Pencarian

Pengadilan Rimba Persilatan 2

Raja Naga 11 Pengadilan Rimba Persilatan Bagian 2


tetap angker. "Aku tak bisa berdiam terlalu lama untuk men-
cari bukti-bukti yang ada. Biar bagaimanapun juga,
keadaan ini tak boleh berlarut-larut. Di samping itu, aku juga akan mencari
siapa orang yang telah membuatku seperti...."
Kata-kata Raja Naga terputus. Karena dia lang-
sung memalingkan kepalanya ke kanan, melihat satu
bayangan hijau dari balik ranggasan semak. Berputar
di udara dua kali dalam keadaan berdiri, sebelum ak-
hirnya hinggap di hadapannya.
Raja Naga memperhatikan dengan seksama
orang yang berdiri di hadapannya, yang tadi saat berputar di udara pakaian
panjangnya yang terbelah itu
membuyar. Selain memperlihatkan bungkahan sepa-
sang paha mulus dan gempal, juga membiarkan sesua-
tu yang terbalut kain tipis berwarna merah jambu
mengintip. "Dewi Berlian...," deals Raja Naga kemudian.
Perempuan berpayudara besar itu menyeringai
lebar. Tak mengeluarkan suara. Sorot matanya me-
rayu. "Raja Naga...," desisnya lembut.
Raja Naga tak menyahut, hanya memandangi
dengan sorot matanya yang angker.
"Tatapan pemuda itu benar-benar membuat
jantungku berdetak lebih cepat. Sungguh mengerikan.
Dan satu hal yang membuatku kesal, ternyata dia ma-
sih hidup! Huh! Kematian Ratu Sejuta Setan harus
kubalaskan! Rencana lain harus kujalankan seka-
rang... " Berpikir demikian, Dewi Berlian tersenyum.
"Julukan Raja Naga telah menjulang ke langit
tujuh dan menyebar ke segala penjuru sebagai orang
golongan lurus yang menerjang orang-orang golongan
sesat! Tetapi sayangnya, tindakan yang telah lama dilakukan itu harus dicoreng
dengan satu tindakan me-
malukan yang tak bisa dimaafkan!"
"Bibirnya tersenyum, wajahnya cerah, ucapan-
nya pun lembut. Tetapi aku berkeyakinan kalau dia
tak lama lagi akan menyerangku," desis Raja Naga dalam hati.
Didengarnya lagi kata-kata perempuan mesum
itu, "Dan sungguh malang nasib yang menimpamu, Pemuda tampan! Aku merasa pasti
kau bukanlah orang
yang melakukan pencurian seperti yang dituduhkan
siapa pun juga! Dan seseorang yang melakukannya te-
lah menimpakan tanggung jawabnya padamu!"
Mendengar kata-kata itu, Raja Naga mengang-
kat kepalanya. "Aku belum mengetahui siapa kau sebenarnya,
Dewi Berlian. Tetapi aku bersyukur karena masih ada
yang mau mempercayaiku...."
Sambil menindih dendamnya, Dewi Berlian te-
rus menjalankan rencananya.
"Sudah tentu aku tak pernah berpikir demi-
kian! Bahkan yang terpikirkan oleh ku sekarang, ada-
lah Datuk Bunaeng!"
"Datuk Bunaeng?"
"Siapa pun tahu, kalau Datuk Bunaeng yang
bersekutu dengan Ratu Tongkat Ular memiliki dendam
berkepanjangan pada mendiang Resi Kala Jinjit! Ken-
dati Resi Kala Jinjit telah tewas, tetapi dendam di hatinya tak akan padam!
Rencana busuk telah dikuman-
dangkan dan siap dijalankan! Kaulah yang terkena ge-
tah dari segala rencananya!"
"Walaupun dikatakannya kalau dia yakin aku
bukanlah yang melakukan pencurian itu, tetapi aku
tak bisa mempercayai sepenuhnya. Tadi kutangkap
nada suaranya sedikit bergetar," kata Boma Paksi dalam hati. Lalu, "Apakah
maksudmu dengan mengatakan akulah yang terkena getahnya?"
"Datuk Bunaeng telah menyusupkan anggo-
tanya ke dalam tubuh Perguruan Laba-laba Perak! Dia
telah mengatur semuanya sedemikian rupa! Dan kau-
lah yang menjadi sasarannya!"
"Jelaskan!"
"Salah seorang anak buah Datuk Bunaeng te-
lah mencuri kalung itu, lalu melemparkannya kepa-
damu hingga kau yang dituduh!"
"Hemm... apa yang dikatakannya tak sama se-
perti yang kudengar dari mulut Gala Jenjang dan Kulo Marutung saat kucuri dengar
percakapannya. Tetapi
ini lebih baik ketimbang aku tak mendengarkannya la-
gi," ucap Raja Naga dalam hati. Seraya memandangi perempuan jelita di
hadapannya, pemuda yang kedua
tangannya sebatas siku dipenuhi sisik coklat ini berkata, "Kalau memang yang kau
katakan itu benar, apa alasannya?"
"Alasannya" Huh! Dengan mudah sekali akan
kukatakan! Datuk Bunaeng sebenarnya memiliki den-
dam padamu!"
"Astaga! Dendam padaku" Gila! Aku belum la-
ma mengenai Datuk Bunaeng!"
"Tetapi... kau tentunya ingat tentang seorang
nenek berkulit hitam legam yang berjuluk Ratu Sejuta Setan, bukan?"
Kepala Raja Naga menegak. Untuk beberapa
lamanya dia terdiam mencernakan apa yang dimak-
sudkan oleh Dewi Berlian.
"Mengapa dengan Ratu Sejuta Satan?"
"Dia adalah saudara dari Datuk Bunaeng! Dan
kau telah membunuhnya! Rencana diatur sedemikian
rupa! Orang yang mengundangmu untuk datang ke
Perguruan Laba-laba Perak adalah orang suruhan Da-
tuk Bunaeng! Kau akhirnya terpancing untuk datang
ke sana, pada upacara penobatan Pangku Jaladara se-
bagai Ketua Perguruan Laba-laba Perak yang baru!
Dan Datuk Bunaeng kemudian dengan leluasa mem-
burumu! Dia ingin membunuhmu, tetapi tidak mem-
pergunakan tangannya! Melainkan, menimpakan satu
kesalahan besar padamu, hingga orang-orang rimba
persilatan memburumu!"
Raja Naga menahan napas. Dipandanginya pe-
rempuan berpakaian hijau yang dipenuhi butiran ber-
lian itu. Di pihak lain Dewi Berlian tersenyum dalam ha-
ti. "Sorot matanya yang angker semakin angker
dan kutangkap kalau dia mulai direjam amarah. Ba-
gus! Rencana ini akan berjalan lebih mulus lagi! Datuk Bunaeng mencarinya karena
pemuda itu dianggapnya
telah mencoreng wajahnya, sementara pemuda ini juga
akan mencarinya untuk mendapatkan bukti kalau dia
tidak bersalah! Luar biasa! Ternyata otakku sungguh
cerdik! Dan sungguh kebetulan aku berjumpa dengan-
nya di sini! Ratu Sejuta Setan, bila saja kau masih hi-
dup, tentunya kau akan mengagumi kecerdikanku...."
Lamat-lamat terdengar kata-kata Raja Naga se-
telah terdiam beberapa lama.
"Dewi Berlian... apakah kau tahu keadaan
Pangku Jaladara sekarang?"
"Hemm... bagus! Pertanyaan bagus! Akan se-
makin kubuat dia mendendam pada Datuk Bunaeng,"
desis Dewi Berlian dalam hati. Lalu menyahut, "Aku tidak tahu bagaimana
keadaannya! Pangku Jaladara di-
temukan pingsan sementara salah seorang anak
buahnya yang bernama Duto telah tewas!" Kemudian suaranya dibuat geram, "Tentang
kalung Laba-laba Perak aku yakin bukan kau yang mencurinya! Tetapi,
pembunuhan yang kau lakukan dan sebab-sebab
Pangku Jaladara pingsan, aku merasa pasti, kalau kau yang melakukannya!"
Raja Naga menggelengkan kepala.
"Kau salah besar, Dewi. Aku tak melakukan tin-
dakan itu! Kalaupun lima orang murid Perguruan La-
ba-laba Perak kubuat pingsan, karena terpaksa. Aku
harus membela diri."
"Jika bukan kau yang melakukannya, siapa,
hah"!" Dewi Berlian membuat suaranya makin keras.
Raja Naga tak menjawab. Sorot matanya yang
angker tetap terjaga. Justru Dewi Berlian yang bersua-ra, dibuat kaget, "Astaga!
Kini aku baru sadar! Ya, ba-ru terbuka mataku!"
"Apa maksudmu dengan baru sadar?"
"Bodoh! Bodohnya aku ini! Sudah tentu yang
melakukannya adalah orang-orang Datuk Bunaeng!"
Raja Naga tidak menyahut. Dewi Berlian berkata lagi,
"Huh! Sungguh sebuah akal licik yang diperlihatkannya! Datuk Bunaeng men-dendam
padamu karena kau
telah membunuh Ratu Sejuta Setan. Semua dirancang
sedemikian rupa hingga sulit bagi siapa pun untuk
menuduh Datuk Bunaeng yang telah melakukan se-
mua ini. Raja Naga... apa yang akan kau lakukan se-
karang?" Raja Naga tetap tidak menyahut. Otaknya ber-
pikir keras. Setelah beberapa lama baru dia berkata,
"Aku akan mencari Datuk Bunaeng!"
"Bagus! Kini sasaranku kualihkan padanya!"
"Mengapa kau berkata demikian" Apakah kau
sebelumnya mempunyai sasaran lain?"
"Ya! Kaulah sasaranku, Raja Naga! Karena se-
belumnya, kau kuanggap sebagai orang yang telah
mencelakakan Pangku Jaladara!"
Lagi-lagi Raja Naga tidak menyahut, diperhati-
kannya dengan seksama perempuan jelita di hadapan-
nya. Didengarnya lagi kata-kata Dewi Berlian,
"Menurut yang kudengar, Datuk Bunaeng dan
Ratu Tongkat Ular akan berada di Lembah Lingkar te-
pat pada tengah malam, malam ini."
"Bagaimana kau tahu?"
"Karena aku mencuri dengar percakapan mere-
ka! Raja Naga, tentunya kau menolak bila kita bersa-
ma-sama ke Lembah Lingkar! Sebaiknya, kita memang
menempuh jalan masing-masing! Satu hal lain yang
perlu kau ketahui, aku berada di pihakmu!"
Raja Naga hanya menganggukkan kepalanya.
"Di mana Lembah Lingkar berada?"
"Berjalanlan menuju ke selatan. Setelah kau
menemukan dua buah pohon yang tumbuh bersilan-
gan, berbeloklah ke kanan. Tak jauh dari sana, kau
sudah akan melihat Lembah Lingkar."
"Kata-kata perempuan ini tak sepenuhnya ku
percayai. Karena dia begitu mudah menerima setiap
ucapanku. Tidak seperti Jala Sringgil dan Kala Sringgil yang tetap ngotot
menyalahkanku. Hemm... apakah dia
menyembunyikan sesuatu di batik semua ini" Tapi bi-
sa jadi apa yang dikatakannya memang benar. Sampai
saat ini aku belum tahu apa yang harus kulakukan.
Tak ada salahnya bila aku pergi ke Lembah Lingkar."
Habis membatin demikian, Raja Naga berkata,
"Baiklah! Kita memang sebaiknya pergi masing-masing!
Kita berjumpa di Lembah Lingkar, Dewi Berlian!"
Belum habis seruannya, sosok Raja Naga sudah
menjauh. Dewi Berlian hanya melihat bayangan ungu
saja yang kemudian lenyap di telan pepohonan.
Lima kejapan mata kemudian, satu sosok tu-
buh melompat dari balik ranggasan semak dan berdiri
di samping kanan Dewi Berlian.
"Itukah rencana yang kau maksudkan tadi,
Dewi?" tanya sosok tubuh itu yang bukan lain Pangku Jaladara.
Dewi Berlian mengangguk-anggukkan kepa-
lanya sambil tersenyum.
"Ternyata semuanya jauh lebih mudah, jauh le-
bih baik dari apa yang kubayangkan."
Pangku Jaladara merangkul tubuh montok itu
dari belakang. Sepasang telapak tangannya menempel
tepat pada payudara Dewi Berlian, meremas-remasnya
sambil mengecupi tengkuk si perempuan yang mulus.
"Kau benar-benar cerdik...."
"Kita harus tiba lebih dulu di Lembah Lingkar."
"Untuk apa" Bukankah kita bisa bersenang-
senang dulu...."
"Yang dipikirkan lelaki ini hanya gairah semata!
Huh! Lama-lama tingkahnya membuatku muak! Aku
sudah tak lagi membutuhkan bantuannya! Membu-
nuhnya pun tak pernah kusesali! Tetapi, dia masih bi-sa kupergunakan!"
Berpikir seperti itu, Dewi Berlian membalikkan
tubuhnya. Dirangkulnya Pangku Jaladara dengan ke-
tat, hingga payudaranya menempel erat di dada Pang-
ku Jaladara yang meram-melek.
"Aku khawatir, dia akan lebih dulu tiba di sana sebelum kita. Rencana ini baru
saja muncul, setelah
tak sengaja kita yang lebih dulu berada di sini melihatnya muncul."
"Dan kehadirannya mengganggu keasyikan ku
mencumbumu, Dewi...."
Dewi Berlian tak menghiraukan kata-kata itu.
"Kita harus mengatakan pada Datuk Bunaeng yang
tentunya telah menunggu di Lembah Lingkar, kalau
pemuda itu akan segera tiba di sana."
"Kau mengatakan tengah malam mereka baru
berada di sana. Padahal tidak seperti itu kenyataan-
nya." "Tetapi tak menutup kemungkinan Raja Naga akan tiba lebih dulu dari
mereka. Pangku Jaladara, ki-ta masih punya banyak waktu untuk menikmati se-
mua ini...," sahut Dewi Berlian. Setelah mengecup bibir Pangku Jaladara dengan
mesra, dilepaskan rangku-lannya. "Kita berangkat sekarang! Melewati arah timur
lebih cepat ketimbang melalui selatan!"
Walaupun harus menindih gairahnya, Pangku
Jaladara menyetujui usul itu. Keduanya pun segera
meninggalkan tempat itu dengan berjuta kemenangan
yang telah membayang di benak Dewi Berlian. Semen-
tara itu yang dipikirkan Pangku Jaladara, hanyalah
mendapatkan kesempatan untuk menikmati tubuh
montok yang menggairahkan itu.
ENAM PADA saat yang bersamaan, Dewi Pengunyah
Sirih yang berkelebat cepat menghentikan langkahnya
di jalan setapak. Tak jauh dari tempatnya, sebuah persimpangan yang tumpang


Raja Naga 11 Pengadilan Rimba Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tindih terpampang. Bukan
karena memikirkan arah mana yang harus ditempuh-
nya yang membuat nenek yang selalu mengunyah sirih
itu menghentikan larinya. Tetapi satu suara yang sangat dikenalnya yang
menahannya di sini.
"Dewa Jubah Biru!" desisnya pelan.
"Hebat, hebat sekali! Kau masih mengenali sua-
raku!" kembali terdengar seruan itu, menyusul satu sosok tubuh hinggap sejarak
lima langkah dari hadapan Dewi Pengunyah Sirih. Orang yang memang Dewa
Jubah Biru ini langsung buka suara, "Kau nampaknya tergesa-gesa sekali" Rasanya
tak mungkin bila kau tak punya urusan yang mendesak sementara kau berlari
seperti setan!"
Dewi Pengunyah Sirih menatap tak berkedip
pada kakek yang selalu mengedip-ngedipkan matanya.
Perlahan-lahan dia bersuara, "Katanya, kalau orang bertanya seperti itu tetapi
juga menduga, ada dua
maksud! Pertama memang tidak tahu, kedua bermak-
sud mengejek! Dewa Jubah Biru... yang mana yang
kau maksudkan?"
"Yang kumaksudkan" Aku hanya ingin ber-
tanya! Dan sungguh kebetulan kita berjumpa di sini!"
"Katanya, kalau orang hendak bertanya itu pa-
da orang yang tepat! Dewa Jubah Biru, aku bukan
orang yang tepat untuk dijadikan sebagai tempat ber-
tanya!" "Kalau orang yang semula berniat untuk mencuri kalung Laba-laba Perak
kemudian beranggapan
bukan sebagai tempat yang tepat untuk bertanya, apa-
kah itu sebuah kebohongan?"
Wajah keriput si nenek berubah. Mulutnya se-
makin cepat mengunyah sirihnya sehingga keluar cai-
ran merah dari Sana.
"Katanya, orang berbohong itu selain harus di-
pertanggungjawabkan juga telah melakukan sebuah
kebodohan! Dan sangat bodoh orang yang melakukan
tindakan seperti itu!"
Dewa Jubah Biru tersenyum. Angin senja
menggerai jubah birunya.
"Jadi... apa yang kukatakan tadi itu benar?"
"Aku tidak berkata demikian! Katanya, orang
yang ingin bertanya akan langsung melontarkan per-
tanyaannya! Tetapi mengapa kau berputar-putar"!"
Lagi-lagi Dewa Jubah Biru tersenyum. Matanya
tetap berkedip-kedip.
"Kabar telah kudengar kalau kau berniat untuk
mencuri kalung Laba-laba Perak! Tetapi mengapa kau
menimpakan kesalahan itu pada seorang pemuda ber-
juluk Raja Naga?"
"Katanya, orang yang menimpakan kesalahan
pribadi pada diri orang lain telah melakukan kecurangan! Dewa Jubah Biru, aku
tak melakukan tindakan
seperti itu! Bila kau ingin mendapatkan kejelasan, sebaiknya kau temukan Raja
Naga!" "Dalam keadaan serba kacau seperti ini, dan
sulit menganggap yang mana kawan atau lawan, su-
dah tentu tak akan mudah menemukan Raja Naga!
Apalagi waktu yang sedemikian sempit! Apakah tidak
sebaiknya kau yang menjelaskan?"
"Hemmm... bila tidak kukatakan padanya, uru-
san akan jadi berabe. Aku merasa pasti kalau dia, telah datang ke Perguruan
Laba-laba Perak dan berjum-
pa dengan Raja Naga yang kemudian menceritakan se-
mua ini. Apakah memang harus kukatakan saja se-
mua ini?" Cukup lama tak ada yang bersuara. Dewi Pen-
gunyah Sirih masih menimbang apakah dia memang
harus mengatakan rahasia yang disimpannya atau ti-
dak. Di pihak lain, Dewa Jubah Biru hanya menunggu
penuh kesabaran.
Setelah beberapa lama tak ada yang bersuara,
Dewi Pengunyah Sirih berkata, "Katanya, menyimpan sebuah rahasia lebih baik
seorang diri! Walaupun
orang yang hendak kita bagi rahasia sudah bersumpah
untuk tidak membocorkannya, pada akhirnya akan
bocor juga! Tetapi aku yakin, kau akan menjaga raha-
sia itu dengan segala kehormatan yang kau miliki!"
"Ternyata kau sungguh pandai berbicara, Dewi!
Dengan kata lain, kau memaksa aku untuk bersum-
pah!" "Kau tidak perlu bersumpah! Katanya, seseorang yang telah mempercayai
orang lain demi satu ke-
benaran, akan dijunjung tinggi kehormatannya!"
Dewa Jubah Biru tersenyum dan berkata, "Kau
hendak menutupi kesalahanmu dengan memaksaku
secara halus seperti itu, atau kau memang hendak
mengatakan yang sebenarnya?"
"Katanya, sesuatu yang disampaikan itu benar
atau salah, orang yang mendengarnya yang dapat dan
harus menilai! Karena bila salah menilai, bisa-bisa
akan menjerumuskannya sendiri!"
Dewa Jubah Biru hanya mengangguk-
anggukkan kepalanya.
Dewi Pengunyah Sirih terdiam sejenak, seperti
mengatur kata-katanya. Dipandanginya kakek yang se-
lalu mengedip-ngedipkan matanya. Sejak pertama kali
mengenal Dewa Jubah Biru, belum pernah sekali pun
Dewi Pengunyah Sirih melihat tindakan yang melen-
ceng dari Dewa Jubah Biru. Dan diyakininya betul hal itu, hingga diputuskannya
untuk mengatakan apa
yang selama ini disimpan sebagai rahasia.
"Sekitar sebulan yang lalu, aku berjumpa den-
gan Resi Kala Jinjit di Bukit Dedemit. Kala itu, aku ba-
ru kembali dari perjalananku. Pertemuan yang tak
sengaja itu sungguh sangat menggembirakan. Karena
aku memang sudah berniat untuk menyambanginya
ke Perguruan Laba-laba Perak!"
Sampai di sini, Dewi Pengunyah Sirih menghen-
tikan kata-katanya. Perlahan-lahan kepalanya dipa-
lingkan. Dipandanginya kejauhan dengan seksama.
Lalu, "Kulihat juga, betapa gembiranya Resi Ka-
la Jinjit saat berjumpa denganku. Dari percakapan kegembiraan dua orang sahabat,
aku menangkap sesu-
atu di balik kegembiraannya. Dia seperti menyimpan
satu persoalan yang dipendamnya sendiri. Setelah ku-
bujuk beberapa kali, akhirnya Resi Kala Jinjit mau
mengatakannya."
Dewa Jubah Biru hanya mendengarkan, dibiar-
kan saja si nenek yang selalu mengunyah sirih itu terdiam dulu.
"Dan yang dikatakannya, sungguh menge-
jutkan. Dikatakannya, kalau dia menangkap gejala-
gejala di mana hidupnya akan berakhir. Aku tertawa.
Dan kukatakan padanya, kalau itu hanyalah sebuah
perasaan belaka. Tetapi jawabannya kemudian, mem-
buatku tak bisa tertawa dan menganggap apa yang di-
katakannya sebagai gurauan. Resi Kala Jinjit menga-
takan, akan munculnya beberapa orang untuk mem-
balas dendam terhadapnya. Yang baru kuketahui, ka-
lau dia hampir tiga hari sekali mendatangi Bukit De-
demit. Dengan maksud, agar orang-orang yang hendak
membalas dendam padanya, tidak menumpahkan ke-
marahan di Perguruan Laba-laba Perak! Itu menanda-
kan, betapa luhurnya pekerti yang dimilikinya! Dia hendak menanggung semuanya
seorang diri, dan tak
mau menimpakannya pada murid-muridnya!"
Lagi Dewi Pengunyah Sirih terdiam. Gerakan
mengunyah sirihnya melambat. Tatapan sepasang ma-
tanya kosong, kali ini dia tidak tahu apa yang menarik perhatiannya untuk
ditatap. Perlahan-lahan dia berkata kembali, "Satu hal
lain yang dikatakannya, dia menangkap gelagat yang
tidak baik di dalam perguruannya."
"Aku tidak mengerti," kata Dewa Jubah Biru untuk pertama kalinya.
"Dia merasa pasti kalau ada orang yang me-
nyusup ke dalam perguruannya. Tetapi setiap kali dis-elidikinya, setiap kali
pula dia tidak menemukan siapa orang itu. Dan satu gelagat lain yang menurutnya
sangat merisaukan, kalau ada muridnya sendiri yang mu-
lai memperlihatkan tindakan mencurigakan. Kendati
diketahuinya, tetapi Resi Kala Jinjit tak berani main tangkap sebelum ada bukti.
Sebagai seorang sahabat,
kukatakan padanya, aku mau membantu apa saja un-
tuk menolongnya. Paling tidak, menghilangkan keri-
sauan yang ada." Dewi Pengunyah Sirih tiba-tiba memalingkan kepalanya.
Tatapannya tajam pada Dewa
Jubah Biru. "Kau tahu apa yang kemudian dikatakannya padaku?" Dewa Jubah Biru
menggeleng. "Tidak."
"Dia mengatakan, bila dia tewas... maka ke-
mungkinan besar akan adanya salah seorang murid-
nya yang akan menggantikan kedudukannya."
"Kupikir itu bukanlah masalah yang besar."
"Katanya, bila seseorang belum mengetahui se-
suatu yang pasti, maka dia akan menganggap enteng
satu urusan," ucap Dewi Pengunyah Sirih, bernada sinis,
Dewa Jubah Biru hanya tersenyum.
Dewi Pengunyah Sirih mengarahkan lagi pan-
dangannya ke kejauhan. Lamat-lamat kembali dia be-
rucap, "Apa yang kemudian dimintanya benar-benar membuatku terkejut.
Dikatakannya, bila dia tewas dan
ada yang menggantikan kedudukannya, aku dimin-
tanya untuk mencuri kalung Laba-laba Perak yang
saat itu menggantung di lehernya. Sebuah benda pu-
saka yang menjadi lambang sahnya seseorang menjadi
Ketua Perguruan Laba-laba Perak."
"Jadi... niatmu untuk mencuri kalung itu atas
usul mendiang Resi Kala Jinjit sendiri?"
"Kau benar! Dia yang memintaku seperti itu!"
"Apakah dia mengatakan alasannya?"
"Resi Kala Jinjit merasakan sesuatu akan terja-
di dan sesuatu yang menohoknya dari belakang akan
dialaminya. Dengan kata lain, bila aku berhasil men-
curi kalung Laba-laba Perak, maka dengan sendirinya
perguruan itu akan bubar."
"Astaga! Sejauh itukah maksud dari Resi Kala
Jinjit?" "Apa yang menjadi tujuannya menurutku sebuah tindakan mulia. Dia tidak
ingin setelah kema-
tiannya kelak, para muridnya yang akan menanggung
semua tindakannya semasa dia hidup. Diduganya, wa-
laupun dia telah tewas, tetap akan banyak orang-orang yang menyimpan dendam
padanya akan bermunculan.
Ini memang sebuah tindakan yang penuh keberanian
juga kesedihan. Seperti yang dialami oleh Resi Kala
Jinjit." Dewa Jubah Biru tak bersuara. Kini dia mulai dapat memahami apa yang
Sebenarnya terjadi. Kemudian diajukan tanya, "Lantas... apakah memang kau yang
telah mencuri benda itu dan menimpakan tanggung jawab pada Raja Naga?"
"Tidak! Aku bahkan tidak pernah sampai ke
Perguruan Laba-laba Perak! Sudah sekian lama aku ti-
dak mendatangi tempat itu, hingga aku lupa di mana
tempatnya! Kalaupun kuceritakan aku hendak mencu-
ri kalung Laba-laba Perak pada pemuda bersisik coklat
itu, karena aku tahu siapa dia adanya! Dia tentunya
berpikir keras untuk menemukan jawaban atas uca-
panku!" "Secara tidak langsung, kau mengharapkan pemuda itu yang akan mencuri
kalung Laba-laba Perak
bila kau gagal melakukannya?"
"Tidak salah sama sekali. Tetapi sayangnya,
semua menjadi berantakan seperti ini. Raja Naga telah dituduh mencuri benda
pusaka milik Perguruan Laba-laba Perak dan kini dia diburu oleh para sahabat
dekat mendiang Resi Kala Jinjit!"
"Kalau begitu, kita harus membantunya guna
memulihkan nama baiknya."
"Katanya, Raja Naga mempunyai kemampuan
tinggi dan otak yang cerdik! Aku merasa pasti, dia dapat mengatasi semua ini.
Satu hal yang menjadi piki-
ranku sekarang... adalah Datuk Bunaeng...."
Dewa Jubah Biru tak menjawab. Sebenarnya
yang menjadi pusat perhatiannya pun Datuk Bunaeng.
Kakek yang menyimpan bara dendam sepanas api ne-
raka pada Resi Kala Jinjit.
"Aku juga menduga seperti itu. Bahkan, saat ini dia telah bersekutu dengan Dewi
Berlian...."
Sepasang mata Dewi Pengunyah Sirih seketika
membuka lebar. Gerakan mengunyah sirihnya terhen-
ti. Tatapannya terpaku pada Dewa Jubah Biru. Cukup
lama dia berada dalam ketegangan sekaligus kegera-
man seperti itu sebelum kemudian menghela napas.
"Dewi Berlian.... Katanya, dia juga pernah dikalahkan oleh Resi Kala Jinjit. Tak
mustahil memang kalau dia bersekutu dengan Datuk Bunaeng dan menja-
lankan semua rencana busuk untuk menimpakan ke-
salahan pada Raja Naga."
"Kabar telah kudengar, kalau mereka akan ber-
temu malam ini di Lembah Lingkar."
Kembali sepasang mata si nenek membuka.
"Katanya, Lembah Lingkar adalah sebuah tem-
pat yang sangat mengerikan. Hanya orang-orang nekat
yang datang ke sana. Kau tahu siapa yang mengusul-
kan untuk bertemu di sana?"
"Dewi Berlian."
"Hemmm... jangan-jangan, perempuan mesum
itu mempunyai maksud tertentu terhadap Datuk Bu-
naeng sendiri. Katanya, perempuan itu mempunyai ke-
licikan dan segala cara licik setinggi langit. Dewa Jubah Biru, apa yang menjadi
pikiranmu sekarang ini?"
"Sejak pertama aku juga memikirkan hal yang
sama dengan apa yang kau pikirkan. Tak menutup
kemungkinan kalau biang keladi dari semua ini adalah Dewi Berlian. Dan
tentunya... dibantu orang dalam
mengingat Resi Kala Jinjit mengharapkan kau mencuri
kalung Laba-laba Perak."
"Dia tidak mengatakan seperti itu."
"Ini hanya baru sebuah dugaan. Dan tak menu-
tupi dugaan itu akan menjadi satu kebenaran. Dewi...
apakah tidak sebaiknya kita menuju ke Lembah Ling-


Raja Naga 11 Pengadilan Rimba Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kar sekarang untuk membuktikan semua dugaan?"
"Bagaimana dengan pemuda bersisik coklat
itu?" "Seperti katamu tadi, dia memiliki kemampuan tinggi dan otak yang cerdik.
Mudah-mudahan, dia dapat memecahkan segala urusan yang rumit ini."
Dewi Pengunyah Sirih menganggukkan kepa-
lanya. Lalu berkata, "Ya! Kita harus membuktikan semua dugaan...."
Bersama Dewa Jubah Biru, Dewi Pengunyah
Sirih segera melangkah menuju ke Lembah Lingkar.
*** TUJUH MEMASUKI awal malam, Raja Naga tiba di se-
buah hutan yang cukup lebat. Untuk beberapa saat
dipandanginya sekelilingnya. Lalu perlahan-lahan di-
ambilnya sesuatu dari balik pakaiannya. Sebuah ka-
lung berbandul seekor Laba-laba berwarna perak. Di-
pandanginya benda itu penuh kemasygulan, sebelum
dimasukkan lagi ke balik pakaiannya dan memu-
tuskan untuk melewati hutan itu.
Pepohonan tinggi yang tumbuh di sana, laksa-
na puluhan raksasa yang sedang menatapnya. Suara
hewan-hewan malam terdengar, cukup membuat bulu
roma berdiri. Belum lagi suara gagak yang sangat tidak enak didengar.
Melewati hutan itu, Raja Naga terus berlari ke
selatan. Dia berharap dapat tiba lebih cepat di Lembah Lingkar. Sepanjang dia
berlari, dicobanya untuk menemukan dua buah pohon bersilangan, sebagai tanda dia
harus ke kanan untuk tiba di Lembah Lingkar.
Namun mendadak saja larinya dihentikan
tatkala didengarnya teriakan-teriakan keras tak jauh dari sana.
"Sekarang tak ada Dewa Jubah Biru di sini! Tak
ada lagi orang yang akan menolongmu, Lesmana!"
Menyusul suara tadi, satu letupan yang cukup
keras terdengar.
"Ratih! Hingga hari ini aku tetap berusaha un-
tuk mencegah seluruh niatmu dan mengembalikan di-
rimu seperti dulu! Tetapi kau tetap keras kepala!"
"Keinginanku sekarang hanya melihat kau
mampus!!" Di tempatnya Raja Naga mengerutkan kening-
nya. "Hemm.... Lesmana. Ratih. Rasanya... aku pernah mendengar kedua namamu. Ah,
tentunya dia pe-
muda gagah yang kala itu bersama Dewa Jubah Biru.
Tentunya pula gadis yang bernama Ratih itu adalah
adik seperguruannya. Secara tidak langsung, telah kudengar percakapan Dewa Jubah
Biru dengan Lesmana.
Di antara kedua saudara seperguruan itu telah terjadi silang pendapat. Ah,
apakah aku turut membantu
urusan itu, ataukah aku langsung menuju ke Lembah
Lingkar?" Sementara letupan demi letupan keras terden-
gar, Raja Naga masih berpikir.
"Menurut Dewi Berlian, Datuk Bunaeng akan
tiba di Lembah Lingkar tepat tengah malam. Menurut
keyakinanku, aku sudah tidak jauh lagi untuk tiba di tempat itu. Sebaiknya...."
Memutus ucapannya sendiri, murid Dewa Naga
ini segera berlari ke arah suara-suara keras yang terdengar. Lalu dengan gerakan
ringan, dia melompat ke
atas sebuah pohon. Dari tempat yang cukup tinggi itu, Boma Paksi dapat melihat
bagaimana gadis berpakaian
kuning itu sedang menyerang Lesmana dengan ganas.
Dilihatnya pula kalau si pemuda untuk beberapa lama
hanya bertahan, tetapi kemudian mulai membalas.
"Hemm... ilmu pedang gadis itu sungguh hebat. Mengeluarkan cahaya bening yang
menggidikkan. Tetapi
bayangan telapak tangan yang keluar dari telapak tangan Lesmana juga mengerikan.
Dan nampaknya kedu-
anya seolah tidak tahu kalau masing-masing orang
membahayakan satu sama lain."
Letupan keras yang membongkar tanah dan
muncratnya cahaya-cahaya bening itu terjadi beberapa kali. Tempat itu bergetar.
Pohon di mana Raja Naga berada, menggugurkan dedaunannya akibat getaran he-
bat itu. Masing-masing orang yang tadi melancarkan
serangan mundur lima langkah.
Dengan napas agak memburu Lesmana berse-
ru, "Ratih! Hingga hari ini aku tetap tak mengang-
gapmu sebagai lawanku! Aku hanya mencoba untuk
menyadarkanmu! Tak perlu kau turuti hawa nafsu dan
dendammu! Apalagi tetap menjalankan niat untuk ber-
gabung dengan Datuk Bunaeng!"
Ratih menggeram. Dadanya yang membusung
mengkal turun naik. Dihapus sedikit keringatnya pada pelipis kanannya. Dengan
suara ketus dia menyahut,
"Lesmana! Hingga hari ini aku tetap mengang-
gapmu sebagai musuhku yang harus kubunuh! Kema-
tian Guru lebih banyak disebabkan karena kepengecu-
tanmu!" "Ratih! Urusan itu sudah lama berlalu, dan tak perlu diungkit lagi!"
"Aku tak pernah menerima keadaan ini! Bila sa-
ja kau tidak pengecut dan berani untuk menghadapi
Resi Kala Jinjit, mungkin Guru belum tewas!"
"Kalaupun Guru hidup, dia hanya akan me-
nambah petaka di rimba persilatan belaka!"
"Lancang bicaramu, Lemana!"
Lesmana tak peduli. Dia berkata lagi, "Keadaan
seperti itu justru akan membahayakan dirinya sendiri, Ratih! Selain akan
menimbulkan petaka di bawah ke-kuasaan Datuk Bunaeng, Guru juga akan mengaki-
batkan kematian demi kematian yang berkepanjan-
gan!" "Itu urusannya! Bukan urusanmu!"
"Aku tak melihat itu adalah urusan Guru atau
urusanku! Yang kulihat hanyalah, aku mengetahui
siapa Guru sebenarnya! Keinginanku hanyalah untuk
mengembalikannya ke jalan lurus! Ratih... kau tidak melihat bagaimana dengan
kejamnya Guru membunuh
Pendekar Sedih! Bahkan sampai hari ini aku tidak ta-
hu sebabnya! Yang mengetahui sebab-sebab itu hanya-
lah seorang, dia adalah Datuk Bunaeng!"
Paras manis yang dimiliki Ratih kian mengke-
lap. Dadanya turun naik dengan napas mendengus-
dengus "Aku akan tetap membalas sakit hati Guru!"
"Ratih! Berulang kali kukatakan, Resi Kala Jin-
jit telah tewas, sementara Perguruan Laba-laba Perak telah hancur! Apakah kau
masih mendendam juga?"
"Aku belum melihat kau mampus! Orang yang
menjadi penyebab kematian Guru!"
Lesmana menahan napas sejenak. Tetapi beru-
saha menjaga kesabarannya
"Ratih... sejak pertama kau sudah kuanggap
sebagai adikku sendiri! Kita sama-sama tak memiliki
siapa pun juga kecuali kita berdua! Dan sebagai seo-
rang kakak, aku berusaha untuk mengembalikan
adikku dari niat busuk dan jurang kesesatan!"
"Huh! Aku tak mempedulikan segala ucapan-
mu, Lesmana!" bentak Ratih ketus. "Dulu aku juga menganggapmu sebagai seorang
kakak yang melin-dungiku! Tetapi aku tak pernah merasa mempunyai
seorang kakak yang pengecut, yang membiarkan gu-
runya dibunuh orang! Sebagai seseorang yang meng-
hormati dan menjunjung tinggi nama besar gurunya,
aku akan tetap turun tangan untuk membunuhmu
Lesmana!" "Ratih..."
"Jangan banyak berucap lagi! Bila kau tidak in-
gin mampus, kau masih kuberi keringanan untuk se-
gera menyingkir dari sini! Dan jangan coba-coba
menghalangi semua keinginanku! Terutama untuk
kembali bergabung dengan Datuk Bunaeng dan mem-
bunuh Raja Naga yang telah mengacaukan semua
urusan!" Sementara Lesmana mulai kehilangan, rasa
percaya dirinya untuk mengembalikan Ratih ke jalan
yang benar, di atas pohon Raja Naga mendesis pelan,
"Hemm... keadaan yang dialami oleh Lesmana memang bukan sesuatu yang mudah.
Menurutku, jalan satu-satunya dia memang harus melepaskan Ratih, mem-
biarkan gadis itu bergabung dengan orang yang diin-
ginkannya! Aku yakin, dia akan dapat mempertim-
bangkan kembali apa yang telah dilakukannya bila su-
dah bersama-sama dengan Datuk Bunaeng!"
Di tempatnya, Ratih sudah menyilangkan sepa-
sang pedangnya.
"Guru menurunkan ilmu pedang pamungkas
padaku! Guru juga menurunkan ilmu 'Telapak Dewa'
padamu! Sekarang, kita adu siapa yang paling hebat
menguasai ilmu-ilmu itu!"
Habis ucapannya, Ratih menggeser kaki ka-
nannya ka belakang. Tubuhnya agak sedikit dibong-
kokkan dengan sepasang pedang yang tetap menyi-
lang. Lesmana menarik napas panjang. Kegelisahan
jelas pada wajahnya yang cukup tampan.
"Dengan cara baik-baik Ratih tak bisa kute-
nangkan. Apakah aku memang harus mempergunakan
kekerasan untuk melunakkannya?" desisnya dengan otak berpikir. "Apakah kekerasan
akan membuatnya menuruti setiap yang kukatakan" Terlalu picik bila
aku tiba pada kesimpulan itu. Bila tidak kulayani, itu artinya aku membiarkannya
masuk ke jurang kehan-curan. Sebaiknya...."
Memutus kata-katanya sendiri, Lesmana meng-
angkat kepalanya.
"Ratih! Aku tidak tahu apakah tindakan yang
akan kulakukan ini benar atau tidak! Tetapi satu hal yang harus kau pahami
betul, kalau aku telah berusaha sekuat mungkin agar kau tidak sampai jatuh ke
lembah nista!"
"Tutup mulutmu! Kuperingatkan padamu, aku
akan mempergunakan ilmu 'Pedang Bayangan' pada
tingkat pamungkas! Dan sebaiknya kau juga mengelu-
arkan ilmu 'Telapak Dewa' pada tingkat yang sama!!"
Lagi-lagi Lesmana menarik napas. Ketika dili-
hatnya kedua tangan gadis berpakaian kuning di ha-
dapannya itu bergetar, perlahan-lahan pemuda ini
menahan napas. "Aku tak menginginkan kejadian ini..."
"Kau inginkan atau tidak... bersiaplah!"
Kejap lain, tak ada yang bersuara. Seiring den-
gan waktu yang terus merambat, ketegangan pun ter-
jadi. Ratih memandang tajam. Sorot matanya dipe-
nuhi binaran kebencian dan kemarahan. Di pihak lain, Lesmana hanya memandang
penuh penyesalan. Di
atas pohon, Raja Naga memperhatikan dengan seksa-
ma. Tanpa terasa perasaannya menjadi tegang.
"Hemm... tentunya ilmu-ilmu yang akan mas-
ing-masing perlihatkan sungguh dahsyat! Kutunggu
saja apa yang akan terjadi sebelum kuputuskan untuk
bertindak."
Ratih menggeram keras.
"Bersiaplah!"
Bersamaan gelegar seruannya, tubuhnya mele-
sat cepat. Tangan kanan kirinya menyabetkan sepa-
sang pedangnya. Gemuruh angin yang menerbangkan
tanah dan ranggasan semak belukar menggebrak, dis-
usul dengan cahaya-cahaya bening yang menyilaukan
mata bermuncratan.
Gebrakan yang dilakukan Ratih hanya dihinda-
ri saja oleh Lesmana. Tindakan pemuda itu Justru
membuat Ratih menjadi geram. Dengan melipat gan-
dakan tenaga dalamnya, dipukulkan pedangnya ke pe-
dang yang lain. Terjadi perubahan dahsyat pada ca-
haya-cahaya bening itu.
Traaang! Begitu pedangnya berbenturan, serta-merta,
memercik cahaya merah yang pekat. Menyusul mende-
runya cahaya-cahaya bening yang menebar laksana
hujan! Wajah Lesmana sedikit pucat. Saat itu pula ditepukkan kedua tangannya,
yang kemudian diputar ke
dalam. Dan dalam kejapan mata yang bersamaan, ke-
dua tangannya didorong ke depan!
Seketika menghampar cahaya yang membentuk
dua telapak tangan yang kemudian menyebar mem-
besar. Gemuruh angin yang mendahului membuat
tempat itu laksana digebah oleh puluhan gajah liar.
Jlegaaarr!! Bertemunya cahaya-cahaya bening yang mem-
besar dengan bayangan dua telapak tangan yang
membesar itu, membuat tempat itu bergetar hebat;
Tanah ditingkahi dengan ranggasan semak belukar
yang seketika hancur, bermuncratan ke udara. Disusul suara berdebam berkali-
kali. Di tempatnya, Raja Naga mendesis kaget.
"Astaga! Pohon ini pun bergetar hebat! Gila! Sebagian dedaunannya berguguran!"
Masing-masing orang yang melancarkan seran-
gan surut beberapa langkah ke belakang. Ratih berte-
riak sesaat sambil menjejakkan kedua kakinya di atas tanah. Menahan goyahan
tubuhnya. Kedua tangannya
bergetar dan terasa ngilu. Tetapi di lain saat, gadis ini sudah berteriak
setinggi langit.
Lalu melesat ke depan!
Sepasang mata Lesmana yang belum dapat me-
nguasai keseimbangannya, membelalak lebar. Dia tak
bisa berpikir lebih lama kecuali melipatgandakan tena-ga dalamnya lagi untuk
melancarkan Ilmu 'Telapak De-
wa'! Namun sebelum benturan yang lebih mengeri-
kan terjadi, mendadak sontak terdengar suara deha-
man yang cukup keras, disusul gemuruh angin lintang
pukang yang disemburati sinar merah.
Dehaman yang mengandung kekuatan tinggi
itu, memecahkan gemuruh angin yang keluar dari se-
rangan Ratih maupun serangan Lesmana. Sementara
gemuruh angin lintang pukang yang disemburati sinar
merah, melesat tepat sebelum cahaya-cahaya bening
dan bayangan telapak tangan yang semakin membesar
bertemu. Jlegaaar...!! Apa yang terjadi kemudian lebih mengerikan
dari sebelumnya. Tempat itu benar-benar sudah dilan-


Raja Naga 11 Pengadilan Rimba Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

da kiamat kecil. Tanah membuyar setinggi tiga tombak.
Beberapa buah pohon bertumbangan dan menimbul-
kan suara bergemuruh. Mendadak dari gumpalan ta-
nah yang membuyar tinggi itu melesat satu bayangan
kuning yang tak bisa menguasai keseimbangannya.
Dan terbanting deras di atas tanah, bertepatan
dengan melesatnya satu bayangan lagi yang juga ter-
banting keras! Baik Ratih maupun Lesmana yang sama-sama
terbanting itu berusaha untuk berdiri. Untuk beberapa saat masing-masing orang
seperti melupakan sakit pa-da tubuh mereka. Keduanya sama-sama bertanya-
tanya, siapakah orang yang berani menahan serangan
mereka satu sama lain. Tak jauh dari Lesmana dan
Ratih berdiri, kedua pedang milik Ratih telah amblas di
atas tanah dan yang nampak hanya hulunya saja!
"Gila! Siapa orang yang mau mampus berani
menahan seranganku dan serangan Lesmana"!" desis Ratih dengan aliran darah yang
kacau. Bahkan tanpa
sadar tubuhnya menggigil keras. "Dehaman yang keras tadi jelas kalau itu
dilakukan oleh seseorang!"
Di pihak lain, Lesmana juga mendesis dengan
sekujur tubuh yang terasa ngilu.
"Orang itu mencari mati rupanya, karena mela-
kukan satu kenekatan yang sangat mengerikan. Ten-
tunya dia sudah mati sekarang. Hanya karena tanah
itu masih belum sirap, mayatnya belum kelihatan.
Ah... dia melakukan satu perbuatan yang sia-sia...."
Masing-masing orang seperti melupakan uru-
san yang mereka alami. Terutama gadis berkuncir dua
yang masih tak mengerti siapakah orang yang berani
lancang menahan serangannya dan serangan Lesma-
na. Karena siapa pun orangnya, kecuali memiliki ilmu yang sangat tinggi, dia
bukan hanya akan putus nyawa!
Tetapi tubuhnya akan menjadi serpihan.
Sementara itu, diam-diam Lesmana berdoa,
agar kiranya orang yang tadi menahan serangannya
dan serangan Ratih dalam keadaan selamat. Tetapi
Lesmana sendiri tak berani berharap banyak. Karena
dia tahu apa akibatnya bila seseorang berani menahan Ilmu 'Pedang Bayangan' dan
'Telapak Dewa' dalam
waktu yang bersamaan!
Dengan perasaan tegang, ditunggunya sampai
tanah yang masih mengepul di udara itu sirap. Di se-
berang, Ratih sendiri juga melakukan hal yang sama.
Perlahan-lahan tanah itupun mulai sirap. Perla-
han-lahan nampak satu bayangan yang berdiri gagah,
yang semakin lama semakin memperlihatkan wujud-
nya secara jelas.
Satu sosok tubuh berompi ungu, dengan kedua
tangan sebatas siku dipenuhi sisik coklat yang dilipat di depan dada, berdiri
dengan gagah. Tubuhnya sedikit dipenuhi tanah. Rambutnya pun agak kotor. Dan
sorot matanya angker!
DELAPAN SEBELUM kita mengikuti kejadian itu, sebaik-
nya kita lihat dulu apa yang dilakukan oleh Jala Sringgil dan Kala Sringgil.
Setelah memutuskan untuk me-
ninggalkan Raja Naga, kedua lelaki berkepala gundul
ini terus bergerak ke arah timur.
Sambil berlari Jala Sringgil berkata, "Kau yakin kalau Musang Berjenggot mau
membantu kita?" Kala Sringgil menganggukkan kepalanya.
"Satu-satunya orang yang dapat kita mintai
bantuan adalah Musang Berjenggot!"
"Rasanya mustahil kalau Musang Berjenggot ti-
dak mendengar kematian Resi Kala Jinjit!"
"Kalau dia sudah mendengar hal itu, malah le-
bih bagus! Itu artinya, akan mempermudah kita untuk
meminta bantuannya! Jala Sringgil, kita tidak tahu
siapakah orang yang telah menghalangi seranganku
dan seranganmu terhadap Raja Naga! Tetapi satu hal
yang perlu kita perhatikan, tanpa adanya orang yang
mematahkan serangan kita itu, sulit rasanya mengha-
dapi Raja Naga!"
"Kau benar!" sahut Jala Sringgil sambil melom-pati akar melintang. "Kesaktian
yang dimiliki pemuda bersisik pada kedua tangannya sebatas siku itu, memang
sangat tinggi! Bahkan boleh dikatakan kita bu-
kanlah tandingannya!"
"Itu artinya, kita dapat meminta bantuan Mu-
sang Berjenggot! Dia adalah adik seperguruan dari Resi Kala Jinjit! Tetapi
seperti layaknya seekor musang,
Musang Berjenggot yang tidak kita ketahui siapa nama aslinya, lebih banyak
berdiam diri! Atau boleh dikatakan bersembunyi!"
"Dan bila memang dia telah mendengar kema-
tian Resi Kala Jinjit, mengapa dia tidak muncul?"
"Seperti yang kukatakan tadi, dia lebih suka
berada dalam tempat yang sunyi!"
"Menurutmu... apakah dia juga sudah menden-
gar kejadian buruk di Perguruan Laba-laba Perak?"
"Rimba persilatan ini bukanlah tempat yang te-
pat untuk menyembunyikan sesuatu! Kabar dengan
cepat akan meluas dan aku yakin, dia juga telah men-
dengarnya! Dan ini artinya, akan mempermudah kita
untuk meminta bantuannya! Sungguh keterlaluan bila
dia tidak mau turun tangan!!"
Tak ada lagi yang bersuara. Kedua orang itu te-
rus berlari sampai kemudian menghentikan lari mas-
ing-masing tatkala menangkap satu bayangan hitam
tak jauh dari sana.
"Segara Mungkil!" desis Jala Sringgil. Pada saat yang bersamaan, Kala Sringgil
juga berseru, "Pendekar Kaki Satu!"
Orang yang mereka lihat itu mendengar seruan
masing-masing orang. Serta-merta lelaki berpakaian
hitam yang kaki kanannya buntung itu menghentikan
langkahnya. Begitu melihat siapa adanya orang, se-
nyuman lebar segera terpampang.
Masih tersenyum lelaki yang kaki kanannya
buntung dan memakai sebuah tongkat sebagai pe-
nyanggah ini mendekat.
"Jala Sringgil dan Kala Sringgil! Tak kusangka
kalau kita akan berjumpa di sini!"
Baik Jala Sringgil maupun Kala Sringgil sama-
sama tersenyum. Kala Sringgil berkata, "Ada urusan apa kau sampai meninggalkan
Bukit Manunggal?"
Ditanya seperti itu, Segara Mungkil atau yang
berjuluk Pendekar Kaki Satu menyeringai. Lalu berka-
ta, "Kalian sendiri mengapa meninggalkan Pantai Tidar Kemala?"
Kala Sringgil tertawa.
"Kau memang selalu balik bertanya jika di-
tanya! Hemm... apakah kau sudah mendengar tentang
kematian Resi Kala Jinjit?"
"Aku sudah mendengarnya."
"Juga tentang dicurinya kalung Laba-laba Pe-
rak oleh...."
"Raja Naga!" putus Pendekar Kaki Satu sedikit geram. "Ya! Aku sudah
mendengarnya! Bahkan belum lama ini, aku baru saja mencoba untuk menangkapnya
untuk kubawa pada Pengadilan Rimba Persilatan! Te-
tapi pemuda dari Lembah Naga itu menolak hingga
kuputuskan untuk membunuhnya! Hanya saja... aku
gagal melakukannya..."
Kala Sringgil melirik Jala Sringgil yang juga se-
dang meliriknya.
"Beberapa hari lalu, kami pun baru bertarung
dengannya untuk meminta pertanggung jawabannya
atas perbuatan terkutuk yang dilakukannya! Tetapi...
kami juga gagal melakukannya!"
"Ah, siapa nyana ternyata kalian juga sudah tu-
run tangan untuk menghentikan sepak terjang gila da-
ri Raja Naga! Kuakui terus terang, kemampuannya
memang sungguh luar biasa!"
"Lantas... perjalanan ke mana yang sedang kau
lakukan sekarang?"
Pendekar Kaki Satu tak segera menjawab. Diin-
gatnya bagaimana Raja Naga terlepas dari tangannya.
Kemudian diangkat kepalanya. Ditatapnya kedua lelaki berkepala plontos di
hadapannya. "Setelah aku gagal menangkapnya. aku mulai
berpikir keras untuk meminta bantuan seseorang! Dan
pikiranku tiba pada seseorang yang kuanggap mau
membantuku!"
"Siapakah orang yang kau maksud?" tanya Jala Sringgil.
"Musang Berjenggot!"
"Heiii!!" Jala Sringgil berseru, Lalu tertawa.
"Luar biasa! Sungguh luar biasa! Kita sama-sama pernah mencoba untuk menangkap
Raja Naga, tetapi sa-
ma-sama mengalami kegagalan! Dan sekarang... kita
juga punya tujuan yang sama!"
"Astaga! Jadi kalian hendak menemui Musang
Berjenggot pula"!"
"Demikianlah keadaannya!"
"Sungguh sebuah perjumpaan yang mengun-
tungkan! Walaupun kabar telah kudengar kalau Raja
Naga banyak melakukan kebaikan dengan menghenti-
kan se-pak terjang orang-orang berhati busuk, tetapi tindakan yang dilakukannya
terhadap Perguruan La-ba-laba Perak tak bisa dimaafkan!"
"Kau benar! Kami sendiri belum puas bila be-
lum melihatnya diadili oleh Pengadilan Rimba Persilatan!" "Memang, seseorang
yang telah berada di puncak ketenarannya, suatu saat akan melakukan satu
tindakan yang akan meruntuhkan namanya sendiri.
Mungkin ini disebabkan oleh kesombongan yang me-
mang dimiliki oleh Raja Naga. Dia masih muda, dan
tentunya mudah goyah. Padahal sebagai seseorang
yang julukannya ramai dibicarakan orang karena tin-
dakannya menghentikan sepak terjang orang-orang
terkutuk, seharusnya dia memiliki ketenangan yang
benar-benar harus dipertahankan...."
"Tetapi terlepas dari semua itu, kini pemuda itu adalah orang yang harus
ditangkap! Atau dibunuh!
Tindakannya telah mengotori rimba persilatan!" sahut Kala Sringgil geram.
Pendekar Kaki Satu menganggukkan kepa-
lanya. "Ya! Aku ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh Dewa Naga bila dia
mendengar tindakan yang dilakukan muridnya itu!"
"Pendekar Kaki Satu... ada satu masalah yang
harus dibicarakan di sini...."
Lelaki berkaki kanan buntung itu menatap Kala
Sringgil. "Katakan...."
Kala Sringgil segera menceritakan peristiwa te-
rakhir yang dialami saat mencoba menangkap Raja Na-
ga. Jala Sringgil pun memperkuat cerita itu.
Di tempatnya Pendekar Kaki Satu mengerutkan
kening. "Kalian tidak tahu siapa orang yang telah menghalangi serangan kalian
itu" Yang dengan kata
lain telah membantu Raja Naga?"
Baik Kala Sringgil maupun Jala Sringgil meng-
gelengkan kepalanya. Pendekar Kaki Satu tak berkata
apa-apa. Untuk beberapa lama keadaan sunyi. Masing-
masing orang direjam pikiran sendiri-sendiri. Malam
terus beranjak perlahan-lahan.
Tiba-tiba Pendekar Kaki Satu berkata, agak me-
ragu, "Apakah orang yang telah membantunya itu adalah kaki tangannya?"
"Kaki tangannya" Maksudmu... dia... tidak
mungkin!" sahut Jala Sringgil. "Bila melihat kebiasaan lama, seorang kaki tangan
biasanya tak lebih pandai
dari orang yang dianggap sebagai ketuanya."
"Maksudmu... orang yang entah siapa menye-
rang kalian itu memiliki kepandaian lebih tinggi dari Raja Naga?"
"Itulah yang bisa kami nilai!"
"Kalau begitu...." Pendekar Kaki Satu tak segera meneruskan ucapannya. Keningnya
berkerut pertanda
dia sedang berpikir. Lamat-lamat dilanjutkan ucapan-
nya, kali ini bernada geram, "Orang itu... tentunya adalah orang yang dihormati
oleh Raja Naga!"
"Astaga!" seruan kaget itu terdengar dari mulut Jala Sringgil dan Kala Sringgil.
Masing-masing orang menatap tak berkedip pada Pendekar Kaki Satu.
Dengan terbata dan mata membeliak, Jala
Sringgil berkata, "Maksudmu..Dewa Naga?"
"Siapa lagi orangnya yang dihormati oleh Raja
Naga selain gurunya sendiri?"
Sahutan Pendekar Kaki Satu membuat mulut
keduanya seperti terkunci. Bahkan tanpa disadari, tubuh keduanya menggigil.
Menghadapi Raja Naga saja
mereka sudah kalang kabut, apalagi bila memang De-
wa Naga-lah orang yang berada di balik tindakan Raja Naga! Tetapi kata-kata
Pendekar Kaki Satu kemudian
membuat keduanya sedikit tenang, "Dewa Naga adalah sahabat guruku. Selama ini
aku memang belum pernah berjumpa dengannya kecuali mendengar cerita da-
ri guruku tentang sepak terjangnya. Kendati, memiliki sifat angin-anginan yang
sulit ditebak, tetapi Dewa Na-ga adalah orang golongan lurus."
"Berarti kau menyangsikan sendiri dugaanmu?"
tanya Jala Sringgil bernapas lega.
Pendekar Kaki Satu mengangguk.
"Kalau begitu, siapakah orang yang berada di
balik Raja Naga?"
Pendekar Kaki Satu menggeleng.
"Keadaan seperti ini memang sangat sulit sekali dapat kita pahami. Memahami
tindakan Raja Naga saja
pun aku tidak bisa. Banyak pertanyaan di benakku
yang tumpang tindih. Keherananku pun rasanya kian
bertambah melihat perbuatan buruk Raja Naga. Tetapi
pada kenyataannya, kita memang tak perlu lagi me-
musingkan segala macam pertanyaan yang ada. Ka-
rena saat ini, Raja Naga jelas-jelas telah melakukan tindakan busuk."
"Berarti... kita belum mendapatkan jawaban
siapakah orang yang telah menghalangi serangan kami
pada Raja Naga."
"Jawaban itu dapat kita cari kemudian dan se-
baiknya memang dikesampingkan dulu. Yang pasti, ki-
ta akan berhadapan dengan orang yang lebih tinggi il-munya."
"Mungkin orang itu hanya bisa dihadapi oleh
Resi Kala Jinjit bila dia masih hidup."


Raja Naga 11 Pengadilan Rimba Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi dia sudah tewas, dan kita belum menge-
tahui siapa pembunuhnya."
"Kami menduga, Raja Naga-lah yang telah me-
lakukan tindakan keji itu," kata Kala Sringgil.
"Dan itu artinya, dia memang harus mampus!"
sambung Jala Sringgil sambil mengepalkan tangannya
kuat-kuat. Kembali tak ada yang membuka suara. Masing-
masing orang berusaha untuk menemukan jawaban
demi jawaban yang memang sukar sekali ditemukan.
Untuk beberapa saat keheningan terjaga, hanya desir
angin yang menggeresek dedaunan yang terdengar.
"Sebaiknya...," terdengar kata-kata Pendekar Kaki Satu, "Kita kesampingkan dulu
tentang Raja Na-ga. Kebulatan tekad kita untuk membawanya pada
Pengadilan Rimba Persilatan harus kita lakukan. Dan
satu-satunya cara kita memang harus bersatu untuk
menangkapnya."
"Ya! Kau benar! Sebaiknya kita segera menjum-
pai Musang Berjenggot!" kata Jala Sringgil.
Usulnya itu disetujui. Tak lama kemudian, ke-
tiganya sudah meninggalkan tempat itu. Di hati mas-
ing-masing orang, hanya ada satu keinginan. Menang-
kap Raja Naga dan melihatnya mati, karena telah men-
coreng aib di perguruan Laba-laba Perak! Perguruan
yang telah dibina oleh sahabat mereka yang telah te-
was. Bahkan, bukan hanya mereka yang tidak tahu
siapa pembunuh Resi Kala Jinjit!
SEMBILAN ASTAGA!" seruan kaget itu sama-sama keluar
dari mulut Ratih dan Lesmana. Masing-masing orang
mundur satu langkah dengan kepala menegak. Sosok
yang berdiri angker itu tersenyum.
"Maafkan tindakanku yang mengganggu kea-
syikan kalian," kata Raja Naga penuh wibawa. "Tetapi, apa yang kulihat tadi,
sungguh sesuatu yang sangat
mengerikan. Sesuatu yang tak seharusnya terjadi di
antara kalian...."
Lesmana yang masih tertegun menyaksikan so-
sok yang diduganya telah mati itu, mendesis pelan,
"Boma Paksi....".
Di pihak lain, Ratih memicingkan matanya. Ga-
dis ini seolah melupakan rasa sakit pada sekujur tu-
buhnya. Mendadak kedua matanya membuka lebar.
Menyusul desisannya, "Raja Naga!"
Boma Paksi tersenyum pada Ratih.
"Ratih... apa yang telah dilakukan oleh Lesma-
na, menurutku adalah satu tindakan yang mulia! Te-
tapi, semuanya kembali kepadamu bagaimana cara
kau menyikapinya! Hanya saja, aku juga berharap,
agar kau mengurungkan semua niat yang telah terjalin di hatimu! Untuk membalas
dendam maupun untuk
bergabung dengan Datuk Bunaeng!"
Kemarahan gadis berpakaian kuning ini mun-
cul kembali. Ditatapnya pemuda berompi ungu itu un-
tuk beberapa lama.
"Huh! Kabar yang kudengar kalau orang yang
berjuluk Raja Naga adalah orang yang berada di jalan lurus! Tetapi pada
kenyataannya, hanyalah seorang
pengecut yang hanya berani melakukan satu pencu-
rian tanpa berani mempertanggungjawabkan perbua-
tannya!" "Apa yang kau katakan itu, tak bisa kubantah!
Karena bila kulakukan pun kau tetap tak akan mem-
percayainya! Hanya yang kuinginkan sekarang, agar
kau menghentikan semua niatmu, Ratih!"
"Seorang pengecut hanya berani berucap untuk
menutupi kepengecutannya! Gara-gara tindakanmu
seluruh rencana Datuk Bunaeng menjadi gagal!"
"Kau begitu menyesali nampaknya!"
"Karena aku tak sudi seseorang menggagalkan
rencana orang yang kuhormati!"
"Sejak tadi kau hanya mengatakan kalau Setan
Bayangan adalah orang yang paling kau hormati lan-
tas, mengapa kau mengatakan kalau kau juga meng-
hormati Datuk Bunaeng"!"
"Karena guruku adalah sahabatnya! Dan aku
patut menghormatinya!"
"Kau menghormati Setan Bayangan karena dia
adalah gurumu, Ratih! Dan kau menghormati Datuk
Bunaeng hanya karena dia seorang sahabat gurumu"
Ratih... aku telah mengetahui keadaanmu dan Les-
mana! Setan Bayangan hanyalah menjadi seorang pe-
suruh belaka dari Datuk Bunaeng, yang memerintah-
kannya untuk membunuh Pendekar Sedih! Apakah
kau patut menghormati orang yang telah menyuruhmu
melakukan tindakan keji?"
"Raja Naga! Apa pun yang dilakukan oleh guru-
ku bukanlah urusanmu! Yang pasti, guruku telah te-
was dibunuh oleh Resi Kala Jinjit!"
"Resi Kala Jinjit melakukannya hanya melak-
sanakan kewajibannya untuk menghentikan tindakan
makar gurumu! Bahkan bukan hanya yang dilakukan
oleh gurumu! Siapa pun yang telah melakukan tinda-
kan keji, tentunya tak luput dari tindakannya!"
Wajah Ratih memerah.
"Dan aku tak pernah memaafkan tindakan-
nya!!" Raja Naga tersenyum.
"Bagaimana dengan tindakan gurumu yang te-
lah membunuh Pendekar Sedih" Apakah kau bisa
memaafkannya"!"
Kali ini Ratih tak bersuara. Lesmana yang
memperhatikan diam-diam berkata dalam hati, "Ah, seperti itulah inti yang harus
kukemukakan...."
Karena tak mendapati jawaban si gadis, Raja
Naga berkata lagi, "Mungkin saat ini, ada orang yang menangisi kematian Pendekar
Sedih, mungkin juga tidak. Mungkin ada pula orang yang mendendam pada
gurumu, Setan Bayangan, mungkin juga tidak. Kema-
tian Pendekar Sedih di tangan gurumu, lantas kema-
tian gurumu di tangan Resi Kala Jinjit, merupakan sebuah rangkaian yang memang
harus terjadi! Ratih...
kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Apakah kau
juga mau memaafkan tindakan gurumu yang telah
membunuh Pendekar Sedih bila saat ini dia masih hi-
dup" Atau kau akan diam saja membiarkannya mela-
kukan tindakan seperti itu?"
Lagi-lagi Ratih tak menjawab. Wajahnya yang
dipenuhi amarah dan ketegangan, perlahan-lahan me-
redup. Matanya sesekali mengerjap. Sesuatu yang se-
lama ini tak disadarinya mulai naik ke permukaan.
Tetapi mendadak dia berseru, "Raja Naga! Kau
tidak tahu sebab-sebab guruku membunuh Pendekar
Sedih! Mungkin Pendekar Sedih adalah seseorang yang
telah banyak melakukan perbuatan dosa dan guruku
kemudian menghukumnya!"
"Lantas bagaimana dengan gurumu sendiri
yang jelas-jelas telah melakukan tindakan keji pada
Pendekar Sedih" Apakah tidak patut dihukum" Atau
memang seharusnya dibiarkan!"
"Itu urusan guruku!"
"Bukan urusan gurumu, Ratih! Karena bila me-
mang itu urusan gurumu, sudah seharusnya kau tidak
mencampurinya! Kau tak perlu mendendam pada Les-
mana yang kau katakan seorang pengecut! Padahal
apa yang dilakukannya adalah sebuah tindakan yang
benar!" "Jangan bicara lagi!" bentak Ratih keras, tetapi suaranya mulai
bergetar. Raja Naga terus berbicara, "Orang yang seha-
rusnya bertanggung jawab dalam urusan ini adalah
Datuk Bunaeng! Dengan kata lain, gurumu hanyalah
kaki tangannya belaka yang menjalankan seluruh
keinginannya! Keinginan membunuh Pendekar Sedih
dapat kuyakini kalau bukan keinginan gurumu, tetapi
keinginan Datuk Bunaeng yang memerintahnya! Jadi
dalam hal ini, Datuk Bunaenglah yang harus bertang-
gung jawab!"
Untuk kesekian kalinya Ratih terdiam. Wajah-
nya perlahan-lahan membiaskan ketegangan kembali.
Kalau sebelumnya ketegangan itu menandakan kema-
rahannya, tetapi kali ini justru menampakkan kebin-
gungannya. Raja Naga menghentikan ucapannya. Dibiarkan
gadis itu yang memikirkan setiap ucapannya tadi. Di-
yakininya kalau gadis itu memang memiliki tabiat
baik, tetapi hanya karena dendam yang bermula dari
silang pendapatlah yang membuatnya menjadi sedemi-
kian ganas dan keras kepala.
Sementara itu, melihat adik seperguruannya
seperti merenungi kata-kata pemuda yang kedua len-
gannya sebatas siku bersisik coklat, Lesmana segera
berkata, "Ratih... apa yang dikatakan Raja Naga san-gatlah benar sebenar-
benarnya. Dalam urusan ini kita bukan melihat keadaan Pendekar Sedih maupun
keadaan Guru. Tetapi, orang yang telah memerintah Guru
untuk melakukan tindakan keji itu. Dapat kupahami
kalau Guru melakukan tindakan keji itu semata takut
pada orang yang memerintahnya...."
Ratih melirik. Sorot matanya berubah tajam
kembali. "Bagaimana dengan kau sendiri yang telah
menjadi pengecut seperti itu, hah"! Kau sekarang da-
pat membela diri karena merasa mendapat teman yang
mampu membuatmu bertahan!"
Lesmana menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ratih.... Datuk Bunaenglah yang harus mem-
pertanggungjawabkan semua ini. Dan sungguh meng-
herankan bila ternyata kau berkeinginan untuk berse-
kutu dengannya."
Kendati sorot matanya tetap tajam, Ratih tak
bersuara. Dadanya bergerak turun naik. Perasaannya
mulai dimasuki sesuatu yang membuatnya menjadi re-
sah sendiri. Lesmana berkata lagi, "Terlepas dari semua
yang dikatakan oleh Raja Naga dan aku tadi, semua-
nya kembali pada dirimu sendiri, Ratih. Hanya kaulah
yang bisa menyikapi keadaan ini sebelum kau masuk
ke jurang kesesatan,..."
Kegelisahan gadis manis itu semakin memun-
cak. Kepalanya menggeleng-geleng resah dengan mata
yang berulangkali mengerjap. Raja Naga melangkah
mendekatinya. "Urusan ini memang tidak mudah. Karena
kembali pada diri kita masing-masing. Hanya yang per-lu ditekankan di sini,
keadaan akan semakin menjadi
berantakan bila kita tidak menggabungkan akal piki-
ran kita untuk menindih amarah. Ratih... berpikirlah sekali lagi. Bila kau
memang masih menganggap pera-saanmu yang pertama itu sebuah kebenaran, tak ada
salahnya bila kau melakukannya. Mungkin dengan ca-
ra seperti itu, kau akan bisa merasa puas untuk mem-
buktikan semuanya. Dan mengenai tuduhan yang te-
lah melekat pada diriku, kukatakan itu adalah sebuah kesalahan besar. Aku tidak
pernah mencuri kalung
Laba-laba Perak. Tetapi, kuceritakan pun tak ada gu-
nanya...."
Gadis berkuncir dua itu perlahan-lahan men-
gangkat kepalanya. Matanya bertemu dengan mata
angker Raja Naga. Kalau sebelumnya Ratih sempat
menundukkan kepalanya, tetapi kali ini dia seperti
menangkap sebuah pesona yang mendadak masuk ke
perasaannya. Diusahakan untuk menepiskannya, te-
tapi semakin dia berusaha, semakin kuat pesona yang
terpancar itu. Tiba-tiba dia mendesah pendek.
"Aku tidak tahu siapa yang benar dan siapa
yang salah."
"Dalam hal ini, tak ada yang benar atau yang
salah. Tetapi yang pasti, Datuk Bunaeng adalah orang di balik semua ini. Seperti
yang kudengar dari Dewi
Berlian, kalau dia telah merencanakan tindakan makar
untuk menghancurkan Perguruan Laba-laba Perak.
Satu hal lain, Dewi Berlian juga mengatakan, kalau
Datuk Bunaeng mendendam padaku."
"Mengapa?"
"Menurut Dewi Berlian, Datuk Bunaeng mem-
punyai seorang saudara yang berjuluk Ratu Sejuta Se-
tan, yang beberapa waktu lalu harus kuhentikan sega-
la tindakan kejinya dengan memperalat seorang gadis
yang sebelumnya murid dari seorang tokoh keji ber-
nama Dadung Bongkok. Gadis itu berjuluk Ratu Tanah
Terbuang yang telah dimasukkan dengan pendapat ke-
ji tentang diriku. Dan menurut Dewi Berlian, Datuk
Bunaeng telah merencanakan semua ini untuk mence-
lakakanku...."
Untuk beberapa lama tak ada yang membuka
suara. Baik Ratih maupun Lesmana sama-sama mena-
tap Raja Naga. Sementara itu, dengan sesekali melirik adik seperguruannya,
Lesmana membatin, "Nampaknya kekerasan dan kemarahan Ratih mulai melemah.
Dia mulai kembali ke sifat aslinya. Ah, bagaimana caraku untuk berterima kasih
pada Raja Naga?"
Terdengar suara Ratih, "Raja Naga... dari apa
yang kau katakan barusan, aku menangkap sedikit ke-
janggalan."
"Tentang apa?"
"Sebelum ini aku telah bergabung dengan Da-
tuk Bunaeng yang menyambut kehadiranku dengan
penuh suka cita mengingat aku adalah murid Setan
Bayangan, hingga dia tak sungkan untuk mencerita-
kan seluruh rencananya padaku. Tak pernah disebut-
sebutnya julukan Ratu Sejuta Setan. Bahkan tak per-
nah disinggungnya keinginannya untuk mencuri ka-
lung Laba-laba Perak dan menimpakan kesalahan itu
kepadamu!"


Raja Naga 11 Pengadilan Rimba Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Raja Naga tak menjawab. Keningnya sejenak
berkerut memikirkan apa yang dikatakan Ratih.
Gadis itu melanjutkan kata-katanya, "Aku tidak
tahu apakah Datuk Bunaeng memang menutupi sesu-
atu atau tidak. Tetapi sekarang, aku hendak mencari
Datuk Bunaeng untuk menanyakan kebenaran dari
ucapanmu...."
Pemuda dari Lembah Naga itu menarik napas
pendek. Diam-diam dia membatin, "Menurut Dewi Berlian, Datuk Bunaeng akan berada
di Lembah Lingkar
malam ini. Bila kukatakan soal itu pada Ratih, dapat kupastikan kalau dia akan
berangkat ke sana. Ini lebih berabe. Mengingat saat ini nampaknya Ratih mulai
dapat memahami apa yang terjadi. Sebelumnya dia
punya niatan untuk bergabung dengan Datuk Bu-
naeng. Dan sekarang dia punya niatan untuk bertanya
pada Datuk Bunaeng tentang keadaan yang sebenar-
nya. Bisa kupastikan kalau Datuk Bunaeng tanpa me-
ragu akan menjawab apa adanya. Itu artinya, justru
akan membuat bibit dendam di hati gadis itu akan be-
ralih pada Datuk Bunaeng. Dengan begitu, artinya aku tak mampu membawanya pada
kebenaran. Hemm...
sebaiknya tak perlu kukatakan."
Raja Naga sesaat terdiam, mempertimbangkan
apa yang dipikirkannya. Di lain saat, sambil meman-
dang pada gadis berkuncir dua itu, dia berkata, "Ya!
Mungkin kau harus mencari Datuk Bunaeng untuk
mengetahui keadaan yang sebenarnya! Dan kuminta
kau dapat menyikapinya dengan lebih baik apa pun
yang dikatakan oleh Datuk Bunaeng!"
Ratih memandang pemuda di hadapannya den-
gan seksama. "Sorot matanya begitu angker, tetapi dia memi-
liki hati yang lembut."
Raja Naga berkata pada Lesmana, "Lesmana...
kau temani adik seperguruanmu itu...."
Sejenak Lesmana kelihatan meragu. Ditatapnya
pemuda berompi ungu itu yang sedang menunggu ja-
wabannya. Perlahan-lahan Lesmana melirik Ratih, Dan
dia tercekat tatkala melihat Ratih menganggukkan ke-
pala sambil tersenyum, pertanda dia setuju akan usul Raja Naga. Pemuda gagah ini
menghela napas lega.
Lalu dirangkapkan kedua tangannya di depan
dada dan berkata hormat pada Raja Naga, "Aku tidak tahu bagaimana caraku untuk
berterima kasih padamu. Hampir tujuh bulan lamanya aku berusaha untuk
menyadarkan Ratih, menyadarkan kesalah pahaman-
nya dalam urusan ini. Tetapi malam ini, kau dengan
mudah melakukannya. Karena kau menemukan inti
dari permasalahan ini."
"Tak perlu dipikirkan soal itu. Yang telah kau
lakukan adalah sesuatu yang hebat. Kau masih dapat
menahan amarahmu menghadapi adik seperguruanmu
itu. Itu tandanya kau lebih bijak dari apa yang kau rasakan sebenarnya."
Mendengar kata-kata itu, Lesmana tersenyum.
"Aku bersyukur bisa berjumpa dengan Raja Na-
ga..." "Sebaiknya, kau temani adik seperguruanmu itu...." "Kakang Lesmana!
Apakah kau masih hendak berdiam di sini lebih lama"!" terdengar suara Ratih.
Lesmana tertawa. Cara Ratih memanggilnya ta-
di, seperti tujuh bulan yang lalu.
"Ya, ya! Kita berangkat sekarang!"
"Lesmana... ajak dia menjauh sejauh-jauhnya.
Usahakan agar dia tidak mengingat tentang Datuk Bu-
naeng...."
"Mengapa kau memintaku berbuat demikian?"
"Untuk saat ini, aku hanya ingin mendengar
kabar yang enak tentang Ratih. Seperti yang kita keta-
hui, kalau Datuk Bunaeng adalah orang di belakang
gurumu yang telah memerintahkannya untuk membu-
nuh Pendekar Sedih. Dan sudah tentu bila Ratih ber-
temu dengan Datuk Bunaeng dan menanyakan kebe-
naran itu, Datuk Bunaeng tak akan segan-segan men-
jawab apa adanya. Itu artinya, kita hanya akan menjerumuskan Ratih dalam bara
dendamnya...."
Mendengar penjelasan Raja Naga, Lesmana
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ya, kau benar."
"Jadi... usahakanlah agar kau membawa adik
seperguruanmu itu menjauh dari urusan ini."
Lesmana mengangguk lagi. Tiba-tiba dia berka-
ta, "Raja Naga... aku merasa pasti kalau kau mengetahui di mana Datuk Bunaeng
sekarang?"
Raja Naga mengangguk.
"Ya! Bahkan seharusnya aku sudah tiba di
tempat itu...."
"Kau hendak...."
"Sudahlah," kata murid Dewa Naga sambil tersenyum. "Tak usah kau pikirkan soal
itu! Aku menemui Datuk Bunaeng, untuk mencari bukti-bukti kalau
aku tidak bersalah! O ya, di manakah Dewa Jubah Bi-
ru sekarang?"
Lesmana menggeleng.
"Aku meninggalkannya karena aku harus me-
nyusul Ratih."
Raja Naga tersenyum.
"Sekarang, berangkatlah. Hati-hati...."
Diantar pandangan angker Raja Naga, kedua
saudara seperguruan yang telah berdamai itu segera
meninggalkan tempat. Raja Naga masih memandan-
ginya sampai keduanya menghilang. Perlahan-lahan
pemuda yang kedua tangannya sebatas siku dipenuhi
sisik coklat ini menarik napas panjang.
Tatkala ditengadahkan kepalanya dan dilihat-
nya rembulan semakin beranjak tepat di atas kepala,
kejap itu pula murid Dewa Naga sudah berkelebat me-
neruskan perjalanan menuju ke Lembah Lingkar.
Tak lama kemudian, tanah yang berada tak
jauh dari tempat Lesmana berdiri tadi, mendadak saja bergerak. Sangat perlahan
dan semakin lama makin
memperlihatkan bentuk satu sosok tubuh.
Lagi-lagi kakek yang mengenakan pakaian pan-
jang seperti warna tanah itu berada tak jauh dari Raja Naga. Kalau sebelumnya si
kakek yang sekujur tubuhnya berwarna sama dengan tanah ini berada tak jauh
dari Raja Naga di kala sedang menghadapi serangan
dari Jala Sringgil dan Kala Sringgil, sekarang dia sudah berada di sana.
"Hemmm... seperti apa yang kuduga- akhirnya
membawa kenyataan. Pemuda itu jelas-jelas bukan pe-
laku dari pencurian pusaka kalung Laba-laba Perak.
Bunaeng, Ratu Tongkat Ular dan Dewi Berlian. Aku tak bisa mempercayai apa yang
telah dikatakan Dewi Berlian kepada pemuda itu sebelumnya. Sebenarnya aku
juga hadir di sana saat pemuda itu berjumpa dengan
Dewi Berlian. Bahkan, aku sempat melihat satu sosok
tubuh lainnya yang berada di balik ranggasan semak.
Astaga! Rupanya kelicikan demi kelicikan telah terjadi dan pemuda berjuluk Raja
Naga itulah yang menjadi
korban...."
Perlahan-lahan kakek berkulit seperti warna
tanah ini menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tindakan pemuda itu sungguh luar biasa. Dia
dapat menuntaskan urusan antara pemuda bernama
Lesmana dan gadis yang bernama Ratih. Hebat! He-
bat!" desisnya lagi sambil tetap menggeleng-gelengkan kepala. "Hemm.... Lembah
Lingkar... pemuda itu akan menuju ke sana untuk mencari bukti kalau dirinya tak
bersalah. Aku pun ingin tahu siapa yang telah mem-
bunuh Resi Kala Jinjit. Sebaiknya, kuikuti saja terus pemuda itu...."
Si kakek sesaat terdiam. Setelah menatap ke-
lamnya langit sejenak, di saat lain dia sudah bergerak ke arah yang ditempuh
Raja Naga. SELESAI Ikuti kelanjutan serial ini:
MUSLIHAT DEWI BERLIAN
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pendekar Super Sakti 17 Pendekar Bayangan Sukma 17 Warisan Berdarah Badai Awan Angin 30
^