Pencarian

Komplotan Penculik 2

Komplotan Penculik Karya Enid Blyton Bagian 2


bat dan rendah. Hutan itu cukup sunyi, dan sedikit remang-remang oleh begitu lebatnya dedaunan.
"Mungkinkah kita akan melewati Pondok RingO Bells?" tanya Diana.
"Pastilah pondok itu ada di sekitar tepi jalan ini."
"Aku melihat asap keluar dari cerobong asap," kata Snubby.
"Kalau itu cerobong asapnya, maka pastilah sudah dekat. Pasti kita melewatinya." Tetapi ternyata tidak. Jalan yang mereka lalui bercabang. Sebuah jalan kecil membelok keantar pepohonan. Mungkin jalan itulah yang menuju ke Pondok Ring O' Bells. Diana melihat arlojinya.
"Kita takkan sempat melihat pondok itu hari ini," katanya menyesal.
"Kita telah berjanji untuk mengembalikan kuda ini setengah satu. Lagipula jalan yang tadi itu terlalu sempit bagi kita berkuda. Lebih baik lain kali saja, bila kita jalan-jalan kita meninjau tempat itu."
"Baikiah," kata Roger, tak jadi berbelok.
"Ayolah, kalau begitu. Tempat ini lapang, ayo berpacu." Mereka sangat menikmati perjalanan itu. Kuda kudanya demikian, juga Sinting dan Miring yang kemudian harus pulang dengan lidah terjulur ke luar. Betapa banyaknya mereka makan siang itu! Nona Hannah pura-pura sangat kecewa melihat betapa cepatnya hidangannya lenyap dari meja makan.
"Becky, lain kali janganlah mereka diizinkan berkuda kalau begini hasilnya," katanya pada Nona
Pepper. "Anda tinggal menambah kentangnya saja, kukira itu sudah cukup," kata Diana.
"Tahukah kau, bahwa jatah kalian masing masing empat butir kentang besar-besar saat ini?" tanya Nona Hannah.
"Toh tampaknya kalian belum juga kenyang. Wah, wah, aku yakin kini kalian betul-betul sudah sembuh." Mereka sangat lelah malam itu. Mereka hanya punya waktu istirahat sedikit sekali, dan saat jam delapan tiba, mereka sudah begitu sulit membuka
mata. Kedua anjing juga begitu lelah oleh perjalanan jauh mereka. Keduanya berbaring tak bergerak dekat perapian, kepala Sinting berbantalkan perut Miring. Agaknya keduanya telah bersahabat karib. Saat mereka siap-siap untuk tidur, Roger dan Snubby membicarakan Barney. Apakah surat mereka telah sampai" Apakah Barney sudah berangkat" Mungkinkah ia akan tiba besok" Alangkah senangnya bila itu terjadi!
"Di!" Snubby kemudian berseru pada Diana, di kamar sebelah.
"Kami sedang membicarakan Barney.Mungkin sekali besok ia akan datang, kalau ia telah menerima surat kita."
"Ya, itulah saat yang paling awal baginya untuk tiba di sini," kata Diana, dari tempat tidurnya.
"Besok kita akan pasang mata untuk Barney. Entah bagaimana pendapat Miring tentang Miranda. la pasti belum pernah melihat monyet. Kalau Sinting, ia pasti akan begitu gembira hingga bagaikan gila!"
Barney memang sedang dalam perjalanan. la telah menerima surat Diana pagi itu. Dibacanya dengan riang gembira. Tentu saja ia tak tahu di mana desa Ring O Bells itu. Saat itu ia sedang menempati sebuah kereta tidur milik kenalannya la tinggal merapikan kereta tersebut dan mengembalikan kuncinya pada pemiliknya. Dan ia sudah siap berangkat.
Bawaan Barney selalu ringan saja. Semua harta miliknya bisa dibungkus dalam selembar kain
lebar, dan dibawanya dengan tongkat atau disandangkan di bahunya. Miranda sendiri tinggal duduk di salah satu bahu Barney. Duduk dengan matanya yang cerdik cemerlang, muka keriput bagaikan tua renta, dan tingkah laku lucu yang
selalu menarik pe rhatian. "Miranda, kini kita mengadakan perjalanan jauh," kata Barney pada monyetnya, sambil berangkat.
"Kau sudah terlalu lama enak-enakan saja, menjadi pemimpin rombongan monyet itu dan jadi tinggi hati karenanya, menganggap dirimu seorang putri raja! Seekor! Seekor putri yang tak sudi melakukan pekerjaan kasar apa pun!"
Miranda mencereceh gembira padanya. Barney mendengarkan bersungguh-sungguh, kemudian menjawab seolah-olah ia betul-betul mengerti setiap patah kata yang diucapkan Miranda. Dan mereka tampak seakan-akan sedang bercakap cakap!
"Ya, bagus sekali kalau kau senang pada kedudukanmu itu," kata Barney.
"Tetapi kini kita akan pergi menemui beberapa sahabat. Coba terka, siapa yang akan kita temui!" Miranda melompat-lompat di bahunya, mencereceh lagi.
"Kau betul, Miranda. Kita akan menemui Diana, Roger, dan Snubby," kata Barney.
"Dan jangan lupa si Sinting!" Miranda semakin bersemangat meloncat-loncat. Nama Sinting dikenalnya, dan terlukis di pikiran monyetnya tentang seekor anjing spaniel
hitam. Dengan penuh semangat ia mencereceh serta menggigiti daun telinga Barney.
"Tahan, tahan," kata Barney.
"Hati-hati dengan kupingku ini, tepinya sudah hampir habis kau gigiti." Semua orang yang berpapasan atau mereka lewati selalu memperhatikan mereka - seorang anak bertubuh tinggi besar, dengan wajah kecoklatan dihiasi dua mata biru yang begitu cemerlang, dengan rambut tebal berwarna rambut jagung... gagah dan tampan. Barney mengeluarkan surat Diana, memperhatikan alamatnya. la berpikir lebih baik ia pergi kekota Lillinghame saja, dan bukannya langsung mencari desa Ring O' Bells. Rasanya takkan mungkin ada truk atau mobil angkutan lainnya yang punya tujuan ke desa itu. Tetapi Lillinghame sangat mungkin, kota itu cukup besar.
Ia berdiri di pinggir jalan, dengan Miranda di bahunya, mengacungkan ibu jarinya pada setiap truk yang lewat, tanda ingin ikut menumpang. Akhirnya salah satu dari sekian banyak truk itu berhenti di depannya.
"Apakah itu betul-betul monyet?" tanya sopirnya.
"Apakah dia tidak galak?"
"Oh, tentu," sahut Barney.
"Miranda, coba beri hormat pada tuan ini!"
Miranda memberi hormat dengan tepat, tangan kecilnya diangkat diletakkannya di dahi dan diturunkannya lagi. Sopir itu tertawa terbahak bahak.
"Aku sudah begitu sering memberi tumpangan pada orang, tetapi pada monyet belum pernah sama sekali," katanya.
"Ini bisa kuceritakan nanti pada anakku. Kau mau pergi ke mana, Bung?"
"Apakah Anda tahu kota Lillinghame?" tanya Barney. - -
"Belum pernah dengar," sisopir berkata kecewa.
"Di mana itu?" "Di daerah Somerset," kata Barney membaca kembali alamat di surat Diana. Sopir itu bersiul.
"Wah, itu sangat jauh, Bung. Kalaupun kau beruntung dapat tumpangan terus, paling-paling baru besok kau akan sampai di tempat itu. Aku akan berjalan ke arah tujuanmu itu sekitar tujuh puluh lima kilometer, kemudian aku akan berbelok. Kalau kau mau, naiklah, kemudian kau bisa cari tumpangan lainnya."
"Baiklah, terima kasih," kata Barney. Dan mulailah tahap pertama perjalanannya ke Ring O' Bells.
Bab 11 DARI TRUK KE TRUK BARNEy dan Miranda menikmati benar naik truk itu. Mereka menyenangi angin segar menerpa wajah dari depan, dan M
iranda begitu dimanja oleh sopirnya setiap kali mereka berhenti Sopir tersebut begitu bangga saat Miranda mau duduk di bahunya.
- "Ia memasukkan lengannya ke dalam bajuku!" katanya geli pada Barney.
"Mmm... apakah kau tidak mau menjual monyet ini?"
"Kurasa tidak," kata Barney langsung.
"Pertama, aku begitu sayang padanya. Dan kedua, dia mungkin akan mati merana bila berpisah denganku."
Mereka turun pada saat truk harus mengubah arah, sekitar tujuh puluh lima kilometer dari tempat pertama Barney naik. Sopir truk melambai-lambai terus sampai hilang dari pandangan. Barney dan Mirandakemudian masuk kesebuah restoran kecil di pinggir jalan, dan bertanya di mana ia kira-kira bisa mencari tumpangan truk.
"Tunggu saja di sini, Bung," kata pemilik restoran itu sambil menggosok cangkir-cangkirnya. Tempat ini sering disinggahi para pengemudi truk. Kau mau ke mana?"
"Ke Lillinghame, di Somerset," kata Bamey.
"Jauh sekali, kau harus ganti truk beberapa kali.... Tapi dari sini kau bisa naik truk ke jurusan Biddlington. Dan dari Biddlington kau akan cukup beruntung bila bisa memperoleh tumpangan ke jurusan Somerset. Jika sudah di daerah itu rasanya akan mudah cari tumpangan ke Lillinghame." Beberapa truk beruntun datang dan berhenti di tempatitu. Sopir-sopirnya turun untuk minum kopi dan makan. Pemilik restoran memperkenalkan Barney pada sopir-sopir tersebut, menanyakan siapa yang mau ditumpangi.
"Aku pergi ke jurusan itu," kata seorang sopir,
"tetapi aku takkan bisa tenang duduk berdampingan dengan seekor monyet."
"Aku bisa duduk di bak belakang, jadi jauh dari Anda," kata Bamey, penuh harap. Begitulah. Sopir tadi setuju. Dan Barney harus duduk di antara peti-peti yang diangkut oleh truk itu. Sungguh tidak menyenangkan. Lantai truk keras sekali, guncangan truk keras sekali, peti-peti itu pun keras sekali. Barney merasa seluruh tubuhnya babak belur. Ia cukup bersyukur ketika akhirnya truk memperlambat jalannya dan berhenti. Sopirnya berteriak pada Barney,
"Turun saja disini, Nak, aku akan belok!" Barney berteriak terima kasih dan melompat turun bersama Miranda. Sekejap kemudian ia sudah sendirian di jalan yang lebar tapi sepi itu.
Sesudah itu ia tak begitu beruntung. Tak banyak truk lewat jalan yang dilaluinya. Beberapa kendaraan pribadi lewat, tetapi tak sebuah pun berhenti. Tak ada orang yang mau berkendaraan dengan seekor monyet! ,
Barney berjalan terus. Kilometer demi kilometer ditempuhnya dengan tabah, setiap kali mengacungkan tangannya bila ada kendaraan lewat. Akhirnya ia sampai disebuah kota kecil.la berhenti untuk istirahat dan makan. Ia sangat lapar. Dan untuk Miranda dibelikannya pisang dan kismis. Miranda sangat suka kismis. la begitu asyik mengambili biji kismis itu sebelum memakan kismisnya. Sayangnya ia punya kebiasaan untuk-
membuang biji-biji kismis itu ke dalam baju Barney! Tentu saja Barney gusar.
"Hentikan!" bentaknya.
"Miranda, kau nakal sekali! Jorok sekali! Kalau masih kaulakukan lagi, kurampas semua kismismu." Miranda menghentikan kenakalannya. Kini dengan cermat ia meludahkan isinya ke jalanan. Barney tertawa, dan berdiri di sudut jalan untuk mencari tumpangan lagi. Setelah sekian lama tak berhasil, akhirnya sebuah truk raksasa untuk pengangkutan barang barang pindahan memperlambat jalannya saat mendekati dia. Barney penuh harap mengacungkan jarinya. D
ua orang yang duduk di depan mula-mula tak memperhatikannya. Tapi salah seorang tiba-tiba melihat Miranda, dan memberi isyarat pada temannya untuk berhenti.
"Hei, apakah yang kaubawa itu monyet, Kawan?" teriak sopir truk tersebut.
"Benar," sahut Barney, mendekat.
"Pergilah ke bagian belakang, dan katakan hal itu pada Alf," sopir itu berkata sambil menyeringai lebar.
"la begitu tergila-gila pada monyet. Dia pasti akan mengizinkanmu masuk ke tempat barang, kalau kau memperbolehkannya bermain-main dengan monyetmu." Ini suatu kemujuran luar biasa! Barney berlari ke bagian belakang truk yang besar dan panjang itu, yang tempat barangnya berbentuk kotak raksasa bertutup. Seorang bertubuh kecil dengan kumis mirip kumis walrus sedang menjenguk keluar dari
pintu di belakang tempat barang tersebut, heran mengapa truk itu berhenti. Ketika ia melihat Miranda di bahu Barney, ia langsung tersenyum lebar.
"Mereka telah menyuruhmu menemui aku, bukan?" ia bertanya, menganggukkan kepala ke arah tempat pengemudi.
"Mereka tahu aku sangat tergila-gila pada monyet. Masuklah, Nak, duduklah seenakmu. Kau ingin pergi ke mana?" Barney menyebutkan kota yang akan ditujunya. Orang bertubuh kecil itu mengeluarkan sebuah peta dan memperhatikannya. Dengan jarinya yang sangat kotor ia menunjuk sebuah kota, dan memperlihatkannya pada Barney. Diulurkannya lengannya pada Miranda, dan dengan heran Barney melihat tanpa ragu-ragu Miranda melompat ke lengan itu.
"Tak usah heran," orang itu berkata.
"Semua monyet kenal padaku. Bila aku pergi ke kebun binatang di London, begitu aku muncul seluruh monyet berusaha mendekatiku, mengulurkan tangan minta makanan. Aku begitu suka monyet. Jauh lebih asyik daripada memiliki anjing atau kucing. Seekor monyet bisa..." Demikianlah. Tak berkeputusan lagi ia bercerita tentang monyet. Dan setelah beberapa lama Miranda pun ikut mencereceh terus. Barney tercengang.manusia dan monyet itu begitu mirip! Orang itu berwajah kecil, penuh kerut, dan bahkan kumisnya mirip bulu-bulu monyet. Kali ini perjalanan cukup nyaman bagi Barney.Truk tersebut penuh dengan perabotan. la dan orang kecil itu berbaring seenaknya masing
masing disebuah sofa empuk dengan pegas yang membuat setiap guncangan truk sama sekali tak terasa. Barney tak lama sudah merasa amat mengantuk! - la tadi telah melihat peta yang ditunjukkan orang tersebut. Tetapi ia tak begitu mengerti. la hanya tahu bahwa ia harus turun di kota besar ketiga yang akan dilaluinya nanti. Di sana ia harus mencari tumpangan lagi ke Lillinghame. Orang berwajah mirip monyet itu hampir menangis saat akhirnya mereka harus berpisah. Miranda juga tampak berat berpisah dengannya. Tetapi begitu melihat Barney sudah melompat turun, dengan penuh semangat ia langsung melompat ke bahu Barney, kemudian melambai lambaikan tangannya pada truk yang menjauh itu.
"Kau sunggu menghiburnya, dan memberi kita suatu perjalanan yang nyaman," kata Barney. Kini ia menunggu lagi di pinggir jalan. Hari hampir gelap kini. Barney jadi ragu-ragu, apakah ia bisa sampai ke Ring O Bells hari itu juga. Malam telah tiba saat sebuah mobil barang kecil, dengan bagian belakang tertutup, melewati tempat Barney berdiri di dekat tiang lampu jalanan. Barney melihat di sisi mobil barang tersebut tertulis, PIGGOT, AHLI LISTRIK.
Barney maju sedikit dan mengacungkan jarinya. Tetapi mobil tersebut langsung tancap gas, melesat hampir menyerempet dirinya. Cepa
t Barney melompat mundur. la sudah terbiasa dengan perlakuan seperti ini. Orang memang kadang-kadang curiga bila dihentikan di malam hari. Namun tak berapa jauh darinya dilihatnya - mobil tersebut berhenti. Mengapa" Apakah ternyata si sopir mau ditumpanginya"
Barney berlari mendekat. Ternyata ban depan mobil itu kempis!Sopirnya telah keluar.Memeriksa ban tadi dengan kesal.
"Sial, Bung," kata Barney.
"Perlu bantuan" Agaknya terkena paku."
"Sudah agak lama ban itu rewel," katasi sopir. la bertubuh pendek dan agak gemuk. Tapi hanya itu yang bisa dilihat Barney dalam kegelapan itu.
"Kau bisa ganti ban" Aku tak ingin tanganku kotor kau
upah nanti" "Aku bisa mengganti ban," kata Barney.
"Dan bila kau mau membawaku ke Lillinghame, kukira itu imbalan yang cukup. Aku hanya ingin menumpang."
Orang itu ragu-ragu sejenak. Ia menyalakan sebatang korekapi untuk melihat wajah Barney seolah-olah ingin tahu apakah anak itu jahat atau tidak. Ketika ternyata Barney hanyalah seorang anak, ia tampaklega.
"Baiklah," katanya.
"Kauganti ban itu dan kubawa kau ke Lillinghame. Aku memang lewat tempat itu."
Barney senang sekali. la mulai bekerja, sementara Miranda duduk di atap mobil itu, memperhatikan. Beberapa saat kemudian ia lenyap. Pemilik mobil melihat kesana kemari.
"Mana monyetmu tadi?"tanyanya.
"Akutak mau ia masuk ke tempat barang itu."
"Miranda!" seru Barney. Dari dalam tempat barang terdengar suara ribut, dan muka Miranda muncul di jendela kecil di belakang tempat duduk sopir.
"la masuk!" seru sopir.
"Suruh dia keluar, cepat!"
"la tak akan merusak apapun, Pak," kata Barney. Miranda lenyap lagi. Ia memang paling suka menyelidiki apa saja yang ada di sebuah tempat yang asing-baginya.
Tiba-tiba terdengar ia menjerit melengking tinggi ketakutan. Barney cepat menyambar senter yang dipinjamkan pemilik mobil dan mencoba melihat ke dalam tempat barang dari jendela bagian barang itu di sebelah depan. la sekilas melihat sesuatu benda putih bergerak di lantai tempat barang, dan Miranda meringkuk di sudut belakang, sangat ketakutan.
Barney ingin melihat apakah benda putih itu muncul lagi. Tetapi yang dilihatnya hanyalah tumpukan peti dan karung, dan kemudian tangan kasar pengemudi itu menariknya turun.
"Jangan melihat ke dalam!" teriak orang tersebut.
"Jangan berani menyentuh barang barangku!"
"Baiklah! Baiklah!" kata Barney, heran mengapa
orang itu begitu gusar. "Miranda, apa yang membuatmu takut?" Miranda telah berada kembali di bahu Barney masih gemetar ketakutan. Agaknya apa yang dilihatnya betul-betul mengerikan baginya.
"Apakah kuteruskan mengganti ban ini, Pak?" tanya Barney.
"Maaf, monyetku memang selalu ingin tahu." Orang itu ragu-ragu sejenak. Kemudian berkata dengan kasar,
"Baiklah. Tetapi cepatlah. Aku tak mau semalaman berada di sini."
Bab 12 AKHIR PERJALANAN BARNEY selesai mengganti ban kempis itu, sementara Miranda masih gemetar ketakutan mendekap bahunya. Apa gerangan benda putih yang bergerak-gerak di dalam tempat barang itu tadi" Sesuatu yang sangat membuat takut Miranda, jelas. Tetapi apa" Apakah benda hidup"
"Terima kasih," pengemudi mobil itu berkata setelah
Barney selesai. "Ini upahmu, kubayar dengan uang saja."
"Oh, tidak!" kata Barney, dengan cepat masuk ke tempat duduk di samping tempat duduk pengemudi.
"Janji adalah janji. Kau berjanji memberiku tumpangan hingga ke Lillinghame. Jangan coba mendorongku ke luar, sebab monyetku bisa marah dan menyerangmu." Orang itu memaki-maki perlahan, berdiri sejenak, kemudian naik ketempat duduknya. Mobil pun bergerak, memasuki kegelapan malam dengan sinar lampu begitu terang. Baik Barney maupun pengemudi itu tak berbicara sepatah pun. Miranda begitu pula. la tak suka pada orang yang duduk di samping Barney .
"Ini Lillinghame," kata orang itu akhirnya, menghentikan mobilnya. la tak berbicara lagi memperhatikan Barney turun. Dalam cahaya remang-remang Barney mencoba memperhati kan mukanya.
"Terima kasih," kata Bamey. Tetapi boleh aku tahu apa yang ada di dalam tempat barang itu sehingga monyetku begitu ketakutan?"
"Pah!" kata orang tadi gusar. Dan mobilnya pun pergi, bergerak begitu mendadak sehingga Barney hampir terjatuh. Barney tertawa sendiri, membela Miranda.
"Apa yang ada di dalam sana tadipenuh rahasia rupanya," katanya.
"Kalau saja kau bisa berbicara dengan bahasa yang cukup baik, Miranda mungkin bisa kau ceritakan apa itu. la sangat jahat kan?" Barney berjalan meninggalkan tempat itu, sampai tiba di sebuah tiang penunjuk jalan. la begitu lega saat membaca papan yang diterang sinar bulan itu-kata yang diinginkannya,RINGO BELLS.
"Bagus," kata Barney.
"Aku cukup beruntung Bisa sampai disini dalam waktu sehari. Sayangnya hari telah begitu malam. Terlalu malam untuk mencari Roger dan yang lain. Pokoknya kita bisa masuk Ring O Bells malam ini, Miranda. Ayolah kita cari tempat untuk tidur." Ketika ia mulai berjalan di jalan yang menuju desa Ring O' Bells, bulan mulai tertutup awan hitam tebal yang datang dari arah barat. sebentar juga hujan turun. Barney menegakkan leher jaketnya. la berpikir-pikir, terus saja ataukah berteduh di bawah pepohonan. Tetapi ia memutuskan untuk terus saja. Mungkin hujan tak akan lama. Ia berjalan terus. Miranda menyelusup masuk ke dalam jaketnya. Miranda takut pada hujan. Barney sampai kepenunjuk jalan lagi, disebuah pertigaan. Di situ tertulis: RING O' BELLS, 3 km. Jarak ini tidaklah terlalu jauh bagi Barney. Hujan pun mulai menipis. la berjalan terus sambil bersiul-siul perlahan. Besok ia akan bertemu dengan teman-temannya. Entah sudah berapa bulan ia tak melihat mereka. Sungguh senang bisa bertemu lagi dengan mereka.
la berjalan terus. Melewati pondok-pondok kecil serta satu atau dua tanah pertanian. Akhirnya ia memasuki batas desa Ring O' Bells. Barney berhenti sejenak. Desa itu tampak begitu sunyi dan gelap. Ke mana ia akan pergi"
Hujan mulai deras lagi. Rasanya takkan menyenangkan untuk bermalam di bawah semak semak. Mungkin ia bisa mencari tumpukan jerami, untuk berlindung di dalamnya. Maka ia pun maju terus, dengan kepala tertunduk menghindari terpaan air hujan yang cukup keras.
la sampai ke sebuah gedung besar: bayangan hitamnya membuat kegelapan malam semakin pekat. Entah gedung apa itu. Kalau itu sebuah gereja, mungkin ia bisa tidur di berandanya.
Hati-hati ia memasuki halaman gedung itu. Dan ia tertegun. Ia mendengar suara orang berbicara - perlahan-lahan. Di mana mereka" Barney menyelinap masuk ke dalam semak-semak. Ia menunggu. Kemudian didengarnya pintu menutup perlahan. Seseorang berj
alan di jalan batu di halaman itu, memakai sepatu bertapak lunak Seseorang membuka pintu pagar-dan alangkah herannya Barney mendengar mesin sebuah mobil dihidupkan! Tadi sewaktu masuk ia tak melihat ada mobil diparkir di luar. Pastilah kalau begitu mobil tersebut disembunyikan di dalam bayangan semak-semak. la cepat berlari kepintu pagar. Seseorang berdiri di luar pagar, sedang menyalakan rokok, tak sadar bahwa dirinya diintip. Saat korek api menyala, Barney langsung mengenalinya.
"Orang yang tadi kunaiki mobilnya," pikir Bamey,
"yang ban mobilnya tadi kuganti! Pendek, sedikit gemuk, dengan alis tebal hitam dan dagu meruncing ke depan. Tak salah lagi, begitulah mukanya tadi kulihat sekilas di cahaya lampu jalan Sedang apa dia?" Mobilnya juga mobil yang tadi. Dan segera lenyap di kejauhan. Mestinya kucatat nomornya pikir Barney. Tetapi sudah terlalu jauh. Tak terlihat lagi. la kembali ke gedung besar tadi. Entah gedung apa ini. Rasanya tak mungkin sebuah gereja Mungkinkah rumah pribadi"
Hujan reda. Bulan muncul lagi, dan Barney cepat-cepat bersembunyi di dalam kegelapan. Saat itulah terbaca olehnya papan nama yang terpampang dekat pintu. Dibacanya dengan cermat. Wah. Ternyata sebuah museum. Tetapi museum apa" Tidak disebutkan. Pokoknya ini bangunan umum. Mungkin ia bisa berteduh di dalam. Badannya basah kuyup, dan ia ingin bisa melepaskan jaketnya. Tapi mungkin di dalam ada orang. Ia tadi mendengar suara bercakap-cakap, dan yang keluar hanyalah seorang, langsung pergi dengan mobilnya. Ia harus berhati-hati. Bila ketahuan ia bisa ditangkap, dikira pencuri. Baru saja sampai di situ ia berpikir, didengarnya suara orang melangkah dari dalam, kepintu. Cepat ia menyelinap ke samping gedung. Pintu terbuka dan ditutup lagi dengan sangat pelan. Seseorang berjalan ke luar halaman, dengan terus berada di dalam lindungan bayang-bayang. Orang itu terbatuk kecil Barney tertegun. Itu suara batuk seorang wanita! Untuk apa seorang wanita berada di kegelapan malam seperti ini, seorang diri" Dan wanita itu pun hilang di jalan menuju desa. Sunyi kini. Barney pergi ke pintu depan. Mencoba membukanya. Terkunci, tentu. Dikelilinginya gedung tersebut. Tetapi didapatinya semua jendela tertutup rapat dan terkunci. Cahaya rembulan yang masuk lewat kaca jendela membuatnya dapat melihat ke dalam.
"Wah, lengkap dengan berbagai perabotan," pikir Barney.
"Museum macam apa ini" Kalau saja aku bisa masuk, alangkah senangnya. Aku bisa tidur dengan nyaman di kursi panjang yang empuk itu."
Di salah satu dinding, tumbuh-tumbuhan menjalar memenuhi seluruh bidangnya, sampai cukup tinggi, mencapai lantai atas. Di sana ada sebuah jendela yang kemungkinan besar belum dikunci!
Barney mencoba kekuatan sulur-suluran itu. Cukup kuat, cukup besar-besar batangnya. Bagaikan seekor kucing ia langsung naik merambat ke atas, selalu mencoba dulu dahan yang akan digantunginya. Di sampingnya Miranda cekatan dan gesit ikut memanjat
Ternyata jendela itu memang tak terkunci, sebab kuncinya patah. Barney bisa mendorongnya ke dalam dan ia bisa menyelipkan tubuhnya masuk.
Barney segera saja berada di dalam gedung itu, dengan Miranda berada di bahunya.
Beberapa saat bulan tersembunyi dibalik awan. Dan keadaan jadi gelap. Barney menunggu. Ketika bulan bersinar kembali, didapatinya dirinya berada di sebuah kamar tidur. Semua perabotnya kuno, termasuk sebuah tempat tidur besar dengan empat tiang untuk kelambu di sekelilingnya. Kelam
bunya terbuka di tengah, diikat oleh pita berhias berwarna keemasan.
Barney membuka pintunya perlahan. Kini ia berada di semacam gang berpagar yang menge
lilingi bagian atas sebuah ruangan. Semuanya senyap. Tak suatu suara pun terdengar. Barney menemukan tangga ke bawah, tangga lebar yang melengkung menurun keruang besar di bawah itu. Ruang tadi luas, agaknya dikelilingi beberapa kamar yang lebih kecil. Tetapi pastilah tak ada isinya. Begitu sunyi. Agaknya cukup aman untuk tidur di tempat tidur besar di atas itu tadi. Suatu jeritan membuatnya terloncat, dan Miranda menggeletar ketakutan. Tetapi temyata itu tadi hanyalah suara burung hantu yang sedang berburu tikus tanah di luar. Barney memutuskan untuk pergi ke atas lagi. la basah kuyup dan amat lelah. Rasanya semua itu akan lenyap bila nanti ia sudah tidur ditempat tidur besar itu. la akan.membuka sepatu serta baju dan celananya yang basah. Mungkin ada sesuatu disini yang bisa dijadikannya selimut. Ia naik lagi, ke gang yang berpagar di atas itu. Dan ditemukannya kembali kamar tidur tempat pertama kali ia masuk. Ia melihat berkeliling, mencari sesuatu untuk selimut. Di sudut terdapat sebuah meja kuno, tertutup oleh taplak. Entah apa dan bagaimana warna kainnya. Tetapi terasa tebal dan hangat waktu dirabanya. Diambilnya taplak tersebut, dan dibukanya pakaiannya. Benar-benar nyaman berselimut taplak meja itu! Miranda juga menyusupkan diri pada lipatan kain tersebut, gembira bahwa akhirnya mereka akan tidur. Ia juga amat lelah.
Barney melepaskan sepatunya. Sialan. Kaus kakinya telah banyak lubangnya-padahal ia akan mengunjungi sahabatnya!Yah, mungkin lebih baik ia tidak memakai kaus kaki saja, hingga lubang itu tak terlihat. Ia naik ketempat tidur. Tempat itu terlalu tinggi, keras, dan tak menyenangkan. Tetapi bagi orang yang telah begitu lelah, tempat tidur itu betul-betul suatu kenyamanan luar biasa! Dengan berselimutkan taplak meja, Barney segera juga tertidur. Tak begitu jauh dari tempat itu, di rumah Nona Hannah, Diana tak bisa tidur memikirkan apakah Barney akan segera tiba dengan selamat. Sama sekali ia tak menduga bahwa sahabatnya itu sungguh sangat dekat, tidur ditempat tidur antik di Museum Ring O Bells. Ya, gedung itu adalah Museum Ring O'Bells. Di situlah akhir perjalanan Barney malam itu. Bangunlah lebih pagi dari biasanya, Barney. Kalau ketahuan bisa sangat celaka kau
Bab 13 ' DI PUINCAK MENARA LONCENG
UNTung bagi Barney. la bangun pagi-pagi sekali keesokan harinya. Sinar matahari bersinar langsung menembus jendela, sinarnya mengenai mukanya. Ini membuatnya bangun. la langsung bangkit, duduk, mengerdip-ngerdipkan rnatanya. Beberapa saat ia tak tahu berada di mana. Tetapi ia segera teringat Ya. la di gedung besar yang dijadikan museum itu. la harus segera bangun! la cepat membangunkan Miranda, yang tertidur nyenyak di permadani, mukanya tertutup oleh cakarnya. la pun terbangun, mencereceh perlahan. Miranda langsung melompat memanjat dada Barney, kemudian duduk meringkuk di bahunya, menarik daun telinganya, menempelkan pipinya ke pipi Barney. Barney pun membelainya sayang.
"Kaulah sahabat terbaikku di dunia ini," katanya, menggelitik monyetnya.
"Bukankah begitu, Miranda" Coba, tahukah kau hari ini kita akan menemui siapa?" Miranda mencereceh dengan penuh semangat, dan Barney mengangguk.
"Betul sekali. Kita akan menemui sahabat-sahabat kita. Kita harus berangkat sekarang juga. T
api tak baik bila turun dengan merambat sulur-suluran itu. Bisa dilihat orang. Mari kita lihat, apakah ada pintu belakang yang bisa kita buka. Kita bisa menyelinap keluar tanpa ada yang tahu." Barney mengembalikan taplak meja yang tadi dipakainya sebagai selimut. Kini taplak meja tersebut terlihat begitu kusut, tetapi apa boleh buat! Dipakainya kembali sepatunya, kausnya yang berlubang dimasukkannya ke saku. Jaketnya sudah kering, maka itu pun dipakainya. Di situ terdapat cermin, dan ia pun bercermin.
"Lihatlah bayangan itu, Miranda. Mungkin kau tak percaya, tetapi itulah aku," katanya pada monyet yang tampak mendengarkan baik-baik.
"Kurasa aku perlu membasuh muka. Kalau di sini ada kamar mandi lumayanlah....Tapi kukira takkan ada." Dari sakunya ia mengambil sisir, menyisir rambut kemudian meratakan kembali seprai tempat tidur. Selesai merapikan tempat tidur ia keluar, ke gang berpagar di depan kamar itu, yang tergantung di atas ruang besar di bawah sana. la berjalan hati-hati. Tetapi tak ada orang di situ. Miranda berlompatan dari meja kekursi, dari kursi ke lemari. Begitu gembira dia. Setiap mereka masuk ke tempat yang asing, Miranda selalu begitu. Barney sendiri tak begitu tertarik pada gedung tua itu. Tak banyak artinya baginya, sebab ia tak mengerti tentang sejarah. Baginya beberapa perabot tampak begitu tak nyaman untuk diduduki. Baju-baju besi di sekeliling ruangan sedikit menarik perhatian, dan sebuah diperiksanya.
"Terlalu kecil bukan, Miranda?" katanya.
"Untukku saja mungkin terlalu sempit. Mungkin sekali orang-orang zaman dahulu kecil-kecil tubuhnya. Dan alangkah tak menyenangkannya berjalan dengan baju seperti itu!" la sampai ke pintu belakang, besar, dan tampak sangat tebal, walaupun masih kalah dengan pintu depan. la mencari Miranda.
"Ayolah, kita keluar dari sini!" katanya. Tetapi tak terdengar jawaban Miranda. Barney membalik, memeriksa sekelilingnya. la berada di sebuah ruangan besar yang agaknya adalah sebuah dapur dengan berbagai peralatan yang mungkin berumur ratusan tahun. Di mana Miranda" Ternyata Miranda sedang mengadakan penyelidikan sendiri. la tak mengerti bahwa Barney sedang mencari pintu keluar. Dikiranya menyelidik. Karenanya ia pun menyelidik. Dan lenyap.
"Miranda!" panggil Barney lembut.
"Sialan! Di mana kau?" la mendengar suatu suara, dan segera mendekati arah darimana suara itu datang. la tiba didasar sebuah menara besar berbentuk persegi - walaupun mula-mula ia tak tahu bahwa ruang itu adalah ruang menara. Yang terlihat olehnya hanyalah tangga melingkar ke atas. Ke mana" Mungkin ke tempat tidur lagi, pikir Barney. la
mendengar-dengarkan. Jangan-jangan monyet nakal itu pergi ke atas! Dan betul juga. Terdengar suatu suara dari atas. Tetapi terdengar pula suatu suara lain. Seseorang sedang membuka pintu depan!
"Celaka!" pikir Barney.
"Ada orang masuk: Bisa tertangkap aku!" Ia melihat ke sekelilingnya. Takada tempat yang patut untuk bersembunyi, dan lagi ia harus menangkap Miranda lebih dulu. Kalau tidak, rahasianya pasti ketahuan. Cepat ia naik lewat tangga berputar-putar itu. Tak bersuara, makin lama makin tinggi, sampai ia tiba di panggung kecil di puncak menara. la menengadah. Terlihat olehnya lonceng-lonceng tergantung sunyi di atasnya.
Dan juga di atas sana tampak monyet nakal itu! Agaknya Miranda mengajaknya main sembunyi sembunyian-ini memang ajaran Barney-tetapi saatnya untuk memainkannya sungguh tidak tepat!
"Miranda!" bisik Barney.
"Cepat turun!" Miranda langsung lenyap. Barney tak bisa melihat apa pun, kecuali lonceng-lonceng jauh tinggi di atasnya itu, berkilauan dan diam. la meraba-raba dinding, dan akhirnya menemukan apa yang diduganya pasti ada di sana.
Di dinding sebelah selatan terdapat lubang lubang pada jarak-jarak tertentu, serta cukup dalam dan cukup besar untuk berpijak atau berpegangan. Dicobanya memasukkan tangannya. Enak sekali ia memegang tempat itu.
Dalam hati ia mengeluh. Kini ia akan terpaksa memanjat ke atas, dalam remang-remang ini, untuk mendapatkan Miranda. Sekali ia memutuskan untuk bermain sembunyi-sembunyian, maka Miranda takkan mau selesai begitu saja, kecuali kalau ia sudah ditemukan dan tak bisa lolos lagi. Barney berdiri pada ujung-ujung jari kakinya, tangannya menjangkau lubang yang tertinggi. Kemudian dimasukkannya kakinya ke lubangyang terendah. Dirasanya ia cukup mantap berpijak, cukup mantap bergantung pada tangannya. Dan ia melangkah selangkah lebih tinggi.
Kakinya naik setingkat. Tangannya naik setingkat. Memang bukan cara yang mudah untuk memanjat dinding batu. Tetapi Barney sudah terbiasa dengan berbagai permainan akrobat, hingga hal ini bukanlah sesuatu yang terlalu sulit baginya.
Mungkin Miranda telah menemukan takikan di dinding itu dan memanjat naik dengan sangat mudah. Barney harus mengerahkan tenaganya. Naik setingkat demi setingkat. Bergantian berpijak atau menarik dirinya keatas. Akhirnya ia sampai ke lonceng-lonceng itu. Tapi di mana Miranda"
Monyet kecil itu tak terlihat. Juga tak terdengar Dalam cahaya remang-remang itu Barney melihat berkeliling. Lonceng-lonceng itu tampak begitu besar dan berkilau kini. Begitu dekat dengan kepalanya, tergantung dengan tali. la mengulurkan kepala untuk bisa melihat ke balik lonceng lonceng tersebut.
Terlihat olehnya sepasang mata bersinar memandang padanya. Miranda!"Penjahat cilik!"desis Barney kesal."Bagaimana kau bisa naik kesana?"
la meraba-raba di atasnya lagi, untuk mencari pegangan. Dan tersentuh olehnya seutas tambang besar. Hati-hati dirabanya, ditariknya. Agaknya terikat erat pada sesuatu di atas sana. Apakah ini alat untuk memanjat ke atas lonceng itu"
Barney mencoba menarik tambang tadi. Cukup kuat. Dan ia pun merambat ke atas, masuk ke sebuah lubang kecil yang tadinya dikiranya langit-langit ruang tempat lonceng tadi - dan sampailah ia ke sebuah tempat yang begitu aneh! Sebuah ruang persegi, kecil, di atas lonceng lonceng itu. Kalau tak ada celah-celah kecil di atas, mungkin tempat itu akan gelap. Celah tersebut mirip jendela, memungkinkan cahaya matahari masuk. Kini ia mengerti mengapa lonceng konceng tadi berseri begitu aneh dari bawah. Ternyata itu karena cahaya matahari menerangi bagian belakangnya, walaupun hanya secercah, lolos dari celah-celah tadi.
"Itulah sebabnya lonceng-lonceng ini bersinar begitu aneh," pikir Barney, melihat berkeliling ruang berdinding tembok batu itu. Di situ terdapat sebuah bangku rendah, serta setumpukan kain kain usang. Juga sebuah tempat lilin dari kayu, dengan bekas lilin pada dasarnya.
"Mungkin ini suatu tempat persembunyian di zaman dahulu," pikir Barney, menyapu tumpukan kain usang tadi dengan kakinya.Mungkin kain-kain itu tadinya selimut. Miranda langsung berlari ke tumpukan kain tua itu, menutupi dirinya, dan mengintip ke luar, ke Barney.
"Kali ini kau tidak lucu, Miranda," kata B
arney dengan nada gusar. "Aku terpaksa susah payah naik untuk mendapatkanmu. Dan kini aku harus turun lagi. Tapi kali ini kau harus berada di bahuku. Mengerti?" Barney mengintip ke luar lewat celah-celah seperti jendela itu. Di bawah sana terhampar seluruh daerah itu, bagaikan tersenyum cerah dalam cemerlangnya matahari bulan Mei. Tak setitik pun awan di langit yang biru. la jadi begitu ingin segera keluar ke sana. la juga tiba-tiba merasa lapar.
"Ayolah, Miranda," katanya.
"Kita cari Snubby dan yang lain. Kemudian kita sarapan." Miranda tahu arti kata-kata sarapan dan makan. la langsung melompat ke bahu Barney, berpegangan pada leher bajunya. Barney masuk ke lubang tadi, kemudian memegang erat-erat talinya dan meluncur ke bawah sampai kakinya menemukan takikan di dinding. Mudah sekali turun. Tak lama ia sudah jauh di bawah lonceng-lonceng cemerlang itu, di panggung kecil di ujung tangga melingkar. la mendengar-dengarkan. Didengarnya sayup sayup seseorang mengebaskan alas kaki. Mungkin pengurus gedung ini sedang membersihkan ruang bawah. Mungkin ia bisa menyelinap keluar tanpa ketahuan. Tanpa bersuara ia menuruni tangga batu tadi. Di kaki tangga ia berhenti sejenak, mengintip dari balik tembok. Tak seorangpun terlihat. Ia bergegas ke pintu depan. Di salah satu kamar sekilas ia melihat seorang wanita sedang mengibaskan debu dari beberapa perabotan, membelakangi dirinya. Melihat kesempatan baik ini, Barney berlari keluar. Tak lama ia telah berada dalam kehangatan sinar matahari yang begitu nyaman. Dan kini ia bisa membaca dengan jelas nama gedung itu.
"Jadi di sinilah aku tidur semalam,"pikirnya."Gedung Ring
O Bells, di desa Ring O Bells! Nyaman juga tempatnya." Ia sedang memikirkan bagaimana caranya untuk mencari teman-temannya saat jawabannya muncul. Di ujung jalan tampak Roger, Diana, Snubby, dan dua ekor anjing!
"Ahoi!" teriak Barney gembira.
"Aku sudah datang!"
Bab 14 PERTEMUAN YANG RIANG GEMBIRA
JERITAN, teriakan, tawa terbahak-bahak, salak memekakkan telinga, cereceh bising, saling menepuk punggung - betapa ributnya keempat sahabat ditambah ketiga binatang mereka itu!
"Barney! Kami memang sudah yakin kau akan datang hari ini!"
"Miranda! Kau masih manis seperti dulu juga! Oh! Lihat! Dia melompat ke punggungku!"
"Senang jumpa kalian lagi! Diana, kau tambah tinggi. Snubby tetap saja. Halo, Roger, senang sekali kita bisa bertemu lagi!"
"Guk! Guk! Guk!"
"Barney, kau juga tambah tinggi... dan kulitmu masih secoklat dulu!Oh, dengarkan suara Miranda itu. Aku tahu benar apa yang dikatakannya!"
"Kapan kau datang" Naik apa?"
"Kaubermalam dimana"Oh, lihat, kedua anjing itu jadi gila rupanya!"
"Guk! Guki Guk! Guk!" Tampaknya memang kedua anjing tersebutjadi sinting. Sinting tentu saja langsung mengenali Barney dan Miranda. Miring belum kenal mereka. Tetapi ketika melihat Sinting menyambut keduanya dengan sangatluar biasa, maka Miring tak mau kalah. la melompat, menyalak, menjilat, menggoyangkan ekor, berguling-guling hingga tak bisa dibedakan mana yang Sinting mana yang Miring keduanya bergerak begitu cepat! Sinting akhirnya kesal juga. Mereka ini kan sahabat-sahabatnya, bukan sahabat Miring, untuk apa Miring berbuat seperti itu" Sinting kesal menyerang Miring, menyalak keras seolah berkata,
"Minggir! Ini ucapan selamat datangku!
Bukan milikmu!" Miranda berlompatan dari bahu yang satu ke bahu yang lain, begitu gembira sehingga seolah tak mengerti apa yang sedang dilakukannya. Tiba-tiba ia melopat ke punggung Sinting, dan menungganginya seperti biasa ia lakukan. Miring begitu tercengang hingga langsung mundur ketakutan. Miranda melompat dari punggung Sinting ke punggung Miring. Spaniel berbulu emas itu lari secepat kilat, dengan si monyet kecil melompat lompat di punggungnya. Miring ketakutan setengah mati.
"Guk! Guk! Bergulinglah, guk!" salak Sinting, berlari menyusul Miring. Miring mengerti dan langsung bergulingan, sebab itulah satu-satunya jalan untuk mengusir Miranda. Dan sebelum kedua anjing itu bisa balas menyerang, Miranda telah melesat ke bahu Barney, mencereceh tak keruan. Akhirnya keributan itu pun mereda. Bergandengan tangan keempat anak itu berjalan ke rumah Nona Hannah, sesaat lupa bahwa Nona Hannah tak suka pada monyet. Barney berkata bahwa ia belum sarapan, karenanya merasa sangat lapar.
"Bisakah kita membeli makanan di sini?" tanyanya,
"Dan aku ingin beli kaus kaki. Kaus kakiku sudah berlubang, tak pantas lagi kupakai."
"Wah, kau sekarang pesolek, ya?" goda Diana.
"Dulu hal seperti itu tak pernah kauperhatikan."
"Memang tidak," kata Barney. Ia tak mau berterus terang bahwa ia begitu bangga dengan teman-temannya itu hingga ia tak ingin mereka mendapat malu karena berteman dengan seseorang yang berkaus kaki berlubang.
"Lebih baik kita tanya saja pada Nona Hannah, mungkin ia masih punya makanan untukmu," kata Roger.
"Lihat kedua anjing itu! Betul-betul gila!" Miranda duduk di atas sebuah pagar tembok, memegang sebatang ranting panjang. Setiap kali salah seekor anjing itu mencoba melompat padanya, ia menusuk hidung mereka dengan-
ranting itu. Saat itu Miring sudah mengambil kesimpulan bahwa Miranda adalah sejenis kucing yang aneh, dan ia memutuskan untuk mempermainkannya. Nona Pepper sedang berada di halaman depan,
memetiki bunga, saat ia melihat kedatangan Barney. Ia juga begitu gembira. Tetap saja dengan mata biru cemerlang dan wajah yang begitu gelap," pikirnya.
"Betapa tampannya dia!"
"Nona Pepper," kata Roger setelah saling sapa selesai,
"Barney belum sarapan. Bisakah kita memberinya sesuatu?"
"Tentu saja," kata Nona Pepper, dan mengajak semuanya masuk. Miranda juga. Dan saat itu muncullah Nona Hannah dari dapur, keluar karena mendengar suara anak-anak tadi. Begitu melihat Miranda, Nona Hannah tertegun, menjerit sekeraskerasnya, dan lari masuk kembali ke dapur, menutup pintunya. Barney tercengang. Tapi yang lain segera tahu penyebabnya.
"Oh, tentu saja... dia benci pada monyet!" kata Roger.
"Sialan! Bagaimana kita bisa lupa! Nona Hannah, tak apa-apa.... Kami akan membawa Barney ke luar, dan monyetnya juga." Kembali Barney digiring ke luar, ke kebun. la disuruh duduk di kursi kebun sementara yang lain kembali masuk untuk menenangkan Nona Hannah dan mengambil makanan seadanya bagi Barney. Sinting dan Miring tinggal di kebun menemani Barney. Entah sudah berapa ratus kali Sinting
menjilati Barney, agaknya tak puas-puas juga dia. Kemudian Miring mulai pamer pada Miranda. la lari masuk kedalam rumah, mengambil alas kaki di ruang depan dan menyeretnya ke luar dengan kecepatan tinggi - setiap kali ia jatuh tergulingguling bila kaki depannya yang pendek nyangkut di alas kaki tersebut la
berhasil membawanya ke depan Miranda yang langsung melompat turun dan menduduki alas kaki itu. Sinting jadi cemburu. Ia juga masuk ke rumah, dan keluar membawa handuk mandi, besar sekali. Dijatuhkannya di depan Miranda. Miranda mengambilnya, memakainya sebagai sarung. Sungguh nakal monyet kecil itu!
"Guk!" kata Sinting pada Miring, berlari kembali ke dalam rumah. la kembali membawa sikat rambut. Miranda menyambutnya, langsung menyikati bulunya sendiri. Barney tertawa gelak-gelak. Dan Miringpun langsung berangkat lagi, mengambil alas kaki lagi. Ketika Roger dan yang lain muncul dengan membawa makanan, maka tempat di sekitar Barney tampak sangat aneh-penuh dengan alas kaki, handuk, sikat, dan sebuah sapu yang dengan susah payah berhasil diseret ke luar oleh Miring.
"Ya ampun!" kata Nona Pepper.
"Lihat apa yang dilakukan anjing-anjing itu. Apakah mereka mencoba memikat hati Miranda?" Diana mengumpulkan semua benda tersebut dan sambil terus tertawa membawanya kembali masuk ke rumah.Sambil makan, Barney bertukar berita dengan sahabat-sahabatnya itu. Pengalaman kerjanya sungguh membuat ketiga kawannya tercengang, walaupun mereka tahu bahwa sahabat mereka yang satu ini memang selalu luar biasa kerjanya.
"Seperti kukatakan dulu, aku memimpin rombongan monyet-monyet, tentu saja dengan bantuan Miranda," kata Barney, sambil mengunyah.
"Wah, betapa sombongnya Miranda memimpin monyet-rnonyet itu! Sebelum itu aku diserahi tugas mengurus seekor gajah. Sangat besar sekali!"
"Siapa namanya?" tanya Diana.
"Tuan Kecil," kata Barney tertawa.
"Ia begitu besar, tetapi begitu lembut dan cekatan. Hampir tak bisa dipercaya, ia bisa berjalan diantara barisan cangkir yang disusun rapat, tanpa sekali pun menyentuhnya!"
"Apa lagi yang kaulakukan?" tanya Snubby.
"Aku pernah bekerja pada orang yang memiliki dua komidi putar," kata Barney.
"Wah, kotor sekali aku waktu itu. Aku harus meminyaki mesin mesinnya, dan menjaga jangan sampai macet. Aku tak lama bekerja padanya. Orangnya keras sekali dan suka marah. Setelah itu aku mendapatkan pekerjaan yang cukup menyenangkan."
"Pekerjaan apa itu?" tanya Roger.
"Bekerja pada sebuah gedung pertunjukan," kata Barney.
"Kecil sekali. Biasanya disewa oleh grup-grup drama yang berkeliling. Tugasku mengatur lampu serta layar."
"Aku tahu mengapa kau mengambil pekerjaan yang sederhana itu," kata Diana.
"Kau berharap bisa mendapat kabar tentang ayahmu!" Barney mengangguk. Ia selalu mencari berita tentang ayahmaya yang takpernah diketahuinya. la yakin suatu waktu ayahhya itu akan ditemukannya. Tetapi ia taktahu bagaimana caranya.Saat ini ia tak begitu menderita perasaannya karena tak punya ayah dan ibu, sebab sahabat-sahabatnya ada di dekatnya. Mereka selalu bersedia membagi kebahagiaan berkeluarga dengannya. Bagi Barney keluarga dan teman sangat penting, sebab sering kali ia terpaksa sendirian - hanya ditemani Miranda. Roger dan yang lain juga bercerita tentang pengalaman mereka - bagaimana mereka terkena flu dan harus dikirim ketempatitu, tentang Gedung Ring O Bells, lorong rahasia serta dongeng tentang loncengnya yang berbunyi sendiri bila musuh datang.
"Wah, pastilah itu lonceng-lonceng di tempat yang dijadikan persembunyian oleh Miranda tadi!" kata Barney, dan ia bercerita tentang bilik kecil di atas lonceng-lonceng itu. Kemudian ia teringat akan orang yang memberinya tumpan
gan ke Lillinghame serta ditemuinya kembali berbicara dengan seseorang di Gedung Ring O Bells.
"Sedang berbuat apa dia?"tanyanya, menggigit potongan terakhir kejunya dan merasa sangat kenyang. Diminumnya susunya, dan diusapnya mulutnya dengan sapu tangan. Sebelum bertemu
dengan ketiga orang sahabatnya itu ia selalu mengusap mulut dengan punggung tangannya.
"Sungguh mencurigakan memang. Apa yang dilakukannya pada jam selarut itu di desa tua sekecil ini?" Rogerjuga bertanya.
"Juga gedung itu toh selalu ditutup pada malam hari. Tak seorang pun tinggal di sana."
"Tapi pasti tadi malam ada seseorang di sana," kata Barney.
"Dan seperti yang kukatakan tadi, ia berbicara dengan orang yang memberiku tumpangan di mobilnya. Aku hanya berkata numpang sampai Lillinghame, sebab tak terpikir olehku akan ada orang yang pergi ke Ring O' Bells malam-malam begitu. Ternyata orang itu pergi ke Ring O' Bells juga, sementara aku harus berjalan kaki."
"Aneh sekali," kata Diana.
"Dan katamu, kau mendengar suara seorang perempuan batuk.... Mungkin itu pengurus gedung tersebut, yang merangkap menjadi pemandu wisata ditempatitu. Dia agak pemarah. Ditunjukkannya tempat lorong rahasia, tetapi kami tak diperkenankannya masuk."
"Mungkin ada sesuatu di dalam lorong itu yang tak mau diperlihatkannya kepada orang lain," kata Barney iseng. Toh dia pengurus tempat itu dan bisa melarang siapa saja masuk ke sana. Tak ada yang mencegahnya menyembunyikan sesuatu di sana."
"Betul juga katamu, Barney," Setelah berpikir beberapa saat Diana berkata.
"Kurasa cocok dengan pribadi orang tersebut, bila kita pikirpikir...."
"Ah, itu hanya kira-kiraku saja," kata Barney, memberi Miranda sepotong jeruk.


Komplotan Penculik Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin juga tak beralasan. Mengapa tiba-tiba kauanggap hal itu benar?"
"Sebab kami sudah memutuskan untuk memeriksa lorong rahasia itu," kata Roger.
"Hanya untuk memastikan bahwa tak ada sesuatu yang ganjil terjadi di dalamnya.
Bab 15 HARI GEMBIRA Nona Pepper muncul dan menyela pembicaraan mereka.
"Barney, sudah cukup makanmu?" tanyanya.
"Nah, coba dengar. Saudara sepupuku, Nona Hannah, sangat takut pada monyet. Aku yakin ia akan pingsan bila didekati Miranda.Sayang sekali, tetapi begitulah. Karenanya, melihat betapa cerahnya cuaca, bagaimana kalau kalian pergi berjalan-jalan sehari ini" Kalian boleh membawa bekal makanan secukupnya."
"Horaiiii!" seru Roger dan Snubby serempak. Wajah Diana juga berseri-seri. Barney dengan sopan berdiri dan tersenyum.
"Sungguh menggembirakan usul Anda itu, Nona Pepper," katanya.
"Dan aku mengerti tentang Nona Hannah. Aku tak akan datang mendekatinya lagi."
"Terima kasih atas pengertianmu, Barney," kata Nona Pepper.
"Hannah juga sangat menyesal tentang itu. Tapi, tak apalah. Kini ia sedang mempersiapkan makanan yang akan kalian bawa. Untuk makan siang dan minum teh nanti. Cukup lezat-lezat serta dalam jumlah yang berlimpah, sebagai ganti rasa takutnya pada Miranda."
"Bagus sekali," kata Diana. Tapi ke mana kita pergi" Aku tahu. Mari kita pergi ke hutan Ring O Bells. Kita bisa berjalan mengikuti jalan yang kemarin kita lewati dengan kuda. Pasti sangat menyenangkan."
"Guk!" Sinting langsung setuju. Ia mendengar kata jalan', dan itu adalah
salah satu kata-kata manusia yang dikenalnya. Beberapa kata lain: tulang, makan malam, makan. Suatu kalimat atau percakapan di antara beberapa orang yang mengandung kata-kata: biskuit, coklat, tikus, dan kelinci juga sangat menarik baginya.
"Mari kita mengunjungisi Tua Kerudung Merah di Pondok Ring O Bells itu," kata Snubby. Barney tercengang.
"Siapa?" tanyanya.
"Belum pernah kudengar ada seorang Kerudung Merah tua. Yang kulihat di tiap sandiwara anak-anak selalu Kerudung Merah itu gadis cilik."
"Tunggu saja nanti, lihat sendiri." Snubby tersenyum.
"Dan lihat, betapa hijau matanya. Kami yakin ia pasti cucu seorang ahli sihir!"
"Jangan ngawur, Snubby," kata Roger.
"Di, lebih baik kaubantu Nona Hannah menyiapkan makanan kita. Pasti banyak yang harus dipotong dan dibungkus." Diana pergi ke dapur. Nona Hannah sangat senang mendapat bantuan. Disuruhnya Diana mengatur potongan daging lidah di roti-rotinya. Rasanya begitu banyak memang yang dipotong!
"Cukupkah kira-kira ini?" tanya Nona Hannah.-
"Kata sepupuku kalian makan dua kali lebih banyak bila berada di tempat terbuka. Aku jadi khawatir juga. Aku tak ingin kalian kelaparan."
"Kurasa sudah cukup," kata Diana melihat betapa penuhnya meja di depannya. Roti lapis, roti dengan susis di dalamnya, telur rebus, roti tawar, mentega, tomat, selada, irisan tart, biskuit, coklat. wah, sungguh hebat makan mereka nanti! Tiba-tiba Diana memeluk Nona Hannah.
"Anda begitu baik," katanya,
"sebaik Nona Pepper. Terima kasih banyak." Merah wajah Nona Hannah karena senang mendapat pujian itu. Ditambahnya mentega pada roti yang sedang diolesinya. Anak-anak itu begitu ribut dan nakal, tetapi toh sikap mereka manis manis. Mereka pun siap membantu apa saja yang mereka bisa. Tak bisa tidak kita akan selalu menyukai mereka, pikir Nona Hannah. Bahkan si Monyet Snubby itu. Ini membuat Nona Hannah teringat pada Miranda, dan tubuhnya menggeletar ketakutan. -
"Jaga jangan sampai monyet itu mendekatiku," katanya pada Diana.
"Berpikir tentang dia saja membuat kakiku terasa lemas." Diana memperhatikan kaki Nona Hannah. Rasanya kok tak ada perubahan, bahkan tidak gemetar seperti kaki Snubby dulu. Ia pun menangkupkan roti yang terakhir. Begitu banyak bekal mereka, makanan dan minuman, sehingga Nona Hannah terpaksa menyiapkan tiga buah tas untuk membawanya. Snubby langsung mengatakan bahwa tugas membawa tas itu mestinya tidak harus pada anak-anak lelaki saja, Diana juga harus.
"Aku pasti akan melakukan tanggunganku, Snubby," kata Diana.
"Tetapi setidak-tidaknya kau harus memberi kesan lebih dahulu pada Nona Hannah bahwa kau cukup punya sopan santun untuk menghormati kaum lemah... walaupun aku tak bisa yakin apakah ada orang yang mau percaya kau tahu sopan santun...." Diana tak bisa melanjutkan kata-katanya sebab Snubby telah mengangkat bantalan kursi untuk melemparnya. Tapi tentu saja di hari gembira seperti itu takada alasan untuk bertengkar. Dengan adanya Barney dan Miranda, serta banyaknya makanan yang akan mereka hadapi nanti, rasanya mereka takkan punya alasan untuk mengeluh.
"Kuharap Anda takkan kesepian kami tinggalkan, Nona Pepper!" seru Snubby ketika mereka akan berangkat
"Oh, rasanya kami akan senang sekali menikmati kesepian itu," balas Nona Hannah.
"Jangan khawatir tentang kami. Kami takkan kebingungan kalian tinggalkan." Miran
da berada di bahu Barney seperti biasa. Sinting dan Miring berloncatan ke sana kemari mengganggu langkah siapa saja. Mereka tahu bahwa kali ini jalan-jalan akan cukup jauh, melihat tas makanan di punggung anak-anak lelaki itu. Sungguh suatu hari yang menggembirakan. Keempat anak itu dan binatang-binatang mereka
memasuki hutan Ring O Bells. Mereka akhirnya sampai ke persimpangan jalan menuju Pondok Ring O' Bells. Beberapa saat mereka berunding, apakah pergi ketempat itu sekarang ataukah nanti saja pulangnya.
"Nanti saja," akhirnya Roger memutuskan.
"Mungkin nanti Kerudung Merah Tua akan memberi kita susu atau suatu minuman. Pasti saat itu kita sudah sangat haus."
"Baiklah, mari kita terus," kata Diana.
"Sinting, itu bukan liang kelinci. Itu bekas pohon tumbang!" Mereka berjalan di antara rindangnya pepohonan. Udara cukup sejuk walaupun hari itu sesungguhnya hari bulan Mei yang panas. Rumpun-rumpun bunga liar bermekaran di mana-mana, udara segar semerbak.
"Lihat bunga angin itu... ratusan jumlahnya!" seru Diana. Barney berdiri di dekatnya dengan perasaan kagum. la tak tahu banyak tentang nama bunga. Lain dengan Diana yang seolah-olah tahu semua nama bunga. Diana senang sekali mengajarkan nama bunga-bunga itu pada Barney, yang mendengarkan penuh perhatian. Mereka makan di puncak bukit tertinggi di lembah itu. Mereka bisa melihat sampai jauh sekali.... Bahkan Selat Bristol tampak gemerlap di kejauhan, bagaikan perak di tengah hari, tapi membiru setelah matahari condong kebarat nanti.
"Inilah makan siang terhebat yang pernah kualami," kata Barney makan telur rebusnya.
"Ada garam?" "Ada." Diana mengulurkan kertas bungkus garam.
"Awas, jangan sampai tumpah."
Keempatanak itu makan begitu banyak, hingga tinggal sedikit makanan untuk waktu minum ten nanti.
"Mestinya kita berhenti makan daritadi," kata Diana, memperhatikan yang tersisa.
"Mungkin tak cukup nanti untukminum teh. Bisa kelaparan kita."
"Mungkin Kerudung Merah Tua akan memberi kita makanan," kata Snubby penuh harap.
"Mengapa?" tanya Diana.
"Aku yakin ia akan ketakutan melihat kita berempat. Semua orang mengatakan kita terlalu rakus."
"Snubby berkata begitu hanya karena ia ingin
menghabiskan ini semua," kata Roger, meninju
perut Snubby. "Jangan!" Snubby meringis.
"Perutku penuh sekali, bisa meledak kaupukul nanti"
Beginilah yang disukai Barney. Saling ejek, saling bergurau dalam suasana yang begitu akrab. Kebanyakan kawan-kawannya ditempat ia bekerja selalu bersikap kasar dan kurangajar. Orang-orang dewasanya juga tak ada yang punya waktu untuk bergurau. Barney mendengar setiap kata, menikmatinya. Betapa senang bila punya keluarga sendiri seperti ini. Bersahabat dengan mereka saja sudah sungguh amat menggembirakan.
Anjing-anjing mereka juga kebagian makanan. Sedang Miranda dengan rapi mengupas sebuah pisang, dan melempar kulitnya ke rumput.
"Miranda, yang sopan!" tegur Barney.
"Ambil cepat. Jangan membuang sampah sembarangan!" Miranda mengambil kulit pisang itu, dan melompat ke bahu Roger. Tiba-tiba dimasukkannya kulit pisang itu ke dalam baju Roger, langsung melompat pergi saat Roger menjerit kaget. Roger mengambil kulit pisang tadi, memasukkannya ke dalam salah satu tas mereka
yang kini dijadikan tempat barang-barang bekas makanan mereka untuk dibawa pulang dan kemudian dibakar.
Mereka bermalas-malasan saja di situ. Tahutahu sudah pukul tiga sore, dan mereka telah merah hitam oleh panas matahari - kecuali Barney yang memang kulitnya begitu gelap, hingga rasanya takkan mungkin lebih gelap lagi.
"Sudah waktunya pulang," kata Roger dengan malas.
"Di mana anjing-anjing itu" Untung sekali tak ada liang kelinci yang lebih besar dari badan mereka. Kalau tidak pasti kedua anjing itu telah tersesat di dalam lorong-lorong liang kelinci yang begitu simpang siur itu."
"Mereka tak pernah sadar bahwa mereka takkan bisa masuk," kata Diana.
"Kalau aku seekor kelinci, kutunggu saja di dalam lubang yang tak bisa dicapai Sinting, kemudian akan kuejek dia hingga dia mengkal setengah mati."
"Mungkin memang itulah yang selalu dilakukan oleh kelinci-kelinci padanya," kata Snubby.
"Aku sering berpikir mengapa Sinting begitu bernapsu mencoba masuk ke dalam liang sarang kelinci ("Mungkin memang ia begitu dendam selalu diejek oleh kelinci dari dalam liangnya." Anjing-anjing itu akhirnya muncul kembali. Moncong mereka penuh tanah, lidah mereka terjulur panjang-panjang. Mereka langsung menjatuhkan diri kelelahan.
"Ayo, bangunlah!" kata Roger, berdiri.
"Kita akan pulang. Dan nanti kita akan mampir ke pondok si Kerudung Merah. Jadi hati-hatilah, Sinting, mungkin kau akan bertemu serigala."
Mereka berjalan seenaknya menuruni bukit yang lerengnya cukup landai itu, dan kembali memasuki hutan. Bunga-bunga lonceng biru kini tampak lebih biru, sementara bunga angin tak lagi menari-nari sebab angin tak bertiup. Hawa begitu panas.
"Wah, aku haus sekali," keluh Roger.
"Ingin minum rasanya...."
"Inilah jalan yang menuju ke Pondok Ring O' Bells itu," kata Diana akhirnya. Mereka pun mengikuti jalan kecil itu hingga tampak sebuah rumah kecil di ujungnya.
"Persis seperti rumah dalam dongeng," kata Diana ketika mereka semakin dekat Benar juga Rumah kecil itu seakan hampir roboh seperti rumah dibuku dongeng. Cerobong asapnya begitu tinggi, jendela-jendela kecil dengan kaca berbingkai berbentuk belah ketupat. Bunga lonceng biru tumbuh sampai pagar pendek yang mengelilingi rumah itu.-
"Ada sumur tua di kebunnya," kata Diana, menunjuk ke arah yang dikatakannya.
"Indah sekali bukan tempat ini" Mudah-mudahan si Tua Kerudung Merah itu ada di rumah."
Bab 16 PONDOK RING O' BELLS MEREKA membuka pintu pagar yang dicat putih. Dari pintu pagar itu kepintu depan rumah terdapat sebuah jalan kecil terbuat dari lempengan batu-batu. Pintu depan dicat biru, begitu juga daun jendelanya. Diana mengetuk pintu.
"Masuklah," terdengar suara dari dalam. Diana membuka pintu. Mereka berada di sebuah kamar kecil, berbentuk bujur sangkar. Di seberang pintu depan terdapat sebuah perapian besar. Lantainya tidak rata, terbuat dari batu. Si Kerudung Merah Tua sedang mengaduk sesuatu di panci yang tergantung di atas api. Ia tidak memakai kerudung merahnya. Kerudung dan mantelnya tergantung pada paku di dinding. Tanpa kerudung itu ia tidak lagi mirip tokoh dongeng. Lagi pula ternyata matanya tidak sehijau yang digambarkan anak-anak. Namun kesan keseluruhan masih membayangkan bahwa ia tokoh sebuah dongeng.
"Wah, ini tamu-tamunya Nona Hannah, ya?" Naomi Barlow itu
menyapa. "Duduklah, dan tunggu, kuambilkan biskuit buatanku sendiri.Maaf, tak ada lagi susu, padahal kalian tentunya sudah
sangat haus di hari yang begini panas ini. Apakah kalian mau minum air sedingin es dari sumurku?" Ini cukup menggiurkan."Ya," kata Roger segera.
"Bolehkah aku mengambilnya sendiri" Bukankah ada ember dengan penarik timba yang diputar?"
"Ya," kata Naomi. Dan tiba-tiba terpandang olehnya Miranda di bahu Barney.
"Wah, lucu sekali monyet ini!" serunya mendekat.
"Aku pernah punya monyet, yang ditinggalkan sebuah sirkus karena dikira akan mati. Ketika kurawat ternyata ia bisa hidup dan menemaniku selama bertahun tahun." Dibelai-belainya Miranda. Ini membuat Sinting dan Miring begitu iri. Agaknya nenek itu memang pandai bergaul dengan anak-anak, anjing, dan monyet. Mereka semua menyukainya. Roger pergi dengan Barney ke kebun belakang, membawa sebuah guci putih besar yang diberikan Naomi.
"Besar sekali sumur ini, padahal tempat ini begitu kecil," kata Roger.
"Pastilah sumur ini sangat dalam." Memang. Sumur itu begitu dalam sehingga airnya tak tampak. Roger mengambil sebutir batu, menjatuhkannya ke dalam sumur. Lama baru terdengar suaranya menimpa air. la menjenguk ke dalam sumur tersebut.
"Sumur bagus," katanya,
"Tepinya penuh dengan pakis dan lumut sampai kebawah. Pastilah airnya sangat dingin." Roger dan Barney mengulurkan timba sehingga
menyentuh air. Kemudian berdua mereka memutar roda penggulung rantainya. Ribut sekali suaranya. Mereka menuangkan airnya ke dalam guci.
"Rasakanlah," kata Barney.
"Dingin sekali seperti es!"
Senang sekali minum air jernih dan dingin itu sambil memakan biskuit buatan Naomi. Rasanya terlalu banyak kayu manis, tetapi sangat gurih. Beberapa lagi dibungkus Naomi untuk dibawa pulang anak-anak.
Anak-anak minta melihat-lihat dalam pondok tersebut.
"Tak banyak yang bisa kalian lihat," kata NaomiTua itu.
"Hanya tiga buah kamar, kecil-kecil. Ruang ini ruang tamu merangkap dapur. Dan ini kamar tidurku."
Kamar tidur itu lebih kecil dari dapur, lantainya juga dari batu. Pastilah dingin sekali bila musim dingin tiba, pikir anak-anak.
"Dan ini kamar untuk menyimpan barang-barang," kata Naomi membuka sebuah pintu lagi. Kamar tersebut kecil, hampir penuh dengan sebuah lemari. Di situ terdapat banyak sekali botol rempah-rempah, acar, selai, madu, dan entah apa lagi. Lantainya juga batu, dan walaupun hari itu panas, anak-anak bisa merasakan betapa dinginnya udara di tempat tersebut.
"Tempat ini sesungguhnya kamar tidurku, dulu sewaktu aku masih kecil," kata Naomi."Akutidur di situ sampai kemudian ayahku meninggal, dan kemudian ibuku menyusulnya. Aku mengubahnya menjadi gudang. Pondok ini sudah ditempati oleh keluarga Barlows selama ratusan tahun - mungkin empat ratus tahun. Setelah aku tiada, mungkin tak ada lagi yang tinggal di sini ranti." Pondok tua kecil itu betapapun terasa nyamannya sekarang, pastilah sangat menyiksa bila musim dingin tiba. Tetapi seperti kata Diana kemudian,
"Ada sesuatu yang indah di dalam sana, begitu penuh dengan kenangan masa-masa lalu...."
"Dan Mak Barlow jelas pernah tinggal di situ," kata Snubby dalam perjalanan pulang.
"Aku ingin sekali berkenalan dengannya. Entah kenapa waktu itu Kakek Tua selalu berkata agar kita bertanya pada Mak Ba
rlow tentang lorong rahasia tersebut. Apakah kira-kira Mak Barlow tahu banyak tentang itu?"
"Mungkir juga Mak Barlow pernah menggunakan lorong rahasiatersebut dan menangkap Kakek Tua di dalamnya!" kata Barney.
"Oh, ya bagaimana dengan pemondokan Barney malam ini" Tadinya aku berpikir mungkin ia bisa tinggal dengan kita, tetapi rasanya tak mungkin. Mari kita tanyakan ke desa, kalau-kalau ada yang mau memberinya tempat untuk tidur." Tetapi ternyata sulit sekali - banyak yang mau menerima Barney, namun mereka tak mau menerima Miranda. Tak ada gunanya Barney dan ketiga sahabatnya menyatakan betapa baiknya Miranda. Tak ada yang percaya.
"la mungkin menyebarkan kutu," kata seorang.
"Ia mungkin menggigit bayiku," kata yang lain.
"Aku tak suka monyet," kata orang ketiga. Begitulah terus. Selalu jawabannya tidak, tidak dan tidak. Anak-anak itu jadi putus asa. Barney sendiri tentu saja sesungguhnya tak menghiraukan di mana ia akan tidur. la biasa tidur di mana saja, kalau perlu di tempat terbuka.
"Tak usah kalian repot-repot tentang aku," katanya berulang kali. Tetapi anak-anak yang lain bersikeras terus berusaha. Diana menunjukkan betapa gelapnya awan-awan mendung yang mulai bergulung-gulung ditepi langit. Nanti malam pasti hujan lebatakan turun, sepertimalam sebelumnya.
"Kau harus tidur di bawah suatu atap," kata Diana.
"Baiklah," kata Barney.
"Lalu apa salahnya tidur lagi di Gedung Ring O' Bells" Tak seorang pun tidur disana dan aku takkan merugikan siapapun."
"Betul juga," kata Roger.
"Jam berapa ini" Aku yakin tempat itu masih buka. Kalau masih, kita bayar ongkos masuk kemudian mencari tempat yang lebih baik bagimu daripada tempat tidur besar yang kautiduri semalam. Kita bisa meninggalkanmu di sana." Wanita pengurus museum memandang mereka dengan cemberut, saat mereka masuk setelah mengikat erat-erat Sinting dan Miring di pagar.
"Sudah hampir tutup," katanya.
"Masih ada waktu lima menit," kata Roger tegas, menaruh uang ongkos masuk dimeja.
"Kami akan mengantarkan teman kami ini melihat-lihat berkeliling." Si pengurus memandang tajam pada Miranda.
"Monyet tak boleh masuk." Tetapi anak-anak itu sudah terlanjur masuk ke ruang dalam.
"Tunjukkan padaku kamar yang punya lorong rahasia itu," kata Barney tiba-tiba,
"aku ingin melihatnya."
"Baiklah," kata Roger. Tetapi kita takkan bisa melihat lorong rahasia itu sebab untuk itu kita akan harus membayar lagi. Dan aku tak ingin bertemu lagi dengan si pengurus yang ketus itu. Nah ... mana ya kamarnya?" Mereka memasuki dua atau tiga kamar, baru ketemu kamar yang berdinding petak-petak kayu itu. Roger menunjukkan lukisan yang bisa didorong ke samping sehingga memperlihatkan sebuah celah kecil untuk menggerakkan pengumpil yang menggerakkan petak besar di dinding.
"Seperti sajak mainan saja." Barney tertawa
"'Singkirkan gambar untuk membuka celah untuk menggerakkan pengumpil untuk membuka petak di dinding..."."
"Memang agak berbelit-belit," kata Roger.
"Bagaimana kalau suatu hari kita selidiki sendiri lorong rahasia itu" Tapi aku tak tahu bagaimana caranya, tanpa membuat si pengurus itu mengetahuinya."
"Datang saja malam-malam," kata Barney. Diana menggeletar ketakutan.
"Bagaimana kalau lonceng itu tiba-tiba berbunyi?" tanyanya.
"Tak mungkin," sa
hut Snubby. "Kita kan bukan musuh. Dan kukira usul Barney tadi sungguh asyik. Menyelidiki lorong rahasia di tengah malam. hebat, kan?"
"Baiklah aku tidur di sini malam ini," kata Barney, melihat berkeliling.
"Aku bisa tidur di kursi panjang itu. Ada bantalnya lagi, walaupun kukira pasti sudah keras. Aku bisa memakai taplak meja itu untuk selimut. Kalian pasti tak tahu betapa hangatnya kain meja sebagai selimut! Aku akan nyaman di sini." Dari ruang depan terdengar suara tajam,
"Sudah waktunya tutup! Keluarlah. Kalau tidak kalian akan terkunci di sini!"
"Ia tak mengira bahwa seorang di antara kita memang ingin terkunci di sini!" bisik Snubby tertawa geli.
"Sampai besok pagi, Barney. Semoga nyenyak tidurmu."
"Bawalah biskuit Kerudung Merah Tua ini untuk
makan malam nanti." Diana memberikan bungkusan biskuit pemberian Naomi.
"Dan ini ada sedikit sisa coklat. Besok pagi segeralah pergi ke rumah Nona Hannah, tunggu di luar pagar, dan kami akan keluar membawakan sedikit sarapan untukmu."
"Terima kasih," kata Barney bersyukur. Yang lain segera meninggalkannya. Di ruang depan mereka tak melihat si pengurus, tetapi terdengar ia sedang mengunci pintu di bagian belakang. Kinilah saatnya yang tepat untuk pergi, agar ia tak tahu bahwa yang pergi hanyalah tiga orang, bukannya empat.
"Permisiiiiii!" kata Roger dengan suara begitu keras, diikuti oleh Snubby dan Diana. Dari suara mereka, maka orang akan mengira di situ ada selusin anak-anak. Wanita tua itu tak menjawab. Ketiga anak tersebut keluar dengan saling menyeringai. Ternyata mudah sekali! Mereka membuka ikatan Sinting dan Miring kemudian berangkat pulang.
"Barney cukup aman di kamar itu," kata Roger, memperhatikan langit yang begitu gelap.
"Sebentar lagi hujan turun. Ayo bergegas!" Mereka semua berlari, dalam hati gembira bahwa Barney tidak usah tidur di bawah semak-semak. Mereka sampai di rumah dan langsung disambut oleh Nona Pepper.
"Tepat sekali, hampir saja kalian terjebak hujan badai," kata Nona Pepper.
"Bagaimana piknik kalian" Menyenangkan?"
"Hebat!"seru Diana.
"Di mana Nona Hannah" Kami ingin mengatakan padanya bahwa makanan yang dibekalkannya pada kami sungguh luar biasa lezatnya!"
"Bagaikan masakan disurga!" seru Snubby dan Roger.
"Kami menghabiskannya semua!"
"Lalu bagaimana dengan Barney dan Miranda?" tanya Nona Pepper setelah semuanya masuk ke dalam rumah, lolos dari hujan yang mulai menderas. "Kalian menemukan suatu tempat tumpangan baginya, bukan?" Roger tertawa.
"Ya, Nona Pepper. la takkan kekurangan suatu apa. Ia memperoleh sebuah kamar kecil, nyaman, dan takkan terganggu oleh
siapa pun." Bab 17 PERISTTWA TENGAH MALAM BarNEY saat itu memang berada dalam satu kamar kecil yang nyaman! Cukup lega juga ia akhirnya ketika kemudian terdengar guntur menggelegar dan hujan menderas. Wanita pengurus museum itu telah pergi, mengunci pintu depannya.la tinggal sendiri. Hanya ditemani Miranda. Begitu mendengar pintu depan ditutup, Barney bangkit. Ia belum bermaksud pergi tidur. Mungkin ada buku yang bisa dibacanya. Tadi ia berjongkok sembunyi dibalik sebuah peti besar. Kalau terdengar si pengurus mendekat, maka ia akan masuk ke dalam peti tersebut. Tetapi ternyata itu tak perlu. Agaknya wanita itu berpendap
at semua anak-anak itu sudah pergi.
"Dan kini akulah penguasa Ring O Bells!" serunya keras-keras. la mulai menyelidik. Mulamula diperiksanya ruang dapur. Betapa besarnya tungku-tungku pemasaknya! Pastilah dizaman lalu setiap waktu makan berarti persiapan besar besaran. Iseng-iseng ia memutar keran yang agaknya dipasang setelah zaman modern. Ternyata keran tadi masih mengeluarkan air air dingin jernih terpancar ke luar. Barney
mengambil sebuah mangkuk di rak, dan meneguk air dingin tadi dalam-dalam. Segar. Mungkin air tadi memang diperuntukkan bagi si pengurus. Untung juga bagi Barney. la menemukan sebuah ruangan yang penuh buku - mungkin ada dua ribu buku di situ, memenuhi rak yang merapat di dinding, dari lantai hingga ke langit-langit. Warna-warna bukunya coklat suram, tua sekali, dan agaknya tak pernah diambil untuk dibaca orang lagi. Barney mengambil beberapa. Ternyata dicetak dalam huruf-huruf yang tak bisa dibacanya. Dikembalikannya lagi buku-buku itu ke rak yang sangat berdebu. Agaknya si pengurus tak begitu teliti membersihkan barang-barang di situ. Bosan juga sendirian di tempat besar dan sepi itu. Untung ia segera merasa mengantuk Dimakannya semua biskuit dan cokiat pemberian Diana, dan ia pun minum lagi secangkir air dingin. Miranda diberinya beberapa butir kismis.
"Jangan buang biji-bijinya ke dalam bajuku," kata Barney tegas.
"Jangan buang di lantai juga Kumpulkan di tanganmu kemudian berikan padaku." Sekali ini Miranda bersikap sopan. Dengan patuh ia membuang biji-biji kismisnya di cakarnya, memberikannya pada Barney yang kemudian menaruhnya di tempat abu rokok di meja. Ketika hari mulai gelap, ia mengambil taplak meja, membawanya ke kursi panjang tempat ia , akan tidur nanti. Diaturnya bantalan kursi, dan ia
pun berbaring dengan berselimutkan taplak meja. Tetapi setelah beberapa lama ia merasa taplak tersebut terlalu panas dan tebal, berat. Maka ia menurunkan sebagian taplak tersebut. Miranda melingkar di dalam jaketnya, memasukkan kedua tangannya ke dalam baju Barney. Barney meniup kepala monyet kecil itu dan berkata,
"Selamat malam, Miranda, selamat tidur. Mudah-mudahan kita tak usah terbangun sebelum pagi tiba!" Harapannya tak terkabul. Di tengah malam, ia harus bangun. Mula-mula Miranda yang terbangun. Mengangkat kepala dengan daun telinga bergerak-gerak. Apa yang membuatnya terbangun" Ia mendengar dengarkan, kemudian akan tidur lagi. Tetapi sebelum matanya tertutup, ia tersentak bangun. Kembali telinganya bergerak-gerak. Kali ini ia langsung merayap keluar dari jaket Barney, duduk di lengan kursi la rnencereceh dengan suara lemah dan ketakutan. Barney terbangun, mencari Miranda dengan tangannya. Kemana monyet itu pergi" Kemudian ia mendengar suaranya, diulurkannya tangannya dan Miranda mendekap lengan itu.
"Apa yang membuatmu bangun, Miranda?" bisik Bamey.
"Sesuatu membuatmu bangun. Apa itu" Ini tengah malam. Apakah kau mendengar suara tikus?" Di keheningan malam terdengar dentangan lonceng gereja, dikejauhan. Dong-dong-dong.
"Jam tiga," kata Barney.
"Masih malam. Ayo tidur lagi." Dan kemudian ia sendiri mendengar suara itu Mula-mula ia mengira telinganya keliru. Kemudian terdengar lagi. Darimana" Mungkinkah dari kamar ini juga" Suatu suara yang aneh, terkadang terdengar, terkadang tidak. Suara apa sebenarnya itu" Barney mengambil kesimpulan suara itu tidak berada di dalam kamar tersebut. Dikeluarkan senter yang dipinjami Roger. Dinyalakan dilihat
nya berkeliling. Kamar itu kosong. Tak ada sesuatu apa pun yang bisa menimbulkan suara la pun mendapatkan bahwa suara itu tak terdengar bila ia berada diluarkamar. Diperiksa sekali lagi kamaritu dengan lebih teliti. Mendengar kan di sana di sini. Setiap kali berhenti dan mendengarkan sekali lagi. la sampai di suatu tempat di mana suara itu terdengar paling keras. Dengan senternya terlihat bahwa tempat itu adalah petak kayu di dinding yang kata Roger bisa terbuka, pintu masuk ke dalam lorong rahasia. Dilekatkannya telinganya pada dinding tersebut. Kini ia bisa mendengar lebih jelas. Suara yang tersendat-sendat, teratur, tetapi begitu jauh hingga ia tak bisa menentukan apakah itu suara makhluk ataukah mesin ataukah air. Bahkan Barney takbisa menentukan bagaimana sebenarnya suara itu. Bila sekali terdengar, maka terdengar beruntun kemudian diam. Mungkin datang dari lorong-
rahasia itu, pikir Barney, dan sangat berubah dari suara aslinya karena terlalu jauh. Ia tak tahu cara membuka pintu ruang rahasia itu, jadi ia tak bisa berbuat apa-apa. la kembali ke kursi panjang, bersama Miranda. -
"Lebih baik kita tidur lagi," katanya pada Miranda.
"Kita takkan bisa menemukan apa pun hanya dengan mendengar-dengarkan begitu saja. Tetapi kupikir kita memang perlu menyelidiki orong rahasia itu, Miranda. Kaupikir apa yang berada di dalam sana itu?" Miranda juga tak tahu. la meringkuk di dada Barney dan tidur lagi. Begitu juga Barney. la tak tahu apakah suara tadi terdengar lagi atau tidak. Ia juga tak begitu peduli. Barney bangun pagi-pagi sekali, dan cepat turun dari kursi panjang yang ditidurinya dengan hati-hati, kalau-kalau si pengurus telah datang. Tetapi gedung itu sunyi. Tak ada suara sedikitpun, juga suara aneh yang didengarnya semalam.
Mungkinkah ia mimpi"Takmungkin. Semuanya teringat jelas olehnya. la menyelinap ke dapur, mencuci muka dengan air dingin dan minum beberapa teguk. Miranda juga pura-pura mencuci tangannya. Tetapi ia sama sekali tidak basah. la memang takut pada air.
"Jangan berpura-pura," kata Barney mengeringkan mukanya dengan sapu tangannya yang lebar.
"Tidak, aku tak akan mengeringkan tanganmu, sebab tangan itu sama sekali tidak
basah. Cucilah tangan dengan baik dan nanti akan kukeringkan dengan sapu tangan." Ia kembali ke kamar tempat ia tadi tidur, dirapikannya, dikembalikannya taplak meja ke tempatnya. Mudah-mudahan si pengurus tidak memperhatikan bahwa taplak meja itu kini sangat kusut. Mungkin hal itu takkan diperhatikannya, kalau melihat betapa banyaknya debu di perabot perabot di dalam kamar itu. la pergi ke ruang depan, melihat-lihat kalau pengurus museum itu sudah terlihat datang. la tak ingin pergi lewat pintu belakang, dan meninggalkan pintu itu tak terkunci - ini mungkin akan membuat wanita itu curiga. Barney bersembunyi di balik sebuah peti besar, dan menunggu. Pastilah si pengurus akan segera datang. Dan benar juga, tak lama kemudian terdengar langkah kakinya di halaman depan. Terdengarkunci dimasukkan kelubang kunci, dan pintu depan itu dibuka. Begitu si pengurus masuk ke salah sebuah kamar, Barney dan Miranda langsung menyelinap keluar, dan tak lama kemudian telah dalam perjalanan menuju rumah Nona Hannah. la menunggu di pintu gerbang depan. Snubby segera muncul mendapatkannya.
"Barney, kami sedang menunggumu.Kami kini sedang sarapan. Pergilah ke kebun belakang, tunggulah aku di sana. Nona Hannah berkata kau boleh duduk dan sarapan di sana asal kau berjanji Miranda t
akkan lepas dari bahumu."
Ketika yang lain telah datang berkumpul di kebun itu, Barney menceritakan pengalamannya semalam.
"Aku tak tahu suara apa itu," katanya.
"Suaranya sungguh aneh. Akutak tahu pasti, tetapi aku merasa yakin aku sudah sering mendengarnya. Tetapi tentu saja lorong rahasia itu telah membuat suara-suara berubah." Ketiga sahabatnya mendengarkan penuh perhatian.
"Apakah kau yakin suara itu datang dari balik dinding, Barney?"tanya Roger.
"Kalau begitu, ada apa di dalam sana" Pengurus itu berkata lorong tersebut sudah tertutup dalamnya, jadi apa pun sumber suara itu, pastilah tak jauh dari dinding itu."
"Tetapi suara itu serasa datang dari jauh," kata Barney.
"Bagaimana kalau kita memeriksanya?" Mereka semua setuju, walaupun Diana tidak begitu tegas persetujuannya. Snubby merasa tak perlu merasa takut sedikit pun. Apalagi saat ia berkata itu ia sedang duduk disinar matahari yang begitu cerah. Entah apakah keberaniannya masih ada bila ia kelak masuk ke dalam lorong rahasia itu di tengah malam.
"Wanita pengurus itu pastilah tak akan mengzinkan kita masuk ke sana... apalagi di tengah malam," kata Roger.
"Itu berarti kita harus nyelidikinya pada saat ia telah pulang. Tetapi kita tak bisa keluar sebelum waktu makan malam, sebab itu berarti kita harus minta izin pada Nona Pepper. Jadi kita hanya bisa keluar pada waktu kita seharusnya tidur."
Mereka membicarakan hal itu beberapa saat dan merasa sepakat bahwa apa yang dikatakan Roger benar. Nona Hannah dan Nona Pepper biasa tidur jam sembilan. Sehabis jam itu anak-anak tersebut merasa bisa menyelinap keluar tanpa ada yang tahu.
"Baiklah kalau begitu," kata Barney, menyelesaikan sarapannya.
"Kita putuskan untuk menyelidik lorong itu jam setengah sepuluh malam ini. Kita akan menggerakkan lukisan ke samping untuk membuka petak kecil di dinding untuk menggerakkan pengumpil untuk menggerakkan petak dindinguntuk membuka pintu lorong rahasia yang akan membawa kita ke..."
"Ke mana?" ketiga sahabatnya serempak bertanya. Tetapi Barney hanya menggelen kepala.
"Aku tak tahu," katanya.
"Mungkin akan jadi jelas malam nanti. Kini sementara kalian membantu Nona Hannah, biarlah kuajak anjinganjing ini berjalan-jalan. Sudah sejak tadi mereka mencakariku, mengajakku pergi. Baiklah, Sinting, Miring, kita akan jalan-jalan agar kalian tidak terlalu kegemukan!" la pergi bersama kedua anjing itu, menyiulkan sebuah lagu riang dan nyaring. Roger, Diana, dan Snubby masuk ke dalam rumah untuk melakukan berbagai tugas membantu Nona Hannah.
"Malam ini... setengah sepuluh," pikir Diana dengan sedikit merinding.
"Sungguh menggairahkan...tetapi terus terang saja akujuga sedikit takut .
Bab 18 - MEMASUKI LORONG RAHASIA
SETENGAH sepuluh malam itu, baik Nona Pepper maupun Nona Hannah telah berada di tempat tidur. Nona Hannah bahkan langsung tertidur. Anak-anak itu siap berangkat, tinggal memutuskan apakah Sinting dibawa atau tidak.
"Apakah ia akan menyalak-nyalak terus bila kita tinggalkan?" tanya Diana.
"Ya," bisik Snubby.
"Ia terpaksa harus kita bawa. Akan aku dukung dia turun agar suara kakinya tak terdengar." Sinting jadinya didukung Snubby turun. Anjing tu bingung juga, tetapi syukurlah tak bersuara. Miring tidur di salah satu kursi di kamar
Nona Hannah, di sayap lain rumah itu, sehingga ia tak mendengar apa-apa. Semuanya bernapas lega saat sudah berjalan di jalan menuju Gedung Ring O'Bells. Terang bulan, dan segera juga mereka sampai di gedung itu. Barney membukakan pintu depan, mereka menyelinap masuk.
"Kau mendengar suara seperti kemarin malam?" tanya Snubby. Barney menggelengkan kepala.
"Tidak. Malam ini tidak. Tak ada satu suara pun Ayolah. Mari masuk kamar kecil itu dan kita lihat apa yang terjadi." Mereka semua pergi kekamar tempat bermalam Barney malam sebelumnya, dan tempat lorong rahasia itu berujung. Mereka semua membawa senter, dan semua menujukan senternya kelukisan kain di dinding.
"Lihat gambar orang yang membuka pelindung kepalanya itu?" bisik Roger.
"Nah, lihatlah... akan kutekan di sini dan lihat apa yang terjadi." Lukisan itu bergeser ke samping, sehingga terlihat petak kecil di dinding. Roger menekan petak tadi, tutup petak bergeser, memperlihatkan suatu tombol. Roger menekan tombol itu dan segera terdengar suara gemertak dari balik petak di dinding tak jauh dari mereka. Barney tampak tercengang.
"Itu suara pengumpil melepaskan kunci pada petak dinding,sehingga kita bisa mendorongnya ke samping," kata Diana Mereka semua pergi ke petak dinding tersebut. Roger mendorongnya kuat-kuat. Dengan heran Barney melihat petak tersebut bergeser masuk ke petak di sampingnya, meninggalkan sebuah lubang besar menganga. Itulah jalan masuk ke lorong rahasia! Sinting menyalak pendek. Ia tak bisa mengert kejadian-kejadian aneh di bawah sinar begitu banyak senter itu.
"Tutup mulut!" Snubby mengetuk kepala anjingnya.
"Jangan bersuara sepatah kata pun!"
| |Roger menjulurkan senternya masuk ke lubang ahasia. Yang terlihat hanyalah sebuah lorong sempit dan gelap.
"Apakah kita masuk dan menelusuri lorong ini?" tanya Roger.
"Sunyi sekali, tak terdengar sedikit suara pun."
"Ya, kita selidiki sekarang saja," kata Barney.
"Kau masuk dulu, Roger, kemudian Diana, kemudian Snubby. Aku yang terakhir bersama Sinting. Kukira lorong ini begitu sempit sehingga kita harus jalan satu-satu." Roger melangkahkan kaki, masuk. la berdiri di dalam lorong itu. Begitu kotor dan udaranya terasa berdebu.la bergerak maju, sementara satu persatu yang lain masuk. Sinting didukung Snubby dan
tampaknya pasrah saja. Sungguh malam yang aneh! -
"Di mana Miranda?" bisik Snubby.
"la tak mau ikut," kata Barney
"la menunggu kita di kamar yangkita tinggalkan. Kurasa ia takkan apa-apa di tempat itu." Lorong itu ternyata memang begitu gelap dan sempit. Sejauhkira-kira tiga setengah meter lorong tersebut sejajar dengan dinding, kemudian berbelok patah ke arah kiri. Kemudian lorong tersebut menurun. Dengan telundakan yang hampir datar terus menurun. Roger di depan, dengan senter terus menyala Sekali ia berhenti, mereka yang di belakang saling bertubrukan.
"Ada apa, Roger?" tanya Diana khawatir.
"Lihat," kata Roger,
"sebuah lemari! Mungki lemari inilah yang ditemukan oleh Kakek Tua, d mana ia menemukan buku-buku dan kotak berukir!" Lemari tersebut tertanam ke dalam dinding dengan dua buah pintu kecilnya terbuat dari kayu Roger membuka pintu tersebut, mengira pasti tak ada isinya. Tetapi ternyata isinya cukup mencengangkan!Sama sekali bukan barang kuno Malahan sangat baru dan modern: beberapa. baterai senter, lilin, sa
tu kaleng minyak tanah, dan selusin kotak korek api!
"Untuk apa benda-benda ini disini!" kata Diana
"Mungkin dulu untuk keperluan para wisatawan yang melihat-lihat lorong ini, sebelum ada bagian
yang runtuh dan dibuntu seperti kata pengurus itu."
"Tetapi kejadian itu sudah terlalu lama, sedang barang-barang ini baru," kata Roger. la menutup pintu lemari tersebut dan melanjutkan perjalanan dengan perlahan. Lorongitu kini semakin melebar, dan betul-betul mirip suatu terowongan di bawah anah. Mungkin sekali mereka kini telah meninggalkan daerah gedung di atas itu. Pengurus itu pernah berkata, lorong tersebut menghindari gudang di bawah tanah yang begitu luas mengisi bagian bawah gedung. Tiba-tiba Roger berhenti lagi, sambil berseru tertahan. Yang lain saling bertubrukan lagi. Sinting menjerit kesakitan.
"Mestinya kauberi tahu kami dulu sebelum berhentibegitu tiba-tiba,"gerutu Snubby."Ada apa lagi" Roger memeriksa dengan senternya. Ternyata lorong itu tiba-tiba tertutup oleh suatu dinding bata! Dari lantai sampai ke langit-langit, dari sisi ke sisi. Seperti kata wanita pengurus itu," katanya, lorong ini betul-betul telah ditutup! Lihatlah. Kita tak bisa terus!" Ini sungguh mengecewakan. Tak satu pun di antara anak-anak itu yang percaya pada kata-kata m pengurus museum itu. Tetapi ternyata ia berkata benar. Lorong itu tertutup oleh dinding. Kalaupun ada kelanjutannya, maka lorong lanjutan itu ada di balik dinding tersebut! Dan kata pengurus itu, di balik sana atap lorong telah runtuh.
"Sialan!" desis Snubby.
"Tetapi suara apa yang didengar oleh Barney?" bisik Roger.
"Sampai saat ini kita belum menemukan sesuatu yang mungkin menimbulkan suara itu."Bisikan ini diteruskan pada Barney yang berada di ekor barisan kecil itu.
"Aneh juga," sahut Barney.
"Kalau begitu suara itu datang dari mana?"
"Mari kita kembali," kata Diana.
"Di sini baunya tak enak." Mereka pun kembalilah, dengan balik kanan kini Barney berada di depan dan Roger di bagian ekor. Mereka melewati lagi lemari aneh tadi,tapi tak membukanya sekali lagi. Kemudian mereka menanjak, ke lorong di balik dinding petak-petak kayu, dan beberapa saat kemudian telah berada di luar. Roger mendorong petak dinding penutup kembali ke tempatnya semula. Terdengar suara gemertak saat pengumpil turun dan mengund petak dinding tadi, agar tak bisa dibuka bila tidak menekan tombol di balik petak kecil. Roger kemudian menutup petak kecil tadi, tetapi tak tahu bagaimana caranya untuk mengembalikan lukisan penutupnya. Akhirnya ia membiarkan saja lukisan tersebut.
"Mungkin pengurus itu akan mengira bahwa ia lupa mengembalikannya ke tempatnya semula," kata Diana.
"Sungguh mengecewan Aku sebenarnya tak tahu apa yang kira-kira akan kita temukan di sana. Tetapi yang pasti buka hal seperti tadi itu. Aku ingin menemukan sesuatu.
Bahkan kita tak bisa menemukan sumber suara yang didengar oleh Barney!"
"Ssst," tiba-tiba Barney berkata,
"kukira aku mendengarnya lagi. Baru saja! Coba semua diam!"
Mereka mematung semuanya. Dan... ya benar. Terdengar suatu suara-serangkaian suara cepat berjarak sama. Sangat jauh terdengar, sayupsayup. Memang terdengarnya seperti datang dari orong rahasia itu, teredam dan jauh.
"Nah, itulah!" kata Bamey,
"tadi aku sudah mengira mungkin sebetulnya aku hanya bermimpi. Tetapi kini aku
yakin aku tidak mimpi!"
Dan kemudian mereka mendengar suara lain sangat berbeda, tetapi suara itu langsung membuat mereka amat ketakutan, membuat mereka langsung saling memegang erat-erat siapa yang ada paling dekat. Suara itu hanyalah suara lemah dentangan lonceng, seakan-akan sebuah dari lonceng lonceng yang berada di menara itu bergerak, membuat pemukulnya menyentuh dinding lonceng berkali-kali.


Komplotan Penculik Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu suara lonceng!" bisik Diana gemetar.
"Dari menara! Aduh! Jangan-jangan... lonceng itu akan berbunyi!" Dan benar juga. Lonceng-lonceng itu berbunyi! Berdentang-dentang, bergema lantang, mengalun jauh dari puncak menara! Diana mencengkam lengan Roger begitu kuat sehingga kuku-kukunya bagaikan tertanam di lengan kakaknya itu. Sinting meraung lemah ketakutan. Tiba-tiba lonceng-lonceng itu berhenti berdentang. Gema suaranya menjauh menghilang. Diana lemas terduduk di kursi panjang, gemetar. Snubby begitu terpukau hingga sama sekali tak bergerak Barney dan Roger saling berbisik,
"Siapa membunyikan lonceng-lonceng itu" Di sini tak ada orang lain kecuali kita."
"Walau ada pun sangat sulit. Bagaimana lonceng-lonceng itu bisa dibunyikan tanpa ada talinya" Mengapa tiba-tiba berbunyi?"
"Di zaman dahulu, lonceng itu berbunyi sebagai pertanda bahwa ada musuh datang. Tak mungkin kita dianggap sebagai musuh!"
"Tak mungkin lonceng bisa berbunyi sendiri, kata Roger, mencoba meyakinkan dirinya sendiri Tetapi kenyataannya telah terbukti, lonceng lonceng itu berbunyi sendiri! Mereka jelas mendengar hal itu. Suatu suara merintih ketakutan terdengar mendekat. Keempat anak itu terloncat terkejut Tetapi ternyata itu suara Miranda.
"Kasihan kau." Diana mengambil monyet kecil itu, yang ternyata juga gemetar ketakutan.
"Suara lonceng itu membuatmu takut" Sudahlah, tenanglah. Lonceng itu tak berbunyi lagi."
"Bagaimana" Apakah kita cukup berani untuk pergi ke atas dan melihat lonceng-lonceng itu. Mungkin ada orang yang memasang tali atau entah apa untuk membunyikan lonceng-lonceng tersebut," kata Roger setelah mereka terdiam beberapa saat. Mereka kini duduk rapat-rapat di kursi panjang, mencoba memperoleh kembali keberanian mereka.
"Aku tak mau ikut," kata Snubby.
"Siapa tahu tiba-tiba lonceng-lonceng itu berbunyi lagi. Bisa dapat serangan jantung aku!"
"Biarlah aku yang pergi melihat," kata Barney, langsung berangkat. Sedikit ragu-ragu Roger menyusulnya, mengikutinya. Keduanya segera kembali.
"Tak terlihat ada tali seutas pun," kata Barney.
"Lonceng-lonceng itu kini diam. Tak ada sedikitpun yang mencurigakan. Yah... aku tak tahu siapa yang dianggap musuh, tetapi sama sekali tak terdengar ataupun terlihat olehku. Mungkin kali ini lonceng-lonceng itu salah."
"Dengar,"bisik Diana tiba-tiba.
"Aku mendengar sesuatu. Benar, kudengar sesuatu! Di sana, dari arah ruang depan!" Mereka menahan napas. Mereka mendengar suara kunci diputar di lubang kunci, dan suara pintu dengan dibuka! Terdengar beberapa suara cakap-cakap... dan langkah kaki. Kemudian pintu ditutup.
"Lonceng-lonceng itu benar," bisik Snubby. 'Musuh telah datang!"
Bab 19 SUNGGUH AJAIB "Kita harus bersembunyi!"bisik Barney.
"Mungkin mereka masuk kemari." Untunglah langkah: langkah kaki itu terdengar pergi ke ruang dapur Dan terdengar suara air mengucur. Gugup a
nak-anak itu mencoba melihat kesekeliling ruang tempat mereka berada. Mereka tak berani meninggalkan ruangan tersebut, takut kalau ketahuan.
Disudut terdapat sebuah peti besar, dan disudut lainnya sebuah peti yang lebih kecil. Barney, mengangkat tutup peti yang besar.
"Masuklah bisiknya pada yang lain.
"Di sini cukup untuk bertiga. Aku akan bersembunyi di peti kecil itu bersama Miranda."
Mereka bergegas masuk, mencoba untuk sama sekali tak bersuara. Snubby menyeret Sinting Setiap kali anjing itu memperlihatkan tanda-tanda akan bersuara, Snubby mengetuk kepalanya keras-keras. Barney menyelinap masuk ke dalam peti yang kecil. Tetapi ternyata Miranda taksudi ikut masuk!Tiba-tiba saja ia melompat meninggalkan bahu Barney, ke dalam kegelapan. la memang benci berada di suatu tempat kecil tertutup.
Barney mengeluh kesal. Mudah-mudahan Mianda tak menampakkan diri pada kaum musuh' tu. Siapa mereka" Apa yang akan mereka lakukan di malam buta ini"
Tepat saat anak-anak itu menutup tutup peti-peti tempat mereka sembunyi, dua pasang langkah kaki terdengar masuk.
"Di mana dia?" tanya sebuah suara lelaki.
"Akan kuantar kau padanya," kata sebuah suara wanita - suara si pengurus! Barney membuka sedikit tutup petinya.
Didengarnya suara gemertak pengumpil yang menggerakkan petak besar. Ah, mereka akan memasuki lorong itu! Mengapa" Kan tak ada sesuatu apa pun di tempat itu. Tempat itu buntu. Barney bingung juga memikirkan itu. Pengurus museum itu agaknya tidak memperhatikan bahwa tempat lukisan di dinding itu telah bergeser. Untung.
ia bisa melihat wanita pengurus itu dari cahaya senter rekan lelakinya. Yang lelaki itu tak bisa dilihatnya dengan jelas. Tetapi terlihat orang tersebut membawa sebuah tas-mirip tas kantor. Suaranya dalam dan kasar. Kelihatannya sedang gusar.
Tiba-tiba Sinting menggeram. .Menggeram dalam dan seram dari dalam peti besar. Kedua orang tersebut langsung terpaku.
"Apa itu?" tanya si lelaki akhimya.
"Sungguh mengerikan!" Dari atas kepalanya terdengar suara mencereceh. Itu pasti Miranda, yang menyuruh Sinting diam. Kedua orang tersebut terhentak mundur, menengadah. Senter menyorot ke atas, tetapi Miranda telah lenyap. Kini ia mencereceh dari arah lain. Sinting menggeram lagi, tetapi langsung diketuk kepalanya oleh Snubby.
"Suara seram itu lagi!" katasi lelaki.
"Ada apa sih di tempat ini?"
"Tak ada apa-apa," kata si pengurus dengan suara gemetar.
"Tapi belum pernah kudengar suara-suara seperti tadi. Tapi takapa, paling-paling suara burung hantu...."
"Burung hantu takkan bisa mengeluarkan suara seperti tadi itu," kata si lelaki, menyorot senternya ke dalam lubang lorong rahasia
"Baiklah, ayo... apakah kita harus masuk kesana?" Tiba-tiba si pengurus menjerit. Barney begitu terkejut sehingga hampir saja tutup peti yang diangkatnya terjatuh. Apa yang terjadi" Miranda telah menempatkan dirinya dirak dekala wanita itu dan tiba-tiba menarik rambutnya! Tak heran pengurus itu sangat terkejut. Silelaki yang sangat terkejut oleh jeritansi wanita jadi sangat marah.
"Hentikan! Apa-apaan ini: Kenapa kau?"
"Sesuatu menarik rambutku!" kata si pengurus gemetar.
"Akan kutariki rambutmu bila kau tidak segera masuk!" ia mendorong si pengurus. Bergegas
wanita itu masuk disusul si lelaki Barney
bisa mendengar suara kaki mereka di dalam lorong, makin lama makin jauh. Barney membuka tutup petinya, melompat ke luar dan mendengar dengarkan di lubang masuk lorong. Tak terdengar suara apa pun. Ke mana kedua orang itu pergi" la berlari kepeti yang besar, membuka tutupnya.
"Ayo ini kesempatan kita untuk lari!" katanya. Kedua orang itu masuk ke dalam lorong, entah ke mana dan untuk apa. Ayolah!" Yang lain dengan girang keluar dari peti. Semua kemudian lari kepintu depan. Ruang depan gelap, dan ketika Barney merasa mereka telah aman, ia menggunakan senternya sesaat untuk mencari pintu itu. Tak bersuara Barney membukanya. Terpaksa nanti dibiarkan terus dibuka, sebab bila ditutup pasti akan bersuara. Tiba-tiba ia memberi peringatan, saat mereka semua sudah di luar.
"Hati-hati, mungkin di depan ada mobil," bisiknya.
"Jangan sampai kita terlihat!" Ia memeriksa daerah di depan pagar. Dan benar juga, terlihat olehnya mobil yang disembunyikan di dalam semak-semak pagar!
"Kita mengelilingi gedung ini, ke belakang," bisik Barney lagi.
"Nanti kita bisa menerobos pagar kemudian berputar ke jalan. Ayo. Jangan bersuara sedikit pun!" Mereka baru bisa bernapas lega saat sudah berada kembali dijalan yang menuju desa. Sinting
sangat bingung. Permainan macam apa ini yang harus dimainkan begini larut" la sudah bosan begitu sering dipukul kepalanya oleh Snubby, setiap kali ia akan menggeram.
"Jangan berbicara apa pun sampai kita tiba di rumah," kata Roger. Mereka merasa seolah-olah setiap semak menyembunyikan seseorang yang mungkin bisa mendengar pembicaraan mereka. Dan mereka semakin bergegas pulang.
Akhirnya mereka sampai juga ke gardu di dalam kebun Nona Hannah.
"Waduh, hebat betul malam ini!" kata Roger menghembuskan napas lega
"Lonceng-lonceng berbunyi secara ajaib. Wanita itu datang dengan seorang pria.Tepat, seolah-olah mereka musuh yang diramalkan oleh lonceng lonceng tadi!"
"Entah orang lain mendengar lonceng itu atau tidak," kata Diana.
"Maksudku, penduduk desa misalnya."
"Pasti ada yang dengar," kata Roger. Tetap desa itu terlalu jauh sebetulnya, dan karena lonceng-lonceng tersebut tidak diguncang dengan tali, mungkin hanya terayun bersama sama, maka suaranya tidak begitu keras. Sesungguhnya lonceng-lonceng itu tidak berdentang dentang, hanya berguncang sedikit."
"Mungkin itulah yang bisa mereka lakukan," kata Diana.
"Aku begitu ketakutan. Kukira musuh" itu tak mendengarnya, sebab mereka datang dengan mobil dan mungkin masih berada di kejauhan.
Rasanya tak mungkin mereka berani masuk bila tahu bahwa lonceng itu berbunyi."
"Benar," kata Roger.
"Sungguh lonceng yang cerdik. Mereka memperingatkan kita, tetapi tidak memperingatkan kedua orang itu. Ajaib, kan" Apakah yang ada di dalam lorong rahasia itu?"
"Mestinya kaukatakan Siapa yang ada di lorong itu,'" kata Diana.
"Lelaki tadi bertanya 'Di mana dia', dan bukan Di mana barang itu. Jadi ada seseorang di dalam lorong tersebut!"
"Kalau memang begitu, maka orang itu entah ada di mana," kata Roger.
"Kita telah mengikuti lorong tersebut sampai betul-betul buntu. Dan lorong itu sama sekali tak bercabang atau tak punya lekukan tempat bersembunyi."
Semua berpikir. Hening. Kemudian Roger berkata,
"Bagaimana kalau kita memeriksa lorong tu lagi kapan-kapan
?" "Tidak!" semua menjawab tegas. Mereka tak menyukai kemungkinan berada di dalam lorong tersebut, di tengah malam, pada saat lonceng lonceng itu berbunyi.
"Begini saja," kata Snubby tiba-tiba,
"kita cari saja ujung lorong itu. Kemudian kita menyelidiki orong tersebut dari arah sana. Dengan kata lain ke balik tembok pembuntu itu." Semua berpendapat pikiran Snubby itu sangat bagus. Roger menepuk punggung Snubby.
"Itu baru pikiran bagus! Aku yakin kita akan berhasil temukan sesuatu dengan cara itu."
"Ya, tetapi tunggu, kita kan tidak tahu di mana lorong itu berakhir," kata Diana setelah berpikir sejenak.
"Bisa kita tanyakan lagi pada Kakek Tua," kata Roger langsung.
"Mungkin kali ini ia mau menjawab." Tiba-tiba Diana menguap. Ini langsung menular Dan dikejauhan lonceng gereja berbunyi dua belas kali.
"Kita harus segera tidur," kata Diana.
"Bisa-bisa kita tidak bisa bangun besok pagi. Dimana Barney tidur"Tak mungkin ia kembalike Gedung RingO Bells, bukan?"
"Kukira ia takkan mau pergi ke sana lagi," kata Snubby.
"Kalau aku, pasti tak mau."
"Memang," kata Barney.
"Lonceng-lonceng itu sungguh mengguncangkan aku. Miranda juga begitu ketakutan sehingga dari tadi ia tak berani bergerak di dalam bajuku. Pastilah ia ketakutan setengah mati tadi."
"Aku sendiri begitu ketakutan," kata Snubby.
"Bagaimana tentang Barney" Apakah ia tidak bisa tidur disini, di gardu ini, untuk semalam ini saja?"
"Ya, untuk semalam ini," Roger berpikir pikir
"Aku tak tahu apakah Nona Hannah akan berkeberatan. Tetapi karena saat ini kita tak bisa menanyakan pendapatnya, maka kukira kita bisa mengizinkan Barneytidur di sini.Toh tak mungkin Miranda tiba-tiba muncul di jendela Nona Hannah...."
Barney sangat lelah. la mengatur beberapa karung untuk alas tidurnya. Diana menemukan selembar permadani tua yang bisa dipakai untuk sekedar menutupi tubuh Barney.
"Kami akan masuk sekarang," katanya pada Barney.
"Kau tak kekurangan suatu apa pun?"
"Cukup lumayan," kata Barney, meringkuk.
"Pergilah tidur. Jangan-jangan kalian kena flu lagi. Sampai besok pagi!"
"Ya, besokkita akan menemukan ujung lain dari lorong rahasia itu," kata Snubby,
"dan kita akan menyelidikinya!"
"Tetapi mungkin juga ditempat itu atapnya juga sudah runtuh, seperti kata si pengurus dulu itu," kata Roger.
"Pokoknya kita cobalah nanti," kata Barney, mengantuk.
"Selamat malam semuanya!" Sinting menjilat Barney untuk terakhir kalinya, dan mengendus Miranda yang berada di balik kemeja Barney. Kemudian tanpa bersuara ia berlari menyusul yang lain. Alangkah hebatnya pengalamannya malam ini. Pasti Miring akan sangat iri bila mendengar ceritanya besok pagi.
Bab 20 KOTAK KAKEK TUA Baik Nona Pepper maupun Nona Hannah tak ada yang mendengar suara lonceng di tengah malam itu. Diana tidak menanyakan hal itu secara langsung, tetapi ketiga anak tersebut merasa mereka harus mengetahui apakah ada orang lain yang mendengarkannya.
"Rasanya tadi malam aku mendengar lonceng berbunyi," kata Diana acuh tak acuh sewaktu mereka sarapan.
"Aneh sekali, kan?"
"Pasti kau mimpi," kata Nona Pepper.
"Bukankah begitu, Hannah?"
"Ya, mungkin ia mendengar suara lonceng jam gereja," kata Nona Hannah.
"Dentangnya sungguh indah. Kau mau susis lagi, Snubby"Yang keempat kalinya?"
Snubby mengangguk. "Wah, selera makanku agaknya hampir pulih," ia berkata pada Nona Hannah.
"Hampir pulih!" Nona Hannah tampak sangat ketakutan.
"Lalu bagaimana kalau seleramu itu benar-benar sudah pulih" Berapa susis yang bisa kauhabiskan?"
"Itu sama sekali tak ada hubungannya dengan selera," kata Diana.
"Ia hanya rakus saja!" Snubby mencoba menendang kaki Diana di bawah meja. Tetapi Diana telah memindahkan kakinya, dan yang terdengar mendengking kesakitan adalah si Miring. Ini berarti Snubby terpaksa harus cepat-cepat masuk ke kolong meja untuk menghibur dan meminta maaf pada anjing itu.
"Wah, Snubby hilang!" goda Nona Pepper.
"Kau saja yang makan susisnya, Roger." Mendengar ini Snubby cepat-cepat muncul kembali.
"Apa rencana kalian hari ini?" tanya Nona Hannah.
"Berkuda" Berjalan-jalan"Atau bermalas malasan saja?"
"Kami bermaksud mengunjungi Kakek Tua lagi," kata Diana,
"dan kemudian berjalan-jalan. Apakah ada yang bisa kami lakukan untuk Anda, Nona Hannah?"
"Kurasa tidak," kata Nona Hannah.
"Tetapi sebelum pergi, kalian akan mengerjakan semua pekerjaan sehari-hari kalian, bukan" Membereskan kamar dan sebagainya?"
"Tentu saja," kata Diana.
"Dan kalau ada sesuatu yang bisa kami bantu, Anda harus mengatakannya pada kami. Apa saja. Kami dengan gembira akan melakukannya untuk Anda."
"Betul," kata Snubby.
"Dan aku sangat menyukai cara Anda menggoreng susis, Nona Hannah. Begitu matang dan lembut."
"Aneh sekali caramu bicara, Snubby," kata Nona Hannah.
"Kau sudah selesai" Kalau sudah, tolong angkat Sinting dari kakiku ini. Ia begitu berat."
Sinting segera digeser, Miring menggantikan tempatnya. Diana bangkit untuk keluar ke kebun, mengambil baki dan alat-alat makan yang digunakan untuk sarapan Barney. Tadi pagi sebelum sarapan, Diana telah membawakan sarapan yang lezat untuk Barney. Dan melihat Diana datang, Miranda menawarkan sepotong kecil roti berlapis selai padanya.
"Terima kasih, Miranda sayang," kata Diana.
"Habiskanlah sendiri. Aku sudah cukup kenyang Kami akan segera berangkat setelah selesai mengerjakan tugas-tugas kami, Barney. Ada beberapa tugas sehari-hari kami...."
"Baiklah," kata Barney.
"Dan aku akan membetulkan pagar yang rusak itu. Kurasa aku harus mengerjakan sesuatu untuk membalas budi baik Nona Hannah...."
"Oh, Nona Hannah akan sangat girang sekali," kata Diana. Memang begitu sifat Barney. Ia selalu merasa harus membayar kembali setiap kebaikan yang diberikan padanya. Sekitar pukul sebelas, keempat anak itu serta Sinting, Miring, dan Miranda telah berada di jalan menuju rumah Ibu Hubbard. Di desa mereka berhenti sebentar, membeli sekaleng tembakau untuk si Kakek Tua.Sangat beruntung pemilik toko tahu benar tembakau mana yang digemari Kakek Tua. Mereka berjalan sampai kepintu depan Pondok Hubbard dan mengetuk pintu itu.
"Masuk saja!" terdengar seru Ibu Hubbard dari dalam. Mereka pun masuk Ibu Hubbard sedang mengepel lantai rumah. la gembira sekali melihat kedatangan anak-anak. la berdiri, membersihkan tangan, dan tersenyum.
"Bolehkah kami menemui Kake
k Tua?" tanya Diana.
"Kami membawakan sekaleng tembakau untuknya."
"Oh, baik sekali kalian," kata wanita tua itu, menerima kaleng tembakau tersebut.
"Sayang sekali saat ini ia tak bisa kalian temui. la sedang sakit."
"Oh!" seru anak-anak, tampak begitu kecewa sehingga Ibu Hubbard kasihan juga.
"Kalian ingin menanyakan apa padanya" Apakah tidak bisa kalian tanyakan padaku" Mungkin aku bisa menjawab," katanya.
"Hmmm..." Diana melihat pada yang lain. Mereka mengangguk, dan Diana melanjutkan perkataannya,
"Begini... Kakek Tua berkata ia pernah punya buku-buku kuno.... Kami berpikir kalau buku-buku tersebut masih ada, mungkin bisa kami pinjam..."
"Buku kuno?" Ibu Hubbard mengerutkan kening, mengingat-ingat.
"Tunggu... wah, mungkin juga sudah aku buang semua...."
"Wah, sayang sekali!" kata Diana kecewa.
"Ketika aku datang kemari untuk merawatnya, banyak sekali sampah yang disimpannya," kata Ibu Hubbard.
"Susah juga aku merapikan semuanya. Banyak yang harus dibuang. Tetapi ada beberapa
barang yang kusimpan dalam sebuah kotak. Kalau kalian mau, boleh kalian lihat. Mungkin di dalamnya ada beberapa buku kuno. Pasti ia tak keberatan bila kalian mengambilnya."
Unforgiven Hero 1 Pendekar Cambuk Naga 14 Prahara Raden Klowor Api Di Bukit Menoreh 31
^