Pencarian

Pergolakan Goa Teratai 1

Raja Petir 16 Pergolakan Goa Teratai Bagian 1


PERGOLAKAN GOA TERATAI Oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana Serial Raja Petir
dalam episode: Pergolakan Goa Teratai
128 hal. ; 12 x 18 cm.
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 "Ha ha ha.... Apa daerah itu yang bernama
Desa Walang Teter, Kakang?" ucap lelaki muda berusia dua puluh lima tahun yang
mengenakan jubah merah darah. Di tangan pemuda tampan
itu tergenggam sebatang tongkat berkeluk sembi-
lan, yang pada hulunya terdapat bulatan berben-
tuk kepala ular.
Dua lelaki berusia empat puluh lima tahun
yang memakai jubah hitam dan biru juga meme-
gang tongkat serupa dengan warna pakaiannya.
Kedua lelaki itu menatap wajah lelaki muda yang barusan melemparkan pertanyaan.
"Kau betul, Sancasona," ucap dua lelaki berjubah hitam dan biru bersamaan.
"Sebentar lagi kita akan menemukan mulut Desa Walang
Teter. Di sana terdapat sebuah batu besar yang
terletak di sebelah kanan yang bertuliskan nama desa itu dan nama Perguruan
Kepodang Emas di
sebelah kirinya," jelas lelaki bercambang bauk putih yang mengenakan jubah
hitam. "Ah. Kalau begitu, cita-cita kita akan tercapai, Kakang Sandala," sambut lelaki
muda berjubah merah yang ternyata bernama Sancasona.
"Cita-citamu, Sancasona," kilah lelaki berjubah biru yang wajahnya ditumbuhi
cambang bauk lebat berwarna hitam.
"Ha ha ha.... Kenapa kau katakan hanya ci-
ta-citaku, Kakang Parada?" tanya Sancasona pada lelaki berjubah biru.
Lelaki tua itu berjuluk Iblis Tongkat Biru
jika hanya seorang diri, tanpa keberadaan Sancasona dan Sandala. Begitu pula
sebaliknya, Sancasona akan bergelar Iblis Tongkat Merah jika dia sedang seorang
diri, dan Sandala berjuluk Iblis Tongkat Hitam. Sedangkan jika bergabung mereka
berjuluk Tiga Iblis Sakti.
"Karena kau yang menginginkan Lempen-
gan Teratai Emas itu, Sancasona," jawab Parada setelah beberapa saat mendiamkan
pertanyaan Sancasona. "Apa Kakang tidak menginginkan harta ka-
run itu?" tanya Sancasona datar.
"Tentu saja, Sanca."
"Itu berarti kita semua menginginkan Lem-
pengan Teratai Emas itu, Parada," ucap Sandala menengahi.
Hening tercipta. Ketiga lelaki yang meme-
gang sebatang tongkat berkeluk sembilan itu. terus melanjutkan perjalanan menuju
Desa Walang Teter. "Kau lihat itu, Sancasona. Nama Perguruan Kepodang Emas dan nama Desa
Walang Teter ter-pampang sangat jelas," ucap Sandala dengan jari telunjuk
menuding mulut Desa Walang Teter.
"Uhhh! Rasanya aku sudah tidak sabar in-
gin segera mendapatkan benda berharga itu, Ka-
kang," ucap Sancasona pada Parada dan Sandala.
"Hilangkan perasaanmu itu, Sanca," ucap Parada mengingatkan. "Rasa tak sabarmu
akan melenyapkan beberapa bagian dari kewaspa-daanmu. Itu akan merugikan
keselamatanmu."
"Betul ucapan Parada, Sanca. Biar bagai-
manapun kita harus waspada pada penduduk
Desa Walang Teter. Bukan mustahil mereka me-
miliki kepandaian yang setara dengan kita. Begitu juga orang-orang Perguruan
Kepodang Emas, yang nama besar perguruan itu cukup santer ter-
dengar di dunia persilatan," timpal Sandala.
Lelaki muda berjubah merah menyung-
gingkan senyum mendengar perkataan Parada
dan Sandala. "Ucapan Kakang berdua tidak salah. Tapi
apakah Kakang lupa siapa diri kita" Julukan kita tak kalah santernya dari nama
Perguruan Kepodang Emas. Itu merupakan jaminan kalau ilmu-
ilmu kita berada di atas orang-orang Perguruan
Kepodang Emas. Kita akan mampu menghancur-
kan nama perguruan itu dan merebut Lempengan
Teratai Emas!" sangkal Sancasona dengan cukup tegas. "Kakang yakin akan hal
itu?" "Aku yakin, Sanca," ucap Parada dan Sandala bersamaan.
"Bagus! Sekarang mari kita masuki Desa
Walang Teter. Kita turunkan tangan besi kalau
mereka mempersulit kita," ucap Sancasona.
Tiga lelaki berpakaian merah, biru, dan hi-
tam melangkah gagah memasuki wilayah Desa
Walang Teter yang nampak begitu enak dipan-
dang. Di bagian muka mulut desa itu berjajar pokok-pokok bambu yang ditanam
begitu teratur,
hampir mirip batas pintu masuk.
Dan memasuki mulut Desa Walang Teter
lebih jauh, maka akan terlihat sebuah kedai yang
cukup besar di sebelah kanan, dan sebuah ban-
gunan kokoh yang dihuni lima lelaki bersenjata
dengan tubuh tinggi kekar. Kelima lelaki itu ditugasi menjaga keamanan mulut
Desa Walang Te-
ter. Juga bertugas menanyai maksud kedatangan
seorang tamu ke desa tersebut
Lazimnya setiap tamu yang bermaksud
mengunjungi sanak-saudara atau hanya sekadar
ingin singgah, maka kewajiban mereka adalah
mendatangi bangunan yang dijaga lima lelaki itu untuk melaporkan. Namun tiga
lelaki itu, yang
memang tidak mengetahui peraturan di Desa Wa-
lang Teter, langsung bergerak ke arah kedai yang pada salah satu ruangannya
menebarkan aroma
sedap yang membangkitkan selera makan.
"Kita ke kedai itu dulu, Kakang. Mencium
bau yang begitu sedap perutku jadi minta diisi,"
ucap Sancasona sambil memegang perutnya.
"Begitu juga baik, Sanca. Desa Walang Te-
ter memang hebat. Begitu tamu masuk langsung
dihadapi sebuah kedai. Ha ha ha.... Ayo cepat
Sandala," timpal Parada melangkah mendahului Sancasona.
Sancasona, Parada, dan Sandala yang ber-
juluk Tiga Iblis Sakti terus melanjutkan langkahnya menuju kedai yang cukup
besar itu. Keti-
ganya seperti sudah tidak sabar untuk menyan-
tap hidangan yang ada di kedai itu.
"Tunggu sebentar, Kisanak sekalian," tegur sebuah suara cukup sopan.
Tiga Iblis Sakti langsung menghentikan
langkahnya mendengar ucapan di belakang mere-
ka. Langkahnya yang dua tindak lagi mencapai
pintu kedai terpaksa diurungkan. Sanca yang
memiliki perangai cepat naik pitam mendengus
geram. "Berani betul kau melarang kami masuk ke kedai ini!" bentak Sancasona.
"Kau tidak tahu perut kami sudah terlalu lapar. Apa daging men-
tahmu yang harus kumakan, heh" Dan darahmu
yang harus kuminum"!"
"Maaf, Kisanak," ucap lelaki bertubuh tegap yang di pinggangnya terselip sebilah
golok. Wajah lelaki itu sedikit pun tidak menyiratkan ra-sa takut pada ucapan kasar
Sancasona. "Saya tidak pernah melarang tamu yang mengunjungi
Desa Walang Teter makan di kedai yang memang
telah kami sediakan. Namun sebelumnya harap
Kisanak sekalian maklum, Kisanak harus melapor
terlebih dulu," lanjut lelaki bertubuh tinggi tegap dan berahang kuat menonjol.
"Melaporkan diri?" ucap Parada seraya memegang dagunya yang berjenggot jarang.
"Untuk apa"!" tanya Parada kemudian dengan suara cukup tinggi.
Lelaki penjaga mulut Desa Walang Teter
memang terkejut, namun dia berusaha untuk sa-
bar dan membujuk ketiga tamu yang menurutnya
kurang diajar tata krama.
"Hanya sekadar melaporkan diri, Kisanak.
Biar kehadiran Kisanak kami ketahui maksud
dan tujuannya," jelas penjaga itu.
"Desa usilan!" bentak Sandala tak mau ke-tinggalan. "Untuk apa ingin tahu urusan
orang lain, heh"!"
"Rakyat di sini bukannya usilan, Kisanak,"
ucap penjaga mulai naik pitam. Tubuh lelaki ting-gi tegap itu berdiri tegar.
Tatapan matanya mencoba membalas pandangan angker sepasang mata
Sandala. "Peraturan itu diterapkan hanya untuk menjaga ketenangan dan kedamaian
desa yang kami cintai ini," lanjut penjaga menjelaskan.
"Hmh...!"
Sancasona mendengus geram mendengar
ucapan lelaki berahang kuat di depannya. "Apakah ini yang kalian namakan
ketenangan?"
Wukkk! Prakkk! "Aaa...!"
Pekik kematian melengking tinggi membu-
bung ke langit. Kepala penjaga itu pecah terhantam tongkat berhulu kepala ular
yang berkeluk sembilan milik Sancasona. Gerakan lelaki muda
berpakaian merah darah itu demikian cepat.
Hingga tahu-tahu sudah mendarat di kepala pen-
jaga yang tak sempat mengelak.
Cairan merah bercampur putih meleleh da-
ri kepala lelaki yang kini tergeletak tanpa nyawa.
Pekik kematian yang melengking tinggi mengun-
dang empat penjaga lainnya. Para pengunjung
kedai bermunculan di ambang pintu untuk meli-
hat kejadian itu.
"Kalian pasti tamu-tamu tak tahu diri!"
bentak seorang penjaga ketika menyaksikan tu-
buh temannya tergeletak dengan kepala pecah.
Senjata lelaki yang berupa golok besar itu digu-
nakan untuk menuding wajah Sancasona, Para-
da, dan Sandala.
"Kalian harus dihukum sesuai dengan per-
buatan kalian!" hardik penjaga lain yang bertubuh pendek gempal.
"Hukuman apa yang hendak kalian jatuh-
kan pada kami, heh"!" tanya Parada menantang.
"Kalian harus ikut kami menghadap kepala
keamanan desa," jelas lelaki bertubuh pendek gempal.
"Suruh kepala keamanan itu menemui ka-
mi!" bentak Sancasona.
"Kurang ajar! Kalian memang tamu-tamu
tak tahu adat. Kalian harus diberi pelajaran!
Tangkap mereka!" perintah lelaki bertubuh tegap yang bercambang tipis.
Empat penjaga Desa Walang Teter segera
mengurung Tiga Iblis Sakti. Senjata mereka bergerak-gerak di depan wajah. Bagi
Tiga Iblis Sakti, keempat lelaki yang kini tengah mengurungnya
bukanlah hal yang berarti. Seratus kali lipat pun Tiga Iblis Sakti mampu
melenyapkan hanya dalam beberapa jurus saja.
Maka ketika empat keamanan Desa Walang
Teter bergerak, hanya dengan sentakan tangan
yang menggenggam tongkat, tubuh keempat kea-
manan desa itu kembali terpukul mundur.
Trak, trak, trakkk..!
"Ih! Uh! Ih! Uh!"
Keempat lelaki itu memekik tertahan ketika
senjata-senjata mereka membentur tongkat kayu
yang keras bagai baja. Tubuh mereka terhuyung
empat langkah ke belakang, dengan tangan terasa sangat linu.
"Tamu-tamu setan!" maki lelaki bertubuh pendek gempal menyadari senjatanya
terlempar jauh. "Ha ha ha.... Kalianlah tikus-tikus buduk yang berlagak sok jago!" ejek
Parada seraya melangkah mendekati penjaga-penjaga Desa Walang
Teter. "Karena keusilan kalian, maka kematianlah yang harus kalian terima!"
Parada mengangkat tongkat berkeluk sem-
bilannya yang berwarna biru. Maka saat itu ju-
ga.... "Hih!"
Prak, prak, prakkk...!
"Aaa...!"
Empat lengkingan kematian terdengar ber-
turut-turut. Tongkat biru Iblis Tongkat Biru dengan kecepatan luar biasa
mendarat di batok kepa-la empat keamanan Desa Walang Teter.
Darah bermuncratan dari kepala-kepala
yang pecah. Nyawa mereka melayang saat itu ju-
ga. Dan Tiga Iblis Sakti tanpa perasaan mening-
galkan mayat keempat lelaki itu. Lalu memasuki
kedai. *** Seorang penduduk Desa Walang Teter ber-
lari tergopong-gopoh. Lelaki itu tidak mempedulikan napasnya yang mulai
tersengal-sengal. Dia
terus berlari menuju sebuah bangunan yang lima
batang tombak lagi dicapainya.
"Ada apa, Lihun. Kau melihat hantu?"
tanya seorang lelaki tinggi kurus yang muncul da-ri rumah yang dituju lelaki
bernama Lihun. "Kacau, Min. Kacau!" ucap Lihun tersendat-sendat.
"Kacau" Apanya yang kacau?" tanya lelaki tinggi kurus tak mengerti.
"Kakang Garda ada?" tanya Lihun tanpa menjawab pertanyaan lelaki tinggi kurus
itu. "Ada! Ada...," jawab lelaki tinggi kurus itu.
Lihun tanpa mempedulikan keheranan le-
laki tinggi kurus segera memasuki rumah itu.
"Kakang Garda!"


Raja Petir 16 Pergolakan Goa Teratai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lihun langsung berlutut ketika menda-
patkan Garda tengah berbincang-bincang di
ruang depan. "Ada apa, Lihun" Sepertinya kau tengah
dikejar setan," ucap lelaki tinggi besar berkumis melintang.
"Kacau, Kang. Kacau," ucap Lihun masih terbata-bata.
"Katakan apa yang kacau, Lihun. Kata-
kan?" pinta Garda dengan mengguncang-guncang bahu Lihun.
"Sebaiknya diberi minum dulu, Kang. Biar
dia tenang," ucap sebuah suara merdu.
Garda menoleh ke arah gadis manis berpa-
kaian hijau. Dia adalah adiknya, Ayuni.
"Kau benar, Ayu. Bawa kemari air di meja
itu," ucap Garda.
Gadis manis bernama Ayuni itu dengan ce-
pat memenuhi perintah kakaknya. Disodorkannya
segelas air pada Garda. Dan Lihun meminumnya
sampai habis. "Sekarang ceritakan apa yang kau lihat, Lihun," pinta Garda setelah dilihatnya
wajah Lihun kembali tenang.
"Anu Kang Garda. Di kedai, maksud saya,
di depan kedai dekat mulut desa. Kakang Sarta
berkelahi dengan tiga lelaki bersenjata tongkat.
Kakang Sarta.... Kakang Sarta dan keempat pen-
jaga yang lain mati di tangan tiga lelaki bersenjata tongkat itu," ucap Lihun.
Wajahnya kembali pias mengingat kematian mengerikan yang dialami
Sarta dan kawan-kawannya.
Garda yang mendengar cerita Lihun mera-
sakan kemarahan merambati dirinya. Wajahnya
yang sedikit kasar nampak tegang, dan otot-otot tangannya bersembulan keluar.
"Kau tidak mengenali mereka, Lihun?"
tanya Garda. "Tidak, Kang. Saya tidak berani mendekat
ketika Kang Sarta dan kawan-kawannya terlibat
pertarungan."
"Kalau begitu, cepat kumpulkan kawan-
kawan. Kita harus mengusir tamu tak tahu adat
itu!" perintah Garda.
Lihun segera menjalankan perintah lelaki
berkumis melintang yang di Desa Walang Teter
berkedudukan sebagai kepala keamanan desa.
Bukan itu saja, Garda juga tercatat sebagai murid Perguruan Kepodang Emas yang
diketuai Ki Bajang Genta, Kepala Desa Walang Teter. Ki Bajang
Genta dalam rimba persilatan terkenal dengan julukan Pendekar Tombak Emas.
Hanya dalam waktu singkat Lihun telah
berhasil mengumpulkan tiga puluh lelaki. Ketiga puluh lelaki itu adalah anak
buah Garda, yang
selalu setia dan bahu-membahu menghadapi ron-
grongan pihak luar yang ingin mengacau ketente-
raman Desa Walang Teter.
"Kita telah kedatangan tamu-tamu keparat.
Mereka membunuh Sarta dan kawan-kawannya
di mulut desa. Kita harus mengusir tamu tak ta-
hu sopan itu dari desa ini. Kalau perlu kita kirim nyawa mereka ke akherat!"
ucap Garda berse-mangat.
"Ya! Setiap orang yang bermaksud menga-
cau desa ini harus kita usir!" sambut lelaki berambut gondrong yang menggenggam
sebilah tombak. "Ayo, kita usir mereka sekarang!" ajak Garda.
"Ayo!"
"Ayooo...!"
Sambut puluhan lelaki dengan senjata te-
racung ke udara. Garda dan ketiga puluh lelaki
penduduk Desa Walang Teter segera bergerak ke
arah mulut desa.
"Keparat itu pasti ada di dalam, Kang,"
ucap Lihun yang berdiri di samping kiri Garda ketika mereka sampai di depan
kedai. Garda tidak
segera bertindak. Lelaki berkumis melintang itu menyuruh anak buahnya waspada.
"Kalian angkat mayat Sarta dan yang lain-
nya," perintah Garda pada lima lelaki yang terdekat dengannya.
Tanpa membantah kelima lelaki itu menja-
lankan perintah Garda, mereka membobong
mayat Sarta dan kawan-kawannya dengan kepala
yang tak utuh lagi. Sementara yang lain ikut Gar-da dengan langkah tegang
mendekati pintu kedai.
"Hai, laki-laki pembuat onar! Keluarlah!
Kalian harus mempertanggungjawabkan perbua-
tan kalian!" ucap Garda lantang.
Hening sesaat ketika Garda tak lagi beru-
cap keras. Namun tidak ada tanda-tanda lelaki
yang dimaksud Garda keluar dari dalam kedai.
Suasana di dalam kedai nampak sepi. Na-
mun sesungguhnya di dalam sana tengah duduk
tenang tiga lelaki yang menamakan dirinya Tiga
Iblis Sakti dan seorang lelaki tua pemilik kedai dengan wajah pucat pasi. Tubuh
lelaki tua itu bergetar menahan ketakutan yang sangat. Semen-
tara kedai yang biasanya selalu penuh pengun-
jung kini tak nampak seorang pun di situ. Mereka memilih pergi semenjak
kedatangan Tiga Iblis
Sakti. "Kami masih mau bersikap sopan pada kalian. Keluarlah! Jangan tunggu
kesabaran kami hilang!" lanjut Garda lebih keras.
Tak berapa lama gaung ucapan Garda le-
nyap, tiga sosok tubuh bertongkat merah, hitam, dan biru keluar dengan langkah
perlahan namun mantap. "Hmmm.... Tak kusangka penduduk Desa
Walang Teter semuanya usilan!" sindir lelaki ber-
jubah biru yang tak lain Parada. Lelaki bertubuh kurus itu bergerak lebih maju
dari kedua temannya Sancasona dan Sandala. "Apa yang kalian inginkan dari kami,
heh"!" tanya Parada dengan da-gu mendongak ke atas.
"Kalian telah membinasakan lima keama-
nan Desa Walang Teter. Kalian harus bertanggung jawab!" sentak Garda.
"Tanggung jawab bagaimana yang kalian
inginkan?" tanya Sandala si Iblis Tongkat Hitam penuh tantangan.
"Kalian harus menerima hukuman sesuai
dengan perbuatan kalian!" jawab Garda.
"Silakan kalian lakukan. Kalau memang bi-
sa menghukum Tiga Iblis Sakti," ujar Sancasona datar namun mengundang kemarahan
Garda dan anak buahnya. "Sombong!" maki Garda dengan wajah merah padam. "Ringkus mereka!" perintah Garda
kemudian. Tiga puluh lelaki bersenjata golok, tombak,
dan pedang meluruk ke arah Tiga Iblis Sakti. Senjata mereka terayun-ayun
disertai pekik kemara-
han yang membahana.
"Hiaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Puluhan lelaki penduduk Desa Walang Te-
ter melakukan serangan ganas ke berbagai bagian tubuh Tiga Iblis Sakti. Namun
ketiga orang itu
menghadapi keroyokan puluhan lelaki bersenjata
tajam dengan ketenangan mengagumkan.
Puluhan senjata yang mengancam tubuh
Sancasona, Parada, dan Sandala tidak mampu
melukai tubuh Tiga Iblis Sakti. Untuk menyentuh saja tampak menemui kesukaran.
Agaknya ke-mampuan ketiga lelaki itu jauh di atas para pengeroyoknya. Itu
terbukti ketika Sancasona men-
gadakan serangan balasan.
"Hih!"
Plak, plakkk! "Akh!"
"Aaa...!"
Dua tubuh pengeroyoknya terjengkang ter-
kena sampokan tangan lelaki muda berjubah me-
rah itu, yang mendarat telak di pelipis. Sampokan keras yang disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi itu mengakibatkan nyawa kedua lawannya
tidak dapat diselamatkan lagi.
Begitu pula kehebatan yang dipertonton-
kan kedua rekannya. Lelaki berpakaian biru yang bernama Parada nampak ingin
menunjukkan siapa dirinya. Hanya dengan sebatang tongkat yang
dipindah-pindahkan dari tangan kiri ke kanan
berganti-ganti, para pengeroyoknya dapat dire-
dam. Bahkan dengan sadisnya Parada menusuk
kepala pengeroyoknya yang telah jatuh lebih dulu.
"Mampus kau!"
Crottt! Kepala lelaki berpakaian hitam yang beru-
saha menjatuhkan Parada jebol tertembus ujung
tongkat lelaki itu. Darah bercampur cairan otak mengalir dari kepala yang
berlubang. "Biadab!" maki penduduk Desa Walang Teter yang lain.
Tubuh lelaki berpakaian putih itu melesat
dengan pedang di tangan hendak menebas batang
leher Parada. Sekilas gerakan lelaki berpakaian putih itu sebuah bahaya besar
bagi Parada. Namun nyatanya....
Tappp! Mata pedang lelaki berpakaian putih di-
tangkap Parada dengan tangan telanjang, dan
tanpa menimbulkan luka sedikit pun. Kenyataan
itu membuat penyerang Parada terkejut. Dan se-
saat kemudian Parada menghentakkan senjata
yang dicekalnya.
"Hih!"
Wuttt! Blagkh! "Aaa...!"
Seiring dengan sentakan, tangan kiri Para-
da bergerak cepat menghantam kerongkongan la-
wan. Seketika itu juga pengeroyoknya terhempas
di tanah tanpa nyawa.
Brukkk! Bunyi berdebuk terdengar, membuat pen-
duduk Desa Walang Teter merasa ngeri. Mayat-
mayat rekan mereka bergeletakan dengan kepala
pecah. Kengerian itu juga terlihat jelas di wajah Garda. Namun kepala keamanan
Desa Walang Teter tidak ingin namanya jatuh. Dengan kebera-
nian yang dipaksakan kembali melesat. Senja-
tanya digerakkan membelah kepala Sancasona.
"Hiaaa...!"
Wuttt! "Uts!"
Lelaki berjubah merah itu dengan ringan
menggerakkan badannya menghindari serangan
Garda yang kalap. Tetapi di balik gerakan itu tersembunyi serangan balasan yang
cukup berba- haya. Ujung tongkat merahnya tiba-tiba melaku-
kan gerakan menotok iga Garda.
"Hih!"
Tlakkk! "Akh...!"
Garda terpekik ketika ujung tongkat San-
casona yang hendak menotok iganya ditangkis
dengan golok. Sungguh Garda tak percaya toto-
kan Sancasona mengandung kekuatan tenaga
yang luar biasa tinggi. Sekujur tangan Garda terasa ngilu yang sangat, sedang
ujung senjatanya gompal.
"Sebaiknya kau mampus saja!" hardik Sancasona melihat Garda menahan sakit.
Sing...! Usai berkata Sancasona melepaskan tong-
kat merahnya ke arah Garda. Maka....
Crabbb! "Aaa...!"
Tubuh Garda langsung ambruk ke tanah.
Tongkat merah Sancasona meluruk dengan kece-
patan yang sukar diikuti mata dan menghujam
persis di ubun-ubunnya.
Lima lelaki yang tersisa menggigil ketaku-
tan menyaksikan kematian pimpinannya, mereka
tidak berani melanjutkan pertarungan. Namun
juga tidak berani meninggalkan tempatnya.
Lelaki tua pemilik kedai yang menyaksikan
kebengisan Tiga Iblis Sakti tak mampu bergerak
dari tempatnya. Dengan wajah pucat pasi, lelaki tua itu berdiri sambil
berpegangan pada tiang pe-nyangga kedai.
"Kalian juga harus mampus seperti dia!"
hardik Sandala sambil menunjuk tubuh Garda
yang kepalanya tertembus tongkat Sancasona.
Webs! Sancasona mencabut tongkat merahnya
yang terbenam di kepala Garda. Lalu dengan
tongkat itu ditudingkannya kelima lelaki yang
masih hidup. "Hanya satu di antara kalian yang berhak
menghirup matahari esok pagi. Yang lainnya ha-
rus mati!" sentak Sancasona keras.
Seiring dengan hilangnya gema ucapan
Sancasona, tubuh Parada dan Sandala melesat
cepat Dan.... Prak, prak, prakkk...!
"Aaa...!"
Empat lengkingan kematian berturut-turut
membubung ke langit Desa Walang Teter. Diiringi ambruknya empat sosok tubuh
dengan kepala pecah terhantam tongkat hitam dan biru Iblis
Tongkat Hitam dan Iblis Tongkat Biru. Darah bercampur cairan putih memancur dari
kepala em- pat lelaki itu.
"Kau!" tunjuk Sancasona pada seorang lelaki kurus yang tersisa. "Cepat laporkan
pada Ki Bajang Genta! Katakan Tiga Iblis Sakti datang ingin meruntuhkan
Perguruan Kepodang Emas.
Dan mengambil alih kekuasaan sebagai Kepala
Desa Walang Teter!" lanjut Sancasona dengan suara menggelegar.
Lelaki yang tak lain adalah Lihun menggigil
ketakutan. Tubuhnya seperti orang terserang de-


Raja Petir 16 Pergolakan Goa Teratai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mam. "Cepat! Atau kau juga ingin mampus!" hardik Sandala seraya mengacungkan
tongkat hi- tamnya. Lihun dengan sekuat tenaga berusaha ber-
gerak meninggalkan ketiga pengacau itu. Dan Ti-
ga Iblis Sakti kembali masuk ke dalam kedai dengan mengumandangkan tawa
kemenangan. Sedi-
kit pun ketiganya tidak menoleh pada mayat-
mayat yang bergelimpangan.
"Ha ha ha...!"
"Ha ha ha...!"
"Ha ha ha...!"
2 Setengah tak percaya Ki Bajang Genta me-
nerima laporan murid utama Perguruan Kepo-
dang Emas yang didapatnya dari Lihun.
"Penjaga-penjaga keamanan mulut desa,
bahkan Garda beserta anak buahnya telah men-
jadi mayat," lanjut lelaki bertubuh sedang namun menampakkan otot-otot yang
kuat. "Mayat-mayat mereka bergelimpangan di depan kedai, Guru. Ini sudah
keterlaluan," lanjut lelaki berpakaian biru itu. Wajahnya menyiratkan kemarahan
yang dita- han. Ki Bajang Genta, seorang lelaki berusia li-ma puluh lima tahun, tidak
menimpali laporan
muridnya. Wajah tuanya yang masih menyimpan
raut kekerasan sedikit dibalut ketegangan. Se-
mentara matanya yang setajam tatapan elang tak
bergerak dari daun jendela yang terbuka lebar,
tertuju lurus seperti mencari sesuatu di sana.
"Kau tahu siapa Tiga Iblis Sakti, Anugda?"
tanpa memandang wajah muridnya, Ki Bajang
Genta melemparkan pertanyaan dengan suara
yang terkesan begitu kaku.
Murid utama Perguruan Kepodang Emas
itu tidak segera menjawab. Pertanyaan yang
hanya membutuhkan jawaban 'ya' atau 'tidak' itu sebenarnya tidak terlalu berat.
Namun makna di balik pertanyaan itu yang membuat Anugda
mempertimbangkan jawabannya.
"Kau pernah mendengar sepak terjang Tiga
Iblis Sakti, Anugda?" tanya Ki Bajang Genta lagi.
Anugda semakin menenggelamkan wajah-
nya. Menekuri lantai perguruan yang terasa din-
gin. Ki Bajang Genta membalikkan tubuh. Tata-
pan matanya yang tajam tertuju lurus ke wajah
Anugda. Sementara tangan lelaki setengah baya
itu meraba-raba jenggotnya yang memutih.
"Inilah tentangan terbesar selama puluhan
tahun aku memimpin Perguruan Kepodang Emas
ini, Anugda," papar Ki Bajang Genta.
Anugda mengangkat wajahnya perlahan
memberanikan diri menatap wajah gurunya. Na-
mun sepatah kata pun tidak keluar dari mulut-
nya. "Kau tahu kenapa kedatangan Tiga Iblis Sakti kukatakan sebagai tantangan
besar, Anugda?" tanya Ketua Perguruan Kepodang Emas yang selalu mengenakan
pakaian kuning berbintik-bintik hitam.
Anugda tak menjawab pertanyaan gu-
runya. "Karena kedatangan iblis-iblis itu kuyakini ingin meminta sesuatu
dariku," jelas Ki Bajang Genta menjawab pertanyaannya sendiri. "Sesuatu itu
bukanlah nyawaku, Anugda. Bukan juga perguruan ini," Lanjut Ki Bajang Genta.
Anugda kembali menatap wajah gurunya
dengan sejuta tanda tanya melingkar-lingkar di
benaknya. "Sesuatu itu belum saatnya kujelaskan ke-
padamu, Anugda. Namun yang perlu kau ketahui,
sesuatu itu tidak pantas jatuh ke tangan orang-
orang bermoral bejat seperti Tiga Iblis Sakti. Aku akan mempertahankannya dengan
segenap jiwa dan ragaku," tukas Ki Bajang Genta lagi.
"Kalau begitu, izinkan aku dan murid-
murid utama perguruan ini mengusir Tiga Iblis
Sakti dari desa ini. Guru," ucap Anugda memberanikan diri.
Ki Bajang Genta menarik kulit wajahnya
hingga membentuk sebuah senyum dingin. Na-
mun tidak mengandung arti meremehkan keingi-
nan muridnya. "Kukatakan kepadamu, Anugda. Kepan-
daian yang kumiliki jika dibanding dengan orang
termuda dari Tiga Iblis Sakti bisa diumpamakan
seperti kucing dan macan tutul. Aku dan orang
termuda dari Tiga Iblis Sakti memang sama-sama
punya taring. Tapi apalah arti taring seekor kucing dapur jika harus menghadapi
taring si Raja Rimba" Kau mengerti maksudku, Anugda?"
"Kita minta bantuan Kakang Yudistira,
Guru. Dengan demikian kekuatan kita semakin
kokoh," saran Anugda polos.
Kembali segurat senyum menghiasi wajah
Ki Bajang Genta.
"Tiga Iblis Sakti adalah tokoh sesat nomor satu di jagad raya ini, Anugda.
Mungkin hanya satu orang yang dapat mengimbangi kepandaian
Tiga Iblis Sakti."
"Siapa, Guru?" tanya Anugda ingin tahu.
"Raja Petir."
"Raja Petir?" ulang Anugda.
"Ya. Raja Petir. Tapi untuk meminta ban-
tuannya bukan hal yang mudah. Dia seorang
pengembara. Kolong langit adalah tempat tinggalnya. Sangat sulit jika kita ingin
mencarinya dengan sengaja, namun bukan sesuatu yang musta-
hil tiba-tiba tokoh muda yang digdaya itu muncul di Desa Walang Teter," jelas
pimpinan Perguruan Kepodang Emas.
"Lalu apa yang harus kita lakukan, Guru?"
tanya Anugda seperti putus asa.
"Akan kuhadapi mereka. Apa pun akibat-
nya!" jawab Ki Bajang Genta mantap.
"Maaf, Ki. Bukankah lebih aman jika kita
ikut sertakan Kakang Yudistira. Bukankah dia ju-
ga memiliki orang-orang berkepandaian tinggi
yang pasti bisa meringankan langkah kita?" ucap Anugda masih dengan usulnya.
"Aku tidak mengatakan percuma atas ban-
tuan mereka. Aku hanya tidak ingin melihat ke-
hancuran mereka karena ingin meringankan be-
ban kita. Sebagai perguruan yang punya nama
besar di kalangan rimba persilatan, kita harus
berjiwa besar menghadapi tantangan yang paling
berat sekali pun. Dengan darah dan nyawa kita
hadapi apa yang diingini Tiga Iblis Sakti," tandas Ki Bajang Genta.
"Kalau begitu, aku persiapkan segala sesu-
atunya untuk menghadapi tikus-tikus itu. Guru,"
pinta Anugda seraya beringsut dari hadapan Ki
Bajang Genta. "Tak ada yang perlu kau persiapkan,
Anugda. Cukup aku saja yang menghadapi Tiga
Iblis Sakti," kilah Ki Bajang Genta mengejutkan murid utama Perguruan Kepodang
Emas itu. "Apa Guru ingin mendatangi mereka seo-
rang diri?" tanya Anugda sangat khawatir.
"Aku tidak akan menghadang mereka di
mulut desa, Anugda. Akan kutunggu mereka di
sini," jawab Ki Bajang Genta.
Anugda semakin tak mengerti dengan uca-
pan dan keinginan gurunya. Tapi untuk memban-
tah rasanya tidak mungkin.
"Sedapatnya aku akan mengatur siasat
agar tidak terjadi banjir darah di perguruan ini,"
tukas Ki Bajang Genta. "Namun jika hal itu terjadi juga, kusarankan agar kalian
mencari selamat en-
tah dengan cara bagaimana. Yang pasti aku tidak mengajari kalian menjadi seorang
pengecut. Yang kuinginkan adalah kepentingan kalian untuk tetap bertahan hidup.
Kemudian memperdalam il-
mu dan menjelma menjadi sosok yang selalu
membela kebenaran dan mengusir keangkara-
murkaan. Kehancuran yang menimpa Perguruan
Kepodang Emas kuharap tidak terjadi lagi setelah kau dan yang lainnya menjelma
menjadi pendekar
berbudi luhur. Contohlah Raja Petir," urai Ki Bajang Genta panjang lebar.
Anugda tidak bersuara mendengar penutu-
ran lelaki tua yang sangat dihormatinya itu. Rasa hormatnya semakin bertambah
mendengar kata-kata bijaknya. Betapa jiwa Ki Bajang Genta begitu besar dan
luhur. "Lalu bagaimana dengan Nini Harum Sero-
ja, Guru?"
"Kurasa dia lebih tahu bagaimana cara
menjaga dirinya, Anugda. Meski perempuan, Ha-
rum akan menunjukkan kekuatannya untuk
menjaga kehormatannya. Ah! Yang terakhir itu
kuharap tak terjadi," jawab Ki Bajang Genta.
Hening tercipta sesaat. Ki Bajang Genta
kembali melempar pandangan ke halaman rumah
di samping kanan.
"Kudengar ada kericuhan terjadi di mulut
desa. Ayah. Apa sudah dapat ditanggulangi?"
tanya seorang gadis cantik berpakaian longgar
merah dadu. Wajah gadis yang putih bersih itu
menyiratkan kekhawatiran yang dalam.
"Sebentar lagi pasti teratasi, Harum," jawab
Ki Bajang Genta menanggapi pertanyaan putri
tunggalnya yang tiba-tiba muncul dari pintu belakang. "Siapa pembuat kericuhan
itu, Kakang?"
tanya perempuan setengah baya yang muncul
bersama gadis cantik itu.
"Tiga Iblis Sakti," jawab Ki Bajang Genta pelan. Ucapan Ki Bajang Genta
mengejutkan perempuan setengah baya yang tak lain istrinya. Perempuan yang
wajahnya masih menampakkan si-
sa-sisa kecantikan itu tampak terkejut.
"Tiga Iblis Sakti?" ulang istri Ki Bajang Genta. "Apakah mereka mau merebut..."
"Itu pasti tujuan utama mereka, Nyi Ran-
da," potong Ki Bajang Genta sebelum rahasia itu disebut istrinya.
Harum Seroja dan Anugda yang mendengar
pembicaraan itu tidak berusaha menegaskan.
"Apa tindakanmu, Kakang Bajang?" tanya Nyi Randa cemas.
"Aku akan menantangnya mengadu nya-
wa," jawab Ki Bajang Genta mantap.
"Kakang...," tak percaya Nyi Randa mendengar penuturan suaminya.
"Setidaknya itu salah satu cara untuk
mengurangi pertumpahan darah di Desa Walang
Teter. Khususnya di Perguruan Kepodang Emas,"
kilah Ki Bajang Genta.
"Tapi...."
"Aku akan mengatur siasat untuk mengu-
lur waktu. Dengan mengharapkan kemunculan
seorang pendekar sakti seperti Raja Petir. Meski itu mustahil, aku tetap
berharap," potong Ki Bajang Genta.
"Apa siasat mengulur waktu yang kau
maksud itu?" tanya Nyi Randa lebih jauh.
"Aku akan menantangnya mengadu nyawa
untuk mempertahankan sesuatu yang telah lama
kujaga dengan hati-hati. Waktunya tepat pada
purnama mendatang," jelas Ki Bajang Genta.
"Sembilan hari lagi...," desah Nyi Randa mirip desisan.
"Ya. Sembilan hari lagi," tegas Ki Bajang Genta. "Bagaimana seandainya Tiga
Iblis Sakti mampu membaca siasatmu?" kejar Nyi Randa.
Ki Bajang Genta tidak segera menjawab.
Matanya yang tajam menatap wajah redup pe-
rempuan setengah baya di hadapannya. Kemu-
dian setelah puas, Ki Bajang Genta menarik na-
pas panjang. Dada Ki Bajang Genta mengembang
sesaat, lalu tertarik ke dalam perlahan-lahan
menghembuskan napas dari lubang hidungnya.
"Hhh...."
"Tampaknya pertarungan tidak akan tere-
lakkan lagi, Nyi," ucap Ki Bajang Genta.
Nyi Randa tidak mengomentari. Tatapan
matanya menghujam wajah Ki Bajang Genta.
"Terpaksa benda itu berpindah dari tem-
patnya. Dan kau, Anugda! Kuharap kau mampu
menjaga diri dan anakku dalam menyelamatkan
benda itu. Pergilah kalian bertiga ke tempat yang
aman. Biar aku yang menghadapi Tiga Iblis Lak-
nat itu bersama murid-murid perguruan," pinta Ki Bajang Genta pada Anugda.
"Kalau aku boleh tahu, benda apakah yang
Ayah maksud itu?" tanya Harum Seroja hati-hati.
Ki Bajang Genta menatap wajah anaknya.
Namun Nyi Randa justru menatap wajah Ki Ba-
jang Genta. "Pada akhirnya kau memang harus tahu,
Harum. Benda itu adalah Lempengan Teratai
Emas," ujar Ki Bajang Genta memberi tahu.
"Lempengan Teratai Emas...?" ulang Harum Seroja pelan. "Apakah demikian
berharganya, hingga Ayah harus mempertahankan dengan
nyawa dan keutuhan perguruan ini?"
"Bukan hanya itu nilai Lempengan Teratai
Emas, Harum. Tetapi keselamatan rimba persila-
tan, khususnya golongan putih. Mereka akan ter-
jaga jika kalian mampu mempertahankan benda
itu dari tangan-tangan hitam yang ingin mengua-
sai sejak puluhan tahun silam," tandas Ki Bajang Genta. "Oh! Betapa besar nilai
benda itu. Apakah.... Apakah kita harus menyelamatkannya se-
karang. Ayah. Sebelum iblis-iblis itu datang," usul Harum Seroja hati-hati.
"Tidak sekarang, Harum. Akan kujalani du-
lu siasat yang kususun. Akan kutantang Tiga Iblis Sakti!" tolak Ki Bajang Genta.
"Kalian boleh me-mindahkan benda itu kalau tanda-tanda pertem-
puran sudah terlihat jelas."
Sepi sesaat melingkupi mereka yang se-
dang berbincang-bincang di ruang tengah tempat
tinggal Ki Bajang Genta. Namun kemudian....
"Ha ha ha...!"
Sepi itu terpecahkan oleh suara tawa ber-
kepanjangan. Suara tawa yang keluar melalui
pengerahan tenaga dalam tinggi. Hingga rumah Ki Bajang Genta bergetar. Ki Bajang


Raja Petir 16 Pergolakan Goa Teratai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Genta, Harum Seroja, Nyi Randa, dan Anugda melawan suara
tawa itu dengan mengerahkan kekuatan tenaga
dalam. Ki Bajang Genta segera menghambur ke-
luar ingin melihat sosok yang telah mengeluarkan tawa. "Hm.... Rupanya Tiga
Iblis Sakti," ucap Ki Bajang Genta setelah memperhatikan tiga lelaki
berpakaian merah, biru, dan hitam.
"Kau ternyata berjiwa besar, Bajang!
Sayang kau kurang beruntung karena siasatmu
telah kami ketahui," ucap sosok bertongkat hitam. Dialah Sandala yang berjuluk
Iblis Tongkat Hitam. "Sebelum kami meminta dengan paksa
Lempengan Teratai Emas, sebaiknya kau mencari
selamat dengan menyerahkannya secara sukare-
la. Sebetulnya tidak begitu prinsip Tiga Iblis Sakti, yang selalu menagih nyawa
pada setiap orang yang berurusan dengannya. Tapi untukmu kube-rikan kelonggaran,
Bajang!" timpal lelaki muda merah darah.
Ki Bajang Genta tidak mengomentari per-
kataan lelaki berjubah merah yang tak lain San-
casona si Iblis Tongkat Merah. Pada saat itu Nyi Randa, Harum Seroja, dan Anugda
keluar mene- mui Ki Bajang Genta. Mereka berdiri di samping
Ketua Perguruan Kepodang Emas.
Tak lama kemudian dari belakang, samping
kiri dan kanan Tiga Iblis Sakti bermunculan tiga murid utama Ki Bajang Genta.
Kemunculan ketiganya dibarengi dengan puluhan murid Pergu-
ruan Kepodang Emas yang lengkap dengan senja-
ta terhunus. Tiga Iblis Sakti yang menyaksikan kemun-
culan murid-murid Perguruan Kepodang Emas
tersenyum meremehkan.
"Tak adakah yang lain selain kelinci-kelinci lucu yang kau hadirkan ke hadapan
kami, Bajang?" tanya Parada si Iblis Tongkat Biru. Tatapan Iblis Tongkat Biru
beredar merayapi wajah-wajah murid Perguruan Kepodang Emas yang bersemu
merah mendengar julukan itu.
"Yang kuinginkan kau menyambutku den-
gan puluhan ekor serigala liar, atau puluhan beruang gurun yang buas.
Keluarkanlah kalau kau
memilikinya, Bajang. Jangan kelinci-kelinci lucu ini!" Lanjut Parada dengan
suara agak tinggi.
"Jangan sombong, Tongkat Biru!" balas Ki Bajang Genta marah. "Kalau sudah sampai
umurmu sekarang ini, kelinci-kelinci di bela-
kangmu akan mengirimmu ke liang kubur!"
"Ha ha ha...!"
Iblis Tongkat Biru tertawa keras menden-
gar perkataan Ketua Perguruan Kepodang Emas.
"Pandai sekali kau menghibur hati, Bajang!
Sungguh aku kagum. Di tengah-tengah ambruk-
nya Perguruan Kepodang Emas dan nyawamu
yang sebentar lagi melayat ke neraka, kau masih bisa menghibur diri," ejek
Parada dengan air mu-ka dibuat selucu mungkin.
"Phuih!"
Ki Bajang Genta meludah ke tanah. Kemu-
dian kepalanya menoleh pada tiga sosok yang be-
rada di samping kirinya.
"Nyi Randa, Harum, dan kau Anugda ce-
pat..." "Hei! Kalian bertiga jangan pergi!" potong Sancasona yang rupanya dapat
membaca arah ucapan Ki Bajang Genta. Serta merta tangan Iblis Tongkat Merah menghentak cepat
Slerets...! Seberkas sinar kemerahan meluruk cepat
ke arah tubuh gadis cantik putri Ki Bajang Genta.
Tubuh Harum Seroja terbungkus sinar kemera-
han yang melesat dari telapak tangan Sancasona.
Tubuh gadis itu berubah kaku dan tak mampu
bergeming sedikit pun dari tempatnya.
Kenyataan itu mengejutkan Ki Bajang Gen-
ta, Nyi Randa, dan Anugda. Dan keterkejutan Ki
Bajang Genta semakin bertambah ketika Iblis
Tongkat Hitam dan Iblis Tongkat Biru ikut meng-
hentakkan tangannya.
Dua berkas siar biru dan putih meluruk
dengan kecepatan yang sukar diikuti mata. Tanpa bisa dihindari lagi, tubuh Nyi
Randa dan Anugda terhantam dua sinar Parada dan Sandala. Nasib
yang dialami Harum Seroja menimpa Nyi Randa
dan Anugda. Keduanya kaku di tempat mereka
dengan sinar biru dan putih yang membungkus
tubuh. Di tengah keterkejutannya Ki Bajang Genta berseru keras. "Ganyang tiga
iblis laknat itu!"
Tiga murid utama Perguruan Kepodang
Emas dengan diikuti puluhan murid yang bersen-
jata terhunus segera merangsek tubuh-
Sancasona, Parada, dan Sandala. Teriakan-
teriakan mereka berbaur dengan kegeraman yang
tak terbendung.
"Heyaaa...!"
"Hiaaat....!"
"Hiaaa...!"
3 Puluhan murid Perguruan Kepodang Emas
yang meluruk maju terpecah menjadi tiga bagian.
Sebagian menggasak Parada, sebagian lagi men-
geroyok Sandala, dan sisanya membantu Ki Ba-
jang Genta menghadapi orang termuda Tiga Iblis
Sakti, Iblis Tongkat Merah.
Namun perlawanan yang dilakukan Ki Ba-
jang Genta dan seluruh muridnya bagi Tiga Iblis Sakti merupakan sebuah
permainan. Yang membuat mereka tertawa setiap kali sosok manusia
terkapar tak bernyawa dengan kepala bolong ter-
tembus ujung tongkat mereka.
"Hiyaaa...!"
Bet, bet! "Uts!"
Iblis Tongkat Biru hanya menggerakkan
pinggangnya untuk menghindari tebasan senjata
murid Perguruan Kepodang Emas. Lalu Parada
ganti mengayunkan tongkat keluk sembilannya ke
pinggang lawan.
"Hih!"
Plak! Crokkk! "Aaa...!"
Sosok tubuh penyerang Parada terjungkal
setelah sambaran tongkat yang dimainkan dalam
jurus 'Tongkat Iblis Mengejar Nyawa' cukup telak mendera pinggangnya. Dan ketika
tubuhnya ter-bungkuk, ujung tongkat Parada dengan telak me-
nembus ubun-ubunnya. Darah yang mengucur
deras disertai cairan putih dari kepala yang bolong itu.
Seiring dengan ambruknya murid Pergu-
ruan Kepodang Emas, nyawanya terpisah dari
badan. Sedangkan Iblis Tongkat Biru tanpa mem-
pedulikan mayat yang bergeletakkan di dekatnya
kembali melanjutkan pembantaian. Anehnya, le-
laki itu melakukannya dengan tersenyum-
senyum. Kadang Parada terbahak menyaksikan
kematian lawannya. Baginya, mungkin kematian
lawan merupakan hiburan segar yang harus di-
tanggapi dengan tawa.
Apa yang dilakukan Parada juga diperbuat
Sandala dan Sancasona. Kedua lelaki yang berju-
luk Iblis Tongkat Hitam dan Iblis Tongkat Merah berpestapora. Membantai murid-
murid Perguruan
Kepodang Emas yang memang bukan tandingan
mereka. Bahkan Ki Bajang Genta belum setara
ilmunya dengan Tiga Iblis Sakti.
"Mampus kau, Iblis!" maki seorang murid utama Ki Bajang Genta. Pedangnya
dilayangkan membabat leher Iblis Tongkat Hitam. Angin ber-
desing keras terjadi seiring dengan melayangnya senjata yang ditebaskan dengan
pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sing...! Sandala yang menyaksikan serangan cu-
kup ganas itu, seolah tidak menyaksikan luncu-
ran benda tajam. Dia tetap berdiri tenang tanpa ada usaha menghindari. Namun
urat-urat lehernya sedikit mengejang. Tampaknya lelaki itu ingin mencoba
kekuatan tenaga dalam lawan.
Tlakkk! Bunyi seperti beradunya dua benda keras
terdengar ketika senjata murid utama Ki Bajang
Genta menghantam leher Iblis Tongkat Hitam.
"Aaakh...!"
Pekik tertahan pun terdengar. Dengan tu-
buh terhuyung dan batang pedang patah jadi
dua. Sendala, lelaki berusia empat puluh lima tahun, terus mengejar tubuh murid
utama Ki Ba- jang Genta yang terhuyung dengan rasa nyeri
mendera tangannya. Iblis Tongkat Hitam membu-
ru dengan mengerahkan jurus 'Tongkat Iblis Men-
gejar Nyawa'. "Haiiit...!"
Wukkk! Crokkk! Kembali kepala salah seorang murid Ki Ba-
jang Genta terpanggang tongkat berkeluk sembi-
lan milik Sandala. Untuk kesekian kalinya seso-
sok tubuh tergeletak dengan kepala bolong.
Kenyataan itu membuat Ki Bajang Genta
menjadi panik bukan main. Disadarinya tak lama
lagi semua muridnya menjadi korban keganasan
Tiga Iblis Sakti. Sedangkan Nyi Randa, Harum Seroja, dan Anugda tidak bisa
bergerak karena terbungkus sinar merah, biru, dan hitam.
"Hiyaaa...!"
Merasa tak ada jalan lain, Ki Bajang Genta
kembali berkelebat menyerang orang termuda da-
ri Tiga Iblis Sakti. Suara berdesing tajam mengiringi serangan Ki Bajang Genta.
Pedangnya berkelebat ke arah lambung Sancasona. Ketua Pergu-
ruan Kepodang Emas itu tengah mengerahkan ju-
rus 'Pedang Pembelah Awan'.
Namun bagi Sancasona yang sudah mam-
pu mengukur kekuatan tenaga dalam Ketua Per-
guruan Kepodang Emas, serangan yang dihada-
pinya tidaklah menakutkan. Disongsongnya sen-
jata Ki Bajang Genta dengan telapak tangan telanjang. "Tappp!"
Dengan kekuatan tenaga dalam yang bera-
da di atas Ki Bajang Genta, Sancasona seenaknya menangkap pedang itu.
"Buang saja senjatamu, Bajang!" ejek Sancasona. Batang pedang itu digenggamnya
erat- erat. "Hmh....!"
Ki Bajang Genta mendengus marah. Sekuat
tenaga ditariknya senjata itu dari cekalan Sanca-
sona. "Tariklah sebisamu, Bajang!" kembali Iblis Tongkat Merah mengejek.
Ki Bajang Genta yang memang sudah ter-
pancing kemarahannya segera mengerahkan selu-
ruh tenaganya. Namun sampai napasnya tersen-
gal-sengal senjata itu tidak terlepas juga. Bahkan.... Trakkk!
Iblis Tongkat Merah yang menggoyangkan
pergelangan tangan Ki Bajang Genta. Hingga pe-
dang lelaki setengah baya itu patah menjadi dua bagian. Kejadian itu tentu saja
merugikan Ketua Perguruan Kepodang Emas. Saat itu dia tengah
mengerahkan tenaganya, maka akibatnya tubuh
Ki Bajang Genta terdorong ke belakang oleh tenaganya sendiri.
Ki Bajang Genta yang matang pengalaman
segera mementahkan daya dorongnya dengan me-
lemparkan tubuhnya ke samping kanan dan ber-
gulingan di tanah. Tapi Iblis Tongkat Merah telah memperhitungkan segalanya.
Ketika tubuh Ketua
Perguruan Kepodang Emas bergulingan, Sanca-
sona melempar patahan pedang Ki Bajang Genta
yang masih berada di genggamannya.
"Hih!"
Sing...! Cepat laksana kilat lemparan itu dilakukan
Iblis Tongkat Merah. Maka....
Crabbb! "Aaa...!"
Peristiwa senjata makan tuan pun terjadi.
Kepala Ki Bajang Genta tertembus patahan pe-
dang miliknya sendiri. Tubuh Ki Bajang Genta
yang tengah bergulingan terus berguling. Darah
merembes dari batok kepalanya.
"Ha ha ha...!"
Melihat pemandangan di depannya, Iblis
Tongkat Merah terbahak-bahak. Begitu kejamnya
pemuda itu dan tidak punya perasaan.
"Habisi semuanya!" perintah Sancasona.
Parada dan Sandala, meski tanpa diperin-
tah pun memang bermaksud menghabisi murid-
murid Perguruan Kepodang Emas. Maka peman-
dangan yang terlihat sebuah permainan maut
yang sangat mengerikan. Murid-murid Perguruan
Kepodang Emas satu persatu melayat ke akherat
menyusul kematian gurunya.
"Hiaaa...!"
Plak, plak...! Crokkk, crokkk...!
Dua lengking kematian kembali mengge-
tarkan alam Desa Walang Teter. Dua sosok terak-
hir murid Perguruan Kepodang Emas terhantam
tongkat Parada dan Sandala. Sasarannya ubun-
ubun. "Hhh...!"
Iblis Tongkat Biru dan Iblis Tongkat Hitam
menarik napas panjang-panjang setelah menyele-
saikan lawan-lawan terakhirnya. Keduanya
menghampiri mayat seorang murid Ki Bajang
Genta. Lalu membersihkan tongkat-tongkat me-
reka yang berlumuran darah dengan pakaian mu-
rid Perguruan Kepodang Emas. Selesai member-
sihkan senjatanya, Iblis Tongkat Biru dan Iblis Tongkat Hitam menghampiri Iblis
Tongkat Merah. "Tinggal selangkah lagi kita mendapatkan
benda itu, Sancasona," ucap Parada riang.


Raja Petir 16 Pergolakan Goa Teratai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya. Kita gunakan ketiga manusia itu seba-
gai penunjuk," timpal Sandala seraya menunjuk sosok Nyi Randa, Harum Seroja, dan
Anugda yang berdiri kaku. "Kakang berdua betul! Ayo, kita bebaskan
mereka dari pengaruh ilmu 'Pembungkus Gerak',"
ucap Iblis Tongkat Merah.
"Ayolah!" sambut Iblis Tongkat Hitam dan Iblis Tongkat Biru berbarengan.
Ketiganya melangkah mendekati Nyi Ran-
da, Harum Seroja, dan Anugda. Tapi baru dua
langkah kaki Tiga Iblis Sakti terayun, sebuah ta-wa menggelegar seketika
terdengar. "Ha ha ha...!"
Tiga Iblis Sakti langsung menghentikan
langkahnya, dan berpaling ke arah suara tawa.
Jlig, jlig...! Bersamaan dengan berbaliknya tubuh Tiga
Iblis Sakti, dua sosok bayangan hitam berkelebat dan mendarat ringan tiga tombak
di hadapan Sancasona, Parada, dan Sandala.
"Dua Datuk Jubah Hitam!" ucap Sancaso-na keras. Tampak berdiri tegak dengan
sikap me- nantang dua lelaki berusia lanjut yang mengena-
kan jubah longgar.
*** Dua lelaki tua yang dipanggil Dua Datuk
Jubah Hitam tidak menanggapi ucapan orang
termuda Tiga Iblis Sakti.
Lelaki pertama dari Dua Datuk Jubah Hi-
tam memandang wajah Sancasona tajam. Wajah
tuanya yang berkerut dan ditumbuhi tahi lalat
cukup banyak nampak menegang. Sepasang ma-
tanya menyorotkan kebengisan yang luar biasa.
Alisnya berwarna putih, sama dengan jenggotnya
yang tidak terurus. Sementara pandangan orang
kedua dari Dua Datuk Jubah Hitam merayapi
mayat-mayat yang bergeletakan dengan kepala
bolong. "Rupanya pesta kalian telah selesai. Ah, sayang. Kami datang terlambat
hingga tak dapat
merasakan kelezatan daging-daging kelinci itu,"
ucap orang pertama dari Dua Datuk Jubah Hi-
tam. "Gordama! Jangan banyak bicara! Katakan, apa maksudmu mencampuri urusan
Tiga Iblis Sakti!" bentak Sancasona marah.
Lelaki yang dipanggil Gordama tersenyum
mendengar bentakan Sancasona.
"Sama seperti yang kau inginkan, Sanca-
sona! Aku pun ingin keabadian itu!" timpal Gordama membentak nyaring.
"Hmh...!" Sancasona mendengus kasar.
"Kalau kau menginginkan isi yang berada di Goa Teratai, Tiga Iblis Sakti-lah
yang harus kalian hadapi!" bentak Iblis Tongkat Merah geram.
"Iblis Tongkat Merah pun akan kuhadapi
untuk mencapai keabadian hidup yang telah lama
kuidamkan. Bukan begitu, Landura?" ucap Gordama seraya menoleh pada orang kedua
dari Dua Datuk Jubah Hitam.
"Betul!" sambut Landura. "Tak kupandang keberadaan kalian, Tiga Iblis Sakti!"
Lanjut Landura mengejek pedas.
"Bangsat!" maki Sandala berang.
Dua Datuk Jubah Hitam tersenyum me-
nyaksikan kemarahan Iblis Tongkat Hitam. Tidak
terdengar sanggahan dari mulut dua lelaki tua
berjubah longgar hitam. Hening sesaat merayapi
kelima tokoh golongan hitam yang memiliki ke-
pandaian tinggi itu. Mereka saling bertatapan seolah mengukur kekuatan lawan.
Keabadian yang dimaksud adalah sebuah
ramuan yang tersimpan di Goa Teratai. Ramuan
itu menurut sebagian tokoh tingkat tinggi yang
hidup puluhan tahun silam adalah ramuan yang
jika diminum mampu membuat orang awet muda
dan berangsur-angsur menjadi muda bagi yang
sudah berusia lanjut.
Ramuan itu juga dapat menebalkan kulit,
otot, dan organ-organ tubuh lainnya. Hingga menjadi kebal terhadap tebasan
senjata, meski se-
buah pusaka! Penyakit tidak akan menyentuh tu-
buh mereka. Kematian tak akan mereka temui,
hingga mereka mendapatkan keabadian hidup.
Namun akibat yang ditimbulkan adalah
watak menjadi berubah menjadi dari watak semu-
la. Kalau yang meminum berwatak baik, maka dia
akan berubah menjadi bengis dan kejam. Jika dia berwatak bengis dan kejam, maka
kekejaman dan kebengisannya menjadi berlipat-lipat.
Itu sebabnya almarhum Pendekar Lembah
Teratai tidak mau meminum ramuan laknat itu.
Ketika beliau mati karena sakit, kunci pembuka Goa Teratai diserahkan pada Ki
Bajang Genta. Sesungguhnya Goa Teratai bukan hanya
menyimpan ramuan keabadian. Tapi juga harta
karun dan sebilah pedang maut yang bernama
Pedang Beruang Salju. Yang aneh dari Goa Tera-
tai adalah bila seseorang ingin memiliki harta karun, dia harus pula mengambil
Pedang Beruang Salju dan ramuan keabadian, yang harus lang-
sung diminum di dalam goa. Kalau keharusan itu
dilanggar, jangan harap apa yang diinginkan akan tercapai.
Tokoh-tokoh golongan hitam adalah yang
paling berniat memiliki isi Goa Teratai, seperti Ti-ga Iblis Sakti dan Dua Datuk
Jubah Hitam. Tetapi mereka tidak tahu letak Goa Teratai. Untuk men-getahuinya,
mereka harus mendapatkan dulu se-
buah benda yang bernama Lempengan Teratai
Emas. Pada lempengan itulah akan didapat pe-
tunjuk tentang letak Goa Teratai. Dan lempengan itu digunakan kunci pembuka
pintu goa. Tiga Iblis Sakti dan Dua Datuk Jubah Hitam tahu di
mana mereka harus mendapatkan Lempengan Te-
ratai Emas. "Jangan menyesal kalau kalian yang masih
muda harus mati di tangan Dua Datuk Jubah Hi-
tam," ucap Gordama memecah keheningan.
"Kalianlah yang harus mati di tangan Tiga
Iblis Sakti!" balas Sancasona. "Ayo! Kita gasak
mereka!" lanjutnya mengajak Parada dan Sandala.
"Hiyaaa...!"
Tubuh Sancasona melesat ke arah Gorda-
ma. Sedangkan Sandala dan Parada menyerang
Landura. 4 Pertarungan antara Tiga Iblis Sakti mela-
wan Dua Datuk Jubah Hitam tidak dapat dielak-
kan. Sancasona si Iblis Tongkat Merah yang ber-
hadapan dengan Gordama mengeluarkan jurus-
jurus andalannya. Begitu pun sebaliknya.
"Jaga seranganku, Gordama! Hiaaa...!"
Kembali Sancasona Melesat cepat. Tangan
kanannya yang menggenggam tongkat merah ber-
keluk sembilan teracung tinggi-tinggi di atas kepala. Sebuah 'Pukulan Lelang
Nyawa' tengah di-
kerahkan Iblis Tongkat Merah. Angin menderu
mengiringi serangan Sancasona, yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam
tinggi. Wukkk...! "Uts!"
Sambaran tongkat Sancasona yang terarah
ke batok kepala Gordama mengandung kekuatan
hawa panas menyengat. Tapi dengan ilmu merin-
gankan tubuh yang dibarengi hentakan kaki cu-
kup kuat, Gordama melesat ke belakang meng-
hindari sambaran senjata lawan.
Serangan Sancasona yang dilancarkan me-
lalui jurus 'Pukulan Lelang Nyawa' memang ber-
hasil dihindari Gordama, namun Iblis Tongkat
Merah bukanlah orang yang mudah dipecundangi
lawan. Sancasona dengan kecepatan gerak yang
mengagumkan kembali melancarkan serangan
susulan, tetap menggunakan jurus 'Pukulan Le-
lang Nyawa'. "Hiyaaa...!"
"Heh"!"
Melihat Iblis Tongkat Merah melesat bagai
kilat, Gordama terkejut juga. Namun tokoh itu tak gugup, meski kesempatannya
menghindari serangan itu sangat sedikit. Maka ketika sambaran
tongkat berkeluk sembilan Sancasona datang, se-
gera disambutnya dengan kibasan senjatanya
yang berupa Pecut Ekor Kuda.
"Hih!"
Plark! Bunyi cukup kuat seperti dua logam keras
beradu seketika terdengar. Cukup mengagumkan
senjata yang dimiliki orang tertua dari Dua Datuk Jubah Hitam. Senjata itu
terdiri dari bulu-bulu halus dibentuk persis buntut kuda yang dapat
menegang bagai lempengan logam. Itu berkat te-
naga dalam Gordama yang hampir mencapai
tingkat sempurna. Akibat yang ditimbulkan dari
benturan keras itu adalah terhuyungnya tubuh
Sancasona dan Gordama beberapa langkah.
"Hebat juga kau, Kakek Tua Renta!" pujian yang mirip hardikan itu keluar dari
mulut Iblis Tongkat Merah. "Namun kusangsikan apakah kau mampu membendung
seranganku berikutnya.
'"Tongkat Pemecah Gelombang'!" lanjut Sancasona seraya menggeser kakinya dua
langkah ke samping kanan dan satu langkah mundur.
Tubuhnya dalam kedudukan kuda-kuda rendah.
Sementara tongkat merah miliknya rebah di ta-
nah dengan bagian ujung terarah ke belakang.
Melihat Iblis Tongkat Merah merubah ju-
rusnya, orang tertua dari Dua Datuk Jubah Hi-
tam pun segera melakukan gerakan yang menga-
wali pembukaan jurus 'Cemeti Maut'.
"Akan kutimpali jurus murahanmu dengan
jurus 'Cemeti Maut' milikku, Iblis Kurap!" ledek Gordama lantang.
Merah wajah Sancasona dan terasa begitu
panas telinganya. Maka seketika itu juga dia melesat setelah kedua kakinya
diangkat bersamaan dan dibanting menghentak kuat-kuat.
"Heaaa...!"
Wrrr...! Angin yang menjelma dari sambaran tong-
kat Iblis Tongkat Merah angin topan yang mampu
menumbangkan sebatang pohon. Pakaian Sanca-
sona berkibar. Demikian pula jubah hitam Gor-
dama. Ctar! Gordama segera mengebutkan senjatanya
dalam jurus 'Cemeti Maut' untuk menandingi pu-
saran angin yang keluar akibat hentakan tangan
Sancasona. "Haaat!"
Wukkk! Wukkk! "Uts!"
Ctar! Sancasona dan Gordama melancarkan se-
rangan saling susul-menyusul. Tongkat merah
berkeluk sembilan yang selalu berkelebat mence-
car batok kepala lawan berhasil dielakkan Gor-
dama. Begitu juga senjata Dua Datuk Jubah Hi-
tam yang mencecar ulu hati dan tenggorokan la-
wan, selalu saja membentur tempat kosong.
Dalam adu ketangkasan bermain senjata
dan kecepatan gerak, nampaknya dua tokoh go-
longan hitam itu seimbang. Salah satu di antara mereka akan binasa jika sedikit
saja lengah. "Hiaaa...!"
Wukkk! Blagkh! "Ugkh!"
Tubuh Gordama terhuyung empat langkah
ketika gerak tipu yang dilancarkan Sancasona
berhasil. Sesaat Gordama mengira Sancasona
akan membabatkan tongkatnya ke kepala. Namun
di tengah serangannya, Iblis Tongkat Merah me-
rubah dengan menarik pulang senjatanya dan
melancarkan tendangan lurus ke dada Dua Datuk
Jubah Hitam. "Uhugkh!"
Gordama kembali terbatuk. Rasa sesak
mendera dadanya. Darah setetes demi setetes
mengalir dari sela bibirnya.
"Sudah kukatakan kau akan mampus di
tanganku, Gordama! Terimalah ini!"
"Haaat...!"
Tubuh Sancasona kembali melayang men-
gejar sosok Dua Datuk Jubah Hitam yang ter-
huyung. Kemudian dengan mengerahkan tenaga
dalam, tongkat merahnya dikebutkan ke bahu
Gordama. Bluk! "Aaa...!"
Pekik tertahan terdengar seiring olengnya
tubuh Datuk Jubah Hitam ke kanan. Karena ba-
hu kirinya tersambar tongkat berkeluk sembilan
Sancasona. Dan pada saat itulah, Iblis Tongkat
Merah menghentakkan ujung tongkatnya kuat-
kuat ke arah ubun-ubun Gordama.
"Hih!"
Crokkk! "Aaa...!"
*** Tubuh orang tertua dari Dua Datuk Jubah
Hitam ambruk ke tanah. Beberapa saat Gordama
meregang nyawa dengan menggelepar-gelepar ba-
gai kerbau disembelih. Dan saat berikutnya, nya-wa Gordama tidak bersarang lagi
di tubuhnya.

Raja Petir 16 Pergolakan Goa Teratai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuh Dua Datuk Jubah Hitam berubah kaku
dan berangsur-angsur dingin.
"Jangan terlalu banyak bermain-main, Ka-
kang. Habisi secepatnya!" tukas Sancasona ketika melihat Iblis Tongkat Hitam dan
Iblis Tongkat Bi-ru belum juga merobohkan Landura, orang kedua
dari Dua Datuk Jubah Hitam.
"Ilmunya hebat!" jawab Parada. "Tapi jangan khawatir, Kakang berdua akan
menghabisi hidupnya sekarang juga!"
"Hiaaa...!"
"Heyaaa...!"
Tubuh Iblis Tongkat Biru dan Iblis Tongkat
Merah bergerak cepat. Kali ini serangan berge-
lombang yang dilakukan mereka menggunakan
jurus 'Pukulan Lelang Nyawa'.
Iblis Tongkat Biru berkelebat dengan men-
gayunkan senjatanya ke bagian atas tubuh Lan-
dura. Sedangkan Iblis Tongkat Hitam menyerang
bagian bawah, yakni selangkangan lawan.
Menghadapi serangan dari dua arah kema-
tian. Landura merasa sedikit gentar. Kedudukan-
nya seperti telur di ujung tanduk, apalagi dengan kematian Gordama. Maka untuk
menghadapi serangan kilat itu....
Wukkk! "Uts!"
Landura merundukkan kepala dengan ce-
pat untuk menghindari serangan Iblis Tongkat Bi-ru. Tapi tidak demikian ketika
serangan susulan Iblis Tongkat Hitam datang.
"Haaat...!"
Wukkk! Prats! Ujung cemeti Landura berhasil melibat
tongkat hitam berkeluk sembilan. Namun siapa
sangka itulah yang diinginkan dua orang lawan-
nya. Maka ketika saling tarik-menarik terjadi, Parada melesat dengan tendangan
lurus ke depan Landura. "Hiaaa...!"
Blugkh!" "Akh!"
Tubuh tua Landura terpental deras terkena
terjangan kuat pada bagian dadanya. Darah ber-
muncratan dari mulut orang termuda Dua Datuk
Jubah Hitam. Tidak hanya itu penderitaan yang dialami
Landura. Saat dirinya ambruk dan terkulai di tanah, Iblis Tongkat Hitam
berkelebat ke arahnya
dengan tongkat terayun ke kepala.
"Mampus kau!" teriak Sandala geram.
Crokkk! Darah muncrat dari kepala Landura yang
tertembus ujung tongkat Iblis Tongkat Hitam.
Orang termuda dari Dua Datuk Jubah Hitam itu
langsung jadi mayat.
"Hhh..."!"
Sandala menarik napas berat menyaksikan
kematian Landura. Kemudian dihampirinya San-
casona yang telah lebih dulu menewaskan Gor-
dama. "Kenapa kalian begitu lambat menjatuhkan Landura?" sesal Iblis Tongkat
Merah. "Tadinya aku menganggap remeh Landura,
Sancasona. Tapi kemudian aku jadi tahu dia ti-
dak bisa diajak bermain-main. Landura ternyata
cukup tangguh," kilah Iblis Tongkat Biru.
"Ayo! Sekarang kita manfaatkan tiga ce-
cunguk itu untuk menunjukkan tempat penyim-
panan Lempengan Teratai Emas," ajak Sancaasona seraya melangkah menuju Nyi
Randa, Harum Seroja, dan Anugda. Kemudian Tiga Iblis Sakti
membebaskan ketiganya dari pengaruh ilmu
'Pembungkus Gerak'.
"Ah...!"
"Ah...!"
"Uh...!"
Seperti orang terjaga dari mimpi Nyi Randa,
Harum Seroja, dan Anugda menyadari keadaan
dirinya. Tatapan mata ketiganya langsung mem-
bentur mayat-mayat yang bergeletakan di sana-
sini. "Ayaaah...!" pekik Harum Seroja ketika menyaksikan tubuh Ki Bajang Genta
tergeletak den-
gan kepala bolong.
5 Angin yang berhembus semilir mengantar-
kan hawa segar membelai kulit. Pagi ini, matahari belum begitu kuat memancarkan
sinarnya. Desa Barakrapi yang begitu tenang memperlihatkan
keindahan melalui hamparan sawah dan pohon-
pohon nyiur yang melambai-lambai tertiup angin.
Seorang lelaki muda berusia dua puluh
empat tahun nampak termenung di pendopo ru-
mahnya yang bagus dan terawat rapi. Mata lelaki tampan berpakaian putih itu
begitu hampa menatap pemandangan indah di depannya. Dia adalah
Yudistira. Pimpinan Perguruan Pedang Kumala
itu baru saja mengetahui perihal runtuhnya Per-
guruan Kepodang Emas oleh Tiga Iblis Sakti yang
kini menawan Harum Seroja kekasihnya, Nyi
Randa, dan Anugda. Berita itu diterima Yudistira dari anak buahnya, yang memang
ditugasi men-gawasi Desa Walang Teter untuk mendapat kete-
rangan akan desa yang semula begitu aman itu.
"Ahhh...!"
Yudistira menarik napas panjang. Pemuda
itu bangkit dari duduknya dan berjalan menyusu-
ri halaman rumahnya yang cukup luas. Yudistira
tidak menyangka Desa Walang Teter akan keda-
tangan tamu bejat yang memiliki kepandaian
tinggi. Tiga Iblis Sakti memang sangat disegani di kalangan rimba persilatan,
baik oleh kaum sego-longan maupun golongan putih.
Berdasarkan cerita yang didapatnya, keda-
tangan Tiga Iblis Sakti itu untuk meminta Lem-
pengan Teratai Emas dari tangan Ki Bajang Gen-
ta. Namun kejadiannya membuat nyawa Ketua
Perguruan Kepodang Emas dan keutuhan pergu-
ruan itu tidak dapat dipertahankan.
Bagi Yudistira sendiri, mendatangi Tiga Ib-
lis Sakti untuk membebaskan kekasihnya, Nyi
Randa, dan Anugda adalah perbuatan nekat yang
hanya akan menyerahkan nyawa sia-sia saja. Yu-
distira merasa dirinya dan seluruh muridnya tak akan mampu menandingi kehebatan
Tiga Iblis Sakti. Hanya ada satu orang tokoh muda golon-
gan putih yang mampu mengimbangi Tiga Iblis
Sakti. Menurut Yudistira orang tersebut adalah
Raja Petir. Tapi untuk meminta bantuan pada Ra-
ja Petir bukanlah hal yang mudah. Raja Petir seo-
rang pengembara yang tidak mempunyai tempat
tinggal tetap. Kolong jagad adalah tempatnya. Ja-di cukup menyulitkan jika
seseorang ingin berte-mu dengannya, kecuali tanpa sengaja.
"Apakah aku harus menyelusup ke sana
Terbang Harum Pedang Hujan 12 Pendekar Gila 30 Dewi Ratu Maksiat Pedang Pembunuh Naga 14
^