Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 37

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 37


Orang-orang padukuhan itu menyaksikan dengan
jantung yang hampir terlepas dari tangkainya. Ki Bekel itu
jatuh tertelungkup. Masih terdengar jeritnya memanjang.
Namun kemudian suaranya itupun lenyap ditelan sepinya
malam. Suasana di halaman banjar itupun menjadi sepi namun
penuh ketegangan. Tidak seorang pun yang bergerak.
Mereka hanya memandang tubuh Ki Bekel yang terkapar
dengan darah yang memancar dari lukanya yang masih
digantungi oleh tombak pendek yang dilontarkan Mahisa
Pukat. Namun sejenak kemudian kesepian itu telah dipecahkan
oleh suara Pangeran Singa Narpada. Dengan kematangan
jiwanya ia telah mempergunakan satu saat yang tepat untuk
mengakhiri pertempuran itu. Dengan suara lantang ia
berkata, "Letakkan senjata kalian, atau kalian akan
mengalami nasib seperti Ki Bekel. Tidak ada lagi kekuatan
diantara kalian dan tidak ada lagi orang yang mendorong
kalian untuk melakukan kejahatan."
Orang-orang padukuhan itu tidak mempunyai
kesempatan lain. Namun ternyata tidak seorang lagi yang
masih bersenjata. Pada hitungan kesepuluh yang diucapkan
oleh Mahisa Pukat, mereka sudah meletakkan senjata.
Karena itu, maka yang diucapkan oleh Pangeran Singa
Narpada adalah satu penegasan bahwa mereka memang
harus menyerah. Sementara itu Pangeran Singa Narpada pun
melanjutkan, "Jika demikian, maka kumpulkan senjata
yang telah kalian lemparkan itu di pendapa. Cepat."
Orang-orang padukuhan itu tidak menunggu perintah
Pangeran Singa Narpada itu diulangi. Karena itu, maka
mereka pun segera memungut senjata mereka dan
mengumpulkannya di pendapa.
Demikian senjata-senjata itu telah terkumpul, maka
Pangeran Singa Narpada pun menarik nafas dalam-dalam.
Dengan jantung yang berdegupan ia melihat beberapa sosok
mayat yang terbaring di pinggir halaman, sementara mereka
yang terluka telah dikumpulkan pula di serambi gandok
banjar. Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada itupun
berkata, "Uruslah kawan-kawanmu yang terbunuh.
Sementara itu panggillah dukun yang terbaik untuk
mengobati kawan-kawanmu yang terluka di pertempuran
ini." Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu. Tidak
seorang pun yang berani beranjak. Mereka takut, bahwa di
depan pintu gerbang mereka akan mengalami nasib seperti
Ki Bekel." Namun Pangeran Singa Narpada mengulangi, "Cepat.
Panggil dukun terbaik dari padukuhan ini atau padukuhan
terdekat, agar kawan-kawanmu yang terluka tidak mati
karenanya." Orang-orang di halaman itu masih belum beranjak,
sehingga Pangeran Singa Narpada pun akhirnya bertanya,
"Siapakah bebahu padukuhan ini yang ada dan yang masih
hidup." Tidak ada yang menjawab. Tetapi menilik tatapan mata
beberapa orang padukuhan yang ada di halaman itu kepada
seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan, maka
nyatalah bahwa orang itu tentu salah seorang diantara para
bebahu. Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada pun berkata
kepada orang itu, "Aku perintahkan kau berangkat. Kau
harus segera kembali sambil membawa dukun yang aku
maksudkan." Orang itu tidak dapat ingkar lagi. Iapun kemudian
beringsut ke pintu gerbang. Tetapi ia tidak melangkah
membelakangi Pangeran Singa Narpada, sehingga karena
itu, maka iapun melangkah surut sehingga akhirnya orang
itupun telah berada diluar pintu gerbang.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia
telah keluar dari lingkungan neraka yang paling buruk.
Namun iapun segera teringat akan tugas yang harus
dilakukannya. Ia harus mendapatkan seorang dukun yang
akan mengobati kawan-kawannya yang terluka parah.
"Apakah orang itu berkata dengan jujur?" bertanya
orang itu didalam hatinya.
Namun ternyata bahwa ia telah dibiarkan untuk keluar
dari pintu gerbang. Memang ada niat untuk melarikan diri. Tetapi ia tidak
sampai hati melakukannya, meninggalkan kawankawannya
yang terbunuh dan terluka parah.
Karena itu, maka iapun telah berjalan dengan tergesagesa
ke rumah seorang dukun yang ahli dalam hal
pengobatan atas luka-luka senjata, betapapun tajamnya
racun yang mungkin ada pada senjata itu.
Ketika ia sampai di muka rumah dukun itu, maka ia
menjadi ragu-ragu. Pintu rumah dukun itu sudah tertutup
rapat. Namun ia tidak boleh kembali ke banjar tanpa
membawa seseorang yang akan dapat mengobati kawankawannya
yang terluka, apalagi yang parah.
Namun akhirnya orang itupun telah mengetuk pintu
rumah dukun yang telah tertutup rapat itu.
Beberapa kali orang itu mengetuk pintu. Namun tidak
terdengar jawaban sama sekali. Bahkan dari lubang-lubang
dinding rumah itu. bebahu itu melihat bahwa didalam
rumah itu gelap pekat. Tidak ada lampu yang terpasang.
"Mungkin di bagian belakang," gumam bebahu itu.
Namun demikian dan bahkan ketika kesabarannya
hampir habis, rasa-rasanya bebahu itu akan memecahkan
pintu yang tertutup rapat itu.
Ternyata penghuni rumah itu tidak dapat bertahan lebih
lama untuk berdiam diri. Dukun itu merasa cemas juga
bahwa orang yang mengetuk pintunya itu benar-benar akan
memecahkannya. Karena itu. maka dukun itu terpaksa juga
berdiri dari pembaringannya dan membukakan pintu
rumahnya. "Nah, ternyata kau ada di rumah Kiai," berkata bebahu
itu. Dukun yang masih mengusap matanya itu kemudian
berdesis. "Kenapa kau membangunkan aku di malam
seperti ini?" "Apakah kau tidak mendengar isyarat di banjar?"
bertanya bebahu itu. Dukun itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Apakah yang terjadi sebagaimana yang sering terjadi?"
"Ya," jawab bebahu itu.
"Jika demikian untuk apa aku harus datang ke banjar"
Bukankah biasanya orang-orang yang sudah dibantai di
banjar itu dilemparkan saja ke lubang di kuburan itu. Buat
apa aku datang ke banjar, karena pesan jiwani yang ada
didalam diriku dan kalian berbeda. Kalian lebih senang
membunuh, sedangkan tugasku justru menyembuhkan
orang-orang yang sakit. Panggilan jiwaku justru
menghindari kematian."
"Tetapi di banjar sekarang terdapat beberapa orang yang
terluka yang memerlukan pengobatan," jawab bebahu itu.
"Bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi," bertanya
dukun itu, "Biasanya kalian tidak pernah datang kepadaku
pada saat seperti ini untuk mengobati seseorang. Biasanya
kau atau orang lain datang untuk memaksa setiap orang di
padukuhan ini ikut dalam tindakan kalian yang sesat itu."
"Kiai, sekarang kita menghadapi keadaan yang berbeda.
Justru orang-orang padukuhan inilah yang terluka. Mereka
memerlukan pertolonganmu," jawab bebahu itu.
"Aku tidak tahu maksudmu," jawab dukun itu.
"Pergilah ke banjar. Kau akan mengetahui apa yang
terjadi," jawab bebahu itu.
"Tidak ada gunanya," jawab dukun itu, "Aku sudah
jemu dengan lingkungan kehidupan seperti ini. Aku sudah
memutuskan untuk meninggalkan padukuhan ini dan
menetap di tempat lain dimana aku dapat mengembangkan
pesan jiwani didalam diriku untuk berusaha mengurangi
kematian, bukan sebaliknya."
Bebahu itu menggeram. Katanya, "Jika dalam keadaan
sewajarnya maka kau akan dapat digantung bersama orangorang
yang tersesat memasuki padukuhan ini. Tetapi
pergilah ke banjar. Ki Bekel justru telah terbunuh."
Wajah dukun itu menjadi tegang. Dengan suara gemetar
ia bertanya, "Apa yang sebenarnya telah terjadi."
"Bawalah obat-obatan sebanyak-banyaknya. Beberapa
orang telah terluka dan yang lain terbunuh. Bukan orangorang
yang kita jebak di banjar yang terbunuh, justru
kawan-kawan kita termasuk Ki Bekel sendiri," jawab
bebahu itu. Keterangan itu rasa-rasanya sangat menarik. Karena itu
maka timbullah keinginan dukun itu untuk melihat, apa
yang telah terjadi. Bahkan seandainya ia sendiri akan
terjebak didalamnya. Karena itu maka katanya, "Tunggu.
Aku akan menyediakan obat-obatan."
Sejenak kemudian, maka dukun itu telah menyiapkan
reramuan yang akan dapat dipergunakan untuk mengobati
orang-orang yang terluka, meskipun ia tidak yakin apakah
sebenarnya yang telah terjadi.
Dengan jantung yang berdebaran oleh keragu-raguan
yang mencengkam, dukun itu mengikuti untuk pergi ke
banjar. Ia sudah bertekad apapun yang terjadi untuk
melepaskan diri dari dunia yang sangat bertentangan
dengan kata nuraninya itu. Namun demikian dukun itu
memasuki halaman banjar, ia menjadi berdebar-debar, ia
melihat orang-orang padukuhannya duduk berkumpul di
salah satu sudut halaman itu, sementara di pendapa
terdapat beberapa orang terluka yang terbaring. Di sisi lain
terdapat beberapa sosok mayat yang terbujur membeku
termasuk Ki Bekel. "Apakah yang telah terjadi," desis dukun itu.
"Orang-orang yang berada di pendapa itu akan
memberikan penjelasan," jawab bebahu itu.
Dukun itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
terdengar Pangeran Singa Narpada memanggilnya,
"Kemarilah. Apakah kau seorang dukun yang dapat
mengobati orang-orang yang terluka ini?"
Dukun itu melangkah mendekat. Sambil naik ke pendapa
ia bertanya, "Siapakah kalian?"
"Kami adalah empat orang pengembara yang tersesat
memasuki padukuhan ini. Kami berharap untuk dapat
beristirahat dengan tenang dan hangat karena kebiasaan
kami bermalam di tempat terbuka. Ternyata hal itu telah
menjerumuskan kami ke dalam neraka ini. He, apakah kau
salah seorang diantara orang-orang gila yang hidup dengan
cara yang terkutuk di padukuhan ini?"
Dukun itu memandang Pangeran Singa Narpada
sejenak. Namun ternyata bahwa ia mempunyai kesan yang
lain tentang orang itu. Karena itu, maka sikapnya pun telah berubah pula.
Suaranya merendah, "Ki Sanak. Apakah yang telah
terjadi?" "Kau melihat, apa yang telah terjadi disini. Sebagai
orang padukuhan ini, maka kau pun tentu dapat menjawab,
seandainya pertanyaan itu kau dengar dari orang lain,"
sahut Pangeran Singa Narpada.
Dukun itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya, "Aku mengerti, bahwa kau pun
menyangka aku merupakan bagian dari orang-orang
padukuhan ini. Tetapi hal itu wajar sekali."
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak.
Dengar ragu-ragu ia bertanya, "Apakah yang kau maksud?"
"Aku dan orang-orang padukuhan ini mempunyai
landasan sikap jiwani yang berbeda. Jika mereka
mendambakan kematian, maka aku berusaha mengatasi
kematian meskipun aku sadar, bahwa ketentuan terakhir
ada pada Yang Maha Agung. Tetapi aku merasa wajib
untuk memenuhi panggilan nuraniku, mengobati orang
yang mengalami kesulitan pada dirinya dan berjalan
menuju ke ambang kematian," jawab orang itu.
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak.
Tetapi sebagai mana dukun itu menghargainya, maka iapun
kemudian menghargai pula orang itu.
Sementara itu dukun itu berkata, "Bukan kebiasaanku
untuk dipanggil seperti ini. Jika aku harus datang, maka aku
harus membawa senjata dan ikut membunuh, bukan
dipesan untuk membawa obat-obatan seperti ini."
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya,
"Aku minta maaf Ki Sanak. Agaknya yang terjadi malam
ini bukannya sebagaimana biasa terjadi. Saat ini ada
beberapa orang padukuhan ini yang terluka dan bahkan
terbunuh. Kami berempatlah yang telah melakukannya.
Bahkan orang yang disebut Ki Bekel itupun telah terbunuh
pula." "Kenapa kalian membunuh disini?" bertanya dukun itu.
"Bukan maksud kami. Tetapi tetangga-tetanggamu
dipimpin oleh bekelmu telah berusaha merampok aku.
Bukankah wajar jika kami berempat mempertahankan
diri?" jawab Pangeran Singa Narpada.
"Aku percaya. Memang isi padukuhan ini telah ditempa
untuk menjadi perampok-perampok yang baik. Mereka
adalah pembunuh-pembunuh seperti yang sudah aku
katakan. Tetapi agaknya kalian berempat adalah lain dari
orang-orang yang pernah dibantai disini. Bahkan kalianlah
yang agaknya telah membantai orang-orang di padukuhan
ini," berkata dukun itu pula.
"Sudah aku katakan, bukan maksudku. Tetapi aku
memang harus mempertahankan hidupku," jawab
Pangeran Singa Narpada. lalu, "Nah, bagaimana dengan
orang-orang yang terluka itu?"
Dukun itu memandang berkeliling. Kemudian tatapan
matanya terhenti pada orang-orang yang terbaring karena
luka yang menganga di tubuhnya.
Sekilas terbersit niat buruknya. Kenapa orang-orang itu


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak dibiarkan saja mati" Bukankah orang-orang itu adalah
orang-orang yang sudah terbiasa membunuh" Merampok
orang-orang yang lewat, tidak di bulak yang sepi. tidak di
pinggir hutan yang jarang dilalui orang, dan tidak di malam
hari mengetuk dan mengancam dengan pisau belati, tetapi
justru merampok, menyamun dan membantai orang-orang
yang memasuki padukuhannya dengan keperluan apapun
juga. Namun hatinya sudah didasari pesan gurunya, yang
memberinya petunjuk tentang ilmu obat-obatan, bahwa ia
harus mengamalkan ilmunya itu bagi siapa pun juga.
"Kalau aku menyelamatkan nyawa seorang pembunuh,
kemudian ia melakukan pembunuhan lagi, apakah aku
termasuk ikut bersalah dan menjadi penyebab kematian
orang itu?" pertanyaan itu telah mengguncang jantungnya.
Tetapi dukun itu tidak akan dapat mengingkari
kewajibannya. Karena itu, maka iapun kemudian berkata,
"Aku akan mengobati mereka. Tetapi apa yang akan
mereka lakukan kemudian, bukan tanggung jawabku."
"Tidak seorang pun yang bertanggung jawab tentang
tingkah lakunya," berkata Pangeran Singa Narpada. Lalu,
"orang itu sendirilah yang bertanggung jawab atas
kelakuannya sendiri terutama di hadapan Yang Maha
Agung," sahut Pangeran Singa Narpada.
Demikianlah, maka dukun itu mulai bekerja. Ia minta
bantuan bebahu padukuhan itu. Ia memerlukan air dan
beberapa buah mangkuk untuk mencairkan obat-obatnya.
Sebagian obat yang diulaskan pada luka-luka, sedangkan
yang lain adalah obat yang harus diminum.
Sejenak kemudian maka dukun itu sudah tenggelam
dalam tugasnya. Iapun sudah melupakan siapakah orang
yang sedang diobatinya. Apakah ia penjahat atau korban
kejahatan. Namun sudah menjadi panggilan jiwanya,
bahwa ia harus berusaha menyelamatkan nyawa orang
yang terancam. Sementara itu, keempat orang yang mengaku sebagai
pengembara itu telah memanggil beberapa orang bebahu
yang ada di halaman itu. Meskipun dengan gemetar, namun para bebahu itu
masih juga mempunyai rasa tanggung jawab untuk datang
mendekat mewakili orang-orang padukuhan itu.
"Kita akan berbicara," berkata Pangeran Singa Narpada,
"Sepeninggal Ki Bekel, maka para bebahulah yang akan
mempertanggung jawabkan keadaan padukuhan ini."
Para bebahu itu hanya menundukkan kepalanya. Mereka
tidak akan dapat ingkar dan mengelak apapun yang
dikatakan oleh para pengembara itu.
Sejenak kemudian maka mereka pun telah memasuki
banjar. Para bebahu dengan Pangeran Singa Narpada dan
Mahisa Bungalan. Sementara itu. Mahisa Bungalan berbisik
kepada kedua adiknya, "Hati-hatilah. Awasi orang-orang
yang ada di halaman itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Dengan demikian ketika Pangeran Singa Narpada dan
Mahisa Bungalan masuk ke ruang dalam banjar, maka
keduanya masih tetap berada di pendapa.
Sementara itu, dukun yang dipanggil atas perintah
Pangeran Singa Narpada itupun telah bekerja dengan keras,
ia berusaha sejauh-jauh dapat dilakukan untuk mengobati
orang-orang padukuhannya yang terluka.
Namun dukun itupun berdesis kepada seseorang yang
membantunya, "Kita berusaha. Tetapi segala sesuatunya
terserah kepada Yang Maha Agung."
Orang yang membantunya itu mengangguk kecil. Ia
mengerti apa yang dikatakan oleh dukun itu. Pengertian
yang untuk beberapa lama seakan akan tergeser dari relung
hatinya, karena ia sudah berada dibawah pengaruh
tetangga-tetangganya dan terutama Ki Bekel dari
padukuhan itu. Sementara itu, di ruang dalam. Pangeran Singa Narpada
dan Mahisa Bungalan duduk bersama beberapa orang
bebahu yang masih tersisa. Dengan wajah yang keras oleh
kerut di kening. Pangeran Singa Narpada berkata,
"Dengarkan kata-kataku baik-baik."
Para bebahu itu hanya menundukkan kepalanya saja.
"Ki Bekel dan beberapa orang bebahu telah terbunuh.
Nah, bagaimana pendapat kalian?" bertanya Pangeran
Singa Narpada. Para bebahu itu tidak segera menjawab. Mereka masih
tetap menundukkan kepala mereka.
"Aku minta kalian menjawab pertanyaanku," berkata
Pangeran Singa Narpada kemudian, "Apa kata kalian
setelah Ki Bekel dan beberapa kawanmu terbunuh. Apakah
kalian masih tetap ingin memaksa untuk merampok kami?"
Tidak seorang pun yang menjawab.
"Jawab," tiba-tiba saja Pangeran Singa Narpada
membentak sehingga orang-orang yang berada di dalam itu
terkejut karenanya. Salah seorang diantara para bebahu itupun mencoba
untuk memberanikan diri menjawab pertanyaan itu.
Katanya, "Ki Sanak. Kami sudah tidak berdaya. Kami
mengakui kekalahan kami. Karena itu maka kami telah
meletakkan senjata. Dengan demikian sudah pasti bahwa
kami tidak akan memaksa untuk merampok kalian."
"Aku mengerti. Tetapi yang aku maksud selanjutnya
adalah pengertian yang lebih dalam. Adakah kalian masih
akan menjadi perampok dan penyamun sepeninggal Ki
Bekel dan beberapa orang bebahu. Bagiku, ada dua jalan
yang dapat aku tempuh untuk menyelesaikan persoalan
dengan kalian sampai tuntas. Cara yang pertama adalah
membunuh kalian semuanya tanpa kecuali. Semua orang
yang berada di halaman ini."
Wajah para bebahu itu menjadi semakin tegang.
Sementara keringat mengalir di seluruh tubuh mereka.
"Kenapa kalian menjadi gelisah?" bertanya Pangeran
Singa Narpada, "Kematian bukan apa-apa. Bukankah
kalian sama sekali tidak pernah menghargai nyawa
seseorang" Tentu juga nyawamu sendiri. Apa artinya
kematian bagi seseorang sebagaimana kau artikan selama
ini." Orang-orang itu tidak menjawab. Tetapi terasa jantung
mereka berdebar semakin keras. Namun demikian mereka
masih berharap untuk mendengarkan jalan yang dapat
ditempuh oleh pengembara itu. Mungkin jalan kedua itu
masih memberi kesempatan yang lebih baik bagi mereka
daripada mati. Dalam pada itu, maka Pangeran Singa Narpada pun
berkata selanjutnya, "Adapun cara yang kedua adalah
mendapat satu kepastian bahwa kalian benar-benar tidak
akan melakukannya lagi."
Salah seorang diantara para bebahu itupun telah
memberanikan diri untuk menjawab, "Kami berjanji untuk
tidak melakukannya lagi."
"Kau dapat saja berjanji di hadapanku. Tetapi aku tidak
dapat kau yakinkan hanya dengan janji," berkata Pangeran
Singa Narpada. "Lalu, bagaimanakah cara yang dapat kami lakukan
untuk meyakinkan Ki Sanak, bahwa kami memang sudah
berniat untuk tidak mengulangi lagi perbuatan kami,"
bertanya bebahu itu. "Bukan aku yang harus menunjukkan cara itu. Kalianlah
yang harus mencari cara agar dapat kalian dapat
meyakinkan aku," berkata Pangeran Singa Narpada.
Bebahu itu menjadi bingung. Ia tidak melihat jalan yang
manapun yang akan dapat dipergunakannya untuk
meyakinkan para pengembara itu. Karena itu maka
katanya, "Ki Sanak. Aku tidak tahu apa yang harus aku
lakukan untuk meyakinkan Ki Sanak."
Pangeran Singa Narpada memandang wajah bebahu itu
dengan tajamnya, sehingga tengkuk bebahu itu telah
meremang. Seakan-akan dari mata orang yang dianggap
pengembara itu telah memancar bayangan kematian. Bukan
hanya bagi dirinya sendiri, tetapi seluruh laki-laki di
padukuhan itu. "Cepat, lakukanlah sesuatu yang dapat meyakinkan
aku," bentak Pangeran Singa Narpada.
"Tidak ada yang dapat kami lakukan," jawab bebahu itu,
"Kecuali dengan sungguh-sungguh berniat menghentikan
segala perbuatan yang dianggap bertentangan dengan
kepentingan banyak orang."
"Aku memerlukan bukti itu. Jika tidak maka aku akan
mengambil cara yang pertama. Semua laki-laki yang berada
di banjar dan di halaman banjar ini akan terbunuh malam
ini. Tidak akan ada yang sempat mengurusi mayat kalian,
karena semua perempuan akan menangisi mayat kalian dan
kemudian pergi menyingkir dari neraka terkutuk ini."
Para bebahu itu menjadi bingung. Mereka tidak tahu apa
yang dimaksudkan oleh Pangeran Singa Narpada. Karena
itu, maka dengan jantung yang berdebaran salah seorang
diantara para bebahu itu akhirnya berkata, "Ki Sanak,
Kami tidak akan dapat memberikan bukti apapun juga.
Tetapi sebenarnyalah bahwa kesalahan yang telah terjadi di
padukuhan ini sebagian besar terletak di tangan Ki Bekel
dan para bebahu. Kami, para bebahu tidak akan
mengelakkan tanggung jawab karena Ki Bekel telah
terbunuh. Seandainya Ki Sanak akan menghukum kami,
maka sebaiknya Ki Sanak tidak perlu membunuh semua
laki-laki yang ada disini. Tetapi mungkin Ki Sanak dapat
membunuh orang-orang yang bertanggung jawab sesudah
Ki Bekel tidak ada. Bunuh sajalah kami para bebahu dan
mungkin dua orang kepercayaan Ki Bekel itu jika mereka
belum mati. Sepeninggal kami para bebahu dan orangorang
yang dianggap memiliki kelebihan dan dapat
menentukan sikap menghadapi orang-orang yang sedikit
mempunyai kekuatan telah tidak ada, maka mereka dengan
sendirinya akan menjadi lemah dan lunak. Mereka tidak
akan berbuat apa-apa."
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya.
Namun tiba-tiba wajahnya nampak memancarkan
kekerasan hatinya. Dengan suara yang garang ia berkata,
"Baik. Kita akan membunuh semua bebahu dan orangorang
yang dianggap berilmu disini. Dengan demikian
orang-orang padukuhan ini tidak mempunyai kekuatan lagi
untuk mengganggu orang-orang yang lewat."
Wajah, para bebahu itu menjadi tegang. Ada di antara
mereka yang menjadi pucat.
Namun bebahu yang mengatakan kesediaannya itu
menyahut, "Baik Ki Sanak. Bunuh kami semua sebagai
pertanggungan jawab kami atas segala peristiwa yang
pernah terjadi di padukuhan ini."
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk.
Kemudian katanya, "bersiaplah untuk mati. Kami akan
membunuh kalian di halaman. Di hadapan orang-orang
padukuhan ini." Mahisa Bungalan pun menjadi ragu-ragu menanggapi
sikap Pangeran Singa Narpada. Namun ia tidak dapat
berbuat apa-apa agar tidak justru terjadi perselisihan
diantara mereka. "Berdirilah," Pangeran Singa Narpada membentak
sambil bangkit berdiri, "aku sendiri yang akan memenggal
leher kalian." Para bebahu itu menjadi sangat gelisah. Tetapi bebahu
yang telah menyatakan kesanggupannya untuk dibunuh itu
melangkah dengan pasti ke halaman. Sementara yang lain
mengikutinya, meskipun ada juga diantara mereka yang
gemetar. Bagaimanapun juga kematian bukannya sesuatu
yang menyenangkan. Namun ternyata mereka memang harus memikul
tanggung jawab atas semua yang pernah terjadi di
padukuhan mereka. Bebahu yang telah pasrah akan kematiannya itu sempat
juga berbicara kepada kawan-kawannya, "Kitalah yang
selama ini menikmati paling banyak hasil dari tingkah laku
penghuni padukuhan ini di samping Ki Bekel. Orang-orang
itu hanya sekedar kita peralat dan mendapat sedikit bagian
dari kerja yang kotor dan membekas darah selama ini.
Biarlah mereka tetap hidup dan menempuh satu kehidupan
yang lain daripada kehidupan yang selama ini dijalaninya
karena pokal ki Pecut Sakti Bajrakirana 4 Rajawali Emas 05 Dewi Karang Samudera Piala Api 3
^