Pencarian

Dedemit Selaksa Nyawa 1

Raja Petir 05 Dedemit Selaksa Nyawa Bagian 1


DEDEMIT SELAKSA
NYAWA oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Bondan Pramana Serial Raja Petir dalam episode:
Dedemit Selaksa Nyawa
128 hal : 12 x 18 cm.
1 Matahari bersinar garang. Sinarnya begitu me-
nyengat seperti ingin menghanguskan apa saja yang
ada di bumi. Dan suasana semakin panas lagi ketika
dua sosok yang sama-sama garang, saling bertarung.
Trang! "Akh...!"
Suara benturan dua logam keras seketika ter-
dengar, ditingkahi suara memekik kesakitan. Tampak
sosok tubuh gempal terlontar jauh ke belakang diiringi seringai tertahan.
"Keparat..!"
Seorang lelaki bertubuh tinggi tegap berteriak
memaki seraya maju menyerang menggantikan teman-
nya yang baru saja begitu mudah dipecundangi. Go-
loknya yang berkilauan tertimpa sinar matahari, tak setengah-setengah lagi
diayunkan ke arah sosok berpakaian merah yang baru saja menjatuhkan seorang
lawannya. "Hiaaa...!"
Bet! Bet! Dengan mengandalkan kecepatan geraknya, so-
sok berpakaian merah merendahkan tubuhnya. Dan
bersamaan dengan itu, kepalan tangannya menohok
ulu hati lawan yang bersenjata golok. Begitu cepat gerakannya sehingga....
Desss! "Ugkh!"
Lelaki bertubuh tinggi tegap itu seketika ter-
huyung ke belakang. Sodokan tangan yang begitu kuat mendarat telak di perut,
sehingga membuatnya tak
mampu berbuat apa-apa selain memegangi perutnya
yang terasa begitu mual.
"Ha ha ha.... Sudah kubilang, kedua kaki tan-
gan mu bukan tandinganku, Senati. Begitupun kau
dan seluruh rakyat Desa Galur Asih," ujar lelaki berpakaian merah dan bergaris
pinggir hitam, bernada
angkuh. Matanya yang berwarna kemerahan, begitu
pas dengan julukannya, Iblis Mata Merah.
"Apa maumu, Jempal Berek?" tanya lelaki bertubuh sedang yang dipanggil Senati.
Dia dikenal sebagai Kepala Desa Galur Asih. Dan sebagai seorang kepa-la desa,
memang sikap seperti itulah yang harus diam-bilnya. "Aku tak pernah meminta apa-
apa dari desa yang telah lima belas tahun ku tinggalkan. Desa yang tak pernah
mau menerima kehadiranku di tengah-tengahnya, hanya dikarenakan aku anak seorang
pela- cur yang tidak jelas siapa bapaknya. Aku anak haram yang membawa kesialan bagi
Desa Galur Asih," ujar Iblis Mata Merah. Suaranya terdengar begitu sarat
dengan kemarahan dan dendam.
"Aku tak pernah berbuat seperti itu, Jempal Berek," kilah Senati. Kulitnya yang
hitam tampak sedikit berubah pucat. Sedangkan kumis dan jenggot tipis
yang menghiasi wajah lonjongnya, tampak bergerak-
gerak penuh arti.
"Kau memang tak berbuat begitu, Senati!" bentak Iblis Mata Merah.
Senati terhenyak mendengar bentakan itu. Di-
cobanya untuk menenangkan diri dengan menarik na-
pas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat
"Senati! Lima belas tahun yang lalu, kau me-
mang tidak mengucilkan diriku secara langsung. Tapi secara tersembunyi, kau
mendukung tindakan Wakasia. Padahal, waktu itu jabatanmu adalah wakilnya.
Dan itu setidak-tidaknya bisa meredam keinginan ke-
pala desa yang tidak manusiawi itu," lanjut Iblis Mata
Merah. Kepala Desa Galur Asih itu tidak membantah
ucapan Iblis Mata Merah. Memang diakui, kalau waktu itu dirinya sudah menjabat
sebagai wakil kepala desa.
Namun jabatannya tak digunakan, mengingat watak
kepala desa yang telengas. Lagi pula, apa yang menjadi keputusan Kepala Desa
Galur Asih waktu itu tak
mungkin bisa dibantah.
Diakui pula, sejak terbongkarnya rahasia aib
ibu kandung Iblis Mata Merah yang gemar berganti-
ganti lelaki, kehidupan penduduk Desa Galur Asih berubah jauh. Bencana demi
bencana mulai menimpa
desa itu. Wabah penyakit dan kekeringan mulai men-
jadi langganan penduduk desa.
Puncaknya adalah ketika diketahui kalau anak
kandung Ruwati yang bernama Jempal Berek, adalah
anak haram yang tidak jelas siapa bapaknya. Dan itu dijadikan alasan terjadinya
bencana demi bencana di Desa Galur Asih. Kini anak yang bernama Jempal Berek,
dan telah berjuluk Iblis Mata Merah muncul di de-sa itu. "Jadi kedatanganmu ke
sini semata-mata hanya untuk balas dendam, Jempal Berek?" tanya Senati setelah
beberapa saat mengingat kejadian masa
lalu. "Tidak!" tegas Iblis Mata Merah. "Aku hanya ingin desa ini memberi sesuatu
padaku dua kali dalam
satu purnama."
"Katakanlah apa yang kau minta itu, Jempal
Berek Barangkali saja, aku bisa memenuhinya. Dan
sebagai kepala desa yang menggantikan almarhum
Wakasia, aku akan menerima kehadiranmu sebagai
penduduk desa ini," ucap Senati lemah lembut.
Kepala desa itu berharap Iblis Mata Merah ti-
dak meneruskan kemarahannya. Namun demikian,
Senati tidak merasa gentar menghadapi lelaki bermata merah di hadapannya.
Iblis Mata Merah yang mendengar ucapan Ke-
pala Desa Galur Asih seketika menyeringai. Nampak
gigi-giginya yang berantakan menebarkan aroma bu-
suk, sehingga membuat isi perut hendak keluar.
"Aku hanya minta disiapkan dua bayi dalam sa-
tu purnama. Masing-masing pada hari ketiga, dan pa-
da hari ketujuh belas."
"Permintaan gila!" sentak Kepala Desa Galur Asih, saking terkejutnya. Namun,
sebentar kemudian
Senati menyadari ucapannya yang terdengar begitu
kasar. "Untuk apa bayi-bayi itu, Jempal Berek?"
"Itu urusanku, Senati! Kau tak perlu tahu,"
hardik Iblis Mata Merah garang. "Tugasmu adalah menyiapkan bayi pada setiap
pergantian purnama pada
hari ketiga dan ketujuh belas. Itu saja! Dan perlu kau ketahui, Senati. Aku bisa
saja merampas secara paksa bayi-bayi yang ada di desa ini. Tapi itu tak akan
kulakukan, karena aku ingin kau yang melakukannya.
Terserah dengan cara apa."
"Kau tukar saja dengan permintaan lain, Jem-
pal Berek. Aku tak mungkin mengabulkan permintaan
gila itu," tolak Senati. "Apa pun yang akan kau lakukan terhadapku dan penduduk
desa ini, aku tak akan
sudi mengabulkan permintaan gilamu!"
"Bila tak dipenuhi, aku tak memaksa, Senati.
Tapi apakah kau sanggup menghadapi akibatnya?" tekan Jempal Berek yang berjuluk
Iblis Mata Merah.
Kepala Desa Galur Asih menaikkan alis ma-
tanya. "Aku akan mengirim nyawamu sekarang juga ke alam baka. Begitu juga dengan
penduduk desa ini!
Bahkan seluruh desa ini akan kujadikan lautan api.
Sekarang, apakah kau siap kalau penduduk dan anak
istrimu mati terpanggang?"
"Kau tak akan mampu melakukannya, Jempal
Berek. Meskipun julukanmu angker, aku yakin pendu-
duk ku yang memiliki ilmu silat akan menghalangi niat bejatmu. Begitu juga aku!"
tegas Kepala Desa Galur Asih, tak kalah gertak.
"Ha ha ha...!"
Iblis Mata Merah kontan terbahak mendengar
ucapan Senati. Matanya yang merah nampak mene-
teskan air, karena terlalu lama tertawa.
"Apa yang kau andalkan, Senati" Menghadapi
serangan tikus parit pun rasanya kau tak mampu!"
ejek Iblis Mata Merah.
"Aku harus menjaga kewibawaan ku sebagai
Kepala Desa Galur Asih, Jempal Berek!" kilah Senati.
"Kau tidak menyesal, Senati" Kau tidak me-
nyesal kehilangan jabatan, dan anak istrimu?"
"Sudah menjadi tugasku sebagai kepala desa,
Iblis Gila!" maki Senati lantang.
Hinaan pedas itu diterima Iblis Mata Merah
dengan menggerang murka.
"Kurang ajar!"
Tubuh Iblis Mata Merah seketika bergerak ce-
pat Tangannya yang terkepal rapat, tanpa diketahui
sudah mengancam wajah Senati. Karuan saja kepala
desa itu kelabakan untuk mengambil gerakan meng-
hindar. Hingga dengan gerakan seadanya, dia beru-
paya berkelit. Namun terlambat! Kepalan keras milik Iblis Mata Merah telah lebih
dulu mendarat di mulutnya. Dukh...!
"Akh!"
Kepala Desa Galur Asih itu memekik tertahan,
sambil berusaha mengimbangi tubuhnya yang ter-
huyung. Sementara dari sela bibirnya yang pecah
nampak cairan berwarna merah membasahi janggut
dan pakaian. "Ha ha ha.... Itu hanya serangan tikus parit
yang mengandalkan tenaga kasar, Senati! Belum lagi
serangan seperti ini! Hiyaaa...!"
Iblis Mata Merah kembali berkelebat sambil
mengayunkan gadanya. Begitu cepat kelebatannya, di-
iringi ayunan senjata yang menimbulkan deru angin
menggetarkan. Melihat tindakan Iblis Mata Merah, Kepala Desa
Galur Asih terkesiap. Namun keinginannya yang kuat
untuk dapat terbebas dari maut, membuatnya sekuat
tenaga menghindari serangan dahsyat yang dilancar-
kan Jempal Berek
"Tahaaaan..!"
Bukan main murkanya Iblis Mata Merah men-
dengar bentakan yang bukan saja mengejutkannya, te-
tapi juga membuat dirinya oleng. Maka, seketika mak-sudnya untuk menghabisi
nyawa Kepala Desa Galur
Asih diurungkan.
Belum juga bentakan itu hilang dari pendenga-
ran, tiba-tiba saja berkelebat sosok bayangan kuning keemasan. Dan tahu-tahu
saja di depan Iblis Mata Merah berdiri seorang pemuda tampan. Rambutnya ikal.
Bola matanya menatap tajam ke arah Iblis Mata Me-
rah. "Pahlawan kesiangan!" hardik Iblis Mata Merah, setelah mampu menguasai
diri. "Sembarangan betul kau mencampuri urusan orang, heh"! Kau hanya cari
mampus saja!"
"Tidak begitu, Iblis Mata Merah!" balas sosok
pemuda berbaju kuning keemasan itu, membentak.
Sosok itu tak lain dari Jaka Sembada, yang dalam dunia persilatan berjuluk Raja
Petir. Iblis Mata Merah mendengus mendengar julu-
kannya disebut lelaki muda usia di hadapannya. Dari sini bisa diduga kalau
pemuda di hadapannya bukanlah orang sembarangan.
"Dari mana kau tahu julukanku, heh"!" selidik Iblis Mata Merah.
"Mudah saja," jawab Jaka, tenang.
"Hm...!" Iblis Mata Merah mengangkat alis matanya. "Aku tadi telah mendengar
pertengkaran mu dengan Ki Senati, Kepala Desa Galur Asih ini."
"Sebutkan namamu, Bocah Lancang!" bentak
Iblis Mata Merah.
"Untuk apa?" kilah Jaka dengan raut muka dibuat sebodoh mungkin.
"Tolol! Biar kau tak menyesal karena cita-cita mu untuk menjadi pahlawan tak
berhasil, meski harus mengorbankan nyawamu," dengus Iblis Mata Merah penuh
penghinaan. Jaka tersenyum ceria mendapatkan ucapan Ib-
lis Mata Merah.
"Setelah kusebutkan, apakah kau akan mem-
bunuhku?" ?"Bocah edan! Cepat sebutkan namamu!" bentak Iblis Mata Merah berang.
"Baik Namaku Jaka Sembada, dan berjuluk Ra-
ja Petir. Itu saja."
Iblis Mata Merah terkejut mendengar penga-
kuan anak muda di hadapannya. Tapi orang seangkuh
dia, mana mau menonjolkan keterkejutannya.
Lain halnya Senati. Sejak kemunculannya, Ke-
pala Desa Galur Asih itu telah mengira kalau sosok
berpakaian kuning keemasan itu belakangan ini telah membuat gempar dunia
persilatan. Khususnya, kaum
rimba persilatan golongan hitam. Dan kenyataannya,
Ki Senati bersyukur sekali mendengar pengakuan anak muda yang bernama Jaka
Sembada itu. "Bagus! Sekarang bersiaplah melayat ke akhi-
rat!" dengus Iblis Mata Merah.
Iblis Mata Merah langsung mengambil serangan
lewat sisi kiri tubuh Jaka. Dan seketika itu juga, Raja Petir menghindar cepat.
Dan tentu saja hal ini membuat Iblis Mata Merah menggereng keras. Apalagi,
sambaran tangannya dapat dihindari musuhnya begitu
mudah. "Tahan, Jempal Berek!" sentak Jaka, keras. "Ki-ta bertaruh saja,
bagaimana"!"
Iblis Mata Merah cepat menghentikan seran-
gannya. Matanya yang berwarna merah, sejurus la-
manya memandang Jaka tak mengerti.
"Apa maksudmu, Jaka"!" tanya Iblis Mata Merah, tak mau mengakui julukan musuhnya
sebagai Ra- ja Petir. "Sebelum kita teruskan pertarungan ini, bagaimana kalau kita buat
perjanjian dulu," tawar Jaka.
Sesungguhnya, Raja Petir tak menginginkan
pertarungan ini berlanjut, seandainya saja lelaki bermata merah di hadapannya
bisa diajak berunding.
"Kaulah yang berjanji lebih dahulu!" kata Iblis Mata Merah.
"Baik. Seandainya kalah, aku akan melakukan
apa saja yang kau perintahkan. Termasuk, membunuh
Kepala Desa Galur Asih dan membakar desa ini," mantap suara Jaka yang keluar.
"Sekarang kau, Jempal Berek!"
Iblis Mata Merah melayangkan matanya ke se-


Raja Petir 05 Dedemit Selaksa Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kujur tubuh Jaka Sembada. Kilatan matanya yang me-
remehkan, tergambar begitu jelas.
"Penggal kepalaku, kalau tak mampu menga-
lahkanmu dalam dua puluh jurus!" mantap janji yang terucap dari mulut lelaki
berpakaian merah bergaris hitam itu.
"Terlalu berat janjimu itu, Jempal Berek," tukas Jaka, memancing "Apakah kau tak
ingin meralatnya?"
"Bocah sombong! Kau pikir kepandaianmu
mampu mengalahkanku?" geram Jempal Berek, mera-sa diremehkan.
"Kalau begitu maumu, janjimu kupegang dan
janji ku kau pegang. Aku, Raja Petir, pantang ingkar janji," tekan Jaka keras.
Sedikit lega hati Kepala Desa Galur Asih men-
dengar ketegasan ucapan anak muda berpakaian kun-
ing keemasan yang berjuluk Raja Petir itu.
"Tenanglah, Ki Senati," ujar Jaka seraya menatap wajah Kepala Desa Galur Asih
yang dipenuhi rasa kekhawatiran yang teramat sangat. "Aku akan segera meringkus
bekas warga mu yang tak tahu din itu!"
"Bocah sombong!"
Iblis Mata Merah langsung menerjang Raja Petir
dengan jurus yang cukup aneh. Tangannya yang
membentuk cakar harimau dan dihadapkan ke sisi kiri kanan lehernya, seketika
berkelebat cepat menyambar leher Jaka.
"Uts!"
Jaka Sembada cepat membawa turun kepa-
lanya sambil menggerakkan tangan, begitu cepat ke
bagian dada Iblis Mata Merah. Seketika itu juga, tokoh bermata merah itu
terkejut Iblis Mata Merah cepat melentingkan tubuhnya,
menghindari serangan cepat Raja Petir yang mengarah pada dadanya. Begitu cepat
tubuhnya bergerak, lalu
berputaran dua kali di udara. Dan dengan lincah, kakinya mendarat manis di
tanah. "Heh..."!"
Iblis Mata Merah membuang nafasnya. Sung-
guh tak disangka kalau jurus pertamanya yang ber-
nama 'Iblis Cengkrong Mengincar Nadi' berhasil dihindari lawan. Bahkan Raja
Petir mampu memberi seran-
gan mendadak yang sanggup membuatnya kerepotan.
"Kenapa berhenti, Jempal Berek" Bukankah
kau menjanjikan dua puluh jurus?" ledek Jaka.
Kembali Iblis Mata Merah menggereng.
"Setan alas!"
Bagai terbang saja, Iblis Mata Merah menerjang
Jaka. Tubuhnya yang berkelebat, sekejap mata sudah
berada di hadapan mata Jaka dengan jurus lain. Raja Petir yang memang sudah siap
menghadapi serangan
lawan, tampak berdiri tenang. Semula, Raja Petir hendak memapak serangan Iblis
Mata Merah. Tapi mak-
sudnya diurungkan dan di gantinya dengan lentingan
ke udara. "Kurang ajar!" maki Iblis Mata Merah gusar.
Kembali Iblis Mata Merah menyerang Jaka den-
gan jurus-jurus berbahaya. Serangannya cepat dan be-raneka ragam, namun bisa
dihindari Jaka dengan ela-
kan yang gesit. Dan sekali-kali, pemuda berpakaian
kuning keemasan itu melancarkan serangan, sekadar
mengurangi laju serangan Iblis Mata Merah.
"Uts!"
Kembali Raja Petir memiringkan kepala ketika
sambaran jari tangan Iblis Mata Merah yang berbentuk kepala tikus mengincar
pelipis. Suara angin berdesing mampir di telinga Jaka ketika totokan maut itu
mele- sat beberapa rambut di atas telinganya.
Iblis Mata Merah tak putus asa mendapatkan
setiap serangannya selalu dielakkan. Lelaki bermata merah itu menggereng keras
disertai serangannya yang kembali berkelebat cepat ke arah dada Jaka.
Dua puluh jurus telah digelar Iblis Mata Merah,
tapi serangannya terus berlanjut. Bukankah dia sudah berjanji untuk menjatuhkan
Raja Petir hanya dalam
dua puluh jurus" Sedangkan serangannya yang telah
dilancarkan sekarang sudah memasuki jurus yang ke-
dua puluh satu!
"Seharusnya kau memegang janjimu, Jempal
Berek," tegur Jaka.
Jempal Berek tak mempedulikan teguran Jaka.
Bahkan lelaki yang berjuluk Iblis Mata Merah itu malah mempersiapkan serangan
susulan. "Jangan sering-sering menjilat ludah yang telah dibuang ke tanah, Jempal Berek,"
tegur Jaka lagi.
"Hih!"
Iblis Mata Merah mencoba menyambar dada
Jaka yang seketika itu juga mengambil tindakan me-
mapak. Plak! "Ukh!"
Pekik tertahan keluar, seiring terlemparnya tu-
buh Iblis Mata Merah ke belakang. Kemudian, tubuh-
nya jatuh berdebuk keras di tanah.
Iblis Mata Merah seketika merasakan wajahnya
seperti dijalari hawa panas. Tangannya pun terasa seperti lumpuh. Sedangkan
keadaan Jaka tidak sedemi-
kian parah, hanya merasakan sedikit getaran pada
tangannya saja. Dan itu menandakan kalau Iblis Mata Merah memiliki tenaga dalam
jauh di bawahnya.
"Bagaimana, Jempal Berek" Apakah kau mau
memenuhi janjimu?" tukas Jaka mengingatkan.
Lelaki berpakaian merah bergaris hitam itu
mendengus keras. Matanya yang berwarna kemerahan
menatap tajam dan bengis ke arah Jaka Sembada.
"Penggal lah sendiri kalau kau mampu!"
Menggelegar ucapan Iblis Mata Merah seraya
memutar-mutar senjatanya yang berupa gada bergerigi runcing dari logam keras.
Jaka Sembada mencibir mendengar ucapan Ib-
lis Mata Merah.
"Kenapa kau berubah sepengecut itu, Jempal
Berek. Peganglah janjimu kalau betul-betul lelaki tu-len!" Iblis Mata Merah tak
mempedulikan cemoohan Jaka. Tangannya terus diputar-putar di atas kepala.
Suara angin menderu terdengar lewat gada bergerigi
tajam yang diputar dengan kekuatan tenaga dalam pe-
nuh. Bahkan kerikil-kerikil yang berada di sekitar pertarungan sampai
beterbangan tak tentu arah.
Ki Senati dan kedua pengikut setianya nampak
sibuk menghindari terjangan kerikil yang beterbangan, tersapu angin keras yang
keluar dari gada milik Iblis Mata Merah.
"Iblis Mata Merah! Jangan salahkan aku kalau
kepalamu betul-betul kupenggal!" bentak Jaka.
Tak ada jawaban dari Iblis Mata Merah yang
tengah menyiapkan jurus andalannya. Bahkan ma-
tanya semakin Bar menatap Raja Petir.
"Hiaaa...! Mampus kau, Bocah!"
Wesss...! Angin berkesiur deras begitu senjata milik Iblis
Mata Merah terayun ke arah kepala Jaka. Secepat ki-
lat, Raja Petir membuang tubuhnya ke kanan sekali-
gus bergulingan di tanah berumput jarang. Kemudian, cepat sekali tubuhnya
melenting ke udara.
"Hup!"
Dan begitu mendarat manis di permukaan ta-
nah yang tidak rata, tahu-tahu di tangan Jaka sudah tergenggam sebongkah baru
sebesar kepalan tangan
lelaki dewasa. Entah kapan benda itu di jumputnya.
Dan itu akan di gunakannya untuk menjajal keampu-
han senjata Iblis Mata Merah.
Jempal Berek yang merasa dipermainkan Jaka,
kembali menyerang dengan keganasan berlipat-lipat
Matanya yang merah semakin membara karena ke-
jengkelannya. Gada bergerigi runcing kembali diayun-ayunkan ke udara dengan
kecepatan penuh. Namun
belum sempat dilayangkan ke sasaran, sebuah benda
berwarna hitam telah melesat cepat menghantam gada
berduri dalam cekalannya.
Tlaaarkh...! Benda berwarna hitam yang menerjang gada
berduri miliki Iblis Mata Merah itu seketika hancur berkeping-keping!
Terkesiap juga Jaka menyaksikan keampuhan
gada milik Jempal Berek. Meski batu itu dilemparkannya hanya disertai sedikit
pengerahan tenaga dalam.
Namun, tak akan disangkal jika kepala manusia ter-
hantam gada bergerigi runcing itu pasti akan hancur berantakan.
Apa yang telah dilakukan Jaka ternyata tak
membuat laju serangan Iblis Mata Merah tertahan.
Jempal Berek terus merangsek maju sambil menyabet-
nyabetkan gada bergerigi runcing ke arah bagian-
bagian tubuh Jaka yang mematikan.
Dalam menghadapi senjata Jempal Berek yang
memiliki perbawa mengiriskan, Jaka memang tak mau
meremehkannya. Itulah sebabnya, dengan jurus-jurus
yang didapat dari Eyang Putri Selasih, Jaka memberi perlawanan sengit untuk
mengimbangi senjata lawan.
"Hih!" Jaka cepat melepaskan tendangan lurus ke arah dada lawan. Namun,
tendangan itu cepat ditang-kis Iblis Mata Merah dengan gadanya yang bergerigi
runcing. Akan tetapi dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa, Jaka
memutar arah serangannya ke
arah kepala. Karuan saja hal itu membuat Iblis Mata Merah terperangah dan merasa
gugup untuk menghindari tendangan menekuk yang terarah ke pelipis-
nya. Plak! "Akh!"
Iblis Mata Merah terhuyung beberapa langkah
ke belakang Kepalanya yang terhajar punggung kaki
Jaka terasa seperti berputar hebat dan matanya ber-
kunang-kunang. Melihat kesempatan baik itu, Jaka tak menyia-
nyiakannya. Dengan sekali genjot, tubuhnya sudah
melayang dengan kaki kanan lurus ke depan.
Bukkk! "Hegkh...!"
Iblis Mata Merah langsung meringis manakala
tendangan keras Jaka mendarat telak di perutnya.
Senjatanya yang begitu dibanggakan kontan terlepas
dari cekalannya, seiring tubuhnya yang terhuyung sejauh dua batang tombak.
"Hoeeekh...!"
Iblis Mata Merah langsung memuntahkan se-
gumpal darah kental.
"Aku bisa saja memenggal kepalamu, Jempal
Berek! Dengan senjatamu ini, nyawamu bisa melayang
ke neraka!" tukas Jaka seraya menempelkan gada bergerigi runcing ke leher Jempal
Berek. Iblis Mata Merah menatap tajam Raja Petir. Se-
buah tatapan yang mengandung pancaran dendam.
"Kau ingin senjata andalanmu kugunakan un-
tuk memenggal kepalamu?" sodor Jaka sambil menekan sedikit gada bergerigi
runcing. Jempal Berek yang berjuluk Iblis Mata Merah
tak menjawab pertanyaan Jaka. Kepalanya masih tera-
sa seperti berputar dan perutnya masih terasa mual.
"Baiklah," putus Jaka Sembada. "Tolong jawab pertanyaanku yang lain. Untuk apa
kau meminta bayi
pada setiap pergantian bulan purnama?"
Iblis Mata Merah kembali tak menjawab perta-
nyaan Jaka. "Kau berkeberatan menjawabnya, Jempal Be-
rek" Baik. Ku tukar dengan pertanyaan lain," sabar sekali ucapan Jaka yang
keluar. "Apa hubunganmu dengan Dedemit Selaksa Nyawa?"
Terbeliak mata Iblis Mata Merah mendengar
pertanyaan Jaka. Namun, bibirnya tak juga terbuka
untuk menjawab.
"Jawab!" hardik Jaka sambil menambah tekanan gada bergerigi runcing yang
ditempelkan di leher Iblis Mata Merah. "Kau ingin lehermu putus oleh senjatamu
sendiri?" Iblis Mata Merah tak lekas menjawab. Keringat
sebesar biji-biji jagung yang bertengger di permukaan wajahnya semakin menganak
sungai. "Cepat!" Jaka kembali memberikan tekanan tenaga pada gada bergerigi runcing.
"Dia guruku," jawab Iblis Mata Merah parau.
Seketika itu juga, Jaka menarik gada bergerigi
runcing. Pikirannya yang cemerlang segera dapat me-
narik kesimpulan kalau bayi yang dicari Iblis Mata Merah di Desa Galur Asih
memang semata-mata untuk
Dedemit Selaksa Nyawa. Tokoh sesat itu memang
membutuhkan hari bayi sebanyak mungkin, demi me-
ningkatkan kesaktian yang sesuai julukannya.
Raja Petir sendiri telah mendengar kabar kalau
Dedemit Selaksa Nyawa telah menyatroni beberapa de-
sa dan berhasil mendapatkan beberapa bayi yang di-
ambil hatinya. Kabar lain juga didapat tentang kebengisan Dedemit Selaksa Nyawa
yang menghabisi nyawa
penduduk desa. Karena penduduk desa itu mungkin
tak mengizinkan bayinya dibunuh sedemikian rupa.
Bahkan dua desa sempat dijadikan lautan api, karena kepala desa dan seluruh
penduduknya menentang
keinginan Dedemit Selaksa Nyawa!
Sejurus lamanya Jaka menatap lelaki bermata
merah yang berjuluk Iblis Mata Merah. Tapi, sejurus kemudian tangannya bergerak
cepat. Tuk! Tuk! "Akh...!"
Iblis Mata Merah mengeluh pendek menerima
totokan kilat Jaka pada persendian tangan dan ka-
kinya yang seketika itu juga terasa lumpuh.
"Ki Senati. Kau kurung manusia bejat ini Tapi, awas! Jangan sekali-kali kau atau
anak buahmu membunuhnya. Karena bagaimanapun juga, suatu
saat aku membutuhkannya," ujar Jaka sambil membawa bangun tubuh Iblis Mata
Merah. "Tapi dia berbahaya," tolak Ki Senati.
"Sekarang tidak lagi, Ki. Kekuatannya telah ku lumpuhkan untuk beberapa saat,"
jelas Jaka. "Maaf, Ki. Aku harus pergi mencari Dedemit Selaksa Nyawa.
Jaga lelaki bejat itu baik-baik!"
Belum sempat Kepala Desa Galur Asih menja-
wab, tubuh Jaka telah melesat cepat meninggalkan
tempat itu. ***

Raja Petir 05 Dedemit Selaksa Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

2 Hujan rintik-rintik yang belum sempat mem-
buat jagat tergenang, seolah memberi kesempatan un-
tuk sang Mentari membuka mata dan leluasa menyi-
ram permukaan bumi.
Di dalam sebuah bangunan yang cukup indah
dan kokoh, pada ruangan yang dipenuhi perabot indah berukir, nampak empat orang
tengah berkumpul
membicarakan sesuatu. Mereka itu adalah Kepala De-
sa Wargidami yang bernama Talunjak beserta istri, dan dua orang lelaki tinggi
kekar sebagai pengikut setianya. Kedua laki-laki kekar itu masing-masing bernama
Pituk Lubar dan Katilan.
"Sebagai Kepala Desa Wargidami, sebenarnya
aku bisa saja mengambil tindakan keras atas tentan-
gan Kawur Apuk akan kebijakan-kebijakan yang telah
disepakati. Pungutan-pungutan yang dikenakan pada
masyarakat bukan untuk kita sendiri, tetapi untuk
mereka juga," kata Talunjak mantap. "Kita harus menaikkan pungutan-pungutan itu
kalau desa kita ingin maju." Kepala desa itu membawa bangun tubuhnya, kemudian
berjalan menuju sebuah jendela besar.
"Kalau Kawur Apuk merasa keberatan, aku bisa
memberinya keringanan asalkan tidak menghalangi
rencana kita," tegas Talunjak.
"Kurasa, Kawur Apuk akan tetap menghalangi
kenaikan pungutan itu, Kakak Talunjak Dia pernah
mengatakan kalau dirinya akan menghalangi setiap
pungutan yang memberatkan dan mencekik leher pen-
duduk Desa Wargidami," tukas Pituk Lubar.
"Lalu, apa tindakan kita, Kakak Talunjak?" istri Talunjak yang bernama Jamimi
datang menghampiri
dan mengelus-elus punggung suaminya, penuh kelem-
butan. "Kita harus menyingkirkan Kawur Apuk!" lantang suara Talunjak.
Jamimi memandang wajah suaminya penuh
kegembiraan. Hatinya yakin, jika Kawur Apuk berhasil disingkirkan maka dapat
dipastikan tak ada orang
yang akan berani menentang segala keputusan yang
dikeluarkan suaminya. Dan itu merupakan kesempa-
tan bagus untuk memperkaya diri.
"Menurutmu bagaimana, Jamimi?" tangan ka-
nan Talunjak seketika merangkul bahu istrinya dan
membawanya ke hadapan pengikut setianya yang se-
dang bersila. "Aku setuju sekali, Kakak Talunjak. Tapi, apa-
kah Pituk Lubar dan Katilan mampu menghadapi Ka-
wur Apuk yang memiliki ilmu silat tinggi?" Jamimi balik bertanya sambil
memandang wajah Pituk Lubar dan Katilan berganti-ganti.
Talunjak juga ikut memandang kedua pengikut
setianya, seolah ingin meminta kepastian.
"Maafkan kami, Kakak Talunjak. Kami berdua
sudah dapat mengukur kemampuan masing-masing.
Aku merasa, tak akan mampu menundukkan Kawur
Apuk," ucap Pituk Lubar terang-terangan.
"Lalu, apa saran kalian?" sodor Jamimi.
"Bagaimana kalau kita mencari orang sewaan
untuk menyingkirkan Kawur Apuk?" Katilan mengaju-kan saran.
Mendengar usul Katilan, seketika senyum ter-
sungging menghiasi wajah Kepala Desa Wargidami.
"Usul yang bagus," puji Talunjak.
Katilan yang mendapatkan pujian seperti itu
kontan berseri-seri wajahnya. "Siapa kira-kira orang yang pantas, Katilan?"
Katilan tidak segera menjawab. Matanya yang
lebar menatap wajah Pituk Lubar sebagai tanda me-
minta pertimbangan.
"Bagaimana jika Bisal dan kedua temannya?"
sodor Katilan. "Siapa mereka, dan menetap di mana?"
"Bisal adalah salah seorang pimpinan kelompok
Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati," jelas Pituk Lubar.
"Hutan Sulajati" Apakah mereka menetap di
hutan itu?"
Pituk Lubar dan Katilan menganggukkan kepa-
la berbarengan.
Talunjak segera menatap wajah istrinya. "Kau
setuju, Jamimi?"
"Aku tak pernah keberatan, siapa orang sewaan
itu. Yang penting, Kawur Apuk bisa disingkirkan!" tegas Jamimi.
"Kemampuan Tiga Pemenggal Kepala Hutan Su-
lajati tidak usah diragukan lagi, Nyi Jamimi. Tapi...,"
Katilan menghentikan ucapannya. Dan itu sempat
memancing keheranan Talunjak.
"Tapi apa, Katilan?" selidik Talunjak tak sabar.
"Bisal tak pernah bersedia bila disewa melalui perantara. Ketua Tiga Pemenggal
Kepala Hutan Sulajati itu ingin agar orang yang berkepentingan lah yang datang.
Dalam hal ini, Kakak Talunjak sendiri," beber Katilan. "Hm.... Sedemikian
angkuhnya orang-orang sewaan itu," ucap Talunjak, seolah berbicara pada diri
sendiri. Talunjak berpikir keras, mempertimbangkan
saran Katilan. Kepalanya manggut-manggut, dan ke-
ningnya berkerut dalam.
"Aku akan datang ke sana," putus Kepala Desa Wargidami, setelah sejurus lamanya
berdiam diri. *** Pagi-pagi sekali, manakala matahari belum ber-
sinar penuh, Talunjak dan kedua abdi setianya terlihat tengah menggebah kuda
tunggangannya. Suara derap
langkah kuda yang bergemuruh seketika mengisi ke-
sunyian pagi. Tanpa mempedulikan kepulan debu yang mem-
bubung tinggi, ketiga orang itu terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi.
Untuk mencapai Hutan Sulajati dengan berjalan kaki, mereka memang membutuh-
kan tiga perempat hari perjalanan. Namun dengan me-
nunggang kuda yang dipacu cepat tanpa istirahat, ma-ka akan dapat dicapai hanya
dalam waktu setengah
hari saja. Matahari sudah berada tepat di atas ubun-
ubun, ketika Hutan Sulajati sudah nampak dari jarak sepuluh tombak lebih. Ketiga
penunggang kuda itu
nampak berseri wajahnya.
"Itu Hutan Sulajati, Kakak Talunjak," kata Pituk Lubar.
"Hm...."
"Kita harus waspada," jelas Katilan. "Kenapa begitu?" Talunjak menaikkan alis
matanya. "Ketua Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati
selalu menaruh curiga terhadap orang-orang yang
memasuki wilayahnya. Bahkan selalu ingin menjajal
kemampuan orang-orang yang masuk wilayahnya. Ba-
sil dan teman-temannya kerap melancarkan serangan
gelap dan rahasia."
"Terhadap kalian berdua, tentu saja tidak begi-tu kan" Karena, kalian mengenal
Tiga Pemenggal Ke-
pala Hutan Sulajati itu," terka Talunjak.
Katilan tersenyum lebar mendengar ucapan
atasannya. "Tidak begitu, Kakak Talunjak. Aku memang
mengenal Basil. Namun, sebaliknya Basil tidak sepe-
nuhnya tahu siapa aku. Baginya, setiap orang patut
mendapatkan kecurigaan."
"Betul apa yang diucapkan Katilan, Kakak Ta-
lunjuk," dukung Pituk Lubar. Ketiga penunggang kuda itu seketika menarik tali
kekang kudanya secara bersamaan. Empat batang tombak lagi, mulut Hutan Su-
lajati dapat dicapai. Kepala Desa Wargidami itu tampak menatap hutan lebat di
depannya dengan sorot
mata penuh kengerian.
"Kalau begitu, kalian berdua saja yang ke sana.
Biar aku tunggu di sini. Nanti jika keadaan sudah
aman, baru kalian panggil aku," perintah Talunjak.
Kedua abdi setianya tanpa membantah lang-
sung menggebah kudanya. "Heya...!" "Heaaa!"
Sekejap mata saja, kuda yang ditunggangi Pituk
Lubar dan Katilan sudah berada satu tombak di depan mulut Hutan Sulajati. Pituk
Lubar dan Katilan turun dari punggung kuda masing-masing dengan penuh
kewaspadaan. Tubuh mereka tampak menegang, ber-
siap-siap jika sewaktu-waktu terjadi serangan gelap.
Tangan masing-masing tampak meraba gagang senja-
ta. "Hati-hati, Pituk Lubar," ujar Katilan.
Pituk Lubar mengangguk perlahan. Namun
seiring anggukannya, tiba-tiba dua buah senjata berwarna keperakan meluruk cepat
ke arah dua abdi Ke-
pala Desa Wargidami itu.
Sing...! Sing...!
Bunyi berdesing mengiringi serangan senjata
yang meluruk deras. Pituk Lubar dan Katilan cepat
mencabut golok yang terselip di pinggang, dan secepat itu pula tangannya
mengibas-ngibas. Langsung disam-poknya dua senjata yang meluruk ke arah masing-
masing. Irak! Irak!
"Akh!"
"Ugkh!"
Dua bilah golok yang berada di tangan Pituk
Lubar dan Katilan mampu menghadang dua senjata
yang di lempar secara gelap. Akan tetapi, kedua tubuh abdi setia Talunjak itu
jadi terhuyung dua langkah ke belakang. Jerit tertahan keluar dari mulut mereka.
Katilan mengusap tangan kanannya yang ber-
getar hebat. Sejurus lamanya hal itu dilakukan, na-
mun sejurus kemudian tatapan matanya beredar ke
sekitarnya. "Kakang Basil!" teriak Katilan lantang. "Aku, Katilan ada perlu denganmu!" "Ha
ha ha...!"
Sebuah tawa yang terdengar keras tiba-tiba
bergema, memantul dari sisi-sisi hutan.
Talunjak yang berada pada jarak empat tombak
dari mulut Hutan Sulajati terkejut mendengar tawa
yang cukup keras itu. Anggapannya, Tiga Pemenggal
Kepala Hutan Sulajati memiliki kesaktian tinggi.
Tawa yang menggelegar dan bergema pada sisi
hutan seketika lenyap. Tak lama kemudian, tiga sosok bayangan berkelebat cepat
ke arah Pituk Lubar dan
Katilan. "Hip!"
Ketiga sosok yang berkelebat cepat kini telah
mendarat manis di hadapan Pituk Lubar dan Katilan.
Mereka adalah Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati.
"Hm...."
Salah seorang dari Tiga Pemenggal Kepala Hu-
tan Sulajati menatap tajam, merayapi sekujur tubuh
kedua abdi setia Talunjak.
"Apa keperluan kalian berdua dengan kami,
heh"!" keras sekali pertanyaan yang dilontarkan laki-laki berkumis melintang dan
berpakaian putih hitam
itu. "Kami memerlukan kalian untuk menyingkir-
kan salah seorang penduduk yang berkepandaian ting-
gi. Dia kerap menentang keputusan kepala desa," jelas Katilan perlahan.
"Hm.... Apakah kepala desamu ikut bersama
kalian?" lelaki bertubuh tinggi dan berambut jarang mengambil alih pertanyaan.
"Ya," jawab Pituk Lubar, singkat. "Namanya Talunjak." "Suruh dia bicara
langsung!" pinta lelaki bertubuh bulat berpakaian serba hitam. "Baik."
Tanpa diperintah dua kali, Katilan membalik-
kan badan dan berlari cepat ke arah Kepala Desa Wargidami.
*** "Kau Kepala Desa Wargidami?" tanya lelaki berkumis melintang, setelah Talunjak
tiba di hadapannya.
"Betul," jawab Talunjak
"Siapa yang selalu menentang keputusan-
keputusanmu, Ki?"
"Dia penduduk desa kami juga, namun kepan-
daiannya cukup tinggi. Bahkan kami bertiga tak mam-
pu menandingi kepandaiannya. Untuk itu, aku sebagai Kepala Desa Wargidami
berminat meminta bantuan
kalian. Kawur Apuk terlalu tangguh bagi kami," jelas Talunjak.
"Hm.... Kawur Apuk?" gumam lelaki berkumis melintang bernama Basil.
Di benak Basil, seketika teringat kejadian dua
bulan lalu di Desa Margiluyu. Waktu itu, Kawur Apuk datang menghalangi niatnya
untuk membawa secara
paksa anak gadis pemilik kedai.
"Bantit! Bukankah kita pernah bentrok dengan
orang yang bernama Kawur Apuk?" tanya Basil.
"Ya! Kita pernah bentrok dengannya dua bulan
lalu. Sayang, kita tak bisa memenggal kepalanya kare-na kemunculan Pertapa
Gunung Waru yang membawa
lari Kawur Apuk. Dan kita akan tetap membuat perhi-
tungan pada pertapa usil itu! Juga terhadap Kawur
Apuk!" jawab Bantit.
"Kau dengar ucapan Bantit barusan, Ki?" tanya Basil seraya menatap lekat wajah
Kepala Desa Wargidami. "Itu berarti, Kawur Apuk bukan apa-apa bagi Ti-ga
Pemenggal Kepala Hutan Sulajati."
Kepala Desa Wargidami itu menyunggingkan
senyum. "Kalau begitu, aku tak salah pilih," ucap Talunjak dengan raut wajah berseri-
seri. "Betul, Ki Talunjak," timpal Basil. "Tapi, apa imbalan untuk kami jika Kawur
Apuk sudah disingkirkan ke akhirat?"
"Kalian tidak usah khawatir. Sebagai kepala de-sa, aku akan memberi imbalan yang
memuaskan. Bahkan kalau perlu dan kalau kalian tak berkebera-
tan, aku ingin kalian menetap di Desa Wargidami den-
gan jabatan sebagai kepala keamanan," kata Talunjak mantap.
"Ha ha ha...!"
Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati tertawa
bersamaan setelah mendengar janji Kepala Desa War-
gidami. Namun di balik tawa itu, tersimpan maksud
busuk yang bakal mengancam kedudukan Kepala Desa
Wargidami. "Kami pegang janjimu, Ki Talunjak," kata Basil setelah menghentikan tawanya.
"Tentu saja, Basil," balas Talunjak. "Harapan-ku, kalian bertiga dapat
menyingkirkan Kawur Apuk
tanpa sepengetahuan pihak lain."
"Kenapa begitu?" tanya Bantit.
"Demi wibawa ku di mata penduduk Desa War-
gidami," jelas Talunjak.
"Tenang saja, Ki. Aku akan mengatur semua-
nya. Dan Bukit Ular akan ku pilih sebagai tempat memenggal kepala Kawur Apuk.


Raja Petir 05 Dedemit Selaksa Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kau tahu letak Bukit
Ular, Ki?"
Talunjak menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, pancinglah Kawur Apuk agar
bersedia da tang ke tempat itu," putus Basil. "Besok sebelum matahari terbit,
aku sudah berada di sana."
*** 3 Matahari masih lelap dalam peraduannya. Hari
memang masih terlalu pagi. Sehingga, Bukit Ular kini nampak begitu menyeramkan.
Tanahnya dipenuhi kerikil dan bebatuan. Begitu tandus tanpa pepohonan
sama sekali. Di tempat itulah nampak Kawur Apuk
berdiri angker dengan tangan masih menggenggam se-
carik surat tantangan.
Beberapa saat lamanya, Kawur Apuk berdiri.
Bola matanya bergerak-gerak, mengamati sekeliling
Bukit Ular. Cukup lama juga dia berdiri di situ. Namun belum juga dia menggereng
kesal, tak lama muncul
dua sosok tubuh yang dikenalnya. Mereka adalah abdi setia Talunjak, yang bernama
Pituk Lubar dan Katilan.
"Heh! Aku tak habis pikir pada kalian berdua.
Apa kepandaian yang kalian miliki hingga berani me-
nantangku di pagi buta seperti ini. Atau, kalian merasa tak senang kalau selama
ini aku selalu menentang
keinginan-keinginan Talunjak yang semakin gila itu"!"
dengus lelaki bertubuh sedang berpakaian kuning bergaris biru pada bagian
tepinya itu. "Kawur Apuk!" bentak Pituk Lubar. "Sudah jelas kami tidak senang melihat
tingkahmu yang selalu sok pahlawan. Kenapa masih bertanya pula" Dan kalau kami
berani menantangmu, itu artinya sudah
mempunyai kepandaian yang patut ditonjolkan di ha-
dapanmu." "Hm.... Apa kalian tak sayang pada kedudukan
kalian sebagai orang kepercayaan kepala desa bejat
itu" Atau.... Ah! Kalian pasti sudah gila, sehingga tak sayang lagi pada nyawa
kalian sendiri. Dengar baik-baik Pituk Lubar dan Katilan! Kawur Apuk tak pernah
segan-segan menurunkan tangan maut untuk orang-orang bejat seperti kalian!"
hardik Kawur Apuk keras.
"Setan alas! Jangan takabur kau, Kawur Apuk!"
Dengan kemarahan meluap, Pituk Lubar cepat
maju menerjang Kawur Apuk. Goloknya berkelebat ce-
pat ke bagian-bagian tubuh Kawur Apuk yang memati-
kan. Namun, Kawur Apuk bukanlah orang semba-
rangan. Ilmu silatnya cukup tinggi. Terbukti setiap tebasan kuat yang dilakukan
Pituk Lubar, tenang sekali dapat dihindari hanya dengan menggerakkan sedikit
bagian tubuhnya. Bukan itu saja! Dalam keadaan diri yang terserang, Kawur Apuk
sekali-kali mampu memberi balasan yang mematikan. Sodokan-sodokan tan-
gannya yang disertai pengerahan tenaga dalam, tera-
rah lurus ke bagian peka tubuh Pituk Lubar.
"Hih!"
Kembali Kawur Apuk memberi tohokan keras
ke ulu hati Pituk Lubar, setelah terlebih dulu memba-wa turun tubuhnya
menghindari tebasan golok yang
mengarah ke leher.
"Uts!"
Cepat-cepat Pituk Lubar membawa mundur tu-
buhnya. Namun, tak urung tendangan memutar Ka-
wur Apuk membentur keras punggungnya.
Buk! "Akh!"
Pituk Lubar memekik tertahan. Tubuhnya yang
terhantam tendangan memutar Kawur Apuk jadi ter-
huyung ke sebelah kiri. Melihat kesempatan baik di
hadapannya, Kawur Apuk cepat mengambil tindakan
menyerang. Sebatang pedang yang sudah berada da-
lam genggamannya, cepat terayun disertai kekuatan
tenaga penuh. Sementara, Katilan yang menangkap gelagat ti-
dak baik pada diri Pituk Lubar segera melesat. Langsung dipapaknya tebasan
pedang yang diarahkan Ka-
wur Apuk ke bagian kepala Pituk Lubar.
"Hiaaa...!"
Trang! Pagi buta yang gelap gulita, sekejap mata dite-
rangi pijaran bunga api yang timbul akibat benturan dua senjata yang terbuat
dari logam keras. Itu pun
masih diiringi terpentalnya dua sosok tubuh yang sa-ma-sama mengerahkan seluruh
tenaga dalam ke arah
yang berlawanan.
Katilan yang memapak sambaran pedang Ka-
wur Apuk terpental sejauh dua batang tombak Tubuh-
nya jatuh berderak ke tanah berkerikil, hingga menimbulkan kegaduhan. Dari
wajahnya yang agak putih terlihat seringai kesakitan akibat benturan barusan.
Apa yang dialami Katilan ternyata tidak bagi
Kawur Apuk. Tubuhnya memang terlempar ke bela-
kang. Namun berkat kepandaiannya, dorongan itu
berhasil ditahan. Dan dia segera melakukan putaran
dua kali di udara, setelah melenting. Dari benturan keras barusan, Kawur Apuk
hanya merasakan getaran
sedikit pada tangannya. Dan itu menunjukkan kalau
tenaga dalamnya berada di atas Katilan.
"Huh! Kau memang harus mampus, Katilan!"
Kawur Apuk meluruk maju dengan pedang ber-
putaran di atas kepala. Sedangkan Katilan bengong
menyaksikan gerakan lawannya yang begitu cepat. Dia ingin melawan, tapi
tangannya masih terasa lumpuh
akibat benturan tadi. Namun rupanya Katilan tak ingin pasrah menanti maut.
Dengan sisa tenaga yang ada,
dia bertekad menghindari terjangan senjata lawan.
Kawur Apuk yang sudah sampai pada batas
puncak kegeramannya, tak lagi memberi kesempatan
pada Katilan. Pedangnya yang tengah berada di udara terus dibabatkan ke kepala.
Dan Katilan seketika itu juga memejamkan matanya karena ngeri menanti
maut. Trang! Setengah jengkal lagi pedang Kawur Apuk
membelah batok kepala Katilan, tiba-tiba sebuah ben-da berwarna keperakan telah
menggagalkan maksud-
nya. Tubuh Kawur Apuk yang masih berada di uda-
ra kontan terdorong keras ke sisi kiri. Namun berkat kegesitannya, daya dorong
itu mampu dimanfaatkan
dengan menjatuhkan badan seraya bergulingan di ta-
nah berkerikil.
"Ha ha ha...! Ternyata hanya sampai di situ
kemampuan orang yang bernama Kawur Apuk!"
Belum juga bisa ditebak benda yang memapak
serangannya, sudah disusul suara tawa keras yang ke luar dari sesosok tubuh
tegap. Sosok itu terus melenting ringan ke arah Katilan. Tak lama setelah sosok
itu mendarat, dua sosok lain melenting indah dan mendarat tepat di sisi kanan
Katilan. "Kau boleh pergi sekarang, Katilan. Biar aku
yang bereskan bocah edan itu," tukas Basil pelan.
"Atau, kau ingin menyaksikan kehebatan kami dalam menyingkirkan Kawur Apuk?"
Katilan tidak menjawab. Tubuhnya segera di-
geser ke belakang, mendekati Pituk Lubar yang sudah bangkit berdiri.
Kawur Apuk agak terkejut melihat kehadiran ti-
ga sosok yang telah dikenalnya. Namun, keterkejutannya berusaha ditutupi.
"Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati...?" sebut Kawur Apuk perlahan.
"Kau terkejut, Kawur Apuk"!" sentak Basil, ju-mawa. "Cuh!"
"Ha ha ha.... Besar juga nyalimu, Kawur Apuk.
Tapi sayang, nyalimu yang besar itu tak akan sampai melihat matahari terbit
nanti. Nyawamu sebentar lagi
akan kami kirim ke neraka! Bersiaplah!"
Basil yang menjadi pimpinan Tiga Pemenggal
Kepala Hutan Sulajati langsung menggenjot tubuhnya.
Gerakannya begitu cepat dan terarah. Pukulan
tangan kosongnya berkesiur mantap, penuh kekuatan
tenaga dalam. Namun, Kawur Apuk bukanlah orang semba-
rangan dan tak bisa dianggap remeh. Sekali saja matanya sudah mampu menangkap
kelebatan pukulan
tangan kosong dari salah seorang Tiga Pemenggal Ke-
pala Hutan Sulajati. Maka, gerakannya yang tak kalah cepat itu mampu menghindari
serangan mematikan.
Bukan itu saja. Sambil mengelakkan serangan, masih
juga disempatkan melepaskan sambaran tangannya ke
arah ubun-ubun Basil.
"Uts!"
Basil kontan terkejut ketika sodokan tangan
Kawur Apuk sudah berada tepat di atas. Cepat-cepat
tangannya digerakkan ke atas untuk melindungi ba-
gian lunak di kepalanya.
Plak! Benturan keras terjadi ketika dua tangan kokoh
saling bertemu di udara. Tubuh Kawur Apuk yang ten-
gah melayang, seketika terlempar ke belakang dan ber-salto dua kali.
Sementara, Basil tak mampu mempertahankan
diri lagi. Tubuhnya seketika terjerembab karena kehilangan keseimbangannya.
Memang, pijakan kuda-
kudanya tadi salah besar, sehingga tubuhnya sampai
tersuruk. "Setan alas!" maki Basil geram sambil cepat menggerakkan tangannya ke arah
pinggang. Srat! Sebuah senjata yang berbentuk aneh seketika
keluar dari balik pakaian Basil. Senjata yang hampir.
menyerupai kapak, namun bentuknya lebih panjang
Itu telah siap dilepaskan ke arah lawan.
"Kita harus cepat-cepat menyelesaikan pertan-
dingan ini, Kawan!" tukas Basil sambil mengayunkan kapaknya ke arah kepala Kawur
Apuk. Rupa-rupanya,
ucapan Basil sama juga dengan perintah bagi kedua
temannya yang sejak tadi hanya menjadi penonton.
Terbukti, sekarang Bantit dan Baduk ikut merangsek
dengan senjata sama yang di kebut-kebutkan di udara.
Kawur Apuk sedikit terkejut ketika lawannya
meluruk dari tiga jurusan. Hatinya memang tidak gentar menghadapi para
pengeroyoknya. Tapi setidaknya, seluruh kepekaannya harus dikerahkan. Dan itu
tentu saja butuh pengamatan cermat.
Dengan mengandalkan sebatang pedang yang
terhunus di depan dada, Kawur Apuk segera menge-
rahkan jurus 'Gangsing Merenggut Nyawa'. Tubuhnya
seketika berputar cepat. Maka, sebatang pedang yang berada di depannya ikut
berputar. Begitu cepatnya,
hingga tubuh dan pedangnya tak nampak jelas. Hanya
kelebat bayangannya saja yang berputar, mengelua-
rkan deru angin keras.
Trak! Trak! Trak!
Tiga batang senjata yang berada di tangan Tiga
Pemenggal Kepala Hutan Sulajati yang ditebaskan ke tubuh, membentur pedang Kawur
Apuk yang berputar
hebat. Benturan senjata dari logam keras itu sanggup melempar tubuh para
pemiliknya masing-masing. Pekik tertahan pun menyemaraki terpentalnya keempat
sosok tubuh yang bertarung sengit.
Kawur Apuk yang mendapat tekanan dari keti-
ga lawan yang rata-rata berkepandaian tinggi, tentu saja tak dapat menahan
gempuran tenaga dalam lawan
yang dikerahkan secara bersamaan. Tubuhnya terlem-
par lebih jauh daripada lawan-lawannya. Bukan itu sa-ja. Kawur Apuk seketika
merasakan dadanya sesak
bukan kepalang. Dia tahu, dirinya telah terluka dalam.
Dan itu dibuktikan dengan tetesan cairan merah dari sela-sela bibirnya.
"Kurang ajar!" geram Kawur Apuk tertahan.
Dia ingin bangkit menerjang, namun tenaganya
sudah tak mampu lagi menyokong tubuhnya. Kawur
Apuk kembali terjerembab tak berdaya.
Pada jarak beberapa tombak nampak Tiga Pe-
menggal Kepala Hutan Sulajati sudah bangkit berdiri.
Mereka menghunus senjata berbentuk aneh yang su-
dah siap disarangkan ke tubuh lawan.
"Heh! Sekarang kau akan mampus, Kawur
Apuk!" bentak Basil keras.
"Ya! Kita habisi saja sekarang!" timpal Bantit, tak kalah geram. Tubuhnya
seketika melayang menda-hului Ketua Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati.
Kawur Apuk yang masih terkulai di tanah ber-
kerikil, terkesiap melihat kedatangan serangan Bantit.
Namun, nalurinya menyarankan agar segera menghin-
dari serangan sebisanya. Dan memang, dengan sisa
tenaga dicobanya untuk mengelak terjangan senjata
aneh lawannya. "Hiaaat...!"
Bettt! Bettt! "Uts!"
Seorang dari Tiga Pemenggal Kepala Hutan Su-
lajati yang bernama Bantit kaget menyaksikan Kawur
Apuk mampu mengelakkan serangannya. Padahal di
yakini kalau serangannya akan mengenai sasaran.
Basil dan Baduk yang menyaksikan serangan
Bantit berhasil digagalkan lawan, segera saja merang-
sek bersamaan. "Hiaaa...!"
"Hia...!"
Dengan kecepatan penuh, Basil dan Baduk
menerjang tubuh Kawur Apuk yang tak berdaya. Sen-
jata mereka terayun dengan kekuatan tenaga penuh.
Crak! "Aaakh...!"
Kawur Apuk memekik ketika senjata yang di-
ayun Baduk menerpa pahanya. Darah segar kontan
mengalir deras dari pahanya yang kini menganga lebar.
Kawur Apuk kini hanya mampu membelalak-
kan mata dan menggigit bibirnya untuk menahan rasa
sakit yang teramat sangat. Rasa sakitnya berusaha di-kurangi dengan menggigit
bibirnya kuat-kuat. Namun
begitu, kenyataannya Kawur Apuk kini tak lagi mera-
sakan sakit yang teramat sangat, ketika senjata Basil yang ditebaskan ke arah
leher telah mampu memisah-kan nyawa dari raganya. Kepala Kawur Apuk langsung
terpental tanpa menimbulkan suara erangan sedikit
pun. "Ha ha ha...!" Basil tertawa terbahak-bahak menyaksikan tubuh lawannya yang
kini tanpa kepala.


Raja Petir 05 Dedemit Selaksa Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seiring lenyapnya tawa Ketua Tiga Pemenggal
Kepala Hutan Sulajati, dua sosok tubuh berkelebat da-ri balik pohon besar.
Mereka tak lain adalah abdi setia Talunjak Pituk Lubar dan Katilan.
"Kalian telah menyelesaikan tugas dengan
baik," puji Pituk Lubar tanpa sungkan-sungkan.
"Ya! Kalian begitu tangguh dan pantas me-
nyandang julukan Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sula-
jati," timpal Katilan.
Karuan saja pujian itu membuat wajah tiga le-
laki yang berjuluk Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sula-
jati bersemu bangga.
"Hm.... Rupanya kalian baru tahu dengan ke-
hebatan Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati!" ucap Basil pongah.
"Sudah lama sekali aku tahu. Tapi, baru seka-
rang menyaksikan secara langsung," tukas Pituk Lubar membanggakan.
"Ah ya, Pituk Lubar. Sebentar lagi, matahari
terbit. Kita harus segera meninggalkan tempat ini dan melaporkan keberhasilan
Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati dalam menyingkirkan Kawur Apuk pada
Kakak Talunjak," ingat Katilan.
"Betul! Sebaiknya kita lekas-lekas angkat kaki dari bukit ini," timpal Bantit.
Sejenak lima pasang mata saling berpandangan
satu sama lain. Sejurus kemudian, manakala sepasang kaki masing-masing menjejak
kuat di tanah berkerikil, semuanya berkelebat cepat meninggalkan sosok tubuh
berpakaian kuning bergaris hitam yang tergeletak tan-pa nyawa dan tanpa kepala.
Sementara, sinar matahari mulai muncul menyirami maya pada. Dan kicau bu-rung
mulai terdengar bersahut-sahutan. Kelima sosok tubuh yang berkomplot membunuh
Kawur Apuk kini
sudah pergi menuju rumah kepala desa.
*** "Ha ha ha...!" Talunjak tertawa keras mendengar laporan Pituk Lubar. Tubuhnya
yang padat berisi, berguncang-guncang hebat. "Kalian bertiga memang pantas
menyandang julukan itu! Ha ha ha.... Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati
ternyata bukan sebuah julukan kosong."
"Tentu saja, Ki Talunjak," putus Basil dengan
dada dibusungkan. "Anak muda semacam Kawur Apuk sebetulnya bukan tandingan kami.
Ilmu silatnya ternyata masih dangkal. Itulah karenanya, sebelum ma-
tahari terbit, kami berhasil mengirim mayatnya ke neraka. Ha ha ha.... Jangankan
hanya seorang Kawur
Apuk. Tokoh-tokoh sakti golongan putih yang lain pun, sudah banyak yang mampus
dengan leher putus terbabat senjata kesayanganku ini."
Basil segera memamerkan senjatanya yang ber-
bentuk aneh. Darah mengering masih nampak di
ujung senjata yang begitu pipih.
"Kalian memang hebat! Jadi, pantaslah mene-
rima imbalan yang memuaskan. Kalian bersedia men-
jadi kepala keamanan di desa ini" Kalian juga bisa
menagih pungutan pada penduduk, dan mempunyai
wewenang untuk menghajar penduduk yang tak mau
membayar pungutan itu. Dan, jika penduduk desa ini
membandel, kalian berhak menyita harta mereka. Dan
harta-harta itu akan kita kumpulkan semuanya di sini!
Ha ha ha...!"
Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati ikut ter-
bahak-bahak. Begitu juga Pituk Lubar dan Katilan.
Hanya Jamimi, istri Talunjak, yang tersenyum-senyum saja. "Kapan kami bertiga
harus melaksanakan pungutan itu, Ki Talunjak?" tanya Basil setelah tawa masing-
masing reda. "Kalian sudah tak sabar rupanya?" ledek Kepala Desa Wargidami.
Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati terse-
nyum mendengar gurauan Talunjak.
"Mulai besok, kalian dapat menarik pungutan-
pungutan yang selama ini menunggak!" putus Talunjak dengan senyum simpul
tergambar di wajahnya.
Talunjak rupanya cukup puas terhadap orang-
orang sewaannya. Dia puas, karena sebentar lagi penduduk Desa Wargidami betul-
betul menjadi patuh pa-
da perintah dan keinginannya. Tidak seperti ketika
Kawur Apuk masih hidup dan membela mereka.
"Kami, Tiga Pemenggal Kepala Hutan Sulajati,
akan melaksanakan tugas itu besok pagi, Ki Talunjak.
Pagi-pagi sekali."
*** 4 Malam yang tanpa ditemani rembulan, berjalan
begitu mengerikan. Suasana Desa Kapuratu nampak
begitu lengang. Padahal, matahari belum begitu lama terbenam ke peraduannya.
Akan tetapi, kenapa pintu
rumah penduduk semuanya sudah terkunci rapat"
Adakah sesuatu yang telah terjadi di desa ini"
Malam yang lengang, kini diisi derap kaki kuda
yang semakin lama terdengar semakin jelas. Dan jika ditilik dari suaranya yang
bergemuruh, itu berarti bukan hanya seekor kuda saja yang memasuki Desa Ka-
puratu. Selang beberapa lama, nampak segerombolan
orang berkuda terlihat berhenti di depan sebuah bangunan yang cukup megah.
Seekor kuda hitam pekat
yang berada paling depan seketika merendahkan tu-
buhnya. Kuda itu seolah sudah mengerti kalau maji-
kannya yang bertubuh kerdil ingin turun.
Lelaki yang tingginya tidak lebih dari setengah
batang tombak itu seketika menjejakkan kakinya ta-
nah. Tatapannya yang jalang menyebar ke seluruh su-
dut Desa Kapuratu. Di belakangnya, nampak puluhan
lelaki bertampang angker yang masih duduk punggung
kuda. Mereka rata-rata bersenjatakan sebatang tom-
bak berwarna merah.
"Kalian semuanya menyebar! Jangan bergerak
maju sebelum ada perintah dariku!" ujar lelaki pendek berpakaian hijau terang
dengan sending warna hitam
terselip di pinggang.
Puluhan lelaki yang masih duduk di punggung
kuda masing-masing seketika berpencar keempat arah.
Suara derap kaki kuda yang menderu kembali mengisi
kelengangan malam.
"Nyalakan obor-obor kalian!"
Suara menggelegar yang keluar dari mulut lela-
ki kerdil itu bergema keras. Dan tentu saja suara itu di kerahkan melalui
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Lempar obor-obor itu, cepat!"
Seketika obor-obor itu dilemparkan ke arah
atap-atap rumah penduduk yang hanya terbuat dari
rumbia. Maka dalam sekejap saja, api telah membakar dan menyebar ke tiap-tiap
sudut rumah. Sebentar Sa-ja, penduduk yang baru saja hendak berangkat tidur,
menjadi kalang-kabut. Mereka berteriak-teriak ketakutan, melihat rumahnya
terbakar. "Ha ha ha...!"
Lelaki bertubuh kerdil itu tertawa lepas me-
nyaksikan penduduk Desa Kapuratu berlarian lintang-
pukang. Rasa takut dan cemas akan keselamatan,
membuat penduduk Desa Kapuratu berlarian tak tentu
arah. Namun rupanya, laki-laki kerdil yang bernama Jenggol itu mengambil
tindakan yang keji. Kapak kecil bergagang panjang yang tergantung di pinggang
laki-laki berjuluk Setan Kerdil Seruling Maut itu seketika tercabut. Dengan
gerakan begitu cepat, kapak yang be-
rada di tangannya diayun-ayunkan ke arah penduduk
yang lari ketakutan.
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Jerit kematian yang memilukan seketika men-
gisi kebisingan malam, akibat jeritan penduduk yang rumahnya terlalap api. Itu
pun masih ditambah jerit kematian penduduk yang terbabat kapak si Setan Kerdil
Sending Maut. Bukan itu saja. Puluhan lelaki anak buah Se-
tan Kerdil Sending Maut juga bertindak sama. Akibatnya, puluhan penduduk makin
banyak yang berjatu-
han. Tubuh-tubuh mereka terkulai di tanah dengan
darah mengucur deras dari bagian tubuh yang ter-
koyak akibat terhantam senjata anak buah lelaki bertubuh kerdil.
Akan tetapi kejadian itu tidak berlangsung la-
ma. Pada saat berikutnya, terdengar bentakan menggelegar yang membuat perbuatan
keji Jenggol dan anak
buahnya terhenti.
Jenggol yang mendapatkan keusilan itu tentu
saja marah besar. Hatinya langsung terbakar api ke-
marahan. "Kurang ajar!" hardik Setan Kerdil Sending Maut. "Siapa yang berani menghalangi
pekerjaanku, akan kuhancurkan batok kepalanya. Keluarlah...!"
Tiba-tiba sesosok bayangan putih berkelebat di
hadapan lelaki bertubuh kerdil yang mengaku berjuluk Setan Kerdil Sending Maut
itu. Sebegitu cepatnya, ta-hu-tahu saja telah mendarat manis satu setengah ba-
tang tombak di hadapan Setan Kerdil Sending Maut.
"Aku yang akan menghalangi perbuatan keji-
mu, Tikus Comberan! Aku paling tak suka melihat
perbuatan pengecut!"
"Hm...," gumam Setan Kerdil Sending Maut, meskipun hatinya panas mendengar
dirinya dihina sebagai tikus comberan. "Lancang sekali mulutmu, Tua Bangka!"
"Kelancangan ini semata-mata bukan kemaua-
nku, Kakek Kerdil. Tetapi, karena ulahmulah yang
mengundangku untuk berbuat lancang seperti ini!"
sangkal lelaki berusia sekitar setengah abad lebih.
Jenggotnya putih dengan rambut digelung ke atas. Te-lunjuknya tampak menuding
lelaki kerdil di hadapan-
nya. "Mahisa Ireng! Rasa-rasanya kita tak pernah punya urusan. Maka, kuharap kau
segera angkat kaki
dari tempat ini. Dan jangan coba-coba berurusan denganku!" ancam lelaki bertubuh
kerdil itu. "Kau kenal denganku, berarti harus tahu pula
tabiat ku, Jenggol!" balas lelaki berpakaian putih yang ternyata bernama Mahisa
Ireng. "Aku paling tidak suka bila pekerjaanku di-
ganggu orang lain, Mahisa Ireng! Dan aku tak segan-
segan bertindak kejam pada orang-orang yang usilan
macam kau!"
Mahisa Ireng tersenyum mendengar ucapan
Jenggol yang berjuluk Setan Kerdil Sending Maut. Namun, senyumnya seketika
lenyap seiring berhambu-
rannya anak buah lelaki kerdil itu. Matanya langsung melirik ke arah orang-orang
berwajah kasar yang
mengurungnya itu.
"Sejak dulu, di sinilah letak perbedaan antara orang-orang persilatan golongan
hitam dengan golongan putih. Orang-orang golongan hitam rata-rata me-
nonjolkan kepengecutannya. Tidak jantan dan suka
main keroyok" ledek Mahisa Ireng ketus. "Tapi orang-orang golongan putih, tak
pernah gentar menghadapi
keroyokan yang bagaimanapun banyaknya!"
"Kurang ajar! Bacot bau mu mesti dibungkam,
Mahisa Ireng!" maki Jenggol berang. "Serang...!"
Empat lelaki berwajah kasar yang sejak tadi
menghunus sebatang tombak berwarna merah sekejap
mata merangsek maju. Tombak mereka berkelebat ce-
pat, berdesing, menukik ke arah bagian-bagian tubuh Mahisa Ireng yang mematikan.
Namun, perbuatan empat lelaki pengecut itu
bukanlah apa-apa bagi Mahisa Ireng yang tetap berdiri tenang Sekali lihat saja
bisa diketahui, mana senjata yang datang lebih dahulu mengancam dirinya.
Plak! Plak! Dua orang penyerang terdahulu yang menga-
rahkan senjatanya ke bagian leher dan perut Mahisa
Ireng kontan terjengkang pada arah yang berlawanan.
Dari mulut mereka, keluar pekikan tertahan. Ini merupakan pertanda kalau tenaga
dalam orang yang dis-
erang jauh lebih tinggi!
Belum sempat Mahisa Ireng menarik pulang
tangannya yang digunakan untuk menangkis, tiba-tiba terasa angin berkesiur dari
arah belakang. "Pembokong pengecut!" maki Mahisa Ireng. Sekilas matanya melirik ke belakang,
dibarengi tendangan menyamping ke belakang.
"Akh!"
Seorang penyerang yang membokong seketika
terpekik. Tubuhnya terpelanting keras ke kanan, terhajar tendangan Mahisa Ireng.
Sing...! Sing...!
Dua batang tombak yang dilempar disertai pen-
gerahan tenaga dalam tinggi, dilakukan dua anak
buah Setan Kerdil Sending Maut. Tombak-tombak itu
meluncur deras ke arah tubuh Mahisa Ireng yang pe-
ka. Sedangkan Mahisa Ireng nampaknya agak sedikit
terkejut. Padahal, dirinya tengah diserang dari samping kiri dan kanan.
Dengan cepat, Mahisa Ireng memutar otaknya.
Maka segera dijambaknya tubuh penyerang yang bera-
da di sebelah kanan.
Tubuh lelaki berwajah kasar anak buah Setan
Kerdil Sending Maut itu dicekal Mahisa Ireng begitu kuat. Dan manakala dua
batang tombak yang meluncur deras sedikit lagi mengenai sasaran, Mahisa Ireng
segera mengangkat tubuh lelaki berwajah kasar itu.
Crab! Crab! "Akh!"
Dua batang tombak yang meluncur deras, kon-
tan memanggang tubuh anak buah Setan Kerdil Send-
ing Maut yang dijadikan tameng oleh Mahisa Ireng.
Bukan itu saja. Dengan kecepatan gerak yang cukup
mengagumkan, Mahisa Ireng mencabut dua batang
tombak yang memanggang tubuh lelaki yang sudah
tak bernyawa. Dan dengan kecepatan luar biasa, ke-
dua tombak itu dilemparkan ke arah dua orang mu-
suhnya yang merangsek maju. Akibatnya....
"Akh...!"
"Aaa...!"
Dua tubuh anak buah Setan Kerdil Sending
Maut kembali terpanggang tombak miliknya sendiri.
Pekik kematian seketika terdengar menyayat.
"Kurang ajar!" geram si Setan Kerdil Sending Maut Matanya terbelalak lebar
menyaksikan tiga anak buahnya yang hanya segebrakan saja sudah jadi
mayat. "Kalian semua, minggir!"
*** Sambil menggeram hebat, Jenggol menyuruh
anak buah kelas duanya menyingkir. Tangannya yang
berbentuk tidak sempurna pun dikibaskan ke kanan
dan kiri. Maka anak buahnya yang mengerti isyarat itu segera menepi dari arena
pertarungan. Sebentar Jenggol mendengus-dengus, namun
sebentar kemudian mulutnya sudah berteriak lantang.
"Teragi! Lungkais! Wancur! Serang kakek tak


Raja Petir 05 Dedemit Selaksa Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu diri itu!"
Tanpa membantah lagi, murid utama Setan
Kerdil Sending Maut langsung merangsek maju. Senja-
ta mereka yang berupa dua batang tombak berukuran
pendek, ditusukkan ke bagian tubuh lawan yang me
matikan. Semula, Mahisa Ireng masih mampu menan-
dingi serangan bergelombang yang dilancarkan murid-
murid utama Setan Kerdil Sending Maut, tanpa hams
mengeluarkan jurus-jurus pamungkasnya. Namun ke-
tika menyadari betapa berbahayanya serangan lawan-
lawannya, maka jurus-jurus ampuh segera dikelua-
rkannya. "Hiaaa...!"
Pukulan lurus Mahisa Ireng yang dilancarkan
ke bagian dada salah seorang anak buah Jenggol, berkelebat begitu cepat Namun
bukan main, terkejutnya
Mahisa Ireng ketika serangannya berhasil dikandaskan begitu saja. Dan yang lebih
mengejutkannya lagi, orang yang ditujunya tahu-tahu sudah lenyap dari
hadapannya. "Ilmu setan," gumam Mahisa Ireng.
Urat-urat syaraf Mahisa Ireng seketika mene-
gang. Jelas, dia tengah meningkatkan kewaspadaan
tinggi. Srat! Mahisa Ireng segera meloloskan pedang dari
warangkanya. Sinar kebiru-biruan seketika memendar
dari pedang yang tertimpa cahaya api yang masih
membakar rumah penduduk yang belum sempat dipa-
damkan. Begitu pedang bersinar kebiruan keluar, dua
anak buah Setan Kerdil Sending Maut menyergap tu-
buh Mahisa Ireng dengan sepasang tombak pendek
Trang! Trang! Percikan bunga api berpentalan ketika pedang
Mahisa Ireng berhasil menggagalkan tusukan dua ba-
tang tombak yang terarah ke lambung dan tulang
iganya. "Akh!"
Ketiga orang yang masing-masing membentur-
kan senjata terdengar memekik tertahan. Tubuh mere-
ka juga kelihatan terhuyung beberapa langkah.
Dan pada kesempatan itulah Jenggol mencabut
seruling maut dari pinggangnya, lalu seketika dis-
elipkan di antara kedua bibirnya yang berbentuk lebar.
Ketiga anak buah Jenggol yang berada di dekat
Mahisa Ireng seketika bergerak cepat ke arah pimpi-
nannya. Begitu cepat gerakan mereka, hingga sekejap mata sudah berdiri di
belakang Jenggol.
Mahisa Ireng merasa aneh menyaksikan ting-
kah laku anak buah Setan Kerdil Seruling Maut. Seta-hunya, laki-laki kerdil itu
tak menyuruh anak buahnya bergerak mundur.
Belum lepas Mahisa Ireng dari perasaan aneh-
nya, Jenggol telah menggerakkan bibirnya yang lebar dan tebal.
"Ngiiingngng...!"
Mahisa Ireng yang belum menutup pendenga-
rannya merasakan bunyi itu begitu menyiksa. Namun
ketika mencoba mengimbangi dengan mengerahkan
tenaga dalamnya, bunyi bising itu seketika mengendur.
Setan Kerdil Seruling Maut yang melihat Mahi-
sa Ireng tengah memusatkan pikiran untuk menangkal
bunyi bising ciptaannya, kembali menggerakkan bibirnya yang tebal dan lebar.
Maka seketika itu juga....
Werrr...! Puluhan jarum berwarna hijau tampak melun-
cur keras dari ujung seruling yang ditiup Jenggol dengan kekuatan tenaga dalam
penuh. Puluhan jarum be-
racun mematikan itu terus meluruk cepat, mencecar
tubuh Mahisa Ireng.
Merasakan adanya hawa dingin dan arah de-
pan, Mahisa Ireng sudah dapat menduga kalau lawan-
nya tengah melancarkan serangan gelap yang mengan-
dung racun ganas. Maka begitu merasakan hawa din-
gin, secepat itu pula pedangnya yang bersinar kebiruan diputar-putar. Putarannya
begitu cepat hingga
yang nampak hanya sinar keperakan yang berpadu si-
nar biru bergulung-gulung mengurung permukaan tu-
buh Mahisa Ireng.
Trak! Trak! Puluhan jarum beracun yang dilancarkan
Jenggol ke tubuh Mahisa Ireng seketika berpentalan tersapu putaran pedang yang
begitu cepat. Namun, ki-ranya Setan Kerdil Seruling Maut tak kehabisan akal
untuk cepat menjatuhkan lawan. Sekali lagi bibir te-balnya bergerak, puluhan
jarum beracun kembali me-
luruk cepat. Pada saat Mahisa Ireng sibuk memutar-mutar
pedangnya, Jenggol dengan kekuatan tenaga dalam
penuh menjejakkan kakinya ke tanah. Tubuhnya yang
kerdil seketika meluncur ke arah Mahisa Ireng yang
tengah di sibuki oleh puluhan jarum beracun. Begitu
manis gerakannya. Sambil berputaran dua kali di uda-ra, Jenggol melewati kepala
Mahisa Ireng. Ketika Setan Kerdil Seruling Maut menjejak ta-
nah! seketika itu pula kapak kecil bergagang panjang yang entah kapan tercabut,
tahu-tahu sudah di ki-baskannya ke bagian tubuh Mahisa Ireng.
Crak! "Akh...!"
Mahisa Ireng kontan memekik tertahan ketika
punggungnya terhantam benda tajam dari belakang.
Darah seketika mengucur dari bagian tubuhnya yang
terluka. Rasa nyeri yang teramat sangat seketika rasa.
Mahisa Ireng hampir saja terjerembab kalau tak lekas memusatkan pikiran dan
melakukan lentingan cepat
ke depan, setelah berhasil meruntuhkan puluhan ja-
rum beracun Setan Kerdil Seruling Maut.
"Licik kau, Jenggol!" geram Mahisa Ireng setelah berhasil menguasai dirinya,
meski sempat oleng
ketika menjejakkan kaki ke tanah.
"Ha ha ha.... Mahisa Ireng, Mahisa Ireng. Sudah sejak awal kusarankan agar tak
mencari urusan denganku. Tapi, tetap saja bandel. Kau harus belajar lagi untuk
dapat mengalahkan Setan Kerdil Seruling Maut, Mahisa Ireng! Belajarlah di
kuburan sana! Hiaaa...!!
*** 5 Jenggol yang dikenal berjuluk Setan Kerdil Se-
ruling Maut kembali menjejakkan kaki kuat-kuat. Tu-
buhnya yang tingginya tak lebih dari setengah batang tombak kembali melayang di
udara. Sementara, tan-
gannya yang berbentuk tidak sempurna terayun den-
gan kapak tergenggam erat.
Wrrr...! Seperti ada dorongan angin puyuh dari arah
depan, tubuh Jenggol yang tengah berada di udara ti-ba-tiba terpental balik ke
belakang. Angin bergulung ketika mengejar tubuh Setan Kerdil Seruling Maut
yang nampak terjajar ke belakang. Namun belum sem-
pat angin yang bergulung dahsyat itu menggulung, si Setan Kerdil Seruling Maut
telah lebih dahulu melempar tubuhnya ke kanan. Tubuh kerdil itu seketika
bergulingan cepat di tanah. Lalu sekejap mata tubuhnya sudah melenting dan
berputaran indah dua kali.
"Hip!"
Setan Kerdil Seruling Maut mendarat manis.
Matanya nampak terbelalak lebar ke arah seorang pe-
muda yang tahu-tahu sudah berdiri di dekat Mahisa
Ireng. Usianya begitu belia, dengan pakaian serba kuning keemasan.
"Nghmmm...!"
Jenggol menggeram keras. Matanya berkilat-
kilat menandakan kemarahannya sudah mencapai
ubun-ubun. "Hm.... Rupanya kau, Raja Petir"! Sungguh tak
kusangka kalau orang yang terkenal dalam dunia per-
silatan mau melakukan hal seperti barusan itu. Sebagai pendekar yang mengaku
dari golongan putih, seharusnya tidak menyerangku yang dalam keadaan seperti
tadi! Serangan gelap mu sudah cukup membuktikan
kecurangan dan kelicikanmu, Raja Edan!" maki Jenggol seenaknya. "Dan ternyata,
kau juga seorang pendekar usilan!"
Pemuda berpakaian kuning keemasan yang
ternyata Jaka Sembada mengembangkan senyumnya
mendengar ucapan lelaki bertubuh tak lebih dari se-
tengah batang tombak itu.
"Rupanya kau mengenalku, Kisanak," kilah Ja-ka sopan.
"Jangan sombong kau!" dengus Setan Kerdil Seruling Maut kesal. "Biar
bagaimanapun santernya julukan dan kehebatanmu, tapi aku si Setan Kerdil Se-
ruling Maut tak gentar!"
"Maaf, Kisanak. Sebetulnya aku tak berminat
tarung denganmu. Tindakanku barusan hanya ingin
membebaskan bapak ini dari renggutan kematian, ki-
lah Jaka sambil menunjuk ke arah Mahisa Ireng.
"Bocah sombong! Tindakanmu barusan, bu-
kankah sama saja mengajakku bertarung?"
"Tidak juga, Kisanak. Kalau saja kau mau me-
nurunkan kesabaran, kemungkinan pertarungan itu
terjadi adalah hal yang mustahil," bantah Jaka tetap tenang. "Setan belang!
Serang anak muda sombong itu!"
Tiga murid utama Jenggol yang bernama Tera-
gi, Lungkais, dan Wancur meluruk maju ke arah Raja
Petir yang tetap berdiri pada tempatnya. Mereka langsung menusukkan tombak ke
arah Jaka. "Hih!"
Sepasang tombak pendek yang dihunjamkan ke
ulu hati Jaka seketika terpental balik. Dengan kecepatan dan kekuatan penuh,
tangan kanan Raja Petir me-
nyampok tombak lain yang terarah dengan keras. Seo-
rang anak buah Jenggol yang mencoba menikam, seke-
tika terpental, begitu tombaknya disampok Raja Petir.
Trak! Trak! Kembali serangan sepasang tombak anak buah
Jenggol berhasil dimentahkan Jaka. Sama halnya yang di alami penyerang
sebelumnya, lelaki berwajah kasar
itu pun terpental setelah terlebih dahulu memekik keras.
"Kurang ajar!"
Melihat hal ini, Setan Kerdil Sending Maut se-
gera melesat untuk turut membantu serangan anak
buahnya. Kapak kecil bergagang panjang yang ter-
genggam kuat diayun-ayunkan, disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi. Suara menderu mengiringi ti-
banya tebasan-tebasan yang demikian sengit.
"Mampus kau, Bocah!"
"Ups!"
Jaka memiringkan sedikit tubuhnya, ketika ka-
pak kecil bergagang panjang milik Jenggol terayun
mengarah ke lambungnya. Sekilas, gerakan yang dila-
kukan Raja Petir sembarangan dan seperti tanpa per-
hitungan. Tapi, siapa yang dapat menyangka kalau tarikan badan Jaka yang
dibarengi sodokan mantap, ti-
ba-tiba melayang ke arah dada Jenggol yang terbuka
lebar. "Hah"!"
Setan Kerdil Seruling Maut terkejut menyaksi-
kan serangan yang begitu mendadak. Dia ingin menge-
lak, tetapi hal yang demikian itu dirasakannya akan sia-sia belaka. Maka dengan
mengalirkan seluruh kekuatan pada pergelangan tangannya, Jenggol mencoba
memapak. Plak! "Akh!"
Jenggol memekik tertahan. Tubuhnya langsung
terhuyung beberapa langkah ke samping.
Sementara Jaka yang juga merasakan tenaga
dalam lawan cukup kuat pada kepalan tangannya, jadi terjajar satu langkah. Dan
itu menandakan kalau tenaga dalamnya lebih unggul daripada si Setan Kerdil
Seruling Maut "Tak percuma namamu disebut-sebut orang,
Raja Petir. Kukira, kehebatanmu yang dibicarakan
hanya sebuah bualan belaka. Tapi nyatanya, kau me-
mang sedikit punya kebolehan," kata Setan Kerdil Seruling Maut, seperti
memanasi. Jaka yang memang murah senyum, kembali
tersenyum. "Terserah apa katamu, Kisanak," timpal Jaka.
"Tapi, aku tak yakin kalau kau mampu menga-
lahkan seruling maut ku ini, Raja Petir. Kusarankan berhati-hatilah!" gertak
Setan Kerdil Seruling Maut Seketika itu, Jenggol menarik mundur kakinya.
Serulingnya yang berada di tangan, segera ditempelkan pada sepasang bibirnya
yang lebar dan tebal.
"Hati-hati, Raja Petir," saran Mahisa Ireng khawatir. "Orang kerdil itu sangat
licik" "Akan kuperhatikan saran mu, Kisanak," jawab Jaka tanpa menoleh.
Mata Raja Petir menatap tajam, memperhati-
kan, gerakan lucu yang dilakukan lelaki kerdil berjulukan Setan Kerdil Seruling
Maut. Dari gerakannya
yang hendak meniup seruling warna hijau, dapat di-
pastikan kalau lelaki kerdil itu akan menciptakan kebisingan melalui
serulingnya. Karenanya, sebelum
bunyi itu tercipta, Jaka telah terlebih dahulu me-
nyumbat jalan pendengarannya.
Dua kali bibir Setan Kerdil Seruling Maut ber-
gerak Namun tak terlihat kalau lawannya yang jauh
lebih muda terpengaruh oleh senjata yang selama ini menjadi andalannya. Setan
Kerdil Seruling Maut nampak heran menyaksikan Jaka yang seperti tidak ber-
tindak apa-apa.
Raja Petir memang sengaja mengatur pengera-
han tenaga dalamnya. Tak heran bila lawannya tak
melihat kalau sesungguhnya dia telah bertindak untuk melawan pengaruh bising
dari seruling yang ditiup melalui pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Pantas saja julukannya Raja Petir. Tenaga da-
lamnya begitu tinggi," gumam Setan Kerdil Seruling Maut. Tubuh Jenggol yang
tingginya tak lebih dari setengah batang tombak, seketika melejit cepat. Tangan
kirinya yang menggenggam kapak kecil bergagang panjang, menyabet-nyabet
mengancam pertahanan lawan.
"Hiaaa...!"
Bet! Jaka cepat merundukkan kepalanya, menghin-
dari kelebatan kapak kecil yang demikian cepat disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi. Namun tanpa disangka-sangka, gerakan lelaki


Raja Petir 05 Dedemit Selaksa Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kerdil berpakaian hijau terang itu ternyata hanya sebuah tipuan belaka. Buktinya
sebuah sambaran kaki
yang mendadak dilepaskan hampir saja menghantam
dada Jaka. "Uts!"
Dengan kecepatan penuh, Raja Petir melempar
tubuhnya ke samping kanan dan bergulingan di tanah
beberapa kali. Dan mendapat kesempatan baik itu, Setan Ker-
dil Seruling Maut kembali menghentakkan nafasnya ke mulut seruling. Maka....
Wrrr...! Puluhan jarum beracun seketika meluruk deras
ke arah tubuh Jaka yang tengah bergulingan. Hawa
dingin yang menyertai datangnya senjata beracun itu membuat Raja Petir cepat-
cepat melenting. Kemudian, kakinya mendarat seraya melepaskan jurus 'Pukulan
Pengacau Arah'. Wusss...!
Angin keras bergulung seketika keluar dari te-
lapak tangan Jaka yang terbuka. Angin bagai topan itu terus meluruk cepat,
menghadang kedatangan puluhan jarum beracun yang dikirim Setan Kerdil Seruling
Maut. Kras! Puluhan jarum beracun yang dilepaskan Jeng-
gol seketika berhamburan ke berbagai arah terhantam angin ciptaan Raja Petir.
Nampak Mahisa Ireng dan
beberapa anak buah Jenggol sibuk menghindari ter-
jangan jarum-jarum beracun yang nyasar ke arah me-
reka. Rupanya, Setan Kerdil Seruling Maut pun men-
galami hal yang sama. Beberapa jarum beracun milik-
nya yang terpental balik, mengancam tubuhnya sendi-
ri. Akibatnya kapak kecil yang bergagang panjang harus diputar-putar. Angin
menderu keluar dari kapak
yang diputar dengan cepat.
Trak! Trak! Sisa jarum beracun milik Setan Kerdil Seruling
Maut yang terpental balik, seketika juga dapat dilumpuhkan. Namun, tak urung
hari tokoh sesat itu sendiri sedikit ciut.
"Kau memang hebat, Raja Petir!" puji Setan Kerdil Seruling Maut sambil mengatur
nafasnya yang memburu. "Kali ini, aku belum bisa menandingi mu.
Tapi suatu saat nanti, Setan Kerdil Seruling Maut akan datang lagi untuk
menuntut balas atas keusilan mu
mencampuri urusan orang lain!"
Selesai berkata demikian, lelaki kerdil berjuluk
Setan Kerdil Seruling Maut itu melesat pergi diikuti si-sa anak buahnya.
Sejurus lamanya Raja Petir menatap kepergian
lelaki kerdil itu. Namun sejurus kemudian, kakinya telah bergerak menghampiri
lelaki setengah baya berpakaian putih yang bernama Mahisa Ireng.
"Lukamu perlu mendapatkan pertolongan sece-
patnya, Kisanak," ujar Jaka sopan.
"Terima kasih atas bantuanmu, Raja Petir," balas lelaki berpakaian putih.
"Panggil aku Mahisa Ireng."
"Namaku Jaka Sembada, Ki Mahisa Ireng. Tapi
lebih sering dipanggil Jaka saja," sahut Jaka memenuhi permintaan Mahisa Ireng.
Lelaki berusia setengah baya itu tersenyum
menyaksikan tata krama Raja Petir yang tersohor itu.
Dalam hari, dia bersyukur dapat dipertemukan dengan sosok yang akhir-akhir ini
ramai dibicarakan kalangan rimba persilatan.
"Sebentar aku membantu memadamkan api du-
lu, Ki Mahisa," pamit Jaka.
Seketika itu juga, Raja Petir berbaur dengan
penduduk Desa Kapuratu untuk memadamkan sisa-
sisa api yang masih menjilati sebagian rumah di desa itu.
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 10 Pendekar Bloon 1 Neraka Gunung Bromo Dendam Empu Bharada 10
^