Pencarian

Perburuan Busur Maut 1

Raja Petir 21 Perburuan Busur Maut Bagian 1


PERBURUAN BUSUR MAUT Oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana Serial Raja Petir
dalam episode: Perburuan Busur Maut
128 hal. ; 12 x 18 cm.
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 Matahari belum begitu lama terbangun dari
peraduannya, dan kini tengah mengintip malu-malu persada raya dengan panoramanya
yang begitu indah. Hutan Jati Selajar yang berada dalam wilayah Desa Getar Jala
mendapat bagian curahan sinar
lembut yang hanya kuasa mengintip dari celah de-
daunan. Sementara satu pal jauhnya dari mulut Hutan Jati Selajar, lima lelaki
bertampang kasar tengah mengayunkan kakinya tergesa-gesa.
"Percepat langkah kalian!" ucap lelaki tinggi besar berwajah pucat bagai mayat.
Sepertinya lelaki berambut sebahu yang dibiarkan tergerai itu adalah pimpinan
empat lelaki lain yang berpakaian longgar warna hitam mengkilat, terbukti
perkataannya segera saja mendapat tanggapan dari empat lelaki yang rata-rata
bertubuh tinggi besar.
"Kurasa Hutan Jati Selajar tak berada jauh
dari tempat ini," tukas lelaki berwajah pucat lagi.
"Kurasa juga begitu, Kak," timpal lelaki beralis sebelah. Dia nampak mengayun
langkahnya lebih cepat dari yang lainnya.
Kemudian, tanpa ada pembicaraan lagi kelima
lelaki bertampang kasar melanjutkan perjalanannya menuju Hutan Jati Selajar.
Sementara itu, di dalam Hutan Jati Selajar, di
mana terdapat tujuh batang pohon jati yang tumbuh seperti membuat lingkaran,
menampakkan panorama yang lain dari Hutan Jati Selajar. Agak aneh ke-lihatannya,
apalagi hanya tempat itu yang ditumbu-
hi rumput halus. Memang, tempat itu sesungguh-
nyalah sebuah tempat rahasia. Merupakan sebuah
ruang bawah tanah yang didiami oleh lebih dari seorang penghuni.
"Kurasa sekaranglah waktu yang tepat un-
tukmu menemui Kakek Saroagung yang bergelar
Kakek Tanpa Jari. Baru setelah itu, kalian berdua bersama Kakek Saroagung
mencari Raja Petir untuk menyerahkan busur dan panah emas itu," ucap seorang
lelaki berusia lanjut, salah seorang penghuni ruang bawah tanah itu. Kelanjutan
usianya ditandai dengan rambutnya yang sudah memutih semua dan
juga jenggot panjang berwarna putih. Namun mata lelaki berpakaian serba putih
itu masih memperlihatkan ketajamannya, setajam mata elang. Dan itu cukup memberi
gambaran bahwa dia bukanlah lelaki sembarangan.
"Lima tahun lamanya kalian kugembleng ilmu
bela diri, kurasa cukup bekalmu untuk menghadapi orang-orang yang usil di
perjalanan," lanjut kakek berjenggot putih panjang yang sesungguhnya bernama
Suranggrati. "Dari mulut Kakek Tanpa Jari kalian akan tahu siapa diri kalian
sesungguhnya."
"Apakah Kakek Sura tak sudi menceritakan
sedikit saja perihal diri kami sesungguhnya, agar kami tak penasaran?" pinta
pemuda tampan berusia tak lebih dari tiga belas tahun. Pakaiannya yang berwarna
merah darah terlihat begitu nyerap dengan kulitnya yang berwarna putih bersih.
Pemuda lain yang seusia dan juga berpakaian
warna merah hanya menyetujui ucapan saudaranya
dengan bahasa isyarat, tatapan matanya yang tertu-ju lurus ke wajah Kakek
Suranggrati menandakan
kalau dirinya juga ingin mendengar jawaban dari
mulut lelaki tua yang telah hampir tiga belas tahun merawat dan mendidiknya
serta membekalinya ilmu
bela diri. Sementara sikap Kakek Suranggrati hanya
tersenyum saja menanggapi keinginan dua pemuda
tampan yang sudah dianggapnya seperti cucu bah-
kan anak sendiri.
"Setya Wangsakesuma," panggil Kakek Suranggrati kemudian seiring lenyap
senyumnya. "Kalau aku tahu hal ikhwal diri kalian berdua, untuk apa kalian
kusuruh menemui Kakek Tanpa Jari,"
lanjut Kakek Suranggrati.
"Ah, maafkan kami, Kek?" ucap pemuda yang bernama Darma Wangsakesuma sambil
menjura memberi hormat.
"Tidak apa, Darma," sela Kakek Suranggrati sambil menyentuh bahu saudara kembar
Setya Wangsakesuma yang bernama Darma Wangsakesu-
ma. Lelaki remaja berhidung lancip itu mendapatkan tatapan teduh mata Kakek
Suranggrati. "Justru Ka-keklah yang harus minta maaf pada kalian, karena Kakek
tak dapat mengantar kalian untuk menemui
Kakek Tanpa Jari melainkan hanya sampai ambang
pintu nanti. Kakek memang sudah terlalu jenuh untuk menggeluti dunia luar.
Biarlah Kakek akan tetap di tempat ini, berhubungan terus-menerus dengan
Allah, dengan Penguasa Jagad yang menciptakan
kehidupan dan kematian, yang memiliki kasih
sayang dan ampunan tak terhitung," lanjut Kakek Suranggrati panjang lebar.
"Kami mengerti, Kek," ucap Setya Wangsakesuma.
"Jika begitu, mari secepatnya kita keluar. Lebih cepat menjumpai Kakek Saroagung
lebih baik, begitu juga dengan Raja Petir. Kuyakin hanya dia seorang yang mampu meredam
tokoh-tokoh jahat
yang berhajat memiliki busur dan panah emas ini,"
tutur Kakek Suranggrati, "Darsa, Sapta! Kalian te-mani Setya dan Darma sampai
menjumpai Kakek
Saroagung dan Raja Petir," lanjut lelaki berusia lanjut sambil memerintah pada
dua lelaki yang bertubuh kekar berpakaian hitam yang sejak tadi hanya berdiri di
belakangnya tanpa ikut menimpali pembicaraan.
"Baik, Kakek Suranggrati! Nyawa kami yang
jadi tameng hidup Adi Setya dan Adi Darma," jawab lelaki berotot melingkar-
lingkar karena pakaiannya yang dikenakan cukup ketat membungkus tubuh.
Lelaki itu berwajah tampan dan kelimis, dialah yang bernama Sapta.
"Tak kuragukan kesetiaan kalian, dan mari
kita keluar sekarang," ujar Kakek Suranggrati dengan ayunan kaki yang melewati
sosok lelaki muda
kembar yang berpakaian warna serba merah.
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-
suma yang di bagian dada mereka terdapat benda
yang terbungkus kain putih sutera pun mengikuti
langkah kaki Kakek Suranggrati, baru kemudian
Darsa dan Sapta melakukan hal yang sama.
"Ha ha ha...! Pucuk di cinta ulam tiba!" ucap sebuah suara cukup keras sesaat
tapak kaki Kakek Suranggrati dan orang-orangnya menjejak tanah be-rumput Hutan
Jati Selajar. "Ternyata tak sesulit apa yang kukira untuk mendapatkanmu, Suranggrati! Yang
kucari malah ikut mencariku," lanjut suara itu lagi sebelum Kakek Suranggrati tahu siapa yang
berbicara. "Iblis Bengis Wajah Dingin!" sentak Kakek Suranggrati sedikit terkejut
menyaksikan lelaki tinggi kekar yang mengenakan jubah longgar warna putih,
rambutnya yang gondrong sebahu tersibak angin
yang tiba-tiba saja datang. Di belakangnya berdiri empat lelaki berpakaian hitam
dan bertubuh tinggi besar. "Tanpa kuberitahu maksud kedatanganku menemuimu,
kurasa kau sudah lebih tahu, Suranggrati!" tukas lelaki berjubah putih longgar
yang dipanggil Kakek Suranggrati sebagai Iblis Bengis Wajah Dingin. "Untuk itu,
demi selembar nyawamu yang tak lama lagi berkalang tanah, serahkanlah
benda yang ada pada dua bocah itu secara baik-baik padaku. Dengan demikian
usiamu masih sempat
mendapatkan tempat di muka jagad ini, begitu juga dengan dua bocah kembar
pengikutmu yang lain
itu!" tunjuk Iblis Bengis Wajah Dingin pada dua bocah berhidung lancip dan juga
pada diri Darsa dan Sapta. Kakek Suranggrati hanya menimpali ucapan
Iblis Bengis Wajah Dingin dengan senyum samar
yang terkembang, namun tak lama berselang sang-
kalan pun segera terdengar keluar dari sepasang bibir tipis lelaki berusia enam
puluhan. "Iblis Bengis Wajah Dingin," panggil Kakek Suranggrati dengan suara yang sedikit
pun tak tersirat kegeraman, apalagi kegentaran berhadapan dengan lelaki yang
sudah cukup punya nama di kalan-
gan rimba persilatan. "Aku cukup mengenal kau yang memiliki kesaktian yang
begitu tinggi, meski
kabar itu kuketahui dari mulut ke mulut, namun
kuyakini betul bahwa kau memiliki kesaktian yang tinggi itu. Tapi kini sungguh
tak terpikir olehku, ternyata kau juga ingin memiliki benda yang kini berada di
tangan kedua cucuku itu. Aku heran, apakah kau menjadi kurang sakti tanpa
senjata yang berada pada Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma?" sambung
Kakek Suranggrati sambil melempar pertanyaan dengan nada sindiran halus namun
cukup menusuk hati Iblis Bengis Wajah Dingin.
"Hm.... Ternyata kau tak sayang dengan nya-
wamu yang hanya tinggal sedikit lagi mengenyam
nikmatnya kehidupan ini, Suranggrati! Kata-katamu barusan yang kuanggap kelewat
berani itu adalah
bumerang untuk sepenggal nyawamu!"
"Apa kau yang berhak untuk menentukan ke-
hidupan dan kematian seseorang, Iblis?" tanya Kakek Suranggrati masih dengan
sikap yang cukup tenang. Sementara Setya Wangsakesuma dan saudara
kembarnya sudah nampak berdiri gelisah, begitu ju-ga dengan Darsa dan Sapta.
Mereka menjadi tak tenang karena ingin menghajar mulut kurang ajar lelaki yang
berjuluk Iblis Bengis Wajah Dingin.
"Aku dan senjata mautku ini memang punya
hak untuk melenyapkan nyawa kalian!" jawab Iblis Bengis Wajah Dingin.
"Iblis sombong!" maki Darma Wangsakesuma keras. "Iblis laknat!" timpal Setya
Wangsakesuma tak kuasa membendung emosinya. Dua lelaki kembar berusia tiga
belasan itu sama-sama melangkahkan kakinya bermaksud memberi pelajaran pada Ib-
lis Bengis Wajah Dingin, namun langkahnya terha-
dang tangan kanan Kakek Suranggrati.
"Sabar, Cucuku," tahan Kakek Suranggrati dengan suara yang tiba-tiba saja
bergetar. Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsake-
suma menjadi sedikit terkejut mendengar ucapan
Kakek Suranggrati yang bergetar itu.
"Kenapa, Kek?" tanya Darma Wangsakesuma polos. Kakek Suranggrati menatap tepat
bola mata Darma Wangsakesuma, lalu ucapan yang cukup pe-lan pun terdengar di
telinga lelaki kembar yang berusia tiga belas tahun itu.
"Kesaktiannya bukanlah tandingan kita, Cu-
cuku. Untuk itu Kakek sarankan sebaiknya kalian
berdua menyelamatkan diri dan segera menemui
Kakek Saroagung," ujar Kakek Suranggrati menjawab pertanyaan Darma Wangsakesuma.
"Kakek...?"
"Pergilah, biar Kakek, juga Darsa dan Sapta yang menghadapi mereka," tukas Kakek
Suranggrati lebih keras.
"Tapi, Kek...?"
"Pergi cepat kalau kau tak mau kuanggap se-
bagai Cucu yang tak tahu adab!" bentak Kakek Suranggrati keras.
"Ha ha ha.... Ternyata nyalimu tak lebih besar dari kedua cucumu itu,
Suranggrati! Biarkan saja mereka menunjukkan kebesaran nyalinya di hadapanku,"
ejek Iblis Bengis Wajah Dingin dengan ta-wanya yang memantul-mantul ke sudut
Hutan Jati Selajar. Kakek Suranggrati menolehkan wajahnya
yang merah ke arah wajah Iblis Bengis Wajah Din-
gin, tatapan penuh tantangan membias dari sepa-
sang bola mata tuanya yang masih menyiratkan ke-
tajaman, namun tatapan itu hanya sebentar saja
mampir di wajah Iblis Bengis Wajah Dingin, karena pada saat berikutnya tatapan
Kakek Suranggrati sudah beralih kembali ke wajah cucu-cucunya.
"Cepat kalian pergi!" perintah Kakek Suranggrati pada Darma Wangsakesuma dan
Setya Wangsakesuma. Lelaki muda usia yang mengenakan pakaian
merah tahu kalau kata-kata Kakek Suranggrati tak mungkin terbantah lagi, maka
secara bersamaan
dua bocah kembar itu menghentakkan kaki mereka
kuat-kuat ke permukaan bumi. Tubuh keduanya
pun kemudian melesat cepat dengan menggunakan
ilmu lari cepat dan meringankan tubuh yang cukup mendapat acungan jempol.
"Jangan pergi! Hops!" Ibis Bengis Wajah Dingin berteriak seraya menghentakkan
kakinya melakukan gerakan mengejar ke arah lari Darma Wang-
sakesuma dan Setya Wangsakesuma.
"Hops!" bersamaan dengan melesatnya sosok Iblis Bengis Wajah Dingin, sosok Kakek
Suranggrati pun melesat menghadang.
"Hadapi aku dulu kalau kau ingin menda-
patkannya, Iblis Gila!" sentak Kakek Suranggrati.
Tendangan lurus mengarah ke ulu hati Iblis Bengis Wajah Dingin langsung
dilancarkannya, itu sengaja dilakukannya untuk mencegah keinginan lelaki
berjubah putih mengkilat untuk mengejar Darma
Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma.
Terhadap serangan Kakek Suranggrati yang
mengarah ke bagian tubuh pekanya, Iblis Bengis
Wajah Dingin tentu saja tak ingin mengambil resiko,
maka seketika itu juga, pada saat tubuhnya masih berada di atas permukaan tanah,
dibuang tubuhnya ke arah kanan untuk menghindari sambaran kaki
tua milik Kakek Suranggrati.
Sungguh mengagumkan gerakan cepat yang
dilakukan oleh Iblis Bengis Wajah Dingin. Sesaat lelaki berjubah putih
melemparkan tubuhnya ke ka-
nan, dengan cepat ujung kakinya menotol permu-
kaan tanah dan dengan kecepatan yang luar biasa
memberikan serangan balasan dengan dua kepalan
tangan terarah ke batok kepala Kakek Suranggrati.
Bet! Bet! Pemandangan yang tersaji malah menjadi ter-
balik, kini nampak Kakek Suranggrati yang kelabakan menghindari serangan balasan
yang dilancar- kan Iblis Bengis Wajah Dingin yang mengandung
kekuatan tenaga dalam tinggi.
Namun patut dipuji juga gerakan lincah dari
si Kakek yang juga mengenakan pakaian warna pu-
tih, meskipun dengan susah payah dirinya berhasil juga meluputkan serangan
balasan lawan. "Hm.... Kurasa hanya sampai di sini aku
mengeluarkan jurus perkenalanku, Kakek Bau Ta-
nah!" tukas Iblis Bengis Wajah Dingin yang seketika itu juga menghentikan
serangannya.

Raja Petir 21 Perburuan Busur Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kini, dalam jarak dua batang tombak nampak
dua lelaki berpakaian putih saling berhadapan dengan masing-masing kemarahan
yang bergelora di
dada. "Sudah kukatakan kalau nyawaku tidak berada di genggamanmu, Iblis Kurap!"
maki Kakek Suranggrati.
"Hrgh...!" Iblis Bengis Wajah Dingin mengge-
reng marah mendengar cercaan yang keluar dari
mulut Kakek Suranggrati, seketika itu juga tangannya tergerak meraba senjata
yang melilit di ping-gangnya. Sebuah rantai baja yang panjangnya sekitar satu
setengah batang tombak yang pada bagian ujungnya terdapat bola-bola berduri
masing-masing tiga buah sebesar kepalan bayi berusia sembilan bulan. Rantai baja
berbandul bola berduri pun kini lolos dari pinggang Iblis Bengis Wajah Dingin,
saat itu juga kebengisan wajah lelaki iblis berjubah putih mengkilat nampak
menjadi dua kali lipat, bola matanya berubah menjadi berwarna kemerahan, layak
seperti mata seekor naga murka.
"Akan kubuktikan kalau aku mampu mem-
begal nyawamu, Kakek Sundel! Bersiaplah segera
untuk melayat ke liang lahat!"
Seiring dengan ucapannya itu, Iblis Bengis
Wajah Dingin mengangkat tangan kanannya yang
menggenggam bagian tengah dari rantai baja yang
ujungnya masing-masing terdapat tiga bandulan
berduri, lalu lelaki yang berusia empat puluh lima tahun itu memutar-mutar
senjatanya di atas kepala.
Wuk! Wukkk...! Wrrr...! Bunyi bergemuruh disertai dengan suara an-
gin yang cukup keras pun terdengar menyakitkan
telinga. Bebatuan kecil yang berada di sekitar tempat di mana Iblis Bengis Wajah
Dingin berpijak seketika beterbangan ke berbagai arah. Daun-daun yang merimbuni
Hutan Jati Selajar berguguran ke tanah, sementara orang-orang Iblis Bengis Wajah
Dingin dan Sapta juga Darsa menjauhi daerah yang seperti terlanda angin topan.
Sedangkan Kakek Suranggrati
masih tetap berpijak pada tempatnya, namun pada
tangan kakek berusia enam puluh tahun itu kini
tergenggam sebilah keris yang menebarkan hawa
dingin, keris itu sendiri memendar-mendarkan sinar kebiruan.
Wukkk...! Jledarrr...! Sebuah pohon sebesar dua kali pelukan lelaki
dewasa tumbang saat Iblis Bengis Wajah Dingin
menghentakkan tangannya, dan tiga bandulan duri
yang melesat cepat mencecar kepala Kakek Su-
ranggrati membentur pohon itu hingga menimbul-
kan bunyi dahsyat. Pohon jati kokoh itu pun hangus layak terbakar.
"Gila...!" desis Kakek Suranggrati dalam hati menyadari kedahsyatan serangan
yang dilancarkan
Iblis Bengis Wajah Dingin. Untung dia berhasil mencelat dengan cepat menghindari
terjangan tiga bun-dalan berduri yang ternyata seperti mampu menge-
luarkan api, jika tidak" Huh! Tak terbayangkan akan menjadi apa tubuhnya.
Di tengah-tengah usaha Kakek Suranggrati
menghindari serangan-serangan maut yang dilan-
carkan Iblis Bengis Wajah Dingin, dua lelaki bernama Darsa dan Sapta pun tengah
berjuang mati- matian untuk menyelamatkan nyawanya dari sam-
baran senjata milik anak buah Iblis Bengis Wajah Dingin. Namun dikarenakan
jumlah anak buah Iblis Bengis Wajah Dingin lebih banyak dan lagi memiliki
kemampuan ilmu silat lebih tinggi dari Darsa dan Sapta, maka dua lelaki anak
buah Kakek Suranggrati tak mampu berbuat banyak.
"Mampus kau, Gembel!" hardik lelaki berpakaian hitam dengan kumis tipis di
bagian pinggir.
Pada saat yang bersamaan lelaki anak buah
Iblis Bengis Wajah Dingin yang hanya memiliki sebelah alis mata melesat cepat ke
arah Darsa. Senjatanya yang berupa golok berukuran besar ikut berkelebat
mencecar kepala lelaki bertubuh kekar.
Brat! Tlash! Lengking panjang menyayat pun seketika ter-
dengar menggema saat Darsa mendapatkan samba-
ran dua senjata yang merobek perut dan bagian da-da.
Lelaki berpakaian warna hijau lumut itu pun
ambruk ke tanah dengan darah yang bermuncratan
mengotori pakaian dan tanah di sekitar tubuhnya
ambruk, hanya sesaat tubuh Darsa mengejang-
ngejang menanti kedatangan maut dan untuk saat
selanjutnya tubuh itu menjadi kaku setelah nya-
wanya tak lagi mendiami jasadnya.
Bugkh! Bugkh! Baru saja tubuh Darsa berubah menjadi
mayat, kini giliran Sapta yang menjadi incaran keganasan anak buah Iblis Bengis
Wajah Dingin. Lela-ki berpakaian kelabu bernama Satpa dua kali menerima hantaman
di bagian dada dan perutnya. Kini
lelaki itu tengah terhuyung dengan telapak tangan yang mendekap dada.
Sapta meringis menahan kesakitan. Pada saat
itulah lelaki beralis sebelah kembali melesat cepat dengan golok besar yang
terayun ke arah leher lawannya.
Tlash! Tubuh Sapta terhempas sejauh dua langkah,
sementara kepalanya yang sudah terpisah dari tu-
buh menggelinding dan berhenti tepat di kaki Iblis Bengis Wajah Dingin.
"Kepalamu pun akan mengalami nasib seperti
ini, Suranggrati!" ucap Iblis Bengis Wajah Dingin dengan tangan kanan yang
mengangkat kepala Sapta tinggi-tinggi, sebagian darah yang belum mengental
keluar dari daging yang terkoyak.
"Kau memang biadab! Kau betul-betul, Iblis
Neraka! Tapi dengar, tak semudah itu kau mem-
buktikan kata-katamu terhadap diriku!" sentak Kakek Suranggrati dengan raut
wajah yang tegang terbungkus kemarahan yang tak terbendung.
"Hhh...! Tua bangka sombong, ujung kema-
tianmu sesaat lagi akan datang, berdoalah segera!"
ledek Iblis Bengis Wajah Dingin dengan tangannya yang melempar kepala Sapta ke
arah wajah Kakek
Suranggrati. Di luar dugaan Iblis Bengis Wajah Dingin,
Kakek Suranggrati tak mengelak lemparannya. Ma-
lahan lelaki tua berusia lanjut itu menangkap kepala Sapta yang sesungguhnya
sangat disayangi.
Tap! "Maafkan aku, Sapta," ucap Kakek Su-
ranggrati dengan suara parau, air mata pun tiba-
tiba bergulir melalui kelopak matanya yang keriput.
"Demi membelaku kau rela mengorbankan kepala-mu," lanjut Kakek Suranggrati yang
kemudian meletakkan kepala anak muridnya dengan hati-hati.
Bola mata kakek berusia enam puluh tahun
yang berkilat-kilat penuh bara kemarahan terlihat seperti hendak menelan wajah
lawannya yang ten-
gah berdiri dengan keangkuhannya.
"Kau harus membayar kematian kedua mu-
ridku dengan nyawamu, Iblis Laknat!" maki Kakek Suranggrati dengan keris yang
ditudingkan lurus ke wajah Iblis Bengis Wajah Dingin.
Sebelum Kakek Suranggrati menurunkan
senjatanya yang digunakan untuk menuding wajah
lawannya, si Iblis Bengis Wajah Dingin sudah lebih dulu memberi aba-aba pada
empat anak buahnya.
"Lumat tubuh kakek tak tahu diri itu!" perintah Iblis Bengis Wajah Dingin dengan
suara lantang menggelagar.
Seketika itu juga empat lelaki berpakaian hi-
tam yang dipimpin oleh lelaki beralis mata sebelah, bergerak cepat melancarkan
serangan ke arah Kakek Suranggrati.
"Hiaaa...!"
"Haaat..!"
Empat anak buah Iblis Bengis Wajah Dingin
bergerak lincah dengan senjatanya yang berupa golok besar yang bercericit
mencari sasaran di tubuh Kakek Suranggrati.
Wut! Wut! "Eits!"
Tubuh lelaki tua berjenggot putih panjang itu
bergerak-gerak cepat, melakukan lompatan bebera-
pa kali ke udara demi menghindari serangan-
serangan gencar yang rata-rata mempergunakan te-
naga dalam kelas tinggi.
Dari keberhasilan Kakek Suranggititi dalam
menggagalkan serangan keempat lawannya yang da-
tang silih berganti, jelas terlihat ketinggian ilmu si Kakek yang berada
beberapa tingkat di atas la-
wannya, namun dikarenakan serangan yang dilaku-
kan lawan-lawannya cukup padu dan beragam, ma-
ka Kakek Suranggrati merasa kerepotan juga di-
buatnya. "Hm.... Aku harus merobohkan lebih dulu sa-
lah satu di antara mereka, terutama lelaki beralis mata sebelah itu," batin
Kakek Suranggrati berencana. Dan belum lagi gema rencana di kakek berpa-
kaian putih bersih itu hilang, sebuah teriakan membahana terdengar seiring
dengan melesatnya sosok lelaki beralis mata sebelah.
"Hm.... Ini kesempatan baik," kata hati Kakek Suranggrati lagi, dia tak segera
menyambut serangan yang dilakukan lawannya akan tetapi menunggu sampai serangan
itu lebih mendekat dan....
Wung Bret! Lawan Kakek Suranggrati tiba-tiba memekik
keras manakala ujung keris telah merobek bagian
perutnya, sungguh dia tak menyana kalau di balik gerakan mengelak yang dilakukan
Kakek Suranggrati disertai pula dengan serangan yang begitu mem-bahayakan.
"Sagawan!" pekik Iblis Bengis Wajah Dingin ketika menyaksikan robohnya lelaki
beralis mata sebelah dengan bagian perut yang terkoyak lebar dan isi perut serta
darah yang nampak saling berebutan keluar. "Keparat!" maki Iblis Bengis Wajah
Dingin geram. "Seraaang...!" perintahnya lagi keras, sementara dirinya segera
memutar-mutar senjata yang beru-pa rantai baja panjang berbandul enam buah bola
berduri. Suara bergemuruh pun tak pelak lagi ter-
dengar bising. Wuk! Wuk! Di tengah-tengah sepak terjang tiga anak
buahnya yang hendak merobohkan si Kakek berpa-
kaian putih, Iblis Bengis Wajah Dingin terus memutar-mutar senjata yang semakin
lama semakin ce-
pat, namun mata dan pikiran Iblis Bengis Wajah
Dingin tetap berkonsentrasi pada keadaan diri Kakek Suranggrati itu untuk
mengambil kesempatan
dalam kelengahan lawan, maka manakala kesempa-
tan itu terbaca mata Iblis Bengis Wajah Dingin, seketika itu juga....
"Haiiit...!"
Tubuh Iblis Bengis Wajah Dingin melesat
dengan senjata yang terus berputar, namun kemu-
dian.... Sing! Brttt..! Rantai berbandul bola-bola berduri yang be-
rada di tangan Iblis Bengis Wajah Dingin seketika itu juga terlepas, dan tanpa
disadari oleh Kakek Suranggrati senjata lawan itu menjerat lehernya tanpa dia
mampu mengelak karena dari arah depan dan
belakang dua buah golok besar saling berdesing
memburu tubuhnya, dua buah golok besar yang ju-
ga dilepas bersama dengan Iblis Bengis Wajah Dingin melepas senjatanya.
Sesaat setelah melepas senjatanya, Iblis Ben-
gis Wajah Dingin pun melesat memburu ujung sen-
jatanya, sama halnya dengan yang dilakukan seo-
rang anak buahnya.
Tap! Tap! Ujung senjata berbandul bola berduri itu kini
sama-sama tertangkap tangan Iblis Bengis Wajah
Dingin dan anak buahnya, sementara rantai bajanya melilit di leher Kakek
Suranggrati, dan ketika dua tokoh jahat itu menarik bandulan berduri terdengar-
lah lenguhan kematian yang keluar dari mulut Ka-
kek Suranggrati dengan lidah yang menjulur keluar.
Bruk! Tubuh Kakek Suranggrati ambruk ke tanah
ketika rantai baja yang melilit lehernya terlepas, li-dahnya masih menjulur
keluar. "Ayo kita kejar, Bocah Kembar itu!" perintah Iblis Bengis Wajah Dingin, tubuhnya
pun kemudian melesat lebih dahulu meninggalkan tiga anak buahnya yang tersisa.
Tiga lelaki berpakaian hitam anak buah Iblis
Bengis Wajah Dingin segera menghentak kakinya
kuat-kuat, mengikuti jejak sang Majikan.
2 Sinar matahari yang kini berada tegak di atas
ubun-ubun, hingga menghadirkan rasa panas yang
menyengat tak dipedulikan oleh dua bocah berpa-
kaian warna merah darah yang terus saja melang-
kahkan kakinya dengan tergesa-gesa. Sudah pulu-
han pal jauhnya mereka meninggalkan Hutan Jati
Selajar. Entah ke mana tujuan mereka sekarang.
Namun, di depan mereka kini terbentang sebongkah batu besar yang menandai kalau
mereka telah memasuki wilayah Desa Karang Sedaya.
Dua bocah yang tak lain adalah si Kembar
yang masing-masing bernama Setya Wangsakesuma
dan Darma Wangsakesuma kini sama-sama meng-
hentikan langkah kaki mereka, tatapan matanya
pun sama-sama memperhatikan sebongkah batu
yang bertuliskan nama "Desa Karang Sedaya".
"Aku mengkhawatirkan keselamatan Kakek
Suranggrati, Darma," ucap Setya Wangsakesuma pada saudaranya.
"Aku pun begitu, Setya," timpal Darma Wangsakesuma. "Tapi semoga saja Kakek
Suranggrati dapat mengatasinya," lanjut Darma Wangsakesuma
"Ya. Semoga saja," sahut Setya Wangsakesuma. "Sekarang apakah kita masuk saja ke
Desa Karang Sedaya?" tanya Setya Wangsakesuma me-minta pendapat
"Ke mana lagi" Barangkali saja di desa itu ki-ta akan peroleh kabar tentang
kediaman Kakek Tan-pa Jari," papar Darma Wangsakesuma.
"Ayolah kalau begitu," setuju Setya Wangsakesuma melangkahkan kaki terlebih
dulu, diikuti kemudian dengan langkah kaki Darma Wangsake-
suma yang mencoba mensejajari.
Namun baru beberapa langkah lelaki kembar
berusia tiga belas tahun mengayunkan kaki, sebuah teguran lunak membuatnya
berhenti meneruskan
perjalanannya. "Hai, Bocah-bocah Tampan! Hendak ke ma-
nakah kalian?" tanya sebuah suara bernada enteng dan terdengar seperti
bersahabat. Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-
suma segera saja menolehkan kepalanya dan kemu-


Raja Petir 21 Perburuan Busur Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dian sama-sama membalikkan tubuh menghadap
dua lelaki tampan berpakaian hijau yang berdiri te-
gak di hadapannya sejauh enam batang tombak.
Dua lelaki tampan yang berpakaian hijau itu
rata-rata menampakkan hulu senjata yang tersem-
bul dari balik punggungnya. Mereka tersenyum ma-
nis hingga memperlihatkan gigi-gigi putih mereka yang tersusun rapi. Wajah
mereka yang memang
tampan dengan mata bulat cemerlang serta kulit wajah yang putih bening semakin
menampakkan ke-
tampanan mereka, terlebih dengan rambut lurus
mereka yang terpotong begitu rapi dan apik. Dan
semuanya itu membuat Setya Wangsakesuma dan
Darma Wangsakesuma tak segan-segan membalas
senyuman itu dan menjawab pertanyaannya.
"Kami hendak ke Desa Karang Sedaya, Kak,"
jawab Setya Wangsakesuma dengan sikap sopan.
"Hm.... Kalian pasti punya urusan penting di sana," ucap salah seorang dari
lelaki tampan berpakaian hijau lagi.
"Kira-kira begitulah, Kak," kali ini Darma Wangsakesuma yang menjawab pertanyaan
itu. "Hm...."
Dua lelaki tampan berpakaian hijau ini sama-
sama melangkahkan kakinya mendekati Setya
Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma hingga
berjarak satu setengah batang tombak.
"O, ya, namaku Ajiwana dan kawanku ini
bernama Lugawika," ucap lelaki tampan berkumis lebih tipis yang mengaku bernama
Ajiwana. "Bolehkah aku mengenal nama kalian?" lanjutnya sopan.
"Tentu saja," jawab Setya Wangsakesuma tanpa merasa keberatan sedikit pun.
"Namaku Setya Wangsakesuma dan saudaraku ini punya nama
Darma Wangsakesuma," tambahnya memperkenal-
kan diri. "Kalian pasti anak kembar, betulkah?" selidik Jiwana kemudian.
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-
suma tak menjawab pertanyaan itu dengan segera,
dua bocah berusia tiga belas tahun itu kini terlibat saling tatap satu sama
lain. "Kuyakini kalian sebagai anak kembar, wajah kalian satu sama lain tak terlihat
perbedaannya,"
ucap Lugawka. "Maaf, Darma, Setya. Kalau boleh aku tahu kepentingan apakah yang
membawa langkah kaki kalian ke Desa Karang Sedaya?" tambah Lugawnka.
Dua lelaki kembar berpakaian warna merah
darah sedikit terkejut mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Lugawika,
hingga jawabannya pun tak keluar dari mulut mereka.
"Kalau kalian berkeberatan untuk menjawab,
tak usahlah dijawab," kilah Ajiwana.
"Maafkan kami, Kak. Kami memang berke-
baratan untuk memberitahukan," ujar Setya Wangsakesuma polos.
"Kalau aku menduga, bolehkah?" tanya Lugawika berkesan mendesak.
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-
suma tak menimpali pertanyaan itu, mereka sama-
sama diam dan sama-sama pula merasakan sesuatu
yang tak beres akan terjadi.
"Ah, maaf, Kak. Kami harus segera ke sana,"
ujar Darma Wangsakesuma dengan telunjuk yang
menuding mulut Desa Karang Sedaya.
"Tunggulah sebentar, aku belum meneruskan
dugaanku," tahan Lugawika. "Barusan aku menden-
gar nama Kakek Tanpa Jari kalian sebut-sebut,
apakah kalian akan menemuinya di Desa Karang
Sedaya sana?" tandas Lugawika membuat keyakinan Darma Wangsakesuma dan Setya
Wangsakesuma akan hal yang tak beres semakin kuat. Itu kare-
nanya dua lelaki kembar tak menjawab pertanyaan
Lugawika. "Kalian tak perlu takut untuk menjawab,"
ucap Ajiwana. "Kami berdua tahu persis di mana kediaman si Kakek Tanpa Jari itu,
dan untuk kalian aku bersedia memberitahu," lanjut Ajiwana.
Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsake-
suma terpengaruh juga dengan ucapan lelaki lembut yang keluar dari mulut
Ajiwana, itu dapat dilihat da-ri perubahan raut wajah dan tatapan bola mata
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma
yang tak lagi tersirat kecurigaan.
"Betulkah Kakak berdua ingin menunjukkan
pada kami kediaman Kakek Tanpa Jari?" tanya Setya Wangsakesuma terus terang.
"Tentu saja," jawab Lugawika mantap.
"Di manakah?" kejar Darma Wangsakesuma.
"Bukan di Desa Karang Sedaya," jawab Ajiwana.
"Lalu di mana?" tanya Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma berbarengan.
"Ada persyaratan yang harus kalian penuhi
kalau ingin tahu kediaman si Kakek Tanpa Jari itu,"
kilah Lugawika dengan mata yang berkedip sebelah kepada Ajiwana.
Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsake-
suma melihat apa yang dilakukan Lugawika, seketi-ka itu juga kecurigaannya
muncul kembali dan
keengganan untuk menanyakan persyaratan yang
dimaksud Lugawika membuat lelaki kembar berusia
tiga belas tahun itu bungkam seribu bahasa.
"Kalian tak ingin tahu apa persyaratan itu?"
tanya Ajiwana. "Saya rasa tidak perlu, Kak. Kami berdua ingin mencarinya tanpa bantuan orang
lain," jawab Setya Wangsakesuma. "Ayo, Darma. Kita ke Karang Sedaya sekarang,"
lanjutnya mengajak Darma
Wangsakesuma berjalan menuju mulut Desa Karang
Sedaya. "Tunggu!" sentak Lugawika sedikit keras.
"Aku kecewa kalian tak bisa menghargai niat baik-ku, padahal persyaratan yang
kuajukan cukup gam-
pang dan tak akan menyulitkan kalian."
"Ya. Kami akan meminta benda yang kalian
bawa itu," sambung Ajiwana sambil menunjuk benda yang berada di tangan Darma
Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma yang terbungkus kain su-
tera warna putih mengkilat.
"Apa?" tanya Darma Wangsakesuma dan
Setya Wangsakesuma terkejut. Wajah keduanya
langsung dibaluri rona merah sesaat mendengar
persyaratan yang diucapkan Ajiwana.
"Hanya itu, tak ada yang lain," kilah Lugawika.
"Maaf, kami tak bisa memenuhi persyaratan
itu," ujar Darma Wangsakesuma tandas. Sepertinya jawaban itu tak bisa diubah
lagi. "Berarti kalian kehilangan kesempatan untuk mengetahui rumah tinggal si Kakek
Tanpa Jari."
"Tak apa. Kami bisa mencarinya," jawab Setya Wangsakesuma.
"Kalau kami merebut benda yang kau bawa
secara paksa bagaimana" Apa kau sanggup mem-
pertahankannya?" tanya Lugeiwika mengajukan per-timbangan untuk dipilih lelaki
kembar berpakaian merah. "Kami akan mempertahankannya selama
nyawa kami masih berada di tempatnya," mantap jawaban yang keluar dari mulut
Setya Wangsakesuma. "Ternyata kalian punya nyali juga!" hardik Lugawika yang
berwatak agak panasan dibanding
dengan watak Ajiwana.
"Lima jurus kalian mampu mempertahankan
benda itu, maka persyaratan itu kucabut," sambung Ajiwana. "Bersiaplah!"
Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsake-
suma membawa mundur kakinya satu langkah,
nampaknya kedua lelaki kembar yang masih muda
usia itu ingin menghadapi serangan yang pasti akan dilakukan dua lelaki tampan
yang menginginkan
panah dan busur emas yang dimilikinya.
"Keluarkan seluruh kemampuanmu, Bocah!
Jangan anggap serangan Dua Pemuda Tampan Pen-
jenguk Maut main-main!" ucap Lugawika keras, kemudian lelaki yang berwatak
pemarah itu menghen-
takkan kakinya kuat-kuat di permukaan tanah, se-
ketika itu juga tubuhnya melesat ke arah Darma
Wangsakesuma. Sebuah pukulan lurus yang terarah ke bagian
dada Darma Wangsakesuma dilancarkan Lugawika
dengan tanpa sungkan-sungkan, angin menderu
yang mengiringi kedatangan serangan itu menanda-
kan kalau Lugawika tak main-main.
Wuttt! Diiringi teriakan menghindar, Darma Wang-
sakesuma melesat ke samping kanan menghindari
kepalan tangan lawannya yang menjurus ke bagian
dada. Tubuh lelaki berusia tiga belas tahun itu terlihat melenting ringan
beberapa kali di udara. Terlihat betapa luwes dan ringan cara Darma Wangsakesuma
bergerak dan itu cukup membuatnya terhindar
dari gempuran maut yang dilancarkan Lugawika.
Lugawika sendiri hanya tersenyum menyaksi-
kan kelincahan gerak lelaki yang berusia jauh lebih muda darinya, kemudian dia
pun mencoba menimpali dengan jurus pertama dari lima jurus yang telah
dijanjikan. Tubuh Lugawika kembali melesat dengan
mengerahkan tendangan yang terangkum dalam ju-
rus 'Menggali Liang Lahat'. Tendangan maut yang dilancarkan Lugawika
memperlihatkan kaki kanan
yang berputar-putar hebat hingga menimbulkan de-
ru angin yang cukup jelas terdengar telinga.
Wuttt! Kembali Darma Wangsakesuma melenting
ringan menghindari luncuran kaki kanan Lugawika
yang berputar bagai baling-baling kapal, sambil melakukan beberapa kali putaran
ke samping kanan.
Namun kiranya hal seperti itulah yang dinan-
ti-nanti Lugawika, lelaki tampan berpakaian hijau yang pada bagian punggungnya
tersandar sebilah
pedang terlihat merubah serangannya. Kaki kanan
yang berputar di depan tiba-tiba terhenti bergerak, kemudian dengan cepat kaki
itu ditarik ke belakang, menjejak ke tanah dengan cepat, lalu menghentak-kannya
kuat-kuat Kini sosok Lugawika melayang deras dengan
dua kepalan tangan yang terarah ke bagian uluhati dan kepala lawannya.
Plak! Begkh! Meskipun Darma Wangsakesuma berhasil
memapak sambaran tangan kanan Lugawika, na-
mun dirinya yang dalam hal penguasaan tenaga da-
lam masih berada di bawah lawannya tak kuasa un-
tuk menghindari keterhuyungan saat benturan tan-
gan terjadi. Pada saat itulah gerakan Lugawika yang begitu cepat kembali
mengirim serangan susulan
yang mendarat telak di dada.
"Hoekh...!"
Darma Wangsakesuma tergolek di tanah, se-
mentara dari mulutnya mengalir darah kental. Berarti lelaki muda usia yang
dianggap Kakek Su-
ranggrati sebagai cucunya tengah mengalami luka
dalam yang cukup parah.
"Darma...!"
Setya Wangsakesuma yang menyaksikan kea-
daan saudaranya sempat terpekik, namun pekikan-
nya itulah yang membuatnya menjadi lengah akan
serangan Ajiwana yang kembali datang.
"Aw... aw... aw... as Set... ya!" Darma Wangsakesuma yang melihat bahaya
mengancam sauda-
ranya berusaha memberitahu sebisanya, namun apa
yang dilakukannya tak membuat Setya Wangsake-
suma sadar dari kelengahannya. Baru ketika serangan Ajiwana semakin mendekat
Setya Wangsakesu-
ma menoleh, namun sudah terlambat untuk mela-
kukan gerakan menghindar, hingga....
Blagkh! Meskipun Setya Wangsakesuma berusaha ke-
ras menggeser kedudukannya demi menghindari
sambaran kaki lawan, namun hal itu tak banyak
membantu. Bahu kanannya terhajar juga dengan te-
lak oleh telapak kaki Ajiwana, dan itu membuat kedudukan Setya Wangsakesuma
terhuyung empat
langkah ke belakang.
Pada saat tubuh Setya Wangsakesuma ter-
huyung dan kehilangan kendali, Ajiwana kembali
bergerak memberikan serangan tambahan dengan
kepalannya yang bergerak memutar mencecar ra-
hang lawannya. Serangannya yang terangkum dalam
jurus 'Menggali Liang Lahat' menjelmakan angin
menderu kuat. Setya Wangsakesuma meskipun dalam kea-
daan kedudukan limbung, masih tetap berusaha
mengelakkan sambaran tangan kanan Ajiwana den-
gan melakukan gerakan memutar ke samping ka-
nan, akan tetapi gerakan Ajiwana yang berubah-
ubah dan demikian cepat membuat saudara kembar
Darma Wangsakesuma tak kuasa untuk mengelak
terus-menerus, suatu ketika pukulan tangan Ajiwa-na mendarat dengan telak di
punggungnya hingga
tubuh Setya Wangsakesuma mencium tanah.
"Ha ha ha.... Kami Dua Pemuda Tampan Pen-
jenguk Maut masih cukup punya moral untuk men-
jenguk nyawa kalian, karena kalian masih terlalu kecil untuk mendapatkan
perlakuan itu. Begitu juga dengan merebut panah dan busur emas itu secara
paksa, kami tak ingin melakukannya. Kami ingin
kau menyerahkannya sendiri. Sekarang tinggal pilih, kalian akan menyerahkan
benda itu sendiri atau
aku yang mengambilnya setelah tubuh-tubuh kalian
berubah menjadi mayat!" sentak Lugawika tegas.
"Aku pilih yang kedua!" jawab Setya Wangsakesuma tak kalah tegas, meski di
tengah kedudu- kannya yang terkulai di tanah dan merasakan sakit yang teramat sangat mendera
bagian punggungnya.
"Hm.... Bagus! Ternyata kau punya nyali yang cukup besar, dan aku juga tak akan
memberi kalian pilihan untuk yang kedua kalinya. Sekarang ber-siaplah untuk
mampus!" Tubuh Lugawika melesat dengan sebilah pe-
dang di tangan yang teracung di udara, nampaknya lelaki berpakaian warna hijau
itu hendak memenggal kepala Setya Wangsakesuma.
Ternyata bukan hanya Lugawika yang melo-


Raja Petir 21 Perburuan Busur Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

loskan pedangnya untuk memenggal kepala Setya
Wangsakesuma, hal seperti itu juga dilakukan oleh Ajiwana yang bergerak cepat ke
arah Darma Wangsakesuma.
"Ha ha ha...!"
Belum lagi serangan Lugawika dan Ajiwana
berkelanjutan, sebuah suara membahana terdengar
dengan diiringi dua serangan jarak jauh yang menimbulkan angin menderu cukup
keras. Wusss...! "Setan!"
Lugawika memaki sengit mendapatkan seran-
gan yang mendadak, namun begitu, kegesitannya
bergerak membuat dirinya mampu meredam puku-
lan jarak jauh yang mengandung kekuatan tenaga
dalam tinggi. Lugawika bergerak cepat bagai kilat mengurungkan niatnya memenggal
kepala salah seorang dari bocah kembar berusia tiga belas tahun.
Kenyataan itu juga dilakukan oleh Ajiwana
untuk mengelakkan pukulan jarak jauh yang belum
jelas siapa orang yang melakukannya. Baru setelah Lugawika dan Ajiwana mendarat
dengan selamat,
disaksikannya seorang lelaki bertubuh tinggi kekar mengenakan jubah warna putih
mengkilat. Wajah lelaki yang putih layak mayat membuat Lugawika dan Ajiwana
segera mengenali siapa dia adanya, serta ti-ga orang anak buahnya yang rata-rata
menggeng- gam golok besar di tangan.
"Iblis Bengis Wajah Dingin!" ujar Lugawika dan Ajiwana dengan nada yang
menyimpan keterkejutan. "Ha ha ha.... Terima kasih atas jasa kalian berdua
menghentikan dua bocah itu hingga aku tak sukar-sukar mengejarnya," tukas lelaki
berjubah putih yang memang ternyata si Iblis Bengis Wajah Dingin. Lelaki pemilik
senjata bola berduri itu nampak berdiri dengan kepongahan yang memuakkan hati
Lugawika dan Ajiwana. "Namun kusayangkan kenapa kalian hendak membinasakan
bocah-bocah itu,"
lanjut Iblis Bengis Wajah Dingin.
"Hhh! Jangan banyak basa-basi, Iblis Dungu!
Kau telah lancang mencampuri urusan kami, itu berarti mautlah yang pantas
menjemput kelancan-
ganmu!" bentak Lugawika dengan tatapan mata membara penuh kemarahan.
"Ha ha ha...!" Iblis Bengis Wajah Dingin ter-bahak mendengar ucapan yang keluar
dari mulut Lugawika. "Katakan cepat! Apakah urusan mengi-ngini panah dan busur emas hanya
menjadi uru- sanmu!" "Tak ada seorang pun yang akan dapat memi-
liki panah dan busur emas itu kecuali Dua Pemuda
Tampan Penjenguk Maut!" sentak Ajiwana sengit
"Hm.... Jadi sekarang aku berhadapan dengan Dua Pemuda Sok Tampan dan Sok Hebat"
Ck, ck, ck.... Bukan main, bukan main beraninya kalian
berdua ini, tapi sia-sia saja keberanian kalian kalau sudah berhadapan dengan
Iblis Bengis Wajah Dingin," ejek lelaki bertubuh kekar yang membawa serta tiga
anak buahnya. "Hrgh!" Lugawika mendengus menimpali ke-congkakan Iblis Bengis Wajah Dingin.
"Lebih baik kalian pergi sekarang juga, dan kubur keinginan untuk memiliki panah
dan busur emas yang tak pantas kalian miliki! Itu kalau kalian masih ingin melihat
matahari esok pagi!" balas Iblis Bengis Wajah Dingin menimpali dengusan kesal
Lugawika. "Iblis Tengik!" damprat Lugawika tak kuasa meredam kemarahannya. "Akan kukubur
kesom-bonganmu sekarang juga! Hiyaaa...!"
Demi melampiaskan kejengkelannya, Lugawi-
ka menggenjot tubuhnya melancarkan serangan
berkekuatan tenaga dalam tinggi. Otot-otot tangannya nampak mengejang kaku
dengan jari-jari yang
terkepal kuat, angin berkesiutan pun meningkahi
serangan maut yang dilancarkan salah seorang dari dua lelaki yang berjuluk Dua
Pemuda Tampan Penjenguk Maut.
Pertarungan pun tak dapat dielakkan ketika
Iblis Bengis Wajah Dingin menyambut serangan
yang dilancarkan Lugawika. Pertarungan pun mulai merambat antara Ajiwana
menghadapi tiga lelaki
bersenjata golok anak buah Iblis Bengis Wajah Dingin.
Sementara pertarungan memperebutkan pa-
nah dan busur emas terjadi dengan seru dan dengan nafsu membunuh yang menggebu,
Setya Wangsakesuma segera mencari jalan selamat dengan mema-
pah tubuh Darma Wangsakesuma yang mengalami
luka dalam menjauhi tempat pertarungan sedikit
demi sedikit. Sebenarnya Iblis Bengis Wajah Dingin dan
Lugawika bukannya tidak tahu kalau Setya Wang-
sakesuma dan Darma Wangsakesuma melarikan di-
ri. Keduanya sama-sama ingin mengejar bocah yang diperebutkan, tapi hal itu
dirasa tak mungkin. Mereka sama-sama ingin lebih dulu menyudahi per-
tempuran dengan binasanya salah satu di antara
mereka. Termasuk Ajiwana atau anak buah Iblis
Bengis Wajah Dingin.
"Biarkan bocah itu kabur!" sentak Lugawika.
"Kita tentukan dulu sampai mati siapa yang berhak atas mereka dan senjatanya!"
"Aku setuju! Akan kubinasakan kau, juga te-
manmu yang tak pantas memiliki panah dan busur
emas itu!" timpal Iblis Bengis Wajah Dingin geram.
"Bacot besarmu terlalu bagus untuk dibiar-
kan!" bentak Lugawika. "Ajiwana! Bunuh habis mereka!" teriak Lugawika pada
Ajiwana yang terus ber-tempur menghadapi anak buah Iblis Bengis Wajah
Dingin. "Hyaaat...!"
Pertempuran kembali berlanjut tanpa mem-
pedulikan lagi Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma yang bergerak diam-diam menjauhi
arena pertarungan.
"Ayo, Darma. Kuatkan dirimu, kita harus bisa
meninggalkan mereka untuk segera menemui Kakek
Saroagung," ajak Setya Wangsakesuma dengan me-mapah tubuh saudara kembarnya,
padahal dirinya
sendiri masih mengalami kesakitan pada bagian tubuhnya setelah mendapat serangan
keras dari salah seorang Dua Pemuda Tampan Penjenguk Maut.
"Mereka pasti akan mengejar kita setelah salah satu di antara mereka memenangkan
pertarun- gan," ucap Darma Wangsakesuma penuh kekhawati-ran. "Mudah-mudahan pertarungan
mereka me- minta banyak waktu, Darma. Aku yakin Dua Pemu-
da Tampan Penjenguk Maut bukanlah lawan yang
ringan bagi Iblis Bengis Wajah Dingin," kilah Setya Wangsakesuma. "Dengan begitu
kita memiliki kesempatan untuk menghindarinya lebih jauh," lanjut Setya
Wangsakesuma memberi dorongan semangat
pada saudara kembarnya.
"Ehhhgk...."
Sebisanya Darma Wangsakesuma melang-
kahkan kakinya dengan dipapah oleh Setya Wang-
sakesuma, meski dia merasakan dadanya seperti di-cucuk-cucuk ratusan jarum.
Sedikit demi sedikit
dua lelaki kembar berpakaian warna merah darah
bisa menjauhi tempat pertarungan Iblis Bengis Wajah Dingin dan Dua Pemuda Tampan
Penjenguk Maut yang masih terlibat pertarungan sengit.
*** 3 Angin sore mulai berhembus ketika langkah
kaki Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-
suma terseok-seok semakin jauh ke dalam Desa Ka-
rang Sedaya yang masih begitu jarang penduduk-
nya. Desa Karang Sedaya memang masih nampak
seperti sebuah hutan yang baru dibuka oleh bebera-pa orang penduduk pendatang,
terbukti rumah-
rumah di desa itu masih begitu berjauhan, masih
begitu jarang hingga meski sudah berpal-pal langkah kaki dua lelaki kembar
terayun, mereka belum juga menemui sosok-sosok penduduk yang lalu-lalang. Namun
ketika langkah kaki Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma terayun ke kelo-
kan jalan sebelah kanan, hampir saja tubuhnya di-tabrak oleh seorang lelaki
berpakaian warna kuning keemasan yang tengah berlari cukup cepat.
"Ups!"
Untuk mencegah terjadinya tabrakan itu, le-
laki tampan segera menghentak kakinya kuat-kuat
hingga tubuhnya melenting ke udara dan berputa-
ran beberapa kali sebelum lelaki muda berpakaian warna kuning keemasan mendarat
dengan ringan di
tanah. "Ah, maafkan aku, Dik. Hampir saja aku me-langgar kalian," tukas lelaki
tampan berpakaian warna kuning keemasan yang tak lain adalah Jaka
Sembada. Ucapan yang keluar dari mulut Raja Petir terkesan begitu tulus dengan
tekanan suara yang
terdengar lembut dan sopan.
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsake-
suma tak sempat menyahuti permintaan maaf Jaka,
kedua mata lelaki kembar itu kini tengah menatapi sosok Raja Petir, tatapan mata
mereka seperti terpa-ku.
"Namaku Jaka, Dik. Ah, sepertinya kawanmu
tengah mengalami luka dalam," ucap Jaka sambil melangkahkan kakinya dua tindak
mendekati sosok
Setya Wangsakesuma yang tengah menyangga tu-
buh Darma Wangsakesuma.
"Apakah nama lengkap Kakak, Jaka Semba-
da?" sebuah pertanyaan balik tiba-tiba terlontar begitu saja dari mulut Setya
Wangsakesuma setelah
hampir setengah penanakan nasi menatapi kebera-
daan Raja Petir dari ujung kaki hingga ujung rambut. Dengan anggukan mantap Jaka
membenar- kan pertanyaan Setya Wangsakesuma. Seketika itu
juga Jaka menangkap rona kegembiraan terpancar
dari wajah bola mata dua lelaki muda usia yang sa-ma-sama mengenakan pakaian
warna merah, den-
gan wajah hampir tiada perbedaan satu sama lain.
Seperti buah pinang dibelah dua.
"Kakak Raja Petir"! Ugkh...!" Ucapan kegembiraan yang keluar dari mulut Darma
Wangsakesuma membuat saudara kembar Setya Wangsakesuma itu
terbatuk, setitik darah nampak merembes dari ke-
dua sudut bibirnya.
Jaka yang sejak pertama sudah dapat men-
duga keadaan Darma Wangsakesuma tak mau ber-
tindak ayal, segera langkahnya terayun menyambar tubuh Darma Wangsakesuma yang
berada dalam sanggahan saudara kembarnya, kemudian tanpa ra-
gu-ragu dan dengan cepat Jaka meraih pil warna
merah dari balik saku pakaiannya, kemudian dima-
suk-kannya ke dalam mulut Darma Wangsakesuma.
Setelah itu Jaka membaringkan tubuh lemah lelaki berusia tiga belas tahun itu
berbantalkan akar pohon yang menyembul dari permukaan tanah.
"Sebenarnya apa yang tengah terjadi pada diri kalian?" tanya Jaka setelah
keadaan beranjak sesaat. "Namaku Setya Wangsakesuma dan saudara kembarku bernama
Darma Wangsakesuma," tukas Setya Wangsakesuma belum menjawab pertanyaan
Raja Petir. "Sungguh kebetulan yang memberuntungkan kalau kita bisa berjumpa,"
lanjut Setya Wangsakesuma dengan tatapan kegembiraan yang
terus melekat ke wajah Jaka.
Tatapan Setya Wangsakesuma yang seperti
itu mendapatkan sambutan yang berbantahan den-
gan tatapan mata Jaka yang bermakna sebuah ke-
heranan akan ucapan lelaki muda belia di hadapannya. "Apa maksud ucapanmu, Dik
Setya?" tanya Jaka menuntaskan keheranannya.
Tanpa keraguan sedikit pun Setya Wangsake-
suma menceritakan maksud dari ucapannya. Selu-
ruh ucapan yang diwasiatkan oleh Kakek Su-
ranggrati dipaparkannya tanpa satu kalimat pun
yang tertinggal.
"Siapa itu Kakek Saroagung yang bergelar Kakek Tanpa Jari?"
"Aku sendiri tak pernah mengenalnya, Kak,"
jawab Setya Wangsakesuma atas pertanyaan Jaka.
"Kakek Saroagunglah yang jelas-jelas mengetahui
hal ikhwal diri kami berdua," lanjut Setya Wangsakesuma.
"Kalau boleh Kakak tahu, kenapa Kakek Su-
ranggrati menugasi kalian untuk menyerahkan pa-
nah dan busur emas yang kalian katakan sebagai
senjata yang maha dahsyat pada Kakak dan akan
menjadi momok kegemparan bagi dunia persilatan
jika jatuh ke tangan yang salah?" tanya Jaka lagi menyelidik.
"Kakek Suranggrati cuma bilang hanya Raja
Petir yang mampu meredam kekuatan tokoh-tokoh
hitam yang berhajat merebut panah dan busur emas ini," jawab Setya Wangsakesuma
polos. "Kakek Suranggratimu terlalu berlebihan me-
nilai diriku, Dik Setya," kilah Jaka merendah.
"Kakek tak pernah bicara berlebihan yang di luar kenyataan, Kak," bantah Setya
Wangsakesuma. "Ah, sayang.... Kakek Suranggrati mungkin telah binasa di tangan Iblis Bengis
Wajah Dingin, yang bisa kupastikan juga akan dapat membinasakan
Dua Pemuda Tampan Penjenguk Maut yang hampir
saja memenggal kepala kami," lanjut Setya Wangsakesuma. Tiba-tiba saja sebutir
air mata menggelinding dari kelopak mata yang berkedip setelah mene-rawang jauh
beberapa saat. "Sudahlah, Dik. Kalian sudah menunaikan
perintah Kakek Suranggrati dengan baik hingga senjata berbahaya ini berada di
tanganku. Sekarang
mari kita cari kediaman Kakek Saroagung. Biar bagaimanapun kalian berdua harus
tahu hal ikhwal
diri kalian, aku sendiri ingin mengetahuinya," ujar Jaka mencoba mengalihkan
suasana hati Setya
Wangsakesuma. "Apakah tidak kita tunggu Darma siuman?"
tanya Setya Wangsakesuma bersemangat manakala
mendengar kesediaan Raja Petir membantunya me-
nemui Kakek Tanpa Jari.
"Obat yang kuberikan pada Darma memang
cukup keras untuk ukuran lelaki semuda kalian,
namun Darma bukanlah pemuda lemah, kuperhati-
kan otot-ototnya yang berisi dan tulang-tulangnya yang cukup bagus. Sesaat lagi
dia juga akan siuman," tukas Jaka kemudian.
Ternyata memang betul ucapan Raja Petir.
Belum lagi gema ucapannya sirna dari pendengaran Setya Wangsakesuma, nampak
Darma Wangsakesuma sudah menggeliatkan tubuhnya dan kemudian
seperti tanpa terjadi sesuatu pada dirinya, Darma Wangsakesuma mampu bangkit
dari rebahnya tanpa
menemui kesulitan. Cuma dari wajahnya saja yang


Raja Petir 21 Perburuan Busur Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih menampakkan kepucatan.
"Sekarang kita berangkat, Kak?" tanya Setya Wangsakesuma sambil menggamit lengan
Darma Wangsakesuma. "Kapan lagi?"
* * * Siang telah benar-benar menjelma menjadi
sore ketika tiga lelaki tampan yang tak lain adalah Jaka dan dua bocah kembar
berpakaian merah melangkahkan kakinya mencari seorang kakek yang
berjuluk Kakek Tanpa Jari.
Sementara di tempat lain, tepatnya di daerah
perbatasan Desa Karang Sedaya enam orang lelaki
bersenjata tengah terlibat pertarungan yang sengit.
Dari pertarungan itu bisa terlihat kalau dua lelaki tampan yang mengenakan
pakaian warna hijau ke-teteran menghadapi serangan-serangan yang dila-
kukan lelaki berjubah putih berwajah pucat bagai mayat bersama dengan tiga orang
anak buahnya, akan tetapi keadaan salah seorang pemuda tampan
berpakaian warna hijau tidaklah separah keadaan
kawannya. Dalam kesempatan sempit, setelah dirinya
berhasil mengelakkan serangan salah seorang dari tiga lelaki bersenjata golok
besar, Ajiwana si Pemuda Tampan itu berhasil memberikan serangan balasan
yang sempurna dengan pedang di tangan yang
membabat cepat membelah dada salah seorang lela-
ki berpakaian warna hitam.
"Mampus kau!"
Brat! "Aaa...!"
Salah seorang anak buah lelaki berjubah pu-
tih yang berjuluk Iblis Bengis Wajah Dingin kini tergeletak tanpa nyawa dengan
bagian dada terkoyak
lebar tersambar senjata milik Ajiwana. Kenyataan itu tentu saja membuat dirinya
marah, seketika itu juga kegencaran serangannya terhadap Lugawika ditambah lebih
cepat. Senjata yang berupa rantai baja berbandul enam bola-bola berduri pun
telah dilo-loskan. "Nyawamu yang akan membayar kematian anak buahku!" teriak
Iblis Bengis Wajah Dingin keras, tangan kanannya seketika itu juga diputar-
putar. Wuk, wuk....!
Bunyi bergemuruh terdengar keras. Bebatuan
kecil yang memang banyak terdapat di perbatasan
Desa Karang Sedaya berpentalan tak tentu arah.
Lugawika sendiri berkali-kali harus berlompa-
tan menghindari luncuran kerikil-kerikil yang terarah ke tubuhnya.
"Hiaaa...!"
Saat Lugawika melompat itulah Iblis Bengis
Wajah Dingin melepaskan bola-bola berdurinya yang terarah ke batok kepala
lawannya. Serangan Iblis Bengis Wajah Dingin segera
disadari Lugawika. Sebentuk keberanian yang tak
terduga sama sekali oleh Iblis Bengis Wajah Dingin dilakukan oleh Lugawika.
Dengan beraninya lelaki berwajah tampan itu menyambut luncuran senjata
lawannya. "Hih!"
Taps! Rantai baja milik Iblis Bengis Wajah Dingin
kini berada di genggaman tangan Lugawika. Lelaki berjubah putih itu tentu saja
terkejut bukan kepalang menyaksikan keadaan itu, namun pengala-
mannya yang cukup matang telah mengajarkannya
untuk mengambil tindakan tepat dan cepat.
Seketika itu juga Iblis Bengis Wajah Dingin
melepaskan cekalan tangannya pada rantai yang di-pegangnya dan melemparnya
dengan kekuatan te-
naga dalam penuh ke arah Lugawika.
Lugawika sendiri tak menyana dengan apa
yang dilakukan oleh lawannya. Sebuah lemparan keras memutar membuat dirinya
menjadi kebi- ngungan, apalagi lemparan itu cukup cepat.
Swing...! Rrt...! "Hhh"!"
Bukan alang kepalang terkejutnya Lugawika
yang mendapatkan tubuhnya terlilit rantai baja milik lawan sebelum dia sempat
melakukan gerakan
mengelak. Sedemikian cepatnya lemparan yang dilakukan musuhnya.
"Hiaaa...!"
Belum lagi Lugawika menemukan jalan keluar
untuk membebaskan diri dari belitan rantai milik Iblis Bengis Wajah Dingin,
lawannya yang memang
memiliki mutu ilmu silat yang lebih sempurna terdengar berteriak lantang seraya
mengibaskan dua
telapak tangannya.
Twing...! Twing...!
Lempengan berbentuk pipih dan bergerigi se-
ketika meluncur cepat ke arah Lugawika seiring
dengan kibasan tangan lelaki yang begitu cepat menyelinap ke balik jubah
kebesarannya. Hal itu tentu saja semakin membuat Lugawika mati kutu. Otak-nya
betul-betul menjadi buntu untuk mencari jalan keluar. Dan ketika dirinya
memutuskan untuk melompat ke arah kanan, hal itu ternyata sudah terlambat.
Crab! Crab! Dua buah benda pipih bergerigi sudah lebih
dulu mengenai sasaran pada bagian dada dan mata
kirinya. Lugawika meraung dahsyat merasakan rasa
sakit yang teramat sangat, terutama pada bagian
matanya yang tentu saja sangat mengganggu pan-
dangannya. Kepalanya pun seketika berputar-putar.
Lelaki berjubah putih itu ternyata memang
berwatak telengas. Meski lawannya dalam keadaan
payah seperti itu dan tak mungkin dapat bertahan lama, dia masih juga
melancarkan serangan susulan dengan tendangan kaki kanan lurus yang terarah ke
bagian perut Lugawika.
Bugkh! Sosok lelaki tampan berpakaian warna hijau
seketika itu juga terlontar sejauh dua batang tombak, dengan nyawanya yang
langsung hijrah ke alam lain. Pada sisi yang lain, Ajiwana ternyata harus
menerima nasib yang sama. Dua lawannya yang
berkepandaian cukup tinggi berhasil membenamkan
golok-golok besarnya pada bagian-bagian mematikan di tubuh Ajiwana. Jantung dan
lehernya. Kini dua lelaki berwajah tampan yang berju-
luk Dua Pemuda Tampan Penjenguk Maut sudah le-
nyap dari keramaian dunia persilatan. Nampak Iblis Bengis Wajah Dingin tersenyum
pongah dengan tatapan mata yang tertuju bergantian pada mayat Lugawika dan
Ajiwana. "Hhh! Banyak tokoh lain yang pasti mengin-
ginkan panah dan busur emas itu, kita harus segera mengejar bocah-bocah keparat
itu, jika berjumpa, langsung saja kita penggal kepalanya. Ayo!"
Iblis Bengis Wajah Dingin langsung melesat
meninggalkan mayat Lugawika dan Ajiwana yang
sudah terbujur kaku. Dua anak buahnya pun mela-
kukan hal yang sama.
Langit di Perbatasan Desa karang Sedaya su-
dah nampak gelap, warna jingga yang mengiringi
tenggelamnya matahari ke peraduan menandakan
malam sudah menjelang, bunyi jangkrik pun samar-
samar mulai terdengar, mengiringi kelebatan tiga le-
laki yang baru saja melenyapkan dua nyawa lelaki berpakaian warna hijau, tiga
lelaki yang kini sama-sama berlari cepat memasuki Desa Karang Sedaya.
4 "Raja Petir!" bentak seorang lelaki berpakaian warna hitam dengan setelan
bawahan berwarna merah darah. Lelaki bertubuh tegap dengan sebelah
mata yang ditutup dengan selembar kulit macan tu-tul itu berdiri pongah di
hadapan Jaka yang berdiri bersisian dengan Darma Wangsakesuma dan Setya
Wangsakesuma. "Kau ternyata hanyalah seorang tokoh penjilat yang patut segera
dilenyapkan dari keramaian rimba persilatan. Kedudukanmu sebagai
seorang tokoh pembela kebenaran ternyata cuma
kedok belaka!" lanjut lelaki bermata picak yang sesungguhnya berjuluk Golok
Darah Mata Tunggal.
Jaka yang mendapatkan caci maki seperti itu
hanya mencoba mengimbanginya dengan tatapan
mata lembut dan sesungging senyum yang meng-
gantung di wajahnya.
"Mereka pasti ingin memiliki busur dan panah emas ini, Kak Jaka," bisik Setya
Wangsakesuma. Jaka tak mengomentari bisikan Setya Wang-
sakesuma, tatapannya tetap tertuju pada tiga lelaki yang menghadang
perjalanannya. "Tuan-tuan yang gagah," ujar Jaka kemudian dengan suara yang mengalun penuh tata
krama. "Sungguh aku tak mengerti akan makna dari kata-kata yang barusan kudengar. Ah,
sayang sekali kalau kata-kata itu telah mengusik keindahan pagi
yang seharusnya sama-sama bisa kita nikmati," lanjut Jaka dengan ketenangan yang
cukup membuat Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma
terkagum-kagum.
Ucapan mata Jaka disambut dengan belala-
kan sebelah mata lelaki yang berjuluk Golok Darah Mata Tunggal, kemudian lelaki
picak itu mendengus keras. "Kau juga berlindung di balik kata-katamu yang
lembut! Padahal kau bajingan. Raja Edan!"
maki Golok Darah Mata Tunggal lagi. "Sekarang serahkan kedua bocah ingusan itu,
dan jangan coba-
coba ingin memiliki panah dan busur emas itu!"
sambung lelaki bermata sebelah, tangannya yang
kekar bergerak dengan telunjuk yang menuding wa-
jah tampan Jaka.
"Hei! Jadi kau menginginkan kawan-kawanku
ini" Hm.... Apakah dia kemenakanmu?" tanya Jaka dengan sikap mengejek.
"Keparat! Kuhancurkan mulutmu!" bentak Golok Darah Mata Tunggal dengan suara
yang menggelegar. "Aku tak punya salah, kenapa Tuan ingin
menghancurkan mulutku?" tanya Jaka lagi. "Hen-daknyalah Tuan pikirkan kembali
keinginan itu."
"Burdawa! Jangan kau timpali Raja Edan
yang pintar bicara itu! Lenyapkan saja nyawanya segera, juga kedua bocah itu!"
ujar lelaki berperawa-kan sedang pakaian putih dengan kain warna merah yang
berjuntai ke belakang. Dialah Semaga yang
berjuluk Walet Paruh Racun.
"Kau betul, Semaga," timpal Golok Darah Ma-ta Tunggal yang ternyata bernama
Burdawa. "Na-
mun biarlah keinginan hatiku terpenuhi dulu, aku ingin Raja Petir yang selalu
disebut-sebut sebagai tokoh pembasmi kejahatan mampus di tanganku,"
lanjut Burdawa dengan kepala yang tertunduk sedikit memberi penghormatan pada
Semaga. "Silakan, Burdawa!" setuju Semaga. Burdawa kemudian membawa langkah kakinya tiga
tindak mendekati Jaka, hingga jarak di antara mereka tinggal dua batang tombak saja.
"Kalau kau ingin menjajal kemampuanku, ada
satu hal yang harus kau ingat," pinta Jaka berbasa-basi. "Saat kita bertarung,
kuharap kawan- kawanmu tak menjahili kawan-kawanku."
"Itu terserah kami. Raja Pengecut!" potong lelaki berusia lebih dari lima puluh
lima tahun. Lelaki yang layak disebut kakek oleh Jaka itu mengenakan pakaian
warna biru terang, wajahnya yang keriput dengan tatapan mata yang setajam mata
elang menandakan kalau dia lelaki yang matang segala ma-
cam pengalaman. Dialah lelaki yang berjuluk Kakek Seribu Totokan.
"Itulah ciri-ciri kalian para tokoh bejat!" ucap Jaka membuat telinga Kakek
Seribu Totokan mema-nas. "Binasakan Raja Gila itu, Burdawa! Biar aku menguliti
tubuh bocah-bocah itu!" perintah Kakek Seribu Totokan yang sesungguhnya bernama
Niluh Gardela. Golok Darah Mata Tunggal tak menunggu
waktu lagi dengan ucapan Kakek Seribu Totokan,
namun sebelum serangannya sampai ke arah Jaka,
lelaki berjuluk Raja Petir itu telah lebih dulu melindungi Setya Wangsakesuma
dan Darma Wangsake-
suma dengan 'Aji Kukuh Karang'. Hal itu dilakukan Jaka untuk menghindari bahaya
akan keganasan tokoh-tokoh hitam yang berjuluk Walet Paruh Racun dan Kakek Seribu Totokan.
Kini di sekujur tubuh Setya Wangsakesuma
dan Darma Wangsakesuma nampak sinar warna
kuning keemasan melingkar dan memendar-mendar.
"Hyaaa...!"
Brrrt! Pada saat itu juga sebuah pukulan keras-
melayang ke arah kepala Jaka yang segera menim-
palinya dengan gerakan mengegos kakinya ke arah
kanan. Pukulan Golok Darah Mata Tunggal memang
melenceng ke lain arah, namun sambaran tangan
yang lain dengan cepat menyusul mencecar ulu hati Raja Petir.
Plak! Sebuah benturan keras terjadi ketika tangan
kiri Jaka bergerak melindungi ulu hatinya, sebuah benturan berkekuatan tenaga
dalam tinggi yang
membuat Raja Petir dan Golok Darah Mata Tunggal
terjajar dua langkah ke belakang menandakan kalau kekuatan tenaga dalam mereka
berimbang. "Hm.... Baru kujumpai lawan yang memiliki
tenaga dalam setinggi kau. Raja Edan! Tapi jangan bangga dulu, kehebatanmu akan
kukubur sekarang
juga!" bentak Golok Darah Mata Tunggal, kemudian tangan kanannya bergerak-gerak
ke atas dan ke bawah dengan kecepatan yang luar biasa. Itulah ilmu
'Pukulan Maut Tangan Kosong' yang pada puncak-
nya menjelmakan sinar kebiruan yang membungkus
tangan Burdawa. Sinar kebiruan yang menebarkan
hawa dingin. "Hiaaa...!"
Sesaat menyiapkan ilmu pukulannya, kini
Burdawa melesat cepat ke arah Jaka. Tangan ka-
nannya yang terbalut sinar kebiruan terangkat sampai ke batas kening, nampaknya
si Golok Darah Ma-ta Tunggal hendak menyarangkan pukulan mautnya
dengan dibarengi tenaga dalam yang tidak sedikit, dan yang menjadi incarannya
adalah bagian terle-mah di tubuh Raja Petir.
Buet! Beut! Tubuh Jaka bergeser cepat ke samping kanan
sebelum pukulan keras yang dilakukan Golok Darah Mata Tunggal mematahkan batang
lehernya. Apa yang dilakukan Raja Petir memang ber-
hasil, terbukti serangan yang dilakukan lawannya lolos beberapa jengkal dan
hanya mampu menerpa


Raja Petir 21 Perburuan Busur Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempat kosong, namun keterkejutan seketika me-
landa hati Jaka. Meskipun batang lehernya tak terkena pukulan Golok Darah Mata
Tunggal, namun angin pukulan dari lawannya membuat bagian le-
hernya seketika terasa kaku, ada hawa dingin yang luar biasa menyengat menjalar
dalam darah di bagian lehernya.
Seketika itu juga Jaka merasakan kepalanya
sukar sekali untuk digerakkan, terlebih ketika dirasakannya hawa dingin itu
mulai merambat ke ba-
gian dada. Golok Darah Mata Tunggal yang menyaksikan
Raja Petir berdiri seperti orang kebingungan, segera saja mengambil kesempatan
yang dianggapnya men-guntungkan. Tubuhnya seketika itu juga bergerak
dan bermaksud menghancurkan tubuh lawan den-
gan ilmu yang sama, 'Pukulan Maut Tangan Kosong'.
"Hiaaa...!"
Teriakan keras yang dilakukan Burdawa
membuat tatapan mata Jaka tak bergeming meman-
dangi sosok yang tengah meluruk ke arahnya. Awalnya Jaka ingin menciptakan 'Aji
Bayang-Bayang' untuk menggagalkan serangan lawannya, namun kein-
ginan lain muncul, hingga Jaka memutuskan me-
nangkis saja serangan Golok Darah Mata Tunggal
dengan mengerahkan tenaga saktinya.
Plak! Tlak! Pekik tertahan sama-sama terdengar melom-
pat dari mulut Raja Petir dan Golok Darah Mata
Tunggal, kedudukan kedua tokoh bertenaga dalam
tinggi itu pun terlihat kembali terjajar beberapa langkah ke belakang, dan jarak
yang memisahkan
itu segera digunakan Jaka untuk melepaskan diri
dari pengaruh pukulan sakti yang telah dilancarkan Burdawa.
"Hhh...!"
Beberapa saat setelah menciptakan kekuatan
hawa murni untuk melenyapkan pengaruh dingin
yang diakibatkan dari 'Pukulan Maut Tangan Ko-
song' lawan, Raja Petir kembali siap untuk melanjutkan pertarungan.
"Ternyata kehebatanmu yang kudengar dari
tokoh-tokoh rimba persilatan bukanlah sekadar
bualan belaka, Raja Petir!" puji Golok Darah Mata Tunggal setelah dirinya mampu
mengatasi rasa nyeri pada tangannya setelah berbenturan dengan kekuatan tangan
Jaka. "Namun berhati-hatilah menghadapi Golok Darahku ini, jika kau masih ingin
mendengar pujian-pujian tokoh-tokoh rimba persilatan, namun aku yakin pujian-
pujian itu tak akan kau
dapatkan lagi!" lanjut Burdawa dengan suara dan napas yang memburu.
Jaka memang mendengarkan kata-kata lelaki
berpakaian hitam dan merah, namun ekor matanya
tertuju pada kelakuan dua lelaki yang berjuluk Walet Paruh Racun dan Kakek
Seribu Totokan yang
tengah berusaha menggempur Setya Wangsakesuma
dan Darma Wangsakesuma yang berada dalam ling-
karan sinar kuning keemasan yang diciptakan Jaka berkat 'Aji Kukuh Karang'.
"Sebenarnya aku tak suka dengan puji-pujian yang Tuan maksudkan itu," ucap Jaka
berusaha berkilah. "Dan jika sekarang aku tak akan mendapatkan pujian-pujian itu
lagi, aku tak akan menyes-al," tambahnya tenang.
"Baik! Jaga seranganku sekarang!" sentak Golok Darah Mata Tunggal.
Sring...! Bunyi gemerincing yang timbul ketika senjata
milik Burdawa keluar dari warangkanya, tajam terdengar. Senjata yang berupa
golok besar bergerigi itu kini dipamerkan Burdawa dengan mengangkat-nya sejajar
dengan dahi. Jaka yang melihat senjata milik lawannya
langsung berkesimpulan kalau senjata milik Burda-wa bukanlah senjata
sembarangan. Jaka merasakan
hawa panas yang menyergapnya saat senjata yang
memendarkan sinar samar kemerahan itu lolos dari tempatnya.
"Haaat...!"
Sosok Burdawa kini betul-betul melesat ke
arah Jaka, Golok Darah Mata Tunggalnya pun sege-
ra diayunkan ke bagian dada lawan.
Wung! Wung! Dua kali berturut-turut Golok Darah Mata
Tunggal berkelebat mencari sasaran, namun dua
kali itu pula apa yang dilakukan Burdawa menemui kesia-siaan.
Jaka yang menjadi lawannya telah menghin-
dari serangan mautnya dengan mengerahkan ilmu
'Lejitan Lidah Petir' yang bertumpu pada kecepatan gerak yang luar biasa. Tubuh
Raja Petir dengan cepat, layak petir, melesat dari tempat yang satu ke tempat
yang lain. "Keparat kau, Raja Sinting! Kulumat tubuh-
mu! Hiaaa...!" kembali Golok Darah Mata Tunggal memekik geram setelah
mendapatkan serangannya
dikandaskan lawan, tubuhnya yang tinggi besar kini meluruk dengan senjatanya
yang terayun-ayun di
udara. Wung...!
"Ups!"
Kembali Jaka bergerak lincah dan cepat den-
gan menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir'. Dan itu membuat dirinya terhindar
dari senjata maut Burdawa. Si Golok Darah Mata Tunggal kembali mene-
lan kemangkelan mendapatkan serangannya kemba-
li menerpa tempat kosong.
Kemangkelan yang tertahan di dada Burdawa
membuat lelaki bermata picak itu menghentikan serangannya sesaat, dan kesempatan
itu segera digunakan Raja Petir untuk mengadakan serangan bala-
san. Jurus 'Petir Menyambar Elang' yang merupakan paduan jurus 'Lejitan Lidah
Petir' langsung digelar-nya. "Hiaaa...!"
Layak seekor elang yang hendak menerkam
ikan di dalam laut, sosok Jaka melesat ke arah Burdawa. Gerakannya yang bagai
kilat dengan dua tangan terpentang lebar yang mengarah ke bagian dada dan kepala
dengan leluasa dilakukannya.
Bet! Bet! Golok Darah Mata Tunggal yang menyadari
serangan balasan Raja Petir terkejut bukan kepa-
lang, akan tetapi gerakan tiba-tiba yang dilakukannya telah cukup menyelamatkan
diri dari sambaran dua tangan Jaka.
Raja Petir sendiri kagum dengan kegesitan
dan cara mengelak yang dilakukan Burdawa, dan itu membuatnya ingin mencoba
memberikan serangan
susulan yang lebih cepat.
"Hiaaa...!"
Tubuh Jaka kembali melayang di udara den-
gan dua tangan yang terpentang layak seekor elang terbang. Apa yang dilakukan
Jaka terbaca oleh Burdawa yang seketika itu juga menempatkan Golok
Darah Mata Tunggalnya menyilang di depan dada.
Rupanya Burdawa ingin menyambut serangan Raja
Petir dengan menggunakan senjatanya.
Betul saja! Manakala serangan Jaka mendekat, Burdawa
langsung membabatkan Golok Darah Mata Tunggal-
nya ke depan. Wung...! Bunyi mengaung segera terdengar ditingkahi
dengan teriakan menghindar yang keluar dari mulut Raja Petir.
Hops! Tuk! Tanpa disadari Golok Darah Mata Tunggal,
Jaka menggunakan senjata lawannya sebagai landa-
san untuk melakukan salto ke udara setelah tan-
gannya dengan cepat menekan batang Golok Darah
Mata Tunggal. Dan ketika sosok Raja Petir sudah berada di belakang Burdawa,
Rahasia Mo-kau Kaucu 3 Pendekar Slebor 53 Darah-darah Laknat Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 6
^