Pencarian

Misteri Labah Labah Perak 1

Raja Naga 10 Misteri Labah-labah Perak Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU UNDANGAN itu diterima oleh Boma Paksi dari
seorang lelaki yang menunggang kuda hitam gagah.
Dan sebelum pemuda berompi ungu itu menanyakan
lebih lanjut, si penunggang kuda yang nampak terbu-
ru-buru sudah memacu kudanya, yang sebelumnya
mengatakan undangan itu akan dilaksanakan tepat
pada purnama bulan ini. Tinggal si pemuda yang me-
mandang kepergian si penunggang kuda yang kemu-
dian lenyap di tikungan jalan. Masih meninggalkan de-
bu yang mengepul akibat derap langkah kaki-kaki ku-
danya. Perlahan-lahan ditatapnya undangan. yang tertu-
lis di atas sebuah kain warna putih. Dibukanya gulun-
gan kain putih itu. Lalu dibacanya apa yang tertulis di sana. PERGURUAN LABA-
LABA PERAK AKAN MENGADAKAN PENOBATAN PANGKU JALADARA UNTUK
MENJADI KETUA, MENGGANTIKAN RESI KALA JINJIT
YANG TELAH TEWAS AKIBAT DIBUNUH SESEORANG
YANG BELUM DIKETAHUI HINGGA SAAT INI. HARAP
BERKENAN HADIR.
Pemuda yang di kedua tangannya mulai jari je-
mari hingga batas siku dipenuhi sisik coklat ini mengerutkan keningnya.
"Perguruan Laba-laba Perak" Hemm... baru kali
ini kudengar perguruan itu. Rupanya Resi Kala Jinjit, selaku ketua perguruan
yang lama, telah tewas dibunuh seseorang yang belum diketahui hingga saat ini.
Dan Pangku Jaladara akan dinobatkan menjadi Ketua
Perguruan Laba-laba Perak...."
Pemuda tampan berambut dikuncir ini menarik
napas pendek. Perlahan-lahan digulungnya kembali
undangan yang telah diterimanya itu. Lalu diselipkan
pada balik pakaiannya.
Tetapi dia tidak segera meneruskan langkahnya.
Pikirannya masih dipusatkan pada undangan itu.
"Mengapa aku diundang oleh Perguruan Laba-
laba Perak?" desisnya dalam hati. Pemuda bersorot mata angker yang lebih dikenal
dengan julukan Raja
Naga ini terdiam beberapa saat. Lalu, "Sulit bagiku untuk menduga-duga mengapa
aku diundang. Tetapi ku-
pikir itu bukanlah masalah. Hemmm... purnama bulan
ini hanya tinggal beberapa hari lagi. Sebaiknya untuk menghemat waktu, aku
segera menuju ke Perguruan
Laba-laba Perak..."
Memutuskan demikian, Raja Naga segera me-
ninggalkan jalan setapak di mana sebelumnya dihenti-
kan langkahnya tatkala melihat seseorang memacu
kuda hitam ke arahnya.
Tepat senja memayungi persada, Raja Naga
menghentikan langkahnya di hadapan sebuah sungai
yang mengalirkan air jernih. Tidak bergemuruh terlalu keras. Beberapa helai daun
dari pohon yang dahannya
menjorok ke sungai, jatuh dan terbawa bersama aliran
air sungai. Diperhatikan sekelilingnya yang sepi. Raja Naga
memutuskan untuk mandi dulu, membersihkan kerin-
gat yang menempel. Tetapi mendadak saja kepalanya
ditegakkan. Pendengarannya yang tajam menangkap
suara orang bercakap-cakap tak jauh dari sana.
Semula Raja Naga tidak tertarik dengan percaka-
pan itu, bahkan dia memutuskan untuk mengurung-
kan niatnya mandi dan melakukan lagi perjalanannya.
Tetapi ketika salah seorang berkata,
"Datuk Bunaeng telah mengatur semua rencana
ini. Sejak dulu dia memusuhi Resi Kala Jinjit. Dan setelah Resi Kala Jinjit
tewas tanpa diketahui siapa pembunuhnya, Datuk Bunaeng tetap menginginkan ke-
hancuran perguruan Laba-laba Perak."
Aliran darah Raja Naga berubah menjadi cepat.
Saat itu pula dia segera melompat ke atas sebuah po-
hon. Dicarinya dari mana asal orang-orang yang ber-
cakap-cakap itu. Samar-samar dilihatnya dua sosok
tubuh yang berada di balik ranggasan semak setinggi
kepala, hingga sulit bagi murid Dewa Naga ini untuk
melihat lebih jelas siapa kedua orang itu. Apalagi masing-masing orang
membelakanginya.
"Kapan pembantaian akan dilakukan?" tanya
yang seorang. "Pada purnama bulan ini, Pangku Jaladara akan
naik ke tampuk pimpinan, menggantikan Resi Kala
Jinjit yang telah tewas. Menurut Datuk Bunaeng,
pembantaian akan dilakukan pada malam purnama
bulan ini. Tetapi dua hari lalu kutangkap desas-desus kalau hal itu akan
digagalkan."
"Gila! Mengapa" Padahal semua sudah diatur!
Bahkan Datuk Bunaeng telah menyusupkan beberapa
orang suruhannya ke dalam Perguruan Laba-laba Pe-
rak!" "Kalau kau tanyakan mengapa, aku tidak bisa menjawab. Mungkin dia
mempunyai pikiran lain"
Masing-masing orang tak ada yang bersuara. Dari
balik rimbunnya dedaunan, Raja Naga mengerutkan
keningnya. "Hemmm... kematian Resi Kala Jinjit sebagai ke-
tua dari Perguruan Laba-laba Perak masih merupakan
misteri berkepanjangan, karena hingga saat ini belum
diketahui siapa pembunuhnya. Dari kata-kata masing-
masing orang, jelas bukan Datuk Bunaeng yang mela-
kukannya, walaupun orang yang bernama Datuk Bu-
naeng itu menginginkan kehancuran Perguruan Laba-
laba Perak."
Raja Naga mendengar lagi percakapan itu, "Gala
Jenjang... bagaimana dengan kau sendiri" Apakah kau
akan meneruskan membantu Datuk Bunaeng?"
"Sesungguhnya aku enggan melakukan ini lagi,
tetapi aku berhutang nyawa pada Datuk Bunaeng,
tatkala dia menyelamatkanku dari tangan maut yang
diturunkan oleh Resi Kala Jinjit. Kulo Marutung, ba-
gaimana dengan kau sendiri?"
"Aku juga mengalami hal yang sama seperti yang
kau alami. Datuk Bunaeng telah menyelamatkanku
dari tangan maut Resi Kala Jinjit tatkala aku membuat kerusuhan di daerah utara.
Keputusanku hingga saat
ini, aku akan tetap membantunya untuk menghancur-
kan Perguruan Laba-laba Perak. Sayangnya, Resi Kala
Jinjit telah mampus tanpa diketahui siapa pembunuh-
nya!" Orang bernama Gala Jenjang menggeram dingin.
"Tetapi perguruan yang dipimpin dan di besar-
kannya telah menjulang setinggi langit, dan hingga ha-ri ini masih berdiri
angkuh! Tak akan pernah kubiar-
kan perguruan itu terus berdiri karena akan selalu
mengingatkan ku pada Resi Kala Jinjit!"
Kulo Marutung menyahut, "Ya! Aku pun mempu-
nyai pikiran yang sama denganmu!"
"Bagus! Kalau begitu, kita segera menemui Datuk
Bunaeng untuk menyampaikan apa hasil pemantauan
kita selama ini...."
Tak lama kemudian terlihat bayangan hitam dan
biru yang berkelebat begitu cepat.
Raja Naga segera melompat turun.
"Ada sekelompok orang rupanya yang hendak
memanfaatkan kesempatan untuk menghancurkan
Perguruan Laba-laba Perak setelah Resi Kala Jinjit
meninggal," desisnya dengan otak berpikir. Sepasang ma-tanya yang bersorot
angker memandang tak berkedip ke depan. Tangan kanannya yang sebatas siku di-
penuhi sisik-sisik coklat mengusap dagunya yang ke-
limis. "Telah kuketahui adanya rencana busuk dari beberapa orang yang
menginginkan kehancuran Perguruan Laba-laba Perak. Hem... sebenarnya ini
bukanlah urusanku. Tetapi, aku telah diundang oleh Perguruan
Laba-laba Perak. Aku harus memberitahukan urusan
makar ini pada Pangku Jaladara selaku calon Ketua
Perguruan Laba-laba Perak...."
Untuk beberapa saat pemuda dari Lembah Naga
ini terdiam. Otaknya terus berpikir.
"Hemm... bila kuikuti ke mana perginya kedua
orang tadi, mungkin hanya akan membuang waktu sa-
ja, karena tentunya mereka telah berada di tempat
yang cukup jauh. Sebaiknya, kuteruskan saja lang-
kahku menuju Perguruan Laba-laba Perak...."
Memutuskan demikian, pemuda gagah berompi
ungu ini sudah melesat meninggalkan tempat itu, ke
arah yang berlawanan dengan kedua orang yang hanya
dilihat pakaiannya saja dari belakang.
Pada saat yang bersamaan, di sebuah jalan seta-
pak yang dipenuhi ranggasan semak dan pepohonan,
seorang gadis berkuncir dua yang memiliki paras ma-
nis, sedang menerjang pada lelaki muda yang menge-
nakan pakaian berwarna merah dengan garis hitam
yang bersilangan di depan dada. Serangan si gadis
berpakaian ringkas warna kuning ini sedemikian ga-
nas. Sepasang pedangnya berkilat-kilat diterpa cahaya
senja. Setiap kali digerakkan pedang-pedangnya, ter-
dengar suara angin membeset udara.
Di pihak lain, nampak pemuda berambut gon-
drong dengan kain berwarna merah yang melingkari
keningnya, berusaha untuk menghindari ganasnya se-
rangan si gadis. Dari sikapnya, dia hanya menghindar
saja tanpa melakukan serangan balasan.
"Ratih! Tahan! Tahan dulu seranganmu!!" se-
runya sambil melompat ke belakang.
Tetapi gadis manis yang dipanggil Ratih itu, tak
menghiraukan seruannya. Justru semakin ganas me-
lancarkan serangannya. Kali ini angin yang keluar dari kedua pedangnya
bergelombang mengerikan, bahkan
cahaya bening pun terpancar menyilaukan.
Pemuda yang terus menghindar itu mendesah
pendek. "Ah, hampir tujuh bulan gadis ini terus menerus
memusuhi ku dan hingga saat ini tak ada tanda-tanda
dia mau mendengarkan penjelasanku...," katanya dalam hati
"Lesmana! Jangan hanya menjadi kambing dun-
gu! Apakah kau sudah lupa dengan kepandaianmu
sendiri"!" bentak Ratih sambil meluruk dengan kedua pedang siap ditancapkan pada
dada Lesmana. Lesmana memiringkan tubuhnya, lalu...
Sabetan pedang sebelah kanan Ratih, dihinda-
rinya dengan cara melompat ke belakang
Tanah muncrat terkena gelombang angin yang
keluar dari sabetan pedang si gadis. Lalu dengan cara berputar dua kali di
udara, Lesmana sudah berada di
belakang si gadis.
Tetapi gadis berambut dikuncir dua itu segera
membalik dengan tubuh seperti orang sedang kayang!
Sepasang pedangnya ditusukkan!
Wuuttt!! Lesmana mundur. Dalam kedudukan si gadis se-
perti itu, sebenarnya Lesmana dapat mengirimkan satu
tendangan dengan cara melompat. Tetapi tindakan itu
tidak dilakukannya.
"Ratih! Dengarkan dulu penjelasanku!"
"Huh! Penjelasan yang akan kau perdengarkan
tentunya hanya alasan usang seperti, tujuh bulan lalu kau sampaikan!" maki si
gadis. Nafasnya mulai sedikit terengah. Keringat membasahi sekujur tubuhnya.
Sepasang dadanya yang membusung naik turun. Dengan
ganasnya dia terus melancarkan serangannya.
Lesmana menarik napas.
"Ah, apakah aku memang sebaiknya melawan sa-
ja" Tetapi bila aku melawan, tentunya dia akan sema-
kin memusuhi ku. Dan tetap beranggapan kalau aku
membela Resi Kala Jinjit"
Kemudian diputuskan untuk terus menghindar
dengan harapan dapat menguras tenaga Ratih. Tetapi
tatkala dilihatnya sepasang pedang si gadis berkelebat dengan memperlihatkan
cahaya bening yang makin
kentara, Lesmana tersentak.
"Kau telah mempergunakan jurus Pedang Bayan-
gan! Apakah kau memang harus melakukannya"!"
"Karena sikap pengecut mu, Guru mati di tangan
Resi Kala Jinjit! Dan kepengecutannya itu adalah kesalahan besar yang tak bisa
dimaafkan! Kau harus mem-
bayar semua tindakanmu itu, Lesmana!!"
Lalu dengan gencarnya Ratih melancarkan se-
rangan dengan mempergunakan jurus 'Pedang Bayan-
gan'. Setiap kali disabetkan, ditusukkan atau dibacokkan pedangnya, setiap kali
pula menggebah gelombang
angin dingin. Disusul dengan cahaya bening yang
membuat wajah Lesmana pias.
Tetapi pemuda itu tetap bersikeras untuk tidak
melawan. Akibatnya tangan kirinya tergores ujung pe-
dang itu. Darah segar mengalir yang seketika ditekap
dengan tangan kanannya. Tetapi yang dirasakan ke-
mudian, kalau tubuhnya mulai menggigil yang sema-
kin lama semakin hebat. Keringat sebesar kacang ijo
seketika keluar lebih banyak.
Melihat keadaan pemuda di hadapannya, Ratih
menyeringai sambil mengatur napas. Dia sudah meng-
hentikan serangannya.
"Kau terlalu bodoh karena menganggapku en-
teng, Lesmana! Padahal kau tahu, jurus 'Pedang
Bayangan' sangat berbahaya! Tangan kirimu telah ter-
gores, berarti kau akan mendapatkan satu siksaan
yang menyakitkan!!"
Lesmana merapatkan mulutnya, gigi-giginya di-
adu untuk menahan gigilan tubuhnya. Dengan wajah
sedikit pucat dia berseru tersendat, "Ratih... kejadian yang dialami Guru,
memang sudah seharusnya terjadi...." "Keparat! Dengan begitu kau membela Resi


Raja Naga 10 Misteri Labah-labah Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kala Jinjit, hah"!" bentak Ratih menggelegar. Dia sudah berubah menjadi seekor
harimau betina liar.
"Tak ada yang ku bela dalam hal ini! Kita sama-
sama murid dari Setan Bayangan! Tetapi kita sama-
sama tidak tahu siapa sebenarnya guru kita itu! Yang
kemudian kuketahui kalau dia adalah orang dari go-
longan sesat yang banyak membuat keonaran. Malam
itu... aku dan Guru sedang menuju ke timur. Beru-
langkali kutanyakan pada Guru, apa yang akan dila-
kukannya di sana, tetapi berulangkali Guru memben-
tak ku hingga akhirnya aku diam saja mengiku-
tinya...."
Lesmana meringis. Gigilan tubuhnya semakin
menjadi-jadi. Ratih mendengarkan dengan tatapan tak
berkedip. "Kemudian... kemudian kuketahui kalau... kalau
Guru membunuh seorang lelaki setengah baya yang
berjuluk Pendekar Sedih. Guru memang mengalami
luka parah dan dia menyuruhku untuk membawanya
pergi setelah Pendekar Sedih tewas. Aku tidak tahu
siapa Pendekar Sedih sebenarnya dan mengapa Guru
membunuhnya. Tetapi di tengah jalan... seorang kakek
yang di lehernya melingkar kalung Laba-laba Perak
muncul dan meminta pertanggungjawaban Guru atas
tewasnya Pendekar Sedih! Kala itulah aku tahu, kalau
Guru diperintah oleh seseorang yang bernama Datuk
Bunaeng! Kala itu pula ku tahu siapa Guru sebenar-
nya!" "Biar bagaimanapun juga dia adalah gurumu, guru kita, Lesmana! Tak
seharusnya kau membiarkan
Resi Kala Jinjit membunuhnya!"
Lesmana tak mempedulikan bentakan gadis ber-
kuncir dua di hadapannya. Dia terus berkata dengan
mata yang mulai berkunang-kunang dan tubuhnya
yang semakin terasa lemas, "Sudah tentu aku membe-la Guru, di saat Resi Kala
Jinjit menyerangnya. Tetapi dengan mudah aku dapat dikalahkannya!"
"Dan kau membiarkan manusia itu lolos setelah
membunuh Guru!"
Lagi-lagi Lesmana tak menghiraukan bentakan
Ratih, yang ternyata adalah adik seperguruannya. Dia
berkata lagi, "Dari ucapan-ucapan Resi Kala Jinjit, kuketahui, kalau orang yang
berjuluk Datuk Bunaeng
pernah dikalahkannya karena terlalu banyak membuat
makar dan pembunuhan. Dan rupanya, Guru adalah
termasuk salah seorang yang patuh pada Datuk Bu-
naeng!" "Lantas kau membiarkannya tewas di tangan Resi
Kala Jinjit! Dan aku akan menuntut balas perbuatan-
nya ini..."
"Resi Kala Jinjit telah tewas tanpa diketahui sia-pa pembunuhnya.
"Bagus! Berarti memang hanya kaulah yang ha-
rus mati di tanganku untuk menebus segala kepenge-
cutanmu!" Lesmana mulai tak dapat menguasai keseimban-
gan "Aku hanya ingin kau berpikir jernih dan menjauh dari persoalan rimba
persilatan..."
"Jangan mengajari ku, Lesmana! Aku telah men-
dengar kabar, kalau Perguruan Laba-laba Perak akan
mengadakan penobatan calon ketua baru sebagai
pengganti Resi Kala Jinjit yang sudah mampus! Rasa
hormatku pada Guru demikian besar siapa pun Guru
adanya! Dan aku tak akan pernah tenang sebelum me-
lihat kehancuran Perguruan Laba-laba Perak!"
"Ratih... apa maksudmu?"
"Kau sudah tahu apa maksudku! Jelas aku akan
membuat perhitungan dengan orang-orang Perguruan
Laba-laba Perak! Bahkan kalau bisa, aku akan berse-
kutu dengan Datuk Bunaeng, sahabat Guru itu!"
Lesmana menggapai-gapai dan semakin ter-
huyung. "Ratih... kau hanya akan menimbulkan keonaran
belaka, kau hanya akan memancing permusuhan...."
"Ini kulakukan demi rasa baktiku pada Guru...."
"Aku masih dan akan tetap berbakti pada Guru.
Tapi...." "Walaupun Guru orang golongan hitam, tetapi dia
tidak pernah menurunkan tabiat-tabiat buruknya pada
kita! Apakah kau tidak merasakan seperti itu?"
"Karena itulah aku masih menghormatinya...,"
"Terkutuk!" maki Ratih keras. Kedua tangannya yang memegang pedang, bergetar.
Matanya tajam menusuk. Lalu bentaknya, "Kau berkata masih meng-
hormatinya, tetapi kau membiarkannya tewas di tan-
gan Resi Kala Jinjit! Huh! Kau seharusnya kubunuh
lebih cepat! Tetapi bila itu kulakukan, kau malah me-
rasa lebih enak! Sebaiknya kau harus merasakan sik-
saan terlebih dulu akibat jurus 'Pedang Bayangan'!"
Lesmana terhuyung dan ambruk di atas tanah
dengan tubuh menggigil lebih hebat. Dia masih beru-
saha untuk berbicara, "Jangan... jangan kau lakukan tindakan itu, Ratih...
jangan kau bersekutu dengan
Datuk Bunaeng... "
"Dendam ku harus lunas!"
"Kau... kau akan masuk pada jurang yang... akan
menjerumuskan mu ke dalam tempat yang sesat!"
"Peduli setan dengan ucapanmu! Sebaiknya,
nikmati saja perjalananmu menuju ke akhirat! Sebe-
lum matahari sepenggalah besok pagi, kau sudah
mampus, Lesmana!!" bentak Ratih sambil memasuk-
kan sepasang pedang ke warangkanya yang bersilan-
gan di punggungnya.
Di lain saat dia sudah berkelebat meninggalkan
tempat itu. Di pihak lain, Lesmana masih berusaha
menahan hawa dingin yang masuk ke tubuhnya. Teta-
pi dua kejapan mata berikutnya, dia telah jatuh ping-
san. DUA SEBELUM matahari menampakkan bias-bias pa-
gi, Boma Paksi menghentikan langkahnya di jalan se-
tapak. Mata angkernya berkeliling, memperhatikan se-
kelilingnya dengan seksama. Untuk beberapa lama
pemuda dari Lembah Naga ini terdiam.
"Pagi sebentar lagi tiba. Sejak kemarin sore belum sekali pun aku beristirahat
di luar dugaanku ternyata Perguruan Laba-laba Perak begitu jauh...."
Masih berdiri di tempatnya, Boma Paksi berpikir.
"Siapa Datuk Bunaeng sebenarnya" Menurut
percakapan yang kudengar, dia telah menyusupkan
orang-orangnya ke dalam tubuh Perguruan Laba-laba
Perak. Ini sangat berbahaya, terutama bila tak seorang yang mengetahui adanya
penyusup di tubuh mereka.
Ah, malam purnama ini nampaknya akan menjadi
banjir darah...."
Mendadak saja Raja Naga memalingkan kepa-
lanya ke samping kanan. Menyusul kepalanya mene-
gak dengan kedua mata membelalak. Karena secara ti-
ba-tiba telah melangkah seorang nenek bongkok den-
gan konde kecil di atas kepalanya. Paras yang dipenuhi keriput itu sungguh tak
menyenangkan untuk dilihat.
Mulutnya yang tanpa gigi mengunyah-ngunyah sirih
dan sesekali cairan merah dibuangnya dengan sikap
enak saja. Tangan kanan kirinya berada di belakang
pinggul dan dia mengenakan kain kebaya yang sudah
sangat usang! "Busyet, busyet! Katanya, tempat ini sepi! Cuma
kuntilanak dan tuyul saja yang menghuni! Tapi kok
ada manusia juga ya" Katanya, di sini mengerikan! Ta-
pi kok malah enak ya"! Jangan-jangan, pemuda ini
memang setan gentayangan"!"
Suara nyaring si nenek menyadarkan keterkesi-
maan Raja Naga. Buru-buru pemuda itu tersenyum.
Belum lagi dia berkata, si nenek sudah berseru lagi,
"Eh, busyet! Katanya setan gentayangan tidak bi-
sa tersenyum! Tapi yang ini kok tersenyum"! Hei anak
muda! Kau ini setan atau orang"! Katanya, kalau setan memiliki sorot mata yang
angker! Kau juga memiliki
mata angker seperti setan! Dan cukup membikin da-
daku berdebar lebih keras!"
Bentakan itu disambut dengan senyuman lagi
oleh Raja Naga.
"Kalau kau pernah melihat setan gentayangan,
kuntilanak atau tuyul, tentunya kau dapat membeda-
kannya dengan orang bukan"!"
"Busyet lagi! Katanya, setan gentayangan tidak
bisa ngomong" Tapi kok ini bisa ngomong"! Jangan-
jangan kau memang bukan setan gentayangan, ya"!
Tapi katanya, ada juga setan gentayangan yang bisa
ngomong!" Raja Naga mendengus pelan, sambil memandan-
gi, si nenek yang selalu berkata dimulai dengan 'ka-
tanya'. "Nek! Biar kau raba-raba tubuhku, tetap saja aku ini orang!"
"Busyet, busyet betul-betul, betul-betul busyet!
Katanya, cuma orang yang memang suka meraba-raba
atau diraba-raba! Sini, sini... bagian mana yang harus ku raba-raba dari
tubuhmu?" Raja Naga melongo.
"Edan! Nenek ini jangan-jangan rada-rada sint-
ing! Ngomongnya enak betul! Kok bagian mana yang
harus diraba-raba?"
Selagi Boma Paksi menggerutu dalam hati, si ne-
nek bongkok berkata lagi, "Jangan-jangan... kau yang ingin meraba-raba ku ya"
Hihihi... katanya, kalau diraba-raba itu enak, geli, selangit, nikmat, cihui,
amboi! Katanya juga, kalau diraba-raba itu bisa naik birahi!
Hihihi... aku jadi ingin merasakannya..."
"Waduh! ini nenek benar-benar sinting kalau be-
gitu," kata Boma Paksi dalam hati, Lalu berseru, "Nek!
Tidak usah pakai meraba-raba atau diraba-raba! Yang
pasti aku ini orang, bukan setan gentayangan!" Lalu buru-buru dialihkan kata-
katanya, "Sebenarnya... apa yang sedang kau lakukan di tempat ini, Nek?"
"Katanya, kalau orang yang bertanya selalu harus dijawab! Anak muda... aku cuma
iseng saja lewat tempat ini. Katanya, tidak ada orang di sini! Sepi! Tapi
ternyata ada kau di sini! Kebetulan! Kebetulan!"
"Apanya yang kebetulan, Nek?" tanya Raja Naga sambil memandangi sosok si nenek.
Si nenek bongkok tidak segera menjawab. Mulut-
nya terus mengunyah sirihnya yang sesekali berlompa-
tan cairan merah encer dari mulutnya.
Kemudian dia berkata, "Katanya, kalau lagi ke-
bingungan atau tidak tahu jalan yang harus di tem-
puh, sebaiknya bertanya pada orang yang kebetulan
berjumpa! Anak muda.. saat ini, aku sedang menuju
ke Perguruan Laba-laba Perak.... Dan aku tidak tahu
arah yang harus kutempuh! Apakah kau mengetahui
di mana Perguruan Laba-laba Perak berada"!"
Kening Raja Naga berkerut mendengar kata-kata
si nenek, hingga untuk beberapa saat dia tidak bersua-ra. Si nenek yang berseru
lagi, "Katanya, kalau orang yang diajak bicara tidak bisa menjawab, ada dua
kemungkinan! Kalau tidak gagu ya budek! Tapi katanya,
kalau tadi sudah berbicara dan mendengar itu, berarti tidak gagu atau budek!
Terus kenapa"!"
Nenek yang selalu berucap semau jidatnya itu
terkikik keras, membuat Boma Paksi terjaga dari ke-
terkejutannya. Dipandanginya si nenek yang diam-
diam sedang membatin, "Tatapannya itu, mengerikan
sekali. Penuh sorot keangkeran yang mampu menci-
utkan lawan. Katanya, hanya seorang yang memiliki
sorot mata demikian kalau sedang marah. Katanya ju-
ga, orang itu suka kentut dan berasal dari Lembah Na-
ga. Tapi yang ini tidak sedang marah. Cuma tatapan-
nya itu ya angker betul!"
"Nek... saat ini aku juga sedang menuju ke Per-
guruan Laba-laba Perak...," kata Raja Naga kemudian.
"Menuju ke Perguruan Laba-laba Perak" Eh, bu-
syet! Katanya! di perguruan itu akan diadakan upacara penobatan Pangku Jaladara
yang menggantikan kedudukan Resi Kala Jinjit yang sudah mampus! Apa be-
nar?" "Kalau si nenek bertanya demikian, nampaknya dia tidak menerima undangan
seperti yang kuterima,"
kata Boma Paksi dalam hati. Lalu, "Yang kau katakan itu benar, Nek. Aku juga
menangkap kabar seperti itu.
Dan walaupun sedikit heran, seseorang yang mengaku
dari Perguruan Laba-laba Perak tiba-tiba muncul dan
memberikan sebuah undangan padaku. Apakah kau
mendapatkannya juga?"
"Undangan" Tidak! Aku tidak mendapat apa-apa!
Diundang atau tidak, aku tetap akan datang ke sana!
Katanya, Resi Kala Jinjit mampus tanpa diketahui sia-
pakah pembunuhnya! Apakah kau juga tahu tentang
soal itu?"
Raja Naga menganggukkan kepalanya.
"Hemm... aku belum mengetahui apa maksud si
nenek datang ke Perguruan Laba-laba Perak. Menilik
gelagatnya, walaupun setiap kali berucap semau jidat-
nya saja, dia bukanlah orang golongan hitam. Tapi di
rimba persilatan ini, keadaan bisa berbalik demikian
cepat." Habis membatin demikian, pemuda berompi un-
gu ini berkata, "Kabar juga telah kudengar, kalau Resi Kala Jinjit, Ketua
Perguruan Laba-laba Perak sebelumnya, telah tewas dibunuh oleh seseorang yang
ti- dak diketahui siapa adanya. Dan satu hal lain yang ju-ga kudengar, kalau saat
ini seseorang atau boleh dikatakan beberapa orang sedang berkumpul untuk mela-
kukan tindakan makar pada Perguruan Laba-laba Pe-
rak!" "Tindakan makar"! Katanya, kalau orang berbicara sesuatu yang belum
diketahui oleh orang yang
mendengarnya, sebaiknya si pendengar memang men-
dengarkan saja! Anak muda, lanjutkan lagi kata-
katamu!" Raja Naga memandangi dulu si nenek yang tetap
asyik mengunyah sirihnya. Lalu perlahan-lahan dia
berkata, "Sebelum ku lanjutkan kata-kataku, apakah kau mengenal seseorang yang
bernama Datuk Bunaeng?"
Kepala si nenek mendadak saja menegak. Mulut-


Raja Naga 10 Misteri Labah-labah Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya yang selalu asyik mengunyah sirih tiba-tiba ter-
henti. Untuk beberapa saat dia hanya memandangi
pemuda di hadapannya.
"Dari gelagatnya, si nenek nampaknya mengenal
orang bernama Datuk Bunaeng," kata Raja Naga dalam hati dan tidak mencoba untuk
membuat si nenek untuk segera menjawab pertanyaannya.
Suasana hening. Matahari mulai menampakkan
bias-biasnya. Sebagian embun telah mengering. Angin
masih tetap berhembus dingin. Di kejauhan, gumpalan
kabut masih menggumpal.
Perlahan-lahan mulut si nenek bergerak lagi
mengunyah-ngunyah sirihnya. Sambil mengunyah dia
mengajukan tanya, "Katanya, kalau ada orang yang menanyakan sesuatu, ada dua
kemungkinan! Pertama,
dia memang tidak tahu sama sekali. Kedua, mencoba
untuk meyakinkan apa yang telah diketahuinya! Anak
muda... kau berada pada posisi yang mana?"
"Nek... aku bertanya, karena aku tidak tahu siapa Datuk Bunaeng sebenarnya! Dan
pertanyaanku ini,
sehubungan dengan apa yang kukatakan tadi, kalau
ada sekelompok orang yang akan berbuat makar."
"Dan kau maksudkan, Datuk Bunaeng yang be-
rada di balik semua ini?"
"Belum dapat kupastikan soal itu! Tetapi apa
yang kudengar memang demikian," kata Raja Naga lalu men-ceritakan apa yang telah
didengarnya kemarin.
Kepala si nenek mengangguk-angguk. Mulutnya masih
tetap asyik mengunyah-ngunyah sirihnya.
"Kalau tak salah ingat, katanya, beberapa tahun
lalu Resi Kala Jinjit pernah mengalahkan Datuk Bu-
naeng! Karena Resi Kala Jinjit memiliki kelembutan
tinggi, dia hampir tak pernah membunuh lawan-
lawannya walaupun lawan-lawannya itu berusaha
dengan akal yang paling licik untuk mencelakakannya!
Katanya pula, Datuk Bunaeng mendendam pada Resi
Kala Jinjit! Dan saat ini aku beranggapan kalau Datuk Bunaeng-lah yang telah
membunuh Resi Kala Jinjit!"
Raja Naga menggelengkan kepalanya.
"Apa yang kudengar tidak mengarah ke sana! Wa-
laupun aku belum jelas dengan masalah yang ada, aku
dapat menarik kesimpulan kalau kematian Resi Kala
Jinjit memang tidak diketahui siapa pun! Apakah kau
mengetahuinya, Nek?"
"Bicara sembarangan!" tiba-tiba si nenek me-nyembur hingga cairan merah dari
mulutnya menye-
bar. "Jelas aku tidak tahu siapa yang telah membunuhnya! Caranya dia mampus pun
aku tidak tahu! Te-
tapi dengan kematiannya, aku menyikapi hal itu seba-
gai suatu musibah yang mengejutkan! Biar bagaima-
napun juga, aku bersahabat baik dengan Resi Kala
Jinjit! Tapi sayangnya, aku belum pernah sekali pun
juga ke Perguruan Laba-laba Perak! Kembali ke masa-
lah semula, apakah kau tahu arah yang harus kutem-
puh untuk menuju ke Perguruan Laba-laba Perak?"
Pemuda yang kedua tangannya sebatas siku di-
penuhi sisik-sisik kecoklatan menggelengkan kepala.
"Aku tidak begitu pasti ke mana arah yang harus
ditempuh untuk menuju ke Perguruan Laba-laba Pe-
rak! Tetapi, tujuanku ke arah timur...."
"Kalau begitu, aku akan berangkat ke sana! Oya,
apakah kau bersedia melangkah bersamaku?"
Raja Naga tak menjawab. Justru pertanyaan yang
keluar dari mulutnya, "Kalau boleh aku tahu, ada tujuan apa kau ke sana, Nek?"
Si nenek terkikik.
"Aku tahu kau bertanya demikian, karena aku ti-
dak mendapat undangan!"
Murid Dewa Naga buru-buru menggelengkan ke-
palanya. "Aku tidak berpikir demikian! Karena terus te-
rang, sebelumnya aku tidak tahu mengapa aku diun-
dang dan untuk apa aku ke sana"!"
"Pangku Jaladara tentunya menghendaki pengu-
kuhan dirinya sebagai Ketua Perguruan Laba-laba Pe-
rak yang baru! Dan dia menginginkan kehadiran para
tokoh rimba persilatan untuk mengukuhkan dirinya!
Dan aku yakin, kau bukanlah orang sembarangan,
Anak muda, mengingat kau diundang!"
Raja Naga mendesah dalam hati.
"Aku hanyalah orang kebanyakan belaka, dan tak
memiliki apa-apa."
"Katanya, kalau orang yang merendah itu ada
dua tujuan. Pertama, dia memang merasa tidak enak
mengatakan yang sebenarnya hingga menutupi siapa
dirinya! Kedua, dia melakukan tindakan seperti itu
semata untuk mendapatkan pujian, agar lawan bica-
ranya terkagum-kagum atas kerendahan hatinya! Ka-
lau kau punya pikiran yang kedua, berarti kau tak se-
perti yang kuduga dan itu artinya, aku tak segan-
segan untuk menampar mulutmu sekarang!"
Boma Paksi terkejut juga mendengar ucapan rin-
gan si nenek. Lalu sambil tersenyum dia berkata, "Tadi kukatakan, aku tidak tahu
mengapa aku diundang!
Dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi di sana! Ka-
laupun aku ingin datang sekarang, karena aku telah
mengetahui sekelompok orang yang berada di bawah
pimpinan Datuk Bunaeng akan melakukan tindakan
makar di sana!"
"Baguslah kau berkata jujur seperti itu, padahal tanganku sudah gatal
sebenarnya!"
"Kau belum menjawab pertanyaanku tadi, Nek!"
Si nenek terkikik dulu. Lalu mengarahkan pan-
dangannya ke kejauhan.
Sambil mengunyah sirihnya dia berkata, "Ka-
tanya, setiap kali ada pengangkatan ketua baru di Perguruan Laba-laba Perak,
maka orang itu akan berhak
mengalungi kalung Laba-laba Perak yang merupakan
lambang dari perguruan itu! Tanpa kalung itu, maka
orang yang dikukuhkan sebagai ketua baru, sama se-
kali tak sah! Dan aku yakin, dengan tewasnya Resi Ka-
la Jinjit, kalung Laba-laba Perak telah dilepaskan dari lehernya, yang akan
dikalungkan pada Pangku Jaladara selaku calon penggantinya!"
"Kedatanganmu ke sana, dengan tujuan kalung
itu?" tanya Raja Naga.
Perlahan-lahan si nenek menganggukkan kepa-
lanya seraya berpaling.
"Tidak salah!"
"Kalau kau hanya bertujuan pada kalung itu, se-
benarnya apa yang akan kau lakukan?"
"Aku akan mengambil kalung itu!"
Menegak kepala Raja Naga mendengar jawaban si
nenek. Tatapan angkernya tak berkedip pada orang di
hadapannya yang sedang mengunyah sirih sambil
nyengir. "Astaga! Sungguh di luar dugaanku!" desis pemuda dari Lembah Naga ini dalam
hati. "Baru kuketahui tentang kalung Laba-laba Perak yang menjadi buk-
ti dan sahnya seseorang menjadi Ketua Perguruan La-
ba-laba Perak! Tetapi si nenek datang ke perguruan itu justru hendak mengambil
kalung itu! Astaga! Apa yang
sebenarnya diinginkan nenek ini" Dan mengapa dia
hendak melakukan tindakan itu?"
Selagi Raja Naga membatin demikian, si nenek
berseru "Aku yakin kau merasa heran dengan apa
yang ku katakan! Dan aku yakin kau mulai merasa
marah padaku! Tetapi aku tidak peduli! Aku akan me-
rebut kalung Laba-laba Perak!"
"Dengan kata lain, kau tidak menyetujui Pangku
Jaladara menjadi Ketua Perguruan Laba-laba Perak?"
suara Raja Naga dingin, sedingin tatapannya.
"Aku tidak berkata begitu!"
"Lantas.,. apa yang kau inginkan sebenarnya,
Nek"!"
"Tak lama lagi... kau akan tahu jawabannya....
Raja Naga!" belum habis seruannya, sosok si nenek sudah berkelebat.
"Heii!" Raja Naga berpaling ke kanan. Sempat di-
rasakan desiran angin yang cukup kuat saat si nenek
berkelebat. Begitu kepalanya dipalingkan, sosok si ne-
nek itu telah lenyap dari pandangannya. "Astaga! ilmu peringan tubuh yang
diperlihatkannya sungguh luar
biasa!" Untuk beberapa saat pemuda dari Lembah Naga
ini terdiam. Sorot matanya yang angker memandang ke
arah si nenek berkelebat tadi.
"Rupanya dia mengetahui siapa aku, tetapi aku
belum tahu siapa dirinya. Ah, keadaan ini benar-benar membuat aku menjadi
semakin penasaran."
Beberapa saat lamanya, pemuda berompi ungu
ini terdiam memikirkan apa yang sekarang menjadi pi-
kirannya. "Hemmm... jawaban demi jawaban masih belum
terangkai. Jalan satu-satunya, aku memang harus tiba
di Perguruan Laba-laba Perak...."
Memutuskan demikian, pemuda bersisik coklat
pada kedua tangannya sebatas siku ini, sudah berlari
meninggalkan tempat itu. Rambutnya yang dikuncir
ekor kuda berlompatan saat dia berlari.
TIGA MALAM purnama pun tiba. Langit cerah bukan
alang kepalang dan mampu membuat orang untuk me-
lupakan sejenak urusannya guna menikmati panora-
ma indahnya langit. Bulan bulat bundar, membentuk
bayang-bayang bidadari yang sedang mandi dalam
dongeng pengantar tidur.
Tetapi di lapangan yang cukup besar itu, tak seo-
rang pun yang memperhatikan keindahan lukisan
alam yang terbentang pada langit cerah. Mereka ber-
kumpul di lapangan itu dengan mulut yang laksana
dengungan lebah, tak jauh dari sebuah panggung be-
sar yang dipenuhi rumbai dan umbul-umbul. Pada ba-
gian atas panggung itu, terdapat ukiran seekor Laba-
laba berwarna perak. Dan walaupun berkumpul di
tempat yang sama, tetapi mereka membentuk kelom-
pok-kelompok. Raja Naga berdiri agak di sebelah kiri. Di sisinya,
nampak seorang lelaki berusia lanjut yang asyik men-
gedip-ngedipkan matanya. Rupanya si kakek yang
mengenakan pakaian dan jubah biru panjang ini
mempunyai kebiasaan mengedip-ngedipkan matanya
itu. Sepasang matanya memancarkan keteduhan. Hi-
dungnya agak mancung dengan rambut putih tak be-
raturan. Terbayang sisa-sisa ketampanannya di masa
muda. Berdiri di sebelah kanan si kakek, seorang pemu-
da yang diperkirakan berusia dua tahun lebih tua dari Raja Naga. Pemuda itu
berwajah tampan dengan tubuh
tegap dan gagah. Mengenakan pakaian berwarna me-
rah dengan garis hitam yang bersilangan di depan da-
da. Di kening pemuda berambut gondrong ini, terdapat
ikatan berwarna merah.
Dan nampaknya pemuda ini sedang celingukan
ke sana kemari, seperti mencari sesuatu atau seseo-
rang. Kelihatannya dia belum puas bila belum mene-
mukan apa yang dicarinya, terbukti dia masih terus
celingukan. Sampai pandangannya terbentur pada sepasang
mata angker yang sedang menatapnya. Sejenak si pe-
muda terkejut begitu melihat tatapan angker itu. Teta-pi tatkala si pemilik mata
angker tersenyum dan men-
ganggukkan kepala, dia juga tersenyum.
"Astaga! Pemuda berompi ungu itu nampak ra-
mah, tetapi tatapannya...."
Terdengar suara si kakek yang sedang mengedip-
ngedipkan matanya, "Keparat betul! Sudah hampir se-penanakan nasi aku berdiri di
sini, tetapi belum juga di-mulai upacaranya! Huh! Kalau aku tidak ingin tahu
siapa yang menggantikan kedudukan Resi Kala Jinjit,
buat apa aku datang ke tempat ini?"
Pemuda yang mengenakan pakaian berwarna me-
rah dengan garis hitam yang bersilangan di depan da-
da melirik. Lalu berkata, "Bila kau tidak datang ke tempat
ini, mungkin kau tidak akan menemukan dan menye-
lamatkanku, Orang Tua!"
"Huh! Urusan menyelamatkanmu atau tidak, se-
benarnya bukan urusanku Lesmana! Karena aku kebe-
tulan lewat saja makanya kau kutolong!" seru si kakek sambil mengedip-ngedipkan
matanya. Raja Naga yang mendengar percakapan itu mem-
batin, "Nampaknya sebelum ini, pemuda yang bernama Lesmana itu sedang mengalami
nasib sial dan ditolong
oleh si kakek ini. Hemmm... sejak tadi belum kulihat
nenek yang berniat hendak mengambil kalung Laba-
laba Perak itu berada di antara orang-orang ini...."
Tiba-tiba dengungan yang terdengar di sana-sini
itu pecah tatkala seorang perempuan yang mengena-
kan pakaian panjang berwarna hijau muncul. Di selu-
ruh pakaian yang dikenakan si perempuan itu terdapat
butiran berlian yang berkilauan. Paras perempuan ini
bukan main jelitanya. Di atas rambutnya yang indah,
terdapat sebuah mahkota bersusun tiga. Di telinganya
dua buah anting bertakhtakan berlian empat butir ter-
pampang jelas. Di samping kehadirannya yang tiba-
tiba dan pesona wajahnya yang menggetarkan, juga
bagian pucuk sepasang bukit kembarnya membuat
orang-orang di sana, terutama yang laki-laki berdecak-
decak. Karena pakaian yang dikenakan si perempuan itu
begitu rendah, hingga bongkahan mulus terpampang
jelas. Langkahnya anggun, ringan dan teratur. Saat dia melangkah, terlihat jelas
sepasang paha gempal menggiurkan yang membuat para lelaki di sana menelan lu-
dah. "Huh!" si kakek yang berdiri bersebelahan dengan Raja Naga mendengus. "Mau apa
perempuan itu muncul di sini?"


Raja Naga 10 Misteri Labah-labah Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemuda yang berdiri di samping kanan si kakek
bertanya, "Siapakah dia, Orang Tua?"
"Dia dijuluki orang-orang rimba persilatan den-
gan julukan angker: Dewi Berlian. Memiliki kekejaman
tiada banding di muka jagat ini."
"Lantas, mengapa kau harus kesal melihat ke-
munculannya?"
"Seperti kebiasaannya, bila dia hadir, pasti akan timbul keonaran!"
Lesmana memandangi perempuan berpakaian hi-
jau yang rendah di bagian dada dan terbelah di bagian paha. Pemuda yang secara
tak sengaja ditemukan oleh
orang tua di sampingnya ini, menahan napas melihat
keindahan bukit kembar Dewi Berlian. Lalu dipaling-
kan kepalanya ke tempat yang lain, kembali melihat-
lihat orang yang dicarinya.
"Ah, jangan-jangan.... Ratih memang menjumpai
Datuk Bunaeng untuk menjadi sekutunya. Sangat dis-
ayangkan, mengapa Ratih terus terbawa amarahnya
padahal Guru bukanlah orang baik-baik" Bila saja ka-
kek yang berjuluk Dewa Jubah Biru ini tidak muncul,
tentunya aku sudah tewas akibat jurus 'Pedang
Bayangan'. Sementara itu, perempuan berparas jelita yang
berdiri di tengah-tengah tiba-tiba berseru, suaranya
sangat merdu dan membuat orang terpesona, "Di mana calon Ketua Perguruan Laba-
laba Perak yang baru"!
Mengapa sampai saat ini belum juga muncul"! Padah-
al, orang-orang sudah banyak berkumpul!"
Tak ada sahutan apa-apa atas seruannya. Justru
sebagian orang terpana melihat pesona indah yang su-
kar ditepiskan yang terpancar dari tubuh Dewi Berlian.
Perempuan ini menggerakkan kepalanya. Rambutnya
yang hitam tergerai itu menguarkan aroma wangi yang
cukup memabukkan.
"Bila memang tidak berani muncul, mengapa ha-
rus mengadakan upacara penobatan ini segala"! Huh!
Sebaiknya... dihancurkan saja panggung itu!!"
Habis ucapannya, dengan gemulai Dewi Berlian
mengangkat tangannya dan siap mendorongnya.
Raja Naga tersentak sedikit melihat apa yang
akan dilakukan oleh Dewi Berlian. Tetapi sebelum De-
wi Berlian melakukan tindakannya, mendadak saja
terdengar beberapa seruan,
"Datuk Bunaeng!"
Seketika orang-orang yang berada di sana terma-
suk Raja Naga mengarahkan pandangan ke belakang.
Seorang kakek yang mengenakan pakaian dan jubah
hitam melangkah angkuh. Sorot matanya kejam. Hi-
dungnya bengkok dengan sepasang alis hitam yang
menyatu. Rambutnya sudah memutih dan dikelabang.
Di sisi kanan kakek itu melangkah seorang perempuan
tua yang mengenakan pakaian compang-camping ber-
warna hitam. Tangan kurus si nenek menggenggam
sebuah tongkat berkepala ular. Bila saja si nenek ma-
sih muda atau memiliki tubuh yang indah seperti diri
Dewi Berlian, sudah tentu pemandangan yang terlihat
akibat pakaiannya yang compang-camping, akan
membuat para lelaki di sana mendengus-dengus. Teta-
pi tak seorang pun yang mengeluarkan kata. Karena
mereka tahu, nenek berjuluk Ratu Tongkat Ular itu
memiliki ilmu yang tak bisa dipandang sebelah mata.
Di samping kiri Datuk Bunaeng, melangkah seorang
gadis berparas manis yang mengenakan pakaian ber-
warna kuning. Sepasang pedang bersilangan di pung-
gungnya. "Ratih...," desis Lesmana pelan.
Raja Naga melirik. Dewa Jubah Biru mendengus.
"Huh! Kau meneriakkan sebuah nama! Berarti,
gadis itukah yang kau katakan sebagai adik sepergu-
ruanmu yang mencoba mencelakakanmu?"
Tanpa mengalihkan pandangannya pada Ratih,
Lesmana menganggukkan kepalanya.
Dewa Jubah Biru berkata, "Dia telah bersekutu
dengan Datuk Bunaeng! Dan aku merasa pasti, kalau
sesuatu akan terjadi tempat ini!"
Lesmana tak menjawab.
Raja Naga mendesis dalam hati, "Hemmm... ka-
kek itulah yang bernama Datuk Bunaeng. Kemuncu-
lannya membuat banyak orang terkesiap. Dan suara-
suara bagai dengungan tadi tak lagi kudengar begitu
ramai... "
Di pihak lain, Lesmana masih terdiam. Kegunda-
han mendadak saja dirasakan. Dilihatnya Ratih yang
tiba-tiba menatapnya. Dilihatnya pula bagaimana wa-
jah adik seperguruannya itu tiba-tiba berubah, tegang dan kaget. Tetapi kemudian
dia melangkah mengikuti
langkah Datuk Bunaeng dan Ratu Tongkat Ular.
Ketiga orang itu berhenti di hadapan Dewi Ber-
lian yang tersenyum. "Tak kusangka kita berjumpa di sini, Datuk Bunaeng!
Bagaimana kabarmu?"
Kakek berwajah angkuh itu mengangkat kepa-
lanya. "Jangan mencoba untuk bersikap bersahabat
denganku kalau masih sayang nyawa!"
Dewi Berlian tidak gusar dibentak seperti itu. Dia
malah terkikik pelan, membuat Datuk Bunaeng men-
dengus. Ratu Tongkat Ular berkata, "Lebih baik menying-
kir dari tempat ini!"
Dewi Berlian tersenyum.
"Kupikir kau sudah mampus dibunuh Resi Kala
Jinjit, Ratu Tongkat Ular! Tapi nyatanya... kau masih hidup sampai sekarang!
Tentunya... kau punya ilmu
hebat! Atau... kau memiliki 'nyawa rangkap?"
Mendengar ejekan itu, seketika wajah si nenek
berpakaian compang-camping yang memperlihatkan
sepasang bukit kembarnya yang sudah peot dan turun
ini berubah. Hampir saja digerakkan tongkat berkepala ularnya, bila saja dia
tidak ingat akan tugas yang telah dibebankan oleh Datuk Bunaeng.
Dewi Berlian menyeringai.
"Suatu waktu, aku ingin melihat kenyataan, apa-
kah kau memang memiliki nyawa rangkap, atau hanya
kebetulan saja kau selamat dari kematian!"
Tanpa menghiraukan kemarahan Ratu Tongkat
Ular, Dewi Berlian menyingkir dari tempatnya. Aroma
wangi yang menguar dari rambutnya menyebar.
Dewa Jubah Biru menggeram.
"Huh! Mengherankan! Mengapa Pangku Jaladara
mengundang orang-orang seperti mereka"!"
Raja Naga yang sejak tadi hanya mendengarkan
saja apa yang diucapkan oleh Dewa Jubah Biru dan
Lesmana, kali ini buka mulut, "Orang tua... kau nampaknya tidak menyukai orang-
orang seperti mereka.
Apakah kau memang mengetahui siapakah kedua-
nya?" Tanpa menoleh Datuk Jubah Biru menjawab,
"Yang lelaki berkepala panjul itu bernama Datuk Bunaeng! Yang perempuan tua
berpakaian tidak tahu
malu itu berjuluk Ratu Tongkat Ular! Kalau si gadis...
tentunya kau sudah mendengar sendiri tadi! Dia ber-
nama Ratih! Adik seperguruan dari Lesmana!" Masih tanpa menoleh Datuk Jubah Bitu
menyambung, "Anak muda... tentunya kau telah mendengar setiap percaka-panku
dengan Lesmana. Katakan, siapa kau, adanya"
Aku menangkap satu gelagat tak menguntungkan atas
upacara ini...."
Raja Naga tak segera menjawab. Diliriknya si ka-
kek yang belum juga memalingkan kepalanya. Lalu,
"Namaku Boma Paksi...."
"Hemm... Boma Paksi! Sebaiknya kau segera
tinggalkan tempat ini, karena bencana akan segera da-
tang" "Bencana seperti apakah yang kau maksudkan, Orang Tua?"
"Setelah kematian Resi Kala Jinjit, kutangkap
kabar kalau orang-orang yang pernah dikalahkannya
telah bermunculan! Dan dua orang yang pernah dika-
lahkannya itu adalah Datuk Bunaeng serta Ratu Tong-
kat Ular! Tentunya mereka telah bersekutu untuk
menghancurkan Perguruan Laba-laba Perak kendati
Resi Kala Jinjit sudah mampus!"
"Apakah masih ada orang-orang yang berkumpul
di tempat ini yang pernah dikalahkan oleh Resi Kala
Jinjit?" "Aku sudah tua! Otakku tak bisa banyak mere-
kam seperti dulu!" sahut Dewa Jubah Biru tetap tanpa menoleh. Kemudian
lanjutnya, "Gadis bernama Ratih itu adalah adik seperguruan Lesmana! Mereka
sama- sama berguru pada Setan Bayangan dan sama-sama
tidak tahu belangnya Setan Bayangan! Resi Kali Jinjit telah membunuhnya! Lesmana
merelakannya, tetapi
adik seperguruannya justru hendak membalas den-
dam! Bahkan dia tega mencelakakan Lesmana! Huh!
Resi Kala Jinjit... kau mampus pun masih membawa
petaka saja!"
Pemuda bersisik coklat sebatas siku itu tak men-
jawab. Sepasang matanya yang angker memperhatikan
Datuk Bunaeng dengan seksama. Lalu dilihatnya se-
pasang mata gadis berpakaian kuning menatap tajam
pada Lesmana. Yang ditatap tak melakukan tindakan
apa-apa kecuali hanya mendesah pendek.
Tiba-tiba keheningan itu dipecahkan oleh teria-
kan Datuk Bunaeng,
"Pangku Jaladara! Apakah seperti ini tindakanmu
selaku tuan rumah terhadap para tamu"! Atau... kau
hanya ingin melihat kami berkumpul saja"!"
Belum habis teriakan itu terdengar, satu sosok
tubuh telah melompat ke atas panggung. Sikapnya ga-
gah dengan sepasang mata yang dibuka angkuh. Ke-
dua kakinya dibuka agak lebar. Dia bernama Geragah
Soka. Kemudian dia berseru keras, "Atas nama calon Ketua Pangku Jaladara, kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kedatangan para tokoh
rimba persilatan! Sebentar lagi, upacara penobatan
Pangku Jaladara selaku Ketua Perguruan Laba-laba
Perak akan segera dimulai!"
Lalu bermunculan delapan pemuda gagah yang
mengenakan pakaian berwarna jingga. Geragah Soka
mundur. Sementara kedelapan pemuda itu merang-
kapkan tangan masing-masing di depan dada dan
membungkuk penuh hormat.
Orang yang berbicara tadi berseru,
"Sambil menunggu saat-saat yang agung, kami
persilakan para hadirin untuk menikmati sedikit ilmu
milik Perguruan Laba-laba Perak!"
Lalu kedelapan pemuda itu saling berhadapan
dua-dua, membentuk empat baris. Kejap lain mereka
sudah melancarkan serangan demi serangan.
Datuk Bunaeng menggeram, "Ilmu Perguruan La-
ba-laba Perak tak seberapa, tapi masih juga hendak
dipamerkan! Apakah dengan cara seperti ini sudah
menunjukkan keburukan Perguruan Laba-laba Pe-
rak"!" Orang yang berbicara tadi menggeram dingin. Tetapi buru-buru dia
tersenyum, "Apa yang kami pertunjukkan ini, bukan dengan maksud membanggakan di-
ri! Bila Datuk Bunaeng tak berkenan dengan acara
pembukaan ini, silakan tinggalkan tempat ini dan
kembali lagi di saat upacara dimulai!"
Berubah wajah kakek berambut dikelabang ini.
Kalau sejak pertama dia sudah punya niat untuk
menghancurkan Perguruan Laba-laba Perak, niatnya
semakin menjadi-jadi. Di antara orang-orang yang ber-
kumpul itu, terdapat tiga orang sekutunya. Sementara
di dalam bangunan besar itu, telah disusupkan sekitar empat orang suruhannya.
Tetapi Datuk Bunaeng merasa sekarang bukan-
lah saat yang tepat. Aksinya akan dimulai bila upacara penobatan Pangku Jaladara
selaku Ketua Perguruan
Laba-laba Perak yang baru akan dilaksanakan!
Dia hanya menyeringai lebar.
EMPAT HUH! Tak kusangka kalau murid Perguruan La-
ba-laba Perak berani berucap lantang seperti itu terhadap Datuk Bunaeng!
Rasanya, firasat ku akan menjadi
kenyataan kalau banjir darah akan dimulai!" desis De-wa Jubah Biru tetap dengan
mengedip-ngedipkan ma-
tanya. "Orang tua... bila memang firasat mu mengata-
kan demikian, apakah kita tidak sebaiknya mengambil
tindakan?" tanya Raja Naga setelah memperhatikan sekelilingnya. Dia tetap tak
menemukan si nenek yang
selalu mengunyah sirih yang hendak mencuri kalung
Laba-laba Perak yang merupakan tanda sahnya seseo-
rang menjadi Ketua Perguruan Laba-laba Perak.
"Tindakan apa yang harus kulakukan" Siapa
yang akan berbuat makar pun aku tidak tahu, kecuali
melihat tanda-tanda yang diperlihatkan oleh Datuk
Bunaeng!" Raja Naga tak menjawab. Dia justru berkata dalam hati, "Keadaan memang
mulai terasa mence-maskan. Kulihat ada beberapa kelompok orang yang
mulai meninggalkan tempat ini. Mungkin mereka me-
rasa sia-sia datang tetapi acara belum juga dilaksanakan. Bisa jadi pula kalau
mereka menangkap gelagat
yang tidak menguntungkan dan enggan untuk turut
campur. Dan rasanya... tak mungkin kalau Pangku Ja-
ladara yang belum kuketahui siapa orangnya, menun-
da acara penobatannya sedemikian lama. Apakah telah
terjadi sesuatu di dalam perguruan itu" Atau jangan-
jangan... si nenek yang selalu mengunyah sirih dan setiap kali berkata selalu
memakai 'katanya', telah melakukan aksinya?"
Dewa Jubah Biru berkata, "Mengapa kau diam
saja, hah"! Apakah kau mendadak bisu, atau kau se-
dang memikirkan sesuatu?"
Raja Naga memandang si kakek yang tetap tak
menoleh padanya. "Hemmm... kakek ini nampaknya
adalah orang dari golongan lurus. Sebaiknya, kuceri-
takan saja pertemuanku dengan si nenek yang selalu
mengunyah sirih."


Raja Naga 10 Misteri Labah-labah Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Memutuskan demikian, Raja Naga segera mence-
ritakan perjumpaannya dengan si nenek. Usai dia ber-
cerita, kepala Dewa Jubah Biru berpaling. Dipandan-
ginya pemuda itu dengan seksama. Bukannya dia
membuka mulut, justru keningnya yang berkerut. "Gi-la! Tatapannya itu... begitu
angker sekali! Murid siapakah dia" Hemm... rasanya aku salah bila tadi dia ku-
minta untuk meninggalkan tempat ini."
Kemudian Dewa Jubah Biru berkata, "Katamu
tadi, si nenek yang mengunyah sirih, bertubuh bong-
kok, ada konde kecil di kepalanya dan mengenakan
kebaya butut?"
Raja Naga menganggukkan kepalanya.
"Hemm... Dewi Pengunyah Sirih!" desis Dewa Jubah Biru kemudian. "Apa-apaan dia
mengatakan kalau dia hendak mencuri kalung Laba-laba Perak!"
"Tahukah kau siapakah sesungguhnya Dewi Pen-
gunyah Sirih itu, Orang Tua?" tanya Raja Naga.
"Jangan tanyakan aku soal itu! Aku sendiri ma-
sih gelap tentang dirinya, kecuali sepak terjangnya
yang sama sekali tidak terduga. Hemm... aku masih
dibingungkan dengan maksudnya untuk mencari ka-
lung Laba-laba Perak! Anak muda... apakah kau tidak
salah mendengar?"
"Aku jelas mendengar kata-katanya!"
"Brengsek! Jangan-jangan...," Dewa Jubah Biru
memutus kata-katanya sendiri. Sambil memandangi
Raja Naga dia berkata, "Apa yang akan kau lakukan sekarang?"
"Hemmm... dia sudah bertanya seperti itu dan
tentunya dia juga mulai curiga mengapa-acara ini be-
lum juga dilaksanakan," kata murid Dewa Naga dalam hati. Lalu, "Orang tua... aku
menduga, kalau Dewi Pengunyah Sirih telah mengambil kalung Laba-laba
Perak, sehingga acara penobatan Ketua Perguruan La-
ba-laba Perak belum juga dilaksanakan."
"Aku juga menduga demikian!"
"Kalau begitu... aku akan mencoba untuk menye-
linap dan melihat keadaan di dalam Perguruan Laba-
laba Perak."
"Bagus! Aku menyukai anak muda yang pembe-
rani! Berhati-hatilah!"
Bersamaan pertunjukan di atas pentas selesai
dan digantikan dengan seorang murid Perguruan Laba-
laba Perak yang mempertunjukkan ilmu perguruan itu.
Raja Naga segera menyelinap di antara orang-
orang yang hadir. Dia mengambil jalan ke kanan, lalu
berkelebat ke belakang.
Perguruan Laba-laba Perak dikeliling tembok
yang cukup tinggi. Sebelum dia melompati tembok itu,
terdengar suara cukup keras, "Perketat penjagaan!
Tentunya pencuri itu masih berada di sekitar sini! Dan ingat, jangan sampai
orang luar tahu, kalau kalung
Laba-laba Perak telah dicuri orang!"
"Bagaimana dengan Ketua?"
"Walaupun agak bingung, resah dan marah, Ke-
tua Pangku Jaladara masih bisa mengendalikan diri.
Cepat kalian menyebar! Dan usahakan menyelinap di
antara orang-orang yang berada di luar! Cari tahu sia-pa si pencuri keparat itu!
Barangkali saja dia menyeli-
nap di antara orang-orang itu!"
Di tempatnya, Raja Naga terpaku mendengar su-
ara-suara itu. Tanpa sadar dadanya berdebar cukup
keras. "Dugaanku tepat, kalau kalung Laba-laba Perak telah dicuri orang! Hemm...
kemungkinannya besar sekali kalau Dewi Pengunyah Sirih yang telah mencuri
kalung itu! Aku harus bertindak!"
Memutuskan demikian, Raja Naga segera melom-
pat ke atas tembok tanpa menimbulkan suara. Dipan-
danginya sekelilingnya terlebih dulu. Setelah tak dilihatnya siapa pun di sana,
dengan mempergunakan il-
mu peringan tubuhnya, pemuda dari Lembah Naga ini
melompat ke atap bangunan besar itu, tetap tak me-
nimbulkan suara sama sekali.
Dari atas, dilihatnya beberapa murid Perguruan
Laba-laba Perak hilir mudik. Gerakan mereka cepat
dan tak ada yang bersuara.
"Hemmm..! mereka telah terlatih untuk menan-
gani masalah seperti ini," desis Raja Naga.
Kemudian dilihatnya kalau beberapa orang
menggotong beberapa mayat dan membawanya ke be-
lakang bangunan itu.
"Astaga! Rupanya si pencuri telah melakukan
tindakan keji! Huh! Seharusnya, kuhentikan saja kein-
ginan Dewi Pengunyah Sirih sebelum dia melakukan
tindakan seperti ini!"
Di luar bangunan itu, hadirin sudah mulai ribut
karena acara belum juga dimulai. Lagi-lagi beberapa
kelompok meninggalkan tempat itu dengan kekece-
waan dan hati mangkel.
Datuk Bunaeng berseru, "Pangku Jaladara! Tin-
dakanmu ini hanya akan memancing kerusuhan saja!
Cepat kau mulai acara ini! Atau... aku akan mengambil
tindakan atas ulah mu!"
Perempuan berpakaian hijau dipenuhi berlian
yang begitu rendah pada bagian bukit kembarnya, ter-
kikik merdu. "Datuk Bunaeng... mengapa kau jadi tak begitu
sabaran sekali" Apakah kau memang berniat untuk
melakukan tindakan makar lantas kau mengambil ke-
sempatan dengan berlagak mulai jengkel karena me-
nunggu terlalu lama"!"
Sepasang mata Datuk Bunaeng menghujam tepat
pada bola mata Indah milik Dewi Berlian! Tajam, lak-
sana sembilu bermata dua. Tetapi Dewi Berlian hanya
menyeringai saja. Bahkan dengan sengaja menggerak-
kan bukit kembarnya yang besar menggiurkan itu.
Ratu Tongkat Ular berbisik geram, "Datuk, bila
kau hendaki, aku akan menghancurkan kepala perem-
puan itu sekarang juga...."
Datuk Bunaeng menggelengkan kepala.
"Kesempatan itu akan, datang tak lama lagi..."
Di pihak lain, gadis yang di punggungnya bersi-
langan sepasang pedang, tak berkedip pada Lesmana
yang juga sedang menatapnya.
"Keparat! Bagaimana mungkin dia masih hidup"
Jurus 'Pedang Bayangan' telah mengenainya! Ini sulit
untuk...." Ratih memutus kata batinnya sendiri. Diperhatikannya kakek berjubah
biru yang selalu men-
gedip-ngedipkan matanya yang berdiri di sebelah Les-
mana. Lalu lanjutnya dalam hati, "Bisa jadi kalau kakek itulah yang telah
menyelamatkannya. Dan kalau
memang benar, sudah barang tentu kakek itu bukan
orang sembarangan...."
Kembali pada Raja Naga, pemuda dari Lembah
Naga itu sedang menarik napas pendek. Matanya yang
bersorot angker, tak berkedip memperhatikan murid-
murid Perguruan Laba-laba Perak sedang mengumpul-
kan mayat-mayat murid yang lain.
Didengarnya suara-suara di bawahnya, "Ten-
tunya... si pencuri dan pelaku pembunuhan ini adalah
orang yang sama yang telah membunuh Ketua Resi
Kala Jinjit! Kita harus bersiaga penuh!"
"Bagaimana dengan para tamu?" tanya yang
lainnya. "Sebagian sudah meninggalkan tempat ini."
"Biarkan mereka tetap menunggu," terdengar suara berwibawa itu. Raja Naga
melihat satu sosok tubuh yang mengenakan pakaian panjang berwarna keperakan
melangkah mendekati. Orang-orang itu yang sege-
ra merangkapkan tangan di depan dada. Sosok tubuh
ini berwajah cukup tampan dengan tubuh yang tegap.
Usianya diperkirakan sekitar tiga puluh dua tahun. La-lu dilanjutkan lagi kata-
katanya, "Karena... bila mereka tahu apa yang sedang kita alami ini, tak
mustahil kejadian ini akan mencoreng wajah kita dengan arang
yang sangat hitam!"
"Ketua... kami sudah memeriksa pelosok pergu-
ruan! Tetapi kami tak menemukan jejak-jejak yang be-
rarti" Lelaki yang ternyata adalah Pangku Jaladara menganggukkan kepala.
"Ya! Memang sungguh mengherankan! Kita tak
mengetahui adanya pencuri yang masuk ke tempat ini!
Bahkan Kalung Laba-laba Perak berada di kamarku!
Dan tak ada tanda-tanda pengrusakan yang telah dila-
kukan oleh si pencuri!"
"Ketua... bukan lancang aku bicara.... Apakah
Ketua menduga adanya orang dalam yang telah mela-
kukan pencurian ini?"
"Aku tak sampai mengarah pada dugaan itu. Te-
tapi biar bagaimanapun juga, keadaan ini sungguh
menyulitkan. Kita tak boleh membiarkan kabar ini ter-
sebar keluar. Aku akan muncul ke depan untuk...."
Kata-kata Pangku Jaladara terputus tatkala em-
pat-orang murid Perguruan Laba-laba Perak muncul
dengan membawa empat orang yang telah menjadi
mayat. Mereka membanting mayat-mayat itu di atas
tanah! "Lapor! Kami menemukan kejanggalan yang san-
gat berarti, Ketua!" kata salah seorang dengan napas terengah. "Mereka adalah
bukan murid-murid Perguruan Laba-laba Perak!"
"Hemm... siapakah mereka?"
"Sebelum mampus kami bunuh, salah seorang
mengaku adalah suruhan dari Datuk Bunaeng!"
Berubah paras Pangku Jaladara mendengar lapo-
ran muridnya. "Suruhan Datuk Bunaeng! Astaga! Jangan-
jangan... dialah yang telah mencuri kalung itu!"
"Tetapi sebelum kejadian itu, Datuk Bunaeng su-
dah datang di sini, Ketua!"
"Empat orang ini adalah suruhannya! Dan sudah
tentu dia juga menyuruh yang lainnya! Kita keluar se-
karang! Selagi para tokoh hadir di sini, aku akan men-gadili Datuk Bunaeng!
Hemm... tentunya dia akan me-
nuntut balas atas kekalahannya dulu dari mendiang
Resi Kala Jinjit!"
Kemudian diiringi Sepuluh orang murid Pergu-
ruan Laba-laba Perak, Pangku Jaladara segera beran-
jak keluar. Di atas bangunan besar itu, Raja Naga yang
mendengar Semuanya mendesis, "Celaka! Keadaan
memang sudah berubah menjadi gawat! Datuk Bu-
naeng memang berniat untuk melakukan tindakan
makar! Tetapi... apa memang dia yang telah melaku-
kan pencurian sementara jelas-jelas kudengar kalau
Dewi Pengunyah Sirih hendak melakukan tindakan
itu" Hemm... aku tak boleh tinggal diam. Sebaiknya...."
Memutuskan demikian, Raja Naga memperhati-
kan sekelilingnya. Setelah dirasakan aman, dia segera melompat turun dan
menyelinap masuk ke bangunan
besar itu. Dengan mempergunakan ilmu peringan tu-
buhnya, pemuda tampan berambut dikuncir kuda ini
segera meneliti keadaan di dalam...
Dinding-dinding bangunan itu dipenuhi dengan
ukiran seekor laba-laba berwarna perak. Boma Paksi
terus menyelinap memperhatikan sekelilingnya. Dia ti-
ba di sebuah kamar yang indah dan bagus yang diya-
kininya adalah kamar Pangku Jaladara. Diperhatikan-
nya sekeliling ruangan itu.
Seperti yang dikatakan oleh Pangku Jaladara, di
kamar itu tak ada tanda-tanda pengrusakan yang telah
dilakukan seseorang untuk mengambil kalung Laba-
laba Perak. Di saat Raja Naga sedang meneliti ruangan itu, di halaman depan,
Pangku Jaladara kembali lagi
ke dalam. Dia hendak mengambil senjatanya yang be-
rupa tombak berukiran seekor laba-laba pada bagian
hulunya. Kesepuluh muridnya menunggu dengan hati
tak sabar. Raja Naga mendengar suara langkah di luar. Bu-
ru-buru dia menyelinap keluar dan bersembunyi di be-
lakang sebuah lemari berukiran laba-laba.
"Hemmm.... Pangku Jaladara. Bagus! Rupanya
dia belum melaksanakan niatnya...."
Ditunggunya Pangku Jaladara yang kemudian
keluar lagi dengan membawa sebuah tombak yang di
hulunya terdapat ukiran Laba-laba Perak. Setelah itu, Raja Naga memutuskan untuk
menyelinap keluar. Kalau Pangku Jaladara terus melangkah ke depan, Raja
Naga kembali ke tempat dari mana dia datang.
Di belakang bangunan itu, sepi merentak. Langit
cerah laksana bangunan yang gelap dan mengerikan.
Raja Naga memperhatikan sekelilingnya.
Namun sebelum dia meninggalkan tempat itu, ti-
ba-tiba saja sebuah benda jatuh dari atas. Menangkap
adanya desiran angin, Raja Naga seketika mendongak
dan refleks menangkap benda yang jatuh ke arahnya.
Tap! Segera dilihatnya benda apa yang telah ditang-
kapnya. Astaga! Sebuah kalung Laba-laba Perak!
Untuk beberapa saat lamanya, anak muda dari
Lembah Naga ini menatap benda itu dengan rasa tidak
percaya. Bahkan didongakkan kepalanya untuk meli-
hat dari mana benda ini jatuh. Kejap lain, dia sudah
melompat ke atas, tetapi tak dilihatnya siapa pun di
sana kecuali dirinya.
"Aneh! Siapa orangnya yang telah melemparkan
kalung Laba-laba Perak ini"!" desisnya sambil memperhatikan lagi kalung itu.
Tertimpa cahaya purnama,
kalung itu sedemikian indah, berkilau-kilau.
"Hemmm... mengapa si pencuri justru, melem-
parkannya kepadaku" Apa maksudnya?"
Sambil menatap kalung itu, Raja Naga melompat
turun. Cukup lama dia terdiam memikirkan kemung-
kinan yang terjadi, sampai kemudian kepalanya mene-
gak. Sorot matanya kian angker karena kedua ma-
tanya membuka lebar.
"Astaga. Jangan-jangan.., si pencuri hendak me-
limpahkan tanggung jawabnya kepadaku! Terkutuk!


Raja Naga 10 Misteri Labah-labah Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku harus..."
"Lihat! Di tangannya tergenggam kalung Laba-
laba Perak! Jelas dia pencurinya!" seruan keras itu
mendadak saja terdengar,
"Bunuh pemuda itu!" Serta-merta Raja Naga menoleh. Dilihatnya enam orang murid
Perguruan Laba-
laba Perak telah mengurungnya!
LIMA PADA saat yang bersamaan, Pangku Jaladara di-
iringi sepuluh orang muridnya telah keluar dari ban-
gunan besar itu. Mereka tidak menaiki panggung. Tin-
dakan itu justru mengejutkan orang-orang yang masih
tersisa di sana. Dan orang-orang itu hanya tinggal,
Dewi Berlian, Datuk Bunaeng, Ratu Tongkat Ular, Ra-
tih, Dewa Jubah Biru dan Lesmana! Kemarahan nam-
pak membiasi wajah Pangku Jaladara. Darahnya ber-
golak menahan kebencian yang sangat dalam. Sambil
melangkah diarahkan pandangannya lekat-lekat pada
Datuk Bunaeng. Dewa Jubah Biru berkata tetap dengan matanya
yang berkedip-kedip, "Nampaknya... sesuatu akan terjadi...."
Sejarak delapan langkah dari hadapan Datuk
Bunaeng, Pangku Jaladara berhenti. Sepuluh murid-
nya berdiri di belakangnya dengan siaga penuh.
Cukup lama lelaki berpakaian. keperakan ini tak
buka mulut. Hanya sorot mata kemarahannya yang
menusuk. Perlahan-lahan terdengar desisannya, "Aku men-
gundang siapa pun juga datang ke sini, untuk menja-
lin persahabatan dan membuang segala permusuhan
dan dendam! Tetapi bila orang yang kuundang datang
dengan maksud tidak baik, sudah tentu tak akan per-
nah ku maafkan!"
Merasa kata-kata itu ditujukan kepadanya, Da-
tuk Bunaeng segera angkat bicara, "Pangku Jaladara!
Kau belum menjadi Ketua Perguruan Laba-laba Perak!
Tetapi kelancanganmu bicara sungguh tak enak diden-
gar!" "Berdusta hanyalah sebuah kebodohan yang harus dipertanggungjawabkan!
Datuk Bunaeng... kau te-
lah menyusupkan empat orang ke dalam tubuh pergu-
ruanku dan melakukan tindakan makar! Tentunya...
kau juga yang telah memerintahkan mereka atau en-
tah siapa untuk mengambil kalung Laba-laba Perak
dengan maksud mengacaukan upacara ini!"
Kening Datuk Bunaeng beberapa lama berkerut.
Dia memang menyusupkan empat orang suruhannya
yang jelas-jelas sudah diketahui oleh Pangku Jaladara.
Dia juga akan melakukan tindakan makar. Tetapi
mencuri kalung Laba-laba Perak tak pernah terpikir-
kan olehnya. Makanya dia menjadi bertambah murka. Keben-
ciannya pada mendiang Resi Kala Jinjit dan hendak di-
tuntaskan dengan cara menghancurkan Perguruan
Laba-laba Perak semakin menjadi-jadi.
Tangan kurusnya menuding. Suaranya bergetar
sarat dengan kemarahan, "Kau telah menuduh yang
bukan-bukan! Dan tindakan seperti ini tak akan per-
nah ku maafkan!"
"Terkutuk! Mengkaji kejadian lalu, kau pernah
dikalahkan oleh guru kami, Resi Kala Jinjit! Dan ten-
tunya kau akan melakukan tindakan makar kendati
Resi Kala Jinjit telah tewas!"
"Bagus kalau kau sudah mengerti, hingga kini ku
persilakan untuk segera menyelamatkan nyawa berlalu
dari tempat ini!"
Mengkelap wajah Pangku Jaladara.
"Orang tua keparat! Kau hidup hanya menoreh-
kan arang hitam di rimba persilatan ini! Sebaiknya...
kau mampus!!"
Belum habis seruannya, gemuruh angin sudah
menerjang ke arah Datuk Bunaeng. Disusul dengan
kelebatan tubuh yang luar biasa cepatnya!
Datuk Bunaeng menggeram. Dia sudah hendak
menggerakkan tangan kanannya, tetapi satu bayangan
hitam telah berkelebat dari sampingnya.
"Urusan seperti ini biar aku yang menangani!"
suara itu terdengar keras.
Blaaarrr!! Gemuruh angin yang keluar dari tombak yang di-
gerakkan oleh Pangku Jaladara, tertahan akibat ge-
lombang angin yang keluar dari ayunan tongkat si ne-
nek berpakaian compang-camping. Menyusul suara
beradunya tongkat dan tombak.
Kejap itu pula masing-masing orang surutkan
langkah. Pangku Jaladara tak berkedip pada Ratu
Tongkat Ular. "Aku sama sekali tak punya urusan denganmu!
Kakek berambut dikelabang itu telah mencuri kalung
Laba-laba Perak! Dialah yang harus dihukum!"
"Mungkin kau tak mengenalku hingga hanya
memandang sebelah mata saja! Tetapi aku punya den-
dam tinggi pada mendiang Resi Kala Jinjit! Dia pernah mengalahkanku! Sayangnya,
dia telah mampus! Tetapi
dendam ku tak akan pernah surut! Siapa pun orang-
nya yang masih berhubungan dengan Resi Kala Jinjit
dia akan mampus di tanganku!!"
Habis ucapannya, Ratu Tongkat Ular memutar
senjatanya yang serta-merta menimbulkan gemuruh
angin lintang pukang. Di tempatnya, Pangku Jaladara
tak mengedipkan mata. Diperhatikannya serangan
yang sebentar lagi akan datang. Begitu tubuh si nenek melompat menerjang, dia
pun segera melakukan tindakan yang sama.
Pangku Jaladara adalah murid utama dari Resi
Kala Jinjit. Kemampuannya hampir setingkat dengan
Resi Kala Jinjit. Pada empat jurus pertama, dia nam-
pak memang agak kewalahan karena Ratu Tongkat
Ular tak sekali pun memberinya kesempatan untuk
membalas. Tetapi dengan tombak yang dihunuskan
dan mengeluarkan cahaya bening, membuat Ratu
Tongkat Ular mundur beberapa langkah.
"Keparat!!" makinya gusar.
Pangku Jaladara tak meneruskan serangannya.
Tombaknya ditancapkan di atas tanah, hingga hulunya
yang terdapat ukiran Laba-laba Perak mencuat ke
atas! "Ratu Tongkat Ular... urusanku sekarang ini hanya dengan Datuk Bunaeng
yang telah mencuri kalung Laba-laba Perak! Sebaiknya menyingkir!"
Bukan alang kepalang kegusaran Ratu Tongkat
Ular mendengar kata-kata yang meremehkannya. Te-
tapi sebelum dia melancarkan serangan, lima orang
murid Perguruan Laba-laba Perak sudah menerjang ke
depan. Mereka bergerak menyusur di atas tanah den-
gan tangan dan kaki berfungsi untuk melangkah.
Langkah masing-masing orang cepat dan mereka me-
nyergap Ratu Tongkat Ular.
Pangku Jaladara memicingkan matanya pada Da-
tuk Bunaeng. "Niatku untuk membina persahabatan ternyata
gagal akibat ulah mu sendiri! Kembalikan kalung Laba-
laba Perak, maka kau akan kuampuni!"
"Terkutuk!!" makian itu justru terdengar dari mu-
lut gadis berpakaian kuning. Sosoknya sudah maju sa-
tu langkah. Di liriknya sesaat Ratu Tongkat Ular yang sedang membalas mendesak
lawan-lawannya. Bahkan
tiga orang dari lawannya sudah mampus dengan kepa-
la pecah. Tetapi segera dibantu oleh lima orang murid Perguruan Laba-laba Perak
lainnya. Terdengar lagi
bentakan si gadis yang bukan lain Ratih adanya,
"Pangku Jaladara! Resi Kala Jinjit juga telah membunuh guruku! Malam ini aku
datang, untuk menghan-
curkan siapa saja yang berhubungan dengan Resi Kala
Jinjit!!" Sejenak Pangku Jaladara memperhatikan gadis
yang sedang marah itu. Lalu dengan sikap tenang dia
berkata, "Urusan itu bisa kita selesaikan nanti! Saat ini aku...."
"Sombong! Mampuslah kau!!"
Sambil menerjang Ratih sudah meloloskan sepa-
sang pedangnya. Tak tanggung lagi, gadis manis yang
murka dan mendendam akibat kematian gurunya ini
sudah mengeluarkan jurus andalannya, 'Pedang
Bayangan'. Di pihak lain, Lesmana mendesah pendek. "Ratih
benar-benar telah terbawa oleh hawa nafsunya sendiri.
Ah, aku harus melakukan tindakan...."
Didengarnya suara Dewa Jubah Biru, "Adik se-
perguruanmu itu bukanlah tandingan Pangku Jalada-
ra! Bila Pangku Jaladara menginginkan kematiannya,
maka akan dengan mudah dilakukannya! Dan untuk
saat ini, nampaknya Pangku Jaladara akan kesulitan
untuk mengendalikan amarahnya. Dia telah mengeta-
hui niat busuk dari Datuk Bunaeng yang dituduhnya
telah mencuri kalung Laba-laba Perak! Firasat ku be-
nar, juga firasat pemuda yang kedua tangannya-
sebatas siku dipenuhi sisik coklat! Lesmana... bila kau
masih ingin melihat adik seperguruanmu itu hidup,
kau harus menyelamatkannya...."
Mendengar kata-kata si kakek yang selalu men-
gedip-ngedipkan matanya, Lesmana segera melesat ke
depan seraya berseru, "Ratih! Tahan segala amarah mu!!" Melihat Lesmana melesat
ke arahnya, Ratih menjadi semakin murka. Kebenciannya pada kakak seper-
guruannya yang dianggapnya sebagai seorang penge-
cut dan pengkhianat ini semakin membesar! Serta
merta dia menyerang Lesmana.
Eng Djiauw Ong 1 Dewi Sri Tanjung Persekutuan Dua Iblis Kisah Membunuh Naga 25
^