Pencarian

Manusia Serigala 1

Manusia Serigala Karya Abdullah Harahap Bagian 1


novel MANUSIA SERIGALA karya Abdullah Harahap ini diambil dari hasil edit teks sobat Tjareuh_Boelan yg di post di
http://indozone.net/ ....
ebook DJVU: http://hana-oki.blogspot.com
thank to Tjareuh_Boelan TIDAK ada satu pertanda apa pun akan terjadi sebuah
strategi. Tragedi mengerikan, yang dikemudian hari
kelak berbuntut panjang. Senja itu cuaca cerah. Langit
pun biru jernih dironai warna merah kekuningan sisa
matahari di ufuk Barat. Suasana desa Bojong tampak
adem, tenteram. Jalan raya yang membelah dua desa
itu tenang pula tampaknya. Hanya satu dua
kendaraan melaju di atas aspal yang berwarna
kelabu karena dilapisi sedikit debu. Angin senja
bertiup lembut membawa hawa sejuk segar,
menimbulkan perasaan nyaman dan menyenangkan.
Tetapi hitam putihnya dunia telah diciptakan Tuhan
bersamaan dengan terciptanya alam semesta.
Maka tak heranlah apabila masih ada segelintir
manusia yang kurang dapat menikmati keindahan
suasana senja yang menaungi desa Bojong sore hari
itu. Misalnya, seorang supir bis antar kota. Ia dari tadi
duduk resah di belakang kemudi kendaraan besar
yang menentukan hidup mati anak isterinya di rumah.
Selepas dari Banjar. Penumpang tak lebih dari 10
orang. Tiga diantaranya turun pula di Ciamis. Dalam
lanjutan perjalanan menuju Tasikmalaya memang
naik beberapa penumpang lagi. Tetapi ternyata
penumpang jarak dekat, yang waktu membayar
ongkos masih merasa perlu bertengkar dengan
kernet. Memikirkan setoran yang minim sementara hutang
pada majikan kian membengkak, supir bis itu lantas
ayal-ayalan mengemudi kendaraannya. Sekedar
mengendurkan perasaan kesal, ia permainkan satu
dua kendaraan yang saling berpacu dengannya.
Terakhir sebuah mobil sedan putih metalik yang
berlari kencang di belakang bisnya. Beberapa kali
mobil sedan itu tidak diberi jalan, dengan cara bis
melaju santai agak ke tengah. Bunyi klakson gegap
gempita dari mobil sedan itu memberitahu bahwa
pengemudinya mulai jengkel. Memasuki desa Bojong,
jalan raya mulus dan memanjang lurus dan rata. Bis
tancap gas, mobil sedan di belakangnya pun ikut pula
meninggikan kecepatan. Klakson sedan meledak-
ledak lagi manakala bis masih enggan memberi jalan.
Suatu ketika, supir bis menangkap bayangan dua
sosok tubuh beberapa ratus meter di hadapannya.
Dua orang perempuan, tampaknya anak beranak
dengan sebuah koper dan tas agak di tepi jalan.
"Nah. Itu penumpang jarak jauh. Kalau tak ke Jakarta,
pasti ke Bandung!" bisik hati supir bis dengan
bersemangat. la segera melupakan mobil sedan
dibelakangnya. Bis dilambatkan dan dipinggirkan
sedikit sebelum tiba saatnya berhenti di dekat dua
calon penumpang itu. Melihat ada kesempatan, mobil sedan di belakangnya
langsung menyalib bis. Klaksonnya tetap bergema,
bahkah tinju terkepal supir sedang diacungkan lewat
jendela mobilnya. Tanpa mengurangi kecepatan.
Mendadak, dari belokan di depan sana, muncul
sebuah mobil besar lainnya. Sebuah truk pengangkut
barang yang juga melaju dengan kecepatan tinggi.
Truk menyalakan lampu jauh yang menyilaukan
mata, memberi tanda pada mobil sedan agar tidak
menyalib bis. Tetapi dalam kejengkelannya,
pengemudi mobil sedan malah menambah gas
dengan harapan dapat main selip di saat kritis itu.
Sambil menggas, ia banting kemudi ke arah kiri. Bis
selamat terlewati. Truk pengangkut barang pun tidak
tersentuh. Namun, pengemudi mobil yang sedang
kalap itu tidak sempat menghindari sesuatu yang lain.
Yakni, dua orang perempuan di sebelah kiri jalan yang
memang bermaksud akan menyetop bis. Perempuan
yang lebih muda, seorang gadis remaja, secara
naluriah melompat mundur. Malang, perempuan
satunya lagi membenahi tas dan koper ketika maut
datang menjelang. Perempuan itu tidak sempat
menoleh. Bahkan barangkali ia tidak tahu apa yang
sekonyong-konyong menghantam tanya begitu keras.
Sangat keras, sehingga ia terangkat dari tanah dan
terbang melewati selokan. Hinggap di pagar bambu
pekarangan sebuah rumah. Pagar itu pecah
berantakan. Sebuah di an tara bambu itu menghunjam
langsung ke lambung si perempuan.
Jerit pekik tak usah digambarkan lagi. Yang perlu
digambarkan adalah contoh watak manusia tak
bertanggung jawab detik-detik berikutnya setelah
kejadian mengerikan itu. Supir bis, merasa dirinya ada
sangkut paut dengan kesalahan fatal yang dibuat
mobil sedan, mengurungkan niat untuk berhenti. la
terus saja memacu bisnya tanpa memperdulikan
suara ribut penumpang di belakangnya. Supir yang
mengemudi mobil sedan jangan dikata lagi. la
langsung melarikan diri bagai dikejar setan. Mobilnya
berzigzag waktu membelok namun tidak terjadi
kecelakaan lainnya. Sementara sejumlah saksi mata ribut memberi
pertolongan pada korban tabrak lari, seorang
pengemudi sepeda motor yang datang dari arah
berlawanan secara reflek memutar haluan. la dapat
mengejar bis tetapi mobil sedan sudah lebih dulu tiba
di mulut kota Tasikmalaya untuk kemudian lenyap tak
berbekas. Sukarelawan bersepeda motor itu belum
menyerah. la terus berpacu melewati jalan utama
kota, terus ke batas kota arah ke Bandung. Untung-
untungan. Namun yang ia cari tidak kelihatan sama
sekali. Besar kemungkinan menyelinap di banyak simpangan jalan
dalam kota Tasikmalaya, lalu bersembunyi di suatu
tempat. Tak lama kemudian polisi turun tangan. Bis tadi yang
sudah memasuki terminal, ditunda perjalanannya.
Supir dimintai keterangan oleh polisi. Dan ia punya
akal buat mengelakkan sikap pengecutnya:
"Saya sengaja tidak berhenti. Maksud saya akan
mengejar sedan biadab itu!"
"Terkejar?" tanya polisi setengah mencemooh.
Supir bis mengangkat bahu. "Sayang, tidak,"
jawabnya lesu. Penumpang yang duduk di kursi bersebelahan dengan
supir, adalah sukarelawan lainnya. Ia jengkel
perjalanannya ke Jakarta tertunda. Namun sedikit
terhibur karena dapat menolong polisi. Dengan
demikian, secara tidak langsung ia juga berjasa untuk
korban tabrak lari itu. "Saya sempat memperhatikan
mobil itu, Pak," katanya pada polisi. Lalu ia menyebut
jenis dan merk mobil, warna dan ciri penu tup bagasi,
lengkap dengan nomor platnya.
Polisi yang menanyai sukarelawan itu sebentar
kemudian bertanya serius:
"Nomor dan kode plat. Bung tak keliru?"
"Tidak Pak. Di Jakarta saya kerja sambilan jual beli
mobil bekas. Jadi sebuah mobil, merk apa pun dan di
mana pun, selalu menarik perhatian saya. Khusus
nomornya. Siapa tahu, mobil yang saya perhatikan
pernah saya tolong menjualkannya..."
Mau tak mau polisi menahan senyum mendengar
penjelasan yang masuk akal itu. Sementara rekan-
rekannya bertugas di desa Bojong, jangahkan untuk
tersenyum, berbicara pun susah. Pemandangan yang
mereka saksikan di seberang selokan pinggir jalan,
selain mengerikan juga menyentuh perasaan. Tanpa
memperdulikan bujukan orang lain, si gadis remaja
merangkul dan menangisi ibunya yang terbaring diam
di genangan darahnya sendiri. Entah siapa yang telah
mencabut potongan bambu dari lambung si korban.
Entah siapa pula yang kemudian membalutkan
sehelai sarung ke lambung menganga itu untuk
mencegah lebih banyak pendarahan.
Ambulan muncul dengan bunyi sirene melengking-
lengking. Korban diangkut ke rumah sakit, tanpa
sekali pun lepas dari pelukan si gadis remaja. Tim
dokter bedah segera sibuk di belakang pintu
emergency yang tertutup rapat. Sekali pandang saja
mereka sudah tahu. Tempurung lutut korban hancur.
Pahanya terpotong hampir remuk. Tulang pinggul
bergeser dan melesak menembus kulit. Lambung
tembus sampai ke punggung. Memang tidak
mengganggu jantung. Namun pendarahan dengan
luka sedemikian hebat, untuk perempuan bertubuh
kecil dan lemah itu merupakan suatu penderitaan
yang sudah melewati batas.
la tetap dalam keadaan koma ketika menjelang
tengah malam, sang gadis remaja yang didukung
sejumlah kerabat memaksa masuk untuk melihat
keadaan ibunya. Dokter akhirnya memperkenankan,
dengan syarat cukup seorang gadis itu saja yang
masuk. Si gadis didampingi seorang perawat untuk berjaga-
dinihari tadi, pengemudi sedan
metalik telah menyerahkan diri ke kantor polisi di
Bandung. la dan temannya yang ikut dalam mobil
yang sama, kemudian diboyong ke kantor polisi
Ciamis. Dan sore hari itu, terjadilah sedikit ketegangan
di kantor polisi. Si pengemudi mobil sedan serta
temannya, ternyata didampingi sejumlah orang lain
yang patut dihormati. Gadis remaja itu diperkenalkan
pada seorang Kapten dari kantor pusat kepolisian
daerah Jawa Barat, dua orang pengacara ternama,
seorang lagi berpakaian preman tetapi diperkenalkan
lengkap dengan pangkatnya, Kolonel TNl Angkatan
Darat yang katanya sedang bebas tugas. Terakhir
gadis remaja itu diperkenalkan pada tersangka dan
temannya. Gadis itu mengawasi wajah dua orang
pemuda yang diperkenalkan paling akhir.
Lalu, wajah serta tubuh gadis remaja itu berubah
tegang. Mulutnya terkatup rapat. Dengan mata
menyinarkan kewaspadaan. Kolonel yang katanya sedang bebas tugas itu
menyampaikan pidato pendek, ramah, berwibawa
namun tetap menyenangkan. Bahwa, ia mewakili
saudaranya yakni majikan tersangka. Bahwa majikan
tersangka menyatakan ikut prihatin serta mohon
maaf sebesar-besarnya atas keteledoran yang
diperbuat supir keluarga mereka... dengan tidak
disengaja. Kemudian salah seorang penasihat hukum
itu dengan gaya sopan dan tutur kata manis lantas
menambahkan bahwa ia mewakili majikan tersangka
untuk menyampaikan sekedar uang duka pada
keluarga korban. "Sumbangan duka ini tidak seberapa jumlahnya," kata
si pengacara. "Dan sungguh tak berarti dibandingkan
dengan penderitaan yang dialami keluarga Nona
akibat kejadian tak disengaja ini."
Ya, kembali disebut kejadian tak disengaja. Itu boleh
jadi benar, dan si gadis remaja tidak berniat
meributkannya. Si pengacara kemudian mengeluarkan
sebuah amplop tebal dari tasnya yang bagus. Amplop
itu tertutup. Namun secara halus si pengacara
menyebutkan juga jumlah uang duka yang katanya
tak seberapa itu. Begitu mendengar nilai uang duka, para pendamping
gadis remaja itu sama menahan nafas. Jumlah yang
mereka dengar, tidak pernah berani mereka impikan
untuk dapat dimiliki sendiri. Mereka juga tahu
keadaan ekonomi keluarga korban. Jumlah itu
memerlukan waktu bertahun-tahun bagi suami
korban untuk mengumpulkannya. Dan pada saat yang
bersamaan, puteri korban bermaksud meneruskan
pendidikan ke perguruan tinggi. Dengan uang duka
sejumlah itu, paman si gadis yang seorang pengusaha
di Jakarta boleh menunda janjinya membiayai studi si
gadis sampai tamat dari perguruan tinggi.
Satu-satunya orang yang tidak ikut menahan nafas,
hanyalah gadis remaja sendiri. la tetap bersikap
tenang. Misterius. Dan tatap matanya, hampir tak
lekang dari salah seorang yang mengaku ikut di
dalam mobil sedan metalik. Bukan si tersangka.
Melainkan, pemuda temannya. Pemuda itu berwajah
tampan, berpenampilan intelek, namun bersikap
gelisah. la menyadari bahwa tatap mata si gadis
bukanlah tatap mata kagum akan ketampanannya
sebagaimana sering ia alami selama ini. Tatap mata si
gadis menusuk menghujam ke dalam. Menusuk
sampai ke sumsum. "... sudilah kiranya Nona menandatangani ini,"
terdengar suara pengacara satunya lagi, seraya
mendorongkan sehelai surat perjanjian bermaterai ke
depan si gadis. Gadis itu menoleh. la pandangi si pengacara, lalu
kertas di atas meja. Ditatapnya dengan pandangan
tidak berminat. Bahkan amplop tebal berisi uang duka
yang menggiurkan para pendampingnya itu, tidak
diliriknya sekalipun juga. Sekali lagi ia awasi orang-
orang asing di hadapannya. Terakhir, pada si
pengacara yang menyuruhnya menandatangani surat
perjanjian itu. Lalu berkata datar: "Apakah pengemudi
mobil yang merenggut nyawa ibu saya akan


Manusia Serigala Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibebaskan bila surat perjanjian ini saya setujui?"
Sepi menyentak tiba-tiba.
Orang-orang yang hadir pada terdiam. Sukar
menebak makna tersembunyi di balik ucapan bernada
datar itu. Apakah bernada persahabatan, atau
sebaliknya: permusuhan. Pengacara pertama segera menguasai diri. Sesuai
dengan keahliannya ia berkata secara diplomatis:
"Sebaiknya Nona saya sarankan membacanya dulu.
Dan nona akan lihat, bahwa peraturan tetap kami
hormati. Adapun uang duka yang diberikan oleh
keluarga klien kami, tidak ada sangkut pautnya
dengan proses hukum yang semestinya harus
berlaku..." "Jadi," sela si gadis. "Orang yang bertanggung jawab
atas kematian ibu saya tetap akan dihukum?"
"Tentu saja!" Si gadis mengatupkan bibir sebentar. Lalu perlahan-
lahan, terulas senyuman tipis di bibir mungilnya yang
merah tanpa polesan, merah alami. Lalu dengan gerak
lambat tetapi pasti, tangan kanannya terangkat.
Telunjuknya kemudian menuding sembari berkata
tegas: "Kalau begitu, kalian hukumlah dia!"
Seketika itu meledaklah kete
gangan yang semenjak semula sudah mulai teras. Kapten berseragam dinas,
dan sang Kolonel berpakaian preman, saling berebut
untuk angkat suara. Begitu pula kedua pengacara
tersangka. Sementara petugas-petugas setempat
berpangkat jauh lebih rendah, dibuat kalang kabut.
Semata-semata karena gadis remaja itu bukan
menuding pemuda berkumis yang dari tadi menunduk
diam dengan wajah murung. Yang dituding justru
pemuda tampan yang mengaku hanya ikut
menumpang dalam mobil pembawa maut itu.
Pemuda tampan itu menjadi gelisah dan tiba-tiba ia
menguasai diri lantas berteriak marah: "Ini tak saya
terima. Ini fitnah!"
Kedua orang pengacara lantas sibuk mendiamkan
pemuda tampan yang ribut memprotes itu. Kolonel
berpakaian preman berusaha menahan amarah.
Sementara sang Kapten, mengerling dengan nada
menegur pada petugas setempat yang bertanggung-
jawab atas pertemuan penting itu. Yang dikerling
menelan ludah beberapa kali. Kemudian menyuruh
semua orang tenang kalau tak ingin pemeriksaan
berlarut-larut nantinya. Si pemuda tampan duduk
kembali dengan wajah pucat memendam kegusaran.
Ia melirik ke pemuda berkumis di sebelahnya. Kumis
pemuda itu bergetar. Wajah pemiliknya kebingungan.
Petugas setempat menunggu sampai suasana
terkuasai. Lalu ia berpaling pada puteri almarhumah.
Bertanya lembut: "Apakah kau tidak keliru, Neng Mia?"
"Kalau saya keliru, kalian boleh menembak saya!"
jawab yang ditanya, ketus.
"Kau yakin?" "Seyakin bahwa saya ini manusia, bukan bintang!"
"Sabar, Neng Mia. Ucapan kasar..."
"Kesal, Pak" Bagaimana dengan binatang yang
menyembunyikan ekornya karena tahu ekornya itu
mengandung borok bernanah, lalu menularkannya
pada binatang lainnya?"
"Apa maksud Nona?" salah seorang pengacara
menegur tajam. "Kalian mengerti apa yang saya maksud," jawab si
gadis, teguh. "Maaf, Kalian makanlah uang duka yang
menjijikkan itu. Ibu saya toh tidak akan hidup
kembali. Adapun saya serta ayah saya, tidak akan
menuntut terlalu banyak. Apa yang kami tuntut
hanyalah agar orang yang merenggut nyawa ibu saya
dihukum sebagaimana mestinya."
"... saya bersedia dihukum!" mendadak pemuda
berkumis angkat bicara. Para pendampingnya yang
hebat-hebat itu, mengangguk puas. Begitu pula
pemuda satunya lagi, tampak tidak berusaha
menyembunyikan kegembiraannya. "Saya bersedia
dihukum, Nona Mia. Karena apa yang dengan tidak
sengaja telah saya perbuat..."
Si gadis memotong cepat: "Kau tidak berbuat apa-apa,
Tuan!" Berisik lagi oleh protes yang campur aduk. Petugas
setempat kembali bersusah-payah menguasai situasi,
lalu bertanya pada gadis yang tidak tergoyahkan
pendiriannya itu. "Dapat mengemukakan alasan yang
bersih, Neng Mia?" Si gadis manggut. Tenang. Tenang pula ia
menjelaskan alasannya. Pada saat-saat terakhir
sebelum tragedi itu terjadi, ia melihat sebuah bis
muncul di kejauhan dan berkata pada ibunya bahwa
waktunya sudah tiba untuk berpisah. Waktu itu, ia
akan memasuki hari-hari pertamanya di perguruan
tinggi di Bandung atas biaya pamannya di Jakarta.
Ibunya kemudian membungkuk membenahi koper
serta tas-tas yang akan dibawa. Sementara dia sendiri
mengawasi kalau bis penuh sesak, ia akan menunggu
bis berikutnya saja. Pada saat itulah ia lihat sebuah
mobil warna putih muncul dari samping bis. la tidak
melihat truk pengangkut barang yang muncul dari
arah berlawanan. "Warna putih mobil itu begitu menyolok. Dan sangat
kontras dengan warna pakaian pengemudinya,
merah...," katanya meyakinkan semua yang hadir.
"Saya begitu terperanjat melihat kemunculan tiba-tiba
mobil sedan itu. Secara naluriah saya berdoa moga
pengemudinva dapat mengendalikan diri. Lalu dengan
sendirinya saya sempat mengawasi si pengemudi.
Sampai saat-saat paling kritis sebelum saya
menghindar, saya dapat melihat wajah pengemudi itu
yang panik luar biasa. Dan wajah yang saya lihat,
adalah wajah ini...!" ia menuding sekali lagi pada si
pemuda tampan yang mulai akan bangkit untuk
menerjang si gadis. Pemuda tampan itu terpaksa diamankan
pendampingnya. Dibawa ke ruangan lain. Sementara
petugas-petugas setempat masih bingung, pemuda
satunya lagi tampak memantapkan diri. Ia pandang
gadis remaja di seberang meja, lantas bergumam lirih:
"Maafkanlah saya, Nona. Sayalah orang yang berbaju
merah itu, dan..." Sial, keterangannya lagi-lagi dipotong si gadis:
"Baiklah. Tetapi coba terangkan pada saya. Bagaimana
kau dalam tempo beberapa jam saja, tiba-tiba punya
kumis setebal itu!" "Nona tentunya salah lihat."
*
DAN itulah hasil keputusan yang diambil para petugas.
Kecuali si gadis, tidak ada saksi mata lainnya yang
dapat mengenali dua orang di dalam mobil penabrak.
Dengan lihai, dua pengacara memojokkan pula gadis
itu melalui serangkaian analisa. Antara lain, tempo
sedemikian cepatnya. Dan gadis itu tentunya dalam
keadaan shock. Si pemuda berkumis maupun si
tampan pada saat kejadian duduk berdampingan di
kursi depan mobil sedan. Soal kumis dan baju merah
mungkin benar, tetapi si gadis tentunya keliru
menempatkan siapa duduk dibelakang kemudi, siapa
pula di sebelahnya. Ditambah pengakuan tersangka
yang tidak mau merubah keterangannya, serta
tambahan bahwa saat itu ia memang memakai baju
warna merah menyala dengan motip kembang.
Salah seorang wartawan yang diperkenankan hadir
dalam pertemuan itu mendekati si gadis waktu akan
pulang bersama para pendampingnya.
"Kebetulan saya akan ke Bandung," ia berkata.
"Barangkali saya dapat melakukan sesuatu untukmu,
Neng...!" la mengucapkan simpati, ikut belasungkawa,
namun tidak menjelaskan bantuan apa yang akan ia
berikan. *
Tetapi tiga hari kemudian ia mendatangi rumah si
gadis di desa Bojong. "Dengan bantuan beberapa rekan seprofesi, saya
berhasil mendapatkan sesuatu di Bandung," katanya
menerangkan. "Keluarga pemuda tampan yang kau
tuding, tentu saja menutup mulut rapat-rapat. Tetapi
salah seorang pelayan sempat terpancing. Katanya, ia
bertugas menyuci dan menyetrika pakaian semua
anggota keluarga majikannya. Dan ia yakin betul,
baju merah dengan motip kembang yang
kuperlihatkan dalam foto, adalah milik putera bungsu,
putera kesayangan keluarga majikan..."
Wartawan muda dan dikenal koleganya bersemangat
tinggi itu lalu menggambarkan bagaimana si pelayan
berkata dengan nada mencemooh: "Lihat! Azis terlalu
kerempeng untuk baju sebesar itu. Dan ia terlalu
miskin untuk dapat membeli pakaian semahal ini!"
Yang dimaksud Azis adalah pemuda berkumis yang
mengaku sebagai pengemudi mobil sedan putih
metalik, saat tabrak lari itu terjadi.
"Telah saya laporkan hasil pelacakan saya ke Polres
Ciamis," wartawan muda itu menambahkan. "Mereka
berjanji akan memanggil pelayan itu sebagai salah
seorang saksi." Sukiman, wartawan muda yang penuh toleransi itu
kemudian pamit dan berjanji akan datang lagi bila
memperoleh perkembangan baru. la memenuhi
janjinya tiga hari berikutnya.
"Azis tidak ditahan. Dengan uang jaminan!" katanya
sebagai pendahuluan. "Sedang pelayan itu, menurut
kenalan saya di Polres Ciamis, gagal dipanggil sebagai
saksi. Konon pelayan itu telah dipecat majikannya dan
tidak diketahui kemana perginya..."
Setelah terbenam cukup lama dalam luapan kecewa,
si gadis kemudian berkata penuh harap:
"la dapat dicari, bukan?"
"Akan makan biaya dan tempo tidak sedikit," jawab
Sukiman, mengeluh. "Lagi pula, muncul pendapat baru
yang sulit ditangkis. Bahwa Azis boleh saja tak
mampu memiliki baju mahal. Tetapi dihadiahkan oleh
anak majikan berbudi baik, lumrah bukan?"
Hampir patah semangat, wartawan muda itu
kemudian menjelaskan bahwa pemeriksaan semua
saksi sudah selesai, berkas akan segera disampaikan
ke kejaksaan. "Di pengadilan kelak, tampaknya kau akan bersaksi
sendirian, Mia," ujarnya bersimpati. "Tetapi masih ada
seorang manusia lain, yang percaya sepenuhnya atas
kesaksianmu waktu tragedi itu berlangsung..."
"Siapa?" tanya Mia bernafsu.
"Saya," pemuda itu menjawab. Kecut.
Malam harinya, si gadis remaja menunaikan sholat
tahajud sebagaimana biasa ia melakukannya. Sebagai
seorang anak yang saleh, ia memanjatkan doa
semoga arwah ibunya diterima dengan baik di sisi
Tuhan. Untuk ayahnya, ia mendoakan ketabahan dan
harapan penyakit beliau tidak kambuh lagi. Adapun
untuk dirinya sendiri, gadis remaja itu terpaksa
mencucurkan air mata. "Aku begitu yakin dengan apa yang kusaksikan, ya
Allah!" ia bersujud, membasahi sajadah dengan
linangan air mata. "Tetapi mengapa semua orang
menentangku" Mengapa Engkau tidak mengetuk
pintu hati mereka. Membuka mata mereka. Untuk
melihat kebenaran dan keadilan yang Engkau
janjikan?" Sekujur tubuhnya bergemetar luar biasa. Sampai daya
tahan tubuhnya tidak mampu menahan, sehingga
gadis itu rebah lunglai di sajadah. Ratap tangisnya
masih tetap mengalir ke haribaan Tuhan, ia mengeluh
dengan jiwa yang teramat sakit, tiada terperi.
"Ampunilah hambaMu ini ya Allah. Aku ini hanyalah
seorang gadis lemah. Manusia biasa, yang tak dapat
lepas dari kebimbangan hati serta kegoncangan
jiwa.... Tunjukilah aku keadilan yang Engkau janjikan.
Agar aku tidak meragukan kebesaranMu!"
*
SESUNGGUHNYA, Tuhan itu Maha Adil. Akan tetapi Dia
memperlihatkan keadilan itu tidaklah selalu
sebagaimana diharapkan manusia. Sebagai contoh,
dua hari sebelum sidang pengadilan dibuka, Sukiman
menemui Mia dengan selembar suratkabar terbitan
hari itu ia acung-acungkan dengan wajah suka cita. la
biarkan si gadis remaja membaca sepuas-puasnya
sebuah berita kecil di halaman dua, melengkapi berita
sebelumnya yang juga telah ditulis Sukiman
mengenai tragedi mengerikan itu. Selain mengulang
jalannya peristiwa secara ringkas, juga ditambahkan
dalam berita itu dua hal yang baru. Yakni mengenai
putera majikan Azis yang 'berbudi baik' itu.
Diberitakan, bahwa Eddi Bratamanggala putera
majikan Azis, pernah dua kali terlibat tindak pidana.
Pertama, Surat Ijin Mengemudi Eddi pernah dicabut
setelah terkena razia Operasi Gabungan dan diketahui
mengemudi mobil dalam keadaan mabuk. Yang ke
dua, Eddi pernah terlibat perkelahian dengan
temannya satu kuliah gara-gara berebut pacar. Dalam
perkelahian itu, lawan Eddi terkena tusukan pada
lambung serta tangannya sehingga terpaksa harus
diopname dua minggu di rumah sakit. Keluarga ke
dua belah pihak kemudian membuat perdamaian


Manusia Serigala Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

secara kekeluargaan. Berkat perdamaian itu, di
Pengadilan Negeri Bandung, Eddi hanya dijatuhi
hukuman 6 bulan penjara dengan masa percobaan
satu tahun. "Kawan-kawanku di Bandung banyak membantu,"
kata Sukiman riang. "Bagaimana pendapatmu, Mia?"
"Bagus!" sahut Mia bernafsu. "Tuduhanku padanya
makin jelas terbukti. Ia tidak punya SIM dan..."
"Lupakan mengenai SIM, Mia," tukas Sukiman tenang.
"Dengan satu dan lain cara, Eddi bisa mendapatkan
SIM-nya kembali. Yang penting adalah hukuman yang
pernah dijatuhkan pengadilan atas dirinya. Masa
percobaan yang ia jalani masih berlaku, sekarang ini.
Jadi bila ia dapat dibuktikan terlibat dalam kecelakaan
lalu lintas yang merenggut nyawa ibumu, bayangkan
apa yang akan terjadi. Bayangkan pula imbalan yang
diperoleh Azis untuk mengambil alih tanggung jawab
atas kesalahan yang diperbuat putera majikannya!"
Sebelum sidang dimulai, Sukiman menyempatkan diri
bersama Mia menemui jaksa yang ditunjuk
menangani perkara tabrak lari itu.
"Saya telah membaca berita itu," sang jaksa
menjelaskan dengan tenang. "Tetapi kalian tahu
kedudukan saya bukan" Kedudukan yang
mengharuskan saya tidak boleh terpengaruh oleh
pendapat umum!" "Dengan bukti-bukti baru ini, Bapak dapat
mengajukan Eddi sebagai tertuduh ke dua," Sukiman
memberi saran. "Tidak ada relevansinya, Bung Maman."
"Mengapa tidak?"
"Saksi yang mengatakan melihat Eddi duduk
dibelakang kemudi, hanya Mia seorang. Satu saksi
tidak cukup. Dan jangan lupa, lawan Mia nanti akan
membuktikan bagaimana lemahnya kesaksian Mia.
Ditambah kenyataan yang tidak boleh diabaikah
hukum, yakni pengakuan Azis yang begitu terbuka
dan terus terang..."
Gadis remaja yang duduk diam-diam di dekatnya,
nyeletuk tiba-tiba: "Bapak berdiri di pihak siapa?"
"Di pihak hukum, Nak," jawab jaksa, sopan namun
nadanya dingin. "Hukum yang mana?"
Hampir saja petugas kejaksaan itu meledak
kemarahannya. Untung Sukiman segera membujuk si
gadis, mohon maaf pada jaksa kemudian mengajak
gadis itu ke luar. Sebelum sidang dimulai mereka
sempat bertengkar. Namun si gadis akhirnya dapat
disabarkan. "Berdoalah Semoga Pak Hakim juga telah membaca
berita itu dan membuka pikiran beliau untuk
menemukan kebenaran yang sesungguhnya!" ujar
Sukiman menghibur, meski ia sendiri tidak terhibur.
Benar saja. Selama berlangsungnya sidang di
Pengadilan Negeri Kabupaten Ciamis, pemuda yang
dituduh si gadis sebagai penanggung jawab atas
kematian ibunya, tidak pernah menampakkan batang
hidung. Konon, oleh keluarganya di kirim ke Amerika
untuk melanjutkan studi. Kesaksiannya, hanyalah
sehelai kertas yang ditulis di bawah sumpah.
"Mestinya, Azis pun dapat disumpah!" sempat ia
melontarkan harapan itu ke telinga Sukiman,
wartawan muda yang setia mendampingi
nya. Tanpa terasa hati mereka telah mulai bertaut satu sama lain.
Semula si gadis terdorong oleh semangat tinggi
pemuda itu. Serta loyalitas si pemuda pada
profesinya, untuk mengungkapkan kebenaran yang ia
yakini tanpa ragu-ragu. Sungguh pas dengan apa
yang tertanam dalam diri si gadis sendiri.
"Di abad angkasa luar sekarang ini, Mia," celetuk
Sukiman, getir. "Sumpah dianggap segelintir orang
sama derajatnya dengan serapah. Hati nurani telah
lama mereka buang ke mesin cuci. Kau lihat, sendiri
bukan" Bagaimana si haram jadah itu seenaknya
mengangkat sumpah di atas secarik surat pengakuan,
di mana ia melemparkan tanggungjawab pada orang
lain yang bersedia dianggap sebagai keranjang
sampah." "Tetapi si keranjang sampah itu....," si gadis berharap.
"Siapa tahu, masih punya hati nurani."
"Saya percaya ia punya, Mia. Sayangnya, hati
nuraninya itu lebih banyak dipenuhi oleh kebutuhan
hidup. Demi keluarganya, demi masa depannya
sendiri. Keranjang sampah juga patut menampung
uang kertas melimpah ruah, bukan?"
"Tak ada salahnya mencoba."
"Tabahkan hatimu, Mia. Seorang terdakwa tidak dapat
dipaksa angkat sumpah. Konon pula, si terdakwa
mengakui terus terang semua kesalahan yang ia
perbuat!" Kenyataannya pahit itulah yang akhirnya terpaksa
harus ditelan oleh si gadis remaja, yang masa
depannya sendiri boleh dikata terancam. Tragedi
mengerikan itu tidak saja telah mencabut nyawa
ibunya, menggoncangkan jiwa ayahnya yang ia yakin
masih sakit. Dan, menunda maksudnya mengikuti
perkuliahan tahun pertama. Namanya dihapus dari
daftar mahasiswa, karena tidak memenuhi ketentuan
mendaftarkan diri setelah lulus mengikuti tes masuk.
Semua pengorbanan itu ternyata sia-sia belaka.
Azis memang dihukum 10 bulan penjara. Tetapi
dengan status percobaan. Penasihat-penasihatnya
yang hebat-hebat itu - entah dibayar siapa - dapat
meyakinkan majelis hakim bahwa Azis tidak sengaja
melakukan perbuatannya. Terbukti dari kesadaran
dirinya sendiri untuk datang menyerah ke pihak
berwajib. la masih muda usia, ulet dan bertanggung
jawab membantu ekonomi keluarga, belum pernah
dihukum dan sebagainya. Si terhukum tersenyum setelah vonis selesai
dibacakan. 10 bulan penjara tetapi tidak harus
menjalaninya selama ia tidak melakukan suatu tindak
pidana dalam jangka waktu 14 bulan. Siapa pula yang
ingin masuk penjara" la akan berkelakuan baik,
berusaha agar tidak berurusan dengan polisi atau
hakim. Dan ia bebas, untuk seterusnya menerima hadiah-
hadiah menyenangkan dari orang tua sahabatnya
yang kini studi di Amerika itu.
Senyumnya baru lenyap waktu di luar ruang sidang
matanya beradu dengan mata anak gadis korban
kecelakaan lalu lintas itu. Si gadis sengaja
mendekatinya. Dan berkata pelan: "Semula aku
berharap hati nuranimu terketuk. Nyatanya tidak.
Maka camkanlah. Aku kini membencimu, sampai ke
ubun-ubun!" Pemuda itu dengan wajah pucat pasi segera berlalu
tanpa mengucapkan sepatah kata. Memang ia
bermaksud protes. Akan tetapi, niatnya diurungkan
setelah ia menyadari sesuatu di balik sinar mata si
gadis. Sesuatu, yang bukan saja berupa kebencian.
Tetapi jauh lebih hebat dari apa yang disebut
kebencian. Sesuatu itu adalah sinar tajam
menakutkan. Seakan ia lihat bola mata si gadis dari
warna coklat berubah merah kehijau-hijauan.
Sukiman menyeret gadis itu dari kerumunan orang. la
berusaha menyabarkan dengan kata-kata menghibur:
"lstigfarlah, Mia. Ingatlah pada Tuhan!"
"Tuhan?" Mia merengut. "Tuhan ternyata tidak berbuat
apa-apa, bukan" Kecuali, membebaskan orang-orang
yang berdosa!" "Mia!" "Biarkan aku sendirian, Kang Maman!"
*
Dan dalam kesendiriannya, gadis itu suatu malam
bersujut di sajadah. "Kutuklah aku, ya Allah," ia berbisik. Kali ini, tanpa
sebutir air mata pun jua. "Kutuklah aku. Karena aku
tiba-tiba meragukanMu ...!"
Setelah itu, sekujur tubuhnya terasa dingin membeku.
Dari kamar lain, terdengar suara raungan garang.
Disusul lolongan tinggi menyayat tulang. Seseorang,
sambil meraung dan melolong rupanya telah pula
menendang, membanting, mencakar apa saja yang
ada didekatnya. Gadis itu menghambur dari sajadah. Juga dua orang
kerabat yang tinggal serumah, langsung kearah
kamar ayah Mia. Diambang pintu, mereka sama
tertegun. Tak berani masuk ke dalam.
Si lelaki tinggi kurus dan sudah tua dimakan
penderitaan itu, tampak menggeram-geram didalam
kamar. Pakaian di tubuhnya retas dan robek di sana
sini. Seluruh tubuhnya, ditumbuhi oleh bulu-bulu yang
sedemikian tebal dan panjang, berwarna hitam pekat.
Wajahnya berubah lonjong, mencuat ke depan.
Telinganya lebar dan panjang, selebar dan sepanjang
lidahnya yang terjulur keluar bersama buih-buih
membusa. Gigi-gigi taring bersembulan panjang,
runcing meliuk di sudut-sudut mulut menyerupai
moncong. Mata menatap garang, buas. Matanya
merah kehijau-hijauan. Mata yang haus darah ...!
*
CEKAMAN kesunyian membuat desa Cibiru disebelah
timur kotamadya Bandung tampak lengang. Diam
membeku. Mana cuaca malam teramat dingin pula.
Menggigit. Hal yang paling nyaman dilakukan dalam
keadaan seperti itu adalah meringkuk di bawah
selimut. Tetapi sungguh sial buat Soma, seorang
pegawai Dinas Kehutanan Kabupaten. Sejak sore ia
sudah sakit perut dan mencret terus. Khawatir terkena
muntaber ia telah membeli obat pada Asikin, manteri
Puskesmas setempat. Mencretnya berkurang, tetapi
sakit perutnya belum hilang-hilang juga.
Malam itu, sekitar pukul sepuluh, ia merasa akan
mencret lagi. Oleh karenanya Soma bergegas pergi ke
WC di belakang rumahnya yang terletak di tempat
ketinggian, sedikit di atas jalan raya. Hanya cairan
encer melulu yang ke luar dari lubang duburnya. Dan
ia makin lemas saja. Terhuyung-huyung ia bersijingkat
ke sumur untuk cebok. Pada saat ia akan menimba air, telinga Soma
menangkap suara aneh dan mengejutkan. Terdengar
sangat dekat di telinga, namun bernada sayup-sayup.
Seperti suara lolongan anjing. Menyentak-nyentak.
Lirih berirama. Disusul bunyi menyalak dan lolongan
anjing-anjing lainnya. Saling bersahut-sahutan.
Soma mendongakkan kepala.
Tercekat. Sebagai petugas lapangan yang sering menjelajah
hutan-hutan sampai jauh ke pedalaman, Soma dapat
membedakan suara anjing-anjing tertentu maupun
binatang lainnya. Bunyi menyalak dan lolongan sahut-
bersahut tadi jelas suara anjing-anjing kampung.
Tetapi lolongan pertama yang lirih dapat ia pastikan
suara lolongan srigala. Astaga, pikirnya, mustahil!
Mana ada serigala kesasar sampai sejauh ini. Mana
binatang jenis itu sudah langka ia temui dalam
penjelajahannya ke hutan-hutan terpencil maupun
pegunungan. Selagi Soma kebingungan, ia dengar suara orang
menjerit samar-samar. Soma semakin tercekam. Lupa
cebok, ia berlari-lari kecil meninggalkan sumur sambil
menarik retsluiting celana. Sayangnya, ia gagal
mencari arah suara jeritan itu, karena terdengarnya
pun hanya sekejap. Dari tempat ketinggian ia
meninjau kian kemari, berusaha mengawasi tempat
sekitar yang diselimuti kegelapan malam. Bersamaan
dengan lenyapnya suara jeritan tadi, lenyap pula
bunyi melolong maupun suara menyalak anjing-anjing
di seantero desa. Malam kembali sunyi. Menyentak. Mau tak mau, Soma menjadi seram sendiri. Sejenak
perhatiannya masih tertarik ke sebuah mobil yang
diparkir di tempat gelap, di pinggir jalan tembus yang
membelah desa Cibiru ke arah utara. Sebuah mobil
sedan jenis besar berwarna gelap. la tidak melihat
adanya manusia maupun anjing di sekitar mobil, dan
tidak tahu mengapa mobil asing itu ada di sana.
Mungkin mogok, pikirnya, lalu ditinggalkan oleh si
pengemudi atau pemiliknya. Soma berpikir sejenak.
Kalau tak salah, suara jeritan tadi datangnya dari arah
yang sama. Apakah tak sebaiknya ia periksa saja"
Tetapi, ampun! Perutnya mengulah lagi. Melilit, sakit alang kepalang.
Sesuatu seperti akan membudal ke luar. Soma berlari-
lari kecil lagi, kembali ke WC. Mencret dan mencret
lagi, bahkan sebelum ia sempat jongkok sehingga
celananya kecipratan cairan berbau tak sedap.
Sambil mengumpat-umpat ia terus jongkok tanpa
perduli lagi apakah pantatnya tepat di atas lubang
WC atau tidak. Dan sekali lagi, ia terdongak oleh bnyi
suara asing. Kali ini, bunyi gerung mesin mobil disusul
derit ban di permukaan batu-batu koral karena mobil
tentunya telah diputar sambil tancap gas.
Soma memanjangkan leher lewat tepi atas dinding
tepat WC. la lihat, mobil yang tadi ia sangka mobil tak
bertuan telah meninggalkan tempat semula. Meluncur
ke arah kota.

Manusia Serigala Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan-jangan komplotan rampok!" desah Soma, lalu
dengan cemas menunggu munculnya suara jerit
tangis korban para perampok itu.
Dan ia menunggu dengan sia-sia. Serta perut yang
kian menyiksa. Bukan Soma seorang yang merasa sangat tersiksa
malam itu. Aditya, seorang mahasiswa jurusan teknik
sipil di ITB sedang dalam perjalanan pulang dari
Sumedang, membawa dada yang sesak oleh luapa
kecewa dan kepala panas oleh luapan amarah.
Pacarnya di sana telah memaki lalu mengusirnya
dengan kasar, hanya karena Aditya tergoda meraba ke balik
celana dalam gadis itu. Aditya lantas disebut setan.
Dan dengan kesetanan, ia ngebut meninggalkan kota
Sumedang meski malam sudah merangkak naik.
Padahal calon mertuanya sudah mengijinkan Aditya
nginap satu malam di rumah mereka.
Masih untung malam itu lalu lintas sepi sehinga Aditya
dapat ngebut dengan leluasa. Namun toh ketika
melewati tanjakan berliku-liku di Cadas Pangeran,
sempat terpikir olehnya untuk terjun saja ke jurang
yang menganga dalam. Siapa tahu, kalau ia bunuh
diri, pacarnya akan menyesal setengah mati. Haa!
Setengah mati! Sedang Aditya sendiri mati sungguhan!
Tidak, Aditya tidak sudi. Ia harus tetap hidup dan
menunjukkan pada pacarnya bahwa Aditya dengan
gampang akan mendapatkan sekeranjang gadis-gadis
lain yang dapat ia jinjing kian kemari, diperlakukan
sesuka hati tanpa perlawanan, apalagi mengatakan
Aditya jelmaan setan. Lalu dia...
Aditya mengurangi kecepatan sepeda-motornya
dengan tiba-tiba, sehingga kendaraan itu meliuk-liuk
seakan mabuk, baru akhirnya berhenti. Sekilas
pandang Aditya sadar bahwa ia telah memasuki kota
Bandung dan saat itu tengah menempuh jalan bypass
Sekarno-Hatta, sekitar Gedebage. Tetap
menghidupkan mesin sepeda motornya ia berpaling
ke arah semula ia datang. Dan melihat apa yang
sambil ngebut tadi sempat ia lihat. Yakni, sebuah
mobil besar diparkir dekat jembatan dan dua sosok
tubuh keluar dari dalam. Tepatnya, sosok yang satu
menyeret sosok lainnya. Pada saat Aditya berpaling,
tubuh yang diseret tadi telah diangkat oleh sosok
tubuh lain ke besi jembatan. Tampaknya akan
dijerumuskan ke batangan-batangan rel kereta api di
bawahnya. "Hei!" Aditya berseru terperanjat.
Sepeda motornya diputar dengan cepat lalu tancap
gas searah semula. Dari atas kendaraan yang tengah
melaju itu Aditya menjerit keras manakala ia lihat
sosok tubuh yang diseret dan diangkat itu telah
lenyap di bawah jembatan. Aditya menderu semakin
dekat, lalu berhenti tak sampai satu meter dari depan
mobil yang lampu-lampunya dipadamkan itu.
Lupa akan keselamatan dirinya, Aditya melompat
tuun dari sepeda motor. "Kau pembunuh!" bentaknya seraya melangkah maju.
Hanya satu langkah. Langkah berikutnya, tertegun
begitu saja. Di bawah sinar rembulan dan sorotan
lampu sepeda motornya Aditya melihat sesosok tubuh
ramping tetapi kekar, tegak terperanjat memandang
ke arah datangnya Aditya. Mereka berhadapan satu
sama lain dengan terpaksa. Begitu dekatnya, sehingga
dapat melihat cukup jelas siapa lawan yang dihadapi.
Hanya dengan satu kali pandang, salah satu dari
keduanya langsung terbang semangatnya. la adalah
Aditya, yang merasakan setiap lembar bulu apa pun
di tubuhnya pada tegak, merinding.
Apa yang dili hatnya, seketika membunuh
keberaniannya, dan melumpuhkan hampir semua
persendiannya. Makhluk yang tegak di hadapannya
tidak pernah diimpikan Aditya, meskipun dalam
mimpinya yang paling buruk. Hampir sama tinggi
dengan tubuh Aditya sendiri, makhluk itu berbulu
sekujur tubuhnya. Bulu-bulu tebal berwarna pirang.
Lengannya panjang dengan telapak berdaging tebal
serta kuku-kuku runcing mengancam. Pangkal paha
makhluk itu mencuat agak ke depan, lututnya
menekuk ke belakang. Yang membuat Aditya lebih terkesima, adalah wajah
sang makhluk. Wajah lonjong, tirus dengan moncong
terbuka menjulurkan lidah basah berbuih. Taring-
taringnya tampak semakin mengerikan karena merah
dibasahi darah seperti juga hampir seluruh muka,
dada maupun lengan-lengan terutama kuku-kuku
tangan makhluk itu. Aditya megap-megap tanpa sadar.
Syukurlah, ia masih teringat untuk beristigfar. Setelah
mana ia lantas menemukan semangatnya kembali,
meski hanya setipis benang. Semangat yang tak
seberapa itu telah membantunya untuk meloncat ke
sepeda motornya setelah mana ia lantas ngebut lagi
dengan kecepatan tinggi tanpa memperdulikan ke
arah mana ia melarikan diri. Sungguh
ajaib, bahwa Aditya kemudian masih tiba dengan
selamat sampai di rumah pondokannya. la
menggedor-gedor pintu, membuat gempar seisi
rumah. Lalu tanpa memperdulikan kegemparan yang
terjadi, Aditya menyelinap ke kamar tidur, mengunci
pintu dan jendela rapat-rapat, terus naik seperti
melayang ke tempat tidur. Sekujur tubuhnya gemetar,
wajahnya pucat pasi, gigi gemeletuk, dan suhu
badannya panas dingin tak menentu.
Aditya sebenarnya tidak demam. Lain halnya dengan
seorang bocah perempuan di kampung Gedebage.
Demamnya sudah sedemikian parah, sementara
orangtuanya tidak punya uang untuk membeli obat
apalagi membawanya ke rumah Sakit. Setelah
mendapat saran dari beberapa orang, ayah bocah
perempuan itu selepas dinihari pergi meninggalkan
rumah. Tangannya yang satu memegang lampu
lentera, tangan yang lain sebilah golok panjang.
Dengan pikiran gundah, ayah muda itu berkeliaran
sepanjang pematang sawah. Matanya tajam
mengawasi genangan air di antara batang-batang
padi yang belum lama ditanam, mencari-cari di sekitar
lumpur maupun selokan. Kata orang, ia harus
mendapatkan anak belut berusia muda. Anak belut itu
harus ditelan hidup-hidup oleh bocah perempuannya.
Memang, ada binatang lain yang dapat ia cari. Yakni,
bayi-bayi tikus yang masih merah sebesar kelingking.
Bayi-bayi tikus itu sudah didapat, selain itu ia tak tega
memaksa anaknya menelan bayi tikus hidup-hidup.
Makan belut, mereka sudah terbiasa meski sudah
dimasak lebih dulu. Namun belut hidup tidaklah
semenjijikkan bayi tikus. Dan mencarinya, lebih
mudah. Lebih mudah" ltu dulu, ketika sawah-sawah di sekitarnya masih
subur, masih luas terhampar. Tidak sekarang, setelah
perumahan di bangun di sana-sini oleh pengusaha real
estate yang tak berhasrat melestarikan alam. Belum
lagi pabrik-pabrik yang membuang air limbah tanpa
memperdulikan protes para pemilik sawah. Kalau
protes itu makin keras, sumpal saja mulut mereka
dengan uang atau hadiah-hadiah lain yang lebih
menarik. Kalau perlu, kirim tukang-tukang pukul
bertampang seram, didampingi oleh oknum-oknum
berpakaian seragam. Akibatnya, panenan sawah
makin menipis dan yang paling sial, terutama malam
ini, adalah ayah bocah yang demam parah itu. Belut
makin sulit dicari, apalagi belut muda.
Namun mengingat nyawa anaknya, si ayah terus
berjuang melawan lumpur serta dinginnya udara
malam yang semakin menggigit. Sekali-sekali
goloknya terhunjam juga, namun yang ia dapatkan
hanya belut-belut tua yang masih tersisa, dan seekor
ular sawah yang bernasib sial karena mata golok
menghunjam salah alamat. Sekali, si ayah yang nasibnya juga kurang berutung
itu terpeleset. la jatuh terjerembab, untung pantatnya
masih mendarat di tegalan dan lampu lenternya
masih dapat ia selamatkan.
Ketika ia bangkit itulah, perhatiann
ya tertarik pada suatu pemandangan aneh agak jauh didepannya, di
atas jembatan rel kereta. Ia melihat sebuah mobil
tiba-tiba berhenti, lampunya dipadamkan. Dari
tempatnya duduk terjerembab, ia tak melihat apa-apa
lagi. Sampai sebuah sepeda motor tampak menderu lewat,
berhenti, lalu memutar arah kembali mendekati mobil.
Lamat-lamat, telinganya menangkap suara orang
meneriakkan sesuatu, seperti menjerit. Entah apa
yang tengah berlangsung di atas sana. Lalu tiba-tiba
saja, sepeda motor tadi menderu kembali, hilang di
bundaran arah Cileunyi. Pada detik berikutnya, mobil
tadi hidup pula lampunya lalu ngebut kearah
berlawanan. Ayah muda itu berpikir-pikir apa gerangan yang
terjadi. Kalau tak salah ia sempat melihat gerakan-
gerakan dua sosok tubuh gelap di pinggir jembatan,
sebelum sepeda motor tadi muncul mengganggu. Si
ayah muda kemudian teringat pada banyak kejadian-
kejadian mengerikan beberapa bulan sebelumnya.
Pada mayat-mayat misterius yang dibuang sepanjang
jalan by-pass, terutama di sekitar jembatan. Mayat-
mayat itu konon dibunuh oleh kelompok orang
tertentu yang tidak puas pada pelaksanaan hukum di
negeri ini. Apakah seorang penjahat lagi telah dibunuh dan
barusan tadi mayatnya dibuang ke bawah jembatan"
Karena penasaran, ia melupakan tujuannya semula
keluyuran tengah malam buta di persawahan itu. Lalu
didorong ingin tahu, ia menempuh jalan setapak ke
arah jalan rel, lalu menyusuri batangan besi rel
sampai ke bawah jembatan. Apa yang ia lihat,
memang sesuai dengan apa yang ia harapkan.
Terlihat disalah satu batangan besi rel, tampak
sesosok tubuh tergeletak dalam keadaan paling
mengerikan yang pernah dilihat si ayah muda. Sosok
tubuh itu jelas laki-laki, hampir telanjang bulat, dan
sekujur tubuhnya banjir oleh darah sendiri. Leher
mayat itu hampir putus sehingga kepalanya meliuk ke
belakang sementara lambungnya tampak robek
menganga, seakan isinya direnggut keluar entah
diapakan oleh pembunuhnya.
Wajah si mati lebih mengerikan lagi. Wajah itu
memperlihatkan kengerian, sepasang mata
membelalak dan mulut ternganga, bagaikan heran
karena melihat sesuatu yang luar biasa menakutkan
Mata yang membelalak mati itu seakan memandang
lurus ke mata si ayah muda yang terkesiap dengan
darah tersirap. Tak kuat menahan diri, penemu mayat itu tanpa sadar
melemparkan lampu lenteranya sambil ia berlari-lari
pulang. Masih untung, lentera itu terlempat ke lumpur
sawah sehingga padam seketika. Secara naluriah
goloknya tetap digenggam. Dan dengan golok
teracung-acung di tangan itulah, si ayah muda berlari-
lari di antara rumah-rumah tetangganya sambil
berteriak-teriak histeris.
Tiba di rumahnya, ia jatuh terjerembab. Pingsan di sisi
pembaringan bocah perempuannya yang menggigil
terserang demam. *
SETELAH tertegun beberapa saat lamanya, Rukmana
mundur diam-diam. Menjauhi sosok mayat laki-laki
yang terkapar di titik pusat lampu sorot polisi. Ia
mendaki jalan setapak dengan perut mual.
Menyandar limbung ke mobil paling dekat yang
diparkir di tepi jalan raya. Rukmana seorang polisi, itu
benar. Dalam perjalanan kariernya selama 11 tahun di
Satuan Serse, sudah lebih 100 mayat manusia yang
mau tidak mau harus dia urus. Diantaranya, 23 mati
oleh tangan Rukmana sendiri. Dengan tangan kosong,
atau sebutir peluru. Tetapi di sisi lain, Rukmana adalah
manusia biasa juga. Manusia dengan kelemahan
masing-masing. Jadi kalau tiba-tiba ia merunduk
lantas muntah dekat ban mobil, maka yang muntah
itu bukanlah seorang polisi melainkan seorang
manusia lemah. Dia tak usah malu. Karena seseorang yang muncul
dari balik kegelapan di bawah jembatan, tampak
berwajah pucat. Kecut. Padahal orang itu dokter
kepolisian yang terkenal bermental baja. Dokter itu
menyeringai ke arah Rukmana, lantas mendengus:
"Mengerikan! Belum pernah melihat yang seperti itu,
Kapten?" "Sudah," jawab Rukmana, suram. "Tetapi kebanyakan
karena digorok atau ditoreh dengan benda tajam.
Namun yang satu ini...."
"Aku sendiri juga bingung, Kapten. Luka-luka di tubuh
mayat itu dapat kupastikan bukan akibat benda
tajam. Pisau, golok atau semacamnya. Ada semacam
luka bergerigi, tetapi aku yakin bukan karena gergaji.
Yang pasti, luka-lukanya disebabkan benda-benda
runcing, kuat, dengan bentuk khas...."


Manusia Serigala Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Khasnya?" tanya Rukmana ingin tahu, seraya
matanya melirik kedua orang anak buahnya yang
tengah memeriksa sisi jembatan dengan
mempergunakan lampu baterai. Lawan bicaranya
melihat pula kearah yang sama. Kemudian
menggelengkan kepala dengan pikiran gundah.
"Itu yang membuatku semakin bingung, Kapten.
Mengapa mayat itu harus diseret lalu dijerumuskan ke
bawah jembatan. Maksudku, kalau pembunuhnya
adalah seekor binatang buas".
"Apa?" Rukmana tersentak.
"Binatang buas, Kapten! Dan kalau kita simak tubuh si
mati, tentunya makhluk itu selain buas juga kuat,
perkasa dan... punya otak!"
"Setiap makhluk hidup punya otak, Dokter!" Rukmana
mencibir. "Punya alasan lain yang lebih masuk akal,
sehingga kau berpikir pembunuhnya seekor binatang
buas?" "Mungkin nanti akan kudapatkan bukti lebih banyak.
Setelah mayat itu diautopsi. Untuk sementara,
kusebutkan satu hal saja. Jantung mayat itu hilang.
Tepatnya direnggut keluar. Mungkin lantas dijadikan
sarapan pagi oleh pembunuh dengan bumbu saos
serta selada...." dokter ahli forensik itu kemudian
pamit karena katanya mayat itu harus segera
diangkut dari batangan-batangan rel, sebelum dilindas
habis oleh kereta api pagi.
Rukmana memperhatikan dokter itu pergi menuju
ambulans. la tengah menganalisa kesimpulan yang
barusan ia dengar, manakala kilatan lampu blitz
membuatnya hampir berteriak:
"Sialan! Mestinya kau kutangkap!" makinya, sesudah
mengenali orang ke dua yang mendekatinya.
Seorang gadis bertubuh sintal dan tampak menyolok
di balik celana jean dan baju kaos yang serba ketat.
"Kejahatan yang kuperbuat, Kapten?" gadis itu
tersenyum seraya menulis sesuatu pada catatannya.
"Hei, Kau bisa menulis dalam gelap?"
"Itu keistimewaanku, Kapten. Keistimewa an lainnya,
belum puas sebelum memperoleh jawaban tepat."
"Ah, kau!" Rukmana menyeringai. Sumbang. "Pertama,
kau mengejutkan aku. Ke dua, kau memotret petugas
negara tanpa izin!" "Keberatan?" "Tidak, kalau kau buat yang lebih pantas!"
"Oh, begitu. Bapak duduk di belakang meja, bergaya
menelepon seseorang, dengan latar belakang gambar
Presiden serta wakilnya di tembok belakang" Uuh itu
terlalu resmi. Dan pembaca bisa jemu melihat itu
yang ke itu saja!" "Sialan kau, Neng! Baiklah. Aku ada beberapa
pertanyaan yang harus kau jawab...."
"0h. Keadaan terbalik agaknya. Aku yang
diwawancarai. Atau diinterogasi?"
"Bidangmu adalah skandal," Rukmana tidak
memperdulikan sindiran si gadis. "
ke kamar mandi. Di kamar mandi, Sumiyati bukannya
melap tubuhnya yang basah dengan handuk.
Melainkan menambah lebih banyak air hangat ke
dalam bak mandi. la nyemplung, lalu berendam
sembari berpikir. *
Di sebuah rumah besar dan megah di kawasan utara
kota Bandung, Eddi Bratamenggala membuang
kegundahan pikirannya tentang siapa wanita yang
barusan menelepon. Ada hal lain yang lebih penting
untuk dipikirkan. Dan, ada orang lain yang harus
bangun sepagi ini pula. la putar nomor telepon, dan
menunggu sampai ada sahutan. la tak perlu lama
menunggu. Karena segera telepon di seberang lain
sudah diangkat segera. "Papa?" "Kau itu, Ed?" "Benar, Pa. Apakah aku mengganggu tidurmu?"
"Aku justru tengah menekuni beberapa pekerjaan
yang harus kuselesaikan pagi ini juga. Ad a apa, Ed?"
"Azis." "Azis mana?" "Azis Partogi."
"Oh, dia!" suara di sana terdengar tak senang. Muak.
"Apa permintaannya kali ini?"
"la tidak akan minta apa-apa lagi dari kita, pa.."
"Maksudmu?" "Azis sudah tamat".
"Tamat?" Eddi Bratamenggala lalu melaporkan secara ringkas
tentang telepon yang diterimanya barusan. Lalu
mengakhirinya dengan sebuah pertanyaa n: "Papa
kenal dengan Sum Kuning?"
"Kenal, tidak. Pernah dengar sih, ya."
"Siapa dia, Pa?"
"Hanya ingat sedikit-sedikit. Maklum, dapat baca dari
suratkabar. Sum Kuning seorang gadis penjual jamu di
Jogya. la diperkosa oleh beberapa orang muda secara
bergantian. Perkaranya sempat dipeti-es-kan karena
menyangkut nama orang-orang penting. Lalu timbul
heboh, sampai perkara itu akhirnya terpa ksa dibuka
oleh pihak berwenang. Tetapi, Nak. Aneh juga cerita
yang kau laporkan barusan. Benarkah wanita yang
meneleponmu mengatakan namanya adalah Sum
Kuning" Tak ada keterangan lain?"
"Tidak, Pa. la keburu memutuskan hubungan. Lagi
pula, kukira kematian Azis lebih menarik untuk
dipikirkan. Tepatnya, dirayakan..."
"Jangan berpesta dulu, Nak. Sebelum semuanya
menjadi jelas!" "Maksud Papa?" "Kau letakkanlah teleponmu dulu. Tunggu situ. Jangan
kemana-mana. Aku akan menghubungi orang kita di
kepolisian." "Mau ke mana saya di pagi sedingin ini, Pa" Paling
meringkuk lagi dibawah selimut. Menantumu sudah
tak sabar...," Eddi Bratamenggala tertawa nyaring,
menambahkan: "Kami tadi lagi asyik, ketika telepon
itu...." "Teleponmu, Ed. Letakkan!"
Suara tenang tetapi dingin dari ayahnya, membuat
Eddi Bratamenggala terdiam lalu meletakkan pesawat
teleponnya dengan perasaan tak enak. la tahu,
ayahnya bukan tersinggung karena pembicaraannya
yang nakal. Ayahnya mendadak serius. Sangat serius.
Sambil duduk merokok, Azis berpikir keras. Kemudian
teringat dengan tiba-tiba. Ayahnya benar. Mereka
tidak boleh berpesta sekarang, sebelum diketahui
sebab kematian Azis. Kalau Azis mati wajar, semua
beres. Tetapi kalau Azis mati tak wajar, jelas bakal
tak beres. Karena Azis pernah mengatakan....
"Kang Eddi" Cepat dong, sini...," ada rengekan lembut
dari kamar. Eddi diam saja. "Kang Eddi" Aku sudah tak tahan nih!"
Kesal, Eddi Bratamenggala membentak: "Ada bantal
guling 'kan" Timpa saja!"
Rengekan dari kamar berhenti!
Eddi berpikir lagi. Tetapi kacau. Rengekan isterinya
telah membuyarkan apa yang tadi sempat teringat
olehnya. Untunglah tak lama kemudian telepon
berdering dan ia dengar suara ayahnya yang tegang:
"Kau masih di situ, Ed?"
"Masih, Pa." "Azis dibunuh!"
"0h...." "Cuma oh" Tak kau bayangkankah apa akibat
kematian Azis pada dirimu" Pada diriku juga" Dan
nama baik semua keluarga" Kariermu terancam
musnah, Eddi. Dan reputasiku bisa hancur seketika!"
"Maaf, Pa. Aku bingung."
"Kau pikir aku tidak" Kau kesinilah secepatnya. Jadi
kalau besok terjadi gempa, kita berdua sudah siap
menghadapinya. Astaga, sekarang ini aku lebih
senang Azis tetap hidup, tetap mengancam kita
macam-macam. Masih ada satu hal lagi, Ed. Kau ingin
tahu siapa itu Sum Kuning?"
"Siapa, Pa?" Eddi Bratamenggala ikut tegang seperti
ayahnya. "Nama sebenarnya, Sumiyati. Ia dipanggil Sum, dan
karena konon ia berkulit kuning langsat, orang-orang
dekatnya lantas menyebutnya Sum Kuning. Persetan,
apa pun mereka menyebut dia. Yang me ncemaskan
aku, Sumiyati itu seorang wartawati!"
Selesai pembicaraan telepon, Eddi Bratamenggala
berpikir keras dan kemudian kembali ke kamar tidur.
Tampak isterinya bergulung di bawah selimut.
Merajuk. Pura-pura tidur.
Dengan kasar Eddi menyingkapkan selimut,
membiarkan isterinya gelagapan karena mendadak
bugil tanpa busana. Perempuan itu terheran-heran sejenak, kemudian
tersenyum nakal. Bisiknya, berbau gairah: "Kalau ingin
meneruskan yang tadi, jangan main perkosa, dong!"
"Dengarkan aku, Anita!" Eddi berkata dengan nafas
tersengal-sengal. "Apakah kau pernah bercerita
padaku, bahwa satu dua kali kau pernah didekati
seorang wartawati?" "Rasanya pernah. Tetapi...."
"Lupa" "Apa saja yang ia tanya?"
"Tak banyak. Dan aku pun menjawab hanya
seperlunya saja." "Tentang apa?" "Kalau tak salah... tentang kedudukanku sebagai
komisaris di berbagai perusahaan milik Azis."
"Azis sudah mati. Dibunuh!"
Perempuan itu terlonjak bangun.
"Apa"!" Eddi Bratamenggala tidak menjawab. Tubuhnya
terasa dingin, lemas. Lunglai ia merangkak naik ke
tempat tidur. Menyelinap ke bawah selimut, seraya
mengerang: "Peluk aku, Anita. Perbuatlah apa saja,
asal aku tidak merasa takut lagi?"
"Apa yang kau takutkan, Kang Eddi?"
"Peluk aku, kubilang!"
"Lho, kok main paksa...."
"Kau yang tadi menginginkannya, bukan?"
"Aku mendadak kehilangan birahi, Kang..."
"Bangkitkan lagi!"
"Tak semudah itu, Kang"
"Hem, Apa boleh buat!"
Lalu Eddi mendadak berubah seperti binatang liar.
Dengan buas ia menggagahi isterinya. Perempuan itu
merasa dirinya diperkosa. Mulanya ia hampir marah.
Namun lambat laun, perkosaan itu dapat juga ia
nikmati. Itu suatu gaya bercinta yang lain dan belum
pernah ia alami. Dahsyat, membabi buta, kasar,
biadab tetapi gairah yang dibangkitkannya luar biasa.
Meski merasakan sakit dan perih di beberapa bagian
tubuhnya, toh di puncak perkosaan itu Anita lebih dulu
mencapai orgasme ketimbang suaminya.
Maka ia tidak lagi memperdulikan mengapa tiba-tiba
suaminya bangkit dari tempat tidur. Berganti pakaian
tanpa mandi lebih dulu. Lalu pergi meninggalkan rumah. Tanpa pamit.
*
KETIKA jenazah diturunkan ke liang lahat, Muranis
Chaniago dihinggapi perasaan aneh. Nama Azis
Partogi sudah boleh ia coret dari daftar. Tetapi
matinya orang itu bukan merupakan akhir. Justru
sebaliknya: suatu permulaan.
"Anis Chan!" pikirnya, "... bersiap-siaplah
melaksanakan tugasmu yang sebenarnya!"
Pekerjaan pertama yang harus ia lakukan adalah,
meninggalkan tempat itu secepatnya. Tidak seorang
pun yang mengharap atau memerlukan kehadiran
Muranis Chaniago di pemakaman. Ia datang atas
inisiatip sendiri. Oleh karena itu, ia
pun boleh angkat kaki kapan ia suka. Mendoakan almarhum bukanlah
tugasnya. Begitu hidup seseorang berakhir, amal
ibadahnya pun sudah putus seketika itu juga. Pada
tingkat berikutnya, adalah menjadi tanggung jawab
orang itu sendiri, tergantung dari apa yang ia lakukan
selama hayatnya. "Selamat jalan, Bung Azis," Muranis Chaniago
berdesah. la baru saja akan beranjak pergi, manakala
terdengar suara seseorang menyapa:
"Anis Chan, ah. Mimpi apa yang membawa Anda
berkeliaran di antara batu-batu nisan ini?"
Muranis Chaniago berpaling dan melihat seorang laki-
laki setengah umur serta berpakaian perlente
mendatanginya dengan senyuman lebar di bibir. Ia
balas tersenyum dan menerima jabatan tangan laki-
laki perlente itu. "Cuma kebetulan lewat," ujar Muranis Chaniago,
diplomatis. "Oh ya?" sepasang mata orang itu mengawasi dengan
hati-hati. Tanpa berusaha menyembunyikan
kecurigaan. "Hantu-hantu kubur memanggilmu, eh"
Atau, salah satu hantu itu pernah jadi klien?"
Sesaat, Muranis Chaniago teringat pada pesan
almarhum. Bahwa hubungan mereka tidak boleh


Manusia Serigala Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diketahui orang lain, selama Azis Partogi masih hidup.
Perjanjian itu telah berakhir sekarang, dan dengan
perasaan lega Muranis Chaniago mengakui: "Dugaan
Anda benar sekali, Pak Anwar."
"Azis?" "Ya." Ada perubahan di wajah lelaki perlente itu, namun
hanya sekilas. la kemudian tertawa kaku, bergumam
kecewa: "Jadi Azis tak pernah mempercayaiku. Secara
utuh, maksudku ...."
"Tak usah berkecil hati, Pak Anwar. Ada kalanya,
jangankan orang lain. Pada diri sendiri pun, kita tak
percaya!" Muranis Chaniago tertawa sopan,
mengucapkan selamat siang lantas meninggalkan
temannya bicara berdiri sendirian. Termangu-mangu.
Setengah jam kemudian Muranis Chaniago memarkir
mobilnya di halaman Kantor Pos. la memasuki
ruangan kotak pos. la menghadapi sedikit kesulitan
ketika berusaha membuka kotak pos nomor 307.
Kotak itu agaknya jarang dibuka-buka oleh si pemilik.
Lubang kuncinya sudah mulai berkarat. Dengan
bantuan seorang petugas yang ramah dan tak banyak
bertanya, kotak akhirnya dapat dibuka. Di dalamnya,
Muranis Chaniago menemukan dua bungkusan kecil
dilapisi plastik. Yang satu ditujukan untuk Muranis
Chaniago sendiri. Bungkusan yang sedikit lebih besar,
ditempeli secarik kertas dengan nota pesan: "Harap
diteruskan pada sdri. SUMIYATI atau Sum Kuning,
wartawati di Bandung."
"Sum Kuning!" Muranis Chaniago berdesah. "Mengapa
harus dia?" Dengan dahi berkerut, Muranis Chaniago
memasukkan dua bungkusan itu ke dalam tas
kemudian kembali meluncur dengan mobilnya menuju
kantor tempatnya praktek. Mengapa harus Sum
Kuning" Bukankah ia musuh besar Azis Partogi, yang
dengan ulet melacak lalu beberapa kali memberitakan
skandal usaha yang dijalan Azis Partogi" Demikian
gencar Sum Kuning menyerang Azis Parto gi lewat
tulisan-tulisannya. Sehingga tiap kali perusahaan Azis
terancam hancur, terpaksa Azis Partogi mendirikan
perusahaan-perusahaan bayangan. Anehnya, Azis
Partogi tidak pernah menuntut Sum Kuning ke
pengadilan meski beberapa dari tulisannya sudah
lebih bersifat sentimen pribadi. Yang diserang tetap
bertahan, lalu bangkit dan bangkit lagi diam-diam
lewat perusahaan-perusahaan bayangannya. Muranis
Chaniago yang dengan tekun selalu mengikuti
perkembangan klien yang satu ini, merasa yakin ada
orang kuat di belakang Azis Partogi. Tetapi mengapa
orang kuat itu pun diam pula"
"Sum Kuning tentunya menyimpan kartu truf yang
mematikan!" pikir Muranis Chaniago. Kesimpulannya
itu terbukti kemudian, ketika ia tiba di kantor dan
membuka bungkusan kecil untuknya yang berisi
sebuah pita rekaman. Isi rekaman itu sekaligus telah
menjawab setumpuk pertanyaan yang sebelumnya
membingungkan Muranis Chaniago. Tidak itu saja, ia
juga dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa
semua hanya merupakan dugaan belaka. Azis Partogi
telah memberinya sebuah tugas. Dan tugas itu justru
berawal dari kematian Azis.
*
Pada saat bersamaan, di rumah almarhum terjadi
sedikit ketegangan. Keluarga yang ditinggalkan sudah berkumpul disebuah
ruangan tertutup. Anwar Sobirin dengan gayanya
yang tetap perlente memasuki ruangan dengan
wajah acuh tak acuh. la perhatikan sekilas wajah-
wajah tegang dan tak sabar di hadapannya,
kemudian bergumam kaku: "Beri aku tempo beberapa menit. Aku harus
menelepon seseorang."
Terjadi hujan protes. Tetapi Anwar Sobirin tidak ambil
perduli. Tenang-tenang saja ia melangkah ke sebuah
meja yang tersedia di ruangan itu. la jangkau
pesawat telepon dan memutar sejumlah nomor. Pada
saat ia mulai bicara, hujan protes itu mulai reda pula.
Tinggal bisikan-bisikan resah yang berisik. ltu pun
segera hening, menyentak, di kala Anwar Sobirin
menyebut sebuah nama dalam percakapan telepon.
Begitu heningnya, sehingga suara orang diseberang
sana di telepon, dapat didengar jelas oleh setiap yang
hadir di ruangan tertutup itu.
"Pak Barman" Saya Anwar, Pak."
"Ah, kau. Begitu lama kami menunggu," terdengar
suara helaan nafas berat. Lalu: "Kuharap kau tidak
gagal seperti yang lain-lainnya. Mereka itu cuma
kantong-kantong nasi yang tak pernah kenyang.
Tangannya meminta dan terus meminta, bahkan
mengemis. Soal kerja, payah!"
Agak memerah kulit muka Anwar Sobirin. la termasuk
salah satu kantong nasi itu, pikirnya. Tetapi ia lebih
beruntung. Anwar Sobirin menghela nafas lega, lalu
dengan tenang dan hati-hati ia berkata:
"Orangnya telah saya temukan..."
"Siapa?" "Muranis Chaniago. Atau lebih dikenal dengan
panggilan Anis Chan ...."
"Dia"!" terdengar ucapan menyentak, lalu kesunyian
yang lebih menyentak lagi. Baru kemudian:
"Kau merasa pasti?"
Anwar Sobirin menceritakan pertemuannya dengan
Muranis Chaniago di pemakaman Azis Partogi. Ketika
menyebut nama almarhum, sekilas ia melirik pada
kumpulan manusia-manusia yang duduk kaku
memenuhi ruangan yang pepak oleh asap rokok.
Wajah-wajah dihadapannya tampak datar, tanpa
ekspresi. Kalau orang-orang kelaparan disuguhi
makanan lezat dan berlimpah-limpah, jangan kau
harap di wajah mereka akan kau temukan warna
duka cita meski dekat mereka terbaring sesosok
mayat. Dan mayat itu, adalah saudara, suami, atau
bahkan ayah kandung mereka sendiri.
Anwar Sobirin geleng-geleng kepala sendiri. Dan
meneruskan di telepon: "Tak ada hal lain yang
membawa langkah kaki Anis Chan ke pinggir liang
kubur Azis. Saya berani bertaruh untuk itu, Pak
Barman." "Mestinya kita telah lama menduga hal itu. Anis Chan,
si sinting dari kaum proletar. Astaga, siapa nyana!
Dan..., hem. Apakah kau dapat mengatur dia Pak
Anwar?" suara berat diseberang sana telepon kini
terdengar lebih bersahabat. "Dekati dia, dan tanyakan
berapa dia minta..."
"Maaf, Pak. Saya tak dapat melakukan hal itu."
"Tidak" Bukankah kau lebih senior dari dia?"
"Benar, Pak. Tetapi si Anis Chan ini, seperti Bapak
sendiri bilang, orangnya sedikit sinting. Orangnya sulit
diduga..." "Jadi?" "Saya pikir, ia akan muncul sendiri. Menemui Bapak,
dan...." "Begitu, Baiklah, dia akan kutunggu. Dan bila saat itu
tiba, Pak Anwar tentu punya waktu senggang untuk
mendampingiku....! Anwar Sobirin menelan ludah. Berkata dengan nada
menyesal: "Pak Barman tentunya mengerti apabila
saya tak dapat hadir. Ada waktunya, dimana kita
harus membiarkan rekan satu profesi untuk bergerak
sendirian ...." "Kau minta tambahan honor, Tuan Pengacara?"
Merah padamlah wajah Anwar Sobirin. Segenap rasa
segan, hormat dan takut di wajahnya lenyap.
Jakunnya naik turun dengan cepat. Lalu dengan suatu
hentakan kasar, ia mendengus: "Persetan dengan
uangmu, Pak Barman!" Dan gagang telepon ia
hentakkan keras pada tempatnya, sehingga membuat
orang-orang yang berkumpul di ruangan tertutup itu
menciut di tempat duduk masing-masing. Wajah
mereka sama pucat manakala Anwar Sobirin
mengawasi mereka satu persatu. Matanya tampak
galak, dan senyum tipis di bibir
nya berubah kejam. "Baiklah, orang-orang serakah!" Anwar Sobirin berkata
tawar. "Surat waris almarhum akan kubacakan
sekarang. Tetapi ketahuilah, Aku lebih suka andaikata
kalian semua bergabung dengan almarhum di liang
kuburnya!" Lantas dengan kasar ia menyentak
terbuka tas besar di atas meja. Sambil dalam hati,
diam-diam mengutuk dirinya sendiri: mengapa tidak
cari makan di bidang yang lain saja!
*
GEMETAR setelah mendengar isi rekaman yang
diamanatkan oleh Azis Partogi untuknya, Muranis
Chaniago sempat gugup sebentar. la dihadapkan pada
sebuah tugas berat. Dan karena ia tahu manusia-
manusia macam apa yang bakal berurusan
dengannya. Muranis pun menjadi gelisah. la tidak
menyesal menerima Azis Partogi sebagai kliennya. "lni
sebuah perkara unik dan bagus. Sebuah kasus
menarik yang tak akan terulang dua kali," ia
memutuskan. Dengan hati-hati rekaman itu ia masukkan ke laci
mejanya. Dikunci. Lalu ia mengangkat pesawat
telepon. Sebelum ia melangkah lebih jauh, ia harus
konsultasi dengan seseorang.
Dan orang itu, tak lain tak bukan adalah Sum Kuning
sendiri. Sumiyati yang cantik dengan senyum serta
tutur katanya yang menawan, namun terkadang
menggigit. Sumiyati yang masih tetap hidup
menyendiri di usia yang kini menjelang tiga puluh
tahun. Muranis pernah bertanya mengapa gadis itu belum
kawin, padahal bukan sedikit lelaki yang berminat.
Jawaban Sumiyati tak pernah berkisar dari satu
kalimat: "Belum ketemu jodoh yang sesuai."
Sambil menunggu telepon diseberang sana diangkat
seseorang, Muranis Chaniago teringat pada bekas istri
dan dua orang anaknya yang hidup terpisah nun jauh
di Payakumbuh sana. Perceraian itu, pikirnya dengan
gundah, terjadi karena jodoh mereka tidak sesuai.
"Hallo?" terdengar suara menyapa di telinganya. Suara
kering seorang wanita, yang ia kenali sebagai pelayan
Sumiyati. Muranis Chaniago minta bicara dengan majikan
perempuan itu. la mendapat jawaban, Sumiyati
tengah pergi ke luar kota dan belum tahu kapan akan
kembali. "Kalau ia sudah pulang, tolong diberitahu saya ingin
bertemu secara pribadi. Katakan, penting!" Muranis
Chaniago meninggalkan pesan. Lantas duduk
melamun di kursinya. Alangkah beruntungnya lelaki yang dapat
mempersunting Sum Kuning!
*
MENGANTUK tetapi tidak dapat tidur selama tiga jam
lebih di perjalanan, berakibat belakang kepala
Sumiyati berdenyut-denyut menyakitkan. la turun dari
bus dengan langkah sedikit limbung. Wajahnya semu
pucat. Sebaliknya, biji matanya memerah. la berdiri
sejenak sampai maboknya reda. Lalu ketika ia
berpaling, tiba-tiba ia menyadari ada sesuatu yang
salah telah terjadi. Ketika tadi bus berhenti, para pengemudi ojek yang
bergerombol di depan sebuah warung kopi saling
menghambur memburu penumpang yang bakal turun.
Cuma seorang penumpang saja yang turun dari bus.
Dan ia adalah Sumiyati. Tidak seperti biasanya, para
pengemudi ojek itu bukannya saling berebut rejeki.
Mereka malah seperti ada yang mengatur, mendadak
kompak. Sama mengundurkan diri. Kembali ke tempat
duduk mereka semula, atau bergerak menjauh
dengan sikap waspada dan pandangan mata curiga.
Seakan di dekat mereka ada biang penyakit yang
harus cepat-cepat disingkiri.
Sumiyati mengawasi mereka satu persatu dan
bertanya: "Mana kehangatan sambutan yang
sekarang ini kalian perlihatkan?"
Di bawah tatap mata Sumiyati yang justru bertambah
marah karena perasaan tak senang, bahkan ibu
pemilik warung yang senantiasa ramah dan periang
itu pun mendadak tertegun pucat, lantas
memalingkan wajah ke arah lain. Sentakan aneh
membelit ulu hati Sumiyati. Keinginan untuk menegur
sahabat-sahabat lamanya, ia batalkan. Sumiyati
memutar langkah dan berjalan memasuki jalan desa,
melewati sepeda-sepeda motor yang diparkir
serabutan; siap tancap gas bila ada pembonceng yang
mampu membayar. Sumiyati selalu membayar lebih.
Tetapi kali ini, uang Sumiyati agaknya tak menarik
minat mereka. Tahu diri dan sekaligus jaga gengsi, Sumiyati terus
saja melangkah. Dengan tas kecil di tangan yang
satu, dan tangan satunya lagi mengurut dadanya
yang mendadak kering dan sesak. Bukan saja ia
harus menekan keinginan untuk beramah tamah. la
juga menekan lampiasan kemarahan, sakit hati,
campur keheranan yang tidak saja membingungkan
tetapi sangat meresahkan. Di belakangnya, ia dengar


Manusia Serigala Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara bisik-bisik orang berdebat, diseling suara ibu
pemilik warung yang menyesali dengan ucapan
tajam: "Sedikitnya, kalian harus menaruh iba!"
Kemudian ada derum mesin salah satu sepeda motor
yang menyusul, lantas sebuah wajah muda yang
menyeringai sumbang di bawah kumis kasarnya.
Sumiyati tetap berlagak pilon, sampai ia dengar
ajakan setengah terpaksa namun bersahabat:
"Naiklah, Mia!"
Sumiyati bimbang sejenak. Tadi ia telah diperhinakan
mereka. Tetapi meneruskan perjalanan dengan kaki-
kaki yang letih dan kepala pening, saat ini tidak pada
tempatnya. la biarkan pemuda berkumis kasar itu
menyambar tas yang diletakkan di atas tangki sepeda
motor, lalu Sumiyati naik di boncengan.
Setelah beberapa menit menempuh perjalanan dan
terbanting-banting oleh lubang-lubang besar
menganga, barulah Sumiyati angkat bicara.
"Apa salahku, maka mendadak kalian memusuhi aku,
Arman?" ia bertanya tanpa menyembunyikan
perasaan tak senang. Pengemudi ojek batuk-batuk kecil, baru menjawab:
"... bukan memusuhi, Mia. Cuma yah, beberapa orang
dari kami merasa takut."
Sumiyati terkejut. "Aku" Menakutkan" Tetapi..."
"Bukan kau, Mia."
"Lantas?" "Ayahmu," pemuda itu setengah berteriak untuk
mengatasi suara raungan mesin motor di jalan
menanjak. "Minggu kemarin, ayahmu melarikan diri!"
*
Tiba di rumah orang tuanya, Sumiyati mendapat
gambaran yang lebih jelas.
Pekarangan tampak kurang terurus. Rumah pun
terkunci dari luar. Kuncinya diperoleh Sumiyati dari
tetangga sebelah yang menyambut kemunculan
Sumiyati dengan sikap gelisah. Tetanggan ya
mengelakkan beberapa pertanyaan yang diajukan
Sumiyati, kecuali sedikit penjelasan bahwa orang-
orang merasa takut memasuki rumah kosong itu.
Setelah Sumiyati ditinggal sendirian, dengan hati-hati
ia membuka pintu kamar ayahnya. Daun pintu itu
masih tetap utuh. Tetapi jendela diseberang kamar
tampak pecah berantakan. Balok kayu besar berlapis
dua di lantai tanah yang kumuh dan penuh kotoran
berbau busuk, sudah terpotong beberapa bagian.
Potongan itu berserakan di antara bekas sampah,
piring mangkuk yang bergelimpangan, serta sobekan
pakaian. Salah satu potongan kayu balok itu masih
terikat rantai besi, tetapi rantai itu sendiri sudah copot
ujungnya dari pasak besar yang ditanamkan ke tanah
di sudut kanan kamar. Terakhir kali ia berkunjung ke rumah ini beberapa
bulan yang lalu, ayahnya ia lihat duduk terkulai di
lantai. Ke dua kakinya, di bagian pergelangan
terbenam di lubang-lubang balok kayu yang terikat
rantai. Ayahnya yang kurus kering dan dengan cepat
menjadi tua, mengawasi Sumiyati dengan air mata
berlinang. Waktu itu, senja telah berlabuh dan Sumiyati
menekan hasrat untuk memeluk lelaki tua yang
malang itu. la hanya diam menunggu. Sampai mata
ayahnya mulai memerah saga. Lidah lelaki itu terjulur
keluar, panjang, semakin panjang dan meneteskan
busa-busa, kental berbuih serta berbau menjijikkan.
Kulit di seluruh permukaan tubuhnya perlahan-lahan
berubah semakin hitam, lalu bulu-bulu panjang itu pun
mulai muncul, begitu cepat dan mengerikan. Sumiyati
ingin bertahan. Namun ketika perubahan di tubuh
ayahnya kian menjadi-jadi, Sumiyati tak tahan lagi. la
jatuh pingsan. Waktu ia bangun, Sumiyati sudah
terbaring di tempat tidur kamarnya sendiri, dan
matahari pagi sudah muncul. la menyesali
kelemahannya, dan Sumiyati hampir terpekik
manakala pundaknya dijamah sesuatu dari belakang.
Ketika ia berpaling, matanya bertemu dengan mata
seorang lelaki bertubuh kekar di usianya yang sudah
setengah baya. Sepasang mata lelaki itu mengawasi
Sumiyati dengan pandangan iba.
"Mang Karta!" desah Sumiyati lega.
"Gembira melihatmu lagi, Nak..." ujar lelaki yang ia
sebut Mang Karta. "Tadi aku baru saja pulang dari
kebun, ketika kulihat kau memasuki rumah ini...."
"Apa yang terjadi, Mang Karta?"
"Kau istirahatlah dulu, Nak. Akan kupanggilkan Bibimu,
agar dapat menjamu engkau secara pantas malam
ini...." Dan malam itulah Sumiyati mengetahui apa yang
terjadi selama beberapa waktu terakhir. Mang Karta
masih tetap bertahan dan setia menjaga ayah
Sumiyati. Akan tetapi Mang Harlas yang sudah dua
tahun menikah tetapi belum punya keturunan,
akhirnya menyerah. Istri Mang Harlas hanya mau
mengandung dan melahirkan anak mereka di rumah
lain, bukan di rumah yang menakutkan ini. Suasana
seram yang harus mereka hadapi setiap saat
membuat istri Mang Harlas khawatir akan berakibat
kelak pada keturunan mereka. Perempuan itu
mengatakan, ia ingin melahirkan bayi yang normal.
Bukan bayi mengerikan, yang selalu menghantui
mimpi-mimpinya yang buruk.
"Sebenarnya si Isah tidaklah sering bermimpi buruk.
Yang hidup didekatnya dalam alam nyata, sudah jauh
lebih buruk," cerita Mang Karta dengan tut ur kata dan
kalimat-kalimat yang diusahakan sedemikian rupa
sehingga tidak melukai perasaan Sumiyati.
Akhirnya Mang Karta terpaksa membiarkan suami istri
muda itu pindah. Tinggal Mang Karta sendirian, yang
tetap menjaga ayah Sumiyati. ltu pun, hanya pada
malam hari. Siangnya, ia dapat meninggalkan ayah
Sumiyati sendirian di kamarnya. Dengan kaki
terpasung kuat pada balok kayu, dirantai pula. Makan
dan air minum disediakan cukup di dekat ayah
Sumiyati terpasung. Ayahnya masih tetap bersikap
baik dan tidak banyak tingkah bila ia dalam keadaan
normal. Apabila di malam hari, terjadi proses
perubahan pada tubuhnya, ayah Sumiyati pun hanya
meraung dan melolong sesekali. Orang tua yang
malang itu tidak pernah memperlihatkan sikap-sikap
memberontak dan membahayakan.
"Tetapi beberapa hari yang lalu, terjadi sesuatu yang
di luar kekuasaanku," tutur Mang Karta dengan suara
menyesal. "Rupanya ada beberapa orang pemuda
yang bertaruh siapa paling berani di antara mereka.
Mereka memilih waktu yang tepat. Yakni ketika aku
pulang sebentar ke rumah, untuk mengambil makan
malam yang sudah disiapkan Bibimu ...."
T erbiasa oleh kenyataan tiada orang berani memasuki
rumah keluarga Sumiyati tanpa kehadiran Mang Karta,
maka Mang Karta berbuat lalai. Pintu beberapa kali ia
biarkan tertutup dari luar, tanpa dikunci. Tiga orang
pemuda masuk diam-diam setelah Mang Karta pergi.
Dua dari mereka langsung ngibrit begitu terdengar
suara menggeram buas dari balik pintu kamar ayah
Sumiyati. Yang seorang, tetap bertahan. Karena
taruhannya, adalah seorang gadis yang cintanya
mereka perebutkan. Agaknya si gadis memegang
peranan pula dalam peristiwa naas itu. la menyukai
ketiga pemuda tadi, dan yang paling gagah
pemberani dari mereka akan ia terima sebagai pacar
tetap, siapa tahu kelak bisa memperistrinya pula.
Pemuda itu adalah Arman, yang tadi memboncengkan
Sumiyati. Arman seperti juga kebanyakan penduduk
lain di kampung mereka yang sunyi terpencil itu,
sudah lama mendengar bahwa ayah Sumiyati
dipasung karena menderita penyakit syaraf atau gila.
Bahwa bukan suaranya saja yang berubah seperti
suara anjing hutan atau serigala. Melainkan juga,
wujudnya. Untuk membuktikan bahwa gunjingan itu benar dan
sekaligus membuktikan ia paling gagah berani dari
kedua pemuda saingannya, Arman memberanikan diri
memasuki kamar Ayah Sumiyati. la membawa serta
bungkusan plastik berisi paha domba yang
sebelumnya telah mereka beli dari pasar. Paha domba
itu harus ia sodorkan untuk direngkah oleh ayah
Sumiyati yang berubah wujud. Tidak semuanya. Harus
tersisa sebagian, sisa mana akan memperlihatkan
gambaran makhluk apa yang telah menyantap
sebagian paha domba itu. Tetapi begitu melihat wujud makhluk yang terpasung
di balok kayu, Arman langsung ngeper. Ia menjerit
ketakutan. Dan seraya melemparkan bungkusan di
tangannya, ia ngibrit melarikan diri, disambut dua
orang temannya yang masih menunggu di luar. Begitu
mereka bergabung, Arman langsung jadi bahan
tertawaan. Ternyata ia sudah terkencing-kencing di
celana. Akibat lainnya juga segera menyusul. Kabar
burung mengenai perubahan wujud ayah Sumiyati
kini sudah terbukti kebenarannya. Penduduk mulai
gempar. Kepala kampung memanggil para tetua
kampung, disusul aparat keamanan dikumpulkan
lengkap dengan senjata masing-masing. Tetapi
mereka terlambat bertindak.
Begitu mencium bau daging mentah, ayah Sumiyati
yang telah berubah wujud di pasungannya, langsung
menjadi buas. la berhasil menyambar bungkusan
plastik, dan menyantap paha domba yang masih
segar itu. ".... dan kau sendiri tahu, Mia," desah Mang Karta lirih.
"Daging mentah dan masih berdarah, adalah
pantangan Ayahmu." la menarik nafas berat dan
panjang. Lalu meneruskan: "Kekuatan phisik ayahmu,
dengan demikian bertambah lipat ganda..."
Kayu balok tempatnya dipasung, berhasil dihancurkan
ayah Sumiyati. Pada saat yang bersamaan, Mang
Karta datang dengan hidangan makan malam.
Mengetahui bahwa ayah Sumiyati yang dibawah
pengawasannya telah lepas dari pasungannya maka
Mang Karta berusaha membujuk dan meringkusnya.
"Aku dibanting. Malah bahuku sampai terluka!" dengus
Mang Karta, seraya membuka bajunya dan
memperlihatkan beberapa bekas luka cakaran pada
kulit bahunya. "Ketika aku berusaha bangkit, ayahmu
sudah menerobos ke luar lewat jendela...."
Tak seorang pun, kecuali Mang Karta yang melihat
dengan mata kepala sendiri ketika ayah Sumiyati
melarikan diri. Tetapi apa yang sebelumnya telah
disaksikan oleh Arman, begitu pula penuturan dari istri
Mang Harlas yang akhirnya membuka mulut juga
setelah didesak banyak orang, sudah cukup
dimengerti oleh kepala kampung dan orang-orang
kepercayaannya. Penjagaan ketat dilakukan siang
maupun malam hari. Jejak ayah Sumiyati juga
dilacak. Jejak itu berakhir di sungai, dan menghilang
sampai di sana. Air sungai malam itu sangat deras.
Jadi kepala kampung memperoleh jalan untuk
bertindak bijaksana. Kepada penduduk disebarkan
kabar bahwa ayah Sumiyati telah tenggelam dan
hanyut di sungai. Jenazahnya masih dicari, tetapi
penduduk diminta untuk tetap tenang. Dan memang
karena tidak terjadi apa-apa setelah itu, penduduk
pun lambat laun dapat menerima keterangan kepala
kampung. "Aku tidak segera mengirim kabar padamu, karena
sampai saat ini, aku dan beberapa orang
kepercayaanku masih tetap mencari ayahmu. Tak
ketemu hidup, ya ketemu mati..." Mang Karta
mengakhiri ceritanya dengan tarikan nafas panjang.
Sumiyati menatap pamannya, dengan tatap mata
tegar. la tidak menangis. Lirih ia berbisik: "Mati adalah
pilihan paling baik untuk ayahku, Mang Karta."
Tetapi ketika ia masuk ke kamar tidurnya, airmata
Sumiyati menetes juga. Benar, mati adalah pilihan
baik untuk ayahnya. Tetapi tanpa Sumiyati mengantar
kematian ayahnya, bukanlah sebuah kenyataan yang
menggembirakan. Apalagi mengingat, Ayahnya mati
tanpa kubur. Malam itu, ia tidak terpejam. Bolak-balik gelisah di
ranjangnya, pikiran Sumiyati kacau tak menentu.
Bayangan-bayangan menakutkan silih berganti
menghantui benaknya. Ibunya yang terpanggang
pagar bambu, ayahnya yang terpasung dan mati
tanpa kubur, Azis Partogi yang mati mengerikan.
Selain membayangkan kematian demi kematian itu,
Sumiyati juga membayangkan hal-hal lain, sekedar
untuk menekan keresahan jiwanya. la pikirkan
tentang orang-orang lain, terutama yang paling dekat
dengan Azis. la juga memikirkan Kapten Polisi
Rukmana yang telah mentraktirnya makan siang,
setelah mana Sumiyati kemudian minta diantarkan ke
terminal bis antar-kota karena ingin menjenguk
ayahnya. Makan siang yang menyenangkan. Tak sekalipun
Rukmana menyinggung-nyinggung apa yang
sebelumnya ia isyaratkan pada malam sebelumnya.
Sehingga ketika mereka berpisah di terminal Sumiyati
terdorong untuk bertanya:


Manusia Serigala Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebenarnya, Kapten. Untuk apa Anda mengajakku
makan siang?" Rukmana tertawa renyai. Lalu menjawab diplomatis:
"Makan berdua, lebih nyaman ketimbang sendirian
bukan, Sum?" Dan ketika mereka berjabat tangan perpisahan, tatap
mata Rukmana tampak begitu hangat. Apalagi cara
pendekatannya yang semakin menjurus: "Sepulang
dari Ciamis, Neng. Beritahu aku, apakah kau punya
waktu untuk sesekali kuajak makan malam!"
Bukan Rukmana seorang yang pernah mengajukan
tawaran seperti itu. Apabila dirinya adalah orang lain,
Sumiyati pastilah akan sangat bangga dan
berbahagia. Sadar akan dirinya sendiri, Sumiyati justru
merasa teramat menderita.
Air matanya meleleh lagi, tatkala ia bergumam sedih:
"Mengapa aku tak berhak menikmati kebahagiaan
itu" Apa dosaku"!"
*
SADAR akan perubahan sikap orang-orang sekitar,
Sumiyati memutuskan untuk secepat mungkin pulang
ke Bandung. Pagi harinya ia batasi diri menyambat
orang-orang tertentu saja: tetangga sebelah
menyebelah, Mang Harlas, dan Kepala Kampung pada
siapa ia mengucapkan terima kasih atas
kebijaksanaan yang ditempuh ketua kampung itu
mengenai persoalan ayahnya. Setelah menziarahi
makam Ibunya, ia kemudian pamit pada Mang Karta
dan istrinya, disertai pesan agar segera mengabari bila
ada perkembangan baru yang mereka ketahui
tentang hilangnya ayah Sumiyati. Ucapan-ucapan
bernada simpati sepanjang pagi itu ia telan begitu
saja meski hal itu tidak lagi ia butuhkan.
la tidak langsung pulang ke Bandung. Dengan sebuah
ojek yang dicegatkan oleh Mang Karta, Sumiyati
minta diantarkan ke Ciamis. Lewat di pangkalan ojek
tak terlihat tampang Arman. Mungkin sedang
mengantar penumpang, atau mungkin sengaja
menghindari pertemuan dengan Sumiyati.
Setiba di Ciamis ia turun didepan sebuah rumah kecil
dan sederhana. Sudah merupakan kewajiban mutlak dalam hati
Sumiyati, setiap kali pulang kampung ia harus
menyempatkan diri singgah di rumah itu dan
beranjangsono pada penghuninya.
Seorang perempuan berusia sekitar 50-an tergopoh-
gopoh menyongsong setelah mengetahui siapa tamu
yang turun dari ojek di depan rumah. Sumiyati
dirangkul hangat, dihadiahi ciuman yang sama
hangatnya di pipi kanan dan kiri. Sambil menyeret
Sumiyati masuk ke dalam, perempuan itu ribut
berc eloteh kian kemari. Lalu tiba-tiba menghilang.
Pergi ke sebelah rumah, dari mana seorang bocah
laki-laki tanggung kemudian ngebut dengan sepeda
motor ke pusat kota. "Aku baru saja menyuruh seseorang memanggilkan
Maman," ujar perempuan itu setelah ia masuk lagi ke
dalam rumah. "Aduh, Neng Mia. Kau tambah cantik
saja. Kau tentunya akan menginap barang satu dua
malam, bukan?" Bersemu merah kulit wajah Sumiyati. la memang
pernah melakukan hal itu sekali dua kali bila
berkunjung ke rumah ini. Karena hanya di rumah
inilah, ia memperoleh kebahagiaan, meski hanya
untuk direguk sebentar saja setelah ia dipaksa harus
kembali pada kesendiriannya yang menakutkan.
"Maaf, Bu. Saya bermaksud pulang hari ini juga ke
Bandung," jawab Sumiyat lembut.
"Wah, Neng Mia. Kok..."
"Banyak pekerjaan menunggu, Bu."
"Lupakan itu. Dan camkan, aku akan sangat marah
kalau kau pulang hari ini juga!"
Sumiyati tertawa mendengar ancaman perempuan
itu. Marah atau tidak, toh setiap kali Sumiyati muncul
lagi, tetap disambut hangat dan dengan tangan
terbuka lebar. Tak usah susah-susah memikirkan, apa
sebabnya. Begitu mereka duduk sambil menghadapi
penganan yang dihidangkan, perempuan tua itu
langsung mengeluh: "Kau tahu berapa umur Maman
sekarang, Nak?" "Tak pernah. kutanya, Bu," sahut Mia tenang.
"Seharusnya kau tanya dia. Dan kau katakan
padanya, bahwa semakin tua usia seseorang, akan
semkin hilanglah kesempatannya...!"
Sumiyati terdiam. Pertanyaan itu lebih pantas ditujukan pada diriku
sendiri, pikirnya, lantas berdesah disertai senyuman
getir: "lbu menyindirku, ya?"
as, Sumiyati menangis bahagia. Dalam
tangisnya ia mengerang, seraya mengimbangi
gerakan tubuh Sukiman yang membuat Sumiyati lupa
diri. Akhirnya dalam suatu sentakan yang luar biasa
menakjubkan, Sumiyati mengeluarkan keluhan lemah
dan panjang. Disusul perasaan lemah yang
mengantarkannya ke suatu keheningan yang nyaman
serta penuh kedamaian. Satu jam kemudian Sumiyati sudah berpakaian rapih
kembali. Ia tengah membuatkan minuman untuk
mereka berdua di dapur, ketika Sukiman yang
masih bertelanjang dada mendatangi dengan
selembar suratkabar pagi terbitan Bandung, yang ia
paparkan di meja dapur. "Kau sudah membaca berita ini, Mia?" tanya Sukiman
tanpa praduga apa apa. Sumiyati melirik sekilas.
Gambar-gambar yang menyertai berita utama
dihalaman depan suratkabar itu sudah me ngejutkan,
konon lagi judul beritanya berupa dua pertanyaan
dalam huruf-huruf besar dan menyolok mata: SlAPA
PEMBUNUHNYA" MANUSIA ATAU BINATANG JADI-
JADIAN" Sumiyati menyimak potret-potret yang jelas diambil di
kamar mayat rumah sakit, dan menyimak isi
beritanya. la tercekat, lantas berkata lirih: "Agaknya,
Kapten Rukmana bukan saja kecolongan aku
seorang." Sukiman menoleh. "Maksudmu, kau juga telah
mengetahuinya?" "Lebih cepat dari penulis berita itu. Aku hadir di
tempat kejadian, bahkan sempat jadi sasaran
kecurigaan Pak Rukmana." Sumiyati memikirkan apa
yang tanpa sadar telah ia ucapkan barusan. Kemudian
ia tertawa, lalu bertanya mengapa Sukiman
memperlihatkan berita menyeramkan itu padanya.
"Azis Partogi salah satu musuh besarmu, bukan?"
jawab Sukiman. "Selain itu, ada sesuatu yang lain
ingin kuperlihatkan padamu. Tunggulah sebentar..."
Sumiyati sudah siap dengan minuman mereka di
kamar tidur, ketika Sukiman muncul lagi dengan
beberapa foto hitam putih di tangannya. "Aku yang
memotretnya beberapa hari yang lalu. Dan sialnya,
aku dilarang_memuat foto-foto ini maupun gunjingan
yang terjadi di sekitarnya. Kata polisi, untuk
mencegah kegemparan yang tidak perlu!"
Foto-foto itu memperlihatkan jenazah seorang lelaki
setengah umur yang keadaan tubuhnya rusak
berantakan. Bahkan wajahnya hampir tak dikenali.
Beberapa daging tubuhnya lenyap, bahkan kepalanya
terpisah beberapa meter dari tempat tubuhnya
ditemukan. "Dokter yang memeriksa jenazah ini mengatakan,
korban mati akibat serangan makhluk buas.. la tak
yakin, kalau pembunuh itu seorang manusia biasa!"
Sukiman mendecap-decapkan mulut. "Kau lihat
bukan" Ada persamaan dengan kematian Azis
Partogi!" Jantung Sumiyati berdegup kencang. la berusaha
setenang mungkin ketika bertanya: "Kau tahu siapa
korban pembunuhan ini, Kang Maman?"
"Pak Durasin. Drs. Durasin, pejabat penting dibagian
Agraria Kabupaten Ciamis."
Dada Sumiyati semakin berdebar. "Pak Durasin?"
"Benar. Mengapa?"
"Ah. Hanya ingin tahu...," dan Sumiyati pura-pura sibuk
membenahi sprei tempat tidur yang awut-awutan.
Seraya berpikir cepat: Durasin adalah musuh besar
ayahnya. Durasin-lah yang telah melakukan
manipulasi reboisasi hutan lindung beberapa tahun
yang lalu. Manipulasi itu diketahui ayah Sumiyati.
Bujukan sejumlah besar uang tak berhasil
mempengaruhi kejujuran ayahnya yang memang
semenjak kecil sangat mencintai kelestarian alam
kelahiran nenek moyangnya. Tekanan dan ancaman
phisik akhirnya berhasil mengenyahkan ayah Sumiyati
dari jabatan pengawas hutan lindung, dan membuat
ayahnya frustrasi. Buka mulut, takut keluarganya
celaka. Tutup mulut, hati nuraninya tak mengizinkan.
Dan terjadilah peristiwa mengerikan itu. Ayah
Sumiyati berperilaku aneh, dan bencana berikutnya
membuat ayahnya malah berganti wujud...
Suatu sentuhan hangat menyapu pundak Sumiyati.
la tersentak. "Apa yang ada dalam pikiranmu, Mia?"
Pertanyaan yang terdengar sambil lalu itu diucapkan
Sukiman seraya meneguk minuman hangat yang
disediakan si gadis. Karena tak ada jawaban, Sukiman
lantas memutuskan: "Apa yang dapat kubantu, Mia?"
"Apa yang ada dalam pikiranmu, Kang Maman?"
Sumiyati mengelak dengan balik mengemukakan
pertanyaan Sukiman tadi. "Ayahmu." Sumiyati menelan ludah. Menunggu. "Setelah kudengar ayahmu menghilang, diam-diam
aku pun ikut melacak, Mia," kata Sukiman, hati-hati.
"Satu hari setelah Pak Durasin mati terbunuh ayahmu
terlihat naik ke sebuah truk yang menuju ke
Bandung...." "Apa?" Sumiyati ternganga.
"Surprise, bukan?" Sukiman, tersenyum. "Orang
sekampungmu telah berlaku bijaksana, Mia.
Barangkali juga, karena nama baik kampung mereka
tidak boleh tercemar. Jadi tak seorang pun yang
melaporkan kehilangan ayahmu ke polisi. Tetapi aku
punya pertimbangan lain, Mia. Aku ingin memastikan
apakah ayahmu benar-benar sudah mati atau masih
hidup. Bila kepastian sudah kuperoleh, baru aku akan
mengabarimu. Jadi, demikianlah yang terjadi.
Sumberku di Polres Ciamis memberitahu bahwa orang
yang kucari masih hidup. Sayangnya, saksi mata yang
melihat ayahmu naik ke truk itu di luar kota
Tasikmalaya, tidak keburu mengejar truk itu. la bekas
kawan sekerja ayahmu sendiri dan terlalu lama
berpikir mengapa ayahmu tampak begitu cepat tua
dan kurus luar biasa. Baru beberapa jam kemudian ia
teringat bahwa aku pernah mendatanginya dan
meminta bantuannya kalau-kalau menemukan
ayahmu atau mendengar kabar tentang ayahmu.
Karena waktu itu aku sedang ke Panjalu untuk
meliput suatu berita, ia lalu melapor ke polisi yang
juga telah kupesan agar ia temui bila ia tak dapat
menemui aku. Katanya, ayahmu berubah banyak.
Tetapi perubahan itu tidak mempengaruhi
keyakinannya bahwa orang yang ia lihat pastilah
ayahmu...." Sumiyati terhenyak di pinggir ranjang.
Ayahnya masih hidup. Dan Durasin kemudian mati secara mengerikan.
Sedang Azis Partogi.... "Mia?" Sumiyati merasakan sentuhan lembut di pipinya.
Sukiman mengangkat wajahnya, memaksa untuk
bertemu pandang dengan mata pemuda itu. Ada
kilatan aneh di mata Sukiman, walau hanya sekilas.
Dan kilatan samar itu membuat Sumiyati merasa
takut. "Maukah kau menceritakan yang sebenarnya padaku,
Mia?" Sumiyati berpikir cepat. Lalu: "Sebelum aku menjawabnya, Kang Maman.
Maukah kau menciumku?"
Meskipun sempat heran dengan permintaan itu,
Sukiman mencium juga bibir Sumiyati. Semula ia
menduga itu hanya ciuman seperlunya saja. Sekedar
mengurangi ketegangan di tubuh si gadis. Siapa
nyana, kalau ciuman balasan dari Sumiyati begitu
panas berapi-api. Menggebu-gebu dalam suatu
desakan yang penuh tuntutan.
Tanpa sadar, Sukiman terlarut dalam kejaran birahi
Sumiyati. Permainan cinta yang ke dua kalinya, luar biasa
mempesona. Sukiman tidak ingin pesona itu dirusak
oleh hal-hal yang tak perlu. Maka selesai mereka
bermain cinta, ia langsung rebah terkulai dibawah
selimut. Matanya terpejam, menikmati sisa-sisa
pesona itu. Letih bermain cinta dua kali dengan antara
yang begitu singkat, membuat Sukiman akhirnya
tertidur lelap.

Manusia Serigala Karya Abdullah Harahap di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika ia terbangun malam harinya, yang
membangunkannya bukan Sumiyati melainkan
ibunya. Belum juga ia terjaga sepenuhnya, Sukiman sudah
diserang dengan sebuah pertanyaan sengit: "Mengapa
kau biarkan Neng Mia pergi?"
"Apa?" Sukiman membuka matanya lebar-lebar.
"Astaga, anak bodoh. Jadi kau telah ditinggal pacarmu
diam-diam. Berpakaianlah, bujang tua. Susul dia ke
terminal!" Di malam selarut itu"
*
DUGAAN Sukiman mendekati kenyataan setiba
Sumiyati di Bandung. Turun dari becak di depan
rumahnya, ia lihat empat orang laki-laki tengah
bermain kartu di beranda. Derit pintu pagar dibuka
Sumiyati menghentikan permainan mereka. Orang
yang berseragam Hansip lantas berdiri dan
menyambut riang: "Oh. ltu dia, sudah pulang. Bawa oleh-oleh apa dari
kampung, Neng?" Sumiyati tertegun. "Dari siapa Pak Eman tahu aku
pulang kampung?" ia bertanya heran.
"Bu Ijah," jawab Hansip itu.
"Ooo. Mengapa kalian tak main di dalam saja. Di luar
dingin...." "Ah. Cuma iseng, Neng. Sambil menunggu waktu
mulai meronda. Dan, karena Neng Sumiyati sudah
pulang...." "Tak apa. Mainlah terus. Tetapi, aduh. Bagaimana ya.
Aku tak bawa oleh-oleh...," Sumiyati kebingungan.
Lantas merogoh ke dalam tasnya. Kemudian
menyodorkan dua lembar uang kertas ribuan pada
Hansip itu, yang menerimanya malu-malu. "Kalian
belilah rokok atau apa... Sungguh, tak mau masuk?"
"Terima kasih, Neng. Lagi pula kini saatnya kami harus
meronda. Selamat malam, Neng. Jangan segan
memanggil kami kalau terjadi apa-apa. Cukup dengan
berteriak!" Hansip itu tersenyum dan mengajak tiga
orang temannya meronda untuk segera berlalu,
sambil tak lupa mengucapkan terimakasih sekali lagi
dan berpesan agar memeriksa semua pintu dan
jendela apakah sudah terkunci dengan aman.
Masuk ke dalam rumah, Sumiyati menangkap
pandangan mata curiga di wajah perempuan
setengah baya yang membukakan pintu untuknya.
"Apa yang terjadi, Bu Ijah?"
Perempuan itu lebih dulu mengunci pintu. Mengintip
sebentar keluar lewat tirai jendela. Lantas, seolah
takut didengar orang lain, ia berbisik khawatir:
"Apakah ayahmu melarikan diri, Neng?"
Sumiyati terkesiap. "Kok ibu tahu," desahnya gemetar.
"Kemarin malam ada orang mau menyatroni rumah
kita. Aku punya firasat, Neng. Pasti dia itu ayahmu!"
"Ah...." "Terjadinya sekitar pukul sebelas...," Bu Ijah bercerita
sambil mengambilkan tas Sumiyati dan membawanya
ke ruangan dalam. la menunda ceritanya sejenak
untuk membuatkan minuman hangat buat Sumiyati.
Setelah kemudian mereka duduk lagi berhadap-
hadapan, perempuan itu melanjutkan ceritanya.
Kemarin malam, sebelum acara film seri di televisi ia
pergi ke kamar mandi. "Kencing," katanya. "Biar
nontonnya tidak terganggu." Keluar dari kamar mandi,
ia menangkap suara gesekan-gesekan pada daun
pintu yang menghadap ke gang di samping rumah.
Semula ia menyangka suara desau angin di pohon
mangga. Tetapi kemudian gesekan itu berubah jadi
suara menggaruk-garuk. Karena takut, ia tidak berani
bergerak. Lebih-lebih setelah mendengar pula suara
desah nafas berat, terputus-putus. Sesekali desah
nafas itu berdesing, seperti orang menderita penyakit
asma. Dalam ketakutannya, Bu ljah sempat berpikir
mungkin seseorang memerlukan pertolongan. Maka ia
bertanya hati-hati: "Siapa di luar?"
Desah nafas itu berhenti.
Sepi sebentar. Lalu daun pintu bukan lagi digaruk-garuk. Melainkan
seperti didorong dari luar.
Yakin yang di luar itu memaksa mau masuk, Bu ljah
seketika menjerit minta tolong. la menjerit sekeras-
kerasnya. Di akhir jeritannya, ia dengar suara
menggeram, meraung, lalu melolong tinggi dan
nyaring. Bu ljah semakin ketakutan. la masih panik
ketika tetangga sebelah menyebelah berdatangan
dan menggedor-gedor pintu dari luar. Lama baru ia
berani membuka pintu. Pada setiap orang yang
bertanya ia menjawab ada rampok mau menyatroni
rumah. Tetangga dibantu petugas ronda malam sibuk
mencari kian kemari. Tak ada jejak ataupun petunjuk
mereka peroleh. Tetapi setelah kegemparan itu
mereda, Bu ljah mendengar suara sayup-sayup
dikejauhan. Suara lolongan tinggi melengking yang
kian lama kian menghilang.
"Sampai subuh aku terus berpikir dan tiba-tiba teringat
bahwa suara yang sama pernah kudengar beberapa
kali sewaktu aku masih di kampung menarik nafas
panjang..." Bu Ijah menarik nafas panjang. "Setelah
terbit matahari, pintu samping kupe
riksa. Tampak guratan kacau dan samar-samar. Seperti daun pintu
itu habis digaruk-garuk kuku tajam dan runcing..."
Sumiyati terhenyak. Pucat. "Sukiman benar," bisiknya
kecut. "Apa dia bilang?"
"Kau benar, Bu. Ayah lepas dari pasungan. Dan
menurut petunjuk-petunjuk yang dikumpulkan Kang
Maman, ia menduga ayah kabur ke Bandung.
Tentunya untuk menemui aku...."
"Astaga, Neng! Lalu apa yang mesti kita perbuat?"
"Aku... Aku belum tahu. Akan kulihat situasinya nanti,"
jawab Sumiyati seraya bangkit dari duduknya. "Ada
tamu selama aku pergi?" tanyanya mengalihkan
Pendekar Tongkat Dari Liongsan 4 Kitab Ilmu Silat Kupu Kupu Hitam Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Samurai Pengembara 9 1
^