Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 21

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 21


aku ketahui, sudah berapa lama adimas berada atau
berkepentingan dengan tlatah Talang Amba atau lebih luas
lagi daerah Gagelang ini" Menurut keterangan yang aku
dengar, bukankah adimas justru pernah berada di
Gagelang" Pangeran Lembu Sabdata tidak segera menjawab. Tetapi
ia masih tetap berdiam diri.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Lalu katanya kepada Ki Sanggarana dan Senopati yang
bertanggung atas seluruh pasukan yang berada di Talang
Amba "Aku mengerti, bahwa cara ini tentu bukan cara
yang terbaik untuk berbicara dengan adimas Lembu
Sabdata. Karena itu, aku mohon kesempatan untuk
berbicara pada satu tempat yang terpisah. Aku akan
membawa beberapa orang saksi termasuk para perwira dari
Singasari dan sudah tentu Ki Sanggarana sendiri"
"Silahkan Pangeran" jawab Ki Sanggarana yang
mengerti kesulitan Pangeran Singa Narpada untuk berbicara
di tempat terbuka, karena ada beberapa hal yang mungkin
tidak perlu didengar oleh beberapa orang lain.
Karena itu. maka Ki Sanggaranapun kemudian mempersilahkan
Pangeran Singa Narpada dan beberapa orang
lain untuk masuk ke Pringgitan bersama Ki Sanggarana
sendiri. Tetapi sebenarnyalah yang terpenting bagi para Pangeran
dari Kediri dan Singasari bukan saja mendapat keterangan
dari Pangeran Lembu Sabdata. tetapi juga dari para
pengikutnya. Karena itu dengan demikian, mereka akan
mendapat gambaran, siapa saja yang telah terlibat dalam
usaha yang dilakukan oleh Pangeran Lembu Sabdata yang
sudah tentu tidak berdiri sendiri.
Karena itu. demikian Pangeran Singa Narpada
mempersilahkan Pangeran Lembu Sabdata untuk
memasuki pringgitan tanpa dapat menolaknya, maka
beberapa orang yang lain telah membuat rencana mereka
sendiri. Bersama para Senopati dari Singasari yang berada
di Talang Amba maka para pengiring Pangeran Singa
Narpada telah memencar ke banjar-banjar tempat para
pengikut Pangeran Lembu Sabdata tertawan.
Ternyata tugas beberapa orang yang menemui para
pengikut Pangeran Lembu Sabdata di banjar-banjar tidak
terlalu banyak mengalami kesulitan. Pada umumnya
tawanan-tawanan itu dengan terus terang mengatakan apa
saja yang mereka ketahui. Tetapi yang mereka ketahui
ternyata terlalu sedikit. Mereka hanya dibentuk untuk
menjadi seorang pengikut yang setia dengan harapanharapan
yang sangat baik di masa depan, apabila nanti
saatnya datang Kediri dapat menguasai kembali seluruh
buminya yang pernah dirampas oleh Singasari.
Tetapi pada umumnya mereka tidak mengetahui cita-cita
itu sampai mendasar karena mereka menangkap harapanharapan
itu dengan sangat dangkal
Itulah sebabnya, maka merekapun dengan tekad yang
menyala di dalam hati berusaha untuk menghancurkan
perlahan-lahan kekuatan Singasari. Dari sedikit namun
akhirnyaSingasari akan runtuh.
"Apakah kalian tahu, apa artinya rencana Pangeran
Lembu Sabdata untuk membuat hutan di lereng menjadi
gundul?" bertanya seorang perwira dari Kediri kepada salah
seorang pengikut Pangeran Lembu Sabdata.
"Aku mengetahui" jawab orang itu "dengan demikian
maka daerah di bawah lereng akan mengalami kesulitan.
Dimusim basah akan datang banjir setiap kali dan diinusim
kering mereka tidak akan mendapatkan air"
"Kau tahu dengan pasti" desis perwira itu.
"Ya. Tanah di tebing akan hanyut dan bukit itu akan
menjadi bukit batu dan padas" orang itu melanjutkan.
"Jika demikian, kenapa kau melakukannya juga" Apakah
kau dapat membayangkan penderitaan yang akan terjadi?"
bertanya perwira itu. "Kami dengan sengaja ingin melihat Singasari hancur"
jawab orang itu yakin. "Jadi, apakah yang akan didapatkan oleh Kediri
seandainya ia dapat menghancurkan Singasari" Apakah
kemudian Kediri hanya akan memerintah bukit gundul
berbatu-batu terjal?" bertanya perwira itu.
"Hal itu tidak terjadi atas Kediri. Hanya atas Singasari"
jawab orang itu. "Kau membedakan Kediri dari Singasari. Jika menurut
tanggapanmu Kediri menang, maka Kediri akan bangkit
sementara Singasari akan dihancurkan" Jadi menurut
angan-anganmu, Kediri adalah daerah dengan batasan yang
mana karena sebelumnya Kediri mempunyai wilayah yang
hampir sama dengan Singasari" Sehingga dengan demikian,
maka berarti menghancurkan Talang Amba sekarang ini
juga menghancurkan satu daerah yang akan menjadi
wilayah Kediri seandainya Kediri menang atas Singasari"
berkata perwira itu. Orang itu menjadi termangu-mangu. Tetapi iapun mulai
berpikir. "Nah. Cobalah menilai apa yang telah kau lakukan"
berkata perwira itu. Namun disamping sikap dan sejauh manakah kesadaran
para pengikut Pangeran Lembu Sabdata, maka para perwira
dari Kediri dan Singasari itupun mengenal siapa saja yang
berada di dalam barisan Pangeran Lembu Sabdata.
Meskipun mereka tidak mengatakan nama-nama dari jalur
kepemimpinan mereka di Kediri, namun dengan
mengetahui dari kesatuan mana saja yang telah membantu
Pangeran Lembu Sabdata, maka orang-orang Kediri itu
akan sampai kepada satu orang pemimpin dari satu
lingkungan tertentu. Di banjar yang lain, para perwira itu ternyata telah
menemukan sekelompok tawanan yang berasal dari sebuah
padepokan. Ternyata mereka sama sekali bukan pengawal
dari Kediri. Mereka terlibat dalam pertempuran di Talang
Amba karena mereka mendapat perintah dari pemimpin
mereka. "Padepokanmu tentu sebuah padepokan yang besar?"
bertanya perwira yang memeriksanya.
Orang itu ragu-ragu. Tetapi akhirnya merekapun
mengangguk. "Kenapa kalian melibatkan diri dalam permusuhan ini?"
bertanya perwira itu pula.
"Aku tidak tahu" jawab salah seorang dari mereka "Ki
Ajar memerintahkan kepada kami untuk ikut dalam
kesatuan ini" "Dan pemimpin padepokanmu" Apakah ia ikut pula?"
bertanya perwira itu pula.
Orang itu menggeleng. Katanya "Hanya kami para
cantrik dan jejanggan. Dua puluh orang diantara kami telah
dipersiapkan. Tetapi yang kemudian ikut hanya lima belas
orang" "Berapa orang yang ada di banjar ini?" bertanya perwira
itu pula. "Yang aku ketahui hanya empat orang. Aku tidak tahu.
dimana saja kawan-kawanku yang lain" jawab orang itu.
Perwira itu mengangguk-angguk. Ia mempercayai
jawaban-jawaban orang itu. Dan ternyata bahwa orang itu
memang tidak banyak mengetahui persoalan yang sedang
dihadapi oleh Pangeran Lembu Sabdata. Mereka hanya
sekedar melakukan perintah dari pimpinan padepokannya.
Ternyata bukan hanya satu padepokan saja yang telah
terlibat. Tetapi beberapa padepokan dan kelompokkelompok
orang yang tidak puas menanggapi
perkembangan masyarakat. Mereka yang berkeberatan
membayar pajak mendapat janji pembebasan pajak untuk
satu daerah yang akan menjadi daerah perdikan.
Para pemimpin dari Kediri dan Singasari itupun melihat,
bahwa jaring jaring yang dipasang oleh Pangeran Lembu
Sabdata dan beberapa orang saudaranya itu ternyata cukup
luas. Sementara itu dipringgitan rumah Ki Sanggarana,
Pangeran Singa Narpada bersama seorang perwira dari
Singasari, di Talang Amba dan Sanggarana sendiri sedang
bertanya tentang beberapa hal kepada Pangeran Lembu
Sabdata disaksikan oleh Ki Waruju.
Namun ternyata bahwa Pangeran Lembu Sabdata masih
tetap bersikap permusuhan dengan orang-orang yang
sedang mempertanyakan beberapa hal tentang dirinya itu.
"Adimas" berkata Pangeran Singa Narpada "Aku
memerlukan bantuanmu untuk memecahkan persoalan
yang sedang dihadapi oleh Kediri dan Singasari sekarang
ini. Jika kau sama sekali tidak mau mengatakan apapun
juga, maka kami akan mengalami banyak kesulitan untuk
mencari jalan yang paling baik. Yang tidak merugikan
segala pihak dan bermanfaat"
"Apa yang baik kakangmas tidak selalu baik bagiku.
Yang bermanfaat bagi Kediri dan Singasari sekarang ini,
tidak selalu bermanfaat menurut pendapatku" jawab
Pangeran Lembu Sabdata. "Kau benar adimas. Tetapi yang ingin kami ketahui
adalah alasanmu. Penjelasan penjelasan dan mungkin
beberapa kenyataan yang dapat kau tunjukkan kepada kami
sehingga memaksa adimas melakukan langkah-langkah
seperti sekarang ini berkata Pangeran Singa Narpada.
Tetapi Pangeran Lembu Sabdata nampaknya sama sekali
tidak tertarik. Katanya "Apa yang dapat aku katakan
tentang sikapku" Yang aku katakan tentu tidak akan
dipercaya. Karena iu kakangmas, sebaiknya kita hentikan
saja pembicaraan ini. Jika kakangmas atas nama Kediri
yang rapuh atau Singasari yang tamak itu akan menghukum
aku, lakukanlah. Aku tidak akan berkeberatan
menjalaninya. Aku memang seorang tawanan"
"Hatimu menjadi sekeras batu adimas. Sebenarnya kita
masih mempunyai banyak kesempatan untuk mencari
penyelesalan sebagaimana kadang sendiri. Memang tidak
dapat diingkari, tentu ada perbedaan sikap diantara kita.
Jika tidak, maka kau dan beberapa orang saudara kita tentu
tidak akan melakukan hal seperti ini. Namun justru
perbedaan sikap itulah yang ingin kami ketahui" berkata
Pangeran Singa Narpada yang masih saja nampak sabar
dan sareh. Pangeran Lembu Sabdata menggeleng. Katanya "Tidak
ada yang perlu aku katakan. Sepatah kata aku menjawab,
maka segera menjadi jelas, bahwa arah kita berlawanan.
Karena itu, jawaban itu tidak akan ada gunanya sama
sekali" "Bagaimana jika ternyata kami dapat mengerti alasanalasaamu,
sehingga kamipun akan merubah arah?" desis
Pangeran Singa Narpada. Pangeran Lembu Sabdata tertawa betapapun pahitnya.
Katanya "Jangan menganggap aku masih terlalu kanakkanak
menanggapi persoalan ini. Baiklah kita sudahi saja
pembicaraan ini. Agaknya tidak akan ada gunanya. Jika
aku sekarang akan digantung, biarlah kakangmas
menyediakan tambang di halaman. Bukankah tugas
kakangmas akan cepat selesai"
Nampak perubahan pada wajah Pangeran Singa
Narpada. Namun ia masih dengan sareh berkata "Baiklah
adimas. Jika hari ini kau tidak ingin mengatakannya, maka
aku akan menunggu kesedianm u dengan sabar. Aku akan
berada di Kabuyutan ini barang dua tiga hari. Dan jika saat
itu masih belum cukup, maka akupun akan menunggu
sampai kapanpun" "Tidak ada gunanya geram Pangeran Lembu Sabdata
"Meskipun kakangmas ada disini sampai kiamat, aku akan
tetap menganggap bahwa pembicaraan diantara kita tidak
akan ada gunanya. Bahkan seandainya kakangmas akan
mempergunakan cara seperti yang dilakukan oleh para
pengawal di Kediri yang sedang memeriksa seorang
penyamun, akupun merasa tidak perlu untuk memberikan
keterangan apapun juga sampai tubuhku menjadi hancur
lumat" Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam,
seakan-akan ia ingin mengendapkan isi dadanya yang mulai
terangkat naik. "Adimas, agaknya suasana di Kabuyutan ini perlahanlahan
akan menjadi berangsur baik. Kehidupan akan
menjadi tenang dan berlangsung wajar. Sementara itu,
diantara kita masih terdapat jurang yang tidak
terjembatani" berkata Pangeran Singa Narpada.
"Memang. Tidak ada jembatan yang dapat
menghubungkan pendirian kita masing-masing. Kami
adalah orang-orang yang berdiri diatas harga diri,
sementara pihak yang lain adalah orang orang yang berhati
ilalang. Karena itu, setiap pembicaraan hanya akan
membuang waktu saja. Dan itu sebaiknya tidak usah
dilakukan" jawab Pangeran Lembu Sabdata.
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya
"Baiklah. Jika demikian, kami akan kembali ke pendapa.
Biarlah adi Pangeran berada di pringgitan ini"
"Aku akan kembali akan ke banjar" geram Pangeran
Lembu Sabdata. "Banjar mana?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Banjar padukuhan induk ini" jawab Pangeran Lembu
Sabdata. "Siapa yang memerintahkan adimas ke sana?" bertanya
Pangeran Singa Narpada pula.
"Tidak ada. Itu adalah keinginanku sendiri" jawab
Pangeran Lembu Sabdata dengan nada keras.
"Sayang adimas" suara Pangeran Singa Narpada
menurun "adimas adalah seorang tawanan seperti yang
adimas katakan sendiri. Karena itu, adimas tidak berhak
untuk menentukan apapun juga meskipun atas diri adimas
sendiri. Bukankah begitu" Jika diantara kita masih di antara
dengan anggapan bahwa adimas adalah seorang tawanan
kami, maka segalanyaa akan berlaku sebagai mana
seharusnya bagi seorang tawanan"


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wajah Pangeran Lembu Sabdata menjadi tegang. Ia
sadar, bahwa yang dikatakan oleh Pangeran Singa Narpada
itu adalah ungkapan kemarahannya. meskipun dengan
sekuat kemampuan telah dikekangnya.
Meskipun demikian Pangeran Lembu Sabdata masih
juga tidak mau tunduk. Karena itu, maka katanya
"Perlakukan aku sebagai tawanan. Aku tidak akan
menyesal" Pangeran Singa Narpada mengatupkan giginya rapatrapat.
Namun ia masih tetap berusaha untuk berbuat sebaikbaiknya
sebagai seorang Pangeran, saudara tua Pangeran
Lembu Sabdata. "Jika demikian adimas, kau akan tetap tinggal di
pringgitan ini. Kau tidak akan dibawa pergi kemanapun
juga. Nanti kita akan bertemu lagi. Mungkin kau sudah
mempunyai kesempatan untuk berbicara lebih baik dari
sekarang" Pangeran Lembu Sabdata tidak menjawab. Ia tidak
menghiraukan lagi ketika orang-orang yang berada di
pringgitan itu kemudian meninggalkannya, kecuali dua
orang pengawal yang selalu mengawasinya.
"Penjilat" geramnya ketika orang-orang yang berada di
pringgitan itu kemudian meninggalkannya, kecuali dua
orang pengawal yang akan selalu mengawasinya.
"Penjilat" geramnya ketika orang-orang itu sudah tidak
berada lagi di pringgitan.
Kedua pengawal itu hanya saling berpandangan. Mereka
tidak menjawab dan tidak berbuat apa-apa.
"Penjilat" sekali lagi mereka mendengar suara Pangeran
Lembu Sabdata. Ketika kemudian keduanya berpaling
kepadanya, maka Pangeran itu menunjuk mereka berdua
berganti-ganti "Kalianlah pengkhianat dan penjilat itu"
Kedua orang pengawal itu mengerutkan keningnya.
Kemudian seorang diantaranya bertanya "Kenapa
Pangeran menuduh aku sebagai pengkhianat dan penjilat
dan penjilat" Kau bersedia menjalankan perintahnya meskipun kau
tahu bahwa itu tidak benar" geram Pangeran Lembu
Sabdata. "Yang mana yang tidak benar Pangeran?" bertanya salah
seorang dari keduanya. "Apakah kau menolak kebenaran perjuanganku" Apakah
kau tidak tahu bahwa aku ingin membebaskan Kediri dari
kuasa Singasari?" bertanya Pangeran Lembu Sabdata.
"O, itukah yang Pangeran maksud?" bertanya seorang
dari kedua pengawal itu. "Ya" jawab Pangeran Lembu Sabdata tegas.
"Pangeran benar" desis pengawal itu.
"Jadi kau sependapat dengan aku?" bertanya Pangeran
Lembu Sabdata. "Pangeran benar, bahwa aku tidak tahu apa yang
Pangeran perjuangkan. Aku tidak tahu bahwa Pangeran
akan membebaskan Kediri dari kuasa Singasari" desis
pengawal itu. Pangeran Lembu Sabdata mengumpat. Dengan wajah
yang tegang ia bergumam "Penjilat, pengecut, pengkhianat.
Alangkah bodohnya kau"
Tetapi para pengawal itu memang sudah mendapat
pesan, bahwa mereka harus berhati-hati. Mereka harus
mempersiapkan diri, bukan saja lahiriah, apabila Pangeran
itu berusaha untuk melarikan diri. Tetapi juga sikap batin
mereka menghadapi Pangeran yang keras kepala itu.
Karena itu, maka keduanyapun kemudian tidak
menanggapinya. Dibiarkannya saja apa yang dikatakan
oleh Pangeran Lembu Sabdata. Bahkan seorang diantara
para pengawal itu sempat menjawab "Pembicaraan diantara
kita tidak akan ada gunanya Pangeran. Sikap kita berbeda.
Landasan berpikir kita juga berbeda. Sebagaimana
Pangeran mengatakan kepada Pangeran Singa Narapada
bahwa lebih baik kita tidak ada pembicaraan sama sekali.
Jika Pangeran masih ingin mengumpati kami berdua,
silahkan. Memang aku tidak mendapat pesan untuk
melarang" "Gila" geram Pangeran Lembu Sabdata.
Kedua pengawal itu tidak menjawab lagi. Namun
mereka tetap bersiaga mengamati tawanan mereka yang
memang berhati batu. Ternyata bahwa Pangeran Lembu Sabdata untuk
selanjutnya, memang tidak mau berbicara. Karena itu.
maka akhirnya Pangeran itupun dikembalikan ke banjar
pedukuhan induk. Namun Pangeran Singa Narpadapun berkata "Hari ini
pembicaraan diantara kita. kita akhiri. Besok kita akan
berbicara lagi. Mungkin sikapku akan berbeda dengan
sikapku hari ini. Agaknya adimas sudah mengetahui akan
hal itu. Aku bukan seorang yang dapat terbatas. Pada suatu
saat mungkin aku akan melakukan satu tindakan yang
kurang bijaksana" "Kakangmas mengancam aku. Apakah kakangmas
masih menduga bahwa dengan cara apapun juga aku akan
bersedia berbicara" geram Pangeran Lembu Sabdata
"Ya. Aku yakin bahwa pada Suatu saat kau akan
berbicara. Ketahanan jasmani dan jiwani seseorang
memang sangat terbatas. Dan kekerasan kepalamupun akan
terbatas" jawab Pangeran Singa Narpada.
"Aku bukan pengecut. Bukan penjilat dan aku sama
sekali tidak gentar meskipun tubuhku akan lumat dalam
hukuman picis sekalipun" Pangeran Lembu Sabdata hampir
berteriak. Tetapi suaranya kemudian terputus ketika Pangeran
Singa Narpada berkata "Kau bukan orang yang berhati
tabah. Kau tentu akan berbicara sebagaimana kau
menyerah Hanya orang-orang yang tabah saja akan
bertempur sampai saat terakhir. Tetapi yang kau lakukan
adalah satu kelicikan pula. Menyerah Apakah itu sifat
kesatria. Karena itu. dalam keadaan terpaksa kau nanti atau
besok lusa. tentu akan berbicara Bukan salahku jika besok
atau besok lusa kau tidak lagi dapat mengenali aku dan silat
sifatku hari ini. Sebenarnyalah aku memang seorang yang
buas dan kasar" Wajah Pangeran Lembu Sabdata memang menjadi
tegang. Dengan sorot mata yang memancarkan gejolak
perasaannya, ia memandang Pangeran Singa Narpada.
Tetapi Pangeran Singa Narpada. itupun tidak
menghiraukannya lagi. Yang kemudian dihargai oleh Pangeran Lembu Sabdata
adalah Senapati prajurit Singasari yang akan membawanya
ke banjar. "Aku bukan Pangeran Singa Narpada, Pangeran. Aku
bukan orang yang dapat berbicara dengan lemah lembut.
Dan aku bukan saudaramu. Karena itu. Pangeran jangan
bersikap kasar kepadaku sebagaimana Pangeran bersikap
terhadap Singa Narpada yang sabarnya melampaui setiap
orang yang pernah: aku kenal. Dadanya seakan-akan
luasnya melampaui luasnya samodra"
"Jika demikian, aku mau apa?" Pangeran Lembu
Sabdata masih mencoba mengatasi pribadi Senapati itu.
"Jika perlu, kami akan mengikat Pangeran dan
menariknya di belakang pedati. Aku tidak perduli bahwa
Pangeran akan menjadi tontonan dan dilempari batu oleh
anak-anak?" sahut Senapati itu.
Darah Pangeran Lembu Sabdata bagaikan mendidih
mendengar kata-kata Senapati itu. Tetapi menurut
Pangeran Lembu Sabdata Senapati itu bukan orang yang
berdiri pada tataran yang sama dengan dirinya, sehingga
karena itu, maka Pangeran Lembu Sabdata menganggap
bahwa ia tidak pantas berbantah dengan Senapati kecil itu.
Karena itu, maka Pangeran Lembu Sabdata selanjutnya
tidak lagi menolah untuk dibawa ke banjar.
"Silahkan masuk" berkata Senapati itu kepada Pangeran
Lembu Sabdata ketika mereka sampai di banjar. Sebuah
bilik khusus telah disediakan bagi Pangeran itu.
Ketika kemudian pintu bilik yang kuat itu ditutup dan
diselarak, Pangeran Lembu Sabdata menghentakkan
tangannya pada dinding biliknya sehingga dinding itu
terguncang. Para pengawal dengan serta merta telah
bersiaga, karena mungkin sekali Pangeran itu akan dapat
memecahkan dinding. Tetapi Pangeran Lembu Sabdata kemudian dengan
lemahnya duduk diatas sebuah amben kayu di sudut bilik
itu. Terdengar ia mengumpat kasar. Namun ia tidak dapat
berbuat apapun juga untuk melawan keadaan yang harus
dijalaninya. Memang ada penyesalan bahwa ia menyerah dalam
peperangan itu. Tetapi ia memang tidak mempunyai pilihan
lain. Meskipun demikian ia masih juga bergumam "Kenapa
aku tidak memilih mati waktu itu"
Di luar para pengawal mengamati. Dinding dan pintu
bilik itu. Namun agaknya Pangeran itu menjadi lebih
tenang menurut pengamatan dari luar.
Tetapi Sebenarnyalah bahwa jantung Pangeran itu masih
tetap bergejolak. Kegagalannya itu benar-benar telah
melenyapkan harapan yang telah di susunnya. Meskipun
demikian ia masih mempunyai harapan, bahwa saudarasaudaranya
yang lain akan berhasil dan bahkan berusaha
untuk dapat melepaskannya.
Dalam pada itu, ketika malam menyelubungi Kabuyutan
Talang Amba, maka terasa suasana menjadi lebih tenang.
Para tawanan telah tertidur di ruang masing-masing,
sementara itu di pendapat rumah Ki Sanggarana Pangeran
Singa Narpada dan beberapa orang yang datang
bersamanya, masih juga digelisahkan oleh sikap Pangeran
Lembu Sabdata. "Ki Sanggarana" berkata Pangeran Singa Narpada
"sebenarnya aku gelisah tentang diriku sendiri. Mungkin
aku akan dapat berbuat di luar pengamatan nalarku. Aku
memang orang yang kasar. Tetapi sebenarnya aku tidak
ingin merusak citra para keluarga Keraton Kediri. Bahwa
orang-orang Kediri pada umumnya adalah orang-orang
kasar seperti aku. Tetapi tanpa berbuat demikian, aku
nampak terallu lemah dimata adimas Pangeran Lembu
Sabdata. "Memang diperlukan kesabaran Pangeran" berkata Ki
Sanggarana "Mudah-mudahan pada satu saat semuanya
akan dapat dipecahkan"
Pengeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi iapun berharap agar ia akan dapat melakukan. tugas
itu dengan baik tanpa menumbuhkan persoalan-persoalan
baru bagi Kediri. Dengan gejolak yang masih saja mengetuk-ketuk jantung
Pangeran Singa Narpada dan mereka yang datang
bersamanya itupun kemudian dipersilahkan untuk
beristirahat di gandok. "Kami mohon maaf Pangeran, bahwa tempat yang dapat
kami sediakan adalah tempat yang sangat sederhana"
berkata Ki Sanggarana. "Semuanya sudah memenuhi keperluan Ki Sanggarana,
kami mengucapkah terima kasih" jawab Pangeran Singa
Narpada. Demikianlah, malam di Kabuyutan Talang Amba itu
menjadi semakin sepi. Rumah-rumahpun telah ditutup,
bukan saja pintu-pintunya, tetapi juga regol-regol halaman.
Hanya digardu-gardu sajalah anak-anak muda masih
berjaga-jaga, sebagaimana mereka lakukan. Sedangkan di
banjar-banjar dan tempat para tataran, prajurit Singasari.
mela kukan tugas mereka sebaik-baiknya.
Dalam pada itu, selagi kesunyian semakin mencengkam,
Ki Waruju telah memanggil Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Dengan berbisik ia berkata "Agaknya sesuatu akan
terjadi malam ini. Aku mendapat firasat buruk, meskipun
barangkali hanya sekedar bayangan-bayangan suram yang
bermain di dalam angan-angan yang sedang dicengkam
kegelisahan ini" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Lalu katanya "Pergilah ke Banjar. Aku tidak dapat pergi.
Mungkin setiap saat aku diperlukan untuk berbicara disini.
Jika persoalannya sangat gawat, suruhlah para peronda
untuk membunyikan isyarat. Tetapi cobalah atasi agar tidak
menimbulkan kegelisahan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Mereka mengerti bahwa mereka harus berjaga-jaga sebaikbaiknya
di banjar padukuhan induk, di tempat Pangeran
Lembu Sabdata di tahan. "Apakah mungkin Pangeran itu akan melarikan diri
paman?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku tidak dapat mengatakannya" jawab Ki Waruju
"Aku hanya mendapat firasat tidak baik. Aku merasa
dicengkam oleh kegelisahan dan dugaan bahwa sesuatu
akan terjadi. Tetapi aku sama sekali tidak mengerti, apa
yang akan terjadi itu. Bahkan mungkin memang tidak akan
terjadi apa-apa. Namun demikian kita wajib berhati-hati.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk
pula. Dengan nada datai Mahisa Murti berkata "Kami akan
pergi ke banjar. Kami akan menghubungi para petugas
meskipun kami yakin bahwa merekapun akan melakukan
tugas mereka sebaik-baiknya
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
itupun telah pergi ke banjar. Seperti biasanya, keduanya
berada diantara anak-anak muda Kabuyutan Talang Amba
yang berada di banjar. Namun Mahisa Murti dan Mahisa
Pu-katpun telah menghubungi paru prajurit Singasari yang
bertugas di tempat itu pula.
"Pangeran itu memang keras kepala" berkata seorang
prajurit "berhadapan dengan Pangeran Lembu Sabdata,
maka seseorang memang harus berlaku agak keras. eperti
pada saat membawanya ke rumah Ki Sanggarana. Namun
dengan sikap yang terlalu lunak seperti sikap Pangeran
Singa Narpada, maka agaknya Pangeran Lembu Sabdata
sulit untuk diharapkan dapat memberikan keterangan.
Bahkan nampaknya ia telah menganggap para petugas yang


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

datang dari Kediri dan Singasari itu terlalu lemah
menghadapinya" "Tetapi sudah tentu bahwa para petugas itu berlaku
kasar" berkata Mahisa Murti "mereka harus melakukan
tugas mereka dengan bijaksana"
Prajurit itu mengangguk-angguk. Namun ia tidak akan
dapat banyak mengharapkan hasilnya jika cara yang
ditempuh oleh Pangeran Singa Narpada itu masih
dilakukannya untuk selanjutnya.
Malam itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berada di
gardu anak-anak muda Talang Amba dan para prajurit
Singasari yang menjaga banjar Padukuhan Induk.
Penjagaan yang harus mengawasinya beberapa orang
tahanan terpenting, termasuk Pangeran Lembu Sabdata.
Nampaknya malam itu tidak ada tanda-tanda
sebagaimana digelisahkan oleh Ki Waruju. Pangeran
Lembu Sabdata justru telah tertidur dengan nyenyaknya.
Demikian juga beberapa orang tawanan yang lain, yang
diletakkan di bilik yang lain pula.
Meskipun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
tidak meninggalkan kewaspadaan. Meskipun yang
dikatakan oleh Ki Waruju itu hanya berdasarkan kepada
firasatnya saja, dan sama sekali tidak berdasarkan kepada
keterangan-keterangan atau tanda-tanda lainnya, namun
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mengabaikannya.
Dalam pada itu, semakin malam, banjar Padukuhan
Induk itupun menjadi semakin sepi. Para pengawal
Kabuyutanpun mulai membagi tugas. Sebagian dari mereka
akan beristirahat, sedangkan yang lain akan berjaga-jaga.
Demikian juga para prajurit Singasari yang berada di banjarpun
sebagian telah beristirahat pula.
Dua orang Senopati bertanggung jawab atas tugas para
prajurit Singasari itu. Mereka akan bertugas bergantian.
Seorang diantara mereka akan beristirahat. Jika tengah
malam telah lewat, makar mereka akan bergantian
melakukan tugas mereka. Namun dalam pada itu, yang berada diluar pembagian
tugas itu adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka
tidak termasuk ke dalam para pengawal Kabuyutan atau
para prajurit Singasari, sehingga dengan demikian, mereka
berdua harus membagi tugas mereka sendiri.
Mahisa Pukat yang kemudian mendapat giliran untuk
beristirahat lehih dahulu, sementara Mahisa Murti akan
berada diantara anak anak muda Talang Amba yang
bertugas. Ketika malam menjadi semakin malam, maka banjar
itupun menjadi semakin sepi pula. Selain para petugas,
maka orang-orang yang berada di halaman itu sudah
tertidur nyenyak. Hanya beberapa orang sajalah yang masih tetap berjagajaga.
Beberapa orang bertugas di bagian belakang banjar,
sedang yang lain ada dibagian depan. Sementara itu. khusus
bilik yang dipergunakan oleh Pangerana Lembu Sabdata
telah mendapat pengawasan khusus, karena banyak hal
akan dapat terjadi. Pangeran yang keras hati itu akan dapat
melakukan apa saja yang bahkan tidak diduga sebelumnya.
Tetapi jika terjadi sesuatu, maka para prajurit Singasari
yang mengawasi bilik Pangeran Lembu Sabdata itu tentu
akan dapat bertindak cepat. Bahkan jika mereka merasa
tidak mampu melakukannya, maka merekapun tentu akan
memberikan isyarat kepada kawan-kawannya.
Namun dalam itu, Mahisa Murti yang terpengaruh oleh
keterangan Ki Waruju menjadi sangat berhati-hati
mengamati keadaan. Mungkin terjadi sesuatu diluar
pengamatan wadag para prajurit dan anak-anak muda
Talang Amba, sehingga akan dapat terjadi sesuatu yang
tidak sewajarnya. "Mudah-mudahan firasat K) Waruju itu tidak terjadi"
berkata Mahisa Murti di dalam hatinya. Meskipun
demikian ia tidak akan lengah sama sekali.
Menjelang tengah malam, maka Mahisa Murti itupun
telah berada diantara para petugas yang berjaga-jaga di
pintu butulan di halaman belakang. Dua orang anak muda
Talang Amba duduk disebelah pintu butulan itu dengan
tombak tersandar di dinding.
Untuk beberapa saat, mereka masih berbincang tentang
keadaan Kabuyutan Talang Amba. Namun suara kedua
orang anak muda itu semakin lama serasa menjadi semakin
dalam. "Sst" desis Mahisa Murti "apakah kalian sudah mulai
mengantuk?" Kedua orang anak muda itu menghentakkan diri din
bangkit sambil memandang langit yang digayuti oleh beribu
bintang. Namun salah seorang diantara mereka bergumam
"Malam ini memang agak lain. Rasa rasanya aku menjadi
sangat mengantuk" "Bukankah tugasmu sampai lewat tengah malam?"
bertanya Mahisa Murti. "Ya. Waktuku bertugas tidak terlalu lama lagi. Tetapi
rasa-rasanya aku tidak dapat bertahan sampai tepat tengah
malam" jawab seorang diantara kedua petugas itu.
Mahisa Murti mengangguk angguk. Tetapi ia tidak
bertanya lebih lanjut. Beberapa saat kedua orang yang bertugas mengawasi
pintu butulan itu melangkah mondar-mondir untuk
melenyapkan cengkaman perasaan kantuk mereka. Namun
di luar kuasa mereka, maki merekapun telah kembali duduk
di tempat mereka semula sambil menyandarkan tombak
mereka. Mahisa Murtipun ternyata mulai disentuh oleh perasaan
serupa. Matanya seakan-akan dibebani oleh kantuknya
yang hampir tidak terlawan.
Mahisa Murti makin menjadi, cemas. Ia teringat kepada
pesan Ki Waruju Mungkin sesuatu akan terjadi malam itu.
Ketika kedua orang pengawal itu justru telah benar-benar
tertidur, maka Mahisa Murtipun semakin yakin, memang
ada yang tidak wajar telah terjadi.
Karena itu, maka iapun lelah mengerahkan segenap
kemampuan ilmunya untuk melawan kantuknya. Bukan
sekedar daya lalimi wn| nyu, tetapi ia mulai merambah
kepada alas ilmunya untuk melawan udara yang tidak wajar
di banjar Kabuyutan itu. Mahisa Murti terkejut ketika ia menengok halaman
depan banjar padikiuhan Induk itu. Semua orang telah
tertidur nyenyak bahkan pemimpin peronda diantara anakanak
muda Talang Amlin itupun telah tertidur pula.
Mahisa Murti menjudi semakin curiga. Iapun tergesagesa
lelah menghampiri Mahisa Pukat yang sedang tidur
dengan nyenyaknya pula. Dengan hati-hati, agar tidak mengejutkannya, maka
Mahisa Murtipun berusaha untuk membangunkan
saudaranya sebelum ia terjerat semakin dalam oleh
pengaruh yang tidak wajar yang mencengkam banjar
Kabuyutan itu. Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti mengalami
kesulitan untuk membangunkan saudara laki-lakinya.
Dalam keadaan tidur, maka Mahisa Pukat sama sekali tidak
mampu melawan kekuatan yang mendesaknya kedalam
kelelapan yang semakin dalam itu.
Karena itu, maka Mahisa Murtipun kemudian telah
mengerahkan kemampuan ilmunya. Sambil memegang
tangan Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti telah
mengerahkan daya tahannya untuk menolak pengaruh yang
tidak sewajarnya itu. Perlahan-lahan terasa arus yang hangat mengalir lewat
genggaman tangan Mahisa Murti menjalar ketubuh Mahisa
Pukat, sehingga perlahan-lahan maka Mahisa Pukatpun
diluar sadarnya telah melawan pengaruh yang mencengkam
banjar itu. Dengan demikian, maka akhirnya Mahisa Pukat itupun
mulai terbangun, sementara Mahisa Murti masih tetap
membantunya mempertahankan kesadaran Mahisa Pukat
yang baru saja terbangun dari tidurnya itu.
"Apa yang terjadi" bertanya Mahisa Pukat kemudian.
Perlahan-lahan Mahisa Murti melepaskan tangan
Mahisa Pukat sambil berkata "Pertahankan dirimu dari
pengaruh ini. Jangan membiarkan dirimu tertidur lagi"
Mahisa Pukat mulai menyadari keadaannya. Karena itu,
maka iapun telah mengerahkan daya tahannya pula.
"Pengaruh apakah ini?" bertanya Mahisa Pukat.
"Mungkin kita telah dicengkam oleh kekuatan sirep"
jawab Mahisa Murti. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
telah berhasil menguasai dirinya dan mengatasi pengaruh
sirep itu. "Kita telah benar-benar menjumpai peristiwa yang
dikatakan oleh Ki Waruju" berkata Mahisa Pukat.
"Ya. Tentu ada yang tidak wajar, sehingga seseorang
telah melepaskan pengaruh sirep itu" jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk, sementara itu
Mahisa Murtipun berkata "Marilah, kita melihat keadaan.
Orang terpenting disini adalah Pangeran Lembu Sabdata.
Mungkin orang yang melepaskan sirep ini mempunyai
hubungan dengan Pangeran Lembu Sabdata. Mungkin ada
pihak yang ingin melepaskannya?"
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Kemudian
katanya "Marilah. Kita tidak boleh terlambat"
Keduanyapun kemudian dengan hati-hati telah turun ke
halaman samping. Keduanya berusaha untuk tidak
menampakkan diri, sehingga apabila mungkin dapat
menjebak orang yang telah melepaskan sirep yang sangat
tajam itu. Pertama-tama keduanya berusaha untuk melihat, apakah
para prajurit Singasari juga telah terkena pengaruh sirep itu,
terutama Senopati yang bertugas malam itu.
Nampaknya mereka sama sekali tidak bersiap
menghadapi pengaruh itu, sehingga agaknya merekapun
telah tertidur lelap. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun mereka sama sekali belum mendengar atau
melihat sesuatu yang menarik perhatian dan kecurigaan.
Tetapi keduanya telah menjadi yakin, bahwa banjar
kabuyutan itu tengah dikuasai oleh sirep yang tajam. Tanpa
mempertahankan diri, Senopati yang memimpin tugas
pengawalan itupun telah tertidur pula.
"Untunglah bahwa kita telah mendapat pesan dari Ki
Waruju" berkata Mahisa Murti sambil berbisik perlahanlahan
"sehingga kita sempat mempersiapkan diri
menghadapi kemungkinan ini"
"Kau sempat mengenali suasana" sahut Mahisa Pukat
"tetapi aku justru tertidur dengan nyenyak"
"Pada saat kau tidur, belum terasa cengkaman ilmu ini"
desis Mahisa Murti. Mahisa Murtipun telah memberikan isyarat, agar
keduanya berpura-pura tidur seperti orang-orang yang lain.
Demikialah, maka Mahisa Murtipu telah berada didepan
pintu bilik, Dibawah selarak yang besar. Disampingnya
telah tertidur pula seorang prajurit yang bertugas
mengawasi pintu itu. Sedangkan Mahisa Pukat berbaring
pula beberapa langkah dari seorang prajurit yang tertidur
sambil menyandarkan tombaknya pada dinding.
Sedangkan Senopati yang memimpin penjagaan malam
itu. telah tertidur pula disudut ruang depan banjar bersama
dua orang prajurit yang lain.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berbaring itu
harus mengerahkan segenap daya mereka untuk tidak jatuh
pula kebawah pengaruh sirep. Apalagi keduanya memang
sudah berbaring sambil memejamkan mata. Rasa-rasanya
mereka memang telah menyerahkan diri pada cengkaman
ilmu yang tajam itu. Tetapi dengan penuh kesadaran, ternyata keduanya
mampu bertahan untuk beberapa lamanya sambil
menunggu perkembangan keadaan.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
masih menunggu. Agaknya orang yang melepaskan sirep
itu masih ingin meyakinkan, apakah masih ada orang yang
terbangun diantara mereka yang berada di banjar itu.
Demikianlah, maka dua orang telah berjalan dengan
langkah yang lamban dan sangat berhati hau memasuki
halaman banjar. Dengan penuh kewas an keduanya
memperhatikan keadaan di banjar itu.
"Tidak ada lagi yang terbangun" berkata seorang
diantara mereka. "Kita akan dapat bekerja dengan leluasa" sahut yang
lain. "Ya. Kita harus menyelamatkan Pangeran Lembu
Sabdata dari tangan Pangeran Singa Narpada yang garang
itu. Mungkin pada hari berikutnya, Pangeran Singa
Narpada tidak akan menunjukkan sikap pada hari-hari
pertama" berkata kawannya.
Namun orang yang lain bergumam "Tetapi selagi
Pangran Lembu Sabdata masih diperiksa di Kabuyutan ini,
maka keadaannya masih akan dapat diharapkan. Tetapi jika
Pangeran Singa Narpada memintanya untuk dibawa ke
Kediri dan diperiksa di dalam ruang khusus Pangeran Singa
Narpada, maka keadaan Pangeran Lembu Sabdata akan
menjadi sangat parah"
"Kita harus menyelamatkannya sebelum keputusan itu
jatuh" jawab yang lain "agaknya disini Pangeran Singa
Narpada masih mempunyai perasaan segan dihadapan
orang-orang Talang Amba, tetapi jika Pangeran Lembu
Sabdata telah dibawa ke Kediri, maka keadaannya akan
segera berubah" Yang lain tidak menjawab. Tetapi keduanyapun
mendekati banjar dengan sangat berhati-hati.
"Agaknya tidak seorangpun yang masih terbangun"
berkata salah seorang dari mereka.
Kawannya mengangguk-angguk sambil menjawab "Ya.
Semuanya sudah tertidur nyenyak. Kau memang luar biasa.


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ilmu sirepmupun telah mencengkam seisi banjar. Bahkan
agaknya orang yang tinggal disebelah menyebelah banjar
inipun telah terkena ilmu sirepmu pula"
Yang lain tidak menjawab. Dengan hati-hati keduanya
telah naik ke tangga pendapa banjar Kabuyutan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mendengar
kehadiran mereka. Tetapi keduanya masih tetap terbaring
sambil memejamkan mata mereka. Namun dengan
demikian mereka masih harus berjuang untuk melawan
kekuatan sirep yang seakan-akan telah membius seisi
banjar. Kehadiran kedua orang itu ternyata justru telah
membantu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk tetap
menya dari keadaan. Ketika keduanya mulai memusatkan
perhatian mereka kepada kedua orang itu, maka rasarasanya
kantuk yang menyentuh-nyentuh perasaan
merekapun telah terusir sama sekali.
Yang mencengkam jantung mereka adalah justru
ketegangan. Apalagi ketika dua orang itupun telah
memasuki ruang dalam dan berdiri diambang pintu.
"Semuanya sudah tertidur" desis yang seorang
"Luar biasa" sahut yang lain "nah, marilah kita segera
menyingkirkan Pangeran. Kesempatan kita tidak terlalu
banyak. Ditangan Pangeran Singa Narpada, apalagi jika
Pangeran Lembu Sabdata semapat dibawa ke Kediri, maka
tidak akan ada yang dapat dirahasiakan lagi. Semuanya
tentu akan dapat diperas oleh Pangeran Singa Narpada
yang garang itu, sampai kepada orang yang paling
tersembunyi sekalipun"
"Marilah" jawab kawannya "Jika hal ini diketahui oleh
orang-orang yang berada di rumah pemangku Buyut di
Kabuyutan ini, mungkin usaha kita akan gagal"
Sejenak kemudian, maka suasanapun menjadi hening.
Baru kemudian terdengar langkah kedua orang itu
mendekati pintu. Mahisa Murti yang berbaring di depan pintu bilik yang
diselarak dari luar itu menjadi kian tegang. Sejenak ia justru
memperhatikan keadaan di dalam bilik. Ia tidak mendengar
suara apapun juga. Menurut dugaan Mahisa Murti, maka
Pangeran Lemhu Sabdatapun tentu tertidur nyenyak pula.
Beberapa saat lamanya Mahisa Murti menimbangnimbang.
Apakah ia menunggu sampai orang-orang itu
membuka pintu, sehingga dengan demikian, maka terbukti
bahwa keduanya benar-benar akan berbuat sesuatu atas
tawanan yang sangat penting itu. Atau mereka akan
menunggu saja sampai keduanya mendekat dan dengan
demikian, Mahisa Murti akan dapat langsung menyerang
keduanya. "Mungkin keduanya memiliki ilmu yang melampaui
kemampuan kami berdua" berkata Mahisa Murti di dalam
hatinya "Jika demikian, maka salah seorang dari kami
harus sempat membunyikan isyarat diserambi. Mudahmudahan
kekuatan sirep ini tidak sampai menjalar ke
seluruh padukuhan". Namun demikian Mahisa Murtipun yakin, jika sirep ini
merambah sampai ke rumah Ki Sanggarana, maka banyak
orang yang akan dapat melepaskan diri dari kekuatannya.
Bahkan akan menjadi sangat menarik perhatian sehingga
mungkin ada diantara mereka yang datang ke banjar.
Tetapi Mahisa Murti tidak dapat minta pertimbangan
kepada siapapun juga. Karena itu, maka ia sendiri harus
memutuskannya. "Aku akan membiarkan keduanya masuk. Kemudian aku
akan menyelaraknya dari luar. Jika mereka adalah orangorang
yang berilmu tinggi, maka mereka akan segera
memecahkan pintu. Dari cara mereka memecahkan pintu,
aku akan melihat dan menjajagi, sampai seberapa tinggi
tingkat ilmu kedua orang itu" berkata Mahisa Murti di
dalam hatinya. Karena itu, maka iapun kemudian tidak bergerak sama
sekali ketika keduanya mendekat. Ia masih tetap berbaring
ditempatnya dan berusaha untuk tetap dalam keadaan
sebagaimana orang-orang lain sedang tertidur nyenyak.
Ternyata kedua orang yang mendekati pintu itu tidak
banyak memperhatikan Mahisa Murti yang terbaring.
Keduanya menganggap bahwa tidak seorangpun yang dapat
lolos dari pengaruh sirepnya. Bahkan Senopati yang
memimpin pengawalan, yang dapat ditilik dari pakaian dan
sikapnya diantara para pengawal yang lain, telah tertidur
nyenyak pula. "Pangeran Lembu Sabdata berada di bilik ini" berkata
salah seorang dari kedua orang itu.
"Kau yakin?" bertanya orang itu.
"Aku sudah mendapat keterangan itu. Biliknya diselarak
kuat, diseberang pintu pringgitan agak kekanan" jawab
yang lain. Kawannya mengangguk-angguk, katanya "Jika
demikian, kita akan membuka selarak itu. Agaknya
Pangeran Lembu Sabdatapun telah terpengaruh oleh sirep
itu dan tertidur pula dengan nyenyaknya, sehingga kita
perlu membangunkannya"
"Aku akan menyalurkan kekuatan yang akan dapat
melindunginya dari pengaruh ini, sehingga Pangeran itu
akan segera terbangun" berkata yang lain.
Kawannya tidak menjawab lagi. Sementara itu.
keduanya melangkah mendekati pintu.
Meskipun keduanya menganggap bahwa orang-orang
yang ada dibanjar itu telah tertidur nyenyak, namun
keduanya masih juga membuka selarak pintu itu dengan
sangat hati-hati. Mahisa Murti yang berbaring didekat pintu itu menahan
gejolak perasaannya. Ia harus dapat menahan diri sehingga
pintu itu terbuka dan keduanya masuk kedalam. Ia harus
meloncat dengan cepat, menutup pintu dan memasang
selarak. "Mudah-mudahan Mahisa Pukat tidak membuat sesuatu
yang menarik perhatian keduanya" berkata Mahisa Murti.
Sebenarnyalah Mahisa Pukatpun menjadi berdebardebar.
Ia tidak mengerti rencana Mahisa Murti. Tetapi
karena ia yakin bahwa Mahisa Murti tidak justru tertidur
karenanya, maka iapun menahan ketegangan di dalam
hatinya dan menunggu perintah Mahisa Murti selanjutnya.
"Tentu ia sudah membuat rencana menghadapi kedua
orang itu" berkata Mahisa Pukat di dalam hatinya.
Bahkan Mahisa Pukat yang tidak langsung berada di
bagian depan bilik tempat Pangeran Sabdata ditawan, maka
ia sama sekali tidak dihiraukan oleh kedua orang itu.
Sejenak kemudian, maka kedua orang itupun telah
meletakkan selarak pintu yang besar itu perlahan-lahan.
Ketika derit pintu itu terdengar, maka Mahisa Murti benarbenar
menjadi berdebar-debar. "Nah" desis yang seorang dari kedua orang yang
berusaha untuk membebaskan Pangeran Lembu Sabdata itu
"Bukankah Pangeran tertidur nyenyak?"
"Aku akan membangunkannya. Ia harus dibawa
menyingkir sebagaimana pesan Pangeran Kuda Permati"
Jawab yang lain. Kawannya tidak menjawab. Dengan sangat hati-hati
keduanyapun melangkah masuk.
Mahisa Murti yang berbaring di depan pintu itupun
mulai mempersiapkan diri. Meskipun ia tidak melihat
dengan mata terbuka sepenuhnya, namun ia dapat melihat
disela-sela pelupuk matanya yang hanya sedikit terbuka.
Dengana cermat Mahisa Murti memperhatikan letak
selarak disebelah pintu. Kemudian daun pintu yang terbuka
seterusnya kedua orang yang berada di dalam bilik.
"Aku harus dapat melakukan dalam sekejap. Meloncat,
meraih selarak sambil menutup pintu, kemudian memasang
selarak itu dengan cepat" berkata Mahisa Murti di dalam
hatinya "Tetapi jika Mahisa Pukat itu tertidur, maka aku
akan mengalami kesulitan"
Namun demikian Mahisa Murti tidak mempunyai
kesempatan untuk melihat apakah Mahisa Pukat tidak
tertidur. Namun ia percaya bahwa Mahisa Pukat akan
bertahan sebaik-baiknya menghadapi keadaan yang gawat
itu. Demikianlah, maka Mahisa Murti telah membuat
perhitungan sebaik-baiknya. Tepat pada saat kedua orang
itu berjongkok disamping Pangeran Lembu Sabdata, maka
Mahisa Murtipun telah bangkit dan meloncat sebagaimana
telah diperhitungkan. Dengan kecepatan yang tinggi, maka
iapun telah meraih selarak pintu dan sekaligus menutup
daun pintu yang terbuka. Derit pintu itu bersamaan dengan
derak selarak yang terpasang diluar pintu, sehingga dengan
demikian, maka pintu itu telah tertutup rapat.
Pada saat yang demikian, maka Mahisa Pukat yang
mengetahui bahwa Mahisa Murti telah bertindak, dengan
cepat telah bangkit pula. Dengan serta merta maka iapun
telah meloncat mendekat. "Apa yang harus aku lakukan?" bertanya Mahisa Pukat.
"Cobalah, bangunkan Senopati itu jika mungkin. Aku
akan melihat, bagaimana kedua orang itu memecahkan
pintu untuk menjajagi kemampuan mereka" jawab Mahisa
Murti. Mahisa Pukatpun tidak bertanya lebih lanjut. Iapun
segera berlari ke sudut ruangan untuk membangunkan
Senopati yang tertidur nyenyak, karena agaknya ia sama
setali tidak menduga, bahwa banjar itu telah dicengkam
oleh kekuatan sirep. Dengan tergesa-gesa Mahisa Pukat telah menggenggam
pergelangan tangan Senopati itu untuk mengguncang
kesadarannya lewat aliran darahnya.
Pada saat yang demikian, kedua orang yang berada di
dalam bilik Pangeran Lembu Sabdata terkejut bukan
buatan. Dengan serta merta keduanya telah terloncat
bangkit. Tetapi pintu telah tertutup. Selarak telah dipasang,
sehingga kedua orang itu tidak dapat keluar begitu saja
tanpa memecah pintu atau dinding.
"Orang-orang Talang Amba dan para prajurit Singasari
memang gila" geram salah seorang dari mereka.
Sejenak keduanya menjadi tegang. Namun merekapun
sadar, bahwa mereka harus berbuat sesuatu untuk
mengatasi keadaan yang tidak mereka duga sebelumnya
akan terjadi. Dengan tegang keduanya memandang pintu yang telah
tertutup. Merekapun sadar, bahwa pintu itu tentu sudah
diselarak. Tetapi yang mendebarkan bagi mereka adalah,
bahwa tentu ada orang-orang Talang Amba atau prajurit
Singasari di banjar itu yang mampu melepaskan diri dari
pengaruh sirep mereka. Sebenarnyalah pintu itu sendiri tidak merupakan
masalah yang terlalu sulit bagi mereka. Dengan
kemampuan ilmu mereka, maka keduanya akan dapat
memecahkan pintu itu. Namun dengan demikian, mereka
bukan berarti akan dapat dengan leluasa meninggalkan
tempat itu, karena di-belakang pintu itu terdapat orang yang
tentu memiliki ilmu yang mapan.
"Tidak hanya seorang" desis salah seorang diantara
keduanya. "Ya. Aku mendengar mereka berbicara" jawab yang lain.
Namun dalam pada itu, seorang diantaranya telah
mengamhil satu sikap. Katanya "Kita akan meninggalkan
tempat ini. Tetapi biarlah kita bangunkan Pangeran.
Kecuali Pangeran akan bebas dari kemungkinan yang
paling buruk dan kemungkinan untuk membuka seluruh
rahasia kita, maka Pangeranpun akan dapat membantu kita
menerobos perlawanan orang-orang Talang Amba atau
prajurit Singasari yang mampu melawan sirep. Tentu tidak
banyak" Sementara itu mereka tidak akan dapat membangunkan
orang-orang yang tertidur, karena sebenarnya mereka bukan
tertidur sewajarnya"
Kawannya mengangguk-anguk. Sementara yang lain
melanjutkan "Hanya orang yang pada dasarnya
mempunyai daya tahan terhadap sirep inilah yang akan
dapat kita bangunkan"
Demikianlah, maka kedua orang itupun kemudian
bersama-sama telah membangunkan Pangeran Lembu
Sabdata dengan cara yang mirip dengan cara yang
dipergunakan oleh Mahisa Pukat.
Karena itu, maka perlahan-lahan Pangeran Lembu
Sabdatapun telah membuka matanya dan dengan serta
merta berdesis "Kau?"
"Ya. Kami telah mendapat tugas untuk membebaskan
Pangeran. Cepat bangun. Kita akan keluar dari bilik ini"
jawab salah seorang dari keduanya.
"Darimana kalian masuk?" bertanya Pangeran Lembu
Sabdata. Pangeran Lembu Sabdata mengangguk-angguk. Katanya
"Kita akan memecahkan pintu"
Kedua orang yang berusaha menolongnya sama sekali
tidak ragu-ragu. Memang tidak ada cara lain. Kemudian
setelah pintu itu pecah mereka masih harus bertempur.
Sejenak kemudian, mereka yang ada di dalam bilik
itupun telah bersiap. Dengan segenap kemampuan yang ada
pada mereka, maka merekapun telah mengambil ancangancang.
Demikian Pangeran Lembu Sabdata menjatuhkan
perintah, maka mereka bertigapun telah meloncat untuk
memecahkan pintu. Dengan singkat salah seorang dari kedua orang itupun
menceriterakan apa yang telah mereka lakukan dan apa
yang telah terjadi kemudian. Lalu katanya "Kita harus
segera keluar sebelum orang-orang yang ada di banjar itu
datang" Pangeran Lembu Sabdatapun segera bangkit. Salah
seorang dari kedua orang itu telah menyerahkan sepucuk
senjata kepada Pangeran Lembu Sabdata sambil berkata
Dugaanku tidak salah. Kita harus keluar dari tempat ini
dengan mempergunakan senjata. Itulah sebabnya aku telah


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membawa senjata ini Pangeran"
Sejenak kemudian, maka pintu itupun telah bergerak.
Selarak pintu yang kuat itu telah patah dan pintupun telah
terbuka lebar-lebar. Namun pada saat yang demikian, tiga orang telah berdiri
di luar pintu yang terbuka itu. Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan senopati yang telah berhasil dibangunkan oleh Mahisa
Pukat. "Bukan main" desis Senopati itu "hampir saja leherku
dipenggal besok dihalaman banjar ini jika aku kehilangan
tahananku yang terpenting malam ini"
"Ternyata kemampuanmu tidak seberapa" desis
Pangeran Lembu Sabdata "Kau tidak dapat bertahan atas
sirep yang dilontarkan oleh seorang kawanku. Karena itu.
minggirlah Kau tidak akan dapat bertahan melawan kami"
"Dua orang anak muda ini dapat bertahan atas sirepmu
yang licik itu" jawab Senopati itu "Aku sama sekali tidak
menduga, bahwa kepercayaan seorang Pangeran dari Kediri
telah mempergunakan ilmu yang licik sekali. Kenapa kalian
tidak datang dengan dada tengadah" Kalian telah datang
sambil bersembunyi dibalik ilmu sirepmu" Justru karena
aku tidak menduga sama sekali itulah, maka aku telah
menjadi lengah" "Omong kosong" desis salah seorang yang telah
menolong Pangeran Lembu Sabdata "apapun yang kau
katakan, tetapi ternyata kau tidak dapat bertahan. Jika aku
licik seperti yang kau katakan, maka aku tentu sudah
membunuhmu selagi kau tertidur nyenyak. Tetapi aku tidak
berbuat demikian. Aku membiarkan kau hidup dan merasa
betapa kecilnya kau dihadapan ilmuku yang mumpuni"
Senopati itu menggeram. Katanya "Tetapi kalian tidak
akan dapat keluar dari halaman banjar ini. Pangeran lembu
Sabdata adalah tawananku"
Tetapi Pangeran Lembu Sabdata tertawa. Katanya
"Jangan mengigau. Sekarang aku mudah bebas. Di
tanganku tergenggam pedang. Kalian tidak akan dapat
berbuat apa-apa atasku"
Yang menyahut adalah Mahisa Pukat "Pangeran. Aku
mengharap agar Pangeran tidak cepat melupakan
kenyataan. Pangeran tidak dapat memenangkan
perkelahian diantara kita. Dan sekarang kita telah bertemu
kembali. Apakah Pangeran mengira, bahwa karena
pengaruh sirep ini, aku menjadi semakin lemah?"
"Persetan" geram Pangeran Lembu Sabdata "jika kau
sekarang berani mencoba menghadapi aku, maka lehermu
akan menjadi taruhan"
"Aku pertaruhan leherku. Jika aku kalah Pangeran dapat
mengambilnya, tetapi jika aku menang?" bertanya Ma hisa
Pukat. Pangeran Lembu Sabdata menggeram. Tetapi ia tidak
mau kehilangan banyak waktu. Karena itu,maka iapun
telah bergeser mendekati Mahisa Pukat sambil
menggerakkan pedangnya. "O" desis Mahisa Pukat "Pangeran benar-benar ingin
kembali dimasukkan ke dalam bilik itu dengan tangan
terikat?" Pangeran Lembu Sabdata tidak menjawab. Tetapi tiba"
tiba saja ia meloncat menyerang Mahisa Pukat.
Tetapi Mahisa Pukat sudah bersiap menghadapi
kemungkinan itu. Ia sudah menduga bahwa Pangeran
Lembu Sabdata itu tentu akan menyerangnya. Karena itu,
maka dengan cepat ia bergeser sehingga serangan Pangeran
Lembu Sabdata itu tidak mengenainya.
Bahkan ketika Mahisa Pukat kemudian bersiap
menghadap kearah Pangeran Lembu Sabdata, maka
ditangannya telah tergenggam sebilah pedang.
"Setan" geram Pangeran Lembu Sabdata.
Serangannyapun kemudian datang membadai.
Tetapi Mahisa Pukat memang sudah bersiap
menghadapinya, karena itu, ia sama sekali tidak menjadi
gentar. Bahkan Mahisa Pukat itupun tidak lagi bersedia
menjadi sasaran serangan lawannya. Karena itu, maka tibatiba
saja Mahisa Pukatpun telah menyerang pula.
Sejenak kemudian, maka keduanya telah terlibat dalam
pertempuran yang sengit. Sementara itu, Mahisa Murti dan
Senapati yang memimpin tugas di banjar itu berdiri
termangu-mangu menghadapi kedua prang yang telah
berusaha membebaskan Pangeran Lembu Sabdata itu.
"Jangan ikut campur" berkata salah seorang dari
keduanya "Jika kalian minggir kami tidak akan membunuh
kalian. Kami akan meninggalkan banjar ini bersama
Pangeran Lembu Sabdata. Hanya orang yang telah
bertempur melawan Pangeran itu sajalah yang akan kami
bunuh" "Apakah kami akan dapat membiarkan salah seorang
diantara kami terbunuh?" bertanya Senapati itu.
"Ia telah berani melawan Pangeran" jawab orang itu.
"Kamipun berani melawan kalian. Karena itu, jangan
mimpi dapat meninggalkan halaman banjar ini" geram
Senapati itu. Kedua orang itupun segera bersiap. Senjata merekapun
segera teracu. Seorang diantara mereka berkata "Kalian
memang ingin mati" Mahisa Murti dan Senapati yang memimpin tugas para
prajurit Singasari di banjar itu tidak menjawab. Merekapun
segera mempersiapkan diri menghadapi segala
kemungkinan. Sejenak kemudian, maka pertempuranpun telah terjadi.
Mahisa Murti dan Senapati yang bertugas itu telah terlibat
dalam pertempuran yang sengit. Kedua orang yang
menolong Pangeran Lembu Sabdata, itu agaknya ingin
mengakhiri pertempuran dengan cepat.
Tetapi Mahisa Murti dan Senapati itupun telah
memberikan perlawanan yang sengit pula. Ternyata bahwa
keduanya juga memiliki bekal yang cukup untuk melawan
kedua orang yang berusaha membebaskan Pangeran Lembu
Sabdata dengan ilmu sirep yang tajam itu.
Pangeran Lembu Sabdata sendiri yang bertempur
melawan Mahisa Pukat telah mengerahkan Segenap
kemampuannya. Meskipun dalam pertempuran sebelumnya
ia tidak pernah dapat menang, namun pangeran Lembu Sab
data sama sekali tidak merasa cemas. Dengan ilmu pedang
yang dikuasainya, Pangeran Lembu Sabdata telah melibat
Mahisa Pukat dalam pertempuran yang cepat.
Tetapi Mahisa pukat sama sekali tidak menjadi bingung
menghadapi serangan-serangan Pangeran Lembu Sabdata
yang cepat. Dengan tangkasnya ia melayaninya. Meloncat
menghindari serangan yang datang, namun kemudian
dengan garangnya telah menyerang lawannya pula.
Sebenarnyalah Pangeran Lembu Sabdata yang bertempur
melawan Mahisa Pukat itu telah mempercayakan diri
kepada kedua orang yang menolongnya. Ia merasa, bahwa
keduanya akan dapat membebaskannya. Jika ia mampu
bertahan untuk beberapa saat maka kedua orang itu tentu
sudat dapat menyelesaikan tugasnya, yang selanjutnya akan
dapat menolongnya melepaskan diri dari tangan Mahisa
Pukat. Tetapi ternyata harapan itu tidak segera terjadi. Kedua
orang yang berusaha membebaskannya itu tidak dengan
mudah dapat mengalahkan Mahisa Murti dan Senopati
yang memimpin para prajurit di banjar itu. Ternyata bahwa
Mahisa Murti dan Senopati itu telah bertempur dengan
garangnya pula, sehingga kedua orang itupun harus
mengerahkan segenap kemampuan mereka pula.
Namun Mahisa Murti masih tetap dengan kemampuan
yang ada padanya mengimbangi serangan-serangan
lawannya yang garang. Tetapi dalam pada itu. Senapati Singasari yang
memimpin para prajurit yang tertidur di banjar itu, semakin
lama semakin terasa betapa beratnya tekanan lawannya.
Namun sebagai seorang prajurit ia telah bertempur dengan
mengerahkan segenap kemampuannya. Betapapun juga
keadaannya, tetapi Senapati itu sama sekali tidak menjadi
lemah hatinya. Ia tetap bertempur dengan sengitnya.
Dengan demikian, maka pertempuran di banjar itupun
kemudian menjadi semakin seru. Masing-masing telah
mengerahkan segenap kemampuan mereka.
Namun demikian, hiruk -pikuk pertempuran itu sama
sekali tidak dapat membangunkan para prajurit dan para
pengawal yang sedang tertidur nyenyak. Bahkan kaki yang
terinjakpun seakan-akan tidak lagi dapat merasakan betapa
sentuhan itu membuatnya kesakitan.
Karena Itu, apapun yang terjadi, maka ketiga orang itu
tidak dapat mengharapkan bantuan dari orang lain.
Ketiganya harus bertempur dengan kekuatan sendiri
melawan Pangeran Lembu Sabdata dan dua orang yang
berusaha untuk membebaskannya.
Sementara itu, Mahisa Muni yang bertempur melawan
orang yang telah melepaskannya sirep yang kuat itu,
ternyata tidak segera dapat ditundukkannya. Meskipun
lawannya itu mampu melepaskan kekuatan sirep, namun
dalam olah kanuragan ia tidak dapat melampaui
ketrampilan Mahisa Murti.
Dalam benturan-benturan kekuatan, ternyata bahwa
Mahisa Murti justru memiliki sedikit kelebihan. Meskipun
demikian, kadang-kadang orang yang memiliki ilmu sirep
itu dapat membuatnya berdebar-debar. Orang itu memiliki
kecepatan gerak yang tinggi yang kadang-kadang
melampaui kecepatan gerak Mahisa Murti.
Karena itu, maka Mahisa Murti tidak mau terpancing
kedalam pertempuran yang cepat. Mahisa Murti yang
kemudian meyakini bahwa ia memiliki kekuatan yang lebih
besar dari lawannya, berusaha untuk tidak terlalu banyak
bergerak. Kedua kakinya bagaikan terhunjam kedalam
tanah. Dalam menghadapi gerak lawannya yang cepat.
Mahisa Murti hanya bergeser setapak-setapak. Tetapi
Mahisa Murti masih selalu berhasil berdiri menghadap
kepadanya. Bahkan dalam pertempuran berikutnya, Mahisa Murti
tidak lagi banyak berusaha untuk mengelakkan seranganserangan
lawannya. Namun ia lebih banyak membenturkan
kekuatannya menghadapi serangan lawannya itu.
"Gila" geram lawannya yang mampu melontarkan
kekuatan sirep yang sangat tajam "anak ini memang cerdik.
Ia tidak mau terpancing untuk mengadu kecepatan gerak.
Tetapi ia lebih senang membenturkan kekuatannya"
Sebenarnya dalam benturan-benturan yang terjadi tangan
lawan Mahisa Murti itu menjadi pedih. Bahkan setiap kali
ia harus berloncatan mengambil jarak untuk memperbaiki
genggaman senjatanya. Namun Mahisa Murti tidak
berusaha memburunya. Ia sadar, bahwa lawannya memiliki
kecepatan gerak yang sedikit lebih tinggi, sehingga jika ia
terpancing untuk bertempur dalam loncatan-loncatan
panjang, maka ia akan mengalami kesulitan.
Sementara itu, orang yang bertempur melawan Senapati
Singasari itu berusaha dengan segenap kemampuannya
untuk dengan cepat menyelesaikan tugasnya. Ia harus
berusaha membawa Pangeran Lembu Sabdata secepatnya
keluar dari halaman banjar.
Namun demikian, Senapati itu tidak dengan mudah
dapat dikalahkannya, karena sebagai seorang prajurit
Senapati itu telah mempertaruhkan semua kemampuan
yang ada padanya untuk melawan orang yang datang untuk
membebaskan Pangera Lembu Sabdata itu.
Tetapi dalam pada itu, Mahisa Pukatpun telah berpacu
dengan waktu pula. Dalam sekilas ia. melihat, bahwa
Senapati Singsari itu justru telah terdesak oleh lawannya.
Dalam pertempuran yang semakin sengit, maka
Pangeran Lembu Sabdata memang tidak dapat
mengelakkan pengakuan atas satu kenyataan bahwa ia
memang tidak dapat mengimbangi kemampuan Mahisa
Pukat. Karena itu, maka yang dapat dilakukannya
kemudian hanyalah sekedar bertahan. Ia hanya dapat
menunggu kedua orang yang akan membebaskannya itu
menyelesaikan tugas mereka dengan melumpuhkan lawanlawan
mereka. Dengan demikian, maka keduanya akan
dapat menolongnya, membunuh anak muda yang keras
kepala itu dan kemudian bersama-sama melarikan diri.
Tetapi Mahisa Pukat telah mendesaknya semakin berat.
Mahisa Pukat tidak mau kehilangan waktu. Jika seorang
lawannya mampu memenangkan pertempuran lebih
dahulu, maka ia akan mengalami kesulitan. Apalagi
nampaknya Mahisa Murti tidak akan segera dapat
menyelesaikan pertempurannya meskipun keadaannya
tidak mencemaskan sebagaimana Senopati dari Singasari
itu. Bahkan dalam pertempuran selanjutnya, Mahisa Murti
yang tidak saja bertempur dengan kemampuan ilmunya,
tetapi juga dengan otaknya, berhasil memancing lawannya
untuk menyerangnya lebih sering, sehingga dengan
demikian ia mendapat kesempatan lebih banyak untuk
membenturkan kekuatannya. Mahisa Murti sadar, bahwa
benturan kekuatan berarti satu hentakkan yang dapat
membuat tangan lawannya menjadi sakit.
Bahkan ketika kemudian lawannya berusaha untuk
menghindari benturan-benturan senjata, maka Mahisa
Murti hampir tidak berbuat apa-apa kecuali hanya bergeser
saja menghadap kearah lawannya, kemanapun ia meloncat.
"Anak setan" geram lawannya.
Tetapi Mahisa Murti tetap pada sikapnya.
Namun Mahisa Murti tidak membiarkan pertempuran
itu menjadi semakin berlarut-larut. Dalam keadaan yang
sudah diperhitungkan, Mahisa Murtilah yang meloncat
menyerang dengan ayunan senjata yang melontarkan
kekuatannya yang dahsyat.
-ooo0dw0oooKolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Scan DJVU : Ismoy o Conv erter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : Uploader di Indozone : Din o
--ooo0dw0ooo- Jilid 015 SEKALI-KALI lawannya memang mampu meloncat
menghindar dengan kecepatannya yang melampaui
kecepatan gerak Mahisa Murti, tetapi pada saat tertentu,
gerak Mahisa Murtipun demikian tiba-tiba diluar
perhitungan lawannya, sehingga lawannya harus menangkis
serangan Mahisa Murti, sehingga dengan demikian terjadi
satu benturan yang Sangat keras.
Tetapi sejenak kemudian, ketika lawannya sudah
berhasil memperbaiki keadaannya dengan menghindari
benturan-benturan berikutnya, kembali Mahisa Murti tegak
bagaikan tonggak yang menghunjam ke dalam pusat bumi.
Tegak dan tidak dapat digoyahkan.
Pada saat yang demikian itulah, maka baik Pangeran
Lembu Sabdata maupun kedua orang yang akan
membebaskannya menjadi gelisah. Yang bertempur
melawan Senopati dari Singasari, meskipun ia merasa dapat
mengalahkannya, tetapi ternyata Senopati itu seakan-akan
menjadi sangat liat. Menurut perhitungannya semuanya
akan dapat segera diselesaikan, tetapi ternyata bahwa setiap
kali ia menghadapi satu keadaan yang tidak diduganya.
Senopati itu masih sempat menghindari serangannya yang
dianggapnya akan mampu mematikannya.
Karena itulah, maka kedua orang yang berusaha
membebaskan Pangeran Lembu Sabdata itu mulai menjadi
cemas. Apalagi ketika mereka melihat, bahwa keadaan
Pangeran Lembu Sabdata sendiri menjadi sulit.
Dalam pada itu, Mahisa Murti tidak menyia-nyiakan
setiap perkembangan keadaan. Ketika ia melihat lawannya
menjadi gelisah, maka ia justru berusaha menyerang dengan
hentakkan-hentakkan yang mendebarkan. Meskipun
lawannya masih tetap manipu bergerak cepat, tetapi dalam
hentakkan-hentakkan itu Mahisa Murti berhasil membuat
benturan-benturan senjata yang sangat berpengaruh atas
lawannya. Tangan lawannya yang setiap kali terasa menjadi pedih,
semakin lama semakin mempengaruhi kemampuannya
menggenggam senjata. Karena itu, maka lawannya itupun
harus memusatkan serangan-serangannya berdasarkan
kepada kecepatan gerak. Namun dalam keadaan yang
demikian, kembali Mahisa Murti bertahan pada sikapnya.
Kecemasan semakin mencengkam kedua orang yang
berusaha membebaskan Pangeran Lembu Sabdata. Yang
melawan Senopati dari Singasari itupun menjadi gelisah
pula. Senopati itu masih juga belum dapat diselesaikan,
sementara Pangeran Lembu Sabdata menjadi semakin
terdesak. Agaknya Mahisa Pukat akan memenangkan
perlombaan dengan lawan Senopati dari Singasari itu.
Kedua orang yang berusaha membebaskan Pangeran
Lembu Sabdata itu terkejut ketika mereka mendengar desis
tertahan. Pangeran Lembu Sabdata terdorong surut.
Agaknya pedang Mahisa Pukat telah menyentuh tubuhnya
meskipun tidak terlalu dalam.
Yang tidak terduga, hampir bersamaan, Mahisa Murti
berhasil memancing benturan senjata yang sangat kuat.
Kedua senjata yang saling membentur itu telah
menimbulkan loncatan-loncatan bunga api. Demikian
kerasnya benturan itu, sehinggaa hampir saja senjata lawan
Mahisa Murti itu terloncat dari tangannya.
Saat yang demikian itulah yang ditunggu oleh Mahisa
Murti. Dengan kecepatan yang mungkin dilakukan, maka
iapun telah menjulurkan pedangnya. Dengan cepat
lawannya mengelak. Melampaui kecepatan gerak Mahisa
Murti. Karena itu, maka senjata Mahisa Murti tidak dapat
menghunjam ke dadanya, dan menyentuh jantung. Tetapi
ujung senjata itu sempat pula menggores di dada lawannya,
sehingga di dada itu telah tergurat seleret garis yang
merekah karena darah yang mengembun.
Lawan Mahisa Murti itu mengumpat. Dengan
tangkasnya ia melenting menjauh. Namun dengan
kemarahan yang membakar jantungnya, ia telah meloncat
pula menyerang. Geraknya menjadi lebih cepat oleh
kemarahan yang meluap itu.
Mahisa Murti bergeser setapak. Ternyata gerak lawannya
menjadi semakin sulit untuk diikutinya. Tetapi dengan
perhitungan yang mapan, maka Mahisa Murti berhasil
membuat lawannya mengakui kemantapan tempurnya.
Meskipun setiap kali Mahisa Murti harus berges surut,
namun tiba-tiba saja ia mengayunkan pedangnya
menyambar tubuh lawannya. Jika lawannya mengelak,
maka dengan sepenuh kemampuannya ia berusaha
memburunya dengan ayunan, senjatanya, sehingga
lawannya harus melindungi diri dengan senjatanya pula.
Pada saat-saat yang demikian maka terjadi benturanbenturan
kekuatan yang menguntungkannya.
Namun kemarahan lawannya agaknya membuat Mahisa
Murti sedikit terdesak. Kecepatan gerak lawannya agak
membingungkannya ketika serangan itu datang seakan-akan
dari segenap arah. Tetapi lawan Mahisa Murti itu ternyata harus
memperhitungkan seluruh keadaan. Kawannya masih
belum berhasil melumpuhkan Senopati Singasari yang
meskipun sudah terdesak terus. Sementara Mahisa Murti
masih mampu memberikan perlawanan yang kadangkadang
justru mengejutkan. Bahkan berhasil melukai
dadanya meskipun tidak terlalu dalam.
Yang ternyata keadaannya kemudian paling sulit adalah
Pangeran Lembu Sabdata sendiri. Ia menjadi semakin
terdesak. Mahisa Pukatpun mempunyai perhitungan
tersendiri atas keseluruhan medan. Iapun berusaha berpacu
untuk memenangkan pertempuran itu jika ia tidak ingin
mengalami kesulitan. Apalagi ketika ia melihat bahwa
Mahisa Murti ternyata juga mulai terdesak. Lawannya,
yang memiliki ilmu sirep itu ternyata memang seorang yang
menguasai ilmu kanuragan yang tinggi. Kecepatan
geraknya merupakan kelebihan yang kemudian ternyata
agak sulit diimbangi oleh Mahisa Murti, meskipun dengan
tiba-tiba diluar perhitungan lawannya, ia justru berhasil
melukainya. Pada saat yang paling mendesak, maka kedua orang itu
harus mengambil satu keputusan yang paling baik bagi
mereka. Merekapun harus memperhitungkan waktu. Orangorang
yang berada di banjar itu, pada satu saat tentu-akan
terbangun mendengar hiruk pikuk karena kekuatan si- rep
yang mereka lontarkan telah tidak lagi mampu
mencengkam sasarannya. Dalam keadaan yang gawat itu, maka tiba-tiba saja,
salah seorang dari kedua orang yang berusaha
membebaskan Pangeran Lembu Sabdata itu memberikan
satu isyarat kepada kawannya.
Mahisa Murti tidak terlepas dari kewaspadaan, yang
membuatnya secara naluriah meloncat menjauhi lawannya
untuk melihat apa yang akan dilakukan setelah didengarnya
isyarat yang mengejutkan itu.
Sebenarnyalah yang terjadi memang mendebarkan.
Ternyata kedua orang itu hampir bersamaan telah
melontarkan senjata yang aneh, yang diambilnya dari
kantong di ikat pinggangnya.
Mahisa Murti yang pernah mengenal Ki Sarpa Kuning,
segera menduga bahwa yang dilemparkan oleh lawannya
itu adalah seekor ular. Karena itu, nalarnya cepat bekerja untuk mengatasi
kesulitan yang dihadapinya itu. Bahkan kesulitan itu akan
datang terutama tidak dari dirinya sendiri, tetapi dari
Senopati Singasari itu. Dengan demikian, maka. yang dilakukan oleh Mahisaa
Murtipun sangat mengejutkan lawannya, Mahisa Murti
sama sekali tidak menghiraukan ular yang dilemparkan
kepadanya dan langsung mematuk lengannya. Tetapi
dengan serta merta ia justru telah meloncat sambil
menjulurkan pedangnya langsung kedada lawannya.
Lawannya sama sekali tidak menduga. Lawannya itu
memperhitungkan kemungkinan yang lain, Mahisa Murti
di-sangkanya akan menjadi bingung dan putus asa karena
gigitan ular yang sangat berbisa itu.
Tetapi ternyata yang dilakukan adalah lain. Karena itu,
maka lawannya yang sama sekali tidak bersiaga
menghadapi serangan itu berusaha untuk mengelak. Tetapi
Mahisa Murtipun sempat menggerakkan pedangnya
mendatar. Meskipun tidak begitu keras, tetapi pedangnya
itu telah menyambar lambung lawannya yang sedang
meloncat, tanpa sempat menangkisnya.
Terdengar desah dari mulut lawan Mahisa Murti itu.
Sebuah luka telah menganga. Lebih dalam dari luka yang
tergores di dadanya. Orang itu terhuyung-huyung sejenak.
Namun dengan penuh kebencian ia berkata "Kau akan
mati. Gigitan ular itu tidak akan dapat diobati oleh
siapapun juga" Tetapi Mahisa Murti tidak menghiraukannya. Namun
jantungnya bergetar ketika ia melihat Senopati itu
menyeringai menahan sakit. Seekor ular membelit kakinya
sambil menggigit pahanya.
Dengan pedangnya Senopati itu menebas tubuh ular itu
sehingga putus. Tetapi gigitan ular itu tidak segera terlepas
dari kakinya. Mahisa Murti masih mendengar lawan Senopati itu
tertawa. Tetapi tiba-tiba saja suara tertawanya patah
ditengah ketika ia melihat kawannya terhuyung-huyung dan
jatuh di tanah dengan luka di dada dan lambung.
Pada saat yang demikian itulah, maka Mahisa Murti
telah meloncat menyerang dengan garangnya tanpa
menghiraukan seekor ular yang masih menggantung di
tangannya. Serangan itu sangat mengejutkan. Lawannya benar-benar
tidak menyangkanya sebagaimana kawannya yang terluka.
Namun demikian, orang itu masih mempunyai kesempatan
untuk mengelakkan serangan Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Murti tidak melepaskannya. Dengan
garangnya ia memburu lawannya dengan pedang yang
berputaran. "Goncangan perasaanlah yang sebenarnya telah
menghambat tata gerak lawannya. Ketika ia melihat ular
yang tergantung di lengan Mahisa Murti, justru dengan
demikian serangan-serangan Mahisa Murti datang bagaikan
prahara, jantungnya terasa berdentangan semakin cepat.
Karena itulah, maka bukan Mahisa Murti yang menjadi
bingung dan berputus asa, tetapi justru lawannya itulah.
Dengan demikian, maka pada saat yang singkat dengan
mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya,
maka Mahisa Murti berhasil mendesak lawannya. Dalam
putaran senjata yang cepat dan kuat, Mahisa Murti telah
berhasil memaksa lawannya menangkis serangannya.
Kesempatan itu tidak dilepaskan oleh Mahisa Murti.
Sekali lagi ia mengayunkan pedangnya dengan segenap
kemampuannya. Dan sekali lagi terjadi benturan yang
sangat keras. Ternyata lawan Mahisa Murti tidak berhasil
mempertahankan pedangnya. Tiba-tiba saja pedangnya
telah terlempar jatuh. Tetapi seperti yang diduga, lawannya itu telah
melemparkan senjatanya yang lain. Mirip sekali dengan apa
yang tetah dilakukan oleh Ki Sarpa Kuning.
Namun sekali lagi orang itu dicengkam oleh kegelisahan
dan ketegangan. Mahisa Murti sama sekali tidak mengelak
ketika seekor ular kemudian menggigit pundaknya. Bahkan
dengan loncatan panjang Mahisa Murti masih tetap
menyerang. Lawannyalah yang kemudian menjadi kehilangan
keseimbangan berpikir. Tiba-tiba saja orang itu telah sampai
kepada keputusan terakhir dari langkah yang harus diambil.
Sebagaimana perintah yang dibawanya, jika ia tidak
berhasil menyelamatkan Pangeran Lembu Sabdata, maka
jalan yang harus ditempuhnya adalah justru membunuhnya.
Karena itu, pada kesempatan terakhir itu, orang itu
masih berusaha mempergunakannya untuk menjalankan
perintah itu. Dengan serta merta, maka orang itu telah berlari justru
kearah Pangeran Lembu Sabdata yang masih berusaha
bertahan. Hampir diluar penglihatan mata Pangeran Lembu
Sabdata sendiri orang itu telah melepaskan senjata anehnya
kearah Pangeran itu. "Pangeran" teriak Mahisa Murti "menghindarlah"
Tetapi terlambat. Seekor ular lebih besar sedikit dari
sebatang lidi telah melekat di punggungnya, sekaligus
mematuknya. "Gila" teriak Pangeran Lembu Sabdata.
Mahisa Pukat telah terkejut pula karenanya. Tiba-tiba
saja Pangeran Lembu Sabdata telah melemparkan
senjatanya dan mengibaskan seekor ular yang melekat
dipunggungnya dengan laku seperti orang yang kesurupan.
"Jangan kebingungan Pangeran" teriak Mahisa Murti
pula. Sementara itu, pedangnya telah berhasil menggores
tubuh orang yang telah melemparkan ular kepunggung
Pangeran Lembu Sabdata. Sejenak orang itu terhuyung-huyung. Namun sejenak
kemudian orang itu telah terjatuh di tanah.
Dalam pada itu, Mahisa Murtipun kemudian berkata
"Cepat. Selamatkan Pangeran dari bisa ular itu"
Barulah Mahisa Pukat sadar. apa yang telah terjadi.
Dengan tergesa-gesa iapun segera menghampiri tubuh
Pangeran Lembu Sabdata yang mulai menggigil. Bukan saja
karena lukanya oleh sentuhan pedang Mahisa Pukat dan
gigitan ular dipunggung. Tetapi kemarahan yang
menghentak-hentak jantungnya atas sikap orang yang


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berusaha membebaskannya itu membuat darahnya
bagaikan mendidih. Sementara itu, Mahisa Murtipun telah berlari kearah
Senopati yang telah terduduk ditanah. Terasa ditubuhnya
bisa ular itu mulai menjalar bersama dengan arus darahnya.
"Kita akan mati" desis Senopati itu "ular itu tentu sangat
berbisa. Apalagi kau telah digigit oleh dua ekor ular
sekaligus" Mahisa Murti termangu-mangu. Namun iapun kemudian
telah duduk disebelah Senopati yang menjadi semakin
lemah. Dalam pada itu, maka baik Mahisa Murti maupun
Mahisa Pukat telah berusaha mempergunakan batu akik
dan akar penangkal bisa untuk menolong Pangeran Lembu
Sabdata dan Senopati Singasari yang terluka.
Tetapi ternyata gigitan ular itu benar-benar berbahaya.
Mahisa Murti sendiri yang telah digigit oleh dua ekor ular,
merasa tubuhnya menjadi gemetar, sementara itu, ia masih
harus melekatkan cicinnya pada luka ditubuh Senopati
Singasari itu tanpa melepaskan dari jari-jarinya.
Mahisa Pukat yang menolong Pangeran Lembu Sabdata
dari gigitan ular itupun menjadi cemas. Mahisa Pukat
sendiri tidak mengalami kesulitan apa-apa. Tetapi ia
menyadari, bahwa Mahisa Murti tengah berjuang untuk
dirinya sendiri dan Senopati dari Singasari itu dari gigitan
ular yang sangat berbisa.
Karena itu, maka oleh kecemasan yang mendesak di
dadanya, maka Mahisa Pukatpun telah mengambil satu
sikap. Setelah melekatkan gelang akarnya ditangan
Pangeran Lembu Sabdata yang pingsan, maka Mahisa
Pukatpun telah berlari ke gardu di gerbang halaman banjar.
Sejenak kemudian telah terdengar suara kentongan
memecah sepinya malam. Orang-orang yang ada di banjar itu sendiri tidak
mendengar suara kentongan itu. Bahkan orang-orang yang
tinggal di sekitar banjar ilupun agaknya telah terpengaruh
pula oleh sirep yang tajam, meskipun perlahan-lahan mulai
berkurang. Namun dalam pada itu, orang-orang yang berada di
rumah Ki Sanggarana telah terkejut mendengar suara
kentongan itu. Lebih-lebih Ki Waruju yang sejak sore telah
merasakan satu keadaan yang tidak wajar menurut petunjuk
firasatnya. Karena itu, maka beberapa orang dengan tergesa-gesa
telah pergi ke banjar. Termasuk Pangeran Singa Narpada
dan Ki Waruju disamping Ki Sanggarana sendiri.
"Kalian tinggal di sini" pesan Pangeran Singa Narpada
kepada beberapa orang yang datang ke Kabuyutan itu
bersamanya "tetapi berhati-hatilah. Agaknya kita memang
harus berjaga-jaga" Ki Sanggaranapun telah memberikan beberapa pesan
pula kepada para pemimpin anak-anak muda Talang Amba
yang menjadi berdebar-debar mendengar kentongan itu,
sementara beberapa orang prajurit Singasaripun telah
bersiap untuk mengadakan pengamatan di padukuhan
induk itu. Bahkan Pemimpin yang bertanggung jawab atas
seluruh pasukan Singasari di Talang Amba telah
memerintahkan untuk menghubungi beberapa padukuhan
yang lain agar mereka berhati-hati.
Ketika orang-orang yang gelisah itu datang ke banjar,
maka merekapun segera mengetahui apa yang terjadi.
Beberapa orang masih tetap tidur silang melintang.
Sementara itu, dengan jantung yang berdebaran, Ki Waruju
berlari-lari menemui Mahisa Pukat yang masih saja
membunyikan kentongan. Bahkan dibebarapa gardu yang
justru terletak agak jauh dari banjar, suara kentongan itu
sudah disautdan menjalar dari padukuhan ke padukuhan
lainnya. "Apa yang terjadi?" bertanya Ki Waruju.
"Sirep" jawab Mahisa Pukat yang meletakkan pemukul
kentongannya "Mahisa Murti sedang bekerja keras untuk
menyelamatkan seorang Senopati dari Singasari, sementara
itu Pangeran Lembu Sabdatapun telah terkena racun ular
yang sangat berbisa"
"Dimana?" bertanya Pangeran Singa Narpada yang
mendengar jawaban Mahisa Pukat.
Mahisa Pukatpun kemudian membawa mereka ke ruang
dalam. Dengan hati yang berdebar-debar Ki Warujupun
segera berlari kearah Mahisa Murti yang mulai menjadi
sangat letih. Racun yang bekerja di dalam dirinya cukup
kuat untuk mengguncang pertahanannya. Tetapi justru
karena ia harus membantu menyelamatkan seorang
Senopati dari Singasari itulah, maka beban penangkal
racunnya menjadi terlalu berat.
"Dimana penangkal racunmu?" bertanya Ki Waruju
kepada Mahisa Pukat. Sambil menunjuk kearah Pangeran Lembu Sabdata yang
terbaring, Mahisa Pukat berkata "Pangeran Lembu Sabdata
juga mengalami keadaan yang gawat"
"Kau obati Pangeran Lembu Sabdata dengan penangkal
racunmu?" bertanya Ki Waruju.
"Ya. Semula Pangeran itu menggigil. Namun kemudian
menjadi pingsan" jawab Mahisa Pukat.
Ki Waruju tidak bertanya lebih banyak lagi. Ia tidak
boleh terlambat. Karena itu, maka iapun segera berusaha
untuk membantu Mahisa Murti.
"Mahisa Murti" desis Ki Waruju "lepaskan Senopati itu"
Mahisa Murti termangu-mangu. Dengan lemah ia :
menjawab "Ia akan mati jika tidak ada pertolongan
baginya" "Aku akan menolongnya" jawab Ki Waruju.
Mahisa Murti menyadari, bahwa Ki Warujupun
memiliki penangkal bisa pula seperti dirinya dan Mahisa
Pukat. Karena itu, maka dengan lemah Mahisa Murtipun
mengangkat tangannya dari tubuh Senopati yang terkena
gigitan ular itu. "Kau akan mampu menolong dirimu sendiri" berkata Ki
Waruju. Mahisa Murti mengangguk. Sementara itu, Ki
Warujulah yang kemudian membantu Senopati itu dengan
penangkal racunnya. Dalam pada itu, Pangeran Singa Narpadapun telah
berdiri disisi tubuh Pangeran Lembu Sabdata. Dengan
wajah tegang ia bergumam "Satu usaha untuk
menghilangkan jejak. Jika adimas Lembu Sabdata
terbunuh, maka sulit bagi kita untuk menelusuri jejak
pengkhianatannya" Mahisa Pukat ying kemudian berjongkok disisi tubuh
itupun berdesis "Ia mulai sadar"
"Sukurlah" jawab Pangeran Singa Narpada.
Sementara itu, oleh penangkal racun Mahisa Pukat,
sebenarnyalah keadaan Pangeran Lembu Sabdata menjadi
berangsur-angsur baik. Perlahan-lahan racun yang telah
mengalir di urat darahnya bagaikan terdorong kembali ke
luka gigitan ular dipunggungnya. Kemudian perlahanlahan,
dari luka itu telah mengalir darah yang kehitamhitaman.
Baru kemudian, darahnya yang merah mulai
meleleh dari luka itu. Sejenak kemudian Pangeran Lembu Sabdatapun telah
menjadi sadar. Luka-lukanya menjadi tidak lebih dari luka
biasa yang tidak seberapa besarnya. Namun tubuhnya
terasa masih terlalu lemah.
Ketika Pangeran itu membuka matanya, maka yang
dilihatnya adalah Pangeran Singa Narpada yang berdiri
tegak di sisinya berbaring.
Perlahan-lahan Pangeran Lembu Sabdata bangkit
dibantu oleh Mahisa Pukat dan duduk bertelekan kedua
tangannya. Perlahan-lahan nafasnyapun mulai menjadi
teratur sebagaimana arus darahnya.
Di sebelah lain, Mahisa Murti yang bebannya menjadi
lebih ringan, perlahan-lahan menjadi semakin baik pula.
Demikianlah, akhirnya mereka yang terkena racun bisa
ular itupun berangsur menjadi sembuh selain luka-luka di
kulit dan daging mereka yang sama sekali tidak berbahaya.
Sementara keadaan Pangeran Lembu Sabdata menjadi
semakin baik, Mahisa Pukat telah mengambil kembali
penangkal racunnya dan dikenakannya dipergelangan
tangannya. "Adimas" desis Pangeran Singa Narpada "hampir saja
adimas kehilangan kesempatan untuk melihat matahari
terbit esok pagi" Pangeran Lembu Sabdata menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu, beberapa orang telah berusaha untuk
menolong dua orang yang terluka oleh senjata Mahisa
Murti. "Jika anak-anak muda ini tidak bertindak cepat untuk
menolong adimas, meskipun adimas dapat digolongkan
lawan dari keduanya, maka adimas sudah tidak lagi akan
dapat bangkit untuk selamanya" berkata Pangeran Singa
Narpada. Pangeran Lembu Sabdata menundukkan kepalanya.
Perlahan-lahan ingatannya telah pulih kembali, sehingga ia
dapat menggambarkan seluruhnya apa yang telah terjadi
atas dirinya. "Baiklah" berkata Pangeran Singa Narpada "adimas
tentu masih merasa letih sekali. Biarlah adimas beristirahat
sebaik-baiknya di sisa malam ini. Luka adimas meskipun
tidak membahayakan jiwa adimas lagi, tetapi juga
memerlukan perawatan. Namun yang penting bagi adimas,
di sisa malam ini adimas dapat merenungkan apa yang
telah terjadi malam ini, sehingga adimas dapat mengambil
atas kesimpulan yang paling baik bagi adimas, tetapi juga
bagi Kediri dan Singasari. Bagi keluarga besar kita"
Pangeran Lembu Sabdata tidak menjawab. Namun
sejenak kemudian ia telah mengedarkan tatapan matanya ke
sekitarnya. Ternyata beberapa orang prajurit dan pengawal
yang tertidur nyenyak telah mulai sadar.
Demikianlah, maka Pangeran Lembu Sabdatapun
kemudian telah dipersilahkan masuk kembali ke dalam
biliknya. Namun karena pintu sudah dirusakkannya, maka
pengawalannyapun menjadi lebih ketat. Sementara itu
seseorang telah mengobati luka-lukanya pula.
Dalam pada itu, maka para pengawal dan para
prajuritpun telah terbangun dari tidur mereka yang
nyenyak. Bahkan sebagian dari mereka masih harus
dibangunkan dengan susah payah. Namun agaknya
pengaruh sirep di banjar itupun telah menjadi kehilangan
kekuatan. Pangeran Singa Narpada dengan beberapa orang
pimpinan Kabuyutan Talang Amba serta Ki Waruju tidak
lagi kembali ke rumah Ki Sanggarana. Mereka tetap berada
di banjar, duduk diatas sehelai tikar di pendapa. Agaknya
keadaan Talang Amba masih tetap gawat dan dibayangi
oleh kekuatan yang ingin menghancurkan Singasari lewat
segala cara dan dari sudut manapun juga.
Namun dalam pada itu, di dalam biliknya, Pangeran
Lembu Sabdata masih sempat merenungi keadaannya.
Terasa tubuhnya masih terlalu lemah meskipun tidak lagi
membahayakan jiwanya. Tetapi peristiwa yang baru saja
terjadi, justru telah membakar penilaiannya atas keadaan
yang dihadapinya. Dengan sepenuh hati ia telah berjuang untuk
kepentingan beberapa orang saudaranya yang bersepakat
untuk menghancurkan Singasari dan membangunkan
kembali kekuasaan Kediri yang telah dirampas oleh Ken
Arok, Akuwu Tumapel dan yang kemudian telah
membangun Singasari yang berkembang dengan perkasa.
Tetapi hasilnya sama sekali tidak berarti. Bahkan ketika dua
orang diantara lingkungannya yang gagal menolongnya,
justru telah sampai hati berusaha untuk membunuhnya.
Dengan demikian maka Pangeran Lembu Sabdatapun
kemudian menyadari keadaan dirinya sendiri.
"Aku tidak lebih dari alat saja" gumam Pangeran Lembu
Sabdata di dalam hatinya "Jika mereka merasa tidak lagi
dapat mempergunakan aku, atau justru berbahaya bagi
kedudukan mereka, maka mereka tidak segan-segan untuk
membunuhnya" Tiba-tiba saja Pangeran Lembu Sabdata menggeram.
Tetapi iapun kemudian tidak berusaha untuk memecahkan
persoalan yang sedang dihadapinya. Tiba-tiba saja ia
menjadi malas berpikir. Hampir diluar sadarnya. Pangeran Lembu Sabdata yang
menjadi sangat kecewa itu telah membaringkan dirinya. Ia
tidak peduli lagi, apa yang terjadi diluar biliknya yang
pintunya telah rusak itu.
"Aku akan tidur. Persetan dengan keadaan yang kusut
ini" desisnya. Sementara Pangeran Lembu Sabdata berbaring, maka
Mahisa Murti dan Ma hisa Pukat sedang menunggui orangorang
yang berusaha mengombati dua orang yang terbuka
oleh pedang itu. Ternyata luka itu cukup parah sehingga
sulit bagi orang-orang yang berusaha menolongnya untuk
mempertahankan hidup kedua orang itu.
Tetapi mereka masih tetap berusaha.
"Tidak ada gunanya" salah seorang dari kedua orang itu
berdesis. "Kami harus berusaha" jawab orang yang menolongnya.
Tetapi orang itu menggeleng lemah.
Namun sementara itu, Mahisa Murtipun telah bertanya
"He, apakah kau murid atau saudara seperguruan Ki Sarpa
Kuning?" "Persetan dengan Sarpa Kuning " orang itu menggeram.
Tetapi keadaannya justru menjadi semakin buruk. Sehingga
orang-orang yang menunggui keduanyapun menjadi putus
asa. Agaknya kedua orang itu memang sulit untuk ditolong
jiwanya. Namun dalam pada itu, orang-orang Talang Amba dan
para prajurit Singasari masih tetap berusaha. Jika keduanya
dapat ditolong jiwanya, maka keduanyapun akan dapat
menjadi sumber keterangan yang barangkali bermanfaat.


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan hati-hati kedua orang itupun kemudian telah
dibawa ke dalam sebuah bilik di bagian belakang banjar itu.
Namun demikian, para prajurit Singasari yang memiliki
pengalaman yang cukup, tidak lepas dari kewaspadaan.
Kedua orang itu telah mendapat pengawalan yang sangat
ketat. Tetapi ternyata bahwa yang diharapkan itu hanyalah
sekedar harapan saja. Karena luka-lukanya, maka kedua
orang itu tidak lagi dapat diselamatkan jiwanya. Seorang
demi seorang keduanya telah menarik nafas terakhir,
sebelum mereka sempat mengatakan sesuatu kepada para
prajurit Singasari dan orang-orang Talang Amba.
Ketika Pangeran Singa Narpada mendapat laporan
tentang hal itu, maka iapun menarik nafas dalam-dalam
sambil berkata "Apa boleh buat. Sebenarnya mereka
merupakan orang-orang penting bagi kita"
Ki Waruju mengangguk-angguk. Namun kematian
memang tidak akan dapat ditawar apapun sebabnya. Jika
batas waktu itu telah datang, maka setiap orang akan
tinggal menjalaninya dengan lantaran yang berbeda-beda
Sementara itu, Senopati Singasari yang memimpin para
prajurit yang bertugas di banjar itupun telah, menjadi
berangsur baik sebagaimana Pangeran Lembu Sabdata. Di
serambi belakang, diantara beberapa orang kawannya ia
berbaring untuk menenangkan diri. Luka-lukanya yang
telah diobati itu masih terasa pedih. Tetapi sudah tidak
berbahaya lagi bagi jiwanya, karena bisa ular yang
menyusup ke dalam darahnya telah terhisap keluar.
"Untunglah ada anak-anak muda itu" berkata Senopati
itu kepada kawannya "tanpa mereka, segalanya akan
menjadi rusak. Mungkin Pangeran itu telah tidak akan
dapat kita ketemukan lagi"
"Keduanya pantas mendapat kehormatan" desis
kawannya. Ketika Pangeran Singa Narpada mendapat laporan
tentang hal itu, maka iapun menarik nafas dalam dalam
sambil berkata "Apa boleh buat. Sebenarnya mereka
melupakan orang-orang penting bagi kita"
"Lukaku karena gigitan ular berbisa itupun telah
mendapat pertolongannya pula, sehingga nyawaku dapat
diselamatkan" desis Senopati itu "tetapi Mahisa Murti
sendiri mula-mula mengalami kesulitan karena penangkal
racunnya harus bekerja terlalu berat. Untunglah Ki Waruju
segera datang" Kawannya mengangguk-angguk. Terbayang apa yang
telah terjadi, sementara para prajurit yang lain telah tertidur
nyenyak tanpa dapat memberikan bantuan apapun juga.
"Kedua anak muda itu memang luar biasa" desis prajurit
itu tiba-tiba. "Apa" bertanya Senopati yang terluka itu.
"Mahisa Murti dan Mahisa Pukat" jawab kawannya
"Kenapa mereka tidak menjadi prajurit saja?"
"Kakaknya adalah Senopati yang mumpuni" desis
Senopati yang terluka itu.
Kawannya mengangguk-angguk. Memang tidak aneh
bahwa kedua anak muda itu memiliki kemampuan yang
mengagumkan, apalagi ditilik umur mereka yang masih
muda. karena keduanya adalah adik dari seorang Senopati
yang memiliki kemampuan yang jarang ada bandingnya.
Dalam pada itu. Pangeran Singa Narpada ternyata, tetap
berada di banjar. Ketika matahari kemudian terbit, maka
banjar itu telah disibukkan oleh orang-orang Talang Amba
dan para prajurit yang menyelenggarakan dua orang yang
terbunuh oleh Mahisa Murti. Dua orang yang telah
mencoba membebaskan Pangeran Lembu Sabdata, namun
gagal. Sementara itu, Pangeran Lembu Sabdata yang telah
terbangun dari tidurnya, sempat pula mengingat-ingat apa
yang telah terjadi. Perasaan kecewa kembali menerpa
jantungnya. Percobaan untuk membunuhnya benar-benar
telah membuatnya menilai kembali segala sesuatu yang
telah dilakukannya. Tetapi agaknya Pangeran Lembu Sabdata itu masih
dicengkam oleh kebimbangan, la masih belum pasti, apakah
yang mengambil keputusan untuk membunuhnya itu
hanyalah kedua orang itu, atau mereka memang sudah
mendapat pesan unntuk berbuat demikian.
Namun dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada tidak
tergesa-gesa memanggilnya dan memberikan beberapa
pertanyaan. Ternyata bahwa Pangeran yang mempunyai
pengalaman yang luas itu mengerti, apa yang sedang
bergejolak di dalam hati Pangeran Lembu Sabdata.
Ketika Pangeran Singa Narpada menengok Pangeran
Lembu Sabdata di dalam biliknya, maka Pangeran Singa
Narpada melihat beberapa perubahan telah terjadi di dalam
diri Pangerana itu. Meskipun Pangeran Lembu Sabdata
masih belum menunjukkan sikap yang pasti, tetapi nampak
pada dirinya, perubahan-perubahan sikap jiwani yang
mendasar. Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada telah berkata
kepada Ki Sanggarana "Biarlah ia mendapat kesempatan
untuk merenung di hari ini. Peristiwa yang terjadi semalam
agaknya telah membawa satu perubahan di dalam dirinya.
Perubahan sikap terhadap perjuangan yang sedang
dilakukannya. Ki Sanggarana mengangguk-angguk. Iapun mengerti
maksud Pangeran Lembu Sabdata, sehingga karena itu,
maka katanya "Segalanya terserah kepada Pangeran"
"Besok aku akan berbicara dengan adimas Pangeran
Lembu Sabdata. Hari ini aku akan bertanya kepada orangorangnya
yang tertangkap, apakah mereka mengenal kedua
orang yang terbunuh itu. Menilik senjata yang
dipergunakannya, agaknya keduanya memang mempunyai
hubungan dengan Ki Sarpa Kuning menurut keterangan
yang aku dengar" Sebenarnyalah pada hari itu Pangeran Singa Narpada
sama sekali tidak menemui lagi Pangeran Lembu Sabdata di
dalam biliknya. Namun karena pintu bilik Pangeran Lembu
Sabdata sedang diperbaiki, maka untuk sementara Pangeran
Lembu Sabdata ditempatkan di bilik yang lain dengan
pengawalan yang lebih kuat.
Sementara itu, para pemimpin dari Singasari dan Kediri
iyang dipimpin oleh Pangeran Singa Narpada itu telah
melanjutkan usaha mereka untuk mengetahui lebih banyak
lagi tentang usaha beberapa orang di Kediri untuk
menghancurkan Singasari. Dengan sungguh-sungguh
mereka berusaha untuk mengetahui siapa saja yang telah
terlibat di dalam usaha itu.
Tetapi tidak banyak yang mereka dapat dari orang-orang
yang hanya tahu mengangkat senjata dan menjalankan
perintah. Sebagian besar dari mereka sama sekali tidak
tahu, untuk apa mereka berbuat.
Namun para pemimpin itu mendapatkan beberapa
keterangan, kelompok dan padepokan mana saja yang
terlibat dalam kegiatan yang dilakukan oleh orang
bangsawan di Kediri. Sementara itu, Pangeran Singa Narpada sendiri berusaha
untuk mengetahui, apakah ada diantara orang-orang itu
yang mengenal dua orang yang berusaha membebaskan
Pangeran Lembu Sabdata. Orang-orang yang dianggap
mengetahui beberapa hal tentang kegiatan mereka, telah
diberi kesempatan untuk mengenali wajah kedua orang
yang terbunuh itu sebelum keduanya dikuburkan. Namun
tidak seorangpun yang mengenali keduanya.
"Jika ada yang mengenalnya, maka mereka tentu
berusaha untuk mengingkari" desis Ki Waruju.
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk.
"Memang sulit untuk memancing pengakuan dari orangorang
itu. Tidak akan mudah dibedakan antara mereka
yang memang benar-benar tidak mengetahui persoalan yang
dihadapi, dengan mereka yang berpura-pura tidak tahu,
atau dengan sadar memang menyimpan rahasia yang
sebenarnya diketahuinya. Namun dalam pada itu, Mahisa Murtipun kemudian
berkata kepada Pangeran Singa Narpada "Pangeran, aku
berusaha untuk mengetahui, apakah ada hubungan antara
kedua orang itu dengan Ki Sarpa Kuning. Namun
nampaknya kedua orang itu tidak begitu tertarik mendengar
nama Ki Sarpa Kuning. Bahkan agaknya keduanya dibatasi
oleh jarak tertentu, meskipun keduanya jalas telah
mengenai nama itu" Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya
kemudian "Memang ada banyak kemungkinan. Sikapnya
itu dapat juga menjadi cara untuk mengingkari hubungan
mereka dengan Ki Sarpa Kuning, mengingat jenis senjata
mereka yang sama" "Tetapi apakah Pangeran dapat mengatakan, bahwa
jenis ular yang dipergunakan juga sama" Ki Sarpa Kuning
lebih banyak dipergunakan jenis ular hitam yang sangat
berbisa. Tetapi agaknya kedua orang itutidak. Mereka
mempergunakan jenis ular lain dan lebih kecil meskipun
ternyata bisanya tidak kalah tajamnya"
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Namun
kemudiania menggeleng "Aku memang tidak
mengerti" "Di Talang Amba ada seorang murid Ki Sarpa Kuning
yang dengan sadar telah menempuh jalan kembali. Tetapi
ternyata orang itu juga tidak mengenal kedua orang yang
terbunuh itu" berkata Mahisa Pukat.
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya
"Baiklah. Kita memang tidak segera dapat melihat
lingkungan mereka masing-masing. Tetapi kita tidak boleh
berhenti berusaha" "Harapan terakhir ada pada Pangeran Lembu Sabdata"
berkata Ki Waruju. "Tetapi apakah Pangeran Lembu Sabdata akan bersedia
mengungkapkan satu rahasia, itulah yang masih menjadi
pertanyaan" desis Ki Sanggarana.
"Semuanya memang harus dijajagi. Aku akan
mencobaanya besok" sahut Pangeran Singa Narpada.
Namun dalam pada itu, kegagalan dua orang yang ingin
membebaskan Pangeran Lembu Sabdata dan yang
kemudian berusaha untuk membunuhnya, telah tersebar
dari mulut ke mulut. Para prajurit dan orang-orang Talang
Amba yang berada di banjar telah menceriterakan hal itu
kepada orang-orang yang mereka kenal yang kemudian
menularkannya kepada kawan- kawan mereka, sehingga
dengan demikian, maka di pasaran hal itu telah menjadi
pembicaraan yang ramai. Seorang berwajah pucat, bertubuh tinggi, duduk di
sebuah kedai sambil menghirup minuman panas. Mulutnya
sibuk mengunyah makanan disela-sela minumannya yang
meluncur menghangatkan tubuhnya.
Sekali-kali keningnya berkerut ketika ia mendengar
orang-orang lain di kedai berceritera pula tentang usaha dua
orang untuk membebaskan Pangeran Lembu Sabdata yang
ditawan di banjar Padukuhan Induk Kabuyutan Talang
Amba. Sambil mengunyah segumpal jenang alot, orang itu tibatiba
saja bertanya kepada orang yang duduk disebelahnya.
"Siapakah dua orang yang kalian ceriterakan itu?"
Orang yang duduk disebelahnya berpaling. Kemudian
dengan dahi yang berkerut ia menjawab "Tidak ada orang
yang tahu. Keduanya mati sebelum sempat menjawab
pertanyaan-pertanyaan"
Orang berwajah pucat itu tidak menghiraukan lagi
percakapan orang-orang di dalam kedai itu. Setelah
mendengar dari beberapa orang, maka iapun yakin, bahwa
dua orang itu memang mati sebelum mengatakan sesuatu.
Tanpa memberikan kesan apapun juga yang
mencurigakan, maka orang berwajah pucat itupun
kemudian meninggalkan kedai itu setelah membayar
makanan dan minumannya. Perlahan-lahan ia berjalan
tanpa menarik perhatian. Dibawah sebatang pohon Nagasari yang tumbuh di
pinggir jalan orang itu berhenti sejenak. Diamatinya kedai
yang sudah jauh ditinggalkannya.
Dalam pada itu, seorang yang lain melangkah
mendekatinya. Orang itupun berhenti pula di bawah pohon
Nagasari itu. Sementara orang yang berwajah pucat itu
bertanya "Apa yang kau dengar tentang kedua orang itu?"
"Keduanya telah mati" jawab orang yang baru datang,
orang yang bertubuh sedang dan berambut keriting.
Orang yang berwajah pucat menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Keduanya sudah berusaha dengan sebaikbaiknya.
Tetapi ternyata diantara orang-orang Talang
Amba dan prajurit Singasari yang ada di banjar mampu
melawan sirep, sehingga keduanya justru telah terjebak"
"Ya" sahut kawannya "bahkan seorang diantara
keduanya telah berhasil mengambil langkah berikutnya
ketika keduanya merasa usahanya untuk membebaskan
Pangeran Lembu Sabdata gagal"
"Ya. Ularnya telah mematuk Pangeran itu. Tetapi justru
orang Talang Amba telah menyelamatkannya" jawab yang
lain. "Itulah yang mencemaskan. Bukankah dengan demikian
Pangeran itu akan merasa diselamatkan dan berhutang
budi" Jika dalam keadaan yang demikian ia kehilangan
kesetiaannya kepada Pangeran Kuda Permati, maka semua
rahasia akan tumpah lewat mulutnya. Padahal menurut
Pangeran Kuda Permati, Pangeran Lembu Sabdata
mengetahui cukup banyak tentang rencana yang sudah
tersusun" berkata orang yang berambut keriting.
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya
"Apa yang dapat kita lakukan dalam keadaan seperti ini.
Sirep agaknya sudah tidak akan berarti apa-apa lagi.
Nampaknya racun ularpun tidak berhasil menyelesaikan
tugas-tugas berat sebagaimana harus dilakukan, karena
orang-orang Talang Amba dan prajurit Singasari di Talang
Amba mempunyai peanangkal racun yang kuat. Sementara


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, Pangeran Singa Narpada akan dapat berbuat jauh lebih
kasar dari yang kita duga, meskipun ia menghadapi adiknya
sendiri, Pangeran Lembu Sabdata. Bahkan seandainya
kesetiaan Pangeran Lembu Sabdata tetap utuh, apakah ia
akan dapat bertahan menghadapi Pangeran Singa
Narpada?" Orang yang berambut keriting itu termangu-mangu.
Namun sambil menggeleng ia berkata "Tidak ada jalan lain
yang dapat kita tempuh. Mungkin kita akan dapat
memanjat atap dan melontarkan beberapa ekor ular dari
atap. Tetapi gigitan ular itu akan segera kehilangan arti,
karena Pangeran Lembu Sabdata akan segera memanggil
orang-orang Talang Amba yang akan dapat memudarkan
kemampuan racun bisa ular itu"
Orang yang berwajah pucat itupun mengangguk-angguk.
Kemudian katanya "Memang tidak ada jalan yang dapat
kita tempuh. Kita tidak perlu membunuh diri dengan
melakukan langkah-langkah yang tidak berarti. Sebaiknya
kita kembali ke Kediri dan membuat laporan selengkapnya
apa yang telah terjadi sebelum Pangeran Singa Narpada
menempuh jalan yang lebih keras di Kediri sendiri
menghadapi Pangeran Kuda Permati. Meskipun belum
tentu jika Pangeran Singa Narpada akan dapat
mengalahkan Pangeran Kuda Permati dengan pengikutnya
yang sudah mulai berkembang"
"Pangeran Kuda Permati yakin, bahwa perjuangannya
tentu akan berhasil. Pada satu saat, Kediri tentu akan
berhasil melepaskan diri dari Singasari dan bahkan akan
dapat menekan Singasari untuk menjadi Pakuwon
sebagaimana sebelumnya. Pakuwon Tumapel" desis orang
berambut keriting itu. Kawannya mengangguk-angguk. Kemudian katanya
"Jika demikian, marilah. Kita kembali ke Kediri. Kita
melaporkan apa yang telah terjadi"
"Tetapi kita masih belum dapat memastikan, apa yang
akan dilakukan oleh Pangeran Lembu Sabdata. Mungkin ia
akan tetap dalam kesetiaannya. Tidak satu katapun yang
diucapkan akan mengungkapkan rahasia Pangeran Kuda
Permati" berkata orang berambut keriting itu.
"Apapun yang dikatakan, kita akan melaporkannya
kepada Pangeran Kuda Permati" jawab orang berwajah
pucat itu. Dengan demikian, maka merekapun segera mengambil
kesimpulan untuk meninggalkan daerah Talang Amba,
kembali ke Kediri. Mereka sekali lagi harus melaporkan
kegagalan, sebagaimana pernah terjadi sebelumnya.
Kegagalan demi kegagalan.
Dalam pada itu, dihari berikutnya, ternyata Pangeran
Singa Narpada telah siap untuk berbicara dengan Pangeran
Lembu Sabdata. Karena itu, maka Pangeran Singa
Narpadapun telah minta kesempatan untuk menemui
Pangeran itu di dalam biliknya yang sudah diperbaiki.
"Aku minta seorang saksi" berkata Pangeran Singa
Narpada "maksudku di samping seorang petugas dari
Singasari, juga salah seorang yang akan ditunjuk oleh Ki
Sanggarana, pemangku Buyut di Kabuyutan Talang Amba"
Ki Sanggarana ternyata tidak menemukan orang Talang
Amba sendiri yang pantas untuk menyertai Pangeran Singa
Narpada. Karena itu, maka iapun telah minta kepada Ki
Waruju untuk mewakili orang-orang Talang Amba, ikut
bersama Pangeran Singa Narpada berbicara dengan
Pangeran Lembu Sabdata. "Marilah" berkata Pangeran Singa Narpada "Aku kira
adimas Lembu Sabdata telah mendapatkan sedikit
ketenangan, sementara luka-lukanya agaknya sudah tidak
mengganggunya lagi" Ketika seorang pengawal memberitahukan kepada
Pangeran Lembu Sabdata, bahwa beberapa orang akan
datang ke biliknya, maka wajah Pangeran Lembu
Sabdatapun menjadi tegang. Tetapi ia tidak menjawabnya
sama sekali. Dibiarkannya pengawal itu berbicara,
kemudian melangkah keluar dari dalam biliknya.
Sejenak kemudian, maka seperti yang dikatakan oleh
pengawal itu, bahwa Pangeran Singa Narpada dengan
seorang pemimpin pemerintahan dari Singasari dengan
diikuti oleh Ki Waruju telah memasuki bilik itu.
"Selamat pagi adimas" desis Pangeran Singa Narpada.
Pangeran Lembu Sabdata memandanginya sejenak.
Kemudian iapun beringsut menepi. Nampaknya Pangeran
Lembu Sabdata telah memberikan tempat kepada ketiga
orang yang memasuki bilik itu untuk duduk di
pembaringannya, sebuah amben yang memang agak besar.
Pangeran Singa Narpada dan kedua orang yang
menyertakan itulah telah duduk di amben itu. Sementara
itu, Pangeran Lembu Sabdatapun selalu menundukkan
kepalanya. Baru sejenak kemudian Pangeran Singa Narpada itupun
berkata "Adimas Pangeran. Agaknya adimas sudah
menjadi semakin baik, sementara itu, aku sudah terlalu
lama berada di Kabuyutan ini. Sebenarnya aku hanya ingin
bermalam selama-lamanya satu malam saja ketika aku
berangkat dari Kediri. Tetapi ternyata aku harus
memperpanjang perjalanan ini"
Pangeran Lembu Sabdata tidak menjawab. Tetapi
kepalanya masih saja menunduk dalam-dalam.
"Nah, adimas. Aku minta adimas dapat membantu aku
untuk mempercepat tugasku" berkata Pangeran Singa
Narpada. Ternyata kata-kata yang lembut itu justru membuat kulit
Pangeran Lembu Sabdata meremang. Kata-kata pengantar
yang ramah dan akrab dari Pangeran Singa Narpada itu
merupakan ancang-ancang saja dari sikapnya yang keras.
Pangeran Lembu Sabdata sudah mengenal sifat dan
watak Pangeran Singa Narpada. Pangeran itu- tidak akan
memilih sasaran. Jika ia menjadi marah, maka kadangkadang
ia tidak lagi mampu mengendalikan dirinya lagi-
Kesempatan yang diberikan kepada Pangeran Lembu
Sabdata untuk merenungi keadaannya, memang telah
merubah sikapnya. Jika pada hari-hari pertama, ia seakanakan
tidak gentar menghadapi kekerasan jiwa Pangeran
Singa Narpada, bahkan rasa-rasanya ia akan bertahan dan
tidak akan mengucapkan satu katapun yang bersifat rahasia
demi kesetiaannya kepada Pangeran Kuda Permati dan
beberapa orang Pangeran yang lain, meskipun kulitnya
akan dikelupas sekalipun, namun perlahan-lahan telah
berubah sama sekali. Apalagi ketika orang-orang Talang
Amba telah berusaha menolong jiwanya ketika bisa ular
yang tajam hampir saja merenggut jiwanya
"Kenapa aku tidak dibiarkannya mati" gumam Pangeran
Lembu Sabdata itu setiap kali.
Meskipun Pangeran Lembu Sabdata sadar, bahwa usaha
orang-orang Talang Amba dan Singasari menolongnya
tentu didorong oleh kepentingan mereka untuk
mendapatkan rahasia yang diketahuinya, namun
kekecewaan yang tidak terkirakan telah mencengkam
jantungnya atas langkah yang telah diambil oleh orangorang
yang berusaha menolongnya.
Pangeran Lembu Sabdata yang merenungi keadaannya,
telah mengambil satu kesimpulan, bahwa kedua orang itu
tentu telah mendapat perintah. Jika mereka gagal
melepaskan Pangeran Lembu Sabdata,. maka mereka justru
harus membunuhnya saja. Dengan demikian, maka Pangeran Lembu Sabdata dapat
mengambil satu kesimpulan, jika seseorang sudah tidak
diperlukan lagi, bahkan dianggap akan dapat
mengungkapkan rahasia yang tersimpan di dalam dirinya,
maka orang itu harus dibunuh.
Pangeran Lembu Sabdata menjadi sangat kecewa akan
sikap itu. Karena itu, maka setelah merenungi keadaannya,
maka ia telah memutuskan untuk tidak membiarkan dirinya
mengalami kesulitan mengahadapi Pangeran Singa
Narpada. "Jika kakangmas Pangeran Kuda Permati sampai hati
mengambil satu keputusan untuk membunuhnya, maka
akupun sampai hati pula mengungkapnya segala
rahasianya" berkata PangeranLembu Sabdata di dalam
hatinya. Sebenarnyalah jika Pangeran Kuda Permati tetap
Komplotan Pemuja Vodoo 1 Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy Rencana Manusia Terkutuk 1
^