Pencarian

Cinta Tokoh Sesat 1

Raja Petir 22 Cinta Tokoh Sesat Bagian 1


CINTA TOKOH SESAT Oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana Serial Raja Petir
dalam episode: Cinta Tokoh Sesat
128 hal. ; 12 x 18 cm.
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Langit sore di Desa Kertanira dipenuhi ba-
risan awan yang berarak. Hembusan angin ber-
tiup agak kencang menerbangkan daun-daun
hingga berguguran di tanah. Tampak sepasang
muda-mudi berpakaian kuning keemasan dan
jingga bergerak meninggalkan perbatasan Desa
Kertanira. Di hadapan sepasang muda-mudi yang
tak lain Jaka Sembada dan Mayang Sutera mem-
bentang sebuah jalan yang hanya bisa dilalui dua ekor kuda berjalan sejajar. Di
samping kanan jalan terdapat pemandangan hutan dengan keleba-
tan pohon-pohon besar yang berdaun rimbun.
Hutan waru-waru itulah yang menjadi perbatasan Desa Kertanira dengan desa
tetangganya. "Sore ini hujan mungkin akan turun den-
gan deras, Kakang. Kita harus secepatnya mene-
mukan rumah penginapan," ucap gadis cantik berambut panjang dikepang dengan
langkah pan- jang-panjang menelusuri jalan kecil.
Pemuda tampan berambut ikal terurai ti-
dak menimpali ucapan kekasihnya. Sepasang ma-
tanya yang cemerlang dan terkesan begitu jantan menatap wajah cantik gadis
berpakaian jingga
yang begitu dicintainya.
"Kau takut dengan air hujan, Mayang?"
tanya Jaka kemudian dengan tatapan mesra yang
tertuju dalam ke wajah kekasihnya.
Mayang Sutera membalas tatapan Jaka.
Tangannya kemudian bergerak menyentuh dagu
lelaki muda digdaya yang berjuluk Raja Petir. Gerakan itu dilakukannya dengan
segenap keme- sraan dan cinta kasih.
"Kakang ingin kita mandi air hujan sore
ini?" Mayang Sutera balik bertanya.
Jaka tersenyum. Dengan langkah tetap, se-
gera dirangkul bahu kekasihnya. "Tentu saja tidak, Mayang. Kakang khawatir kau
masuk an- gin," jawab Jaka, suaranya terdengar begitu merdu di telinga Mayang Sutera.
"Ah, Kakang," timpal Mayang Sutera. Di-rangkulnya pinggang Jaka.
Sepasang kekasih yang telah menjalin hu-
bungan cukup lama itu, meneruskan perjalanan
dengan bergandengan. Sementara langit di perbatasan Desa Kertanira masih
terlihat cemberut bak dompet tanggung bulan. Tangisnya belum lagi
tumpah mengguyur persada yang tengah dibelai
tiupan angin. "Kakang," panggil Mayang Sutera dengan sedikit manja.
"Ya. Ada apa, Mayang Sutera?"
"Saat ini aku tengah merasakan perasaan
yang betul-betul lain dengan perasaanku pada
hari-hari kemarin," tukas Mayang Sutera dengan tatapan mata tertuju lurus ke
depan. "Perasaan lain bagaimana maksudmu,
Mayang?" tanya Jaka ingin tahu.
Mayang Sutera kembali melempar pandan-
gannya ke wajah tampan Jaka. Sepasang Ma-
tanya terlihat sayu.
"Katakanlah, Mayang. Perasaanmu yang
bagaimana," desak Jaka menyaksikan kelakuan kekasihnya.
"Aku takut kehilangan kau, Kakang," jawab Mayang Sutera. Suaranya terdengar
sedikit pa-rau. "Ha ha ha...," tiba-tiba Jaka tertawa menimpali ucapan Mayang
Sutera. "Hentikan tawamu, Kakang!" bentak
Mayang Sutera dengan suara ditekan sedalam
mungkin, "Aku sungguh-sungguh. Sejak pagi perasaan takut akan kehilangan dirimu
kurasakan begitu kuat," lanjut Mayang Sutera. Tangannya mencekal erat pergelangan
kekasihnya. "Jangan terlalu jauh bermain-main dengan
perasaanmu, Mayang," tutur Jaka menimpali ke-sungguhan kekasihnya. "Kalau
menuruti perasaan, aku pun takut kehilanganmu. Aku takut
kehilangan orang yang kucintai dan kusayangi,"
lanjutnya dengan merapatkan tubuh kekasihnya.
"Kakang...."
"Tolooong...!"
Mayang Sutera tidak jadi meneruskan ka-
limatnya. Teriakan itu terdengar cukup jelas. Teriakan seorang perempuan.
Pelukan Jaka pada tubuh Mayang Sutera
seketika mengendur. Tatapan mata lelaki muda
nan gagah itu beralih ke arah datangnya suara.
"Kita ke sana, Mayang Sutera. Orang itu
pasti memerlukan pertolongan kita," ajak Jaka.
Kakinya sudah maju selangkah.
"Ayo, Kakang," sahut gadis cantik berambut kepang itu. Langkah kakinya terayun
menuju suara jeritan. Jaka dan Mayang Sutera bergerak cepat.
Beberapa saat kemudian sepasang tokoh muda
itu tiba di hadapan seorang perempuan yang tengah diperlakukan tidak senonoh
oleh lima orang lelaki bertubuh kekar. Semuanya mengenakan
pakaian berwarna hitam.
Bret! "Ihhh!"
"Hentikan!"
Lima lelaki kekar yang memegangi dan
membetot pakaian perempuan cantik berkulit pu-
tih itu serentak menoleh. Sementara si Perem-
puan segera membetulkan pakaiannya yang robek
memperlihatkan bagian tubuhnya yang menim-
bulkan rangsangan nafsu birahi.
Salah seorang dari kelima lelaki itu berge-
rak tiga langkah menghampiri Mayang Sutera dan Jaka. Dia lelaki tinggi besar
bercambang bauk lebat. Rahangnya menonjol kuat. Sementara ma-
tanya yang setajam burung elang tertuju lurus ke wajah Jaka.
"Kenapa kau berani mencampuri urusan
orang lain?" tanya lelaki bercambang bauk dengan suara berat ditekan. Jelas
lelaki itu marah dengan bentakan Jaka.
"Maaf," sambut Jaka. Sikapnya tampak begitu tenang. "Aku hanya mencegah
perbuatan kalian yang sangat tidak pantas dilihat mata. Sedikit pun aku tidak
ingin melancangi diri kalian," lanjut Jaka.
"Mencegah perbuatan kami sama artinya
melancangi diri kami! Kalian berdua tahu akibat orang-orang yang berbuat
lancang" Bagi kami
kematianlah yang pantas untuk orang-orang se-
perti kalian."
"Ah. Jangan berkata seperti itu, Kisanak.
Jangan bicara soal kematian. Menurutku, hal itu belum pantas kita bicarakan
sekarang. Aku takut Tuhan murka. Kematian hanyalah Dia yang pantas menentukan
kapan datangnya," bantah Jaka merendah.
"Tolong aku, Tuan. Tolong aku," rintih perempuan cantik. Tangannya dipegangi
empat le- laki berpakaian hitam. "Lepaskan aku dari lelaki-lelaki bejat ini!" pakaian
perempuan yang berwarna cok-lat itu sobek di bagian tubuh yang rawan hingga
menampakkan lekuk tubuh moleknya
yang menggiurkan.
"Kuminta lepaskan perempuan itu, Kisa-
nak. Jangan terlalu memaksakan kehendak yang
orang lain tidak menginginkan. Itu perbuatan kurang baik," ucap Jaka menasihati
lelaki bercambang bauk lebat
"Sudah, Kakang Jalantana! Bunuh saja bo-
cah ingusan itu. Tapi temannya yang perempuan
jangan, biarkan kita...."
"Aku mengerti maksudmu, Kalaga! Teman
bocah ingusan ini lebih cantik daripada perem-
puan yang kau pegangi itu. Ambillah dia untuk-
mu, Kalaga. Biar aku yang ini saja," potong lelaki bercambang bauk yang ternyata
bernama Jalantana. Jari telunjuknya menuding wajah cantik
bernama Mayang Sutera.
"Kubur mimpi indahmu itu, Jalantana!"
bentak Mayang Sutera tidak mempedulikan kea-
daan lelaki bercambang bauk yang usianya jauh
lebih tua dari dirinya. "Jangan anggap semua perempuan lemah. Kau bisa celaka
nanti!" telunjuk Mayang Sutera menuding wajah brewokan Jalantana. "Biar aku yang
bekuk perempuan banyak bacot itu, Kakang Jalantana!" Kalaga tiba-tiba melayang
menghampiri Mayang Sutera.
"Ha ha ha...."
Mayang Sutera terbahak saat Kalaga men-
darat di hadapannya. Tawa geli kekasih Raja Petir yang disertai gerakan tangan
menutup mulut membuat Kalaga dan Jalantana terheran-heran.
Jaka pun keheranan melihat sikap kekasihnya.
"Dia ingin membekuk diriku, Kakang. Ta-
pi.... Apakah Kakang tidak melihat cara dia melakukan gerakan" Ha ha ha....
Seperti bocah cilik yang baru belajar berlari," ucap Mayang dengan tawa
berderai. "Gadis gila! Kucincang tubuhmu!" Kalaga naik pitam melihat dirinya ditertawakan
gadis cantik di hadapannya itu.
"Keinginanmu itu yang gila, Kalaga. Guru-
mu saja kuyakin tidak berani bersikap sombong
di hadapanku," lanjut Mayang Sutera yang menjatuhkan perasaan Kalaga. "Dalam dua
jurus saja kau dapat menjatuhkanku, aku bersedia menjadi
istrimu," Mayang Sutera rupanya sudah bisa mengukur kemampuan Kalaga dari cara
lelaki berkumis tipis itu melesat. Gerakannya masih
kaku dan kasar.
"Perempuan sombong! Jangan menyesal
kalau aku betul-betul mampu membuktikan uca-
panmu," tandas Kalaga. Kakinya bergerak, membentuk kuda-kuda. Sedangkan
tangannya men- gepal kuat memperlihatkan otot-otot tubuhnya
yang besar. "Ayo, mulailah serang aku," tantang
Mayang Sutera. "Gadis gila!" maki Kalaga. Wajahnya kemerahan terbakar amarah.
"Hiyaaa...!"
Buet! Sebuah pukulan serong yang mengandung
kekuatan tenaga dalam dikerahkan Kalaga ke
arah iga Mayang Sutera. Namun sayang serangan
itu hanya membentur tempat kosong. Sejengkal
lagi kepalan keras itu mematahkan tulang-tulang gadis cantik berpakaian jingga,
ia sudah berkelebat cepat meninggalkan tempatnya.
"Setan!" Kalaga memaki melihat serangannya membentur angin hingga tubuhnya
terbetot oleh tenaganya sendiri.
"Ha ha ha...," Mayang Sutera tertawa menyaksikan sikap Kalaga. "Jangan cepat
menyerah seperti anak kecil, Kalaga. Kau mesti malu dengan tubuhmu yang sebesar
kerbau sawah!"
"Setan! Hiyaaa...!"
Kalaga kembali melesat cepat. Pukulan
yang dilakukannya kini tidak lagi serong dari arah kanan. Kepalannya tertuju
lurus ke dada kekasih Raja Petir.
"Lelaki cabul! Aku ingin tahu seberapa besar tenagamu!" sentak Mayang Sutera me-
nyiapkan tangannya di depan dada untuk me-
nyambut serangan Kalaga.
Plak! "Akh!" Kalaga terpekik ketika pukulannya dihalau telapak tangan Mayang Sutera
yang terbuka. Tubuhnya terhuyung empat langkah ke be-
lakang. "Ha ha ha...," Mayang Sutera kembali terkekeh. Sengaja hal itu
dilakukannya untuk me-
mancing kemarahan lawan.
"Kau Jalantana! Kenapa tidak membantu
temanmu?" ucap Mayang Sutera dengan jari menunjuk lelaki bercambang bauk. "Tidak
baik ber-pangku tangan seperti itu. Bantulah temanmu
yang tengah memerlukan bantuan, Jalantana."
Merah wajah Jalantana mendengar ucapan
Mayang Sutera. "Atau.... Kalau kau takut, ajak serta ketiga temanmu itu untuk mengeroyokku,"
tukas Mayang Sutera lagi.
"Kau memang benar-benar gadis liar! Song-
song seranganku! Hiyaaa...!" tubuh Jalantana berkelebat dengan pukulan lurus ke
batok kepala Mayang Sutera. Bunyi angin berdecit mengiringi datangnya serangan
yang tidak main-main dan
dibarengi tenaga dalam cukup tinggi itu.
Bet! "Uts!"
Nasib yang sama dialami Jalantana. Puku-
lannya menghantam tempat kosong saat tubuh
langsing Mayang Sutera berkelebat cepat mem-
pergunakan jurus 'Menepak Laut Menggenggam
Air'. Gerakan yang dilakukan Mayang Sutera me-
mang tidak mampu dibaca Jalantana. Lelaki bre-
wok itu tidak tahu kalau gerakan menghindar lawan adalah serangkaian gerakan
yang bertujuan melakukan serangan balasan.
"Jaga dadamu, Jalantana! Hih!"
Terkesiap Jalantana menyadari kepalan
tangan gadis cantik berpakaian jingga sudah berada di depan dadanya. Dengan
sekenanya Jalan-
tana memiringkan tubuhnya ke kanan.
Apa yang dilakukan Jalantana untuk


Raja Petir 22 Cinta Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghindari sambaran tangan Mayang Sutera
memang sudah betul. Namun bagi Mayang Sutera
gerakan itu terlalu ceroboh. Dengan hanya me-
masukkan sepakan kaki kirinya, tubuh lawan
akan terlempar.
"Jaga tendanganku, Jalantana!" beritahu Mayang Sutera sebelum kembali
melancarkan serangan susulan.
Teriakan Mayang Sutera tentu saja men-
guntungkan Jalantana. Lelaki bercambang bauk
lebat itu melempar tubuhnya sebelum telapak ka-ki Mayang Sutera menghantam
dadanya. Jalan-
tana bergulingan di tanah.
"Tolooong...!"
Saat Jalantana kembali bangkit, sebuah te-
riakan kembali terdengar. Kali ini dari arah utara pertarungan. Jaka menoleh ke
arah datangnya teriakan. "Tolonglah kawanku, Kisanak. Tolonglah
dia. Di sebelah utara sana pasti kelima lelaki tengah memperlakukan kawanku
tidak senonoh. To-
longlah kawanku, Kisanak," ucap perempuan cantik yang dipegangi tiga lelaki
berpakaian hitam.
"Kau atasi mereka, Mayang. Biar aku me-
nolong kawan wanita ini," ucap Jaka, kemudian bergerak cepat ke arah utara.
Begitu cepatnya gerakan Jaka hingga sekejap saja tubuhnya sudah
menghilang dari hadapan Mayang Sutera yang ki-
ni menghadapi lima lelaki berpakaian hitam.
"Kalian para lelaki cabul memang harus diberi pelajaran. Akan kubuat wajah-wajah
kalian menjadi jelek. Ayo, majulah kalian semua!" tantang Mayang Sutera.
"Ha ha ha...!"
Mayang Sutera tertegun menyaksikan ke-
lima lelaki berpakaian hitam tertawa bersamaan.
Padahal, sejak awal perjumpaan sedikit pun tidak terlihat senyum pada wajah-
wajah lelaki bertubuh kekar itu. Yang lebih mengejutkan lagi, gadis yang hendak
ditolong Mayang Sutera ikut tertawa keras. Tawanya mengikik membuat gadis cantik
ke- kasih Raja Petir semakin dipenuhi tanda tanya.
"Gadis cantik! Jangan kau sangka aku
berhasil kau tundukan," ucap Jalantana seraya menunjuk-nunjuk wajah Mayang
Sutera. "Jurus-jurus yang kugunakan untuk menyerangmu ha-
nyalah kembangnya saja. Sekarang...."
"Kalian memang pandai menutupi rasa ma-
lu," potong Mayang Sutera sengit
"Tidak! Akan kami buktikan kalau hanya
dalam beberapa gebrakan kau berhasil kami tun-
dukan. Dan akan kami bawa ke hadapan Gagak
Sugih Pengasung. Jujunganku itu begitu tergila-gila padamu. Dia bertekad akan
mempersunting- mu, Gadis Cantik. Beruntunglah kau, karena Ga-
gak Sugih Pengasung menaruh cinta yang tulus
padamu. Meskipun dia hanya melihat kecantikan
wajahmu pada bola kristal sakti yang dimili-
kinya," tutur Jalantana panjang lebar.
Mayang Sutera terpaku mendengar penu-
turan lelaki tinggi kekar bercambang bauk lebar.
Mata indahnya terbelalak sedikit. Namun kemu-
dian kekasih Raja Petir itu sadar.
"Aku tidak kenal tuan kalian. Mana sudi
aku dibawa ke hadapannya!" bentak Mayang Sutera keras.
"Kami akan membawamu secara paksa, Ni-
sanak," kilah perempuan cantik berpakaian coklat yang semula hendak diselamatkan
Mayang Sutera. "Hm.... Jadi kalian sengaja melakukan
sandiwara ini untuk mengecohkanku" Hhh! Jan-
gan harap kalian bisa melakukannya dengan se-
gampang yang kalian kira," bantah Mayang Sutera. Sebelah kakinya diseret untuk
mengatur ke- dudukan. "Jangan main-main dengan kami, Nisanak.
Kau rupanya tak ingin mendapat peruntungan
bersanding dengan majikanku Gagak Sugih Pen-
gasung. Bersiaplah!" ucap Jalantana tegas. Kata terakhirnya dikeluarkan dengan
pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
Mayang Sutera sempat terkejut mendengar
ucapan terakhir Jalantana. Sungguh Mayang Su-
tera mengira Jalantana adalah lelaki yang baru kemarin sore mengenal ilmu silat.
Namun kenya-taannya....
"Aku harus hati-hati menghadapi mere-
ka...," ucap Mayang Sutera dalam hati.
Srrrrt! Srrrrt...!
Jalantana, Kalaga, dan gadis cantik berpa-
kaian coklat meloloskan senjata dari balik lipatan pakaiannya. Senjata yang
nyaris dikatakan sebagai selendang, namun berlubang-lubang seperti
jaring laba-laba. Senjata yang terbuat dari sutera mengkilat itu sekilas nampak
tidak memiliki keampuhan apa-apa. Tetapi ketika ketiga lawan
Mayang Sutera mengerahkan tenaga dalam, seke-
tika itu juga terlihat kalau senjata-senjata itu begitu berbahaya. Jaring yang
terkembang itu menjadi begitu besar, melebihi wujud aslinya. Bagian ujung jaring
itu sangat runcing dan berwarna ke-hijauan. Seperti mengandung racun.
Mayang Sutera segera dapat membaca ka-
lau ketiga lawan di hadapannya itu bukanlah
orang-orang yang berilmu rendah, gadis itu segera mengambil payung kecil
berwarna keemasan dan
disilangkannya di depan dada.
"Hhh.... Bagus! Kau memang gadis yang
sukar untuk diajak berlembut-lembut. Maaf, ka-
lau aku harus berbuat kasar! Hiyaaa...!"
Jalantana melesat cepat. Gerakannya tak
sekaku ketika menyerang Mayang Sutera pertama
kali tadi. Gerakan Jalantana sangat ringan na-
mun nampak keganasannya dari deru angin yang
ditimbulkan. "Hiyaaa...!"
"Haaat..!"
Kalaga dan gadis berpakaian coklat pun
segera mengiringi serangan Jalantana. Tubuh keduanya bergerak tak kalah cepat.
Deru angin keras mengiringi datangnya serangan yang mengan-
dung tenaga dahsyat itu. Kini gadis cantik berjuluk Dewi Payung Emas terkepung
dari tiga arah.
Rrrt..! Tanpa sungkan-sungkan lagi, gadis cantik
kekasih Raja Petir itu mengembangkan senja-
tanya. Ujung-ujung payungnya tampak begitu
runcing *** 2 Sore belum beranjak menjadi malam. Rona
jingga masih menggantung di langit Jaka yang
tengah mencari suara yang minta pertolongan
berdiri tegak penuh kewaspadaan. Sepasang ma-
tanya yang tajam bergerak-gerak.
"Hm.... Apa perempuan yang berteriak ba-
rusan sudah dihabisi nyawanya" Dan mereka
yang melakukan kejahatan itu kini bersem-
bunyi...?" Jaka bertanya-tanya sendiri dengan tatapan terus men-cari-cari.
Belum setegukan teh lamanya Jaka terpa-
ku, tampak dari balik sebatang pohon besar me-
lesat tiga kelebatan sosok bayangan berturut-
turut "Hei! Berhenti, kalian!" terdengar bentakan Jaka cukup keras. Sementara
kedudukannya tetap seperti semula, tidak bergerak untuk melakukan pengejaran.
Namun melihat bentakannya tidak digubris
ketiga sosok yang tengah berlari cepat itu, tokoh muda digdaya yang berjuluk
Raja Petir itu cepat menghentakkan kaki. Tubuhnya seperti anak pa-nah terlepas
dari busur, melesat cepat mengejar sosok-sosok tubuh yang menimbulkan kecuri-
gaannya. Apalagi salah satu di antara sosok itu nampak memanggul tubuh
seseorang. Jaka semakin mempercepat pengejarannya.
Tiba-tiba, setelah Jaka melakukan pengeja-
ran sejauh lebih kurang delapan tombak, ketiga sosok yang dikejarnya seketika
menghentikan la-ri. Sungguh Jaka tidak menyangka dengan apa
yang dilakukan orang-orang itu. Mungkin mereka sudah memutuskan untuk
menghadapinya" Karena dirinya sendirian"
"Kenapa kau mengejar kami?" tanya lelaki bertubuh tinggi tegap. Wajahnya tidak
menunjukkan ketakutan. Begitu pula dengan sikapnya
yang seperti tidak sedang melakukan kesalahan.
Jaka tidak segera menyahuti pertanyaan
lelaki yang baru disadari ketampanan wajahnya
itu. Lelaki itu tidak memiliki keangkeran seperti tokoh-tokoh jahat yang sering
melakukan pencu-likan terhadap anak gadis.
"Tuan-tuan," ucap Jaka dengan tekanan
suara yang mengesankan kewibawaannya. "Di bahu salah seorang dari kalian
terpanggul perempuan tanpa daya, itu dapat dijadikan jawaban
atas pertanyaan yang kau lemparkan," Jaka menunjuk sosok perempuan yang
terpanggul di pundak lelaki bertubuh pendek kekar.
"Hm.... Jadi kau mencurigai kami?" tanya lelaki tinggi besar berwajah tampan.
Tatapannya menusuk dan berkesan menyelidik lelaki berpakaian jingga di
hadapannya. "Jelas," sahut Jaka tanpa mempedulikan tatapan lelaki berwajah tampan yang
mengenakan pakaian berwarna kuning. Pada pinggiran len-gannya terdapat perpaduan
biru laut dan merah
menyala. "Apa alasanmu mencurigai kami?" tanya lelaki berwajah tampan.
"Jeritan minta tolong itu yang membuatku
mencurigai kalian. Jeritan seorang perempuan
yang kupastikan perempuan itu," sambut Jaka menunjuk perempuan yang diam di
panggulan lelaki bertubuh pendek kekar.
"Hm.... Jadi itu," gumam lelaki berpakaian kuning. "Dima! Turunkan perempuan
itu," perintah lelaki berwajah tampan pada rekannya yang
bertubuh pendek kekar.
Lelaki yang memanggul perempuan itu ti-
dak membantah perintah lelaki berwajah tampan.
Dia menurunkan tubuh perempuan yang terlihat
tanpa daya. Namun kemudian keterkejutan dialami Ja-
ka. Perempuan yang baru menjejakkan kaki di
bumi itu berdiri tegak dengan kedua tangan ber-tolak pinggang. Sikap menantang
jelas-jelas diper-lihatkannya.
"Terima kasih, Dima. Kau telah berlelah-
lelah memanggulku," ucap gadis berpakaian hijau muda dengan kerling mata genit
tertuju pada lelaki pendek kekar.
"Sewindu lamanya pun aku bersedia me-
manggul tubuhmu, Ayuning," jawab Dima membalas kerlingan mata gadis berkulit
putih itu. "Lupakan itu, Dima. Kita harus menghada-
pi anak muda ini," kilah perempuan cantik bernama Ayuning. "Bukan begitu, Kakang
Biraja," lanjut Ayuning. Tatapan matanya terarah pada lelaki berwajah tampan.
"Kau benar, Ayuning. Kita harus segera
menyingkirkan Raja Petir biar Gagak Sugih Pen-
gasung bisa sepenuhnya memiliki gadis cantik
yang berjuluk Dewi Payung Emas," jawab Biraja mantap.
Jawaban itu tentu saja membuat Jaka ter-
kejut. Dia segera sadar bahwa apa yang telah dilakukan Biraja dan kawan-kawannya
adalah upaya untuk mengelabuinya. Kesimpulan Jaka
mengatakan kalau orang-orang yang berhadapan
dengan Mayang Sutera adalah juga orang-orang
yang bekerja untuk Gagak Sugih Pengasung. Oh,
siapakah dia" Kenapa menginginkan Mayang Su-
tera" "Raja Petir!" sentak Ayuning membuat Jaka terjaga dari pikirannya.
"Sekarang kujelaskan padamu agar kau tidak penasaran. Sesungguhnya
aku punya junjungan yang sudah lama jatuh hati pada gadis cantik yang berjuluk
Dewi Payung Emas, yang kemudian setelah kuselidiki ternyata kekasih seorang tokoh muda
berkepandaian tinggi yang berjuluk Raja Petir. Perlu kau ketahui, sebenarnya aku
berat melakukan perintah Gagak
Sugih Pengasung. Kau mau tahu mengapa" Oh,
sesungguhnya aku sangat mencintai Gagak Sugih
Pengasung. Dia bukan saja tampan, tetapi juga
begitu perkasa dalam segala hal, termasuk per-
mainan di atas ranjang. Namun untuk menolak
permintaannya adalah suatu hal yang mustahil.
Gagak Sugih Pengasung berwatak keras. Kekeja-
mannya akan berlipat-lipat jika keinginannya
yang sudah mencapai ubun-ubun dibantah
orang. Aku tidak ingin tubuhku dikulitinya. Lebih baik kuturuti saja perintahnya
untuk menyingkirkan kau dan menundukkan Dewi Payung
Emas, kemudian menyerahkannya pada junjun-
gan kami," jelas Ayuning. "Karena itu kami segera menyusun sandiwara ini."
"Betul, Raja Petir," sambut lelaki berpakaian hitam yang bertubuh tinggi kurus
seperti galah. "Aku merasa seperempat keberhasilan itu telah kami raih."
"Hm.... Kau pikir semudah itu?" tanya Jaka dengan sikap yang tidak terpengaruh
ucapan keempat orang di hadapannya.
"Ya. Memang tidak semudah itu. Raja Petir.
Kuakui Dewi Payung Emas bukanlah gadis sem-
barangan. Kemampuannya di rimba persilatan
cukup diperhitungkan. Namun keyakinanku
mengatakan Jalantana dan kawan-kawannya
akan berhasil mengatasi kehebatan kekasihmu.
Gagak Sugih Pengasung telah memberikan Jalan-
tana serbuk ganas yang diberi nama Serbuk Pe-
rampas Ingatan Gagak Paruh Emas. Aku yakin
Dewi Payung Emas tak akan kuasa menghadapi
ramuan Gagak Sugih Pengasung itu," ucap Biraja menambahi.
Ada kekhawatiran di dalam hati Jaka. Na-
mun pendekar muda yang matang pengalaman
itu mencoba menyembunyikannya. Seketika Jaka
ingin meninggalkan ketiga lelaki dan seorang perempuan itu. Namun ketika
dipikirkan kemudian, hal itu mustahil dilakukannya. Di samping empat orang itu
akan mengejarnya, dia juga merasa ma-lu untuk pergi begitu saja seperti seorang
pengecut. Lagi pula Jaka tidak yakin kalau Mayang Sutera akan mudah ditundukkan.
"Raja Petir! Kau sudah terjebak. Aku yakin kekasihmu kini tengah menuju istana
Gagak Sugih Pengasung. Sekarang giliranmu berangkat
menuju Istana Neraka," ucap lelaki tinggi kurus.
Tulang-tulangnya yang kasar terlihat jelas ber-sembulan keluar. Matanya seperti
tidak berhenti membelalak.
Jaka hanya menanggapi ucapan lelaki yang
mirip tengkorak hidup itu dengan senyum mele-
ceh. Tampak lelaki kurus berpakaian hitam se-
makin lebar membelalakkan matanya.


Raja Petir 22 Cinta Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maaf, Tuan," ucap Jaka dengan tatapan mata teduh terarah ke wajah lelaki tinggi
kurus. "Kalau boleh aku tahu, masih jauhkah letak Ista-
na Neraka yang kau katakan tadi" Berapa lama
waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tempat
itu?" tanya Raja Petir dengan tenangnya.
Lelaki tinggi kurus tampaknya mengerti
dengan pertanyaan Jaka, begitu juga ketiga re-
kannya. Keempat orang itu saling bertatapan.
"Hm.... Dia merasa dirinya paling jago di rimba persilatan ini, Kakang Biraja.
Pertanyaan-nya membuktikan kalau dia memandang kita
dengan sebelah mata. Huh! Kau harus mampus di
tanganku, Raja Edan!" sentak lelaki tinggi kurus bernama Sarga. Tubuhnya
kemudian dengan cepat berpindah tempat. Tahu-tahu dia sudah ber-
diri dua batang tombak di samping kanan Jaka.
Melihat Sarga telah melompat mendekati
Raja Petir, Biraja, Dima, dan Ayuning pun menghentikan kakinya melakukan hal
yang sama. "Hop!"
"Yeah!"
"Kita habisi dia sekarang, Sarga!" ucap Biraja mantap dengan kedua tangan yang
tiba-tiba sudah menggenggam sepasang pedang berukuran
tanggung. Srt! Srt! Srt..!
Ayuning, Dima, dan Sarga segera melo-
loskan pedang mereka. Senjata-senjata telanjang itu terhunus dengan tangan yang
tak lama kemudian terlihat bergetar.
"Hiyaaa...!" diiringi teriakan yang cukup keras, tubuh Biraja melesat menerjang
sosok Jaka. "Hm...."
Dengan ketenangan yang luar biasa Jaka
bergumam tak jelas. Tubuhnya dengan ringan
bergerak cepat menghindari sambaran senjata Biraja yang terarah ke leher dan
lambungnya. "Jangan bangga dulu. Raja Petir!
Wuuung...!"
Baru sesaat Jaka terbebas dari ancaman
mata pedang Biraja, ujung pedang milik gadis
cantik bernama Ayuning mengancam tenggoro-
kannya. Gerakan menebas yang dilakukan gadis
berpakaian hijau itu demikian cepat dan dahsyat Deru angin dan bunyi mendengung
membuktikan kalau serangan itu dilakukan dengan mengerah-
kan tenaga dalam tinggi.
"Uts!"
Jaka memiringkan tubuhnya dengan me-
narik lehernya sedikit ke belakang. Gerakan yang dilakukan Jaka karena
kepekaannya merasakan
ada serangan bokongan. Maka ketika ujung sen-
jata Ayuning lolos beberapa rambut dari lehernya, Jaka segera menghentakkan
kakinya kuat-kuat.
Pemuda itu melakukan gerakan berputar ke bela-
kang. "Hup!"
Buet! Pada saat yang bersamaan, ketika tubuh
Jaka telah melenting ke udara, serangan bokon-
gan Dima tiba. Serangan lelaki pendek kekar itu membentur tempat kosong. Bahkan
tubuh kekar-nya harus merasakan sodokan kaki Raja Petir
yang terayun cepat ke bagian punggung.
Blugkh! "Hekh!"
Dima terhuyung-huyung ke depan bebera-
pa langkah. Dia berusaha sebisanya menahan
daya dorong itu agar tidak tersungkur ke tanah.
Namun gagal, tendangan Jaka yang cukup keras
membuat wajah lelaki bertubuh pendek kekar itu harus mencium tanah.
Jaka tak sempat lagi melihat bagaimana
wajah Dima ketika mencium tanah. Dia harus
kembali menghadapi serangan ketiga lawannya
yang berusaha secepatnya melenyapkan nya-
wanya. "Hiyaaa...!"
Bet! Bet! Dengan menggunakan ilmu 'Lejitan Lidah
Petir' Jaka bergerak lincah menghindari seran-
gan-serangan ganas Biraja, Ayuning, dan Sarga.
Bahkan dari jurus 'Petir Menyambar Elang' Jaka berhasil memperdaya lelaki
berwajah tampan
yang menjadi otak penyerangan.
Setelah tubuhnya berkelit dari ancaman
ujung pedang Ayuning, gerakan Jaka nampak se-
perti terarah pada Sarga dengan berpura-pura
menghentakkan kaki kirinya. Padahal sesung-
guhnya kaki kanan Jaka lebih cepat menghentak
ke bumi dan melayang cepat ke arah Biraja yang belum sempat melanjutkan
serangannya. "Hih!"
Plak! Plak! "Akh!"
Tubuh Biraja limbung setelah dahinya ter-
kena tamparan tangan kiri Raja Petir. Dadanya
pun harus menerima sodokan keras kepalan tan-
gan kanan Jaka. Kontan saja wajah Biraja meme-
rah bagai kepiting rebus. Rasa sesak dirasakannya begitu kuat menghimpit dada.
"Rupanya jalan menuju Istana Neraka ma-
sih terlalu jauh, Tuan-tuan dan Nona. Buktinya kalian tidak sanggup menunjukkan
arahnya," sindir Jaka dengan tatapan menusuk wajah Bira-
ja. "Kau memang sombong, Raja Petir. Namun
kesombonganmu akan segera kubungkam dengan
ini," Ayuning melepaskan selendang ungu yang membelit pinggang rampingnya.
Bagian ujung selendang ungu itu mengembang, sedangkan pada
bagian tengahnya terdapat bulatan-bulatan berjajar lima baris. Tangan gadis
berpakaian hijau itu mengangkat selendangnya sampai melewati kepala.
"Ya. Kau akan segera berangkat ke Istana
Neraka dengan petunjuk selendangku ini!" sambut Dima dan Sarga. Tangan mereka
bergerak ce- pat menelusup ke balik pakaian dan mengelua-
rkan selendang yang sama seperti milik Ayuning.
Cuma warna selendang Dima dan Sarga hitam
dan biru. "Bersiaplah untuk berangkat ke Istana Ne-
raka, Raja Petir! Ikhlaskan kekasihmu menjadi
pendamping abadi Gagak Sugih Pengasung. Kau
sendiri akan mendapatkan pengganti yang setim-
pal yaitu setan-setan neraka," tambah Biraja yang sudah berhasil mengatasi rasa
sesak di dadanya.
Tangan lelaki tampan berpakaian kuning itu
menggenggam selendang berwarna kuning.
Jaka memandang Biraja dengan terse-
nyum, sebagai bukti kalau dirinya sedikit pun tidak merasa gentar dengan ucapan
keempat la- wannya. "Dima, Sarga, dan kau Ayuning! Jangan ki-
ta buang-buang waktu lagi, cepat kerahkan ilmu
'Racun Gagak Lembah Pengasung Membungkus
Jagad'!" perintah Biraja dengan suara lantang.
Perintah itu segera disambut ketiga rekan-
nya. Serempak tangan-tangan kiri mereka meraih sesuatu dari balik pakaian.
Glk! Glk! Glk! "Hm.... Rupanya kalian menelan pil pena-
war racun. Kenapa kalian tidak beri aku sebutir saja?" tanya Jaka mengejek.
"Yang berada di dalam selendang ini yang
akan kuberi untukmu. Raja Sombong!" sentak Ayuning.
"Hiyaaa...!"
Belum hilang suara Ayuning terbawa an-
gin, Biraja sudah bergerak lantang dengan tangan kanan bergerak mengebutkan
selendang kuning-nya. Bluts!
Slers...! Lima butir bulatan sebesar telur burung
puyuh meluruk ke arah Jaka. Anehnya, luncuran
bulatan kuning itu bergerak memantul-mantul.
Ketika bulatan-bulatan yang sudah bisa dipastikan mengandung racun itu menyentuh
tanah, maka.... Blars! Blars...!
Lima ledakan yang tidak seberapa dahsyat
terjadi. Daerah di mana benda-benda itu meledak tertutup asap kekuningan. Bau
menyesakkan da-da pun tercium.
Jaka merasakan racun yang menjalar dari
asap-asap yang membungkus tubuhnya amatlah
berbahaya. Maka seketika itu juga Jaka meng-
hentakkan kaki dengan menggunakan jurus
'Lejitan Lidah Petir'. Pemuda itu berusaha menghindari kurungan asap yang
mengandung racun
ganas. "Uhugkh! Hops!"
Tubuh Jaka melenting ke udara setelah ba-
tuk-batuk sesaat. Dia merasakan napasnya begi-
tu sesak, namun tidak dihiraukannya. Saat Jaka tengah berputaran di udara,
Ayuning, Dima, dan Sarga mengebutkan selendangnya dengan cepat
Bluts! Bluts! Bluts!
Belasan butiran berwarna-warni sebesar
telur puyuh berkelebatan ke arah Jaka. Kemu-
dian meledak tepat di depan dan belakang tokoh muda digdaya yang berjuluk Raja
Petir itu. Blars! Blars! Blarrrs...!
*** 3 Sore bergerak semakin larut. Langit di ufuk
timur sudah menggantungkan warna jingga yang
indah. Sementara di bawah langit yang indah itu,
di dua tempat yang berbeda, terlihat pertarungan cukup sengit Raja Petir
bertarung menghadapi
empat lawan tangguhnya. Ia harus berjuang se-
kuat tenaga menghindari gempuran dahsyat la-
wan yang menggunakan racun ganas.
Sementara di tempat yang berbeda, gadis
cantik yang berjuluk Dewi Payung Emas harus
melakukan perjuangan yang sama. Lima lawan-
nya ternyata bukanlah orang-orang sembarangan.
Jurus 'Benteng Emas' dan 'Menepak Laut Meng-
genggam Air' milik Mayang Sutera tidak banyak
membantu. Sedikit pun belum terlihat kekasih
Raja Petir itu mampu mendesak lawan-lawannya.
"Tenagamu pasti akan terkuras habis, No-
na Mayang. Sebaiknya kau menyerah saja. Bu-
kankah maksud kami baik" Kami tidak akan me-
nyakitimu. Malah kami akan mengantarkan Nona
pada kesenangan-kesenangan yang akan didapat
dari Gagah Sugih Pengasung," ujar Jalantana me-rayu Mayang Sutera yang mulai
terdesak mun- dur. "Aku lebih senang kalian membawaku
menghadap tuanmu dalam keadaan sudah men-
jadi mayat. Tapi itu tidak akan pernah kalian dapatkan," elak Mayang Sutera
meski tak yakin dengan ucapannya. Disadarinya kalau lima lawannya begitu
tangguh. "Huh! Ternyata kau gadis keras kepala!"
maki Jalantana menimpali ucapan Mayang Sute-
ra. "Diberi hati kau malah memilih kotoran kerbau. Baiklah! Bersiaplah untuk
kami bawa den- gan kekerasan, Kalaga! Dan kalian semua,
siapkan ilmu 'Jaring Maut Menjala Mangsa'!" perintah Jalantana mantap. Tangannya
seketika terangkat ke atas. Selendang yang berlubang-
lubang mirip jaring laba-laba berkibar-kibar ditiup angin.
"Seraaang...!"
Jalantana, Kalaga, dan ketiga rekannya
bergerak cepat ke arah Mayang Sutera yang su-
dah bersiap dengan payung kecilnya. Senjata lawan yang berupa selendang dikebut-
kebutkan hingga menimbulkan bunyi aneh dan telinga. Se-
perti bunyian yang keluar dari lubang dubur.
Brut! Brut! Brut!
Wrrr...! Mayang Sutera dengan payung kecil yang
terkembang bergerak berpindah tempat. Senja-
tanya berputar cepat hingga wujud aslinya tidak terlihat. Terdengar deru angin
senjata Dewi Payung Emas Berkali-kali senjata kekasih Raja Petir itu
berusaha menghalau sambaran selendang lawan.
Sejauh ini tidak satu senjata lawan pun yang dapat menyentuh tubuhnya. Namun
dengan berge- rak mundur terus-menerus Mayang Sutera mem-
buat dirinya menemui titik buntu.
"Sampai kapan kau mampu bertahan se-
perti itu, Nona Mayang. Seranglah kami," ejek Jalantana menyaksikan lawannya
mengambil sikap
bertahan. Mayang Sutera mendengar nada bicara Ja-
lantana begitu merendahkan. Wajahnya yang
memang telah tegang tambah mengeras. Nafsu
amarah sudah mencapai ubun-ubunnya.
"Haiiit...!"
Dengan didahului lengkingan kemarahan
yang begitu keras, gadis cantik berpakaian jingga menghentakkan kakinya ke bumi.
Tubuhnya seketika berkelebat cepat dengan payung tetap berputar dan siap
dibabatkan pada sasaran terdekat.
Menyaksikan Mayang Sutera meluruk ke
arah Jalantana, Kalaga dan gadis cantik berpa-
kaian coklat menyongsong dari arah depan den-
gan senjata mengembang bak jaring laba-laba.
Bet! Wrrr...! Traps...! Merah padam wajah Mayang Sutera ketika
sambaran senjatanya yang tertuju ke lambung
Jalantana berhasil diredam oleh Kalaga dan gadis cantik berpakaian coklat.
Keterkejutan Mayang
Sutera bertambah saat dirasakan senjata lawan


Raja Petir 22 Cinta Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mampu membelit ujung kiri dan kanan payung
kecilnya. "Hhh...!" Mayang Sutera berusaha menarik senjatanya dari belitan selendang bagai
jaring-jaring maut itu. Namun setelah Mayang Sutera
mengeluarkan seluruh kekuatannya, payungnya
tak juga terlepas dari belitan senjata lawan.
"Ha ha ha...!"
Jalantana terkekeh keras melihat senjata
gadis cantik yang terkenal keampuhannya itu tidak dapat terlepas dari selendang
Kalaga. "Lebih baik kau menyerah, Nona Mayang.
Tawaran baik ini janganlah kau sia-siakan," ucap
Jalantana. "Cuih!" Mayang Sutera malah menjawab keinginan Jalantana dengan membuang ludah
ke tanah. "Kau gadis keras kepala!" hardik Jalantana kesal. Kakinya terayun
mendekati Mayang Sutera yang tetap mempertahankan senjatanya.
* * * Di sebuah kamar Gagak Sugih Pengasung
yang bernama asli Wirya Setraging sedang mem-
perhatikan bola kristalnya yang memendarkan sinar benderang. Di dalam bola
kristal itu nampak Mayang Sutera tengah berdiri tak berdaya di hadapan
Jalantana. "Bagus, Jalantana. Lakukan segera apa
yang telah kutugaskan padamu," gumam lelaki berpakaian indah mirip pakaian
seorang anak ra-ja itu. Rambutnya yang panjang diikat di pangkal kepalanya.
Mata Gagak Sugih Pengasung tidak berke-
dip menyaksikan bola kristalnya. Tampak Jalan-
tana tengah melangkah menghampiri Mayang Su-
tera, gadis yang digila-gilainya.
"Ayo, Jalantana. Cepat! Jangan buang-
buang waktu," gumam Wirya Setraging. Kedua telapak tangannya bergerak-gerak di
atas bola kristal. Sosok cantik kekasih Raja Petir kelihatan tidak berdaya di
hadapan anak buahnya.
Jalantana seperti mendengar perintah
tuannya yang berbicara dari ruang khusus tem-
pat sebuah bola kristal dan senjata pamungkas
Seruling Penggugah Sukma Pedang Pencabut
Nyawa tersimpan. Sebuah senjata berbentuk aneh yang bagian depannya berupa
sebilah pedang pusaka, sedangkan bagian belakangnya berbentuk
seruling kepala burung gagak. Senjata pusaka itu mampu berfungsi ganda.
Lelaki bercambang bauk lebat bernama Ja-
lantana semakin dekat ke arah Mayang Sutera
yang masih mempertahankan payungnya dari be-
litan senjata lawan. Dia akan melepaskan
payungnya jika lelaki bercambang bauk lebat itu mengebutkan senjatanya yang
dipegang dengan
tangan kiri. Tetapi itu tidak dilihat oleh Mayang Sutera
Padahal tiga langkah lagi Jalantana berhasil
menggapainya. Namun lelaki itu tidak bergerak
menyerang, malahan tangan kanannya menyeli-
nap ke balik pakaian. Seperti hendak meraih sesuatu. Plups...!
"Uhukh...!"
Mayang Sutera terbatuk ketika tangan Ja-
lantana yang menyelinap ke balik pakaian tiba-
tiba ditarik keluar dengan cepat. Sebuah tabung bambu kuning ditiupkan dengan
keras ke wajah Mayang Sutera. Semburan serbuk kuning mengo-
tori wajah cantik Mayang Sutera. Namun itu tidak berlangsung lama. Setegukan teh
kemudian warna kuning yang mengotori wajah Dewi Payung
Emas hilang. Serbuk itu seperti masuk ke dalam pori-pori kulit
Perubahan seketika terjadi pada diri
Mayang Sutera. Tatapan matanya yang semula
garang kini tidak nampak lagi. Bola mata kekasih Raja Petir terlihat begitu
redup. Rupanya ia sudah terpengaruh kekuatan ampuh yang terkandung
dalam serbuk kuning Serbuk Perampas Ingatan
Gagak Paruh Emas.
"Bagaimana, Nona Mayang" Sekarang kau
bersedia ikut kami menemui Tuan Gagak Sugi
Pengasung?" tanya Jalantana dengan tatapan menusuk bola mata Mayang Sutera yang
seperti mengantuk. Mata redup Dewi Payung Emas membalas
tatapan Jalantana. Kepalanya kemudian terang-
guk pelan, dan dari bibir tipisnya mengalir kali-mat persetujuan yang keluar
begitu perlahan. "Ya.
Bawalah aku ke hadapan Gagak Sugih Penga-
sung." . "Ha ha ha...!"
Di ruang kamar khusus Gagak Sugih Pen-
gasung terbahak keras. Tatapannya sedikit pun
tidak dialihkan dari pemandangan yang terekam
bola kristalnya. Dalam bola kristal itu nampak Mayang Sutera tengah berjalan
diiringi Jalantana dan kawan-kawannya.
"Hi hi hi.... Bagus! Bagus, Jalantana. Tapi akan lebih bagus kalau kau
perintahkan Nona
Mayang berlari menggunakan ilmu lari cepatnya, agar dia lebih cepat sampai ke
pangkuanku," gumam Gagak Sugih Pengasung. "Lakukan itu, Jalantana!" teriak
lelaki itu keras. Suaranya memantul-mantul di dinding-dinding kamar.
Teriakan Wirya Setraging yang mengan-
dung tenaga dalam tinggi membuat jiwa Jalanta-
na seketika terpengaruh. Lelaki bercambang bauk lebat itu berkata pada Dewi
Payung Emas. "Sebaiknya kita gunakan ilmu lari cepat,
Nona Mayang. Aku yakin, seperti halnya Gagak
Sugih Pengasung, kau pun ingin segera berjumpa dengannya, bukan" Ayolah, gunakan
ilmu lari ce-patmu," ujar Jalantana.
"Baik, Tuan," sambut Mayang Sutera tanpa memandang wajah Jalantana.
"Hip!"
Kaki ramping gadis cantik berpakaian jing-
ga itu terhentak kuat. Tubuhnya melesat cepat
meninggalkan Jalantana dan kawan-kawannya
yang tersenyum-senyum menyaksikan keberhasi-
lan mereka. Keempat orang itu gembira karena
akan mendapat sanjungan Gagak Sugih Penga-
sung. "Hops!"
"Hops!"
Jalantana dan kawan-kawannya mengem-
pos larinya dengan menggunakan ilmu meringan-
kan tubuh tingkat tinggi yang dipadukan dengan ilmu lari cepat
Enam sosok bayangan terlihat saling ber-
kejaran menuju sebuah lembah yang bernama
Lembah Pengasung. Malam pun mulai menyeli-
muti mayapada. * * * Sementara itu cukup jauh di sebelah sela-
tan, Jaka sempat kewalahan menghadapi Biraja
yang menggunakan ilmu 'Racun Gagak Lembah
Pengasung Membungkus Jagad'. Bukan saja ka-
rena keganasan racun yang ditimbulkan dari bu-
tiran-butiran benda sebesar telur puyuh, tapi juga kehebatan permainan sepasang
pedang tangguh Biraja dan senjata-senjata Dima, Sarga, dan
Ayuning. Tapi karena kekebalan tubuh Jaka terha-
dap berbagai jenis racun, Biraja dan kawan-
kawannya mendapat kesulitan untuk mele-
nyapkan Raja Petir. Mereka malah terdesak ketika Jaka berhasil mengacaukan ilmu
'Racun Gagak Lembah Pengasung Membungkus Jagad'. Namun
sayangnya Jaka harus kehilangan jejak ketika Biraja dan kawan-kawannya
melemparkan butir-
butiran peledak berwarna hitam pekat. Rupanya
itulah senjata terakhir mereka untuk mengacau-
kan pemandangan Jaka. Mereka kabur karena ti-
dak dapat menandingi kedigdayaan Raja Petir.
Brak!" Krak! Brugkh! Sebatang pohon besar tumbang terhantam
tangan Jaka sebagai pelampiasan kekecewaannya
karena tak ditemuinya sosok Mayang Sutera di
tempat Jaka meninggalkannya.
Meski tidak yakin Jaka memang harus per-
caya Mayang Sutera telah berhasil ditundukkan
lawan-lawannya. Dia kini tengah menghadap Ga-
gak Sugih Pengasung, yang katanya begitu men-
cintai Dewi Payung Emas.
4 Wirya Setraging atau Gagak Sugih Penga-
sung menatap tak berkedip kecantikan wajah
Mayang Sutera yang kini ada di hadapannya. Hati lelaki tampan berusia tak lebih
dari dua puluh delapan tahun itu berdesir-desir. Perasaan cin-tanya pada gadis
jelita kekasih Raja Petir itu mengalir deras di seluruh pembuluh darahnya.
"Apa yang Gagak Sugih Pengasung ingin-
kan dariku?" tanya Mayang Sutera membuka per-cakapan. Suaranya yang bening
mengalir bagai air membuat Wirya Setraging tergetar. Suara
Mayang Sutera terdengar begitu merdu dan amat
sejuk di hati, hingga Wirya Setraging tidak segera menjawab pertanyaan gadis di
hadapannya itu.
Wirya Setraging sesungguhnya heran den-
gan perasaan hatinya. Telah banyak dirinya mendapatkan gadis-gadis cantik yang
menggoda kele-lakiannya. Ia senang tenggelam pada surga dunia yang melenakan.
Namun terhadap gadis jelita
yang satu ini..." Wirya Setraging tidak kuasa berbuat pada gadis-gadis lain. Di
matanya, Mayang Sutera bagai patung salju begitu indah dan tak boleh tersentuh
jiwa yang panas, jiwa yang berge-jolak oleh nafsu iblis. Mayang Sutera seperti
pua-lam yang tak pantas disentuh tangan-tangan ko-
tor. "Jangan panggil aku dengan sebutan
'tuan', Mayang. Panggil saja Wirya atau Kakang
Wirya," jawab Gagak Sugih Pengasung setelah beberapa saat membiarkan pertanyaan
Dewi Payung Emas dan hanya menatap wajah cantiknya.
"Ya, Kakang Wirya. Sekarang apa yang ha-
rus kulakukan untukmu?" ucap Mayang Sutera menyanggupi keinginan Gagak Sugih
Pengasung. "Masuklah ke kamar yang telah disediakan, Mayang. Rebahkan dirimu dan
istirahatlah dengan tenang," ujar Wirya Setraging dengan suara yang begitu
lembut. Seperti kerbau dicucuk hidung, Dewi
Payung Emas bergerak ke pintu kamar yang di-
tunjuk Gagak Sugih Pengasung, itu berarti pengaruh Serbuk Perampas Ingatan Gagak
Panah Emas bekerja dengan baik. Dara jelita kekasih Raja Petir itu menyibak tirai sutera
yang menjuntai di depan pintu.
"Aku istirahat dulu, Kakang Wirya," ucap Mayang Sutera sebelum masuk ke dalam
kamar yang tertata indah. Jauh-jauh hari kamar itu sudah dipersiapkan Gagak Sugih
Pengasung. "Ya. Istirahatlah," jawab Wirya Setraging dengan tatapan penuh cinta yang
tertuju lurus ke wajah Dewi Payung Emas.
Malam merangkak perlahan ketika Dewi
Payung Emas masuk ke kamar yang harum se-
merbak. Gadis cantik itu merebahkan diri di ranjang kayu jati yang berukiran
bunga-bunga indah.
Kepenatan yang dirasakan setelah bertarung dengan Jalantana dan kawan-kawannya
membuat Mayang Sutera segera terlelap. Dengkurnya yang halus terdengar di dalam kamar
yang begitu rapi
dan cukup besar itu.
Sementara di luar kamar nampak Gagak
Sugih Pengasung tengah termenung di depan bola kristalnya. Matanya tak lepas
menatap bola kristal yang selama ini telah banyak membantu me-
menuhi keinginan-keinginannya. Tangan kanan
lelaki tampan itu mengelus-elus sebilah senjata pusaka berbentuk dua rupa,
sebelah berupa pedang dan yang lainnya seruling.
Memikirkan Dewi Payung Emas yang kini
ada dalam kekuasaannya, Gagak Sugih Penga-
sung tiba-tiba teringat pada kekasih gadis jelita yang begitu dicintainya itu.
Dialah Raja Petir yang mampu menghalau niat Biraja dan kawan-kawannya untuk
melenyapkan dirinya.
Tak terasa malam terus bergulir. Sang
Waktu telah membangunkan binatang-binatang
dari peraduannya. Sinar matahari perlahan mem-
bias menerangi Lembah Pengasung yang menjadi
wilayah kekuasaan Wirya Setraging.
Pagi ini lelaki tampan berpakaian indah
bak anak pembesar istana itu, duduk di kursi berukir di pendopo rumah. Seorang
lelaki tinggi tegap dan bercambang bauk lebat tersenyum me-
langkah menuju pendopo, menghampiri Tuan Ga-
gah Sugih Pengasung yang tengah termenung.
"Tuan, sudah kau apakan gadis jelita itu.
Apakah kau puas dengan pelayanannya?" tanya lelaki tinggi tegap yang ternyata
Jalantana. Dia bercakap seperti itu karena tahu kebiasaan tuannya jika habis
bermalam dengan gadis cantik
yang baru didapatkannya. Gagak Sugih Penga-
sung tidak pernah marah dengan kelakuan Jalan-
tana itu. "Kau bisa menebak apa yang telah kulaku-
kan terhadap Mayang, Jalantana?" Wirya Setraging balik bertanya.
Jalantana tersenyum-senyum mendengar
pertanyaan Wirya Setraging.
"Tentu saja seperti biasanya, Tuan. Seper-ti....." "Tidak," potong Wirya
Setraging memutus ucapan Jalantana.
"Tidak?" ulang Jalantana tidak percaya.
"Ya. Aku tidak mampu berbuat apa-apa
terhadap gadis itu," perlahan pengakuan itu keluar dari mulut Gagak Sugih
Pengasung. "Tuan...," sedikit bergetar panggilan Jalantana. Matanya tajam menatap wajah
Wirya Se- traging. "Apakah.... Apakah Tuan sa... sakit?"
tanya Jalantana takut-takut
Wirya Setraging menggelengkan kepala.
Pandangannya dilempar jauh ke ujung timur
Lembah Pengasung.
"Lalu...?" usik Jalantana keheranan.
"Aku tak sanggup melakukan itu padanya,
Jalantana. Entah mengapa. Hati kecilku melarang untuk melakukan perbuatan


Raja Petir 22 Cinta Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serendah itu terhadap Mayang. Atau cintaku yang terlalu besar
hingga aku tidak kuat berbuat sekehendak hati,"
jelas Wirya Setraging dengan suara pelan.
Tak ada pertanyaan lagi yang keluar dari
mulut Jalantana. Mata lelaki bercambang bauk
itu ikut menerawang ke arah Wirya Setraging
memandang. Hati Jalantana berkata-kata sendiri.
"Cinta memang aneh. Cinta bisa membuat yang baik menjadi buas, dan merubah yang
buas menjadi jinak," kemudian Wirya Setraging menghela napas panjang-panjang.
"Aku begitu menyayanginya hingga aku ja-
di begitu takut menjamahnya dengan kasar,"
ucap Wirya Setraging lagi. Kali ini tatapan matanya menetap lekat wajah
Jalantana. "Maaf. Tuan. Nona Mayang memang telah
punya seorang kekasih. Dan karena kegagalan Biraja dan teman-temannya. Raja
Petir masih hi-
dup. Tentunya tokoh tingkat tinggi itu akan mencari kekasihnya. Tuan pasti
mengerti, lambat laun Raja Petir akan membuat perhitungan dengan
Tuan," papar Jalantana mengingatkan.
"Jika aku campur tangan langsung untuk
mengirim Raja Petir ke neraka, kupastikan aku
akan mampu melakukannya tanpa menemui ba-
nyak kesulitan sedikit pun, tapi itu tak mungkin kulakukan. Aku menginginkan
kematian Raja Petir melalui tangan orang lain. Secepatnya akan kuutus mereka
untuk melenyapkan Raja Petir,"
tegas Gagak Sugih Pengasung. "Terkecuali jika utusanku tidak sanggup, terpaksa
aku yang turun tangan sendiri."
"Tuan, siapakah utusan yang kau maksud-
kan?" tanya Jalantana ingin tahu. Seandainya dirinya yang diutus, sudah pasti
dia akan menga-
lami kegagalan seperti Biraja, Dima, Sarga, dan Ayuning. Jalantana sadar kalau
kemampuannya tidak melebihi kepandaian orang-orang itu.
Gagak Sugih Pengasung menatap wajah
Jalantana. Sementara tangan kanannya menyeli-
nap masuk ke balik pakaiannya. "Kau antarkan surat-surat ini pada Kakang
Gurilang Laut, Adi Sanca Lodaka, Dan Nyi Layu Kumbara," ujar Wirya Setraging
seraya memberikan tiga pucuk
surat yang ditulisnya di atas kulit kayu.
Tanpa banyak cakap lagi, Jalantana mene-
rima surat-surat yang disodorkan Gagak Sugih
Pengasung. Namun dia sempat tercengang men-
dengar nama-nama yang disebutkan Wirya Se-
traging. Gurilang Laut yang dikenal dengan julukan Ular Laut Merah adalah
seorang tokoh sakti golongan hitam yang terkenal sulit memberi bantuan pada
orang lain tanpa imbalan harta benda yang paling disayangi si empunya. Bukan
mustahil kalau Mayang Sutera yang nantinya diminta
Ular Laut Merah. Sedangkan Sanca Lodaka seo-
rang tokoh golongan hitam yang berjuluk Sanca
Moncong Emas. Nyi Layu Kumbara atau Ratu Se-
lendang Kabut tidaklah terlalu dipikirkan Jalantana. "Kau memikirkan apa,
Jalantana" Ayo, cepat laksanakan tugasmu sekarang juga," perintahnya.
Jalantana menatap wajah Gagak Sugih
Pengasung. "Sepertinya kau keberatan kalau aku
menggunakan jasa Ular Laut Merah, Jalantana,"
tebak Wirya Setraging.
"Benar, Tuan. Kakang Gurilang Laut bukan
saja ular, tapi juga lintah darat. Aku khawatir dia
meminta Nona Mayang sebagai imbalan atas ja-
sanya," tutur Jalantana membenarkan dugaan Gagak Sugih Pengasung.
"Ha ha ha...."
Jalantana keheranan mendengar tawa Ga-
gak Sugih Pengasung. Sepertinya Wirya Setraging tidak takut akan permintaan Ular
Laut Merah nanti. "Kakang Gurilang Laut tidak akan berbuat
culas padaku, Jalantana. Dia akan membantuku
dengan suka rela tanpa sedikit pun meminta ba-
las jasa, tidak seperti pada orang lain yang membutuhkan bantuannya. Ular Laut
Merah memang lintah darat untuk orang lain, tapi tidak untuk-ku," jelas Gagak Sugih Pengasung
tegas. "Kalau berani juga melakukan hal itu, maka akan kuberi dia pelajaran
dengan senjataku ini yang mampu
memainkan ilmu 'Irama Ular Setan' dan itu akan berakibat Kakang Gurilang Laut
mengalami ke-lumpuhan seumur hidup, kecuali jika aku ber-
baik hati memberikan ramuan pemunah penga-
ruh ilmu 'Irama Ular Setan' untuknya," lanjut Wirya Setraging memperjelas dan
itu membuat Jalantana membuang seluruh kekhawatirannya.
Tanpa diperintah dua kali Jalantana segera
memutar tubuhnya. Dia tahu harus pergi ke ma-
na untuk menemui Ular Laut Merah, Sanca Mon-
cong Emas, dan Ratu Selendang Kabut. Wirya Se-
traging tersenyum-senyum menyaksikan keper-
gian anak buahnya.
"Sebentar lagi kau pasti akan mampus. Ra-
ja Petir!" teriak Wirya Setraging dalam hati.
Tiga hari kemudian, sesuai waktu yang di-
inginkan Gagak Sugih Pengasung. Gurilang Laut
si Ular Laut Merah, Sanca Lodaka atau yang lebih dikenal dengan julukan Sanca
Moncong Emas serta si Ratu Selendang Kabut yang bernama asli Nyi Layu Kumbara bersamaan
datang ke kedia-man Wirya Setraging. Ketiga tokoh golongan hi-
tam itu duduk di hadapan Wirya Setraging di
ruang khusus yang telah disediakan.
"Aku heran kenapa kau harus minta ban-
tun kami jika hanya untuk melenyapkan bocah
ingusan itu, Wirya Setraging," Gurilang Laut buka suara dengan tatapan mata
tidak berkedip.
"Betul, Kakang Wirya," sambut Sanca Lodaka. "Kesaktian Raja Petir bukan apa-apa
jika dibanding kesaktianmu," lanjutnya. "Jadi, apa perlunya Kakang mengundang
kami?" "Ah, jangan merendahkan Raja Petir, Adi
Sanca. Dia tidak mungkin memiliki julukan yang harum di rimba persilatan ini
jika tidak memiliki kesaktian yang patut kuperhitungkan. Aku sendiri menyesal
telah merendahkannya dengan men-
girimi anak buahku untuk mengenyahkannya da-
ri jagad ini. Nyatanya mereka tak mampu mela-
kukannya. Itu sebuah bukti kalau Raja Petir patut kita perhitungkan
kesaktiannya."
"Alasanmu cukup tepat, Adi Wirya. Aku se-
tuju sekali," tukas Nyi Layu Kumbara. "Ah, ngomong-ngomong, seperti apa
kecantikan gadis
yang kau gila-gilai itu, Adi Wirya. Sepertinya aku tak sabar untuk melihatnya."
"Kecantikannya sama dengan kecantikan
Nyi Kumbara semasa muda dulu," kilah Gagak Sugih Pengasung.
"Ah. Kau bisa saja, Gagak Sugih. Cepatlah perlihatkan si Jelita kekasihmu itu.
Aku yakin Adi Gurilang dan Adi Lodaya ingin segera pula menyaksikan raut wajah
kekasih hatimu itu. Bukan begitu?" tanya Nyi Layu Kumbara pada Gurilang Laut dan
Sanca Lodaka. "Betul, Nyi," sahut Ular Laut Merah. "Tapi aku ingin tahu alasan Adi Wirya akan
ketidakin-ginannya menghadapi Raja Petir," lanjut Gurilang Laut tegas.
"Oh. Itu Kakang Gurilang. Jelas sekali aku akan memberitahukannya padamu."
"Ya. Katakanlah, Kakang Wirya," pinta Sanca Lodaka tak sabar.
Gagak Sugih Pengasung menatap wajah
Ular Laut Merah, Sanca Moncong Emas, dan Ratu
Selendang Kabut bergantian. "Aku tidak ingin mengotori tanganku dengan darah
lelaki yang mencintai gadis yang sangat kucintai. Apalagi gadis itu mencintainya," tukas
Wirya Setraging mantap. "Hm.... Alasanmu masuk di akal. Sekarang, cepat kau bawa
gadis itu ke hadapan kami," pinta Nyi Layu Kumbara.
Gagak Sugih Pengasung segera bangkit dan
melangkah ke kamar Mayang Sutera. Beberapa
saat kemudian lelaki tampan pemilik bola kristal sakti itu kembali dengan
seorang gadis cantik
yang mengenakan kerudung berhiaskan serat
emas. Di kepala gadis cantik itu bertengger se-
buah mahkota berbentuk manis, dihiasi batu-
batu permata yang berkilauan tertimpa sinar yang menerobos masuk lewat kisi-kisi
jendela. "Tak kusalahkan jika kau tergila-gila pa-
danya, Adi Wirya Setraging," tukas Nyai Layu Kumbara setelah menyaksikan
kecantikan Mayang Sutera dengan dandanan yang begitu se-
suai. "Hati-hati kau jatuh cinta padanya, Adi Sanca," bisik Ratu Selendang Kabut
di telinga Sanca Moncong Emas.
"Aku laki-laki normal, Nyi."
"Bagaimana" Dia seperti bidadari, bukan?"
tanya Gagak Sugih Pengasung menunjuk ke arah
Mayang Sutera. "Ya ya ya.... Matamu memang masih muda,
Wirya," sambut Ular Laut Merah. "Untuk itu kami tidak bisa berlama-lama berada
di sini. Kau pasti ingin bersenang-senang dengannya. Sekarang ju-ga kami pamit
untuk melaksanakan tugas," lanjut Gurilang Laut, kemudian bangkit dari duduknya.
"Ah. Terima kasih, Kakang Gurilang. Me-
mang lebih cepat tugas itu selesai lebih baik," ujar Gagak Sugih Pengasung.
Tatapan matanya beralih pada wajah Nyi Layu Kumbara dan Sanca Lo-
daka. "Aku berterima kasih atas kesediaan kalian untuk membantuku."
"Sama-sama, Adi Wirya. O, ya. Kapan kau
resmikan hubungan kalian?" tanya Ratu Selendang Kabut
"Secepatnya. Setelah apa yang kuinginkan terlaksana. Setelah pertolongan kalian
kuterima hasilnya," jawab Wirya Setraging dengan tersenyum. "Tentu saja kami akan
melakukan sebaik dan secepat mungkin. Kau tidak akan kami kece-wakan, Wirya,"
timpal Ular Laut Merah
"Terima kasih, Kakang Gurilang."
"Kami berangkat sekarang," pamit Sanca Lodaka.
Ular Laut Merah, Sanca Moncong Emas,
dan Ratu Selendang Kabut pergi meninggalkan
Wirya Setraging dan Dewi Payung Emas yang ten-
gah berpegangan tangan.
"Semoga kalian berhasil," gumam Gagak Sugih Pengasung. Tatapannya kemudian
beralih ke wajah cantik Mayang Sutera.
*** 5 Matahari di atas Desa Baritang bersinar
cukup terik, hingga menghadirkan suasana yang
tidak menyenangkan. Orang-orang yang berada di dalam rumah merasa kegerahan.
Sementara mereka yang di luar rumah bergegas mencapai ke-
diamannya. Tiga orang lelaki dan seorang perempuan
jelita berusia tidak lebih dari dua puluh tahun tampak tengah melangkah lebar-
lebar. Tujuan mereka sebuah kedai yang berada tak jauh di hadapannya, sekitar enam batang
tombak. "Sebaiknya kita mampir dulu ke warung
itu, Ayah," ucap gadis cantik berpakaian putih seraya menatap wajah lelaki
berusia lima puluh li-ma tahun. Lelaki itu tak lain Terala, orang yang masih
terhitung paman Jaka. Sedangkan si Gadis jelita anak tunggalnya yang bernama
Seruni. "Kau setuju, Kakang Gumai, Gagah Bayu?"
tanya Terala pada lelaki berpakaian biru laut yang tak lain Gumai Gumarang si
Pendekar Pedang Bi-ru.
"Itu memang yang kuingini, Adik Terala.
Bukankah begitu, Gagah Bayu?" jawab Gumai Gumarang melempar pertanyaan pada
lelaki gagah dan tampan di sebelahnya.
"Betul, Paman," sambut lelaki berusia dua puluh empat tahun. Pandangannya
kemudian beralih ke wajah Seruni, gadis cantik putri tunggal Terala yang begitu
dikasihi dan dicintainya.
"Kalau begitu, ayo kita ke sana," putus Terala. (Untuk lebih jelas mengenai
Terala, Gumai Gumarang, dan Seruni silakan simak episode lalu yang berjudul
"Pembalasan Berdarah" dan "Empat Setan Goa Mayat").
Tiga lelaki dan seorang perempuan itu se-
gera masuk ke kedai dan memesan minuman ser-
ta makanan kesukaan masing-masing.
"Hm.... Kasihan Tuan Lanjalaka. Sebenar-
nya salah apa dia hingga Ular Laut Merah, Sanca Moncong Emas, dan Ratu Selendang
Kabut mem-bunuhnya, bahkan juga istri dan anaknya?" ucap Seruni dengan mulut
masih terisi kunyahan ayam bakar.
"Ketiga tokoh hitam yang kau sebutkan itu adalah orang-orang bermoral bejat.
Mereka berwatak bengis dan tidak punya perikemanusiaan.
Menurutku, Tuan Lanjalaka tidak salah. Wajar
saja kalau dia menolak pinangan Sanca Lodaka
terhadap Putih Lempuyang. Apalagi jelas-jelas
anaknya itu tidak mencintai Sanca Lodaka."
"Hei! Kenapa aku baru tahu?" ujar Seruni.
"Jadi hanya persoalan cinta yang membuat nyawa Tuan Lanjalaka dan keluarganya
melayang" Huh!
Betapa bejatnya pembunuh-pembunuh itu," maki Seruni. "Biar mereka dikutuk sang
Pencipta Kehidupan ini."
"Ah. Sudahlah, Seruni. Mungkin itu sura-
tan yang dituliskan sang Pencipta Jagad untuk
Tuan Lanjalaka dan keluarganya," ucap lelaki berpakaian merah muda seraya
menyentuh punggung tangan kekasihnya. "Sekarang mari kita nikmati hidangan lezat
ini. Jangan sampai kita kehilangan selera," tambahnya.
"Kau betul, Gagah Bayu. Ayo kita santap
habis hidangan ini," tukas Gumai Gumarang.
Dimasukkannya potongan ayam panggang
ke mulutnya. Seruni segera mengikuti. Untuk
sementara persoalan kematian Tuan Lanjalaka
beserta keluarganya terlupakan.
Pada saat Terala, Gumai Gumarang, Gagah
Bayu, dan Seruni tengah nikmat-nikmatnya me-
nyantap hidangan, seorang lelaki muda dan tam-
Menuntut Balas 6 Naga Pembunuh Lanjutan Golok Maut Karya Batara Penelitian Rahasia 4
^