Pencarian

Selubung Tabir Hitam 1

Raja Naga 07 Selubung Tabir Hitam Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU NAUNGAN mata langit kini mulai memerah. Si-
nar matahari tak lagi segarang siang tadi. Bersamaan senja yang datang, kendati
masih menampakkan sisa-sisa kegarangannya, tetapi matahari kali ini lebih banyak
bersikap berteman dengan penghuni bumi. Tidak
lagi bersorot ganas.
Pemuda berompi ungu yang kedua tangannya
sebatas siku bersisik coklat itu menegakkan kepala di sebuah jalan setapak.
Sebelumnya pemuda berwajah
tampan ini baru saja berlari, tetapi mendadak dihentikannya larinya. Rambutnya
yang gondrong beriap-riap
dipermainkan angin.
Si pemuda yang bukan lain Boma Paksi alias
Raja Naga ini, mengarahkan pandangannya ke depan.
Sorot matanya sedemikian tajam dan angker. Seperti
mengandung satu kekuatan yang dapat melemahkan
mental lawan. Dilihatnya satu sosok tubuh yang sedang berja-
lan terhuyung ke arahnya. Kepala sosok tubuh yang
ternyata seorang kakek ini menegak sesaat. Matanya
yang agak memerah meredup memandangnya. Kehadi-
ran kakek itulah yang membuat Boma Paksi menghen-
tikan langkahnya. Bukan dikarenakan dia mengenali si kakek, melainkan dia
melihat langkah si kakek yang
limbung seperti sedang mengalami penderitaan.
Boma Paksi hendak berkata, tetapi kakek ber-
pakaian hitam dengan jubah biru itu mendadak saja
terhuyung disertai suara tertahan.
"Heiiii!!" Raja Naga cepat bertindak. Segera disambarnya tubuh tua yang hampir
terbanting di atas
tanah. Begitu berhasil disambarnya, si kakek berjubah
biru sudah jatuh pingsan.
"Astaga! Baru pertama kali berjumpa, sudah ja-
tuh pingsan seperti ini! Ada apa ini?" desisnya sambil merebahkan tubuh si kakek
di atas tanah. Segera diperiksanya keadaan si kakek. "Hemmm... pada beberapa
bagian tubuhnya terdapat bekas pukulan. Mungkin
pukulan-pukulan itulah yang menyebabkannya ping-
san. Tetapi bisa jadi dia pingsan karena tenaganya telah banyak terkuras...."
Di lain saat, pemuda tampan berompi ungu
yang memperlihatkan dada bidangnya ini segera men-
galirkan tenaga dalamnya melalui kedua ibu jari kaki si kakek. Cukup lama dia
melakukannya sebelum dilihatnya wajah pucat si kakek agak memerah.
Dihentikannya mengaliri tenaga dalamnya. Se-
jenak dipandanginya wajah si kakek yang kedua ma-
tanya masih terpejam.
"Siapakah kakek berjubah biru ini" Sebelum ini
aku belum pernah melihatnya. Dan dari bekas puku-
lan di tubuhnya tentunya dia habis bertarung dengan
seseorang. Ah, urusan apa lagi yang kuhadapi seka-
rang?" desisnya pelan. Lalu diedarkan pandangannya ke sekelilingnya.
Sekelilingnya tetap sepi. Angin senja terus berhembus semilir. Beberapa helai
dedaunan berguguran, melayang dan jatuh entah ke mana.
Setelah beberapa saat terdiam, pemuda gagah
dari Lembah Naga ini berkata lagi, "Aku masih harus mencari Marinah yang telah
dikuasai oleh ilmu hitam!
Bila aku gagal mencarinya, bisa jadi dia telah banyak memakan korban. Padahal
sampai sejauh ini aku belum dapat memahami apa yang sebenarnya dikehen-
daki oleh Marinah...."
Lalu diingat-ingatnya awal mula dia berhada-
pan dengan istri Jaka yang telah tertitisi ilmu hitam
milik seorang manusia durjana. Juga diingatnya per-
jumpaannya lagi dengan Dewi Kerudung Jingga.
"Menurut Peramal Sakti, ilmu hitam itu berasal
dari Patung Darah Dewa, yang keluar dikarenakan
masuknya Kain Pusaka Setan. Ah, pantas tatkala Kain
Pusaka Setan terbetot masuk ke dalam tubuh Patung
Darah Dewa, ketegangan terpancar pada wajah si ka-
kek yang selalu mengusap-usap jenggot putih pan-
jangnya. Tetapi seperti yang dikatakannya belum lama ini, dia menjadi sedikit
tenang ketika tak terjadi apa-apa. Tetapi... ramalannya justru mengatakan lain.
Ah, sebenarnya aku masih bingung siapakah yang harus
kuhadapi...."
Kembali murid Dewa Naga itu terdiam seraya
memandang si kakek yang masih pingsan. Dicobanya
untuk mengingat-ingat apakah sebelumnya dia pernah
berjumpa dengan kakek berjubah biru ini atau belum.
Setelah sekali lagi diyakininya dia belum pernah bertemu dengan si kakek,
diputuskan untuk menung-
guinya sampai siuman.
Setelah satu kali penanakan nasi berlalu, baru-
lah didengarnya si kakek mengeluarkan suara terta-
han. "Jangan banyak bergerak!" desis Boma Paksi tatkala melihat si kakek telah
membuka kedua matanya dan hendak bangkit.
Mendengar kata-kata orang di samping kanan-
nya, si kakek berjubah biru ini merebahkan lagi tu-
buhnya di atas tanah. Matanya dipejamkan rapat-
rapat. Kepalanya masih dirasakan pusing. Sesaat ke-
mudian dirasakannya satu aliran tenaga halus masuk
melalui dadanya. Setelah beberapa saat, dirasakannya kalau nafasnya mulai
teratur. Boma Paksi yang tadi meletakkan telapak tan-
gan kanannya di atas dada si kakek dan mengalirkan
tenaga dalamnya, tersenyum begitu mendengar desa-
han napas teratur dari orang di hadapannya.
"Atur tenaga dalammu, Orang Tua...."
Si kakek segera melakukan apa yang dikatakan
orang di samping kanannya. Dia sempat melihat seki-
las paras si pemuda tadi. Tak lama kemudian dibuka
kedua matanya. Dipandanginya si pemuda yang se-
dang memandangnya sambil tersenyum.
Saat itu pula terlihat paras si kakek berubah.
"Astaga! Sorot matanya... sorot itu... begitu
angker dan mengerikan!" desisnya dalam hati.
Boma Paksi tahu akan arti tatapan si kakek.
Dia segera berkata, "Keadaanmu sudah normal kembali. Bila kau tak keberatan, aku
bersedia mendengarkan sebab-sebab kau terluka seperti ini...."
Kata-kata itu diucapkan penuh kesopanan,
membuat si kakek mengangguk-anggukkan kepalanya.
Seraya menarik napas panjang, dia bangkit dengan
kedua kaki perlahan-lahan dilipat bersila. Dipandan-
ginya pemuda tampan di hadapannya ini lagi.
"Sorot mata itu benar-benar membikin jantung
yang melihatnya kian berdebar! Sungguh... oh! Dari
mulai jari jemari hingga batas siku kedua tangannya, terdapat sisik-sisik
coklat. Ah, siapakah pemuda berompi ungu ini?"
Untuk beberapa saat tak ada yang bersuara.
Boma Paksi sendiri hanya membiarkan saja si kakek
berada dalam jalan pikirannya sendiri.
Setelah itu barulah si kakek angkat bicara,
"Anak muda... kuucapkan terima kasih atas pertolon-ganmu..."
"Aku hanya kebetulan lewat di tempat ini dan
kebetulan melihatmu yang hendak terjatuh...."
Si kakek terdiam dulu sebelum melanjutkan,
"Sudah tentu aku tak keberatan untuk mengatakan mengapa aku berada dalam keadaan
seperti ini. Tapi
sebelumnya... keberatankah kau mengatakan siapakah
dirimu?" Raja Naga menggeleng.
"Sudah tentu tidak. Namaku Boma... Boma
Paksi. Dan julukanku... Raja Naga...."
Kepala si kakek mendadak menegak. Sepasang
matanya membuka lebih lebar.
"Katakan... katakan... apa julukanmu?"
Meskipun merasa agak keheranan tetapi Boma
Paksi menjawab juga pertanyaan si kakek. Kemudian
dilihatnya si kakek menggeleng-gelengkan kepala.
"Ada apakah, Orang Tua?"
Si kakek tak menjawab. Diam-diam dia berkata
dalam hati. "Jadi pemuda inilah yang berjuluk Raja Naga. Orang yang telah
membunuh Hantu Menara
Berkabut, kakek dari Setan Pemetik Bunga. Hemmm...
kutangkap sesuatu yang jauh lebih menyenangkan da-
ri apa yang ku rasakan sekarang karena aku masih
bertahan hidup...."
Perlahan-lahan si kakek mengangkat kepa-
lanya. Sambil memandang si pemuda dan sesekali
mengalihkan pandangannya dia berkata, "Raja Naga...
aku yang tua ini bernama Junjung Tala. Orang yang
datang dari selatan untuk mengembara."
"Kakek Junjung Tala... aku tak punya banyak
waktu. Bila kau tak keberatan menceritakan apa yang
terjadi, aku akan menunggu. Tetapi bila...."
"Sudah tentu tidak," sahut Junjung Taia. Beberapa saat dia terdiam. Kemudian
katanya, "Sebelum ini aku mempunyai beberapa orang teman. Antara lain
Gada Iblis, Resi Kawula, Setan Gempal dan Setan Pe-
metik Bunga. Kami kemudian mengadakan pesta be-
sar-besaran di kediaman Setan Pemetik Bunga. Dan
siapa nyana kalau ternyata Setan Pemetik Bunga
mempunyai maksud keji"! Di dalam arak yang kami
minum, rupanya lelaki itu telah menaruh racun! Dan
kami mendapatkan musibah yang berkepanjangan,
bahkan boleh dikatakan beruntun...."
"Kau berhasil meloloskan diri?"
"Begitulah keadaannya. Tetapi ketiga temanku
yang lain tewas. Di antaranya ada yang diakibatkan
oleh perbuatan Setan Pemetik Bunga dan di antaranya
ada yang tewas dibunuh oleh seorang perempuan ber-
telanjang dada yang mendadak muncul dan mempu-
nyai kesaktian yang tinggi."
Kening Raja Naga berkerut.
"Perempuan bertelanjang dada?"
"Ya!"
"Oh! Kapan... kapan itu terjadi?"
"Kejadian itu sudah dua hari lamanya...."
Raja Naga menarik napas dan berkata dalam
hati, "Sayang sekali... padahal aku berharap masih dapat menemukan jejak
perempuan bertelanjang dada
yang ku yakini adalah Marinah."
Lalu katanya, "Kek... karena masih ada urusan
yang harus kuselesaikan, sebaiknya kita...."
"Tunggu dulu, Anak Muda..." kata Junjung Tala yang hendak menjalankan
siasatnya."Kau harus mengetahui satu hal."
Raja Naga mengurungkan niatnya.
"Apakah itu?"
"Setan Pemetik Bunga adalah cucu dari Hantu
Menara Berkabut!"
"Astaga! Benarkah yang kau katakan?"
"Ya! Dia meminta ku dan ketiga kawanku yang
lain untuk bergabung dengannya! Untuk menuntaskan
segala dendam yang ada di dadanya! Ketahuilah... Se-
tan Pemetik Bunga hendak membalas kematian ka-
keknya. Dan itu artinya...."
"Dia hendak membunuhku?"
"Begitulah kenyataannya! Kematian Hantu Me-
nara Berkabut sangat menggegerkan rimba persilatan!
Ketahuilah, kalau julukanmu sudah menjulang, Anak
Muda...." Raja Naga tak menghiraukan pujian itu. Dia
berkata, "Setelah itu, apa yang terjadi?"
"Aku dan ketiga kawanku yang lain menolak
permintaannya mengajak kami bergabung! Itulah yang
menyebabkannya hendak membunuh kami dengan ra-
cun yang dimilikinya!"
Raja Naga menarik napas pendek.
"Ah, lagi-lagi urusan dendam. Mengapa harus
begini kejadiannya" Mengapa selalu saja ada orang
yang tidak puas dengan keadaannya?"
Selagi Raja Naga membatin, Junjung Tala ber-
kata, "Anak muda... aku berada di pihakmu karena aku tak ingin membantu Setan
Pemetik Bunga untuk
membunuhmu. Tetapi tak menutup kemungkinan ka-
lau masih ada orang yang mau membantunya untuk
membunuhmu...."
Raja Naga tersenyum.
"Kakek Junjung Tala... bukan kuanggap apa
yang kau ceritakan itu urusan kecil. Tetapi untuk sementara biarlah ku
kesampingkan...."
"Kau memang tak menganggap urusan ini uru-
san kecil. Tetapi seharusnya kau sudah bersiap untuk menghadapinya."
"Apa maksudmu?"
"Membunuhnya lebih dulu akan memudahkan
mu untuk menangani urusan lain yang sedang kau ja-
lankan...."
Raja Naga tersenyum seraya menggelengkan
kepalanya. "Bila dia memang ingin melakukannya, biar-
lah.... Dan sudah tentu aku akan mempertahankan se-
lembar nyawaku dari keinginannya itu. Hanya saja,
aku tak berkeinginan dia melaksanakan semuanya, ju-
ga tak berkeinginan untuk membunuhnya. Aku berha-
rap dapat berjumpa dengannya dalam waktu yang ce-
pat dan menjelaskan segala persoalan yang membuat-
nya mendendam...."
"Astaganaga!" desis Junjung Tala dalam hati.
"Baru sekarang ini aku berjumpa dengan seseorang yang tak menghiraukan
keadaannya sendiri. Padahal
jelas jelas dia terancam. Huh! Kalau aku yang menga-
lami hal seperti itu, orang itu sudah kucari untuk kubunuh lebih dulu!"
Raja Naga berdiri, "Orang tua... seperti yang
kukatakan tadi, masih ada urusan yang harus kusele-
saikan. Jadi sebaiknya kita berpisah saja di sini...."
Junjung Tala mengangguk dan ikut-ikutan ber-


Raja Naga 07 Selubung Tabir Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri. Tubuhnya sudah dirasakan segar kembali. Dipan-
danginya si pemuda yang sedang memandang ke ke-
jauhan. Lalu katanya, "Pesanku hanya satu, berhati-hatilah menghadapinya...."
"Aku akan memenuhi pesanmu itu...."
"Orang yang hendak mencarimu itu memiliki
wajah tampan tetapi berhati busuk! Kebiasaannya ada-
lah memetik bunga-bunga indah pada diri seorang pe-
rawan! Dia mengenakan pakaian serba keperakan...."
Mendengar kata-kata terakhir Junjung Tala,
kening Raja Naga berkerut. Tetapi di saat lain murid
Dewa Naga ini sudah tersenyum kembali.
"Kau juga harus berhati-hati...," katanya yang kemudian segera melangkah
meninggalkan Junjung
Tala. Junjung Tala terus memperhatikan sampai pe-
muda gagah berompi ungu itu menghilang di balik
ranggasan semak belukar. Beberapa saat kemudian
dia menarik dan menghela napas panjang.
"Dari apa yang dikatakannya, jelas-jelas aku bi-sa gagal membunuh Setan Pemetik
Bunga dengan mempergunakan tangannya. Pemuda itu kelihatan be-
gitu tegar, dan emosinya tidak terpancing sedikit juga mendengar apa yang
kuceritakan. Sungguh ketabahan
tebal yang dimilikinya...."
Kakek berjubah biru ini terdiam kembali sebe-
lum kemudian mendesis lagi, "Kalau begitu, seperti janji ku pada Setan Gempal
dan Gada Iblis, juga terhadap Resi Kawula, sebaiknya kuteruskan langkah un-
tuk mencari Setan Pemetik Bunga! Lelaki keparat itu
harus menerima ganjaran atas perbuatannya!!"
Beberapa saat Junjung Tala terdiam dengan
dada yang mendadak naik turun. Nafasnya terdengar
mendengus-dengus tak beraturan. Parasnya menjadi
tegang, penuh kemarahan.
Saat lain, kakek berjubah biru ini sudah berke-
lebat meninggalkan tempat itu.
DUA KAKEK berjubah merah itu berkelebat laksana
bayangan. Gerakannya sungguh tak ubahnya setan
belaka. Bahkan kelebatannya sendiri sangat sukar di-
ikuti oleh mata. Dalam satu tarikan napas saja, si ka-
kek sudah bergerak sejauh dua puluh langkah. Se-
buah ilmu peringan tubuh yang telah mendekati tahap
sempurna yang dimiliki si kakek!
Di sebuah jalan setapak, si kakek menghenti-
kan langkahnya. Malam mulai datang dan sang rem-
bulan saat ini bersinar cukup terang. Sepasang bola matanya yang tajam
memperhatikan sejenak sekelilingnya. Lalu kepalanya yang lonjong itu digerak-
gerakkannya hingga rambut putihnya yang dikuncir
ekor kuda berlompatan. Di atas bola matanya terdapat sepasang alis yang bertemu
pada atas hidungnya. Dan
nampaknya si kakek berkumis putih panjang yang tu-
run ke bawah ini memang tak berniat melanjutkan
langkahnya lagi. Dia tetap berada di sana dengan ke-
dua tangan terlipat di depan dada.
Dan... astaga! Sekujur kulit si kakek ternyata
bersisik hijau! Mendadak....
Bruuuttt!! Dari pantat si kakek terdengar suara yang cu-
kup keras. Tetapi si kakek bersisik hijau ini tak mempedulikannya, kendati
matanya berkeliling. Waswas
seolah khawatir ada yang mendengar suara dari pan-
tatnya. Lima kejapan mata kemudian, satu sosok tu-
buh berpakaian dan mengenakan jubah putih panjang
telah tiba di tempat itu. Si kakek sejenak menatap pa-da kakek bersisik hijau
saat melangkah mendekat. Ju-
bah putihnya berkibar-kibar. Sosoknya agak sedikit
bongkok. Wajahnya yang dipenuhi kerut merut itu
bergetar-getar sejenak sebelum berkata,
"Maafkan keterlambatan ku!"
Kakek bersisik hijau itu hanya mendengus.
"Aku tak punya banyak waktu! Kau tentunya
telah mendengar apa yang terjadi, Gede Arum"!"
Si kakek berjubah putih menganggukkan kepa-
lanya. "Ya! Aku telah mendengarnya! Ilmu manusia keparat bernama Sangga Langit
itu telah keluar dari
Patung Darah Dewa, akibat Kain Pusaka Setan yang
masuk ke dalamnya!"
"Sesungguhnya ada yang membingungkan! Ada
hubungan apa antara Durjana Kayangan dengan
Sangga Langit"!"
"Sangga Langit adalah guru dari Durjana
Kayangan yang telah tewas di tangan muridku, si Pe-
ramal Sakti yang bersama-sama dengan Ki Dundung
Kali! Kain Pusaka Setan sesungguhnya adalah milik
Sangga Langit!"
"Gede Arum! Hingga saat ini tak seorang pun
yang mengetahui kalau kau masih hidup! Baik murid-
mu sendiri ataupun orang lain! Tetapi kabar telah
sampai ke telingaku, kalau murid murtad mu yang
berjuluk Ratu Dayang-dayang telah tewas di tangan
muridku, si Raja Naga! Dan tinggal Peramal Sakti yang tentunya sampai saat ini
sedang memikirkan keadaan
yang terjadi! Tetapi jelas dia tidak tahu kalau kau sebenarnya masih hidup!"
Kakek berjubah putih yang bukan lain Kiai
Gede Arum adanya menganggukkan kepala.
"Ya! Bila saja aku tak bisa bertahan lebih lama, mungkin aku akan mampus akibat
racun yang diberi-kan Ratu Dayang-dayang di makananku!"
"Bahkan kau sempat dikuburkan oleh muridmu
yang satunya lagi: si Peramal Sakti!"
"Ya!"
"Dan yang membingungkan ku, mengapa kau
berlagak sudah mampus saat itu"!"
"Aku tak ingin mendengar adanya rengekan da-
ri Ratu Dayang-dayang yang ingin tahu rahasia ten-
tang Patung Darah Dewa! Di samping itu, aku ingin dia menyesali tindakannya."
"Gede Arum! Bila aku yang diperlakukan seperti
itu, akan kuhajar habis-habisan murid celaka itu!!"
sahut si kakek bersisik hijau keras. Sisik-sisik hijau pada wajahnya sedikit
menyala. Kiai Gede Arum hanya menganggukkan kepala.
"Dan aku sama sekali tak menyangka kalau Ra-
tu Dayang-dayang justru semakin bernafsu untuk
mengetahui rahasia dari Patung Darah Dewa!"
"Itu adalah kesalahanmu!"
"Sedikit banyaknya kuakui kesalahanku itu!
Juga akibat dan sikap yang kulakukan! Peramal Sakti
justru menjadi murka dengan tindakan yang dilaku-
kan Ratu Dayang-dayang! Tetapi aku salut padanya
yang kemudian tidak lagi meneruskan kemarahannya!
Hanya saja, karena sikap Ratu Dayang-dayanglah yang
membuatnya menjadi marah kembali!"
"Dan dalam keadaan terluka kau bangkit dari
kuburmu kemudian mencariku! Beruntung kau men-
gisyaratkan nya kepadaku! Bila tidak, mungkin dalam
perjalanan menuju ke Lembah Naga kau sudah mam-
pus!" sahut si kakek bersisik hijau yang bukan lain Dewa Naga adanya. Ketika dia
hendak menyambung
kata-katanya, mendadak....
Brruutt!! Suara dari pantatnya terdengar lagi. Wajahnya
sedikit memerah tetapi dia tak mempedulikannya. Ta-
tapannya semakin tajam pada kakek berjubah putih di
hadapannya. "Kau tertawa sedikit saja, jangan menyesali ka-
lau mulutmu akan mencong ke kanan!"
Kiai Gede Arum tak menyahuti ucapan itu. De-
wa Naga menyumpah-nyumpah dalam hati.
"Brengsek betul pantat ku ini! Selalu bunyi dan berbunyi! Huh! Kalau aku lagi
ingin mengeluarkannya, susah betul! Tetapi kalau tidak disuruh, malah berbunyi!
Brengsek!"
Habis menyumpah-nyumpah dalam hati, kakek
muka lonjong ini berkata, "Kumpulan ilmu hitam milik Sangga Langit kini telah
menitis pada seorang gadis
bernama Marinah! Aku yakin kau juga sudah menden-
garnya! Gede Arum! Kupikir, tibalah saatnya bagimu
untuk keluar dari persembunyianmu setelah sekian
lama orang menganggapmu telah mati!"
Kepala Kiai Gede Arum mengangguk-angguk.
"Yah... aku bertanggung jawab atas kejadian
itu!" "Satu hal yang masih membingungkan ku, mengapa kau justru mengatakan
tentang rahasia Patung Darah Dewa pada Peramal Sakti tetapi kau tidak
mau mengatakannya pada Ratu Dayang-dayang?"
"Dewa Naga! Aku lebih mengerti tentang murid-
muridku ketimbang siapa pun juga!"
"Brengsek! Jadi kau menganggapku telah me-
lontarkan pertanyaan bodoh"!"
"Tidak! Sama sekali aku tidak menganggap de-
mikian!" sahut Kiai Gede Arum sambil menggelengkan kepalanya. Wajahnya dipenuhi
dengan duka yang berkepanjangan. Lalu setelah menghela napas, kakek ber-
jubah putih ini berkata, "Peramal Sakti memiliki kesa-baran hati yang tinggi.
Sejak pertama kali aku men-
gambilnya sebagai murid, aku sudah tahu tentang si-
kapnya yang sedemikian santun. Lain halnya dengan
apa yang dimiliki oleh Ratu Dayang-dayang. Muridku
yang satu itu...."
"Kau masih menganggapnya sebagai murid"!"
bentak Dewa Naga cukup keras.
"Biar bagaimanapun juga, dia pernah menjadi
muridku," sahut Kiai Gede Arum pelan. Bersamaan suara 'brutt' dari pantat Dewa
Naga, Kiai Gede Arum
melanjutkan, "Ratu Dayang-dayang memiliki kekerasan hati yang tinggi! Sikapnya
yang pertama kali diperlihatkan, di saat dia merasa tidak puas dengan ilmu
yang kuturunkan padanya! Dia menganggap aku lebih
banyak menurunkan ilmuku pada Peramal Sakti! Pa-
dahal tidak sama sekali! Ilmu yang kuturunkan pada
Peramal Sakti, memang diperuntukkan buat seorang
lelaki! Demikian pula halnya dengan ilmu yang kutu-
runkan pada Ratu Dayang-dayang!"
"Lepas dari semua itu, pada akhirnya kau akan
tetap muncul juga di rimba persilatan ini!" seru Dewa Naga. "Aku menangkap satu
hal yang mungkin akan jadi pikiranmu! Tentunya, dengan munculnya kembali
kau ke rimba persilatan, akan banyak memancing ke-
luar tokoh-tokoh yang pernah kau kalahkan!"
"Aku juga sudah membayangkan hal itu! Tapi
memang pada akhirnya aku harus muncul kembali di
rimba persilatan! Karena biar bagaimanapun juga na-
sib gadis malang bernama Marinah itu adalah tang-
gung jawabku!"
"Satu hal yang...." Bruttt!! "Busyet! Nih pantat tidak bisa tenang juga!" dengus
Dewa Naga pada dirinya sendiri. Di hadapannya Kiai Gede Arum tak ber-
suara. Kemudian katanya lagi, "Aku menangkap
bayangan kalau muridku yang bernama Boma Paksi
akan turut hadir dalam urusan yang seharusnya kau
pegang! Gede Arum! Tak ada yang perlu dibicarakan
kecuali bila memang masih ada yang hendak kau bica-
rakan!" Kakek berjubah putih itu menggelengkan kepa-
lanya. "Terima kasih karena kau mau menemuiku di tempat ini!"
"Bila ini tidak ada urusannya dengan muridku,
mana sudi aku...." Bruuuttt!! "Eh, busyet! Kenapa tidak mau tenang juga pantat
ku ini! Gede Arum! Perlu
kau ingat-ingat ciri muridku! Dia memiliki paras tampan dengan rambut gondrong!
Tatapannya sangat ang-
ker dan mampu membuat nyali putus! Kedua tangan-
nya mulai dari jari jemari hingga siku terdapat sisik kecoklatan! Bila kau
berjumpa dengannya, jangan
mengatakan kalau kita pernah bertemu seperti seka-
rang!" Kiai Gede Arum mengangguk.
Kakek berjubah merah itu mendengus. Di lain
saat dia sudah melangkah meninggalkan tempat itu di-
iringi ucapannya yang ngawur. Dan bunyi pantatnya
tersisa di sana.
Sepeninggal Dewa Naga, Kiai Gede Arum mena-
rik napas panjang. Mengusap-usap dagunya yang ke-
limis. "Mau tak mau aku memang harus muncul
kembali ke rimba persilatan! Siapa pun orangnya su-
dah tentu akan menghadapi banyak waktu untuk me-
nandingi kekuatan ilmu hitam milik Sangga Langit
yang telah menitis pada gadis bernama Marinah. Ah...
hanya aku seorang yang mengetahui kelemahannya.
Tetapi... di usia yang sudah bertambah ini, apakah aku masih sanggup
menghadapinya?"
Kakek berjubah putih ini menengadahkan ke-
palanya. Dipandanginya langit cerah yang dipenuhi
gumpalan awan putih. Saat lain dia memandang ke
arah perginya Dewa Naga.
"Kini memang sudah saatnya...," desisnya ke-
mudian dan segera melangkah ke arah yang berlawa-
nan yang ditempuh oleh Dewa Naga.
Jalan setapak itu kembali direjam sepi.
* * * Pada saat yang bersamaan, lelaki berpakaian
terbuat dari keperakan itu berkata pada orang di
samping kanannya,
"Semua telah menjadi jejas. Pemuda itulah yang
memang hendak kubunuh! Lantas, kapan kau akan
membantuku untuk melaksanakan semua ini?"
Orang di hadapannya tersenyum.
"Jangan terlalu gegabah. Biarkanlah pemuda
dari Lembah Naga itu menuntaskan urusannya dengan
perempuan bertelanjang dada yang telah dirasuki sinar hitam dari Patung Darah
Dewa." Lelaki tampan berhati licik yang bukan lain Se-
tan Pemetik Bunga mengerutkan kening.
"Aku tak memahami kata-katamu. Sebelumnya
kau mengatakan, kalau kau hendak mencari perem-
puan bernama Marinah yang telah berubah menjadi
sedemikian kejam untuk mengajaknya bergabung. Se-
karang kau mengatakan untuk membiarkan dulu Raja
Naga berhadapan dengan perempuan itu!"
"Jangan terlalu tegang! Setan Pemetik Bunga,
kemarahan mu ini didasari dengan rasa tak sabar un-


Raja Naga 07 Selubung Tabir Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tuk membunuh pemuda itu! Dan kupikir, bila kita se-
dikit tenang, apa yang kita inginkan akan tercapai!"
"Perempuan celaka!" maki Setan Pemetik Bunga dalam hati sambil memandang orang
di hadapannya. Dan dia menggeram pelan setelah mengetahui apa
yang diinginkan orang itu sebenarnya. "Terkutuk! Sudah jelas kalau dia hendak
mempergunakan tenaga
sakti dari perempuan bertelanjang dada yang telah dimasuki sinar hitam dari
Patung Darah Dewa! Dengan
begitu... dia tak akan terlalu banyak menguras tenaga untuk membunuh Raja Naga!
Keparat terkutuk!"
Tak bisa menahan kemarahannya, Setan Peme-
tik Bunga sudah berseru, "Dengan memutuskan demikian, aku tahu kalau kau
sebenarnya tak ingin mem-
bantuku!" Perempuan di hadapannya tersenyum, yang
semakin membuat gusar dada Setan Pemetik Bunga.
"Aku telah menjalankan apa yang kau inginkan!
Keempat orang yang kau katakan sebagai pesaingmu
itu telah mampus kuracuni! Aku yakin Gada Iblis dan
Junjung Tala juga telah mampus, tetapi mampus di
tangan perempuan bertelanjang dada yang mendadak
muncul!" "Sudah kukatakan tadi, kau tidak perlu tegang.
Bila kau mau tenang sedikit, urusan ini dapat diselesaikan dengan mudah," kata
perempuan di hadapannya sambil tetap tersenyum. "Murid Dewa Naga itu masih
melacak ke mana perginya perempuan bertelanjang dada yang telah menimbulkan
keonaran. Dan ini
berarti, kau tak perlu tegang. Untuk apa kita buang
tenaga percuma bila pemuda itu dapat dibunuh bukan
dengan tangan kita?"
"Aku telah melaksanakan apa yang kau ingin-
kan!" desis Setan Pemetik Bunga dengan suara agak meradang. Kedua matanya
menyipit dengan gemuruh
amarah di dada sulit dipertahankan. "Dan kau berjanji untuk membantuku membunuh
Raja Naga! Tetapi dari
apa yang kau katakan, kau hanya memperalat ku!!"
Perempuan di hadapannya tertawa keras.
"Sejak tadi kukatakan janganlah terlalu gusar!
Kau telah melaksanakan apa yang kuinginkan, sudah
tentu kau akan mendapatkan apa yang kujanjikan!"
"Tetapi...."
"Setan Pemetik Bunga! Di dunia ini hanya ada
dua sifat manusia yang sama sekali terkadang tak bisa diduga! Pertama, orang
yang bersikap baik tetapi sebenarnya memiliki sifat yang sangat jahat! Kedua,
adalah kebalikan dari sifat yang pertama tadi!"
"Dengan kata lain kau hendak mengatakan, ka-
lau kau berpura-pura membantuku agar aku mau me-
laksanakan keinginanmu?"
"Aku tak berkata demikian," sahut orang di hadapannya sambil tersenyum.
"Keparat! Kau benar-benar membuatku murka!
Kelicikanmu itu akan mendapatkan balasan!" geram Setan Pemetik Bunga keras. Dia
sama sekali tak menyangka kalau orang di hadapannya telah memperalat
dan mengkhianatinya.
Sebelumnya Setan Pemetik Bunga merasa ya-
kin kalau orang di hadapannya akan membantunya
untuk membunuh Raja Naga. Orang itu memang telah
mengajukan satu syarat, dia akan membantunya bila
Setan Pemetik Bunga berhasil membunuh Junjung Ta-
la, Resi Kawula, Setan Gempal dan Gada Iblis. Keem-
pat orang itu sebenarnya adalah para kambratnya
yang sama-sama malang melintang di dunia hitam! Te-
tapi kenyataannya sekarang" (Untuk mengetahui keli-
cikan Setan Pemetik Bunga sebelumnya, silakan baca :
"Patung Darah Dewa").
Orang di hadapannya tersenyum. Lalu dengan
suara tenang berkata, "Katamu tadi aku telah berlaku licik. Lantas bagaimana
dengan kau sendiri" Apakah
kau tidak berlaku licik?"
"Terkutuk!!" kemarahan Setan Pemetik Bunga semakin menjadi-jadi.
Orang di hadapannya kembali tertawa, lebih
keras dari sebelumnya. Dedaunan yang berada di seki-
tar mereka meranggas, bertebaran karena gelombang
tawa orang itu telah dialiri tenaga dalam.
"Dari kata-katamu tadi, kau menyimpan rasa
tak percaya kepadaku rupanya!"
"Aku bukan hanya telah menyimpannya, tetapi
melontarkan ketidakpercayaan itu!"
"Justru dengan sikap yang kau perlihatkan aku
bertambah yakin akan keinginanmu untuk membunuh
Raja Naga! Dan kau tidak setengah-setengah meminta
bantuanku!"
"Karena aku telah melakukan apa yang kau in-
ginkan!" "Bagus! Kau tak perlu gusar dan menyimpan
rasa tidak percaya mu itu kepadaku lebih lama! Kare-
na, aku akan tetap membantumu! Tetapi sebaiknya...
kita berpisah di sini!"
"Apa maksudmu dengan berpisah di sini?"
Orang di hadapannya tersenyum. Lalu menge-
mukakan alasannya yang membuat lelaki berpakaian
keperakan itu mengangguk-anggukkan kepala.
"Baiklah! Bila alasanmu demikian adanya, aku
setuju dengan apa yang kau inginkan!"
"Dan kau akan mendapatkan keuntungan be-
sar dengan janji ku ini!"
Habis berkata demikian, orang itu sudah berke-
lebat diiringi tawa yang panjang. Di tempatnya, Setan Pemetik Bunga menggeram
dalam hati. "Aku tidak tahu apakah harus mempercayainya
atau tidak! Tetapi dari apa yang dikatakannya, rasanya tak perlu mencurigainya
sekarang! Huh! Sebaiknya
aku segera melacak jejak Raja Naga! Padahal sebelum-
nya, dia sudah berada tak jauh dariku! Membunuhnya
adalah yang kuinginkan! Tetapi perempuan keparat itu menghendaki lain!"
Kejap kemudian, Setan Pemetik Bunga sudah
berkelebat meninggalkan tempat itu, ke arah yang berlawanan dengan orang yang
setengah dipercayainya
dan setengah lagi tidak.
TIGA TEPAT matahari muncul kembali di persada
bumi, dua sosok tubuh yang sama-sama berkelebat
dari arah yang berlawanan sama-sama menghentikan
langkah. Kedua orang ini sejenak saling pandang sebelum kemudian sama-sama
melangkah lagi, mendekati
satu sama lain.
"Kirana! Bagaimana" Apakah kau berhasil men-
jumpainya?" tanya orang yang datang dari sebelah kanan. Dia seorang lelaki yang
berusia sekitar enam puluh tahun. Parasnya sedikit keriput. Rambutnya yang
sudah mulai memutih tergerai dipermainkan angin. Le-
laki ini mengenakan pakaian putih dengan dua selen-
dang hijau bersilangan di depan dan di belakang dada.
Gadis berusia sekitar tujuh belas tahun yang
mengenakan pakaian ringkas warna biru merang-
kapkan kedua tangannya di depan dada. Wajahnya
yang jelita disaput sedikit keringat. Dadanya yang agak membusung turun naik
dengan napas yang sedikit te-rengah. Rambutnya dikuncir ekor kuda. Di punggung-
nya bersilangan dua buah pedang.
"Aku sudah menemuinya, Guru! Dan beliau
mau turut membantu kita untuk membasmi gadis
yang mengaku berjuluk Ratu Tanah Terbuang!"
Si lelaki mengangguk-anggukkan kepalanya.
Wajahnya menyiratkan sedikit kepuasan.
"Bagus! Rupanya dia masih ingat padaku!"
"Bahkan dia menyesali mengapa Guru baru
mengutus ku untuk menjumpainya sekarang ini."
Lelaki tua berpakaian putih dengan selendang
hijau yang berselempangan di depan dan di belakang
dadanya menarik napas pendek.
"Sudah lama sebenarnya aku ingin menjum-
painya. Berbicara banyak dengannya tanpa mengenal
waktu. Mengulang lagi kebersamaan yang pernah ku
alami bersamanya...."
Kirana merasa tidak enak menyampaikan kata-
kata orang yang dijumpainya kepada gurunya. Dia
mencoba mengalihkan pembicaraan. "Guru... bagaimana dengan hasil yang Guru
capai" Apakah Guru
berhasil mengikuti ke mana perginya Ratu Tanah Ter-
buang, hingga Guru mengetahui di mana gadis kejam
itu tinggal?"
Si lelaki yang berjuluk Pendekar Kencana
menggelengkan kepalanya.
"Aku gagal mengikutinya! Gadis itu sungguh
memiliki ilmu peringan tubuh yang sangat tinggi!"
Diam-diam Kirana menyesali itu, tetapi sudah
tentu dia tidak mengatakannya. Apa yang dilakukan
gurunya mungkin sudah batas dari kemampuannya.
"Guru... baru-baru ini kita sudah diguncangkan
oleh kehadirannya! Tahu-tahu gadis yang mengaku
berjuluk Ratu Tanah Terbuang itu datang dan meng-
hancurkan Perguruan Kencana! Ah, aku sungguh tidak
sabar untuk membalas apa yang telah dilakukannya
itu! Apakah Guru mengetahui sebab-sebabnya?"
Pendekar Kencana menggelengkan kepalanya.
Diingatnya bagaimana pada malam itu mendadak saja
seorang gadis berjuluk Ratu Tanah Terbuang muncul.
Dan tanpa basa-basi lagi gadis itu telah membunuhi
murid-muridnya yang berjumlah sembilan orang. Pen-
dekar Kencana bukanlah seorang pendekar sembaran-
gan, dia cukup disegani oleh kawan maupun lawan.
Tetapi malam itu dia tak bisa berbuat banyak. Bahkan memutuskan untuk meloloskan
diri, bersama Kirana,
satu-satunya muridnya yang berhasil diselamatkan.
Setelah dua hari dua malam bersembunyi dari
kejaran Ratu Tanah Terbuang, Pendekar Kencana
mengutus muridnya untuk menjumpai sahabatnya
yang bernama Kidang Gerhana di Lembah Gerhana
untuk meminta bantuan. Sementara dia sendiri men-
coba menemukan jejak Ratu Tanah Terbuang. Meski-
pun dia berhasil menjumpai gadis itu, tetapi dia gagal mengikuti ke mana
perginya Ratu Tanah Terbuang.
"Aku tidak tahu secara pasti tentang hal itu, Kirana! Tetapi, aku sempat
menangkap ucapannya yang
menyebutkan satu julukan!"
"Siapakah orang yang disebutkan itu Guru?"
tanya Kirana sambil mengatur nafasnya.
"Aku belum pernah berjumpa dengannya. Teta-
pi, aku sudah pernah mendengar julukannya yang ti-
ba-tiba merebak ke permukaan!" sahut Pendekar Kencana kemudian terdiam untuk
beberapa saat. Lalu
sambil memandang muridnya yang memiliki paras jeli-
ta itu dia melanjutkan, "Pemuda itu bernama Boma Paksi dan berjuluk Raja Naga!"
"Guru pernah menceritakannya kepadaku! Bu-
kankah dia yang telah menghancurkan Menara Berka-
but sekaligus membunuh penghuninya yang berjuluk
Hantu Menara Berkabut?"
Pendekar Kencana menganggukkan kepalanya.
"Kau betul! Ratu Tanah Terbuang sedang men-
carinya! Gadis kejam berilmu tinggi itu memang tak
mengatakan apa yang diingininya dengan mencari Raja
Naga! Tetapi dari tindakan brutalnya, aku yakin dia
mencoba memancing kemunculan Raja Naga! Dengan
kata lain, dia berharap Raja Naga muncul dan menca-
rinya! Mungkin... mungkin untuk dibunuhnya!"
Kirana sedikit menegakkan kepala mendengar
kata-kata terakhir gurunya.
"Huh! Urusan orang lain ternyata harus kami
yang menanggung! Ratu Tanah Terbuang melakukan
tindakan kejamnya untuk memancing munculnya Raja
Naga! Tetapi, mengapa harus kami yang menjadi kor-
ban" Padahal kami tak punya urusan apa-apa den-
gannya, juga tak mengenal Raja Naga kecuali menden-
gar julukannya saja!" desisnya dengan hati sedikit gusar.
Lalu katanya dengan suara kesal yang tak dis-
embunyikan, "Guru! Biar bagaimanapun juga, kita tak bisa membiarkan Ratu Tanah
Terbuang terus menerus
membunuhi siapa saja, semata untuk memancing ke-
munculan Raja Naga!"
"Kau betul! Tetapi kita sama-sama tahu akan
kesaktian Ratu Tanah Terbuang! Kirana.. apakah yang
dikatakan oleh Kidang Gerhana?"
"Selain apa yang kusampaikan tadi pada Guru,
dia juga mengatakan, sebagai seorang sahabat, dia
bersedia membantu kita, Guru!"
"Bagus! Dan kau sudah mengatakan padanya
seperti yang kukatakan padamu?"
"Ya! Dia berjanji tiga hari di muka akan muncul di Sungai Matahari, tempat yang
Guru katakan!"
Pendekar Kencana terdiam beberapa saat. Ki-
rana dapat melihat bagaimana wajah gurunya dipenu-
hi oleh kedukaan.
Kemudian katanya, "Guru... aku dapat mema-
hami apa yang Guru rasakan...."
Pendekar Kencana mengangkat kepalanya. Di-
pandanginya muridnya itu. Perlahan-lahan dia terse-
nyum. "Sudahlah... tak sepatutnya aku bersikap seperti ini. Mungkin apa yang
kita hadapi ini sebagai salah satu cobaan hidup yang diturunkan oleh Sang Ma-
ha Penguasa Jagat! Kirana... kita berangkat sekarang menuju ke Sungai
Matahari...."
Kirana menganggukkan kepalanya. Hati gadis
berkuncir ini sedih bukan main. Dia tak pernah me-
nyangka kalau kehidupannya bersama-sama para
saudara seperguruannya akan berakhir secepat itu.
Namun belum lagi keduanya sama-sama me-
langkah meninggalkan tempat, mendadak saja terjadi
perubahan angin. Angin yang semula berhembus se-
juk, kini mendadak berubah menjadi cepat. Lintang
pukang dengan menyambar dedaunan yang segera
berguguran. "Guru!" desis Kirana dengan wajah agak tegang.


Raja Naga 07 Selubung Tabir Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dilihatnya gurunya terdiam dengan paras kaku.
Sepasang matanya dibuka lebih lebar. Pendengarannya
disapukan bersih untuk menangkap suara di sekitar-
nya. Kemudian terdengar desisan, "Bersiaplah... seseorang sedang menunjukkan
kesaktiannya..."
Perlahan-lahan Kirana mendekati dan berdiri di
samping kanan gurunya.
"Guru... apakah Ratu Tanah Terbuang yang
muncul?" tanyanya dalam bisikan.
"Tidak! Bila gadis itu yang muncul, akan segera tersebar aroma wangi!"
Kirana hanya mengangguk-anggukkan kepa-
lanya. Diliriknya gurunya yang kendati kelihatan agak tegang tetapi masih bisa
bersikap tenang.
Mendadak satu gelombang angin menderu dah-
syat dengan suara menggebu. Di lain kejap....
Jlggaaarrr! Pohon yang berdiri berjarak sepuluh langkah
dari samping kanan keduanya, mendadak terhantam.
Rengkahnya pohon itu membuat keduanya tersentak.
Dan masing-masing orang segera melompat ke depan
tatkala bagian atas pohon yang terhantam itu tumbang ke arah mereka!
Blaaammm!! Jatuhnya pohon itu di atas tanah menimbulkan
suara yang cukup keras, disusul muncratnya tanah
yang diselingi dedaunan dari pohon itu.
Belum lagi masing-masing orang mengetahui
apa yang terjadi, belum lagi muncratan tanah dan de-
daunan itu berguguran lagi ke bumi, suara dingin itu terdengar angker, "Kalian
adalah bagian dari hidupku!
Akulah yang menentukan hidup matinya kalian! Kali
ini, aku menghendaki kalian hidup asalkan dapat
menjawab pertanyaan!!"
* * * Baik Pendekar Kencana maupun muridnya,
sama-sama mengarahkan pandangan ke depan. Mas-
ing-masing orang terdiam beberapa lama begitu meli-
hat orang yang muncul dengan memperlihatkan satu
serangan yang mengerikan itu.
Perempuan itu berwajah jelita, tetapi sorot ma-
tanya bengis dengan kejelitaan yang seperti kabur.
Rambutnya tergerai dan nampak acak-acakan. Satu
hal yang membuat Kirana mendengus, karena perem-
puan yang tiba-tiba muncul itu bertelanjang dada.
Memperlihatkan bukit kembarnya yang mengkal dan
menggiurkan tanpa kelihatan risih sama sekali.
"Perempuan tak tahu malu!" geram Kirana dengan kedua tangan terkepal.
Perempuan itu tak bersuara. Sorot matanya
yang memancarkan kebengisan memandang tak ber-
kedip pada keduanya.
Lain halnya dengan apa yang melintas di benak
Kirana, lain dengan apa yang dipikirkan oleh Pendekar Kencana. Lelaki ini masih
bisa bersikap tenang, walaupun perempuan di hadapannya sudah memperli-
hatkan tindakan makar.
"Sorot matanya begitu bengis, wajahnya tegang
kaku. Dan dia membiarkan buah dadanya terbuka se-
perti itu. Hemm... biasanya, bila seseorang menganut ilmu hitam dan ilmu itu
sedang dipergunakan, tak
akan ada tanda-tanda dia akan malu dengan apa yang
dilakukannya. Hanya saja... dari sorot mata yang bengis itu kutangkap satu
siksaan yang dalam. Seperti
ada gejolak yang diingininya untuk melawan tindakan
yang dilakukannya. Astaga! Apakah...."
"Kalian adalah bagian dari hidupku!"
"Perempuan tak tahu malu!" seru Kirana yang sudah tidak dapat menahan amarahnya.
"Kau datang dengan tindakan busuk! Dan sekarang berkata kalau
kami adalah bagian dari hidupmu! Keparat! Apakah
kau sebenarnya punya nyali" Atau... kau termasuk pe-
rempuan yang terjerumus ke dalam selokan!!"
Tatapan perempuan bertelanjang dada yang
bukan lain Marinah, yang kemasukan ilmu hitam yang
sekian puluh tahun lamanya berdiam di tubuh Patung
Darah Dewa, memandang tak berkedip pada Kirana.
Sorot matanya bengis dan mengandung ketidaksaba-
ran untuk menghabisi si gadis.
Kirana bukanlah gadis yang memiliki nyali
pendek. Keberaniannya tinggi. Tanpa rasa takut, di-
pentangkan kedua matanya lebar-lebar untuk memba-
las sorot mata si perempuan.
Pendekar Kencana berbisik, "Kirana... jangan
bertindak gegabah. Perempuan ini nampaknya tak
memiliki rasa perikemanusiaan...."
Mendengar kata-kata gurunya walaupun ha-
tinya sedikit mangkel, Kirana yang tadi sudah hendak bersuara, kini merapatkan
mulutnya. Pendekar Kencana berkata, "Perempuan! Aku
tak pernah melihatmu sebelumnya! Dan aku yakin kau
juga baru melihatku sekarang! Tetapi... mengapa kau
sudah pertunjukkan satu kejadian yang sama sekali
tak bisa kuterima"!"
"Kalian adalah bagian dari hidupku...," desis Marinah dingin. Sorot matanya
bertambah bengis.
"Hemmm... aku makin kuat menduga, kalau
perempuan ini dipengaruhi oleh ilmunya sendiri...," ka-ta Pendekar Kencana dalam
hati. Kemudian dia berka-
ta, "Aku tak yakin kalau kau mengenal dirimu sendiri!"
"Bagian dari hidupku tak berhak untuk ber-
tanya! Siapa pun orangnya!" sahut perempuan bertelanjang dada dingin. Lalu
sambungnya dibarengi tata-
pan yang semakin bengis, "Ini semua gara-gara Kiai Gede Arum! Manusia celaka
yang menyebabkan aku
kehilangan jasad! Bila kalian dapat mengatakan di
mana manusia celaka itu berada, maka kalian tak
akan pernah celaka!"
"Kiai Gede Arum" Rasa-rasanya... aku pernah
mendengar nama itu" Oh! Bukankah dia yang tewas
akibat racun muridnya sendiri yang berjuluk Ratu
Dayang-dayang" Astaga! Perempuan tak tahu malu ini
sedang mencari Kiai Gede Arum"! Ada urusan apa se-
benarnya"! Tadi dia mengatakan kalau dia kehilangan
jasad" Gila! Bagaimana mungkin"! Sudah jelas jasad-
nya itu terpampang di depan mata! Gila! Ini urusan gi-la! Apakah ini urusan
dendam" Tetapi... dendam yang
bagaimana mengingat dia masih sedemikian muda"
Bisa jadi kalau sebenarnya dia adalah kaki tangan seseorang, yang
memanfaatkannya untuk membunuh
Kiai Gede Arum."
Selagi Pendekar Kencana membatin, perem-
puan bertubuh sintal yang memamerkan buah da-
danya itu mendesis lagi, "Di mana manusia keparat itu berada"!"
Pendekar Kencana menggeleng-gelengkan kepa-
lanya. "Kau hanya membuang waktu belaka dengan mencarinya! Sampai usiamu habis
pun kau tak akan
menemukan di mana Kiai Gede Arum berada!"
Mata bengis di hadapannya itu semakin nya-
lang. "Kalian mencoba membagi kehidupan untuk di-ri kalian sendiri! Padahal
akulah yang berhak atas hidup kalian!"
"Kiai Gede Arum sudah tewas dibunuh oleh
muridnya sendiri!" seru Pendekar Kencana.
Untuk beberapa lama perempuan bertelanjang
dada itu merapatkan mulut. Matanya bertambah nya-
lang. Kejap lain dia sudah mengeluarkan suara meng-
gelegar. "Kau berkata demikian, karena kau mencoba membebaskan diri dari
kehidupan yang kuberikan!
Maka...." "Tunggu! Kau nampaknya tidak tahu kalau
orang yang kau cari sudah tewas?"
"Kau pandai bicara! Kau hebat memutarbalik-
kan fakta! Orang yang biasa berdusta, akan mengang-
gap kata-katanya adalah sebuah kebenaran! Tetapi je-
las-jelas kalau orang itu mencoba untuk mengelabui
seseorang atau memanfaatkan kesempatan! Kiai Gede
Arum sampai hari ini masih hidup!"
Pendekar Kencana tak mempedulikan kata-kata
itu. "Ada urusan apa kau mencarinya?"
"Berpuluh tahun lamanya dia mengunci diriku
pada Patung Darah Dewa! Berpuluh tahun pula aku
tak bisa bergerak lagi dalam kebebasan! Tetapi sesuatu telah terjadi! Sesuatu
yang sekian lama kutunggu agar aku dapat bebas dari Patung Darah Dewa! Dan
tibalah saatnya untuk membalas perlakuan terkutuk yang di-
lakukannya terhadapku!"
Pendekar Kencana mengerutkan keningnya.
"Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang
dibicarakannya! Perempuan itu nampaknya baru beru-
sia sekitar dua puluh limaan. Tetapi dia mengatakan
telah berpuluh tahun terkunci pada sebuah patung
yang bernama Patung Darah Dewa! Astaga! Jangan-
jangan aku sedang menghadapi seorang perempuan gi-
la yang memiliki kesaktian tinggi!"
"Guru... apakah kita akan berdiam begini te-
rus?" usik Kirana dalam bisikan. Dia sejenak melirik gurunya, lalu mengarahkan
lagi pandangannya pada
perempuan bertelanjang dada di hadapannya. "Aku sudah tidak sabar untuk
menghajarnya! Lagi pula, kita harus menemui kakek Kidang Gerhana! Kalau kita
terus meladeninya, ini hanya membuang waktu saja,
Guru." "Kirana... aku belum tahu siapa perempuan itu sebenarnya. Dari ucapannya
tadi, jelas kalau sebelum-
nya dia pernah bertarung dengan Kiai Gede Arum pada
rentang waktu yang lama dari sekarang. Hanya yang
mengherankan ku, bagaimana mungkin dia bertarung
dengan Kiai Gede Arum bila melihat parasnya yang
masih sedemikian muda" Juga dikatakannya kalau dia
telah mendekam berpuluh tahun di dalam tubuh Pa-
tung Darah Dewa."
"Mungkin perempuan ini sudah miring otaknya,
Guru," kata Kirana sambil memandang tak berkedip pada perempuan bersorot mata
bengis di hadapannya.
Pendekar Kencana mengangguk-anggukkan ke-
palanya. "Kalian adalah bagian dari hidupku! Akulah
yang memutuskan apakah kalian masih boleh hidup
atau tidak! Tadi ku putuskan untuk membiarkan ka-
lian hidup sementara waktu! Tetapi kalian tidak mem-
pergunakan kesempatan yang kuberikan untuk men-
gatakan di mana Kiai Gede Arum berada! Itu artinya
kalian menyia-nyiakan waktu! Dan... kalian sekarang
harus mampus!!"
Habis kata-kata yang seolah keluar dari dalam
sumur itu, perempuan bertelanjang dada itu sudah
menyambung dengan tatapan dingin, "Gadis manis
berkuncir kuda! Kau adalah bagian dari hidupku!"
Kirana sejenak mengerutkan keningnya men-
dengar kata-kata itu ditujukan padanya. Di saat lain gadis itu sudah melangkah
mendekati si perempuan.
Langkahnya kaku. Wajahnya kaku. Sikapnya kaku.
"Kirana!" seru Pendekar Kencana terkejut.
Tetapi muridnya itu terus melangkah seolah ti-
dak mendengar panggilannya.
*** EMPAT PENDEKAR KENCANA tercekat. Untuk bebera-
pa lama dia hanya memandangi saja muridnya yang
terus mendekati perempuan bertelanjang dada. Pera-
saan keheranan semakin merajai hatinya. Di saat lain mendadak dia sudah berseru
lagi, "Kiranaaaa!!"
Seruan itu sedemikian keras, bahkan terdengar
sampai ke kejauhan. Tetapi Kirana terus melangkah,
seolah tak mendengar seruannya.
"Kiranaaa!!"
"Dia adalah bagian dari hidupku! Bila aku su-
dah berkehendak, siapa pun atau apa pun tak akan
mampu menghalangiku! Aku menginginkan kematian-
nya sekarang, yang akan segera disusul dengan kema-
tianmu!!" "Astaga!" desis Pendekar Kencana dengan wajah tegang. "Kirana sudah masuk ke
dalam ilmu aneh yang dikeluarkan perempuan bertelanjang dada itu! Aku harus
melakukan sesuatu, bila tak ingin terjadi sesua-
tu!!" Memutuskan demikian, Pendekar Kencana sudah menerjang ke depan seraya
mendorong tangan ka-
nannya ke arah perempuan bertelanjang dada. Saat itu pula menghampar satu
gelombang angin berkekuatan
tinggi! Bersamaan gelombang angin yang melesat ke
arah Marinah. Tangan kirinya ditepakkan pada bahu
kanan muridnya.
Plak!! Kirana terlempar cukup jauh dari tempatnya
semula. Beruntung dia terbanting di atas tanah be-
rumput. Begitu terbanting di sana, si gadis tergagap,
lalu menggeleng-gelengkan kepalanya kebingungan.
"Aneh! Apa yang telah terjadi?" desisnya terba-ta.
Blaaaammmm!! Letupan yang keras itu segera membuat Kirana
mengangkat kepalanya. Dilihatnya gurunya sedang
mundur beberapa tindak karena perempuan bertelan-
jang dada itu sudah memutuskan serangannya.
"Astaga! Perempuan bertelanjang dada itu"!
Heiii! Kapan dimulainya Guru sudah terlibat bentrok
dengan perempuan itu"! Aneh! Mengapa aku tak men-
getahuinya sama sekali"!"
Di depan Pendekar Kencana terus mencoba
mencecar perempuan bertelanjang dada yang mengge-
ram dingin. Kirana yang sudah berdiri memandang tak ber-
kedip. Rasa cemas, gelisah sekaligus amarah menjadi
satu di dadanya. Mendadak dia mendesis, "Aku harus membantu Guru!!"
Tanpa memikirkan lagi apa yang dialaminya ba-
rusan, Kirana sudah meloloskan sepasang pedangnya.
Dengan memegang kedua pedang itu, gadis berpakaian
ringkas warna biru ini sudah menerjang ke depan.


Raja Naga 07 Selubung Tabir Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Guru! Kita hadapi perempuan itu bersama-
sama!!" Begitu kedua pedangnya diayunkan, segera terdengar suara besetan yang
menggidikkan. Pendekar Kencana yang telah menguasai ke-
seimbangannya kembali setelah terkena sampokan
tangan kanan lawan, menegakkan kepala. Dilihatnya
perempuan bertelanjang dada itu dengan mudah
menghindar serangan Kirana.
"Kalian benar-benar menyalahi kodrat! Padahal
kalian adalah bagian dari hidupku! Dengan menan-
tangku seperti ini, itu artinya kau telah melangkahi garis yam kutentukan!"
desis si perempuan dingin.
"Kau yang bagian dari hidup kami! Dan kami
menghendakimu mati hari ini juga!!" seru Kirana seraya melancarkan serangannya
kembali. Namun sam-
pai sejauh itu dia belum dapat mengenai bagian-
bagian tubuh si perempuan. Padahal Kirana sudah
mempergunakan jurus 'Membelah Langit Memecah
Guntur'. Bahkan si perempuan sudah mendorong kedua
tangannya. Kirana memekik tertahan. Pendekar Kencana
membeliak matanya yang kejap itu pula sudah berge-
rak untuk menyelamatkan muridnya. Begitu berhasil
menyambar tubuh muridnya, terdengar letupan keras.
Blaaaammm!! Gelombang angin hitam yang keluar dari do-
rongan kedua tangan si perempuan, menghantam ta-
nah hingga bermuncratan. Sebagian membuyar ke
udara. Namun di saat lain, buyaran angin yang ber-
pencar itu mendadak bersatu kembali. Dan menyergap
cepat ke arah Pendekar Kencana yang telah menyela-
matkan muridnya.
Mendelik sepasang mata Pendekar Kencana
melihat apa yang terjadi. Disertai teriakan kecil, dia segera melempar tubuh
muridnya yang terhuyung ke
belakang. Sementara dia sendiri sudah mendorong ke-
dua tangannya ke depan.
Jlegaaarrr!! Bertemunya dua gelombang angin berkekuatan
dahsyat itu membuat tempat itu laksana bergetar! Be-
berapa buah pohon bertumbangan. Tanah di mana
bertemunya dua kekuatan itu terdongkrak naik seting-
gi dua tombak. Gelombang angin hitam yang pecah berantakan
itu berhamburan menghantam apa saja yang dike-
nainya, yang seketika menghangus hitam legam!
Di pihak lain, begitu serangannya berhasil me-
mapaki serangan ganas si perempuan, Pendekar Ken-
cana terhuyung-huyung ke belakang sambil menekap
dadanya dengan tangan kanan.
"Gila! Ilmunya sangat tinggi! Lebih mengerikan
dari ilmu milik Ratu Tanah Terbuang!" desisnya gelisah. Keringat sudah mengaliri
sekujur tubuhnya.
"Guru! Jangan khawatir, aku akan membantu!"
suara Kirana tahu-tahu sudah terdengar di samping
kirinya. Muridnya itu telah berdiri dengan mata mem-
buka lebar dan dada naik turun.
"Kirana... menyingkir dari sini! Perempuan ini
lebih kejam dari Ratu Tanah Terbuang!"
"Tidak! Kita akan bersama-sama menghada-
pinya!" "Kirana! Jangan banyak membantah! Kau tidak tahu siapa yang kita
hadapi!" "Guru juga tidak tahu siapa yang sedang kita
hadapi! Kita hanya sama-sama tahu kalau perempuan
itu memiliki keganasan tinggi dan sedang mencari Kiai Gede Arum!"
"Kirana...."
Kata-kata Pendekar Kencana terputus karena
suara menggemuruh sudah menerjang dari depan.
Disusul dengan lesatan tubuhnya disertai tangan ka-
nan kirinya yang digerakkan membentuk jotosan.
Melihat datangnya serangan, Pendekar Kencana
segera berseru, "Menyingkir, Kirana! Menyingkir!!"
Kemudian dia melesat ke depan dengan kegigi-
han yang kentara.
Buk! Buk! Benturan tangan itu terjadi dua kali. Kejap itu
pula Pendekar Kencana terlempar ke belakang. Kedua
tangannya terasa seperti patah. Belum lagi dia menguasai keseimbangannya,
perempuan bertelanjang dada
itu sudah menepukkan tangannya. Tak ada suara yang
keluar akibat tepukan tangannya itu.
Akan tetapi yang terjadi kemudian, menderu
gelombang angin hitam yang bergerak berputar-putar
lima langkah di hadapannya. Putaran angin hitam itu
semakin lama semakin membesar. Menyeret tanah dan
ranggasan semak yang masuk ke dalam putaran angin
itu yang kemudian terlempar deras ke beberapa tem-
pat! Pendekar Kencana menegakkan kepalanya. Ke-
dua kakinya dijejakkan di atas tanah untuk menghen-
tikan gontaian tubuhnya. Begitu putaran angin hitam
itu bergerak ke arahnya, dia sudah mendorong kedua
tangannya berkali-kali.
Gelombang-gelombang angin keras yang keluar
dari dorongan kedua tangan Pendekar Kencana, terte-
lan oleh putaran angin hitam yang keluar dari tepukan kedua tangan perempuan
bertelanjang dada, untuk
kemudian lenyap!
Menyusul putaran angin itu menderu ke arah-
nya. Tak ada jalan lain yang bisa dilakukan Pendekar Kencana kecuali menghindari
serangan itu disertai dorongan kedua tangannya.
Di tempatnya Kirana memperhatikan dengan
kedua mata terbelalak. Gemuruh jantung si gadis ber-
detak lebih cepat. Kengerian terpampang di matanya.
Keinginan untuk membantu gurunya sedemikian be-
sar. Tetapi disadarinya kalau dia nekat membantu se-
karang maka akan mengakibatkan kematian belaka,
Jlegaaarrr!! Gelombang angin tadi menabrak putaran angin
hitam yang terus memburu ke arah Pendekar Kencana!
Sesaat terlihat gelombang angin itu masuk pada puta-
ran angin hitam. Terdengar suara letupan susul me-
nyusul yang sangat keras! Kejap lain terdengar letupan membahana!
Blaaaarrr!! Putaran angin hitam itu berpentalan ke sana
kemari! Beberapa pohon yang tumbang terseret jauh.
Berhamburannya angin hitam disertai muncratan ta-
nah menambah kepekatan tempat itu hingga sangat
sukar ditembus oleh pandangan. Suara gerengan dari
mulut si perempuan bertelanjang dada yang telah di-
kuasai oleh ilmu hitam milik Sangga Langit, terdengar sangat keras disusul
dengan tanah yang bergetar-getar hebat! Rupanya perempuan bertelanjang dada itu
sudah menjejakkan kaki kanan kirinya dengan kegusa-
ran tinggi di atas tanah. Secara tiba-tiba tubuhnya melayang ke depan.
Jotosannya meluncur cepat.
Desss!! Dari bubungan tanah yang menghalangi pan-
dangan, terlempar satu sosok tubuh deras ke bela-
kang. Kirana membelalak,
"Guru!!"
Kejap itu pula dia melesat untuk menyambar
tubuh gurunya. Karena kerasnya lemparan tubuh
Pendekar Kencana, begitu berhasil menyambar tubuh
gurunya, Kirana pun terseret beberapa langkah. Gadis ini berusaha keras untuk
menghentikan seretan tubuhnya sendiri.
Dia berhasil melakukannya ketika tubuhnya
terbentur pada sebuah pohon. Tak dipedulikannya ra-
sa sakit pada punggungnya akibat benturan dengan
pohon itu. Dengan kepanikan tinggi dia melihat kea-
daan gurunya. Seketika terdengar teriakannya yang memba-
hana, "Guruuuu!!"
Pendekar Kencana telah tewas begitu berhasil
disambar oleh Kirana tadi!
"Kini tinggal kau, Gadis Manis! Kau adalah ba-
gian dari hidupku!"
Suara menggereng dingin itu disusul dengan
labrakan ganas dari gelombang angin hitam. Dalam
waktu yang sangat sempit, Kirana berhasil mengenda-
likan dirinya. Serta-merta dia melompat ke samping
kanan sambil membawa jenazah gurunya.
Blaaarrr!! Pohon di belakangnya seketika pecah bermun-
cratan. Bersamaan pecahnya pohon itu, Kirana memu-
tuskan untuk melarikan diri. Sekencang-kencangnya
dia berusaha berlari untuk menghindari perempuan
bertelanjang dada.
Di tempat semula, Marinah yang telah dikuasai
ilmu hitam milik mendiang Sangga Langit menggeram
keras untuk kemudian segera meninggalkan tempat
itu. * * * Senja merambah alam lagi. Senja yang menyi-
ratkan kepedihan dalam. Terutama pada hati gadis
berpakaian ringkas warna biru itu yang duduk ber-
simpuh di hadapan sebuah gundukan tanah yang ma-
sih baru. Gadis ini berusaha untuk tidak menangis, ken-
dati tubuhnya sedikit bergetar.
"Guru... maafkan aku yang tak bisa memban-
tumu...," desisnya pelan. Hati Kirana laksana disayat oleh sembilu bermata tiga,
pedih dan sangat pedih.
Tiga helai daun jatuh tepat di atas gundukan
tanah itu. Disingkirkannya dengan gerakan lemah. Su-
ara tekukur yang entah berada di mana, menambah si
gadis larut dalam kesedihan.
"Guru... belum lama rasanya kita bersama-
sama, tetapi musibah sudah menimpa beruntun. Ratu
Tanah Terbuanglah yang menjadi pangkai dari petaka
ini. Bila dia tidak muncul ke Perguruan Kencana, su-
dah jelas kita masih tetap berada di sana, bersama
dengan saudara-saudara seperguruanku yang lain-
nya." Untuk beberapa lama gadis ini menumpahkan seluruh perasaan dukanya. Dia
tetap menahan air matanya jangan sampai keluar. Setelah beberapa saat,
barulah dia berdiri dengan pandangan masih tertuju
pada gundukan tanah itu. Dia sepertinya tak menghi-
raukan keadaan sekelilingnya sebelum menumpahkan
segala duka di hatinya.
"Guru... masih ada amanat mu yang belum ku-
jalankan. Aku harus tetap ke Sungai Matahari untuk
menjumpai kakek Kidang Gerhana. Aku akan mencari
Ratu Tanah Terbuang. Juga... juga perempuan berte-
lanjang dada yang telah merenggut nyawamu...."
Setelah terdiam beberapa saat, Kirana mende-
sah, "Aku berangkat sekarang, Guru. Damailah Guru di sisi Yang Maha Kuasa...."
Kejap lain dia sudah bersiap untuk meninggal-
kan tempat itu. Baru saja dibalikkan tubuhnya ke
samping kanan, kejap itu pula dia menegakkan kepa-
lanya. Satu sosok tubuh berompi ungu telah berdiri di
hadapannya. Untuk beberapa saat Kirana terdiam
memandang pemuda yang sedang tersenyum padanya.
"Maafkan kalau kehadiranku ini mengagetkan
mu...." Kirana tak segera menjawab. Dipandanginya pemuda tampan berambut
gondrong itu. Entah mengapa Kirana mendadak bergetar begitu melihat tatapan
angker dari si pemuda.
"Oh! Tatapan itu... tatapan itu begitu mengerikan...," desisnya dalam hati.
Si pemuda tersenyum.
"Aku tak bermaksud mengusik hatimu. Kebetu-
lan aku sedang melewati tempat ini dan melihat kau
bersimpuh di hadapan gundukan tanah itu. Maafkan
aku... siapakah yang telah membunuh gurumu?"
Kirana tak menjawab.
"Dia bertanya seperti itu, berarti dia tahu kalau yang berada di dalam tanah ini
adalah guruku. Dan itu artinya dia sudah lama berada di sini. Tetapi aku tak
mengetahuinya sama sekali...."
Karena mendapati pertanyaan dan sikap yang
sopan, Kirana menjawab, "Aku tidak tahu secara pasti siapakah yang telah
membunuh guruku. Dia tahu-tahu muncul di hadapanku dan guruku. Muncul den-
gan satu tindakan yang mengerikan...."
Pemuda berompi ungu yang bukan lain Raja
Naga adanya terdiam sebelum berkata, "Kau tidak tahu siapa orang yang telah
membunuh gurumu, apakah
itu hanya sebatas kau tidak mengetahui siapa orang
itu atau kau tidak melihat wujudnya?"
"Aku tidak tahu siapa perempuan ganas itu, te-
tapi aku tahu wujudnya. Dia seorang perempuan tak
tahu malu yang sedang mencari Kiai Gede Arum. Gu-
ruku mengatakan kalau Kiai Gede Arum telah lama
tewas, tetapi dia justru menuduh guruku berdusta,"
sahut Kirana pelan. Tetapi di saat lain suaranya sudah berubah menjadi dingin,
"Dia... perempuan bertelanjang dada!"
Mendengar kata-kata terakhir si gadis, Raja
Naga menegakkan kepala. Untuk beberapa saat dia tak
bersuara, sebelum keluar suaranya yang menyentak,
"Di mana perempuan itu sekarang"!"
Kirana menggelengkan kepala walaupun seje-
nak merasa keheranan melihat perubahan paras pe-
muda tampan di hadapannya.
"Aku tidak tahu. Sobat... apakah kau mengenal
siapa perempuan itu?"
Raja Naga mengangguk-anggukkan kepalanya.
Lalu diceritakannya tentang perempuan bertelanjang
dada yang telah menewaskan guru dari si gadis.
"Hingga saat ini aku masih melacak di mana
perempuan itu berada. Perempuan yang semula adalah
seorang istri yang sabar, santun, sopan, dan selalu
menjunjung tinggi kehormatannya. Tetapi kini, telah
berubah menjadi sedemikian ganas karena tertitis ilmu hitam milik manusia


Raja Naga 07 Selubung Tabir Hitam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhati kejam...."
"Jadi yang kau maksudkan, perempuan itu bu-
kan bertindak atas nuraninya sendiri?"
"Sama sekali tidak. Dia telah dikuasai oleh ilmu hitam dari orang yang pernah
dibunuh Kiai Gede
Arum." Kirana tak menjawab. Hatinya yang berduka tadi tetap diliputi kemarahan.
Kemudian dia mendesis pelan, "Ini semua gara-
gara Ratu Tanah Terbuang."
"Ratu Tanah Terbuang" Siapa pula orang itu"
Dan apa yang telah terjadi?" desis Boma Paksi dalam
hati. Kemudian sambil memandang gadis di hadapan-
nya dia berkata, "Siapakah Ratu Tanah Terbuang itu?"
Kirana segera menceritakan apa yang diala-
minya. Di sela-sela kata-katanya, dia menyebutkan pu-la namanya. Dia juga
mengatakan kalau saat ini dia
harus segera menuju ke Sungai Matahari untuk men-
jumpai kakek bernama Kidang Gerhana.
"Tanpa sebab yang pasti, tak mungkin gadis
yang dari tubuhnya mengeluarkan aroma wangi itu ta-
hu-tahu menyerang Perguruan Kencana."
"Ya! Memang tak mungkin!"
"Apakah kau mengetahui sebab-sebabnya?"
"Guruku hanya mengetahui sedikit saja. Menu-
rut Guru, Ratu Tanah Terbuang sedang mencari seo-
rang pemuda! Menurut Guru pula, kalau Ratu Tanah
Terbuang melakukan tindakan makar itu karena dia
menghendaki pemuda itu muncul."
"Siapakah pemuda yang dicarinya?"
Kirana mendadak menggeram. Kedua tangan-
nya dikepalkan hingga wajahnya menjadi tertarik ke-
ras. "Kami tak punya urusan apa-apa dengan Ratu
Tanah Terbuang, juga dengan pemuda yang sedang di-
carinya! Tetapi tentunya antara Ratu Tanah Terbuang
dengan pemuda itu telah terlibat satu urusan dalam,
berkepanjangan yang mungkin menimbulkan dendam
tinggi di hati salah seorang atau mungkin keduanya!
Dan kami yang kemudian menjadi korban! Huh! Bila
saja aku bertemu dengan pemuda itu, dia akan kuha-
jar habis-habisan!"
"Mengapa?"
"Karena pemuda itulah yang telah menyebab-
kan semua ini! Dialah yang dicari oleh Ratu Tanah
Terbuang! Dialah yang diinginkan oleh gadis ganas
yang memiliki ilmu tinggi itu! Huh! Aku sudah tidak
sabar untuk berjumpa dengan pemuda bernama Boma
Paksi atau yang berjuluk Raja Naga itu!"
LIMA MENDENGAR nama dan julukannya dis-
ebutkan, pemuda yang kedua tangannya sebatas siku
dipenuhi sisik-sisik coklat itu menegakkan kepala. Sorot matanya tetap angker
dan tajam. "Astaga! Jadi... jadi akulah yang sedang dicari oleh perempuan berjuluk Ratu
Tanah Terbuang" Astaga! Mengapa" Baru kali ini aku mendengar julukan itu!
Aku tak tahu siapa Ratu Tanah Terbuang sebenarnya!
Tetapi tahu-tahu dia sedang mencariku. Apakah ada
urusan yang terpendam selama ini" Kalau memang
benar, mengapa aku tidak tahu?"
Kirana yang masih dilamun kegusarannya ka-
rena menganggap pemuda berjuluk Raja Naga-lah pe-
nyebab dari semua ini, memandang tak berkedip pada
pemuda di hadapannya. Diperhatikannya beberapa
lama, tetapi tidak berani langsung menghujam pada
sepasang mata angker di depannya.
Kening gadis ini lamat-lamat berkerut karena
pemuda di hadapannya tak bersuara. Kemudian den-
gan suara terdengar agak menyelidik, dia berkata,
"Kau sepertinya mengenal siapa pemuda yang berjuluk Raja Naga!"
Raja Naga tersenyum, lalu menganggukkan ke-
palanya. Melihat anggukan si pemuda, Kirana sudah
berseru-seru keras,
"Katakan, katakan di mana pemuda itu berada!
Dia harus membayar semua ini!"
"Kau terlalu dibawa oleh emosimu sendiri yang
menurutku tak patut kau lakukan," kata Raja Naga tenang. Kata-kata si pemuda
membuat Kirana tidak se-
nang. "Mengapa kau berkata demikian, hah"! Sudah jelas-jelas aku dan guruku
serta saudara-saudara seperguruanku yang menjadi korban urusan antara Ratu
Tanah Terbuang dengan Raja Naga!"
"Apa yang kau katakan memang benar. Sung-
guh tak menyenangkan bila kita ternyata jadi korban
atau tumbal dari urusan orang lain. Hanya saja bila
Raja Naga memang mengenal Ratu Tanah Terbuang
dan punya urusan dengannya. Tetapi bagaimana bila
ternyata dia sama sekali tak mengenalnya, yang berarti tidak punya urusan dengan
Ratu Tanah Terbuang?"
"Mengenalnya atau tidak, tetaplah Raja Naga
yang sedang dicari oleh Ratu Tanah Terbuang hingga
kami yang menjadi korban!" sahut Kirana tegas. "Perempuan itu sedang memancing
munculnya Raja Naga!
Coba kau pikir baik-baik! Seberapa banyak korban
akan berjatuhan lagi akibat keinginan Ratu Tanah
Terbuang agar Raja Naga muncul"! Bisa jadi pula ka-
lau kami bukanlah korban pertama dari urusan ini!
Apakah kau tidak memikirkan soal itu"!"
Raja Naga hanya mengangguk.
"Bagus kalau kau memikirkannya juga! Berarti,
kau memahami kesulitan yang ada! Dan kuharap kau
dapat memaklumi perasaanku! Sekarang... katakan
padaku, di mana pemuda itu berada"! Dia harus bera-
ni tampil untuk menghentikan sepak terjang Ratu Ta-
nah Terbuang dan mempertanggungjawabkan kepen-
gecutannya!"
Raja Naga memandang si gadis yang sedang ka-
lap itu. "Sebaiknya aku tetap tak mengaku kalau akulah pemuda yang dimaksudnya.
Ini memang tidak
baik. Tetapi bila aku mengatakan yang sebenarnya, bi-sa jadi kalau gadis itu
akan menyerangku. Dan aku
yakin dia akan melakukan tindakan seperti itu, semata untuk melampiaskan
kedukaan sekaligus kekesalan-nya," katanya dalam hati. Lalu berkata, "Maafkan
aku. Aku memang mengenalnya, tetapi aku tidak tahu dia
berada di mana saat ini."
Kirana mendengus.
"Huh! Dari sikapmu sebelumnya, aku tahu kau
menyembunyikan yang sebenarnya! Padahal kau tahu
di mana pemuda itu berada!"
Raja Naga tak menjawab. Kirana berkata lagi
seraya mengepalkan kedua tinjunya, "Pemuda itu harus merasakan akibat dari semua
ini!" "Kirana... sebaiknya kau pendam kemarahan
mu itu, karena belum tentu memang pemuda itu yang
harus kau jadikan sebagai pelampiasan kemarahan
mu." "Kukatakan tadi, aku tak peduli! Dia yang sedang dicari perempuan itu, dan
dialah yang harus bertanggung jawab!!"
Raja Naga mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baiklah... bila aku berjumpa dengannya, akan
kuceritakan semua ini!"
"Katakan... dia harus berhadapan denganku!"
Kembali Raja Naga mengangguk-anggukkan
kepalanya. "O ya.... Kau tadi mengatakan kalau kau seka-
rang hendak menjumpai Kidang Gerhana di Sungai
Matahari. Berhati-hatilah. Sementara aku akan tetap
mencari perempuan bertelanjang dada yang bernama
Marinah." "Aku akan mencarinya juga!" desis Kirana geram. Raja Naga menganggukkan
kepalanya. Kirana sesaat memandangi pemuda tampan di
hadapannya. Di hatinya ada sedikit ketidakpuasan. Tetapi begitu mengingat dia
harus segera menuju ke
Sungai Matahari, gadis ini pun segera berlari tanpa berucap apa-apa lagi.
Raja Naga menarik napas pendek.
"Ah, siapa Ratu Tanah Terbuang sebenarnya?"
desisnya pelan. "Mengapa urusan selalu datang bertu-bi-tubi" Urusan Marinah
belum dapat kuselesaikan.
Demikian pula apa yang dikatakan Junjung Tala ten-
tang Setan Pemetik Bunga yang sedang mencariku, ka-
rena dia adalah cucu dari Hantu Menara Berkabut
yang tewas di tanganku...."
Untuk beberapa lama pemuda dari Lembah Na-
ga ini terdiam, sebelum kemudian memutuskan lagi
untuk segera mencari Marinah yang telah dikuasai
oleh ilmu hitam.
Lima kejapan mata dari perginya Raja Naga, sa-
Kisah Membunuh Naga 32 Dewa Arak 60 Perawan-perawan Persembahan Dewi Ular 2
^