Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 36

01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 36


Baginda tidak lagi mampu mengatasi persoalan yang timbul
dengan dukungan para Senapati, maka Sri Baginda dapat
berhubungan dengan Singasari"
Sri Baginda termangu-mangu. Tetapi ia menyadari,
bahwa yang akan dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada
itu adalah sebagian dari satu usaha untuk ketenangan
Kediri. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain bagi Sri
Baginda selain mengijinkannya.
Karena itu, setelah dipertimbangkan masak-masak maka
Sri Bagindapun kemudian berkata "Pangeran-Singa
Narpada. Aku memang tidak dapat mencegahmu.
Kepergianmu juga merupakan salah satu usaha untuk
ketenangan Kediri. Namun pesanku, kau harus sangat
berhati-hati. Jika kau merasa bahwa usahamu tidak akan
berhasil, maka lebih baik usahamu itu kau lepaskan. Kau
kembali ke Kota Raja dan membuat persiapan-persiapan
seperlunya. "Hamba sri Baginda" jawab Pangeran Singa Narpada
"Hamba akan selalu membuat perhitungan-perhitungan,
yang manakah yang paling menguntungkan untuk
dilakukan" Demikianlah, maka Sri Bagindapun akhirnya telah
mengijinkan Pangeran .Singa Narpada untuk pergi. Namun
dengan berbagai macam pesan dan permintaan-permintaan.
Sementara itu, Pangeran Singa Narpadapun berpesan,
agar kepergiannya dirahasiakan. Tidak ada orang lain yang
perlu diberitahukan tentang kepergiannya itu.
"Jika perlu, justru Sri Baginda hamba mohon untuk
memberikan kesan, bahwa hamba kembali memasuki
sanggar sebagaimana hamba lakukan beberapa waktu yang
lewat" mohon Pangeran Singa Narpada.
Dengan penuh pengertian Sri Baginda menganggukangguk
sambil menjawab "Aku akan melakukannya"
Karena itulah, maka ketika Pangeran Singa Narpada
meninggalkan Kota Raja, tidak ada seorangpun yang
mengetahui kecuali kepercayaannya. Seperti pada waktu ia
memasuki halaman istananya, maka Pangeran Singa
Narpadapun meninggalkan istananya dengan meloncati
dinding. Tetapi Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan
yang menyertainya menjadi terkejut. Demikian mereka
turun ke dalam kegelapan, diluar dinding halaman mereka
mendengar desir di belakang mereka. Ketika mereka
dengan cepat memperhatikan arah suara itu, maka mereka
telah melihat dua sosok bayangan yang meloncat turun.
Jantung Pangeran Singa Narpada dan Mahisa
Bungalanpun menjadi berdegupan. Dengan serta merta
keduanya telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Kedua sosok tubuh itu harus ditangkapnya agar tidak
membocorkan rahasia kepergian Pangeran Singa Narpada.
Namun tiba-tiba saja ter engar seorang diantara
keduanya berdesis "Aku kakang"
"Siapa?" Mahisa Bungalan menegaskan.
"Mahisa Murti dan Mahisa Pukat" jawab suara itu.
"O, anak itu" geram Mahisa Bungulan "Kenapa kau
membuat kami terkejut. Dan apa kerjamu disini".
"Aku ingin menyusul kakang" jawab Mahisa Murti
"Mungkin kakang memerlukan bantuan kami"
"Tetapi caramu bukan cara yang baik" jawab Mahisa
Bungalan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan.
Baru kemudian Mahisa Murti menjawa "Kami ingin
melihat-lihat suasananya. Kami tidak yakin, bahwa kami
akan dapat memasuki lingkungan istana Pangeran Singa
Narpada melalui jalan lain"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada dalam ia berkata "Aku memohon maaf bagi keduanya
Pangeran" "Baiklah" jawab Pangeran Singa Narpada yang
sebenarnya kurang senang juga atas tingkah kedua anak
muda itu. Sementara itu, Mahisa Bungalanpun bertanya "Kenapa
kau tinggalkan rumah" Apakah kau sudah selesai dengan
latihan terakhir yang harus kau jalankan dengan ilmumu"
"Sudah kakang. Pada saat kakang meninggalkan rumah,
maka aku sudah mendekati laku terakhir itu. Demikian
kami berdua menyelesaikan laku terakhir dalam tuntunan
ayah dan paman Witantra maka kami mohon diri untuk
menyusul kakang" jawab Mahisa Murti.
"Bagaimana jika kalian tidak dapat bertemu dengan
aku?" bertanya Mahisa Bungalan
"Kami dapat menempuh dua jalan. Kembali pulang atau
kembali ke tugas-tugasku dengar pertanda cincin sandi ini"
jawab Mahisa Pukat. Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Kemudian
iapun bertanya pula "Kapan kau memasuki halaman ini?"
"Sejak senja. Kami merasa bingung, bagaimana caranya
untuk dapat menemui kakang. Kami telah menunggu
beberapa lama. Tetapi kami tidak melihat kakang sama
sekali. Baru kemudian kami melihat kakang keluar dari
pintu samping dan justru keluar dari halaman istana ini"
"Sudahlah" berkata Pangeran Singa Narpada "sekarang
kita bicarakan, bagaimana dengan kedua adikmu. Bahwa
keduanya bukan anak-anak lagi, telah ternyata bahwa
keduanya mampu menyelesaikan laku terakhir dari puncak
ilmunya. Karena itu menurut perhitunganku, maka
keduanya telah memiliki bekal yang cukup untuk memasuki
dunia olah kanuragan dengan segala macam semak dan
durinya" "Ya. Jika tidak, maka ayah tentu tidak akan
melepaskannya" sahut Mahisa Bungalan. Namun
kemudian ia masih bertanya kepada kedua adiknya "He,
apakah kalian berhasil dengan baik melampaui hambatan
terakhir dalam laku yang kalian jalani?"
"Ya. Kakang" jawab Mahisa Murti "Kami berhasil
dengan baik menurut keterangan ayah dan paman
Witantra" "Baiklah. Marilah, kita keluar dari Kota Raja. Baru
kemudian kita menentukan langkah-langkah" berkata
Mahisa Bungalan kemudian.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun menganggukangguk.
Sementara itu, Mahisa Bungalan dan Pangeran
Singa Narpadapun segera beringsut dari tempatnya dan
meninggalkan istana kepangeranan untuk waktu yang tidak
ditentukan. Dalam perjalanan keluar kota itu Mahisa Bungalan
masih bertanya "Laku yang kalian jalani nampaknya begitu
tergesa-gesa. Hanya berselisih sedikit saja dari
keberangkatanku. Apakah ayah dan paman Witantra
memang mempercepat laku yang harus kau jalani?"
"Tidak" sahut Mahisa Murti "Kami menjalani laku
sebagaimana direncanakan. Tidak ada yang dipercepat"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Agaknya karena
ia sendiri sibuk dengan usaha untuk mencapai puncak ilmu
yang diwarisinya dari Mahisa Agni. maka Mahisa Bungalan
kurang dapat mengikut tahap-tahap laku yang ditempuh
adiknya, sehingga terasa begitu cepat selesai.
Namun Mahisa Bungalanpun menyadari, bahwa dalam
waktu pengembaraannya, kedua adiknya itu dengan tekun
di dalam sanggar untuk mempersiapkan diri.
Demikianlah, maka dengan sangat hati-hati mereka telah
keluar dari dinding kota. Untuk menghindari bermacammacam
masalah, maka mereka tidak keluar melalui pintu
gerbang yang dijaga oleh para pengawal. Tetapi mereka
telah meloncati dinding. Malam itu juga maka keempat orang itu telah menjadi
semakin jauh dari dinding Kota Raja, melintasi daerah
kuasa para Panglima di perbatasan dan ketika fajar
menyingsing, mereka tengah menyusuri jalan yang semakin
jauh. "Kita langsung menuju ke sasaran. Kita memerlukan
waktu dua hari perjalanan" berkata Pangeran Singa
Narpada. Mahisa Bungalan mengangguk. Namun kemudian ia
berdesis di telinga Pangeran Singa Narpada "Bagaimana
dengan kedua adikku?"
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian katanya "Bukankah kau percaya kepada
kedua adikmu?" "Ya. Aku percaya kepada mereka. Apalagi mereka
sebenarnya memiliki pertanda cincin petugas sandi dari
Singasari" jawab Mahisa Bungalan.
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya
"Jika demikian kita tidak mempunyai keberatan. Tetapi
mereka harus mengerti, bahwa kita menempuh satu
perjalanan yang berbahaya. Yang harus aku pertanyakan
adalah justru kau dan kedua adikmu. Kalian adalah tiga
orang bersaudara" "Kenapa jika kami bersaudara?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Aku kadang-kadang menasehatkan kepada prajuritprajuritku
yang akan pergi ke medan perang. Jika ada
diantara mereka kakak beradik, aku memberi kesempatan
kepada mereka untuk tinggal salah seorang diantaranya"
Mahisa Bungalanlah yang kemudian menganggukangguk.
Ia mengerti maksud Pangeran Singa Narpada.
Katanya "Aku mengerti Pangeran. Jika terjadi bencana,
biarlah kami tidak digulung bersama-sama.
"Ya" Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk.
"Mudah-mudahan kami tidak mengalami nasib buruk,
sehingga ayah kami akan kehilangan ketiga anaknya
sekaligus" berkata Mahisa Bungalan "Tetapi ayahpun
adalah seorang pengembara pada masa mudanya, bahkan
pekerjaan ayahpun menuntut agar ayah sebagai pedagang
wesi aji dan batu-batuan masih juga harus mengembara dari
satu tempat ke tempat lain. Karena itu ayah tentu
menyadari, bahaya yang mengamcam kami, sementara
ayah justru telah mengirimkan kedua adikku itu kepadaku.
Maksudnya tentu berlawanan dengan kecemasan Pangeran.
Ayah bermaksud agar kami dapat saling menolong"
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya
"Baiklah jika demikian. Tetapi kalian bertiga harus dapat
membagi tugas dan kewajiban kalian sehingga
kemungkinan yang paling buruk akan dapat dihindari"
"Baiklah Pangeran. Kita akan melihat suasana pada saatsaat
kita sudah mendekati sasaran. Pangeranlah yang akan
memilih, yang manakah yang akan kita datangi lebih
dahulu" Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya
"Kita akan berjalan beberapa ratus patok tagi. Kita akan
dapat beristirahat karena semalam-malaman kita berjalan
terus" Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi iapun
berpaling juga kepada kedua adiknya. Kedua orang itu
tentu merasa letih juga karena mereka menempuh
perjalanan sejak hari sebelumnya, sehingga ketika senja
turun keduanya telah memasuki halaman istana Pangeran
Singa Narpada. Tetapi Mahisa Bungalan tidak menanyakannya.
Meskipun letih, tetapi kedua adiknya. tentu telah mampu
mengatur kemampuan tubuh mereka karena latihan-latihan
yang mereka jalani sebelumnya.
Namun bagaimanapun juga. Mahisa Bungalan memang
menganggap perlu bahwa mereka harus beristirahat.
Apalagi perjalanan mereka sudah cukup jauh, serta dengan
pakaian yang mereka kenakan, maka tidak seorangpun
akan mengepali mereka lagi sebagai orang-orang dari
lingkungan istana dan keprajuritan.
Keempat orang itu masih berjalan sampai mataljari naik
sepenggalah. Ketika mereka melintasi sebuah pasar yang
ramai, maka Pangeran Singa Narpada mengajak mereka
untuk berhenti barang sebentar.
"Kita singgah di salah sebuah warung. Tiba-tiba saja aku
ingin minuman minuman panas sebagaimana kebiasaanku
tiap pagi" berkata pangeran Singa Narpada.
Demikianlah, maka keempat orang itupun telah singgah
disebuah warung diluar pasar yang ramai itu. Keempat
orang itu sudah tidak perlu lagi mencemaskan tentang
kehadirannya, bahwa akan ada orang yang mengenalnya.
Dengan gaya sebagaimana para petani, maka keempat
orang itupun telah memesan makanan dan minuman.
Pada kesempatan itu pula Mahisa Bungalan telah
memberitahukan kepada kedua adiknya, apa yang harus
mereka lakukan Dengan perlahan-lahan dan hati-hati
Mahisa Bungalan menyebut arah kepergian mereka.
"Kami belum pernah melihat padepokan-padepokan itu"
berkata Mahisa Bungalan "Kami mendapat petunjuk arah
dan ciri-ciri orang yang akan kita temui"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Mereka menyadari bahwa tugas mereka adalah tugas yang
cukup berat. Mencari Pangeran Lembu Sabdata dan
mahkota yang hilang itu. "Bukankah kalian pernah mengenal Pangeran Lembu
Sabdata?" bertanya Mahisa Bungalan "Mungkin ada
perubahan-perubahan pada dirinya Umurnyapun semakin
tua seperti umur kalian yang memanjat pula. Tetapi
mungkin juga Pangeran Lembu Sabdata dengan sengaja
telah berusaha untuk berubah"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Dengan nada rendah Mahisa Murti menyahut "Kami akan
berusaha untuk dapat mengenalinya jika kami
menemuinya. Mudah-mudahan kami tidak dikelabui oleh
usaha yang memang mungkin,dilakukannya"
"Kita bersama-sama akan berusaha" sahut Pangeran
Singa Narpada "ia adalah saudaraku. Aku mengenalnya
sebagaimana aku mengenal diriku sendiri. Tetapi memang
ada satu kemungkinan bahwa dengan sengaja ia berusaha
untuk berubah. Karena itu, maka diperlukan daya ingat
yang kuat jika kita bertemu dengan Lembu Sabdata"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pula. Sementara itu, makanan dan minuman yang mereka
pesanpun telah tersedia. Pangeran Singa Narpadapun telah
meneguk minuman panamya. Badannya yang terasa dingin
telah menjadi segar. Setelah meneguk beberapa teguk dan makan beberapa
kerat makanan, maka Pangeran Singa Narpadapun
kemudian berkata hampir berbisik "Mungkin kita dapat
datang ke padepokan Panembahan Bajang. Menurut
keterangan Pangeran, jalan ke Panembahan Bajang adalah
jalan yang paling mudah ditelusuri"
"Ya" jawab Pangeran Singa Narpada "demikianlah
menurut Arya Rumpit"
"Tetapi bukankah Pangeran percaya kepada Arya
Rumpit?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Ya. aku percaya kepada Arya Rumpit. Senopati itu
agaknya telah dibakar dendam pula dihatinya" berkata
Pangeran Singa Narpada. "Dengan demikian maka keterangannya dapat kita
jadikan pedoman" berkata Mahisa Bungalan.
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk.
Jawabnya "Ya, kita memang akan berpegangan kepada
keterangannya" Dengan demikian, maka setelah mereka selesai dan
membayar minuman dan makanan, merekapun telah
meninggalkan warung itu. Untuk beberapa saat mereka masih beristirahat di
sebelah pasar itu sambil memperhatikan orang-orang yang
hilir mudik untuk mendapatkan kebutuhan masing-masing.
Ternyata keadaan di pedesaan sudah berangsur tenang.
Tidak nampak sama sekali bekas-bekas pertempuran yang
membakar Kediri, yang ajangnya memang sebagian
terbesar adalah daerah-daerah perbatasan.
Setelah beristirahat beberapa lamanya, dan setelah
mereka membeli bekal yang dapat mereka makan sambil
berjalan untuk sekedar mengisi waktu dan kejenuhan di
perjalanan pada saat-saat mereka letih berbicara, maka
merekapun telah melanjutkan perjalanan mereka yang
masih panjang. Demikianlah, maka sebagai pengembara yang
berpengalaman, maka keempat orang itu menempuh
perjalanan mereka dengan rancak. Tidak ada hambatan
yang terasa mengganggu. Panas matahari, debu yang
mengepul, haus dan kelelahan sama sekali tidak dapat
menahan perjalanan mereka. Latihan-latihan yang berat
serta laku yang pernah mereka jalani pada saat-saat mereka
menuntut ilmu sampai ke puncak, telah membentuk mereka
menjadi orang-orang yang memiliki kelebihan dari orang
lain. Namun demikian, bagaimanapun juga, mereka adalah
orang-orang yang memiliki keterbatasan.
Sebagaimana telah mereka ketahui, mereka memerlukan
waktu perjalanan dua hari, jika mereka memang ingin
menuju ke padepokan Panembahan Bajang.
Perjalanan itu dapat mereka tempuh tanpa kesulitan
yang berarti. Seperti petunjuk yang diberikan oleh Arya
Rumpit, maka padepokan yang dihuni oleh Panembahan
Bajang terletak tidak terlalu jauh dari padukuhanpadukuhan
yang terbesar disekelilingnya.
"Kita harus mengetahui medan yang akan kita hadapi"
berkata Pangeran Singa Narpada.
"Maksud Pangeran, kita tidak akan langsung memasuki
padepokan itu?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Ya. Kita akan melihat suasana padepokan itu" jawab
Pangeran Singa Narpada "meskipun barangkali kehadiran
kita akhirnya diketahui juga oleh Panembahan Bajang yang
memiliki ilmu yang tinggi. Namun dengan demikian, kita
sudah dapat mengetahui serta sedikit tentang padepokan
itu. Mungkin Pangeran Lembu Sabdata ada pula di
padepokan itu. Namun mereka harus berhati-hati, karena padepokan itu
merupakan padepokan yang berada diantara padukuhanpadukuhan
yang barangkah telah terjalin satu kehidupan
yang akrab. Mungkin Panembahan Bajang justru merupakan orang
yang sangat dihormati dan disukai oleh orang-orang di
padukuhan-padukuhan di sekitarnya.
Tetapi segala sesuatunya masih harus diamati dengan
cermat. Demikianlah, maka Pangeran Singa Narpada dan ketiga
orang yang datang bersamanya telah berusaha untuk,
mendapatkan tempat bersembunyi yang baik. yang dapat
mereka pergunakan untuk segala keperluan. Tidur,
beristirahat sambil makan dan minum, berbincang dan
merayap mendekati padepokan itu.
"Kita tidak mungkin membuat api disini" berkata
Pangeran Singa Narpada "asap yang mengepul akan
menarik perhatian" "Jadi?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Kita membeli makanan dan kita minum air belik yang
mungkin terdapat disekitar tempat ini" jawab Pangeran
Singa Narpada. Mahisa Bungalan hanya mengangguk-angguk saja. Ia
mengerti bahwa Pangeran Singa Narpada sebagai seorang
Pangeran, telah membawa bekal uang yang cukup banyak,
sementara Mahisa Bangalan sendiri juga membawa bekal
uang. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun telah
membawa pula. Dalam pada itu, maka Pangeran Singa Narpada berkata
"Aku yakin, bahwa pada salah satu padukuhan yang
banyak terdapat disekitar padepokan itu, tentu terdapat satu
atau bahkan lebih pasar"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi pasar itu
masih harus dicari. Dengan demikian, maka ketika fajar menyingsing dihari
berikutnya, Mahisa Bungalanlah yang mendapat tugas
untuk menemukan sebuah pasar, karena orang yang paling
sedikit pernah bersentuhan dengan Pangeran Lembu
Sabdata. Jika benar Pangeran Lembu Sabdata ada di daerah
itu, maka mungkin sekali mereka bertemu. Baik Mahisa
Bungalan maupun Pangeran Lembu Sabdata tentu tidak
akan saling mengenal. Dengan ujud seorang pengembara Mahisa Bungalan
telah menyelusuri jalan-jalan yang menghubungkan
padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain. Dengan
pengalaman seorang pengembara maka Mahisa Bungalan
tidak terlalu sulit untuk menemukan yang dicarinya.
Diikutinya orang-orang yang agaknya membawa dagangan
untuk dijual. Mereka pada umumnya akan pergi ke pasar
atau tempat yang kegunaannya seperti pasar.
Sebenarnyalah dengan mudah akhirnya Mahisa
Bungalan memang menemukan sebuah pasar. Memang
pasar yang kecil saja, tetapi di dalamanya terdapat
kebutuhan yang diperlukan"
Kecuali mendapat apa yang diperlukan, maka Mahisa
Bungalanpun telah mendapat satu keyakinan bahwa ia
tidak datang ke tempat yang salah. Bangunan yang berada
diantara padukuhan-padukuhan itu memang benar sebuah
padepokan yang dihuni oleh Panembahan Bajang.
Padepokan itu benar bernama Padepokan Tegal Karang.
Ketika ia kembali ke tempat persembunyiannya, maka
iapun telah memberitahukan hal itu kepada Pangeran Singa
Narpada, bahwa mereka telah datang ditempat yang benar.
"Bangunan itu memang padepokan Tegal Karang"
berkata Mahisa Bungalan. "Arya Rumpit tidak berbohong" berkata Pangeran Singa
Narpada. "Kita akan menyelidiki padepokan itu" berkata Mahisa
Bungalan "Mungkin padepokan itu merupakan padepokan
tempat persembunyian Pangeran Lembu Sabdata"
"Ya. Kita harus mengamatinya" jawab Pangeran Singa
Narpada. Dengan demikian, maka merekapun telah menyusun
satu rencana yang akan mereka lakukan bergantian. Setiap
hari mereka akan mengamati pintu gerbang padepokan itu.
Pangeran Singa Narpada yang mengenal dengan baik
Pangeran Lembu Sabdata akan mengamati bersama Mahisa
Bungalan, sementara dihari berikutnya akan mengamati
padepokan itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah
mengenal Pangeran Lembu Sabdata pula.
Dengan telaten mereka melakukan tugas itu. Tetapi
mereka-tidak pernah melihat orang yang mereka cari lewat
pintu gerbang itu keluar maupun masuk. Bahkan
merekapun tidak pernah melihat seorang yang bertubuh
kerdil keluar masuk pintu gerbang itu.
"Kita harus melihat lebih dekat lagi" berkata Pangeran
Singa Narpada. Mahisa Bungalah mengangguk-angguk. Dengan hati-hati
mereka mencoba mendekati padepokan itu dan bahkan
mereka telan berada didepan pintu gerbang.
Ketika seorang cantrik kebetulan keluar dari pintu
gerbang maka Mahisa Bungalan dalam pakaian seorang
pengembara telah menemuinya. Dengan suara memelas
iapun berkata "Ki Sanak, apakah aku dapat minta seteguk
air?" Cantrik itu mengerutkan keningnya. Kemudian
ditunjuknya sebuah genthong yang berisi air yang memang
diletakkan disisi gerbang "Kami memang sudah selalu
menyediakan air bersih. Silahkan minum Ki Sanak"
"O, terima kasih" jawab Mahisa Bungalan "Tetapi
siapakah yang menghuni tempat ini" Agaknya sebuah
padepokan" "Ya. Sebuah padepokan. Aku adalah salah seorang
cantriknya. Padepokan ini dipimpin oleh Panembahan
Bajang" jawab cantrik itu.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Lalu
iapun "Apakah setiap orang boleh menghadap?"
Cantrik itu mengerutkan keningnya. Dipandangi Mahisa
Bungalan dengan tajamnya. Kemudian iapun bertanya
"Kau siapa Ki Sanak?"
"Aku seorang pengembara" jawab Mahisa Bungalan
"Aku sudah lama mengembara. Sebenarnya aku ingin
berhenti. Semisal burung yang terbang diudara, aku
menjadi kelelahan. Aku ingin mendapat tempat untuk
hinggap" "Kau dapat beristirahat di padepokan ini Ki Sanak"
jawab cantrik itu. "Apakah pemimpin padepokan ini tidak akan marah?"
bertanya Mahisa Bungalan.
"Tidak. Tentu tidak. Panembahan Bajang adalah seorang
Panembahan yang sangat baik. Ia suka menolong orangorang
yang mengalami kesulitan" jawab cantrik itu.
"Jadi aku juga diperkenankan menghadap?" bertanya
Mahisa Bungalan itu pula.
"Tentu Ki Sanak jika Panembahan kebetulan ada" jawab
cantrik itu "Tetapi sayang, Panembahan sedang tidak ada di
tempat" "O" Mahisa Bungalan mengangguk-angguk "jadi
Panembahan Bajang itu sedang pergi?"
"Ya" jawab cantrik itu.
"Kemanar?" bertanya Mahisa Bungalan "dan kapan
Panembahan Bajang itu akan pulang?"
"Panembahan Bajang sedang mengunjungi kawankawannya.
Ia mungkin berada di padepokan Lemah Teles,
tetapi mungkin berada di padepokan Ara-ara Lawang"
jawab cantrik itu. "O" Mahisa Bungalan mengangguk-angguk pula
"Siapakah yang tinggal di kedua padepokan itu"
Di Lemah Teles tinggal Ki Ajar Bomantara, sedangkan
di padepokan Ara-ara Lawang tinggal mPu Lengkon"
jawab cantrik itu. "Keduanya sahabat Panembahan Bajang?"bertanya
Mahisa Bungalan pula. "Ya. Mereka adalah orang-orang yang paling akrab
dengan Panembahan Bajang" jawab cantrik itu.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Lalu katanya
"Tetapi Ki Sanak, selain Panembahan Bajang, apakah ada
orang lain yang berpengaruh di padepokan ini dan dapat
memberikan perlindungan kepadaku jika aku berada di
padepokan ini?" "Kenapa kau bertanya begitu". Tidak akan ada apa-apa.
Aku bertanggung jawab. Jika terjadi sesuatu atasmu pada
saat Panembahan Bajang pulang, biarlah leherku dipenggal.
Kau tidak perlu perlindungan apapun juga" jawab cantrik
itu. Apalagi di padepokan ini memang tidak ada orang lain.
Panembahan Bajang memimpin padepokan ini seorang
diri" jawab cantrik itu.
"Dan ia juga pergi seorang diri?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Ya. Panembahan Bajang pergi seorang diri. Sudah
menjadi kebiasaannya pergi seorang diri kemanapun" jawab
cantrik itu. Namun tiba-tiba cantrik itulah yang bertanya
"Kau terlalu banyak ingin mengerti Ki Sanak"
"O, tidak" dengan serta merta Mahisa Bungalan
menjawab "Aku hanya ingin berbicara. Apa saja"
"Baiklah. Silahkan, bukankah kau ingin minum dan
kemudian ingin berteduh di padepokan kami?" bertanya
cantrik itu. "Aku memang ingin minum Ki Sanak. Tetapi apakah
aku akan berteduh di padepokan ini atau tidak, akan aku
bicara dengan kawanku. Tetapi karena Panembahan Bajang
tidak ada mungkin aku akan singgah kemudian" jawab
Mahisa Bungalan. Cantrik itu mengerutkan keningnya. Namun terbersit
kesan pada wajahnya, bahwa cantrik itu justru ingin lebih
banyak tahu tentang Mahisa Bungalan itu.
Namun dalam pada itu, dengan sikap seorang yang
sangat letih, iapun melangkah mendekati genthong yang
berisi air. Dengan sebuah siwur dari batok kelapa ia
mengambil air dari genthong itu dan meneguknya.
Alangkah segarnya. Pangeran Singa Narpadapun kemudian mendekat pula


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketika Mahisa Bungalan memanggilnya dan minum pula
sepuas-puasnya. Melihat betapa kedua orang itu minum, maka seakanakan
kecurigaan cantrik itu menjadi hilang. Karena itu,
maka iapun bertanya "Jadi, apakah kalian akan singgah
atau tidak?" "Terima kasih Ki Sanak" jawab Mahisa Bungalan "Aku
akan datang lagi pada saat Panembahan Bajang ada di
padepoKan" Cantrik itu mengangguk-angguk. Katanya "Terserahlah.
Sebenarnya tidak akan terjadi sesuatu meskipun
Panembahan tidak ada. Tetapi jika kalian ragu-ragu, apa
boleh buat" "Terima kasih Ki Sanak. Tetapi sebenarnyalah kami
ingin singgah dikesempata lain" jawab Mahisa Bungalan.
Cantrik itupun kemudian melangkah pergi. Agaknya ia
akan pergi ke sawah atau ke pasar untuk membeli
kebutuhan mereka sehari-hari di padepokan itu.
Dengan demikian, maka baik Mahisa Bungalan maupun
Pangeran Singa Narpada mengambil kesimpulan, bahwa
Pangeran Lembu Sabdata tidak ada ditempat itu.
Seandainya ia ada di padepokan itu, maka ia tidak lebih
dari cantrik kebanyakan. Karena itu, maka keduanya
menganggap bahwa untuk sementara padepokan itu dapat
ditinggalkan. "Jika kita singgah di padepokan itu, dan Lembu Sabdata
ada diantara mereka yang disebut para cantrik, maka ia
akan segera mengenal aku" berkata Pangeran Singa
Narpada. "Jika ia mengenal aku lebih dahulu, maka ia tentu akan
dengan diam-diam meninggalkan padepokan ini dan
bersembunyi ditempat yang lebih rumit lagi"
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Dengan
demikian maka tugasnya bersama Pangeran Singa Narpada
akan menjadi semakin sulit.
Sementara itu Pangeran Singa Narpada melanjutkan
"Sedangkan jika Lembu Sabdata tidak ada di padepokan
itu, maka waktu kitapun akan terampas jika kita singgah"
"Ya Pangeran" jawab Mahisa Bungalan yang memang
tidak ingin singgah di tempat itu" karena itu, maka kita
akan berjalan terus, ke padepokan berikutnya"
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya
"Baiklah. Kita kembali ke tempat kita bersembunyi untuk
menemui Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Kita akan
segera bersrap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Dari
Arya Rumpit aku sudah mendapat ancar-ancar kedua
padepokan itu. Mudah-mudahan kita akan dapat
menemukannya" Dengan demikian maka keduanyapun telah
meninggalkan padepokan yang sedang ditinggalkan oleh
pemimpinnya itu. Mereka yakin bahwa Pangeran Lembu
Sabdata tidak ada di padepokan itu. Selain keterangan
cantrik itu, memang tidak ada seorangpun yang pantas
dicurigai sebagai Pangeran Lembu Sabdata yang hilir mudik
dan keluar masuk padepokan itu.
Namun demikian Pangeran Singa Narpada masih ingin
meyakinkan lagi untuk barang sehari. Dari tempat yang
tersembunyi menjelang matahari terbit, Pangeran Singa
Narpada dan Mahisa Bungalan mengamati isi padepokan
itu dari sebatang pohon di luar dinding, dementara disore
harinya, menjelang senja, pengamatan itupun diulanginya.
Namun hasilnya, mereka memang tidak melihat orang yang
mirip atau dapat disangka sebagai Pangeran Lembu
Sabdata. Karena itulah, maka dihari berikutnya, ketika sisa malam
masih gelap, maka Pangeran Singa Narpada bersama-sama
dengan kelompoknya telah meninggalkan tempat
persembunyiannya dan melangkah menuju ke padepokan
yang lain. "Kita mau kemana?" bertanya Pangeran Singa Narpada
"kepada Ki Ajar yang dipanggil guru oleh Pangeran Kuda
Permati atau ke padepokan mPu Lengkon?"
"Terserahlah kepada Pangeran" jawab Mahisa Bungalan
bagi kita agaknya sama saja. Seandainya kita tahu kemana
Panembahan Bajang itu pergi, maka kita akan memilih
mengunjungi padepokan yang dikunjungi oleh Panembahan
Bajang itu. Tetapi karena kita tidak tahu, maka yang
manapun akan sama saja bagi kita"
"Ya. Beruntunglah jika kita sampai ke padepokan yang
kebetulan dikunjungi pula oleh Panembahan Bajang"
berkata Pangeran Singa Narpada.
Dengan demikian maka mereka akan menuju ke
padepokan yang paling dekat diantara padepokan Ki Ajar
dan padepokan mPu Lengkon.
"Kita hanya memerlukan waktu kira-kira dua hari untuk
sampai ke padepokan mPu Lengkon. Sedangkan jika kita
pergi ke padepokan Ki Ajar, kita memerlukan waktu tiga
hari. Meskipun demikian masih juga tergantung apakah kita
selalu berada di jalan yang benar. Jika kita salah memilih
jalan, mungkin waktunya akan dapat menjadi lebih
panjang" berkata Pangeran Singa Narpada.
"Sebagaimana orang yang pernah mengembara maka
mudah-mudahan kita tidak terlalu banyak mengalami
kesulitan untuk mengenali jalan yang sudah diancarancarkan.
Tetapi memang tidak mustahil bahwa kita salah
memilih jalan sehingga kita akan memakan waktu yang
lebih panjang" jawab Mahisa Bungalan.
Namun baik Pangeran Singa Narpada, Mahisa
Bungalan, maupun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah
orang-orang yang sudah terbiasa melakukan pengembaraan
sehingga bagi mereka perjalanan yang mereka tempuh saat
itu bukanlah perjalanan yang akan sampai kepada batas
jalan buntu, karena mereka akan mungkin memecahkan
kesulitan-kesulitan untuk sampai ke tujuan.
Dengan tidak banyak kesulitan diperjalanan mereka
mencari pertanda-pertanda yang pernah disebut oleh Arya
Rumpit yang akan membawa mereka sampai ke padepokan
mPu Lengkon. Ternyata bahwa pertanda-pertanda itu
cukup meyakinkan sehingga keempat orang itu merasa
bahwa mereka akan dapat sampai ketujuan sesuai dengan
waktu yang diperkirakan atau seandainya menjadi
bertambah panjang, tentu tidak akan sampai menjadi dua
kali lipat" Seperti perjalanan yang pernah ditempuh, baik oleh
keempat orang itu ketika mereka pergi ke padepokan
Panembahan Bajang, maupun perjalanan-perjalanan yang
lain dari Pangeran Singa Narpada sendiri, maka mereka
tidak perlu cemas mengalami kesulitan tentang makan dan
minum diperjalanan, karena Pangeran Singa Narpada
memang membawa bekal uang yang cukup. Sehingga
kadang-kadang justru telah menimbulkan berbagai
tanggapan dari orang-orang yang bersamaan berada di
dalam sebuah warung. Bahkan ada-juga pemilik warung
yang ragu-ragu, apakah ia akan memenuhi semua pesanan
keempat orang itu. Ada pemilik warung yang berprasangka
bahwa keempat orang itu akan tidak membayar pesanan
mereka dan begitu saja pergi sebagaimana memang pernah
terjadi bahwa sekelompok orang-orang yang tidak
bertanggung jawab memesan makanan dan minuman serta
menghabiskannya, namun tidak mau membayar harganya.
Tetapi Pangeran Singa Narpada tidak pernah merugikan
orang lain dengan cara yang demikian. Namun justru
karena itu, maka orang-orang yang melihatnya menjadi
heran, bahwa sekelompok pengembara nampaknya
membawa beka! yang cukup banyak.
Namun agaknya bekal yang cukup itu memang selalu
menarik perhatian. Ternyata keempat orang pengembara itu
telah terjebak ke dalam sebuah padukuhan yang dihuni oleh
sekelompok perampok yang garang.
Ketika keempat orang itu mohon untuk diijinkan
bermalam di banjar, maka dengan ramah orang yang
menjaga banjar itu mempersilahkan. Bahkan keempat orang
itu telah mendapatkan pelayanan yang sangat baik.
Tetapi dalam pada itu, penjaga banjar itu telah
menghubungi Ki Bekel dari padukuhan itu dan
menceriterakan bahwa empat orang pengembara bermalam
di banjar. "Apakah mereka membawa sesuatu yang berharga?"
bertanya Ki Bekel. "Aku tidak tahu Ki Bekel. Tetapi Ki Subra siang tadi
berceritera tentang empat orang pengembara yang
dijumpainya di sebuah warung dan ternyata menurut
pengamatannya, membawa uang yang cukup banyak"
jawab penjaga banjar itu.
"Hubungi Subra dan tanyakan kepadanya, apakah benar
orang-orang itu yang dimaksud. Jika benar, maka malam
nanti, kalian dapat bertindak" jawab Ki Bekel.
"Jika bukan?" bertanya penjaga itu.
"Biarkan mereka bermalam dengan tenang dan tidur
dengan nyenyak di Banjar ini. Biarlah mereka
menceriterakan kepada orang-orang yang mereka jumpai
bahwa padukuhan kita adalah padukuhan yang sanggup
memberikan tempat bagi orang yang kemalaman,
memberikan minum bagi orang yang kehausan dan
memberi makan kepada orang yang kelaparan" berkata Ki
Bekel "Tetapi jika benar keempat orang itu memiliki bekal
yang berarti bagi kita, maka keempatnya nanti malam harus
dikubur di tempat yang sudah disediakan bagi mereka yang
mengalami nasib buruk di padukuhan ini"
Penjaga banjar itu mengangguk-angguk. Dengan tergesagesa
iapun kemudian pergi ke rumah Ki Subra untuk
meyakinkan apakah keempat orang itu benar orang-orang
yang dimaksud. Ketika orang yang disebut Ki Subra dihubungi oleh
penjaga banjar itu, maka iapun segera pergi ke banjar untuk
melihat apakah benar keempat orang itu adalah orang yang
dilihatnya di warung dengan bekal uang yang cukup
banyak. "Ya. Mereka" berkata Ki Subra.
"Menurut Ki Bekel, kita dapat bertindak malam nanti"
berkata penjaga banjar itu.
Ki Subra mengangguk-angguk. Katanya "Berikan isyarat
kepada orang-orang padukuhan ini, bahwa malam ini kita
menjebak empat orang yang harus kita selesaikan"
Penjaga banjar itu mengangguk-angguk. Karena itulah,
maka sejenak kemudian, maka penjaga banjar itu telah
memukul kentongan dengan irama dara muluk, tetapi
dengan beberapa isian yang tidak terbiasa terdengar pada
irama dara muluk. Isian dengan pukulan ganda empat, dua
kali berturut-turut. Orang-orang lain dari penghuni padukuhan itu tidak
tahu apakah arti dari bunyi kentongan itu. Nadanya
memang tidak jauh berbeda dengan nada dara muluk biasa,
sehingga dalam sekilas, orang-orang yang
mendengarkannya menganggap bahwa bunyi kentongan itu
memang bernada dara muluk. Bahkan ada yang
menganggap bahwa pemukul kentongan itu telah membuat
beberapa kesalahan yang tidak disengaja.
Tetapi bagi penghuni padukuhan itu, maka suara kentongan
itu merupakan satu perintah, agar penghuni padukuhan itu
bersiap-siap. Ada empat orang di banjar yang akan mereka
jadikan mangsa, sehingga sebidang tanah yang memang
mereka sediakan dipinggir padukuhan itu akan bertambah
dengan empat orang penghuni baru di dalam selimut tanah
yang merah.Tanah yang di-dalamnya telah disimpan
berpuluh bahkan beratus mayat orang-orang yang terjebak
dan bermalam di padukuhan itu. Bahkan mereka yang
lewat disiang haripun, jika mereka dianggap membawa
bekal yang cukup, akan dapat diseret masuk ke dalam
lubang yang digali ditempat itu.
Namun karena seisi padukuhan itu telah menceburkan
diri dalam kerja yang kotor itu, maka justru rahasia mereka
menjadi sangat rapat. Jika terjadi seseorang yang hilang
diperjalanan maka orang tidak akan mengira bahwa orang
itu telah hilang di padukuhan itu. Siang maupun malam.
Tetapi ternyata keempat orang yang berada di banjar saat
itu, telah tertarik dengan bunyi kentongan itu. Bahkan
Mahisa Pukat telah berdesis ditelinga Mahisa Murti "Kau
dengar irama yang aneh itu?"
"Ya, irama dara muluk. Tetapi ada perbedaan dari irama
yang biasa kita dengar. Mungkin padukuhan ini memang
mempunyai kebiasaan yang berbeda" sahut Mahisa Murti.
Namun agaknya Pangeran Singa Narpadapun telah
merasa tergelitik oleh bunyi kentongan itu. Pengalamannya
ketika ia pergi ke Singasari telah memperingatkannya,
bahwa ia harus berhati-hati.
"Mungkin seseorang telah melihat bekal yang aku bawa
sebagaimana pernah terjadi" berkata Pangeran Singa
Narpada yang kemudian menceriterakan apa yang pernah
dialami diperjalanan ke Singasari "Mungkin kita akan
berhadapan dengan sekelompok orang, bahkan mungkin
lebih luas lagi. Irama suara kentongan itu memang sangat
menarik perhatian" Mahisa Bungalanpun mengangguk-angguk. Katanya
"Kita agaknya harus berhati-hati. Keramahan penjaga
banjar itu memang agak berlebihan terhadap kita, empat
orang pengembara. Mungkin dibalik sikapnya itu memang
terdapat maksud yang kurang baik"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menangkap kesan dari
ceritera Pangeran Singa Narpada tentang orang yang
menginginkan uang yang dibawanya. Memang tidak
mustahil bahwa orang-orang padukuhan itupun
menghendaki uang yang dibawa oleh Pangeran itu pula.
Ditambah dengan bekal Mahisa Bungalan dan kedua
adiknya. Bagaimanapun juga keempat orang itu menjadi berdebardebar.
Bukan karena mereka menjadi ketakutan. Tetapi jika
terjadi benturan kekuatan, maka mungkin akan jatuh
korban karenanya. Orang-orang padukuhan itu mungkin
telah salah menilai keempat pengembara yang berada di


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banjar itu. Jika keempat orang itu tersudut ke dalam
keadaan yang sulit, maka sengaja atau tidak sengaja mereka
akan dapat melepaskan kemampuan ilmu mereka yang
nggegirisi. Namun demikian mereka juga tidak menganggap bahwa
isi padukuhan itu adalah orang-orang yang lemah. Memang
mungkin saja ada diantara mereka yang memiliki
kemampuan yang tinggi, yang memimpin kawan-kawannya
melakukan pekerjaan yang kelam itu.
Tetapi mereka harus menunggu. Mungkin semua yang
buram itu tidak lebih dari sekedar prasangka. Sehingga
dengan demikian maka mungkin tidak akan terjadi sesuatu
atas mereka. Ketika kemudian malam menjadi semakin dalam, maka
beberapa orang anak muda telah berada di gardu didepan
banjar. Agaknya memang sesuatu yang wajar. Anak-anak muda
itu sebagaimana padukuhan yang lain, sedang mendapat
giliran meronda. Bahkan semakin malam, seperti juga di
padukuhan-padukuhan lain, gardu itu menjadi semakin
penuh. Yang ada di gardu ternyata bukan hanya mereka
yang meronda saja, tetapi anak-anak muda yang tidak
segera dapat tidur, juga keluar rumah dan berada digardu
untuk mencari kawan bergurau dan kadang-kadang
bertengkar. Namun semuanya itu tidak terlepas dari pengamatan
keempat orang yang mendapat kesempatan bermalam di
banjar. Mereka dengan seksama memperhatikan setiap
perkembangan keadaan diluar banjar. Bahkan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat sempat menjadi semakin berdebardebar
ketika kemudian mereka melihat beberapa orang yang
duduk-duduk di serambi banjar itu.
"Orang diluar menjadi semakin banyak" desis Mahisa
Pukat. "Kita memang harus berhati-hati" sahut Mahisa Murti
sambil berbaring ditempatnya. Sementara itu Pangeran
Singa Narpada dan Mahisa Bungalan nampaknya sudah
tertidur nyenyak, karena mereka sama sekali tidak bergerak
dan nafas mereka beredar dengan sangat teratur.
Namun sebenarnyalah mereka tidak tertidur. Mereka
masih tetap memperhatikan suasana dengan cara mereka.
Meskipun demikian setiap peristiwa diluar banjar itu tidak
luput dari perhatian mereka. Juga kehadiran orang-orang
yang semakin lama menjadi semakin banyak. Baik di gardu
maupun di serambi banjar.
Mendekati tengah malam, maka Ki Bekelpun telah
datang pula di banjar. Yang terdengar dari dalam banjar
hanyalah percakapan yang tidak jelas maknanya. Namun
keempat orang pengembara itu menduga, bahwa yang
diucapkan oleh seseorang yang memiliki pengaruh diantara
orang-orang yang lain adalah perintah-perintah. Keempat
orang yang berada di dalam banjar itu tidak mengetahui,
siapakah sebenarnya yang baru datang itu.
Untuk beberapa saat keadaan justru menjadi sepi.
Namun kemudian keempat orang yang berada di dalam
banjar itu mendengar desir-desir langkah kaki tidak hanya
dibagian depan dari banjar itu. Tetapi menurut tangkapan
mereka, beberapa orang justru telah berada disisi dan di
belakang banjar. Karena itu maka keempat orang yang berada di dalam
banjar itu semakin menyadari keadaan mereka. Keempat
orang itu terkejut, ketika mereka mendengar kentongan
yang tiba-tiba saja berbunyi. Juga dalam irama dara muluk
dengan isian bunyi pukulan ganda empat, dua kali berturutturut.
Pangeran Singa Narpada telah menggamit Mahisa
Bungalan yang berbaring disebelahnya, sementara Mahisa
Bungalan telah menggamit Mahisa Murti dan selanjutnya
Mahisa Pukat. Mereka menganggap bahwa bunyi
kentongan itu tentu satu isyarat yang harus mereka
perhatikan dengan saksama.
Karena itu, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Murtipun
telah bergeser menjauh dari Mahisa Bungalan. Rasarasanya
detak jantung merekapun menjadi semakin cepat
berdetak. "Kita telah dijebak" desis Mahisa Murti ditelinga Mahisa
Pukat. "Ya" jawab Mahisa Pukat "jika kita dipaksa
mempergunakan kekerasan apa boleh buat. Meskipun
sebenarnya kita tidak ingin"
Mahisa Murti tidak menyahut lagi. Namun mereka
menyadari, bahwa orang-orang yang berada di luar banjar
itu menjadi semakin banyak.
Sebenarnyalah, diluar Ki Bekel telah mengatur orangorangnya.
Banjar yang dibangun di tengah-tengah halaman
dan kebun itu memang sudah diatur, bahwa orang-orang
padukuhan itu akan dapat mengepung dengan rapat.
Dengan ketajaman pendengarannya, keempat orang
yang berada di dalam banjar itupun menyadari, bahwa
banjar itu memang sudah dikepung rapat. Sentuhan senjata
tanpa sengaja telah menimbulkan kesan bahwa orang-orang
yang berada dihalaman disekeliling banjar itu bersenjata.
Dengan demikian maka keempat orang yang berada di
banjar itu telah dicengkam oleh ketegangan. Tanpa melihat
dengan mata kewadagan, mereka sudah dapat mengetahui
betapa rapatnya banjar itu telah dikepung.
Karena itulah, maka Pangeran Singa Narpadapun
kemudian justru telah bangkit dan bersiap menghadapi
segala kemungkinan. Sementara itu Mahisa Bungalanpun telah berdiri pula
sambil berjalan hilir mudik, sedangkan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah duduk pula di bibir pembaringan
mereka yang besar. Beberapa saat kemudian, maka merekapun mendengar
langkah orang mendekati pintu bilik mereka. Perlahanlahan
merekapun kemudian mendengar bahwa pintu bilik
itu telah diketuk. "Siapa?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Aku. Ki Bekel" jawab suara diluar pintu.
Pangeran Singa Narpada tidak dapat berbuat lain. lapun
kemudian membuka pintu bilik itu.
Diluar pintu seorang yang rambutnya telah mulai
memutih berdiri termangu-mangu. Di belakangnya berdiri
empat orang anak muda yang bersenjata tombak pendek
justru telah teracu. "Apakah aku berhadapan dengan Ki Bekel?" bertanya
Pangeran Singa Narpada. "Ya Ki Sanak" jawab Ki Bekel "Aku adalah Bekel yang
memerintah di padukuhan ini"
"O, marilah Ki Bekel" berkata Pangeran Singa Narpada
"Aku mengucapkan terima kasih atas segala kebaikan Ki
Bekel yang telah memberikan tempat kepada kami untuk
bermalam di sini" "Banjar Ini memang aku peruntukkan bagi mereka yang
membutuhkan disamping bagi kepentingan rakyat
padukuhan ini sendiri. Orang yang kemalaman akan dapat
tidur dismi dengan nyenyak seperti yang kami harapkan
dapat terjadi pula atas kalian"
"Ya Ki Bekel. Kami telah tertidur nyenyak disini" jawab
Pangeran Singa Narpada"
"Tetapi tentu saja banjar ini jangan disalah gunakan"
berkata Ki Bekel. "Disalah gunakan bagaimana maksud Ki Bekel?"
bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Ternyata kalian adalah orang-orang yang menjadi
buruan prajurit Singasari maupun Kediri karena kalian
terlibat dalam pemberontakan Pangeran Kuda Permati yang
telah terbunuh" berkata Ki Bekel.
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Lalu
iapun bertanya "Bagaimana mungkin Ki Bekel dapat
menuduh kami termasuk para pengikut Pangeran Kuda
Permati?" "Kami sudah mendapat keterangan tentang kalian
berempat. Karena itu, kalian tidak usah ingkar. Sekarang
berikan semua yang kalian bawa untuk kami periksa apakah
isinya. Mungkin kalian membawa sesuatu yang menjadi
larangan atau kalian memang sengaja menyembunyikan
sesuatu milik para pengikut Pangeran Kuda Permati"
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak.
Sekali ia berpaling kearah Mahisa Bungalan. Sementara
Mahisa Bungalan telah berdiri pula disisinya sambil berkata
"Barang-barang apakah yang dimaksud dengan barang
larangan Ki Bekel" "Sudahlah" potong Ki Bekel. Kami sudah berbuat baik
kepada Ki Sanak berempat dengan memberikan tempat
untuk bermalam. Tetapi ternyata bahwa kalian bukannya
orang yang pantas mendapat tempat yang baik. Sekarang
berikan kampil yang kalian bawa untuk kami lihat apa
isinya" Pangeran Singa Narpada berpaling kearah kampilnya
yang diletakkannya di pembaringan. Kampil itu berisi
beberapa lembar pakaian dan uang.
Karena itu, maka Pangeran Singa Narpadapun
menjawab "Ki Bekel. Kampil itu berisi bekal kami
diperjalanan. Beberapa lembar pakaian dan sedikit uang.
Kami tidak membawa apa-apa lagi"
"Berikan kampil itu. Bukan hanya sebuah, tetapi semua
yang kalian bawa. Kamipun ingin melihat kantong-kantong
ikat pinggang kalian dan semua yang ada pada kalian
sekarang ini" suara Ki Bekel menjadi semakin keras.
Maka sadarlah Pangeran Singa Narpada, bahwa ia
berhadapan dengan seluruh isi padukuhan. Padukuhan
yang aneh, yang jarang ditemuinya. Ternyata bahwa seisi
padukuhan itu telah terlibat ke dalam satu perbuatan yang
tidak terpuji. Bahkan telah dipimpin oleh Ki Bekel dari
padukuhan itu sendiri. Pangeran Singa Narpada, Mahisa Bungalan, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukatpun akhirnya menyadari bahwa
mereka tidak akan dapat berbuat lain kecuali dengan
kekerasan. Karena itu, maka merekapun telah bersiap-siap
menghadapi kemungkinan yang dapat terjadi.
Dalam pada itu, karena keempat orang pengembara itu
tidak segera menyerahkan barang-barang mereka, maka Ki
Bekel itupun menjadi semakin keras berkata "Cepat. Kami
ingin melihat apa yang kalian bawa. Jika kalian tidak
merasa bersalah dan memang bukan pengikut Pangeran
Kuda Permati, maka kalian tentu tidak akan berkeberatan
untuk menyerahkan barang-barang kalian sekedar kami
lihat" Tetapi adalah diluar dugaan, bahwa Mahisa Pukat telah
bertanya "Ki Bekel. Apakah Ki Bekel juga mengetahui
serba sedikit tentang pemberontakan Pangeran Kuda
Permati" Apakah daerah ini juga tersentuh oleh gejolak
pemberontakan itu?" Wajah Ki Bekel menjadi tegang. Lalu katanya "Kami
adalah kawula yang setia dari Singasari yang harus ikut
menumpas semua pemberontakan yang menentang
Singasari. Karena Pangeran Kuda Permati memberontak
kepada Kediri untuk melepaskan Kediri dari ujud
kesatuannya dengan Singasari, maka pemberontakan itu
harus ditumpas" Jawaban itu memang menarik perhatian. Seolah-olah Ki
Bekel memang telah berbuat sesuatu bagi kesatuan
Singasari. Namun ternyata yang diajak berbicara oleh Ki
Bekel itu adalah Pangeran Singa Narpada. Orang yang telah
dengan susah payah memadamkan pemberontakan itu
sendiri. Tetapi Pangeran Singa Narpada tidak akan dapat
mengatakan tentang dirinya yang sebenarnya, untuk
kepentingan tugasnya yang lebih besar. Demikian pula
Mahisa Bungalan. Karena itu, maka Pangeran Singa Narpadapun berkata
"Ki Bekel. Kami adalah pengombara yang tidak
mempunyai sangkut paut dengan persoalan yang bergejolak
antara Kediri dan Singasari. Meskipun gelombang
pemberontakan itu terasa juga oleh kami dalam
pengembaraan kami, tetapi bukankah pemberontakan itu
sendiri sudah ditumpas sekarang ini" Karena itu, maka
adalah janggal jika Ki Bekel masih juga menuduh kami,
atau setidak-tidaknya menduga kami mempunyai hubungan
dengan pemberontakkan itu"
"Jangan banyak bicara" bentak Ki Bekel "Berikan
kampil itu kepadaku. Keputusan tentang kalian, tergantung
dari hasil pemeriksaan kami atas barang-barang yang kalian
bawa. Jika barang-barang yang kalian bawa tidak
mencurigakan, maka lalian tidak perlu gelisah. Kalian akan
kami bebaskan. Tetapi jika yang ada didalara kampil kalian
itu barang-barang terlarang, maka kalian harus
mempertanggung-jawabkannya. Hukuman bagi seorang
pengkhianat adalah hukuman gantung di halaman banjar,
disaksikan oleh orang-orang padukuhan ini"
"Apakah Ki Bekel berhak menjatuhkan hukuman itu
kepada seseorang dengan alasan bahwa orang itu telah
terlibat ke dalam satu pemberontakan?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Kenapa tidak" jawab Ki Bekel.
"Apakah Ki Bekel dalam hal ini tidak melampaui kuasa
Akuwu yang membawahi padukuhan ini" Setidak-tidaknya
Ki Buyut dari Kabuyutan ini?"
"Dalam keadaan seperti ini aku berhak mengatasi segala
kemelut yang terjadi di padukuhanku" jawab Ki Bekel.
"Tetapi bukankah kami tidak berbuat apa-apa"
Bukankah dengan demikian Ki Bekel tidak mempunyai
alasan untuk bertindak atas kami berempat?" bertanya
Mahisa Bu-ngalan pula. Wajah Ki Bekel menjadi merah. Dari pembicaraan itu, ki
Bekel Justru telah mendapat kesan lain tentang keempat
orang itu. Keempatnya bukan sekedar pengembara
sebagaimana para pengembara yang lain. Tetapi keempat
orang itu adalah orang-orang yang memiliki bekal


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengertian tentang peristiwa yang telah terjadi di atas tanah
yang mereka huni itu. Namun ternyata bahwa telah tumbuh pula dugaan yang
justru berlawanan dengan keadaan keempat orang itu. Yang
sebenarnya. Ki Bekel yang mengetahui dari laporan salah
seorang penghuni padukuhannya bahwa keempat orang
pengembara itu membawa banyak uang di dalam
kampilnya, telah dihinggapi dugaan bahwa bukannya
pengembara, tetapi mereka adalah orang-orang yang
berkelakuan jahat. Mereka adalah perampok dan
penyamun. Karena itulah, maka Ki Bekel menganggap perlu untuk
lebih berhati-hati menghadapi mereka. Karena biasanya
para perampok dan penyamun memiliki bekal kemampuan
olah kanuragan. Tetapi seisi padukuhan itupun adalah perampok dan
penyamun. Mereka sudah terbiasa membantai korbankorban
mereka. Baik mereka yang bermalam di banjar itu,
ataupun mereka yang sekedar lewat di padukuhan itu.
Orang-orang yang terjebak ke dalam tangan-tangan
penghuni padukuhan itu, biasanya telah hilang tanpa
memberikan bekas. Tetapi kuburan yang tersembunyi di
pinggir padukuhan itu telah bertambah lagi dengan
penghuni yang baru. Menghadapi keempat pengembara itu, Ki Bekel ternyata
bersikap lebih berhati-hati. Dengan tajam ia kemudian
berkata "Ki Sanak. Sebaiknya kalian tidak usah
mempersoalkan sikap kami. Kami menghendaki kalian
menyerahkan barang-barang yang kalian bawa. Jangan
banyak bicara lagi, karena kesabaran kami akan sampai
kepada batasnya" Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Ia
bukan termasuk orang yang dapat bersabar menghadapi
persoalan-persoalan yang demikian. Namun demikian, ia
masih berusaha untuk mengekang diri. Dengan menahan
perasaannya ia berkata "Ki Bekel. Baiklah, jika Ki Bekel
berkeberatan kami tinggal di banjar ini, biarlah kami
meneruskan perjalanan meskipun hari belum pagi"
"Tidak. Kami tidak berkeberatan siapapun bermalam di
banjar ini. Tetapi serahkan barang-barang kalian untuk
kami lihat, apakah ada barang-barang yang menjadi barang
larangan" jawab Ki Bekel.
Pangeran Singa Narpada mengatupkan giginya untuk
menahan gejolak perasaannya. Namun yang kemudian
menjawab ternyata adalah Mahisa Pukat. Katanya "Ki
Bekel. Barang-barang kami adalah milik kami. Meskipun
demikian, jika Ki Bekel ingin melihat, marilah, masuklah ke
dalam bilik ini tanpa ada orang lain. Silahkan melihat
isinya. Tetapi jangan bawa kampil kami keluar dari bilik
ini" Ki Bekel memandang Mahisa Pukat dengan sorot mata
yang memancarkan gejolak perasaannya. Dengan nada
keras ia berkata "Serahkan. Aku akan membawa barangbarang
kalian ke gardu untuk melihat isinya disaksikan oleh
para peronda" "Tidak. Ki Bekel hanya dapat melihat isinya disini.
Dihadapan kami, para pemiliknya. Jika ada barang-barang
terlarang, silahkan menunjukkan dan mungkin Ki Bekel
dapat berbuat sesuatu atas penemuan barang-barang
terlarang itu" jawab Mahisa Pukat.
Wajah Ki Bekel menjadi semakin tegang. Agaknya
keempat orang itu bukan pengembara yang dengan mudah
dapat diancamnya dan menjadi ketakutan. Tetapi keempat
orang itu tentu memiliki bekal yang cukup sehingga mereka
berani menentang perintahnya.
Karena itu, maka dalam kemarahannya Ki Bekel itu
memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk bersiap dan
berhati-hati. "Ki Sanak" geram Ki Bekel "Kau tidak akan dapat
berbuat apa-apa disini. Di luar banjar ini telah berkumpul
semua laki-laki dari padukuhan ini. Mereka datang untuk
menjaga nama baik padukuhannya dari sentuhan para
pemberontak" Pangeran Singa Narpada ternyata juga sudah kehilangan
kesabarannya sehingga katanya dengan nada yang menjadi
keras "Ki Bekel. Jangan mengada-ada. Katakan saja
maksudmu yang sebenarnya. Apakah kau dan seisi
padukuhan ini ingin merampok kami?"
Wajah Ki Bekel menjadi merah membara. Ia yakin,
bahwa keempat pengembara itu bukan pengembara
kebanyakan. Mungkin merekapun memang perampokperampok
yang menyamar sebagai pengembara Karena itu,
maka katanya "Dengan kekasaran sikapmu itu, aku yakin
bahwa kalian memang pemberontak atau perampokperampok
yang memanfaatkan keadaan yang kalut ini
untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri. Jika demikian,
maka menyerahlah. Kalian akan kami tangkap"
"Ki Bekel" berkata Pangeran Singa Narpada "Ternyata
dibalik keramahan orang-orangmu yang mempersilahkan
kami bermalam di banjar ini tersembunyi niat yang sangat
jahat. Tetapi jangan mengharap bahwa kami akan
menyerahkan barang-barang kami. Kami akan
mempertahankannya dengan kemampuan dan tenaga yang
ada pada kami" "Kalian akan melawan semua orang laki-laki di
padukuhan ini?" bertanya Ki Bekel.
"Ya" jawab Pangeran Singa Narpada tegas "siapapun
yang tersangkut dalam usaha perampokan ini, akan kami
hancurkan. Jangan menyesal bahwa banjar ini akan
menjadi karang abang. Bahkan mungkin seisi padukuhan
ini akan ditelan oleh amuk api yang menyalakan
kemarahan hati kami"
"Gila" geram Ki Bekel "Kau jangan mengigau seperti
itu. Kau kira bahwa kau akan dapat menakut-nakuti kami?"
"Kaulah yang menakut-nakuti kami. Tetapi kami akan
menunjukkan bahwa kami bukan kelinci-kelinci yang
ketakutan melihat moncong serigala" jawab Pangeran Singa
Narpada yang marah. Bahkan Mahisa Pukatpun kemudian
telah berteriak nyaring "Minggirlah. Aku akan turun ke
halaman. Aku akan keluar dari tempat ini. Siapa yang
berusaha mencegah aku, maka aku akan membunuhnya"
Mahisa Pukat tidak menunggu jawaban, lapun kemudian
mengambil seikat barang-barangnya. Kemudian
mengikatkannya pada lambungnya. Kepada Mahisa
Bungalan ia berkata "Marilah kakang. Jangan menunggu
lebih lama lagi" Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun
dalam pada itu, Pangeran Singa Narpadapun telah
mengambil kampilnya pula. Seperti Mahisa Pukat, maka
iapun mengikatkan kampil itu dengan tali pada
lambungnya. Mahisa Murti dan Mahisa Bungalanpun melakukannya
pula hal yang serupa. Sehingga mereka berempat kemudian
telah siap untuk keluar dari banjar itu dan turun ke halaman
yang dipenuhi oleh orang-orang padukuhan itu. Mereka
ternyata telah siap menunggu dengan senjata-senjata
mereka. Yang justru berada di paling depan adalah Mahisa Pukat.
Ketika ia melangkah maju, maka Ki Bekelpun telah
merangkah surut. Empat orang anak muda yang menyertai Ki Bekel telah
mengacukan tombak mereka untuk mencegah keempat
orang itu melangkah terus. Bahkan Ki Bekelpun telah
menarik pula senjatanya. Sebilah keris yang besar yang
diselipkannya dipunggungnya.
"Kami akan menghabisi jiwa kalian" geram Ki Bekel.
Namun sama sekali tidak diduga, bahwa Mahisa
Bungalan tanpa menjawab telah mulai dengan serangannya.
Terlalu cepat untuk dapat diikuti dengan mata wadag.
Namun yang terjadi sangat mengejutkan Ki Bekel dan anakanak
muda yang mengawalnya. Tiba-tiba saja sebuah diantara tombak pendek itu telah
beralih ke tangan Mahisa Bungalan. Bahkan kemudian
dengan gerak yang tidak diketahui ujung pangkalnya, maka
ketiga tombak yang lainpun telah terlepas pula. Sementara
itu terdengar Mahisa Bungalan berkata "Pergunakan
semata untuk mengurangi Kematian"
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya. Tetapi
iapun sadar, bahwa kedua adik Mahisa Bungalan yang baru
saja menyelesaikan laku untuk mencapai ilmu puncaknya
itu akan lebih berbahaya jika ia tidak memegang senjata.
Jika keduanya melepaskan ilmunya dengan tangannya yang
tidak memegang senjata, maka mungkin justru akan
menelan korban lebih banyak dari antara orang-orang
padukuhan itu yang tidak memiliki ketahanan tubuh yang
memadai. Namun jika mereka menggenggam tombak,
maka keadaannya akan berbeda. Keduanya akan terikat
dalam permainan senjata. Jika mereka sudah merasa aman
dengan perlindungan senjata itu, maka mereka tidak akan
sampai kepuncak ilmu mereka yang nggegirisi.
Sementara itu, Ki Bekel yang melihat peristiwa yang
tidak diduganya, bahkan di dalam mimpi sekalipun, dengan
serta merta telah meloncat berlari ke halaman sambil
meneriakkan aba-aba "Mereka adalah iblis-iblis terkutuk.
Bersiaplah. Kita akan mem bunuh mereka beramai-ramai"
Mahisa Murti, Mahisa Bungalan dan bahkan Pangeran
Singa Narpadapun telah mengambil senjata-senjata yang
terlepas dari tangan anak-anak muda yang mengawal Ki
Bekel. Sehingga dengan demikian maka anak-anak muda
itu telah berlari pula mengikuti Ki Bekel turun ke halaman.
Keempat orang yang berada di banjar itupun telah maju
selangkah demi selangkah melintasi pendapa. Mahisa
Bungalanlah yang kemudian berada di paling depan. Ketika
ia berdiri di tangga pendapa, maka sambil mengedarkan
pandangan matanya ke seluruh halaman dan
memperhatikan orang-orang padukuhan itu yang berpencar
dengan senjata ditangan, maka Mahisa Bungalan itupun
berkata "Ki Sanak. Apakah yang sebenarnya kalian
kehendaki dari kami" Mungkin kalian menyangka bahwa
kami membawa bekal yang cukup banyak, sehingga kalian
telah bersusah payah berusaha untuk merampok kami,
justru dipimpin oleh Ki Bekel sendiri. Apakah dengan
demikian berarti bahwa kalian telah kehilangan martabat
kemanusiaan kalian dan sampai hati melakukan tindak
terkutuk itu bersama-sama?"
"Persetan" Ki Bekellah yang menjawab "Kalian adalah
orang-orang yang terlibat ke dalam pemberontakan
Pangeran Kuda Permati. Karena itu, maka kalian harus
mati. Barang-barang yang kalian bawa akan menjadi bukti
dari pengkhiatan kalian itu"
"Apakah yang kami bawa?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Ternyata kalian berkeberatan memperlihatkan barangbarang
yang kalian bawa kepada kami" teriak Ki Bekel.
"Bohong" Mahisa Pukatpun berteriak pula "kalian akan
merampas bekal kami. Jangan banyak bicara. Kami sudah
siap. Jangankan seisi padukuhan ini, seisi Pakuwon inipun
kami tidak akan gentar"
Wajah-wajah di halaman itu menjadi tegang. Keempat
orang itu nampaknya benar-benar tidak merasa gentar
menghadapi laki-laki seisi padukuhan. Dengan tombak
pendek yang berhasil mereka rampas, keempat orang itu
nampaknya benar-benar bersiap untuk melawan.
Namun dalam pada itu Ki Bekel masih berkata "Masih
ada kesempatan bagi kalian. Jika kalian menyerah dan
menyerahkan barang-barang terlarang yang kalian bawa,
maka kalian akan mendapat pengampunan. Kalian akan
mengalami nasib yang lebih baik daripada nasib kalian jika
kalian berusaha untuk melawan kami"
Mahisa Pukatpun telah turun dari tangga pendapa diikuti
oleh Mahisa Murti. Mereka telah bersiap menghadapi
orang-orang yang mulai bergerak. Dengan teriakan-teriakan
nyaring Ki Bekel memerintahkan orang-orangnya untuk
mengepung dan menyerang keempat orang pengembara
yang bermalam di banjar mereka itu.
Sementara itu, dari halaman disamping pendapa itupun
beberapa orang telah menjadi semakin dekat. Bahkan dari
sisi sebelah menyebelah beberapa orang telah naik pula ke
pendapa dengan senjata teracu.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Ia
sama sekali tidak mengira bahwa ia harus terlibat dalam
perkelahian melawan orang-orang padukuhan. Tetapi
ketika ia mengingat bahwa padukuhan itu adalah sarang
perampok yang dapat menjebak orang-orang yang lewat di
padukuhan itu, maka timbupula niatnya untut membuat
seisi padukuhan itu jera, meskipun mungkin harus adapula
korban yang jatuh. "Cukup"potong Mahisa Pukat "marilah. Siapakah yang
akan mati lebih dahulu. Bukan salah kami jika separo dan
kalian akan mati, dan yang separo lagi akan berlari terbiritbirit"
Wajah-wajah di halaman menjadi semakin tegang.
Namua ketika Ki Bekel meneriakkan aba-aba, maka
merekapun mulai bergerak juga mendekati tangga pendapa
banjar. Dengan demikian maka Pangeran Singa Narpada itupun
telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan,
sementara Mahisa Bungalanpun telah bergeser menjauhi
Pangeran Singa Narpada dan bersiap menghadapi orangorang
yang datang dari arah yang lain, yang telah mulai
menaiki pendapa itu pula.
Namun menurut penglihatan keempat orang pengembara
itu, ada semacam keragu-raguan yang mengekang orangorang
padukuhan itu. Agaknya sikap keempat orang yang
sama sekali tidak menunjukkan kegentarannya itu justru
Inembuat mereka menjadi ragu-ragu.
Tetapi teriakan-teriakan Ki Bekel telah mendorong
mereka untuk maju mendekat. Sementara itu, Ki Bekel
telah mendekati dua orang kepercayaannya sambil berkata
"Apakah kau hanya akan menonton saja seperti biasanya"
"Kita akan melihat Ki Bekel" jawab salah seorang dari
keduanya "Jika agaknya mereka memang memiliki


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemampuan untuk membela diri, biarlah keempatnya aku
selesaikan" "Tetapi kau lihat, bahwa keempat orang itu nampaknya
sangat meyakinkan" berkata Ki Bekel.
"Menghadapi orang-orang yang sebanyak ini memang
memerlukan kemampuan yang tinggi. Jika mereka mampu,
maka barulah mereka pantas untuk melawan kami berdua.
Aku kira tidak sepenginang, keempatnya akan terkapar di
halaman ini" berkata salah seorang dari keduanya.
"Sebaiknya kau tidak usah menunggu beberapa orang
terbunuh" berkata Ki Bekel.
Keduanya mengangguk-angguk. Seorang diantaranya
berkata "Baiklah. Aku akan melihat dahulu apa yang dapat
mereka lakukan. Baru kemudian aku akan mengambil
sikap" Ki Bekel tidak menjawab. Perhatiannya mulai terikat
kepada orang-orangnya yang telah terlibat ke dalam
pertempuran. Sebenarnyalah, bahwa pertempuran telah berkobar.
Sejumlah laki-laki dari satu pedukuhan bertempur melawan
empat orang yang dianggapnya empat orang pengembara.
Namun yang kemudian pendapat Ki Bekelpun telah
berubah. Keempat orang itu tentu empat orang perampok
yang menyamar sebagai pengembara. Ternyata dari
kemampuan mereka bertempur.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru
telah turun ke halaman. Mereka bertempur sambil beradu
punggung menghadapi lawan yang mengepung mereka.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat memang menjadi
ragu-ragu. Karena itu, maka ia masih sempat berbisik
kepada Mahisa Murti "Bagaimana jika aku dengan tidak
sengaja telah membunuh"
"Kita tidak bermaksud membunuh" berkata Mahisa
Murti "Tetapi kitapun tidak ingin dibunuh"
Mahisa Pukat mengerti maksud Mahisa Murti. Karena
itu, maka geraknyapun kemudian menjadi lebih mantap.
Dengan sigapnya ia memutar tombak pendeknya untuk
melindungi serangan-serangan yang datang beruntun.
Namun sekali-sekali ujung tombaknya juga mematuk
lawan. Sebenarnyalah dengan memegang tombak di tangan,
keempat orang yang dianggap pengembara itu merasa
dirinya terlindungi. Karena itu, mereka tidak
mempergunakan ilmu puncaknya yang dapat sekaligus
membakar sekelompok orang yang tidak mempunyai daya
tahan yang memadai itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang kadangkadang
masih saja dicengkam oleh keragu-raguan. Namun
ketika serangan-serangan datang beruntun seperti
datangnya ombak dilautan, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukatpun telah didera oleh satu keinginan untuk
mengurangi jumlah lawannya.
"Bukan maksudku untuk membunuh orang-orang yang
tidak berdaya ini" berkata keduanya di dalam hatinya.
Tetapi mereka tidak dapat ingkar, bahwa mereka harus
mempertahankan diri dari serangan yang datang
bergelombang itu. Karena itulah, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun mulai menjulurkan tombaknya. Tidak sekedar
menangkis serangan. Tetapi ujung tombak itu mulai
mematuk lawannya. Tiba-tiba saja terdengar seorang diantara lawanlawannya
yang berteriak kesakitan. Ujung tombak Mahisa
Pukatlah yang telah mengoyak lengan seorang lawannya,
sehingga orang itu telah berteriak kesakitan.
Dengan serta merta orang itu telah meloncat keluar dari
arena dengan darah yang meleleh dari lukanya.
Tetapi belum lagi gema suaranya hilang, terdengar
seorang yang lain telah mengaduh. Ujung tombak Mahisa
Pukatlah yang telah mengenai lambung lawannya. Tidak
terlalu dalam, tetapi luka yang menganga itu telah
memancarkan pula darah dari tubuhnya. Sentuhan ujung
tombak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu memang telah
mempengaruhi pertempuran. Namun karena jumlah lawan
yang banyak, maka merekapun telah menyerang dalam
gelombang-gelombang yang tiada berkeputusan.
Namun ujung tombak Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun bergerak lebih cepat. Ketika lawan datang
beruntun semakin cepat, maka kedua orang anak muda itu
mulai menjadi jengkel. Karena itulah, maka setiap kali keduanya seakan-akan
diluar kehendak sendiri, telah menggerakkan ujung
tombaknya terlalu cepat, sehingga telah menyentuh tubuh
salah seorang diantara lawan-lawan mereka. Bahkan dalam
keadaan yang mendesak oleh beberapa ujung senjata yang
berbareng menyerang, kadang-kadang Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat kehilangan kemampuan untuk mengekang
juluran tombaknya. Dalam serangan yang cepat dari beberapa orang, maka
tiba-tiba saja seorang diantara mereka telah meloncat
keluar. Tetapi ia tidak mampu melangkah lagi lebih dari
tiga langkah. Sejenak kemudian iapun terhuyung-huyung
dan jatuh ditanah. Seorang kawannya berusaha
menahannya. Tetapi terlambat, karena tubuh itu telah
terjatuh berguling ditanah.
Sejenak kawannya mengamatinya. Namun tiba-tiba ia
berteriak "Mati! Kawan kita telah terbunuh"
Orang-orang padukuhan itu telah dicengkam oleh dua
jenis perasaan yang berlawanan. Kemarahan yang meluapluap
karena seorang diantara kawan mereka telah terbunuh.
Namun juga karena itu mereka menjadi ketakutan bahwa
nasib seperti itu akan dapat menimpa diri mereka.
Meskipun demikian ada juga diantara orang-orang
padukuhan itu yang berani menghadapi akibat yang
betapapun juga. Mereka adalah orang-orang yang memang
menjadi bebahu padukuhan itu, serta sudah beberapa kali
menangani perampokan seperti yang sedang terjadi itu,
justru dipaling depan. Bahkan mereka jugalah yang dengan
tanpa merasa menyesal telah membantai beberapa orang
yang sebenarnya tidak pernah melakukan perlawanan.
Tetapi mereka jugalah yang biasanya menghabisi nyawa
orang-orang yang menentang kehendak Ki Bekel. Bahkan
perampok-perampok yang tersesat memasuki padukuhan
itu dengan hasil rampokannya, telah menjadi korban
mereka pula. Seorang diantara mereka dengan suara geram berkata
"Kalian akan mengalami nasib yang sangat buruk. Kalian
telah menimbulkan kematian di padukuhan ini. Perampokperampok
yang namanya ditakuti orangpun terbunuh
dipadukuhan ini. Apalagi pengemis-pengemis buruk seperti
kalian" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mendengar katakata
itu sama sekali tidak menjawab. Tetapi mereka sadar,
bahwa kematian akan membuat orang-orang itu menjadi
semakin buas. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sadar, bahwa
orang-orang itu harus dihadapi dengan kekerasan pula.
Karena itu, maka dengan tombak pendek yang berputar
ditangan masing-masing, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
siap menghadapi segala kemungkinan. Merekapun melihat
beberapa orang yang menyibak diantara laki-laki
padukuhan itu. Mereka adalah orang-orang yang berwajah
garang. Ditangan mereka terdapat berbagai jenis senjata
yang agak lain dari senjata-senjata laki-laki padukuhan itu
yang lain. Seorang laki-laki berjambang dan berkumis panjang
dengan sebuah bindi ditangannya mendorong seorang lakilaki
kurus sambil berdesis "Minggir sajalah daripada
tanganmu dipatahkan oleh pengemis-pengemis itu"
Orang bertubuh kurus itu bergeser. Sebenarnyalah
hatinya sudah menjadi kecut ketika seorang kawannya
terbanting mati karena luka-lukanya.
Mahisa Murti melihat orang bersenjata bindi itu
mendekatinya. Disusul oleh seorang yang bertubuh tinggi
kekar dengan tongkat baja yang panjang, hampir sepanjang
tombak pendek. Pada ujung tongkat baja itu terdapat
sebuah bulatan baja pula sebesar kepalan tangan.
Sementara itu, beberapa orang yang lain telah mendekati
Mahisa Pukat. Seorang yang bertubuh pendek dengan
wajah yang kasar berjalan disela-sela laki-laki padukuhan
itu. Ditangannya tergenggam sepasang golok yang tidak
begitu panjang, tetapi cukup besar. Sementara seorang yang
berkepala botak dengan mengikatkan ikat kepalanya
dilambung telah mendekatinya pula. Senjatanya nampak
agak aneh, tetapi berbahaya. Semacam tombak yang sangat
pendek, tetapi berujung di sebelah menyebelah. Bahkan
dengan kaitan semacam kail dipangkal mata senjata itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi lebih berhatihati.
Mereka sadar, bahwa orang-orang itu tentu orangorang
yang memiliki tataran yang lebih tinggi dari pada
orang-orang yang telah bertempur sebelumnya.
Sementara itu, dua orang kepercayaan khusus Ki Bekel
masih saja berdiri sambil menyilangkan tangannya
didadanya. Seorang diantara mereka berdesis "Agaknya
pengemis-pengemis itu memang memiliki kelebihan. Aku
condong kepada pendapat Ki Bekel. Agaknya mereka
adalah perampok-perampok yang menyamar sebagai
pengembara. Dengan demikian maka mereka dapat
melakukan pekerjaan mereka dengan leluasa"
"Tetapi dipadukuhan ini mereka membentur batu" sahut
yang lain "Mereka tidak akan dapat mempertahankan
dirinya betapapun tinggi ilmu mereka. Seandainya mereka
lolos dari tangan para bebahu, maka kita akan dapat
menyelesaikannya" Kawannya tidak segera menjawab. Tetapi terdengar ia
tertawa. Sementara itu yang lain melanjutkan ?"Sebenarnya
aku lagi segan membunuh malam ini, karena hari ini adalah
hari kelahiranku. Aku sudah berjanji kepada isteriku yang
ketiga untuk makan-makan bersama sanak kadang.
Sedangkan isteriku yang keempat sudah membuat bancakan
siang tadi" "He, kau tidak mengirimkan bancakan itu kepadaku?"
bertanya kawannya. "Hanya untuk orang sebelah menyebelah. Isteriku hanya
menyembelih tujuh ekor ayam" jawab yang lain.
"Tujuh ekor dan kau tidak memberi aku seekorpun dari
ayam yang kau sembelih itu" gumam kawannya.
Yang lain tertawa. Namun katanya "Saat makan
bersama sanak kadang itu sudah lewat"
"Semua orang ada disini. Siapa yang akan datang
kerumahmu untuk makan-makan" Jika isterimu yang ketiga
itu memang sudah masak bagi sebuah pertemuan bujana
andrawina, biarlah kami datang setelah keempat orang itu
terbunuh" berkata kawannya.
"Siapa yang berkata akan diselenggarakan bujana" sahut
yang lain "isteriku yang ketiga hanya menyembelih seekor
kambing saja" "Kau memang gila. Lalu apa yang disembelih oleh
isterimu yang pertama dan kedua?" bertanya kawannya.
"Akulah yang mungkin akan menyembelih keempat
pengembara yang gila itu" jawab yang lain.
Kawannya tidak menjawab. Diamatinya pertempuran
yang berlangsung semakin Seru, sementara Ki Bekel
mendekati lagi mereka berdua sambil berkata "Kau
menunggu sampai pagi?"
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah bergeser. Tetapi sama sekali bukan karena mereka
terdesak. Orang-orang yang kemudian memasuki
gelanggang itu ternyata memang memiliki kemampuan
yang lebih tinggi dari laki-laki kebanyakan di padukuhan
itu, sehingga karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat memang harus lebih mapan lagi menghadapi mereka.
Namun demikian memang mulai terasa oleh Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat, bahwa orang-orang padukuhan
itu benar-benar berusaha untuk menekan mereka semakin
ketat. Tetapi kedua orang anak muda itu adalah anak-anak
muda yang telah menyelesaikan laku untuk mendalami
ilmu mereka sampai tuntas.
Tekanan yang semakin berat, hanya menggugah gejolak
perasaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saja, sehingga
justru semakin lama mereka menjadi semakin marah.
Dengan demikian maka putaran tombak merekapun
menjadi semakin cepat. Setiap kali tombak itu telah
mematuk menyerang orang-orang yang mengepung mereka.
Kadang-kadang demikian cepatnya, sehingga sasarannya
sama sekali tidak mampu bergeser sejengkalpun.
Ujung tombak Mahisa Murti dan Mahisa Pukat semakin
lama semakin menggetarkan jantung lawan-lawannya.
Karena itu, maka orang-orang kebanyakan dari padukuhan
itu menjadi semakin bergeser menjauh. Para bebahu yang
merasa memiliki kelebihan sajalah yang kemudian
mengepung mereka semakin rapat. Lebih dari enam orang
telah terluka diantara mereka yang melawan Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Bahkan ada diantara mereka yang
menjadi sangat parah dan seorang yang terbunuh.
Sementara itu ujung tombak kedua anak muda itu masih
saja selalu mematuk-matuk dengan cepatnya, sehingga
lawan-lawannya menjadi ngeri karenanya.
Tetapi para bebahu merasa bahwa mereka memiliki
kelebihan. Karena itu, maka merekapun kemudian berada
dipaling depan diantara laki-laki yang telah bertempur
bersama-sama melawan keempat orang pengembara itu.
Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan masih
berusaha untuk membatasi gerak mereka sendiri. Namun
agaknya Pangeran Singa Narpada bukan orang yang sabar.
Hanya dengan susah payah ia berhasil mengendalikan diri
sehingga ia tidak membunuh lawan-lawannya meskipun
sekali-sekali ujung tombaknya telah menyentuh lawannya,
sehingga telah menggoreskan luka. Beberapa orang lawan
Pangeran Singa Narpadapun telah terluka pula. bankan ada


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diantara mereka yang terluka berat. Memang sulit untuk
mengendalikan diri diantara lawan yang semakin banyak
dan semakin rapat mengepungnya. Apalagi ketika
kemudian diantara mereka terdapat para bebahu yang
memang memiliki kemampuan mempermainkan senjata.
Bahkan akhirnya Pangeran Singa Narpada tidak dapat
menghindarkan diri dari kemungkinan menimbulkan
kematian. Pada saat kemarahannya sulit untuk dikekang
lagi, tiba-tiba saja tangannya seakan-akan diluar sadarnya
telah memutar tombaknya dengan sangat cepat. Tiga
senjata lawannya terlempar dan ujung tombak yang
berputar itu telah mengoyak beberapa sosok tubuh
diseputarnya. Dua diantara mereka mengalami luka yang
sangat parah, sehingga ketika kawan-kawannya membawa
mereka menepi, keduanya sudah tidak bernyawa lagi.
Mahisa Bungalanpun sebenarnya mengalami kesulitan
untuk tidak melakukan pembunuhan dalam keadaan yang
demikian. Namun dengan susah payah Mahisa Bungalan
berusaha untuk melindungi dirinya dan tidak membunuh
lawannya yang memang bukan orang yang memiliki
kemampuan cukup untuk berkelahi.
Tetapi ketika kemudian para bebahu memasuki arena
dan mulai menekannya, maka Mahisa Bungalanpun
mengalami kesulitan untuk tetap dalam keadaannya. Para
bebahu yang melawannya memiliki kecepatan gerak dan
permainan senjata yang cukup berbahaya, sehingga karena
itu, maka Mahisa Bungalanpun harus bergerak semakin
cepat. Dengan demikian maka pertempuran di halaman itupun
menjadi semakin iama semakin seru. Hampir semua lakilaki
di padukuhan itu yang mampu memainkan senjata
telah berada di banjar. Namun ternyata bahwa tidak semua
orang dapat ikut dalam pertempuran yang terjadi di tiga
lingkaran, karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
bertempur berpasangan dan saling membekalangi.
Namun ternyata bahwa keempat orang pengembara itu
tidak dengan mudah dapat mereka tundukkan. Bahkan
satu-satu orang-orang padukuhan itu telah terjatuh dan
terluka parah. Dalam pada itu Ki Bekel yang menyaksikan pertempuran
itupun telah berkata ditelinga kedua orang kepercayaannya
"Sudah ada lima orang yang terbunuh. Mungkin lebih.
Apakah kau masih akan membiarkannya saja" Seorang dari
bebahu padukuhan inipun telah terbunuh pula melawan
kedua orang anak muda yang bertempur berpasangan itu"
Kedua orang itu saling berpandangan. Seorang diantara
mereka kemudian berkata sambil tertawa "Baiklah Ki
Bekel. Aku akan membunuh kedua anak muda yang gila
itu. Tetapi aku minta agar Ki Bekel juga membantu aku"
"Membantu apa?" bertanya Ki Bekel "bukankah aku
sudah memberikan kesempatan kepadamu untuk hidup baik
di padukuhan ini dan akupun telah memberikan tanah yang
cukup luas bagi kalian"
"Bukan itu" jawab kepercayaannya itu "Aku ingin anak
si Rempit itu" "Setan"geram kawannya "baru saja kau katakan bahwa
kau sudah beristeri empat"
"Apa salahnya tambah seorang lagi?" bertanya orang itu
"Anak Rempit masih terlalu kanak-kanak" berkata Ki
Bekel "bukankah maksudmu Rempit diujung lorong?"
"Mana mungkin masih kanak-kanak" jawab orang itu
"umurnya sudah menjelang tiga belas"
"Umurmu?" bertanya kawannya.
"Ah, bukankah kita sebaya?" sahut orang itu.
"Jika demikian umurmu sudah menjelang lima puluh
tahun" jawab kawannya.
"Belum. Aku baru empat puluh lima" jawab orang itu.
"Gila" geram Ki Bekel "Jika kau mampu membunuh
empat orang itu, anak Rempit akan dapat kau ambil. Aku
yang bertanggung jawab"
Orang itu tertawa. Lalu katanya kepada kawannya
"Marilah, kita selesaikan kedua anak iblis itu"
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
bergumam "Ternyata kali ini korban akan terlalu banyak
dibandingkan dengan apa yang akan kita dapatkan dari
orang-orang itu" "Tetapi mereka harus dibunuh. Jika mereka berempat
tidak mati dan dicincang di halaman ini, maka akibat dari
peristiwa ini akan membuat hati seisi padukuhan ini
menjadi kecil menghadapi peristiwa yang serupa dimasa
depan" Kedua orang itu tertawa. Tetapi merekapun sependapat
dengan Ki Bekel. Keempat orang itu memang harus
dibunuh. Dengan demikian maka kebanggaan orang-orang
padukuhan itu atas pekerjaan yang selama ini mereka
lakukan tidak akan pudar.
Sejenak kemudian maka kedua orang itupun mulai
bergerak. Seorang diantara merekapun berkata "Kita
selesaikan kedua orang anak muda yang memiliki
kemampuan iblis itu. Agaknya mereka memang sudah
membunuh beberapa orang lagi, atau setidak-tidaknya
melukai mereka" "Marilah" sahut kawannya "sesudah kita membunuh
mereka berdua maka dua orang yang lain akan segera dapat
kita selesaikan pula"
Namun dalam pada itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
masih berkesempatan bertempur melawan para bebahu.
Pada saat-saat yang gawat, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memang sulit untuk menjaga diri, agar ujung tombaknya
tidak melukai atau bahkan membunuh lawan-lawannya.
Bahkan beberapa saat kemudian, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah dipengaruhi oleh pertempuran dalam
jumlah yang tidak seimbang itu. Meskipun ujung senjatanya
beberapa kali menggores lawan, tetapi ternyata kepungan
itu masih saja tetap pepat dengan senjata teracu.
Keadaan itu ternyata mempengaruhi gejolak perasaan
kedua orang anak muda itu. Rasa-rasanya mereka menjadi
jemu menghadapi keadaan yang demikian itu. Ada
dorongan di dalam hati mereka, bahwa pertempuran yang
demikian itu harus segera diakhiri.
Karena itu, meskipun tidak saling bersepakat, keduanya
telah digelitik untuk mempergunakan ilmu pamungkas
mereka. Dengan demikian, maka perkelahian yang
menjemukan itu akan segera dapat diakhiri.
Namun sebelum mereka sampai pada langkah yang
demikian, tiba-tiba saja dua orang telah menyibak orangorang
yang mengepung Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Seorang telah menuju kearah Mahisa Murti sedang yang
lain melangkah kearah Mahisa Pukat.
Orang-orang padukuhan itupun segera menyibak. Kedua
orang itu sudah dikenal dengan baik oleh seisi padukuhan
karena keduanya memang orang yang memiliki ilmu tidak
terlawan di padukuhan itu. keduanya adalah kepercayaan
Ki Bekel dan keduanya adalah orang-orang yang akan
mampu menyelesaikan segala pekerjaan yang sulit bagi
orang-orang padukuhan yang lain.
Namun agaknya kedua orang itu memiliki kesombongan
pula. Ketika keduanya sudah berdiri dihadapan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat, maka salah seorang diantara
mereka berteriak "Hentikan pertempuran ini"
Orang-orang padukuhan itu ternyata telah mengerti
maksud keduanya. Karena itu, maka merekapun telah
menghentikan pertempuran dan bergeser surut.
"Tetapi jangan urai kepungan ini, agar mereka tidak
dapat melarikan diri" berkata orang yang lain.
Mahisa Murti dan Mahis Pukat termangu-mangu.
Pertempuran itupun telah berhenti dengan sendirinya
karena lawan-lawan kedua anak muda itu telah bergeser
surut. Agaknya mereka memang lebih senang berbuat
demikian setelah beberapa orang kawan mereka terbunuh di
medan. Kedua orang itupun kemudian masing-masing telah
menghadapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan
suara lantang seorang diantara mereka berkata "Agaknya
aku memang terlambat. Kalian telah berhasil membunuh
beberapa orang kawan kami. Karena itu, maka tidak ada
hukuman lain yang pantas bagi kalian kecuali hukuman
picis di halaman banjar ini"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak
menjawab. Tetapi merekapun menyadari, bahwa kedua
orang ini adalah orang-orang dalam tataran puncak bagi
orang-orang padukuhan itu. Karena itu, maka merekapun
harus sangat berhati-hati. Mungkin keduanya memang
memiliki bekal yang cukup untuk memasuki arena tanpa
seorang kawanpun bagi masing-masing.
Namun sementara itu, Pangeran. Singa Narpada dan
Mahisa Bungalan telah terpaksa membunuh pula. Tidak
ada cara yang dapat mereka lakukan untuk menghindari
pembunuhan dalam pertempuran seperti itu.
Meskipun demikian, dalam kesibukan itu keduanya juga
mendengar suara seseorang yang berdiri menghadapi
Mahisa Marti atau Mahisa Pukat. Seolah-olah mereka
benar-benar seorang yang akan dapat menyelesaikan
persoalan yang sudah berkembang menjadi benturan
kekerasan itu. Tetapi keduanya tidak sempat memperhatikan keadaan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan baik, karena
mereka harus melayani sekelompok orang bersenjata.
Bahkan diantara mereka terdapat beberapa orang bebahu
padukuhan itu. Namun keduanya mengerti, bahwa Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat akan menghadapi orang-orang dalam jumlah
yang terbatas. Bahkan mereka akan berhadapan seorang
melawan seorang. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang
sudah berhadapan seorang dengan seorang. Bahkan dengan
lantang orang yang berdiri dihadapan Mahisa Murti berkata
"Aku akan menangkapmu hidup-hidup, agar kami, orangorang
padukuhan ini dapat menjatuhkan hukuman atasmu.
Bukan hanya kau sendiri, tetapi juga ketiga orang kawanmu
itu" Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap
dengan tombak pendeknya untuk menghadapi lawannya
yang baru itu. Sejenak kemudian orang itupun telah menarik sebilah
pedang yang panjang. Namun kemudian tangan kirinya
juga menarik sebuah pedang pendek yang ternyata
dipergunakannya sebagai perisai.
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Orang itu ingin
menangkapnya hidup-hidup. Tetapi ia justru menggenggam
sepasang senjata. Namun Mahisa Murti tidak bertanya apapun juga. Ujung
tombaknya sajalah yang bergetar siap untuk mematuk
lawan. Tetapi lawannya masih juga berbicara "Jika kau
meletakkan tombakmu, maka kami akan dengan cepat
membunuhmu. Tetapi jika tidak, maka sekali lagi aku
peringatkan, bahwa kau harus menjalani hukuman picis"
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Tetapi ia masih
tetap berdiam diri. Sementara itu, lawannya telah mulai menggerakkan
ujung pedangnya. Sekali-kali berputar, namun tiba-tiba
dengan loncatan panjang ujung pedang itu telah mematuk
dadanya. Namun Mahisa Murti sempat bergeser surut. Ujung
pedang itu sama sekali tidak menyentuh. Ketika lawannya
memburu dengan loncatan panjang, maka Mahisa Murti
bergerak menyamping. Namun ia sempat memberikan
isyarat kepada Mahisa Pukat yang membelakanginya.
"Hati-hatilah" desis Mahisa Murti "Mungkin kau
diserang oleh orang yang justru berada di belakangmu"
"Kita mengambil jarak" desis Mahisa Pukat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun kemudian telah
berusaha mengambil jarak meskipun tidak terlalu jauh.
Apalagi ketika mereka berada di arena seorang melawan
seorang. Orang-orang padukuhan itu yang semula
mengepungnya, telah berdiri melingkar, membentuk sebuah
arena. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari,
bahwa pagar yang terdiri dari ujung-ujung senjata orangorang
padukuhan itu, setiap saat dapat bergerak dan
menyerangnya bersama-sama. Sehingga dengan demikian
maka kedua orang anak muda itu masih saja sangat berhatihati
menghadapi perkembangan pertempuran itu.
Namun untuk sementara, mereka akan berhadapan
seorang melawan seorang. Orang yang bertempur melawan
Mahisa Pukat ternyata telah terkejut ketika senjatanya yang
berupa sebuah bindi yang besar menyentuh tombak Mahisa
Pukat. Ternyata Mahisa Pukat sudah jemu dengan
permainan yang kasar itu. Karena itu, maka iapun telah
berusaha untuk dengan cepat mengatasi lawannya.
Tombak pendeknya berputaran dan sekali-sekali terjulur,
menyusup, dicelah-celah pertahanan lawannya.
Lawannya benar-benar tidak menduga, bahwa anak
muda itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Ia
menyangka bahwa ia akan dapat dengan mudah
membunuhnya dan membunuh kawan-kawannya.
Kawannya benar-benar tidak menduga, bahwa anak
muda itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi.
Ia menyangka bahwa ia akan dapat dengan mudah
membunuhnya dan membunuh kawan-kawannya.
Namun ternyata bahwa anak muda itu justru telah
mendesaknya pada benturan-benturan pertama.
"Anak ini agaknya mempunyai ilmu iblis" geram lawan
Mahisa Pukat di dalam hatinya.
Namun iapun kemudian telah mengerahkan
kemampuannya. Sebagai seorang yang merasa dirinya
menjadi tumpuan harapan seisi padukuhan dalam benturan
ilmu seperti yang terjadi pada saat itu, maka ia harus
mampu mengatasi lawan yang betapapun tinggi ilmunya.


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Lawannya
memang memiliki bekal untuk terjun ke dalam dunia
kanuragan. Tetapi sudah barang tentu tidak untuk
bertempur melawan orang-orang yang sudah berada dalam
tataran puncak. Karena itu, berhadapan dengan Mahisa Pukat, maka
orang itu tidak banyak dapat berbuat sesuatu. Bindinya
yang besar ternyata tidak mengejutkan anak muda yang
membawa tombak pendek yang dirampas dari orang-orang
padukuhan itu sendiri. Bahkan ketika orang itu
mengayunkan bindinya kearah ubun-ubun Mahisa Pukat,
Mahisa Pukat menangkisnya dengan menyilangkan landean
tombaknya diatas kepalanya.
Benturan yang terjadi benar-benar seram dan gemeretak
gigi memastikan bahwa landean tombak itu akan patah.
Tetapi yang terjadi benar-benar mengejutkannya.
Bindinya bagaikan membentur dinding baja. Landean
tombak yang terbuat dari kayu itu sama sekali tidak patah,
bahkan retakpun tidak. "Benar-benar kekuatan iblis" geram orang itu. Mahisa
Pukat memandang orang itu dengan tajamnya. Ia melihat
kegelisahan yang membayang di wajah itu. Orang itu sama
sekali tidak menyangka bahwa Mahisa Pukat mampu
mengalirkan kekuatan ilmunya pada senjata yang tersentuh
tangannya, sehingga dengan demikian landean tombak
itupun telah menjadi sekuat besi baja yang tidak dapat
dipatahkan oleh kekuatan lawannya yang dihentakkannya
lewat ayunan bindinya. Dengan demikian maka kecemasan mulai merambat
dihati lawannya. Ternyata orang itu tidak dapat berbuat
banyak menghadapi Mahisa Pukat.
Sementara itu, Mahisa Murti masih juga sempat
bermain-main dengan lawannya. Ujung tombaknya telah
memancing lawannya untuk berjuang menangkis dan
menghindarinya meskipun ia bersenjata rangkap. Dengan
demikian maka keringat telah mengalir membasahi seluruh
tubuhnya. Di lingkaran pertempuran lain, Mahisa Bungalan dan
Pangeran Singa Narpada masih sibuk dengan lawanlawannya.
Tetapi semakin lama orang-orang padukuhan itu
menjadi semakin cemas tentang diri mereka sendiri. Setiap
kali seorang kawannya telah memekik kesakitan, dan
terlempar keluar arena. Ada yang hanya tergores kecil,
tetapi ada pula yang terluka parah.
Yang benar-benar berhasrat dengan cepat menyelesaikan
lawannya adalah Mahisa Pukat. Dengan cepat ia melihat
bindi lawannya dengan serangan-serangan yang
membingungkan. Bindinya yang berat ternyata tidak
mampu bergerak setangkas ujung tombak yang ringan,
meskipun orang itu merasa mempunyai kekuatan yang
sangat besar, sehingga orang kebanyakan menganggap
bahwa bindi baginya tidak lebih berat dari sebatang lidi.
Namun menghadapi Mahisa Pukat orang-orang itu
benar-benar menjadi kebingungan. Apalagi ketika ujung
tombak itu telah beberapa kali menyentuh dan bahkan
menggores kulitnya. Kegelisahan yang sangat telah membayang di matanya.
Geraknyapun bagaikan tertahan-tahan oleh kebimbangan
menghadapi kecepatan gerak lawannya.
Dalam keadaan yang demikian Mahisa Pukat semakin
mendesaknya. Bukan saja ujung tombaknya yang mengenai
lawannya, bahkan sekali-sekali pangkal landeannya telah
menghantam tubuh orang itu. Ketika lututnya terkena
pangkal tangkai tombak Mahisa Pukat, rasa-rasanya tulang
lututnya telah pecah karenanya, sehingga kakinyapun telah
menjadi timpang. Kemarahan yang membakar jantung orangitu telah
diwarnai pula dengan kegelisahan. Agaknya ia telah
menyadari bahwa ia tidak akan dapat mengimbangi
kemampuan lawannya yang masih muda itu. Tetapi
mengingat kedudukannya yang dianggap sebagai orang
yang tidak terkalahkan, maka rasa-rasanya ia tidak
mempunyai jalan keluar dari kesulitannya.
Sementara itu, Mahisa Pukatpun tiba-tiba saja telah
bertanya "Apakah kau akan melawan terus" Aku sudah
jemu dengan permainan seperti.ini. Jika kau masih akan
terus melawan, maka aku akan berkelahi dengan sungguhsungguh.
Tidak ada sepenginang, maka kaupun akan
terkapar mati di halaman banjar ini. Sementara itu, jika
orang-orang lain masih juga akan bertempur terus, maka
seperti yang telah terjadi, seorang demi seorang mereka
akan terbunuh sampai orang yang terakhir"
Orang itu meloncat mundur. Sejenak ia mendapat
kesempatan untuk memandangi wajah Mahisa Pukat. Pada
kerut keningnya nampak bahwa Mahisa Pukat agaknya
memang bersungguh-sungguh.
Berbeda dengan Mahisa Murti, maka ia agaknya masih
merasa mempunyai banyak kesempacan. Dengan demikian
maka ia tidak dengan tergesa-gesa menyelesaikan lawannya
itu. Ia justru ingin menunjukkan kepada orang-orang
padukuhan itu, bahwa orang yang mereka banggakan, yang
telah mencoba melawannya seorang dengan seorang itu,
tidak banyak memberikan arti dalam keseimbangan
pertempuran itu. Karena itulah, maka seperti anak yang sedang bermainmain
saja Mahisa Murti melayani lawannya. Sekali
meloncat sambil tertawa. Kemudian menangkis serangan
lawannya dan memutar pedangnya sehingga pedang itu
terlepas. Namun kemudian dengan tangkai tombaknya
Mahisa Murti mendorong pedang itu kearah lawannya yang
kebingungan. Dengan demikian,maka dua lingkaran pertempuran telah
diwarnai oleh nafas yang berbeda. Tetapi memberikan
kesan yang hampir sama. Orang-orang padukuhan itupun melihat, bahwa lawan
Mahisa Pukat yang bersenjata bindi itu sama sekali tidak
berdaya melawan anak yang. masih muda itu. Lukalukanya
menjadi semakin banyak meskipun Mahisa Pukat
belum sampai pada satu kesimpulan untuk membunuhnya.
Ia masih terikat kepada satu keinginan, apabila tidak
terpaksa, ia tidak akan membunuh lawannya. Tetapi lukaluka
yang kemudian timbul, bagaikan memenuhi seluruh
permukaan tubuhnya. Sedangkan lawan Mahisa Murti, meskipun dengan
tangkasnya mempermainkan pedang rangkapnya, tetapi ia
tidak lebih sebagaimana seekor kelinci ditangan seekor
harimau atau seekor cicak ditangan seekor kucing. Tidak
ada kesempatan sama sekali untuk melawan. Meskipun
lawannya belum dengan sungguh-sungguh, tetapi semua
orang yang menyaksikan pertempuran itu mengerti, bahwa
orang berpedang rangkap itu memang bukan lawan anak
muda yang bersenjata tombak, yang diambilnya dari antara
para pengawal itu sendiri.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan dan Pangeran Singa
Narpada menjadi semakin gelisah. Diluar kehendaknya
maka mereka telah melukai orang semakin banyak. Bahkan
ada yang terpaksa1 harus mengalami luka-luka berat, dan
satu dua diantara mereka, sulit untuk dapat ditolong lagi
jiwanya. Dalam kegelisahan itu, maka tiba-tiba saja terdengar
Mahisa Bungalan berteriak "He, orang-orang padukuhan
ini, serta Ki Bekel yang aku kira masih berada pula di
halaman.ini. Apakah kalian memang masih ingin
meneruskan pertempuran ini" Dengar. Kami sudah menjadi
jemu. Dengan demikian kalian dapat membayangkan apa
yang akan aku lakukan dalam kejemuan itu. Aku minta Ki
Bekel membuat pertimbangan sekali lagi sebelum
mengambil keputusan. Kami akan tetap mempertahankan
milik kami meskipun kami harus dengan terpaksa
membunuh kalian semuanya"
Ki Bekel memang masih berada di halaman itu.
Mendengar suara salah seorang dari keempat pengembara
itu, hatinya menjadi kecut. Selama ini belum pernah terjadi
kegagalan yang sangat menyinggung perasaan seperti ini.
Menurut perhitungan nalarnya, tidak akan ada sekelompok
kecil orang yang hanya terdiri dari empat orang akan dapat
melawan seisi padukuhan. Karena itu, maka akibat yang timbul pada Ki Bekel
justru bukan yang diharapkan. Tiba-tiba saja ia berteriak
"Jangan berkelahi seorang melawan seorang. Selesaikan
tugas kalian dengan cepat bersama semua orang padukuhan
ini" Perintah itu memang menggerakkan setiap laki-laki yang
ada di halaman banjar. Namun merekapun dibayangi pula
oleh keragu-raguan. Ternyata mereka tidak dapat ingkar
menyaksikan kenyataan tentang kawan-kawan mereka yang
terluka dan terbunuh. Mahisa Pukat yang mendengar perintah Ki Bekel itu
menjadi semakin marah. Dengan lantang iapun berteriak
"Marilah. Siapakah yang akan maju bersama orang yang
sudah hampir mati ini" Selama ini kami tidak bertempur
dengan mata gelap. Kami masih berusaha menghindari
korban sejauh dapat kami lakukan. Tetapi kalian sama
sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, sehingga
kalian masih saja berusaha untuk menangkap dan
membunuh kami. Tetapi kesabaran kami ada batasnya.
Pada saatnya maka kami tidak akan mengekang diri lagi,
seperti yang dikatakan oleh satah.seorang diantara kami,
apa saja yang dapat kami lakukan jika kami mulai menjadi
jemu dengan permainan kalian. Dengan kebodohan kalian
dan dengan kesombongan kalian. Terutama karena
ketamakan kalian" Orang-orang padukuhan itu menjadi semakin ragu-ragu.
Bahkan mereka yang sedang bertempur melawan Pangeran
Singa Narpada dan Mahisa Bungalanpun telah mengurangi
tekanan mereka dan satu dua diantara mereka mulai
dibayangi oleh kebimbangan.
Ki Bekelpun menjadi semakin gelisah. Tetapi ia tidak
mau gagal. Meskipun iapun menyadari, bahwa apa yang
akan didapatkannya tentu tidak akan seimbang dengan
korban yang jatuh, tetapi ia tidak ingin rakyatnya menjadi
kehilangan keberanian sehingga pada saat lain rakyatnya itu
tidak berani lagi bertindak sesuai dengan pekerjaan yang
telah mereka lakukan untuk waktu yang lama.
Karena itu, maka sejenak kemudian Ki Bekel itupun
berteriak pula "Jangan takut. Orang-orang itu hanya
membual saja. Jika kalian bersungguh-sungguh, maka
mereka tentu akan segera dapat kalian selesaikan"
Sekali lagi Mahisa Pukat kehilangan pengekangan diri
sendiri. Dalam gejolak perasaan yang gemuruh, tiba-tiba
saja ia telah menyerang lawannya yang bersenjata bindi itu.
Demikian cepatnya sehingga orang itu sama sekali tidak
sempat berbuat apa-apa. Ia masih berusaha menangkis
ketika Mahisa Pukat menyerang dadanya. Tetapi Mahisa
Pukat mengurungkan serangannya itu dan justru ujung
tombak pendeknya kemudian berputar melibat bindi
lawannya. Dengan sekali sentak, maka bindi itupun telah
terlepas dari genggaman. Demikian mudahnya, sehingga
orang-orang yang menyaksikannya menjadi sangat heran.
Namun, sementara itu, kemarahan Mahisa Pukat yang
memuncak telah mendorongnya untuk mengayunkan ujung
tombaknya kearah leher. Tetapi pada saat terakhir, ternyata masih ada sepercik
kekangan yang menghambat tangannya, sehingga ia justru
telah menahan ujung tombaknya yang hampir saja
mengoyak leher lawannya dengan ayunan mendatar.
Namun Mahisa Pukat kemudian telah mendorong ujung
tombaknya kearah pundak lawannya.
Lawannya tidak sempat berbuat apa-apa. Bindinya yang
terlepas dari tangannya telah membuatnya bagaikan
kehilangan kesadaran. Ujung tombak yang terayun
mendatar kearah lehernya membuatnya justru memejamkan
matanya. Tetapi ujung tombak itu tidak mengoyak lehernya
dan memotong kerongkongan dan jalan pernafasannya,
tetapi yang kemudian disengat oleh perasaan sakit adalah
justru pundaknya. Orang itu terdorong surut. Ketika ia membuka matanya,
maka dilihatnya Mahisa Pukat berdiri dekat dihadapannya.
Belum sempat ia berbuat sesuatu, maka dengan tangan
kirinya Mahisa Pukat telah menghantam keningnya.
Orang itu terhuyung-huyung. Namun malang baginya,
bahwa ketika ia tidak mampu lagi mempertahankan
keseimbangannya, maka iapun telah terjatuh. Kepalanya
menimpa bindinya yang terjatuh dari tangannya.
Mata orang itu menjadi berkunang-kunang. Ia tidak
sempat berbuat sesuatu. Perlahan-lahan semua yang
nampak di matanya menjadi kabur.
Ternyata sejenak kemudian orang itupun menjadi
pingsan. Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Ia tidak
tahu pasti apa yang terjadi pada lawannya. Mungkin
pingsan tetapi mungkin juga mati.
Namun ia tidak dapat temenung untuk waktu yang lama.
Ia, harus dapat mengambil satu sikap. Justru ketika
lawannya telah kehilangan kemampuan untuk
melawannya. Karena itu, maka sambil mengangkat tombaknya yang
ujungnya berlumuran darah, Mahisa Pukat berkata keraskeras
"Lihat. Inikah orang kebanggaanmu yang telah
dengan sombong menantang aku berkelahi seorang
melawan seorang. Ia bagiku tidak lebih dari seorang kanakkanak
yang merengek minta permainan. Namun aku tidak
akan berbelas kasihan kepadanya dan kepada siapapun juga
yang telah berusaha merampok dan membunuh kami
berempat. Mungkin ketiga orang kawanku masih sempat
bersabar. Tetapi aku tidak. Aku akan membunuh sebanyakbanyaknya"
Wajah orang-orang padukuhan itu menjadi tegang.
Sementara itu lawan Mahisa Murti telah kehilangan
senjatanya lagi yang terlepas dari tangannya. Tetapi Mahisa
Murti tidak lagi mendorong pedang itu dengan tangkai
tombaknya kepada lawannya itu lagi. Bahkan daun pedang


01 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu telah diinjaknya dengan kakinya.
Orang-orang padukuhan itu terrhangu-mangu. Bahkan
mereka yang sedang bertempur melawan Mahisa Bungalan
dan Pangeran Singa Narpadapun telah semakin dicengkam
oleh kebimbangan. Beberapa orang diantara mereka telah
tidak lagi berani menyerang. Bahkan bergeser selangkah
surut. Orang-orang padukuhan itupun menjadi semakin
menyadari kenyataan yang mereka hadapi. Empat orang itu
ternyata bukannya orang-orang sebagaimana pernah
mereka bantai di padukuhan itu dan mayatnya mereka
kubur dipinggir padukuhan. Tetapi mereka justru harus
bersiap-siap untuk mengubur kawan kawan mereka sendiri
yang terbunuh dalam pertempuran itu
Apalagi ketika dua orang kebanggaan mereka sama
sekali sudah tidak berdaya. Seorang diantaranya sudah
terbaring diam, yang seorang lagi kehilangan senjata
rangkapnya dangan cara yang sangat menyakitkan hati.
Seolah-olah orang yajig dianggap tidak terkalahkan itu tidak
lebih dari seorang yang pantas dipermainkan dalam
benturan kanugaran. Ki Bekelpun melihat keadaan yang tidak diduganya
sama sekali itu. Dua orang kepercayaannya yang sanggup
membunuh keempat orang itu ternyata tidak berdaya
menghadapi anak-anak yang masih sangat muda
dibandingkan dengan dua orang yang lain.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat telah berkata lantang "Ki
Sanak dari padukuhan ini. Masih ada kesempatan. Jika
kalian meletakkan senjata kalian, maka kami akan
mengakhiri pembunuhan yang dapat kami lakukan
sekehendak kami. Siapa yang masih memegang senjata
akan kami anggap sebagai musuh yang harus dibinasakan.
Tetapi siapa yang melepaskan senjatanya, akan kami
anggap telah menghentikan permusuhan sehingga kami
akan memperlakukan mereka dengan baik"
Halaman banjar itu menjadi tegang. Setiap orang berada
dalam kebimbangan. Apakah mereka akan meletakkan
senjata mereka atau tidak.
Ternyata Mahisa Pukat menjadi tidak sabar. Dengan
suara yang bergetar ia berteriak "Aku akan menghitung
sampai sepuluh. Siapa yang tidak meletakkan senjatanya
akan kami binasakan dengan tanpa ampun. Tidak akan ada
kesempatan lagi setelah hitungan kesepuluh itu"
--ooo0dw0ooo- Jilid 024 WAJAH-WAJAH di halaman itupun menjadi semakin
tegang. Ternyata Pangeran Singa Narpada pun mengulangi
seruan Mahisa Pukat, "Kami tidak sekedar bermain-main.
Kami bersungguh-sungguh dan orang yang akan mati
terbunuh kemudian-pun sungguh-sungguh mati dan tidak
akan dapat hidup kembali. Kami sudah jemu dengan
permainan ini, dan kami pun menjadi jemu melihat sikap
kalian." Penegasan Pangeran Singa Narpada ternyata telah
mempercepat keputusan yang harus diambil oleh orangorang
padukuhan itu, sementara Mahisa Pukat mulai
menghitung, "Satu, dua, tiga ..."
Setiap bilangan yang disebutkan membuat debar jantung
orang-orang padukuhan itu semakin cepat. Mereka benarbenar
harus mengambil keputusan sebelum bilangan ke
sepuluh. Dan keputusan itu memang tidak dapat lain jika
mereka masih menghendaki untuk tetap hidup.
Ki Bekel lah yang paling tegang diantara orang-orang
padukuhan itu. Setiap bilangan yang didengarnya, rasarasanya
ujung-ujung senjata yang menusuk jantungnya.
Namun memang tidak dapat lain dari yang harus terjadi.
Ketika Mahisa Pukat mengucapkan bilangan ke sepuluh,
maka semua orang yang berada di halaman banjar itu telah
melepaskan senjatanya. "Jangan bodoh," teriak Ki Bekel, "Bunuh mereka.
Lontarkan semua senjata ke arah mereka, maka mereka
tentu tidak akan dapat menghindar dan menangkis. Satu
atau dua diantara senjata kalian tentu akan mengenainya."
Tetapi tidak seorang pun yang mendengarkannya.
Mereka lebih takut kepada kenyataan bahwa mereka tidak
akan dapat melawan keempat orang itu daripada teriakanteriakan
Ki Bekel yang tidak berbuat apa-apa.
Ki Bekel yang merasa bahwa suaranya tidak lagi dapat
mempengaruhi orang-orangnya, menjadi kehilangan akal.
Ia sadar bahwa keempat orang itu tentu akan meletakkan
pertanggungan jawab atas peristiwa yang terjadi itu diatas
pundaknya. Karena itu, maka tidak ada jalan lain bagi Ki
Bekel selain melarikan diri.
Demikianlah, ketika Ki Bekel sudah tidak melihat
harapan apapun lagi, tiba-tiba saja iapun telah meloncat
berlari ke pintu gerbang. Namun tiba-tiba saja langkahnya
terhenti. Ki Bekel terkejut bukan kepalang. Sebatang
tombak pendek telah meluncur dan tertancap di
hadapannya, hanya sedepa dari tubuhnya.
Dengan serta merta Ki Bekel pun telah berpaling.
Dilihatnya Mahisa Bungalan berdiri di bibir pendapa.
Dengan lantang ia berkata, "Maaf Ki Bekel. Jangan
melarikan diri." Ki Bekel termangu-mangu. Sementara itu Mahisa Pukat
dan Mahisa Murti pun telah naik ke pendapa pula.
Merekapun melihat Ki Bekel yang berdiri termangu-mangu
beberapa langkah dari pintu gerbang. Dibawah cahaya obor
yang berada di pintu gerbang, nampak Ki Bekel yang
dicengkam oleh kebimbangan.
"Kemarilah Ki Bekel," berkata Mahisa Bungalan.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Dengan berat,
maka ia melangkahkan kakinya kembali ke halaman.
Namun ternyata bahwa ia tidak sungguh-sungguh ingin
kembali. Dengan serta merta maka iapun telah meloncat
berbalik dan berlari untuk mencapai pintu gerbang. Ia
berharap bahwa lepas dari pintu gerbang, maka ia tentu
akan dapat mencari jalan keluar dari padukuhan itu tanpa
diketahui oleh keempat orang itu jika mereka mengejarnya.
Karena Ki Bekel merasa bahwa ia menguasai medan jauh
lebih baik dari keempat orang yang agaknya baru pertama
kali memasuki padukuhan itu.
Tidak ada kesempatan untuk mencegah. Seandainya
salah seorang dari keempat orang yang telah bertempur
melawan orang-orang padukuhan itu mencoba
mengejarnya, maka mereka tentu akan kehilangan jejak.
Padukuhan itu terlalu rumit untuk dapat dijelajahi
seandainya Ki Bekel memasuki halaman demi halaman
yang penuh dengan gerumbul-gerumbul liar, rumpunrumpun
bambu yang lebat dan dinding-dinding halaman
yang menyekat-nyekat padukuhan itu.
Karena itu, yang terjadi pun sangat mengejutkan orangorang
padukuhan itu. Sementara Mahisa Bungalan
memikirkan cara yang paling baik untuk menangkap Ki
Bekel, Mahisa Pukat telah lebih dahulu mengambil sikap.
Yang kemudian terdengar adalah pekik yang menyayat.
Semua mata terbelalak melihat sebatang tombak yang
meluncur dengan cepatnya, seperti anak panah lepas dari
busurnya, terbang memburu dan kemudian hinggap di
punggung Ki Bekel. Pemberontakan Taipeng 7 Gento Guyon 28 Semerah Darah N Atau M 2
^