Pencarian

Kematian Eyang Legar 2

Raja Petir 09 Kematian Eyang Legar Bagian 2


"Hm.... Kau ternyata besar mulut, seperti tua
bangka pimpinan perguruan ini. Apa kau punya nama
besar hingga menganggap kami mengenalmu begitu
saja?" "Ya. Orang-orang rimba persilatan mengakui aku punya nama besar!" goda
Jaka. "Cuh! Itu bisamu saja!" ujar Galaba keras.
"Sebutkan apa nama besarmu, heh"!" timpal Wiroga dengan nada mengejek.
"Kuharap kalian tidak kaget setelah mendengar
julukanku, Dua Bajingan Hutan Welirang," ujar Jaka membalas ejekan Wiroga.
"Baru memiliki gelar Kodok Burik saja sudah
berlagak!" maki Galaba.
"Dengar baik-baik, Dua Bajingan Hutan Weli-
rang. Namaku Jaka, sedang julukanku...."
Sengaja pemuda itu tidak meneruskan perka-
taannya. Jaka ingin melihat perubahan sikap Dua Ba-
jingan Hutan Welirang, setelah dirinya menyebutkan
nama lengkapnya.
"Jaka...?" ujar Galaba sambil menatap wajah orang tertua Dua Bajingan Hutan
Welirang. Rupanya nama yang sama juga terucap di hati
Wiroga, hanya lelaki berpakaian hitam mampu menu-
tupi rasa terkejutnya.
"Kakang Wiroga.... Bukankah Jaka nama asli
Raja Petir?" ucap Galaba pelan di telinga Wiroga.
Wiroga yang mendapatkan pertanyaan adiknya
tak lekas menjawab. Mata lelaki berpakaian hitam itu terus memandang wajah
tampan Jaka dan pakaian
yang dikenakannya bergantian.
"Ciri-ciri yang dimiliki mirip sekali dengan perkataan tokoh persilatan yang
pernah kita jumpai, Galaba," jawab Wiroga setelah sekian lama membiarkan
pertanyaan Galaba.
Jaka yang memperhatikan tingkah laku Dua
Bajingan Hutan Welirang, tersenyum sendiri.
"Hm.... Apa kalian sudah mengetahui julu-
kanku?" tanya Jaka tenang.
Dua Bajingan Hutan Welirang tidak menjawab
pertanyaan pemuda itu. Mata dua lelaki yang bersenja-ta sepasang kapak tanggung,
hanya saling memandang
satu sama lain. Seperti hendak meyakinkan, bahwa
yang berada di hadapannya benar-benar sosok Raja
Petir. "Kalau kalian tidak tahu, baiklah. Aku akan memberitahu," kata Jaka
pelan. "Akulah yang berjuluk Raja Petir, Dua Bajingan Hutan Welirang!" mantap suara
yang terucap lewat sepasang bibir bagus Jaka.
"Kakang...," panggil Galaba ketika mendengar pengakuan Jaka.
"Kita hanya mendengar cerita tentang keheba-
tannya, Adi Galaba. Sekarang kita punya kesempatan
untuk membuktikannya," papar Wiroga mencoba me-nenangkan hati Galaba
"Bagaimana, Dua Bajingan Hutan Welirang.
Apa kalian akan memberitahu siapa yang menyuruh-
mu ke sini?" tanya Jaka lagi.
"Kau pikir aku takut dengan julukanmu, Raja
Petir" Hingga aku harus menyebutkan orang yang me-
nyuruhku?" ujar Wiroga balik bertanya.
"Terserah kalian! Kalau memang takut dengan
julukanku, silakan beritahu orang yang menyuruhmu
berbuat jelek seperti ini. Sebaliknya, jika kalian berani berhadapan denganku,
kalian bebas tutup mulut!"
"Keparat! Sombong sekali kau," maki Wiroga.
Orang tertua Dua Bajingan Hutan Welirang menatap
wajah Galaba. "Hih!"
Wiroga mengangkat senjatanya yang berupa
sepasang kapak tanggung, dan mengadunya satu sama
lain. Suara gemerincing dua logam keras langsung terdengar. "Ayo Galaba! Kita
gempur bocah sombong itu,"
ajak Wiroga. Galaba tentu saja menuruti ajakan Wiroga. Le-
laki berpakaian hijau itu segera melakukan gerakan
seperti yang dilakukan Wiroga.
Suara gemerincing terdengar seiring dengan te-
rangkatnya tangan Galaba, yang kemudian memben-
turkan dua senjatanya.
Dua Bajingan Hutan Welirang seketika bergerak
bersamaan. Tubuh Wiroga melejit ketika kakinya
menghentak permukaan tanah. Sedang Galaba dengan
gerakan cepat, meluruk ke tubuh Jaka dengan dua
kapak tanggung tertuju ke pinggang.
Raja Petir menyaksikan serangan terpadu Dua
Bajingan Hutan Welirang hanya berdiri tenang. Lelaki berpakaian kuning keemasan
itu ingin langsung menggunakan ilmu andalannya, saat menghadapi dua la-
wan yang memiliki ilmu tidak ringan itu.
Maka ketika terjangan terpadu Wiroga dan Ga-
laba datang, tubuh Jaka seketika bertambah menjadi
lima kali lipat. Ya, Raja Petir sedang menggunakan il-mu andalannya aji 'Bayang-
Bayang'. Dua Bajingan Hutan Welirang menyaksikan
wujud Jaka menjadi lima kali lipat jumlahnya, terkejut bukan main. Seketika itu
juga, lejitan tubuh keduanya diurungkan. Wiroga dan Galaba memandang bingung
wujud-wujud Jaka yang berdiri berjejer.
"Kau serang wujud Raja Petir nomor lima dari
kanan, Galaba. Aku akan menyerang wujudnya nomor
satu," putus Wiroga.
"Baik, Kakang. Akan ku coba," setuju Galaba.
Dua Bajingan Hutan Welirang memandang bi-
ngung wujud-wujud Jaka yang berdiri di dekatnya. Mereka tidak mengetahui kalau
Raja Petir tengah menggunakan aji 'Bayang-Bayang'.
"Kau serang wujud yang nomor lima, Galaba.
Aku coba menyerang yang nomor satu," usul Galaba bingung melihat Raja Petir
berubah banyak.
Dua Bajingan Hutan Welirang kembali menga-
du sepasang kapak tanggung yang berada di gengga-
man masing-masing. Kemudian tubuh keduanya mele-
sat ke dua arah.
Tlang! Tlang! "Hiaaa!"
"Hiaaa!"
Sepasang kapak tanggung Wiroga dan Galaba
dikebutkan kuat ke bagian tubuh Raja Petir yang me-
matikan. Babatan-babatannya dilakukan dengan
menggunakan tenaga dalam penuh.
Bet! Bet! "Heh"!"
Terkejut Dua Bajingan Hutan Welirang merasa-
kan sambaran senjatanya membentur angin kosong.
Mata Wiroga dan Galaba saling bertatapan penuh ke-
heranan dan kegeraman.
"Kita coba menyerang wujudnya yang di tengah,
Galaba!" perintah Wiroga keras.
Tubuh lelaki berpakaian hitam yang menghu-
nus senjata sepasang kapak tanggung melejit. Gerakan itu diikuti oleh Galaba
yang melesat ke arah yang sa-ma.
"Hiaaa!"
"Hiaaa!"
Bet! Bet! Kembali Dua Bajingan Hutan Welirang merasa
kecewa. Serangan yang dilakukan mereka mengalami
nasib sama. Sementara Jaka hanya tersenyum-senyum me-
nyaksikan kebingungan Dua Bajingan Hutan Welirang.
Sebenarnya sasaran terakhir Dua Bajingan Hutan We-
lirang tepat. Namun dua lelaki yang diliputi nafsu
membunuh itu, tidak menyadari sosok Raja Petir yang asli sudah berpindah tempat.
Tak heran jika serangan
yang dilancarkan Wiroga dan Galaba membentur tem-
pat kosong. "Bagaimana, Dua Bajingan Hutan Welirang"
Apa kalian mau mengakui keunggulanku?" tanya Jaka dengan mengerahkan ilmu
pemecah suara. Wiroga dan Galaba mendengar pertanyaan Jaka
yang seakan keluar dari empat penjuru angin. Dan Ja-ka menggunakan kesempatan
itu dengan sebaik-
baiknya. Di tengah kelengahan lawan, tubuhnya yang
terbungkus pakaian kuning keemasan berkelebat cepat bagai kilat, melancarkan dua
buah totokan ke tubuh
Dua Bajingan Hutan Welirang.
"Hiaaa...!"
Tuk! Tuk! *** 6 Tubuh Dua Bajingan Hutan Welirang seketika
ambruk ke tanah, setelah lebih dahulu mengeluarkan
pekikan tertahan.
Bruk! Bruk! Tubuh Wiroga dan Galaba tersungkur mencium
tanah. Dan terkulai lemah tanpa daya, terkena totokan Raja Petir. Sedang Jaka
berdiri tegak di depan Dua Bajingan Hutan Welirang. Mata lelaki muda yang berju-
luk Raja Petir menatap lurus bola mata Wiroga dan
Galaba. "Bagaimana, Bajingan Hutan Welirang?" tanya Jaka pelan. "Apa kalian
mengakui keunggulanku?"
Dua Bajingan Hutan Welirang yang mendapat
pertanyaan seperti itu, diam seribu bahasa. Hanya
raut wajah dan tatapan mata Wiroga dan Galaba yang
berbicara, bahwa keduanya sangat terpukul dan den-
dam atas kekalahan mereka.
"Bicaralah Dua Bajingan Hutan Welirang! Ka-
takan, siapa yang menyuruhmu mengantar mayat-
mayat keluarga Ki Winduta ke rumah ini?" pinta Jaka dengan nada suara yang
diperkeras. Dua Bajingan Hutan Welirang tetap membung-
kam, namun tatapan mata keduanya kini tertuju ke
tanah. "Cepat katakan! Atau nyawa kalian akan kuki-rim ke neraka sekarang juga!"
bentak Jaka menakut-nakuti. Wiroga dan Galaba tersentak mendengar ucap-
an Raja Petir yang cukup tegas. Keduanya menganggap ucapan itu tidak main-main.
Maka seketika itu juga
wajah Wiroga dan Galaba terangkat ke atas, menatap
Jaka. "Katakanlah, siapa yang telah menyuruh kali-tan?" pinta Jaka dengan suara
lembut Untuk sesaat Dua Bajingan Hutan Welirang sal-
ing memandang. Namun kemudian mulut Wiroga me-
nyebutkan sebuah nama, yang membuat darah Jaka
naik ke ubun-ubun.
"Mayat Merah!" ulang pemuda itu keras.
Ucapan Jaka tanpa disengaja keluar diiringi
kekuatan tenaga dalam. Hingga membuat Dua Ba-
jingan Hutan Welirang terkejut bukan kepalang. Wi-
roga dan Galaba menundukkan kepala dan memejam-
kan mata. "Keparat!" maki Jaka geram.
Plak! Plak! Tangan pemuda itu melayang, menghantam
kepala Dua Bajingan Hutan Welirang. Kegeramannya
mendengar nama Mayat Merah, membuat lelaki muda
berpakaian kuning keemasan itu tanpa sadar menam-
par wajah dua lelaki di hadapannya.
Beruntung Jaka tidak mengerahkan kekuatan
tenaga dalam, ketika menghantam batok kepala Wiroga dan Galaba. Jika saja
dirinya mengerahkan kekuatan
tenaga dalam, dapat dipastikan kepala Dua Bajingan
Hutan Welirang hancur dengan otak berceceran ke-
luar. "Jadi kalian cecunguk-cecunguk Mayat Merah dan kawan-kawannya"!" tanya
Jaka dengan suara ditekan setajam mungkin.
"Tidak...," ucap Wiroga pelan.
"Bukan, Raja Petir," timpal Galaba dengan tubuh bergetar hebat.
"Betul, Raja Petir," sambung Wiroga.
"Lalu mengapa kalian mau diperintah mereka"!"
bentak Jaka keras.
"Kami berdua bukan sekutu Mayat Merah," jelas Wiroga. "Malah kami pernah bentrok
dengan Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit."
"Dewa Kaki Langit"!" ulang Jaka.
"Betul, Raja Petir," jawab Galaba. "Sayang, dalam bentrokan itu kami berhasil
dikalahkan, tapi
Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit mengampuni ka-
mi, dengan satu persyaratan yang menurut kami tidak terlalu berat," lanjut
Galaba. "Betul, Raja Petir," dukung Wiroga akan kebenaran cerita Galaba.
"Kalian harus mematuhi segala perintah mere-
ka! Begitu bunyi persyaratan Mayat Merah dan Dewa
Kaki Langit?" tebak Jaka.
"Betul sekali, Raja Petir," jawab Dua Bajingan Hutan Welirang serempak.
"Goblok!" maki Jaka keras. "Di mana otak kalian hingga mau dibebani persyaratan
yang begitu berat" Ketahuilah, setiap kali Mayat Merah dan Dewa
Kaki Langit memerintahkan keinginannya, saat itu pu-la nyawa kalian jadi
taruhan, kalian mengerti!"
"Waktu itu kami takut sekali kepada Mayat Me-
rah dan Dewa Kaki Langit, karena itu kami menyetujui persyaratan mereka," kilah
Wiroga. "Hmmm...." Jaka bergerak mengitari tubuh Dua Bajingan Hutan Welirang. "Kalian
mau terbebas dari persyaratan Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit?" ta-war pemuda
itu kemudian. Dua Bajingan Hutan Welirang menatap wajah
Jaka lekat-lekat. Tatapan mereka seakan ingin mencari kepastian kebenaran ucapan
lelaki muda di hadapannya. Dan ketika mereka menemukan kejujuran
di mata Jaka, kedua lelaki itu mengangguk setuju.
"Kami mau, Raja Petir," ucap Wiroga dan Galaba bersamaan.
"Kalau demikian, kalian harus mematuhi per-
syaratanku," putus Jaka.
Kembali Dua Bajingan Hutan Welirang menatap
lurus wajah lelaki muda berpakaian kuning keemasan.
"Apa persyaratan itu, Raja Petir?" tanya Wiroga.
Sesaat Jaka menatap wajah Wiroga.
"Kalian harus kembali ke jalan yang lurus. Me-
ninggalkan kebiasaan buruk, dan membantu Pergu-
ruan Bintang Timur menyingkirkan Mayat Merah dan
Dewa Kaki Langit beserta kawan-kawannya," papar Jaka. "Sanggupkah kalian
mematuhi persya-ratanku?"
"Sanggup, Raja Petir," jawab Wiroga.


Raja Petir 09 Kematian Eyang Legar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku akan melakukan perintahmu, Raja Petir,"
ucap Galaba. "Bagus, namun aku tak bisa mempercayai uca-
panmu saat ini. Untuk itu mau tak mau kalian akan
ditawan. Nanti, saat kedatangan Mayat Merah dan ka-
wan-kawannya, akan ku uji kebenaran ucapanmu,"
putus Jaka. Dua Bajingan Hutan Welirang segera menatap
tajam Jaka. Sebetulnya mereka tak setuju jika harus ditawan. Tapi untuk
membantah ucapan Jaka, Wiroga,
dan Galaba tidak berani melakukannya.
Dengan tegas Jaka memanggil empat orang
murid Perguruan Bintang Timur.
"Kalian bawa dua lelaki ini, dan tempatkan di
ruang tahanan. Ingat, jangan berlaku yang tidak patut pada mereka," perintah
Jaka. Empat murid Perguruan Bintang Timur yang
mendapat perintah Jaka, tidak segera melaksanakan
tugasnya. Mereka nampak ragu-ragu untuk mengang-
kut tubuh Dua Bajingan Hutan Welirang.
"Laksanakan perintahku. Tubuh Dua Bajingan
Hutan Welirang tak punya kekuatan lagi untuk ber-
gerak, apalagi mencelakakan kalian. Tubuhnya telah kutotok," papar Jaka memberi
penjelasan. Setelah mendengar penjelasan pemuda itu, em-
pat murid Perguruan Bintang Timur segera menggo-
tong tubuh Wiroga dan Galaba, dan membawanya ke
ruang tahanan Perguruan Bintang Timur.
Dua Bajingan Hutan Welirang sesungguhnya
sakit hati diperlakukan seperti itu, namun ditekannya sebisa mungkin. Keduanya
sudah telanjur berjanji di hadapan Raja Petir.
Sementara Jaka hanya memandangi tubuh Wi-
roga dan Galaba yang digotong murid-murid Pergu-
ruan Bintang Timur.
*** Sore itu hawa dingin yang berhembus cukup
kuat, terasa menusuk kulit. Di luar bangunan Per-
guruan Bintang Timur, langit tampak dihiasi segumpal awan hitam yang melebar dan
berarak-arak, diiringi
gumpalan-gumpalan awan hitam lain. Agaknya sore itu sebentar lagi akan diguyur
hujan. Di dalam sebuah kamar Perguruan Bintang Ti-
mur yang berdinding putih, nampak pemimpin per-
guruan sedang berbaring di sebuah ranjang berseprai putih. Di sebelahnya berdiri
sosok muda berpakaian
kuning keemasan yang tak lain Jaka alias Raja Petir.
"Bagaimana dengan dua bajingan itu, Jaka?"
tanya Ki Winduta seraya bangkit dan duduk di pinggir ranjang.
"Untuk sementara mereka ditawan, Ki. Akan
kuperintahkan mereka menghadang Mayat Merah dan
kawan-kawannya jika muncul di sini," jawab Jaka.
Ki Winduta, lelaki berpakaian biru cerah mena-
tap wajah Jaka.
"Apakah nanti tidak akan terjadi sebaliknya?"
tanya pimpinan Perguruan Bintang Timur dengan na-
da khawatir. "Kurasa kekhawatiranmu tidak akan terjadi, Ki.
Wiroga dan Galaba mempunyai dendam pada Mayat
Merah dan kawan-kawannya. Mereka pasti akan mem-
pergunakan kesempatan yang ada, karena kita akan
melakukan hal yang sama yaitu me-lenyapkan Mayat
Merah dan kawan-kawannya," kilah Jaka.
"Dua Bajingan Hutan Welirang tokoh golongan
hitam yang licik, Jaka. Aku meragukan janjinya pada-mu," tukas Ki Winduta
menyangkal penjelasan Jaka.
"Kuharap kekhawatiranmu tak akan terjadi, Ki
Winduta," ujar Jaka.
"Hhh...."
Pimpinan Perguruan Bintang Timur menarik
napas panjang. "Aku juga berharap begitu, Jaka," ucap Ki Winduta akhirnya.
"Aaa...!"
Belum berubah bentuk bibir Ki Winduta, tiba-
tiba terdengar jerit kematian yang berasal dari luar bangunan Perguruan Bintang
Timur. Lelaki berpakaian biru cerah yang baru terbe-
bas dari pengaruh hantaman serangan Dua Bajingan
Hutan Welirang, segera bergerak meninggalkan kamar.
"Kau kerahkan kekuatan murid-muridmu, Ki.
Aku akan menemui Dua Bajingan Hutan Welirang,"
ucap Jaka. Ki Winduta tak menjawab perkataan pemuda
itu, namun kepalanya terangguk mantap sebagai tanda menyetujui ucapan Jaka.
Lelaki itu bergegas menuju
halaman perguruan, sedang Jaka melangkah cepat ke
kanan, menuju ruang tahanan para perusuh yang
mencoba mengganggu ketenangan penghuni Pergu-
ruan Bintang Timur.
Bunyi berderit terdengar, seiring dengan ter-
kuaknya pintu ruang tahanan tempat Wiroga dan Ga-
laba berada. Jaka menatap wajah Dua Bajingan Hutan We-
lirang, sebelum mengatakan sesuatu pada kedua lelaki itu.
"Sekarang saatnya kalian memenuhi janji, Dua
Bajingan Hutan Welirang," ujar Jaka tegas.
"Kami..."
"Ya, Kalian harus menghadapi orang yang ber-
usaha menjatuhkan perguruan ini," potong Jaka cepat.
"Apakah mereka Mayat Merah dan kawan-ka-
wannya?" tanya Wiroga.
"Aku belum tahu siapa, namun firasat ku me-
ngatakan begitu," jawab Jaka.
"Ah!"
Wiroga menarik napas berat
"Kalian gentar menghadapi Mayat Merah dan
kawan-kawannya?" selidik Jaka. "Atau kalian ingin mengingkari janji?"
Wiroga dan Galaba serentak menggelengkan
kepala. "Aku tak akan mengingkari ucapanku, Raja Petir. Hanya aku sangsi, apakah
kami mampu meng-
hadapi Mayat Merah dan kawan-kawannya," tandas Wiroga. Jaka tersenyum mendengar
ucapan Wiroga, menurutnya suatu pengakuan jujur dan tulus.
"Aku akan berdiri di belakang kalian," ucap Ja-ka membesarkan hati Dua Bajingan
Hutan Welirang.
"Kalau begitu kami akan coba berusaha sebisa
mungkin melumpuhkan Mayat Merah dan kawan-
kawannya, Raja Petir," putus Wiroga.
"Ya, Raja Petir," timpal Galaba. "Asalkan setelah itu kami diizinkan
meninggalkan perguruan ini."
"Jangan khawatir," jawab Jaka. "Aku tak suka menyiksa orang yang ingin kembali
ke jalan benar,"
lanjut Jaka menasihati.
Suasana di ruang tahanan sesaat hening. Dan
pada saat berikutnya, terdengar pekik tertahan Dua
Bajingan Hutan Welirang.
"Aaa...!"
"Aaa...!"
Tubuh Wiroga dan Galaba seketika dapat ber-
gerak, ketika totokan tangan Jaka membebaskan pen-
garuh totokan di tubuh Dua Bajingan Hutan Welirang.
"Sekarang jalankan tugas kalian," perintah Ja-ka.
Dua Bajingan Hutan Welirang segera mening-
galkan Jaka. Langkah Wiroga dan Galaba membuat
pemuda itu tidak meragukan janji mereka.
Benar saja. Ketika Jaka keluar dari bangunan Perguruan
Bintang Timur, Dua Bajingan Hutan Welirang tengah
bertarung menghadapi lelaki berpakaian hitam yang
menghunus sebilah golok besar, dan lelaki berpakaian biru yang bersenjatakan
sebatang pedang bergerigi.
Keduanya tak lain Cakar Sakti dan Iblis Kali Asin. Sementara murid-murid
Perguruan Bintang Timur terli-
hat mundur, untuk memberi kesempatan pada Dua
Bajingan Hutan Welirang.
"Dua Bajingan Hutan Welirang! Mengapa berpi-
hak pada mereka" Bukankah kalian sudah terikat per-
syaratan Mayat Merah!" hardik lelaki berpakaian hitam yang berjuluk Iblis Kali
Asin. Wiroga tak menjawab pertanyaan lelaki berpa-
kaian hitam yang menghunus sebilah golok besar. Ma-
ta Wiroga dan Galaba hanya menatap wajah Iblis Kali Asin. "Untuk apa aku
mematuhi persyaratan si jaha-nam Mayat Merah, Iblis Kali Asin"!" ujar Wiroga
balik bertanya.
Terkejut Iblis Kali Asin mendengar perkataan
orang tertua Dua Bajingan Hutan Welirang. Namun,
Jaka lebih terkejut lagi mendengar ucapan Wiroga.
Iblis Kali Asin! Ulang Jaka dalam hati.
Sengaja pemuda itu menyebutnya dalam hati,
untuk sekadar mengurangi rasa geramnya. Kau akan
mampus di tanganku, Iblis! Lanjut Jaka.
"Apa kalian sudah mampu menandingi ke-
kuatan kami, Dua Bajingan Tengik"!" goda lelaki berpakaian biru.
"Jangan sombong, Cakar Sakti! Aku tak gentar
menghadapi maut sekalipun!" kali ini bantahan itu terdengar dari mulut Galaba.
Kembali hati Jaka tersentak, mendengar nama
Cakar Sakti disebut Galaba. Namun pemuda itu harus
kembali menahan kegeramannya.
"Kalau begitu, kalian memang pantas mampus
sekarang!" bentak Cakar Sakti.
Lelaki berpakaian biru dengan senjata berupa
lempengan logam keras berbentuk cakar manusia,
langsung bergerak cepat. Angin menderu mengiringi
terjangan Cakar Sakti yang terarah pada Wiroga. Se-
mentara Iblis Kali Asin pun melakukan hal yang sama.
Diiringi teriakan nyaring, Iblis Kali Asin alias Sugraniri melesat menerjang
Galaba. "Hiaaa...!"
*** 7 Dua Bajingan Hutan Welirang yang mendapat
serangan Cakar Sakti dan Iblis Kali Asin, segera merubah kedudukan kaki. Senjata
berupa sepasang kapak
berukuran tanggung, tampak menyilang di depan dada
masing-masing. Dan angin menderu ketika Wiroga dan
Galaba memutar senjatanya.
Wruuuk! Wruuuk! Namun Cakar Sakti dan Iblis Kali Asin yang
menganggap enteng kemampuan Dua Bajingan Hutan
Welirang tetap meneruskan serangannya. Senjata Ca-
kar Sakti berupa lempengan logam keras berbentuk telapak tangan manusia, terarah
ke leher Wiroga. Se-
dang golok Iblis Kali Asin dibabatkan ke leher Galaba.
"Mampus kau!"
"Hiaaa! Hiaaa!"
"Heh"!"
Terkejut Cakar Sakti dan Iblis Kali Asin me-
nyaksikan kehebatan Dua Bajingan Hutan Welirang,
ketika memainkan sepasang kapaknya. Hampir saja
perut terbabat kapak, jika keduanya tidak segera
membuang diri dengan cepat.
"Hup!"
"Hup!"
Tubuh Kuruga dan Sugraniri mendarat dengan
manis di tanah, setelah dua kali melakukan putaran di udara. Belum berapa lama
dua lelaki berpakaian jingga dan hitam menjejakkan kaki, keduanya kembali
menghentakkan kakinya kuat-kuat.
"Hih!"
"Hiaaa!"
Cakar Sakti dan Iblis Kali Asin kembali melu-
ruk maju. Serangan senjata keduanya tertuju pada bagian tubuh Wiroga dan Galaba
yang mematikan.
Senjata Cakar Sakti dikebutkan ke ubun-ubun
Wiroga. Kedatangan serangan Kuruga kali ini sangat
cepat. Hingga Wiroga tidak mampu memainkan senja-
tanya dengan baik. Namun gerakannya yang lincah,
dapat menghindarkan kepalanya dari sambaran senja-
ta Cakar Sakti.
Tetapi serangan yang dilakukan Kuruga hanya
siasat belaka. Pada saat orang tertua Dua Bajingan
Hutan Welirang memiringkan tubuh, lelaki berpakaian jingga yang berjuluk Cakar
Sakti, segera mengirimkan tendangan lurus menggeledek.
Kedatangan serangan Cakar Sakti yang begitu
tiba-tiba cukup mengejutkan Wiroga. Orang tertua Dua Bajingan Hutan Welirang,
mencoba mengelakkan terjangan kaki Kuruga dengan menambah kemiringan tu-
buhnya. Namun gerakan Wiroga kalah cepat dengan
terjangan Cakar Sakti. Akibatnya....
Blakgh! "Aaakh!"
Tubuh Wiroga terpental deras, seiring dengan
tendangan geledek Kuruga yang menghantam telak
dadanya. Dengan disertai pekik kesakitan, tubuh Wi-
roga melayang dan ambruk ke tanah.
Bruk! Bunyi berdebuk terdengar begitu tubuh Wiroga
terhempas di tanah.
"Huh! Rupanya hanya sampai di situ kepan-
daianmu, Iblis Kurap!" maki Kuruga. "Sekarang kau akan menerima kematianmu!"
lanjut Cakar Sakti sambil mengangkat senjatanya.
Wiroga tersentak melihat gerakan Cakar Sakti,
menurutnya Kuruga akan menghantamkan senjata itu
ke kepalanya. Tapi dugaan Wiroga meleset jauh. Lelaki berpakaian jingga yang
telah mengangkat senjatanya
ke atas kepala, ternyata hanya mengebutkan senjata
itu dengan pengerahan tenaga dalam.
Breut..! Slash! Seberkas sinar jingga memancar dari lempeng-
an logam keras berbentuk telapak tangan manusia. Serangkum sinar jingga itu,
meluruk deras ke tubuh Wiroga. Hawa panas segera menyebar ketika sinar jingga


Raja Petir 09 Kematian Eyang Legar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melesat melalui hentakan kuat Kuruga.
Jaka yang menyaksikan kejadian itu tentu saja
sangat terkejut. Apalagi saat melihat luncuran se-
rangkum sinar jingga hasil ciptaan Cakar Sakti.
Pemuda itu dapat memastikan Wiroga tak akan
mampu menghindari terjangan serangkum sinar jing-
ga. Maka dengan kecepatan yang sukar diikuti mata
biasa, tubuh Jaka melesat cepat bagai kilat.
Wusss! Yap! "Hop!"
Tubuh Wiroga tahu-tahu sudah berada dalam
cekalan tangan Jaka. Sementara serangkum sinar
jingga yang meluruk cepat, lolos beberapa jengkal dari tubuh Wiroga, dan terus
meluruk hingga menghantam
sebatang pohon besar.
Blaaarrr...! Pohon sebesar pelukan tangan dua lelaki dewa-
sa, langsung tumbang terhantam sinar jingga Cakar
Sakti. Dan jatuh berderak menimbulkan bunyi meme-
kakkan telinga.
Wiroga membelalakkan mata sesaat, menyaksi-
kan kedahsyatan serangkum sinar jingga yang meng-
hantam pohon besar. Dirinya tak bisa membayangkan,
bagaimana jika tubuhnya yang terhantam sinar cip-
taan Cakar Sakti.
Kalau Wiroga terkejut menyaksikan keganasan
sinar jingga Cakar Sakti, lain lagi rasa terkejut yang dialami Cakar Sakti.
Sungguh dirinya tak menduga,
ada orang yang bergerak demikian cepat menyela-
matkan nyawa orang tertua Dua Bajingan Hutan Weli-
rang, dari incaran sinar jingga miliknya. Padahal Kuruga yakin betul, tubuh
Wiroga akan hangus terhan-
tam serangkum sinar jingga ciptaannya. Tetapi kenyataannya..."
Seorang lelaki berpakaian kuning keemasan,
berhasil menyelamatkan nyawa orang tertua Dua Ba-
jingan Hutan Welirang.
Kuruga menatap geram wajah tampan sosok
muda yang tak lain Raja Petir. Dan tatapan tajam Kuruga berubah menjadi tatapan
menyelidik. Cakar Sak-
ti, seperti mengenali sosok muda berpakaian kuning
keemasan. "Raja Petir...."
Nama itu diucapkan Cakar Sakti demikian pe-
lan, hingga sekilas terlihat seperti desahan napas. Ter-
lihat ada sedikit rasa gentar mewarnai raut wajah lelaki itu. Namun Kuruga yang
merasa lebih dulu malang-
melintang di dunia persilatan, berusaha keras me-
nyembunyikan rasa gentarnya. Tatapan matanya kem-
bali tajam, menusuk wajah Jaka.
"Lancang sekali kau mencampuri urusanku,
Anak Muda!" bentak Kuruga pura-pura tidak mengenali sosok Raja Petir.
"Kau yang telah lancang mengganggu ketenan-
gan Perguruan Bintang Timur, Cakar Bengek!" umpat Jaka tak kuasa menyembunyikan
kegeramannya. Merah padam wajah Cakar Sakti mendengar
makian Jaka. Mata Kuruga membelalak lebar.
"Kau harus membayar kelancangan dan peng-
hinaan itu dengan nyawamu, Anak Muda! Kau akan
mampus dengan senjataku ini!" hardik Cakar Sakti.
Jaka tersenyum mendengar perkataan Kuruga
"Kau yang harus membayar nyawa atas perbua-
tanmu terhadap Hantu Pemburu Nyawa, Cakar Ben-
gek!" balas Jaka.
"Hei"!"
Kuruga tersentak mendengar perkataan pemu-
da itu. "Apa hubunganmu dengan Iblis Jahanam itu, heh" Bukankah kau Jaka alias
Raja Petir, yang digem-bar-gemborkan sebagai tokoh golongan putih yang se-
lalu membela kebenaran?" tanya Kuruga tajam.
"Ya. Aku ingin membalas kematian Hantu Pem-
buru Nyawa, yang berada di pihak yang benar!" tandas Jaka mantap.
"Hei" Bukankah Eyang Legar tokoh sesat yang
selalu membuat keonaran, dan melenyapkan nyawa
orang-orang tak berdosa" Mengapa kau ingin membe-
lanya, Raja Petir" Tidakkah terbalik pikiran-mu?" desak Kuruga ingin memojokkan
Jaka. "Selama puluhan tahun Eyang Legar telah men-
jadi orang yang bertobat, Cakar Bengek! Dirinya tak pantas kau perlakukan sekeji
itu. Kau telah berse-kongkol dengan Mayat Merah, Dewa Kaki Langit, dan
kawanmu itu," ujar Jaka sambil menuding ke arah pertarungan Galaba dengan Iblis
Kali Asin. "Kalian pasung tubuh Hantu Pemburu Nyawa di sebatang pohon,
setelah lebih dulu racun ganas Mayat Merah melum-
puhkannya. Kalian semua harus menebus kematian
Eyang Legar dengan nyawa!" lanjut Jaka lantang.
"Tapi Eyang Legar belum membayar sakit hati
kami, Raja Buduk!" balas Cakar Sakti dengan makian yang membuat telinga Jaka
memerah seketika. "Puluhan tahun kami berniat membalas dendam, bukankah
itu hal yang wajar?"
"Tapi yang kalian lakukan terhadap Eyang Le-
gar, telah melampaui batas kemanusiaan! Kau sadar
itu"!" "Itu pembalasan yang setimpal, Raja Buduk!"
jawab Cakar Sakti memancing kemarahan Jaka.
Jaka yang dapat membaca pikiran Cakar Sakti
segera menahan diri. Sesungguhnya hati pemuda itu
terbakar mendengar ejekan Kuruga, namun ia tak mau
melayani dengan menyerang Cakar Sakti lebih dulu.
"Cakar Bengek!" balas Jaka mantap. "Ketahuilah! Walau apa pun alasanmu, aku
tetap menyalah-
kanmu dan kawan-kawanmu. Kalian harus segera
mengantar nyawa padaku!"
"Cuh!" Kuruga meludah penuh kegeraman.
"Sombong sekali kau, Raja Buduk! Apa kau pikir aku gentar dengan nama besarmu?"
"Sudah dapat kupastikan kau akan mampus di
tanganku, Cakar Bengek!" pancing Jaka lebih keras.
Kuruga rupanya terpancing ucapan Jaka. Terli-
hat dari raut wajahnya yang menegang. Cekalan tan-
gan pada senjatanya nampak begitu erat, seperti se-
dang mengalirkan tenaga dalam pada senjata yang be-
rupa lempengan logam keras berbentuk telapak tangan manusia.
"Kurang ajar!" maki Cakar Sakti melepas ke-jengkelannya.
Seiring dengan makian itu, Kuruga menghen-
takkan senjatanya dengan pengerahan tenaga dalam
tinggi. "Hih!"
Slash! Serangkum sinar jingga keluar dari senjata Ku-
ruga. Sinar jingga itu meluruk deras ke arah tubuh
Jaka. "Ups!"
Dengan mengerahkan sedikit kemampuan ilmu
meringankan tubuhnya, Jaka mencelat menghindari
terjangan sinar jingga Cakar Sakti. Dan memang yang dilakukan Raja Petir membuat
serangan Kuruga mentah.
Cakar Sakti agaknya benar-benar berniat
menghabisi nyawa Jaka. Terbukti dengan gerakan dua
kali lipat cepatnya, lelaki itu kembali menghentakkan senjatanya berturut-turut.
Dua rangkum sinar jingga susul-menyusul melesat dari lempengan berbentuk telapak
tangan manusia, meluruk cepat ke arah tubuh
Jaka yang baru saja menjejakkan kaki di tanah.
Hmmm.... Betul-betul ganas serangannya, bisik
hati Jaka. Lelaki muda berpakaian kuning keemasan yang
berjuluk Raja Petir, dengan cepat menggerakkan tan-
gan kanannya. Tak terlihat pandangan mata, tahu-
tahu di antara telunjuk dan ibu jari Jaka, ter-selip sebatang bambu kuning kecil
yang pada bagian tengah-
nya berlubang. Dengan kecepatan luar biasa, Raja Petir menye-
lipkan bambu kuning itu di antara bibirnya. Dan dengan mengerahkan tenaga
dalamnya, pemuda itu
menghembuskan napas kuat
Slast..! Slast..!
Seberkas sinar keperakan melesat cepat dari
lubang bambu kuning yang terhembus napas Jaka.
Sinar keperakan laksana petir itu melesat cepat me-
nyongsong sinar jingga Cakar Sakti.
Sinar jingga dan keperakan terlihat saling me-
nyongsong dengan kecepatan tinggi. Dan ketika kedua sinar bertemu di udara,
maka.... Glaaar! Glaaar! Suara ledakan keras terdengar seketika, meme-
kakkan telinga. Karena ledakan itu terjadi tak begitu jauh dari kediaman Ki
Winduta, maka bangunan rumah pimpinan Perguruan Bintang Timur bergetar he-
bat seperti dilanda gempa. Yang lebih hebat lagi pengaruh yang diterima murid-
murid kelas tiga perguruan
itu. Murid-murid Perguruan Bintang Timur yang ra-
ta-rata memiliki kemampuan tenaga dalam rendah,
ambruk ke tanah, bahkan di antaranya ada yang ter-
pental jauh. Raja Petir menyaksikan kenyataan itu agak ter-
kejut. Pemuda itu lalu memutuskan tidak akan men-
gulangi lagi benturan dua sinar yang begitu dahsyat, yang mengakibatkan murid-
murid Ki Winduta jadi
korban. Tapi kenyataan itu tidak membuka hati Cakar Sakti. Lelaki bertabiat
buruk itu kembali mengebutkan cakar mautnya.
Slash! Slash! Slash!
Tiga rangkum sinar jingga meluruk cepat ke
arah Jaka, yang telah meletakkan bambu kuningnya di tempat semula.
"Jahanam!" maki Jaka melihat perbuatan Kuruga. Raja Petir segera mencelat
ringan, gerakan yang dilakukannya kali ini terlihat tidak beraturan. Pada sa-tu
loncatan tubuhnya melayang ke kanan, dan pada
loncatan berikutnya tubuh Raja Petir melayang jauh ke udara. Juga ketika
serangan Kuruga kembali datang,
tubuh Jaka terlihat melayang ke kiri
"Hop!"
"Hiyaaa...!"
Rupanya Jaka benar-benar jeli penglihatannya.
Di saat tubuhnya melompat ke kiri, matanya
menangkap titik lemah gerakan Cakar Sakti. Karena
itulah Jaka menghentakkan kakinya kuat-kuat. Dan
dengan diiringi teriakan menggelegar, tubuh Raja Petir mencelat cepat dengan
kaki menyilang ke atas. Tendangan serong yang dilancarkan Jaka terarah ke ba-
tang leher samping Cakar Sakti.
Diegkh! "Aaa...!"
Pekik kesakitan terdengar membumbung ke la-
ngit, bersamaan dengan itu tubuh Kuruga terpelanting ke tanah. Darah muncrat
dari mulutnya yang terbuka
lebar. "Khrgkh...!"
Kuruga menggereng dengan tubuh menggelepar
seperti sapi disembelih. Beberapa saat lama nya Kuru-ga berkelojotan di tanah,
lalu sesaat kemudian tubuhnya diam tak bergerak. Nyawa lelaki itu telah pergi
meninggalkan jasad dengan leher patah.
Iblis Kali Asin yang sempat melihat keadaan
Kuruga, terkejut bukan main. Rasa kagetnya sungguh
berakibat buruk bagi dirinya, yang sedang menghadapi
serangan gencar Dua Bajingan Hutan Welirang.
"Mampus kau, Iblis!" bentak Wiroga dan kapaknya dibabatkan ke lambung Iblis Kali
Asin. Sugraniri terkejut bukan main merasakan
sambaran angin terarah ke lambungnya. Lelaki itu segera melangkah mundur.
Tetapi.... Pret! Sambaran kapak berukuran tanggung yang di-
lancarkan Wiroga berhasil menyerempetnya. Ber-
untung kapak Wiroga hanya membuat koyak pakaian
Sugraniri. Namun tak urung Iblis Kali Asin menggereng hebat. Kemarahannya karena
kematian Cakar Sakti
bertambah, setelah mendapatkan tubuhnya hampir
terkoyak. Lelaki berpakaian hitam yang di tangannya ter-
hunus sebilah golok besar, bermaksud menyerang ba-
lik Wiroga, namun serangannya kalah cepat dengan
Galaba. Sambil memekik nyaring, Galaba melejit cepat ke arah Iblis Kali Asin
dengan bentuk serangan kapak kembar seperti hendak menggunting.
"Hiaaa...!"
Galaba bergerak cepat. Kapak tanggung yang
berada di genggaman tangan kanan, meluncur dari
arah kanan menebas batang leher Sugraniri. Sedang
kapak yang tercekal di tangan kiri, meluncur dari arah yang berlawanan menuju
lambung Iblis Kali Asin.
Sugraniri kewalahan mendapat serangan se-
gencar itu, apalagi kedatangannya begitu cepat. Lelaki berpakaian hitam itu
segera mengambil keputusan
memapaki senjata lawan yang terarah ke lehernya.
"Hih!"
Trang! Breeets! *** 8 Sungguh luar biasa serangan Galaba, gerakan
menggunting orang termuda Dua Bajingan Hutan Weli-
rang sangat cepat, dan terarah ke bagian mematikan
tubuh Iblis Kali Asin.
Sugraniri segera mengangkat golok besarnya,
menangkis senjata lawan yang mengarah batang leher.
Namun lelaki itu harus menanggung akibat yang tidak ringan. Kapak Galaba yang
tergenggam di cekalan tangan kiri mampu merobek lambung.
Tubuh Iblis Kali Asin langsung terhuyung tiga
langkah ke belakang. Golok besar di tangan kanannya terlepas, sedang tangan kiri
Sugraniri berusaha menutupi luka yang mengangga lebar di bagian pe-rutnya.
Darah nampak keluar dari sela-sela jari Iblis Kali Asin.
Galaba yang dendam pada Iblis Kali Asin, tidak
membiarkan kesempatan itu untuk melakukan se-
rangan. Tubuh lelaki termuda Dua Bajingan Hutan
Welirang kembali melesat. Kali ini serangan Galaba
hanya menggunakan tendangan lurus, yang dialiri
pengerahan tenaga dalam tinggi. Tendangan lelaki itu mengarah ke dada Sugraniri.
"Hiaaa...!"
Blagkh!

Raja Petir 09 Kematian Eyang Legar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aaakh!"
Tubuh Iblis Kali Asin langsung terpental deras,
terhantam tendangan lurus Galaba. Dada Sugraniri terasa melesak ke dalam. Dan
cairan merah segar mun-
crat dari mulutnya.
Buuum! Tubuh Iblis Kali Asin ambruk ke tanah, dengan
nyawa sudah melayang dari jasadnya.
*** Jaka diikuti pimpinan Perguruan Bintang Ti-
mur segera menghampiri Dua Bajingan Hutan Weli-
rang. "Terima kasih atas perbuatan kalian, tidak mengingkari janji yang kemarin
diucapkan," ujar Jaka seraya menatap wajah Wiroga dan Galaba bergantian.
"Ternyata hati kalian telah tergerak untuk kembali ke jalan yang benar. Langkah
pertama telah kalian rintis dengan membantu kami melenyapkan Cakar Sakti dan
Iblis Kali Asin," lanjut Jaka dengan suara ditekan sebagai kenangan Dua Bajingan
Hutan Welirang.
Wiroga, lelaki tertua Dua Bajingan Hutan Weli-
rang, merasakan ucapan Raja Petir menerobos masuk
ke relung hatinya paling dalam. Hatinya yang selama ini diselimuti kabut hitam,
dirasakan seperti mendapat angin segar. Kabut hitam itu kini terkuak pergi.
Karena ucapan seorang tokoh sakti yang mengatakan, ha-
tinya telah tergerak untuk kembali ke jalan yang lurus.
Wiroga menarik napas dalam-dalam, rasa lega
terasa memenuhi perasaannya.
"Ahhh...!"
"Bagaimana Wiroga, Galaba. Apakah kalian
akan mempertahankan langkah pertama yang telah
kalian rintis?" tekan Jaka, memantapkan pengaruhnya yang dirasa telah menemui
tempat di hati orang tertua Dua Bajingan Hutan Welirang.
Wiroga menatap wajah Jaka, demikian pula Ga-
laba. "Akan ku pertahankan sekuat tenaga langkah pertama yang telah kami rintis
ini, Raja Petir," ucap Wiroga sedikit bergetar. Lelaki itu merasa terharu dengan
perhatian Jaka yang begitu besar.
"Benar, Raja Petir. Hatiku tersentuh mendapat
perhatian dari tokoh sakti sepertimu. Aku bertekad
akan terus melanjutkan langkah pertama yang telah
kami rintis ini. Kami juga akan berusaha sekuat te-
naga, meninggalkan kebiasaan buruk yang selama ini
kami lakukan," tambah Galaba.
"Terima kasih atas tekad yang kalian miliki,"
ucap Ki Winduta membuka suara. "Namun hati-
hatilah. Banyak orang yang tak suka melihat orang
lain berubah menjadi baik. Seandainya kalian men-
jumpai orang atau tokoh seperti itu, sebaiknya kalian mampu menahan diri untuk
tidak berbuat kasar. Sebisa mungkin, ajaklah orang itu baik-baik untuk mengikuti
langkah yang telah kalian ambil," nasihat Ki Winduta panjang lebar.
Wiroga dan Galaba menatap wajah pimpinan
Perguruan Bintang Timur lekat-lekat Dua Bajingan
Hutan Welirang jadi malu, jika mengingat perbuatan
yang telah mereka lakukan pada perguruan yang di-
pimpin lelaki berpakaian biru cerah ini. Mereka merasa tidak enak mendengar
nasihat bijak dari orang yang telah mereka sakiti.
"Aku akan mengingat nasihatmu baik-baik, Ki,"
hanya itu perkataan yang keluar dari mulut Wiroga.
Kemudian tatapan lelaki itu beralih ke wajah Galaba.
"Seperti Kakang Wiroga. Aku pun akan ber-
usaha mengingat nasihatmu, Ki," timpal Galaba sambil menjura hormat.
"O ya, Jaka. Apakah Dua Bajingan Hutan We-
lirang kau izinkan pergi atau...."
"Jangan panggil kami dengan julukan itu lagi, Ki," putus Wiroga.
Raut wajah Ki Winduta seketika berubah.
"Ah. Maafkan aku, Wiroga," ucap Ki Winduta merasa tak enak. "Memang sebaiknya
julukan itu jangan lagi kalian sandang," lanjut Ki Winduta.
"Sebaiknya demikian, Kakang Wiro, Kakang Ga-
laba," tambah Jaka, sengaja memanggil Dua Bajingan Hutan Welirang dengan sebutan
'Kakang'. Wiroga dan Galaba terkejut mendengar panggi-
lan Jaka. Keduanya jadi lebih menaruh hormat pada
lelaki muda usia yang berjuluk Raja Petir.
"Lebih baik kalian memakai nama kalian sendi-
ri. Jika kalian pandai menempatkan nama pada tem-
pat yang besar, maka tidak mustahil nama Kakang Wi-
roga dan Kakang Galaba disanjung dan dihormati
orang. Apalagi Kakang Galaba dan Kakang Wiroga
memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Kakang berdua bisa memanfaatkan
kepandaian yang dimiliki untuk
membela orang-orang lemah, orang-orang yang berdiri dipihak yang benar," lanjut
Jaka. "Kami akan berusaha melakukan semua yang
kau katakan, Raja Petir," kata Wiroga mantap.
"Panggil aku Jaka, Kakang Wiroga," pinta Jaka.
"Aku lebih senang kalian memanggilku dengan namaku." Wiroga dan Galaba langsung
menundukkan kepala sebagai tanda hormat pada Jaka. Kedua lelaki
berpakaian hitam dan hijau itu menaruh simpati dan
rasa hormat yang tinggi pada pemuda di hadapannya.
"Nah, sekarang kuizinkan kalian pergi," ucap Jaka lembut
"Terima kasih, Raj.... Eh, anu, Jaka. Terima kasih. Aku akan selalu mengingat
perkataan mu dan di-
rimu. Juga perguruan ini dan Ki Winduta," ujar Wiroga yang merasa senang bukan
main. "Kalau Ki Windu mengizinkan, lain waktu kami
akan berkunjung ke sini," tambah Galaba sambil menatap wajah pimpinan Perguruan
Bintang Timur. "Dengan senang hati aku akan menerima ke-
datangan kalian. Tentu bila kedatangan kalian mem-
bawa maksud yang...."
"Tentu saja, Ki. Kami tak akan berani mengin-
jakkan kaki di daerah kekuasaanmu, jika hati kami belum mampu melaksanakan janji
kami pada Kisanak
berdua," kilah Wiroga memotong ucapan Ki Winduta.
"Aku senang jika kalian datang ke tempat ini
sebagai orang yang telah meninggalkan segala bentuk keangkaramurkaan," tandas Ki
Winduta. "Kami akan berusaha, Ki," ucap Galaba. "Sekarang izinkan kami pergi."
"Silakan Wiroga, Galaba," ujar pimpinan Perguruan Bintang Timur.
"Silakan, Kakang," sambut Jaka sopan.
Wiroga dan Galaba menjura memberi hormat
sebelum keduanya meninggalkan Jaka dan Ki Win-
duta. Dan ketika Raja Petir juga Ki Winduta membalas penghormatan mereka dengan
menganggukkan kepala,
Wiroga dan Galaba segera menghentakkan kaki ke ta-
nah. "Hop!"
"Hop!"
Cepat dan ringan gerakan yang dilakukan Wi-
roga dan Galaba. Hanya dua kali hentakan kaki ke tanah, tubuh lelaki yang
terbungkus pakaian hitam dan hijau, melesat sejauh setengah pal dari tempat Jaka
dan Ki Winduta berdiri.
"Hhh... Sebenarnya kedua lelaki itu memiliki
ilmu silat cukup tinggi, Jaka. Tapi sayang, mereka selama ini telah salah
jalan," ucap Ki Winduta, menatap sosok tubuh Wiroga dan Galaba yang semakin
menge-cil dan menghilang di belokan jalan.
"Sejak mereka mengalami kejadian ini, kuharap
segalanya berubah, Ki. Seperti janji dan keinginan mereka," sahut Jaka pelan.
"Kuharap juga demikian, Jaka. Ah, mari kita
kembali ke dalam," ajak Ki Winduta menyadari kebera-daan mereka yang di luar
rumah. "Ayo, Ki," sambut Jaka.
Seiring dengan langkah Jaka dan Ki Winduta
memasuki rumah kediaman pimpinan Perguruan Bin-
tang Timur. Langit yang sejak tadi tertutup gumpalan awan tebal kini mencurahkan
air yang cukup deras.
Hawa dingin pun menyebar merata ke pe-losok Leja-
ran. *** Suasana pagi hari ini membuat penduduk ma-
las melakukan pekerjaan rutinnya. Hujan yang semen-
jak sore kemarin mengguyur bumi, baru saja berhenti.
Daun-daun pepohonan masih basah kuyup. Dan tanah
di sekitar jalanan atau pematang berlumpur, di sana-sini terdapat air yang
tergenang membentuk kuban-
gan. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya
hamparan tanah basah terguyur air hujan.
Di sebuah sudut jalan yang jarang dilalui pen-
duduk, nampak empat lelaki saling berhadap-
hadapan. Suasana tegang menyelimuti keempat lelaki
itu. Mereka kelihatan sedang saling tarik urat. Tubuh mereka menegang dan mata
mereka saling terbelalak.
"Berani betul kau berkata seperti itu, Dua Ba-
jingan Tengik!" maki lelaki berpakaian biru yang ternyata Dewa Kaki Langit "Apa
kau tak ingat dengan per-janjianmu, akan memenuhi persyaratan Watu Inda-
gu?" "Resumuka," panggil Wiroga sambil menatap tajam wajah lelaki berjuluk Dewa
Kaki Langit "Aku bu-kannya tidak ingat dengan persyaratan gila yang di-
buat Watu Indagu. Tapi aku tak ingin terus-menerus
melaksanakan perintah-perintah gila dalam persyara-
tan itu!" lanjut Wiroga dengan mata menatap garang.
Lelaki berpakaian merah yang tak lain Mayat
Merah, membalas tatapan garang Wiroga. Tangan lela-
ki bernama Watu Indagu itu terkepal kuat
"Wiroga! Sadarkah kau dengan ucapanmu ba-
rusan" Apa kau tidak ingin melihat sinar matahari
nanti siang, heh" Coba pikirkan sekali lagi, sebelum kakiku bergerak mencabut
nyawamu!" hardik Watu Indagu keras.
"Mayat Merah yang terhormat," balas Galaba penuh nada ejekan. "Sekali lagi
kukatakan, kami tak bersedia diajak bertanding dengan orang-orang Perguruan
Bintang Timur. Karena kami berhutang budi den-
gan pimpinan perguruan itu. Jadi, kami menolak keinginan kalian. Lagi pula,
bukankah tanpa kami kalian mampu menundukkan Ki Winduta dan murid-muridnya?"
papar Galaba berani.
"Kurang ajar! Kalian harus mampus!" bentak Watu Indagu lantang.
Wiroga dan Galaba tidak terkejut mendengar
bentakan keras Mayat Merah. Kedua lelaki itu segera menghunus sepasang kapak
tanggung, dan saling
menggesekkan kepala kapak-kapak itu.
Tlang! Tlang! Wiroga dan Galaba segera berpencar, setelah
masing-masing memberi isyarat untuk bertarung ha-
bis-habisan. Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit se-
makin bertambah geram melihat sikap menantang
yang ditunjukkan Wiroga dan Galaba.
"Kalian memang mencari mampus!" maki Dewa Kaki Langit berang. "Ayo, Indagu. Kita
habisi mereka,"
ajak Dewa Kaki Langit pada Mayat Merah.
Watu Indagu menjawab ajakan Dewa Kaki La-
ngit dengan lesatan ringan terarah ke tubuh Wiroga,
Resumuka pun segera melakukan hal yang sama, me-
lesat manis ke arah Galaba.
"Heh! Tak akan kuampuni kalian sekarang! Ka-
lian harus mampus!" hardik Resumuka.
Pertarungan empat lelaki yang memiliki ilmu si-
lat tinggi, tak dapat dielakkan lagi. Suara teriakan lantang dan deru pukulan
dengan pengerahan tenaga da-
lam tinggi, terdengar cukup jelas.
Pada jurus-jurus awal, Wiroga dan Galaba
mampu menandingi serangan-serangan tajam Resu-
muka dan Watu Indagu dengan tangan kosong. Namun
memasuki jurus kedua puluh tiga, Mayat Merah dan
Dewa Kaki Langit mampu mendesak Wiroga dan Gala-
ba. Dua lelaki berpakaian merah dan biru itu, telah mengeluarkan senjata andalan
mereka untuk mendesak Wiroga dan Galaba yang telah lebih dulu menggu-
nakan senjatanya.
Wiroga dan Galaba yang merasa terdesak, se-
gera mencari jalan keluar untuk membalas serangan-
serangan Resumuka dan Watu Indagu. Tapi usaha ke-
ras yang dilakukan Wiroga dan Galaba seperti mene-
mui jalan buntu. Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit
telah menutup ruang gerak lelaki berpakaian hitam
dan hijau, yang mencoba memberi serangan balasan.
Dan ketika mendapat kesempatan baik, Watu Indagu
berhasil membenturkan senjatanya ke batok kepala
Wiroga, yang dalam keadaan tak terlindungi.
"Hiaaa...!"
Wuuuk! Praaak...! Kepala Wiroga seketika pecah ketika senjata
ruyung Mayat Merah membentur dengan keras. Darah
bercampur gumpalan otak berceceran mengotori pa-
kaian Wiroga. Pekikan kematian yang terdengar mem-
bumbung tinggi ke angkasa, cukup membuat satu pu-
kulan telak bagi Galaba yang tengah terdesak Dewa
Kaki Langit. "Kau akan mengalami nasib yang sama, Gala-
ba!" tukas Resumuka seraya menggerakkan pedangnya ke dada lelaki berpakaian
hijau. "Hiaaa...!"
Braaat! "Aaa...!"
Untuk kedua kalinya, pekik kematian yang
membubung tinggi ke angkasa, mengisi kesunyian su-
asana pagi. Tubuh Galaba dengan dada bolong tertu-
suk pedang Dewa Kaki Langit langsung jatuh berderak.
Pada saat itu pula nyawanya pergi meninggalkan raga.
Dewa Kaki Langit menyaksikan kematian Gala-
ba hanya mendengus bengis. Kemudian lelaki ber-
pakaian biru itu melangkah menghampiri mayat Gala-
ba. Dengan sikap tidak berdosa, Resumuka member-
sihkan pedangnya yang bernoda darah pada pakaian
Galaba. "Ayo cepat tinggalkan mereka, Kakang Resumuka. Kita datangi Perguruan
Bintang Timur dan bu-
mi hanguskan perguruan itu. Kurasa Sugraniri dan
Kuruga akan datang ke sana pagi ini," ajak Mayat Merah. "Aku tak bertemu dengan
mereka sejak kemarin, Adi Indagu," kilah Dewa Kaki Langit
"Aku juga, tapi mudah-mudahan pagi ini mere-
ka akan datang ke Perguruan Bintang Timur. Dengan
begitu kita tak perlu membuang tenaga terlalu banyak untuk membinasakan penghuni
perguruan itu, dan
membumihanguskan bangunannya," sambut Watu In-
dagu. "Kalau begitu kita ke sana sekarang, Adi Indagu." "Ayo."
9

Raja Petir 09 Kematian Eyang Legar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pagi hampir beranjak siang ketika Dewa Kaki
Langit dan Mayat Merah tiba di pelataran Perguruan
Bintang Timur. Kedatangan dua lelaki berpakaian biru dan merah, segera disambut
murid-murid Ki Winduta
yang bertugas menjaga pintu masuk utama Perguruan
Bintang Timur. "Jangan berlagak menghalangiku seperti itu,
Kucing Kudis!" bentak Resumuka ketika dua murid Perguruan Bintang Timur
menghadangnya. "Suruh
pimpinan kalian keluar. Lelaki itu yang berhak ku-
penggal kepalanya lebih dulu!" lanjut Dewa Kaki Langit lantang.
Empat orang lelaki yang bertugas menjaga pin-
tu masuk utama Perguruan Bintang Timur, terperan-
gah mendengar ucapan kasar lelaki berpakaian biru di hadapannya. Salah seorang
dari mereka beranjak dua
langkah ke muka. Dengan memasang wajah marah le-
laki itu membalas ucapan kasar Dewa Kaki Langit
"Tua Bangka tak tahu adab! Kenapa kau men-
cerca guru kami?" tanya penjaga pintu utama yang bertubuh tinggi dan berkumis
tipis. Dewa Kaki Langit yang dikatakan Tua Bangka
tak tahu adab langsung naik pitam. Tanpa mengelua-
rkan sepatah kata pun, tangannya tergerak menempe-
leng kepala penjaga yang berkumis tipis.
"Hih!"
Bletak! "Aaa...!"
Tubuh penjaga berkumis tipis yang menangkis
serangan Dewa Kaki Langit dengan pedangnya, ter-
huyung empat langkah ke belakang. Dua penjaga yang
berada di belakang lelaki berkumis tipis itu segera
memburu tubuh temannya.
"Dua lelaki itu pasti mempunyai niat buruk da-
tang ke sini, Rudala," ucap lelaki berkumis tipis pada temannya yang memegangi
tubuhnya. "Lebih baik kau temui guru secepatnya, Rudala," lanjut lelaki berkumis
tipis itu seraya menahan getaran yang menderu tangan kanannya.
"Lebih baik begitu, Kucing Kudis!" bentak Mayat Merah. "Jangan tunggu sampai
kuhabisi nyawa kalian!" lanjutnya menggertak.
Lelaki bernama Rudala segera berlari menuju
tempat kediaman Ki Winduta. Namun belum lagi sam-
pai, Ki Winduta dengan ditemani lelaki muda berpa-
kaian kuning keemasan muncul di ambang pintu.
"Guru," ucap Rudala agak bergetar. "Dua lelaki kasar itu hendak bertemu dengan
guru." "Perintahkan teman-temanmu menyingkir. Biar
aku dan Jaka yang menghadapi," ujar Ki Winduta tegas.
Rudala bergegas menghampiri tiga teman ja-
ganya, yang tengah menghadang Dewa Kaki Langit dan
Mayat Merah. Sementara dengan langkah tenang, Ki
Winduta ditemani Jaka berjalan menuju pintu utama
Perguruan Bintang Timur.
"Aku tak mengira kalian berani datang secepat
ini, Dewa Kaki Langit, Mayat Merah. Kupikir secarik surat yang kalian kirim
kepadaku hanya gertak sambal belaka," goda Ki Winduta ketika dirinya sudah
berada dua tombak dari hadapan Mayat Merah dan Dewa Kaki
Langit. Resumuka dan Watu Indagu terkejut menden-
gar ucapan Ki Winduta yang bernada menantang. Se-
mula kedua lelaki itu beranggapan Ki Winduta akan
berlutut di hadapannya, agar tidak melakukan keka-
cauan dan membinasakan seluruh isi perguruan serta
membumihanguskan bangunan yang ada. Tapi kenya-
taannya" "Winduta! Mendapat tambahan nyali dari mana,
hingga kau berani berkata seperti itu"!" bentak Resumuka berang
"Kau pikir aku takut denganmu, Resumuka!"
balas Ki Winduta tak kalah berang.
Jaka yang berdiri tenang di sebelah Ki Winduta,
nampaknya tak mau turut campur dengan silat lidah
Ki Winduta dan Resumuka. Padahal darahnya mendi-
dih mengingat dua lelaki yang membunuh Eyang Le-
gar, berdiri di depan matanya.
Resumuka dan Watu Indagu sangat geram
mendengar ucapan Ki Winduta. Keduanya mengepal-
kan tangannya kuat-kuat, dan langkah kaki mereka
terangkat sedikit. Resumuka dan Watu Indagu sudah
bertekad ingin segera membinasakan Ki Winduta.
"Kau memang harus segera mampus, Winduta!
Hiaaa!" Baru saja Mayat Merah hendak menyerang Ki Winduta. Sesosok tubuh
berpakaian putih berkelebat
cepat dengan melontarkan suara larangan yang cukup
keras. "Tunggu Indagu!"
Sosok tubuh berpakaian putih yang melarang
Mayat Merah melakukan serangan, mendarat ringan di
sebelah kiri Ki Winduta.
"Ranurota...?" ujar pimpinan Perguruan Bintang Timur melihat kedatangan lelaki
berpakaian longgar putih.
"Maaf, Adi Windu. Aku baru sempat mene-
muimu sekarang," balas Ranurota.
Setelah berkata demikian, mata Ranurota sege-
ra menatap tajam wajah Resumuka dan Watu Indagu.
"Mengapa kalian benar-benar melaksanakan
niat kalian" Bukankah sudah kukatakan aku akan be-
rusaha membujuk anakku agar bersedia bersanding
dengan muridmu, Mayat Merah" Kalau kalian terus
melaksanakan niat itu, maka aku akan berhenti mem-
bujuk anakku dan kita akan berhadapan sebagai seo-
rang musuh," ujar Ranurota.
"Kau tak perlu lagi membujuk anakmu, Ranu-
rota! Karena kau pun sebentar lagi akan ku lenyapkan dari muka bumi ini!" hardik
Watu Indagu dingin.
"Anakmu akan kuambil secara paksa!"
"Hei"!"
Ranurota tersentak kaget mendengar ucapan
Mayat Merah. "Sudahlah, Kakang Ranu. Jangan pedulikan
ucapan orang gila seperti Mayat Merah. Karena diri-
nyalah yang akan lebih dulu mencium tanah kubu-
ran," tukas Ki Winduta menambah terkejut Ranurota.
"Semakin kurang ajar saja ucapanmu, Winduta.
Belum kau rasakan senjataku membelah mulutmu!"
hardik Dewa Kaki Langit geram.
"Jangan cuma bicara saja, Dewa Kaki Com-
beran! Majulah!" goda Ki Winduta memanasi.
Resumuka yang dipanggil dengan julukan Dewa
Kaki Comberan bukan main murkanya. Tanpa ada se-
patah kata yang terucap, Dewa Kaki Langit langsung
mengejar tubuh Ki Winduta.
"Hiaaa...!"
"Menyingkirlah, Ki. Biar aku yang menghadapi
orang gila ini," ujar Jaka sambil melompat ke depan Ki Winduta.
Bet! Plak! "Aaa...!" Pekikan tertahan terdengar dari mulut Dewa Kaki Langit. Resumuka tidak
menyangka kalau lelaki muda yang berdiri di depan Ki Winduta mampu mementahkan
serangannya. Malah tubuhnya harus
bersalto beberapa kali akibat bentrokan dengan pemuda yang belum dikenal itu.
Dewa Kaki Langit yang telanjur melancarkan
pukulan, terkejut melihat sosok muda berpakaian
kuning keemasan berdiri di depan Ki Winduta. Karena kekesalannya sudah mencapai
ubun-ubun, Resumuka
pun tetap meneruskan serangannya dengan jurus
'Badai Menyapu Karang'.
Bet! Plak! "Aaa...!"
Pekik tertahan langsung terdengar, seiring de-
ngan terpental balik sosok tubuh berpakaian biru.
Namun Resumuka mampu mementahkan daya dorong
benturan kuat yang masing-masing dialiri pengerahan tenaga dalam tinggi. Tubuh
Dewa Kaki Langit mendarat dengan manis setelah lebih dulu berputaran dua
kali di udara. Apa yang dialami Dewa Kaki Langit, ternyata ti-
dak menimpa Jaka. Lelaki muda yang berjuluk Raja
Petir itu, hanya terdorong dua langkah ketika benturan keras terjadi. Jelas
kekuatan tenaga dalam Dewa Kaki Langit masih berada di bawah Jaka alias Raja
Petir. "Aku tidak punya urusan denganmu, Raja Petir.
Jangan campuri urusanku!" bentak Mayat Merah melihat Dewa Kaki Langit tergempur
mundur. "Mengenai urusanmu dengan Perguruan Bin-
tang Timur memang bukan urusanku, namun aku ha-
rus ikut terlibat, Mayat Merah! Itu sudah bagian dari hidupku untuk melenyapkan
orang-orang berwatak
bengis macam kau! Kebengisanmu juga telah kau la-
kukan pada orang yang kuhormati dan ku-cintai seu-
mur hidupku. Kau kenal Eyang Legar, Mayat Merah"!"
tukas Jaka dengan suara berat.
"Eyang Legar"!" terkejut Mayat Merah mendengar ucapan Jaka. "Apa hubunganmu
dengannya, Raja Petir" Bukankah Eyang Legar tokoh keji golongan hi-
tam?" ucap Mayat Merah hendak memojokkan Jaka.
"Tak perlu kau usik siapa Eyang Legar, Mayat
Merah. Yang perlu kau ketahui, Eyang Legar telah bertobat dari kesalahannya dan
kau patut meniru jejak-
nya, bukan sebaliknya!" kilah Jaka. "Seperti pada Iblis Kali Asin dan Cakar
Sakti. Aku pun akan memberi kesempatan pada kalian untuk kembali ke jalan yang
benar. Meninggalkan segala keangkaramurkaan. Dan
jika tidak berkenan, maka nyawa kalian akan segera
menyusul nyawa Iblis Kali Asin dan Cakar Sakti yang telah lebih dulu melayat ke
akhirat" lanjut Raja Petir.
"Apa"!"
Dewa Kaki Langit dan Mayat Merah terkejut
mendengar ucapan Jaka. Keduanya tak yakin dengan
ucapan lelaki berpakaian kuning keemasan yang ber-
diri di hadapannya.
"Jangan kaget Resumuka, Watu Indagu. Dua
teman kalian memang sudah mampus lebih dulu. Dan
sekarang giliran kalian!" kata Ki Winduta lantang.
"Kurang ajar! Pasti kau yang telah membinasa-
kannya, Raja Petir. Kau harus menebus kematian me-
reka dengan nyawamu!" maki Watu Indagu.
"Kalian juga harus menebus nyawa Eyang Legar
dengan nyawa kalian! Majulah kalian bersama!" tan-tang Raja Petir dalam puncak
kemarahannya. Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit merasakan
hawa panas menjalar ke seluruh permukaan wajah.
Gigi kedua tokoh sakti aliran hitam itu beradu satu sama lain.
"Maaf Ki Winduta, Ki Ranu. Kuminta kalian
menjauhi pertarungan ini," pinta Jaka sopan.
Ki Winduta yang memang yakin dengan ke-
mampuan lelaki muda berjuluk Raja Petir itu, segera mematuhi permintaannya.
Sementara Ki Ranurota
dengan langkah berat terpaksa mengikuti perbuatan Ki
Winduta. Seiring dengan menjauhnya tubuh Ki Winduta
dan Ranurota, serangan Mayat Merah dan Dewa Kaki
Langit bersamaan datang.
Jaka yang telah meloloskan sabuk kuning ke-
emasan yang bernama Sabuk Petir, tidak ingin bertindak setengah-setengah. Raja
Petir merencanakan akan menyerang kedua lawannya dengan jurus pamungkas
'Petir Membelah Malam'. Maka ketika serangan Dewa
Kaki Langit dan Mayat Merah meluncur datang, Jaka
segera memutar pergelangan tangannya. Dan seketika
itu juga, Sabuk Petir yang berada di tangannya berkelebat cepat
Ctar! Blaaar...! Terkejut hati Mayat Merah dan Dewa Kaki La-
ngit menyaksikan kedahsyatan sabuk yang dilecutkan
lawan. Langsung saja dua tokoh sakti golongan hitam itu membuang tubuh ke arah
yang berlawanan.
Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit memang
lawan Jaka yang tak patut dianggap enteng. Dalam
keadaan menghindar seperti itu, keduanya mampu
melancarkan serangan balasan dengan memperguna-
kan senjata rahasia mereka.
"Hih!"
Wuuut! Wuuut! Wuuut!
Wusss! Tiga bilah pisau pipih dan serangkum angin
kemerahan yang keluar dari 'Pukulan Mayat Hidup'
Watu Indagu, meluruk keras ke arah Jaka. Pisau-pisau pipih yang dibaluri racun
ganas, dirasakan pemuda itu menebar hawa dingin yang membuat tubuhnya meng-
gigil. Sedang serangkum sinar kemerahan menyebar-
kan bau amis yang memaksanya ingin mengeluarkan
isi perut Raja Petir yang sudah terlatih menghadapi se-
gala jenis senjata beracun, tidak merasa gentar sedikit pun. Hanya dengan
mengerahkan kekuatan batinnya
dan diiringi pengerahan tenaga dalam penuh, bagian-
bagian tubuh Jaka seketika terbungkus sinar kuning, yang tercipta dari ajian
yang bernama aji 'Kukuh Karang'. Dan ketika pisau serta serangkum angin keme-
rahan menerjang tubuh pemuda itu, maka....
Pletak! Prefsss...! Pisau-pisau pipih itu terpental balik dengan ke-
adaan patah dua. Sedang serangkum sinar kemerahan
hilang tertelan sinar kuning yang membungkus bagian tubuh Jaka.
Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit terkejut
menyaksikan pemandangan di hadapannya. Tetapi ti-
dak berlangsung lama, karena Jaka telah melancarkan serangan balasan yang cukup
cepat dan dahsyat
"Hiaaa...!"
Wusss.... Ketika menghadapi serangan balasan Raja Pe-
tir, Mayat Merah membentengi diri dengan ilmu
'Benteng Kubur' dan Dewa Kaki Langit melindungi tu-
buhnya dengan ilmu 'Menjala Badai'. Namun, tak
urung pukulan dahsyat yang dilancarkan Jaka men-
dobrak pertahanan mereka.
Glaaar...! Tubuh Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit
langsung terpental, terhajar angin bergulung yang keluar dari telapak tangan


Raja Petir 09 Kematian Eyang Legar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Raja Petir, yang memainkan jurus 'Hembusan Maut'.
Pekik kesakitan terdengar mengiringi ambruk-
nya tubuh Mayat Merah dan Dewa Kaki Langit
Daya tahan tubuh Resumuka dan Watu Indagu
memang pantas diacungkan jempol. Meski tubuhnya
terhajar pukulan jarak jauh yang sanggup memecah-
kan batu karang, namun keduanya tetap berusaha
bangkit, meskipun terhuyung-huyung.
Jaka sengaja tidak kembali menyerang. Karena
pemuda itu tahu, setiap orang yang terkena pukulan
'Hembusan Maut', maka dalam waktu yang tidak lama
akan binasa. Tetapi tidak demikian dengan Ki Winduta dan
Ranurota. Ketika melihat Mayat Merah dan Dewa Kaki
Langit bangkit kembali, maka kedua lelaki itu segera melesat cepat, seraya
melepaskan senjata masing-masing dengan kekuatan tenaga dalam penuh.
Siiing! Siiing!
Crab! Crab! Sebilah pedang dan sebatang tombak yang di-
lempar Ki Winduta dan Ranurota menancap tepat di
perut dan kepala Dewa Kaki Langit serta Mayat Merah.
Kedua lelaki tokoh golongan hitam itu tersungkur ke tanah. Dan pekik kematian
yang bersamaan mengiringi habisnya umur Resumuka dan Watu Indagu.
"Hhh...."
Ki Winduta menarik napas berat menyaksikan
dua tokoh sesat itu sudah tidak bernyawa lagi. Dan
Jaka tidak bisa menyalahkan apa yang dilakukan Ki
Winduta dan Ki Ranurota.
"Sebaiknya kalian urus mayat-mayat itu, Ki
Windu. Maaf, aku masih mempunyai urusan lain yang
harus segera kuselesaikan. Jadi aku tak bisa memban-tu Aki berdua mengurus
mayat-mayat itu," ucap Jaka.
"Tidak mengapa, Jaka. Aku berterima kasih se-
kali atas bantuanmu. Entah kapan aku dapat mem-
balas kebaikanmu," ucap Ki Winduta.
"Tidak usah dipikirkan mengenai balas budi itu, Ki. Suatu saat aku pasti
mendapatkannya dari orang lain," kilah Jaka. "Baiklah Ki Windu, Ki Ranu. Aku
mohon diri!"
"Hop!"
Tubuh Raja Petir segera melesat meninggalkan
Ki Winduta dan Ranurota. Dua lelaki itu hanya bisa
menatap punggung Jaka sekilas. Tubuh tokoh muda
yang memiliki kesaktian tinggi itu lenyap di balik pepohonan yang berjajar.
Jaka semakin mempercepat lari. Pemuda itu
ingin secepatnya menemui Nyi Selasih yang beberapa
hari lalu hadir dalam mimpinya. Nyi Selasih berpesan, agar Jaka segera
mengunjunginya untuk suatu keper-luan yang menyangkut warisan mendiang Raja
Petir. Warisan apakah yang masih dimiliki mendiang
Raja Petir" Benarkah Jaka akan memperoleh suatu
warisan yang lebih dahsyat lagi daripada yang sudah dimilikinya selama ini"
Bagi para pembaca yang ingin mengetahui, si-
lakan ikuti serial Raja Petir selanjutnya, dalam episode
'Sengketa Pewaris Tunggal'.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 6 Pendekar Mabuk 048 Manusia Pemusnah Raga Pengantin Berdarah 1
^