Pencarian

Muslihat Dewi Berlian 1

Raja Naga 12 Muslihat Dewi Berlian Bagian 1


RINGKASAN EPISODE YANG LALU
(PENGADILAN RIMBA PERSILATAN)
SETELAH BERHASIL MENDAMAIKAN RATIH
DAN KAKAK SEPERGURUANNYA, LESMANA, RAJA
NAGA SEGERA BERKELEBAT MENUJU LEMBAH
LINGKAR. TAK LAMA SETELAH RAJA NAGA PERGI, DI
TEMPAT YANG BARU DITINGGALKANNYA TIBA-
TIBA MUNCUL SATU SOSOK TUBUH DARI DALAM
TANAH. SOSOK ITU RUPANYA SEORANG KAKEK
YANG MENGENAKAN PAKAIAN PANJANG SEPERTI
WARNA TANAH. KAKEK ITU PUN BERGUMAM.
"TINDAKAN PEMUDA ITU SUNGGUH LUAR BI-
ASA. DIA DAPAT MENUNTASKAN URUSAN ANTARA
KAKAK DAN ADIK SEPERGURUAN ITU. HEBAT...
HEBAT...! SEKARANG PASTI SI RAJA NAGA ITU
MENUJU LEMBAH LINGKAR, SEBAIKNYA KUIKUTI
SAJA!" SESAAT MATANYA MENATAP LANGIT YANG
TELAH KELAM, LALU TUBUHNYA BERKELEBAT KE
ARAH YANG DITUJU RAJA NAGA.
Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU SUASANA di tempat yang agak landai dan dipe-
nuhi dengan pepohonan itu sepi. Hanya suara hewan
malam yang terdengar. Angin timur laut berhembus
dingin, menggeresek dedaunan yang cukup menimbul-
kan suara mendebarkan. Malam terus beranjak dan
tak lama lagi akan tiba pada puncaknya.
Datuk Bunaeng tak bersuara. Matanya meman-
dang tajam pada Dewi Berlian yang baru saja menceri-
takan sesuatu yang cukup mengejutkan sekaligus
membuat kemarahannya semakin naik. Diliriknya
Pangku Jaladara yang terbujur dalam keadaan telen-
tang di atas tanah.
Sesuai dengan apa yang direncanakan, Datuk
Bunaeng bersama Ratu Tongkat Ular dan Resi Hitam
terlebih dulu tiba di Lembah Lingkar. Kakek berjubah
hitam yang sepasang alisnya menyatu ini menggeram
karena tak melihat sosok Dewi Berlian. Tetapi kegera-
mannya itu lenyap tatkala perempuan berpayudara
montok yang mengenakan pakaian panjang warna hi-
jau dipenuhi butiran berlian itu muncul dengan me-
nyeret tubuh Pangku Jaladara, yang kemudian diban-
tingnya hingga terbujur di atas tanah.
Kemudian tanpa membuang waktu Dewi Berlian
memberitahukan sesuatu yang mengejutkan kakek be-
rambut dikelabang itu!
"Bagus kalau Raja Naga berani datang ke Lembah
Lingkar!" deals kakek berambut dikelabang itu dingin.
"Itu tandanya, siap untuk mencari mampus!"
Dewi Berlian yang sedang menjalankan rencana
busuknya, tersenyum dalam hati.
"Dengan begini, aku dapat mengadu domba anta-
ra Datuk Bunaeng dengan Raja Naga. Tetapi bila tin-
dakanku ini tidak dibantu oleh Pangku Jaladara mus-
tahil perkembangannya seperti itu."
Wajah perempuan yang pakaian bawahnya terbe-
lah di kanan kiri hingga batas pinggul ini, sedikit berubah ketika melihat
tatapan kakek bongkok berkulit
sangat hitam. Belum lagi bibir keriput si kakek tersenyum-senyum sendirian, dan
sesekali memberi isyarat
seperti kecupan.
"Keparat! Siapa kakek setan ini" Tatapannya pe-
nuh birahi dan membuatku menjadi begitu muak!"
Kakek yang bukan lain Resi Hitam itu mendesis
pada Datuk Bunaeng, "Bunaeng! Lama kudengar kabar tentang seorang perempuan
jelita yang berjuluk Dewi
Berlian! Sekian lama pula kubayangkan betapa cantik
wajahnya dan begitu panas tubuhnya! Lama pula ku-
pendam hasratku untuk menggelutinya! Dan tak ku-
sangka tak kuduga, kalau hari ini aku berjumpa den-
gannya! Dan... wah, wah! Luar biasa! Sungguh luar bi-
asa! Kecantikan dan kemolekannya jauh melebihi apa
yang kubayangkan!"
Datuk Bunaeng menyeringai lebar. Di pihak lain,
Dewi Berlian menggeram keras. Sementara itu, sesuai
rencana yang dijalankan, Pangku Jaladara yang berla-
gak pingsan, menggeram dalam hati.
"Terkutuk! Siapa kakek berkulit hitam yang sem-
pat kulihat tadi" Setan laknat! Lancang betul mulut-
nya berbicara seperti itu. Huh! Suatu saat, dia harus mampus di tanganku!"
Resi Hitam berkata lagi, "Bunaeng! Kau lihat bu-
kit kembarnya yang padat dan memperlihatkan seba-
gian besar kepadatannya itu" Ah, kedua tanganku ini
rasanya sudah tak mampu kutahan lagi untuk mere-
masnya! Tentunya begitu kenyal, lembut dan mengge-
maskan! Dan kau lihat sepasang pahanya yang gempal
aduhai" Gila! Aku bisa mati berdiri bila belum menik-
matinya!" "Kakek hitam! Jaga mulutmu kalau bicara!!" bentak Dewi Berlian tak dapat
menguasai lagi amarahnya.
Kehadiran kakek itu memang di luar dugaannya. Sebe-
lumnya, dia hanya menyangka kalau Datuk Bunaeng
dan Ratu Tongkat Ular saja yang berada di Lembah
Lingkar. Resi Hitam menyeringai lebar.
"Mengapa harus gusar" Aku laki-laki dan memili-
ki kejantanan yang luar biasa! Dan kau perempuan
yang memiliki tubuh montok luar biasa! Bukankah ini
sesuatu yang menguntungkan" Kejantananku dapat
kutumpahkan pada tubuhmu yang montok, yang ten-
tunya juga akan kau nikmati!!"
Srraaattt!! Belum habis seruan Resi Hitam terdengar, satu
cahaya gemerlapan yang menebarkan hawa panas su-
dah menggebrak ke arahnya!
Kepala Resi Hitam seketika menegak. Sorot ma-
tanya tajam berapi-api. Mendadak disentakkan tangan
kanannya ke atas. Gumpalan awan hitam tiba-tiba
bergerak naik diiringi suara bergemuruh. Menyusul
awan hitam itu tiba-tiba turun dengan deras dan se-
perti halnya sebuah tangan, menangkap dan memaksa
masuk cahaya gemerlapan yang dilancarkan Dewi Ber-
lian! Begitu masuk, terdengar letupan yang keras!
Blaaarrrr!! Awan hitam itu muncrat berhamburan sementara
cahaya gemerlapan tadi tertungkup jatuh di atas tanah yang membuat tanah muncrat
setinggi setengah tombak. Di tempatnya, napas Dewi Berlian memburu ke-
ras. Sorot matanya bengis tak berkedip.
Di pihak lain, sepasang mata Resi Hitam melotot.
Bukan jengkel karena mendapatkan serangan menda-
dak dan tatapan seperti itu, melainkan mengarahkan
pandangannya pada bungkahan sepasang bukit mon-
tok milik Dewi Berlian yang naik turun.
"Astaga!" desisnya sambil menelan ludah. "Pasti nikmat betul kalau aku
menyusupkan kepalaku di be-lahan kedua bukit itu!"
"Terkutuk!!" maki Dewi Berlian berang dan siap melancarkan serangannya lagi.
Tetapi suara Datuk Bunaeng menghentikannya.
"Tak perlu gusar untuk urusan yang sepele ini!
Kita adalah kawan, demikian pula dengan Resi Hitam!
Tahan segala kemarahanmu, Dewi Berlian! Karena
orang yang sama-sama kita tunggu akan muncul di si-
ni!" Dewi Berlian melirik dengan tatapan ganas. Tak menyukai apa yang dikatakan
oleh Datuk Bunaeng. Di
pihak lain, Ratu Tongkat Ular menggeram dalam hati.
"Huh! Mengapa Bunaeng harus menahannya"
Aku ingin melihat dia bertarung dengan Resi Hitam!
Aku berharap kalau kedua-duanya sama-sama terluka!
Bahkan kalau mungkin, mampus sekarang juga! Ja-
di... dendam lamaku pada Resi Hitam yang pernah
memperkosaku empat puluh tahun lalu, tak perlu ku-
tindih seperti sekarang! Ah, aku sendiri sebenarnya
sudah tak mampu menahan gejolak dendamku! Tetapi,
aku melihat sebuah keuntungan yang lebih besar bila
aku tetap menahan amarahku!"
"Bunaeng! Rencana yang ada hanyalah kau dan
aku! Tetapi kehadiran Ratu Tongkat Ular di sini bu-
kanlah suatu masalah, karena pada awalnya dia sudah
bergabung denganmu! Tetapi kakek keparat bermulut
kotor itu, sungguh bukanlah sesuatu yang menye-
nangkan melihatnya hadir!"
Datuk Bunaeng menyeringai.
"Tak perlu gusar! Kita akan saling bantu untuk
mendapatkan sebuah keuntungan yang besar Dewi
Berlian, tak lama lagi kau akan melihat betapa men-
guntungkannya dengan hadirnya dia di sini!!"
Sebelum dewi Berlian menyahut, Resi Hitam su-
dah mendesis sambil menyeringai, "Ya! Kau akan mendapatkan keuntungan, yang
terbanyak di antara
orang-orang yang hadir di sini! Karena, kau akan me-
rasakan kejantananku yang akan membuatmu menje-
rit serta menggelepar setinggi langit! Seperti yang dira-sakan oleh nenek
berpakaian compang-camping itu
empat puluh tahun lalu!"
Dewi Berlian melirik Ratu Tongkat Ular. Yang di-
lirik tersenyum. Tetapi Dewi Berlian menangkap satu
gejolak amarah yang dipendam pada pancaran mata
Ratu Tongkat Ular.
"Hemmm... tentunya perlakuan kotor yang dila-
kukan oleh Resi Hitam padanya! Jelas kutangkap ka-
lau Ratu Tongkat Ular menyimpan amarah kendati bi-
birnya tersenyum."
Datuk Bunaeng berkata, "Untuk saat ini, semua
yang hadir di sini kecuali Pangku Jaladara, adalah kawan seperjuangan. Keinginan
kita adalah menguasai
rimba persilatan dan membuat para jago tunduk di te-
lapak kaki kita! Rencanamu yang hendak menjadikan
Pangku Jaladara sebagai boneka, membuat seman-
gatku semakin membesar! Walaupun aku tak bisa me-
lupakan dendamku pada mendiang Resi Kala Jinjit, te-
tapi rencanamu itu lebih menyenangkan dari apa pun
juga! Kita akan merebut kembali kalung Laba-laba Pe-
rak sekaligus membunuh Raja Naga! Pangku Jaladara
tetap kita biarkan hidup! Dia akan kita nobatkan men-
jadi Ketua Perguruan Laba-laba Perak! Dengan adanya
kalung Laba-laba Perak, maka dirinya akan sah men-
jadi seorang ketua! Itu artinya...."
Kata-kata Datuk Bunaeng tiba-tiba terputus ka-
rena terdengar dengusan Resi Hitam yang keras, dis-
usul dengan kata-katanya, "Huh! Menangkap gerakan yang ada, aku merasa pasti
mengenal salah seorang
dari mereka!!"
Sudah tentu kata-kata yang tak ada ujung pang-
kalnya itu, membuat yang lainnya terkejut. Termasuk
Dewi Berlian, yang sama-sama menatap kakek berkulit
hitam legam itu yang sedang menegakkan kepala.
Di saat lain, masing-masing orang segera tahu
apa yang dimaksud oleh Resi Hitam.
Dewi Berlian membatin, "Jangan-jangan.... Raja
Naga yang datang. Tetapi, mengapa Resi Hitam tadi
bergumam kalau dia mengenal salah seorang dari yang
datang ini" Kalau begitu, berarti yang datang bukan
hanya seorang. Apakah Raja Nags datang bersama se-
seorang yang menurutnya dapat dijadikan sebagai
pen-damping?"
Sementara itu Datuk Bunaeng membatin,
"Hemm... aku berharap kalau yang datang ini adalah Raja Naga. Dia telah
mencoreng wajahku dengan tindakan busuknya! Dan sudah tentu tak akan pernah ku
maafkan apa yang telah terjadi! Dewi Berlian telah
mengusulkan sesuatu yang menurutku sangat baik!
Dan setelah semuanya berjalan lancar, setelah Pangku
Jaladara kujadikan sebagai bonekaku, maka tinggal
membunuh Dewi Berlian! Tetapi tentunya... ha ha ha...
ingin kulihat Resi Hitam memperkosanya terlebih dulu
sebelum mampus...."
Tiba-tiba terdengar lagi kata-kata Resi Hitam,
"Bau sirih yang dikunyahnya sangat kukenal! Dan aku yakin dia adalah orang yang
kukenal! Dan hei... aku
juga mengenal orang yang bersamanya! Wah! Ini bisa
ramai! Mengapa bukan Langlang Benua yang muncul
di tempat ini"!"
Kali ini tak ada yang bersuara. Masing-masing
orang menunggu siapa yang akan muncul. Lima keja-
pan mata kemudian, mendadak saja dua sosok tubuh
dengan gerakan yang sangat ringan melompati sebuah
ranggasan semak tanpa membuat semak itu bergerak
sedikit pun! Lalu tanpa suara yang terdengar, masing-masing
orang telah berdiri sejarak sepuluh langkah dari orang-orang itu.
Resi Hitam langsung mendengus. "Huh! Apa yang
kuduga memang benar! Bau sirih-nya begitu menyen-
gat! Dewi Pengunyah Sirih... bagaimana kabarmu" Dan
perlu apa kau tiba di tempat itu?"
Dua orang yang baru muncul itu bukan lain ada-
lah Dewi Pengunyah Sirih dan Dewa Jubah Biru. Se-
mentara Dewa Jubah Biru tetap mengedipkan matanya
yang memang selalu bergerak-gerak, Dewi Pengunyah
Sirih menghentikan kunyahan sirihnya.
Matanya tak berkedip pada kakek bongkok ber-
kulit hitam yang berseru tadi.
"Resi Hitam... astaga! Tak pernah kusangka dia
akan muncul di sini! Katanya, terakhir kali kabar yang kudengar, dia sudah pergi
entah ke mana setelah bertarung dengan Langlang Benua dan tak seorang pun


Raja Naga 12 Muslihat Dewi Berlian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang memenangkan pertarungan itu. Kalau dia mun-
cul di sini, tentunya urusan akan jadi kapiran!"
Habis membatin demikian, dengan mengunyah
sirihnya kembali, nenek berkonde kecil ini berkata,
"Katanya, orang yang telah lama menghilang suatu saat memang akan bisa muncul
kembali! Katanya pu-la, kemunculan orang yang telah lama menghilang itu
tentunya ada urusan yang mendesak dan penting! Resi
Hitam... kau sendiri mengapa berada di tempat ini"
Ku-pikir kau sudah mampus dimakan usiamu!!"
Di saat Dewi Pengunyah Sirih berkata-kata, Ratu
Tongkat Ular menggenggam tongkatnya erat-erat. Sorot
matanya tak berkedip pada Dewa Jubah Biru.
"Terkutuk! Beberapa hari lalu dia mempecundan-
giku di halaman Perguruan Laba-laba Perak! Bagus
kalau dia berani muncul sekarang, berarti... urusan
memang harus segera diselesaikan!"
Sementara itu, wajah hitam kakek berkulit hitam
semakin menghitam. Kalau sejak tadi ucapannya sela-
lu bernada kotor dan diucapkan penuh ejekan, kali ini berubah geram.
"Dewi Pengunyah Sirih! Orang bertanya malah
kau balas tanya! Apakah tindakan itu sudah menun-
jukkan kalau kau kini memiliki kemampuan yang lebih
tinggi"!"
"Katanya, kalau orang bertanya dibalas tanya,
bukan sesuatu yang bagus! Tetapi katanya pula, ter-
gantung bagaimana orang itu sendiri!"
Jawaban Dewi Pengunyah Sirih membuat berang
Resi Hitam. Tetapi kakek ini tak melakukan apa-apa,
bahkan berbicara lagi pun tidak.
Di pihak lain Dewi Berlian menjadi tidak enak
sekarang. Dipandanginya kedua orang yang baru da-
tang itu dengan seksama.
"Rasanya, apa yang kuinginkan saat ini sulit un-
tuk dicapai. Tak kusangka kalau Dewi Pengunyah Si-
rih dan Dewa Jubah Biru akan muncul di sini. Bila Ra-
ja Naga muncul, tentunya keduanya tak akan tinggal
diam untuk membantunya. Hemmm... ketimbang selu-
ruh rencanaku akan terbuka, sebaiknya aku menying-
kir saja dari sini untuk menunggu kesempatan mem-
bunuh Raja Naga bila dia memang berhasil meloloskan
diri dari bencana di Lembah Lingkar. Dan rasanya, aku memang harus mempergunakan
tanganku sendiri untuk membunuhnya!"
Sebelum Resi Hitam berkata, Ratu Tongkat Ular
yang sudah tak mampu lagi menahan amarahnya me-
lihat kemunculan Dewa Jubah Biru sudah buka mu-
lut, "Kakek lancang berjubah biru! Kau memiliki nyali yang tinggi untuk datang
ke tempat ini, padahal kau
tahu kalau maut sudah menghadangmu!"
Dewa Jubah Biru tersenyum, tetap mengedip-
ngedipkan matanya.
"Ratu Tongkat Ular... mengapa harus gusar" Kau
sendiri yang bermaksud untuk membunuh Lesmana
yang saat itu sedang bertarung dengan adik sepergu-
ruannya sendiri! Lantas, mengapa kau harus gusar bi-
la aku membantu Lesmana"!"
"Kau tidak tahu urusan, tetapi lancang mencam-
puri urusan orang!"
"Astaga!" Kedipan mata Dewa Jubah Biru semakin menguat. "Jadi... ternyata aku
tidak tahu urusan ya" Busyet betul! Lancang betul! Ya, ya... betul-betul lancang
diriku ini kalau begitu! Kau betul, kau betul!"
Justru gelegak amarah Ratu Tongkat Ular tak bi-
sa ditahan lagi mendengar kata-kata yang penuh eje-
kan itu. Tangan kanannya yang memegang tongkat hi-
tamnya yang pada bagian atasnya terdapat ukiran ke-
pala ular, tiba-tiba amblas pangkalnya! Pertanda ke-
marahan si nenek sudah memuncak.
Dewi Berlian membatin, "Hemmm... aku memang
sebaiknya meninggalkan tempat ini. Ratu Tongkat Ular
akan berhadapan dengan Dewa Jubah Biru. Resi Hi-
tam tentunya untuk saat ini memilih lawan Dewi Pen-
gunyah Sirih, walaupun tadi dia menyayangkan men-
gapa bukan Langlang Benua yang muncul. Dan.... Da-
tuk Bunaeng tentunya tak akan menyia-nyiakan ke-
sempatan untuk membunuh' Raja Naga bila pemuda
itu hadir di sini! Bagus! Seluruh rencanaku bisa tercapai sekarang, aku tak
perlu risau!"
Dewa Jubah Biru berkata, "Ratu Tongkat Ular..!
kau hanyalah seorang perempuan tua yang bodoh! Kau
bisa berada di bawah kaki Bunaeng saja sudah me-
nunjukkan kebodohanmu! Apalagi sekarang bersama-
sama dengan Resi Hitam! Apakah kau melupakan
aibmu empat puluh tahun yang lalu"!"
Menegak kepala Ratu Tongkat Ular mendengar
kata-kata Dewa Jubah Biru. Untuk sesaat kemara-
hannya menggelegak kembali pada Resi Hitam yang ju-
stru seolah sudah melupakan kejengkelannya pada
Dewi Pengunyah Sirih dan saat ini sedang menatap le-
kat-lekat pada payudara montok Dewi Berlian, karena
pakaian yang dikenakan perempuan bermahkota itu
begitu rendah hingga memperlihatkan sebagian besar
bungkahan payudaranya! Bahkan Resi Hitam yang ca-
bul ini yakin, hanya sekali tarik saja akan terlihat bulat-bulat seluruh bukit
kembar menggiurkan itu!
Ratu Tongkat Ular merandek dingin, "Aku sema-
kin tidak sabar untuk membunuhmu!!"
"Membunuhku" Astaga!" seru Dewa Jubah Biru
cukup keras, matanya semakin berkedip-kedip. "Untuk saat ini yang seharusnya
dilakukan, adalah mencari
siapa orang yang telah mencuri kalung Laba-laba Pe-
rak dan menimpakan tanggung jawabnya pada pemu-
da berjuluk Raja Naga! Atau...."
Dewa Jubah Biru mengedarkan pandangannya
berkeliling, menatap satu persatu orang yang berada di sana yang masing-masing
menggeram kecuali Dewi
Pengunyah Sirih. Perlahan-lahan matanya diarahkan
pada Datuk Bunaeng menyusul kata-katanya, "Salah seorang di antara kalian yang
telah melakukan tindakan pengecut seperti itu"!"
*** DUA KEMARAHAN Datuk Bunaeng kontan meledak.
Tangan kanannya menuding gusar. "Keparat tua! Kehadiranmu di sini hanya mencari
petaka belaka! Ratu
Tongkat Ular! Aku sudah bosan dengan kakek keparat
satu ini! Bila kau ingin membunuhnya sekarang, laku-
kan!!" Memang itulah yang sejak tadi ditunggu oleh Ra-tu Tongkat Ular. Si nenek
sudah tak sabar untuk
membalas kekalahannya di halaman depan Perguruan
Laba-laba Perak. Dengan mengerahkan separo tenaga
dalamnya, Ratu Tongkat Ular sudah menggebrak den-
gan tongkat yang digerakkan dengan cara diputar.
Menghampar gelombang angin memutar yang mem-
perdengarkan suara bergemuruh.
Dewa Jubah Biru menggeleng-gelengkan kepa-
lanya sambil mendesis pelan, "Ah, sungguh memalukan sebenarnya! Aku yang tua ini
harus ikut campur
dalam urusan seperti ini!"
Belum habis ucapannya, saat itu juga diangkat
kedua tangannya.
Wusss! Blaaam!! Gemuruh angin yang keluar dari putaran tongkat
si nenek berpakaian compang-camping yang memper-
lihatkan bukit kembarnya yang sudah loyo dan turun
ke bawah, pecah berantakan terhantam gelombang an-
gin dahsyat yang keluar dari dorongan kedua tangan
Dewa Jubah Biru. Tindakan yang dilakukan Dewa Ju-
bah Biru semakin membuat kemarahan Ratu Tongkat
Ular berlipat ganda. Dipercepat serangannya yang ber-
tambah ganas! Di pihak lain, Resi Hitam mendesis, "Bunaeng!
Aku ikut denganmu hanya untuk menantang Langlang
Benua yang menurutmu akan muncul! Tetapi sebelum
kulakukan itu, sebaiknya aku melemaskan otot-otot di
tubuhku!!"
Belum habis ucapannya, Resi Hitam sudah
menggebrak ke depan, ke arah Dewi Pengunyah Sirih
yang menegakkan kepalanya. Dilihatnya dua bongkah
awan hitam melesat cepat.
Si nenek tak berkedip, tak beranjak pula. Sosok-
nya tak bergeming. Kaku. Dua bongkah awan hitam itu
semakin mendekat, tetapi tak ada tanda-tanda kalau si nenek berkonde kecil ini
akan melakukan gerakan.
Namun tiba-tiba... cuiiihhh!!
Mulutnya disentakkan dengan cepat. Seketika
berhamburan cairan merah yang berasal dari sirih
yang selalu dikunyahnya terus menerus.
Muncratan cairan merah yang menyebar itu ma-
suk ke dalam awan-awan hitam milik si kakek bong-
kok. Sesaat tak terjadi apa-apa. Namun di lain saat, ti-ba-tiba saja terjadi
letupan yang sangat keras.
Blaaaarrrr!! Awan-awan hitam yang dilepaskan Resi Hitam
muncrat bertebaran dengan cepat. Resi Hitam tegak di
tempatnya, tetapi sosok Dewi Pengunyah Sirih surut
tiga langkah ke belakang dengan napas memburu.
"Astaga! Kandungan tenaga pada awan-awan hi-
tamnya tadi sungguh luar biasa!" desisnya.
Resi Hitam menggeram.
"Huh! Kau kuberi kesempatan bernapas dalam
lima gebrakan!" bentaknya sengit yang segera menerjang kembali.
Pertempuran yang terjadi kemudian sungguh me-
lebihi amukan seratus ekor gajah liar. Tanah berham-
buran di sana-sini akibat serangan-serangan yang
gagal. Pepohonan bergetar hebat dan membuat dedau-
nannya meranggas. Lembah Lingkar bergetar hebat!
Masing-masing orang berusaha untuk mengalah-
kan satu sama lain. Kalau Resi Hitam dalam dua ge-
brakan berikutnya berhasil mendesak Dewi Pengunyah
Sirih, demikian pula halnya dengan Dewa Jubah Biru.
Setiap kali dilancarkan serangannya, setiap kali pula Ratu Tongkat Ular tak
berani membentur atau memapaki. Si nenek merasa lebih aman bila menjauh dulu
baru kemudian membalas.
"Terkutuk! Kesaktian kakek satu ini memang luar
biasa! Huh! Seharusnya aku memilih lawan Dewi Pen-
gunyah Sirih!" maki Ratu Tongkat Ular sambil menghindar.
Dewa Jubah Biru berseru sambil melenting ke
atas, "Ratu Tongkat Ular! Sebaiknya kau segera meninggalkan tempat ini! Tak ada
perlunya kau bersama-
sama dengan Bunaeng!"
"Tutup mulutmu, Orang Tua! Sebelum kulihat
kau mampus, sejengkal pun aku tak akan mundur!"
hardik Ratu Tongkat Ular geram, menyusul dia mener-
jang ganas. Tongkat berkepala ularnya digerakkan dengan
cara diputar. Gelombang angin mengerikan menyusur
tanah ke arah Dewa Jubah Biru. Tanah-tanah itu ber-
muncratan, meletup-letup keras.
Dewa Jubah Biru menarik napas pendek.
"Aku tak ingin melakukan pertarungan seperti
ini. Yang kuinginkan hanyalah membuktikan ketidak
bersalahan Raja Naga...," desisnya pelan.
Mendadak ditepukkan tangannya satu kali. Ter-
dengar suara tepukan sebagaimana lazimnya. Tidak
pelan, tetapi juga tidak keras. Namun kejap itu pula
terlihat gumpalan asap biru yang perlahan-lahan ber-
tebaran, lalu dengan cepatnya bersatu membentuk se-
perti sebuah dinding.
Ratu Tongkat Ular sesaat terkejut. Tetapi dilipat-
gandakan tenaga dalamnya untuk terus menyerang,
bahkan bermaksud menerobos dinding asap berwarna
biru itu. Blaaamm! Blaaammm!
Gelombang angin mengerikan yang keluar dari
putaran tongkatnya menghantam dinding asap itu. As-
taga! Dinding yang terbentuk dari asap berwarna biru
itu tak bergeming sama sekali. Justru gelombang angin Ratu Tongkat Ular yang
berpentalan ke berbagai penjuru. Menerabas ranggasan semak hingga rata ujung-
nya, menghantam sebuah pohon yang bergetar sehing-
ga langsung menggugurkan dedaunan, juga membuat
Datuk Bunaeng menggeram keras seraya mendorong
tangannya. Karena pentalan gelombang angin Ratu
Tongkat Ular mengarah padanya!
Blaaaarrr!! Gelombang angin yang mengarah padanya pecah
berantakan, disusul dengusannya.
"Keparat tua! Rupanya kau terlalu tangguh untuk
Ratu Tongkat Ular! Huh! Ingin kulihat seberapa hebat
sebenarnya kemampuanmu!!"
Tetapi sebelum Datuk Bunaeng menerjang, Ratu
Tongkat Ular sudah berseru, "Datuk! Bukannya bermaksud untuk menolak bantuanmu!
Tetapi, apa pun
yang terjadi, aku akan tetap menghadapinya!"
Kakek berambut dikelabang itu menggeram. So-
rot matanya bengis mengiriskan.
"Kau kuberi kesempatan tiga gebrakan lagi! Bila
kau tidak mampu juga untuk membunuhnya, aku
akan mengambil alih!" bentaknya geram.
Apa yang didengarnya itu menambah kemarahan
Ratu Tongkat Ular. Dia menerjang lagi dengan kegana-
san yang lebih menggila. Bahkan kali ini tongkatnya
digerakkan seperti ular mematuk. Secara tiba-tiba,
"Sraaattt!"
Cairan bening melesat dari mulut ukiran kepala
ular yang sedikit membuka.
Dewa Jubah Biru langsung melompat ke samping
kanan. Craasss!! Tanah di mana sebelumnya dia berdiri tadi, seke-
tika bolong dan mengeluarkan asap.
"Hemm... dia sudah mengeluarkan senjata raha-


Raja Naga 12 Muslihat Dewi Berlian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sianya," desis Dewa Jubah Biru dalam hati. "Bukan masalah besar sebenarnya
bagiku untuk mengalahkannya. Dan rasanya lebih baik memang memper-
mainkannya saja. Tetapi, bila dalam tiga gebrakan be-
rikutnya aku belum dapat dikalahkannya, berarti Bu-
naeng akan turun tangan. Ah, itu juga bukan masalah
besar. Tetapi itu artinya, aku justru akan lebih lama terlibat dalam
pertarungan. Sebaiknya, biar aku mengalah saja...."
Memutuskan demikian, tiba-tiba saja Dewa Ju-
bah Biru melesat ke depan bersamaan Ratu Tongkat
Ular sedang menggerakkan tongkatnya seperti mema-
tuk, yang membuat cairan bening melesat kembali. Si
kakek memang mau tak mau harus menghindarinya.
Tetapi tatkala tiba-tiba Ratu Tongkat Ular melesat dengan kaki kanan mencuat, si
kakek sengaja tak meng-
hindarnya. Bukk!! Dada kurusnya terhantam tendangan kaki kanan
Ratu Tongkat Ular. Apa yang dihasilkannya itu mem-
buat Ratu Tongkat Ular menyeringai lebar. Di liriknya Datuk Bunaeng yang
mengangguk kaku. Dewa Jubah
Biru sendiri sengaja membuat tubuhnya terhuyung ke
belakang. Padahal dia sama sekali tak merasa sakit!
Karena sebelumnya Dewa Jubah Biru sudah mena-
mengkan dirinya dengan hawa murni yang dimilikinya.
Ratu Tongkat Ular menggebrak kembali.
Datuk Bunaeng menengadah. Melihat rembulan
yang tak lama lagi berada tepat di tengah kepala.
"Sebentar lagi Raja Naga akan tiba di sini, begitu yang dikatakan Dewi Berlian.
Huh! Tak sabar rasanya
untuk membunuh pemuda keparat yang telah memfit-
nahku itu!"
Di pihak lain, perempuan berpakaian hijau yang
dipenuhi butiran berlian itu menarik napas pendek.
Dadanya yang membusung menggiurkan terangkat se-
jenak membuat bungkahan bagian atasnya yang ter-
buka lebar terangkat pula.
"Tak lama lagi rembulan tepat berada di atas ke-
pala. Itu artinya, Raja Naga akan segera muncul. Da-
lam keadaan seperti ini, rencanaku bisa gagal. Tetapi aku belum mendapatkan
kesempatan untuk meninggalkan tempat ini"
Diam-diam diliriknya Pangku Jaladara yang ma-
sih berlagak pingsan.
Di pihak lain, Resi Hitam semakin ganas melan-
carkan serangannya pada Dewi Pengunyah Sirih. Si
nenek berkonde kecil itu sama sekali tak mendapatkan
kesempatan untuk membalas. Bahkan untuk memun-
cratkan cairan sirihnya saja dia mendapat kesulitan.
Yang terlihat sekarang, bagaimana Dewi Pengunyah Si-
rih harus melompat-lompat untuk menghindari ganas-
nya serangan Resi Hitam.
"Satu gebrakan lagi!" bentakan keras itu terdengar, bersamaan meluruknya tubuh
Resi Hitam. Gelom-
bang angin yang mendahului lurukan tubuhnya, me-
nyeret tanah yang membuat Dewi Pengunyah Sirih
menjadi panik. Tetapi si nenek masih mencoba untuk menghin-
dar dan membalas, kendati disadarinya betul kalau se-
rangan balasannya tak berarti banyak.
Sementara itu Dewa Jubah Biru yang memu-
tuskan untuk mengalah karena tak ingin memperpan-
jang urusan, begitu mendengar bentakan Resi Hitam
pada Dewi Pengunyah Sirih, lagi-lagi membiarkan tu-
buhnya terhantam tendangan Ratu Tongkat Ular. Dan
lagi-lagi dibuat tubuhnya tergontai-gontai. Namun kali ini, gontainya dibuat ke
arah Dewi Pengunyah Sirih.
Seperti tak sengaja, ditabraknya tubuh si nenek
berkonde kecil itu yang sedang kesulitan menghadapi
sergapan Resi Hitam. Bahkan dengan cara dibuat tak
sengaja, diam-diam tangan kanan Dewa Jubah Biru
menepak tangan kiri si nenek hingga terangkat naik.
Saat itu pula menderu gelombang angin berkeku-
atan tinggi! Resi Hitam yang sudah siap untuk melancarkan
serangannya tersentak dan mau tak mau mundur.
Blaaarrr!! Gelombang angin itu menghantam ranggasan
semak yang seketika berhamburan ke udara.
Resi Hitam yang telah hinggap di atas tanah den-
gan ringannya menggeram dingin.
"Terkutuk! Rupanya kau hanya berlagak menga-
lah, hah"! Setan laknat! Akan kucacak tubuhmu sam-
pai sekecil-kecilnya!!"
Sementara itu, Dewi Pengunyah Sirih yang telah
berdiri tegak kembali, mementangkan matanya lebar-
lebar. Mulutnya sesaat berhenti mengunyah sirihnya.
"Hemm... aku dalam kesulitan untuk membalas
tadi, tetapi tahu-tahu tangan kiriku terangkat naik
akibat tak sengaja ditepak oleh Dewa Jubah Biru...,"
desisnya dalam hati. "Tak mungkin, tak mungkin itu tak disengaja. Karena
gelombang angin yang meng-hempas tadi bukan aku yang melakukannya, melain-
kan keluar dari tepakan Dewa Jubah Biru. Berarti...
aku tahu sekarang. Si kakek rupanya mengalah pada
Ratu Tongkat Ular. Yang tentunya dilakukan karena
tak mau Datuk Bunaeng turun tangan yang berarti
akan semakin memperpanjang urusan. Aku mengerti
apa yang dimaui oleh si kakek..."
Ratu Tongkat Ular yang telah berdiri di sebelah
kanan Datuk Bunaeng berkata, "Datuk! Kau lihat sendiri, aku telah mampu
menendangnya dua kali! Dan
aku yakin... tulang dadanya ada yang retak!"
Datuk Bunaeng mengangguk dingin, tetapi ma-
tanya tak berkedip pada Dewa Jubah Biru yang perla-
han-lahan sedang mencoba berdiri tegak. Bahkan se-
perti kehabisan tenaga, dipegangnya pundak Dewi
Pengunyah Sirih sebagai tumpuan.
"Bantu aku...," desisnya.
Sambil membantu, Dewi Pengunyah Sirih mem-
batin, "Hebat! Sandiwaranya sungguh hebat! Katanya, kalau orang yang
bersandiwara itu lebih berada pada
dua tujuan. Pertama, berpura-pura untuk mengalah.
Kedua berpura-pura menutupi ketakutannya. Aku le-
bih cenderung pada dugaan kalau Dewa Jubah Biru
ada pada tujuan pertama."
Di seberang, Ratu Tongkat Ular menyeringai pe-
nuh kepuasan. Resi Hitam sedang bersiap lagi untuk
menyerang. Dewi Berlian melihat kesempatan untuk
meninggalkan tempat itu, diam-diam dia melangkah
mundur mendekati Pangku Jaladara yang berlagak
pingsan. Sementara itu, mata Datuk Bunaeng tak ber-
kedip pada Dewa Jubah Biru.
"Sejak tadi, kalau kakek yang selalu mengedip-
ngedipkan matanya itu mau menyerang, tentunya den-
gan mudah dia dapat membunuh Ratu Tongkat Ular.
Tetapi sejak tadi pula kulihat kalau dia tidak melakukan tindakan itu. Dan
sekarang, setelah kukatakan
pada Ratu Tongkat Ular kalau dia hanya kuberi ke-
sempatan tiga gebrakan lagi, tiba-tiba saja Dewa Ju-
bah Biru menjadi terdesak. Hemmm... ada sesuatu
yang janggal?"
Sembari memandang, Datuk Bunaeng terus ber-
pikir. "Saat tendangan kaki kanan Ratu Tongkat Ular menghantam dadanya, tubuhnya
terhuyung-huyung.
Mengarah pada Dewi Pengunyah Sirih yang sudah ter-
desak hebat. Lalu menabrak Dewi Pengunyah Sirih
yang secara tidak langsung selamat bahkan mampu
melancarkan serangannya. Ini mustahil! Mustahil se-
kali mengingat Dewi Pengunyah Sirih sudah kehilan-
gan kesempatan! Bahkan dia tak akan mampu un-
tuk... keparatttt!!"
Mendadak kepala Datuk Bunaeng menegak keti-
ka pikirannya tiba pada sesuatu yang seketika mem-
buatnya gusar berlipat ganda.
Dengan tangan menuding dan suara sarat kema-
rahan, dia berseru keras, "Dewa Jubah Biru! Kau bisa mengelabui Ratu Tongkat
Ular dengan cara mengalah
seperti itu! Kau bisa mengelabui Resi Hitam dengan
berlagak kalau Dewi Pengunyah Sirih yang menye-
rangnya! Tetapi... kau tak bisa mengelabuiku!!"
Dewa Jubah Biru berbisik, "Dewi... rasanya aku
memang harus melibatkan diri dalam urusan ini ken-
dati aku tak mau melakukannya. Yang kuinginkan
adalah mengetahui siapa yang telah memfitnah Raja
Naga dan membunuh Resi Kala Jinjit."
Kata-kata Dewa Jubah Biru itu menambah keya-
kinan Dewi Pengunyah Sirih apa yang diduganya itu
benar. Dianggukkan kepalanya sambil menatap tajam-
tajam pada Datuk Bunaeng.
"Katanya, kalau orang yang tak mampu mengha-
dapi orang lain itu sebaiknya mengalah atau berlalu bi-la ingin selamat. Katanya
pula, bila memang ada orang
lain yang merupakan seorang sahabat yang diperkira-
kan mampu menghadapi lawannya, lebih baik melim-
pahkan lawannya pada sahabatnya itu. Terus terang,
aku tak mampu menghadapi Resi Hitam. Kita berganti
lawan." "Karena kuputuskan untuk meneruskan semua
ini, aku setuju!" bisik Dewa Jubah Biru.
Sementara itu, mendengar teriakan Datuk Bu-
naeng, Ratu Tongkat Ular seketika mengalihkan pan-
dangannya pada si kakek berambut dikelabang. Me-
nyusul diarahkan pandangannya pada Dewa Jubah Bi-
ru yang kini berdiri tegak tanpa kurang apapun.
Sadar kalau dirinya dikelabui orang, memerah
paras Ratu tongkat Ular. Seluruh tubuhnya bergetar
dengan aliran darah yang bertambah cepat.
Datuk Bunaeng membentak lagi, "Dewa Jubah
Biru! Akulah lawanmu sekarang!!"
Namun sebelum Datuk Bunaeng melancarkan se-
rangan, tiba-tiba saja melesat satu sosok tubuh dari
sebelah kanan. Lesatan tubuh yang kemudian berpu-
tar di udara tiga kali itu, membuat orang-orang yang
berada di sana mengarahkan pandangannya.
Begitu pula tatkala sosok tubuh itu berdiri tegak
di atas tanah. Wajahnya tampan, agak sedikit berke-
ringat. Mengenakan rompi ungu yang terbuka di ba-
gian dada. Berambut dikuncir kuda. Dan... sorot ma-
tanya memancarkan keangkeran yang dalam!
*** TIGA HUH! Kupikir kau tidak punya nyali" Tetapi ak-
hirnya kau hadir juga di Lembah Lingkar!" bentakan
Datuk Bunaeng seketika terdengar. Kemarahannya
pada Dewa Jubah Biru seketika dialihkan begitu meli-
hat siapa orang yang datang.
Pemuda yang baru saja muncul itu terdiam. Sorot
matanya tajam, menebarkan keangkeran yang mampu
menciutkan hati lawan. Bibirnya merapat, memperli-
hatkan kedinginan wajahnya. Diperhatikannya satu
persatu orang yang berada di sana.
"Hemm.... Dewa Jubah Biru dan Dewi Pengunyah
Sirih rupanya sudah hadir di sini pula. Ada orang yang baru kukenal. Kakek
bongkok berkulit sangat hitam
itu," katanya dalam hati. Lalu diperhatikan orang yang tadi membentaknya. Di
lain saat dia merandek dingin,
"Tindakan busuk yang dilakukan seseorang kemudian dilimpahkan kepadaku, tak akan
pernah ku maafkan
kecuali orang itu mendahului untuk meminta maaf!!"
Sadar ke mana arah kata-kata pemuda di hada-
pannya, wajah Datuk Bunaeng memerah. Mulutnya
merapat dalam dengan sorot mata bengis.
"Kau datang ke Lembah Lingkar hanya untuk
menjemput kematian yang akan kuturunkan, tetapi
kau masih berani banyak ucap! Raja Naga! Tindakan
yang telah kau lakukan dengan mencuri kalung, Laba-
laba Perak kemudian mengalihkan tanggung jawab ke-
padaku, tak akan pernah ku maafkan! Kecuali... kau
mematahkan lehermu sendiri di hadapanku!"
Murid Dewa Naga terdiam. Matanya tajam tak
berkedip pada Datuk Bunaeng.
"Yang kukatakan tadi, dikatakannya juga. Aku
menuduhnya yang telah melakukan tindakan busuk
terhadapku, tetapi dia justru ganti menuduhku! Apa-
kah ada sesuatu yang salah di sini" Atau... dia hanya mencoba untuk
memutarbalikkan kenyataan" Kurang
ajar! Tak akan kubiarkan dia memfitnahku terus me-
nerus seperti ini"!"
Sementara Raja Naga membatin, kakek yang
alisnya bersatu itu menggeram lagi, "Selain menimpakan tanggung jawab kepadaku,
kau juga melakukan
kesalahan besar! Dengan kata lain, kau telah mengga-
galkan seluruh rencanaku untuk menghancurkan Per-
guruan Laba-laba Perak!" Lalu serunya tanpa mengalihkan perhatian pada Raja
Naga, "Dewi Berlian! Siapa yang lebih dulu berkenan untuk membunuh pemuda
celaka ini"!"
Di seberang, pemuda yang kedua lengannya se-
batas siku dipenuhi sisik coklat itu mengalihkan sejenak pandangannya dari Datuk
Bunaeng. "Dewi Berlian" Aneh! Mengapa Datuk Bunaeng
memanggil perempuan mesum itu sementara dia tidak
berada di sini" Jangan-Jangan... kakek berambut dike-
labang ini mendadak menjadi sinting?"
Masih tetap tak mengalihkan pandangannya pa-
da Raja Naga, Datuk Bunaeng berkata lagi, "Kau tak menjawab, Dewi Berlian!
Berarti, akulah yang berhak
untuk membunuhnya!!"
Habis kata-katanya, Datuk Bunaeng surutkan
kaki kanannya ke belakang. Tubuhnya sedikit dibung-
kukkan hingga condong ke depan. Kepalanya ditegak-
kan dengan kedua tangan hendak disilangkan.


Raja Naga 12 Muslihat Dewi Berlian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau akan menyesal pernah mengenal seseorang
yang bernama Datuk Bunaeng, Anak muda!!"
Habis bentakannya, Datuk Bunaeng sudah siap
menerjang ke depan. Namun sebelum dilakukan, ter-
dengar seruan Ratu Tongkat Ular,
"Datuk Bunaeng! Dewi Berlian tidak ada di tem-
pat!" Seketika Datuk Bunaeng memalingkan kepa-
lanya. "Keparat terkutuk! Ke mana perempuan mesum itu"!" bentaknya keras ketika
tak melihat Dewi Berlian.
"Setan laknat! Apa yang dilakukannya"! Ke mana perginya Pangku Jaladara yang
pingsan"!"
Bukan hanya Datuk Bunaeng yang terheran-
heran, tetapi juga yang hadir di sana. Sementara itu
Raja Naga membatin, "Hemmm... dia tidak sinting.
Nampaknya Dewi Berlian belum lama ini sudah berada
di sini. Tetapi sekarang sudah pergi lagi. Dan Pangku Jaladara yang pingsan"
Aneh! Ada apa ini" Sebelumnya Dewi Berlian mengatakan kalau Datuk Bunaeng
sengaja menjebakku karena Ratu Sejuta Setan yang
ternyata.....Tetapi, mengapa dia berada di sini" Dan
mengapa pula Datuk Bunaeng berseru seperti tadi?"
"Setan keparat!!" menggelegar suara Datuk Bunaeng. "Apa-apaan ini"!"
Resi Hitam menyahut, "Kau telah dikelabui pe-
rempuan celaka itu, Bunaeng!"
"Tak mungkin dia berani mengkhianatiku!"
"Buktinya dia tidak lagi berada di sini!"
Datuk Bunaeng mengertakkan gigi-giginya hingga
berbunyi. Matanya menyorot berapi-api. Mulutnya me-
rapat. "Setan keparat! Apa maksud Dewi Berlian menghilang seperti ini" Apakah
dia memang mengelabuiku"
Tetapi kurasa tidak! Bila dia berani melakukannya, berarti dia berani menghadang
kematian! Bisa jadi kalau sebenarnya dia hendak menyandera Pangku Jaladara
sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Hemm...
suatu ide yang bagus! Karena selama Pangku Jaladara
masih berada dalam kekuasaannya, berarti seluruh
rencana akan tetap dapat dilaksanakan. Pemuda itu-
lah yang harus kubunuh sekarang!"
Kejap itu pula tanpa mengucapkan sepatah kata
juga, Datuk Bunaeng sudah menerjang ke arah Raja
Naga. Gelombang angin yang keluar dari lesatan tu-
buhnya, sejenak membuat Raja Naga terhenyak. Tetapi
di lain saat, dia sudah menerjang pula ke depan.
Buk! Buk!! Benturan keras terjadi dua kali. Datuk Bunaeng
sesaat terkejut seraya mundur. Dipandangi tangan ka-
nan kirinya yang cukup ngilu dengan mata membela-
lak. "Gila! Tenaga dalamnya tak bisa dipandang setelah mata!" geramnya dalam
hati. Di pihak lain, Raja Naga sendiri harus terjajar
akibat benturan yang terjadi tadi. Kedua tangannya
sebatas siku yang dipenuhi sisik coklat sedikit bergetar. "Hebat! Kedua tanganku
dibuatnya bergetar," desisnya dalam hati.
Di pihak lain, Dewa Jubah Biru mendesis.
"Aneh! Tak kurasakan adanya satu tenaga yang
keluar dari kedua tangan pemuda berompi ungu itu.
Tetapi Bunaeng dibuat terkejut. Jangan-jangan... pe-
muda itu memang tak mengeluarkan tenaga. Itu ar-
tinya... kedua tangannya sebatas siku yang dipenuhi
sisik coklat memiliki kekuatan besar!"
Sementara itu Resi Hitam membatin dengan ken-
ing berkerut. "Di saat menyerang, dapat kurasakan tenaga Bu-
naeng. Tetapi pemuda itu" Edan! Nampaknya dia tidak
mengeluarkan tenaga sama sekali, karena kalau dia
mengeluarkan tenaganya, tentunya dapat kurasakan.
Tetapi... astaga! Berarti, tenaga dalamnya lebih tinggi dari Bunaeng!"
Sementara itu, Datuk Bunaeng sendiri sudah
menerjang kembali. Jari jemarinya dibuka lebar-lebar.
Lalu laksana menepuk seekor lalat, digerakkannya ke
arah Raja Naga.
Saat itu pula menggebah gelombang angin berke-
kuatan lipat ganda, mengarah dari dua sisi karena Da-
tuk Bunaeng menggerakkan tangan kanan kirinya
yang membuka pada arah yang berlawanan.
Raja Naga menjerengkan matanya. Dapat dirasa-
kan kekuatan yang keluar dari gelombang angin yang
menerjang ke arahnya. Tiba-tiba saja kaki kanannya
digerakkan di atas tanah.
Brrooll!! Bersamaan tanah yang berderak dan bergelom-
bang cepat ke arah Datuk Bunaeng, dia melompat ke
depan seraya mendorong tangan kanan kirinya. Raja
Naga sudah melancarkan dua serangan sekaligus!
Blaaaam! Blaaammm!!
Gelombang angin yang disemburati asap merah
melabrak putus gelombang angin yang dilepaskan Da-
tuk Bunaeng. Letupan yang sangat keras terjadi. Tem-
pat itu sesaat bergetar. Menyusul tanah di mana Da-
tuk Bunaeng berdiri tadi rengkah dan membuyar ke
udara. "Terkutuk!" maki Datuk Bunaeng geram.
Di pihak lain, sosok Raja Naga nampak sedang
tergontai-gontai ke belakang. Melihat hal itu, Datuk
Bunaeng segera menerjang kembali. Tubuhnya mum-
bul di udara. Laksana berjalan di atas angin, kedua
kakinya bergerak cepat. Akibatnya, tanah yang ber-
hamburan ke udara.
Raja Naga tersentak kaget tatkala angin yang ke-
luar dari gerakan kedua kaki Datuk Bunaeng menerpa
dadanya. Gontaian tubuhnya semakin menjadi-jadi.
Sadar kalau dia tidak bergerak cepat akan menda-
patkan satu petaka, anak muda dari Lembah Naga ini
segera mendorong kedua tangannya ke atas.
Blaaamm! Blaaamm!!
Letupan yang terjadi semakin membuatnya kehi-
langan keseimbangan. Sementara itu, Datuk Bunaeng
yang masih berada di udara memutar tubuh. Dan
mendadak saja dia meluruk dengan kedua kaki siap
menghantam dada Raja Naga.
Dalam keadaan kehilangan keseimbangan, murid
Dewa Naga masih dapat menguasai dirinya. Tangan
kanannya digerakkan ke depan.
Buk! Kaki kanan Datuk Bunaeng dapat ditahannya, te-
tapi kaki kiri Datuk Bunaeng telak mengenai dadanya!
Buk! Dan... wussss!!
Beruntung Boma Paksi masih dapat merunduk.
Karena bila tidak, sambaran kaki kanan Datuk Bu-
naeng yang sedemikian cepat itu akan menghantam
kepalanya. "Huh! Hanya begini saja kemampuan orang yang
berani memfitnahku!" desis Datuk Bunaeng setelah hinggap kembali di atas tanah.
Raja Naga tersenyum sambil memegangi dadanya
yang terasa sesak.
"Kuakui kalau kemampuanmu sangat luar biasa,
Datuk! Tetapi sayangnya, aku tak akan mundur sebe-
lum mendengar pernyataan maafmu!"
"Keparat!!" teriakan itu menggelegar keras. "Kau yang telah mencuri kalung Laba-
laba Perak kemudian
memfitnahku! Sekarang kau menuntutku untuk me-
minta maaf! Gila! Pernyataan gila yang kau berikan
padaku!!" Belum habis ucapan itu terdengar, Datuk Bu-
naeng sudah menerjang ke depan. Kali ini lebih ganas
dari serangan sebelumnya.
Raja Naga menegakkan kepalanya. Sorot matanya
bertambah angker. Sisik-sisik coklat yang terdapat pa-da kedua tangannya sebatas
siku, semakin kelihatan,
bahkan sedikit menyala. Pertanda kemarahannya su-
dah siap meledak!
Kejap itu pula kaki kanannya disepakkan di atas
tanah. Tanah membuyar, menghalangi pandangan. Te-
tapi langsung bertebaran tatkala gelombang angin
yang keluar dari lesatan tubuh Datuk Bunaeng mena-
braknya. Menyusul kedua tangan Datuk Bunaeng ber-
gerak cepat, menyambar ke arah leher Boma Paksi.
Yang diserang segera menggerakkan kedua tan-
gannya dengan kedudukan membuka.
Buk! Buk! Kalau sebelumnya Datuk Bunaeng terjajar ke be-
lakang karena terkejut, kali ini dia tak peduli. Usai berbenturan, mendadak
sontak tubuhnya berputar ke
belakang dengan kaki kanan melesat ke atas.
Boma Paksi cepat tarik kepalanya ke belakang.
Terlambat sedikit saja, dagunya akan patah!
Datuk Bunaeng benar-benar tak mau memberi
kesempatan pada Raja Naga. Serangannya terus berda-
tangan susul menyusul. Tanah dan ranggasan semak
berhamburan tak menentu. Letupan demi letupan ter-
jadi ganas dan mengerikan. Lembah Lingkar laksana
dilanda gempa mengerikan.
Dewi Pengunyah Sirih berbisik pada Dewa Jubah
Biru, "Katanya, kalau seseorang menolong orang lain yang dalam kesulitan, maka
keberuntungan akan ber-pihak padanya. Apakah kau berpikir yang sama?"
Kakek yang kedua matanya selalu berkedip-kedip
itu mengangguk-angguk.
"Kau betul. Tetapi, aku belum melihat kalau pe-
muda bermata angker itu akan segera kalah."
"Katanya, kalau kita sudah melihat kedudukan
seperti itu, maka kekalahan akan segera datang. Apa-
kah kita akan berdiam diri saja?"
Dewa Jubah Biru tak menjawab. Dia terus mem-
perhatikan bagaimana Raja Naga yang mau tak mau
terdesak hebat. Memang sejauh ini, pemuda dari Lem-
bah Naga itu masih dapat menghindar atau memapaki
serangan lawan. Tetapi dua jurus berikutnya, Boma
Paksi mulai terdesak.
"Bunaeng! Menghadapi anak kemarin sore saja
kau harus membutuhkan waktu yang lama"! Apakah
kau memang tidak mampu, atau kau menunggu sam-
pai aku turun tangan"!"
Ejekan yang terdengar keras itu membuat wajah
Datuk Bunaeng memerah.
"Keparat kakek hitam itu! Kalau saja tenaganya
tak kubutuhkan untuk menghadapi kemungkinan
munculnya Langlang Benua, tak akan pernah aku da-
tang menjumpainya!" makinya geram dalam hati.
Di pihak lain Raja Naga membatin, "Sebenarnya
aku bisa menghadapinya. Tetapi ada yang masih kupi-
kirkan. Dan aku harus menghemat tenaga...."
"Bunaeng! Cepat kau bunuh pemuda keparat itu!
Anuku sudah tak bisa diajak berunding lagi! Aku ha-
rus cari perempuan bahenol itu!"
Ejekan Resi Hitam semakin membuat Datuk Bu-
naeng bertambah ganas.
Dewi Pengunyah Sirih berbisik lagi pada Dewa
Jubah Biru, "Katanya, bila menunggu terlalu lama untuk menolong seseorang yang
mengalami kesulitan ju-
stru akan mencelakakan yang akan ditolong. Juga
akan membuat yang menolong akan menyesali tinda-
kannya bila terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Apa-
kah kita masih diam saja?"
"Aku masih memikirkan tentang siapakah orang
yang mencuri kalung Laba-laba Perak yang kemudian
memfitnah Raja Naga. Nampaknya Datuk Bunaeng
bukanlah orang yang melakukannya. Terbukti, dia be-
gitu kesal karena menyangka Raja Naga yang telah
memfitnahnya."
Dewi Pengunyah Sirih manggut-manggut. Mulut-
nya terus mengunyah sirihnya.
"Dewi Berlian sudah tidak ada di tempat," tahu-tahu dia ngomong begitu.
"Kepergiannya pun tak diketahui sama sekali. Bahkan Bunaeng sendiri tidak tahu.
Apakah kau memikirkan sesuatu, Orang Tua?"
Dewa Jubah Biru melirik perempuan tua ber-
konde kecil di sampingnya.
"Menurutmu.... Dewi Berlian pelakunya?"
"Katanya, bila bicara tanpa bukti adalah sebuah
fitnah. Aku tak mau dikatakan memfitnah. Apalagi
memfitnah perempuan mesum seperti Dewi Berlian!
Fiuh!" Dewa Jubah Biru kembali mengarahkan pandangannya ke depan, di mana saat
ini Raja Naga benar-
benar sudah kehilangan tempo penyerangannya. Sam-
bil menggeleng-gelengkan kepalanya, perlahan-lahan
kakek berjubah biru itu menarik napas panjang.
"Rasanya... memang tak ada jalan lain. Kita ha-
rus membantunya...."
Dewi Pengunyah Sirih menganggukkan kepa-
lanya. "Bersiaplah...."
Namun sebelum masing-masing orang melesat ke
depan, mendadak saja satu bayangan berkelebat se-
demikian cepat dari balik ranggasan semak. Rangga-
san semak itu tak bergerak sama sekali. Bahkan sama
sekali tak ada angin yang timbul dari gerakan orang
yang tiba-tiba melesat.
Blaaarrr!! Serangan ganas Datuk Bunaeng luput pada sasa-
rannya. Karena pemuda yang diserangnya telah lenyap
dari pandangan disambar oleh satu bayangan yang
berkelebat sedemikian cepat dan telah lenyap pula dari pandangan.
"Heeiiii!!" terdengar seruan Resi Hitam keras dan
bergetar. Mulut kakek berkulit hitam legam ini terbuka dengan mulut menganga
lebar. Bahkan tangan kanannya yang menuding seolah menjadi kaku!
Di pihak lain, Dewa Jubah Biru sudah menyam-
bar tangan kanan Dewi Pengunyah Sirih dan memba-
wanya ke arah perginya bayangan yang menyambar
Raja Naga. "Gilaaa!!" terdengar teriakan Resi Hitam keras, berapi-api. "Jahanam keparat!
Aku mengenal gerakan itu... aku sangat mengenalnya...."
Datuk Bunaeng yang tadi sempat tertegun segera
berseru, "Resi Hitam! Siapakah manusia keparat yang lancang menghalangi niatku


Raja Naga 12 Muslihat Dewi Berlian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan berani mampus itu"!"
"Dia... dia...," suara Resi Hitam geram. Nafasnya mendadak terengah-engah saking
geramnya. Kedua
tangannya mengepal kuat. Seiring dihentakkan kaki
kanannya di atas tanah, suara Resi Hitam menggele-
gar, "Dia... dia Langlang Benua!!"
Baik Datuk Bunaeng maupun Ratu Tongkat Ular
sama-sama menegakkan kepala mendengar kata-kata
Resi Hitam. Masing-masing orang melihat bagaimana
ganasnya wajah Resi Hitam.
"Keparat!" maki Datuk Bunaeng dalam hati. Lalu serunya, "Kita tak boleh membuang
waktu! Ratu Tongkat Ular! Kau cari Dewi Berlian sampai ketemu! Resi
Hitam... kita mengejar Langlang Benua yang membawa
Raja Naga!"
Sementara Ratu Tongkat Ular segera meninggal-
kan tempat itu, Datuk Bunaeng masih berkata, "Terlambat sedikit saja, kedudukan
kita akan berbahaya!"
Resi Hitam menoleh. Pandangannya sengit.
"Bunaeng! Dengan ucapanmu kau menganggap
aku tak memiliki arti!"
Datuk Bunaeng terkejut dibentak seperti itu. Se-
belum dia membantah ucapan Resi Hitam, Resi Hitam
sudah berseru, "Kau akan melihatnya nanti! Akan ku-patah-patahkan tulang di
dalam tubuh Langlang Be-
nua!" Habis bentakannya, Resi Hitam segera melesat, disusul oleh Datuk Bunaeng
yang sekarang merasa
menjadi tidak enak. Tetapi di lain saat, perasaan itu telah hilang bersamaan
kegeramannya yang muncul
kembali. *** EMPAT JAJARAN pagi telah menghampar kembali untuk
yang kesekian kalinya. Tempat yang dipenuhi pepoho-
nan itu sepi. Tak terdengar suara hewan-hewan yang
berkeliaran menyambut pagi. Bahkan angin pun seo-
lah tak berhembus, tak mampu menepiskan gumpalan
kabut tebal yang menyelimuti tempat itu. Tak jauh dari tempat yang sepi itu,
nampak sebuah gunung menju-lang tinggi.
Di lereng gunung itulah tiga sosok tubuh sedang
duduk berhadapan dengan seorang lelaki tua yang
hanya menundukkan kepalanya. Lelaki tua berwajah
keriput itu diperkirakan berusia sekitar delapan puluh lima tahun. Mengenakan
pakaian putih compang-camping. Rambutnya yang putih panjang tak beratu-
ran. Kumisnya melintang menjulai. Tetapi yang sung-
guh mengejutkan, adalah janggut putih yang dimili-
kinya. Begitu panjang. Di saat si kakek duduk saja
janggut itu sudah melingkar di atas tanah.
Tanpa mengangkat kepalanya, si kakek berkata,
"Aku sama sekali tak menyangsikan cerita kalian, karena apa yang terjadi di
Perguruan Laba-laba Perak
aku juga sudah mendengarnya. Tetapi, rasanya sung-
guh aneh, bila murid Dewa Naga lancang mencuri ka-
lung Laba-laba Perak...."
Lelaki berkepala plontos yang duduk di sebelah
kanan membuka mulut, "Musang Berjanggut. Kami
bukanlah orang yang suka memfitnah orang lain. Kau
sendiri sudah mendengar berita itu. Sekarang, apakah
kau masih juga menyangsikannya?"
"Kala Sringgil... apa yang kukatakan tadi hanya-
lah sebuah pikiran yang tiba di benakku," sahut si kakek berjuluk Musang
Berjanggut tetap menundukkan
kepalanya. Lelaki berkepala plontos yang mengenakan pa-
kaian putih terbuka di bahu kiri, melirik lelaki yang mengenakan pakaian yang
sama dengannya yang duduk di sebelah kanannya.
"Bantu aku untuk menjelaskannya...."
Lelaki berkepala plontos pula tetapi berkumis
tebal segera berkata, "Musang Berjanggut... aku dan Kala Sringgil sudah mencoba
untuk menangkap murid
Dewa Naga. Tetapi terus terang, kami memang tak
sanggup untuk melakukannya. Bahkan, Pendekar Kaki
Satu pun tak berhasil menangkapnya...."
Lelaki berpakaian hitam yang terbuka di dada
menganggukkan kepalanya.
"Apa yang dikatakan Jala Sringgil benar."
Musang Berjanggut mengangguk-anggukkan ke-
palanya, tetapi tak mengangkat wajahnya.
"Memang... aku tak bisa membuktikan apa yang
menjadi pikiranku sekarang kecuali berhadapan lang-
sung dengan murid Dewa Naga itu."
"Musang Berjanggut... kami sama sekali tak me-
nyangsikan tindakan busuk murid Dewa Naga. Sebagai
sahabat mendiang Resi Kala Jinjit, kami tetap bermak-
sud untuk menangkapnya," kata lelaki yang kaki ka-
nannya buntung. Tongkat yang dipergunakan sebagai
penyangga tubuhnya tergeletak di samping kanannya.
"Selain itu, kami juga tidak bisa tinggal diam melihat perlakuannya yang hina
itu. Mencuri kalung Laba-laba
Perak sebagai lambang sahnya seseorang menjadi Ke-
tua Perguruan Laba-laba Perak, adalah tindakan yang
mencoba mencoreng arang di wajah perguruan itu
sendiri!" Kakek berjanggut panjang itu mengangguk-
anggukkan kepalanya. Tetap tak mengangkat wajah-
nya. Pendekar Kaki Satu berkata lagi, "Setelah gagal menangkap Raja Naga, tak
sengaja aku berjumpa dengan Kala Sringgil dan Jala Sringgil. Yang sungguh luar
biasa, kami memiliki niat yang sama untuk datang dan
meminta bantuanmu."
(Untuk mengetahui gagalnya Kala Sringgil dan
Jala Sringgil menangkap Raja Naga, silakan baca :
"Misteri Laba-laba Perak". Dan untuk mengetahui tentang gagalnya Pendekar Kaki
Satu menangkap Raja
Naga, serta perjumpaannya dengan Kala Sringgil dan
Jala Sringgil, silakan baca : "Pengadilan Rimba Persilatan"). Suasana hening.
Masing-masing orang tak ada yang membuka mulut. Kala Sringgil dan Jala Sringgil
memperhatikan Musang Berjanggut yang tetap me-
nundukkan kepala. Sementara itu, Pendekar Kaki Satu
membatin, "Bila Musang Berjanggut mengatakan kalau dia menyangsikan tindakan
Raja Naga, kemungkinan
itu memang sebuah kenyataan. Tetapi, ah... mungkin
memang ada sesuatu di balik semua ini. Hanya saja..."
Kata batin Pendekar Kaki Satu terputus, karena
kakek berjanggut panjang sudah buka mulut, "Sebelum ada pembuktian, memang sulit
untuk memperta-
hankan pendapat."
Kata-kata Musang Berjanggut secara tidak lang-
sung sudah menunjukkan kesediaannya untuk me-
nangkap Raja Naga, walaupun di balik kata-katanya
dia akan melakukannya tetapi dengan maksud untuk
mencari kebenaran.
Ketiga orang di hadapannya segera merang-
kapkan tangan di depan dada masing-masing.
Jala Sringgil berkata, "Terima kasih atas kese-
diaanmu, Musang Berjanggut."
"Sebelum kalian meninggalkan tempat ini, ada
yang hendak kutanyakan. Apakah kalian mendengar
munculnya Langlang Benua?"
Ketiga orang itu berpandangan satu sama lain
sebelum Pendekar Kaki Satu berkata, "Aku belum
mendengar munculnya Langlang Benua. Tetapi, bu-
kankah memang sulit untuk mencari kakek yang ge-
mar bertualang, itu?"
"Seperti halnya dengan kita, Langlang Benua
adalah sahabat dari Resi Kala Jinjit. Kematian Resi Ka-la Jinjit telah membuat
rimba persilatan berkabung.
Aku yakin, kalau Langlang Benua juga telah menden-
garnya." "Maksudmu... dia memang telah kembali?"
"Aku hanya menduga."
"Bagus kalau dia telah kembali! Itu artinya, akan memudahkan kita untuk
menangkap Raja Naga!"
Tetap tanpa mengangkat wajahnya, Musang Ber-
janggut mengangguk.
"Itu pun harus kita buktikan kebenarannya. Se-
karang, segera kalian tinggalkan tempat ini. Menu-
rutku pada lima hari di muka, bencana akan terjadi di Lembah Lingkar."
"Lembah Lingkar"!" seruan itu terdengar dari tiga mulut secara bersamaan.
Musang Berjanggut tak menjawab. Bahkan se-
makin menundukkan kepalanya dalam-dalam. Masing-
masing orang segera tanggap, kalau kakek di hadapan
mereka sudah tak mau diganggu. Bahkan bila mereka
bertanya pun sudah tentu tak akan mendapatkan ja-
waban. Masing-masing orang segera berdiri. Setelah me-
rangkapkan tangan dan memberikan penghormatan
pada Musang Berjanggut, ketiganya sudah melangkah
meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal ketiganya, Musang Berjanggut men-
desah pendek. Tetapi tidak mengangkat wajahnya.
"Rimba persilatan semakin kacau. Seorang anak
muda yang telah banyak membela kebenaran, harus
mendapatkan musibah yang cukup mengerikan. Ah,
bila urusan ini tidak segera dituntaskan, tentunya petaka akan
berkelanjutan...."
Kejap lain, Musang Berjanggut terdiam tetap
dengan kepala tertunduk. Kabut tebal masih menyeli-
muti tempat itu.
* * * Sekitar lima puluh tombak dari kediaman Mu-
sang Berjanggut, ketiga orang yang baru menjum-
painya menghentikan langkah masing-masing di jalan
setapak. Kala Sringgil langsung berkata, "Pendekar Kaki
Satu... apakah tidak sebaiknya kita berpencar saja"
Maksudku, dengan berpencar akan memudahkan kita
untuk menemukan Raja Naga."
Lelaki berkaki buntung itu mengangguk.
"Aku pun berpikir hal yang sama denganmu, Kala
Sringgil. Dan masih ada yang kupikirkan."
"Tentang sikap Musang Berjanggut yang me-
nyangsikan tindakan Raja Naga?"
"Selain itu, juga dengan apa yang dikatakannya
tentang bencana di Lembah Lingkar."
"Aku juga memikirkan hal yang sama."
Jala Sringgil berkata, "Apakah tidak sebaiknya ki-ta segera menuju ke Lembah
Lingkar?" "Itu memang suatu yang tepat. Tetapi, masih lima hari di muka. Berarti kita
hanya akan membuang waktu bila sudah tiba di sana," kata Pendekar Kaki Satu.
"Padahal sebelum hari itu tiba, kemungkinan be-
sar kita masih dapat menemukan Raja Naga."
"Kalau begitu, sebaiknya kita memang mencari
pemuda itu dulu," kata Jala Sringgil. "Dan itu artinya, kita tidak perlu
berpencar."
"Apa maksudmu?" tanya Pendekar Kaki Satu.
"Kita sama-sama pernah berhadapan dengan Ra-
ja Naga dan sama-sama mendapatkan kesulitan untuk
mengalahkannya. Bukankah sebaiknya kita bersatu
saja untuk menghadapinya" Maksudku, dengan bersa-
tu-nya kita, kekuatan yang kita miliki semakin ber-
tambah. Itu artinya, kemungkinan besar kita dapat
meringkus anak muda pembuat celaka itu. Jadi, kita
tak perlu lagi harus mendatangi Lembah Lingkar."
Baik Pendekar Kaki Satu maupun Kala Sringgil
sama-sama tak buka mulut. Masing-masing orang
memperhatikan Jala Sringgil. Sesaat kemudian, Pen-
dekar Kaki Satu berkata, "Usul yang kau kemukakan itu memang baik. Kemungkinan
besar untuk meringkus pemuda itu dapat kita lakukan dengan lebih mu-
dah. Tetapi, aku menangkap gelagat lain dari ucapan
Musang Berjanggut."
Pendekar Kaki Satu menghentikan ucapannya.
Lalu memandangi Kala Sringgil dan Jala Sringgil ber-
gantian. Karena kedua orang berkepala plontos itu tak ada yang menjawab. Segera
dilanjutkan lagi kata-katanya, "Musang Berjanggut mengatakan, bencana
akan terjadi di Lembah Lingkar. Jelas kalau ini berhubungan dengan tindakan Raja
Naga. Bila Raja Naga
seorang diri berada di sana, kemungkinan itu sangat
kecil. Tetapi tentunya, akan adanya orang-orang yang
muncul di sana selain Raja Naga dan kita bertiga...."
"Astaga!" Kala Sringgil mendesis.
"Mengapa aku tak memikirkan soal itu?"
"Itu pun baru kupikirkan," kata Pendekar Kaki Satu jujur.
"Kalau begitu, ya... seperti usulku semula, se-
baiknya kita memang berpisah di sini...."
Pendekar Kaki Satu memandang Jala Sringgil.
"Bagaimana pendapatmu?"
"Pendapat yang terbaik, bagiku akan selalu
membawa keuntungan...."
"Baiklah," kata Pendekar Kaki Satu sambil mengangguk. "Kita akan berjumpa lagi
lima hari mendatang di Lembah Lingkar."
Setelah melihat kedua lelaki berkepala plontos itu
mengangguk, Pendekar Kaki Satu segera melangkah
meninggalkan mereka.
"Jala Sringgil," kata Kala Sringgil setelah Pendekar Kaki Satu lenyap dari
pandangan. "Aku jadi memikirkan apa yang disangsikan oleh Musang Berjanggut
mengenai tindakan murid Dewa Naga. Apakah me-
mang benar dia yang telah mencuri kalung Laba-laba
Perak dan membuat keonaran" Kita juga menuduhnya
sebagai pembunuh Resi Kala Jinjit. Ah, keadaan ini
membuat kepalaku menjadi pusing...."
Jala Sringgil mengangguk. Sambil mengusap
lembut kumis melintangnya dia menjawab, "Walaupun aku juga memiliki keraguan
seperti itu, tetapi untuk
saat ini, perhatianku tetap tertuju pada Raja Naga."
"Yang hendak kita lakukan sekarang, menang-
kapnya atau menanyakan kebenaran?"
Jala Sringgil terdiam, karena dia memang tidak
tahu harus menjawab apa.
Didengarnya lagi kata-kata Kala Sringgil, "Sudahlah! Kita tetap berusaha untuk
menangkap pemuda
dari Lembah Naga itu!"


Raja Naga 12 Muslihat Dewi Berlian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau benar! Karena sejauh ini, aku belum meli-
hat keterlibatan orang lain dalam urusan ini!"
Kejap lain, kedua orang itu sudah melangkah
menempuh arah yang berlawanan dengan Pendekar
Kaki Satu. *** LIMA PADA saat bersamaan dengan melangkahnya Ka-
la Sringgil dan Jala Sringgil, dari balik ranggasan semak setinggi dada yang
jaraknya cukup jauh dengan
tempat di mana Kala Sringgil dan Jala Sringgil berada, terdengar kata-kata yang
cukup keras, "Berita kematian Resi Kala Jinjit-lah yang mem-
buatku untuk sementara menghentikan pelanglangbu-
anaanku." Pemuda berlengan sebatas siku dipenuhi sisik
coklat itu memandang tak berkedip pada kakek yang
barusan bicara di hadapannya.
"Bila tak ku saksikan sendiri, mungkin aku tak
percaya melihat ada orang yang memiliki kulit berwar-
na seperti tanah," desisnya dalam hati. "Bahkan ram-butnya yang tak beraturan
hingga punggung pun ber-
warna seperti tanah. Dia mengaku berjuluk Langlang
Benua." Kakek berkulit keriput namun karena warna ku-
litnya seperti tanah hingga tak begitu terlihat keriput
di sekujur tubuhnya berkata lagi, "Kematian Resi Kala Jinjit menimbulkan banyak
pertanyaan di benakku,
hingga aku mencoba untuk mencari kejelasan. Sebe-
lum kudapatkan kejelasan, berita tentang kekacauan
yang terjadi di Perguruan Laba-laba Perak sudah me-
nyengat telingaku. Seorang pemuda yang julukannya
ramai dibicarakan orang akhir-akhir ini, dikatakan sebagai pencuri."
Raja Naga menarik napas pendek. Sorot matanya
tetap angker. "Orang tua... tentunya akulah orang yang kau
maksud. Aku tak bisa membantah bila kau juga me-
nuduhku seperti itu, karena hingga saat ini, aku be-
lum memiliki bukti-bukti yang kuat untuk menyatakan
kalau diriku tidak bersalah."
"Sama sekali aku tak menuduhmu seperti itu,
aku hanya ingin menanyakan kebenaran."
"Kebenaran itu ada di depan mata, tetapi sekali
lagi, aku sulit untuk membuktikannya."
"Keteguhan dan keyakinan ucapan sudah cukup
bagiku." "Aku tidak mencuri kalung Laba-laba Perak!"
"Agar menjadi jelas, silakan kau menceritakan
padaku." Segera Raja Naga menceritakan nasib sial yang
dialaminya (Baca : "Misteri Laba-laba Perak"). Dilihatnya kakek yang kulitnya
berwarna seperti tanah itu
mengangguk-anggukkan kepala.
"Bagaimana dengan kematian Resi Kala Jinjit?"
"Aku tidak tahu sama sekali. Tetapi sebelum per-
soalan menjadi panjang seperti sekarang, secara tak
sengaja aku mencuri dengar percakapan dua orang.
Tentang tindakan Datuk Bunaeng yang hendak mela-
kukan makar."
"Apakah kau mendengar kalau Datuk Bunaeng
yang telah membunuh Resi Kala Jinjit?"
"Tidak sama sekali."
"Berarti bukan dia yang melakukannya."
"Bukti belum terkumpul, Orang Tua."
"Aku paham maksudmu. Bunaeng memiliki den-
dam setinggi langit pada Resi Kala Jinjit. Bahkan setelah Resi Kala Jinjit tewas
tanpa diketahui siapa pem-
bunuhnya, dia tetap berkeinginan untuk menghancur-
kan Perguruan Laba-laba Perak. Dan dia akan dengan
bangga mengumumkan dirinya sebagai pembunuh Re-
si Kala Jinjit, karena dengan cara seperti itu dia akan mendapatkan kepuasan
dari dendam lamanya."
Pemuda tampan berambut dikuncir itu tak men-
jawab. Matanya memperhatikan terus kakek yang telah
menyambarnya di Lembah Lingkar.
"Aku mengenal Bunaeng, bahkan sangat menge-
nalnya." "Kalau memang bukan dia sebagai pembunuh
Resi Kala Jinjit dan orang yang memfitnahku, ke-
mungkinan besar ada orang ketiga yang mengadu
domba." "Pikirkan terus, Anak muda."
Raja Naga terus berkata-kata, "Ketika tiba di
Lembah Lingkar, aku langsung menyuruh Datuk Bu-
naeng agar meminta maaf padaku atas tindakannya,
karena dugaanku dialah orang yang telah memfitnah-
ku. Tetapi justru Datuk Bunaeng yang memaksaku
untuk meminta maaf padanya, karena dia menuduhku
sebagai orang yang memfitnahnya."
"Berarti ada kesalahan di sini, bukan?"
Seperti tak mempedulikan kata-kata Langlang
Benua, Raja Naga melanjutkan kata-katanya, "Sebelum tiba di Lembah Lingkar, aku
berjumpa dengan
Dewi Berlian. Dari perempuan bermahkota itulah aku
tahu kalau Datuk Bunaeng berada di Lembah Lingkar.
Dikatakannya pula, kalau Datuk Bunaeng mendendam
padaku. Dikarenakan saudara seperguruannya yang
berjuluk Ratu Sejuta Setan tewas di tanganku."
"Kau harus membuktikan ucapan Dewi Berlian."
"Pemberitahuan Dewi Berlian semakin memper-
kuat dugaanku kalau Datuk Bunaeng adalah orang
yang berada di balik peristiwa rumit ini. Aku sama sekali tak memikirkan adanya
kemungkinan lain, kecuali
satu pikiran yang timbul setelah mendengar kata-kata
Datuk Bunaeng."
"Katakan."
"Secara tiba-tiba Datuk Bunaeng memanggil Dewi
Berlian! Dengan tujuan siapakah yang akan lebih dulu
menyerangku! Saat itu aku cukup terkejut mendengar-
nya, mengingat sama sekali tak kulihat Dewi Berlian di sekitar sana."
"Dia ada di sana."
"Ya! Sebelumnya dia berada di sana. Dan yang
mengherankanku, mengapa Dewi Berlian justru hadir
di Lembah Lingkar" Juga mengapa Datuk Bunaeng
berseru seperti itu?"
"Kau sudah memikirkan kelanjutannya?"
"Aku masih memikirkannya sekarang."
"Pikirkan lagi."
"Keherananku itu semakin menjadi-jadi. Terus
kupikirkan tentang kata-kata Dewi Berlian padaku dan
seruan Datuk Bunaeng pada Dewi Berlian yang ten-
tunya sebelumnya berada di sana tetapi kemudian ber-
lalu. Mengapa, itulah pertanyaanku yang ada."
"Pikirkan lagi."
"Pikiranku sekarang, justru mengarah pada se-
suatu yang mengejutkanku sendiri."
"Apakah itu?"
"Dewi Berlianlah dalang dari semua ini."
"Mengapa?"
"Pertama, di saat aku berjumpa dengannya, dia
mengatakan kalau Datuk Bunaeng adalah orang yang
juga mendendam padaku atas kematian Ratu Sejuta
Setan. Dan mengatakan padaku, kalau Datuk Bu-
naeng berada di Lembah Lingkar tepat tengah malam.
Aku percaya saat itu. Tetapi keherananku pun segera
timbul, karena sebelum tengah malam Datuk Bunaeng
yang bersama dengan Ratu Tongkat Ular dan seorang
kakek berkulit hitam legam sudah berada di sana. Ju-
ga hadirnya Dewa Jubah Biru dan Dewi Pengunyah Si-
rih. Bayanganku, jauh sebelum tengah malam, Datuk
Bunaeng sudah berada di sana."
"Katakan yang kedua."
"Yang kedua, Dewi Berlian ternyata juga hadir di sana walaupun aku tak sempat
berjumpa dengannya.
Ini mengherankan, karena dikatakannya tepat tengah
malam Datuk Bunaeng tiba di Lembah Lingkar. Kalau
kemudian Dewi Berlian hadir di sana sebelum tengah
malam, berarti dia telah tahu kalau Datuk Bunaeng
akan hadir di Lembah Lingkar sebelum tengah malam."
"Yang ketiga!"
"Ketiga, dari seruan Datuk Bunaeng pada Dewi
Berlian. Mengapa Datuk Bunaeng berseru seperti itu"
Apa yang sebenarnya dikatakan Dewi Berlian" Dan
mengapa Dewi Berlian berlalu tanpa sepengetahuan
siapa pun. Terbukti, mereka cukup terkejut karena
menyadari Dewi Berlian tidak berada di sana."
"Apakah masih ada alasan yang keempat?"
"Ya! Yang keempat, siapa sebenarnya yang memi-
liki hubungan dengan Pangku Jaladara yang katanya
berada di sana dalam keadaan pingsan?"
"Alasan atau tepatnya pertanyaanmu ini cukup
membingungkanku."
"Datuk Bunaeng mendendam pada Resi Kala Jin-
jit sampai ke akar-akarnya. Bahkan dia bermaksud
untuk menghancurkan siapa pun juga yang mempu-
nyai hubungan dengan Resi Kala Jinjit. Sasarannya
yang pertama adalah menghancurkan Perguruan Laba-
laba Perak. Tetapi mengapa dia tidak membunuh
Pangku Jaladara?"
"Kau pikir itu ada hubungannya dengan Dewi
Berlian?" "Hanya itu kemungkinannya. Tetapi yang mem-
buatku tak mengerti, bila memang Dewi Berlian berada
di balik semua ini, apa yang diinginkan sebenarnya dariku" Kalau memang dia,
mengapa dia melakukannya
padaku" Aku belum lama mengenal Dewi Berlian."
"Itulah yang harus kau temukan jawabannya,"
sahut Langlang Benua. Lalu melanjutkan, "Dan karena kau memikirkan rangkaian
semua alasanmu itu, kau
mengalah pada Datuk Bunaeng hingga kau tidak me-
nyerang sepenuh hati?"
Mendengar pertanyaan itu kepala Raja Naga me-
negak. Matanya yang tetap bersorot angker tak berke-
dip memandang kakek di hadapannya.
"Orang tua,.. apakah aku salah bila kukatakan
kau sudah berada di Lembah Lingkar cukup lama?"
Langlang Benua mendengus.
"Aku bertanya, malah dibalik tanya!"
"Tetapi, bukankah apa yang kukatakan itu se-
buah kebenaran?" tanya Raja Naga lagi. Lalu sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya, dia berkata; "Aku tahu mengapa kehadiranmu tidak diketahui di sana.
Kau tentunya menyatu dengan tanah, bukan?"
Langlang Benua cuma mendengus.
"Dan aku tahu, kaulah orang yang telah mem-
bentur serangan dari Kala Sringgil dan Jala Sringgil
sebelumnya. Ah, maafkan aku. Karena kala itu aku
sempat gusar, mengingat tindakan yang kau lakukan
dapat mengacaukan keadaan."
"Karena aku ingin tahu sebuah kebenaran."
Raja Naga menganggukkan kepalanya. Diingat-
nya lagi bagaimana satu serangan yang tiba-tiba mun-
cul telah membentur serangan Kala Sringgil maupun
Jala Sringgil (Baca : "Misteri Laba-laba Perak").
Langlang Benua berkata, "Sekarang... setelah kau mendapatkan satu pikiran
tentang rangkaian dari persoalan rumit ini, apa yang akan kau lakukan?"
"Aku tetap akan mencari bukti kalau aku tidak
bersalah. Karena orang-orang seperti Kala Sringgil, Ja-la Sringgil dan Pendekar
Kaki Satu, serta mungkin ma-
sih ada orang yang lain yang berhubungan erat dengan
Resi Kala Jinjit, tentunya akan tetap mengejarku kare-na menganggap aku sebagai
pengacau."
"Bagus bila itu kau lakukan!"
"Dari apa yang telah kita bicarakan, ada satu pikiran yang muncul di benakku
Setan Harpa 14 Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gunung Bromo 1
^