Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 14

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 14


seorang yang lemah hati" jawab murid Ki Sarpa Kuning itu.
Sejenak kemudian, maka Ki Sarpa Kuning dan Ki
Sendawapun telah mengadakan pembicaraan yang
bersungguh-sungguh. Nampaknya Ki Sarpa Kuning telah
mendesak, agar segalanya segera diselesaikan dengan
tuntas. "Semakin lama persoalannya akan menjadi semakin
berlarut-larut" berkata Ki Sarpa Kuning.
"Ya. Aku sependapat. Kita harus menyelesaikan dengan
tuntas. Baru kemudian kita akan membuat laporan kepada
Akuwu. Tentu Akuwu tidak akan menolak langkah-langkah
yang sudah kita ambil" jawab Ki Sendawa.
Dengan demikian, maka akupun akan segera dapat
bekerja dengan tenang. Menebas hutan dan membuka satu
padepokan di lereng bukit" berkata Ki Sarpa Kuning.
Demikianlah, sejenak kemudian orang-orang Ki
Sendawapun telah bersiap. Dikumpulkannya para
pengikutnya. Hampir semua laki-laki yang masih muda
telah ikut bersama mereka menuju ke padukuhan Ki
Sanggarana. Bahkan merekapun telah siap menghadapi
para prajurit Ki Sanggarana apabila mereka harus
mempergunakan kekerasan. Karena diantara mereka terdapat Ki Sarpa Kuning dan
murid-muridnya, maka para prajurit KI Sendawa itu merasa
bahwa mereka tentu akan berhasil. Mereka tentu akan
dapat menangkap menantu Ki Buyut dan jika para
pengikutnya melawan maka mereka akan dihancurkannya.
"Jangan ragu-ragu" berkata Ki Sarpa Kuning meskipun
mereka adalah saudara-saudara kalian, tetapi mereka telah
merambah jalan yang salah. Kita akan membuat
penyelesaian sebaik-baiknya. Tetapi jika mereka menolak,
maka kita akan berbuat sesuatu yang akan dapat
menegakkan kebenaran di Kabuyutan ini"
Ki Sendawapun menjadi semakin mantap. Bersama Ki
Sarpa Kuning, maka setiap kesulitan akan dapat
diselesaikan, sementara upah yang dikehendaki oleh Ki
Sarpa Kuning adalah sesuatu yang selama ini tidak pernah
diperlukan. Hutan-hutan lebat di lereng pebukitan. Hutan
yang dianggap daerah yang tidak berguna bagi orang-orang
Talang Amba. Bahkan jika hutan itu dapat dijinakkan,
mereka tidak akan diganggu lagi oleh binatang-binatang
buas yang disaat-saat tertentu turun ke padesan.
Sebelum Ki Sendawa berangkat menuju ke tempat
kemanakannya, maka ia telah memberikan beberapa pesan
kepada para pengikutnya untuk meyakinkan bahwa langkah
yang diambilnya itu adalah langkah yang paling baik bagi
Kabuyutan Talang Amba. Dalam pada itu, Ki Sarpa Kuning berkata pula kepada
para pengikut Ki Sendawa itu "Jika mereka memang
menghendaki kekerasan, maka biarlah kami yang
menyelesaikannya" Demikianlah sejenak kemudian, maka Ki Sendawapun
telah memerintahkan orang-orangnya untuk mengikutinya
ke padukuhan induk Kabuyutan Talang Amba.
Sebenarnyalah bahwa iring-iringan itu telah membuat
penghuni padukuhan yang dilewatinya menjadi berdebardebar.
Setiap orang dengan tergesa-gesa telah masuk ke
dalam rumah mereka dan menutup pintu. Bahkan ada
beberapa orang yang dengan tergesa-gesa menutup pintu
regol halaman rumah mereka.
Ki Sendawa sama sekali tidak menghiraukannya. Ia
melihat pintu yang kemudian tertutup. Namun ia tidak
menghiraukan, apakah yang menutup pintu itu laki-laki
atau perempuan. Atau gadis-gadis atau anak-anak muda.
Sementara itu, iring-iringan, para pengikut Ki Sendawa
itu lewat dengan langkah pasti, sebagai sekelompok prajurit
yang maju kemedan perang. Apalagi orang-orang itupun
telah membawa senjata pula. Mereka bersiap-siap jika
menantu Ki Buyut dan para pengikutnya akan menentang
kehendak mereka. Dalam pada itu,, iring-iringan itu semakin lama menjadi
semakin mendekati padukuhan induk. Karena itu, maka Ki
Sendawapun kemudian menghentikan pasukannya di
tengah-tengah bulak. Sekali lagi ia berpesan, bahwa yang
mereka lakukan adalah langkah yang paling baik. Karena
itu, jika terpaksa maka mereka akan mengam bil sikap yang
keras. Mereka akan memaksa untuk membawa Ki Sanggarana
yang telah bersalah, melakukan satu tindakan tercela.
Dengan sengaja telah berusaha membunuh Ki Sendawa,
pamannya sendiri dengan mempergunakan kekuatan
tenung. "Marilah" berkata Ki Sendawa "kita berbuat dengan
penuh keyakinan, bahwa kita akan berhasil. Kita adalah
orang-orang yang dengan sepenuh hati mengabdikan diri
kepada Kabuyutan ini, yang untuk beberapa saat lamanya
berada dibawah kuasa orang-orang yang tidak berhak, yang
justru telah dengan licik berhasil menguasai Kabuyutan ini.
Rasa-rasanya para pengikut Ki Sendawa itupun menjadi
semakin mantap. Mereka merasa bahwa mereka telah ikut
serta dalam satu perjuangan untuk menegakkan kebenaran
di Kabuyutan mereka. Sesaat kemudian maka iring-iringan yang bersiaga
sebagaimana sepasukan prajurit pergi ke medan perang itu
telah bergerak pula langsung menuju ke padukuhan induk.
Sementara itu, Ki Sendawa dan orang-orang yang berada
di dalam pasukannya menganggap bahwa langkah yang
mereka ambil itu tidak akan banyak mengalami hambatan.
Orang-orang yang bersikap lain dan berpihak kepada
menantu Ki Buyut itu sama sekali tidak akan menghalangi
mereka. Kecuali karena mereka tidak tahu apa yang akan terjadi,
merekapun tidak akan mampu mencegahnya. Seandainya
mereka bersiap dengan mengumpulkan setiap laki-laki di
Kabuyutan Talang Amba, maka akibatnya justru akan
menjadi semakin parah bagi mereka.
Demikianlah, maka iring-iringan itu mulai memasuki
padukuhan induk Kabuyutan Talang Amha. Mereka mulai
memasuki regol Kabuyutan yang ternyata sudah terbuka.
Tetapi sesuatu yang mengejutkan telah terjadi. Ki
Sendawa yang melangkah di ujung iring-iringannya terkejut
melihat jalan induk selewat mulut padukuhan itu.
Yang pertama-tama nampak oleh Ki Sendawa adalah
sekelompok anak-anak muda yang berada di halaman
rumah di sebelah regol padukuhan itu, Mereka tidak
menghiraukan sama sekali iring-iringan yang memasuki
padukuhan. Bahkan mereka seolah-olah tidak melihat Ki
Sendawa yang berdiri keheranan diujung iring-iringannya.
Ketika iring-iringan itu memasuki regol, anak-anak itu tetap
duduk bertebaran di halaman itu. Diantara mereka
bersandar tiang-tiang pendapa, sementara yang lain
bersandar pepohonan dan dinding halaman.
Ki Sendawa yang keheranan itu terhenti diluar sadarnya.
Dengan wajah tegang ia memandangi anak-anak muda itu
dengan jantung yang berdegup semakin cepat.
Namun dalam pada itu, Ki Sarpa Kuning mendekatinya
sambil berdesis "Apakah Ki Sendawa terpengaruh oleh
sikap anak-anak gila itu?"
Ki Sendawa menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara
sendat ia berkata "Terus terang, agaknya memang
demikian" Ki Sarpa Kuning mengangguk-angguk. Katanya
"Baiklah. Jika demikian, lupakan saja apa yang telah kau
lihat. Mereka tidak akan berarti apa-apa bagi kita. Jumlah
mereka tidak terlalu banyak dibanding jumlah pengikut Ki
Sendawa. Seandainya mereka ingin bersikap keras, maka
anak-anakku akan dapat menyelesaikan mereka dengan
cepat" Ki Sendawa menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun
kemudian telah melanjutkan langkahnya menuju kerumah
menantu Ki Buyut yang dianggapnya telah menenungnya.
Ketika iring-iringan itu lewat, maka anak-anak muda
yang berada di halaman itulah yang menarik nafas dalamdalam.
Seorang diantara mereka telah berdesis "Jantungku
hampir terlepas oleh ketegangan. Untunglah Ki Sendawa
tidak mengambil sikap langsung terhadap kita"
"Aku juga menjadi berdebar-debar. Tetapi bukankah kita
sudah siap menghadapi segala kemungkinan?" jawab
kawannya. "Aku mengerti. Tetapi kita adalah orang yang berada di
paling depan. Jika terjadi benturan itu, maka kita akan
menjadi orang pertama yang terjilat oleh api pertempuran
ini" jawab yang pertama.
"Itu sudah kita ketahui. Tetapi kawan-kawan kita tentu
tidak akan tinggal diam" jawab kawannya "mereka sudah
di persiapkan menghadapi segala kemungkinan"
Namun seorang yang duduk di sebelah mereka itu
menyahut "Kita bukan seorang prajurit. Kita tidak mampu
mempermainkan senjata sebagaimana seharusnya. Aku
sebenarnya juga berdebar-debar"
"Para pengikut Ki Sendawa adalah orang-orang yang
juga seperti kita. Mereka adalah penghuni Kabuyutan ini
pula. Mereka adalah petani-petani seperti kita. Mereka
adalah orang-orang padesan. Bahkan seorang pamanku
ternyata telah berpihak kepada Ki Sendawa" jawab yang
lain. Namun orang yang pertama menyahut "Tetapi diantara
mereka terdapat orang-orang upahan yang dapat berbuat
jauh lebih berbahaya dari Ki Sendawa sendiri"
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang
diantara mereka berkata "Tetapi kita tidak boleh
membiarkan ketidak-adilan itu berlaku di Kabuyutan ini"
Yang lainpun mengangguk-angguk pula. Tetapi
bagaimanapun juga mereka merasa cemas menghadapi
kenyataan itu. Bahkan mereka mulai membayangkan apa
yang akan terjadi. "Tetapi bukankah kita sudah bertekad bulat?" tiba-tiba
seseorang telah berdesis "kitalah yang telah mendorong Ki
Sanggarana untuk berdiri tegak menghadapi Ki Sendawa.
Jika sekarang akibat seperti ini terjadi, kita harus ikut
mempertanggung-jawabkannya"
Kawan-kawannya saling berpandangan sejenak, namun
merekapun kemudian mengangguk-angguk. Bahkan
seorang yang berkumis tipis dibawah hidungnya berkata
"Kita sudah siap, meskipun jantung kita berdegup semakin
cepat. Akibat seperti inilah yang tidak dikehendaki oleh
menantu Ki Buyut itu. Tetapi kita yang telah mendesaknya
untuk melakukannya" Anak-anak muda itupun mengangguk-angguk.
Merekapun kemudian berusaha untuk menemukan satu
sikap yang selama ini telah mereka nyatakan kepada Ki
Sanggarana. Bahkan diantara mereka pernah menganggap
bahwa Ki Sanggarana adalah seorang yang berhati lemah.
Karena itu. betapapun mereka menjadi berdebar-debar,
namun mereka berusaha untuk menunjukkan, bahwa
mereka telah bertekad bulat untuk melawan Ki Sendawa.
Kasar atau lembut. Demikianlah Ki Sendawa itupun meneruskan
langkahnya bersama orang-rangnya. Para pengikutnyapun
mulai di rayapi oleh perasaan gelisah. Meskipun diantara
mereka terdapat Ki Sarpa Kuning bersama muridmuridnya,
namun ternyata sikap anak-anak muda Talang
Amba yang berpihak kepada Ki Sanggarana telah membuat
mereka berdebar-debar Apalagi ketika mereka sampai ditikungan. Jantung
mereka menjadi semakin berdegupan. Ternyata di sebuah
halaman di sudut tikungan itu. mereka melihat sekelompok
anak-anak muda yang lain bertebaran. Sebagian dudukduduk
ditangga pendapa, yang lain berada di serambi
gandok. Sekelompok yang lain berada di teritisan.
Seperti kelompok yang pertama mereka temui, anakanak
muda itu sama sekali tidak menghiraukan iring-iringan
yang lewat di depan regol halaman. Mereka seolah-olah
tidak melihat seorangpun lewat di sebelah mereka. Yang
duduk tetap pada sikapnya. Yang berbincang tetap saja
berbincang, sementara ada yang terkantuk-kantuk.
"Gila" geram Ki Sendawa.
"Jangan terpengaruh" berkata Ki Sarpa Kuning sambil
tersebyum "tidak ada yang aneh pada mereka. Mereka
berusaha untuk mengatasi kekecutan hati dengan sikap
yang aneh-aneh. Tetapi sebenarnyalah mereka dicengkam
oleh kegelisahan yang tidak teratasi"
Ki Sendawa mengerutkan keningnya. Namun iapun
kemudian mengangguk-angguk. Katanya "Ki Sarpa Kuning
benar. Seseorang yang ketakutan akan berusaha untuk
berbuat dan bersikap tidak sewajarnya"
"Karena itu. marilah. Kita akan melakukan sesuai
dengan rencana kita" berkata Ki Sarpa Kuning.
"Tetapi" berkata Ki Sendawa "apakah mereka telah
mengetahui rencana kita untuk mengambil Sanggarana?"
Pertanyaan itu telah menyentuh hati Ki Sarpa Kuning.
Dengan dahi yang berkerut ia justru mengulangi pertanyaan
itu "Ya. Apakah mereka sudah mengetahui rencana kita
sehingga mereka dengan sengaja telah mempersiapkan para
pengikutnya?" Namun sejenak kemudian Ki Sarpa Kuning itu
tersenyum "Seandainya mereka mengetahui rencana kita,
apakah kita menjadi gentar dan mengurungkan niat kita?"
Ki Sendawa mengerutkan keningnya. Namun katanya
kemudian "Tentu tidak. Kita akan melakukan sesuai
dengan rencana kita yang telati kita sepakat bersama"
"Bagus" jawab Ki Sarpa Kuning. Lalu "Kita akan
menghadapi mereka meskipun mereka telah bersiap"
"Tetapi soalnya bukan sekedar menghadapi mereka"
jawab Ki Sendawa "bukankah dengan demikian berarti
bahwa aad diantara kita yang berkhianat?"
Wajah Ki Sarpa Kuning menjadi tegang. Sambil
mengangguk-angguk iapun bergumam" Ya. Tentu ada yang
berkhianat"

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kata-kata itu didengar oleh Murti dan Mahisa Pukat.
Bahkan murid Ki Sarpa Kuning yang telah membocorkan
rencana itupun mendengarnya pula. Dengan demikian
merekapun menjadi berdebar-debar pula. Mungkin Ki
Sarpa Kuning akan menghubungkan kebocoran itu dengan
sikapnya semalam. Namun dalam pada itu Ki Sarpa Kuning itupun berkata
"Tetapi itupun tidak mengherankan. Diantara sekian
banyak orang pedukuhan Ki Sendawa, tentu ada orang
yang tidak sependapat. Karena itu, pengkhianatan itu
memang mungkin saja terjadi. Tetapi kita sudah siap
menghadapi" Ki Sendawa mengangguk-angguk. Meskipun demikian
kegelisahan masih saja membayang di wajahnya.
Ternyata tidak hanya ada dua kelompok anak-anak
muda yang bertebaran di halaman rumah di sebelah
menyebelah jalan menuju ke rumah menantu Ki Buyut.
Masih ada beberapa kelompok lagi anak-anak muda yang
berada di halaman rumah. Bahkan ketika mereka menjadi
semakin dekat dengan halaman, rumah Ki Sanggarana yang
luas, mereka menemui sekelompok yang cukup besar dari
anak-anak muda yang nampaknya berpihak kepada
menantu Ki Buyut itu. Tetapi sebelum Ki Sendawa berkata sesuatu, Ki Sarpa
Kuning telah mendahului "Menyenangkan sekali. Aku dan
murid-muridku tidak akan tanggung-tanggung lagi bekerja
hari ini" Ki Sendawa mengangguk-angguk. Namun ia masih tetap
gelisah. Bagaimanapun juga, jumlah anak-anak muda itu
jauh melampui jumlah para pengikutnya yang sedang
bersamanya saat itu"
Dalam pada itu, maka iring-iringan itu akhirnya telah
sampai ke regol rumah Ki Sanggarana. Rumah yang
mempunyai halaman yang cukup luas.
Namun dalam pada itu, baik Ki Sendawa maupun Ki
Sarpa Kuning merasa heran. Ternyata bahwa dihalaman
rumah itu tidak terdapat anak-anak muda yang
berkelompok atau bertebaran sebagaimana terdapat di
beberapa halaman dipinggir jalan yang mereka lalui.
Dalam pada itu, para pengikut Ki Sendawapun menjadi
saling bertanya. Mereka tidak mengerti apa yang
sebenarnya mereka hadapi. Sikap anak-anak muda Talang
Amba yang menjadi pengikut menantu Ki Buyut itu telah
mengherankan mereka. "Jangan ragu-ragu" berkata Ki Sarpa Kuning "kita
memasuki halaman rumahnya. Apapun yang terjadi, kita
sudah siap kasar atau halus. Cara yang mana yang akan
dipilih oleh menantu Ki Buyut itu.
Ki Sendawapun mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa
orang-orang Talang Amba yang berpihak kepada menantu
Ki Buyut itu lebih banyak daripada yang berpihak
kepadanya. Tetapi ia sama sekali tidak menghiraukannya.
Dengan kekerasan ia akan dapat merubah keadaan. Orangorang
yang semula berpihak kepada menantu Ki Buyut itu
tidak akan dapat berbuat apa-apa jika ternyata menantu Ki
Buyut itu sudah ditangkap. Sedangkan apabila ia dan para
pengikutnya akan melawan, maka akibatnya justru akan
menjadi lebih buruk lagi baginya.
Untuk beberapa saat Ki Sendawa termangu-mangu di
regol halaman. Namun akhirnya iapun mendorong pintu
regol dan melangkah memasuki halaman.
Halaman rumah itu memang sepi. Tidak ada anak-anak
muda yang berjaga-jaga atau tidak ada kesan bahwa
menantu Ki Buyut itu sudah mempersiapakn sesuatu yang
dapat dipergunakannya untuk berlindung.
"Terasa suasana yang aneh" berkata Ki Sendawa
"agaknya Sanggarana memang belum mengetahui apa yang
akan terjadi atas dirinya"
"Tetapi bagaimana dengan anak-anak muda itu?"
bertanya salah seorang kepercayaannya.
Ki Sendawa menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
memandang kearah Ki Sarpa Kuning, maka Ki Sarpa
Kuning itupun berkata "Tahu atau tidak tahu. Bukan
masalah bagi kita" Ki Sendawa mengangguk-angguk. Namun kemudian
katarya "Mungkin kebiasaan anak-anak muda itu sudah
berlangsung sejak lama. Sejak mereka membantu
Sanggarana untuk melontarkan tenungnya. Mereka di
setiap padukuhan yang berpihak kepadanya telah membuat
api semalam suntuk sesaat sebelum diketemukan bendabenda
aneh di rumah. "Sekarang panggil anak itu" geram Ki Sarpa Kuning
yang tidak sabar. Ki Sendawapun mengangguk-angguk. Dipandanginya
pendapa yang sepi. Seketheng yang masih tertutup dan
gandok yang kosong. Namun sejenak kemudian terdengar suara Ki Sendawa
lantang "Sanggarana. He, Sanggarana. Ini aku datang"
Tidak terdengar jawaban. Rumah itu menjadi sesepi
kuburan. "Sanggarana. He, Sanggarana. Ki Sendawa itupun
berteriak. Namun tidak seorangpun yang nampak keluar dari pintu
rumah yang masih saja tertutup
"Gila" geram Ki Sendawa "aku akan mencarinya ke
dalam" "Jangan" cegah Ki Sarpa Kuning "mungkin anak itu
sengaja memancingmu"
Ki Sendawa menjadi ragu-ragu. Namun sekali lagi ia
berteriak "He, Sanggarana. Ini aku pamanmu"
Tetapi rumah itu benar-benar kosong. Tidak ada
seorangpun yang menanggapi suara Ki Sendawa yang
bergetar oleh debar jantungnya.
"Jadi apakah kita akan tetap berteriak-teriak disini tanpa
melihat ke dalam rumah itu?" tiba-tiba saja Ki Sendawa
bertanya. Ki Sarpa Kuning mengerutkan keningnya Rumah itu
agaknya memang kosong Meskipun demikian ia tetap
mencegah agar Ki Sendawa tidak memasuki rumah itu
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja dari seketheng
sebelah kiri, seseorang menjengukkan kepalanya. Dengan
wajah ketakutan ia memandang ke halaman rumah yang
penuh para pengikut Ki Sendawa.
Hampir berteriak Ki Sendawa dan beberapa orang yang
melihat orang yang menjengukkan kepalanya itu berkata
"He, ternyata ada orang di rumah ini"
Orang yang menjengukkan kepalanya itu masih berdiri di
tempatnya. Ia tidak beranjak ketika seorang kepercayaan Ki
Sendawa mendekatinya "He, kau penghuni rumah ini?"
Orang itu termangu-mangu. Tetapi tiba-tiba aja
kepercayaan Ki Sendawa itu justru menariknya dengan
kasar sambil membentak "Kau tinggal di rumah ini?"
Orang itu terlempar beberapa langkah keluar seketheng.
Hampir saja ia jatuh terbanting. Namun ia masih berhasil
bertahan meskipun terhuyung-huyung.
"Jawab" teriak kepercayaan Ki Sendawa itu "kau
penghuni rumah ini?"
"Ya, ya Ki Sanak" jawab orang itu "aku ikut tinggal di
rumah ini bersama Ki Sanggarana"
"Dimana Ki Sanggarana sekarang?" bertanya
kepercayaan Ki Sendawa itu.
Orang itu nampaknya ragu-ragu untuk menjawab.
Namun kepercayaan Ki Sendawa itu telah mencengkam
pundaknya sambil membentak" jawab. Dimana Ki
Sanggarana sekarang?"
Orang itu menjadi gemetar. Namun kemudian jawabnya
"Ki Sangarana berada di banjar"
"Di banjar?" kepercayaan Ki Sendawa itu mengulang
"untuk apa ia pergi ke banjar?"
Orang yang gemetar itu tidak segera menjawab.
Sementara kepercayaan Ki Sendawa itu bertanya pula
"Dimana isterinya" Apakah ia berada di rumah?"
"Tidak" orang itu semakin gemetar "mereka memang
tidak ada di rumah" "Bohong" teriak kepercayaan Ki Sendawa itu "di mana
mereka sekarang, he?" Bersembunyi" Jika kau berbohong,
aku pilin lehermu sampai patah" geram kepercayaan Ki
Sendawa yang garang itu. "Aku berkata sebenarnya" jawab orang yang ke takutan
itu. Kepercayaan Ki Sendawa itu menggeram. Sejenak
kemudian iapun berpaling kearah Ki Sendawa. Dengan
suara lantang ia bertanya "Apakah kita begitu saja
mempercayainya?" Sendawa termangu-mangu sejenak. Namun Ki Sarpa
Kuninglah yang menjawab "Kita akan melihat, apakah ia
berada di rumah atau tidak. Mungkin Ki Sanggarana itu
hanya bersembunyi saja di kolong-kolong amben di biliknya
atau di atas kandang"
"Kita akan menggeledah rumahnya" berkata
kepercayaan Ki Sendawa itu.
"Ya" baru Ki Sendawa menyahut "lihat semua ruang di
rumah itu" Kepercayaan Ki Sendawa itupun kemudian
memerintahkan para pengikut Ki Sendawa untuk dengan
serentak memasuki rumah itu dan mencari apakah Ki
Sanggarana ada di rumah. Sementara yang lain telah
diperintahkannya untuk mengepung rumah itu, agar tidak
seorangpun yang dapat ke luar atau memasuki halaman
meskipun meloncati dinding.
Sejenak kemudian, maka para pengikut Ki Sendawa
itupun telah mengambur memasuki rumah Ki Sanggarana
Mereka telah memasuki setiap ruangan dan memeriksa
setiap sudut. Kolong-kolong ambenpun mereka singkapkan
sementara yang lain telah naik keatas kandang untuk
melihat, apakah Ki Sanggarana bersembunyi di atas
kandang itu. Tetapi tidak seorangpun yang menjumpai Ki Sanggarana
ataupun isterinya. Rumah itu benar-benar kosong. Selain
orang yang menjengukkan kepalanya lewat seketheng dan
yang kemudian telah memberitahukan bahwa Ki
Sanggarana ada di banjar, di rumah itu sama sekali tidak
dijumpai seorangpun juga.
Dengan geram para pengikut Ki Sendawa itupun
kemudian telah melaporkan apa yang mereka jumpai di
rumah itu Mereka tidak menemukan Ki Sanggarana atau
isterinya. Bahkan orang lainpun tidak ada di rumah itu
pula. Kepercayaan Ki Sanggarana yang jengkel itupun
kemudian mengguncang tubuh orang yang ditemuinya di
seketheng itu sambil berkata "Marilah. Ikut kami ke banjar.
Jika kami tidak menemukan Ki Sanggarana di banjar, maka
kau akan menjadi korhan tipu muslihatmu sendiri"
Wajah orang itu menjadi pucat. Katanya kemudian
"Aku mendapat perintah Ki Sanggarana untuk menunggui
rumahnya. Karena itu aku tidak berani meninggalkan
halaman ini" "Persetan" geram kepercayaan Ki Sanggarana itu sambil
mencengkam leher orang itu "kau harus ikut kami atau kau
akan kami bantai disini"
"Jangan. Jangan sakiti aku" pinta orang itu dengan
memelas. Tetapi kepercayaan Ki Sendawa itu sama sekali tidak
menjadi belas kasihan. Bahkan ia bersikap semakin garang
terhadap orang itu. Sambil mendorongnya ia berkata
lantang "Cepat. Lakukan perintahku. Ikuti kami pergi ke
banjar. Jika orang yang kau katakan itu tidak terdapat di
banjar, maka kau akan menjadi sasaran kemarahan kami.
Orang itu menjadi gemetar. Tetapi ia tidak dapat
menolak untuk mengikuti iring-iringan itu pergi ke banjar.
Demikianlah, maka Ki Sendawa dan Ki Sarpa
Kuningpun telah memutuskan untuk pergi ke Banjar.
Dengan suara berat Ki Sarpa Kuning berkata "Kita harus
bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Mungkin
menantu Ki Buyut itu memang sudah mengetahui bahwa
kita akan datang pagi ini. Karena itu, .maka ia telah pergi
mengungsi. Sementara itu di banjar telah terdapat pula
anak-anak muda sebagaimana kita lihat berada dipinggir
jalan itu" Ki sendawa mengangguk-angguk. Iapun kemudian
memerintahkan kepada para pengikutnya agar mereka
bersiap-siap menghadapi pertempuran yang mungkin
terjadi. Menurut perhitungannya, Ki Sanggarana memang
sengaja menunggunya di banjar sambil menyiapkan anakanak
muda yang berpihak kepadanya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Sendawa dan
Ki Sarpa Kuning bersama para pengikutnya telah pergi ke
banjar. Orang yang mereka tangkap di rumah Ki
Sanggarana itupun mereka iring dipaling depan.
Dengan tubun gemetar orang itu berjalan sambil" sekalisekali
berpaling kearah Ki Sendawa, Ki Sarpa Kuning atau
kepercayaan Ki Sendawa yang telah menangkapnya.
Tetapi kepercayaan Ki Sendawa itu selalu membentak
nya dan mendorongnya untuk berjalan terus.
Demikianlah, maka iring-iringan itupun semakin lama
menjadi semakin dekat dengan banjar Kabuyutan di
padukuhan induk itu. Banjar yang menjadi pusat kegiatan
penghuni padukuhan induk itu.
Dalam pada itu, maka orang-orang yang tinggal
dipinggir jalan telah menutup pintu rumah mereka. Tidak
seorangpun yang berani berada di jalan ketika iring-iringan
Ki Sendawa itu lewat. Karena itu, padukuhan itu terasa menjadi sepi. Halamanhalaman
menjadi lengang, dan tidak ada seorangpun yang
berjalan di jalan padukuhan itu.
Namun yang mendebarkan jantung, sekali lagi iringiringan
itu melihat sekelompok anak-anak muda di halaman
rumah di sudut simpang jalan. Merekapun sama sekali tidak
menghiraukan ketika iring-iringan itu lewat, seolah-olah
mereka tidak melihatnya.

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi selagi orang-orang dalam iring-iringan itu
termangu-mangu, Ki Sarpa Kuning berkata lantang "Jangan
hiraukan mereka sebagaimana mereka tidak menghiraukan
kalian" Para pengikut Ki Sendawa itu menggeretakkan giginya.
Mereka mencoba untuk tidak menghiraukan anak-anak
muda yang duduk dihalaman.
Dengan demikian maka iring-iringan itu berjalan terus.
Semakin lama menjadi semakin dekat dengan banjar
Kabuyutan. Mereka tidak lagi menghiraukan, jika mereka
melihat anak-anak muda yang duduk di halaman rumah,
atau di kebun-kebun yang kosong.
Mereka telah membulatkan tekad mereka untuk
menghadapi apapun juga di banjar Kabuyutan. Mereka
sama sekali tidak gentar menghadapi segala kemungkinan
yang akan terjadi. Demikianlah maka akhirnya iring-iringan itu mendekati
regol banjar Kabuyutan. Ki Sendawa yang menggiring
orang yang mereka temukan di halaman rumah Ki
Sanggarana berada di paling depan. Disebellah Ki
Sendawa, Ki Sarpa Kuning berjalan sambil menengadahkan
kepalanya. Namun iring-iringan itu menjadi termangu-mangu
Ketika mereka melihat, bahwa di banjar Kabuyutan itu
keadaannya jauh berbeda dari keadaan rumah Ki
Sanggarana. Ternyata di banjar itu terdapat beberapa
kelompok kecil anak-anak muda. Mereka bergerombol di
beberapa tempat diluar regol halaman banjar. Namun ada
beberapa kelompok lagi yang duduk-duduk di dalam regol
halaman banjar. Ki Sarpa Kuning melihat keragu-raguan yang mulai
merayapi lagi perasaan orang-orang yang mengikuti Ki
Sendawa. Sikap para pengikut Ki Sanggarana Denar-benar
telah mengguncang jantung mereka.
Namun dalam pada itu, Ki Sarpa Kuning itupun berkata
lantang tanpa menghiraukan para pengikut Ki Sanggarana
"Apakah kalian masih tetap pada sikap dan pendirian
kalian" Nah, jika demikian, marilah. Kita sudah sampai
pada langkah terakhir dari kerja kita"
Orang-orang yang mengikuti Ki Sendawa itupun saling
berpandangan sejenak. Namun ketika mereka melihat
wajah Ki Sarpa Kuning dan murid-muridnya yang
nampaknya tetap tenang, maka merekapun menjadi
semakin mantap. "Nah" berkata Ki Sarpa Kuning "Kita lakukan niat kita.
Kita tangkap menantu Ki Buyut yang licik itu.
Ki Sendawapun kemudian menggeretakkan giginya, la
mencari kekuatan di dalam dirinya. Kemudian dengan
langkah tetap ia melangkah memasuki regol halaman banjar
Kabuyutan. Demikian Ki Sendawa memasuki regol, maka para
pengikutnyapun telah mengikutinya pula. Dengan demikian
maka halaman banjar itupun telah dipenuhi oleh para
pengikut Ki Sendawa, sementara anak-anak muda yang
berada di halaman itu masih tetap berada di tempatnya.
Namun dalam pada itu, kedatangan para pengikut Ki
Sendawa bersama Ki Sarpa Kuning dengan muridmuridnya
itu telah mendebarkan para pengikut Ki
Sanggarana. Meskipun dalam sikap mereka, seolah-olah
mereka acuh tak acuh saja atas kedatangan iring-iringan itu.
namun sebenarnyalah bahwa merekapun menjadi sangat
gelisah. Sementara itu, ketika Ki Sendawa telah berada di depan
tangga pendapa banjar, maka iapun telah bertanya kepada
orang yang mengatakan bahwa Ki Sanggarana berada di
banjar "Nah, sekarang tunjukkan. Dimana Ki Sanggarana"
"Ia berada di banjar" jawab orang itu.
Sementara itu, kepercayaan Ki Sendawa telah
mengguncangnya sambil membentak "Tunjukkan. Dimana
orang itu sekarang" Orang-orang yang sejak semula berada di halaman itu
menjadi semakin berdebar-debar. Orang yang mengguncang
tubuh tanpa mengekang diri itu adalah seorang pengikut Ki
Sendawa. Orang itu adalah orang Talang Amba
sebagaimana dikenal oleh banyak orang. Namun sikapnya
memang mendebarkan jantung.
Orang yang diketemukan di halaman rumah Ki
Sanggarana itupun menjadi gemetar. Dengan suara sendat
ia berkata "Yang mengatakan bahwa menantu Ki Buyut itu
berada di banjar adalah ia sendiri"
"Ya, sekarang orang itu ada dimana" bentak
kepercayaan Ki Sendawa itu semakin keras.
Orang yang ditanya itu menjadi semakin gemetar.
Dipandanginya halaman rumah itu. Namun ia tidak
melihat menantu Ki Buyut.
Anak-anak muda yang berada dihalaman itu menjadi
semakin gelisah. Mereka memang mendapat pesan untuk
tidak mengambil sikap sebelum mereka mendapat isyarat.
Apapun yang terjadi, mereka harus tetap berada di tempat,
atau bergeser menepi. Tetapi mereka tidak boleh
mengambil satu tindakan tertentu.
Disamping pesan itu sebenarnyalah anak-anak muda itu
memang dihinggapi satu kecemasan, bahwa Ki Sarpa
Kuning dan murid-muridnya akan dapat melakukan
kekerasan dan tidak akan terlawan.
Sementara itu, kepercayaan Ki Sendawa itu masih juga
membentak-bentak sambil mengguncang tubuh orang yang
diketemukannya di halaman rumah Ki Sanggarana
"Tunjukkan dimana menantu Ki Buyut itu bersembunyi.
Jika kau tidak mau menunjukkan, atau kau memang
membohongi kami dan berusaha menjebak kami, maka kau
adalah orang yang pertama yang akan terbunuh disini"
"Tidak. Aku tidak berbohong. Aku mengatakan
sebenarnya sebagaimana dikatakan oleh Ki Sanggarana.
Jika ia tidak ada disini, maka bukan akulah yang
berbohong. Tetapi menantu Ki Buyut itulah yang
membohongi aku dan akibatnya, kalianpun telah
dibohonginya pula" jawab orang itu.
"Setan alas" tiba-tiba kepercayaan Ki Sendawa itu
mencekiknya sehingga orang itu mengaduh tertahan.
Wajah anak-anak muda yang ada di halaman banjar itu
menjadi tegang. Tetapi seperti yang dipesankan, sebelum
ada isyarat apapun juga, mereka tidak boleh bertindak.
Bahkan seandainya isyarat itu mereka lihat juga, hati
mereka menjadi sangat berdebar-debar melihat Ki Sendawa
dan para pengikutnya bersama murid-muridnya.
Sementara itu, satu dua orang yang melihat satu diantara
murid Ki Sarpa Kuning itu menjadi semakin tegang. Orang
itu adalah orang yang semalam mereka lihat.
"Peran apakah yang sebenarnya dilakukan" bertanya
anak-anak muda itu di dalam hatinya.
Meskipun mereka sudah menduga, bahwa orang itu
mempunyai niat yang baik, tetapi mereka yang tidak tahu
sama sekali tentang dirinya, bertanya-tanya juga di dalam
hati. Sementara itu, suasana benar-benar menjadi tegang.
Apalagi ketika kemudian diluar regol itu menjadi semakin
banyak anak-anak muda yang mengalir dari beberapa
penjuru. Mereka yang sudah melihat kehadiran Ki Sendawa
dengan para pengikutnya memasuki padukuhan induk,
telah mendapat perintah untuk berkumpul didepan halaman
banjar Kabuyutan. Ki Sarpa Kuning yang menyadari, bahwa ternyata para
pengikut Ki Sanggarana sudah siap menerima kedatangan
Ki Sendawa, telah bersiap-siap pula. Bahkan iapun telah
berbisik kepada Gajah Wareng "Hati-hatilah. Suruhlah
anak-anak itu bersiap. Mungkin kita benar-benar akan
bertempur" Gajah Wareng berpaling kepada murid-murid Ki Sarpa
Kuning yang lain. Namun iapun mengangguk kecil ketika
murid-murid Ki Sarpa Kuning itupun mengangguk pula.
Namun dalam pada itu, kepercayaan Ki Sendawa
agaknya sudah tidak sabar lagi. Orang yang membawa
mereka ke banjar itupun telah diguncang-guncangnya
sambil mencekik lehernya dan berteriak "Cepat. Katakan,
dimana menantu Ki Buyut itu. Kalau kau tidak menjawab
dan tidak dapat menunjukkannya, maka kau akan aku cekik
sampai mati" "Jangan" teriak orang itu. Lalu iapun berteriak pula "He,
Ki Sanggarana. Apakah kau benar-benar berada di banjar
ini?" Sejenak halaman itu dicengkam oleh keheningan.
Seolah-olah setiap orang menunggu jawaban yang akan
mereka dengar dari pintu banjar yang terbuka.
Sebenarnyalah, setiap jantung telah berdegup semakin
keras. Yang keluar dari pintu itu bukan sebuah teriakan
nyaring, tetapi justru menantu Ki Buyut itu telah
melangkah keluar dengan langkah ragu.
"Nah" desis orang yang sedang dicekik itu "itulah orang
yang kau cari. Bukankah ia benar-benar berada di banjar
ini" Orang itupun perlahan-lahan telah dilepaskan. Dengan
wajah yang garang, kepercayaan Ki Sendawa itu
memandang menantu Ki Buyut yang berdiri di pendapa.
Dalam pada itu. ketegangan benar-benar telah
mencengkam. Semua orang memandang menantu Ki Buyut
itu dengan wajah yang penuh dengan pertanyaan. Baik
orang-orang yang datang bersama Ki Sendawa, maupun
para pengikut Ki Sanggarana itu sendiri.
Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja terdengar suara
menantu Ki Buyut itu "Paman Sendawa. Selamat datang di
banjar Kabuyutan ini?"
Pertanyaan itu membingungkan Ki Sendawa. Hampir
diluar sadarnya ia mengumpat.
Namun dalam pada itu, Ki Sanggarana itu bertanya lebih
lanjut "Paman, apakah kepentingan paman datang ke
banjar ini bersama dengan para pengikut paman?"
Ki Sarpa Kuning yang berdiri di sebelah Ki Sendawa
berdesis perlahan "Katakan terus terang, apakah keperluan
kita datang kemari" Ki Sendawa memandang kemanakannya yang berdiri
tegak di pendapa itu. Baru sejenak kemudian ia berkata
"Sanggarana. Ketahuilah, bahwa aku benar-benar datang
pagi ini. Aku kira kau sudah mengetahuinya, menilik
persiapan yang telah kau lakukan untuk menyambut ke
datangan kami" Wajah Ki Sanggarana itupun berkerut. Namun
kemudian ia mengangguk-angguk. Katanya "Kami tidak
tahu pasti apa yang akan terjadi. Tetapi seorang yang
berada disawah melihat iring-iringan yang datang ke induk
padukuhan ini" "Omong kosong. Kau tidak akan sempat membuat
persiapan yang demikian rapi. Tetapi aku tidak peduli.
Mungkin kau sudah mengetahui pula bahwa aku datang
untuk menangkapmu. Mengadilimu dan memberikan
hukuman kepadamu, karena kau sudah berusaha
membunuh aku" Ki Sanggarana mengerutkan keningnya. Dengan ragu ia
bertanya "Apa yang sudah aku lakukan untuk membunuh
paman?" "Jangan berpura-pura. Kau sudah menenungku. Kau
persiapkan semua orang yang dapat kau pengaruhi dengan
janji-janji yang tidak akan mungkin kau penuhi. Semalam
suntuk mereka menyalakan api, sementara itu kau sudah
menyuruh seseorang melontarkan tenung kepadaku dengan
dukungan sikap orang-orangmu. Tetapi untunglah bahwa
tenungmu sama sekali tidak berarti bagiku. Meskipun
demikian usaha pembunuhan itu harus dicegah. Kau harus
ditangkap" berkata Ki Sendawa.
"Paman" jawab menantu Ki Buyut "jangan asal saja
menuduh. Sebenarnya sampai hari ini aku belum pernah
mengambil sikap apapun yang dapat diartikan menentang
kehendak paman. Meskipun paman tentu-merasa, bahwa
aku telah memusuhi paman"
"Jangan ingkar" teriak Ki Sendawa "apapun yang kau
katakan, aku mempunyai banyak saksi bahwa di rumahku
ada Benda benda yang terlontar oleh kekuatan"
Ki Sanggarana menarik nafas dalam-dalam. Namun
sebenarnyalah bahwa ia memang merasa telah melakukan
satu langkah yang dikatakan oleh Ki Sendawa meskipun
bukan satu kekuatan tenung.
Dalam pada itu, maka terdengar Ki Sendawa itupun
melanjutkan kata-katanya "Sanggarana. Kau harus
mempertanggung-jawabkan tingkah lakumu. Aku datang
untuk menangkapmu" Wajah menantu Ki Buyut itu menjadi tegang. Katanya
"Paman. Kita akan dapat menempuh jalan yang paling baik
untuk memecahkan persoalan kita. Bukan cara seperti yang
paman tempuh sekarang"
"Aku tidak melihat jalan lain" berkata Ki Sendawa
"menurut pendapatku. jalan ini adalah jalan yang paling
adil. Kau telah mencoba membunuhku. Dan percobaan
pembunuhan itu merupakan satu kejahatan yang harus
dihukum. Apalagi menilik alasan pembunuhan yang akan
kau lakukan itu adalah karena kau ingin merebut
kedudukanku" "Paman jangan asal saja menuduh" berkata Ki
Sanggarana "tetapi sebaiknya kita mempergunakan cara
yang paling baik bagi keluarga manusia untuk memecahkan
persoalannya. Kita bukan penghuni belantara yang buas
yang tidak mengenal peradaban. Yang hanya mengenal
kekerasan dan kekuatan"
"Persetan" geram Ki Sendawa "kau telah mendahului
melakukannya. Sekarang kau menyebut-nyebut tentang
peradaban. Apakah tenung itu cara yang terbaik menurut
pendapatmu?" "Paman" Ki Sanggarana berusaha untuk menjelaskan
"kita dapat berbicara"
"Terlambat. Jika kau belum nenenungku, maka kita akan
berbicara. Tetapi sekarang tidak. Kita akan menangkapmu.


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jika kau dan orang-orangmu melawan, maka kami akan
membinasakanmu. Kau dengar" Kami mempunyai
kekuatan cukup untuk membinasakanmu" berkata Ki
Sendawa. Percakapan itu ternyata telah menggelitik hati para
pengikut dari kedua belah pihak. Anak-anak muda Talang
Amba yang berpihak kepada Ki Sanggarana, yang semula
merasa ngeri melihat kehadiran Ki Sendawa bersama orangorang
yang diupahnya, ketika mereka merasa bahwa jumlah
mereka menjadi kian banyak, maka merekapun menjadi
bangkit dan keberanian merekapun mulai tumbuh.
Karena itu, maka beberapa orang pemimpin anak muda
pengikut Ki Sanggarana itupun mulai bangkit berdiri.
Namun dengan demikian, maka para pengikut Ki
Sendawapun mulai bersiap-siap pula. Bahkan Ki Sarpa
Kuningpun telah berpaling kepada Gajah Wareng yang
kemudian berbisik kepada murid Ki Sarpa Kuning yang
berkumis "Bersiap-siaplah. Anak-anak muda itu akan dapat
menjadi gila dan berbuat aneh-aneh. Kalian telah mendapat
wewenang untuk berbuat apa saja"
Orang berkumis itu mengangguk-angguk. Dan orang
itupun telah berkata pula kepada Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat serta murid Ki Sarpa Kuning yang seorang
"Bersiaplah. Kita akan mendapat kesempatan untuk
menunjukkan, siapakah kita sebenarnya"
Demikianlah, dua kekuatan yang besar telah saling
berhadapan. Anak-anak muda Talang Amba yang berpihak
kepada Ki Sanggarana telah bersiap. Mereka tinggal
menunggu isyarakat untuk bertindak. Namun sementara
itu, para pengikut Ki Sendawapun telah bersiap pula.
Mereka sama sekali tidak menjadi berkecil hati, karena
diantara mereka terdapat Ki Sarpa Kuning dan muridmuridnya
yang memiliki kemampuan tidak terbatas.
"Cepat" bentak Ki Sendawa "menyerahlah. Atau kami
akan membinasakan kalian semua dan .menjadikan
padukuhan ini karang abang"
Bentakkan yang menggelegar itu memang mendebarkan.
Sementara Ki Sendawa melanjutkan "Jangan mencoba
melawan. Setiap perlawanan berarti mempercepat
perjalanan kekematian dan kehancuran padukuhan ini"
Anak-anak muda yang mulai bangkit itu tiba-tiba telah
dicengkam lagi oleh kegelisahan.
Sejenak kemudian, ketegangan telah mencengkam
halaman banjar Kabuyutan itu. Setiap orang menjadi
berdebar-debar. Namun masing-masing telah
mempersiapkan senjata mereka untuk menghadapi setiap
kemungkinan yang bakal terjadi.
Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja telah terjadi sesuatu
yang menggemparkan. Sesuatu yang tidak terduga-duga
sebelumnya. Ki Sanggarana yang melihat kemungkinan yang pahit itu
terjadi, telah mengambil satu sikap yang mengejutkan.
Dengan langkah pasti, Ki Sanggarana maju ke tangga
pendapa. Sambil menengadahkan dadanya ia berkata
lantang "Paman Sendawa. Persoalan ini adalah persoalan
kita. Persoalan paman dan aku. Meskipun orang-orang
Talang Amba berkepentingan, tetapi mereka akan
menerima keputusan yang kita ambil bersama. Karena itu,
marilah kita bersepakat untuk mengambil satu keputusan,
siapa yang akan memegang jabatan yang sampai saat ini
tidak menentu ujung pangkalnya itu. Paman atau aku.
Selama ini sebenarnya aku berusaha untuk menghindar dari
persoalan itu, karena aku dan isteriku sama sekali tidak
berminat untuk berebut kedudukan melawan paman
sendiri. Tetapi dalam keadaan seperti ini, aku tidak dapat
mengelak lagi. Persoalan ini adalah persoalanku. Karena
itu, jika terjadi benturan kekerasan maka biarlah aku dan
paman saja yang terlibat"
Wajah orang-orang yang mendengar keputusan Ki
Sanggarana itu terperanjat. Wajah mereka menjadi semakin
tegang dan jantung merekapun menjadi berdebaran.
Ki Sendawapun terkejut bukan buatan. Iapun tidak
menyangka sama sekali, bahwa dalam keadaan yang
demikian, tiba-tiba saja Sanggarana telah menantangnya.
Ki Sanggarana berdiri tegak di tempatnya. Seolah-olah ia
telah yakin akan kebenaran langkahnya. Karena itu, maka
iapun kemudian melanjutkan "Paman, jika aku mengambil
langkah itu adalah semata-mata karena aku tidak ingin
melihat pertengkaran dan apalagi benturan kekerasan
antara orang-orang Talang Amba sendiri. Orang-orang yang
karena satu sebab berpihak kepada paman, sementara orang
lain berpihak kepadaku. Jika kedua kekuatan itu
berbenturan, maka tentu akan jatuh korban. Mungkin
diantara orang-orang yang berpihak kepada paman. Tetapi
mungkin orang-orang yang berpihak kepadaku. Karena itu,
daripada diantara mereka akan jatuh korban, maka lebih
baik kita berdua mengambil penyelesaian. Bukan maksud
kita untuk duduk diatas satu kedudukan dengan
mengorbankan orang lain"
Wajah Ki Sendawa menjadi merah padam.
Kemarahannya telah membakar jantungnya, sehingga
justru karena itu, untuk sesaat ia berdiri tegak mematung
tanpa dapat berbuat sesuatu. Baru sejenak kemudian
terdengar ia mengumpat kasar. Katanya kemudian "Anak
iblis. Kau berani menantang aku he?" Seharusnya kau
mengenal aku. Seharusnya kau tahu bahwa aku akan dapat
memutar lehermu. Kenapa kau mencoba menantang aku
dalam perang tanding?"
"Hanya sekedar untuk menentukan siapa yang akan
menjadi Buyut di Kabuyutan ini" jawab Sanggarana. Lalu
"Sebab aku tidak mempunyai cara lain. Paman tentu akan
menolak jika aku mengusulkan untuk membuat saja
semacam undian. Aku dan paman akan mengambil masingmasing
sehelai daun dengan mata tertutup pada sebatang
pohon yang sama. Siapa yang memiliki daun yang lebih
lebar, ia akan menjadi Buyut di Kabuyutan Talang Amba"
"Persetan" geram Ki Sendawa.
"Nah. Karena itu, maka cara yang paling baik, yang
agaknya cukup memadai bagi paman adalah kita akan
berkelahi. Siapa yang memenangkan perkelahian itu akan
menjadi Buyut di Kabuyutan ini. Kemenangan akan
ditandai dengan keadaan lawannya. Jika lawannya sudah
tidak dapat melawan sama sekali atau menyerah, maka
perkelahian itu sudah dianggap selesai" berkata Ki
Sanggarana selanjutnya. Wajah Ki Sendawa menjadi semakin tegang. Sementara
itu Ki Sarpa Kuningpun menjadi tegang. Ia tidak segera
dapat memberikan petunjuknya. Ki Sarpa Kuning tidak
tahu pasti, siapakah yang lebih kuat diantara kedua orang
itu. Namun menilik sikap menantu Ki Buyut itu, ia tidak
banyak memiliki kelebihan dari orang-orang lain. Apalagi
menilik sikapnya selama ini. Tetapi bahwa tiba-tiba saja ia
telah menantang Ki Sendawa dalam satu perkelahian, hal
itu telah membuatnya ragu-ragu untuk mengambil satu
sikap. Sementara itu, maka Ki Sanggarana itupun telah
mendesaknya. Katanya "Marilah paman. Aku persilahkan
paman mengambil satu keputusan"
"Anak setan. Ternyata kau terlalu sombong. Jauh lebih
sombong dari yang aku duga. Apa yang sebenarnya telah
mendorongmu menantangku berkelahi seorang lawan
seorang?" Apakah kau baru saja berguru kepada orangorang
saku?" Atau kau baru saja bangun dari sebuah mimpi
yang mengagumkan?" "Tidak paman" jawab Sanggarana "aku tidak bermimpi
dan aku tidak berguru kepada siapapun. Tetapi lebih baik
aku yang menjadi korban perselisihan ini daripada orangorang
lain yang tidak banyak mengetahui persoalan yang
sebenarnya diantara kita. Apalagi kita sendiripun dapat
memandang persolan ini dari segi yang berbeda. Jika
paman merasa berhak untuk menjadi Buyut di Kabuyutan
ini, maka banyak orang berpendapat bahwa akupun berhak,
karena aku adalah menantu Ki Buyut yang baru saja
meninggal" "Persetan "potong Ki Sendawa "aku adalah anak orang
yang seharusnya berhak atas Kabuyutan ini. Tetapi orang
yang berhak itu telah dibunuh dengan licik"
"Nah, itu adalah ceritera menurut paman. Mungkin
orang lain mempunyai ceritera yang lain. Orang lain
mengatakan bahwa ayah paman yang paman sebut-sebut itu
sebenarnya memang tidak berhak, karena ia lahir dari ayah
yang berbeda dengan ayah Ki Buyut, mertuaku yang
kemudian menjadi Buyut. Tetapi perbedaan pendapat yang
demikian hanya akan memperpanjang persoalan saja. Kini
aku berhadapan dengan Ki Buyut. Marilah kita selesaikan
persoalan kita. Jangan ada setetespun darah yang
tertumpah. Apalagi nyawa yang lepas dari wadagnya,
hanya karena kita berselisih"
"Kau memang sudah gila Sanggarana" teriak Ki
Sendawa "tetapi jika itu yang kau kehendaki, baiklah. Kau
dan setiap orang tentu tahu, apa yang akan terjadi"
"Terserah kepada apa yang akan terjadi" jawab Ki
Sanggarana "jika aku kalah, aku akan melepaskan
perasaanku bahwa sebaliknya akan terjadi"
Ki Sendawa menggeretakkan giginya. Namun dalam
pada itu Ki Sarpa Kuning berbisik "Apa orang itu
mempunyai bekal ilmu?"
"Tidak" sahut Ki Sendawa.
"Sedangkan Ki Sendawa memilikinya betapapun sedikit.
Karena itu, agaknya Ki Sendawa akan dapat memenangkan
perang tanding itu" desis Ki Sarpa Kuning pula.
Ki Sendawa menggeretakkan giginya. Katanya "Aku
yakin, bahwa aku akan dapat memilih lehernya. Ia terlalu
sombong dan tidak tahu diri"
"Jika demikian, apalagi yang ditunggu" berkata Ki Sarpa
Kuning selanjutnya. Wajah Ki Sendawa menjadi bertambah tegang. Namun,
yang dikatakan oleh Ki Sarpa Kuning untuk mendorongnya
cepat bertindak. Karena itu, maka katanya kemudian
"Baiklah anak dungu. Marilah, kita selesaikan persoalan
kita tanpa melibatkan orang lain"
"Terima kasih paman" jawab Ki Sanggarana "dengan
demikian maka siapapun yang akan menang, tidak akan
dianggap berdiri diatas korban kawan sendiri. Tidak akan
ada korban disini. Dan tidak akan ada seseorang yang
meratapi kematian keluarganya"
"Sekarang turunlah. Kita akan berkelahi diarena" jawab
Ki Sendawa. "Kita percayakan arena itu kepada para pengikut kita
masing-masing. Mereka tentu akan melingkari kita yang
akan menjajagi ilmu kita masing-masing" jawab Ki
Sanggarana. "Tetapi mereka tidak akan berdiri tegak di tempatnya
sebagaimana sebatang patok bambu. Patok bambu tidak
akan bergeser seujung rambutpun, apapun yang terjadi
ditengah-tengah arena. Tetapi seseorang mungkin akan
bergerak. Mungkin akan menyibak dan mungkin akan
bergeser maju" "Baiklah paman" jawab Ki Sanggarana "orang-orangku
akan dengan cepat menyiapkan sebuah arena. Mereka akan
memotong bambu, membuat patok dan memasang gawar"
Demikianlah, dalam waktu yang singkat, para pengikut
menantu Ki Buyut itu telah menyiapkan sebuah arena
Dengan patok-patok bambu dan gawar serat kayu, maka
siaplah yang dikehendaki Ki Sendawa dalam waktu singkat.
Sejenak kemudian, maka para pengikut dari kedua belah
pihak telah berdiri diseputar arena. Ki Sarpa Kuning yang
mengumpat-umpat melihat orang-orang yang sibuk
menyiapkan sebuah arena telah berdiri di pinggir arena,
diluar gawar itu pula. Dalam pada itu, ketika semuanya sudah siap, maka Ki
Sendawapun kemudian berkata "Marilah Sanggarana.
Ternyata bahwa kau benar-benar seorang jantan
menghadapi persoalan yang tumbuh diantara kita"
"Aku hanya akan menghindari korban yang mungkin
jatuh. Mungkin luka arang kranjang, tetapi mungkin juga
terbunuh. Satu saja ada orang terbunuh, maka kita akan
menanggung beban dosa, karena persoalannya adalah
persoalan kita berdua" jawab menantu Ki Buyut itu.
"Jika demikian, maka biarlah kita memilih saksi masingmasing
satu orang" berkata Ki Sendawa "aku akan
menunjuk Ki Sarpa Kuning, sahabatku untuk menjadi saksi
dan akan berada di dalam arena.
"Baiklah paman. Dan akupun akan menunjuk paman
Waruju untuk menjadi saksiku" jawab Ki Sanggarana.
"Ya manakah orang yang kau sebut itu?" bertanya Ki
Sendawa. Ki Sanggarana kemudian berpaling kepada seseorang.
Orang yang diketemukan oleh Ki Sendawa dan orangorangnya
di halaman rumah Ki Sanggarana.
"Orang itu?" Ki Sendawa menjadi heran "jadi kau
mengambil saksi orang dungu itu"
"Ya. Tetapi ia jujur" jawab Ki Sanggarana.
"Tetapi saksi bagi perkelahian seperti ini harus orang
yang setidak-tidaknya mengerti apa yang sedang
berlangsung di arena" bentak Ki Sendawa.
"Ia akan dapat mengerti paman" jawab Sanggarana.
Ki Sendawa menggeram. Namun kemudian katanya
"Baiklah jika hal itu yang kau kehendaki"
Demikianlah, keduanyapun kemudian telah bersiap. Ki
Sarpa Kuning berada di dalam arena, sementara muridmuridnya
termasuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berada
diluar arena. Sedangkan saksi menantu Ki Bnyntpun berada
di dalam arena pula. "Kita akan segera mulai" berkata Ki Sarpa Kuning.
"Aku sudah siap" berkata Ki Sendawa.
"Aku juga sudah siap" sahut Ki Sanggarana.
"Bagus" berkata Ki Sarpa Kuning kemudian "kita akan
menentukan pertanda dari kekalahan"
"Jika lawannya sudah tidak mampu melawan lagi"


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jawab Ki Sanggarana. "Tidak. Sampai salah seorang mati?" bertanya Ki Sarpa
Kuning. "Itu tidak perlu" jawab Ki Sanggarana.
"Pengecut yang sombong" geram pamannya. Namun
katanya kemudian "baiklah. Aku setuju"
Demikianlah keduanyapun segera telah mempersiapkan
diri. Sementara itu, beberapa orang pengikut Ki Sanggarana
menjadi ragu-ragu akan kesungguhan menantu Ki Buyut
itu. Bahkan seorang diantara mereka berkata "Ia hanya
akan memberi kita kepuasan. Tetapi ia tidak akan mampu
berbuat apa-apa. Ia akan menyerah kalah. Dan kedudukan
itu akan jatuh ke tangan Ki Sendawa. Dalam pada itu, kita
tidak akan memaksa-maksanya lagi untuk berjuang
mengambil kedudukan itu"
"Mungkin ia memang hanya sekedar berbuat demikian"
sahut yang lain "dengan demikian maka apa yang kita
lakukan selama ini sia-sia saja"
Namun tiba-tiba seorang bertanya "Tetapi seandainya
tidak demikian. Seandainya kedua pasukan ini bertempur,
apakah kita akan mampu melawan orang yang bernama
Sarpa Kuning itu?" Ternyata tidak seorangpun yang menjawab. Bahkan
terasa bulu-bulu tengkuk merekapun tatah berdiri tegak.
"Mengerikan" seseorang telah berdesis "dari kedua belah
pihakpun akan jatuh korban. Diantara kita akan ada yang
mati. Ya, mati" Kawan-kawannya menarik nafas dalam-dalam.
Merekapun mulai membayangkan, jika terjadi pertempuran
antara kedua pihak yang berdiri bertentangan itu. tentu
akan jatuh korban. Mungkin dirinya sendiri, mungkin
saudaranya, mungkin kawan baiknya. Sementara itu yang
akan berdiri menjadi lawan, adalah saudara-saudara se
Kabuyutan juga. Namun dalam pada itu, beberapa orang yang usianya
sudah mendekati separuh baya yang ada di halaman banyak
itu menjadi berdebar-debar. Mereka yang telah mengenal
ayah Ki Sanggarana itu. Pada saat mudanya ayah Ki
Sanggarana itu memang mirip sekali dengan Ki Sanggarana
yang kini berdiri di arena itu.
Apalagi ketika sejenak kemudian, Ki Sendawa mulai
melangkah maju. Ki Sanggaranapun mulai bergeser pula.
Orang-orang yang berdiri diseputar arena itu melihat ada
semacam perubahan di dalam diri Ki Sanggarana. Ia tidak
lagi nampak kecut dan ragu-ragu. Tetapi justru ketika ia
berdiri diarena, serta lawannya sudah mulai menyerangnya,
maka sikapnya menjadi bersungguh-sungguh. Wajahnya
menjadi menyala dan dari kedua matanya gejolak didalam
dadanya. Ki Sendawa yang merasa mempunyai kesempatan untuk
segera mengalahkan lawannya, telah menyerang dengan
garangnya. Ia tidak mau terlalu lama berada diarena. Ia
harus segera membuktikan bahwa ia memiliki kemampuan
yang jauh lebih baik dari kemanakannya itu.
Tetapi Ki Sendawa terkejut ketika Ki Sanggarana itu
mampu meloncat mengelakkan serangannya.
Mula-mula Ki Sendawa mengira, bahwa ia kurang
bersungguh-sungguh karena sejak semula ia menganggap
tawanya tidak berarti. namun ketika ia mengulangi
serangannya, ternyata Ki Sanggarana memang mampu
mengelak dengan baik. "Anak setan" geram Ki Sendawa "darimana ia memiliki
kemampuan untuk mengelak demikian baiknya?"
Tetapi sebenarnyalah, ketika serangan-serangan Ki
Sendawa menjadi semakin keras, maka Ki Sanggaranapun
menjadi semakin nyata, bahwa iapun memiliki kemampuan
yang cukup untuk menghindari serangan-serangan itu.
Bahkan anak-anak muda yang tidak pernah melihat Ki
Sanggarana berlatih oleh kanuragan menjadi sangat tertarik
melihat sikap Ki Sanggarana menghadapi pamannya.
Tetapi beberapa orang yang lebih tua menarik nafas
dalam-dalam. Seorang diantara mereka berdesah "Ia
memiliki warisan kemampuan itu dari ayahnya. Ayahnya
yang mempunyai kebiasaan dan kegemaran berburu itu.
tentu tidak membiarkan anaknya, sedungu yang kita duga.
Sebenarnyalah, Ki Sarpa Kuning yang menyaksikan
pertempuran itupun segera melihat, bahwa orang yang
bernama Ki Sanggarana itu bukan seorang yang dungu.
Bahkan ternyata ia bukan seorang pengecut.
Dengan tangkas Ki Sanggarana menghadapi seranganserangan
Ki Sendawa. Bahkan semakin lama Ki
Sanggarana menunjukkan bahwa ia mampu bergerak lebih
cepat dari Ki Sendawa. Ki Sendawa menjadi semakin marah menghadapi sikap
kemanakannya. Namun akhirnya iapun sampai kepada satu
kesimpulan, bahwa Sanggarana itu tentu pernah mendapat
tuntunan kenuragan dari ayahnya.
"Tetapai anak gila itu tidak pernah menunjukkan tandatanda
bahwa ia mempunyai kemampuan, olah kanuragan"
berkata Ki Sendawa di dalam hatinya.
Sementara orang lain berkata di dalam hatinya "Anak itu
memang rendah hati. Ia dapat bersikap seolah-olah seperti
anak-anak muda kebanyakan yang tidak mempunyai
kemampuan olah kanuragan. Ia tidak pernah bersikap
sombong dan dengan sengaja memamerkan
kemampuannya, sehingga kawan-kawannya yang paling
dekatpun tidak mengetahui, bahwa ia memiliki ilmu yang
cukup. Bahkan dapat mengimbangi kemampuan
pamannya, Ki Sendawa Tetapi pada saat Ki Sanggarana itu harus menunjukkan
kemampuannya, maka orang-orang yang mengenal
ayahnya berkata di dalam hati "Wajar sekali jika ia
memiliki kemampuan untuk melawan pamannya"
Demikianlah perkelahian itu semakin lama menjadi
semakin sengit. Ki Sanggarana yang dalam sikapnya
sebelumnya sama sekali tidak menunjukkan kesungguhan
untuk melawan pamannya bahkan seakan-akan ia sama
sekali tidak peduli lagi dengan kedudukan yang
ditinggalkan oleh mertuanya, tiba-tiba saja telah bertempur
dengan tangkasnya melawan pamannya. Bahkan semakin
lama semakin keras, sebagaimana dilakukan oleh Ki
Sendawa. Ternyata Ki Sendawa narus mengumpat-umpat tidak ada
habisnya. Ternyata ia bertemu dengan keadaan yang tidak
pernah diduganya. Meskipun ia mengenal ayah Ki
Sanggarana, namun pengenalannya atas kemanakannya itu
sejak ia menjadi menantu Ki Buyut, tidak menunjukkan
bahwa ia memiliki kemampuan olah kanuragan.
Tetapi ketika ia bertemu di arena dalam keadaan yang
bersungguh-sungguh, maka ternyata bahwa anak
kemanakannya itu memiliki bekal yang cukup untuk
mengimbanginya. Tetapi Ki Sendawa masih mempunyai harapan. Ia masih
belum mengerahkan segenap ilmunya, justru karena ia tidak
menyangka akan berhadapan dengan kemanakannya dalam
tingkat kemampuan yang demikian.
Karena itu, maka dengan kemarahan yang menghentakhentak
jantungnya, Ki Sendawapun telah meningkatkan
kemampuannya sampai ke puncak.
Demikianlah, pertempuran itu menjadi semakin sengit.
Keduanya benar-benar telah berusaha dengan segenap
kemampuannya. Ki Sendawa dalam puncak ilmunya,
menghadapi Ki Sanggarana yang tidak sebelumnya ternyata
memiliki kemampuan yang mendebarkan.
Ki Sarpa Kuning yang menyaksikan pertempuran itu
menjadi tegang. Dua orang itu telah bertaruh. Jika Ki
Sendawa menang, maka ia akan menjadi Buyut. Tetapi jika
Sanggarana menang, maka ialah yang menjadi Buyut.
"Jika Sanggarana yang menjadi Buyut, maka semua
rencanaku mungkin akan gagal. Agaknya orang itu cukup
cerdas untuk menangkap maksudku" berkata Ki Sarpa
Kuning di dalam hatinya. Dengan jantung berdegupan, Ki Sarpa Kuning mengikuti
pertempuran yang menjadi semakin sengit itu. Bahkan
kemudian ternyata, bahwa kemampuan Ki Sanggarana
tidak berada dibawah lapisan kemampuan Ki Sendawa.
Sementara itu keduanya masih berkelahi dengan
sengitnya. Serangan Ki Sendawa yang datang beruntun
tidak menggoyahkan pertahanan Ki Sanggarana. Ketika Ki
Sendawa meloncat maju dengan kaki yang terjulur lurus
menyamping, maka Ki Sanggarana sempat mengelak.
Bahkan iapun telah berusaha untuk memukul kaki itu
menyamping sementara kakinya sendiri siap untuk
menyerang lambung. Tetapi Ki Sandawa sempat menarik serangannya.Bahkan
dengan cepat, dengan putaran yang bersumbu pada kakinya
yang lain, kaki itu berputar mendatar. Sebuah ayunan yang
sangat berbahaya telah menyerang Ki Sanggarana.
Ki Sanggarana sempat bergeser. Kaki itu menyentuhnya.
Sementara itu, Ki Sanggarana melihat. satu kesempatan.
Dengan satu langkah maju. tangannya terjulur lurus
mengarah kedada lawannya.
Tetapi serangan itu tidak mengenai sasarannya, karena
Ki Sendawa sempat bergeser surut. Namun Ki Sanggarana
tidak melepaskannya. Selangkah lagi ia maju. Dan sekali
lagi tangannya yang lain terjulur sementara tangannya yang
terdahulu ditariknya kedada.
Ki Sendawa tidak bergeser surut, tetapi ia melangkah
setengah langkah kesamping. Dengan sigapnya maka iapun
telah memiringkan kepalanya sekaligus menyongsong tubuh
lawannya dengan sikunya. Ki Sanggarana menggeretakkan giginya. Tetapi ia
sempat menguasai serangannya, sehingga tubuhnya tidak
sempat tersentuh siku lawannya. Tetapi yang tidak
diduganya, Ki Sendawa Justru merendah. Kakinyalah yang
kemudian terjulur menghantam lambung.
Ki Sanggarana terkejut. Dengan serta merta iapun telah
meloncat surut. Ia sempat menghindari serangan itu. Tetapi
serangan berikutnyapun telah datang menyambarnya.
Tangan Ki Sendawa terayun mendatar setinggi wajahnya.
Ki Sanggarana tidak membiarkan dirinya dihujani oleh
serangan-serangan yang datang beruntun. Tetapi tiba-tiba
iapun telah berputar dan justru meloncat dengan tangannya
yang terjulur lurus kedepan.
Ki Sendawalah yang harus menghindar. Namun dalam
puncak kemampuannya, ternyata Ki Sanggarana mampu
bergerak lebih cepat. Dengan loncatan yang panjang,
ternyata Ki Sanggarana berhasil menyambar lambung Ki
Sendawa dengan ujung kakinya. Meskipun serangan itu
tidak amat berbahaya, tetapi Ki Sendawa harus
menyeringai menahan sakit. Bukan saja kesakitan yang
menyengat, tetapi hatinyalah yang terlebih sakit lagi.
Tetapi itu sudah terjadi. Dalam pertempuran berikutnya,
meskipun sekali-sekali Ki Sendawa berhasil mengenai tubuh
Ki Sanggarana, tetapi ternyata Ki Sanggaranalah yang telah
mengenainya lebih banyak. Bahkan sentuhan-sentuhan
serangan Ki Snggarana terasa telah benar-benar
menyakitinya. "Anak iblis" geram Ki Sendawa.
Namun sementara itu, serangan Ki Sanggarana menjadi
semakin cepat dan semakin keras.
Orang-orang yang pernah mengenal ayah Ki
Sanggarana, seolah-olah telah melihat orang itu dimasa
mudanya. Ternyata kelebihan pada ayahnya telah
diwarisinya sepenuhnya. Bahkan ada satu kelebihan pada
anaknya. Sanggarana ternyata adalah orang yang rendah
hati. Melebihi dari ayahnya. Tidak seorangpun yang
mengetahui sebelumnya bahwa orang itu memiliki
kemampuan sebagaimana dimiliki oleh ayahnya.
"Ia meningkatkan ilmunya dengan diam-diam tanpa
diketahui oleh siapapun" berkata orang-orang itu di dalam
hatinya. Tetapi Ki Sarpa Kuning tidak berpendirian demikian.
Meskipun baginya, ilmu Ki Sanggarana dan Ki Sendawa itu
tidak menggetarkan bulu-bulunya, namun ia harus
memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang lain.
"Mungkin orang itu telah menyampaikan persoalannya
kepada gurunya" berkata Ki Sarpa Kuning di dalam
hatinya. Dengan demikian, maka tiba-tiba saja telah timbul satu
keinginan pada Ki Sarpa Kuning untuk menyelesaikan
persoalan itu dengan tuntas. Ia ingin memancing, siapakah
yang berdiri dibelakang orang yang bernama Ki Sanggarana
itu. Tetapi ia tidak segera berbuat sesuatu. Ia ingin melihat
pertempuran itu sampai kemungkinan terakhir.
Namun Ki Sarpa Kuning tidak mengetahui, bahwa Ki
Sanggarana itu mewarisi ilmu dari ayahnya sendiri. Ia tidak
berguru kepada orang lain, meskipun ada juga orang yang
membantu perkembangan ilmunya. Tetapi dasar ilmunya
itu telah dipelajarinya dari ayahnya.
Dalam pada itu, pertempuran antara kedua orang itupun
berlangsung semakin seru. Keduanya telah mengerahkan
sisa-sisa kemampuan yang ada pada mereka.
Namun dalam pada itu, semakin lama menjadi semakin
jelas, bahwa sebenarnyalah Ki Sendawa tidak mampu
mengatasi kemampuan kemanakannya, yang selama ini
dianggapnya sebagai seorang anak bawang yang tidak
berarti apa-apa. Betapa jantungnya bergejolak, tetapi ia tidak mampu
mengelakkan satu kenyataan, bahwa Ki Sanggarana
memang memiliki kelebihan daripadanya.
Sementara itu, Ki Sanggaranapun seakan-akan telah
berubah. Ketika ia benar-benar tersudut pada satu keadaan
tanpa pilihan, maka ia bukan lagi seorang yang ragu-ragu,
cemas dan bahkan ada yang menganggapnya ketakutan
menghadapi keadaan dalam perebutan kekuasaan di
Kabuyutan Talang Amba, meskipun bagi Ki Sanggarana
yang direbutnya adalah haknya sendiri.
Dalam perkelahian yang menentukan itu. Ki Sanggarana


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah berhasil mendesak lawannya, sehingga seolah-olah
tidak lagi mempunyai kesempatan. Ki Sendawa hanya
mampu bertahan dan sekali-sekali berloncatan surut. Sekalidua
kali ia masih mencoba, untuk membalas. Tetapi
serangan-serangannya kemudian sudah tidak berarti apaapa
lagi. Sisa-sisa tenaganya hanya mampu memperlambat
kehancurannya. Tetapi hampir pasti, bahwa saatnya akan
tiba ia jatuh berlutut ditengah-tengah arena itu.
Dengan garangnya Ki Sendawa menggerang. Ia sama
sekali tidak ikhlas mengalami keadaan itu. Karena itu, ia
masih mencoba dan memaksa diri untuk bangkit dan
menguasai lawannya. Tetapi sudah tidak ada jalan lagi
baginya. Ketika ia mengerahkan sisa tenaganya meloncat
sambil mengulurkan tangannya lurus mengarah kening,
ternyata Ki Sanggarana dengan mudahnya mengelakkan
serangan itu. Bahkan dengan sisi telapak tangannya ia
memukul tangan pamannya kesamping. Demikian tubuh
pamannya itu terputar, maka tiba-tiba saja ia melangkah
dengansatu kakinya kedepan, sementara sambil merendah,
sikunya telah menyusup dibawah lengannya yang masih
terjulur mengantam lambung.
Ki Sendawa mengeluh pendek. Terhuyung-huyung ia
terdorong kebelakang. Terasa dadanya menjadi sesak, dan
nafasnya bagaikan tersumbat.
Beberapa orang Kebuyutan Talang Amba melihat
kesulitan itu. Ketika seseorang diluar sadarnya berteriak,
tiba-tiba saja beberapa orang ikut berteriak pula. Bahkan
kemudian mereka seakan-akan telah bersorak gemuruh.
Betapa sakit hati Ki Sendawa. Tetapi lambungnya benarbenar
terasa sakit, meskipun tidak separah sakit hatinya.
Dengan wajah yang menyala ia berusaha untuk dengan
tegak menghadapi kemanakannya. Namun Sanggarana
yang seakan-akan telah berubah menjadi sesorang yang
bertindak tegas dan tidak ragu-ragu. Seolah-olah ia benarbenar
seorang Senapati yang sedang berperang tanding
dengan taruhan seluruh pasukannya.
Karena itu, ketika Ki Sendawa masih dalam
kedudukannya yang belum mapan, Ki Sanggarana telah
meloncat menyerang dengan kaki mendatar.
Tumit Ki anggarana mengarah kedada pamannya.
Dengan tergesa-gesa Ki Sendawa yang masih belum mapan
benar, terkejut melihat serangan itu. Dengan tangannya ia
berusaha menangkis serangan kemanakannya.
Tetapi tenaga Ki Sanggarana masih jauh lebih segar dari
tenaga Ki Sendawa. Karena itu, ketika kakinya mengenai
tangan Ki Sendawa yang bersilang didadanya, maka
kekuatan serangannya itu telah mendordhgnya.
Ki Sendawa ternyata tidak lagi mampu bertahan pada
keseimbangannya. Hentakkan kaki kemanakannya itu
benar-benar telah melemparkannya dan jatuh terguling
ditanah" Tumit Ki Sanggarana tidak mematahkan tulang iganya,
karena dilambari oleh tangannya yang bersilang. Tetapi
dorongan kekuatan serangan itulah yang telah
melemparkannya sehingga ia tidak dapat bertahan untuk
tetap berdiri. Terdengar Ki Sendawa menggeram. Tetapi kemudian
yang terdengar justru keluhannya yang tertahan. Betapa
tubuhnya terasa sakit dan tulang-tulangnya menjadi nyeri.
Dengan susah payah ia berusaha untuk bangkit. Ternyata
Ki Sanggarana telah memberikan kesempatan.
Dibiarkannya pamannya itu bertelekan kedua tangannya
kemudian bangkit sambil mengumpat kasar. Namun
nafasnya menjadi terengah-engah.
Ki Sanggarana membiarkannya untuk tegak berdiri.
Bahkan ketika dengan marah dan mengumpat-umpat Ki
Sendawa itu menyerangnya dengan sisa tenaganya, KI
Sanggarana tidak berbuat sesuatu. Ia tidak menghindar dan
tidak pula menangkis. Tetapi ternyata perhitungan Ki Sanggarana tepat. Justru
karena kelelahan yang sangat, maka ayunan tangan Ki
Sendawa tidak menyentuh lawannya yang tidak bergerak
sama sekali. Bahkan Ki Sendawa itupun telah terhuyunghuyung
pula. Dengan susah payah Ki Sendawa bertahan. Ia tetap
berdiri meskipun tidak tegak benar. Namun setiap orang
akan dapat menilainya, bahwa ia sudah tidak akan mampu
berkelahi lebih lanjut. "Bagaimana paman?" bertanya Ki Sanggarana yang
meskipun nafasnya menjadi terengah-engah juga, tetapi ia
masih berdiri tegak. "Anak iblis" geram Ki Sendawa "kita teruskan
sayembara ini. Aku akan mengalahkanmu. Bahkan jika kau
keras kepala, aku akan membunuhmu. Aku akan menjadi
Buyut di tanah ini" "Apakah paman masih belum kalah" desak Sanggarana.
"Anak gila" bentak Ki Sendawa "he, apa katamu" Aku
sobek mulutmu. Ayo, kita selesaikan perang tanding ini"
Ki Sanggarana memandang Ki Sendawa dengan tegang.
Ia melihat dendam yang menyala dimata pamannya itu.
Nampaknya pamannya tidak lagi dapat melihat kenyataan
karena dorongan ketamakan di dalam dadanya.
Dalam pada itu, maka akhirnya Ki Sanggaranapun
berkata "Paman. Aku sudah terlanjur berdiri diarena.
Karena itu, maka akupun akan menyelesaikan tugasku
diarena" "Apa maksudmu anak bengal?" bertanya Ki Sendawa
dengan nafas terengah-engah.
"Semula aku memang ragu-ragu untuk melawan paman.
Aku merasa bahwa aku harus menghormati paman sebagai
ganti orang tua isteriku. Tetapi ternyata setelah aku berdiri
diarena, dan apalagi mempertaruhkan seluruh Kabuyutan
dengan isinya, maka aku berpendirian lain. Aku harus
berhasil mempertahankan hak mertuaku. Hak yang akan
diwariskan kepada isteriku, dan sudah barang tentu, akulah
yang akan mengemban tugas itu. Mungkin sikapku
sekarang berbeda dengan sikapku sebelum aku memasuki
arena ini" berkata Ki Sanggarana.
"Persetan. Jangan membual" sahut pamannya. Dengan
serta merta Ki Sendawa itupun telah berusaha untuk
menyerang sekali lagi. Tetapi ketika Ki Sanggarana bergeser
setapak sambil memiringkan tubuhnya, maka Ki Sendawa
telah terseret oleh ayunan serangannya sendiri dan
kemudian jatuh tertelungkup.
Sekali lagi, dengan susah payah ia berusaha untuk
bangkit. Namun dalam pada itu. Ki Sanggarana berkata
"Paman sudah kalah. Paman sudah tidak mampu
melawan" Ki Sendawa masih mengumpat.
"Paman" berkata Sanggarana "jika paman ingin
meyakinkan bahwa paman sudah kalah dan tidak mampu
lagi melawan, aku akan dengan mudah melakukannya.
Tetapi aku berharap bahwa paman akan bersikap jantan.
Paman akan mengakui kekalahan paman, sebelum paman
jatuh pingsan" "Anak iblis. Aku akan membunuhmu" teriak Ki
Sendawa. Namun adalah sangat mengejutkan, bahwa justru Ki
Sarpa Kuninglah yang kemudian berkata lantang "Baiklah.
Ki Sendawa memang sudah kalah. Ia sudah tidak mampu
lagi melawan" Ki Sendawa memandang Ki Sarpa Kuning dengan sorot
mata keheranan. Ia tidak mengerti, kenapa justru Ki Sarpa
Kuninglah yang mencegahnya.
"Aku belum kalah" jawab Ki Sendawa.
"Sudah" sahut Ki Sarpa Kuning "sebaiknya Ki Sendawa
secara jantan mengakui kekalahan ini seperti yang
dikatakan oleh Ki Sanggarana"
"Dan kedudukan Buyut itu akan jatuh ke tangannya?"
bertanya Ki Sendawa dengan nada tinggi.
"Belum" jawab Ki Sarpa Kuning "masih ada satu syarat
yang harus dipenuhi oleh Ki Sanggarana.
Ki Sanggarana termangu-mangu sejenak. Kemudian
dengan ragu-ragu ia berkata "Kita sudah membicarakannya
sebelumnya. Tidak ada syarat yang lain. Siapa yang kalah,
harus mengikhlaskan kedudukan yang sedang kita
perebutkan itu" "Aku membuat perjanjian lain" berkata Ki Sarpa Kuning
"yang kalah boleh memilih seseorang untuk maju ke
pertarungan berikutnya. Jika misalnya kau kemudian kalah
dalam perkelahian itu, maka kaupun berhak memilih
seseorang untuk menggantikanmu"
"Perkelahian yang demikian tidak akan ada akhirnya"
berkata Ki Sanggarana "yang satu harus melawan yang
lain. Demikian sesterusnya"
"Tentu ada" jawab Ki Sarpa Kuning "jumlah orangorang
kita terbatas. Meskipun jumlah orang-orangmu lebih
banyak, tetapi belum tentu jika orangmulah yang akan tetap
berdiri diarena sebagai orang yang terakhir"
"Tetapi itu tidak adil" jawab Ki Sanggarana "sebaiknya
kita berpegang pada perjanjian kita yang pertama. Kita
adalah laki-laki yang telah memegang janji"
"Tetapi kita juga laki-laki jantan yang tidak gentar turun
kearena dalam benturan kanuragan" jawab Ki Sarpa
Kuning. Lalu "Bagiku nilai perjanjian sama artinya dengan
nilai kekuatan dan kemampuan. Siapa yang kuat, ia yang
dapat dianggap menang dalam perjanjian apapun juga. Jika
yang lemah merasa berhak atas satu kemenangan apapun
juga, maka ia akan digilas oleh kekuatan itu"
"Dengan demikian, kita akan kehilangan perhargaan
kepada janji kita sendiri" jawab Ki Sanggarana.
"Aku telah merubahnya. Setuju atau tidak setuju" jawab
Ki Sarpa Kuning "atau barangkali kau memilih kita
bersama-sama dengan para pengikut kita, akan bertempur
di halaman ini" Jika demikian yang kau kehendaki, aku
sama sekali tidak berkeberatan. Aku akan membantai setiap
orang yang ada disekitarku dan disekitar murid-muridku,
karena murid-muridku akan melakukan sebagaimana aku
lakukan" jawab Ki Sarpa Kuning.
"Jadi bagaimana maksudmu?" bertanya Ki Sanggarana.
"Perkelahian seorang lawan seorang" jawab Ki Sarpa
Kuning "supaya semuanya berlangsung dengan cepat, maka
biarlah aku saja yang akan turun kearena. Nah, siapakah
yang akan mewakilimu, karena jika kau sendiri akan
melawan aku, maka nasibmu akan menjadi sangat buruk.
Karena itu, panggil gurumu atau saudara tua
seperguruanmu, atau siapa saja yang kau anggap memiliki
kemampuan seperti gurumu"'
Wajah Ki Sanggarana menjadi bertambah tegang
Sementara itu Ki Sarpa Kuning berkata "Cepatlah Aku
tidak mempunyai banyak waktu. Apalagi jika masih ada
diantara orang-orangmu nanti yang akan menggantikanmu
melawan aku meskipun itu berarti pekerjaan yanga sia-sia
bahkan terlalu dungu"
Suasana menjadi bertambah tegang. Setiap orang telah
menahan nafas. Mereka menunggu ana yang akan
dilakukan oleh Ki Sanggarana menghadapi tantangan Ki
Sarpa Kuning. Ki Sanggarana sendiri menyadari, bahwa orang itu tentu
orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Orang yang telah
diminta oleh Ki Sendawa untuk membantunya. Bahkan jika
perlu dengan kekerasan. Dibelakang Ki Sarpa Kuning itu berdiri beberapa orang
yang tentu adalah murid-murid Ki Sarpa Kuning. Namun
diantara mereka telah dikenal oleh Ki Sanggarana.
Dalam kebimbangan itu, Ki Sanggarana justru masih tetap
diam mematung. Namun sudah barang tentu, ia tidak akan
membiarkan kedua kelompok yang sudah siap untuk
bertempur itu, benar-benar membenturkan kekuatan
mereka. Jika demikian, maka korbanpun akan jatuh dari
kedua belah pihak. Dan kedua belah pihak itu adalah orangorang
Kabuyutan Talang Amba. Karena menurut
perhitungan Ki Sanggarana, orang-orang yang diminta
mencampuri persoalan Talang Amba itu sendiri adalah
orang-orang berilmu sehingga mereka akan dapat
melindungi diri mereka sendiri. Bahkan mungkin orangorang
itulah yang akan lebih banyak menuntut korban dari
orang-orang Talang Amba. Namun dalam pada itu, tiba-tiba telah terjadi sesuatu
yang mengejutkan. Terlebih-lebih bagi para pengikut Ki
Sendawa dan Ki Sarpa Kuning sendiri.
Dalam ketegangan itu. orang yang berada diarena, yang
semula sekedar menjadi saksi, dan yang diketemukan oleh
orang-orang yang mengikut Ki Sendawa di rumah Ki
Sanggarana, tiba-tiba saja telah melangkah maju. Dengan
kepala tengah ia berkata "Jika demikian yang kau
kehendaki Ki Sarpa Kuning, maka biarlah Ki Sanggarana
akan menerimanya. Tetapi Ki Sanggarana sendiri tidak
akan turun ke arena atau bukan saudara tuanya atau
gurunya. Tetapi biarlah aku saja yang mewakilinya"
"He, apakah kau sudah gila" bentak Ki Sarpa Kuning.
"Tidak. Aku tidak gila. Tetapi aku sadar, bahwa dalam
keadaan yang gawat ini, aku tidak dapat tinggal diam.
Seandainya tidak ada orang lain yang turut campur,
sehingga persoalan ini dapat diselesaikan oleh Ki
Sanggarana dan Ki Sendawa sendiri, akupun tidak akan
turut campur. Tetapi karena kau, yang dianggap orang
asing di Kabuyutan ini, telah mencoba mempengaruhi
keadaan, maka aku merasa wajib untuk mencampurinya
pula. Tetapi yang aku lakukan bukannya langsung
mempengaruhi persoalan mereka itu sendiri, tetapi aku
hanya akan sekedar mencegah orang lain ikut campur"
berkata orang itu. "Gila. Siapa kau?" bertanya Ki Sarpa Kuning.
"Namaku Waruju" jawab orang itu.
"Waruju" desis Ki Sarpa Kuning. Nama yang asing
baginya. Karena itu, maka katanya kemudian "Ki Sanak.
Sebaiknya kau berpikir ulang sebelum kau bertindak.
Mungkin kau belum mengenal nama Ki Sarpa Kuning.
Tetapi kau terlalu sombong untuk menyatakan dirimu


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerima tantanganku mewakili Ki Sanggarana sebelum
kau mengenai siapa bakal lawanmu"
Ki Waruju menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya
kemudian "Mungkin kau benar Ki Sanak. Mungkin aku
memang seorang yang sangat sombong. Tetapi aku tidak
mempunyai pilihan lain. Aku kira kita berdua adalah
memang orang-orang yang sombong. Aku belum
mengenalmu, dan kau belum mengenalku"
Ki Sarpa Kuning mengangguk-angguk. Katanya
"Baiklah. Aku mengerti sekarang. Jika kau berada di rumah
Ki Sanggarana, maka itu bukan satu kebetulan. Kau merasa
dirimu orang yang pilih tanding meskipun kau berpura-pura
dungu. Tetapi baiklah kau melihat kenyataan di arena ini,
siapakah Ki Sarpa Kuning yang sebenarnya"
"Baik Ki Sanak. Kita akan memperkenalkan diri kita
dengan cara yang aneh. Tetapi jika ini adalah kesempatan
yang kita dapatkan sekarang, maka baiklah kita
mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya"
Ki Sarpa Kuning mengangguk-angguk. Ia memang
sudah berada di arena sebagaimana Ki Waruju. Karena itu,
maka kemudian iapun berkata "Kita sudah berdiri disini.
Kita tidak memerlukan saksi khusus seperti yang terjadi
pada Ki Sendawa dan Ki Sanggarana. Tetapi kita akan
mengamati diri kita sendiri sebagaimana kita bertempur
yang sebenarnya. Batas diantara kita bukan sekedar kalah
karena kita tidak mampu melawan lagi, tetapi batas yang
ada pada kita masing-masing adalah batas kematian. Jika
kau terima syarat ini, maka kau memang berhak untuk
berada diarena. Jika kau takut menghadapi maut, minggir
sajalah" Wajah Ki Waruju menjadi semakin tegang. Tetapi
akhirnya iapun menggangguk dan menjawab "Baiklah jika
tidak ada ukuran lain bagimu kecuali mati. Aku terima
syaratmu, meskipun aku sama sekali tidak berniat
membunuh" Ki Sarpa Kuningpun kemudian memandang Ki Sendawa
dan Ki Sanggarana berganti-ganti. Katanya kemudian
"Minggirlah. Kami berdua sepakat untuk berperang tanding
dalam arti yang sebenarnya. Tidak seorangpun yang akan
mengganggu kami berdua. Murid-muridku juga tidak"
Ki Sendawa dan Ki Sanggarana menjadi termangumangu
sejenak. Namun kemudian keduanyapun telah
bergerak meninggalkan arena.
Yang kemudian tinggal adalah Ki Sarpa Kuning dan Ki
Waruju. Dua orang yang belum saling mengenal. Namun
Ki Waruju telah pernah mendengar serba sedikit tentang Ki
Sarpa Kuning. Seorang yang memiliki kemampuan khusus
bermain dengan ular dan dengan segala macam bisa dan
racun. Namun Ki waruju adalah seorang yang memiliki
penawar terhadap segala macam bisa sebagaimana dimiliki
oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Dengan demikian, maka kedua orang yang kemudian
berada di arena itupun segera mempersiapkan diri. Mereka
benar-benarakan melakukan perang tanding tanpa ada
orang lain yang akan dapat mempengaruhinya. Bahkan
keduanya sama sekali tidak memerlukan saksi seorangpun.
Sejenak kemudian, kedua orang itupun telah saling
berhadapan dalam kesiagaan sepenuhnya. Ki Sarpa Kuning
mulai bergeser dan menggerakkan tangannya, sementara Ki
Waruju telah bersiap pula menghadapi segala
kemungkinan. Sejenak kemudian, maka Ki Sarpa Kuning sudah mulai
mengayunkan tangannya. Perlahan saja mengarah ke dahi.
Sementara itu Ki Waruju tidak menangkisnya. Ia bergeser
menyamping sambil memiringkan kepalanya.
Tetapi tidak diduganya, bahwa tiba-tiba saja Ki Sarpa
Kuning telah menyerangnya dengan ayunan kaki
melingkar. Untunglah bahwa Ki Waruju masih sempat
meloncat menghindarinya. Bahkan ketika Ki Sarpa Kuning
memburunya dengan serangan beruntun, Ki Waruju sempat
meloncat menjauh sehingga ia berdiri pada batas tepi arena.
-oo0dw0ooKolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoy o Conv erter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : Uploader di Indozone : Din o
--ooo0dw0ooo- Jilid 011 KI SARPA KUNING tidak memburunya lagi. Ia tahu
bahwa lawannya ternyata cukup cekatan meskipun dengan
demikian bukan berarti bahwa Ki Waruju akan dapat
mengimbangi kecepatan gerak Ki Sarpa Kuning.
Dalam pada itu beberapa orang yang berada di pinggir
arena itu menjadi tegang. Gajah Wareng dan seorang
saudara seperguruannya menjadi tegang pula. Namun tidak
kalah tegangnya adalah murid Ki Sarpa Kuning yang telah
dikecewakannya karena adiknya terbunuh itu dan kakak
beradik Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Mereka meyakinkan pertempuran itu dengan jantung
yang berdentangan. Meskipun murid-murid Ki Sarpa
Kuning menganggap bahwa gurunya adalah orang yang
tidak terkalahkan, namun, menghadapi orang yang tidak
dikenal itu, mereka menjadi berdebar-debar juga.
Sementara itu, Ki Sendawa yang terengah-engah berdiri
di antara orang-orangnya. Betapapun terasa tubuhnya nyeri
dan sendi-sendi tulangnya serasa terlepas satu dengan yang
lain, namun keinginannya untuk menyaksikan pertempuran
itu telah memaksanya untuk tetap berdiri ditempatnya.
Disisi lain, Ki Sanggaranapun berada diantara orangorangnya
yang tegang pula. Mereka menyaksikan orang
yang menyebut dirinya Waruju itu dengan mata yang
hampir tidak berkedip. Namun bagaimanapun juga,
terberslt juga kecemasan mereka, karena mereka
menganggap bahwa orang yang telah berdiri dipihak Ki
Sendawa itu tentu orang yang memiliki ilmu tidak ada
duanya. Sementara itu mereka masih belum yakin, apakah
orang yang menyebut dirinya Ki Waruju itu akan mampu
mengimbangi ilmu Ki Surpa Kuning.
Dalam pada itu, pertempuran antara kedua orang di
arena itupun semakin lama menjadi semakin cepat. Ki
Sarpa Kuning yang masih menjajagi ilmu lawannya itu
sedikit demi sedikit telah meningkatkan ilmunya, sementara
Ki Waruju berusaha untuk menyesuaikan diri dengan
tingkat kemampuan lawannya. Namun dalam pada itu, Ki
Warujupun yakin, bahwa Ki Sarpa Kuning masih dalam
tingkat ancang-ancang. Dengan demikian maka pertempuran itupun menjadi
cepat meningkat. Apalagi ketika pada suatu kali Ki Waruju
telah mencoba untuk mengejutkan Ki Sarpa Kuning.
Selagi Ki Sarpa Kuning berusaha untuk mengetahui
tingkat kemampuan lawannya, tiba-tiba saja Ki Waruju
telah meningkatkan ilmunya melampaui tataran yang
diambil oleh Ki Sarpa Kuning. Dengan kecepatan yang
tidak diduga oleh lawannya, Ki Waruju telah menyerang
dengan lontaran kaki menyamping.
Ki Sarpa Kuning benar-benar telah dikejutkan oleh
serangan itu. Ternyata ia tidak sempat mengelak dan
menangkis, karena yang terjadi adalah sangat tiba-tiba
justru ketika Ki Sarpa Kuning berusaha mengetahui tingkat
ilmu lawannya. Karena itu, maka serangan kaki itu telah memasuki
pertahanan Ki Sarpa Kuning yang masih belum terlalu ketat
langsung mengenai lambung.
Ki Sarpa Kuning terdorong selangkah surut. Ternyata
sentuhan itu cukup menyakitinya, seshingga karena itu,
maka Ki Sarpa Kuning itu telah menggeram.
"Anak setan" geramnya.
Ki Waruju sama sekali tidak menjawab. Dibiarkannya
saja Ki Sarpa Kuning itu mengumpat-umpat.
Dalam pada itu maka Ki Sarpa Kuningpun meneruskan
"Kau kira kau benar-benar berhasil menyakitiku?"
"Aku tahu, bahwa kau sedang lengah" jawab Ki Waruju
"karena itu, maka aku mempergunakan kesempatan itu
sebaik-baiknya selagi kau masih tetap menganggap aku
anak bawang dipermainan ini"
"Gila" geram Ki Sarpa Kuning "Kau memaksa aku
untuk mempercepat kematianmu"
"Biarlah segalanya kita selesaikan dengan cepat. Dengan
demikian kita tidak akan berlarut-larut berada diarena ini
tanpa ujung dan pangkal"
Ki Sarpa Kuning menggeram. Lawannya benar-benar
seorang yang keras kepala. Bahkan agak terigu sombong.
Karena itu, maka Ki Sarpa Kuningpun telah bersiap
untuk segera meningkatkan ilmunya dan melumpuhkan
lawannya yang telah menyakitinya itu.
Namun Ki Waruju telah memperhitungkannya sehingga
karena itu iapun telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan yang bakal terjadi diarena.
Dengan demikian maka pertempuran antara
keduanyapun menjadi semakin sengit. Keduanya telah
meningkatkan ilmu mereka dengan cepat, karena mereka
berusaha untuk mempercepat penyelesaian dari
pertempuran itu. Apalagi setelah mereka saling menjajagi,
maka mereka mendapat kesan, bahwa lawan-lawan mereka
adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Namun ternyata keduanya memang orang-orang yang
berilmu melampaui orang kebanyakan. Sehingga semakin
tinggi mereka mengerahkan ilmu mereka, maka orangorang
yang berada disekitar arena itu menjadi semakin
berdebar-debar. Bahkan sebagian besar dari mereka sama
sekali tidak tahu, apa yang telah terjadi.
Demikianlah, Ki Sarpa Kuning telah dengan sungguhsungguh
berusaha melumpuhkan perlawanan Ki Waruju. Ia
tidak menyangka sama sekali, bahwa di padukuhan induk
Kabuyutan Talang Amba itu, akan dijumpainya seseorang
yang memiliki ilmu yang dapat mengimbanginya.
Namun Ki Sarpa Kuning tidak menjadi gentar. Ia
memiliki pengalaman yang luas dalam dunia petualangan
olah kanuragan. Karena itu, maka iapun dengan penuh
keyakinan berniat untuk dengan cepat melumpuhkan
lawannya. Tetapi Ki Waruju tidak membiarkan dirinya menjadi
korban kegarangan Ki Sarpa Kuning. Dengan mantap
iapun menempatkan diri sebagai lawan yang tangguh.
Benturan-benturan kekuatan semakin lama menjadi
semakin sering terjadi. Ketika kecepatan serangan masingmasing
menjadi semakin meningkat, maka mereka tidak
lagi sempat untuk setiap kali menghindar. Tetapi mereka
mulai menangkis setiap serangan, sehingga kekuatan
merekapun telah saling berbenturan.
Namun dalam pada itu, keduanya merasakan bahwa
benturan-benturan kekuatan wajar mereka, sama sekali
tidak akan menghasilkan satu penyelesaian. Agaknya
mereka mempunyai kekuatan yang seimbang, sehingga
yang satu tidak akan dapat mengalahkan yang lain.
Karena itu, maka merekapun mulai menambah tenaga
cadangan yang akan dapat melipatkan kekuatan dan
kemampuan mereka. Ki Sarpa Kuning benar-benar tidak lagi berusaha untuk
mengekang diri. Dengan serta merta, maka iapun telah
memusatkan segenap kemampuannya dengan dorongan
tenaga cadangan di dalam dirinya. Meskipun dengan tenaga
wajar, lawannya mampu mengimbangi ilmunya, namun
dalam puncak kemampuan dengan dilandasi tenaga
cadangan yang dengan sepenuhnya telah dikuasainya,
maka lawannya akan di hancur lumatkan.
Ki Waruju yang bergeser surut, melihat betapa Ki Sarpa
Kuning telah memusatkan segenap daya di dalam dirinya
lahir dan batin untuk melepaskan ilmu puncaknya.
Sehingga karena itu, maka Ki Wariijupun telah melakukan
hal yang sama. Ia tidak mau menjadi lumat oleh kekuatan
yang akan terlontar dari puncak ilmu lawannya.
Dengan demikian maka Ki Warujupun telah
menyalurkan kekuatan cadangan di dalam diri untuk
memperkuat daya tahan tubuhnya serta lewat telapak
tangannya. Sehingga dengan demikian, maka setiap
sentuhan akan dapat berakibat gawat bagi lawannya.
Sejenak kemudian, maka yang terjadi di arena itu, benarbenar
tidak dapat dimengerti oleh orang-orang yang
mengikutinya. Bahkan Ki Sendawa dan Ki Sanggaranapun
menjadi heran, melihat betapa keduanya bagaikan telah
berubah menjadi bayangan yang saling berterbangan.
Ki Sarpa Kuningpun menjadi semakin heran. Ternyat Ki
Waruju itu benar-benar seorang yang pilih tanding. Seorang
yang memiliki ilmu yang dapat mengimbangi ilmunya.
Bukan saja dalam batas-batas kewajiban. Namun Ki
Waruju itupun mampu mengimbangi ilmunya yang
dilandasi dengan tenaga cadangannya.
Benturan-benturan yang terjadipun telah menjadi
semakin dahsyat. Meskipun yang saling berbenturan itu ada
lah tubuh-tubuh yang kasat mata dari kedua orang yang
sedang bertempur itu, namun sebenarnyalah yang
berbenturan adalah kekuatan cadangan yang sulit untuk
dimengerti. Kecepatan gerak merekapun menjadi semakin
meningkat. Yang nampak diarena itu bagaikan beberapa
orang yang saling memburu, menyerang dan berbenturan.
Ki Sarpa Kuning dan Ki Waruju seakan-akan telah
berubah, tidak lagi seorang melawan seorang. Tetapi arena
itu seakan-akan telah menjadi penuh oleh kedua orang yang
sedang bertempur itu, meskipun orang-orang yang
menyaksikan itu akhirnya menyadari, bahwa yang ada
diarena itu tetap seorang Ki Sarpa Kuning dan seorang Ki
Waruju. Namun karena kecepatan gerak mereka, maka


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seolah-olah seluruh arena itu telah terisi oleh keduanya.
Dalam pada itu, Ki Sarpa Kuning semakin lama menjadi
semakin gelisah. Ia menyadari bahwa lawannya memang
memiliki ilmu yang tinggi, sehingga ia akan merlukan
waktu dan puncak kemampuannya untuk pada suatu saat
nanti mengalahkannya. Sementara itu, Ki Sanggarana telah mengelus dadanya.
Ketegangan yang sangat serasa telah mengguncang
jantungnya. "Seandainya orang-orang Talang Ambalah yang harus
melawan Ki Sarpa Kuning dengan murid-muridnya, apakah
yung akan terjadi" berkata Ki Sanggarana di dalam hatinya.
Namun kecemasan yang lainpun telah tumbuh
"Bagamanakah akibatnya jika murid-murid Ki Sarpa
Kuning itu turun pula ke arena tanpa menghargai sebuah
perjanjian?" Meskipun Ki Sanggarana mengenali seorang diantara
murid Ki Sarpa Kuning itu sebagai orang yang pernah
datang ke rumahnya, namun ia hanya seorang diantara
murid-muridnya yang lain.
Dalam pada itu, Ki Sendawapun menjadi tegang. Dalam
kebingungannya, ia mulai kehilangan harapan. Ternyata KI
Sarpa Kuning bukan satu-satunya orang yang memiliki
Ilmu yang luar biasa. Ternyata kemanakannya, menantu Ki
Buyut itupun mampu mendapatkan dukungan dari orang
yang memiliki ilmu yang seimbang dengan ilmu Ki Sarpa
Kuning. Bahkan belum ada tanda-tanda apapun bahwa Ki
Sarpa Kuning akan dapat memenangkan pertempuran itu.
Tetapi Ki Sarpa Kuning membawa lima orang muridmurid"
berkata Ki Sendawa di dalam hatinya "menurut KI
Sarpa Kuning setiap orang muridnya akan dapat melawan
anak-anak muda sepadukuhan"
Namun menilik apa yang dilakukan oleh Ki Sarpa
Kuning, Ki Sendawapun yakin, bahwa mereka akan dapat
melakukannya. Demikianlah pertempuran antara Ki Sarpa Kuning
melawan Ki Waruju itu berlangsung semakin lama menjadi
semakin dahsyat. Bagi penglihatan orang-orang Talang
Amba, maka pertempuran itu tidak lagi dapat disebutnya,
karena mereka tidak dapat melihat dengan jelas apa yang
terjadi. Keduanya bagaikan berada diseluruh arena,
berputaran, berloncatan dan bergeser dengan cepatnya.
Tangan-tangan merekapun seolah-olah telah berubah
menjadi beberapa pasang yang bergerak bersama-sama.
Dalam pada itu, setiap saat keduanya bagaikan lebur
menjadi satu. Namun tiba-tiba seorang diantara mereka
telah melejit keluar dari putaran. Tetapi secepat ia terlempar
keluar, iapun telah melihat lagi kedalam putaran yang
semakin cepat. Keduanya benar-benar bertempur dalam puncak ilmu
mereka. Benturan demi benturan telah terjadi. Desak
mendesak, serang-menyerang. Kadang-kadang keduanya
dengan sengaja telah membenturkan ilmu mereka tanpa
pengekangan diri. Dalam pada itu, dalam puncak kekuatan masing-masing,
maka ternyata mereka harus mempertaruhkan ketahanan
tubuh mereka. Dalam keseimbangan ilmu, maka siapakah
yang memiliki ketahanan lebih baik, maka ia akan dapat
bertahan melampaui kemampuan bertahan lawannya.
Sebenarnyalah, bahwa ketahanan tubuh Ki Waruju telah
diuji. Sebaliknya Ki Sarpa Kuningpun telah mengalami
pendadaran yang sangat berat. Betapapun mereka
memperhitungkan setiap kemungkinan dalam perang
tanding itu, namun pada suatu saat, mereka telah
mengerahkan puncak kekuatan mereka masing-masing.
Tetapi puncak-puncak kekuatan itu tidak mampu
menunjukkan tanda-tanda untuk dapat mengakhiri
pertempuran. Karena itu, maka merekapun akhirnya harus
memperhitungkan untuk tidak lebih dahulu kehilangan
tenaga. Dengan kesadaran itu, maka keduanya menjadi semakin
berhati-hati. Keduanya mencoba untuk menguasai
perasaannya sepenuhnya, sehingga mereka tidak akan terJ
dorong kedalam satu tindakan yang tidak berarti namun
hanya dapat menghabiskan tenaga saja.
Dengan demikian pertempuran itupun nampaknya
menjadi semakin mengendor. Meskipun masih dalam batasbatas
ketidak mampuan untuk dikenalinya oleh orang-orang
Talang Amba. Meskipun demikian, maka kedua orang yang sedang
bertempur itu tidak dapat menyingkirkan diri dari
keterbatasan mereka. Mereka bukan orang-orang yang
dapat membebaskan diri dari kemungkinan badaniah.
Karena itulah, meskipun mereka bertempur dengan
landasan tenaga cadangan mereka, tetapi mereka tetap tidak
mampu mempertahankan tataran kekuatan mereka.
Itulah sebabnya, maka kekuatan merekapun mulai
menjadi susut. Tetapi kecepatan menyusut kekuatan kedua
orang itu ternyata tidak sama. Ki Sarpa Kuning yang terlalu
bernafsu untuk mengalahkan lawannya dengan cepat, telah
mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatannya tanpa
kekangan. Ketika ia menyadari bahwa ia akan bertempur
untuk waktu yang lama, serta memerlukan ketahanan yang
besar, sebenarnyalah, ia telah memeras sebagian besar dari
tenaganya. Itulah sebabnya, maka yang nampak mulai susut, adalah
justru tenaga Ki Sarpa Kuning.
Bukan berarti bahwa tenaga Ki Waruju tidak menyusut,
tetapi susutnya tenaga Ki Sarpa Kuning agak lebih cepat
dari susutnya tenaga Ki Waruju. Sehingga dengan
demikian, maka akhirnya mulai nampak, bahwa
keseimbangan diantara kedua orang itu mulai bergerak.
Perlahan-lahan tetapi pasti, Ki Waruju mempunyai
kemunkinan yang lebih baik dari lawannya. Ketika
kekuatan Ki Sarpa Kuning menjadi semakin susut, maka
benturan-benturan kekuatanpun menjadi tidak lagi
seimbang. Karena itulah, maka kadang-kadang Ki Sarpa Kuning
harus terdorong beberapa langkah surut jika Ki Waruju
dengan sepenuh tenaganya membenturkan diri terhadap
serangan Ki Sarpa Kuning.
Dalam pada itu, benturan-benturan yang terjadi, serta
sentuhan serangan dari kedua belah pihak telah membuat
tubuh mereka menjadi sakit. Terlebih-lebih lagi Ki Sarpa
Kuning. Terasa kulit dagingnya bagaikan lumat serta
tulang-tulangnya menjadi retak.
Demikianlah sejenak kemudian, keduanya telah terlibat
lagi kedalam pertempuran yang sengit. Namun betapa
kemarahan membakar isi dadanya, namun ternyata bahwa
Ki Sarpa Kuning menjadi semakin kehabisan kesempatan.
Sementara itu, Ki Waruju yang menganggap bahwa orang
seperti Ki Sarpa Kuning itu tidak akan dapat lagi berubah,
maka tidak ada jalan lain kecuali menyingkirkannya untuk
selamanya. Karena itu, maka ketika pertempuran itu mulai lagi
menyala maka Ki Waruju lelah mulai lagi dengan seranganserangannya
yang gawat. Ki Sarpa Kuning benar-benar mengalami kesulitan.
Dalam keadaan yang paling gawat ia masih melemparkan
seekor ular kearah lawannya. Tetapi ular itu tidak berarti
apa-apa, sementara kemarahan Ki Waruju menjadi semakin
membakar jantung. Ki Waruju tidak mengira bahwa Ki Sarpa Kuning
melespaskan senjata rahasianya yang merupakan ular
hidup, ia tidak sempat menangkis, sehingga ular itu
menggigit pundaknya. Tetapi dengan tangannya Ki Waruju meraba ular yang
masih menggigit pundaknya. Perlahan-lahan Ki Waruju
memijat kepala ular itu, sehingga akhirnya ular itupun
menggeliat dan melilit-lilit. Tetapi tangan Ki Waruju terlalu
kuat, sehingga akhirnya kepala ular itupun pecah
karenanya. Karena ular itu kemudian mati. maka gigitannyapun
telah terlepas. Dengan wajah geram, Ki Waruju
melemparkan ular itu kearah Ki Sarpa Kuning.
"Inilah ularmu" berkata Ki Waruju.
Ki Sarpa Kuning terkejut bukan buatan. Ular itu telah
menggigit. Tetapi sudah sekian lama Ki Waruju masih tetap
berdiri. Bahkan dengan mudah ia melepaskan gigitan
ularnya dan melemparkannya kepadanya. Ular itu sudah
mati. "Kau tentu masih menunggu Ki Sarpa Kuning" berkata
Ki Waruju kemudian "kau menunggu kapan aku jatuh
terkulai oleh kekuatan bisa bandotan kerdilmu. Tetapi
sayang sekali Ki Sarpa Kuning. Aku tidak akan mati karena
bisa ularmu" "Anak setan" geram Ki Sarpa Kuning "Kau akan mati"
Tetapi tiba-tiba saja Ki Warjju itu melangkah maju
sambil berkata "Bisamu tidak dapat membunuhku. Ularmu
memang sudah tidak berbisa"
Kemarahan yang membawa membayang di wajah Ki
Sarpa Kuning Sekali lagi ia mengambil sesuatu dari kantong
ikat pinggangnya. Sekali lagi ia meloncatkan ularnya kearah
Ki Waruju. Ki Warujupun bergeser. Tetapi dengan tangannya ia
menangkap kedua ekor ular itu dan meremasnya. Katanya
"Apakah kau masih mempunyai ular yang lain.
Wajah itu semakin tegang. Ketika tangan Ki Waruju
menangkap kedua ekor ular itu, maka ular itu telah
mematuknya. Tetapi Ki Waruju sama sekali tidak
menghiraukannya. Ia sama sekali tidak menjadi cemas
karena gigitan ular itu. Ketegangan memang telah memuncak di jantung Ki
Sarpa Kuning. Ia tidak segera melihat Ki Waruju jatuh
dengan lemahnya. Ia tidak melihat Ki Waruju menjadi
kejang dan kulitnya bernoda biru kehitaman. Tetapi
ternyata bahwa Ki Waruju itu masih tetap tegak
dihadapannya. Dengan demikian, maka Ki Sarpa Kuning itu menjadi
semakin geram. Tetapi juga kegelisahan yang sangat telah
mencengkamnya. Sebuah pertanyaan telah membakar
dadanya "Kenapa orang itu tidak mati"
Dalam pada itu, Ki Waruju telah melangkah
mendekatinya. Agaknya Ki Waruju benar-benar telah
sampai pada satu keputusan untuk mengakhiri pertempuran
itu. "Ki Sarpa Kuning" berkata Ki Waruju "nampaknya kita
memang harus saling membunuh. Jika bukan kau, akulah
yang akan terbunuh. Dan kau benar-benar telah
mencobanya dengan bisa ularmu. Tetapi sayang bahwa bisa
ularmu itu tidak berarti apa-apa bagiku"
"Omong kosong. Kau memang akan mampu bertahan
seandainya kau mempunyai ilmu kebal. Tetapi hanya untuk
beberapa saat. Apalagi karena bisa ularku telah masuk
kedalam urat darahmu"
"Aku akan tetap hidup. Kaulah yang terpaksa harus mati
diarena ini" geram Ki Waruju.
Ki Sarpa Kuning yang sudah tidak dapat mengenang
gejolak kemarahannya tiba-tiba telah meloncat
menerkamnya. Agaknya orang itu tidak lagi menghiraukan
ular-ularnya yang telah dibunuh oleh Ki Waruju serta yang
masih ada di kantong ikat pinggangnya.
Tetapi Ki Waruju sudah memperhitungkannya. Ki Sarpa
Kuning akan menjadi kehilangan pengekangan diri dan
tidak lagi dapat mengendalikan nalarnya. Dengan
kemarahan yang meluap ia telah menyerang beruntun
dengan sepenuh kemampuannya.
Ki Waruju yang masih tetap menguasai perasaannya,
dengan cermat telah menghindari serangan-serangan itu.
Dengan loncatan pendek ia memiringkan tubuhnya,
sehingga serangan lawannya menyambar sejengkal
dihadapannya. Ki Waruju tidak melepaskan kesempatan itu. Dengan
cepat ia telah membalas serangan itu justru dengan
menyerang tangan Ki Sarpa Kuning yang terjulur.
Demikian cepatnya, sehingga meskipun Ki Sarpa Kuning
berusaha menarik tangannya, tetapi serangan lawannya
masih tetap mengenainya. Ki Sarpa Kuning mengeluh. Tangannya terasa nyeri.
Namun ia cepat bertindak. Sambil memutar tubuhnya,
kakinya telah menyambar mendatar.
Tetapi Ki Warujupun cepat bergerak. Ia sadar, bahwa
tenaganya masih lebih baik dari tenaga lawannya. Karena
itu, maka dengan sengaja ia telah membenturkan
kekuatannya dengan menangkis serangan itu.
Sekali lagi telah terjadi satu benturan kekuatan. Tetapi
kekuatan keduanya sudah tidak lagi penuh seperti saat
mereKa baru mulai. Meskipun demikian benturan ilmu itu masih tetap
mendebarkan hati. Namun dalam pada itu, ternyata bahwa
tenaga Ki Sarpa Kuning benar-benar telah jauh surut.
Ketika kakinya membentur kedua belah tangan Ki Waruju
yang menangkis serangan itu, dan bahkan Ki Waruju telah
mendorongnya, maka Ki Sarpa Kuning telah kehilangan
keseimbangannya. Terhuyung-huyung ia terdorong surut.
Namun ketika ia berusaha memperbaiki keadaannya, maka
serangan Ki Waruju telah menyusulnya. Dengan derasnya
Ki Waruju meloncat mendekat. Kemudian dengan sekali
berputar ia telah menyerang lawannya. Sambil
memiringkan tubuhnya Ki Waruju menjulurkan kakinya
tepat mengenai lambung Ki Sarpa Kuning.
Terdengar Ki Sarpa Kuning mengaduh perlahan Namun
kemarahan yang meledak-ledak telah memaksa dirinya
untuk bertahan. Ketika ia terdorong oleh serangan itu dan
jatuh, dengan cepat ia berusaha untuk bangkit. Bahkan
sambil berteriak nyaring untuk mengatasi getar di dalam
jantungnya. Tetapi serangan Ki Waruju telah memburunya.
Demikian ia bangkit, maka Ki Waruju telah menyerangnya.


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tangannya terjulur lurus mengarah kedada.
Namun Ki Sarpa Kuning tidak mau dadanya dipecahkan
oleh serangan lawannya. Dengan cepat ia justru
menjatuhkan dirinya bersandar kedua tangannya.
Ki Warujulah yang kemudian menjadi tergesa-gesa. Ia
memang ingin segera menyelesaikan tugasnya. Karena itu,
maka iapun telah berusaha menyerang saat Ki Sarpa
Kuning masih belum bangkit.
Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Justru kaki Ki
Sarpa Kuninglah yang mengenai dadanya ketika ia
meloncat maju. Ki Sarpa Kuning masih dapat
mempergunakan sisa tenaganya untuk melenting dan
langsung menyerang kearah dada.
Ki Waruju terdorong surut. Sementara itu Ki Sarpa
Kuning sempat meloncat bangkit dan memperbaiki
keadaannya. Namun sementara itu, Ki Warujupun telah
bangkit pula berdiri dan bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Serangan Ki Sarpa Kuning dengan sisa-sisa tenaganya
tidak banyak memberinya peluang. Bahkan seranganserangan
balasan Ki Waruju telah berhasil melukai bagian
dalam dadanya. Ketika kaki Ki Waruju mengenai, pusat dadanya, rasarasanya
dada itu akan pecah dan seluruh isinya bagaikan
dirontokkannya. Terhuyung-huyung Ki Sarpa Kuning
terdorong surut. Namun serangan berikutnya, telah
melemparkannya dan jatuh terbanting di tanah.
Adalah nasib yang sangat buruk telah menimpanya. Ki
Sarpa Kuning yang memiliki ilmu yang mapan itu tidak
berhasil menempatkan dirinya pada saat ia terlempar.
Begitu kuat dorongan kaki Ki Waruju, sementara kekuatan
Ki Sarpa Kuning telah hampir lenyap, telah
melemparkannya sehingga ia jatuh terlenlang dengan
bagian belakang kepalanya membentur batu di pinggir
arena. Batu itu memang tidak begitu besar. Tetapi bagian
belakang kepala adalah bagian yang terlalu lemah. Karena
itu, maka demikian kepalanya terantuk batu, maka rasarasanya
langitpun menjadi gelap. Betapa besarnya daya lahan Ki Sarpa Kuning. Namun
bagian dadanya yang lerluka dan bagian belakang
kepalanya yang terbentur batu oleh dorongan kekuatan
yang jarang ada bandingnya, telah membuat Ki Sarpa
Kuning itu kehilangan kesadarannya. Bahkan kemudian
darah yang berwarna gelappun telah meleleh dari bibirnya
Orang-orang yang berada dipinggir arena itupun menjadi
bertambah tegang. Namun sejenak kemudian, ketegangan
itu dipecahkan oleh geram murid Ki Sarpa Kuning yang
bernama Gajah Wareng. "Gila" geramnya "kau melukai guruku. Tidak ada
hukuman yang pantas bagimu kecuali hukuman mati"
Ki Waruju termangu-mangu. Namun bagaimanapun
juga, nafasnyapun telah menjadi tersendat-sendat. Ia sudah
mengerahkan segenap sisa kemampuannya pada saat
terakhir, sehingga kekuatannya itupun seolah-olah telah
terkuras habis. Dalam pada itu, Gajah Wareng diikuti oleh saudara
seperguruannya yang berkumis lebat itupun telah memasuki
arena. Dengan sorot mata yang menyala dipandanginya Ki
Waruju yang berdiri mematung ditempatnya.
"Bersiaplah untuk mati" berkata Gajah Wareng "kami
berdua mempunyai kekuatan melampaui guru seorang diri.
Apalagi jika nanti ketiga adik seperguruanku itu akan
melibatkan dirinya memasuki arena. Kau tidak akan berarti
apa-apa" Wajah Ki Waruju menjadi tegang. Sekilas
dipandanginya Ki Sanggarana. Namun Ki Sanggarana
sendiri menjadi bingung menghadapi keadaan.
Sementara itu, orang-orang yang berada diseputar
nrenapun menjadi semakin tegang pula. Ketika mereka
memandang Ki Sendawa yang berdiri tegak dipinggir arena,
maka merekapun menjadi berdebar-debar karenanya.
Ki Sendawa yang sudah sempat beristirahat beberapa
saat itupun telah menjadi agak segar. Ketika ia melihat Ki
Sarpa Kuning terbanting jatuh dan kemudian tidak
sadarkan diri. Jantungnya bagaikan telah membeku.
Namun darahnya menjadi panas kembali ketika ia melihat
sikap murid-murid Ki Sarpa Kuning itu.
Ki Waruju memandang kedua murid Ki Sarpa Kuning
itu dengan tajamnya. Kemudian dengan suara yang berat ia
berkata "Kalian akan melawan aku?"
"Bukan sekedar melawan" jawab Gajah Wareng "Aku
akan membunuhmu" "Gurumu tidak dapat membunuhku" jawab Ki Waruju.
"Aku tidak sendiri" jawab Gajah Wareng "dan kau tidak
akan mampu melawan kami berdua, sebab kekuatan kami
berdua melampaui kekuatan guru"
Ki Waruju mengangguk-angguk. Katanya "Kalian
ternyata murid-murid yang setia. Ketika kalian melihat guru
kalian tidak berdaya, maka kalian telah berusaha untuk
membunuh diri" "Gila" geram Gajah Wareng "jangan terlalu sombong.
Aku tahu. bahwa tenagamu sudah susut dan bahkan hampir
habis seluruhnya. Aku tahu bahwa kau tidak akan dapat
bertempur dengan sepenuh kemampuannya. Dan aku-pun
tahu, bahwa membunuhmu dalam keadaan yang demikian
adalah satu pekerjaan yang sangat mudah, seperti memijat
buah ceplukan matang"
Ki Waruju berusaha untuk mengatur pernafasannya.
Namun ia masih menjawab "Aku sudah sempat beristirahat
sekarang. Kalian tidak akan mampu berbuat apa-apa.
Sementara para pengikut Ki Sanggarana akan dapat
membantuku" Gajah Wareng memandang berkeliling. Namun matanya
membentur sorot mata pada pengikut Ki Sendawa yang
menyala. Karena itu sambil tersenyum ia berkata "Aku dan
Ki Sendawa juga tidak sendiri"
Ki Waruju tertegun sejenak. Namun la menjadi
berdebar-debar ketika Gajah Wareng berbicara kepada adik
seperguruannya yang telah dikecewakan oleh gurunya itu
"Jaga baik-baik. Lakukan yang kau anggap perlu. Aku tidak
segan membakar halaman banjar ini dengan pertempuran
sehingga halaman ini akan dipenuhi oleh bangkai anakanak
Talang Amba yang berserakan silang melintang.
Apakah ia pengikut Ki Sendawa atau pengikut Ki
Sanggarana, sementara aku berdua akan membunuh orang
yang sombong ini sebelum kita akan menolong guru"
Ketegangan telah membakar seluruh halaman banjar itu.
Ki Sanggarana yang berusaha dengan susah payah untuk
menghindari pertumpahan darah yang lebih luas, menjadi
korban adalah orang-orang Talang Amba. Apakah ia
pengikut Ki Sendawa atau pengikutnya.
Dalam ketegangan itu, suara Mahisa Murti telah
memecahkan keheningan "Aku akan turun kearena"
Semua mata memandanginya. Namun tiba-tiba Gajah
Wareng menyahut "Jangan tergesa-gesa. Tunggulah jika
saatnya telah tiba. Kau akan mendapat kesempatan cukup
banyak" Mahisa Murti tersenyum. Tetapi ia melangkah maju
memasuki arena sambil berkata "Aku sudah tidak sabar
lagi" "Jangan mengganggu kami" berkata orang berkumis
"Aku berdua sudah siap membunuh orang gila itu"
Tetapi Mahisa Murti justru bertolak pinggang sambil
berkata "Jangan salah mengerti Ki Sanak. Ki Waruju masih
terlalu lelah untuk menghadapi kalian berdua. Karena itu.
maka biarlah kami berdua mewakilinya"
Gajah Wareng menjadi tegang. Matanya bagaikan
hendak meloncat keluar. Dengan gagap oleh gejolak
Ternyata Tidak Mudah 4 Pedang Siluman Darah 27 Takanata Iblis Nippon Memanah Burung Rajawali 6
^