Pencarian

Misteri Labah Labah Perak 2

Raja Naga 10 Misteri Labah-labah Perak Bagian 2


Kalau sebelumnya Lesmana membiarkan dirinya
diserang karena tak ingin menambah kemarahan adik
seperguruannya, kali ini dia membalas. Bahkan dia in-
gin membuat gadis itu pingsan agar tidak lagi terbawa emosinya
Pangku Jaladara sejenak memperhatikan pemu-
da yang kini mengambil alih tindakannya. Lalu dita-
tapnya Datuk Bunaeng dengan geraman sengit, "Se-
rahkan kembali kalung Laba-laba Perak itu kepadaku!
Kau sama sekali tak berhak atas benda keramat itu!"
"Setan terkutuk! Kuhancurkan tubuhmu!!"
Menyentak ucapannya, Datuk Bunaeng sudah
mendorong tangan kanannya.
Wrrrr!! Seketika gelombang angin hitam bergemuruh
menerjang ke arah Pangku Jaladara yang menjereng-
kan sepasang matanya. Secepat kilat Pangku Jaladara
mencabut tombaknya dan memutarnya.
Blaaam! Blaaammm!!
Gelombang angin hitam itu putus di tengah jalan
saat menabrak putaran tombak Pangku Jaladara.
Dewa Jubah Biru mendesah pendek, "Kendati
Pangku Jaladara telah mewarisi ilmu Resi Kala Jinjit,
tetapi dia tak memiliki pengalaman banyak. Aku yakin, dalam sepuluh jurus
berikutnya dia akan kewalahan"
Sementara itu, perempuan berpayudara besar
yang sebagian terbuka, diam-diam menyeringai.
"Sempurna! Sangat sempurna apa yang telah ter-
susun ini! Seperti yang telah diharapkan, Dewa Jubah
Biru telah hadir di sini! Dan tentunya dia tak akan
tinggal diam. Berarti, urusan ini memang sangat sem-
purna! Orang-orang Datuk Bunaeng yang menyusup
ke Perguruan Laba-laba Perak telah diketahui, hingga
semua ini diatur dengan baik! Bagus! Sungguh me-
nyenangkan! Kutunggu saja apa yang akan dilakukan
oleh Dewa Jubah Biru."
Sementara itu, Dewa Jubah Biru membatin,
"Keadaan ini sangat rumit! Kutangkap gelagat-gelagat yang tak menguntungkan!
Beruntungnya, karena
hanya tinggal kami di sini! Bila saja orang-orang rimba persilatan lainnya masih
berkumpul di sini, rimba persilatan akan menjadi geger oleh banjir darah! Dan...
hei! Mengapa pemuda berompi ungu yang memiliki ta-
tapan angker itu belum muncul juga"!"
Beralih pada Raja Naga, saat ini pemuda yang
kedua tangannya sebatas siku bersisik coklat itu, se-
dang menghadapi ganasnya serangan demi serangan
yang dilancarkan enam orang murid Perguruan Laba-
laba Perak. Ia masih tak mengerti mengapa kalung La-
ba-laba Perak yang dikatakan hilang dicuri orang itu
tiba-tiba berada di tangannya.
"Jangan bertindak gegabah!" serunya tanpa melakukan serangan balasan. "Aku
bukanlah pencuri seperti yang kalian tuduhkan!"
"Gila! Barang bukti itu berada di tanganmu, dan
sekarang kau mengatakan tidak mencurinya!" bentak orang yang sebelumnya pertama
kali berbicara di atas
panggung. Lelaki ini sedemikian geramnya dan dialah
yang melancarkan serangan dengan ganas. "Kau muncul dengan maksud untuk
melakukan tindakan bu-
suk!" Raja Naga berkelit. Sambil berkelit itu seharusnya dia dapat segera
melancarkan serangannya atau
melumpuhkan orang itu. Tetapi hal itu tidak dilaku-
kannya. Lelaki yang menyerang dari bagian kanan dan di-
kenali Boma Paksi adalah lelaki yang pertama kali berjumpa dengannya dan
menyerahkan sebuah undan-
gan, berteriak penuh amarah, "Aku tahu siapa kau sebenarnya, Pemuda celaka! Kau
adalah Raja Naga! Dan
tak kami sangka kalau Raja Naga yang selama ini di-
kenal sebagai orang golongan lurus, datang untuk
mengacaukan upacara penobatan Kakang Pangku Ja-
ladara!" "Brengsek! Siapa orangnya yang telah melempar
kalung ini padaku"! Huh! Jangan-jangan Dewi Pengu-
nyah Sirih! Kurang ajar betul! Dia telah lempar batu
sembunyi tangan! Akan ku jitak kepalanya kalau suatu
ketika bertemu lagi dengannya!!"
Karena tak ingin kesalahpahaman ini terjadi te-
rus menerus, akhirnya Raja Naga bermaksud melum-
puhkan para penyerangnya. Dalam waktu yang singkat
saja, kelima penyerangnya sudah dibuat jatuh ping-
san. Tetapi yang pertama kali memberikan undangan
padanya, berhasil meloloskan diri keluar Sambil berteriak keras, "Kakang Pangku
Jaladara! Pencurinya sudah ketahuan!!"
Pangku Jaladara yang saat ini telah didesak oleh
Datuk Bunaeng, melompat ke belakang dengan cara
bersalto dua kali di udara. Dia hinggap tepat di hadapan murid Perguruan Laba-
laba Perak itu.
"Duto! Ada apa"!"
Pemuda bernama Duto itu menunjuk-nunjuk ke
arah Perguruan Laba-laba Perak.
"Pencuri kalung itu... adalah Raja Naga! Kalung
itu ada padanya!"
"Apa"! Raja Naga"! Keparat! Tentunya, dia pula
yang telah membunuh Guru!" maki Pangku Jaladara
sambil melesat ke dalam disusul Duto, Datuk Bunaeng
yang tadi sudah hampir membunuh Pangku Jaladara
menggeram dingin.
"Huh! Tibalah saatnya untuk menghancurkan
perguruan itu!"
Dewi Berlian yang sejak tadi hanya memperhati-
kan, bertepuk tangan pelan. Sambil berkata, "Rupanya kau hadir untuk membalas kekalahanmu dari mendiang Resi Kala
Jinjit! Ah, memang sangat disayang-
kan!" Datuk Bunaeng sudah hendak berkelebat memalingkan kepalanya. Tatapan kakek
berambut dikela-
bang ini garang pada Dewi Berlian yang sedang terse-
nyum. "Terkutuk! Perempuan cabul! Sejak pertama kali
tadi aku sudah tak bisa menahan marah! Sekarang...
bersiaplah untuk mampus!!"
"Hemm... tunggu! Jangan terlalu dibawa amarah
mu, Datuk!" sahut Dewi Berlian sambil menggerakkan bukit kembarnya yang besar,
hingga bagian atasnya
yang sebagian besar terlihat itu bergerak indah. Hanya dengan sekali menarik
pakaian hijaunya yang penuh
berlian itu, sudah barang tentu benda bulat besar yang putih dan menggiurkan
akan terpampang jelas. Masih
tersenyum Dewi Berlian menyambung kata-katanya,
"Datuk Bunaeng, apakah kau tidak mendengar ucapan salah seorang murid Perguruan
Laba-laba Perak itu"
Pencuri kalung Laba-laba Perak ternyata bukan kau
adanya, seperti yang dituduhkan oleh Pangku Jalada-
ra! Melainkan seorang pemuda berjuluk Raja Naga!
Apakah kau tidak berpikir kalau semua ini akibat ulah Raja Naga"!"
"Hemmm... sejak dulu perempuan ini kukenal
sebagai orang yang memiliki sifat licik tiada banding.
Dia sangat pandai mempergunakan tubuhnya yang in-
dah itu untuk menaklukkan orang. Dan seingatku pu-
la, dia juga pernah dikalahkan oleh Resi Kala Jinjit,"
kata Datuk Bunaeng dalam hati. Lalu berkata menyen-
tak, "Perempuan keparat! Kau mengatakan aku hadir di sini untuk membalas dendam,
memang betul! Tetapi, apakah kehadiranmu di sini juga hanya untuk
mengikuti penobatan bodoh Pangku Jaladara sebagai
Ketua Perguruan Laba-laba Perak"!"
"Aku bukanlah orang pendendam...."
Datuk Bunaeng sama sekali tak mempercayai ka-
ta-kata itu. "Atau... kau sedang menunggu kesempatan un-
tuk melampiaskan dendammu?"
"Kukatakan tadi, aku bukanlah orang yang pen-
dendam! Tetapi yang mengherankanku, mengapa kau
masih berniat untuk menghancurkan Perguruan Laba-
laba Perak sementara orang yang telah membuatmu
men-dendam telah mampus tanpa diketahui siapa
pembunuhnya"! Ah, ini tindakan yang sangat lucu,
Datuk Bunaeng! Kau seharusnya..."
"Tutup mulutmu!"
"Astaga!" Dewi Berlian membuka mulutnya hing-ga membentuk lorong. Bagian dalam
mulutnya yang berwarna merah jambu terpampang. Lidahnya yang
berwarna sama terlihat jelas. Lalu dengan gerakan
yang sangat merangsang, dijilat bibirnya sendiri.
Untuk sesaat Datuk Bunaeng tertegun melihat
apa yang dilakukan perempuan berpayudara besar itu.
Tetapi di lain saat, dia sudah menggeram dingin, "Sebaiknya... jangan turut
campur urusan ini bila masih
sayang nyawa!"
"Yang ku pikirkan hanya satu! Jelas-jelas sudah terbukti kalau Raja Naga yang
telah mencuri kalung
Laba-laba Perak, lambang dari perguruan ini! Dan he-
rannya, kau masih diteror oleh dendammu sendiri!
Menghancurkan sisa-sisa orang Perguruan Laba-laba
Perak sudah tentu dengan mudah kau lakukan! Tetapi,
apakah kau ingin orang-orang rimba persilatan mem-
burumu karena dianggap telah mencuri kalung Laba-
laba Perak" Ah, sangat disayangkan sekali bila kau
melakukan tindakan bodoh itu! Padahal, Raja Naga
yang seharusnya kau buru!"
Datuk Bunaeng tak menjawab. Diliriknya Ratu
Tongkat Ular yang telah menuntaskan lawan-lawannya
sejak tadi. Dilihatnya pula bagaimana murid mendiang
Setan Bayangan sedang didesak pemuda berwajah cu-
kup tampan. Kendati demikian, Datuk Bunaeng jelas
menangkap kalau si pemuda menyerang Ratih tidak
sepenuh hati. Kembali diarahkan tatapannya pada Dewi Ber-
lian. "Kata-kata perempuan celaka ini memang benar!
Raja Naga yang telah mencuri kalung itu, dan menim-
pakan urusan ini padaku! Terkutuk! Dialah yang ha-
rus kukejar!"
Tanpa membuka mulut, Datuk Bunaeng melesat
ke dalam. Dewi Berlian menyeringai, lalu segera me-
nyusul. Di pihak lain, Dewa Jubah Biru mengerutkan ke-
ningnya. Matanya yang selalu berkedip-kedip, semakin
cepat berkedip.
"Raja Naga telah mencuri kalung Laba-laba Pe-
rak" Astaga! Ada apa ini" Mengapa dia melakukannya"
Dan mengapa dia mengatakan kalau Dewi Pengunyah
Sirih yang hendak melakukan tindakan itu" Selama ini
kudengar kalau Raja Naga berada dalam golongan
orang lurus, tetapi tindakannya itu"! Astaga naga!
Mengapa ini terjadi" Mengapa"!"
Kakek berjubah biru ini mengarahkan pandan-
gannya pada Lesmana yang terus mendesak Ratih.
"Hemmm... Lesmana tetap berhati lembut! Dia ti-
dak melakukan serangan ganas pada adik sepergu-
ruannya! Ah, ketabahan macam apa yang dimilikinya"
Dan... hei. hei! nenek berpakaian compang-camping itu mau membantu si gadis
rupanya! Wah! Ini akan mem-bahayakan jiwa Lesmana! tentunya dia akan kewala-
han sekarang karena gadis berpakaian kuning itu se-
perti menemukan angin kembali! Aku harus bertindak!
Aku harus menemukan Raja Naga lebih dulu!"
Memutuskan demikian, dengan gerakan laksana
bayangan, Dewa Jubah Biru sudah melesat ke depan.
Tangan kanannya digerakkan yang serta merta melesat
satu tenaga yang tak nampak. Kalau bukan Ratu
Tongkat Ular, sudah barang tentu orang tak akan
mengetahui kalau sedang diserang.
Segera si nenek yang siap menggetok kepala
Lesmana dengan tongkatnya, memutar tongkat itu.
Wrrrr!! Angin keras menderu dan....
Blarrrr...!! Niatnya terputus karena serangan Dewa Jubah
Biru, yang terus melesat. Tangan kirinya menotok
pinggang Ratih yang seketika menjadi lemas seolah tak memiliki tenaga. Lalu
dengan gerakan yang cepat, dis-
ambarnya tubuh gadis itu bersamaan dia menyambar
tubuh Lesmana. Di saat lain, si kakek sudah bersalto di udara dan
tahu-tahu sudah berada pada jarak sekitar lima belas
langkah dari hadapan Ratu Tongkat Ular yang sejenak
kebingungan untuk melancarkan serangan.
Begitu dilihatnya Dewa Jubah Biru melesat ke
arah bangunan besar, si nenek segera mengejarnya di-
iringi teriakan, "Kubunuh kau, kakek keparat!!"
ENAM DI DALAM bangunan besar itu, Datuk Bunaeng
menemukan Pangku Jaladara telah pingsan sementara
Duto telah tewas dengan kepala remuk. Begitu me-
nangkap gerakan di belakangnya, si kakek berambut
dikelabang telah melihat Dewi Berlian.
"Keparat!" terdengar makian Dewi Berlian keras.
"Datuk Bunaeng! Kau lihat sekarang"! Siapa orangnya yang membikin keduanya
celaka seperti ini kalau bukan Raja Naga"!"
Datuk Bunaeng tak menjawab. Diperhatikan se-
kelilingnya yang sepi. Mayat-mayat bergeletakan di sa-na-sini. Dan perlahan-
lahan kemarahannya bangkit.
"Terkutuk! Akan kubunuh Raja Naga yang telah
mencorengkan arang di wajahku!"
Dewi Berlian membungkuk memeriksa tubuh
Pangku Jaladara.
"Keadaannya sangat kritis! Bila tidak disela-
matkan, dia bisa mampus!"
"Untuk apa kau melakukannya, hah"!" bentak
Datuk Bunaeng. Dewi Berlian mengangkat kepalanya menoleh. Ta-
tapannya mengandung kegeraman dan kecurigaan.
"Datuk Bunaeng... tanpa kau melakukan tinda-
kan, tentunya dendammu telah terbalas! Perguruan


Raja Naga 10 Misteri Labah-labah Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Laba-laba Perak telah hancur! Tapi satu hal yang ha-
rus kau ingat... namamu telah dicoreng oleh Raja Na-
ga!" "Aku tak sepenuhnya mempercayai kata-kata perempuan ini. Rasanya tak
mungkin kalau dia tidak
mendendam pada mendiang Resi Kala Jinjit, dan tak
bermaksud untuk menghancurkan Perguruan Laba-
laba Perak! Tetapi apa yang dikatakannya memang be-
nar! Tanpa aku yang melakukannya, perguruan ini te-
lah terkubur dalam-dalam! Tetapi... Raja Naga masih
berkeliaran! Dia telah merusak segalanya! Berarti...."
Memutus kata batinnya sendiri, Datuk Bunaeng
menggeram sengit.
"Kau berada di pihak mana"!"
Dewi Berlian perlahan-lahan berdiri sambil terse-
nyum. "Aku tidak tahu berada di pihak mana. Tetapi,
sudah tentu aku akan berada pada pihak yang akan
menguntungkan diriku sendiri..."
"Kelicikannya benar-benar terjaga, tetapi tetap
tak kentara," desis Datuk Bunaeng dalam hati. Berdiri dalam jarak sedekat itu,
dia dapat mencium aroma merangsang yang keluar dari tubuh Dewi Berlian. Belum
lagi matanya tertumbuk pada bungkahan sepasang
bukit indah, gempal dan menjanjikan itu.
Dewi Berlian tahu ke mana arah pandangan Da-
tuk Bunaeng. Tetapi dia berlagak tidak mengeta-
huinya. Bahkan dengan gerakan seperti tak sengaja
dia menarik napas dalam-dalam hingga bungkahan
payudaranya semakin menyembul keluar. Bahkan Da-
tuk Bunaeng dapat melihat dua bundaran kecil ber-
warna kecoklatan yang sempat mengintip.
"Tetapi yang pertama akan kulakukan, adalah
menyelamatkan Pangku Jaladara..."
"Dengan maksud apa kau melakukannya?"
"Dialah satu-satunya orang yang masih tersisa
dari orang-orang perguruan Laba-Laba Perak! mungkin
suatu saat akan berguna!"
"Jelaskan!"
"Bodoh!" seru Dewi Berlian sambil tertawa. "Mengapa otakmu jadi sedemikian
dungu, hah"! Sudah ten-
tu bila kita berhasil mendapatkan kembali kalung La-
ba-laba Perak dan membunuh Raja Naga, maka den-
gan mudah kita akan mengendalikan semuanya?"
Kening Datuk Bunaeng berkerut.
"Maksudmu.... Pangku Jaladara akan dijadikan
sebuah boneka...,"
"Tepat! Dan itu bisa dilakukan dengan cara..."
"Bergabung?"
"Ternyata kau tidak sedungu apa yang kuduga!"
sahut Dewi Berlian sambil tertawa. Tak dipedulikannya dengusan Datuk Bunaeng,
diteruskan kata-katanya.
"Ya! dengan cara bergabung, kita bukan hanya dapat menjadikan Pangku Jaladara
sebagai boneka yang
akan menjalankan apa yang kita inginkan! Tetapi kita
juga dapat menguasai rimba persilatan ini!"
Datuk Bunaeng tak bersuara, dipikirkannya ka-
ta-kata dewi berlian. Setelah itu diangguk-anggukkan
kepalanya. "Ya! Kau benar! Pangku Jaladara dapat kita jadi-
kan boneka! Dengan kalung itu, maka dia akan tetap
sah menjadi ketua perguruan laba-laba perak yang
akan kita bangun kembali kelak tentunya dengan ke-
kuasaan kita!"
"Kau benar! Kita membagi tugas! aku akan men-
jaga Pangku Jaladara dan kau mengejar Raja Naga! Se-
telah itu aku akan menyusulmu!"
Datuk Bunaeng menggeram sudah tentu dia ti-
dak setuju dengan usul itu. tetapi sebelum dikatakan-
nya ketidaksetujuannya, tiba-tiba....
Blaaarr!! Atap bangunan itu jebol berantakan!
Menyusul terdengar bentakan. "Kakek celaka!
Mau ke mana kau, hah?"
Serentak Dewi Berlian dan Datuk Bunaeng mele-
sat ke depan. Dilihatnya Ratu Tongkat Ular memaki
panjang pendek.
"Terkutuk! Terkutuk!"
"Apa yang terjadi?" tanya Dewi Berlian.
Begitu mendengar suara orang yang dibencinya,
serta-merta Ratu Tongkat Ular berpaling. Matanya
berkilat-kilat penuh amarah tetapi ketika dilihatnya
kepala Datuk Bunaeng menggeleng. Diurungkan ama-
rahnya. "Dewa Jubah Biru mengacaukan keinginanku
untuk membunuh pemuda yang menyerang Ratih!
Bahkan telah membawa Ratih!"
"Sejak kapan dia berada di atap itu"!"
"Belum lama!"
"Tetapi... dia sudah cukup mendengar apa yang
kita bicarakan, Datuk...."
Datuk Bunaeng menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu, dia juga harus kita bunuh!" sa-hutnya. Lalu berkata, "Ratu
Tongkat Ular... aku telah memutuskan untuk bergabung dengan Dewi Berlian..."
Ratu Tongkat Ular terlihat hendak membantah,
tetapi Datuk Bunaeng telah meneruskan kata-katanya,
"Jadi tak perlu di antara kita saling curiga...,"
Dewi Berlian tersenyum melihat tatapan gusar
Ratu Tongkat Ular. Tetapi perempuan berpayudara be-
sar ini tak peduli. Dia berkata, "Seperti yang kita telah sepakati... kita
melakukan tugas masing-masing. Satu
hal yang perlu kalian ketahui, untuk membunuh Raja
Naga itu sebenarnya kalian dapat mempergunakan te-
naga orang lain."
"Apa maksudmu?" tanya Datuk Bunaeng dengan
tatapan tajam. "Semalam tak kulihat hadirnya Langlang Benua,
sahabat karib Resi Kala Jinjit! Manusia satu itu me-
mang telah lama dikenal sebagai petualang yang tidak
pernah berdiam di satu tempat! Tetapi herannya, apa
pun yang dilakukan oleh Resi Kala Jinjit pasti diden-
garnya! Mungkin dunia ini begitu sempit hingga kabar
mudah terdengar!"
"Jelaskan maksudmu!"
"Aku merasa pasti, Langlang Benua telah men-
dengar kabar kematian Resi Kala Jinjit! Dan sudah ba-
rang tentu dia seharusnya hadir di sini, mengingat
akan diadakannya upacara penobatan Pangku Jalada-
ra sebagai Ketua Perguruan Laba-laba Perak yang ba-
ru! Tetapi tak kulihat Langlang Benua di sini semalam!
Namun satu hal yang ku yakini, dia akan menyelidiki
kematian sahabatnya itu! Berarti...."
Dewi Berlian tersenyum memutus kata-katanya.
Kemudian melanjutkan, "Tiga hari di muka, kita akan bertemu di Lembah Lingkar!"
Habis ucapannya, Dewi Berlian melesat kembali
ke dalam perguruan Laba-laba Perak yang sudah han-
cur di sana-sini. Lalu terlihat sosoknya yang berkelebat membawa Pangku Jaladara
yang pingsan. Ratu Tongkat Ular segera berkata, "Datuk... aku
sama sekali tak mempercayai perempuan cabul itu.
Mengapa kau bisa mempercayainya, hah"!"
Datuk Bunaeng menyeringai.
"Sama sekali aku tak mempercayainya."
Ratu Tongkat Ular mengerutkan keningnya yang
membuat keriput di wajahnya seperti berlipat ganda.
"Kau tidak mempercayainya?" Datuk Bunaeng menganggukkan kepalanya. "Lantas...
apa yang sebenarnya kau inginkan?"
Bukannya menjawab pertanyaan si nenek, Datuk
Bunaeng justru berkata, "Kita harus melacak perginya Raja Naga yang telah
melukai Pangku Jaladara! Dan
apa yang dikatakan Dewi Berlian tadi itu memang be-
nar! Kita harus beritakan tindakan Raja Naga yang te-
lah mencorengkan arang di wajahku! Agar seluruh
orang-orang yang mempunyai hubungan dengan Per-
guruan Laba-laba Perak memburunya! Tetapi... aku
justru mengharapkan Langlang Benua yang akan
muncul!" Tanpa menunggu sahutan dari Ratu Tongkat
Ular, Datuk Bunaeng sudah berlari, Ratu Tongkat Ular
masih terpaku di tempatnya. Berpikir keras untuk
mengetahui apa yang sesungguhnya diinginkan Datuk
Bunaeng. Tetapi dia tak dapat menemukan jawabannya.
Sambil menggeram gusar pada dirinya sendiri, si ne-
nek berpakaian compang-camping ini sudah menyu-
sul. Pagi telah datang.
* * * Pagi dengan cepatnya pun berubah menjadi
siang. Matahari saat ini garang menyebarkan panas-
nya ke seantero jagat. Panas yang terasa itu pun diba-
wa oleh angin yang berhembus, dan menerpa sedikit
wajah Raja Naga. Pemuda berompi ungu yang memiliki
sorot mata angker ini duduk di bawah sebuah pohon.
Di tangan kanannya terdapat kalung Laba-laba Perak
yang sangat indah.
Perlahan-lahan ditarik napasnya dalam-dalam.
"Aku semakin tak mengerti apa yang sebenarnya
telah terjadi. Pertama undangan dari Perguruan Laba-
laba Perak. Lalu Dewi Pengunyah Sirih yang jelas-jelas mengatakan hendak mencuri
kalung Laba-laba Perak.
Kemudian... ah, tiba-tiba saja keadaan begitu menye-
sakkan dada. Tahu-tahu kalung ini jatuh di tanganku,
hingga aku dituduh sebagai si pencuri. Huh! Apa se-
benarnya maksud Dewi Pengunyah Sirih melakukan
tindakan seperti ini" Menjatuhkan tanggung jawabnya
kepadaku?"
Murid Dewa Naga ini terus berpikir keras.
"Tentunya orang-orang telah menganggapku se-
bagai pencuri! Aku harus memulihkan nama baikku!
Yang pertama harus kulakukan sekarang adalah...
mencari Dewi Pengunyah Sirih! Karena aku yakin, di-
alah yang telah mencuri kalung ini dan mengalihkan
perhatian orang-orang padaku dengan cara licik seper-
ti ini!" Perlahan-lahan pemuda yang dari jari hingga batas siku kedua lengannya
dipenuhi sisik coklat ini,
berdiri. Sepasang matanya yang bersorot mengerikan
diedarkan ke sekelilingnya.
Mendadak saja kepalanya menegak! Karena tahu-
tahu di hadapannya telah muncul seorang nenek
bongkok yang mengunyah sirih!
Seketika kemarahan Raja Naga timbul. Dengan
sorot mata yang lebih angker dia berseru, "Dewi Pengunyah Sirih! Sungguh berani
kau muncul di hada-
panku setelah melakukan tindakan lancang seperti
semalam! Apakah kedatanganmu sekarang ini hendak
menertawakan ku"!"
Dibentak seperti itu, si nenek yang terus mengu-
nyah sirihnya hanya tertawa.
"Astaga! Katanya, kalau ada orang yang tiba-tiba membentak seperti itu, ada dua
maksud! Pertama,
memang gusar! Kedua, melakukannya karena rindu
pada seorang sahabat! Tapi... ya, aku sama sekali tak mengerti apa yang kau
katakan, Raja Naga!"
"Tak mengerti?" kegusaran Raja Naga menjadijadi. Tetapi dia masih dapat
menahannya. Dewi Pengunyah Sirih tetap bersikap tenang.
"Katanya, kalau orang tidak mengerti apa yang
dimaksud orang lain, boleh bertanya atau. Berharap
orang lain itu akan menjelaskan. Katanya, setelah dijelaskan urusan akan lebih
dapat dimengerti. Nah, apa
yang kau maksud sebenarnya dengan...," kata-kata si nenek terputus tatkala
dilihatnya benda yang berada
di tangan pemuda berompi ungu itu.
Melihat apa yang dilihat oleh si nenek, Raja Naga
seketika mengangkat tangannya menunjukkan kalung
Laba-laba Perak.
"Mengapa kau hentikan kata-katamu, hah"! Apa-
kah kau sekarang sudah mengerti?"
Dewi Pengunyah Sirih tak segera berkata. Ma-
tanya terus memperhatikan kalung yang berada di
tangan Raja Naga. Mulutnya berhenti mengunyah.
Tetapi di saat lain, dia sudah mengunyah kembali
dan berkata, "Bagaimana kau bisa mendapatkan ben-da itu?"
"Apa?" desis Raja Naga sedikit terkejut.
"Kau telah mengambil kalung Laba-laba Perak
rupanya...."
Kali ini kemarahan Raja Naga benar-benar surut.
Yang dirasakan hanyalah kebingungan.
"Kau... tidak mengambil kalung ini sebelumnya?"
"Tidak."
"Jadi... jadi. Bukan kau yang melemparkan ka-
lung ini padaku?" sambung Raja Naga makin heran.
"Astaga! Katanya, kalau orang lain semakin
membuat orang bertambah bingung itu tindakan yang
tidak baik. Mengapa kau tidak segera menjelaskan-
nya"!"
Raja Naga terdiam. Perlahan-lahan mulai dirasa-
kannya kalau ada sesuatu yang belum diketahuinya.
Tanpa diminta dua kali, segera diceritakan apa yang
telah dialaminya semalam di Perguruan Laba-laba Pe-
rak. "Busyet! Jadi... kau sudah datang ke sana"!"
"Bagaimana dengan kau sendiri?"
"Aku kehilangan jejak! Katanya, aku harus menu-
ju ke timur! Tapi aku tak menemukan apa yang kuca-
ri!" "Jadi... kau belum datang ke sana"!"
Dewi Pengunyah Sirih mengangguk.
"Tidak salah. Karena aku tak berhasil menemu-
kan Perguruan Laba-laba Perak."
Jawaban yang diberikan oleh si nenek berkebaya
itu membuat Raja Naga terdiam. Dadanya semakin di-
buncah kejanggalan demi kejanggalan. Matanya yang
angker memandang tak berkedip pada Dewi Pengu-


Raja Naga 10 Misteri Labah-labah Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyah Sirih. "Sorot matamu sangat mengerikan dan mampu
melumpuhkan lawan sebelum bertarung. Tapi ka-
tanya, di balik sorot mata yang demikian itu juga ter-simpan kelembutan! Hanya
saja, yang kulihat seka-
rang, adalah rasa tidak percaya dengan apa yang ku-
katakan. Raja Naga, apakah yang kukatakan itu sa-
lah?" Raja Naga mendesah pendek.
"Maafkan sikapku tadi...."
"Katanya, sekali waktu orang pasti akan berbuat
salah, karena tak ada orang yang sempurna! Katanya
lagi, mengakui kesalahan itu adalah sebuah tindakan
yang patut dipuji!"
Raja Naga hanya mendengarkan saja, kata-kata
Dewi Pengunyah Sirih. Dan dia terkejut ketika men-
dengar kata-kata si nenek selanjutnya, "Sebelum aku tiba di sini dan
menjumpaimu, sebenarnya telah kudengar kabar kalau katanya, kau telah mencoba
mem- bunuh calon Ketua Perguruan Laba-laba Perak!"
"Membunuh" Gila! Aku tak melakukannya!"
"Pangku Jaladara telah kau buat pingsan!"
"Astaga!" seru Raja Naga melengak.
"Dewi... aku hanya membuat lima orang murid
perguruan Laba-laba Perak pingsan karena mengurung
ku dan berniat membunuhku setelah melihat kalung
ini ada padaku! Tetapi... aku tidak melakukan apa-apa pada Jaladara! Dia memang
kemudian muncul dengan
salah seorang murid yang berhasil keluar! Karena aku
tak ingin memperpanjang urusan di saat kesalah pa-
haman semakin meninggi, makanya kup utuskan un-
tuk berlalu!"
"Jadi kau tidak melukai Pangku Jaladara?"
"Sama sekali tidak!"
"Kabar telah kudengar demikian!"
Raja Naga merasakan kepalanya mendadak pus-
ing. "Aku tak bisa membiarkan urusan ini berlarut-larut!"
"Ya! Kau harus menyelamatkan dirimu karena
kau telah dituduh sebagai pencuri kalung Laba-laba
Perak! Yang artinya, kau telah menggagalkan upacara
keramat semalam!"
Habis kata-katanya, Dewi Pengunyah Sirih segera
meninggalkan tempat itu. Tinggal Raja Naga yang ma-
sih terdiam memikirkan kejadian demi kejadian yang
memusingkan kepalanya. Di saat lain, dia sudah me-
mutuskan untuk segera berusaha mencari bukti-bukti
kalau bukan dialah yang telah melakukan pencurian
itu! TUJUH MALAM telah menyelimuti alam kembali dengan
segala misteri yang dikandungnya. Malam telah mem-
buat segenap alam tertidur dalam setiap mimpinya.
Dan malam akan selalu diisi oleh keheningan yang da-
lam. Tetapi masih banyak orang yang terjaga pada ma-
lam-malam seperti ini.
Seperti suara-suara yang terdengar dari sebuah
gubuk yang terdapat di sebuah hutan yang dipenuhi
pepohonan tinggi, yang menandakan gubuk jelek itu
berpenghuni dan penghuninya belum terlelap. Dari ke-
jauhan, telah terlihat lampu sentir yang menerangi gubuk itu, yang berada di
balik sebuah pohon besar dan
di antara ranggasan semak.
"Kau hebat, Dewi... semua rencanamu sungguh
hebat sekali...," terdengar suara itu disertai dengan napas memburu. "Tapi yang
lebih hebat lagi... adalah tubuhmu yang tak pernah membuatku puas...."
Satu kikikan terdengar, disusul suara yang se-
perti tersekat di tenggorokan, "Pangku Jaladara... kau memang hebat memuji...
aih... tanganmu nakal ya."
"Aku tidak memuji."
"Sehebat apa pun rencanaku, tak akan mungkin
dapat terlaksana bila tanpa bantuanmu...."
Di dalam gubuk itu terlihat dua sosok tubuh
yang duduk di atas sebuah balai-balai usang, dalam
keadaan tubuh bagian atas masing-masing terbuka.
Wajah si lelaki yang ternyata adalah Pangku Jaladara
adanya sudah memerah. Matanya nanar melihat sepa-
sang bukit kembar yang telah terbuka lebar di hada-
pannya itu. Penuh kegemasan, dipegangnya bukit
kembar besar yang menggiurkan itu. Diremas-
remasnya penuh perasaan. Dan sesekali telunjuknya
mempermainkan bulatan kecil yang terdapat di pucuk
bukit kembar itu.
Si pemilik bukit kembar memeramkan matanya
sejenak, menikmati remasan tangan Pangku Jaladara
yang sejenak membuat kelenjar di seluruh tubuhnya
meregang. Dan ini semakin membuat Pangku Jaladara
menjadi-jadi gairahnya.
Lalu sambil membuka matanya perempuan itu
berkata, "Rencana ini berhasil kita laksanakan. Dan tak seorang pun yang
mengetahui kalau kitalah yang
telah mengatur semua ini...."
Remasan tangan Pangku Jaladara semakin men-
jadi-jadi. Sesekali-sekali dengan sikap tak sabar dike-cupnya bibir merona merah
itu. Dilumatnya hingga dia
kehabisan napas sendiri. Lalu dilepaskan untuk
menghirup udara segar.
"Hih! Mengapa kau tidak sabaran begitu" Tadi
kau sudah menikmati tubuhku ini...."
"Aku masih ingin mengulanginya lagi dan akan
tetap mengulanginya!"
"Tahan dulu beberapa saat keinginanmu itu! Tu-
buhku terasa seperti patah setelah kau terjang laksana
ombak tadi!"
"Karena tubuhmu seperti sebuah sampan yang
sangat indah, yang dapat membuatku terayun-ayun,
terombang-ambing lalu terhempas pada pantai penuh
pesona!" "Kau pandai sekali memuji, Pangku Jaladara...."
"Sesuai dengan apa yang kau janjikan, aku akan
menuruti apa yang kau inginkan bila kau memberikan
tubuhmu ini padaku sampai aku mampus....*
"Bahkan aku ingin kau mampus di atas tubuhku
karena kelelahan!"
Pangku Jaladara terbahak-bahak. Wajahnya se-
makin memerah karena tak kuasa menahan nafsu.
"Aku tak akan mampus lebih dulu sebelum aku
benar-benar puas menikmati tubuhmu ini...."
Si perempuan jelita itu tersenyum.
"Rencana telah kita jalankan, dan kita tinggal
menunggu hasil. Aku yakin, saat ini Raja Naga sedang
kalang kabut untuk menyelamatkan diri dari kejaran
orang-orang! Terutama kejaran Datuk Bunaeng, Ratu
Tongkat Ular dan tentunya.... Langlang Benua...."
"Mengapa kau menginginkan semua ini terjadi?"
Perempuan itu memeramkan matanya karena
sambil berkata tadi, Pangku Jaladara sudah menyusup
ke dadanya. Dinikmatinya hisapan lembut Pangku Ja-
ladara pada bukit kembarnya itu. Mendadak tubuhnya
menggerijang karena hisapan Pangku Jaladara sema-
kin cepat. "Nanti... nanti dulu...," desisnya sambil mendorong tubuh Pangku Jaladara.
Wajah memerah Pangku Jaladara karena sudah
dipenuhi nafsu semakin menjadi-jadi.
"Apa lagi yang akan kita bicarakan" Bukankah
kita tinggal menunggu hasil dari permainan ini?"
"Sabar sedikit. Aku sudah mulai merasakan ke-
menangan ini akan kita capai."
"Karena kau memiliki rencana yang tepat."
"Dan kau memiliki keberanian untuk menda-
patkan semua ini...."
"Karena aku lebih suka menikmati tubuhmu ke-
timbang menghormati guruku sendiri!"
"Ya! Dan tak seorang pun yang tahu, kalau kau-
lah yang telah membunuhnya...."
"Dengan sebutir berlian yang kau berikan untuk
ku masukkan ke dalam air minum Resi Kala Jinjit,
semuanya sudah menjadi beres," sahut Pangku Jaladara menyeringai. Wajahnya kini
membiaskan kelici-
kan. Perempuan di hadapannya tersenyum. Tetap
membiarkan kedua tangan Pangku Jaladara meremas-
remas sepasang bukit kembarnya. Bahkan membiar-
kan tangan kanan Pangku Jaladara menyelinap ke ba-
gian bawah dari pakaian yang dikenakannya.
"Dendam ku pada Resi Kala Jinjit yang pernah
mengalahkan aku sampai hari ini tak akan pernah pa-
dam! Tetapi sekarang, semuanya sudah sirna! Tinggal
membalas dendam saudaraku yang tewas di tangan
Raja Naga!"
"Ratu Sejuta Setan?"
"Ya! Ratu Sejuta Setan adalah saudaraku! Kenda-
ti kami bukan saudara kandung, tetapi kami telah me-
nambatkan hati satu sama lain! Sayangnya, aku ter-
lambat mengetahui keadaannya! Setelah dia mampus
baru aku tahu kalau si pembunuh adalah Raja Naga!"
sahut si perempuan dingin. Wajah jelitanya berubah
menjadi kejam. (Untuk mengetahui kematian Ratu Sejuta Setan,
silakan baca episode : "Ratu Tanah Terbuang").
Si perempuan melanjutkan ucapannya, "Masih
beruntung aku mengetahui siapa pembunuhnya. Lalu
ku susun semua ini. Dan yang pertama kali kulaku-
kan, aku harus menemukan orang yang dapat mem-
bantuku." "Kau beruntung bertemu denganku," kata Pang-ku Jaladara yang kemudian mengingat
kembali saat pertama kali berjumpa dengan perempuan bertubuh
montok di hadapannya ini. Kala itu dia secara tak sengaja melihat perempuan ini
sedang mandi di sungai.
Pangku Jaladara sebenarnya adalah orang yang tak
dapat menahan gairah. Kalaupun dia sering keluar da-
ri Perguruan Laba-Laba Perak semata untuk mencari
perempuan yang dapat dijadikan sebuah pelampiasan
gairahnya. Dan dia cukup heran ketika perempuan
yang dilihatnya sedang mandi dalam keadaan polos
itu, justru membiarkannya menikmati keindahan itu,
padahal perempuan itu mengetahui kalau sedang diin-
tip. Bahkan tanpa ragu perempuan itu keluar dari
dalam sungai dalam keadaan polos, hingga Pangku Ja-
ladara dapat melihat lekuk tubuh dan benda-benda
yang seharusnya disembunyikan si perempuan. Dan di
luar dugaannya, perempuan itu justru berbaring tanpa
mengenakan pakaiannya.
Pangku Jaladara merasa pasti kalau perempuan
itu memang menginginkannya. Dan semuanya begitu
cepat terjadi. Perempuan itu bahkan bersedia memua-
skan gairah Pangku Jaladara yang membuatnya men-
jadi lebih sering menjumpai perempuan itu untuk me-
lampiaskan gairahnya.
Hingga suatu hari, perempuan itu mengatakan
apa yang sebenarnya diinginkannya. Semula Pangku
Jaladara memang terkejut mendengar kalau perem-
puan itu menginginkan kematian gurunya. Tetapi naf-
su gairah dan ketagihannya itu tak bisa dibendung.
Disetujuinya rencana si perempuan yang terus berlan-
jut. Secara diam-diam, Pangku Jaladara akhirnya
berhasil membunuh Resi Kala Jinjit. Karena dia murid
terpandai dan tertua, maka dengan mudah dia menda-
patkan tugas untuk menggantikan kedudukan gu-
runya. Seperti yang diatur oleh si perempuan, Pangku
Jaladara diharuskan mengundang Raja Naga dan Da-
tuk Bunaeng. Sebenarnya Pangku Jaladara merasa ke-
beratan mengingat Datuk Bunaeng adalah musuh
mendiang Resi Kala Jinjit.
Tetapi gairah telah membutakannya. Perempuan
itu mengancam tak akan lagi membiarkan Pangku Ja-
ladara menggeluti tubuhnya. Pikiran picik pun hinggap di benak Pangku Jaladara
hingga semuanya pun menjadi seperti sekarang ini.
Tangan kirinya masih meremas sepasang bukit
montok si perempuan secara bergantian, sementara
tangan kanannya menyusup jauh ke balik pakaian si
perempuan bagian bawah.
"Kau tak perlu merisaukannya. Bukankah seka-
rang ini sudah hampir menjadi kenyataan" Seperti
yang kau katakan, aku memang harus mencuri kalung
Laba-laba Perak yang tentu saja tak kulakukan dengan
cara mencuri. Lalu melimpahkan tuduhan itu pada
Datuk Bunaeng. Tetapi rencana lain, bila Raja Naga
muncul, aku harus melimpahkan tuduhan itu pa-
danya. Makanya, di saat aku hendak keluar aku kem-
bali lagi karena kulihat Raja Naga bersembunyi di
atap. Kulemparkan kalung itu padanya dan aku keluar
menemui Datuk Bunaeng. Rencana semakin berjalan
lancar, karena kemudian murid-murid Perguruan La-
ba-laba Perak mengetahui kehadiran Raja Naga. Lalu
kau bertindak sesuai rencana. Kau masukkan kema-
rahan mu ke dalam benak Datuk Bunaeng dengan
mengatakan kalau Raja Naga telah mencoreng arang di
wajahnya. Kemudian aku masuk kembali yang saat itu
bersama Duto. Masih sempat kulihat Raja Naga berke-
lebat. Terpaksa Duto kubunuh dan aku pura-pura
pingsan sesuai rencana. Bukankah ini sebuah rencana
yang bagus?"
Perempuan di hadapannya mengangguk-
anggukkan kepala.
"Bukan hanya bagus, tetapi sempurna!"
"Dan kau tak akan banyak membuang tenaga un-
tuk membalas kematian Ratu Sejuta Setan pada Raja
Naga! Karena Datuk Bunaeng yang dalam hal ini ber-
sama Ratu Tongkat Ular akan melakukannya untuk-
mu...." Paras tegang si perempuan tadi berubah kembali.


Raja Naga 10 Misteri Labah-labah Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia menyeringai lebar.
"Ya! Kita tinggal menunggu hasil sebenarnya! Te-
tapi, satu hal yang akan kita lakukan sekarang ini,
adalah mencoba menemukan Langlang Benua...."
"Untuk apa?"
"Karena... Langlang Benua adalah sahabat Resi
Kala Jinjit. Dengan demikian, kedudukan kita akan
bertambah kuat."
"Kau mengatakan kalau Datuk Bunaeng serta
Ratu Tongkat Ular sedang mencarinya juga. Jadi... kita tak perlu mencari
Langlang Benua?"
Perempuan jelita yang di kepalanya terdapat se-
buah mahkota itu tersenyum. Dia tahu ke mana arah
ucapan Pangku Jaladara. Sambil tersenyum dan sese-
kali menjilati bibirnya dengan lidahnya sendiri, yang membuat Pangku Jaladara
semakin tak menentu, dia
berkata, "Kau seperti ketakutan tak memiliki waktu untuk
memadu kasih denganku...."
"Karena aku tak ingin melewatkan waktu sekejap
pun juga untuk menggeluti mu...."
"Tak perlu mengkhawatirkan keadaan itu," kata si perempuan sambil membelai pipi
Pangku Jaladara
yang napasnya sudah mendengus-dengus. "Setiap
saat, sesuai janji ku, kau akan dapat menggeluti tu-
buhku kapan saja kau mau."
"Aku mau sekarang."
"Kau memang tak sabaran. Dan seperti rencana
kita, kau harus berlagak sebagai tawananku nanti di
hadapan Datuk Bunaeng dan Ratu Tongkat Ular. Dua
hari lagi, aku akan menjumpai mereka di Lembah
Lingkar...."
"Dan selagi keduanya lengah, akan kita bunuh
mereka!" sahut Pangku Jaladara sengau, karena nafsunya sudah semakin berada di
ubuh-ubun. "Tentunya tindakan itu tak akan kita lakukan,
sebelum mengetahui Raja Naga telah mampus di tan-
gan mereka!"
"Kalau begitu, mengapa kau memberikan mereka
waktu tiga hari" Bukankah itu terlalu cepat?"
"Bila terlalu lama, aku khawatir mereka akan
mencurigai kita. Kau paham maksudku?"
Pangku Jaladara tak menjawab. Sepasang ma-
tanya di hujamkan pada bukit kembar yang menggiur-
kan itu. Mendadak di susupkan kepalanya pada bela-
han bukit kembar itu. Mulutnya meracau, "Aku mau sekarang!"
Tangan kanannya yang menyusup ke bagian ba-
wah pakaian si perempuan, disentakkan hingga pa-
kaian itu terlepas. Dan terlihat tubuh yang polos seka-
rang. "Kau memang tak sabaran...," desis si perempuan sambil perlahan-lahan
merebahkan tubuhnya di balai-balai itu. Kedua tangannya menekan kepala Pangku
Jaladara agar lebih menyusup pada belahan bukit
kembarnya. Aroma merangsang tertangkap penciuman Pang-
ku Jaladara, hingga membuatnya semakin menggila.
Mulutnya menangkap secara bergantian bulatan coklat
yang terdapat pada pucuk bukit-bukit indah itu.
"Kau benar-benar membuatku tak pernah puas.
Dan kau pintar membuatku puas. Bawa aku lagi ke
surga yang paling tinggi.... Dewi Berlian,..."
DELAPAN KITA harus menjauh, Gala Jenjang!" seruan itu
terdengar di sebuah jalan setapak, di saat matahari
kembali memancarkan cahayanya. Begitu melewati
ranggasan semak belukar, terlihat dua sosok tubuh
mengenakan pakaian hitam dan biru berlari sekencang
mungkin. Yang mengenakan pakaian hitam berseru
kembali, "Jangan loyo! Peduli setan dengan keletihan.
Bila kau ingin mampus di tangan Datuk Bunaeng, si-
lakan kau terus memperlambat larimu!"
"Dadaku mau pecah" seru Gala Jenjang. "Kulo Marutung, kupikir kita sudah menjauh
dari Perguruan Laba-laba Perak. Dan tak mungkin Datuk Bunaeng
dapat menemukan kita di sini!"
Kulo Marutung hanya melirik. Dia sebenarnya ju-
ga sudah kelelahan. Kedua kakinya terasa penat bu-
kan main. Bahkan untuk dibawa berlari pun seper-
tinya tak mampu lagi. Tetapi rasa takut menghan-
tuinya. "Apakah kau lupa, apa yang dikatakan Datuk
Bunaeng"!" serunya kemudian.
"Sudah tentu aku ingat," sahut kawannya dengan napas terputus-putus. "Dia akan
membunuh para pengikutnya kalau gagal menghancurkan Perguruan
Laba-laba Perak!"
"Dan dia telah gagal melakukannya, karena se-
seorang telah mencuri kalung Laba-laba Perak. Bah-
kan kita sama-sama sempat melihat kalau Pangku Ja-
ladara menuduhnya melakukan tindakan itu! Aku se-
belumnya sudah gembira karena dengan tuduhan itu,
akan lebih memudahkan Datuk Bunaeng menjalankan
maksud! Tetapi ternyata, semuanya berbalik.... Pergu-
ruan Laba-laba Perak telah dihancurkan oleh seseo-
rang yang telah mencuri kalung Laba-laba Perak!"
Kata-kata Kulo Marutung membuat Gala Jenjang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Itu pertanda, ke-
matian akan tiba. Tetapi karena kedua kakinya tak bi-
sa lagi dibawa berlari dia akhirnya jatuh tersungkur.
Sejenak Kulo Marutung memperhatikan teman-
nya itu. Dada lelaki berwajah tirus ini turun naik karena napas yang memburu.
Sejenak pula dia memu-
tuskan untuk menyelamatkan diri dan meninggalkan
Gala Jenjang di sini. Tetapi di saat lain, dia sudah
memutuskan pula untuk beristirahat dulu.
"Kita hanya punya waktu yang singkat!" desisnya.
Gala Jenjang mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu
diatur napasnya yang memburu.
"Kau tahu siapa yang telah mencuri kalung Laba-
laba Perak?"
"Aku tidak tahu sama sekali! Karena yang ku ta-
hu, kalung itu berada di kamar Pangku Jaladara!"
"Terkutuk orang yang telah melakukannya! Dan
lebih terkutuk lagi karena empat orang kawan kita
yang berada di sana ketahuan sebelum kita melakukan
tindakan!"
"Satu kebodohan yang kita lakukan adalah, kita
melarikan diri dari urusan ini!"
"Itu tidak bodoh! Karena biar bagaimanapun ju-
ga, bila kita berada di sana, kita pasti akan mampus!"
"Dan sekarang, kita tetap akan mampus! Bahkan
sudah kubayangkan, kalau kematian yang kita alami
ini jauh lebih mengerikan...."
Masing-masing orang tak ada yang bersuara. Se-
lain sibuk mengatur napas dan memulihkan tenaga,
keduanya juga merasa ciut nyalinya. Karena sudah
membayangkan kalau Datuk Bunaeng akan muncul,
mengingat seperti yang pertama kali dikatakan oleh
kakek berambut dikelabang itu. Bila urusan ini gagal, maka semuanya akan mampus
sebagai penutup mulut! Kulo Marutung mendesis pelan, "Tak kusangka kalau urusan
jadi berantakan seperti ini. Padahal sebelumnya, sudah kubayangkan, bagaimana
kita akan hidup enak bila membantu Datuk Bunaeng."
"Pikiran yang sama pun ada di benakku. Tetapi
sayangnya, urusan ini jauh berbeda dengan apa yang
kita harapkan."
Kembali masing-masing orang tak ada yang buka
suara. Dan mereka tidak tahu, kalau dua pasang mata
memperhatikan keduanya dari balik ranggasan semak.
Pemilik mata yang berada di sebelah kiri mengge-
ram pelan "Huh! Pantas kucari tak kutemukan, rupanya
mereka berani lancang melarikan diri dari tanganku!"
"Datuk... biar aku yang membereskan mereka"
"Aku ingin kau melakukannya dengan cepat. Ra-
tu!" Perempuan tua berpakaian compang-camping itu menganggukkan kepalanya. Lalu
melompat dari balik
ranggasan semak. Kehadirannya yang tiba-tiba mem-
buat Kulo Marutung dan Gala Jenjang tersentak. Se-
cepat itu pula masing-masing orang berdiri dengan ta-
tapan tak berkedip pada Ratu Tongkat Ular.
Mereka memang belum mengenal siapa adanya
Ratu Tongkat Ular. Kendati demikian, hati mereka pun
tetap merasa tidak tenang.
Kulo Marutung sudah membentak, "Nenek tua
bertongkat kepala ular! Ada urusan apa kau tiba-tiba
muncul secara tiba-tiba di hadapan kami"! Apakah
kau tidak tahu siapa kami, hah"!"
Si nenek hanya menyeringai sambil melangkah
setapak demi setapak.
Kulo Marutung melirik Gala Jenjang yang juga
sudah bersiaga. Keduanya bukanlah orang yang memi-
liki ilmu cetek. Mereka mempunyai kepandaian yang
cukup menakjubkan.
Kulo Marutung membentak lagi, "Tindakanmu
cukup mengejutkan kami! Sebaiknya pergi dari sini
sebelum kami memutuskan untuk membunuhmu!"
Mengkelap paras Ratu Tongkat Ular. Tatapannya
berubah menjadi bengis. Perubahan itu menyadarkan
Kulo Marutung dan Gala Jenjang kalau bahaya sudah
tiba di hadapan keduanya.
"Aku tak mempercayai nenek ini," bisik Kulo Marutung.
"Aku juga demikian!"
"Kita serang saja dia sekarang!"
Belum habis bisikannya terdengar, Kulo Maru-
tung sudah menerjang ke depan dengan jotosan tan-
gan kanan kiri yang diarahkan pada dada Ratu Tong-
kat Ular. Deru angin yang cukup kencang mendahului
jotosannya. Di pihak lain, Gala Jenjang sendiri sudah melesat cepat dengan
tendangan melingkar yang diarahkan ke kepala Ratu Tongkat Ular!
Yang diserang menjerengkan matanya. Lalu sam-
bil mendengus kecil, digerakkan tongkatnya sangat ce-
pat. Wuuutt! Wutttt!!
Ayunan pertama diarahkan pada Kulo Marutung
yang seketika membuang tubuh ke samping kanan.
Sementara ayunan kedua dengan cara menyodok ke
arah perut Gala Jenjang yang memekik kaget sambil
mundur. Dan... Wuuutttt!! Ayunan ketiga yang dilancarkan dari atas ke ba-
wah itu sudah melesat ke arah kepala Kulo Marutung.
Yang diserang berteriak kaget dan tak sempat meng-
hindar. Akibatnya...
Praaakkk! Kepalanya seketika remuk terhantam ayunan
tongkat yang keras itu. Bersamaan dengan remuk dan
minggatnya nyawa Kulo Marutung, satu sabetan deras
menerpa dada Gala Jenjang.
Praaakk!! Kembali terdengar suara keras itu. Nasib Gala
Jenjang lebih mengenaskan dari apa yang dialami oleh
Kulo Marutung. Karena begitu sabetan tongkat si ne-
nek mengenai dadanya, tubuhnya terlempar deras
hingga menabrak pohon yang membuatnya terbanting
kembali di atas tanah! Dadanya sudah terasa sakit bu-
kan alang kepalang, ditimpa lagi keadaan punggung-
nya! Hingga penderitaan Gala Jenjang menjadi berlipat ganda. Sialnya, dia tidak
langsung mampus seperti
yang dialami oleh Kulo Marutung!
Kedua matanya mengerjap-ngerjap menahan rasa
sakit tak terkira dan ketakutan yang menyengat-
nyengat tatkala melihat si nenek melangkah mendeka-
tinya. Belum lagi dia buka mulut, dengan kejamnya Ra-
tu Tongkat Ular menghantam kepalanya hingga pecah!
"Huh! Hanya begitu saja kemampuan kalian!"
dengusnya. Lalu dipalingkan kepalanya tatkala me-
nangkap gerakan di belakangnya.
"Kita lanjutkan perjalanan ini!"
"Ke mana, Datuk" Mencari Langlang Benua san-
gat sulit kita lakukan, karena seperti kita sama-sama ketahui, kalau orang itu
gila bertualang!"
Datuk Bunaeng melirik. Ratu Tongkat Ular segera
memalingkan kepalanya karena tahu arti lirikan itu.
"Maafkan aku...," desisnya
"Sekarang juga kita berangkat menuju ke Gua Hi-
tam!" Mendengar tempat itu disebutkan, seketika kepala Ratu Tongkat Ular
menegak. Ditatapnya Datuk Bu-
naeng dengan tatapan seksama.
"Gua Hitam?" desisnya terbata sambil menelan ludah "Ya! Kita menuju ke sana!"
"Bukankah... bukankah... di sana tempat tinggal
Resi Hitam?"
"Kau betul! Manusia satu itu memiliki kesesatan
tiada banding! Di balik sikapnya yang laksana seorang resi, dia memiliki
kekejaman tiada banding!"
"Untuk apa kau datang ke sana?"
"Ini salah satu dari rencanaku yang belum kau
ketahui" "Jadi... kau belum mengatakan seluruh renca-
namu kepadaku"!" suara Ratu Tongkat Ular mulai terdengar tidak suka. Kira-kira
empat puluh tahun yang
lalu, Resi Hitam pernah memperkosanya. Ratu Tongkat
Ular tak pernah melupakan tindakan Resi Hitam. Te-
tapi karena dia merasa tak mampu menghadapi Resi
Hitam, urusan itu di kuburnya dalam-dalam tetapi tak
pernah dilupakannya!
Datuk Bunaeng tajam menatapnya.
"Kau masih ingin ikut denganku atau tidak"!"
bentaknya keras. "Pagi ini juga kau harus memu-
tuskan ikut atau tidak! Bila kau masih tetap ikut, ma-ka kau masih akan bisa
melihat matahari besok! Teta-


Raja Naga 10 Misteri Labah-labah Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pi bila kau mengundurkan diri, akulah yang akan
mengirimmu ke neraka sekarang juga!"
Ratu Tongkat Ular menggeram dalam hati!
"Keparat! Tak pernah kusangka kalau dia berhu-
bungan dengan Resi Hitam! Resi keparat yang mem-
perdayaiku ketika aku diundangnya berkunjung ke
Gua Hitam, yang ternyata berniat memperkosaku! Ter-
kutuk! Tindakan keparat itu tak akan pernah kulupa-
kan sampai kapan pun juga!"
"Kau belum menjawab apa-apa, Ratu Tongkat
Ular!" suara dingin Datuk Bunaeng menyelinap di telinganya, menyadarkan Ratu
Tongkat Ular kalau ba-
haya yang lebih mengerikan akan segera datang.
Buru-buru dianggukkan kepalanya. Sambil me-
nyeringai lebar dia berkata, "Datuk... sebelum ini telah ku putuskan untuk
bergabung denganmu. Dan sudah
barang tentu aku akan tetap mengikuti apa yang kau
hendaki" "Bagus! Itu artinya kau tahu gelagat!"
"Bagaimana dengan Dewi Berlian yang akan kita
jumpai di Lembah Lingkar?"
"Sampai hari ini aku tak percaya sedikit pun juga
dengannya! Dia akan kita bereskan kelak! Kita berang-
kat sekarang!" sahut Datuk Bunaeng dan berkelebat mendahului.
Ratu Tongkat Ular segera menyusul. Sambil ber-
lari nenek berpakaian compang-camping ini membatin,
"Resi Hitam,.. tak kusangka kalau aku akan ber-
jumpa lagi dengannya. Ah, apakah aku mampu mena-
han amarahku bila sudah berhadapan dengannya"
Apakah akan langsung ku terjang untuk membalas
perlakuan-nya dulu" Berpuluh tahun kusembunyikan
apa yang telah ku alami, berpuluh tahun pula ku pu-
tuskan untuk tidak membalas perbuatannya karena
aku tak akan sanggup melakukannya. Ah, mengapa
aku tidak melakukannya lagi" Barangkali, dengan ku
tindih dendam ku padanya, aku dapat memetik se-
buah keuntungan yang buahnya kelak akan ku nikma-
ti...." Memutuskan demikian, Ratu Tongkat Ular tidak lagi merasa setegang
sebelumnya. SEMBILAN UNTUK kesekian kalinya Raja Naga menghenti-
kan langkahnya. Anak muda dari Lembah Naga ini
menarik napas panjang setelah memperhatikan sekeli-
lingnya dengan sepi.
"Tindakan Dewi Pengunyah Sirih masih menim-
bulkan teka-teki berkepanjangan untukku. Aku sama
sekali tidak tahu apa maksudnya untuk mencuri ka-
lung Laba-laba Perak. Dan setelah melihat benda itu di tanganku, dia tidak
melakukan tindakan apa-apa. Ah,
menurutnya, saat ini aku sedang diburu sebagai seo-
rang pencuri! Gila! Ini urusan gila!"
Beberapa saat lamanya pemuda yang di kedua
tangannya sebatas siku terdapat sisik-sisik coklat ini terdiam. Dia berusaha
untuk mengendalikan amarah
dan ketegangannya. Disingkirkan kebingungan yang
membiasi dirinya.
Tiba-tiba saja pendengarannya yang tajam me-
nangkap gerakan-gerakan di samping kanannya. Sadar
kalau sesuatu akan terjadi, Raja Naga memutuskan
untuk segera meninggalkan tempat itu. Tetapi terlam-
bat, dua lelaki berpakaian putih yang terbuka dibahu
kiri, dengan kepala gundul telah muncul di hadapan-
nya! Untuk beberapa saat pemuda berompi ungu ini
memperhatikan keduanya tanpa kedip. Sorot matanya
yang menyiratkan keangkeran, tajam dan dalam,
Kedua orang bertubuh besar dengan kepala pe-
lontos itu sejenak menangkap keangkeran dari mata
pemuda di hadapannya. Tetapi di saat lain, kemarahan
sudah terpampang pada wajah masing-masing orang
"Cirinya sama seperti yang kita dengar! Sorot matanya juga membuktikan siapa dia
sebenarnya! Belum
lagi dengan sisik-sisik coklat pada tangannya! Kala
Sringgil! Jelas dialah orang yang sedang kita cari,
orang yang telah mencuri kalung Laba-laba Perak!!" se-ru lelaki berkepala
plontos yang berwajah klimis.
Yang dipanggil Kala Sringgil menganggukkan ke-
pala. Kedua tangannya dilipat di depan dada.
"Tindakannya telah mencoreng arang di rimba
persilatan! Selama ini dia dikenal sebagai orang golongan lurus yang membela
kebenaran! Sejak dia berhasil
mengalahkan Hantu Menara Berkabut disusul dengan
kejadian-kejadian yang menggemparkan, julukannya
telah menjulang ke langit tujuh! Tetapi sayang, kesera-kahan masih membiasinya!"
(Untuk mengetahui siapa Hantu Menara Berka-
but, silakan baca episode: "Tapak Dewa Naga" sampai
"Misteri Menara Berkabut")
Di tempatnya, Raja Naga diam-diam menahan
napas. Dari ucapan masing-masing orang, dia tahu ka-
lau keduanya adalah orang-orang yang sedang mem-
burunya. "Aku harus tenang, bahkan sedapat mungkin
menjelaskan apa yang terjadi...," katanya dalam hati.
Sebelum kedua orang itu berbicara lagi, murid
Dewa Naga telah berucap sambil merangkapkan tan-
gannya di depan dada, "Aku belum mengetahui siapa adanya kalian berdua. Tetapi
dari sikap kalian, sudah tentu aku yakin, kalian bukanlah orang sembarangan!"
"Kala Sringgil! Rupanya dia mencoba untuk men-
gelabui kita dengan tindakannya itu!"
"Jala Sringgil! Aku semakin muak dengan sikap-
nya! Kita memang terlambat mendengar kematian Resi
Kala Jinjit! Tetapi kita juga tahu kalau pembunuhnya
sama sekali tidak diketahui! Namun sekarang ada se-
seorang yang telah mencorengkan wajahnya sendiri
dengan tindakan terkutuknya! Sebagai sahabat dari
Resi Kala Jinjit, sudah barang tentu kita tidak tinggal diam"
Raja Naga merasakan dadanya berdebar keras.
Kesalahpahaman rupanya sudah terjadi dan nampak-
nya sangat sulit untuk dijelaskan kejadian yang sebe-
narnya. Buru-buru dia berkata lagi, "Kalian telah menye-
butkan nama satu sama lain! Dan mungkin kalian
memang telah mengenalku! Hanya yang ingin ku je-
laskan" "Dari sikapmu kau sudah tahu apa maksud kami
sebenarnya!" putus Jala Sringgil keras. "Berarti... kau
siap untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu?"
"Atau... kau mencoba membela diri dengan men-
gatakan sesuatu, hah"!" ucapan dingin Kala Sringgil terdengar ketus.
Raja Naga mendesah pendek. Wajahnya sedikit
gelisah, tetapi sorot matanya tetap angker.
"Dari sikap kalian, aku tahu apa yang kalian in-
ginkan sebenarnya! Ya... aku mungkin tak bisa meno-
lak! Tetapi, aku ingin menjelaskan keadaan yang sebe-
narnya" "Julukan Raja Naga secara tiba-tiba dan menge-
jutkan telah merebak dengan sepak terjangnya yang
menghentikan perbuatan-perbuatan makar dari orang-
orang keparat! Tetapi sekarang, tindakan itu justru
membuka mata seluruh rimba persilatan kalau di balik
semua itu kau memiliki maksud busuk!"
Raja Naga tak mempedulikan ucapan yang me-
nusuk itu. Dia berkata lagi, "Aku tak peduli kalian mau mendengarkan atau tidak
apa yang kukatakan!
Tetapi aku akan mengatakannya!"
Lalu diceritakan pengalaman yang berakibat tak
menyenangkan itu. Usai bercerita, diperhatikan wajah
dua orang lelaki bertubuh besar yang berkepala gun-
dul. Satu sama lain berpandangan seolah meminta
persetujuan untuk mempercayai atau tidak apa yang
dikatakan pemuda berompi ungu di hadapannya.
Kala Sringgil berkata, "Apa yang kau ceritakan
adalah sesuatu yang tak masuk akal! Barang bukti te-
lah ada padamu dan tentunya sekarang juga ada pa-
damu. Kau bisa saja mengatakan, kalau seseorang
yang entah siapa telah melemparkan benda pusaka itu
padamu! Padahal sebenarnya, memang kaulah yang
telah mencurinya!"
"Kala Sringgil... apa yang kukatakan adalah se-
buah kenyataan! Hingga saat ini aku masih mencoba
menemukan bukti-bukti agar aku terbebas dari segala
tuduhan!" "Huh! Kau hendak mencari bukti dari segala tin-
dakan yang menurutmu tidak kau lakukan"! Gila! Se-
mua orang sudah tahu kau terbukti bersalah!"
Sebelum Raja Naga menyahut, Jala Sringgil su-
dah berkata, "Untuk apa lagi membuang waktu per-
cuma untuk membicarakan pepesan kosong seperti
ini!" Habis kata-katanya, lelaki berkepala plontos berwajah kelimis ini sudah
melesat ke arah Raja Naga.
Dari lesatan tubuhnya menderu angin dingin yang me-
nandakan kekuatannya. Mendapati Jala Sringgil sudah
melancarkan serangan, Kala Sringgil pun berbuat yang
sama. Raja Naga mendesah pendek.
"Sulit bagiku untuk menghindari pertarungan
ini!" desisnya resah dan segera melompat ke samping kiri untuk menghindari
sergapan Jala Sringgil lalu
memutar tubuh ke belakang menghindari jotosan Kala
Sringgil. "Hebat!" seru Jala Sringgil dan tiba-tiba menyi-langkan kedua tangannya di depan
dada. Mulutnya nampak berkomat-kamit tetapi tak ada suara yang ke-
luar. Kala Sringgil pun melakukan tindakan yang sa-
ma. Raja Naga mendesis dalam hati, "Nampaknya...
masing-masing orang hendak mengeluarkan ilmu me-
reka yang tentunya tak bisa dipandang sebelah mata!
Ah, aku merasa pasti, kalau sesungguhnya mereka
bukanlah orang kejam atau orang golongan sesat! Te-
tapi mau bagaimana lagi" Aku memang sulit mele-
paskan diri dari tuduhan sebagai pencuri!"
Dilihatnya kalau kedua tangan masing-masing
orang yang menyilang di depan dada mulai bergetar
dan semakin lama getarannya semakin tak menentu,
lebih cepat dan tiba-tiba asap putih keluar!
"Astaga! Ilmu apa yang keduanya perlihatkan"
Rasanya... aku harus melawan kalau tidak ingin mam-
pus!" desis Raja Naga dan diam-diam dikeluarkannya Ilmu 'Kibasan Naga Mengurung
Lautan'. Dilihatnya kedua tangan kedua orang berkepala plontos itu seperti
tak beraturan. Mendadak sontak masing-masing orang
melesat ke depan, gerakan yang mereka lakukan se-
perti tak mereka niatkan. Dan seperti terbawa oleh gerakan kedua tangan mereka
sendiri! Mendahului gebrakan keduanya, asap putih
membubung menderu ke arah Raja Naga. Anak muda
dari Lembah Naga ini menjerengkan matanya, lalu
mendeham keras.
"Heeemm!!"
Satu tenaga yang tak nampak memutus gumpa-
lan asap putih yang bergumpal ke arahnya. Namun di
saat lain, Raja Naga harus menghindari sergapan ke-
dua tangan Kala Sringgil.
Kendati berhasil dihindarinya, dapat dirasakan
kalau lengannya bagian atas terasa ngilu.
"Gila! Kekuatan apa yang mereka miliki" Tak ada
sambaran apa pun yang kurasakan, tetapi lenganku
terasa ngilu!"
Dan sergapan Jala Sringgil yang sedemikian ce-
pat, membuat Raja Naga tersentak. Tanah membuyar
ke udara tatkala Jala Sringgil menyergap. Tak mau
mati konyol, segera dikibaskan tangan kanannya un-
tuk melepaskan ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lau-
tan'! Wrrrr! Serta-merta menghampar gelombang angin me-
rah yang memperdengarkan suara bergemuruh. Meli-
hat hal itu, Jala Sringgil bukannya mundur malah te-
rus meluruk. Kedua tangannya yang bergerak sendiri
itu tiba-tiba menepuk.
Brrrrr!!! Gelombang angin yang menyeret tanah yang ke-
mudian membubung tinggi bergemuruh ke arah Raja
Naga. Blaaam! Blaaamm!!
Bertemunya dua tenaga hebat itu membuat tem-
pat itu seperti berguncang. Dua buah pohon besar
tumbang. Ranggasan semak terangkat naik dipadu
dengan tanah. Sementara itu, Raja Naga mundur tiga tindak ke
belakang dengan tangan kanan kiri terasa ngilu. Di pihak lain, Jala Sringgil
sendiri sudah mundur. Getaran kedua tangannya semakin menguat.
Sementara itu, Kala Sringgil sudah menjejakkan
kaki kanannya, yang serta-merta membuat tubuhnya
mumbul dan seketika meluruk. Tangan kanan kirinya
yang bergerak sendiri mendorong. Seketika menggebah
gumpalan asap-asap putih yang menebarkan hawa
dingin. Raja Naga tersentak kaget. "Astaga!!".
Segera dikibaskan tangan kirinya.
Jlegaaaarrr!! Bertemunya gelombang angin merah dan asap-
asap putih itu menimbulkan letupan yang sangat ke-
ras untuk kedua kalinya. Tanah di mana bertemunya
dua serangan tadi seketika membuyar ke udara seting-
gi dua tombak, berkepul-kepul yang membuat pan-
dangan terhalang dan indera pernapasan menjadi se-
dikit terganggu.
Secara tiba-tiba dari gumpalan tanah itu melesat
sosok Jala Sringgil diiringi teriakan membahana. Raja Naga sesaat menegakkan
kepalanya. Untuk beberapa
lama dia seperti tidak tahu apa yang harus dilakukan-
nya. Menyusul serangan Jala Sringgil, Kala Sringgil


Raja Naga 10 Misteri Labah-labah Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah melompat ke udara dan meluruk dengan posisi
seperti orang terjun bebas. Kedua tangannya siap
menghajar pecah kepala Raja Naga.
Ketika menyadari serangan yang datang itu su-
dah siap mencabut nyawanya, Raja Naga segera men-
dorong kedua tangannya ke atas, sementara bersa-
maan dengan itu, kaki kanannya dijejakkan untuk me-
lepas-kan ilmu 'Barisan Naga Penghancur Karang'.
Bersamaan menderunya gelombang angin yang
dipadu asap merah, tanah yang dipijaknya bergerak.
Dan menderu membentuk rangkaian gelombang ke
arah Jala Sringgil.
Jala Sringgil menggeram. Serta-merta diurung-
kan serangannya. Dan tiba-tiba tangan kanan kirinya
yang bergerak sendiri itu ditepukkan pada tanah.
Blaaar! Tanah muncrat disusul letupan lainnya.
Blaaam... Di pihak lain, Kala Sringgil mendadak saja me-
mutar tubuhnya laksana sebuah mata bor! Disong-
songnya serangan Raja Naga sembari mengibaskan
tangan kanan kirinya.
Blaam! Blaaamm!!
Letupan demi letupan beruntun terjadi. Tempat
itu benar-benar laksana dilanda gempa.
Raja Naga surutkan langkahnya ke belakang. Na-
fasnya mulai memburu. Dadanya bergerak turun naik
dengan cepat. Keringat mulai menghiasi kedua ke-
ningnya. "Aku tak bisa bertindak setengah-setengah...,"
desisnya seraya melompat ke samping kanan untuk
menghindari asap-asap putih yang menderu serabu-
tan. Bahkan secara tiba-tiba membubung ke udara
yang kemudian laksana hujan meluncur diiringi gemu-
ruh angin lintang pukang.
Raja Naga menahan napas. Saat itu juga tangan
kanannya ditepukkan pada lengan kirinya.
Wuuuttt!! Angin berputar tiba-tiba menderu, melingkar dan
membuat tanah terangkat dalam pusarannya.
Blaaarrr!! Serangan ganas yang datang itu dapat dipatah-
kan. Tetapi itu bukanlah akhir dari serangan. Karena
serangan lainnya yang sangat berbahaya datang ber-
tubi-tubi. "Aku harus bertindak!" desisnya memutuskan.
Secara tiba-tiba dijejakkan kaki kanannya di atas ta-
nah melepaskan ilmu 'Barisan Naga Penghancur Ka-
rang'. Gelombang tanah yang menderu itu mengacau-
kan niat Jala Sringgil. Cepat-cepat lelaki berwajah kelimis ini melompat ke
samping kanan, untuk kemudian
melesat kembali ke depan. Tetapi Raja Naga sudah ber-
tindak. Bukkk! Dengan mempergunakan jurus 'Hamparan Naga
Tidur' pemuda berkuncir kuda ini sudah berhasil men-
jotos perut Jala Sringgil yang mengaduh sambil mun-
dur. Kala Sringgil sendiri mengurungkan niatnya me-
nyerang melihat keadaan Jala Sringgil. Ditangkapnya
tubuh sahabatnya itu.
"Tahan!" desisnya seraya mengalirkan tenaga da-
lamnya. Di tempatnya, Raja Naga menahan napas. Bila
saja dia mau, dia bukan hanya dapat membuat perut
Jala Sringgil mulas, tetapi jebol hingga menjadi mayat saat itu juga! Tetapi
biar bagaimanapun juga. Raja Na-ga yang kedua tangan sebatas sikunya bersisik
coklat yang mengandung kekuatan dahsyat ini, masih memi-
kirkan setiap tindakannya. Bila hal itu dilakukan, ma-ka kesalahpahaman semakin
menjadi Dipandanginya kedua lelaki berkepala plontos itu
yang sama-sama memandang geram padanya. Teruta-
ma sorot mata Jala Sringgil yang telah pulih rasa sakitnya. Di pihak lain, Kala
Sringgil menggeram dingin.
"Sejak kudengar julukanmu, aku yakin kalau kau
bukanlah pemuda sembarangan! Dan sekarang sudah
terbukti! Kau bukan hanya dapat mengatasi ilmu
'Bayangan Arwah' yang kami lakukan tadi, tetapi juga
berhasil masuk dengan satu pukulan hebat! Tetapi
jangan berharap, kau dapat selamat pada serangan be-
rikutnya!"
"Tunggu! Aku tak bermaksud untuk bertindak le-
bih jauh! Apa yang kulakukan tadi, karena aku me-
mang harus menyelamatkan diri! Di samping itu, aku
juga tidak bermaksud menahan apa yang kalian ingin-
kan karena kalian tetap menginginkan nyawaku wa-
laupun ini adalah kesalahpahaman besar! Dan sejak
tadi kukatakan, kalau kita berada dalam kesalahpa-
haman yang dalam, yang dapat membuat perpecahan
di antara kita terjadi!"
"Kau masih mencoba membela dirimu dengan
mengatakan kau bukanlah pencuri keparat itu! Huh!
Bahkan mulai tergambar sesuatu di benakku!"
Raja Naga tak menjawab. Sorot matanya tetap
angker. Sisik-sisik coklat yang terdapat pada kedua
tangannya sebatas siku, tiba-tiba lebih terlihat jelas.
Pertanda kalau dirinya mulai dilanda sedikit kemara-
han. Karena tak mendapati sahutan, Kala Sringgil me-
neruskan ucapan, "Hingga saat ini belum diketahui siapa pembunuh Resi Kala
Jinjit! Tetapi sekarang, semuanya mulai jelas!"
Dada Raja Naga sedikit berdebar. "Apa yang kau
maksudkan dengan mulai jelas"!"
"Huh! Masih berlagak dungu rupanya! Sudah
tentu kaulah yang telah membunuhnya!"
"Astaga!" kepala Raja Naga menegak. "Tuduhan itu bisa semakin mengacaukan
keadaan! Memang sulit
bagiku untuk menemukan bukti-bukti kalau aku bu-
kanlah pencuri kalung pusaka lambang Perguruan La-
ba-laba Perak! Dan sekarang, sudah datang tuduhan
lainnya yang mengatakan akulah yang telah membu-
nuh Resi Kala Jinjit! Berarti...."
"Kita tak perlu membuang waktu! Bunuh seka-
rang juga pemuda keparat itu!"
Kala Sringgil sudah melesat dengan tubuh yang
berputar laksana mata bor! Gerakannya cepat. Angin
mendahului mengerikan. Bahkan tanah terseret naik.
Namun tiba-tiba saja, tubuh Kala Sringgil terlempar
kembali ke belakang! Bila saja lelaki ini tak mampu
menguasai keseimbangannya, tak mustahil dia ter-
banting di atas tanah!
Bukan hanya Kala Sringgil yang keheranan. Jala
Sringgil yang sudah pulih dari rasa sakitnya pun ter-
cenung. "Astaga! Sama sekali tak kulihat kalau pemuda
itu melancarkan serangan! Tetapi Kala Sringgil tahu-
tahu sudah terlempar ke belakang! Huh! Rupanya pe-
muda itu masih memiliki ilmu yang lebih hebat!"
Tetapi apa yang diduga oleh Jala Sringgil ternyata
jauh dari kenyataan. Karena saat ini, Raja Naga sendiri sedang keheranan melihat
apa yang dialami oleh Kala
Sringgil. Matanya yang bersorot angker memperhatikan
sekelilingnya dengan seksama.
"Astaga! Siapa gerangan yang telah menahan se-
rangan Kala Sringgil barusan" Aku tak melihat siapa
pun di sini! Keadaan ini justru akan semakin memper-
dalam kesalahpahaman!" desisnya dalam hati.
Jala Sringgil yang menyangka kalau Raja Naga
yang menghantam Kala Sringgil dengan ilmu aneh,
siap melompat menyerang. Tetapi tangan kanan Kala
Sringgil telah menahannya.
"Jangan gegabah! Bukan dia yang telah melaku-
kan serangan tadi! Ada seseorang di sini!"
Jala Sringgil menatap heran sahabatnya yang
menganggukkan kepalanya.
"Aku merasa pasti akan hal itu..."
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Terima kasih untuk sobat Culan ode yang
telah melengkapi halaman yang hilang.
Nurseta Satria Karang Tirta 10 Amanat Marga Karya Khu Lung Hati Budha Tangan Berbisa 4
^