Pencarian

Dendam Empu Bharada 10

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 10


hanya bersifat lebih memantapkan hubungan antara Singasari dengan Daha.."
Serta merta pa h Aragani menghaturkan sembah sebagai pertanyaan akan melaksanakan tah
baginda. Hari keberangkatan utusan yang dipimpin pa h Aragani itu ditetapkan dua hari lagi. Pa h
Aragani dititahkan pula untuk memilih rombongan pengikutnya.
Segera berita tentang maklumat baginda itu tersiar luas di seluruh pura Singasari. Dari kalangan
mentri senopa di pemerintah sampai pada para kawula, semua membicarakan, hal itu. Banyak
yang was-was, banyak pula yang tak setuju tetapi tak kurang yang memuji langkah baginda sebagai
ndakan yang amat bijak. Tetapi pada umumnya, yang setuju dan memuji ndakan baginda itu,
lebih besar jumlahnya. Malam itu patih Aragani dikejutkan dengan kedatangan seorang tetamu. Prajurit keputihan
yang menghaturkan laporan tak kenal pada tetamu itu. Tetapi dia mengatakan bahwa tetamu
itu mempunyai urusan penting hendak menghadap patih.
"Siapkan prajurit lengkap untuk menjaga segala kemungkinan," perintah pa h Aragani. Ia
memang agak syak mendapat kunjungan seorang tetamu yang tak mau memberitahukan namanya.
Kemudian ia suruh prajurit membawa tetamu itu masuk menghadapnya.
Ia agak terkejut ke ka melihat seorang pertapa setengah tua melangkah masuk dengan
membawa sebatang tongkat. Langkahnya agak terseok.
Atas pertanyaan Aragani, pertapa itu mengatakan bernama begawan Rangki. "Hamba hendak
membicarakan suatu masalah pen ng dengan gus pa h. Mohon gus pa h menitahkan para
pengawal berjaga diluar."
"Hamba guru dari Mahesa Rangkah dan kedatangan hamba menghadap ki pa h tak lain karena
terdorong oleh rasa berat ha menolong penderitaan murid hamba," kata pertapa setelah para
pengawal patih Aragani menyingkir keluar.
"Apakah yang terjadi dengan Mahesa Rangkah?" patih Aragani agak heran.
"Beberapa hari yang lalu, Mahesa Rangkah telah menemui hamba dan menangis, menyerahkan
jiwa raganya kepada hamba. Waktu hamba tanya, dia mengatakan bahwa dia sedang menderita
kehancuran ha . Dia menyatakan tak mau lagi bekerja sebagai bhayangkara keraton Singasari dan
akan mengasingkan diri mengikuti jejak hamba sebagai pertapa."
"Ah, tentu ada sesuatu yang penting sekali sehingga dia sampai sedemikian putus asa."
Pertapa itu menghela napas.
"Anakmuda memang terlalu tinggi cita- citanya, terlalu besar keinginannya. Rasanya ingin hatinya
memeluk gunung apabila tangan sampai."
"Hm" desuh pa h Aragani "ki begawan belum menerangkan persoalan itu dengan jelas" ia
memberi peringatan lagi. "Sebelumnya hamba mohon ampun apabila kata2 yang hamba persembahkan ini tak berkenan
diha ki pa h" kata begawan itu "tetapi memang beginilah beratnya menjadi seorang guru
menghadapi tangis muridnya."
"Ki begawan" kata Aragani "apakah sesungguhnya yang hendak tuan bawa kemari "."
"Benarkah bahwa baginda Kertanagara telah memutuskan untuk menikahkan puterinya dengan
pangeran Ardaraja dari Daha"."
Patih Aragani mengiakan. "Puteri yang manakah akan baginda kenankan menjadi isteri pangeran itu"."
"Belum tahu" kata Aragani "baginda mempunyai beberapa orang puteri."
"Bukankah puteri yang sulung bernama Dyah Ayu Tribuwana?" begawan itu menegas pula.
"Ya." "Tentulah puteri sulung yang akan dianugerahkan baginda kepada pangeran itu "."
"Ya" kata pa h Aragani "hak baginda untuk memutuskan puteri yang mana yang akan
dianugerahkan kepada pangeran Ardaraja.."
"Ki pa h" kata begawan Rangki " dakkah tuan tahu bahwa sebenarnya dalam keputren keraton
Singasari itu telah berkecamuk bara asmara yang hangat"."
Patih Aragani terkesiap. "Apakah yang ki begawan maksudkan"."
"Dalam lingkungan dinding keraton yang dijaga ketat oleh puluhan tombak dan pedang prajurit
bhayangkara dan dikungkung oleh adat is adat keraton yang keras, lelatu itu mbul, membara dan
menyalakan api asmara diantara dua insan yang digariskan sebagai dwi-tunggal kehidupan oleh
dewata tetapi dipisahkan oleh derajat dan pangkat oleh kehidupan."
Pa h Aragani merentang mata, menatap begawan itu lekat2, ujarnya "Ki begawan, benar2 aku
tak menger apa yang engkau maksudkan. Ki begawan datang kemari hendak membawa
keterangan ataukah hendak menimbulkan kebingungan"."
Begawan Rangki tertawa. "Api itu telah menyala di dada seorang bhayangkara muda dan sanubari seorang puteri keraton."
"Siapa?" seru patih Aragani.
"Tidakkah tuan dapat merangkaikan hal itu dengan kedatanganku menghadap kemari ?" tanya
begawan Rangki. "Mahesa Rangkah murid ki begawan itu?" seru Aragani.
Begawan Rangki mengangguk. "Benar, ki pa h. Muridku si Rangkah itu memang tak tahu diri dan
tak kenal pada nasibnya sehingga berani bermain api asmara dengan salah seorang puteri
baginda.." "Siapa?" kembali patih Aragani bertanya.
"Sang puteri ayu Tribuwana, ki patih."
"Hai" teriak Aragani "Mahesa Rangkah berani menggoda puteri baginda "."
Begawan Rangki berkata dengan tenang, "Jangan tuan menuduh anak itu menggoda. Asmara
bukan digoda, bukan pula dikobarkan. Karena api itu tumbuh dan membara sendiri.."
Pa h Aragani memandang begawan itu dengan tajam, serunya, "Begawan, kesalahan murid ki
begawan, menjadi tanggung jawab ki begawan pula. Layakkah seorang prajurit bhayangkara berani
bermain asmara dengan puteri raja "."
Begawan Rangki tertawa ringan.
"Asmara adalah perasaan ha yang paling suci dan agung. Kesuciannya bagaikan bunga padma
yang tetap pu h bersih walaupun hidup dalam kolam lumpur. Keagungannya bagai sinar sang
surya yang menerangi alam jagad raya tanpa membedakan si kaya dan si miskin, raja dengan sudra.
Berdosakah Ken Arok bermain asmara dengan Ken dedes yang telah menjadi isteri akuwu Tumapel
itu "." Patih Aragani tertegun. "Dalam segala hal, aku sanggup bertanggung jawab atas ngkah laku muridku si Rangkah, tetapi
dalam hal asmara, aku tak kuasa mencegahnya. Haruskah Mahesa Rangkah kubunuh karena berani
bermain asmara dengan puteri ayu Tribuwana"."
"Tuan seorang begawan yang telah mendambakan diri dalam kesucian. Mengapa masih
mencampuri urusan keduniawian ?" tegur patih Aragani.
"Kedatanganku kemari tak lain hanya atas permintaan muridku agar peris wa itu dihaturkan ke
hadapan ki patih." "Lalu apa maksudnya memberitahukan hal itu kepadaku?" tanya Aragani.
"Bagi si Rangkah yang telah mabuk kepayang itu, lebih baik ma daripada hidup ada
bersanding dengan sang puteri."
"Hm" dengus Aragani "adakah dia bermaksud hendak merampas gusti puteri"."
"Jika demikian" kata begawan Rangki "tentu Rangkah tak meminta aku menghadap kemari. Dia
dapat langsung melaksanakan rencana itu.."
Patih Aragani kerutkan dahi.
"Lalu apa maksudnya"."
"Dia hendak menghaturkan permohonan agar tuan berkenan menerimanya sebagai anakbuah
pengiring tuan ke Daha.."
"Itukah keinginannya?" Begawan Rangki mengiakan.
"Apa maksudnya "."
"Ia akan membunuh pangeran Ardaraja ..." '
"Gila!" teriak patih Aragani "dengan begitu jelas dia hendak mencelakai diriku !."
"Bagaimana tuan dapat mengatakan begitu "."
"Jika pangeran Ardaraja terbunuh, bukankah baginda Kertanagara dan raja Jayakatwang akan
mempertanggung jawabkan peristiwa itu kepadaku "."
"Tidak" begawan Rangki gelengkan kepala "ki pa h takkan terlibat dalam peris wa itu. Rangkah
akan melakukan rencana itu seorang diri. Dia akan mencari kesempatan untuk menyelundup ke
dalam keraton Daha dan membunuh pangeran itu.."
"Bagaimana mungkin"."
"Tentu tuan masih meragukan kedigdayaan Rangkah. Tetapi seluruh ilmuku telah kuturunkan
kepadanya. Dia dapat memancarkan aji Penyirepan dan sanggup berhadapan dengan berpuluh
prajurit.." "Tetapi dengan cara bagaimanakah dia akan melepaskan diriku dari tanggung jawab atas
pembunuhan itu ?" masih Aragani menegas.
"Sudah tentu dia mempunyai cara tersendiri" kata begawan Rangki "dia takkan ber ndak sebagai
seorang anakbuah pengiring tuan tetapi sebagai seorang pemuda lain.."
"Adakah ki begawan merelakan dia membunuh pangeran Ardaraja ?" ba2 pa h Aragani
mengajukan pertanyaaan yang tajam.
"Membunuh termasuk salah satu perbuatan yang dikutuk dalam agama kami dan agama lain"
sahut begawan Rangki "tak kurang pula nasehat yang kutanamkan dalam ha anak itu namun dia
tetap tak mengendap keputusannya."
"Tetapi dia masih bertugas dalam keraton," kata patih Aragani pula.
"Dia akan minta idin untuk pulang menjenguk ibunya yang sakit atau memakai alasan lain yang
dapat diterima oleh ki patih Kebo Anengah."
"Baik" akhirnya Aragani menyanggupi "dia boleh menggabungkan diri dalam rombongan
pengiringku. Tetapi harus dijaga janganlah dia sebagai Mahesa Rangkah melainkan sebagai seorang
lain." Demikian setelah persepakatan telah dicapai, begawan itupun minta diri. Begawan itu bergegas
menuju ke luar pura. Dan ditempat yang sunyi dia segera menyelundup ke dalam sebuah gerumbul
pohon. Tak berapa lama ia muncul lagi, bukan sebagai begawan melainkan sebagai Mahesa
Rangkah. Ternyata begawan yang diakunya sebagai guru itu tak lain adalah dirinya sendiri. Karena
hanya dengan jalan itu, dapatlah ia mengiringkan patih Aragani untuk masuk ke keraton Daha.
Ia bergegas menuju ke pura dan terus menyiapkan segala sesuatu agar dua hari lagi ia sudah
dapat meninggalkan tugas dan ikut pada rombongan patih Aragani.
Dalam pada itu, pa h Aragani masih duduk termenung-menung mengenangkan pembicaraannya
dengan begawan Rangki tadi.
"Hm, lancang benar Mahesa Rangkah," gumamnya dalam ha "dia berani memikat puteri
Tribuana, berani pula menyanggupi untuk membunuh pangeran Ardaraja.."
Tiba2 pula pa h Aragani teringat akan beberapa peris wa. Kedatangan pemuda yang membawa
surat dari pangeran Ardaraja supaya diserahkan kepada bekel Kalingga. Tetapi bekel itu menolak
untuk memberi keterangan kepada siapa surat itu harus ia serahkan kemudian karena mendapat
tekanan akhirnya mengaku kalau surat itu sedianya akan ia berikan kepada Kebo Anengah. Dan
ternyata setelah Kuda Panglulut menemui pa h Kebo Anengah di Blambangan, ternyata pa h itu
menyangkal sekeras-kerasnya bahkan marah sekali. Dengan demikian jelas, bekel Kalingga
berbohong. Kemudian tentang hilangnya bekel Lingga yang disuruhnya melaksanakan rencana untuk
memancing beberapa orang Daha yang terlibat dalam peris wa hilangnya gong pusaka Empu
Bharada itu. Lalu yang terakhir, munculnya secara aneh, gong kerajaan Singasari yang dijadikan umpan oleh
kedua pengalasan yang diutusnya yani Seta Arang dan bekel Lingga. Gong itu terletak di halaman
keraton tanpa diketahui oleh seorang prajurit penjaga. Pada hal jelas prajurit2 pengawal keraton
itu tak melihat barang seorang luar yang masuk kcdaiam keraton.
Merangkaikan beberapa peris wa itu dengan ngkah ulah Mahesa Rangkah, hampir renungan
Aragani menjurus kearah bekel bhayangkara itu.
"Bukankah dia yang harus menerima surat dari pangeran Ardaraja itu " Bukankah dia yang
menyembunyikan bekel Lingga" Bukankah dia pula yang meletakkan gong itu di halaman keraton
"." Sesaat ia menumpahkan pertanyaan2 yang menuduh Mahesa Rangkah.Beberapa saat kemudian
baru berpikir: "Jika dia bersekutu dengan pangeran Ardaraja, mengapa dia berkeras hendak membunuh
pangeran itu ?" pertanyaan pertama mendapat tantangan dari jawaban yang dirangkainya. Dan
terbenturlah tuduhan pertama itu pada karang yang keras. Serentak tuduhan itupun berantakan.
Untuk kecurigaan yang kedua, iapun sukar untuk menemukan jawaban, mengapa Mahesa
Rungkah harus menyembunyikan bekel Lingga. Apakah kepentingannya ia melakukan hal itu.
Demikian pula dengan tuduhan ke ga. Dari mana Mahesa Rangkah memperoleh gong kerajaan
Singasari sehingga dapat diletakkan dalam halaman keraton" Bukankah menurut keterangan Seta
Arang, gong itu telah hilang ketika di lembah gunung Polaman "
Makin merenung, makin kacaulah benaknya. Makin ingin menyingkap peris wa itu makin
terbenamlah ia dalam alam kegelapan.
Sekonyong-konyong ia terkejut mendengar derap langkah kaki di luar pintu. Cepat ia berpaling
dan serempak pada saat itu pintupun terbuka" dan "O, engkau Kuda Panglulut" seru pa h Aragani
ketika melihat siapa yang datang.
Kuda Panglulut segera menghadap rama mentuanya.
"Tentu membawa urusan pen ng engkau sampai menghadap rama pada saat semalam ini" kata
patih Aragani pula. "Benar, rama" Kuda Panglulut memberi hormat "mohon rama memaa an kelancangan hamba
ini." "Ah, tak apa, anakku" kata Aragani, "untuk se ap berita yang pen ng, terutama dari engkau
anakku, rama selalu siap menerima.."
"Dari seorang anakbuah hamba yang kebetulan habis, datang dari Tumapel ...."
"Mengapa dia keTumapel?"tukas Aragani.
"Dalam rangka untuk menyelidiki jejak bekel Lingga, rama."
"O, benar, benar" patih Aragani mengangguk, "lalu bagaimana laporannya "."
"Anakbuah hamba itu melaporkan bahwa di gedung kediaman dharmadhyaksa seperti tertampak
seseorang yang menyerupai bekel Lingga."
"Oh" desuh pa h Aragani "jika demikian bawalah pasukan dan geledah rumah dharmadhyaksa
itu." Kuda Panglulut menghela napas.
"Rama" katanya "apabila memang nyata demikian, tentulah hamba akan membawa pasukan
untuk meminta kepada dharmadhyaksa empu Raganata supaya menyerahkan bekel Lingga. Tetapi
hamba masih bersangsi, rama. Benarkah orang itu bekel Lingga, masih belum diketahui jelas. Se ap
ndakan yang tergesa-gesa tentu akan menimbulkan rasa kurang senang pada dharmadhyaksa
empu Raganata.." "Hm" dengus Aragani "tetapi masakan dia berani melawan, kekuasaan kerajaan"."
Terdengar Kuda Panglulut menghela napas pula.
"Tetapi rama" ujarnya "persoalan ini ada sangkut pautnya dengan kerajaan. Apabila baginda
mendengar, urusan bahkan akan berlarut lebih panjang. Bukankah bekel Lingga rama tahkan
untuk membawa gong kerajaan Singasari ke Daha" Dan bukankah gong itu telah hilang di lembah
Polaman" Jika baginda mendengar hal itu, kurang baiklah akibatnya bagi rama."
Aragani tertegun lalu mengangguk kepala.
"Lalu bagaimana rencanamu ?" tanyanya sesaat kemudian.
"Hamba akan melakukan penyelidikan secara terselubung. Ar nya, hamba akan masuk ke gedung
kediaman dharmadhyaksa empu Raganata secara sembunyi. Apabila hamba berhasil membuk kan
bahwa orang itu benar bekel Lingga, barulah hamba akan membawa pasukan untuk memintanya
kepada empu Raganata."
Aragani menghela napas. "Memang cara itu baik sekali" katanya "tetapi engkau harus tahu,Panglulut, bagaimana perangai
dedongkot tua Raganata itu. Dia seorang yang keras kepala dan kukuh. Apabila dia memang telah
melindungi bekel Lingga ....."
"Hamba rasa bukan melindungi, rama" tukas Kuda Panglulut "tetapi menahan bekel Lingga."
"Menahan "."
"Ya" sahut Kuda Panglulut "kemungkinan dia tentu menerima permintaan dari seseorang untuk
menahan bekel Lingga disitu.."
"O, maksudmu bekel Lingga ditawan"."
Kuda Panglulut mengangguk "Ya. Karena apabila tak dikekang kebebasannya tentulah bekel itu
sudah menghadap rama.."
"Tetapi angger" masih Aragani cemas " dakkah berbahaya sekali memasuki gedung kediaman
empu tua itu " Ketahuilah, Panglulut, walaupun Raganata itu seorang tua tetapi dia memiliki
kedigdayaan yang mengejutkan.."
"Ya, benar," kata Kuda Panglulut "hamba-pun mendengar keterangan orang tentang diri empu
tua itu. Tetapi hambapun mendapat laporan bahwa gedung kediaman empu tua itu tak dijaga
prajurit maka agak mudahlah untuk memasukinya.."
"Ah" Aragani menghela napas "tetapi lebih baik suruh salah satu seorang anakbuah
kepercayaanmu untuk memasuki kediaman empu tua itu. Jangan engkau terburu nafsu untuk
bertindak sendiri.."
Kuda Panglulut tahu bahwa ayah mentuanya itu mencemaskan keselamatannya. Pada waktu2
biasa, memang pa h Aragani sangat kasih kepadanya. Ia tak tahu apakah kasih pa h itu memang
ditujukan kepada dirinya ataukah demi kepen ngan puterinya yang menjadi isterinya itu. Karena
patih Aragani sangat memanjakan sekali kepada puterinya itu.
"Tetapi rama" kata Panglulut "rasanya hanya hamba yang mampu memasuki gedung kediaman
empu Raganata.." "Lebih baik diatur begini, angger" kata Aragani "suruh salah seorang anakbuahmu masuk.
Apabila dia tak muncul lagi, segeralah engkau bawa anak pasukan untuk meminta kepada empu
Raganata. Dalam hal ini engkau mempunyai landasan kuat ber ndak atas nama pasukan Singasari
yang hendak menolong seorang anakbuahnya.."
Setelah merenung akhirnya Kuda Panglulut setuju.
Ia segera minta diri dari hadapan rama mentuanya dan langsung menuju ke tempat rombongan
prajurit. Oleh pa h Kebo Anengah, dia diberi tugas untuk mengepalai pasukan keamanan dalam
pura Singasari. Ia memiliki seratus prajurit.
Sebenarnya keselamatan pura Singasari berada di-bawah penilikan tumenggung Wirakre yang
diangkat sebagai mentri angabaya. Tetapi karena sungkan dengan pa h Aragani maka pa h Kebo
Anengah pun membentuk sebuah pasukan keamanan pura yang bertugas untuk meronda
keamanan. Sedang pasukan yang menjaga pura Singasari tetap di bawah pimpinan tumenggung
Wirakerti. Kuda Panglulut membawa duapuluh prajurit menuju ke Tumapel. Memang wewenangnya
meliputi keamanan Singasari dan Tumapel. Ia memerintahkan rombongan prajurit yang berkuda
itu turun dan berjalan menuju ke gedung kediaman empu Raganata, adhyaksa Tumapel.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kepung gedung adhyaksa dari jarak agak jauh," perintahnya pula. Kemudian ia memanggil
seorang prajurit "Kamal, bawalah tiga orang kawan menghadap adhyaksa Raganata.."
Prajurit itu mengiakan dan mengundurkan diri.
"Saprang" ia memanggil seorang prajurit yang bertubuh agak pendek "bawalah seorang kawan
dan masuklah ke dalam gedung adhyaksa dari pintu sebelah belakang.."
Sesaat Kamal menghadap pula bersama ga orang prajurit "Tanyakanlah kepada adhyaksa
apakah bekel Lingga berada disitu. Usahakan supaya engkau dapat melibat adhyaksa dalam
pembicaraan yang lama supaya memberi waktu bagi Saprang masuk dari pintu belakang.."
Setelah menerima perintah, Kamal dan ber ga kawannya segera berangkat, kemudian Saprang
bersama seorang prajurit.
Saat itu hampir menjelang tengah . malam. Keadaan gedung kediaman adhyaksa empu
Raganata sunyi senyap. Tentulah penghuni gedung sudah tidur semua. Namun karena
mendapat perintah, Kamal tak menghiraukan hal itu. Ia mendebur pintu berulang kuli.
Beberapa saat kemudian terdengar palang pintu dibuka orang dan pada lain saat daun pintu pun
terentang. Seorang lelaki tua muncul sambil mengusap-usap mata. Rupanya pandang matanya
masih kabur dibuai tidur lelap.
"Siapakah yang tengah malam begini mendebur pintu ?" tegur lelaki tua itu dengan suara parau.
"Gus , hamba prajurit keamanan yang sedang meronda" kata Kamal "hamba melihat seorang
lelaki yang menyerupai bekel Lingga masuk ke dalam gedung ini.."
"Apa ?" lelaki tua itu rentangkan mata lebar2.
"Hamba melihat seorang lelaki yang gerak geriknya mencurigakan telah menyelundup masuk ke
dalam gedung paduka, gus ." Kamal mengulang kata-katanya. Ia tahu bahwa empu Raganata itu
bekas seorang patih kerajaan maka ia tetap berbahasa "gusti' kepadanya.
"Engkau keliru melihat," sahut lelaki tua itu "sejak siang tadi kami tak menerima tetamu barang
seorang pun juga. Gusti adhyaksapun tiada di rumah.."
"Ha ?" Kamal terbeliak "apakah engkau bukan gusti adhyaksa Raganata"."
"Lihat yang jelas, masakan diriku layak menjadi gusti adhyaksa."
"Dan siapakah engkau "."
"Aku bujang tua Sonto."
"Setan !" hardik Kamal "jika tahu begitu, tak perlu kupanggil engkau gus . Lalu kemanakah
gustimu "." "Gustiku sedang ke Singasari."
"Jika demikian engkau tentu dapat memberi keterangan" kata Kamal "dimanakah bekel Lingga
bersembunyi"." Bujang Sonto seorang tua yang jujur. Waktu mendengar pertanyaan itu wajahnya agak berobah.
Tetapi cepat ia menyahut "Aku tak tahu dan memang tak ada orang yang datang kesini.."
Kamal yang bermata tajam segera dapat mengetahui perobahan airmuka Sonto "Hm, bohong
engkau! Jika engkau tak mau memberi keterangan yang benar, terpaksa aku harus menggeledah
gedung ini." "Apa ?" Sonto terbelalak "engkau berani memasuki dan menggeledah gedung kediaman gus
adhyaksa Raganata "."
"Aku adalah anakbuah pasukan keamanan Singasari. Aku hendak mencari bekel Lingga yang
hilang dan menurut keterangan salah seorang kawan, dia tampak berada dalam gedung ini.."
"Tidak!" teriak hamba tua itu "jika engkau mau menggeledah, engkau harus tunggu dan minta
idin kepada gusti adhyaksa.."
"Dia tidak dirumah."
"Tunggu saja," Sonto terus hendak mengatubkan daun pintu tetapi saat itu Kamal sudah maju
dan mendorong daun pintu sehingga Sonto agak terjerembab ke belakang.
"Ringkus dia" Kamal memberi perintah dan seorang kawannya segera mengikat hamba tua
itu. Tetapi tua sekalipun umurnya, Sonto juga tak mau menyerah begitu saja. Ia meronta,
memukul prajurit itu dan terus lari kedalam.
Kamal berempat mengejarnya. Sonto muncul dengan membawa golok. "Jika kalian tak mau pergi,
aku akan mengamuk !."
Kamal tertawa seraya maju menghampiri "Cobalah engkau tabas dadaku ini" ia membusungkan
dada menantang. Sonto terkesiap. Ia sudah tua dan tak pernah berkelahi. Tetapi menghadapi ngkah laku
kawanan prajurit yang liar itu, ia nekad. Tetapi waktu Ramal song-songkan dada menantang supaya
dibacok, Sonto terkesiap.
"Jangan memaksa aku membunuhmu" teriak kakek itu "lekas enyah dan datanglah besok saja
apabila gusti adhyaksa sudah berada di rumah."
"Ha, ha. ha" Kamal tertawa "tanganmu gemetar, engkau takut melihat darah, lebih baik engkau
berikan golok itu kepadaku," sambil berkata Kamal ulurkan tangannya.
"Apakah engkau benar2 tak mau mendengar kata-kataku "'."
"Berikan golokmu itu !" ba2 dengan sebuah gerak yang amat cepat, tangan Kamal sudah
menyambar lengan Sonto dan dicengkeramnya keras2.
"Auh" Sonto mengerang kesakitan dan lepaskan goloknya. Rupanya tak puas Kamal hanya
merebut golok Sonto, karena setelah berhasil mencengkeram lengan bujang tua itu, ia terus
memelin rnya ke belakang sehingga tubuh Sonto ikut berputar. Kini tangannya telah diteliku
Kamal, dilekatkan pada punggungnya.
"Katakan, dimana orang itu" kata Karnal seraya mengisar lengan Sonto agak naik keatas
punggung sehingga Sonto meraung kesakitan. Dahi bujang tua itu mulai bercucuran keringat.
Namun ia tetap tak mau bicara.
"Eh, kakek, apakah engkau benar2 tak mau mengatakan. Jika begitu, akan kupatahkan tulang
lenganmu ...." Kamal terus hendak menyorongkan lengan Sonto keatas bahu.
"Lepaskan!" sekonyong-konyong Kamal dan ke ga kawannya terkejut mendengar sebuah
lengking teriakan yang nyaring, penuh kemarahan.
Ke ka mereka berpaling ternyata dari dalam sebuah ruang, muncul seorang anak lelaki berusia
lebih kurang duabelas tahun. Wajahnya yang cakap tetapi sepasang matanya tampak merah dan
berkilat-kilat. Anak itu menghampiri ketempat Kamal.
Melihat anak itu Sonto terkejut dan ketakutan, "Raden, jangan kesini, pergilah raden ...."
Tetapi anak laki itu tetap menghampiri dan menuding Kamal "Lepaskan! Apa engkau tak dengar
"." Entah bagaimana, suara anak laki itu dan terutama sikapnya yang berani, terasa mempunyai
perbawa yang membuat Kamal lepaskan tangan Sonto "Siapa engkau ?" seru Kamal seraya
menghadapi anak itu. "Aku Mandira." "Putera gusti Raganata"."
"Ya" sahut anak laki itu "siapa kalian dan mau apa kalian datang kemari "."
"Kami prajurit peronda keamanan dari Singasari. Kami melihat bekel Lingga memasuki
gedung ini maka kami hendak membawanya."
"Siapa bekel Lingga ?" tanya anak itu. Rupanya dia tak tahu kalau ramanya, Raganata, telah
menerima Lingga berlindung disitu.
"Bekel bhayangkara keraton Singasari" sahut Kamal.
"Tidak ada" jawab Mandira "disini tak pernah terdapat orang luar yang masuk."
Sejenak Kamal terkesiap tetapi pada lain saat ia berkata pula "Ah, raden, janganlah raden
melindungi orang yang bersalah. Dia mendapat tugas dari gus pa h Aragani tetapi kemudian
melarikan diri dan bersembunyi disini.."
"Hm" Mandira mendengus, "jangan sembarang menuduh. Apa wewenangmu untuk memasuki
rumah ini pada waktu malam begini.."
"Kami pasukan peronda keamanan. Dimana terlihat sesuatu yang mencurigakan, kami berhak
untuk bertindak.." "Tetapi disini tak ada orang yang engkau cari itu !."
"Terpaksa kami akan melakukan penggeledahan, raden," kata Kamal "jika memang tak ada,
kamipun segera akan tinggalkan tempat ini.."
"Tetapi kalian baru menduga, belum pas . Tidak layak kalau ber ndak pada waktu begini
malam" kata Mandira pula.
Kamal tertawa "Bukankah raden putera dari gus Raganata" Jika demikian tentulah raden dapat
mewakili gusti Raganata untuk menyaksikan kami melakukan penggeledahan."
"Besok rama pulang" jawab pemuda kecil itu dengan nada lancar "lebih baik kalian datang besok
saja. Aku tak berani lancang memberi idin.."
"Hm" desuh Kamal "jika raden yakin bahwa dalam gedung ini ada bekel Lingga, mengapa raden
takut meluluskan permintaan kami "."
"Bukan karena takut" sahut Mandira "tetapi karena perbuatan kalian ini melampaui batas
kelayakan. Rama adalah dharmadhyaksa Tumapel, bekas pa h kerajaan Singasari dan kalian hanya
rombongan peronda keamanan. Bagaimana berani kalian hendak melakukan penggeledahan
kediaman rama pada tengah malam begini"."
Kamal terkesiap. Ia mendapat kesan bahwa pemuda kecil itu memang berani dan pandai bicara.
"Raden, tugas keamanan dak membedakan mentri dengan rakyat, kaya dengan miskin. Dimana
tempat kami menaruh kecurigaan, disitulah kami akan bertindak."
"Jika hal itu memang sudah nyata, kalian boleh bertindak" sahut Mandira "tetapi baru dugaan,
belum pasti. Maka lebih baik kalian datang kembali besok pagi, jangan pada tengah malam
begini.." "Tidak bisa" seru Kamal "waktu amat berharga, siapa tahu bekel itu akan melarikan diri malam
ini." "Kalian boleh menjaga rapat disekeliling gedung ini !" seru Mandira pula.
"Kakang Kamal" ba2 salah seorang prajurit maju menghampiri Kamal "rasanya tak perlu kakang
membuang waktu. Lebih baik kita bertindak."
"Raden" kata Kamal "harap memberi idin."
"Tidak!" Mandira berteriak seraya menghadang dengan bercekak pinggang "ini rumahku, jangan
engkau bertindak sekehendakmu."
Kamal berpaling ke ka kawannya yang berada di-samping, menggamitnya. Ia memberi anggukan
kepala. Dan prajurit itu segera melangkah maju kehadapan Jaka Mandira "Raden, jika engkau tak
mau memberi idin, terpaksa kami hendak bertindak."
Prajurit itu ulurkan tangan hendak menyiak pemuda kecil itu. Sekonyong-konyong Mandira
songsongkan tangan menebas. Yang diarah adalah pergelangan siku lengan orang. Prak .... prajurit
itu menjerit kesakitan. Lengannya serasa dijalari suatu aliran tenaga keras sehingga lunglai. Pada
saat tubuhnya ikut mengendap ke-bawah, Mandira menyerempaki pula dengan sebuah tebasan ke
leher. "Auh ...." prajurit itu mengerang kesakitan dan terseok-seok ke belakang.
Peris wa itu mengejutkan Kamal dan kedua kawannya yang lain. Mereka tak menduga bahwa
anak sekecil itu mampu merubuhkan kawannya.
"Tangkap!" Kamal memberi perintah dan kedua prajurit itupun segera menerjang. Tetapi
Mandira sanggup menghadapi mereka. Dia bergerak kian kemari, menghindar dan balas memukul
sehingga kedua prajurit itu hampir kewalahan.
Kamal makin terkejut. Ia memperha kan bahwa putera empu Raganata itu memiliki ilmu
kanuragan yang baik. Andaikata tenaganya sudah mencapai tataran nggi, tentulah kedua prajurit
itu akan rubuh. "Memalukan" diam2 Kamal mengeluh dalam ha "apa kata Kuda Panglulut apabila aku dan
ketiga kawanku gagal karena dikalahkan oleh seorang pemuda kecil."
Kamal memperha kan gerak putera Raganata itu. Pada saat pemuda kecil itu membelakanginya
dan tengah menangkis serangan kedua prajurit, ba2 Kamal ber ndak. Dengan sebuah gerak yang
tak terduga-duga dan cepat sekali, ia segera menghantam tengkuk Mandira sekeras-kerasnya,
krak..... "Jangan!" teriak Kamal ke ka melihat kedua kawannya hendak memukul tubuh Mandira yang
rubuh, "dia sudah pingsan."
"Kakang Kamal" seru prajurit yang dikalahkan Mandira tadi "lebih baik kita bunuh saja bersama
bujang tua itu. Jika kita nggalkan mereka hidup, mereka tentu akan mengadu kepada empu
Raganata dan empu tentu akan melapor kehadapan baginda"
Kamal bersangsi. "Benar, kakang Kamal" kata pula prajurit yang lain" jika kita lenyapkan mereka, empu tentu tak
tahu siapa yang telah membunuh puteranya."
"Tetapi raden Kuda Panglulut dak memberi perintah kita untuk melakukan pembunuhan" kata
Kamal "lebih baik kita ikat dia saja. Kita nanti laporkan pada raden Panglulut."
Mandira pingsan. Tangan dan kakinya diikat. Demikian pula bujang tua Sonto. Setelah itu Kamal
dan ke ga kawannya lalu masuk ke dalam. Mereka bertemu dengan Saprang dan kawannya "Empu
Raganata tak berada di rumah, engkau dapat melakukan penyelidikan dengan leluasa," kata Kamal
kepada Saprang. Kawanan prajurit itu segera menggeledah gedung kediaman adhyaksa. Tetapi mereka tak
menemukan suatu apa. Akhirnya mereka kembali ke ruang depan "Mungkin kawan yang melihat
bekel Lingga berada di gedung ini, salah lihat," kata Kamal.
"Bagaimana dengan anak dan bujang tua ini ?" tanya Saprang "jika mereka sadar, tentu dapat
melapor pada empu Raganata."
"Kalian tunggu disini" kata Kamal "aku hendak menemui raden Kuda Panglulut. Kalau dia
memerintahkan supaya dibunuh, kita bunuh."
Kamal segera bergegas meninggalkan gedung kediaman adhyaksa empu Raganata. Ia menghadap
Kuda Panglulut dan melaporkan peristiwa yang terjadi.
Setelah merenung beberapa saat, Kuda Panglulut berkata "Memang benar. Anak dan bujang tua
itu pasti dapat menimbulkan bahaya bagi kita. Lebih baik selesaikan saja mereka."
Bergegas Kamal kembali ke gedung adhyaksa, disambut dengan pandang penuh penan an oleh
beberapa kawannya. Ayam sudah berkokok, mereka harus lekas2 tinggalkan gedung itu.
Memang dharmadhyaksa empu Raganata hidup dengan sepi. Walaupun dia bekas pa h kerajaan
dan kini menjadi adhyaksa di Tumapel, tetapi dia tak mau menerima penjaga, baik pemberian dari
kerajaan sebagai pengawal atas kedudukannya, maupun memelihara sendiri.
Ia seorang tua yang jujur dan sederhana. Iapun seorang mentri yang setya kepada kerajaan.
Karena kesetyaannya, ia rela dicopot sebagai pa h daripada menutup mulut melihat ndakan2
baginda Kertanagara yang dianggapnya bersifat ahangkara. Bukan pangkat yang menjadi ukuran
pengabdiannya kepada kerajaan. Ia tak malu atau kecewa karena ndakan baginda terhadap
dirinya itu. Selama masih menjadi narapraja, bahkan sebagai kawula biasapun, ia tetap akan
membaktikan tenaga dan pikirannya untuk kepentingan Singasari.
Dalam rumah, ia hanya memelihara seorang bujang tua Sonto, yang sudah ikut padanya sejak
muda. Sonto mempunyai isteri yang ikut nggal dalam gedung adhyaksa. Empu Raganata hanya
mempunyai seorang putera yang baru berumur duabelas tahun. Memang agak terlambat empu
Raganata menikah. Pada usia empat-puluh lima tabun, baru ia menikah dan ke ka isterinya
melahirkan putera, isteri itupun meninggal. Puteranya bernama Lembu Mandira. Walaupun hanya
berputera satu tetapi empu Raganata tak mau memanjakannya. Ia mendidik Mandira dengan
keras. Bahkan dikirimnya putera itu kepada seorang resi yang nggal di gunung Arjuna untuk
mengaji ilmu. Ia sendiri merasa tak sempat untuk mendidik dan mengajar puteranya itu.
"Bagaimana kakang Kamal" teriak beberapa prajurit yang menunggu dengan tak sabar.
"Raden Panglulut memerintahkan supaya mereka dibunuh" kata Kamal.
"Siapa yang ditugaskan membunuh?" seru prajurit itu pula seraya memandang kepada kawan-
kawannya. Tadi mereka amat bernafsu untuk membunuh putera dan bujang tua dari adhyaksa
Raganata. Tetapi kini mereka tampak gelisah. Rupanya dalam waktu beberapa jenak pada saat
kepergian Kamal tadi, mereka menyadari bahwa membunuh putera empu Ruganara itu bukan hal
yang sepele. Besar sekali akibatnya.
"Raden Panglulut dak menunjuk siapa2 tetapi kurasa engkau saja," kata Kamal kepada prajurit
yang menjadi kawan rombongannya.
"Aku ?" prajurit itu terbeliak "ah, lebih baik Kawung ini" ia menunjuk kawannya.
"Tidak" sahut Kawung "lebih tepat kalau kalau kakang Kamal."
"Hm, pengecut" dengus Kamal "mengapa harus aku"."
Diam sejenak. Rupanya mbul ketegangan untuk saling melimpahkan tugas diantara Kamal dan
ketiga kawannya. "Kawan-kawan" tiba2 Saprang berkata "lebih baik begini. Kita bawa kedua orang ini ke kebun
belakang. Kita hantam kepala mereka sampai remuk dan letakkan dibawah pohon. Kemudian
kita patahkan cabang pohon dan kita atur seolah-olah mereka mendapat kecelakaan, jatuh dari
pohon." Usul Saprang itu mendapat sambutan yang hangat. Berarnai-ramai mereka segera menggotong
Mandira dan Sonto ke kebun belakang. Mereka mencari sebatang pohon mangga yang besar.
Setelah meletakkan tubuh ke dua orang itu merekapun bersangsi pula. Siapa yang harus
menghantam kepala kedua korban itu "
Akhirnya Saprang lagi yang berkata "Kita semua beramai-ramai turun tangan. Carilah batang
pohon atau batu untuk menghantam."
Beberapa saat kemudian keenam prajurit itupun sudah siap. Yang ga akan menghantam
Mandira dan yang ga akan membereskan Sonto. Pada saat mereka hendak mulai mengayunkan
pokok kayu dan batu kearah kepala Mandira, sekonyong-konyong terdengar suara orang berseru
nyaring "Hai, berhenti."
Terkejutlah sekalian prajurit itu. Batang dan pokok kayu serta batu yang sedang terangkat pun
berhenti di atas kepala rnasing2. Mereka serentak berpaling kearah suara itu.
"Bekel Lingga!" teriak mereka hiruk. Dan tanpa menghiraukan kedua korban itu mereka serempak
berhamburan menghampiri pendatang itu. Dengan masih mencekal batang dan pokok kayu serta
batu, mereka mengepung orang itu.
"Engkau bekel Lingga ?" teriak Saprang.
"Ya" sahut orang itu "bukankah engkau hendak mencari aku"."
"Benar." "Aku mau menyerahkan diri dengan syarat" kata bekel Lingga.
"Syarat?" Saprang mengulang setengah mengejek "adakah engkau masih berhak berkata
demikian"." "Hm, prajurit" kata bekel Lingga. Ia tak kenal dengan Saprang, Kamal dan beberapa prajurit itu
"engkau kira aku tak dapat membebaskan diri "."
Saprang tertawa "Andaikata engkau mampu mengalahkan kami berenam, tetapi diluar masih
terdapat raden Kuda Panglulut dengan berpuluh prajurit."
"Jika aku gagal menerobos kepungan kalian, kalianpun hanya dapat memperoleh mayatku saja"
kata bekel Lingga. Rupanya Kamal lebih menyadari bahwa dalam keadaan yang menguntungkan fihaknya, baiklah
dia bersikap agak lunak agar dapat membawa bekel itu sebagai tawanan "Ki bekel" serunya
"apakah syarat yang andika hendak ajukan"."
"Hm" desuh bekel Lingga menghembuskan kesesakan dadanya "sebenarnya hal yang akan
kuajukan amat sederhana sekali. Tetapi pun tergantung kepada kalian."
"Silahkan ki bekel mengatakan."


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku akan menyerahkan diri tetapi kuminta kalian jangan mengganggu putera dan bujang tua
dari empu Raganata. Hanya begitu."
"O" desuh Kamal kemudian merenung sejenak. Pikirannya, yang pen ng bekel Lingga sudah
tertangkap, andai putera dan bujang tua itu mengadu kepada empu Raganata, tentulah empu
Raganata tak berani menghadap baginda karena kenyataan telah melindungi seorang bekel yang
melalaikan tugas. Dan menilik luka yang diderita, baik putera empu Raganata maupun bujang tua
itu, hanya pingsan dan tak menderita luka yang berbahaya "baik, kami dapat menerima
permintaan ki bekel. Dan apakah sekarang kita dapat berangkat menghadap gusti patih Aragani "."
"Ya" sahut bekel Lingga. Setelah terlebih dulu minta agar tali ikatan pada tangan dan kaki
Mandira dan Sonto dibuka, baru ia ikut rombongan Kamal.
"Ho, engkau bekel Lingga" seru Kuda Panglulut saat melihat kedatangan bekel itu "mengapa
engkau bersembunyi di tempat adhyaksa Raganata"."
"Raden" kata bekel Lingga dengan tenang "bawalah hamba kehadapan gus pa h. Hamba akan
mempertanggung jawabkan semua perbuatan hamba."
Demikian bekel Lingga segera dibawa ke Singasari untuk dihadapkan kepada pa h Aragani.
Tampaknya bekel itu tenang2 saja. Dan selama dalam perjalanan dia tak mau bicara apa2.
Hari masih pagi ke ka penjaga menghadap dan menghaturkan laporan kepada pa h Aragani
bahwa raden Kuda Panglulut hendak menghadap. Pa h itu segera menitahkan supaya putera
menantunya menunggu di pendapa.
Kesan pertama saat pa h Aragani melangkah ke pendapa besar, adalah hadirnya bekel Lingga
yang duduk bersila dibelakang Kuda Panglulut.
"Rama, hamba berhasil menangkap bekel Lingga yang bersembunyi di gedung adhyaksa
Tumapel" Kuda Panglulut membuka pembicaraan "saat ini hamba haturkan bekel itu kehadapan
rama." "Bagus, puteraku" seru patih Aragani kemudian segera memerintahkan agar bekel Lingga masuk.
Setelah menghaturkan sembah maka berkatalah bekel Lingga "Hamba tetap setya akan sumpah
hamba, gusti patih."
"Hm, mengapa engkau melarikan diri dan bersembunyi ditempat adhyaksa Tumapel?" tegur
patih Aragani. "Gus " sembah pula bekel Lingga itu "karena hal ini menyangkut tugas rahasia yang hamba
harus merahasiakan, maka hamba mohon agar hamba diperkenankan untuk bicara dihadapan gusti
sendiri." Pa h Aragani mengerut dahi. Ia memang menaruh kepercayaan besar terhadap orang itu. Maka
ia terkejut ke ka mendapat laporan bahwa orang itu telah menghilang lalu bersembunyi di tempat
adhyaksa Tumapel "Baiklah" kemudian ia meminta agar Kuda Panglulut menjaga diluar.
Kuda Panglulut tampak kurang senang air muka mengapa rama mentuanya lebih percaya pada
bekel itu daripada dirinya. Namun setelah melihat isyarat kicupan mata dari pa h Aragani,
akhirnya mau juga pemuda itu meninggalkan pendapa.
"Nah, sekarang bicaralah" perintah patih Aragani.
"Kepercayaan paduka yang memilih diri hamba untuk menyaru menjadi bekel Lingga telah
berjalan baik sekali, gusti" bekel itu memulai pembicaraannya.
"Karena wajahmu mirip dengan bekel Lingga maka kujadikan dirimu sebagai penggan bekel itu
agar jangan terjadi kegoncangan dalam keraton. Bukankah anakbuahmu para prajurit bhayangkara
itu tak mencurigai dirimu?" tegur patih Aragani.
"Berkat restu paduka gus , hamba telah dapat menjalankan peran hamba sebagai bekel Lingga
dengan baik." Diam2 pa h Aragani agak terhibur ha nya. Ia teringat di kala bekel Lingga ma digigit ular weling
yang berada dalam kotak yang telah di bawa bekel Kalingga, bingung juga ia mencari akal
bagaimana ia dapat mengatasi persoalan itu agar jangan sampai menimbulkan kehebohan dalam
keraton karena hilangnya dua orang bekel, Lingga dan Kalingga. Akhirnya ia teringat bahwa seorang
pengalasan kepa han yang bertugas sebagai peka k atau pakuda mempunyai perawakan dan
wajah yang mirip bekel Lingga. Segera dipanggilnya tukang rawat kuda itu menghadap. Setelah
diberi petunjuk bagaimana harus berulah dan bergaya sebagai bekel Lingga, akhirnya pakuda itu
disuruh menggan sebagai bekel Lingga. Karena dia jarang dikenal di lingkungan kepa han maka
ada seorangpun yang tahu demikian pula kemiripan wajahnya dengan bekel Lingga, ada
menimbulkan kecurigaan para prajurit bhayangkara bawahannya.
Kemudian dengan alasan yang dapat diterima, pa h Aragani meminta kepada pa h Kebo
Anengah agar untuk sementara bekel Lingga itu diperbantukan di kepa han. Setelah itu ia
menugaskan bekel Lingga palsu itu bersama Seta Arang membawa gong keraton Singasari menuju
ke Daha untuk memancing orang2 Daha yang terlibat dalam pencurian gong pusaka empu Bharada
itu datang ke lembah Polaman.
"Bajubang" tegur patih Aragani "mengapa gong keraton Singasari hilang "."
Bajubang, demikian nama orang yang menjadi bekel Lingga segera menuturkan semua peris wa
yang terjadi di lembah Polaman. Penuturannya sesuai dengan apa yang dipersembahkan Seta
Arang. "Lalu mengapa engkau tak lekas menghadap aku"."
"Harap gus memberi ampun yang sebesar-besarnya kepada diri hamba," Bajubang atau bekel
Lingga menghaturkan sembah "hamba telah berhadapan dengan suatu peris wa yang tak hamba
sangka2." "Apakah itu "."
"Dalam keadaan terluka sebenarnya hamba hendak menghadap paduka tetapi di tengah jalan
hamba dihadang seorang lelaki berkuda. Karena hamba sangka dia penyamun maka hamba masuk
hutan. Hamba pancing supaya dia mengejar, kemudian hamba akan mengambil kudanya dan
membawanya kabur. Siasat hamba berhasil tetapi pada saat hamba naik kepunggung kuda, ba2
dia menerjang hamba. Terjadilah pergumulan. Hambapun hampir berhasil mencekiknya ma tetapi
ba2 dia dapat menendang perut hamba sehingga hamba terjerembab. Dia memberingas hendak
membunuh hamba tetapi hamba cepat mengenal orang itu dan berteriak menghentikannya."
"Siapakah orang itu"."
"Bekel Mahesa Rangkah, gusti."
"O" desuh patih Aragani "lalu"."
"Karena diancam terpaksa hamba menuturkan semua perjalanan hamba dari Daha."
"Juga tentang hilangnya gong keraton Singasari?" tegur Aragani mulai terkejut.
"Ya." "Juga engkau katakan kalau aku yang menitahkan engkau "."
"Ya." "Bedebah, engkau Bajubang !" karena marah pa h menampar muka pengalasan itu. Namun
Bajubang diam saja bahkan tersenyum.
"Hai, engkau berani mengejek aku?" teriak patih Aragani makin marah.
"Bukan, gus " sahut Bajubang "karena paduka tergesa memukul hamba sebelum hamba
menyelesaikan cerita hamba."
"Hm" desuh pa h Aragani "teruskan" ia segera mengambil pedang dan diletakkan diatas
pangkuannya "apabila nyata2 engkau lelah menyimpang ke-arah jalan hianat, akan kupenggal
lehermu." Bajubang tak terpengaruh oleh ancaman itu, ia melanjutkan pula "Adalah karena hamba
berbicara dengan terus terang itu maka bekel Rangkah pun percaya penuh dan mengeluarkan isi
ha nya. Dia menaseha hamba supaya jangan kembali kepada paduka dan dia-pun sanggup untuk
melindungi hamba lalu menitipkan hamba ditempat kediaman adhyaksa Tumapel."
"Dan engkau menurut?" patih Aragani membelalak bengis.
"Ya." "Penghianat" pa h Aragani menyambar pedang terus hendak ditabaskan kearah kepala
Bajubang. Bukan takut, kebalikannya Bajubang bahkan menyorongkan batang lehernya "jika
paduka tak menginginkan keterangan hamba selengkapnya, silahkan paduka memenggal leher
hamba, gusti." Pa h Aragani terkesiap. Diam2 ia menyadari akan ndakannya yang terburu nafsu dan mulai
mengetahui bakat terpendam yang dimiliki Bajubang "Hm, mengapa engkau selalu menurut saja
kepada Mahesa Rangkah "."
"Gusti" kata Bajubang "adakah bekel Rangkah itu fihak yang memusuhi paduka "."
Pa h Aragani terkesiap. Pertanyaan yang dilontarkan Bajubang itu memang tepat. Bajubang
seorang pakuda, tentu tak tahu liku2 suasana dalam keraton Singasari. Dan memang sejauh itu, ia
belum melihat buk 2 yang jelas dari ndakan bekel Rangkah yang sedemikian itu. "Aku belum
melihat sesuatu padanya yang cenderung kearah itu."
"Adakah gusti masih memperkenankan hamba melanjutkan penuturan hamba?" tanya Bajubang.
Pa h Aragani terkesiap. Ia segera menyadari kalau tangannya masih mengangkat pedang.
Pedangpun diturunkan dan menganggukkan kepala.
"Ada dua per mbangan yang hamba lakukan pada saat itu mengapa hamba menurut anjuran
bekel Rangkah" kata Bajubang "pertama, rupanya bekel Rangkah mengira bahwa hamba ini
memang benar-benar bekel Lingga. Dia tampak marah dan hendak menuntut balas atas kema an
bekel Kalingga. Oleh karena itu hamba terpaksa menyerah saja pada anjurannya. Dan kedua,
hamba pikir dengan mengiku langkah yang ditentukannya, hamba akan dapat lebih menyelidiki
siapa dan bagaimana sesungguhnya bekel Mahesa Rangkah itu."
"O" pa h Aragani terbeliak sehingga terjerembab pada sadaran kursi. Ia tak menyangka bahwa
seorang tukang kuda ternyata memiliki pemikiran yang begitu hebat "teruskan ceritamu, Bajubang"
serunya gopoh. "Dalam perjalanan ke Tumapel hamba berusaha untuk menanyakan tentang hubungannya
dengan bekel Kalingga, apa sebab dia begitu marah sekali atas kematian bekel Kalingga."
"Benar, benar" seru patih Aragani "lalu bagaimana keterangannya "."
"Walaupun dak langsung mengakui tetapi hamba mendapat kesimpulan bahwa dia memang
mempunyai hubungan dengan bekel Kalingga ....."
"Jika begitu" teriak pa h Aragani serentak "adakah surat dari pangeran Ardaraja itu harus
diterimakan kepadanya "."
Bajupang diam. "Bagaimana Bajubang?" tegur patih Aragani.
"Hamba hanya seorang pakuda, gus . Apa yang terjadi sesungguhnya hamba tak tahu. Yang
hamba ketahui, menurut kesan hamba, bekel Rangkah memang mempunyai hubungan dengan
bekel Kalingga. Hanya sampai disitu pikiran hamba."
"Lanjutkan lagi ceritamu" seru Aragani.
"Hambapun bertanya, sampai berapa lama hamba harus bersembunyi di rumah kediaman
adhyaksa Tumapel?" Bajubang melanjutkan "dia mengatakan, setelah dapat mengumpulkan buk 2
lengkap, dia akan menggunakan hamba sebagai saksi untuk mengadu kehadapan baginda tentang
tindakan gusti membunuh Kalingga dan meghilangkan gong keraton."
"Bedebah si Rangkah" teriak pa h Aragani seraya mengacungkan nju "dia berani melawan aku,
Panji Aragani"."
Bajubang diam saja, membiarkan patih itu meluapkan kemarahannya.
"Bagaimana dengan ulah adhyaksa Raganata?" beberapa saat setelah tenang, pa h Aragani
bertanya pula. "Dia memperlakukan hamba dengan baik tetapi jarang bicara dengan hamba. Dan diapun jarang
menerima tetamu. Sulit untuk mengetahui gerak geriknya. Yang jelas, dia tampak lebih suka
menenangkan diri dalam ruang pemujaan."
"Hm" desus pa h Aragani "tetapi mengapa engkau tak mau meloloskan diri dan menghadap
kepadaku "." "Gus " kata Bajubang "sudah menjadi kebiasaan hamba apabila bekerja tentu tak mau kepalang
tanggung. Demikian pula dengan peris wa itu. Hamba sudah terlanjur menghanyutkan diri dalam
langkah yang diatur bekel Rangkah, hamba akan membiarkan diri hamba terhanyut sampai nan
mencapai tepian. Hamba ingin tahu apakah yang hendak dilakukan bekel Rangkah terhadap
paduka." "Bukankah dia siap2 hendak mengadukan aku kehadapan baginda."
"Pada saat itulah, gus " kata Bajubang dengan nada sarat "hambapun akan membongkar segala
ndakan bekel Rangkah yang telah menekan hamba dan menculik hamba disembunyikan di
Tumapel." "Bagus, Bajubang!" teriak pa h Aragani "sungguh tak kukira bahwa engkau dapat memiliki akal
budi yang begitu pintar. Besar sekali ganjaran yang akan kuberikan kepadamu, kelak setelah aku
kembali dari Daha. Sekarang engkau harus bersembunyi di kepa han. Jangan sampai jejakmu
terlihat orang." Serta merta Bajubang memberi hormat lalu mengundurkan diri dari hadapan patih itu.
"Hm" pa h Aragani masih merenung seorang diri "kiranya Mahesa Rangkahlah yang mengacau di
keraton. Jika demikian ......." ia mengerut dahi "bukan mustahil, ya, bahkan kemungkinan besar
tentu dia yang meletakkan gong keraton itu di halaman keraton!."
"Hm, berbahaya" ia mendesuh "benar2 berbahaya. Jelas ia mempunyai rencana untuk
menjatuhkan aku, paling dak menggeser kekuasaanku. Kemudian dalam arah lain, ia masih
berusaha untuk memikat ha gus puteri Tribuwana, celaka !" ba2 ia tersentak dari duduknya
ke ka terlintas suatu bayang2 kesimpulan "jika dia berhasil memikat puteri Tribuwana, sebagai
menantu raja dia tentu akan makin sombong dan makin besar nafsunya untuk mendepak aku."
Patih Aragani berhenti sejenak untuk melonggarkan dadanya yang diamuk kemarahan.
"Celaka" serunya pula "mengapa baru sekarang kuketahui tentang diri bekel Rangkah itu. Aku
hanya memusatkan pikiranku kepada Kebo Anengah dan mentri2 serta senopa 2 saja sehingga
melupakan diri seorang bekel bhayangkara."
"Jika dia orang yang mempunyai kemungkinan untuk menerima surat dari pangeran Ardaraja,
mengapa dia meminta gurunya untuk menyampaikan permohonan kepadaku supaya
diperkenankan ikut dalam rombongan pengiringku demi rencananya hendak membunuh pangeran
Ardaraja?" tiba pada pertanyaan itu agak bingung patih Aragani untuk menemukan jawaban.
Ia teringat bahwa masuknya Mahesa Rangkah menjadi bekel bhayangkara-dalam puri
keraton adalah pada masa empu Raganata, Banyak Wide dan Wirakreti masih berkuasa dalam
pemerintahan kerajaan. Mungkin dia termasuk salah seorang pengikut dari ketiga orang itu "
Ya, benar. Menilik dia dapat menitipkan bekel Lingga atau Bajubang kepada adhyaksa
Tumapel, jelas,dia mempunyai hubungan dengan Raganata. Jika demikian, sisa2 kekuatan
Raganata dalam pura kerajaan masirl ada.
"Dedongkot sudah terbasmi tetapi anakbuahnya masih merajalela. Harus dibersihkan" kata
patih Aragani seraya mengepal tinju.
Sedemikian tegang dan bernafsu pa h itu berperang dalam ha nya sehingga ia lupa untuk
memanggil putera menantunya, Kuda Panglulut, yang masih berjaga di luar.
Karena sudah terlalu lama menunggu belum juga dipanggil. Kuda Panglulut terpaksa masuk.
Tetapi demi melihat betapa tegang wajah rama mentuanya saat itu, ia tertegun. Kemudian ia
terkejut ke ka pa h Aragani tengah mengepalkan
nju, mengacungkannya seraya berseru
"Keparat, enyah engkau ...."
Kuda Panglulut terkejut karena mengira dirinya yang dimaksudkan. Tergesa-gesa ia melangkah
keluar dengan mengucurkan keringat dingin. Ia tak tahu apa salahnya mengapa ba2 rama
mentuanya marah kepadanya.
Pada hal saat itu, kemarahan pa h Aragani tertumpah pada diri bekel Mahesa Rangkah dan
rencana2 yang telah dirancang untuk melenyapkan bekel itu.
Diluar halaman, Kuda Panglulut masih mendengar rama mentuanya berteriak-teriak, kemudian
tertawa gelak-gelak .... -oo~dwkz^ismoyo^mch~oo- Jilid 9 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor Teks : MCH I Editor : MCH Dendam merupakan siksa ba n yang paling menyiksa. Jika ditekan, akan merupakan api dalam
sekam. Bila diluapkan, akan menjadi lahar dahsyat dari gunung berapi.
Dalam menghadapi sesuatu, terutama yang menyangkut soal perasaan, entah sedih, entah
benci ataupun dendam kesumat dari kemarahan dan kebencian, kita hanya menempuh dua
jalan. Menekan atau meletuskan perasaan yang tengah membara itu. Pada hal akibat dari
kedua jalan itu hanya suatu penundaan dari peletusan. Menekan rasa dendam hanya suatu
penundaan waktu, suatu penghindaran dari kenyataan. Sifatnya hanya seperti api dalam
sekam. Diluar tenang, didalam membara.
Meluapkannya, menimbulkan bahaya bermacam akibat. Akibat yang memungkinkan segala
macam kemungkinan yang tak mungkin. Semisal lahar gunung berapi ataupun air bah. Segala
kemungkinan bencana, mungkin terjadi.
Dimana pikiran cerah berkabut, maka berarak-araklah awan gelap perasaan ha . Dan tak lama
awan mendung itu akan berhamburan sebagai hujan lebat. Halilintarpun akan memekik-mekik
seolah merobek angkasa, membelah bumi. Bencana, tetapi alam menghendaki. Demikian pula
dengan rasa dendam kemarahan atau kesumat. Bencana, tetapi manusia tetap menghendaki,
bahkan menikmati dengan senang.
Hujan menyegarkan bumi, menyejukkan udara, memeriahkan suasana alam. Adakah rasa
dendam juga demikian akibatnya terhadap alam pikiran dan bumi hati manusia "
Hujan termasuk unsur Air yang menghidupkan alam semesta. Tanpa air, alam akan gersang,
kering dan binasa. Dendam, termasuk unsur Nafsu yang menghayat dalam sifat kemanusiawian
manusia. Adakah tanpa dendam, manusia akan gersang, kering dan binasa" Tidak. Kebalikannya,
karena dendam dan nafsu2 itulah manusia menderita kegersangan dan kebinasaan. Gersang
karena panas bara dendam, kesadaran pikiran dan ketenangan hati akan binasa.
Apabila sudah mengetahui dan menyadari hakiki daripada rasa dendam itu, mengapa manusia
masih menyambut, memiliki dan bahkan menggemarinya" Aneh memang manusia itu tetapi
memang demikian manusia. Manusia yang mempunyai pikiran dan pikiran yang maha binal
sifatnya. Pikiranlah yang menjadi sumber terciptanya segala macam perasaan, termasuk rasa
dendam yang berbahaya itu.
Untuk meniadakan rasa dendam, sumbernya harus kita cari pada pikiran. Mencari dalam arti
kata menyelidiki, menelaah dan memecahkan sumber persoalan yang menimbulkan rasa
dendam itu. Menyelidiki, menelaah dan memecahkan persoalan, suatu cara yang berani
menghadapi kenyataan. Beda dengan menghindari, menekannya. Dengan dalih harus memiliki
kesabaran dan pertimbangan2 yang baik, kita berusaha untuk menghindari dan menekan rasa
dendam kemarahan ataupun dendam kesumat. Dan berhasillah rasa dendam itu terkuasai dan
diendapkan. Tetapi hal itu bukan berarti menjamin bahwa rasa dendam itu sudah lenyap,
melainkan hanya terkuasai dan mengendap dalam dasar hati kita. Dan sesuatu yang terkuasai


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ataupun mengendap, pada suatu saat, mempunyai kemungkinan untuk masih dapat meletus
pula. Semisal dengan gunung berapi.
Lain pula halnya apabila rasa dendam itu sudah kita selidiki sebab musababnya, kita telah tahu
asal mulanya dan kemudian kita pecahkan persoalannya, maka rasa dendam itupun akan lenyap
tanpa bekas. Memang sukar untuk menyelidiki, menelaah dan memecahkan soal rasa dendam itu.
Karena pemecahan itu harus berlandaskan pada kesadaran rasa dan pikiran Kasih sayang, Welas-
asih dan kesucian. Unsur yang sebenarnya terdapat dalam diri insan manusia. Bahkan merupakan
unsur in dari sifat kemanusiawian manusia. Tanpa in -unsur itu, sukarlah dibedakan kelainan
manusia dengan segala jenis mahluk lainnya.
Panji Aragani, sang pa h dari kerajaan Singasari itu, memanjakan diri dalam genangan nafsu.
Nafsu keinginan untuk meraih kedudukan nggi, pangkat dan kekuasaan dalam pemerintahan
Singasari. Dan nafsu2 itulah yang mempunyai bayang2 dari dendam kemarahan dan dendam
kebencian, terhadap orang yang tak mencocoki seleranya terutama yang berani menentangnya.
Harus diakui bahwa Panji Aragani itu seorang yang cerdik. Tetapi karena pikiran dan ha berisikan
nafsu2 keinginan besar, maka kecerdikannya itupun hanya ditumpahkan pada segala sesuatu yang
berlumuran nafsu keinginan.
Dengan kecerdikan pikirannya yang tajam, dia dapat menemukan bahwa bekel Mahesa Rangkah
lah yang telah melakukan pengacauan selama ini. Bahwa bekel itu seorang manusia yang
berbahaya yang melintang di tengah perjalanannya menaiki tangga kedudukan nggi. Maka iapun
segera memutuskan, bekel itu harus dilenyapkan. Dan dengan kecerdikannya, segera ia dapat
menemukan cara untuk melaksanakan keputusannya terhadap bekel itu.
Keesokan harinya maka berangkatlah pa h Aragani beserta rombongan pengiring, menuju ke
Daha. Diantara prajurit2 pengiring itu terdapat pula Mahesa Rangkah. Dia dak mengenakan
pakaian sebagai seorang bekel, melainkan sebagai seorang prajurit biasa. Pa h Aragani tersenyum
seram dalam hati. Pa h Aragani diterima prabu Jayakatwang dengan penuh kebesaran dan resmi. Mentri2 dan
senopa lengkap hadir dalam penyambutan itu. Pa h Aragani merupakan utusan sang nata
Singasari yang membawahi Daha maka sudah selayaknya apabila diterima dengan penuh
kehormatan. Setelah menerima persembahan kata dari pa h Aragani tentang maksud baginda Kertanagara,
maka raja Jayakatwangpun mengerut dahi, kemudian tertawa.
"Ah, sungguh besar dan ada putus-putusnya seri baginda Kertanagara melimpahkan budi
kepada Jayakatwang" ujar akuwu dari Daha itu "benar2 suatu anugerah yang tak pernah kuimpikan
bahwa seri baginda berkenan akan memungut menantu kepada Ardaraja."
"Semoga dengan tali pernikahan itu, Daha dan Singasari akan lebih sejahtera dan jaya, gus "
seru patih Aragani. "Benar, ki pa h" ujar Jayakatwang pula "tetapi benar2 berat sekali ha ku menerima budi
kebaikan seri baginda yang sedemikian besar itu."
"Ah, gusti " kata Aragani "tetapi hamba rasa perjodohan itu memang tepat sekali. Pangeran
Ardaraja amat tampan, luhur budi, perwira dan gagah perkasa. Sudah tentu seri baginda amat
berkenan sekali. Karena seri baginda tidak berputera melainkan puteri2 dan sudah tentu kelak
putera menantu baginda itulah yang akan dilimpahi kepercayaan baginda untuk memegang
tampuk pimpinan kerajaan."
Akuwu Jayakatwang mengangguk. Wajahnya cerah dan mulut tersenyum penuh ar . Sinar
matanya berkilat-kilat memancarkan cahaya pelangi. Pelangi yang mengandung tujuh unsur warna
dan perasaan. "Ki patih" ujarnya sesaat kemudian "apabila seri baginda berkenan melimpahkan anugerah
yang sedemikian mulia kepada Ardaraja, sudah tentu aku amat bersyukur sekali. Rasanya tiada
kutemukan rangkaian kata2 untuk menghaturkan sembah terima kasihku ke bawah duli seri
baginda. Hanya ....."
Akuwu Jayakatwang berhen sejenak. Pa h Araganipun tak terpancing untuk mendesak
pertanyaan. Dengan sabar ia menunggu sampai akuwu itu melanjutkan pula.
"Hanya" kembali Jayakatwang memulai pula dengan mengulang kata-katanya tadi "kiranya puteri
seri baginda yang manakah yang hendak seri baginda anugerahkan kepada puteraku itu "."
Patih Aragani kerutkan dahi.
"Gus " sembahnya kemudian "hamba sendiri juga belum diberitahu seri baginda tentang gus
puteri yang manakah yang hendak dijodohkan dengan pangeran raden Ardaraja. Karena seri
baginda berputera beberapa orang. Selain dari gus ratu yang sekarang, sebelumnyapun dari gus
ratu yang terdahulu yang telah wafat. Tetapi hamba percaya, gus , bahwa seri baginda tentu
takkan mengecewakan harapan pangeran Ardaraja."
Akuwu Jayakatwang mengangguk.
"Baiklah, ki pa h" katanya "sebagai raja bawahan dari Singasari, sudah tentu aku harus tunduk
apapun yang dititahkan seri baginda Singasari."
"Ah, hamba mohon jangan gus mengadakan perbedaan perasaan semacam itu. Dengan ikatan
keluarga itu, kedudukan Daha dengan Singasari akan duduk sama rendah, berdiri sama nggi" kata
patih Aragani. Akuwu Jayakatwang tertawa. Nadanya penuh teka teki. Antara riang dan resah, cerah dan
cemoh. "Memang aku ingin sekali melupakan perasaan bahwa Daha ini menjadi bawahan Singasari
selama dua puluh tahun, ki patih " kata akuwu Jayakatwang tertawa renyah.
Diam2 patih Aragani terkejut ketika mendengar betapa tandas dan tajam nada akuwu Daha
itu ketika mengucapkan masa penjajahan Singasari atas Daha. Kata2 itupun berarti bahwa
Jayakatwang selalu ingat akan keadaan itu maka ia menyatakan ingin sekali menghapus.
Namun Ingin itu hanya suatu maksud hati dan maksud hati itu belum menjamin pasti akan
mampu melaksanakannya. Dengan demikian pula, jelaslah sudah bahwa akuwu Jayakatwang
masih tetap mendendam akan peristiwa itu.
Diam2 patih Aragani melayangkan pikirannya jauh kesuatu angan2. Kesan bahwa akuwu
Jayakatwang itu masih tak dapat melupakan peristiwa Singasari menjajah Daha, memberi
dorongan hatinya untuk merangkai rencana. Diam2 ia girang karena memperoleh kesan itu.
Bukankah apabila Jayakatwang karena dimabuk kegirangan puteranya akan diambil menantu
seri baginda Kertanagara lalu melupakan dendam terhadap Singasari, akan berbahaya
akibatnya terhadap Singasari maupun terhadap dirinya " Bukankah dengan kesan itu, ia dapat
memperuncing hubungan antara Jayakatwang dengan seri baginda Kertanagara"
"Gus " cepat ia mendapat akal "memang sebagai keturunan dari raja2 di Daha yang berkuasa
dan berwibawa, paduka tentu tak dapat melupakan peris wa2 yang dialami Daha dari fihak
Singasari. Karena pada hakekatnya, negara Panjalu itu harus dibagi dua, Daha dan Singasari,
dengan kedudukan yang sama ngginya. Jika ada satu yang merasa lebih nggi atau bahkan telah
menginjak-injak kedaulatan yang lainnya, tentu akan menimbulkan dendam yang menyala-nyala.
Itu memang harus dan sudah selayaknya."
Panji Aragani berhenti sejenak untuk menyelidiki kesan pada cahaya wajah akuwu Jayakatwang,
"Tetapi gusti" kata patih Aragani "kenyataan2 itu harus kita terima, hadapi. Mengingkari
kenyataan, sama dengan mengingkari garam itu asin dan madu itu manis. Menerima kenyataan
berarti kita berani menghadapi dan berani pula berusaha untuk merobah supaya sesuai dengan
kehendak kita." Akuwu Jayakatwang terkejut karena merasa bahwa pa h Singasari itu telah mengungkap isi
hatinya. Cepat ia tenangkan pula perasaannya dan teduhkan cahaya mukanya.
"Kodrat Prakitri itu tak kekal sifatnya" sebelum akuwu dari Daha itu sempat membuka suara,
patih Aragani sudah mendahului pula "surya terbit, surya terang dan surya silam. Tumbuh, jaya
dan tenggelam. Demikian kehidupan alam, manusia dan negara. Jika hal itu sudah menjadi
kenyataan, mengapa paduka harus berduka nestapa mengenang jaman yang telah lampau "."
Akuwu Jayakatwang terkesiap. Ia makin berdebar karena jelas pa h Singasari itu tahu akan
kandungan hatinya. "Ki patih" ujar akuwu Daha itu "waktu itu merupakan unsur yang membentuk kehidupan
manusia. Sukar rasanya untuk melepaskan masa lampau yang telah menjadi sebagian dari
hidup kita. Jika engkau menitik beratkan pada kenyataan tadi, tidaklah masa lampau itu suatu
kenyataan pula"."
"Benar, gusti " kata patih Aragani "masa lampau memang menjadi salah satu bagian dari
kehidupan kita. Tetapi kurang perlu kita harus mengenangkannya dengan rasa sesal dan duka.
Mengenangkan dengan penuh keperihatinan akan masa lampau, tak ubah seperti kita yang
sudah menjadi orang tua ini hendak melamunkan pula kesenangan menjadi anak kecil, masa
yang paling menggembirakan dari kehidupan kita. Diantara hal yang tak mungkin dalam
kehidupan kita, ingin kembali menjadi anak kecil lagi, merupakan salah satu hal yang paling tak
mungkin diantara yang tak mungkin itu, gusti."
Akuwu Jayakatwang tertawa.
"Ki patih "ujarnya "memang kata-katamu itu benar untuk satu hal tetapi tidak untuk semua hal."
"Dalam hal apa, gusti, kata-kata hamba itu yang tak dapat diserapkan kebenarannya "."
"Orangtua memang tak mungkin akan kembali menjadi anak lagi" kata Jayakatwang "tetapi
negara bukan suatu hal yang tak mungkin, untuk kembali ke masa kejayaannya. Hari ini surya
tenggelam, tetapi bukankah esok surya akan terbit kembali"."
Diam2 makin jelas patih Aragani akan isi hati akuwu Daha itu "Benar, gusti "katanya "surya
akan terbit dan silam, timbul dan tenggelam. Demikian pula dengan negara dan kerajaan. Tetapi
masa itu tak dapat dipungkiri kenyataannya, gusti. Bahwa kini, surya sedang bercahaya gilang
gemilang dilangit Singasari, dapatkah surya itu dipaksa dipindahkan ke lain kerajaan"
"Jika demikian, ki pa h " ujar akuwu Jayakatwang "adakah surya itu hanya bersinar di langit
telatah Singasari belaka "."
"Tidak, gus " kata pa h Aragani "surya akan memancarkan sinarnya ke seluruh buana. Tetapi
surya tak dapat dipaksakan harus mengunjungi daerah lain apabila belum tiba waktunya"
"Jika demikian, ki pa h" ujar Jayakatwang . "akan sia2 belakakah segala jerih payah usaha itu"
Tidakkah kita serahkan saja pada kodrat dan masa"."
"Usaha itu wajib manusia, gus " sanggah pa h Aragani "manusia yang tak berusaha, berar
mengabaikan wajib hidupnya, mengingkari wajib kemanusiawiannya. Tetapi keputusan, tergantung
kepada Hyang Widdhi Tunggal. Bukankah kini surya mulai beralih memancarkan sinarnya ke
Daha"." "Maksudmu " ".
"Keputusan seri baginda Kertanagara untuk memungut putrra menantu kepada pangeran
Ardaraja hamba artikan sebagai titik tolak dari arah surya yang akan menyinari bumi Daha."
Akuwu Jayakatwang tertawa hambar.
"Benar, ki pa h. Mudah-mudahan begitulah " ujarnya "tetapi pernahkah engkau mendengar
sebuah cerita yang sederhana tetapi cukup menarik"."
"Cerita apa, gusti"."
"Cerita tentang seorang puteri yang tengah ngidam dan meminta sesuatu kepada suaminya,
seorang ksatria." Patih Aragani terkesiap. Menilik nada tawa dan seri wajah akuwu Daha, ia dapat menduga bahwa
akuwu itu tentu tak puas dalam ha . Dan kini bertanya pula tentang sebuah cerita, tentulah cerita
itu mengandung tamsil yang mencerminkan isi ha nya. Maka pa h Araganipun segera mengatakan
bahwa ia belum pernah mendengar cerita itu.
"Dahulu " akuwu Jayakatwang mulai bercerita "hidup seorang puteri yang cantik, anak
seorang begawan. Pada suatu hari pangeran putera mahkota kerajaan di negeri itu berburu dan
singgah di rumah sang begawan. Ketika melihat puteri itu, ia jatuh cinta dan akhirnya menikah.
Pada hal pangeran telah dijodohkan oleh rama prabunya kepada seorang puteri dari kerajaan
lain. Oleh karena itu, terpaksa pangeran tak berani membawa anak begawan pulang ke
keraton. Dan puteri begawan itupun seorang wanita yang luhur budi. Dia mau menikah dengan
pangeran bukan karena pangeran itu bakal menjadi raja, melainkan demi cintanya. Bahkan ia
tak tahu bahwa suaminya itu seorang putera raja ....."
"Pada suatu hari gadis itu mulai mengandung dan ngidam. Ingin sekali ia makan daging ikan
bader yang berasal dari telaga. Pangeran itupun juga menyanggupi dan terus berangkat mencari
idam-idaman isterinya. Tiba di sebuah telaga, ia segera hendak meneli dan mengetahui bahwa
dalam telaga itu terdapat ikan bader. Namun sebagai seorang putera raja, ia tak pernah mencari
ikan, apalagi telaga itu cukup dalam airnya. Ia termenung-menung duduk di tepi telaga, memikirkan
bagaimana cara untuk menangkap ikan bader itu. Girang pangeran itu bukan kepalang. Ia
mengatakan keinginannya untuk mendapatkan ikan bader dalam telaga itu. Serta merta penangkap
ikan itu segera mengambil segenggam ikan bader dari lukah tempat ikan yang dibekalnya dan
diserahkan kepada pangeran itu. Dia menolak ketika pangeran itu hendak memberi uang.
"Dengan gembira pangeran itu pulang dan memberikan ikan bader itu kepada isterinya.
Isterinyapun segera menanaknya. Tetapi ke ka dimakan ia muntah-muntah "Duh, kakangmas, dari
manakah gerangan kakang mendapatkan ikan bader itu " "
"Dari telaga, yayi "sahut pangeran.
"Bagaimana cara kakangmas mendapatkannya"."
Dengan sejujurnya pangeran menceritakan bahwa ikan bader itu pemberian dari seorang tukang
tangkap ikan. Mendengar itu seke ka puteri begawan itu menangis "O, dakkah mengherankan
apabila putera paduka menolak makanan itu. Jelas putera paduka itu kelak akan menjadi seorang
ksatrya yang luhur perwira. Dia tak mau makan barang yang berasal dari pemberian orang."
"Lalu bagaimana kehendakmu, yayi"."
"Jika paduka cinta akan putera paduka, carikan-lah ikan bader itu pula untuk dinda," kata puteri
begawan. Pangeranpun kembali pula ke telaga. Tetap ia duduk termenung-menung mencari akal untuk
menangkap ikan bader. Ia masih jeri untuk terjun ke dalam telaga. Ia tak pandai berenang dan
kuatir akan tenggelam. Penangkap ikan itupun tak muncul. Pangeran makin gelisah. Akhirnya ia
mendapat akal. Ia menuju ke pedesaan didekat telaga itu dan berhasil mendapatkan
penangkap ikan kemarin. Ia menyerahkan sejumlah uang dan minta penangkap ikan itu untuk
menangkapkan ikan bader di telaga. Penangkap ikan itupun segera melakukan perintah dan
pulanglah pangeran itu dengan membawa ikan bader."
Puteri begawanpun segera menanaknya. Waktu memakannya, kembali ia muntah2 "Ah, betapa
anyir ikan bader ini."
Pangeran terlongong-longong.
"Bagaimanakah pangeran mendapatkan ikan bader itu ?" tanya puteri begawan itu.
"Aku mengupah seorang penangkap ikan untuk mencarikannya, yayi."
'"Ah, itulah sebabnya putera paduka menolak makan ikan itu, kakang."
"Tetapi itu bukan pemberian orang. Aku membayar upah kepadanya. Aku membelinya dengan
uang, yayi " sanggah pangeran.
Puteri begawan gelengkan kepala "Putera paduka itu memang ksatrya utama, kakang. Dia
menolak makanan pemberian orang. Dia pun tak menyukai cara memperoleh makanan yang
diidamkannya itu dengan mengandalkan kekuasaan uang. Dia menghendakinya secara ksatrya."
"Apa yang engkau maksudkan dengan cara ksatrya itu, yayi "."
"Seorang ksatrya harus menetapi dharma keksatryaannya. Apabila berjanji hendak mencarikan
sesuatu harus dengan jerih payahnya sendiri. Tidak mengandalkan pada bantuan orang, pengaruh
uang dan pemberian orang."
Pangeran berangkat pula. Sampai beberapa waktu ia masih duduk termenung-menung di tepi
telaga. Ha nya penuh berkabut kesangsian. Antara takut ma tenggelam dan permintaan jabang
bayi dalam kandungan isterinya. Betapa kejutnya ke ka menyadari bahwa surya sudah hampir
tenggelam di balik gunung sebelah barat.
'"Aku seorang pangeran, aku putera raja yang kelak menggan kan rama prabu. Jika mencebur ke
dalam telaga saja aku takut, bagaimana mungkin aku dapat menghadapi berbagai masalah dan
persoalan besar, bahkan bahaya2 yang mengancam negara. Ma " Biarlah kalau memang dewata
menakdirkan aku harus ma tenggelam di telaga, akupun akan rela menerima kema an itu,
akhirnya bangkitlah semangat pangeran itu. Ia terus terjun ke dalam telaga. Memang pertama kali
ia harus mbul tenggelam minum air, tetapi dengan kemauan keras dan tekad yang membaja
akhirnya ia dapat mengatasi kesukaran itu dan berhasil menangkap seekor ikan bader."
"Yayi, aku hanya berhasil mendapatkan seekor saja" pangeran mengeluh.
Isterinya tak mengatakan apa2 terus memasaknya "Ah, betapa nikmat dan lezat ikan bader ini,
kakang. Puas rasa putera paduka menikmati ikan yang diidam-idamkan itu.."
"Tetapi aku hanya mendapatkan seekor saja, yayi."
"Bukan soal seekor atau dua tiga ekor, kakang. Tetapi nilai daripada ikan itu terletak pada
cara memperolehnya. Walaupun sepuluh, dua puluh ekor, tetapi pemberian orang, sama sekali
tiada bernilai. Walaupun seratus dua ratus tetapi karena mengupah orang untuk mencarinya,
pun juga tiada nilainya. Sedang sekalipun hanya seekor tetapi hasil dari jerih payah tenaga
sendiri, nilainya tiada tertara."
"Demikian akhir ceritaku itu, ki pa h" akuwu Jayakatwang menutup ceritanya "jelas sudah bahwa
sesuatu yang kita peroleh dari pemberian dan bantuan orang, daklah memadai nilainya dengan
hasil yang kita capai dengan perjuangan tenaga kita sendiri."
Debar jantung pa h Aragani sedemikian keras sehingga ia pucat karena kua r kalau terdengar
oleh raja Daha. "Sungguh tepat dan tinggilah suri tauladan yang terkandung
dalam cerita paduka itu, gusti " akhirnya cepat2 ia menghambur kata agar jangan raja Daha
mengetahui perobahan wajahnya "tetapi hambapun teringat akan sebuah ujar2 bahwa seorang
ksatrya itu layak disebut ksatrya bukan hanya karena sifat kegagah-annya, keberaniannya dan
keteguhan tekadnya untuk melaksanakan cita2 dan kewajibannya, semisal dengan pangeran
yang akhirnya membenamkan tekadnya untuk mencari ikan bader ke dalam telaga itu. Pun yang
terutama harus memiliki jiwa dan budi yang luhur, berlapang dada untuk memaafkan yang
salah, jujur dan tiada pendendam. Terutama seorang ksatrya harus tahu menghargai budi.."
Terkejut akuwu Jayakatwang ke ka mendengar kata2 pa h Aragani. Secara tak langsung, pa h
itu telah memberi jawaban atas isi ha nya. Jika demikian, jelas pa h itu tentu tahu kemana arah
maksud ceritaku tadi " Pikirnya.
Hanya dalam renungan beberapa jenak, Jayakatwang segera dapat melihat suatu sinar yang
menerangi pikirannya Ia kagum atas kecerdikan pa h Singasari itu tetapi di samping itu iapun
kua r pa h itu akan mencatat dalam ha , apa yang didengarnya tadi. Tidakkah pa h itu dapat
mengadu kepada seri baginda Kertanagara" Dan bukankah konon kabarnya pa h Aragani itu
sangat dekat dan dipercaya oleh baginda Singasari " "Hm ?" desuhnya dalam hati.
"Ki pa h " ujarnya dengan wajah ramah "kuminta ki pa h dan rombongan suka bermalam
barang beberapa hari di Daha agar aku dapat memberikan penyambutan2 yang sesuai dengan
keluhuran utusan baginda "'
Pa h Aragani diam-diam menimang. Ia memang ingin mengetahui dan melihat dengan mata
kepala sendiri, bagaimana sesungguhnya keadaan dan suasana di Daha itu. Maka dengan kata- kata
merendah patih Aragani pun menghaturkan terima kasih atas kebaikan raja Jayakatwang.
Demikian malam itu pa h Aragani dan rombongannya menginap di keraton Daha dan
ditempatkan dalam sebuah bangsal agung. Hal itu sesuai dengan kedudukan pa h Aragani yang
saat itu sebagai duta baginda Kertanagara.
Malam harinya rombongan utusan Singasari itupun dijamu. Dalam kesempatan itu dapatlah
patih Aragani berkenalan iebih rapat dengan pangeran Ardaraja dan beberapa mentri Daha.
Sempat pula patih itu memperhatikan dari dekat siapa-siapakah diantara mentri Daha yang


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paling menonjol dan perlu mendapat perhatian. Diam-diam ia mencatat patih Kebo Mundarang,
mentri Sagara Winotan, Jangkung Angilo, Kebo Rubuh dan Mahesa Antaka. Dari barisan
senopati yang perlu mendapat perhatian antara lain senopati Jaran Guyang, Bango Dolok,
Prutung, Pencok Sahang, Liking Kangkung dan Kampinis. Rupanya merekalah yang menjadi
tulang punggung kekuatan balapeka atau angkatan darat Daha.
Diam2 pa h Aragani terkejut mengetahui jumlah dari senopa Daha yang begitu besar. Sikap
mereka yang perkasa dan berwibawa, menunjukkan suatu sikap yang patuh akan tata ter b
keprajuritan. Hubungan mereka yang begitu akrab, penuh dengan rasa setya-kawan dan tanggung
jawab. Selama dalam perjamuan, pa h Aragani sempat memperha kan nada pembicaraan mereka
selalu mengarah akan kekuatan dan kebangkitan kerajaan Daha yang jaya.
"Hm, hebat benar Jayakatwang menghimpun kekuatan" diam2 patih Aragani menimang dalam
hati. Kemudian pikirannya beralih melintas ke Singasari. Sejak jatuhnya empu Raganata,
Banyak Wide dan Tumenggung Wirakreti dari tampuk pimpinan pemerintahan, suasana dalam
kerajaan Singasari makin semrawut. Belum tampak suatu keseragaman ucap, sikap dan tindak
dari segenap mentri dan senopati dalam menegakikan kerajaan Singasari, Bahkan tampak
gejala2 untuk saling berebut pengaruh "Ah" tiba2 patih Aragani tersipu-sipu merah mukanya
ketika teringat akan dirinya sendiri. Bukankah dia juga salah seorang yang haus akan
kekuasaan itu " Perjamuan berlangsung dengan gembira dan meriah. Akuwu Jayakatwang dak hadir tetapi
diwakili oleh pangeran Ardaraja dan mentri2 serta senopati Daha.
"Gus pangeran" ba2 dari deretan tempat duduk para senopa Daha terdengar seseorang
berseru kepada pangeran Ardaraja "saat2 perjamuan seper malam ini, rasanya jarang sekali
terjadi dalam sejarah kerajaan Daha. Demi merayakan hari yang bersejarah ini, dakkah pangeran
memperkenankan harapan hamba agar dalam perjamuan ini dipertunjukkan pula beberapa acara
yang menarik"."
Pangeran Ardaraja terkesiap. Yang bicara itu adalah senopa Pencok Sahang. Sebelum ia sempat
bertanya, terdengar pula dari deretan tempat duduk para mentri, seseorang berkata "Benar, raden.
Paman setuju akan usul tumenggung Pencok Sahang. Kita harus menghormat utusan seri baginda
Kertanagara." Pangeran Ardaraja berpaling dan dilihatnya yang bicara itu tak lain adalah mentri Kebo Rubuh.
"Apakah yang paman tumenggung dan paman Kebo Rubuh maksudkan dengan acara itu" "
akhirnya pangeran Ardaraja bertanya.
"Biasanya dalam perjamuan tentu akan dihidangkan acara tari- tarian " kata Pencok Sahang
"tetapi karena yang hadir disini para mentri serta senopa Daha, maka baiklah acara yang akan
kami hidangkan itu sesuai dengan martabat seorang prajurit."
"O " desuh pangeran Ardaraja "paman maksudkan acara2 yang sering dipertunjukkan dalam
kalangan prajurit"."
"Benar, pangeran " sahut Pencok Sahang pula "hamba rasa gus pa h Singasari tentu akan
menikmati dengan gembira."
"Ah" pangeran Ardaraja kerutkan dahi "tidakkah hal itu akan mengganggu suasana perjamuan"."
"Hamba rasa dak, gus " sahut Pencok Sahang "karena dalam pertandingan2 itu akan dibatasi
dengan peraturan tertentu agar jangan sampai menimbulkan luka atau cidera pada lawan. Cukup
apabila lawan jatuh maka yang dapat menjatuhkan itu dianggap menang. Dan se ap pemenang
akan mendapat pemberian tuak dari gus pa h Singasari yang melambangkan kehadiran seri
baginda Kertanagara dalam perjamuan ini."
Sebenarnya masih berat rasa ha pangeran Ardaraja mendengar usul Pencok Sahang itu. la
kua r hal itu akan merusak suasana kegembiraan perjamuan. Tetapi sebelum ia sempat
menyatakan apa2, ba2 terdengar suara seseorang berseru "Raden, usul tumenggung Pencok
Sahang itu cukup menarik. Sudah tentu hamba merasa mendapat kehormatan besar dapat
menyaksikan ketangkasan dari para senopa dan perwira2 Daha serta bangga sekali dapat
mempersembahkan tuak kepada mereka yang menang.."
Pangeran Ardaraja terkejut. Yang buka suara itu tak lain adalah pa h Aragani. Karena pa h
Singasari itu menyatakan kegembiraannya, terpaksa pangeran Ardaraja menerima juga "Baiklah,
paman Pencok Sahang. Tetapi kuharap jangan sampai menimbulkan hal2 yang mengganggu
suasana perjamuan ini."
Tumenggung Pencok Sahang mengiakan. Tampaknya ia gembira sekali. Karena dengan
diterimanya usul itu berarti maksudnya hendak memamerkan kekuatan dari para senopati,
perwira dan tamtama pasukan Daha dapat tercapai. Biarlah patih dari kerajaan Singasari
menderita kejut dan jangan memandang rendah pada Daha. Kebo Rubuh juga berpendapat
demikian. Diam2 selama dalam perjamuan itu ia dapat mengumpulkan kesan bahwa patih
Aragani itu bersikap angkuh dan congkak terhadap para mentri senopati Daha.
Pencok Sahang segera menawarkan suatu acara yakni adu tenaga dengan cara bergumul. Barang
siapa dapat merebahkan tubuh lawan ke lantai, dialah yang menang. Kemudian ia menitahkan
seorang bekel prajurit untuk tampil.
Bekel Sarkara, demikian nama bekel bertubuh nggi besar yang tampil ke tengah ruang yang
cukup luas, kosong dan terletak di hadapan para tetamu, segera berseru "Kawan2, kita adalah
prajurit. Maka yang hendak kita persembahkan sebagai penghormatan prajurit Daha kepada
utusan nata gusti patih Aragani dari kerajaan Singasari, adalah permainan prajurit.."
Seruan itu segera disambut oleh seorang bekel yang bertubuh kekar perkasa "Kakang Sarkara,
mari kutemani kakang bermain-main sekedarnya. Harap kakang suka mengalah."
Bekel Sarkara tertawa "Baiklah Liman. Kutahu engkau bertenaga besar dan pandai bergumul.
Tentu engkau yang menang, asal jangan engkau patahkan tulangku, aku sudah berterima kasih
kepadamu." Demikian kedua bekel itu segera tampil berhadapan dan mulai saling mencengkam pinggang
lawan untuk berusaha merobohkannya. Keduanya seimbang sehingga pergumulan itu berlangsung
seru dan menarik. Akhirnya Liman, bekel yang bertubuh kekar padat itu berhasil memban ng
lawannya rebah ke lantai. Dia dinyatakan menang dan menerima hadiah semacam tuak dari pa h
Aragani. Karena menang, bekel Liman masih berada di tengah gelanggang untuk menunggu lain lawan.
Demikian satu demi satu bekel Liman berhasil merebahkan lawan-lawannya ke lantai. Tubuhnya
bersimbah keringat seper orang mandi dan wajahnya merah padam karena meneguk beberapa
piala tuak. Beberapa bekel telah dirubuhkan dan ada lagi prajurit yang berpangkat bekel berani
menghadapi bekel Liman. Karena pengaruh tuak, ia mulai bersikap congkak. "Kawan2, rasanya
dikalangan prajurit Daha ada yang berani menghadapi bekel Liman. Untuk memeriahkan suasana
perjamuan ini, apabila kawan2 dari Singasari bergembira, sukalah maju untuk bermain-main
dengan Liman ". Sudah tentu tantangan itu memerahkan telinga rombongan prajurit pengiring pa h Aragani.
Namun mereka tak berani bertindak sebelum mendapat idin dari patih Aragani.
Rupanya pa h Aragani tersinggung juga dengan kata2 bekel Liman itu. Diam2 ia ingin memberi
pelajaran kepada bekel Daha itu dan sekalian untuk menunjukkan kepada mereka bahwa prajurit2
Singasari itu tak boleh dianggap ringan.
"Baiklah, kalau kalian ingin melemaskan urat2, bolehlah maju untuk bermain-main dengan bekel
Liman" katanya kepada prajurit2 pengiringnya. Ia tahu bahwa beberapa prajurit pengiringnya itu
juga mahir dalam ilmu bergumul dan bertenaga kuat juga.
Seorang prajurit yang bertubuh tegap, segera memberi hormat kepada pa h Aragani "Hamba
bersedia menemani bekel Liman, Gusti."
Ke ka melihat yang maju kehadapannya itu prajurit Sawung, cerahlah wajah pa h Aragani. Ia
tahu prajurit itu adalah seorang prajurit kepa han yang terkenal bertenaga kuat. Segera ia
memberi idin. Demikian keduanya segera saling berhadapan. Dan sesaat kemudian berlangsunglah pergumulan
yang amat seru antara bekel Liman dengan prajurit bernama Sawung. Tetapi akhirnya Sawung
harus mengakui keunggulan lawan. Ia dapat direbahkan ke lantai oleh bekel Liman.
Dua bahkan ga prajurit pengiring pa h Aragani berturut maju tetapi merekapun satu demi satu
dikalahkan bekel Liman. Pa h Aragani mulai merah mukanya. Lebih2 ke ka melihat wajah para
senopati Daha tampak mengulum senyum gembira, telinga patih Aragani makin terasa panas.
Tetapi ia gelisah juga. Siapa gerangan yang layak ditunjuk untuk menundukkan bekel Liman.
"Gus pa h, hamba mohon diperkenankan untuk melayani bekel Liman itu" ba2 seorang
prajurit tampil ke hadapan patih Aragani.
Pa h Aragani terkesiap, rentangkan mata lebar2 meneli prajurit itu. Serentak cerahlah
wajahnya demi mengetahui siapa prajurit yang minta ijin kepadanya itu.
"Baiklah, Rangkah "sahutnya tersenyum "kupercaya engkau tentu dapat mengalahkannya."
Yang maju itu memang bekel Mahesa Rangkah yang saat itu menyamar dalam busana sebagai
seorang prajurit biasa. "Ki bekel Liman " seru Mahesa Rangkah dengan nada datar "aku ingin benar menemani ki bekel
bermain-main, tetapi aku kuatir dalam beberapa kejab saja aku sudah rebah di lantai."
"Ah, jangan merendah diri, prajurit" seru bekel Liman "mari kita mulai "
Keduanyapun segera saling merangkul dan saling berusaha untuk mencengkam lalu memban ng
lawan. Alangkah kejut bekel Liman ke ka mengetahui bahwa kali ini dia sedang berhadapan
dengan seorang prajurit dari keraton Singasari yang aneh. Se ap kali bekel Liman mencengkam
atau mencekik tubuh lawan, lawan tentu dapat meloloskan diri. Tubuhnya mandi keringat sehingga
licin dan tenaganyapun amat besar, ditambah pula dengan gerak tubuhnya yang aneh, se ap kali
bekel Liman hendak mengunci cengkamannya tentulah tubuh lawan dapat menggelincir lolos
macam belut yang licin. Berulang kali usaha itu dilakukan bekel Liman tetapi se ap kali ia hendak mengunci, tentu se ap
kali itu juga tubuh lawannya menggelincir lolos. Bekel Liman makin panas. Pengaruh tuak
memanaskan tubuh, kegagalan mencengkam lawan makin menambah berkobar ha nya. Makin
lama kobar itu menjadi rangsang kemarahan.
Pada suatu saat ketika mendapat kesempatan bekel Liman berhasil mencengkam lalu
mengunci kuat pinggang lawan. Sekali ia kerahkan tenaga tentulah ia berhasil memaksa lawan
rebah ke lantai. Apabila lawan nekad, tulang pinggangnya pasti remuk.
Dengan menghimpun segenap tenaganya, mulailah kedua tangan bekel Liman mendorong agar
tubuh lawan rebah ke belakang. Dan hampir usahanya itu tampak memberi hasil atau sekonyong-
konyong tengkuknya terasa dijepit oleh sepasang tangan yang kuat, makin lama makin mengencang
sehingga ia hampir tak dapat bernapas. Pada saat ia hendak meronta melepaskan tengkuknya dari
himpitan yang keras itu, tiba2 ia rasakan tubuhnya terangkat keatas, makin keatas sehingga kakinya
terpisah dari lantai. Dan sebelum tahu apa yang terjadi, ia rasakan tubuh membubung naik ke
udara dan terus meluncur deras kebawah, bluk ....
"Aduh .... " bekel Liman menjerit keras, menggelepar-gelepar diatas lantai laba tak bergerak-gerak
lagi. Ternyata Mahera Rangkah berhasil memasang siasat. Lebih dulu ia membiarkan pinggangnya
dicengkam lawan. Pada saat perha an lawan tercurah hendak merebahkan tubuhnya Mahesa
Rangkah segera ber ndak. Ia mencekik tengkuk lawan dengan sekeras-kerasnya, setelah merasa
bahwa tenaga lawan mulai mengendor, barulah ia mengangkat tengkuk orang ke atas dan makin ke
atas, kemudian dengan menghimpun segenap tenaga, segera ia menghempaskan tubuh orang ke
lantai. Rupanya ban ngan yang dilakukan Mahesa Rangkah itu cukup keras sehingga kepala bekel
Liman berlumuran darah dan orangnyapun tak ingat diri.
Suasana dalam ruang perjamuan gempar seke ka. Bukan karena bekel Liman dapat dikalahkan
tetapi karena kekalahan bekel itu amat menyedihkan, kepalanya menderita cidera yang parah.
"Engkau gagah sekali, prajurit " seru seorang tamtama bernama Datu dengan wajah merah
padam karena marah melihat kawannya terluka "aku bersedia melayani engkau."
Mahesa Rangkah memang mempunyai rencana untuk membuat onar. Dengan begitu akan terjadi
sesuatu ketegangan antara Singasari dengan Daha. Dengan begitu pula, akuwu Jayakatwang tentu
akan berbalik pikirannya terhadap kunjungan pa h Aragani ke Daha. Walaupun
pis kemungkinannya, namun ia berharap agar akuwu Jayakatwang berani menolak maksud baginda
untuk menjodohkan pangeran Ardaraja dengan salah seorang puteri baginda.
Sebagai pernyataan dari luapan ha nya, Mahesa Rangkah memban ng tubuh bekel Liman
sekeras-kerasnya ke lantai. Kemudian dalam menghadapi tantangan bekel Datu itupun, ia tak
segan2 pula untuk ber ndak keras. Bekel Datu berhasil dikuasai pinggangnya dan dengan
mengerahkan segenap tenaganya, Mahesa Rangkah mencengkam sekuat-kuatnya, krek .... tulang
rusuk bekel Datu patah, tubuh terkulai menggelepar ke lantai.
Peris wa itu benar-benar menggemparkan suasana perjamuan. Pa h Aragani sendiripun
terkejut. Ia hendak memanggil bekel Mahesa Rangkah tetapi pada saat itu terdengar dari deretan
tempat duduk senopa Daha, seseorang berbangkit dan berseru "Bagus, prajurit Singasari. Aku
kagum atas kekuatanmu" sambil berkata orang itupun sudah tampil ke tengah gelanggang.
Terkejut sekalian hadirin ketika melihat yang maju itu tak lain adalah tumenggung Pencok Sahang
sendiri. Rupanya tumenggung itu tak dapat menguasai diri melihat perbuatan bekel Rangkah yang
dianggapnya terlalu menghina orang Daha.
Pa h Aragani terkejut pula. Menghadap kearah pangeran Ardaraja ia segera berkata "Pangeran,
tidakkah akan terjadi sesuatu yang akan mengganggu kegembiraan perjamuan paduka"."
Pangeran Ardaraja pun tak puas melihat ulah Mahesa Rangkah yang disangkanya hanya seorang
prajurit biasa. Diam2 pangeran itupun menginginkan agar salah seorang senopa Daha tampil
untuk menghajar prajurit Singasari itu. Ia sendiri tak dapat turun ke gelanggang karena
kedudukannya. "Ah, biarlah paman pa h "ujar pangeran itu "mereka sedang bergembira, tak baik apabila kita
menghilangkan kegembiraan mereka. Memang demikian itu sudah biasa terjadi di kalangan prajurit
Daha." Pa h Aragani terkejut mendengar jawaban itu. Namun ia tak sempat melanjutkan kata-kata
karena saat itu, tumenggung Pencok Sahang sudah berhadapan dengan Mahesa Rangkah.
"Ah, hamba hanya seorang prajurit biasa, gus " kata Mahesa Rangkah demi mengetahui bahwa
yang berhadapan dengannya itu seorang lelaki yang mengenakan busana seorang tumenggung
"bagaimana hamba berani menghadapi paduka."
Pencok Sahang tertawa "Pangkat dan kedudukan hanya suatu perbedaan ngkat. Tetapi dalam
medan laga, prajurit dapat bertempur melawan seorang senopati. Tak ada lagi perbedaannya."
"Tetapi ....." "Medan laga hanya mengenal siapa yang lebih kuat dan sak . Jangan engkau mempersoalkan
siapa diriku lagi tetapi anggaplah kita seorang lawan bergulat. Dan berusahalah engkau untuk
menjatuhkan aku." "Tetapi bagaimana mungkin hamba mampu . .."
"Jika engkau dapat mengalahkan aku, keris pusakaku ini " Pencok Sahang mencabut keris yang
terselip dibelakang pinggang "sudah bertahun-tahun ikut aku dan melakukan tugasnya dengan
setya. Sebagai penghargaan atas kesaktianmu, keris ini akan kuhadiahkan kepadamu.."
Gemparlah suasana perjamuan seke ka. Tak pernah mereka menyangka bahwa adu kekuatan
dengan bergumul yang sedianya hanya untuk memeriahkan perjamuan kehormatan bagi
rombongan patih Aragani, akan berlarut sedemikian rupa.
Pa h Aragani berpaling memandang kearah pangeran Ardaraja tetapi pangeran itu tampak
tenang2, seolah-olah seper orang yang tak kaget digigit nyamuk. Memang pangeran itu diam2
gembira. Dengan pernyataan yang didengarnya tadi, jelas bahwa Pencok Sahang bertekad hendak
menghancurkan prajurit Singasari itu.
"Ah, bagaimana hamba berani menerima hadiah itu" " seru Mahesa Rangkah yang diam2 juga
terkejut serta menyadari bahwa orang benar2 hendak mengalahkannya.
"Sudahlah, prajurit " seru Pencok Sahang "hal itu atas kehendakku sendiri, jangan engkau kua r
apa2. Sekalian yang hadir disini menjadi saksi atas pernyataanku tadi."
Sehabis berkata Pencok Sahangpun segera bersiap-siap mengambil sikap. Mahesa Rangkah
terpaksa mengikuti. Diam2 ia mempertinggi kewaspadaannya.
Memang tampak benar betapa besar nafsu Pencok Sahang, hendak mengalahkan prajurit
kerajaan Singasari itu. Ia segera membuka serangannya dengan sebuah terkaman yang dahsyat.
Mahesa Rangkah agak gugup juga menghadapi serangan itu sehingga ia tak sempat mengelak lagi.
Dengan kecepatan yang luar biasa, Pencok Sahang berhasil menguasai lawan lalu mengangkatnya
keatas dan terus dilemparkan ke lantai "Huh ....."
Gempar pula suasana ruang perjamuan ke ka melihat apa yang terjadi saat itu. Hampir mereka
tak percaya akan hal yang dilihatnya. Tetapi hal itu memang suatu kenyataan.
Tubuh Mahesa Rangkah melayang sampai setombak jauhnya. Dia bergeliatan di udara dan
ketika tiba di lantai, diapun dapat berdiri tegak pula. Kebalikannya, Pencok Sahang yang
melempar itu, bahkan tampak terhuyung-huyung sendiri sampai beberapa langkah dan nyaris
rubuh ke lantai. Sudah tentu hal itu mengherankan sekalian hadirin.
Ke ka Mahesa Rangkah berputar tubuh menghadap ke arah lawan, Pencok Sahang masih berdiri
dengan pejamkan mata "Ki tumenggung, mari kita mulai lagi " seru Mahesa Rangkah sambil
menanti Pencok Sahang membuka mata.
Rupanya Pencok Sahang masih pening. Beberapa saat kemudian barulah ia rasakan kepalanya
ringan, pikiran terang pula. Serentak ia teringat apa yang telah terjadi tadi. Ke ka ia hendak
melontarkan tubuh prajurit lawannya, ba2 tengkuk kepalanya dihantam oleh tangan prajurit itu.
Sedemikian keras tangan prajurit itu menghantamnya sehingga ia merasa hampir pingsan. Memang
sepintas pandang Mahesa Rangkah seper orang bergeliatan yang meronta-ronta untuk
melepaskan diri dari bantingan lawan, tetapi tangannya sempat untuk memukul tengkuk lawan.
"Hm, curang" dengus Pencok Sahang dalam hati. Namun untuk menuduh secara terang-
terangan, ia merasa malu. Ia tak mendengar seorangpun dari rombongan orang Daha yang
mengetahui perbuatan Mahesa Rangkah. Diam2 iapun memutuskan untuk membalas
kecurangan prajurit Singasari itu.
Demikian mereka bergumul lagi. Dalam sebuah kesempatan, Pencok Sahang berhasil menangkap
pergelangan tangan lawan, walaupun saat itu bahunya juga dicengkeram lawan. Dengan sekuat
tenaga ia hendak meremas pergelangan tangan lawan tetapi sebelum sempat ia melaksanakan
rencananya, ba2 tangan Mahesa Rangkah menurun kebawah ke ak dan terus mencengkeram
sekuat-kuatnya. Bagaikan terkena pagutan ular, Pencok Sahang melonjak kaget sehingga tangan
lawan yang dikuasainya tadi dapat menggeliat lolos. Dan sebelum ia sempat memperbaiki
kedudukannya, tangan kiri Mahesa Rangkah sudah mencengkeram pinggangnya dan meremasnya.
Saat itu Pencok Sahang benar2 kehilangan kekuatannya. Tenaganya serasa merana karena
ketiaknya dicengkeram sekuat-kuatnya dan ditambah pula dengan pinggangnya diremas. Ia
menderita kesakitan yang hebat. Mukanya menyeringai seperti iblis tertawa dan sebelum ia
sempat berusaha menghimpun kekuatan, tiba2 secara kasar tubuhnya telah didorong
kebelakang sekeras-kerasnya, duk .... pingsanlah seketika Pencok Sahang ketika kepala dan
tubuhnya terantuk pada lantai.
Melihat tumenggung mereka dirubuhkan, beberapa bekel dan demang segera menerjang Mahesa
Rangkah. Tanpa memberi kesempatan orang berbicara lagi, mereka segera menyerang dengan nju
dan pukulan. Suasana gaduh seketika.
"Berhenti! " tiba2 pangeran Ardaraja membentak nyaring dan beberapa bekel Serta demang yang
mengembut Mahesa Rangkah itupun berhenti "angkut Pencok Sahang ke Balai Prajurit!."
"Bawa dia ke bangsal " pa h Aragani pun tak mau kalah ha "tunggu sampai aku pulang
memberi hukuman."

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua orang prajurit Singasari segera membawa Mahesa Rangkah keluar. Pangeran Ardaraja
terkejut "Hm, pintar benar pa h ini. Dia hendak menyelamatkan anakbuahnya dari kemarahan
para senopati Daha " gumamnya dalam hati.
"Mohon raden melimpahkan ampun kepada prajurit yang kurang tata tadi " kata patih Aragani.
"Ah, dak paman pa h " kata pangeran Ardaraja tersenyum "dia tak bersalah, yang salah adalah
tumenggung Pencok Sahang mengapa kalah dengan seorang prajurit saja. Hal itu membuk kan
bahwa pasukan Singasari memang digdaya sekali."
Demikian perjamuan itu berakhir sampai menjelang tengah malam. Pa h Aragani dan
pengiringnyapun kembali ke bangsal agung tempat penginapannya. Dengan peris wa tadi, ia tak
enak hati dan besok pagi ia akan pulang ke Singasari.
"Mana prajurit tadi" pa h Aragani bertanya pada prajurit pengawalnya dan menitahkan supaya
Mahesa Rangkah dipanggil menghadap.
Beberapa waktu kemudian pengawal itu datang dengan membawa keterangan bahwa Mahesa
Rangkah tak berada di tempat penginapannya. Patih Aragani terkejut.
"Ah, apakah mungkin dia hendak melakukan rencananya membunuh pangeran Ardaraja?"
pikirnya. Dan pucatlah wajahnya. Ia menyadari apabila hal itu sampai terlaksana, tentulah ia
takkan lepas dari tanggung jawab "Andai ada peris wa dalam perjamuan tadi, mungkin fihak
Daha tak dapat menyangka siapa yang melakukan pembunuhan itu. Tetapi setelah terjadi peris wa
itu, tentulah sangkaan akan jatuh pada diri Mahesa Rangkah, dengan sendirinya pa h Aragani-pun
akan terlibat dalam pertanggungan jawab "Celaka manusia itu " ia mengeluh.
Setelah keresahan memuncak pada kebingungan, karena ada menemukan jalan pemecahan,
akhirnya ketegangan ha pa h Aragani mulai berangsur-angsur mengendap turun. Dan mulai
pikirannya dapat bekerja mencari akal.
"Hm, manusia itu memang berbahaya. Inilah kesempatan yang baik untuk membunuhnya dengan
meminjam tangan orang Daha " akhirnya ia menemukan akal.
Serentak ia masuk kedalam ruang dur dan beberapa saat kemudian keluar memanggil pengawal
"Lekas engkau serahkan surat ini kepada pangeran Ardaraja. Penting sekali!."
Tanpa banyak pikir, pengawal itupun segera bergegas keluar menuju ke keraton tempat
kediaman pangeran. Tetapi segera ia mengeluh. Kemanakah ia harus mencari tempat
kediaman pangeran itu " Dan bukankah tak layak untuk mencari tempat kediaman pangeran
Ardaraja pada waktu semalam itu" Tidakkah para penjaga keraton akan mencurigainya "
Pengawal patih Aragani itu mulai bingung. Ia menyesal mengapa tadi ia tak menanyakan letak
kediaman pangeran kepada patih Aragani. Tampaknya surat itu tentu amat penting sekali
sehingga patih Aragani memberi pesan harus segera dapat diterima pangeran Ardaraja.
Saat itu tengah malam. Suasana keraton Daha sunyi senyap. , Akhirnya ia memutuskan untuk
mencoba menyelundup kedalam. Apabila tertangkap penjaga, ia akan mengaku terus terang.
Tentulah penjaga itu akan membawanya kepada pangeran Ardaraja.
Dengan berindap-indap langkah, ia menyusup disepanjang kerindangan yang gelap, agar jangan
terlihat orang. Makin lama ia makin mendeka puri dalam dimana para puteri dan keluarga raja
berdiam. Pikirnya, tempat kediaman pangeran Ardaraja tentulah terletak disitu. Sebagai seorang
putera mahkota tentulah pangeran itu memiliki keraton kediaman yang indah. Dan ia akan mencari
bangunan yang paling indah dan megah diantara lainnya.
Pada saat ia hendak melintas sebuah halaman yang memisahkan batas dengan puri dalam, ba2
seorang penjaga berjalan melintasi lorong. Rupanya dia prajurit yang menjaga keamanan. Melihat
itu buru2 pengawal itu menyelundup kedalam gerumbul pohon yang gelap. Setelah prajurit itu
lenyap dan dia hendak melangkah keluar, ba2 pula tengkuknya dicekik orang dari belakang.
Sebelum ia sempat bicara, mulutnya sudah dibungkam oleh sebuah tangan yang kuat.
"Siapa engkau ki sanak ! "seru orang yang menyergapnya itu dengan nada pelahan tetapi bengis,
seraya memutar leher pengawal itu menghadap ke belakang.
"Uh "pengawal itu terbeliak kaget dan mendesuh tetapi karena mulutnya dibungkam, ia tak
dapat mengeluarkan suara. Sekalipun begitu, apa yang dilihatnya saat itu, cukup mendebarkan
hatinya. Ternyata penyergap itu seorang yang berpakaian hitam, mukanyapun ditutup dengan kain hitam,
hanya bagian mata yang diberi lubang.
"Lekas bilang! " orang aneh itu menghardik pula.
Pengawal pa h Aragani gelagapan dan tangannya menunjuk pada tangan orang yang tengah
mendekap mulutnya. Penyergap itu rupanya sadar lalu melepaskan dekapannya.
"Aku prajurit pengawal gus pa h Aragani " sahut pengawal itu sembari hendak berusaha
mencari kesempatan meloloskan diri. Tetapi pada suatu ke ka ia beringsut, hendak beranjak,
punggungnya terlanggar oleh sebuah benda yang tajam sehingga memberikan rasa sakit pada kulit
punggung. Ia menyadari bahwa orang berkerudung kain hitam itu tengah melekatkan senjata tajam
ke punggungnya. Terpaksa ia hentikan gerak tubuhnya.
"Mengapa malam-malam engkau keluar kesini " " seru orang berkerudung kain hitam itu
setengah berbisik. "Aku tak dapat dur dan keluar mencari angin .... huhhhh " orang itu mengerang kesakitan ke ka
benda tajam yang melekat pada punggungnya itu tiba2 beralih menusuk kulit tenggorokannya."
"Bohong " bentak orang berkerudung kain hitam "lekas bilang terus terang atau kupotong
lehermu." Pengawal itu merupakan prajurit pilihan. Tetapi dalam menghadapi, bahaya seper saat itu,
runtuhlah nyalinya. Dia menggigil "Baik, jika engkau mau mengampuni jiwaku, aku mau bilang
dengan sejujurnya." "Lekas "hardik orang itu.
"Aku diutus gusti patih."
"O" orang berkerudung kain hitam itu mendesus kejut "kemana"."
"Menyampaikan surat kepada pangeran Ardaraja."
"O" kembali orang berkerudung kain hitam itu mendesuh lebih keras "surat apa "."
"Entah, aku tak tahu isinya."
"Berikan surat itu kepadaku ! " perintah orang berkerudung kain hitam.
Pengawal pa h Aragani terdiam. Rupanya ia bersangsi "Mengapa engkau hendak meminta surat
gusti patih itu "."
"Aku yang akan menyampaikan kepada pangeran " kata orang itu.
"Siapa engkau" "tanya pengawal.
"Aku orang bawahan pangeran yang ditugaskan untuk melindungi keamanan keraton dan diberi
wewenang untuk membunuh siapa saja yang mencurigakan " Pengawal patih Aragani itu terdiam.
"Lekas atau kubunuh engkau" bentak orang berkerudung kain hitam pula seraya melekatkan
pisaunya makin keras ke tenggorokan orang.
Pengawal itu ketakutan lalu mengambil surat dari dalam baju dan diserahkan kepada orang
berkerudung. "Engkau tak perlu melapor pada gus pa h tentang diriku. Cukup katakan kepadanya bahwa
surat itu sudah engkau berikan kepada pangeran, mengerti"."
Pengawal itu mengangguk. "Bodoh jika engkau tak menurut nasehatku. Karena pa h Singasari itu tentu akan murka dan
mungkin akan menjatuhkan hukuman mati kepadamu."
Habis berkata orang itu terus loncat dan menghilang dalam kegelapan, meninggalkan pengawal
yang masih dicengkam kemenungan. Ia merasa seper bermimpi buruk. Namun ke ka menggigit
bibirnya, ia masih merasa sakit. Setelah menimang beberapa saat, akhirnya ia membenarkan kata2
orang berkerudung tadi. Lebih baik ia menghaturkan laporan kepada pa h Aragani bahwa surat itu
telah diterima oleh pangeran Ardaraja. Segera ia kembali ke bangsal agung tempat penginapan
patih Aragani. Sementara di keraton kediaman pangeran Ardaraja, saat itu tampak sesosok bayangan
hitam tengah menyusur sepanjang tempat yang gelap. Gerakan orang itu lincah dan tangkas
sekali. Langkahnya hampir tak menerbitkan suara. Dia mengenakan pakaian warna hitam dan
kepalanya pun memakai kain penutup hitam hingga sampai ke leher. Sepintas, dia menyerupai
hantu yang berkeliaran pada malam hari.
Dia bukan lain adalah orang yang telah menyergap pengawal utusan pa h Aragani tadi. Setelah
memeriksa surat dari pa h Aragani, marahnya bukan kepalang. "Huh, bedebah Aragani itu hendak
bersekutu dengan pangeran Ardaraja untuk membunuh aku" Setan" gumamnya "dia hendak
meminjam tangan pangeran Ardaraja.."
Makin merenung isi surat itu makin meluaplah kemarahannya "Hm, engkau mengira dirimu
cerdik Aragani" Tetapi Mahesa Rangkah lebih cerdik. Engkau licin, Mahesa Rangkah lebih licin lagi."
Ia segera merancang rencana bagaimana harus ber ndak. Segera ia menuju ke keraton kediaman
Ardaraja. Setelah dengan susah payah dan berha -ha sekali akhirnya ia berhasil masuk ke dalam
ruang peraduan itu melalui jendela yang diungkitnya dengan ujung bela . Dilihatnya pangeran itu
masih dur diatas pembaringan "Jika pangeran Daha ini kubunuh, pa h Aragani pas terlibat dan
akan terjepit dalam dua karang tajam. Akuwu Jayakatwang tentu murka dan menuntut kema an
pa h Aragani. Baginda.Kertanagara demi mengambil ha Daha, tentu akan menghukum pa h itu.
Dia tak dapat lolos lagi."
Dengan berjingkat-jingkat ia menghampiri pembaringan pangeran itu. Setelah memperha kan
beberapa jenak bahwa, pangeran itu dur nyenyak barulah ia mencabut pedang pandak lalu
dihunjamkan ke dada pangeran.
Kematian seseorang memang sudah digariskan oleh ketentuan nasib. Dalam keadaan seperti
saat itu, sungguh tak mungkin kalau pangeran Ardaraja akan terhindar dari kematian. Tetapi
rupanya dewata masih belum memperkenankan pangeran itu harus mati ditangan seorang
pembunuh. Rupanya dewata masih menggariskan suatu kehidupan panjang bagi pangeran
Ardaraja dan kelangsungan kerajaan Daha.
Tiba2 pangeran itu mengeluh dan membalikkan tubuhnya "Aduh ... "ia menjerit kaget dan
kesakitan ketika bahu kirinya tertusuk ujung pedang. Cepat ia memberingas bangun.
Pangeran Ardaraja memang gemar menuntut ilmu kanuragan. Ia menyadari bahwa sebagai
seorang putera raja yang kelak menggan kedudukan ramanya, ia tentu menghadapi segala macam
bahaya. Dan cita-cita yang dihembuskan ramandanya, raja Jayakatwang, bahwa Daha harus bangkit
kembali sebagai kerajaan yang kuat dan jaya, makin menggelorakan semangat pangeran itu. Oleh
akuwu Jayakatwang, pangeran itu dikirim kepada seorang resi sak di puncak gunung Kelud. Dan
setelah menyelesaikan pelajaran ilmu jaya kawijayan, ia menjadi seorang pangeran yang ditaku
oleh orang bawahannya. Bukan hanya karena dia putera raja, pun karena kedigdayaannya.
Tusukan pedang yang mengenai bahunya, cepat menjagakan pangeran itu dari durnya dan
secepat itu pula ia segera tahu bahwa seorang yang mukanya tertutup kain hitam tengah
mengacungkan pedang kearahnya. Ia segera tahu dan menyadari apa yang terjadi saat itu. Cepat ia
tebarkan selimut kemuka orang itu. Orang itu terkejut juga. Cepat ia menyiak tebaran selimut itu
dengan pedangnya tetapi pada saat itu pula perutnya didupak kaki Ardaraja sekuat-kuatnya.
"Huh .... "orang berkerudung kain hitam itu mendesuh kejut dan terlempar kebelakang. Dupakan
kaki Ardaraja itu cukup keras, sehingga ia terbungkuk-bungkuk macam kura hendak bertelur.
Dia menyadari kalau rencananya telah gagal. Dan diapun kua r apabila Ardaraja berteriak,
tentulah para penjaga keraton segera akan datang mengepungnya. Ia tahu bahwa prajurit Daha
memiliki tata-ter b yang nggi dan kedigdayaan yang mengejutkan. Daripada harus tertangkap dan
mati, baiklah ia meloloskan diri.
Dilihatnya saat itu pangeran Ardaraja sudah loncat turun dari pembaringan. Orang itu tak mau
memberi kesempatan lagi. Tiba- ba ia taburkan pedangnya kearah pangeran Ardaraja yang tak
gugup. Serentak ia menyambar bantal dan disong-songkan sebagai perisai untuk melindungi
mukanya dari sambaran pedang. Pada saat ujung pedang menembus bantal itu, ia segera
melepaskan bantal dan loncat ke belakang. Dengan cara yang cerdik itu dapatlah pangeran
Ardaraja terlepas dari bahaya maut.
Serentak ia hendak menyerang pembunuh gelap itu tetapi alangkah kejutnya ke ka bayangan
orang itu sudah lenyap dalam ruang. Ia menduga ke ka ia sedang menyongsongkan bantal untuk
melindungi mukanya, tentulah pembunuh gelap itu sudah menggunakan kesempatan untuk loncat
dari jendela dan melarikan diri.
Pangeran itu seorang yang berani. Ia tak mau berteriak memanggil penjaga melainkan membuka
pintu dan lari keluar untuk mengejar. Tetapi sejenak berhen di halaman dan mengeliarkan
pandang ke empat penjuru, ia tak dapat menemukan jejak penjahat itu. Agar tak membuat kejut
para penjaga, iapun segera kembali ke ruang peraduannya lagi.
Bukit Pemakan Manusia 18 Memburu Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra Rumah Judi Pancing Perak 2
^