Cinta Tokoh Sesat 2
Raja Petir 22 Cinta Tokoh Sesat Bagian 2
pan masuk ke dalam kedai. Kehadiran lelaki berpakaian kuning keemasan itu
menarik perhatian
penghuni kedai yang duduk di dekat pintu.
Lelaki yang tak lain Jaka segera mengambil
tempat duduk di sudut kedai. Namun baru saja
dia hendak meletakkan pantatnya, sebuah pang-
gilan menghentikan gerakannya.
"Jaka...!"
Terkejut dan gembira Jaka melihat Terala.
Apalagi di situ juga ada Paman Gumai Gumarang
dan Seruni. "Paman...," panggil Jaka. Langkahnya bergerak menghampiri Terala.
"Kakang.... Ah, kau baik-baik saja?" sambut Seruni menyongsong kedatangan Jaka.
Sikap Seruni sempat membakar kecemburuan di hati
Gagah Bayu. Lelaki muda itu tak berkedip me-
nyaksikan kemanjaan Seruni kepada Jaka.
"Aku baik-baik saja, Runi. Mudah-
mudahan kalian juga begitu," jawab Jaka kalem.
"Kau duduklah di sini, Kakang. Biar, aku
ambil kursi yang lain," ujar Seruni. Tubuhnya bergerak bangkit ke arah kursi
kosong. "Kapan Kakang berhenti mengembara" O,
ya. Mana Nini Mayang?"
"Aku tengah mencarinya, Runi?"
"Mencarinya" Kalian bertengkar?" tanya Terala. "Tidak."
Keheningan tercipta sejenak. Tak ada per-
tanyaan dari Seruni dan Terala. Begitu juga dengan Gagah Bayu. Hatinya yang
barusan terbakar
api cemburu serta merta tak lagi dirasakan.
"Kukira Mayang berada dalam tawanan
Gagak Sugih Pengasung," ujar Jaka dingin.
"Ditawan Gagah Sugih Pengasung?" terkejut Gumai Gumarang.
"Paman Gumai mengenal Gagak Sugih
Pengasung?" tanya Seruni.
"Dia tokoh golongan hitam yang berilmu
tinggi dan seorang ahli sihir, Runi," jawab Gumai Gumarang. "Dia gemar dengan
gadis-gadis jelita dan daun-daun muda."
"Oh...!" Seruni terpekik mendengar penjela-san Pendekar Pedang Biru.
"Dia juga tergabung dalam komplotan
orang-orang yang telah melenyapkan nyawa Lan-
jetlaka dan keluarganya," jelas Gumai Gumarang.
"Biadab! Akan kubunuh mereka kalau ku-
jumpai!" geram Seruni.
"Apa kemampuanmu sudah bisa menan-
dingi mereka, Runi?" tanya Terala menggoda.
"Menghadapi putri Lanjalaka saja kurasa kau memerlukan ratusan jurus."
"Eh.... Oh. A.... Aku hanya kesal saja pada mereka. Ayah. Mereka betul-betul
seperti iblis."
"Ya. Kita semua memang harus bekerja
sama untuk menghancurkan watak iblis mereka.
O ya, Jaka. Paman ingin mendengar cerita men-
genai kekasihmu," pinta Terala.
Permintaan Terala segera dipenuhi Jaka.
Semua diceritakannya tanpa ada yang tertinggal sedikit pun.
"Semua gadis cantik memang dicintai Ga-
gak Sugih Pengasung. Dia seorang pecandu pe-
rempuan jelita. Oh, kami berempat akan mem-
bantu menemukan Nini Mayang," tutur Gumai
Gumarang. "Terima kasih, Paman," ucap Jaka. "Kalau boleh kutahu, sebenarnya dari mana
Paman dan juga...." "Namaku Bayu. Gagah Bayu lengkapnya,"
sambut kekasih Seruni seraya mengulurkan tan-
gannya. "Namaku Jaka Sembada," sambut Jaka.
"Kalau boleh kuduga, kau adalah kekasih Seruni.
Jika betul pandai-pandailah kau menjaganya.
Jangan seperti aku yang lengah hingga gadis yang kucintai hilang disambar
orang," senyum Jaka sedikit terkembang.
"Itulah manusia, Jaka. Kelengahan adalah
penyakit yang pasti dimiliki," kilah Terala. "Kami berempat baru saja pulang
melayat dari Desa Ma-gatan. Seorang sahabat kami beserta keluarganya tewas
dibantai Ular Laut Merah dan kawan-kawannya."
"Ha ha ha...! Ha ha ha...!"
Tiba-tiba tawa menggelegar terdengar me-
mekakkan telinga. Tawa itu berkepanjangan hing-ga para pengunjung kedai dan
pemiliknya tidak
dapat bertahan. Mereka ambruk ke tanah dengan
telinga seperti mau pecah.
Terala, Gumai Gumarang, Seruni, Gagah
Bayu, dan Jaka mengalami hal yang sama. Na-
mun mereka berhasil mementahkan suara tawa
yang dikerahkan melalui tenaga dalam tingkat
tinggi itu. "Hentikaaan...!" bentak Gumai Gumarang.
Tubuhnya seketika melesat keluar kedai, meng-
hampiri orang yang tertawa. Terala dan yang
lainnya segera mengikuti. Mereka melesat cepat ke luar kedai.
"Ular Laut Merah"!" Terala mengenali lelaki tinggi kurus yang mengenakan pakaian
merah darah. Di tangan lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu tergenggam sebilah
pedang berkeluk
sembilan yang juga berwarna merah darah. Hulu
pedang itu berbentuk kepala ular kobra.
"Ha ha ha.... Bagus kalau kau mengenali-
ku, Tua Peot," sentak Gurilang Laut. Dia berdiri pongah di samping Sanca Lodaka
dan Ratu Selendang Kabut yang juga berdiri angkuh.
"Hm.... Kenapa kau tertawa seperti itu, Gurilang" Tidak tahukah kau kalau tawa
itu begitu menyakitkan. Kau lihat di dalam kedai sana, mereka semua ambruk ke
lantai karena tak kuat
mendengar tawamu," ucap Terala dengan sikap yang cukup tenang.
"Aku tertawa karena mendengar orang di
dalam kedai menyebut-nyebut namaku dan men-
gaku sebagai sahabat si Banci Lanjalaka. Aku
akan membuat perhitungan dengan orang itu.
Akan kukirim dia sekarang juga ke dasar neraka!"
sahut Ular Laut Merah. Tangan kirinya mengang-
kat pedang merah berkeluk sembilan. "Kaukah yang barusan menyebut-nyebut
namaku?" tanya Ular Laut Merah.
"Ya. Aku," jawab Terala mantap.
"Hm.... Berarti kalian sahabat-sahabat Lanjalaka yang telah menolak lamaran
adikku Sanca Lodaka. Kalian semua harus mampus!"
"Sabar, Kakang Gurilang," tahan Sanca Lodaka. Disentuhnya tangan Gurilang Laut.
"Kuha-rap kau sudi menyisakan dara jelita itu. Biarlah aku tidak bisa
mendapatkan Putih Lempuyang.
Dara jelita itu pun tak kalah menariknya untuk menggantikan kedudukan Putih
Lempuyang," seraya jari telunjuk menuding sosok Seruni.
"Hi hi hi.... Matamu awas juga, Sanca. Gadis itu memang cantik dan pantas untuk
kau persunting," timpal Ratu Selendang Kabut seraya menatap wajah anak tunggal
Terala. "Siapa na-mamu, Anak Manis?" tanya Nyi Layu Kumbara pada Seruni.
"Siapa sudi memperkenalkan diri pada si-
luman-siluman seperti kalian"!" sentak Seruni di luar dugaan Sanca Lodaka.
"Jaga dirimu, Anak Manis. Kau bisa me-
nyusul Putih Lempuyang ke neraka kalau kata-
kata kasar sekali lagi kau ucapkan!" ancam Gurilang Laut
"Adi Gurilang, kita hampir melupakan ke-
hadiran seseorang yang tengah kita cari," ujar Selendang Kabut
"Raja Petir maksudmu, Nyi?" tanya Gurila Laut dengan melempar tatapan ke arah
Jaka. "Ya."
"Lupakan saja bocah bau kencur itu. Kita
urus dulu keinginan Sanca Lodaka mempersunt-
ing gadis jelita itu," tunjuk Gurilang Laut pada Seruni. "Lelaki gila!" maki
Seruni kasar. "Hm.... Kau sudah melanggar peringatan-
ku, Gadis Angkuh! Berarti kau harus mampus
menyusul Putih Lempuyang!" bentak Gurilang Laut "Nyawa tidak berada
digenggamanmu, Ular Laut Merah," cetus Jaka dengan kaki terayun dua langkah
membelakangi Terala, Gumai Gumarang,
Gagah Bayu, dan Seruni. Tangannya bersidekap
di atas perut. "Sebelum kesombonganmu terbukti, aku ingin tahu lebih dului ada
urusan apa kalian mencariku" Apakah ada hubungannya dengan
Gagak Sugih Pengasung?" lanjut Jaka menduga-duga. Sengaja pertanyaan itu
dilemparkan kare-na dari Terala, Jaka tahu kalau ketiga orang di hadapannya itu
adalah sahabat Gagah Sugih
Pengasung. "Rupanya kau sudah tak sabar ingin segera pergi bertamasya ke liang lahat. Raja
Petir," ujar Ratu Selendang Kabut yang juga melangkah dua
tindak. "Kujelaskan padamu. Kami adalah utusan Gagak Sugih Pengasung yang
berhajat mele-nyapkanmu. Kamilah wakil darinya!"
Jaka tersenyum mendengar ucapan pe-
rempuan cantik berpakaian kelabu dan berselen-
dang hitam itu.
"Tuan-tuan dan Nona yang cantik," ucap Jaka mengejek. "Jika kalian adalah utusan
Gagak Sugih Pengasung yang memerintahkan untuk
membunuhku, itu berarti kalian tahu di mana
Mayang Sutera berada. Atau tepatnya, di mana
gadis itu disembunyikan. Tolong beritahukan
aku," lanjut Jaka dengan kata-kata yang terden-
gar begitu tenang.
"Ha ha ha.... Di liang kubur nanti malaikat akan mcmberitahumu. Raja Petir!"
jawab Sanca Lodaka ketus.
"Baiklah. Jika kalian berkeberatan membe-
ritahukannya, jangan salahkan aku jika kurobek mulut kalian," gertak Jaka
mengimbangi ucapan Sanca Lodaka.
"Nama besarmu di jagad persilatan ru-
panya telah membuat sombong, Raja Petir. Aku
ingin tahu mampukah kau mempertahankan ke-
sombongan itu," tantang Gurilang Laut Senjatanya terangkat ke udara.
Bersiaplah!"
Jaka merenggangkan kakinya sebagai ja-
waban atas ucapan Ular Laut Merah. Pemuda nan
tampan dan gagah itu berdiri dengan kuda-kuda
kokoh. "Hiaaat..!"
*** 6 Gurilang Laut atau Ular Laut Merah berte-
riak lantang. Tubuhnya mencelat tinggi ke angka-sa dan meluruk turun dengan
cepat mengguna-
kan jurus 'Pagutan Ular Merah Memangsa Gurita'.
Tangan kanan lelaki berpakaian merah darah itu membentuk moncong ular.
Wuttt...! "Ips!"
Begitu cepatnya sambaran tangan Gurilang
Laut yang mengarah ke batok kepala Jaka. Na-
mun lebih cepat lagi gerakan menghindar yang dilakukan Jaka dengan mengerahkan
jurus 'Lejitan Lidah Petir'.
"Jangan putus asa, Ular Merah. Ulangi lagi seranganmu," ejek Jaka yang berdiri
terpaut satu batang tombak dengan lawan.
"Sombong kau. Raja Gila! Kuhancurkan ba-
tok kepalamu sekarang juga!" geram Ular Laut Merah murka. Tubuhnya kembali
bergerak cepat memainkan jurus yang sama.
Wut! Wut...! Cecaran telapak tangan yang membentuk
paruh ular bergerak-gerak dua kali lebih cepat.
Sasarannya tidak hanya ubun-ubun, tapi juga ke bagian kening dan ulu hati.
Berkali-kali sambaran tangan Ular Laut Merah luput dari sasaran.
Itu membuat Gurilang Laut merasa dipermalu-
kan. Karenanya, dia segera membuka jurus-jurus yang lain.
'"Ular Membelah Laut'! Hiyaaat...!"
Wrrr...! Serangkum sinar kemerahan meluruk de-
ras dari tangan Ular Laut Merah yang berbentuk moncong ular. Sinar kemerahan itu
menebarkan bau amis yang cukup menyengat
"Hop!"
Jaka menghentakkan kakinya kuat-kuat
menghindari terjangan sinar merah Gurilang Laut Tubuhnya melenting di udara dan
berputaran beberapa kali. Kemudian dengan tanpa suara, tu-
buh terbalut pakaian kuning emas itu mendarat
di tanah. Belum lagi setegukan teh kaki Jaka menje-
jak tanah, sosok lain sudah bergerak cepat menghantamkan pukulannya ke batang
leher. Angin menderu mengiringi datangnya serangan yang
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Bet! "Heh"!"
Jaka menarik tubuhnya ke belakang. Se-
mentara lehernya dimiringkan ke samping kanan.
Gerakannya yang cepat membuat serangan Sanca
Lodaka luput beberapa jari. Namun Sanca Lodaka dengan cerdik mengambil
kesempatan yang dili-hatnya. Dengan cepat dia mengirimkan tendan-
gan memutar yang terarah ke dada Jaka.
"Hih!"
Plak! Tak ada lenguh kesakitan ketika tangan
dan kaki itu berbenturan keras. Kedudukan Raja Petir tergeser dua tindak.
Demikian pula dengan Sanca Lodaka. Di saat pertarungan terhenti sejenak, Terala
melesat ke arah Jaka.
"Sebaiknya kita bertarung satu lawan sa-
tu," tantang Terala dengan bibir mencibir ke arah Sanca Lodaka.
"Apa pedulimu, Tua Bangka! Kalau kau
mau ikut bertarung, majulah! Biar kukirim secepatnya nyawa tuamu ke neraka!"
balas Sanca Lodaka. "Baik!" ucap Terala menahan marah. "Tapi yang tua tidak
pantas menyerang lebih dulu, kau-
lah yang mengawali."
Belum lagi gema ucapan Terala menghi-
lang, lelaki berpakaian rompi dengan corak sisik ular melesat cepat mengerahkan
pukulan lurus ke dada Terala.
"Hiyaaa...!"
Bet! Wet! "Bts!"
Terala membawa mundur tubuhnya dua
langkah. Namun saat kaki lelaki tua itu bergerak, dia memberikan serangan tak
Raja Petir 22 Cinta Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terduga lewat tendangan menekuk ke arah kemaluan Sanca Loda-
ka. Mau tak mau tokoh sesat itu melempar tu-
buhnya ke kanan.
Pada saat yang bersamaan Ratu Selendang
Kabut bergerak menyerang Terala. "Lebih baik ku-bantu kau, Sanca. Biar lebih
cepat," ujar Nyi Layu Kumbara. Sebuah tendangan bertenaga tinggi meluncur ke
bagian dada Terala.
Buet! "Heh"! Uts!"
Tubuh tua yang terbungkus pakaian putih
itu melenting ke udara. Ringan dan indah gerakan yang dilakukan Terala, tapi
manfaatnya sangat
hebat. Serangan Ratu Selendang Kabut mentah
begitu saja. Nyi Layu Kumbara kesal melihat serangan-
nya dikandaskan Terala. Dengan cepat dia kem-
bali melancarkan serangan susulan. Bersamaan
dengan itu Sanca Lodaka ikut melakukan seran-
gan. "Hyaaa...!"
Terkesiap Gumai Gumarang menyaksikan
kecurangan lawan-lawan Terala. Maka, seketika
itu juga Pendekar Pedang Biru melesat menyong-
song serangan Nyi Layu Kumbara.
"Jangan curang, Nyi!" bentak Gumai Gumarang. Ia memberikan sodokan tangan ke
arah iga perempuan berpakaian kelabu dan berselen-
dang hitam. Melihat serangan Gumai Gumarang, Ratu
Selendang Kabut serta merta menarik serangan-
nya. Tangannya bergerak cepat memapak sodo-
kan tangan Gumai Gumarang.
Plak! "Ikh!"
Pekik tertahan terdengar dari mulut Gumai
Gumarang dan Nyi Layu Kumbara. Dua tokoh
berbeda aliran itu terhuyung dua langkah ke belakang. "Hm.... Tak kusangka kau
yang sudah tua masih memiliki tenaga cukup kuat," ucap Nyi Layu Kumbara mengejek
lawannya. "Kau pikir cuma dirimu yang punya tenaga, heh"!" balas Gumai Gumarang.
"Ah. Sebaiknya kita tentukan siapa di anta-ra kita yang paling hebat," kata Nyi
Layu Kumbara. "Bersiaplah menghadapi Selendang Kabutku.
Aku tidak ingin bermain-main dengan lelaki tua sepertimu yang sudah tidak sedap
dipandang."
"Mari!" sambut Gumai Gumarang. Tangannya meraba hulu pedangnya yang berwarna
biru. Nyi Layu Kumbara atau Ratu Selendang
Kabut segera meloloskan selendang hitam yang
membelit dada dan pinggangnya. Pamor senjata
itu begitu jelas terlihat. Ketika selendang hitam terlepas dari tubuh
pemiliknya, hawa di sekitar tempat pertarungan berubah dingin.
"Hm.... Aku tidak boleh bermain-main
menghadapi hantu perempuan ini," gumam Gumai Gumarang. Kemudian tangannya
bergerak mencabut pedang dari warangkanya.
Sring! Sinar kebiruan memendar sewaktu senjata
Gumai Gumarang lolos dari tempatnya.
"Hm.... Terima ini, Lelaki Peot! Hih!"
Splasrts...! Pergelangan tangan Nyi Layu Kumbara
bergerak lincah. Selendang Kabut hitamnya melecut cepat menimbulkan ledakan yang
menjelma- kan uap seperti kabut. Hitam dan semakin lama
semakin tebal. Wung! Wung...! Gumai Gumarang walau pandangannya
terhalang kabut tebal yang keluar dari senjata lawan segera memutar pedangnya
untuk menga- caukan. Namun apa yang dilakukan Gumai Gu-
marang ternyata sia-sia belaka. Kabut tebal jelmaan jurus 'Kabut Buta Nyawa
Binasa' olahan Ratu Selendang Kabut tidak berhasil dikacaukan.
Malahan sebuah teriakan nyaring didengar Gumai Gumarang.
"Hyaaat...!"
"Kurang ajar! Aku tidak bisa melihat dari mana perempuan iblis itu
menyerang...," Gumai Gumarang sedikit kebingungan. Namun kecerdi-
kan pikirannya mengajarkan kalau dia harus bergerak berpindah-pindah tempat, meski tak tahu
arah serangan lawan.
Bugkh! "Akh!"
Pendekar Pedang Biru terjajar mundur em-
pat langkah. Bahunya terhantam dengan keras
telapak kaki Ratu Selendang kabut. Dia merasa-
kan tulang bahu kirinya bergetar hebat dan ber-denyut sakit
"Hik hik hik.... Kiranya hanya sampai di si-tu saja kemampuanmu, Tua Peot.
Sebaiknya jan- gan berlama-lama kau hidup. Hijrahlah kau ke
liang lahat, Peot!" Nyi Layu Kumbara dengan menghina memperhatikan wajah Gumai
Gumarang yang meringis kesakitan. "Sekarang sambut-lah detik-detik kematianmu!
Hih!" Splarts...! Kembali Selendang Maut Nyi Layu Kumba-
ra bergerak dan meledak. Ledakannya kali ini terdengar lebih dahsyat. Kabut yang
lebih tebal langsung menjelma mengurung tubuh Gumai
Gumarang. "Hik hik hik.... Sekarang juga jurus
'Selendang Maut Membedah Otak' akan mena-
matkan riwayatmu," ujar Ratu Selendang Kabut Tangan kanan perempuan itu
menggenggam selendang hitam hingga melewati dagu. Se-
lendang itu berubah menjadi kaku bagai lempen-
gan logam. Nyi Layu Kumbara sudah memindah-
kan kekuatan tenaga dalamnya yang tinggi pada
selendang yang digunakannya sebagai senjata.
Sementara itu pada pertarungan lain, anta-
ra Jaka melawan Ular Laut Merah, berjalan cu-
kup alot. Nafsu Iblis Gurilang Laut yang hendak secepatnya membinasakan Raja
Petir membuatnya mengerahkan seluruh kemampuannya den-
gan kecepatan yang luar biasa. Namun sayang, di balik serangan-serangan yang
dahsyat itu, Ular Laut Merah lengah dalam pertahanan. Sebenarnya kelemahan
Gurilang Laut Merah tidak akan
terlihat jika lawannya bukan Raja Petir yang sela-lu meneliti setiap gerakan
lawan. Tentu saja ke-lengahan Gurilang Laut secepat mungkin diman-
faatkan anak angkat Nyi Selasih (Baca episode
"Pembalasan Berdarah"). Dia pun sempat melihat bahaya yang mengancam Gumai
Gumarang yang bertarung melawan Ratu Selendang Kabut. Maka
tak ayal lagi Jaka mengerahkan sepasang tan-
gannya yang terangkum dalam jurus 'Menggiring
Awan'. "Hiaaa...!"
Plak! Bug! "Hiegkh!"
Tubuh Gurilang Laut langsung terjajar lima
langkah ke belakang. Hantaman tangan kiri dan
kanan Jaka mengenai dagu dan dadanya dengan
telak. Namun patut dipuji daya tahan Ular Laut Merah. Tubuhnya tidak ambruk ke
tanah meski terkena pukulan yang cukup keras.
Sebenarnya Jaka bisa saja jika hendak
memberikan serangan susulan, namun itu tidak
mungkin dilakukannya. Dirinya sebetulnya tidak punya urusan dengan Gurilang
Laut. Apalagi pa-
da saat yang sama Gumai Gumarang sangat
membutuhkan pertolongan.
"Hiyaaa...!"
Terkejut Raja Petir mendengar teriakan me-
lengking Nyi Layu Kumbara. Perempuan hampir
setengah abad itu melesat ke arah Gumai Guma-
rang yang masih merasakan sakit pada sebelah
bahunya. Tanpa membuang-buang waktu, untuk
menyelamatkan Gumai Gumarang, Jaka segera
berbalik dan membentuk kuda-kuda gantung.
Kemudian tangannya menghentak ke depan den-
gan keras. "Hih!"
Wrrr...! Serangkum angin bergulung bagai pusaran
meluruk deras menuju Nyi Layu Kumbara.
"Heh"!"
Ratu Selendang Kabut tentu saja terkejut.
Angin panas bergulung-gulung meluncur ke arah-
nya. Pikirannya yang hendak membinasakan
Gumai Gumarang jadi terpecah. Ia lebih memen-
tingkan keselamatan dirinya dengan menarik pu-
lang serangannya, dan menghindari serangan
maut Jaka lewat jurus 'Pukulan Pengacau Arah'.
"Setan! Hops...!"
*** 7 Ratu Selendang Kabut menghentakkan
kainnya kuat-kuat. Tubuhnya pun mencelat ke
udara dan berputaran dengan indah.
Ketika maut telah menghindar dari Gumai
Gumarang, Jaka segera memperingati Seruni dan
Gagah Bayu yang semenjak tadi hanya berdiri
menonton. Sepasang muda-mudi itu memang ter-
pengaruh oleh pertarungan hebat yang jarang mereka saksikan. Hingga mereka tidak
berani ikut terjun ke kancah pertarungan. Seruni dan Gagah Bayu merasa ilmu
mereka demikian dangkal.
"Runiii...! Selamatkan Paman Gumai!" teriak Jaka lantang.
Seruni seperti orang yang baru terjaga dari
tidurnya. Dia tergagap mendengar perintah Jaka.
Namun kemudian dengan diikuti Gagah Bayu,
menghampiri Gumai Gumarang. Dipapahnya tu-
buh lelaki yang terbalut pakaian biru itu keluar arena pertarungan.
Nyi Layu Kumbara yang berhasil menghin-
dari serangan Jaka sudah mendarat di tanah. Matanya membara seperti seekor naga
terluka menatap sosok Raja Petir.
"Kau lancang, Raja Petir! Kau harus mam-
pus di tanganku!" ucap Ratu Selendang Kabut murka. Jari telunjuknya menuding
wajah Jaka yang berdiri dengan tenang.
Ternyata, bukan hanya Nyi Layu Kumbara
yang bersiap-siap akan melumat tubuh Jaka. Da-
ri arah berlawanan Ular Laut Merah sudah berhasil meredam sakit pada dagu dan
dadanya. Ia pun tengah bersiap menyerang Raja Petir. Pedang ber-
keluk sembilan sudah terangkat di atas kepala.
"Akan kulumat tubuhmu. Raja Petir!
Hiyaaat..!"
Tubuh Gurilang Laut meluruk deras ke
arah Jaka. Senjatanya yang berwarna merah di-
putar-putar cepat di atas kepala. Deru angin terdengar, mementalkan batu-batu
kecil yang ada di sekitarnya. Jelas, serangan Ular Laut Merah dikeluarkan
melalui pengerahan tenaga dalam penuh.
"Haiiit..!"
Dari arah kanan Ratu Selendang Kabut
pun melesat pada sasaran yang sama. Gerakan
perempuan setengah baya itu tidak kalah hebat-
nya. Selendang Kabut-nya yang berubah kaku
bagai lempengan logam digerak-gerakkan dengan
kekuatan tenaga dalam tinggi, hingga menimbul-
kan bunyi berdecit yang cukup tajam menusuk
telinga. Raja Petir sadar kalau serangan lawan-lawannya itu cukup berbahaya.
Maka dia tidak berani sembarangan menghadapinya hanya den-
gan mengandalkan jurus 'Lejitan Lidah Petir'. Ja-ka niat menggabungkan jurus itu
dengan ajian 'Aji Bayang-Bayang'.
Tanpa menunggu lama Jaka melaksanakan
niatnya. Seketika itu juga sosoknya menjelma
menjadi lima kali lipat banyaknya. Jurus 'Lejitan Lidah Petir' membuat sosok-
sosok Raja Petir bergerak cepat membingungkan Ular Maut Merah
dan Ratu Selendang Kabut.
"Setan!"
"Monyet!"
Suara-suara makian terdengar dari mulut
Nyi Layu Kumbara dan Gurilang Laut. Kendati
begitu dengan penasaran kedua lawan Raja Petir itu tetap meneruskan serangannya.
Wung! Wung...! Cwing...! "Monyet!"
"Setaaan...!"
Lagi-lagi Nyi Layu Kumbara dan Gurilang
Laut memaki ketika serangan mereka hanya
mengenai sosok bayangan Jaka. Kedua lawan Ra-
ja Petir itu berpikir keras untuk dapat menjatuhkan lawan.
"Hm.... Aku harus mengerahkan ilmu
'Selendang Mengurung Naga' agar gerakannya ti-
dak bisa sebebas itu," gumam Nyi Layu Kumbara mendapatkan jalan keluar.
Kiranya bukan cuma Nyi Layu Kumbara
yang sudah menemukan cara. Gurilang Laut pun
sudah mendapatkannya. "Akan kubungkam il-
munya dengan ilmu 'Menguras Laut Membunuh
Hiu'!" putus Gurilang Laut. Kedudukannya kini berubah dengan kuda-kuda rendah.
Pedang merah berkeluk sembilan diletakkan di depan dada.
Di tengah-tengah kesibukan Gurilang Laut
dan Nyi Layu Kumbara mempersiapkan ilmu-ilmu
andalan mereka. Seruni dan Gagah Bayu yang
membawa Gumai Gumarang ke dalam kedai me-
nyaksikan pemandangan itu dengan Tegang.
"Mudah-mudahan Kakang Jaka bisa mere-
dam ilmu-ilmu iblis mereka," gumam Seruni pelan.
"Aku juga mengkhawatirkannya, Runi," tutur Gagah Bayu sambil mendekatkan
tubuhnya pada Seruni. "Ah, Jaka...," desis Gumai Gumarang yang menyaksikan Raja Petir dikurung dari
dua arah. Lelaki berpakaian biru itu merasakan sakit di bahunya telah hilang. Namun dia
tidak berani ma-
Raja Petir 22 Cinta Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suk ke dalam pertarungan Jaka yang tengah
menghadapi lawan-lawannya.
"Hrgggh...!"
"Hoaaattt...!"
Ular Laut Merah dan Ratu Selendang Ka-
but berteriak lantang ketika ilmu-ilmu andalan mereka bekerja. Angin bergulung
berwarna kemerahan keluar dari ujung senjata berkeluk sembilan milik Gurilang
Laut. Gulungan angin merah
itu bergerak cepat ke arah Raja Petir. Ukurannya semakin lama semakin membesar
lalu mengurung sosok Jaka.
Sementara akibat dari ilmu yang dikelua-
rkan Nyi Layu Kumbara, selendangnya melar ba-
gai karet. Namun selendang hitam yang mengu-
rung Jaka itu masih keras seperti lempengan logam. Jaka dengan kecerdikannya
dapat me- nyimpulkan kalau ilmu lawan-lawannya bertu-
juan untuk mempersempit ruang geraknya. Dan
di balik itu akan datang serangan susulan yang akan dilancarkan lewat pengerahan
ilmu yang lain. Sebuah serangan yang mungkin dua kali lipat kedahsyatannya.
Jaka segera saja mengerahkan 'Aji Kukuh
Karang' untuk membentengi tubuhnya dari se-
rangan lawan. Sinar kuning keemasan membung-
kus bagian-bagian tertentu di tubuh Raja Petir, dari kepala hingga dada dan dari
lutut sampai ujung kaki. "Hoaaattt...!"
Lengkingan keras kembali terdengar. Ber-
samaan dengan teriakan nyaring itu tangan kiri Ratu Selendang Kabut menghentak
keras. Slats! Slats! Slats!
Rangkuman sinar keperakan bagai lidah
petir meluruk deras ke bagian-bagian peka tubuh Jaka. Demikian pula yang
dilakukan Gurilang
Laut Setelah terlebih dulu memekik nyaring, Ular Laut Merah mengibas-ngibaskan
pedang berkeluk
sembilannya. Dari ujung pedang itu meluncur
berlarik-larik sinar merah.
Tret! Tret! Tret!
Menghadapi luncuran sinar keperakan ba-
gai petir dan berlarik-larik sinar kemerahan, Jaka yang memang sudah membentengi
tubuhnya dengan Aji 'Kukuh Karang' hanya memejamkan
mata saja. Kenyataan itu tentu saja membuat Ra-tu Selendang Kabut dan Ular Laut
Merah kehera- nan. "Nekat! Apa dia pikir ilmunya mampu menandingi ilmu 'Pukulan Ratu Selendang
Hitam'" Benar-benar cari mampus!" gumam Nyi Layu
Kumbara dengan tatapan tertuju lurus ke sosok
Jaka yang tengah memejamkan mata.
"Bocah sombong!" maki Ular Laut Merah.
"Jangan main-main dengan ilmu 'Sinar Beracun si Raja Ular Merah'. Kau pasti
binasa, Raja Petir.
Binasa...."
Sementara hati Nyi Layu Kumbara dan Gu-
rilang Laut terheran-heran, sinar keperakan dan merah semakin meluncur deras
mendekati sasaran. Gumai Gumarang, Seruni, dan Gagah Bayu
yang menyaksikan pertarungan mengalami kete-
gangan yang luar biasa.
"Hhh...," Seruni hanya bisa menarik napas panjang untuk meredam ketegangannya.
Sementara Gumai Gumarang dan Gagah Bayu menatap
terus pemandangan di hadapannya dengan bola
mata tak berkedip.
Prefs! Prefs! Prefs...!
Detik-detik ketegangan menjelma menjadi
kelegaan di hati orang-orang yang berdiri di belakang Jaka. Kekhawatiran akan
keselamatan Raja
Petir tidak terbukti. Sinar-sinar jahat ciptaan Nyi Layu Kumbara dan Gurilang
Laut tidak meng-goyahkan kedudukan Jaka. Sinar perak dan ke-
merahan yang menghantam sosok Raja Petir se-
perti tertelan tubuh yang terbalut pakaian kuning keemasan itu.
Kenyataan itu membuat gusar hati Ular
Laut Merah dan Ratu Selendang Kabut.
"Hm.... Ilmu apa yang digunakannya" Be-
lum pernah aku melihat ilmu yang sehebat itu,"
tutur kata hati Nyi Layu Kumbara dan Gurilang
Laut. "Hizsss...!"
Di tengah kegusaran hati Nyi Layu Kumba-
ra dan Gurilang Laut, Jaka berseru keras. Dua telapak tangannya menghentak keras
ke depan. Slats! Slats! Slats!
Plash! Plash! Sinar perak Ratu Selendang Kabut melesat
balik melalui tangan kanan Jaka. Begitu juga
dengan larik-larik sinar merah Ular laut Merah.
Luncuran sinar-sinar jahat itu menjadi dua kali lipat cepatnya.
"Heh..."!"
"Hah..."!"
Kegusaran hati Nyi Layu Kumbara dan Gu-
rilang Laut berubah menjadi keterkejutan yang
luar biasa. Namun keduanya segera tersadar dan bersamaan menghentakkan kakinya
kuat-kuat. Mereka melempar tubuhnya untuk menghindari
luncuran sinar perak dan merah yang terpental
balik. "Hups! Hip!"
Trask! Prats! "Akh! Ikh!"
*** 8 Ratu Selendang Kabut dan Ular Laut Me-
rah memekik tertahan saat tubuh mereka melesat ke udara. Luncuran sinar perak
dan merah rupanya mampu dikendalikan Jaka dengan kecepa-
tan yang mengagumkan. Bahu Ratu Selendang
Kabut dihantam sinar keperakan miliknya sendi-
ri. Sementara Ular Laut Merah pun menerima ba-
gian yang sama. Tangan kanannya terkena sinar
beracun miliknya sendiri. Tapi itu merupakan
keuntungan bagi Nyi Layu Kumbara dan Gurilang
Laut Mereka dapat meredam kedahsyatan penga-
ruh sinar-sinar itu. Namun begitu, alangkah
murkanya hati Nyi Layung Kumbara dan Gurilang
Laut Mereka merasa dipermalukan oleh lawan
yang jauh begitu muda umurnya.
Jaka Sembada melihat lawan-lawannya
masih berdiri tegak. Tangan mereka memegangi
luka tubuhnya. Jaka diam saja di tempatnya,
menatap lurus ke arah Ular Laut Merah dan Ratu Selendang Kabut dengan tersenyum.
"Bagaimana, Tuan dan Nona?" tanya Jaka.
"Antara kita rasanya tak pernah terjadi kesalah-pahaman, apalagi permusuhan.
Untuk itu kukira
jalan yang terbaik adalah menyudahi pertarungan ini, yang hanya akan meminta
korban salah satu di antara kita. Aku yang muda mohon maaf karena tidak
menginginkan hal itu terjadi. Aku masih ingin menikmati kehidupan dunia sampai
Yang Maha Kuasa memanggilku. Kita berdamai saja,
dan kalian tunjukkan di mana Mayang Sutera be-
rada," ucap Jaka merendah.
Tak ada jawaban dari Nyi Layu Kumbara
dan Gurilang Laut. Yang terlihat hanyalah tatapan mata kedua tokoh golongan
hitam itu mem- bara ke wajah Raja Petir.
"Hrg!"
"Hngh!"
Lenguhan kemarahan pun terdengar.
"Kita tidak mungkin berdamai. Raja Petir!
Kau atau kami yang mampus!" sentak Ratu Selendang Kabut geram. Tangan kanannya
menud- ing-nuding wajah tampan Raja Petir.
"Ya. Aku atau kau yang hijrah ke neraka!"
timpal Gurilang Laut. Otot-otot tubuhnya kembali menegang. Agaknya lelaki
berpakaian merah darah itu hendak kembali memulai serangan.
Sementara itu di tempat lain, pertarungan
antara Terala yang berhadapan dengan Sanca Lo-
daka berlangsung alot dan berimbang. Jurus-
jurus andalan keduanya semakin banyak dikelua-
rkan. Sebenarnya Seruni dan Gagah Bayu bisa
saja membantu Terala untuk segera menyudahi
pertarungan. Namun itu tidak dilakukan sepa-
sang muda-mudi itu. Mereka tidak ingin dicap sebagai pengecut yang beraninya
main keroyok. Pertarungan menjadi semakin seru ketika
Sanca Lodaka mulai terdesak. Tendangan, puku-
lan, dan babatan senjata tak lagi terarah ke bagian-bagian peka di tubuh Terala.
Serangan itu dilakukan Sanca Lodaka hanya untuk memben-dung gencarnya serangan
Terala. Sebaliknya, Terala mengambil kesempatan
yang baik untuk terus mendesak Sanca Moncong
Emas. Dan ketika mendapat kesempatan baik,
pedang di tangan Terala bergerak cepat menebas perut Sanca Lodaka.
"Hiyaaa...!"
Bret! "Aaa...!"
Lengkingan menyayat seketika membu-
bung ke langit. Lelaki berpakaian rompi sisik ular terhuyung-huyung mundur
dengan telapak tangan memegangi perutnya yang koyak. Dari sela-
sela jari Sanca Lodaka merembes darah segar.
"Akh...!"
Brugkh! Sanca Moncong Emas ambruk ke tanah.
Tubuhnya menggeliat sesaat dan saat berikutnya tubuh lelaki muda itu mengejang
kaku. Nyawanya sudah tidak lagi menghuni raga.
Ratu Selendang Kabut dan Ular Laut Me-
rah yang mendengar lengkingan kematian Sanca
Lodaka bertambah murka. Tanpa membuang
waktu kedua tokoh golongan hitam itu melesat
melancarkan serangan ke arah Jaka.
"Hiyaaa...!"
"Haiiit..!"
Melihat dirinya kembali diserang, Jaka in-
gin memperingatkan lawan-lawannya dengan
mengirimkan 'Pukulan Pengacau Arah'.
"Hih!"
Wrrr...! Angin bergulung yang menimbulkan hawa
panas meluruk deras menyongsong Nyi Layu
Kumbara dan Gurilang Laut yang tengah berada
di udara. Jaka berharap lawan-lawannya segera
membuang diri untuk menghindari luncuran an-
gin panas bergulung bagai pusaran angin. Na-
mun, ternyata nafsu membunuh terhadap Jaka
membuat mereka melalaikan keselamatan diri
sendiri. Brush! Brush...!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Tubuh Nyi Layu Kumbara dan Gurilang
Laut melintir terhantam segulungan angin jurus
'Pukulan Pengacau Arah'. Lengkingan kesakitan
yang menyayat mengiringi terpentalnya Ular Laut Merah dan Ratu Selendang Maut.
Kedua orang suruhan Gagak Sugih Pengasung itu ambruk ke
tanah dengan bagian tubuh yang terkena angin
panas gosong seperti terpanggang.
Nasib Gurilang Laut nampaknya yang pal-
ing sial. Lelaki berpakaian merah itu terhantam bagian lehernya, hingga dia
tidak dapat bertahan hidup lebih lama. Bersamaan dengan tubuhnya
menyentuh tanah, nyawanya pun pergi mening-
galkan raga. Tinggal Ratu Selendang Kabut yang masih mengerang menahan nyeri di
pahanya yang gosong. "Keparat kau. Raja Petir! Kubunuh kau!"
pekik Nyi Layu Kumbara keras. Matanya membe-
lalak, menyiratkan kemarahan yang tidak terkendali. Sebisanya dalam keadaan
rebah di tanah,
tangan kanan Ratu Selendang Kabut menghentak
dua kali. "Hih!"
Slaps! Slaps! Dua larik sinar perak bagai petir meluncur
ke arah Jaka yang masih berdiri tegak. Rupanya tokoh muda yang berjuluk Raja
Petir itu menunggu kedatangan serangan lawan.
"Hop!"
Hanya dengan sekali menghentakkan kaki,
Jaka melenting indah menghindari terjangan si-
nar keperakan. Namun saat tubuh Jaka berputa-
ran di udara, tanpa diduga sama sekali Nyi Layu Kumbara melesat memburu Jaka.
"Haiiit...!"
Terala yang menyaksikan gerakan Nyi Layu
Kumbara terkejut bukan main. Bukan mustahil
Jaka kali ini akan kena hantaman serangan Ratu Selendang Kabut. Kepalan tangan
perempuan itu telah berubah kehitaman. Perempuan berusia se-
tengah baya itu mengerahkan ilmu 'Kepalan Ka-
but Sakti' dalam upaya terakhirnya merobohkan
keperkasaan Raja Petir.
Dengan kekhawatirannya akan keselama-
tan Raja Petir, Terala melesat menghadang Nyi
Lay Kumbara dari arah kanan.
"Hiyaaa...!"
Wung...! Pedang di tangan Terala berkelebat mence-
car lambung Nyi Layu Kumbara. Tentu saja se-
rangan itu membuatnya harus memperhitungkan
dan mengurungkan serangannya pada Jaka.
Kini Nyi Layu Kumbara merubah kedudu-
kannya. Ia harus mengelakkan serangan Terala.
Bret! "Ikh!"
Nyi Layu Kumbara terlambat memiringkan
tubuhnya. Ujung senjata Terala telah lebih dulu datang dan menyerempet pakaian
Raja Petir 22 Cinta Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di bagian perutnya.
"Tua bangka cabul!" maki Nyi Layu Kumbara setelah kakinya menjejak tanah.
Tatapan matanya membara melahap wajah Terala. "Kulumat tubuhmu, Cabul!
Hiaaa...!"
Ratu Selendang Kabut mengalihkan seran-
gannya pada Terala. Kepalan tangannya yang ma-
sih menghitam akibat pengaruh ilmu 'Kepalan
Kabut Sakti' terangkat di atas kepala, siap menghantam sasaran di bagian peka
tubuh ayah Seru-
ni. Terala pun sudah siap menyongsong se-
rangan lawan. Lelaki tua itu melesat cepat. Tangan kanannya menggenggam pedang
pusaka. "Hiaaa...!"
Buet! "Uts!"
Serangan Ratu Selendang Kabut lolos be-
berapa rambut dari dada Terala. Kesempatan itu digunakan lelaki berpakaian putih
itu untuk bergerak menghindar seraya menebaskan senjatanya
ke bahu Nyi Layu Kumbara.
"Hop!"
Dengan melenting indah melewati kepala
Ratu Selendang Kabut, Terala membabatkan pe-
dangnya ke bagian punggung lawan.
"Hih!"
Bret! "Akh!"
Pekik melengking seketika terdengar. Ba-
gian punggung perempuan berpakaian kelabu itu
terkoyak lebar. Darah berhamburan dari luka
yang menganga. Namun daya tahan tubuh Nyi Layu Kum-
bara patut mendapatkan pujian. Dalam keadaan
yang luka parah seperti itu, ia masih dapat bergerak cepat meluncurkan
pukulannya ke arah Tera-
la. "Haiiit...!"
Buet! "Uts!"
Terala dengan gesit kembali berhasil men-
gelakkan sambaran tangan Ratu Selendang Ka-
but. Malah dari caranya menghindar itu dia dapat mengambil keuntungan.
Kedudukannya jadi lebih
baik untuk melakukan serangan balik.
"Hih!"
Bugkh! "Ugkh!"
Nyi Layu Kumbara terdorong mundur tiga
langkah. Sodokan tangan kiri Terala telah menghantam dadanya. Darah muncrat dari
mulut Ratu Selendang Kabut
"Uhugkh!"
Ketika untuk kedua kalinya Nyi Layu
Kumbara terbatuk, tubuhnya langsung melorot ke tanah. Darah kental kehitaman
keluar dari dalam mulutnya. Jelas, perempuan pemilik Selendang
Kabut itu mengalami luka dalam yang cukup pa-
rah. Pemandangan yang cukup mengenaskan
itu hanya terlihat beberapa saat saja. Manakala Nyi Layu Kumbara kembali
terbatuk, tubuh perempuan itu betul-betul rebah. Napasnya yang
tinggal satu-satu habis sama sekali. Tubuh Nyi
Layu Kumbara terbujur kaku tanpa nyawa.
9 Melalui bola kristal saktinya Gagak Sugih
Pengasung menyaksikan kematian Ular Laut Me-
rah, Ratu Selendang Kabut, dan Sanca Moncong
Emas. Giginya gemeretuk menahan kemarahan
yang sangat. Dia tidak mengira lelaki muda berjuluk Raja Petir itu memiliki
kesaktian yang begitu tinggi. Namun kepongahan hati Wirya Setraging
berkata kalau ilmu sihirnya akan mampu meng-
hentikan kehebatan Raja Petir.
"Akan kulenyapkan kesaktianmu dengan
ilmu sihirku, Raja Petir. Tunggulah saatnya," bisik Wirya Setraging dalam hati.
"Jangan harap kau bisa mendapatkan kembali Mayang Sutera
yang sudah jatuh dalam genggamanku," janji lelaki berpakaian indah bagai seorang
pangeran itu. Ketampanannya lebih tercermin dalam pakaian-
nya. Gagak Sugih Pengasung lalu meraih senja-
tanya yang tergeletak di dekat bola kristal sakti.
Sebuah senjata pusaka yang bagian ujungnya
berwujud pedang sedangkan bagian tangkainya
berupa seruling. Senjata itu diangkat tinggi-tinggi ke udara. Pamor senjata itu
tampak begitu dahsyat. "Akan kunanti kedatanganmu, Raja Petir!"
pekik Wirya Setraging. Ucapan itu memantul di
dinding-dinding ruangan khususnya.
* * * Jaka dengan ditemani Terala, Gumai Gu-
marang, dan sepasang muda-mudi yang tak lain
Seruni dan Gagah Bayu sudah berada di mulut
Lembah Pengasung saat matahari pagi bersinar
setengahnya. Alam lembah nampak begitu aneh.
Pohon-pohon yang tumbuh berjajar di atas tanah yang tidak rata berdaun jarang.
Udara di sekitar Lembah Pengasung terasa tidak enak. Angin yang bertiup
sebentar-sebentar menebarkan aroma
amis. "Waspada perlu kita tingkatkan, Jaka,"
gumam Terala. Namun terdengar jelas di telinga Gumai Gumarang, Seruni, dan Gagah
Bayu. "Ya. Aku merasa kita akan dihadang sesua-
tu," sahut Gumai Gumarang. Senjatanya yang berupa pedang bersinar kebiruan sudah
tergenggam di tangan. Demikian pula dengan Seruni dan Gagah Bayu. Mereka telah
menggenggam senjata
masing. Srat! Terala ikut meloloskan senjata andalannya.
"Hrrr...!"
"Hrg...!"
Belum sekejapan Terala meloloskan senja-
tanya. Raung-raungan aneh segera terdengar di-
iringi dengan munculnya makhluk-makhluk aneh
bertubuh manusia dan berkepala kera.
Semula Jaka, Terala, dan yang lainnya me-
nyangka makhluk yang datang menyerbu itu ma-
nusia yang mengenakan topeng kera. Namun ke-
tika makhluk-makhluk itu semakin mendekat,
percayalah mereka kalau itu adalah makhluk
langka yang begitu menyeramkan.
"Hrrggg...!"
"Hrrrggg...!"
Sepuluh makhluk bertelanjang dada den-
gan menggenggam senjata berupa gada berduri
bergerak cepat menyerbu Jaka dan kawan-
kawannya. Wrugkh! Wrugkh! Angin menderu mengiringi datangnya se-
rangan para penghuni Lembah Pengasung. Sepu-
luh gada berduri bergerak bersamaan dengan
arah cecaran yang sama, yakni kepala lawan.
"Hm.... Hops!"
Sesaat setelah memperhatikan cara mak-
hluk-makhluk setengah manusia itu, Jaka segera melenting ke udara menghindari
terjangan gada-gada berduri. Sengaja Jaka langsung mengerah-
kan jurus 'Lejitan Lidah Petir', agar lebih mudah mengelak dan sempat memikirkan
cara aneh makhluk-makhluk itu menyerang.
"Hm.... Mereka sesungguhnya hanyalah sa-
tu," gumam Jaka mendapat kesimpulan. "Buktinya, jika makhluk yang menyerangnya
meng- hentikan gerakannya, maka yang lainnya mela-
kukan hal yang sama. Aku harus menundukkan
makhluk yang satu itu. Aku yakin maka semua-
nya akan tunduk," dengan kepekaannya Jaka berusaha memilih wujud makhluk yang
asli. "Hrgh...!"
"Yang ini!" pekik Jaka keras. Kemudian....
"Hih!" Bugkh!
Tak ada pekikan yang terdengar saat kepa-
lan tangan kanan Raja Petir yang dialiri tenaga dalam tinggi menghantam dada
salah satu lawannya. Makhluk itu terjajar lima langkah ke belakang. Ternyata
makhluk-makhluk lain yang
menyerang Terala, Gumai Gumarang, Seruni, dan
Gagah Bayu mengalami nasib yang sama. Raja
Petir telah berhasil mendapatkan wujud makhluk yang asli.
"Daya tahan tubuh makhluk itu sangat
kuat. Aku harus mencari titik lemahnya," Jaka menajamkan tatapannya pada sekujur
tubuh makhluk yang baru dihantamnya.
"Akan kucoba pada bagian jakunnya," putus Jaka. Sikapnya sudah siap mengambil
alih serangan. Namun belum lagi Jaka bergerak,
makhluk-makhluk itu sudah menyerang lebih du-
lu. "Hrgh...!"
Wrugkh! Berpasang-pasang gada berduri kembali
berkelebat mencecar batok kepala Jaka. Namun
Jaka tidak mengelakkan sambaran-sambaran
berbahaya itu. Raja Petir hanya menunggu keda-
tangan sambaran gada berduri yang berada di
genggaman makhluk asli.
Wrugkh! "Hih!"
Drgkh! Setelah mengelakkan sambaran gada ber-
duri sosok makhluk yang asli, Jaka menyodok
leher lawannya dengan tangan kanan yang berge-
rak pergi gerakan pedang menebas.
Cukup berhasil memang apa yang dilaku-
kan Jaka. Makhluk itu mengerang ketika tangan
Jaka mendarat telak di lehernya. Namun dia
kembali mampu maju menyerang. Rupanya, dae-
rah yang barusan diserang Jaka bukanlah titik
lemah makhluk aneh berkepala kera berbadan
manusia. Jaka terus berusaha mendapatkan kele-
mahan lawannya. Dan ketajaman matanya ter-
nyata melihat kalau titik lemah lawan terletak pa-da puting buah dada sosok
lelaki berkepala binatang itu.
"Hm.... Mudah-mudahan kesimpulanku
benar. Puting-puting yang berbentuk tak wajar itu harus kucabut dari tempatnya,"
gumam Jaka dalam hati. Kemudian sosok muda yang terbungkus
pakaian kuning keemasan itu melesat mengguna-
kan jurus 'Lejitan Lidah Petir' yang akan dipadukan dengan jurus 'Menggiring
Awan'. "Hiaaa...!"
Tubuh Jaka melesat bagai seekor elang
terbang. Sepasang tangannya merentang. Dan ke-
tika mendekat pada sasaran, tangan kiri Jaka
bergerak cepat mencecar ubun-ubun. Sedangkan
tangan kanannya yang membentuk cakar mence-
car puting buah dada lawan.
Plak! Crat! "Hrgkhkghk...!"
Raungan keras seketika membubung ke
langit. Tubuh makhluk berwujud manusia dan
kera itu terjajar mundur. Dari bagian dadanya
yang kena cakar mengucurkan cairan hitam ber-
bau anyir. Brugkh! Sepuluh makhluk yang menyerang Jaka
dan teman-temannya semua ambruk ke tanah.
Keanehan kembali mereka saksikan. Makhluk-
makhluk itu menghilang begitu saja.
"Hm.... Ilmu sihir yang menakjubkan," de-sah Gumai Garang.
"Lebih baik kita terus bergerak lebih ke dalam, Paman. Aku yakin Mayang Sutera
tidak be- rada jauh di sekitar tempat ini," ucap Jaka.
Namun belum lagi gema ucapan Jaka hi-
lang, sebuah tawa yang keras memantul-mantul
di empat penjuru Lembah Pengasung.
"Ha ha ha... ha ha ha...! Ha ha ha...!"
Jaka, Terala, Gumai Garang, Seruni, dan
Gagah Bayu memutar bola mata mereka, menca-
ri-cari dari mana suara itu datang. Namun tak
kunjung didapatkannya. Malahan kini tawa itu
diiringi alunan seruling yang begitu merdu.
"Tu lat tut tit tilt la lit..."
"Twiiit.. twiiit.. tit., tiiittt...!
"Ini bukan bunyi seruling biasa, Adi Terala.
Jiwaku seolah terbawa hanyut oleh iramanya.
Oh.... Aku tidak bisa mengekang hasrat untuk
berjoget," ucap Gumai Gumarang.
Tubuh dan pinggul Pendekar Pedang Biru
bergerak dan bergoyang-goyang dengan sendi-
rinya. Lelaki berusia hampir enam puluh tahun
lebih itu berjoget mengikuti irama seruling. Kenyataan itu juga terjadi pada
Terala, Seruni, dan Gagah Bayu. Mereka tidak dapat meredam pengaruh bunyi
seruling. Padahal seperti halnya Gumai Gumarang, mereka juga sudah berusaha
melawan pengaruh irama seruling dengan menutup ja-
lan pendengarannya. Namun pengaruh irama itu
masih tetap saja merasuk ke jiwa. Kini Terala, Gumai Gumarang, Gagah Bayu, dan
Seruni berjoget mengikuti alunan seruling. Cuma Jaka yang mampu bertahan.
"Hhh.... Aku harus segera menyudahi per-
mainan ini," ucap Jaka. Tangannya bergerak ke arah pinggang. Tak pelak lagi,
meloloskan Sabuk Petir yang berwarna hijau.
"Haaa...!"
Cletarrr...! Glegarrr...! Bunyi menggelegar bagai guntur terdengar
saat Sabuk Petir Jaka melecut di udara. Tiba-tiba bunyi merdu seruling lenyap
Raja Petir 22 Cinta Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seketika. Namun Terala, Gumai Gumarang, Seruni, dan Gagah Bayu
harus merasakan akibatnya. Meski tidak terluka dalam mereka terkulai di tanah
dengan napas te-rengah-engah.
"Kalian tidak apa-apa...?" tanya Jaka ce-mas. Terala menggelengkan kepala
menjawab pertanyaan Jaka. Begitu juga yang dilakukan
Gumail Gumarang, Seruni, dan Gagah Bayu.
"Kau memang hebat, Raja Petir. Akan ku-
tantang kau apakah mampu mendapatkan
Mayang Sutera, gadis yang kucintai sepenuh ji-
wa!" ucap sebuah suara bergema dan memantul-mantul.
"Akan kubuktikan. Namun nampakkanlah
wujudmu!" balas Jaka dengan mengerahkan tenaga dalam.
Seketika itu juga hawa di sekitar lembah
terasa dingin. Angin berhembus kencang ke arah Jaka. Namun bersamaan dengan
lenyapnya deru angin dingin, di hadapan Jaka berdiri sosok
Mayang Sutera yang berdampingan dengan seo-
rang lelaki muda nan gagah dan tampan.
"Aku tak akan pernah tenang kalau ada le-
laki yang mencintai gadis yang kucintai. Dia harus segera kulenyapkan dari muka
bumi ini!" tandas Wirya Setraging mantap.
"Kaukah Gagak Sugih Pengasung?" tanya Jaka dengan tenang.
Wirya Setraging menganggukkan kepala.
"Sebelumnya aku malu memperkarakan
masalah ini," ucap Jaka. "Masalah cinta yang se-mestinya bisa diselesaikan tidak
dengan cara mengadu jiwa," lanjutnya menatap tajam wajah Wirya Setraging.
"Apa kau takut padaku?" tanya Wirya Setraging meremehkan. "Atau kau punya cara
lain yang lebih kau anggap aman?"
"Ya," jawab Jaka mencoba tidak terpengaruh kata-kata lelaki tampan berambut
panjang itu. "Lebih baik kita tanyakan saja pada gadis itu,
siapa lelaki yang menjadi pilihannya," usul Jaka.
Tatapannya kini tertuju pada wajah cantik Dewi Payung Emas.
"Jawab pertanyaan lelaki itu, Mayang," pinta Wirya Setraging pada Mayang Sutera.
Mayang Sutera tidak segera memenuhi
permintaan Gagak Sugih Pengasung. Gadis itu
melangkah maju dua tindak. Tatapan matanya
terlihat kosong ke wajah tampan Raja Petir.
Seperti halnya Jaka. Terala, Gumai Guma-
rang, Seruni, dan Gagah Bayu yang sudah bang-
kit berdiri mengalami ketegangan menunggu ja-
waban Dewi Payung Emas.
"Raja Petir. Kau sungguh tak punya malu.
Kau anggap aku kekasihmu. Padahal sedikit pun
aku tidak punya cinta untukmu. Pergi cepat dari hadapanku! Jangan tunggu
kurenggut nyawamu!"
Perasaan Jaka bergolak seketika. Ucapan
Mayang Sutera terdengar begitu menusuk hati.
"Kau dengar itu, Raja Petir...?"
*** 10 Jaka sesungguhnya tidak percaya dengan
ucapan Mayang Sutera. Ia berkesimpulan jalan
pikiran kekasihnya telah dipengaruhi Wirya Se-
traging. "Lepaskan pengaruh sihirmu terhadapnya,
Gagak Sugi Pengasung. Aku meragukan kebena-
ran kata-katanya," pinta Jaka.
Permintaan Raja Petir tidak dipenuhi Ga-
gak Sugi Pengasung. Malah, lelaki muda dan
tampan itu memerintahkan Mayang Sutera untuk
membunuh Jaka. "Binasakan dia, Mayang."
Tanpa diperintah dua kali Mayang Sutera
melesat cepat menyerang Jaka. Senjatanya yang
berupa payung kecil terbuat dari logam langsung dikembangkan dan dibabatkan ke
dada Jaka. "Haiiit..!"
Wuttt..! "Ups!"
Jaka segera menghentakkan kakinya kuat-
kuat. Saat itu juga tubuhnya melenting jauh ke belakang membuat serangan Mayang
Sutera mentah di tengah jalan.
"Hm.... Aku harus terlebih dulu menghi-
langkan pengaruh sihir pada diri Mayang Sutera.
Kalau tidak dirinya bisa celaka," ucap Jaka dalam hati. Ketika Dewi Payung Emas
kembali menyerbu, Jaka menyiapkan pukulan dengan men-
gerahkan 'Aji Kukuh Karang'.
"Haiiit..!"
Pada saat Mayang Sutera berada di udara,
jari-jari Raja Petir dengan cepat menghentak. Dua larik sinar kuning melesat
menyongsong tubuh
Dewi Payung Emas.
Slats! Slats! Dua larik sinar kuning itu berpencar dua
arah. Begitu cepatnya lesatan itu hingga Mayang
Sutera tidak dapat menghindar. Luncuran sinar
menghantam kepala dan lututnya. Seketika itu
juga Mayang Sutera merasakan hawa lain menja-
lar di sekujur tubuhnya. Dan belum lagi Dewi
Payung Emas berbuat sesuatu, tubuhnya tidak
mampu digerakkan lagi.
Bruk! Mayang Sutera ambruk ke tanah.
"Kurang ajar kau. Raja Petir! Kau telah
menyakitinya. Kubunuh kau!"
Wirya Setraging dengan kalap menyerang
Raja Petir. Senjata pusakanya menebas ke arah
leher. Wung! Twiiit..! "Heh"! Uts!"
Tersentak hati Jaka mendapatkan seran-
gan lawan. Serangan itu bukan saja mengancam
lehernya, tetapi juga jiwanya terpengaruh oleh bunyi yang mengiringi datangnya
ujung pedang, membuat Jaka seolah harus menyerahkan kepa-
lanya untuk dipenggal.
"Setan!" maki Jaka ketika sebuah sinar keperakan membungkus kakinya dari ujung
sampai sebatas paha. Pemuda itu kini tidak dapat ber-
pindah tempat. Sementara dengan senjatanya
Wirya Setraging kembali melancarkan serangan.
'Terpaksa kugunakan Pedang Petir," putus
Jaka ketika dirasakan hanya itu jalan keluar yang terbaik.
Maka ketika keputusan itu betul-betul bu-
lat, Jaka meloloskan senjata dari leher. Dengan
cepat kekuatan batinnya tersalur pada gagang
senjata yang belum nampak wujud utuhnya. Ke-
tika kekuatan itu telah mengalir sepenuhnya, wujud Pedang Petir pun menjadi
sempurna. Jaka segera mengangkat senjata itu tinggi-tinggi di atas kepala.
Tret... tret... tret...!
Zglarrr...! Bunyi guntur terdengar di kejauhan. Alam
di sekitar tempat pertarungan mendadak berubah gelap. Pedang Petir yang
memendarkan sinar kemerahan disambar kilat yang bergantian datang.
Dan seketika kilat-kilat itu lenyap, cuaca kembali terang benderang. Saat itulah
Gagak Sugih Pengasung melesat dengan senjata bergerak ke arah leher Jaka.
Traszzz...! Asap mengepul di udara ketika dua senjata
pusaka saling bertemu. Bunyi seperti benda pa-
nas tercelup di air seketika terdengar. Senjata Wirya Setraging dan senjata Jaka
saling menempel. Asap mengepul dari kedua senjata itu.
Dengan seluruh kekuatan batinnya Jaka
berusaha bertahan dari pengaruh ilmu 'Seruling Penggugah Sukma Pedang Pencabut
Nyawa'. Keringat membanjiri sekujur tubuh Jaka.
Tindakan itu pun dilakukan Wirya Setrag-
ing. Namun sayang, kekuatan batin Wirya Setraging dan penguasaan tenaga dalamnya
masih ka- lah dengan Jaka. Maka bukan hanya keringat
yang keluar dari tubuhnya, melainkan juga da-
rah. "Hoaaattt...!"
Dengan sisa kekuatannya Wirya Setraging
mencoba menghantamkan kepalan tangan kanan-
nya ke dada Jaka. Tapi tangan kiri Jaka telah lebih dulu membentengi tubuhnya.
Sebentuk kekuatan kembali bertemu lewat
telapak tangan dua tokoh tingkat tinggi itu. Namun lagi-lagi Wirya Setraging
harus mengakui keunggulan tenaga dalam Raja Petir. Saat benturan keras terjadi, Gagak Sugih
Pengasung mera-
sakan tenaganya yang disalurkan lewat telapak
tangan tersedot oleh kekuatan lawan.
"Heh"! Grrrzzzsssttt...!"
Seiring dengan tidak mampunya Wirya Se-
traging menarik pulang senjata dan tangannya
yang menempel di telapak tangan Raja Petir, mulutnya mengeluarkan teriakan aneh,
membuat Jaka terkejut sesaat. Keterkejutan Jaka rupanya memancing kecerdikan Wirya
Setraging untuk
mengambil kesempatan mengerahkan ilmu 'Kabut
Sakti Lembah Pengasung'.
"Grrrzzzsssttt...'" Tubuh Wirya Setraging ti-ba-tiba lenyap dari' hadapan Jaka.
Namun pe- dangnya masih nampak menempel pada Pedang
Petir milik Jaka.
"Ha ha ha.... Jangan kau bangga dulu, Raja Bodoh!" tukas Wirya Setraging tanpa
terlihat di mana sosoknya berada. Hanya suaranya saja
yang menggema memantul-mantul. "Senjataku yang menempel di senjatamu hanyalah
bayan-gannya saja. Inilah senjataku yang asli," lanjut Wirya Setraging. Di
hadapan Jaka kini terlihat
sebilah pedang yang mengambang di udara. Jaka
tentu saja kagum dengan kesaktian yang dimiliki Gagah Sugih Pengasung. Jarang
ada tokoh yang bisa keluar dari pengaruh perbawa Pedang Petirnya. Tapi Wirya Setraging..."
"Raja Petir! Bersiaplah untuk mampus. Il-
mu 'Panca Naga Merah Murka' akan segera men-
girimmu ke lubang kubur!" keras ucapan Wirya Setraging. Seiring dengan itu
pedang yang men-gapung di udara berputar cepat hingga wujud
senjata itu tak nampak. Hanya deru angin yang
terdengar cukup kuat. Kemudian dari angin itu
terciptalah lima berkas sinar merah yang mele-
dak-ledak. "Zlart! Zlart! Zlart..!"
Saat itu sinar-sinar merah itu menyentuh
tanah, di hadapan Jaka tampaklah seekor ular
naga berkepala lima.
"Hm.... Benar-benar ilmu iblis!" rutuk Jaka dalam hati.
Belum setegukan teh Jaka bergumam, so-
sok naga berkepala lima itu bergerak menyerang dengan ekornya yang mengibas
keras. Clegarrr! "Hop!"
Jaka melesat dengan menggunakan jurus
'Lejitan Lidah Petir', menghindari hantaman ekor naga merah yang cukup dahsyat.
Berkali-kali hal itu dilakukan Jaka.
"Khooosssttt..!"
Kini bukan hanya ekornya yang menyerang
Raja Petir dengan bertubi-tubi. Mulut naga jel-
maan Wirya Setraging itu menyerang dengan
semburan api. "Uts!"
Dengan masih menggunakan jurus 'Lejitan
Lidah Petir', Jaka terus bergerak menghindari serangan-serangan yang mematikan
itu. "Hiaaa...!"
Tiba-tiba Jaka berteriak keras. Tubuhnya
melesat seperti seekor elang menyambar anak
ayam. Sementara senjata pusaka Pedang Petir
bergerak memutar melakukan tebasan maut ke
arah leher naga.
Wung...! Brrr...! Bunyi angin berkesiut dahsyat jelas ter-
dengar saat naga jelmaan Wirya Setraging berhasil mengelakkan serangan Raja
Petir. Namun Jaka bukannya keheranan ketika serangannya kandas.
Sosok muda yang kehebatannya telah dikenal di
seluruh rimba persilatan itu kembali bergerak cepat dengan senjatanya.
"Hiaaa...!"
Brrr...! Bratztz...! "Groaaangkhhh...!"
Naga jelmaan Wirya Setraging memekik
dahsyat. Naga itu memang sempat menghindar
ketika Raja Petir kembali menyerang. Namun ge-
rakan naga jelmaan Wirya Setraging kalah cepat.
Meski incaran ujung Pedang Petir yang mengarah ke bagian leher luput, bagian
perut naga itu terkena sayatan ujung senjata Jaka. Akan tetapi..."
"Heh..."!"
Jaka terkejut menyaksikan luka yang men-
ganga di perut naga kembali rapat seperti sedia-kala. Tidak terlihat darah
mengalir. "Hm.... Seharusnya tubuh naga itu hangus
saat ujung senjataku menembus kulitnya. Tapi....
Hhh! Harus kugunakan ilmu 'Selaksa Halilintar
Menyambar' untuk menundukkannya," gumam
Raja Petir. Maka ketika naga jelmaan itu kembali me-
lancarkan serangan dengan semburan apinya,
Jaka mengangkat Pedang Petir tinggi di atas kepala. Guntur kembali terdengar di
kejauhan. Langit di sekitar tempat pertarungan gelap gulita, dan kilat
menyambar-nyambar batang Pedang Petir
yang memendarkan sinar kemerahan.
Ketika langit kembali terang dan kilat su-
dah berhenti menyambar, kekuatan Jaka semakin
sempurna untuk memainkan ilmu 'Selaksa Hali-
lintar Menyambar'. Seketika itu juga...
"Hiaaa...!"
Jaka melesat bagai kilat menyongsong
Raja Petir 22 Cinta Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semburan api naga berkepala lima. Pedang Petirnya berkelebat mencecar salah satu
kepala naga jelmaan Wirya Setraging.
Bratttzzzzttt...!
"Groaaakhghgkhhh...!"
Naga jelmaan Wirya Setraging meraung
dahsyat saat salah satu kepalanya terbabat pu-
tus. Tak ada darah yang keluar dari kepala yang tergeletak di tanah. Bersamaan
dengan naga jelmaan Wirya Setraging kehilangan nyawa. Perla-
han-lahan naga berkepala lima itu menjelma
menjadi sosok lelaki berwajah tampan. Namun
tubuh dan kepala Wirya Setraging sudah berpi-
sah. Wirya Setraging tewas dengan mengenaskan.
Menyaksikan lawannya tergeletak tanpa
nyawa, Jaka segera bergerak menghampiri
Mayang Sutera. "Dia tidak apa-apa, Paman. Biar kube-
baskan dulu dari pengaruh 'Aji Kukuh Karang',"
ucap Jaka. Tuk! Tuk! Dua kali tangan Jaka bergerak menotok
leher dan kaki Mayang Sutera. Lenguh kesakitan samar terdengar. Mata Dewi Payung
Emas pun terbuka. "Kakang...?" ucap Mayang Sutera seraya bangkit. Gadis itu segera merangkul Jaka.
SELESAI Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Senopati Pamungkas I 1 Pedang Tetesan Air Mata Ying Xiong Wu Lei A Hero Without Tears Karya Khu Lung Patung Dewi Ratih 2
pan masuk ke dalam kedai. Kehadiran lelaki berpakaian kuning keemasan itu
menarik perhatian
penghuni kedai yang duduk di dekat pintu.
Lelaki yang tak lain Jaka segera mengambil
tempat duduk di sudut kedai. Namun baru saja
dia hendak meletakkan pantatnya, sebuah pang-
gilan menghentikan gerakannya.
"Jaka...!"
Terkejut dan gembira Jaka melihat Terala.
Apalagi di situ juga ada Paman Gumai Gumarang
dan Seruni. "Paman...," panggil Jaka. Langkahnya bergerak menghampiri Terala.
"Kakang.... Ah, kau baik-baik saja?" sambut Seruni menyongsong kedatangan Jaka.
Sikap Seruni sempat membakar kecemburuan di hati
Gagah Bayu. Lelaki muda itu tak berkedip me-
nyaksikan kemanjaan Seruni kepada Jaka.
"Aku baik-baik saja, Runi. Mudah-
mudahan kalian juga begitu," jawab Jaka kalem.
"Kau duduklah di sini, Kakang. Biar, aku
ambil kursi yang lain," ujar Seruni. Tubuhnya bergerak bangkit ke arah kursi
kosong. "Kapan Kakang berhenti mengembara" O,
ya. Mana Nini Mayang?"
"Aku tengah mencarinya, Runi?"
"Mencarinya" Kalian bertengkar?" tanya Terala. "Tidak."
Keheningan tercipta sejenak. Tak ada per-
tanyaan dari Seruni dan Terala. Begitu juga dengan Gagah Bayu. Hatinya yang
barusan terbakar
api cemburu serta merta tak lagi dirasakan.
"Kukira Mayang berada dalam tawanan
Gagak Sugih Pengasung," ujar Jaka dingin.
"Ditawan Gagah Sugih Pengasung?" terkejut Gumai Gumarang.
"Paman Gumai mengenal Gagak Sugih
Pengasung?" tanya Seruni.
"Dia tokoh golongan hitam yang berilmu
tinggi dan seorang ahli sihir, Runi," jawab Gumai Gumarang. "Dia gemar dengan
gadis-gadis jelita dan daun-daun muda."
"Oh...!" Seruni terpekik mendengar penjela-san Pendekar Pedang Biru.
"Dia juga tergabung dalam komplotan
orang-orang yang telah melenyapkan nyawa Lan-
jetlaka dan keluarganya," jelas Gumai Gumarang.
"Biadab! Akan kubunuh mereka kalau ku-
jumpai!" geram Seruni.
"Apa kemampuanmu sudah bisa menan-
dingi mereka, Runi?" tanya Terala menggoda.
"Menghadapi putri Lanjalaka saja kurasa kau memerlukan ratusan jurus."
"Eh.... Oh. A.... Aku hanya kesal saja pada mereka. Ayah. Mereka betul-betul
seperti iblis."
"Ya. Kita semua memang harus bekerja
sama untuk menghancurkan watak iblis mereka.
O ya, Jaka. Paman ingin mendengar cerita men-
genai kekasihmu," pinta Terala.
Permintaan Terala segera dipenuhi Jaka.
Semua diceritakannya tanpa ada yang tertinggal sedikit pun.
"Semua gadis cantik memang dicintai Ga-
gak Sugih Pengasung. Dia seorang pecandu pe-
rempuan jelita. Oh, kami berempat akan mem-
bantu menemukan Nini Mayang," tutur Gumai
Gumarang. "Terima kasih, Paman," ucap Jaka. "Kalau boleh kutahu, sebenarnya dari mana
Paman dan juga...." "Namaku Bayu. Gagah Bayu lengkapnya,"
sambut kekasih Seruni seraya mengulurkan tan-
gannya. "Namaku Jaka Sembada," sambut Jaka.
"Kalau boleh kuduga, kau adalah kekasih Seruni.
Jika betul pandai-pandailah kau menjaganya.
Jangan seperti aku yang lengah hingga gadis yang kucintai hilang disambar
orang," senyum Jaka sedikit terkembang.
"Itulah manusia, Jaka. Kelengahan adalah
penyakit yang pasti dimiliki," kilah Terala. "Kami berempat baru saja pulang
melayat dari Desa Ma-gatan. Seorang sahabat kami beserta keluarganya tewas
dibantai Ular Laut Merah dan kawan-kawannya."
"Ha ha ha...! Ha ha ha...!"
Tiba-tiba tawa menggelegar terdengar me-
mekakkan telinga. Tawa itu berkepanjangan hing-ga para pengunjung kedai dan
pemiliknya tidak
dapat bertahan. Mereka ambruk ke tanah dengan
telinga seperti mau pecah.
Terala, Gumai Gumarang, Seruni, Gagah
Bayu, dan Jaka mengalami hal yang sama. Na-
mun mereka berhasil mementahkan suara tawa
yang dikerahkan melalui tenaga dalam tingkat
tinggi itu. "Hentikaaan...!" bentak Gumai Gumarang.
Tubuhnya seketika melesat keluar kedai, meng-
hampiri orang yang tertawa. Terala dan yang
lainnya segera mengikuti. Mereka melesat cepat ke luar kedai.
"Ular Laut Merah"!" Terala mengenali lelaki tinggi kurus yang mengenakan pakaian
merah darah. Di tangan lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu tergenggam sebilah
pedang berkeluk
sembilan yang juga berwarna merah darah. Hulu
pedang itu berbentuk kepala ular kobra.
"Ha ha ha.... Bagus kalau kau mengenali-
ku, Tua Peot," sentak Gurilang Laut. Dia berdiri pongah di samping Sanca Lodaka
dan Ratu Selendang Kabut yang juga berdiri angkuh.
"Hm.... Kenapa kau tertawa seperti itu, Gurilang" Tidak tahukah kau kalau tawa
itu begitu menyakitkan. Kau lihat di dalam kedai sana, mereka semua ambruk ke
lantai karena tak kuat
mendengar tawamu," ucap Terala dengan sikap yang cukup tenang.
"Aku tertawa karena mendengar orang di
dalam kedai menyebut-nyebut namaku dan men-
gaku sebagai sahabat si Banci Lanjalaka. Aku
akan membuat perhitungan dengan orang itu.
Akan kukirim dia sekarang juga ke dasar neraka!"
sahut Ular Laut Merah. Tangan kirinya mengang-
kat pedang merah berkeluk sembilan. "Kaukah yang barusan menyebut-nyebut
namaku?" tanya Ular Laut Merah.
"Ya. Aku," jawab Terala mantap.
"Hm.... Berarti kalian sahabat-sahabat Lanjalaka yang telah menolak lamaran
adikku Sanca Lodaka. Kalian semua harus mampus!"
"Sabar, Kakang Gurilang," tahan Sanca Lodaka. Disentuhnya tangan Gurilang Laut.
"Kuha-rap kau sudi menyisakan dara jelita itu. Biarlah aku tidak bisa
mendapatkan Putih Lempuyang.
Dara jelita itu pun tak kalah menariknya untuk menggantikan kedudukan Putih
Lempuyang," seraya jari telunjuk menuding sosok Seruni.
"Hi hi hi.... Matamu awas juga, Sanca. Gadis itu memang cantik dan pantas untuk
kau persunting," timpal Ratu Selendang Kabut seraya menatap wajah anak tunggal
Terala. "Siapa na-mamu, Anak Manis?" tanya Nyi Layu Kumbara pada Seruni.
"Siapa sudi memperkenalkan diri pada si-
luman-siluman seperti kalian"!" sentak Seruni di luar dugaan Sanca Lodaka.
"Jaga dirimu, Anak Manis. Kau bisa me-
nyusul Putih Lempuyang ke neraka kalau kata-
kata kasar sekali lagi kau ucapkan!" ancam Gurilang Laut
"Adi Gurilang, kita hampir melupakan ke-
hadiran seseorang yang tengah kita cari," ujar Selendang Kabut
"Raja Petir maksudmu, Nyi?" tanya Gurila Laut dengan melempar tatapan ke arah
Jaka. "Ya."
"Lupakan saja bocah bau kencur itu. Kita
urus dulu keinginan Sanca Lodaka mempersunt-
ing gadis jelita itu," tunjuk Gurilang Laut pada Seruni. "Lelaki gila!" maki
Seruni kasar. "Hm.... Kau sudah melanggar peringatan-
ku, Gadis Angkuh! Berarti kau harus mampus
menyusul Putih Lempuyang!" bentak Gurilang Laut "Nyawa tidak berada
digenggamanmu, Ular Laut Merah," cetus Jaka dengan kaki terayun dua langkah
membelakangi Terala, Gumai Gumarang,
Gagah Bayu, dan Seruni. Tangannya bersidekap
di atas perut. "Sebelum kesombonganmu terbukti, aku ingin tahu lebih dului ada
urusan apa kalian mencariku" Apakah ada hubungannya dengan
Gagak Sugih Pengasung?" lanjut Jaka menduga-duga. Sengaja pertanyaan itu
dilemparkan kare-na dari Terala, Jaka tahu kalau ketiga orang di hadapannya itu
adalah sahabat Gagah Sugih
Pengasung. "Rupanya kau sudah tak sabar ingin segera pergi bertamasya ke liang lahat. Raja
Petir," ujar Ratu Selendang Kabut yang juga melangkah dua
tindak. "Kujelaskan padamu. Kami adalah utusan Gagak Sugih Pengasung yang
berhajat mele-nyapkanmu. Kamilah wakil darinya!"
Jaka tersenyum mendengar ucapan pe-
rempuan cantik berpakaian kelabu dan berselen-
dang hitam itu.
"Tuan-tuan dan Nona yang cantik," ucap Jaka mengejek. "Jika kalian adalah utusan
Gagak Sugih Pengasung yang memerintahkan untuk
membunuhku, itu berarti kalian tahu di mana
Mayang Sutera berada. Atau tepatnya, di mana
gadis itu disembunyikan. Tolong beritahukan
aku," lanjut Jaka dengan kata-kata yang terden-
gar begitu tenang.
"Ha ha ha.... Di liang kubur nanti malaikat akan mcmberitahumu. Raja Petir!"
jawab Sanca Lodaka ketus.
"Baiklah. Jika kalian berkeberatan membe-
ritahukannya, jangan salahkan aku jika kurobek mulut kalian," gertak Jaka
mengimbangi ucapan Sanca Lodaka.
"Nama besarmu di jagad persilatan ru-
panya telah membuat sombong, Raja Petir. Aku
ingin tahu mampukah kau mempertahankan ke-
sombongan itu," tantang Gurilang Laut Senjatanya terangkat ke udara.
Bersiaplah!"
Jaka merenggangkan kakinya sebagai ja-
waban atas ucapan Ular Laut Merah. Pemuda nan
tampan dan gagah itu berdiri dengan kuda-kuda
kokoh. "Hiaaat..!"
*** 6 Gurilang Laut atau Ular Laut Merah berte-
riak lantang. Tubuhnya mencelat tinggi ke angka-sa dan meluruk turun dengan
cepat mengguna-
kan jurus 'Pagutan Ular Merah Memangsa Gurita'.
Tangan kanan lelaki berpakaian merah darah itu membentuk moncong ular.
Wuttt...! "Ips!"
Begitu cepatnya sambaran tangan Gurilang
Laut yang mengarah ke batok kepala Jaka. Na-
mun lebih cepat lagi gerakan menghindar yang dilakukan Jaka dengan mengerahkan
jurus 'Lejitan Lidah Petir'.
"Jangan putus asa, Ular Merah. Ulangi lagi seranganmu," ejek Jaka yang berdiri
terpaut satu batang tombak dengan lawan.
"Sombong kau. Raja Gila! Kuhancurkan ba-
tok kepalamu sekarang juga!" geram Ular Laut Merah murka. Tubuhnya kembali
bergerak cepat memainkan jurus yang sama.
Wut! Wut...! Cecaran telapak tangan yang membentuk
paruh ular bergerak-gerak dua kali lebih cepat.
Sasarannya tidak hanya ubun-ubun, tapi juga ke bagian kening dan ulu hati.
Berkali-kali sambaran tangan Ular Laut Merah luput dari sasaran.
Itu membuat Gurilang Laut merasa dipermalu-
kan. Karenanya, dia segera membuka jurus-jurus yang lain.
'"Ular Membelah Laut'! Hiyaaat...!"
Wrrr...! Serangkum sinar kemerahan meluruk de-
ras dari tangan Ular Laut Merah yang berbentuk moncong ular. Sinar kemerahan itu
menebarkan bau amis yang cukup menyengat
"Hop!"
Jaka menghentakkan kakinya kuat-kuat
menghindari terjangan sinar merah Gurilang Laut Tubuhnya melenting di udara dan
berputaran beberapa kali. Kemudian dengan tanpa suara, tu-
buh terbalut pakaian kuning emas itu mendarat
di tanah. Belum lagi setegukan teh kaki Jaka menje-
jak tanah, sosok lain sudah bergerak cepat menghantamkan pukulannya ke batang
leher. Angin menderu mengiringi datangnya serangan yang
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Bet! "Heh"!"
Jaka menarik tubuhnya ke belakang. Se-
mentara lehernya dimiringkan ke samping kanan.
Gerakannya yang cepat membuat serangan Sanca
Lodaka luput beberapa jari. Namun Sanca Lodaka dengan cerdik mengambil
kesempatan yang dili-hatnya. Dengan cepat dia mengirimkan tendan-
gan memutar yang terarah ke dada Jaka.
"Hih!"
Plak! Tak ada lenguh kesakitan ketika tangan
dan kaki itu berbenturan keras. Kedudukan Raja Petir tergeser dua tindak.
Demikian pula dengan Sanca Lodaka. Di saat pertarungan terhenti sejenak, Terala
melesat ke arah Jaka.
"Sebaiknya kita bertarung satu lawan sa-
tu," tantang Terala dengan bibir mencibir ke arah Sanca Lodaka.
"Apa pedulimu, Tua Bangka! Kalau kau
mau ikut bertarung, majulah! Biar kukirim secepatnya nyawa tuamu ke neraka!"
balas Sanca Lodaka. "Baik!" ucap Terala menahan marah. "Tapi yang tua tidak
pantas menyerang lebih dulu, kau-
lah yang mengawali."
Belum lagi gema ucapan Terala menghi-
lang, lelaki berpakaian rompi dengan corak sisik ular melesat cepat mengerahkan
pukulan lurus ke dada Terala.
"Hiyaaa...!"
Bet! Wet! "Bts!"
Terala membawa mundur tubuhnya dua
langkah. Namun saat kaki lelaki tua itu bergerak, dia memberikan serangan tak
Raja Petir 22 Cinta Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terduga lewat tendangan menekuk ke arah kemaluan Sanca Loda-
ka. Mau tak mau tokoh sesat itu melempar tu-
buhnya ke kanan.
Pada saat yang bersamaan Ratu Selendang
Kabut bergerak menyerang Terala. "Lebih baik ku-bantu kau, Sanca. Biar lebih
cepat," ujar Nyi Layu Kumbara. Sebuah tendangan bertenaga tinggi meluncur ke
bagian dada Terala.
Buet! "Heh"! Uts!"
Tubuh tua yang terbungkus pakaian putih
itu melenting ke udara. Ringan dan indah gerakan yang dilakukan Terala, tapi
manfaatnya sangat
hebat. Serangan Ratu Selendang Kabut mentah
begitu saja. Nyi Layu Kumbara kesal melihat serangan-
nya dikandaskan Terala. Dengan cepat dia kem-
bali melancarkan serangan susulan. Bersamaan
dengan itu Sanca Lodaka ikut melakukan seran-
gan. "Hyaaa...!"
Terkesiap Gumai Gumarang menyaksikan
kecurangan lawan-lawan Terala. Maka, seketika
itu juga Pendekar Pedang Biru melesat menyong-
song serangan Nyi Layu Kumbara.
"Jangan curang, Nyi!" bentak Gumai Gumarang. Ia memberikan sodokan tangan ke
arah iga perempuan berpakaian kelabu dan berselen-
dang hitam. Melihat serangan Gumai Gumarang, Ratu
Selendang Kabut serta merta menarik serangan-
nya. Tangannya bergerak cepat memapak sodo-
kan tangan Gumai Gumarang.
Plak! "Ikh!"
Pekik tertahan terdengar dari mulut Gumai
Gumarang dan Nyi Layu Kumbara. Dua tokoh
berbeda aliran itu terhuyung dua langkah ke belakang. "Hm.... Tak kusangka kau
yang sudah tua masih memiliki tenaga cukup kuat," ucap Nyi Layu Kumbara mengejek
lawannya. "Kau pikir cuma dirimu yang punya tenaga, heh"!" balas Gumai Gumarang.
"Ah. Sebaiknya kita tentukan siapa di anta-ra kita yang paling hebat," kata Nyi
Layu Kumbara. "Bersiaplah menghadapi Selendang Kabutku.
Aku tidak ingin bermain-main dengan lelaki tua sepertimu yang sudah tidak sedap
dipandang."
"Mari!" sambut Gumai Gumarang. Tangannya meraba hulu pedangnya yang berwarna
biru. Nyi Layu Kumbara atau Ratu Selendang
Kabut segera meloloskan selendang hitam yang
membelit dada dan pinggangnya. Pamor senjata
itu begitu jelas terlihat. Ketika selendang hitam terlepas dari tubuh
pemiliknya, hawa di sekitar tempat pertarungan berubah dingin.
"Hm.... Aku tidak boleh bermain-main
menghadapi hantu perempuan ini," gumam Gumai Gumarang. Kemudian tangannya
bergerak mencabut pedang dari warangkanya.
Sring! Sinar kebiruan memendar sewaktu senjata
Gumai Gumarang lolos dari tempatnya.
"Hm.... Terima ini, Lelaki Peot! Hih!"
Splasrts...! Pergelangan tangan Nyi Layu Kumbara
bergerak lincah. Selendang Kabut hitamnya melecut cepat menimbulkan ledakan yang
menjelma- kan uap seperti kabut. Hitam dan semakin lama
semakin tebal. Wung! Wung...! Gumai Gumarang walau pandangannya
terhalang kabut tebal yang keluar dari senjata lawan segera memutar pedangnya
untuk menga- caukan. Namun apa yang dilakukan Gumai Gu-
marang ternyata sia-sia belaka. Kabut tebal jelmaan jurus 'Kabut Buta Nyawa
Binasa' olahan Ratu Selendang Kabut tidak berhasil dikacaukan.
Malahan sebuah teriakan nyaring didengar Gumai Gumarang.
"Hyaaat...!"
"Kurang ajar! Aku tidak bisa melihat dari mana perempuan iblis itu
menyerang...," Gumai Gumarang sedikit kebingungan. Namun kecerdi-
kan pikirannya mengajarkan kalau dia harus bergerak berpindah-pindah tempat, meski tak tahu
arah serangan lawan.
Bugkh! "Akh!"
Pendekar Pedang Biru terjajar mundur em-
pat langkah. Bahunya terhantam dengan keras
telapak kaki Ratu Selendang kabut. Dia merasa-
kan tulang bahu kirinya bergetar hebat dan ber-denyut sakit
"Hik hik hik.... Kiranya hanya sampai di si-tu saja kemampuanmu, Tua Peot.
Sebaiknya jan- gan berlama-lama kau hidup. Hijrahlah kau ke
liang lahat, Peot!" Nyi Layu Kumbara dengan menghina memperhatikan wajah Gumai
Gumarang yang meringis kesakitan. "Sekarang sambut-lah detik-detik kematianmu!
Hih!" Splarts...! Kembali Selendang Maut Nyi Layu Kumba-
ra bergerak dan meledak. Ledakannya kali ini terdengar lebih dahsyat. Kabut yang
lebih tebal langsung menjelma mengurung tubuh Gumai
Gumarang. "Hik hik hik.... Sekarang juga jurus
'Selendang Maut Membedah Otak' akan mena-
matkan riwayatmu," ujar Ratu Selendang Kabut Tangan kanan perempuan itu
menggenggam selendang hitam hingga melewati dagu. Se-
lendang itu berubah menjadi kaku bagai lempen-
gan logam. Nyi Layu Kumbara sudah memindah-
kan kekuatan tenaga dalamnya yang tinggi pada
selendang yang digunakannya sebagai senjata.
Sementara itu pada pertarungan lain, anta-
ra Jaka melawan Ular Laut Merah, berjalan cu-
kup alot. Nafsu Iblis Gurilang Laut yang hendak secepatnya membinasakan Raja
Petir membuatnya mengerahkan seluruh kemampuannya den-
gan kecepatan yang luar biasa. Namun sayang, di balik serangan-serangan yang
dahsyat itu, Ular Laut Merah lengah dalam pertahanan. Sebenarnya kelemahan
Gurilang Laut Merah tidak akan
terlihat jika lawannya bukan Raja Petir yang sela-lu meneliti setiap gerakan
lawan. Tentu saja ke-lengahan Gurilang Laut secepat mungkin diman-
faatkan anak angkat Nyi Selasih (Baca episode
"Pembalasan Berdarah"). Dia pun sempat melihat bahaya yang mengancam Gumai
Gumarang yang bertarung melawan Ratu Selendang Kabut. Maka
tak ayal lagi Jaka mengerahkan sepasang tan-
gannya yang terangkum dalam jurus 'Menggiring
Awan'. "Hiaaa...!"
Plak! Bug! "Hiegkh!"
Tubuh Gurilang Laut langsung terjajar lima
langkah ke belakang. Hantaman tangan kiri dan
kanan Jaka mengenai dagu dan dadanya dengan
telak. Namun patut dipuji daya tahan Ular Laut Merah. Tubuhnya tidak ambruk ke
tanah meski terkena pukulan yang cukup keras.
Sebenarnya Jaka bisa saja jika hendak
memberikan serangan susulan, namun itu tidak
mungkin dilakukannya. Dirinya sebetulnya tidak punya urusan dengan Gurilang
Laut. Apalagi pa-
da saat yang sama Gumai Gumarang sangat
membutuhkan pertolongan.
"Hiyaaa...!"
Terkejut Raja Petir mendengar teriakan me-
lengking Nyi Layu Kumbara. Perempuan hampir
setengah abad itu melesat ke arah Gumai Guma-
rang yang masih merasakan sakit pada sebelah
bahunya. Tanpa membuang-buang waktu, untuk
menyelamatkan Gumai Gumarang, Jaka segera
berbalik dan membentuk kuda-kuda gantung.
Kemudian tangannya menghentak ke depan den-
gan keras. "Hih!"
Wrrr...! Serangkum angin bergulung bagai pusaran
meluruk deras menuju Nyi Layu Kumbara.
"Heh"!"
Ratu Selendang Kabut tentu saja terkejut.
Angin panas bergulung-gulung meluncur ke arah-
nya. Pikirannya yang hendak membinasakan
Gumai Gumarang jadi terpecah. Ia lebih memen-
tingkan keselamatan dirinya dengan menarik pu-
lang serangannya, dan menghindari serangan
maut Jaka lewat jurus 'Pukulan Pengacau Arah'.
"Setan! Hops...!"
*** 7 Ratu Selendang Kabut menghentakkan
kainnya kuat-kuat. Tubuhnya pun mencelat ke
udara dan berputaran dengan indah.
Ketika maut telah menghindar dari Gumai
Gumarang, Jaka segera memperingati Seruni dan
Gagah Bayu yang semenjak tadi hanya berdiri
menonton. Sepasang muda-mudi itu memang ter-
pengaruh oleh pertarungan hebat yang jarang mereka saksikan. Hingga mereka tidak
berani ikut terjun ke kancah pertarungan. Seruni dan Gagah Bayu merasa ilmu
mereka demikian dangkal.
"Runiii...! Selamatkan Paman Gumai!" teriak Jaka lantang.
Seruni seperti orang yang baru terjaga dari
tidurnya. Dia tergagap mendengar perintah Jaka.
Namun kemudian dengan diikuti Gagah Bayu,
menghampiri Gumai Gumarang. Dipapahnya tu-
buh lelaki yang terbalut pakaian biru itu keluar arena pertarungan.
Nyi Layu Kumbara yang berhasil menghin-
dari serangan Jaka sudah mendarat di tanah. Matanya membara seperti seekor naga
terluka menatap sosok Raja Petir.
"Kau lancang, Raja Petir! Kau harus mam-
pus di tanganku!" ucap Ratu Selendang Kabut murka. Jari telunjuknya menuding
wajah Jaka yang berdiri dengan tenang.
Ternyata, bukan hanya Nyi Layu Kumbara
yang bersiap-siap akan melumat tubuh Jaka. Da-
ri arah berlawanan Ular Laut Merah sudah berhasil meredam sakit pada dagu dan
dadanya. Ia pun tengah bersiap menyerang Raja Petir. Pedang ber-
keluk sembilan sudah terangkat di atas kepala.
"Akan kulumat tubuhmu. Raja Petir!
Hiyaaat..!"
Tubuh Gurilang Laut meluruk deras ke
arah Jaka. Senjatanya yang berwarna merah di-
putar-putar cepat di atas kepala. Deru angin terdengar, mementalkan batu-batu
kecil yang ada di sekitarnya. Jelas, serangan Ular Laut Merah dikeluarkan
melalui pengerahan tenaga dalam penuh.
"Haiiit..!"
Dari arah kanan Ratu Selendang Kabut
pun melesat pada sasaran yang sama. Gerakan
perempuan setengah baya itu tidak kalah hebat-
nya. Selendang Kabut-nya yang berubah kaku
bagai lempengan logam digerak-gerakkan dengan
kekuatan tenaga dalam tinggi, hingga menimbul-
kan bunyi berdecit yang cukup tajam menusuk
telinga. Raja Petir sadar kalau serangan lawan-lawannya itu cukup berbahaya.
Maka dia tidak berani sembarangan menghadapinya hanya den-
gan mengandalkan jurus 'Lejitan Lidah Petir'. Ja-ka niat menggabungkan jurus itu
dengan ajian 'Aji Bayang-Bayang'.
Tanpa menunggu lama Jaka melaksanakan
niatnya. Seketika itu juga sosoknya menjelma
menjadi lima kali lipat banyaknya. Jurus 'Lejitan Lidah Petir' membuat sosok-
sosok Raja Petir bergerak cepat membingungkan Ular Maut Merah
dan Ratu Selendang Kabut.
"Setan!"
"Monyet!"
Suara-suara makian terdengar dari mulut
Nyi Layu Kumbara dan Gurilang Laut. Kendati
begitu dengan penasaran kedua lawan Raja Petir itu tetap meneruskan serangannya.
Wung! Wung...! Cwing...! "Monyet!"
"Setaaan...!"
Lagi-lagi Nyi Layu Kumbara dan Gurilang
Laut memaki ketika serangan mereka hanya
mengenai sosok bayangan Jaka. Kedua lawan Ra-
ja Petir itu berpikir keras untuk dapat menjatuhkan lawan.
"Hm.... Aku harus mengerahkan ilmu
'Selendang Mengurung Naga' agar gerakannya ti-
dak bisa sebebas itu," gumam Nyi Layu Kumbara mendapatkan jalan keluar.
Kiranya bukan cuma Nyi Layu Kumbara
yang sudah menemukan cara. Gurilang Laut pun
sudah mendapatkannya. "Akan kubungkam il-
munya dengan ilmu 'Menguras Laut Membunuh
Hiu'!" putus Gurilang Laut. Kedudukannya kini berubah dengan kuda-kuda rendah.
Pedang merah berkeluk sembilan diletakkan di depan dada.
Di tengah-tengah kesibukan Gurilang Laut
dan Nyi Layu Kumbara mempersiapkan ilmu-ilmu
andalan mereka. Seruni dan Gagah Bayu yang
membawa Gumai Gumarang ke dalam kedai me-
nyaksikan pemandangan itu dengan Tegang.
"Mudah-mudahan Kakang Jaka bisa mere-
dam ilmu-ilmu iblis mereka," gumam Seruni pelan.
"Aku juga mengkhawatirkannya, Runi," tutur Gagah Bayu sambil mendekatkan
tubuhnya pada Seruni. "Ah, Jaka...," desis Gumai Gumarang yang menyaksikan Raja Petir dikurung dari
dua arah. Lelaki berpakaian biru itu merasakan sakit di bahunya telah hilang. Namun dia
tidak berani ma-
Raja Petir 22 Cinta Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suk ke dalam pertarungan Jaka yang tengah
menghadapi lawan-lawannya.
"Hrgggh...!"
"Hoaaattt...!"
Ular Laut Merah dan Ratu Selendang Ka-
but berteriak lantang ketika ilmu-ilmu andalan mereka bekerja. Angin bergulung
berwarna kemerahan keluar dari ujung senjata berkeluk sembilan milik Gurilang
Laut. Gulungan angin merah
itu bergerak cepat ke arah Raja Petir. Ukurannya semakin lama semakin membesar
lalu mengurung sosok Jaka.
Sementara akibat dari ilmu yang dikelua-
rkan Nyi Layu Kumbara, selendangnya melar ba-
gai karet. Namun selendang hitam yang mengu-
rung Jaka itu masih keras seperti lempengan logam. Jaka dengan kecerdikannya
dapat me- nyimpulkan kalau ilmu lawan-lawannya bertu-
juan untuk mempersempit ruang geraknya. Dan
di balik itu akan datang serangan susulan yang akan dilancarkan lewat pengerahan
ilmu yang lain. Sebuah serangan yang mungkin dua kali lipat kedahsyatannya.
Jaka segera saja mengerahkan 'Aji Kukuh
Karang' untuk membentengi tubuhnya dari se-
rangan lawan. Sinar kuning keemasan membung-
kus bagian-bagian tertentu di tubuh Raja Petir, dari kepala hingga dada dan dari
lutut sampai ujung kaki. "Hoaaattt...!"
Lengkingan keras kembali terdengar. Ber-
samaan dengan teriakan nyaring itu tangan kiri Ratu Selendang Kabut menghentak
keras. Slats! Slats! Slats!
Rangkuman sinar keperakan bagai lidah
petir meluruk deras ke bagian-bagian peka tubuh Jaka. Demikian pula yang
dilakukan Gurilang
Laut Setelah terlebih dulu memekik nyaring, Ular Laut Merah mengibas-ngibaskan
pedang berkeluk
sembilannya. Dari ujung pedang itu meluncur
berlarik-larik sinar merah.
Tret! Tret! Tret!
Menghadapi luncuran sinar keperakan ba-
gai petir dan berlarik-larik sinar kemerahan, Jaka yang memang sudah membentengi
tubuhnya dengan Aji 'Kukuh Karang' hanya memejamkan
mata saja. Kenyataan itu tentu saja membuat Ra-tu Selendang Kabut dan Ular Laut
Merah kehera- nan. "Nekat! Apa dia pikir ilmunya mampu menandingi ilmu 'Pukulan Ratu Selendang
Hitam'" Benar-benar cari mampus!" gumam Nyi Layu
Kumbara dengan tatapan tertuju lurus ke sosok
Jaka yang tengah memejamkan mata.
"Bocah sombong!" maki Ular Laut Merah.
"Jangan main-main dengan ilmu 'Sinar Beracun si Raja Ular Merah'. Kau pasti
binasa, Raja Petir.
Binasa...."
Sementara hati Nyi Layu Kumbara dan Gu-
rilang Laut terheran-heran, sinar keperakan dan merah semakin meluncur deras
mendekati sasaran. Gumai Gumarang, Seruni, dan Gagah Bayu
yang menyaksikan pertarungan mengalami kete-
gangan yang luar biasa.
"Hhh...," Seruni hanya bisa menarik napas panjang untuk meredam ketegangannya.
Sementara Gumai Gumarang dan Gagah Bayu menatap
terus pemandangan di hadapannya dengan bola
mata tak berkedip.
Prefs! Prefs! Prefs...!
Detik-detik ketegangan menjelma menjadi
kelegaan di hati orang-orang yang berdiri di belakang Jaka. Kekhawatiran akan
keselamatan Raja
Petir tidak terbukti. Sinar-sinar jahat ciptaan Nyi Layu Kumbara dan Gurilang
Laut tidak meng-goyahkan kedudukan Jaka. Sinar perak dan ke-
merahan yang menghantam sosok Raja Petir se-
perti tertelan tubuh yang terbalut pakaian kuning keemasan itu.
Kenyataan itu membuat gusar hati Ular
Laut Merah dan Ratu Selendang Kabut.
"Hm.... Ilmu apa yang digunakannya" Be-
lum pernah aku melihat ilmu yang sehebat itu,"
tutur kata hati Nyi Layu Kumbara dan Gurilang
Laut. "Hizsss...!"
Di tengah kegusaran hati Nyi Layu Kumba-
ra dan Gurilang Laut, Jaka berseru keras. Dua telapak tangannya menghentak keras
ke depan. Slats! Slats! Slats!
Plash! Plash! Sinar perak Ratu Selendang Kabut melesat
balik melalui tangan kanan Jaka. Begitu juga
dengan larik-larik sinar merah Ular laut Merah.
Luncuran sinar-sinar jahat itu menjadi dua kali lipat cepatnya.
"Heh..."!"
"Hah..."!"
Kegusaran hati Nyi Layu Kumbara dan Gu-
rilang Laut berubah menjadi keterkejutan yang
luar biasa. Namun keduanya segera tersadar dan bersamaan menghentakkan kakinya
kuat-kuat. Mereka melempar tubuhnya untuk menghindari
luncuran sinar perak dan merah yang terpental
balik. "Hups! Hip!"
Trask! Prats! "Akh! Ikh!"
*** 8 Ratu Selendang Kabut dan Ular Laut Me-
rah memekik tertahan saat tubuh mereka melesat ke udara. Luncuran sinar perak
dan merah rupanya mampu dikendalikan Jaka dengan kecepa-
tan yang mengagumkan. Bahu Ratu Selendang
Kabut dihantam sinar keperakan miliknya sendi-
ri. Sementara Ular Laut Merah pun menerima ba-
gian yang sama. Tangan kanannya terkena sinar
beracun miliknya sendiri. Tapi itu merupakan
keuntungan bagi Nyi Layu Kumbara dan Gurilang
Laut Mereka dapat meredam kedahsyatan penga-
ruh sinar-sinar itu. Namun begitu, alangkah
murkanya hati Nyi Layung Kumbara dan Gurilang
Laut Mereka merasa dipermalukan oleh lawan
yang jauh begitu muda umurnya.
Jaka Sembada melihat lawan-lawannya
masih berdiri tegak. Tangan mereka memegangi
luka tubuhnya. Jaka diam saja di tempatnya,
menatap lurus ke arah Ular Laut Merah dan Ratu Selendang Kabut dengan tersenyum.
"Bagaimana, Tuan dan Nona?" tanya Jaka.
"Antara kita rasanya tak pernah terjadi kesalah-pahaman, apalagi permusuhan.
Untuk itu kukira
jalan yang terbaik adalah menyudahi pertarungan ini, yang hanya akan meminta
korban salah satu di antara kita. Aku yang muda mohon maaf karena tidak
menginginkan hal itu terjadi. Aku masih ingin menikmati kehidupan dunia sampai
Yang Maha Kuasa memanggilku. Kita berdamai saja,
dan kalian tunjukkan di mana Mayang Sutera be-
rada," ucap Jaka merendah.
Tak ada jawaban dari Nyi Layu Kumbara
dan Gurilang Laut. Yang terlihat hanyalah tatapan mata kedua tokoh golongan
hitam itu mem- bara ke wajah Raja Petir.
"Hrg!"
"Hngh!"
Lenguhan kemarahan pun terdengar.
"Kita tidak mungkin berdamai. Raja Petir!
Kau atau kami yang mampus!" sentak Ratu Selendang Kabut geram. Tangan kanannya
menud- ing-nuding wajah tampan Raja Petir.
"Ya. Aku atau kau yang hijrah ke neraka!"
timpal Gurilang Laut. Otot-otot tubuhnya kembali menegang. Agaknya lelaki
berpakaian merah darah itu hendak kembali memulai serangan.
Sementara itu di tempat lain, pertarungan
antara Terala yang berhadapan dengan Sanca Lo-
daka berlangsung alot dan berimbang. Jurus-
jurus andalan keduanya semakin banyak dikelua-
rkan. Sebenarnya Seruni dan Gagah Bayu bisa
saja membantu Terala untuk segera menyudahi
pertarungan. Namun itu tidak dilakukan sepa-
sang muda-mudi itu. Mereka tidak ingin dicap sebagai pengecut yang beraninya
main keroyok. Pertarungan menjadi semakin seru ketika
Sanca Lodaka mulai terdesak. Tendangan, puku-
lan, dan babatan senjata tak lagi terarah ke bagian-bagian peka di tubuh Terala.
Serangan itu dilakukan Sanca Lodaka hanya untuk memben-dung gencarnya serangan
Terala. Sebaliknya, Terala mengambil kesempatan
yang baik untuk terus mendesak Sanca Moncong
Emas. Dan ketika mendapat kesempatan baik,
pedang di tangan Terala bergerak cepat menebas perut Sanca Lodaka.
"Hiyaaa...!"
Bret! "Aaa...!"
Lengkingan menyayat seketika membu-
bung ke langit. Lelaki berpakaian rompi sisik ular terhuyung-huyung mundur
dengan telapak tangan memegangi perutnya yang koyak. Dari sela-
sela jari Sanca Lodaka merembes darah segar.
"Akh...!"
Brugkh! Sanca Moncong Emas ambruk ke tanah.
Tubuhnya menggeliat sesaat dan saat berikutnya tubuh lelaki muda itu mengejang
kaku. Nyawanya sudah tidak lagi menghuni raga.
Ratu Selendang Kabut dan Ular Laut Me-
rah yang mendengar lengkingan kematian Sanca
Lodaka bertambah murka. Tanpa membuang
waktu kedua tokoh golongan hitam itu melesat
melancarkan serangan ke arah Jaka.
"Hiyaaa...!"
"Haiiit..!"
Melihat dirinya kembali diserang, Jaka in-
gin memperingatkan lawan-lawannya dengan
mengirimkan 'Pukulan Pengacau Arah'.
"Hih!"
Wrrr...! Angin bergulung yang menimbulkan hawa
panas meluruk deras menyongsong Nyi Layu
Kumbara dan Gurilang Laut yang tengah berada
di udara. Jaka berharap lawan-lawannya segera
membuang diri untuk menghindari luncuran an-
gin panas bergulung bagai pusaran angin. Na-
mun, ternyata nafsu membunuh terhadap Jaka
membuat mereka melalaikan keselamatan diri
sendiri. Brush! Brush...!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Tubuh Nyi Layu Kumbara dan Gurilang
Laut melintir terhantam segulungan angin jurus
'Pukulan Pengacau Arah'. Lengkingan kesakitan
yang menyayat mengiringi terpentalnya Ular Laut Merah dan Ratu Selendang Maut.
Kedua orang suruhan Gagak Sugih Pengasung itu ambruk ke
tanah dengan bagian tubuh yang terkena angin
panas gosong seperti terpanggang.
Nasib Gurilang Laut nampaknya yang pal-
ing sial. Lelaki berpakaian merah itu terhantam bagian lehernya, hingga dia
tidak dapat bertahan hidup lebih lama. Bersamaan dengan tubuhnya
menyentuh tanah, nyawanya pun pergi mening-
galkan raga. Tinggal Ratu Selendang Kabut yang masih mengerang menahan nyeri di
pahanya yang gosong. "Keparat kau. Raja Petir! Kubunuh kau!"
pekik Nyi Layu Kumbara keras. Matanya membe-
lalak, menyiratkan kemarahan yang tidak terkendali. Sebisanya dalam keadaan
rebah di tanah,
tangan kanan Ratu Selendang Kabut menghentak
dua kali. "Hih!"
Slaps! Slaps! Dua larik sinar perak bagai petir meluncur
ke arah Jaka yang masih berdiri tegak. Rupanya tokoh muda yang berjuluk Raja
Petir itu menunggu kedatangan serangan lawan.
"Hop!"
Hanya dengan sekali menghentakkan kaki,
Jaka melenting indah menghindari terjangan si-
nar keperakan. Namun saat tubuh Jaka berputa-
ran di udara, tanpa diduga sama sekali Nyi Layu Kumbara melesat memburu Jaka.
"Haiiit...!"
Terala yang menyaksikan gerakan Nyi Layu
Kumbara terkejut bukan main. Bukan mustahil
Jaka kali ini akan kena hantaman serangan Ratu Selendang Kabut. Kepalan tangan
perempuan itu telah berubah kehitaman. Perempuan berusia se-
tengah baya itu mengerahkan ilmu 'Kepalan Ka-
but Sakti' dalam upaya terakhirnya merobohkan
keperkasaan Raja Petir.
Dengan kekhawatirannya akan keselama-
tan Raja Petir, Terala melesat menghadang Nyi
Lay Kumbara dari arah kanan.
"Hiyaaa...!"
Wung...! Pedang di tangan Terala berkelebat mence-
car lambung Nyi Layu Kumbara. Tentu saja se-
rangan itu membuatnya harus memperhitungkan
dan mengurungkan serangannya pada Jaka.
Kini Nyi Layu Kumbara merubah kedudu-
kannya. Ia harus mengelakkan serangan Terala.
Bret! "Ikh!"
Nyi Layu Kumbara terlambat memiringkan
tubuhnya. Ujung senjata Terala telah lebih dulu datang dan menyerempet pakaian
Raja Petir 22 Cinta Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di bagian perutnya.
"Tua bangka cabul!" maki Nyi Layu Kumbara setelah kakinya menjejak tanah.
Tatapan matanya membara melahap wajah Terala. "Kulumat tubuhmu, Cabul!
Hiaaa...!"
Ratu Selendang Kabut mengalihkan seran-
gannya pada Terala. Kepalan tangannya yang ma-
sih menghitam akibat pengaruh ilmu 'Kepalan
Kabut Sakti' terangkat di atas kepala, siap menghantam sasaran di bagian peka
tubuh ayah Seru-
ni. Terala pun sudah siap menyongsong se-
rangan lawan. Lelaki tua itu melesat cepat. Tangan kanannya menggenggam pedang
pusaka. "Hiaaa...!"
Buet! "Uts!"
Serangan Ratu Selendang Kabut lolos be-
berapa rambut dari dada Terala. Kesempatan itu digunakan lelaki berpakaian putih
itu untuk bergerak menghindar seraya menebaskan senjatanya
ke bahu Nyi Layu Kumbara.
"Hop!"
Dengan melenting indah melewati kepala
Ratu Selendang Kabut, Terala membabatkan pe-
dangnya ke bagian punggung lawan.
"Hih!"
Bret! "Akh!"
Pekik melengking seketika terdengar. Ba-
gian punggung perempuan berpakaian kelabu itu
terkoyak lebar. Darah berhamburan dari luka
yang menganga. Namun daya tahan tubuh Nyi Layu Kum-
bara patut mendapatkan pujian. Dalam keadaan
yang luka parah seperti itu, ia masih dapat bergerak cepat meluncurkan
pukulannya ke arah Tera-
la. "Haiiit...!"
Buet! "Uts!"
Terala dengan gesit kembali berhasil men-
gelakkan sambaran tangan Ratu Selendang Ka-
but. Malah dari caranya menghindar itu dia dapat mengambil keuntungan.
Kedudukannya jadi lebih
baik untuk melakukan serangan balik.
"Hih!"
Bugkh! "Ugkh!"
Nyi Layu Kumbara terdorong mundur tiga
langkah. Sodokan tangan kiri Terala telah menghantam dadanya. Darah muncrat dari
mulut Ratu Selendang Kabut
"Uhugkh!"
Ketika untuk kedua kalinya Nyi Layu
Kumbara terbatuk, tubuhnya langsung melorot ke tanah. Darah kental kehitaman
keluar dari dalam mulutnya. Jelas, perempuan pemilik Selendang
Kabut itu mengalami luka dalam yang cukup pa-
rah. Pemandangan yang cukup mengenaskan
itu hanya terlihat beberapa saat saja. Manakala Nyi Layu Kumbara kembali
terbatuk, tubuh perempuan itu betul-betul rebah. Napasnya yang
tinggal satu-satu habis sama sekali. Tubuh Nyi
Layu Kumbara terbujur kaku tanpa nyawa.
9 Melalui bola kristal saktinya Gagak Sugih
Pengasung menyaksikan kematian Ular Laut Me-
rah, Ratu Selendang Kabut, dan Sanca Moncong
Emas. Giginya gemeretuk menahan kemarahan
yang sangat. Dia tidak mengira lelaki muda berjuluk Raja Petir itu memiliki
kesaktian yang begitu tinggi. Namun kepongahan hati Wirya Setraging
berkata kalau ilmu sihirnya akan mampu meng-
hentikan kehebatan Raja Petir.
"Akan kulenyapkan kesaktianmu dengan
ilmu sihirku, Raja Petir. Tunggulah saatnya," bisik Wirya Setraging dalam hati.
"Jangan harap kau bisa mendapatkan kembali Mayang Sutera
yang sudah jatuh dalam genggamanku," janji lelaki berpakaian indah bagai seorang
pangeran itu. Ketampanannya lebih tercermin dalam pakaian-
nya. Gagak Sugih Pengasung lalu meraih senja-
tanya yang tergeletak di dekat bola kristal sakti.
Sebuah senjata pusaka yang bagian ujungnya
berwujud pedang sedangkan bagian tangkainya
berupa seruling. Senjata itu diangkat tinggi-tinggi ke udara. Pamor senjata itu
tampak begitu dahsyat. "Akan kunanti kedatanganmu, Raja Petir!"
pekik Wirya Setraging. Ucapan itu memantul di
dinding-dinding ruangan khususnya.
* * * Jaka dengan ditemani Terala, Gumai Gu-
marang, dan sepasang muda-mudi yang tak lain
Seruni dan Gagah Bayu sudah berada di mulut
Lembah Pengasung saat matahari pagi bersinar
setengahnya. Alam lembah nampak begitu aneh.
Pohon-pohon yang tumbuh berjajar di atas tanah yang tidak rata berdaun jarang.
Udara di sekitar Lembah Pengasung terasa tidak enak. Angin yang bertiup
sebentar-sebentar menebarkan aroma
amis. "Waspada perlu kita tingkatkan, Jaka,"
gumam Terala. Namun terdengar jelas di telinga Gumai Gumarang, Seruni, dan Gagah
Bayu. "Ya. Aku merasa kita akan dihadang sesua-
tu," sahut Gumai Gumarang. Senjatanya yang berupa pedang bersinar kebiruan sudah
tergenggam di tangan. Demikian pula dengan Seruni dan Gagah Bayu. Mereka telah
menggenggam senjata
masing. Srat! Terala ikut meloloskan senjata andalannya.
"Hrrr...!"
"Hrg...!"
Belum sekejapan Terala meloloskan senja-
tanya. Raung-raungan aneh segera terdengar di-
iringi dengan munculnya makhluk-makhluk aneh
bertubuh manusia dan berkepala kera.
Semula Jaka, Terala, dan yang lainnya me-
nyangka makhluk yang datang menyerbu itu ma-
nusia yang mengenakan topeng kera. Namun ke-
tika makhluk-makhluk itu semakin mendekat,
percayalah mereka kalau itu adalah makhluk
langka yang begitu menyeramkan.
"Hrrggg...!"
"Hrrrggg...!"
Sepuluh makhluk bertelanjang dada den-
gan menggenggam senjata berupa gada berduri
bergerak cepat menyerbu Jaka dan kawan-
kawannya. Wrugkh! Wrugkh! Angin menderu mengiringi datangnya se-
rangan para penghuni Lembah Pengasung. Sepu-
luh gada berduri bergerak bersamaan dengan
arah cecaran yang sama, yakni kepala lawan.
"Hm.... Hops!"
Sesaat setelah memperhatikan cara mak-
hluk-makhluk setengah manusia itu, Jaka segera melenting ke udara menghindari
terjangan gada-gada berduri. Sengaja Jaka langsung mengerah-
kan jurus 'Lejitan Lidah Petir', agar lebih mudah mengelak dan sempat memikirkan
cara aneh makhluk-makhluk itu menyerang.
"Hm.... Mereka sesungguhnya hanyalah sa-
tu," gumam Jaka mendapat kesimpulan. "Buktinya, jika makhluk yang menyerangnya
meng- hentikan gerakannya, maka yang lainnya mela-
kukan hal yang sama. Aku harus menundukkan
makhluk yang satu itu. Aku yakin maka semua-
nya akan tunduk," dengan kepekaannya Jaka berusaha memilih wujud makhluk yang
asli. "Hrgh...!"
"Yang ini!" pekik Jaka keras. Kemudian....
"Hih!" Bugkh!
Tak ada pekikan yang terdengar saat kepa-
lan tangan kanan Raja Petir yang dialiri tenaga dalam tinggi menghantam dada
salah satu lawannya. Makhluk itu terjajar lima langkah ke belakang. Ternyata
makhluk-makhluk lain yang
menyerang Terala, Gumai Gumarang, Seruni, dan
Gagah Bayu mengalami nasib yang sama. Raja
Petir telah berhasil mendapatkan wujud makhluk yang asli.
"Daya tahan tubuh makhluk itu sangat
kuat. Aku harus mencari titik lemahnya," Jaka menajamkan tatapannya pada sekujur
tubuh makhluk yang baru dihantamnya.
"Akan kucoba pada bagian jakunnya," putus Jaka. Sikapnya sudah siap mengambil
alih serangan. Namun belum lagi Jaka bergerak,
makhluk-makhluk itu sudah menyerang lebih du-
lu. "Hrgh...!"
Wrugkh! Berpasang-pasang gada berduri kembali
berkelebat mencecar batok kepala Jaka. Namun
Jaka tidak mengelakkan sambaran-sambaran
berbahaya itu. Raja Petir hanya menunggu keda-
tangan sambaran gada berduri yang berada di
genggaman makhluk asli.
Wrugkh! "Hih!"
Drgkh! Setelah mengelakkan sambaran gada ber-
duri sosok makhluk yang asli, Jaka menyodok
leher lawannya dengan tangan kanan yang berge-
rak pergi gerakan pedang menebas.
Cukup berhasil memang apa yang dilaku-
kan Jaka. Makhluk itu mengerang ketika tangan
Jaka mendarat telak di lehernya. Namun dia
kembali mampu maju menyerang. Rupanya, dae-
rah yang barusan diserang Jaka bukanlah titik
lemah makhluk aneh berkepala kera berbadan
manusia. Jaka terus berusaha mendapatkan kele-
mahan lawannya. Dan ketajaman matanya ter-
nyata melihat kalau titik lemah lawan terletak pa-da puting buah dada sosok
lelaki berkepala binatang itu.
"Hm.... Mudah-mudahan kesimpulanku
benar. Puting-puting yang berbentuk tak wajar itu harus kucabut dari tempatnya,"
gumam Jaka dalam hati. Kemudian sosok muda yang terbungkus
pakaian kuning keemasan itu melesat mengguna-
kan jurus 'Lejitan Lidah Petir' yang akan dipadukan dengan jurus 'Menggiring
Awan'. "Hiaaa...!"
Tubuh Jaka melesat bagai seekor elang
terbang. Sepasang tangannya merentang. Dan ke-
tika mendekat pada sasaran, tangan kiri Jaka
bergerak cepat mencecar ubun-ubun. Sedangkan
tangan kanannya yang membentuk cakar mence-
car puting buah dada lawan.
Plak! Crat! "Hrgkhkghk...!"
Raungan keras seketika membubung ke
langit. Tubuh makhluk berwujud manusia dan
kera itu terjajar mundur. Dari bagian dadanya
yang kena cakar mengucurkan cairan hitam ber-
bau anyir. Brugkh! Sepuluh makhluk yang menyerang Jaka
dan teman-temannya semua ambruk ke tanah.
Keanehan kembali mereka saksikan. Makhluk-
makhluk itu menghilang begitu saja.
"Hm.... Ilmu sihir yang menakjubkan," de-sah Gumai Garang.
"Lebih baik kita terus bergerak lebih ke dalam, Paman. Aku yakin Mayang Sutera
tidak be- rada jauh di sekitar tempat ini," ucap Jaka.
Namun belum lagi gema ucapan Jaka hi-
lang, sebuah tawa yang keras memantul-mantul
di empat penjuru Lembah Pengasung.
"Ha ha ha... ha ha ha...! Ha ha ha...!"
Jaka, Terala, Gumai Garang, Seruni, dan
Gagah Bayu memutar bola mata mereka, menca-
ri-cari dari mana suara itu datang. Namun tak
kunjung didapatkannya. Malahan kini tawa itu
diiringi alunan seruling yang begitu merdu.
"Tu lat tut tit tilt la lit..."
"Twiiit.. twiiit.. tit., tiiittt...!
"Ini bukan bunyi seruling biasa, Adi Terala.
Jiwaku seolah terbawa hanyut oleh iramanya.
Oh.... Aku tidak bisa mengekang hasrat untuk
berjoget," ucap Gumai Gumarang.
Tubuh dan pinggul Pendekar Pedang Biru
bergerak dan bergoyang-goyang dengan sendi-
rinya. Lelaki berusia hampir enam puluh tahun
lebih itu berjoget mengikuti irama seruling. Kenyataan itu juga terjadi pada
Terala, Seruni, dan Gagah Bayu. Mereka tidak dapat meredam pengaruh bunyi
seruling. Padahal seperti halnya Gumai Gumarang, mereka juga sudah berusaha
melawan pengaruh irama seruling dengan menutup ja-
lan pendengarannya. Namun pengaruh irama itu
masih tetap saja merasuk ke jiwa. Kini Terala, Gumai Gumarang, Gagah Bayu, dan
Seruni berjoget mengikuti alunan seruling. Cuma Jaka yang mampu bertahan.
"Hhh.... Aku harus segera menyudahi per-
mainan ini," ucap Jaka. Tangannya bergerak ke arah pinggang. Tak pelak lagi,
meloloskan Sabuk Petir yang berwarna hijau.
"Haaa...!"
Cletarrr...! Glegarrr...! Bunyi menggelegar bagai guntur terdengar
saat Sabuk Petir Jaka melecut di udara. Tiba-tiba bunyi merdu seruling lenyap
Raja Petir 22 Cinta Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seketika. Namun Terala, Gumai Gumarang, Seruni, dan Gagah Bayu
harus merasakan akibatnya. Meski tidak terluka dalam mereka terkulai di tanah
dengan napas te-rengah-engah.
"Kalian tidak apa-apa...?" tanya Jaka ce-mas. Terala menggelengkan kepala
menjawab pertanyaan Jaka. Begitu juga yang dilakukan
Gumail Gumarang, Seruni, dan Gagah Bayu.
"Kau memang hebat, Raja Petir. Akan ku-
tantang kau apakah mampu mendapatkan
Mayang Sutera, gadis yang kucintai sepenuh ji-
wa!" ucap sebuah suara bergema dan memantul-mantul.
"Akan kubuktikan. Namun nampakkanlah
wujudmu!" balas Jaka dengan mengerahkan tenaga dalam.
Seketika itu juga hawa di sekitar lembah
terasa dingin. Angin berhembus kencang ke arah Jaka. Namun bersamaan dengan
lenyapnya deru angin dingin, di hadapan Jaka berdiri sosok
Mayang Sutera yang berdampingan dengan seo-
rang lelaki muda nan gagah dan tampan.
"Aku tak akan pernah tenang kalau ada le-
laki yang mencintai gadis yang kucintai. Dia harus segera kulenyapkan dari muka
bumi ini!" tandas Wirya Setraging mantap.
"Kaukah Gagak Sugih Pengasung?" tanya Jaka dengan tenang.
Wirya Setraging menganggukkan kepala.
"Sebelumnya aku malu memperkarakan
masalah ini," ucap Jaka. "Masalah cinta yang se-mestinya bisa diselesaikan tidak
dengan cara mengadu jiwa," lanjutnya menatap tajam wajah Wirya Setraging.
"Apa kau takut padaku?" tanya Wirya Setraging meremehkan. "Atau kau punya cara
lain yang lebih kau anggap aman?"
"Ya," jawab Jaka mencoba tidak terpengaruh kata-kata lelaki tampan berambut
panjang itu. "Lebih baik kita tanyakan saja pada gadis itu,
siapa lelaki yang menjadi pilihannya," usul Jaka.
Tatapannya kini tertuju pada wajah cantik Dewi Payung Emas.
"Jawab pertanyaan lelaki itu, Mayang," pinta Wirya Setraging pada Mayang Sutera.
Mayang Sutera tidak segera memenuhi
permintaan Gagak Sugih Pengasung. Gadis itu
melangkah maju dua tindak. Tatapan matanya
terlihat kosong ke wajah tampan Raja Petir.
Seperti halnya Jaka. Terala, Gumai Guma-
rang, Seruni, dan Gagah Bayu yang sudah bang-
kit berdiri mengalami ketegangan menunggu ja-
waban Dewi Payung Emas.
"Raja Petir. Kau sungguh tak punya malu.
Kau anggap aku kekasihmu. Padahal sedikit pun
aku tidak punya cinta untukmu. Pergi cepat dari hadapanku! Jangan tunggu
kurenggut nyawamu!"
Perasaan Jaka bergolak seketika. Ucapan
Mayang Sutera terdengar begitu menusuk hati.
"Kau dengar itu, Raja Petir...?"
*** 10 Jaka sesungguhnya tidak percaya dengan
ucapan Mayang Sutera. Ia berkesimpulan jalan
pikiran kekasihnya telah dipengaruhi Wirya Se-
traging. "Lepaskan pengaruh sihirmu terhadapnya,
Gagak Sugi Pengasung. Aku meragukan kebena-
ran kata-katanya," pinta Jaka.
Permintaan Raja Petir tidak dipenuhi Ga-
gak Sugi Pengasung. Malah, lelaki muda dan
tampan itu memerintahkan Mayang Sutera untuk
membunuh Jaka. "Binasakan dia, Mayang."
Tanpa diperintah dua kali Mayang Sutera
melesat cepat menyerang Jaka. Senjatanya yang
berupa payung kecil terbuat dari logam langsung dikembangkan dan dibabatkan ke
dada Jaka. "Haiiit..!"
Wuttt..! "Ups!"
Jaka segera menghentakkan kakinya kuat-
kuat. Saat itu juga tubuhnya melenting jauh ke belakang membuat serangan Mayang
Sutera mentah di tengah jalan.
"Hm.... Aku harus terlebih dulu menghi-
langkan pengaruh sihir pada diri Mayang Sutera.
Kalau tidak dirinya bisa celaka," ucap Jaka dalam hati. Ketika Dewi Payung Emas
kembali menyerbu, Jaka menyiapkan pukulan dengan men-
gerahkan 'Aji Kukuh Karang'.
"Haiiit..!"
Pada saat Mayang Sutera berada di udara,
jari-jari Raja Petir dengan cepat menghentak. Dua larik sinar kuning melesat
menyongsong tubuh
Dewi Payung Emas.
Slats! Slats! Dua larik sinar kuning itu berpencar dua
arah. Begitu cepatnya lesatan itu hingga Mayang
Sutera tidak dapat menghindar. Luncuran sinar
menghantam kepala dan lututnya. Seketika itu
juga Mayang Sutera merasakan hawa lain menja-
lar di sekujur tubuhnya. Dan belum lagi Dewi
Payung Emas berbuat sesuatu, tubuhnya tidak
mampu digerakkan lagi.
Bruk! Mayang Sutera ambruk ke tanah.
"Kurang ajar kau. Raja Petir! Kau telah
menyakitinya. Kubunuh kau!"
Wirya Setraging dengan kalap menyerang
Raja Petir. Senjata pusakanya menebas ke arah
leher. Wung! Twiiit..! "Heh"! Uts!"
Tersentak hati Jaka mendapatkan seran-
gan lawan. Serangan itu bukan saja mengancam
lehernya, tetapi juga jiwanya terpengaruh oleh bunyi yang mengiringi datangnya
ujung pedang, membuat Jaka seolah harus menyerahkan kepa-
lanya untuk dipenggal.
"Setan!" maki Jaka ketika sebuah sinar keperakan membungkus kakinya dari ujung
sampai sebatas paha. Pemuda itu kini tidak dapat ber-
pindah tempat. Sementara dengan senjatanya
Wirya Setraging kembali melancarkan serangan.
'Terpaksa kugunakan Pedang Petir," putus
Jaka ketika dirasakan hanya itu jalan keluar yang terbaik.
Maka ketika keputusan itu betul-betul bu-
lat, Jaka meloloskan senjata dari leher. Dengan
cepat kekuatan batinnya tersalur pada gagang
senjata yang belum nampak wujud utuhnya. Ke-
tika kekuatan itu telah mengalir sepenuhnya, wujud Pedang Petir pun menjadi
sempurna. Jaka segera mengangkat senjata itu tinggi-tinggi di atas kepala.
Tret... tret... tret...!
Zglarrr...! Bunyi guntur terdengar di kejauhan. Alam
di sekitar tempat pertarungan mendadak berubah gelap. Pedang Petir yang
memendarkan sinar kemerahan disambar kilat yang bergantian datang.
Dan seketika kilat-kilat itu lenyap, cuaca kembali terang benderang. Saat itulah
Gagak Sugih Pengasung melesat dengan senjata bergerak ke arah leher Jaka.
Traszzz...! Asap mengepul di udara ketika dua senjata
pusaka saling bertemu. Bunyi seperti benda pa-
nas tercelup di air seketika terdengar. Senjata Wirya Setraging dan senjata Jaka
saling menempel. Asap mengepul dari kedua senjata itu.
Dengan seluruh kekuatan batinnya Jaka
berusaha bertahan dari pengaruh ilmu 'Seruling Penggugah Sukma Pedang Pencabut
Nyawa'. Keringat membanjiri sekujur tubuh Jaka.
Tindakan itu pun dilakukan Wirya Setrag-
ing. Namun sayang, kekuatan batin Wirya Setraging dan penguasaan tenaga dalamnya
masih ka- lah dengan Jaka. Maka bukan hanya keringat
yang keluar dari tubuhnya, melainkan juga da-
rah. "Hoaaattt...!"
Dengan sisa kekuatannya Wirya Setraging
mencoba menghantamkan kepalan tangan kanan-
nya ke dada Jaka. Tapi tangan kiri Jaka telah lebih dulu membentengi tubuhnya.
Sebentuk kekuatan kembali bertemu lewat
telapak tangan dua tokoh tingkat tinggi itu. Namun lagi-lagi Wirya Setraging
harus mengakui keunggulan tenaga dalam Raja Petir. Saat benturan keras terjadi, Gagak Sugih
Pengasung mera-
sakan tenaganya yang disalurkan lewat telapak
tangan tersedot oleh kekuatan lawan.
"Heh"! Grrrzzzsssttt...!"
Seiring dengan tidak mampunya Wirya Se-
traging menarik pulang senjata dan tangannya
yang menempel di telapak tangan Raja Petir, mulutnya mengeluarkan teriakan aneh,
membuat Jaka terkejut sesaat. Keterkejutan Jaka rupanya memancing kecerdikan Wirya
Setraging untuk
mengambil kesempatan mengerahkan ilmu 'Kabut
Sakti Lembah Pengasung'.
"Grrrzzzsssttt...'" Tubuh Wirya Setraging ti-ba-tiba lenyap dari' hadapan Jaka.
Namun pe- dangnya masih nampak menempel pada Pedang
Petir milik Jaka.
"Ha ha ha.... Jangan kau bangga dulu, Raja Bodoh!" tukas Wirya Setraging tanpa
terlihat di mana sosoknya berada. Hanya suaranya saja
yang menggema memantul-mantul. "Senjataku yang menempel di senjatamu hanyalah
bayan-gannya saja. Inilah senjataku yang asli," lanjut Wirya Setraging. Di
hadapan Jaka kini terlihat
sebilah pedang yang mengambang di udara. Jaka
tentu saja kagum dengan kesaktian yang dimiliki Gagah Sugih Pengasung. Jarang
ada tokoh yang bisa keluar dari pengaruh perbawa Pedang Petirnya. Tapi Wirya Setraging..."
"Raja Petir! Bersiaplah untuk mampus. Il-
mu 'Panca Naga Merah Murka' akan segera men-
girimmu ke lubang kubur!" keras ucapan Wirya Setraging. Seiring dengan itu
pedang yang men-gapung di udara berputar cepat hingga wujud
senjata itu tak nampak. Hanya deru angin yang
terdengar cukup kuat. Kemudian dari angin itu
terciptalah lima berkas sinar merah yang mele-
dak-ledak. "Zlart! Zlart! Zlart..!"
Saat itu sinar-sinar merah itu menyentuh
tanah, di hadapan Jaka tampaklah seekor ular
naga berkepala lima.
"Hm.... Benar-benar ilmu iblis!" rutuk Jaka dalam hati.
Belum setegukan teh Jaka bergumam, so-
sok naga berkepala lima itu bergerak menyerang dengan ekornya yang mengibas
keras. Clegarrr! "Hop!"
Jaka melesat dengan menggunakan jurus
'Lejitan Lidah Petir', menghindari hantaman ekor naga merah yang cukup dahsyat.
Berkali-kali hal itu dilakukan Jaka.
"Khooosssttt..!"
Kini bukan hanya ekornya yang menyerang
Raja Petir dengan bertubi-tubi. Mulut naga jel-
maan Wirya Setraging itu menyerang dengan
semburan api. "Uts!"
Dengan masih menggunakan jurus 'Lejitan
Lidah Petir', Jaka terus bergerak menghindari serangan-serangan yang mematikan
itu. "Hiaaa...!"
Tiba-tiba Jaka berteriak keras. Tubuhnya
melesat seperti seekor elang menyambar anak
ayam. Sementara senjata pusaka Pedang Petir
bergerak memutar melakukan tebasan maut ke
arah leher naga.
Wung...! Brrr...! Bunyi angin berkesiut dahsyat jelas ter-
dengar saat naga jelmaan Wirya Setraging berhasil mengelakkan serangan Raja
Petir. Namun Jaka bukannya keheranan ketika serangannya kandas.
Sosok muda yang kehebatannya telah dikenal di
seluruh rimba persilatan itu kembali bergerak cepat dengan senjatanya.
"Hiaaa...!"
Brrr...! Bratztz...! "Groaaangkhhh...!"
Naga jelmaan Wirya Setraging memekik
dahsyat. Naga itu memang sempat menghindar
ketika Raja Petir kembali menyerang. Namun ge-
rakan naga jelmaan Wirya Setraging kalah cepat.
Meski incaran ujung Pedang Petir yang mengarah ke bagian leher luput, bagian
perut naga itu terkena sayatan ujung senjata Jaka. Akan tetapi..."
"Heh..."!"
Jaka terkejut menyaksikan luka yang men-
ganga di perut naga kembali rapat seperti sedia-kala. Tidak terlihat darah
mengalir. "Hm.... Seharusnya tubuh naga itu hangus
saat ujung senjataku menembus kulitnya. Tapi....
Hhh! Harus kugunakan ilmu 'Selaksa Halilintar
Menyambar' untuk menundukkannya," gumam
Raja Petir. Maka ketika naga jelmaan itu kembali me-
lancarkan serangan dengan semburan apinya,
Jaka mengangkat Pedang Petir tinggi di atas kepala. Guntur kembali terdengar di
kejauhan. Langit di sekitar tempat pertarungan gelap gulita, dan kilat
menyambar-nyambar batang Pedang Petir
yang memendarkan sinar kemerahan.
Ketika langit kembali terang dan kilat su-
dah berhenti menyambar, kekuatan Jaka semakin
sempurna untuk memainkan ilmu 'Selaksa Hali-
lintar Menyambar'. Seketika itu juga...
"Hiaaa...!"
Jaka melesat bagai kilat menyongsong
Raja Petir 22 Cinta Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semburan api naga berkepala lima. Pedang Petirnya berkelebat mencecar salah satu
kepala naga jelmaan Wirya Setraging.
Bratttzzzzttt...!
"Groaaakhghgkhhh...!"
Naga jelmaan Wirya Setraging meraung
dahsyat saat salah satu kepalanya terbabat pu-
tus. Tak ada darah yang keluar dari kepala yang tergeletak di tanah. Bersamaan
dengan naga jelmaan Wirya Setraging kehilangan nyawa. Perla-
han-lahan naga berkepala lima itu menjelma
menjadi sosok lelaki berwajah tampan. Namun
tubuh dan kepala Wirya Setraging sudah berpi-
sah. Wirya Setraging tewas dengan mengenaskan.
Menyaksikan lawannya tergeletak tanpa
nyawa, Jaka segera bergerak menghampiri
Mayang Sutera. "Dia tidak apa-apa, Paman. Biar kube-
baskan dulu dari pengaruh 'Aji Kukuh Karang',"
ucap Jaka. Tuk! Tuk! Dua kali tangan Jaka bergerak menotok
leher dan kaki Mayang Sutera. Lenguh kesakitan samar terdengar. Mata Dewi Payung
Emas pun terbuka. "Kakang...?" ucap Mayang Sutera seraya bangkit. Gadis itu segera merangkul Jaka.
SELESAI Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Senopati Pamungkas I 1 Pedang Tetesan Air Mata Ying Xiong Wu Lei A Hero Without Tears Karya Khu Lung Patung Dewi Ratih 2