Komplotan Pemuja Vodoo 1
Hardy Boys Komplotan Pemuja Vodoo Bagian 1
Franklin W. Dixon Hardy Boys - Komplotan Pemuja Voodoo Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net Judul Asli THE VOODOO PLOT Oleh Franklin W. Dixon Terjemahan oleh Prodjosoegito
Copyright 1982 oleh Stratemeyer Syndicate
" Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Diterbitkan pertamakah dalam bahasa
Inggris oleh Wanderer Books dari Simon & Schuster Divisi dari Gulf & Western
Corporation Simon & Schuster Building 1230 Avenue of the Americas New York, New York 10020
Diterbitkan pertamakah dalam bahasa Indonesia oleh PT. INDIRA, Jalan Sam
Ratulangi 37 Anggota IKAPI Jakarta -1985 Cetakan I : Januari 1985 Dicetak oleh PT Midas Surya
Grafindo, Jakarta Daftar Isi 1. Pengintaian ... 1 2. Jangan Injak Aku ... 12
3. Karnaval ... 26 4. Petunjuk Minyak Ular ... 37
5. Pemburuan Ular ... 53 6. Ancaman Bisa ... 63 7. Upacara yang Menakutkan ... 73
8. Tersesat di Rawa ... 83
9. Pencarian dari Udara ... 98
10. Kalap ... 109 11. Petunjuk Tukang Sihir ... 120
12. Voodoo ... 130 13. Kesulitan Beruntun ... 143
14. Nyanyian Sandi ... 152
15. Raja Datang ... 161 16. Piknik yang Aneh ... 171
17. Bernasib Baik ... 179
18. Pesta Dansa Bertopeng ... 190
19. Pergumulan di Loteng ... 199
1. Pengintaian Frank dan Joe Hardy berdiri di pintu kamar kerja ayah mereka. Mereka baru pulang
dari latihan bola basket di lapangan basket tak jauh dari rumah mereka. Kedua
pemuda itu masih mengenakan pakaian latihan ketika mendengar nama mereka
dipanggil. Joe yang berambut pirang dan setahun lebih muda dari Frank, kakaknya,
membawa bola di bawah lengannya.
Di dalam kamar kerja, Fenton Hardy duduk di belakang meja, sedang membalik-balik
setumpuk kertas. Seorang lagi duduk di depannya.
"Halo, Ayah," kata Frank untuk menarik perhatiannya. "Ada apa ayah memanggil
kami?" Pak Hardy mendongak dan mengangguk ke arah tamunya. "Anak-anak, inilah Pak Durby
McPhee," ia memperkenalkan tamunya yang jangkung berambut merah. "Ia memiliki
ruang pameran seni dan toko barang antik di kota."
"Ah, ya. Kami tahu tempat itu," kata Frank. "McPhee's Antiques di Baker Street.
Bibi Ger-trude senang sekali ke sana dan berkeliling melihat-lihat."
Pak McPhee berdiri dan mengulurkan tangannya yang bertulang menonjol dan pucat
kepada Frank dan Joe. "Kudengar kalian mengikuti jejak ayahmu, dan telah menjadi
detektif yang baik," katanya sambil berjabat tangan. "Karena itulah aku kemari.
Aku ingin mempekerjakan kalian malam ini."
"Apa yang akan kami lakukan?" tanya Joe.
"Mengawasi ruang pameranku. Aku sedang menyuruh memasang alat tanda bahaya,
tetapi belum akan selesai sampai besok. Apakah kalian telah mendengar tentang
pencurian-pencurian di tempat-tempat pameran seni di seluruh negeri?"
"Ya," jawab Frank. "Kami tahu. Ayah sedang mulai bekerja untuk perkara itu."
"Betul," kata McPhee. "Pak Kepala Polisi Collig mengatakan demikian kepadaku
pagi tadi. Sudah terjadi banyak kesulitan di beberapa negara bagian. Yang mungkin belum
kalian ketahui ialah, bahwa Art Deco Gallery di Lewiston telah kecurian tadi malam. Lebih dari lima
puluh ribu dollar telah tercuri, berupa barang perak dan lukisan-lukisan. Art
Deco satu-satunya toko barang antik dalam jarak sepuluh kilometer dari sini. Aku
menjadi khawatir, jangan-jangan tempatku akan mendapat giliran yang berikut."
"Aku dapat memahami," kata Frank.
"Lebih-lebih lagi," McPhee meneruskan, "aku telah melihat orang aneh berkeliaran
di sekitar tempatku beberapa hari yang terakhir ini."
"Orang aneh?" tanya Frank.
"Ya. Ia memakai topi bersudut tiga."
"Topi bersudut tiga?" seru Joe. "Topi macam itu sudah ketinggalan mode beberapa
ratus tahun yang lalu!"
McPhee mengangkat kedua tangannya. "Aku tahu bahwa ini kedengarannya sinting,
tetapi itulah yang kulihat."
"Anda menduga orang itu sedang menyelidiki toko anda?" tanya Frank yang berumur
delapan belas dan berambut hitam.
Orang itu hanya mengangkat bahu. "Bisa jadi, bukan?"
"Kukira, orang yang sedang menyelidik mencari sasaran pencurian tak akan
berpakaian menyolok," kata Joe.
Sekali lagi McPhee mengangkat bahu. "Ba-
rangkali orang itu memang sinting. Tetapi yang kutahu, aku khawatir, dan aku
akan merasa lebih enak kalau mempunyai beberapa penjaga. Orang-orang yang
memasang tanda bahaya berjanji bahwa alat-alat itu akan bisa bekerja besok,
tetapi aku perkirakan baru akan selesai dalam beberapa hari lagi."
Joe menyeringai. "Sebenarnya kami sudah berkencan akan menonton karnaval di
Bayport Meadows besok malam."
"Dapatkah ditunda pembelian karcisnya?"
"Ya, kukira begitu, kalau perlu."
"Baik. Bagaimana pun mungkin hanya untuk nanti malam. Kalian terima tugas itu?"
"Dengan senang," kata Frank. "Kami ada ujian besok, tetapi sambil mengawasi,
kami dapat saling menguji pelajaran di mobil, ya Joe?"
Joe mengangguk. "Hanya ujian pertengahan semester," ia menjelaskan. "Sesudah
besok pagi dan pertandingan bola basket pada siang harinya, kami mendapat
liburan musim semi. Saat itu kami akan punya banyak waktu untuk membantu ayah
dalam perkara itu." Fenton Hardy, yang pernah pula menjadi bintang lapangan bola basket ketika masih
di SMA, bersinar-sinar wajahnya, bangga atas kedua anaknya. "Anak-anakku terlalu
merendah," katanya kepada McPhee. "Pertandingan besok itu adalah untuk kejuaraan wilayah."
"Aku jadi terkesan!" McPhee berkata sambil tersenyum. "Barangkali aku akan
menonton mereka memenangkan pertandingan."
"Kembali kepada masalah Anda," Frank mengalihkan pembicaraan. "Apakah Anda sudah
memberitahu polisi?"
McPhee menggeleng. "Mereka tak akan banyak membantu kalau apa yang kumiliki
hanya rasa curiga. Tentu, aku dapat meminta mobil patroli lebih sering mengamati
tempatku, tetapi itu belum cukup. Aku merasa lebih aman kalau kalian yang
mengawasi tokoku. Nah, semua pencurian itu tak pernah terjadi sesudah tengah
malam. Jadi, katakanlah, kalian dapat pulang sesudah jam setengah satu."
Frank berpaling kepada ayahnya. "Apakah itu tidak aneh, Ayah" Maksudku, faktor
waktu itu?" "Sebenarnya tidak," jawab detektif terkenal itu. Ia telah mendapatkan banyak
pengalaman ketika masih berdinas di Dinas Kepolisisn Kota New York. "Harap
kalian ketahui, setelah lalu-lintas menurun dan jalan-jalan menjadi sepi, para
pencuri akan lebih menarik perhatian polisi patroli. Rupa-rupanya orang-orang
ini lebih menyukai beroperasi dekat setelah matahari silam, tetapi jalan-jalan
masih ramai. Karena mereka juga mencuri perabotan antik maupun lukisan-lukisan,
di samping barang-barang perak dan permata, mereka harus menggunakan truk. Itu
dapat dilakukan tanpa menarik perhatian bila jalan-jalan masih ramai."
McPhee minta diri sebentar ke kamar kecil, sementara Pak Hardy membicarakan
tempat yang paling baik untuk bersembunyi bagi kedua anak-anaknya. Tak lama
kemudian, pak Hardy mengantarkan pedagang barang antik itu ke pintu, dan
berjanji bahwa anak-anaknya akan segera melakukan tugas setelah makan malam.
Setelah mandi dan makan, Frank dan Joe mengambil buku dan naik ke mobil sport
kuning mereka. Senja sedang merembang petang ketika mereka tiba di bagian yang
ramai dari kota Bay-port, di mana toko dan ruang pameran McPhee berada.
Mereka memarkir mobil mereka di seberang tempat tersebut, di depan sebuah rumah
makan pelayanan cepat, agar mobil mereka tidak akan menarik perhatian para calon
pencuri. "Bagaimana kalau ke belakang tempat itu?" tanya Joe kepada kakaknya. "Aku merasa
pasti, bahwa pencuri tak akan memuat barang-barang curiannya melalui pintu
depan." "Itu betul," jawab Frank. "Mereka akan menyediakan truk di bagian belakang
tempati parkir. Aku akan ke sana sekarang, hendak melihat apakah ada orang di
sana. Kalau tidak, kita masih dapat melihat mereka membawanya masuk. Mereka
harus melalui jalan masuk yang ada di sebelah kiri itu. Tak ada jalan lain ke
tempat parkir." Ia turun dari mobil dan berjalan seenaknya menyeberangi jalan. Ia mengamati toko
itu dengan teliti, yakin tidak ada orang yang mencurigakan. Kemudian ia kembali
kepada Joe, dan mereka saling memberikan soal-soal pelajaran untuk ujian esok
hari. Sementara itu, mereka tetap mengawasi toko barang antik.
Setelah satu jam, mereka beristirahat. Joe masuk ke rumah makan, membeli air
soda. Setelah keluar lagi, ia melanjutkan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada
kakaknya. Dengan sebuah senter kecil ia membaca buku, sementara kakaknya menjawab sambil
tetap memasang mata ke toko.
"Disebut apakah prajurit-prajurit revolusioner yang siap meninggalkan rumah
tangganya untuk bertempur bila Paul Revere telah memberikan isyarat," tanya Joe.
"Pasukan Minuteman," jawab Frank dengan benar.
"Kapan James Oglethorpe mengantarkan
kaum pelarian dari penjara-penjara Inggris ke Georgia?"
"Tujuh belas tiga puluh tiga."
"Bagus," kata Joe. "Sekarang, sungai apakah yang diseberangi George
Washington..." "Padamkan sentermu!" bisik Frank sambil memegangi lengan adiknya. "Aku melihat
seseorang." Joe memadamkan senternya dan mengawasi jalan yang gelap. Tiba-tiba seseorang
berlari-lari masuk ke jalan halaman toko, di pundaknya tersandang sebuah karung.
"Mari kita tangkap!" seru Joe.
"Betul." Kedua pemuda itu melompat turun dari mobil dan berlari ke tempat parkir. Tetapi
ketika tiba di sana, orang itu tak nampak di mana pun.
Frank dan Joe berhenti, tak mengerti. Kemu-dian Joe menunjuk ke pagar tanaman
yang memisahkan tempat parkir toko McPhee dengan tanah orang lain di
belakangnya. "Ia tentu telah mengetahui bahwa kita mengamati dia, lalu melarikan diri!"
katanya. Frank mengangguk. "Ayo terus!"
Mereka menyeruak menerobos pagar tanaman dan berlari mengitari gedung ke sisi
yang lain. Ketika mereka tiba di jalan kembali, tak nampak ada tanda-tanda orang
tersebut! "Ia lolos!" Joe mengeluh.
"Barangkali belum," kata Frank. "Engkau ke kiri, aku akan ke kanan. Kita bertemu
kembali di mobil." Frank bergegas, berharap dapat melihat orang itu di ruas jalan berikutnya.
Tetapi ia tak beruntung. Orang itu tentu telah menyelinap di antara gedung-
gedung, kecuali kalau Joe lebih berhasil menangkap dia, pikir Frank. Dengan
kecewa ia kembali ke mobil.
Beberapa menit kemudian Joe kembali, juga tak berhasil.
Pada saat itu, mereka melihat seorang anggota polisi yang telah mereka kenal.
Polisi itu keluar dari toko McPhee. Mereka berlari menemuinya dengan perasaan
khawatir. "Ada sesuatu yang tak beres, Pak Gills?" tanya Frank.
"Belum pasti. Ketika aku lewat, kulihat pintu setengah terbuka. Aku menelepon
pak McPhee. Ia segera datang."
Frank dan Joe merasakan sesuatu mengganjal di dalam lambungnya. Apakah ada orang
yang telah membongkar masuk ketika mereka sedang mengejar orang yang membawa
karung itu" Pada saat itu McPhee datang. Ia melangkah melewati kedua pemuda dan anggota
polisi itu, lalu berlari masuk ke tokonya. Beberapa saat kemudian ia keluar
lagi, gelisah kebingungan.
"Aku dirampok!" ia berseru. "Sebuah setelan alat makan perak dan tiga lukisan
hilang!" Ia menatap kedua pemuda. "Apa yang telah terjadi?"
"Kami dipancing keluar, Pak," Frank mengakui. Kemudian dengan singkat ia
menceritakan bagaimana mereka mengejar orang yang membawa karung.
"Dan kalian dianggap sebagai detektif-detektif besar!" tukas McPhee. "Itulah,
kalau aku percaya kepada anak-anak!" Ia lari masuk ke toko lagi, menggerutu
marah-marah, kemudian keluar lagi, mengunci pintu, lalu pergi dengan mobilnya.
"Kuncinya tidak dibuka-paksa?" tanya Frank kepada pak polisi.
"Tidak. Pencuri itu menyelinap dari jendela di belakang. Memang agak kecil dan
tinggi. Ia tentu seorang akrobat dari sirkus untuk dapat masuk ke sana. Orangnya tentu
kurus, lagi." Pak Gills menggeleng-gelengkan kepala penuh keheranan, kemudian
berkata: "Dapatkah kalian datang ke kantor besok pada jam tujuh pagi" Kami memerlukan
laporan dari kalian."
"Tentu," Joe berjanji. Polisi itu pergi dan kedua pemuda itu kembali ke mobil
mereka. "Kalau kupikir-pikir, apakah engkau melihat topi apa yang dipakai orang yang
telah menipu kita tadi?" Joe menggumam.
"Bagaimana tak kulihat?" kata Frank. Ia maksudkan, sebuah topi lebar bersudut
tiga. "Tentu orang yang telah dilihat pak McPhee. Tetapi aku tak dapat melihat
wajahnya. Engkau?" "Sama sekali tidak." Pemuda pirang itu menghela napas. "Topinya ditarik ke
bawah. Bagaimana pun, memang terlalu gelap untuk dapat melihat dia dengan jelas."
Frank mengangguk dan membuka pintu mobil. Baru saja ia hendak masuk untuk duduk,
ia terhenyak. Ia melompat mundur, ketika dilihatnya mobilnya penuh ular beludak!
2. Jangan Injak Aku "Tutup pintu!" seru Joe, ketika kakaknya dengan mulut ternganga berdiri saja
memandang ke dalam mobil.
Mobil itu penuh ular-ular beludak! Suara ber-gemeratak yang timbul di ekornya,
menandakan bahwa mereka telah siap untuk memagut. Dua ekor melingkar di tempat
duduk, beberapa ekor lagi menggeliat-geliat di lantai, dan seekor lagi menjulai
di sandaran sebelah sopir.
Frank pulih kembali akalnya dan membanting pintu mobilnya hingga tertutup,
mengurung reptil-reptil berbisa itu di dalam. "Bagaimana mereka dapat masuk?" ia
bertanya tersengal. "Aku yakin, orang bertopi tiga-sudut itulah yang. memasukkan, setelah ia
merampok toko!" Joe menggerutu. "Ia tentu tahu, bahwa ayah sedang menyelidiki
perkara ini. Mungkin ia telah mengawasi rumah kita, lalu mengikuti kita kemari."
"Wah, kita tak dapat pulang dengan mobil yang penuh ular," kata Frank. "Mungkin
ayah dapat menjemput."
Ia masuk ke telepon umum di rumah makan dan menelepon ayahnya, tetapi saluran
rupanya sedang dipakai. Ia lalu mencoba menelepon Chet Morton, teman mereka.
Chet adalah seorang pemuda gemuk, periang, dan telah sering ikut kedua pemuda
itu membongkar misteri. "Kedengarannya engkau telah bertemu dengan orang sinting," kata Chet setelah
mendengar cerita Frank. "Aku akan segera datang."
Frank dan Joe sedang duduk di pinggir jalan dekat mobil mereka, ketika mobil tua
Chet terbatuk-batuk berjalan di Baker Street. Chet segera turun dari mobilnya
dan melihat ular-ular itu.
Hardy Boys Komplotan Pemuja Vodoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar, nampaknya mereka ganas-ganas," katanya meniru lafal orang gunung.
"Kalian anak-anak muda harus lebih hati-hati lagi di sekitar sini. Bukit-bukit
itu penuh dengan ular yang ingin membonceng ikut ke kota!" Frank tertawa. "Dan
perutmu penuh dengan angin! Tetapi memang ada satu yang benar. Kalau ada
seseorang yang hendak mencuri mobil kami malam ini, ia akan menghadapi kejutan
yang tak menyenangkan."
Ketiga pemuda itu naik ke mobil Chet dan segera menuju ke rumah keluarga Hardy.
Ketika ayah mereka membukakan pintu, mereka dapat mejihat dari wajahnya, bahwa
ia pun telah mengetahui apa yang telah terjadi.
"McPhee menelepon dan menceritakannya kepadaku," kata ayahnya. "Ia sangat
bingung. Aku ingin mendengar pengalamanmu."
"Kami terpancing mengejar orang bertopi tiga sudut dan membawa karung, sementara
toko dirampok," kata Frank. "Dan sebagai puncaknya, kami kira ia telah
meninggalkan peringatan sedikit di mobil kami. Sekarung ular beludak!"
"Apa?" Pak Hardy seperti tak mengerti.
Setelah kedua pemuda itu bercerita selengkapnya, detektif itu menggeleng-
gelengkan kepalanya. "Ya, rupa-rupanya orang bertopi tiga sudut itu memang ada
hubungannya dengan pencurian-pencurian. Aku akan memeriksanya dari perkara-
perkara yang lain, barangkali orang itu juga terlihat di sana. Seperti yang
telah kalian ketahui, aku baru saja memulainya, dan aku belum sempat memeriksa
seluruh berkas-berkasnya."
"Apa yang ingin kami ketahui," kata Joe
dengan bersuara keras, "dari mana ular-ular sebanyak itu. Suatu cara yang luar
biasa untuk menyingkirkan kita. Yang jelas, orang tak mungkin dapat memperoleh
ular sebanyak itu di toko binatang peliharaan. Aku belum pernah melihatnya di
daerah ini, kecuali di kebun binatang."
"Ke sanalah kita besok pergi, begitu selesai dengan ujian," kata Frank. "Bukan
saja kita harus mengetahui asal tempat ular-ular itu, tetapi juga meminta orang
yang dapat mengambil ular-ular itu dari mobil kita."
Frank, Joe dan Chet memperbincangkan misteri itu sejenak lagi, kemudian teman
mereka pulang. Kedua pemuda detektif itu lalu tidur. Mereka terbangun esok
harinya pagi-pagi, mendengar teriakan wanita dari lantai bawah.
Bibi Gertrude, bibi kedua pemuda yang tinggal bersama mereka, sedang berbicara
keras dengan nada marah. Ia memang sering keras terhadap Frank dan Joe, meskipun
jauh di dalam lubuk hatinya sangat menyayangi dan mengagumi kepandaian kedua
kemenakannya dalam penyelidikan. Tetapi pagi itu kata-katanya ditujukan kepada
orang lain. Kedua pemuda itu berlompatan menuruni tangga, ingin tahu apa
masalahnya. "Tetapi harus ada, entah di mana!" bibi menggerutu ketika kedua pemuda itu
memasuki dapur. Wanita yang jangkung itu berdiri sambil
bertolak pinggang, memandangi pak Hardy yang sedang duduk di kursi, wajahnya
tersembunyi di balik suratkabar. "Engkau sebaiknya menemukannya!"
"Selamat pagi!" pak Hardy menyalami anak-anaknya. Ia merasa lega anak-anaknya
ada di sana. "Rupa-rupanya kita pun mengalami suatu misteri. Aku dituduh salah
meletakkan kaos kakiku." Pak Hardy mengedipkan matanya kepada kedua anaknya,
sambil tersenyum sedikit dari balik korannya, sedemikian hingga adiknya, bibi
Gertrude, tidak melihatnya.
"Ihhh," seru Bibi Gertrude. "Ayahmu itu, detektif besar, sepasang kaos kakinya
saja hilang! Katanya, ia telah mencarinya di mana-mana, dan tak ketemu, lagi!
Kukira kaos kaki itu sudah bangkit lalu berjalan sendiri dan pergi!"
Frank dan Joe harus berjuang keras untuk menahan senyum mereka, berpura-pura
serius. "Kami akan mencarinya, Bibi," janji Frank. Sementara Bibi menyediakan telur
dadar, mereka berdua menggeledah seluruh rumah. Mereka memeriksa di bawah almari
pakaian ayah mereka, di keranjang cucian dan di belakang mesin cuci. Tetapi
sampai saat bibi mereka memanggil agar kembali ke dapur, mereka belum juga
menemukannya. Setelah sarapan, kedua kakak beradik itu
mengumpulkan buku-buku mereka, mampir ke kantor polisi untuk melaporkan secara
terperinci kejadian-kejadian tadi malam. Kemudian mereka pergi ke sekolah. Ujian
mereka selesai menjelang siang, dan keduanya merasa membuat ujian dengan baik.
Namun mereka gelisah, karena teman sekelas Joe, Peter Walker, bintang dari regu
bola basket mereka tidak datang ke sekolah pagi itu.
"Kuharap saja ia tidak sakit," kata Joe ketika mereka meninggalkan gedung
sekolah. "Semoga," kakaknya menyetujui. "Kita tak akan menang dalam kejuaraan ini tanpa
Peter." "He, Bung!" seru Chet sambil berlari menuruni undakan depan untuk mengejar
teman-temannya. "Bagaimana ujian kalian?"
Frank dan Joe selalu mendapatkan nilai "A" di SMA Bayport, tetapi Chet rata-rata
"B" dan "C". Ia anak yang cerdas, tetapi agak malas belajar.
"Bagus," jawab Frank. Ia berhenti membiarkan temannya menyusul. "Kau bagaimana?"
Chet mengernyit. "Tak tahu. Kukira oke dengan bagian multiple choice, tetapi
karangannya sulit!" "Ah, sekarang sudah lewat, jangan risau lagi," Joe menghibur. "Tak mau ikut
dengan kami" Kami akan ke kebun binatang."
Wajah Chet bersinar. "Mencari orang yang dapat mengambil ular-ular itu?" ia
bertanya. "Ya," jawab Frank. "Kami juga ingin mengetahui, dari mana asal mereka."
"Nah, ayolah kita berangkat," kata Chet. "Biar aku yang menyetir."
Ketiga pemuda itu berdesakan di mobil tua Chet, dan beberapa menit kemudian
mereka telah memarkir mobil di luar Kebun Binatang Bayport. Kebun Binatang itu
hanya kecil, tetapi mempunyai bagian reptilia yang bagus. Ahli reptilianya, yang
disebut herpetolog, masih muda dan baru menamatkan kuliahnya. Kulitnya agak
kuning, bermata besar dan rambutnya lebih hitam daripada rambut Frank. Ia
mendengarkan cerita pemuda-pemuda itu.
"Ada orang yang sengaja meletakkan ular-ular itu di mobilmu?" ia bertanya dengan
semakin tertarik. "Benar," jawab Joe. "Seseorang yang bertopi tiga sudut. Kenalkah engkau
seseorang di sekitar sini yang suka mengumpulkan ular, dan memakai topi seperti
itu?" Herpetolog itu menggelengkan kepalanya. "Memang ada beberapa orang yang suka
mengumpulkan ular di daerah Bayport sini, tetapi tak seorang pun dapat
mengumpulkan ular beludak sebanyak itu. Tetapi kami juga mempunyai beberapa ekor
di kebun ini." "Ada yang hilang?" tanya Chet.
"Tidak. Aku telah memeriksanya tadi pagi. Kalau ada yang hilang, aku tentu
mengetahuinya." Herpetolog itu masuk ke bagian belakang dan kembali lagi membawa beberapa karung
dan sebuah tongkat panjang dengan kawat melingkar di ujungnya. Dengan alat-alat
itu mereka bermobil kembali ke Baker Street, di tempat Frank dan Joe
meninggalkan mobil mereka.
Dengan menggunakan tongkat itu, herpetolog itu "menjerat" tubuh ular itu dengn
kawatnya yang melingkar bulat, lalu dimasukkannya ke dalam karung. Ular-ular itu
nampak tak begitu ganas seperti pada malam sebelumnya.
"Mereka telah kedinginan di dalam mobil kalian," ahli reptilia itu menjelaskan.
"Seperti halnya hewan berdarah dingin lainnya, kalau cuaca menjadi dingin,
mereka menjadi lamban."
"Ular beludak jenis apa ini?" tanya Joe.
"Pygmi," kata ahli itu sambil memasukkan ular terakhir ke dalam karung. "Mereka
termasuk kecil dibandingkan dengan yang lain. Mereka juga tidak terlalu berbisa.
Seekor saja tak dapat mengeluarkan racun yang mematikan. Tetapi kalau beberapa
ekor yang menggigit, mungkin ceritanya jadi lain."
Frank menggigil memikirkan pengalamannya dengan ular-ular tersebut. "Apakah
mereka hidup di daerah-daerah sini?" ia bertanya.
Ahli itu menggeleng. "Tidak secara liar. Ular beludak pygmi hanya terdapat di
daerah selatan: Florida, Carolina, Alabama, Georgia dan sebagai-nya."
"Anda juga tak tahu di mana di sekitar Bayport sini ular ini dapat dibeli atau
dicuri?"" tanya Frank.
Orang itu menggeleng lagi. "Aku malah sangsi sekali kalau kau dapat menemukannya
di sini. Tentu ada orang yang mengimportnya."
Setelah ular-ular dengan aman ada di karung, pemuda-pemuda detektif itu
menyelidiki daerah di sekelilingnya, berharap dapat menemukan petunjuk-petunjuk
lagi. "Mungkin inilah karung untuk membawa ular-ular itu," kata Joe beberapa saat
kemudian. Ia datang di jalan halaman tempat yang lain-lain menunggu. Ia membawa sebuah
karung kanvas yang besar. "Aku menemukan ini di tepi jalan sana, digantungkan
pada cabang pohon." "Lihat, ada gambarnya!" seru kakaknya.
Joe menghamparkan karung itu di atas kap mobil mereka. Pada karung itu dicap
gambar yang kasar berupa ular yang melingkar. Di bawahnya ada tulisan: JANGAN
INJAK AKU! "Apa maksudnya ini kira-kira?" seru Chet, memandangi gambar yang aneh itu. "Joe memutar-mutar bola matanya mendengar pertanyaan temannya. "Kalau engkau
belajar sejarah untuk ujian tadi dengan baik, engkau tentu tahu maksudnya. Ini
suatu lambang yang digunakan oleh kaum kolonis Amerika selama Perang Saudara."
"Beberapa kelompok prajurit revolusioner menggunakan gambar ular beludak untuk
panji-panji mereka," Frank menjelaskan. "Ular beludak tidak terdapat di Eropa,
maka kaum kolonial yang mula-mula datang di Amerika menjadi tertarik, karena
mereka membunyikan ekornya sebelum memagut. Di kemudian hari lalu menjadi
lambang bagi ketiga belas koloni, seolah-olah hendak mengatakan: "Kami lebih
senang dibiarkan sendiri, kalau anda tak menghiraukan peringatan kami untuk
menjauh, kami akan menyerang dengan cepat dan tanpa ampun."
"Waduh!" kata Chet. "Kaukira orang yang menaruh ular di mobilmu juga hendak
memberi- " kan peringatan yang begitu?"
"Rupanya begitu," jawab Frank. "Orang bertopi tiga sudut ini rupanya ingin
berlaku sebagai kaum pemberontak sewaktu Revolusi Amerika."
"Barangkali ia menganggap revolusi masih berlangsung," kata Chet melawak. "Dan
ia mencuri dari kaum Tory."
"He! Ada sesuatu di dalam karung!" seru Joe. Ia merasakan ada suatu benda kecil
di sudut karung. Ia merogoh ke dalam dan mengeluarkan sebuah botol kecil. Botol
itu kosong, tetapi masih mengeluarkan bau yang aneh dari bekas isinya.
"Boleh aku mencium baunya?" ahli reptilia itu meminta.
Joe mengulurkan botol itu kepadanya, dan orang itu mencium baunya. "Minyak
ular," katanya sambil mengembalikan botol itu kepada Joe.
"Minyak ular?" Ketiga pemuda itu bertanya, bersama-sama.
"Memang. Tukang-tukang obat sering menjual sewaktu menjajakannya berkeliling.
Katanya dapat menyembuhkan segala macam penyakit, dari bilur sampai sakit
kepala. Sudah tentu sebenarnya tak ada nilai pengobatannya."
"Tetapi itu sudah ketinggalan jaman beberapa tahun yang lalu," kata Frank.
"Untuk apa sekarang orang memerlukannya?"
"Masih ada yang menggunakan pada sirkus-sirkus, yaitu pemain yang sudah tua-
tua," jawab Herpetolog. "Mereka mengira dapat membuat tubuhnya lebih lentuk,
lebih seperti ular, jadi mereka dapat mempertontonkan kepandaian mereka
lebih baik. Engkau mungkin dapat membelinya pada sirkus keliling, yang
menjualnya sebagai barang suvenir."
"Tak ada sirkus di sekitar sini," kata Frank.
"Tidak, tetapi akan ada karnaval!" kata Joe. "Kita juga akan ke sana nanti
malam. Bagaimana kalau kita cari kalau-kalau ada pawang ular" Barangkali kita dapat
memperoleh petunjuk lagi."
"Pikiran yang bagus," kata Frank. "Eh, tetapi sekarang kita harus pulang untuk
main bola basket." Dalam gairah mereka, Joe dan Chet hampir saja lupa akan pertandingan bola basket
sore itu. Mereka sudah harus sampai di sana untuk berganti seragam. Frank dan
Joe termasuk anggota regu, dan Chet bermain drum dalam band sekolahnya, mengisi
waktu-waktu antara permainan.
Chet mengantarkan herpetolog itu kembali ke kebun binatang, sementara Frank dan
Joe langsung menuju ke gedung olahraga sekolah mereka. Ketika mereka tiba,
tempat duduk terbuka sudah mulai terisi penonton. Regu lawan Bayport, yaitu SMA
Hopkinsville, sudah ada di lapangan untuk pemanasan. Suara mendengung penuh
gairah memenuhi udara, menantikan pertandingan kejuaraan tersebut.
"Di mana Peter?" tanya Joe khawatir. Ia melihat ke sekeliling mencari bintang
lapangan tengah mereka yang tadi pagi juga tidak bersekolah.
Frank menyapu lapangan dengan pandangannya, mencari temannya yang berkulit hitam
dan jangkung itu. Tetapi Peter Walker tak ada di antara para pemain. "Ya,
ampuuun!" ia mengeluh. Ia tahu, bahwa Peter jauh lebih baik daripada pemain-
pemain regu mereka, yang menyebabkan regu SMA Bayport mampu sampai bermain di
final. Setelah selesai melakukan pemanasan, para pemuda itu duduk kembali di bangku
bersama yang lain. Semua merasa gelisah akibat tidak hadirnya Peter. Di antara
penonton di tempat terbuka, terdapat keluarga Hardy dan pacar-pacar kedua
pemuda, Callie Shaw dan Iola Morton. Gadis-gadis itu meniupkan ciuman mereka
kepada Frank dan Joe, yang membalasnya dengan melambai.
Sorak-sorai bergemuruh ketika para pemain meninggalkan bangku mereka dan
mengambil tempat di lapangan. Frank harus bermain tengah menggantikan Peter yang
belum juga datang. Wasit melemparkan bola ke atas, dan pertandingan dimulai!
3. Karnaval Frank melompat setinggi mungkin untuk meraih bola, tetapi pemain tengah lawan
lebih tinggi jangkauannya hampir tiga puluh senti. Ia mengoperkan bola jauh ke
depan, dan dalam beberapa detik saja Hopkinsville mendapat angka dua.
Pada akhir babak pertama, angka skor membuat para pendukung Bayport menjadi
khawatir dan diam. Namun tempat duduk di seberang penuh suara-suara sorakan dan
tepuk-tangan. Bayport kalah dari Hopkinsville dengan angka dua puluh empat melawan enam belas!
Frank, Joe dan pemain-pemain Bayport lainnya kembali ke bangku mereka dengan
muram. Tanpa Peter, mereka bukan tandingan bagi Hopkinsville.
Selama istirahat, para pemain band Bayport berbaris ke lapangan. Chet memimpin
di depan, berpakaian seragam band berwarna merah, membawa drum besar dengan nama
sekolah tertulis dengan huruf-huruf emas. Semangat Frank dan Joe agak terangkat
melihat temannya dengan bangga memukul drumnya memberikan irama lagu sekolah
mereka sambil berbaris di tempat. Setidak-tidaknya, pikir mereka, masih ada yang
menikmati kejadian itu. Sementara band terus bermain, pelatih memberikan petunjuk-petunjuk. Ia
mengatakan, tak perlu ada Peter untuk dapat menang, tetapi mereka harus
bersemangat. Dengan memusatkan pertahanan, mereka dapat menahan angka tetap
rendah dan juga membuat lawan menjadi lelah. Dengan demikian Hopkinsville dapat
mulai membuat kesalahan-kesalahan yang menguntungkan Bayport.
Dengan semangat yang baru, para pemuda bermain babak kedua. Siasat pelatih
mereka nampak berhasil sebentar. Pada menit-menit pertama Hopkinsville tak dapat
menambah angka, dan para pemain mulai menjadi lelah untuk dapat menerobos
pertahanan Bayport. Tetapi tiba-tiba pelatih Hopkinsville menyadari apa yang telah terjadi dan
memberikan strategi lain kepada para pemainnya.
Regu Frank dan Joe berhasil menekan angka lawan selama babak kedua itu, namun
mereka tetap tak berhasil memperkecil kekalahan.
Pada akhir babak kedua, Hopkinsville memimpin dengan sepuluh angka, dan sekali
lagi para pemain Bayport dengan muram menuju ke bangku mereka.
Pada saat itulah Peter Walker berlari-lari datang dari kamar ganti pakaian,
menuju ke teman-teman seregunya! Pemain-pemain Bayport berlompat-lompatan
menyambut bintang mereka.
"Maaf, aku terlambat," Peter meminta maaf dengan sungguh-sungguh. "Bagaimana
kita?" "Kalah sepuluh angka," kata Joe kepadanya. "Dari mana saja kau?"
"Akan kukatakan kepadamu nanti," jawab Peter. "Sekarang ini kita harus berusaha
untuk menang!" Dengan Peter ikut bermain, regu Bayport dapat menguasai babak ketiga. Selisih
angka semakin kecil, sementara bintang lapangan tengah dengan lincah mengelak
dan mendribbel menerobos pertahanan Hopkinsville. Para pendukung regu Bayport
berdiri dan melonjak-lonjak melihat permainan bintang mereka, dan sewaktu-waktu
bersorak-sorak bila ia menyarangkan bola.
Akhirnya Bayport memenangkan pertandingan dengan selisih angka enam. Sementara
band memainkan lagu kemenangan, para pemain mengangkat Peter Walker keluar
lapangan sebagai pahlawan. Mereka belum mau menurunkannya sebelum sampai di
kamar ganti pakaian.
Hardy Boys Komplotan Pemuja Vodoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sungguh gembira aku, kau bisa datang," kata Frank kepadanya.
"Maafkan aku," pemuda itu meminta maaf lagi. "Tetapi aku menghadapi suatu
kesulitan tadi pagi."
Frank dan Joe memandanginya dengan rasa ingin tahu. "Kesulitan?" tanya Joe.
"Kakekku seharusnya datang dengan pesawat dari New Orleans," Peter menjelaskan.
"Aku pergi untuk menjemput di lapangan terbang sebelum ujian, tetapi ia tidak
datang. Aku menelepon kakek, dan setelah tak mendapat jawaban, kuper-kirakan ia
terlambat untuk pesawatnya, lalu menunggu penerbangan berikutnya. Karena itu aku
lalu menunggu." "Dan ia tidak datang juga?" tanya Frank.
Peter menggeleng. "Tidak. Aku mulai khawatir akan dia. Ia tak menjawab ketika
kutelepon. Jadi ia tidak ada di rumah atau di kelabnya."
"Ia mempunyai kelab?" tanya Frank.
Rasa kekhawatiran di wajah Peter lenyap sejenak. "Ya. Kakek adalah seorang
pemain trombon yang terkenal di New Orleans, salah seorang dari yang terbaik di sana," Suara
pemuda itu mengalun dengan rasa bangga, menceritakan perihal kakeknya kepada
Frank dan Joe. "Ia dikenal sebagai Stretch ... Stretch Walker ... dan ia mempunyai sebuah kelab
di sana." "Kedengarannya kau adalah pengagum kakekmu," kata Joe.
"O, tentu. Ia yang terbesar." Peter tersenyum sebelum wajahnya berawan lagi
dengan rasa gelisah. "Aku sebenarnya menginginkan ia melihat aku bermain hari
ini. Ia tentu akan senang melihat pertandingan ini. Aku sudah membual bagaimana
bagusnya aku main, dan ini adalah kesempatan yang paling bagus ia dapat melihat
aku bermain." "Engkau tak mau ke rumahku untuk makan malam?" Frank menawarkan. Ia mencoba
menghibur temannya yang sedang bingung. "Kami hendak mengadakan semacam pesta
kemenangan dengan keluarga, Chet dan gadis-gadis, dan tentu akan banyak makanan
yang disediakan." "Terima kasih. Tetapi aku tidak dapat," jawab Peter dengan tersenyum tipis. "Aku
ingin pulang, kalau ka au kakek menelepon." Dengan kata-kata itu, bintang bola
basket itu selesai berganti pakaian dan pergi meninggalkan kamar ganti pakaian.
"Ia nampak bingung sekali tentang kakeknya," kata Frank. Ia mengunci almari
pakaiannya. "Aku ingin tahu, apakah masih ada yang belum dikatakannya kepadaku."
"Aku juga mempunyai perasaan yang sama," Joe membenarkan. "Seharusnya ia tidak
boleh mangkir pada ujiannya, begitu pula pertandingan ini. Kecuali kalau ia
memang benar-benar terganggu. Tetapi aku juga dapat memahami kegelisahannya."
Kedua pemuda itu bermobil ke rumah untuk menghadiri pesta kemenangan. Ketika
mereka menghentikan mobil mereka di depan rumah, Callie Shaw dan Iola Morton
berlari keluar untuk menyambut mereka dengan peluk dan cium. Callie, pacar Frank
berambut pirang dan bermata coklat cemerlang. Iola, adik Chet Morton sangat
mencintai Joe secara khusus, dan sifatnya yang lincah dan periang membuat
dirinya menjadi tamu yang disenangi di rumah keluarga Hardy.
Kedua gadis itu mengantarkan Frank dan Joe ke dalam, di mana Bu Hardy telah
menyediakan makanan yang lezat bagi mereka semua.
"Nah, bagaimana rasanya menjadi juara bola basket wilayah?" tanya ibu sambil
tersenyum, setelah semua duduk untuk makan.
"Tidak buruk," jawab Frank. "Aku tahu lebih dulu sejak semula."
Bibi Gertrude mengangkat alisnya. "Tahu lebih dulu?" ia menantang. "Kalau Peter
Walker tidak muncul, regu lawan yang akan tahu lebih dulu."
"Ah, Gertie." Ibu tertawa, matanya yang cemerlang memancar ketika menghadapi
iparnya. "Anak-anak Bayport menang, dan aku bangga karena kedua anakku menjadi anggota
regu itu." Frank dan Joe tertawa kecil melihat perang kata antar kedua wanita. "Bibi
Gertrude memang benar, tentu saja," Joe berkata, melirik kepada ayahnya yang
pura-pura sibuk. "Ada apa ayah?" tanya Joe.
"Sebenarnya aku tak ingin membicarakan pekerjaan, tetapi ketika kuteliti hal
pencurian-pencurian itu aku menemukan dua hal," jawab Pak Hardy. "Satu, selama
tahun yang terakhir ini terjadi pencurian-pencurian yang sama ragamnya. Dua, tak
satu pun di antaranya terlihat si topi tiga sudut sebelumnya."
"Ah, kalau Frank dan Joe yang menangani, pencuri atau pencuri-pencurinya tentu
akan segera tertangkap," kata Challie.
Setelah selesai makan, Frank, Joe dan kedua gadis bersiap-siap untuk pergi ke
karnaval. Chet menyediakan diri menjadi sopir.
Setelah mengucapkan terima kasih kepada Bu Hardy atas jamuan yang lezat, muda-
mudi itu berdesakan di mobil sport kuning, lalu mengambil jalan besar menuju ke
pinggiran kota. Karnaval itu diselenggarakan di Meadows yang kini gemerlapan dengan cahaya dan
penuh dengan orang-orang.
Ketika para muda-mudi itu memasuki pelataran pesta, udara sudah penuh dengan
suara musik dan bau gula harum-manis.
"Aku lapar," kata Chet, menghirup dalam-dalam bau yang manis tersebut.
"Engkau baru saja makan begitu banyak!" kata Iola tak percaya.
"Aku tahu, tetapi aku sudah lapar lagi," Chet membantah.
Frank tertawa atas selera makan temannya yang tak pernah terpuaskan. "Apakah
kalian tak bermain-main dulu di sini?" ia mengajukan usul. "Joe dan aku perlu
melakukan penyelidikan sedikit. Nanti kita bertemu lagi."
Sementara Chet, Callie dan Iola pergi untuk mencoba mendapatkan hadiah-hadiah,
Frank dan Joe berkeliling untuk mencari tempat pertunjukan ular.
Setelah menanyai seorang penjaga kios, mereka menjadi tahu bahwa memang ada
pawang ular yang bernama Gloria, yang kiosnya ada di sebelah rumah-setan.
Gloria ternyata seorang wanita setengah baya
yang mencari nafkah dengan dua ekor ular boa constrictor kecil. "Minyak ular?"
jawabnya atas pertanyaan kedua pemuda. "Aku tak tahu siapa yang sekarang
menggunakannya." "Apakah anda pernah melihat lambang ini?" tanya Joe sambil menunjukkan kantong
kanvas yang bergambar ular beludak.
Gloria memandanginya dengan penuh perhatian. "Tentu. Ini digunakan sewaktu
Perang Revolusi, bukan?"
"Ya. Tetapi apakah anda melihatnya akhir-akhir ini?" Joe mendesak.
"Kalau kupikir-pikir, memang," kata Gloria setelah berpikir sejenak. "Ada
seorang tua di Georgia yang pernah menawarkan ular beludak kepadaku. Ia benar-
benar penggemar ular beludak, dan ingin agar aku mau membuktikan bahwa binatang-
binatang itu ganas dan berbisa." Gloria memutar-mutar bola matanya. "Ia memang
sin ting." "Georgia," bisik Frank kepada Joe. "Itulah tempat yang disebut oleh herpetolog
asal terdapat-nya ular beludak pygmi."
"Apakah orang ini membawa ular-ular belu dak?" ia bertanya kepada Gloria.
"Banyak. Ditangkap di rawa-rawa dan disimpan dalam kandang, begitulah katanya
kepadaku." "Tetapi apa hubungan dia dengan lambang ini?" tanya Joe.
"Ia membawa ular-ular yang ditawarkan dalam karung semacam ini," jawab Gloria.
"Sudah tentu kukatakan kepadanya agar dibuang saja. Aku tidak membutuhkan ular
beludak!" "Ingatkah anda, di mana ia tinggal?" tanya Frank.
"Kukira kotanya disebut Swamp Creek," jawab Gloria. "Tepat di pinggir Rawa
Okefeno-kee. Orang-orang mengatakan bahwa ia cukup terkenal di daerah itu karena hobinya yang
aneh itu." "Aku heran, apa kerjanya untuk dapat makan?" kata Frank.
"Kudengar ia menjual barang-barang di pasar loak. Engkau tahu: piring-cangkir
tua, kain-kain-an dan kadang-kadang perabotan rumah. Apa saja yang dapat
dibelinya dengan murah, kukira."
"Anda mempunyai alamatnya?" tanya Frank.
"Tidak. Tetapi aku yakin orang-orang dapat mengatakan di mana ia tinggal. Tanya
saja peng-gemar ular yang memakai topi tiga sudut."
"Topi tiga sudut?" tanya Frank sambil menatap wanita itu. "
"Begitulah. Sudah kukatakan, ia sinting."
Setelah mengucapkan terima kasih, kedua pemuda itu pergi mencari teman-temannya.
Mereka menghabiskan waktu sore itu dengan bersenang-senang di karnaval.
Ketika akhirnya Frank dan Joe menghentikan mobil mereka di depan rumahnya, ibu
mereka menyambut di depan pintu.
"Kalian mendapat telepon yang penting," kata Ibu. Wajahnya menunjukkan
perhatian. "Teleponlah nyonya Walker sekarang juga!"
4. Petunjuk Minyak Ular Kedua pemuda berlari ke telepon. Frank memutar nomornya lalu menunggu.
"Halo?" jawab ibu Peter. Suaranya terdengar gugup.
"Di sini Frank Hardy. Kami disuruh menelepon anda."
"O, ya. Maaf, aku mengganggumu begini malam, tetapi ini mengenai Peter. Aku
tidak tahu di mana dia! Ia tiba-tiba saja meninggalkan rumah setelah makan
malam. Aku khawatir, ia menghadapi suatu kesulitan."
"Apa alasan anda, mengira bahwa ia dalam kesulitan?" tanya Frank ragu-ragu. Ia
tak merasa pasti, mengapa nyonya Walker merasa perlu untuk menelepon dirinya.
"Ia sangat bingung tentang sesuatu ketika ia pergi," nyonya itu menjelaskan. "Ia
tak mengatakan mau ke mana atau kapan ia mau pulang. Itu tidak biasa bagi Peter.
Kulihat kalian berdua bercakap-cakap dengan dia setelah selesai main bola
basket, jadi kukira ia mengatakan sesuatu kepada kalian."
"Ia memang mengatakan sesuatu tentang kakeknya, yang seharusnya datang
berkunjung hari ini," kata Frank. "Apakah anda kira ia bingung tentang hal itu?"
"Kakeknya memang telah menelepon," kata nyonya yang gelisah itu. "Ia mengatakan
tak sempat melakukan perjalanan. Aku tahu bahwa Peter tentu kecewa, tetapi tentu
tidak sebegitu hebat hingga harus pergi dari rumah."
"Maafkan kami," kata Frank. "Tetapi ia hanya mengatakan, bahwa ia akan tinggal
di rumah untuk menunggu telepon dari kakeknya. Tetapi aku mempunyai dugaan, di
mana ia kira-kira. Coba, akan kuselidiki."
Frank meletakkan gagang telepon. "Ayo," katanya kepada adiknya. "Kita pergi ke
gedung olahraga." Di perjalanan ke SMA Bayport, tempat mereka bermain bola basket sore tadi, Frank
menceritakan percakapan telepon itu kepada Joe. Mereka tahu dari pengalaman yang
sudah-sudah, bahwa Peter selalu berlatih pada waktu-waktu yang tertuang. Mungkin
juga ia pergi ke sana kalau pikirannya sedang gelisah.
"Nanti dulu," Joe menolak. "Gedung itu sudah tutup sekarang ini."
"Kukira malam ini tidak," kata Frank. "Di kafetaria di sebelahnya ada malam
dansa sekarang." Pemuda yang jangkung itu memang ada di sana, berlatih seorang diri di ruang
olahraga yang kosong. "He, Peter!" seru Joe ketika mereka masuk dari pintu.
Peter berhenti dan memutar tubuhnya untuk menghadapi teman-teman sekolahnya.
"Untuk apa kalian kemari?" tanyanya kurang begitu ramah.
"Ah, sudahlah, Peter!" Joe menghela napas mendengar suara temannya yang agak
bermusuhan. "Ibumu khawatir tentang kau. Ia menelepon kami, berharap kami tahu
di mana kau berada."
"Nah, kalian telah menemukan aku." Bintang bola basket itu mengangkat bahu,
sikapnya agak melunak. "Mengapa kau tak mau mengatakan kepada kami apa yang meresahkan hatimu?" kata
Frank. Ia memungut bola lalu melemparkannya ke basket sambil melompat pendek. "Kami
menduga, masih ada lagi yang belum kaukatakan kepada kami setelah pertandingan
tadi." Saat hening sejenak menyusul, sementara Peter mempertimbangkan seberapa banyak
ia dapat mempercayai teman-temannya.
"Akan kutunjukkan sesuatu kepada kalian," katanya akhirnya. Ia memberi isyarat
dengan tangannya dan mengajak mereka ke ruang ganti pakaian.
Frank dan Joe mengikuti sampai di depan almarinya. Ia membukanya dan
mengeluarkan sebuah dus tempat sepatu. "Aku menerima kiriman ini," katanya
sambil membuka kardus itu.
Di dalamnya terletak seekor burung mati!
"Ini dikirimkan kepadaku dari New Orleans," Peter melanjutkan. "EH dalam paruh
burung ada suratnya, berisi sembilan kali nama kakek!"
"Rupanya seperti semacam guna-guna," kata Joe.
"Voodoo," kata si Bintang Basket. "Aku telah memeriksanya. Dimaksudkan untuk
menghasilkan daya guna-guna dengan tujuan mencelakai seorang musuh."
Frank memandangi Peter dengan mata penuh pertanyaan. "Kakekmu tinggal di New
Orleans. Jadi engkau mencurigai dia kalau kalau terlibat dalam hal ini?"
"Begitulah." Pemuda itu mengangguk. "Ketika ia menelepon sore tadi, aku tak
menyebutkan perihal burung ini, sebab aku tak ingin ia menjadi khawatir. Ia
terdengar agak tegang, dan aku yakin bahwa ia menyembunyikan sesuatu kepadaku,
sesuatu yang takut dikatakannya kepadaku."
Wajah Peter menjadi keruh lagi ketika ia mengembalikan kardus berisi burung mati
itu ke dalam almari. "Tolong, jangan sampai ibu tahu tentang hal ini," ia
memohon. "Memikirkan bahwa kakek terlibat dalam semacam pemujaan voodoo dapat
membuat ibu sangat gelisah.
Karena itulah aku kemari. Aku terlalu bingung untuk tinggal di rumah dengan
wajah yang menyembunyikan sesuatu dan tak dapat mengatakan apa-apa."
Kalau Peter mau pulang ke rumah, Frank dan Joe setuju untuk menyimpan rahasia
itu. Mereka lalu memadamkan lampu ruang olahraga dan naik ke mobil mereka, masing-
masing. "Barangkali kita perlu pergi ke selatan," kata Joe setelah mereka sudah di jalan
lagi. "Aku benar-benar ingin mengikuti petunjuk Gloria, yaitu si Pawang Ular. Orang
tua yang dikatakannya kepada kita rupanya cocok dengan petunjuk-petunjuk kita.
Kita juga dapat sekaligus mencek
kakek Peter, mencoba mengetahui kalau kalau benar ada masalah voodoo."
Frank melirik kepada adiknya. "Georgia cukup jauh dari New Orleans, Louisiana,"
katanya kepada Joe. "Kita sendiri begitu jauh dari kedua tempat itu. Bagaimana
menurutmu kita bisa sampai ke sana?"
Pemuda pirang itu meringkuk di tempat duduknya. "Aku tak tahu. Tetapi kalau kita
tidak pergi, mungkin kita tak dapat sampai di dasar perkara ini!"
Sampai di rumah, mereka menceritakan berita terakhir itu kepada ayah mereka.
"Rupa-rupanya, orang tua yang diceritakan oleh pawang ular itu memang perlu
diselidiki," kata Pak Hardy. "Mungkin dialah yang kalian lihat di toko McPhee,
dan yang meletakkan ular-ular itu di mobil kalian."
"Kenyataan bahwa ia berdagang di pasar loak juga cocok dengan gambaran kita,"
kata Frank. "Mungkin itulah caranya menjual barang-barang curiannya. Mungkin
tidak banyak untungnya, tetapi kalau ia mendapatkan tukang tadah yang
terpercaya, pasar loak bisa pula menjadi tempat melemparkan barang-barang
curiannya." "Engkau tahu, apa yang meresahkanku?" tanya Joe. "Justru karena terlalu banyak
petunjuk. Semuanya serba cocok, hingga aku merasa
bahwa ada seseorang yang berusaha menjerumuskan kita ke jejak yang kosong.
Petunjuk-petunjuk itu begitu saja datang sendiri!" ia menyimpulkan sambil
menyeringai. "Bisa jadi," kata Pak Hardy. "Kalau memang itu masalahnya, kukira lebih baik
kita ikuti saja dulu; kita tunggu, apa yang akan terjadi."
"Apakah itu berarti, bahwa kami dapat pergi ke Swamp Creek untuk menyelidiki
orang tua itu?" kata Frank dengan gairah.
"Kukira itu akal yang bagus," jawab ayah mereka. "Kalian sanggup?"
"Tentu saja sanggup!" seru kedua pemuda itu. "Aku akan segera menelepon lapangan
terbang!" "Bagaimana kalau kita tanya Chet, barangkali dia mau ikut?" tanya Joe. "Mungkin
ia bisa membantu." "Bagus," kata Frank, dan segera memutar nomor telepon Chet.
Ternyata teman mereka telah menabung uang selama musim dingin untuk melakukan
perjalanan semacam ini, dan ia sangat ingin menyertai kakak beradik itu untuk
membongkar misteri. "Aku akan memesan tempat dan memberitahukan kau jam berapa kita harus
berangkat," kata Frank, lalu meletakkan gagang teleponnya. Kemudian ia menelepon
lapangan terbang. Ia berhasil mendapatkan tempat untuk penerbangan siang ke
Savannah esok harinya. Ia lalu memberi-tahu Chet, hingga ia sudah siap bila
mereka menjemput dia. "Sekarang kita berbicara kepada Peter," kata Frank. "Setelah menyelesaikan tugas
Hardy Boys Komplotan Pemuja Vodoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di Swamp Creek, kita dapat mengunjungi kakeknya pula. Betul ayah?"
"Mengapa tidak?" jawab Pak Hardy.
Frank memutar nomor telepon rumah keluarga Walker. Temannya ternyata belum tidur
dan menyambut. "Halo, Peter?" kata Frank. "Kami akan ke Georgia besok untuk menangani perkara.
Kalau bisa selesai di sana, kita bisa pergi ke New Orleans."
"Maksudmu, engkau hendak mengetahui apakah Kakek benar-benar terlibat masalah
voodoo?" tanya Peter dengan gairah.
"Barangkali," jawab Frank. "Kalau kita memang bisa, kami ingin tahu bagaimana
cara menghubungi kakekmu."
"Kelabnya bernama Stretch's," kata Peter. "Ia memberikan namanya sendiri.
Tempatnya di Bourbon Street di jantung daerah jazz aliran Dixieland. Ia
mempunyai kamar-kamar di atas dengan cadangan tempat tiduri Dengan mudah engkau
dapat menginap di sana."
"Terima kasih," kata Frank.
"Kuharap engkau dapat ke sana," kata Peter. "Selain itu, kini sedang ada
perayaan Mardi Gras di sana. Engkau tentu akan menikmatinya!"
"Itu benar!" seru pemuda detektif itu, lalu tertawa. Ia teringat perayaan
tahunan yang meru-bah seluruh kota menjadi satu pesta besar selama seminggu.
"Aku selalu ingin mengunjungi Mardi Gras. Tetapi aku sangsi apakah punya cukup
waktu untuk ikut berpesta, biarpun sudah sampai di sana."
Ia menutup pembicaraan, kemudian bersama adiknya ia pergi ke atas untuk tidur.
Esok harinya, Pak Hardy memberikan daftar dari barang-barang yang telah dicuri
dari berbagai toko barang antik. Sesudah makan siang mereka menjemput Chet dan
berangkat ke lapangan terbang.
Pesawat hanya singgah sekali di Washington D.C, lalu melanjutkan penerbangan ke
Savannah, sebuah kota tua yang indah, merupakan kota pelabuhan di Samudera
Atlantik. Kota itu mendapat sebutan "Ratu Pantai Georgia" sejak lebih dari
seratus tahun yang lalu, ketika kota itu berkembang subur sebagai pusat
perdagangan kapas daerah Selatan.
"Rasanya seperti di abad lain," kata Chet
sementara mereka berjalan kaki di jalan-jalan menuju ke stasiun bis.
Frank tersenyum. "Seluruh perkara ini nampaknya seperti dari abad lain. Jadi
kita ada di tempat yang benar."
Mereka naik bis yang menuju ke selatan. Pada saat mereka turun di kota kecil
yang disebut Swamp Creek, hari sudah mulai malam.
Di sepanjang jalan utama terdapat beberapa toko dan motel, namun toko-toko sudah
tutup dan tak ada seorang manusia pun yang nampak di sekitarnya.
Lumut Spanyol yang panjang-panjang bergantungan dari pohon-pohon sipres di kiri-
kanan jalan, memberikan suasana yang menakutkan.
Dengan kopor di tangan, ketiga pemuda itu pergi ke sebuah motel untuk bermalam.
Motel itu bernama Swamp Creek Inn, dan nama itu ditulis dengan lampu neon merah
yang menyala di luar lobby.
"Ada orang yang tinggal di sekitar sini?" tanya Chet kepada petugas. Ia merasa
lega melihat wajah orang. "Nampaknya sangat sepi."
Petugas yang mulai membotak, lebih gemuk daripada Chet, lambat menjawab para
tamu. "Semua sedang di rumah dan makan malam," akhirnya ia berkata dengan lafal daerah
selatan. "Kamarmu nomor enam belas, di ujung sana." Ia memberikan kunci kepada Chet.
"Berbicara tentang makan malam," kata Frank. "Ada yang dapat dimakan di dekat-
dekat sini?" Petugas itu menunjuk dengan ibu jarinya ke sebuah pintu di belakang lobby.
"Restorannya buka," katanya.
Setelah meletakkan kopor mereka, Chet mengajak mereka ke restoran. Ruangan itu
penuh meja-kursi, tetapi tak ada orang. Dengan ragu-ragu, para pemuda itu
berhenti di pintu, berpikir-pikir hendak duduk atau pergi.
"Ada yang dapat saya bantu?" tanya seorang gadis berpakaian putih-putih.
Wajahnya cantik dengan rambut coklat muda yang panjang dan mata biru yang besar.
Chet menyukai lafalnya yang seperti berirama.
"Buka untuk makan malam?" tanya Joe.
"Buka," jawab gadis itu, kemudian menunjukkan kartu menu dan mempersilakan
mereka duduk. "Kalian kemari untuk berburu?" ia bertanya setelah mereka duduk.
"Berburu?" Frank memandang tak mengerti.
"Berburu ular beludak," kata pelayan itu. "Mulainya besok."
Menyadari bahwa para pemuda itu tak mengerti apa yang dikatakannya, gadis itu
menjelaskan bahwa esok hari adalah permulaan pemburuan ular beludak tahunan di
Swamp Creek. Banyak orang berdatangan dari lain daerah untuk membantu menangkap ular.
"Untuk apa mereka melakukan itu?" tanya Chet.
"Wah, ini suatu kejadian besar," kata gadis itu dengan serius. "Setiap tahun
kami menangkap ular setelah mereka keluar dari tidur musim dingin, atau
hibernasi. Pada waktu ini mereka paling mudah ditangkap karena mereka semua
berhi-bernasi di liang-liang. Dengan menangkapi mereka, kami dapat membuat
jumlah mereka menjadi rendah."
Gadis itu membentangkan tangannya ke seluruh ruangan. "Besok, tempat ini akan
penuh orang-orang yang datang untuk berburu. Kukira kalian pemburu yang datang
paling dulu." "Bukan, kami kemari untuk penyelidikan," kata Chet kepadanya, mencoba memberi
kesan kepadanya. "Kami mempunyai tugas-tugas yang lebih penting daripada
berburu." Mata gadis itu membelalak. "Kalian ini agen-agen FBI atau apa?"
"Sebenarnya bukan," kata Frank sambil tertawa. "Tetapi kami memang mencari
seseorang." Ia membuka tasnya dan mengeluarkan karung kanvas yang berlambang ular beludak.
"Engkau pernah melihat seperti ini di sekitar sini?" ia bertanya kepada si gadis
sambil menunjukkan karung tersebut.
"Tentu," jawabnya. "Rattlesnake Clem yang menggunakan itu. Ini salah satu
karungnya." "Coba ceritakan tentang dia," Joe mendesak.
"Apakah dia yang kalian cari?" gadis itu bertanya dengan heran.
"Barangkali," kata Frank. "Tahukah engkau di mana kami dapat menemui dia?"
"Clem tinggal di Hull Street. Nama lengkapnya Clemson Marion. Tetapi ia jarang
di rumah. Apa yang kalian kehendaki dari dia?"
"Ah, kami hanya ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya," kata Joe samar-
samar. "Dapatkah kaukatakan bagaimana kami dapat menghubungi dia?"
"Tunggu sebentar." Gadis itu bergegas keluar dan sesaat kemudian kembali lagi
dengan petugas motel. Petugas itu menggaruk-garuk kepalanya ketika mendekati
para pemuda. "Kemenakanku, Sadie, mengatakan kepadaku bahwa kalian mencari Rattlesnake Clem,"
katanya sambil menarik sebuah kursi. "Apa yang kalian inginkan dari dia?"
"Kami memerlukan beberapa informasi dari dia," kata Frank terang-terangan. "Kami
detektif-detektif pribadi."
Petugas itu memandangi mereka sejenak lalu
berkata: "Mungkin ia ikut berburu besok. Ia mempunyai rumah di Hull Street,
tetapi ia tak pernah ada di sana. Ia biasanya datang pada perayaan ini untuk
menimbulkan keonaran." Melihat air muka para pemuda menunjukkan pertanyaan, ia
melanjutkan menjelaskan bahwa Clem adalah penyayang ular beludak. Ia menganggap
perburuan di mana ribuan ular beludak terbunuh setiap tahun adalah jahat, dan
perlu dicegah. Karena itu ia selalu mengganggu.
"Ia sudah tua," petugas itu mengakhiri kata-katanya. "Jangan sampai membuat dia
marah, kecuali kalau kalian inginkan seekor ular beludak memasuki baju kalian."
Pelayan yang cantik bermata biru itu menghidangkan makanan panas berupa bistik,
jagung dan lain-lain. Setelah mereka selesai makan, mereka mengucapkan terima
kasih kepada pelayan dan pamannya untuk informasi yang mereka berikan, lalu
pergi ke kamar mereka. Kamar itu hanya berisi dua tempat tidur, karena itu Joe mengalah tidur di dipan
yang disediakan oleh petugas motel.
"Aku pernah membaca tentang perburuan ular beludak," kata Frank setelah mereka
merebahkan diri dan memadamkan lampu. "Pemburuan ini dilakukan sebenarnya bukan
karena orang takut akan terlalu banyaknya ular beludak. Itu hanya untuk kedok
untuk mengadakan perayaan, sehingga kota ini dapat memperoleh uang."
"Akal yang bagus pula," kata Chet. "Motel dan rumah makan akan penuh dengan tamu
yang membayar. Tempat ini memang membutuhkan uang."
"Tetapi bersamaan dengan itu akan dikorbankan jiwa ular beludak," kata Joe dari
dipannya. Percakapan berhenti ketika mereka mulai terayun ke alam mimpi, samar-samar
memikirkan bagaimana mungkin seorang tua yang tinggal di dekat Rawa Okefenokee
dapat terlibat dengan perampokan-perampokan. Mereka terbangun di pagi hari oleh
suara-suara di jalan. Joe pergi ke jendela dan menyingkapkan gor-den-gordennya. "He, lihat itu!"
serunya kepada Frank dan Chet.
5. Pemburuan Ular Jalan utama Swamp Creek yang semalam kosong, kini dibanjiri orang yang datang
untuk ikut serta dalam perburuan. Banyak yang membawa karung dan tongkat. Di
antara dua batang tiang telepon, sebuah spanduk berbunyi: SELAMAT DATANG PADA
PESTA TAHUNAN PEMBURUAN ULAR BELUDAK DI SWAMP CREEK.
"Mereka benar-benar sudah siap," kata Frank. Ia mengintip dari atas pundak Joe.
"Yah, aku pun sudah siap pula," kata Joe.
Ketiga pemuda berpakaian dan keluar di sinar matahari. Setelah cepat-cepat makan
pagi, mereka segera berbaur di antara para pemburu ular yang sedang berkumpul di pusat kota.
Sebuah panggung dipasang di depan toko. Beberapa orang berdiri di atasnya
mengenakan topi rumput yang lebar yang dihiasi kulit ular beludak.
"Mereka tentu yang memimpin," kata Joe ketika mereka menyeruak maju mendekati
panggung. Pada saat itu seorang di antaranya mengumumkan, bahwa para pemburu akan dibagi
menjadi beberapa kelompok, setiap kelompok dengan seorang pemimpin.
Setelah terbagi-bagi, Frank bertanya kepada salah seorang bertopi rumput,
kelompok mana yang menuju ke rawa-rawa.
"Kelompokku," katanya, dan melambai kepada ketiga pemuda untuk menggabungkan
diri kepadanya. Orang itu bertubuh kecil-kuat dan bermata dalam. "Aku Billy," ia
memperkenalkan diri kepada kelompoknya. "Berapa dari kalian yang pernah ikut
berburu?" Kebanyakan tangan diacungkan, dan pemimpin kelompok itu nampak senang. "Nah,
kukira aku tak perlu menjelaskan," katanya. "Bagi mereka yang belum pernah ikut,
ikut saja dari belakang dan melihat. Kalian tentu akan segera bisa."
"Aku memang akan ada di belakang," Chet menggumam kepada kedua temannya. "Jauh
di belakang!" Dengan pemimpin kelompok paling depan, para pemburu ular itu berjalan di jalan
utama. Pada saatnya mereka keluar dari jalan dan masuk ke dalam hutan yang membatasi
rawa-rawa. "Inilah Okefenokee Swamp," kata Billy kepada para pengikutnya. Ia melambaikan
tangannya ke arah semak-semak yang lebat, pohon-pohon sipres dan rawa-rawa
berair di sebelah kirinya. "Ada kira-kira empat puluh jenis ular hidup di sini,
mulai dari ular karang sampai ular air dan beludak. Hari ini yang kita cari
ialah ular beludak jenis Eastern Diamondback."
"Mengapa hanya Eastern Diamondback?" salah seorang bertanya.
"Karena yang paling mudah ditangkap," kata Billy sambil mengedipkan mata.
"Tetapi kalau ada yang mau menyelam menangkap ular air, tentu akan sangat
dihargai." Orang yang kecil-kuat itu berhenti sejenak, untuk memastikan diri bahwa semua
dapat menangkap leluconnya, kemudian ia melanjutkan membawa rombongan lebih jauh
ke dalam hutan. Beberapa saat kemudian ia berhenti lagi. "Kukira ada liang yang
penuh ular di sini," katanya sambil menunjuk ke sebuah bukit yang berbatu-batu.
Mereka perlahan-lahan mendekati bukit. Pada mulanya nampak seperti tak ada
ularnya. Tetapi setelah semakin dekat, tanda-tanda gerakan mulai nampak di antara batu-
batu. Chet menahan napas. "Tempat ini benar-benar penuh dengan ular!"
Beratus-ratus ular seperti memenuhi celah-celah dan liang-liang di tumpukan
batu-batu. Jelas nampak bahwa mereka adalah Eastern Diamondback, karena pola-pola berbentuk
intan nampak jelas di punggungnya. Mereka bergerak sangat lambat atau bahkan
diam saja. Kebanyakan diam melingkar, berjemur diri setelah berhibernasi beberapa bulan.
Para pemburu segera menangkapi ular tersebut dengan tongkat mereka yang
bercabang ujungnya. Dengan menekan kepala ular dengan ujung tongkat yang
bercabang, para pemburu dapat menangkap tengkuknya, lalu memasukkannya ke dalam
karung. Para pemuda memandanginya dengan terpesona. Jelas kelihatan, bahwa kelompok itu
menikmati perburuan tersebut, tetapi Frank, Joe dan Chet tidak ikut menangkap.
Tiba-tiba, dari langit jatuh seekor ular besar, hanya beberapa sentimeter di
depan kaki Joe. "He, ada apa ini?" ia berteriak sambil melompat mundur.
Frank dan Chet juga mundur ketika beberapa ekor lagi berjatuhan di dekat mereka.
"Mereka jatuh dari pohon-pohon!" seru seorang, sementara kepanikan terjadi di
antara mereka. "Tentu ada orang yang melemparkan ular-ular itu!"
Ketika Frank mengelak dari seekor ular lagi, semua orang mendongak dengan
ketakutan, mencari-cari di pohon-pohon, dari mana ular-ular tersebut berjatuhan.
"Ha-ha-ha-ha-ha-ha!" Suara tertawa tiba-tiba terdengar dari atas. "Kalian
sungguh berani! Ha-a-ha-ha!"
Tinggi di atas cabang sebuah pohon yang besar, duduk seorang tua yang mengenakan
topi ber-sudut-tiga! Ia memegangi sebuah karung penuh dengan ular. Seekor demi
seekor dilemparkannya ke rombongan yang terkejut.
"Itu tentu Rattlesnake Clem!" teriak Chet.
"Pakai topi tiga sudut segala," sambung Joe sambil mundur dari pohon.
Raut muka orang tua itu nampak marah sekali sementara para pemburu di bawahnya
memandang ke atas dengan ketakutan dan bergerak mundur.
"Orang-orang konyol!" ia berseru dengan parau. "Kalau kulihat kalian datang
kemari lagi untuk berburu, lemparanku tak akan salah lagi!"
"Akan kuadukan agar kau ditangkap atas per-butanmu ini, Clem!" seru pemimpin
kelompok dengan marah. "Ayo, adukan!" balas Rattlesnake Clem.
Setelah berkata demikian, orang tua itu melepaskan karungnya, lalu memegangi
tambang yang ia ikatkan pada cabang. Ujungnya yang lain diikatkan pada pohon
lain, dan ia meluncur ke tanah beberapa meter jauhnya dari para pemburu. Kakak
beradik Frank dan Joe tak mau berusaha mengejar dia ketika ia menghilang masuk
ke rawa-rawa. Tetapi Joe memungut karungnya.
"Kita tak mungkin dapat meringkusnya," ia menggerutu. "Ia hafal benar rawa-rawa
ini, tetapi kita tidak. Kita hanya akan mendapat kesulitan saja."
Frank. mengangguk. Tak lama kemudian, kelompok pemburu itu kembali ke Swamp
Creek dan bubar. Setelah berhadapan dengan Clem, selera mereka sudah hilang.
Frank, Joe dan Chet mengikuti Billy ke kantor polisi. Billy hendak mengajukan
pengaduan terhadap Clem. Pak sheriff sedang duduk di belakang meja dan makan permen coklat. Ia berbahu
bidang, tetapi agak terlalu gemuk di sekitar pinggangnya untuk dapat dikatakan
baik kondisi tubuhnya. "Apa yang dapat kulakukan untukmu, Billy?"
ia bertanya setelah selesai makan dan melemparkan bungkusnya ke keranjang.
Pemimpin kelompok itu menjelaskan apa yang telah diperbuat oleh Clem. Senyuman
tipis nampak di bibir sheriff. "Ah, jadi Clem main-main lagi," katanya. "Rupanya
ia semakin sinting saja dengan lewatnya tahun demi tahun-"
"Kata-kata itu terlalu enteng!" Billy menggeram. "Bisa-bisa ada orang yang
digigit. Engkau harus mencari dia dan kurunglah dia!"
"Aku akan menemui dia," kata sheriff dengan lebih bersungguh-sungguh. "Kau
benar, ini harus dihentikan."
Frank melangkah maju ke meja. "Kami juga ingin dapat menemui dia," katanya, lalu
menjelaskan alasan mereka untuk menanyai Clem.
Mendengar cerita Frank, wajah sheriff nampak terkejut. "Kaukira si tua Clem itu
bertanggung jawab atas sederetan perampokan di lain-lain negara bagian?" tanya
sheriff itu tak percaya. "Apakah anda tahu di mana dia dua-tiga minggu yang lalu?" Frank menangkis dengan
bertanya. "Memang tidak," jawab orang yang berbahu bidang itu. "Tetapi si tua Clem! Ia
Hardy Boys Komplotan Pemuja Vodoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanya orang sinting yang mencoba melindungi binatang liar, meskipun kuakui,
untuk itu ia menggunakan cara-cara yang aneh."
Frank mengangkat bahu. "Aku tahu, ia tidak cocok untuk menjadi pencuri, tetapi
terlalu banyak petunjuk-petunjuk yang tak dapat diabaikan."
"Lihatlah ini," kata Joe sambil meletakkan dua helai karung kanvas ke atas meja.
"Kita temukan salah satu dari karung ini di luar toko barang antik yang baru
dirampok di Bayport. Yang satu dijatuhkan Clem sebelum ia turun dari pohon tadi
pagi." Sheriff itu mengamati kedua helai karung yang bergambar persis sama: seekor ular
beludak yang melingkar dan tulisan 'Jangan Injak Aku'. "Aku tahu maksudmu,"
katanya dengan berpikir. Kemudian ia menghela napas. "Kukira Clem akan ada di
sekitar sini besok. Aku tak akan berbuat apa-apa sebelum kalian berhasil menemui
dia. Cobalah di rumahnya pagi-pagi sekali. Pada waktu itu kalian tentu dapat
menemui dia." Para pemuda itu mengucapkan terima kasih dan meninggalkan kantor polisi. Ketika
mereka kembali ke pusat kota Swamp Creek, mereka melihat bahwa banyak di antara
para pemburu telah selesai untuk hari itu. Sebuah lubang yang dipagari telah
digali di tanah kosong di belakang toko, dan ratusan ekor ular menggeliat-geliat
di dalamnya. "Aku ingin tahu, akan mereka apakan ular-
ular itu," kata Chet. Ia menggigil ketika melihat ke dalam lubang.
"Mungkin mereka akan membunuh sebagian besar ular-ular tersebut," kata Frank.
"Beberapa ekor mungkin akan dibeli oleh kebun binatang atau penyayang ular. Yang
lain-lain digunakan untuk percobaan ilmiah."
Pada waktu itu ketiga pemuda sudah merasa lapar, dan mereka kembali ke motel
untuk makan. Seperti yang telah dikatakan pelayan, ruang makan telah penuh
dengan para pemburu ular. Di sana bahkan ada sebuah band yang menghibur. Para
pemuda memilih tempat duduk dan mendengarkan musik.
"Ini lebih menyenangkan," kata Chet, girang dapat duduk dan mendengarkan musik.
"Sekarang apa yang kuingini hanya makan."
"Halo Pemuda-pemuda," sambut Sadie ketika ia sampai di meja mereka. "Sudah siap
untuk makan?" "Tentu." Chet tertawa kecil. "Aku lapar sekali. Apa yang khusus untuk hari ini?"
"Kami hanya menghidangkan satu macam masakan hari ini." Sadie tertawa cekikikan.
"Apa itu?" "Panggang ular beludak!" Senyum Chet menghilang dari wajahnya. "Hanya itu saja"
Hanya panggang ular beludak?"
"Ayolah, Chet," Joe memberi semangat. "Semua orang juga makan itu."
Si gemuk melihat ke sekeliling, ke piring-piring langgganan yang lain. Ia
setengah menduga akan melihat ular yang melingkar di piring dengan daun
peterseli di tengah-tengahnya. Tetapi yang dilihatnya adalah potongan daging
bulat yang nampaknya enak sekali dengan sausnya. Baunya pun enak!
"Aku akan mencobanya," ia berkata akhirnya. "Tetapi aku tak berani berjanji akan
menyukainya." Sadie menghidangkan sepiring untuk masing-masing. Chet menggerutu, tetapi Chet
masih sempat menghabiskan piring kedua!
"Mari kita kembali ke kamar," kata Frank, setelah selesai. "Aku ingin menelepon
ayah." Dengan perut penuh ketiga pemuda berjalan ke Kamar 16. Chet membuka pintu dan
langsung menjatuhkan diri di tempat tidur tanpa menyalakan lampu terlebih dulu.
Demikian tubuhnya mengenai kasur, keheningan kamar dipecahkan oleh suara
gemeretak yang keras. "Aduuuh!" teriak Chet kesakitan. Gigi taring Eastern Diamond back membenam ke
kakinya! 6. Ancaman Bisa Joe menyalakan lampu. "Ia menggigitku!" seru Chet sambil melompat menjauhi ular yang sudah siap hendak
menerkam lagi. "Keluar, cepat!" Frank memerintahkan.
Si gemuk terpincang-pincang ke pintu, dan Frank serta Joe segera memapah dia
keluar. Pada saat mereka sampai di lobby, kaki Chet sudah bengkak dan merasa sakit.
"Kita harus segera membawa dia ke dokter," kata Joe kepada petugas motel.
Orang itu memeriksa kaki Chet dan bersiul lirih. "Kelihatannya buruk," katanya.
"Masukkan ke mobilku. Chevrolet biru yang ada di depan."
Chet mengerang kesakitan, dipapah Frank dan Joe keluar. Beberapa detik kemudian
petugas motel sampai di mobil dengan membawa beberapa barang di tangannya.
Pelayan yang cantik tepat di belakangnya.
"Engkau yang mengemudi," katanya sambil melemparkan kunci. Frank dan Joe duduk
di depan, dan Sadie dengan pamannya membantu Chet di belakang. Petugas motel itu
memberi petunjuk-petunjuk kepada Joe jurusan yang harus ditempuh untuk ke tempat
dokter. Sementara itu ia memasang bilah dan mengikatkannya di atas luka, untuk
mengurangi peredaran darah. Sadie memangku kepala Chet, menyeka dahinya yang
panas karena demam dengan saputangannya.
Setiba di tempat dokter, mereka mengangkat Chet dari mobil dan membawanya masuk.
Dokter itu kurus, sudah mulai memutih rambutnya dan memakai kacamata. Bersama
Frank dan Joe ia mengangkat Chet ke meja pemeriksaan.
"Ini sakit?" ia bertanya kepada Chet, tangannya menekan lembut di tempat gigitan
ular. "Adaaauuuw!" seru Chet. "Sakit sekali."
"Bagus," kata dokter. "Kalau gigitannya parah malah tak ada rasa apa-apa."
Ia memeriksa rasa geli Chet di sekitar mulut,
penguningan pandangan serta tanda-tanda keparahan gigitan. Kemudian ia
menyiapkan pembalut antiseptik dan menyuntik Chet dengan obat pelawan bisa.
"Ia akan baik kembali dalam sehari-dua," kata dokter setelah selesai. Biasanya
aku mendapat banyak pasien digigit ular selama perburuan ini, karena itu aku
menyediakan banyak obat."
Frank dan Joe menghela napas dengan lega. "Apakah ia akan baik?" kata Joe.
"Biarkanlah ia beristirahat," jawab dokter. "Bengkaknya akan kempes besok pagi.
Sejak sekarang hati-hatilah, dan jauhi binatang-binatang itu."
Ketika mereka sampai di Swamp Creek Inn, petugas itu yang ternyata bernama Al,
membantu kedua pemuda untuk menangkap ular di kamar mereka. Kemudian mereka
mengangkat Chet masuk dan merebahkannya di tempat tidur.
"Wahhh, berat amat engkau," Frank melucu setelah ia berbaring.
"Yah, maafkanlah aku," jawab si gemuk marah, kini semangatnya sudah pulih dan
dapat ikut bergurau. "Maafkan aku, tidak memeriksa dulu tempat tidur kalau kalau
ada ular. Lain kali aku akan lebih hati-hati."
Frank dan Joe tersenyum sebelum mereka
melanjutkan percakapan yang lebih sungguh-sungguh.
"Aku yakin, Clem tentu di belakang semua ini," kata Joe setelah duduk di ujung
dipannya. "Nampaknya begitu," kata Frank dengan marah. "Kecuali kalau ular itu merayap
sendiri lewat jendela."
"Kalau Clem yang melakukannya, berarti ia bukan lagi hanya menakut-nakuti saja,"
Joe melanjutkan. "Ular diamondback itu jauh lebih mematikan gigitannya daripada
ular-ular pygmi yang dimasukkan ke mobil kita dulu."
"Mengapa kalian tidak ke polisi saja, dan minta agar dia dikurung?" seru Chet.
"Orang itu telah mencoba membunuh aku!"
"Sebab pada saat ini kita belum dapat membuktikan apa-apa," kata Joe.
"Pertama-tama, aku akan menelepon ayah besok pagi," Frank memutuskan. "Mungkin
ia telah mengungkapkan sesuatu semenjak kita tinggalkan."
Demikian ia bangun esok paginya, ia segera memutar nomor telepon rumahnya. Bibi
Gertrude yang menyambut. Setelah menceritakan kepada bibinya apa yang telah
terjadi sekian jauh, ia minta berbicara dengan ayahnya.
"Buruk benar bahwa engkau pergi untuk mempertaruhkan jiwamu," kata Bibi dengan
tegas sebelum ia memberikan telepon kepada Pak Hardy. "Tetapi jangan membiarkan
temanmu Chet menjadi korban permainanmu yang gila itu! Anak yang malang!"
Frank hendak menjelaskan, tetapi bibinya sudah memberikan gagang telepon kepada
ayahnya. Detektif terkenal itu mendengarkan dengan penuh perhatian,' gembira
bahwa anak-anaknya telah berhasil melacak orang yang bertopi tiga sudut.
Kemudian ia berkata: "Bahkan bahwa kenyataan Clem jarang sekali di rumah, sangatlah cocok dalam
kerangka kita." "Semenjak keberangkatan kami, apakah masih ada lagi toko barang antik yang
dirampok?" tanya Joe. "Tidak ada, artinya yang sesuai cara-cara kerja komplotan yang khusus ini,"
jawab pak Fenton Hardy. "Kalau demikian, bila kita dapat mengetahui bagaimana Clem melakukan segala
perjalanannya, kita akan dapat memperkarakan dia. Begitukah, ayah?"
"Benar," jawab ayahnya. "Aku akan menyelidiki di lapangan terbang Savannah,
untuk mengetahui apakah ia sering terbang pulang-pergi akhir-akhir ini. Kalian
menyelidiki lapangan-lapangan terbang pribadi, oke?"
"Akan kami lakukan." Frank meletakkan
gagang telepon dan memandangi adiknya. "Kita harus mencari tahu, apakah ada
lapangan terbang pribadi di daerah ini," katanya.
Wajah Joe yang menunjukkan rasa tak mengerti terganggu oleh ketukan di pintu. Ia
membukanya dan mempersilakan pelayan itu masuk.
Sadie membawa sebuah buku dan langsung menuju ke tempat Chet untuk melihat
bagaimana keadaannya. "Kubawakan buku untukmu," kata si cantik bermata biru. Suaranya yang berirama
lafal dae rah selatan terdengar gembira. "Mengenai ular. Kukira engkau ingin
lebih banyak mengetahui tentang ular karena engkau telah digigit."
Chet, yang kini telah tertarik oleh gadis tersebut, menerima buku tersebut dan
berjanji akan membaca sampai tamat. Ia lalu mengerang dibuat-buat, berusaha
menarik rasa iba atas keadaannya.
"Sadie ..." Frank tertawa, menyela kelakar temannya. "Apakah di dekat-dekat sini
ada lapangan terbang untuk pesawat-pesawat pribadi?"
"Ada," jawab gadis itu dengan cerah. "Tepat di sebelah utara dari sini. Ada
kaitannya dengan misterimu?"
Frank mengatakan bahwa hal itu mungkin, lalu menanyakan apakah Sadie dapat
mengantarkan dia ke sana.
"Dengan senang hati," kata Sadie, bangga dapat ikut membantu dalam penyelidikan.
Chet mengeluh, marah karena ditinggalkan teman-temannya sambil membawa serta
gadis impiannya! Sebelum mereka berangkat, ia minta Sadie berjanji untuk
memeriksa lukanya begitu ia pulang.
Di lapangan terbang, berupa lapangan kecil beberapa kilometer di utara Swamp
Creek, kedua detektif muda itu menanyai manajer tentang perjalanan Clemson
Marion dengan pesawat di waktu-waktu yang terakhir. Ternyata tak ada sama
sekali! "Ada orang yang pergi atau datang dari Bayport dalam beberapa hari yang terakhir
ini?" Frank terus mendesak. "Bayport. Sebenarnya memang ada. Sebuah Cessna biru masuk dua hari yang lalu.
Sekarang masih ada di sini. Pilot mendaftarkan diri sebagai Roger Mann. Dia juga
masuk kemari minggu yang lalu, tetapi langsung pulang ke Bayport hari itu juga."
"Bagaimana rupanya?" tanya Frank.
"Tidak tahu. Ia memakai kacamata hitam dan topi, seperti tidak ingin ada orang
yang mengenalinya." Joe membunyikan jari-jarinya, "aku yakin tentu Clem."
"Apakah nampak tua?" Frank melanjutkan, meragukan kesimpulan Joe yang tergesa-
gesa. Manajer itu menggeleng, dan harapan Joe untuk segera memperkarakan Clem gugur.
Sebab Clem sudah berumur enam puluhan!
"Nanti dulu," kata manajer, melihat kekecewaan pemuda itu. "Pilotnya memang
belum tua, tetapi ia membawa penumpang yang belum pernah kulihat, kecuali dari
kejauhan. Mungkin ia sudah tua, orang yang kalian cari."
"Apakah dia juga menyembunyikan identitasnya?" tanya Frank.
"Barangkali." Manajer itu mengangkat bahu. "Aku tidak tahu apakah ia sengaja
menjauhi aku, tetapi bagaimana pun aku tidak sempat melihat dia."
"Aku ingin melihat isi pesawat itu," kata Joe.
"Aku tidak dapat memberi izin," kata manajer kepadanya. "Engkau harus mendapat
izin dari pilotnya, tetapi ia tidak mengatakan di mana ia tinggal. Maaf."
Frank dan Joe minta agar ia menghubungi mereka di Swamp Creek Inn kalau pilot
Cessna dan penumpangnya muncul lagi. Kemudian ia kembali ke motel bersama Sadie
dan melihat di daftar kalau kalau terdapat nama Roger Mann. Ternyata tidak terdaftar. Demikian pula tak seorang pun penduduk kota yang
mereka tanyai mengetahui dia.
"Kalau ia terlibat dalam perkara kita, mungkin ia menggunakan nama lain," kata
Frank sementara mereka menuju ke kamar mereka. "Dengan sedemikian banyak orang
luar yang datang ikut berburu, sangat sulit untuk mengenali dia."
Di kamar motel, Frank menelepon ayahnya lagi. Ayahnya mengabarkan bahwa Clem tak
pernah menggunakan pesawat terbang untuk keluar-masuk Savannah selama tahun yang
lalu. Frank ganti melapor tentang pesawat Cessna biru dan Roger Mann, dan
menyebutkan nomor izin terbang pesawat tersebut. Pak Hardy berjanji akan
menyuruh Sam Radley, pembantunya, untuk menyelidikinya.
"Sambil lalu," kata pak Hardy sebelum meletakkan gagang teleponnya, "Temanmu
Peter Walker menelepon. Ia ingin tahu apakah engkau akan pergi ke New Orleans."
"Kami memang merencanakan ke sana, ayah, tetapi kami tak dapat menjanjikan
apakah kami bisa pergi. Pertama-tama kami harus dapat sampai ke dasar misteri
yang ada di sini." "Itu betul. Nah, selamat bekerja!"
Frank meletakkan gagang telepon dan meng-
alihkan perhatiannya ke temannya, Chet. "Bagaimana keadaanmu, sobat?"
"Aku sedang membaca buku yang diberikan Sadie," kata Chet. "Di sini ada bab
mengenai voodoo. Voodoo!" Chet mengulanginya dengan nada yang menyeramkan.
"Mendengar namanya saja aku sudah gemetar!"
7. Upacara yang Menakutkan
"Apa kata buku itu tentang voodoo?" tanya Frank kepada Chet.
"Dikatakan, bahwa voodoo adalah semacam ilmu hitam, berasal dari pemujaan ular
di Afrika," jawab temannya sambil duduk di tempat tidurnya. "Sekarang voodoo
hanya dilakukan di Haiti, di mana ular-ular dapat tinggal di rumah-rumah
penduduk." "Haiti," kata Frank lirih. Ia teringat pulau di Karibia yang terletak di sebelah
selatan Florida, tepat di sebelah timur Cuba. "Bukankah mereka berbicara sebuah
dialek Perancis yang disebut Creole?"
Mata Joe bersinar ketika ia menyadari bahwa kakaknya telah mengerti. "Benar!" ia
menjawab. "Dialek Creole juga digunakan di New Orleans. Jadi mungkin voodoo juga
dilakukan pula di sana!"
"Jadi kecurigaan Peter rupanya memang beralasan," kata Frank. "Mungkin kakeknya
benar-benar terlibat dalam pemujaan voodoo!"
"Kukira, kita harus selalu menjauhi tempat di mana pun yang orang-orangnya
terlibat ilmu hitam!" Chet menyatakan. "Kalian tahu apa yang mereka lakukan
kalau mereka hendak menyingkirkan kalian" Mereka mencuri sebagian pakaian
kalian, dibuatnya semacam boneka yang dianggap mewakili kalian, lalu menusuknya
dengan jarum. Kalian lalu menjadi sakit dan mati!"
"Ah, sudahlah, Chet. Engkau sendiri tak percaya akan hal itu, bukan?" Joe
menggoda. "Dari apa yang kubaca, hal itu telah berhasil bagi orang-orang Haiti selama
beberapa abad," Chet menggumam. "Paling tidak, mereka mengira demikian. Itu
sudah cukup bagiku!"
"Nanti dulu," kata Frank sambil tersenyum. "Kukira kau telah membiarkan
khayalanmu terbang sendiri. Kita hadapi saja dulu satu jenis pemujaan ular, dan
mengunjungi si tua Clem."
Kaki Chet yang bengkak sudah hampir pulih seperti semula, tetapi masih harus
menunggu satu hari lagi untuk dapat berjalan. Frank dan Joe meninggalkan dia di tempat
tidurnya dan berjalan kaki menuju ke Hull Street, yang ternyata terletak di
ujung lain dari kota. Mereka bertanya kepada orang yang sedang lewat di mana rumah Clem, dan
ditunjukkan ke sebuah rumah kecil, hampir tersembunyi oleh pohon-pohonan.
"Kuharap saja ia tak berkeberatan kita bertamu," kata Frank, ketika mereka
menerobos semak-semak ke halaman depan. Halaman itu penuh dengan sampah. Di
samping garasi terdapat sebuah bajak tua karatan, sebuah bak mandi berkaki dan
sebuah tungku tua untuk kayu. Barang-barang itu telah disemprot dengan plamir.
"Kukira ia sedang memperbaikinya untuk dijual sebagai barang antik," kata Joe
sambil menunjuk ke tungku.
Frank mengangguk. "Apa yang hendak kulihat di sini ialah adanya tanda-tanda
kehidupan,"
Hardy Boys Komplotan Pemuja Vodoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia menggerutu. "Nah, kita coba pintunya."
Bel tak dapat berbunyi, karena itu mereka lalu mengetuk. Mereka mendengar suara
gemerisik di dalam, tak ada orang yang keluar. Frank mengetuk berulang kali.
Setelah beberapa menit mereka mendengar langkah kaki, dan suara yang galak
membentak: "Siapa itu?"
"Frank dan Joe Hardy," jawab Frank. "Kami ingin berbicara dengan anda untuk
beberapa menit saja."
"Mengenai apa?"
"Tentang ular beludak."
"O, baik. Aku segera datang," kata Clem dengan suara yang menjadi lebih ramah.
"Persoalan kesayangannya segera mengubah sikapnya," bisik Joe. "Ingin tahu
aku..." Pintu terbuka dan orang yang telah tua itu ke luar, berpakaian overall dan
switer. Senyum yang ada di wajahnya segera buyar demikian ia melihat kedua pemuda.
"Apa yang kau kehendaki?" ia bertanya setengah menggerutu.
"Kami datang dari Bayport, dan kami ingin tahu apa yang anda lakukan di sana dua
hari yang lalu," kata Frank.
"Di toko barang antik McPhee," sambung Joe.
Orang yang sudah beruban itu tak menjawab, tetapi nampak benar-benar tak
mengerti. Kemudian ia melirik kepada kedua pemuda itu. "Eh, kalian hendak berbicara
tentang ular beludak, ya" Nah, masuklah. Akan kuperlihatkan kepada kalian."
Ia menunjukkan jalan masuk ke rumahnya yang berperabotan sederhana, terus ke
halaman belakang. Di dalam gudang kayu kasar terdapat
kira-kira selusin kandang yang berisi berbagai jenis ular beludak, termasuk
jenis diamondback dan pygmi.
"Inilah binatang-binatang kesayanganku," kata Clem. "Mereka dapat mengatakan
kepadaku apakah orang itu jujur atau tidak." Senyuman licik muncul di bibirnya
dan ia membuka salah satu kandang, lalu mengeluarkan dua ekor ular diamondback
yang besar-besar. Ia memberikannya seekor kepada masing-masing.
"Nah, bermain-mainlah sedikit dengan mereka!" katanya sambil tertawa. "Silakan,
peganglah!" Dengan perasaan kurang enak kedua pemuda itu menangkap ular itu seperti yang
mereka lihat pada para pemburu, yaitu di tengkuknya. Tetapi perasaan tidak
setuju terbayang di wajah pak tua Clem.
"Jangan begitu!" ia membetulkan. "Seperti ini!"
Ia memegang ular yang lain dari kandang pada tubuhnya, mengelus-elusnya, lalu
diangkat di atas kepalanya. Kemudian lalu dikembalikannya ke kandang.
Frank dan Joe saling melempar pandangan, kemudian memperlakukan ular masing-
masing seperti Clem. Mereka sadar, itulah kesempatan
mereka untuk dapat berbicara dengan orang tua itu.
"Ular kecil yang manis," Joe berdendang. "Aku memang selalu ingin menyayangi
seekor. Nah, bagus. Ular manis..."
"Oke," kata Clem, nampaknya puas. "Sekarang boleh berikan lagi kepadaku." Ia
menerima kedua ular itu dan memasukkan kembali ke kandangnya.
Frank dengan diam-diam menyeka keringat dari dahinya. "Nah, sekarang kita dapat
bercakap-cakap?" "Mari masuk ke rumah." Clem mengajak mereka masuk dan memberikan kursi kepada
mereka di dapur. "Kukira si Raja yang menyuruh kalian kemari," katanya ketika mereka telah duduk.
"Rupanya aku salah."
"Siapa Raja itu?" tanya Frank.
"Lho, ya Raja George ke-III," kata Clem dengan mata berbinar. "Raja Inggris,
musuh bebuyutanku." Dengan kata-kata itu, ia mengambil topi bersudut-tiga dari
cantelan dan memakainya di kepala. "Coba, akan kuceritakan kepada kalian tentang
dia." Duduk di dapurnya sendiri, Rattlesnake Clem sungguh berbeda dengan apa yang
mereka lihat sebelumnya. Sifat curiganya hilang dari wajahnya, dan pandangan
matanya menerawang jauh ketika ia memulai ceritanya.
"Ketahuilah," katanya, "aku adalah cucu keturunan empat dari Francis Marion yang
besar, lebih dikenal sebagai si Rubah Rawa-rawa. Karena itulah aku memakai topi
ini." "Dan lambang Perang Revolusi di karungmu itu juga?" tanya Joe.
Clem mengangguk. "Betul. Kakek moyangku itu biasa berkemah di rawa-rawa bersama
pasukannya. Di siang hari ia bersembunyi, dan pada malam hari ia menyerang pos-
pos penjagaan Inggris. Karena itulah ia dinamakan si Rubah Rawa-rawa."
"Dan engkau meniru jejaknya, meskipun Perang Revolusi sudah berakhir lebih dari
dua ratus tahun yang lalu," kata Frank dengan sedikit menantang.
"Tetapi perang belum selesai!" kata orang tua itu.
Frank dan Joe saling berpandangan, menyadari bahwa Clem memang sinting atau
berusaha keras agar nampak gila.
"Perang belum selesai, sebab Raja George ke III dari Inggris masih hidup," Clem
melanjutkan dengan mata yang bersinar. "Ia ada di luar sana memungut pajak atas
tanah jajahannya. Tugas-kulah untuk menghentikan pemungutan pajak itu!"
Kakak beradik itu tahu bahwa ketika Perang Revolusi Amerika pecah, George ke III
adalah raja Inggris. Banyak kaum pendatang masa lalu yang membenci raja itu
karena memungut cukai yang tinggi atas barang-barang mereka. Justru cukai itulah
yang menjadi penyebab Revolusi. Tetapi itu sudah lebih dari dua abad yang lalu!
"Apa yang menyebabkan kau percaya bahwa raja itu masih hidup?" tanya Frank.
"Aku telah melihat dia!" jawab Clem setengah berteriak. "Ia keluar dari rawa-
rawa untuk memungut cukai. Ia belum mati, itu aku pasti! Ia hanya bersembunyi
selama bertahun-tahun ini."
Mengetahui bahwa mereka tak akan sampai ke mana-mana dengan cerita raja Inggris
yang telah lama meninggal itu, Frank lalu menanyai dia tentang perampokan di
Bayport, serta ular beludak yang diletakkan di tempat tidur Chet.
"Aku belum pernah mendengar tentang Bay-port-mu itu!" kata pak tua itu dengan
panas. "Bagaimana aku dapat mencuri" Aku tak tahu bagaimana sekarung ular-ularku bisa
sampai di sana, dan aku tak dapat mengatakan siapa yang memakai topi tiga-sudut
itu. Hanya yang jelas bukan aku!"
"Dengarkanlah," kata Joe sambil berdiri dan mengepalkan kedua tangannya. "Kami
sudah hampir tak sabar untuk membawamu ke kantor polisi sekarang juga. Karena
itu janganlah berbelit-belit."
Clem juga berdiri, perasaan marah melintas di wajahnya. "Dengar, Nak! Jangan
coba-coba mengancam aku! Sudah kukatakan aku tak pernah ke Bayport! Dan aku
bukan pendusta!" Setelah mengucapkan itu, Clem duduk kembali. "Aku mengaku, bahwa aku yang
meletakkan ular itu di ranjangmu," katanya agak lebih tenang. "Aku mendengar
kalian datang kemari dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang aku, maka aku
hendak sedikit menakuti kalian. Maafkan tentang temanmu itu, tetapi aku tak
mengira bahwa ia begitu saja berbaring di atas ular itu."
"Kau meletakkan ular itu di ranjang Chet karena kaudengar kami mencarimu?" tanya
Frank tak percaya. "Kukira kalian agen-agen Raja," Clem menjelaskan. "Ia tahu bahwa aku mencarinya,
dan ia hendak mendahului menangkapku. Karena itulah aku menyuruh kalian memegang
ular. Kalau kalian memang agen-agen raja, tentu sudah kuning-pucat
melakukannya." Menyadari bahwa mereka tak dapat memperoleh apa-apa dari si Rubah Rawa-rawa masa
kini itu, kedua pemuda itu mengucapkan salam dan berangkat.
"Ia telah terlalu banyak menghirup gas-gas rawa, atau ia berpura-pura gila pada
kita," kata Joe sambil mengangkat bahu sementara mereka berjalan kaki menuju ke kota.
"Dongengan Raja George itu adalah yang paling gila yang pernah kudengar."
"Kita hanya tinggal menggali informasi dari pilot pesawat itu, Roger Mann."
Frank menghela napas. Setengah jam kemudian, mereka telah tiba kembali di jalan utama Swamp Creek.
"He, lihat!" seru Frank setelah mereka sampai di dekat motel. "Itu mobil pak
sheriff!" 8. Tersesat di Rawa Sebuah mobil polisi bertanda sheriff wilayah diparkir di depart motel. Kedua
pemuda itu mempercepat langkah mereka, khawatir bahwa Chet menjadi korban
serangan lagi. Mereka membuka pintu dan merasa lega ketika melihat Chet sedang duduk di tempat
tidur, rupa-rupanya tak apa-apa.
Sheriff berdiri di dekat jendela yang hancur pecah. Pecahan kaca berhamburan di
lantai. "He, anak-anak muda," katanya. "Temanmu ini menelepon ketika hal ini terjadi.
Ada orang yang melemparkan batu di jendelamu. Ada surat yang terikat padanya."
Sheriff mengulurkan secarik kertas yang kisut-kisut kepada Frank dan Joe. Kertas
itu bergambar ular beludak yang sedang melingkar dengan tulisan 'Jangan Injak
Aku' di atasnya ... Sedang di bawahnya tertulis:
TEMUI AKU DI RAWA PADA SAAT MATAHARI TERBENAM. MINTA RICK DOUGLAS UNTUK MEMBAWA
KALIAN KE SANA. CLEM. "Nanti dulu," kata Frank. "Kita baru saja bersama Clem pagi ini. Tak mungkin ia
melemparkan batu ini di sini."
"Barangkali ia mendahului kalian tiba di sini," kata pak sheriff. "Ini baru
terjadi kurang dari lima menit yang lalu."
"Siapa itu Rick Douglas?" tanya Joe.
"Ricky mengoperasikan sebuah perahu berbaling-baling atas," kata pak sheriff
kepada mereka. "Ia sebaya dengan kalian. Hafal sekali daerah Rawa Okefenokee. Ia
menyewakan perahunya bagi wisatawan."
"Di mana kami dapat menemui dia?" tanya Frank.
"Ambil saja jalan yang kau gunakan ke rumah Clem, tetapi teruskan kira-kira
setengah kilome-85 ter, lalu membelok ke kiri ke rawa-rawa. Ada tanda-tandanya."
"Aku sudah melihat papan-papan nama itu di sana," kata Joe. Ia ingat akan
beberapa papan nama yang menunjukkan jalan ke tempat wisata Rawa Okefenokee.
"Mari kita berangkat."
"Beritahukan apa yang kalian temukan," kata sheriff. "Katakan kepada Clem, ia
harus membayar jendela yang pecah ini. Katakan pula bahwa aku juga ingin
berbicara dengannya."
Kedua pemuda detektif itu keluar dari kamar dan berjalan ke rumah Clem. Kemudian
mereka mengikuti petunjuk jalan yang menuju ke tempat wisata, dan akhirnya tiba
pada sebuah dermaga di pinggir rawa-rawa.
Tertambat pada dermaga ada sebuah perahu-udara yang panjang dengan baling-baling
yang sangat besar di bagian atas belakang. Baling-baling itu digunakan untuk
menjalankan perahu itu melalui air yang sangat dangkal, yang bagi perahu
bermesin tempel tidak mungkin dilalui.
"Kalian anak-anak Hardy?" tanya seorang pemuda ramping yang keluar dari pondok
di samping dermaga. "Ya, dan engkau tentu Rick," Frank menyahut. "Kami mendapat surat dari Clem.
Katanya engkau akan membawa aku kepadanya."
Rick mengangguk. "Ia ingin bertemu kalian -
untuk sesuatu urusan. Nampaknya seperti sangat penting. Aku diminta membawa
kalian ke sana." Frank dan Joe naik ke bagian penumpang di depan, sedangkan Rick duduk jauh di
belakang di mana ia dapat mengemudikan perahunya.
"Berapa jauh kita harus pergi?" tanya Frank mengatasi deru baling-baling
sementara mereka melepaskan diri dari dermaga.
"Cukup jauh," pemuda itu berteriak kembali. "Rawa Okefenokee ini luas sekali."
Dari Sadie, kedua pemuda itu sudah mengetahui sedikit-sedikit perihal rawa-rawa
tersebut. Rawa-rawa itu merupakan sebuah taman nasional seluas 100 kilometer
persegi di bagian tenggara negara bagian Georgia dan bagian utara Florida.
Sungai Suwannee mengalir di tengah-tengahnya, tetapi bagian lainnya hampir
seluruhnya tanah berawa-rawa. Kebanyakan dihuni oleh ular, bu-, rung dan buaya.
Sambil menyisir permukaan air, Rick menjalankan perahunya melalui paya-paya dan
kubangan-kubangan. Perahu itu bahkan meluncur di atas lumpur dan gosong-gosong
pasir dengan mudahnya, seperti sebuah mobil yang meluncur di jalan yang halus.
"Di sinilah," kata Rick akhirnya sambil menghentikan perahunya ke sebuah
gundukan tanah yang berpohon-pohon. "Clem hendak menemui
kalian di sebuah pondok di balik pohon-pohonan itu. Aku akan menunggu kalian di
sini." "Terima kasih," kata Frank, dan kedua pemuda itu turun. Mereka masuk ke
kerimbunan pohon-pohon, berharap sampai di pondok. Tetapi tak ada tanda-tanda
hadirnya manusia di mana pun!
"He, tak ada apa-apa di sini," kata Joe sambil melihat ke sekelilingnya. "Rick
tentu telah salah." Pada saat itu juga mereka mendengar suara mesin perahu dihidupkan.
"Ia hendak pergi!" seru Joe dengan takut, dan mereka lari di antara pohon-pohon
menuju ke arah perahu. Semangat mereka runtuh ketika mereka melihat perahu itu menghilang ke rawa-rawa,
suaranya menderu-deru di atas air. Rupa-rupanya, semua telah diatur untuk
menurunkan mereka di tengah rawa-rawa dan meninggalkan mereka di sana!
"Bangsat kecil!" seru Joe dengan marah. "Tunggu kalau aku sudah kembali! Aku
akan membuat anak dan perahu itu menjadi setumpuk sampah!"
"Masalahnya," kata Frank dengan putus asa, "bagaimana kita dapat kembali" Kita
tentu telah sepuluh kilometer masuk di rawa-rawa!"
Matahari sudah hampir sampai di garis ufuk.
Dalam beberapa menit lagi hari akan menjadi gelap.
"Lebih baik kita bersiap-siap untuk menginap," Joe menyimpulkan sambil
memandangi matahari terbenam. "Kita tentu akan dapat keluar dari sini, tetapi
tidak tanpa cahaya."
"Aku tak mau berdebat denganmu," Frank menggerutu. "Aku tak merasa tertarik
untuk berenang bersama buaya-buaya di kegelapan."
Malam tiba dengan dinginnya. Untunglah mereka mempunyai korek api, dan dapat
membangun tabunan dengan ranting-ranting yang dapat mereka kumpulkan. Mereka
duduk meringkuk di dekatnya untuk menghangatkan tubuh mereka.
Frank akhirnya terlena, dininabobokkan oleh suara-suara berkeretaknya api dan
angin di malam itu. Joe menambahkan kayu pada api hampir sepanjang malam, hingga
akhirnya juga terlena, dan api kecil itu akhirnya menjadi setumpuk abu dan bara
berpijar. Tiba-tiba suatu suara membuat ia tersentak bangun. Pandangan Joe menegang takut
sambil memusatkan pendengarannya, tidak yakin apakah suara itu benar-benar ada
atau hanya bagian dari mimpi.
"Grrrrr!" Menyadari bahwa suara mengaum itu bukan
hanya nyata, tetapi juga semakin dekat, Joe menangkap lengan kakaknya. "Bangun!"
"Ada apa?" tanya Frank kembali terjaga.
"Aku tak tahu," bisik Joe. "Dengarlah!"
Suara kemeresak terdengar dari dalam semak-semak, dan nampaknya bergerak
mengitari mereka. Sekali lagi terdengar suara menggeram tak begitu keras di
kegelapan. "Macan," Frank menyimpulkan. Ia memungut sebatang kayu bakar dan mengaduk-aduk
di tumpukan abu. "Grrrrr!" kucing raksasa itu mengaum, ketika bara api di bawah abu mulai
bepercikan. "Ia semakin dekat!" bisik Joe dengan serak.
Pada saat itu, sepasang mata menyala-nyala nampak di antara semak-semak.
Pada saat itu pula Frank mencungkilkan kayunya pada bara menghamburkan awan abu
dan bara. Kali ini sambil mengaum ketakutan binatang buas itu melarikan diri ke
dalam semak-semak. "Syukur ... ia telah lari!" Frank menghembuskan napas dengan lega.
Joe mengangguk. "Rupanya ia juga lapar seperti aku!"
Mereka segera membesarkan api secepat-cepatnya agar tetap dapat menyala
sepanjang malam. Pada waktu subuh, mereka keluar untuk
memeriksa di mana macan itu dapat menyeberang ke 'pulau' mereka.
"Ini dia!" seru Joe, menunjuk ke tempat yang sangat dangkal, yang menghubungkan
pulau mereka dengan sebuah tanah darat yang lebih luas.
Frank dan Joe menyeberangi air yang dangkal itu menuju ke darat di seberang. Air
tak pernah sampai ke lutut, dan dasar tanah lempung cukup keras untuk mendukung
tubuh mereka. "Tahan," Joe memerintah ketika mereka sudah dekat dengan daratan. "Kedua makhluk
itu nampaknya juga kurang ramah."
Frank memandang ke arah yang ditunjuk Joe. Setengah tersembul ke permukaan, dua
ekor buaya sedang berjemur di matahari yang baru saja timbul. Hanya kepala dan
punggung yang nampak di atas permukaan.
Hardy Boys Komplotan Pemuja Vodoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada saat itu, salah satu melepaskan diri dari pinggir dan dengan perlahan-lahan
berenang ke arah kedua pemuda. Kedua pemuda itu berhenti dengan diam.
"Pernah bergelut dengan seekor buaya?" Frank melucu gugup.
"Kalau ia mendekat lagi, kita akan habis!" Joe menyahut.
Namun buaya itu tak memperhatikan kedua tamunya dan membelok ke tempat yang
lebih dalam. Dengan hati-hati Frank dan Joe meneruskan jalan ke darat, memutar
lebar mengitari buaya yang seekor lagi.
Daratan itu ternyata juga berpaya-paya, dan mereka sering harus berjalan di
dalam lumpur sebatas lutut sebelum sampai ke tanah yang lebih tinggi dan kering.
"Kita menuju ke barat," kata Joe, melihat dari letak matahari. "Swamp Creek
tentunya ada di sebelah utara."
"Aku tahu," kata Frank. "Kuharap saja tanah ini cukup lebar sampai ke Sungai
Suwannee, yang mengalir melintas utara-selatan. Jadi kita dapat mengikutinya
sampai ke arah kota."
Kakak beradik itu meneruskan perjalanan mereka ke barat, tetapi semak-semak yang
lebat membuat perjalanan mereka lambat. Pada saat mereka sampai di tepi sungai,
pakaian mereka sudah hampir menjadi compang-camping terkena duri-duri.
Joe memandang menerawang ke utara, mengikuti aliran sungai yang lambat berkelok-
kelok. "Sungguh enak kalau mempunyai perahu," katanya dengan lelah.
"Yahhh, sayang kita tak punya," kata Frank dengan mengangkat bahunya.
"Barangkali masih lima kilo ke tepi rawa-rawa, dan dua atau tiga kilo
lagi sampai di Swamp Creek. Kita masih mampu sampai di sana."
Pemuda yang pirang itu mengeluh.
Mengikuti aliran sungai ke arah utara ternyata lebih daripada tadi ketika
mencapainya. Banyak di antara daerah-daerahnya berpaya-paya. Mereka bahkan sering harus
berenang melintasi air yang dalam, selalu waspada akan buaya, ular air dan lain-
lain binatang air. Pada saat mereka baru mencapai satu-dua kilometer, sudah
hampir seluruh tubuh mereka berlumur lumpur dan basah.
"Aku perlu beristirahat dulu," kata Joe akhirnya dengan mendesak. Ia memang agak
kurang tidurnya daripada kakaknya.
Kakaknya yang berambut hitam menyetujui, dan mereka duduk pada sebatang kayu
yang tumbang di pinggir sungai.
"Kok lebih berat daripada yang kuperkira-kan," Frank mengakui. Ia melihat seekor
ular 'water moccasin' dengan tenang masuk ke dalam air untuk mencari makan.
"He, lihat itu!" Joe berseru tiba-tiba, tangannya menunjuk jauh ke sungai. "Ada
perahu!" Kedua pemuda melompat bangun dan mengintai ke selatan. Di kejauhan, sebuah
perahu bermotor ukuran sedang, sedang mendatangi.
"Aku memang tak mau melepaskan harapan,"
kata Frank sambil menyeringai, "tetapi inilah yang kudoakan."
Kedua pemuda cepat-cepat meniti ke ujung batang pohon yang menggantung di atas
permukaan air sungai. Setelah perahu bermotor itu semakin dekat, mereka
melambai-lambaikan tangan dan berseru-seru minta dibawa.
Perahu itu ditumpangi oleh sepasang orang tua, keduanya memakai topi jerami dan
baju berwarna cerah. Melihat kedua pemuda yang compang-camping berlumur lumpur,
mereka menjadi ragu-ragu. Frank dan Joe menunggu dengan khawatir ketika suami-
isteri itu saling mempercakapkan, apakah mereka hendak membawa atau meninggalkan
kedua pemuda itu. Beberapa saat kemudian kedua pemuda itu menghela napas lega, ketika si kakek
menepikan perahunya. "Bagaimana kalian anak-anak muda sampai terdampar di sini?" tanya si nyonya
dengan lafal selatan yang berat, sementara kedua pemuda itu memanjat naik ke
perahu. "Kami kira, ini hasil pikiran orang yang hendak membadut," kata Frank dengan
muram. "Kelihatannya tidak terlalu lucu bagiku," kata yang laki-laki dengan nada heran.
"Sambil lalu," ia meneruskan, "Namaku Walter. Ini isteriku, Peg."
Frank mengulurkan tangan kepadanya untuk menjabatnya.
"Iiiihh!" seru nyonya tua, memandangi lengan Frank.
Dengan terkejut Frank memandangi lengannya, dan melihat beberapa ekor lintah
yang hitam dan panjang melekat di sana! Kedua pemuda dengan nekad membuka baju
dan celana panjangnya, melihat lebih banyak lagi binatang penghisap darah itu di
kaki dan punggung mereka. Mereka terlalu lelah dan berlumur lumpur untuk
mengetahuinya lebih dulu.
Setelah dengan bantuan garam yang kebetulan dibawa oleh suami isteri itu mereka
berhasil melepaskan lintah, kedua pemuda itu memakai lagi pakaian mereka. Peg
membuat roti berisi bagi mereka, sementara perahu itu melanjutkan perjalanan
menuju ke hulu. Kedua orang tua itu dengan terpesona mendengarkan cerita kedua pemuda.
Pak Walter dan nyonya Peg menambatkan perahu mereka di dekat kota Swamp Creek,
lalu pergi ke motel untuk mengambilkan pakaian bagi kedua pemuda. Ketika mereka
kembali, Chet ikut serta-
"Nah, ini yang kusebut keramah-tamahan daerah selatan!" seru Joe setelah
berganti pakaian. "Kalau ada sesuatu yang dapat kami lakukan bagi anda sekalian,
katakan..." "Ah, jangan pikiran itu," kata si nyonya dengan lafalnya yang berat. "Aku hanya
berharap kalian dapat melakukan yang sama kalau-kalau kami juga terdampar di
daerah utara!" Kedua pemuda itu sekali lagi mengucapkan terima kasih, kemudian bersama Chet
mencari operator perahu baling-baling yang telah menyebabkan mereka mengalami
kesulitan. Perahu itu tertambat di dermaga ketika mereka tiba di sana.
"Nah, kini kita menghadapi jenis lain dari keramah-tamahan daerah selatan," kata
Joe dengan marah, dan menendang pintu pondok hingga terbuka.
Ketika Rick melihat mereka, mulutnya ternganga. "A - a - ba-bagaimana - kalian
sampai di sini?" ia menggagap, ketakutan memperkirakan apa yang akan mereka
perbuat terhadap dirinya.
Joe menangkap bajunya dan menekan dia pada dinding. "Berikan jawaban yang benar,
kalau tidak kuserahkan kau kepada sheriff," ia berkata dengan hati panas.
"Di-dia yang menyuruh aku!" pemuda itu meratap. "Lihat itu suratnya. Di sana
itu." Frank memungut secarik kertas dari atas meja. Seperti yang mereka terima melajui
jendela di motel, kertas itu juga bertanda lambang Perang Revolusi dengan gambar ular
melingkar. Surat itu memerintahkan Rick agar membawa Frank dan Joe jauh ke dalam rawa-rawa,
dan meninggalkannya di sana sebagai umpan ular dan buaya. Kalau Rick tidak mau
melaksanakannya, si Rubah Rawa akan segera memukul tanpa pemberitahuan lebih
dulu. Surat itu ditanda-tangani oleh 'Rattlesnake Clem'.
"Lepaskan dia," kata Frank kepada adiknya setelah membaca surat itu. "Clem-lah
yang harus dipenjarakan."
"Sudah," kata Chet. "Pak sheriff yang menangkapnya kemarin malam."
"Atas tuduhan apa?" tanya Joe dengan heran.
Chet tertawa kecil. "Perampokan di Bayport!"
9. Pencarian dari Udara "Bawa kami ke kantor sheriff," perintah Frank kepada operator perahu. "Paling
sedikit, itulah yang dapat kaulakukan untuk membalas tindakanmu meninggalkan
kami di rawa-rawa." Mobil Chevrolet Rick yang tua diparkir di belakang gudang. Mereka naik dan
segera berangkat menuju ke kota, ke kantor polisi wilayah. Tiba di sana, mereka
melihat Clem dikurung dalam salah satu sel. Penghuni rawa-rawa yang telah
beruban itu bagaikan binatang liar di dalam kandang, melangkah mondar-mandir
dari ujung ke ujung. "Aku tak mencuri apa-apa!" ia menggerung,
menatap marah kepada sheriff, lalu kepada kedua pemuda.
"Engkau juga tidak mengancam Rick untuk membawa kami ke rawa-rawa?" tanya Joe
dengan tajam. Clem memegangi jeruji sel. "Sudah tentu tidak. Tentu Raja George yang
melakukannya! Ia yang mengatur segala-galanya!"
"Engkau hendak mengatakan, bahwa Raja George ke III dari Inggris yang merampok
toko barang antik di Bayport?" tanya Frank. Sekarang ia sangat mencurigai
kesintingan orang itu. "Sudah kukatakan kepadamu, Raja George masih saja memungut cukai dari
jajahannya!" Clem terus saja berteriak-teriak. "Sebaliknya, daripada memungut
cukai ia malah merampok."
Sheriff menggeleng-gelengkan kepala mendengar ia meracau, lalu memberi isyarat
kepada para pemuda untuk kembali ke kantornya. "Hanya demikian yang dapat
kuperoleh dari Clem," ia menjelaskan. "Tetapi bukti petunjuk sudah jelas. Aku
telah menemukan barang-barang ini tadi pagi di garasinya."
Pada sebuah meja di sudut kantor terdapat satu set barang perak dan tiga helai
lukisan. "Chet menelepon aku tadi malam ketika kalian tidak juga pulang," sheriff itu
melanjutkan sambil duduk, lalu membuka sebungkus coklat.
"Aku lalu menuju ke rawa-rawa bersama beberapa deputy, mencoba untuk menemukan
kalian. Nah, aku memang tak menemukan kalian, tetapi aku tanpa disengaja menemukan
barang-barang berharga ini ketika aku pergi ke rumah Clem dan menggeledah
garasinya." "Apakah ini barang-barang yang dicuri dari Durby McPhee?" tanya Joe.
"Mula-mula kukira milik Clem," jawab sheriff. "Tetapi kemudian aku menyadari
bahwa barang-barang ini lebih berharga dari barang-barang yang biasa ia
perdagangkan. Aku teringat cerita kalian tentang pencurian di Bayport, maka aku
lalu menelepon polisi Bayport dan mencocokkannya dengan mereka. Betul saja,
itulah barang-barang yang telah dicuri dari toko McPhee. Karena itulah aku
menangkap Clem." Pak sheriff yang merasa puas atas kerjanya yang bagus, tersenyum sambil
memasukkan potongan coklat yang terakhir ke dalam mulutnya. "Eh, omong-omong,
apa yang terjadi dengan kalian tadi malam?"
Frank dan Joe menceritakan kepadanya, bagaimana mereka ditinggal di rawa-rawa
oleh pemilik perahu, dan harus menemukan jalan kembali ke kota atas bantuan
suami-isteri yang tua. "Kalian masih untung dapat ditemukan."
Sheriff itu tersenyum. "Kalau tidak kalian masih harus menginap semalam lagi di
sana." "Bagaimana pendapat anda tentang cerita Clem tentang Raja itu?" kata Frank untuk
mengalihkan persoalan. Wajah sheriff nampak berpikir. "Rupa-rupanya Clem berpendapat bahwa Revolusi
Amerika masih terus berlangsung. Namanya yang benar ialah Clemson Marion,
keturunan seseorang yang bernama Francis Marion, lebih dikenal sebagai si Rubah
Rawa. Selama Perang Revolusi..."
"Clem sudah menceritakan semua itu kepada kami," Joe memotong. "Apa yang tidak
kami ketahui ialah mengapa Clem percaya bahwa Raja George masih hidup dan
memungut cukai dari jajahan-jajahan di Amerika."
"Aku juga memikirkan hal itu," kata sheriff itu sambil mengedipkan mata. "Ketika
kami temukan harta ini di garasi, kami juga menemukan baju merah dan beberapa
potong pakaian lagi yang rupanya mirip bagian-bagian pakaian kebesaran bangsawan
Inggris abad delapan belas. Memang, aku bukan psikolog, tetapi bagiku nampaknya
seperti suatu kasus kepribadian ganda."
"Apakah anda hendak mengatakan bahwa Clem melakukan peranan baik sebagai si
Rubah Rawa dan Raja George sekaligus?" tanya Joe.
Sheriff mengangguk. "Orang tua itu sudah
lepas dari relnya. Kukira, suatu hari ia berpakaian sebagai si Rubah Rawa dengan
topi tiga-sudutnya, lain hari ia muncul sebagai Raja George, musuhnya, dan
berkeliaran. Permainan yang sinting yang dia lakukan itu, memerankan orang baik dan orang
buruk. Dengan demikian ia melestarikan Revolusi Amerika di benaknya."
"Waduhh!" seru Chet. "Kalau begitu masalahnya, ia memang benar-benar gila. Dan
anda menduga bahwa semua pencurian itu dilakukannya oleh pribadinya sebagai si
Rubah Rawa?" Pak Sheriff mengangguk. "Itulah dugaanku. Ia mencuri toko-toko barang antik
karena ia percaya bahwa itu semua milik kaum Tory yang kaya, para pendukung
pihak Inggeris sewaktu Revolusi. Kemudian, sebagai Raja George, ia menganggap
barang-barang curian itu sebagai cukai yang dia pungut dari daerah jajahan."
"Itu sebuah teori yang menarik," kata Frank agak sangsi.
"Yahhh," sambung pak sheriff. "Orang-orang di sekitar sini telah mengatakan
melihat hantu Raja George. Ia muncul pada larut malam di dekat tepi rawa-rawa.
Lima atau enam orang berani bersumpah telah melihatnya beberapa hari yang lalu."
"Anda yakin bahwa itu bukan akibat gas-gas rawa yang dikombinasikan dengan
khayalan orang?" tanya Joe. Ia tahu, bahwa gas-gas metan yang menguap dari air
rawa sering menyebabkan orang mengira melihat hantu.
"Itulah yang kukira mula-mula," jawab pak sheriff sambil meletakkan kedua
kakinya ke atas meja. "Tetapi kemudian beberapa orang yang patut dipercaya
bersikeras telah melihat hantu Raja itu dengan jelas. Itulah yang menyebabkan
aku percaya, bahwa Clem yang mengaku musuh bebuyutan Raja, mungkin sekali sedang
berpakaian sebagai Raja itu sendiri." j
"Tetapi mengapa ia harus memilih beberapa tempat yang sangat berlainan untuk
mencuri?" Frank mengajukan penalarannya. "Di samping itu, yang ini hanya merupakan
sebagian yang sangat kecil dari apa yang telah dicuri. Apakah hanya ini yang
anda temukan?" "Ya," jawab sheriff yang buncit itu. "Yang lain tentu disembunyikan di lain
tempat. Aku hanya berharap, bahwa Clem tidak terlalu sinting untuk dapat
mengatakan, telah diapakan saja barang-barang itu semuanya. Kalau tidak, aku
dapat berbulan-bulan mencarinya di luar sana."
Para pemuda itu meminta izin lagi untuk dapat berbicara dengan Clem. Sebab
mereka belum yakin bahwa ia memang benar-benar perampok di Bayport, atau bahwa
ia benar-benar menderita gangguan jiwa berupa kepribadian yang ganda.
"Pak Clem, katakanlah satu hal saja," kata Frank. "Kapan dan di mana engkau
melihat Raja itu untuk pertama kali?"
"Tahun lalu, pada perayaan Mardi Gras pada hari Selasa Lemak-lemak," jawab Clem.
"Kemudian aku membuntutinya ke tempat pesta. Banyak orang yang berpesta pada
hari Selasa Lemak-lemak, kalau kalian mau tahu."
"Pesta apa?" "Pesta di mana ia membagi-bagikan barang-barang rampasan sebagai pajak!" seru
orang tua itu. "Di mana pesta itu?"
Orang tua itu mengangkat bahu. "Di sebuah rumah yang indah di luar kota."
"Engkau tahu jalan-jalannya ke sana?"
Clem menggeleng. "Sudah kukatakan, aku hanya membuntutinya. Hanya itu yang
kuketahui." "Bagaimana dengan barang perak dan lukisan-lukisan yang ditemukan pak sheriff di
rumahmu?" "Bukan di rumahku! Ia menemukannya di garasiku, yang selalu terbuka biarpun aku
ada di rumah atau tidak. Ada orang yang meletakkannya di sana, dan itu bukan
aku! Aku tidak mencurinya. Kukatakan kepadamu, aku tidak mencuri!"
Akhirnya para pemuda itu meninggalkan kan-
tor polisi, tidak yakin harus mempercayai teori pak sheriff atau tidak.
"Menurut aku memang masuk akal," kata Chet. "Clem telah membuktikan bahwa dia
memang sinting. Dan mereka telah menemukan barang curian itu di mana ia tinggal.
Memang, ia mengatakan kepada kita tentang Raja George dan bagaimana ia
melihatnya di pesta Mardi Gras. Lalu ia membuntutinya ke tempat pesta. Itu semua
benar-benar seperti telah dikarang."
"Aku tahu," kata Frank sambil naik ke mobil Rick. "Tetapi, ada sesuatu yang
tidak sreg bagiku dalam keseluruhannya. Apakah engkau juga telah melihat Raja
itu, Rick?" Pemuda itu mengangguk sambil menghidupkan mesin mobilnya. "Aku melihatnya
beberapa malam yang lalu ketika aku sedang membetulkan mesin perahuku. Ada orang
yang merayap dari balik semak-semak, masuk ke rawa-rawa. Ia memakai rambut palsu
yang dibedaki, baju merah seperti yang ditemukan Pak Sheriff. Terlalu gelap, dan
ia terlalu jauh untuk dapat kulihat dengan jelas. Tetapi yang pasti bukan
hantu." "Lalu apa menurutmu?"
"Si tua sinting itu, pak Clem, tentu saja. Orang itu memang sinting; dan secara
jujur, aku takut padanya."
Alis mata Frank bertemu karena berpikir
Hardy Boys Komplotan Pemuja Vodoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keras. "Apakah mungkin menyewa sebuah pesawat di lapangan terbang setempat?" ia
bertanya. "Kukira bisa," jawab pemuda itu. "Untuk apa?"
"Aku ingin menuruti firasatku. Aku tahu, bahwa ini kedengaran sinting. Tetapi
mungkin sekali cerita Clem itu tidak terlalu jauh dari kenyataannya seperti yang
kita duga." Joe membunyikan jari-jarinya. "Aku tahu apa yang kaumaksudkan. Kalau ada orang
lain yang bertopeng sebagai Raja George, mungkin sekali ia mempunyai
persembunyian di rawa-rawa."
"Itulah," Frank membenarkan. "Jalan yang paling mudah untuk mengetahuinya ialah
dari udara." Rick mengangkat bahu. "Kukira kalian hanya akan membuang-buang waktu saja.
Tetapi aku bersedia membawa kalian ke sana."
Setelah memutar mobilnya, Rick membawa mobilnya menjauhi kota menuju ke lapangan
terbang pribadi tersebut. Setiba di sana, Frank dan Joe menyiapkan segala
masalah untuk menyewa sebuah pesawat kecil bermesin tunggal pada siang menjelang
sore. Kedua pemuda itu adalah pilot yang trampil dan memiliki izin terbang yang
sah. "Apakah sudah ada berita dari Roger Mann?" tanya Joe kepada manajer lapangan
terbang. Ia melihat pesawat Cessna biru itu masih diparkir di dekat hanggar.
"Belum," jawab manajer. "Aku akan menelepon kalian di motel kalau ia datang."
Beberapa menit kemudian Frank dan Joe sudah mengudara dengan pesawat sewaan.
Karena hanya bertempat duduk dua, tak dapat memuat Chet dan Rick. Mereka berdua
lalu kembali ke kota untuk makan di restoran motel. Bagaimana pun Chet merasa
lebih senang ditinggal, karena ia merasa lapar dan ingin bertemu dengan Sadie.
Dilihat dari atas, rawa Okefenokee nampak bagaikan daun-daun dan air yang
membentang tanpa tepi. Joe yang mengemudikan, terbang rendah di atas tanah dan
memutar-mutar membentuk pola yang dapat melingkupi seluruh daerah itu dalam satu
jam. Frank mengamati daerah itu dengan teliti, mencari-cari pondok yang tersembunyi
atau perahu. "Itu dia tempat kita ditemukan," katanya ketika mereka melintasi
Sungai Suwannee. "Kita memang di tempat yang jauh dari mana-mana!"
Joe menyeringai. "Ya, aku gembira sekarang berada di atas sini, tak dapat lagi
dijangkau oleh buaya. Engkau melihat tanda-tanda kehidupan di sana?"
"Tak ada apa-apa," jawab kakaknya. Setelah mencari-cari dengan teliti selama dua
jam tanpa ada tanda-tanda berhasil, mereka terbang kembali ke lapangan terbang
dengan kecewa. "Hapuskan saja gagasan ini," kata Joe ketika mereka sudah
mendekati landasan. "Kukira kita..."
"Heee, awas!" seru Frank tiba-tiba dengan ketakutan.
Pesawat Cessna biru itu sedang menggelinding di landasan, baru saja keluar dari
tempat parkirnya. Landasan terhalang bagi pesawat mereka untuk mendarat!
Suara pengawas menara terdengar di radio, memerintahkan Cessna untuk membebaskan
landasan. Tetapi pilot Cessna tak menanggapi. Sebaliknya, ia malah bersiap-siap
untuk tinggal landas! Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net 10. Kalap "Pegangan erat-erat!" seru Joe. Ia menambah gas dan menarik tongkat kemudi.
Dengan satu gerakan yang cepat, ia mengayunkan pesawat kecil itu menghindar dari
bahaya. Pesawat Cessna itu meluncur tinggal landas di bawah mereka, langsung
mengayun ke barat demikian terlepas dari landasan.
"Gila!" teriak Frank. "Bisa-bisa dia membunuh kita!"
"Kita kejar saja!" kata Joe dengan marah. "Tak ada gunanya. Cessna itu terlalu
cepat bagi kita." "Kukira kau benar," Joe menggerutu. Ia
menukik mengitari lapangan dan membawa pesawat sewaan itu merendah untuk
mendarat. Setelah sampai di darat, mereka langsung ke kantor manajer.
"Aku tidak memberikan izin untuk tinggal landas!" manajer yang merangkap
pengawas penerbangan itu mempertahankan diri.
"Apakah anda mengatakan kepada dia bahwa kami ingin bertemu dengannya?" tanya
Pedang Awan Merah 7 Dewa Arak 77 Sengketa Guci Pusaka Misteri Pulau Neraka 6
Franklin W. Dixon Hardy Boys - Komplotan Pemuja Voodoo Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net Judul Asli THE VOODOO PLOT Oleh Franklin W. Dixon Terjemahan oleh Prodjosoegito
Copyright 1982 oleh Stratemeyer Syndicate
" Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Diterbitkan pertamakah dalam bahasa
Inggris oleh Wanderer Books dari Simon & Schuster Divisi dari Gulf & Western
Corporation Simon & Schuster Building 1230 Avenue of the Americas New York, New York 10020
Diterbitkan pertamakah dalam bahasa Indonesia oleh PT. INDIRA, Jalan Sam
Ratulangi 37 Anggota IKAPI Jakarta -1985 Cetakan I : Januari 1985 Dicetak oleh PT Midas Surya
Grafindo, Jakarta Daftar Isi 1. Pengintaian ... 1 2. Jangan Injak Aku ... 12
3. Karnaval ... 26 4. Petunjuk Minyak Ular ... 37
5. Pemburuan Ular ... 53 6. Ancaman Bisa ... 63 7. Upacara yang Menakutkan ... 73
8. Tersesat di Rawa ... 83
9. Pencarian dari Udara ... 98
10. Kalap ... 109 11. Petunjuk Tukang Sihir ... 120
12. Voodoo ... 130 13. Kesulitan Beruntun ... 143
14. Nyanyian Sandi ... 152
15. Raja Datang ... 161 16. Piknik yang Aneh ... 171
17. Bernasib Baik ... 179
18. Pesta Dansa Bertopeng ... 190
19. Pergumulan di Loteng ... 199
1. Pengintaian Frank dan Joe Hardy berdiri di pintu kamar kerja ayah mereka. Mereka baru pulang
dari latihan bola basket di lapangan basket tak jauh dari rumah mereka. Kedua
pemuda itu masih mengenakan pakaian latihan ketika mendengar nama mereka
dipanggil. Joe yang berambut pirang dan setahun lebih muda dari Frank, kakaknya,
membawa bola di bawah lengannya.
Di dalam kamar kerja, Fenton Hardy duduk di belakang meja, sedang membalik-balik
setumpuk kertas. Seorang lagi duduk di depannya.
"Halo, Ayah," kata Frank untuk menarik perhatiannya. "Ada apa ayah memanggil
kami?" Pak Hardy mendongak dan mengangguk ke arah tamunya. "Anak-anak, inilah Pak Durby
McPhee," ia memperkenalkan tamunya yang jangkung berambut merah. "Ia memiliki
ruang pameran seni dan toko barang antik di kota."
"Ah, ya. Kami tahu tempat itu," kata Frank. "McPhee's Antiques di Baker Street.
Bibi Ger-trude senang sekali ke sana dan berkeliling melihat-lihat."
Pak McPhee berdiri dan mengulurkan tangannya yang bertulang menonjol dan pucat
kepada Frank dan Joe. "Kudengar kalian mengikuti jejak ayahmu, dan telah menjadi
detektif yang baik," katanya sambil berjabat tangan. "Karena itulah aku kemari.
Aku ingin mempekerjakan kalian malam ini."
"Apa yang akan kami lakukan?" tanya Joe.
"Mengawasi ruang pameranku. Aku sedang menyuruh memasang alat tanda bahaya,
tetapi belum akan selesai sampai besok. Apakah kalian telah mendengar tentang
pencurian-pencurian di tempat-tempat pameran seni di seluruh negeri?"
"Ya," jawab Frank. "Kami tahu. Ayah sedang mulai bekerja untuk perkara itu."
"Betul," kata McPhee. "Pak Kepala Polisi Collig mengatakan demikian kepadaku
pagi tadi. Sudah terjadi banyak kesulitan di beberapa negara bagian. Yang mungkin belum
kalian ketahui ialah, bahwa Art Deco Gallery di Lewiston telah kecurian tadi malam. Lebih dari lima
puluh ribu dollar telah tercuri, berupa barang perak dan lukisan-lukisan. Art
Deco satu-satunya toko barang antik dalam jarak sepuluh kilometer dari sini. Aku
menjadi khawatir, jangan-jangan tempatku akan mendapat giliran yang berikut."
"Aku dapat memahami," kata Frank.
"Lebih-lebih lagi," McPhee meneruskan, "aku telah melihat orang aneh berkeliaran
di sekitar tempatku beberapa hari yang terakhir ini."
"Orang aneh?" tanya Frank.
"Ya. Ia memakai topi bersudut tiga."
"Topi bersudut tiga?" seru Joe. "Topi macam itu sudah ketinggalan mode beberapa
ratus tahun yang lalu!"
McPhee mengangkat kedua tangannya. "Aku tahu bahwa ini kedengarannya sinting,
tetapi itulah yang kulihat."
"Anda menduga orang itu sedang menyelidiki toko anda?" tanya Frank yang berumur
delapan belas dan berambut hitam.
Orang itu hanya mengangkat bahu. "Bisa jadi, bukan?"
"Kukira, orang yang sedang menyelidik mencari sasaran pencurian tak akan
berpakaian menyolok," kata Joe.
Sekali lagi McPhee mengangkat bahu. "Ba-
rangkali orang itu memang sinting. Tetapi yang kutahu, aku khawatir, dan aku
akan merasa lebih enak kalau mempunyai beberapa penjaga. Orang-orang yang
memasang tanda bahaya berjanji bahwa alat-alat itu akan bisa bekerja besok,
tetapi aku perkirakan baru akan selesai dalam beberapa hari lagi."
Joe menyeringai. "Sebenarnya kami sudah berkencan akan menonton karnaval di
Bayport Meadows besok malam."
"Dapatkah ditunda pembelian karcisnya?"
"Ya, kukira begitu, kalau perlu."
"Baik. Bagaimana pun mungkin hanya untuk nanti malam. Kalian terima tugas itu?"
"Dengan senang," kata Frank. "Kami ada ujian besok, tetapi sambil mengawasi,
kami dapat saling menguji pelajaran di mobil, ya Joe?"
Joe mengangguk. "Hanya ujian pertengahan semester," ia menjelaskan. "Sesudah
besok pagi dan pertandingan bola basket pada siang harinya, kami mendapat
liburan musim semi. Saat itu kami akan punya banyak waktu untuk membantu ayah
dalam perkara itu." Fenton Hardy, yang pernah pula menjadi bintang lapangan bola basket ketika masih
di SMA, bersinar-sinar wajahnya, bangga atas kedua anaknya. "Anak-anakku terlalu
merendah," katanya kepada McPhee. "Pertandingan besok itu adalah untuk kejuaraan wilayah."
"Aku jadi terkesan!" McPhee berkata sambil tersenyum. "Barangkali aku akan
menonton mereka memenangkan pertandingan."
"Kembali kepada masalah Anda," Frank mengalihkan pembicaraan. "Apakah Anda sudah
memberitahu polisi?"
McPhee menggeleng. "Mereka tak akan banyak membantu kalau apa yang kumiliki
hanya rasa curiga. Tentu, aku dapat meminta mobil patroli lebih sering mengamati
tempatku, tetapi itu belum cukup. Aku merasa lebih aman kalau kalian yang
mengawasi tokoku. Nah, semua pencurian itu tak pernah terjadi sesudah tengah
malam. Jadi, katakanlah, kalian dapat pulang sesudah jam setengah satu."
Frank berpaling kepada ayahnya. "Apakah itu tidak aneh, Ayah" Maksudku, faktor
waktu itu?" "Sebenarnya tidak," jawab detektif terkenal itu. Ia telah mendapatkan banyak
pengalaman ketika masih berdinas di Dinas Kepolisisn Kota New York. "Harap
kalian ketahui, setelah lalu-lintas menurun dan jalan-jalan menjadi sepi, para
pencuri akan lebih menarik perhatian polisi patroli. Rupa-rupanya orang-orang
ini lebih menyukai beroperasi dekat setelah matahari silam, tetapi jalan-jalan
masih ramai. Karena mereka juga mencuri perabotan antik maupun lukisan-lukisan,
di samping barang-barang perak dan permata, mereka harus menggunakan truk. Itu
dapat dilakukan tanpa menarik perhatian bila jalan-jalan masih ramai."
McPhee minta diri sebentar ke kamar kecil, sementara Pak Hardy membicarakan
tempat yang paling baik untuk bersembunyi bagi kedua anak-anaknya. Tak lama
kemudian, pak Hardy mengantarkan pedagang barang antik itu ke pintu, dan
berjanji bahwa anak-anaknya akan segera melakukan tugas setelah makan malam.
Setelah mandi dan makan, Frank dan Joe mengambil buku dan naik ke mobil sport
kuning mereka. Senja sedang merembang petang ketika mereka tiba di bagian yang
ramai dari kota Bay-port, di mana toko dan ruang pameran McPhee berada.
Mereka memarkir mobil mereka di seberang tempat tersebut, di depan sebuah rumah
makan pelayanan cepat, agar mobil mereka tidak akan menarik perhatian para calon
pencuri. "Bagaimana kalau ke belakang tempat itu?" tanya Joe kepada kakaknya. "Aku merasa
pasti, bahwa pencuri tak akan memuat barang-barang curiannya melalui pintu
depan." "Itu betul," jawab Frank. "Mereka akan menyediakan truk di bagian belakang
tempati parkir. Aku akan ke sana sekarang, hendak melihat apakah ada orang di
sana. Kalau tidak, kita masih dapat melihat mereka membawanya masuk. Mereka
harus melalui jalan masuk yang ada di sebelah kiri itu. Tak ada jalan lain ke
tempat parkir." Ia turun dari mobil dan berjalan seenaknya menyeberangi jalan. Ia mengamati toko
itu dengan teliti, yakin tidak ada orang yang mencurigakan. Kemudian ia kembali
kepada Joe, dan mereka saling memberikan soal-soal pelajaran untuk ujian esok
hari. Sementara itu, mereka tetap mengawasi toko barang antik.
Setelah satu jam, mereka beristirahat. Joe masuk ke rumah makan, membeli air
soda. Setelah keluar lagi, ia melanjutkan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada
kakaknya. Dengan sebuah senter kecil ia membaca buku, sementara kakaknya menjawab sambil
tetap memasang mata ke toko.
"Disebut apakah prajurit-prajurit revolusioner yang siap meninggalkan rumah
tangganya untuk bertempur bila Paul Revere telah memberikan isyarat," tanya Joe.
"Pasukan Minuteman," jawab Frank dengan benar.
"Kapan James Oglethorpe mengantarkan
kaum pelarian dari penjara-penjara Inggris ke Georgia?"
"Tujuh belas tiga puluh tiga."
"Bagus," kata Joe. "Sekarang, sungai apakah yang diseberangi George
Washington..." "Padamkan sentermu!" bisik Frank sambil memegangi lengan adiknya. "Aku melihat
seseorang." Joe memadamkan senternya dan mengawasi jalan yang gelap. Tiba-tiba seseorang
berlari-lari masuk ke jalan halaman toko, di pundaknya tersandang sebuah karung.
"Mari kita tangkap!" seru Joe.
"Betul." Kedua pemuda itu melompat turun dari mobil dan berlari ke tempat parkir. Tetapi
ketika tiba di sana, orang itu tak nampak di mana pun.
Frank dan Joe berhenti, tak mengerti. Kemu-dian Joe menunjuk ke pagar tanaman
yang memisahkan tempat parkir toko McPhee dengan tanah orang lain di
belakangnya. "Ia tentu telah mengetahui bahwa kita mengamati dia, lalu melarikan diri!"
katanya. Frank mengangguk. "Ayo terus!"
Mereka menyeruak menerobos pagar tanaman dan berlari mengitari gedung ke sisi
yang lain. Ketika mereka tiba di jalan kembali, tak nampak ada tanda-tanda orang
tersebut! "Ia lolos!" Joe mengeluh.
"Barangkali belum," kata Frank. "Engkau ke kiri, aku akan ke kanan. Kita bertemu
kembali di mobil." Frank bergegas, berharap dapat melihat orang itu di ruas jalan berikutnya.
Tetapi ia tak beruntung. Orang itu tentu telah menyelinap di antara gedung-
gedung, kecuali kalau Joe lebih berhasil menangkap dia, pikir Frank. Dengan
kecewa ia kembali ke mobil.
Beberapa menit kemudian Joe kembali, juga tak berhasil.
Pada saat itu, mereka melihat seorang anggota polisi yang telah mereka kenal.
Polisi itu keluar dari toko McPhee. Mereka berlari menemuinya dengan perasaan
khawatir. "Ada sesuatu yang tak beres, Pak Gills?" tanya Frank.
"Belum pasti. Ketika aku lewat, kulihat pintu setengah terbuka. Aku menelepon
pak McPhee. Ia segera datang."
Frank dan Joe merasakan sesuatu mengganjal di dalam lambungnya. Apakah ada orang
yang telah membongkar masuk ketika mereka sedang mengejar orang yang membawa
karung itu" Pada saat itu McPhee datang. Ia melangkah melewati kedua pemuda dan anggota
polisi itu, lalu berlari masuk ke tokonya. Beberapa saat kemudian ia keluar
lagi, gelisah kebingungan.
"Aku dirampok!" ia berseru. "Sebuah setelan alat makan perak dan tiga lukisan
hilang!" Ia menatap kedua pemuda. "Apa yang telah terjadi?"
"Kami dipancing keluar, Pak," Frank mengakui. Kemudian dengan singkat ia
menceritakan bagaimana mereka mengejar orang yang membawa karung.
"Dan kalian dianggap sebagai detektif-detektif besar!" tukas McPhee. "Itulah,
kalau aku percaya kepada anak-anak!" Ia lari masuk ke toko lagi, menggerutu
marah-marah, kemudian keluar lagi, mengunci pintu, lalu pergi dengan mobilnya.
"Kuncinya tidak dibuka-paksa?" tanya Frank kepada pak polisi.
"Tidak. Pencuri itu menyelinap dari jendela di belakang. Memang agak kecil dan
tinggi. Ia tentu seorang akrobat dari sirkus untuk dapat masuk ke sana. Orangnya tentu
kurus, lagi." Pak Gills menggeleng-gelengkan kepala penuh keheranan, kemudian
berkata: "Dapatkah kalian datang ke kantor besok pada jam tujuh pagi" Kami memerlukan
laporan dari kalian."
"Tentu," Joe berjanji. Polisi itu pergi dan kedua pemuda itu kembali ke mobil
mereka. "Kalau kupikir-pikir, apakah engkau melihat topi apa yang dipakai orang yang
telah menipu kita tadi?" Joe menggumam.
"Bagaimana tak kulihat?" kata Frank. Ia maksudkan, sebuah topi lebar bersudut
tiga. "Tentu orang yang telah dilihat pak McPhee. Tetapi aku tak dapat melihat
wajahnya. Engkau?" "Sama sekali tidak." Pemuda pirang itu menghela napas. "Topinya ditarik ke
bawah. Bagaimana pun, memang terlalu gelap untuk dapat melihat dia dengan jelas."
Frank mengangguk dan membuka pintu mobil. Baru saja ia hendak masuk untuk duduk,
ia terhenyak. Ia melompat mundur, ketika dilihatnya mobilnya penuh ular beludak!
2. Jangan Injak Aku "Tutup pintu!" seru Joe, ketika kakaknya dengan mulut ternganga berdiri saja
memandang ke dalam mobil.
Mobil itu penuh ular-ular beludak! Suara ber-gemeratak yang timbul di ekornya,
menandakan bahwa mereka telah siap untuk memagut. Dua ekor melingkar di tempat
duduk, beberapa ekor lagi menggeliat-geliat di lantai, dan seekor lagi menjulai
di sandaran sebelah sopir.
Frank pulih kembali akalnya dan membanting pintu mobilnya hingga tertutup,
mengurung reptil-reptil berbisa itu di dalam. "Bagaimana mereka dapat masuk?" ia
bertanya tersengal. "Aku yakin, orang bertopi tiga-sudut itulah yang. memasukkan, setelah ia
merampok toko!" Joe menggerutu. "Ia tentu tahu, bahwa ayah sedang menyelidiki
perkara ini. Mungkin ia telah mengawasi rumah kita, lalu mengikuti kita kemari."
"Wah, kita tak dapat pulang dengan mobil yang penuh ular," kata Frank. "Mungkin
ayah dapat menjemput."
Ia masuk ke telepon umum di rumah makan dan menelepon ayahnya, tetapi saluran
rupanya sedang dipakai. Ia lalu mencoba menelepon Chet Morton, teman mereka.
Chet adalah seorang pemuda gemuk, periang, dan telah sering ikut kedua pemuda
itu membongkar misteri. "Kedengarannya engkau telah bertemu dengan orang sinting," kata Chet setelah
mendengar cerita Frank. "Aku akan segera datang."
Frank dan Joe sedang duduk di pinggir jalan dekat mobil mereka, ketika mobil tua
Chet terbatuk-batuk berjalan di Baker Street. Chet segera turun dari mobilnya
dan melihat ular-ular itu.
Hardy Boys Komplotan Pemuja Vodoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar, nampaknya mereka ganas-ganas," katanya meniru lafal orang gunung.
"Kalian anak-anak muda harus lebih hati-hati lagi di sekitar sini. Bukit-bukit
itu penuh dengan ular yang ingin membonceng ikut ke kota!" Frank tertawa. "Dan
perutmu penuh dengan angin! Tetapi memang ada satu yang benar. Kalau ada
seseorang yang hendak mencuri mobil kami malam ini, ia akan menghadapi kejutan
yang tak menyenangkan."
Ketiga pemuda itu naik ke mobil Chet dan segera menuju ke rumah keluarga Hardy.
Ketika ayah mereka membukakan pintu, mereka dapat mejihat dari wajahnya, bahwa
ia pun telah mengetahui apa yang telah terjadi.
"McPhee menelepon dan menceritakannya kepadaku," kata ayahnya. "Ia sangat
bingung. Aku ingin mendengar pengalamanmu."
"Kami terpancing mengejar orang bertopi tiga sudut dan membawa karung, sementara
toko dirampok," kata Frank. "Dan sebagai puncaknya, kami kira ia telah
meninggalkan peringatan sedikit di mobil kami. Sekarung ular beludak!"
"Apa?" Pak Hardy seperti tak mengerti.
Setelah kedua pemuda itu bercerita selengkapnya, detektif itu menggeleng-
gelengkan kepalanya. "Ya, rupa-rupanya orang bertopi tiga sudut itu memang ada
hubungannya dengan pencurian-pencurian. Aku akan memeriksanya dari perkara-
perkara yang lain, barangkali orang itu juga terlihat di sana. Seperti yang
telah kalian ketahui, aku baru saja memulainya, dan aku belum sempat memeriksa
seluruh berkas-berkasnya."
"Apa yang ingin kami ketahui," kata Joe
dengan bersuara keras, "dari mana ular-ular sebanyak itu. Suatu cara yang luar
biasa untuk menyingkirkan kita. Yang jelas, orang tak mungkin dapat memperoleh
ular sebanyak itu di toko binatang peliharaan. Aku belum pernah melihatnya di
daerah ini, kecuali di kebun binatang."
"Ke sanalah kita besok pergi, begitu selesai dengan ujian," kata Frank. "Bukan
saja kita harus mengetahui asal tempat ular-ular itu, tetapi juga meminta orang
yang dapat mengambil ular-ular itu dari mobil kita."
Frank, Joe dan Chet memperbincangkan misteri itu sejenak lagi, kemudian teman
mereka pulang. Kedua pemuda detektif itu lalu tidur. Mereka terbangun esok
harinya pagi-pagi, mendengar teriakan wanita dari lantai bawah.
Bibi Gertrude, bibi kedua pemuda yang tinggal bersama mereka, sedang berbicara
keras dengan nada marah. Ia memang sering keras terhadap Frank dan Joe, meskipun
jauh di dalam lubuk hatinya sangat menyayangi dan mengagumi kepandaian kedua
kemenakannya dalam penyelidikan. Tetapi pagi itu kata-katanya ditujukan kepada
orang lain. Kedua pemuda itu berlompatan menuruni tangga, ingin tahu apa
masalahnya. "Tetapi harus ada, entah di mana!" bibi menggerutu ketika kedua pemuda itu
memasuki dapur. Wanita yang jangkung itu berdiri sambil
bertolak pinggang, memandangi pak Hardy yang sedang duduk di kursi, wajahnya
tersembunyi di balik suratkabar. "Engkau sebaiknya menemukannya!"
"Selamat pagi!" pak Hardy menyalami anak-anaknya. Ia merasa lega anak-anaknya
ada di sana. "Rupa-rupanya kita pun mengalami suatu misteri. Aku dituduh salah
meletakkan kaos kakiku." Pak Hardy mengedipkan matanya kepada kedua anaknya,
sambil tersenyum sedikit dari balik korannya, sedemikian hingga adiknya, bibi
Gertrude, tidak melihatnya.
"Ihhh," seru Bibi Gertrude. "Ayahmu itu, detektif besar, sepasang kaos kakinya
saja hilang! Katanya, ia telah mencarinya di mana-mana, dan tak ketemu, lagi!
Kukira kaos kaki itu sudah bangkit lalu berjalan sendiri dan pergi!"
Frank dan Joe harus berjuang keras untuk menahan senyum mereka, berpura-pura
serius. "Kami akan mencarinya, Bibi," janji Frank. Sementara Bibi menyediakan telur
dadar, mereka berdua menggeledah seluruh rumah. Mereka memeriksa di bawah almari
pakaian ayah mereka, di keranjang cucian dan di belakang mesin cuci. Tetapi
sampai saat bibi mereka memanggil agar kembali ke dapur, mereka belum juga
menemukannya. Setelah sarapan, kedua kakak beradik itu
mengumpulkan buku-buku mereka, mampir ke kantor polisi untuk melaporkan secara
terperinci kejadian-kejadian tadi malam. Kemudian mereka pergi ke sekolah. Ujian
mereka selesai menjelang siang, dan keduanya merasa membuat ujian dengan baik.
Namun mereka gelisah, karena teman sekelas Joe, Peter Walker, bintang dari regu
bola basket mereka tidak datang ke sekolah pagi itu.
"Kuharap saja ia tidak sakit," kata Joe ketika mereka meninggalkan gedung
sekolah. "Semoga," kakaknya menyetujui. "Kita tak akan menang dalam kejuaraan ini tanpa
Peter." "He, Bung!" seru Chet sambil berlari menuruni undakan depan untuk mengejar
teman-temannya. "Bagaimana ujian kalian?"
Frank dan Joe selalu mendapatkan nilai "A" di SMA Bayport, tetapi Chet rata-rata
"B" dan "C". Ia anak yang cerdas, tetapi agak malas belajar.
"Bagus," jawab Frank. Ia berhenti membiarkan temannya menyusul. "Kau bagaimana?"
Chet mengernyit. "Tak tahu. Kukira oke dengan bagian multiple choice, tetapi
karangannya sulit!" "Ah, sekarang sudah lewat, jangan risau lagi," Joe menghibur. "Tak mau ikut
dengan kami" Kami akan ke kebun binatang."
Wajah Chet bersinar. "Mencari orang yang dapat mengambil ular-ular itu?" ia
bertanya. "Ya," jawab Frank. "Kami juga ingin mengetahui, dari mana asal mereka."
"Nah, ayolah kita berangkat," kata Chet. "Biar aku yang menyetir."
Ketiga pemuda itu berdesakan di mobil tua Chet, dan beberapa menit kemudian
mereka telah memarkir mobil di luar Kebun Binatang Bayport. Kebun Binatang itu
hanya kecil, tetapi mempunyai bagian reptilia yang bagus. Ahli reptilianya, yang
disebut herpetolog, masih muda dan baru menamatkan kuliahnya. Kulitnya agak
kuning, bermata besar dan rambutnya lebih hitam daripada rambut Frank. Ia
mendengarkan cerita pemuda-pemuda itu.
"Ada orang yang sengaja meletakkan ular-ular itu di mobilmu?" ia bertanya dengan
semakin tertarik. "Benar," jawab Joe. "Seseorang yang bertopi tiga sudut. Kenalkah engkau
seseorang di sekitar sini yang suka mengumpulkan ular, dan memakai topi seperti
itu?" Herpetolog itu menggelengkan kepalanya. "Memang ada beberapa orang yang suka
mengumpulkan ular di daerah Bayport sini, tetapi tak seorang pun dapat
mengumpulkan ular beludak sebanyak itu. Tetapi kami juga mempunyai beberapa ekor
di kebun ini." "Ada yang hilang?" tanya Chet.
"Tidak. Aku telah memeriksanya tadi pagi. Kalau ada yang hilang, aku tentu
mengetahuinya." Herpetolog itu masuk ke bagian belakang dan kembali lagi membawa beberapa karung
dan sebuah tongkat panjang dengan kawat melingkar di ujungnya. Dengan alat-alat
itu mereka bermobil kembali ke Baker Street, di tempat Frank dan Joe
meninggalkan mobil mereka.
Dengan menggunakan tongkat itu, herpetolog itu "menjerat" tubuh ular itu dengn
kawatnya yang melingkar bulat, lalu dimasukkannya ke dalam karung. Ular-ular itu
nampak tak begitu ganas seperti pada malam sebelumnya.
"Mereka telah kedinginan di dalam mobil kalian," ahli reptilia itu menjelaskan.
"Seperti halnya hewan berdarah dingin lainnya, kalau cuaca menjadi dingin,
mereka menjadi lamban."
"Ular beludak jenis apa ini?" tanya Joe.
"Pygmi," kata ahli itu sambil memasukkan ular terakhir ke dalam karung. "Mereka
termasuk kecil dibandingkan dengan yang lain. Mereka juga tidak terlalu berbisa.
Seekor saja tak dapat mengeluarkan racun yang mematikan. Tetapi kalau beberapa
ekor yang menggigit, mungkin ceritanya jadi lain."
Frank menggigil memikirkan pengalamannya dengan ular-ular tersebut. "Apakah
mereka hidup di daerah-daerah sini?" ia bertanya.
Ahli itu menggeleng. "Tidak secara liar. Ular beludak pygmi hanya terdapat di
daerah selatan: Florida, Carolina, Alabama, Georgia dan sebagai-nya."
"Anda juga tak tahu di mana di sekitar Bayport sini ular ini dapat dibeli atau
dicuri?"" tanya Frank.
Orang itu menggeleng lagi. "Aku malah sangsi sekali kalau kau dapat menemukannya
di sini. Tentu ada orang yang mengimportnya."
Setelah ular-ular dengan aman ada di karung, pemuda-pemuda detektif itu
menyelidiki daerah di sekelilingnya, berharap dapat menemukan petunjuk-petunjuk
lagi. "Mungkin inilah karung untuk membawa ular-ular itu," kata Joe beberapa saat
kemudian. Ia datang di jalan halaman tempat yang lain-lain menunggu. Ia membawa sebuah
karung kanvas yang besar. "Aku menemukan ini di tepi jalan sana, digantungkan
pada cabang pohon." "Lihat, ada gambarnya!" seru kakaknya.
Joe menghamparkan karung itu di atas kap mobil mereka. Pada karung itu dicap
gambar yang kasar berupa ular yang melingkar. Di bawahnya ada tulisan: JANGAN
INJAK AKU! "Apa maksudnya ini kira-kira?" seru Chet, memandangi gambar yang aneh itu. "Joe memutar-mutar bola matanya mendengar pertanyaan temannya. "Kalau engkau
belajar sejarah untuk ujian tadi dengan baik, engkau tentu tahu maksudnya. Ini
suatu lambang yang digunakan oleh kaum kolonis Amerika selama Perang Saudara."
"Beberapa kelompok prajurit revolusioner menggunakan gambar ular beludak untuk
panji-panji mereka," Frank menjelaskan. "Ular beludak tidak terdapat di Eropa,
maka kaum kolonial yang mula-mula datang di Amerika menjadi tertarik, karena
mereka membunyikan ekornya sebelum memagut. Di kemudian hari lalu menjadi
lambang bagi ketiga belas koloni, seolah-olah hendak mengatakan: "Kami lebih
senang dibiarkan sendiri, kalau anda tak menghiraukan peringatan kami untuk
menjauh, kami akan menyerang dengan cepat dan tanpa ampun."
"Waduh!" kata Chet. "Kaukira orang yang menaruh ular di mobilmu juga hendak
memberi- " kan peringatan yang begitu?"
"Rupanya begitu," jawab Frank. "Orang bertopi tiga sudut ini rupanya ingin
berlaku sebagai kaum pemberontak sewaktu Revolusi Amerika."
"Barangkali ia menganggap revolusi masih berlangsung," kata Chet melawak. "Dan
ia mencuri dari kaum Tory."
"He! Ada sesuatu di dalam karung!" seru Joe. Ia merasakan ada suatu benda kecil
di sudut karung. Ia merogoh ke dalam dan mengeluarkan sebuah botol kecil. Botol
itu kosong, tetapi masih mengeluarkan bau yang aneh dari bekas isinya.
"Boleh aku mencium baunya?" ahli reptilia itu meminta.
Joe mengulurkan botol itu kepadanya, dan orang itu mencium baunya. "Minyak
ular," katanya sambil mengembalikan botol itu kepada Joe.
"Minyak ular?" Ketiga pemuda itu bertanya, bersama-sama.
"Memang. Tukang-tukang obat sering menjual sewaktu menjajakannya berkeliling.
Katanya dapat menyembuhkan segala macam penyakit, dari bilur sampai sakit
kepala. Sudah tentu sebenarnya tak ada nilai pengobatannya."
"Tetapi itu sudah ketinggalan jaman beberapa tahun yang lalu," kata Frank.
"Untuk apa sekarang orang memerlukannya?"
"Masih ada yang menggunakan pada sirkus-sirkus, yaitu pemain yang sudah tua-
tua," jawab Herpetolog. "Mereka mengira dapat membuat tubuhnya lebih lentuk,
lebih seperti ular, jadi mereka dapat mempertontonkan kepandaian mereka
lebih baik. Engkau mungkin dapat membelinya pada sirkus keliling, yang
menjualnya sebagai barang suvenir."
"Tak ada sirkus di sekitar sini," kata Frank.
"Tidak, tetapi akan ada karnaval!" kata Joe. "Kita juga akan ke sana nanti
malam. Bagaimana kalau kita cari kalau-kalau ada pawang ular" Barangkali kita dapat
memperoleh petunjuk lagi."
"Pikiran yang bagus," kata Frank. "Eh, tetapi sekarang kita harus pulang untuk
main bola basket." Dalam gairah mereka, Joe dan Chet hampir saja lupa akan pertandingan bola basket
sore itu. Mereka sudah harus sampai di sana untuk berganti seragam. Frank dan
Joe termasuk anggota regu, dan Chet bermain drum dalam band sekolahnya, mengisi
waktu-waktu antara permainan.
Chet mengantarkan herpetolog itu kembali ke kebun binatang, sementara Frank dan
Joe langsung menuju ke gedung olahraga sekolah mereka. Ketika mereka tiba,
tempat duduk terbuka sudah mulai terisi penonton. Regu lawan Bayport, yaitu SMA
Hopkinsville, sudah ada di lapangan untuk pemanasan. Suara mendengung penuh
gairah memenuhi udara, menantikan pertandingan kejuaraan tersebut.
"Di mana Peter?" tanya Joe khawatir. Ia melihat ke sekeliling mencari bintang
lapangan tengah mereka yang tadi pagi juga tidak bersekolah.
Frank menyapu lapangan dengan pandangannya, mencari temannya yang berkulit hitam
dan jangkung itu. Tetapi Peter Walker tak ada di antara para pemain. "Ya,
ampuuun!" ia mengeluh. Ia tahu, bahwa Peter jauh lebih baik daripada pemain-
pemain regu mereka, yang menyebabkan regu SMA Bayport mampu sampai bermain di
final. Setelah selesai melakukan pemanasan, para pemuda itu duduk kembali di bangku
bersama yang lain. Semua merasa gelisah akibat tidak hadirnya Peter. Di antara
penonton di tempat terbuka, terdapat keluarga Hardy dan pacar-pacar kedua
pemuda, Callie Shaw dan Iola Morton. Gadis-gadis itu meniupkan ciuman mereka
kepada Frank dan Joe, yang membalasnya dengan melambai.
Sorak-sorai bergemuruh ketika para pemain meninggalkan bangku mereka dan
mengambil tempat di lapangan. Frank harus bermain tengah menggantikan Peter yang
belum juga datang. Wasit melemparkan bola ke atas, dan pertandingan dimulai!
3. Karnaval Frank melompat setinggi mungkin untuk meraih bola, tetapi pemain tengah lawan
lebih tinggi jangkauannya hampir tiga puluh senti. Ia mengoperkan bola jauh ke
depan, dan dalam beberapa detik saja Hopkinsville mendapat angka dua.
Pada akhir babak pertama, angka skor membuat para pendukung Bayport menjadi
khawatir dan diam. Namun tempat duduk di seberang penuh suara-suara sorakan dan
tepuk-tangan. Bayport kalah dari Hopkinsville dengan angka dua puluh empat melawan enam belas!
Frank, Joe dan pemain-pemain Bayport lainnya kembali ke bangku mereka dengan
muram. Tanpa Peter, mereka bukan tandingan bagi Hopkinsville.
Selama istirahat, para pemain band Bayport berbaris ke lapangan. Chet memimpin
di depan, berpakaian seragam band berwarna merah, membawa drum besar dengan nama
sekolah tertulis dengan huruf-huruf emas. Semangat Frank dan Joe agak terangkat
melihat temannya dengan bangga memukul drumnya memberikan irama lagu sekolah
mereka sambil berbaris di tempat. Setidak-tidaknya, pikir mereka, masih ada yang
menikmati kejadian itu. Sementara band terus bermain, pelatih memberikan petunjuk-petunjuk. Ia
mengatakan, tak perlu ada Peter untuk dapat menang, tetapi mereka harus
bersemangat. Dengan memusatkan pertahanan, mereka dapat menahan angka tetap
rendah dan juga membuat lawan menjadi lelah. Dengan demikian Hopkinsville dapat
mulai membuat kesalahan-kesalahan yang menguntungkan Bayport.
Dengan semangat yang baru, para pemuda bermain babak kedua. Siasat pelatih
mereka nampak berhasil sebentar. Pada menit-menit pertama Hopkinsville tak dapat
menambah angka, dan para pemain mulai menjadi lelah untuk dapat menerobos
pertahanan Bayport. Tetapi tiba-tiba pelatih Hopkinsville menyadari apa yang telah terjadi dan
memberikan strategi lain kepada para pemainnya.
Regu Frank dan Joe berhasil menekan angka lawan selama babak kedua itu, namun
mereka tetap tak berhasil memperkecil kekalahan.
Pada akhir babak kedua, Hopkinsville memimpin dengan sepuluh angka, dan sekali
lagi para pemain Bayport dengan muram menuju ke bangku mereka.
Pada saat itulah Peter Walker berlari-lari datang dari kamar ganti pakaian,
menuju ke teman-teman seregunya! Pemain-pemain Bayport berlompat-lompatan
menyambut bintang mereka.
"Maaf, aku terlambat," Peter meminta maaf dengan sungguh-sungguh. "Bagaimana
kita?" "Kalah sepuluh angka," kata Joe kepadanya. "Dari mana saja kau?"
"Akan kukatakan kepadamu nanti," jawab Peter. "Sekarang ini kita harus berusaha
untuk menang!" Dengan Peter ikut bermain, regu Bayport dapat menguasai babak ketiga. Selisih
angka semakin kecil, sementara bintang lapangan tengah dengan lincah mengelak
dan mendribbel menerobos pertahanan Hopkinsville. Para pendukung regu Bayport
berdiri dan melonjak-lonjak melihat permainan bintang mereka, dan sewaktu-waktu
bersorak-sorak bila ia menyarangkan bola.
Akhirnya Bayport memenangkan pertandingan dengan selisih angka enam. Sementara
band memainkan lagu kemenangan, para pemain mengangkat Peter Walker keluar
lapangan sebagai pahlawan. Mereka belum mau menurunkannya sebelum sampai di
kamar ganti pakaian.
Hardy Boys Komplotan Pemuja Vodoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sungguh gembira aku, kau bisa datang," kata Frank kepadanya.
"Maafkan aku," pemuda itu meminta maaf lagi. "Tetapi aku menghadapi suatu
kesulitan tadi pagi."
Frank dan Joe memandanginya dengan rasa ingin tahu. "Kesulitan?" tanya Joe.
"Kakekku seharusnya datang dengan pesawat dari New Orleans," Peter menjelaskan.
"Aku pergi untuk menjemput di lapangan terbang sebelum ujian, tetapi ia tidak
datang. Aku menelepon kakek, dan setelah tak mendapat jawaban, kuper-kirakan ia
terlambat untuk pesawatnya, lalu menunggu penerbangan berikutnya. Karena itu aku
lalu menunggu." "Dan ia tidak datang juga?" tanya Frank.
Peter menggeleng. "Tidak. Aku mulai khawatir akan dia. Ia tak menjawab ketika
kutelepon. Jadi ia tidak ada di rumah atau di kelabnya."
"Ia mempunyai kelab?" tanya Frank.
Rasa kekhawatiran di wajah Peter lenyap sejenak. "Ya. Kakek adalah seorang
pemain trombon yang terkenal di New Orleans, salah seorang dari yang terbaik di sana," Suara
pemuda itu mengalun dengan rasa bangga, menceritakan perihal kakeknya kepada
Frank dan Joe. "Ia dikenal sebagai Stretch ... Stretch Walker ... dan ia mempunyai sebuah kelab
di sana." "Kedengarannya kau adalah pengagum kakekmu," kata Joe.
"O, tentu. Ia yang terbesar." Peter tersenyum sebelum wajahnya berawan lagi
dengan rasa gelisah. "Aku sebenarnya menginginkan ia melihat aku bermain hari
ini. Ia tentu akan senang melihat pertandingan ini. Aku sudah membual bagaimana
bagusnya aku main, dan ini adalah kesempatan yang paling bagus ia dapat melihat
aku bermain." "Engkau tak mau ke rumahku untuk makan malam?" Frank menawarkan. Ia mencoba
menghibur temannya yang sedang bingung. "Kami hendak mengadakan semacam pesta
kemenangan dengan keluarga, Chet dan gadis-gadis, dan tentu akan banyak makanan
yang disediakan." "Terima kasih. Tetapi aku tidak dapat," jawab Peter dengan tersenyum tipis. "Aku
ingin pulang, kalau ka au kakek menelepon." Dengan kata-kata itu, bintang bola
basket itu selesai berganti pakaian dan pergi meninggalkan kamar ganti pakaian.
"Ia nampak bingung sekali tentang kakeknya," kata Frank. Ia mengunci almari
pakaiannya. "Aku ingin tahu, apakah masih ada yang belum dikatakannya kepadaku."
"Aku juga mempunyai perasaan yang sama," Joe membenarkan. "Seharusnya ia tidak
boleh mangkir pada ujiannya, begitu pula pertandingan ini. Kecuali kalau ia
memang benar-benar terganggu. Tetapi aku juga dapat memahami kegelisahannya."
Kedua pemuda itu bermobil ke rumah untuk menghadiri pesta kemenangan. Ketika
mereka menghentikan mobil mereka di depan rumah, Callie Shaw dan Iola Morton
berlari keluar untuk menyambut mereka dengan peluk dan cium. Callie, pacar Frank
berambut pirang dan bermata coklat cemerlang. Iola, adik Chet Morton sangat
mencintai Joe secara khusus, dan sifatnya yang lincah dan periang membuat
dirinya menjadi tamu yang disenangi di rumah keluarga Hardy.
Kedua gadis itu mengantarkan Frank dan Joe ke dalam, di mana Bu Hardy telah
menyediakan makanan yang lezat bagi mereka semua.
"Nah, bagaimana rasanya menjadi juara bola basket wilayah?" tanya ibu sambil
tersenyum, setelah semua duduk untuk makan.
"Tidak buruk," jawab Frank. "Aku tahu lebih dulu sejak semula."
Bibi Gertrude mengangkat alisnya. "Tahu lebih dulu?" ia menantang. "Kalau Peter
Walker tidak muncul, regu lawan yang akan tahu lebih dulu."
"Ah, Gertie." Ibu tertawa, matanya yang cemerlang memancar ketika menghadapi
iparnya. "Anak-anak Bayport menang, dan aku bangga karena kedua anakku menjadi anggota
regu itu." Frank dan Joe tertawa kecil melihat perang kata antar kedua wanita. "Bibi
Gertrude memang benar, tentu saja," Joe berkata, melirik kepada ayahnya yang
pura-pura sibuk. "Ada apa ayah?" tanya Joe.
"Sebenarnya aku tak ingin membicarakan pekerjaan, tetapi ketika kuteliti hal
pencurian-pencurian itu aku menemukan dua hal," jawab Pak Hardy. "Satu, selama
tahun yang terakhir ini terjadi pencurian-pencurian yang sama ragamnya. Dua, tak
satu pun di antaranya terlihat si topi tiga sudut sebelumnya."
"Ah, kalau Frank dan Joe yang menangani, pencuri atau pencuri-pencurinya tentu
akan segera tertangkap," kata Challie.
Setelah selesai makan, Frank, Joe dan kedua gadis bersiap-siap untuk pergi ke
karnaval. Chet menyediakan diri menjadi sopir.
Setelah mengucapkan terima kasih kepada Bu Hardy atas jamuan yang lezat, muda-
mudi itu berdesakan di mobil sport kuning, lalu mengambil jalan besar menuju ke
pinggiran kota. Karnaval itu diselenggarakan di Meadows yang kini gemerlapan dengan cahaya dan
penuh dengan orang-orang.
Ketika para muda-mudi itu memasuki pelataran pesta, udara sudah penuh dengan
suara musik dan bau gula harum-manis.
"Aku lapar," kata Chet, menghirup dalam-dalam bau yang manis tersebut.
"Engkau baru saja makan begitu banyak!" kata Iola tak percaya.
"Aku tahu, tetapi aku sudah lapar lagi," Chet membantah.
Frank tertawa atas selera makan temannya yang tak pernah terpuaskan. "Apakah
kalian tak bermain-main dulu di sini?" ia mengajukan usul. "Joe dan aku perlu
melakukan penyelidikan sedikit. Nanti kita bertemu lagi."
Sementara Chet, Callie dan Iola pergi untuk mencoba mendapatkan hadiah-hadiah,
Frank dan Joe berkeliling untuk mencari tempat pertunjukan ular.
Setelah menanyai seorang penjaga kios, mereka menjadi tahu bahwa memang ada
pawang ular yang bernama Gloria, yang kiosnya ada di sebelah rumah-setan.
Gloria ternyata seorang wanita setengah baya
yang mencari nafkah dengan dua ekor ular boa constrictor kecil. "Minyak ular?"
jawabnya atas pertanyaan kedua pemuda. "Aku tak tahu siapa yang sekarang
menggunakannya." "Apakah anda pernah melihat lambang ini?" tanya Joe sambil menunjukkan kantong
kanvas yang bergambar ular beludak.
Gloria memandanginya dengan penuh perhatian. "Tentu. Ini digunakan sewaktu
Perang Revolusi, bukan?"
"Ya. Tetapi apakah anda melihatnya akhir-akhir ini?" Joe mendesak.
"Kalau kupikir-pikir, memang," kata Gloria setelah berpikir sejenak. "Ada
seorang tua di Georgia yang pernah menawarkan ular beludak kepadaku. Ia benar-
benar penggemar ular beludak, dan ingin agar aku mau membuktikan bahwa binatang-
binatang itu ganas dan berbisa." Gloria memutar-mutar bola matanya. "Ia memang
sin ting." "Georgia," bisik Frank kepada Joe. "Itulah tempat yang disebut oleh herpetolog
asal terdapat-nya ular beludak pygmi."
"Apakah orang ini membawa ular-ular belu dak?" ia bertanya kepada Gloria.
"Banyak. Ditangkap di rawa-rawa dan disimpan dalam kandang, begitulah katanya
kepadaku." "Tetapi apa hubungan dia dengan lambang ini?" tanya Joe.
"Ia membawa ular-ular yang ditawarkan dalam karung semacam ini," jawab Gloria.
"Sudah tentu kukatakan kepadanya agar dibuang saja. Aku tidak membutuhkan ular
beludak!" "Ingatkah anda, di mana ia tinggal?" tanya Frank.
"Kukira kotanya disebut Swamp Creek," jawab Gloria. "Tepat di pinggir Rawa
Okefeno-kee. Orang-orang mengatakan bahwa ia cukup terkenal di daerah itu karena hobinya yang
aneh itu." "Aku heran, apa kerjanya untuk dapat makan?" kata Frank.
"Kudengar ia menjual barang-barang di pasar loak. Engkau tahu: piring-cangkir
tua, kain-kain-an dan kadang-kadang perabotan rumah. Apa saja yang dapat
dibelinya dengan murah, kukira."
"Anda mempunyai alamatnya?" tanya Frank.
"Tidak. Tetapi aku yakin orang-orang dapat mengatakan di mana ia tinggal. Tanya
saja peng-gemar ular yang memakai topi tiga sudut."
"Topi tiga sudut?" tanya Frank sambil menatap wanita itu. "
"Begitulah. Sudah kukatakan, ia sinting."
Setelah mengucapkan terima kasih, kedua pemuda itu pergi mencari teman-temannya.
Mereka menghabiskan waktu sore itu dengan bersenang-senang di karnaval.
Ketika akhirnya Frank dan Joe menghentikan mobil mereka di depan rumahnya, ibu
mereka menyambut di depan pintu.
"Kalian mendapat telepon yang penting," kata Ibu. Wajahnya menunjukkan
perhatian. "Teleponlah nyonya Walker sekarang juga!"
4. Petunjuk Minyak Ular Kedua pemuda berlari ke telepon. Frank memutar nomornya lalu menunggu.
"Halo?" jawab ibu Peter. Suaranya terdengar gugup.
"Di sini Frank Hardy. Kami disuruh menelepon anda."
"O, ya. Maaf, aku mengganggumu begini malam, tetapi ini mengenai Peter. Aku
tidak tahu di mana dia! Ia tiba-tiba saja meninggalkan rumah setelah makan
malam. Aku khawatir, ia menghadapi suatu kesulitan."
"Apa alasan anda, mengira bahwa ia dalam kesulitan?" tanya Frank ragu-ragu. Ia
tak merasa pasti, mengapa nyonya Walker merasa perlu untuk menelepon dirinya.
"Ia sangat bingung tentang sesuatu ketika ia pergi," nyonya itu menjelaskan. "Ia
tak mengatakan mau ke mana atau kapan ia mau pulang. Itu tidak biasa bagi Peter.
Kulihat kalian berdua bercakap-cakap dengan dia setelah selesai main bola
basket, jadi kukira ia mengatakan sesuatu kepada kalian."
"Ia memang mengatakan sesuatu tentang kakeknya, yang seharusnya datang
berkunjung hari ini," kata Frank. "Apakah anda kira ia bingung tentang hal itu?"
"Kakeknya memang telah menelepon," kata nyonya yang gelisah itu. "Ia mengatakan
tak sempat melakukan perjalanan. Aku tahu bahwa Peter tentu kecewa, tetapi tentu
tidak sebegitu hebat hingga harus pergi dari rumah."
"Maafkan kami," kata Frank. "Tetapi ia hanya mengatakan, bahwa ia akan tinggal
di rumah untuk menunggu telepon dari kakeknya. Tetapi aku mempunyai dugaan, di
mana ia kira-kira. Coba, akan kuselidiki."
Frank meletakkan gagang telepon. "Ayo," katanya kepada adiknya. "Kita pergi ke
gedung olahraga." Di perjalanan ke SMA Bayport, tempat mereka bermain bola basket sore tadi, Frank
menceritakan percakapan telepon itu kepada Joe. Mereka tahu dari pengalaman yang
sudah-sudah, bahwa Peter selalu berlatih pada waktu-waktu yang tertuang. Mungkin
juga ia pergi ke sana kalau pikirannya sedang gelisah.
"Nanti dulu," Joe menolak. "Gedung itu sudah tutup sekarang ini."
"Kukira malam ini tidak," kata Frank. "Di kafetaria di sebelahnya ada malam
dansa sekarang." Pemuda yang jangkung itu memang ada di sana, berlatih seorang diri di ruang
olahraga yang kosong. "He, Peter!" seru Joe ketika mereka masuk dari pintu.
Peter berhenti dan memutar tubuhnya untuk menghadapi teman-teman sekolahnya.
"Untuk apa kalian kemari?" tanyanya kurang begitu ramah.
"Ah, sudahlah, Peter!" Joe menghela napas mendengar suara temannya yang agak
bermusuhan. "Ibumu khawatir tentang kau. Ia menelepon kami, berharap kami tahu
di mana kau berada."
"Nah, kalian telah menemukan aku." Bintang bola basket itu mengangkat bahu,
sikapnya agak melunak. "Mengapa kau tak mau mengatakan kepada kami apa yang meresahkan hatimu?" kata
Frank. Ia memungut bola lalu melemparkannya ke basket sambil melompat pendek. "Kami
menduga, masih ada lagi yang belum kaukatakan kepada kami setelah pertandingan
tadi." Saat hening sejenak menyusul, sementara Peter mempertimbangkan seberapa banyak
ia dapat mempercayai teman-temannya.
"Akan kutunjukkan sesuatu kepada kalian," katanya akhirnya. Ia memberi isyarat
dengan tangannya dan mengajak mereka ke ruang ganti pakaian.
Frank dan Joe mengikuti sampai di depan almarinya. Ia membukanya dan
mengeluarkan sebuah dus tempat sepatu. "Aku menerima kiriman ini," katanya
sambil membuka kardus itu.
Di dalamnya terletak seekor burung mati!
"Ini dikirimkan kepadaku dari New Orleans," Peter melanjutkan. "EH dalam paruh
burung ada suratnya, berisi sembilan kali nama kakek!"
"Rupanya seperti semacam guna-guna," kata Joe.
"Voodoo," kata si Bintang Basket. "Aku telah memeriksanya. Dimaksudkan untuk
menghasilkan daya guna-guna dengan tujuan mencelakai seorang musuh."
Frank memandangi Peter dengan mata penuh pertanyaan. "Kakekmu tinggal di New
Orleans. Jadi engkau mencurigai dia kalau kalau terlibat dalam hal ini?"
"Begitulah." Pemuda itu mengangguk. "Ketika ia menelepon sore tadi, aku tak
menyebutkan perihal burung ini, sebab aku tak ingin ia menjadi khawatir. Ia
terdengar agak tegang, dan aku yakin bahwa ia menyembunyikan sesuatu kepadaku,
sesuatu yang takut dikatakannya kepadaku."
Wajah Peter menjadi keruh lagi ketika ia mengembalikan kardus berisi burung mati
itu ke dalam almari. "Tolong, jangan sampai ibu tahu tentang hal ini," ia
memohon. "Memikirkan bahwa kakek terlibat dalam semacam pemujaan voodoo dapat
membuat ibu sangat gelisah.
Karena itulah aku kemari. Aku terlalu bingung untuk tinggal di rumah dengan
wajah yang menyembunyikan sesuatu dan tak dapat mengatakan apa-apa."
Kalau Peter mau pulang ke rumah, Frank dan Joe setuju untuk menyimpan rahasia
itu. Mereka lalu memadamkan lampu ruang olahraga dan naik ke mobil mereka, masing-
masing. "Barangkali kita perlu pergi ke selatan," kata Joe setelah mereka sudah di jalan
lagi. "Aku benar-benar ingin mengikuti petunjuk Gloria, yaitu si Pawang Ular. Orang
tua yang dikatakannya kepada kita rupanya cocok dengan petunjuk-petunjuk kita.
Kita juga dapat sekaligus mencek
kakek Peter, mencoba mengetahui kalau kalau benar ada masalah voodoo."
Frank melirik kepada adiknya. "Georgia cukup jauh dari New Orleans, Louisiana,"
katanya kepada Joe. "Kita sendiri begitu jauh dari kedua tempat itu. Bagaimana
menurutmu kita bisa sampai ke sana?"
Pemuda pirang itu meringkuk di tempat duduknya. "Aku tak tahu. Tetapi kalau kita
tidak pergi, mungkin kita tak dapat sampai di dasar perkara ini!"
Sampai di rumah, mereka menceritakan berita terakhir itu kepada ayah mereka.
"Rupa-rupanya, orang tua yang diceritakan oleh pawang ular itu memang perlu
diselidiki," kata Pak Hardy. "Mungkin dialah yang kalian lihat di toko McPhee,
dan yang meletakkan ular-ular itu di mobil kalian."
"Kenyataan bahwa ia berdagang di pasar loak juga cocok dengan gambaran kita,"
kata Frank. "Mungkin itulah caranya menjual barang-barang curiannya. Mungkin
tidak banyak untungnya, tetapi kalau ia mendapatkan tukang tadah yang
terpercaya, pasar loak bisa pula menjadi tempat melemparkan barang-barang
curiannya." "Engkau tahu, apa yang meresahkanku?" tanya Joe. "Justru karena terlalu banyak
petunjuk. Semuanya serba cocok, hingga aku merasa
bahwa ada seseorang yang berusaha menjerumuskan kita ke jejak yang kosong.
Petunjuk-petunjuk itu begitu saja datang sendiri!" ia menyimpulkan sambil
menyeringai. "Bisa jadi," kata Pak Hardy. "Kalau memang itu masalahnya, kukira lebih baik
kita ikuti saja dulu; kita tunggu, apa yang akan terjadi."
"Apakah itu berarti, bahwa kami dapat pergi ke Swamp Creek untuk menyelidiki
orang tua itu?" kata Frank dengan gairah.
"Kukira itu akal yang bagus," jawab ayah mereka. "Kalian sanggup?"
"Tentu saja sanggup!" seru kedua pemuda itu. "Aku akan segera menelepon lapangan
terbang!" "Bagaimana kalau kita tanya Chet, barangkali dia mau ikut?" tanya Joe. "Mungkin
ia bisa membantu." "Bagus," kata Frank, dan segera memutar nomor telepon Chet.
Ternyata teman mereka telah menabung uang selama musim dingin untuk melakukan
perjalanan semacam ini, dan ia sangat ingin menyertai kakak beradik itu untuk
membongkar misteri. "Aku akan memesan tempat dan memberitahukan kau jam berapa kita harus
berangkat," kata Frank, lalu meletakkan gagang teleponnya. Kemudian ia menelepon
lapangan terbang. Ia berhasil mendapatkan tempat untuk penerbangan siang ke
Savannah esok harinya. Ia lalu memberi-tahu Chet, hingga ia sudah siap bila
mereka menjemput dia. "Sekarang kita berbicara kepada Peter," kata Frank. "Setelah menyelesaikan tugas
Hardy Boys Komplotan Pemuja Vodoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di Swamp Creek, kita dapat mengunjungi kakeknya pula. Betul ayah?"
"Mengapa tidak?" jawab Pak Hardy.
Frank memutar nomor telepon rumah keluarga Walker. Temannya ternyata belum tidur
dan menyambut. "Halo, Peter?" kata Frank. "Kami akan ke Georgia besok untuk menangani perkara.
Kalau bisa selesai di sana, kita bisa pergi ke New Orleans."
"Maksudmu, engkau hendak mengetahui apakah Kakek benar-benar terlibat masalah
voodoo?" tanya Peter dengan gairah.
"Barangkali," jawab Frank. "Kalau kita memang bisa, kami ingin tahu bagaimana
cara menghubungi kakekmu."
"Kelabnya bernama Stretch's," kata Peter. "Ia memberikan namanya sendiri.
Tempatnya di Bourbon Street di jantung daerah jazz aliran Dixieland. Ia
mempunyai kamar-kamar di atas dengan cadangan tempat tiduri Dengan mudah engkau
dapat menginap di sana."
"Terima kasih," kata Frank.
"Kuharap engkau dapat ke sana," kata Peter. "Selain itu, kini sedang ada
perayaan Mardi Gras di sana. Engkau tentu akan menikmatinya!"
"Itu benar!" seru pemuda detektif itu, lalu tertawa. Ia teringat perayaan
tahunan yang meru-bah seluruh kota menjadi satu pesta besar selama seminggu.
"Aku selalu ingin mengunjungi Mardi Gras. Tetapi aku sangsi apakah punya cukup
waktu untuk ikut berpesta, biarpun sudah sampai di sana."
Ia menutup pembicaraan, kemudian bersama adiknya ia pergi ke atas untuk tidur.
Esok harinya, Pak Hardy memberikan daftar dari barang-barang yang telah dicuri
dari berbagai toko barang antik. Sesudah makan siang mereka menjemput Chet dan
berangkat ke lapangan terbang.
Pesawat hanya singgah sekali di Washington D.C, lalu melanjutkan penerbangan ke
Savannah, sebuah kota tua yang indah, merupakan kota pelabuhan di Samudera
Atlantik. Kota itu mendapat sebutan "Ratu Pantai Georgia" sejak lebih dari
seratus tahun yang lalu, ketika kota itu berkembang subur sebagai pusat
perdagangan kapas daerah Selatan.
"Rasanya seperti di abad lain," kata Chet
sementara mereka berjalan kaki di jalan-jalan menuju ke stasiun bis.
Frank tersenyum. "Seluruh perkara ini nampaknya seperti dari abad lain. Jadi
kita ada di tempat yang benar."
Mereka naik bis yang menuju ke selatan. Pada saat mereka turun di kota kecil
yang disebut Swamp Creek, hari sudah mulai malam.
Di sepanjang jalan utama terdapat beberapa toko dan motel, namun toko-toko sudah
tutup dan tak ada seorang manusia pun yang nampak di sekitarnya.
Lumut Spanyol yang panjang-panjang bergantungan dari pohon-pohon sipres di kiri-
kanan jalan, memberikan suasana yang menakutkan.
Dengan kopor di tangan, ketiga pemuda itu pergi ke sebuah motel untuk bermalam.
Motel itu bernama Swamp Creek Inn, dan nama itu ditulis dengan lampu neon merah
yang menyala di luar lobby.
"Ada orang yang tinggal di sekitar sini?" tanya Chet kepada petugas. Ia merasa
lega melihat wajah orang. "Nampaknya sangat sepi."
Petugas yang mulai membotak, lebih gemuk daripada Chet, lambat menjawab para
tamu. "Semua sedang di rumah dan makan malam," akhirnya ia berkata dengan lafal daerah
selatan. "Kamarmu nomor enam belas, di ujung sana." Ia memberikan kunci kepada Chet.
"Berbicara tentang makan malam," kata Frank. "Ada yang dapat dimakan di dekat-
dekat sini?" Petugas itu menunjuk dengan ibu jarinya ke sebuah pintu di belakang lobby.
"Restorannya buka," katanya.
Setelah meletakkan kopor mereka, Chet mengajak mereka ke restoran. Ruangan itu
penuh meja-kursi, tetapi tak ada orang. Dengan ragu-ragu, para pemuda itu
berhenti di pintu, berpikir-pikir hendak duduk atau pergi.
"Ada yang dapat saya bantu?" tanya seorang gadis berpakaian putih-putih.
Wajahnya cantik dengan rambut coklat muda yang panjang dan mata biru yang besar.
Chet menyukai lafalnya yang seperti berirama.
"Buka untuk makan malam?" tanya Joe.
"Buka," jawab gadis itu, kemudian menunjukkan kartu menu dan mempersilakan
mereka duduk. "Kalian kemari untuk berburu?" ia bertanya setelah mereka duduk.
"Berburu?" Frank memandang tak mengerti.
"Berburu ular beludak," kata pelayan itu. "Mulainya besok."
Menyadari bahwa para pemuda itu tak mengerti apa yang dikatakannya, gadis itu
menjelaskan bahwa esok hari adalah permulaan pemburuan ular beludak tahunan di
Swamp Creek. Banyak orang berdatangan dari lain daerah untuk membantu menangkap ular.
"Untuk apa mereka melakukan itu?" tanya Chet.
"Wah, ini suatu kejadian besar," kata gadis itu dengan serius. "Setiap tahun
kami menangkap ular setelah mereka keluar dari tidur musim dingin, atau
hibernasi. Pada waktu ini mereka paling mudah ditangkap karena mereka semua
berhi-bernasi di liang-liang. Dengan menangkapi mereka, kami dapat membuat
jumlah mereka menjadi rendah."
Gadis itu membentangkan tangannya ke seluruh ruangan. "Besok, tempat ini akan
penuh orang-orang yang datang untuk berburu. Kukira kalian pemburu yang datang
paling dulu." "Bukan, kami kemari untuk penyelidikan," kata Chet kepadanya, mencoba memberi
kesan kepadanya. "Kami mempunyai tugas-tugas yang lebih penting daripada
berburu." Mata gadis itu membelalak. "Kalian ini agen-agen FBI atau apa?"
"Sebenarnya bukan," kata Frank sambil tertawa. "Tetapi kami memang mencari
seseorang." Ia membuka tasnya dan mengeluarkan karung kanvas yang berlambang ular beludak.
"Engkau pernah melihat seperti ini di sekitar sini?" ia bertanya kepada si gadis
sambil menunjukkan karung tersebut.
"Tentu," jawabnya. "Rattlesnake Clem yang menggunakan itu. Ini salah satu
karungnya." "Coba ceritakan tentang dia," Joe mendesak.
"Apakah dia yang kalian cari?" gadis itu bertanya dengan heran.
"Barangkali," kata Frank. "Tahukah engkau di mana kami dapat menemui dia?"
"Clem tinggal di Hull Street. Nama lengkapnya Clemson Marion. Tetapi ia jarang
di rumah. Apa yang kalian kehendaki dari dia?"
"Ah, kami hanya ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya," kata Joe samar-
samar. "Dapatkah kaukatakan bagaimana kami dapat menghubungi dia?"
"Tunggu sebentar." Gadis itu bergegas keluar dan sesaat kemudian kembali lagi
dengan petugas motel. Petugas itu menggaruk-garuk kepalanya ketika mendekati
para pemuda. "Kemenakanku, Sadie, mengatakan kepadaku bahwa kalian mencari Rattlesnake Clem,"
katanya sambil menarik sebuah kursi. "Apa yang kalian inginkan dari dia?"
"Kami memerlukan beberapa informasi dari dia," kata Frank terang-terangan. "Kami
detektif-detektif pribadi."
Petugas itu memandangi mereka sejenak lalu
berkata: "Mungkin ia ikut berburu besok. Ia mempunyai rumah di Hull Street,
tetapi ia tak pernah ada di sana. Ia biasanya datang pada perayaan ini untuk
menimbulkan keonaran." Melihat air muka para pemuda menunjukkan pertanyaan, ia
melanjutkan menjelaskan bahwa Clem adalah penyayang ular beludak. Ia menganggap
perburuan di mana ribuan ular beludak terbunuh setiap tahun adalah jahat, dan
perlu dicegah. Karena itu ia selalu mengganggu.
"Ia sudah tua," petugas itu mengakhiri kata-katanya. "Jangan sampai membuat dia
marah, kecuali kalau kalian inginkan seekor ular beludak memasuki baju kalian."
Pelayan yang cantik bermata biru itu menghidangkan makanan panas berupa bistik,
jagung dan lain-lain. Setelah mereka selesai makan, mereka mengucapkan terima
kasih kepada pelayan dan pamannya untuk informasi yang mereka berikan, lalu
pergi ke kamar mereka. Kamar itu hanya berisi dua tempat tidur, karena itu Joe mengalah tidur di dipan
yang disediakan oleh petugas motel.
"Aku pernah membaca tentang perburuan ular beludak," kata Frank setelah mereka
merebahkan diri dan memadamkan lampu. "Pemburuan ini dilakukan sebenarnya bukan
karena orang takut akan terlalu banyaknya ular beludak. Itu hanya untuk kedok
untuk mengadakan perayaan, sehingga kota ini dapat memperoleh uang."
"Akal yang bagus pula," kata Chet. "Motel dan rumah makan akan penuh dengan tamu
yang membayar. Tempat ini memang membutuhkan uang."
"Tetapi bersamaan dengan itu akan dikorbankan jiwa ular beludak," kata Joe dari
dipannya. Percakapan berhenti ketika mereka mulai terayun ke alam mimpi, samar-samar
memikirkan bagaimana mungkin seorang tua yang tinggal di dekat Rawa Okefenokee
dapat terlibat dengan perampokan-perampokan. Mereka terbangun di pagi hari oleh
suara-suara di jalan. Joe pergi ke jendela dan menyingkapkan gor-den-gordennya. "He, lihat itu!"
serunya kepada Frank dan Chet.
5. Pemburuan Ular Jalan utama Swamp Creek yang semalam kosong, kini dibanjiri orang yang datang
untuk ikut serta dalam perburuan. Banyak yang membawa karung dan tongkat. Di
antara dua batang tiang telepon, sebuah spanduk berbunyi: SELAMAT DATANG PADA
PESTA TAHUNAN PEMBURUAN ULAR BELUDAK DI SWAMP CREEK.
"Mereka benar-benar sudah siap," kata Frank. Ia mengintip dari atas pundak Joe.
"Yah, aku pun sudah siap pula," kata Joe.
Ketiga pemuda berpakaian dan keluar di sinar matahari. Setelah cepat-cepat makan
pagi, mereka segera berbaur di antara para pemburu ular yang sedang berkumpul di pusat kota.
Sebuah panggung dipasang di depan toko. Beberapa orang berdiri di atasnya
mengenakan topi rumput yang lebar yang dihiasi kulit ular beludak.
"Mereka tentu yang memimpin," kata Joe ketika mereka menyeruak maju mendekati
panggung. Pada saat itu seorang di antaranya mengumumkan, bahwa para pemburu akan dibagi
menjadi beberapa kelompok, setiap kelompok dengan seorang pemimpin.
Setelah terbagi-bagi, Frank bertanya kepada salah seorang bertopi rumput,
kelompok mana yang menuju ke rawa-rawa.
"Kelompokku," katanya, dan melambai kepada ketiga pemuda untuk menggabungkan
diri kepadanya. Orang itu bertubuh kecil-kuat dan bermata dalam. "Aku Billy," ia
memperkenalkan diri kepada kelompoknya. "Berapa dari kalian yang pernah ikut
berburu?" Kebanyakan tangan diacungkan, dan pemimpin kelompok itu nampak senang. "Nah,
kukira aku tak perlu menjelaskan," katanya. "Bagi mereka yang belum pernah ikut,
ikut saja dari belakang dan melihat. Kalian tentu akan segera bisa."
"Aku memang akan ada di belakang," Chet menggumam kepada kedua temannya. "Jauh
di belakang!" Dengan pemimpin kelompok paling depan, para pemburu ular itu berjalan di jalan
utama. Pada saatnya mereka keluar dari jalan dan masuk ke dalam hutan yang membatasi
rawa-rawa. "Inilah Okefenokee Swamp," kata Billy kepada para pengikutnya. Ia melambaikan
tangannya ke arah semak-semak yang lebat, pohon-pohon sipres dan rawa-rawa
berair di sebelah kirinya. "Ada kira-kira empat puluh jenis ular hidup di sini,
mulai dari ular karang sampai ular air dan beludak. Hari ini yang kita cari
ialah ular beludak jenis Eastern Diamondback."
"Mengapa hanya Eastern Diamondback?" salah seorang bertanya.
"Karena yang paling mudah ditangkap," kata Billy sambil mengedipkan mata.
"Tetapi kalau ada yang mau menyelam menangkap ular air, tentu akan sangat
dihargai." Orang yang kecil-kuat itu berhenti sejenak, untuk memastikan diri bahwa semua
dapat menangkap leluconnya, kemudian ia melanjutkan membawa rombongan lebih jauh
ke dalam hutan. Beberapa saat kemudian ia berhenti lagi. "Kukira ada liang yang
penuh ular di sini," katanya sambil menunjuk ke sebuah bukit yang berbatu-batu.
Mereka perlahan-lahan mendekati bukit. Pada mulanya nampak seperti tak ada
ularnya. Tetapi setelah semakin dekat, tanda-tanda gerakan mulai nampak di antara batu-
batu. Chet menahan napas. "Tempat ini benar-benar penuh dengan ular!"
Beratus-ratus ular seperti memenuhi celah-celah dan liang-liang di tumpukan
batu-batu. Jelas nampak bahwa mereka adalah Eastern Diamondback, karena pola-pola berbentuk
intan nampak jelas di punggungnya. Mereka bergerak sangat lambat atau bahkan
diam saja. Kebanyakan diam melingkar, berjemur diri setelah berhibernasi beberapa bulan.
Para pemburu segera menangkapi ular tersebut dengan tongkat mereka yang
bercabang ujungnya. Dengan menekan kepala ular dengan ujung tongkat yang
bercabang, para pemburu dapat menangkap tengkuknya, lalu memasukkannya ke dalam
karung. Para pemuda memandanginya dengan terpesona. Jelas kelihatan, bahwa kelompok itu
menikmati perburuan tersebut, tetapi Frank, Joe dan Chet tidak ikut menangkap.
Tiba-tiba, dari langit jatuh seekor ular besar, hanya beberapa sentimeter di
depan kaki Joe. "He, ada apa ini?" ia berteriak sambil melompat mundur.
Frank dan Chet juga mundur ketika beberapa ekor lagi berjatuhan di dekat mereka.
"Mereka jatuh dari pohon-pohon!" seru seorang, sementara kepanikan terjadi di
antara mereka. "Tentu ada orang yang melemparkan ular-ular itu!"
Ketika Frank mengelak dari seekor ular lagi, semua orang mendongak dengan
ketakutan, mencari-cari di pohon-pohon, dari mana ular-ular tersebut berjatuhan.
"Ha-ha-ha-ha-ha-ha!" Suara tertawa tiba-tiba terdengar dari atas. "Kalian
sungguh berani! Ha-a-ha-ha!"
Tinggi di atas cabang sebuah pohon yang besar, duduk seorang tua yang mengenakan
topi ber-sudut-tiga! Ia memegangi sebuah karung penuh dengan ular. Seekor demi
seekor dilemparkannya ke rombongan yang terkejut.
"Itu tentu Rattlesnake Clem!" teriak Chet.
"Pakai topi tiga sudut segala," sambung Joe sambil mundur dari pohon.
Raut muka orang tua itu nampak marah sekali sementara para pemburu di bawahnya
memandang ke atas dengan ketakutan dan bergerak mundur.
"Orang-orang konyol!" ia berseru dengan parau. "Kalau kulihat kalian datang
kemari lagi untuk berburu, lemparanku tak akan salah lagi!"
"Akan kuadukan agar kau ditangkap atas per-butanmu ini, Clem!" seru pemimpin
kelompok dengan marah. "Ayo, adukan!" balas Rattlesnake Clem.
Setelah berkata demikian, orang tua itu melepaskan karungnya, lalu memegangi
tambang yang ia ikatkan pada cabang. Ujungnya yang lain diikatkan pada pohon
lain, dan ia meluncur ke tanah beberapa meter jauhnya dari para pemburu. Kakak
beradik Frank dan Joe tak mau berusaha mengejar dia ketika ia menghilang masuk
ke rawa-rawa. Tetapi Joe memungut karungnya.
"Kita tak mungkin dapat meringkusnya," ia menggerutu. "Ia hafal benar rawa-rawa
ini, tetapi kita tidak. Kita hanya akan mendapat kesulitan saja."
Frank. mengangguk. Tak lama kemudian, kelompok pemburu itu kembali ke Swamp
Creek dan bubar. Setelah berhadapan dengan Clem, selera mereka sudah hilang.
Frank, Joe dan Chet mengikuti Billy ke kantor polisi. Billy hendak mengajukan
pengaduan terhadap Clem. Pak sheriff sedang duduk di belakang meja dan makan permen coklat. Ia berbahu
bidang, tetapi agak terlalu gemuk di sekitar pinggangnya untuk dapat dikatakan
baik kondisi tubuhnya. "Apa yang dapat kulakukan untukmu, Billy?"
ia bertanya setelah selesai makan dan melemparkan bungkusnya ke keranjang.
Pemimpin kelompok itu menjelaskan apa yang telah diperbuat oleh Clem. Senyuman
tipis nampak di bibir sheriff. "Ah, jadi Clem main-main lagi," katanya. "Rupanya
ia semakin sinting saja dengan lewatnya tahun demi tahun-"
"Kata-kata itu terlalu enteng!" Billy menggeram. "Bisa-bisa ada orang yang
digigit. Engkau harus mencari dia dan kurunglah dia!"
"Aku akan menemui dia," kata sheriff dengan lebih bersungguh-sungguh. "Kau
benar, ini harus dihentikan."
Frank melangkah maju ke meja. "Kami juga ingin dapat menemui dia," katanya, lalu
menjelaskan alasan mereka untuk menanyai Clem.
Mendengar cerita Frank, wajah sheriff nampak terkejut. "Kaukira si tua Clem itu
bertanggung jawab atas sederetan perampokan di lain-lain negara bagian?" tanya
sheriff itu tak percaya. "Apakah anda tahu di mana dia dua-tiga minggu yang lalu?" Frank menangkis dengan
bertanya. "Memang tidak," jawab orang yang berbahu bidang itu. "Tetapi si tua Clem! Ia
Hardy Boys Komplotan Pemuja Vodoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hanya orang sinting yang mencoba melindungi binatang liar, meskipun kuakui,
untuk itu ia menggunakan cara-cara yang aneh."
Frank mengangkat bahu. "Aku tahu, ia tidak cocok untuk menjadi pencuri, tetapi
terlalu banyak petunjuk-petunjuk yang tak dapat diabaikan."
"Lihatlah ini," kata Joe sambil meletakkan dua helai karung kanvas ke atas meja.
"Kita temukan salah satu dari karung ini di luar toko barang antik yang baru
dirampok di Bayport. Yang satu dijatuhkan Clem sebelum ia turun dari pohon tadi
pagi." Sheriff itu mengamati kedua helai karung yang bergambar persis sama: seekor ular
beludak yang melingkar dan tulisan 'Jangan Injak Aku'. "Aku tahu maksudmu,"
katanya dengan berpikir. Kemudian ia menghela napas. "Kukira Clem akan ada di
sekitar sini besok. Aku tak akan berbuat apa-apa sebelum kalian berhasil menemui
dia. Cobalah di rumahnya pagi-pagi sekali. Pada waktu itu kalian tentu dapat
menemui dia." Para pemuda itu mengucapkan terima kasih dan meninggalkan kantor polisi. Ketika
mereka kembali ke pusat kota Swamp Creek, mereka melihat bahwa banyak di antara
para pemburu telah selesai untuk hari itu. Sebuah lubang yang dipagari telah
digali di tanah kosong di belakang toko, dan ratusan ekor ular menggeliat-geliat
di dalamnya. "Aku ingin tahu, akan mereka apakan ular-
ular itu," kata Chet. Ia menggigil ketika melihat ke dalam lubang.
"Mungkin mereka akan membunuh sebagian besar ular-ular tersebut," kata Frank.
"Beberapa ekor mungkin akan dibeli oleh kebun binatang atau penyayang ular. Yang
lain-lain digunakan untuk percobaan ilmiah."
Pada waktu itu ketiga pemuda sudah merasa lapar, dan mereka kembali ke motel
untuk makan. Seperti yang telah dikatakan pelayan, ruang makan telah penuh
dengan para pemburu ular. Di sana bahkan ada sebuah band yang menghibur. Para
pemuda memilih tempat duduk dan mendengarkan musik.
"Ini lebih menyenangkan," kata Chet, girang dapat duduk dan mendengarkan musik.
"Sekarang apa yang kuingini hanya makan."
"Halo Pemuda-pemuda," sambut Sadie ketika ia sampai di meja mereka. "Sudah siap
untuk makan?" "Tentu." Chet tertawa kecil. "Aku lapar sekali. Apa yang khusus untuk hari ini?"
"Kami hanya menghidangkan satu macam masakan hari ini." Sadie tertawa cekikikan.
"Apa itu?" "Panggang ular beludak!" Senyum Chet menghilang dari wajahnya. "Hanya itu saja"
Hanya panggang ular beludak?"
"Ayolah, Chet," Joe memberi semangat. "Semua orang juga makan itu."
Si gemuk melihat ke sekeliling, ke piring-piring langgganan yang lain. Ia
setengah menduga akan melihat ular yang melingkar di piring dengan daun
peterseli di tengah-tengahnya. Tetapi yang dilihatnya adalah potongan daging
bulat yang nampaknya enak sekali dengan sausnya. Baunya pun enak!
"Aku akan mencobanya," ia berkata akhirnya. "Tetapi aku tak berani berjanji akan
menyukainya." Sadie menghidangkan sepiring untuk masing-masing. Chet menggerutu, tetapi Chet
masih sempat menghabiskan piring kedua!
"Mari kita kembali ke kamar," kata Frank, setelah selesai. "Aku ingin menelepon
ayah." Dengan perut penuh ketiga pemuda berjalan ke Kamar 16. Chet membuka pintu dan
langsung menjatuhkan diri di tempat tidur tanpa menyalakan lampu terlebih dulu.
Demikian tubuhnya mengenai kasur, keheningan kamar dipecahkan oleh suara
gemeretak yang keras. "Aduuuh!" teriak Chet kesakitan. Gigi taring Eastern Diamond back membenam ke
kakinya! 6. Ancaman Bisa Joe menyalakan lampu. "Ia menggigitku!" seru Chet sambil melompat menjauhi ular yang sudah siap hendak
menerkam lagi. "Keluar, cepat!" Frank memerintahkan.
Si gemuk terpincang-pincang ke pintu, dan Frank serta Joe segera memapah dia
keluar. Pada saat mereka sampai di lobby, kaki Chet sudah bengkak dan merasa sakit.
"Kita harus segera membawa dia ke dokter," kata Joe kepada petugas motel.
Orang itu memeriksa kaki Chet dan bersiul lirih. "Kelihatannya buruk," katanya.
"Masukkan ke mobilku. Chevrolet biru yang ada di depan."
Chet mengerang kesakitan, dipapah Frank dan Joe keluar. Beberapa detik kemudian
petugas motel sampai di mobil dengan membawa beberapa barang di tangannya.
Pelayan yang cantik tepat di belakangnya.
"Engkau yang mengemudi," katanya sambil melemparkan kunci. Frank dan Joe duduk
di depan, dan Sadie dengan pamannya membantu Chet di belakang. Petugas motel itu
memberi petunjuk-petunjuk kepada Joe jurusan yang harus ditempuh untuk ke tempat
dokter. Sementara itu ia memasang bilah dan mengikatkannya di atas luka, untuk
mengurangi peredaran darah. Sadie memangku kepala Chet, menyeka dahinya yang
panas karena demam dengan saputangannya.
Setiba di tempat dokter, mereka mengangkat Chet dari mobil dan membawanya masuk.
Dokter itu kurus, sudah mulai memutih rambutnya dan memakai kacamata. Bersama
Frank dan Joe ia mengangkat Chet ke meja pemeriksaan.
"Ini sakit?" ia bertanya kepada Chet, tangannya menekan lembut di tempat gigitan
ular. "Adaaauuuw!" seru Chet. "Sakit sekali."
"Bagus," kata dokter. "Kalau gigitannya parah malah tak ada rasa apa-apa."
Ia memeriksa rasa geli Chet di sekitar mulut,
penguningan pandangan serta tanda-tanda keparahan gigitan. Kemudian ia
menyiapkan pembalut antiseptik dan menyuntik Chet dengan obat pelawan bisa.
"Ia akan baik kembali dalam sehari-dua," kata dokter setelah selesai. Biasanya
aku mendapat banyak pasien digigit ular selama perburuan ini, karena itu aku
menyediakan banyak obat."
Frank dan Joe menghela napas dengan lega. "Apakah ia akan baik?" kata Joe.
"Biarkanlah ia beristirahat," jawab dokter. "Bengkaknya akan kempes besok pagi.
Sejak sekarang hati-hatilah, dan jauhi binatang-binatang itu."
Ketika mereka sampai di Swamp Creek Inn, petugas itu yang ternyata bernama Al,
membantu kedua pemuda untuk menangkap ular di kamar mereka. Kemudian mereka
mengangkat Chet masuk dan merebahkannya di tempat tidur.
"Wahhh, berat amat engkau," Frank melucu setelah ia berbaring.
"Yah, maafkanlah aku," jawab si gemuk marah, kini semangatnya sudah pulih dan
dapat ikut bergurau. "Maafkan aku, tidak memeriksa dulu tempat tidur kalau kalau
ada ular. Lain kali aku akan lebih hati-hati."
Frank dan Joe tersenyum sebelum mereka
melanjutkan percakapan yang lebih sungguh-sungguh.
"Aku yakin, Clem tentu di belakang semua ini," kata Joe setelah duduk di ujung
dipannya. "Nampaknya begitu," kata Frank dengan marah. "Kecuali kalau ular itu merayap
sendiri lewat jendela."
"Kalau Clem yang melakukannya, berarti ia bukan lagi hanya menakut-nakuti saja,"
Joe melanjutkan. "Ular diamondback itu jauh lebih mematikan gigitannya daripada
ular-ular pygmi yang dimasukkan ke mobil kita dulu."
"Mengapa kalian tidak ke polisi saja, dan minta agar dia dikurung?" seru Chet.
"Orang itu telah mencoba membunuh aku!"
"Sebab pada saat ini kita belum dapat membuktikan apa-apa," kata Joe.
"Pertama-tama, aku akan menelepon ayah besok pagi," Frank memutuskan. "Mungkin
ia telah mengungkapkan sesuatu semenjak kita tinggalkan."
Demikian ia bangun esok paginya, ia segera memutar nomor telepon rumahnya. Bibi
Gertrude yang menyambut. Setelah menceritakan kepada bibinya apa yang telah
terjadi sekian jauh, ia minta berbicara dengan ayahnya.
"Buruk benar bahwa engkau pergi untuk mempertaruhkan jiwamu," kata Bibi dengan
tegas sebelum ia memberikan telepon kepada Pak Hardy. "Tetapi jangan membiarkan
temanmu Chet menjadi korban permainanmu yang gila itu! Anak yang malang!"
Frank hendak menjelaskan, tetapi bibinya sudah memberikan gagang telepon kepada
ayahnya. Detektif terkenal itu mendengarkan dengan penuh perhatian,' gembira
bahwa anak-anaknya telah berhasil melacak orang yang bertopi tiga sudut.
Kemudian ia berkata: "Bahkan bahwa kenyataan Clem jarang sekali di rumah, sangatlah cocok dalam
kerangka kita." "Semenjak keberangkatan kami, apakah masih ada lagi toko barang antik yang
dirampok?" tanya Joe. "Tidak ada, artinya yang sesuai cara-cara kerja komplotan yang khusus ini,"
jawab pak Fenton Hardy. "Kalau demikian, bila kita dapat mengetahui bagaimana Clem melakukan segala
perjalanannya, kita akan dapat memperkarakan dia. Begitukah, ayah?"
"Benar," jawab ayahnya. "Aku akan menyelidiki di lapangan terbang Savannah,
untuk mengetahui apakah ia sering terbang pulang-pergi akhir-akhir ini. Kalian
menyelidiki lapangan-lapangan terbang pribadi, oke?"
"Akan kami lakukan." Frank meletakkan
gagang telepon dan memandangi adiknya. "Kita harus mencari tahu, apakah ada
lapangan terbang pribadi di daerah ini," katanya.
Wajah Joe yang menunjukkan rasa tak mengerti terganggu oleh ketukan di pintu. Ia
membukanya dan mempersilakan pelayan itu masuk.
Sadie membawa sebuah buku dan langsung menuju ke tempat Chet untuk melihat
bagaimana keadaannya. "Kubawakan buku untukmu," kata si cantik bermata biru. Suaranya yang berirama
lafal dae rah selatan terdengar gembira. "Mengenai ular. Kukira engkau ingin
lebih banyak mengetahui tentang ular karena engkau telah digigit."
Chet, yang kini telah tertarik oleh gadis tersebut, menerima buku tersebut dan
berjanji akan membaca sampai tamat. Ia lalu mengerang dibuat-buat, berusaha
menarik rasa iba atas keadaannya.
"Sadie ..." Frank tertawa, menyela kelakar temannya. "Apakah di dekat-dekat sini
ada lapangan terbang untuk pesawat-pesawat pribadi?"
"Ada," jawab gadis itu dengan cerah. "Tepat di sebelah utara dari sini. Ada
kaitannya dengan misterimu?"
Frank mengatakan bahwa hal itu mungkin, lalu menanyakan apakah Sadie dapat
mengantarkan dia ke sana.
"Dengan senang hati," kata Sadie, bangga dapat ikut membantu dalam penyelidikan.
Chet mengeluh, marah karena ditinggalkan teman-temannya sambil membawa serta
gadis impiannya! Sebelum mereka berangkat, ia minta Sadie berjanji untuk
memeriksa lukanya begitu ia pulang.
Di lapangan terbang, berupa lapangan kecil beberapa kilometer di utara Swamp
Creek, kedua detektif muda itu menanyai manajer tentang perjalanan Clemson
Marion dengan pesawat di waktu-waktu yang terakhir. Ternyata tak ada sama
sekali! "Ada orang yang pergi atau datang dari Bayport dalam beberapa hari yang terakhir
ini?" Frank terus mendesak. "Bayport. Sebenarnya memang ada. Sebuah Cessna biru masuk dua hari yang lalu.
Sekarang masih ada di sini. Pilot mendaftarkan diri sebagai Roger Mann. Dia juga
masuk kemari minggu yang lalu, tetapi langsung pulang ke Bayport hari itu juga."
"Bagaimana rupanya?" tanya Frank.
"Tidak tahu. Ia memakai kacamata hitam dan topi, seperti tidak ingin ada orang
yang mengenalinya." Joe membunyikan jari-jarinya, "aku yakin tentu Clem."
"Apakah nampak tua?" Frank melanjutkan, meragukan kesimpulan Joe yang tergesa-
gesa. Manajer itu menggeleng, dan harapan Joe untuk segera memperkarakan Clem gugur.
Sebab Clem sudah berumur enam puluhan!
"Nanti dulu," kata manajer, melihat kekecewaan pemuda itu. "Pilotnya memang
belum tua, tetapi ia membawa penumpang yang belum pernah kulihat, kecuali dari
kejauhan. Mungkin ia sudah tua, orang yang kalian cari."
"Apakah dia juga menyembunyikan identitasnya?" tanya Frank.
"Barangkali." Manajer itu mengangkat bahu. "Aku tidak tahu apakah ia sengaja
menjauhi aku, tetapi bagaimana pun aku tidak sempat melihat dia."
"Aku ingin melihat isi pesawat itu," kata Joe.
"Aku tidak dapat memberi izin," kata manajer kepadanya. "Engkau harus mendapat
izin dari pilotnya, tetapi ia tidak mengatakan di mana ia tinggal. Maaf."
Frank dan Joe minta agar ia menghubungi mereka di Swamp Creek Inn kalau pilot
Cessna dan penumpangnya muncul lagi. Kemudian ia kembali ke motel bersama Sadie
dan melihat di daftar kalau kalau terdapat nama Roger Mann. Ternyata tidak terdaftar. Demikian pula tak seorang pun penduduk kota yang
mereka tanyai mengetahui dia.
"Kalau ia terlibat dalam perkara kita, mungkin ia menggunakan nama lain," kata
Frank sementara mereka menuju ke kamar mereka. "Dengan sedemikian banyak orang
luar yang datang ikut berburu, sangat sulit untuk mengenali dia."
Di kamar motel, Frank menelepon ayahnya lagi. Ayahnya mengabarkan bahwa Clem tak
pernah menggunakan pesawat terbang untuk keluar-masuk Savannah selama tahun yang
lalu. Frank ganti melapor tentang pesawat Cessna biru dan Roger Mann, dan
menyebutkan nomor izin terbang pesawat tersebut. Pak Hardy berjanji akan
menyuruh Sam Radley, pembantunya, untuk menyelidikinya.
"Sambil lalu," kata pak Hardy sebelum meletakkan gagang teleponnya, "Temanmu
Peter Walker menelepon. Ia ingin tahu apakah engkau akan pergi ke New Orleans."
"Kami memang merencanakan ke sana, ayah, tetapi kami tak dapat menjanjikan
apakah kami bisa pergi. Pertama-tama kami harus dapat sampai ke dasar misteri
yang ada di sini." "Itu betul. Nah, selamat bekerja!"
Frank meletakkan gagang telepon dan meng-
alihkan perhatiannya ke temannya, Chet. "Bagaimana keadaanmu, sobat?"
"Aku sedang membaca buku yang diberikan Sadie," kata Chet. "Di sini ada bab
mengenai voodoo. Voodoo!" Chet mengulanginya dengan nada yang menyeramkan.
"Mendengar namanya saja aku sudah gemetar!"
7. Upacara yang Menakutkan
"Apa kata buku itu tentang voodoo?" tanya Frank kepada Chet.
"Dikatakan, bahwa voodoo adalah semacam ilmu hitam, berasal dari pemujaan ular
di Afrika," jawab temannya sambil duduk di tempat tidurnya. "Sekarang voodoo
hanya dilakukan di Haiti, di mana ular-ular dapat tinggal di rumah-rumah
penduduk." "Haiti," kata Frank lirih. Ia teringat pulau di Karibia yang terletak di sebelah
selatan Florida, tepat di sebelah timur Cuba. "Bukankah mereka berbicara sebuah
dialek Perancis yang disebut Creole?"
Mata Joe bersinar ketika ia menyadari bahwa kakaknya telah mengerti. "Benar!" ia
menjawab. "Dialek Creole juga digunakan di New Orleans. Jadi mungkin voodoo juga
dilakukan pula di sana!"
"Jadi kecurigaan Peter rupanya memang beralasan," kata Frank. "Mungkin kakeknya
benar-benar terlibat dalam pemujaan voodoo!"
"Kukira, kita harus selalu menjauhi tempat di mana pun yang orang-orangnya
terlibat ilmu hitam!" Chet menyatakan. "Kalian tahu apa yang mereka lakukan
kalau mereka hendak menyingkirkan kalian" Mereka mencuri sebagian pakaian
kalian, dibuatnya semacam boneka yang dianggap mewakili kalian, lalu menusuknya
dengan jarum. Kalian lalu menjadi sakit dan mati!"
"Ah, sudahlah, Chet. Engkau sendiri tak percaya akan hal itu, bukan?" Joe
menggoda. "Dari apa yang kubaca, hal itu telah berhasil bagi orang-orang Haiti selama
beberapa abad," Chet menggumam. "Paling tidak, mereka mengira demikian. Itu
sudah cukup bagiku!"
"Nanti dulu," kata Frank sambil tersenyum. "Kukira kau telah membiarkan
khayalanmu terbang sendiri. Kita hadapi saja dulu satu jenis pemujaan ular, dan
mengunjungi si tua Clem."
Kaki Chet yang bengkak sudah hampir pulih seperti semula, tetapi masih harus
menunggu satu hari lagi untuk dapat berjalan. Frank dan Joe meninggalkan dia di tempat
tidurnya dan berjalan kaki menuju ke Hull Street, yang ternyata terletak di
ujung lain dari kota. Mereka bertanya kepada orang yang sedang lewat di mana rumah Clem, dan
ditunjukkan ke sebuah rumah kecil, hampir tersembunyi oleh pohon-pohonan.
"Kuharap saja ia tak berkeberatan kita bertamu," kata Frank, ketika mereka
menerobos semak-semak ke halaman depan. Halaman itu penuh dengan sampah. Di
samping garasi terdapat sebuah bajak tua karatan, sebuah bak mandi berkaki dan
sebuah tungku tua untuk kayu. Barang-barang itu telah disemprot dengan plamir.
"Kukira ia sedang memperbaikinya untuk dijual sebagai barang antik," kata Joe
sambil menunjuk ke tungku.
Frank mengangguk. "Apa yang hendak kulihat di sini ialah adanya tanda-tanda
kehidupan,"
Hardy Boys Komplotan Pemuja Vodoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia menggerutu. "Nah, kita coba pintunya."
Bel tak dapat berbunyi, karena itu mereka lalu mengetuk. Mereka mendengar suara
gemerisik di dalam, tak ada orang yang keluar. Frank mengetuk berulang kali.
Setelah beberapa menit mereka mendengar langkah kaki, dan suara yang galak
membentak: "Siapa itu?"
"Frank dan Joe Hardy," jawab Frank. "Kami ingin berbicara dengan anda untuk
beberapa menit saja."
"Mengenai apa?"
"Tentang ular beludak."
"O, baik. Aku segera datang," kata Clem dengan suara yang menjadi lebih ramah.
"Persoalan kesayangannya segera mengubah sikapnya," bisik Joe. "Ingin tahu
aku..." Pintu terbuka dan orang yang telah tua itu ke luar, berpakaian overall dan
switer. Senyum yang ada di wajahnya segera buyar demikian ia melihat kedua pemuda.
"Apa yang kau kehendaki?" ia bertanya setengah menggerutu.
"Kami datang dari Bayport, dan kami ingin tahu apa yang anda lakukan di sana dua
hari yang lalu," kata Frank.
"Di toko barang antik McPhee," sambung Joe.
Orang yang sudah beruban itu tak menjawab, tetapi nampak benar-benar tak
mengerti. Kemudian ia melirik kepada kedua pemuda itu. "Eh, kalian hendak berbicara
tentang ular beludak, ya" Nah, masuklah. Akan kuperlihatkan kepada kalian."
Ia menunjukkan jalan masuk ke rumahnya yang berperabotan sederhana, terus ke
halaman belakang. Di dalam gudang kayu kasar terdapat
kira-kira selusin kandang yang berisi berbagai jenis ular beludak, termasuk
jenis diamondback dan pygmi.
"Inilah binatang-binatang kesayanganku," kata Clem. "Mereka dapat mengatakan
kepadaku apakah orang itu jujur atau tidak." Senyuman licik muncul di bibirnya
dan ia membuka salah satu kandang, lalu mengeluarkan dua ekor ular diamondback
yang besar-besar. Ia memberikannya seekor kepada masing-masing.
"Nah, bermain-mainlah sedikit dengan mereka!" katanya sambil tertawa. "Silakan,
peganglah!" Dengan perasaan kurang enak kedua pemuda itu menangkap ular itu seperti yang
mereka lihat pada para pemburu, yaitu di tengkuknya. Tetapi perasaan tidak
setuju terbayang di wajah pak tua Clem.
"Jangan begitu!" ia membetulkan. "Seperti ini!"
Ia memegang ular yang lain dari kandang pada tubuhnya, mengelus-elusnya, lalu
diangkat di atas kepalanya. Kemudian lalu dikembalikannya ke kandang.
Frank dan Joe saling melempar pandangan, kemudian memperlakukan ular masing-
masing seperti Clem. Mereka sadar, itulah kesempatan
mereka untuk dapat berbicara dengan orang tua itu.
"Ular kecil yang manis," Joe berdendang. "Aku memang selalu ingin menyayangi
seekor. Nah, bagus. Ular manis..."
"Oke," kata Clem, nampaknya puas. "Sekarang boleh berikan lagi kepadaku." Ia
menerima kedua ular itu dan memasukkan kembali ke kandangnya.
Frank dengan diam-diam menyeka keringat dari dahinya. "Nah, sekarang kita dapat
bercakap-cakap?" "Mari masuk ke rumah." Clem mengajak mereka masuk dan memberikan kursi kepada
mereka di dapur. "Kukira si Raja yang menyuruh kalian kemari," katanya ketika mereka telah duduk.
"Rupanya aku salah."
"Siapa Raja itu?" tanya Frank.
"Lho, ya Raja George ke-III," kata Clem dengan mata berbinar. "Raja Inggris,
musuh bebuyutanku." Dengan kata-kata itu, ia mengambil topi bersudut-tiga dari
cantelan dan memakainya di kepala. "Coba, akan kuceritakan kepada kalian tentang
dia." Duduk di dapurnya sendiri, Rattlesnake Clem sungguh berbeda dengan apa yang
mereka lihat sebelumnya. Sifat curiganya hilang dari wajahnya, dan pandangan
matanya menerawang jauh ketika ia memulai ceritanya.
"Ketahuilah," katanya, "aku adalah cucu keturunan empat dari Francis Marion yang
besar, lebih dikenal sebagai si Rubah Rawa-rawa. Karena itulah aku memakai topi
ini." "Dan lambang Perang Revolusi di karungmu itu juga?" tanya Joe.
Clem mengangguk. "Betul. Kakek moyangku itu biasa berkemah di rawa-rawa bersama
pasukannya. Di siang hari ia bersembunyi, dan pada malam hari ia menyerang pos-
pos penjagaan Inggris. Karena itulah ia dinamakan si Rubah Rawa-rawa."
"Dan engkau meniru jejaknya, meskipun Perang Revolusi sudah berakhir lebih dari
dua ratus tahun yang lalu," kata Frank dengan sedikit menantang.
"Tetapi perang belum selesai!" kata orang tua itu.
Frank dan Joe saling berpandangan, menyadari bahwa Clem memang sinting atau
berusaha keras agar nampak gila.
"Perang belum selesai, sebab Raja George ke III dari Inggris masih hidup," Clem
melanjutkan dengan mata yang bersinar. "Ia ada di luar sana memungut pajak atas
tanah jajahannya. Tugas-kulah untuk menghentikan pemungutan pajak itu!"
Kakak beradik itu tahu bahwa ketika Perang Revolusi Amerika pecah, George ke III
adalah raja Inggris. Banyak kaum pendatang masa lalu yang membenci raja itu
karena memungut cukai yang tinggi atas barang-barang mereka. Justru cukai itulah
yang menjadi penyebab Revolusi. Tetapi itu sudah lebih dari dua abad yang lalu!
"Apa yang menyebabkan kau percaya bahwa raja itu masih hidup?" tanya Frank.
"Aku telah melihat dia!" jawab Clem setengah berteriak. "Ia keluar dari rawa-
rawa untuk memungut cukai. Ia belum mati, itu aku pasti! Ia hanya bersembunyi
selama bertahun-tahun ini."
Mengetahui bahwa mereka tak akan sampai ke mana-mana dengan cerita raja Inggris
yang telah lama meninggal itu, Frank lalu menanyai dia tentang perampokan di
Bayport, serta ular beludak yang diletakkan di tempat tidur Chet.
"Aku belum pernah mendengar tentang Bay-port-mu itu!" kata pak tua itu dengan
panas. "Bagaimana aku dapat mencuri" Aku tak tahu bagaimana sekarung ular-ularku bisa
sampai di sana, dan aku tak dapat mengatakan siapa yang memakai topi tiga-sudut
itu. Hanya yang jelas bukan aku!"
"Dengarkanlah," kata Joe sambil berdiri dan mengepalkan kedua tangannya. "Kami
sudah hampir tak sabar untuk membawamu ke kantor polisi sekarang juga. Karena
itu janganlah berbelit-belit."
Clem juga berdiri, perasaan marah melintas di wajahnya. "Dengar, Nak! Jangan
coba-coba mengancam aku! Sudah kukatakan aku tak pernah ke Bayport! Dan aku
bukan pendusta!" Setelah mengucapkan itu, Clem duduk kembali. "Aku mengaku, bahwa aku yang
meletakkan ular itu di ranjangmu," katanya agak lebih tenang. "Aku mendengar
kalian datang kemari dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang aku, maka aku
hendak sedikit menakuti kalian. Maafkan tentang temanmu itu, tetapi aku tak
mengira bahwa ia begitu saja berbaring di atas ular itu."
"Kau meletakkan ular itu di ranjang Chet karena kaudengar kami mencarimu?" tanya
Frank tak percaya. "Kukira kalian agen-agen Raja," Clem menjelaskan. "Ia tahu bahwa aku mencarinya,
dan ia hendak mendahului menangkapku. Karena itulah aku menyuruh kalian memegang
ular. Kalau kalian memang agen-agen raja, tentu sudah kuning-pucat
melakukannya." Menyadari bahwa mereka tak dapat memperoleh apa-apa dari si Rubah Rawa-rawa masa
kini itu, kedua pemuda itu mengucapkan salam dan berangkat.
"Ia telah terlalu banyak menghirup gas-gas rawa, atau ia berpura-pura gila pada
kita," kata Joe sambil mengangkat bahu sementara mereka berjalan kaki menuju ke kota.
"Dongengan Raja George itu adalah yang paling gila yang pernah kudengar."
"Kita hanya tinggal menggali informasi dari pilot pesawat itu, Roger Mann."
Frank menghela napas. Setengah jam kemudian, mereka telah tiba kembali di jalan utama Swamp Creek.
"He, lihat!" seru Frank setelah mereka sampai di dekat motel. "Itu mobil pak
sheriff!" 8. Tersesat di Rawa Sebuah mobil polisi bertanda sheriff wilayah diparkir di depart motel. Kedua
pemuda itu mempercepat langkah mereka, khawatir bahwa Chet menjadi korban
serangan lagi. Mereka membuka pintu dan merasa lega ketika melihat Chet sedang duduk di tempat
tidur, rupa-rupanya tak apa-apa.
Sheriff berdiri di dekat jendela yang hancur pecah. Pecahan kaca berhamburan di
lantai. "He, anak-anak muda," katanya. "Temanmu ini menelepon ketika hal ini terjadi.
Ada orang yang melemparkan batu di jendelamu. Ada surat yang terikat padanya."
Sheriff mengulurkan secarik kertas yang kisut-kisut kepada Frank dan Joe. Kertas
itu bergambar ular beludak yang sedang melingkar dengan tulisan 'Jangan Injak
Aku' di atasnya ... Sedang di bawahnya tertulis:
TEMUI AKU DI RAWA PADA SAAT MATAHARI TERBENAM. MINTA RICK DOUGLAS UNTUK MEMBAWA
KALIAN KE SANA. CLEM. "Nanti dulu," kata Frank. "Kita baru saja bersama Clem pagi ini. Tak mungkin ia
melemparkan batu ini di sini."
"Barangkali ia mendahului kalian tiba di sini," kata pak sheriff. "Ini baru
terjadi kurang dari lima menit yang lalu."
"Siapa itu Rick Douglas?" tanya Joe.
"Ricky mengoperasikan sebuah perahu berbaling-baling atas," kata pak sheriff
kepada mereka. "Ia sebaya dengan kalian. Hafal sekali daerah Rawa Okefenokee. Ia
menyewakan perahunya bagi wisatawan."
"Di mana kami dapat menemui dia?" tanya Frank.
"Ambil saja jalan yang kau gunakan ke rumah Clem, tetapi teruskan kira-kira
setengah kilome-85 ter, lalu membelok ke kiri ke rawa-rawa. Ada tanda-tandanya."
"Aku sudah melihat papan-papan nama itu di sana," kata Joe. Ia ingat akan
beberapa papan nama yang menunjukkan jalan ke tempat wisata Rawa Okefenokee.
"Mari kita berangkat."
"Beritahukan apa yang kalian temukan," kata sheriff. "Katakan kepada Clem, ia
harus membayar jendela yang pecah ini. Katakan pula bahwa aku juga ingin
berbicara dengannya."
Kedua pemuda detektif itu keluar dari kamar dan berjalan ke rumah Clem. Kemudian
mereka mengikuti petunjuk jalan yang menuju ke tempat wisata, dan akhirnya tiba
pada sebuah dermaga di pinggir rawa-rawa.
Tertambat pada dermaga ada sebuah perahu-udara yang panjang dengan baling-baling
yang sangat besar di bagian atas belakang. Baling-baling itu digunakan untuk
menjalankan perahu itu melalui air yang sangat dangkal, yang bagi perahu
bermesin tempel tidak mungkin dilalui.
"Kalian anak-anak Hardy?" tanya seorang pemuda ramping yang keluar dari pondok
di samping dermaga. "Ya, dan engkau tentu Rick," Frank menyahut. "Kami mendapat surat dari Clem.
Katanya engkau akan membawa aku kepadanya."
Rick mengangguk. "Ia ingin bertemu kalian -
untuk sesuatu urusan. Nampaknya seperti sangat penting. Aku diminta membawa
kalian ke sana." Frank dan Joe naik ke bagian penumpang di depan, sedangkan Rick duduk jauh di
belakang di mana ia dapat mengemudikan perahunya.
"Berapa jauh kita harus pergi?" tanya Frank mengatasi deru baling-baling
sementara mereka melepaskan diri dari dermaga.
"Cukup jauh," pemuda itu berteriak kembali. "Rawa Okefenokee ini luas sekali."
Dari Sadie, kedua pemuda itu sudah mengetahui sedikit-sedikit perihal rawa-rawa
tersebut. Rawa-rawa itu merupakan sebuah taman nasional seluas 100 kilometer
persegi di bagian tenggara negara bagian Georgia dan bagian utara Florida.
Sungai Suwannee mengalir di tengah-tengahnya, tetapi bagian lainnya hampir
seluruhnya tanah berawa-rawa. Kebanyakan dihuni oleh ular, bu-, rung dan buaya.
Sambil menyisir permukaan air, Rick menjalankan perahunya melalui paya-paya dan
kubangan-kubangan. Perahu itu bahkan meluncur di atas lumpur dan gosong-gosong
pasir dengan mudahnya, seperti sebuah mobil yang meluncur di jalan yang halus.
"Di sinilah," kata Rick akhirnya sambil menghentikan perahunya ke sebuah
gundukan tanah yang berpohon-pohon. "Clem hendak menemui
kalian di sebuah pondok di balik pohon-pohonan itu. Aku akan menunggu kalian di
sini." "Terima kasih," kata Frank, dan kedua pemuda itu turun. Mereka masuk ke
kerimbunan pohon-pohon, berharap sampai di pondok. Tetapi tak ada tanda-tanda
hadirnya manusia di mana pun!
"He, tak ada apa-apa di sini," kata Joe sambil melihat ke sekelilingnya. "Rick
tentu telah salah." Pada saat itu juga mereka mendengar suara mesin perahu dihidupkan.
"Ia hendak pergi!" seru Joe dengan takut, dan mereka lari di antara pohon-pohon
menuju ke arah perahu. Semangat mereka runtuh ketika mereka melihat perahu itu menghilang ke rawa-rawa,
suaranya menderu-deru di atas air. Rupa-rupanya, semua telah diatur untuk
menurunkan mereka di tengah rawa-rawa dan meninggalkan mereka di sana!
"Bangsat kecil!" seru Joe dengan marah. "Tunggu kalau aku sudah kembali! Aku
akan membuat anak dan perahu itu menjadi setumpuk sampah!"
"Masalahnya," kata Frank dengan putus asa, "bagaimana kita dapat kembali" Kita
tentu telah sepuluh kilometer masuk di rawa-rawa!"
Matahari sudah hampir sampai di garis ufuk.
Dalam beberapa menit lagi hari akan menjadi gelap.
"Lebih baik kita bersiap-siap untuk menginap," Joe menyimpulkan sambil
memandangi matahari terbenam. "Kita tentu akan dapat keluar dari sini, tetapi
tidak tanpa cahaya."
"Aku tak mau berdebat denganmu," Frank menggerutu. "Aku tak merasa tertarik
untuk berenang bersama buaya-buaya di kegelapan."
Malam tiba dengan dinginnya. Untunglah mereka mempunyai korek api, dan dapat
membangun tabunan dengan ranting-ranting yang dapat mereka kumpulkan. Mereka
duduk meringkuk di dekatnya untuk menghangatkan tubuh mereka.
Frank akhirnya terlena, dininabobokkan oleh suara-suara berkeretaknya api dan
angin di malam itu. Joe menambahkan kayu pada api hampir sepanjang malam, hingga
akhirnya juga terlena, dan api kecil itu akhirnya menjadi setumpuk abu dan bara
berpijar. Tiba-tiba suatu suara membuat ia tersentak bangun. Pandangan Joe menegang takut
sambil memusatkan pendengarannya, tidak yakin apakah suara itu benar-benar ada
atau hanya bagian dari mimpi.
"Grrrrr!" Menyadari bahwa suara mengaum itu bukan
hanya nyata, tetapi juga semakin dekat, Joe menangkap lengan kakaknya. "Bangun!"
"Ada apa?" tanya Frank kembali terjaga.
"Aku tak tahu," bisik Joe. "Dengarlah!"
Suara kemeresak terdengar dari dalam semak-semak, dan nampaknya bergerak
mengitari mereka. Sekali lagi terdengar suara menggeram tak begitu keras di
kegelapan. "Macan," Frank menyimpulkan. Ia memungut sebatang kayu bakar dan mengaduk-aduk
di tumpukan abu. "Grrrrr!" kucing raksasa itu mengaum, ketika bara api di bawah abu mulai
bepercikan. "Ia semakin dekat!" bisik Joe dengan serak.
Pada saat itu, sepasang mata menyala-nyala nampak di antara semak-semak.
Pada saat itu pula Frank mencungkilkan kayunya pada bara menghamburkan awan abu
dan bara. Kali ini sambil mengaum ketakutan binatang buas itu melarikan diri ke
dalam semak-semak. "Syukur ... ia telah lari!" Frank menghembuskan napas dengan lega.
Joe mengangguk. "Rupanya ia juga lapar seperti aku!"
Mereka segera membesarkan api secepat-cepatnya agar tetap dapat menyala
sepanjang malam. Pada waktu subuh, mereka keluar untuk
memeriksa di mana macan itu dapat menyeberang ke 'pulau' mereka.
"Ini dia!" seru Joe, menunjuk ke tempat yang sangat dangkal, yang menghubungkan
pulau mereka dengan sebuah tanah darat yang lebih luas.
Frank dan Joe menyeberangi air yang dangkal itu menuju ke darat di seberang. Air
tak pernah sampai ke lutut, dan dasar tanah lempung cukup keras untuk mendukung
tubuh mereka. "Tahan," Joe memerintah ketika mereka sudah dekat dengan daratan. "Kedua makhluk
itu nampaknya juga kurang ramah."
Frank memandang ke arah yang ditunjuk Joe. Setengah tersembul ke permukaan, dua
ekor buaya sedang berjemur di matahari yang baru saja timbul. Hanya kepala dan
punggung yang nampak di atas permukaan.
Hardy Boys Komplotan Pemuja Vodoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada saat itu, salah satu melepaskan diri dari pinggir dan dengan perlahan-lahan
berenang ke arah kedua pemuda. Kedua pemuda itu berhenti dengan diam.
"Pernah bergelut dengan seekor buaya?" Frank melucu gugup.
"Kalau ia mendekat lagi, kita akan habis!" Joe menyahut.
Namun buaya itu tak memperhatikan kedua tamunya dan membelok ke tempat yang
lebih dalam. Dengan hati-hati Frank dan Joe meneruskan jalan ke darat, memutar
lebar mengitari buaya yang seekor lagi.
Daratan itu ternyata juga berpaya-paya, dan mereka sering harus berjalan di
dalam lumpur sebatas lutut sebelum sampai ke tanah yang lebih tinggi dan kering.
"Kita menuju ke barat," kata Joe, melihat dari letak matahari. "Swamp Creek
tentunya ada di sebelah utara."
"Aku tahu," kata Frank. "Kuharap saja tanah ini cukup lebar sampai ke Sungai
Suwannee, yang mengalir melintas utara-selatan. Jadi kita dapat mengikutinya
sampai ke arah kota."
Kakak beradik itu meneruskan perjalanan mereka ke barat, tetapi semak-semak yang
lebat membuat perjalanan mereka lambat. Pada saat mereka sampai di tepi sungai,
pakaian mereka sudah hampir menjadi compang-camping terkena duri-duri.
Joe memandang menerawang ke utara, mengikuti aliran sungai yang lambat berkelok-
kelok. "Sungguh enak kalau mempunyai perahu," katanya dengan lelah.
"Yahhh, sayang kita tak punya," kata Frank dengan mengangkat bahunya.
"Barangkali masih lima kilo ke tepi rawa-rawa, dan dua atau tiga kilo
lagi sampai di Swamp Creek. Kita masih mampu sampai di sana."
Pemuda yang pirang itu mengeluh.
Mengikuti aliran sungai ke arah utara ternyata lebih daripada tadi ketika
mencapainya. Banyak di antara daerah-daerahnya berpaya-paya. Mereka bahkan sering harus
berenang melintasi air yang dalam, selalu waspada akan buaya, ular air dan lain-
lain binatang air. Pada saat mereka baru mencapai satu-dua kilometer, sudah
hampir seluruh tubuh mereka berlumur lumpur dan basah.
"Aku perlu beristirahat dulu," kata Joe akhirnya dengan mendesak. Ia memang agak
kurang tidurnya daripada kakaknya.
Kakaknya yang berambut hitam menyetujui, dan mereka duduk pada sebatang kayu
yang tumbang di pinggir sungai.
"Kok lebih berat daripada yang kuperkira-kan," Frank mengakui. Ia melihat seekor
ular 'water moccasin' dengan tenang masuk ke dalam air untuk mencari makan.
"He, lihat itu!" Joe berseru tiba-tiba, tangannya menunjuk jauh ke sungai. "Ada
perahu!" Kedua pemuda melompat bangun dan mengintai ke selatan. Di kejauhan, sebuah
perahu bermotor ukuran sedang, sedang mendatangi.
"Aku memang tak mau melepaskan harapan,"
kata Frank sambil menyeringai, "tetapi inilah yang kudoakan."
Kedua pemuda cepat-cepat meniti ke ujung batang pohon yang menggantung di atas
permukaan air sungai. Setelah perahu bermotor itu semakin dekat, mereka
melambai-lambaikan tangan dan berseru-seru minta dibawa.
Perahu itu ditumpangi oleh sepasang orang tua, keduanya memakai topi jerami dan
baju berwarna cerah. Melihat kedua pemuda yang compang-camping berlumur lumpur,
mereka menjadi ragu-ragu. Frank dan Joe menunggu dengan khawatir ketika suami-
isteri itu saling mempercakapkan, apakah mereka hendak membawa atau meninggalkan
kedua pemuda itu. Beberapa saat kemudian kedua pemuda itu menghela napas lega, ketika si kakek
menepikan perahunya. "Bagaimana kalian anak-anak muda sampai terdampar di sini?" tanya si nyonya
dengan lafal selatan yang berat, sementara kedua pemuda itu memanjat naik ke
perahu. "Kami kira, ini hasil pikiran orang yang hendak membadut," kata Frank dengan
muram. "Kelihatannya tidak terlalu lucu bagiku," kata yang laki-laki dengan nada heran.
"Sambil lalu," ia meneruskan, "Namaku Walter. Ini isteriku, Peg."
Frank mengulurkan tangan kepadanya untuk menjabatnya.
"Iiiihh!" seru nyonya tua, memandangi lengan Frank.
Dengan terkejut Frank memandangi lengannya, dan melihat beberapa ekor lintah
yang hitam dan panjang melekat di sana! Kedua pemuda dengan nekad membuka baju
dan celana panjangnya, melihat lebih banyak lagi binatang penghisap darah itu di
kaki dan punggung mereka. Mereka terlalu lelah dan berlumur lumpur untuk
mengetahuinya lebih dulu.
Setelah dengan bantuan garam yang kebetulan dibawa oleh suami isteri itu mereka
berhasil melepaskan lintah, kedua pemuda itu memakai lagi pakaian mereka. Peg
membuat roti berisi bagi mereka, sementara perahu itu melanjutkan perjalanan
menuju ke hulu. Kedua orang tua itu dengan terpesona mendengarkan cerita kedua pemuda.
Pak Walter dan nyonya Peg menambatkan perahu mereka di dekat kota Swamp Creek,
lalu pergi ke motel untuk mengambilkan pakaian bagi kedua pemuda. Ketika mereka
kembali, Chet ikut serta-
"Nah, ini yang kusebut keramah-tamahan daerah selatan!" seru Joe setelah
berganti pakaian. "Kalau ada sesuatu yang dapat kami lakukan bagi anda sekalian,
katakan..." "Ah, jangan pikiran itu," kata si nyonya dengan lafalnya yang berat. "Aku hanya
berharap kalian dapat melakukan yang sama kalau-kalau kami juga terdampar di
daerah utara!" Kedua pemuda itu sekali lagi mengucapkan terima kasih, kemudian bersama Chet
mencari operator perahu baling-baling yang telah menyebabkan mereka mengalami
kesulitan. Perahu itu tertambat di dermaga ketika mereka tiba di sana.
"Nah, kini kita menghadapi jenis lain dari keramah-tamahan daerah selatan," kata
Joe dengan marah, dan menendang pintu pondok hingga terbuka.
Ketika Rick melihat mereka, mulutnya ternganga. "A - a - ba-bagaimana - kalian
sampai di sini?" ia menggagap, ketakutan memperkirakan apa yang akan mereka
perbuat terhadap dirinya.
Joe menangkap bajunya dan menekan dia pada dinding. "Berikan jawaban yang benar,
kalau tidak kuserahkan kau kepada sheriff," ia berkata dengan hati panas.
"Di-dia yang menyuruh aku!" pemuda itu meratap. "Lihat itu suratnya. Di sana
itu." Frank memungut secarik kertas dari atas meja. Seperti yang mereka terima melajui
jendela di motel, kertas itu juga bertanda lambang Perang Revolusi dengan gambar ular
melingkar. Surat itu memerintahkan Rick agar membawa Frank dan Joe jauh ke dalam rawa-rawa,
dan meninggalkannya di sana sebagai umpan ular dan buaya. Kalau Rick tidak mau
melaksanakannya, si Rubah Rawa akan segera memukul tanpa pemberitahuan lebih
dulu. Surat itu ditanda-tangani oleh 'Rattlesnake Clem'.
"Lepaskan dia," kata Frank kepada adiknya setelah membaca surat itu. "Clem-lah
yang harus dipenjarakan."
"Sudah," kata Chet. "Pak sheriff yang menangkapnya kemarin malam."
"Atas tuduhan apa?" tanya Joe dengan heran.
Chet tertawa kecil. "Perampokan di Bayport!"
9. Pencarian dari Udara "Bawa kami ke kantor sheriff," perintah Frank kepada operator perahu. "Paling
sedikit, itulah yang dapat kaulakukan untuk membalas tindakanmu meninggalkan
kami di rawa-rawa." Mobil Chevrolet Rick yang tua diparkir di belakang gudang. Mereka naik dan
segera berangkat menuju ke kota, ke kantor polisi wilayah. Tiba di sana, mereka
melihat Clem dikurung dalam salah satu sel. Penghuni rawa-rawa yang telah
beruban itu bagaikan binatang liar di dalam kandang, melangkah mondar-mandir
dari ujung ke ujung. "Aku tak mencuri apa-apa!" ia menggerung,
menatap marah kepada sheriff, lalu kepada kedua pemuda.
"Engkau juga tidak mengancam Rick untuk membawa kami ke rawa-rawa?" tanya Joe
dengan tajam. Clem memegangi jeruji sel. "Sudah tentu tidak. Tentu Raja George yang
melakukannya! Ia yang mengatur segala-galanya!"
"Engkau hendak mengatakan, bahwa Raja George ke III dari Inggris yang merampok
toko barang antik di Bayport?" tanya Frank. Sekarang ia sangat mencurigai
kesintingan orang itu. "Sudah kukatakan kepadamu, Raja George masih saja memungut cukai dari
jajahannya!" Clem terus saja berteriak-teriak. "Sebaliknya, daripada memungut
cukai ia malah merampok."
Sheriff menggeleng-gelengkan kepala mendengar ia meracau, lalu memberi isyarat
kepada para pemuda untuk kembali ke kantornya. "Hanya demikian yang dapat
kuperoleh dari Clem," ia menjelaskan. "Tetapi bukti petunjuk sudah jelas. Aku
telah menemukan barang-barang ini tadi pagi di garasinya."
Pada sebuah meja di sudut kantor terdapat satu set barang perak dan tiga helai
lukisan. "Chet menelepon aku tadi malam ketika kalian tidak juga pulang," sheriff itu
melanjutkan sambil duduk, lalu membuka sebungkus coklat.
"Aku lalu menuju ke rawa-rawa bersama beberapa deputy, mencoba untuk menemukan
kalian. Nah, aku memang tak menemukan kalian, tetapi aku tanpa disengaja menemukan
barang-barang berharga ini ketika aku pergi ke rumah Clem dan menggeledah
garasinya." "Apakah ini barang-barang yang dicuri dari Durby McPhee?" tanya Joe.
"Mula-mula kukira milik Clem," jawab sheriff. "Tetapi kemudian aku menyadari
bahwa barang-barang ini lebih berharga dari barang-barang yang biasa ia
perdagangkan. Aku teringat cerita kalian tentang pencurian di Bayport, maka aku
lalu menelepon polisi Bayport dan mencocokkannya dengan mereka. Betul saja,
itulah barang-barang yang telah dicuri dari toko McPhee. Karena itulah aku
menangkap Clem." Pak sheriff yang merasa puas atas kerjanya yang bagus, tersenyum sambil
memasukkan potongan coklat yang terakhir ke dalam mulutnya. "Eh, omong-omong,
apa yang terjadi dengan kalian tadi malam?"
Frank dan Joe menceritakan kepadanya, bagaimana mereka ditinggal di rawa-rawa
oleh pemilik perahu, dan harus menemukan jalan kembali ke kota atas bantuan
suami-isteri yang tua. "Kalian masih untung dapat ditemukan."
Sheriff itu tersenyum. "Kalau tidak kalian masih harus menginap semalam lagi di
sana." "Bagaimana pendapat anda tentang cerita Clem tentang Raja itu?" kata Frank untuk
mengalihkan persoalan. Wajah sheriff nampak berpikir. "Rupa-rupanya Clem berpendapat bahwa Revolusi
Amerika masih terus berlangsung. Namanya yang benar ialah Clemson Marion,
keturunan seseorang yang bernama Francis Marion, lebih dikenal sebagai si Rubah
Rawa. Selama Perang Revolusi..."
"Clem sudah menceritakan semua itu kepada kami," Joe memotong. "Apa yang tidak
kami ketahui ialah mengapa Clem percaya bahwa Raja George masih hidup dan
memungut cukai dari jajahan-jajahan di Amerika."
"Aku juga memikirkan hal itu," kata sheriff itu sambil mengedipkan mata. "Ketika
kami temukan harta ini di garasi, kami juga menemukan baju merah dan beberapa
potong pakaian lagi yang rupanya mirip bagian-bagian pakaian kebesaran bangsawan
Inggris abad delapan belas. Memang, aku bukan psikolog, tetapi bagiku nampaknya
seperti suatu kasus kepribadian ganda."
"Apakah anda hendak mengatakan bahwa Clem melakukan peranan baik sebagai si
Rubah Rawa dan Raja George sekaligus?" tanya Joe.
Sheriff mengangguk. "Orang tua itu sudah
lepas dari relnya. Kukira, suatu hari ia berpakaian sebagai si Rubah Rawa dengan
topi tiga-sudutnya, lain hari ia muncul sebagai Raja George, musuhnya, dan
berkeliaran. Permainan yang sinting yang dia lakukan itu, memerankan orang baik dan orang
buruk. Dengan demikian ia melestarikan Revolusi Amerika di benaknya."
"Waduhh!" seru Chet. "Kalau begitu masalahnya, ia memang benar-benar gila. Dan
anda menduga bahwa semua pencurian itu dilakukannya oleh pribadinya sebagai si
Rubah Rawa?" Pak Sheriff mengangguk. "Itulah dugaanku. Ia mencuri toko-toko barang antik
karena ia percaya bahwa itu semua milik kaum Tory yang kaya, para pendukung
pihak Inggeris sewaktu Revolusi. Kemudian, sebagai Raja George, ia menganggap
barang-barang curian itu sebagai cukai yang dia pungut dari daerah jajahan."
"Itu sebuah teori yang menarik," kata Frank agak sangsi.
"Yahhh," sambung pak sheriff. "Orang-orang di sekitar sini telah mengatakan
melihat hantu Raja George. Ia muncul pada larut malam di dekat tepi rawa-rawa.
Lima atau enam orang berani bersumpah telah melihatnya beberapa hari yang lalu."
"Anda yakin bahwa itu bukan akibat gas-gas rawa yang dikombinasikan dengan
khayalan orang?" tanya Joe. Ia tahu, bahwa gas-gas metan yang menguap dari air
rawa sering menyebabkan orang mengira melihat hantu.
"Itulah yang kukira mula-mula," jawab pak sheriff sambil meletakkan kedua
kakinya ke atas meja. "Tetapi kemudian beberapa orang yang patut dipercaya
bersikeras telah melihat hantu Raja itu dengan jelas. Itulah yang menyebabkan
aku percaya, bahwa Clem yang mengaku musuh bebuyutan Raja, mungkin sekali sedang
berpakaian sebagai Raja itu sendiri." j
"Tetapi mengapa ia harus memilih beberapa tempat yang sangat berlainan untuk
mencuri?" Frank mengajukan penalarannya. "Di samping itu, yang ini hanya merupakan
sebagian yang sangat kecil dari apa yang telah dicuri. Apakah hanya ini yang
anda temukan?" "Ya," jawab sheriff yang buncit itu. "Yang lain tentu disembunyikan di lain
tempat. Aku hanya berharap, bahwa Clem tidak terlalu sinting untuk dapat
mengatakan, telah diapakan saja barang-barang itu semuanya. Kalau tidak, aku
dapat berbulan-bulan mencarinya di luar sana."
Para pemuda itu meminta izin lagi untuk dapat berbicara dengan Clem. Sebab
mereka belum yakin bahwa ia memang benar-benar perampok di Bayport, atau bahwa
ia benar-benar menderita gangguan jiwa berupa kepribadian yang ganda.
"Pak Clem, katakanlah satu hal saja," kata Frank. "Kapan dan di mana engkau
melihat Raja itu untuk pertama kali?"
"Tahun lalu, pada perayaan Mardi Gras pada hari Selasa Lemak-lemak," jawab Clem.
"Kemudian aku membuntutinya ke tempat pesta. Banyak orang yang berpesta pada
hari Selasa Lemak-lemak, kalau kalian mau tahu."
"Pesta apa?" "Pesta di mana ia membagi-bagikan barang-barang rampasan sebagai pajak!" seru
orang tua itu. "Di mana pesta itu?"
Orang tua itu mengangkat bahu. "Di sebuah rumah yang indah di luar kota."
"Engkau tahu jalan-jalannya ke sana?"
Clem menggeleng. "Sudah kukatakan, aku hanya membuntutinya. Hanya itu yang
kuketahui." "Bagaimana dengan barang perak dan lukisan-lukisan yang ditemukan pak sheriff di
rumahmu?" "Bukan di rumahku! Ia menemukannya di garasiku, yang selalu terbuka biarpun aku
ada di rumah atau tidak. Ada orang yang meletakkannya di sana, dan itu bukan
aku! Aku tidak mencurinya. Kukatakan kepadamu, aku tidak mencuri!"
Akhirnya para pemuda itu meninggalkan kan-
tor polisi, tidak yakin harus mempercayai teori pak sheriff atau tidak.
"Menurut aku memang masuk akal," kata Chet. "Clem telah membuktikan bahwa dia
memang sinting. Dan mereka telah menemukan barang curian itu di mana ia tinggal.
Memang, ia mengatakan kepada kita tentang Raja George dan bagaimana ia
melihatnya di pesta Mardi Gras. Lalu ia membuntutinya ke tempat pesta. Itu semua
benar-benar seperti telah dikarang."
"Aku tahu," kata Frank sambil naik ke mobil Rick. "Tetapi, ada sesuatu yang
tidak sreg bagiku dalam keseluruhannya. Apakah engkau juga telah melihat Raja
itu, Rick?" Pemuda itu mengangguk sambil menghidupkan mesin mobilnya. "Aku melihatnya
beberapa malam yang lalu ketika aku sedang membetulkan mesin perahuku. Ada orang
yang merayap dari balik semak-semak, masuk ke rawa-rawa. Ia memakai rambut palsu
yang dibedaki, baju merah seperti yang ditemukan Pak Sheriff. Terlalu gelap, dan
ia terlalu jauh untuk dapat kulihat dengan jelas. Tetapi yang pasti bukan
hantu." "Lalu apa menurutmu?"
"Si tua sinting itu, pak Clem, tentu saja. Orang itu memang sinting; dan secara
jujur, aku takut padanya."
Alis mata Frank bertemu karena berpikir
Hardy Boys Komplotan Pemuja Vodoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keras. "Apakah mungkin menyewa sebuah pesawat di lapangan terbang setempat?" ia
bertanya. "Kukira bisa," jawab pemuda itu. "Untuk apa?"
"Aku ingin menuruti firasatku. Aku tahu, bahwa ini kedengaran sinting. Tetapi
mungkin sekali cerita Clem itu tidak terlalu jauh dari kenyataannya seperti yang
kita duga." Joe membunyikan jari-jarinya. "Aku tahu apa yang kaumaksudkan. Kalau ada orang
lain yang bertopeng sebagai Raja George, mungkin sekali ia mempunyai
persembunyian di rawa-rawa."
"Itulah," Frank membenarkan. "Jalan yang paling mudah untuk mengetahuinya ialah
dari udara." Rick mengangkat bahu. "Kukira kalian hanya akan membuang-buang waktu saja.
Tetapi aku bersedia membawa kalian ke sana."
Setelah memutar mobilnya, Rick membawa mobilnya menjauhi kota menuju ke lapangan
terbang pribadi tersebut. Setiba di sana, Frank dan Joe menyiapkan segala
masalah untuk menyewa sebuah pesawat kecil bermesin tunggal pada siang menjelang
sore. Kedua pemuda itu adalah pilot yang trampil dan memiliki izin terbang yang
sah. "Apakah sudah ada berita dari Roger Mann?" tanya Joe kepada manajer lapangan
terbang. Ia melihat pesawat Cessna biru itu masih diparkir di dekat hanggar.
"Belum," jawab manajer. "Aku akan menelepon kalian di motel kalau ia datang."
Beberapa menit kemudian Frank dan Joe sudah mengudara dengan pesawat sewaan.
Karena hanya bertempat duduk dua, tak dapat memuat Chet dan Rick. Mereka berdua
lalu kembali ke kota untuk makan di restoran motel. Bagaimana pun Chet merasa
lebih senang ditinggal, karena ia merasa lapar dan ingin bertemu dengan Sadie.
Dilihat dari atas, rawa Okefenokee nampak bagaikan daun-daun dan air yang
membentang tanpa tepi. Joe yang mengemudikan, terbang rendah di atas tanah dan
memutar-mutar membentuk pola yang dapat melingkupi seluruh daerah itu dalam satu
jam. Frank mengamati daerah itu dengan teliti, mencari-cari pondok yang tersembunyi
atau perahu. "Itu dia tempat kita ditemukan," katanya ketika mereka melintasi
Sungai Suwannee. "Kita memang di tempat yang jauh dari mana-mana!"
Joe menyeringai. "Ya, aku gembira sekarang berada di atas sini, tak dapat lagi
dijangkau oleh buaya. Engkau melihat tanda-tanda kehidupan di sana?"
"Tak ada apa-apa," jawab kakaknya. Setelah mencari-cari dengan teliti selama dua
jam tanpa ada tanda-tanda berhasil, mereka terbang kembali ke lapangan terbang
dengan kecewa. "Hapuskan saja gagasan ini," kata Joe ketika mereka sudah
mendekati landasan. "Kukira kita..."
"Heee, awas!" seru Frank tiba-tiba dengan ketakutan.
Pesawat Cessna biru itu sedang menggelinding di landasan, baru saja keluar dari
tempat parkirnya. Landasan terhalang bagi pesawat mereka untuk mendarat!
Suara pengawas menara terdengar di radio, memerintahkan Cessna untuk membebaskan
landasan. Tetapi pilot Cessna tak menanggapi. Sebaliknya, ia malah bersiap-siap
untuk tinggal landas! Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net 10. Kalap "Pegangan erat-erat!" seru Joe. Ia menambah gas dan menarik tongkat kemudi.
Dengan satu gerakan yang cepat, ia mengayunkan pesawat kecil itu menghindar dari
bahaya. Pesawat Cessna itu meluncur tinggal landas di bawah mereka, langsung
mengayun ke barat demikian terlepas dari landasan.
"Gila!" teriak Frank. "Bisa-bisa dia membunuh kita!"
"Kita kejar saja!" kata Joe dengan marah. "Tak ada gunanya. Cessna itu terlalu
cepat bagi kita." "Kukira kau benar," Joe menggerutu. Ia
menukik mengitari lapangan dan membawa pesawat sewaan itu merendah untuk
mendarat. Setelah sampai di darat, mereka langsung ke kantor manajer.
"Aku tidak memberikan izin untuk tinggal landas!" manajer yang merangkap
pengawas penerbangan itu mempertahankan diri.
"Apakah anda mengatakan kepada dia bahwa kami ingin bertemu dengannya?" tanya
Pedang Awan Merah 7 Dewa Arak 77 Sengketa Guci Pusaka Misteri Pulau Neraka 6