjutnya kau
menyerah, maka setelah kau digantung, korban akan tetap
berjatuhan. Tidak hanya sepuluh atau pemerintahan Ki
Sendawa, akan jatuh korban yang tidak terhitung
banyaknya. Orang-orang yang akan digantung dan dengan
cara-cara yang lain akan menemui kematian mereka yang
menyedihkan sekali. Nah, apakah kira-kira yang akan
mereka katakan menjelang ajal mereka" Mereka akan
mengumpatimu, karena kau besok telah menyerah dan
sama sekali tidak berjuang untuk merebut kedudukan itu.
Bukan karena satu keinginan untuk berkuasa, tetapi dengan
menggenggam kekuasaan itu, kau akan dapat
mengendalikan kekuasaan itu sendiri"
Kata-kata Ki Waruju itu ternyata mampu menyentuh
hati menantu Ki Buyut itu. Namun ia masih tetap ragu-ragu
untuk menerimanya. Dalam pada itu, murid Ki Sarpa Kuning itupun berkata
"Baiklah. Apapun yang akan kalian lakukan, lakukanlah.
Aku akan segera kembali agar aku tidak mengalami nasib
lebih buruk darianak-anak muda Kabuyutan ini"


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Waruju tidak mencegahnya. Murid Ki Sarpa Kuning
itupun kemudian meninggalkan halaman rumah Ki
Sanggarana, kembali ke padukuhan tempat Ki Sendawa
tinggal. Sepeninggal murid Ki Sarpa Kuning, beberapa orang
anak muda berusaha mendapatkan penjelasan. Namun Ki
Warujupun kemudian berkata "Jangan sebut, bahwa
seseorang telah datang untuk memberitahukan tentang
rencana itu. Kalian harus mengerti, orang itu berusaha
menolong Ki Sanggarana. Apapun tanggapan kita atas
usaha baiknya, kita harus mengucapkan terima kasih
kepadanya. "Siapakah orang itu?" bertanya seseorang.
"Untuk sementara kita tidak usah menyebutnya.
Mungkin ada satu dua orang yang mendengar pembicaraan
kami dengan orang itu. Tetapi sekali lagi aku minta, jangan
sebut kedatangannya kepada siapapun juga. Ia sudah
berusaha menolong kita, sehingga sewajarnya kita
membalas budinya. Bukan justru menjerumuskannya ke
alam kesulitan. Bahkan mungkin akan mengancam
jiwanya" berkata Ki Waruju pula.
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Meskipun
mereka tidak pasti apa yang dimaksud Ki Waruju, tetapi
mereka mengerti, bahwa mereka tidak boleh berbicara
dengan siapa saja tentang orang itu.
Dalam pada itu, Ki Warujupun sekali lagi bertanya
kepada menantu Ki Buyut "Bagaimana keputusanmu"
Kabuyutan Talang Amba ini sebagian terbesar tergantung
kepada keputusanmu kali ini. Jika kau salah mengambil
keputusan, maka akibatnya akan sangat parah bagi orangorang
Kabuyutan ini. Sedangkan tanggung jawab kesalahan
itu ada di tanganmu"
"Kau menyudutkan aku" berkata Ki Sanggarana.
"Sama sekali tidak" jawab Ki Waruju "semuanya
terserah kepadamu. Aku memberikan pendapatku.
Bagaimana jika kau bertanya kepada anak-anak muda itu,
apakah mereka akan menyerahkan kau ditangkap dan
diadili oleh Ki Sendawa. Kau dapat membayangkan, bahwa
benturan kekerasan yang ingin kau hindari itu akan tetap
terjadi. Bahkan akan dapat berakibat jauh lebih buruk jika
kau sudah tidak ada diantara mereka. Dendam dan
kebencian akan paling banyak berbicara daripada tujuan
yang semula. Dengan demikian, maka Kabuyutan ini akan
menjadi ajang pembalasan dendam turun tumurun tidak
ada henti-hentinya. Dendam anak akan terlimpahkan kepada cucu-cucu
lawannya, sementara cucu-cucu lawannya akan
mendendam cicit-cicit dipihak pertama"
Menantu Ki Buyut itu merenung sejenak. Sementara
mereka sudah tidak mempunyai waktu cukup banyak.
Karena itu, maka halaman rumah Ki Sanggarana itu
menjadi tegang. Sementara itu, isteri Ki Sanggarana, anak
perempuan Ki Buyut Talang Amba yang sudah tidak ada
lagi mendengar hiruk pikuk di halaman. Tetapi ia tidak
berani keluar rumahnya. Karena itu, maka dengan jantung
yang berdebaran ia menunggu.
Tetapi Ki Sanggarana tidak seagera masuk keruang
dalam. Karena itu, ketika keadaan sudah menjadi tenang,
dan rasa-rasanya tidak lagi terjadi keributan, maka isteri Ki
Sanggarana itu berusaha untuk dapat mengetahui keadaan
di halaman. Tetapi ia tidak langsung keluar lewat pintu
pringgitan dan menemui suaminya di pendapa. Tetapi ia
telah keluar lewat pintu butulan dan turun ke longkangan.
Ketika ia melihat seseorang di longkangan, maka orang
itupun telah dipanggilnya.
"Apa yang terjadi di halaman?" bertanya isteri Ki
Sanggarana kepada orang itu.
"Tidak begitu jelas Nyai. Tetapi nampaknya semuanya
sudah selesai" jawab orang itu.
"Bagaimana dengan Ki Sanggarana?" bertanya
perempuan itu pula. "Tidak apa-apa. Ia tidak mengalami sesuatu" jawab
orang itu "sekarang ia pergi ke pendapa untuk merawat
seorang yang pingsan"
"Kenapa?" bertanya isteri Ki Sanggarana pula.
"Aku tidak tahu Nyai" jawab orang itu.
Anak perempuan Ki Buyut itu termangu-mangu. Tetapi
ia tahu pasti bahwa tidak terjadi sesuatu dengan suaminya.
Dalam pada itu, orang-orang yang berada di halaman
sudah naik ke pendapa. Mereka menekuni peristiwa yang
baru saja terjadi. Sementara Ki Waruju masih saja
mendesak "Cepatlah ambil keputusan Ki Sanggarana.
Malam menjadi semakin larut"
Ki Sanggarana menarik nafas dalam-dalam. Sekilas
dipandanginya wajah-wajah disekitarnya. Rasa-rasanya
semua orang memang sedang memandanginya.
Dalam pada itu, selagi orang-orang yang duduk
dipendapa itu mengalami ketegangan karena sikap Ki
Waruju, maka murid Ki Sarpa Kuning itu dengan tergesagesa
telah kembali kerumah Ki Sendawa. Ketika ia sampai
ke regol, maka iapun menjadi ragu-ragu.
"Aku sudah pergi terlalu lama" berkata orang itu
didalam hatinya. Karena itu, agar tidak seorangpun yang dapat
mengetahui jarak waktu yang dipergunakannya, maka
orang itupun telah mengambil jalan lain. Dengan
tangkasnya ia telah meloncati dinding halaman. Kemudian
diam-diam ia telah pergi ke serambi gandok dan langsung
berbaring diam-ben bambu digandok itu.
"Aku akan tidur disini saja" berkata orang, itu didalam
hati. Dengan demikian ia berharap, bahwa tidak
seorangpun yang akan dapat menyebutnya, bahwa ia telah
berada diluar lingkungan halaman rumah itu terlalu lama.
"Jika seseorang bertanya, bagaimana aku masuk, maka
aku akan dapat mengatakan, bahwa anak-anak yang ada di
regol itu telah tertidur pada saat aku datang" berkata orang
itu kepada diri sendiri. Lalu "asal aku mengatakannya
dengan pasti, kedua orang penjaga itu tentu akan ragu-ragu
tentang diri mereka sendiri, sementara beberapa orang di
gardu itu nampaknya benar-benar telah tertidur. Besok
mereka akan melakukan tugas yang besar, sehingga mereka
perlu beristirahat" Sebenarnyalah, sebelum dini hari, seseorang telah keluar
dari gandok. Dengan gelisah orang itu mengamati halaman.
Sementara murid Ki Sarpa Kuning yang berada di serambi
itu benar-benar telah tertidur.
Tarikan nafasnya telah terdengar oleh orang yang berdiri
dipintu itu. Sambil mengumpat orang itu mendekati murid
Ki Sarpa Kuning yang tidur nyenyak itu.
"Orang gila" geram orang yang mendekati itu "aku kira
ia melarikan diri" Orang itu tidak menghiraukannya lagi. Tetapi iapun
kemudian turun kehalaman dan pergi ke pakiwan.
Sejenak kemudian, Ki Sarpa Kuning sendiri telah keluar
pula. Iapun mendekati orang yang tertidur itu. Sambil
menyentuh tubuh orang itu Ki Sarpa Kuning bertanya "He.
kenapa kau tidur disitu"
Muridnya itupun terbangun. Sambil bangkit iapun
menguap. "Kenapa kau tidur disitu?" bertanya K i Sarpa Kuning.
"Udara panas sekali. Aku tidak tahan tidur di ruang yang
pengab" jawab orang itu sambil mengusap matanya
"semalam aku pergi ke sungai. Tetapi aku segan masuk lagi
ke dalam bilik itu. Ternyata aku dapat tidur nyenyak diluar"
Ki Sarpa Kuning mengerutkan keningnya. Tetapi
ternyata ia tidak mencurigainya. Karena itu. maka katanya
"Bersiaplah" "Apa yang lain sudah bangun pula?" bertanya orang itu.
"Mereka sudah,bangun meskipun mereka masih ada
dipembaringan. Kedua orang anak muda itupun sudah
bangun pula" jawab Ki Sarpa Kuning.
Murid Ki Sarpa Kuning itu mengangguk-angguk.
Katanya "Aku akan segera siap"
"Kita akan memanfaatkan waku sebaik-baiknya. Kita
akan melakukan tugas kita di pagi hari. Siang nanti, biarlah
Ki Sendawa mengadili kemanakanannnya itu" berkata Ki
Sarpa Kuning. "Baiklah" jawab muridnya "aku akan pergi ke pakiwan"
Demikianlah murid Ki Sarpa Kuning itupun segera
bersiap-siap. Orang berkumis dan Gajah Warengpun telah
pergi ke pakiwan pula disusul oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Dalam pada itu, ternyata Ki Sendawapun telah bersiap
pula Beberapa orang kepercayaannyapun telah berada idi
halaman menunggu perintah.
Ki Sendawa yang kemudian berdiri di pendapa dengan
tidak sabar menunggu kehadiran Ki Sarpa Kuning dengan
murid-muridnya, yang baru sejenak kemudian telah naik
kependapa itu pula. Dalam kesempatan itu, murid Ki Sarpa Kuning yang
telah mengunjungi menantu Ki Buyut telah
memberitahukan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
tentang apa yang dilakukannya.
"Mudah-mudahan mereka telah bersiap menunggu
kehadiran kita" desis Mahisa Pukat.
"Tetapi menantu Ki Buyut sebenarnyalah memang
Kamp Horor 1 Wiro Sableng 100 Dendam Dalam Titisan Sumpah Palapa 8
^