Pencarian

Komplotan Penculik 1

Komplotan Penculik Karya Enid Blyton Bagian 1


Bab 1 TAK BISA MASUK SEKOLAH "BuKANKAH hari ini hari terakhir liburan anakanak?" tanya Pak Lynton.
"Mengapa mereka terlambat turun untuk sarapan?"
"Oh, Richard, sungguh mengesalkan. Snubby dan Diana demam!" jawab Bu Lynton.
"Aku tak berani menyuruh Roger berangkat, sebab mungkin sekali ia sudah ketularan penyakit adiknya. Pastilah sekolahnya tak akan mau menerimanya."
"Ampun!" keluh Pak Lynton, seakan putus asa.
"Empat minggu aku tersiksa oleh suara ribut mereka - dan anjing sinting itu - dan ternyata masih juga belum berakhir siksaan itu! Berapa lama lagi mereka harus tinggal di rumah?"
"Oh, tetapi toh penyakit ini bukan mereka sengaja," kata istrinya.
"Mereka pasti juga tak senang sakit. Lihat saja Snubby. la menolak makan susis... padahal kau tahu betapa senangnya dia makan susis!"
"Rasanya ia takkan menderita walaupun harus berpuasa selama semingu," kata Pak Lynton ketus.
Roger. Diana, dan Snubby bersekolah di sekolah yang berasrama. -
- "Terus terang saja aku tak mau berbelas kasihan pada Snubby. Belum pernah aku melihat orang makan serakus dia. Aku yakin sekolahnya sama sekali tak memperoleh keuntungan dari Snubby." Pak Lynton mengumpulkan koran-korannya dan bersiap-siap untuk berangkat ke stasiun, dengan wajah sedikit muram. Ia betul-betul mengharapkan datangnya suasana tenang dan damai saat anak-anaknya berada di sekolah. Liburan Paskah yang empat minggu ini sungguh membuat bising rumah tangganya - dan kini tampaknya keadaan itu akan terpaksa diperpanjang. Bu Lynton menjenguk Snubby. Terdengar Snubby mengeluh sewaktu bibinya ini memasuki
kamarnya. "Badanku sakit-sakit semua, Bibi. Bisakah Bibi membawa Sinting jalan-jalan lagi" Ia selalu memaksaku pergi bermain. Aku tak tahan lagi. Pagi ini ia begitu kesal sehingga semuanya dicakarinya - bajuku, alas kaki..."
"Aku tahu, aku tahu," katabibinya lemah lembut, membetulkan letak selimut dan baju Snubby.
"Kukira tak banyak kelakuan Sinting yang tak kuketahui.... Sekarang, cobalah tidur dulu, sampai dokter datang nanti. Aku akan menjenguk Diana."
Badan Diana juga panas. Nyonya Lynton meraba tangannya dan berkata,
"Agaknya kalian kena flu. Kasihan. Padahal seharusnya besok kalian sudah masuk sekolah."
Roger tidak kelihatan sakit, walaupun badannya juga mulai hangat. Ia bisa makan sarapan sedikit.
Jam setengah sebelas dokter datang. Hampir saja ia terjatuh tersandung oleh Sarden di tangga.
"Maaf," kata Nyonya Lynton.
"Mestinya Anda kuberi peringatan lebih dahulu tentang Sarden. Sarden, sekali lagi kau membuat orang tersandung, kusuruh Sinting mengejarmu."
"Waduh, siapa Sinting itu?"tanya dokter. Tetapi ia segera tahu sebab Sinting langsung muncul, ngebut turun tangga mengusir Sarden, dan hampir menubruk jatuh dokter tersebut.
Dokter itu orangnya baik dan periang. Anakanak menyukainya. Tetapi kali ini Snubby dan Diana hanya bisa tersenyum lemah pada leluConnya.
"Ha, pasti ini pura-pura saja, agar tidak masuk sekolah, ya?" katanya sambil meraba pergelangan tangan Diana, memeriksa denyut nadinya.
"Aku tahu benar siasat seperti ini. Akan kuperintahkan agar kalian tetap kembali kesekolah saat ini juga!"
"Bangun pun aku tak bisa," sahut Diana.
Tadi malam aku turun untuk minum, tetapi hampir saja aku jatuh.... Kakiku begitu lemah!"
"Tak usah khawatir," kata dokter dengan riang.
"Kau hanya terkena flu. Sebentar lagi pasti sembuh...."
"Untung hanya flu, dan bukannya demam berdarah," kata Bu Lynton saat mereka sudah
berada di lantai bawah lagi
Tapi sesungguhnya flu ini agak jahat," kata dokter, mencari-cari sarung tangannya. Wah, di mana sarung tanganku tadi?"
"Sinting! Mana sarung tangan itu! kata Bu Lynton dengan tajam.
"Lepaskan! Anjing jahat!"
Akhirnya Pak Dokter menerima kembali sarung tangannya.
"Seperti kukatakan tadi," katanya,
"flu kali ini agak jahat. Mereka harus tidur terus sampai aku berkata mereka boleh bangun. Kukira mereka takkan bisa bersekolah dalam waktu sepuluh hari ini. Sehabis penyakit mereka sembuh, mereka akan merasa sangat lemah. Mungkin Anda harus mengirim mereka ke suatu tempat yang menyegarkan."
"Baiklah kulihat saja nanti," jawab Bu Lynton.
"Terima kasih, Dokter. Sampai besok pagi!"
Takberapa lama, Roger juga sama seperti yang lain. Suara-suara keluhan, aduhan, dan gerutu ketiga orang anak itu terdengar sungguh menyiksa. Tetapi agaknya yang paling menderita adalah Sinting, anjingspaniel milik Snubby. Tentu saja ia tidak sakit - tetapi ia sama sekali tak mengerti mengapa ketiga anak itu tinggal terus di tempat tidur dan tiba-tiba saja tak suka berteman dengannya.
"la sungguh membuatku kesal," kata Diana.
"Kalau ia kuperbolehkan masuk, tingkahnya bagaikan gila. Pusing aku harus berteriak-teriak padanya terus. Kalau ia tak kuperbolehkan masuk, ia mencakari pintukuserta merengek-rengek keras di luar. Mengapa ia tidak pergi saja ke kamar Snubby dan tinggal disana"Toh ia milik Snubby."
"Snubby juga tak ingin Sinting berada di kamarnya," kata Bu Lynton.
"Biarlah kusuruh anak tukang roti membawanya jalan-jalan. Anak tersebut suka sekali pada Sinting, dan pasti mau mengajaknya jalan-jalan."
"Sarden sih tak apa," Diana berbicara tentang kucingnya.
"Ia tak begitu ribut seperti Sinting. Hanya Sarden kadang-kadang senang duduk di perutku, serta mengasah kukunya di bajuku. Oh. Ibu! Betul-betul tidak enak sakit seperti ini!"
"Kasihan kau," kata ibunya.
"Sabarlah, sebentar lagi kau juga sembuh."
Bu Lynton sebenarnya sudah memisahkan Roger dengan Snubby sewaktu Snubby terkena
penyakit itu. Tetapi ternyata Roger terserang juga.
" Kini mereka kembali sekamar lagi. Mereka begitu sengsara oleh sakit itu sehingga Bu Lynton yakin mereka takkan punya kesempatan untuk memikirkan hal-hal nakal lagi. Seperti perkiraan dokter, setelah beberapa hari penyakit mereka berangsur berkurang.
"Tinggal kakiku yang begitu lemas," kata Snubby.
"Seaka nakan terbuat dari karet saja.... Apakah kakiku ini nantinya bisa seperti sediakala, Bibi Susan?"
"Tentu, jangan tolol!" kata bibinya.
"Dan aku yakin kau memangsudah membaik karena pagi ini kau sudah mulai doyan susis lagi. Besok aku yakin kau sudah bisa menghabiskan tiga buah susis." |
"Guk!" kata Sinting yang sangat mengenal kata 'susis". Ditaruhnya kaki depannya yang berbulu hitam ke atas tempat tidur Snubby, dan dengan mata sedih ia memperhatikan majikan kecilnya itu. Sungguh aneh Snubby beberapa hari ini, piki
r Sinting. Ia tidak berteriak-teriak atau tertawa seperti biasanya. la bahkan tak tampak gembira saat dia
Sinting - datang membawakannya sebatang tulang yang hampir habis digerogoti serta sangat bau.
Snubby membelai kepala Sinting yang berbulu tebal dan lembut, serta daun telinganya yang amat panjang.
"Aku kini sudah hampir sembuh, Sinting. Sebentar lagi kita akan bisa jalan-jalan lagi."
"Guk!" teriak Sinting, dan sekali lompat ia telah berdiri di perut Snubby. Snubby berteriak kesakitan, dan Bu Lynton terpaksa harus dengan paksa membawa Sinting ke luar.
"Kukira anak-anak itu harus pergi ke suatu tempat untuk memperoleh udara segar," kata Bu Lynton pada suaminya malam itu.
"Mereka semua telah sembuh, tetapi masih lemas. Aku juga sudah begitu lelah meladeni mereka. Aku yakin Nona Pepper-bekas guru pribadiku sewaktu aku masih kecil - bisa mengasuh mereka, mengawasi mereka. la menyukai ketiga anak itu," katanya selanjutnya.
"Pikiran bagus," kata Pak Lynton.
"Aku tahu benar bagaimana sifat Snubby bila ia baru sembuh.... la jadi dua kali lebih lincah, dan tiga kali lebih kurang ajar! Aku yakin aku takkan bisa bertahan menghadapinya...."
"Ya, aku ingat dulu itu... sewaktu ia baru saja sembuh dari demam... la naik ke atap dan mencurahkan sekaleng air ke dalam cerobong asap ruang duduk. Betapa kagetnya aku! Yah... baiklah, kalau kau setuju, aku akan menelepon Nona Pepper tentang hal ini. Aku yakin ia bisa menguasai ketiga anak ini. Nona Pepper orangnya tegas." Di telepon, Nona Pepper menyatakan persetujuannya. Dengan senang hati ia akan mengawasi ketiga anak itu. Sudah lama ia tak bertemu dengan mereka, sejak peristiwa di Rockingdown dulu.
"Tetapi tolong dijaga agar mereka tidak terlibat dalam peristiwa nakal seperti dulu itu," kata Bu Lynton agak khawatir.
"Anda tahu, mereka begitu keras kepala, nekat, dan nakal. Mereka perlu diawasi dengan keras."
"Anda tak usah khawatir," kata Nona Pepper.
"Nah, kini, ke mana kira-kira mereka akan Anda kirim" Ke tepi laut?"
"Oh,tidak," kata BuLynton.
"Dokter menganjurkan suatu tempat di pedalaman.... Suatu tempat yang tidak begitu rendah, tetapi cukup hangat hawanya, dan tidak banyak mempunyai daerah berair sehingga anak-anak itu tidak terlalu banyak berenang atau berperahu. Anda punya usul?" Hening sejenak. Kemudian agak ragu-ragu Nona Pepper berkata,
"Hmmm... aku tahu suatu tempat yang tepat. Namanya indah, tapi desanya tidak seindah nama itu. Pernahkah Anda mendengar nama desa Ring O' Bells2 Desa Dentang Lonceng?"
"Ya... tetapi itu suatu desa kuno. Dekat kota Lillinghame, bukan?" tanya Bu Lynton.
"Benar," kata Nona Pepper.
"Aku punya saudara sepupu yang memiliki rumah sewa di sana. Aku yakin ia akan senang mendapat tamu anak-anak itu." Beberapa lama mereka mempertimbangkan kemungkinan tersebut. Makin lama makin terasa bahwa desa Ring O Bells memang sangat cocok bagi anak-anak itu. Disana terdapat kandang kuda sewaan sehingga anak-anak dapat berkuda, dan menurut Nona Pepper hawanya termasuk segar.
"Baiklah," kata Bu Lynton akhirnya, bersyukur bahwa segalanya ternyata bisa selesai dengan mudah.
"Dapatkah Anda menelepon saudara sepupu Anda itu dan mengatur segalanya" Kata-
dokter, minggu ini anak-anak sudah bisa bepergian. Aku bisa membawa mereka dengan mobil menjemput Anda, dan dari
tempat Anda menuju Ring O' Bells. Sungguh nama yang indah, dan kedengarannya penuh kedamaian dan ketenangan."
"Memang," sahut Nona Pepper, tetapi dalam hati segera bertanya-tanya apakah desa tersebut bisa dikatakan tenang dan damai bilasi Sinting dan ketiga anak itu ada disana. Masih untung ketiganya tidak ditambah dengan sahabat sirkus mereka Barney dan si monyet kecil Miranda!
Bab 2 DESA RING O' BELLS "Desa Ring O' Bells!" seru Diana gembira, saat ibunya memberitakan hal itu padanya.
"Oh, Ibu... kedengarannya sungguh indah! Aku pasti senang di sana. Bagaikan suatu tempat di dalam dongeng."
"Apakah di desa itu betul-betul ada lonceng?" tanya Snubby. Kini ia tampak makin kembali menjadi Snubby yang biasa, walaupun wajahnya masih sangat pucat di bawah rambut merahnya. Bahkan bintik-bintik merah di wajah itu tampak melenyap.
"Aku sangat suka menarik tali-tali lonceng gereja, membunyikan loncengnya sehingga berdentang-dentang berlagu."
"Kaukira mudah itu?" tukas bibinya.
"Tapi pokoknya aku gembira bahwa kalian suka pergi ke sana. Di sana kalian bisa naik kuda. Dan desa itu sebuah desa kuno yang penuh dengan dongeng dan cerita menarik."
"Bagus," kata Roger.
"Aku suka tempat seperti itu. Di situ kita pasti bisa menemukan suatu peristiwa yang sangat mengasyikkan."
"Aku tak ingin kau terlibat dalam peristiwa apa pun," kata ibunya.
"Aku hanya ingin kalian sehat
secepatnya agar bisa segera kembali bersekolah, agar tak banyak pelajaran musim panas yang tak
kalian ikuti." Sekolah pada saat itu tak menarik hati anak-anak
tersebut. "Aku yakin aku akan pingsan bila harus
menghadapi soal matematika saat ini, Bibi Susan," kata Snubby, mencoba untuk menimbulkan iba bibinya. la sangat senang dibelai dimanja oleh bibinya ini.la tak punya ayah-ibu, dan diantara para keluarganya, Bibi Susan ini dirasanya paling dekat dengan kasih sayang seorang ibu yang diinginkannya.
"Kukira bahkan sebaliknya, guru matematikamu yang akan pingsan melihatmu," kata bibinya tegas.
"Aku yakin ia bersyukur bahwa ia belum harus menghadapimu semester ini, Snubby."
"Kukira semester ini raporku tak akan begitu baik, Bibi Susan," kata Snubby lagi, dengan nada menyesal.
"Habis aku terlambat masuk sih. Tapi kuharap Bibi mengerti... dan kurasa sekali-sekali mendapat rapor buruk toh tak ada salahnya.... Bibi pasti mengerti, bukan?"
"Kurasa bukan sekali-sekali kau mendapat rapor
buruk, Snubby. Apakah kau telah lupa rapormu yang terakhir" Apakah aku harus menyebutkan beberapa angka di dalamnya?"
"Oh, tidak, terima kasih," kata Snubby cepat cepat, teringat beberapa angka yang cukup luar biasa di rapor tersebut. Ia mengalihkan pembicaraan,
"Kapan kita berangkat" Wah, pasti senang bisa naik kuda lagi, Bibi Susan, walaupun entah
bagaimana aku bisa menunggang kuda kini. kakiku masih terasa begitu lemas!"
"Kalau begitu biar saja yang lain berkuda, dan kau menunggu saja sampai kakimu sembuh betul," kata Bibi Susan tegas. Snubby diam-diam mengeluh. Saat untuk dibelai dan dikasihani telah lewat. Ia bisa tahu itu. Yah, tak apalah. la cukup banyak menikmati masa tersebut, walaupun berlangsung tidak cukup lama. Suatu pagi, setelah sarapan, mereka berangka
t Ketiga anak itu tampak pucat, tetapi mereka penuh semangat. Sungguh menyenangkan pergi ke suatu tempat yang jauh dan asing. Diana merasa kasihan pada teman-temannya yang harus bekerja keras saat ini disekolah. Rasanya untung juga kena flu, kalau hadiahnya bepergian seperti ini. Bu Lynton mengemudikan mobil. Diana duduk di sebelahnya. Roger, Snubby, dan tentu saja Sinting, duduk di belakang. Bagi Sinting, berada di dalam mobil membuat ia merasa wajib menjulurkan kepalanya sejauh mungkin ke luar jendela.
"Cobalah lebih cepat lagi, Bibi Susan," pinta Snubby.
"Aku ingin melihat telinga Sinting berdiri tertiup angin!"
"Jangan berbicara dengan pengemudi," kata Diana.
"Dan jangan biarkan Sinting menjulurkan badan ke luar jendela. la bisa masuk angin nanti"
"Tak mungkin," kata Snubby.
"Ia tak pernah masuk angin. Ia bahkan tak ketularan flu dari kita." Mereka mampir ke rumah Nona Pepper. Dan kini Diana pindah duduk dibelakang, Nona Pepper
duduk di samping ibunya. Anak-anak gembira bertemu lagi dengan wanita tua tinggi langsing dan selalu rapi itu, dengan mata yang cemerlang di balik kaca matanya. Senyumnya cukup manis dan membuat wajah yang sesungguhnya tampak kaku tersebut sesaat begitu ramah. -
"Ketiga anak ini tak selincah biasanya," kata Bu Lynton. Tetapi Anda pasti tak keberatan tentang itu, bukan" Si Sinting masih seperti biasa, bahkan kukira sedikit lebih sinting." Sinting begitu gembira melihat Nona Pepper. la mengangkat kaki depan, menaruhnya di punggung tempat duduk Nona Pepper, dan mencium cium tengkuk wanita tua itu sehingga terpaksa Nona Pepper cepat melindungi diri dengan tangannya.
"Apakah ia masih suka mencuri sikat serta menyembunyikannya?" tanyanya.
"Ya," kata anak-anak itu serempak.
"Kini bahkan handuk-handuk juga diserbunya, Nona Pepper." Nona Pepper mengeluh, diam-diam mencatat dalam hati untuk menyimpan handuk-handuknya di laci, tidak tergantung saja di gantungan handuk. la suka pada si Sinting, tetapi anjing itu sungguh sangat menggoda. Entah bagaimana tanggapan saudara sepupunya nanti. Ya ampun! la belum memikirkan hal itu!
Jauh juga perjalanan ke desa Ring O Bells. Lewat tengah hari mereka berhenti di pinggir jalan untuk makan. Kemudian ketika perjalanan dilanjutkan, ketiga anak tersebut tertidur di kursi
melelahkan. Kesempatan ini digunakan si Sinting untuk menjulurkan kepalanya sejauh mungkin ke luar, hingga bahunyapun berada di luar mobil. Ia sangat menikmati kebebasan ini.
"Kita sudah hampir sampai," kata Nona Pepper, memperhatikan peta di pangkuannya.
"Lihat bukit-bukit di kejauhan itu" Ring O Bells ada di balik bukit-bukit tersebut, di sebelah selatannya. Jadi cukup hangat walaupun termasuk dataran tinggi" Mereka mengitari kaki barisan bukit tadi dan desa itu terhampar di hadapan mereka. Rumah rumah dibuat dari batu bata, bangunannya kukuh kelihatannya. Anak-anak terbangun ketika desa tersebut semakin dekat.
"Kita hampir sampai," kata Nona Pepper berpaling pada mereka.
"Lihat... itu Pondok Hubbard. Sewaktu aku kecil, aku begitu yakin bahwa Ibu Hubbard" tinggal disitu. Dan disebelah sana terdapat gedung tua yang kini dijadikan museum. Museum Ring O Bells. Gedungnya dibangun pada abad keenam belas. Museum tersebut terbuka untuk umum, memamerkan bangunan tua itu beserta beberapa perabotannya yang juga masih kuno serta lorong-lorong rahasianya."
  "Lorong rahasia?" tanya Diana tertarik.
"Apakah umum juga boleh menontonnya, Nona Pepper?"
"Ya. Semua dipertunjukkan pada umum dengan bayaran enam pence," kata Nona Pepper.
" musim panas tempat itu menghasilkan banyak uang, sebab banyak orang-orang datang ke desa ini serta ingin mengetahui riwayatnya. Ada dua atau tiga pondok di RingO'Bells yang sudah amat kuno sehingga sangat mungkin sekali si Kerudung Merah" pernah tinggal di salah satu diantaranya."
"Desa Ring O' Bells, hutan Ring O Bells, Ibu Hubbard dan si Kerudung Merah... juga gedung dengan lorong rahasia!" kata Diana dengan mata membelalak.
"Wah, ini sungguh luar biasa."
"Desa ini desa biasa saja, yang ditinggali oleh orang-orang biasa," kata ibunya.
"Lihat... itu tempat penyewaan kuda. Aku yakin kalian akan lebih sering berada ditempat itu . Sudah tua dan agak usang dibagian belakangnya, tetapi kuda-kuda yang tampak di tempat merumput tampak bersih, sehat, dan terawat. Anak-anak merasa semangat mereka semakin berkobar. Akhirnya mobil membelok masuk ke sebuah jalan kecil, masuk ke halaman luas sebuah rumah batu yang besar dan kokoh sekali tampaknya. Besar sekali rumah tersebut dan seakan disambung-sambung dengan beberapa bagian tambahan. Di kebun ayam-ayam berlarian kesana kemari, dan di kejauhan terdengar itik meleter. Seekor anjing
menyalak keras berlari menyambut.
"Spaniel emas!" seru Snubby kegirangan, kemudian berteriak pada Sinting yang juga seekor anjing jenis spaniel namun berbulu hitam,
"Hei, Sinting! Lihat itu, saudara sepupumu. Apakah Anda tahu namanya, Nona Pepper?"
Tiba-tiba Nona Pepper tertawa.
"Ya. Namanya si Miring," katanya,
"karena ia sering berlari miring berputar-putar." Anak-anak pun tertawa - Miring dan Sinting, sungguh serasi benar!
Miring agaknya juga segila Sinting dalam hal meloncat-loncat, menyalak-nyalak, dan mencakari siapa saja. Seakan-akan ia sudah kenal semua, seakan-akan semua sahabat lamanya. Saudara sepupu Nona Pepper bergegas keluar, menyambut dengan tersenyum lebar. la mirip sekali denga Nona Pepper, hanya tubuhnya lebih pendek dan lebih gemuk. Juga senyumnya tak seceria senyum Nona Pepper. Namun anak-anak merasakan bahwa saudara sepupu Nona Pepper ini cukup menyenangkan - apalagi ternyata ia juga punya seekor anjing yang sangat tepat untuk menjadi teman Sinting.
Tak lama mereka telah berada di ruang makan, menghadapi meja makan yang sarat dengan berbagai macam makanan lezat-lezat. Bu Lynton melihat bahwa napsu makan anak-anak itu telah pulih. Mereka makan dengan sangat lahap. Juga tampak pipi Diana mulai berseri kembali, dan ia pun mulai bisa berbicara banyak seperti Snubby dan Roger.-
Sinting dan Miring duduk dengan tak sabar, berganti-ganti pindah tempat, dari dekat kaki seorang anak ke kaki anak yang lain, menunggu pemberian kelebihan makanan. Kadang-kadang mereka saling mencium-cium, tetapi sering juga Miring menggeram marah bila mengira bahwa makanan yang diterima oleh Sinting sesungguhnya diperuntukkan baginya.
"Dan kini," kata Bu Lynton ketika sudah selesai makan,
"kalian bertiga langsung pergi tidur. Perjalanan kalian lama dan melelahkan. Bisa kulihat bahwa kaki Snubby sekali lagi jadi lemah."
Ketiganya mula-mula menolak untuk pergi tidur, tetapi memang benar kata Bu Lynton, mereka amat lelah dan mengantuk. Snubby agak h
eran juga mengapa ia sudah ingin tidur. Apakah ia
sudah begitu tua" Segera mereka berbaring di tempat tidur masing-masing. Diana langsung tertidur. Malam itu ia tidur sekamar dengan ibunya, tetapi besok pagi Bu Lynton akan pulang dengan mengendarai mobilnya seorang diri. Dan setelah itu Diana akan berada sendirian di kamar tersebut. Roger dan Snubby berada dalam satu kamar - dengan Sinting juga, tentu. Sinting takkan pernah mau dipisahkan dari Snubby.
"Apakah kau punya alas kaki tua atau apa saja untuk alas tidur Sinting?"tanya Nona Pepper pada sepupunya.
"Agar anjing itu tidak merusak sepraimu. Mungkin sekali ia akan naik ke tempat
tidur anak-anak.... Kuharap kau tak gusar karenanya."
"Tahun lalu mungkin aku akan melarang mereka membawa anjing," kata sepupunya mengeluarkan selembar alas kaki tua. Tetapi dengan adanya Miring, banyak sekali yang kuketahui tentang anjing. la memang tak kuper kenankan tidur di tempat tidurku, tetapi ia tak bisa diusir dari kursi panjangku. Ini, Becky... bawa ini ke Snubby. Lucu sekali nama itu, bukan?"
"Itu nama julukannya, karena hidungnya begitu pendek," kata Nona Pepper, menerima alaskaki itu dan membawanya kekamar Snubby. Snubby telah tidur. Begitu juga Diana. Roger hanya mampu membuka matanya sedikit untuk mengucapkan selamatmalam, kemudian tertidurjuga. BuLynton menjenguk kekamar itu saat Nona Pepper sedang mengatur letak alas kaki tadi untuk alas tidur Sinting.
"Kuharap saja kali ini mereka tak terus menggoda Anda," kata Bu Lynton.
"Rasanya tak akan ada sesuatu yang terjadi di sini, bukan?"
"Kurasa tidak," kata Nona Pepper. Tempat tempat kuno yang sudah dilupakan orang. Tak akan terjadi apa pun di sini." Mestinya ia tak boleh berkata begitu. Sebab sama saja dengan mengharapkan sesuatu akan terjadi!
Bab 3 PONDOK IBU HUBBARD SEKAL ini anak-anak tidak bangun pagi-pagi. Bu Lynton telah lama berangkat saat Snubby membuka matanya! Tak seorang pun di antara mereka bertiga mendengar deru mobilnya keluar halaman. Tak ada yang mendengar ributnya ayam, tak ada yang mendengar salakan si Miring, atau kokokan ayam-ayam jantan. Snubby hanya terbangun karena si Sinting terus merongrongnya. Sinting tak sabar mendengar semua makhluk telah bangun sementara ia terkunci di dalam kamar bersama dua orang anak yang tertidur nyenyak. Ia menggaruk-garuk pintu, namun tak ada yang datang untuk membukakannya. Ia mendengar si Miring menyalak keras, dan tiba-tiba ia pun menyalak menjawab. Snubby terbangun, sementara Roger terus saja tidur nyenyak. Snubby bangkit, melihat jam. Jam sembilan lebih dua puluh lima menit! Ya ampun! Pernahkan ada orang bangun seterlambat itu" Ia langsung melompat turun dari tempat tidur, sama sekali lupa untuk mencoba dulu apakah kakinya kuat untuk berdiri atau tidak, seperti biasanya. Tetapi ternyata kedua kakinya kini sudah cukup
tangguh. Gemetar pun tidak. la pergi ke jendela, dengan si Sinting yang senantiasa mengikutinya, ekornya bergoyang-goyang keras sekali. Suatu pagi yang cerah diawal Bulan Mei. Kamar Snubby itu terbuka jendelanya ke arah halaman belakang, dan di halaman itu sungguh banyak yang bisa dilihat. Lusinan ayam mengais di sana-sini. Tiga ekor angsa besar ribut di sudut Itik berenang-renang di kolam bundar diluar halaman. Beberapa ekor menjungkirkan tubuh seperti kebiasaan itik-itik bila sedang berenang mencari makan. Seekor kucin
g berjemur diri di atas tembok, sambil terus berwaspada terhadap Miring yang selalu memberi kesan bahwa ia bisa meloncati tembok setinggi apa pun. Tentu saja anjing kecil itu tak bisa, tetapi si kucing tak pernah merasa yakin tentang hal itu. Malas ia menjulurkan kakinya panjang-panjang, kemudian mencuci muka secara seksama dengan jilatan lidahnya.
"Beginilah tempat yang sangat kusukai," kata Snubby, menggosok-gosokkan tangan.
"Banyak sekali yang bisa terjadi. Apakah yang berada di seberang kolam itu kambing" Dan dua ekor anaknya" Dan apakah itu keledai" Suatu hari aku pasti akan menungganginya."
"Guk!" kata Sinting, berusaha keras melihat ke luar jendela juga. Snubby mengangkatnya. Sinting melihat Miring di bawah sana, sedang mengikuti suatu bau agaknya. Sinting melonjak-lonjak kegirangan, ingin langsung melompat turun. Suara salakannya membuat Roger terbangun.
"Ayo, Roger, bangunlah!" seru Snubby.
"Sudah siang benar ini. Lihat, betapa menyenangkannya keadaan di sini. Berbagai macam binatang dan benda, dan si Miring di bawah sana sangat menunggu kedatangan si Sinting agaknya."
"Lebih baik lepaskan saja Sinting!" seru Roger gusar, menangkis Sinting yang mencoba menjilatinya.
"Suruh dia pergi! Sinting! Jangan keluarkan lidahmu!" Snubby membuka pintu. Sinting langsung melesat ke luar, menuruni tangga bagaikan hanya dengan sekali lompat. Di lantai bawah ia meluncur dengan kaki empat di lantai yang begitu licin, dengan cekatan menghindari tubrukan dengan sebuah meja, dan hampir saja bertubrukan dengan Nona Pepper yang baru saja datang dari kebun. Sebelum Nona Pepper bisa mengucapkan satu pa tah kata, Sinting sudah bergelut dengan Miring yang agaknya pamer berbagai kebolehannya.
"Sepasang makhluk gila," kata Nona Pepper seorang diri."Kukira itu berarti anak-anak itu sudah bangun." Didengar dari suara ribut di lantai atas, maka pastilah anak-anak itu sudah bangun. Nona Pepper memanggil saudara sepupunya,
"Hannah! Anak anak itu akhirnya bangun juga! Akan kuambilkan susu dari lemari es. Mereka sangat menyukai susu dingin."
"Oooh!" seru Snubby yang dalam waktu dua menit saja bisa langsung hadir di ruang makan. la ternganga melihat hidangan di meja itu.
"Ham dan tomat! Susis panas! Wah! Ini untuk sarapan" Wah, wah! Pasti kita betul-betul akan disuruh makan kenyang-kenyang seperti kata dokter. Sampai bosan makan! Tapi rasanya takkan bosan-bosan aku makan di sini. Bagaimana Anda, Nona Pepper?"
"Tidak makan pun aku tak bosan di sini," kata Nona Pepper.
"Dan ya, kalian harus makan sebanyak-banyaknya."
"Bagus! Aku toh tak usah menunggu yang lain, bukan?" tanya Snubby, duduk di kursi.
"Bolehkah aku mulai dengan bubur?"
"Ya, tentu," kata Nona Pepper, membantu Snubby mengambil porsi yang besar.
"Dan kau harus minum krim yang banyak! Itu perintah dokter. Kau kurus sekali. Aku tak suka bila kau kurus seperti itu."
"Wah! Betulkah aku boleh mengambil krim sebanyak aku suka?" Snubby langsung mengambil guci bergambar bunga, tempat krim.
"Seumur hidupku orang selalu melarangku menuang krim banyak-banyak.... Kalau kali ini aku boleh, yah, syukurlah!"
Hannah Pepper beberapa saat kemudian muncul untuk memeriksa apakah segalanya beres. Ia tampaknya senang melihat ketiga anak itu makan dengan lahap.
"Aku yakin, tak lama lagi semua daging mere
ka yang hilang akan kembali," katanya pada Nona Pepper yang merajut di dekat jendela. Tetapi kukira anjing itu tak patut diberi krim lagi, ia sudah begitu gemuk!"
"la hanya menjilati tanganku saja," kata Snubby.
"Nah, itu si Miring datang. Halo, Miring" Mau juga beberapa jilatan?" Tetapi bagi Miring agaknya krim bukanlah sesuatu yang dianggap mewah. la malah memandang rendah pada makanan itu. la mencium mulut Sinting, untuk melihat makanan apa lagi yang telah dimakannya. Miring tak keberatan Sinting berada di tempat itu. Tetapi itu tak berarti ia boleh saja makan makanan yang semestinya diberikan padanya!
"Bolehkah kami jalan-jalan dan melihat-lihat, Nona Pepper?" tanya Diana setelah mereka tak bisa makan lebih banyak lagi.
"Anda tak usah mengantarkan kami," tambahnya cepat-cepat, sebab tak akan menyenangkan berjalan-jalan menyelidiki apa saja yang ada, diiringi oleh seorang dewasa.
"Dan apakah ada buku tentang Ring O' Bells yang bisa kami baca" Buku petunjuk atau sebangsa itulah."
"Tidak, tetapi kukira wanita yang menjaga museum Ring O Bells yang kita lewati kemarin bisa menceritakan apa saja yang ingin kalian ketahui tentang desa ini," kata Nona Pepper.
"Bukan begitu, Hannah?"
"Ya, memang," kata saudara sepupu Nona Pepper yang kini sedang sibuk membereskan meja makan. Tapi sesungguhnya ia bukan orang asli sini. la seorang pendatang, yang telah membaca banyak hal tentang tempat ini di masa lampau. la memang telah belajar baik-baik tentang itu
sehingga saat tempat itu dibuka untuk umum, ia bisa menjadi seorang pemandu wisata yang terbaik - dan diserahi untuk menjadi pengurus gedung itu. la tahu segala hal tentang sejarah tempat ini, jauh lebih baik dari orang-orang yang asli berasal dari sini."
"Kami akan melihat-lihat ke sana juga," kata Rogger merasakan kehangatan sinar matahari di mukanya, sinar yang masuk lewat jendela.
"Agaknya liburan tambahan ini akan cukup menyenangkan. Bolehkah Miring ikut bersama kami, Nona Hannah?"
"Oh, ya," kata Hannah Pepper dengan rasa bersyukur,"bawalah dia. Ia mengganggu saja. Dan ia begitu senang mengambil alas-alas kaki! Lihat itu di luar... ia bahkan mengambil handuk orang, kini."
Snubby tiba-tiba punya perasaan bahwa pastilah si Sinting, dan bukannya si Miring, yang bertanggung jawab untuk munculnya handuk di halaman itu. la cepat-cepat keluar untuk mengambil kembali handuk tersebut. Ia berpapasan dengan si Sinting yang sedang lari membawa selembar handuk, dan cepat ia menegurnya,
"Sinting! Ini bukan rumahnu! Ini rumah orang lain! Kalau kau mulai membawa handuk kesana kemari, kau pasti diusir dari sini! Dengar" Kalau kau masih bandel juga, kami hanya akan bermain-main dengan Miring!"
Ekor Sinting lemas lunglai ke bawah. Dan ia memasang wajahnya yang paling sedih. SnubbyG
mengembalikan handuk-handuk yang ditemukannya, dan kali ini bertemu dengan Miring yang membawa selembar alas kaki. Agaknya ia mengambil benda itu dari kamar makan, sebab di situ memang banyak sekali ditaruh alas kaki untuk menutupi lantai kayunya. Snubby tidak menegur Miring. Biarlah. Itu bukan urusannya. Lagipula, makin nakal si Miring, makin tidak kentara kenakalan si Sinting! Ketiga anak tersebut berangkat. Berjalan dijalan setapak yang hangat oleh sinar matahari dan harum oleh bunga-bunga liar yang bermekaran. Bermacam bunga beraneka warna menghiasi padang-padang rumput sek
itar Ring O' Bells, membuat tempat tersebut semakin mendekati negeri dongeng!
Mereka sampai kepondok dengan dinding putih yang oleh Nona Pepper dijuluki 'Pondok Ibu Hubbard'. Dan memang nama itu terpasang di pintu pagarnya. Beberapa saat ketiga anak itu berdiri terpaku. Ibu Hubbard di dongeng pastilah tinggal di suatu daerah. Jadi... mengapa tidak di sini"
Pintu pondok terbuka. Seorang wanita tua berkerudung merah dan bergaun berbunga-bunga muncul, mengibaskan serbet. Wanita itu begitu mirip dengan Ibu Hubbard di dongeng sehingga tak terasa anak-anak itu ternganga heran. Dan wanita tersebut tersenyum
"Kalian anak-anak baru?" tanyanya dengan suara yang aneh tapi menyenangkan.
"Wah, agaknya kalian membawa cuaca baik ke sini!" Miring mencakar-cakar pintu pagar, mendesak ingin masuk. la mengenal suara tadi sebagai suara wanita yang begitu murah hati memberikan makanan. Sinting ikut mengintip ke balik pagar.
"Ah, itu si Miring, bukan?" wanita tadi bertanya.
"Tunggu, kucarikan tulang untuknya. Juga untuk anjing satunya itu."
"Dia pasti Ibu Hubbard!" bisik Diana.
"Entah dia punya anjing atau tidak. Kita tanyakan nanti." Mereka membuka pagar, dan masuk berjalan di jalan kecil berbatu kerikil, bertepikan barisan bunga-bunga. Di depan pintu rumah mereka menunggu, melihat-lihat ke dalam. Tetapi didalam suram, hampir tak tampak apa-apa.
"Masuk saja ke dalam!" terdengar suara dari dalam rumah. Mereka masuk, mata mereka masih silau oleh sinar matahari bulan Mei yang tadi begitu kemilau.
Pintu depan berhadapan langsung dengan sebuah kamar kecil. Dan Ibu Hubbard - mereka langsung menamakan wanita tadi dengan tokoh dongeng tersebut - berada di kamar itu. Diana
mencengkam lengan Roger, dan berbisik,
"Lihat! Ia punya lemari seperti yang ada di dongeng!" Ibu Hubbard berada di depan lemari yang agaknya tertanam ke dinding di belakangnya.
Tidak seperti di dalam dongeng, lemari ini penuh dengan berbagai barang-dan bahkan merangkap sebagai lemari makanan yang agaknya bisa lebih dingin kalau berada di dalam dinding batu itu.
Ia mengambil dua batang tulang, diberikannya pada Sinting dan Miring.
"Apakah Anda punya anjing?" tanya Diana saat wanita itu kembali ke ruang depan menemui mereka.
"Oh, tidak," kata Ibu Hubbard, tampak agak heran atas pertanyaan yang begitu mendadak itu.
"Tidak. Tetapi aku suka anjing. Seumur hidupku aku tinggal bersama kakekku, dan beliau tak suka pada anjing, sama sekali tak suka. Sebaliknya, aku suka, dan aku selalu menyediakan tulang untuk anjing yang datang kemari. Kakek tidak keberatan, asal anjing-anjing itu tidak mengganggunya di kebun di sana itu." Lebih heran lagi! Persis seperti dongeng, Ibu Hubbard ini juga punya kakek yang selalu berada di kebun!
"Bolehkah kami menemuinya?" tanya Roger.
"Pasti ia bisa bercerita dengan sangat menarik tentang masa-masa lalu, bukan?"
"Tentu, ia sudah berumur lebih dari seratus tahun," kata Ibu Hubbard.
"Tapi kini ia sedang tidur. Datang saja lain kali. la tahu banyak tentang riwayat Ring O'Bells-jauh lebih banyak dari yang bisa dibaca dan didengar oleh wanita penjaga museum itu! Itu sudah pasti!" Ini sangat menarik.
"Baiklah, kami akan datang kembali," kata Roger.
"Dan terima kasih banyak untuk tulang-tulang itu."
  Bab 4 MUSEUM RING O' BELLS SAMBIL melewati Pondok Hubbard yang aneh itu, anak-anak mengintip ke dalam kebun yang berdinding batu tinggi. Siapa tahu mereka bisa melihat 'Kakek Tua' itu.
Benar juga. Mereka melihat seorang lelaki tua, kecil, tidur di kursi dengan bersandarkan bantal. Di tangannya yang kurus kering penuh keriput terselip sebuah pipa tanah liat, panjang. Kepalanya hampir seluruhnya gundul, namun masih tampak beberapa rambut putih keriting di sana-sini. Hidungnya bagaikan sebuah titik saja di mukanya, tetapi alisnya tumbuh dengan sangat lebat dan liar, putih bersih menutupi matanya yang terpejam. -
"Tampaknya seram juga dia, kecuali hidungnya," bisik Diana.
"Lihat mulutnya, bibir bawahnya menjulur jauh melebihi bibir atas! Dan lucu sekali jenggotnya itu. Mungkinkah ia berumur seratus tahun?"
"Tampaknya bahkan dua ratus tahun," kata Snubby.
"Turun, Sinting! Kuperingatkan kau, Kakek tak suka anjing sinting seperti kau ini! Di, pegang si Miring itu. Kelihatannya ia akan melompati pagar!"
"Kita pasti akan mengunjunginya nanti," kata Roger.
"Seratus tahun! Pasti banyak yang bisa diceritakannya. Ia bagaikan sebuah buku sejarah hidup!"
Mereka melanjutkan perjalanan, dan sampai ke Museum Ring O Bells. Gedungnya sangat besar, megah, tetapi seram. Dibuat dari batu putih yang kokoh, seakan-akan bahkan bom juga tak akan dapat menghancurkannya.
Gedung itu punya dua menara, sebuah persegi, sebuah lagi berbentuk silinder-yang aneh sekali di mata anak-anak itu. Sebuah jalan berlapis batu-batu pipih berhenti di depan pintu besar berhiaskan paku-paku besi raksasa. Pintu tersebut terbuka.
Anak-anak masuk. Diikuti anjing-anjing mereka. Sebuah suara bernada dingin terdengar dari dalam,
"Anjing dilarang masuk. Ikatlah di luar."
"Mereka bisa menyalak-nyalak gila-gilaan," sanggah Snubby.
"Kalau begitu kalian tak usah masuk saja," kata suara itu. Mula-mula mereka tak tahu siapa yang berbicara. Ruang besar itu gelap, hanya diterangi oleh sebuah jendela sempit di ujung ruangan serta cahaya remang-remang dari pintu.


Komplotan Penculik Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian ketika mata mereka sudah terbiasa, terlihat yang berbicara itu seorang wanita, duduk di kursi di sisi ruang besar itu, merajut. la berpakaian rapi, berwarna hitam polos. Rambutnya yang penuh uban disisir lurus ke belakang, digelung &ketat. Badannya tak berbentuk, jari-jari tangannya tampak besar-besar.
Anak-anak tidak menyukai wajahnya. Mulutnya mungkin sedang menampilkan suatu senyum, tetapi matanya terasa memandang begitu dingin dan tajam. Berapa umurnya"Tak akan bisa diterka, pikir Diana.
"Kami kira siapa saja boleh masuk melihat-lihat museum ini," kata Diana akhirnya.
"Apakah kami tidak boleh?"
"Tentu saja boleh. Tetapi anjing tidak," kata pengurus museum.
"Dilarang keras. Tempat ini berisi banyak sekali barang antik yang sangat berharga. Kami tak ingin ada yang rusak oleh ulah binatang-binatang yang dibawa masuk kemari."
"Ya, kalau begitu memang cukup beralasan," kata Roger. Ia membawa Sinting dan Miring keluar. Kedua anjing tersebut juga tak suka berada di ruang suram tadi, ditambah lagi mereka tak menyukai pula nada suara si pengurus. Roger mengikat keduanya pada sebuah tonggak, menaruh tulang-tulang mereka di dekat tonggak tersebut, dan mengharap mereka tak mulai menyalak-n
yalak. Mereka pun memberikan uang ongkos masuk. Pengurus itu menerima uang tersebut, serta menuliskan jumlahnya pada buku besar yang terbuka dimeja di depannya. Kemudian ia bangkit. Anak-anak berjalan mengikutinya, meninjau ruang-ruang yang ada.
Suasananya terasa muram, bagaikan berada di sebuah tempat yang sudah lama ditinggalkan dan dilupakan orang. Tak terasa Diana menggigil, walaupun di luar hari sangatlah panas.
Pengurus museum itu menceritakan apa saja yang mereka lihat dengan suara seakan bosan, sehingga hal-hal yang sesungguhnya menarik terdengar begitu hambar
"Di tahun 1645 Hugh Dourley tinggal di gedung ini. Dan dialah yang menyebabkan tempat ini diberi nama Ring O' Bells, dentangan lonceng," katanya dengan nada datar.
"Kenapa?" tanya Snubby, akhirnya timbul juga rasa tertariknya setelah sekian lama.
"la menaruh serangkaian lonceng di menara selatan," kata si pengurus, mulai hangat juga. Lonceng-lonceng itu selalu dibunyikannya bila ada sesuatu yang menyebabkan ia gembira. Tetapi suatu malam lonceng-lonceng tersebut berbunyi sendiri - begitulah menurut cerita orang. Dan ternyata bukan untuk menandai suatu kabar gembira. Malam itu anak sulungnya terbunuh. Hugh Dourley tak mengetahui hal itu. Dan entah bagaimana lonceng-lonceng tersebut berbunyi tepat pada saat kematian sang anak."
Ngeri juga mendengarnya. Anak-anak kini berada di kaki menara selatan yang berbentuk persegi. Di situ terdapat anak tangga yang berputar-putar menuju ke atas Entah apakah mereka boleh menaiki tangga itu atau tidak.
"Ya, panjatlah ke atas," kata pengurus itu.
"Kalian akan melihat lonceng-lonceng yang tergantung di atas sana. Kata orang, lonceng lonceng itu masih tetap lonceng-lonceng yang terpasang di sana sewaktu Hugh Dourley hidup. Tetapi kurasa hal itu tak mungkin."
Mereka menaiki tangga tersebut. Begitu tegak, sempit, dan berbelit-belit. Sulit sekali.
Di puncak tangga terdapat semacam panggung kecil. Dari panggung tersebut anak-anak melihat serangkaian lonceng jauh di atas mereka, tergantung diam pada tali-tali yang kokoh.
Gatal tangan Snubby ingin membunyikan lonceng-lonceng itu. la memang sangat gemar melakukan sesuatu yang menimbulkan bunyi bunyian keras.
"Bolehkah kami membunyikan lonceng-lonceng itu?" tanyanya asal saja, sebab ia tahu betul apa jawabnya.
Si pengurus tampak heran.
"Tentu saja tidak," katanya.
"Apa kata orang-orang nanti?"
"Aku tak tahu," sahut Snubby.
"Bisa kita coba saja, kita bunyikan lonceng itu dan kita lihat bagaimana pendapat orang-orang."
"Lagipula dengan apa kau akan membunyikannya?" tanya Diana. Memang, tak ada tali dari lonceng-lonceng itu ke tempat mereka berdiri. Lonceng-lonceng itu tergantung tinggi, tak tercapai oleh apa pun."Lonceng-lonceng itu takkan berbunyi lagi," kata si pengurus.
"Menurut kepercayaan, bila lonceng itu berbunyi maka itu berarti Ring O'Bells sedang akan diserang musuh. Tetapi tentu saja itu kepercayaan tolol. Bagaimana lonceng bisa berbunyi tanpa tali penariknya?"
"Dan mana ada musuh yang menyerang ke tempat kecil terpencil ini?" tanya Diana.
"Roger, bukankah sungguh aneh menara ini, dengan lonceng begitu banyak tapi sama sekali tak bisa mengeluarkan suara?"
"Kedengarannya kau begitu kecewa," kata Roger.
"Bagaimana kalau kulemparkan sebuti
r batu ke atas sana" Pasti lonceng-lonceng itu akan berbunyi."
"Hei, jangan berbicara seperti itu," kata pengurus museum itu.
"Jika kalian nakal, maka silakan keluar saja."
"Aku hanya bergurau," kata Roger.
"Baiklah, mari kita turun. Ada tempat lain yang menarik?" Sejarah tempat itu ternyata penuh dengan riwayat hidup sianu atau sianu yang pernah tinggal di situ. Sungguh membosankan. Sambil mengantuk anak-anak itu terus berjalan mengikuti si pengurus. Tetapi suatu keterangan membuat mereka sangat tertarik.
"Lady Paulet pernah membuat sebuah bilik rahasia di dalam perapian ini," kata wanita itu, saat mereka semua berada di sebuah ruang kecil dengan perapian sangat besar. Semua ruang yang mereka masuki tadi memang mempunyai tempat
perapian yang besar-besar, cukup besar bagi
anak-anak itu untuk berdiri tegak di dalamnya, dengan kepala dan bahu berada di pangkal cerobong asap. Tak terdapat jelaga di situ karena perapian tersebut entah sudah berapa puluh tahun tak pernah digunakan lagi.
"Bilik rahasia!" seru Roger.
"Di mana?" Mereka semua memperhatikan perapian di depan mereka, tapi tak bisa mengira-ngira dimana bilik rahasia itu berada.
"Masuk dan lihatlah ke arah atas," kata si pengurus.
"Akan kalian lihat dua takikan di dinding, bagaikan telundakan. Bila kalian naik ke telundakan itu dan meraba-raba dindingnya, maka terasa ada suatu celah dibagian belakang perapian ini. Cukup untuk dimasuki seseorang, dan untuk bersembunyi di sana."
"Bolehkah kami masuk?" tanya Snubby, membayangkan sebuah bilik kecil, rapi, dengan meja dan kursi dan gelap pekat.
"Boleh saja," kata si pengurus, memberikan sebuah senter pada mereka. Roger masuk lebih dahulu. Disorotkannya senter ke arah cerobong asap itu, dan benar juga, tampak takikan berupa telundakan di salah satu sisinya. la memanjat naik, kemudian meraba-raba. Ditemukannya celah yang S disebutkan tadi. Cukup besar dan tinggi. Dengan mudah ia bisa memasukinya. Tetapi hanya begitu saja. Tak ada ruang lagi di sana. Hanya suatu tempat untuk berdiri merapat di dinding saja. Rasanya takkan cocok untuk bersembunyi Dikatakan ruang saja takbisa, hanya cukup besar untuk seorang dewasa berdiri! Dan alangkah sialnya ia yang bersembunyi ditempat itu kalau api di perapian dinyalakan!
"Pasti ia akan lemas tak bisa bernapas, atau hangus terbakar," pikir Roger, turun dan memberikan senternya pada Diana. Dibantunya Diana naik, tetapi begitu melihat celah tadi dengan senternya, Diana memutuskan unuk tidak jadi masuk.
"Ugh, seram," katanya,
"dan sangat kotor. Masa tempat seperti itu dibuat untuk sembunyi. Untuk satu orang saja mungkin sudah terlalu sempit."
Giliran Sriubby. Dan tentu saja ia memaksakan diri untuk memasuki celah tadi, untuk melihat kalau-kalau masih ada lagi yang bisa ditemukannya ditempat itu. Tetapi tak ada apa-apa. Tempat itu memang hanya sebuah tempat persembunyian sementara bagi seseorang yang dalam bahaya. Snubby mendapatkan tempat itu cukup besar baginya untuk bisa duduk. Yang lain menunggunya dengan tak sabar.
"Snubby, ayolah!" teriak Roger, yang tubuhnya jadi kotor karena masuk tadi.
"Nanti kau akan penuh kotoran!" Betul juga. Saat Snubby melompat turun dari celah persembunyiannya, dan keluar dari tempat perapian, mereka hampir tak bisa mempercayai apa yang mereka lihat. Tubuhnya penuh jelaga.
"Wah, Nona Pepper pasti menegurmu," kata Diana.
"Jangan dekati aku! Kau sungguh kotor...dan bau lagi! Selalu kau bisa menjadi jauh lebih kotor dari siapa pun! Jangan mendekat!" Snubby sendiri sangat tercengang melihat betapa kotor tubuhnya. Sekilas ia melihat wajah si pengurus yang seolah-olah merasa gembira ia mendapat musibah itu.
"Kurang ajar," pikir Snubby.
"Agaknya ia memang memberi kesempatan pada kami untuk melihat ke dalam, agar kami jadi kotor dan dimarahi bila pulang nanti!" Snubby mendekati wanita itu, mengibas ngibaskan pakaiannya sehingga debu dan jelaga beterbangan. Beberapa terbang ke arah pengurus itu yang dengan gusar mundur dan berkata,
"Pulanglah dan bersihkan badanmu!"
"Oh, tidak," Snubby langsung menukas.
"Oh, tidak! Kami belum melihat hal yang paling ingin kami ketahui. Lorong rahasia. Di manakah" Harap Anda tunjukkan pada kami."
Bab 5 LORONG RAHASIA -. Pulang kau, dan bersihkan badanmu dulu!" kata si pengurus dengan agak marah.
"Aku sudah bosan dengan kalian. Dan kalian pasti akan membuat kotor ruang-ruang ini dengan keadaan seperti itu."
"Itu salah Anda sendiri," kata Snubby, kembali mengibas-ngibaskan pakaiannya, lebih keras kini, hingga makin banyak debu yang beterbangan.
"Anda toh tahu bahwa tempat itu sangat kotor, tetapi mengapa Anda mengizinkan kami masuk" Ayolah! Kami sudah bayar masing-masing enam pence. Anda harus menunjukkan lorong rahasia itu. Di manakah?"
"Kembalilah besok bila kau sudah bersih," kata pengurus itu,
"dan akan kutunjukkan tempat tersebut." Tetapi Snubby kadang-kadang bisa sangat keras kepala.
"Aku akan berlarian ke seluruh ruangan yang ada, menyebarkan kotoran yang ada di bajuku," ancamnya,
"kalau Anda tidak menunjukkan lorong rahasia itu." Dan ditepuknya dadanya keras-keras, debu mengepul begitu tebal sehingga semua bersin-bersin karenanya.Wanita itu menggeram, tetapi tak berkatakata lagi. la kembali ke kamar depan, mengambil sekelompok kunci, dan membawa anak-anak
ke sebuah ruangan berdinding petak-petak . Dibukanya pintu kamar tersebut.
"Lorong rahasia itu dibuat tahun 1748," ia bercerita.
"Begitulah menurut sejarah. Saat itu kamar ini dilapisi dengan petak-petak papan ini Pintu masuk ke lorong rahasia itu terletak di salah satu petak kayu ini. Lorongnya berada dibalik dinding, sampai agak jauh, kemudian melengkung ke bawah, ke arah dasar rumah."
"Apakah menuju gudang di bawah tanah: tanya Roger."Tidak. Lorong itu menghindari gudang bawah tanah itu, membelok dan buntu," sahut sipengurus.
"Wah, lalu apa gunanya membuat lorong rahasia yang tak tembus ke mana-mana?" tanya Snubby.
"Sayang sekali."
"Mungkin dipakai sebagai tempat persembunyian," kata si pengurus.
"Untuk bersembunyi lebih banyak orang daripada yang bisa masuk ketempat persembunyian diperapian tadi. Nah, coba cari... di mana kira-kira lubang masuk lorong rahasia itu?"
Semua melihat berkeliling. Suasana agak gelap, karenakacajendela hampir tak tembus cahaya dan tidak terlalu besar. Lagi pula di luar banyak tanaman merambat yang mencegah masuknya cahaya.
: Snubby mulai mengetuk-ngetuk petak-petak kayu di dinding, sampai akhirnya ia berseru girang,
"Hei, di sini suaranya seperti kosong! Coba k
etuk "yang lain. Kemudian ketuk ini. Beda sekali,
kan?" Memang. Satu petak terdengar mantap berisi. Satunya kosong. Si wanita pengurus museum itu tampaknya sudah bosan akan tingkah mereka, memandang dengan pandang sedikit mengejek.
Snubby tak bisa menemukan jalan untuk masuk rong rahasia tersebut. Ia menekan di sini, " mendorong disana, menarik...takada yang terjadi. - akhirnya ia berpaling pada si pengurus.
"Kami menyerah. Coba Anda tunjukkan dimana jalan masuk ke lorong rahasia itu. Tersembunyi rapi sekali, kami tak bisa mencarinya."
"Lihat." Wanita itu mendekati lukisan kain di dekat perapian. Anak-anak cepat mengikutinya
"Tetapi dinding di sini tampaknya padat, kami sudah mengetuk-ngetuknya," kata Snubby.
Si pengurus tak menyahut. Ia mengulurkan tangan kewajah suram di lukisan tadi, wajah yang dilukis memakai sebuah ketopong besi di kepalanya, dan menekan salah satu lukisan paku di ketopong tadi - yang ternyata betul-betul suatu paku.
Lukisan besar tadi tak bersuara menggeser samping - sekitar sepuluh sentimeter. Cukup untuk memperlihatkan sepetak kecil papan dinding yang berbeda dengan dinding lainnya. pengurus menekan petak kecil tersebut, dengan mantap menggesernya ke samping Tempat itu tergeser, terbuka, menuju sebuah lubang kecil, hanya cukup untuk masuk tangannya.
"Coba raba bagian dalamnya," katanya kepada ketiga anak itu. Mereka berkerumun, tegang memikirkan bahwa mereka akan menyaksikan kehebatan suatu mesin yang dirancangkan oleh otak-otak sekitar dua abad yang lalu.
Semua merasakan ada sebuah tombol didalam lubang itu.
"Kini... kau, tekanlah tombol itu!" pengurus berkata, menyentuh tangan roger. Roger menekan keras, dan terasa tombol itu.
melenyap. Pada saat yang sama terdengar sesuatu gemertak lembut di balik petak dinding tak jauh dari tempat itu.
"Tombol itu menggerakkan sebuah pengungkit yang kemudian menggerakkan petak dinding yang lebih besar." Pengurus itu pergi ke petak dinding yang mengeluarkan suara berderak di belakangnya. Ditekannya petak dinding itu kuat-kuat. Perlahan petak tersebut bergeser masuk ke balik petak di sebelahnya, meninggalkan sebuah lubang besar ternganga, cukup besar untuk dimasuki seseorang. Si pengurus mengarahkan senternya ke dalam lubang itu.
"Nah, begitulah," katanya.
"Dan lihatlah, di dalamnya tak ada apa-apa. Hanya sebuah lorong kecil dibalik dinding. Beberapajauh sejajar dengan dinding, kemudian menurun dan buntu.
"Aku ingin masuk," kata Snubby, tentu, langsung melangkahkan kaki masuk. Si pengurus langsung menyeretnya mundur dengan kasar.
"Tidak!" katanya.
"Tak seorang pun diizinkan masuk. Kau tidak ingin badanmu lebih kotor lagi, bukan" Ayo! Keluar!" Snubby bersikeras untuk masuk. la ingin sekali menyelidiki lorong rahasia itu. Mengapa buntu" Mengapa hanya untuk sembunyi, dan bukan untuk lari" Ia tak percaya pada kata si pengurus. Wanita pengurus museum itu jadi marah.
"Aku akan melaporkanmu!" katanya, masih mencengkeram baju Snubby.
"Kau bisa membuatku dipecat! Ayo, keluar! Dan dengarkan, anjing- anjingmu menyalak-nyalak. Mungkin mereka berkelahi!" Snubby mendengar Sinting dan Miring menyalak-nyalak keras. Terpaksa ia menurut, keluar dari lubang itu. Tetapi dalam hati ia mengambil keputusan, apa pun yang terjadi ia akan menyelidiki lorong rahasia tersebut Ketiga orang an
ak tadi bergegas keluar untuk melihat apa yang membuat kedua anjing itu begitu ribut.Ternyata keduanya meributkan seekor anjing lain yang datang mencium bau tulang-tulang Sinting dan Miring serta melihat bahwa kedua anjing itu terikat. Dengan bebas ia berhasil mengambil salah satu tulang itu. Kemudian dengan mundur sedikit diluarjangkauan pemiliknya, enak-enak ia menggigitinya. Tentu saja ini membuat kedua ekor anjing spaniel tadi marah sekali.Tapi tali pengikat mereka begitu kuat. Mereka hanya bisa menyalak-nyalak bagaikan gila sampai Snubby keluar dan mengusir anjing pencuri itu.
"Bawa kedua anjingmu pergi!" kata si pengurus dari pintu depan gedung tersebut
"Dan jangan kembali lagi kemari Lagipula, memang semuanya sudah kalian lihat." Anak-anak pergi. Sinting dan Miring masih mencoba berlari untuk mengejar lawan mereka, hingga sulit Snubby memegang tali mereka.
"Ayolah!" katanya marah.
"Sinting! Kau hampir membuat lenganku copot! Untuk apa kau mau mengejarnya" Toh tulangmu sudah kembali?"
Tiba-tiba Roger melihat bahwa Diana begitu pucat. Cepat-cepat ia memegang lengan adiknya itu.
"Mari kita pulang saja. Ini hari pertama kita jalan-jalan sesudah begitu lama berbaring sakit. Mungkin kau masih lemah. Bersandarlah padaku." Akhirnya mereka sampai di rumah Nona Hannah. Nona Pepper sudah menunggu, makan siang sudah menunggu. Tetapi anak-anak itu telah hilang napsu makannya karena begitu banyak yang mereka alami pagi itu.
"Kalian tampak amat lelah," kata Nona Pepper agak gusar.
"Apa saja yang kalian lakukan?"
"Hanya bercakap-cakap dengan Ibu Hubbard, mengambil tulang untuk anjing-anjing itu, dan melihat-lihat Museum Ring O'Bells," kata Snubby, menjatuhkan badannya ke sebuah kursi," dan memeriksa tempat rahasia diperapian, dan lorong rahasia, dan..."
"Astaga! Betulkah kau lakukan itu semua?"tanya Nona Pepper.
"Dan mengapa kau begitu kotor" Lihat, kau membuat kursi itu begitu kotor: Kalau orang tidak tahu, pasti dikiranya kau baru saja masuk cerobong asap!"
"Dugaan yang sangat tepat, Nona Pepper kata Snubby.
"Oh, Nona Pepper, apakah aku harus mandi, ganti pakaian, dan lain-lainnya" aku lelah sekali!" la tak berpura-pura. Nona Pepper menepuk bahunya, dan sangat terkejut melihat debu mengepul begitu banyak Dasar Snubby. Bisa saja pulang dengan begitu kotor! Tetapi melihat ia
begitu lelah, Nona Pepper tak sampai hati menyuruhnya ganti pakaian. Apalagi mandi Napsu makan mereka juga hilang karena waktu sarapan tadi mereka makan begitu banyak dan sangat terlambat. Sehabis makan, mereka memaksa diri pergi ke kamar tidur. Entah bagaimana, Snubby berhasil berganti pakaian, memakai pakaian tidur, dan jatuh ke tempat tidur, langsung lelap.
"Flu itu agaknya membuat mereka lemas," kata Nona Pepper pada sepupunya, saat keduanya merajut di sore yang terasa begitu damai. Tak ada suara terdengar. Sinting tentu saja berada di kamar tidur Snubby. Dan Miring di kebun, mencoba berkali-kali meloncat ke atas tembok pagar untuk menyergap musuhnya, si kucing. Ketika waktu minum teh tiba, Nona Pepper berkata pada anak-anak itu,
"Kalian terlalu lelah berjalan-jalan pagi ini. Sehabis minum teh, main saja di kebun. Atau berilah makanan pada ayam-ayam Nona Hannah, serta mengumpulkan
telurnya." Mereka mulai menunjukkan kelahapan di meja makan. Dan sehabis makan mereka mengikuti petunjuk Nona Pepper ta
di. Tapi kedua anjing, si Sinting dan si Miring, tampaknya jadi semakin merajalela. Begitu ribut mencuri alas kaki, handuk, dan sikat dari sana-sini, terus berlarian ke sana kemari tak kenal lelah. Sewaktu anak-anak pulang dari mengambil telur, mereka melihat halaman kebun hampir penuh oleh hasil serbuan anjing
anjing kecil itu! Snubby langsung memberi hadiah tamparan dengan sebuah sikat rambut pada Sinting, begitu keras hingga dengan sangat kesakitan Sinting langsung bersembunyi kebawah kursi. Miring belum pernah melihat hukuman macam ini. la pun sangat ketakutan, lari lintang-pukang dan tak muncul lagi sampai waktu makan malam tiba.
"O, ya, bagaimana dengan Barney, sahabat kalian itu?" tanya Nona Pepper sewaktu makan malam.
"Ia pemain sirkus, bukan" la dan monyetnya - Miranda?"
"Ya, Barney. Ia bekerja di sirkus atau pasar malam. Dan monyetnya Miranda. Tapi kami tak begitu sering menerima berita dari dia. Dia selalu berkeliling, mengikuti pekerjaannya," jawab Roger.
"Siapa yang kalian bicarakan itu" Barney" Belum pernah kudengar nama itu," kata Nona Hannah, tertarik.
"Oh, dia sahabat kami," kata Roger.
"Ibu menyukainya, jadi itu berarti ia cukup baik. la tak punya ibu, dan berharap suatu waktu nanti ia bisa menemukan ayahnya. Ayahnya itu entah di mana. Menurut dugaannya, ayahnya seorang pemain drama.Tetapi yang sangat menarik tentang Barney adalah monyetnya, Miranda."
"Monyet!" Nona Hannah menggeletar sejenak.
"Ingat, aku sama sekali tak tahan melihat monyet. Mudah-mudahan temanmu itu tak terlalu cepat
menemui kalian. Mudah-mudahan ia tidak datang
kemari besama monyetnya." Tetapi harapan Nona Hannah itu ternyata tak
terkabul. Bab 6 SURAT DARI BARNEY. KETiga anak itu tak begitu terlambat bangun keesokan harinya. Mereka masih bisa sarapan bersama Nona Pepper dan Nona Hannah. Dan dekat piring Roger tergeletak sepucuk surat dengan tulisan yang sangat mereka kenal - tulisan Barney! Oh! Betapa menggembirakan! Roger menyambar surat itu.
"Sungguh aneh," katanya.
"Tadi malam kita berbicara tentang dia dan tahu-tahu suratnya tiba! Entah, mungkin tidak ia berkunjung kemari," katanya. Dirobeknya amplop surat tersebut, dan dibacanya isinya keras-keras, dengan Diana dan Snubby mendengarkan penuh perhatian.
"Roger, Dengan ini kukabarkan bahuva aku baru saja kehilangan pekerjaan Aku baru saja mempunyai suatu pekerjaan yang sangat menyenangkan. Coba terka, apakah pekerjaanku" Mengurus satu rombongan monyet disirkus!Miranda sungguh sombong karenanya, menganggap dirinya sebagai pemimpin mereka, atau paling tidak yang terpenting di antara semuanya.
Congkak sekali dia. Semua monyet di sirkus itu dianggapnya sebagai anak buah.
Penghasilanku cukup lumayan, tabunganku cukup banyak hingga kurasa cukup untuk kupakai bersenang-senang beberapa lama tanpa bekerja. Aku juga berpikir alangkah senangnya bila aku bisa bertemu dengan kalian. Sulitnya-apakah kalian sudah masuk sekolah atau belum"Kalau sudah, ya.apa boleh buat. Tetapi kalau belum, kurasa ada gunanya bagiku bertemu dengan kalian semua. Kalau kalian belum pulang, cepatlah kirim kabar padaku. Aku akan berusaha ke tempat kalian,
tak peduli betapapun jauhnya. Jelas aku tak bisa mengabaikan sobat-sobat baik seperti kalian begitu saja.
BARN EY Miranda titip salam!"
Dengan mata bersinar-sinar kegirangan ketiganya saling pandang.
"Barney akan datang!" kata Roger gembira.
"Kita harus memintanya datang ke Ring O Bells ini! Sungguh untung kita terlambat masuk sekolah, hingga bisa bertemu kembali dengannya." -
"Barney tak boleh datang kemari dengan monyetnya," kata Nona Hannah tegas.
"Aku tak mau rumahku dimasuki monyet Kalau anak itu bisa menitipkan monyetnya pada orang lain, maka kapan saja ia boleh kemari. Tetapi dengan monyet - tidak!"
"Oh!" Ketiga anak itu tertegun. Mereka tahu bahwa Barney takkan mungkin mau berpisah dengan Miranda. Sama sekali tak mungkin!
"Mungkin ia bisa tinggal di salah sebuah rumah di desa," usul Nona Pepper, melihat betapa kecewanya anak-anak itu
"Betul juga. Dan kalau melihat cuaca begitu cerah seperti hari-hari ini, hangat lagi, rasanya Barney takkan menolak untuk tidur di tempat terbuka," kata Diana, teringat bahwa Barney jarang memerlukan atap di atas kepalanya.
"la dengan mudah bisa menemukan gudang yang tak terpakai, atau tumpukan jerami."
"Terserahlah," kata Nona Hannah.
"Pokoknya aku tak mau ia datang kemari dengan monyetnya. Becky, kau harus menjaga agar monyet itu tidak masuk kemari, ya?" Nona Pepper mengangguk pada sepupunya.
"Ya, Hannah, jangan khawatir. Monyet itu takkan masuk kemari, walaupun sesungguhnya ia sama sekali tidaklah jahat. Aku sendiri tidak merasa takut padanya." Nona Hannah mendengus.
"Pokoknya aku tak suka monyet," katanya.
"Dan pada usiaku sekarang ini aku takkan mencoba untuk menyukai seekor monyet." Anak-anak pergi ke kebun setelah merapikan kamar masing-masing. Diana membawa pulpennya. Roger membawa kertas serta amplop. Snubby seperti biasa, tidak membawa apa-apa. la hanya melihat saja dan kadang-kadang mengusulkan yang tidak-tidak bila mereka sedang menulis surat.
"Barney," tulis Diana,
Terima kasih untuk suratmu. Mungkin kau heran membaca alamat kami. Kami kena flu, dan dikirim kemari untuk mendapat udara segar. Snubby dan Sinting juga. Tetapi Sinting tidak kenaflu. Disini ada seekor anjing bernama Miring, yang sangat cocok untuk dijadikan teman Sinting, sebab dia pun sangat gila."
"Katakan pada Barney bahwa ia suka sekali mengambil semua alas kaki di rumah ini," kata Snubby.
Diana tak memperhatikannya. Ia meneruskan menulis, dan Roger dan Snubby memperhatikannya dari balik punggungnya. Napas Snubby menghembus-hembus tengkuknya.
"Kami begitu lemah karena flu itu..." tulisnya. Dan Snubby menyela,
"Katakan padanya kakiku serasa lenyap."
"Kaupikir hal itu akan menarik baginya?" tanya Diana kesal.
"Siapa yang akan tertarik pada kakimu" Dan jangan mendengus-dengus begitu. Kau mirip Sinting saja." Sinting mendengar namanya dipanggil, dan melonjak membentur tangan Diana sehingga pulpennya membuat coretan tebal di kertas itu.
"Sialan, Sinting! Padahal sudah kutulis rapi-rapi.... Tapi Barney pasti tahu bahwa ini hasil ulahmu! Turun!"
"Teruskan, Di," kata Roger.
"Apakah kau akan menceritakan padanya bagaimana harus sampai ketempat ini" Mungkin ia tak tahu dimana tempat ini."
"Kalau ia ingin menumpang kendaraan yang lewat, apa gunanya hal itu?" kata Diana.
"Aku akan menulis, Tunjukkan alamat ini pada siapa pun yang akan kautumpangi
mobilnya, dan ia akan mengatakan padamu apakah ia akan lewat tempat ini atau tidak.'"
"Katakan padanya tentang terowongan rahasia itu," kata Snubby.
"Ia pasti tertarik."
"Apa aku ini menulis buku atau surat?" tukas Diana.
"Segala macam harus kutulis! Dan jangan menghembus-hembus tengkukku seperti itu! Aku akan mengakhiri surat ini. Sudah terlampau
panjang!" Berakhir juga surat itu, dengan kalimat,
"Kami di sini dengan Nona Pepper. Kau ingat dia, kan" Kami tinggal di rumah saudara sepupunya, Nona Hannah. Nona Hannah tak suka pada monyet, maka terpaksa kau tak bisa tinggal bersama kami. Tapi tentunya bisa diatur nanti, di mana kau tinggal. Salam untuk Miranda.
Sahabat-sahabatmu, Diana, Roger, Snubby.
N.B. - Sinting titip Guk-nya yang terbaik."
Semua tanda tangan. Diana bernapas lega.
"Nah, selesai sudah. Aku paling tidak suka menulis surat, tetapi sungguh menyenangkan bisa berkata pada Barney untuk segera datang kemari. Untung juga kita tidak pergi ke sekolah." Mereka mengeposkan surat tersebut serta mengira-ngira kapan Barney akan menerimanya.
"Mungkin besok," kata Roger.
"Dan mungkin sekali ia langsung berangkat. la cukup cerdik untuk mencari tumpangan kendaraan. Jadi jika segalanya lancar, bisa jadi lusa ia telah tiba di sini." Ini sungguh menggembirakan. Mereka merasa ada sesuatu yang bisa ditunggu, jadinya tidak bosan tinggal di tempat itu. Mereka membayangkan wajah Barney - dengan matanya yang biru cemerlang dan berjarak
lebar, serta wajah lucu Miranda. Ya, sungguh menyenangkan bisa bertemu lagi dengan mereka. Pulang dari mengeposkan surat, mereka melewati Pondok Ibu Hubbard. Wanita tua pemilik pondok itu berada di halaman depan, memetik bunga. la tersenyum pada mereka.
"Selamat pagi, Ibu Hubbard!" sapa Snubby, sesaat lupa bahwa itu bukanlah nama wanita tersebut. Roger dan Diana langsung memukulnya, memberi isyarat. Snubby jadi kaget juga, gugup.
"Oh... maksudku... yah, selamat pagi, Nyonya!" Wanita tua tersebut tertawa."Takapa. Panggillah aku Ibu Hubbard, bila kalian suka nama itu," katanya. Tak ada bedanya bagiku. Dan seperti di dongeng itu, aku juga punya lemari. Walaupun lemari tersebut tidak kosong."
"Apakah kakek Anda tidur?" tanya Roger, tiba-tiba teringat pada lelaki sangat tua dengan wajah aneh itu.
"Coba kulihat dulu," kata Ibu Hubbard, bergegas ke balik rumah. Tak lama ia kembali dan berkata,
"Tidak, dia tidak tidur. Kalian boleh berbicara dengannya. Ingatannya tajam, tentang kejadian kejadian di masa lampau. Tapi ia sering mengulangi ceritanya dan malahan cepat lupa pada peristiwa yang baru terjadi. Misalnya saja... ia tak tahu apa yang baru saja dimakannya saat makan siang." Mereka terpaksa mengikat Sinting dan Miring di luar. Kakek tak suka anjing. Ibu Hubbard mengantar mereka lewat pintu belakang yang kecil
ke kebun kecil di belakang. Si Kakek Tua sedang duduk di kursi berbantal, enak-enak menghisap pipa panjangnya.
"Selamat pagi," sapa ketiga anak itu, sekali lagi kagum akan alis mata yang begitu gondrong, sehingga matanya hampir tak tampak!
"Selamat pagi untuk kalian semua," kata Kakek Tua pada mereka, mengacungkan gagang pipanya ke tanah.
"Duduklah, dan katakan siapa nama kalian. Rasanya aku belum pernah melihat kalian."
Mereka memperkenalkan diri. Kakek
Tua itu tertawa mendengar nama Snubby - yang berarti hidung pendek - dan berkata,
"Ah, kau pastilah dijuluki begitu karena hidungmu yang mencuat ke atas, ya" Kaulihat hidungku" Persis kancing baju, bukan" Dan begitulah. Aku dijuluki si Kancing. Dan jadilah namaku Kancing, Kancing Dourley. Akutak ingat lagi namaku sebenarnya. Mungkin John, mungkin Joe. Tetapi kini namaku Kancing Dourley. Begitulah, hidungku memberiku nama, seperti hidungmu memberimu nama!" Dan ia tertawa terkekeh-kekeh. Suaranya aneh, seperti ayam yang baru saja bertelur, berkotek-kotek.
Apa yang dikatakannya sangat menarik. Tibatiba mereka memasang telinga baik-baik. Bukan karena nama Kancing itu. Tetapi nama 'Dourley'. Di mana mereka mendengar nama itu" Seperti pernah mendengarnya.
Diana yang mula-mula teringat
"Hugh Dourley!" katanya keras.
"Ya, Hugh Dourley!"
Si Kakek Tua mendengar suaranya. Dan alis matanya terangkat sangat tinggi. la menuding Diana dengan ujung pipanya.
"Namakulah yang kauucapkan tadi, Nona Cilik," katanya.
"Ya, Hugh! Bukan John ataupun Joe. Namaku Hugh! Bagaimana aku bisa melupakannya" Tapi bagaimana kau bisa mengetahuinya, Nona Cilik?"
Diana ingat bahwa ia mendengar nama itu waktu berada di Museum Ring O' Bells. Ya, si pengurus saat itu berkata,
"Di tahun 1645 Hugh Dourley tinggal di gedung ini. Dan dialah yang menyebabkan tempat ini diberi nama Ring O Bells."
Diana menjawab pertanyaan Kakek Tua,
"Kami dengar ada seseorang bernama Hugh Dourley di Gedung Ring O Bells. Ratusan tahun yang lalu. Karenanya kami agak terkejut sewaktu mendengar nama keluarga Anda 'Dourley."
Orang tua itu lemas bersandar di kursinya. Matanya separuh tertutup.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba ia membuka mata, dan mendekatkan kepalanya ke arah anak-anak itu, seolah-olah apa yang hendak dikatakannya adalah suatu rahasia besar.
"Hugh Dourley adalah kakek-moyangku," katanya, hampir berbisik.
"Aku tak tahu bagaimana urutannya, tetapi ia kakek-moyangku. Ya, aku adalah anggota keluarga Dourley dari Ring O' BelIs itu. Aku tahu betul tentang gedung yang kini dijadikan museum
itu. Bahkan hal-hal yang tak diketahui orang! Mungkin bisa kuceritakan sedikit pada kalian.
Sedikit saja!" Bab 7 DONGENG KAKEK TUA ANAK-anak itu bukan main gembiranya. Beberapa saat mereka memandang penuh harap pada Kakek Tua itu. Kemudian Diana berkata,
"Betulkah Anda mau bercerita tentang Gedung Ring O'Bells itu" Tempat itu sudah tua sekali, dan seperti menyimpan begitu banyak rahasia. Kami melihat tempat persembunyian di dalam perapian dan ..."
"Oh, itu!" kata Kakek Tua dengan nada mengejek.
"Itu bukan apa-apa. Aku yakin belum pernah ada yang bersembunyi di tempat itu."
"Dan kami melihat petak dinding bergeser," kata Snubby tak tentu ujungnya.
"Tapi wanita tua yang mengurus tempat itu tak memperkenankan kami
masuk." "Ah, aku sudah begitu sering masuk ke sana,"
kata Kakek Tua menahan tawa.
"Apakah kegunaan tempat itu?" tanya Roger.
"Apakah tempat bersembunyi saja, dan buntu seperti kata wanita itu?"
"Buntu?" Kakek Tua heran.
"Tidak! Siapa bilang" Apa gunanya lorong rahasia bila hanya berakhir buntu" Tidak, Tua
n, lorong rahasia itu jalan untuk melarikan diri, berabad-abad yang lalu.
Di zaman itu ada kalanya suasana aman dan damai, tetapi ada kalanya penuh pergolakan. Dan para penghuni RingO'Bells tahu bahwa setiap saat musuh bisa datang - atau gerombolan perampok, misalnya - atau orang-orang yang datang untuk membalas dendam. Kakekku berkata, zaman itu sungguh kejam."
"Kakek Anda?" kata Diana penuh kagum.
"Wah, pastilah itu terjadi lamaaaa sekali. Berapakah umur Anda sewaktu kakek Anda itu bercerita?"
"Mungkin itu terjadi seratus tahun yang lalu," kata Kakek Tua.
"Ratu Victoria sedang bertahta. Kata orang beliau pernah berkunjung ke Gedung Ring O Bells itu. Tapi aku tak ingat, apakah itu benar atau tidak."
"Teruskanlah," kata Diana.
"Berapa umur kakek Anda waktu itu?"
"Oh, waktu itu ia masih muda." Kakek Tua sekali lagi seakan menyembunyikan kegeliannya.
"Mungkin sekitar enam puluh tahun. Tetapi yang jelas ia telah banyak mendengar cerita tentang tempat itu dari kakeknya."
Ketiga anak itu ternganga, memperhatikan betapa mata Kakek Tua itu tertutup perlahan di balik kelebatan alis matanya. Agaknya ia kembali ke masa silam, yang baginya tentu begitu dekat dan mudah dijelajahi lagi. Aneh sekali untuk bisa melihat sejarah bukan dari buku sejarah!
Diana lembut membelai tangan keriput itu.
"Apakah Anda lelah" Bisakah Anda bercerita lebih
banyak lagi tentang cerita kakek Anda yang didapatnya dari kakeknya?" Dan berbagai cerita campur aduk keluar dari mulut orang tua itu.
"Di zaman dahulu, banyak sekali serigala berkeliaran di sini," katanya. Langsung mengingatkan anak-anak itu pada dongeng 'Si Kerudung Merah (yang sewaktu berkunjung ke rumah neneknya di tengah hutan ditipu oleh seekor serigala besar).
"Di zaman saat di sini serigala merajalela, datanglah musim dingin yang panjang. Tanah begitu keras karenanya, hingga bila dipukul dengan palu, keluar percikan api. Tetapi tentu saja itu hanya dongeng. Suatu hari rombongan serigala
datang ke Ring O' Bells, mencari ternak, mencari.
ayam, dan mencari manusia juga."


Komplotan Penculik Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Seram sekali!" kata Diana, bergetar seluruh badannya. Tetapi itu pasti terjadi puluhan tahun yang silam, bukan?"
"Sudah kukatakan ini terjadi di zaman kakeknya kakekku," kata Kakek Tua dengan tak sabar karena diputuskan ceritanya.
"Saat itu semua sudah tidur. Gerombolan serigala makin lama makin dekat. Mereka sudah begitu dekat dengan Pondok Mak Barlow dekat rimba Ring O Bells. Mereka bersiap menyerang wanita tua itu. Dan tahukah kalian apa yang terjadi?" Tiba-tiba Kakek Tua duduk tegak, sehingga anak-anak itu terkejut terlompat.
"Tiba-tiba saja lonceng-lonceng itu berbunyi! Keras sekali, sehingga semua orang terbangun!"
Kembali Kakek Tua bersandar pada kursinya. Diam. Anak-anak menunggu, tetapi ia tak berbicara lagi sehingga akhirnya terpaksa Diana bertanya,
"Dan karenanya orang-orang mendengar lolongan serigala-serigala itu, mengusir mereka, dan menyelamatkan Mak Barlow?" Ia merasa tentu begitulah akhir cerita tersebut.
"Ya, begitulah," kata Kakek Tua seakan terbangun lagi semangatnya.
"Tetapi ada yang sangat aneh, Nona Cilik. Takada seorang pun yang membunyikan lonceng itu! Lonceng itu berbunyi sendiri!" Berdiri bulu kuduk Diana.
"Begitu juga kata si pengurus m
useum itu," ia mengingat-ingat.
"Ia berkata lonceng-lonceng itu berbunyi sendiri sewaktu anak Hugh Dourley terbunuh di suatu malam - dan sejak itu selalu berbunyi dengan sendirinya bila musuh datang keRing O'Bells. Dan karena serigala itu musuh desa kecil ini, tentu saja lonceng-lonceng itu berbunyi. Betapa seramnya!"
"Apakah lonceng-lonceng itu juga pernah berbunyi tanpa dibunyikan pada saat-saat lainnya?" tanya Snubby.
"Oh, ya," kata Kakek Tua.
"Pernah terjadi sekali, saat gerombolan perampok hendak menyerang di suatu malam. Kemudian sekali lagi terjadi pada saat tentara datang untuk menangkap James Dourley. Ini terjadi di zaman kakekku sendiri. Sering ia menceritakannya padaku. Tiba-tiba saja lonceng berbunyi, dan si James Dourley langsung lari masuk lorong rahasia itu."
"Lorong rahasia itu... yang kami lihat kemarin," kata Roger,
"jadi tidak buntu?"
"Tentara mengejarnya," Kakek Tua melanjutkan ceritanya.
"Mereka menyusul masuk ke lorong tersebut. Tetapi si James Tua lolos."
"Lorong rahasia itu berujung di mana?" tanya Roger, bingung juga mendengar cerita itu.
"Tidak buntu?" "Tanya Mak Barlow!" Si Kakek tua tertawa aneh lagi.
"Ia tahu tentang itu."
Ketiga orang anak itu saling pandang, makin bingung.
"Tetapi kata Anda tadi Mak Barlow hidup di zaman gerombolan serigala ada di sini," kata Diana.
"Tak mungkin sekarang masih hidup, bukan?"
"la masih ada di sini," kata Kakek Tua.
"Di pondok tuanya. Tanyakan padanya. la tahu. Aku tak mau membuka rahasia terlalu banyak."
Pastilah orang tua ini sudah mulai tak beres pikirannya, pikir Diana. Mungkin ia sudah begitu lelah sehingga mencampur adukkan masa lalu dengan masa kini.
"Apakah Anda tak tahu di mana lorong rahasia itu berakhir?" Diana mencoba lagi.
"Di gudang bawah tanah" Atau..."
"Di Mak Barlow," kata Kakek Tua dengan keras kepala.
"Begitulah dulu, waktu aku masih anak-anak. Aku dan Jim, kakakku, masuk kesana. Dan kami temukan beberapa buah buku tua."
"Di mana" Di lorong rahasia atau di rumah Mak Barlow?" tanya Roger mendesak.
"Di dalam lorong rahasia," bisik Kakek Tua seakan-akan itu suatu rahasia.
"Ada sebuah lemari kecil di sana. Tersembunyi. Aku dan Jim membukanya. Banyak buku. Dan kertas-kertas. Serta sebuah kotak kayu berukir. Aku tak ingat lagi, apa lainnya."
"Anda mengambil benda-benda itu?" tanya Snubby. Tetapi kemudian ia menambahkan,
"Mungkin tidak, sebab benda-benda itu bukan milik Anda."
Kembali Kakek Tua terdiam, seakan-akan lama sekali menjelajahi masa lalunya. Kemudian ia bergumam tak jelas.
"Tapi bukankah kami, aku dan Jim, keluarga Dourley" Bukankah walaupun kami tinggal di pondok kecil di luar gedung agung itu kami tetap Dourley" Siapa yang mengerti tentang barang barang kuno itu" Tak ada harganya. Kami kira hanyalah milik orang-orang Dourley jauh sebelum kami. Disembunyikan di situ entah berapa ratus tahun, tak ditemukan orang. Dan kami juga Dourley. Jadi mengapa tidak boleh kami mengambilnya?"
Tentu saja anak-anak itu bisa mengajukan seribu satu alasan mengapa orangtua itu tak boleh mengambil apa yang bukan haknya. Tetapi mereka diam saja. Yang penting, apakah benda benda itu masih ada"
" Diana berbicara l embut pada orang tua yang terus bergumam itu, seperti berbicara pada seorang anak kecil,
"Kakek Tua, jangan Anda risaukan hal itu. Bisa saja Anda mengambilnya, membawanya keluar. Apakah benda-benda itu masih ada?" -
"Ya."Tiba-tiba bersinar mata tua yang berair itu.
"Jimmy mengambil kotaknya, aku mengambil bukunya."
"Buku itu tentang apa?" tanya Roger. Orang tua itu mendengus pendek.
"Mana aku tahu" Aku tak bisa membaca. Aku tak pernah bersekolah, tetapi toh tak ada ruginya!" Sungguh mengecewakan. Diana mencoba lagi,
"Lalu dimana buku-buku itu sekarang" Masih ada di sini?"
"Tanya cucu perempuanku," kata Kakek Tua
"Ia menyimpan semua barangku. Tetapi apa gunanya buku-buku kuno itu. Aku yakin ia telah membakarnya."
"Kakek, tolong ceritakan kemana lorong rahasia itu!" pinta Snubby. Si Kakek menggeram begitu hebat sehingga Snubby mundur selangkah.
"Aku dan Jim dipukuli karena masuk ke lorong tersebut," katanya.
"Kami membanggakan pengalaman itu. Dan Tuan Paul Dourley, pemilik Gedung Ring O Bells waktu itu, langsung memegang kami, dan mencambuki kami sedemikian rupa sehingga kami terpaksa menjerit-jerit minta ampun. Ia mengancam, kalau kami sampai
membocorkan rahasia lorong itu, maka kami akan diusir dari desa ini, diusir langsung ke luar negeri, dijual sebagai budak. Aku dan Jim ketakutan setengah mati. Aku tak mau bicara tentang hal itu lagi. Kalian bisa membuatku sengsara. Siapa sih sebenarnya kalian?" Suaranya makin lama makin keras, dan ia separuh berdiri kini.
"Tapi... Anda pasti sudah tahu siapa kami," kata Diana ketakutan.
"Kami hanya tiga orang anak.... Cucu Anda pasti telah bercerita tentang kami, nama kami, dan segalanya. Kami toh tak akan mencelakakan Anda!" Tetapi orang tua itu begitu tenggelam di masa lalu sehingga tak bisa mengingat-ingat lagi masa kini. Ia memperhatikan ketiganya dan kembali duduk.
"Siapa kalian" Kalian cuma ingin tahu rahasiaku, untuk menjebakku!" Suaranya begitu keras kini sehingga cucunya, Ibu Hubbard, bergegas datang.
"Sudah, sudahlah, Kakek, jangan marah marah," hiburnya.
"Dan jangan takut, Anak-anak. Pasti ia baru saja bercerita tentang pengalaman masa lalunya, ya"la selalu begini bila teringat masa lalunya...."
"la mengira kami ingin membongkar rahasianya," kata Diana hampir menangis.
"Padahal kami hanya tertarik saja."
"Tak apa, tak usah khawatir," kata Ibu Hubbard.
"Kakek sering tak bisa menentukan dengan tepat
saat suatu peristiwa terjadi, dan sering ia merasa salah atau ketakutan terhadap sesuatu di zamannya dulu... Itulah yang membuatnya gusar. Tapi ia segera lupa akan hal itu." Didudukkannya kembali orang tua itu, kemudian ia membawa anak-anak keluar dari kebun, masuk ke dalam rumah. Mereka melihat berkeliling kalau-kalau bisa melihat buku tua yang diceritakan Kakek Tua tadi. Tetapi mereka tak melihatnya dan merasa tak baik bila mereka bertanya tentang itu, mengingat mereka telah membuat Kakek gusar seperti itu.
"Aku harus segera mengurusnya," kata Ibu Hubbard, di pintu luar.
"Kapan-kapan kalian boleh
datang lagi." Bab 8 PAGI HARI DI DESA KETiga anak itu melanjutkan perjalanan, masih merasa sangat tertarik pada pembicaraan mereka barusan. Mereka sampai ke depan
gedung yang kini menjadi museum, sementara Sinting dan Miring berlarian berputaran di sekeliling mereka, merasa begitu gembira akhirnya bebas dari ikatan walaupun sekali lagi Ibu Hubbard memberi mereka tulang. Anak-anak memperhatikan gedung besar tersebut.
"Aku takkan merasa senang tinggal di sana," kata Diana.
"Begitu muram, jendelanya terlalu kecil-kecil, dinding dan lantainya terlalu dingin - ugh! Pasti sungguh tak menyenangkan tinggal di sana."
"Sementara kita ketakutan terus, sebab setiap saat lonceng itu akan berdentang-dentang," tambah Snubby,
"Aku pasti mati ketakutan. Bagaimana lonceng-lonceng itu bisa berbunyi sendiri" Siapa yang membunyikannya" Maksudku - tak mungkin kan ada lonceng bisa berbunyi sendiri?"
"Takusah berbicara tentang itu lagi," kata Diana, menggigil, ketakutan.
"Aku yakin itu semua
hanyalah dongengan belaka. Yang tak pernah terjadi." Wanita pengurus museum itu muncul, menyapu bagian depan gedung tersebut. Ia melihat anak-anak itu. Sinting seperti biasanya bila melihat orang menyapu segera berlari mendekat, mengira ia diajak bermain-main. Si pengurus langsung menghantamnya dengan sapu tersebut. Tetapi ini malah membuat gembira Sinting, yang melompat menghindar dan kemudian menyambar sapu itu, mengira ini suatu permainan baru. Miring tak mau tinggal diam, berlari menyerbu ikut bermain. Sipengurus menjadi marah, tapi juga setengah takut. Dia memukul-mukul kalang kabut dengan sapunya. Dan kedua anjing tadi merasa semakin gembira bermain dengannya.
"Sinting! Miring! Kembali!" teriak Roger. Dan kedua anjing itu dengan patuh kembali. Wanita tua pengurus museum itu memandang marah pada anak-anak itu.
"Jangan bawa anjing-anjing itu kemari!" katanya.
"Kalau tidak, akan kulaporkan kalian!"
"Kepada siapa?" tanya Roger.
"Apakah masih ada seseorang bernama Dourley yang menjadi pemilik gedung ini" Kami ingin sekali bertemu dengannya. Kami ingin bertanya padanya tentang lorong rahasia itu." Pengurus museum itu tertegun. Memandang tajam pada Roger.
"Lorong rahasia" Pertanyaan apa yang akan kauajukan" Bukankah kau telah melihatnya sendiri?"
"Ya, tetapi Anda berkata lorong tersebut buntu, sedang menurut apa yang kami dengar tidak demikian halnya."
"Yang kau dengar keliru," kata si pengurus.
"Lorong itu buntu. Aku telah melihatnya sendiri. Sudah ditutup, dan buntu."
"Oh." Roger tertegun. Memang masuk akal. Banyak lorong rahasia tua yang terpaksa ditutup karena berbahaya atau tak ada gunanya lagi. Mungkin itulah jawabannya. Dan memang sudah sepantasnya, karena tempat itu adalah tempat umum kini, tak perlu lagi ada lorong rahasia.
"Dahulunya lorong itu menuju ke mana?" tanya Snubby.
"Tak ke mana-mana. Atapnya sudah runtuh, tak bisa dilacak lagi," jawab wanita itu tegas.
"Apakah tak ada keterangan yang menyebutkan tentang ujungnya?" Snubby mendesak.
"Kurasa tidak ada yang tahu." Pengurus itu mulai menyapu lagi sambil terus mengawasi Sinting dan Miring yang memang sedang mengawasi sapunya dengan penuh minat.
"Sudah tak bisa digunakan selama berabad-abad. Lagi pula tak ada seorang pun yang berminat untuk menyelidiki lorong yang sudah runtuh - setiap saat bisa saja runtuh lagi di setiap tempat."
"Apakah aslinya lorong itu panjang?" tanya Roger. Tetapisi pengurus hanya mendengus kesal, menyapu
sekali lagi, dan masuk ke dalam gedung tanpa memberi jawaban.
"Sungguh masam sekali, kan?" tanya Diana.
"Tapi... yah, kukira dia betul juga. Lorong itu bisa berbahaya, karena tempat ini dikunjungi oleh umum. Aku yakin sebelum jadi museum, rumah besar ini memang sudah tak berpenghuni untuk waktu yang sangat lama. Dan pastilah sudah banyak yang rusak. Mungkin sebuah yayasan kemudian membelinya, memugarnya, untuk dijadikan tontonan."
"Gedung aneh, penuh dengan berbagai perabotan kuno yang sekian lama diam saja di tempat yang dilupakan orang itu!" kata Snubby. Roger dan Diana memandang heran padanya.
"Hei, kau tiba-tiba saja begitu romantis! Mau jadi penyair?" tanya Roger.
"Sialan!" kata Snubby, kemalu-maluan dikatakan akan jadi penyair.
"Tetapi memang gedung itu sangat mencekam perasaanku. Begitu seram. Aneh. Dengan kamar rahasia dan lorong rahasia, serta lonceng yang berbunyi sendiri. Rasanya aku takkan sudi bermalam di sana."
"Tak usah khawatir. Takkan ada yang memintamu untuk bermalam di tempat itu," kata Roger.
"Lihat... Sinting masuk!" seru Diana tiba-tiba.
"Sinting! Sinting! Sinting!" mereka berteriak memanggil. Sinting melesat keluar dari dalam gedung dengan sebuah sikat untuk menyikat permadani. Tampak sangat bangga.
"Kau sungguh tolol!" bentak Snubby, merampas sikat tersebut dari moncong Sinting. Dengan
hati-hati ia membawa sikat itu ke pintu gedung. la mengintai ke dalam. Sepi. Pengurus tadi entah ke mana. Berjingkat-jingkat Snubby masuk, akan menaruh sikat yang dibawanya disuatu tempat di dalam. Sebuah suara marah membuatnya melompat kaget.
"Hayo! Kau mau masuk tanpa bayar, ya! Kalau kalian masih bandeljuga, aku akan langsung melaporkan kalian pada polisi!" Snubby melihat wanita itu di bagian belakang ruangan, dan dengan cahaya suram di punggungnya, maka ia sangat mirip dengan seorang tukang sihir jahat. Tanpa berpikir lagi Snubby berpaling dan lari lintang-pukang ke luar. hampir terjatuh di telundakan, dan hampir tubruk Sinting dan Miring yang melonjak-lonjak kegirangan. Roger dan Diana terpingkal-pingkal melihatnya.
"Kau mendengar suara lonceng ajaib itu?"tanya Roger.
"Wah, kakimu agaknya sudah tidak lemas lagi, begitu cepat kau berlari! Bagaikan roket!"
"Oh, tutup mulut!" kata Snubby marah.
"Ayolah kita pergi membeli es krim atau makanan lainnya - kalau ada di desa ini. Mungkin sekali es krim belum pernah masuk kemari." Mereka pergi ke desa. Diana mulai berbicara tentang Kakek Tua.
"Mendengarkan dia mendongeng bagaikan membaca buku sejarah," katanya.
"Tetapi aneh bukan, ia mencampur adukkan semua kejadian dan semua waktu, dan mengira kita datang dari masa lalunya untuk membuka
rahasianya, untuk menjebaknya. Kasihan sekali dia."
"Hebat juga pengalamannya, memasuki lorong rahasia dan menemukan buku tua serta kotak itu," kata Snubby.
"Kukira kotak itu sudah lenyap, sebab katanya kakaknya yang membawanya. Tetapi kemungkinan besar buku tersebut masih ada, entah di mana."
"Mungkin ia ketakutan kalau diketahui orang ia mengambil buku itu," kata Roger.
"Karenanya ia menyembunyikannya selama sekian puluh tahun. Mungkin juga ia lupa, dan cucu perempuannya secara tak sengaja menemukannya...."
"Kemudian membuangnya ketempat sampah," sambung Diana.
"Aneh juga, orang set
ua itu tak bisa membaca! Betapa tersiksanya kita bila melihat buku yang tampaknya menarik tapi tak bisa kita ketahui apa isinya!"
"Tentang buku-buku kuno itu... mungkin sekali kita juga tak bisa membacanya," kata Roger. Mereka telah sampai ke desa, dan langsung menuju ke sebuah toko kecil yang tampaknya menjual segala macam barang.
"Aku yakin tulisannya adalah tulisan kuno yang semua huruf s-nya ditulis f."
"Atau mungkin dalam bahasa Latin," kata Diana.
"Kalau bahasa Latin sih gampang. Snubby kan pandai bahasa Latin!"
Snubby meninju Diana. Semua orang tahu bahwa angka terburuk di rapor Snubby adalah untuk pelajaran bahasa Latin.
Ternyata di toko kecil tersebut ada es krirn. Dan sangat lezat, sebab krimnya asli dan segar. Sehabis makan es krim mereka minum air jeruk. Dan mereka pun merasa segar kembali.
"Kini aku merasa diriku lebih utuh," kata Snubby.
"Sayang sekali," kata Roger,
"padahal tidak utuh sekalipun sudah membosankan!"
"Nggak lucu ah!" tukas Snubby.
"Aku belum cukup kuat untuk menghajarmu, tetapi suatu kali pasti itu kulakukan bila kau selalu menggodaku dengan sindiranmu itu!"
"Guk!" kata Sinting menaruh kaki depannya di kaki Snubby. Snubby menengok ke anjingnya.
"Kenapa kau" Kau kan tidak suka air jeruk!"
"Mungkin ia haus," kata pemilik toko, seorang wanita yang ramah.
"Nih, minumlah!" Ia meletakkan satu waskom kecil air. Sinting dan Miring minum dengan lahapnya.
"Oh, terima kasih," kata Snubby. Anda baik hati sekali." Pintu bergemerincing terbuka, seseorang masuk. Diana berbisik pada Roger,
"Ini ada tokoh dongeng lagi!" Yang masuk adalah seorang wanita tua, bertubuh kecil, memakai kerudung merah yang
usang. "Si Kerudung Merah, sudah tua!" bisik Roger kembali, dan Diana mengangguk geli. Ya. Tepat sekali. Gadis cilik dalam dongeng itu kini seakan-akan menjelma dalam kehidupan sebenarnya, dan sudah sangat tua. Mungkin ia masih
tinggal di pondoknya di tepi hutan, seperti dalam dongeng. Tentu saja ini hanya suatu khayalan, tetapi Diana sungguh geli melihat kesamaannya.
"Tolong beli satu pon mentega... satu ons merica... dan satu botol madu buatanmu sendiri," orang itu berkata pada pemilik toko, dengan suara gemeresik tetapi jelas. Dan sambil menunggu ia berpaling pada anak-anak itu.
Matanya sungguh aneh. Hampir hijau, pikir Diana. Mulutnya seperti mulut orangtua-kempot berkeriput karena semua giginya telah tiada. Penuh keriput muka itu, tapi matanya masih cemerlang. Rambutnya putih bagaikan salju, masih sedikit keriting. Dan ia tersenyum ramah pada ketiga anak tersebut.
"Selamat pagi," katanya dengan suaranya yang sedikit cedal seperti anak kecil.
"Kalian tamu di desa ini?"
"Benar," jawab Diana.
"Kami tinggal di rumah Nona Hannah Pepper. Kami kena flu sehingga tak bisa bersekolah. Apakah Anda kenal Nona Pepper?" -
"Oh,ya," kata wanita tua itu.
"Aku pernah bekerja pada ibunya... belasan tahun yang lalu. Katakan padanya nanti, kalian bertemu denganku. la pasti masih ingat."
"Baiklah, siapa nama Anda?" tanya Diana.
"Barlow," jawabnya.
"Naomi Barlow dan aku tinggal di tepi hutan Ring O' Bells."
"Barlow!" Roger, Snubby, dan Diana b
erseru bersama. Mereka langsung ingat akan kata-kata
Kakek Tua. Mak Barlow, katanya. Inikah orangnya" Sebelum mereka sempatbertanya, wanita tua itu telah menerima belanjaannya dan keluar. Diana berpaling pada pemilik toko.
"Mmm... hari ini kami mendengar seseorang bercerita tentang Mak Barlow," katanya.
"Apakah. apakah orang tadi itu Mak Barlow" Rasanya tak mungkin...." Pemilik toko tertawa.
"Ya ampun! Tentu saja tidak. Mak Barlow hidup jauh sebelum aku lahir. Tetapi dia memang tinggal di pondok yang saat ini ditinggali Naomi Tua itu, di hutan Ring O Bells."
Bab 9 PERCAKAPAN SAAT MINUM TEH
Anak-anak membayar pembelian mereka dan berjalan seenaknya, pulang.
"Jadi dia tinggal di hutan Ring O Bells!" kata Diana membicarakan Naomi Barlow.
"Makin lama semuanya makin cocok untuk suatu dongeng!"
"Kau perhatikan tidak mata Naomi Barlow itu?" tanya Roger setengah menggoda.
"Matanya hijau, dan kau tahu, menurut kepercayaan orang, semua nenek sihir matanya hijau!"
"Enak saja!" tukas Snubby.
"Ia sama sekali tak mirip nenek sihir. Bahkan sedikit manis kurasa, muka tua itu."
"Aku kan tidak bilang bahwa dia nenek sihir," bantah Roger.
"Aku hanya menunjukkan bahwa matanya aneh. Aku tidak begitu tolol untuk percaya akan adanya nenek sihir di zaman modem ini."
"Aku rasa ia sangat mirip si Kerudung Merah kalau kita bayangkan bagaimana Kerudung Merah itu akan menjadi nenek-nenek," kata Diana.
"Kurasa si Kerudung Merah pastilah akan menyimpan bendanya yang membuat ia terkenal dalam dongeng itu, dan masih tetap memakainya
hingga ia tua. Itulah sebabnya kerudung itu kini begitu usang."
"Kalau begitu mestinya kerudung tersebut sudah sangat kekecilan baginya," kata Snubby yang tak senang pembicaraan terus berkisar pada nenek sihir, mata hijau, dan kerudung tua.
"Ayo cepat-cepat berjalan. Kakiku sudah mulai gemetar lagi."
"Kenapa kakimu" Kulihat biasa-biasa saja," kata Diana.
Tetapi sore itu Nona Pepper sekali lagi minta agar mereka beristirahat saja. Snubby anehnya merasa bahwa kakinya kini sudah kuat lagi. la ingin keluar untuk menyewa kuda.
"Tak bisa, kau harus istirahat," kata Nona Pepper tegas.
"Bagaimana kalau aku istirahat saja seperempat jam, kemudian akan kubawa Sinting jalan-jalan?" desak Snubby.
"Ia sudah kegemukan. la harus jalan-jalan sore ini."
"Memang," kata Nona Pepper.
"la memang kegemukan. Dan ia harus jalan-jalan. Tetapi biarlah aku saja yang mengajaknya jalan-jalan. Bersama Miring. Walaupun dengan begitu entah bagaimana nantinya aku dikelilingi kedua anjing gila itu."
"Ah, kalau begitu biarlah Sinting bersamaku saja, tidur," kata Snubby.
"Biarlah Anda pergi dengan si Miring."
Terimakasih," kata Nona Pepper."Kini pergilah ke kamarmu seperti kuperintahkan. Ingat, kalau kau masih saja cerewet, aku akan terpaksa melakukan suatu hukuman yang sesungguhnya sudah ketinggalan zaman. Tetapi hukuman itu paling cocok untukmu."
"Hukuman apa itu?"tanya Snubby tertarik.
"Aku yakin aku tak akan menyesali hukuman Anda, Nona Pepper."
"Baiklah, kalau begitu kita coba saja hukuman ini... tiap minum teh tidak boleh makan dengan sele, tidak boleh
makan kue. Hanya roti dan mentega saja. Bagaimana?"
Ini kedengarannya begitu mengerikan bagi Snubby. Ia langsung pergi ke atas, diiringi Sinting. la yakin ia akan cukup lapar waktu minum teh nanti
sehingga takkan mungkin rasanya mencoba-coba hukuman setolol itu. Ternyata ia lebih lelah dari dugaannya. Ia langsung tidur nyenyak, dengan Sinting berada di dekatnya, sampai waktu minum teh tiba. Sementara itu Miring tak bisa mengerti bagaimana Sinting bisa lenyap begitu tiba-tiba. Dicarinya ke mana mana, termasuk kegudang arang, tanpa hasil. Dan akhirnya ia menyerah dan diajak jalan-jalan Nona Pepper. Snubby sungguh merasa bahagia ketika saat minum teh tiba Nona Pepper tak menyinggung nyinggung hukumannya. la begitu lapar!
"Sedaaapppp!" serunya penuh semangat melihat hidangan di atas meja.
"Kue-kue dengan mentega dan madu buatan sendiri! Rasanya tak akan ada yang lebih lezat dari ini. Dan apa itu" Roti kismis! Wah, wah, wah! Bingung aku, dari mana aku mulai, ya?"
"Jangan begitu rakus, Snubby," kata Diana, mulai mengambil salah satu kue
"Dan jangan melahap terlalu cepat. Kau masih punya banyak waktu sampai tiba waktunya untuk makan roti itu."
"Tutup mulut," tukas Snubby. Tentang rakus dan melahap, memang kau guru yang terbaik." Nona Hannah tersenyum pada Nona Pepper di seberang meja, dan berkata,
"Mereka sudah mulai sembuh sepenuhnya!"
"Memang," kata Nona Pepper.
"Snubby, tolong katakan pada Sinting agar pergi dari kakiku"
Agaknya ia mengira bahwa ia duduk di kakimu. la begitu berat." Sinting pindah. Tetapi Miring langsung menggantikan tempatnya, menduduki kaki Nona Pepper. Nona Pepper tak berani minta pada Nona Hannah agar memanggil Miring. Kedua anjing ini memang suka sekali bergantian tempat duduk seperti ini pada waktu-waktu makan.
"Kapan ya Barney tiba," kata Snubby.
"Pasti ia sudah menerima surat kita."
"Tolol, tentu saja belum," kata Diana.
"Kita baru memasukkannya ke pos tadi pagi."
"Betulkah?" Snubby heran.
"Wah, liburan ini mulai mirip liburan-liburan lainnya. Waktu terasa begitu campur aduk, dan tahu-tahu... wusssh! Habis sudah liburan itu, pada saat kita hampir saja merasa menikmatinya."
"Jangan omong takkeruan, Snubby," kata Nona Pepper. Tetapi Diana dan Roger tahu benar apa yang dimaksudkan Snubby.
"Nona Hannah," kata Diana, teringat akan wanita tua bermata hijau tadi,
"apakah Anda kenal seorang wanita tua bernama Naomi Barlow?"
"Oh, ya," kata Nona Hannah.
"Bertahun-tahun yang lalu ia pernah bekerja pada ibuku. Dan ia seorang pekerja yang baik. Akuingat dia, walaupun waktu itu aku masih kecil. Pastilah sekarang ia sudah sangat tua."
"Ia tinggal di Pondok Ring O'Bells," kata Roger.
"Ya," kata Nona Pepper tiba-tiba,
"di pondok yang berada dihutan itu, yang selalu kukirase pondok si Kerudung Merah."
"Nenek Barlow itu memakai kerudung merah,"
kata Diana. "Sudah usang. Mungkin sudah lama
sekali dimilikinya, sejak masih muda pasti. Nona Pepper, mengapa Nona berpendapat pondok itu milik si Kerudung Merah" Karena kerudung merah itu?"
"Apakah anda kenal dengan Mak Barlow yang juga tinggal di situ?" tanya Roger.
"Tidak," kata Nona Hannah. Tetapi aku sering mendengar namanya dise
butkan dalam cerita tentang daerah ini. Bagaimana kalian mengetahui
namanya?" "Kami berbicara dengan Kakek Tua tadi pagi,
kata Diana. "Mungkin Anda kenal... kakek Ibu Hubbard."
"Ibu Hubbard!" Nona Hannah tercengan
"Siapa pula dia?"
"Mungkin itu bukan namanya," Roger tertawa
"Tetapi ia tinggal di Pondok Hubbard, dan ia sangat
mirip dengan Ibu Hubbard di dalam dongeng. Ia
punya seorang kakek yang katanya berumur lebih dari seratus tahun. Tetapi menurut perkiraan mungkin umurnya sudah dua ratus tahun lebih. Begitu tua rupanya!"
"Ada-ada saja!" kata Nona Pepper.
"Aku tahu siapa yang kaumaksud... kakek tua itu... tetapi a tak tahu namanya. Semua orang di sini memangilnya Kakek Tua."
"Nama aslinya Hugh Dourley, dan ia
punya hubungan keluarga dengan keluarga Dourley yang tinggal di Gedung Ring O'Bells," kata Diana.
"Kakek Tua itulah yang berbicara tentang Mak Barlow. Katanya Mak Barlow tahu tentang lorong rahasia yang ada di bawah Gedung Ring O'
Bells." Nona Pepper tak bisa menangkap apa yang
dibicarakan Diana, tetapi Nona Hannah mengerti.
"Betapa banyaknya yang kalian ketahui dalam waktu sehari dua ini!" katanya kagum.
"Kini aku sedikit teringat tentang Mak Barlow itu. Kurasa ia hidup sekitar delapan puluh atau sembilan puluh tahun yang lalu. Pastilah saat itu Kakek Tua masih anak-anak."
"Tetapi ia pasti mengenal.Mak Barlow itu sendiri, tentunya," kata Diana.
"Oh, sayang sekali wanita tua itu telah tiada. la pasti tahu banyak tentang Ring O Bells, dan dapat menceritakannya pada kita. Mungkin ia juga tahu siapa yang membunyikan | lonceng-lonceng pada saat desa dalam bahaya."
"Oh, itu hanyalah dongeng," kata Nona Hannah.
"Lonceng-lonceng tersebut tak pernah lagi berbunyi, sepanjang yang kuketahui. Dan kalian bisa yakin bahwa lonceng-lonceng tersebut tak akan berbunyi. Kalaupun berbunyi, pastilah dibunyikan oleh tangan manusia.... Takada kemungkinan lain. Hanya orang seperti Mak Barlow itulah yang biasa menyebarkan dongeng-dongeng aneh. Bahkan ada yang bilang bahwa ia seorang tukang sihir."
"Betulkah?"tanya Diana."Oh, Nona Hannah, hal itu mungkin beralasan... sebab mata Naomi Barlow


Komplotan Penculik Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga hijau! Pasti itu warisan dari Mak Barlow yang tukang sihir itu."
"Jangan terlalu percaya pada segala macam takhyul," kata Nona Pepper.
"Itu semua hanyalah dongeng. Pasti tak ada kebenarannya sama sekali Menurut pendapatku, Mak Barlow itu pastilah seorang wanita tua yang baik hati, yang mengerti tentang berbagai macam jamu, dapat meramu tumbuh-tumbuhan untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Di pandangan orang desa yang sederhana, ini sudah merupakan suatu kekuatan gaib."
"Aku makin menyukai tempat ini," kata Diana
"Aku menyukai tempat yang berbau dongeng dongeng dan sejarah. Dongeng-dongeng tersebut selalu menyelubungi suatu peristiwa sejarah. Dan sungguh menyenangkan untuk mencoba mengupas dongeng-dongeng tadi untuk menggali peristiwa sejarahnya."
"Dan tentang Kakek Tua itu, ia bagaikan suatu buku sejarah yang hidup," kata Roger.
"Ia bahkan bisa bercerita tentang saat-saat serigala masih mengepung desa ini."
"Itu mungkin betul," kata Nona Hannah.
"Diluar desa terdapat seb
uah tempat yang bernama Lembah Serigala... sesungguhnya hanyalah secelah kecil, di mana menurut berita seriga serigala berkumpul di musim dingin."
"Betapa senangnya jika suatu pagi terbangun dan ternyata kita semua sudah berada di masa lampau," Diana melamun.
"Hanya untuk melibet apa keadaannya waktu itu. Mungkin kita bisa melihat Mak Barlow melewati depan rumah, sedang pergi bekerja."
"Dan akan kita lihat dua orang anak nakal bercanda di jalan sedang pergi ke ladang," kata Roger menyeringai.
"Siapa mereka?" tanya Diana.
"Kakek Tua dan kakaknya, Jim, sewaktu anak-anak!" jawab Roger.
"Walaupun sangat sulit untuk membayangkan bahwa pada suatu saat Kakek Tua pernah menjadi anak-anak."
"Dan suatu malam kita akan mendengar lonceng-lonceng berdentang-dentang di Ring O' Bells," kata Snubby.
"Dan kalau kita bisa menjenguk ke dalam lingkungan gedung itu, kita akan melihat banyak sekali anak-anak keluarga Dourley bermain-main... seperti kita, tapi tentu saja dengan pakaian yang sangat berbeda."
"Dan anjing-anjing mereka," kata Roger,
"pastilah anjing-anjing jenis spaniel seperti Sinting dan Miring. Anjing jenis itu sudah sejak lama digunakan dan dipelihara untuk olahraga daerah pedesaan." Sinting dan Miring langsung bangkit mendengar nama mereka disebut. Mereka muncul dari balik meja, menggoyang-goyangkan ekor, dan menaruh kaki depan di paha Snubby dan Roger.
"Apakah kau sudah bosan pada pembicaraan yang tak tentu ujung pangkalnya ini?" tanya Snubby menarik telinga Sinting.
"Rasanya kita memang sudah begitu lama duduk di sini," Nona Pepper mengundurkan
kursinya. "Apakah kalian semua sudah selesai?"
"Tentunya sudah, sebab tak ada lagi yang bisa dimakan," kata Snubby. Ia benar. Semua yang terhidang tadi telah lenyap, piring-piring yang ada licin tandas.
"Kurasa kalian sudah cukup banyak makan," kata Nona Pepper.
"Dan rasanya tak usah lagi menyediakan makan malam untuk mereka ini, Hannah. Pasti sampai besok pagi pun mereka masih kenyang."
"Oh, tidak, Nona Pepper, tidak!" seru anak-anak itu beramai-ramai.
Bab 10 BARNEY MEMULAI PERJALANAN
KEEsokan harinya anak-anak pergi ke tempat penyewaan kuda, dan berkata pada pemiliknya bahwa mereka ingin menyewa kuda untuk pergi berkeliling daerah itu. Pemilik tempat itu seorang wanita berwajah muda dan... begitu mirip dengan kuda sehingga sewaktu berjumpa pertama kali sesaat ketiga anak itu tertegun. Rambutnya disisir lurus, dan diikat tepat di belakang kepalanya membentuk ekor kuda, dan tertawanya sangat mirip pula dengan ringkikan kuda. Namun segera jelas bahwa wanita ini baik hati serta bermata cukup tajam untuk mengetahui bahwa anak-anak tersebut cukup pandai menunggang kuda.
"Kau naik Tom Tit Tot saja," katanya pada Snubby, yang tidak sebesar Roger dan Diana.
"Dan ingat, jangan main-main dengan kuda itu. la bisa kambuh nakalnya." Tom Tit Tot seekor kuda poni yang tangguh, dengan kaki berujung putih dan dahi berbulu berbentuk bintang putih. Snubby langsung menyukainya. Diana mendapat seekor kuda pendiam bernama
Lady, dan Roger seekor kuda tampan bernama Heyho. Ketiga anak itu sudah memakai pakaian menunggang kuda - tanpa jaket, sebab hari terasa panas. Mereka berkuda meninggalkan kandang, ke jalan.
"Ambil jalan ke bukit itu
, dan dari sana kalian bisa berkuda menembus hutan RingO'Bells," kata sipemilik.
"Perjalanan yang cukup menyenangkan. Juga bagi kuda-kuda ini." Hari amat cerah, dan indah. Burung-burung berkicauan, berlompatan dari dahan ke dahan, sehat dan lincah. Berbagai bunga warna-warni tersebar di sepanjang jalan. Dan pohon-pohon muncul dengan dedaunan baru. Tak terasa Diana bernyanyi gembira tentang musim panas, saat kudanya berderap di jalan setapak menuju puncak bukit. Pagi itu sungguh mereka bisa menikmati berkuda. Kuda yang mereka tunggangi segar, senang, dan mereka pun sangat ahli mengendalikannya. Dengan mudah mereka mendaki bukit yang landai, sambil menikmati pemandangan indah disekitar tempat itu. Hampir dekat kepuncak
mereka berhenti, melihat berkeliling.
"Itu desa Ring O' Bells." Diana menuding dengan cambuknya.
"Dan lihat di sana itu... bukankah itu menara-menara Gedung Ring O Bells" Satu bundar dan satu persegi, itu tuh yang berada di balik puncak pepohonan itu."
"Ya, dan yang di sana itu puncak gereja," kata Snubby.
"Menaranya yang lancip tak jauh dari"menara Gedung Ring O Bells. Dapatkah kita melihat rumah Nona Hannah dari sini?" Ternyata tidak. Di antara tempat mereka berdiri dan arah rumah Nona Hannah terdapat sebuah hutan. Hutan yang cukup besar dengan berbagai macam pepohonan berukuran raksasa.
"Lihat, ada asap mengepul tipis di sudut hutan sebelah sana itu," kata Snubby, menuding.
"Pasti ada rumah di hutan sana itu."
"Kita toh sudah tahu, pasti rumah itu ada. Diarah sanalah Pondok Ring O Bells, dan Naomi Barlow tinggal di sana."
"Oh, ya, tentu saja," seru Snubby.
"Kalau dilihat begitu tempat tersebut memang tak berapa jauh dari Gedung Ring O Bells. Hanya terpisah oleh hutan lebat di sana itu."
"Tampakya saja dekat, tetapi mestinya sangat jauh," kata Diana.
"Bayangkan, Mak Barlow sekitar seratus tahun yang lalu, berada di pondoknya, tunduk di atas kuali hitamnya, mengaduk berbagai akar dan tumbuhan berkhasiat. Mungkin hanya dari dialah penduduk desa itu bisa memperoleh
obat." "Nenek sihir dengan mata hijau," kata Roger.
"Semua buku menyebutkan bahwa nenek sihir, tukang tenung, atau siapa pun yang ada hubungannya dengan kekuatan gaib selalu bermata hijau. Aku yakin nenek Naomi, atau siapa pun yang dinamakan Mak Barlow itu, adalah seorang tukang tenung. Karena itulah mata Naomi
hijau." Mereka agaknya berhenti terlalu lama. Kuda kuda yang mereka tunggangi tampak gelisah, sedang Sinting dan Miring telah selesai memeriksa semua lubang kelinci yang ada di tempat itu.
"Ayolah terus," kata Snubby.
"Kita seperti gila saja membicarakan tentang mata hijau itu. Toh sesungguhnya tak seorang pun diantara kita yang percaya akan dongeng itu."
Tetapi sesungguhnya dalam hati kecil mereka, anak-anak bertanya-tanya, mungkin ada sedikit kebenaran dalam dongeng-dongeng itu. Mungkin sekali ada sesuatu yang tersembunyi di daerah yang sangat indah ini. Terutama Diana-ia ingin agar dongeng-dongeng yang begitu mengasyikkan itu betul-betul ada benarnya.
Mereka melanjutkan berkuda, kini menembus hutan Ring O Bells. Jalan yang mereka lalui lebar, dan kuda-kuda mereka agaknya sudah kenal baik dengan jalan itu. Sekali-sekali anak-anak itu harus menundukkan badan untuk menghindari dahan dahan dan ranting-ranting pepohonan yang begitu le
A Shoulder To Cry On 3 Lembah Tiga Malaikat Karya Tjan Id Mestika Burung Hong Kemala 1
^