Pencarian

Kutukan Manusia Sekarat 1

Raja Naga 02 Kutukan Manusia Sekarat Bagian 1


KUTUKAN MANUSIA SEKARAT
Hak cipta dan Copy Right
Pada Penerbit Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini Tanpa
Izin Tertulis dari Penerbit Serial Raja Naga
Dalam Episode 002:
Kutukan Manusia Sekarat
128 Hal.; 12 x 18 Cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 SEJAK semalam hujan turun dengan derasnya. Curahan air laksana bendu-ngan bobol
dari langit. Menggempur bumi dan seisinya. Ditingkahi dengan salakan guntur yang
datang bersahut-sahutan, dan kilat yang sambar
menyambar, bumi laksana direntakkan oleh kekuatan alam. Rasanya tak lama lagi
bumi akan hancur lebur didera hujan yang terus menerus.
Satu sosok tubuh yang sedang
berkelebat melintasi hujan, bukannya ngeri dengan alam yang sedang marah.
Bahkan sambil berkelebat yang tak ubahnya hantu belaka, lelaki yang diperkirakan
berusia sekitar tujuh puluh tahun itu, tertawa-tawa. Saking keras tawanya,
seolah meredam kekuatan guntur yang lintang pukang.Kilat menyambar. Guntur
menyalak lagi. Blaaaarrr! Pucuk sebuah pohon tersambar dan tumbang menjadi arang. Menyusul guntur menyalak
lagi. Lebih dahsyat.
Menghantam sebuah pohon yang tumbang dengan gerakan cepat.
Tumbangnya pohon itu, tepat di
atas kepala sosok tubuh yang tadl melesat laksana hantu dan sekarang sudah
menghentikan lesatannya. Dia sedang tertawa-tawa seperti menerta-wakan sesuatu.
Sejenak kakek ini
memutuskan tawanya sendiri, lalu diangkat kepalanya
sedikit. Tangan
kanannya digerakkan dengan cara s-perti mengusir seekor lalat.
Plaass! Satu tenaga keluar deras. Tumbangnya pohon akibat guntur yang sedianya akan
menimpa kepalanya, mendadak saja terpental sejarak tiga tombak dan menindih
ranggasan semak yang mungkin sedang menggigil akibat derasnya hujan dan
dinginnya desiran angin.
Si kakek tertawa
lagi. Kilat menyambar cepat, menerangi tempat itu beberapa saat. Menerangi pula dinding
tebing yang berdiri kokoh tak jauh dari sana.
Saat kilat sempat menerangi
tempat itu, terlihat bagaimana wujud si kakek. Kakek ini berkepala bulat dengan
rambut panjang warna putih, beriap hingga
tergerai acak-acakan
sampai punggungnya. Tubuhnya agak kurus. Sepasang matanya tajam laksana sambaran
mata elang. Wajahnya yang dilapisi kulit tipis, dihiasi dengan cambang yang
turun hingga dagu. Kakek yang pada tangannya terdapat gelang warna hitam ini,
mengenakan pakaian panjang warna jingga. Jubahnya pun berwarna sama. Dari
sosoknya yang angker itu, ada satu keanehan. Karena sejak tadi hujan menggempur
deras, tetapi tubuhnya tak basah sedikit pun!
Bahkan, air hujan seperti tertahan untuk mengenai tubuhnya! Hanya berada pada
batas kepala dan tubuh bagian depan dan belakang!
Tiba-tiba si kakek putuskan tawanya. Menyusul terdengar rahang dikertakkan.
"Pendekar Harum telah tewas menjelang senja tadi! Dia adalah orang kedua yang
kubunuh dalam rentang waktu dua belas tahun! Dua belas tahun yang lalu, dengan
lebah yang kulumuri racun, Pendekar Lontar telah mampus kubunuh! Huh! Kini...
tinggal Bandung Sulang yang akan mampus di tanganku!
Tiga manusia itulah yang pernah
mengalahkanku dulu!"
Kembaii si kakek tertawa keras, hingga kedua bahunya yang kurus
berguncang-guncang.
"Selama dua belas tahun aku menunggu kedatangan seseorang yang akan menuntut
balas atas kematian Pendekar Lontar! Tetapi tak seorang pun yang datang! Aku
yakin, tak ada yang mengetahui, kalau akulah si pembunuhnya! Akulah yang
mencabut nyawa Pendekar Lontar!!"
Semakin keras tawa si kakek
bercambang turun hingga ke dagu ini.
Hujan terus menggempur ganas. Angin dingin berhembus lintang pukang. Dua buah
pohon tumbang tergedor gelombang-nya, jatuh bergemuruh.
"Bukit Gulungan tak jauh lagi dari sini! Malam ini juga akan
kutuntaskan semua urusan hingga tak ada lagi yang mengganjal di dada!"
serunya tiba-tiba. Matanya yang tajam laksana mata elang, menyipit. Sinar angker
seperti keluar dari sana.
Sambil mengangkat dagunya, si kakek berseru dingin, "Bandung Sulang! Malam ini
juga kau harus mampus!"
Kejap berikutnya, tanpa ada
setetes pun air hujan yang mengenai tubuhnya, si kakek berjubah jingga ini
berkelebat. Kelebatannya lebih cepat dari yang pertama!
Dalam deraian air hujan tetapi
tubuhnya tetap terlindung, si kakek terus
berkelebat laksana hantu.
Melewati tanah becek, pepobonan yang tumbang dan ranggasan semak. Dia
melakukannya tanpa kesulitan sedikit pun.
Setelah melewati pematang sawah
yang agak banjir, tubuh si kakek yang masih kering kendati hujan sangat deras,
tiba di hadapan sebuah bukit yang menjulang tinggi. Dinding bukit itu terjal. Di
saat kilat menyambar sepasang mata si kakek pun menyambar memandahg bukit itu.
"Bukit Gulungan...," desisnya pendek. Wajah angkernya kelihatan tegang. Sepasang
matanya berkilat-kilat penuh ancaman. Lama-lama terlihat
sorot dendam yang dalam. Perlahan-lahan si kakek menarik napas, lalu berseru
keras, hingga memantul dari bukit itu. "Bandung Sulang! Bila kau masih hidup,
keluarlah untuk terima kematian! Jangan kau berlagak sudah mampus, karena aku
selalu memantau keadaanmu!!"
Dengan perasaan tak sabar, si
kakek menunggu beberapa saat. Tetapi tak ada sahutan apa-apa akan
seruannya. "Kakek celaka! Keluarlah! Kita tuntaskan silang urusan yang pernah terjadi di
antara kita!!"
Kembali si kakek bertampang ang-
ker ini menunggu sahutan. Lagi-lagi dia tak mendengar apa-apa kecuali gema
pantulan suaranya yang mengalahkan gemuruh hujan.
"Setan keparat! Mengapa dia tidak menyahut"! Jangan-jangan... dia tak berada di
tempat Ini" Terkutuk! Berarti, sia-sia perjalananku malam ini!"
maki si kakek panjang pendek.
Tiba-tiba saja kepalanya diangkat dengan tatapan disipitkan tajam.
Menyusul tangan kanan kirinya didorong ke depan.
Wrrrr!! Geiombang angin yang memutuskan
desiran angin kencang, menggebrak ke arah dinding bukit.
Blaaarr! Blaaarrr!
Dua kali letupan terdengar
berturut-turut. Saat itu pula batu-batu yang terdapat pada dinding bukit
berguguran. Suara gemuruh mengerikan yang ditingkahi ganasnya gempuran hujan
terjadi. Belum lagi batu-batu tuntas
berguguran, terdengar satu suara di belakang si kakek, "Hantu Menara Berkabut!
Kau datang di malam yang dingin ini, pada saat hujan turun deras! Apakah kau
sudah bosan tinggal di Menara Berkabut"!"
Serta merta si kakek berjubah
jingga memutar tubuhnya. Saat itu pula dikertakkan rahangnya.
"Ternyata kau masih punya nyali, Bandung Sulang! Kupikir, kau sudah menjelmakan
diri menjadi tikus got belaka!"
Orang yang telah berdiri sejarak sepuluh langkah dari hadapannya, hanya
tersenyum. Menilik parasnya, dia berusia tak berbeda jauh dengan si kakek yang
dipanggil dengan julukan Hantu Menara Berkabut tadi.
Orang ini mengenakan pakaian berwarna hijau yang penuh tambalan.
Jenggot dan kumisnya panjang menjulai, seolah berlomba dengan rambutnya.
Kalau sosok Hantu Menara Berkabut masih kering, si kakek sudah basah sekujur
tubuhnya! "Seseorang yang malam-malam mere-
lakan diri untuk datang ke Bukit Gulungan, tentunya tidak tanpa maksud!
Hantu Menara Berkabut, apakah aku boleh mengetahui maksud kedatanganmu
sekarang"!"
Mendengar ucapan bernada datar
itu, sepasang pipi cekung Hantu Menara Berkabut mengembung. Seraya menyembur-kan
napasnya keras-keras dia berseru,
"Aku datang... untuk mencabut nyawamu!"
"Dua puluh lima tahun telah berlalu tanpa terasa! Waktu memang benar-benar tak
mengenai ampun! Selalu menggilas siapa pun juga yang lengah!
Kupikir, selama dua puluh lima tahun ini, kau sudah kehilangan nama!
Karena, tak pernah kudengar lagi tentang dirimu!"
"Malam ini, kau sudah melihat diriku! Kau akan menyusul Pendekar Harum ke
akhirat!" Kepala Bandung Sulang sesaat
menegak. Sepasang matanya menyipit tegang. Terlihat bibirnya bergerak sedikit,
hingga suaranya menjadi sengau dan tajam.
"Rupanya kau masih menyimpan keonaran yang nampaknya akan kau tumpahkan malam
ini! Apakah kau ingin kugebuk seperti dua puluh lima tahun yang lalu"!"
"Lain dulu lain sekarang! Aku pernah juga dikalahkan Pendekar Harum
di Lembah Utara! Tetapi sekarang, orang itu sudah berkalang tanah!"
Bandung Sulang terdiam. Tata-
pannya tetap tajam.
"Sebelum kau kubunuh, akan
kuceritakan sebuah rahasia!" seru Hantu Menara Berkabut sambi! melipat kedua
tangannya di depan dada.
"Tentunya kau sudah mendengar berita kematian Pendekar Lontar, bukan"!"
"Aku tak sempat menyembanginya!"
desis Bandung Sulang dengan suara sedikit bergetar. Batinnya mengatakan, kalau
dia akan mendengar berita yang lebih buruk dari kematian Pendekar Lontar.
Hantu Menara Berkabut menyeringai lebar.
"Rasanya, bukan hanya kau yang tak
mengetahui siapa pelaku dari
kematian Pendekar Lontar!"
"Dia meninggal karena...."
"Akulah yang membunuhnya!" putus Hantu Menara Berkabut sambii tertawa.
Bandung Sulang tak menyahut. Dia Justru mengerutkan keningnya. "Berita kematian
Pendekar Lontar sudah menyebar ke segenap persada. Siapa pun tentu telah
mendengar kematian
pendekar perkasa itu. Aku juga mendengar kalau tak seorang pun yang mengetahui
penyebab kematiannya. Kecuali jantungnya yang hangus. Memang sungguh aneh,
karena Pendekar Lontar
dikenal sebagai pemilik ilmu 'Raga Pasa' yang dapat membuatnya mengetahui ada
serangan halus sekalipun."
Kemudian dia berkata dingin, "Kau hanya membual di hadapanku! Seharusnya kau
memperdengarkan bualan lain yang dapat membuatku mempercayaimu! Bukan dengan
omong kosong seperti yang barusan kau lakukan!"
Memerah paras si kakek berjubah
jingga mendengar kata-kata orang di hadapannya.
"Setan terkutuk! Dia mengejekku habis-habisan!" geramnya dalam hati.
Lalu ditindih rasa geramnya. Dia kembaii tertawa panjang. "Ya, Siapa pun
orangnya, tentunya akan berpikir kalau aku hanya membual belaka!
Tetapi, seekor lebah yang telah
kulumuri racun pada sengatnya, tak akan mungkin bisa dinilai dengan Ilmu
'Raga Pasa' Lebah itu hanyalah seekor hewan kebanyakan! Tentunya Pendekar Lontar
tak akan pernah mengetahuinya!
Tentunya pula, dia hanya menganggap kalau lebah itu hanya seekor hewan yang
kebetulan mampir ke tempatnya!"
Bandung Sulang tak menjawab.
Tubuhnya terus diguyur hujan deras.
"Rupanya manusia ini sedang melancarkan setiap dendam yang
dimilikinya. Dan ucapannya tadi, ah, aku mulai dapat mempercayainya.
Pendekar Lontar tewas dibunuhnya
dengan mempergunakan lebah yang
dilumuri racun. Tadi dia juga
mengatakan, telah membunuh Pendekar Harum," kata Bandung Sulang dalam hati.
Kakek berpakaian hijau penuh tambalan ini terdiam beberapa saat.
Memandang pada kakek berjubah jingga yang sedang menyeringai penuh
keangkuhan. Lamat-lamat Bandung Sulang
bersuara, "Hantu Menara Berkabut! Kau telah menorehkan lagi sejarah hitam di
rimba persilatan! Kalau waktu lalu kau masih kuampuni, tetapi dengan membunuh
Pendekar Lontar secara pengecut dan merenggut nyawa Pendekar Harum, hanya
setanlah yang mau mengampuni seluruh belang dosamu!"
Habis ucapannya, Bandung Sulang
menerjang ke depan dengan tangan kanan kiri dikibaskan. Dia tak bisa lagi
menahan amarahnya mengetahui dua orang sahabatnya telah tewas. Bahkan dengan
sikap angkuh, kakek berjubah jingga di hadapannya mengakui kalau dialah pelaku
kedua pembunuhan itu!
Terjangan yang dilakukan Bandung Sulang sed-mikian cepat, hingga
memperdengarkan angin berkesiur.
Butiran hujan yang turun deras seperti menyibak, seolah memberi jalan terkena
gelombang tenaga dalam yang dilepas-kannya.
Hantu Menara Berkabut menger-
takkan rahang. Kepalanya diangkat sedikit. Kejap berikutnya, dia berkelebat ke
depan dengan kedua tangan terangkat dan tiba-tiba disentakkan ke bawah.
Blaaaarrr!! Benturan yang terjadi meng-
akibatkan letupan keras, mengalahkan suara derasnya hujan. Saat benturan tadi
terjadi, guntur tidak menyalak.
Tetapi letupan itu, justru melebihi ganasnya salakan guntur!
Bandung Sulang terseret ke bela-
kang. Celana bagian bawahnya kotor terkena tanah becek. Hantu Menara Berkabut
pun surut tiga langkah.
Dengan kegeraman yang kentara,
dijejakkan kaki kanannya, yang serta-merta membuat tubuhnya mencelat ke depan.
Gelombang angin berputar yang
menyeret tanah basah menggebrak ke arah Bandung Sulang. Yang diserang
menyipitkan matanya. Tak beranjak dari tempatnya. Sebelum gelombang angin itu
menghajarnya, mendadak diputar tangan kanannya.
Segera menghampar gumpalan asap
hijau ke arah gelombang angin yang dilancarkan Hantu Menara Berkabut.
Kalau biasanya asap akan terkuras sirna bila terkena air, asap-asap hijau yang
dilepaskan Bandung Sulang justru seperti menelan air-air itu.
Dalam satu kejapan saja, asap-asap itu sudah berubah menjadi kantung air!
Menerobos gelombang angin yang
dilepaskan Hantu Menara Berkabut!
Sudah tentu Hantu Menara Berkabut terkejut melihat serangan lawan.
Gelombang anginnya tak berguna, bahkan terus diterobos oleh asap-asap yang telah
berubah menjadi kantung air.
"Terkutuk!" makinya seraya memukul kantung-kantung air itu.
Plaaarr!! Sebuah asap yang telah berubah
menjadi kantung air berhasil dipu-kulnya. Begitu pecah, justru dia yang menjadi
terkejut dan mendadak sontak membuang tubuh ke samping kanan.
Karena begitu pecah, kantung air itu memuncratkan air warna hijau yang menyebar


Raja Naga 02 Kutukan Manusia Sekarat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laksana puluhan jarum
rahasia. Sebagian mengarah pada Hantu Menara Berkabut yang membuatnya segera
menghindar. Tiga buah asap yang telah berubah menjadi kantung air itu pecah
berhamburan tatkala menghantam tiga buah pohon. Tak terjadi apa-apa.
Tetapi di lain saat, pepohonan itu bergetar. Dedaunannya berguguran laksana
diguncang tangan raksasa. Menyusul suara letupan tiga kail berturut-turut Bagian
atas pohon yang terkena hantaman kantung-kantung air yang pecah, patah
berhamburan. Hantu Menara Berkabut terbelalak.
Sepasang matanya menatap tak percaya pada tiga batang pohon yang telah hancur
bagian atasnya. Lamat-lamat dengan suara erangan pelan diputar kepalanya.
Tatapannya tajam pada Bandung Sulang yang telah berdiri tegak.
"Dari ketiga orang yang telah mengalahkanku dan membuatku mendendam setinggi
langit, kupikir Bandung Sulanglah yang paling lemah di antara mereka.
Kuperkirakan akan dengan mudah membunuhnya. Tetapi nyatanya, dia justru telah
bertindak mengejutkan.
Menghadapi Pendekar Lontar, aku telah mempergunakan akal licik untuk
membunuhnya. Demikian pula dengan Pendekar Harum. Dia mampus setelah kulepaskan
tiga ekor lebah yang telah kulumuri racun. Keparat! Rasanya...
aku juga harus melepaskan lebah-
lebahku ini...."
"Kau telah membunuh dua sahabatku! Rasanya, aku memang berhak untuk mencabut
nyawamu sekarang!"
"Jangan berbangga dulu dengan apa yang kau lakukan barusan!" sambut Hantu Menara
Berkabut dingin. Dia masih tetap kering, karena sosoknya seperti terpayungi yang
menghalangi derasnya butiran hujan.
"Karena... tak lama lagi kau akan menyusul Pendekar Lontar dan Pendekar
Harum ke akhirat!"
"Mungkin aku akan menyusulnya!
Tetapi... kaulah yang akan lakukan perjalanan ke neraka!"
Habis ucapannya, Bandung Sulang
menggebrak kembali. Gelombang angin mendahului lesatan tubuhnya yang cepat. Saat
tangan kanan kirinya digerakkan, kembali menghampar asap-asap hijau yang begitu
terkena air langsung berubah menjadi kantung-kantung air.
Hantu Menara Berkabut menatap
kantung-kantung air yang melesat cepat ke arahnya itu. Dia tak mau untuk
membentur lagi kantung-kantung air itu, karena dia tahu apa akibatnya.
Mendadak terlihat mulutnya mengembung dan....
Wuussss!! Begitu dikempeskan dengan cara
menyentak, udara yang keluar dari mulutnya menggebah deras. Kantung-kantung air
yang mengarah padanya, tertahan dan berbalik pada pemiliknya!
"Hebat! Tentunya hembusan napasnya itu bukan dialiri tenaga dalam, tetapi
hawa murni karena tak
memecahkan asap hijauku yang telah berubah menjadi kantung air!" desis Bandung
Sulang dalam hati. Kejap kemudian diputar tangan kanan kirinya.
Wrrrrr! Kantung-kantung air yang kembali
mengarah padanya, berbalik lagi
setelah terkena gelombang angin dari kedua tangannya.
Hantu Menara Berkabut segera
berbuat yang sama seperti yang dilakukannya barusan, hingga kantung-kantung air
itu kembali berbalik.
Demikian pula halnya dengan Bandung Sulang. Dia juga berbuat yang sama seperti
yang dilakukannya tadi.
Hingga yang terjadi kemudian,
lima buah kantung-kantung asap itu akhirnya tertahan di udara. Menggan-tung agak
bergoyang. Karena tekanan dari Bandung Sulang dan tahanan dari Hantu Menara
Berkabut. Masing-masing orang terlihat
mulai bergetar. Berulang kali Bandung Sulang memutar tangan kanan kirinya.
Demikian pula dengan Hantu Menara Berkabut yang menghembuskan napasnya berulang-
ulang. Dan mendadak, lima buah kantung-
kantung air itu meluncur ke udara setinggi empat tombak. Lalu meluncur deras ke
bawah. Begitu menghantam tanah becek, letupan keras yang
membongkar tanah terdengar lima kali berturut-turut.
Saat itu guntur menyalak. Hingga tempat itu benar-benar laksana kiamat!
Sementara itu, baik Bandung
Sulang maupun Hantu Menara Berkabut sama-sama terpental ke belakang.
Bandung Sulang terjengkang di tanah becek. Hantu Menara Berkabut jatuh berlutut.
Kalau sebelumnya dia seperti terpayungi, kali ini sekujur tubuhnya didera hujan!
"Keparat!!" makinya sambil mendo-ngakkan kepala. Tatapannya memancarkan
keangkeran dalam, menyambar laksana mata elang murka.
Bandung Sulang sendiri sedang
berdiri dengan agak sempoyongan. Dia menarik dan mengeluarkan napas guna
mengatasi rasa sesak pada dadanya.
Hantu Menara Berkabut pun me-
lakukan hal yang sama. Tetapi baru saja dia berdiri, mendadak dia
terjatuh kembali.
Terkutuk!" desisnya dingin. Sepasang rahangnya mengeras. Hujan terus mengguyur
tubuhnya. Dia merasakan ngilu pada kedua kakinya. Napasnya dirasakan sesak
dengan rasa nyeri tak terkira. "Setan keparat! Aku bisa mampus bila
menghadapinya langsung!
Kesaktiannya benar-benar tak kubayangkan! Rupanya selama dua puluh lima tahun,
dia lelah berlatih keras untuk memperdalam ilmunya! Keparat busuk!!"
Bandung Sulang berseru dingin,
"Dalam hujan yang deras ini, dalam malam yang laksana kiamat, aku akan menuntut
balas kematian kedua
sahabatku!"
Mendengar ucapan itu, dengan
mengerahkan sisa tenaga dalamnya, Hantu Menara Berkabut bangkit berdiri.
Agak goyah. Dia berusaha keras untuk mempertahankan keseimbangannya. Lalu
kepalanya diangkat, memandang angkuh.
Matanya keras, tajam dan m-nusuk.
"Bandung Sulang.... Jangan
berharap kau dapat mengalahkanku malam ini! Aku telah bertekad untuk menumpas
semua lawan-lawanku! Dan di hari yang menjelang pagi ini, kau akan mampus di
tanganku!!"
Habis ucapannya, Hantu Menara
Berkabut memasukkan tangan kanannya ke balik pakaiannya. Lalu....
Wuuusss!! Dilemparkannya sesuatu yang telah terdapat di telapak langannya.
Mata tajam Bandung Sulang melihat tiga buah benda kecil terlempar.
Dlpicingkan matanya untuk mengetahui benda apakah yang telah meluncur ke arahnya
itu. Mendadak saja kepalanya menegak.
Mulutnya membuka lebar tatkala mengetahui benda apakah yang mengarah kepadanya,
yang tak bergoyang ditimpa air hujan.
"Lebah!!" serunya keras.
* * * 2 SERENTAK Bandung Sulang mendorong kedua tangannya karena tiga benda kecil yang
ditempar Hantu Menara Berkabut yang ternyata tiga ekor lebah, telah menerjang ke
arahnya. Sungut-sungut kecilnya siap menghujam pada bagian-bagian tubuh Bandung Sulang.
Suara dengungannya menegakkan bulu roma.
Plaass!! Dua jotosan yang dilakukannya
hanya mengenai tempat kosong. Karena seperti mengerti apa yang dimaui orang,
ketiga ekor lebah itu
menghindar dan memutarinya.
"Astaga! Makhluk-makhluk kecil ini seperti tahu apa yang akan
kulakukan! Hemmm... dua ekor berada di belakangku Seekor lagi di hadapanku!
Apa yang harus kulakukan menghadapi ketiga ekor makhluk ini"!" desisnya sambil
bersiaga. Dialirkan tenaga dalamnya untuk menamengkan diri bila salah seekor
lebah atau ketiga-tiganya, akan menyengatnya.
"Kau telah kuberi tahu bagaimana caraku membunuh Pendekar Lontar dan Pendekar
Harum! Kedua orang itu mampus dengan cara yang sama! Lebah-lebahku sungguh
perkasa! Karena... lebah-lebah itu telah kuberi makanan yang kucampur dengan
racun yang ku ramu dari puluhan
bisa ular dan cairan katak!"
Bandung Sulang tak menyahuti
kata-kata Hantu Menara Berkabut. Dia terus bersiaga.
"Lebah-lebah itu tak menyerangku, mereka seperti menunggu. Lebah-lebah ini jelas
lain dengan lebah-lebah biasa. Dalam gemuruh hujan, dengungannya masih dapat
kudengar. Atau...
karena pendengaranku yang tajam?"
Bandung Sulang masih berdiri
bersiaga. Wajahnya mulai terlihat tegang. Mendadak dia menangkap suara dari
belakangnya. Seketika dikibaskan tangan kanannya.
Plakkk!! Seekor lebah yang menyerangnya
terpukul pecah dan jatuh di tanah becek. Menyusul tangan kirinya digerakkan
pula. Lebah yang seekor lagi sudah menyerangnya pula.
Plaaakk! Lebah itu pun menyusul lebah yang pertama tadi.
Bandung Sulang belum bisa merasa tenang, karena lebah yang melayang di
hadapannya sudah menerjang dengan dengungannya yang cukup keras. Dan lebah itu
dapat menghindari sampo-kannya. Bahkan berputar dan terus mencari sela untuk
menghujamkan sungutnya yang telah dilumuri racun.
Bandung Sulang memaki panjang
pendek. "Keparat! Baru sekarang aku khawatir dengan makhluk yang bernama lebah ini!"
Dan lebah yang tinggal seekor
lagi itu ternyata cukup lincah. Setiap kali Bandung Sulang mengibaskan tangan
kanan kirinya, lebah itu dapat terus menghindari. Bila seseorang yang melihat
(bukan Hantu Menara Berkabut), tentunya akan merasa heran melihat kakek
berpakaian hijau penuh tambalan itu seperti kalang kabut sendirian.
Tangan kanan kirinya terus dikibaskan, tetapi lebah itu terus dapat
menghindarinya.
"Permainan ini bukankah sangat menyenangkan?" ejekan Hantu Menara Berkabut
terdengar. Bandung Sulang tak menghiraukan
ejekan itu. Dia semakin jengkel dan penasaran untuk menghabisi lebah itu.
Diam-diam, dia juga merasa khawatir, kalau-kalau Hantu Menara Berkabut
membokongnya di saat dia masih
disibukkan oleh lebah yang terus mencari sela menyerangnya.
Tetapi kakek yang belum lama
telah membunuh Pendekar Harum ini, justru melipat kedua tangannya di depan dada.
Sambil menyaksikan
pertunjukan yang menurutnya sangat lucu di hadapannya, dipergunakannya
kesempatan itu untuk memulihkan
tenaganya lagi.
"Lebah-lebahku memiliki naluri yang tinggi.
Kau tak akan mudah
membunuhnya!"
"Aku telah berhasil memusnahkan dua lebah keparatmu itu!" seru Bandung Sulang
dan semakin jengkel karena terus-terus dia gagal melakukan niatnya.
Sementara Hantu Menara Berkabut
terbahak-bahak, Bandung Sulang membatin, "Peduli setan dengan lebah yang tinggal
seekor ini! Aku masih dapat menghindarinya! Hemm... lebih baik kubokong saja
kakek celaka itu!"
Memutuskan demikian, sambil terus berusaha untuk membunuh lebah yang terus dapat
menghindar, mendadak Bandung Sulang memutar tangan kanannya ke arars Hantu
Menara Berkabut, siap untuk melancarkan asap-asap hijaunya yang bila terkena air
maka akan berubah menjadi kantung-kantung air.
Tetapi dia justru urungkan niat dan cepat menarik tangannya ke belakang.
"Heiiih!"
Lebah yang masih dapat menghindar itu telah menyerbu ke arah tangannya.
"Terkutuk!"
"Kau tak akan punya kesempatan apa-apa, Bandung Sulang! Kau seharusnya berterima
kasih padaku, karena aku ternyata bukan orang licik yang
seperti kau duga selama ini! Padahal aku punya banyak kesempatan untuk
membunuhmu di saat kau sedang kelim-pungan!"
Lagi-lagi Bandung Sulang tak
menyahuti ejekan itu. Jalan satu-satunya dia memang harus membunuh lebah itu!
Dengan rasa penasaran yang
membakar tubuhnya, akhirnya Bandung, Sulang berhasil membunuh lebah itu!
"Huh!" dengusnya pada Hantu Menara Berkabut. Tatapannya tajam.
Kemarahannya tak dapat dibendung lagi.
"Apakah kau masih mempunyai lebah-lebah jahanam Itu"!"
Hantu Menara Berkabut tertawa
keras. "Sudah tentu, sudah tentu aku masih mempunyainya! Apakah kau pikir aku sudah
kehabisan 'prajurit' yang kumiliki"!"
"Keluarkan lebah-lebah itu! Akan kuhancurkan mereka!!"
Kakek bercambang hingga dagu itu justru menepuk tangannya berulang-ulang.
Seringaiannya lebar di bibir.
"Sungguh luar biasa! Kau memang memiliki kepandaian yang tinggi! Kau berhasil
membunuh ketiga lebahku itu!
Ya, ya! Pendekar Harum pun dapat melakukannya!"
Bandung Sulang menggeram.
Sepasang matanya menyipit dalam.
Dagunya agak diangkat.
"Bila keparat ini masih hidup,
dia akan lebih banyak menimbulkan keonaran! Aku harus menghentikannya sekarang
juga! Manusia sepertinya hanya akan... oh!!"
Mendadak sontak kepala Bandung
Sulang menegak.
"Aneh! Mengapa kau menjadi tegang seperti itu"!" seru Hantu Menara Berkabut
penuh ejekan. "Seharusnya kau senang karena telah berhasil mematikan tiga ekor
lebah kesayanganku, bukan"!
Mengapa kau jadi kelihatan seperti ketakutan"! Apakah parasku mendadak berubah
mengerikan"!"
Bandung Sulang tak menjawab. Dia merasa aliran darahnya berubah menjadi cepat.
"Terkutuk!!" makinya kemudian.
"Mengapa kau harus memaki seperti itu"! Seharusnya, akulah yang memaki karena
tak bisa membunuhmu, bahkan lebah-lebahku telah mampus di tanganmu!"
Bandung Sulang makin merasakan
betapa cepatnya aliran darahnya. Malam yang terus didera hujan dan dingin yang
menghujam, tak lagi dirasakannya.
Karena perlahan tetapi pasti dia mulai merasakan ada hawa panas yang menjalar
dari kedua telapak tangannya, terus masuk ke dalam melalui aliran darah yang
bertambah cepat.
Mendadak ditekap dadanya dengan
tangan kanan. Tubuhnya agak limbung
sedikit. "Hei, hei! Kau bukan hanya tegang, tetapi juga kehiiangan keseimbangan"! Ada apa
ini"!"
"Terkutuk!!" bergetar suara Bandung Sulang sambil mengangkat
kepalanya. "Kau bukannya melumuri racun pada sungut lebah itu! Tetapi pada
sekujur tubuhnya!"
"Luar biasa kalau kau mengetahuinya! Ya, akan kukatakan lagi satu rahasia yang
kumiliki! Memang benar yang kau katakan itu! Dan itulah yang terjadi pada
Pendekar Harum hingga nyawanya putus! Dia berhasil membunuh ketiga lebahku yang


Raja Naga 02 Kutukan Manusia Sekarat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain dengan cara memukulnya, sama seperti yang kau lakukan! Dan... hahaha...
racun pada tubuh lebah itu telah mengenai telapak tanganmu yang tentunya sedang
kau rasakan sekarang! Bukankah sungguh hebat racun yang kumiliki"!"
"Setan! Mengapa aku baru berpikir sekarang" Mengapa aku tak berpikir kalau
sekujur lebah itu telah dilumuri racun?" desis Bandung Sulang dengan tubuh yang
bertambah goyah. "Aku baru sadar setelah keparat itu mengatakan kalau Pendekar
Harum juga berhasil membunuh ketiga lebahnya. Tetapi...
hasilnya, Pendekar Harum justru tewas!
Terkutuk! Terkutuk!"
Tubuh limbung Bandung Sulang
semakin kentara. Diiringi tawa
kepuasan dari Hantu Menara Berkabut, dia ambruk di atas tanah becek.
Tubuhnya makin tersiksa karena
derasnya butiran hujan yang menerpa wajah dan tubuhnya. Rasa panas yang
mengikatnya kian menyengat. Kulitnya mendadak terlihat memerah. Napasnya mulai
tersengal-sengal. Mulutnya merapat. menahan sakit tak terkira.
"Sebelumnya kau adalah manusia yang begitu perkasa... tetapi sekarang kau teiah
menjadi manusia sekarat...."
"Iblis!! Kau akan menyesali semua perbuatanmu ini!" balas Bandung Sulang geram,
suaranya agak melemah.
Tenaganya perlahan-lahan dirasakan lenyap.
"Menyesali tindakanku" Astaga!
Apakah aku sudah gila" Melihat musuh-musuhku tewas di tanganku, aku harus
menyesali"! Bandung Sulang! Kau telah menjelma menjadi manusia sekarat!
Mungkin itulah yang menyebabkan kau sudah menjadi agak gila!"
Bandung Sulang meringis menahan
sakit. Dari sela-sela bibirnya mulai merembas darah, juga hidungnya. Rasa sakit
kian dirasakan tatkala darah mengalir keluar dari kedua tellnganya.
Dengan susah payah kakek
berpakaian hijau penuh tambaian ini mendesis, "Malam ini... aku akan menyusul
dua sahabatku yang telah kau bunuh. Di antara kami, sudah pasti tak
ada yang bisa membalas perbuatanmu sekaligus... menghentikan sepak
terjangmu. Tetapi... kau tak akan memiliki waktu lama untuk berbangga dengan
hasil perbuatanmu ini...."
"Tak memiliki waktu lama" Kau benar-benar sudah gila, Bandung
Sulang! Manusia sekarat yang telah berubah pikiran!" balas Hantu Menara Berkabut
penuh ejekan. Bandung Sulang meringis. Bibirnya merapat dalam. Dengan mengumpulkan sisa tenaga
dan menahan sakit yang kian mendera, dia berkata terpatah-patah, "Malam ini...
menjelang ajalku, kau kukutuk, Orang Celaka! Kau tak akan bisa menikmati
keberhasilanmu ini! Karena kelak... seseorang yang merupakan darah daging dari
kami bertiga, akan datang untuk menuntut balas segala perbuatanmu!!"
Kilat menyambar. Guntur menyalak.
Hantu Menara Berkabut tertawa.
"Aku jadi ketakutan mendengar kutukanmu itu, Manusia sekarat! Hanya saja...
siapa orangnya yang merupakan darah daging di antara kalian bertiga"!"
"Kau tahu...!" seru Bandung Sulang, "Aku memang tak pernah beristri... demikian
pula Pendekar Harum. Tetapi.... Pendekar Lontar mempunyai istri dan... dia
mempunyai seorang anak!"
Tawa Hantu Menara Berkabut
seketika terputus. Dia menatap tajam pada Bandung Sulang yang sekarang
menyeringai. "Kau... nampak ketakutan sekarang!" ejeknya sambil menahan sakit.
Di saat dia berkata-kata darah hitam keluar dari mulutnya, tertelan lagi sedikit
yang membuatnya tersedak. "Aku tahu...
tentunya kau juga telah
mendengar kabar kalau.... Dewi Lontar telah tewas tanpa diketahui siapa
pembunuhnya...."
"Aku tahu siapa yang telah
membunuh Dewi Lontar. Dadung Bongkok.
Ratu Sejuta Setan pernah menceritakannya kepadaku ketika dia datang ke Menara
Berkabut," desis kakek berjubah jingga dalam hati.
Didengarnya lagi kata-kata Ban-
dung Sulang, "Dan tentunya... kau juga telah mendapat kabar... kalau putra
Pendekar Lontar dan Dewi Lontar lenyap begitu saja...."
"Ratu Sejuta Setan juga pernah menceritakannya kepadaku. Tetapi dia tidak
mengetahui ke mana lenyapnya putra Pendekar Lontar dan Dewi Lontar itu," desis
Hantu Menara Berkabut dalam hati.
Bandung Sulang terus memaksakan
dirinya untuk bicara, "Kutukanku akan dimulai malam ini... tak lama lagi, kau
akan mampus di tangan putra
Pendekar Lontar...."
"Keparat!!"
Hantu Menara Berkabut tak dapat
menahan lagi kegelisahan yang mendadak muncul yang kemudian berubah menjadi
kemarahan. Tangan kanannya dikibaskan.
Dessss!! "Aaaaakhhh!!"
Dalam keadaan'susah
payah dan kesakitan, Bandung Sulang masih dapat berguiing menghindari gelombang angin yang
mengarah padanya. Kendati demikian, paha kanannya terkena pula hantam itu yang
seketika terdengar suara berderak.
Hantu Menara Berkabut menggeram
dingin. "Kau tentunya telah menamengkan dirimu dengan tenaga dalam hingga kau tak mampus
sekaligus! Tetapi aku memang tak ingin meiihatmu mampus malam ini! Kau akan
menikmati kesakitanmu dalam keadaan sekarat selama satu hari lagi! Kau nikmatilah itu,
Bandung Sulang!"
"Dan kau tetaplah ingat-ingat kutukanku, Manusia Keparat!!" seru Bandung Sulang
penuh kemarahan.
Hantu Menara Berkabut tak
menghiraukan seruan itu. Dia langsung berkelebat meninggalkan tempat itu.
Sejenak dirasakannya kegelisahannya membesar setelah mengingat kalau putra
Pendekar Lontar kemungkinan besar
masih hidup. Di tempatnya, Bandung Sulang
masih tergolek dengan kesakitan yang kian dirasakannya.
* * * 3 HUJAN Telah berhenti begitu matahari sepenggalah tadi. Sisa butirannya masih
tersimpan pada dedaunan. Tanah becek berada di sana-sini. Menjelang siang hari,
sisa air hujan telah lenyap dari dedaunan, tetapi tanah becek masih menggenang.
Seorang pemuda berusia kurang
lebih tujuh belas tahun nampak sedang melangkah. Langkahnya begitu tenang.
Dia tak begitu menghiraukan tanah becek yang dilangkahinya. Kendati kulit
pengalas kakinya agak basah, tetapi tidak ada tanah yang menempel di sana.
Padahal tanah begitu becek.
Pemuda yang mengenakan rompi
berwarna ungu itu, tiba-tiba saja menghentikan langkahnya. Diarahkan
pandangannya pada tempat yang menarik perhatiannya. Astaga sorot matanya
sedemikian angker!
"Hemm... sejak tadi kulewati tempat ini, tak ada yang porak poranda seperti
ini...," desisnya pelan.
Diedarkan pandangannya ke sekeliling.
Dia melihat perbukitan yang menghijau.
Pemuda ini mengangkat tangan kanannya.
Saat itu pula terlihat sisik-sisik coklat sebatas siku pada lengan
kanannya itu. Sisik yang sama pun terdapat pada lengan kirinya. "Hmmm...
aku mencium bau amis. Amis darah...,"
desisnya kemudian sambil turunkan lagi tangan kanannya. Kembali pemuda ini
terdiam. "Aku masih harus melacak di manakah Menara Berkabut berada, tempat di mana
manusia iblis yang telah membunuh ayahku tinggal. Ah, aku masih pula harus
mencari orang bernama Dadung Bongkok, orang yang telah membunuh ibuku. Tapi... penciumanku tetap
mengatakan kalau ada bau amis darah. Nampaknya...."
Memutus kata-katanya sendiri, si pemuda yang rambutnya dikuncir ekor kuda ini
mendadak menoleh ke kanan.
"Ada orang yang datang...,"
desisnya. Baru saja dia mendesis demikian, sepasang matanya yang angker telah
menangkap satu kelebatan tubuh di kejauhan.
"Seorang gadis...," desisnya lagi. Semakin sama, kelebatan bayangan putih itu
semakin jelas. Seperti yang diduganya, orang yang berkelebat itu memang Seorang
gadis. Gadis berpakaian putih bersih dengan dua kuntum mawar merah pada atas
dada kanan kirinya itu
sudah menghentikan larinya. Tak ada desah
napas yang keluar. Bahkan
dadanya yang membusung itu sama sekaii tak bergerak. Sejenak sepasang mata indah
milik si gadis memandang tak berkedip pada pemuda di hadapannya.
"Aneh! Baru kali ini kulihat seseorang yang memiliki sisik-sisik coklat pada
kedua tangannya sebatas siku. Wajahnya sangat tampan! Tetapi sisik-sisik itu"
Duh Matanya begitu angker sekali, tetapi terkesan ramah!"
kata si gadis dalam hati.
Di pihak lain, pemuda bersisik
itu justru tersenyum.
Dia berkata sopan, "Kau nampak begitu tergesa, tetapi sekarang kau menghentikan
langkah. Apakah memang ada yang bisa kubantu?"
Si gadis masih memandangi si
pemuda, seolah tak mendengar apa yang dikatakannya.
Pemuda berompi ungu itu
tersernyum. Tanpa berkata apa-apa, dia menyingkir tiga langkah ke belakang,
memberi jalan pada si gadis.
Melihat apa yang dilakukan pemuda di hadapannya, gadis jelita berambut tergerai
itu segera berkata, "Maafkan atas keterdiamanku itu barusan." "Tak ada persoalan
apa-apa." "Sejak tadi pagi aku sudah melangkah, dan baru kali ini aku berjumpa
dengan seseorang. Sobat, barangkali kau bisa
menjawab pertanyaanku."
Si pemuda terdiam sejenak. Lalu
katanya, "Aku bukanlah orang yang patut dijadikan sebagai tempat bertanya,
karena aku sendiri baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini."
"Suaranya sopan. Berbeda jauh dengan tatapannya yang bikin orang keder," kata si
gadis dalam hati.
Kemudian katanya, "Kalau begitu, mengapa kau berada di sini" Nampaknya... di
sini tak ada buah-buahan bila ternyata kau memang sedang
mencari makanan untuk pengganjal perut?"
"Tidak sama sekaii. Aku hanya ingin berada di sini," sahut si pemuda sopan.
"Hemm... nampaknya dia memang baru pertama kali berada di sini.
Seperti diriku. Ah, ke mana aku harus mencari orang yang harus kubunuh. Guru
memerintahkan begitu. Karena dia telah menunggu selama dua belas tahun. Ah,
sudahlah... sebaiknya kuteruskan langkah...."
Habis membatin demikian, gadis
itu berkata, "Sobat... namaku Diah Harum. Guruku memberi julukan Dewi Bunga
Mawar. Siapakah namamu dan apakah julukanmu?"
Si pemuda tak segera menjawab.
Matanya yang memancarkan sinar angker itu memperhatikan si gadis di hada-
pannya. "Dua belas tahun aku menghuni Lembah Naga, belum sekaii pun berjumpa dengan
seseorang kecuali Guru. Dan sekarang... aku berjumpa dengan seorang gadis yang
kecantikannya melebihi kecantikan seorang bidadari...."
"Sobat! Sejak tadi kau banyak bicara, berarti kau tidak tuli. Tetapi sekarang,
kau terdiam seperti itu"!"
Kata-kata si gadis membuat si pemuda mengangkat kepalanya.
"Namaku Boma Paksi... julukanku Raja Naga...."
"Raja Naga?"
"Begitulah Guru memberikannya kepadaku."
"Hemmm... baiklah! Boma,.. kita berpisah di sini!" Si pemuda bersisik yang
ternyata adalah Boma Paksi murid Dewa Naga, menganggukkan kepalanya.
Kejap berikutnya, Diah Harum
alias Dewi Bunga Mawar segera berkelebat meninggalkan tempat itu.
Boma Paksi memperhatikan keper-
gian si gadis sampai menghilang dari pandangannya.
"Luar biasa, sungguh luar biasa!
Kecantikannya penuh pesona tiada tara!
Ah, bila saja aku tidak penasaran ingin mengetahui dari mana asal bau darah ini,
sudah tentu aku akan banyak bertanya tentang dirinya. Nampaknya
Diah Harum sedang mencari sesuatu atau seseorang mengingat sikapnya yang
tergesa." Kejap lain Raja Naga sudah
menyusuri tempat itu. Tangan kanannya sebatas siku yang penuh sisik coklat
kembali diangkat.
"Menurut ilmu "Rabaan Naga', bau amis itu berasal dari arah barat. Aku harus ke
sana...." Dengan berhati-hati pemuda tampan berompi ungu ini terus melangkah, sampai
kemudian dia menemukan seorang kakek yang sedang terbaring dengan darah yang
keluar dari sekujur pori-porinya.
"Astaga!" seru Raja Naga terkejut. Segera dia menghampiri si kakek yang bukan
lain Bandung Sulang.
Bandung Sulang masih dalam ke-
adaan sekarat. Perlahan-lahan kakek ini membuka kedua matanya takkala merasa ada
tangan yang meraba keningnya.
Sejenak Bandung Sulang terkejut melihat tangan yang meraba keningnya.
"Astaga! Dewa Naga... mengapa...
mengapa kau jadi... sedemikian muda"
Mengapa sisik-sisik hijaumu telah berubah menjadi coklat...."
Ucapan si kakek membuat kening
Raja Naga berkerut.
"Hemm... dari kata-katanya, jelas kalau kakek sekarat ini mengenai
guruku. Dia menyangka aku adalah Dewa Naga," katanya dalam hati. Lalu berkata,
"Jangan banyak bicara dulu.... Kau dalam keadaan terluka parah, Kek...."
"Dewa Naga... suaramu mengapa berubah" Kau... apakah kau... sudah menjadi...
orang suci sekarang?" suara Bandung Sulang begitu lambat. Lalu kakek ini
terbatuk-batuk. Darah keluar dari mulutnya.
Raja Naga mendesis pelan, "Aku bukan Dewa Naga, Kek. Aku adalah muridnya...."
"Muridnya" Gila! Gila! Bagaimana mungkin... dia... dia bisa mau menurunkan
seluruh... ilmu yang dimilikinya?"
Raja Naga tak menghiraukan per-
tanyaan bernada sinis itu. Bandung Sulang terbatuk-batuk lagi.
Dengan hati-hati Raja Naga meme-
gang dada si kakek. Lalu dialirkan tenaga dalamnya. Tetapi baru sekejap dia
melakukan, si kakek sudah geleng-gelengkan kepala.
"Anak muda... dari hawa panas yang kurasakan... kau nampaknya...
sedang... sedang mencoba mengobati-ku... huk huk huk...."
"Jangan banyak bicara dulu, Kek..."
"Kuucapkan... terima kasih... huk huk huk... tapi ketahuilah... usahamu
ini... akan sia-sia belaka...."
Boma Paksi tak menghiraukan kata-kata si kakek, dia terus mengalirkan tenaga
dalamnya dengan hati bertanya-tanya, siapakah gerangan orang yang telah
mencelakakan kakek ini"
Tetapi justru dia yang tercekat, karena darah yang mengalir dari
seluruh pori-pori yang ada pada tubuh si kakek, semakin deras. Melihat hal itu,
seketika Raja Naga menghentikan tindakannya.
"Kek! Mengapa jadi demikian?"
Aku... aku telah keracunan... sulit...
sulit sikali.., mengobati keracunan-ku... kecuali... kecuali Dewa....
Segala... Obat...."


Raja Naga 02 Kutukan Manusia Sekarat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejenak kepala Boma Paksi
menegak. "Dewa Segala Obat" Aku juga harus mencarinya untuk mengetahui bagaimana caranya
Hantu Menara Berkabut membunuh ayahku. Dan kakek ini" Apa yang bisa kulakukan
untuknya" Mengalirkan tenaga dalam guna menambah kekuatannya, malah justru
mencelakakannya...."
Lamat-lamat dia melihat si kakek yang sesekali tersedak berkata,. "Anak
muda..aku tak tahu... apakah... apakah aku tepat mengadukan hal... ini...
padamu.... Ketahuilah... aku... aku...
telah mengutuk manusia... keparat...
yang telah... mencelakakanku... huk huk huk.... Dia...:dia akan... mampus
di tangan... putra.. Pendekar Lon..."
Belum habis kata-katanya, Bandung Sulang terbatuk-batuk keras. Tersedak beberapa
kali. Darah kental hitam banyak keluar.
"Tak usah kau meneruskan ucapanmu sekarang! Kau..."
Ganti Boma Paksi yang memutuskan kata-katanya. Karena dilihatnya kepala si kakek
terkulai ke samping kanan.
Melihat hal itu, pemuda dari Lembah Naga ini menarik napas panjang.
"Dia tak kuasa menahan luka yang dideritanya.... Siapa sebenarnya si kakek ini"
Tadi dia mengatakan...
kalau dia... telah mengutuk si
pembunuh yang akan tewas di tangan putra seorang pendekar. Sayang, dia tak bisa
meneruskan ucapannya. Bahkan, dia juga belum mengatakan siapa yang telah
mencelakakannya...."
"Bagus! Berani berbuat, harus berani bertanggung jawab! Pemuda bersisik siapakah
kau adanya"!"
bentakan itu tiba-tiba terdengar dari samping kanan.
Boma Paksi alias Raja Naga segera mengangkat kepalanya. Perlahan-lahan dia
berdiri. Ditatapnya perempuan setengah baya berkonde mencuat yang sedang membuka
mata penuh amarah itu dengan sek-sama. Sadar akan arti tatapan itu, Boma Paksi
segera tersenyum. Lalu berkata, "Dari ucapanmu, kau menyangka kalau akulah yang telah melakukan
pembunuhan ini! Kau salah besar!"
"Tutup mulutmu!" bentak si nenek berpakaian batik dengan suara keras.
Dia akan bersuara lagi, tetapi
mendadak saja dikatupkan. "Gila!
Tatapannya itu begitu angker
mengerikan! Lebih gila lagi jantungku menjadi lebih cepat berdetak! Astaga!
Siapakah pemuda berompi ungu ini"!"
Murid Dewa Naga berkata,
"Perempuan berkonde... apa yang kau lihat ini jauh berbeda dengan
sangkaanmu! Aku memang datang lebih dulu darimu di sini. Bahkan aku sempat
berbicara walaupun menurutku tak berarti banyak dengan kakek yang di saat
kutemukan masih hidup dalam keadaan sekarat! Dan bukan aku yang telah
membunuhnya!"
"Di sini tak ada orang lain kecuali kau! Jadi, tak ada gunanya kau putar ucapan
dan kenyataan!"
"Sekaii lagi kukatakan, aku bukan pembunuhnya!" Perempuan setengah baya berkonde
mencuat,Ini terdiam dengan dada yang entah kenapa berdebar.
"Astaga! Suaranya begitu dingin dan angker. Ada satu kekuatan yang meresap dan
membara dalam suaranya.
Siapakah pemuda ini" Sosoknya begitu mengerikan!"
Habis membatin demikian, si
perempuan berkata, "Aku tak peduli siapa kau adanya! Tetapi aku hanya minta satu
pengakuan dari mulutmu!"
"Apa yang kukatakan tadi adalah sebuah pengakuan tentang kebenaran!"
"Keparat! Kau benar-benar hendak kuhajar!"
Belum lagi habis terdengar
bentakannya, tangan kanan si perempuan berkonde mencuat ini sudah didorong ke
depan. Menghampar gelombang angin
berkekuatan tinggi yang diliputi asap hitam ke arah si pemuda.
Raja Naga menjerengkan matanya.
Tanpa berkedip dia mendehem.
"Heeemm!"
Blaaaarrr!! Gelombang angin yang menggebrak
ke arahnya itu mendadak saja putus di tengah Jalan, bermuncratan ke sana kemari.
Perempuan tua berkonde mencuat
terbelalak. "Gila!" serunya tertahan. Untuk beberapa saat dia tak melakukan
tindakan apa-apa.
"Nenek berkonde mencuat! Aku mengatakan apa yang sebenarnya
terjadi! Sebaiknya, kau terima apa yang kukatakan! Juga lebih baik, kita
menguburkan mayat kakek yang nampaknya kau kenal ini!"
SI nenek masih terbelalak, seolah
tak mendengar kata-kata si pemuda.
"Benar-benar gila! Tak kulihat sama sekaii dia bergerak atau
menghindar! Dia hanya mendehem saja!
Tapi, seranganku putus di tengah jalan! Gila! Tenaga apa yang telah memutuskan
seranganku itu"!" seru si perempuan dalam hati. Lalu berseru,
"Pemuda bersisik! Siapakah kau sebenarnya"!"
"Namaku Boma Paksi!"
"Apa julukanmu"!"
"Untuk saat ini, sebaiknya kau mengenalku dengan nama asliku. Tak ada yang
kurahasiakan sama sekali! Dan kuharap, kau tak salah sangka dengan tindakanku
ini! Nenek berkonde... aku sudah memperkenalkan diriku, apakah kau merasa rugi
bila memperkenalkan diri juga?"
Perempuan setengah baya berpa-
kaian batik itu memandang pemuda di hadapannya dalam-dalam. Keheranannya karena
serangannya begitu mudah dipatahkan si pemuda, masih dalam
membekas. "Kau boleh mengenalku dengan sebutan Nenek Konde Satu! Aku datang dari tempat
yang jauh dengan maksud mengunjungi sobatku yang kini telah menjadi mayat,
Bandung Sulang!"
"Bila kau masih penasaran hendak mengetahui siapa pembunuhnya, untuk saat ini
aku tak bisa menjawab! Nenek
Konde Satu! Aku masih ada urusan yang harus kuselesaikan! Sebaiknya, kita
kuburkan mayat sobatmu ini!"
Tanpa menunggu jawaban Nenek
Konde Satu, pemuda dari Lembah Naga ini segera mengambil seb-tang ranting.
Dengan ranting itulah dia menggali tanah becek yang dalam waktu tiga kejapan
mata sudah membentuk sebuah lubang.
Lalu mengubur mayat Bandung
Sulang. Nenek Konde Satu hanya memper-
hatikan. Dia masih tak percaya
bagaimana mudahnya pemuda itu memutuskan serangannya.
"Lengannya sebatas siku penuh sisik coklat. Apakah... apakah dia ada hubungannya
dengan Dewa Naga"
Seingatku, hanya Dewa Nagalah satu-satunya manusia yang memiliki sisik, tetapi
warna hijau! Dan tatapan mata pemuda
itu... gila! Benar-benar
angker! Tetapi jelas kalau dia
memiliki kelembutan pula!"
Raja Naga mengangkat kepalanya.
"Sebelum kita berpisah, aku hendak bertanya padamu! Tahukah kau di mana Menara
Berkabut berada"!"
Kepala Nenek Konde Satu menegak.
Matanya tak berkedip. Masih dalam posisi seperti itu dia berkata, "Mengapa kau
mencari Menara Berkabut" Ada urusan apa kau dengan manusia keji
yang berdiam di sana"!"
"Itu urusan pribadiku! Bila kau bisa mengatakan di mana Menara
Berkabut berada, aku tidak akan pernah melupakan budi baikmu! Kelak... pasti
akan kubalas!"
"Suaranya berubah dingin dan dalam. Tatapannya makin angker. Ah, pemuda ini
nampaknya memang punya urusan yang tak bisa dilepaskan!
Tentunya... dengan Hantu Menara
Berkabut!" kata Nenek Konde Satu dalam hati.
Kemudian berkata, "Sungguh
kebetulan sekali kau bertanya soal itu. Karena, aku sendiri juga hendak menuju
ke sana!" "Berarti... kau tahu di mana Menara Berkabut berada?" tanya si pemuda terburu.
Perempuan tua berkonde mencuat
ini menggelengkan kepala
"Aku datang mengunjungi Bandung Sulang, untuk menanyakan dimanakah Menara
Berkabut berada" Tapi sayang, dia sudah keburu mampus!"
Nenek Konde Satu melihat pancaran angker si pemuda agak meredup. Kendati
demikian tak mengurangi kengerian siapa pun yang melihatnya.
"Ya, sungguh sayang...," kata Raja Naga pelan sambil mengangguk.
Kemudian sambungnya, "Kita sama-sama punya urusan di Menara Berkabut,
sebaiknya.. kita cari di mana Menara Berkabut itu berada!"
Habis ucapannya, pemuda bersisik ini sudah berkelebat cepat. Rambut panjangnya
yang diikat ekor kuda itu berlompatan.
Wuusss!! Nenek Konde Satu yang berdiri
agak jauh dari sana, tersentak karena merasa desiran angin yang keluar di saat
si pemuda berkeiebat.
"Luar biasa! Siapa pemuda itu sebenarnya"! Dia merahasiakan julu-kannya,
tentunya untuk sembunyikan sesuatu! Gila! Sungguh gila!" desisnya terheran dan
terkagum. Lalu digeleng-gelengkan kepalanya. "Pemuda itu juga hendak mencari
Menara Berkabut! Jelas dia punya persoalan dengan Hantu Menara Berkabut! Bandung
Sulang telah tiada! Sulit mencari tempat bertanya lagi! Mungkin, tinggal Dewa
Naga dan Dewa Segala Obat yang mengetahui tempat itu! Tapi... mencari keduanya
sama saja dengan mencari jarum di tumpukan jerami!"
Perempuan tua berkonde mencuat
ini masih menggeleng-gelengkan kepala.
Wajahnya terlihat agak jengkel. Tak lama kemudian, dia segera meninggalkan Bukit
Gulungan. *** 4 MATAHARI kembali memancarkan
sinar beningnya di awal perjalanannya.
Warna keemasan terpantul indah pada sebuah sungai. Di sekeliling sungai yang
mengalirkan air jernih dan tak memperdengarkan suara bergemuruh, tumbuh
pepohonan yang sebagian akarnya banyak masuk ke dalam air. Ranggasan semak
belukar setinggi dada menghiasi tempat itu.
Lelaki bertubuh pendek, gemuk
kekar yang mengenakan pakaian warna biru terbuka di bagian dada, hingga tak bisa
menutupi perut gemuknya, hanya berdiri membelakangi sungai. Tak ada suara yang
keluar dari mulut lelaki gemuk itu. Karena lemak yang berlebihan di setiap inci
tubuhnya, tak terlihat adanya kerutan atau keriput, padahal usia si kakek sudah
mencapai tujuh puluh dua tahun. Sebuah tombak berwarna biru tergenggam di tangan
kanannya yang gempal, lebih tinggi dari tubuhnya.
"Sebelum matahari terbit, aku sudah berada di sini. Tetapi, kakek berambut
jarang itu belum juga datang.
Apakah dia sudah melupakan pertemuan ini" Atau, justru aku yang salah tempat
itu?" kakek bertubuh gempal ini memandang sekelilingnya. "Tldak! Aku tidak salah
tempat! Tempat inilah di
mana terakhir kalinya aku bertemu dengan kakek berambut jarang itu!"
Belum habis kata-kata si kakek
bertubuh gempal, satu suara telah terdengar, "Dewa Tombak! Maafkan
keterlambatanku!"
Dewa Tombak segera memutar kepala ke samping kanan. Dia langsung
menyeringai begitu melihat satu sosok tubuh berpakaian compang-camping telah
berdiri sejarak delapan langkah.
"Kau memang selalu terlambat! Dan aku merasa pasti, alasanmu lagi-lagi tentunya
karena kau harus mengobati pasienmu!"
Kakek berpakaian ungu
compang camping itu mengangguk-anggukkan kepalanya yang jarang ditumbuhi rambut. Di
pinggangnya yang kurus, menyantel sebuah pundi kecil.
Sambil berjalan si kakek berkata,
"Dua belas tahun sudah berlalu, usia kita kini sudah bertambah sebanyak dua
belas tahun! Tetapi kau tetap tak jauh berubah, Dewa Tombak!"
"Selain keahlianmu dalam bermacam penyakit dan penemuanmu dalam segala obat, kau
rupanya pandai memuji juga!
Dewa Segala Obat! Apakah kau belum juga menemukan jejak di manakah putra
mendiang Pendekar Lontar berada?"
Dewa Segala Obat menggeleng.
"Dua belas
tahun aku mencoba
melacak jejaknya, tetapi gagal
kutemukan! Bagaimana dengan kau
sendiri"!"
"Aku juga mengalami nasib yang sama! Selama itu pula aku tak
menjumpai di manakah putra mendiang Pendekar Lontar dan Dewi Lontar
berada!" "Sampai saat ini, aku masih menyesal, mengapa aku tak segera mengatakan pada
Dewi Lontar, siapakah orang yang telah membunuh suaminya!"
"Kau juga belum mengatakannya kepadaku"! Sekarang, apakah kau mau membuka
rahasia yang selama dua belas tahun kau simpan"!"
Dewa Segala Obat mengangguk-
anggukkan kepalanya.
"Ya! Mungkin sudah terlambat, tetapi tak ada salahnya bila kukatakan sekarang!"
"Katakan!"
"Seperti hasil yang kudapatkan setelah memeriksa tubuh Pendekar Lontar dua belas
tahun yang lalu. aku berkesimpulan, kalau yang membunuhnya adalah Hantu Menara
Berkabut!"
Kepala Dewa Tombak menegak.
"Hantu Menara Berkabut"!"
"Demikianlah kesimpulanku!"
Dewa Tombak tak segera membuka
mulut. Kening kakek gemuk ini
berkerut. Lamat-lamat seraya memandangi Dewa Segala Obat, Dewa Tombak berkata,
"Aku ingat kalau Pendekar
Lontar pernah mengalahkan manusia itu!
Aku juga Ingat, Hantu Menara Berkabut pun pernah dikalahkan oleh Bandung Sulang
dan Pendekar Harum! Bagaimana kau bisa berkesimpulan demikian"!"
"Racun yang mengakibatkan kematian Pendekar Lontar, merupakan
gabungan dari puluhan bisa ular
mematikan! Dan ular-ular itu hanya bisa didapatkan di sekitar Menara Berkabut!"
Kedua kakek ini tak ada yang
bersuara. Air sungai tetap mengalir jernih. Perlahan-lahan matahari pun semakin
naik. Sinarnya tak secemerlang tadi, karena sudah terdapat sengatan yang cukup
panas. "Seperti janjiku pada Dewi
Lontar, setelah penguburanjenazah suaminya, aku akan datang lagi
menjumpainya. Tetapi yang kutemukan, hanyalah jenazahnya belaka sementara
putranya sudah tidak ada di tempat.
Setelah itu kau datang dan menanyakan sebab-sebab kematian Dewi Lontar yang tak
bisa kujawab. Dewa Segala Obat, sampai hari ini, aku juga masih
dibingungkan dengan kematian Dewi Lontar. Siapakah yang telah membunuh perempuan
perkasa itu?"
Dewa Segala Obat menggelengkan
kepalanya. "Saat ini yang terbaik menurutku, kita harus mencari di manakah putra
mereka yang bernama Boma Paksi!
Mungkin agak sulit untuk menemu-


Raja Naga 02 Kutukan Manusia Sekarat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kannya!" "Bagaimana bila ternyata bocah itu juga telah tewas di tangan si pembunuh?"
"Tidak! Aku merasa pasti dia belum mati"
"Karena kita tak menemukan
mayatnya selain mayat Dewi Lontar?"
"Kira-kira demikian!"
"Bagaimana kalau ternyata si pembunuh membawanya dari tempat itu dan membunuhnya
di tempat yang tersembunyi" Mengubur atau membuang mayatnya ke dasar jurang, sangat sulit kita
temukan!" Kata-kata Dewa Tombak membuat
kakek berpakaian compang-camping itu terdiam.
"Apa yang kau katakan memang benar! Yah... kalau memang demikian, berarti
habislah penerus dari Pendekar Lontar dan Dewi Lontar!"
Kembali tak ada yang bersuara.
Angin pagi yang sejuk telah berubah menjadi sedikit menyengat, karena sinar
matahari yang sudah sepenggalah lewat, telah dapat menerobos rangkaian pepohonan
di tepi sungai sana.
Tiba-tiba Dewa Segala Obat
berkata, "Bagaimana dengan satu kemungkinan lain?"
"Kemungkinan apa?"
"Menurutmu.... Dewa Naga juga berada di sana."
"Ya! Dia memang berada di sana, tetapi dia telah meninggalkan tempat itu dengan
paras kecewa! Tentunya ada yang membuatnya kecewa!"
"Kau tahu apa sebabnya?"
"Dewa Naga menghendaki Boma Paksi menjadi muridnya. Tetapi Dewi Lontar
menolaknya."
"Mengapa?"
"Aku tak bertanya lebih jauh dengannya. Hanya yang bisa kuduga, karena saat itu
Dewi Lontar masih berada dalam kesedihannya. Tentunya dia akan makin sedih bila
berpisah dengan putranya. Kau tahu, bila saat itu Pendekar Lontar tidak
meninggal, mungkin Dewi Lontar akan mengizinkan anaknya berguru atau mewarisi
seluruh ilmu Dewa Naga. Dan menurutku...."
Dewa Segala Obat memutus kata-
katanya sendiri.
Sepasang mata bulatnya memandang Dewa Segala Obat. Yang dipandang seperti
mengerti apa yang terpancar dari pantiangan itu.
Dewa Tombak berkata, "Maksud-mu.... Dewa Naga yang telah membawa putra mereka?"
"Itulah satu-satunya jawaban yang dapat diterima pula!"
"Tetapi dia sudah meninggalkan tempat penuh kekecewaan."
"Kita tahu, Kakang Segala Jaka adalah orang yang angin-anginan. Dia bisa tiba-
tiba marah dan bisa bersikap lebih konyol dari siapa pun. Tak mustahil kalau
kemudian dia datang kembali, kali ini dengan maksud untuk mengambil langsung
tanpa permisi putra Dewi Lontar."
Kata-kata Dewa Tombak membuat
Dewa Segala Obat terdiam. Dan masing-masing orang untuk beberapa lama tak ada
yang buka suara. Sampai Dewa Segala Obat berkata lagi,
"Kalau begitu... bagaimana bila kuusulkan sebaiknya kita segera
mendatangi Menara Berkabut?"
"Usul yang bagus! Tetapi sebelumnya, aku ingin menjumpai Bandung Sulang maupun
Pendekar Harum! Mereka pernah mengalahkan Hantu Menara
Berkabut! Bila memang Hantu Menara Berkabut datang untuk membalas dendam,
keduanya pun tak akan luput dari dendam yang merejam dirinya!"
Dewa Segala Obat mengangguk.
"Kalau begitu... kau pergilah menjumpai Bandung
Sulang dan aku menjumpai Pendekar Harum! Kau ingat tempat di mana dulu kita pernah
bertemu?" "Maksudmu... di Gunung Menjangan?"
"Ya! Kita akan berjumpa di sana sepuluh hari di muka!"
Setelah berbicara beberapa saat, kedua tokoh itu pun segera berkelebat ke arah
yang berbeda. Siang terus beranjak menuju senja.
* * * 5 MENCARI sesuatu atau seseorang
yang belum diketahui tempatnya maupun rupanya memang laksana mencari jarum di
tumpukan Jerami. Sudah tiga hari Raja Naga meninggalkan Lembah Naga untuk
mencari pembunuh ayah dan
ibunya. Dan di hari yang keempat ini, dia belum juga menemukan jejak yang
berarti. "Nenek Konde Satu yang pernah kujumpai beberapa hari lalu,
sebenarnya punya tujuan yang sama denganku, mencari
Hantu Menara Berkabut yang berdiam di Menara
Berkabut. Seharusnya aku bisa melacak tempat itu bersama-sama dengannya.
Tstapi, ah... masih banyak yang harus kupercimbangkan ketimbang melangkah
bersamanya. Masih untung dia mau mengerti kalau bukan akulah yang telah membunuh
sahabatnya yang bernama Bandung Sulang," kata pemuda berusia tujuh belas tahun
ini. Pancaran matanya yang dingin dan angker diedarkan ke sekeliling.
Memandang ranggasan semak dan jalan setapak yang tumpang tindih.
Untuk beberapa saat Raja Naga
terdiam. Otaknya diputar untuk
menentukan jalan mana yang harus ditempuh. Tetapi karena tak tahu harus ke mana,
dia lagi-lagi merasa buntu.
"Huh! Sesulit apa pun, aku harus menemukan Hantu Menara Berkabut dan Dadung
Bongkok! Kedua manusia itulah yang menjadi musuh utamaku saat ini!"
Tiba-tiba Raja Naga menoleh ke
kiri. Dia melihat dua sosok tubuh berkelebat cepat.
"Hei! Kupikir hanya aku seorang diri di tempat sunyi ini. Tetapi ada dua orang
berkelebat yang sempat kulihat jubah masing-masing berwarna hijau"
Belum lagi Boma Paksi memikirkan lebih jauh tentang siapa kedua orang yang
dilihatnya, dia kembali melihat dua sosok tubuh berkelebat cepat ke arah kedua
orang yang berkelebat tadi.
Bahkan dia sempat mendengar salah seorang yang menyusul itu berseru,
"Ke mana pun kalian pergi, kalian tak akan pernah luput dari kematian!"
Ditempatnya Raja Naga terdiam
dengan kening berkerut.
"Astaga! Ada apa ini" Jelas sekali kalau kedua orang yang
berkelebat betakangan itu sedang menyusul dua orang berjubah hijau yang
berkelebat lebih dulu! Hemm...
tentunya telah terjadi sesuatu di antara mereka! Sebaiknya aku melihat apa yang
sebenarnya terjadi!"
Memutuskan demikian, pemuda yang kedua tangannya sebatas siku dipenuhi sisik-
sisik coklat ini sudah berkelebat. Dalam waktu singkat dia dapat melihat
bayangan dua orang yang
mengejar dua orang berjubah hijau.
"Jarak telah diperpendek! Dua orang pengejar itu nampaknya tak lama lagi akan
dapat mengejar sekaligus melampaui kedua orang berjubah hijau itu!" desisnya.
Apa yang diperkirakan Raja Naga
memang benar, karena mendadak saja dua pengejar itu telah melenting ke udara,
berputar dua kali dan berdiri sejarak sepuluh langkah dari hadapan dua orang
berjubah hijau yang berlari di depan.
Begitu kedua kaki masing-masing orang hinggap di tanah, mereka langsuhg berbalik
dan memasang wajah angker.
Salah seorang dari pengejarnya
yang berkepala botak di tengah tetapi rambut lainnya panjang tergerai ke
belakang, sudah memperlihatkan seri-ngaiannya.
"Tak ada lagi tempat untuk
melarikan diri selain menuju ke
neraka! Dua Serangkai Jubah Hijau...
hari ini juga kalian akan mampus!!"
Dua kakek berpakaian kuning yang
mengenakan jubah hijau itu perlahan-lahan mundur dua tindak ke belakang.
Wajah masing-masing orang yang serupa satu sama lain, pucat pasi. Yang pada
keningnya terdapat sebuah tahi lalat yang dapat dijadikan sebagai pembeda dari
yang seorang lagi, nampak sedang menekap dadanya kuat-kuat. Dari
bibirnya masih mengalir darah segar.
Di pihak lain yang seorang lagi
hampir-hampir tak bisa menguasai keseimbangannya.
Yang ada tahi lalat di keningnya berbisik, "Sema Kuriang... bertahan-lah... kita
jangan sampai mampus di tangan mereka...."
Sema Kuriang meringis nyeri.
"Gala Kuriang, kita tak mungkin bisa menghadapi keduanya...."
"Peduli setan! Sebelum kita menemukan putra Pendekar Lontar, kita jangan mati
dulu!" Di balik ranggasan semak, Raja
Naga yang memutuskan untuk bersembunyi mengerutkan keningnya mendengar ucapan
keduanya. Dia mendengarkan lagi.
"Tetapi rasanya... kita tak akan pernah menemukan putra mendiang
Pendekar Lontar. Mungkin... saat ini dia sudah bersama Dewa Segala Obat atau
Dewa Tombak...."
Sebelum Sema Kuriang menyahut,
kakek berkepala botak di.tengah tadi sudah mendesis dingin, "Dendam lama
telah terkuak! Dua belas tahun lalu kami gagal membunuh kalian karena seseorang
tak dikenal telah menyelamatkan kalian! Tetapi sekarang, kalian tak akan bisa
memohon bernapas lebih lama...."
Dua Serangkai Jubah Hijau tak ada yang membuka mulut. Mereka sama-sama menahan
sakit dan berusaha untuk mengalirkan tenaga dalam. Kendati keadaan mereka sudah
tak memungkinkan, tetapi keduanya tak ingin mati lebih dulu.
Lelaki berjubah hitam berkepala
plontos, dan terdapat tanda matahari tepat di ubun-ubunnya, angkat bicara,
"Iblis Penghancur Raga! Mengapa harus berlama-lama lagi"! Membunuh keduanya
adalah pekerjaan yang harus kita lakukan! Agar mereka mengerti siapa kita
adanya"!"
Kakek berjenggot dikepang itu
melirik pada temannya. Lalu sambil mengarahkan kembali pandangannya pada Dua
Serangkai Jubah Hijau yang sudah memucat dia berkata dingin,
"Kau benar, Iblis Telapak Darah.
Kita bunuh keduanya!!"
Habis ucapannya, Iblis Penghancur Raga segera menerjang ke depan, ke arah Sema
Kuriang. Di pihak lain, Iblis
Telapak Darah melancarkan
serangan ganasnya pada Gala Kuriang ( Teman-teman pembaca bisa membaca
episode pertama dari serial Raja Naga;
"Tapak Dewa Naga", untuk mengetahui siapakah orang-orang ini).
Kendati mereka telah terluka
parah, Dua Serangkai Jubah Hijau masih berusaha untuk menyelamatkan diri.
Iblis Penghancur Raga mendengus
begitu melihat Sema Kuriang berhasil memutuskan serangannya. Tanpa surutkan
kecepatannya tiba-tiba ditepukkan kedua tangannya.
Blaaaarrr!! Wrrrrr!! Letupan terdengar, menyusul meng-gebraknya hamparan angin bergemuruh.
Melihat hal itu, wajah Sema Kuriang memucat. Lintang pukang dia menghindar!
ganasnya serangan lawan.
Jlgaaaarrr!! Sebatang pohon langsung hangus
terkena gelombang angin Iblis Penghancur Raga. Kejadian itu membuat kakek
berompi biru ini menggeram sengit.
"Kau masih dapat menghindar rupanya!"
Terhuyung-huyung Sema Kuriang
menyahut, "Ilmu Penghancur Ragamu tak memiliki kekuatan berarti!"
"Terkutuk! Kukirim nyawamu ke akhirat!!"
Di pihak lain lelaki berkepala
plontos dan berjubah hitam itu sudah mengangkat kedua telapak tangannya tinggi-
tinggi saat menerjang. Lalu
secara tiba-tiba diturunkan kedua telapak tangannya dengan cara
menyentak! Angin dibaluri asap merah melesat ke arah Gala Kuriang yang memekik tertahan.
Dengan sisa tenaganya dia berputar ke belakang menghindari serangan lawan.
Kedua kakinya goyah begitu
menginjak tanah kembali. Dia hampir saja tak bisa mengendalikan keseimbangannya.
Dengan kekerasan hati dia berhasil mengimbangkan lagi kedudukannya. Segera
dagunya diangkat ke arah Iblis Telapak Darah. Saat itu juga dilihatnya kedua
telapak tangan kakek berkepala plontos memancarkan sinar warna merah. Lalu
terlihat tetesan darah dari sana. Angker dan menyebarkan bau busuk.
"Celaka! Dia sudah mengeluarkan ilmu 'Telapak Darah'nya! Okh! Rasanya akan sulit
untuk bertahan lebih lama!
Celaka! Betul-betul celaka! Mengapa kami harus berjumpa dengan dua jahanam
ini"!" serunya dalam hati.
Belum lagi dia memutuskan untuk melakukan tindakan apa pun guna
mengatasi serangan lawan, Iblis
Telapak Darah sudah menerjang. Kedua telapak tangannya yang meneteskan darah,
didorong ke atas.
Sinar merah bergelombang muncrat Memperdengarkan suara berdenging
menggiriskan. Lalu laksana anak panah muncratan sinar merah yang masih
meneteskan darah mendadak meluncur ke arahnya, berkelok-kelok dengan suara
berdenging-denging.
Jgaaarrr!! Tanah dimana tadi Gala Kuriang
berdiri, langsung retak lebar. Belum lagi Gala Kuriang yang berhasil
menghindarkan serangan lawan berdiri tegak, sinar merah yang meneteskan darah
itu mendadak muncrat kembali ke udara.
Dua Serangkai Jubah Hijau memang harus mati-matian mempertahankan selembar nyawa
milik mereka. Tetapi sekeras apa pun yang keduanya lakukan, mereka tetap tak
akan bisa menghindari serangan-serangan kedua lawannya.
Karena luka dalam yang mereka derita semakin menyakitkan!
Saat ini iblis Penghancur Raga
dan Iblis Telapak Darah sudah meluncur dengan ilmu masing-masing, siap
mengantar Dua Serangkai Jubah Hijau ke akhirat! Wajah Dua Serangkai Jubah Hijau
sendiri sudah memucat laksana mayat. Dada mereka turun naik dengan napas
memburu. Butiran keringat
sebesar jagung sudah turun membasahi wajah masing-masing orang.
Namun mendadak saja satu sosok
tubuh mencelat dari balik ranggasan semak. Tak ada desir angin apa-apa di
saat sosok tubuh itu melesat. Tak ada tanda-tanda ranggasan semak di mana tadi
dilewati oleh sosok tubuh itu bergerak.
Kejap kemudian....
Jlegaaarr!! Blaaaarrrl! Dua serangan ganas dari Iblis
Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah putus di tengah jalan. Benturan dahsyat
itu membuat tanah terbongkar ke udara dan beberapa buah pohon tumbang. Tempat
itu laksana dilanda topan dahsyat. Untuk beberapa saat pandangan masing-masing
orang ter-halang.
Tatkala tanah-tanah itu surut
kembali, terlihat sosok Iblis
Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah telah mundur
sejarak lima langkah. Masing-masing orang saat ini sedang
berpandangan dengan wajah
terhenyak. Lalu tanpa sadar keduanya memandangi sekujur tubuh mereka.
Saat lain keduanya sudah
mengangkat kepala ke depan. Mereka melihat seorang pemuda sudah berdiri di
tengah-tengah Dua Serangkai Jubah Hijau yang juga sedang memandangi pemuda yang
menolong mereka. Tadi begitu mendengar benturan dahsyat, keduanya merasakan
kalau punggung mereka ditarik ke belakang oleh
seseorang. Dan sekarang, orang yang
ternyata seorang pemuda itu sudah berdiri di tengah-tengah mereka.


Raja Naga 02 Kutukan Manusia Sekarat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Astaga! Siapakah pemuda ini"
Wajahnya begitu tampan, tetapi kedua lengannya sebatas siku bersisik
coklat. Tadi... astaga! Dia memutuskan dua ilmu mengerikan dari Iblis
Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah sekaligus! Dan sekarang dia tak kurang
suatu apa," desis Sema Kuriang dalam hati.
"Wajah pemuda ini
sebenarnya tampan, tetapi tatapannya... sangat dingin dan mengerikan. Bibirnya
tersenyum, memperlihatkan kalau dia sebenarnya seseorang yang penuh canda.
Ah, siapakah pemuda yang secara tiba-tiba muncul dan menolong kami Ini?"
batin Gala Kuriang.
Di pihak lain Iblis Penghancur
Raga sudah berseru setelah hilang keterkejutannya, "Pemuda bersisik mau mampus!
Sebutkan siapa kau adanya sebelum kubuat lumat tubuhmu!!"
Pemuda yang tadi melompat dan
mematahkan serangan Iblis Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah hanya
tersenyum. Kendati demikian, tatapannya yang angker cukup menyiutkan hati yang
melihatnya. "Aku hanyalah seorang pengembara yang kebetulan lewat di tempat ini!
Dan sungguh kebetulan lagi kalau aku tak pernah menyukai tindakan semena-
mena ini!".
"Tatapannya itu... seperti
mengandung kekuatan magis yang dapat merontokkan nyali lawan! Keparat!
Siapa pun dia adanya, aku tak peduli!
Dia telah masuk kalangan dan telah mengacaukan semua niatku!" geram Iblis
Penghancur Raga dalam hati. Dengan angkuh diangkat dagunya dan berseru,
"Kau tak tahu urusan dan telah lancang mencampuri! Apakah salah bila aku
menghajar sampai mampus"!"
"Urusan salah atau tidak, rasanya tak ada yang bisa tentukan saat ini!
Yang pasti, aku menghehdaki kalian berdamai dan menghentikan pertikaian ini"
"Pemuda celaka! Sikapmu seperti kau sudah berada di atas langit!
Sebutkan Julukan"!" geram Iblis Penghancur Raga dengan tubuh menggigil karena
amarah "Aku tidak tahu apakah julukanku ini sudah kau dengar atau belum!
Tetapi tak ada salahnya bila kau mendengarnya! Guruku memberiku julukan Raja
Naga...." "Raja Naga?" ulang Iblis Penghancur Raga dalam hati. Matanya memandang tak
berkedip pada si pemuda yang masih tersenyum. "Sudah lama aku malang melintang
di rimba persilatan ini bersama Iblis
Telapak Darah, tetapi aku belum pernah mendengar
julukan angker itu. Sama angker dengan tatapannya yang memerah."
Di pihak lain Iblis Telapak Darah yang juga gusar karena niatnya untuk membunuh
Dua Serangkai Jubah Hijau gagal, sudah membentak, "Siapa pun kau adanya.
Tembang Tantangan 11 Eng Djiauw Ong Ying Zhua Wang Karya Zheng Zhengyin Bukit Pemakan Manusia 22
^