Pencarian

Persembahan Raja Setyagara 2

Raja Petir 19 Persembahan Raja Setyagara Bagian 2


Kepala Desa Gandaras mengangguk lemah.
"Oh," Mayang mendesah tertahan. "Sebaiknya kita ke kotaraja sekarang, Kakang.
Kita harus mengikuti ke mana Prabu Setyagara mengirim
korban persembahannya."
"Kau betul, Mayang. Namun, kita harus
memperhitungkan apa bisa tiba di kotaraja ma-
lam ini?" ujar Jaka.
Mayang tak berkata-kata mendengar uca-
pan Jaka. Namun dibenarkan juga ucapan keka-
sihnya. "Seberapa jauh jarak kotaraja dari desa ini, Ki?" tanya Jaka pada Ki Amertagi.
"Tidak begitu jauh, Jaka. Tidak sampai se-
tengah hari dalam perjalanan berkuda," jawab Ki Amertagi.
"Kalau begitu, izinkan kami berangkat ke
kotaraja sekarang juga, Ki," putus Jaka setelah yakin mampu tiba di sana malam
ini. "Kalian...."
"Kami ingin tahu, apa yang akan dilakukan
raja sesat itu, Ki. Doakan saja agar kami dapat mengatasi persembahan-
persembahan sesat selanjutnya," ujar Mayang, meyakinkan keputusan kekasihnya.
"Hati-hati kalian," ujar Ki Amertagi memberi nasihat penuh keharuan.
"Kami pergi sekarang, Ki. Titip salam un-
tuk...." "Hei! Kalian belum meminum air ini!" selak Nyi Riwangni yang baru
muncul dari ruang dalam
sambil membawa minuman dan penganan.
"Terima kasih, Nyi. Lain kali kami pasti tak menolak jamuanmu. Sekarang kami
harus pergi untuk mengejar waktu," kata Mayang tegas.
"Permisi, Nyi!"
Jaka dan Mayang segera saja berlalu cepat
dari ruang tamu kediaman Ki Amertagi. Sepasang
pendekar muda itu. kemudian menghentakkan
kakinya kuat-kuat, setelah mencapai ambang pin-
tu. "Hop!"
"Hip!"
Ki Amertagi dan Nyi Riwangni hanya me-
mandangi kepergian Jaka dan Mayang yang begi-
tu cepat "Hhh.... Raja Petir! Kau memang pendekar
digdaya," gumam Ki Amertagi.
"Kau menyebutnya sebagai Raja Petir, Ka-
kang?" tanya Nyi Riwangni mendengar gumaman suaminya.
"Pemuda tampan itulah yang berjuluk Raja
Petir, Nyi," jelas Ki Amertagi.
"Heh"!" Nyi Riwangni terkejut
4 Langit di sebelah timur Desa Gandaras te-
lah menjelmakan warna jingga yang begitu me-
nawan. Matahari terlihat perlahan tenggelam
kembali ke peraduannya. Alam di pedesaan ini
memang menyajikan suasana yang begitu indah.
Dan pada saat menghilangnya sinar jingga
yang membias, tiba-tiba berkelebat dua sosok
bayangan dengan kecepatan luar biasa. Kedua
bayangan itu menerobos masuk Hutan Gindang
yang menjadi perbatasan antara Desa Gandaras
dengan kotaraja.
Dua sosok bayangan yang melesat cepat itu
tak lain sepasang pendekar muda yang sudah cu-
kup tersohor di kalangan rimba persilatan. Siapa lagi kalau bukan Raja Petir dan
Dewi Payung Emas. "Kita akan tiba lebih cepat dari waktu yang telah direncanakan, Kakang,"
kata Mayang dengan napas yang sedikit memburu.
"Bagus kalau begitu, Mayang. Berarti bisa
sedikit beristirahat sebelum melakukan penyelidikan," balas Jaka dengan napas
lebih teratur. Dua anak berpakaian warna kuning kee-
masan dan jingga itu terus melanjutkan perjala-
nan, menerobos perut Hutan Gindang. Namun ti-
ba-tiba saja....
"Awaaas, Mayang!" teriak Jaka, ketika matanya melihat sebatang pohon besar
tumbang ke arah kekasihnya.
Mayang yang mendengar teriakan peringa-
tan kekasihnya segera melompat cepat
"Hop!"
Jaka pun melakukan hal yang sama.
"Hop!"
Grosakkk! Pohon yang besar itu tumbang, ambruk ke
tanah begitu Jaka dan Mayang berhasil melompat
menghindar. Akan tetapi sebentuk bahaya yang
lain harus dihadapi pasangan pendekar muda itu.
Di depan mata mereka kini tengah berjejer sosok berpakaian seperti kera. Di
tangan masing-masing sosok yang berjumlah belasan orang itu
tergenggam sebatang obor yang menyala cukup
besar. Dugaan Jaka dan Mayang, mereka adalah
para perampok yang memanfaatkan Hutan Gin-
dang sebagai markas.
"He he he...."
Salah satu sosok yang bertubuh tinggi be-
sar tertawa keras dengan kaki terangkat dua
langkah ke belakang.
"Serahkan harta kalian kalau ingin selamat melintasi hutan ini!" bentak lelaki
tinggi besar itu, keras. Nampaknya, dialah yang menjadi pimpinan
begal ini. Jaka tak membalas ucapan lelaki tinggi be-
sar yang di tangannya menggenggam sebilah tom-
bak berukuran besar.
"Tak perlu kita meladeni mereka, Mayang.
Hanya membuang waktu saja," ujar Jaka, hampir mirip bisikan.
"Tentu saja, Kakang. Kita harus segera
sampai di kotaraja," balas Mayang, menyetujui kata-kata kekasihnya.
"Kalau begitu bersiaplah. Biar kuberi pelajaran mereka," pinta Jaka. Dan tiba-
tiba saja.... "Hiaaa...!"
"Wusss...!"
Angin bergulung bagai pusaran angin seke-
tika melesat dari sepasang telapak tangan Raja
Petir yang terhentak kuat. Angin yang tercipta
berkat pengerahan ilmu 'Pukulan Pengacau Arah'
meluruk deras ke arah sosok-sosok yang meng-
genggam obor. "Awaaas...!" pimpinan begal yang bertubuh tinggi besar itu berteriak
memperingati teman-temannya begitu melihat bahaya mengancam.
Maka belasan lelaki yang merintangi perja-
lanan Raja Petir dan Mayang, seketika saja ber-
lompatan cepat ke arah kanan dan kiri untuk
menghindari terjangan angin bergulung yang me-
nebarkan hawa panas menyengat. Dan.... Pada
saat itulah kedua pendekar muda ini menghen-
takkan kakinya kuat-kuat
"Hop!"
"Hip!"
Tubuh Jaka dan Mayang berkelebat meng-
gunakan ilmu lari cepat tingkat tinggi, yang diba-rengi pengerahan ilmu
meringankan tubuh yang
mencapai taraf kesempurnaan. Maka, barisan
penghalang yang kini sudah longgar mudah sekali dilalui. Namun....
"Bangsat! Kejar mereka!" teriak pimpinan begal itu menyadari calon mangsanya
lolos begitu saja. Belasan lelaki berpakaian seperti kera yang memang anak buah
lelaki tinggi besar itu segera saja bergerak mengejar Raja Petir dan Mayang.
Namun sekuat-kuatnya mengejar, usaha yang di-
lakukannya hanya sia-sia saja.
Ilmu lari para begal tanggung itu memang
belum seberapa jika dibanding ilmu lari sepasang pendekar muda yang kesaktiannya
diperhitung-kan tokoh-tokoh sakti golongan hitam maupun
putih. Terbukti, jarak buruan mereka semakin
jauh saja untuk dikejar.
"Bangsat!" rutuk lelaki tinggi besar itu ketika menyadari pengejarannya hanya
menemui ke- kandasan saja. Sementara, Mayang dan Jaka terus berlari
mendekati wilayah kotaraja.
"Hm.... Mereka tak tahu dengan siapa ber-
hadapan, Kakang. Mereka pikir, kita gentar
menghadapi. Padahal...."
"Kita belum tentu mampu mengalahkan-
nya, Mayang," selak Jaka dengan tatapan men-gerling lucu ke wajah gadisnya.
"Kau selalu merendah," omel Mayang berpura-pura cemberut
"Merendah adalah sikap bijaksana,
Mayang," sahut Jaka.
"Kalau Kakang terlalu sering merendah,
bukan kebijaksanaan yang akhirnya didapat. Tapi sikap meremehkan yang selalu
mengundang sakit
hati," sangkal Mayang yang kali ini dengan wajah dipasang sesungguh mungkin.
"Tidak begitu, Mayang. Kita harus melihat
di mana sikap merendah itu harus ditonjolkan,"
tolak Jaka atas ucapan si Dewi Payung Emas
yang terasa memang tidaklah salah.
"Sudahlah! Kakang memang selalu begi-
tu...." Mayang memasang wajah masam.
Meskipun dalam keadaan tengah berlari,
Jaka masih sempat menyaksikan wajah kekasih-
nya. "Kau jelek kalau cemberut begitu," ledek Jaka cukup jelas.
"Biar jelek, Kakang kan suka," gumam
Mayang kesal. "Hei! Lebih baik kita berhenti bertengkar.
Lihatlah, kita sudah memasuki wilayah kotaraja,"
tukas Jaka seraya menghentikan larinya. Kini Ra-ja Petir melangkah pendek,
diikuti Mayang.
*** Malam yang mulai diterangi cahaya bulan,
mengiringi langkah kaki Raja Petir dan Dewi
Payung Emas memasuki kotaraja yang juga dite-
rangi cahaya lampu dari rumah-rumah yang cu-
kup besar dan mewah.
"Masih ada kedai makan yang buka, Ka-
kang," kata Mayang seraya menunjuk sebuah kedai. "Kita mampir dulu ke sana,
Kakang." "Pasti perutmu sudah merangsek minta di-
isi," tebak Jaka.
Dara cantik berambut panjang dikepang
kelabang yang berjuluk si Dewi Payung Emas
mengangguk dengan tatapan tertuju ke arah ban-
gunan rumah yang ramai dikunjungi orang.
"Ayolah kita ke sana, Mayang. Barangkali
saja dapat diperoleh keterangan yang tak sengaja dari mulut orang-orang di dalam
kedai yang bukan mustahil memang penduduk kotaraja ini
sendiri," ajak Jaka.
Kemudian mereka sama-sama melangkah
mendekati kedai makan yang semakin ramai di-
kunjungi orang. Memang, mereka tak lain adalah
penduduk kotaraja.
Memasuki kedai makan ini, Mayang mera-
sakan kerisihan menyergap hatinya. Betapa ti-
dak" Tatapan mata pengunjung kedai yang
umumnya laki-laki langsung menusuk tajam ke
arah wajahnya. Memang diakuinya, wajah gadis
itu banyak mengundang minat lelaki untuk men-
genai lebih dekat dengannya.
Namun, justru sikap Jaka nampak biasa-
biasa saja. Sedikit pun tak merasa terganggu oleh cara pengunjung kedai makan
yang menatap wajah kekasihnya disertai rasa birahi. Malah, di hatinya timbul
sebentuk perasaan bangga, karena
memiliki kekasih yang dikagumi banyak orang.
"Kita duduk di sini saja, Mayang," ajak Ja-ka.
Raja Petir mengajak Mayang duduk di su-
dut kedai makan yang memang kosong dan pas
untuk dua orang. Akan tetapi, di sebelah meja itu tengah bersantap empat lelaki
berwajah garang.
Bahkan cara duduk mereka pun terlihat kurang
sopan. "Di sana saja, Kakang," tunjuk Mayang, menolak ajakan kekasihnya.
"Ah! Lebih baik di sini saja, Mayang. Tem-
patnya pas untuk kita berdua saja. Sedangkan
tempat yang kau tunjuk terdapat empat buah
tempat duduk. Itu berarti kita harus bersantap
bersama orang yang sama sekali tidak kita kenal, yang akan duduk di situ juga,"
tolak Jaka, memberi alasan.
Mayang tentu saja tidak bisa mengelak lagi
memang ingin bersantap nikmat tanpa harus ter-
ganggu oleh kehadiran orang lain yang mungkin
saja akan mengurangi selera makan.
Dan baru saja sepasang pendekar muda
yang berjuluk Raja Petir dan Dewi Payung Emas
meletakkan pantat masing-masing, seorang pe-
layan setengah tua menghampiri. Dia menanya-
kan, makanan apa yang akan dipesan kedua anak
muda ini. "Sediakan kami ayam panggang saja, Pa-
man, " kata Jaka sopan. "Dan nasi hangat"
Tatapan mata pemuda itu kemudian di-
lemparkan ke wajah kekasihnya. Maksudnya, ten-
tu saja agar Mayang memilih sendiri pesanannya.
"Buatkan saja hidangan yang sama, Pa-
man," ujar Mayang lembut.
Kelembutan ucapan Mayang tentu saja
membuat empat lelaki bertampang angker meno-
leh serempak. "Busyet! Suaranya secantik wajahnya, Gor-
ba," kata salah seorang yang memiliki kumis tebal melintang.
"Kau tidak melihat kalau dia sudah punya
pasangan, Narda?" tukas lelaki berwajah putih, namun berbintik-bintik hitam. Dia
tadi dipanggil dengan nama Gorba.
Mayang bukannya tak dengar namanya
tengah diperbincangkan. Tapi karena selera ma-
kannya tak ingin terganggu, makanya tak dipedu-
likannya empat lelaki angker itu.


Raja Petir 19 Persembahan Raja Setyagara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Alaaa...! Berapa susahnya sih, menying-
kirkan anak ingusan itu!" dengus Narda, sesum-bar. "Sekarang juga, aku bisa
mendapatkan gadis
itu." Narda melemparkan tatapannya ke arah gadis cantik itu.
Mayang yang mendengar ucapan tak sopan
dari lelaki berkumis tebal itu segera saja men-
gangkat kepalanya. Tatapan matanya langsung
menusuk tajam ke wajah lelaki bernama Narda.
"Jangan diladeni, Mayang," ujar Jaka, seraya menyentuh lembut punggung tangan
keka- sihnya. Narda yang mendapatkan pelototan tajam
dari Mayang, segera mengangkat kakinya hendak
menghampiri. Namun cekalan tangan Gorba sem-
pat membuat lelaki berkumis tebal itu duduk
kembali di kursinya.
"Jangan mengundang perkelahian, Narda.
Bukankah tujuan kita datang ke kotaraja ini un-
tuk menyaksikan persembahan yang akan dilak-
sanakan malam nanti. Bagaimana jadinya kalau
karena kita membuat keributan, prajurit-prajurit kerajaan menahan kita?" cegah
Gorba, mencoba meredam kemarahan temannya.
Kata-kata yang diucapkan Gorba ternyata
mengena juga. Terbukti kemarahan yang tergam-
bar di wajah Narda sedikit demi sedikit berku-
rang. Rupanya dia sadar, kalau tujuannya ke ko-
taraja hanya semata untuk menyaksikan persem-
bahan maut yang baru pertama kali dilakukan
Raja Sutera Bayu. Buktinya, dua orang temannya
juga tak menyetujui tindakan Narda.
Sepasang pendekar muda yang mendengar
kata-kata lelaki berwajah bopeng itu nampak berpura-pura acuh saja. Padahal, mereka sangat
mengharapkan pembicaraan itu kembali berlan-
jut. Namun sampai hidangan di atas meja lu-
das, empat lelaki itu tak kunjung membicarakan
tentang persembahan yang akan dilaksanakan
Prabu Setyagara.
"Tak ada yang dapat kita peroleh keteran-
gan dari tempat ini, Kakang," kata Mayang setelah menyeka mulut dari sisa-sisa
makanan yang me-nempel di bibirnya yang merah merekah.
"Trotet! Trotet! Trotet..!"
Baru saja Jaka hendak menanggapi uca-
pan kekasihnya, sebuah suara sangkala terdengar cukup jelas. Dan bunyi yang
terakhir tampaknya
disertai pengaturan napas yang cukup panjang.
Para pengunjung kedai makan yang berada
di dekat pintu masuk, segera terlihat beranjak keluar. "Rombongan kerajaan!
Rombongan kerajaan!" teriak salah seorang cukup keras.
Semua orang yang berada di dalam kedai
makan segera bangkit meninggalkan tempat du-
duk menuju keluar. Hanya Jaka dan Mayang
yang masih tetap berada di tempatnya.
"Troteeettt...!"
Bunyi sangkala panjang kembali terdengar.
Dan pada saat itulah Jaka dan Mayang bangkit
dari depan meja santapannya.
"Hm.... Benar-benar rombongan kerajaan
yang lengkap, Mayang," gumam Jaka ketika menyaksikan sebuah kereta kencana yang
ditarik empat ekor kuda berwarna putih mengkilat
Di belakang kereta kencana yang diduga
Jaka berisi Prabu Setyagara, melintas juga se-
buah kereta yang tak kalah indahnya. Kereta in-
dah itu ditarik dua ekor kuda putih mengkilat
Persis di bagian depan kereta yang ditarik
dua ekor kuda, terlihat dua bocah umur sepuluh
tahun tengah duduk dengan wajah yang terkesan
kebingungan. Tatapan mata mereka menerawang
jauh ke depan. Kosong, seperti telah terpengaruh oleh sebentuk kekuatan yang tak
dapat terlihat.
Di kiri dan kanan sepasang bocah yang tak lain
anak kembar Ki Jagil dari Desa Gandaras, nam-
pak dua lelaki berpakaian prajurit bersenjata
lengkap. "Bocah itu pasti anak Ki Jagil, Kakang," bisik Mayang.
"Ya, calon korban pertama dari persemba-
han gila itu," timpal Jaka dengan suara ditekan.
"Lalu apa rencana kita sekarang, Kakang,"
tanya Mayang. "Kita ikut ke tempat persembahan itu,
Mayang," jawab Jaka cukup tegas.
Mayang menyetujui keputusan yang diam-
bil Raja Petir. Namun untuk ikut ke tempat tu-
juan persembahan, Jaka harus menunggu bari-
san prajurit kerajaan yang mengiringi dua kereta yang mengangkut sang Prabu
Setyagara, dan sepasang bocah kembar yang akan dijadikan kor-
ban persembahan.
"Ayo, Kakang," ajak Mayang.
Memang saat itu iring-iringan prajurit Ke-
rajaan Sutera Bayu sudah berlalu dari hadapan-
nya. Yang ada kini hanyalah, penduduk kotaraja
yang ingin menyaksikan persembahan itu.
"Ayo," sambut Jaka dengan langkah ber-baur dengan orang-orang yang ingin
menyaksikan persembahan. "Hhh...!"
Tiba-tiba saja Mayang mendengus ketika
menyadari kalau lelaki berwajah bopeng itu juga berjalan di sisi kanannya.
"Hrghhh...!"
Namun lelaki berwajah bopeng yang ber-
nama Narda juga mengeluarkan gerengan kesal,
melihat gadis cantik berpakaian jingga yang me-
melototinya di kedai makan barusan.
"Jangan cari mampus di sini, Narda," ujar Gorda mantap.
Kaki Gorda kemudian melangkah panjang-
panjang, mendahului langkah kaki sepasang pen-
dekar muda yang bergelar Raja Petir dan Dewi
Payung Emas. "Biarkan mereka mendahului kita,
Mayang," tutur Jaka seraya mencekal pergelangan tangan kekasihnya.
"Kalau keadaannya tidak seperti ini, biar
kubungkam mulut lancang itu dengan kepalanku,
Kakang," dengus Mayang, melihat wajah jelek lelaki bernama Narda.
"Troteeettt..!"
Bunyi sangkala yang ditiup seorang praju-
rit kerajaan kembali berkumandang. Dan pada
saat itulah kereta kuda yang berada pada bagian depan bergerak lebih cepat,
diikuti kereta kuda yang di belakangnya.
Penduduk kotaraja dan penduduk desa
lain yang sengaja datang untuk menyaksikan per-
sembahan pun ikut bergerak dan berlari mem-
buntuti kereta-kereta kuda yang bergerak sema-
kin cepat Malam merangkak perlahan. Sinar rembu-
lan yang terlihat semakin merata, menerangi jalan yang ditempuh serombongan
orang menuju Bukit
Kelabang. Sebuah bukit yang akan dijadikan
tempat acara persembahan.
5 Bukit Kelabang terlihat begitu angker. Dae-
rahnya berbatu-batu, dan ditumbuhi pohon-
pohon tinggi berdaun jarang yang berkesan ker-
ing, sehingga semakin nampak keangkerannya.
Siraman sinar bulan purnama di seluruh wilayah
Bukit Kelabang, juga cukup menampakkan se-
buah goa, yakni bernama Goa Persembahan.
Sebuah kereta kencana indah berwarna
kuning keemasan yang berkilauan tertimpa sinar
bulan, terlihat berhenti pada bagian paling depan Goa Persembahan.
Prabu Setyagara, tampak keluar dari dalam
kereta kebesarannya. Seorang lelaki bertampang
angker yang berpakaian hitam menghampiri sang
Prabu dari Kerajaan Sutera Bayu ini, diikuti dua orang rekannya yang bertubuh
tinggi ringkih dan tinggi kekar.
Lelaki berpakaian hitam yang pada bagian
punggungnya tersampir sebuah senjata berupa
pecut berbentuk seekor kelabang coklat kehita-
man tak lain adalah orang yang menuntut penye-
lenggaraan persembahan di Goa Persembahan
Bukit Kelabang. Dialah lelaki sakti dan memiliki ilmu sihir yang berjuluk
Kelabang Sakti. Sedangkan laki-laki yang bertubuh tinggi ringkih berjuluk
Cengcorang Sakti Lembah Setan. Sementara
yang bertubuh tinggi kekar berjuluk Gajah Maut
Lereng Tandus. Kedua orang itu memang kaki
tangan si Kelabang Sakti.
"Persembahan akan segera dimulai, Yang
Mulia," ajak Kelabang Hitam dengan kepala sedikit tertunduk, Cengcorang Sakti
Lembah Setan dan Gajah Maut Lereng Tandus juga terlihat me-
nundukkan kepala. "Mudah-mudahan tak ada
halangan yang membuat persembahan ini gagal
dan tidak diterima oleh...."
"Akan kuperintahkan seluruh prajurit ke-
rajaan bersiaga untuk menjaga segala kemungki-
nan, Grandawa," selak Prabu Setyagara.
"Terima kasih, Yang Mulia," ucap lelaki yang sebenarnya bernama Grandawa.
Kini Kelabang Hitam membungkukkan tu-
buhnya lebih rendah. Dan ketika tegak kembali,
langsung diperintahkannya Cengcorang Lembah
Setan dan Gajah Maut Lereng Tandus untuk se-
gera menjemput sepasang bocah berusia sepuluh
tahun yang akan menjadi persembahan pertama.
"Bawa bocah-bocah itu kemari, Marwa," perintah Kelabang Sakti pada Cengcorang
Sakti Lembah Setan yang ternyata bernama asli Marwa.
Dua lelaki berpakaian hijau terang dan ke-
labu langsung bergerak ke arah kereta kencana
yang ditempati bocah kembar anak Ki Jagil. Se-
mentara dua bocah kembar itu nampak begitu
rapi bagai sepasang pengantin yang hendak di-
iringi ke pelaminan. Pakaiannya yang indah di-
hiasi bunga-bunga melati yang ditautkan benang
sutera. Sementara orang-orang yang turut me-
nyaksikan acara persembahan terlihat semakin
jauh berkurang jumlahnya. Itu dikarenakan tak
tahan mengikuti lari kereta kuda yang menempuh
jarak ratusan pal. Yang mampu bertahan hingga
bisa mencapai Bukit Kelabang hanyalah orang-
orang persilatan.
Dalam jejeran orang yang hendak menyak-
sikan acara persembahan, nampak Raja Petir dan
Dewi Payung Emas. Kedua pendekar muda itu le-
bih memilih berdiri pada tempat yang sedikit ter-sembunyi. Tak jauh dari tempat
Jaka dan Mayang, terlihat juga empat lelaki berwajah angker yang hampir bertengkar dengan
Mayang di kedai makan kotaraja. Mayang mengarahkan ta-
tapannya ke empat lelaki itu. Begitu juga Jaka.
"Ternyata empat lelaki itu bukan orang
sembarangan, Mayang," kata Jaka. "Terbukti dia bisa bertahan ikut sampai ke
tempat persembahan ini."
"Kau betul, Kakang," timpal Mayang. "Apa yang harus kita lakukan di tempat ini,
Kakang?" "Kita saksikan dulu, apa yang akan mereka
lakukan," jawab Jaka.
"Hhh.... Perbuatan gila," rutuk Mayang.
"Jangan keras-keras bicaramu, Mayang."
Mayang menatap wajah Jaka. Sungguh tak
disadari ucapannya barusan.
*** Suasana Bukit Kelabang yang diterangi ca-
haya bulan purnama menjadi lebih hening ketika
sepasang bocah yang didandani layak pengantin
didirikan pada dua buah batu ceper sebesar tam-
pah. "Hm...."
Mayang Sutera sepertinya tak sabar meli-
hat lelaki berpakaian hitam yang menjadi pimpi-
nan penyelenggara upacara persembahan.
Sementara itu, tatapan Jaka justru berke-
liaran menyaksikan prajurit kerajaan yang berja-ga-jaga di sekitar Bukit
Kelabang. Seolah Raja Petir tengah mengukur kekuatan orang-orang yang
mendukung acara persembahan sesat Prabu Se-
tyagara. "Mayang," bisik Jaka tiba-tiba.
"Ada apa, Kakang?" tanya Mayang.
"Bersiaplah untuk menghadapi segala ke-
mungkinan. Aku akan melakukan sesuatu untuk
menyelamatkan anak kembar Ki Jagil itu," ujar Jaka. "Apa yang akan kau lakukan,
Kakang?" Disadari, upacara persembahan itu diikuti
tokoh-tokoh sakti golongan hitam, dan juga ratusan prajurit Kerajaan Sutera
Bayu. Jelas, mereka berjaga-jaga dan dilengkapi persenjataan.
"Tunggu saja apa yang akan dilakukan le-
laki berpakaian hitam itu, Mayang," ujar Jaka tanpa memberi tahu pada
kekasihnya, tindakan
apa yang akan ditempuh.
Mayang tak melontarkan pertanyaan lagi.
Terlebih ketika Jaka membungkukkan badan.
Tampak tangan kanan Raja Petir meraih batu se-
besar kepalan perempuan dewasa.
Meski dalam hati Dewi Payung Emas mun-
cul berbagai macam pertanyaan, namun tetap
mencoba bersabar untuk menunggu apa yang di-
lakukan Jaka. "Saudara-saudara sekalian!"
Tiba-tiba terdengar seruan keras yang dike-
luarkan lewat pengerahan tenaga dalam. Suara
itu seketika mengumandang dan bergema di su-
dut-sudut Bukit Kelabang. Kata-kata pembuka
itu diucapkan Grandawa alias si Kelabang Hitam
dengan tatapan berkeliling. Diperhatikannya


Raja Petir 19 Persembahan Raja Setyagara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang-orang yang menyaksikan jalannya persem-
bahan. "Tak lama lagi saudara-saudara akan me-
nyaksikan persembahan yang berguna untuk
menjaga keutuhan Kerajaan Sutera Bayu. Per-
sembahan ini sekaligus untuk meminta restu pa-
da Dewa Penyelamat dan Dewa Pemelihara keda-
maian, agar kita semua selalu mendapat kesela-
matan dan kedamaian," kata Kelabang Hitam.
Tak ada suara sedikit pun yang menangga-
pi ucapan lelaki yang berjuluk Kelabang Hitam
ini. Dan suasana pun menjadi begitu sunyi.
Jaka dan Mayang pun hanya diam saja.
Namun dalam hati Mayang merutuki kata-kata
Kelabang Hitam.
"Semoga Yang Kuasa mengutuk ucapan-
mu!" "Saudara-saudara sekalian...!" kata Grandawa lagi. "Di hadapan kita kini,
berdiri Yang Mulia Prabu Setyagara, untuk sama-sama menyaksi-
kan upacara persembahan. Perlu diketahui, sete-
lah dua kepala korban terpisah dari badannya,
maka akan kulemparkan kepala bocah lelaki itu.
Lalu, Yang Mulia akan melempar kepala bocah
yang perempuan ke dalam Goa Kelabang. Jika
pada lemparan kedua terdengar bunyi raungan
dahsyat, saudara-saudara sekalian tak perlu ta-
kut. Karena itu hanya pertanda kalau persemba-
han diterima," tutur Grandawa.
Orang-orang yang mendengar ucapan lelaki
berpakaian hitam hanya terdiam, tanpa sepatah
kata pun yang terucap. Sepertinya semua orang
yang ada di Bukit Kelabang terpengaruh oleh
ucapan-ucapan si Kelabang Hitam, yang memang
memiliki kelebihan dalam hal ilmu sihir.
"Sekarang saksikanlah bagaimana aku
memenggal kepala bocah lelaki ini," ujar si Kelabang Hitam seraya menyentuh anak
lelaki Ki Jagil yang berada pada tangan Cengcorang Sakti Lembah Setan. "Jika
kepala bocah ini terpenggal tanpa mengucurkan darah, berarti persembahan di-
terima." Puluhan pasang mata yang menyaksikan
sikap Kelabang Hitam nampak tak berkedip. Ter-
lebih ketika Grandawa meminta sebilah golok be-
sar yang ada di tangan Gajah Maut Lereng Tan-
dus. "Menyingkirlah kalian," perintah si Kelabang Hitam pada Cengcorang Sakti
Lembah Setan dan Gajah Maut Lereng Tandus.
Maka kedua lelaki bertubuh tinggi kurus
dan tinggi kekar itu bergerak meninggalkan bo-
cah-bocah persembahan yang berdiri di atas se-
bongkah batu ceper.
Sesaat lamanya ketegangan membalut hati
orang-orang yang menyaksikan jalannya persem-
bahan. Dengan hati berdegup keras, mereka me-
nunggu apa yang akan dilakukan Kelabang Hi-
tam. Seperti orang-orang lain, Mayang pun me-
rasakan keterpanaan pula. Hanya Jaka yang
tampak lebih tenang, dengan telapak tangan
menggenggam sebongkah batu sebesar kepalan
tangan perempuan dewasa. Namun di balik itu,
siapa yang tahu kalau sesungguhnya tokoh tam-
pan yang berjuluk Raja Petir tengah memper-
siapkan sebuah ilmu andalan yang bernama aji
'Kukuh Karang'.
"Haiaaa...!"
Keheningan yang dibungkus ketegangan,
seketika terusik teriakan si Kelabang Hitam dengan sebilah golok besar yang
terangkat hendak di-tebaskan ke leher anak lelaki Ki Jagil.
"Hmrh...!"
Jaka menggereng marah melihat tindakan
Grandawa. Maka seketika itu juga....
Sing...! Sebongkah batu yang berada dalam geng-
gaman tangan kanan Raja Petir meluruk deras
mengiringi kelebatan golok besar yang hendak
memenggal kepala putra Ki Jagil.
Trak! "Akh!"
Terdengar pekik tertahan yang keluar dari
mulut lelaki yang berjuluk Kelabang Hitam. Tu-
buhnya pun terlihat terjajar dua langkah ke belakang, sementara senjatanya yang
berada dalam genggaman terpental dan patah dua.
Kejadian itu berlangsung begitu cepatnya.
Cengcorang Sakti Lembah Setan dan Gajah Maut
Lereng Tandus pun tak sempat menyaksikan ke-
lebatan sebongkah batu yang dilemparkan Raja
Petir dengan kekuatan tenaga dalam penuh.
Dan pada saat tergempurnya tubuh Kela-
bang Hitam, sosok Raja Petir tiba-tiba melesat bagai kilat
"Hops!"
Sltas! Tap! Tap! Dua sosok bocah berumur sepuluh tahun
yang berdiri pada batu ceper seketika itu juga lenyap dari tempatnya. Raja Petir
memang melari- kannya disertai pengerahan ilmu 'Lejitan Lidah
Petir' yang dipadukan ilmu meringankan tubuh
dan ilmu cepat tingkat tinggi. Hingga manakala
tubuh yang terbungkus pakaian warna kuning itu
berkelebat, yang nampak hanya cahaya kuning
yang melesat bagai kilat
Orang-orang yang menyaksikan ter-
huyungnya tubuh Grandawa dan lenyapnya tu-
buh sepasang bocah persembahan, nampak se-
perti terkesima. Mereka bengong melompong.
"Kejar! Jangan biarkan dia lolos!" teriak si Kelabang Hitam keras setelah sadar.
Cengcorang Sakti Lembah Setan dan Gajah
Maut Lereng Tandus sama-sama menghentakkan
kakinya ke tanah kuat-kuat untuk mengejar
orang yang telah melarikan anak kembar Ki Jagil.
"Hop!"
"Hop!"
6 Suasana di Bukit Kelabang mendadak
menjadi kacau balau. Prajurit-prajurit yang me-
nyadari perintah Yang Mulia Prabu Setyagara se-
gera bergerak, ikut mengejar ke arah melesatnya bayangan kuning keemasan yang
telah menyelamatkan dua anak Ki Jagil dari persembahan sesat yang telah
dilakukan Raja Sutera Bayu. Sementara, orang-orang yang hanya bermaksud menyak-
sikan jalannya persembahan, kini kocar-kacir
mencari tempat untuk menghindar dari serudu-
kan prajurit-prajurit yang bermaksud mengejar
bayangan kuning tadi!
"Kakang...," desah Mayang, cemas. "Semoga tokoh-tokoh sesat tak kuasa
mengejarmu."
Hanya dalam waktu singkat, seluruh praju-
rit kerajaan yang bertugas menjaga Bukit Kela-
bang telah meninggalkan tempatnya. Hanya bebe-
rapa tokoh hitam saja yang mengiringi Prabu Se-
tyagara meninggalkan Bukit Kelabang.
"Hhh...."
Sementara itu Mayang, setelah menarik
napas berat segera saja melangkah meninggalkan
Bukit Kelabang. Langkahnya terayun ke arah sa-
ma dengan lari Jaka. Namun belum juga jauh me-
langkah.... "Hei! Hei.... Hei! Jangan pergi dulu, urusan kita belum diselesaikan," tiba-tiba
sebuah suara yang ditujukan pada Mayang terdengar.
Semula Mayang mencoba mengacuhkan.
Namun ketika terdengar langkah kaki yang seper-
ti mengejar, langkahnya segera dihentikan.
"Gadis sombong! Sekarang kau tak punya
teman. Bagaimana kalau persoalan kita di kedai
makan tadi diteruskan," tukas lelaki berkumis melintang yang tak lain Narda.
"Aku mendukungmu, Narda. Bukan begitu,
Dirman, Sakim! Sekaranglah waktu yang tepat
bagi kita untuk menyeret gadis cantik itu," timpal lelaki berwajah putih yang
dikotori bopeng di wajahnya. Dia tak lain Gorba.
"Lantas, tunggu apa lagi?" kata orang bernama Dirman.
"Benar! Terlalu lama, tak enak rasanya,"
sambut orang yang bernama Sakim.
"Aku tak punya urusan dengan kalian," ketus ucapan Mayang. Langkah kakinya pun
kem- bali tergerak meninggalkan empat lelaki berwajah angker.
"Hop!"
"Hip!"
Narda dan Gorba yang melihat keketusan
itu segera melesat mendahului langkah kaki ke-
kasih Jaka ini.
Mayang tentu saja jadi terbelalak geram,
menyaksikan tingkah empat lelaki bertampang
kasar yang telah menjengkelkannya sejak di kedai makan tadi.
"Hhh! Dasar lelaki hidung belang! Sudah
kukatakan, aku tidak punya waktu untuk mela-
deni kalian. Menyingkirlah, jangan halangi jalan-ku!" bentak Mayang, keras.
Dua lelaki yang berdiri di hadapan Mayang
hanya cengar-cengir menimpali kemarahan
Mayang. Namun ketika tiba-tiba saja tangan gadis itu bergerak cepat, Narda dan
Gorba kelimpungan untuk menghindarinya.
"Uts!"
"Hups!"
Narda dan Gorba segera melempar tubuh-
nya ke kiri dan kanan untuk menghindari samba-
ran tangan Mayang yang mengarah ke bagian wa-
jah. "Hm.... Galak juga kau, Nisanak," gumam Narda, setelah bisa menguasai
keterkejutannya.
"Aku bukan saja bisa berbuat galak. Tapi
bisa membunuh kalian semua kalau tak cepat
menyingkir dari hadapanku!" bentak Mayang, tak main-main.
"Aku ingin bukti, Nisanak," tantang Gorba dengan tangan memberi isyarat mengajak
tiga temannya untuk mengurung gadis cantik yang
berjuluk Dewi Payung Emas.
"Majulah! Kalau itu yang kalian inginkan!"
sentak Mayang, membalas tantangan empat lelaki
yang kini tengah mengurung dirinya.
Seperti baru menemukan wanita cantik,
empat lelaki bertampang angker itu meluruk ber-
samaan menggunakan tangan kosong.
"Hiyaaa...!"
"Hiaa...!"
Mayang yang memang sudah muak melihat
tampang-tampang kasar di hadapannya, segera
saja menyambut serangan dengan jurus 'Menepak
Laut Menggenggam Air'. Tubuh gadis itu bergerak
cepat dan terlihat begitu indah, seperti seorang gadis penari yang bergerak-
gerak indah. Namun
gerakan itu merupakan sebuah ancaman bagi
keempat lelaki yang menjadi lawannya. Karena ti-ba-tiba tangan gadis itu
bergerak ke arah dua
orang di depannya.
"Haaat...!"
Wuttt! Plak! Plak! Dua lelaki yang bernama Dirman dan Sa-
kim kontan terjengkang ke tanah terkena samba-
ran tangan yang cukup keras pada bagian kepala.
Mereka mengerang-erang kesakitan dengan tela-
pak tangan memegangi kepalan yang berdenyut
sakit luar biasa. Rasanya, mereka tak mampu lagi melanjutkan pertarungan.
"Setan!"
"Keparat!"
Narda dan Gorba memaki penuh kegera-
man ketika melihat kedua teman mereka menda-
pat hajaran seperti itu. Kedua lelaki itu kini mencabut senjata masing-masing,
berupa sebilah go-
lok bergagang panjang.
Srat! Srat! Rrrt..! Melihat kedua lawannya mencabut senjata,
tak tanggung-tanggung Mayang segera mengem-
bangkan payung kecil dari logam berwarna kun-
ing keemasan. Dan kini sebuah jurus 'Benteng
Emas' kini tengah dipersiapkannya untuk me-
nandingi serangan Narda dan Gorba.
"Hiyaaa...!"
"Hiaaa...!"
Narda dan Gorba melesat ke arah tubuh
Mayang. Senjata mereka yang diputar-putar di
samping kepala seketika itu juga diarahkan ke
bagian kepala dan dada gadis itu.
Trang! Trang! Bunyi berdentang keras dari senjata-
senjata yang beradu seketika terdengar di malam yang diterangi cahaya bulan
purnama. Percik
bunga api pun berpijar dari logam-logam yang beradu dengan kekuatan tenaga dalam
tinggi. Tubuh Narda dan Gorba nampak terjajar
tiga langkah ke belakang. Sedangkan Mayang
hanya satu langkah bergeser dari tempatnya ber-
pijak. Itu berarti, penguasaan tenaga dalam gadis cantik kekasih Raja Petir ini
berada di atas kedua lawannya.
Mendapatkan keunggulan pada dirinya,
Mayang segera mengambil tindakan cepat Mak-
sudnya, tak lain ingin memberi pelajaran pada
kedua lawannya.
"Hiaaat..!"
Melihat kedua lawannya yang terhuyung,


Raja Petir 19 Persembahan Raja Setyagara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuh Dewi Payung Emas cepat mencelat. Kaki
kanan yang dialiri kekuatan tenaga dalam, kini
nampak hendak menendang bagian dada Gorba.
Sedangkan sampokan tangannya, jelas terlihat di-
tujukan ke kepala Narda.
"Mampus kalian!"
Bugkh! Plak! "Aaa...!"
Dua lengkingan kesakitan seketika terden-
gar berturut-turut, begitu tendangan dan sampo-
kan tangan yang dilancarkan Mayang tepat
menghantam dada dan kepala Gorba dan Narda.
Bruk! Bruk! Tubuh Narda dan Gorba seketika ambruk
ke tanah. Wajah lelaki itu nampak menyeringai
menahan sakit. Sementara, Mayang hanya berdiri
tegak memandang lawan-lawannya dengan se-
nyum mengejek sambil bertolak pinggang.
"Kalau aku mau, sekarang juga tubuh ka-
lian kubuat daging cincang dengan senjataku ini!"
gertak Mayang sambil memamerkan senjatanya.
Sayang aku tak punya urusan dengan kalian."
Empat lelaki berwajah kasar yang kini ter-
kulai di tanah berbatu-batu Bukit Kelabang tak
membalas kata-kata yang dilontarkan Mayang.
Bahkan ketika tubuh gadis itu melesat, mereka
sedikit pun tak berniat mengejar. Sepertinya, mereka jera mendapati keunggulan
yang diperli- hatkan gadis cantik kekasih Raja Petir itu.
Sementara itu, Mayang terus melesat cepat
ke arah yang diambil Jaka dalam menyelamatkan
anak kembar Ki Jagil. Dan malam pun merang-
kak semakin jauh. Angin dingin yang berhembus
terus menusuk kulit. Namun Mayang tak berniat
menghentikan larinya
"Hm.... Di mana harus kutemui, Kakang
Jaka?" gumam Mayang. "Apakah aku harus ke Desa Gandaras" Hhh...."
Setelah menarik napas berat, Mayang ak-
hirnya berkeputusan untuk mencari penginapan
terdekat. Baru menjelang fajar nanti, dia akan pergi ke rumah Ki Amertagi Kepala
Desa Gandaras. "Hips!"
Tubuh Mayang kembali bergerak dalam
tengah malam yang dingin. Sebuah rumah pengi-
napan yang kini dicarinya.
7 Desa Jalarawa nampak begitu indah ma-
nakala sinar matahari nampak sedikit-sedikit
menyirami pepohonan hijau kemuning. Di bela-
han timur desa yang terlihat damai, menghampar
sawah dengan padi-padinya yang melambai-
lambai tertiup angin sepoi-sepoi sejuk.
Mayang yang tengah berada dalam sebuah
kamar penginapan, terlihat berdiri di muka jende-la yang terbuka lebar. Angin
pagi dibiarkan me-
nerpa wajahnya. Sementara, tatapan matanya
yang jernih dan indah menikmati keindahan alam
Desa Jalarawa yang sebenarnya masih berada da-
lam kekuasaan Kerajaan Sutera Bayu.
Sesungguhnya Mayang enggan pergi dari
penginapan yang terletak pada sebuah desa yang
indah. Namun tuntutan hatinya yang dipenuhi
kecemasan tinggi, membuat dara manis yang ber-
juluk Dewi Payung Emas segera beranjak me-
ninggalkan kamarnya. Dia kemudian melangkah
ke ruang depan. Begitu tiba, segera diselesaikannya urusan sewa kamar selama
semalaman. "Kenapa begitu terburu-buru, Nisanak?"
tanya penjaga penginapan yang masih berusia
cukup muda. "Masih ada urusan lain yang harus segera
kuselesaikan, Kisanak. Lain kali, pasti aku mampir lagi di penginapanmu yang
resik ini," tukas Mayang.
Dan langkahnya segera terayun mening-
galkan pemilik penginapan. Pada sinar mata
orang itu terpancar kekagumam akan kecantikan
wajah yang dimiliki kekasih Raja Petir ini.
Dan Mayang sendiri bukannya tidak tahu
kekaguman lelaki berusia tak lebih dari dua pu-
luh lima tahun ini. Makanya, agar lelaki itu tak semakin penasaran, segera saja
kakinya melangkah cepat-cepat meninggalkan penginapan yang
cukup mengena di hatinya.
*** Karena jarak antara Desa Jalarawa dengan
Desa Gandaras tidak terlalu jauh, maka sebelum
matahari bertengger tegak di atas kepala, Mayang
sudah menginjakkan kakinya di bumi Desa Gan-
daras. Dan dia langsung menuju rumah Kepala
Desa Gandaras itu.
Namun, betapa terkejutnya dara cantik
berpakaian warna jingga itu, ketika menyaksikan puluhan prajurit Kerajaan Sutera
Bayu berada di pelataran rumah Ki Amertagi.
"Hm.... Pasti mereka menduga Kakang Ja-
ka membawa anak Ki Jagil ke tempat ini," kata batin Mayang.
Memang, tak lama kemudian, gadis cantik
kekasih Raja Petir ini menyaksikan tubuh lelaki berpakaian putih tampak
terhuyung keluar dari
dalam rumah. Di sela bibir orang yang tak lain
Kepala Desa Gandaras itu nampak darah me-
rembes keluar. Di wajahnya pun terlihat warna
biru bekas pukulan tangan.
"Kau pasti sengaja menyewa orang sakti
untuk mengacaukan jalannya persembahan!"
bentak lelaki berpakaian seorang punggawa ke-
ras. "Ampunkan hamba, Tuan Punggawa.
Sungguh hamba tak tahu-menahu akan hal itu,"
ratap Ki Amertagi.
"Dusta! Kau berani berdusta padaku, he"!"
bentak lelaki bertubuh tinggi besar yang sesungguhnya bernama Guridala.
Kaki kanan punggawa Guridala kemudian
terangkat, lalu meluncur deras ke bagian dada
Kepala Desa Gandaras.
Dagkh! "Akh!"
Pekik kesakitan keluar dari mulut Ki Amer-
tagi begitu tendangan keras mendera dadanya.
Tubuhnya kontan terhuyung ke belakang, kemu-
dian ambruk ke tanah setelah sepasang kakinya
tak kuasa menahan berat badannya.
"Ampunkan hamba, Tuan Punggawa," rintih Ki Amertagi sambil memegangi dadanya
yang berdenyut dengan sepasang telapak tangan.
Sementara Nyi Riwangni, istri Ki Amertagi
tak bisa berbuat apa-apa melihat keadaan sua-
minya. Perempuan berpakaian biru muda itu tak
berdaya apa-apa di bawah todongan tombak pra-
jurit-prajurit Kerajaan Sutera Bayu. Dia hanya bi-sa menangis tanpa suara.
Hatinya merintih iba
melihat keadaan suaminya.
"Masih untung kau tak kubinasakan seka-
rang, Tua Bangka Pendusta. Kau akan kubawa ke
hadapan Prabu Setyagara untuk mempertang-
gungjawabkan perbuatanmu. Setelah itu, kau
akan mendapatkan hukuman gantung!" ancam
Punggawa Guridala keras.
Mayang Sutera yang menyaksikan dan
mendengar ucapan Punggawa dari Kerajaan Sute-
ra Bayu menjadi gemas. Perasaan kemanusiaan-
nya langsung tergetar untuk memberi pelajaran
pada orang yang suka bertindak sewenang-
wenang. Namun untuk turun tangan langsung
menyelamatkan Ki Amertagi, adalah merupakan
pekerjaan konyol.
"Bangkit, Tua Bangka! Ikut aku!" sentak
Punggawa Guridala.
Ki Amertagi segera melaksanakan perintah
Punggawa Guridala, meski rasa sakit masih cu-
kup kuat terasa di bagian dadanya. Dia berusaha sekuat tenaga untuk bangkit,
kemudian berjalan
tertatih-tatih mengikut langkah kaki Punggawa
Guridala dari Kerajaan Sutera Bayu ini. Di belakang Ki Amertagi, berjalan
prajurit-prajurit yang mengiringi.
"Kakang Amertagi...!"
Nyi Riwangni menjerit menyayat menyaksi-
kan suaminya dibawa menuju Kerajaan Sutera
Bayu. Harapannya seketika itu juga musnah un-
tuk dapat hidup bersama selamanya.
Sementara Mayang yang menyaksikan ra-
tapan Nyi Riwangni tak mampu berbuat apa-apa.
Malahan gadis cantik yang berjuluk Dewi Payung
Emas itu membatalkan niatnya untuk mampir di
kediaman Kepala Desa Gandaras.
"Hips!"
Tubuh Mayang seketika bergerak berbalik
arah. Dia tak tahu lagi, di mana harus mencari
Raja Petir. Rasa khawatir yang melanda hati
membuatnya berlari tanpa tujuan pasti.
Jarak berpal-pal jauhnya kini sudah diam-
bil Mayang untuk mencari jejak kekasihnya. Na-
mun sedikit pun tak ditemui tanda-tanda akan di-temukannya Raja Petir.
Di tengah-tengah keputusasaan yang ham-
pir melanda, tiba-tiba telinga Mayang yang sudah cukup terlatih, mendengar
suara-suara pertarun-
gan. Maka untuk meyakinkannya, pendengaran-
nya segera dipusatkan.
"Hiyaaa...!"
Ctarrr...! Suara pertarungan itu kini semakin jelas
tertangkap pendengarannya, maka tanpa buang
waktu lagi, tubuh si Dewi Payung Emas itu lang-
sung mencelat ke arah suara pertarungan yang
didengarnya. "Kakang...?" Suara tertahan yang keluar dari mulut Mayang terdengar begitu sarat
kecemasan. Memang, saat itu Raja Petir tampak ten-
gah terkurung tiga lawan yang semuanya meng-
hunus senjata. Sementara, Jaka tak terlihat
menggunakan senjata. Dan anehnya, Mayang tak
menyaksikan keberadaan anak kembar Ki Jagi.
"Di mana Kakang Jaka menyembunyikan
anak kembar Ki Jagil?" kata hati Mayang bertanya-tanya.
"Kalau kau tak mau menyerahkan bocah-
bocah itu padaku, maka kepalamu sebagai peng-
ganti untuk kupersembahkan pada Prabu Setya-
gara!" ancam lelaki berpakaian hitam yang tak lain si Kelabang Hitam.
"Pilihan kedua yang kuingini, Kelabang Hi-
tam," balas Jaka menantang. "Namun, aku tak yakin melihat kemampuanmu."
Kata-kata itu membuat hati Kelabang Hi-
tam dan Cengcorang Sakti Lembah Setan serta
Gajah Maut Lereng Tandus terbakar kemarahan.
"Bocah Laknat! Kau pikir nyawamu rang-
kap heh"!" sentak Cengcorang Sakti Lembah Setan geram. Langkahnya terangkat,
menjajari Ke- labang Hitam. "Kalian yang terlalu berani berurusan den-
gan Raja Petir!" ledek Jaka.
Sengaja julukannya diucapkan keras-
keras, agar kemarahan tiga lawannya semakin
terbakar. Dengan begitu, Jaka berharap seran-
gan-serangan yang akan dilakukan mereka tak
lagi terkendali. Biasanya dalam keadaan seperti itu, setiap orang pasti akan
melalaikan pertaha-nannya.
"Sombong sekali kau. Raja Buduk! Tokoh-
tokoh lain boleh gentar mendengar julukanmu.
Tapi Gajah Maut" Ha ha ha.... Jangan berharap
kau bisa melihat matahari besok pagi jika sudah berurusan denganku!" gertak
lelaki berpakaian warna kelabu itu dengan dada sedikit dibusung-kan. "Jangan
banyak cakap, Gajah Bengkak!
Buktikan ucapanmu!" balas Jaka tak kalah gertak. Wuttt!
"Eits!" Jaka segera menarik kepalanya ketika sejengkal lagi golok besar milik
Gajah Maut Lereng Tandus hampir memenggal lehernya.
"Hiyaaa...!"
Begitu ucapan Jaka lenyap terbawa angin,
tubuh Gajah Maut Lereng Tandus sudah melesat
dengan senjata terkibas mengarah ke bagian leh-
er. Suara angin berdesing mengiringi kedatangan
serangannya. Goloknya yang berputar-putar ter-
dengar bercericitan tajam.
Wuttt! "Eits!"
Jaka segera menarik lehernya ketika se-
jengkal lagi golok besar milik Gajah Maut Lereng Tandus memenggal. Tindakan yang
diambilnya memang cukup tepat. Terbukti serangan itu
hanya mampu menebas angin. Bahkan sodokan
tangan kiri Jaka membuat penyerangnya terpaksa
melenting ke belakang.
Akan tetapi baru sekejapan bahaya lewat,
kini Jaka sudah kembali terancam serangan yang
dilancarkan Cengcorang Sakti Lembah Setan yang
memainkan jurus 'Pedang Lembah Setan'.
"Hiaaa...!"
Bet! Bet! "Uts!"
Kali ini Jaka harus melenting berkali-kali
untuk menghindari cecaran pedang panjang ber-
gerigi milik Cengcorang Sakti Lembah Setan yang cukup cepat dan memilih sasaran
mematikan. Tusukan dan tebasan yang dilakukannya di
samping cepat, juga sulit ditebak arahnya.


Raja Petir 19 Persembahan Raja Setyagara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm...."
Jaka bergumam pelan menyaksikan kece-
patan serangan Cengcorang Sakti Lembah Setan.
Wung! "Its!"
Tubuh Raja Petir kembali melenting ke
udara seraya memutar tubuhnya. Gerakannya
cukup indah dalam memperlihatkan kehebatan
ilmu 'Lejitan Lidah Petir'. Dan itu semakin membuat kemarahan lawannya menjadi-
jadi. Saat tubuh Cengcorang Sakti Lembah Se-
tan melesat memberi serangan susulan, tubuh
Kelabang Hitam juga bergerak, malahan lesatan
yang dilakukan lebih cepat datangnya. Jelas, ilmu yang dimiliki setingkat lebih
tinggi dari rekannya.
"Hiyaaa...!"
"Haaat...!"
Mayang yang menyaksikan keadaan keka-
sihnya terserang dari dua arah, segera saja
menghentakkan kakinya. Sementara senjatanya
berupa payung kecil dari logam juga sudah ter-
kembang dan siap dimainkan dalam jurus
'Benteng Emas'.
"Hits!"
Mayang langsung memutar-mutar senja-
tanya memapak serangan Cengcorang Sakti Lem-
bah Setan yang tertuju ke arah Raja Petir. Maka akibatnya....
Blang...! "Ikh!"
Tubuh Cengcorang Sakti Lembah Setan
kontan tergempur dua langkah ke belakang se-
saat sambaran pedang bergerigi miliknya, mem-
bentur payung logam warna kuning keemasan
yang dipentangkan Mayang dalam jurus andalan
'Benteng Emas'. Gadis cantik itu juga terjajar dua langkah ke belakang, malah
tangannya juga merasakan getaran hebat, hingga hampir saja ceka-
lan tangan pada gagang senjatanya terlepas.
"Keparat!" maki Cengcorang Sakti Lembah Setan menyadari serangannya berhasil
dihalau campur tangan orang lain.
Namun hati laki-laki tinggi kurus itu men-
jadi terkejut, begitu melihat kalau yang telah
menggagalkannya ternyata seorang perempuan.
Diyakini perempuan di hadapannya bukan orang
perempuan sembarangan. Itu bisa dipastikan dari kekuatan tenaga dalamnya yang
tak jauh berbe-da.
Sementara itu Raja Petir juga telah berhasil
menggagalkan serangan Kelabang Hitam dengan
lentingan-lentingan indah, menghindari sambaran pecut berbentuk kelabang yang
meledak-ledak. "Terima kasih, Mayang!" ucap Jaka keras ketika melihat kekasihnya hadir untuk
meringankan bebannya.
"Hmrh...!" Gandrawara yang berjuluk Kelabang Hitam menggereng geram. "Ayo Gajah
Maut! Kita habisi Raja Buduk itu. Biar Cengcorang Maut yang melumat tubuh gadis itu!"
Gajah Maut Lembah Tandus bergerak cepat
berdiri tegak di sisi kiri Kelabang Hitam.
"Keluarkan ajian andalanmu, Gajah Maut.
Kita lumat tanpa ampun tubuh bocah gila itu!"
dengus Kelabang Sakti lagi.
"Baik!" tegas Gajah Maut Lereng Tandus.
"Aji 'Selaksa Bisa Kelabang'!" sentak Grandawa, mengucapkan ajian andalannya.
"Aji 'Belalai Maut'!" teriak Gajah Maut Le-
reng Tandus tak kalah keras.
Kedua lelaki lawan Raja Petir kini sama-
sama memusatkan pikiran. Hanya sesaat saja,
dan pada saat selanjutnya hawa dingin dan bau
amis terasa menjalar terbawa angin. Dan ini tercipta akibat pengerahan ajian
'Selaksa Bisa Kelabang' miliki si Kelabang Hitam. Sementara Gajah Maut Lereng
Tandus menampakkan tangannya
yang terulur semakin panjang ke arah Raja Petir.
"Hhh... Ilmu setan!" rutuk Jaka dalam hati.
Napas Jaka seketika terasakan sesak aki-
bat pengaruh ilmu Kelabang Hitam.
"Mayang! Menjauhlah dari tempat ini! Kau
hadapi saja si Cengcorang Kurus itu!" teriak Jaka keras. Raja Petir memang
khawatir kalau-kalau
kekasihnya tak tahan menahan pengaruh yang
ditimbulkan akibat ajian 'Selaksa Bisa Kelabang'.
Gadis cantik berpakaian warna jingga itu
rupanya mengerti apa yang diinginkan kekasih-
nya. Maka seketika itu juga tubuhnya melesat
menjauhi arena pertarungan. Langsung digem-
purnya Cengcorang Sakti Lembah Setan.
8 Jaka semakin merasakan sesak pada na-
pasnya. Sementara tubuhnya menggigil akibat
ajian 'Selaksa Bisa Kelabang' yang diciptakan si Kelabang Sakti. Pada saat yang
gawat itu, tangan kanan Gajah Maut Lereng Tandus yang menggenggam golok besar
semakin dekat terulur.
"Heh"!"
Jaka tersentak, ketika tiba-tiba saja tubuh
Kelabang Sakti lenyap perlahan-lahan seperti
asap yang sirna terbawa angin. Namun, kini wu-
jud Grandawa berubah menjadi seekor kelabang
raksasa yang cukup besar berwarna coklat kehi-
taman dengan taring-taring mirip taring serigala buas. "Sihir..." Hm....
Terpaksa harus kugunakan Pedang Petir ini," gumam Jaka dengan tangan perlahan
meraih gagang senjata pusaka yang bernama Pedang Petir.
"Grzszs..."
Jelmaan kelabang hitam raksasa tiba-tiba
mendesis keras. Bersamaan dengan melesat bina-
tang jelmaan itu melesat pula ilmu 'Aji Belalai Maut' milik si Gajah Maut Lereng
Tandus yang bergerak cepat dengan golok besar tergenggam di tangan.
"Hyaaarhhh...!"
Gajah Maut Lereng Tandus memekik ga-
rang. Senjatanya berkelebat dengan pengerahan
tenaga dalam penuh.
Bwets! "Uts!"
"Uts!"
Dua kali tubuh Jaka melenting ke udara.
Karena pada saat yang bersamaan, Gajah Maut
Lereng Tandus dan jelmaan kelabang raksasa me-
lakukan serangan.
Jliegkh! Ketika tubuh Jaka mendarat ringan di ta-
nah, tangannya langsung terangkat lurus dengan
telapak menggenggam hulu Pedang Petir. Maka....
Gldrgdrg...! Gldrgdrg...!
Suara guntur terdengar saling sahut-
menyahut, menggema dari jarak ratusan pal. Na-
mun ketika suara guntur itu terdengar semakin
dekat, kilat pun terlihat menyambar-nyambar tu-
buh Pedang Petir dalam cuaca yang berubah men-
jadi gelap gulita.
Hanya sesaat saja keadaan gelap dan kila-
tan petir menyambar-nyambar tubuh pedang mi-
lik Raja Petir. Dan pada saat selanjutnya, kea-
daan berubah menjadi terang benderang. Maka
saat itu juga, Jaka memekik keras seraya mengi-
baskan pedangnya.
"Khaaa...!"
Wung...! Prats! "Wauuu...!"
Tepat pada saat Jaka mengibaskan Pedang
Petir, tangan Gajah Maut Lereng Tandus juga te-
rulur hendak membabat tubuh Raja Petir. Aki-
batnya, tangan lelaki berpakaian warna kelabu itu terputus terbabat Pedang Petir
yang terangkum dalam jurus 'Selaksa Halilintar Menyambar'.
Tubuh Gajah Maut Lereng Tandus kontan
terpental tiga tombak ke belakang dengan tangan lepas sampai ke pangkalnya. Dan
pengaruh ajian miliknya menyerang dirinya sendiri. Lelaki itu
hanya sesaat saja menggelepar-gelepar layak
ayam disembelih. Pada saat berikutnya" Nya-
wanya telah raib meninggalkan jasadnya. Bukan
karena tangannya yang buntung, tapi akibat ter-
makan ajiannya sendiri.
Sementara kelabang raksasa jelmaan
Grandawa yang mengalami nasib lebih baik. Dia
hanya terpental beberapa langkah saja. Memang
sungguh tak disangka kalau ajian 'Selaksa Bisa
Kelabang' miliknya bisa luntur di hadapan Raja
Petir. Kini wujud Kelabang Hitam Raksasa telah
berubah menjadi wujud Grandawa yang wajar.
"Hhh...!"
Grandawa menarik napas berat. Sepertinya
dia menyesal dengan apa yang didapatnya. Ajian
'Selaksa Bisa Kelabang' memang bisa digunakan
berulang-ulang jika lawan-lawannya ditaklukkan.
Namun jika dia sendiri yang takluk" Maka ajian
itu tak akan bermanfaat jika digunakan untuk
yang kedua kalinya. Dengan begitu kekuatan ilmu yang dimilikinya berkurang jauh.
"Bagaimana, Kelabang Hitam" Seorang te-
manmu sudah menjadi bangkai sekarang! Apakah
kau hendak menyusulnya?" tanya Jaka penuh
ejekan. "Hrhrh...!"
Grandawa menggereng mendengar perta-
nyaan Jaka. "Keparat kau. Raja Petir!" bentak si Kelabang Hitam murka. "Lebih baik mampus
daripada aku harus menyerah di tangan bocah ingusan se-pertimu!"
"Ha ha ha...!" Jaka terkekeh mendengar ucapan lawannya. "Jangan takut mati
seperti itu, Kelabang Hitam. Aku tak sekejam yang kau
bayangkan. Aku bisa mengampunimu, kalau saja
kau mau bertobat dari jalan yang sesat"
Dug! Kelabang Hitam membanting kakinya keras
menimpali perkataan Jaka.
"Tak sudi aku mendengar khotbahmu, Raja
Sinting!" maki Grandawa berang. "Terimalah se-ranganku!"
"Hiyaaa...!"
Jaka yang memang sudah mengalungkan
lagi Pedang Petir di lehernya, segera saja bersiap menerima kedatangan serangan.
Sementara Kelabang Hitam sudah mengangkat tangannya yang
menggenggam pecut berbentuk kelabang.
Ctar! Ctar! Raja Petir langsung melenting ke udara.
Dan seketika tangannya bergerak lincah, me-
nangkap lidah pecut itu.
Tap! Begitu mendarat, langsung ditariknya lidah
pecut milik Kelabang Hitam.
Bret! "Hops!"
Grandawa memang tak menyangka kalau
lawannya berani menangkap pecut kelabangnya
dengan tangan telanjang. Bahkan juga tak men-
duga akan mendapat betotan keras yang begitu
cepat. Kini Kelabang Hitam berusaha sekuatnya
untuk menahan betotan tenaga lawan yang hen-
dak merebut pecutnya.
"Hhh...!"
Keringat sebesar butir-butir jagung meleleh
turun dari dahi Grandawa yang tengah menge-
rahkan seluruh tenaga dalamnya untuk memper-
tahankan senjata. Seluruh urat dan otot tubuh-
nya terlihat menegang.
"Kau terima sekarang aji 'Kukuh Ka-
rang'ku, Kelabang Hitam," ucap Raja Petir tenang.
Maka seketika itu juga sinar kuning menyi-
laukan mata nampak membungkus Raja Petir da-
ri bagian dada hingga kepala, dan bagian lutut
hingga ujung kaki.
Sinar kuning menyilaukan itu seketika ju-
ga menjalar, merambat lewat pecut berbentuk ke-
labang milik Grandawa.
"Akh!"
Si Kelabang Hitam terpekik keras ketika
merasakan hawa panas menjalari tubuhnya. Dan
seketika itu juga, dirinya sudah terkurung sinar kuning kemilau yang tercipta
akibat ajian 'Kukuh Karang'.
"Aaa...!"
Pada saat tubuh si Kelabang Hitam sudah
betul-betul tanpa daya, sebuah pekik kematian
terdengar membubung tinggi ke langit. Tampak
sosok lelaki berpakaian warna hijau mental ke belakang dengan bagian leher koyak
mengucurkan darah. Payung emas Mayang rupanya telah
menghentikan perlawanan lelaki yang berjuluk
Cengcorang Sakti Lembah Setan. Bahkan seketika
itu juga sudah menjadi mayat dengan leher ber-
lumuran darah. "Kakang! Jangan dibunuh!" teriak Mayang setelah menyelesaikan pertarungannya.
"Kenapa, Mayang?" tanya Jaka berpura-
pura. Padahal, memang dia tak berniat membu-
nuh si Kelabang Hitam.
"Kelabang Hitam bisa digunakan untuk
menyelamatkan Ki Amertagi yang ditawan dan
akan digantung pihak kerajaan," jelas Mayang.
"Baiklah, Mayang!" ucap Jaka.
Kemudian tangan Jaka bergerak cepat me-
notok bagian tubuh Grandawa yang tanpa daya
lagi. Tuk! Tuk!
"Aaa...!"
Kelabang Hitam terpekik mendapatkan to-
tokan pada tangannya. Seketika itu juga, urat-


Raja Petir 19 Persembahan Raja Setyagara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

urat tangannya terasa seperti mati.
"Sekarang kau ikut aku ke Kerajaan Sutera
Bayu," tukas Jaka. "Kau harus memulihkan kekacauan yang terjadi di sana."
"O, ya. Di mana anak kembar Ki Jagil, Ka-
kang?" tanya Mayang mengingat dua bocah yang telah diselamatkan kekasihnya.
"Dia ada di rumah penduduk Desa Bladar
ini," jawab Jaka. "Apa perlu mereka kita bawa serta ke Kerajaan Sutera Bayu?"
"Rasanya tidak perlu, Kakang," jawab
Mayang. "Kalau begitu, sekarang juga kita bawa le-
laki ini ke Kerajaan Sutera Bayu," putus Jaka.
"Ayo, Kakang."
*** Puluhan prajurit Kerajaan Sutera Bayu
langsung menghunus senjata melihat kedatangan
sepasang pendekar muda yang membawa serta si
Kelabang Hitam. Awalnya para punggawa mela-
rang mereka untuk menemui Prabu Setyagara.
Namun karena Kelabang Hitam yang meminta,
maka mereka tak kuasa menolak. Dan mereka
pun segera melangkah memasuki Balai Sema
Agung. Sebentar saja, mereka telah berhadapan
dengan Prabu Setyagara yang duduk di singgasa-
na dalam Balai Sema Agung.
"Yang Mulia," kata Jaka, begitu tiba di hadapan sang Prabu. "Ketahuilah, akulah
orang yang telah mengacaukan jalannya persembahan
sesat yang kau lakukan. Aku tahu, kau melaku-
kannya atas perintah Kelabang Hitam yang meno-
longmu menduduki tahta kerajaan. Dan kau tak
kuasa untuk menolak, mengingat kesaktiannya.
Maka dengan dalih untuk kesejahteraan dan ke-
selamatan rakyat mu, kau bersedia membantu
Kelabang Hitam dalam mempelajari ilmu sesat."
Prabu Setyagara tak membantah ucapan
Raja Petir. Meski tatapan matanya nampak tak
senang melihat sikap tokoh muda yang tak mena-
ruh rasa hormat padanya.
"Sekarang, Kelabang Hitam telah kutun-
dukkan. Apakah kau akan menghilangkan acara
persembahan sesat itu?" desak Raja Petir.
Seperti kerbau tercocok hidung, Prabu Se-
tyagara seketika menganggukkan kepala.
"Terimalah hormatku, Yang Mulia Prabu
Setyagara," tiba-tiba saja Raja Petir membungkukkan tubuhnya. "Hamba minta,
berlakulah secara adil dan bijaksana untuk ketenteraman dan
kedamaian rakyat mu."
Prabu Setyagara terharu menyaksikan si-
kap lelaki muda yang berjuluk Raja Petir.
"Aku berjanji akan merubah kekeliruanku.
Raja Petir. Aku menyadari kekeliruanku yang me-
rebut tahta secara tidak sah. Aku berjanji, pada saatnya nanti kekuasaan ini
akan kuserahkan
kepada keponakan yang bernama Bintang Megan-
tara. Memang dialah yang berhak atas tahta ini.
Dan setelah itu, aku akan menyerahkan diri, ka-
rena memang akulah yang menjadi dalang keka-
cauan di kerajaan ini.
"Terima kasih, Yang Mulia. Kuserahkan le-
laki tanpa daya ini, biar pengadilan kerajaan yang mengurusnya," ujar Jaka.
Tubuh Raja Petir lalu berbalik.
"Ayo, Mayang," ajak Jaka pada kekasihnya.
'Tinggallah kalian di istanaku," tahan Pra-bu Setyagara, "Apakah besok pagi
kalian tak ingin melihat upacara penyerahan kekuasaan?"
"Rasanya orang-orang di sini sudah cukup
untuk menjadi saksi atas upacara yang mulia itu.
Dan hamba menghaturkan terima kasih. Permisi."
Jaka dan Mayang bergerak meninggalkan
Balai Serna Agung Kerajaan Sutera Bayu. Semen-
tara Prabu Setyagara hanya mampu menatap ke-
pergian sepasang pendekar muda dengan hati
tergugah untuk kembali ke jalan yang benar.
"Bebaskan, Patih Abadi Selaksa dan Kepala
Desa Gandaragi" perintah Prabu Setyagara pada prajuritnya. "Juga, panggilkan
Bintang Megantara dan ibunya."
Angin berhembus lembut di langit Kerajaan
Sutera Bayu, seolah ingin membawa kabar akan
kedamaian yang membias di Kerajaan Sutera
Bayu. Sementara, sepasang pendekar muda yang
tak lain Raja Petir dan Dewi Payung Emas terus
bergerak menjauhi kerajaan yang telah tersela-
matkan dari kekacauan.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Rahasia Sumur Tua 1 Pendekar Pulau Neraka 34 Dewi Beruang Putih Pedang Golok Yang Menggetarkan 14
^